Bab: Perempuan-perempuan yang haram untuk digabungkan dalam pernikahan

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi’, ia berkata: Telah berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah-: Allah Ta’ala berfirman: “Dan (diharamkan atas kamu) menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau” (QS. An-Nisa: 23). Maka tidak halal menggabungkan dua perempuan bersaudara baik melalui pernikahan maupun kepemilikan budak, karena Allah menurunkannya secara mutlak. Maka apa yang diharamkan dari wanita merdeka juga diharamkan dari budak kecuali dalam hal jumlah. Allah membatasi jumlah istri merdeka hingga empat, namun membolehkan budak tanpa batasan jumlah sebagaimana firman-Nya: “Atau (budak-budak) yang kamu miliki” (QS. An-Nisa: 3). Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Mathraf dari Abu Al-Jahm dari Abu Al-Akhdhar dari ‘Umārah bahwa ia membenci dari budak apa yang dibenci dari wanita merdeka kecuali jumlahnya. Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Hisyam bin Hassan dan Ayyub dari Ibnu Sirin, ia berkata: Ibnu Mas’ud berkata, dibenci dari budak apa yang dibenci dari wanita merdeka kecuali jumlahnya.

Asy-Syafi’i berkata: Ini merupakan pendapat para ulama -insya Allah- dalam makna Al-Qur’an, dan kami mengambilnya. Jumlah bukanlah bagian dari nasab atau penyusuan. Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Qabisah bin Dzu’aib bahwa seseorang bertanya kepada Utsman bin Affan mengenai dua perempuan bersaudara yang dimiliki melalui budak, apakah boleh digabungkan? Maka Utsman menjawab: Satu ayat menghalalkan dan satu ayat mengharamkan, adapun aku, aku tidak menyukai melakukannya. Maka orang itu keluar dari majelis Utsman dan bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi dan berkata: Kalau aku punya kuasa, dan aku temui seseorang melakukan itu, aku akan jadikan dia sebagai pelajaran. Malik berkata bahwa Ibnu Syihab menyangka itu adalah Ali bin Abi Thalib. Malik juga berkata bahwa telah sampai kepadaku dari Az-Zubair bin Al-Awwam hal yang serupa.

Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah dari ayahnya bahwa Umar bin Khattab ditanya tentang wanita dan anak perempuannya dari budak, apakah boleh disetubuhi satu setelah yang lain? Umar berkata: Aku tidak menyukai mengizinkan keduanya, lalu ia melarangnya. Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Az-Zuhri dari Ubaidillah dari ayahnya, ia berkata: Umar ditanya tentang ibu dan anak perempuannya dari budak, ia menjawab: Aku tidak menyukai mengizinkan keduanya. Ubaidillah berkata: Aku berharap Umar bersikap lebih keras dalam hal ini.

Telah mengabarkan kepada kami Muslim dan Abdul Majid dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah mengabarkan bahwa Mu’adz bin Ubaidillah datang kepada Aisyah dan berkata: Aku memiliki budak wanita dan dia punya anak perempuan yang telah baligh. Bolehkah aku menjadikan anaknya sebagai budakku juga? Aisyah menjawab: Tidak boleh. Ia berkata: Demi Allah, aku tidak akan meninggalkannya kecuali engkau mengatakan bahwa Allah mengharamkannya. Aisyah menjawab: Tidak ada seorang pun dari keluargaku yang melakukannya dan tidak ada yang menaatiku dalam hal itu.

Asy-Syafi’i berkata: Jika seseorang menceraikan istrinya dan tidak memiliki hak rujuk, maka boleh baginya menikahi saudari mantan istrinya karena dia tidak lagi dianggap menggabungkan antara dua saudari. Dan jika Allah mengharamkan penggabungan keduanya, maka itu menunjukkan bahwa menikahi salah satu setelah yang lain tidak diharamkan. Jika seseorang memiliki budak wanita yang disetubuhi, lalu ingin menyetubuhi saudari budak itu, maka tidak boleh melakukannya sampai ia mengharamkan hubungan dengan budak pertama dengan cara menikahinya, memerdekakannya, atau menjualnya. Jika telah melakukan salah satu dari hal tersebut, lalu menyetubuhi saudari budaknya, kemudian budak pertama kembali menjadi miliknya, maka ia tidak boleh menyetubuhinya lagi kecuali setelah mengharamkan hubungan dengan saudari yang kedua, dan seterusnya. Baik budak pertama maupun kedua melahirkan atau tidak, karena hubungan itu melalui kepemilikan.

Jika seseorang memiliki dua saudari melalui pernikahan dan kepemilikan budak, maka pernikahan tetap sah dan tidak batal karena kepemilikan budak, baik pernikahan terjadi lebih dulu atau sesudahnya. Jika ia memiliki budak lalu menikahi saudari budaknya, maka pernikahannya sah dan haram menyetubuhi budak itu selama saudarinya masih menjadi istrinya. Akan tetapi, lebih baik bagiku bila keharaman hubungan dengan budak itu dimulai sejak akad nikah atau sebelumnya dengan memerdekakannya atau menjualnya. Jika tidak dilakukan, aku tidak memaksanya untuk menjualnya, tetapi aku melarangnya menyetubuhi budak itu.

Jika seseorang memiliki budak lalu menikahi saudari budaknya yang merdeka, maka pernikahan tersebut batal. Jika seseorang bertanya: Apa perbedaan antara hubungan melalui kepemilikan dan melalui pernikahan? Jawabannya adalah pernikahan menciptakan hak timbal balik antara suami dan istri, dan kontrak pernikahan memiliki kekuatan dalam mengharamkan penggabungan saudari sebagaimana hubungan melalui budak.

Jika seseorang menikahi dua saudari sekaligus, maka pernikahan keduanya batal. Jika ia menikahi dua perempuan dan tidak tahu siapa yang lebih dahulu, maka pernikahannya juga batal. Tetapi jika ia membeli seorang wanita, ibunya, dan anak-anaknya dalam satu transaksi, maka penjualannya sah dan tidak diharamkan, sebab yang diharamkan adalah hubungan, bukan penggabungan dalam kepemilikan. Jika ia menyetubuhi budak, lalu segera menjualnya atau memerdekakannya atau sebagian darinya, maka ia boleh menyetubuhi saudarinya. Namun ia tidak boleh menikahi saudari istrinya selama istrinya masih dalam ikatan pernikahan. Ia tidak boleh memiliki wanita lain yang mengharamkannya tanpa perceraian. Anak dari istri diakui walau tanpa pengakuan hubungan jika tidak ada li’an. Adapun anak budak tidak diakui kecuali ada pengakuan. Istri tidak boleh disetubuhi oleh selain suaminya, sementara budak bisa disetubuhi oleh orang lain jika dinikahkan oleh tuannya, dan tetap haram bagi tuannya menyetubuhinya. Tidak demikian halnya dengan istri merdeka; pernikahan membuatnya halal dan tidak mengharamkan hubungannya kecuali karena puasa, ihram, dan semacamnya.

Jika seorang pria menikahi wanita dari kalangan musyrik lalu ia masuk Islam dan membeli saudari istrinya kemudian menyetubuhinya, lalu istrinya masuk Islam dalam masa iddah, maka hubungan dengan budak menjadi haram. Dan demikian pula jika istri masuk Islam lebih dahulu lalu ia membeli saudari istrinya dan menyetubuhinya, lalu suaminya masuk Islam dalam masa iddah.

Jika ia memiliki budak dan menyetubuhinya, lalu menyetubuhi saudarinya, maka ia harus meninggalkan yang kedua karena menyetubuhi yang pertama. Lebih baik jika ia juga meninggalkan yang pertama sampai istibra’ dari yang kedua. Jika tidak, maka tidak ada beban apa-apa atasnya. Baik yang pertama maupun kedua melahirkan atau tidak, hukum tetap sama.

Jika hubungan dengan yang pertama menjadi haram setelah menyetubuhi yang kedua, maka boleh menyetubuhi yang kedua. Jika hubungan dengan yang kedua menjadi haram, maka boleh kembali ke yang pertama, dan begitu seterusnya. Ini seperti jika seseorang menceraikan seorang wanita dan tidak memiliki hak rujuk, maka ia boleh menikahi saudari wanita itu.

Perempuan-perempuan yang boleh digabungkan

Asy-Syafi’i berkata: Tidak mengapa jika seorang pria menikahi istri dari pria lain dan anak perempuannya karena tidak ada hubungan nasab atau penyusuan yang melarang penggabungan. Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Amr bin Dinar bahwa Abdullah bin Shafwan pernah menikahi istri seorang lelaki dari Bani Tsaqif dan anak perempuannya. Telah mengabarkan pula dari Amr bin Dinar bahwa Hasan bin Muhammad berkata: Ibnu Umar menikahkanku dengan dua anak perempuan dari pamannya.

Tidak mengapa seorang pria menikahi seorang wanita dan menikahkan anak perempuan wanita itu dengan putranya, karena hukum antara pria dan putranya berbeda. Begitu pula menikahkan saudari istrinya.

Menggabungkan wanita dengan bibi dari pihak ayah atau ibu

Asy-Syafi’i berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda: “Tidak boleh menggabungkan antara wanita dengan bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu.” Asy-Syafi’i berkata: Kami mengambil pendapat ini. Tidak ada perbedaan di antara para mufti yang aku temui. Hadis ini hanya datang dari Abu Hurairah. Ini menjadi hujah atas siapa pun yang menolak hadis atau mengambil hadis hanya sebagian. Masyarakat hanya mengikuti pendapat para fuqaha dalam pengharaman penggabungan tersebut. Jika kami menetapkan keharaman ini dari hadis, maka kami menetapkannya dari Allah juga, karena Rasul adalah penyampai wahyu-Nya.

Dan jika seseorang menikahi salah satu dari dua perempuan (bibi dan keponakan), kemudian menikahi yang lain, maka yang pertama sah dan yang kedua batal. Jika ia menikahi keduanya dalam satu akad, maka akadnya batal seluruhnya, baik ia menyetubuhi salah satunya atau tidak.

Nikah dengan perempuan Ahli Kitab dan keharaman budak perempuan mereka

Asy-Syafi’i berkata: Allah berfirman: “Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir” (QS. Al-Mumtahanah: 10). Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai wanita yang berhijrah dari Makkah. Mereka juga menyebutkan bahwa firman Allah “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman” (QS. Al-Baqarah: 221) turun tentang para penyembah berhala. Namun setelah itu Allah membolehkan menikahi wanita merdeka dari kalangan Ahli Kitab sebagaimana dalam firman-Nya: “Diizinkan bagi kamu menikahi wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan dari kalangan orang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan orang yang diberi kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Ma’idah: 5).

Dari keumuman ayat ini dapat disimpulkan bahwa Allah hanya membolehkan menikahi wanita merdeka dari Ahli Kitab, bukan budak mereka. Hal ini seperti ketika Rasul melarang memakan hewan buas yang bertaring, maka itu menjadi dalil bahwa selain itu boleh. Jika Allah menyebut sifat tertentu dalam hukum, maka selainnya tidak termasuk.

Jika seorang wanita masuk Islam atau lahir dalam Islam atau salah satu orang tuanya masuk Islam sementara ia belum baligh, maka ia haram dinikahi oleh orang musyrik, baik dari Ahli Kitab maupun penyembah berhala.

Nikah dengan wanita merdeka dari Ahli Kitab

Asy-Syafi’i berkata: Diperbolehkan bagi laki-laki Muslim untuk menikahi wanita merdeka dari kalangan Ahli Kitab, namun lebih baik tidak dilakukan. Jelas bahwa mereka tidak mewarisi dari suaminya yang Muslim dan sebaliknya, karena perbedaan agama. Mereka harus dinikahi dengan wali dan dua saksi Muslim. Jika mereka masuk ke dalam Islam atau kembali ke agama mereka dalam masa iddah, maka pernikahan tetap sah. Namun jika tidak kembali hingga iddah selesai, maka ikatan pernikahan terputus dan tidak ada nafkah selama masa iddah karena ia telah menolak dirinya dari suami.

Jika ia murtad dari agama Ahli Kitab ke agama selainnya lalu kembali ke Islam atau agamanya yang dulu sebelum selesai iddah, maka pernikahan tetap sah. Jika tidak, maka batal. Seorang pria tidak boleh menikahi budak perempuan dari Ahli Kitab baik ia merdeka maupun hamba, karena Allah menghalalkan pernikahan dengan budak hanya dari kalangan orang beriman dengan dua syarat: tidak mampu menikahi wanita merdeka dan khawatir terjerumus dalam maksiat. Maka tidak diperbolehkan menikahi budak selain dari kalangan Muslimah.

Jika seorang pria menikahi budak perempuan dari Ahli Kitab, maka pernikahannya batal. Jika ia telah menyetubuhinya, maka ia wajib membayar mahar. Anak dari budak itu disandarkan kepadanya. Jika budak itu bukan dari Ahli Kitab dan disetubuhi, maka ia harus ditinggalkan dan tidak boleh menyetubuhinya lagi. Jika melahirkan, maka ia menjadi ummu walad dan tidak boleh dijual.

Jika seorang pria memiliki dua budak perempuan bersaudari, salah satunya boleh disetubuhi dan yang lain tidak, maka tidak dianggap sebagai menggabungkan antara dua perempuan yang boleh disetubuhi. Hukum ini ditentukan dari status ayahnya, bukan ibunya. Jika ayahnya bukan dari Ahli Kitab, maka walaupun ibunya dari kalangan Ahli Kitab, budak itu tidak boleh disetubuhi.

Menikahi Budak Wanita

Jika seseorang menikahi budak wanita ahli kitab, dan dia memiliki saudara perempuan yang merdeka ahli kitab atau Muslimah, kemudian dia menikahi saudara perempuannya yang merdeka sebelum berpisah dengan budak wanita ahli kitab tersebut, maka pernikahan wanita merdeka Muslimah atau ahli kitab itu sah. Ini karena pernikahan budak wanita ahli kitab tidak merusak kehalalan pernikahan berikutnya, sebab pernikahan yang pertama berbeda dengan pernikahan kedua. Jika dia menyetubuhinya, hukumnya sama, karena persetubuhan dalam pernikahan yang dibatalkan tidak mengharamkan apa pun, sebab dia bukan istri atau budak sah, sehingga tidak haram baginya untuk menggabungkan dia dengan saudara perempilannya.

 

Menikahi Wanita yang Statusnya Tidak Sesuai

Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan anggapan dia Muslimah, tetapi ternyata dia kafir, maka pernikahannya batal. Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan anggapan dia ahli kitab, tetapi ternyata dia Muslimah, dia tidak boleh membatalkan pernikahan itu karena Muslimah lebih baik dari ahli kitab. Jika seseorang menikahi seorang wanita tanpa diberitahu apakah dia Muslimah atau ahli kitab, lalu ternyata dia ahli kitab, dan dia berkata, “Saya menikahinya dengan anggapan dia Muslimah,” maka perkataannya diterima dan dia memiliki hak pilih, dan dia harus bersumpah bahwa dia tidak menikahinya dengan mengetahui dia adalah ahli kitab.

 

Larangan Menikahi Budak Muslimah

Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka di antara hamba sahaya perempuan yang beriman yang kamu miliki, maka nikahilah mereka atas izin tuan mereka” [An-Nisa’: 25] sampai firman-Nya “Demikian itu bagi orang yang takut terjerumus ke dalam perbuatan zina (zina)” [An-Nisa’: 25].

Imam Syafi’i mengatakan, ayat ini, wallahu a’lam, menunjukkan bahwa yang diajak bicara adalah orang-orang merdeka, bukan budak. Adapun budak, tidak mengapa menikah dengan budak wanita, karena dia tidak memiliki kemampuan (harta) untuk menikahi wanita merdeka atau budak. Jika ada yang bertanya, apa buktinya bahwa ini berlaku untuk orang merdeka dan bukan untuk budak? Dijawab: Yang memiliki kemampuan adalah orang yang memiliki harta, dan budak tidak memiliki harta sama sekali. Tidak relevan mengatakan kepada orang yang tidak memiliki harta sama sekali, “Jika dia tidak menemukan harta.” Dia selalu memiliki harta milik orang lain.

Tidak halal menikahi budak wanita kecuali seperti yang saya jelaskan dalam pokok hukum pernikahan mereka, yaitu jika seorang laki-laki merdeka tidak menemukan kemampuan (harta) untuk menikahi wanita merdeka dengan mahar, dan dia takut terjerumus ke dalam perbuatan zina. Jika kedua syarat ini terpenuhi, yaitu tidak menemukan kemampuan untuk menikahi wanita merdeka dan takut terjerumus ke dalam zina, maka halal baginya menikahi budak wanita. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak halal baginya. Misalnya, dia tidak menemukan kemampuan untuk menikahi wanita merdeka tetapi tidak takut terjerumus ke dalam zina, atau dia takut terjerumus ke dalam zina tetapi dia memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka. Sesungguhnya, kebolehan ini diberikan karena kebutuhan (darurat) akan rasa takut terjerumus ke dalam zina.

Tidakkah Anda melihat bahwa jika seseorang mencintai seorang wanita musyrik dan takut berzina dengannya, dia tidak boleh menikahinya? Dan jika dia memiliki empat istri dan mencintai istri kelima, tidak halal baginya menikahinya jika sudah sempurna empat istrinya. Atau jika dia memiliki seorang istri dan mencintai saudara perempuannya, tidak halal baginya menikahinya selama saudara perempuannya masih menjadi istrinya. Begitu pula dengan apa yang diharamkan baginya dalam pernikahan, dari segi apa pun ia diharamkan, saya tidak memberikan keringanan baginya untuk menikahi apa yang diharamkan baginya karena takut terjerumus ke dalam zina, karena tidak ada darurat baginya yang menghalalkan pernikahan tersebut, dan tidak ada darurat dalam masalah kenikmatan yang menghalalkan yang haram. Darurat hanyalah dalam hal tubuh yang hidup dari kematian dan mencegah dari siksa yang menyakitkan. Adapun kenikmatan, tidak ada yang mendapatkannya kecuali dengan cara yang halal.

Jika ada yang bertanya, apakah ada orang lain selain Anda yang mengatakan ini? Dijawab: Kitab ini, insya Allah, cukup dengan perkataan orang lain. Dan telah dikatakan oleh orang lain. Diceritakan kepada kami oleh Abdul Majid dari Ibnu Juraij, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Abu Az-Zubair bahwa dia mendengar Jabir berkata: “Barangsiapa yang menemukan mahar wanita merdeka, maka janganlah dia menikahi budak wanita.” Diceritakan kepada kami oleh Abdul Majid dari Ibnu Juraij, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Ibnu Thawus dari ayahnya, dia berkata: “Tidak halal bagi seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika dia memiliki kemampuan untuk membayar mahar wanita merdeka.” Saya bertanya, “Apakah dia takut terjerumus ke dalam zina?” Dia menjawab, “Saya tidak tahu hal itu halal.” Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Amr bin Dinar, dia berkata: Atha’ bertanya kepada Abu Asy-Sya’tsa’ – dan saya mendengarnya – tentang pernikahan budak wanita, “Apa pendapatmu tentangnya? Apakah itu dibolehkan?” Dia menjawab, “Saat ini tidak pantas menikahi budak wanita.”

Imam Syafi’i berkata: Al-Thawl (kemampuan) adalah mahar. Saya tidak tahu seorang pun yang menemukan apa yang menghalalkannya untuk menikahi budak wanita melainkan dia juga menemukan apa yang menghalalkannya untuk menikahi wanita merdeka. Jika demikian, maka tidak halal menikahi budak wanita bagi orang merdeka. Jika tidak demikian, dan seorang laki-laki merdeka menggabungkan kedua hal tersebut, maka halal baginya menikahi budak wanita.

Jika seseorang telah memiliki hak atas budak wanita dengan pernikahan yang sah, kemudian dia menjadi kaya sebelum atau sesudah berhubungan badan, itu sama saja. Dia memiliki pilihan untuk berpisah dengannya, dan dia tidak wajib berpisah dengannya sama sekali, meskipun kekayaannya mencapai apa pun, karena asal akad nikah itu sah pada saat terjadi, maka tidak haram karena peristiwa setelahnya.

Dia tidak boleh menikahi budak wanita atas budak wanita lainnya. Karena jika dia sudah memiliki budak wanita, dia tidak dalam keadaan darurat. Begitu pula dia tidak boleh menikahi budak wanita atas wanita merdeka. Jika dia menikahi budak wanita atas budak wanita atau wanita merdeka, maka pernikahan itu batal.

 

Menikahi Dua Budak Wanita Sekaligus atau yang Diharamkan

Jika seseorang memulai pernikahan dengan dua budak wanita sekaligus, maka pernikahan keduanya batal tanpa talak. Dia boleh memulai pernikahan dengan salah satu dari mereka jika dia termasuk orang yang boleh menikahi budak wanita, seperti halnya pada dua saudara perempuan yang dinikahi bersama atau seorang wanita dengan bibinya.

Jika dia menikahi budak wanita dalam keadaan yang saya katakan tidak boleh baginya, maka pernikahan itu batal dan tidak ada mahar baginya kecuali jika dia telah menyetubuhinya, maka dia berhak mendapatkan mahar karena dia telah menghalalkan kemaluannya. Namun, persetubuhannya tidak menghalalkannya jika pernikahannya fasid bagi suami orang lain jika dia menceraikannya tiga kali.

Jika dia menikahinya padahal dia memiliki kemampuan (untuk menikahi wanita merdeka), lalu pernikahannya tidak dibatalkan sampai dia tidak lagi memiliki kemampuan itu, maka pernikahannya dibatalkan karena asalnya fasid, dan dia boleh memulai pernikahannya lagi jika dia mau.

Jika dia menikahinya dan dia tidak memiliki istri, lalu dia berkata, “Saya menikahinya dan saya tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka,” lalu wanita itu melahirkan anak baginya atau tidak, jika dia berkata, “Saya menikahinya dan saya tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka,” maka perkataannya diterima, meskipun dia ternyata kaya, karena seseorang bisa saja miskin lalu kaya, kecuali jika ada bukti bahwa pada saat akad nikah dia memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka, maka pernikahannya dibatalkan sebelum dan sesudah berhubungan badan.

Jika dia menikahi budak wanita lalu dia berkata, “Saya menikahinya padahal saya memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka,” atau “Saya tidak takut terjerumus ke dalam zina.” Jika majikannya membenarkannya, maka pernikahan itu batal dan tidak ada mahar baginya jika dia belum menyetubuhinya. Jika dia telah menyetubuhinya, maka dia harus membayar mahar yang sepadan. Jika majikannya mendustakannya, maka pernikahan itu batal berdasarkan pengakuannya bahwa itu batal, dan dia tidak dibenarkan atas mahar. Jika dia belum berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan setengah dari mahar yang disebutkan. Jika dia rujuk setelah itu, saya menjadikannya sebagai talak secara hukum, dan di antara dia dan Allah itu adalah pembatalan tanpa talak. Orang lain mengatakan, dia dibenarkan dan tidak ada kewajiban apa pun baginya jika dia tidak menyetubuhinya.

Menikahi Budak Wanita dan Kemudian Menjadi Kaya

Jika dia menikahi budak wanita dengan pernikahan yang sah, kemudian dia menjadi kaya, maka dia boleh menikahi wanita merdeka dan wanita-wanita merdeka lainnya sampai lengkap empat orang. Pernikahan wanita merdeka atau wanita-wanita merdeka itu tidak menjadi talak baginya atau bagi mereka, dan tidak ada pilihan bagi salah satu dari mereka, baik mereka tahu bahwa di bawahnya ada budak wanita atau tidak tahu, karena akad nikahnya sah sejak awal, sehingga tidak diharamkan karena dia menjadi kaya.

Jika ada yang bertanya, “Bukankah bangkai itu haram, tetapi darurat menghalalkannya, lalu jika pemiliknya menemukan penggantinya, bangkai itu haram baginya?” Dijawab: Bangkai itu haram dalam segala keadaan dan bagi siapa pun, dalam segala aspek, baik pemiliknya maupun bukan pemiliknya, dan harganya tidak halal, kecuali jika memakannya dihalalkan dalam keadaan darurat. Adapun budak wanita, dia halal dengan kepemilikan dan halal dengan pernikahan budak, dan halal dinikahi oleh orang merdeka dalam kondisi tertentu. Dia tidak menyerupai bangkai yang haram dalam segala keadaan kecuali dalam keadaan mati. Dan persetubuhan tidak menyerupai makanan.

Semua kemaluan diharamkan bagi siapa pun dalam segala keadaan kecuali dengan apa yang dihalalkan melalui pernikahan atau kepemilikan. Jika sudah halal, maka tidak diharamkan kecuali dengan adanya sesuatu yang mengharamkannya, dan kekayaan bukanlah penyebab keharamannya. Tidak boleh kemaluan halal dalam satu keadaan, lalu haram setelah itu dalam waktu singkat. Kami mengharamkan nikah mut’ah karena mengikuti (larangan Nabi), agar kemaluan tidak halal dalam satu keadaan dan haram dalam keadaan lain.

Kemaluan tidak halal kecuali jika dihalalkan selamanya, selama tidak ada sesuatu yang mengharamkannya, dan kekayaan bukanlah sesuatu yang mengharamkannya. Jika ada yang bertanya, “Apakah tayamum halal dalam keadaan darurat dan bepergian, lalu jika menemukan air sebelum shalat dengan tayamum, tayamumnya batal?” Saya katakan: Tayamum bukanlah kewajiban yang menggantikan kewajiban shalat. Shalat tidak dapat dilakukan kecuali dengan sendirinya. Orang yang shalat wajib shalat dengan bersuci menggunakan air. Jika dia tidak menemukannya, dia bertayamum dan shalat. Jika dia menemukan air setelah tayamum dan sebelum shalat, dia berwudhu karena dia belum memulai kewajiban dan belum melaksanakannya.

Jika dia telah shalat atau memulai shalat, kemudian dia menemukan air, maka shalatnya tidak batal dan dia tidak perlu mengulanginya, dan dia berwudhu untuk shalat berikutnya. Demikian pula dengan orang yang menikahi budak wanita. Jika dia ingin menikahinya dan keinginannya dikabulkan, lalu dia duduk untuk menikahinya tetapi belum menikahinya, kemudian dia menjadi kaya sebelum akad nikah, maka dia tidak boleh menikahinya. Jika dia telah melakukan akad nikah, kemudian dia menjadi kaya, maka tidak haram baginya, sebagaimana orang yang shalat dengan tayamum kemudian menemukan air, shalatnya tidak haram baginya. Bahkan pernikahan budak wanita lebih dari keadaan orang yang memulai shalat. Orang yang memulai shalat belum menyelesaikannya, sedangkan orang yang menikahi budak wanita telah menyelesaikan seluruh pernikahannya. Dan penyelesaian pernikahannya menghalalkannya selamanya seperti yang saya jelaskan.

Pembagian Waktu untuk Istri

Dia membagi waktu untuk wanita merdeka dua hari dan untuk budak wanita satu hari. Begitu pula setiap wanita merdeka, baik Muslimah maupun ahli kitab, dia memenuhi pembagian waktu mereka secara merata, yaitu dua hari untuk setiap wanita merdeka dan satu hari untuk budak wanita. Jika dia mau, dia bisa menjadikannya dua hari dua hari, dan jika dia mau, dia bisa menjadikannya satu hari satu hari. Kemudian dia bergiliran dengan wanita merdeka dua hari dua hari, lalu mendatangi budak wanita satu hari.

Jika budak wanita itu merdeka pada hari itu, lalu dia bergiliran ke wanita merdeka atau ke wanita-wanita merdeka, dia membagi waktu antara mereka dan budak wanita itu satu hari satu hari. Dia boleh memulai dengan budak wanita sebelum wanita merdeka atau dengan wanita merdeka sebelum budak wanita, karena dia belum membagi waktu untuk mereka dua hari dua hari sampai budak wanita itu menjadi seperti wanita merdeka yang memiliki hak yang sama dengan mereka.

Suami hanya wajib membagi waktu untuk budak wanita selama majikannya mengizinkannya pada hari dan malamnya. Jika dia melakukannya, maka dia harus membagi waktu untuknya, dan majikannya boleh mengeluarkannya pada hari dan malamnya yang bukan gilirannya. Jika majikannya mengeluarkannya pada hari dan malamnya, maka dia telah membatalkan haknya, dan dia membagi waktu untuk yang lain seperti orang yang tidak memiliki istri.

Demikian pula wanita merdeka yang keluar tanpa izin suaminya, haknya untuk hari-hari dia keluar batal. Dan setiap istri yang belum sempurna kemerdekaannya, pembagian waktunya seperti budak wanita. Ini termasuk Umm Walad yang dinikahi, Mukatabah, Mudabbarah, dan sebagian yang dimerdekakan. Mukatabah tidak boleh menolak suaminya pada hari dan malamnya, dan suaminya tidak boleh melarangnya untuk mencari nafkah untuk pembebasan.

Hak Budak Wanita dan Majikannya dalam Pernikahan

Jika budak wanita membebaskan suaminya dari hari dan malamnya, dan tuannya tidak membebaskannya, maka halal baginya. Jika tuannya membebaskannya dan budak wanita itu tidak membebaskannya, maka tidak halal baginya, karena itu adalah hak budak wanita, bukan hak tuan.

Jika tuan melepaskan nafkah budak wanita dari suaminya, maka halal baginya, karena itu adalah harta milik tuan, bukan milik budak wanita. Dan tuan wajib menafkahi budak wanita jika dia melepaskan nafkahnya dari suami. Jika budak wanita itu sendiri yang melepaskan nafkahnya dari suami, maka tidak halal baginya kecuali dengan izin tuan, karena itu adalah harta milik tuan.

Pernikahan Pezina

Allah SWT berfirman: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik” [An-Nur: 3] sampai “orang-orang yang beriman”.

Imam Syafi’i mengatakan: Ada perbedaan pendapat dalam tafsir ayat ini. Dikatakan bahwa ayat ini turun mengenai pelacur-pelacur yang memiliki bendera dan tidak terpelihara kehormatannya. Sebagian Muslim ingin menikahi mereka, lalu turunlah ayat ini yang mengharamkan mereka untuk dinikahi kecuali oleh orang yang menyatakan seperti apa yang mereka nyatakan atau oleh orang musyrik.

Dikatakan pula bahwa mereka adalah pezina musyrikah, lalu turunlah ayat ini yang menyatakan bahwa mereka tidak boleh dinikahi kecuali oleh pezina laki-laki yang seperti mereka, musyrik atau musyrikah, meskipun dia bukan pezina. Dan itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.

Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum tetapi telah dinasakh (dihapuskan). Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Yahya bin Sa’id dari Ibnu Musayyib tentang firman Allah SWT: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik” [An-Nur: 3], dia berkata: “Ayat ini telah dinasakh oleh ayat: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu” [An-Nur: 32], maka dia termasuk dari orang-orang Muslim yang sendirian.”

Imam Syafi’i mengatakan: Kami menemukan bukti dari Rasulullah SAW mengenai pezina wanita dan pezina laki-laki dari kalangan Muslim, kami tidak tahu bahwa beliau mengharamkan salah satu dari mereka untuk menikahi selain pezina wanita atau pezina laki-laki, dan beliau juga tidak mengharamkan salah satu dari mereka bagi pasangannya. Sungguh, Ma’iz bin Malik datang kepadanya dan mengakui perbuatan zina berkali-kali, namun beliau tidak memerintahkan salah satu pun dari mereka untuk menjauhi pasangannya jika ada, atau istrinya untuk menjauhinya. Jika zina mengharamkannya bagi istrinya, maka seharusnya beliau mengatakan kepadanya, “Jika kamu memiliki istri, maka dia haram bagimu,” atau “Jika kamu tidak memiliki istri, maka kamu tidak boleh menikah.” Kami tidak tahu beliau memerintahkannya demikian, atau melarangnya untuk menikah, atau melarang orang lain untuk menikahinya kecuali pezina.

Sungguh, seorang laki-laki disebutkan kepadanya bahwa seorang wanita telah berzina sedangkan suaminya hadir, namun Nabi SAW, sepengetahuan kami, tidak memerintahkan suaminya untuk menjauhinya. Beliau justru memerintahkan Anis untuk menemuinya, jika dia mengaku maka dia harus dirajam. Dan Ibnu Al-A’rabi telah dicambuk seratus kali karena zina dan diasingkan selama setahun, namun kami tidak tahu beliau melarangnya untuk menikah atau melarang siapa pun untuk menikahinya kecuali pezina.

Dan sungguh, seorang laki-laki yang menuduh istrinya telah berzina dan menuduhnya dengan laki-laki lain serta menolak kehamilannya, melaporkan masalah istrinya kepada beliau, namun beliau tidak memerintahkannya untuk menjauhinya sampai beliau mempertemukan mereka untuk melakukan li’an. Diriwayatkan darinya bahwa seorang laki-laki mengeluh kepadanya bahwa istrinya tidak menolak sentuhan siapa pun, lalu beliau memerintahkannya untuk menceraikannya. Dia berkata, “Saya mencintainya,” lalu beliau memerintahkannya untuk tetap bersenang-senang dengannya.

Diceritakan kepada kami oleh Sufyan bin Uyainah dari Harun bin Ri’ab dari Abdullah bin Ubaid bin Umair, dia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya memiliki seorang istri yang tidak menolak sentuhan siapa pun.’ Nabi SAW bersabda, ‘Ceraikanlah dia.’ Dia berkata, ‘Saya mencintainya.’ Beliau bersabda, ‘Pertahankanlah dia jika demikian.'”

Allah telah mengharamkan wanita musyrik dari kalangan penyembah berhala bagi orang-orang beriman, baik pezina maupun bukan pezina. Diceritakan kepada kami oleh Sufyan dari Ubaidullah bin Abi Yazid dari ayahnya bahwa seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang memiliki anak perempuan dari suami lain, dan dia memiliki anak laki-laki dari istri lain. Lalu anak laki-laki itu berzina dengan anak perempuan itu, sehingga anak perempuan itu hamil. Ketika Umar tiba di Mekkah, hal itu dilaporkan kepadanya. Dia menanyai mereka berdua, dan mereka mengakui, lalu Umar mencambuk mereka berdua dengan had (hukuman) dan berusaha untuk menyatukan mereka, tetapi anak laki-laki itu menolak.

Imam Syafi’i mengatakan: Maka pilihan terbaik bagi laki-laki adalah tidak menikahi pezina, dan bagi wanita adalah tidak menikahi pezina. Namun, jika mereka melakukannya, maka itu tidak haram bagi salah satu dari mereka, karena kemaksiatan seseorang pada dirinya sendiri tidak mengharamkan yang halal baginya jika dia melakukannya.

Begitu pula jika dia menikahi seorang wanita yang dia tidak tahu bahwa dia telah berzina, lalu dia mengetahuinya sebelum berhubungan badan dengannya bahwa dia telah berzina sebelum atau sesudah pernikahannya, maka tidak haram baginya, dan dia tidak berhak mengambil maharnya darinya, dan tidak boleh membatalkan pernikahannya. Dia berhak jika dia mau untuk mempertahankannya, dan jika dia mau untuk menceraikannya.

Begitu pula jika dia adalah orang yang diketahui telah berzina sebelum menikahinya atau setelah menikahinya, sebelum berhubungan badan atau setelahnya, maka wanita itu tidak memiliki pilihan untuk berpisah dengannya, dan dia tetap menjadi istrinya seperti biasa, dan tidak haram baginya. Sama saja apakah pezina itu dikenakan had (hukuman) atau tidak, atau apakah ada bukti yang sah atasnya atau dia mengakuinya, zina salah satu dari mereka, atau zina keduanya, atau kemaksiatan apa pun, tidak mengharamkan yang halal, kecuali jika agama mereka berbeda karena kesyirikan dan keimanan.

Tidak Ada Pernikahan Tanpa Wali

Allah SWT berfirman: “Dan apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan lalu sampai iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya” [Al-Baqarah: 232] sampai “dengan cara yang ma’ruf” [Al-Baqarah: 233]. Dan Allah SWT berfirman: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)” [An-Nisa’: 34]. Dan firman-Nya mengenai budak wanita: “Maka kawinilah mereka dengan izin tuan mereka” [An-Nisa’: 25].

Imam Syafi’i mengatakan: Sebagian ahli ilmu Al-Qur’an mengklaim bahwa Ma’qil bin Yasar menikahkan saudara perempuannya dengan sepupunya, lalu sepupunya menceraikannya. Kemudian suami dan istri ingin menikah lagi setelah habis masa iddahnya, tetapi Ma’qil menolak dan berkata: “Aku telah menikahimu dan lebih memilihmu daripada yang lain, lalu kamu menceraikannya. Aku tidak akan menikahimu lagi selamanya.” Lalu turunlah firman Allah: “Dan apabila kamu menceraikan” [Al-Baqarah: 231] maksudnya suami-suami menceraikan wanita-wanita, “maka telah sampai iddahnya” [Al-Baqarah: 231] maksudnya telah habis masa iddah mereka, “maka janganlah kamu menghalangi mereka” [Al-Baqarah: 232] maksudnya wali-wali mereka, “untuk menikah dengan suami-suami mereka” [Al-Baqarah: 232] jika mereka menceraikan mereka dan tidak memutuskan talak mereka.

Makna yang dikatakan oleh mereka mirip dengan apa yang mereka katakan, dan saya tidak tahu ayat ini bisa diartikan lain, karena hanya orang yang memiliki alasan untuk menghalangi yang diperintahkan untuk tidak menghalangi wanita, yaitu orang yang dengannya pernikahan wanita itu sempurna dari wali-wali. Jika suami menceraikannya dan masa iddahnya telah habis, maka dia tidak memiliki hak atasnya untuk menghalanginya. Jika masa iddahnya belum habis, maka dia haram menikah dengan selainnya, dan dia tidak menghalanginya dari dirinya sendiri.

Ini adalah yang paling jelas dalam Al-Qur’an bahwa wali memiliki hak terhadap wanita itu sendiri, dan bahwa wali tidak boleh menghalanginya jika dia setuju untuk menikah dengan cara yang ma’ruf.

Imam Syafi’i mengatakan: Sunnah juga datang dengan makna yang serupa dengan Kitab Allah SWT. Diceritakan kepada kami oleh Muslim, Sa’id, dan Abdul Majid dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal, pernikahannya batal. Jika dia berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar karena dia telah menghalalkan kemaluannya.”

Sebagian ulama mengatakan dalam hadis tersebut, “Jika mereka berselisih,” dan sebagian lain mengatakan, “Jika mereka berbeda pendapat, maka penguasa adalah wali bagi yang tidak memiliki wali.” Diceritakan kepada kami oleh Muslim dan Sa’id dari Ibnu Juraij, dia berkata: Diceritakan kepadaku oleh Ikrimah bin Khalid, dia berkata: Suatu rombongan dalam perjalanan berkumpul dan di dalamnya ada seorang wanita janda. Dia menyerahkan urusannya kepada salah seorang laki-laki dari rombongan itu, lalu laki-laki itu menikahkannya dengan seorang laki-laki. Umar bin Khattab mencambuk laki-laki yang menikahi itu dan membatalkan pernikahannya.

Diceritakan kepada kami oleh Ibnu Uyainah dari Amr bin Dinar dari Abdurrahman bin Ma’bad bin Umair bahwa Umar RA membatalkan pernikahan seorang wanita yang menikah tanpa wali. Diceritakan kepada kami oleh Muslim dan Abdul Majid dari Ibnu Juraij, dia berkata: Amr bin Dinar berkata: Seorang wanita dari Bani Bakar bin Kinanah bernama Binti Abi Tsumamah menikahi Umar bin Abdullah bin Mudarris. Lalu Alqamah bin Alqamah Al-Utwari menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz yang berada di Madinah, “Saya adalah walinya, dan dia menikah tanpa izin saya.” Lalu Umar membatalkannya, padahal dia sudah berhubungan badan.

Imam Syafi’i mengatakan: Setiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada pernikahan baginya, karena Nabi SAW bersabda: “Maka pernikahannya batal.”

Jika dia telah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar yang sepadan karena persetubuhan yang telah dilakukan, sebagaimana Nabi SAW memutuskan baginya. Ini menunjukkan bahwa mahar wajib dalam setiap pernikahan yang fasid (rusak) karena persetubuhan, dan suami tidak boleh menuntut kembali mahar dari orang yang menipunya, karena jika itu miliknya dan dia telah menipunya dari dirinya sendiri, maka dia tidak berhak menuntut kembali darinya. Jika dia menuntut kembali, maka penipu itu batal baginya. Suami tidak pernah menuntut kembali mahar dari orang yang menipunya, baik wanita maupun selain wanita, jika dia telah berhubungan badan dengannya.

Ini juga merupakan bukti bahwa penguasa wajib memperhatikan jika ada perselisihan. Jika wali menghalangi, penguasa memerintahkannya untuk menikah. Jika dia menikah, maka itu adalah hak yang dia tunaikan. Jika dia tidak menikah, maka itu adalah hak yang dia cegah. Dan penguasa wajib menikahkannya atau mewakilkan kepada wali lain untuk menikahkannya. Wali yang menghalangi adalah maksiat karena firman Allah SWT: “Maka janganlah kamu menghalangi mereka” [Al-Baqarah: 232].

Jika wali menyebutkan sesuatu, penguasa harus meninjaunya. Jika penguasa melihat wanita itu meminta jodoh yang sekufu (setara), maka wali tidak boleh melarangnya, meskipun wali meminta jodoh yang lebih baik darinya. Jika wanita itu meminta jodoh yang tidak sekufu, maka wali tidak boleh menikahkannya, dan wali tidak akan meridhai hal itu. Menghalangi hanya terjadi jika wanita itu meminta jodoh yang sepadan atau lebih baik, lalu wali menolak.

Pertemuan dan Perpisahan Wali dalam Pernikahan

Imam Syafi’i mengatakan: Tidak ada perwalian bagi siapa pun jika ada ayah. Jika ayah meninggal, maka kakek dari pihak ayah (ayah dari ayah), dan jika kakek dari pihak ayah meninggal, maka kakek dari kakek, karena mereka semua adalah ayah, demikian pula para ayah. Ini karena wanita yang dinikahi berasal dari ayah, bukan dari saudara laki-laki. Perwalian tidak sama dengan warisan.

Tidak ada perwalian bagi kakek mana pun jika ada ayah yang lebih dekat dengan wanita yang akan dinikahi darinya. Jika tidak ada ayah, maka tidak ada perwalian bagi siapa pun jika ada saudara laki-laki. Jika saudara laki-laki berkumpul, maka anak laki-laki dari ayah dan ibu lebih utama daripada anak laki-laki dari ayah saja. Jika tidak ada anak laki-laki dari ibu dan ayah, maka anak laki-laki dari ayah lebih utama dari yang lain. Tidak ada perwalian bagi anak laki-laki dari ibu, dan tidak ada bagi kakek dari ayah ibu jika mereka bukan ‘ashabah, karena perwalian adalah untuk ‘ashabah.

Jika mereka adalah anak paman dan tidak ada yang lebih dekat dari mereka, maka perwalian adalah milik mereka karena mereka adalah ‘ashabah. Jika ada yang setara dengan mereka dari ‘ashabah, maka mereka lebih utama karena mereka lebih dekat dari pihak ibu.

Jika tidak ada saudara laki-laki dari ayah dan ibu, dan tidak ada ayah, dan ada anak laki-laki saudara laki-laki dari ibu dan ayah, dan anak laki-laki saudara laki-laki dari ayah, maka anak laki-laki saudara laki-laki dari ayah dan ibu lebih utama daripada anak laki-laki saudara laki-laki dari ayah. Jika ada anak laki-laki saudara laki-laki dari ayah dan anak laki-laki saudara laki-laki dari ibu, maka anak laki-laki saudara laki-laki dari ayah lebih utama, dan tidak ada perwalian bagi anak laki-laki saudara laki-laki dari ibu sama sekali, kecuali jika mereka adalah ‘ashabah.

Imam Syafi’i mengatakan: Jika anak laki-laki saudara laki-laki turun ke bawah, maka yang paling dekat nasabnya dengan wanita yang akan dinikahi, siapa pun di antara mereka yang paling berhak, meskipun dia adalah anak laki-laki ayah, maka dia lebih utama, karena kerabat yang paling berhak lebih dekat daripada kerabat ibu yang bukan anaknya. Jika mereka setara, dan di antara mereka ada anak laki-laki dari ayah dan ibu, maka dia lebih utama karena kedekatannya dengan kesetaraan.

Imam Syafi’i mengatakan: Jika nasab diharamkan karena kekerabatan dari ibu, maka anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki, meskipun mereka turun ke bawah, dan anak paman yang lebih jauh, maka anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki, meskipun mereka turun ke bawah, lebih utama karena mereka dan wanita itu memiliki kakek yang sama sebelum anak paman. Begitu pula jika ada anak saudara laki-laki dan paman, maka anak saudara laki-laki lebih utama, meskipun mereka turun ke bawah, karena paman bukanlah ayah sehingga mereka tidak lebih utama, karena wanita yang dinikahi berasal dari ayah. Jika hubungan keayahan berakhir, maka orang yang paling dekat dengan wanita yang dinikahi adalah yang paling utama baginya. Dan anak saudara perempuannya lebih dekat dengannya daripada pamannya, karena mereka dan wanita itu memiliki ayah yang sama, berbeda dengan ayah yang menghubungkannya dengan paman.

Jika tidak ada anak saudara laki-laki dan yang ada adalah anak paman, dan di antara mereka ada anak paman dari ayah dan ibu, serta anak paman dari ayah, dan mereka setara, maka anak paman dari ayah dan ibu lebih utama. Jika anak paman dari ayah lebih berhak, maka mereka lebih utama.

Jika dia tidak memiliki kerabat dari pihak ayah dan dia memiliki wasi, maka wasi bukanlah wali nikah dan bukan wali warisan. Demikian pula jika dia memiliki kerabat dari pihak ibu atau anak saudara perempuannya, tidak ada perwalian dalam pernikahan kecuali dari pihak ayah.

Jika wanita yang akan dinikahi memiliki anak atau cucu, maka mereka tidak memiliki perwalian atasnya sama sekali, kecuali jika mereka adalah ‘ashabah, maka perwalian adalah milik mereka berdasarkan ‘ashabah. Tidakkah Anda melihat bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas diyatnya dan tidak dinasabkan dari pihak ibunya? Nasabnya hanyalah dari pihak ayahnya. Tidakkah Anda melihat bahwa anak laki-laki dari ibu tidak menjadi wali nikah? Maka jika perwalian tidak terjadi melalui ibu jika sendirian, demikian pula anak-anaknya tidak menjadi wali baginya.

Jika anak-anaknya adalah ‘ashabah dan bersama anak-anaknya ada ‘ashabah yang lebih dekat dari mereka, maka mereka lebih utama daripada anak-anaknya. Dan jika ‘ashabah setara dalam kekerabatan mereka dari pihak ayah, maka mereka lebih utama sebagaimana anak laki-laki dari ibu dan ayah lebih utama daripada anak laki-laki dari ayah. Jika mereka setara, maka anak lebih utama.

Perwalian Maula (Pemilik Budak yang Dimuliakan) dalam Pernikahan

Imam Syafi’i mengatakan: Seseorang tidak bisa menjadi wali karena perwalian jika wanita yang akan dinikahi memiliki nasab dari pihak ayahnya yang dikenal, dan paman dari pihak ibu tidak memiliki perwalian sama sekali kecuali jika mereka adalah ‘ashabah. Jika seorang wanita tidak memiliki ‘ashabah dan dia memiliki maula (pemilik budak yang telah dimerdekakan), maka maula-nya adalah walinya, dan tidak ada perwalian kecuali bagi pembebas, kemudian orang yang paling dekat dengan pembebasnya adalah walinya, sebagaimana orang yang paling dekat dengannya adalah wali anak dari budak yang dimerdekakannya.

Imam Syafi’i mengatakan: Pertemuan wali-wali dari ahli perwalian dalam perwalian wanita yang akan dinikahi sama seperti pertemuan mereka dalam nasab. Mereka tidak berbeda dalam hal itu.

Imam Syafi’i mengatakan: Jika seorang maula nikmat menikahkan seorang wanita, dan dia tidak mengetahui bahwa wanita itu memiliki kerabat dari pihak ayahnya, kemudian dia mengetahuinya, maka pernikahan itu batal, karena dia bukan wali, sebagaimana jika seorang wali kerabat menikahkan seorang wanita dan dia mengetahui ada yang lebih dekat darinya, maka pernikahan itu batal.

Wali yang Tidak Hadir dalam Pernikahan

Imam Syafi’i mengatakan: Tidak ada perwalian bagi siapa pun dengan nasab atau perwalian jika ada yang lebih utama darinya yang hidup, baik dia tidak hadir atau hadir, jauhnya tidak ada harapan untuk kembali, putus hubungan, hilang atau tidak hilang, dan kerabatnya diharapkan kembali jika tidak hadir.

Jika wali hadir tetapi menolak untuk menikahkan, maka tidak boleh menikahkannya dengan wali yang berada di bawahnya dalam kekerabatan, dan hanya penguasa yang boleh menikahkannya, yang hukumnya sah. Jika hal itu diajukan kepada penguasa, maka wajib bagi penguasa untuk bertanya tentang wali. Jika dia tidak hadir, dia bertanya tentang pelamar. Jika dia meridainya, dia menghadirkan wali terdekat dan mahram dari keluarganya, dan bertanya, “Apakah kalian keberatan dengan sesuatu?” Jika mereka menyebutkannya, dia meninjaunya. Jika pelamar sekufu dan wanita itu meridainya, dia memerintahkan mereka untuk menikahkannya. Jika mereka tidak melakukannya, dia akan menikahkannya. Jika dia tidak memerintahkan mereka dan langsung menikahkannya, maka sah.

Jika wali yang hadir menolak untuk menikahkan wanita yang meridai, maka dia akan diperlakukan seperti itu. Jika wali yang tidak ada yang lebih dekat darinya hadir dan mewakilkan, maka wakilnya menggantikannya, dan pernikahannya sah, sebagaimana sah jika dia mewakilkannya untuk menikahkan dengan laki-laki tertentu lalu dia menikahkannya, atau mewakilkannya untuk menikahkan siapa pun yang dia anggap cocok, lalu dia menikahkannya dengan laki-laki yang sekufu yang diridhai oleh wanita itu. Jika dia menikahkan dengan orang yang tidak sekufu, maka tidak sah, dan ini dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang yang ditolak, sebagaimana penyalahgunaan wewenang para wakil ditolak.

Orang yang Tidak Bisa Menjadi Wali dari Kalangan Kerabat

Imam Syafi’i mengatakan: Seorang laki-laki tidak bisa menjadi wali bagi seorang wanita, baik itu putrinya, saudarinya, putri pamannya, atau wanita yang paling dekat dengannya dalam nasab atau perwalian, kecuali wali itu merdeka, Muslim, berakal sehat, mengerti tempat keuntungan, dan wanita itu adalah Muslimah.

Seorang Muslim tidak boleh menjadi wali bagi wanita kafir, meskipun itu putrinya, dan dia tidak memiliki perwalian atas wanita kafir kecuali budaknya, karena apa yang menjadi miliknya melalui pernikahan adalah miliknya.

Imam Syafi’i mengatakan: Seorang kafir tidak boleh menjadi wali bagi Muslimah, meskipun itu putrinya. Ibnu Sa’id bin Al-‘Ash menikahkan Ummu Habibah dengan Nabi SAW, padahal Abu Sufyan masih hidup, karena dia adalah Muslimah dan Ibnu Sa’id adalah Muslim. Saya tidak tahu ada Muslim yang lebih dekat dengannya daripada dia, dan Abu Sufyan tidak memiliki perwalian atasnya karena Allah SWT telah memutuskan perwalian antara Muslim dan musyrik, serta warisan, diyat, dan lain-lain.

Imam Syafi’i mengatakan: Maka diperbolehkan bagi hakim Muslim untuk menikahkan wanita kafir, karena dia bertindak berdasarkan hukum, bukan perwalian, jika dia dihakimi olehnya. Seorang Muslim yang sudah baligh tidak boleh menjadi wali jika dia seorang yang boros (safih) yang berada di bawah perwalian, atau tidak mengerti tempat keuntungan bagi dirinya sendiri. Dan orang yang menikahinya jika dia tidak bisa menjadi wali untuk dirinya sendiri untuk menikahinya, maka dia lebih tidak mungkin menjadi wali untuk orang lain.

Jika dia tidak menjadi wali karena keborosan atau kelemahan akal, maka demikian pula dengan orang yang cacat mental dan orang gila yang tidak sembuh, bahkan mereka lebih tidak mungkin menjadi wali.

Imam Syafi’i mengatakan: Barangsiapa yang keluar dari perwalian karena salah satu alasan ini sehingga dia tidak bisa menjadi wali sama sekali, maka wali adalah orang yang paling dekat dengannya yang tidak berada dalam keadaan ini. Ini seperti orang yang tidak ada, dan seperti orang yang meninggal dunia, dan tidak ada perwalian baginya selama dia dalam keadaan ini. Jika keadaannya membaik, dia menjadi wali, karena keadaan yang menghalangi perwalian telah hilang.

Kafa’ah (Kesetaraan) dalam Pernikahan

Imam Syafi’i mengatakan: Saya tidak tahu ada sesuatu yang lebih jelas yang diberikan kepada para wali mengenai hak mereka atas wanita itu sendiri selain bahwa wanita itu tidak boleh dinikahi kecuali dengan yang sekufu. Jika dikatakan, “Mungkin itu berarti tidak boleh menikah kecuali pernikahan yang sah.” Dijawab: Itu juga mungkin, tetapi karena jika para wali menikahkannya dengan pernikahan yang tidak sah, maka itu tidak sah, maka alasan ini lemah dan tidak mirip dengan hak yang diberikan kepada para wali atas wanita itu sendiri.

Adapun mahar, wanita itu lebih berhak atasnya daripada para wali. Jika dia menghibahkannya, maka itu sah. Dan tidak ada hal lain yang lebih penting bagi wali selain menikahkan wanita itu dengan orang yang sekufu. Bahkan saya rasa tidak mungkin hak yang diberikan kepada wali atas wanita itu sendiri adalah untuk hal lain selain agar wanita itu tidak menikah kecuali dengan yang sekufu.

Imam Syafi’i mengatakan: Jika para wali berkumpul dan mereka berhak, maka siapa pun di antara mereka yang layak menjadi wali, dia seperti yang terbaik di antara mereka. Sama saja apakah dia tua, paruh baya, muda, atau yang lebih rendah, selama dia layak menjadi wali. Siapa pun di antara mereka yang menikahkan wanita itu dengan izinnya dengan orang yang sekufu, maka pernikahan itu sah, meskipun wali-wali yang lain tidak menyetujuinya.

Jika salah satu dari mereka menikahkan wanita itu dengan izinnya dengan orang yang tidak sekufu, maka pernikahan itu tidak sah, kecuali jika mereka semua menyetujuinya. Demikian pula jika mereka semua sepakat untuk menikahkan dengan orang yang tidak sekufu, tetapi salah satu dari mereka menolak, maka pernikahan itu dibatalkan dalam segala keadaan sampai semua wali sepakat untuk menikahkannya sebelum pernikahan, sehingga itu adalah hak mereka yang mereka tinggalkan.

Jika wali terdekat menikahkan dengan orang yang tidak sekufu dengan izin wanita itu, maka wali-wali lain yang lebih utama darinya tidak berhak membatalkannya, karena mereka tidak memiliki perwalian bersamanya.

Imam Syafi’i mengatakan: Pernikahan dengan orang yang tidak sekufu tidak diharamkan sehingga saya membatalkannya dalam segala keadaan. Itu hanyalah kekurangan bagi wanita yang dinikahi dan para wali. Jika wanita yang dinikahi dan orang yang memiliki hak atasnya meridai kekurangan itu, maka saya tidak membatalkannya.

Imam Syafi’i mengatakan: Jika seorang wali menikahkan wanita yang berhak memutuskan urusannya dengan orang yang sekufu dengan mahar yang kurang dari mahar yang sepadan, maka wali-wali lain tidak berhak membatalkan pernikahan itu dan tidak berhak menuntut agar mahar itu dilengkapi menjadi mahar yang sepadan. Karena kekurangan mahar bukanlah kekurangan nasab, melainkan kekurangan harta. Dan kekurangan harta tidak mengurangi kemuliaan wanita itu atau mereka, dan wanita itu lebih berhak atas harta itu daripada mereka.

Jika wali yang tidak ada yang lebih dekat darinya menyetujui pernikahan dengan orang yang tidak sekufu, lalu dia menikahkannya dengan izin wanita itu dan wali-wali yang berhak, kemudian wali yang menikahkan dan para wali ingin membatalkannya, maka mereka tidak boleh melakukannya setelah mereka meridai dan menikahkannya dengan ridha wanita itu.

Jika mereka menikahinya dengan izinnya dengan mahar yang kurang dari mahar yang sepadan, dan wanita itu tidak boleh mengatur hartanya, maka dia berhak mendapatkan mahar yang sepadan, karena pernikahan tidak dibatalkan. Itu seperti jual beli yang telah dikonsumsi. Seperti jika dia menjual sesuatu dalam keadaan dia dilarang mengatur hartanya, lalu barang itu dikonsumsi dan dia dirugikan, maka pembeli wajib membayar harganya.

Imam Syafi’i mengatakan: Jika wanita itu dilarang mengatur hartanya, maka sama saja apakah ayahnya atau orang lain berbuat curang dalam maharnya, kecurangan itu tidak sah, dan mahar itu dilengkapi menjadi mahar yang sepadan. Dan pernikahan tidak dibatalkan, baik dia sudah berhubungan badan atau belum. Jika dia diceraikan sebelum itu, dia berhak mendapatkan setengah dari mahar yang sepadan.

 

Perselisihan Para Wali dalam Pernikahan

Imam Syafi’i mengatakan: Jika para wali berhak, dan sebagian dari mereka ingin melakukan pernikahan tanpa yang lain, maka itu terserah kepada wanita itu untuk memilih siapa pun dari mereka yang dia inginkan. Jika dia berkata, “Saya telah mengizinkan si fulan, maka wali saya mana pun yang menikahkannya, pernikahannya sah,” maka siapa pun dari mereka yang menikahkannya, pernikahannya sah.

Jika dua wali berlomba-lomba dan menikahkan wanita itu, maka pernikahannya sah. Jika mereka berselisih, maka penguasa harus mengundi di antara mereka. Siapa pun yang keluar namanya, dia diperintahkan untuk menikahkan. Jika mereka tidak mengajukan masalah ini kepada penguasa, mereka harus berlaku adil di antara mereka, dan siapa pun yang keluar namanya, dia menikahkannya. Jika mereka meninggalkan undian atau penguasa meninggalkannya, saya tidak menyukainya bagi mereka, dan siapa pun dari mereka yang menikahkannya dengan izinnya, maka sah.

 

Pernikahan oleh Dua Wali dan Perwakilan dalam Pernikahan

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Diberitakan kepada kami Ibnu Ulayyah dari Ibnu Abi Arubah dari Qatadah dari Al-Hasan dari Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika dua wali menikahkan, maka yang pertama lebih berhak.”

Imam Syafi’i berkata: Dalam sabda Rasulullah SAW, “yang pertama lebih berhak,” ini menjelaskan bahwa yang hak tidak akan menjadi batal, dan pernikahan yang kedua adalah batal, dan yang batal tidak akan menjadi hak. Ini berlaku meskipun yang kedua telah berhubungan badan sedangkan yang pertama belum. Hak yang pertama tidak bertambah meskipun dia berhubungan badan sebelum yang kedua; dia tetap lebih berhak dalam segala kondisi.

Imam Syafi’i berkata: Dalam hal ini terdapat bukti bahwa perwakilan dalam pernikahan dibolehkan. Ini karena pernikahan dua wali tidak bisa seimbang kecuali jika yang pertama memiliki hak, kecuali dengan perwakilan dari wanita itu. Ditambah lagi dengan adanya perwakilan yang dilakukan Nabi SAW kepada Amr bin Umayyah Adh-Dhamari, lalu dia menikahkan Ummu Habibah binti Abi Sufyan.

Konflik Dua Wali dan Pernikahan yang Tidak Sah

Imam Syafi’i berkata: Adapun jika seorang wanita mengizinkan dua walinya untuk menikahkannya dengan siapa pun yang mereka anggap cocok, lalu salah satu dari mereka menyarankan seorang pria dan wanita itu berkata, “Nikahkanlah dia,” dan wali yang lain menyarankan pria lain dan wanita itu berkata, “Nikahkanlah dia,” lalu keduanya menikahkan wanita itu secara bersamaan dengan dua pria yang berbeda dan sekufu. Maka, siapa pun yang menikahkan pertama kali, dialah suami yang pernikahannya sah, dan talaknya serta segala sesuatu di antara keduanya yang berlaku antara suami istri adalah mengikat. Pernikahan yang terjadi setelahnya adalah batal, baik yang kedua sudah berhubungan badan dengannya atau belum, atau yang pertama sudah atau belum. Berhubungan badan tidak menghalalkan sesuatu, melainkan kehalalan itu berasal dari akad yang sah.

Jika yang terakhir menikahinya telah berhubungan badan dengannya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar yang sepadan dengannya. Jika akad nikahnya tidak sah, maka tidak akan sah dengan apa pun setelahnya kecuali dengan akad nikah baru yang sah.

Jika seorang wanita boleh mewakilkan kepada dua wali, maka wali yang tidak ada hak bagi wanita itu untuk menolaknya, boleh mewakilkan. Ini khusus untuk ayah pada gadis perawan. Wali selain ayah tidak boleh mewakilkan jika wanita itu memiliki hak atas dirinya, tidak juga ayah pada janda, dan tidak juga wali selain ayah, kecuali jika wanita itu mengizinkan dia untuk mewakilkan dalam pernikahannya, maka itu dibolehkan dengan izinnya.

Jika seorang laki-laki pergi dan mewakilkan kepada seorang laki-laki untuk menikahkan putrinya yang perawan, lalu wakil itu menikahkannya, siapa pun di antara keduanya (wali atau wakil) yang menikahkan pertama kali, maka pernikahannya sah dan yang lain batal, baik itu wakil maupun ayah. Jika yang kedua berhubungan badan dengannya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, dan dia wajib menjalani iddah, dan anak yang lahir adalah sah. Tidak ada warisan baginya dari suami yang kedua jika suami itu meninggal sebelum mereka berpisah, dan tidak ada warisan bagi suami yang kedua darinya jika dia meninggal. Adapun suami yang pertama berhak mendapatkan warisan darinya dan dia wajib membayar mahar yang akan dihitung dari warisannya.

Demikian pula jika dia mengizinkan dua wali, lalu keduanya menikahkan secara bersamaan, atau mengizinkan seorang wali untuk mewakilkan, lalu dia mewakilkan kepada seorang wakil, atau mengizinkan dua wali dan keduanya mewakilkan kepada dua wakil, apa pun yang terjadi, pernikahan yang pertama lebih berhak. Jika tiga atau empat wali dan wakil menikahkan, maka pernikahan yang pertama sah jika diketahui dengan bukti yang sah tentang waktu bahwa dia melakukannya sebelum yang lainnya.

Pernikahan yang Tidak Jelas Urutannya dan Kasus Khusus

Imam Syafi’i berkata: Jika dua wali menikahkan seorang wanita dengan dua laki-laki, lalu para saksi bersaksi pada hari yang sama dan tidak memastikan jamnya, atau mereka memastikan jamnya tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan pernikahan mana yang terjadi lebih dahulu, maka pernikahan itu batal, dan tidak ada hak apa pun baginya dari salah satu dari kedua suami itu.

Jika salah satu dari mereka telah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar yang sepadan darinya, dan dia wajib menjalani iddah, dan keduanya harus dipisahkan. Sama saja apakah kedua suami itu tidak tahu pernikahan mana yang lebih dahulu, atau mereka saling menuntut dan masing-masing mengatakan, “Pernikahan saya yang lebih dahulu,” dan mereka mengakui bahwa wanita itu tidak tahu pernikahan mana yang lebih dahulu, dan mereka mengakui hal yang menunjukkan bahwa wanita itu tidak tahu, seperti dia tidak hadir saat pernikahan di kota lain atau yang serupa.

Jika mereka menuduhnya bahwa dia tahu pernikahan mana yang lebih dahulu, dan masing-masing mengklaim bahwa pernikahannya yang lebih dahulu, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya kepada orang yang dia klaim pernikahannya yang terakhir. Jika dia berkata, “Saya tidak tahu mana yang lebih dahulu,” dan mereka mengklaim dia tahu, dia harus bersumpah bahwa dia tidak tahu, dan tidak ada pernikahan salah satu dari mereka yang mengikatnya.

Imam Syafi’i berkata: Jika wanita itu bisu, cacat mental, atau masih kecil, atau menjadi bisu setelah pernikahan, maka dia tidak wajib bersumpah dan pernikahan dibatalkan.

Jika ayahnya dan wakilnya menikahkan dalam kondisi ini, lalu ayahnya berkata, “Pernikahan saya yang lebih dahulu,” atau “Pernikahan wakil saya yang lebih dahulu,” atau wakil itu mengatakan demikian, maka pengakuan salah satu dari mereka tidak mengikat wanita itu, dan tidak mengikat kedua suami itu atau salah satu dari mereka.

Jika wanita itu berakal dan baligh, lalu dia mengakui salah satu dari mereka bahwa pernikahannya yang lebih dahulu, maka pernikahan yang dia akui sebagai yang pertama mengikatnya, dan dia tidak perlu bersumpah kepada yang lain, karena jika dia mengakui kepadanya bahwa pernikahannya yang pertama, maka dia tidak akan menjadi istrinya.

Dan dia wajib menjadi istri dari yang lain. Jika walinya yang lebih dekat dengannya menikahkan dia dengan izinnya, dan walinya yang lebih jauh juga menikahkan dia dengan izinnya, maka pernikahan wali yang lebih rendah daripada wali yang lebih dekat adalah batal, meskipun secara terpisah.

Jika demikian, maka pernikahan wali yang lebih dekat adalah sah, baik itu sebelum pernikahan wali yang lebih jauh atau sesudahnya, atau yang dinikahi oleh wali yang lebih jauh yang tidak memiliki perwalian dengan yang lebih dekat telah berhubungan badan dengannya.

Jika kedua suami berhubungan badan dengannya secara bersamaan, maka pernikahan yang dinikahi oleh wali akan sah, dan dia diperintahkan untuk menjauhinya sampai iddahnya dari suami yang lain selesai, kemudian dia boleh bersama suaminya. Wanita itu berhak mendapatkan mahar yang telah disebutkan dari suaminya, dan dari yang menikahi dengan pernikahan yang fasid, dia berhak mendapatkan mahar yang sepadan, baik lebih sedikit atau lebih banyak dari yang disebutkan untuknya.

Jika dia hamil, dia akan tetap menjadi istri dari suami yang dinikahi oleh wali selama dia dalam tahanan mereka. Jika suami itu meninggal, dia akan mewarisinya, dan jika dia meninggal, suaminya akan mewarisinya. Kapan pun dia melahirkan anak, anak itu akan dibawa kepada ahli qafah (ahli yang dapat menentukan nasab melalui kemiripan fisik). Siapa pun yang mereka nyatakan sebagai ayahnya, maka dia adalah ayahnya. Jika mereka tidak menyatakannya sebagai anak salah satu dari mereka, atau menyatakannya sebagai anak keduanya, atau tidak ada ahli qafah, maka dia akan menunggu sampai baligh dan menasabkan dirinya kepada siapa pun yang dia inginkan.

Imam Syafi’i berkata: Jika keduanya menolak anak itu, dan ahli qafah tidak melihatnya, maka keduanya harus melakukan li’an bersamaan, dan anak itu dinafikan dari keduanya. Jika salah satu dari mereka mengakuinya, maka anak itu dinasabkan kepadanya. Jika yang lain mengakuinya, maka dia ditunda sampai ahli qafah melihatnya, dan ini seperti masalah dari awal. Jika yang lain meninggal setelah yang pertama mengakuinya dan dia tidak mengakuinya, maka anak itu adalah milik yang pertama.

Jika dua wali menikahkan seorang wanita, salah satunya sebelum yang lain dengan izin wanita itu, lalu yang terakhir menikahinya telah berhubungan badan dengannya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar yang sepadan darinya, dan dia harus diambil darinya. Dia adalah istri yang pertama, dan dia harus menahan diri darinya sampai iddahnya dari yang telah berhubungan badan dengannya selesai.

Mengenai Pernikahan oleh Ayah

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Diberitakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata: “Nabi SAW menikahiku ketika aku berusia enam atau tujuh tahun, dan beliau bergaul denganku ketika aku berusia sembilan tahun.” Keraguan ini dari Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i berkata: Karena dari Rasulullah SAW bahwa jihad itu wajib bagi anak berusia lima belas tahun, dan kaum Muslimin mengamalkan ini dalam batasan-batasan, dan hukum Allah berlaku demikian pada anak yatim, firman-Nya: “sampai apabila mereka telah cukup umur untuk menikah dan kamu dapati pada diri mereka kecerdasan (akal sehat)” [An-Nisa: 6]. Dan dia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri kecuali pada usia lima belas tahun, atau gadis berusia lima belas tahun, kecuali jika dia mencapai baligh atau gadis itu haid sebelum itu, maka mereka memiliki hak atas diri mereka sendiri.

Pernikahan Abu Bakar atas Aisyah dengan Nabi SAW pada usia enam tahun dan bergaul dengannya pada usia sembilan tahun menunjukkan bahwa ayah lebih berhak atas anak gadisnya daripada dirinya sendiri. Jika wanita gadis yang telah baligh memiliki hak atas dirinya sendiri lebih dari ayahnya, maka seharusnya tidak boleh baginya menikahkan anak gadisnya sampai dia baligh, dan pernikahan itu dilakukan dengan izinnya.

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Abdullah bin Fadhl dari Nafi’ bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wanita janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis perawan harus dimintai izin dalam dirinya, dan izinnya adalah diamnya.”

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya dari Abdurrahman dan Majma’ putra Zaid bin Jariyah dari Khansa’ binti Khidzam bahwa ayahnya menikahkannya ketika dia janda dan dia tidak menyukainya, lalu dia datang kepada Nabi SAW dan beliau membatalkan pernikahannya.

Imam Syafi’i berkata: Maka wali wanita janda atau gadis perawan mana pun yang menikahkannya tanpa izinnya, maka pernikahan itu batal, kecuali ayah pada gadis perawan dan tuan pada budak. Karena Nabi SAW membatalkan pernikahan Khansa’ binti Khidzam ketika ayahnya menikahkannya padahal dia tidak menyukainya. Beliau tidak mengatakan, “Kecuali jika kamu ingin berbakti kepada ayahmu dan mengizinkan pernikahannya.” Jika izinnya atas pernikahannya dapat mengizinkannya, maka seharusnya beliau memerintahkannya untuk mengizinkan pernikahan ayahnya, dan tidak membatalkannya dengan kekuatannya atasnya.

Imam Syafi’i berkata: Tampak dalam indikasi Sunnah Rasulullah SAW, ketika beliau membedakan antara gadis perawan dan janda, beliau menjadikan janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan menjadikan gadis perawan harus dimintai izin dalam dirinya, bahwa wali yang dimaksud, wallahu ta’ala a’lam, adalah khusus ayah. Beliau menjadikan janda lebih berhak atas dirinya daripada ayahnya, maka ini menunjukkan bahwa perintah beliau untuk meminta izin kepada gadis perawan dalam dirinya adalah perintah pilihan, bukan kewajiban. Karena jika dia tidak suka, ayahnya tidak boleh menikahkannya, dan dia akan seperti janda. Dan sepertinya pembicaraan tentang itu adalah bahwa setiap wanita lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan izin janda adalah perkataan, dan izin gadis perawan adalah diam.

Saya tidak tahu ada ahli ilmu yang berbeda pendapat bahwa tidak ada wali selain ayah yang boleh menikahkan gadis perawan atau janda kecuali dengan izinnya. Jika mereka tidak membedakan antara gadis perawan dan janda yang sudah baligh, maka tidak boleh kecuali seperti yang saya jelaskan dalam perbedaan antara gadis perawan dan janda pada ayah sebagai wali dan selain wali.

Jika ayah tidak boleh menikahkan gadis perawan kecuali dengan izinnya, maka dia tidak boleh menikahkannya ketika dia masih kecil, karena dia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri dalam keadaan itu. Dan tidak ada perbedaan antara ayah dan wali lainnya pada gadis perawan, sebagaimana tidak ada perbedaan antara mereka pada janda.

Jika ada yang bertanya: “Bukankah Nabi SAW memerintahkan agar gadis perawan dimintai izin dalam dirinya?” Dijawab: Perintah beliau sepertinya untuk menyenangkan hatinya, dan agar ada penyakit padanya yang tidak diketahui orang lain, lalu dia menyebutkannya ketika dimintai izin, atau dia tidak menyukai pelamar karena suatu cacat. Maka memintanya izin lebih baik dalam kehati-hatian dan lebih menyenangkan hatinya serta lebih indah dalam akhlak. Demikian pula kami memerintahkan ayahnya, dan kami juga memerintahkannya agar orang yang dimintai izin itu adalah wanita terdekat dari keluarganya, dan agar dia menyampaikan isi hatinya kepadanya, baik itu ibunya atau bukan, dan jangan terburu-buru menikahkannya kecuali setelah memberitahunya tentang calon suami yang spesifik.

Kemudian dibenci bagi ayahnya untuk menikahkannya jika dia tahu wanita itu tidak menyukai calon suami yang akan dinikahkannya. Namun, jika dia melakukannya dan menikahkan wanita itu dengan orang yang tidak disukai, maka itu sah baginya. Jika pernikahan atas orang yang tidak disukai itu sah, maka demikian pula jika dia menikahkannya tanpa memintanya izin.

Jika ada yang bertanya, “Apa yang menunjukkan bahwa dia boleh diperintahkan untuk bermusyawarah dengan gadis perawan, padahal dia tidak memiliki hak bersama ayahnya yang memerintahkan untuk bermusyawarah dengannya?” Dijawab: Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya SAW: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” [Ali Imran: 159]. Allah tidak menjadikan bagi mereka hak bersama beliau, melainkan mewajibkan mereka untuk menaati beliau. Namun, dalam musyawarah ada kesenangan hati mereka dan agar orang yang tidak memiliki hak atas manusia seperti Rasulullah SAW dapat mengambil pelajaran dari itu, dan sebagai bukti bahwa kebaikan itu datang dari sebagian orang yang diajak bermusyawarah yang tersembunyi dari orang yang bermusyawarah, dan yang serupa dengan itu.

Imam Syafi’i berkata: Kakek dari pihak ayah, ayahnya, dan ayah dari ayahnya, menggantikan posisi ayah dalam menikahkan gadis perawan dan perwalian janda, selama tidak ada ayah yang lebih dekat dari salah satu dari mereka.

Jika seorang gadis perawan telah menikah dengan beberapa suami yang meninggal atau menceraikannya, dan dia telah mendapatkan mahar dan warisan, baik suaminya telah berhubungan badan dengannya atau belum, tetapi dia belum pernah berhubungan intim, maka dia dinikahkan sebagai gadis perawan. Karena dia tidak kehilangan nama perawan kecuali jika dia menjadi janda. Sama saja apakah dia sudah mencapai usia tertentu, keluar pasar, bepergian, dan menjadi penanggung jawab keluarganya, atau tidak ada hal-hal ini, karena dia adalah gadis perawan dalam semua kondisi ini.

Status Janda dan Perwalian

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita telah berhubungan intim dengan pernikahan yang sah atau fasid, atau zina, baik dia masih kecil atau sudah baligh, maka dia adalah janda. Ayah tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izinnya, dan dia tidak boleh menikahkannya jika dia janda, meskipun dia belum baligh. Wanita kecil hanya dinikahkan jika dia perawan, karena dia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri jika dia masih kecil, dan tidak juga baligh bersama ayahnya.

Imam Syafi’i berkata: Tidak ada wali selain ayah yang boleh menikahkan gadis perawan atau janda yang masih kecil, baik dengan izinnya maupun tanpa izinnya. Dan tidak boleh menikahkan salah satu dari mereka sampai dia baligh dan mengizinkan dirinya sendiri.

Jika selain ayah menikahkan wanita kecil, maka pernikahan itu batal, tidak ada warisan di antara mereka, dan talak tidak terjadi. Hukumnya sama seperti pernikahan fasid dalam segala hal; tidak ada talak atau warisan.

Ayah dan wali lainnya sama dalam hal janda, tidak ada yang boleh menikahkan janda kecuali dengan izinnya, dan izinnya adalah perkataan, sedangkan izin gadis perawan adalah diam. Jika ayah menikahkan janda tanpa sepengetahuannya, maka pernikahan itu batal, baik dia meridai setelahnya atau tidak. Demikian pula wali lainnya pada gadis perawan dan janda.

Ayah Menikahkan Putri Perawannya dengan yang Tidak Sekufu

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Perintah ayah atas gadis perawan dalam pernikahan dibolehkan jika pernikahan itu menguntungkan baginya atau tidak merugikannya, dan tidak dibolehkan jika merugikan atau membahayakan baginya, sebagaimana jual beli yang dilakukannya tanpa merugikannya dalam jual beli yang tidak ada perbedaan harga yang mencolok di antara orang-orang yang berpengetahuan. Demikian pula dengan anak laki-lakinya yang masih kecil.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki menikahkan putrinya dengan budaknya atau budak orang lain, maka pernikahan itu tidak sah, karena budak tidak sekufu, dan itu merugikannya karena darurat. Jika dia menikahkannya dengan orang yang tidak sekufu, maka tidak sah karena itu merugikannya.

Jika dia menikahkannya dengan orang yang sekufu tetapi berpenyakit kusta, belang, gila, atau impoten yang terpotong kemaluannya atau tidak, maka tidak sah baginya, karena jika dia baligh, dia memiliki hak pilihan jika dia mengetahui salah satu penyakit ini. Jika dia menikahkannya dengan orang yang sekufu dan sehat, kemudian dia terkena salah satu penyakit ini, maka wali tidak boleh memisahkannya darinya sampai dia baligh. Jika dia sudah baligh, maka dia memiliki hak pilihan.

Imam Syafi’i berkata: Jika akad nikah telah terjadi dengan seorang laki-laki yang memiliki beberapa penyakit, lalu penyakitnya hilang sebelum dia baligh atau saat dia baligh, dan dia memilih untuk tetap bersamanya, maka dia tidak berhak melakukan itu karena asal akadnya batal.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia menikahkan putranya yang masih kecil atau cacat mental dengan budak wanita, maka pernikahan itu batal, karena anak kecil tidak takut terjerumus ke dalam zina, dan orang yang cacat mental tidak dapat mengungkapkan dirinya bahwa dia takut terjerumus ke dalam zina, meskipun keduanya tidak memiliki kemampuan (harta).

Jika dia menikahkannya dengan wanita berpenyakit kusta, belang, gila, atau yang kemaluannya rapat, maka pernikahan itu tidak sah baginya. Demikian pula jika dia menikahkannya dengan wanita yang pernikahannya merugikannya atau dia tidak memiliki keinginan terhadapnya, seperti wanita tua renta, buta, cacat, atau yang serupa.

Wanita Tidak Bisa Menjadi Wali

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal.” Ini menjelaskan bahwa wali adalah laki-laki, bukan wanita. Maka seorang wanita tidak akan pernah menjadi wali bagi orang lain. Jika dia tidak bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri, maka dia lebih tidak mungkin menjadi wali bagi orang lain. Dan wanita tidak boleh mengadakan akad nikah.

Diberitakan kepada kami oleh seorang yang terpercaya dari Ibnu Juraij dari Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya, dia berkata: Aisyah biasa meminang wanita dari keluarganya dan dia menjadi saksi. Jika akad nikah tersisa, dia berkata kepada salah seorang keluarganya, “Nikahkanlah, karena wanita tidak menangani akad nikah.”

Imam Syafi’i berkata: Diberitakan kepada kami oleh Ibnu Uyainah dari Hisyam bin Hassan dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah, dia berkata: “Wanita tidak boleh menikahkan wanita, karena pelacur hanya menikahkan dirinya sendiri.”

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita ingin menikahkan budak wanitanya, maka dia tidak boleh menikahkannya sendiri, tidak juga wakilnya jika dia bukan wali bagi wanita itu. Jika dia sendiri bukan wali bagi budak wanitanya, maka tidak ada orang lain yang menjadi wali karena hubungannya dengan dia jika dia bukan dari kalangan wali. Sebagaimana seorang wanita tidak boleh mewakilkan kepada dirinya sendiri untuk menikahkan seseorang kecuali kepada seorang wali.

Wali wanita adalah tuan yang biasa menikahkannya, atau penguasa jika tuannya mengizinkan pernikahannya, sebagaimana mereka menikahkan wanita itu sendiri jika dia mengizinkan pernikahannya. Tidak boleh bagi wali wanita untuk mewakilkan kepada wanita lain untuk menikahkannya jika dia sendiri bukan wali, maka dia tidak menjadi wali dengan perwakilan. Dan dia tidak boleh menikahkan budak wanitanya kecuali dengan izinnya.

Perwakilan laki-laki kepada laki-laki dalam pernikahan dibolehkan, kecuali dia tidak boleh mewakilkan kepada wanita karena alasan yang saya sebutkan, dan tidak boleh kepada orang kafir untuk menikahkan Muslimah, karena salah satu dari keduanya tidak bisa menjadi wali sama sekali. Demikian pula tidak boleh mewakilkan kepada budak, atau orang yang belum sempurna kemerdekaannya. Dan tidak boleh mewakilkan kepada orang yang berada di bawah perwalian, atau orang yang kehilangan akalnya, karena mereka tidak bisa menjadi wali sama sekali.

Mengenai Wasi (Pelaksana Wasiat)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Ketika Allah SWT menyebutkan para wali dan Rasulullah SAW bersabda: “Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal,” dan tidak ada seorang pun yang berbeda pendapat bahwa wali adalah ‘ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah), dan bahwa paman dari pihak ibu tidak bisa menjadi wali jika mereka bukan ‘ashabah. Ini menjelaskan dalam perkataan mereka bahwa tidak ada perwalian bagi wasi jika dia bukan dari ‘ashabah, karena perwalian sepertinya diberikan kepada ‘ashabah karena mereka bertanggung jawab atas aib yang menimpa orang lain, dan wasi bukanlah orang yang bertanggung jawab atas aib yang menimpa orang lain.

Sama saja apakah ayah mewasiatkan kepada gadis perawan atau janda, atau orang lain mewasiatkan, maka tidak ada perwalian bagi wasi dalam pernikahan sama sekali. Ini karena dia bukan wakil wali dan bukan wali. Paman dari pihak ibu lebih mungkin menanggung aib daripada wasi, dan dia tidak memiliki perwalian jika dia tidak memiliki nasab dari pihak ayah. Ini adalah pendapat sebagian besar ahli atsar dan qiyas yang saya temui.

Ada yang mengatakan bahwa pernikahan wasi ayah atas gadis perawan khusus dibolehkan, tidak termasuk wali lain. Dan dia tidak boleh menikahkan gadis perawan tanpa izinnya. Sedangkan ayah boleh menikahkannya tanpa izinnya. Dan tidak boleh menikahkan janda atas perintahnya, melainkan urusannya kepada para wali. Dan dia mengatakan, tidak boleh menikahkan wasi wali selain wasi ayah.

Imam Syafi’i berkata: Dia mengklaim bahwa jika orang yang meninggal meninggal, maka perwakilannya terputus. Jika wasi adalah wakil di sisinya seperti wakil orang yang masih hidup, maka wakil ayah dan saudara laki-laki adalah wali bagi para wali, baik gadis perawan maupun janda, pernikahan mereka dibolehkan di sisi kami dan di sisinya dengan perwakilan dari orang yang mewakilkan mereka, selama orang yang mewakilkan mereka boleh menikah. Dan dia menempatkan mereka pada posisi orang yang mewakilkannya, padahal dia tidak membolehkan wasi ayah apa yang dia bolehkan untuk ayah. Dan dia berkata, “Dia bukan wakil dan bukan ayah.” Lalu dikatakan, “Bagaimana dengan wali kerabat?” Dia berkata, “Tidak.” Lalu dikatakan, “Apa dia?” Dia berkata, “Wasi wali.” Lalu dia berkata, “Dia menggantikan posisinya,” dan dia tidak tahu apa yang dia katakan. Dan dikatakan, “Bagaimana dengan selain ayah?” Dia berkata, “Wasi bukanlah wali dan bukan wakil, jadi pernikahannya dibolehkan dan dia tidak ada hubungannya dengan pernikahan.” Dia mengatakan perkataan yang bertentangan yang menyalahi makna Al-Qur’an, Sunnah, dan atsar.

Pernikahan Anak Kecil dan Orang Gila

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Tidak ada seorang pun selain ayah yang boleh menikahkan anak kecil yang belum baligh. Jika dia menikahkannya, maka pernikahan itu batal. Kakek-kakek adalah ayah jika tidak ada ayah, mereka menggantikan posisi ayah dalam hal itu.

Tidak ada seorang pun selain ayah yang boleh menikahkan orang yang kehilangan akalnya. Jika tidak ada ayah, maka dia harus diajukan kepada penguasa, dan penguasa wajib memberitahukan kepada calon suami bahwa wanita itu dikenal sebagai orang yang kehilangan akalnya. Jika dia tetap ingin menikahinya, maka penguasa menikahkannya.

Para wali selain ayah dilarang menikahkan orang yang kehilangan akalnya karena tidak boleh bagi wali selain ayah untuk menikahkan seorang wanita kecuali dengan ridanya. Karena wanita itu adalah orang yang tidak memiliki ridanya, maka pernikahan mereka tidak sempurna. Saya hanya membolehkan penguasa untuk menikahkannya karena dia sudah baligh atau karena dia membutuhkan pernikahan, dan dalam pernikahan itu ada kesucian dan kecukupan baginya, dan kadang-kadang ada kesembuhan baginya. Dan pernikahannya adalah seperti keputusan baginya dan atasnya. Jika dia sadar, maka dia tidak memiliki hak pilihan. Dan tidak boleh menikahkannya kecuali dengan yang sekufu. Jika dia menikahkannya, maka pernikahannya sah dan dia akan mewarisi dan diwarisi.

Jika dia kehilangan akalnya karena sakit, atau demam tinggi, atau lainnya, maka tidak boleh menikahkannya sampai dia pulih. Jika dia pulih, maka wali siapa pun yang ada akan menikahkannya dengan izinnya. Jika dia tidak pulih sampai waktu yang lama dan tidak ada harapan untuk pulih, maka ayah atau penguasa akan menikahkannya.

Jika dia memiliki penyakit gila, atau kusta, atau belang selain kehilangan akalnya, maka calon suami harus diberitahu sebelum dia menikahinya. Jika dia memiliki kelemahan fisik yang menurut ahli dia tidak ingin menikah dengannya, saya tidak membolehkan dia untuk menikahkannya. Namun, jika dia tetap menikahkannya, saya tidak akan membatalkan pernikahannya, karena pernikahan itu adalah peningkatan baginya, bukan beban.

Sama saja apakah dia kehilangan akalnya, perawan atau janda, dia tidak boleh dinikahkan kecuali oleh ayah atau penguasa tanpa izinnya, karena dia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri.

Pernikahan Anak Kecil dan Orang yang Kehilangan Akalnya dari Kalangan Laki-laki

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Mengenai orang dewasa yang kehilangan akalnya: Ayahnya boleh menikahkannya karena dia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Jika dia kadang-kadang gila dan kadang-kadang sadar, maka tidak boleh menikahkannya sampai dia mengizinkan saat dia sadar untuk menikah, maka jika dia mengizinkan, dia boleh menikahkannya dan saya tidak akan membatalkan pernikahannya.

Tidak ada seorang pun selain ayah yang boleh menikahkan orang yang kehilangan akalnya karena dia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Dia harus diajukan kepada hakim dan ditanyai. Jika dia membutuhkan pernikahan, itu diberitahukan kepada calon istri. Jika dia meridai, dia dinikahkan. Jika dia tidak membutuhkan pernikahan karena cacat atau lainnya, maka hakim tidak boleh menikahkannya, dan ayahnya tidak boleh menikahkannya agar dia bisa dilayani, maka pernikahannya untuk itu dibolehkan.

Para ayah memiliki hak yang sama dengan ayah dalam hal orang yang kehilangan akalnya dan dalam hal anak kecil perempuan dan gadis perawan. Para ayah boleh menikahkan anak laki-laki kecil, dan dia tidak memiliki hak pilihan jika dia sudah baligh. Hal itu tidak berlaku bagi penguasa atau wali. Jika penguasa atau wali selain ayah menikahkan, maka pernikahan itu batal, karena kami hanya membolehkan perintah ayah karena dia menggantikan posisinya dalam mengurusnya selama dia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri dan dia tidak memiliki hak pilihan jika dia sudah baligh. Adapun selain ayah, dia tidak memiliki hak itu.

Jika anak kecil itu impoten atau cacat mental, lalu ayahnya menikahkannya, maka pernikahannya ditolak karena dia tidak membutuhkan pernikahan.

Imam Syafi’i berkata: Jika orang yang kehilangan akalnya dinikahkan, maka ayahnya atau penguasa tidak boleh melakukan khulu’ (cerai dengan ganti rugi) antara dia dan istrinya, dan tidak boleh menceraikannya. Salah satu dari mereka hanya boleh menikahkannya jika dia sudah baligh dan setelah diketahui kebutuhannya akan pernikahan. Jika dia menceraikannya, maka talaknya bukanlah talak. Demikian pula jika dia bersumpah tidak akan berhubungan intim dengannya atau melakukan zihar, maka tidak ada sumpah tidak akan berhubungan intim atau zihar atasnya karena pena telah diangkat darinya (tidak dikenai hukum).

Demikian pula jika dia menuduh istrinya berzina dan menafikan anaknya, maka dia tidak boleh melakukan li’an dan anak itu wajib dinasabkan kepadanya. Jika wanita itu berkata, “Dia impoten, dia tidak mendatangi saya,” maka dia tidak diberi batas waktu, karena jika dia janda, dia mungkin saja didatangi dan dia mengingkari. Jika dia sehat, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya. Jika dia perawan, dia mungkin menolak untuk disentuh, sehingga tidak bisa dikatakan dia menolak dengan perkataan bahwa dia menolak dan menolak. Dia diperintahkan dengan isyarat untuk berhubungan intim dengannya.

Jika dia murtad, maka tidak haram baginya karena pena telah diangkat darinya. Jika istrinya murtad dan tidak kembali ke Islam sampai masa iddahnya habis, maka dia terpisah darinya.

Demikian pula jika wanita yang kehilangan akalnya menikah, maka ayahnya atau wali selain ayah tidak boleh melakukan khulu’ atasnya dengan uang dari hartanya, dan tidak boleh membebaskan suaminya dari nafkahnya, dan tidak ada hak yang wajib baginya dari suaminya. Jika dia melarikan diri atau menolak suaminya, maka dia tidak berhak mendapatkan nafkah selama dia melarikan diri atau menolak.

Jika dia bersumpah tidak akan berhubungan intim dengannya dan walinya meminta untuk menangguhkannya, maka dia dikatakan, “Takutlah kepada Allah dan kembali (berhubungan intim) atau ceraikanlah.” Dia tidak dipaksa untuk menceraikan sebagaimana dia tidak dipaksa jika wanita itu yang meminta.

Demikian pula jika dia impoten, dia tidak diberi batas waktu karena ini adalah sesuatu yang jika dia sehat, dia boleh memintanya untuk diberikan atau berpisah. Jika dia meninggalkannya, maka suami tidak dipaksa untuk berpisah karena perpisahan hanya terjadi dengan ridanya dan penolakannya untuk kembali. Maka tidak ada seorang pun yang boleh meminta untuk berpisah dengan hukum yang mengikat suaminya selain dia, dan dia adalah orang yang tidak memiliki permintaan. Dan jika dia meminta, maka itu tidak berlaku bagi suami. Demikian pula anak kecil yang tidak berakal dalam semua yang saya jelaskan.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia menuduh wanita gila berzina dan menafikan anaknya, dia dikatakan, “Jika kamu ingin menafikan anak itu dengan li’an, maka lakukanlah li’an.” Jika dia melakukan li’an, maka perceraian terjadi di antara mereka, dan dia tidak boleh menikahinya lagi selamanya, dan anak itu dinafikan darinya. Jika dia menyatakan dirinya berbohong, maka anak itu dinasabkan kepadanya, dan dia tidak dihukum ta’zir, dan dia tidak boleh menikahinya lagi selamanya. Jika dia menolak untuk melakukan li’an, maka dia adalah istrinya dan anak itu adalah anaknya, dan dia tidak dihukum ta’zir baginya.

Imam Syafi’i berkata: Anak mana pun yang dilahirkan selama dia dalam kepemilikannya, wajib baginya kecuali jika dia menafikannya dengan li’an. Jika ditemukan anak bersamanya dan dia berkata, “Dia tidak melahirkannya,” dan tidak ada ahli qafah, dan dia terlihat menyusuinya dan mengasuhnya dengan kasih sayang ibu, maka dia bukan ibunya kecuali jika empat wanita bersaksi bahwa dia melahirkannya atau dia mengakuinya bahwa dia melahirkannya, maka anak itu dinasabkan kepadanya. Jika ada ahli qafah dan mereka menasabkannya kepadanya, maka dia adalah anaknya kecuali jika dia menafikannya dengan li’an.

Ayah tidak boleh menikahkan anak kecil perempuan atau wanita yang kehilangan akalnya dengan budak atau orang yang tidak sekufu dengannya. Dan perhatikanlah, setiap wanita yang sudah baligh dan janda, jika dia meminta jodoh, ayahnya dan walinya boleh melarangnya. Dan ayah tidak boleh memaksanya menikah dengan itu. Dan ayah atau penguasa tidak boleh menikahkan salah satu dari mereka dengan orang yang impoten. Demikian pula dia tidak boleh memaksa budaknya untuk menikah dengan salah satu dari mereka dengan pernikahan. Dia boleh menghibahkannya kepada masing-masing dari mereka dan menjualnya kepadanya.

Wali anak kecil tidak boleh menikahkannya dengan wanita gila, atau berpenyakit kusta, atau belang, atau yang kehilangan akalnya, atau wanita yang tidak mampu berhubungan intim sama sekali, atau budak wanita, meskipun dia tidak menemukan kemampuan untuk menikahi wanita merdeka, karena dia adalah orang yang tidak takut terjerumus ke dalam zina.

Pernikahan dengan Saksi

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Tidak ada pernikahan bagi ayah pada janda, dan tidak ada bagi wali selain ayah pada gadis perawan atau janda yang tidak kehilangan akalnya, sampai pernikahan itu memenuhi empat syarat: wanita yang akan dinikahi meridai dan dia sudah baligh, dan baligh itu adalah haid atau telah mencapai usia lima belas tahun; suami yang baligh meridai; wali menikahkan wanita itu tanpa ada yang lebih utama darinya atau penguasa; dan dua saksi adil bersaksi atas akad nikah. Jika pernikahan kekurangan salah satu dari ini, maka fasid (rusak).

Imam Syafi’i berkata: Ayah gadis perawan boleh menikahkannya, baik kecil maupun besar, tanpa izinnya. Namun, saya lebih suka jika dia sudah baligh untuk dimintai izin. Itu juga berlaku bagi tuan budak wanita. Namun, itu tidak berlaku bagi tuan budak laki-laki, dan tidak berlaku bagi wali selain ayah pada gadis perawan. Demikian pula, ayah wanita gila yang sudah baligh boleh menikahkannya seperti menikahkan gadis perawan kecil, baik perawan maupun janda, dan itu tidak berlaku bagi selain ayah kecuali penguasa.

Pernikahan dengan Saksi (Lanjutan)

Diberitakan kepada kami Muslim bin Khalid dan Sa’id dari Ibnu Juraij dari Abdullah bin Utsman bin Khaitsam dari Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan dua saksi adil dan wali yang bertanggung jawab.” Saya kira Muslim bin Khalid telah mendengarnya dari Ibnu Khaitsam.

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Abu Az-Zubair, dia berkata: Umar didatangi dengan pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Lalu dia berkata, “Ini adalah pernikahan rahasia, dan saya tidak membolehkannya. Jika saya telah membuat aturan sebelumnya, saya akan merajamnya.”

Imam Syafi’i berkata: Jika pernikahan disaksikan oleh orang yang kesaksiannya tidak sah, meskipun mereka banyak dari kalangan Muslim merdeka, atau kesaksian budak Muslim, atau ahli dzimmah, maka pernikahan itu tidak sah sampai akadnya terjadi dengan dua saksi adil.

Imam Syafi’i berkata: Jika kedua saksi tidak ditolak dari segi keadilan, kemerdekaan, baligh, atau cacat khusus pada diri mereka, maka pernikahan itu sah.

Imam Syafi’i berkata: Jika keduanya adalah saksi adil yang bermusuhan dengan wanita atau laki-laki, lalu kedua pasangan mengakui pernikahan, maka kesaksian itu sah karena itu adalah kesaksian dua orang adil. Jika mereka saling mengingkari, maka pernikahan itu tidak sah, karena saya tidak membolehkan kesaksian mereka atas musuh-musuh mereka. Dan saya menyumpah orang yang mengingkari di antara mereka. Jika dia bersumpah, dia dibebaskan. Jika dia menolak, saya mengembalikan sumpah kepada pasangannya. Jika dia bersumpah, saya mengesahkan pernikahan baginya. Jika dia tidak bersumpah, saya tidak mengesahkan pernikahan baginya.

Jika seorang laki-laki terlihat masuk ke rumah seorang wanita, lalu wanita itu berkata, “Suami saya,” dan laki-laki itu berkata, “Istri saya, saya menikahinya dengan dua saksi adil,” maka pernikahan itu sah, meskipun kami tidak mengetahui kedua saksi itu.

Imam Syafi’i berkata: Jika akad nikah dilakukan tanpa saksi, lalu setelah itu dia meminta saksi atas dirinya sendiri, dan wanita itu serta walinya meminta saksi atas diri mereka sendiri, maka pernikahan itu tidak sah. Dan kami tidak membolehkan pernikahan kecuali pernikahan yang akadnya dilakukan di hadapan dua saksi adil dan apa yang saya jelaskan bersamanya.

Tidak boleh mengucapkan pernikahan yang tidak sah kecuali dengan akad nikah baru yang lain. Jika kedua saksi adil saat akad nikah, lalu keadaan mereka memburuk sehingga kesaksian mereka ditolak, tetapi kedua pasangan mengakui bahwa pernikahan telah terjadi dan kedua saksi itu adil, atau ada bukti yang sah tentang hal itu, maka sah. Jika mereka mengatakan pernikahan telah terjadi dalam keadaan mereka, maka tidak sah.

Imam Syafi’i berkata: Saya hanya melihat pada akad nikah, dan saya tidak melihat di mana mereka berdiri. Ini berbeda dengan kesaksian atas hak selain pernikahan dalam hal ini. Kesaksian atas hak terjadi pada hari keputusan, dan tidak melihat keadaan saksi sebelumnya. Sedangkan kesaksian atas pernikahan terjadi pada hari akad.

Imam Syafi’i berkata: Jika mereka tidak mengetahui keadaan saksi dan keduanya mengakui pernikahan dengan dua saksi, maka pernikahan itu sah, dan keduanya dianggap adil sampai saya mengetahui adanya cacat pada hari pernikahan terjadi.

Jika pernikahan telah terjadi, lalu kedua pasangan memerintahkan untuk merahasiakan pernikahan dan para saksi, maka pernikahan itu sah, tetapi saya tidak suka mereka merahasiakannya agar tidak menimbulkan keraguan.

Mengenai Nikah Mu’tah dan Nikah Orang yang Belum Lahir

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Jika seorang laki-laki berkata kepada seorang wanita, “Saya menikahimu dengan kandungan istri saya,” dan wanita itu menerimanya, atau “anak pertama yang dilahirkan istri saya,” dan wanita itu menerimanya, atau laki-laki itu berkata kepada laki-laki lain mengenai kandungan istrinya, “Saya menikahimu dengan gadis pertama yang dilahirkan istri saya,” dan laki-laki itu menerimanya, maka tidak ada satu pun dari ini yang sah sebagai pernikahan selamanya, dan tidak ada pernikahan bagi orang yang belum lahir.

Tidakkah Anda melihat bahwa dia mungkin tidak melahirkan gadis sama sekali, atau tidak melahirkan anak laki-laki sama sekali? Maka jika perkataan itu mengikat pada sesuatu yang tidak ada, maka tidak sah. Dan pernikahan tidak sah kecuali dengan individu tertentu.

Jika seorang laki-laki berkata, “Jika besok, saya telah menikahkan putri saya kepadamu,” dan laki-laki itu menerimanya, atau seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain, “Jika besok, saya telah menikahkan putra saya dengan putrimu,” dan ayah gadis itu dan ayah laki-laki itu menerimanya, padahal gadis itu dan laki-laki itu masih kecil, maka tidak sah baginya. Karena besok mungkin saja putranya atau putrinya, atau keduanya, telah meninggal.

Jika pernikahan itu diikat dan pengikatannya adalah perkataan, dan itu terjadi pada waktu yang tidak halal baginya untuk berhubungan intim dan tidak ada warisan antara suami istri, maka tidak sah. Dan itu dalam makna mut’ah yang menjadi istri pada beberapa hari dan bukan istri pada beberapa hari, bahkan lebih dari makna mut’ah, karena telah berlalu waktu setelah akad tanpa mewajibkan pernikahan. Dan ini bukan pernikahan di sisi kami, tidak juga di sisi orang yang membolehkan nikah mut’ah. Ini lebih fasid daripada nikah mut’ah.

 

Apa yang Wajib Dilakukan dalam Akad Nikah

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Apabila seorang laki-laki melamar untuk dirinya sendiri dengan berkata, “Saya menikahi fulanah,” atau wakil laki-laki atas orang yang mewakilkannya berkata demikian, atau ayah anak laki-laki yang di bawah perwalian menyerahkan wanita itu kepada walinya setelah wanita itu mengizinkan pernikahan dengan pelamar atau orang yang dilamar, lalu wali berkata, “Saya telah menikahkanmu dengan fulanah yang disebutkan namanya,” maka pernikahan itu sah dan tidak perlu lagi bagi suami atau orang yang mewakili akad nikahnya untuk mengatakan ‘saya terima’ jika dia yang memulai melamar dan dijawab dengan pernikahan.

Imam Syafi’i berkata: Jika saya memerlukan hal ini, saya tidak akan pernah membolehkan pernikahan kecuali jika laki-laki dan wanita itu mewakilkan kepada satu orang laki-laki untuk menikahkan mereka berdua. Hal ini karena jika saya memerlukan pelamar yang sudah memulai melamar untuk mengatakan “saya terima” ketika dia dinikahkan, karena saya tidak tahu apa yang ada di pikiran pelamar, maka saya akan memerlukan wali wanita untuk mengatakan “saya setuju” karena saya tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Jika pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya penerimaan baru dari yang dinikahi, lalu saya harus mengembalikan perkataan itu kepada suami, lalu demikian seterusnya kepada wali wanita, maka pernikahan tidak akan pernah sah dengan makna ini.

Pernikahan hanya sah sebagaimana yang saya jelaskan, yaitu jika satu orang menangani keduanya dengan perwakilan mereka. Namun, jika wali wanita memulai dengan berkata kepada seorang laki-laki, “Saya telah menikahkan putri saya kepadamu,” maka itu bukan pernikahan sampai laki-laki itu berkata, “Saya terima,” karena ini adalah permulaan perkataan, bukan jawaban dari percakapan.

Jika seorang laki-laki melamar seorang wanita dan ayahnya tidak menjawab sampai pelamar itu menarik kembali lamarannya, lalu ayahnya menikahkannya setelah dia menarik kembali, maka pernikahan itu batal karena dia menikahkan orang yang tidak melamar, kecuali jika dia berkata setelah dinikahkan oleh ayah, “Saya terima.”

Jika seorang laki-laki melamar kepada seorang laki-laki, dan laki-laki itu tidak menjawab sampai dia kehilangan akalnya, lalu dia menikahkannya, maka ini bukan pernikahan karena itu adalah akad dari orang yang perkataannya tidak sah dan orang yang tidak boleh menjadi wali. Demikian pula jika pelamar kehilangan akalnya setelah melamar dan sebelum dinikahkan. Namun, jika akad telah terjadi padanya, lalu dia kehilangan akalnya, maka pernikahan itu sah jika akadnya terjadi saat dia masih berakal.

Jika ini terjadi pada seorang wanita yang mengizinkan untuk dinikahkan, lalu dia tidak dinikahkan sampai dia kehilangan akalnya, lalu dia dinikahkan setelah kehilangan akalnya, maka pernikahan itu batal karena tidak ada kewajiban pernikahan baginya sampai dia kehilangan akalnya, sehingga izinnya batal. Ini seperti yang kami katakan dalam masalah sebelumnya.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia dinikahkan sebelum dia kehilangan akalnya, lalu dia kehilangan akalnya setelah menikah, maka pernikahan itu sah baginya.

Jika seorang laki-laki berkata kepada ayah wanita, “Apakah Anda akan menikahkan saya dengan fulanah?” Lalu ayah itu berkata, “Saya telah menikahimu dengannya,” maka pernikahan itu tidak sah sampai orang yang dinikahkan menerima karena ini bukan lamaran, ini adalah pertanyaan.

Jika dia melamar untuk dirinya sendiri dan tidak menyebutkan mahar, lalu dia dinikahkan, maka pernikahan itu sah, dan dia berhak mendapatkan mahar yang sepadan dengannya. Jika dia menyebutkan mahar, lalu dia dinikahkan dengan izinnya, maka mahar itu wajib baginya dan baginya.

Wanita yang Haram Dinikahi Karena Kekerabatan

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Diberitakan kepada kami Ar-Rabi’ bin Sulaiman, dia berkata: Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Diharamkan atas kamu ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu…” [An-Nisa: 23] dan seterusnya.

Imam Syafi’i berkata: Ibu-ibu adalah ibu kandung seorang laki-laki, ibu-ibu mereka, dan ibu-ibu ayah mereka, meskipun nenek-nenek jauh, karena mereka wajib disebut ibu. Anak-anak perempuan adalah anak perempuan kandung seorang laki-laki, anak perempuan dari anak laki-lakinya, dan anak perempuan dari anak perempuan mereka, meskipun ke bawah, semuanya wajib disebut anak perempuan, sebagaimana nenek-nenek wajib disebut ibu, meskipun ke atas dan jauh darinya. Demikian pula anak dari anak meskipun ke bawah. Saudara-saudara perempuan adalah anak-anak dari ayahnya sendiri, atau ibunya sendiri. Bibi dari pihak ayah (bibi dari kakek terdekat atau terjauh) dan yang di atas mereka dari kakek-kakeknya. Bibi dari pihak ibu (dari ibu ibunya dan ibunya) dan yang di atas mereka dari nenek-neneknya dari pihak ibu. Anak perempuan saudara laki-laki adalah semua anak yang dilahirkan oleh saudara laki-laki dari ayah atau ibunya atau keduanya, semua anak yang dilahirkan oleh ibunya, semuanya adalah anak saudara laki-lakinya meskipun ke bawah. Demikian pula anak perempuan saudara perempuan.

Imam Syafi’i berkata: Allah Ta’ala juga mengharamkan saudara perempuan sepersusuan. Ini mengandung dua makna pengharaman:

  1. Ketika Allah menyebutkan pengharaman ibu dan saudara perempuan sepersusuan, Dia menyamakannya dalam pengharaman dengan ibu dan saudara perempuan nasab, sehingga seluruh persusuan menempati posisi nasab, maka apa yang haram karena nasab, haram juga karena persusuan. Ini adalah pendapat kami dengan dalil sunnah Rasulullah SAW dan qiyas atas Al-Qur’an.
  2. Yang diharamkan dari persusuan hanyalah ibu dan saudara perempuan, tidak yang lainnya.

Imam Syafi’i berkata: Jika ada yang bertanya, “Di mana dalil sunnah bahwa persusuan menempati posisi nasab?” Dijawab, insya Allah Ta’ala: Diberitakan kepada kami oleh Malik bin Anas bin Abdullah bin Dinar dari Sulaiman bin Yasar dari Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari kelahiran.”

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Abdullah bin Abi Bakar dari Amrah binti Abdurrahman bahwa Aisyah, istri Nabi SAW, memberitahunya bahwa Nabi SAW berada di sisinya dan dia mendengar suara seorang laki-laki meminta izin di rumah Hafsah. Aisyah berkata, “Saya berkata, ‘Ya Rasulullah, ini ada seorang laki-laki meminta izin di rumahmu.'” Rasulullah SAW bersabda, “Saya kira dia adalah fulan, paman Hafsah dari persusuan.” Aisyah berkata, “Saya berkata, ‘Ya Rasulullah, seandainya fulan, paman Hafsah dari persusuan, masih hidup, apakah dia boleh masuk kepadaku?'” Rasulullah SAW bersabda, “Ya, sesungguhnya persusuan mengharamkan apa yang diharamkan dari kelahiran.”

Diberitakan kepada kami oleh Ibnu Uyainah, dia berkata: Saya mendengar Ibnu Jud’an, dia berkata: Saya mendengar Ibnu Musayyib menceritakan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa dia berkata, “Ya Rasulullah, apakah Anda tertarik pada putri paman Anda, putri Hamzah? Sesungguhnya dia adalah gadis tercantik di Quraisy.” Beliau bersabda, “Tidakkah kamu tahu bahwa Hamzah adalah saudaraku dari persusuan, dan sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari nasab?”

Diberitakan oleh Ad-Darawardi dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah dari Nabi SAW tentang putri Hamzah, seperti hadits Sufyan tentang putri Hamzah.

Imam Syafi’i berkata: Dalam sunnah itu sendiri, diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari kelahiran, dan susu ayah (suami ibu susu) juga mengharamkan sebagaimana kelahiran ayah mengharamkan. Tidak ada perbedaan dalam hal ini.

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Amr bin Asy-Syarid bahwa Ibnu Abbas ditanya tentang seorang laki-laki yang memiliki dua istri. Salah satunya menyusui seorang anak laki-laki, dan yang lainnya menyusui seorang anak perempuan. Lalu ditanyakan kepadanya, “Bolehkah anak laki-laki itu menikahi anak perempuan itu?” Dia menjawab, “Tidak, sumber susunya satu.”

Diberitakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij bahwa dia bertanya kepada Atha’ tentang susu ayah, apakah mengharamkan? Dia menjawab, “Ya.” Saya berkata kepadanya, “Apakah Anda mendapatkan dari sumber yang terpercaya?” Dia menjawab, “Ya.” Ibnu Juraij berkata: Atha’ berkata, “dan saudara-saudaramu yang sepersusuan” [An-Nisa: 23], maka dia adalah saudara perempuanmu dari pihak ayah.

Diberitakan kepada kami oleh Sa’id bin Salim dari Ibnu Juraij bahwa Amr bin Dinar memberitahunya bahwa dia mendengar Abu Asy-Sya’tsa’ berpendapat bahwa susu ayah mengharamkan. Ibnu Juraij juga berkata dari Ibnu Thawus dari ayahnya bahwa dia berkata, susu ayah mengharamkan.

Wanita yang Haram Dinikahi Karena Pernikahan dan Zina

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu wanita itu meninggal atau diceraikan sebelum dia berhubungan badan dengannya, maka saya tidak melihat dia boleh menikahi ibunya, karena ibu diharamkan secara mutlak dalam Kitabullah Azza wa Jalla, tidak ada syarat di dalamnya. Syarat hanya ada pada anak tiri.

Imam Syafi’i berkata: Ini adalah pendapat sebagian besar mufti dan pendapat sebagian sahabat Nabi SAW. Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Yahya bin Sa’id, dia berkata: Zaid bin Tsabit ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, lalu dia berpisah dengannya sebelum berhubungan intim dengannya, apakah ibunya halal baginya? Zaid bin Tsabit menjawab, “Tidak, ibu diharamkan secara mutlak, tidak ada syarat di dalamnya, syarat hanya ada pada anak tiri.”

Imam Syafi’i berkata: Demikian pula ibu-ibu mereka, meskipun jauh, dan nenek-nenek mereka, karena mereka termasuk ibu-ibu dari istri-istrinya.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu dia tidak berhubungan badan dengannya sampai wanita itu meninggal atau diceraikan, maka semua anak perempuannya, meskipun ke bawah, adalah halal baginya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “dan anak-anak tirimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri-istri yang telah kamu campuri; tetapi jika kamu belum mencampuri mereka, maka tidak ada dosa bagimu (menikahi anak tirimu itu).” [An-Nisa: 23].

Jika dia menikahi seorang wanita, lalu menceraikannya sebelum dia berhubungan badan dengannya, lalu dia menikahi putri wanita itu, maka haram baginya ibu dari istrinya itu, meskipun dia belum berhubungan badan dengan istrinya, karena dia telah menjadi bagian dari ibu-ibu istrinya, dan sebelumnya dia adalah istrinya meskipun dia belum berhubungan badan dengannya.

Jika dia telah berhubungan badan dengan ibunya, maka tidak halal baginya putri wanita itu, dan tidak juga siapa pun yang dilahirkan oleh putri wanita itu selamanya, karena mereka adalah anak tirinya dari istrinya yang telah dia campuri.

Allah Azza wa Jalla berfirman: “dan istri-istri anak kandungmu (menantu).” [An-Nisa: 23]. Maka wanita mana pun yang dinikahi oleh seorang laki-laki, haram bagi ayahnya, baik anak laki-laki itu telah berhubungan badan dengannya atau belum. Demikian pula haram bagi semua ayahnya dari pihak ayah dan ibunya, karena hubungan keayahan menyatukan mereka. Demikian pula setiap wanita yang dinikahi oleh anak dari anaknya dari pihak wanita dan laki-laki, meskipun ke bawah, karena hubungan keayahan menyatukan mereka.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayahmu, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” [An-Nisa: 22]. Maka wanita mana pun yang dinikahi oleh seorang laki-laki, haram bagi anaknya, baik ayah itu telah berhubungan badan dengannya atau belum. Demikian pula anak dari anaknya dari pihak laki-laki dan wanita, meskipun ke bawah, karena hubungan keayahan menyatukan mereka.

Imam Syafi’i berkata: Setiap wanita ayah atau anak laki-laki yang diharamkan atas anak laki-laki atau ayahnya karena nasab, maka demikian pula saya haramkan jika dia adalah istri ayah atau anak laki-laki dari persusuan.

Jika ada yang bertanya, “Allah Tabaraka wa Ta’ala hanya berfirman: “dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” [An-Nisa: 23], bagaimana bisa istri anak dari persusuan diharamkan?” Dijawab: Dengan apa yang saya jelaskan tentang penyamaan Allah antara ibu dan saudara perempuan dari persusuan dengan ibu dan saudara perempuan dari nasab dalam pengharaman, lalu Nabi SAW bersabda: “Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari nasab.”

Jika dia bertanya, “Apakah Anda tahu mengapa ayat “dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” [An-Nisa: 23] diturunkan?” Dijawab: Allah Ta’ala lebih tahu mengapa Dia menurunkannya. Adapun makna dari apa yang saya dengar secara terpisah yang saya kumpulkan adalah bahwa Rasulullah SAW ingin menikahi putri Jahsy, yang berada di bawah asuhan Zaid bin Haritsah. Nabi SAW telah mengangkatnya sebagai anak angkat. Lalu Allah Ta’ala memerintahkan dalam firman-Nya untuk memanggil anak-anak angkat dengan nama ayah-ayah mereka: “Jika kamu tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka (panggillah mereka) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” [Al-Ahzab: 5]. Dan Dia berfirman: “Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu.” [Al-Ahzab: 4] sampai firman-Nya, “maula-maulamu.” Dan Dia berfirman kepada Nabi-Nya SAW: “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istri itu (dengan menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengannya, agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin (untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka).” [Al-Ahzab: 37].

Imam Syafi’i berkata: Dan yang paling mirip, wallahu ta’ala a’lam, adalah bahwa firman-Nya “dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” [An-Nisa: 23] adalah tanpa anak-anak angkatmu yang kamu sebut anak-anakmu, dan persusuan tidak termasuk dalam hal ini sama sekali. Dan kami mengharamkan dari persusuan dengan apa yang diharamkan Allah berdasarkan qiyas padanya, dan dengan apa yang dikatakan Rasulullah SAW bahwa “diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari kelahiran.”

Imam Syafi’i berkata: Dalam firman Allah Azza wa Jalla: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayahmu, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” [An-Nisa: 22], dan dalam firman-Nya: “dan (diharamkan atas kamu) mengumpulkan dua saudara perempuan, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” [An-Nisa: 23].

Anak laki-laki tertua seorang laki-laki biasa mewarisi istri ayahnya, dan seorang laki-laki biasa mengumpulkan dua saudara perempuan. Maka Allah Azza wa Jalla melarang siapa pun di antara mereka untuk mengumpulkan dua saudara perempuan dalam hidupnya, atau menikahi apa yang dinikahi ayahnya, kecuali yang telah terjadi pada masa Jahiliyah sebelum mereka mengetahui pengharamannya. Ini bukan berarti Dia membiarkan mereka dalam hal yang telah mereka kumpulkan sebelum Islam, sebagaimana Nabi SAW tidak membiarkan mereka pada pernikahan Jahiliyah yang tidak halal dalam Islam sama sekali.

Imam Syafi’i berkata: Apa yang kami haramkan bagi ayah dari istri-istri anak laki-laki, dan bagi anak laki-laki dari istri-istri ayah, dan bagi seorang laki-laki dari ibu-ibu istrinya dan anak-anak perempuan istrinya yang telah dia campuri dengan pernikahan, maka itu adalah hasil dari hubungan badan. Adapun zina, maka zina tidak memiliki hukum yang mengharamkan yang halal.

Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, maka tidak haram baginya, tidak juga bagi anaknya, tidak juga bagi ayahnya. Demikian pula jika dia berzina dengan ibu istrinya atau putri istrinya, maka istrinya tidak haram baginya. Demikian pula jika dia memiliki istri, lalu dia berzina dengan saudara perempuan istrinya, maka dia tidak perlu menjauhi istrinya dan dia tidak dianggap mengumpulkan dua saudara perempuan.

Jika hubungan badan itu terjadi dengan pernikahan yang fasid, maka ada kemungkinan diharamkan karena nasab ditetapkan di dalamnya, mahar diambil di dalamnya, hukum hudud ditiadakan di dalamnya, dan iddah berlaku di dalamnya. Ini adalah hukum yang halal, dan saya lebih suka diharamkan dengannya tanpa kejelasan.

Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan pernikahan fasid, lalu dia berhubungan badan dengannya, maka tidak halal baginya – menurut saya – untuk menikahi ibunya atau putrinya. Ayahnya tidak boleh menikahinya, tidak juga anaknya. Jika orang yang menikahi dengan pernikahan fasid tidak berhubungan badan, maka pernikahan fasid itu tidak mengharamkan apa pun tanpa hubungan badan di dalamnya, karena hukumnya tidak ada mahar di dalamnya, tidak ada talak yang mengikat di dalamnya, dan tidak ada apa pun di antara suami istri.

Imam Syafi’i berkata: Orang lain selain kami telah berkata: Pernikahan fasid tidak mengharamkan, meskipun ada hubungan badan di dalamnya, sebagaimana zina tidak mengharamkan, karena dia bukan dari kalangan istri. Tidakkah Anda melihat bahwa talak tidak mengikatnya dan tidak ada yang berlaku di antara suami istri?

Orang lain dan selainnya telah berkata: Setiap yang dihalalkan menjadi haram, maka haramnya lebih keras pengharamannya.

Imam Syafi’i berkata: Kami telah menjelaskan dalam kitab Al-Ikhtilaf, penyebutan ini dan lainnya. Dan sekelompok ulama berkata bahwa Allah Azza wa Jalla hanya menetapkan keharaman berdasarkan nasab dan hubungan pernikahan, dan menjadikan itu sebagai nikmat di antara nikmat-nikmat-Nya kepada makhluk-Nya. Maka barangsiapa yang diharamkan dari wanita bagi laki-laki, maka laki-laki mengharamkannya atas wanita, dan wanita memiliki hak atas laki-laki dari hubungan pernikahan seperti keharaman nasab. Itu karena Dia meridai pernikahan, memerintahkannya, dan menganjurkannya.

Tidak boleh keharaman yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada orang yang menolak sesuatu yang Allah perintahkan kepadanya, seperti pezina yang durhaka kepada Allah yang telah ditentukan hukumannya dan diwajibkan neraka baginya kecuali jika diampuni. Hal itu karena pengharaman melalui pernikahan adalah nikmat, bukan musibah. Nikmat yang ditetapkan dengan yang halal tidak ditetapkan dengan yang haram yang Allah jadikan musibah di dalamnya, baik cepat maupun lambat.

Demikian pula jika seorang laki-laki berzina dengan saudara perempuan istrinya, maka ini bukanlah pengumpulan di antara keduanya, dan tidak haram baginya menikahi saudara perempuan istrinya yang dia zinai sebagai pengganti istrinya.

Hukum Persusuan

Imam Syafi’i berkata: Jika apa yang diharamkan dari persusuan sama dengan apa yang diharamkan dari nasab, maka tidak halal baginya untuk menikahi anak perempuan dari ibu yang menyusuinya, meskipun ke bawah, dan anak perempuan dari anak laki-lakinya, dan anak perempuannya, dan setiap wanita yang dia lahirkan dari anak laki-laki atau perempuan, serta ibu-ibu mereka, dan setiap orang yang dilahirkan untuknya, karena mereka sama dengan ibu-ibu dan saudara-saudaranya. Demikian pula saudara-saudara perempuannya karena mereka bibinya dari pihak ibu, dan demikian pula bibinya dari pihak ayah dan ibu karena mereka bibi ibu dan bibi ibu dari pihak ibu.

Demikian pula anak laki-laki yang disusui dengan susunya, dan ibu-ibunya, saudara-saudaranya, bibi-bibinya dari pihak ibu, dan bibi-bibinya dari pihak ayah. Demikian pula orang yang disusui dengan susu laki-laki yang menyusuinya dari ibu yang menyusuinya atau selainnya. Demikian pula orang yang disusui dengan susu anak perempuan yang menyusuinya dari ayahnya yang menyusuinya dengan susunya atau suami lainnya.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita menyusui seorang bayi, maka tidak mengapa ayah bayi itu menikahi wanita yang menyusui itu, dan tidak mengapa menikahi putrinya dan ibunya, karena dia tidak menyusuinya. Demikian pula, jika ayah tidak menikahinya, maka tidak mengapa saudara laki-laki dari bayi yang disusui itu menikahi wanita yang menyusui itu, karena dia bukan anaknya. Demikian pula dia boleh menikahi anak-anaknya.

Tidak mengapa anak laki-laki yang disusui itu menikahi putri pamannya dan putri bibinya dari persusuan, sebagaimana tidak ada masalah dalam nasab. Dan seorang laki-laki tidak boleh mengumpulkan dua saudara perempuan dari persusuan baik dengan pernikahan maupun dengan hubungan intim hak milik. Demikian pula wanita dan bibinya dari persusuan, diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari nasab. Dan wanita-wanita mahram dari persusuan yang haram untuk dinikahi dan boleh bepergian dengannya sama seperti wanita mahram dari nasab.

Sama saja persusuan dari wanita merdeka, budak, atau dzimmiyyah, semuanya adalah ibu dan semuanya diharamkan sebagaimana wanita merdeka diharamkan, tidak ada perbedaan di antara mereka. Dan sama saja apakah budak itu berhubungan intim dengan hak milik atau pernikahan, semua itu mengharamkan.

Tidak mengapa seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan istri ayahnya dari persusuan dan nasab.

Batasan Jumlah Susuan yang Mengharamkan

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Jika seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan meminum susu binatang ternak dari kambing, sapi, atau unta, maka ini bukan persusuan, melainkan ini seperti makanan dan minuman. Ini tidak mengharamkan di antara orang yang meminumnya. Yang mengharamkan hanyalah susu manusia, bukan binatang.

Allah Ta’ala berfirman: “dan ibu-ibumu yang menyusuimu; dan saudara-saudaramu yang sepersusuan.” [An-Nisa: 23]. Dan Dia berfirman tentang persusuan: “Kemudian jika mereka menyusuimu, maka berikanlah upah kepada mereka.” [At-Talaq: 6]. Dan Dia Azza Dzikruhu berfirman: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi siapa yang ingin menyempurnakan persusuan.” [Al-Baqarah: 233].

Imam Syafi’i berkata: Maka Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa kesempurnaan persusuan adalah dua tahun, dan Dia menjadikan bagi laki-laki yang anaknya disusui upah bagi wanita yang menyusui itu. Dan upah atas persusuan hanya berlaku untuk sesuatu yang memiliki batas waktu yang diketahui.

Imam Syafi’i berkata: Persusuan adalah nama umum yang mencakup satu hisapan dan lebih dari itu sampai kesempurnaan persusuan dua tahun, dan juga mencakup setiap persusuan meskipun setelah dua tahun.

Imam Syafi’i berkata: Karena demikian, maka wajib bagi ahli ilmu untuk mencari dalil apakah persusuan mengharamkan dengan jumlah minimal yang disebut persusuan atau makna dari persusuan tanpa yang lain?

Imam Syafi’i berkata: Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Abdullah bin Abi Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari Amrah dari Aisyah Ummu al-Mu’minin, dia berkata: “Termasuk yang Allah turunkan dalam Al-Qur’an adalah sepuluh kali susuan yang diketahui mengharamkan, kemudian dihapus dengan lima kali susuan yang diketahui. Lalu Nabi SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca dari Al-Qur’an.”

Diberitakan kepada kami oleh Sufyan dari Yahya bin Sa’id dari Amrah dari Aisyah, bahwa dia berkata: “Al-Qur’an turun dengan sepuluh kali susuan yang diketahui mengharamkan, kemudian dijadikan lima kali susuan yang mengharamkan.” Maka tidak ada yang boleh masuk kepada Aisyah kecuali orang yang telah menyempurnakan lima kali susuan.

Diberitakan kepada kami oleh Sufyan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Al-Hajjaj bin Al-Hajjaj, saya kira dari Abu Hurairah, dia berkata: “Tidak ada yang mengharamkan dari persusuan kecuali yang telah memecah usus.”

Diberitakan kepada kami oleh Sufyan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Abdullah bin Az-Zubair bahwa Nabi SAW bersabda: “Satu atau dua hisapan tidak mengharamkan, tidak juga satu atau dua kali susuan.”

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah bahwa Nabi SAW memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim lima kali susuan agar haram karena susunya, lalu dia melakukannya dan dia menganggapnya sebagai anak.

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Nafi’ bahwa Salim bin Abdullah memberitahunya bahwa Aisyah mengirimnya ketika dia masih menyusu kepada saudara perempuannya, Ummu Kultsum, lalu dia menyusuinya tiga kali susuan. Kemudian dia sakit dan tidak menyusuinya lagi kecuali tiga kali susuan. Maka saya tidak bisa masuk kepada Aisyah karena saya belum menyempurnakan sepuluh kali susuan.

Imam Syafi’i berkata: Aisyah memerintahkannya untuk menyusu sepuluh kali karena itu adalah persusuan yang paling banyak, dan dia belum menyempurnakan lima kali, sehingga dia tidak bisa masuk kepadanya. Dan mungkin Salim lupa akan perkataan Aisyah tentang sepuluh kali susuan yang telah dihapus dengan lima kali susuan yang diketahui, lalu dia menceritakan apa yang dia ketahui bahwa dia telah menyusu tiga kali sehingga dia tidak bisa masuk kepadanya. Dan dia mengetahui bahwa apa yang diperintahkan untuk menyusu sepuluh kali, dia mengira bahwa yang menghalalkan untuk masuk kepadanya adalah sepuluh kali. Kami mengambil lima kali susuan dari Nabi SAW dengan riwayat Aisyah bahwa itu mengharamkan dan bahwa itu dari Al-Qur’an.

Imam Syafi’i berkata: Tidak ada yang mengharamkan dari persusuan kecuali lima kali susuan yang terpisah-pisah. Yaitu, bayi menyusu, lalu berhenti menyusu, lalu menyusu lagi, lalu berhenti menyusu. Jika dia menyusu pada salah satu dari itu sejumlah yang diketahui telah sampai ke perutnya, baik sedikit maupun banyak, maka itu adalah satu kali susuan. Jika persusuan terputus, lalu kembali lagi seperti itu atau lebih, maka itu adalah satu kali susuan.

Rincian Susuan dan Hukumnya

Imam Syafi’i berkata: Jika bayi mengisap puting, lalu dia sedikit terlena dengan sesuatu, lalu kembali, maka itu adalah satu kali susuan. Dan pemutusan hanya terjadi jika terpisah dengan jelas, sebagaimana orang yang bersumpah tidak akan makan di siang hari kecuali sekali, maka dia makan dan bernapas setelah menelan sampai dia makan lagi, maka itu dihitung satu kali meskipun lama.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia memutusnya dengan pemutusan yang jelas setelah sedikit atau banyak makanan, lalu dia makan lagi, maka dia telah melanggar sumpah dan itu dihitung dua kali makan.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia mengambil satu payudara dan menghabiskan isinya, lalu dia beralih ke payudara yang lain di tempatnya dan menghabiskan isinya, maka itu adalah satu kali susuan, karena persusuan bisa jadi adalah sisa napas dan dilepaskan lalu kembali, sebagaimana makanan dan minuman adalah sisa napas dan itu adalah satu makanan. Dalam hal ini tidak dilihat sedikit atau banyaknya persusuan jika ada sesuatu yang sampai ke perutnya, maka itu adalah satu kali susuan.

Apa yang belum mencapai lima kali tidak mengharamkan.

Imam Syafi’i berkata: Pemberian susu melalui mulut (dijejalkan) sama dengan persusuan. Demikian pula pemberian susu melalui hidung (diteteskan), karena kepala adalah rongga.

Imam Syafi’i berkata: Jika ada yang bertanya, “Mengapa tidak diharamkan dengan satu kali susuan, padahal sebagian ulama terdahulu mengatakan itu mengharamkan?” Dijawab: Dengan apa yang kami riwayatkan bahwa Aisyah meriwayatkan bahwa kitab (Al-Qur’an) mengharamkan sepuluh kali susuan, lalu dihapus dengan lima kali, dan dengan apa yang kami riwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Satu atau dua kali susuan tidak mengharamkan,” dan Rasulullah SAW memerintahkan Salim untuk menyusu lima kali agar haram karenanya.

Maka apa yang diriwayatkan Aisyah dalam kitab dan apa yang dikatakan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa persusuan tidak mengharamkan dengan nama persusuan yang paling sedikit. Dan tidak ada hujah (argumen) dari siapa pun bersama Nabi SAW. Sebagian ulama terdahulu telah berkata dengan apa yang diriwayatkan Aisyah dalam kitab lalu dalam sunnah, dan itu cukup dengan apa yang diriwayatkan Aisyah dalam kitab lalu dalam sunnah.

Jika ada yang bertanya, “Apa yang menyerupai ini?” Dijawab: Firman Allah Azza wa Jalla: “Laki-laki pencuri dan perempuan pencuri, potonglah tangan keduanya.” [Al-Maidah: 38]. Maka Nabi SAW menetapkan pemotongan tangan pada seperempat dinar dan pencurian dari tempat penyimpanan.

Dan Allah Ta’ala berfirman: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera.” [An-Nur: 2]. Maka Nabi SAW merajam pezina yang sudah menikah dan tidak menderanya. Maka kami berdalil dengan sunnah Rasulullah SAW bahwa yang dimaksud dengan pemotongan tangan dari pencuri dan seratus dera dari pezina adalah sebagian pezina, bukan semua, dan sebagian pencuri, bukan semua, bukan orang yang terkena nama pencurian dan zina. Demikian pula kami berdalil dengan sunnah Rasulullah SAW bahwa yang dimaksud dengan pengharaman persusuan adalah sebagian orang yang menyusui, bukan semua, bukan orang yang terkena nama persusuan.

Persusuan Orang Dewasa

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab bahwa dia ditanya tentang persusuan orang dewasa. Dia berkata: Urwah bin Az-Zubair memberitahu saya bahwa Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, yang termasuk sahabat Nabi SAW dan telah menyaksikan Badar, telah mengangkat Salim sebagai anak angkat, yang disebut Salim maula Abu Hudzaifah, sebagaimana Rasulullah SAW mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat.

Abu Hudzaifah menikahi Salim, dan dia menganggapnya sebagai putranya, lalu dia menikahkan Salim dengan putri saudaranya, Fatimah binti Al-Walid bin Utbah bin Rabi’ah, yang pada waktu itu termasuk wanita Muhajirah pertama dan pada waktu itu termasuk janda Quraisy terbaik.

Ketika Allah Azza wa Jalla menurunkan apa yang Dia turunkan tentang Zaid bin Haritsah, Dia berfirman: “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama ayah-ayah mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka (panggillah mereka) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” [Al-Ahzab: 5]. Maka setiap orang yang diangkat anak angkat dikembalikan kepada ayahnya. Jika ayahnya tidak diketahui, dia dikembalikan kepada maulanya.

Lalu datanglah Sahla binti Suhail, istri Abu Hudzaifah, yang berasal dari Bani Amir bin Lu’ay, kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, kami dulu menganggap Salim sebagai anak, dan dia masuk kepadaku sedangkan aku dalam keadaan terbuka (tidak berhijab) dan kami hanya punya satu rumah. Apa pendapatmu tentang masalahnya?” Rasulullah SAW bersabda – sebagaimana yang sampai kepada kami – “Susui dia lima kali agar dia menjadi mahram karena susunya.” Lalu dia melakukannya, dan dia menganggapnya sebagai anak dari persusuan.

Aisyah mengambil hukum ini untuk orang-orang yang dia sukai untuk masuk kepadanya dari kalangan laki-laki. Dia memerintahkan saudara perempuannya, Ummu Kultsum, dan putri-putri saudara laki-lakinya untuk menyusui siapa pun yang dia sukai untuk masuk kepadanya dari kalangan laki-laki dan wanita. Namun, istri-istri Nabi SAW lainnya menolak orang lain masuk kepada mereka dengan persusuan itu. Mereka berkata, “Kami tidak melihat apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kepada Sahla binti Suhail kecuali sebagai keringanan khusus untuk Salim saja dari Rasulullah SAW. Tidak ada seorang pun yang boleh masuk kepada kami dengan persusuan ini.”

Dengan riwayat ini, istri-istri Nabi SAW bersikap tentang persusuan orang dewasa. Imam Syafi’i berkata: Ini, wallahu ta’ala a’lam, khusus untuk Salim maula Abu Hudzaifah.

Imam Syafi’i berkata: Jika ada yang bertanya, “Apa yang menunjukkan apa yang Anda jelaskan?” Imam Syafi’i berkata: Saya menyebutkan hadits Salim yang disebut maula Abu Hudzaifah dari Ummu Salamah dari Nabi SAW bahwa beliau memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusuinya lima kali agar dia menjadi mahram. Ummu Salamah berkata dalam hadits itu, “Dan itu khusus untuk Salim.”

Jika ini khusus untuk Salim, maka yang khusus tidak lain adalah pengecualian dari hukum umum. Dan jika itu adalah pengecualian dari hukum umum, maka yang khusus tidak sama dengan yang umum. Dan dalam hukum umum, persusuan orang dewasa tidak mengharamkan, dan pasti jika ada perbedaan persusuan antara anak kecil dan orang dewasa, maka harus dicari dalil tentang waktu kapan orang yang disusui jika disusui tidak mengharamkan.

Imam Syafi’i berkata: Dalil tentang perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa terdapat dalam Kitabullah Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi siapa yang ingin menyempurnakan persusuan.” [Al-Baqarah: 233]. Maka Allah Azza wa Jalla menjadikan kesempurnaan persusuan adalah dua tahun penuh.

Dan Dia berfirman: “Kemudian jika keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan kerelaan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya.” [Al-Baqarah: 233]. Maksudnya, wallahu ta’ala a’lam, sebelum dua tahun. Ini menunjukkan bahwa izin-Nya Azza wa Jalla dalam menyapih sebelum dua tahun adalah bahwa hal itu hanya terjadi dengan kesepakatan keduanya untuk menyapih sebelum dua tahun. Dan itu tidak akan terjadi, wallahu ta’ala a’lam, kecuali dengan melihat kepentingan bayi dari kedua orang tuanya, yaitu keduanya berpendapat bahwa menyapihnya sebelum dua tahun lebih baik baginya daripada menyempurnakan persusuan baginya karena suatu penyakit yang menimpanya atau pada wanita yang menyusuinya, dan dia tidak menerima susu dari selainnya atau yang serupa.

Dan apa yang Allah Ta’ala tetapkan batasnya dengan hukum setelah batas waktu itu berlalu, berbeda dengan sebelum batas waktu itu berlalu.

Jika ada yang bertanya, “Apa itu?” Dijawab: Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak ada dosa bagimu untuk mengqasar salat.” [An-Nisa: 101]. Maka mereka boleh mengqasar salat saat bepergian, dan syarat mengqasar bagi mereka dalam keadaan tertentu adalah bukti bahwa hukum mereka dalam keadaan selain itu bukanlah qasar.

Dan Dia Ta’ala berfirman: “Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” [Al-Baqarah: 228]. Maka ketika tiga kali quru’ telah berlalu, hukum mereka setelah berlalu itu berbeda dengan hukum mereka selama itu.

Imam Syafi’i berkata: Jika ada yang berkata, “Urwah telah berkata bahwa selain Aisyah dari istri-istri Nabi SAW berkata, ‘Kami tidak melihat ini dari Nabi SAW kecuali keringanan untuk Salim saja.'” Dijawab: Perkataan Urwah dari sekelompok istri Nabi SAW selain Aisyah tidak bertentangan dengan perkataan Zainab dari ibunya bahwa itu adalah keringanan, dengan perkataan Ummu Salamah dalam hadits bahwa itu adalah kekhususan, dan tambahan perkataan selain mereka, “Kami tidak melihatnya kecuali sebagai keringanan,” dengan apa yang saya jelaskan dari dalil Al-Qur’an. Dan saya telah hafal dari beberapa ahli ilmu yang saya temui bahwa persusuan Salim adalah khusus.

Jika ada yang bertanya, “Apakah ada riwayat dari salah seorang sahabat Nabi SAW tentang apa yang Anda katakan mengenai persusuan orang dewasa?” Dijawab: Ya.

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Anas dari Abdullah bin Dinar, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar, dan saya bersamanya di rumah pengadilan, menanyakan tentang persusuan orang dewasa. Ibnu Umar berkata: Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab dan berkata, “Saya punya budak perempuan, saya biasa berhubungan intim dengannya. Lalu istri saya menyusuinya. Saya mendatanginya, lalu dia berkata, ‘Jangan dekati, demi Allah, saya telah menyusuinya.'” Umar bin Khattab berkata, “Sakiti dia dan datangi budakmu, karena sesungguhnya persusuan itu adalah persusuan anak kecil.”

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia biasa berkata: “Tidak ada persusuan kecuali bagi orang yang disusui saat kecil.”

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Yahya bin Sa’id bahwa Abu Musa berkata: “Persusuan orang dewasa, saya kira itu mengharamkan.” Ibnu Mas’ud berkata, “Lihatlah apa yang difatwakan oleh laki-laki itu.” Abu Musa berkata, “Apa pendapatmu?” Dia berkata: “Tidak ada persusuan kecuali yang terjadi dalam dua tahun pertama.” Abu Musa berkata: “Jangan tanya saya tentang apa pun selama ulama ini (Ibnu Mas’ud) ada di antara kalian.”

Imam Syafi’i berkata: Kesimpulan perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa adalah bahwa persusuan terjadi dalam dua tahun pertama. Jika bayi disusui dalam dua tahun pertama lima kali susuan sebagaimana yang saya jelaskan, maka persusuan yang mengharamkan telah sempurna.

Pemberian Susu Selain Menyusu Langsung dan Persusuan Campuran

Imam Syafi’i berkata: Sama saja apakah bayi disusui kurang dari dua tahun, lalu persusuannya terputus, lalu disusui lagi sebelum dua tahun, atau persusuannya berlanjut sampai wanita lain menyusuinya dalam dua tahun pertama lima kali susuan. Jika persusuannya berlanjut dan tidak terpisah tiga tahun, atau dua tahun, atau enam bulan, atau kurang atau lebih, lalu dia disusui setelah dua tahun, maka persusuan itu tidak mengharamkan apa pun, dan itu sama seperti makanan dan minuman.

Jika dia disusui empat kali dalam dua tahun pertama dan kelima atau lebih setelah dua tahun, maka tidak mengharamkan. Dan tidak ada yang mengharamkan dari persusuan kecuali apa yang telah mencapai lima kali susuan dalam dua tahun pertama.

Sama saja dalam hal yang mengharamkan persusuan dan pemberian susu melalui mulut (dijejalkan). Jika bayi dicampur susu dalam makanan dan dia memakannya, baik susu itu lebih dominan atau makanan, jika susu itu sampai ke perutnya. Sama saja apakah susu itu dicampur dengan banyak air atau sedikit, jika sampai ke perutnya, maka itu semua sama seperti persusuan.

Jika susu itu dibuat keju untuknya lalu dia makan keju, maka itu sama seperti persusuan. Demikian pula jika dia diberi susu melalui hidung (diteteskan) karena kepala adalah rongga.

Imam Syafi’i berkata: Jika ada yang bertanya, “Mengapa tidak diharamkan dengan satu kali susuan, padahal sebagian ulama terdahulu mengatakan itu mengharamkan?” Dijawab: Dengan apa yang kami riwayatkan bahwa Aisyah meriwayatkan bahwa kitab (Al-Qur’an) mengharamkan sepuluh kali susuan, lalu dihapus dengan lima kali, dan dengan apa yang kami riwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Satu atau dua kali susuan tidak mengharamkan,” dan Rasulullah SAW memerintahkan Salim untuk menyusu lima kali agar haram karenanya.

Maka apa yang diriwayatkan Aisyah dalam kitab dan apa yang dikatakan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa persusuan tidak mengharamkan dengan nama persusuan yang paling sedikit. Dan tidak ada hujah (argumen) dari siapa pun bersama Nabi SAW. Sebagian ulama terdahulu telah berkata dengan apa yang diriwayatkan Aisyah dalam kitab lalu dalam sunnah, dan itu cukup dengan apa yang diriwayatkan Aisyah dalam kitab lalu dalam sunnah.

Jika ada yang bertanya, “Apa yang menyerupai ini?” Dijawab: Firman Allah Azza wa Jalla: “Laki-laki pencuri dan perempuan pencuri, potonglah tangan keduanya.” [Al-Maidah: 38]. Maka Nabi SAW menetapkan pemotongan tangan pada seperempat dinar dan pencurian dari tempat penyimpanan.

Dan Allah Ta’ala berfirman: “Wanita yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera.” [An-Nur: 2]. Maka Nabi SAW merajam pezina yang sudah menikah dan tidak menderanya. Maka kami berdalil dengan sunnah Rasulullah SAW bahwa yang dimaksud dengan pemotongan tangan dari pencuri dan seratus dera dari pezina adalah sebagian pezina, bukan semua, dan sebagian pencuri, bukan semua, bukan orang yang terkena nama pencurian dan zina. Demikian pula kami berdalil dengan sunnah Rasulullah SAW bahwa yang dimaksud dengan pengharaman persusuan adalah sebagian orang yang menyusui, bukan semua, bukan orang yang terkena nama persusuan.

Persusuan Orang Dewasa

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Ibnu Syihab bahwa dia ditanya tentang persusuan orang dewasa. Dia berkata: Urwah bin Az-Zubair memberitahu saya bahwa Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah, yang termasuk sahabat Nabi SAW dan telah menyaksikan Badar, telah mengangkat Salim sebagai anak angkat, yang disebut Salim maula Abu Hudzaifah, sebagaimana Rasulullah SAW mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat.

Abu Hudzaifah menikahi Salim, dan dia menganggapnya sebagai putranya, lalu dia menikahkan Salim dengan putri saudaranya, Fatimah binti Al-Walid bin Utbah bin Rabi’ah, yang pada waktu itu termasuk wanita Muhajirah pertama dan pada waktu itu termasuk janda Quraisy terbaik.

Ketika Allah Azza wa Jalla menurunkan apa yang Dia turunkan tentang Zaid bin Haritsah, Dia berfirman: “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama ayah-ayah mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui ayah-ayah mereka, maka (panggillah mereka) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.” [Al-Ahzab: 5]. Maka setiap orang yang diangkat anak angkat dikembalikan kepada ayahnya. Jika ayahnya tidak diketahui, dia dikembalikan kepada maulanya.

Lalu datanglah Sahla binti Suhail, istri Abu Hudzaifah, yang berasal dari Bani Amir bin Lu’ay, kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, kami dulu menganggap Salim sebagai anak, dan dia masuk kepadaku sedangkan aku dalam keadaan terbuka (tidak berhijab) dan kami hanya punya satu rumah. Apa pendapatmu tentang masalahnya?” Rasulullah SAW bersabda – sebagaimana yang sampai kepada kami – “Susui dia lima kali agar dia menjadi mahram karena susunya.” Lalu dia melakukannya, dan dia menganggapnya sebagai anak dari persusuan.

Aisyah mengambil hukum ini untuk orang-orang yang dia sukai untuk masuk kepadanya dari kalangan laki-laki. Dia memerintahkan saudara perempuannya, Ummu Kultsum, dan putri-putri saudara laki-lakinya untuk menyusui siapa pun yang dia sukai untuk masuk kepadanya dari kalangan laki-laki dan wanita. Namun, istri-istri Nabi SAW lainnya menolak orang lain masuk kepada mereka dengan persusuan itu. Mereka berkata, “Kami tidak melihat apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kepada Sahla binti Suhail kecuali sebagai keringanan khusus untuk Salim saja dari Rasulullah SAW. Tidak ada seorang pun yang boleh masuk kepada kami dengan persusuan ini.”

Dengan riwayat ini, istri-istri Nabi SAW bersikap tentang persusuan orang dewasa. Imam Syafi’i berkata: Ini, wallahu ta’ala a’lam, khusus untuk Salim maula Abu Hudzaifah.

Imam Syafi’i berkata: Jika ada yang bertanya, “Apa yang menunjukkan apa yang Anda jelaskan?” Imam Syafi’i berkata: Saya menyebutkan hadits Salim yang disebut maula Abu Hudzaifah dari Ummu Salamah dari Nabi SAW bahwa beliau memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusuinya lima kali agar dia menjadi mahram. Ummu Salamah berkata dalam hadits itu, “Dan itu khusus untuk Salim.”

Jika ini khusus untuk Salim, maka yang khusus tidak lain adalah pengecualian dari hukum umum. Dan jika itu adalah pengecualian dari hukum umum, maka yang khusus tidak sama dengan yang umum. Dan dalam hukum umum, persusuan orang dewasa tidak mengharamkan, dan pasti jika ada perbedaan persusuan antara anak kecil dan orang dewasa, maka harus dicari dalil tentang waktu kapan orang yang disusui jika disusui tidak mengharamkan.

Imam Syafi’i berkata: Dalil tentang perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa terdapat dalam Kitabullah Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi siapa yang ingin menyempurnakan persusuan.” [Al-Baqarah: 233]. Maka Allah Azza wa Jalla menjadikan kesempurnaan persusuan adalah dua tahun penuh.

Dan Dia berfirman: “Kemudian jika keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan kerelaan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya.” [Al-Baqarah: 233]. Maksudnya, wallahu ta’ala a’lam, sebelum dua tahun. Ini menunjukkan bahwa izin-Nya Azza wa Jalla dalam menyapih sebelum dua tahun adalah bahwa hal itu hanya terjadi dengan kesepakatan keduanya untuk menyapih sebelum dua tahun. Dan itu tidak akan terjadi, wallahu ta’ala a’lam, kecuali dengan melihat kepentingan bayi dari kedua orang tuanya, yaitu keduanya berpendapat bahwa menyapihnya sebelum dua tahun lebih baik baginya daripada menyempurnakan persusuan baginya karena suatu penyakit yang menimpanya atau pada wanita yang menyusuinya, dan dia tidak menerima susu dari selainnya atau yang serupa.

Dan apa yang Allah Ta’ala tetapkan batasnya dengan hukum setelah batas waktu itu berlalu, berbeda dengan sebelum batas waktu itu berlalu.

Jika ada yang bertanya, “Apa itu?” Dijawab: Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak ada dosa bagimu untuk mengqasar salat.” [An-Nisa: 101]. Maka mereka boleh mengqasar salat saat bepergian, dan syarat mengqasar bagi mereka dalam keadaan tertentu adalah bukti bahwa hukum mereka dalam keadaan selain itu bukanlah qasar.

Dan Dia Ta’ala berfirman: “Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” [Al-Baqarah: 228]. Maka ketika tiga kali quru’ telah berlalu, hukum mereka setelah berlalu itu berbeda dengan hukum mereka selama itu.

Imam Syafi’i berkata: Jika ada yang berkata, “Urwah telah berkata bahwa selain Aisyah dari istri-istri Nabi SAW berkata, ‘Kami tidak melihat ini dari Nabi SAW kecuali keringanan untuk Salim saja.'” Dijawab: Perkataan Urwah dari sekelompok istri Nabi SAW selain Aisyah tidak bertentangan dengan perkataan Zainab dari ibunya bahwa itu adalah keringanan, dengan perkataan Ummu Salamah dalam hadits bahwa itu adalah kekhususan, dan tambahan perkataan selain mereka, “Kami tidak melihatnya kecuali sebagai keringanan,” dengan apa yang saya jelaskan dari dalil Al-Qur’an. Dan saya telah hafal dari beberapa ahli ilmu yang saya temui bahwa persusuan Salim adalah khusus.

Jika ada yang bertanya, “Apakah ada riwayat dari salah seorang sahabat Nabi SAW tentang apa yang Anda katakan mengenai persusuan orang dewasa?” Dijawab: Ya.

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Anas dari Abdullah bin Dinar, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Ibnu Umar, dan saya bersamanya di rumah pengadilan, menanyakan tentang persusuan orang dewasa. Ibnu Umar berkata: Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Khattab dan berkata, “Saya punya budak perempuan, saya biasa berhubungan intim dengannya. Lalu istri saya menyusuinya. Saya mendatanginya, lalu dia berkata, ‘Jangan dekati, demi Allah, saya telah menyusuinya.'” Umar bin Khattab berkata, “Sakiti dia dan datangi budakmu, karena sesungguhnya persusuan itu adalah persusuan anak kecil.”

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa dia biasa berkata: “Tidak ada persusuan kecuali bagi orang yang disusui saat kecil.”

Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Yahya bin Sa’id bahwa Abu Musa berkata: “Persusuan orang dewasa, saya kira itu mengharamkan.” Ibnu Mas’ud berkata, “Lihatlah apa yang difatwakan oleh laki-laki itu.” Abu Musa berkata, “Apa pendapatmu?” Dia berkata: “Tidak ada persusuan kecuali apa yang terjadi dalam dua tahun pertama.” Abu Musa berkata: “Jangan tanya saya tentang apa pun selama ulama ini (Ibnu Mas’ud) ada di antara kalian.”

Imam Syafi’i berkata: Kesimpulan perbedaan antara anak kecil dan orang dewasa adalah bahwa persusuan terjadi dalam dua tahun pertama. Jika bayi disusui dalam dua tahun pertama lima kali susuan sebagaimana yang saya jelaskan, maka persusuan yang mengharamkan telah sempurna.

 

Mengenai Air Susu Wanita dan Pria

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Air susu, jika berasal dari kehamilan—dan saya rasa tidak akan ada kecuali dari kehamilan—maka air susu itu milik laki-laki dan wanita, sebagaimana anak itu milik laki-laki dan wanita. Perhatikanlah wanita yang memiliki air susu. Jika air susunya keluar karena anak dari seorang laki-laki, maka anak itu dinasabkan kepada ayahnya, karena kehamilannya dari laki-laki itu. Jika seorang bayi disusui dengan air susu itu, maka bayi yang disusui itu adalah anak laki-laki yang anaknya adalah anak dari nasabnya, sebagaimana ditetapkan bagi wanita dan sebagaimana anak itu ditetapkan dari dia (ayah) dan darinya (ibu).

Jika air susu yang dipakai menyusui bayi itu adalah air susu dari anak yang nasabnya tidak sah dari laki-laki yang menjadi penyebab kehamilan, maka air susu itu tidak sah. Maka bayi yang disusui itu tidak menjadi anak dari laki-laki yang menjadi penyebab kehamilan jika nasab yang lebih besar darinya telah gugur, maka air susu yang disamakan dengan nasab dalam pengharaman juga gugur. Karena Nabi SAW bersabda, “Diharamkan dari persusuan apa yang diharamkan dari nasab.” Dan dengan riwayat Aisyah tentang pengharamannya dalam Al-Qur’an.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita melahirkan anak hasil zina, baik yang berzina itu mengakuinya atau tidak, lalu dia menyusui seorang bayi, maka bayi itu adalah anaknya dan bukan anak dari orang yang berzina dengannya. Saya tidak menyukainya, demi kehati-hatian, untuk menikahi anak-anak perempuan dari orang yang melahirkan anak hasil zina, sebagaimana saya tidak menyukainya untuk anak hasil zina. Meskipun dia menikahi salah satu dari anak perempuannya, saya tidak akan membatalkan pernikahan itu karena dia (anak hasil zina) bukan anaknya menurut hukum Rasulullah SAW.

Jika ada yang bertanya, “Apakah ada dalil untuk apa yang Anda jelaskan?” Dijawab: Ya. Nabi SAW memutuskan bahwa anak budak Zam’ah adalah milik Zam’ah dan memerintahkan Saudah untuk berhijab darinya karena beliau melihat kemiripannya dengan Utbah. Beliau tidak melihatnya, dan beliau telah memutuskan bahwa dia adalah saudaranya sampai dia bertemu dengan Allah Azza wa Jalla, karena tidak melihatnya itu dibolehkan meskipun dia adalah saudaranya. Demikian pula, tidak melihat anak hasil pernikahan dari saudara perempuannya itu dibolehkan. Hanya saja yang menghalangi saya untuk membatalkan pernikahan itu adalah karena dia bukan anaknya jika berasal dari zina.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang gadis perawan yang belum pernah berhubungan badan, baik dengan pernikahan atau lainnya, atau seorang janda yang tidak diketahui kehamilannya oleh salah satu dari mereka, lalu air susu keluar dari mereka, lalu diperah dan keluar air susu, lalu mereka menyusui seorang bayi dengan air susu itu sebanyak lima kali susuan, maka dia adalah anak masing-masing dari mereka dan tidak memiliki ayah. Dan dia tidak termasuk dalam kategori anak hasil zina, meskipun dia memiliki ibu tetapi tidak memiliki ayah, karena air susu yang disusui itu tidak keluar dari hubungan badan.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita menyusui dan tidak diketahui suaminya, lalu seorang laki-laki datang dan mengaku bahwa dia telah menikahinya dengan sah, dan dia mengakui anak wanita itu, dan wanita itu mengakui pernikahannya dengannya, maka dia adalah anaknya sebagaimana anak itu.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita menikah dengan pernikahan fasid, lalu melahirkan anak dari pernikahan itu, dan pernikahan itu tanpa wali atau tanpa saksi yang adil, atau pernikahan fasid apa pun, kecuali jika dia menikah dalam masa iddahnya dari suami yang nasabnya sah atau dia hamil lalu keluar air susunya, lalu dia menyusui seorang bayi dengan air susu itu, maka bayi itu adalah anak laki-laki yang menikah dengan pernikahan fasid dan wanita yang menyusui itu, sebagaimana kehamilan adalah anak dari orang yang menikah dengan pernikahan sah.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita menikah dalam masa iddahnya – dari kematian suami yang sah atau fasid atau talaknya – dengan seorang laki-laki dan dia berhubungan intim dengannya dalam masa iddahnya, lalu dia hamil dan keluar air susunya, atau melahirkan lalu dia menyusui seorang bayi dengan air susu itu, maka dia adalah anaknya. Dan yang lebih mungkin menurut saya, wallahu ta’ala a’lam, adalah bahwa dia dianggap sebagai anak dari kedua laki-laki itu (suami pertama dan suami kedua) sampai anaknya diperiksa oleh qafah (ahli nasab). Siapa pun dari kedua laki-laki itu yang ditetapkan oleh qafah sebagai ayahnya, maka anak itu dinasabkan kepadanya, dan bayi yang disusui itu adalah anak dari orang yang nasabnya ditetapkan sebagai ayah, dan keayahan dari orang yang nasab anaknya gugur juga gugur.

Imam Syafi’i berkata: Jika kehamilan wanita itu adalah keguguran yang bentuknya belum jelas, atau dia melahirkan anak lalu meninggal sebelum dilihat oleh qafah, lalu dia menyusui seorang bayi, maka bayi yang disusui itu tidak menjadi anak salah satu dari mereka tanpa yang lain dalam hukum, sebagaimana bayi itu tidak menjadi anak salah satu dari mereka tanpa yang lain dalam hukum.

Yang lebih berhati-hati adalah tidak menikahi putri salah satu dari mereka, dan tidak melihat putri mereka dalam keadaan terbuka, tidak juga wanita yang menyusui jika dia seorang budak, dan tidak menjadi mahram bagi mereka sehingga boleh berduaan atau bepergian bersama mereka.

Jika bayi itu hidup sampai dilihat oleh qafah dan mereka berkata bahwa dia adalah anak keduanya, maka masalah bayi itu ditunda, dan dia boleh memilih dinasabkan kepada siapa pun yang dia inginkan. Jika dia dinasabkan kepada salah satu dari mereka, maka keayahan dari orang yang tidak dipilih untuk dinasabkan akan terputus darinya, dan dia tidak boleh tidak dinasabkan kepada salah satu dari mereka, dia dipaksa untuk dinasabkan kepada salah satu dari mereka.

Jika dia meninggal sebelum dinasabkan atau mencapai usia baligh dalam keadaan gila, maka dia tidak dinasabkan kepada salah satu dari mereka sampai dia meninggal dan memiliki anak, lalu anak-anaknya menempati posisinya dalam memilih dinasabkan kepada salah satu dari mereka. Atau dia tidak memiliki anak, sehingga warisannya ditunda.

Imam Syafi’i berkata: Ini adalah masalah yang memiliki dua pendapat:

  1. Orang yang disusui berbeda dengan anak (nasab) karena anak (nasab) memiliki hak waris, ‘aql (denda darah), perwalian atas darah, pernikahan putri-putri, dan hukum-hukum anak lainnya atas ayahnya dan ayahnya atas anaknya, sedangkan orang yang disusui tidak memiliki hak-hak tersebut atas anak yang dia susui, tidak juga anak yang dia susui atasnya. Dan mungkin alasan mengapa dia tidak dianggap anak keduanya adalah karena alasan ini. Siapa pun yang mengambil pendapat ini menjadikan orang yang disusui sebagai anak keduanya dan tidak memberinya pilihan untuk menjadi anak salah satu dari mereka tanpa yang lain, dan dia mengatakan itu dalam masalah-masalah sebelumnya yang serupa maknanya.
  2. Pilihan ada pada anak. Siapa pun yang dipilih oleh anak untuk menjadi ayahnya, maka dia adalah ayahnya dan ayah dari orang yang disusui. Dan orang yang disusui tidak boleh memilih selain yang dipilih oleh bayi itu, karena persusuan mengikuti nasab. Jika bayi itu meninggal dan belum memilih, maka orang yang disusui boleh memilih salah satu dari mereka, lalu dia menjadi ayahnya, dan keayahan yang lain terputus darinya. Yang lebih berhati-hati adalah tidak menikahi putri yang lain dan tidak menjadi mahram bagi mereka dengan terputusnya keayahannya darinya.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita menyusui seorang laki-laki dengan air susu dari anak, lalu ayah bayi itu menolak nasab darinya dan melaknatnya, sehingga nasabnya ditolak darinya, maka dia bukan ayah bagi orang yang disusui. Jika ayah itu kembali dan menasabkannya kepadanya, maka dia dihukum dan anak itu dinasabkan kepadanya, dan dia kembali menjadi ayah dari orang yang disusui dari persusuan.

Hukum Air Susu Pasca Talak atau Kematian Suami

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita diceraikan oleh suaminya dan dia telah berhubungan intim dengannya, atau suaminya meninggal dan dia sedang menyusui, dan dia mengalami haid selama menyusui itu sebanyak tiga kali haid dan air susunya terus-menerus keluar, lalu dia menyusui seorang bayi, maka bayi itu adalah anaknya dan anak dari suami yang menceraikan atau meninggal. Dan air susu itu darinya karena tidak ada suami lain baginya.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia menikah lagi setelah air susunya berhenti atau sebelumnya, lalu air susunya berhenti dan suami itu berhubungan intim dengannya, lalu air susunya keluar lagi dan tidak tampak tanda kehamilan padanya, maka air susu itu berasal dari suami pertama, dan siapa pun yang dia susui adalah anaknya dan anak suami pertama, dan bukan anak suami yang lain.

Imam Syafi’i berkata: Jika suami yang lain menghamilinya setelah air susunya berhenti dari suami pertama, lalu air susunya keluar lagi, maka wanita-wanita (yang ahli) ditanya tentang waktu air susu keluar lagi dan tampak kehamilan. Jika mereka berkata, “Kehamilan itu jika berasal dari wanita perawan atau janda yang belum pernah melahirkan sama sekali, atau wanita yang sudah melahirkan, air susunya tidak akan keluar pada waktu ini, melainkan akan keluar pada bulan kedelapan atau kesembilan kehamilannya,” maka air susu itu milik suami pertama. Jika air susunya terus-menerus keluar, maka dia adalah anak dari suami pertama selama itu masih dalam rentang waktu yang air susunya bisa keluar dari kehamilan suami yang lain.

Imam Syafi’i berkata: Jika air susunya keluar pada waktu yang air susunya bisa keluar dari kehamilan suami yang lain, maka air susu itu dari suami pertama dalam setiap keadaan, karena saya yakin akan air susu suami pertama dan ragu apakah bercampur dengan air susu suami yang lain. Saya tidak mengharamkan sesuatu karena keraguan. Dan saya lebih suka dia berhati-hati dalam menikahi putri-putri suami yang lain pada waktu itu.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki ragu apakah seorang wanita telah menyusuinya lima kali susuan, saya katakan: Yang lebih berhati-hati adalah dia menahan diri untuk tidak melihatnya tanpa hijab, dan dia bukan mahram baginya karena keraguan. Jika dia menikahinya atau salah satu dari putri-putrinya, saya tidak akan membatalkan pernikahan itu karena saya tidak yakin bahwa dia adalah ibu (sepersusuan).

Imam Syafi’i berkata: Jika air susunya telah berhenti dan tidak keluar lagi sampai kehamilan yang lain ini pada waktu yang air susunya mungkin keluar lagi dari yang lain, maka ada dua pendapat.

  1. Air susu itu dalam setiap keadaan dari yang pertama, meskipun keluar karena rangsangan nutfah (sperma) yang lain, itu seperti air susu yang keluar karena kasih sayang kepada bayi lalu air susunya deras, atau minum obat atau makan makanan yang meningkatkan air susu lalu air susunya deras.
  2. Jika air susunya berhenti dengan jelas lalu keluar lagi, maka itu dari yang lain. Dan jika air susu tidak keluar sama sekali dari yang lain yang bisa menyusui sampai ibunya melahirkan, maka itu dari yang pertama dalam semua pendapat ini. Jika tidak ada yang keluar yang bisa menyusui, meskipun sedikit, maka itu dari keduanya. Siapa pun yang tidak membedakan antara air susu dan anak (nasab) berkata, “Dia adalah anak dari yang pertama selamanya,” karena dia belum melahirkan anak dan bukan anak dari yang lain jika dia adalah anak dari yang pertama dari persusuan. Dan siapa pun yang membedakan antara keduanya berkata, “Dia adalah anak dari keduanya.”

Kondisi Khusus dalam Persusuan dan Akibatnya

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita diceraikan, lalu air susunya tidak berhenti dan dia haid saat menyusui, lalu dia haid tiga kali dan menikah dengan seorang suami, lalu dia berhubungan intim dengannya dan hamil, lalu air susunya tidak berhenti sampai dia melahirkan, maka kelahiran itu memutuskan air susu pertama. Dan siapa pun yang disusui olehnya adalah anaknya dan anak suami yang lain. Tidak halal baginya siapa pun yang dilahirkan olehnya, tidak juga anak dari suami yang lain, karena dia adalah ayahnya. Dan halal baginya anak dari suami pertama selain wanita yang menyusuinya karena dia bukan ayahnya.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang wanita menyusui seorang bayi empat kali susuan, lalu diperah air susu darinya, lalu dia meninggal, lalu bayi itu diberi minum air susu itu setelah kematiannya, maka dia adalah anaknya sebagaimana dia adalah anaknya jika dia menyusuinya lima kali saat hidup.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia menyusui yang kelima setelah kematiannya, atau diperah air susu darinya setelah kematiannya lalu diberi minum kepada bayi, maka tidak haram karena orang mati tidak memiliki perbuatan yang memiliki hukum dalam keadaan apa pun.

Jika dia tidur lalu diperah air susunya dan diberi minum kepada bayi, maka haram karena susu dari orang hidup itu halal dan susu dari orang mati itu tidak halal. Dan orang hidup yang tidur bisa melakukan tindak pidana jika dia berguling menimpa seseorang atau jatuh menimpanya lalu membunuhnya, maka ada ‘aql (denda darah) di dalamnya. Jika seseorang dibunuh oleh orang mati atau jatuh menimpanya lalu membunuhnya, maka tidak ada ‘aql baginya karena dia tidak memiliki tindak pidana.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia belum menyempurnakan lima kali susuan, lalu diperah banyak air susu darinya dan air susu itu disimpan, lalu diberi minum kepada bayi dua atau tiga kali sampai mencapai lima kali susuan, maka tidak haram karena itu adalah satu jenis air susu, dan itu hanya dihitung satu kali susuan, tidak seperti air susu yang keluar di payudara setiap kali keluar sesuatu, yang lain akan keluar, sehingga persusuan dibedakan sampai lima kali.

Ar-Rabi’ berkata: Dalam pendapat lain, jika dia diperah air susu darinya lalu bayi itu disusui berkali-kali, maka setiap kali dihitung satu susuan jika ada pemutusan yang jelas di antara setiap dua susuan. Itu seperti makanan jika dia makan lalu memutus makanan yang jelas, lalu dia kembali makan, maka itu dihitung dua kali makan meskipun makanan itu satu. Demikian pula jika persusuan terputus dari bayi dengan pemutusan yang jelas meskipun air susu itu satu.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki menikahi seorang gadis kecil, lalu ibunya yang melahirkannya, atau ibunya dari persusuan, atau putrinya dari nasab atau persusuan, atau istri anaknya dari nasab atau persusuan menyusui gadis kecil itu dengan susu anaknya, maka gadis kecil itu haram baginya selamanya. Dan dia berhak atas setengah mahar darinya. Dan dia berhak menagih kepada wanita yang menyusuinya setengah mahar sepadannya, baik dia sengaja merusak pernikahan atau tidak, karena setiap orang yang merusak sesuatu akan menanggung nilai kerugian yang dia rusak, baik dia sengaja merusak atau tidak. Dan nilainya adalah setengah mahar sepadannya, karena itu adalah nilai dari apa yang dia rusak darinya yang wajib bagi suaminya, baik lebih banyak dari setengah mahar yang dia berikan atau lebih sedikit, jika dia telah memberinya sesuatu atau tidak menyebutkan mahar, karena itu adalah jumlah minimal yang wajib baginya dalam setiap keadaan jika dia tidak menceraikannya sebelum menyebutkan sesuatu kepadanya.

Imam Syafi’i berkata: Yang menghalangi saya untuk mewajibkan dia mahar seluruhnya adalah bahwa perpisahan terjadi karena persusuannya, maka rusaknya pernikahannya bukan tindak pidana kecuali dalam arti merusak pernikahan. Dan rusaknya pernikahan itu terjadi dengan persusuan yang sebelum pernikahannya itu halal baginya, dan setelah pernikahannya itu adalah kerusakan baginya. Karena itu adalah kerusakan baginya, saya mewajibkannya apa yang wajib bagi suami dalam akad pernikahan aslinya, yaitu setengah mahar sepadannya.

Yang menghalangi saya untuk mewajibkan dia setengah mahar yang wajib baginya dengan penyebutannya adalah bahwa itu adalah sesuatu yang dia berikan dari hartanya, dan dia hanya diwajibkan untuk mengganti jika dia merusak sesuatu yang dia konsumsi dari apa yang wajib baginya, dan saya tidak menambahkan apa pun kepadanya atas apa yang wajib baginya, seperti jika dia membeli barang dengan seratus (dinar) lalu menghabiskannya dan nilainya lima puluh (dinar), dia tidak diwajibkan seratus (dinar).

Yang menghalangi saya untuk mewajibkan dia kurang dari setengah mahar sepadannya atau apa yang disebutkan kepadanya adalah bahwa jika ayahnya memberikan diskon dalam maharnya, maka dia wajib setengah mahar sepadannya. Maka saya tidak mewajibkannya kecuali apa yang wajib baginya atau lebih sedikit jika nilai setengah mahar sepadannya lebih sedikit dari apa yang dia berikan.

Yang menghalangi saya untuk menggugurkan kewajiban ganti rugi darinya, meskipun tidak ditetapkan mahar baginya, adalah karena itu adalah hak baginya atasnya seperti setengah mahar sepadannya jika dia diceraikan. Dan karena saya tidak mengizinkan ayahnya memberikan diskon dalam maharnya, maka saya mewajibkannya apa yang wajib baginya dalam setiap keadaan, dan saya membatalkan diskonnya seperti hibah.

Dan wanita hanya berhak mendapatkan mut’ah (hadiah hiburan) jika diceraikan dan tidak disebutkan mahar baginya jika dia memiliki hartanya, sebagaimana dia memiliki hak pemaafan. Adapun gadis kecil, dia tidak memiliki hartanya, dan ayahnya tidak boleh memberikan diskon dalam hartanya.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan belum berhubungan intim dengannya sampai dia menikahi seorang gadis kecil yang sedang menyusu, lalu istrinya menyusui gadis kecil itu, maka wanita itu haram baginya selamanya karena dia termasuk ibu dari istri-istrinya. Dan tidak ada setengah mahar atau mut’ah baginya karena dia merusak pernikahannya sendiri. Dan pernikahan gadis kecil itu batal tanpa talak karena dia telah menjadi miliknya dan ibunya bersamanya. Dan karena wanita yang menyusui itu tidak menjadi ibunya dan ini adalah putrinya kecuali pada waktu tertentu, maka dalam hal ini mereka seperti orang yang memulai menikahi seorang wanita dan putrinya, maka dia berhak atas setengah mahar karena rusaknya pernikahan, lalu dia berhak menagih kepada istrinya yang menyusuinya setengah mahar sepadannya.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia menikahi dua gadis kecil, lalu istrinya menyusui keduanya lima kali susuan secara bersamaan, maka pernikahan ibu itu batal sebagaimana yang saya jelaskan, dan pernikahan kedua gadis kecil itu juga batal. Dan masing-masing dari mereka berhak atas setengah mahar yang disebutkan kepadanya, dan dia berhak menagih kepada istrinya setengah mahar sepadan masing-masing dari mereka. Jika tidak disebutkan mahar bagi mereka, maka masing-masing dari mereka berhak atas setengah mahar sepadannya, dan masing-masing dari mereka halal baginya secara terpisah karena mereka adalah putri dari wanita yang belum dia berhubungan intim dengannya.

Jika dia memiliki tiga istri gadis kecil, lalu dia menyusui dua di antaranya lima kali susuan secara bersamaan, lalu dia memisahkan satu dan menyusui yang ketiga, maka yang ketiga tidak haram, dan dua yang disusui lima kali susuan secara bersamaan itu haram, karena yang ketiga tidak menyusu kecuali setelah dua ini haram baginya dan ibunya haram baginya. Maka yang ketiga bukan saudara bagi kedua wanita itu kecuali setelah keduanya haram baginya, dan bukan disusui lima kali susuan dari ibu kecuali setelah ibu itu berpisah darinya.

Jika salah satu dari mereka disusui lima kali susuan, lalu dia menyusui yang lain lima kali susuan, maka ibu itu haram baginya saat dia menyusui yang pertama lima kali susuan karena dia menjadi ibu dari istri-istrinya. Dan dua yang disusui lima kali susuan secara bersamaan kepada ibu, dan dia tidak menjadi ibu kecuali setelah anak perempuan itu menikah dengan laki-laki pada waktu yang sama. Dan kedua itu adalah saudara perempuan, maka pernikahan keduanya batal secara bersamaan. Dan kedua itu haram setelah beberapa waktu, mereka menjadi saudara perempuan secara bersamaan. Jika dia menyusui yang lain setelah terpisah, maka tidak haram baginya secara bersamaan karena dia tidak menyusui salah satu dari mereka kecuali setelah dia dan yang pertama berpisah darinya. Tetapi akad wanita yang dia susui setelah yang pertama berpisah itu sah, dan pernikahan wanita yang dia susui setelah itu gugur karena dia adalah saudara perempuan istrinya, maka dia seperti wanita yang dinikahi atas saudara perempuannya.

Ar-Rabi’ berkata: Dan dalam pendapat lain, jika dia menyusui yang keempat lima kali susuan, maka yang ketiga dan keempat telah menyempurnakan lima kali susuan, dan dengan itu yang keempat haram, maka seolah-olah dia mengumpulkan dua saudara perempuan dari persusuan, maka keduanya batal secara bersamaan, dan dia boleh menikahi siapa pun yang dia inginkan dari mereka.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia menyusui satu lima kali susuan, lalu dia menyusui yang lain lima kali secara bersamaan, maka ibu itu haram baginya dalam setiap keadaan, dan pernikahan putri pertama dengan ibu itu batal baginya, dan dua yang lain haram karena mereka menjadi saudara perempuan pada waktu yang bersamaan.

Hukum-hukum Lanjutan Terkait Persusuan

Imam Syafi’i berkata: Jika ada tiga anak perempuan kecil dan satu yang belum dihubungi yang memiliki anak perempuan yang menyusui, lalu anak-anak perempuan yang menyusui itu menyusui anak-anak perempuan kecil satu per satu, maka pernikahan ibu itu batal dan tidak halal sama sekali. Dan dia berhak atas setengah mahar, dan suami berhak menagih kepada wanita yang pertama kali menyempurnakan lima kali susuan dari istrinya setengah mahar sepadannya dan setengah mahar sepadan ibunya. Jika mereka semua menyempurnakan persusuan secara bersamaan, maka pernikahan mereka semua batal secara bersamaan, dan dia berhak menagih kepada masing-masing dari mereka setengah mahar dari wanita yang disusui.

Imam Syafi’i berkata: Jika hanya satu yang menyempurnakan persusuannya lima kali sebelum tampak pembatalan pernikahan yang pertama kali menyempurnakan persusuannya, maka pernikahan yang menyempurnakan persusuannya setelah itu tidak batal karena dia tidak menyusu sampai ibunya dan saudaranya berpisah darinya. Kemudian pernikahan yang menyempurnakan persusuannya setelah itu dibatalkan karena dia menjadi saudara perempuan dari istri yang sah pernikahannya baginya, maka dia seperti saudara perempuan yang dinikahi atas saudara perempuannya.

Imam Syafi’i berkata: Demikian pula anak-anak perempuan dari persusuannya dan anak-anak perempuan dari anak-anak perempuannya, semuanya diharamkan dari persusuan mereka sebagaimana diharamkan dari persusuannya.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia telah berhubungan intim dengan istrinya dan istrinya telah menyusui mereka, atau anak istrinya telah menyusui mereka, maka istrinya berhak atas mahar karena hubungan intim, dan wanita yang telah menyusui mereka dan yang telah disusui oleh anaknya itu haram baginya. Sama saja apakah dia menyusui keduanya secara bersamaan atau menyusui ketiganya secara bersamaan atau terpisah-pisah, pernikahan mereka batal selamanya karena mereka adalah anak-anak dari wanita yang telah dihubungi intim. Demikian pula setiap orang yang disusui oleh wanita itu dan anaknya.

Imam Syafi’i berkata: Jika masalahnya sama dan dia belum berhubungan intim dengan istrinya, lalu ibu istrinya, atau neneknya, atau saudara perempuannya, atau putri saudara perempuannya menyusui mereka, maka hukumnya sama dengan hukum putri-putrinya jika mereka menyusui dan dia tidak menyusui. Pernikahannya batal, dan dia berhak atas setengah mahar sepadannya jika dia belum berhubungan intim dengannya. Dan dia berhak menagih kepada wanita yang pertama kali menyempurnakan lima kali susuan dari istrinya karena dia menjadikannya ibu dari istrinya, maka pernikahan wanita yang menyusui pertama kali dan istrinya yang dewasa batal secara bersamaan. Dan dia berhak menagih setengah mahar sepadan wanita yang pernikahannya batal.

Jika mereka menyusui secara bersamaan, maka pernikahan mereka semua batal, dan dia berhak menagih setengah mahar mereka. Ini tidak berbeda dengan masalah sebelumnya kecuali dalam satu hal: istri-istrinya yang kecil tidak haram baginya dalam setiap keadaan, dan dia boleh memulai pernikahan siapa pun yang dia inginkan secara terpisah karena orang-orang yang haram baginya atau haram darinya hanyalah saudara perempuan istrinya dari persusuan atau putri saudara perempuannya atau saudara perempuannya, maka haram untuk mengumpulkan mereka, tetapi tidak haram secara terpisah.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia telah berhubungan intim dengannya, maka pernikahan wanita yang disusui oleh ibu-ibunya itu haram dalam setiap keadaan, dan pernikahan wanita yang disusui oleh saudara-saudaranya dan putri saudara perempuannya itu tidak haram dalam setiap keadaan. Dan dia boleh menikahi wanita-wanita yang disusui oleh saudara-saudaranya jika dia mau secara terpisah. Dan dia membatalkan pernikahan yang pertama dari mereka dan istrinya secara bersamaan. Dan tidak batal pernikahan yang setelahnya karena mereka disusui setelah istrinya berpisah, maka dia tidak mengumpulkan mereka dengan bibinya atau bibi dari pihak ibu kecuali jika salah satu dari mereka atau dua orang disusui secara bersamaan, maka pernikahan keduanya batal karena mereka adalah saudara perempuan.

Bab Persaksian dan Pengakuan dalam Persusuan

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Saya tidak mengetahui seorang pun dari kalangan umum yang dihubungkan dengan ilmu yang berbeda pendapat bahwa kesaksian wanita dibolehkan dalam hal yang tidak halal bagi laki-laki selain mahram untuk sengaja melihatnya selain untuk kesaksian. Mereka mengatakan itu dalam hal kelahiran wanita dan cacatnya yang berada di bawah pakaiannya.

Persusuan menurut saya sama, tidak halal bagi selain mahram atau suami untuk sengaja melihat payudaranya, dan dia tidak bisa bersaksi atas persusuannya tanpa melihat payudaranya. Karena jika dia melihat seorang anak menyusu dan payudaranya tertutup, mungkin saja dia menyusu dari wadah yang dibentuk seperti payudara dan memiliki puting seperti puting payudara, lalu dimasukkan ke dalam lengan bajunya.

Maka kesaksian wanita dibolehkan dalam persusuan sebagaimana dibolehkan kesaksian mereka dalam kelahiran. Jika dua laki-laki yang adil atau satu laki-laki dan dua wanita melihat itu, maka kesaksian mereka dibolehkan dalam hal itu.

Kesaksian wanita tidak dibolehkan dalam hal yang mereka sendiri yang melihatnya kecuali jika mereka adalah wanita merdeka, adil, baligh, dan berjumlah empat orang. Karena Allah Azza wa Jalla ketika membolehkan kesaksian mereka dalam masalah hutang, Dia menjadikan dua wanita menempati posisi satu laki-laki. Dan pendapat sebagian besar mufti yang saya temui adalah bahwa kesaksian dua laki-laki itu sempurna dalam segala hal kecuali zina, maka dua wanita selalu menempati posisi satu laki-laki jika mereka dibolehkan.

Imam Syafi’i berkata: Diberitakan kepada kami oleh Muslim dari Ibnu Juraij dari Atha’, dia berkata: Tidak dibolehkan dari wanita kurang dari empat.

Imam Syafi’i berkata: Jika empat wanita bersaksi bahwa seorang wanita telah menyusui seorang wanita lima kali susuan dan menyusui suaminya lima kali susuan, atau suaminya mengakui bahwa dia telah menyusuinya lima kali, maka dia dipisahkan dari istrinya. Jika dia telah berhubungan intim dengannya, maka dia berhak atas mahar sepadannya. Jika dia belum berhubungan intim dengannya, maka dia tidak berhak atas setengah mahar atau mut’ah.

Imam Syafi’i berkata: Demikian pula jika di antara wanita-wanita itu ada saudara perempuan wanita, bibi dari pihak ayah, dan bibi dari pihak ibu, karena kesaksian mereka tidak ditolak kecuali kesaksian anak atau orang tua.

Imam Syafi’i berkata: Jika wanita itu menolak persusuan, dan di antara mereka (para saksi) ada putrinya dan ibunya, maka kesaksian mereka dibolehkan terhadapnya, baik suami menolaknya atau mengakuinya. Jika wanita itu menolak persusuan dan suami menolak atau tidak menolak, maka kesaksian ibunya tidak dibolehkan, tidak juga ibu-ibunya, tidak juga putrinya, tidak juga putri-putrinya. Sama saja ini sebelum akad nikah dan setelah akadnya, sebelum berhubungan intim dan setelahnya, tidak ada perbedaan. Tidak ada pemisahan antara wanita dan suami kecuali dengan kesaksian empat orang yang kesaksiannya dibolehkan terhadapnya, di mana tidak ada musuh bagi orang yang disaksikan atau tidak adil.

Imam Syafi’i berkata: Dibolehkan dalam hal itu kesaksian wanita yang menyusui karena dia tidak memiliki atau menanggung sesuatu yang dapat menolak kesaksiannya. Demikian pula dibolehkan kesaksian anaknya dan ibu-ibunya. Dan mereka ditunggu sampai mereka bersaksi bahwa mereka telah menyusui bayi itu lima kali susuan yang semuanya sampai ke perutnya, atau sesuatu dari masing-masing mereka sampai ke perutnya. Dan kesaksian mereka cukup untuk ini karena dalam kesaksian itu tidak ada yang bisa dilihat lebih dari melihat persusuan mereka dan pengetahuan mereka tentang sampainya air susu dengan apa yang mereka lihat dari luar persusuan.

Imam Syafi’i berkata: Jika bayi menyusu lalu muntah, maka itu sama seperti persusuannya dan penahanannya.

Imam Syafi’i berkata: Jika kesaksian empat wanita tentang persusuan tidak sempurna, saya menyukai dia untuk berpisah dengannya jika dia telah menikahinya, dan tidak menikahinya jika dia belum menikahinya, demi kehati-hatian. Karena meninggalkan apa yang halal baginya untuk dinikahi lebih baik daripada menikahi apa yang haram baginya.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia menikahinya, saya tidak akan memisahkan keduanya kecuali dengan apa yang saya putuskan sebagai kesaksian atas persusuan. Jika ada yang bertanya, “Apakah ada riwayat tentang ini dari Nabi SAW?” Dijawab: Ya. Diberitakan kepada kami oleh Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ibnu Juraij, dia berkata: Ibnu Abi Mulaikah memberitahu saya bahwa Uqbah bin Al-Harits memberitahunya bahwa dia menikahi Ummu Yahya binti Abi Aihab. Lalu seorang budak perempuan berkulit hitam berkata, “Saya telah menyusui kalian berdua.” Uqbah berkata, “Lalu saya datang kepada Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepada beliau, lalu beliau berpaling. Saya menyingkir, lalu saya menceritakan hal itu lagi kepada beliau, lalu beliau bersabda, ‘Bagaimana bisa kamu tetap bersama padahal dia telah mengaku menyusui kalian berdua?'”

Imam Syafi’i berkata: Palingnya beliau SAW menyerupai beliau tidak menganggap ini sebagai kesaksian yang mengikatnya. Dan perkataan beliau, “Bagaimana bisa kamu tetap bersama padahal dia telah mengaku menyusui kalian berdua?” menyerupai beliau tidak menyukai dia tetap bersama wanita itu padahal telah dikatakan bahwa dia adalah saudara perempuannya dari persusuan. Dan ini adalah makna dari apa yang kami katakan bahwa dia meninggalkannya karena kehati-hatian, bukan karena hukum.

Pengakuan dalam Persusuan

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Jika seorang laki-laki mengaku bahwa seorang wanita adalah ibunya dari persusuan, atau putrinya dari persusuan, dan dia tidak menikahi salah satu dari mereka, dan wanita yang dia klaim sebagai ibunya telah melahirkan, atau dia memiliki air susu yang dikenal seperti itu untuk orang yang disusui, dan dia memiliki usia yang memungkinkan dia untuk menyusui seperti itu jika dia melahirkan, dan dia (laki-laki itu) memiliki usia yang memungkinkan istrinya atau budaknya atau budaknya yang melahirkan darinya menyusui seperti yang dia akui sebagai putrinya, maka tidak halal baginya salah satu dari mereka selamanya dalam hukum, tidak juga dari putri-putri mereka.

Jika dia berkata, “Saya salah” atau “Saya keliru”, tidak diterima darinya karena dia telah mengaku bahwa mereka adalah mahram baginya sebelum ada kewajiban baginya atau bagi mereka. Demikian pula jika dia yang mengakuinya dan dia (laki-laki itu) mendustakannya, lalu dia berkata, “Saya salah,” karena dia mengakuinya dalam keadaan di mana dia tidak membela diri, tidak menarik kepadanya, dan tidak mewajibkan dirinya sendiri dengan pengakuan apa pun.

Imam Syafi’i berkata: Jika masalahnya sama, namun wanita yang dia akui menyusuinya itu belum melahirkan, atau dia melahirkan tetapi lebih muda darinya, sehingga dia tidak mungkin menyusui seperti dia dalam keadaan apa pun, atau wanita yang dia sebut sebagai putrinya dari persusuan itu usianya sama dengannya atau lebih tua darinya atau mendekati dia, sehingga tidak mungkin seperti dia menjadi putrinya dari persusuan, maka perkataan dia dan perkataannya dalam keadaan ini adalah batal, dan tidak haram baginya untuk menikahi salah satu dari mereka atau anak-anak mereka. Pengakuannya hanya diterima dan dia wajib atas pengakuannya dalam hal yang mungkin terjadi, dan sama saja apakah wanita itu mendustakannya atau membenarkannya, atau yang mengaku itu lebih rendah darinya. Tidakkah Anda melihat bahwa jika dia berkata kepada seorang laki-laki yang lebih tua darinya, “Ini anak saya,” dan laki-laki itu membenarkannya, maka dia tidak akan pernah menjadi anaknya. Demikian pula jika seorang laki-laki yang lebih muda darinya berkata, “Ini ayah saya,” dan laki-laki itu membenarkannya, dan tidak ada nasab di antara mereka yang diketahui, maka dia tidak akan menjadi ayahnya.

Saya hanya menerima dari ini apa yang mungkin terjadi. Jika masalahnya dalam klaimnya sama, lalu dia berkata, “Ini adalah saudara perempuan saya dari persusuan,” atau dia berkata, “Ini adalah saudara laki-laki saya dari persusuan,” sebelum dia menikahinya dan dia mendustakannya atau membenarkannya, atau dia mendustakannya dalam klaim itu atau membenarkannya, maka itu semua sama, dan tidak halal bagi salah satu dari mereka untuk menikahi yang lain atau salah satu dari anak-anak mereka dalam hukum. Dan halal di antara dia dan Allah Ta’ala jika mereka tahu bahwa mereka berdusta, untuk menikah atau anak-anak mereka.

Jika dia mengaku bahwa dia adalah saudara perempuannya dari persusuan dari wanita yang tidak dia sebutkan namanya, saya akan menerima itu darinya dan saya tidak akan melihat usia dia dan usianya karena dia bisa lebih tua darinya dan wanita yang menyusuinya bisa hidup sampai menyusuinya dengan air susu anak selain anak yang dia susui. Demikian pula jika dia lebih tua darinya.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia menyebutkan seorang wanita yang menyusuinya dan berkata, “Fulanah menyusui saya dan dia,” dan dalam keadaan apa pun tidak mungkin dia menyusuinya, atau tidak mungkin dia menyusuinya karena perbedaan usia yang saya jelaskan, atau kematian wanita yang dia klaim menyusui mereka sebelum salah satu dari mereka lahir, maka pengakuannya batal seperti perkataan dalam masalah-masalah sebelumnya. Saya hanya mewajibkan dia atas pengakuan dia dan pengakuan dia dalam hal yang mungkin terjadi, dan saya tidak mewajibkan mereka dalam hal yang tidak mungkin terjadi jika pengakuan mereka tidak mewajibkan salah satu dari mereka kepada yang lain.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia memiliki akad pernikahan dengannya dan belum berhubungan intim dengannya sampai dia mengaku bahwa dia adalah putrinya atau saudara perempannya atau ibunya, dan itu mungkin terjadi padanya dan padanya, saya akan menanyakannya. Jika dia membenarkannya, saya akan memisahkan keduanya dan tidak memberikan mahar atau mut’ah kepadanya. Jika dia mendustakannya, atau dia adalah gadis kecil lalu ayahnya mendustakannya, atau dia mengaku atas klaimnya, maka itu sama saja karena dia tidak berhak membatalkan haknya.

Saya akan memisahkan keduanya dalam setiap keadaan dan memberikan kepadanya setengah mahar yang disebutkan kepadanya, karena dia hanya mengaku bahwa dia adalah mahram baginya setelah dia wajib mahar jika dia berhubungan intim dan setengahnya jika dia bercerai sebelum berhubungan intim. Maka saya menerima pengakuannya dalam hal yang merusak dirinya sendiri dan menolaknya dalam hal yang menghilangkan haknya yang wajib baginya.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia ingin menyumpahnya dan dia sudah baligh, saya akan menyumpahnya bahwa dia bukan saudara perempuannya dari persusuan. Jika dia bersumpah, maka dia berhak atas setengah mahar. Jika dia menolak bersumpah, maka dia bersumpah bahwa dia adalah saudara perempuannya dari persusuan dan setengah mahar gugur darinya. Jika dia menolak, maka dia wajib setengah mahar.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia adalah gadis kecil atau gila, maka tidak ada sumpah atasnya dan saya mengambilkan untuknya setengah mahar yang telah disebutkan kepadanya. Jika gadis kecil itu sudah dewasa, saya akan menyumpahnya jika dia (suami) mau.

Imam Syafi’i berkata: Jika tidak disebutkan mahar baginya dan dia adalah gadis kecil atau berada di bawah perwalian, maka dia berhak atas setengah mahar sepadannya karena walinya tidak boleh menikahkannya tanpa mahar. Jika dia sudah baligh dan tidak berada di bawah perwalian, lalu dia menikah atas kemauannya tanpa mahar, maka tidak ada mahar baginya, dan dia berhak atas mut’ah.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia (wanita) yang mengklaim itu, saya akan menasihatinya agar dia bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan pernikahan itu dengan satu kali talak yang dia jatuhkan kepadanya agar dia halal bagi orang lain jika dia (wanita) berbohong, dan tidak merugikannya jika dia (wanita) jujur. Saya tidak memaksanya dalam hukum untuk menceraikannya karena pernikahannya telah mengikatnya, maka saya tidak membenarkannya untuk merusaknya. Dan saya akan menyumpahnya atas klaimnya bahwa dia bukan saudara perempuannya dari persusuan. Jika dia bersumpah, pernikahan itu sah. Jika dia menolak, saya akan menyumpah wanita itu. Jika dia bersumpah, saya akan membatalkan pernikahan itu dan tidak ada apa-apa baginya. Jika dia tidak bersumpah, maka dia tetap istrinya.

Imam Syafi’i berkata: Ini adalah jika tidak ada satu pun dari mereka yang menghadirkan empat wanita atau dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua wanita atas apa yang dia klaim. Jika mereka menghadirkan orang yang kesaksiannya dibolehkan, maka tidak ada sumpah di antara mereka dan pernikahan itu dibatalkan jika wanita-wanita atau laki-laki itu bersaksi atas persusuan. Jika mereka bersaksi atas pengakuan laki-laki atau wanita tentang persusuan, empat wanita tidak dibolehkan bersaksi karena ini adalah sesuatu yang disaksikan oleh laki-laki. Kesaksian wanita secara terpisah hanya dibolehkan dalam hal yang tidak pantas bagi laki-laki untuk sengaja melihatnya selain untuk kesaksian.

Imam Syafi’i berkata: Jika ini terjadi setelah dia berhubungan intim dengannya dan dia (laki-laki) yang mengakuinya, jika dia (wanita) mendustakannya, maka dia berhak atas mahar yang disebutkan kepadanya. Jika dia membenarkannya, maka dia berhak atas mahar sepadannya, baik lebih banyak atau lebih sedikit dari mahar yang disebutkan kepadanya. Jika dia (wanita) yang mengklaim bahwa dia adalah saudara perempuannya, maka tidak dibenarkan kecuali jika dia (laki-laki) membenarkannya, maka dia berhak atas mahar sepadannya.

Laki-laki Menyusui dari Payudaranya

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Saya rasa tidak keluar air susu dari laki-laki. Jika keluar air susu darinya lalu dia menyusui seorang bayi perempuan dengannya, saya tidak menyukai dia untuk menikahi bayi itu dan anak-anaknya. Jika dia menikahinya, saya tidak akan membatalkan pernikahan itu karena Allah Ta’ala menyebutkan persusuan dari ibu-ibu (walidat), dan ibu-ibu itu perempuan, sedangkan ayah-ayah (walidun) bukan ibu-ibu. Dan Dia menyebutkan bahwa ayah bertanggung jawab atas biaya persusuan, maka Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan kewajiban bagi ayah yang anak dilahirkan untuknya adalah memberi mereka rezeki dan pakaian dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 233).

Imam Syafi’i berkata: Maka tidak dibolehkan hukum ayah menjadi hukum ibu dan hukum ibu menjadi hukum ayah. Allah Azza wa Jalla telah membedakan antara hukum-hukum mereka.

Persusuan Khunsa (Hermafrodit)

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Dasar dari apa yang saya anut tentang khunsa adalah jika dominan sifatnya laki-laki, dia menikahi seorang wanita dan tidak mengeluarkan air mani, lalu seorang laki-laki menikahinya, jika keluar air susu darinya lalu dia menyusui seorang bayi, persusuan itu tidak mengharamkan, dan itu seperti air susu laki-laki karena saya telah menghukuminya sebagai laki-laki. Jika dominan sifatnya perempuan, lalu keluar air susu darinya, baik dari pernikahan atau bukan, lalu dia menyusui seorang bayi, maka itu haram sebagaimana wanita haram jika dia menyusui.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia adalah khunsa musykil (sulit ditentukan), dia boleh menikah dengan salah satu dari keduanya (sebagai laki-laki atau perempuan). Siapa pun yang dia nikahi, saya tidak membolehkan dia menikah dengan yang lain, dan saya tidak menjadikannya menikah dengan yang lain.

Bab Sindiran dalam Lamaran

Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata: Diberitakan kepada kami oleh Imam Syafi’i, dia berkata: Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan tidak ada dosa bagi kalian dalam hal yang kalian sindirkan untuk melamar wanita atau yang kalian sembunyikan dalam diri kalian.” (QS. Al-Baqarah: 235) ayat tersebut.

Imam Syafi’i berkata: Dan sampainya Kitab itu pada waktunya – wallahu ta’ala a’lam – adalah berakhirnya iddah. Dia berkata: Maka jelaslah dalam Kitab Allah Ta’ala bahwa Allah membedakan dalam hukum antara ciptaannya, antara sebab-sebab perkara dan akad perkara, dan ketika Allah Ta’ala membedakan antara keduanya, tidak boleh ada yang mengumpulkan keduanya, dan suatu perkara tidak rusak karena rusaknya sebab jika akad perkaranya sah, tidak juga dengan niat dalam perkara itu. Dan perkara tidak rusak kecuali karena kerusakan jika ada dalam akadnya, bukan karena selainnya. Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengharamkan untuk mengadakan akad nikah sampai iddahnya berakhir, tetapi tidak mengharamkan sindiran dalam lamaran saat iddah, dan tidak mengharamkan untuk menyebutkannya dan berniat untuk menikahinya dengan lamaran untuknya. Dan penyebutan untuknya dan niat untuk menikahinya adalah sebab pernikahan. Dengan ini kami membolehkan perkara-perkara dengan akadnya jika akadnya halal dan kami menolaknya jika akadnya ditolak.

Kami tidak menggunakan sebab-sebab perkara dalam hukum sama sekali. Maka kami membolehkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita, dia tidak berniat untuk menahannya kecuali sehari, dan dia juga tidak berniat kecuali itu. Demikian pula jika mereka berdua sepakat atas itu jika tidak ada dalam syarat pernikahan.

Demikian pula kami katakan dalam talak, jika dia berkata kepadanya, “Ber-iddah-lah,” itu bukan talak kecuali dengan niat talak, baik itu dari kemarahan atau setelahnya. Dan ketika Allah Azza wa Jalla mengizinkan sindiran dalam lamaran saat iddah, Dia menjelaskan bahwa Dia melarang pernyataan yang jelas di dalamnya dan membedakan antara hukum sindiran dan pernyataan yang jelas. Dan dengan itu kami katakan: Kami tidak akan pernah menjadikan sindiran setara dengan pernyataan yang jelas dalam hukum apa pun kecuali jika orang yang menyindir itu ingin menyatakan yang jelas. Dan kami menjadikannya dalam hal yang menyerupai talak dari niat dan lainnya, maka kami katakan itu tidak menjadi talak kecuali dengan keinginannya. Dan kami katakan: Kami tidak menemukan seorang pun dalam sindiran kecuali dengan keinginan pernyataan yang jelas dalam tuduhan.

Imam Syafi’i berkata: Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala, “Tetapi janganlah kalian berjanji secara rahasia dengan mereka.” (QS. Al-Baqarah: 235) Yang dimaksud wallahu ta’ala a’lam adalah hubungan intim, “kecuali kalian mengatakan perkataan yang makruf.” (QS. Al-Baqarah: 235) Yaitu perkataan yang baik dan tidak ada kekejian di dalamnya.

Imam Syafi’i berkata: Yaitu dia berkata, “Saya meridhaimu. Saya memiliki hubungan intim yang baik yang akan menyenangkan orang yang berhubungan intim dengannya.” Maka ini, meskipun merupakan sindiran yang dilarang karena keburukannya, dan apa yang disindirnya selain ini yang dengannya wanita itu memahami bahwa dia ingin menikahinya, maka itu dibolehkan baginya.

Demikian pula sindiran untuk menerima lamaran itu dibolehkan baginya, tidak ada yang diharamkan atasnya dari sindiran apa pun yang dibolehkan baginya, dan tidak ada yang diharamkan atasnya dari apa pun yang dibolehkan baginya. Dan jika dia menyatakan lamaran kepadanya dan dia menyatakan penerimaan kepadanya atau tidak menyatakan, dan akad nikah tidak diadakan dalam kedua keadaan itu sampai iddahnya berakhir, maka pernikahan itu sah. Dan pernyataan yang jelas bagi keduanya adalah makruh, dan pernikahan itu tidak rusak karena sebab yang tidak dibolehkan dari pernyataan yang jelas, karena pernikahan itu terjadi setelah lamaran, bukan dengan lamaran.

Tidakkah kamu melihat bahwa jika seorang wanita yang sembrono berkata, “Saya tidak akan menikah dengan seorang laki-laki sampai saya melihatnya telanjang,” atau “sampai saya mengabarkan kepadanya kekejian lalu dia meridhainya dalam kedua keadaan itu,” lalu dia telanjang di depannya atau melakukan hal haram dengannya, lalu dia menikahinya setelah itu, pernikahan itu sah, dan apa yang mereka lakukan sebelumnya adalah haram, pernikahan tidak rusak karena sebab yang haram karena pernikahan itu terjadi setelah sebabnya, dan pernikahan itu bukan sebabnya. Dan ini adalah apa yang saya jelaskan bahwa sesuatu itu dihalalkan dan diharamkan dengan akadnya, bukan dengan sebab-sebabnya.

Dia berkata: Dan sindiran yang Allah izinkan adalah selain pernyataan yang jelas dari perkataan. Yaitu dia berkata, “Banyak orang yang melihatmu dan menginginkanmu dan ingin menikahimu,” atau “Kamu berada di tempat yang kamu sukai,” atau “Kamu tidak dalam keadaan sendirian,” atau “Saya sangat menginginkanmu,” atau “Saya sangat menyukaimu.” Dan apa pun yang memiliki makna ini yang berbeda dari pernyataan yang jelas seperti dia berkata, “Nikahilah saya jika kamu telah halal,” atau “Saya akan menikahimu jika kamu telah halal,” dan yang serupa dengan ini yang melampaui sindiran dan merupakan pernyataan bahwa itu adalah lamaran, bukan bahwa itu mengandung makna lain selain lamaran.

Dia berkata: Dan iddah yang Allah izinkan sindiran dalam lamaran di dalamnya adalah iddah dari kematian suami. Dan jika itu adalah kematian, maka tidak ada suami yang diharapkan untuk dinikahi dalam keadaan apa pun. Dan saya tidak menyukai seorang laki-laki untuk menyindir seorang wanita dalam iddah talak yang mantan suaminya tidak memiliki hak rujuk di dalamnya, demi kehati-hatian. Dan tidak jelas bahwa itu tidak boleh karena dia tidak memiliki wewenang atasnya dalam iddahnya sebagaimana dia tidak memilikinya jika iddahnya berakhir.

Adapun wanita yang suaminya memiliki hak rujuk, tidak boleh bagi siapa pun untuk menyindirnya dengan lamaran dalam iddah karena dia dalam banyak hal adalah istri. Dan dikhawatirkan jika dia disindir oleh orang yang dia inginkan untuk dilamar, dia akan mengaku bahwa iddahnya telah berakhir meskipun belum. Dan apa yang saya katakan tidak boleh disindir dengan lamaran atau tidak boleh dinyatakan dengan lamaran, lalu iddahnya berakhir lalu wanita itu menikah, maka pernikahan itu sah dengan apa yang saya jelaskan.

Perkataan yang Mengikat Nikah dan yang Tidak Mengikat

Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya SAW, “Maka ketika Zaid telah menyelesaikan keperluannya dari (istrinya), Kami nikahkan engkau dengannya.” (QS. Al-Ahzab: 37). Dan Dia Ta’ala berfirman, “Dan dari (wanita) itu Dia menciptakan pasangannya.” (QS. An-Nisa: 1). Dan Dia berfirman, “Dan bagi kalian setengah dari apa yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian.” (QS. An-Nisa: 12). Dan Dia berfirman, “Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka.” (QS. An-Nur: 6). Dan Dia berfirman, “Maka jika dia menceraikannya, maka dia tidak halal baginya setelah itu sampai dia menikahi suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230). Dan Dia berfirman, “Dan seorang wanita mukminah jika dia menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin menikahinya.” (QS. Al-Ahzab: 50). Dan Dia berfirman, “Jika kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 49). Dan Dia berfirman, “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian.” (QS. An-Nisa: 22).

Imam Syafi’i berkata: Maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menyebutkan pernikahan dengan dua nama: nikah dan tazwij. Dan Dia Azza wa Jalla berfirman, “Dan seorang wanita mukminah jika dia menyerahkan dirinya kepada Nabi jika Nabi ingin” (QS. Al-Ahzab: 50). Maka Dia Jalla Tsana’uh menjelaskan bahwa penyerahan itu untuk Rasulullah SAW, bukan untuk orang-orang mukmin. Dan penyerahan – wallahu ta’ala a’lam – mencakup akad nikah yang diikat untuknya dengan dia menyerahkan dirinya kepadanya tanpa mahar.

Dalam hal ini ada dalil bahwa pernikahan tidak sah kecuali dengan nama nikah atau tazwij, dan tidak sah dengan perkataan selain keduanya meskipun ada niat untuk menikah. Dan itu berbeda dengan talak yang terjadi dengan perkataan yang menyerupai talak dengan niat talak. Itu karena wanita sebelum dinikahkan itu haram farajnya, maka dia tidak halal kecuali dengan apa yang Allah Azza wa Jalla sebutkan bahwa dia halal dengannya, bukan dengan selainnya. Dan wanita yang telah dinikahkan itu haram dengan apa yang diharamkan oleh suaminya dari apa yang Allah Tabaraka Ismuhu sebutkan dalam Kitab-Nya atau melalui lisan Nabi-Nya SAW.

Dan Sunnah Nabi SAW telah menunjukkan bahwa talak terjadi dengan perkataan yang menyerupai talak jika suami bermaksud talak. Dan tidak dibolehkan dalam Kitab dan Sunnah menghalalkan pernikahan kecuali dengan nama nikah atau tazwij.

Maka jika tuan budak perempuan, atau ayah dari gadis perawan atau janda, atau walinya berkata kepada seorang laki-laki, “Saya telah menghibahkannya kepadamu,” atau “Saya telah menghalalkannya kepadamu,” atau “Saya telah menyedekahkannya kepadamu,” atau “Saya telah membolehkan farajnya kepadamu,” atau “Saya telah menjadikan farajnya milikmu,” atau “Saya telah menjadikannya salah satu istrimu,” atau “Saya telah menjadikannya istrimu,” atau “Saya telah memberikannya kepadamu seumur hidupmu,” atau “Saya telah menjadikan hubungan intimnya milikmu,” atau yang serupa dengan ini, atau wanita itu mengatakannya dengan wali dan orang yang diajak bicara menerimanya, atau dia berkata, “Saya telah menikahinya,” maka tidak ada pernikahan di antara mereka.

Dan tidak ada pernikahan sama sekali kecuali dengan dia (wali) berkata, “Saya telah menikahkanmu dengannya,” atau “Saya telah mengawinkanmu dengannya,” dan suami berkata, “Saya telah menerima pernikahannya,” atau “Saya telah menerima perkawinannya.” Atau peminang berkata, “Nikahkanlah saya dengannya,” atau “Kawinkanlah saya dengannya,” lalu wali berkata, “Saya telah menikahkanmu dengannya,” atau “Saya telah mengawinkanmu dengannya,” dan mereka berdua menyebut namanya dan nasabnya.

Jika dia (peminang) berkata, “Saya datang untuk melamar fulanah,” lalu dia (wali) berkata, “Saya telah menikahkanmu dengannya,” maka itu bukan pernikahan sampai dia berkata, “Saya telah menerima perkawinannya.”

Jika dia (peminang) berkata, “Saya datang untuk melamar fulanah, maka nikahkanlah saya dengannya,” lalu dia (wali) berkata, “Saya telah menikahkanmu dengannya,” maka pernikahan itu sah, dan saya tidak perlu dia berkata, “Saya telah menerima perkawinannya,” atau “pernikahannya.”

Demikian pula jika wali berkata, “Saya telah menikahkanmu dengan fulanah,” lalu suami berkata, “Saya telah menerima,” dan tidak berkata, “perkawinannya,” maka itu bukan pernikahan sampai dia berkata, “Saya telah menerima perkawinannya.”

Jika peminang berkata, “Nikahkanlah saya dengan fulanah,” lalu wali berkata, “Saya telah melakukannya,” atau “Saya telah mengabulkan apa yang kamu minta,” atau “Saya telah menjadikan apa yang kamu minta milikmu,” maka itu bukan pernikahan sampai dia berkata, “Saya telah menikahkanmu dengannya,” atau “Saya telah mengawinkanmu dengannya.” Dan peminang harus berkata, “Kawinkanlah saya dengannya,” atau “Nikahkanlah saya dengannya.” Jika ini semua terkumpul, maka pernikahan itu sah.

Demikian pula pernikahan gadis kecil dan budak perempuan tidak sah dengan perkataan wali-wali mereka kecuali dengan apa yang sah pada orang dewasa. Dan mereka (wali) jika keduanya berbicara bersamaan dengan ijab pernikahan secara mutlak, maka itu sah. Jika dalam akad nikah ada syarat (mustasnawiyah), maka itu tidak sah. Dan tidak dibolehkan dalam pernikahan ada khiyar (pilihan) dalam keadaan apa pun. Yaitu dia berkata, “Saya telah menikahkanmu dengannya jika fulan meridhai,” atau “Saya telah menikahkanmu dengannya dengan syarat kamu memiliki pilihan di majelismu atau di harimu atau lebih dari sehari,” atau “dengan syarat dia memiliki pilihan,” atau “Saya telah menikahkanmu dengannya jika kamu melakukan ini atau itu,” lalu dia melakukannya, maka tidak satu pun dari ini adalah perkawinan, tidak juga yang serupa dengannya, sampai dia menikahkannya dengan perkawinan yang sah, mutlak, dan tidak ada syarat di dalamnya.

Apa yang Dibolehkan dan Tidak Dibolehkan dalam Nikah

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Perkawinan hanya sah untuk wanita tertentu dan laki-laki tertentu. Dan akad nikah itu sah seketika dan tidak tertunda dengan syarat atau lainnya dan harus mutlak.

Jika seorang laki-laki memiliki dua anak perempuan, lalu seorang laki-laki melamarnya dan berkata, “Nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu,” lalu dia berkata, “Saya telah menikahkanmu dengannya,” dan ayah, anak perempuan, dan suami itu sepakat bahwa mereka tidak tahu anak perempuan mana yang dia nikahkan dengannya, dan ayah berkata kepada suami, “Yang mana pun yang kamu mau, dialah yang saya nikahkan denganmu,” atau suami berkata kepada ayah, “Yang mana pun yang kamu mau, dialah yang kamu nikahkan dengan saya,” maka ini bukan pernikahan.

Jika dia berkata, “Nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu yang mana saja yang kamu mau,” lalu dia menikahkannya dengan ini, maka ini bukan pernikahan. Demikian pula jika dia berkata, “Nikahkanlah anak saya,” dan dia memiliki dua anak laki-laki, lalu dia menikahkannya, maka ini bukan pernikahan.

Jika dia berkata, “Nikahkanlah saya dengan anak perempuanmu si fulanah besok,” atau “jika saya datang kepadamu,” atau “jika saya masuk rumah,” atau “jika saya melakukan ini atau itu,” lalu dia berkata, “Saya telah menikahkanmu dengannya dengan syarat yang telah kamu sebutkan,” lalu dia melakukan syarat itu, maka itu bukan pernikahan jika mereka berdua berbicara tentang pernikahan secara bersamaan tetapi tidak sah di tempatnya, maka tidak akan sah setelah batas waktu atau syarat.

Jika dia berkata, “Nikahkanlah saya dengan janin istrimu,” lalu dia menikahkannya, dan ternyata janin itu perempuan, maka itu bukan pernikahan. Demikian pula jika dia berkata, “Nikahkanlah saya dengan apa yang dilahirkan oleh istrimu,” dan dia (istrinya) berada di kota yang sama dengan mereka atau jauh dari mereka, lalu mereka sepakat bahwa ketika akad nikah itu terjadi, mereka tidak tahu apakah istrinya melahirkan anak perempuan atau laki-laki, dia berkata: Demikian pula jika mereka sepakat bahwa mereka tahu bahwa dia telah melahirkan dua anak perempuan, tetapi mereka tidak menyebutkan anak perempuan mana yang dia nikahkan secara spesifik.

Dan kapan saja mereka berdua berbicara tentang pernikahan dengan wanita tertentu, maka pernikahan itu sah. Yaitu dia menikahkannya dengan anak perempuannya yang bernama fulanah dan dia hanya memiliki satu anak perempuan yang bernama fulanah.

Dan saya menyukai seseorang untuk mengawali lamarannya dan setiap hal yang dia minta selain lamaran dengan memuji Allah Azza wa Jalla dan menyanjung-Nya, bershalawat kepada Rasul-Nya SAW, dan berwasiat tentang takwa kepada Allah Ta’ala, lalu dia melamar. Dan saya lebih suka bagi pelamar untuk melakukan itu, lalu dia menikahkan dan pelamar menambahkan, “Saya menikahkanmu dengan apa yang Allah Ta’ala perintahkan, yaitu menahan dengan makruf atau melepaskan dengan ihsan.” Dan jika dia tidak menambahkan apa-apa selain akad nikah, pernikahan itu sah.

Diberitakan kepada kami oleh Sufyan bin Uyainah dari Amr bin Dinar dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ibnu Umar jika menikahkan, dia berkata, “Saya menikahkanmu dengan apa yang Allah Ta’ala perintahkan, yaitu menahan dengan makruf atau melepaskan dengan ihsan.”

Larangan Melamar Atas Lamaran Saudaranya

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian melamar di atas lamaran saudaranya.”

Imam Syafi’i berkata: Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Abi Az-Zinad dan Muhammad bin Yahya bin Habban dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian melamar di atas lamaran saudaranya.”

Diberitakan kepada kami oleh Ar-Rabi’ dari Syafi’i, dia berkata: Diberitakan kepada kami oleh Sufyan bin Uyainah dari Az-Zuhri, dia berkata: Diberitakan kepada saya oleh Ibnu Al-Musayyib dari Abu Hurairah, dia berkata: Nabi SAW bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian melamar di atas lamaran saudaranya.”

Imam Syafi’i berkata: Diberitakan kepada kami oleh Muhammad bin Ismail dari Ibnu Abi Dzi’b dari Muslim Al-Khayyat dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW melarang seorang laki-laki melamar di atas lamaran saudaranya sampai dia menikah atau meninggalkannya.

Imam Syafi’i berkata: Tampak dari hadis-hadis ini bahwa siapa pun yang melamar seorang wanita, tidak boleh bagi siapa pun untuk melamarnya sampai peminang itu mengizinkan atau meninggalkan lamarannya. Dan hadis-hadis itu mengandung kemungkinan bahwa Nabi SAW melarangnya dalam keadaan tertentu, bukan dalam setiap keadaan. Dan kami menemukan Sunnah Nabi SAW menunjukkan bahwa beliau SAW hanya melarangnya dalam keadaan tertentu, bukan dalam setiap keadaan.

Imam Syafi’i berkata: Diberitakan kepada kami oleh Malik dari Abdullah bin Yazid, budak Al-Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Fathimah binti Qais bahwa suaminya menceraikannya dengan talak ba’in. Lalu Nabi SAW memerintahkannya untuk ber-iddah di rumah Ummu Maktum dan bersabda, “Jika kamu telah halal, maka beritahu saya.” Ketika dia telah halal, dia memberitahunya bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah melamarnya. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Adapun Abu Jahm, dia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Adapun Mu’awiyah, dia adalah orang fakir yang tidak memiliki harta. Nikahilah Usamah.” Dia tidak menyukai Usamah. Lalu beliau bersabda, “Nikahilah Usamah.” Lalu dia menikahinya, dan Allah Ta’ala menjadikannya kebaikan di dalamnya dan dia merasa senang dengannya.

Imam Syafi’i berkata: Sebagaimana kami jelaskan bahwa keadaan di mana Rasulullah SAW melamar Fathimah untuk Usamah itu berbeda dengan keadaan di mana beliau melarang lamaran. Dan wanita yang dilamar tidak memiliki dua keadaan yang berbeda hukumnya kecuali jika wanita yang dilamar itu mengizinkan pernikahan dengan laki-laki tertentu, maka wali boleh menikahkannya, pernikahan itu sah atasnya, dan tidak boleh bagi siapa pun untuk melamarnya dalam keadaan ini sampai peminang itu mengizinkan atau meninggalkan lamarannya. Dan ini jelas dalam hadis Ibnu Abi Dzi’b.

Dan Fathimah memberitahu Rasulullah SAW bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah melamarnya. Dan saya tidak ragu – insya Allah Ta’ala – bahwa lamaran salah satu dari mereka setelah lamaran yang lain, dan beliau tidak melarang mereka berdua atau salah satu dari mereka. Dan kami tidak tahu bahwa dia mengizinkan salah satu dari mereka, lalu beliau melamarnya untuk Usamah. Dan beliau tidak akan melamarnya dalam keadaan di mana beliau melarang lamaran. Dan saya tidak tahu bahwa beliau melarang Mu’awiyah atau Abu Jahm dari apa yang mereka lakukan.

Dan yang dominan adalah salah satu dari mereka melamarnya setelah yang lain. Maka jika wanita yang dilamar itu mengizinkan pernikahan dengan laki-laki tertentu, maka tidak boleh melamarnya dalam keadaan itu. Dan izin dari janda adalah perkataan, sedangkan gadis perawan adalah diam. Jika dia mengizinkan dengan perkataan, maka itu lebih dari diam.

Dia berkata: Jika seorang wanita berkata kepada walinya, “Nikahkanlah saya dengan siapa pun yang kamu lihat,” maka tidak mengapa melamar dalam keadaan ini karena dia tidak mengizinkan seseorang tertentu. Jika dia diperintah untuk menikahi seorang laki-laki lalu dia mengizinkannya, maka tidak boleh melamar. Dan jika wali menjanjikan seorang laki-laki untuk menikahinya setelah ridha wanita itu, maka tidak boleh melamar dalam keadaan ini. Jika dia menjanjikannya dan wanita itu tidak ridha, maka tidak mengapa melamar jika wanita itu adalah orang yang tidak boleh dinikahi kecuali dengan perintahnya. Dan urusan gadis perawan ada pada ayahnya, dan budak perempuan ada pada tuannya.

Jika ayah dari gadis perawan atau tuan dari budak perempuan menjanjikan seorang laki-laki untuk menikahinya, maka tidak boleh bagi siapa pun untuk melamarnya. Dan siapa pun yang saya katakan tidak boleh melamarnya, maka saya katakan itu jika dia tahu bahwa dia telah dilamar dan mengizinkan. Dan jika seorang laki-laki melamar dalam keadaan yang dilarang untuk melamar di dalamnya, dan dia mengetahuinya, maka itu adalah maksiat yang dia harus memohon ampun kepada Allah Ta’ala darinya. Dan jika dia menikahinya dengan lamaran itu, maka pernikahan itu sah karena pernikahan itu terjadi setelah lamaran. Dan itu adalah apa yang saya jelaskan bahwa kerusakan hanya terjadi pada akad, bukan pada sesuatu yang mendahuluinya meskipun itu adalah sebabnya, karena sebab-sebab itu berbeda dengan kejadian-kejadian setelahnya.

Pernikahan ‘Ainin, Kasi, dan Majbub

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Saya tidak menghafal adanya perbedaan pendapat dari mufti yang saya temui bahwa istri dari ‘ainin (impoten) diberi waktu satu tahun. Jika dia berhubungan intim dengannya, maka tidak ada masalah, jika tidak, dia diberi pilihan untuk tetap bersamanya atau berpisah dengannya.

Dan siapa pun yang mengatakan ini, dia berkata: Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan dia berhubungan intim dengan wanita lain tetapi tidak dengannya, lalu dia tidak mengajukan kasus ini kepada penguasa, maka mereka tetap dalam pernikahan. Jika dia mengajukan kasus ini kepada penguasa dan meminta perpisahan, maka penguasa akan memberinya waktu satu tahun sejak hari mereka datang kepadanya. Jika dia berhubungan intim dengannya satu kali, maka dia adalah istrinya. Jika dia tidak berhubungan intim dengannya, penguasa akan memberinya pilihan. Jika dia ingin berpisah dengannya, pernikahan itu dibatalkan. Dan perpisahan itu adalah pembatalan tanpa talak karena dia menjadikan pembatalan akad itu padanya, bukan padanya. Jika dia ingin tetap bersamanya, dia tetap bersamanya, dan setelah dia tetap bersamanya, dia tidak memiliki hak untuk diberi pilihan lagi.

Itu karena pilihannya untuk tetap bersamanya adalah meninggalkan haknya untuk berpisah dalam keadaan yang sama dengan yang dia minta. Dan jika dia memilih untuk tetap bersamanya setelah putusan penguasa untuk menundanya dan memberinya pilihan setelah satu tahun, lalu dia menceraikannya dan iddahnya berakhir, lalu dia menikahinya dengan pernikahan baru, lalu dia meminta agar diberi waktu, dia diberi waktu.

Jika dia tahu sebelum menikahinya bahwa dia adalah ‘ainin (impoten) lalu dia meridhai pernikahannya, atau dia mengetahuinya setelah pernikahannya lalu dia meridhai untuk tetap bersamanya, lalu dia meminta agar diberi waktu, dia diberi waktu. Dan pilihannya untuk berpisah dengannya tidak terputus kecuali dengan waktu dan pilihannya untuk tetap bersamanya setelah waktu itu. Karena tidak ada seorang pun yang tahu dari dirinya sendiri bahwa dia adalah ‘ainin sampai diuji, karena seorang laki-laki bisa saja berhubungan intim lalu berhenti berhubungan intim, lalu berhubungan intim lagi. Dan saya memutuskan pilihannya karena dia meninggalkannya setelah dia memilikinya, tidak ada apa-apa di bawahnya.

Dia berkata: Jika dia menikahinya lalu diberi waktu, lalu dia diberi pilihan lalu dia memilih untuk tetap bersamanya, lalu dia menceraikannya lalu merujuknya dalam iddah, lalu dia meminta agar diberi waktu, maka dia tidak berhak atas itu karena dia bersamanya dengan akad yang dia pilih untuk tetap bersamanya di dalamnya setelah putusan.

Ar-Rabi’ berkata: Maksudnya, jika dia mengeluarkan air maninya di dalamnya, dia memiliki hak rujuk dan dia memiliki iddah meskipun tidak seluruhnya masuk.

Imam Syafi’i berkata: Jika dia meninggalkannya sampai iddahnya berakhir, lalu dia menikahinya dengan pernikahan baru, lalu dia meminta agar diberi waktu, dia diberi waktu karena ini adalah akad yang berbeda dengan akad yang dia tinggalkan haknya di dalamnya setelah putusan.

Dia berkata: Jika dia berhubungan intim dengannya satu kali dalam akad nikah, lalu dia meminta agar diberi waktu, dia tidak diberi waktu selamanya karena dia telah berhubungan intim dengannya dalam akad nikah, dan itu tidak seperti orang yang berhubungan intim dengan wanita lain dan tidak dengannya, karena dia menunaikan hak kepada orang lain bukan kepadanya.

Jika ‘ainin diberi waktu, lalu mereka berselisih tentang hubungan intim, dia berkata, “Saya telah berhubungan intim dengannya,” dan dia berkata, “Dia belum berhubungan intim dengan saya.”

Jika dia janda, maka perkataannya adalah perkataan laki-laki karena dia ingin membatalkan pernikahannya. Dan dia harus bersumpah. Jika dia bersumpah, maka dia adalah istrinya. Jika dia menolak, keduanya tidak dipisahkan sampai dia bersumpah bahwa dia belum berhubungan intim dengannya. Jika dia bersumpah, dia diberi pilihan. Jika dia tidak bersumpah, maka dia adalah istrinya.

Jika dia gadis perawan, dia ditunjukkan kepada empat wanita yang adil. Jika mereka berkata, “Dia perawan,” maka itu adalah bukti kebenaran perkataannya bahwa dia belum berhubungan intim dengannya. Jika suami mau, dia bersumpah bahwa dia belum berhubungan intim dengannya, lalu keduanya dipisahkan. Jika dia tidak bersumpah, dia (suami) bersumpah bahwa dia telah berhubungan intim dengannya, lalu dia tetap bersamanya dan dia tidak diberi pilihan. Itu karena selaput dara bisa kembali menurut ahli yang tahu tentang itu jika tidak dilakukan hubungan intim secara maksimal. Dan minimal yang mengeluarkannya dari diberi waktu adalah seluruhnya masuk ke dalam faraj. Dan itu menjadikannya bersih dan menghalalkannya untuk suami jika dia menceraikannya tiga kali.

Jika dia berhubungan intim dengannya di duburnya, seberapa pun dalamnya, itu tidak mengeluarkannya dari diberi waktu ‘ainin karena itu bukan hubungan intim yang dikenal di mana dia menjadi halal.

Jika dia berhubungan intim dengannya saat haid, atau dalam keadaan ihram, atau puasa, atau dia (suami) dalam keadaan ihram atau puasa, dia telah berbuat buruk di dalamnya, tetapi dia tidak diberi waktu.

Jika dia diberi waktu lalu zakarnya dipotong, atau dia menikahinya dalam keadaan zakarnya terpotong, dia diberi pilihan saat dia tahu, jika dia mau tetap bersamanya dan jika dia mau berpisah dengannya.

Jika dia diberi waktu sebagai kasi (dikebiri) dan zakarnya tidak dipotong, atau dia menikahinya sebagai kasi yang zakarnya tidak dipotong, dia tidak diberi pilihan sampai dia diberi waktu ‘ainin. Jika dia berhubungan intim dengannya, maka dia adalah istrinya, jika tidak, maka dilakukan padanya apa yang dilakukan pada ‘ainin.

Jika dia menikahinya dan dia berkata, “Saya mandul,” atau dia tidak mengatakannya sampai dia memiliki akad dengannya lalu dia mengakuinya, dia tidak memiliki pilihan. Itu karena dia tidak tahu bahwa dia mandul sampai dia meninggal, karena seorang laki-laki bisa lambat memiliki anak saat muda dan memiliki anak saat tua. Dan dia tidak memiliki pilihan dalam hal anak, pilihan hanya dalam hal tidak adanya hubungan intim, bukan anak. Tidakkah kamu melihat bahwa kami tidak memberi waktu kepada kasi jika dia berhubungan intim, padahal kemungkinan besar dia tidak memiliki anak.

Jika dia adalah kasi yang sebagian zakarnya dipotong dan tersisa darinya apa yang menempati posisi zakar laki-laki, lalu dia belum berhubungan intim dengannya, dia diberi waktu ‘ainin dan tidak diberi pilihan sebelum waktu ‘ainin karena ini berhubungan intim.

Jika khunsa buang air kecil dari tempat laki-laki, lalu dia menikah sebagai laki-laki, pernikahan itu sah, dan wanita itu tidak memiliki pilihan, dan dia diberi waktu jika dia mau waktu ‘ainin. Jika dia khunsa musykil (sulit ditentukan), dia boleh menikah dengan salah satu dari keduanya (sebagai laki-laki atau perempuan). Jika dia menikah dengan salah satu dari mereka, dia tidak boleh menikah dengan yang lain, dan dia mewarisi dan diwarisi sesuai dengan hukum yang kami putuskan untuknya untuk menikah.

Ar-Rabi’ berkata: Dan di dalamnya ada pendapat lain bahwa kami tidak mewarisinya kecuali warisan wanita, meskipun dia menikah sebagai laki-laki, karena bukan dengan pilihannya bahwa dia adalah laki-laki dan dia diberi harta dengan perkataannya.

Imam Syafi’i berkata: Istri tidak berhak atas apa pun jika suaminya berhubungan intim dengannya, tetapi dia berkata, “Dia belum berhubungan intim dengan saya,” kecuali setengah mahar, dan dia tidak memiliki iddah karena dia berpisah sebelum berhubungan intim.

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki menikahi khunsa sebagai wanita dan dia buang air kecil dari tempat wanita, atau dia adalah khunsa musykil dan belum menikah sebagai laki-laki, maka pernikahan itu sah, dan dia tidak memiliki pilihan.

Jika dia menikahi khunsa sebagai laki-laki dan dia buang air kecil dari tempat wanita, atau sebagai wanita dan dia buang air kecil dari tempat laki-laki, maka pernikahan itu batal, tidak boleh menikah kecuali dari tempat dia buang air kecil, atau dengan menjadi khunsa musykil. Jika dia khunsa musykil, dia boleh menikah dengan salah satu dari keduanya. Jika dia menikah dengan salah satu, dia tidak boleh menikah dengan yang lain, dan dia mewarisi dan diwarisi dari tempat dia buang air kecil.

Apa yang Disukai dari Menikahkan Budak

Allah Ta’ala berfirman, “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian dan orang-orang yang layak dari hamba sahaya kalian yang laki-laki dan hamba sahaya kalian yang perempuan.” (QS. An-Nur: 32).

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Maka hukum-hukum Allah Ta’ala dan Rasul-Nya SAW menunjukkan bahwa tidak ada kekuasaan bagi wali, baik ayah atau lainnya, atas janda-janda mereka. Dan janda-janda mereka adalah wanita yang telah menikah.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila kalian menceraikan istri-istri, lalu mereka telah sampai pada waktu iddahnya, maka janganlah kalian menghalangi mereka untuk menikah dengan suami-suami mereka.” (QS. Al-Baqarah: 232).

Dan Dia berfirman tentang wanita-wanita yang beriddah, “Maka apabila mereka telah sampai pada waktu iddah mereka, maka tidak ada dosa atas kalian dalam hal yang mereka lakukan pada diri mereka.” (QS. Al-Baqarah: 234).

Dan Rasulullah SAW bersabda, “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis perawan dimintai izin atas dirinya,” bersama dengan selain itu. Dan Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa budak adalah milik orang yang memilikinya, dan mereka tidak memiliki apa-apa dari diri mereka sendiri.

Dan saya tidak mengetahui dalil yang mewajibkan menikahkan budak laki-laki dan perempuan yang layak sebagaimana saya menemukan dalil tentang menikahkan orang merdeka, kecuali secara mutlak. Maka saya lebih menyukai untuk menikahkan budak laki-laki dan perempuan yang telah baligh, dan orang-orang yang layak di antara mereka secara khusus. Dan tidak jelas bagi saya bahwa seseorang dipaksa untuk melakukannya, karena ayat itu bisa jadi dimaksudkan untuk menunjukkan, bukan untuk mewajibkan.

Pernikahan dengan Batasan Jumlah dan Pernikahan Budak

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Maka nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai, dua, tiga, atau empat,” (QS. An-Nisa: 3) sampai firman-Nya, “agar kalian tidak condong (menzalimi).” (QS. An-Nisa: 3).

Imam Syafi’i rahimahullah berkata: Sebagaimana kami jelaskan dalam ayat itu, wallahu ta’ala a’lam, bahwa orang yang diajak bicara adalah orang merdeka karena firman-Nya Ta’ala, “maka satu saja atau hamba sahaya yang kalian miliki,” (QS. An-Nisa: 3) karena hanya orang merdeka yang memiliki hamba sahaya. Dan firman-Nya, “itu lebih dekat agar kalian tidak condong,” (QS. An-Nisa: 3) maka hanya orang yang memiliki harta yang akan condong, dan budak tidak memiliki harta.

Diberitakan kepada kami oleh Ar-Rabi’ dari Syafi’i, dia berkata: Diberitakan kepada kami oleh Ibnu Uyainah, dia berkata: Diberitakan kepada saya oleh Muhammad bin Abdurrahman, budak Thalhah, dan dia adalah orang yang terpercaya, dari Sulaiman bin Yasar, dari Abdullah bin Utbah bahwa Umar bin Al-Khattab RA berkata: Budak menikahi dua wanita.

Imam Syafi’i berkata: Ini adalah pendapat sebagian besar mufti di kota-kota, dan budak tidak boleh melebihi dua wanita. Demikian pula setiap orang yang tidak memiliki kebebasan yang sempurna, seperti budak yang sebagiannya telah dimerdekakan, mukatab, mudabbar, dan orang yang dimerdekakan pada waktu tertentu.

Dan budak dalam hal lebih dari dua wanita sama seperti orang merdeka dalam hal lebih dari empat, tidak ada perbedaan. Jika orang merdeka melebihi empat, maka saya katakan pernikahan wanita-wanita terakhir yang melebihi empat itu dibatalkan. Demikian pula pernikahan wanita yang dilebihi oleh budak dari dua itu dibatalkan.

Dan setiap kali tidak jelas mana yang pertama, apa yang dilebihi oleh orang merdeka dari empat, maka saya membatalkan pernikahan itu, atau dia mengumpulkan dalam akad lebih dari empat, lalu saya membatalkan pernikahan mereka semua, maka saya akan melakukan hal yang sama pada budak dalam hal yang tidak jelas, dan dia mengumpulkan dalam akad lebih dari dua.

Maka pada bab ini, semua itu adalah qiyasnya. Dan saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara orang yang saya temui, dan tidak pula diriwayatkan kepada saya dari orang-orang yang berilmu, bahwa pernikahan budak tidak boleh kecuali dengan izin tuannya. Dan sama saja apakah tuannya laki-laki atau perempuan. Jika tuannya mengizinkannya, pernikahannya sah, dan saya tidak memerlukan tuannya untuk mengadakan akad nikah, tetapi dia sendiri yang mengikatnya jika dia mau jika dia diizinkan.

Dan pernikahan budak hanya sah dengan izin tuannya jika tuannya sudah baligh dan tidak berada di bawah perwalian. Adapun jika dia berada di bawah perwalian, maka budak tidak boleh menikah sama sekali, dan walinya tidak boleh menikahkannya menurut pendapat yang mengatakan bahwa menikahkan itu adalah petunjuk, bukan kewajiban. Dan siapa pun yang mengatakan bahwa menikahkan itu adalah kewajiban, maka walinya harus menikahkannya.

Jika budak itu dimiliki oleh dua orang, lalu salah satu dari mereka mengizinkannya untuk menikah, lalu dia menikah, maka pernikahan itu batal, dan pernikahannya tidak sah sampai keduanya sepakat untuk mengizinkannya. Dan tuan tidak boleh memaksa budaknya untuk menikah. Jika dia melakukannya, maka pernikahan itu batal.

Demikian pula jika dia menikahkan budaknya tanpa izinnya, lalu budak itu ridha, maka pernikahan itu batal.

Dan dia boleh menikahkan budak perempuannya tanpa izinnya, baik dia gadis perawan atau janda. Dan jika seorang laki-laki mengizinkan budaknya untuk menikahi wanita merdeka lalu dia menikahi budak perempuan, atau budak perempuan lalu dia menikahi wanita merdeka, atau wanita tertentu lalu dia menikahi yang lain, atau wanita dari penduduk suatu kota lalu dia menikahi wanita dari kota lain, maka pernikahan itu batal.

Dan jika dia berkata kepadanya, “Nikahilah siapa pun yang kamu mau,” lalu dia menikahi wanita merdeka atau budak perempuan dengan pernikahan yang sah, maka pernikahan itu sah.

Dan budak, jika diizinkan oleh tuannya, dia boleh melamar untuk dirinya sendiri, tidak seperti wanita. Demikian pula orang yang berada di bawah perwalian, jika walinya mengizinkannya, dia boleh melamar untuk dirinya sendiri.

Jika dia mengizinkannya untuk menikahi seorang wanita atau berkata, “Siapa pun yang kamu mau,” lalu dia menikahi wanita yang diizinkan olehnya, atau menikahi seorang wanita dengan perkataannya, “Nikahilah siapa pun yang kamu mau,” dan dia memberikan mahar lebih dari mahar sepadannya, maka pernikahan itu tetap sah, dan dia berhak atas mahar sepadannya, tidak lebih dari itu. Dan dia tidak boleh membatalkan pernikahan itu karena pernikahan tidak batal karena mahar dalam keadaan apa pun.

Dan kelebihan dari mahar sepadannya akan ditagih kepada budak itu jika dia merdeka, dan tidak ada cara baginya untuk menagihnya dalam keadaan dia budak karena hartanya adalah milik tuannya. Jika dia adalah mukatab (budak yang berjanji untuk memerdekakan dirinya sendiri dengan membayar sejumlah uang kepada tuannya), maka tidak ada cara baginya untuk menagihnya dalam keadaan dia mukatab karena dia tidak memiliki kepemilikan penuh atas hartanya, dan hartanya ditangguhkan sampai dia gagal, lalu dia kembali kepada tuannya, atau dia merdeka, lalu dia memilikinya. Jika dia merdeka, dia (istri) boleh mengambil darinya kelebihan dari mahar sepadannya sampai dia mendapatkan apa yang disebutkan kepadanya.

Jika ini terjadi pada orang merdeka yang berada di bawah perwalian, dia tidak boleh menagihnya karena kami menolak urusan budak karena hartanya adalah milik orang lain, dan urusan orang yang berada di bawah perwalian adalah karena perwalian, dan harta itu miliknya.

Dan wanita tidak berhak atas apa-apa jika suaminya berhubungan intim dengannya ketika dia berkata, “Dia belum berhubungan intim dengan saya,” kecuali setengah mahar, dan dia tidak memiliki iddah karena dia berpisah sebelum berhubungan intim.

Pernikahan Khunsa (Hermafrodit)

Imam Syafi’i berkata: Jika seorang laki-laki menikahi khunsa sebagai wanita dan dia buang air kecil dari tempat wanita, atau dia adalah khunsa musykil dan belum menikah sebagai laki-laki, maka pernikahan itu sah, dan dia tidak memiliki pilihan.

Jika dia menikahi khunsa sebagai laki-laki dan dia buang air kecil dari tempat wanita, atau sebagai wanita dan dia buang air kecil dari tempat laki-laki, maka pernikahan itu batal, tidak boleh menikah kecuali dari tempat dia buang air kecil atau dengan menjadi khunsa musykil. Jika dia khunsa musykil, dia boleh menikah dengan salah satu dari keduanya. Jika dia menikah dengan salah satu, dia tidak boleh menikah dengan yang lain, dan dia mewarisi dan diwarisi dari tempat dia buang air kecil.

 

[Tentang Anjuran Menikahkan Budak Laki-Laki]

Allah Ta‘ala berfirman: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian dan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba sahaya laki-laki dan perempuan kalian.” (An-Nur: 32).

(Imam Syafi‘i berkata): Maka hukum-hukum Allah Ta‘ala dan kemudian Rasul-Nya menunjukkan bahwa para wali, baik ayah maupun selainnya, tidak memiliki hak milik atas perempuan-perempuan yang telah janda (ayama), baik yang masih gadis maupun janda. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan apabila kalian menceraikan para wanita lalu mereka telah menyelesaikan masa iddahnya, maka janganlah kalian menghalangi mereka menikah kembali dengan suami-suami mereka.” (Al-Baqarah: 232).

Dan dalam masalah perempuan-perempuan yang menjalani masa iddah Allah berfirman: “Apabila mereka telah menyelesaikan masa iddahnya, maka tidak ada dosa bagi kalian tentang apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dengan cara yang patut.” (Al-Baqarah: 234).

Rasulullah bersabda: “Perempuan yang pernah menikah lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan perempuan gadis dimintai izinnya terhadap dirinya sendiri.”

Beserta dalil-dalil lainnya, Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa budak adalah milik siapa yang memilikinya dan mereka tidak memiliki kendali atas diri mereka sendiri sedikit pun.

Aku tidak mengetahui adanya dalil yang mewajibkan menikahkan budak laki-laki dan perempuan yang saleh sebagaimana terdapat dalil wajibnya menikahkan laki-laki merdeka, kecuali dalil yang bersifat umum. Maka yang lebih aku sukai adalah menikahkan budak laki-laki dan perempuan yang telah baligh, khususnya yang saleh di antara mereka. Dan belum tampak bagiku bahwa ada yang dipaksa menikah, karena ayat tersebut memungkinkan dimaknai sebagai anjuran, bukan kewajiban.

[Pernikahan Jumlah dan Pernikahan Budak]

Allah Ta‘ala berfirman: “Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat.” (An-Nisa: 3), hingga firman-Nya “Agar kalian tidak berbuat zalim.”

(Imam Syafi‘i berkata): Sebagaimana telah kami jelaskan dalam ayat ini, wallahu a‘lam, bahwa yang diajak bicara dalam ayat ini adalah orang-orang merdeka, karena firman-Nya “Atau (dengan) budak perempuan yang kalian miliki.” Karena yang memiliki (budak) hanyalah orang-orang merdeka. Dan firman-Nya “Agar kalian tidak berbuat zalim” menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang yang memiliki harta, sementara budak tidak memiliki harta.

Diriwayatkan kepada kami oleh Ar-Rabi‘, ia berkata: Diberitakan kepada kami oleh Asy-Syafi‘i, ia berkata: Diberitakan kepada kami oleh Ibnu ‘Uyainah, dari Muhammad bin ‘Abdurrahman, maula Thalhah, seorang yang tepercaya, dari Sulaiman bin Yasar, dari ‘Abdullah bin ‘Utbah bahwa ‘Umar bin Khattab ra. berkata: “Budak laki-laki boleh menikahi dua perempuan.”

(Imam Syafi‘i berkata): Inilah pendapat mayoritas para mufti di berbagai negeri, bahwa budak laki-laki tidak boleh menikahi lebih dari dua perempuan. Demikian pula setiap orang yang belum sepenuhnya merdeka, seperti budak yang merdeka sebagian, mukatab, mudabbir, dan orang yang dimerdekakan secara tertunda.

Budak dalam hal jumlah lebih dari dua istri sama seperti orang merdeka dalam hal lebih dari empat istri. Jika orang merdeka menikahi lebih dari empat istri, maka pernikahan istri terakhir yang melebihi jumlah itu batal. Begitu juga pernikahan budak yang melebihi dua istri batal.

Setiap kasus yang samar tentang siapa yang lebih dahulu dinikahi, lalu seorang laki-laki menikahi lebih dari empat perempuan, maka seluruh akad nikahnya dibatalkan. Demikian pula pada budak yang menikahi lebih dari dua perempuan dalam kondisi samar, maka semua pernikahannya dibatalkan. Inilah qiyas (analogi) pada semua bagian ini.

Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dari para ahli ilmu yang aku temui maupun yang diceritakan kepadaku bahwa tidak sah pernikahan budak kecuali dengan izin tuannya, baik tuannya laki-laki maupun perempuan. Jika tuannya mengizinkannya, maka sah pernikahannya, dan tidak perlu tuannya sendiri yang menikahkannya. Budak boleh menikahkan dirinya sendiri dengan izin tuannya.

Dan tidak sah pernikahan budak kecuali tuannya sudah baligh dan tidak sedang berada di bawah perwalian. Jika tuannya berada di bawah perwalian, maka budak tidak boleh menikah sama sekali, dan walinya juga tidak boleh menikahkannya, menurut pendapat yang mengatakan bahwa menikahkan budak adalah anjuran, bukan kewajiban. Dan menurut yang mengatakan bahwa menikahkan budak adalah kewajiban, maka walinya wajib menikahkannya.

Jika budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satu dari keduanya mengizinkan untuk menikah, kemudian ia menikah, maka pernikahannya batal. Tidak sah pernikahannya hingga keduanya sepakat memberikan izin.

Dan tuan tidak boleh memaksa budaknya untuk menikah. Jika ia memaksanya, maka pernikahannya batal.

Demikian pula, jika seorang tuan menikahkan budaknya tanpa izinnya lalu budak itu ridha, maka pernikahannya batal.

Namun, ia boleh menikahkan budak perempuannya tanpa izinnya, baik budak itu masih gadis maupun janda.

Jika seorang laki-laki mengizinkan budaknya menikahi perempuan merdeka, lalu ia menikahi budak perempuan; atau mengizinkan menikahi budak, lalu ia menikahi perempuan merdeka; atau mengizinkan menikahi perempuan tertentu, lalu ia menikahi perempuan lain; atau mengizinkan menikahi perempuan dari satu negeri, lalu ia menikahi perempuan dari negeri lain — maka pernikahannya batal.

Namun, jika ia berkata, “Nikahilah siapa pun yang engkau kehendaki,” lalu ia menikahi perempuan merdeka atau budak dengan pernikahan yang sah, maka pernikahannya sah.

Budak yang diizinkan oleh tuannya boleh meminang perempuan untuk dirinya sendiri, dan ia tidak seperti perempuan (yang harus dipinangkan walinya).

Demikian pula, orang yang berada di bawah perwalian, jika diizinkan oleh walinya, boleh meminang perempuan untuk dirinya sendiri.

Jika ia diizinkan menikahi perempuan tertentu, lalu ia menikahi perempuan itu, atau diizinkan menikahi siapa saja, lalu ia menikahi perempuan yang ia kehendaki, dan ia memberinya mahar lebih dari mahar sepadannya, maka pernikahannya tetap sah dan ia hanya wajib membayar mahar sepadan. Tidak boleh lebih dari itu, dan perempuan tersebut tidak memiliki hak membatalkan pernikahan, karena pernikahan tidak menjadi batal hanya karena mahar.

Budak tersebut wajib membayar kelebihan dari mahar sepadan jika ia telah merdeka, namun selama ia masih menjadi budak, perempuan tersebut tidak bisa menagihnya karena hartanya adalah milik tuannya.

 

Jika budak tersebut adalah seorang mukatab (yang sedang mencicil kemerdekaannya), maka ia juga tidak bisa ditagih selama masa kitabah, karena kepemilikannya terhadap hartanya belum sempurna dan hartanya masih tertahan, bisa kembali kepada tuannya jika ia gagal membayar, atau menjadi miliknya jika ia berhasil merdeka. Jika ia telah merdeka, maka perempuan tersebut boleh menagih kelebihan mahar hingga lunas.

Jika hal yang sama terjadi pada laki-laki merdeka yang berada di bawah perwalian, maka perempuan tidak boleh menagih kelebihan mahar tersebut, karena dalam kasus budak, hartanya milik orang lain; sementara dalam kasus laki-laki yang berada di bawah perwalian, hartanya adalah miliknya, tetapi ia berada di bawah perwalian.

(Imam asy-Syāfi‘ī berkata): Jika seorang laki-laki mengizinkan budaknya untuk menikahi seorang wanita tanpa menyebutkan nama wanita itu ataupun negerinya, lalu si budak menikahi wanita dari luar daerah tuannya, maka pernikahannya sah, dan tuannya tidak berhak membatalkannya. Akan tetapi, tuan boleh melarang budak itu pergi ke negeri tersebut.

Jika seorang tuan mengizinkan budaknya untuk menikah dengan seorang wanita, maka mahar yang harus diberikan berasal dari penghasilan budak tersebut. Tuan tidak boleh mencegah budaknya bekerja untuk memberikan mahar kepada istrinya. Demikian pula dengan nafkah jika nafkah istri telah menjadi kewajiban. Jika budak itu telah diberi izin untuk berdagang, maka ia boleh memberikan mahar dari harta yang ada di tangannya. Namun jika tidak diberi izin berdagang, maka harta yang ada adalah milik tuan, dan tuan berhak mengambilnya, tapi tetap harus membiarkan budak itu bekerja untuk mendapatkan mahar. Sebab, izin menikah juga merupakan izin untuk mencari mahar dan memberikannya.

Jika tuan mengizinkannya untuk menikah, maka budak itu boleh bepergian dengannya (istrinya), dan ia boleh mengutusnya ke mana saja ia kehendaki. Namun, apabila budak itu berada di kota, maka tuan tidak boleh mencegahnya bertemu istrinya saat ia tidak memiliki tugas (layanan) untuk tuannya. Tapi tuan boleh melarangnya menemui istrinya pada waktu yang ia butuh pelayanan darinya.

Tidak ada kewajiban mahar atau nafkah atas budak maupun pada harta tuannya, kecuali jika tuan menjamin (menanggung) maka ia wajib menunaikannya sebagaimana seseorang menanggung utang untuk orang lain.

Jika seorang tuan mengizinkan budaknya menikahi wanita merdeka dengan mahar seribu dirham, lalu budak itu menikahinya dan tuan menjamin pembayaran seribu itu, maka jaminan itu sah, dan si wanita boleh menuntut tuan berdasarkan jaminan tersebut. Budak tidak bebas dari tanggungan sampai wanita itu benar-benar menerima mahar tersebut.

Apabila kemudian si tuan menjual budak itu kepada si istri dengan harga seribu dirham tersebut, sebelum terjadi hubungan badan, maka penjualannya batal. Sebab akad jual beli dan seribu dirham itu terjadi bersamaan, dan tidak mungkin salah satunya mendahului yang lain. Wanita itu tidak dapat memiliki budak itu dengan mahar yang sama karena apabila ia memiliki suaminya maka otomatis pernikahan menjadi batal. Maka jual beli tersebut tidak sah, mahar tetap menjadi haknya, dan budak tetap milik tuannya, serta keduanya masih dalam status pernikahan.

(Ar-Rabī‘ berkata): Jika seorang tuan mengizinkan budaknya menikah dengan mahar seribu dirham, lalu ia menikah dan tuan menjamin seribu dirham tersebut, kemudian wanita itu menuntut mahar itu sebelum terjadi hubungan badan, lalu suaminya menjual dirinya kepada istrinya dengan mahar yang sama, maka jual beli itu batal dan pernikahan tetap sah. Karena jika seorang wanita memiliki suaminya, maka pernikahan otomatis batal, dan apabila pernikahan batal, maka maharnya juga batal. Dan jika tidak ada mahar, maka budak dibeli tanpa harga, maka jual beli itu batal dan pernikahan tetap berlaku. (Ar-Rabī‘ berkata): Ini adalah pendapat Imam asy-Syāfi‘ī bahwa pernikahan tetap berlaku.

(Imam asy-Syāfi‘ī berkata): Baik penjualan dilakukan dengan izin budak maupun tanpa izinnya, tetap tidak sah, karena wanita itu tidak dapat memiliki suaminya dengan seribu dirham tersebut atau sebagian darinya, sebab seluruhnya menjadi batal jika ia memilikinya. Jika budak itu menceraikannya sebelum digauli, maka wanita itu berhak atas separuh mahar. Namun, apabila dalam keadaan yang sama ia dibeli tanpa izin budak dengan seribu dirham atau lebih atau kurang, maka jual beli sah, budak menjadi milik wanita itu, dan ia wajib membayar harga jual tersebut, serta pernikahan batal dari sisi wanita dan dari sisi tuan (karena tuan tidak berwenang menceraikan). Namun jika penjualan dilakukan secara tidak sah, maka keduanya tetap dalam status pernikahan.

Jika istri budak adalah seorang budak juga, lalu ia membeli suaminya dengan izin tuannya, atau suaminya membeli istrinya dengan izin tuannya, maka pernikahan tetap berlaku. Begitu pula jika istri diberi sebagai hibah kepadanya, atau suaminya diberi sebagai hibah, atau salah satunya menjadi milik yang lain dengan cara apapun, maka pernikahan tetap sah karena kepemilikan keduanya adalah milik tuannya, bukan milik pribadi mereka.

Namun jika salah satu dari pasangan adalah orang merdeka dan ia membeli pasangannya yang budak dengan izin pemilik bagian budak tersebut, maka pernikahan menjadi batal karena ia memiliki sebagian dari pasangannya sebagaimana ia memiliki sebagian dirinya.

Jika seorang tuan mengizinkan budaknya menikah dengan siapa saja dan sebanyak yang ia kehendaki, maka budak itu boleh menikahi dua wanita merdeka, baik muslimah, kitabiyah, atau dzimmiyyah. Ia boleh menikahi wanita merdeka di atas budak wanita, atau budak di atas merdeka, atau menikahi budak dan merdeka secara bersamaan. Namun, ia tidak boleh menikahi budak wanita kitabiyah karena wanita budak kitabiyah tidak halal bagi Muslim, kecuali bila digauli sebagai budak milik (dengan kepemilikan penuh/ milk al-yamīn).

Jika seorang tuan berkata kepada budaknya, “Aku telah menikahkanmu,” maka pernikahan tidak sah kecuali jika budak itu menyetujuinya. Jika tuan mengatakan kepada budak, “Aku telah menikahkanmu dengan Fulanah atas permintaanmu,” lalu wanita itu mengakuinya dan budak membantah, maka perkataan budak yang diterima dengan sumpah, dan pihak wanita wajib mendatangkan bukti.

[Hamba Menipu tentang Statusnya dan Status Budak Perempuan]

(Imam Syafi’i berkata:) Jika seorang hamba melamar seorang perempuan dan memberitahunya bahwa ia adalah orang merdeka, lalu perempuan itu menikah dengannya, kemudian diketahui bahwa ia adalah seorang hamba, maka perempuan itu atau walinya memiliki hak memilih untuk tetap bersamanya atau berpisah. Jika ia memilih berpisah sebelum terjadi hubungan badan, maka ia tidak berhak mendapatkan mahar atau mut’ah, karena ini merupakan pembatalan akad tanpa talak. Namun, jika ia memilih tetap bersamanya setelah berhubungan badan, maka ia berhak atas mahar yang setara dengannya.

Jika hamba itu melamarnya tanpa menyebutkan status, lalu perempuan itu menyangka bahwa ia merdeka, maka ia tidak memiliki hak memilih (fasakh). Jika seorang lelaki menikahi seorang budak perempuan dengan menyangka bahwa ia merdeka, maka anak-anak dari pernikahan itu menjadi budak. Ia boleh menceraikannya atau tetap bersamanya. Tetapi jika budak perempuan itu menipunya dengan mengatakan bahwa ia merdeka, maka anak-anaknya merdeka, baik sang suami adalah orang merdeka, hamba, atau mukatab, karena ia menikahinya dengan niat anak-anaknya kelak akan merdeka.

Jika yang menipunya adalah orang lain (bukan perempuan itu), lalu ia mendapatkan anak dari perempuan tersebut, kemudian diketahui bahwa ia adalah budak, maka anak-anaknya tetap merdeka, dan tuannya berhak menuntut mahar yang setara dengan perempuan itu dari suaminya. Suami tidak boleh menuntut ganti rugi dari si penipu, baik perempuan itu atau lainnya. Namun, suami wajib mengganti nilai anak-anaknya saat dilahirkan, lalu ia boleh menuntutnya dari si penipu di tanggungan utangnya. Jika yang menipu adalah perempuan itu sendiri, maka suami boleh menuntutnya setelah ia merdeka, tetapi tidak selama ia masih menjadi budak. Jika ia telah diwajibkan membayar tetapi belum membayarnya, maka ia tidak berhak menuntut kembali apa yang belum ia bayarkan.

 

[Budak Menyukai Budak Perempuan (Tasyarrī)]

Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau terhadap hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela” (QS. Al-Mu’minun: 5–6). Maka ayat ini menunjukkan bahwa pemilikan kemaluan (yakni hubungan suami-istri) hanya dibolehkan dengan dua cara: pernikahan atau milik (budak) secara sah.

Allah juga berfirman: “Allah membuat perumpamaan (dengan) seorang hamba sahaya yang tidak memiliki sesuatu pun” (QS. An-Nahl: 75).

(Imam Syafi’i berkata:) Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya bahwa Nabi bersabda: “Barang siapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya untuk penjualnya kecuali jika pembeli mensyaratkan”. Maka Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa budak tidak memiliki harta secara hakiki. Apa yang dinisbatkan kepada kepemilikan budak hanyalah bentuk ucapan saja, bukan kepemilikan hakiki. Sebagaimana dikatakan kepada guru: “Anak-anakmu”, atau kepada gembala: “Kambingmu”, atau kepada pengurus rumah: “Rumahmu” — semua hanya karena ia mengurusnya.

Maka tidak halal — wallahu a‘lam — bagi seorang budak untuk bersetubuh dengan budak perempuan milik tuannya (tasyarrī), baik dengan izin tuannya maupun tanpa izin, karena Allah hanya membolehkan tasyarrī bagi orang yang memiliki budak, sedangkan budak tidak dianggap sebagai pemilik dalam bentuk apapun. Begitu pula orang yang belum merdeka sepenuhnya, seperti hamba yang setengah merdeka, mukatab, atau mudabbir, tidak boleh bersetubuh dengan budak perempuan dengan alasan milik sampai ia benar-benar merdeka.

Adapun nikah, maka boleh dilakukan dengan izin tuannya. Jika seorang budak menyetubuhi budak perempuan sebagai tasyarrī, maka tuannya berhak mencabut budak perempuan itu darinya, dan jika ia mau, tuannya boleh menikahkan budak perempuan itu dengan orang lain.

Jika budak itu kemudian dimerdekakan, dan ia sebelumnya telah menyetubuhi budak perempuan itu dan budak itu telah melahirkan anak, maka budak perempuan itu tidak menjadi ummu walad baginya sampai ia menyetubuhinya setelah ia merdeka dan budak perempuan itu melahirkan lagi.

Jika yang melakukan tasyarrī adalah budak setengah merdeka terhadap budak perempuan yang diberikan oleh tuannya kepadanya, lalu budak itu melahirkan, kemudian ia merdeka, maka budak perempuan itu menjadi ummu walad baginya, karena ia telah memilikinya saat itu. Namun, tuannya boleh meminta kembali nilai dari bagian budak perempuan tersebut sesuai dengan bagian perbudakan yang masih dimiliki, seolah-olah tuannya telah memberikannya sebelum ia sepenuhnya merdeka — dan karena ia hanya memiliki setengah dirinya, maka setengah dari budak perempuan itu menjadi miliknya karena kebebasan, dan setengah lainnya dapat ditarik oleh tuannya.

[Budak lelaki atau perempuan yang menipu]

(Al-Imam asy-Syafi‘i -rahimahullah ta‘ala- berkata): Jika seorang budak laki-laki melamar seorang wanita dan memberitahunya bahwa dia adalah orang merdeka, lalu wanita itu menikahinya, kemudian diketahui ternyata dia adalah seorang budak, maka wanita tersebut dan walinya memiliki hak untuk memilih: tetap bersamanya atau berpisah darinya. Jika ia memilih berpisah sebelum terjadi hubungan suami-istri, maka ia tidak berhak mendapat mahar dan tidak pula mut‘ah, karena itu merupakan pembatalan nikah tanpa talak. Jika ia memilih tetap bersamanya setelah terjadi hubungan, maka ia berhak mendapat mahar yang sepadan dengannya. Jika ia melamarnya tanpa menyebutkan status, dan wanita itu mengira ia merdeka, maka tidak ada hak pilih baginya.

Jika seorang laki-laki menikahi seorang budak perempuan dengan sangkaan bahwa dia merdeka, maka anak-anak mereka menjadi budak. Dia boleh menceraikannya atau tetap mempertahankannya. Tetapi jika wanita itu menipunya dengan mengatakan bahwa ia merdeka, maka anak-anaknya adalah orang-orang merdeka, baik yang tertipu itu adalah orang merdeka, budak, atau mukatab. Sebab, ia tidak menikah kecuali dengan keyakinan bahwa anaknya akan merdeka.

Jika yang menipunya adalah orang lain, lalu wanita itu melahirkan anak, kemudian diketahui bahwa dia adalah budak, maka anak-anak itu adalah orang merdeka, dan tuan wanita tersebut berhak menuntut mahar yang sepadan dari suaminya. Suaminya tidak boleh menuntut kepada penipu, tidak juga kepada wanita itu, tetapi ia harus membayar harga anak-anaknya pada hari mereka lahir, dan ia boleh menuntut orang yang menipunya untuk membayar ganti rugi.

Jika wanita itu sendiri yang menipu, maka suaminya boleh menuntutnya setelah ia merdeka atas nilai yang telah ia bayarkan untuk anak-anak mereka. Namun ia tidak dapat menuntutnya selagi ia masih budak. Dan jika ia diwajibkan membayar nilai anak-anak tetapi belum dibayar, maka ia tidak boleh menuntut sesuatu yang belum ia bayarkan.

[Budak yang melakukan hubungan dengan budak perempuan (tasyarrī)]

Allah Ta‘ala berfirman: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya” hingga firman-Nya “maka mereka tidak tercela” (QS al-Mu’minun: 5–6). Maka kitab Allah menunjukkan bahwa kehalalan hubungan seksual hanya melalui dua cara: pernikahan atau kepemilikan budak perempuan.

Allah juga berfirman: “Allah membuat perumpamaan seorang budak yang tidak berkuasa atas sesuatu pun” (QS an-Nahl: 75). (Asy-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari az-Zuhri dari Salim dari ayahnya bahwa Nabi bersabda: “Siapa yang menjual budak dan ia memiliki harta, maka hartanya milik penjual, kecuali pembeli menyaratkannya.”

Ini menunjukkan, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, bahwa budak tidak memiliki harta secara hakiki. Kepemilikannya hanya penyandaran nama saja, seperti dikatakan kepada guru: “muridmu”, kepada penggembala: “kambingmu”, kepada pengelola rumah: “rumahmu” — meskipun ia tidak memilikinya.

Maka tidak halal —wallahu a‘lam— bagi budak untuk melakukan tasyarrī, baik tuannya mengizinkan atau tidak, karena Allah hanya menghalalkan tasyarrī bagi orang yang memiliki, dan budak tidak dianggap sebagai pemilik dalam keadaan apa pun. Begitu pula bagi siapa pun yang belum sepenuhnya merdeka: seperti budak yang baru dimerdekakan sebagian, mukatab, atau mudabbar — tidak halal baginya menyetubuhi wanita melalui kepemilikan budak sampai ia merdeka. Sedangkan pernikahan diperbolehkan baginya dengan izin dari pemiliknya.

Jika seorang budak melakukan tasyarrī, maka tuannya berhak mencabut budak wanita tersebut darinya dan menikahkannya dengan siapa pun yang ia kehendaki.

Jika seorang budak yang melakukan tasyarrī kemudian dimerdekakan, dan ia telah memiliki anak darinya, maka wanita itu belum menjadi ummu walad sampai ia menyetubuhinya setelah merdeka dan kemudian melahirkan. Jika seorang budak yang telah dimerdekakan sebagian melakukan tasyarrī terhadap budak perempuan yang diberikan oleh tuannya, kemudian melahirkan, lalu ia dimerdekakan sepenuhnya, maka wanita itu adalah ummu walad baginya, karena pada saat itu ia dianggap sebagai pemilik.

Jika tuannya ingin, ia boleh mengambil nilai setengah dari budak perempuan tersebut sesuai dengan bagian kepemilikannya, seolah-olah ia telah menghadiahkannya sebelumnya, sementara ia masih setengah budak, maka separuhnya milik dirinya sebagai orang merdeka, dan separuhnya lagi milik tuannya — karena sesuatu yang dimiliki oleh budak menjadi milik tuannya.

[Jika budak atau setengah merdeka menyetubuhi budak perempuan]

Jika budak, atau orang yang belum sepenuhnya merdeka, atau mukatab, menyetubuhi budak perempuan karena ia menyangka memiliki hak milik, maka anak yang dilahirkan dinasabkan kepadanya dan ia tidak dikenai had karena adanya syubhat. Jika kemudian ia dimerdekakan dan benar-benar memiliki budak tersebut, maka ia berhak menjualnya. Wanita itu tidak menjadi ummu walad yang menghalangi penjualan, kecuali jika ia menyetubuhinya setelah menjadi orang merdeka dan memiliki sepenuhnya.

Jika dikatakan: “Telah diriwayatkan bahwa Ibn ‘Umar membolehkan budak menyetubuhi budak perempuan,” maka dijawab: “Benar, tetapi beliau juga menyatakan bahwa tidak boleh seorang lelaki menyetubuhi budak wanita kecuali budak wanita yang bisa ia jual, hibahkan, atau perbuat sesukanya.”

Jika dikatakan: “Telah diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas,” maka dijawab: “Ibn ‘Abbas hanya berkata demikian dalam kasus budak yang menceraikan istrinya. Ia mengatakan: ‘Engkau tidak punya hak menceraikan, tetaplah bersamanya’, tetapi budak itu menolak, maka ia berkata: ‘Dia milikmu,’ maksudnya halal baginya melalui kepemilikan yang sah lewat akad nikah, bukan karena kepemilikan budak.”

Dalilnya telah disebutkan dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dan engkau sendiri menyatakan bahwa budak yang menceraikan tetap sah talaknya, dan ia tidak halal kembali kecuali setelah dua atau tiga talak.

[Pembatalan nikah karena salah satu pasangan masuk Islam]

Allah Ta‘ala berfirman: “Jika datang kepada kalian wanita-wanita mukmin yang berhijrah, maka ujilah mereka…” hingga “dan mereka (orang kafir) tidak halal bagi mereka (wanita muslimah)” (QS al-Mumtahanah: 10). Dan juga firman-Nya: “Janganlah kalian mempertahankan tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Ayat ini turun pada masa gencatan senjata antara Nabi dan penduduk Makkah yang masih musyrik. Firman Allah “maka ujilah mereka” maksudnya adalah mengajak mereka kepada iman. Jika mereka menerima dan mengakuinya, maka mereka dianggap sebagai mukminah menurut pengetahuan manusia atas sesuatu yang tampak. Firman-Nya “Allah lebih mengetahui keimanan mereka” menunjukkan bahwa hakikat iman tetap menjadi urusan Allah, dan manusia hanya menilai berdasarkan yang tampak.

Maka jika dua orang pasangan masih musyrik, lalu salah satunya masuk Islam terlebih dahulu, maka hubungan seksual menjadi haram hingga yang lainnya masuk Islam, sebagaimana firman Allah “mereka tidak halal bagi mereka” dan “janganlah kalian mempertahankan tali perkawinan dengan wanita-wanita kafir.”

Ada dua kemungkinan: (1) akad pernikahan batal sejak salah satu masuk Islam karena tidak boleh ada hubungan suami-istri antara muslim dan musyrik; atau (2) akad tidak batal kecuali setelah jelas bahwa yang lain tidak masuk Islam dalam waktu tertentu, maka ketika waktu itu tiba dan ia belum juga masuk Islam, maka nikah dianggap batal.

(Asy-Syafi‘i berkata): Kami telah diberi kabar oleh sekelompok ahli ilmu dari kalangan Quraisy dan ahli sejarah bahwa:

Abu Sufyan masuk Islam di Marr, sementara Rasulullah telah menguasai tempat itu dan menjadikannya sebagai wilayah Islam. Istrinya Hindun binti ‘Utbah masih musyrik di Makkah yang saat itu adalah negeri perang. Ia mendatanginya untuk mengajaknya masuk Islam, tetapi Hindun menarik janggutnya dan berkata: “Bunuhlah orang tua yang sesat ini!” Beberapa hari kemudian ia masuk Islam dan membaiat Nabi , dan mereka tetap berstatus suami istri.

Dan juga:

Ketika Rasulullah menaklukkan Makkah, banyak dari penduduknya masuk Islam dan Makkah menjadi negeri Islam. Istri ‘Ikrimah bin Abi Jahl dan istri Shafwan bin Umayyah masuk Islam, sementara suami mereka melarikan diri ke daerah kekafiran di tepi laut dari arah Yaman. Setelah beberapa waktu, mereka kembali dan masuk Islam. Shafwan bahkan turut serta dalam Perang Hunain dalam keadaan masih kafir, lalu masuk Islam. Pernikahan mereka tetap berlaku dan istri-istri mereka tidak menyelesaikan masa ‘iddahnya.

Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa jika pasangan yang tidak masuk Islam tetap dalam kekufuran hingga ‘iddah istri selesai, maka ikatan pernikahan mereka batal. Tidak ada pengaruh apakah salah satu dari mereka tinggal di negeri Islam atau negeri kafir, karena yang menentukan halal dan haramnya adalah perbedaan agama, bukan tempat tinggal.

[Percabangan Kasus Islam Salah Satu Pasangan dalam Masa ‘Iddah]

(Asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata): Jika suami istri sama-sama musyrik penyembah berhala atau majusi, baik dari bangsa Arab atau non-Arab yang bukan Bani Israil, lalu memeluk agama Yahudi atau Nasrani, atau agama apa pun dari agama syirik, selama mereka bukan dari Bani Israil dan tidak beragama Yahudi atau Nasrani, kemudian salah satu dari keduanya masuk Islam terlebih dahulu, sementara suami sudah menggauli istrinya, maka suami tidak boleh menggauli istri dan status pernikahan tergantung selama masa ‘iddah. Jika pihak yang belum masuk Islam kemudian masuk Islam sebelum masa ‘iddah selesai, maka pernikahan tetap sah. Namun jika ia belum masuk Islam hingga masa ‘iddah selesai, maka hubungan suami istri mereka terputus dan putusnya itu dianggap fasakh, bukan talak. Maka sang istri boleh langsung menikah dengan siapa pun yang ia kehendaki, dan si suami boleh menikahi saudara perempuan istrinya itu atau menikahi empat perempuan lain. Masa ‘iddahnya seperti ‘iddah perempuan yang ditalak.

Jika perempuan itu menikah sebelum masa ‘iddah selesai, maka nikahnya batal. Jika suami yang menikahinya sempat menggaulinya, maka ia berhak atas mahar sepadan.

Jika pihak yang belum masuk Islam kemudian masuk Islam sebelum masa ‘iddahnya selesai, maka ia kembali menjadi istrinya dan suami harus menjauhinya hingga masa ‘iddah dari nikah yang rusak itu selesai. Hal ini berlaku sama, apakah yang pertama masuk Islam adalah istri atau suami.

Jika suami yang masuk Islam lebih dahulu, maka ia tidak boleh menikahi saudara perempuan istrinya selama masa ‘iddah, dan jika ia menikahinya, maka nikahnya batal. Demikian pula, ia tidak boleh menikahi empat wanita lain selama masa itu.

Jika yang masuk Islam adalah istri dan suaminya belum masuk Islam, lalu suaminya menikahi saudara istrinya atau empat wanita lain, kemudian ia masuk Islam sebelum masa ‘iddah selesai, maka ia harus memilih empat wanita di antara mereka dan menceraikan sisanya.

Asy-Syafi‘i berkata: Orang Nasrani dan Yahudi dalam hal ini seperti penyembah berhala jika perempuan masuk Islam sebelum laki-laki.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika laki-laki masuk Islam sebelum perempuan, maka keduanya tetap di atas akad nikah, karena laki-laki muslim boleh memulai akad nikah dengan perempuan Yahudi atau Nasrani.

Asy-Syafi‘i berkata: Dalam kasus ini, baik pasangan itu orang merdeka maupun budak, hukumnya sama. Jika salah satu dari Bani Israil adalah musyrik yang tidak beragama Yahudi atau Nasrani, maka ia termasuk dalam golongan penyembah berhala yang telah kami sebutkan.

 

[Masalah Jima’, Talak, Kematian, dan Ketidaksadaran]

(Asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata): Jika seorang penyembah berhala telah menggauli istrinya lalu salah satu dari keduanya masuk Islam dan salah satu dari mereka meninggal dunia, maka keduanya tidak saling mewarisi.

Jika suami yang meninggal dunia, maka istri menyempurnakan masa ‘iddahnya karena putusnya pernikahan, bukan ‘iddah kematian.

Jika pihak yang belum masuk Islam mengalami gangguan akal atau bisu hingga masa ‘iddah perempuan selesai, maka pernikahan mereka putus.

Jika ia hanya mengaku masuk Islam padahal tidak berakal, maka pernikahan tetap dianggap putus.

Pernikahan hanya tetap berlaku jika masuk Islam dilakukan dalam keadaan sadar dan berakal.

Demikian pula, jika pihak yang belum masuk Islam adalah anak kecil yang belum balig dan mengaku masuk Islam, maka hubungan pernikahan tetap dianggap putus.

Namun jika ia adalah orang mabuk lalu mengucapkan Islam, maka pernikahan tetap berlaku, karena aku menganggap keislaman orang mabuk sah dan jika ia murtad aku akan menjatuhkan hukuman mati padanya jika tidak mau bertobat.

Berbeda dengan orang yang kehilangan akal karena sebab selain mabuk, atau anak kecil—aku tidak mewajibkan Islam padanya, juga tidak menjatuhkan hukuman mati jika ia tidak menetap di atas Islam.

Jika suami yang masuk Islam dan istrinya belum masuk Islam, lalu istrinya tidak sadar akalnya atau belum balig, lalu mengaku masuk Islam, maka pernikahan tetap dianggap putus.

Jika seorang perempuan balig yang tidak kehilangan akal kecuali karena mabuk khamar atau nabidz yang memabukkan lalu masuk Islam, maka nikahnya tetap sah, karena aku memaksanya masuk Islam dan akan menghukumnya mati jika tidak.

Namun jika ia minum obat yang mengandung racun sehingga hilang akalnya lalu ia murtad, atau suaminya yang demikian, atau salah satu dari mereka musyrik lalu masuk Islam saat tidak sadar, kemudian sadar dan tetap pada agama sebelumnya, maka aku tidak menganggap murtad atau Islam saat kehilangan akal itu sah. Mereka tetap pada agama semula sampai mereka melakukan perubahan dalam keadaan sadar dan berakal.

 

[Hukum Talak dalam Masa ‘Iddah]

(Asy-Syafi‘i rahimahullāh berkata): Jika salah satu dari pasangan masuk Islam, maka nikah tergantung selama masa ‘iddah. Jika suami yang masuk Islam menceraikan istrinya, maka talaknya tergantung.

Jika pasangan yang belum masuk Islam masuk Islam selama masa ‘iddah, maka talaknya jatuh.

Namun jika ia tidak masuk Islam sampai masa ‘iddah selesai, maka talaknya tidak sah, karena kita tahu bahwa ketika masa ‘iddah selesai pasangan itu sudah tidak lagi menjadi suami istri, dan berarti ia menceraikan wanita yang bukan istrinya.

Demikian pula jika suami melakukan ila’ (sumpah tidak menggauli) atau zihar, maka hukumnya tergantung: berlaku jika pasangan yang belum masuk Islam masuk Islam dalam masa ‘iddah, dan gugur jika masa ‘iddah berakhir sebelum ia masuk Islam.

Jika salah satu masuk Islam dan istrinya meminta khulu’, maka khulu’nya tergantung. Jika pasangan satunya masuk Islam dalam masa ‘iddah, maka khulu’ sah.

Namun jika tidak sampai ia masuk Islam, maka khulu’nya batal dan apa yang diambil darinya harus dikembalikan.

Demikian pula jika suami menyerahkan urusan talak kepada istrinya lalu ia memilih cerai, atau ia menyerahkan urusannya kepada orang lain lalu orang itu menceraikannya, maka talaknya tergantung seperti yang aku jelaskan.

Namun jika istri menggugurkan hak mahar tanpa talak, atau suami memberi hadiah, maka hal itu sah, sebagaimana sahnya pembebasan kewajiban dan pemberian antara pasangan suami istri atau mantan pasangan.

 

[Persetubuhan dalam Masa Iddah]

(Imam al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seorang laki-laki masuk Islam dan istrinya belum masuk Islam dalam masa iddah lalu dia menyetubuhinya, maka persetubuhan itu haram baginya karena perbedaan agama dan ia dicegah darinya sampai istrinya masuk Islam atau berpisah darinya. Jika istrinya masuk Islam dalam masa iddah, maka tidak ada mahar baginya, karena kami mengetahui bahwa dia menyetubuhinya saat masih menjadi istrinya, meskipun jima’ itu haram sebagaimana keharaman jima’ karena haid, ihram, dan lain sebagainya, namun tetap tidak wajib mahar. Tetapi jika ia tidak masuk Islam sampai masa iddah berakhir sejak suaminya masuk Islam, maka terputuslah hubungan pernikahan dan ia berhak mendapat mahar mitsil, dan masa iddahnya disempurnakan sejak hari persetubuhan dan dihitung bersama sisa masa iddah dari hari suaminya masuk Islam. Hal ini juga berlaku jika istri yang masuk Islam lebih dahulu dan suami tetap dalam kekufuran, jika perkara itu dibawa kepada kami.

[Nafkah dalam Masa Iddah]

(Imam al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika istri masuk Islam sebelum suami lalu suami masuk Islam dalam masa iddah, maka mereka tetap dalam pernikahan. Jika suami masuk Islam setelah iddah selesai, maka terputuslah hubungan pernikahan di antara keduanya. Dalam kedua keadaan, istri berhak mendapatkan nafkah dalam masa iddah karena ia terikat dalam pernikahan dan suami boleh kapan saja masuk Islam dan mereka tetap dalam pernikahan. Namun, jika suami yang lebih dahulu masuk Islam dan istri tetap dalam kekufuran, kemudian istri masuk Islam dalam masa iddah atau tidak masuk sampai selesai, maka ia tidak berhak atas nafkah selama ia dalam kekufuran karena ia yang menghalangi dirinya dari suaminya. Jika suami memberinya nafkah dalam masa iddah lalu ternyata istri tidak masuk Islam dan suami ingin mengambil kembali nafkah tersebut, maka tidak boleh karena ia telah memberinya secara sukarela. Jika nafkah itu diberikan dengan syarat agar ia masuk Islam, lalu ia masuk atau tidak masuk, maka suami boleh menarik kembali nafkah itu. Tidak sah seseorang memberi sesuatu sebagai ganti dari masuk Islam kecuali bila ia memberikannya secara sukarela. Jika keduanya berselisih tentang waktu masuk Islam, lalu istri berkata: “Aku masuk Islam pada hari engkau masuk Islam dan engkau tidak memberiku nafkah,” dan suami berkata: “Bahkan engkau baru masuk Islam hari ini,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami disertai sumpahnya. Tidak ada kewajiban nafkah baginya kecuali jika istri mendatangkan bukti, maka nafkah diambil dari suaminya sejak hari ia terbukti masuk Islam.

[Suami Tidak Menggauli Istri]

(Imam al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika pasangan suami istri adalah penyembah berhala dan suami belum menyetubuhi istrinya meskipun telah berduaan dengannya, maka pernikahan keduanya ditangguhkan. Jika suami masuk Islam terlebih dahulu dari istri, maka terputuslah hubungan pernikahan dan istri berhak mendapatkan setengah mahar jika telah ditetapkan mahar halal baginya. Jika mahar yang ditentukan adalah haram, maka ia mendapat setengah mahar mitsil. Jika belum ditentukan mahar, maka ia mendapatkan mut’ah karena pembatalan pernikahan berasal dari pihak suami. Jika istri yang masuk Islam terlebih dahulu, maka terputuslah hubungan pernikahan dan ia tidak berhak atas mahar maupun mut’ah karena pembatalan berasal darinya. Jika keduanya masuk Islam secara bersamaan, maka pernikahan tetap berlaku. Jika keduanya datang dalam keadaan muslim dan kita tahu salah satu dari mereka masuk Islam lebih dahulu namun tidak diketahui siapa, maka hubungan pernikahan dianggap terputus dan tidak ada hak setengah mahar sampai diketahui bahwa suami yang masuk Islam lebih dahulu. Jika istri mengklaim bahwa suami yang lebih dahulu masuk Islam dan suami mengingkari dengan mengatakan bahwa istri yang lebih dahulu, maka ucapan istri diterima disertai sumpah dan suami wajib mendatangkan bukti, karena akad pernikahan tetap dan tidak gugur setengah mahar kecuali jika istri yang lebih dahulu masuk Islam. Jika keduanya datang dalam keadaan muslim dan suami berkata: “Kami masuk Islam bersama-sama,” sementara istri berkata: “Salah satu dari kami lebih dahulu,” maka ucapan suami diterima disertai sumpah dan istri tidak diterima dalam pembatalan pernikahan.

(Imam al-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Dalam hal ini terdapat pendapat lain, bahwa pernikahan dianggap batal sampai keduanya sepakat atau ada bukti bahwa mereka masuk Islam bersama, karena Islam membatalkan akad kecuali jika terjadi secara bersamaan. Maka siapa pun yang mengklaim pembatalan, maka ucapan dialah yang diterima dengan sumpahnya. Jika perempuan yang berkata: “Kami masuk Islam bersamaan,” dan suami berkata: “Salah satu dari kami lebih dahulu,” maka pernikahan dianggap batal karena pengakuan suami bahwa pernikahan batal, namun ia tidak dibenarkan atas mahar dan ia wajib membayar setengah mahar jika istri bersumpah bahwa mereka masuk Islam bersama-sama. Jika ada saksi atas keislaman istri lalu suami datang dan berkata: “Aku masuk Islam bersamanya,” maka ia diminta mendatangkan bukti. Jika ia mendatangkan bukti maka perempuan itu tetap menjadi istrinya. Jika tidak, maka diketahui bahwa istri masuk Islam lebih dahulu sebelum kita mengetahui keislamannya, maka istri diminta bersumpah bahwa ia masuk Islam sebelum atau setelah suaminya, maka hubungan pernikahan terputus. Siapa pun dari keduanya yang diminta untuk mendatangkan bukti bahwa keislaman mereka terjadi bersama atau waktu masuk Islamnya untuk menunjukkan bahwa keislaman mereka bersamaan, maka kesaksiannya tidak diterima kecuali mereka benar-benar bersaksi bahwa keduanya masuk Islam bersama secara pasti. Jika mereka bersaksi untuk salah satu dari keduanya saja, misalnya berkata: “Ia masuk Islam pada hari ini tanggal sekian setelah matahari terbenam dan tidak lebih awal maupun lebih lambat,” atau: “ketika matahari terbit dan tidak lebih awal maupun lebih lambat,” dan diketahui bahwa keislaman yang lain juga terjadi saat itu, maka pernikahan ditetapkan. Namun jika mereka berkata: “pada saat terbenam matahari” atau “saat matahari tergelincir” atau “saat matahari terbit,” maka pernikahan tidak ditetapkan karena mungkin terjadi pada dua waktu yang berbeda, salah satunya lebih dahulu dari yang lain.

[Perselisihan Suami Istri]

(Asy-Syāfi‘ī – rahimahullāh – berkata): Jika seorang laki-laki telah menggauli istrinya lalu keduanya datang kepada kami dalam keadaan muslim, lalu si istri berkata, “Kami dahulu musyrik, dan aku telah lebih dulu masuk Islam sebelum suamiku, atau suamiku lebih dulu masuk Islam sebelumku, dan masa iddahku telah selesai sebelum ia masuk Islam.” Sedangkan suami berkata, “Kami tidak pernah selain sebagai muslim” atau ia berkata, “Kami memang musyrik, tetapi kami masuk Islam bersama-sama, atau salah satu dari kami lebih dahulu dan istri belum habis masa iddahnya sampai pasangan yang belum masuk Islam kemudian masuk Islam,” maka jika ada bukti, maka diputuskan berdasarkan bukti tersebut. Namun jika tidak ada bukti, maka ucapan suami yang diterima dan istri tidak dipercaya dalam klaim pembatalan nikah, karena mereka sepakat atas keberadaan akad nikah, dan istri hanya mengklaim pembatalan nikah.

Jika suami yang mengaku adanya pembatalan, maka pengakuan itu menjadi bukti terhadap dirinya dan ia tidak dipercaya dalam gugurnya setengah mahar jika belum sempat menggaulinya. Istri bersumpah dan mengambilnya darinya.

Jika sepasang suami istri yang kafir datang kepada kami sebagai muslim dan keduanya sepakat bahwa mereka menikah saat kafir, dan secara hukum perempuan tersebut halal baginya, maka ia adalah istrinya. Namun jika mereka saling mengingkari, maka perempuan itu tidak dianggap sebagai istrinya kecuali dengan bukti yang menunjukkan adanya pernikahan, atau adanya pengakuan dari keduanya atas pernikahan tersebut, atau pengakuan dari salah satu yang mengingkarinya bahwa pernikahan itu memang pernah terjadi, maka ia menjadi istrinya.

 

[Mahar]

(Asy-Syāfi‘ī – rahimahullāh – berkata): Jika sepasang suami istri yang musyrik menikah dengan mahar yang sah menurut Islam dan suami telah menggaulinya, lalu hubungan pernikahan mereka terputus, kemudian keduanya masuk Islam, maka mahar tetap menjadi hak istri. Jika telah diterimanya, maka itu telah sah; jika belum, maka ia berhak menagih kepada suaminya.

Jika mereka berselisih tentang mahar, suami mengatakan, “Sudah aku berikan,” sementara istri berkata, “Aku belum menerimanya,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri dan suami harus mendatangkan bukti. Demikian juga jika pernikahan batal atau hanya satu dari mereka yang masuk Islam. Jika maharnya rusak (tidak sah), maka istri berhak mendapatkan mahar yang sepadan. Jika maharnya berupa sesuatu yang haram seperti khamar dan semisalnya, dan ia belum menerimanya, maka ia berhak mendapat mahar yang sepadan.

Jika ia telah menerima khamar tersebut setelah salah satu dari mereka masuk Islam, maka ia berhak atas mahar yang sepadan, karena seorang muslim tidak boleh memberikan khamar dan tidak boleh pula menerimanya. Namun jika ia telah menerima khamar tersebut saat masih dalam keadaan musyrik, maka itu telah berlalu, dan ia tidak berhak atas mahar selain itu. Karena Allah Ta‘ala berfirman: “Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba” (al-Baqarah: 278), maka segala transaksi yang dilakukan sebelum Islam tidak diminta untuk dikembalikan.

Jika maharnya berupa beberapa liter khamar dan istri telah menerima setengahnya saat masih dalam kekufuran, dan sisanya belum diberikan, maka ia menagih dari suaminya setengah dari mahar yang sepadan. Jika sisanya sepertiga, dua pertiga, lebih banyak atau lebih sedikit, maka ia berhak menagih dari sisanya sebesar nilai tersebut sebagai mahar yang sepadan. Tidak boleh ada salah satu dari mereka memberikan khamar dalam keadaan Islam, baik muslim kepada musyrik maupun sebaliknya. Jika ada yang menerima khamar dalam keadaan Islam, maka ia harus membuangnya dan tidak boleh mengembalikannya kepada pihak yang memberikannya dalam bentuk apa pun, kecuali jika khamar itu berubah menjadi cuka secara alami tanpa campur tangan manusia, maka boleh dikembalikan kepada pemberinya karena zat barangnya berubah menjadi halal. Namun jika berubah karena proses manusia, maka harus dibuang, tidak boleh digunakan, dan tidak boleh dikembalikan. Ia hanya berhak menagih sisa mahar dalam bentuk mahar sepadan.

Jika pasangan suami istri adalah muslim, baik di negeri Islam atau negeri perang, lalu salah satu dari mereka murtad, maka hukumnya seperti pasangan musyrik, yakni jika salah satu dari mereka masuk Islam lebih dahulu, maka hukum fasakh berlaku, tidak ada perbedaan dalam satu huruf pun dalam masalah pembatalan nikah dan pengharaman yang telah ditetapkan oleh Nabi terhadap pasangan kafir harbi jika salah satu dari mereka masuk Islam terlebih dahulu — bahwa nikah tetap sah jika pasangan lainnya menyusul masuk Islam sebelum masa iddah berakhir.

Aku dapati dalam sunnah Nabi bahwa pernikahan dalam kekufuran tetap diakui sah, dan pernikahan dalam Islam pun sah. Dan aku dapati dalam hukum Allah Ta‘ala bahwa perempuan muslimah diharamkan bagi laki-laki musyrik, dan perempuan musyrik penyembah berhala diharamkan bagi laki-laki muslim. Maka siapa pun yang murtad dari kedua pasangan, baik suami atau istri, maka hubungan intim diharamkan; laki-laki muslim tidak boleh menggauli perempuan kafir, dan laki-laki kafir tidak boleh menggauli perempuan muslimah. Semua itu sesuai dengan hukum Nabi tanpa perbedaan sedikit pun dalam hal halal dan haram.

Jika suami murtad setelah berhubungan badan, maka ia dipisahkan dari istrinya. Jika masa iddah istri habis sebelum suami kembali masuk Islam, maka nikah menjadi batal. Jika istri yang murtad, atau keduanya murtad, baik bersama atau bergantian, maka aku selalu melihat masa iddah: jika habis sebelum keduanya kembali masuk Islam, maka nikah menjadi batal; jika keduanya masuk Islam sebelum masa iddah selesai, maka nikah tetap sah.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika salah satu dari pasangan muslim murtad, dan pasangannya tetap muslim, atau dalam kasus pasangan kafir lalu salah satunya masuk Islam dan yang lainnya menjadi bisu sebelum masuk Islam atau kehilangan akal, dan masa iddah habis sebelum yang belum masuk Islam tadi kembali masuk Islam, maka hubungan pernikahan batal karena akad tidak sah kecuali jika keduanya masuk Islam sebelum masa iddah selesai.

Jika pasangan yang murtad tadi telah menyetubuhi pasangannya sebelum ia murtad dan ia masih berakal, lalu ia menunjukkan tanda-tanda Islam yang dapat dipahami dan ia salat sebelum masa iddah selesai, maka nikah ditegakkan. Jika ia adalah suami lalu berkata, “Tandaku tadi bukanlah tanda keislaman, dan salatku bukan dari keimanan, tapi karena suatu maksud,” maka ia wajib membayar mahar, dan kami pisahkan antara keduanya jika masa iddah sudah selesai. Jika belum selesai, maka ia dicegah darinya hingga masa iddah pertama habis. Jika ia menyetubuhinya setelah murtad, maka ia wajib membayar mahar baru dan iddah dimulai dari jima‘ baru itu, serta iddah pertama disempurnakan dan dihitung dalam iddah yang kedua. Jika ia masuk Islam pada sisa masa iddah yang kedua, maka nikah tidak dapat ditegakkan karena iddah tersebut adalah dari pernikahan yang rusak. Namun jika ia masuk Islam pada sisa masa iddah yang pertama, maka nikah tetap sah.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika istri yang murtad menunjukkan tanda Islam yang dikenali dan salat, maka ia dipertemukan kembali dengan suaminya. Jika kemudian suami menyetubuhinya dan ia berkata, “Tandaku tadi bukan dari Islam, dan salatku bukan dalam keadaan Islam,” maka ia tidak dibenarkan dalam pembatalan nikah. Ia kini dihukumi murtad, diminta bertobat, jika tidak maka ia dihukum mati. Jika ia kembali ke Islam dalam masa iddah, maka nikah tetap sah.

(Asy-Syāfi‘ī berkata): Jika suami murtad lalu melarikan diri dan istrinya menjalani masa iddah, lalu ia datang kembali sebagai muslim dan mengaku bahwa ia telah masuk Islam sebulan sebelum kedatangannya — dan waktu itu masih dalam masa iddah istrinya — tetapi masa iddah istrinya sudah selesai, dan istrinya mengingkari bahwa ia masuk Islam dalam masa iddah, maka ucapan istri yang diterima disertai sumpahnya, dan suami wajib mendatangkan bukti.

Jika hubungan pernikahan terputus antara dua orang kafir karena salah satunya masuk Islam, atau antara dua orang muslim karena salah satunya murtad, maka setelah masa iddah selesai, perempuan tersebut boleh menikah dengan laki-laki lain, dan suami boleh menikahi saudara perempuan mantan istrinya dan empat perempuan lainnya.

 

[Pembatalan Nikah Karena Kekufuran dan Tidak Terjadi Kecuali Setelah Selesai Masa Iddah]

(Berkata Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala –): Seandainya sepasang suami-istri yang keduanya Nasrani atau Yahudi dari kalangan Bani Israil, lalu suaminya masuk Islam, maka pernikahan tetap berlaku karena wanita Yahudi dan Nasrani halal bagi muslim, tidak diharamkan untuk memulai menikahinya. Jika wanitanya yang masuk Islam, maka kasusnya seperti kasus kaum musyrik ketika wanita masuk Islam, maka dipisahkan antara wanita ini dengan suaminya. Jika suaminya masuk Islam ketika ia masih dalam masa iddah, maka mereka tetap dalam pernikahan. Jika suaminya tidak masuk Islam sampai selesai iddah, maka terputuslah ikatan pernikahan di antara mereka. Jika suami belum pernah menggaulinya, maka ikatan pernikahan terputus dengan mendahuluinya masuk Islam karena ia tidak memiliki iddah. Jika seorang muslim memiliki istri Yahudi atau Nasrani kemudian ia murtad menjadi Majusi atau Zindiq sehingga berada dalam keadaan yang tidak halal baginya, maka dalam hal pembatalan nikah sama seperti muslimah yang murtad. Jika ia kembali ke agama yang sebelumnya, yaitu Yahudi atau Nasrani, sebelum masa iddah selesai, maka ia halal baginya. Jika tidak kembali hingga masa iddah selesai, maka terputuslah ikatan pernikahan di antara mereka. Adapun orang yang beragama Yahudi atau Nasrani dari kalangan Arab atau Ajam selain Bani Israil, maka hukum pembatalan nikah, halal dan haramnya seperti kaum musyrik. Iddah wanita merdeka sama, baik muslimah, kitabiyah, atau musyrikah di bawah suami musyrik yang masuk Islam namun suami tidak masuk Islam, jika kami hukumkan atasnya. Iddah setiap budak wanita sama, baik muslimah atau kitabiyah. Tidak halal menikahi budak kitabiyah bagi muslim, atau budak wanita harbi bagi orang merdeka harbi, setiap orang yang kami hukumkan atasnya, maka kami hukum dengan hukum Islam. Jika pasangan suami-istri adalah orang harbi dari kalangan ahli kitab, lalu suami masuk Islam, maka pernikahan tetap berlaku. Aku memakruhkan menikahi wanita ahli perang. Jika seorang muslim menikahi wanita harbiyah dari ahli kitab, aku tidak membatalkannya, tetapi aku memakruhkannya karena aku khawatir orang tersebut akan difitnah oleh orang-orang harbi pada agamanya atau dizalimi, dan aku khawatir anaknya akan diperbudak atau difitnah dari agamanya. Adapun negeri (darul-harb atau darul-Islam) tidak mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Jika negeri dapat mengharamkan atau menghalalkan, maka menikahi muslimah yang tinggal di negeri harbi akan diharamkan, padahal hal itu tidak haram. Negeri tidak menghalalkan atau mengharamkan pernikahan, tetapi yang menghalalkan atau mengharamkan adalah agama, bukan negeri.

[Laki-laki Masuk Islam Sedangkan Ia Memiliki Lebih dari Empat Istri]

Allah Ta’ala berfirman: “Nikahilah wanita yang kamu senangi dua, tiga, atau empat.” [An-Nisa: 3].

(Berkata Asy-Syafi’i): Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepada seorang laki-laki dari Tsaqif yang masuk Islam dan memiliki sepuluh istri: “Tahan empat dan ceraikan sisanya.” Telah mengabarkan kepadaku seorang yang terpercaya, Ibnu ‘Ulayyah atau selainnya dari Ma’mar dari Ibnu Syihab dari Salim dari ayahnya bahwa Ghailan bin Salamah masuk Islam sedangkan ia memiliki sepuluh istri, maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepadanya: “Tahan empat dan ceraikan atau lepaskan sisanya.” Telah mengabarkan kepadaku seseorang yang mendengar Muhammad bin Abdurrahman mengabarkan dari Abdurrahman bin ‘Auf dari Naufal bin Mu’awiyah. (Berkata Asy-Syafi’i): Maka sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menunjukkan bahwa pembatasan Allah dalam jumlah pernikahan hanya sampai empat, mengharamkan mengumpulkan lebih dari empat istri. Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menunjukkan bahwa pilihan dalam hal lebih dari empat diserahkan kepada suami, ia boleh memilih istri yang paling lama dinikahi atau yang paling baru. Istri yang mana pun dari dua saudari yang ia mau, baik akadnya satu atau terpisah, karena Nabi tidak menanyakan Ghailan tentang siapa yang pertama dinikahi, lalu beliau memberikan kebebasan untuk menahan empat setelah masuk Islam, tidak harus yang pertama. Naufal bin Mu’awiyah mengabarkan bahwa ia menceraikan istri yang paling lama menemaninya. Diriwayatkan pula dari Ad-Dailami atau Ibnu Ad-Dailami bahwa ia masuk Islam sedangkan ia memiliki dua saudari, maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkannya untuk menahan salah satunya dan menceraikan yang lain. Maka semua yang aku sebutkan menunjukkan bahwa setiap akad nikah di masa jahiliyah yang dianggap sah oleh mereka tetap diakui jika boleh dimulai dalam Islam. Dalam akad nikah ada dua hal: akad yang sudah terjadi di masa jahiliyah dan wanita yang masih menjadi istri dengan akad tersebut. Akad yang sudah berlalu tidak dikembalikan jika istri yang ada sekarang halal dinikahi. Hal ini sama seperti hukum Allah tentang riba, Allah berfirman: “Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu beriman.” [Al-Baqarah: 278]. Tidak boleh dikatakan bahwa jika seseorang masuk Islam dan memiliki lebih dari empat istri, ia harus menahan yang pertama karena akad mereka sah. Akad jahiliyah tidak sah bagi muslim karena dilakukan dengan persaksian orang musyrik, namun hal itu dimaafkan seperti dimaafkannya riba masa lalu. Apa pun yang ada pada mereka tidak dibedakan. Dalam perintah Allah untuk meninggalkan sisa riba menunjukkan bahwa riba yang sudah diterima pada masa jahiliyah tidak dikembalikan karena sudah sempurna di masa jahiliyah, sedangkan yang belum diterima sampai datang Islam maka dikembalikan. Demikianlah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memutuskan kesempurnaan akad pada masa jahiliyah, meskipun tidak boleh memulai akad seperti itu di dalam Islam. Jika boleh memulai pernikahan seperti itu di dalam Islam, maka akad di masa jahiliyah diakui dan boleh menahan istri dengan akad jahiliyah. Jika tidak boleh memulainya di dalam Islam, maka kelezatan (hubungan suami-istri) tidak boleh dinikmati karena keberadaannya masih ada seperti riba yang tidak boleh diambil di dalam Islam.

[Nikah Orang Musyrik]

(Berkata Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala –): Setiap orang musyrik yang menikah di masa syirik dengan cara apa pun akadnya dan siapa pun wanitanya, kemudian pihak yang masuk Islam belakangan masuk Islam sementara wanita masih dalam iddahnya, sehingga iddah belum habis, maka jika pernikahan itu sah dimulai dalam Islam saat keduanya masuk Islam, maka nikahnya tetap berlaku dan suami tidak boleh membatalkannya kecuali dengan talak. Jika tidak sah dimulai dalam Islam ketika keduanya masuk Islam, maka nikah di masa syirik itu batal. Seandainya kemudian tiba masa di mana boleh menikahi wanita itu, maka pernikahan syirik tidak berlaku, namun boleh dengan nikah baru dalam Islam. Hal ini tidak terkait dengan jumlah istri lebih dari empat, karena itu persoalan lain. Tidak diperhatikan apakah pernikahan syirik dilakukan dengan wali atau tanpa wali, dengan saksi atau tanpa saksi, atau dengan cara yang dalam Islam dianggap rusak, atau pernikahan terlarang, atau selainnya yang dilakukan tanpa batas waktu kecuali dengan kematian. Sama saja hukum pernikahan orang harbi, dzimmi, atau mu’ahad. Mereka sama dalam hal mahar, talak, zihar, dan ila. Adapun perbedaan mu’ahad dengan selainnya ada dalam hal-hal tertentu yang akan kami jelaskan insya Allah.

[Perincian Nikah Orang-Orang Musyrik]

(Berkata Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala –): Jika seorang lelaki menikahi wanita dalam masa iddahnya di negeri harbi dalam keadaan keduanya musyrik, maka aku perhatikan, jika ketika keduanya masuk Islam wanita itu sudah keluar dari iddahnya, maka nikahnya sah karena ketika itu boleh memulai pernikahan baru. Jika masih dalam masa iddah, maka nikahnya batal, dan wanita itu tidak boleh dinikahi olehnya atau orang lain sampai iddahnya selesai. Jika suami menggaulinya dalam masa iddah, maka ia harus menyempurnakan iddahnya dari suami terakhir, dan iddah sebelumnya tetap dihitung karena jika keduanya masuk Islam setelah iddah pertama selesai, maka nikahnya diakui dan tidak dibatalkan karena iddah, meski setelah waktu lama. Jika seorang lelaki masuk Islam sedangkan ia memiliki empat budak wanita, maka jika ia mampu memberi mahar untuk wanita merdeka, maka nikah semua budak wanita batal, begitu pula jika ia tidak mampu namun tidak khawatir zina. Jika ia tidak mampu menikah dengan wanita merdeka dan khawatir zina, maka ia menahan siapa yang ia kehendaki dan nikah sisanya batal. Jika sebagian budak masuk Islam setelahnya, hukumnya sama, menunggu yang lain. Siapa pun yang masuk Islam bersama suami sebelum iddah habis, maka suami boleh memilihnya.

Jika seorang laki-laki masuk Islam dan ia memiliki seorang ibu dan anak perempuannya, maka jika ia telah menggauli salah satu dari keduanya, maka nikah keduanya atasnya haram selamanya. Jika ia telah menggauli sang ibu, maka anak perempuan itu adalah anak tiri dari istri yang telah digauli. Jika ia menggauli anak perempuan, maka sang ibu adalah ibu dari istri yang telah digauli. Jika ia belum menggauli salah satu dari keduanya, maka ia boleh menahan anak perempuan jika ia menghendaki, dan tidak boleh menahan sang ibu—baik sang ibu yang dinikahi lebih dulu maupun yang belakangan—selama kedua akad tersebut telah sah saat dalam kekafiran dan salah satunya sah dalam Islam, maka ia boleh menikahi anak setelah ibunya jika belum menggauli sang ibu. Namun tidak boleh menikahi ibu meskipun belum menggauli anak perempuan karena status ibu lebih kuat.

Jika seorang laki-laki masuk Islam dan ia memiliki ibu dan anak perempuannya yang telah ia gauli dengan kepemilikan budak, maka haram atasnya menyetubuhi keduanya selamanya. Jika ia telah menyetubuhi sang ibu, maka haram atasnya menyetubuhi sang anak. Jika ia telah menyetubuhi sang anak, maka haram atasnya menyetubuhi sang ibu. Ia tetap boleh memiliki keduanya meskipun farji mereka telah haram baginya, atau salah satu dari keduanya.

Jika ia masuk Islam dan memiliki seorang perempuan dan bibinya—baik bibi dari pihak ayah (’ammah) atau dari pihak ibu (khalah)—dan ia telah menggauli keduanya, atau belum menggauli keduanya, atau hanya menggauli salah satunya, maka semuanya sama. Ia boleh memilih salah satunya dan menceraikan yang lain. Tidak dimakruhkan dari dua ini kecuali seperti larangan menggabungkan dua saudari. Masing-masing halal secara sendiri-sendiri setelah yang lain. Demikian juga dua saudari, jika ia masuk Islam dan mereka berdua adalah istrinya, maka keadaannya tidak berbeda dari wanita dan bibinya.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang lelaki masuk Islam dan memiliki budak dan wanita merdeka, atau beberapa budak dan seorang wanita merdeka, lalu Islam mereka bersatu dalam masa iddah, maka nikah para budak batal dan nikah wanita merdeka tetap berlaku—baik ia miskin yang takut berbuat zina maupun tidak miskin dan tidak takut zina—karena ia memiliki istri merdeka, maka tidak boleh memulai pernikahan dengan budak dalam kondisi seperti itu.

Jika kasusnya seperti itu, lalu ia menceraikan wanita merdeka sebelum ia masuk Islam atau setelah ia masuk Islam dan sebelum atau setelah laki-laki tersebut masuk Islam dengan talak tiga, dan ia adalah orang miskin yang takut berbuat zina, kemudian Islamnya dan Islam para budak bersatu, maka status nikah para budak ditangguhkan. Jika Islamnya dan Islam wanita merdeka bersatu dalam masa iddah, maka nikah para budak batal dan wanita merdeka menjadi talak tiga. Sebab, kami telah mengetahui bahwa ia adalah istrinya dan berhak atas mahar yang telah ditentukan jika telah digauli. Ia tidak halal baginya hingga menikah dengan suami lain.

Jika Islam mereka tidak bersatu hingga masa iddah selesai, maka nikah wanita merdeka batal tanpa talak dan talaknya tidak berlaku atasnya, karena jika masa iddah berlalu sebelum Islam mereka bersatu, maka ia telah menalak wanita yang bukan lagi istrinya. Ia boleh memilih satu dari para budak jika ia termasuk orang yang boleh memulai pernikahan dengan budak. Jika Islamnya dan Islam para budak bersatu dan ia bukan orang yang boleh menikahi budak, maka nikah para budak semuanya batal.

Jika ia memiliki para budak, lalu ia masuk Islam dan ia termasuk orang yang boleh memulai pernikahan dengan budak, dan Islamnya bersatu dengan Islam para budak dalam kondisi yang memungkinkan baginya menikahi budak, maka ia boleh menahan siapa pun dari para budak yang Islam mereka bersatu dengannya. Jika sebagian dari mereka masuk Islam lebih dahulu dan ia menjadi mampu menikahi wanita merdeka setelah sebelumnya tidak mampu, maka ia tidak diharamkan untuk menahan satu pun dari mereka, karena aku menilai berdasarkan keadaannya saat Islamnya dan Islam mereka bersatu.

Jika waktu masuk Islam mereka berbeda-beda, maka siapa pun di antara mereka yang masuk Islam dalam keadaan ia boleh menikahi budak, maka ia boleh menahan salah satu dari mereka. Ia tidak boleh menahan siapa pun dari mereka yang masuk Islam sementara ia tidak boleh menikahi budak.

Jika ia memiliki budak dan wanita merdeka, atau wanita merdeka dan para budak, dan ia termasuk orang yang boleh menikahi budak, kemudian Islamnya dan Islam seorang budak atau beberapa budak bersatu, maka nikah para budak ditangguhkan. Jika seorang wanita merdeka masuk Islam dalam masa iddahnya, maka nikah para budak yang telah masuk Islam sebelumnya semuanya batal. Jika tidak satu pun wanita merdeka masuk Islam hingga masa iddah mereka selesai, maka ia boleh memilih satu dari para budak jika mereka lebih dari satu, dan satu tetap bersamanya jika tidak ada yang lain.

Jika Islamnya dan Islam seorang budak atau beberapa budak bersatu, lalu mereka merdeka setelah Islamnya dan Islam wanita merdeka bersatu, maka kami menangguhkan mereka. Jika wanita merdeka masuk Islam dalam masa iddahnya, maka nikah mereka batal. Jika Islamnya dan Islam wanita merdeka tidak bersatu dalam masa iddah, maka ia memilih satu dari para budak jika ia termasuk orang yang boleh menikahi budak, karena aku hanya menilai berdasarkan hari bersatunya Islamnya dan Islam wanita tersebut. Jika saat itu ia boleh memulai menikahi budak, maka ia boleh menahannya jika ia mau. Jika saat itu ia tidak boleh memulai menikahinya, maka aku tidak menetapkan nikahnya berdasarkan akad sebelumnya hanya karena waktu yang datang setelahnya.

Jika mereka merdeka sebelum masuk Islam, maka mereka seperti orang yang dinikahi dalam keadaan merdeka. Demikian pula jika mereka masuk Islam terlebih dahulu sedangkan ia masih kafir, lalu Islamnya dan Islam mereka tidak bersatu hingga mereka merdeka, maka status mereka seperti orang yang dinikahi dalam keadaan merdeka.

Jika seorang budak memiliki empat budak perempuan, lalu ia dan mereka masuk Islam, maka dikatakan kepadanya: “Tahan dua dan ceraikan sisanya.” Jika ia memiliki wanita merdeka, lalu Islamnya dan Islam mereka bersatu dan tidak ada satu pun dari mereka yang meminta cerai, maka dikatakan kepadanya: “Tahan dua dan ceraikan sisanya.” Demikian pula jika mereka adalah gabungan budak dan wanita merdeka dari kalangan muslimah atau ahli kitab.

Jika mereka adalah budak perempuan lalu merdeka sebelum ia masuk Islam dan memilih berpisah darinya, maka itu hak mereka, karena setelah ia masuk Islam, jumlah mereka dihitung seperti wanita merdeka, maka masa iddah mereka dihitung sejak hari mereka memilih berpisah. Jika Islamnya dan Islam mereka bersatu dalam masa iddah, maka masa iddah mereka adalah masa iddah wanita merdeka sejak hari mereka memilih berpisah. Jika Islamnya dan Islam mereka tidak bersatu dalam masa iddah, maka masa iddah mereka adalah masa iddah wanita merdeka sejak hari suami yang lebih dulu masuk Islam, karena pembatalan nikah terjadi sejak saat itu jika Islam mereka tidak bersatu dalam masa iddah, dan masa iddah mereka adalah masa iddah wanita merdeka dalam semua kondisi karena masa iddah tidak selesai hingga mereka menjadi wanita merdeka.

Jika mereka belum memilih berpisah atau tetap bersama, maka mereka diberi pilihan saat Islamnya dan Islam mereka bersatu. Jika mereka masuk Islam lebih dahulu sebelum ia masuk Islam, lalu mereka memilih tetap bersamanya, kemudian ia masuk Islam, maka mereka tetap diberi pilihan ketika ia masuk Islam. Mereka boleh memilih untuk berpisah, karena mereka telah memilih tetap bersamanya sebelum ia masuk Islam. Mereka tidak memiliki pilihan kecuali jika Islam mereka dan Islamnya bersatu.

Jika Islam mereka dan Islamnya bersatu sementara mereka adalah budak, lalu mereka merdeka pada saat itu dan memilih berpisah, maka itu tidak berlaku jika hanya berlalu waktu singkat setelah bersatunya Islam mereka dan Islamnya. Jika Islam mereka dan Islamnya serta kemerdekaan mereka dan kemerdekaannya bersatu pada waktu yang sama, maka mereka tidak memiliki pilihan. Demikian pula jika Islam mereka dan Islamnya bersatu, lalu mereka merdeka dan tidak memilih hingga suaminya merdeka, maka mereka tidak memiliki pilihan.

Jika seorang budak memiliki empat wanita merdeka, lalu Islamnya dan Islam keempat wanita itu bersatu—baik mereka masuk Islam bersamanya sekaligus atau secara terpisah—kemudian mereka merdeka, maka dikatakan kepadanya: “Pilih dua dan ceraikan dua lainnya,” baik ia merdeka dalam masa iddah atau setelah masa iddah mereka selesai, karena pada hari bersatunya Islamnya dan Islam mereka ia adalah budak yang tidak boleh memiliki lebih dari dua istri.

Demikian juga, jika Islamnya dan Islam dua dari mereka bersatu dalam masa iddah, lalu ia merdeka, kemudian dua lainnya masuk Islam dalam masa iddah, maka ia tidak boleh menahan kecuali dua wanita saja—siapa pun yang ia kehendaki dari dua yang masuk Islam lebih dahulu atau yang terakhir—karena akad nikah terjadi saat ia masih dalam perbudakan, dan hanya akad dalam perbudakan yang berlaku ketika Islamnya dan Islam istri-istrinya bersatu sebelum masa iddah berakhir. Maka tidak sah akad lebih dari dua. Jika ia memilih dua di antara mereka, maka ia telah menceraikan dua yang lain yang tidak ia pilih. Ia boleh menikahi mereka kembali jika mereka menghendakinya, karena ini adalah akad baru setelah ia menjadi orang merdeka, dan sebagai orang merdeka ia boleh menikahi empat wanita.

Jika seorang budak laki-laki menikahi budak perempuan dalam kekafiran, lalu ia dimerdekakan dan menjadi pemiliknya atau sebagian darinya, atau ia dimerdekakan dan menjadi pemilik suaminya atau sebagian darinya, kemudian Islam mereka bersatu dalam masa iddah, padahal mereka tetap dalam kekafiran dan tetap menjalani pernikahan, maka tidak ada nikah di antara keduanya.

Jika seorang lelaki menikah dalam kekafiran lalu menyetubuhi istrinya, kemudian ia masuk Islam sebelum istrinya, atau istrinya masuk Islam sebelum suaminya, maka keduanya sama, dan keabsahan nikah tergantung pada masa iddah. Jika yang lebih lambat masuk Islam dari keduanya masuk Islam sebelum iddah istri berakhir, dan pernikahan itu boleh dilakukan sejak awal dalam Islam, serta tidak ada penghalang dari sisi nasab atau hubungan yang menghalangi mereka tetap bersama, maka pernikahan itu tetap sah. Demikian pula jika istri-istri itu wanita merdeka dan berjumlah satu sampai empat, maka tidak dikatakan kepada suami: “Pilihlah”, karena mereka adalah istri-istrinya. Jika ia menghendaki, ia bisa menahan mereka, dan jika ia menghendaki, ia bisa menceraikan mereka. Jika ia meninggal dunia, mereka mewarisinya; dan jika mereka meninggal, ia mewarisi mereka. Jika ia berkata: “Aku telah membatalkan nikah mereka”, atau “Aku telah membatalkan nikah salah satu dari mereka”, maka pernyataan itu ditangguhkan. Jika ia berkata: “Aku bermaksud menjatuhkan talak”, maka jatuh talak sebagaimana jumlah yang ia maksud. Jika ia berkata: “Yang kumaksud adalah bahwa pernikahan itu batal”, maka itu bukanlah talak. Ia harus bersumpah bahwa yang ia maksud bukanlah menjatuhkan talak.

Jika ia memiliki lebih dari empat istri, kemudian ia masuk Islam dan satu di antara mereka masuk Islam dalam masa iddahnya, lalu ia berkata: “Aku memilih untuk menahannya”, kemudian yang lain masuk Islam dan ia berkata: “Aku memilih untuk menahannya”, hingga ia berkata demikian kepada empat orang, maka itu boleh baginya dan nikah mereka tetap sah karena pilihannya. Sedangkan nikah yang lebih dari empat batal. Jika ia berkata setiap kali seseorang masuk Islam: “Aku memilih untuk membatalkan nikahnya”, maka pembatalan itu ditangguhkan. Jika mereka semua masuk Islam bersamaan, atau ia tidak mengatakan apa-apa hingga mereka masuk Islam bersama, atau sebagian dari mereka masuk Islam lebih dahulu dari yang lain namun masing-masing masuk Islam sebelum masa iddahnya selesai, maka ia diberi pilihan: “Tahan empat dari mereka yang kau kehendaki dan ceraikan sisanya”, karena pilihannya terhadap sebagian adalah pembatalan terhadap yang lain. Ia tidak boleh membatalkan nikah mereka kecuali dengan niat talak. Maka ketika ia menahan empat, batalah nikah selain mereka tanpa perlu talak, karena ia wajib menceraikan lebih dari empat, dan sesuatu yang diwajibkan tidak dihukumi sebagai talak. Kami menetapkan akad terhadap wanita-wanita yang ia pilih karena sunnah memberikan hak memilih kepada suami dalam menahan siapa yang ia kehendaki. Maka kami mengikuti sunnah itu.

Pendapat yang lebih baik adalah ia menyatakan: “Aku telah menahan Fulanah” atau “Aku menetapkan akad Fulanah” atau “Aku memilih Fulanah” atau ucapan lain yang serupa. Jika ia berkata demikian terhadap empat orang, maka batal akad selain mereka.

Jika ia berkata: “Aku telah menarik kembali pilihan terhadap yang telah kupilih dan aku memilih yang lain”, maka para istri yang tidak ia pilih telah bebas darinya dan ia tidak memiliki jalan untuk mereka kecuali dengan akad baru. Kami menghentikannya saat ucapannya: “Aku telah menarik kembali pilihanku”. Jika ia berkata: “Maksudku adalah talak”, maka itu adalah talak sesuai jumlah yang ia maksud. Jika ia berkata: “Aku tidak bermaksud talak, aku hanya mengira aku punya hak memilih lagi”, maka ia bersumpah bahwa ia tidak bermaksud talak dan itu tidak dihitung sebagai talak.

(Asy-Syafi’i berkata): Para istri yang nikahnya batal karena ia memilih selain mereka wajib menjalani iddah baru yang dimulai sejak nikah mereka batal karena mereka telah digauli. Jika ia berkata: “Aku tidak bermaksud dengan ucapanku—seperti ‘aku telah memilih Fulanah’ atau yang serupa—untuk menetapkan akad mereka saja”, maka nikah selain mereka dianggap batal dalam hukum zahir. Namun ia tidak didakwa atas niatnya, dan akad bagi yang ia nyatakan pilihannya tetap berlaku. Ia boleh menyetubuhi mereka karena nikah mereka sah dan tidak batal kecuali dengan pembatalan. Dan ia tidak membatalkannya. Nikah selain mereka batal karena ia memilih yang lain, namun ia belum memilih selain mereka. Maka yang lebih aku sukai adalah ia membuat pilihan terhadap mereka agar menjadi pembatalan secara nyata terhadap yang lain. Ia juga harus mempertimbangkan antara dirinya dan Allah agar benar-benar berniat membatalkan nikah selain mereka yang tidak ia pilih.

(Asy-Syafi’i berkata): Hukum berlaku sebagaimana telah aku jelaskan. Jika ia telah memilih empat wanita, kemudian berkata: “Aku tidak bermaksud memilih mereka, aku memilih empat yang lain”, maka kami menetapkan empat yang ia pilih pertama kali dan menolak pilihan terakhirnya. Karena itu adalah yang tampak dari ucapannya dan lebih kuat sebagai bukti bahwa mereka halal baginya daripada wanita yang belum ia sebut. Karena nikah mereka tetap sah kecuali jika ia membatalkannya, sedangkan ia belum membatalkannya.

Jika ia masuk Islam dan memiliki delapan istri, lalu ia berkata: “Aku membatalkan akad nikah empat dari mereka secara spesifik”, maka akad nikah sisanya tetap sah dan aku tidak memerlukan ucapannya: “Aku menetapkan akad yang lain” atau “Aku memilih yang lain”, sebagaimana aku tidak perlu mendengar ucapannya saat ia hanya memiliki empat istri dan mereka semua masuk Islam bersamanya bahwa ia telah menetapkan akad mereka—karena akad mereka tetap sah sejak awal dan Islam mereka bersatu dalam masa iddah.

Jika ia masuk Islam dan memiliki empat istri, di antaranya sepasang saudari, dan seorang wanita bersama bibinya, maka dikatakan kepadanya: “Pilih satu dari kedua saudari itu, dan satu dari wanita bersama bibinya (baik dari pihak ayah atau ibu), lalu ceraikan dua sisanya.”

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia memiliki empat istri selain mereka, maka dikatakan kepadanya: “Tahan empat, tapi tidak boleh ada dua saudari bersamaan, atau seorang wanita bersama bibinya.”

Jika ia masuk Islam dan istri-istrinya adalah wanita Yahudi atau Nasrani dari kalangan Bani Israil, maka mereka seperti wanita muslimah karena ia boleh memulai pernikahan dengan mereka dalam Islam. Jika mereka Yahudi atau Nasrani dari selain Bani Israil—baik dari kalangan Arab maupun non-Arab—maka semua pernikahan mereka batal, dan mereka seperti wanita musyrik, kecuali jika mereka masuk Islam dalam masa iddah.

Jika mereka berasal dari Bani Israil tetapi beragama selain Yahudi atau Nasrani, seperti penyembah berhala atau api, maka ia tidak boleh menahan satu pun dari mereka karena ia tidak boleh memulai pernikahan dengan mereka dalam Islam.

Demikian pula jika mereka adalah budak perempuan Yahudi atau Nasrani dari Bani Israil, maka nikah mereka juga batal karena ia tidak boleh memulai pernikahan dengan mereka dalam Islam.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki masuk Islam dan ia memiliki lebih dari empat istri, dan ia telah menyetubuhi empat di antara mereka namun belum menyetubuhi sisanya, dan para istri yang belum disetubuhi masuk Islam sebelum atau sesudahnya, maka hubungan pernikahan antara dia dan para istri yang belum disetubuhi terputus. Sedangkan nikah dengan yang telah disetubuhi tetap sah, sebagaimana jika seseorang masuk Islam dan hanya memiliki empat istri saja.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika kasusnya seperti ini, lalu para istri yang belum disetubuhi masuk Islam terlebih dahulu atau belakangan, kemudian ia menyetubuhi salah satu dari mereka, maka persetubuhan itu haram baginya. Namun ia tetap wajib memberikan mahar kepada mereka karena adanya syubhat, karena setelah hubungan pernikahan mereka terputus, ia tidak berhak lagi menyetubuhi mereka. Akan tetapi, jika ia tidak memiliki istri lain selain wanita tersebut dan tidak ada pula yang haram untuk dikumpulkan dengannya, maka ia boleh memulai pernikahan baru dengannya. Oleh sebab itu, ia wajib memberikan mahar mitsil (yang sepadan) karena telah menyetubuhinya, dan wanita tersebut wajib menjalani masa iddah, dan jika ia hamil maka anaknya dinasabkan kepadanya, dan tidak ada hukuman had bagi keduanya karena persetubuhan tersebut terjadi dalam keadaan syubhat.

Jika seorang budak laki-laki menikahi budak perempuan saat masih dalam keadaan syirik, lalu ia dimerdekakan dan menjadi pemiliknya seluruhnya atau sebagian, atau budak perempuan itu dimerdekakan dan ia menjadi pemilik laki-laki itu atau sebagian darinya, lalu keduanya masuk Islam bersama-sama dalam masa iddah dan mereka tetap dalam kekufuran saat akad nikah, maka tidak ada pernikahan di antara keduanya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dalam keadaan syirik dan ia telah menggaulinya, lalu suami masuk Islam sebelum istrinya atau istri masuk Islam sebelum suaminya, maka hukumnya sama: pernikahan itu tergantung kepada iddah. Jika yang terlambat masuk Islam dari keduanya masuk Islam sebelum masa iddah wanita habis, dan pernikahan itu termasuk jenis yang sah untuk dimulai dalam Islam, serta tidak ada di antara mereka wanita yang haram dikumpulkan, maka pernikahan tetap sah. Demikian juga jika istri-istri tersebut adalah perempuan merdeka, antara satu sampai empat orang, maka tidak dikatakan kepada suami: “pilihlah”; karena mereka adalah istri-istrinya. Jika dia ingin, dia bisa menahan (melanjutkan pernikahan) mereka, dan jika ingin, dia boleh menceraikan. Jika dia meninggal, mereka mewarisinya, dan jika mereka meninggal, dia mewarisi mereka.

Jika dia berkata, “Aku telah memutuskan (menyudahi) pernikahan mereka” atau “pernikahan salah satu dari mereka,” maka hal ini dihentikan (tidak berlaku), kecuali jika dia berkata: “Aku bermaksud menceraikan,” maka jatuhlah talak sesuai jumlah yang dia maksud. Namun jika ia berkata: “Aku bermaksud karena pernikahan itu batal,” maka itu bukanlah talak, dan ia harus bersumpah bahwa ia tidak bermaksud menjatuhkan talak.

Jika ia memiliki lebih dari empat istri, lalu ia masuk Islam dan salah satu dari mereka masuk Islam dalam masa iddah, lalu ia berkata, “Aku memilih menahan (melanjutkan pernikahan dengan) dia,” lalu istri lain masuk Islam, dan ia berkata hal yang sama, hingga mencapai empat istri, maka hal itu sah. Nikah mereka tetap berdasarkan pilihannya kepada mereka. Adapun nikah sisanya (yang lebih dari empat) terputus. Jika dia mengatakan, setiap kali salah satu masuk Islam: “Aku memilih untuk memutuskan pernikahan dengannya,” maka keputusan itu tertunda. Jika kemudian semua istri masuk Islam bersamaan, atau tidak mengatakan apa-apa hingga semuanya masuk Islam, dan masing-masing dari mereka masuk Islam sebelum iddahnya habis, maka ia diberi pilihan untuk menahan empat di antara mereka, sesuai pilihannya, dan menceraikan sisanya.

Karena jika ia memilih, maka pilihannya berlaku untuk yang dia pilih, dan tidak berlaku bagi yang dia putuskan kecuali jika ia benar-benar bermaksud menjatuhkan talak. Maka tidak dibebankan kepadanya talak terhadap mereka yang nikahnya terputus karena melebihi batas (empat), karena ia dipaksa untuk menceraikan yang lebih dari empat, dan talak yang dipaksa bukanlah talak. Kami menetapkan nikah bagi yang ia pilih karena sunnah memberikan hak pilihan kepada suami untuk menahan siapa yang dia inginkan di antara mereka. Maka kami mengikuti sunnah.

Pilihan yang disukai adalah jika ia berkata: “Aku menahan si fulanah” atau “Aku menetapkan akad si fulanah” atau kata-kata serupa. Jika ia mengucapkan itu untuk empat wanita, maka nikah sisanya yang melebihi empat terputus. Jika kemudian ia berkata, “Aku menarik kembali pilihanku atas yang telah kupilih, dan aku memilih sisanya,” maka sisanya bukan lagi istrinya, dan ia tidak memiliki hak atas mereka kecuali dengan akad nikah baru. Kami menghentikan (menerapkan hukum) saat ia berkata, “Aku menarik kembali pilihanku.”

Jika ia berkata: “Maksudku adalah talak,” maka itu adalah talak sesuai jumlah yang dia maksud. Jika ia berkata: “Aku tidak bermaksud menjatuhkan talak, hanya merasa punya hak untuk memilih,” atau alasan lain, maka ia harus bersumpah bahwa ia tidak bermaksud talak, dan itu bukan talak.

(Asy-Syafi’i berkata): Wanita-wanita yang nikahnya terputus karena suami memilih wanita lain wajib menjalani masa iddah yang dimulai dari hari terputusnya pernikahan, karena mereka adalah wanita-wanita yang telah digauli dan pernikahan mereka terputus.

Jika suami berkata: “Aku tidak bermaksud dengan perkataanku ‘aku menetapkan akad si fulanah’ untuk memilihnya,” padahal ia mengucapkannya kepada empat wanita, maka nikah sisanya terputus menurut hukum (pengadilan), meskipun ia tidak mengakuinya secara pribadi. Nikah wanita yang disebut namanya sebagai yang dipilih tetap sah, dan ia boleh menyetubuhi mereka karena pernikahan mereka sah dan tidak batal kecuali dengan pernyataan putus, sementara ia tidak melakukannya.

Aku (Asy-Syafi’i) lebih menyukai jika ia menyatakan pilihan secara jelas kepada mereka, sehingga itu menjadi pemutus bagi nikah selain mereka yang tidak dipilih. Dan ia hendaknya juga memutuskan nikah terhadap yang diputuskan dalam hukum, sehingga baginya menjadi jelas secara lahir dan batin.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang telah memilih empat istri, lalu ia berkata: “Aku tidak bermaksud memilih mereka, justru aku memilih empat yang lain,” maka kami tetap mewajibkannya untuk berpegang pada empat yang pertama yang ia pilih, dan pilihan berikutnya dianggap tidak sah. Ini seperti jika seseorang menikahi seorang wanita lalu berkata: “Aku tidak bermaksud menikahinya,” maka tetap kami tetapkan pernikahannya karena itulah zahir dari pernyataannya, dan itu lebih jelas daripada status kehalalan wanita baginya untuk dinikahi, sebab nikah mereka tetap sah kecuali jika ia memutusnya, dan ia belum memutusnya.

Jika seseorang masuk Islam dan memiliki delapan istri, lalu ia berkata: “Aku telah memutus akad pernikahan dengan empat dari mereka secara khusus,” maka akad pernikahan empat sisanya tetap sah. Ia tidak perlu mengatakan, “Aku menetapkan akad sisanya,” atau “Aku memilih sisanya,” sebagaimana jika ia memiliki empat istri lalu ia masuk Islam dan mereka juga masuk Islam, maka ia tidak perlu mengatakan, “Aku menetapkan akad mereka,” karena pernikahan mereka tetap sah berdasarkan akad pertama dan dengan berkumpulnya keislaman suami-istri dalam masa iddah.

Jika seseorang masuk Islam dan memiliki empat istri, yang dua di antaranya adalah saudari kandung, dan dua lainnya adalah seorang wanita dan bibinya, maka dikatakan kepadanya: “Pilih salah satu dari kedua saudari, dan salah satu dari dua wanita lainnya, yakni anak laki-laki dari saudari ayah atau bibinya, dan ceraikan dua sisanya.”

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia memiliki empat istri selain mereka, maka dikatakan kepadanya: “Tahanlah empat orang istri yang tidak termasuk pasangan saudari atau wanita dan bibinya, karena tidak boleh mengumpulkan dua saudari dalam satu pernikahan, juga tidak boleh mengumpulkan seorang wanita dan bibinya.”

Jika seseorang masuk Islam dan memiliki istri-istri yang berstatus wanita merdeka dari kalangan Yahudi atau Nasrani Bani Israil, maka kedudukan mereka seperti wanita-wanita muslimah merdeka, karena dia sah menikahi mereka dalam Islam. Tetapi jika istri-istri itu berasal dari Yahudi atau Nasrani non-Bani Israil dari kalangan Arab atau ajam (non-Arab), maka seluruh pernikahan dengan mereka batal, dan mereka dianggap seperti perempuan musyrik penyembah berhala, kecuali mereka masuk Islam dalam masa iddah.

Jika mereka berasal dari Bani Israil tetapi menganut agama selain Yahudi dan Nasrani, seperti penyembahan berhala, batu, atau Majusi (penyembah api), maka ia tidak boleh mempertahankan satu pun dari mereka, karena tidak sah memulai pernikahan dengan mereka dalam Islam. Demikian pula jika istri-istrinya adalah budak perempuan dari kalangan Yahudi atau Nasrani Bani Israil, maka nikah mereka juga batal, karena tidak sah baginya untuk memulai pernikahan dengan mereka dalam Islam.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang masuk Islam dan memiliki lebih dari empat istri, dan ia telah menggauli empat dari mereka, sedangkan empat sisanya belum digauli, lalu para istri yang belum digauli itu masuk Islam sebelum atau setelahnya, maka hubungan antara dia dan para istri yang belum digauli telah terputus, dan pernikahan dengan istri-istri yang telah digauli tetap sah. Ini seperti laki-laki yang masuk Islam dan memiliki empat istri, dan tidak ada istri lain selain mereka.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika dalam kondisi seperti itu, para istri yang belum digauli masuk Islam terlebih dahulu, atau ia masuk Islam sebelum mereka, lalu ia menggauli salah satu dari mereka, maka hubungan itu haram dan tergolong zina syubhat. Ia wajib memberikan mahar mitsil (mahar setara) karena telah menggauli wanita yang tidak sah lagi menjadi istrinya. Sebab, setelah terputusnya hubungan (karena melebihi empat istri), ia tidak berhak menahan wanita tersebut, dan jika ia ingin menikahinya dari awal, maka hal itu sah selama ia tidak memiliki empat istri lainnya atau wanita lain yang haram dinikahi bersamaan dengannya.

Maka, perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar setara karena ia telah digauli, dan ia wajib menjalani masa iddah, serta jika hamil maka anak itu diakui sebagai anaknya, dan tidak ada hukuman (hudud) atas mereka karena hal tersebut dilakukan dalam keadaan syubhat (keragu-raguan).

Dan jika seorang budak laki-laki menikahi seorang budak perempuan saat keduanya masih dalam kekafiran, kemudian ia dimerdekakan dan menjadi pemilik budak perempuan tersebut, baik secara keseluruhan maupun sebagian; atau budak perempuan itu yang dimerdekakan lalu menjadi pemilik dirinya atau sebagian dari suaminya, lalu keduanya masuk Islam bersama-sama dalam masa iddah, sedangkan sebelumnya mereka tetap dalam kekafiran di atas pernikahan itu, maka tidak ada lagi pernikahan di antara mereka.

Jika seseorang menikahi seorang perempuan dalam keadaan kafir, lalu ia menggaulinya, kemudian suami masuk Islam lebih dahulu dari istrinya, atau istri masuk Islam lebih dahulu dari suaminya, maka keduanya sama saja; pernikahan mereka tergantung pada masa iddah. Jika pihak yang belakangan masuk Islam masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah sang istri, dan pernikahan mereka adalah pernikahan yang sah untuk dimulai dalam Islam, serta tidak ada di antara mereka yang tidak boleh dikumpulkan (karena hubungan mahram atau semacamnya), maka pernikahan itu tetap berlaku. Demikian pula jika mereka adalah wanita-wanita merdeka, sebanyak satu sampai empat orang.

Tidak dikatakan kepada sang suami: “Pilihlah,” karena mereka semua adalah istrinya. Jika ia menghendaki, ia bisa mempertahankan mereka, dan jika ia menghendaki, ia bisa menceraikan mereka. Jika ia meninggal, mereka mewarisinya; dan jika mereka meninggal, ia juga mewarisi mereka. Namun jika ia mengatakan, “Aku telah memutuskan akad nikah mereka” atau “akad salah satu dari mereka,” maka hal itu tergantung. Jika ia bermaksud menjatuhkan talak, maka jatuhlah talak sesuai niatnya. Namun jika ia bermaksud mengatakan bahwa pernikahan mereka tidak sah, maka itu bukanlah talak, dan ia harus bersumpah bahwa maksudnya bukanlah talak.

Jika ia memiliki lebih dari empat istri, kemudian ia masuk Islam, dan satu dari mereka masuk Islam dalam masa iddah, lalu ia berkata, “Aku memilih menahan istri ini,” kemudian istri lain masuk Islam dan ia berkata, “Aku memilih menahan istri ini juga,” sampai jumlahnya empat orang dan ia berkata demikian pada keempatnya, maka hal itu diperbolehkan baginya. Maka, pernikahan mereka tetap berlaku dengan pilihannya terhadap mereka, dan pernikahan istri-istri yang melebihi empat dianggap batal.

Namun, jika ia berkata setiap kali ada yang masuk Islam: “Aku memilih memutuskan akadnya,” maka keputusan tersebut belum dianggap sah. Jika para istri masuk Islam bersamaan, atau ia tidak mengatakan apa-apa hingga mereka semua masuk Islam—baik bersamaan maupun satu per satu—selama masing-masing dari mereka masuk Islam sebelum masa iddah berakhir, maka ia diberi pilihan untuk mempertahankan empat orang di antara mereka, siapa pun yang ia kehendaki, dan menceraikan sisanya. Karena pilihannya untuk mempertahankan sebagian berarti secara otomatis membatalkan akad sisanya, kecuali jika ia bermaksud menjatuhkan talak, maka berlaku talak.

Tidak ada dosa atasnya dalam membatalkan pernikahan mereka (yang melebihi empat), karena ia dipaksa untuk meninggalkan lebih dari empat istri, sehingga itu bukan termasuk talak, sebab talak tidak terjadi atas sesuatu yang dipaksakan. Maka kami menetapkan akad atas empat istri berdasarkan pilihannya, sebagaimana sunnah telah menetapkan bahwa ia memiliki pilihan terhadap siapa yang ingin ia pertahankan. Oleh karena itu, kami mengikuti ketentuan sunnah tersebut.

Disunnahkan baginya untuk mengatakan, “Aku menahan Fulanah,” atau “Aku menahan dengan akad Fulanah,” atau “Aku menetapkan akad Fulanah,” atau ucapan serupa. Jika ia mengatakan hal tersebut pada empat orang istri, maka akad terhadap yang melebihi jumlah itu menjadi batal.

Jika kemudian ia berkata, “Aku telah menarik kembali pilihanku atas yang telah kupilih, dan aku memilih sisanya,” maka istri-istri yang disebut terakhir telah terlepas darinya dan ia tidak memiliki hak atas mereka kecuali dengan akad nikah baru.

Dan kami tahan ia pada ucapannya: “Aku telah menarik kembali pilihanku atas yang telah kupilih,” lalu jika ia berkata, “Aku maksudkan dengan itu adalah talak,” maka itu dihitung sebagai talak sesuai jumlah yang ia niatkan. Jika ia berkata, “Aku tidak maksudkan talak, tetapi aku mengira aku masih memiliki pilihan atau maksud lain,” maka ia diminta bersumpah bahwa ia tidak bermaksud menjatuhkan talak, dan itu tidak dihitung sebagai talak.

(Asy-Syafi’i berkata): Perempuan-perempuan yang pernikahannya dibatalkan karena suami memilih selain mereka, wajib menjalani masa iddah baru yang dimulai dari hari pernikahan mereka dibatalkan, karena mereka telah digauli, dan pernikahannya dibatalkan.

Jika ia berkata, “Saya tidak bermaksud dengan ucapanku ‘Aku telah menetapkan akad si Fulanah’—atau ucapannya ‘Aku telah memilih si Fulanah’ atau yang semacamnya—kecuali untuk menunjukkan bahwa saya telah memilihnya dan bukan yang lain,” maka akad nikah selain mereka menjadi batal dalam hukum syariat, namun ia tidak dianggap berdosa karena tidak secara eksplisit menyebut pembatalan akad. Dan akad wanita-wanita yang disebutkan sebagai pilihan tetap berlaku, serta ia boleh menggauli mereka karena pernikahan mereka sah dan tidak batal kecuali dengan pernyataan pembatalan, dan ia tidak mengucapkannya.

Namun aku lebih menyukai jika ia menyatakan pilihannya secara tegas, agar pembatalan terhadap wanita-wanita lainnya menjadi jelas dan sah menurut hukum serta menjadi tanggung jawabnya secara pribadi di hadapan Allah. Maka ia bebas mempertahankan wanita-wanita yang tetap bersamanya karena telah membuat pilihan terhadap mereka, atau ia dapat membatalkan pernikahan mereka di hadapan Allah.

(Asy-Syafi’i berkata): Hukum ini sebagaimana yang telah aku jelaskan. Maka jika ia telah memilih empat istri, lalu berkata, “Aku tidak bermaksud memilih mereka, tetapi justru aku memilih empat yang lain,” maka kami tetap membebaninya dengan empat istri yang telah ia pilih pertama kali, dan pilihan keduanya dianggap tidak sah, sebagaimana seseorang yang menikahi seorang wanita lalu berkata, “Aku tidak bermaksud menjadikannya istri,” maka tetap dianggap pernikahan, karena itu adalah makna zahir dari ucapannya, dan itu adalah ucapan yang paling jelas menunjukkan bahwa wanita tersebut halal baginya dalam pernikahan, karena pernikahan mereka tetap sah kecuali jika ia membatalkannya, dan ia belum melakukannya.

Jika seorang laki-laki masuk Islam dan memiliki delapan istri, lalu ia berkata, “Aku telah membatalkan akad empat di antara mereka secara spesifik,” maka akad pernikahan dari istri-istri yang tidak disebutkan sebagai batal tetap sah, dan aku tidak mensyaratkan bahwa ia harus mengatakan, “Aku telah menetapkan akad mereka yang lain” atau “Aku telah memilih mereka yang lain,” sebagaimana aku tidak mensyaratkan pernyataan seperti itu jika istri-istrinya hanya empat, lalu mereka masuk Islam bersamanya, karena pernikahan mereka tetap sah dengan akad pertama dan dengan masuk Islam bersama-sama dalam masa iddah.

Jika ia masuk Islam dan memiliki empat istri, di antaranya ada dua saudari dan seorang wanita serta bibinya (dari ayah), maka ia diminta untuk mempertahankan salah satu dari dua saudari, dan salah satu dari dua wanita lainnya—baik keponakan maupun bibinya—dan menceraikan dua sisanya.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika ia memiliki empat istri selain mereka, maka ia diminta memilih empat, namun tidak boleh ada dua saudari atau wanita dan bibinya bersama-sama dalam satu pernikahan.

Dan jika seorang laki-laki masuk Islam dan memiliki istri-istri merdeka yang beragama Yahudi atau Nasrani dari Bani Israil, maka mereka dihukumi seperti wanita-wanita merdeka muslimah karena boleh baginya memulai pernikahan dengan mereka semua. Namun jika mereka adalah wanita Yahudi atau Nasrani dari selain Bani Israil, dari kalangan Arab atau non-Arab, maka pernikahannya dengan mereka seluruhnya batal, dan mereka dihukumi seperti wanita-wanita musyrik penyembah berhala, kecuali jika mereka masuk Islam dalam masa iddah. Dan jika mereka dari Bani Israil tetapi tidak memeluk agama Yahudi atau Nasrani, melainkan menyembah berhala atau batu atau Majusi, maka tidak halal baginya mempertahankan satu pun dari mereka karena tidak halal baginya memulai pernikahan dengan mereka. Begitu juga jika mereka adalah budak perempuan Yahudi atau Nasrani dari Bani Israil, maka pernikahan dengan mereka batal karena tidak halal baginya memulai pernikahan dengan mereka dalam Islam.

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang laki-laki masuk Islam dan memiliki lebih dari empat istri yang telah digaulinya sebanyak empat, atau belum empat, dan mereka masuk Islam sebelum atau sesudahnya, maka jika istri-istri yang belum digaulinya masuk Islam sebelum atau sesudahnya, maka hubungan perkawinan antara dia dengan mereka yang belum digauli terputus, dan pernikahan dengan yang telah digauli tetap sah. Itu sama halnya seperti seorang laki-laki yang masuk Islam dan memiliki empat istri dan tidak lebih. (Asy-Syafi’i berkata): Jika kasusnya seperti itu, lalu istri-istrinya masuk Islam sebelum atau sesudahnya, kemudian dia menggauli salah satu dari yang belum digauli, maka hubungan tersebut haram baginya dan dia wajib memberikan mahar kepada istri itu sesuai kadar wanita sepertinya karena syubhat. Hal itu karena setelah hubungan nikah antara mereka terputus, maka dia tidak halal lagi bersamanya kecuali dengan pernikahan baru, dan itu hanya jika dia tidak memiliki empat istri selainnya dan tidak ada larangan untuk menggabungkan mereka. Maka wajib baginya membayar mahar karena telah menggaulinya, dan istri itu wajib menjalani iddah, dan anak (jika lahir) disandarkan kepadanya, dan tidak ada hukuman bagi keduanya karena adanya syubhat.

[Bab: Meninggalkan Pilihan dan Penebusan dalam Hal Itu]

(Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): Jika seorang laki-laki masuk Islam dan dia memiliki empat istri atau lebih, lalu sebagian dari mereka masuk Islam dan ia meminta agar diberi pilihan terhadap mereka dan sisanya, maka kami tidak memberinya hak memilih sampai istri-istri yang tersisa masuk Islam juga dalam jumlah empat atau masa iddah mereka selesai sebelum mereka masuk Islam. Kemudian ia boleh memilih setelah Islamnya dia dan lebih dari empat istri dari mereka telah berkumpul. Maka dia boleh memilih mempertahankan empat dari mereka yang telah masuk Islam, dan itu menjadi pembatal pernikahan dengan sisanya yang belum masuk Islam, apakah mereka masuk Islam kemudian atau tidak. Demikian juga jika ia memilih satu atau dua orang, maka ia menunggu sisanya dan ia berhak memilih dari mereka sampai jumlahnya menjadi empat. Dan jika mereka delapan orang, lalu empat masuk Islam, dan dia berkata: “Aku memilih membatalkan pernikahan mereka,” dan mempertahankan yang lain, maka pembatalan itu ditunda. Jika empat sisanya masuk Islam dalam masa iddahnya, maka akad nikah yang pertama batal dengan pembatalan sebelumnya. Dan jika masa iddah mereka selesai sebelum mereka masuk Islam, maka hukumnya seperti kasus sebelumnya. Jika maksudnya adalah menjatuhkan talak, maka itu dianggap talak. Dan jika tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka ia harus bersumpah, dan mereka tetap menjadi istrinya.

Dan jika seorang laki-laki masuk Islam dan memiliki lebih dari empat istri, lalu mereka masuk Islam, dan ia diminta untuk memilih, namun ia tidak memilih dan menunda, maka ia tetap wajib menafkahi mereka dari hartanya karena ia menahan mereka dengan akad terdahulu. Dan penguasa tidak boleh memaksanya untuk menceraikan seperti halnya penguasa memaksa seorang suami yang bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya. Jika ia tetap enggan memilih setelah ditahan, maka ia dihukum dan ditahan selamanya sampai ia memilih. Jika akalnya hilang saat ditahan, maka ia dibebaskan dan para istrinya dinafkahi dari hartanya sampai ia sadar dan memilih atau ia meninggal dunia. Begitu pula jika ia tidak ditahan untuk memilih hingga akhirnya akalnya hilang, lalu ia meninggal sebelum memilih, maka semua istrinya diwajibkan menjalani iddah sebagai janda, yaitu empat bulan sepuluh hari atau tiga kali haid, karena dari mereka ada empat yang berstatus sebagai istri dan empat lainnya batal nikahnya, dan kami tidak tahu secara pasti siapa di antara mereka yang termasuk yang sah. Maka warisan untuk empat istri ditangguhkan hingga mereka berdamai dalam hal itu. Jika sebagian dari mereka rela berdamai dan sebagian tidak, dan yang rela itu kurang dari empat atau empat orang, maka kami tidak berikan warisan apa pun karena bisa jadi mereka yang tidak mendapatkan bagianlah yang sebenarnya berhak. Jika lima dari mereka rela berdamai dan berkata: “Kami tahu pasti bahwa salah satu dari kami berhak atas seperempat warisan,” dan mereka meminta diberikan bagian seperempat dari warisan seorang istri, maka kami tidak memberikannya hingga mereka semua menyatakan bahwa mereka tidak berhak atas tiga perempat sisanya dari warisan seorang istri. Jika mereka melakukan itu, maka kami berikan kepada mereka seperempat warisan seorang istri, dan tiga perempatnya diberikan kepada tiga istri sisanya secara merata. Jika yang rela itu enam orang dan mereka rela setengahnya, maka diberikan kepada mereka bagian tersebut. Jika tujuh orang dan mereka rela dengan tiga perempatnya, maka diberikan juga. Dan saya mengatakan bahwa tidak boleh memberikan apa pun kepada salah satu dari mereka berdasarkan perdamaian kecuali jika mereka semua setuju untuk menghilangkan hak mereka atas sisanya, karena jika saya memberikan hak kepada satu dari mereka hingga tiga perempatnya tersisa, dan kemudian saya tahan seperempatnya untuk satu orang, maka saya memberikan kepada yang lain apa yang bisa saja menjadi hak dua orang wanita tanpa penyerahan yang sah dari mereka. Maka jika mereka semua melepaskan hak atas sisanya, saya hanya memberikan apa yang boleh diberikan, baik itu haknya sendiri, atau hak mereka yang diabaikan untuknya. Dan wali anak perempuan atau wali anak yatim boleh mengambil setengah warisan wanita untuknya jika disepakati dalam perdamaian dan tidak ada bukti kuat yang bisa menegaskannya. Namun mereka tidak boleh mengambil kurang dari itu. Dan jika istri-istrinya yang meninggal adalah empat orang atau salah satu dari mereka, maka suami diberi pilihan untuk membatalkan pernikahan siapa saja dari mereka yang ia kehendaki, dan ia mengambil warisan dari istri-istri yang tidak ia batalkan pernikahannya. Dan untuk setiap istri yang meninggal dunia, warisan suami ditahan sampai ia memilih empat orang untuk dijadikan istrinya dan mengambil warisan mereka. Jika sebagian dari mereka atau ahli waris mereka setelah kematiannya mengklaim bahwa ia telah membatalkan pernikahan dengan salah satu dari mereka, maka ia harus bersumpah bahwa ia tidak melakukannya, dan ia pun berhak atas warisan mereka.

[Siapa yang Nikahnya Batal Sejak Akad dan Siapa yang Tidak]

(Asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seorang laki-laki masuk Islam dan memiliki istri yang akad nikahnya tidak bersifat mutlak, lalu istrinya juga masuk Islam, maka tidak boleh baginya tetap mempertahankan pernikahan dengannya, karena akad nikahnya tidak bersifat mutlak. Seperti halnya pernikahan mut‘ah, karena dalam pernikahan mut‘ah si suami tidak memiliki kekuasaan atas istrinya untuk selamanya, melainkan hanya dalam jangka waktu tertentu. Atau jika ia menikahinya dengan syarat bahwa ia (istri) berhak memilih, atau seorang laki-laki atau perempuan selain istrinya berhak memilih, atau bahwa ia sendiri berhak memilih. Semua itu berarti ia tidak memiliki hak atas istrinya secara mutlak. Jika perempuan yang dinikahi dengan pernikahan mut‘ah itu membatalkan syaratnya kepada suaminya sebelum salah satu dari keduanya masuk Islam, kemudian keduanya masuk Islam, maka perempuan itu tidak menjadi istrinya karena ia tidak menikahinya secara mutlak dan tidak pula dengan syarat yang tetap. Jika keduanya sepakat untuk membatalkan syarat tersebut sebelum salah satu masuk Islam, kemudian masuk Islam bersama-sama, maka pernikahan itu batal, kecuali jika mereka memulai akad nikah baru ketika masih dalam keadaan musyrik. Demikian juga semua bentuk syarat pilihan seperti yang disebutkan – baik hanya suami, hanya istri, keduanya, atau pihak lain – maka tidak dianggap sebagai nikah mutlak. Jika mereka membatalkan syarat tersebut, maka akadnya tetap tidak sah. Jika tidak dibatalkan, maka nikah tidak dianggap sah. Tidak ada perbedaan dalam hal ini dengan nikah mut‘ah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dalam keadaan syirik tanpa saksi atau tanpa wali yang merupakan mahramnya, lalu keduanya masuk Islam, atau jika pernikahan itu adalah jenis yang kami batalkan dalam Islam karena sebab selain yang disebutkan sebelumnya – yakni pernikahan yang tidak memberi suami kekuasaan penuh atas istri untuk selamanya – padahal menurut mereka itu adalah pernikahan yang sah, bahkan lebih sah daripada jenis pernikahan lainnya menurut mereka, lalu keduanya masuk Islam dalam masa iddah, maka pernikahan itu tetap sah.

Jika seorang laki-laki memperkosa perempuan dengan bentuk pemaksaan apa pun, atau perempuan itu merelakannya, lalu ia menggaulinya dan hidup bersamanya, atau ia melahirkan anak darinya atau tidak, dan menurut mereka hal itu bukan pernikahan, lalu keduanya masuk Islam dalam masa iddah, maka itu bukan pernikahan menurut mereka, dan mereka dipisahkan menurut hukum mereka. Tidak ada mahar baginya (perempuan) kecuali jika ia digauli setelah masuk Islam dalam keadaan syubhat, maka ia berhak mendapatkan mahar sepadan, karena aku tidak menghukumi sesuatu yang terjadi di masa syirik yang tidak diwajibkan atasnya dalam hukum Islam. Dan hal ini berlaku jika laki-laki itu menikahi perempuan musyrik dalam keadaan dia juga masih musyrik.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika ia seorang muslim dan menikahi perempuan musyrik penyembah berhala, atau seorang musyrik menikahi perempuan muslimah lalu menggaulinya, kemudian keduanya masuk Islam dalam masa iddah, maka pernikahan itu batal dalam semua kondisi karena akadnya haram disebabkan perbedaan agama, dan tidak sah kecuali dengan akad baru. Jika ia telah menceraikannya dalam keadaan syirik dalam kedua kasus tersebut, maka talaknya tidak berlaku.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika seorang laki-laki dari kalangan ahli perang masuk Islam dan istrinya masih kafir, lalu ia murtad dari Islam sebelum istrinya masuk Islam, kemudian istrinya masuk Islam sebelum masa iddahnya selesai dan ia kembali masuk Islam sebelum iddahnya habis, sehingga keduanya menjadi muslim dalam masa iddah, maka mereka tetap dalam status pernikahan. Jika ia masuk Islam sebelum istrinya, kemudian murtad, lalu kembali masuk Islam dan masa iddahnya belum habis, kemudian istrinya masuk Islam dalam masa iddah, maka mereka tetap dalam status pernikahan. Namun jika ia tidak masuk Islam hingga masa iddah istrinya habis, maka pernikahan mereka batal. Jika istrinya masuk Islam sementara ia masih dalam keadaan murtad dan masa iddah selesai dalam keadaan ia masih murtad, maka pernikahan mereka batal. Jika ia kembali masuk Islam setelah masa iddah selesai, maka pernikahan telah batal, dan istrinya bebas menikah dengan siapa pun. Masa iddah dihitung sejak ia masuk Islam. Hal ini berlaku sama jika perempuanlah yang pertama kali masuk Islam lalu ia murtad, maka hukum keduanya tidak berbeda. Tidak berpengaruh apakah orang yang murtad tinggal di wilayah Islam atau lari ke wilayah syirik, atau apakah ia ditawari masuk Islam kembali atau tidak. Jika orang yang murtad masuk Islam kembali sebelum masa iddah istrinya habis, maka pernikahan tetap berlaku.

Diperbolehkan bagi perempuan yang murtad untuk memberikan kesaksian bahwa masa iddahnya telah selesai dalam semua kasus sebagaimana diperbolehkan bagi perempuan muslimah. Baik perempuan yang murtad itu adalah istri atau suaminya. Jika suami tidak menggaulinya, kemudian ia murtad, atau istri yang murtad, maka pernikahan batal karena tidak ada masa iddah. Jika suami yang murtad, maka istri berhak atas setengah mahar karena kerusakan pernikahan berasal dari pihak suami. Jika istri yang murtad, maka ia tidak berhak atas mahar karena kerusakan pernikahan berasal dari pihaknya. Dan hukum ini berlaku untuk semua pasangan suami-istri.

(Asy-Syafi‘i berkata): Murtadnya orang yang mabuk karena khamr atau minuman memabukkan lainnya, menyebabkan batalnya pernikahan sebagaimana murtadnya orang yang sadar. Namun murtadnya orang yang akalnya hilang bukan karena mabuk tidak membatalkan pernikahan.

[Talak Orang Musyrik]

(Asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Ketika Rasulullah mengakui akad nikah di masa syirik dan menetapkannya dalam Islam, maka – wallāhu a‘lam – tidak boleh kecuali juga menetapkan talak di masa syirik, karena talak berlaku selama akad nikah sah, dan gugur ketika akad gugur. Seandainya sepasang suami istri masuk Islam, sementara sang suami telah menjatuhkan talak tiga pada istrinya di masa syirik, maka istrinya tidak halal baginya hingga menikah dengan suami lain. Jika ia menceraikannya setelah itu di masa syirik, maka tidak ada mahar baginya, karena kami membatalkan haknya atas apa yang dikonsumsinya saat masih dalam masa syirik.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika ia masuk Islam kemudian mencampurinya setelah talak tiga, maka ia wajib menjalani iddah, dan anak yang lahir dinasabkan kepadanya, dan dipisahkan dari suaminya, serta ia berhak atas mahar semisal. (Ar-Rabi‘ berkata): Jika ia diberi uzur karena ketidaktahuan.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika ia menceraikannya satu atau dua kali lalu keduanya masuk Islam, maka talak yang dijatuhkan di masa syirik tetap dihitung, dan ia boleh rujuk kepadanya dalam Islam. Jika ia telah menceraikannya tiga kali di masa syirik, lalu perempuan itu menikah dengan laki-laki lain, dan laki-laki itu mencampurinya lalu menceraikannya atau meninggal dunia, lalu suami pertama menikahinya kembali, maka perempuan itu berada dalam status talak tiga seperti di dalam Islam, selama akad nikahnya dahulu dianggap sah menurut mereka dan tidak termasuk nikah yang terlarang seperti nikah mut‘ah atau menikahi mahram.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika ia melakukan ila’ (sumpah tidak menyetubuhi istri) terhadapnya di masa syirik lalu keduanya masuk Islam sebelum berlalu empat bulan, maka setelah genap empat bulan dari sumpah itu, ia diberi waktu seperti orang yang ber-ila’ dalam Islam.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika telah berlalu empat bulan sebelum keduanya masuk Islam, kemudian mereka masuk Islam dan istri meminta diberi keputusan, maka suami tetap ditahan di tempatnya karena waktu ila’ telah berlalu. Jika ia melakukan zihar terhadapnya di masa syirik lalu keduanya masuk Islam, baik ia telah mencampurinya sebelum masuk Islam atau setelahnya, atau belum mencampurinya sama sekali, maka ia diperintahkan menjauhinya hingga membayar kafarat zihar.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika ia menuduh istrinya berzina di masa syirik, lalu keduanya masuk Islam dan mengadukan hal itu kepada hakim, maka saya katakan kepadanya: “Lakukanlah li‘an,” dan saya tidak memaksanya melakukan li‘an, dan saya tidak menjatuhkan hukuman had atasnya jika ia tidak melakukan li‘an, dan saya tidak mencambuknya, karena li‘an merupakan bentuk perpisahan antara keduanya, dan saya tidak memerintahkan istrinya untuk melakukan li‘an, karena ia tidak terkena hukuman had meskipun mengakui zina di masa syirik, dan li‘an tidak berlaku untuk perpisahan karena perpisahan hanya terjadi melalui li‘an dari suami. Jika suami tidak melakukan li‘an, maka baik ia mengingkari tuduhannya atau tidak, saya tidak memaksanya dan tidak menjatuhkan hukuman had atau ta‘zir atasnya karena ia menuduhnya di masa syirik, di mana tidak berlaku hukuman had atau ta‘zir.

Jika ia berkata kepada istrinya di masa syirik, “Engkau tertalak jika engkau masuk ke rumah ini,” lalu ia masuk ke rumah tersebut baik di masa syirik atau setelah masuk Islam, maka ia tertalak. Dan yang dikatakannya di masa syirik tetap berlaku seperti halnya ucapan dalam Islam; tidak ada perbedaan.

Jika ia menikahi seorang perempuan di masa syirik dengan mahar tertentu namun belum membayarnya, atau menikah tanpa mahar lalu mencampurinya dalam kedua keadaan tersebut, kemudian ia meninggal sebelum masuk Islam, lalu suaminya masuk Islam dan para ahli waris perempuan menuntut mahar yang telah disepakati atau mahar semisalnya, maka mereka tidak berhak mendapatkannya sedikit pun, karena aku tidak menjatuhkan keputusan bagi salah satu pihak atas yang lain terkait sesuatu yang terjadi di masa syirik dan masa peperangan.

 

[Nikah Ahli Dzimmi]

(Asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Akad nikah di antara sesama ahli dzimmah, selama mereka belum membawa perkaranya kepada kami, berlaku sebagaimana akad nikah orang-orang musyrik. Selama mereka menganggap sah pernikahan itu, lalu mereka masuk Islam, maka kami tidak membatalkannya selama jenis pernikahan itu bisa dibenarkan jika dilakukan dalam Islam. Baik itu dilakukan dengan wali atau tanpa wali, dengan saksi atau tanpa saksi, dan setiap pernikahan yang mereka anggap sah, maka aku sahkan juga selama bentuknya memungkinkan untuk dimulai dalam Islam. Begitu pula jika ia menikahi perempuan dalam masa iddahnya, yang menurut mereka boleh, lalu keduanya belum masuk Islam hingga masa iddahnya selesai, maka pernikahan itu tetap sah. Namun jika keduanya masuk Islam dalam masa iddah, maka pernikahannya dibatalkan karena tidak sah memulai akad semacam itu dalam Islam.

Jika ia menikahi perempuan yang haram dinikahi menurut Islam, seperti istri ayahnya, lalu mereka masuk Islam, maka aku batalkan akadnya karena tidak sah memulai pernikahan semacam itu dalam Islam. Demikian juga jika ia menikahi perempuan yang telah ditalak tiga, sebelum ia menikah dengan suami lain dan digauli, maka aku batalkan akadnya.

Jika salah seorang dari mereka masuk Islam dan memiliki lebih dari empat istri, maka dikatakan kepadanya: “Pertahankanlah empat di antara mereka yang engkau kehendaki, dan ceraikan sisanya.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Demikian juga jika ia telah memberi mahar kepada istrinya berupa khamr, babi, bangkai, atau sesuatu yang memiliki nilai jual menurut mereka, lalu ia masuk Islam dan istrinya menuntut mahar, maka ia tidak berhak atas apa pun selain yang telah diterimanya. Jika akadnya dimaafkan padahal rusak karena sebab yang membatalkan pernikahan, maka mahar yang rusak karena sebab selain itu lebih pantas untuk dimaafkan.

Jika ia belum menerima apa pun dari mahar tersebut lalu keduanya masuk Islam, dan maharnya berupa sesuatu yang halal dalam Islam, maka perempuan berhak menerimanya dan tidak boleh lebih dari itu. Namun jika maharnya berupa sesuatu yang haram, maka ia berhak menerima mahar semisal.

Jika ia telah menerimanya dan maharnya haram, lalu suami menceraikannya sebelum digauli atau setelah keduanya masuk Islam, maka suami tidak berhak meminta kembali apa pun. Begitu pula jika perempuan yang lebih dulu masuk Islam dan suaminya belum, maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengambil atau memberikan sesuatu yang haram.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika perempuan belum menerima maharnya lalu keduanya masuk Islam dan ia dicerai, maka ia berhak atas setengah mahar semisal.

Jika keduanya masuk Islam dan perempuan itu adalah ahli kitab, maka keduanya tetap berada dalam pernikahan.

 

Jika kaum musyrik menikah lalu mereka masuk Islam, aku tidak membatalkan pernikahan satu pun dari mereka.

Jika seorang Yahudi menikahi perempuan Nasrani, atau Nasrani menikahi perempuan Majusi, atau Majusi menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani, atau penyembah berhala menikahi ahli kitab, atau ahli kitab menikahi penyembah berhala, aku tidak membatalkan satu pun dari pernikahan mereka jika mereka masuk Islam.

(Asy-Syafi‘i berkata): Demikian pula jika sebagian dari mereka lebih mulia nasabnya daripada yang lain, lalu mereka menikah di masa syirik dengan pernikahan yang sah menurut mereka, kemudian mereka masuk Islam, maka aku tidak membatalkannya karena perbedaan nasab, selama perbedaan itu termasuk hal-hal yang dimaafkan dalam Islam terkait hal-hal yang merusak akad, maka ini lebih ringan dari pada yang merusak akad secara langsung.

 

Jika seorang perempuan Nasrani bersuami dengan penyembah berhala, atau perempuan penyembah berhala bersuami dengan seorang Nasrani, maka anaknya tidak boleh dinikahi dan sembelihannya tidak boleh dimakan, dan ia tidak boleh dinikahi oleh seorang muslim, karena ia bukan ahli kitab murni, dan tidak pula termasuk dalam perlindungan salah satu orang tuanya.

Jika ahli kitab membawa perkara mereka kepada kami sebelum mereka masuk Islam, maka kami wajib memutuskan hukum di antara mereka, baik yang datang kepada kami adalah suami atau istri. Jika pernikahannya belum terlaksana, maka kami tidak akan menikahkan mereka kecuali dengan dua saksi muslim, mahar yang halal, dan wali yang sah – seperti ayah atau saudara laki-laki – dan harus seagama dengan perempuan yang akan dinikahkan. Jika wali berbeda agama dengan perempuan, maka ia tidak dianggap sebagai wali. Jika suaminya muslim dan istrinya musyrik, maka tidak sah baginya menjadi wali, dan yang menikahkannya adalah kerabat terdekat dari kalangan seagamanya. Jika tidak ada, maka hakim yang menikahkannya, karena pernikahan oleh hakim merupakan keputusan baginya.

Kemudian kami memperlakukan para wali mereka seperti kami memperlakukan wali-wali perempuan muslimah. Jika mereka membawa perkara kepada kami setelah akad nikah, maka jika akad nikah itu termasuk yang boleh dimulai dalam Islam dalam kondisi apa pun, maka kami sahkan, karena akad tersebut terjadi saat mereka masih dalam keadaan syirik dan sebelum mereka membawa perkara kepada kami. Namun jika jenis akadnya tidak mungkin dimulai dalam Islam dalam kondisi apa pun, maka kami batalkan.

Jika maharnya berupa sesuatu yang haram dan telah diberikan setelah akad, maka kami tidak menetapkan kewajiban mahar lain. Namun jika belum diberikan, maka kami tetapkan untuk perempuan tersebut mahar semisalnya yang wajib dibayar oleh suaminya.

Jika seorang perempuan meminta untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu, dan para walinya menolak, maka kami melarang pernikahannya. Namun jika pernikahan itu sudah terjadi sebelum perkara dibawa kepada kami, maka kami tidak membatalkannya jika pernikahan semacam itu dianggap sah menurut mereka karena akadnya telah selesai.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika mereka membawa perkara kepada kami dan sang suami telah menceraikannya tiga kali atau satu kali, atau ia telah melakukan ila’ (sumpah tidak menyetubuhi istri) terhadapnya, atau menziharnya, atau menuduhnya zina, maka kami putuskan hukum terhadapnya sebagaimana kami putuskan terhadap seorang muslim yang istrinya muslimah. Kami wajibkan padanya apa yang kami wajibkan kepada seorang muslim, dan ia tidak boleh membayar kafarat zihar kecuali dengan membebaskan seorang budak perempuan mukminah. Jika ia ingin memberi makan sebagai kafarat, maka tidak sah kecuali memberi makan kaum mukminin. Dan ia tidak boleh menunaikan kafarat dengan puasa dalam kondisi apa pun, karena puasa tidak ditulis baginya dan tidak memberi manfaat bagi selainnya.

Tidak ada hukuman had bagi siapa pun yang menuduh perempuan musyrik berzina, meskipun ia tidak melakukan li‘an. Namun ia tetap dikenakan ta‘zir. Jika mereka membawa perkara kepada kami dan sang suami telah menceraikannya tiga kali, lalu menahannya dan mencampurinya, maka:

– Jika itu sah menurut mereka, maka kami tetapkan bagi istri mahar semisal atas persetubuhan tersebut.

– Jika tidak sah menurut mereka dan ia memaksanya, maka kami juga tetapkan mahar semisal atas persetubuhan itu.

– Namun jika itu dianggap zina menurut mereka dan ia melakukannya tanpa paksaan, maka kami tidak tetapkan mahar semisal, dan kami pisahkan keduanya dalam seluruh keadaan.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika seorang ahli dzimmah menikahkan anak laki-lakinya yang masih kecil atau anak perempuannya yang masih kecil, maka pernikahan itu sah bagi mereka, sebagaimana sahnya bagi kaum muslimin.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika seorang perempuan muslimah menikah dengan laki-laki ahli dzimmah, maka pernikahan itu batal, dan keduanya diberi hukuman ta’dib (pendidikan), namun tidak dijatuhi hukuman had. Jika ia telah digauli, maka ia berhak atas mahar semisal.

Jika seorang laki-laki muslim menikahi perempuan kafir yang bukan ahli kitab, maka pernikahannya batal, dan ia diberi hukuman kecuali jika ia termasuk orang yang diberi uzur karena ketidaktahuan.

Jika ia menikahi perempuan ahli kitab dari kalangan ahl al-ḥarb (yang tidak berada dalam perlindungan Islam), maka aku makruhkan baginya, namun pernikahannya sah.

 

[Nikah Orang Murtad]

(Asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seorang muslim murtad lalu menikah dengan perempuan muslimah, perempuan murtad, perempuan musyrik, atau perempuan penyembah berhala, maka pernikahannya batal — baik keduanya masuk Islam atau salah satunya saja, atau tidak ada satu pun yang masuk Islam. Jika ia mencampurinya, maka ia wajib membayar mahar semisal dan anaknya dinasabkan kepadanya, dan tidak dijatuhi hukuman had. Namun jika ia tidak mencampurinya, maka tidak ada mahar, tidak setengah mahar, dan tidak juga mut‘ah.

Jika ia telah mencampurinya, maka perempuan itu berhak atas mahar semisal, namun itu tidak menyebabkan perempuan menjadi istri yang dilindungi oleh suami (muhshan), dan tidak menjadikannya halal bagi suami pertama jika telah ditalak tiga. Sebab, pernikahan itu batal karena ia seorang musyrik, dan tidak halal baginya menikahi perempuan muslimah maupun musyrik, dan ia tidak dibiarkan terus berada dalam agamanya dalam kondisi apa pun. Ia tidak seperti ahli dzimmah yang berada dalam jaminan keamanan dan membayar jizyah serta tidak membawa perkara kepada kami.

Begitu pula musyrik harbi yang tidak halal untuk dibiarkan tetap dalam agamanya, dan boleh dibunuh jika telah berada dalam kekuasaan kami. Tidak ada yang boleh memberi ampunan atasnya, tidak boleh membiarkannya, dan tidak boleh mengambil hartanya.

(Asy-Syafi‘i berkata): Tidak boleh menikahi perempuan murtad. Jika ia menikahinya lalu mencampurinya, maka perempuan itu berhak atas mahar semisal, dan pernikahannya batal. Alasan batalnya nikahnya sama dengan alasan batalnya nikah orang murtad.

Telah mengabarkan kepada kami Ar-Rabi‘ bin Sulaiman, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i Al-Muththalibi, ia berkata: Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan berikanlah mahar (ṣaduqāt) kepada para wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” [An-Nisā’: 4], dan Dia berfirman: “Maka nikahilah mereka dengan izin wali mereka dan berikanlah kepada mereka maharnya dengan baik” [An-Nisā’: 25], dan Dia berfirman: “Karena itu, istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban” [An-Nisā’: 24], dan Dia berfirman: “Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka” [An-Nisā’: 19], dan Dia berfirman: “Jika kamu ingin mengganti istri (lama) dengan istri (baru), padahal kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun” [An-Nisā’: 20], dan Dia berfirman: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” [An-Nisā’: 34], dan Dia berfirman: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya” [An-Nūr: 33].

(Asy-Syafi‘i berkata): Maka Allah memerintahkan para suami untuk memberikan mahar dan imbalan kepada istri-istri mereka. Imbalan itu adalah mahar, dan mahar itu adalah imbalan, dan juga disebut dengan kata “ṣadaq”. Itu adalah istilah Arab yang memiliki banyak nama. Hal ini dapat dimaknai bahwa yang diwajibkan adalah mahar yang disebutkan dalam akad nikah, baik ia telah mencampurinya atau belum, karena itu adalah hak yang diwajibkan oleh seseorang atas dirinya sendiri. Maka tidak halal baginya untuk menahan sesuatu dari mahar itu kecuali dalam makna yang dibenarkan oleh Allah, yaitu jika ia menceraikannya sebelum berhubungan badan, seperti firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (wajib) atasmu memberikan separuh dari mahar yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (para istri) itu memaafkan, atau orang yang memegang akad nikah memaafkan” [Al-Baqarah: 237].

Dan ini menunjukkan bahwa mahar menjadi kewajiban hanya karena akad, meskipun belum ditentukan jumlahnya atau belum digauli. Ini juga menunjukkan bahwa mahar tidak menjadi kewajiban selamanya kecuali seseorang menetapkannya untuk dirinya sendiri dan ia telah mencampuri istrinya walaupun tidak menyebutkan mahar. Maka ketika ada tiga kemungkinan makna ini, maka yang paling utama adalah yang memiliki dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, atau ijma’.

Kami mengambil dalil dari firman Allah Azza wa Jalla: “Tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu menyentuh mereka atau sebelum kamu menentukan mahar untuk mereka, dan berikanlah kepada mereka mut‘ah” [Al-Baqarah: 236] bahwa akad nikah sah walaupun tanpa penetapan mahar, karena talak tidak berlaku kecuali pada perempuan yang telah diakadkan.

Jika akad nikah boleh dilakukan tanpa mahar, dan pernikahan tetap sah, maka ini menunjukkan adanya perbedaan antara nikah dan jual beli. Jual beli tidak sah kecuali dengan harga tertentu, sementara nikah sah tanpa mahar. Ini menunjukkan bahwa akad nikah sah hanya dengan lafal ijab dan qabul, dan bahwa mahar tidak membatalkan keabsahan akad.

Jika demikian, maka apabila akad nikah dilakukan dengan mahar yang tidak jelas atau dengan sesuatu yang haram, akad tetap sah karena telah terjadi dengan lafal ijab dan qabul, dan perempuan berhak atas mahar semisal jika ia telah digauli. Tidak ada mahar yang wajib jika suami menceraikannya sebelum menyentuhnya dan belum menyebutkan mahar, karena mahar menjadi kewajiban karena akad dan hubungan badan, walaupun mahar belum disebutkan, sebagaimana dalam firman Allah Ta‘ala: “Dan seorang perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, jika Nabi menghendaki untuk menikahinya, sebagai suatu kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin” [Al-Aḥzāb: 50] — maksudnya, nikah dan hubungan badan tanpa mahar.

Dan firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kamu telah memberikan kepada salah seorang dari mereka harta yang banyak (qanṭār), maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya” [An-Nisā’: 20] menunjukkan bahwa tidak ada batas tertentu untuk mahar, sedikit atau banyak, karena Allah tidak melarang pemberian yang banyak (qanṭār) dan tidak pula menetapkan batas minimum. Ini juga ditunjukkan oleh sunnah dan qiyas yang berdasarkan ijma’.

Maka mahar paling sedikit yang sah adalah sesuatu yang dianggap berharga oleh manusia, yang jika seseorang mengambilnya dari orang lain secara tidak sah maka ia wajib mengganti nilainya. Sesuatu yang bisa diperjualbelikan di antara manusia.

Jika ada yang bertanya: apa dalilnya? Maka dikatakan: sabda Rasulullah :

“Bayarlah al-‘alā’iq.”

Ditanyakan: “Apa itu al-‘alā’iq, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab: “Segala sesuatu yang disepakati oleh kedua pihak keluarga.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Tidak disebut ‘al-‘alā’iq’ kecuali sesuatu yang bernilai, meskipun sedikit. Tidak disebut ‘māl’ (harta) atau ‘al-‘alā’iq’ kecuali sesuatu yang memiliki nilai, bisa diperjualbelikan, dan jika diambil oleh seseorang secara tidak sah, maka wajib diganti nilainya. Seperti satu dirham kecil atau yang serupa.

Yang kedua: setiap manfaat yang boleh diperjualbelikan dan sah bayaran atasnya, seperti menyewa rumah atau manfaat lain yang boleh dijadikan upah.

(Asy-Syafi‘i berkata): Mahar yang sederhana lebih aku sukai. Aku menyukai jika jumlahnya tidak melebihi mahar Rasulullah terhadap istri-istrinya dan anak-anak perempuannya, yaitu lima ratus dirham, karena mengharap keberkahan dalam mengikuti Rasulullah .

Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul-‘Azīz bin Muḥammad dari Yazīd bin ‘Abdillāh bin Al-Hād dari Muḥammad bin Ibrāhīm bin Al-Ḥārith At-Taimī, dari Abī Salamah, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Ā’isyah, “Berapa mahar Nabi ?” Ia menjawab: “Mahar beliau untuk istri-istrinya adalah dua belas uqiyah dan satu nash. Aku bertanya: “Tahukah engkau berapa satu nash itu?” Ia menjawab: “Setengah uqiyah.”

Telah mengabarkan kepada kami Sufyān bin ‘Uyainah dari Ḥumayd Ath-Ṭawīl dari Anas bin Mālik, bahwa: “Ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau membagi rumah-rumah kepada para sahabat. Maka ‘Abdur-Raḥmān bin ‘Awf mendapat bagian rumah bersama Sa‘d bin Ar-Rabī‘. Sa‘d berkata kepadanya: ‘Marilah kita bagi hartaku dan aku lepaskan salah satu istriku agar engkau nikahi.’ Maka ‘Abdur-Raḥmān berkata: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu keluarga dan hartamu. Tunjukkan kepadaku di mana pasar.’ Maka ia pergi dan mendapat hasil, lalu melamar seorang wanita dan menikahinya.” Rasulullah bertanya kepadanya: “Berapa maharnya?” Ia menjawab: “Sebiji emas.” Maka Nabi bersabda: “Adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Ḥumayd Ath-Ṭawīl dari Anas bin Mālik, bahwa ‘Abdur-Raḥmān bin ‘Awf datang kepada Nabi , dan pada dirinya tampak bekas kuning (wewangian). Maka Rasulullah bertanya kepadanya, dan ia memberitahukan bahwa ia telah menikahi seorang wanita dari kaum Anṣār. Maka Rasulullah bertanya kepadanya: “Berapa yang engkau berikan padanya?” Ia menjawab: “Seberat biji emas.” Maka Rasulullah bersabda: “Adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Maka telah jelas dalam Kitabullah bahwa mahar wajib atas suami yang telah mencampuri istrinya sebagaimana yang telah aku sebutkan. Allah menetapkan bahwa para budak perempuan dinikahi dengan izin wali mereka dan diberi upah (mahar)-nya. Dan kata “upah” itu adalah mahar, sebagaimana dalam firman-Nya: “Karena itu, istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban.” [An-Nisā’: 24]

Dan Allah juga berfirman: “Dan seorang perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi…” [Al-Aḥzāb: 50], dalam ayat ini dikhususkan sebagai wanita yang boleh dinikahi tanpa mahar. Maka hal itu hanya untuk Nabi , bukan untuk orang-orang mukmin.

Maka setiap akad nikah tanpa mahar adalah sah, dan jika perempuan menuntut maharnya, maka harus diberikan mahar semisalnya. Demikian pula jika suami telah mencampurinya tanpa menentukan mahar, maka ia wajib membayar mahar semisal.

Suami tidak keluar dari tanggungan mahar hanya dengan menikahinya tanpa menyebutkan mahar, kemudian menceraikannya sebelum mencampurinya. Maka dalam hal itu ia wajib memberikan mut‘ah, yaitu pemberian sebagai bentuk kebaikan setelah perceraian, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka…” [Al-Baqarah: 237]

Semua ini berlaku bagi setiap istri: perempuan merdeka muslimah, perempuan dzimmiyah, budak perempuan muslimah, budak mukatabah, mudabbirah, dan setiap perempuan yang belum sempurna kemerdekaannya.

Firman Allah Ta‘ala: “Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, padahal kamu telah menentukan mahar untuk mereka, maka (wajib) atasmu memberikan separuh dari mahar yang telah kamu tentukan…” [Al-Baqarah: 237]

menunjukkan bahwa penentuan mahar itu dilakukan oleh suami, dengan kerelaan istri, karena penetapan itu merupakan kewajiban atas suami untuk perempuan. Maka tidak wajib kecuali dengan persetujuan bersama.

Allah tidak membatasi jumlah mahar tertentu, sehingga dalil dari Kitabullah menunjukkan bahwa mahar adalah apa yang disepakati oleh kedua pihak, sebagaimana jual beli sah dengan kesepakatan dua belah pihak. Demikian pula ditunjukkan oleh Sunnah Rasulullah , sehingga tidak sah mahar yang disebutkan kecuali sesuatu yang bernilai dan bisa dijadikan harga dalam transaksi.

(Asy-Syafi‘i berkata): Setiap sesuatu yang boleh dijadikan barang jual beli atau disewa dengan harga tertentu, maka boleh juga dijadikan mahar. Dan setiap hal yang tidak boleh dijadikan harga dalam jual beli atau sewa, maka tidak boleh dijadikan mahar.

Mahar harus diketahui dan berupa barang tertentu yang boleh diperjualbelikan, baik dibayar tunai atau ditangguhkan. Baik itu sedikit ataupun banyak, sah bagi seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan mahar satu dirham, atau kurang dari satu dirham, atau sesuatu yang menurut pandangan orang lebih rendah dari satu dirham, asalkan perempuan yang dinikahi ridha dan ia termasuk orang yang boleh mengatur hartanya sendiri.

(Asy-Syafi‘i berkata): Boleh pula ia menikahinya dengan syarat bahwa ia menjahitkan baju untuknya, atau membangunkan rumah untuknya, atau melayaninya selama satu bulan, atau melakukan suatu pekerjaan untuknya apa pun bentuknya, atau mengajarkannya Al-Qur’an tertentu, atau mengajarkan sesuatu kepada budaknya, atau yang serupa dengan itu.

(Asy-Syafi‘i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Mālik dari Abī Ḥāzim dari Sahl bin Sa‘d, bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah menghadiahkan diriku kepadamu.” Maka ia berdiri lama. Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, nikahkan aku dengannya jika engkau tidak menginginkannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?” Ia menjawab, “Tidak ada, kecuali kain sarungku ini.” Rasulullah bersabda, “Jika engkau memberikannya padanya, engkau tidak akan punya kain sarung.” Maka Rasulullah berkata, “Carilah sesuatu.” Ia menjawab, “Tidak ada.” Rasulullah bersabda, “Carilah meskipun hanya cincin dari besi.” Ia pun mencari, namun tidak mendapatkannya. Maka Rasulullah bertanya, “Apakah engkau menghafal sesuatu dari Al-Qur’an?” Ia menjawab, “Ya, Surat ini dan itu,” dan ia menyebutkan nama surat-surat itu. Maka Rasulullah bersabda, “Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an yang engkau miliki.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Cincin dari besi tidak senilai dengan dirham, namun tetap memiliki nilai yang sah sebagai mahar karena bernilai dalam jual beli.

(Asy-Syafi‘i berkata): Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah bersabda: “Bayarlah al-‘alā’iq.” Mereka bertanya: “Apa itu al-‘alā’iq?” Beliau bersabda: “Segala sesuatu yang disepakati oleh keluarga dari kedua belah pihak.”

Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah bersabda: “Siapa yang menghalalkan sesuatu dengan hanya satu dirham, maka ia telah menghalalkannya.”

(Asy-Syafi‘i berkata): Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah membolehkan pernikahan dengan mahar dua sandal. Telah sampai pula kepada kami bahwa ‘Umar bin Al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu menetapkan mahar berupa tiga genggam kurma kering.

Telah mengabarkan kepada kami Sufyān dari Ayyūb bin Mūsā dari Yazīd bin ‘Abdillāh bin Qusaiṭ:

Seorang laki-laki bersetubuh dengan seorang budak wanita, lalu seseorang berkata: “Berikanlah dia padaku sebagai hibah.” Maka disampaikan hal itu kepada Sa‘īd bin Al-Musayyab, lalu beliau berkata: “Tidak ada perempuan yang dihalalkan melalui hibah kepada siapa pun setelah Nabi .”

Dan beliau berkata: “Seandainya ia memberinya sebagai mahar cambuk atau lebih, maka sah.”

Telah mengabarkan kepada kami Ibrāhīm bin Muḥammad, ia berkata: Aku bertanya kepada Rabī‘ah tentang sesuatu yang sah sebagai mahar dalam pernikahan. Maka ia menjawab: “Satu dirham.” Aku bertanya: “Lebih sedikit?” Ia menjawab: “Setengah dirham.” Aku bertanya: “Lebih sedikit?” Ia menjawab: “Ya, sebutir gandum atau segenggam gandum.”

[Tentang Mahar yang Benda Tertentunya Rusak Sebelum Diserahkan]

(Asy-Syafi‘i – rahimahullah – berkata): Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan mahar tertentu, maka mahar tersebut menjadi tanggungan yang wajib dibayarkan, baik ia meninggal dunia atau istrinya meninggal dunia sebelum digauli, ataupun ia telah menggaulinya. Jika maharnya berupa barang tunai, maka harus dibayar tunai. Jika berupa utang, maka harus dibayar utang. Jika berupa takaran yang disifati, maka harus dipenuhi dengan takaran tersebut. Jika berupa barang yang ditentukan (ain musamma), seperti budak, unta, sapi, dan semisalnya, lalu barang itu rusak sebelum diserahkan dan suami menceraikannya sebelum menggaulinya, maka ia wajib memberikan kepada istri setengah dari nilai barang tersebut pada hari terjadinya akad, selama tidak terjadi larangan dari pihak perempuan. Jika istri menuntutnya dan suami menahannya, maka ia dianggap merampas dan ia wajib mengganti dengan nilai tertinggi yang pernah dicapai barang tersebut.

Ar-Rabi‘ berkata: Menurut pendapat lain Asy-Syafi‘i, jika seorang suami memberikan mahar berupa benda tertentu kepada istrinya, lalu barang itu rusak sebelum sempat diterima olehnya, maka istri berhak mendapatkan mahar semisal, sebagaimana jika ia membeli sesuatu dari suaminya, lalu barang itu rusak sebelum ia menerimanya, maka ia berhak mendapat pengembalian dari harga yang telah dibayarkan. Maka demikian pula dalam pernikahan, ia berhak mendapatkan gantinya berupa nilai bāḍi‘ (kemaluan) yang ia berikan, yaitu berupa mahar semisal. (Ar-Rabi‘ berkata): Ini adalah pendapat akhir Asy-Syafi‘i.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika ia menikahinya dengan syarat menjahitkan kain tertentu lalu kain itu rusak, maka ia wajib membayar upah menjahit kain itu sesuai tarif hari dilangsungkannya akad. Maka yang wajib dibayarkan adalah upah menjahitnya. (Ar-Rabi‘ berkata): Asy-Syafi‘i kemudian meninggalkan pendapat ini dan berkata: Istri berhak atas mahar semisal. (Ar-Rabi‘ berkata): Dan Asy-Syafi‘i juga berkata: Jika suami memberikan mahar kepada istrinya lalu tidak sempat menyerahkannya hingga barang itu rusak di tangannya, kemudian ia menggaulinya, maka ia wajib membayar mahar semisal. Jika ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka ia wajib membayar setengah dari mahar semisal.

Yang ia kembalikan adalah nilai dari kemaluan istrinya, sebagaimana jika seseorang membeli barang seharga satu dirham lalu barang itu rusak, maka ia berhak mengklaim kembali nilai dirham itu. Maka dalam nikah, jika mahar yang diserahkan tidak sampai kepada istri, dan istri telah memberikan bāḍi‘nya, maka ia berhak menuntut gantinya berupa mahar semisal. Dan ini merupakan pendapat akhir Asy-Syafi‘i.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika seseorang menikah dengan syarat akan membawa kembali budak kabur milik istrinya, atau untanya yang hilang, maka syarat tersebut tidak sah dan akad nikah tetap sah, serta istri berhak mendapatkan mahar semisal, karena mencari budak kabur atau unta yang hilang bukanlah pekerjaan yang memiliki tarif tertentu ataupun tujuan yang dapat dipastikan. Jika suami telah mendapatkan bāḍi‘ (kemaluan) istrinya, maka seperti ia menerima harga dari sesuatu yang tidak sah dijual, dan itu tetap wajib dibayar dengan mahar semisal.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan syarat akan menjahitkan kain untuknya, lalu ia meninggal dunia sebelum menggaulinya, atau ia menceraikannya setelah menggaulinya, maka istri berhak atas mahar semisal. Jika ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka istri berhak atas setengah dari mahar yang dijanjikan, dan setengah dari barang yang menjadi mahar jika masih ada. Jika sudah rusak, maka ia berhak atas setengah mahar semisal.

Contohnya: jika ia menikahinya dengan menjahitkan satu kain, lalu kain itu rusak, maka istri berhak atas setengah mahar semisal, karena bāḍi‘ (kemaluan) merupakan harga dalam akad tersebut. Jika pekerjaan menjahit tersebut menjadi kurang nilainya karena kerusakan kain, maka ia mendapatkan setengah dari nilai yang berlaku pada hari pernikahan, sebagaimana dalam akad jual beli.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika suami telah membayarkan mahar kepada istrinya berupa dinar atau dirham, lalu ia menceraikannya sebelum menyentuhnya, dan barang tersebut masih ada dalam bentuk aslinya dan belum berubah, maka ia berhak menarik kembali setengah dari mahar itu. Demikian pula jika maharnya berupa emas atau perak batangan. Namun jika barang itu berubah bentuk di tangan istri — seperti dikubur lalu rusak, atau dilebur sehingga berubah nilai, atau dijadikan perhiasan sehingga nilainya naik atau turun — maka semua hal ini sama. Suami berhak menarik setengah dari nilainya pada hari diserahkan, karena istri telah memilikinya dengan akad dan wajib menanggungnya dengan penerimaan. Maka ia berhak atas kenaikan nilainya, dan bertanggung jawab atas penurunannya.

Jika suami berkata dalam kasus penurunan nilai: “Aku terima yang telah turun nilainya,” maka istri tidak wajib menyerahkannya kecuali dalam satu keadaan, yaitu jika penurunannya hanya dalam berat tetapi barangnya masih utuh, maka suami berhak menerimanya. Namun jika ia menginginkan barang itu dalam bentuk utuhnya, istri boleh memberikannya secara utuh selama tidak mengalami perubahan bentuk.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika mahar yang diberikan berupa perhiasan yang telah ditempa atau bejana dari emas atau perak, lalu pecah, maka hukumnya sama seperti di atas. Istri harus mengembalikan setengah dari nilainya pada hari diterimanya. Jika berupa dua bejana dan salah satunya pecah, maka ada dua pendapat. Salah satunya, suami berhak atas setengah dari nilai keduanya, kecuali jika ia memilih menjadi sekutu dalam bejana yang masih utuh dan istri menanggung setengah dari nilai bejana yang pecah. Pendapat yang lain, suami adalah sekutu dalam bejana yang utuh dan istri menanggung setengah nilai bejana yang rusak. Pendapat ini adalah yang lebih kuat.

Jika istri menambahkan pekerjaan atau bahan pada barang-barang tersebut, maka ia wajib membayar kepada suaminya setengah dari nilainya pada hari penerimaan, baik barang-barangnya dari perak maupun emas, dan semuanya telah pecah. Maka suami berhak atas setengah dari nilainya dalam bentuk emas atau dalam bentuk perak, karena tidak boleh mengambil perak dengan perak lebih dari timbangannya secara tidak tunai dan harus saling menyerahkan di tempat.

(Asy-Syafi‘i berkata): Jika mahar berupa uang receh, atau bejana dari tembaga, besi, atau timah, maka tidak ada perbedaan dalam hukum ini. Nilai semuanya dikembalikan ke mata uang yang berlaku di negara tersebut, berupa dinar atau dirham. Kedua pihak boleh berpisah sebelum saling menyerahkan karena transaksi ini tidak termasuk dalam kategori jual beli yang harus tunai atau termasuk riba nasī’ah.

Demikian juga jika mahar berupa sepotong kayu, lalu belum berubah hingga talak, maka suami berhak atas setengahnya. Jika telah rusak, berjamur, atau berkurang bagian-bagiannya, maka istri wajib membayar setengah dari nilai awalnya. Namun jika suami ingin menjadi sekutu atas seluruh sisa kayu yang rusak, ia boleh melakukannya. Maka istri tidak boleh menyerahkan kepadanya dalam bentuk rusak tanpa izinnya.

Dan hukum kayu dan barang kayu bersamanya sama dengan hukum bejana emas atau lainnya yang sebagian rusak dan sebagian tetap, atau nilainya meningkat karena dibuat menjadi pintu, peti, dan lainnya. Semua peningkatan tersebut menjadi milik istri, dan suami berhak atas setengah dari nilai kayu pada hari pemberian. Jika istri ingin menyerahkan barang-barang tersebut dalam bentuk pintu atau peti, dan menjadikan suami sebagai sekutu, maka suami tidak wajib menerimanya kecuali jika ia menghendaki. Karena barang-barang yang telah diubah tidak sama nilai dan fungsinya dengan bahan mentahnya.

Begitu pula jika mahar berupa pakaian lalu rusak, maka suami berhak atas setengah dari nilainya, kecuali jika ia ingin menjadi sekutu atas pakaian yang sudah rusak, maka ia boleh melakukannya dan istri tidak bisa menolak. Karena harta suaminya telah rusak, maka tidak boleh ia tolak. Jika pakaian tersebut dipotong atau diwarnai dan terjadi peningkatan atau penurunan nilai, maka hal itu sama. Suami berhak atas setengah dari nilai hari diserahkan.

Jika suami ingin menjadi sekutu atas pakaian yang telah dipotong atau diwarnai dan nilainya naik atau turun, maka keduanya tidak bisa saling memaksa, kecuali jika keduanya menghendakinya. Karena pakaian yang belum dipotong dan belum diwarnai memiliki fungsi yang berbeda dari pakaian yang telah dipotong dan diwarnai.

Demikian juga jika mahar berupa benang lalu ditenun menjadi kain, maka suami berhak atas setengah dari benang jika masih ada yang sejenisnya. Jika tidak ada, maka berhak atas setengah dari nilai pada hari diserahkan.

Semua yang aku katakan bahwa suami berhak atas setengah nilai, maksudnya adalah nilai pada hari ia menyerahkan mahar, tanpa memperhatikan penurunan atau peningkatan nilai setelahnya. Karena istri telah memilikinya sejak hari akad dan menjadi penanggung jawabnya sejak hari penerimaan. Jika suami menceraikannya, maka ia hanya berhak atas setengah dari barang yang masih ada, atau nilai setengah dari barang yang telah rusak.

Jika suami menceraikannya sebelum menyentuhnya, lalu istri telah mengubah barang tersebut dari bentuk awalnya, maka ia tidak wajib mengembalikannya dalam bentuk yang baru, kecuali jika suami ridha dengannya. Jika suami tidak ridha, maka ia hanya berhak atas setengah dari nilai barang itu saat diterima oleh istri.

Jika seorang laki-laki menikah dengan mahar berupa kambing tertentu, lalu kambing itu mati atau hilang, dan pernikahannya telah terjadi, kemudian ia menceraikan istrinya sebelum menyentuhnya, maka istri berhak atas setengah dari nilai kambing tersebut saat diterima. Jika masih ada, maka suami berhak atas setengahnya. Jika kambing itu beranak, maka anaknya milik istri, dan suami berhak atas setengah induknya.

Jika kambing itu menjadi gemuk, maka pertambahan kegemukan menjadi milik istri, dan suami berhak atas setengah nilai kambing ketika diterima. Jika kemudian ia menjadi kurus, maka tetap dilihat nilai kambing pada saat diterima, bukan saat talak.

Jika kambing itu menjadi lebih baik karena perawatan istri, maka peningkatan itu milik istri. Jika menjadi rusak karena kelalaiannya, maka ia bertanggung jawab. Jika karena sebab di luar kendalinya, seperti sakit, maka tidak ada tanggungan atas istri, dan suami hanya berhak atas nilai awalnya. Begitu pula jika mahar berupa burung atau binatang ternak lainnya, hukumnya sama seperti kambing.

Jika mahar berupa budak tertentu, lalu budak itu sakit setelah akad, maka suami hanya berhak atas setengah dari nilai budak pada hari ia menerimanya, bukan pada saat ia sakit. Jika budak itu menjadi gila, maka sama seperti budak yang sakit. Jika ia menjadi tua, maka dilihat waktunya, apakah tua karena waktu berlalu sejak akad atau tidak. Jika karena waktu, maka tanggung jawab ada pada istri, dan suami berhak atas nilai awal. Jika karena sebab dari istri, maka ia harus menggantinya. Jika karena sebab lain, maka tidak ada tanggungan.

Jika suami menikahkannya dengan budak miliknya sendiri, lalu budak itu lari dan tidak kembali hingga ia menceraikan istrinya sebelum menyentuhnya, maka istri hanya berhak atas setengah dari nilai budak saat akad. Jika budak itu kembali, maka ia menjadi milik istri seluruhnya.

Jika suami memberikan mahar berupa hamba mukatab (budak yang sedang membayar cicilan kemerdekaan), lalu budak itu belum membayar lunas, maka istri tidak berhak mengambilnya sampai lunas. Jika kemudian ia menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka suami berhak mengambil setengah hak kepemilikannya yang telah lunas. Jika belum ada yang lunas, maka ia tidak berhak atas apa pun. Jika hamba itu lunas kemudian, maka suami berhak atas setengahnya.

Jika hamba tersebut meninggal sebelum lunas, maka suami tidak berhak atas apa pun. Jika hamba itu melunasi setelah dicerai, maka suami berhak atas setengah harta tebusannya. Jika hamba itu lari sebelum lunas dan tidak kembali, maka istri tidak berhak atas apa pun darinya, dan suami juga tidak berhak atas apa pun.

Jika mahar berupa budak wanita yang sedang hamil, maka anaknya menjadi milik istri. Jika suami menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka suami hanya berhak atas setengah dari nilai ibunya, bukan anaknya. Jika ia menyentuhnya, maka anaknya dinasabkan kepadanya dan ia wajib memberi mahar seluruhnya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar budak wanita, kemudian ia menggaulinya dan menceraikannya, maka istri menjadi pemilik sah budak tersebut secara utuh, termasuk janinnya jika budak itu hamil. Jika ia menceraikannya sebelum menyentuhnya dan budak itu sedang hamil, maka suami hanya berhak atas setengah dari nilai ibunya, dan anaknya tetap milik istri.

Jika ia menikahi dengan budak dan budak itu melahirkan sebelum disentuh, maka nilai anak tidak dibagi dua; anak tetap milik istri. Jika budak itu melahirkan setelah dicerai dan sebelum disentuh, maka anak tetap milik istri, dan suami hanya berhak atas setengah dari nilai budak ibunya saat diterima.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa budak wanita lalu ia mencampurinya, kemudian budak itu melahirkan darinya (yakni budak dari mahar melahirkan anak dari suami), maka anak tersebut tidak menjadi anaknya karena ia tidak memiliki hak milik atas budak itu, dan anak tersebut menjadi milik istri karena berasal dari budaknya. Suami tetap wajib membayar mahar penuh, dan tidak berhak atas anak budak tersebut, sebagaimana ia tidak berhak atas budak itu sendiri.

Jika mahar berupa hewan, lalu hewan itu melahirkan setelah diserahkan kepada istri, maka anak hewan itu milik istri. Jika suami menceraikan sebelum menyentuh, maka suami hanya berhak atas setengah dari induknya, dan tidak dari anaknya. Jika setelah digauli, maka semua milik istri.

Jika hewan itu melahirkan sebelum diserahkan, maka anak hewan menjadi bagian dari mahar, dan jika ia menceraikan sebelum menyentuh, maka ia berhak atas setengah dari induk dan anaknya. Jika mahar berupa tanah yang berbuah, maka buahnya milik istri jika telah diserahkan. Jika belum, maka buahnya milik suami.

Jika mahar berupa pohon yang belum berbuah, lalu berbuah setelah diserahkan, maka buahnya milik istri. Jika suami menceraikan sebelum menyentuh, maka ia berhak atas setengah pohon dan bukan buahnya. Jika buah telah tumbuh sebelum diserahkan dan panen setelah diserahkan, maka buah menjadi milik suami. Namun jika buah baru tumbuh dan belum matang sebelum diserahkan, maka itu menjadi milik istri dan suami hanya berhak atas setengah pohon, bukan buahnya.

Jika mahar berupa rumah, lalu rumah itu roboh setelah diterima, maka istri bertanggung jawab terhadap kerusakannya jika karena kelalaiannya. Jika bukan karena kelalaian, maka ia tidak bertanggung jawab. Jika ia menceraikannya sebelum menyentuh, maka suami hanya berhak atas setengah dari nilai rumah tersebut saat diterima.

Jika rumah direnovasi atau diperbaiki oleh istri, maka peningkatan nilainya menjadi milik istri dan suami tetap hanya berhak atas setengah nilai asalnya. Jika rumah diperluas atau digabung dengan miliknya, maka suami berhak atas setengah bagian dari rumah yang merupakan mahar, dan tidak pada tambahan yang dari milik istri.

Jika mahar berupa rumah dan istri menyewakannya, maka hasil sewa milik istri jika disewakan setelah penyerahan. Jika sebelum diserahkan, maka hasil sewa milik suami.

Jika mahar berupa rumah dan diserahkan kepada istri, lalu ia menyewakannya kemudian suaminya menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka suami berhak atas setengah dari rumah tersebut dan tidak berhak atas hasil sewanya. Karena hasil sewa itu berasal dari milik penuh istri selama masa kepemilikan sebelum adanya pengembalian akibat talak.

Jika rumah itu telah digunakan atau dimanfaatkan oleh istri, seperti ditinggali atau disewakan, maka hasil penggunaannya tetap milik istri. Dan suami hanya mendapatkan setengah dari benda rumah itu jika masih ada, atau setengah dari nilainya pada saat diterima oleh istri.

Jika rumah tersebut diruntuhkan atau dijual, maka suami berhak atas setengah dari nilai pada saat penerimaan jika ia menceraikannya sebelum menyentuhnya.

Jika suami memberi mahar kepada istrinya berupa tanah atau rumah, kemudian istrinya memanfaatkan tanah itu untuk bercocok tanam atau membangun di atasnya, maka hasil tanaman dan bangunan yang dibuat oleh istri adalah milik istri. Dan suami tidak berhak atas apa pun dari hasil tersebut jika menceraikannya sebelum menyentuhnya, selain setengah dari tanah atau rumah sesuai mahar yang diserahkan, atau setengah dari nilainya saat diterima.

Jika istri membeli benih dari hartanya dan menanam di tanah tersebut, lalu tumbuh dan menghasilkan, maka seluruh hasil itu adalah milik istri. Jika ia menanam dengan benih suami atau benih mahar, maka hasil panen dibagi dua.

Jika suami memberi mahar berupa binatang ternak atau budak, lalu istri mengawinkannya dan menghasilkan anak, maka anak itu milik istri. Jika talak terjadi sebelum disentuh, maka suami hanya berhak atas setengah dari induknya, bukan anaknya.

Jika mahar berupa emas atau perak dan istri mencairkannya atau meleburnya, maka peningkatan atau penurunan nilainya menjadi tanggungan istri. Suami hanya berhak atas setengah dari nilai pada saat diterima.

Jika ia menikahi dengan perhiasan emas, lalu perhiasan itu dihancurkan, atau dilebur, atau dibentuk menjadi bentuk lain, maka suami hanya berhak atas setengah dari nilai pada saat penyerahan mahar.

Jika mahar yang diserahkan berupa sesuatu yang tidak sah diperjualbelikan, seperti khamr, bangkai, babi, atau darah, maka pernikahannya tetap sah dan istri berhak atas mahar semisal, bukan dari benda yang haram tersebut. Karena sesuatu yang haram tidak sah dijadikan mahar.

Jika ia menikahi perempuan dengan mahar berupa khamr sebelum pengharamannya, lalu ia belum menyentuh istrinya hingga khamr itu diharamkan, maka ia harus menggantinya dengan mahar semisal. Jika sudah menyentuhnya, maka mahar tetap menjadi tanggungan. Jika belum menyentuh dan khamr masih ada, maka dikembalikan. Jika telah rusak, maka nilai pada hari akad menjadi tanggungan suami.

Jika mahar berupa sesuatu yang rusak dan suami telah menyentuh istrinya, maka mahar semisal wajib. Jika belum menyentuhnya dan benda tersebut rusak, maka ia wajib mengganti setengah dari mahar semisal. Jika belum disentuh dan mahar masih utuh, maka dikembalikan setengahnya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar sesuatu yang tidak sah, seperti darah atau bangkai, lalu ia telah menyentuhnya, maka ia wajib memberikan mahar semisal. Jika ia menceraikannya sebelum menyentuhnya dan barangnya masih ada, maka tidak ada yang wajib atasnya selain mengembalikan barang tersebut. Jika barang itu telah rusak, maka ia wajib memberikan setengah dari mahar semisal.

Jika ia menikahinya dengan khamr milik orang dzimmi, maka pernikahan tetap sah, karena orang dzimmi memperbolehkan khamr dan menganggapnya sebagai harta. Namun jika ia menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka khamr dikembalikan. Jika telah rusak, maka ia wajib memberikan setengah dari nilai khamr tersebut menurut nilai yang berlaku di kalangan mereka.

Jika khamr itu milik seorang muslim, maka ia tidak boleh menjadikannya sebagai mahar, dan pernikahannya tetap sah, serta istri berhak atas mahar semisal.

Jika mahar berupa sesuatu yang bukan milik suami atau bukan dalam kepemilikannya, lalu ia menyerahkannya, maka mahar semisal tetap menjadi tanggungan suami.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa barang milik orang lain, tanpa izin pemiliknya, maka mahar itu tidak sah. Jika ia belum menyentuh istrinya, maka pernikahan tetap sah dan istri tidak berhak atas barang tersebut. Jika ia telah menyentuhnya, maka ia wajib memberikan mahar semisal kepada istrinya, dan barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar yang ditentukan, lalu ia memberikan kepadanya barang lain sebagai ganti dari mahar yang telah disebutkan dan istri menerimanya dengan ridha, maka barang tersebut menjadi mahar dan menggantikan yang pertama. Jika suami menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka ia berhak atas setengah dari barang pengganti tersebut jika masih ada, dan setengah nilainya jika sudah rusak.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya sebelum menyentuhnya dan mahar belum dibayar, maka ia wajib memberikan setengah dari mahar yang telah disebutkan. Jika telah dibayar, maka ia mengambil kembali setengahnya.

Jika suami menikah dengan mahar berupa manfaat seperti pelayanan atau mengajarkan Al-Qur’an, lalu ia menceraikannya sebelum menyentuhnya dan belum menunaikan manfaat tersebut, maka ia tidak wajib memberikan apa pun. Jika telah melaksanakannya, maka ia tidak mengambil kembali apa pun.

Jika suami telah mencampuri istrinya, maka istri berhak atas mahar penuh. Jika tidak, maka hanya setengahnya, baik mahar berupa harta, manfaat, atau sesuatu yang sah diperjualbelikan.

Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa menyebutkan mahar, lalu menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka ia tidak wajib memberikan apa pun kecuali mut‘ah (pemberian sukarela). Jika ia telah menyentuhnya, maka ia wajib memberikan mahar semisal. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: “Tidak ada dosa atas kamu jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka atau sebelum kamu menentukan maharnya. Dan berilah mereka mut‘ah, orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang miskin menurut kemampuannya, sebagai pemberian yang patut. Hal itu merupakan kewajiban atas orang-orang yang berbuat baik.” [Al-Baqarah: 236]

(Asy-Syāfi‘i berkata): Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu belum menyentuhnya, belum menyebutkan mahar, dan ia pun belum mati, maka tidak ada kewajiban mahar atasnya. Namun jika ia meninggal dunia sebelum menyentuhnya dan belum menentukan mahar, maka istri berhak atas mahar semisal, mewarisi, dan wajib menjalani ‘iddah, sebagaimana keputusan Rasulullah kepada seorang wanita yang dinikahi oleh seorang laki-laki dari kaum Anṣār, namun belum disentuh dan belum ditentukan maharnya, lalu suaminya wafat. Maka Rasulullah menetapkan untuk wanita itu mahar semisal tanpa dikurangi, ia mendapatkan warisan, dan wajib menjalani ‘iddah.

Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Aku menceraikanmu hari ini setengah talak,” maka itu dihitung sebagai satu talak yang sempurna. Demikian juga jika ia berkata, “Satu setengah talak” atau “Setengah talak,” maka semuanya dihukumi satu talak. Karena talak tidak ada yang setengah.

Jika ia berkata, “Aku ceraikanmu setengah dirimu,” maka itu dihitung sebagai satu talak. Karena perempuan itu satu kesatuan dan tidak terbagi. Maka segala bentuk ucapan talak yang mengandung sebagian atau setengah tetap dihukumi satu talak.

Jika seorang suami menyerahkan mahar kepada istrinya lalu menceraikannya sebelum menyentuhnya, dan ia berkata, “Aku hanya ingin memberikanmu setengah dari mahar ini,” maka ia mengambil kembali setengahnya, kecuali jika istri merelakannya. Jika ia berkata, “Aku serahkan semuanya sebagai pemberian,” maka ia tidak berhak mengambil kembali apa pun darinya.

Jika istri berkata, “Aku telah mengambil setengah mahar dan aku merelakan sisanya,” maka ia tidak berhak atas apa pun. Namun jika ia berkata, “Aku hanya merelakan sebagian darinya,” maka ia masih berhak atas sisanya. Jika ia tidak merinci bagian mana yang diridhai, maka dianggap ia merelakan yang lebih ringan, dan ia berhak atas bagian yang lebih berat nilainya.

Jika seorang perempuan berkata, “Aku telah menerima mahar dan aku rela terhadapnya,” maka itu sah sebagai penerimaan, dan suami tidak berhak mengambil kembali apa pun. Namun jika ia berkata, “Aku rela atas mahar yang telah diberikan kepadaku,” lalu suami menceraikannya sebelum menyentuh, maka ia tidak berhak mengambil kembali separuhnya, karena kerelaan tersebut mencakup seluruh mahar.

Jika ia berkata, “Aku rela menerima setengah dari mahar,” maka suami tetap berhak mengambil setengahnya yang lain. Jika ia berkata, “Aku rela menerima seluruh mahar,” lalu suaminya menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka suami tidak berhak menarik kembali apa pun, karena kerelaannya mencakup semua bagian mahar.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar tertentu, lalu ia menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka ia wajib memberikan setengah dari mahar tersebut, dan ia tidak wajib menambahkan apa pun selain itu, kecuali jika ia ingin memberi mut‘ah. Dan mut‘ah tidak wajib kecuali dalam satu keadaan, yaitu jika pernikahan tanpa mahar dan tanpa terjadi hubungan badan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dan tidak menentukan mahar, lalu menyentuhnya, maka ia wajib memberikan mahar semisal. Jika belum menyentuhnya dan telah menceraikannya, maka tidak wajib memberikan mahar, hanya mut‘ah. Namun jika ia wafat sebelum menyentuh, maka istri berhak atas mahar semisal, warisan, dan wajib menjalani masa ‘iddah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar tertentu, lalu ia menceraikannya sebelum menyentuhnya, kemudian ia ingin kembali kepadanya dalam masa ‘iddah, maka pernikahannya menjadi baru, dan ia harus menentukan mahar baru, karena talak telah jatuh dan ia belum menyentuhnya. Maka kembalinya itu seperti pernikahan baru.

Jika ia menyentuhnya lalu menceraikannya satu kali, maka ia boleh merujuk kepadanya dalam masa ‘iddah tanpa mahar baru. Namun jika telah habis masa ‘iddah, lalu ia menikahinya kembali, maka itu menjadi pernikahan baru dan ia harus memberikan mahar baru.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar tertentu, lalu ia menceraikannya sebelum menyentuhnya, dan perempuan itu menggugurkan haknya atas mahar, maka suami tidak wajib membayar apa pun. Namun jika ia menceraikannya setelah menyentuhnya, maka mahar menjadi wajib seluruhnya dan istri tidak boleh menggugurkannya, kecuali sebagai pemberian atau hibah dari dirinya kepada suami.

Jika seorang perempuan merelakan seluruh maharnya kepada suaminya setelah ia menyentuhnya, maka itu boleh sebagai bentuk pemberian. Namun jika ia menggugurkannya sebelum disentuh dan sebelum mahar diserahkan, maka suami tidak wajib membayar apa pun. Jika ia menceraikannya dan telah membayar maharnya sebelum disentuh, lalu perempuan itu menggugurkan setengahnya, maka suami boleh mengambil kembali setengahnya.

Jika suami telah menyerahkan seluruh mahar dan perempuan telah merelakan separuhnya setelah talak, maka itu sah sebagai pemberian. Namun jika perempuan tidak merelakan dan menuntut seluruh mahar, maka ia hanya berhak atas setengah jika belum disentuh, dan berhak atas seluruhnya jika telah disentuh.

Jika seorang perempuan berkata, “Aku menggugurkan maharku darimu,” sebelum disentuh dan sebelum ditalak, maka itu sah dan suami tidak wajib memberikan apa pun. Namun jika setelah disentuh, maka pengguguran itu menjadi pemberian dan suami tetap wajib membayarnya, kecuali jika perempuan merelakannya sebagai pemberian.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar tertentu, lalu ia meninggal dunia sebelum menyentuhnya, maka istri berhak atas seluruh mahar dan warisan serta menjalani ‘iddah. Demikian pula jika perempuan wafat setelah akad dan sebelum disentuh, maka suami berhak atas warisannya dan tidak gugur haknya terhadap mahar.

Jika suami meninggal dunia dan belum membayar mahar, maka mahar menjadi utang yang wajib dibayar dari hartanya sebelum dibagi warisan. Jika ia telah menyentuhnya, maka wajib dibayar seluruhnya. Jika belum disentuh, maka istri berhak atas setengahnya dan sisanya masuk ke dalam warisan suami.

Jika seorang perempuan menikah dengan syarat ia yang membayar mahar kepada suami, maka pernikahan tetap sah dan maharnya menjadi milik suami. Namun tidak boleh seorang perempuan membeli dirinya untuk dinikahi, kecuali jika mahar itu berupa harta yang sah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa pembebasan budak miliknya, maka pernikahan tetap sah dan pembebasan itu sah sebagai mahar. Jika ia telah membebaskan budak tersebut, maka istri menjadi pemilik sah dari budak yang telah merdeka. Jika belum dibebaskan, maka suami wajib membebaskannya.

Jika budak tersebut lari atau mati sebelum dibebaskan, maka suami wajib mengganti dengan mahar semisal. Jika ia telah membebaskannya, lalu budak itu lari atau mati, maka mahar tetap sah dan tidak ada ganti.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa pembebasan budak milik orang lain, maka pernikahan tetap sah, dan ia wajib mengganti mahar dengan mahar semisal karena ia tidak memiliki budak tersebut, dan tidak sah membebaskannya. Maka ia wajib memberikan kepada istrinya ganti yang senilai dengan budak tersebut pada saat akad.

Jika ia membebaskan budak tersebut dengan persetujuan pemiliknya dan menggantinya dengan harga, maka pemilik budak berhak atas harganya, dan istri tetap mendapatkan pembebasan itu sebagai mahar jika budak tersebut menjadi miliknya atau dengan keridhaan pemilik budak.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa hasil panen dari kebunnya atau buah-buahan yang akan tumbuh, maka pernikahan tetap sah, dan mahar tersebut sah jika hasil tersebut telah muncul dan dapat dihitung. Namun jika belum muncul, maka ia wajib menggantinya dengan nilai yang sepadan karena belum ada benda yang nyata saat akad berlangsung.

Jika seseorang menikahi perempuan dengan mahar berupa barang yang disewa, misalnya rumah atau kebun selama waktu tertentu, maka pernikahan sah, dan perempuan berhak atas manfaat dari barang sewaan itu selama waktu yang telah ditentukan, dengan syarat barang tersebut dimiliki oleh suami atau dia memiliki hak untuk menyewakannya.

Jika ia menikahi dengan mahar berupa manfaat dari sesuatu yang tidak dimiliki suami dan ia tidak memiliki izin untuk menggunakannya, maka perempuan berhak atas mahar semisal, bukan atas manfaat tersebut. Karena tidak sah menjadikan sesuatu yang bukan milik sebagai mahar, kecuali dengan izin dari pemiliknya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa mengajarkan sebagian dari Al-Qur’an, dan ia telah mengajarkannya, maka perempuan berhak atas mahar tersebut, dan tidak ada kewajiban tambahan. Jika ia belum mengajarkannya dan menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka tidak ada yang wajib atasnya, karena manfaat belum diterima. Jika telah diajarkan sebelum talak, maka perempuan tidak mendapat apa-apa karena sudah menerima manfaatnya.

Jika ia menikahi perempuan dengan mahar berupa mengajarkan Al-Qur’an, lalu mengajarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang disepakati, maka perempuan berhak atas mahar semisal. Jika yang diajarkan masih masuk dalam lingkup Al-Qur’an, walaupun berbeda suratnya, dan perempuan menerimanya, maka itu sah dan mencukupi sebagai mahar.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa mengajarkan suatu surat dari Al-Qur’an, lalu ia belum mengajarkannya hingga menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka ia tidak wajib membayar apa pun karena manfaat belum disampaikan. Namun jika ia telah mengajarkannya, lalu menceraikannya sebelum menyentuh, maka perempuan tidak mendapat apa pun karena ia telah menerima manfaat mahar tersebut.

Jika ia menceraikannya setelah mengajarkan sebagian, maka dilihat nilai bagian yang telah diajarkan, dan ia wajib membayar nilai dari bagian yang belum diajarkan sesuai takaran manfaat yang disepakati.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa budak milik orang lain, lalu budak itu dijual kepada suami atau diserahkan kepadanya dengan kerelaan pemiliknya setelah akad, maka budak itu sah menjadi mahar, dan tidak wajib menggantinya dengan mahar semisal karena syarat mahar telah terpenuhi.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa perhiasan tertentu, lalu perhiasan itu diketahui wujud dan ukurannya, maka pernikahan dan mahar sah. Namun jika hanya disebut “perhiasan” secara umum tanpa batasan ukuran, maka perempuan berhak atas mahar semisal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa sesuatu yang tidak jelas, misalnya mengatakan, “Aku nikahkan kamu dengan sesuatu,” maka jika ia telah menyebutkan mahar setelahnya dan disepakati, maka sah. Jika tidak, maka perempuan berhak atas mahar semisal setelah hubungan badan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa barang dagangan atau sesuatu yang tidak diketahui ukurannya, maka tidak sah mahar tersebut kecuali setelah diketahui, atau diganti dengan mahar semisal. Jika ia telah menyentuh istrinya, maka wajib mahar semisal.

Jika seseorang menikah tanpa menyebutkan mahar, lalu ia wafat sebelum menyentuhnya, maka istri berhak atas mahar semisal, warisan, dan menjalani masa ‘iddah.

Jika seorang perempuan menggugurkan haknya atas mahar sebelum disentuh, lalu suaminya menceraikannya, maka suami tidak wajib membayar apa pun. Namun jika ia menceraikannya setelah disentuh, maka perempuan berhak atas mahar penuh, dan pengguguran dianggap sebagai pemberian dari istri.

Jika seseorang menikahi perempuan dengan mahar berupa pekerjaan yang sah, seperti membangun rumah atau menjahit pakaian, dan telah melakukannya, maka perempuan berhak atas mahar tersebut. Jika belum dikerjakan dan ia menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka tidak wajib apa pun.

Jika ia telah memulai pekerjaan itu sebagian, lalu menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka ia wajib menyelesaikan setengah pekerjaan tersebut atau memberikan nilai setengah pekerjaan itu sesuai dengan apa yang sudah disepakati. Jika ia menyelesaikan seluruh pekerjaan, kemudian menceraikannya sebelum menyentuh, maka perempuan tidak berhak atas apa pun selain pekerjaan yang telah dilakukan, dan suami tidak menarik kembali apa yang telah diberikan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa budak tertentu, kemudian ia menyerahkan budak itu kepada istrinya, lalu budak tersebut terbukti memiliki cacat yang parah, maka istri boleh menolaknya dan berhak mendapatkan mahar semisal. Namun jika ia ridha terhadap budak tersebut setelah mengetahui cacatnya, maka itu dianggap sebagai penerimaan dan tidak ada tuntutan ganti.

Jika perempuan tidak tahu adanya cacat lalu ridha, kemudian setelah itu diketahui cacatnya, maka ia tetap berhak untuk menolaknya dan mendapatkan mahar semisal. Namun jika ia mengetahuinya dan tetap menerimanya, maka tidak ada hak tuntutan baginya.

Jika suami menceraikannya sebelum menyentuh, dan budak itu telah diserahkan dan terdapat cacat, maka suami tidak boleh mengambil kembali setengah budak itu, namun ia wajib memberikan setengah dari nilai budak tersebut berdasarkan kondisi budak yang cacat pada saat penyerahan.

Jika budak itu terbukti mencuri, atau melakukan tindakan tercela, maka itu termasuk cacat. Jika cacat tersebut terjadi setelah penyerahan karena kelalaian istri, maka ia menanggung kerugiannya. Namun jika bukan karena kelalaiannya, maka ia tidak menanggung, dan nilai budak dikurangi berdasarkan kadar cacatnya.

Jika mahar berupa barang dagangan atau makanan, lalu rusak atau membusuk sebelum disentuh, maka suami wajib memberikan ganti setengah dari nilai barang tersebut pada hari penyerahan. Jika barang itu masih ada dan telah rusak, maka istri hanya mengembalikan setengahnya, dan sisanya menjadi haknya.

Jika suami telah menyentuh istri dan barang itu rusak, maka istri tetap berhak atas seluruh mahar dan tidak ada pengurangan. Jika ia belum menyentuhnya, dan barang telah rusak atau berubah bentuk, maka suami hanya berhak atas setengah nilai barang tersebut saat akad.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa sesuatu yang telah dijelaskan ukurannya atau beratnya, seperti seratus liter kurma atau seratus kilogram gandum, lalu ia menyerahkannya, kemudian menceraikannya sebelum menyentuh, maka ia hanya berhak atas setengah dari jumlah tersebut, dan tidak melihat kepada nilai. Namun jika tidak ditentukan ukurannya, maka perempuan berhak atas mahar semisal jika telah disentuh, dan tidak ada hak mahar jika belum disentuh kecuali mut‘ah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa sesuatu yang telah dijelaskan takaran atau timbangannya, lalu suami menceraikannya sebelum menyentuh dan belum menyerahkan mahar, maka ia wajib memberikan setengah dari jumlah takaran atau timbangan tersebut. Jika ia telah menyerahkan semuanya, lalu menceraikannya sebelum menyentuh, maka ia berhak menarik kembali setengahnya.

Jika perempuan telah mengambil mahar berupa makanan atau barang yang mudah rusak, kemudian ia menjual atau mengonsumsinya, lalu diceraikan sebelum disentuh, maka suami berhak menuntut setengah dari nilainya saat diterima. Jika barang itu masih ada, maka ia berhak mengambil setengahnya secara langsung.

Jika perempuan mencampurkan barang mahar dengan miliknya dan tidak bisa dipisahkan lagi, maka ia wajib memberikan setengah dari nilainya saat dicampurkan. Jika terjadi peningkatan atau penurunan nilai setelah itu, maka tetap berdasarkan nilai saat dicampur.

Jika perempuan mengubah barang mahar menjadi bentuk lain, seperti gandum menjadi roti atau kain menjadi pakaian, lalu diceraikan sebelum disentuh, maka suami tidak berhak atas barang hasil perubahan itu kecuali dengan izin istri. Ia hanya berhak menuntut setengah dari nilai barang sebelum berubah bentuk.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa piutang pada orang lain, maka jika orang yang berutang mengakuinya dan bersedia menyerahkannya, maka itu sah sebagai mahar. Jika tidak, maka perempuan berhak atas mahar semisal karena piutang itu tidak dapat dikuasai.

Jika suami berkata kepada istrinya, “Aku telah memberimu mahar,” dan istri membenarkannya, maka gugurlah kewajiban suami. Jika ia mengingkarinya, maka ia diminta bukti. Jika ia tidak memiliki bukti, maka ia wajib membayar mahar. Jika istri mengaku telah menerima sebagian, maka ia wajib bersumpah atas sisanya.

Jika suami berkata, “Aku telah memberikan setengah mahar,” dan istri membenarkan, maka gugurlah separuhnya. Jika istri membantah, maka suami diminta bukti. Jika ia tidak mampu, maka ia tetap wajib membayar semuanya.

Jika istri berkata, “Aku belum menerima apa pun dari maharku,” dan suami membantah, maka suami diminta bukti penyerahan. Jika tidak ada bukti, maka ia wajib membayar mahar. Jika istri bersedia bersumpah bahwa ia belum menerima, maka suami tetap wajib membayar.

Jika istri bersumpah bahwa ia belum menerima mahar dan suami tidak memiliki bukti bahwa ia telah menyerahkannya, maka hakim menetapkan kewajiban membayar mahar kepada suami. Jika setelah itu terbukti bahwa mahar telah diserahkan, maka istri wajib mengembalikannya jika masih ada, atau mengganti nilainya jika telah rusak atau habis.

Jika seorang perempuan berkata, “Aku tidak tahu apakah suamiku telah menyerahkan mahar kepadaku atau belum,” dan suami mengaku telah menyerahkan, maka suami diminta bukti. Jika tidak ada bukti, maka ia wajib membayar, karena perempuan tidak mengaku telah menerimanya. Namun jika ia berkata, “Aku telah menerimanya dan aku lupa,” maka gugur tuntutan terhadap suami.

Jika perempuan mengaku bahwa ia telah menerima mahar, namun ia tidak tahu jumlahnya, maka ia wajib menerima jumlah yang diakui oleh suami, kecuali jika ia bisa mendatangkan bukti bahwa maharnya lebih dari itu. Jika tidak, maka yang berlaku adalah pengakuan suami.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar tertentu lalu ia menyentuhnya, kemudian ia mati sebelum membayarnya, maka perempuan berhak atas mahar tersebut sebagai utang di harta peninggalannya, dan ia juga mendapatkan warisan, serta menjalani ‘iddah.

Jika perempuan wafat sebelum menerima mahar, maka suami tetap wajib membayar mahar kepada ahli warisnya, dan ia mewarisinya sebagaimana waris biasa.

Jika suami menyerahkan sebagian dari mahar, lalu istri wafat, maka sisa mahar menjadi utang atas suami yang harus diberikan kepada ahli warisnya.

Jika seorang perempuan menggugurkan maharnya seluruhnya, lalu ia mati, maka suami tidak wajib memberikan apa pun kepada ahli warisnya karena ia telah menggugurkannya. Namun jika ia hanya menggugurkan sebagian dan belum menyerahkannya, maka sisanya menjadi utang atas suami.

Jika suami berkata, “Aku telah memberikannya,” dan ahli waris perempuan mengingkarinya, maka ia diminta bukti. Jika tidak ada bukti, maka ia wajib membayar.

Jika perempuan berhutang mahar kepada suaminya karena ia yang memberikannya, maka suami berhak menagih utang itu dari harta warisan jika istri wafat. Namun jika ia menggugurkan utang itu sebelum wafat, maka gugur tuntutan suami.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dan ia tidak menyebutkan mahar, lalu ia menyetubuhinya, maka ia wajib memberikan mahar yang sepadan dengannya (mahar misil). Jika ia menyebutkan mahar namun tidak sah menurut hukum, seperti khamr, babi, atau sesuatu yang tidak diketahui, maka ia juga wajib memberikan mahar misil setelah hubungan terjadi.

Jika ia menyetubuhinya dengan akad yang tidak sah—seperti menikahi perempuan yang haram baginya, atau menikah tanpa wali dan tidak ada kerelaan dari wali, atau menikah dalam masa ‘iddah—maka pernikahannya batal, dan perempuan tetap berhak atas mahar misil jika telah terjadi hubungan.

Jika tidak terjadi hubungan, maka ia tidak berhak atas mahar. Jika telah terjadi hubungan, maka wajib mahar misil, baik ia mengetahui bahwa pernikahan itu tidak sah maupun tidak mengetahuinya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan lalu ia menyentuhnya dan perempuan itu mengklaim bahwa suaminya belum memberikan maharnya, maka ia diminta bukti. Jika tidak ada bukti, maka suami bersumpah bahwa ia telah menyerahkan maharnya.

Jika perempuan itu masih kecil dan belum baligh, maka walinya yang mengklaim atas nama perempuan itu, dan ia tidak boleh menerima mahar kecuali dengan persetujuan suami.

Jika wali menerima mahar dan perempuan telah dewasa, maka ia berhak menuntut mahar dari walinya jika ia tidak meridhainya. Namun jika ia meridhainya, maka mahar itu menjadi milik walinya dengan izin darinya.

Jika suami memberikan mahar kepada wali, dan wali menyampaikan kepada perempuan, maka sah. Jika ia tidak menyampaikannya dan perempuan menuntut, maka wali wajib mengembalikannya.

Jika wali berkata, “Aku telah memberikannya,” dan perempuan mengingkari, maka wali diminta bukti. Jika tidak ada bukti, maka ia wajib menyerahkannya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu ia menceraikannya sebelum menyentuh, maka ia berhak mengambil kembali setengah mahar. Jika perempuan menolak, maka suami diminta bukti bahwa ia telah menyerahkan seluruh mahar. Jika ia tidak bisa membuktikan, maka ia tidak berhak menuntut.

Jika suami bisa membuktikan bahwa ia telah menyerahkan seluruh mahar, lalu ia menceraikannya sebelum menyentuh, maka ia berhak mengambil setengah dari mahar tersebut. Jika tidak ada barangnya, maka ia menuntut setengah dari nilainya. Jika barangnya masih ada, maka ia mengambil setengahnya.

Jika suami menyerahkan mahar berupa barang yang dapat dibagi, maka ia mengambil setengahnya. Jika barang tidak dapat dibagi tanpa merusak nilainya, seperti budak atau hewan tunggangan, maka ia mengambil setengah dari nilainya.

Jika istri mengklaim bahwa ia telah mengembalikan setengah mahar, dan suami membantahnya, maka perempuan diminta bukti. Jika ia tidak mampu, maka suami bersumpah bahwa ia belum menerima, dan ia berhak menuntutnya.

Jika suami berkata, “Aku telah menyerahkan mahar kepada wali perempuan dengan persetujuannya,” dan wali membenarkannya, maka gugurlah tuntutan. Jika wali mengingkari, dan perempuan berkata, “Aku tidak tahu,” maka suami diminta bukti. Jika tidak mampu, maka ia bersumpah.

Jika perempuan mengatakan, “Aku menerima maharku, lalu aku kembalikan semuanya kepada suami,” dan suami membantah, maka perempuan diminta bukti. Jika tidak mampu, maka suami bersumpah bahwa ia belum menerima kembali, dan ia tetap wajib memberikan mahar.

Jika suami berkata, “Aku telah memberimu mahar, kemudian aku menceraikanmu sebelum menyentuh,” dan istri berkata, “Aku belum menerima mahar dan aku tidak merelakannya,” maka suami tetap wajib menyerahkan setengah mahar. Namun jika perempuan berkata, “Aku telah menerima seluruhnya dan merelakan semuanya,” maka gugurlah haknya atas mahar.

Jika perempuan menggugurkan seluruh maharnya setelah disentuh, maka itu menjadi pemberian. Jika sebelum disentuh, maka suami tidak wajib memberikan apa pun. Jika hanya menggugurkan setengahnya, maka ia tetap berhak atas sisanya.

Jika perempuan menggugurkan setengah dari maharnya setelah suami menceraikannya sebelum menyentuh, maka suami hanya wajib memberikan setengah dari mahar tersebut. Jika ia menggugurkan seluruhnya, maka suami tidak wajib memberikan apa pun.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu ia belum menyentuhnya dan belum menyerahkan mahar, kemudian ia meninggal dunia, maka istri berhak atas seluruh mahar, warisan, dan wajib menjalani ‘iddah. Demikian pula jika ia telah menyebutkan mahar atau belum menyebutkannya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar yang sah, lalu menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka istri hanya berhak atas setengah mahar. Jika ia telah menyentuhnya, maka ia berhak atas seluruhnya. Jika suami meninggal setelah menyentuhnya, maka istri berhak atas seluruh mahar dan warisan, serta menjalani ‘iddah wafat.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu ia belum menyentuhnya dan belum menyerahkan mahar, kemudian ia menceraikannya, maka tidak wajib mahar. Namun ia wajib memberikan mut‘ah sesuai dengan kemampuannya, baik sedikit maupun banyak, menurut kadar yang pantas.

Jika ia tidak menyebutkan mahar dan tidak menyentuh, lalu menceraikannya, maka tidak ada mahar atasnya, dan hanya mut‘ah yang wajib. Jika telah menyentuh, maka wajib mahar semisal.

Jika ia telah menyebutkan mahar namun mahar tersebut tidak sah menurut syariat, maka jika ia telah menyentuh, wajib mahar semisal. Jika belum menyentuh dan menceraikan, maka tidak wajib apa pun selain mut‘ah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar berupa sesuatu yang tidak diketahui, seperti “dengan sesuatu” tanpa penjelasan, lalu menceraikannya sebelum menyentuh, maka tidak ada mahar atasnya dan hanya wajib mut‘ah.

Jika ia telah menyentuhnya, maka ia wajib memberikan mahar semisal. Jika ia menyebutkan mahar yang diketahui dan sah, lalu menyentuhnya, maka ia wajib memberikan mahar tersebut. Jika menceraikannya sebelum menyentuh, maka wajib memberikan setengah dari mahar yang disebutkan.

Jika suami menyebutkan mahar yang tidak sah, seperti sesuatu yang haram, dan ia belum menyentuh istrinya lalu menceraikannya, maka ia tidak wajib memberikan apa pun kecuali mut‘ah. Namun jika ia telah menyentuhnya, maka ia wajib memberikan mahar semisal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan mahar yang tidak diketahui, lalu keduanya sepakat atas suatu mahar setelah akad dan sebelum persetubuhan, maka yang berlaku adalah mahar yang disepakati. Jika mereka tidak sepakat atas suatu jumlah mahar sebelum persetubuhan, kemudian ia menyetubuhinya, maka perempuan berhak atas mahar semisal.

Jika ia menyebutkan mahar yang sah pada saat akad, lalu menceraikannya sebelum menyentuh, maka wajib setengahnya. Jika telah menyentuhnya, maka wajib seluruhnya.

Jika perempuan ridha dengan suaminya tanpa menyebutkan mahar, lalu terjadi hubungan, maka wajib mahar semisal. Jika belum terjadi hubungan, maka hanya mut‘ah.

Jika perempuan berkata, “Aku ridha dinikahi tanpa mahar dan aku tidak meminta apa pun darinya,” lalu terjadi hubungan, maka wajib mahar semisal. Karena mahar adalah hak yang tidak gugur hanya dengan ucapan sebelum terjadi hubungan.

Jika perempuan berkata, “Aku tidak meminta mahar dan aku tidak rela selain dengan akad,” lalu terjadi hubungan, maka ia tetap berhak atas mahar semisal, karena akad saja tidak menggugurkan hak mahar setelah adanya persetubuhan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dan tidak menyebutkan mahar, lalu ia menyentuhnya, maka ia wajib memberikan mahar semisal, meskipun perempuan berkata bahwa ia tidak menghendaki mahar. Karena mahar menjadi hak perempuan setelah adanya hubungan suami istri.

Jika perempuan itu budak dan dinikahi tanpa mahar, lalu ia disetubuhi, maka ia berhak atas mahar semisal, yang menjadi milik tuannya. Jika belum disetubuhi, maka tidak wajib mahar, tetapi mut‘ah jika budak itu merdeka dan masuk Islam.

Jika seorang laki-laki menikahi budak miliknya sendiri, maka tidak ada mahar baginya karena ia adalah miliknya. Namun jika ia menjual budak itu kepada orang lain, lalu menikahinya, maka wajib mahar.

Jika seorang laki-laki menikahi budak perempuan milik orang lain, dan tuannya merelakan pernikahan itu dengan mahar, maka sah dan mahar menjadi milik tuannya. Jika ia tidak merelakan dan pernikahan terjadi tanpa izin, maka tidak sah. Jika kemudian tuannya merelakan, maka sah dengan mahar semisal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang tidak halal dinikahi, seperti saudara perempuan sepersusuan, lalu menyetubuhinya, maka tidak ada nikah dan wajib mahar semisal.

Jika pernikahan terjadi dengan wali fasik atau tidak sah, lalu ia menyetubuhinya, maka ia wajib mahar semisal, dan pernikahannya batal. Jika perempuan tidak mengetahui status wali atau suaminya, maka anak dari hubungan itu dinasabkan kepadanya.

Jika perempuan mengetahui bahwa pernikahannya tidak sah dan ia tetap merelakan hubungan itu, maka anak tidak dinasabkan kepadanya dan tidak berhak atas mahar. Namun jika ia tidak tahu, maka ia mendapat mahar semisal dan anak dinasabkan kepada suami.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan wali yang tidak sah, dan perempuan tidak tahu hal itu, lalu ia menyetubuhinya, maka ia berhak atas mahar semisal, dan pernikahannya batal, serta anak dinasabkan kepadanya.

Jika perempuan itu seorang budak dan dinikahkan oleh seseorang yang bukan tuannya, lalu ia menyetubuhinya, maka ia wajib memberikan mahar semisal, dan pernikahannya batal. Jika perempuan itu tidak tahu bahwa yang menikahkannya bukan tuannya, maka ia mendapat mahar dan anak dinasabkan kepada suami.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dalam masa ‘iddah, baik dari talak atau wafat, lalu ia menyetubuhinya, maka ia wajib memberikan mahar semisal dan pernikahannya batal. Jika perempuan mengetahui bahwa ia dalam masa ‘iddah dan tetap melangsungkan pernikahan, maka anak tidak dinasabkan. Jika tidak tahu, maka anak dinasabkan kepada laki-laki tersebut.

Jika ia menikahi perempuan yang ditalak tiga dan belum dinikahi oleh suami lain, lalu ia menyetubuhinya, maka tidak ada nikah dan wajib mahar semisal. Jika perempuan tidak tahu, maka anak dinasabkan kepada laki-laki tersebut.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang haram dinikahi karena sebab nasab, sepersusuan, atau mushaharah, lalu ia menyetubuhinya, maka ia wajib mahar semisal dan pernikahannya batal, dan anak tidak dinasabkan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang haram dinikahi karena mushaharah, seperti istri ayah atau anak perempuan istri yang telah disentuh ibunya, lalu ia menyetubuhinya dengan tidak mengetahui keharaman itu, maka ia wajib memberikan mahar semisal, namun pernikahannya batal dan anak tidak dinasabkan kepadanya.

Jika ia menikahi perempuan yang haram dinikahi karena sepersusuan, lalu menyetubuhinya dalam keadaan tidak mengetahui keharamannya, maka ia wajib memberikan mahar semisal. Jika ia mengetahuinya, maka tidak ada mahar, dan perbuatannya adalah dosa besar. Anak juga tidak dinasabkan kepadanya.

Jika ia menikahi perempuan yang bukan ahlinya, seperti perempuan yang telah bersuami atau dalam masa iddah, maka pernikahan tidak sah. Jika ia menyetubuhinya tanpa mengetahui statusnya, maka ia wajib memberikan mahar semisal. Jika ia tahu, maka ia berdosa dan perempuan tidak berhak atas mahar.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan lalu menyetubuhinya, kemudian diketahui bahwa perempuan itu adalah saudara sepersusuan atau saudara kandung ibunya, maka pernikahannya batal dan ia tetap wajib memberikan mahar semisal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu ternyata ia telah menyusu kepada ibu suami, maka ia adalah anak susuan suami, dan haram menikahinya. Jika telah terjadi hubungan, maka ia wajib memberikan mahar semisal, dan pernikahannya batal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dan ia memiliki empat istri, lalu menikahi yang kelima, maka pernikahan dengan yang kelima tidak sah. Jika telah menyetubuhinya, maka ia wajib memberikan mahar semisal dan menceraikannya.

Jika seorang laki-laki memiliki empat istri, lalu ia menceraikan salah satu dari mereka dengan talak raj‘i, kemudian menikahi perempuan kelima sebelum habis masa ‘iddah istri yang ditalak, maka pernikahan dengan yang kelima tidak sah. Jika ia menyetubuhinya, maka ia wajib memberikan mahar semisal, dan pernikahannya batal.

Jika ia menceraikan istrinya dengan talak ba’in, lalu menikahi perempuan kelima sebelum masa ‘iddah selesai, maka pernikahan sah, karena talak ba’in memutuskan hubungan dan memperbolehkan menikah lagi.

Jika ia menikahi perempuan dengan syarat tidak ada mahar atau tidak ada nafkah, lalu pernikahan terjadi, maka syarat tersebut batil dan pernikahan sah. Ia tetap wajib memberikan mahar dan nafkah sesuai dengan syariat.

Jika ia menikahi perempuan dengan syarat tertentu, seperti ia tidak akan menuntut nafkah darinya atau tidak akan tinggal bersamanya, maka syarat itu tidak berlaku, dan ia tetap wajib memenuhi hak-haknya.

Jika ia menikahi perempuan dengan syarat bahwa ia tidak akan menikah dengan perempuan lain, maka syarat itu tidak sah dan tidak mengikat suami. Namun jika ia melanggar dan perempuan menuntut cerai karena syarat tersebut, maka hakim boleh memisahkan antara keduanya jika diperlukan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan niat mut‘ah, yaitu menikah dalam waktu tertentu seperti sebulan atau dua bulan, maka pernikahan itu batil dan haram menurut syariat. Jika terjadi hubungan, maka ia wajib memberikan mahar semisal, dan anak tidak dinasabkan kepadanya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan akad yang sah, namun ia niatkan dalam hatinya untuk menceraikannya setelah waktu tertentu tanpa memberitahu perempuan, maka pernikahan sah, tetapi niat tersebut tidak diberkahi.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan akad yang sah lalu menceraikannya karena suatu sebab, maka perceraian itu sah. Jika ia menikah lagi setelah itu tanpa niat untuk menceraikan, maka pernikahan baru itu juga sah. Namun jika ia menjadikan niat cerai sebagai syarat dalam akad, maka pernikahan itu batil.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan syarat bahwa ia hanya akan tinggal bersamanya setahun, maka syarat itu batil dan tidak mengikat. Pernikahan tetap sah dan ia wajib tinggal bersama sesuai dengan hak-hak suami istri.

Jika ia menikahi perempuan dengan syarat bahwa ia tidak akan memberi mahar, maka syarat itu batil dan ia tetap wajib membayar mahar. Jika perempuan menyetujui, maka itu dianggap pemberian dan ia tetap mendapatkan mahar semisal jika terjadi hubungan.

Jika ia menikahi perempuan dengan akad sah dan ia tidak membayar mahar karena kelalaiannya, lalu ia meninggal setelah menyentuhnya, maka perempuan berhak atas mahar semisal dan warisan serta menjalani masa ‘iddah wafat.

Jika perempuan tersebut belum disentuh dan suami wafat, maka ia tetap mendapatkan seluruh mahar dan warisan serta wajib menjalani masa ‘iddah karena kematian.

Jika suami menceraikannya sebelum menyentuh dan mahar telah ditentukan, maka ia mendapatkan setengah mahar. Jika belum ditentukan, maka ia tidak mendapatkan apa pun kecuali mut‘ah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dan menyentuhnya, lalu perempuan itu melarikan diri atau menolak untuk tinggal bersama, maka ia tetap berhak atas seluruh mahar karena telah terjadi hubungan.

Jika perempuan melarikan diri sebelum disentuh dan mahar telah ditentukan, lalu suami menceraikannya, maka ia hanya berhak atas setengah mahar.

Jika perempuan melarikan diri sebelum disentuh dan tidak ada mahar yang ditentukan, lalu suami menceraikannya, maka ia hanya berhak atas mut‘ah, dan tidak ada mahar baginya.

Jika seorang perempuan berkata, “Aku tidak ingin menetap bersama suamiku,” sebelum disentuh, lalu suami menceraikannya, maka ia hanya berhak atas mut‘ah. Namun jika ia telah disentuh, maka ia tetap berhak atas mahar yang ditentukan.

Jika perempuan itu adalah istri dari seorang budak, lalu tuannya membebaskan budak itu, dan perempuan itu juga dimerdekakan atau dibeli oleh suaminya, lalu mereka berdua masuk Islam dalam masa ‘iddah, maka pernikahan tetap sah.

Namun jika hanya salah satu dari mereka yang masuk Islam, dan yang lain tetap dalam kekafiran hingga habis masa ‘iddah, maka pernikahan mereka terputus.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dalam kekafiran, lalu ia masuk Islam terlebih dahulu, dan istrinya belum masuk Islam hingga habis masa ‘iddah, maka pernikahan mereka batal. Begitu pula jika perempuan masuk Islam terlebih dahulu dan suami tidak menyusul hingga habis masa ‘iddah.

Jika keduanya masuk Islam dalam masa ‘iddah, maka pernikahan mereka tetap sah, asalkan pernikahan tersebut termasuk jenis yang sah dalam Islam.

Jika pernikahan itu adalah pernikahan yang tidak sah dalam Islam, seperti menikahi lebih dari empat perempuan atau menikahi perempuan yang tidak halal, maka meskipun keduanya masuk Islam, pernikahan itu tidak dianggap sah, dan harus dipisahkan.

Jika seorang budak menikahi budak perempuan dalam masa kekafiran, lalu salah satu dari mereka dimerdekakan, atau keduanya dimerdekakan, kemudian mereka masuk Islam bersama dalam masa ‘iddah, maka pernikahan mereka tetap sah. Namun jika masuk Islam terjadi setelah habis masa ‘iddah, maka pernikahan terputus dan tidak dapat dilanjutkan kecuali dengan akad baru.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dalam kekafiran, lalu menyetubuhinya, kemudian ia masuk Islam terlebih dahulu dan istrinya tetap dalam kekafiran sampai habis masa ‘iddah, maka ia tidak berhak lagi atas perempuan tersebut, dan pernikahan batal karena berakhirnya masa ‘iddah sebelum keislaman pasangan.

Jika mereka berdua masuk Islam setelah habis masa ‘iddah, maka tidak boleh kembali kecuali dengan akad baru. Namun jika masuk Islam terjadi dalam masa ‘iddah dan tidak ada penghalang syar‘i antara keduanya, maka pernikahan tetap sah.

Jika seorang laki-laki menikahi lebih dari empat perempuan dalam masa kekafiran, lalu masuk Islam, maka ia wajib memilih empat dari mereka dan menceraikan sisanya. Jika ia tidak memilih siapa pun, maka yang pertama dari empat perempuan yang paling awal dinikahi tetap menjadi istrinya, dan pernikahan dengan yang lain batal.

Jika ia memilih empat dari mereka dan meninggalkan sisanya, maka yang ditinggalkan tidak berhak atas mahar jika belum disentuh. Namun jika telah disentuh dalam kekafiran, maka mereka tetap berhak atas mahar.

Jika seorang laki-laki masuk Islam dan ia memiliki dua saudari sebagai istri dalam kekafiran, maka ia wajib memilih salah satu dari keduanya dan menceraikan yang lain, karena tidak boleh mengumpulkan dua saudari dalam Islam.

Jika ia menyentuh keduanya sebelum masuk Islam, maka masing-masing berhak atas mahar, dan yang tidak dipilih menjadi asing baginya. Jika hanya satu yang disentuh, maka ia berhak atas mahar, dan yang lain tidak.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan lalu ia menceraikannya, kemudian ia menikahi saudari perempuannya, maka pernikahan kedua sah jika telah berakhir hubungan dengan istri pertama. Namun jika ia belum menceraikan istri pertama, maka tidak sah menikahi saudari perempuannya, dan jika telah dilakukan, maka ia wajib menceraikan salah satunya.

Jika ia menyentuh keduanya, maka masing-masing berhak atas mahar. Jika ia menyentuh salah satunya, maka yang disentuh berhak atas mahar, dan yang lain tidak.

Jika ia menceraikan salah satunya dan ingin menikahi saudari yang lain, maka ia tidak boleh menikahinya kecuali setelah habis masa ‘iddah yang pertama, agar tidak terjadi penggabungan antara dua saudari, baik secara nikah maupun ‘iddah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan lalu menceraikannya, kemudian menikahi ibunya, maka pernikahan kedua tidak sah. Jika telah terjadi hubungan, maka ia wajib memberikan mahar semisal, dan pernikahan batal.

Jika ia menikahi perempuan, lalu menyetubuhi ibunya, maka ia haram selamanya atas perempuan tersebut, baik hubungan itu terjadi dalam nikah atau tidak. Demikian juga jika ia menikahi seorang perempuan, lalu menyetubuhi anak perempuannya dari suami lain, maka ibunya menjadi haram selamanya baginya.

Jika ia menikahi seorang perempuan, lalu ia menyetubuhi ibunya, maka perempuan tersebut haram atasnya selama-lamanya. Jika tidak terjadi hubungan, maka tidak ada keharaman antara keduanya, dan pernikahan tetap sah.

Jika seorang laki-laki memiliki seorang istri, lalu ia menyetubuhi anak perempuannya dari suami lain, maka anak tersebut menjadi haram baginya dan ia tidak boleh menikahinya, baik ia telah menceraikan ibunya atau belum.

Jika ia menikahi seorang perempuan, lalu menceraikannya sebelum menyentuh, kemudian menikahi anak perempuannya dari suami lain, maka pernikahan itu sah karena belum terjadi hubungan yang menyebabkan pengharaman.

Jika ia menyetubuhi seorang perempuan, lalu ia menceraikannya, kemudian menikahi anak perempuannya dari suami lain, maka tidak boleh. Anak perempuan itu menjadi haram karena hubungan dengan ibunya telah terjadi.

Jika ia menikahi anak perempuan terlebih dahulu, lalu menceraikannya sebelum menyentuh, kemudian menikahi ibunya, maka pernikahan dengan ibunya sah, karena belum terjadi hubungan dengan anak perempuan tersebut.

Jika ia menyetubuhi anak perempuan itu, lalu menceraikannya, maka ia tidak boleh menikahi ibunya karena telah terjadi hubungan yang menyebabkan pengharaman.

Jika ia menikahi seorang perempuan, lalu menceraikannya dan menikahi ibunya, kemudian ingin kembali kepada anak perempuannya, maka tidak boleh, sebab telah menikahi ibu dari perempuan tersebut. Demikian pula jika urutan pernikahan dibalik.

Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan tidak mengetahui bahwa ia adalah mahramnya, lalu terjadi hubungan, maka ia wajib memberikan mahar semisal. Jika ia mengetahui dan tetap melakukannya, maka perbuatan itu adalah dosa besar dan tidak ada mahar baginya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan akad yang sah, lalu diketahui bahwa perempuan itu adalah mahram karena sepersusuan, maka pernikahannya batal, dan jika terjadi hubungan, maka wajib mahar semisal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu diketahui bahwa ia adalah saudara perempuan sepersusuan, atau bibi dari pihak ayah atau ibu karena sepersusuan, maka pernikahannya batal. Jika telah terjadi hubungan, maka wajib mahar semisal. Namun jika belum terjadi hubungan, maka tidak ada mahar baginya.

Jika ia menikahi perempuan, kemudian mengetahui bahwa ia adalah perempuan yang pernah ia susui dari seorang perempuan yang juga menyusui anak-anak lain, maka pernikahan itu batal. Jika telah terjadi hubungan, maka ia wajib memberikan mahar semisal. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban apa pun.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, kemudian keduanya mengetahui bahwa ada hubungan sepersusuan di antara mereka setelah terjadi hubungan badan, maka pernikahan itu batal, dan perempuan berhak atas mahar semisal.

Jika hubungan sepersusuan itu baru diketahui setelah beberapa tahun pernikahan, maka tetap berlaku hukum tersebut: pernikahan batal dan perempuan berhak atas mahar semisal. Anak-anak yang lahir dari pernikahan itu tetap dinasabkan kepada ayahnya karena pernikahan yang terjadi dalam keadaan tidak mengetahui.

Jika dua orang bersaudara menyusui dari satu perempuan, maka keduanya menjadi saudara sepersusuan, dan haram menikahi satu sama lain jika lawan jenis. Jika salah satunya menikahi seorang perempuan, maka saudaranya tidak boleh menikahi ibu dari perempuan tersebut, atau anak perempuannya, karena hukum mushaharah berlaku dalam susuan sebagaimana dalam nasab.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu terjadi hubungan, kemudian diketahui bahwa ada hubungan susuan yang menyebabkan keharaman, maka pernikahan dibatalkan dan perempuan berhak atas mahar semisal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu setelah terjadi hubungan diketahui bahwa mereka telah disusui oleh perempuan yang sama walaupun hanya satu kali susuan yang mengharamkan, maka pernikahan batal dan perempuan berhak atas mahar semisal. Anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya karena ia dilahirkan dari nikah yang tampak sah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu ia menceraikannya, kemudian menikahi perempuan lain dan menyetubuhi perempuan kedua, maka ia tidak boleh menikahi anak perempuan dari istri kedua itu, karena telah terjadi hubungan dengan ibunya. Jika belum menyetubuhi, maka boleh.

Jika ia menikahi perempuan, lalu menyetubuhi anak perempuan dari suami perempuan tersebut (yakni anak tiri perempuan itu), maka perempuan tersebut menjadi haram atasnya selama-lamanya karena mushaharah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu menyetubuhi ibunya, maka ia tidak boleh kembali kepada perempuan itu selama-lamanya. Jika ia tidak menyetubuhi ibunya, maka boleh kembali menikahinya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu menceraikannya, dan setelah itu menikahi ibu dari perempuan tersebut dan menyetubuhinya, maka ia tidak boleh kembali kepada anak perempuannya selama-lamanya.

Jika seorang laki-laki menikahi anak perempuan, lalu menceraikannya sebelum menyentuh, kemudian menikahi ibunya, maka sah. Namun jika telah menyetubuhi anak perempuan itu, maka ibunya menjadi haram untuk dinikahi.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan lalu menyetubuhi anak perempuannya dari suami lain, maka anak itu menjadi haram atasnya, dan ia tidak boleh menikahinya. Namun jika ia menceraikan ibunya sebelum menyetubuhi anak perempuannya, maka boleh baginya menikahi anak itu.

Jika seorang laki-laki menikahi anak perempuan, lalu menceraikannya sebelum menyentuh, kemudian menikahi ibunya dan menyetubuhinya, maka ia tidak boleh kembali kepada anak perempuannya. Karena menyetubuhi ibu mengharamkan anak perempuan selama-lamanya.

Jika ia menikahi ibu terlebih dahulu dan menceraikannya sebelum menyentuh, lalu menikahi anak perempuannya, maka sah. Namun jika telah menyetubuhi ibunya, maka anak perempuan menjadi haram dinikahi.

Jika ia menikahi ibu, lalu menyetubuhi anak perempuan dari suami lain, maka ia tidak boleh kembali kepada ibunya selama-lamanya. Karena menyetubuhi anak perempuan menyebabkan keharaman terhadap ibunya.

Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, lalu ia menceraikannya, kemudian menikahi saudari perempuannya, lalu ia ingin kembali kepada perempuan yang pertama, maka ia harus menceraikan yang kedua dan menunggu habis masa ‘iddah sebelum kembali menikahi yang pertama.

Jika ia menikahi seorang perempuan dan saudari perempuannya sekaligus dalam satu akad, maka pernikahan keduanya batal. Jika telah terjadi hubungan dengan salah satunya, maka yang telah disentuh mendapatkan mahar semisal.

Jika ia tidak menyentuh keduanya, maka keduanya tidak berhak atas mahar. Jika ia menyentuh keduanya, maka masing-masing mendapatkan mahar semisal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, kemudian menikahi bibi dari pihak ayah atau ibu dari perempuan tersebut, maka tidak boleh. Jika telah terjadi pernikahan dan hubungan, maka pernikahan kedua batal, dan perempuan itu mendapatkan mahar semisal.

Jika ia menikahi bibi dari pihak ayah atau ibu seorang perempuan, lalu menikahi keponakan perempuannya setelah itu, maka pernikahan dengan keponakan tidak sah. Jika telah menyetubuhinya, maka ia wajib memberikan mahar semisal, dan ia harus menceraikannya.

Jika ia menikahi perempuan lalu menceraikannya, kemudian menikahi bibi dari pihak ayah atau ibunya, maka sah. Begitu pula jika ia menikahi bibi terlebih dahulu, lalu menceraikannya dan menikahi keponakannya, maka sah. Namun tidak boleh menggabungkan antara keduanya dalam satu waktu.

Jika seorang laki-laki menggabungkan dua perempuan yang haram digabungkan menurut syariat, seperti dua saudari atau perempuan dan bibinya, maka pernikahan keduanya tidak sah. Jika ia menyentuh keduanya, maka masing-masing mendapat mahar semisal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah, baik dari talak atau wafat, maka pernikahannya tidak sah. Jika ia menyetubuhinya, maka ia wajib memberikan mahar semisal.

Jika ia menikahinya setelah selesai masa ‘iddah, maka sah. Namun tidak boleh menyegerakan akad sebelum habisnya masa ‘iddah.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang hamil dari hasil zina, maka ia tidak boleh menyetubuhinya sampai ia melahirkan. Namun jika pernikahannya sah, maka hubungan setelah melahirkan boleh dilakukan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang hamil dari zina, dan ia tahu kehamilan itu dari perbuatannya sendiri, maka ia boleh menikahinya dan menyetubuhinya setelah melahirkan.

Jika ia menikahinya tanpa mengetahui kehamilannya, lalu menyetubuhinya, kemudian ia tahu, maka ia tidak berdosa, tetapi wajib menahan diri darinya hingga ia melahirkan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang hamil dari perzinaan orang lain, maka ia tidak boleh menyetubuhinya hingga ia melahirkan. Dan jika ia menyetubuhinya dalam keadaan tahu akan kehamilan itu, maka ia berdosa, namun pernikahan tetap sah.

Jika perempuan tersebut melahirkan, maka anaknya tidak dinasabkan kepada suami, karena kehamilan itu berasal dari zina sebelum akad. Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang telah melahirkan dari hasil zina, dan anak itu masih dalam masa menyusu, lalu suaminya menyusui anak itu melalui budak perempuannya atau istrinya yang lain, maka jika menyusu itu mencapai jumlah yang mengharamkan, anak itu menjadi anak susuan suaminya, dan tidak boleh dinikahi kelak.

Jika perempuan tersebut adalah seorang budak, dan ia hamil dari perzinaan, kemudian tuannya menikahinya, maka ia tidak boleh disetubuhi hingga melahirkan. Jika disetubuhi sebelum melahirkan, maka itu haram, dan jika tidak mengetahui kehamilan maka tidak berdosa.

Jika seorang laki-laki membeli seorang budak perempuan yang sedang hamil, maka ia tidak boleh menyetubuhinya hingga ia melahirkan dan selesai dari nifasnya. Jika ia menyetubuhinya sebelum itu dalam keadaan tahu, maka ia berdosa.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu terjadi perbedaan agama setelah itu—misalnya perempuan tetap kafir dan suami masuk Islam—maka pernikahan bergantung pada masuk Islamnya perempuan. Jika ia masuk Islam dalam masa ‘iddah, maka pernikahan tetap sah. Jika tidak, maka pernikahan terputus.

Jika suami tetap kafir dan istri masuk Islam, maka hukum yang sama berlaku: jika suami masuk Islam dalam masa ‘iddah, maka pernikahan tetap sah, jika tidak, maka tidak ada lagi hubungan antara keduanya.

Jika seorang laki-laki masuk Islam dan memiliki istri yang masih dalam kekafiran, lalu ia menawarkan Islam kepadanya dan ia menolak hingga selesai masa ‘iddah, maka perempuan itu menjadi haram baginya, dan pernikahan mereka terputus.

Jika ia masuk Islam setelah masa ‘iddah selesai, maka ia tidak boleh kembali kecuali dengan akad baru. Namun jika ia masuk Islam sebelum masa ‘iddah selesai, maka pernikahan tetap sah.

Jika seorang perempuan masuk Islam dan suaminya tetap dalam kekafiran, lalu ia menyusul masuk Islam dalam masa ‘iddah, maka pernikahan mereka sah. Jika ia tidak masuk Islam hingga masa ‘iddah selesai, maka hubungan mereka berakhir.

Jika keduanya masuk Islam bersama dalam masa ‘iddah, maka pernikahan tetap sah. Namun jika masuk Islam terjadi setelah masa ‘iddah, maka hubungan pernikahan telah terputus dan tidak berlaku lagi kecuali dengan akad baru.

Jika seorang budak menikahi perempuan budak dalam kekafiran, lalu salah satunya dimerdekakan, dan keduanya masuk Islam bersama dalam masa ‘iddah, maka pernikahan tetap sah. Namun jika masuk Islam terjadi setelah habis masa ‘iddah, maka tidak ada lagi ikatan pernikahan antara mereka.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dalam masa kekafiran, lalu ia menyetubuhinya, kemudian masuk Islam sendirian dan perempuan tetap dalam kekafiran, lalu ia masuk Islam setelah selesai masa ‘iddah, maka ia tidak boleh lagi bersamanya kecuali dengan akad baru.

Jika seorang laki-laki masuk Islam bersama istrinya yang kafir, dan hubungan mereka termasuk dalam pernikahan yang diakui oleh Islam, maka pernikahan tetap sah, dan mereka tidak perlu mengulang akad.

Jika seorang laki-laki masuk Islam bersama istrinya dan keduanya tetap dalam agama Islam, dan tidak ada sesuatu pun yang menyebabkan keharaman antara mereka berdua, maka pernikahan tetap sah dan mereka tetap sebagai suami istri.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dalam kekafiran, lalu ia menyetubuhinya, kemudian masuk Islam, dan perempuan tetap dalam kekafiran hingga habis masa ‘iddah, maka perempuan tersebut tidak lagi menjadi istrinya, dan tidak boleh kembali kecuali dengan akad baru setelah perempuan itu masuk Islam.

Jika seorang laki-laki masuk Islam dan memiliki istri-istri yang jumlahnya melebihi empat, maka ia wajib memilih empat di antara mereka dan menceraikan sisanya. Jika ia tidak memilih, maka yang sah adalah empat yang paling awal dinikahi, dan selebihnya batal.

Jika ia memiliki istri-istri dalam kekafiran, lalu masuk Islam dan memilih empat di antara mereka, maka yang tidak dipilih tidak mendapatkan hak mahar kecuali jika telah disentuh. Jika telah disentuh, maka masing-masing berhak atas mahar semisal.

Jika ia menyentuh semua istrinya, lalu masuk Islam dan memilih empat di antara mereka, maka semua istri yang telah disentuh berhak atas mahar semisal, dan yang tidak disentuh tidak mendapatkan apa pun.

Jika seorang laki-laki memiliki dua saudari sebagai istri dalam kekafiran, lalu ia masuk Islam, maka ia harus memilih salah satu di antara keduanya. Jika ia telah menyetubuhi keduanya, maka masing-masing berhak atas mahar semisal, dan ia harus menceraikan salah satunya.

Jika ia menyentuh salah satunya dan tidak menyentuh yang lain, lalu ia masuk Islam, maka ia menceraikan yang belum disentuh, dan ia tetap bersama yang telah disentuh.

Jika ia belum menyentuh keduanya dan masuk Islam, maka ia memilih salah satu di antara mereka, dan pernikahan dengan yang tidak dipilih batal tanpa mahar.

Jika seorang laki-laki menikahi dua perempuan yang bersaudara secara bersamaan dalam kekafiran, lalu ia masuk Islam, maka ia wajib memilih salah satu dari keduanya. Jika ia menyetubuhi keduanya, maka masing-masing berhak atas mahar semisal, dan ia tidak boleh mempertahankan keduanya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu menceraikannya, kemudian menikahi saudari perempuannya, lalu ia ingin kembali kepada perempuan pertama, maka ia tidak boleh menikahi perempuan pertama sampai habis masa ‘iddah perempuan kedua atau setelah perempuan kedua diceraikan dan habis masa ‘iddahnya.

Jika ia menikahi perempuan lalu menceraikannya dengan talak tiga, maka ia tidak halal baginya sampai ia menikah dengan suami lain dan terjadi hubungan suami istri, kemudian diceraikan dan habis masa ‘iddahnya.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga, lalu perempuan itu menikah dengan laki-laki lain dan tidak terjadi hubungan, kemudian diceraikan dan habis masa ‘iddahnya, maka ia tidak halal kembali kepada suami pertama karena tidak terjadi hubungan dalam pernikahan yang kedua.

Jika suami kedua menyetubuhi perempuan tersebut, kemudian menceraikannya dan habis masa ‘iddah, maka perempuan itu halal kembali bagi suami pertama dengan akad baru.

Jika perempuan itu dinikahi oleh suami kedua dengan maksud untuk menghalalkan bagi suami pertama, maka pernikahan tersebut tetap sah jika terjadi hubungan. Namun perbuatan tersebut makruh dan tidak dianjurkan.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga, lalu ia mengatakan kepada seseorang, “Nikahilah dia agar halal bagiku,” kemudian ia menikahinya dan menyetubuhinya, lalu menceraikannya, maka perempuan itu halal bagi suami pertama setelah habis masa ‘iddahnya.

Jika seseorang menikahi perempuan dengan maksud hanya untuk menghalalkan bagi suami pertamanya, tanpa ada niat menjadikan pernikahan itu sebagai pernikahan yang sungguh-sungguh, maka pernikahan itu sah jika terjadi hubungan badan. Namun, perbuatan tersebut tidak terpuji dan dibenci.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak satu atau dua, lalu ia menikah dengan laki-laki lain dan disetubuhi, kemudian dicerai dan habis masa ‘iddahnya, lalu kembali kepada suami pertama, maka ia kembali dalam hitungan talak yang masih tersisa, yaitu satu atau dua. Talak sebelumnya tidak hangus.

Namun jika ia ditalak dengan talak tiga, lalu menikah dengan suami lain, maka jika kembali kepada suami pertama setelah dicerai oleh suami kedua, maka hitungan talaknya dimulai dari awal, yaitu suami pertama memiliki hak tiga talak lagi.

Jika perempuan dinikahi oleh laki-laki kedua, lalu ia menceraikannya sebelum terjadi hubungan, kemudian ia ingin kembali kepada suami pertamanya yang telah mentalaknya tiga kali, maka ia tidak halal bagi suami pertama, karena belum terjadi hubungan dengan suami kedua.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu ia menceraikannya dengan talak tiga dalam satu majelis, maka itu dihitung sebagai tiga talak menurut pendapat yang sahih. Maka perempuan itu haram baginya sampai ia menikah dengan suami lain dan terjadi hubungan.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan, lalu ia mentalaknya dengan satu talak, kemudian dalam masa ‘iddah ia menceraikannya lagi dua kali, maka semuanya dihitung sebagai tiga talak. Perempuan itu tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan laki-laki lain dan terjadi hubungan.

Jika ia menceraikannya dengan tiga talak sekaligus dalam satu kalimat, maka itu juga dihitung sebagai tiga talak.

Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak tiga,” maka jatuhlah tiga talak, dan perempuan itu menjadi haram baginya sampai ia menikah dengan suami lain dan terjadi hubungan.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak, tertalak, tertalak,” maka jika ia bermaksud tiga talak, jatuhlah tiga. Jika ia bermaksud penegasan, maka hanya satu yang jatuh.

Jika ia berkata, “Engkau tertalak satu kali, kemudian satu kali, kemudian satu kali,” dan disertai niat talak tiga, maka jatuh tiga. Jika tidak ada niat, maka dihitung sebagai satu talak jika diucapkan dalam satu majelis.

Jika ia berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak bila engkau masuk rumah ini,” lalu istrinya masuk rumah itu, maka jatuh talak. Jika ia mengucapkan hal itu dalam kondisi marah, maka tetap berlaku sebagai talak.

Jika ia mengatakan, “Jika engkau berbicara dengan si fulan maka engkau tertalak,” lalu ia berbicara dengannya, maka jatuh talak sesuai dengan apa yang dimaksudkan suami.

Jika ia berniat menjadikannya sumpah untuk menahan istrinya dari suatu perbuatan, maka ia dapat memilih untuk menebus sumpahnya dengan kafarat. Namun jika ia memang bermaksud menjadikan ucapan itu sebagai talak, maka jatuhlah talak.

Jika ia berkata, “Setiap kali engkau keluar rumah maka engkau tertalak,” lalu istrinya keluar rumah berkali-kali, maka setiap keluar yang sesuai dengan syarat yang ia ucapkan akan menjatuhkan talak.

Jika ia berkata, “Jika engkau keluar rumah maka engkau tertalak tiga,” lalu istrinya keluar, maka jatuh tiga talak sekaligus, dan ia tidak halal lagi baginya sampai menikah dengan suami lain.

Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak jika engkau keluar dari rumah ini,” lalu istrinya keluar dengan izin suami, maka tetap jatuh talak jika ia tidak mengecualikan kepergian yang diizinkan. Namun jika ia berniat hanya melarang keluar tanpa izin, maka talak tidak jatuh kecuali jika ia keluar tanpa izin.

Jika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak bila engkau berbicara dengan seseorang,” lalu ia berbicara dengan seseorang dalam keadaan lupa, maka tidak jatuh talak. Namun jika ia sengaja, maka jatuh talak sebagaimana yang telah disyaratkan.

Jika seorang laki-laki mengaitkan talak dengan suatu perbuatan atau waktu, maka jika syarat itu terpenuhi, jatuhlah talak. Jika syarat tidak terpenuhi, maka tidak terjadi apa-apa.

Jika seorang laki-laki berkata, “Engkau tertalak pada awal bulan depan,” maka talak terjadi pada saat masuk awal bulan tersebut. Jika ia rujuk sebelum masuk bulan itu, maka rujuknya sah.

Jika seorang laki-laki berkata, “Engkau tertalak jika datang hari Jumat,” maka jika hari Jumat datang dan syarat itu terjadi, maka jatuh talak. Jika sebelum itu ia menceraikannya dengan talak lain atau merujuknya, maka berlaku sesuai dengan yang didahulukan.

Jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan talak satu atau dua, maka ia berhak merujuk selama dalam masa ‘iddah. Jika telah habis masa ‘iddah, maka ia tidak dapat merujuk kecuali dengan akad baru dan mahar baru.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak ba’in, maka ia tidak boleh merujuk kecuali dengan akad baru. Dan jika talak itu adalah talak ketiga, maka ia tidak halal baginya sampai ia menikah dengan laki-laki lain dan terjadi hubungan suami istri.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak satu atau dua, dan masa ‘iddahnya belum selesai, maka ia boleh merujuknya tanpa perlu akad baru, dengan syarat rujuk itu dinyatakan secara jelas, seperti “Aku rujuk kepadamu.”

Jika masa ‘iddah telah selesai, maka ia tidak boleh merujuk kecuali dengan akad dan mahar baru, dan rujuk hanya berlaku jika perempuan itu menyetujui pernikahan kembali tersebut.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak ba’in sebelum terjadi hubungan suami istri, maka perempuan tersebut tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal selama masa ‘iddah, namun tetap menjalani masa ‘iddah selama tiga kali suci jika telah baligh dan tidak hamil.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam keadaan belum disentuh dan mahar belum disebutkan, maka tidak ada kewajiban mahar dan perempuan itu hanya berhak atas mut‘ah, yaitu pemberian sesuai kemampuan suami.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak ba’in setelah terjadi hubungan suami istri, maka perempuan tersebut wajib menjalani masa ‘iddah dan berhak atas seluruh mahar.

Jika perempuan sedang hamil, maka masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Jika tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah tiga kali suci bagi yang haid, dan tiga bulan bagi yang tidak haid.

Jika perempuan mengaku sedang hamil, maka suami boleh meminta bukti. Jika terbukti, maka masa ‘iddahnya sampai ia melahirkan. Jika tidak terbukti, maka kembali kepada hukum asal masa ‘iddah.

Jika suami menceraikan istrinya yang sedang hamil, maka ia wajib memberi nafkah dan tempat tinggal hingga perempuan itu melahirkan.

Jika suami menceraikan istrinya yang sedang hamil, maka ia wajib memberi nafkah dan tempat tinggal hingga perempuan itu melahirkan. Setelah melahirkan, masa ‘iddah berakhir, dan suami tidak lagi wajib memberikan nafkah kecuali jika ia menyusui anak dari hasil pernikahan mereka.

Jika perempuan menyusui anaknya setelah bercerai, maka ia berhak mendapat upah menyusui dari ayah anak tersebut, kecuali jika ia rela menyusui tanpa meminta imbalan. Ayah tetap bertanggung jawab atas biaya anaknya, termasuk makanan, pakaian, dan kebutuhan lain sesuai kemampuan.

Jika terjadi perselisihan antara ibu dan ayah mengenai penyusuan, maka yang dipertimbangkan adalah kemaslahatan anak. Jika ibu mampu menyusui dan tidak ada yang lebih baik darinya, maka ia lebih berhak menyusui anak tersebut.

Jika ayah menolak memberikan upah menyusui dan ibu tidak rela menyusui tanpa imbalan, maka hakim dapat memerintahkan ayah untuk mencari perempuan lain yang bisa menyusui atau membayar ibu anak tersebut.

Jika perempuan yang diceraikan bukan dalam keadaan hamil, maka setelah masa ‘iddah selesai, ia tidak lagi berhak atas nafkah dan tempat tinggal dari mantan suaminya.

Jika suami menceraikan istrinya dalam keadaan tidak hamil, maka ia tetap berkewajiban memberi nafkah dan tempat tinggal selama masa ‘iddah, baik talak satu, dua, maupun tiga, selama ‘iddah belum selesai.

Jika masa ‘iddah berakhir, maka suami tidak lagi berkewajiban memberikan nafkah atau tempat tinggal, kecuali jika ada anak dari pernikahan yang membutuhkan pengasuhan, maka ayah tetap menanggung nafkah anak tersebut.

Jika perempuan dalam masa ‘iddah karena wafatnya suami, maka ia tidak berhak atas nafkah dan tempat tinggal dari harta suami, namun ia tetap wajib menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari.

Jika perempuan hamil karena hubungan sah dengan suami, lalu suami meninggal, maka masa ‘iddahnya adalah sampai ia melahirkan. Jika ia melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka ‘iddahnya selesai saat melahirkan. Namun jika ia melahirkan setelah lewat empat bulan sepuluh hari, maka ‘iddahnya berakhir dengan kelahiran.

Jika perempuan tidak hamil dan suaminya meninggal, maka ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari. Ia tidak boleh berhias, tidak keluar rumah kecuali darurat, dan tidak menikah selama masa ‘iddah.

Jika seorang perempuan dicerai dengan talak raj‘i (talak satu atau dua), maka ia tetap berstatus istri selama masa ‘iddah. Suami boleh merujuknya tanpa akad baru selama ‘iddah berlangsung.

Jika suami ingin merujuk, maka cukup dengan ucapan seperti “Aku rujuk kepadamu” atau tindakan yang menunjukkan rujuk, seperti hubungan suami istri dengan niat rujuk. Namun jika masa ‘iddah telah habis, maka ia tidak dapat merujuk kecuali dengan akad dan mahar baru.

Jika seorang perempuan telah dicerai dengan talak tiga, maka ia tidak halal bagi suami yang mentalaknya sampai ia menikah dengan laki-laki lain dan terjadi hubungan, kemudian suami kedua itu menceraikannya secara sah dan habis masa ‘iddahnya.

Jika suami kedua hanya menikahinya untuk menghalalkan bagi suami pertama dan tidak berniat membangun rumah tangga, maka pernikahan itu tetap sah jika memenuhi syarat dan terjadi hubungan suami istri. Namun jika tidak terjadi hubungan, maka perempuan tersebut tidak halal kembali bagi suami pertama.

Jika perempuan dinikahi oleh suami kedua, lalu ia meninggal setelah menyetubuhinya, maka perempuan itu halal kembali bagi suami pertama setelah masa ‘iddahnya selesai.

Jika suami pertama menikahinya kembali setelah terpenuhi syarat tersebut, maka hubungan mereka kembali dari awal dan ia memiliki hak talak tiga yang baru. Talak-talak sebelumnya tidak diperhitungkan lagi.

Jika suami kedua menyetubuhi perempuan itu lalu menceraikannya, kemudian suami pertama menikahinya kembali dan menjatuhkan talak, maka ia kembali menghitung dari awal talaknya. Jika ia mentalak satu kali, maka tersisa dua; jika dua kali, maka tersisa satu; jika tiga, maka ia tidak halal lagi kecuali dengan pernikahan baru seperti sebelumnya.

Jika perempuan menikah dengan suami kedua dan ternyata pernikahan itu tidak sah, lalu ia menikah kembali dengan suami pertama, maka pernikahan itu tidak memperbolehkan kembali kecuali jika pernikahan kedua sah secara syariat dan terjadi hubungan.

Jika suami menceraikan istrinya dalam keadaan haid, maka talaknya tetap jatuh, meskipun makruh dilakukan pada waktu haid. Jika ia melakukannya saat suci namun telah menyetubuhinya dalam masa suci tersebut, maka juga termasuk talak yang makruh. Namun talaknya tetap sah.

Jika ia ingin merujuk istrinya, maka disunnahkan melakukannya saat perempuan dalam keadaan suci dan belum disetubuhi, agar tidak memperpanjang masa ‘iddah dan tidak menimbulkan mudarat.

Jika seorang suami menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan haid, maka ia tetap wajib menghitung masa ‘iddah dari saat talak itu terjadi. Talaknya berlaku dan tidak dibatalkan, meskipun dilakukan di waktu yang makruh.

Jika seorang laki-laki menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan nifas, maka talaknya juga sah dan berlaku, karena nifas serupa dengan haid dalam hukum talak.

Jika seorang laki-laki ingin menceraikan istrinya dan memilih waktu yang sesuai, maka ia menunggu hingga istrinya suci dari haid, belum disetubuhi dalam masa suci itu, lalu menjatuhkan talak. Inilah waktu terbaik dalam menjatuhkan talak.

Jika ia menjatuhkan talak kepada istrinya pada waktu yang baik, lalu ia ingin merujuknya, maka ia berhak melakukannya selama masih dalam masa ‘iddah.

Jika perempuan itu adalah seorang yang belum balig, maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan. Jika ia telah balig namun tidak haid karena suatu sebab, maka masa ‘iddahnya juga tiga bulan.

Jika ia sedang hamil, maka masa ‘iddahnya sampai ia melahirkan, baik ia ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya. Tidak ada perbedaan antara masa ‘iddah karena talak atau wafat dalam hal kehamilan.

Jika seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan hamil, lalu ia meninggal dunia sebelum perempuan itu melahirkan, maka masa ‘iddahnya selesai dengan kelahiran. Masa empat bulan sepuluh hari tidak berlaku, karena kehamilan lebih kuat dalam menetapkan batas akhir ‘iddah.

Jika perempuan yang sedang hamil ditinggal mati oleh suaminya, maka ia wajib menjalani masa ‘iddah sampai ia melahirkan. Jika ia melahirkan setelah satu malam dari kematian suami, maka ‘iddahnya selesai dengan kelahiran itu.

Jika seorang perempuan melahirkan beberapa bulan setelah wafatnya suami, maka ‘iddahnya tetap selesai dengan kelahiran. Tidak dipertimbangkan panjang pendeknya waktu selama kehamilannya nyata dan terbukti berasal dari suaminya.

Jika seorang perempuan hamil karena hubungan suami istri yang sah, lalu suaminya meninggal, maka ‘iddahnya berakhir saat melahirkan, meskipun waktu kelahirannya sangat dekat atau jauh dari waktu kematian.

Jika perempuan itu melahirkan setelah empat bulan sepuluh hari, maka ‘iddahnya selesai dengan kelahiran, bukan dengan berlalunya waktu. Jika ia melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka ‘iddahnya tetap dianggap selesai karena kehamilan lebih kuat daripada waktu.

Jika perempuan itu menyusui anaknya setelah masa ‘iddah berakhir, maka ia berhak mendapat upah dari ayah anak jika ia tidak rela menyusui secara cuma-cuma.

Jika ayah tidak mampu membayar upah menyusu, maka ia diminta untuk mencari orang lain yang bisa menyusui dengan upah yang sesuai. Jika tidak ada orang lain, maka perempuan itu menyusui dan menunggu sampai ayah mampu membayar.

Jika seorang perempuan ditinggal mati suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil, maka ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Dalam masa ini ia tidak boleh berhias, memakai wangi-wangian, memakai pakaian berwarna mencolok, atau berhias dengan perhiasan.

Jika ia melanggar larangan tersebut, maka ia berdosa. Namun jika ada kebutuhan mendesak, seperti keluar rumah untuk membeli makanan atau mengurus kebutuhan dasar, maka diperbolehkan.

Perempuan yang menjalani masa ‘iddah karena wafat, tidak boleh dilamar secara terang-terangan. Namun boleh secara sindiran, seperti “Aku ingin menikah setelah masa berkabungmu selesai.”

Jika seorang laki-laki melamar perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah karena wafat suami secara terang-terangan, maka itu tidak diperbolehkan. Namun jika ia melamarnya secara sindiran tanpa menyebut pernikahan secara langsung, maka itu dibolehkan.

Jika masa ‘iddah perempuan telah selesai, maka ia bebas menerima lamaran dan menikah dengan laki-laki yang ia pilih, selama tidak ada hal yang menghalangi secara syar‘i.

Jika seorang perempuan dalam masa ‘iddah karena talak raj‘i, maka tidak boleh ada laki-laki lain yang melamarnya, baik secara terang-terangan maupun secara sindiran. Karena ia masih dianggap istri dari suaminya yang menceraikan selama masa ‘iddah belum selesai.

Jika perempuan tersebut telah habis masa ‘iddahnya, maka laki-laki lain boleh melamarnya secara terang-terangan, dan tidak ada larangan dalam hal itu.

Jika seorang perempuan hamil karena hubungan suami istri yang sah, lalu ia ditalak, maka laki-laki lain tidak boleh melamarnya sampai ia melahirkan dan selesai masa ‘iddahnya.

Jika perempuan tidak hamil, lalu ia ditalak dan masa ‘iddahnya selesai, maka ia boleh menerima lamaran dan menikah dengan siapa pun yang sah menjadi suaminya.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam keadaan haid, lalu ia ingin merujuknya, maka ia boleh merujuknya, namun rujuk itu makruh. Dan jika ia tidak merujuk hingga habis masa haid, lalu perempuan itu suci dan ia ingin merujuk dalam keadaan suci, maka itu lebih baik.

Jika ia menceraikannya dalam keadaan suci namun telah menyetubuhinya, maka rujuk tetap sah, meskipun perbuatan itu makruh.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak raj‘i, lalu ia merujuknya dalam masa ‘iddah, maka rujuk itu sah dan perempuan tersebut kembali menjadi istrinya. Ia tidak memerlukan akad dan mahar baru.

Jika ia tidak merujuk hingga habis masa ‘iddah, maka perempuan itu menjadi asing dan tidak halal baginya kecuali dengan akad dan mahar baru serta persetujuan perempuan tersebut.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak ba’in, seperti talak sebelum digauli, atau talak dengan kompensasi (khulu’), maka ia tidak boleh merujuk kecuali dengan akad baru dan mahar baru.

Jika perempuan berkata kepada suaminya, “Tebuslah aku dengan sejumlah harta dan ceraikan aku,” lalu suami menyetujuinya dan menceraikannya, maka itu termasuk talak ba’in dan ia tidak boleh kembali kepadanya kecuali dengan akad baru.

Jika suami berkata, “Aku menceraikanmu dengan imbalan seribu dirham,” lalu perempuan menyetujuinya, maka itu sah sebagai talak khulu’, dan ia wajib membayar tebusan sesuai kesepakatan.

Jika perempuan tidak mampu membayar tebusan, maka ia tetap ditalak dan wajib membayar utang tersebut kepada suami. Jika suami memaafkannya, maka gugur kewajiban itu.

Jika perempuan membayar tebusan untuk bercerai, namun suami tidak mengucapkan lafaz talak, maka talak tidak terjadi sampai suami menyatakan perceraian secara tegas atau dengan lafaz yang menunjukkan talak.

Jika suami menceraikan istrinya tanpa menyebut imbalan, lalu berkata setelah itu bahwa ia menceraikannya karena khulu’, maka itu tidak dianggap khulu’. Perceraian itu tetap sebagai talak biasa.

Jika seorang perempuan meminta khulu’ dan suami menyetujuinya dengan lafaz yang mengandung talak serta disertai imbalan, maka perceraian tersebut dianggap sebagai talak ba’in dengan kompensasi.

Jika suami berkata, “Aku bebaskan engkau dari pernikahan ini dengan imbalan tertentu,” dan istri menyetujuinya, maka hal itu sah sebagai khulu’ dan mengakibatkan perpisahan yang tidak dapat dirujuk kecuali dengan akad baru.

Jika perceraian dilakukan dengan lafaz khulu’, maka ‘iddah perempuan tetap berlaku sebagaimana ‘iddah talak, yaitu tiga kali suci jika tidak hamil, atau sampai melahirkan jika sedang hamil.

Jika perceraian itu terjadi sebelum terjadi hubungan suami istri, maka tidak ada ‘iddah baginya, dan ia bebas menikah dengan laki-laki lain setelah perpisahan itu.

Jika suami menceraikan istrinya dengan talak satu, lalu perempuan itu menjalani ‘iddah dan menikah dengan laki-laki lain yang kemudian menceraikannya, maka ia boleh kembali kepada suami pertama dengan akad baru.

Jika dalam perceraian khulu’ suami tidak menyebut jumlah tebusan secara jelas, maka perempuan wajib memberikan mahar semisal atau sesuai kemampuan jika disepakati.

Jika seorang perempuan dalam keadaan menyusui dan ia meminta khulu’, maka suami boleh mengabulkan permintaan itu. Namun nafkah anak tetap menjadi tanggung jawab ayah, dan ia wajib menanggung biaya pengasuhan.

Jika perempuan mengasuh anak setelah khulu’, maka ia berhak mendapatkan upah pengasuhan dari ayah anak jika ia tidak melakukannya secara sukarela.

Jika suami tidak ingin anaknya diasuh oleh mantan istrinya dan menemukan perempuan lain yang sanggup dan layak mengasuh, maka ia boleh menyerahkan pengasuhan kepada perempuan itu, selama tidak membahayakan anak.

Namun jika anak lebih membutuhkan ibunya, dan tidak ada yang mampu menggantikannya dalam pengasuhan, maka ibu lebih berhak atas pengasuhan selama ia tidak menikah lagi. Jika ia menikah, maka hak pengasuhan berpindah kepada pihak yang paling berhak setelahnya.

Jika ibu menikah dengan laki-laki lain, maka ia kehilangan hak pengasuhan anak, dan hak itu berpindah kepada nenek dari pihak ibu, lalu nenek dari pihak ayah, kemudian saudari perempuan dari ibu atau ayah, sesuai urutan yang ditetapkan syariat.

Jika tidak ada perempuan dari keluarga yang layak mengasuh anak, maka pengasuhan dapat diberikan kepada laki-laki dari pihak ayah, seperti kakek, paman, atau saudara laki-laki, sesuai urutan hak asuh.

Jika anak telah mencapai usia mumayyiz dan mampu memilih, maka ia diberi pilihan untuk memilih tinggal bersama ayah atau ibu, jika keduanya layak untuk mengasuh.

Jika anak perempuan telah mencapai usia baligh, maka ia bebas memilih bersama siapa ia tinggal, dan tidak boleh dipaksa untuk tinggal bersama pihak yang tidak ia kehendaki selama pihak itu bukan orang fasik atau membahayakan.

Jika terjadi perselisihan antara ayah dan ibu dalam pengasuhan, maka hakim memutuskan berdasarkan maslahat anak. Hakim dapat mempertimbangkan kesehatan, keamanan, pendidikan, dan kenyamanan anak dalam menetapkan keputusan.

Jika hakim memutuskan bahwa anak lebih maslahat tinggal bersama ibunya, maka ayah tidak boleh mengambil anak secara paksa. Demikian pula sebaliknya. Keputusan hakim wajib ditaati oleh kedua belah pihak.

Jika ibu kehilangan hak asuh karena menikah lagi, lalu bercerai atau suaminya meninggal, maka ia dapat kembali memperoleh hak asuh jika tidak ada penghalang lain dan masih layak secara syar‘i untuk mengasuh anaknya.

Jika anak telah dewasa, maka ia bebas memilih tinggal di mana pun dan bersama siapa pun yang ia kehendaki, dan tidak lagi berada dalam kewenangan hak asuh.

Jika ibu wafat, maka hak pengasuhan berpindah kepada nenek dari pihak ibu jika masih hidup dan layak. Jika tidak ada, maka berpindah ke nenek dari pihak ayah, lalu saudari perempuan, dan seterusnya berdasarkan urutan yang ditetapkan.

Jika seluruh pihak perempuan dari keluarga tidak layak mengasuh, maka hak pengasuhan dapat diberikan kepada pihak laki-laki dari keluarga, dimulai dari ayah, kemudian kakek, saudara laki-laki, paman, dan yang lainnya.

Nafkah anak wajib ditanggung oleh ayahnya, baik anak berada dalam pengasuhan ayah sendiri maupun dalam pengasuhan ibunya atau keluarga lain. Jika ayah tidak mampu, maka kerabat laki-laki terdekat yang wajib menanggung nafkah sesuai kadar kemampuan.

Jika ayah menolak memberi nafkah padahal mampu, maka hakim dapat memaksanya untuk menunaikan kewajibannya. Jika tetap menolak, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman atau mengambil harta ayah untuk diberikan kepada anaknya.

Jika ayah miskin dan tidak memiliki harta, maka ibu boleh memberi nafkah dari hartanya sendiri dan mendapat ganti jika ayah suatu saat mampu membayarnya.

Jika ibu memberi nafkah kepada anak dari hartanya sendiri karena ayahnya fakir, maka ia tidak berhak menuntut ganti. Namun jika ayah mampu dan menolak memberi nafkah, lalu ibu menanggungnya, maka ia berhak menuntut penggantian dari ayah.

Jika seorang anak tidak memiliki ayah, maka kewajiban nafkah berpindah kepada kakek dari pihak ayah, kemudian kepada kerabat laki-laki sesuai urutan warisan.

Nafkah wajib diberikan untuk mencukupi makanan, pakaian, tempat tinggal, dan segala kebutuhan dasar anak sesuai dengan keadaan dan kebiasaan masyarakat.

Jika anak sakit, maka biaya pengobatan termasuk dalam tanggung jawab nafkah. Demikian pula biaya pendidikan dan perlengkapan dasar yang mendukung tumbuh kembang anak.

Jika ayah memberikan nafkah namun tidak mencukupi atau tidak layak menurut kebiasaan, maka hakim dapat menilai dan menetapkan kadar nafkah yang sepadan.

Jika seorang laki-laki memiliki anak dari perempuan yang telah dicerainya, maka ia tetap wajib menafkahi anak itu meskipun tidak lagi menafkahi mantan istrinya.

Jika perempuan yang mengasuh anak bukan ibunya, seperti nenek atau saudari perempuan, maka ia berhak mendapat upah pengasuhan dari ayah anak jika tidak melakukannya secara sukarela.

Jika perempuan mengasuh lebih dari satu anak, maka ia berhak mendapatkan upah untuk masing-masing anak, sesuai dengan jumlah dan tingkat kebutuhan masing-masing.

Jika ayah wafat dan anak belum balig atau belum mampu mencari nafkah, maka nafkah anak diambil dari harta warisan ayahnya. Jika tidak ada harta, maka kerabat yang mampu wajib menanggung nafkahnya.

Jika anak yatim tidak memiliki harta warisan dan kerabat yang wajib menafkahinya, maka kewajiban menanggung hidupnya menjadi tanggungan baitul mal (perbendaharaan negara Islam), jika ada. Jika tidak, maka kaum muslimin yang mampu didorong untuk menanggung kebutuhannya sebagai bentuk fardhu kifayah.

Jika seseorang memelihara anak yatim tanpa mengambil upah, maka itu termasuk amal kebajikan yang besar. Namun jika ia mengambil upah, maka hal itu boleh jika disepakati dan sesuai kadar yang wajar.

Jika anak telah mencapai usia balig dan mampu bekerja, maka kewajiban nafkah berpindah kepadanya, dan ia tidak lagi menjadi tanggungan orang lain kecuali karena uzur seperti sakit atau cacat.

Jika anak perempuan telah balig, maka ayah tetap menanggung nafkahnya sampai ia menikah dan pindah tanggungan kepada suami. Namun jika ia tetap tinggal bersama ayahnya dan tidak menikah, maka ayah tetap wajib menanggung nafkahnya.

Jika seorang anak menganiaya orang tuanya atau durhaka, maka ia tetap berhak atas nafkah dari orang tua jika masih dalam tanggungan, karena hak nafkah tidak gugur dengan kedurhakaan selama kebutuhan tetap ada.

Jika orang tua fakir dan anaknya mampu, maka anak wajib menanggung nafkah kedua orang tuanya, baik mereka tinggal bersamanya atau tidak, selama mereka tidak memiliki penghasilan atau harta yang cukup.

Jika anak menolak menafkahi orang tuanya yang tidak mampu, maka hakim dapat memaksanya, dan jika ia tetap menolak, maka hakim dapat mengambil hartanya secara paksa untuk diberikan kepada orang tuanya.

Jika orang tua memiliki beberapa anak, maka nafkah dibagi di antara mereka sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jika salah satu anak lebih kaya, maka ia menanggung lebih banyak dibanding yang lain.

Jika hanya satu anak yang mampu menanggung nafkah orang tua, maka kewajiban itu dibebankan kepadanya, dan tidak dibagi kepada anak-anak yang tidak mampu.

Jika anak-anak semua dalam keadaan mampu, maka nafkah orang tua dibagi di antara mereka menurut kadar kemampuan masing-masing, tidak harus sama rata.

Jika orang tua meminta nafkah kepada anak-anaknya dan mereka menolak, maka ia boleh mengadukan ke hakim, dan hakim akan mewajibkan mereka memberi nafkah sesuai kemampuan.

Jika seorang laki-laki memiliki ayah dan ibu yang tidak mampu, dan ia sendiri miskin, maka ia tidak wajib menafkahi mereka. Namun jika ia memberi nafkah, maka itu termasuk bentuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua) dan berpahala.

Jika seseorang berutang kepada orang tuanya atau sebaliknya, maka utang tersebut tidak menggugurkan kewajiban nafkah selama kebutuhan masih ada dan kemampuan tetap tersedia.

Jika seorang istri memiliki harta dan suaminya miskin, maka ia tidak wajib menafkahi suami. Namun jika ia memberinya nafkah, maka itu termasuk bentuk kebaikan dan sedekah.

Jika seorang istri menolak memberi nafkah kepada suaminya, maka ia tidak berdosa, karena nafkah adalah kewajiban suami, bukan istri.

Jika suami tidak mampu menafkahi istrinya, maka istri berhak menuntut cerai kepada hakim. Jika terbukti suami tidak mampu, maka hakim boleh memisahkan antara keduanya.

Jika suami sakit atau terhalang penghasilan, maka hakim dapat memberi tenggang waktu. Namun jika ketidakmampuan terus berlanjut, maka hakim boleh menjatuhkan fasakh (pembatalan nikah) atas permintaan istri.

Jika hakim memutuskan fasakh karena suami tidak mampu menafkahi, maka perpisahan tersebut berlaku sebagai talak ba’in. Istri tidak dapat dirujuk kecuali dengan akad dan mahar baru jika ingin kembali.

Jika suami kaya namun enggan menafkahi istrinya tanpa alasan syar‘i, maka hakim dapat memaksanya. Jika tetap menolak, maka istri berhak meminta cerai, dan hakim boleh menceraikannya.

Jika suami tidak menafkahi istrinya selama masa tertentu, seperti tiga bulan atau lebih, maka istri berhak menuntut haknya. Jika suami tidak segera memenuhi, maka ia dianggap menyia-nyiakan hak dan hakim dapat mengambil keputusan.

Jika suami bepergian tanpa memberi nafkah kepada istrinya, maka istri berhak meminta cerai jika tidak ada harta yang dapat digunakan untuk kebutuhannya. Jika ada harta suami yang cukup, maka ia tetap bersabar dan mengambil nafkah dari harta tersebut.

Jika istri memiliki harta dan sanggup menafkahi dirinya, namun suami tetap lalai atau menolak, maka ia boleh menggunakan hartanya sendiri lalu menuntut ganti kepada suami jika suami mampu.

Jika istri bekerja dan memiliki penghasilan, maka suami tetap wajib menafkahi istrinya, karena nafkah bukan gugur sebab istri bekerja. Nafkah tetap menjadi tanggungan suami selama akad nikah masih berlaku.

Jika istri tidak mentaati suami tanpa alasan yang sah, seperti keluar rumah tanpa izin, atau menolak tidur sekamar tanpa sebab, maka ia dianggap nusyuz (durhaka), dan suami tidak wajib menafkahinya selama ia dalam keadaan nusyuz.

Jika istri kembali taat dan meninggalkan keadaan nusyuz, maka suami kembali wajib menafkahinya dan memberinya hak sebagai istri secara penuh.

Jika istri dalam keadaan nusyuz dan suami tetap memberi nafkah, maka itu tidak wajib, tetapi dianggap sedekah dan kebaikan darinya.

Jika perselisihan antara suami dan istri terus berlanjut dan tidak bisa didamaikan, maka hakim boleh mengangkat dua orang penengah, satu dari pihak suami dan satu dari pihak istri, untuk menilai dan memutuskan apakah keduanya layak dipertahankan atau dipisahkan.

Jika kedua penengah sepakat untuk memisahkan keduanya, dan hal itu demi kemaslahatan, maka keputusan mereka berlaku dan dianggap sah.

Jika suami berkata kepada istrinya, “Aku lepaskan engkau” atau “Engkau bebas” dengan niat menceraikan, maka jatuhlah talak. Namun jika tidak ada niat cerai, maka tidak jatuh talak menurut pendapat yang kuat.

Jika suami berkata, “Engkau bukan istriku,” dan ia niatkan sebagai talak, maka talak terjadi. Namun jika tidak diniatkan sebagai talak, maka tidak jatuh talak, dan dianggap ucapan biasa yang tidak berkonsekuensi hukum.

Jika seorang laki-laki bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan atau lebih, maka disebut ila’. Jika ia tidak menggauli istrinya hingga waktu itu habis, maka talak jatuh dengan sendirinya.

Jika sebelum empat bulan ia rujuk atau kembali menggauli istrinya, maka tidak jatuh talak. Namun jika tetap tidak menggauli hingga lewat waktu, maka hakim memintanya memilih antara kembali atau menceraikan. Jika ia menolak, hakim menceraikan.

Jika suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya, dan ia menepati sumpahnya hingga lewat empat bulan, maka hakim dapat menjatuhkan talak satu kepada istrinya, karena ia telah menyia-nyiakan hak istrinya.

Jika setelah empat bulan suami ingin rujuk dan kembali menggauli istrinya, maka ia boleh melakukannya sebelum hakim menjatuhkan talak, dan sumpahnya wajib ditebus dengan kafarat sumpah.

Jika suami menjatuhkan sumpah ila’ tanpa batas waktu tertentu, maka ia diberi waktu maksimal empat bulan. Jika ia tetap tidak menggauli istrinya dalam waktu itu, maka berlaku hukum ila’.

Jika suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istrinya selama satu bulan saja, maka tidak berlaku hukum ila’, karena kurang dari empat bulan, dan itu hanya sumpah biasa.

Jika suami menggauli istrinya setelah bersumpah, maka ia wajib membayar kafarat sumpah, dan hubungan kembali seperti semula.

Jika seorang suami mencurigai istrinya berbuat zina, dan ia tidak memiliki bukti selain tuduhan pribadi, maka ia dapat melakukan li’an, yaitu saling bersumpah di hadapan hakim untuk menetapkan kebenaran masing-masing.

Jika suami bersumpah empat kali bahwa ia benar dalam tuduhannya, dan kelima kalinya ia berkata, “Laknat Allah atas diriku jika aku berdusta,” maka istri dapat membela diri dengan sumpah.

Istri bersumpah empat kali bahwa suaminya berdusta, dan kelima kalinya ia berkata, “Murka Allah atas diriku jika ia benar,” maka hakim memisahkan keduanya selamanya.

Jika telah terjadi li’an antara suami dan istri, maka keduanya dipisahkan selamanya. Tidak boleh bagi suami menikahinya kembali untuk selama-lamanya, meskipun dengan akad baru.

Anak yang lahir dari perempuan setelah li’an tidak dinasabkan kepada suami, karena ia telah menolak dengan li’an. Namun anak itu tetap dinasabkan kepada ibunya.

Jika suami menuduh istrinya berzina dan tidak bersedia melakukan li’an, maka ia dikenai hukuman had atas tuduhan palsu, yaitu delapan puluh cambukan.

Jika istri menolak melakukan li’an untuk membantah tuduhan suaminya, maka ia dianggap mengakui tuduhan, dan hukuman zina dijatuhkan padanya jika terbukti.

Jika keduanya telah menyelesaikan li’an dengan sempurna, maka perpisahan terjadi secara otomatis dan tidak membutuhkan talak.

Jika li’an terjadi dalam keadaan istri hamil, maka anak yang lahir tidak dinasabkan kepada suami, dan suami tidak wajib menanggung nafkah anak itu.

Namun anak tersebut tidak dianggap sebagai anak zina secara sosial, karena tidak ada saksi atau pengakuan zina. Ia hanya tidak dinasabkan kepada ayah yang menuduh.

Jika istri telah menjalani li’an dan dibebaskan dari tuduhan, maka ia tidak dikenai hukuman, dan tetap memiliki hak-haknya sebagai seorang muslimah yang suci dari tuduhan.

Setelah li’an, istri menjalani masa ‘iddah seperti perempuan yang ditalak. Jika hamil, maka ‘iddahnya sampai melahirkan. Jika tidak hamil, maka tiga kali suci bagi yang haid, atau tiga bulan bagi yang tidak haid.

Jika perempuan menjalani masa ‘iddah setelah li’an, maka suami tidak boleh merujuknya kecuali dengan akad nikah baru dan mahar baru.

Jika suami menginginkan rujuk dalam masa ‘iddah, maka hal itu tidak sah dan tidak diterima, karena pernikahan telah dianggap putus secara permanen.

Jika perempuan dalam masa ‘iddah dan suami meninggal dunia, maka ‘iddah tetap berlaku selama empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan jika ia hamil.

Jika perempuan dalam masa ‘iddah karena talak, maka ‘iddah selama tiga kali suci atau sampai melahirkan jika ia hamil.

Jika perempuan ditalak dan kemudian dinikahi kembali oleh suaminya sebelum masa ‘iddah selesai, maka pernikahan itu disebut rujuk dan tidak perlu akad baru.

Jika perempuan ditalak dengan talak ba’in, maka tidak boleh dirujuk kecuali dengan akad dan mahar baru.

Jika perempuan telah ditalak tiga kali, maka ia tidak halal bagi suaminya sampai ia menikah dengan laki-laki lain dan terjadi hubungan.

Jika perempuan ditalak dengan talak tiga sekaligus, maka jatuh talak tiga dan berlaku seperti sebelumnya.

Jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan satu lafaz talak tiga, maka jatuhlah talak tiga sekaligus dan perempuan itu menjadi haram baginya sampai ia menikah dengan laki-laki lain dan terjadi hubungan.

Jika ia mentalak istrinya dengan tiga lafaz talak satu, masing-masing dengan niat talak satu, maka juga jatuh talak tiga dan perempuan menjadi haram baginya.

Jika ia mentalak istrinya dengan tiga lafaz talak satu dalam satu majelis tanpa niat talak tiga, maka berlaku pendapat yang mengatakan jatuh satu talak saja.

Jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan lafaz yang samar, seperti “Aku lepas engkau,” maka jika ia berniat talak, maka jatuh talak. Jika tidak berniat, maka tidak jatuh talak.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan lafaz yang tidak jelas, seperti “Aku menjauhimu,” maka tidak jatuh talak kecuali jika dinyatakan dengan lafaz yang jelas.

Jika suami menjatuhkan talak kepada istrinya dalam keadaan marah, maka talak tetap jatuh, karena syariat menganggap perkataan saat marah tetap berlaku.

Jika seorang laki-laki mentalak istrinya dengan niat bercanda dan tanpa sadar, maka talak tetap jatuh, karena syariat tidak memperhitungkan alasan bercanda dalam talak.

Jika seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan lupa, maka talak tetap berlaku. Namun jika ia mengingatnya sebelum keluar dari rumah, maka talak tidak jatuh.

Jika ia mentalak dalam keadaan lupa dan segera merujuknya sebelum masa ‘iddah, maka rujuknya sah dan perempuan tetap menjadi istrinya.

Jika suami menjatuhkan talak kepada istrinya dengan niat talak, namun ia belum mengucapkannya secara lengkap, misalnya hanya berkata “Engkau…” tanpa menyebut talak, maka tidak jatuh talak.

Jika suami menyebutkan lafaz talak namun tidak berniat talak, maka talak tidak jatuh menurut pendapat yang sahih.

Jika suami menulis surat talak dan menyerahkannya kepada istri, maka talak jatuh jika surat tersebut sampai kepada istri dan istri membacanya atau ia mengetahui isinya.

Jika suami menulis surat talak tapi surat tersebut hilang dan tidak sampai ke istri, maka talak tidak jatuh karena tidak sampai kepada istri.

Jika suami mengatakan kepada orang lain bahwa ia telah mentalak istrinya, namun tidak mengucapkannya langsung kepada istri, maka talak tidak jatuh kecuali disampaikan kepada istri.

Jika suami mentalak istrinya di hadapan orang banyak, maka talak jatuh dan berlaku hukum talak.

Jika seorang suami mentalak istrinya dan kemudian menyesal sebelum istri meninggalkan rumah dan masa ‘iddah belum dimulai, maka ia boleh membatalkan talak dengan niat rujuk.

Jika masa ‘iddah telah dimulai, maka ia hanya boleh merujuk selama masa ‘iddah dengan niat dan ucapan yang jelas.

Jika masa ‘iddah telah habis, maka suami tidak boleh merujuk kecuali dengan akad baru dan mahar baru.

Jika seorang suami ingin merujuk istrinya dan mengucapkan lafaz rujuk di hadapan saksi atau tanpa saksi, maka rujuk itu sah jika disertai niat.

Jika suami merujuk istrinya dan kemudian menceraikannya kembali dalam masa ‘iddah, maka talak kedua jatuh.

Jika suami merujuk istrinya dua kali dalam masa ‘iddah, maka setelah talak kedua, talak ketiga jatuh jika ia menceraikannya kembali.

Jika talak ketiga jatuh, maka perempuan menjadi haram bagi suaminya kecuali setelah menikah dengan laki-laki lain dan terjadi hubungan.

Jika seorang suami merujuk istrinya pada talak pertama, lalu menceraikannya pada talak kedua, maka ia masih memiliki satu talak tersisa.

Jika ia merujuk istrinya pada talak kedua, lalu menceraikannya pada talak ketiga, maka talak ketiga jatuh dan perempuan menjadi haram baginya.

Jika seorang suami merujuk istrinya lebih dari sekali dalam masa ‘iddah, maka rujuk itu tetap dihitung sebagai satu rujuk selama masa ‘iddah tersebut.

Jika suami tidak menyatakan rujuk dengan jelas, misalnya dengan ucapan yang samar atau tindakan yang tidak menunjukkan niat, maka rujuk tidak berlaku.

Jika perempuan ditalak dan ia hendak menikah lagi, maka ia harus menjalani masa ‘iddah terlebih dahulu sebelum menikah dengan laki-laki lain.

Jika perempuan ditalak dan ia hamil, maka masa ‘iddahnya sampai melahirkan, dan ia tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sebelum masa ‘iddah selesai.

Jika perempuan ditalak dan ia tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah tiga kali suci jika haid, atau tiga bulan jika tidak haid.

Jika seorang perempuan ditalak dan tidak menjalani masa ‘iddah sesuai ketentuan, maka pernikahan baru yang akan dilakukannya dengan laki-laki lain menjadi tidak sah.

Jika perempuan yang ditalak menikah dengan laki-laki lain sebelum masa ‘iddah selesai, maka pernikahan baru itu batal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah, maka pernikahan tersebut tidak sah kecuali setelah masa ‘iddah selesai.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah dan ia tidak mengetahui, maka pernikahan itu batal ketika diketahui.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah dari talak ba’in, maka pernikahan baru itu tidak sah.

Jika ia menikahi perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah dari talak raj‘i, maka pernikahan baru tetap batal selama masa ‘iddah belum selesai.

Jika seorang perempuan ditalak tiga kali oleh suaminya, maka ia menjadi haram baginya sampai ia menikah dengan laki-laki lain dan terjadi hubungan suami istri, kemudian suami kedua menceraikannya secara sah.

Jika suami pertama ingin menikahi perempuan tersebut kembali, maka harus melalui akad baru dan mahar baru setelah perempuan itu menjalani masa ‘iddah dari suami kedua.

Jika seorang perempuan diceraikan dengan talak satu atau dua, lalu suami ingin merujuknya, maka ia boleh melakukannya selama masa ‘iddah belum selesai.

Jika masa ‘iddah telah habis, maka ia tidak boleh merujuk kecuali dengan akad nikah baru dan mahar baru.

Jika seorang perempuan ditalak dan ia hamil, maka ‘iddahnya sampai melahirkan. Selama masa itu, suami wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal.

Jika perempuan ditalak dan tidak hamil, maka ‘iddahnya tiga kali suci jika haid, dan tiga bulan jika tidak haid.

Jika perempuan ditalak dan meninggal sebelum masa ‘iddah selesai, maka ‘iddahnya tetap berlaku sampai akhir waktu yang ditentukan.

Jika seorang perempuan dalam masa ‘iddah karena talak atau wafat, maka ia harus menjaga kesucian dirinya, tidak berhias, tidak memakai wangi-wangian, tidak memakai pakaian yang mencolok, dan tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan darurat.

Jika ia melanggar larangan tersebut tanpa ada kebutuhan mendesak, maka ia berdosa dan harus bertaubat.

Jika masa ‘iddah perempuan telah selesai, maka ia bebas melakukan aktivitas sebagaimana perempuan lain, termasuk berhias dan keluar rumah.

Jika seorang perempuan dalam masa ‘iddah karena wafatnya suami, maka ia tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sampai masa ‘iddah selesai.

Jika seorang perempuan dalam masa ‘iddah karena talak raj‘i, maka ia tetap menjadi istri suaminya selama masa ‘iddah dan boleh dirujuk tanpa akad baru.

Jika seorang perempuan dalam masa ‘iddah karena talak ba’in, maka ia bukan istri suaminya lagi dan tidak boleh dirujuk kecuali dengan akad baru.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak ba’in dan kemudian ingin menikahinya kembali, maka ia harus melakukan akad nikah baru dan memberikan mahar baru.

Jika perempuan dalam masa ‘iddah dan suaminya wafat, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari atau sampai ia melahirkan jika sedang hamil.

Jika perempuan dalam masa ‘iddah dan ditalak, maka masa ‘iddahnya tiga kali suci atau sampai melahirkan jika hamil.

Jika perempuan dalam masa ‘iddah dan belum selesai masa ‘iddahnya, maka ia tidak boleh menikah dengan laki-laki lain.

Jika masa ‘iddah telah selesai, maka ia bebas menikah dengan siapa saja yang halal baginya.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah dan mengetahui keadaannya, maka pernikahan itu tidak sah dan batal.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah tanpa mengetahui keadaannya, maka pernikahan tersebut batal ketika diketahui.

Jika perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah menikah dengan laki-laki lain, maka pernikahan baru itu tidak sah.

Jika perempuan sedang dalam masa ‘iddah dan wafat, maka masa ‘iddah tetap berlaku hingga empat bulan sepuluh hari atau sampai ia melahirkan jika hamil.

Jika masa ‘iddah karena wafat suami telah selesai, maka perempuan bebas menikah lagi.

Jika perempuan dalam masa ‘iddah karena talak raj‘i, maka ia boleh dirujuk oleh suaminya selama masa ‘iddah.

Jika perempuan dalam masa ‘iddah karena talak ba’in, maka ia bukan lagi istri suaminya dan tidak boleh dirujuk kecuali dengan akad baru.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak raj‘i, maka ia berhak merujuknya selama masa ‘iddah tanpa akad baru.

Jika masa ‘iddah telah habis, maka rujuk tidak sah kecuali dengan akad baru dan mahar baru.

Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak ba’in, maka ia tidak berhak merujuk kecuali dengan akad baru dan mahar baru.

Jika perempuan ditalak tiga kali, maka ia haram bagi suaminya sampai menikah dengan laki-laki lain dan terjadi hubungan suami istri, kemudian ditalak dan masa ‘iddah selesai.

Jika seorang laki-laki merujuk istrinya pada talak pertama atau kedua selama masa ‘iddah, maka perempuan tetap istri suaminya dan tidak perlu akad baru.

Jika suami tidak merujuk selama masa ‘iddah, maka perempuan menjadi asing dan tidak halal bagi suaminya kecuali dengan akad baru.

Jika seorang suami menzihār istrinya dengan ucapan yang menyerupakan istrinya dengan perempuan mahramnya—seperti berkata, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”—maka istrinya haram disentuh sampai ia menunaikan kafarat zihār.

Kafarat zihār berurutan: pertama memerdekakan seorang budak mukmin; jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut; jika tidak mampu, memberi makan enam puluh orang miskin. Ia tidak boleh menggauli istrinya sebelum menuntaskan kafarat.

Jika ia menggauli istrinya sebelum menunaikan kafarat, ia berdosa dan tetap wajib menunaikan kafarat, serta wajib menahan diri darinya sampai kafarat selesai.

Jika ia menzihār dalam masa jahiliah atau ketika kafir, lalu keduanya masuk Islam, maka ia wajib menahan diri dan menunaikan kafarat sebelum menggauli istrinya.

Jika suami mengulang ucapan zihār setelah menunaikan kafarat, maka hukum kembali seperti semula: ia haram menggauli istrinya sampai menunaikan kafarat lagi.

Jika zihār diucapkan dengan lafaz yang jelas menunjukkan maksudnya, maka zihār terjadi. Jika dengan lafaz kinayah (sindiran), maka tidak terjadi kecuali disertai niat zihār.

Jika suami mengucapkan zihār terhadap istrinya yang sedang haid atau nifas, maka zihār tetap sah dan ia wajib menunaikan kafarat sebelum menggaulinya setelah suci.

Jika suami miskin dan tidak mampu memerdekakan budak serta tidak mampu berpuasa dua bulan karena uzur yang jelas, maka ia berpindah kepada memberi makan enam puluh orang miskin, setiap miskin mendapat bagian yang ma‘rūf.

Jika ia memulai puasa kafarat dua bulan berturut-turut, lalu terputus tanpa uzur, ia mengulang dari awal. Jika terputus karena uzur syar‘i yang nyata, ia melanjutkan setelah uzur hilang.

Jika ia memberi makan enam puluh orang miskin, maka diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima; tidak sah menggantinya dengan selain yang sepadan menurut kebiasaan setempat.

Jika seorang suami berkata kepada istrinya dengan ucapan yang bukan zihār dan bukan talak, seperti “Engkau haram bagiku,” maka dilihat niatnya: jika ia niat talak, jatuh talak; jika niat zihār, berlaku zihār; jika tanpa niat keduanya, maka itu termasuk yamin (sumpah) dan wajib kafarat sumpah bila dilanggar.

Jika suami menggabungkan antara zihār dan talak dalam satu majelis, maka masing-masing memiliki hukumnya sendiri: talak jatuh dengan lafaznya, dan zihār mewajibkan kafarat serta menahan diri hingga kafarat ditunaikan.

Jika suami menzihār sebagian istrinya—misalnya ia memiliki lebih dari satu istri—maka yang haram disentuh adalah istri yang dizihār saja; yang lain tidak terkena hukum zihār.

Jika suami menzihār istrinya dengan syarat atau waktu tertentu, maka ketika syarat terpenuhi atau waktu tiba, zihār berlaku dan konsekuensinya mengikat hingga kafarat ditunaikan.

Jika suami berniat menjadikan zihār sebagai ancaman semata, maka tetap dihukumi zihār selama lafaznya sah, karena hukum mengikuti lafaz yang jelas beserta niatnya jika lafaznya kinayah.

Jika seorang suami ragu apakah ia telah menunaikan kafarat zihār atau belum, maka hukum asalnya belum tunaikan; ia wajib menunaikannya sebelum menggauli istrinya.

Jika suami menzihār, lalu menceraikan istrinya sebelum menunaikan kafarat, kemudian ia menikahinya kembali, maka ia tetap tidak boleh menggaulinya sampai ia menunaikan kafarat zihār yang pertama, karena pengharaman itu terkait dengan hak istri.

Jika suami menzihār, lalu wafat sebelum menunaikan kafarat, maka dosa gugur darinya, dan tidak ada kewajiban kafarat atas ahli waris; namun bila ia telah bernazar kafarat secara tertulis dan harta wasiatnya mencukupi, maka dikeluarkan dari sepertiga harta sesuai ketentuan wasiat.

Jika seorang istri menuntut suaminya karena zihār, maka hakim memerintahkan suami untuk menahan diri dari hubungan hingga kafarat ditunaikan; jika ia melanggar, hakim dapat memberi ta‘zīr dan mewajibkan kafarat.

Jika suami menzihār istrinya lalu mereka berdua bertaubat, maka jalan taubatnya adalah menunaikan kafarat dan tidak kembali pada ucapan itu, serta memperbaiki perlakuan kepada istri.

Jika suami menzihār dengan menyebut anggota selain punggung—seperti berkata, “Engkau bagiku seperti ibu dalam keharaman”—maka selama makna pengharaman mahram jelas, dihukumi zihār dan berlaku kafarat.

Jika ia menzihār dengan menyebut selain mahram—seperti menyamakan istrinya dengan perempuan ajnabiyah—maka itu bukan zihār; jika diniatkan talak, jatuh talak; jika diniatkan sumpah, maka sumpah dan kafaratnya; jika tanpa niat, tidak terjadi apa-apa.

Jika ia menzihār dengan lafaz umum mencakup semua istrinya, maka seluruh istrinya haram digauli hingga ia menunaikan kafarat untuk masing-masing sebelum menggauli. Jika ia maksudkan satu istri tertentu, maka khusus untuknya.

Jika ia menzihār istrinya yang belum balig atau yang dalam masa ‘iddah raj‘i, maka zihār sah atas istri yang masih dalam ikatan; jika ‘iddah ba’in, tidak sah karena bukan istri.

Jika ia menzihār istri yang sedang hamil, maka tetap wajib kafarat; kehamilan tidak menggugurkan kewajiban.

Jika ia menzihār di siang hari Ramadhan dan menggauli sebelum kafarat, maka selain kafarat zihār, ia berdosa karena melanggar kehormatan waktu; sanksi lain mengikuti ketentuan masing-masing pelanggaran.

Jika ia memulai puasa kafarat lalu terputus karena haid istrinya atau safar yang darurat, maka ia melanjutkan setelah uzur hilang tanpa memutus kesinambungan kecuali jeda yang dibenarkan syar‘i.

Jika ia memberi makan enam puluh miskin, boleh dengan memberi makan langsung atau menyerahkan bahan pokok dengan takaran yang ma‘ruf bagi setiap miskin, dan tidak sah memberi kepada orang kaya.

Tidak sah memindahkan kafarat kepada selain tiga urutan yang disebutkan; tidak boleh memilih memberi makan jika masih mampu berpuasa dua bulan, dan tidak boleh memilih puasa jika mampu memerdekakan budak.

Jika ia ragu jumlah hari puasanya dalam kafarat, ia mengambil yang lebih pasti dengan menyempurnakan hingga yakin telah genap dua bulan berturut-turut.

Jika istri merelakan untuk digauli sebelum kafarat, kerelaannya tidak menghalalkan; suami tetap haram menyentuh hingga kafarat ditunaikan.

Jika suami fakir lalu kemudian mampu, maka kewajiban kafarat mengikuti kemampuan saat ingin kembali menggauli; jika tetap tidak mampu, ia berpindah ke tingkat berikutnya.

Jika seorang lelaki menzihār kemudian menalak istrinya, lalu ingin merujuk dalam masa ‘iddah raj‘i, maka rujuk sah namun tidak boleh menggauli sampai kafarat ditunaikan.

Jika ia menzihār dengan syarat tertentu—seperti “Jika engkau melakukan ini, engkau bagiku seperti punggung ibuku”—maka ketika syarat terjadi, zihār berlaku dan konsekuensinya mengikat.

Jika ia menzihār lebih dari sekali sebelum menunaikan kafarat, maka satu kafarat mencukupi untuk satu istri atas satu rangkaian zihār; jika ia telah menunaikan kafarat lalu mengulangi zihār, wajib kafarat baru.

Jika ia menzihār dan tidak mampu puasa berturut-turut karena tua renta atau sakit kronis, maka ia berpindah kepada memberi makan enam puluh miskin; jika kemudian sembuh, tidak wajib kembali ke puasa.

Jika seorang lelaki berkata, “Engkau haram atasku,” lalu ia berniat zihār, maka dihukumi zihār; jika berniat talak, jatuh talak; jika berniat sumpah, maka baginya kafarat sumpah jika melanggar.

Jika ia menggabungkan niat-niat tersebut dalam satu lafaz, didahulukan makna yang lebih tegas dalam ucapannya; jika sama-sama kemungkinan, dimintai penjelasan; jika ia menolak menjelaskan, hakim menghukumi sesuai lahiriah lafaz dan kebiasaan.

Jika seorang laki-laki menzihār lalu wafat sebelum menunaikan kafarat, maka tidak ada tuntutan kafarat atas ahli waris; namun jika ia telah memulai salah satu bentuk kafarat harta dan menunjukkannya, maka disempurnakan dari harta wasiatnya dalam batas sepertiga jika ia berwasiat.

Jika seorang suami menzihār istrinya dan menahan diri darinya, maka istri berhak menuntut pemenuhan kafarat agar haknya tidak terabaikan; hakim memaksa suami menunaikan kafarat atau menceraikan dengan baik jika terus menahan tanpa uzur.

Jika suami menzihār lalu berhubungan tanpa kafarat, maka selain dosa, ia wajib kafarat dan mahar mitsl jika hubungan terjadi setelah fasakh yang diputus hakim karena enggan menunaikan kewajiban. Jika belum ada fasakh dan hubungan terjadi, hak-hak tetap berjalan namun kewajiban kafarat tidak gugur.

Jika suami menzihār lalu berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai kafarat, maka tidak boleh memutus puasa tanpa uzur syar‘i; jika terputus karena sakit berat, haid, nifas, atau safar darurat, ia melanjutkan setelah uzur hilang hingga genap dua bulan.

Jika puasa terputus karena sebab yang ia sengaja tanpa uzur, maka ia mengulang dari awal hitungan dua bulan.

Jika ia memerdekakan budak sebagai kafarat lalu ternyata budak itu tidak sah dimerdekakan (bukan miliknya atau tidak beriman), maka kewajiban kafarat belum gugur dan ia kembali kepada urutan kafarat yang sah.

Jika ia memilih memberi makan enam puluh orang miskin, maka setiap miskin diberi bagian yang ma‘rūf dari makanan pokok; tidak sah memberi kepada orang yang sama berulang hingga genap jumlah enam puluh, kecuali tidak didapati kecuali dengan kebutuhan yang mendesak menurut keputusan hakim.

Jika ia memberi pakaian sebagai ganti makanan, maka tidak mencukupi kecuali dinilai setara makanan dan diserahkan dalam bentuk makanan sesuai zahir nash.

Jika ia menyerahkan nilai (uang) kepada fakir tanpa makanan, maka tidak mencukupi kecuali hakim memutuskan penggantian nilai karena maslahat dan kebutuhan, lalu dibelikan makanan untuk mereka.

Jika istri menggugat karena suami menunda kafarat dan menahan diri dari hubungan, hakim memberikan tenggat yang patut untuk menunaikan kafarat; jika melampaui tenggat tanpa uzur, hakim dapat memaksa atau memisahkan keduanya.

Jika suami menzihār dengan lafaz yang digantung pada perbuatan istri, lalu istri menghindari perbuatan itu, maka zihār tidak terjadi; jika perbuatan itu terjadi, maka berlaku zihār sejak terjadinya.

Jika suami menzihār dalam keadaan marah, maka zihār tetap sah selama lafaznya jelas.

Jika suami menzihār lalu menafsirkan niatnya sebagai sumpah, tidak diterima selama lafaznya sharih dalam zihār.

Jika suami menzihār lalu berkata, “Aku telah menunaikan kafarat,” sementara istri mengingkari, maka suami diminta bukti; jika tidak ada, ia bersumpah; jika tetap tidak jelas, hakim mengarahkannya untuk menunaikan kafarat kembali demi kehati-hatian.

Jika suami melaksanakan kafarat memberi makan, maka boleh ia serahkan sekaligus dalam satu hari kepada enam puluh orang miskin, atau secara bertahap hingga genap jumlahnya; tidak boleh kurang dari enam puluh.

Jika suami fakir dan tidak mampu seluruh bentuk kafarat, maka ia tetap wajib menahan diri dari hubungan hingga Allah melapangkan; tidak halal baginya menyentuh istri sebelum kafarat.

Jika suami menzihār, kemudian istri wafat sebelum kafarat, maka pengharaman berakhir dengan wafat; tidak ada kafarat yang tersisa atas suami.

Jika suami menzihār, lalu talak ba’in jatuh sebelum kafarat, maka pengharaman hubungan gugur karena berakhirnya akad; tidak ada kafarat selama tidak ada hubungan setelah akad baru.

Jika suami menzihār dan kemudian merujuk istri dalam talak raj‘i, maka rujuk sah, tetapi tetap haram menggauli hingga kafarat ditunaikan.

Jika suami menzihār terhadap istri yang sedang dalam ihram, maka zihār sah; kafarat tetap wajib, dan keharaman ihram memiliki hukum tersendiri yang tidak menggugurkan kafarat zihār.

Jika suami menzihār terhadap istri yang fasik atau nusyuz, maka kewajiban kafarat tidak gugur karena keadaan istri; keharaman tetap sampai kafarat ditunaikan.

Jika suami menzihār lalu bersetubuh sengaja tanpa kafarat, maka ia berdosa dan wajib istighfar, serta tetap wajib kafarat; jika terjadi kehamilan, nasab tetap sah karena akad nikah sah, namun dosanya tidak gugur kecuali bertaubat dan menunaikan kafarat.

Jika suami menzihār lalu menyentuh istrinya dengan selain jima‘, seperti mencium atau meraba dengan syahwat, maka ia berdosa menurut kehati-hatian dan tetap wajib menahan diri dari jima‘ hingga kafarat ditunaikan.

Jika suami menzihār, lalu istrinya memintanya menunaikan kafarat dan ia menolak, maka hakim memerintahkannya menunaikan kafarat; jika tetap menolak, hakim dapat menjatuhkan ta‘zīr dan memisahkan keduanya bila mudarat dikhawatirkan.

Jika suami menzihār terhadap istri yang telah ditalak raj‘i, lalu ia merujuk, maka pengharaman hubungan tetap berlaku hingga kafarat ditunaikan; jika rujuk tidak terjadi hingga habis ‘iddah, pengharaman berakhir dengan berakhirnya akad.

Jika suami menzihār terhadap istri yang ia telah jatuhkan talak ba’in, maka tidak ada akibat karena bukan lagi istri; jika kemudian menikah kembali, maka tidak terikat oleh zihār yang dahulu.

Jika suami menzihār lalu berkata, “Aku bermaksud talak,” padahal lafaznya sharih dalam zihār, maka dihukumi zihār; niat tidak mengubah lafaz sharih dari maknanya.

Jika ia menzihār dengan lafaz kinayah, seperti “Engkau haram bagiku seperti ibuku,” maka dilihat niatnya: jika niat zihār, berlaku zihār; jika niat talak, jatuh talak; jika tanpa niat, tidak terjadi apa-apa selain yamin yang wajib kafarat bila dilanggar.

Jika suami telah mulai puasa kafarat dan datang hari raya atau perjalanan yang tidak darurat, maka ia tidak boleh memutus puasa; jika ia memutus tanpa uzur, ia mengulang dari awal.

Jika suami memberi makan enam puluh orang miskin, maka tidak cukup memberikan kepada sebagian lalu mengulang kepada orang yang sama hingga genap porsi; yang sah adalah enam puluh jiwa miskin yang berbeda, kecuali hajat yang diputuskan hakim.

Jika suami tidak mendapati budak beriman untuk dimerdekakan, maka ia berpindah kepada puasa; tidak sah memerdekakan budak kafir untuk kafarat ini.

Jika suami menzihār dan istri dalam keadaan sakit atau lemah, tidak boleh ia menggaulinya sebelum kafarat; jika ia melanggar, maka ia menanggung dosa dan tetap wajib menyempurnakan kafaratnya.

Jika suami mewakilkan pembagian makanan kafarat kepada orang lain, maka boleh selama sampai kepada enam puluh miskin yang berhak; jika wakil khianat, tanggungan kembali kepada suami hingga dipastikan sah penunaian.

Jika suami menzihār lalu wafat, maka tidak ada kewajiban atas ahli waris; dan zinaar (pengharaman sementara) berakhir dengan wafatnya, tidak ada qadhā’ kafarat setelahnya.

Jika suami menzihār lalu melakukan jima‘ sebelum kafarat, maka selain kafarat, ia tidak diwajibkan mahar baru karena akad masih tetap; namun jika hakim memfasakh pernikahan akibat kelalaian berat, maka jika terjadi jima‘ setelah fasakh, ia wajib mahar mitsl.

Jika suami menzihār beberapa kali pada saat yang berbeda terhadap istri yang sama sebelum menunaikan kafarat, maka satu kafarat mencukupi untuk seluruh ucapan sebelum jima‘; jika setelah kafarat ia mengulangi, maka wajib kafarat baru.

Jika seorang suami menzihār istrinya saat masa ihram keduanya, maka zihār sah dan kafarat tetap wajib; larangan ihram tidak menggugurkan kewajiban kafarat zihār.

Jika suami miskin sehingga tidak mampu memberi makan sekalipun, ia menunggu kelapangan dan tetap menahan diri; tidak halal baginya jima‘ sampai kafarat ditunaikan sesuai urutannya.

Jika suami menzihār dengan menggantungkan pada perbuatan berulang—seperti, “Jika engkau keluar, engkau bagiku seperti punggung ibuku”—lalu istri keluar berkali-kali, maka zihār terjadi pada kali pertama terpenuhi; setelah kafarat ditunaikan, keluarnya lagi tidak menimbulkan zihār baru kecuali suami mengulang lafaznya lagi.

Jika ia berkata, “Setiap kali engkau melakukan ini, engkau bagiku seperti punggung ibuku,” maka setiap terjadinya perbuatan setelah ia menunaikan kafarat pertama, lahir kewajiban kafarat baru karena lafaznya menunjukkan pengulangan.

Jika suami menzihār dan menetapkan waktu—seperti, “Selama sebulan engkau bagiku seperti punggung ibuku”—maka selama tempo itu ia wajib menahan diri; jika ia ingin menggauli dalam masa itu, ia wajib kafarat terlebih dahulu. Jika masa habis dan belum terjadi jima‘, tidak ada kafarat yang tersisa.

Jika ia menzihār dan segera menunaikan kafarat, lalu menggauli istrinya, maka kehalalan kembali seperti semula dan tidak perlu tambahan apa pun.

Jika ia menzihār saat istri sedang dalam ‘iddah raj‘i, lalu ia merujuk, maka hubungan tetap terlarang hingga kafarat; jika tidak merujuk hingga habis ‘iddah, maka zihār tidak lagi berpengaruh karena hilangnya akad.

Jika istri menuntut pemenuhan haknya untuk digauli dan suami telah menzihār serta enggan menunaikan kafarat, hakim memerintahkannya menunaikannya; jika tetap enggan, hakim boleh memfasakh demi menghilangkan mudarat.

Jika suami menzihār lalu mengganti niatnya dengan mengatakan bahwa ucapannya adalah sumpah untuk menahan istri dari suatu perbuatan, maka tidak berpindah dari hukum zihār selama lafaznya sharih.

Jika suami menzihār terhadap istri yang sedang ihram haji atau umrah, maka zihār sah; ia tetap tidak boleh menggauli sampai kafarat, sedangkan larangan ihram berjalan sendiri menurut ketentuannya.

Jika suami fakir dan tidak mampu berpuasa karena uzur menetap, serta tidak mampu memberi makan, maka ia menahan diri hingga Allah melapangkan; tidak halal baginya jima‘ sampai salah satu bentuk kafarat yang sah ditunaikan.

Jika ia memilih memberi makan enam puluh orang miskin, maka boleh dibagikan dalam satu hari atau beberapa hari hingga genap jumlahnya, dan setiap miskin menerima bagian yang ma‘ruf dari makanan pokok negeri.

Tidak sah menggugurkan kewajiban kafarat dengan hanya memberi uang tanpa memastikan sampai dalam bentuk makanan kepada yang berhak, kecuali hakim memutuskan bentuk penyerahan nilai yang dikonversi kepada makanan karena maslahat yang jelas.

Jika suami menzihār lalu talak ba’in terjadi, maka pengharaman jima‘ karena zihār menjadi tidak relevan; jika keduanya menikah kembali, ia tidak boleh menggauli hingga menunaikan kafarat zihār yang dulu jika belum pernah ditunaikan menurut pendapat yang lebih berhati-hati.

Jika suami menzihār lebih dari satu istri dengan satu lafaz yang mencakup semuanya, maka kafarat wajib untuk masing-masing sebelum menggauli mereka; jika ia menzihār sebagian istri dengan menyebutkan nama, maka kewajiban terbatas pada yang disebut.

Jika ia memulai puasa kafarat dan terputus karena haid istrinya—tanpa ada jima‘—maka tidak berpengaruh; ia melanjutkan puasanya hingga genap dua bulan berturut-turut, karena syarat berturut-turut terkait hari puasa, bukan keadaan istri.

Jika ia memulai puasa lalu berbuka karena lupa, maka ia menyempurnakan hari itu dan melanjutkan tanpa mengulang dari awal menurut pendapat yang membolehkan ‘udzur lupa; namun jika berbuka sengaja, ia mengulang dari awal.

Jika suami menzihār, lalu i‘tikaf atau safar sunnah memutus puasa tanpa uzur, maka ia mengulang dari awal; jika safar darurat atau i‘tikaf nadzar syar‘i, maka setelah selesai uzur ia melanjutkan tanpa memutus kontinuitas menurut kebutuhan.

Jika suami menggauli istrinya setelah menunaikan kafarat, kemudian ia mengulangi zihār dengan lafaz baru, maka kafarat baru kembali wajib, dan ia menahan diri hingga menunaikannya.

Jika suami menzihār lalu wafat dan belum menunaikan kafarat, maka tidak ada pelunasan atas ahli waris; namun jika ia telah memerintahkan secara tegas pemberian makanan untuk kafarat dan menunjuk harta dalam batas sepertiga wasiat, maka dilaksanakan sesuai wasiatnya.

Jika suami menzihār lalu istri meninggal, maka pengharaman berakhir dengan wafat; tidak ada kewajiban kafarat atas suami jika tidak ada jima‘ setelahnya dan ia tidak berniat kembali menggauli istri itu.

Jika suami menzihār dan kemudian melakukan jima‘ tanpa kafarat, maka selain dosa, ia wajib kafarat; jika ia mengulanginya beberapa kali sebelum kafarat, cukup satu kafarat untuk rangkaian pelanggaran itu menurut yang memandang satu pengharaman; namun ta‘zīr dapat dijatuhkan karena pengulangan.

Jika suami berkata, “Engkau bagiku seperti ibuku dalam semua hal,” maka selagi maksudnya pengharaman jima‘, dihukumi zihār; jika maksudnya memuliakan tanpa pengharaman, maka tidak zihār.

Jika suami menzihār dengan lafaz yang dinisbatkan pada mahram selain ibu—seperti saudari, bibi, atau anak perempuan—selama makna pengharaman mahram dimaksudkan, berlaku hukum zihār.

Jika suami menzihār lalu berkata, “Aku telah menunaikan kafarat dengan memberi makan,” sementara ternyata sebagian penerima bukan mustahiq, maka bagian yang tidak sah wajib diulang kepada fakir miskin yang berhak hingga genap enam puluh orang.

Jika suami menzihār dan ia mampu memerdekakan budak beriman, tidak boleh baginya beralih kepada puasa atau memberi makan selama kemampuan itu ada. Jika budak tidak ada di negerinya, ia menunggu atau berpindah ke puasa jika penantian menimbulkan mudarat yang nyata.

Jika suami menzihār, lalu ia berpuasa dua bulan dan pada hari terakhir ia berbuka tanpa uzur, maka ia mengulang dari awal. Jika berbuka karena lupa atau dipaksa, maka ia menyempurnakan dan tidak perlu mengulang seluruhnya menurut yang membolehkan uzur.

Jika suami menzihār dan memberi makan dengan mengundang enam puluh miskin kepada satu jamuan hingga kenyang, maka itu mencukupi selama terpenuhi jumlah dan mereka adalah mustahiq.

Jika suami menzihār lalu berkata, “Aku niatkan kafarat sumpah,” tidak mencukupi, karena kafarat zihār memiliki ketentuan tersendiri dan tidak diganti dengan kafarat yamin.

Jika suami menzihār istrinya yang gila atau pingsan, zihār tetap sah dan ia dilarang jima‘ sampai kafarat, karena larangan tertuju kepada suami.

Jika suami menzihār, kemudian istri murtad dan kembali Islam dalam ‘iddah, maka larangan jima‘ tetap kembali berlaku dan ia tidak boleh menggauli hingga kafarat ditunaikan.

Jika suami menzihār, lalu istri menggugat untuk mendapat jima‘, hakim menangguhkan hingga ia menunaikan kafarat. Jika ia tetap enggan, hakim boleh memfasakh demi menghilangkan mudarat atas istri.

Jika suami menzihār dengan lafaz yang mengandung syarat dan waktu sekaligus, maka saat syarat terwujud dalam waktu yang ditentukan, zihār berlaku; jika waktu lewat tanpa syarat terwujud, maka tidak terjadi apa-apa.

Jika suami menzihār, kemudian keduanya berpisah dengan khulu‘, maka kewajiban kafarat gugur selama tidak ada jima‘ setelah akad baru. Jika ia menikahinya kembali, tidak halal baginya jima‘ hingga kafarat ditunaikan menurut ihtiyath.

Jika suami menzihār lalu ia wafat, sedangkan ia telah menunjuk makanan untuk didistribusikan dan menunjuk wakil, maka wakil menunaikan sesuai penunjukan selama dalam batas sepertiga wasiat.

Jika suami menzihār, kemudian ia bernazar tambahan di luar kafarat, maka nazar menjadi kewajiban tersendiri selain kafarat. Ia tidak boleh menggauli dengan alasan telah menunaikan nazar jika kafarat belum ditunaikan.

Jika suami menzihār, kemudian ia menggauli tanpa kafarat dan mengulanginya, maka satu kafarat mencukupi bagi satu rangkaian pelanggaran hingga ia bertobat dan menahan diri; namun ia dikenai ta‘zīr karena berulang-ulang melanggar.

Jika suami menzihār, lalu ia menanggung kafarat dengan harta istrinya tanpa izinnya, maka tidak sah. Jika dengan izinnya, sah penunaian tetapi tidak wajib atas istri.

Jika suami menzihār lalu fakir, kemudian Allah lapangkan rezekinya, maka kewajiban kafarat mengikuti keadaannya saat hendak kembali berhubungan; jika kini mampu memerdekakan budak, maka ia memilih yang pertama; jika tidak, berpuasa; jika tidak mampu, memberi makan.

Jika suami menzihār dan memberi makan enam puluh miskin lalu sebagian dari mereka wafat sebelum menerima, maka ia ganti kepada miskin lain sehingga genap jumlah dan penyerahan sah.

Jika suami menzihār dan memulai puasa, lalu ia jatuh sakit berkepanjangan yang memutus kesinambungan tanpa harap sembuh, maka ia berpindah kepada memberi makan; jika sembuh di tengah jalan sebelum berpindah, ia menyempurnakan puasa.

Jika suami menzihār terhadap istri yang ditalak raj‘i lalu habis ‘iddah tanpa rujuk, maka tidak ada lagi pengaruh zihār; jika ia menikahinya kembali, maka menurut ihtiyath ia menunaikan kafarat sebelum jima‘ jika belum pernah menunaikannya.

Jika suami menzihār, kemudian ia menuduh istrinya berzina dan melakukan li‘ān, maka perpisahan terjadi dengan li‘ān dan kewajiban kafarat tidak lagi relevan selama tidak ada hubungan setelahnya; namun dosa ucapan tetap ia bertaubat darinya.

Jika suami menzihār lalu istri meninggal, tidak ada kafarat atas suami. Jika ia telah mengambil dari harta istri untuk kafarat, ia wajib mengembalikan kepada ahli waris kecuali bila istri merelakan semasa hidupnya.

Jika suami menzihār, lalu ia menyerahkan nilai makanan dalam bentuk uang kepada fakir dan fakir membelikan makanan darinya, maka sah jika penukaran berlangsung nyata dan makanan diterima oleh mereka yang berhak. Jika uang habis tanpa makanan, belum gugur kafarat sampai makanan benar-benar diterima.

 

Jika suami menzihār lalu menunaikan kafarat sebagian namun belum sempurna—seperti baru memberi makan sebagian dari enam puluh miskin—maka masih haram baginya jima‘ hingga kafarat disempurnakan.

Jika ia telah memulai puasa kafarat lalu berhubungan di tengah-tengah sebelum genap dua bulan, puasanya batal sebagai kafarat dan ia wajib memulai kembali dari awal setelah bertaubat.

Jika suami menzihār, lalu ia bertanya tentang ukuran bagian makanan untuk setiap miskin, maka diberi menurut kebiasaan yang layak di negerinya hingga tercapai makna “memberi makan,” dan tidak kurang dari kadar yang dipandang mencukupi oleh hakim.

Jika penyerahan makanan dilakukan melalui lembaga kepercayaan yang mengurusi fakir miskin, maka sah selama dapat dipastikan sampai kepada enam puluh orang miskin yang berhak.

Jika suami menzihār terhadap istri yang sedang sakit dan membutuhkan suami, maka kebutuhan itu tidak menghalalkan jima‘; yang wajib adalah mempercepat kafarat agar hak istri tidak terabaikan.

Jika suami menzihār lalu mengucapkan talak setelahnya, maka hukum zihār tidak menghalangi jatuhnya talak; namun selama belum ada akad baru, tidak ada lagi pembahasan jima‘ di antara keduanya.

Jika suami menzihār lalu mensyaratkan tebusan dari istri agar ia kembali berhubungan, maka syarat itu batil; yang sah hanyalah menunaikan kafarat sesuai ketentuan.

Jika suami menzihār terhadap istrinya lalu keduanya berdamai bahwa ia tidak akan menggauli selamanya tanpa kafarat, maka perdamaian itu tidak sah selama masih dalam ikatan nikah; jalan yang sah adalah kafarat atau perpisahan yang dibenarkan.

Jika suami menzihār dan istri mengizinkan jima‘ tanpa kafarat karena terpaksa atau takut, maka keizinan itu tidak menghalalkan; dosa tetap pada suami, dan ia wajib kafarat.

Jika suami menzihār kemudian menggauli istrinya pada malam hari Ramadhan sebelum kafarat, maka ia berdosa karena melanggar zihār; puasa Ramadhannya tetap sah selama terpenuhi syaratnya, dan kewajiban kafarat zihār berdiri sendiri.

Jika suami menzihār lalu berpuasa kafarat dan jatuh pada hari raya di tengah rangkaian, ia tidak berpuasa pada hari itu dan melanjutkan setelahnya tanpa memutus kontinuitas menurut uzur syar‘i yang jelas.

Jika suami menzihār, lalu keduanya berpisah karena fasakh atau khulu‘, kemudian ia menikahinya lagi, maka yang lebih hati-hati adalah menunaikan kafarat sebelum jima‘ jika belum pernah menunaikannya sebelumnya.

Jika suami menzihār terhadap istrinya lalu ia wafat dan belum menunaikan kafarat, maka tidak ada tuntutan kafarat kepada ahli waris; tetapi hendaknya disedekahkan untuk fakir miskin dari sepertiga wasiatnya jika ia telah mewasiatkan.

Jika suami menzihār terhadap lebih dari satu istri dengan menyebutkan mereka satu-satu, maka wajib satu kafarat untuk tiap istri yang hendak digauli; ia boleh menunaikan kafarat untuk satu istri dan khusus menggaulinya, sementara yang lain tetap haram hingga kafarat masing-masing ditunaikan.

Jika suami menzihār lalu berjanji akan menunaikan kafarat pada waktu tertentu dan menangguhkan jima‘ hingga saat itu, maka penangguhan tidak mengubah kewajiban; yang halal hanyalah jima‘ setelah kafarat benar-benar ditunaikan.

 

Jika suami menzihār lalu mengaku telah menunaikan kafarat dengan puasa, sementara istrinya mengingkari, maka suami diminta bukti atau sumpah. Jika ia tidak mampu membuktikan, hakim memerintahkannya menunaikan kafarat kembali demi kehati-hatian.

Jika suami menzihār terhadap istrinya yang sedang dalam masa pengasingan karena nusyuz, pengharaman jima‘ tetap berlaku; apabila istri kembali taat, suami tetap tidak boleh menggaulinya hingga kafarat ditunaikan.

Jika suami menzihār dengan lafaz yang tidak lazim namun dipahami masyarakat sebagai pengharaman mahram, maka dihukumi zihār. Jika tidak dipahami demikian, maka kembali pada niat: bila talak, jatuh talak; bila sumpah, kafarat yamin.

Jika ia menzihār lalu menjadikan sebagian malam atau siang tertentu sebagai pengecualian untuk jima‘, pengecualian tidak sah; yang menghalalkan hanyalah kafarat.

Jika suami menzihār dan memulai puasa, lalu ia jatuh pada hari-hari yang diharamkan berpuasa (Idulfitri atau Iduladha), ia tidak berpuasa pada hari itu dan melanjutkan setelahnya tanpa memutus kontinuitas karena uzur syar‘i yang jelas.

Jika ia memberi makan enam puluh miskin dengan menyerahkan bahan makanan pokok setara tiap orang, maka sah meski tidak dimasak. Jika ia menyerahkan makanan siap santap hingga kenyang bagi tiap orang, itu juga mencukupi.

Jika suami menzihār terhadap istri yang gila lalu sembuh, hukum pengharaman tetap hingga kafarat ditunaikan; gila istri tidak menggugurkan kewajiban suami.

Jika suami menzihār lalu berkata, “Aku anggap ucapanku batal,” tidak gugur zihār dengan menarik ucapan; yang diwajibkan adalah kafarat atau menahan diri dari jima‘.

Jika suami menzihār lebih dari satu kali dalam satu majelis dengan lafaz berbeda, maka hukum kembali pada niat dan bentuk lafaz: bila semuanya sharih dan berulang, maka masing-masing memerlukan kafarat bila telah disempurnakan dan ia mengulang lagi.

Jika ia menzihār lalu menggauli istrinya karena jahil terhadap hukumnya, maka ia berdosa menurut sebagian dan tetap wajib kafarat; ketidaktahuan tidak menghapus kewajiban.

Jika suami menzihār dan berpuasa kafarat, setiap hari harus berniat kafarat; jika niat putus, ia mengulang dari awal karena syarat berturut-turut.

Jika suami menunjuk makanan kafarat tertentu lalu rusak sebelum sampai ke miskin karena kelalaiannya, ia mengganti; jika rusak tanpa kelalaian (bencana), ia menyalurkan kembali dari hartanya hingga genap.

Jika suami menzihār dan istri memaafkan, pemaafan tidak menghalalkan jima‘; kewajiban kafarat tetap melekat karena hak Allah Ta‘ālā.

Jika suami menzihār, lalu istri minta cerai karena mudarat penahanan tanpa kafarat, hakim memerintahkan suami menunaikan kafarat dalam tenggat yang patut; jika enggan, hakim memisahkan keduanya.

Jika suami menzihār dan mengganti kafarat dengan sedekah sunnah atau nadzar lain, tidak sah sebagai pengganti; kafarat harus sesuai urutan yang disyariatkan.

Jika suami menzihār lalu menyetubuhi istrinya sebelum kafarat karena lupa, ia tetap menunaikan kafarat; lupa tidak menghalalkan jima‘ selama pengharaman masih berlaku.

Jika ia menzihār terhadap istri yang sedang ‘iddah ba’in, ucapan tidak berpengaruh. Jika kemudian ia menikahinya kembali, tidak terikat oleh zihār terdahulu menurut asalnya.

Jika suami menzihār, kemudian keduanya bercerai dan menikah lagi setelah lama, maka yang lebih hati-hati adalah menunaikan kafarat sebelum jima‘ jika belum pernah ditunaikan, agar terlepas dari syubhat pengharaman yang lalu.

Jika suami menzihār dan belum menunaikan kafarat, maka haram baginya segala bentuk jima‘; adapun sentuhan tanpa syahwat dan layanan mu‘asyarah yang ma‘rūf dibolehkan selama tidak membawa kepada jima‘.

Jika suami menzihār lalu wafat dan telah menandai persediaan makanan untuk enam puluh miskin, maka pelaksana wasiat menyalurkannya dari sepertiga wasiat jika ia telah menunjuk demikian; jika tidak, tidak ada kewajiban pascawafat.

Jika suami menzihār lalu bersumpah untuk tidak menggauli selama setahun (ila’), maka berkumpul dua larangan: larangan zihār dan ila’. Ia dituntut menunaikan kafarat zihār, lalu jika tetap menahan diri melewati empat bulan, berlaku hukum ila’ sesuai ketentuannya.

 

Jika suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan atau lebih (ila’), maka ia diberi tenggat empat bulan sejak sumpah. Jika sampai lewat empat bulan ia tidak kembali, hakim memintanya memilih antara kembali (dengan kafarat sumpah) atau menceraikan. Jika menolak keduanya, hakim menjatuhkan talak.

Jika sumpahnya kurang dari empat bulan, maka tidak termasuk ila’; bila ia kembali sebelum batas waktu yang ia tetapkan, ia menunaikan kafarat sumpah dan hubungan suami istri kembali halal.

Kafarat sumpah adalah memberi makan atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau memerdekakan seorang budak. Jika tidak mampu, ia berpuasa tiga hari. Ia tidak boleh menahan istri tanpa hak dengan alasan sumpah.

Batas empat bulan dihitung dari hari ia mengucapkan sumpah ila’. Jika ia kembali menggauli istrinya dalam rentang itu, sumpahnya dilanggar dan ia wajib kafarat. Jika tidak kembali hingga habis, istri berhak menuntut putusan hakim.

Jika dalam masa ila’ istri menuntut haknya, hakim menasihati suami agar menunaikan kafarat dan kembali; jika suami menolak tanpa uzur, hakim memutuskan perceraian untuk menghilangkan mudarat.

Jika suami memiliki beberapa istri lalu bersumpah tidak akan menggauli mereka, maka hukum ila’ berlaku atas masing-masing. Jika ia kembali kepada salah satu, ia menunaikan kafarat sumpah; terhadap istri lain yang belum ia datangi, ila’ tetap berjalan sesuai sumpahnya.

Jika suami dalam ila’ wafat sebelum empat bulan berlalu, maka tidak ada keputusan talak karena ila’; istri menjalani ‘iddah wafat. Jika istri wafat dalam masa ila’, tidak ada lagi perkara ila’ di antara keduanya.

Jika suami bersumpah karena marah dan tidak bermaksud menahan istri, lalu segera menebus sumpah dan kembali, maka tidak tergolong ila’. Namun bila sumpahnya memang untuk menahan, berlaku hukum ila’.

Jika suami mengaitkan sumpahnya dengan syarat—seperti, “Jika engkau melakukan ini, aku tidak akan mendatangimu empat bulan”—maka saat syarat terjadi, ila’ dimulai dan hitungan empat bulan berjalan.

Jika suami dalam ila’ kemudian menzihār, maka dua kewajiban berkumpul: untuk kembali, ia wajib kafarat sumpah; dan sebelum jima‘, wajib kafarat zihār. Tidak boleh menggauli dengan alasan telah menebus salah satunya saja.

Jika suami dalam ila’ memilih cerai sebelum tenggat empat bulan, talak jatuh dan perkara ila’ berakhir. Jika ia kembali sebelum empat bulan, istri halal baginya setelah menunaikan kafarat sumpah.

Jika suami fakir dan tidak mampu memberi makan atau pakaian serta tidak menemukan budak, maka ia berpuasa tiga hari. Jika ia menunda tanpa uzur, ia berdosa karena menahan hak istri.

Jika sumpahnya diucapkan dengan lafaz kinayah yang bermakna menahan diri, maka dilihat niat: bila niat menahan selama empat bulan atau lebih, itu ila’; bila kurang, bukan ila’ tetapi tetap wajib kafarat sumpah saat dilanggar.

Jika suami bersumpah tidak akan menggauli hingga waktu tertentu yang melebihi empat bulan, maka ini termasuk ila’. Jika ia menggauli sebelum waktu itu, ia menunaikan kafarat sumpah; jika tidak, hakim memerintahkannya memilih di akhir tenggat.

Jika suami kembali (rujuk jima‘) pada hari terakhir dari empat bulan sebelum terbenam matahari, maka ila’ tidak berakibat talak, tetapi ia wajib kafarat sumpah. Jika tidak kembali hingga lewat hari keempat bulan, hakim memutus sesuai tuntutan istri.

 

Jika suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan, hitungan empat bulan mengikuti bulan qamariyah; jika dimulai pertengahan bulan, maka berakhir pada hari yang sama di bulan keempat menurut hitungan malam.

Jika suami berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mendatangimu setahun,” maka sumpah itu termasuk ila’; jika ia kembali sebelum setahun, ia wajib kafarat sumpah dan ila’ tidak berujung talak.

Jika ia berkata, “Aku tidak akan mendatangimu tiga bulan,” maka bukan ila’; bila ia kembali sebelum tiga bulan, wajib kafarat sumpah; bila tidak kembali, tidak ada keputusan hakim karena belum mencapai empat bulan.

Jika suami menahan diri tanpa sumpah dan tanpa alasan syar‘i, maka bukan ila’; istri berhak menuntut haknya; hakim memerintahkan suami memenuhi atau menceraikan.

Jika suami mengucapkan ila’ terhadap istri hamba sahaya, hukum tenggatnya tetap empat bulan; demikian pula terhadap istri merdeka.

Jika suami mengucapkan ila’ atas sebagian istrinya dan bukan yang lain, maka ketentuan empat bulan berlaku pada yang ia sumpahi; terhadap yang lain, tidak berlaku.

Jika suami dalam ila’ menderita uzur yang nyata (sakit berat) sehingga tidak bisa menggauli, ia tetap diminta memilih pada akhir empat bulan: kembali setelah sembuh dengan kafarat sumpah, atau bercerai.

Jika suami kembali menggauli istrinya di masa ila’, sumpahnya dilanggar dan ia wajib kafarat sumpah; pernikahan tetap berjalan.

Jika ia tetap tidak kembali hingga lewat empat bulan, dan enggan menceraikan, hakim menjatuhkan talak satu; istri menjalani ‘iddahnya.

Jika selepas talak karena ila’ suami ingin rujuk dalam masa ‘iddah, ia boleh rujuk; namun tidak boleh kembali kepada ila’ yang sama untuk menahan lagi tanpa uzur.

Jika suami mengaitkan ila’ dengan perbuatan istri—“Jika engkau keluar, aku tidak akan mendatangimu empat bulan”—maka saat syarat terjadi, berjalan hitungan empat bulan sejak saat itu.

Jika suami bersumpah dengan lafaz kinayah seperti, “Aku akan menjauh darimu,” lalu ia niatkan menahan lebih dari empat bulan, dihukumi ila’; jika tanpa niat itu, hanya sumpah biasa.

Jika suami melanggar sumpah ila’ di tengah masa empat bulan dengan bentuk jima‘ syubhat (karena keliru), maka ila’ gugur dan ia menunaikan kafarat sumpah; tidak ada ta‘zīr karena ketidaksengajaan.

Jika suami melanggar sumpah ila’ dengan mubasyarah selain jima‘, sumpah tetap dilanggar sesuai niatnya; bila ia niatkan “tidak mendatangi” sebagai jima‘, maka mubasyarah tanpa jima‘ tidak membatalkan; bila niat menahan semua bentuk kedekatan, maka dilanggar.

Jika istri menggugurkan haknya atas jima‘ dan ridha ditahan lebih dari empat bulan, maka itu tidak mengubah hukum; hakim tetap berhak memutus untuk menghindari mudarat jika istri kemudian menuntut.

Jika suami berkata, “Aku tidak mendatangimu sampai engkau melakukan ini,” lalu istri tidak melakukannya hingga empat bulan berlalu, maka ila’ tidak terjadi karena syarat tidak terpenuhi.

Jika suami berkata, “Aku tidak mendatangimu selama engkau di rumah ini,” dan ia berpindah rumah sebelum empat bulan, maka ila’ tidak berjalan; bila tetap di rumah itu hingga empat bulan, hakim memutus sesuai tuntutan.

Jika suami dalam ila’ kemudian jatuh talak satu dengan lafaz lain, maka perkara ila’ selesai dengan jatuhnya talak; hak istri berpindah kepada ketentuan talak.

Jika suami mempunyai beberapa sumpah berbeda terhadap istrinya, maka masing-masing sumpah memiliki kafarat sendiri bila dilanggar, dan ila’ dinilai dari sumpah yang menahan jima‘ selama empat bulan atau lebih.

Jika suami menarik sumpahnya sebelum empat bulan dan belum menggauli, maka ia menebus dengan kafarat sumpah; tidak ada keputusan talak.

Jika suami menggauli pada penghujung tenggat empat bulan tepat sebelum berakhir, maka ila’ tidak berujung talak; ia wajib kafarat sumpah karena pelanggaran.

Jika suami berkata, “Demi Allah, aku tidak mendatangimu selamanya,” maka termasuk ila’; jika ia kembali kapan pun, ia wajib kafarat sumpah; bila tidak kembali hingga istri menuntut, hakim memutuskan talak setelah tenggat empat bulan.

 

Jika suami berkata, “Aku tidak akan mendatangimu hingga engkau melakukan perbuatan tertentu,” lalu istri melakukannya sebelum berlalu empat bulan, maka sumpah berlaku dan ia wajib kafarat jika kembali menggauli; jika istri tidak melakukannya sampai lewat empat bulan dan suami tetap menahan diri, hakim memutus sesuai hukum ila’.

Jika suami bersumpah menahan diri dari sebagian bentuk kedekatan saja, maka makna sumpah mengikuti niatnya; jika ia niatkan khusus jima‘, mubāsyarah selain jima‘ tidak membatalkan; jika ia niatkan menahan semua bentuk kedekatan, maka pelanggaran terjadi dengan setiap bentuk yang diniatkan.

Jika suami mengucapkan ila’ dengan menyebut waktu kurang dari empat bulan lalu memperbaharuinya berkali-kali sehingga total melebihi empat bulan, tidak dihukumi ila’ kecuali bila dalam satu sumpah ia menahan empat bulan atau lebih; pengulangan sumpah-sumpah pendek tidak menyatu untuk hukum ila’.

Jika suami berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mendatangimu sampai engkau rida,” dan istri tidak rida hingga lewat empat bulan, maka hakim menilainya sebagai penahanan tanpa hak; ia diperintah memilih antara kembali dengan kafarat sumpah atau bercerai.

Jika suami bersumpah tidak menggauli karena nadzar ibadah yang menyibukkannya sementara, maka ia tetap tidak boleh menahan istri melewati empat bulan; setelah menyempurnakan ibadahnya ia wajib kembali dengan kafarat sumpah, atau menceraikan dengan baik.

Jika istri menuntut pemisahan karena suami menahan melebihi empat bulan, lalu suami mengakui dan bersedia kembali dengan kafarat, hakim memberinya tenggat sepadan untuk menunaikan kafarat; jika tetap menunda tanpa uzur, dipisahkan.

Jika suami bersumpah tidak akan menggauli istri tertentu namun tetap menggauli istri-istri lain, maka ila’ berlaku khusus pada istri yang ia sumpahi; hak istri-istri lain berjalan sebagaimana biasa.

Jika suami menahan diri dengan alasan pertengkaran atau sakit ringan tanpa sumpah dan tanpa uzur, maka bukan ila’; namun bila berlarut hingga menimbulkan mudarat, hakim memerintahkannya kembali atau bercerai.

Jika suami bersumpah menahan diri lalu istri membatalkan tuntutannya dan ridha menunggu, ia boleh menunggu selama tidak ada mudarat; bila kemudian ia menuntut sebelum empat bulan berakhir, hakim tetap memeriksa dan memutus demi menghilangkan mudarat.

Jika suami berkata, “Aku tidak mendatangimu selama engkau tinggal di kota ini,” lalu istri pindah sebelum empat bulan, maka tidak terjadi ila’; jika ia tetap tinggal lewat empat bulan, hakim memutus sesuai ketentuan.

Jika suami bersumpah menahan diri dari semua istrinya selama empat bulan atau lebih, maka saat lewat empat bulan, setiap istri berhak menuntut keputusan; hakim memutus masing-masing sesuai tuntutan mereka.

Jika suami melanggar sumpah ila’ dengan jima‘ syubhat—karena keliru menyangka bukan istrinya—ila’ gugur dan ia tetap wajib kafarat sumpah; jika pelanggaran disengaja, selain kafarat ia layak ditazir karena menahan tanpa hak.

Jika suami menarik sumpahnya sebelum empat bulan dengan ucapan membatalkan dan segera menebus kafarat sumpah, maka ia boleh kembali menggauli; penarikan tanpa kafarat tidak menghalalkan.

Jika suami menggauli istrinya di ujung tenggat empat bulan pada siang hari terakhir, maka ila’ tidak berujung talak, namun ia wajib kafarat sumpah; jika ia tidak kembali hingga lewat tenggat, hakim menjatuhkan talak satu bila istri menuntut.

Jika setelah talak karena ila’ suami ingin rujuk dalam ‘iddah raj‘i, rujuk sah; namun ia tidak boleh mengulang penahanan yang sama tanpa uzur, karena menimbulkan mudarat yang dilarang.

Jika suami fakir, kafarat sumpahnya berpuasa tiga hari; boleh berturut-turut atau terpisah menurut zahir ayat, dan lebih utama berturut-turut; jika ia mampu memberi makan atau pakaian, ia lakukan yang utama sesuai urutan yang disebutkan dalam ayat.

Jika suami bersumpah menahan diri sambil menggantungkan kepada perbuatan istri dan perbuatan itu tidak terjadi, maka tidak ada ila’; sumpah tetap ada dan bila dilanggar dengan jima‘, ia wajib kafarat sumpah.

Jika suami bersumpah menahan hingga istri melahirkan atau menyapih, maka bila masa itu melebihi empat bulan dan ia tidak kembali, istri berhak menuntut keputusan hakim pada akhir empat bulan.

 

Jika suami bersumpah menahan diri hingga istri melakukan suatu kewajiban syar‘i (seperti menutup aurat), maka ia tidak boleh menjadikan sumpah sebagai alasan menahan hak istri lebih dari empat bulan; setelah nasihat, hakim memerintahkannya kembali dengan kafarat sumpah atau menceraikan.

Jika suami bersumpah tidak menggauli istrinya hingga waktu yang tidak ditentukan (seperti “sampai aku mau”), maka bila penahanan itu melewati empat bulan, hakim memutus menurut hukum ila’.

Jika suami mengucapkan ila’ namun kemudian menyatakan sumpahnya batal tanpa kafarat, maka pernyataannya tidak sah; yang menghalalkan kembali adalah kafarat sumpah atau talak jika enggan kembali.

Jika suami menyatukan niat ila’ dengan ancaman talak—“Jika aku mendatangimu, engkau tertalak”—lalu ia mendatanginya sebelum empat bulan, talak jatuh dan ia wajib kafarat sumpah karena melanggar sumpahnya.

Jika suami menolak hadir ke pengadilan padahal istri menuntut haknya akibat ila’, hakim memutus secara in absentia setelah bukti cukup, demi menghilangkan mudarat atas istri.

Jika suami berada dalam penjara atau safar panjang dan bersumpah ila’, hitungan tetap empat bulan; bila ia mampu kembali atau berkomunikasi untuk rujuk jima‘ secara sah lalu menolak, hakim memutus sesuai ketentuan ila’.

Jika suami menggauli dengan syubhat (salah sangka) pada akhir empat bulan, ila’ tidak berlanjut pada talak; namun ia wajib kafarat sumpah.

Jika suami berkata, “Aku tidak mendatangimu empat bulan kecuali dengan izinku,” maka bila ia memberi izin sebelum tenggat dan mendatanginya, tidak ada keputusan ila’; bila tidak memberi izin hingga lewat tenggat, hakim memutuskan sesuai hukum ila’.

 

Jika seorang suami ‘annīn (impoten) sehingga tidak mampu berjima‘, dan istri menuntut haknya, maka hakim memberi tenggang waktu satu tahun qamariyah untuk melihat kemungkinan kesembuhan: mencakup musim panas dan dingin.

Jika dalam tenggang setahun suami mampu berjima‘ sekali saja secara nyata, maka gugurlah tuntutan fasakh; pernikahan tetap berjalan.

Jika setelah satu tahun ia tetap tidak mampu dan istri menuntut, hakim memfasakhkan nikahnya tanpa talak; fasakh ini ba’in, tidak ada rujuk kecuali dengan akad baru bila keduanya ingin bersatu kembali setelah kesembuhan.

Bukti kemampuan suami adalah terjadinya jima‘ yang diakui kedua pihak atau dibuktikan dengan tanda yang meyakinkan menurut penilaian hakim.

Jika suami mengaku mampu dan istri mengingkari, suami diminta bersumpah. Jika istri menegaskan ketidakmampuan dengan qasam dan bukti pendukung, hakim memutus menurut yang lebih kuat.

Jika suami cacat karena “majbūb” (terpotong dzakar) atau “makhsī” (terpotong buah zakar), lalu istri menuntut, maka hakim memfasakhkan tanpa menunggu setahun, karena ketidakmampuan itu menetap.

Jika suami terkena penyakit yang menular berat yang membahayakan jima‘ (seperti kusta parah) dan istri takut mudarat, hakim dapat memisahkan dengan fasakh bila terbukti.

Jika istri ridha untuk tetap bersama suami ‘annīn tanpa jima‘, maka pernikahan berlanjut; namun jika kemudian ia menuntut fasakh, ia punya hak kembali ke tuntutannya selama belum terbukti kemampuan suami.

Jika suami ‘annīn dan telah membayar mahar, lalu terjadi fasakh sebelum jima‘, maka istri berhak atas setengah mahar yang telah ditetapkan. Jika setelah jima‘ (pada sebagian kasus kemampuan), maka mahar penuh.

Jika suami ‘annīn mengobati dirinya dengan cara yang mubah dan sembuh dalam masa tenggang, maka hak fasakh gugur. Jika ia sembuh setelah diputus fasakh, tidak otomatis kembali; jika ingin bersatu, ditempuh akad baru.

Jika suami menolak diperiksa atau menolak sumpah, sementara indikasi kuat menunjukkan ketidakmampuan, hakim memutus fasakh demi menolak mudarat.

Jika suami menipu dengan mengaku telah berjima‘, sementara istri bersumpah tidak terjadi, maka sumpah istri didahulukan dan fasakh diputus bila syaratnya terpenuhi.

Jika suami mampu ereksi namun tidak mampu penetrasi karena penyempitan atau penyakit pada istri, maka keduanya diarahkan berobat; jika ternyata penghalang berasal dari pihak istri dan tidak ada harapan sembuh, sementara suami menuntut haknya, hakim memutus dengan mempertimbangkan mudarat dan maslahat yang lebih kuat.

Jika suami ‘annīn dan istri hamil bukan dari suami, maka ditelusuri sebabnya; jika terbukti zina, hukumnya sesuai ketentuan. Jika ada jima‘ syubhat sebelum keputusan fasakh, maka nasab mengikuti suami selama kemungkinan waktu kehamilan terpenuhi.

Jika suami ‘annīn dan mengklaim bahwa ia mampu dengan cara selain jima‘ yang sah (seperti istimnā’), maka itu tidak dianggap memenuhi hak istri; ukuran kemampuan adalah jima‘ yang sah.

Jika istri setelah fasakh menikah dengan lelaki lain yang mampu, maka pernikahan baru sah dan fasakh sebelumnya tetap tidak mengurangi hak-haknya seperti mahar yang telah ditetapkan sesuai kasus.

Jika suami sebelum fasakh telah menjatuhkan talak, maka talak berlaku; setelah talak, tidak ada lagi pembahasan fasakh ‘annīn karena akad telah berakhir.

Jika suami ‘annīn dan istri memilih bersabar tanpa menuntut, lalu suami wafat, maka ia berhak atas warisan sesuai ketentuan; masalah ‘annīn tidak menggugurkan hak waris.

Jika suami ‘annīn dan istri menuntut fasakh karena takut terjerumus maksiat, maka hakim memperhatikan alasannya; jika nyata mudaratnya dan suami tidak juga mampu, fasakh ditetapkan.

Jika setelah fasakh karena ‘annīn, suami menuduh istrinya berbohong atau mengada-ada, maka tuduhan tanpa bukti ditolak; kehormatan istri dijaga, dan keputusan hakim tetap berlaku.

 

Jika pada suami terdapat cacat yang menghalangi jima‘ seperti majbūb atau makhṣī, maka istri berhak menuntut fasakh tanpa menunggu tenggang, dan tidak dikenai ‘iddah kecuali bila telah terjadi khalwah ṣaḥīḥah yang mewajibkan ‘iddah.

Jika pada istri terdapat cacat yang berat seperti junūn (gangguan akal), juzām (kusta), atau baras yang parah dan menimbulkan mudarat, maka suami berhak menuntut fasakh bila cacat itu ada sebelum akad dan disembunyikan; jika ia ridha setelah mengetahui, maka gugur hak fasakh.

Jika cacat muncul setelah akad dan menimbulkan mudarat nyata yang sulit ditanggung, maka hakim boleh memisahkan keduanya dengan fasakh untuk mencegah bahaya.

Jika suami menuntut fasakh karena cacat istri, sedangkan ia telah menyetubuhinya, maka ia tidak berhak menuntut kembali mahar yang telah ia serahkan. Jika belum terjadi jima‘, maka ia berhak atas pengembalian mahar sesuai ketentuan.

Jika istri menuntut fasakh karena cacat suami yang menghalangi jima‘, dan belum terjadi jima‘ sejak akad, maka ia berhak atas setengah mahar jika mahar telah ditentukan. Jika telah terjadi jima‘ dengan sebagian kemampuan, maka mahar penuh.

Jika cacat disembunyikan oleh wali atau pihak yang mengetahui, maka hakim boleh menjatuhkan tanggungan ganti rugi kepada pihak yang menipu sesuai kadar kerugian yang timbul.

Jika seorang perempuan dinikahkan dalam keadaan budak lalu ia merdeka, maka ia memiliki hak memilih (khiyār) terhadap pernikahan jika suaminya seorang budak; jika ia memilih berpisah, maka fasakh ba’in. Jika suaminya lelaki merdeka, tidak ada khiyār karena kedudukan suami lebih tinggi.

Khiyār karena dimerdekakan harus segera dinyatakan setelah merdeka ketika ia mengetahui haknya; jika ia memilih untuk tetap bersama dan ridha, maka gugur hak khiyārnya.

Jika seorang anak perempuan dinikahkan ketika masih kecil oleh wali selain ayah atau kakek, lalu ia balig, maka ia memiliki khiyār bulūgh: jika ia membatalkan segera setelah balig dan mengetahui, maka pernikahan batal; jika ia diam dan ridha, maka akad tetap.

Jika yang menikahkan adalah ayah atau kakek (wali mujbir) dengan mahar yang ma‘rūf dan sekufu’, maka tidak ada khiyār bulūgh bagi anak perempuan setelah balig.

Jika wali menikahkan tanpa izin perempuan yang telah balig dan berakal, maka akad tidak sah; jika terjadi jima‘ karena tidak tahu, maka wajib mahar mitsl dan perpisahan.

Jika terdapat penipuan nasab, kebebasan, atau sifat yang berpengaruh pada kesekufuan, lalu suami atau istri merasa tertipu, maka pihak tertipu memiliki khiyār untuk melanjutkan atau memfasakh, dengan mempertimbangkan maslahat dan bukti.

Kesekufuan (kafā’ah) dipertimbangkan pada agama, kebebasan, keluhuran akhlak, dan kemampuan nafkah. Jika wali menikahkan tanpa memperhatikan kafā’ah dan perempuan tidak ridha, ia berhak menuntut pembatalan.

Jika mahar disepakati dengan cara yang ma‘rūf, maka tidak boleh wali mengurangi hak perempuan; jika dikurangi tanpa ridanya, ia berhak menuntut penyempurnaan.

Jika istri menuntut fasakh karena suami tidak menafkahi tanpa uzur padahal mampu, hakim memerintahkan nafkah; jika tetap enggan, difasakhkan nikahnya sebagai ba’in.

Jika suami hilang tanpa kabar dan tidak diketahui hidup matinya, hakim memberi masa pencarian yang patut; jika tiada kabar dan nafkah terputus, hakim boleh memfasakh untuk menghilangkan mudarat setelah prosedur diumumkan.

Jika suami dipenjara lama dan tidak mampu menafkahi, sedangkan istri tidak tahan menanggung mudarat, hakim memutus dengan mempertimbangkan keadaan: memerintahkan nafkah melalui harta suami bila ada, atau memfasakh bila mudarat nyata.

Jika pada istri terdapat penghalang jima‘ yang tetap dan tidak diharapkan sembuh, seperti penyempitan yang tidak bisa diobati, lalu suami menuntut, hakim memerintahkan berobat; jika mustaḥīl sembuh dan mudarat besar, hakim boleh memisahkan.

Jika suami atau istri gila dan tidak diharapkan sembuh, serta membahayakan, hakim boleh memisahkan untuk menjaga jiwa dan agama.

Fasakh karena cacat tidak mengurangi nasab anak yang lahir dari jima‘ yang telah terjadi sebelumnya; anak tetap dinasabkan kepada suami dan hak-haknya terjaga.

Jika fasakh terjadi sebelum khalwah ṣaḥīḥah dan sebelum jima‘, maka tidak wajib ‘iddah; jika setelah khalwah ṣaḥīḥah yang menutup kemungkinan tuduhan, maka ‘iddah disyariatkan menurut keadaan.

Jika terjadi perselisihan tentang waktu terjadinya cacat—apakah sebelum atau setelah akad—maka yang bersumpah adalah pihak yang mengingkari tuduhan; hakim memutus dengan bukti-bukti dan sumpah.

Jika wali menikahkan perempuan tanpa memperhatikan maharul mitsl dan tanpa izinnya, pernikahan tidak sah; jika terjadi jima‘ karena tidak tahu, maka mahar mitsl wajib atas suami.

Jika perempuan memfasakh karena cacat suami, lalu suami sembuh setelah putusan, maka tidak kembali kecuali dengan akad baru; fasakh tidak menjadi rujuk.

Jika perempuan memilih tetap bersama suami yang cacat setelah mengetahui, maka ridanya menggugurkan hak khiyārnya; ia tidak boleh menuntut fasakh atas sebab yang sama di kemudian hari kecuali muncul mudarat baru.

Jika suami menuntut fasakh karena cacat istri yang berat dan tidak disembunyikan sejak awal, sedangkan ia ridha saat akad, maka tidak boleh baginya menuntut kemudian tanpa sebab baru.

Jika kedua belah pihak ridha untuk tetap bersama meskipun ada cacat, maka pernikahan berlanjut dan keduanya dianjurkan saling menunaikan hak sesuai kemampuan serta menghindari mudarat.

Wali nikah yang paling berhak adalah ayah, kemudian kakek dari pihak ayah ke atas, lalu saudara laki-laki kandung, kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, lalu anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemudian paman kandung dari pihak ayah, lalu paman seayah, kemudian anak-anak mereka, kemudian wali yang lebih jauh menurut urutan nasab.

Jika tidak ada wali nasab atau mereka tidak memenuhi syarat keadilan, maka wali hakim menikahkan. Jika para wali enggan menikahkan tanpa alasan syar‘i, hakim dapat mengambil alih dan menikahkan.

Syarat wali adalah muslim, balig, berakal, laki-laki, adil, dan tidak sedang ihram. Jika wali kafir, maka tidak sah perwaliannya atas perempuan muslimah; perwaliannya atas perempuan kafirah menurut agamanya tidak berlaku di dalam Islam.

Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi muslim yang adil. Jika akad dilakukan tanpa saksi, maka batal; jika telah terjadi jima‘ karena tidak tahu, wajib mahar mitsl dan dipisahkan.

Saksi nikah harus mendengar ijab dan qabul dalam satu majelis dengan lafaz yang jelas. Jika salah satu saksi tidak memahami atau tidak mendengar dengan pasti, maka kesaksian tidak sah.

Ijab dan qabul harus bersambung dalam satu majelis, dengan lafaz yang menunjukkan pemilikan akad; jika terputus oleh diam yang panjang atau perpindahan majelis, diulang.

Jika wali yang lebih jauh menikahkan padahal ada wali yang lebih dekat dan hadir serta tidak mengizinkan, maka akad tidak sah. Jika wali dekat mengizinkan atau mewakilkan, maka sah.

Jika wali mujbir (ayah atau kakek) menikahkan anak perempuan kecilnya dengan sekufu’ dan mahar yang ma‘rūf, akadnya sah. Jika ia menikahkan dengan selain sekufu’ atau mahar yang merendahkan, maka anak berhak menuntut ketika balig.

Jika perempuan telah balig dan berakal, tidak boleh dinikahkan tanpa izinnya yang jelas. Diamnya dianggap izin bila ditanya dan ia malu menjawab, selama tidak ada penolakan yang nyata.

Jika perempuan melarang wali tertentu menikahkannya karena permusuhan atau kezalimannya, dan hal itu nyata, maka hakim memindahkan perwalian kepada wali berikutnya atau kepada dirinya sebagai wali hakim.

Jika seorang perempuan tidak memiliki wali nasab dan tidak ada sultan di tempatnya, maka seorang muslim yang adil dapat menikahkannya dengan izin dan penetapan hakim setempat bila memungkinkan; jika tidak, maka menunggu hingga ada wali hakim.

Jika wali dan perempuan berselisih tentang sekufu’nya calon suami, hakim menilai berdasarkan agama, akhlak, dan kemampuan nafkah. Jika calon suami tidak sekufu’ dan menimbulkan aib, wali boleh menolak.

Jika wali menahan tanpa alasan syar‘i padahal ada sekufu’ yang meminang dengan mahar mitsl, maka hakim boleh menikahkan dan menggugurkan hak wali yang menahan.

Jika suami menikahkan dirinya dengan perempuan tanpa wali dan saksi, lalu keduanya mengakui setelahnya, akad tetap tidak sah; jika telah terjadi jima‘ karena tidak tahu, wajib mahar mitsl dan dipisahkan.

Mahar adalah hak perempuan; tidak boleh wali mengambilnya tanpa izinnya. Jika wali mengambilnya, ia wajib mengembalikan; jika telah habis, ia menanggung penggantinya.

Jika mahar ditetapkan dan sebagian dibayar, lalu akad batal sebelum jima‘, maka dikembalikan yang telah diterima kecuali bila ada kerugian yang disebabkan pihak perempuan tanpa uzur.

Jika mahar berupa manfaat, seperti mengajar Al-Qur’an dengan surah tertentu, maka manfaat harus jelas dan diketahui; jika majhul, maka setelah jima‘ wajib mahar mitsl.

Jika suami menunda mahar yang telah jatuh tempo tanpa uzur, perempuan berhak menahan dirinya hingga menerima; jika suami fakir, ditetapkan tempo yang patut atau diupayakan takhfīf dengan ridanya.

Jika mahar dihapus oleh istri setelah jima‘, maka ia menjadi pemberian yang sah. Jika dihapus sebelum jima‘ dalam talak sebelum dukhūl, maka haknya tinggal setengah yang disepakati, kecuali ia relakan seluruhnya.

Jika pernikahan dilakukan pada masa ‘iddah, akad batal; jika tidak tahu dan telah terjadi jima‘, wajib mahar mitsl dan dipisahkan. Jika tahu, maka berdosa dan tidak ada mahar.

Jika suami mengklaim telah membayar mahar dan istri mengingkari, maka beban bukti di atas suami; jika tidak ada bukti, ia bersumpah. Jika istri mengakui penerimaan sebagian, sisanya tetap menjadi tanggungan suami.

Jika wali menerima mahar untuk anak kecil dan menyimpannya, maka ia amanah; jika ia menyia-nyiakannya, ia menanggung. Saat anak balig, mahar diserahkan kepadanya.

Jika terjadi sengketa tentang mahar yang disebut dalam akad, kembali kepada dokumen atau saksi. Jika tidak ada, maka setelah jima‘ ditetapkan mahar mitsl.

Jika suami meminang di atas pinangan saudaranya setelah terjadi khitbah maqbūlah (telah diterima) dan keduanya condong, maka dilarang sampai pinangan pertama batal atau dilepas.

Tidak boleh meminang perempuan yang masih dalam ‘iddah raj‘i secara terang-terangan atau sindiran. Boleh meminang sindiran terhadap yang dalam ‘iddah wafat, tidak terhadap yang dalam ‘iddah talak.

Jika seorang laki-laki menikahi perempuan dengan niat menyembunyikan cacat yang berat pada dirinya, lalu ketahuan setelah akad, pihak perempuan memiliki khiyār untuk memfasakh bila mudarat nyata.

Jika suami tidak mampu menafkahi dan tidak ada harapan dekat, sementara istri menuntut, hakim memfasakh; jika ada harta yang bisa diambil, hakim memerintahkan nafkah dan menunda fasakh.

Jika pernikahan dilakukan dengan maskawin yang haram seperti khamar, maka akad sah dan mahar batal; setelah jima‘, wajib mahar mitsl; jika belum jima‘ dan ditalak, tidak ada mahar kecuali mut‘ah.

Jika wali menikahkan dengan mahar yang sangat rendah yang merendahkan martabat tanpa ridha perempuan, maka ia berhak menuntut penyempurnaan hingga mahar mitsl.

Jika suami mengaku sekufu’ lalu ternyata tidak, dan hal itu menimbulkan aib dan gangguan, perempuan berhak menuntut fasakh jika wali menilai mudaratnya kuat.

Jika akad dilakukan dalam ihram, tidak sah; jika terjadi jima‘ karena tidak tahu, wajib mahar mitsl dan denda menurut ketentuan, dan dipisahkan hingga tahallul lalu akad baru jika dikehendaki.

Jika saksi terbukti fāsiq setelah akad dan tidak diketahui saat itu, akad tetap tidak sah karena syarat saksi adil; jika telah terjadi jima‘ karena tidak tahu, wajib mahar mitsl.

Jika perempuan dinikahi dalam keadaan pingsan atau tidak sadar tanpa izin, maka akad tidak sah; jika suami menyentuh karena sangka sah, wajib mahar mitsl dan dipisahkan.

Jika wali dan perempuan menunjuk wakil untuk akad, akad sah bila wakil menyebutkan mahar dan menyampaikan ijab-qabul sesuai mandat. Jika wakil melampaui mandat, kembali kepada persetujuan pihak yang mewakilkan.

Jika mahar disyaratkan tangguh hingga waktu tertentu yang diketahui, maka suami wajib menunaikan pada waktunya; jika tidak, istri dapat menahan diri dan menggugat di hadapan hakim.

Jika suami menukar mahar yang telah disepakati dengan harta lain setelah akad dengan ridha istri, maka boleh; jika tanpa ridanya, tidak sah.

Jika terjadi talak sebelum dukhūl dan mahar telah ditetapkan, istri berhak setengahnya; jika belum ditetapkan, ia berhak mut‘ah sesuai kemampuan suami dan kebiasaan.

Jika terjadi fasakh karena cacat dari pihak suami sebelum jima‘, istri berhak setengah mahar yang ditentukan; jika fasakh setelah jima‘, mahar penuh.

Jika terjadi fasakh karena sebab dari pihak istri sebelum jima‘, suami berhak kembali atas mahar yang telah diberikannya; jika setelah jima‘, mahar tetap menjadi hak istri.

Jika suami-istri berselisih tentang apakah jima‘ sudah terjadi, maka sumpah istri didahulukan bila ia mengingkari dan tidak ada bukti; jika suami mengiyakan jima‘, mahar penuh berlaku.

Jika akad digugat batal karena cacat pada lafaz atau syarat rukun, maka dihukumi batal; jika telah terjadi jima‘ karena ketidaktahuan, mahar mitsl wajib dan dipisahkan.

Jika wali yang bukan urutan terdekat menikahkan dengan izin wali terdekat, maka sah. Jika izin tidak terbukti, kembali kepada wali terdekat atau hakim untuk penetapan.

Jika perempuan janda balig menikahkan dirinya tanpa wali dan tanpa hakim, akad tidak sah; jika dengan wali hakim dan saksi, sah.

Jika calon suami menyembunyikan hutang besar yang menimbulkan mudarat nyata, dan perempuan merasa tertipu, maka ia memiliki khiyār bila terbukti penipuan dan mudaratnya nyata.

Jika wali menikahkan tanpa menyebut mahar, akad sah; setelah jima‘, mahar mitsl; jika sebelum jima‘ ditalak, tidak ada mahar kecuali mut‘ah