بَابُ التَّرْغِيبِ فِي الْجِهَادِ

Bab Anjuran untuk Berjihad

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الدَّائِمِ، الَّذِي لَا يَفْتُرُ مِنْ صَلَاةٍ وَلَا صِيَامٍ، حَتَّى يَرْجِعَ

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah adalah seperti orang yang berpuasa dan shalat terus-menerus, yang tidak pernah berhenti dari shalat dan puasa, hingga ia kembali (dari jihad).

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَكَفَّلَ اللَّهُ لِمَنْ جَاهَدَ فِي سَبِيلِهِ، لَا يُخْرِجُهُ مِنْ بَيْتِهِ إِلَّا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ، وَتَصْدِيقُ كَلِمَاتِهِ، أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ. أَوْ يَرُدَّهُ إِلَى مَسْكَنِهِ الَّذِي خَرَجَ مِنْهُ. مَعَ مَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Allah menjamin bagi siapa yang berjihad di jalan-Nya, tidak ada yang mengeluarkannya dari rumahnya kecuali jihad di jalan-Nya dan membenarkan janji-Nya, bahwa Dia akan memasukkannya ke dalam surga, atau mengembalikannya ke tempat tinggalnya yang ia keluar darinya, dengan memperoleh pahala atau ghanīmah (harta rampasan perang).

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” الْخَيْلُ لِرَجُلٍ أَجْرٌ، وَلِرَجُلٍ سِتْرٌ، وَعَلَى رَجُلٍ وِزْرٌ، فَأَمَّا الَّذِي هِيَ لَهُ أَجْرٌ، فَرَجُلٌ رَبَطَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ. فَأَطَالَ لَهَا فِي مَرْجٍ أَوْ رَوْضَةٍ، فَمَا أَصَابَتْ فِي طِيَلِهَا ذَلِكَ مِنَ الْمَرْجِ أَوِ الرَّوْضَةِ، كَانَ لَهُ حَسَنَاتٌ. وَلَوْ أَنَّهَا قُطِعَتْ طِيَلَهَا ذَلِكَ، فَاسْتَنَّتْ شَرَفًا أَوْ شَرَفَيْنِ، كَانَتْ آثَارُهَا وَأَرْوَاثُهَا حَسَنَاتٍ لَهُ. وَلَوْ أَنَّهَا مَرَّتْ بِنَهَرٍ. فَشَرِبَتْ مِنْهُ، وَلَمْ يُرِدْ أَنْ يَسْقِيَ بِهِ، كَانَ ذَلِكَ لَهُ حَسَنَاتٍ. فَهِيَ لَهُ أَجْرٌ. وَرَجُلٌ رَبَطَهَا تَغَنِّيًا وَتَعَفُّفًا، وَلَمْ يَنْسَ حَقَّ اللَّهِ فِي رِقَابِهَا وَلَا فِي ظُهُورِهَا، فَهِيَ لِذَلِكَ سِتْرٌ. وَرَجُلٌ رَبَطَهَا فَخْرًا وَرِيَاءً وَنِوَاءً لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَهِيَ عَلَى ذَلِكَ وِزْرٌ
وَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْحُمُرِ؟ فَقَالَ: “لَمْ يُنْزَلْ عَلَيَّ فِيهَا شَيْءٌ إِلَّا هَذِهِ الْآيَةُ الْجَامِعَةُ الْفَاذَّةُ {فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ} [الزلزلة: 8] “

3 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari Abū Ṣāliḥ as-Sammān, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Kuda, bagi seseorang bisa menjadi pahala, bagi seseorang bisa menjadi pelindung, dan bagi seseorang bisa menjadi dosa. Adapun yang menjadi pahala, yaitu seseorang yang mengikat kudanya di jalan Allah, lalu ia membiarkannya di padang rumput atau taman, maka apa pun yang dimakan kuda itu selama di padang rumput atau taman tersebut, menjadi kebaikan baginya. Jika tali kudanya terputus lalu kuda itu berjalan satu atau dua bukit, maka jejak dan kotorannya menjadi kebaikan baginya. Jika kuda itu melewati sungai lalu minum darinya, padahal ia tidak bermaksud memberi minum, maka itu pun menjadi kebaikan baginya. Maka kuda itu baginya adalah pahala. Dan seseorang yang mengikat kudanya demi menjaga kehormatan diri dan tidak melupakan hak Allah pada leher dan punggungnya, maka kuda itu baginya adalah pelindung. Dan seseorang yang mengikat kudanya untuk berbangga-bangga, pamer, dan memusuhi kaum muslimin, maka kuda itu baginya adalah dosa.”
Dan Rasulullah ﷺ ditanya tentang keledai, beliau bersabda: “Tidak diturunkan kepadaku tentangnya sesuatu pun kecuali ayat yang agung dan menyeluruh ini: {Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya} (QS. az-Zalzalah: 8).”

4 – وحَدَّثَنِي عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ النَّاسِ مَنْزِلًا؟ رَجُلٌ آخِذٌ بِعِنَانِ فَرَسِهِ، يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ النَّاسِ مَنْزِلًا بَعْدَهُ؟ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِي غُنَيْمَتِهِ. يُقِيمُ الصَّلَاةَ وَيُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَيَعْبُدُ اللَّهَ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

4 – Dan telah menceritakan kepadaku dari ‘Abdullāh bin ‘Abdurraḥmān bin Ma‘mar al-Anṣārī, dari ‘Aṭā’ bin Yasār, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang manusia yang paling baik kedudukannya? Yaitu seseorang yang memegang tali kekang kudanya, berjihad di jalan Allah. Maukah kalian aku beritahu tentang manusia yang paling baik kedudukannya setelah itu? Yaitu seseorang yang mengasingkan diri bersama kambing-kambingnya, menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُبَادَةُ بْنُ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْيُسْرِ وَالْعُسْرِ، وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، وَأَنْ نَقُولَ أَوْ نَقُومَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku ‘Ubādah bin al-Walīd bin ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: Kami membaiat Rasulullah ﷺ untuk mendengar dan taat dalam keadaan mudah maupun sulit, dalam keadaan semangat maupun terpaksa, dan agar kami tidak memperebutkan urusan (kepemimpinan) dari ahlinya, serta agar kami berkata atau menegakkan kebenaran di mana pun kami berada, dan tidak takut kepada celaan orang dalam (menegakkan) agama Allah.

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، قَالَ كَتَبَ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، يَذْكُرُ لَهُ جُمُوعًا مِنَ الرُّومِ وَمَا يَتَخَوَّفُ مِنْهُمْ. فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ” أَمَّا بَعْدُ. فَإِنَّهُ مَهْمَا يَنْزِلْ بِعَبْدٍ مُؤْمِنٍ مِنْ مُنْزَلِ شِدَّةٍ، يَجْعَلِ اللَّهُ بَعْدَهُ فَرَجًا. وَإِنَّهُ لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ. وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا، وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [آل عمران: 200] “

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrāh menulis surat kepada ‘Umar bin al-Khattāb, memberitahukan kepadanya tentang pasukan besar dari Romawi dan apa yang ia khawatirkan dari mereka. Maka ‘Umar bin al-Khattāb menulis balasan kepadanya: “Amma ba‘du. Sesungguhnya, apa pun keadaan sulit yang menimpa seorang hamba yang beriman, Allah akan memberikan kelapangan setelahnya. Dan tidaklah satu kesulitan akan mengalahkan dua kemudahan. Dan sesungguhnya Allah Ta‘ālā berfirman dalam Kitab-Nya: {Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah, dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga, serta bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung} (QS. Āli ‘Imrān: 200).”

بَابُ النَّهْيِ عَنْ أَنْ يُسَافَرَ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ

Bab Larangan Membawa al-Qur’an Bepergian ke Negeri Musuh

7 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُسَافَرَ بِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا ذَلِكَ مَخَافَةَ أَنْ يَنَالَهُ الْعَدُوُّ

7 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ melarang membawa al-Qur’an bepergian ke negeri musuh. Mālik berkata: Larangan itu karena dikhawatirkan al-Qur’an akan jatuh ke tangan musuh.

بَابُ النَّهْيِ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ فِي الْغَزْوِ

Bab Larangan Membunuh Perempuan dan Anak-anak dalam Perang

8 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ ابْنٍ لِكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ: عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبٍ، أَنَّهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِينَ قَتَلُوا ابْنَ أَبِي الْحُقَيْقِ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ. قَالَ: فَكَانَ رَجُلٌ مِنْهُمْ يَقُولُ: بَرَّحَتْ بِنَا امْرَأَةُ ابْنِ أَبِي الْحُقَيْقِ بِالصِّيَاحِ. فَأَرْفَعُ السَّيْفَ عَلَيْهَا، ثُمَّ أَذْكُرُ نَهْيَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَكُفُّ. وَلَوْلَا ذَلِكَ اسْتَرَحْنَا مِنْهَا

8 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari seorang anak laki-laki Ka‘b bin Mālik, ia berkata—aku kira ia berkata: ‘Abdurrahmān bin Ka‘b—bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ melarang orang-orang yang membunuh putra Abū al-Huqaiq untuk membunuh perempuan dan anak-anak. Ia berkata: Maka salah seorang dari mereka berkata: Istri Ibnu Abī al-Huqaiq telah membuat kami kesulitan dengan teriakannya. Aku pun mengangkat pedang kepadanya, lalu aku teringat larangan Rasulullah ﷺ, maka aku menahan diri. Kalau bukan karena itu, tentu kami sudah terbebas darinya.

9 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ امْرَأَةً مَقْتُولَةً، فَأَنْكَرَ ذَلِكَ. وَنَهَى عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ

9 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari Ibn ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ melihat seorang perempuan terbunuh dalam salah satu peperangannya, maka beliau mengingkari hal itu dan melarang membunuh perempuan dan anak-anak.

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ بَعَثَ جُيُوشًا إِلَى الشَّامِ. فَخَرَجَ يَمْشِي مَعَ يَزِيدَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ وَكَانَ أَمِيرَ رُبْعٍ مِنْ تِلْكَ الْأَرْبَاعِ. فَزَعَمُوا أَنَّ يَزِيدَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ: إِمَّا أَنْ تَرْكَبَ، وَإِمَّا أَنْ أَنْزِلَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا أَنْتَ بِنَازِلٍ، وَمَا أَنَا بِرَاكِبٍ. إِنِّي أَحْتَسِبُ خُطَايَ هَذِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. ثُمَّ قَالَ لَهُ: إِنَّكَ سَتَجِدُ قَوْمًا زَعَمُوا أَنَّهُمْ حَبَّسُوا أَنْفُسَهُمْ لِلَّهِ. فَذَرْهُمْ وَمَا زَعَمُوا أَنَّهُمْ حَبَّسُوا أَنْفُسَهُمْ لَهُ. وَسَتَجِدُ قَوْمًا فَحَصُوا عَنْ أَوْسَاطِ رُءُوسِهِمْ مِنَ الشَّعَرِ. فَاضْرِبْ مَا فَحَصُوا عَنْهُ بِالسَّيْفِ. وَإِنِّي مُوصِيكَ بِعَشْرٍ: لَا تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً، وَلَا صَبِيًّا، وَلَا كَبِيرًا هَرِمًا، وَلَا تَقْطَعَنَّ شَجَرًا مُثْمِرًا، وَلَا تُخَرِّبَنَّ عَامِرًا، وَلَا تَعْقِرَنَّ شَاةً، وَلَا بَعِيرًا، إِلَّا لِمَأْكَلَةٍ. وَلَا تَحْرِقَنَّ نَحْلًا، وَلَا تُغَرِّقَنَّهُ، وَلَا تَغْلُلْ وَلَا تَجْبُنْ

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa Abū Bakr as-Siddīq mengirim pasukan ke Syam. Ia berjalan bersama Yazīd bin Abī Sufyān, yang merupakan pemimpin seperempat dari pasukan tersebut. Mereka berkata bahwa Yazīd berkata kepada Abū Bakr: “Silakan engkau naik (kendaraan), atau aku yang turun.” Abū Bakr berkata: “Engkau tidak perlu turun, dan aku pun tidak akan naik. Aku mengharap pahala dari langkah-langkahku ini di jalan Allah.” Kemudian ia berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau akan mendapati suatu kaum yang mengaku telah mengkhususkan diri untuk Allah, maka biarkanlah mereka dan apa yang mereka klaim telah mereka lakukan untuk Allah. Dan engkau akan mendapati suatu kaum yang mencukur rambut di tengah kepala mereka, maka penggallah dengan pedang apa yang mereka cukur itu. Aku berwasiat kepadamu dengan sepuluh hal: Jangan sekali-kali membunuh perempuan, anak kecil, orang tua yang renta; jangan menebang pohon yang berbuah; jangan merusak bangunan yang makmur; jangan menyembelih kambing atau unta kecuali untuk dimakan; jangan membakar atau menenggelamkan lebah; jangan berkhianat dan jangan pengecut.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَتَبَ إِلَى عَامِلٍ مِنْ عُمَّالِهِ أَنَّهُ بَلَغَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا بَعَثَ سَرِيَّةً يَقُولُ لَهُمُ: اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ. فِي سَبِيلِ اللَّهِ. تُقَاتِلُونَ مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ. لَا تَغُلُّوا، وَلَا تَغْدِرُوا. وَلَا تُمَثِّلُوا، وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَقُلْ ذَلِكَ لِجُيُوشِكَ وَسَرَايَاكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكَ

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya, ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz menulis surat kepada salah satu pejabatnya: “Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ, apabila mengirim satu pasukan kecil, beliau berkata kepada mereka: ‘Berperanglah dengan nama Allah, di jalan Allah, kalian memerangi orang-orang yang kafir kepada Allah. Jangan berkhianat, jangan berbuat curang, jangan melakukan mutilasi, dan jangan membunuh anak kecil.’ Sampaikanlah hal itu kepada pasukan dan kelompok-kelompok kecilmu, insya Allah. Wassalāmu ‘alaik.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْوَفَاءِ بِالْأَمَانِ

Bab Tentang Menepati Janji Keamanan

12 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى عَامِلِ جَيْشٍ، كَانَ بَعَثَهُ: ” إِنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ رِجَالًا مِنْكُمْ يَطْلُبُونَ الْعِلْجَ. حَتَّى إِذَا أَسْنَدَ فِي الْجَبَلِ وَامْتَنَعَ. قَالَ رَجُلٌ: مَطْرَسْ (يَقُولُ: لَا تَخَفْ) فَإِذَا أَدْرَكَهُ قَتَلَهُ. وَإِنِّي. وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا أَعْلَمُ مَكَانَ وَاحِدٍ فَعَلَ ذَلِكَ، إِلَّا ضَرَبْتُ عُنُقَهُ ” قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: لَيْسَ هَذَا الْحَدِيثُ بِالْمُجْتَمَعِ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ الْعَمَلُ وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الْإِشَارَةِ بِالْأَمَانِ، أَهِيَ بِمَنْزِلَةِ الْكَلَامِ؟ فَقَالَ: ” نَعَمْ. وَإِنِّي أَرَى أَنْ يُتَقَدَّمَ إِلَى الْجُيُوشِ: أَنْ لَا تَقْتُلُوا أَحَدًا أَشَارُوا إِلَيْهِ بِالْأَمَانِ. لِأَنَّ الْإِشَارَةَ عِنْدِي بِمَنْزِلَةِ الْكَلَامِ “

12 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari seorang laki-laki dari penduduk Kufah, bahwa Umar bin al-Khattab menulis surat kepada seorang komandan pasukan yang ia utus: “Sesungguhnya telah sampai kepadaku kabar bahwa ada beberapa orang di antara kalian yang mengejar al-‘ilj (musuh non-Muslim). Hingga ketika ia sudah naik ke gunung dan berlindung, lalu seseorang berkata: ‘Matras’ (yang maksudnya: jangan takut), maka ketika ia berhasil menangkapnya, ia membunuhnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika aku mengetahui ada satu tempat saja yang melakukan hal itu, pasti aku akan memenggal leher pelakunya.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Hadis ini bukanlah hadis yang disepakati (ijmā‘), dan tidak diamalkan menurut fiqh. Malik pernah ditanya tentang isyarat yang menunjukkan jaminan keamanan, apakah kedudukannya sama dengan ucapan? Ia menjawab: ‘Ya. Menurutku, hendaknya disampaikan kepada pasukan agar tidak membunuh siapa pun yang telah diberi isyarat jaminan keamanan, karena menurutku isyarat itu sama kedudukannya dengan ucapan.'”

وَإِنَّهُ بَلَغَنِي. أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ قَالَ: مَا خَتَرَ قَوْمٌ بِالْعَهْدِ، إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْعَدُوَّ

Dan sungguh telah sampai kepadaku bahwa Abdullah bin Abbas berkata: “Tidaklah suatu kaum berkhianat terhadap perjanjian, kecuali Allah akan menimpakan musuh atas mereka.”

بَابُ الْعَمَلِ فِيمَنْ أَعْطَى شَيْئًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Bab: Amal Perbuatan Bagi Orang yang Memberikan Sesuatu di Jalan Allah

13 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا أَعْطَى شَيْئًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، يَقُولُ لِصَاحِبِهِ: إِذَا بَلَغْتَ وَادِيَ الْقُرَى فَشَأْنَكَ بِهِ

13 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, bahwa apabila ia memberikan sesuatu di jalan Allah, ia berkata kepada penerimanya: “Jika engkau telah sampai di Wadi al-Qura, maka itu menjadi urusanmu.”

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ كَانَ يَقُولُ: إِذَا أُعْطِيَ الرَّجُلُ الشَّيْءَ فِي الْغَزْوِ، فَيَبْلُغُ بِهِ رَأْسَ مَغْزَاتِهِ، فَهُوَ لَهُ وَسُئِلَ مالكٌ عَنْ رَجُلٍ أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ الْغَزْوَ فَتَجَهَّزَ. حَتَّى إِذَا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ مَنَعَهُ أَبَوَاهُ، أَوْ أَحَدُهُمَا. فَقَالَ: لَا يُكَابِرْهُمَا. وَلَكِنْ يُؤَخِّرُ ذَلِكَ إِلَى عَامٍ آخَرَ. فَأَمَّا الْجِهَازُ، فَإِنِّي أَرَى أَنْ يَرْفَعَهُ، حَتَّى يَخْرُجَ بِهِ. فَإِنْ خَشِيَ أَنْ يَفْسُدَ، بَاعَهُ وَأَمْسَكَ ثَمَنَهُ، حَتَّى يَشْتَرِيَ بِهِ مَا يُصْلِحُهُ لِلْغَزْوِ. فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا يَجِدُ مِثْلَ جَهَازِهِ إِذَا خَرَجَ. فَلْيَصْنَعْ بِجَهَازِهِ مَا شَاءَ

14 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa Sa‘id bin al-Musayyib biasa berkata: “Jika seseorang diberi sesuatu untuk keperluan perang (ghazw), lalu ia telah sampai di tujuan perangnya, maka itu menjadi miliknya.” Malik pernah ditanya tentang seseorang yang mewajibkan dirinya untuk berperang (ghazw), lalu ia telah mempersiapkan perlengkapan, namun ketika hendak berangkat, ia dicegah oleh kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya. Malik menjawab: “Janganlah ia memaksa mereka, tetapi hendaknya ia menunda keberangkatan itu sampai tahun berikutnya. Adapun perlengkapan perang, menurutku hendaknya ia simpan sampai ia benar-benar berangkat. Jika ia khawatir perlengkapannya akan rusak, maka hendaknya ia jual dan simpan uangnya, lalu nanti ia gunakan untuk membeli perlengkapan yang sesuai untuk perang. Jika ia orang yang mampu dan dapat memperoleh perlengkapan serupa ketika berangkat, maka ia boleh memperlakukan perlengkapannya itu sesuai keinginannya.”

بَابُ جَامِعِ النَّفْلِ فِي الْغَزْوِ

Bab: Kompilasi tentang Nafl (pemberian tambahan) dalam Perang

15 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ سَرِيَّةً فِيهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قِبَلَ نَجْدٍ. فَغَنِمُوا إِبِلًا كَثِيرَةً. فَكَانَ سُهْمَانُهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ بَعِيرًا. أَوْ أَحَدَ عَشَرَ بَعِيرًا. وَنُفِّلُوا بَعِيرًا بَعِيرًا

15 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutus satu pasukan yang di dalamnya terdapat Abdullah bin Umar ke arah Najd. Mereka memperoleh banyak unta sebagai ghanīmah. Maka bagian mereka masing-masing adalah dua belas ekor unta, atau sebelas ekor unta, dan mereka juga diberi tambahan satu ekor unta satu ekor unta (setiap orang mendapat tambahan satu ekor unta).

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: كَانَ النَّاسُ فِي الْغَزْوِ، إِذَا اقْتَسَمُوا غَنَائِمَهُمْ، يَعْدِلُونَ الْبَعِيرَ بِعَشْرِ شِيَاهٍ قَالَ مَالِكٌ فِي الْأَجِيرِ فِي الْغَزْوِ: إِنَّهُ إِنْ كَانَ شَهِدَ الْقِتَالَ، وَكَانَ مَعَ النَّاسِ عِنْدَ الْقِتَالِ، وَكَانَ حُرًّا، فَلَهُ سَهْمُهُ. وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ، فَلَا سَهْمَ لَهُ. وَأَرَى أَنْ لَا يُقْسَمَ إِلَّا لِمَنْ شَهِدَ الْقِتَالَ مِنَ الْأَحْرَارِ

16 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia mendengar Sa‘id bin al-Musayyib berkata: “Dahulu orang-orang dalam peperangan, apabila membagi ghanīmah mereka, mereka menyamakan seekor unta dengan sepuluh ekor kambing.” Malik berkata tentang pekerja upahan (ajīr) dalam peperangan: “Jika ia ikut serta dalam pertempuran, bersama orang-orang ketika pertempuran, dan ia adalah orang merdeka, maka ia mendapat bagian. Jika tidak demikian, maka ia tidak mendapat bagian. Menurutku, bagian ghanīmah hanya diberikan kepada orang-orang merdeka yang ikut serta dalam pertempuran.”

بَابُ مَا لَا يَجِبُ فِيهِ الْخُمُسُ
قَالَ مَالِكٌ: فِيمَنْ وُجِدَ مِنَ الْعَدُوِّ عَلَى سَاحِلِ الْبَحْرِ بِأَرْضِ الْمُسْلِمِينَ، فَزَعَمُوا أَنَّهُمْ تُجَّارٌ وَأَنَّ الْبَحْرَ لَفِظَهُمْ. وَلَا يَعْرِفُ الْمُسْلِمُونَ تَصْدِيقَ ذَلِكَ إِلَّا أَنَّ مَرَاكِبَهُمْ تَكَسَّرَتْ، أَوْ عَطِشُوا فَنَزَلُوا بِغَيْرِ إِذْنِ الْمُسْلِمِينَ: أَرَى أَنَّ ذَلِكَ لِلْإِمَامِ. يَرَى فِيهِمْ رَأْيَهُ. وَلَا أَرَى لِمَنْ أَخَذَهُمْ فِيهِمْ خُمُسًا

بَابُ
مَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِينَ أَكْلُهُ قَبْلَ الْخُمُسِ
قَالَ مَالِكٍ: لَا أَرَى بَأْسًا أَنْ يَأْكُلَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا دَخَلُوا أَرْضَ الْعَدُوِّ مِنْ طَعَامِهِمْ، مَا وَجَدُوا مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ فِي الْمَقَاسِمِ

Bab: Harta yang Tidak Wajib Dikenakan Khumus
Malik berkata: Mengenai orang-orang yang ditemukan dari kalangan musuh di tepi laut di wilayah kaum Muslimin, lalu mereka mengaku sebagai pedagang dan bahwa laut telah menghanyutkan mereka, dan kaum Muslimin tidak mengetahui kebenaran hal itu kecuali kapal mereka memang benar-benar rusak, atau mereka kehausan lalu turun tanpa izin kaum Muslimin, menurutku itu menjadi hak imam, dan imam berhak memutuskan perkara mereka menurut pertimbangannya. Aku tidak berpendapat bahwa orang yang menangkap mereka berhak atas khumus dari mereka.

Bab: Apa yang Boleh Dimakan oleh Kaum Muslimin Sebelum Khumus
Malik berkata: Aku tidak melihat adanya masalah jika kaum Muslimin, ketika memasuki wilayah musuh, memakan makanan mereka, selama mereka mendapatkannya, sebelum harta itu dibagikan dalam pembagian ghanīmah.

قَالَ مَالِكٍ: وَأَنَا أَرَى الْإِبِلَ وَالْبَقَرَ وَالْغَنَمَ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ. يَأْكُلُ مِنْهُ الْمُسْلِمُونَ إِذَا دَخَلُوا أَرْضَ الْعَدُوِّ. كَمَا يَأْكُلُونَ مِنَ الطَّعَامِ. وَلَوْ أَنَّ ذَلِكَ لَا يُؤْكَلُ حَتَّى يَحْضُرَ النَّاسُ  الْمَقَاسِمَ، وَيُقْسَمَ بَيْنَهُمْ، أَضَرَّ ذَلِكَ بِالْجُيُوشِ. فَلَا أَرَى بَأْسًا بِمَا أُكِلَ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ، عَلَى وَجْهِ الْمَعْرُوفِ. وَلَا أَرَى أَنْ يَدَّخِرَ أَحَدٌ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا يَرْجِعُ بِهِ إِلَى أَهْلِهِ وَسُئِلَ مالكٌ عَنِ الرَّجُلِ يُصِيبُ الطَّعَامَ فِي أَرْضِ الْعَدُوِّ، فَيَأْكُلُ مِنْهُ وَيَتَزَوَّدُ، فَيَفْضُلُ مِنْهُ شَيْءٌ، أَيَصْلُحُ لَهُ أَنْ يَحْبِسَهُ فَيَأْكُلَهُ فِي أَهْلِهِ، أَوْ يَبِيعَهُ قَبْلَ أَنْ يَقْدَمَ بِلَادَهُ فَيَنْتَفِعَ بِثَمَنهِ؟

Malik berkata: “Menurut pendapatku, unta, sapi, dan kambing itu kedudukannya seperti makanan. Kaum muslimin boleh memakannya jika mereka memasuki wilayah musuh, sebagaimana mereka memakan makanan. Seandainya hewan-hewan itu tidak boleh dimakan sampai orang-orang berkumpul di tempat pembagian dan dibagi di antara mereka, maka hal itu akan menyulitkan pasukan. Maka aku tidak melihat adanya masalah terhadap apa yang dimakan dari semua itu, selama dilakukan secara wajar. Namun aku tidak berpendapat bahwa seseorang boleh menyimpan sebagian dari itu untuk dibawa pulang kepada keluarganya.” Malik pernah ditanya tentang seseorang yang mendapatkan makanan di wilayah musuh, lalu ia memakannya dan membawanya sebagai bekal, kemudian tersisa sebagian, apakah boleh ia menyimpannya lalu memakannya bersama keluarganya, atau menjualnya sebelum sampai ke negerinya lalu mengambil manfaat dari hasil penjualannya?

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ بَاعَهُ وَهُوَ فِي الْغَزْوِ، فَإِنِّي أَرَى أَنْ يَجْعَلَ ثَمَنَهُ فِي غَنَائِمِ الْمُسْلِمِينَ. وَإِنْ بَلَغَ بِهِ بَلَدَهُ، فَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ يَأْكُلَهُ وَيَنْتَفِعَ بِهِ، إِذَا كَانَ يَسِيرًا تَافِهًا

Malik berkata: “Jika ia menjualnya saat masih dalam peperangan, maka menurutku hasil penjualannya harus dimasukkan ke dalam harta rampasan kaum muslimin. Namun jika ia membawanya hingga sampai ke negerinya, maka aku tidak melihat masalah jika ia memakannya dan memanfaatkannya, selama jumlahnya sedikit dan tidak berarti.”

بَابُ مَا يُرَدُّ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ الْقَسْمُ مِمَّا أَصَابَ الْعَدُو

Bab tentang barang yang dikembalikan sebelum terjadi pembagian dari apa yang diperoleh dari musuh.

17 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَبْدًا لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَبَقَ. وَأَنَّ فَرَسًا لَهُ عَارَ. فَأَصَابَهُمَا الْمُشْرِكُونَ. ثُمَّ غَنِمَهُمَا الْمُسْلِمُونَ فَرُدَّا عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ. وَذَلِكَ قَبْلَ أَنْ تُصِيبَهُمَا الْمَقَاسِمُ قَالَ وسَمِعْتُ مَالكا يَقُولُ: فِيمَا يُصِيبُ الْعَدُوُّ مِنْ أَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ: إِنَّهُ إِنْ أُدْرِكَ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ فِيهِ الْمَقَاسِمُ، فَهُوَ رَدٌّ عَلَى أَهْلِهِ. وَأَمَّا مَا وَقَعَتْ فِيهِ الْمَقَاسِمُ فَلَا يُرَدُّ عَلَى أَحَدٍ وَسُئِلَ مَالِكٍ عَنْ رَجُلٍ حَازَ الْمُشْرِكُونَ غُلَامَهُ، ثُمَّ غَنِمَهُ الْمُسْلِمُونَ.

  1. Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa sampai kepadanya berita bahwa seorang budak milik Abdullah bin Umar melarikan diri, dan seekor kudanya juga hilang, lalu keduanya didapatkan oleh kaum musyrikin. Kemudian kaum muslimin berhasil merebut keduanya sebagai ghanīmah, lalu keduanya dikembalikan kepada Abdullah bin Umar, dan itu terjadi sebelum keduanya masuk ke tempat pembagian. Malik berkata, “Aku mendengar Malik berkata tentang harta kaum muslimin yang didapatkan musuh: Jika didapatkan kembali sebelum masuk ke tempat pembagian, maka itu dikembalikan kepada pemiliknya. Adapun jika sudah masuk ke tempat pembagian, maka tidak dikembalikan kepada siapa pun.” Malik juga pernah ditanya tentang seorang lelaki yang budaknya diambil oleh kaum musyrikin, lalu kaum muslimin berhasil merebutnya kembali.

قَالَ مَالِكٌ: صَاحِبُهُ أَوْلَى بِهِ بِغَيْرِ ثَمَنٍ، وَلَا قِيمَةٍ، وَلَا غُرْمٍ، مَا لَمْ تُصِبْهُ الْمَقَاسِمُ، فَإِنْ وَقَعَتْ فِيهِ الْمَقَاسِمُ، فَإِنِّي أَرَى أَنْ يَكُونَ الْغُلَامُ لِسَيِّدِهِ بِالثَّمَنِ، إِنْ شَاءَ

Malik berkata: “Pemiliknya lebih berhak atas budaknya tanpa harus membayar harga, nilai, atau ganti rugi, selama belum masuk ke tempat pembagian. Namun jika sudah masuk ke tempat pembagian, maka menurutku budak itu menjadi milik tuannya dengan membayar harga, jika ia menghendaki.”

قَالَ مَالِكٌ فِي أُمِّ وَلَدِ رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، حَازَهَا الْمُشْرِكُونَ، ثُمَّ غَنِمَهَا الْمُسْلِمُونَ. فَقُسِمَتْ فِي الْمَقَاسِمِ، ثُمَّ عَرَفَهَا سَيِّدُهَا بَعْدَ الْقَسْمِ: إِنَّهَا لَا تُسْتَرَقُّ. وَأَرَى أَنْ يَفْتَدِيَهَا الْإِمَامُ لِسَيِّدِهَا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَعَلَى سَيِّدِهَا أَنْ يَفْتَدِيَهَا وَلَا يَدَعُهَا. وَلَا أَرَى لِلَّذِي صَارَتْ لَهُ أَنْ يَسْتَرِقَّهَا وَلَا يَسْتَحِلَّ فَرْجَهَا. وَإِنَّمَا هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْحُرَّةِ. لِأَنَّ سَيِّدَهَا يُكَلَّفُ أَنْ يَفْتَدِيَهَا، إِذَا جَرَحَتْ. فَهَذَا بِمَنْزِلَةِ ذَلِكَ. فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُسَلِّمَ أُمَّ وَلَدِهِ تُسْتَرَقُّ وَيُسْتَحَلُّ فَرْجُهَا وَسُئِلَ مالكٌ عَنِ الرَّجُلِ يَخْرُجُ إِلَى أَرْضِ الْعَدُوِّ فِي الْمُفَادَاةِ، أَوْ فِي التِّجَارَةِ، فَيَشْتَرِيَ الْحُرَّ أَوِ الْعَبْدَ، أَوْ يُوهَبَانِ لَهُ. فَقَالَ: أَمَّا الْحُرُّ، فَإِنَّ مَا اشْتَرَاهُ بِهِ، دَيْنٌ عَلَيْهِ. وَلَا يُسْتَرَقُّ. وَإِنْ كَانَ وُهِبَ لَهُ، فَهُوَ حُرٌّ. وَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ أَعْطَى فِيهِ شَيْئًا مُكَافَأَةً فَهُوَ دَيْنٌ عَلَى الْحُرِّ. بِمَنْزِلَةِ مَا اشْتُرِيَ بِهِ. وَأَمَّا الْعَبْدُ فَإِنَّ سَيِّدَهُ الْأَوَّلَ مُخَيَّرٌ فِيهِ. إِنْ شَاءَ أَنْ يَأْخُذَهُ، وَيَدْفَعَ إِلَى الَّذِي اشْتَرَاهُ ثَمَنَهُ، فَذَلِكَ لَهُ. وَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يُسْلِمَهُ أَسْلَمَهُ. وَإِنْ كَانَ وُهِبَ لَهُ فَسَيِّدُهُ الْأَوَّلُ أَحَقُّ بِهِ، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ أَعْطَى فِيهِ شَيْئًا مُكَافَأَةً، فَيَكُونُ مَا أَعْطَى فِيهِ غُرْمًا عَلَى سَيِّدِهِ إِنْ أَحَبَّ أَنْ يَفْتَدِيَهُ

Malik berkata tentang umm walad milik seorang muslim yang ditawan oleh kaum musyrikin, lalu direbut kembali oleh kaum muslimin, kemudian dibagi dalam pembagian, lalu tuannya mengenalinya setelah pembagian: “Ia tidak boleh diperbudak. Aku berpendapat imam harus menebusnya untuk tuannya. Jika imam tidak melakukannya, maka tuannya wajib menebusnya dan tidak boleh membiarkannya. Aku tidak berpendapat orang yang mendapatkannya boleh memperbudaknya atau menghalalkan kemaluannya. Ia kedudukannya seperti wanita merdeka, karena tuannya wajib menebusnya jika ia terluka. Maka ini juga demikian. Tidak boleh seseorang menyerahkan umm walad-nya untuk diperbudak dan dihalalkan kemaluannya.” Malik juga pernah ditanya tentang seseorang yang pergi ke wilayah musuh untuk melakukan pertukaran tawanan atau berdagang, lalu ia membeli orang merdeka atau budak, atau keduanya dihadiahkan kepadanya. Ia berkata: “Adapun orang merdeka, maka apa yang ia bayarkan untuk membelinya menjadi utang atasnya, dan ia tidak boleh diperbudak. Jika dihadiahkan kepadanya, maka ia tetap merdeka dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya, kecuali jika orang itu memberikan sesuatu sebagai imbalan, maka itu menjadi utang atas orang merdeka, sebagaimana apa yang dibayarkan untuk membelinya. Adapun budak, maka tuan pertamanya diberi pilihan: jika ia ingin mengambilnya dan membayar harga kepada orang yang membelinya, maka itu haknya. Jika ia ingin menyerahkannya, maka ia boleh menyerahkannya. Jika budak itu dihadiahkan kepadanya, maka tuan pertamanya lebih berhak atasnya dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya, kecuali jika orang itu memberikan sesuatu sebagai imbalan, maka apa yang diberikan itu menjadi tanggungan atas tuannya jika ia ingin menebusnya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي السَّلَبِ فِي النَّفَلِ

Bab tentang apa yang disebutkan mengenai salab dalam nafal.

18 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ كَثِيرِ بْنِ أَفْلَحَ، عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ، مَوْلَى أَبِي قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ بْنِ رِبْعِيٍّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ حُنَيْنٍ. فَلَمَّا الْتَقَيْنَا، كَانَتْ لِلْمُسْلِمِينَ جَوْلَةٌ. قَالَ: فَرَأَيْتُ رَجُلًا مِنَ الْمُشْرِكِينَ قَدْ عَلَا رَجُلًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ. قَالَ: فَاسْتَدَرْتُ لَهُ، حَتَّى أَتَيْتُهُ مِنْ وَرَائِهِ، فَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ عَلَى حَبْلِ عَاتِقِهِ. فَأَقْبَلَ عَلَيَّ فَضَمَّنِي ضَمَّةً، وَجَدْتُ مِنْهَا رِيحَ الْمَوْتِ. ثُمَّ أَدْرَكَهُ الْمَوْتُ. فَأَرْسَلَنِي. قَالَ: فَلَقِيتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ. فَقُلْتُ: مَا بَالُ النَّاسِ؟ فَقَالَ: أَمْرُ اللَّهِ. ثُمَّ إِنَّ النَّاسَ رَجَعُوا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا، لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ، فَلَهُ سَلَبُهُ. قَالَ فَقُمْتُ، ثُمَّ قُلْتُ: مَنْ يَشْهَدُ لِي؟ ثُمَّ جَلَسْتُ. ثُمَّ قَالَ: مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا، لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ، قَالَ: فَقُمْتُ، ثُمَّ قُلْتُ: مَنْ يَشْهَدُ لِي؟ ثُمَّ جَلَسْتُ. ثُمَّ قَالَ ذَلِكَ الثَّالِثَةَ، فَقُمْتُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا لَكَ يَا أَبَا قَتَادَةَ؟ قَالَ: فَاقْتَصَصْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: صَدَقَ. يَا رَسُولَ اللَّهِ. وَسَلَبُ ذَلِكَ الْقَتِيلِ عِنْدِي. فَأَرْضِهِ عَنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: لَا هَاءَ اللَّهِ. إِذًا لَا يَعْمِدُ إِلَى أَسَدٍ مِنْ أُسْدِ اللَّهِ، يُقَاتِلُ عَنِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَيُعْطِيكَ سَلَبَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ. فَأَعْطِهِ إِيَّاهُ، فَأَعْطَانِيهِ فَبِعْتُ الدِّرْعَ. فَاشْتَرَيْتُ بِهِ مَخْرَفًا فِي بَنِي سَلِمَةَ. فَإِنَّهُ لَأَوَّلُ مَالٍ تَأَثَّلْتُهُ فِي الْإِسْلَامِ

18 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari ‘Umar bin Katsir bin Aflah, dari Abu Muhammad, maula (bekas budak) Abu Qatadah, dari Abu Qatadah bin Rib‘i, bahwa ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ pada tahun Hunain. Ketika kami bertemu (dengan musuh), kaum Muslimin mengalami kegoncangan. Ia berkata: Aku melihat seorang laki-laki dari kaum musyrikin sedang mengalahkan seorang laki-laki dari kaum Muslimin. Maka aku berputar mengelilinginya hingga aku datang dari belakangnya, lalu aku menebasnya dengan pedang pada bagian pundaknya. Ia pun berbalik kepadaku dan memelukku dengan erat, hingga aku merasakan bau kematian darinya. Kemudian maut menjemputnya, lalu ia melepaskanku. Aku pun bertemu dengan ‘Umar bin Khattab. Aku bertanya: “Ada apa dengan orang-orang?” Ia menjawab: “Itu adalah urusan Allah.” Kemudian orang-orang kembali (berkumpul). Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa membunuh seorang musuh dan memiliki bukti atasnya, maka baginya harta rampasan (salab) orang yang dibunuh itu.” Maka aku berdiri, lalu berkata: “Siapa yang menjadi saksi untukku?” Kemudian aku duduk. Lalu beliau bersabda lagi: “Barang siapa membunuh seorang musuh dan memiliki bukti atasnya, maka baginya salab-nya.” Aku pun berdiri lagi, lalu berkata: “Siapa yang menjadi saksi untukku?” Kemudian aku duduk. Beliau mengucapkan hal itu untuk ketiga kalinya, maka aku berdiri. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada apa denganmu, wahai Abu Qatadah?” Maka aku menceritakan kisah itu kepadanya. Lalu seorang laki-laki dari kaum itu berkata: “Ia benar, wahai Rasulullah. Dan salab orang yang terbunuh itu ada padaku. Maka ridhakanlah ia, wahai Rasulullah.” Abu Bakar berkata: “Tidak, demi Allah! Tidak pantas seseorang mengambil salab dari singa Allah yang berperang di jalan Allah dan Rasul-Nya, lalu memberikannya kepadamu.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Ia benar. Berikanlah kepadanya.” Maka ia memberikannya kepadaku, lalu aku menjual baju zirah itu dan membeli sebidang kebun di Bani Salimah. Itulah harta pertama yang aku miliki dalam Islam.

19 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَجُلًا يَسْأَلُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ عَنِ الْأَنْفَالِ؟ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: الْفَرَسُ مِنَ النَّفَلِ. وَالسَّلَبُ مِنَ النَّفَلِ. قَالَ: ثُمَّ عَادَ الرَّجُلُ لِمَسْأَلَتِهِ: فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، ذَلِكَ أَيْضًا. ثُمَّ قَالَ الرَّجُلُ: الْأَنْفَالُ الَّتِي قَالَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ مَا هِيَ؟ قَالَ الْقَاسِمُ: فَلَمْ يَزَلْ يَسْأَلُهُ حَتَّى كَادَ أَنْ يُحْرِجَهُ ثُمَّ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَتَدْرُونَ مَا مَثَلُ هَذَا؟ مَثَلُ صَبِيغٍ الَّذِي ضَرَبَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ: وَسُئِلَ مالكٌ عَمَّنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنَ الْعَدُوِّ، أَيَكُونُ لَهُ سَلَبُهُ بِغَيْرِ إِذْنِ الْإِمَامِ؟ قَالَ: ” لَا يَكُونُ ذَلِكَ لِأَحَدٍ بِغَيْرِ إِذْنِ الْإِمَامِ. وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ مِنَ الْإِمَامِ إِلَّا عَلَى وَجْهِ الِاجْتِهَادِ. وَلَمْ يَبْلُغْنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا فَلَهُ سَلَبُهُ إِلَّا يَوْمَ حُنَيْنٍ “

19 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa ia berkata: Aku mendengar seorang laki-laki bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas tentang al-anfāl (harta rampasan perang tambahan). Ibnu ‘Abbas menjawab: “Kuda termasuk bagian dari anfal, dan salab (harta rampasan pribadi) juga termasuk anfal.” Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, dan Ibnu ‘Abbas menjawab: “Itu juga (termasuk anfal).” Lalu laki-laki itu bertanya lagi: “Apa itu anfal yang Allah sebutkan dalam Kitab-Nya?” Al-Qasim berkata: Ia terus-menerus bertanya hingga hampir membuat Ibnu ‘Abbas kesulitan. Lalu Ibnu ‘Abbas berkata: “Tahukah kalian perumpamaan orang ini? Ia seperti Shabigh yang pernah dipukul oleh ‘Umar bin Khattab.” Malik pernah ditanya tentang seseorang yang membunuh musuh, apakah ia berhak atas salab-nya tanpa izin imam? Malik menjawab: “Itu tidak boleh bagi siapa pun tanpa izin imam. Dan imam pun tidak boleh memberikannya kecuali berdasarkan ijtihad. Aku tidak mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ‘Barang siapa membunuh musuh maka baginya salab-nya,’ kecuali pada hari Hunain.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي إِعْطَاءِ النَّفَلِ مِنَ الْخُمُسِ

Bab tentang apa yang datang mengenai pemberian anfal dari seperlima (harta rampasan perang).

20 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يُعْطَوْنَ النَّفَلَ مِنَ الْخُمُسِ

20 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abu az-Zinad, dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa ia berkata: Dahulu orang-orang diberikan anfal dari seperlima (harta rampasan perang).

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي ذَلِكَ وَسُئِلَ مالكٌ عَنِ النَّفَلِ، هَلْ يَكُونُ فِي أَوَّلِ مَغْنَمٍ؟ قَالَ: ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْاجْتِهَادِ مِنَ الْإِمَامِ. وَلَيْسَ عِنْدَنَا فِي ذَلِكَ أَمْرٌ مَعْرُوفٌ مَوْقُوفٌ، إِلَّا اجْتِهَادُ السُّلْطَانِ، وَلَمْ يَبْلُغْنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَفَّلَ فِي مَغَازِيهِ كُلِّهَا. وَقَدْ بَلَغَنِي أَنَّهُ نَفَّلَ فِي بَعْضِهَا يَوْمَ حُنَيْنٍ. وَإِنَّمَا ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْاجْتِهَادِ مِنَ الْإِمَامِ، فِي أَوَّلِ مَغْنَمٍ وَفِيمَا بَعْدَهُ

Malik berkata: “Itulah pendapat terbaik yang sampai kepadaku dalam masalah ini.” Malik juga ditanya tentang an-nafl, apakah itu diberikan pada awal harta rampasan? Ia menjawab: “Itu tergantung pada ijtihad imam. Tidak ada ketentuan yang pasti dan dikenal di sisi kami dalam hal itu, kecuali ijtihad penguasa. Dan tidak sampai kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ memberikan an-nafl dalam seluruh peperangannya. Namun telah sampai kepadaku bahwa beliau memberikannya pada sebagian peperangan, yaitu pada hari Hunain. Maka hal itu hanyalah berdasarkan ijtihad imam, baik pada awal harta rampasan maupun setelahnya.”

بَابُ الْقَسْمِ لِلْخَيْلِ فِي الْغَزْو

Bab Pembagian untuk Kuda dalam Perang

21 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَقُولُ: لِلْفَرَسِ سَهْمَانِ، وَلِلرَّجُلِ سَهْمٌ

21 – Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik, bahwa ia berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa Umar bin Abdul Aziz biasa berkata: ‘Untuk seekor kuda dua bagian, dan untuk seorang laki-laki satu bagian.’”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَمْ أَزَلْ أَسْمَعُ ذَلِكَ وَسُئِلَ مالكٌ، عَنْ رَجُلٍ يَحْضُرُ بِأَفْرَاسٍ كَثِيرَةٍ، فَهَلْ يُقْسَمُ لَهَا كُلِّهَا؟ فَقَالَ: لَمْ أَسْمَعْ بِذَلِكَ. وَلَا أَرَى أَنْ يُقْسَمَ إِلَّا لِفَرَسٍ وَاحِدٍ. الَّذِي يُقَاتِلُ عَلَيْهِ

Malik berkata: “Aku selalu mendengar demikian.” Malik juga ditanya tentang seorang laki-laki yang membawa banyak kuda, apakah semuanya mendapat bagian? Ia menjawab: “Aku tidak pernah mendengar hal itu. Dan aku tidak berpendapat bahwa bagian diberikan kecuali untuk satu ekor kuda saja, yaitu yang digunakan untuk berperang.”

قَالَ مَالِكٌ: ” لَا أَرَى الْبَرَاذِينَ وَالْهُجُنَ إِلَّا مِنَ الْخَيْلِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ {وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ، لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً} [النحل: 8]، وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ {وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ، تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ} [الأنفال: 60]. فَأَنَا أَرَى الْبَرَاذِينَ وَالْهُجُنَ مِنَ الْخَيْلِ إِذَا أَجَازَهَا الْوَالِي “

Malik berkata: “Aku tidak menganggap bardażīn dan al-hujun kecuali termasuk kuda, karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Dan (Dia menciptakan) kuda, bagal, dan keledai untuk kalian tunggangi dan sebagai perhiasan} [an-Nahl: 8], dan Dia berfirman: {Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang, yang dengan itu kalian menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian} [al-Anfal: 60]. Maka aku memandang bardażīn dan al-hujun termasuk kuda jika diizinkan oleh penguasa.”

وَقَدْ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ. وَسُئِلَ عَنِ الْبَرَاذِينَ هَلْ فِيهَا مِنْ صَدَقَةٍ؟ فَقَالَ: وَهَلْ فِي الْخَيْلِ مِنْ صَدَقَةٍ؟

Dan telah berkata Sa‘id bin al-Musayyib, ketika ditanya tentang bardażīn, apakah ada zakat padanya? Ia menjawab: “Apakah pada kuda ada zakat?”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْغُلُولِ

Bab Tentang Apa yang Datang Mengenai al-Ghulul (Penggelapan Harta Rampasan)

22 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ صَدَرَ مِنْ حُنَيْنٍ، وَهُوَ يُرِيدُ الْجِعِرَّانَةَ، سَأَلَهُ النَّاسُ، حَتَّى دَنَتْ بِهِ نَاقَتُهُ مِنْ شَجَرَةٍ، فَتَشَبَّكَتْ بِرِدَائِهِ حَتَّى نَزَعَتْهُ عَنْ ظَهْرِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رُدُّوا عَلَيَّ رِدَائِي. أَتَخَافُونَ أَنْ لَا أَقْسِمَ بَيْنَكُمْ مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ. لَوْ أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ مِثْلَ سَمُرِ تِهَامَةَ نَعَمًا، لَقَسَمْتُهُ بَيْنَكُمْ. ثُمَّ لَا تَجِدُونِي بَخِيلًا، وَلَا جَبَانًا، وَلَا كَذَّابًا، فَلَمَّا نَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِي النَّاسِ، فَقَالَ: أَدُّوا الْخِيَاطَ وَالْمِخْيَطَ، فَإِنَّ الْغُلُولَ عَارٌ، وَنَارٌ، وَشَنَارٌ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ: ثُمَّ تَنَاوَلَ مِنَ الْأَرْضِ وَبَرَةً مِنْ بَعِيرٍ، أَوْ شَيْئًا، ثُمَّ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا لِي مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ. وَلَا مِثْلُ هَذِهِ، إِلَّا الْخُمُسُ وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ عَلَيْكُمْ

22 – Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari ‘Abd Rabbihi bin Sa‘id, dari ‘Amr bin Syu‘aib, bahwa Rasulullah ﷺ ketika kembali dari Hunain dan hendak menuju Ji‘irranah, orang-orang meminta kepadanya hingga untanya mendekat ke sebuah pohon, lalu kain selendangnya tersangkut hingga terlepas dari punggungnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Kembalikanlah selendangku kepadaku. Apakah kalian takut aku tidak membagi kepada kalian apa yang Allah limpahkan kepada kalian? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Allah melimpahkan kepada kalian harta sebanyak pohon-pohon berduri di Tihamah, niscaya aku akan membaginya kepada kalian. Kemudian kalian tidak akan mendapati aku sebagai orang yang kikir, penakut, atau pendusta.” Ketika Rasulullah ﷺ turun, beliau berdiri di tengah-tengah manusia dan bersabda: “Kembalikanlah benang dan jarum, karena al-ghulul adalah aib, api, dan kehinaan bagi pelakunya pada hari kiamat.” Kemudian beliau mengambil dari tanah sehelai bulu unta atau sesuatu, lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada bagian untukku dari apa yang Allah limpahkan kepada kalian, bahkan tidak sebesar ini, kecuali seperlima, dan seperlima itu pun dikembalikan kepada kalian.”

23 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، أَنَّ زَيْدَ بْنَ خَالِدٍ الْجُهَنِيَّ قَالَ: تُوُفِّيَ رَجُلٌ يَوْمَ حُنَيْنٍ، وَإِنَّهُمْ ذَكَرُوهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَزَعَمَ زَيْدٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ النَّاسِ لِذَلِكَ. فَزَعَمَ زَيْدٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ صَاحِبَكُمْ قَدْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَالَ: فَفَتَحْنَا مَتَاعَهُ، فَوَجَدْنَا خَرَزَاتٍ مِنْ خَرَزِ يَهُودَ، مَا تُسَاوِينَ دِرْهَمَيْنِ

23 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, bahwa Zaid bin Khalid al-Juhani berkata: “Seorang laki-laki wafat pada hari Hunain, lalu mereka menyebutkannya kepada Rasulullah ﷺ. Zaid mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Salatkanlah jenazah sahabat kalian.’ Maka wajah orang-orang pun berubah karena hal itu. Zaid mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya sahabat kalian telah melakukan ghulul di jalan Allah.’ Maka kami membuka barang bawaannya, lalu kami dapati beberapa manik-manik milik Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham.”

24 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ الْكِنَانِيِّ، أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى النَّاسَ فِي قَبَائِلِهِمْ يَدْعُو لَهُمْ. وَأَنَّهُ تَرَكَ قَبِيلَةً مِنَ الْقَبَائِلِ. قَالَ، وَإِنَّ الْقَبِيلَةَ وَجَدُوا فِي بَرْدَعَةِ رَجُلٍ مِنْهُمْ عِقْدَ جَزْعٍ غُلُولًا. فَأَتَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَكَبَّرَ عَلَيْهِمْ، كَمَا يُكَبِّرُ عَلَى الْمَيِّتِ

  1. Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari ‘Abdullāh bin al-Mughīrah bin Abī Burdah al-Kinānī, bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Rasulullah ﷺ mendatangi manusia di kabilah-kabilah mereka untuk mendoakan mereka. Dan beliau meninggalkan satu kabilah dari kabilah-kabilah itu. Ia berkata, dan sesungguhnya kabilah itu menemukan di pelana salah seorang dari mereka sebuah kalung batu akik sebagai hasil ghulūl (penggelapan harta rampasan perang). Maka Rasulullah ﷺ mendatangi mereka, lalu beliau bertakbir atas mereka sebagaimana beliau bertakbir atas jenazah.

25 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِيِّ، عَنْ أَبِي الْغَيْثِ سَالِمٍ مَوْلَى ابْنِ مُطِيعٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ خَيْبَرَ فَلَمْ نَغْنَمْ ذَهَبًا وَلَا وَرِقًا، إِلَّا الْأَمْوَالَ: الثِّيَابَ وَالْمَتَاعَ. قَالَ: فَأَهْدَى رِفَاعَةُ بْنُ زَيْدٍ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُلَامًا أَسْوَدَ، يُقَالُ لَهُ مِدْعَمٌ. فَوَجَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى وَادِي الْقُرَى، حَتَّى إِذَا كُنَّا بِوَادِي الْقُرَى، بَيْنَمَا مِدْعَمٌ يَحُطُّ رَحْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ سَهْمٌ عَائِرٌ. فَأَصَابَهُ فَقَتَلَهُ. فَقَالَ النَّاسُ: هَنِيئًا لَهُ الْجَنَّةُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَلَّا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ الشَّمْلَةَ الَّتِي أَخَذَ يَوْمَ خَيْبَرَ مِنَ الْمَغَانِمِ لَمْ تُصِبْهَا الْمَقَاسِمُ لَتَشْتَعِلُ عَلَيْهِ نَارًا، قَالَ: فَلَمَّا سَمِعَ النَّاسُ ذَلِكَ، جَاءَ رَجُلٌ بِشِرَاكٍ أَوْ شِرَاكَيْنِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: شِرَاكٌ أَوْ شِرَاكَانِ مِنْ نَارٍ

  1. Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Thawr bin Zaid ad-Dīlī, dari Abū al-Ghaith Sālim, maula Ibnu Muthī‘, dari Abū Hurairah, ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ pada tahun Khaibar, namun kami tidak mendapatkan harta rampasan berupa emas maupun perak, kecuali harta benda: pakaian dan barang-barang. Ia berkata: Maka Rifā‘ah bin Zaid menghadiahkan kepada Rasulullah ﷺ seorang budak hitam yang bernama Mid‘am. Maka Rasulullah ﷺ mengutusnya ke Wādī al-Qurā. Ketika kami berada di Wādī al-Qurā, sementara Mid‘am sedang menurunkan pelana Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datanglah sebuah anak panah nyasar, lalu mengenainya dan membunuhnya. Maka orang-orang berkata: “Beruntunglah ia mendapatkan surga.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya selendang yang diambilnya pada hari Khaibar dari harta rampasan perang sebelum dibagikan, benar-benar akan menyala menjadi api atas dirinya.” Ia berkata: Ketika orang-orang mendengar hal itu, datanglah seorang laki-laki membawa seutas atau dua utas tali sandal kepada Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Satu atau dua utas tali sandal itu adalah dari api.”

26 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: مَا ظَهَرَ الْغُلُولُ فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا أُلْقِيَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبُ، وَلَا فَشَا الزِّنَا فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا كَثُرَ فِيهِمُ الْمَوْتُ، وَلَا نَقَصَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا قُطِعَ عَنْهُمُ الرِّزْقُ. وَلَا حَكَمَ قَوْمٌ بِغَيْرِ الْحَقِّ إِلَّا فَشَا فِيهِمُ الدَّمُ. وَلَا خَتَرَ قَوْمٌ بِالْعَهْدِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمُ الْعَدُوَّ

  1. Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa telah sampai kepadanya dari ‘Abdullāh bin ‘Abbās bahwa ia berkata: “Tidaklah ghulūl (penggelapan harta rampasan perang) tampak pada suatu kaum, melainkan akan dilemparkan rasa takut ke dalam hati mereka. Tidaklah zina merajalela pada suatu kaum, melainkan kematian akan banyak terjadi di tengah mereka. Tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan rezeki akan terputus dari mereka. Tidaklah suatu kaum memutuskan hukum dengan selain al-haqq (kebenaran), melainkan darah akan merajalela di tengah mereka. Dan tidaklah suatu kaum berkhianat terhadap perjanjian, melainkan Allah akan menjadikan musuh berkuasa atas mereka.”

بَابُ الشُّهَدَاءِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Bab Para Syuhada di Jalan Allah

27 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ. لَوَدِدْتُ أَنِّي أُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَأُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا. فَأُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا. فَأُقْتَلُ فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقُولُ ثَلَاثًا: أَشْهَدُ بِاللَّهِ

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin berperang di jalan Allah, lalu aku terbunuh, kemudian aku dihidupkan kembali, lalu aku terbunuh, kemudian aku dihidupkan kembali, lalu aku terbunuh.” Maka Abū Hurairah berkata tiga kali: “Aku bersaksi demi Allah.”

28 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” يَضْحَكُ اللَّهُ إِلَى رَجُلَيْنِ: يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ. كِلَاهُمَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ. يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلُ. ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيُقَاتِلُ فَيُسْتَشْهَدُ “

  1. Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah tertawa kepada dua orang laki-laki: salah satunya membunuh yang lain, namun keduanya masuk surga. Yang satu berperang di jalan Allah lalu terbunuh, kemudian Allah menerima taubat si pembunuh, lalu ia pun berperang dan gugur sebagai syahid.”

29 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ. لَا يُكْلَمُ أَحَدٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِهِ، إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا. اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ الْمِسْكِ

  1. Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Allah—dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka di jalan-Nya—melainkan ia akan datang pada hari kiamat dengan lukanya mengalirkan darah. Warnanya warna darah, dan baunya bau misk.”

30 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَتْلِي بِيَدِ رَجُلٍ صَلَّى لَكَ سَجْدَةً وَاحِدَةً. يُحَاجُّنِي بِهَا عِنْدَكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

30 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb biasa berdoa: “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kematianku di tangan seorang laki-laki yang pernah bersujud kepada-Mu sekali saja. Ia akan membantahku dengan sujud itu di hadapan-Mu pada hari kiamat.”

31 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ. إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا مُقْبِلًا غَيْرَ مُدْبِرٍ أَيُكَفِّرُ اللَّهُ عَنِّي خَطَايَايَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ. فَلَمَّا أَدْبَرَ الرَّجُلُ نَادَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَوْ أَمَرَ بِهِ فَنُودِيَ لَهُ – فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيْفَ قُلْتَ؟ فَأَعَادَ عَلَيْهِ قَوْلَهُ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ إِلَّا الدَّيْنَ، كَذَلِكَ قَالَ لِي جِبْرِيلُ

31 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Sa‘īd bin Abī Sa‘īd al-Maqburī, dari ‘Abdullāh bin Abī Qatādah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata: “Wahai Rasulullah, jika aku terbunuh di jalan Allah dengan sabar, mengharap pahala, maju dan tidak mundur, apakah Allah akan menghapuskan dosa-dosaku?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya.” Ketika laki-laki itu berpaling, Rasulullah ﷺ memanggilnya—atau memerintahkan agar ia dipanggil—lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Bagaimana tadi engkau berkata?” Ia pun mengulangi perkataannya, lalu Nabi ﷺ bersabda: “Ya, kecuali utang. Demikianlah Jibrīl mengatakan kepadaku.”

32 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لِشُهَدَاءِ أُحُدٍ هَؤُلَاءِ أَشْهَدُ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ: أَلَسْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ بِإِخْوَانِهِمْ؟ أَسْلَمْنَا كَمَا أَسْلَمُوا. وَجَاهَدْنَا كَمَا جَاهَدُوا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلَى وَلَكِنْ لَا أَدْرِي مَا تُحْدِثُونَ بَعْدِي؟ فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ. ثُمَّ بَكَى. ثُمَّ قَالَ: أَئِنَّا لَكَائِنُونَ بَعْدَكَ

32 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū an-Nadr, maula ‘Umar bin ‘Ubaidullāh, bahwa sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang para syuhada Uhud: “Aku menjadi saksi atas mereka.” Maka Abū Bakr as-Siddīq berkata: “Bukankah kami, wahai Rasulullah, adalah saudara-saudara mereka? Kami telah masuk Islam sebagaimana mereka masuk Islam. Kami berjihad sebagaimana mereka berjihad.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Benar, tetapi aku tidak tahu apa yang akan kalian lakukan sepeninggalku.” Maka Abū Bakr pun menangis, lalu menangis lagi, kemudian berkata: “Apakah kami benar-benar akan hidup sepeninggalmu?”

33 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا وَقَبْرٌ يُحْفَرُ بِالْمَدِينَةِ، فَاطَّلَعَ رَجُلٌ فِي الْقَبْرِ، فَقَالَ: بِئْسَ مَضْجَعُ الْمُؤْمِنِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِئْسَ مَا قُلْتَ، فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنِّي لَمْ أُرِدْ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. إِنَّمَا أَرَدْتُ الْقَتْلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا مِثْلَ لِلْقَتْلِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. مَا عَلَى الْأَرْضِ بُقْعَةٌ هِيَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يَكُونَ قَبْرِي بِهَا، مِنْهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، يَعْنِي الْمَدِينَةَ

33 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, ia berkata: Rasulullah ﷺ sedang duduk dan sebuah kuburan sedang digali di Madinah. Seorang laki-laki melihat ke dalam kubur itu lalu berkata: “Sungguh buruk tempat tidur orang mukmin.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh buruk apa yang engkau katakan.” Laki-laki itu berkata: “Aku tidak bermaksud demikian, wahai Rasulullah. Aku hanya bermaksud (mengharapkan) terbunuh di jalan Allah.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada yang sebanding dengan terbunuh di jalan Allah. Tidak ada satu pun tempat di bumi yang lebih aku sukai untuk menjadi tempat kuburanku selain di sini—tiga kali—yakni Madinah.”

بَابُ مَا تَكُونُ فِيهِ الشَّهَادَةُ

Bab tentang perkara yang di dalamnya terdapat syahadah (kesyahidan).

34 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ، وَوَفَاةً بِبَلَدِ رَسُولِكَ

34 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb biasa berdoa: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu syahadah di jalan-Mu dan wafat di negeri Rasul-Mu.”

35 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: كَرَمُ الْمُؤْمِنِ تَقْوَاهُ، وَدِينُهُ حَسَبُهُ، وَمُرُوءَتُهُ خُلُقُهُ، وَالْجُرْأَةُ وَالْجُبْنُ غَرَائِزُ يَضَعُهَا اللَّهُ حَيْثُ شَاءَ، فَالْجَبَانُ يَفِرُّ عَنْ أَبِيهِ وَأُمِّهِ، وَالْجَرِيءُ يُقَاتِلُ عَمَّا لَا يَئُوبُ بِهِ إِلَى رَحْلِهِ، وَالْقَتْلُ حَتْفٌ مِنَ الْحُتُوفِ، وَالشَّهِيدُ مَنِ احْتَسَبَ نَفْسَهُ عَلَى اللَّهِ

35 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb berkata: “Kemuliaan seorang mukmin adalah takwanya, agamanya adalah kehormatannya, kemuliaan dirinya adalah akhlaknya. Keberanian dan pengecut adalah tabiat yang Allah letakkan di mana Dia kehendaki. Orang pengecut akan lari dari ayah dan ibunya, sedangkan orang pemberani akan berjuang demi sesuatu yang tidak akan ia bawa pulang ke keluarganya. Kematian adalah salah satu dari ketentuan ajal, dan syahid adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah.”

بَابُ الْعَمَلِ فِي غَسْلِ الشَّهِيدِ

Bab tentang tata cara memandikan jenazah syahid.

36 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ غُسِّلَ وَكُفِّنَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ، وَكَانَ شَهِيدًا يَرْحَمُهُ اللَّهُ

36 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, padahal ia adalah seorang syahid—semoga Allah merahmatinya.

37 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ: الشُّهَدَاءُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يُغَسَّلُونَ، وَلَا يُصَلَّى عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَإِنَّهُمْ يُدْفَنُونَ فِي الثِّيَابِ الَّتِي قُتِلُوا فِيهَا

37 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa sampai kepadanya dari para ahli ilmu, bahwa mereka biasa mengatakan: “Para syuhada di jalan Allah tidak dimandikan dan tidak dishalatkan atas salah satu dari mereka, dan mereka dikuburkan dengan pakaian yang mereka kenakan ketika terbunuh.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَتِلْكَ السُّنَّةُ فِيمَنْ قُتِلَ فِي الْمُعْتَرَكِ، فَلَمْ يُدْرَكْ حَتَّى مَاتَ. قَالَ: وَأَمَّا مَنْ حُمِلَ مِنْهُمْ فَعَاشَ مَا شَاءَ اللَّهُ بَعْدَ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ. كَمَا عُمِلَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ

Malik berkata: “Itulah sunnah bagi orang yang terbunuh di medan pertempuran, lalu tidak sempat ditolong hingga meninggal. Ia berkata: Adapun orang yang diangkat dari medan pertempuran lalu masih hidup selama yang Allah kehendaki setelah itu, maka ia dimandikan dan dishalatkan. Sebagaimana yang dilakukan terhadap Umar bin al-Khattab.”

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنَ الشَّيْءِ يُجْعَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Bab tentang hal-hal yang dimakruhkan dari sesuatu yang dijadikan di jalan Allah.

38 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَحْمِلُ فِي الْعَامِ الْوَاحِدِ عَلَى أَرْبَعِينَ أَلْفِ بَعِيرٍ، يَحْمِلُ الرَّجُلَ إِلَى الشَّامِ عَلَى بَعِيرٍ، وَيَحْمِلُ الرَّجُلَيْنِ إِلَى الْعِرَاقِ عَلَى بَعِيرٍ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ، فَقَالَ: احْمِلْنِي وَسُحَيْمًا، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: نَشَدْتُكَ اللَّهَ أَسُحَيْمٌ زِقٌّ؟ قَالَ لَهُ: نَعَمْ

38 – Yahya menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa Umar bin al-Khattab pada satu tahun pernah menyediakan empat puluh ribu unta, ia mengangkut seorang laki-laki ke Syam dengan satu unta, dan mengangkut dua orang ke Irak dengan satu unta. Lalu datanglah seorang laki-laki dari penduduk Irak kepadanya, dan berkata: “Angkutlah aku dan Suhaym.” Maka Umar bin al-Khattab berkata kepadanya: “Aku bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apakah Suhaym itu hanya sekadar kantong air?” Ia menjawab: “Ya.”

بَابُ التَّرْغِيبِ فِي الْجِهَادِ

Bab anjuran dalam berjihad.

39 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَهَبَ إِلَى قُبَاءٍ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ، فَتُطْعِمُهُ. وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ. وَجَلَسَتْ تَفْلِي فِي رَأْسِهِ. فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا. ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ. قَالَتْ فَقُلْتُ: مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ. مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ، – أَوْ مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ يَشُكُّ إِسْحَاقُ – قَالَتْ فَقُلْتُ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ. ثُمَّ اسْتَيْقَظَ يَضْحَكُ. قَالَتْ فَقُلْتُ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا يُضْحِكُكَ؟ قَالَ: نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ – أَوْ مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ – كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى. قَالَتْ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ. فَقَالَ: أَنْتِ مِنَ الْأَوَّلِينَ. قَالَ: فَرَكِبَتِ الْبَحْرَ فِي زَمَانِ مُعَاوِيَةَ. فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنَ الْبَحْرِ. فَهَلَكَتْ

39 – Yahya menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Talhah, dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah ﷺ apabila pergi ke Quba’, beliau masuk ke rumah Umm Haram binti Milhan, lalu Umm Haram memberinya makan. Umm Haram adalah istri ‘Ubadah bin ash-Shamit. Suatu hari Rasulullah ﷺ masuk ke rumahnya, lalu Umm Haram memberinya makan, dan ia duduk membersihkan rambut beliau dari kutu. Kemudian Rasulullah ﷺ tertidur sejenak, lalu beliau terbangun dalam keadaan tertawa. Umm Haram berkata: “Aku bertanya: Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Sekelompok orang dari umatku diperlihatkan kepadaku sebagai para mujahid di jalan Allah, mereka menaiki gelombang laut ini, laksana raja-raja di atas singgasana—atau seperti raja-raja di atas singgasana, Ishaq ragu dalam hal ini.” Umm Haram berkata: “Aku berkata: Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dijadikan termasuk di antara mereka.” Maka beliau mendoakannya, lalu meletakkan kepalanya dan tidur lagi. Kemudian beliau terbangun dalam keadaan tertawa. Umm Haram berkata: “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa?” Beliau menjawab: “Sekelompok orang dari umatku diperlihatkan kepadaku sebagai para mujahid di jalan Allah, laksana raja-raja di atas singgasana—atau seperti raja-raja di atas singgasana, sebagaimana beliau katakan pada yang pertama.” Umm Haram berkata: “Aku berkata: Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dijadikan termasuk di antara mereka.” Beliau bersabda: “Engkau termasuk golongan yang pertama.” Maka Umm Haram pun menyeberangi laut pada masa Mu‘awiyah, lalu ia terjatuh dari tunggangannya ketika keluar dari laut, dan akhirnya wafat.

40 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي، لَأَحْبَبْتُ أَنْ لَا أَتَخَلَّفَ عَنْ سَرِيَّةٍ تَخْرُجُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَلَكِنِّي لَا أَجِدُ مَا أَحْمِلُهُمْ عَلَيْهِ. وَلَا يَجِدُونَ مَا يَتَحَمَّلُونَ عَلَيْهِ، فَيَخْرُجُونَ وَيَشُقُّ عَلَيْهِمْ أَنْ يَتَخَلَّفُوا بَعْدِي، فَوَدِدْتُ أَنِّي أُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَأُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا فَأُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا فَأُقْتَلُ

40 – Dan Yahya menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Abu Shalih as-Samman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku ingin untuk tidak pernah tertinggal dari satu pun ekspedisi (sariyyah) yang berangkat di jalan Allah. Namun aku tidak memiliki sesuatu untuk membawa mereka, dan mereka pun tidak memiliki sesuatu untuk dinaiki, sehingga mereka tetap berangkat dan merasa berat jika harus tertinggal setelahku. Maka aku ingin sekali berperang di jalan Allah lalu terbunuh, kemudian aku dihidupkan kembali lalu terbunuh, kemudian aku dihidupkan kembali lalu terbunuh.”

41 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، قَالَ، لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يَأْتِينِي بِخَبَرِ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ الْأَنْصَارِيِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ. فَذَهَبَ الرَّجُلُ يَطُوفُ بَيْنَ الْقَتْلَى، فَقَالَ لَهُ سَعْدُ بْنُ الرَّبِيعِ: مَا شَأْنُكَ؟ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: بَعَثَنِي إِلَيْكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِآتِيَهُ بِخَبَرِكَ، قَالَ: فَاذْهَبْ إِلَيْهِ فَاقْرَأْهُ مِنِّي السَّلَامَ. وَأَخْبِرْهُ أَنِّي قَدْ طُعِنْتُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ طَعْنَةً. وَأَنِّي قَدْ أُنْفِذَتْ مَقَاتِلِي. وَأَخْبِرْ قَوْمَكَ أَنَّهُ لَا عُذْرَ لَهُمْ عِنْدَ اللَّهِ، إِنْ قُتِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَاحِدٌ مِنْهُمْ حَيٌّ

41 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, ia berkata: Ketika terjadi Perang Uhud, Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa yang akan membawakan kabar tentang Sa‘d bin ar-Rabī‘ al-Anshārī kepadaku?” Maka seorang laki-laki berkata, “Saya, wahai Rasulullah.” Lalu laki-laki itu pergi berkeliling di antara para syuhada, kemudian Sa‘d bin ar-Rabī‘ berkata kepadanya, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Rasulullah ﷺ mengutusku kepadamu untuk membawakan kabar tentangmu.” Sa‘d berkata, “Pergilah kepadanya, sampaikan salam dariku kepadanya, dan beritahukan bahwa aku telah ditikam dua belas kali, dan aku telah mencapai ajal. Sampaikan juga kepada kaummu bahwa mereka tidak punya alasan di hadapan Allah jika Rasulullah ﷺ terbunuh sementara salah seorang dari mereka masih hidup.”

42 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَغَّبَ فِي الْجِهَادِ، وَذَكَرَ الْجَنَّةَ، وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَأْكُلُ تَمَرَاتٍ فِي يَدِهِ، فَقَالَ: إِنِّي لَحَرِيصٌ عَلَى الدُّنْيَا إِنْ جَلَسْتُ حَتَّى أَفْرُغَ مِنْهُنَّ، فَرَمَى مَا فِي يَدِهِ، فَحَمَلَ بِسَيْفِهِ، فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ

42 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa Rasulullah ﷺ menganjurkan untuk berjihad dan menyebutkan tentang surga. Saat itu ada seorang laki-laki dari Anshar yang sedang memakan beberapa butir kurma di tangannya. Ia berkata, “Sungguh aku terlalu berhasrat pada dunia jika aku duduk sampai selesai memakannya.” Maka ia melemparkan kurma yang ada di tangannya, lalu mengambil pedangnya dan berperang hingga gugur sebagai syahid.

43 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّهُ قَالَ: ” الْغَزْوُ غَزْوَانِ: فَغَزْوٌ تُنْفَقُ فِيهِ الْكَرِيمَةُ، وَيُيَاسَرُ فِيهِ الشَّرِيكُ، وَيُطَاعُ فِيهِ ذُو الْأَمْرِ، وَيُجْتَنَبُ فِيهِ الْفَسَادُ، فَذَلِكَ الْغَزْوُ خَيْرٌ كُلُّهُ. وَغَزْوٌ لَا تُنْفَقُ فِيهِ الْكَرِيمَةُ وَلَا يُيَاسَرُ فِيهِ الشَّرِيكُ، وَلَا يُطَاعُ فِيهِ ذُو الْأَمْرِ، وَلَا يُجْتَنَبُ فِيهِ الْفَسَادُ، فَذَلِكَ الْغَزْوُ لَا يَرْجِعُ صَاحِبُهُ كَفَافًا “

43 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Mu‘ādz bin Jabal, bahwa ia berkata: “Peperangan itu ada dua macam: peperangan yang di dalamnya diinfakkan harta yang mulia, rekan diperlakukan dengan baik, pemimpin ditaati, dan kerusakan dihindari; maka itulah peperangan yang seluruhnya baik. Dan peperangan yang di dalamnya tidak diinfakkan harta yang mulia, rekan tidak diperlakukan dengan baik, pemimpin tidak ditaati, dan kerusakan tidak dihindari; maka peperangan seperti itu, pelakunya tidak akan kembali dengan selamat.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْخَيْلِ وَالْمُسَابَقَةِ بَيْنَهَا، وَالنَّفَقَةِ فِي الْغَزْوِ

Bab tentang apa yang datang mengenai kuda, perlombaan di antara mereka, dan nafkah dalam peperangan.

44 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْخَيْلُ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

44 – Diriwayatkan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada ubun-ubun kuda terdapat kebaikan hingga hari kiamat.”

45 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ الَّتِي قَدْ أُضْمِرَتْ مِنَ الْحَفْيَاءِ، وَكَانَ أَمَدُهَا ثَنِيَّةَ الْوَدَاعِ، وَسَابَقَ بَيْنَ الْخَيْلِ الَّتِي لَمْ  تُضَمَّرْ مِنَ الثَّنِيَّةِ إِلَى مَسْجِدِ بَنِي زُرَيْقٍ، وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ مِمَّنْ سَابَقَ بِهَا

45 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengadakan perlombaan antara kuda-kuda yang telah dilatih dari Hafyā’, dan jarak akhirnya adalah Tsaniyyatul Wada‘. Beliau juga mengadakan perlombaan antara kuda-kuda yang belum dilatih dari Tsaniyyah hingga Masjid Bani Zuraiq, dan ‘Abdullāh bin ‘Umar termasuk di antara mereka yang ikut berlomba dengan kuda tersebut.

46 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ: لَيْسَ بِرِهَانِ الْخَيْلِ بَأْسٌ، إِذَا دَخَلَ فِيهَا مُحَلِّلٌ، فَإِنْ سَبَقَ أَخَذَ السَّبَقَ، وَإِنْ سُبِقَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ شَيْءٌ

46 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ia mendengar Sa‘īd bin al-Musayyib berkata: “Tidak mengapa bertaruh dalam perlombaan kuda jika diikuti oleh pihak penengah (muhallil); jika ia menang, ia berhak mengambil hadiah, dan jika kalah, tidak ada kewajiban apa pun atasnya.”

47 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُئِيَ وَهُوَ يَمْسَحُ وَجْهَ فَرَسِهِ بِرِدَائِهِ. فَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: إِنِّي عُوتِبْتُ اللَّيْلَةَ فِي الْخَيْلِ

47 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa Rasulullah ﷺ pernah terlihat mengusap wajah kudanya dengan selendangnya. Lalu beliau ditanya tentang hal itu, maka beliau bersabda: “Aku telah ditegur malam ini karena kuda.”

48 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ خَرَجَ إِلَى خَيْبَرَ، أَتَاهَا لَيْلًا. وَكَانَ إِذَا أَتَى قَوْمًا بِلَيْلٍ لَمْ يُغِرْ حَتَّى يُصْبِحَ، فَخَرَجَتْ يَهُودُ بِمَسَاحِيهِمْ وَمَكَاتِلِهِمْ فَلَمَّا رَأَوْهُ قَالُوا: مُحَمَّدٌ، وَاللَّهِ مُحَمَّدٌ وَالْخَمِيسُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” اللَّهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ إِنَّا إِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ {فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ} [الصافات: 177] “

48 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Ḥumaid ath-Thawīl, dari Anas bin Mālik, bahwa Rasulullah ﷺ ketika keluar menuju Khaibar, beliau mendatanginya pada malam hari. Dan apabila beliau mendatangi suatu kaum pada malam hari, beliau tidak menyerang hingga pagi. Maka keluarlah orang-orang Yahudi dengan cangkul dan keranjang mereka. Ketika mereka melihat beliau, mereka berkata, “Itu Muhammad, demi Allah, itu Muhammad dan pasukannya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Allāhu Akbar, Khaibar telah hancur! Sesungguhnya jika kami turun di halaman suatu kaum, maka amat buruklah pagi bagi orang-orang yang diperingatkan.” (QS. ash-Shaffāt: 177)

49 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ فِي الْجَنَّةِ: يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ. فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ، وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ “، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ يُدْعَى مِنْ هَذِهِ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ. فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

49 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menginfakkan dua pasang (harta) di jalan Allah, maka akan dipanggil di surga: ‘Wahai hamba Allah, inilah kebaikan.’ Maka barang siapa termasuk golongan ahli shalat, akan dipanggil dari pintu shalat; barang siapa termasuk golongan ahli jihad, akan dipanggil dari pintu jihad; barang siapa termasuk golongan ahli sedekah, akan dipanggil dari pintu sedekah; dan barang siapa termasuk golongan ahli puasa, akan dipanggil dari pintu ar-Rayyan.” Maka Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada keperluan bagi seseorang yang dipanggil dari pintu-pintu itu (untuk masuk dari pintu lain). Apakah ada seseorang yang akan dipanggil dari semua pintu itu?” Beliau bersabda: “Ya, dan aku berharap engkau termasuk di antara mereka.”

بَابُ إِحْرَازِ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ أَرْضَهُ
سُئِلَ مَالِكٌ عَنْ إِمَامٍ قَبِلَ الْجِزْيَةَ مِنْ قَوْمٍ فَكَانُوا يُعْطُونَهَا. أَرَأَيْتَ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ. أَتَكُونُ لَهُ أَرْضُهُ، أَوْ تَكُونُ لِلْمُسْلِمِينَ، وَيَكُونُ لَهُمْ مَالُهُ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: ذَلِكَ يَخْتَلِفُ. أَمَّا أَهْلُ الصُّلْحِ، فَإِنَّ مَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ فَهُوَ أَحَقُّ بِأَرْضِهِ وَمَالِهِ. وَأَمَّا أَهْلُ الْعَنْوَةِ الَّذِينَ أُخِذُوا عَنْوَةً، فَمَنْ أَسْلَمَ مِنْهُمْ فَإِنَّ أَرْضَهُ وَمَالَهُ لِلْمُسْلِمِينَ. لِأَنَّ أَهْلَ الْعَنْوَةِ قَدْ غُلِبُوا عَلَى بِلَادِهِمْ. وَصَارَتْ فَيْئًا لِلْمُسْلِمِينَ. وَأَمَّا أَهْلُ الصُّلْحِ فَإِنَّهُمْ قَدْ مَنَعُوا أَمْوَالَهُمْ وَأَنْفُسَهُمْ. حَتَّى صَالَحُوا عَلَيْهَا. فَلَيْسَ عَلَيْهِمْ إِلَّا مَا صَالَحُوا عَلَيْهِ

بَابُ الدَّفْنِ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ مِنْ ضَرُورَةٍ، وَإِنْفَاذِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عِدَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bab tentang hak orang yang masuk Islam dari kalangan ahludz-dzimmah atas tanahnya.
Malik pernah ditanya tentang seorang imam yang menerima jizyah dari suatu kaum, lalu mereka membayarnya. Bagaimana jika ada di antara mereka yang masuk Islam? Apakah tanahnya menjadi miliknya, atau menjadi milik kaum Muslimin, dan hartanya tetap menjadi miliknya? Malik menjawab: “Hal itu berbeda-beda. Adapun ahlu shulh (orang-orang yang berdamai), maka siapa yang masuk Islam di antara mereka, maka ia lebih berhak atas tanah dan hartanya. Adapun ahlul ‘anwatan (yang ditaklukkan dengan kekerasan), maka siapa yang masuk Islam di antara mereka, maka tanah dan hartanya menjadi milik kaum Muslimin, karena ahlul ‘anwatan telah dikalahkan di negeri mereka dan negeri itu menjadi fai’ bagi kaum Muslimin. Adapun ahlu shulh, mereka telah melindungi harta dan jiwa mereka sampai mereka berdamai atasnya, maka tidak ada kewajiban atas mereka kecuali apa yang telah disepakati dalam perdamaian itu.”

Bab tentang penguburan dalam satu kubur karena darurat, dan pelaksanaan janji Rasulullah ﷺ oleh Abu Bakar ra. setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.

49 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَمْرَو بْنَ الْجَمُوحِ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو الْأَنْصَارِيَّيْنِ ثُمَّ السَّلَمِيَّيْنِ كَانَا قَدْ حَفَرَ السَّيْلُ قَبْرَهُمَا، وَكَانَ قَبْرُهُمَا مِمَّا يَلِي السَّيْلَ، وَكَانَا فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ وَهُمَا مِمَّنِ اسْتُشْهِدَ يَوْمَ أُحُدٍ فَحُفِرَ عَنْهُمَا لِيُغَيَّرَا مِنْ مَكَانِهِمَا، فَوُجِدَا لَمْ يَتَغَيَّرَا، كَأَنَّهُمَا مَاتَا بِالْأَمْسِ، وَكَانَ أَحَدُهُمَا قَدْ جُرِحَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى جُرْحِهِ، فَدُفِنَ وَهُوَ كَذَلِكَ. فَأُمِيطَتْ يَدُهُ عَنْ جُرْحِهِ، ثُمَّ أُرْسِلَتْ فَرَجَعَتْ كَمَا كَانَتْ، وَكَانَ بَيْنَ أُحُدٍ، وَبَيْنَ يَوْمَ حُفِرَ عَنْهُمَا سِتٌّ وَأَرْبَعُونَ سَنَةً قَالَ مَالِكٌ: لَا بَأْسَ أَنْ يُدْفَنَ الرَّجُلَانِ وَالثَّلَاثَةُ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ. مِنْ ضَرُورَةٍ. وَيُجْعَلَ الْأَكْبَرُ مِمَّا يَلِي الْقِبْلَةَ

49 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abdurrahman bin Abi Sa’sa’ah, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Amr bin al-Jamuh dan Abdullah bin Amr, keduanya dari kalangan Anshar lalu dari Bani Salamah, kuburan mereka digali oleh banjir, dan kuburan mereka berada di tepi aliran air. Mereka berdua dikuburkan dalam satu kubur dan keduanya termasuk yang gugur syahid pada hari Uhud. Maka digalilah kuburan mereka untuk dipindahkan dari tempatnya, lalu didapati jasad mereka tidak berubah, seakan-akan mereka baru wafat kemarin. Salah satu dari mereka terluka dan meletakkan tangannya di atas lukanya, lalu dikuburkan dalam keadaan demikian. Ketika tangannya diangkat dari lukanya, kemudian dilepaskan, maka kembali seperti semula. Antara peristiwa Uhud dan hari penggalian kubur mereka berjarak empat puluh enam tahun. Malik berkata: “Tidak mengapa menguburkan dua atau tiga orang dalam satu kubur karena darurat, dan hendaknya yang paling tua diletakkan di sisi kiblat.”

50 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ قَالَ: قَدِمَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ مَالٌ مِنَ الْبَحْرَيْنِ، فَقَالَ: مَنْ كَانَ لَهُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأْيٌ أَوْ عِدَةٌ فَلْيَأْتِنِي. فَجَاءَهُ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ فَحَفَنَ لَهُ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ

50 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman bahwa ia berkata: Datanglah harta dari Bahrain kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu ia berkata: “Barang siapa yang memiliki janji atau utang yang belum dipenuhi oleh Rasulullah ﷺ, hendaklah datang kepadaku.” Maka datanglah Jabir bin Abdullah, lalu Abu Bakar memberinya tiga genggam (harta).

22 – كِتَابُ النُّذُورِ وَالْأَيْمَانِ

بَابُ مَا يَجِبُ مِنَ النُّذُورِ فِي الْمَشْيِ

Bab tentang kewajiban menunaikan nazar berupa berjalan kaki

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ وَلَمْ تَقْضِهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْضِهِ عَنْهَا

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, dari Abdullah bin Abbas bahwa Sa’d bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ. Ia berkata: “Sesungguhnya ibuku telah wafat dan ia masih memiliki nazar yang belum ditunaikan. Apakah aku boleh menunaikannya untuknya?” Rasulullah ﷺ bersabda: “Tunaikanlah nazar itu untuknya.”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَمَّتِهِ أَنَّهَا حَدَّثَتْهُ عَنْ، جَدَّتِهِ أَنَّهَا كَانَتْ جَعَلَتْ عَلَى نَفْسِهَا مَشْيًا إِلَى مَسْجِدِ قُبَاءٍ فَمَاتَتْ وَلَمْ تَقْضِهِ، فَأَفْتَى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ابْنَتَهَا أَنْ تَمْشِيَ عَنْهَا قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: لَا يَمْشِي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr, dari bibinya bahwa ia menceritakan kepadanya dari neneknya, bahwa neneknya pernah bernazar untuk berjalan kaki ke Masjid Qubā’, lalu ia meninggal dunia sebelum menunaikannya. Maka ‘Abdullāh bin ‘Abbās memberi fatwa kepada putrinya agar berjalan kaki menggantikan ibunya. Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata, “Tidak boleh seseorang berjalan menggantikan orang lain.”

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي حَبِيبَةَ، قَالَ: قُلْتُ لِرَجُلٍ، وَأَنَا حَدِيثُ السِّنِّ: مَا عَلَى الرَّجُلِ أَنْ يَقُولَ عَلَيَّ مَشْيٌ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ، وَلَمْ يَقُلْ عَلَيَّ نَذْرُ مَشْيٍ. فَقَالَ لِي رَجُلٌ: هَلْ لَكَ أَنْ أُعْطِيَكَ هَذَا الْجِرْوَ – لِجِرْوِ – قِثَّاءٍ فِي يَدِهِ، وَتَقُولُ: عَلَيَّ مَشْيٌ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ؟ قَالَ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقُلْتُهُ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ حَدِيثُ السِّنِّ. ثُمَّ مَكَثْتُ حَتَّى عَقَلْتُ. فَقِيلَ لِي: إِنَّ عَلَيْكَ مَشْيًا. فَجِئْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ لِي: عَلَيْكَ مَشْيٌ فَمَشَيْتُ قَالَ مَالِكٌ وَهَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا

3 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Abī Ḥabībah, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada seorang laki-laki, saat aku masih muda: “Apa kewajiban seseorang jika ia berkata, ‘Atas diriku berjalan kaki ke Baitullāh,’ namun ia tidak mengatakan, ‘Atas diriku nazar berjalan kaki’?” Lalu seorang laki-laki berkata kepadaku, “Maukah kamu jika aku memberimu anak mentimun ini yang ada di tanganku, lalu kamu berkata, ‘Atas diriku berjalan kaki ke Baitullāh’?” Maka aku menjawab, “Ya.” Lalu aku mengucapkannya, padahal saat itu aku masih muda. Kemudian waktu berlalu hingga aku dewasa. Lalu dikatakan kepadaku, “Sesungguhnya kamu wajib berjalan kaki.” Maka aku mendatangi Sa‘īd bin al-Musayyib dan menanyakan hal itu kepadanya. Ia berkata kepadaku, “Kamu wajib berjalan kaki.” Maka aku pun melakukannya. Mālik berkata, “Inilah pendapat yang berlaku di kalangan kami.”

بَابٌ فِيمَنْ نَذَرَ مَشْيًا إِلَى بَيْتِ اللَّهِ فَعَجَزَ

Bab tentang orang yang bernazar berjalan kaki ke Baitullāh lalu tidak mampu melaksanakannya.

4 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ أُذَيْنَةَ اللَّيْثِيِّ، أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ جَدَّةٍ لِي عَلَيْهَا مَشْيٌ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ. حَتَّى إِذَا كُنَّا بِبَعْضِ الطَّرِيقِ عَجَزَتْ. فَأَرْسَلَتْ مَوْلًى لَهَا يَسْأَلُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَخَرَجْتُ مَعَهُ. فَسَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: مُرْهَا فَلْتَرْكَبْ ثُمَّ لْتَمْشِ مِنْ حَيْثُ عَجَزَتْ قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَنَرَى عَلَيْهَا مَعَ ذَلِكَ الْهَدْيَ، وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ وَأَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ كَانَا يَقُولَانِ مِثْلَ قَوْلِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ

4 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari ‘Urwah bin Udzainah al-Laitsī, bahwa ia berkata: Aku pernah keluar bersama nenekku yang bernazar berjalan kaki ke Baitullāh. Ketika kami berada di sebagian perjalanan, ia tidak mampu melanjutkan. Maka ia mengutus seorang budaknya untuk bertanya kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar, dan aku ikut bersamanya. Lalu budak itu bertanya kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar, maka ia berkata, “Perintahkan ia untuk naik kendaraan, lalu berjalan kaki dari tempat ia tidak mampu melanjutkan.” Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata, “Kami berpendapat bahwa ia juga wajib membayar hadyu (hewan sembelihan).” Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa ia sampai kepadanya bahwa Sa‘īd bin al-Musayyib dan Abū Salamah bin ‘Abd ar-Raḥmān berpendapat seperti pendapat ‘Abdullāh bin ‘Umar.

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ قَالَ: كَانَ عَلَيَّ مَشْيٌ فَأَصَابَتْنِي خَاصِرَةٌ، فَرَكِبْتُ حَتَّى أَتَيْتُ مَكَّةَ. فَسَأَلْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ وَغَيْرَهُ فَقَالُوا: عَلَيْكَ هَدْيٌ. فَلَمَّا قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ سَأَلْتُ عُلَمَاءَهَا فَأَمَرُونِي أَنْ أَمْشِيَ مَرَّةً أُخْرَى مِنْ حَيْثُ عَجَزْتُ، فَمَشَيْتُ قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: فَالْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَنْ يَقُولُ عَلَيَّ مَشْيٌ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ أَنَّهُ إِذَا عَجَزَ رَكِبَ. ثُمَّ عَادَ فَمَشَى مِنْ حَيْثُ عَجَزَ. فَإِنْ كَانَ لَا يَسْتَطِيعُ الْمَشْيَ فَلْيَمْشِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ، ثُمَّ لْيَرْكَبْ. وَعَلَيْهِ هَدْيُ بَدَنَةٍ أَوْ بَقَرَةٍ أَوْ شَاةٍ، إِنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا هِيَ وَسُئِلَ مالكٌ عَنِ الرَّجُلِ يَقُولُ لِلرَّجُلِ أَنَا أَحْمِلُكَ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ. فَقَالَ مَالِكٌ: ” إِنْ نَوَى أَنْ يَحْمِلَهُ عَلَى رَقَبَتِهِ، يُرِيدُ بِذَلِكَ الْمَشَقَّةَ، وَتَعَبَ نَفْسِهِ، فَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَيْهِ. وَلْيَمْشِ عَلَى رِجْلَيْهِ. وَلْيُهْدِ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ نَوَى شَيْئًا، فَلْيَحْجُجْ وَلْيَرْكَبْ، وَلْيَحْجُجْ بِذَلِكَ الرَّجُلِ مَعَهُ. وَذَلِكَ أَنَّهُ قَالَ: أَنَا أَحْمِلُكَ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ. فَإِنْ أَبَى أَنْ يَحُجَّ مَعَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ. وَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ ” قَالَ يَحْيَى: سُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الرَّجُلِ يَحْلِفُ بِنُذُورٍ مُسَمَّاةٍ مَشْيًا إِلَى بَيْتِ اللَّهِ، أَنْ لَا يُكَلِّمَ أَخَاهُ أَوْ أَبَاهُ بِكَذَا وَكَذَا، نَذْرًا لِشَيْءٍ لَا يَقْوَى عَلَيْهِ. وَلَوْ تَكَلَّفَ ذَلِكَ كُلَّ عَامٍ لَعُرِفَ أَنَّهُ لَا يَبْلُغُ عُمْرُهُ مَا جَعَلَ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ ذَلِكَ فَقِيلَ لَهُ: هَلْ يُجْزِيهِ مِنْ ذَلِكَ نَذْرٌ وَاحِدٌ أَوْ نُذُورٌ مُسَمَّاةٌ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: مَا أَعْلَمُهُ يُجْزِئُهُ مِنْ ذَلِكَ إِلَّا الْوَفَاءُ بِمَا جَعَلَ عَلَى نَفْسِهِ. فَلْيَمْشِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنَ الزَّمَانِ. وَلْيَتَقَرَّبْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِمَا اسْتَطَاعَ مِنَ الْخَيْرِ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ia berkata: Aku memiliki nazar berjalan kaki, lalu aku terkena sakit pinggang, sehingga aku naik kendaraan hingga sampai ke Makkah. Lalu aku bertanya kepada ‘Aṭā’ bin Abī Rabāḥ dan yang lainnya, maka mereka berkata: “Atasmu dam (sembelihan)”. Ketika aku tiba di Madinah, aku bertanya kepada para ulama di sana, lalu mereka memerintahkanku untuk berjalan lagi dari tempat aku tidak mampu (melanjutkan berjalan), maka aku pun berjalan. Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata: Maka pendapat kami mengenai orang yang berkata, “Atas diriku berjalan kaki ke Baitullāh”, adalah jika ia tidak mampu, maka ia boleh naik kendaraan. Kemudian ia kembali dan berjalan dari tempat ia tidak mampu (melanjutkan berjalan). Jika ia benar-benar tidak mampu berjalan, maka hendaklah ia berjalan sejauh yang ia mampu, lalu naik kendaraan. Dan atasnya dam berupa unta, sapi, atau kambing, jika tidak menemukan selain itu. Dan Mālik pernah ditanya tentang seseorang yang berkata kepada orang lain, “Aku akan membawamu ke Baitullāh.” Mālik berkata: “Jika ia berniat untuk membawanya di atas pundaknya, dengan maksud menanggung kesulitan dan melelahkan dirinya, maka itu tidak wajib atasnya. Hendaklah ia berjalan dengan kedua kakinya dan berkurban. Namun jika ia tidak meniatkan sesuatu, maka hendaklah ia berhaji dan naik kendaraan, dan hendaklah orang itu berhaji bersamanya. Karena ia telah berkata: ‘Aku akan membawamu ke Baitullāh.’ Jika orang itu enggan berhaji bersamanya, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya, dan ia telah menunaikan apa yang menjadi tanggungannya.” Yahyā berkata: Mālik pernah ditanya tentang seseorang yang bersumpah dengan nazar-nazar tertentu untuk berjalan kaki ke Baitullāh, atau tidak berbicara dengan saudaranya atau ayahnya karena sesuatu, sebagai nazar untuk sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya. Seandainya ia memaksakan diri setiap tahun pun, diketahui bahwa umurnya tidak akan cukup untuk menunaikan apa yang ia wajibkan atas dirinya itu. Maka ditanyakan kepadanya: Apakah cukup satu nazar saja dari semua itu, ataukah harus menunaikan semua nazar yang disebutkan? Mālik menjawab: Aku tidak mengetahui ada yang mencukupinya dari semua itu kecuali menunaikan apa yang ia wajibkan atas dirinya. Maka hendaklah ia berjalan sejauh yang ia mampu dari waktu yang ada, dan hendaklah ia mendekatkan diri kepada Allah Ta‘ālā dengan kebaikan yang ia mampu.

بَابُ الْعَمَلِ فِي الْمَشْيِ إِلَى الْكَعْبَةِ
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّ أَحْسَنَ مَا سَمِعْتُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الرَّجُلِ يَحْلِفُ بِالْمَشْيِ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ. أَوِ الْمَرْأَةِ. فَيَحْنَثُ أَوْ تَحْنَثُ. أَنَّهُ إِنْ مَشَى الْحَالِفُ مِنْهُمَا فِي عُمْرَةٍ فَإِنَّهُ يَمْشِي حَتَّى يَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ. فَإِذَا سَعَى فَقَدْ فَرَغَ. وَأَنَّهُ إِنْ جَعَلَ عَلَى نَفْسِهِ مَشْيًا فِي الْحَجِّ، فَإِنَّهُ يَمْشِي حَتَّى يَأْتِيَ مَكَّةَ. ثُمَّ يَمْشِي حَتَّى يَفْرُغَ مِنَ الْمَنَاسِكِ كُلِّهَا. وَلَا يَزَالُ مَاشِيًا حَتَّى يُفِيضَ ” قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَكُونُ مَشْيٌ إِلَّا فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ النُّذُورِ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ

Bab Tentang Praktik Berjalan Menuju Ka‘bah
Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, bahwa sebaik-baik yang aku dengar dari para ahli ilmu tentang seseorang yang bersumpah untuk berjalan kaki ke Baitullāh, baik laki-laki maupun perempuan, lalu ia melanggar sumpahnya, adalah jika orang yang bersumpah itu berjalan dalam rangka ‘umrah, maka ia berjalan hingga melakukan sa‘i antara Shafā dan Marwah. Jika telah selesai sa‘i, maka ia telah selesai. Dan jika ia mewajibkan atas dirinya berjalan kaki dalam haji, maka ia berjalan hingga sampai ke Makkah, lalu berjalan hingga selesai dari seluruh manasik. Dan ia tetap berjalan hingga melaksanakan ifāḍah.” Mālik berkata: Tidak ada berjalan kaki (nazar) kecuali dalam haji atau ‘umrah.

Bab Tentang Nazar yang Tidak Diperbolehkan dalam Maksiat kepada Allah

6 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ وَثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِيِّ أَنَّهُمَا أَخْبَرَاهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَحَدُهُمَا يَزِيدُ فِي الْحَدِيثِ عَلَى صَاحِبِهِ – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا قَائِمًا فِي الشَّمْسِ فَقَالَ: مَا بَالُ هَذَا؟ فَقَالُوا: نَذَرَ أَنْ لَا يَتَكَلَّمَ، وَلَا يَسْتَظِلَّ مِنَ الشَّمْسِ، وَلَا يَجْلِسَ، وَيَصُومَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُرُوهُ فَلْيَتَكَلَّمْ، وَلْيَسْتَظِلَّ، وَلْيَجْلِسْ وَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ قَالَ مَالِكٌ: وَلَمْ أَسْمَعْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ بِكَفَّارَةٍ. وَقَدْ أَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُتِمَّ مَا كَانَ لِلَّهِ طَاعَةً، وَيَتْرُكَ مَا كَانَ لِلَّهِ مَعْصِيَةً

6 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Ḥumaid bin Qais dan Thaur bin Zaid ad-Dīlī, bahwa keduanya mengabarkan kepadanya dari Rasulullah ﷺ — dan salah satu dari keduanya menambahkan dalam hadisnya atas yang lain — bahwa Rasulullah ﷺ melihat seorang laki-laki berdiri di bawah terik matahari, lalu beliau bertanya: “Ada apa dengan orang ini?” Mereka menjawab: “Ia bernazar untuk tidak berbicara, tidak berteduh dari matahari, tidak duduk, dan berpuasa.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Perintahkan dia untuk berbicara, berteduh, duduk, dan sempurnakan puasanya.” Mālik berkata: Aku tidak mendengar bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk membayar kafārah. Dan sungguh Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk menyempurnakan apa yang merupakan ketaatan kepada Allah, dan meninggalkan apa yang merupakan maksiat kepada Allah.

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: أَتَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَتْ: إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَنْحَرَ ابْنِي. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَا تَنْحَرِي ابْنَكِ، وَكَفِّرِي عَنْ يَمِينِكِ، فَقَالَ شَيْخٌ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ وَكَيْفَ يَكُونُ فِي هَذَا كَفَّارَةٌ؟ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ” إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ} ثُمَّ جَعَلَ فِيهِ مِنَ الْكَفَّارَةِ مَا قَدْ رَأَيْتَ “

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari al-Qāsim bin Muhammad bahwa ia mendengarnya berkata: Seorang wanita datang kepada ‘Abdullāh bin ‘Abbās, lalu berkata: “Aku telah bernazar untuk menyembelih anakku.” Maka Ibn ‘Abbās berkata: “Janganlah engkau menyembelih anakmu, dan bayarlah kafārah atas sumpahmu.” Lalu seorang syekh yang berada di sisi Ibn ‘Abbās berkata: “Bagaimana bisa ada kafārah dalam hal ini?” Maka Ibn ‘Abbās berkata: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan orang-orang yang menzihār istri-istri mereka di antara kalian} kemudian Allah menetapkan di dalamnya kafārah sebagaimana yang telah engkau lihat.”

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ الْأَيْلِيِّ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ابْنِ الصِّدِّيقِ، عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اللَّهَ فَلَا يَعْصِهِ قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” مَعْنَى قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اللَّهَ فَلَا يَعْصِهِ، أَنْ يَنْذِرَ الرَّجُلُ أَنْ يَمْشِيَ إِلَى الشَّامِ، أَوْ إِلَى مِصْرَ، أَوْ إِلَى الرَّبَذَةِ، أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِمَّا لَيْسَ لِلَّهِ بِطَاعَةٍ. إِنْ كَلَّمَ فُلَانًا، أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ. فَلَيْسَ عَلَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ، إِنْ هُوَ كَلَّمَهُ أَوْ حَنِثَ بِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلَّهِ فِي هَذِهِ الْأَشْيَاءِ طَاعَةٌ. وَإِنَّمَا يُوَفَّى لِلَّهِ بِمَا لَهُ فِيهِ طَاعَةٌ “

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ṭalḥah bin ‘Abd al-Malik al-Ailī, dari al-Qāsim bin Muhammad bin al-Ṣiddīq, dari ‘Ā’ishah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa bernazar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia menaati-Nya. Dan barang siapa bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.” Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Makna sabda Rasulullah ﷺ: ‘Barang siapa bernazar untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya,’ adalah seseorang bernazar untuk berjalan ke Syam, atau ke Mesir, atau ke al-Rabdzah, atau yang semisal itu yang bukan merupakan ketaatan kepada Allah. Seperti jika ia berkata: ‘Jika aku berbicara dengan si fulan,’ atau yang semisal itu. Maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya dalam hal-hal tersebut, baik ia melakukannya atau melanggar sumpahnya, karena dalam hal-hal tersebut tidak ada ketaatan kepada Allah. Hanya saja yang harus dipenuhi kepada Allah adalah apa yang di dalamnya terdapat ketaatan kepada-Nya.”

بَابُ اللَّغْوِ فِي الْيَمِينِ

Bab tentang sumpah yang sia-sia (laghw)

9 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَّهَا كَانَتْ تَقُولُ: لَغْوُ الْيَمِينِ قَوْلُ الْإِنْسَانِ لَا وَاللَّهِ، وبَلَى وَاللَّهِ قَالَ مَالِكٌ: أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي هَذَا. أَنَّ اللَّغْوَ حَلِفُ الْإِنْسَانِ عَلَى الشَّيْءِ. يَسْتَيْقِنُ أَنَّهُ كَذَلِكَ. ثُمَّ يُوجَدُ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ. فَهُوَ اللَّغْوُ

9 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Hishām bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Ā’ishah Ummul Mu’minīn, bahwa ia biasa berkata: “Laghw dalam sumpah adalah ucapan seseorang: ‘Tidak, demi Allah,’ dan ‘Ya, demi Allah.’” Mālik berkata: “Penjelasan terbaik yang aku dengar tentang hal ini adalah bahwa laghw adalah seseorang bersumpah atas sesuatu yang ia yakini benar, lalu ternyata tidak demikian. Maka itulah yang disebut laghw.”

قَالَ مَالِكٌ: وَعَقْدُ الْيَمِينِ، أَنْ يَحْلِفَ الرَّجُلُ أَنْ لَا يَبِيعَ ثَوْبَهُ بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ، ثُمَّ يَبِيعَهُ بِذَلِكَ. أَوْ يَحْلِفَ لَيَضْرِبَنَّ غُلَامَهُ، ثُمَّ لَا يَضْرِبُهُ. وَنَحْوَ هَذَا. فَهَذَا الَّذِي يُكَفِّرُ صَاحِبُهُ عَنْ يَمِينِهِ، وَلَيْسَ فِي اللَّغْوِ كَفَّارَةٌ

Mālik berkata: “Adapun sumpah yang mengikat (‘aqd al-yamīn) adalah seseorang bersumpah tidak akan menjual pakaiannya dengan sepuluh dinar, lalu ia menjualnya dengan harga itu. Atau ia bersumpah pasti akan memukul hambanya, lalu ia tidak memukulnya. Dan yang semisal dengan itu. Maka inilah yang mewajibkan pemilik sumpah tersebut membayar kafārah atas sumpahnya, dan tidak ada kafārah pada laghw.”

قَالَ مَالِكٌ: فَأَمَّا الَّذِي يَحْلِفُ عَلَى الشَّيْءِ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ آثِمٌ، وَيَحْلِفُ عَلَى الْكَذِبِ، وَهُوَ يَعْلَمُ، لِيُرْضِيَ بِهِ أَحَدًا. أَوْ لِيَعْتَذِرَ بِهِ إِلَى مُعْتَذَرٍ إِلَيْهِ. أَوْ لِيَقْطَعَ بِهِ مَالًا. فَهَذَا أَعْظَمُ مِنْ أَنْ تَكُونَ فِيهِ كَفَّارَةٌ

Mālik berkata: “Adapun orang yang bersumpah atas sesuatu, padahal ia tahu bahwa ia berdosa, dan ia bersumpah atas kebohongan dengan sengaja, untuk menyenangkan seseorang, atau untuk mencari alasan kepada orang yang ia minta maaf kepadanya, atau untuk mengambil harta dengan sumpah itu, maka ini lebih besar dosanya daripada sekadar mewajibkan kafārah.”

بَابُ مَا لَا تَجِبُ فِيهِ الْكَفَّارَةُ مِنَ الْيَمِينِ

Bab tentang sumpah yang tidak wajib dibayar kafārah

10 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: ” مَنْ قَالَ: وَاللَّهِ. ثُمَّ قَالَ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ. ثُمَّ لَمْ يَفْعَلِ الَّذِي حَلَفَ عَلَيْهِ، لَمْ يَحْنَثْ “

10 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ia biasa berkata: “Barang siapa berkata: ‘Demi Allah,’ lalu ia berkata: ‘Insya Allah,’ kemudian ia tidak melakukan apa yang ia sumpahkan, maka ia tidak dianggap melanggar sumpah.”

قَالَ مَالِكٌ: أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي الثُّنْيَا أَنَّهَا لِصَاحِبِهَا. مَا لَمْ يَقْطَعْ كَلَامَهُ. وَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ نَسَقًا، يَتْبَعُ بَعْضُهُ بَعْضًا، قَبْلَ أَنْ يَسْكُتَ. فَإِذَا سَكَتَ وَقَطَعَ كَلَامَهُ، فَلَا ثُنْيَا لَهُ

Mālik berkata: “Penjelasan terbaik yang aku dengar tentang pengecualian (al-thunyā) adalah bahwa ia tetap milik orang yang mengucapkannya selama ia belum memutuskan ucapannya. Selama ucapan itu masih bersambung, saling mengikuti sebelum ia diam, maka pengecualian itu berlaku. Namun jika ia diam dan memutuskan ucapannya, maka tidak ada pengecualian baginya.”

قَالَ يَحْيَى: وقَالَ مَالِكٌ فِي الرَّجُلِ يَقُولُ: كَفَرَ بِاللَّهِ، أَوْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ، ثُمَّ يَحْنَثُ: إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ. وَلَيْسَ بِكَافِرٍ، وَلَا مُشْرِكٍ حَتَّى يَكُونَ قَلْبُهُ مُضْمِرًا عَلَى الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ. وَلْيَسْتَغْفِرِ اللَّهَ. وَلَا يَعُدْ إِلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ. وَبِئْسَ مَا صَنَعَ

Yahyā berkata: Dan Mālik berkata tentang seseorang yang berkata: “Ia telah kafir kepada Allah,” atau “Ia telah mempersekutukan Allah,” lalu ia melanggar sumpahnya: “Tidak ada kafārah atasnya. Ia juga tidak menjadi kafir atau musyrik sampai hatinya benar-benar berniat pada kemusyrikan dan kekufuran. Hendaklah ia memohon ampun kepada Allah dan tidak mengulangi hal itu. Dan sungguh buruk apa yang telah ia lakukan.”

بَابُ مَا تَجِبُ فِيهِ الْكَفَّارَةُ مِنَ الْأَيْمَانِ

Bab tentang sumpah yang wajib dibayar kafārah

11 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَنْ حَلَفَ بِيَمِينٍ، فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَفْعَلِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: مَنْ قَالَ عَلَيَّ نَذْرٌ، وَلَمْ يُسَمِّ شَيْئًا. إِنَّ عَلَيْهِ كَفَّارَةَ يَمِينٍ

11 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Suhail bin Abī Ṣāliḥ, dari ayahnya, dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa bersumpah dengan suatu sumpah, lalu ia melihat ada yang lebih baik dari sumpah itu, maka hendaklah ia membayar kaffārah sumpahnya, dan hendaklah ia melakukan yang lebih baik itu.” Yahya berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Barang siapa berkata, ‘Atas diriku ada nadzar,’ namun tidak menyebutkan sesuatu secara spesifik, maka wajib atasnya kaffārah sumpah.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فَأَمَّا التَّوْكِيدُ فَهُوَ حَلِفُ الْإِنْسَانِ فِي الشَّيْءِ الْوَاحِدِ مِرَارًا، يُرَدِّدُ فِيهِ الْأَيْمَانَ يَمِينًا بَعْدَ يَمِينٍ. كَقَوْلِهِ: وَاللَّهِ لَا أَنْقُصُهُ مِنْ كَذَا وَكَذَا، يَحْلِفُ بِذَلِكَ مِرَارًا. ثَلَاثًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ. قَالَ فَكَفَّارَةُ ذَلِكَ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ. مِثْلُ كَفَّارَةِ الْيَمِينِ. فَإِنْ حَلَفَ رَجُلٌ مَثَلًا فَقَالَ: وَاللَّهِ لَا آكُلُ هَذَا الطَّعَامَ. وَلَا أَلْبَسُ هَذَا الثَّوْبَ. وَلَا أَدْخُلُ هَذَا الْبَيْتَ. فَكَانَ هَذَا فِي يَمِينٍ وَاحِدَةٍ. فَإِنَّمَا عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ. وَإِنَّمَا ذَلِكَ كَقَوْلِ الرَّجُلِ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ الطَّلَاقُ، إِنْ كَسَوْتُكِ هَذَا الثَّوْبَ، وَأَذِنْتُ لَكِ إِلَى الْمَسْجِدِ يَكُونُ ذَلِكَ نَسَقًا مُتَتَابِعًا، فِي كَلَامٍ وَاحِدٍ. فَإِنْ حَنِثَ فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ مِنْ ذَلِكَ، فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الطَّلَاقُ. وَلَيْسَ عَلَيْهِ فِيمَا فَعَلَ، بَعْدَ ذَلِكَ، حِنْثٌ. إِنَّمَا الْحِنْثُ فِي ذَلِكَ حِنْثٌ وَاحِدٌ “

Mālik berkata: “Adapun at-taukīd (penguatan sumpah) adalah seseorang bersumpah dalam satu perkara berulang kali, ia mengulangi sumpahnya, sumpah demi sumpah. Seperti ucapannya: ‘Demi Allah, aku tidak akan mengurangi dari ini dan itu,’ ia bersumpah demikian berkali-kali, tiga kali atau lebih dari itu. Maka kaffārah untuk itu adalah satu kaffārah saja, seperti kaffārah sumpah. Jika seseorang bersumpah, misalnya ia berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan makan makanan ini, tidak akan memakai pakaian ini, dan tidak akan masuk ke rumah ini,’ dan semua itu dalam satu sumpah, maka cukup baginya satu kaffārah saja. Hal itu seperti ucapan seseorang kepada istrinya: ‘Engkau tertalak jika aku memakaikanmu pakaian ini dan mengizinkanmu ke masjid,’ yang diucapkan secara berurutan dalam satu kalimat. Jika ia melanggar salah satu dari hal tersebut, maka jatuhlah talak atasnya, dan tidak ada pelanggaran lagi atas apa yang ia lakukan setelah itu. Pelanggaran dalam hal itu hanya satu pelanggaran saja.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي نَذْرِ الْمَرْأَةِ، إِنَّهُ جَائِزٌ بِغَيْرِ إِذْنِ زَوْجِهَا، يَجِبُ عَلَيْهَا ذَلِكَ، وَيَثْبُتُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ فِي جَسَدِهَا. وَكَانَ ذَلِكَ لَا يَضُرُّ بِزَوْجِهَا. وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يَضُرُّ بِزَوْجِهَا، فَلَهُ مَنْعُهَا مِنْهُ. وَكَانَ ذَلِكَ عَلَيْهَا حَتَّى تَقْضِيَهُ

Mālik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai nadzar seorang wanita adalah, nadzar itu sah tanpa izin suaminya, dan wajib atasnya untuk menunaikannya, serta tetap berlaku jika nadzar itu berkaitan dengan tubuhnya sendiri, dan tidak membahayakan suaminya. Namun jika nadzar itu membahayakan suaminya, maka suaminya berhak melarangnya. Dan nadzar itu tetap menjadi tanggungannya sampai ia menunaikannya.”

بَابُ الْعَمَلِ فِي كَفَّارَةِ الْيَمِينِ

Bab: Praktik dalam Kaffārah Sumpah

12 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: مَنْ حَلَفَ بِيَمِينٍ فَوَكَّدَهَا، ثُمَّ حَنِثَ. فَعَلَيْهِ عِتْقُ رَقَبَةٍ. أَوْ كِسْوَةُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ، وَمَنْ حَلَفَ بِيَمِينٍ فَلَمْ يُؤَكِّدْهَا، ثُمَّ حَنِثَ فَعَلَيْهِ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ. لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدٌّ مِنْ حِنْطَةٍ. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ

12 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ia berkata: “Barang siapa bersumpah dengan suatu sumpah lalu menguatkannya, kemudian ia melanggar sumpah itu, maka wajib baginya memerdekakan seorang budak atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin. Dan barang siapa bersumpah dengan suatu sumpah namun tidak menguatkannya, lalu ia melanggarnya, maka wajib baginya memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud gandum. Jika ia tidak mendapatkannya, maka berpuasa tiga hari.”

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يُكَفِّرُ عَنْ يَمِينِهِ بِإِطْعَامِ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ، لِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدٌّ مِنْ حِنْطَةٍ وَكَانَ يَعْتِقُ الْمِرَارَ إِذَا وَكَّدَ الْيَمِينَ

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ia menunaikan kaffārah sumpahnya dengan memberi makan sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud gandum, dan ia juga memerdekakan budak setiap kali ia menguatkan sumpahnya.

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ إِذَا أَعْطَوْا فِي كَفَّارَةِ الْيَمِينِ، أَعْطَوْا مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ بِالْمُدِّ الْأَصْغَرِ، وَرَأَوْا ذَلِكَ مُجْزِئًا عَنْهُمْ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahya bin Sa‘īd, dari Sulaimān bin Yasār bahwa ia berkata: “Aku mendapati orang-orang, apabila mereka membayar kaffārah sumpah, mereka memberikan satu mud gandum dengan mud yang lebih kecil, dan mereka menganggap hal itu sudah mencukupi.”

قَالَ مَالِكٌ: أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي الَّذِي يُكَفِّرُ عَنْ يَمِينِهِ بِالْكِسْوَةِ. أَنَّهُ إِنْ كَسَا الرِّجَالَ، كَسَاهُمْ ثَوْبًا ثَوْبًا. وَإِنْ كَسَا النِّسَاءَ كَسَاهُنَّ ثَوْبَيْنِ ثَوْبَيْنِ. دِرْعًا وَخِمَارًا. وَذَلِكَ أَدْنَى مَا يُجْزِئُ كُلًّا فِي صَلَاتِهِ “

Mālik berkata: “Yang terbaik yang aku dengar mengenai orang yang membayar kaffārah sumpah dengan pakaian adalah, jika ia memberi pakaian kepada laki-laki, maka masing-masing diberi satu pakaian; dan jika kepada perempuan, maka masing-masing diberi dua pakaian, yaitu gamis dan kerudung. Itulah batas minimal yang mencukupi bagi masing-masing untuk shalat.”

بَابُ جَامِعِ الْأَيْمَانِ

Bab: Kompilasi Hukum Sumpah

14 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَدْرَكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ يَسِيرُ فِي رَكْبٍ، وَهُوَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ، فَمَنْ كَانَ حَالِفًا، فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ

14 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa Rasulullah ﷺ mendapati ‘Umar bin al-Khaṭṭāb ra. sedang berjalan bersama rombongan, dan ia bersumpah dengan nama ayahnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nama ayah-ayah kalian. Maka barang siapa yang hendak bersumpah, hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau hendaklah ia diam.”

15 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: لَا وَمُقَلِّبِ الْقُلُوبِ

15 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ biasa berkata: “Tidak, demi Dzat yang membolak-balikkan hati.”

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حَفْصِ بْنِ عُمَرَ بْنِ خَلْدَةَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أَبَا لُبَابَةَ بْنَ عَبْدِ الْمُنْذِرِ حِينَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ. أَهْجُرُ دَارَ قَوْمِي الَّتِي أَصَبْتُ فِيهَا الذَّنْبَ، وَأُجَاوِرُكَ وَأَنْخَلِعُ مِنْ مَالِي صَدَقَةً إِلَى اللَّهِ، وَإِلَى رَسُولِهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُجْزِيكَ مِنْ ذَلِكَ الثُّلُثُ

16 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Utsmān bin Hafsh bin ‘Umar bin Khaldah, dari Ibnu Syihāb, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Abū Lubābah bin ‘Abdil Mundzir, ketika Allah menerima taubatnya, berkata: “Wahai Rasulullah, apakah aku harus meninggalkan rumah kaumku tempat aku melakukan dosa, lalu aku tinggal di dekatmu dan aku melepaskan hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Cukuplah bagimu sepertiga dari itu.”

17 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى، عَنْ مَنْصُورِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحَجَبِيِّ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ رَجُلٍ قَالَ: مَالِي فِي رِتَاجِ الْكَعْبَةِ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: يُكَفِّرُهُ مَا يُكَفِّرُ الْيَمِينَ

17 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ayyūb bin Mūsā, dari Manshūr bin ‘Abdirrahmān al-Hajabī, dari ibunya, dari ‘Āisyah Ummul Mu’minīn ra., bahwa ia pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata: “Hartaku di pintu Ka‘bah.” Maka ‘Āisyah berkata: “Itu cukup ditebus dengan kafārat sumpah.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الَّذِي يَقُولُ مَالِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ يَحْنَثُ قَالَ: يَجْعَلُ ثُلُثَ مَالِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. وَذَلِكَ لِلَّذِي جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَمْرِ أَبِي لُبَابَةَ

Mālik berkata: Tentang orang yang berkata, “Hartaku di jalan Allah,” lalu ia melanggarnya, Mālik berkata: “Ia menjadikan sepertiga hartanya di jalan Allah.” Dan hal itu berdasarkan apa yang datang dari Rasulullah ﷺ dalam perkara Abū Lubābah.

23 – كِتَابُ الضَّحَايَا

بَابُ مَا يُنْهَى عَنْهُ مِنَ الضَّحَايَا

Bab Larangan terhadap Hal-hal Tertentu dalam Kurban

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ فَيْرُوزٍ، عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: مَاذَا يُتَّقَى مِنَ الضَّحَايَا؟ فَأَشَارَ بِيَدِهِ وَقَالَ: أَرْبَعًا وَكَانَ الْبَرَاءُ يُشِيرُ بِيَدِهِ وَيَقُولُ يَدِي أَقْصَرُ مِنْ يَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari ‘Amr bin al-Hārith, dari ‘Ubaid bin Fayrūz, dari al-Barā’ bin ‘Āzib bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya: “Apa yang harus dihindari dari hewan kurban?” Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya dan berkata: “Empat hal.” Al-Barā’ juga memberi isyarat dengan tangannya dan berkata, “Tanganku lebih pendek dari tangan Rasulullah ﷺ.” (Empat hal itu adalah:) yang pincang jelas kepincangannya, yang buta jelas kebutaannya, yang sakit jelas sakitnya, dan yang kurus kering yang tidak berlemak.

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ ” يَتَّقِي مِنَ الضَّحَايَا وَالْبُدْنِ الَّتِي لَمْ تُسِنَّ وَالَّتِي نَقَصَ مِنْ خَلْقِهَا، قَالَ مَالِكٌ وَهَذَا أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar biasa menghindari dari hewan kurban dan hadyu yang belum cukup umur dan yang ada cacat pada fisiknya. Mālik berkata: “Inilah yang paling aku sukai dari apa yang aku dengar.”

بَابُ مَا يُسْتَحَبُّ مِنَ الضَّحَايَا

Bab Anjuran terhadap Hal-hal Tertentu dalam Kurban

3 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ضَحَّى مَرَّةً بِالْمَدِينَةِ – قَالَ نَافِعٌ فَأَمَرَنِي أَنْ أَشْتَرِيَ لَهُ كَبْشًا فَحِيلًا أَقْرَنَ، ثُمَّ أَذْبَحَهُ يَوْمَ الْأَضْحَى فِي مُصَلَّى النَّاسِ قَالَ نَافِعٌ: فَفَعَلْتُ. ثُمَّ حُمِلَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَحَلَقَ رَأْسَهُ حِينَ ذُبِحَ الْكَبْشُ، وَكَانَ مَرِيضًا لَمْ يَشْهَدِ الْعِيدَ مَعَ النَّاسِ، قَالَ نَافِعٌ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يَقُولُ: لَيْسَ حِلَاقُ الرَّأْسِ بِوَاجِبٍ عَلَى مَنْ ضَحَّى، وَقَدْ فَعَلَهُ ابْنُ عُمَرَ

3 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar pernah berkurban sekali di Madinah—Nāfi‘ berkata: “Ia memerintahkanku untuk membelikan seekor domba jantan yang gemuk dan bertanduk, lalu aku menyembelihnya pada hari Idul Adha di tempat shalat orang-orang.” Nāfi‘ berkata: “Maka aku melakukannya. Kemudian domba itu dibawa kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar, lalu ia mencukur rambut kepalanya setelah domba itu disembelih, padahal ia sedang sakit dan tidak menghadiri salat Id bersama orang-orang.” Nāfi‘ berkata: “Dan ‘Abdullāh bin ‘Umar biasa berkata: ‘Mencukur rambut kepala tidaklah wajib bagi orang yang berkurban, namun Ibnu ‘Umar telah melakukannya.’”

بَابُ النَّهْيِ عَنْ ذَبْحِ الضَّحِيَّةِ قَبْلَ انْصِرَافِ الْإِمَامِ

Bab Larangan Menyembelih Hewan Kurban Sebelum Imam Selesai

4 – عَنْ يحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ أَبَا بُرْدَةَ بْنَ نِيَارٍ ذَبَحَ ضَحِيَّتَهُ قَبْلَ أَنْ يَذْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْأَضْحَى، فَزَعَمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَعُودَ بِضَحِيَّةٍ أُخْرَى، قَالَ أَبُو بُرْدَةَ لَا أَجِدُ إِلَّا جَذَعًا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: وَإِنْ لَمْ تَجِدْ إِلَّا جَذَعًا فَاذْبَحْ

4 – Dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Busyair bin Yasār, bahwa Abū Burdah bin Niyār telah menyembelih hewan kurbannya sebelum Rasulullah ﷺ menyembelih pada hari Idul Adha. Maka ia mengaku bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk mengganti dengan hewan kurban yang lain. Abū Burdah berkata: “Aku tidak mendapatkan kecuali kambing jantan muda, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Jika engkau tidak mendapatkan kecuali kambing jantan muda, maka sembelihlah.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ، أَنَّ عُوَيْمِرَ بْنَ أَشْقَرَ ذَبَحَ ضَحِيَّتَهُ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ يَوْمَ الْأَضْحَى، وَأَنَّهُ ذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهُ أَنْ يَعُودَ بِضَحِيَّةٍ أُخْرَى

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari ‘Abbād bin Tamīm, bahwa ‘Uwair bin Asyqar telah menyembelih hewan kurbannya sebelum pagi hari Idul Adha, lalu ia menyebutkan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau memerintahkannya untuk mengganti dengan hewan kurban yang lain.

بَابُ ادِّخَارِ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ

Bab Menyimpan Daging Hewan Kurban

6 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ قَالَ بَعْدُ كُلُوا وَتَصَدَّقُوا، وَتَزَوَّدُوا وَادَّخِرُوا

6 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abu az-Zubair al-Makki, dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah ﷺ melarang memakan daging hewan kurban setelah tiga hari. Kemudian beliau bersabda setelah itu: “Makanlah, bersedekahlah, bawalah bekal, dan simpanlah.”

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ وَاقِدٍ أنَّهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَقَالَتْ: صَدَقَ، سَمِعْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ: دَفَّ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ حَضْرَةَ الْأَضْحَى فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ادَّخِرُوا لِثَلَاثٍ، وَتَصَدَّقُوا بِمَا بَقِيَ، قَالَتْ: فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ كَانَ النَّاسُ يَنْتَفِعُونَ بِضَحَايَاهُمْ وَيَجْمُلُونَ مِنْهَا الْوَدَكَ، وَيَتَّخِذُونَ مِنْهَا الْأَسْقِيَةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَمَا ذَلِكَ أَوْ كَمَا قَالَ: قَالُوا: نَهَيْتَ عَنْ لُحُومِ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلَاثٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ عَلَيْكُمْ، فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَادَّخِرُوا يَعْنِي بِالدَّافَّةِ قَوْمًا مَسَاكِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakr, dari Abdullah bin Waqid bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ melarang memakan daging hewan kurban setelah tiga hari. Abdullah bin Abi Bakr berkata: Aku menyampaikan hal itu kepada ‘Amrah binti Abdurrahman, lalu ia berkata: Benar, aku mendengar ‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, berkata: Ada sekelompok orang dari penduduk pedalaman datang pada hari Idul Adha di masa Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Simpanlah untuk tiga hari, dan bersedekahlah dengan sisanya.” Ia berkata: Setelah itu, dikatakan kepada Rasulullah ﷺ: “Orang-orang biasa memanfaatkan hewan kurban mereka, mereka mengambil lemaknya, dan membuat wadah dari kulitnya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apa itu?” atau sebagaimana beliau katakan. Mereka berkata: “Engkau telah melarang daging kurban setelah tiga hari.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku hanya melarang kalian karena adanya rombongan (dāffah) yang datang kepada kalian.” Maka makanlah, bersedekahlah, dan simpanlah. Yang dimaksud dengan dāffah adalah sekelompok orang miskin yang datang ke Madinah.

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَقَدَّمَ إِلَيْهِ أَهْلُهُ لَحْمًا، فَقَالَ: انْظُرُوا أَنْ يَكُونَ هَذَا مِنْ لُحُومِ الْأَضْحَى؟ فَقَالُوا: هُوَ مِنْهَا، فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا؟ فَقَالُوا: إِنَّهُ قَدْ كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَكَ أَمْرٌ، فَخَرَجَ أَبُو سَعِيدٍ فَسَأَلَ عَنْ ذَلِكَ، فَأُخْبِرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضْحَى بَعْدَ ثَلَاثٍ، فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَادَّخِرُوا , وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ الِانْتِبَاذِ فَانْتَبِذُوا، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا يَعْنِي لَا تَقُولُوا سُوءًا

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi Abdurrahman, dari Abu Sa‘id al-Khudri bahwa ia pulang dari safar, lalu keluarganya menghidangkan daging kepadanya. Ia berkata: “Periksalah, apakah ini dari daging hewan kurban?” Mereka berkata: “Ya, ini dari hewan kurban.” Maka Abu Sa‘id berkata: “Bukankah Rasulullah ﷺ telah melarangnya?” Mereka berkata: “Sungguh telah terjadi sesuatu dari Rasulullah ﷺ setelah engkau pergi.” Maka Abu Sa‘id keluar dan bertanya tentang hal itu, lalu diberitahu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku telah melarang kalian dari daging hewan kurban setelah tiga hari, maka makanlah, bersedekahlah, dan simpanlah. Aku juga telah melarang kalian dari membuat minuman (dari rendaman), maka sekarang buatlah minuman. Setiap yang memabukkan adalah haram. Aku juga telah melarang kalian dari ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah, dan janganlah berkata buruk (hujar), maksudnya jangan berkata yang tidak baik.”

بَابُ الشِّرْكَةِ فِي الضَّحَايَا وَعَنْ كَمْ تُذْبَحُ الْبَقَرَةُ وَالْبَدَنَةُ

Bab: Syirkah (bersekutu) dalam hewan kurban, dan tentang berapa orang yang boleh berkurban dengan seekor sapi dan unta.

9 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ: نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

9 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abu az-Zubair al-Makki, dari Jabir bin Abdillah bahwa ia berkata: Kami menyembelih bersama Rasulullah ﷺ pada tahun Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ صَيَّادٍ، أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ: كُنَّا نُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْهُ، وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ بَعْدُ فَصَارَتْ مُبَاهَاةً

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari ‘Umarah bin Shayyad, bahwa ‘Atha’ bin Yasar mengabarkan kepadanya bahwa Abu Ayyub al-Anshari mengabarkan kepadanya, ia berkata: Dahulu kami berkurban dengan satu ekor kambing yang disembelih oleh seseorang untuk dirinya dan keluarganya. Kemudian setelah itu orang-orang saling berbangga-bangga, sehingga menjadi ajang pamer.

قَالَ مَالِكٌ وَأَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي الْبَدَنَةِ وَالْبَقَرَةِ وَالشَّاةِ، أَنَّ الرَّجُلَ يَنْحَرُ عَنْهُ، وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ الْبَدَنَةَ وَيَذْبَحُ الْبَقَرَةَ وَالشَّاةَ الْوَاحِدَةَ هُوَ يَمْلِكُهَا، وَيَذْبَحُهَا عَنْهُمْ، وَيَشْرَكُهُمْ فِيهَا، فَأَمَّا أَنْ يَشْتَرِيَ النَّفَرُ الْبَدَنَةَ أَوِ الْبَقَرَةَ أَوِ الشَّاةَ يَشْتَرِكُونَ فِيهَا فِي النُّسُكِ وَالضَّحَايَا فَيُخْرِجُ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ حِصَّةً مِنْ ثَمَنِهَا وَيَكُونُ لَهُ حِصَّةٌ مِنْ لَحْمِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يُكْرَهُ وَإِنَّمَا سَمِعْنَا الْحَدِيثَ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَكُ فِي النُّسُكِ وَإِنَّمَا يَكُونُ عَنْ أَهْلِ الْبَيْتِ الْوَاحِدِ “

Malik berkata, “Pendapat terbaik yang aku dengar tentang unta, sapi, dan kambing adalah bahwa seseorang menyembelih unta atas namanya dan keluarganya, begitu pula sapi dan kambing, jika ia memilikinya, lalu ia menyembelihnya atas nama mereka dan mengikutsertakan mereka di dalamnya. Adapun jika sekelompok orang membeli unta, sapi, atau kambing secara patungan untuk ibadah haji atau kurban, lalu masing-masing dari mereka mengeluarkan bagian dari harganya dan mendapatkan bagian dari dagingnya, maka hal itu makruh. Kami hanya mendengar hadits bahwa tidak boleh ada patungan dalam ibadah haji, dan kurban itu hanya untuk satu keluarga saja.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ: مَا نَحَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ وَعَنْ  أَهْلِ بَيْتِهِ إِلَّا بَدَنَةً وَاحِدَةً أَوْ بَقَرَةً وَاحِدَةً قَالَ مَالِكٌ: لَا أَدْرِي أَيَّتَهُمَا قَالَ اْبنُ شِهَابٍ

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa ia berkata, “Rasulullah ﷺ tidak pernah menyembelih atas namanya dan keluarganya kecuali satu ekor unta atau satu ekor sapi.” Malik berkata, “Aku tidak tahu mana di antara keduanya yang dikatakan oleh Ibnu Syihab.”

بَابُ الضَّحِيَّةِ عَمَّا فِي بَطْنِ الْمَرْأَةِ وَذِكْرِ أَيَّامِ الْأَضْحَى

Bab Kurban untuk Janin dalam Kandungan Wanita dan Penjelasan Hari-hari Idul Adha

12 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ: الْأَضْحَى يَوْمَانِ بَعْدَ يَوْمِ الْأَضْحَى

12 – Dan telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Hari-hari Idul Adha adalah dua hari setelah hari Idul Adha.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ مِثْلُ ذَلِكَ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya dari Ali bin Abi Thalib hal yang serupa dengan itu.

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ” لَمْ يَكُنْ يُضَحِّي عَمَّا فِي بَطْنِ الْمَرْأَةِ قَالَ مَالِكٌ: الضَّحِيَّةُ سُنَّةٌ وَلَيْسَتْ بِوَاجِبَةٍ، وَلَا أُحِبُّ لِأَحَدٍ مِمَّنْ قَوِيَ عَلَى ثَمَنِهَا أَنْ يَتْرُكَهَا

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar “tidak pernah berkurban untuk janin yang ada dalam kandungan wanita.” Malik berkata, “Kurban itu adalah sunnah dan bukan wajib. Aku tidak suka jika seseorang yang mampu membelinya meninggalkannya.”

24 – كِتَابُ الذَّبَائِحِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي التَّسْمِيَةِ عَلَى الذَّبِيحَةِ

Bab Penjelasan Tentang Membaca Basmalah atas Hewan Sembelihan

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ يَأْتُونَنَا بِلُحْمَانٍ وَلَا نَدْرِي هَلْ سَمَّوُا اللَّهَ عَلَيْهَا أَمْ لَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهَا ثُمَّ كُلُوهَا قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa ia berkata, “Rasulullah ﷺ pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, ada orang-orang dari pedalaman yang datang kepada kami membawa daging, dan kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sebutlah nama Allah atasnya, lalu makanlah.’ Malik berkata, ‘Itu terjadi pada masa awal Islam.’”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَيَّاشِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ الْمَخْزُومِيَّ أَمَرَ غُلَامًا لَهُ أَنْ يَذْبَحَ ذَبِيحَةً، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَذْبَحَهَا، قَالَ لَهُ: سَمِّ اللَّهَ، فَقَالَ لَهُ الْغُلَامُ: قَدْ سَمَّيْتُ، فَقَالَ لَهُ: سَمِّ اللَّهَ وَيْحَكَ، قَالَ لَهُ: قَدْ سَمَّيْتُ اللَّهَ، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَيَّاشٍ: وَاللَّهِ لَا أَطْعَمُهَا أَبَدًا

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, bahwa Abdullah bin ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi memerintahkan seorang budaknya untuk menyembelih hewan kurban. Ketika budak itu hendak menyembelihnya, ia berkata kepadanya, “Sebutlah nama Allah.” Budak itu menjawab, “Aku sudah menyebut nama Allah.” Ia berkata lagi, “Sebutlah nama Allah, celaka kamu!” Budak itu menjawab, “Aku sudah menyebut nama Allah.” Maka Abdullah bin ‘Ayyasy berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memakannya selamanya.”

بَابُ مَا يَجُوزُ مِنَ الذَّكَاةِ فِي حَالِ الضَّرُورَةِ

Bab Apa yang Diperbolehkan dari Penyembelihan dalam Keadaan Darurat

3 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ بَنِي حَارِثَةَ كَانَ يَرْعَى لِقْحَةً لَهُ بِأُحُدٍ فَأَصَابَهَا الْمَوْتُ، فَذَكَّاهَا بِشِظَاظٍ فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: لَيْسَ بِهَا بَأْسٌ فَكُلُوهَا

3 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, bahwa seorang laki-laki dari Anshar, dari Bani Haritsah, sedang menggembalakan unta betinanya di Uhud, lalu unta itu hampir mati. Ia pun menyembelihnya dengan pecahan tulang. Lalu Rasulullah ﷺ ditanya tentang hal itu, beliau bersabda, “Tidak apa-apa, makanlah.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ سَعْدٍ أَوْ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ أَنَّ جَارِيَةً لِكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لَهَا بِسَلْعٍ، فَأُصِيبَتْ شَاةٌ مِنْهَا فَأَدْرَكَتْهَا فَذَكَّتْهَا، بِحَجَرٍ فَسُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهَا فَكُلُوهَا

4 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari seorang laki-laki dari Anshar, dari Mu’adz bin Sa’d atau Sa’d bin Mu’adz, bahwa seorang budak perempuan milik Ka’b bin Malik sedang menggembalakan kambingnya di Sal’, lalu seekor kambingnya terluka dan ia berhasil menyembelihnya dengan batu. Rasulullah ﷺ pun ditanya tentang hal itu, beliau bersabda, “Tidak apa-apa, makanlah.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ ذَبَائِحِ نَصَارَى الْعَرَبِ؟ فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهَا، وَتَلَا هَذِهِ الْآيَةَ {وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ} [المائدة: 51]

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Tsaura bin Zaid ad-Daili, dari Abdullah bin Abbas, bahwa ia pernah ditanya tentang sembelihan orang-orang Nasrani Arab. Ia menjawab, “Tidak apa-apa,” lalu ia membaca ayat ini: {Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka} (al-Ma’idah: 51).

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ كَانَ يَقُولُ: ” مَا فَرَى الْأَوْدَاجَ فَكُلُوهُ

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Abdullāh bin ‘Abbās biasa berkata: “Apa yang memutus urat-urat leher, maka makanlah.”

حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: مَا ذُبِحَ بِهِ إِذَا بَضَعَ فَلَا بَأْسَ بِهِ إِذَا اضْطُرِرْتَ إِلَيْهِ

Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia biasa berkata: “Apa pun yang disembelih dengan alat apa saja, jika dapat melukai (memotong) maka tidak mengapa memakannya jika engkau terpaksa.”

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنَ الذَّبِيحَةِ فِي الذَّكَاةِ

Bab tentang hal-hal yang dimakruhkan dari sembelihan dalam proses penyembelihan (dzakāh).

7 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مُرَّةَ مَوْلَى عَقِيلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّهُ سَأَلَ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ شَاةٍ ذُبِحَتْ، فَتَحَرَّكَ بَعْضُهَا، فَأَمَرَهُ أَنْ يَأْكُلَهَا

7 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Abū Murrah, maula ‘Aqīl bin Abī Ṭālib, bahwa ia bertanya kepada Abū Hurairah tentang seekor kambing yang telah disembelih, lalu sebagian tubuhnya masih bergerak, maka Abū Hurairah memerintahkannya untuk memakannya.

ثُمَّ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَقَالَ: إِنَّ الْمَيْتَةَ لَتَتَحَرَّكُ وَنَهَاهُ عَنْ ذَلِكَ وَسُئِلَ مالِكٌ عَنْ شَاةٍ تَرَدَّتْ فَتَكَسَّرَتْ، فَأَدْرَكَهَا صَاحِبُهَا فَذَبَحَهَا، فَسَالَ الدَّمُ مِنْهَا وَلَمْ تَتَحَرَّكْ فَقَالَ مالِكٍ: إِذَا كَانَ ذَبَحَهَا وَنَفَسُهَا يَجْرِي وَهِيَ تَطْرِفُ فَلْيَأْكُلْهَا

Kemudian ia bertanya tentang hal itu kepada Zaid bin Tsābit, lalu Zaid berkata: “Sesungguhnya bangkai pun bisa bergerak,” dan ia melarangnya dari hal itu. Mālik juga pernah ditanya tentang seekor kambing yang jatuh lalu patah tulangnya, kemudian pemiliknya sempat menyembelihnya, lalu darah mengalir darinya namun kambing itu tidak bergerak. Mālik berkata: “Jika ia menyembelihnya saat nyawanya masih ada dan matanya masih berkedip, maka hendaklah ia memakannya.”

بَابُ ذَكَاةِ مَا فِي بَطْنِ الذَّبِيحَةِ

Bab tentang penyembelihan (dzakāh) janin yang ada di dalam perut hewan sembelihan.

8 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: إِذَا نُحِرَتِ النَّاقَةُ فَذَكَاةُ مَا فِي بَطْنِهَا فِي ذَكَاتِهَا، إِذَا كَانَ قَدْ تَمَّ خَلْقُهُ، نَبَتَ شَعَرُهُ، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ ذُبِحَ، حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ مِنْ جَوْفِهِ

8 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ia biasa berkata: “Jika unta disembelih, maka penyembelihan janin yang ada di dalam perutnya mengikuti penyembelihan induknya, jika janin itu telah sempurna penciptaannya dan telah tumbuh bulunya. Namun jika ia keluar dari perut induknya, maka ia harus disembelih hingga darah keluar dari tubuhnya.”

9 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ اللَّيْثِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: ذَكَاةُ مَا فِي بَطْنِ الذَّبِيحَةِ فِي ذَكَاةِ أُمِّهِ إِذَا كَانَ قَدْ تَمَّ خَلْقُهُ وَنَبَتَ شَعَرُهُ

9 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yazīd bin ‘Abdullāh bin Qusayṭ al-Laytsī, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia biasa berkata: “Penyembelihan janin yang ada di dalam perut hewan sembelihan mengikuti penyembelihan induknya, jika janin itu telah sempurna penciptaannya dan telah tumbuh bulunya.”

25 – كِتَابُ الصَّيْدِ

بَابُ تَرْكِ أَكْلِ مَا قَتَلَ الْمِعْرَاضُ وَالْحَجَرُ

Bab tentang larangan memakan hewan yang dibunuh dengan alat tumpul (al-mi‘rāḍ) dan batu.

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّهُ قَالَ: رَمَيْتُ طَائِرَيْنِ بِحَجَرٍ، وَأَنَا بِالْجُرْفِ فَأَصَبْتُهُمَا، فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَمَاتَ، فَطَرَحَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَذَهَبَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ يُذَكِّيهِ بِقَدُومٍ فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُذَكِّيَهُ فَطَرَحَهُ عَبْدُ اللَّهِ أَيْضًا

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa ia berkata: “Aku melempar dua burung dengan batu saat aku berada di al-Jurf, lalu aku mengenainya. Salah satunya mati, maka ‘Abdullāh bin ‘Umar membuangnya. Sedangkan yang lainnya, ‘Abdullāh bin ‘Umar hendak menyembelihnya dengan kapak, namun burung itu mati sebelum disembelih, maka ‘Abdullāh juga membuangnya.”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ كَانَ يَكْرَهُ مَا قَتَلَ الْمِعْرَاضُ وَالْبُنْدُقَةُ

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa al-Qāsim bin Muhammad membenci (memakruhkan) hewan yang dibunuh dengan alat tumpul (al-mi‘rāḍ) dan peluru (al-bunduqah).

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ تُقْتَلَ الْإِنْسِيَّةُ، بِمَا يُقْتَلُ بِهِ الصَّيْدُ مِنَ الرَّمْيِ وَأَشْبَاهِهِ قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا أَرَى بَأْسًا بِمَا أَصَابَ الْمِعْرَاضُ إِذَا خَسَقَ وَبَلَغَ الْمَقَاتِلَ أَنْ يُؤْكَلَ قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَيَبْلُوَنَّكُمُ اللَّهُ بِشَيْءٍ مِنَ الصَّيْدِ تَنَالُهُ أَيْدِيكُمْ وَرِمَاحُكُمْ} [المائدة: 94] قَالَ فَكُلُّ شَيْءٍ نَالَهُ الْإِنْسَانُ بِيَدِهِ أَوْ رُمْحِهِ أَوْ بِشَيْءٍ مِنْ سِلَاحِهِ فَأَنْفَذَهُ وَبَلَغَ مَقَاتِلَهُ فَهُوَ صَيْدٌ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى “

3 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Sa‘īd bin al-Musayyib membenci membunuh hewan peliharaan dengan cara yang digunakan untuk membunuh hewan buruan, seperti dengan melempar dan sejenisnya. Mālik berkata: “Aku tidak melihat masalah pada hewan yang terkena alat tumpul (al-mi‘rāḍ) jika alat itu menembus dan mengenai bagian vital, maka boleh dimakan. Allah Ta‘ālā berfirman: {Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan sesuatu dari hewan buruan yang dapat dijangkau oleh tangan dan tombak kalian} [al-Mā’idah: 94]. Maka segala sesuatu yang didapatkan manusia dengan tangannya, tombaknya, atau dengan senjatanya lalu menembus dan mengenai bagian vitalnya, maka itu adalah buruan sebagaimana yang difirmankan Allah Ta‘ālā.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَهْلَ الْعِلْمِ يَقُولُونَ: إِذَا أَصَابَ الرَّجُلُ الصَّيْدَ فَأَعَانَهُ عَلَيْهِ غَيْرُهُ مِنْ مَاءٍ أَوْ كَلْبٍ غَيْرِ مُعَلَّمٍ، لَمْ يُؤْكَلْ ذَلِكَ الصَّيْدُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ سَهْمُ الرَّامِي قَدْ قَتَلَهُ، أَوْ بَلَغَ مَقَاتِلَ الصَّيْدِ حَتَّى لَا يَشُكَّ أَحَدٌ فِي أَنَّهُ هُوَ قَتَلَهُ، وَأَنَّهُ لَا يَكُونُ لِلصَّيْدِ حَيَاةٌ بَعْدَهُ قَالَ وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: لَا بَأْسَ بِأَكْلِ الصَّيْدِ وَإِنْ غَابَ عَنْكَ مَصْرَعُهُ، إِذَا وَجَدْتَ بِهِ أَثَرًا مِنْ كَلْبِكَ، أَوْ كَانَ بِهِ سَهْمُكَ. مَا لَمْ يَبِتْ فَإِذَا بَاتَ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ أَكْلُهُ

4 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa ia mendengar para ahli ilmu berkata: “Jika seseorang memburu hewan lalu ada pihak lain yang membantunya, baik dengan air atau anjing yang tidak terlatih, maka hewan buruan itu tidak boleh dimakan, kecuali jika anak panah si pemburu yang membunuhnya atau mengenai bagian vital hewan buruan sehingga tidak ada keraguan bahwa dialah yang membunuhnya, dan hewan itu tidak lagi memiliki kehidupan setelahnya.” Ia berkata: “Aku juga mendengar Mālik berkata: Tidak mengapa memakan hewan buruan meskipun engkau tidak menyaksikan tempat matinya, jika engkau mendapati ada bekas gigitan anjingmu atau ada anak panahmu padanya, selama tidak bermalam. Namun jika telah bermalam, maka makruh untuk memakannya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي صَيْدِ الْمُعَلَّمَاتِ

Bab tentang ketentuan perburuan dengan hewan-hewan yang terlatih.

5 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي الْكَلْبِ الْمُعَلَّمِ: كُلْ مَا أَمْسَكَ عَلَيْكَ إِنْ قَتَلَ، وَإِنْ لَمْ يَقْتُلْ

5 – Yahya telah meriwayatkan kepadaku, dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa ia biasa berkata tentang anjing terlatih: “Makanlah apa yang ia tangkap untukmu, baik ia membunuh (buruan itu) maupun tidak.”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ أَنَّهُ سَمِعَ نَافِعًا يَقُولُ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: وَإِنْ أَكَلَ وَإِنْ لَمْ يَأْكُلْ

6 – Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa ia mendengar Nafi‘ berkata: ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Baik anjing itu memakan (buruan) maupun tidak memakannya.”

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْكَلْبِ الْمُعَلَّمِ إِذَا قَتَلَ الصَّيْدَ؟ فَقَالَ سَعْدٌ: كُلْ وَإِنْ لَمْ تَبْقَ إِلَّا بَضْعَةٌ وَاحِدَةٌ

7 – Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa sampai kepadanya, dari Sa‘d bin Abi Waqqash, bahwa ia pernah ditanya tentang anjing terlatih jika membunuh buruan? Maka Sa‘d berkata: “Makanlah, meskipun yang tersisa hanya satu potong daging saja.”

8 – أَنَّهُ سَمِعَ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُونَ: فِي الْبَازِي، وَالْعُقَابِ، وَالصَّقْرِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، أَنَّهُ إِذَا كَانَ يَفْقَهُ كَمَا تَفْقَهُ الْكِلَابُ الْمُعَلَّمَةُ فَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ مَا قَتَلَتْ مِمَّا صَادَتْ، إِذَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَى إِرْسَالِهَا

8 – Bahwa ia mendengar sebagian ahli ilmu berkata: “Tentang burung elang, rajawali, elang pemburu, dan yang semisalnya, jika ia memahami (perintah) sebagaimana anjing-anjing terlatih memahaminya, maka tidak mengapa memakan apa yang dibunuhnya dari hasil buruannya, jika nama Allah disebut saat melepaskannya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَأَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي الَّذِي يَتَخَلَّصُ الصَّيْدَ مِنْ مَخَالِبِ الْبَازِي، أَوْ مِنَ الْكَلْبِ ثُمَّ يَتَرَبَّصُ بِهِ فَيَمُوتُ أَنَّهُ لَا يَحِلُّ أَكْلُهُ

Malik berkata: “Pendapat terbaik yang aku dengar tentang buruan yang berhasil lepas dari cengkeraman elang atau dari anjing, lalu ia menungguinya hingga mati, maka tidak halal memakannya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا قُدِرَ عَلَى ذَبْحِهِ وَهُوَ فِي مَخَالِبِ الْبَازِي أَوْ فِي الْكَلْبِ فَيَتْرُكُهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى ذَبْحِهِ حَتَّى يَقْتُلَهُ الْبَازِي أَوِ الْكَلْبُ فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ أَكْلُهُ

Malik berkata: “Demikian pula setiap buruan yang memungkinkan untuk disembelih sementara masih dalam cengkeraman elang atau anjing, lalu pemiliknya meninggalkannya padahal ia mampu menyembelihnya hingga akhirnya elang atau anjing itu membunuhnya, maka tidak halal memakannya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَكَذَلِكَ الَّذِي يَرْمِي الصَّيْدَ فَيَنَالُهُ وَهُوَ حَيٌّ، فَيُفَرِّطُ فِي ذَبْحِهِ حَتَّى يَمُوتَ فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ أَكْلُهُ

Malik berkata: “Demikian pula orang yang melempar buruan lalu mendapatkannya masih hidup, kemudian ia lalai untuk menyembelihnya hingga buruan itu mati, maka tidak halal memakannya.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا أَنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا أَرْسَلَ كَلْبَ الْمَجُوسِيِّ الضَّارِيَ فَصَادَ أَوْ قَتَلَ إِنَّهُ إِذَا كَانَ مُعَلَّمًا فَأَكْلُ ذَلِكَ الصَّيْدِ حَلَالٌ لَا بَأْسَ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يُذَكِّهِ الْمُسْلِمُ، وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ مَثَلُ الْمُسْلِمِ يَذْبَحُ بِشَفْرَةِ الْمَجُوسِيِّ، أَوْ يَرْمِي بِقَوْسِهِ أَوْ بِنَبْلِهِ فَيَقْتُلُ بِهَا فَصَيْدُهُ ذَلِكَ، وَذَبِيحَتُهُ حَلَالٌ، لَا بَأْسَ بِأَكْلِهِ، وَإِذَا أَرْسَلَ الْمَجُوسِيُّ كَلْبَ الْمُسْلِمِ الضَّارِيَ عَلَى صَيْدٍ فَأَخَذَهُ، فَإِنَّهُ لَا يُؤْكَلُ ذَلِكَ الصَّيْدُ إِلَّا أَنْ يُذَكَّى، وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ مَثَلُ قَوْسِ الْمُسْلِمِ، وَنَبْلِهِ يَأْخُذُهَا الْمَجُوسِيُّ فَيَرْمِي بِهَا الصَّيْدَ فَيَقْتُلُهُ، وَبِمَنْزِلَةِ شَفْرَةِ الْمُسْلِمِ يَذْبَحُ بِهَا الْمَجُوسِيُّ فَلَا يَحِلُّ أَكْلُ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ

Malik berkata: “Kesepakatan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa seorang Muslim jika melepaskan anjing milik Majusi yang terlatih lalu anjing itu memburu atau membunuh, maka jika anjing itu terlatih, memakan hasil buruannya adalah halal dan tidak mengapa, meskipun tidak disembelih oleh Muslim. Hal itu seperti seorang Muslim menyembelih dengan pisau milik Majusi, atau memanah dengan busur atau anak panah milik Majusi lalu membunuh dengan itu, maka hasil buruannya dan sembelihannya halal, tidak mengapa memakannya. Namun jika Majusi melepaskan anjing milik Muslim yang terlatih untuk memburu lalu menangkap buruan, maka hasil buruannya tidak boleh dimakan kecuali disembelih (secara syar‘i). Hal itu seperti busur atau anak panah milik Muslim yang digunakan oleh Majusi untuk memburu lalu membunuh buruan, atau seperti pisau milik Muslim yang digunakan Majusi untuk menyembelih, maka tidak halal memakan apa pun dari itu.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي صَيْدِ الْبَحْرِ

Bab: Tentang Buruan Laut

9 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي هُرَيْرَةَ، سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ عَمَّا لَفَظَ الْبَحْرُ، فَنَهَاهُ عَنْ أَكْلِهِ، قَالَ نَافِعٌ، ثُمَّ انْقَلَبَ عَبْدُ اللَّهِ فَدَعَا بِالْمُصْحَفِ، فَقَرَأَ: {أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ} [المائدة: 96]، قَالَ نَافِعٌ: فَأَرْسَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّهُ لَا بَأْسَ بِأَكْلِهِ

9 – Yahya telah meriwayatkan kepadaku, dari Malik, dari Nafi‘, bahwa ‘Abdurrahman bin Abi Hurairah pernah bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang (binatang) yang terdampar di laut, maka ia melarangnya untuk memakannya. Nafi‘ berkata: Kemudian ‘Abdullah bin ‘Umar pulang, lalu meminta mushaf, kemudian membaca: {Dihalalkan bagi kalian buruan laut dan makanannya} [al-Ma’idah: 96]. Nafi‘ berkata: Lalu ‘Abdullah bin ‘Umar mengutusku kepada ‘Abdurrahman bin Abi Hurairah untuk memberitahukan bahwa tidak mengapa memakannya.

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ سَعْدٍ الْجَارِيِّ، مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ عَنِ الْحِيتَانِ يَقْتُلُ بَعْضُهَا بَعْضًا أَوْ تَمُوتُ صَرَدًا؟ فَقَالَ لَيْسَ بِهَا بَأْسٌ، قَالَ سَعْدٌ ثُمَّ سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: مِثْلَ ذَلِكَ

10 – Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Sa‘d al-Jari, maula ‘Umar bin al-Khattab, bahwa ia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang ikan yang saling membunuh atau mati karena kedinginan?” Ia menjawab: “Tidak mengapa (memakannya).” Sa‘d berkata: “Kemudian aku bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, dan ia menjawab seperti itu juga.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُمَا كَانَا: لَا يَرَيَانِ بِمَا لَفَظَ الْبَحْرُ بَأْسًا

11 – Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Abu al-Zinad, dari Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman, dari Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit, bahwa keduanya tidak memandang masalah pada (binatang) yang terdampar di laut.

12 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الْجَارِ قَدِمُوا فَسَأَلُوا مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ عَمَّا لَفَظَ الْبَحْرُ؟ فَقَالَ: لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ، وَقَالَ: اذْهَبُوا إِلَى زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، فَاسْأَلُوهُمَا عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ ائْتُونِي فَأَخْبِرُونِي، مَاذَا يَقُولَانِ؟ فَأَتَوْهُمَا فَسَأَلُوهُمَا، فَقَالَا: لَا بَأْسَ بِهِ فَأَتَوْا مَرْوَانَ فَأَخْبَرُوهُ، فَقَالَ مَرْوَانُ: قَدْ قُلْتُ لَكُمْ.

12 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari Abū Salamah bin ‘Abd ar-Raḥmān, bahwa sekelompok orang dari penduduk al-Jār datang lalu mereka bertanya kepada Marwān bin al-Ḥakam tentang apa yang dilemparkan laut (bangkai laut)? Maka ia menjawab: “Tidak mengapa.” Ia juga berkata: “Pergilah kalian kepada Zaid bin Tsābit dan Abū Hurairah, lalu tanyakanlah kepada keduanya tentang hal itu, kemudian kembalilah kepadaku dan beritahukanlah kepadaku apa yang mereka katakan.” Maka mereka mendatangi keduanya dan bertanya kepada mereka berdua, lalu keduanya berkata: “Tidak mengapa.” Kemudian mereka kembali kepada Marwān dan memberitahukan kepadanya, maka Marwān berkata: “Bukankah aku telah mengatakan kepada kalian.”

قَالَ مَالِكٌ: لَا بَأْسَ بِأَكْلِ الْحِيتَانِ يَصِيدُهَا الْمَجُوسِيُّ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي الْبَحْرِ: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Mālik berkata: Tidak mengapa memakan ikan yang ditangkap oleh orang Majusi, karena Rasulullah ﷺ bersabda tentang laut: “Airnya suci dan bangkainya halal.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا أُكِلَ ذَلِكَ مَيْتًا فَلَا يَضُرُّهُ مَنْ صَادَهُ

Mālik berkata: Dan jika itu dimakan dalam keadaan mati (bangkai), maka tidak masalah siapa yang menangkapnya.

بَابُ تَحْرِيمِ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

Bab Larangan Memakan Setiap Binatang Buas yang Bertaring

13 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ، عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَكْلُ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ

13 – Telah menceritakan kepadaku Yaḥyā, dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Abū Idrīs al-Khaulānī, dari Abū Tsa‘labah al-Khushani, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram.”

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ عَبِيدَةَ بْنِ سُفْيَانَ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَكْلُ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ

14 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ismā‘īl bin Abī Ḥakīm, dari ‘Ubaidah bin Sufyān al-Ḥaḍramī, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Memakan setiap binatang buas yang bertaring adalah haram.”

قَالَ مَالِكٌ: وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا

Mālik berkata: Dan demikianlah yang berlaku menurut kami.

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنْ أَكْلِ الدَّوَابِّ

Bab Hal-hal yang Dimakruhkan dari Memakan Binatang Ternak

15 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ ” أَنَّ أَحْسَنَ مَا سَمِعَ فِي الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ، أَنَّهَا لَا تُؤْكَلُ، لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: {وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً} [النحل: 8] وَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الْأَنْعَامِ: {لِتَرْكَبُوا مِنْهَا، وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ} [غافر: 79]، وَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ} [الحج: 34]، {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ} [الحج: 36]

15 – Telah menceritakan kepadaku Yaḥyā, dari Mālik, “Bahwa pendapat terbaik yang aku dengar tentang kuda, bagal, dan keledai adalah bahwa semuanya tidak dimakan, karena Allah Tabāraka wa Ta‘ālā berfirman: {Dan (Dia ciptakan) kuda, bagal, dan keledai untuk kalian tunggangi dan sebagai perhiasan} [an-Naḥl: 8]. Dan Allah Tabāraka wa Ta‘ālā berfirman tentang hewan ternak: {Agar kalian menungganginya, dan sebagian darinya kalian makan} [Ghāfir: 79]. Dan Allah Tabāraka wa Ta‘ālā berfirman: {Agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang diberikan-Nya kepada mereka berupa hewan ternak} [al-Ḥajj: 34], {Maka makanlah sebagian darinya dan berilah makan orang yang merasa cukup dan orang yang meminta} [al-Ḥajj: 36].”

قَالَ مَالِكٌ: وسَمِعْتُ أَنَّ: الْبَائِسَ هُوَ الْفَقِيرُ، وَأَنَّ الْمُعْتَرَّ هُوَ الزَّائِرُ قَالَ مَالِكٌ: فَذَكَرَ اللَّهُ الْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِلرُّكُوبِ وَالزِّينَةِ، وَذَكَرَ الْأَنْعَامَ لِلرُّكُوبِ وَالْأَكْلِ قَالَ مَالِكٌ: وَالْقَانِعُ هُوَ الْفَقِيرُ أَيْضًا

Mālik berkata: Aku mendengar bahwa al-bā’is adalah orang fakir, dan al-mu‘tar adalah orang yang berkunjung. Mālik berkata: Maka Allah menyebutkan kuda, bagal, dan keledai untuk ditunggangi dan sebagai perhiasan, dan menyebutkan hewan ternak untuk ditunggangi dan dimakan. Mālik berkata: Dan al-qāni‘ juga adalah orang fakir.

بَابُ مَا جَاءَ فِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ

Bab Tentang Kulit Bangkai

16 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ كَانَ أَعْطَاهَا مَوْلَاةً لِمَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: أَفَلَا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا؟ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا حُرِّمَ أَكْلُهَا

16 – Telah menceritakan kepadaku Yaḥyā, dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ūd, dari ‘Abdullah bin ‘Abbās, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ melewati seekor kambing mati yang pernah diberikan kepada budak perempuan Maimūnah, istri Nabi ﷺ. Maka beliau bersabda: “Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, itu adalah bangkai.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Yang diharamkan hanyalah memakannya.”

17 – وَحَدَّثَنِي مالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنِ ابْنِ وَعْلَةَ الْمِصْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهَرَ

17 – Dan telah menceritakan kepadaku Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari Ibn Wa‘lah al-Miṣrī, dari ‘Abdullah bin ‘Abbās, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika kulit telah disamak, maka ia menjadi suci.”

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ: أَنْ يُسْتَمْتَعَ بِجُلُودِ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَتْ

18 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yazīd bin ‘Abdullah bin Qusayṭ, dari Muḥammad bin ‘Abd ar-Raḥmān bin Tsaubān, dari ibunya, dari ‘Ā’isyah, istri Nabi ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kulit bangkai dimanfaatkan jika telah disamak.

بَابُ مَا جَاءَ فِيمَنْ يُضْطَرُّ إِلَى أَكْلِ الْمَيْتَةِ “

Bab Tentang Orang yang Terpaksa Memakan Bangkai

19 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّ أَحْسَنَ مَا سُمِعَ فِي الرَّجُلِ يُضْطَرُّ إِلَى الْمَيْتَةِ، أَنَّهُ يَأْكُلُ مِنْهَا، حَتَّى يَشْبَعَ وَيَتَزَوَّدُ مِنْهَا، فَإِنْ وَجَدَ عَنْهَا غِنًى طَرَحَهَا ” وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الرَّجُلِ يُضْطَرُّ إِلَى الْمَيْتَةِ أَيَأْكُلُ مِنْهَا؟ وَهُوَ يَجِدُ ثَمَرَ الْقَوْمِ، أَوْ زَرْعًا أَوْ غَنَمًا بِمَكَانِهِ ذَلِكَ

19 – Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa pendapat terbaik yang didengar mengenai seseorang yang terpaksa memakan bangkai adalah bahwa ia boleh memakannya hingga kenyang dan boleh membawa bekal darinya. Namun, jika ia telah mendapatkan kecukupan selainnya, maka ia harus membuangnya.” Malik pernah ditanya tentang seseorang yang terpaksa memakan bangkai, apakah ia boleh memakannya padahal ia menemukan buah-buahan milik suatu kaum, atau tanaman, atau kambing di tempat itu?

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ ظَنَّ أَنَّ أَهْلَ ذَلِكَ الثَّمَرِ أَوِ الزَّرْعِ أَوِ الْغَنَمِ يُصَدِّقُونَهُ بِضَرُورَتِهِ، حَتَّى لَا يُعَدُّ سَارِقًا فَتُقْطَعَ يَدُهُ، رَأَيْتُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ أَيِّ ذَلِكَ وَجَدَ مَا يَرُدُّ جُوعَهُ، وَلَا يَحْمِلُ مِنْهُ شَيْئًا، وَذَلِكَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ الْمَيْتَةَ، وَإِنْ هُوَ خَشِيَ أَنْ لَا يُصَدِّقُوهُ، وَأَنْ يُعَدَّ سَارِقًا بِمَا أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ، فَإِنَّ أَكْلَ الْمَيْتَةِ خَيْرٌ لَهُ عِنْدِي، وَلَهُ فِي أَكْلِ الْمَيْتَةِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ سَعَةٌ، مَعَ أَنِّي أَخَافُ أَنْ يَعْدُوَ عَادٍ مِمَّنْ لَمْ يُضْطَرَّ إِلَى الْمَيْتَةِ يُرِيدُ اسْتِجَازَةَ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ وَزُرُوعِهِمْ وَثِمَارِهِمْ بِذَلِكَ بِدُونِ اضْطِرَارٍ قَالَ مَالِكٌ وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ

Malik berkata: Jika ia berprasangka bahwa pemilik buah, tanaman, atau kambing tersebut akan membenarkan keadaannya yang darurat sehingga ia tidak dianggap sebagai pencuri yang menyebabkan tangannya dipotong, maka menurutku ia boleh makan dari mana saja yang dapat menghilangkan rasa laparnya, namun tidak boleh membawa apa pun darinya. Dan itu lebih aku sukai daripada ia memakan bangkai. Namun, jika ia khawatir tidak akan dipercaya dan akan dianggap sebagai pencuri atas apa yang ia ambil dari sana, maka menurutku memakan bangkai lebih baik baginya. Dalam kondisi seperti ini, ia memiliki kelonggaran untuk memakan bangkai. Akan tetapi, aku khawatir ada orang yang tidak dalam keadaan darurat ingin mengambil harta, tanaman, dan buah-buahan milik orang lain tanpa kebutuhan yang mendesak dengan dalih tersebut. Malik berkata: Inilah pendapat terbaik yang aku dengar.

26 – كِتَابُ الْعَقِيقَةِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْعَقِيقَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai ‘aqīqah

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي ضَمْرَةَ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْعَقِيقَةِ؟ فَقَالَ: لَا أُحِبُّ الْعُقُوقَ , وَكَأَنَّهُ إِنَّمَا كَرِهَ الِاسْمَ، وَقَالَ: مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ

1 – Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari seorang laki-laki dari Bani Dhamrah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang ‘aqīqah. Beliau menjawab: “Aku tidak menyukai ‘uqūq (kedurhakaan).” Seakan-akan beliau tidak menyukai namanya saja. Beliau bersabda: “Barang siapa yang dikaruniai anak dan ingin menyembelih (hewan) untuk anaknya, maka silakan melakukannya.”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: وَزَنَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَعَرَ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ، وَزَيْنَبَ وَأُمِّ كُلْثُومٍ، فَتَصَدَّقَتْ بِزِنَةِ ذَلِكَ فِضَّةً

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Fāṭimah binti Rasulullah ﷺ pernah menimbang rambut Hasan, Husain, Zainab, dan Ummu Kultsum, lalu ia bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut tersebut.

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ، أَنَّهُ قَالَ: وَزَنَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَعَرَ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ فَتَصَدَّقَتْ بِزِنَتِهِ فِضَّةً

3 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, dari Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain, bahwa ia berkata: Fāṭimah binti Rasulullah ﷺ pernah menimbang rambut Hasan dan Husain, lalu ia bersedekah dengan perak seberat timbangan rambut itu.

بَابُ الْعَمَلِ فِي الْعَقِيقَةِ

Bab tentang amalan dalam ‘aqīqah

4 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ لَمْ يَكُنْ يَسْأَلُهُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهِ عَقِيقَةً، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهَا، وَكَانَ يَعُقُّ عَنْ وَلَدِهِ بِشَاةٍ شَاةٍ عَنِ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ

4 – Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar tidak pernah diminta oleh keluarganya untuk ‘aqīqah kecuali beliau memberikannya. Beliau menyembelih satu ekor kambing untuk setiap anaknya, baik laki-laki maupun perempuan.

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي: يَسْتَحِبُّ الْعَقِيقَةَ ولَوْ بِعُصْفُورٍ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, dari Muhammad bin Ibrahim bin al-Harith at-Taimi, bahwa ia berkata: Aku mendengar ayahku mengatakan: Disunnahkan melakukan ‘aqīqah, meskipun hanya dengan seekor burung.

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّهُ: عُقَّ عَنْ حَسَنٍ وَحُسَيْنٍ ابْنَيْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa telah dilakukan ‘aqīqah untuk Hasan dan Husain, putra ‘Ali bin Abi Ṭālib.

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ: يَعُقُّ عَنْ بَنِيهِ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ بِشَاةٍ شَاةٍ

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, bahwa ayahnya, ‘Urwah bin az-Zubair, biasa melakukan ‘aqīqah untuk anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, dengan satu ekor kambing untuk masing-masing.

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْعَقِيقَةِ أَنَّ: مَنْ عَقَّ فَإِنَّمَا يَعُقُّ عَنْ وَلَدِهِ بِشَاةٍ شَاةٍ الذُّكُورِ وَالْإِنَاثِ، وَلَيْسَتِ الْعَقِيقَةُ بِوَاجِبَةٍ، وَلَكِنَّهَا يُسْتَحَبُّ الْعَمَلُ بِهَا، وَهِيَ مِنَ الْأَمْرِ الَّذِي لَمْ يَزَلْ عَلَيْهِ النَّاسُ عِنْدَنَا، فَمَنْ عَقَّ عَنْ وَلَدِهِ، فَإِنَّمَا هِيَ بِمَنْزِلَةِ النُّسُكِ وَالضَّحَايَا لَا يَجُوزُ فِيهَا عَوْرَاءُ وَلَا عَجْفَاءُ، وَلَا مَكْسُورَةٌ وَلَا مَرِيضَةٌ، وَلَا يُبَاعُ مِنْ لَحْمِهَا شَيْءٌ، وَلَا جِلْدُهَا وَيُكْسَرُ عِظَامُهَا، وَيَأْكُلُ أَهْلُهَا مِنْ لَحْمِهَا، وَيَتَصَدَّقُونَ مِنْهَا، وَلَا يُمَسُّ الصَّبِيُّ بِشَيْءٍ مِنْ دَمِهَا “

Malik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai ‘aqīqah adalah: barang siapa yang melakukan ‘aqīqah, maka ia menyembelih satu ekor kambing untuk setiap anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. ‘Aqīqah bukanlah kewajiban, namun dianjurkan untuk dikerjakan. Ini adalah amalan yang terus-menerus dilakukan oleh masyarakat di kalangan kami. Barang siapa yang melakukan ‘aqīqah untuk anaknya, maka hukumnya seperti nusuk (sembelihan ibadah) dan dhahāyā (kurban), tidak sah jika hewannya cacat mata, kurus kering, patah tulang, atau sakit. Tidak boleh dijual daging atau kulitnya, tulangnya dipecahkan, keluarganya memakan dagingnya dan bersedekah darinya, dan tidak boleh menyentuhkan sedikit pun dari darahnya kepada bayi.”

27 – كِتَابُ الْفَرَائِضِ

بَابُ مِيرَاثِ الصُّلْبِ
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، وَالَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا: فِي فَرَائِضِ الْمَوَارِيثِ، أَنَّ مِيرَاثَ الْوَلَدِ مِنْ وَالِدِهِمْ، أَوْ وَالِدَتِهِمْ، أَنَّهُ إِذَا تُوُفِّيَ الْأَبُ أَوِ الْأُمُّ. وَتَرَكَا وَلَدًا رِجَالًا وَنِسَاءً. فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ , {فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ، فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ، وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ} [النساء: 11] فَإِنْ شَرِكَهُمْ أَحَدٌ بِفَرِيضَةٍ مُسَمَّاةٍ، وَكَانَ فِيهِمْ ذَكَرٌ بُدِئَ بِفَرِيضَةِ مَنْ شَرِكَهُمْ. وَكَانَ مَا بَقِيَ بَعْدَ ذَلِكَ بَيْنَهُمْ، عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ. وَمَنْزِلَةُ وَلَدِ الْأَبْنَاءِ الذُّكُورِ، إِذَا لَمْ يَكُنْ وَلَدٌ كَمَنْزِلَةِ الْوَلَدِ. سَوَاءٌ ذُكُورُهُمْ كَذُكُورِهِمْ. وَإِنَاثُهُمْ كَإِنَاثِهِمْ. يَرِثُونَ كَمَا يَرِثُونَ. وَيَحْجُبُونَ كَمَا يَحْجُبُونَ. فَإِنِ اجْتَمَعَ الْوَلَدُ لِلصُّلْبِ.

Bab Warisan Anak Kandung
Yahya meriwayatkan dari Mālik: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami, dan yang aku dapati para ahli ilmu di negeri kami berpegang padanya dalam pembagian warisan, adalah bahwa warisan anak dari ayah atau ibu mereka, apabila ayah atau ibu tersebut wafat dan meninggalkan anak-anak laki-laki dan perempuan, maka bagian laki-laki adalah dua kali bagian perempuan, sebagaimana firman Allah: {Jika anak-anak itu perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika hanya satu perempuan, maka ia mendapat setengahnya} [an-Nisā’: 11]. Jika ada yang turut bersama mereka dengan bagian warisan tertentu, dan di antara mereka terdapat laki-laki, maka didahulukan bagian orang yang turut tersebut, lalu sisanya dibagikan di antara mereka sesuai dengan bagian warisan masing-masing. Kedudukan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki dari pihak ayah), jika tidak ada anak kandung, adalah seperti kedudukan anak kandung. Laki-laki di antara mereka seperti laki-laki di antara anak kandung, dan perempuan di antara mereka seperti perempuan di antara anak kandung. Mereka mewarisi sebagaimana anak kandung mewarisi, dan mereka juga menghalangi (ahli waris lain) sebagaimana anak kandung menghalangi. Jika anak kandung dan cucu dari anak laki-laki berkumpul…

وَوَلَدُ الِابْنِ، وَكَانَ فِي الْوَلَدِ لِلصُّلْبِ ذَكَرٌ، فَإِنَّهُ لَا مِيرَاثَ مَعَهُ لِأَحَدٍ مِنْ وَلَدِ الِابْنِ. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْوَلَدِ لِلصُّلْبِ ذَكَرٌ، وَكَانَتَا ابْنَتَيْنِ فَأَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ مِنَ الْبَنَاتِ لِلصُّلْبِ، فَإِنَّهُ لَا مِيرَاثَ لِبَنَاتِ الِابْنِ مَعَهُنَّ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَ بَنَاتِ الِابْنِ ذَكَرٌ، هُوَ مِنَ الْمُتَوَفَّى بِمَنْزِلَتِهِنَّ. أَوْ هُوَ أَطْرَفُ مِنْهُنَّ، فَإِنَّهُ يَرُدُّ، عَلَى مَنْ هُوَ بِمَنْزِلَتِهِ وَمَنْ هُوَ فَوْقَهُ مِنْ بَنَاتِ الْأَبْنَاءِ، فَضْلًا إِنْ فَضَلَ. فَيَقْتَسِمُونَهُ بَيْنَهُمْ، لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. فَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ، فَلَا شَيْءَ لَهُمْ. وَإِنْ لَمْ يَكُنِ الْوَلَدُ لِلصُّلْبِ إِلَّا ابْنَةً وَاحِدَةً، فَلَهَا النِّصْفُ، وَلِابْنَةِ ابْنِهِ وَاحِدَةً كَانَتْ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ مِنْ بَنَاتِ الْأَبْنَاءِ، مِمَّنْ هُوَ مِنَ الْمُتَوَفَّى بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ، السُّدُسُ. فَإِنْ كَانَ مَعَ بَنَاتِ الِابْنِ ذَكَرٌ، هُوَ مِنَ الْمُتَوَفَّى بِمَنْزِلَتِهِنَّ. فَلَا فَرِيضَةَ وَلَا سُدُسَ لَهُنَّ. وَلَكِنْ إِنْ فَضَلَ بَعْدَ فَرَائِضِ أَهْلِ الْفَرَائِضِ فَضْلٌ، كَانَ ذَلِكَ الْفَضْلُ لِذَلِكَ الذَّكَرِ. وَلِمَنْ هُوَ بِمَنْزِلَتِهِ، وَمَنْ فَوْقَهُ مِنْ بَنَاتِ الْأَبْنَاءِ. لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. وَلَيْسَ لِمَنْ هُوَ أَطْرَفُ مِنْهُمْ شَيْ. فَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ فَلَا شَيْءَ لَهُمْ. وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ، وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ} [النساء: 11] ” قَالَ مَالِكٌ: الْأَطْرَفُ هُوَ الْأَبْعَدُ

…dan di antara anak kandung terdapat laki-laki, maka tidak ada warisan bagi siapa pun dari cucu (anak laki-laki dari anak laki-laki). Jika di antara anak kandung tidak terdapat laki-laki, dan terdapat dua anak perempuan atau lebih dari anak kandung, maka tidak ada warisan bagi anak-anak perempuan dari anak laki-laki bersama mereka, kecuali jika bersama anak-anak perempuan dari anak laki-laki itu terdapat laki-laki yang kedudukannya sama dengan mereka terhadap pewaris, atau lebih dekat dari mereka, maka ia mengambil sisa bagian bersama yang setara dengannya dan yang lebih tinggi darinya dari anak-anak perempuan cucu, jika masih ada sisa. Mereka membaginya di antara mereka, bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika tidak ada sisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa. Jika anak kandung hanya satu perempuan, maka ia mendapat setengah, dan anak perempuan dari anak laki-laki, baik satu maupun lebih dari satu, yang kedudukannya sama terhadap pewaris, mendapat seperenam. Jika bersama anak-anak perempuan dari anak laki-laki itu terdapat laki-laki yang kedudukannya sama terhadap pewaris, maka tidak ada bagian tertentu maupun seperenam bagi mereka. Namun, jika setelah pembagian bagian ahli waris yang berhak masih ada sisa, maka sisa itu diberikan kepada laki-laki tersebut dan yang setara dengannya serta yang lebih tinggi darinya dari anak-anak perempuan cucu, bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Tidak ada bagian bagi yang lebih jauh dari mereka. Jika tidak ada sisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa. Hal ini karena Allah Ta‘ālā berfirman dalam Kitab-Nya: {Allah mewasiatkan kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Jika anak-anak itu perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika hanya satu perempuan, maka ia mendapat setengahnya} [an-Nisā’: 11]. Mālik berkata: “Al-aṭraf adalah yang lebih jauh (hubungan kekerabatannya).”

بَابُ مِيرَاثِ الرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ وَالْمَرْأَةِ مِنْ زَوْجِهَا
قَالَ مَالِكٌ: وَمِيرَاثُ الرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ، إِذَا لَمْ تَتْرُكْ وَلَدًا وَلَا وَلَدَ ابْنٍ مِنْهُ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ , النِّصْفُ. فَإِنْ تَرَكَتْ وَلَدًا، أَوْ وَلَدَ ابْنٍ، ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، فَلِزَوْجِهَا الرُّبُعُ، مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ. وَمِيرَاثُ الْمَرْأَةِ مِنْ زَوْجِهَا، إِذَا لَمْ يَتْرُكْ وَلَدًا وَلَا وَلَدَ ابْنٍ، الرُّبُعُ. فَإِنْ تَرَكَ وَلَدًا، أَوْ وَلَدَ ابْنٍ , ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، فَلِامْرَأَتِهِ الثُّمُنُ. مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ، إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ، فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ، وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ، مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ} [النساء: 12]

Bab Warisan Suami dari Istrinya dan Istri dari Suaminya

Malik berkata: Warisan suami dari istrinya, jika ia tidak meninggalkan anak maupun cucu (anak laki-laki dari anak laki-laki), baik dari suaminya itu maupun dari selainnya, maka bagian suami adalah setengah. Jika ia meninggalkan anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan, maka bagian suaminya adalah seperempat, setelah wasiat yang diwasiatkan atau utang. Adapun warisan istri dari suaminya, jika suami tidak meninggalkan anak maupun cucu, maka bagian istri adalah seperempat. Jika suami meninggalkan anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan, maka bagian istrinya adalah seperdelapan, setelah wasiat yang diwasiatkan atau utang. Hal ini karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: “Dan bagi kalian (para suami) setengah dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka bagi kalian seperempat dari harta yang mereka tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau utang. Dan bagi mereka (para istri) seperempat dari harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka bagi mereka seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau utang.” (QS. an-Nisā’: 12)

بَابُ مِيرَاثِ الْأَبِ وَالْأُمِّ مِنْ وَلَدِهِمَا قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، وَالَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا: أَنَّ مِيرَاثَ الْأَبِ مِنِ ابْنِهِ أَوِ ابْنَتِهِ، أَنَّهُ إِنْ تَرَكَ الْمُتَوَفَّى وَلَدًا، أَوْ وَلَدَ ابْنٍ ذَكَرًا، فَإِنَّهُ يُفْرَضُ لِلْأَبِ السُّدُسُ فَرِيضَةً. فَإِنْ لَمْ يَتْرُكِ الْمُتَوَفَّى وَلَدًا وَلَا وَلَدَ ابْنٍ ذَكَرًا، فَإِنَّهُ يُبَدَّأُ بِمَنْ شَرَّكَ الْأَبَ مِنْ أَهْلِ الْفَرَائِضِ. فَيُعْطَوْنَ فَرَائِضَهُمْ. فَإِنْ فَضَلَ مِنَ الْمَالِ السُّدُسُ، فَمَا فَوْقَهُ كَانَ لِلْأَبِ. وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ عَنْهُمُ السُّدُسُ فَمَا فَوْقَهُ، فُرِضَ لِلْأَبِ السُّدُسُ، فَرِيضَةً. وَمِيرَاثُ الْأُمِّ مِنْ وَلَدِهَا، إِذَا تُوُفِّيَ ابْنُهَا أَوِ ابْنَتُهَا، فَتَرَكَ الْمُتَوَفَّى وَلَدًا أَوْ وَلَدَ ابْنٍ، ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، أَوْ تَرَكَ مِنَ الْإِخْوَةِ اثْنَيْنِ فَصَاعِدًا، ذُكُورًا كَانُوا أَوْ إِنَاثًا، مِنْ أَبٍ وَأُمٍّ، أَوْ مِنْ أَبٍ أَوْ مِنْ أُمٍّ، فَالسُّدُسُ لَهَا. وَإِنْ لَمْ يَتْرُكِ الْمُتَوَفَّى، وَلَدًا وَلَا وَلَدَ ابْنٍ، وَلَا اثْنَيْنِ مِنَ الْإِخْوَةِ فَصَاعِدًا، فَإِنَّ لِلْأُمِّ الثُّلُثَ كَامِلًا إِلَّا فِي فَرِيضَتَيْنِ فَقَطْ. وَإِحْدَى الْفَرِيضَتَيْنِ، أَنْ يُتَوَفَّى رَجُلٌ وَيَتْرُكَ امْرَأَتَهُ وَأَبَوَيْهِ، فَلِامْرَأَتِهِ الرُّبُعُ. وَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ مِمَّا بَقِيَ. وَهُوَ الرُّبُعُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ. وَالْأُخْرَى: أَنْ تُتَوَفَّى امْرَأَةٌ. وَتَتْرُكَ زَوْجَهَا وَأَبَوَيْهَا. فَيَكُونُ لِزَوْجِهَا النِّصْفُ. وَلِأُمِّهَا الثُّلُثُ مِمَّا بَقِيَ. وَهُوَ السُّدُسُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ. وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ، إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ، فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ} [النساء: 11] فَمَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الْإِخْوَةَ اثْنَانِ فَصَاعِدًا “

Bab Warisan Ayah dan Ibu dari Anak Mereka

Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami, yang tidak ada perbedaan padanya, dan yang aku dapati para ahli ilmu di negeri kami berada di atasnya adalah: Warisan ayah dari anak laki-laki atau anak perempuannya, yaitu jika si mayit meninggalkan anak atau cucu laki-laki, maka ayah mendapat bagian seperenam sebagai bagian fardhu. Jika si mayit tidak meninggalkan anak maupun cucu laki-laki, maka dimulai dengan siapa saja dari ahli waris fardhu yang bersekutu dengan ayah. Mereka diberikan bagian fardhu mereka. Jika masih tersisa dari harta tersebut seperenam atau lebih, maka sisanya menjadi milik ayah. Jika tidak tersisa seperenam atau lebih, maka ayah mendapat bagian seperenam sebagai bagian fardhu. Adapun warisan ibu dari anaknya, jika anak laki-laki atau anak perempuannya wafat, lalu si mayit meninggalkan anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan, atau meninggalkan dua saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, dari ayah dan ibu, atau dari ayah saja, atau dari ibu saja, maka bagian ibu adalah seperenam. Jika si mayit tidak meninggalkan anak, cucu, maupun dua saudara atau lebih, maka ibu mendapat sepertiga penuh, kecuali dalam dua kasus saja. Salah satu dari dua kasus itu adalah jika seorang laki-laki wafat dan meninggalkan istrinya dan kedua orang tuanya, maka istrinya mendapat seperempat, dan ibunya mendapat sepertiga dari sisa harta, yaitu seperempat dari seluruh harta. Kasus lainnya adalah jika seorang wanita wafat dan meninggalkan suaminya dan kedua orang tuanya, maka suaminya mendapat setengah, dan ibunya mendapat sepertiga dari sisa harta, yaitu seperenam dari seluruh harta. Hal ini karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: “Dan untuk kedua orang tuanya, masing-masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika ia mempunyai anak. Jika ia tidak mempunyai anak dan kedua orang tuanya mewarisinya, maka ibunya mendapat sepertiga. Jika ia mempunyai saudara, maka ibunya mendapat seperenam.” (QS. an-Nisā’: 11) Maka sunnah telah berlaku bahwa saudara itu dua orang atau lebih.

بَابُ مِيرَاثِ الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ
قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ الْإِخْوَةَ لِلْأُمِّ لَا يَرِثُونَ مَعَ الْوَلَدِ، وَلَا مَعَ وَلَدِ الْأَبْنَاءِ ذُكْرَانًا كَانُوا أَوْ إِنَاثًا شَيْئًا، وَلَا يَرِثُونَ مَعَ الْأَبِ، وَلَا مَعَ الْجَدِّ أَبِي الْأَبِ شَيْئًا، وَأَنَّهُمْ يَرِثُونَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ يُفْرَضُ لِلْوَاحِدِ مِنْهُمُ السُّدُسُ، ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، فَإِنْ كَانَا اثْنَيْنِ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ، فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ، يَقْتَسِمُونَهُ بَيْنَهُمْ بِالسَّوَاءِ، لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً، أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ، فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ، فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ} [النساء: 12]، فَكَانَ الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى فِي هَذَا بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ “

Bab Warisan Saudara Seibu

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami adalah bahwa saudara seibu tidak mewarisi bersama anak, tidak pula bersama anak laki-laki dari anak (cucu laki-laki atau perempuan), baik mereka laki-laki maupun perempuan, sedikit pun. Mereka juga tidak mewarisi bersama ayah, dan tidak pula bersama kakek (ayah dari ayah), sedikit pun. Adapun dalam selain keadaan tersebut, mereka berhak mewarisi, yaitu satu orang dari mereka mendapat seperenam, baik laki-laki maupun perempuan. Jika mereka berdua, maka masing-masing mendapat seperenam. Jika mereka lebih dari itu, maka mereka bersama-sama dalam sepertiga, membaginya secara rata di antara mereka, laki-laki dan perempuan sama saja. Hal ini karena Allah Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Dan jika seseorang mati yang diwarisi secara kalalah, atau seorang perempuan, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya seperenam; tetapi jika mereka lebih dari itu, maka mereka bersama-sama dalam sepertiga} (QS. an-Nisā’: 12). Maka, laki-laki dan perempuan dalam hal ini kedudukannya sama.

بَابُ مِيرَاثِ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ
قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ الْإِخْوَةَ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ لَا يَرِثُونَ مَعَ الْوَلَدِ الذَّكَرِ شَيْئًا، وَلَا مَعَ وَلَدِ الِابْنِ الذَّكَرِ شَيْئًا، وَلَا مَعَ الْأَبِ دِنْيَا شَيْئًا، وَهُمْ يَرِثُونَ مَعَ الْبَنَاتِ، وَبَنَاتِ الْأَبْنَاءِ، مَا لَمْ يَتْرُكِ الْمُتَوَفَّى جَدًّا أَبَا أَبٍ، مَا فَضَلَ مِنَ الْمَالِ يَكُونُونَ فِيهِ عَصَبَةً، يُبْدَأُ بِمَنْ كَانَ لَهُ أَصْلُ فَرِيضَةٍ مُسَمَّاةٍ، فَيُعْطَوْنَ فَرَائِضَهُمْ، فَإِنْ فَضَلَ بَعْدَ ذَلِكَ فَضْلٌ كَانَ لِلْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، يَقْتَسِمُونَهُ بَيْنَهُمْ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ ذُكْرَانًا كَانُوا أَوْ إِنَاثًا، لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، فَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ، فَلَا شَيْءَ لَهُمْ. قَالَ: وَإِنْ لَمْ يَتْرُكِ الْمُتَوَفَّى أَبًا وَلَا جَدًّا أَبَا أَبٍ، وَلَا وَلَدًا، وَلَا وَلَدَ ابْنٍ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى، فَإِنَّهُ يُفْرَضُ لِلْأُخْتِ الْوَاحِدَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ. فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ مِنَ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فُرِضَ لَهُمَا الثُّلُثَانِ، فَإِنْ كَانَ مَعَهُمَا أَخٌ ذَكَرٌ فَلَا فَرِيضَةَ لِأَحَدٍ مِنَ الْأَخَوَاتِ، وَاحِدَةً كَانَتْ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، وَيُبْدَأُ بِمَنْ شَرِكَهُمْ بِفَرِيضَةٍ مُسَمَّاةٍ، فَيُعْطَوْنَ فَرَائِضَهُمْ، فَمَا فَضَلَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْ شَيْءٍ كَانَ بَيْنَ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، إِلَّا فِي فَرِيضَةٍ وَاحِدَةٍ فَقَطْ، لَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِيهَا شَيْءٌ فَاشْتَرَكُوا فِيهَا مَعَ بَنِي الْأُمِّ فِي ثُلُثِهِمْ، وَتِلْكَ الْفَرِيضَةُ هِيَ: امْرَأَةٌ تُوُفِّيَتْ وَتَرَكَتْ زَوْجَهَا وَأُمَّهَا وَإِخْوَتَهَا لِأُمِّهَا وَإِخْوَتَهَا لِأُمِّهَا وَأَبِيهَا، فَكَانَ لِزَوْجِهَا النِّصْفُ، وَلِأُمِّهَا السُّدُسُ، وَلِإِخْوَتِهَا لِأُمِّهَا الثُّلُثُ، فَلَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ بَعْدَ ذَلِكَ، فَيَشْتَرِكُ بَنُو الْأَبِ وَالْأُمِّ فِي هَذِهِ الْفَرِيضَةِ مَعَ بَنِي الْأُمِّ فِي ثُلُثِهِمْ، فَيَكُونُ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَى، مِنْ أَجْلِ أَنَّهُمْ كُلَّهُمْ إِخْوَةُ الْمُتَوَفَّى لِأُمِّهِ، وَإِنَّمَا وَرِثُوا بِالْأُمِّ، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ} [النساء: 12] فَلِذَلِكَ شُرِّكُوا فِي هَذِهِ الْفَرِيضَةِ، لِأَنَّهُمْ كُلَّهُمْ إِخْوَةُ الْمُتَوَفَّى لِأُمِّهِ

Bab Warisan Saudara Seayah dan Seibu

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami adalah bahwa saudara seayah dan seibu tidak mewarisi sedikit pun bersama anak laki-laki, tidak pula bersama cucu laki-laki, dan tidak pula bersama ayah, sedikit pun. Mereka mewarisi bersama anak-anak perempuan dan cucu-cucu perempuan, selama si mayit tidak meninggalkan kakek (ayah dari ayah). Sisa harta yang ada, mereka menjadi ‘ashabah (ahli waris sisa). Dimulai dengan orang-orang yang memiliki bagian warisan tertentu, lalu mereka diberikan bagian-bagian mereka. Jika setelah itu masih ada sisa, maka sisa tersebut menjadi milik saudara-saudara seayah dan seibu, yang mereka bagi di antara mereka sesuai dengan ketentuan Allah, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika tidak ada sisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa.

Ia berkata: Jika si mayit tidak meninggalkan ayah, tidak pula kakek (ayah dari ayah), tidak pula anak, tidak pula cucu laki-laki atau perempuan, maka ditetapkan bagi satu saudari seayah dan seibu setengah bagian. Jika mereka dua orang atau lebih dari itu, maka ditetapkan bagi mereka dua pertiga. Jika bersama mereka ada saudara laki-laki, maka tidak ada bagian tertentu bagi para saudari, baik satu maupun lebih. Dimulai dengan orang-orang yang bersama mereka memiliki bagian tertentu, lalu mereka diberikan bagian-bagian mereka. Sisa setelah itu, jika ada, dibagi di antara saudara-saudara seayah dan seibu, bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, kecuali dalam satu kasus saja, di mana mereka tidak mendapat bagian khusus, tetapi mereka bersama-sama dengan saudara-saudara seibu dalam sepertiga bagian mereka. Kasus itu adalah: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suaminya, ibunya, saudara-saudaranya seibu, dan saudara-saudaranya seibu dan seayah. Maka suaminya mendapat setengah, ibunya seperenam, dan saudara-saudaranya seibu sepertiga. Setelah itu tidak ada sisa. Maka saudara-saudara seayah dan seibu dalam kasus ini bersama-sama dengan saudara-saudara seibu dalam sepertiga bagian mereka, dan bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan, karena mereka semua adalah saudara seibu dari si mayit, dan mereka mewarisi melalui ibu. Hal ini karena Allah Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Dan jika seseorang mati yang diwarisi secara kalalah, atau seorang perempuan, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya seperenam; tetapi jika mereka lebih dari itu, maka mereka bersama-sama dalam sepertiga} (QS. an-Nisā’: 12). Karena itu, mereka disamakan dalam kasus ini, karena mereka semua adalah saudara seibu dari si mayit.

بَابُ مِيرَاثِ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ
قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ مِيرَاثَ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ، إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ أَحَدٌ مِنْ بَنِي الْأَبِ وَالْأُمِّ، كَمَنْزِلَةِ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، سَوَاءٌ. ذَكَرُهُمْ كَذَكَرِهِمْ. وَأُنْثَاهُمْ كَأُنْثَاهُمْ. إِلَّا أَنَّهُمْ لَا يُشَرَّكُونَ مَعَ بَنِي الْأُمِّ فِي الْفَرِيضَةِ، الَّتِي شَرَّكَهُمْ فِيهَا بَنُو الْأَبِ وَالْأُمِّ. لِأَنَّهُمْ خَرَجُوا مِنْ وِلَادَةِ الْأُمِّ الَّتِي جَمَعَتْ أُولَئِكَ

Bab Warisan Saudara Seayah
Malik berkata: Pendapat yang telah disepakati di kalangan kami adalah bahwa warisan saudara seayah, jika tidak ada bersama mereka seorang pun dari saudara seayah-seibu, kedudukannya sama dengan saudara seayah-seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Laki-laki di antara mereka seperti laki-laki di antara saudara seayah-seibu, dan perempuan di antara mereka seperti perempuan di antara saudara seayah-seibu. Hanya saja mereka tidak disekutukan dengan saudara seibu dalam bagian warisan yang di dalamnya saudara seayah-seibu disekutukan dengan saudara seibu. Karena mereka (saudara seayah) tidak berasal dari satu kelahiran ibu yang menyatukan saudara-saudara itu.

قَالَ مَالِكٌ: ” فَإِنِ اجْتَمَعَ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَالْإِخْوَةُ لِلْأَبِ، فَكَانَ فِي بَنِي الْأَبِ وَالْأُمِّ ذَكَرٌ، فلَا مِيرَاثَ لِأَحَدٍ مِنْ بَنِي الْأَبِ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَنُو الْأَبِ وَالْأُمِّ إِلَّا امْرَأَةً وَاحِدَةً، أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ مِنَ الْإِنَاثِ، لَا ذَكَرَ مَعَهُنَّ فَإِنَّهُ يُفْرَضُ لِلْأُخْتِ الْوَاحِدَةِ. لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، النِّصْفُ. وَيُفْرَضُ لِلْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ، السُّدُسُ. تَتِمَّةَ الثُّلُثَيْنِ. فَإِنْ كَانَ مَعَ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ ذَكَرٌ، فَلَا فَرِيضَةَ لَهُنَّ. وَيُبْدَأُ بِأَهْلِ الْفَرَائِضِ الْمُسَمَّاةِ، فَيُعْطَوْنَ فَرَائِضَهُمْ. فَإِنْ فَضَلَ بَعْدَ ذَلِكَ فَضْلٌ، كَانَ بَيْنَ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ. لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ فَلَا شَيْءَ لَهُمْ. فَإِنْ كَانَ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، امْرَأَتَيْنِ، أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ مِنَ الْإِنَاثِ، فُرِضَ لَهُنَّ الثُّلُثَانِ، وَلَا مِيرَاثَ مَعَهُنَّ لِلْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهُنَّ أَخٌ لِأَبٍ. فَإِنْ كَانَ مَعَهُنَّ أَخٌ لِأَبٍ، بُدِئَ بِمَنْ شَرَّكَهُمْ بِفَرِيضَةٍ مُسَمَّاةٍ. فَأُعْطُوا فَرَائِضَهُمْ. فَإِنْ فَضَلَ بَعْدَ ذَلِكَ فَضْلٌ، كَانَ بَيْنَ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ. للذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. وَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ، فَلَا شَيْءَ لَهُمْ. وَلِبَنِي الْأُمِّ، مَعَ بَنِي الْأَبِ وَالْأُمِّ، وَمَعَ بَنِي الْأَبِ، لِلْوَاحِدِ السُّدُسُ. وَلِلْاثْنَيْنِ فَصَاعِدًا الثُّلُثُ: لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَى، هُمْ فِيهِ، بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ سَوَاءٌ “

Malik berkata: “Jika berkumpul saudara seayah-seibu dan saudara seayah, lalu di antara saudara seayah-seibu terdapat laki-laki, maka tidak ada warisan bagi siapa pun dari saudara seayah. Namun jika saudara seayah-seibu hanya seorang perempuan saja, atau lebih dari itu dari kalangan perempuan, tanpa ada laki-laki di antara mereka, maka saudari seayah-seibu mendapat bagian setengah. Dan saudari-saudari seayah mendapat bagian seperenam, sebagai pelengkap dua pertiga. Jika bersama saudari-saudari seayah ada seorang laki-laki, maka tidak ada bagian warisan bagi mereka. Dimulai dari para ahli waris yang memiliki bagian tertentu, lalu diberikan bagian mereka. Jika setelah itu masih tersisa kelebihan, maka kelebihan itu diberikan kepada saudara seayah, dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Jika tidak ada sisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa. Jika saudara seayah-seibu adalah dua perempuan atau lebih dari itu dari kalangan perempuan, maka mereka mendapat bagian dua pertiga, dan tidak ada warisan bagi saudari-saudari seayah bersama mereka, kecuali jika bersama mereka ada saudara laki-laki seayah. Jika bersama mereka ada saudara laki-laki seayah, maka dimulai dari mereka yang disekutukan dalam bagian tertentu, lalu diberikan bagian mereka. Jika setelah itu masih tersisa kelebihan, maka kelebihan itu diberikan kepada saudara seayah, dengan ketentuan laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Jika tidak ada sisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa. Adapun saudara seibu, baik bersama saudara seayah-seibu maupun bersama saudara seayah, untuk satu orang mendapat seperenam, dan untuk dua orang atau lebih mendapat sepertiga, baik laki-laki maupun perempuan, kedudukan mereka sama rata dalam hal ini.”

بَابُ مِيرَاثِ الْجَدِّ

Bab Warisan Kakek

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ كَتَبَ إِلَى زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ يَسْأَلُهُ عَنِ الْجَدِّ فَكَتَبَ إِلَيْهِ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ إِنَّكَ كَتَبْتَ إِلَيَّ تَسْأَلُنِي عَنِ الْجَدِّ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، وَذَلِكَ مِمَّا لَمْ يَكُنْ يَقْضِي فِيهِ إِلَّا الْأُمَرَاءُ – يَعْنِي الْخُلَفَاءَ – وَقَدْ حَضَرْتُ الْخَلِيفَتَيْنِ قَبْلَكَ يُعْطِيَانِهِ النِّصْفَ مَعَ الْأَخِ الْوَاحِدِ، وَالثُّلُثَ مَعَ الِاثْنَيْنِ، فَإِنْ كَثُرَتِ الْإِخْوَةُ لَمْ يُنَقِّصُوهُ مِنَ الثُّلُثِ “

1 – Diriwayatkan kepadaku oleh Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Mu‘awiyah bin Abi Sufyan menulis surat kepada Zaid bin Tsabit untuk menanyakan tentang kakek. Maka Zaid bin Tsabit menulis balasan kepadanya: “Engkau telah menulis surat kepadaku untuk menanyakan tentang kakek, dan Allah lebih mengetahui. Itu adalah perkara yang tidak diputuskan kecuali oleh para pemimpin—yakni para khalifah. Aku telah menghadiri dua khalifah sebelum engkau, keduanya memberikan setengah bagian kepada kakek bersama satu saudara laki-laki, dan sepertiga bersama dua saudara laki-laki. Jika saudara-saudara itu banyak, mereka tidak mengurangi bagian kakek dari sepertiga.”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَرَضَ لِلْجَدِّ الَّذِي يَفْرِضُ النَّاسُ لَهُ الْيَوْمَ

2 – Dan diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Qabishah bin Dzu’aib, bahwa Umar bin al-Khaththab menetapkan bagian warisan untuk kakek sebagaimana yang ditetapkan orang-orang hari ini.

3 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ قَالَ: فَرَضَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ لِلْجَدِّ مَعَ الْإِخْوَةِ الثُّلُثَ قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، وَالَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا، أَنَّ الْجَدَّ أَبَا الْأَبِ، لَا يَرِثُ مَعَ الْأَبِ دِنْيَا شَيْئًا، وَهُوَ يُفْرَضُ لَهُ مَعَ الْوَلَدِ الذَّكَرِ، وَمَعَ ابْنِ الِابْنِ الذَّكَرِ، السُّدُسُ فَرِيضَةً. وَهُوَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ، مَا لَمْ يَتْرُكِ الْمُتَوَفَّى أُمًّا أَوْ أُخْتًا لِأَبِيهِ، يُبَدَّأُ بِأَحَدٍ إِنْ شَرَّكَهُ بِفَرِيضَةٍ مُسَمَّاةٍ فَيُعْطَوْنَ فَرَائِضَهُمْ. فَإِنْ فَضَلَ مِنَ الْمَالِ السُّدُسُ فَمَا فَوْقَهُ، فُرِضَ لِلْجَدِّ السُّدُسُ فَرِيضَةً

3 – Malik meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa ia berkata: Umar bin al-Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Zaid bin Tsabit menetapkan bagian sepertiga untuk kakek bersama saudara-saudara. Malik berkata: Dan perkara yang telah menjadi kesepakatan di antara kami, dan yang aku dapati para ahli ilmu di negeri kami berada di atasnya, adalah bahwa kakek (ayah dari ayah), tidak mewarisi sedikit pun bersama ayah. Dan ia mendapat bagian yang ditetapkan, yaitu seperenam, bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Dan dalam selain itu, selama si mayit tidak meninggalkan ibu atau saudari seayah, maka didahulukan siapa pun yang berserikat dengannya dalam bagian yang telah ditentukan, lalu mereka diberikan bagian-bagian mereka. Jika setelah itu masih tersisa dari harta seperenam atau lebih, maka kakek diberikan seperenam sebagai bagian yang ditetapkan.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالْجَدُّ، وَالْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ إِذَا شَرَّكَهُمْ أَحَدٌ بِفَرِيضَةٍ مُسَمَّاةٍ، يُبَدَّأُ بِمَنْ شَرَّكَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْفَرَائِضِ. فَيُعْطَوْنَ فَرَائِضَهُمْ. فَمَا بَقِيَ بَعْدَ ذَلِكَ لِلْجَدِّ وَالْإِخْوَةِ مِنْ شَيْءٍ، فَإِنَّهُ يُنْظَرُ، أَيُّ ذَلِكَ أَفْضَلُ لِحَظِّ الْجَدِّ، أُعْطِيَهُ الثُّلُثُ مِمَّا بَقِيَ لَهُ وَلِلْإِخْوَةِ. وَأَنْ يَكُونَ بِمَنْزِلَةِ رَجُلٍ مِنَ الْإِخْوَةِ، فِيمَا يَحْصُلُ لَهُ وَلَهُمْ، يُقَاسِمُهُمْ بِمِثْلِ حِصَّةِ أَحَدِهِمْ، أَوِ السُّدُسُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ كُلِّهِ، أَيُّ ذَلِكَ كَانَ أَفْضَلَ لِحَظِّ الْجَدِّ، أُعْطِيَهُ الْجَدُّ. وَكَانَ مَا بَقِيَ بَعْدَ ذَلِكَ لِلْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. إِلَّا فِي فَرِيضَةٍ وَاحِدَةٍ. تَكُونُ قِسْمَتُهُمْ فِيهَا عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ، وَتِلْكَ الْفَرِيضَةُ: امْرَأَةٌ تُوُفِّيَتْ. وَتَرَكَتْ زَوْجَهَا، وَأُمَّهَا، وَأُخْتَهَا لِأُمِّهَا وَأَبِيهَا، وَجَدَّهَا. فَلِلزَّوْجِ النِّصْفُ. وَلِلْأُمِّ الثُّلُثُ. وَلِلْجَدِّ السُّدُسُ. وَلِلْأُخْتِ لِلْأُمِّ وَالْأَبِ النِّصْفُ. ثُمَّ يُجْمَعُ  سُدُسُ الْجَدِّ , وَنِصْفُ الْأُخْتِ فَيُقْسَمُ أَثْلَاثًا. لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. فَيَكُونُ لِلْجَدِّ ثُلُثَاهُ. وَلِلْأُخْتِ ثُلُثُهُ “

Malik berkata: “Kakek, dan saudara-saudara seayah dan seibu, apabila mereka disertai oleh seseorang yang memiliki bagian tertentu, maka didahulukan orang yang berserikat dengan mereka dari ahli waris bagian tertentu, lalu mereka diberikan bagian-bagian mereka. Apa yang tersisa setelah itu untuk kakek dan saudara-saudara, maka dilihat mana yang lebih baik bagi kakek: apakah diberikan sepertiga dari sisa untuknya dan saudara-saudara, atau ia diposisikan seperti seorang laki-laki dari saudara-saudara dalam apa yang didapatkan untuknya dan untuk mereka, ia membagi bersama mereka seperti bagian salah satu dari mereka, atau seperenam dari seluruh harta, mana saja yang lebih baik bagi kakek, maka itu yang diberikan kepadanya. Dan apa yang tersisa setelah itu untuk saudara-saudara seayah dan seibu, untuk laki-laki dua kali bagian perempuan, kecuali dalam satu kasus. Dalam kasus itu, pembagian mereka tidak seperti itu, dan kasus tersebut adalah: seorang wanita wafat, meninggalkan suaminya, ibunya, saudari seibu dan seayah, dan kakeknya. Maka untuk suami setengah, untuk ibu sepertiga, untuk kakek seperenam, dan untuk saudari seibu dan seayah setengah. Kemudian seperenam bagian kakek dan setengah bagian saudari dikumpulkan, lalu dibagi menjadi tiga bagian: untuk laki-laki dua kali bagian perempuan. Maka untuk kakek dua pertiga, dan untuk saudari sepertiganya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمِيرَاثُ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ مَعَ الْجَدِّ , إِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ إِخْوَةٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ، كَمِيرَاثِ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، سَوَاءٌ ذَكَرُهُمْ كَذَكَرِهِمْ. وَأُنْثَاهُمْ كَأُنْثَاهُمْ. فَإِذَا اجْتَمَعَ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَالْإِخْوَةُ لِلْأَبِ، فَإِنَّ الْإِخْوَةَ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، يُعَادُّونَ الْجَدَّ بِإِخْوَتِهِمْ لِأَبِيهِمْ. فَيَمْنَعُونَهُ بِهِمْ كَثْرَةَ الْمِيرَاثِ بِعَدَدِهِمْ، وَلَا يُعَادُّونَهُ بِالْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ. لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ مَعَ الْجَدِّ غَيْرُهُمْ، لَمْ يَرِثُوا مَعَهُ شَيْئًا. وَكَانَ الْمَالُ كُلُّهُ لِلْجَدِّ. فَمَا حَصَلَ لِلْإِخْوَةِ مِنْ بَعْدِ حَظِّ الْجَدِّ، فَإِنَّهُ يَكُونُ لِلْإِخْوَةِ مِنَ الْأَبِ وَالْأُمِّ. دُونَ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ. وَلَا يَكُونُ لِلْإِخْوَةِ لِلْأَبِ مَعَهُمْ شَيْءٌ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ امْرَأَةً وَاحِدَةً. فَإِنْ كَانَتِ امْرَأَةً وَاحِدَةً، فَإِنَّهَا تُعَادُّ الْجَدَّ بِإِخْوَتِهَا لِأَبِيهَا. مَا كَانُوا فَمَا حَصَلَ لَهُمْ وَلَهَا مِنْ شَيْءٍ كَانَ لَهَا دُونَهُمْ. مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ أَنْ تَسْتَكْمِلَ فَرِيضَتَهَا. وَفَرِيضَتُهَا النِّصْفُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ كُلِّهِ. فَإِنْ كَانَ فِيمَا يُحَازُ لَهَا وَلِإِخْوَتِهَا لِأَبِيهَا فَضْلٌ عَنْ نِصْفِ رَأْسِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَهُوَ لِإِخْوَتِهَا لِأَبِيهَا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. فَإِنْ لَمْ يَفْضُلْ شَيْءٌ، فَلَا شَيْءَ لَهُمْ

Malik berkata: Dan warisan saudara-saudara seayah bersama kakek, jika tidak ada bersama mereka saudara-saudara seayah dan seibu, maka sama seperti warisan saudara-saudara seayah dan seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Jika berkumpul saudara-saudara seayah dan seibu, serta saudara-saudara seayah, maka saudara-saudara seayah dan seibu disejajarkan dengan kakek dengan saudara-saudara seayah mereka. Mereka menghalangi kakek dari mendapatkan bagian lebih banyak karena jumlah mereka, dan tidak disejajarkan dengan saudara-saudara seibu. Karena jika bersama kakek hanya mereka (saudara seibu), mereka tidak mendapat warisan apa pun bersamanya, dan seluruh harta menjadi milik kakek. Maka apa yang didapat saudara-saudara setelah bagian kakek, itu menjadi milik saudara-saudara seayah dan seibu, bukan saudara-saudara seayah. Dan tidak ada bagian untuk saudara-saudara seayah bersama mereka, kecuali jika saudara seayah dan seibu hanya satu perempuan. Jika hanya satu perempuan, maka ia disejajarkan dengan kakek bersama saudara-saudara seayahnya, berapa pun jumlah mereka. Apa yang didapatkan untuk mereka dan untuknya, maka itu menjadi miliknya sendiri, sampai ia menyempurnakan bagiannya. Bagian bagiannya adalah setengah dari seluruh harta. Jika dalam apa yang didapatkan untuknya dan saudara-saudara seayahnya terdapat kelebihan dari setengah seluruh harta, maka itu menjadi milik saudara-saudara seayahnya, untuk laki-laki dua kali bagian perempuan. Jika tidak ada kelebihan, maka tidak ada bagian untuk mereka.

بَابُ مِيرَاثِ الْجَدَّةِ

Bab Warisan Nenek

4 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ خَرَشَةَ، عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ، أَنَّهُ قَالَ: جَاءَتِ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا، فَقَالَ لَهَا أَبُو بَكْرٍ: مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ. وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا. فَارْجِعِي حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ. فَسَأَلَ النَّاسَ. فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا السُّدُسَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ؟ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ الْأَنْصَارِيُّ فَقَالَ: مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ “
ثُمَّ جَاءَتِ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا؟ فَقَالَ لَهَا: مَا لَكِ فِي كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ، وَمَا كَانَ الْقَضَاءُ الَّذِي قُضِيَ بِهِ إِلَّا لِغَيْرِكِ، وَمَا أَنَا بِزَائِدٍ فِي الْفَرَائِضِ شَيْئًا، وَلَكِنَّهُ ذَلِكَ السُّدُسُ. فَإِنِ اجْتَمَعْتُمَا فَهُوَ بَيْنَكُمَا، وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فَهُوَ لَهَا

4 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Utsman bin Ishaq bin Kharasyah, dari Qabisah bin Dzu’aib, bahwa ia berkata: Seorang nenek datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menanyakan warisannya. Maka Abu Bakar berkata kepadanya: “Engkau tidak mendapatkan bagian apa pun dalam Kitabullah. Dan aku tidak mengetahui ada sesuatu untukmu dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kembalilah hingga aku bertanya kepada orang-orang.” Lalu ia bertanya kepada orang-orang. Maka berkata Al-Mughirah bin Syu’bah: “Aku pernah hadir bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memberinya sepertiga.” Maka Abu Bakar berkata: “Apakah ada orang lain bersamamu?” Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah Al-Anshari dan berkata: “Seperti yang dikatakan oleh Al-Mughirah.” Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq menetapkan bagian itu untuknya.

Kemudian nenek yang lain datang kepada Umar bin Al-Khaththab untuk menanyakan warisannya. Maka Umar berkata kepadanya: “Engkau tidak mendapatkan bagian apa pun dalam Kitabullah, dan keputusan yang telah ditetapkan itu bukan untukmu, dan aku tidak akan menambah apa pun dalam farā’idh, tetapi itu adalah sepertiga. Jika kalian berdua berkumpul, maka bagian itu untuk kalian berdua, dan siapa di antara kalian yang sendirian maka itu untuknya.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَنَّهُ قَالَ: أَتَتِ الْجَدَّتَانِ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَأَرَادَ أَنْ يَجْعَلَ السُّدُسَ لِلَّتِي مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: أَمَا إِنَّكَ تَتْرُكُ الَّتِي لَوْ مَاتَتْ وَهُوَ حَيٌّ كَانَ إِيَّاهَا يَرِثُ، فَجَعَلَ أَبُو بَكْرٍ السُّدُسَ بَيْنَهُمَا

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dari Al-Qasim bin Muhammad bahwa ia berkata: Dua nenek datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, lalu ia bermaksud memberikan sepertiga kepada nenek dari pihak ibu. Maka seorang laki-laki dari Anshar berkata kepadanya: “Bukankah engkau meninggalkan yang jika ia wafat sedangkan yang lain masih hidup, maka dialah yang akan mewarisinya?” Maka Abu Bakar membagi sepertiga itu di antara keduanya.

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، كَانَ لَا يَفْرِضُ إِلَّا لِلْجَدَّتَيْنِ قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، وَالَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا، أَنَّ الْجَدَّةَ أُمَّ الْأُمِّ لَا تَرِثُ مَعَ الْأُمِّ دِنْيَا شَيْئًا، وَهِيَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ يُفْرَضُ لَهَا السُّدُسُ فَرِيضَةً. وَأَنَّ الْجَدَّةَ أُمَّ الْأَبِ لَا تَرِثُ مَعَ الْأُمِّ، وَلَا مَعَ الْأَبِ شَيْئًا. وَهِيَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ يُفْرَضُ لَهَا السُّدُسُ فَرِيضَةً. فَإِذَا اجْتَمَعَتِ الْجَدَّتَانِ أُمُّ الْأَبِ، وَأُمُّ الْأُمِّ، وَلَيْسَ لِلْمُتَوَفَّى دُونَهُمَا أَبٌ وَلَا أُمٌّ

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdurabbih bin Sa’id, bahwa Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, tidak menetapkan warisan kecuali untuk dua nenek. Malik berkata: “Pendapat yang disepakati di kalangan kami, yang tidak ada perbedaan di dalamnya, dan yang aku dapati para ahli ilmu di negeri kami berada di atasnya, adalah bahwa nenek dari pihak ibu tidak mewarisi apa pun bersama ibu, dan dalam selain itu, ia mendapat sepertiga sebagai bagian yang telah ditetapkan. Dan nenek dari pihak ayah tidak mewarisi bersama ibu, dan tidak pula bersama ayah apa pun. Dan dalam selain itu, ia mendapat sepertiga sebagai bagian yang telah ditetapkan. Jika berkumpul dua nenek, yaitu nenek dari pihak ayah dan nenek dari pihak ibu, dan si mayit tidak memiliki ayah atau ibu selain keduanya…”

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنِّي سَمِعْتُ أَنَّ أُمَّ الْأُمِّ، إِنْ كَانَتْ أَقْعَدَهُمَا، كَانَ لَهَا السُّدُسُ، دُونَ أُمِّ الْأَبِ. وَإِنْ كَانَتْ أُمُّ الْأَبِ أَقْعَدَهُمَا، أَوْ كَانَتَا فِي الْقُعْدَدِ مِنَ الْمُتَوَفَّى، بِمَنْزِلَةٍ سَوَاءٍ فَإِنَّ السُّدُسَ بَيْنَهُمَا، نِصْفَانِ

Malik berkata: “Aku mendengar bahwa nenek dari pihak ibu, jika ia lebih dekat (dengan mayit), maka ia mendapat sepertiga, bukan nenek dari pihak ayah. Dan jika nenek dari pihak ayah lebih dekat, atau keduanya sama-sama dekat dengan mayit, maka sepertiga itu dibagi di antara keduanya, masing-masing setengah.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا مِيرَاثَ لِأَحَدٍ مِنَ الْجَدَّاتِ. إِلَّا لِلْجَدَّتَيْنِ. لِأَنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَّثَ الْجَدَّةَ. ثُمَّ سَأَلَ أَبُو بَكْرٍ عَنْ ذَلِكَ. حَتَّى أَتَاهُ الثَّبَتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ وَرَّثَ الْجَدَّةَ. فَأَنْفَذَهُ. لَهَا ثُمَّ أَتَتِ الْجَدَّةُ الْأُخْرَى إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ , فَقَالَ لَهَا: مَا أَنَا بِزَائِدٍ فِي الْفَرَائِضِ شَيْئًا. فَإِنِ اجْتَمَعْتُمَا، فَهُوَ بَيْنَكُمَا وَأَيَّتُكُمَا خَلَتْ بِهِ فَهُوَ لَهَا

Malik berkata: “Dan tidak ada warisan bagi siapa pun dari para nenek kecuali untuk dua nenek, karena telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan kepada nenek. Kemudian Abu Bakar menanyakan hal itu, hingga sampai kepadanya keterangan yang pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mewariskan kepada nenek, maka ia menetapkannya untuknya. Kemudian nenek yang lain datang kepada Umar bin Al-Khaththab, lalu ia berkata kepadanya: ‘Aku tidak akan menambah apa pun dalam farā’idh. Jika kalian berdua berkumpul, maka bagian itu untuk kalian berdua, dan siapa di antara kalian yang sendirian maka itu untuknya.’”

قَالَ مَالِكٌ: ثُمَّ لَمْ نَعْلَمْ أَحَدًا وَرَّثَ غَيْرَ جَدَّتَيْنِ. مُنْذُ كَانَ الْإِسْلَامُ إِلَى الْيَوْمِ

Malik berkata: “Kemudian kami tidak mengetahui ada seorang pun yang mewariskan kepada selain dua nenek, sejak masa Islam hingga hari ini.”

بَابُ مِيرَاثِ الْكَلَالَةِ

Bab Warisan Kalālah

7 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَلَالَةِ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَكْفِيكَ، مِنْ ذَلِكَ، الْآيَةُ الَّتِي أُنْزِلَتْ فِي الصَّيْفِ، آخِرَ سُورَةِ النِّسَاءِ

7 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, bahwa Umar bin Al-Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kalālah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Cukuplah bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, di akhir surah An-Nisā’.”

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، وَالَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا، أَنَّ الْكَلَالَةَ عَلَى وَجْهَيْنِ: فَأَمَّا الْآيَةُ الَّتِي أُنْزِلَتْ فِي أَوَّلِ سُورَةِ النِّسَاءِ الَّتِي قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِيهَا {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً، أَوِ امْرَأَةٌ، وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ، فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ. فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ} [النساء: 12] فَهَذِهِ الْكَلَالَةُ الَّتِي لَا يَرِثُ فِيهَا الْإِخْوَةُ لِلْأُمِّ، حَتَّى لَا يَكُونَ وَلَدٌ وَلَا وَالِدٌ. وَأَمَّا الْآيَةُ الَّتِي فِي آخِرِ سُورَةِ النِّسَاءِ الَّتِي قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِيهَا {يَسْتَفْتُونَكَ، قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ، إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ، وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ، وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ، وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً، فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا، وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} [النساء: 176]

Malik berkata: “Praktik yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami, yang tidak ada perbedaan padanya, dan yang aku dapati para ahli ilmu di negeri kami berada di atasnya, adalah bahwa kalālah itu ada dua bentuk: Adapun ayat yang diturunkan pada awal Surah an-Nisā’, di mana Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman: {Dan jika seseorang yang diwarisi itu kalālah, atau seorang perempuan, dan dia mempunyai seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya seperenam. Tetapi jika mereka lebih dari itu, maka mereka bersama-sama dalam sepertiga} [an-Nisā’: 12], maka kalālah yang dimaksud di sini adalah yang mana saudara-saudara dari pihak ibu tidak mewarisi, kecuali jika tidak ada anak dan tidak ada orang tua. Adapun ayat yang terdapat di akhir Surah an-Nisā’, di mana Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman: {Mereka meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalālah. Jika seseorang meninggal dunia dan tidak mempunyai anak, tetapi ia mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu setengah dari harta yang ditinggalkan; dan ia (saudara laki-laki) mewarisi darinya jika ia (saudara perempuan) tidak mempunyai anak. Jika mereka itu dua orang perempuan, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris) terdiri dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagi laki-laki bagian dua kali lipat perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu} [an-Nisā’: 176].

قَالَ مَالِكٌ: فَهَذِهِ الْكَلَالَةُ الَّتِي تَكُونُ فِيهَا الْإِخْوَةُ عَصَبَةً، إِذَا لَمْ يَكُنْ وَلَدٌ فَيَرِثُونَ مَعَ الْجَدِّ فِي الْكَلَالَةِ، فَالْجَدُّ يَرِثُ مَعَ الْإِخْوَةِ، لِأَنَّهُ أَوْلَى بِالْمِيرَاثِ مِنْهُمْ، وَذَلِكَ أَنَّهُ يَرِثُ مَعَ ذُكُورِ وَلَدِ الْمُتَوَفَّى. السُّدُسَ. وَالْإِخْوَةُ لَا يَرِثُونَ مَعَ ذُكُورِ وَلَدِ الْمُتَوَفَّى شَيْئًا، وَكَيْفَ لَا يَكُونُ كَأَحَدِهِمْ وَهُوَ يَأْخُذُ السُّدُسَ مَعَ وَلَدِ الْمُتَوَفَّى؟ فَكَيْفَ لَا يَأْخُذُ الثُّلُثَ مَعَ الْإِخْوَةِ؟ وَبَنُو الْأُمِّ يَأْخُذُونَ مَعَهُمُ الثُّلُثَ، فَالْجَدُّ هُوَ الَّذِي حَجَبَ الْإِخْوَةَ لِلْأُمِّ، وَمَنَعَهُمْ مَكَانُهُ الْمِيرَاثَ. فَهُوَ أَوْلَى بِالَّذِي كَانَ لَهُمْ لِأَنَّهُمْ سَقَطُوا مِنْ أَجْلِهِ، وَلَوْ أَنَّ الْجَدَّ لَمْ يَأْخُذْ ذَلِكَ الثُّلُثَ، أَخَذَهُ بَنُو الْأُمِّ فَإِنَّمَا أَخَذَ مَا لَمْ يَكُنْ يَرْجِعُ إِلَى الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ، وَكَانَ الْإِخْوَةُ لِلْأُمِّ هُمْ أَوْلَى بِذَلِكَ الثُّلُثِ مِنَ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ، وَكَانَ الْجَدُّ هُوَ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنَ الْإِخْوَةِ لِلْأُمِّ

Malik berkata: Maka inilah kalālah yang di dalamnya saudara-saudara menjadi ‘ashabah (ahli waris pengganti), jika tidak ada anak, maka mereka mewarisi bersama kakek dalam kasus kalālah. Kakek mewarisi bersama saudara-saudara, karena ia lebih berhak atas warisan daripada mereka, sebab ia juga mewarisi bersama anak laki-laki dari si mayit, yaitu seperenam. Sedangkan saudara-saudara tidak mewarisi apa pun bersama anak laki-laki dari si mayit. Bagaimana mungkin kakek tidak dianggap seperti salah satu dari mereka, padahal ia mengambil seperenam bersama anak-anak si mayit? Maka bagaimana mungkin ia tidak mengambil sepertiga bersama saudara-saudara? Dan anak-anak dari pihak ibu mengambil bersama mereka sepertiga. Maka kakeklah yang menghalangi saudara-saudara dari pihak ibu, dan kedudukannya mencegah mereka dari warisan. Maka ia lebih berhak atas bagian yang semestinya untuk mereka, karena mereka gugur disebabkan olehnya. Seandainya kakek tidak mengambil sepertiga itu, maka anak-anak dari pihak ibu yang mengambilnya. Maka kakek hanya mengambil apa yang tidak akan kembali kepada saudara-saudara dari pihak ayah, dan saudara-saudara dari pihak ibu lebih berhak atas sepertiga itu daripada saudara-saudara dari pihak ayah, dan kakek lebih berhak atas sepertiga itu daripada saudara-saudara dari pihak ibu.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْعَمَّةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai bibi (dari pihak ayah).

8 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَنْظَلَةَ الزُّرَقِيّ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ عَنْ مَوْلًى لِقُرَيْشٍ كَانَ قَدِيمًا، يُقَالُ لَهُ: ابْنُ مِرْسَى أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَلَمَّا صَلَّى الظُّهْرَ، قَالَ: ” يَا يَرْفَا هَلُمَّ ذَلِكَ الْكِتَابَ. لِكِتَابٍ كَتَبَهُ فِي شَأْنِ الْعَمَّةِ، فَنَسْأَلَ عَنْهَا وَنَسْتَخْبِرَ عَنْهَا، فَأَتَاهُ بِهِ يَرْفَا. فَدَعَا بِتَوْرٍ أَوْ قَدَحٍ فِيهِ مَاءٌ. فَمَحَا ذَلِكَ الْكِتَابَ فِيهِ. ثُمَّ قَالَ: لَوْ رَضِيَكِ اللَّهُ وَارِثَةً أَقَرَّكِ لَوْ رَضِيَكِ اللَّهُ أَقَرَّكِ

8 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Muhammad bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, dari ‘Abdurrahman bin Hanzhalah az-Zuraqi, bahwa ia mengabarkan kepadanya dari seorang mawla (bekas budak) Quraisy yang sudah lama, yang dipanggil Ibnu Mirsa, bahwa ia berkata: Aku sedang duduk di hadapan ‘Umar bin al-Khaththab. Setelah ia menunaikan shalat Zuhur, ia berkata: “Wahai Yarfa’, bawakan kitab itu.” (Yaitu) untuk sebuah surat yang ia tulis tentang urusan bibi (dari pihak ayah), agar kami tanyakan dan cari tahu tentangnya. Maka Yarfa’ membawakannya. Lalu ‘Umar meminta sebuah bejana atau cawan yang berisi air, lalu ia menghapus surat itu di dalam air tersebut. Kemudian ia berkata: “Seandainya Allah meridhaimu sebagai ahli waris, niscaya Dia menetapkanmu. Seandainya Allah meridhaimu, niscaya Dia menetapkanmu.”

9 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ كَثِيرًا يَقُولُ: كَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَقُولُ: عَجَبًا لِلْعَمَّةِ تُورَثُ وَلَا تَرِثُ

9 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Muhammad bin Abi Bakr bin Hazm, bahwa ia sering mendengar ayahnya berkata: Dahulu ‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Sungguh mengherankan tentang bibi (dari pihak ayah), ia diwariskan (hartanya) namun tidak mewarisi (harta orang lain).”

بَابُ مِيرَاثِ وِلَايَةِ الْعَصَبَةِ
قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، وَالَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا، فِي وِلَايَةِ الْعَصَبَةِ، أَنَّ الْأَخَ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، أَوْلَى بِالْمِيرَاثِ مِنَ الْأَخِ لِلْأَبِ. وَالْأَخُ لِلْأَبِ، أَوْلَى بِالْمِيرَاثِ مِنْ بَنِي الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ. وَبَنُو الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، أَوْلَى مِنْ بَنِي الْأَخِ لِلْأَبِ. وَبَنُو الْأَخِ لِلْأَبِ، أَوْلَى مِنْ بَنِي ابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ. وَبَنُو ابْنِ الْأَخِ لِلْأَبِ، أَوْلَى مِنَ الْعَمِّ أَخِي الْأَبِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ. وَالْعَمُّ أَخُو الْأَبِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، أَوْلَى مِنَ الْعَمِّ أَخِي الْأَبِ لِلْأَبِ. وَالْعَمُّ أَخُو الْأَبِ لِلْأَبِ، أَوْلَى مِنْ بَنِي الْعَمِّ أَخِي الْأَبِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ. وَابْنُ الْعَمِّ لِلْأَبِ، أَوْلَى مِنْ عَمِّ الْأَبِ أَخِي أَبِي الْأَبِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ

BAB WARISAN WILAYAH ‘ASHABAH
Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami, yang tidak ada perbedaan padanya, dan yang aku dapati para ahli ilmu di negeri kami berada di atasnya, dalam hal wilayah ‘ashabah, adalah bahwa saudara kandung (seayah dan seibu) lebih berhak atas warisan daripada saudara seayah. Saudara seayah lebih berhak atas warisan daripada anak-anak saudara kandung. Anak-anak saudara kandung lebih berhak daripada anak-anak saudara seayah. Anak-anak saudara seayah lebih berhak daripada anak-anak dari anak saudara kandung. Anak-anak dari anak saudara seayah lebih berhak daripada paman (saudara ayah) kandung. Paman kandung lebih berhak daripada paman seayah. Paman seayah lebih berhak daripada anak-anak paman kandung. Anak paman seayah lebih berhak daripada paman ayah (saudara kakek) kandung.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَكُلُّ شَيْءٍ سُئِلْتَ عَنْهُ مِنْ مِيرَاثِ الْعَصَبَةِ فَإِنَّهُ عَلَى نَحْوِ هَذَا: انْسُبِ الْمُتَوَفَّى وَمَنْ يُنَازِعُ فِي وِلَايَتِهِ مِنْ عَصَبَتِهِ. فَإِنْ وَجَدْتَ أَحَدًا مِنْهُمْ يَلْقَى الْمُتَوَفَّى إِلَى أَبٍ لَا يَلْقَاهُ أَحَدٌ مِنْهُمْ إِلَى أَبٍ دُونَهُ. فَاجْعَلْ مِيرَاثَهُ لِلَّذِي يَلْقَاهُ إِلَى الْأَبِ الْأَدْنَى، دُونَ مَنْ يَلْقَاهُ إِلَى فَوْقِ ذَلِكَ. فَإِنْ وَجَدْتَهُمْ كُلَّهُمْ يَلْقَوْنَهُ إِلَى أَبٍ وَاحِدٍ يَجْمَعُهُمْ جَمِيعًا، فَانْظُرْ أَقْعَدَهُمْ فِي النَّسَبِ. فَإِنْ كَانَ ابْنَ أَبٍ فَقَطْ، فَاجْعَلِ الْمِيرَاثَ لَهُ دُونَ الْأَطْرَافِ. وَإِنْ كَانَ ابْنَ أَبٍ وَأُمٍّ. وَإِنْ وَجَدْتَهُمْ مُسْتَوِينَ، يَنْتَسِبُونَ مِنْ عَدَدِ الْآبَاءِ إِلَى عَدَدٍ وَاحِدٍ. حَتَّى يَلْقَوْا نَسَبَ الْمُتَوَفَّى جَمِيعًا، وَكَانُوا كُلُّهُمْ جَمِيعًا بَنِي أَبٍ، أَوْ بَنِي أَبٍ وَأُمٍّ. فَاجْعَلِ الْمِيرَاثَ بَيْنَهُمْ سَوَاءً. وَإِنْ كَانَ وَالِدُ بَعْضِهِمْ أَخَا وَالِدِ الْمُتَوَفَّى لِلْأَبِ وَالْأُمِّ. وَكَانَ مَنْ سِوَاهُ مِنْهُمْ إِنَّمَا هُوَ أَخُو أَبِي الْمُتَوَفَّى لِأَبِيهِ فَقَطْ، فَإِنَّ الْمِيرَاثَ لِبَنِي أَخِي الْمُتَوَفَّى لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ، دُونَ بَنِي الْأَخِ لِلْأَبِ. وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ {وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}

Malik berkata: “Setiap perkara yang engkau ditanya tentang warisan ‘ashabah, maka hukumnya seperti ini: nasabkanlah si mayit dan siapa yang berselisih dalam wilayahnya dari kalangan ‘ashabah-nya. Jika engkau dapati salah satu dari mereka bertemu nasab dengan si mayit kepada seorang ayah yang tidak ditemui oleh yang lain kepada ayah di bawahnya, maka berikanlah warisan kepada yang bertemu nasab dengan ayah yang lebih dekat, bukan kepada yang bertemu nasab dengan ayah yang lebih jauh. Jika engkau dapati mereka semua bertemu nasab dengan si mayit kepada satu ayah yang mengumpulkan mereka semua, maka lihatlah siapa yang paling dekat dalam nasab. Jika ia adalah anak ayah saja, maka berikanlah warisan kepadanya, bukan kepada yang lebih jauh. Jika ia adalah anak ayah dan ibu. Jika engkau dapati mereka setara, sama-sama bersambung nasab dari jumlah ayah yang sama hingga bertemu nasab si mayit seluruhnya, dan mereka semua adalah anak ayah, atau anak ayah dan ibu, maka bagikanlah warisan di antara mereka secara sama rata. Jika ayah sebagian mereka adalah saudara ayah si mayit kandung, sedangkan selain mereka hanyalah saudara ayah si mayit seayah saja, maka warisan untuk anak-anak saudara ayah si mayit kandung, bukan untuk anak-anak saudara ayah seayah. Hal itu karena Allah Ta‘ala berfirman: {Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris) dalam Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.}

قَالَ مَالِكٌ: وَالْجَدُّ أَبُو الْأَبِ أَوْلَى، مِنْ بَنِي الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَأَوْلَى مِنَ الْعَمِّ أَخِي الْأَبِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ بِالْمِيرَاثِ. وَابْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، أَوْلَى مِنَ الْجَدِّ بِوَلَاءِ الْمَوَالِي

Malik berkata: Kakek (ayah dari ayah) lebih berhak daripada anak-anak saudara kandung, dan lebih berhak daripada paman kandung dalam hal warisan. Dan anak saudara kandung lebih berhak daripada kakek dalam wilayah mawālī.

بَابُ مَنْ لَا مِيرَاثَ لَهُ
قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، وَالَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا، أَنَّ ابْنَ الْأَخِ لِلْأُمِّ، وَالْجَدَّ أَبَا الْأُمِّ، وَالْعَمَّ أَخَا الْأَبِ لِلْأُمِّ، وَالْخَالَ، وَالْجَدَّةَ أُمَّ أَبِي الْأُمِّ، وَابْنَةَ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَالْعَمَّةَ، وَالْخَالَةَ، لَا يَرِثُونَ بِأَرْحَامِهِمْ شَيْئًا قَالَ ” وَإِنَّهُ لَا تَرِثُ امْرَأَةٌ، هِيَ أَبْعَدُ نَسَبًا مِنَ الْمُتَوَفَّى، مِمَّنْ سُمِّيَ فِي هَذَا الْكِتَابِ، بِرَحِمِهَا شَيْئًا. وَإِنَّهُ لَا يَرِثُ أَحَدٌ مِنَ النِّسَاءِ شَيْئًا. إِلَّا حَيْثُ سُمِّينَ. وَإِنَّمَا ذَكَرَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي كِتَابِهِ: مِيرَاثَ الْأُمِّ مِنْ وَلَدِهَا، وَمِيرَاثَ الْبَنَاتِ مِنْ أَبِيهِنَّ، وَمِيرَاثَ الزَّوْجَةِ مِنْ زَوْجِهَا، وَمِيرَاثَ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَمِيرَاثَ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ، وَمِيرَاثَ الْأَخَوَاتِ لِلْأُمِّ، وَوَرِثَتِ الْجَدَّةُ بِالَّذِي جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا، وَالْمَرْأَةُ تَرِثُ مَنْ أَعْتَقَتْ هِيَ نَفْسُهَا. لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ {فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ} [الأحزاب: 5]

Bab Orang yang Tidak Mendapat Warisan

Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami, yang tidak ada perbedaan padanya, dan yang aku dapati para ahli ilmu di negeri kami berada di atasnya, adalah bahwa anak laki-laki saudara seibu, kakek (ayah dari ibu), paman (saudara ayah) dari pihak ibu, paman dari pihak ibu, nenek (ibu dari ayah ibu), anak perempuan saudara laki-laki seayah seibu, bibi (saudari ayah), dan bibi (saudari ibu), tidak mewarisi sedikit pun karena hubungan rahim mereka. Ia berkata, “Dan tidaklah seorang perempuan yang lebih jauh nasabnya dari mayit, daripada yang telah disebutkan dalam kitab ini, mewarisi sesuatu pun karena rahimnya. Dan tidak ada seorang pun dari kalangan perempuan yang mewarisi sesuatu, kecuali yang telah disebutkan secara khusus. Allah Tabaraka wa Ta‘ala hanya menyebutkan dalam Kitab-Nya: warisan ibu dari anaknya, warisan anak perempuan dari ayahnya, warisan istri dari suaminya, warisan saudari seayah seibu, warisan saudari seayah, warisan saudari seibu. Dan nenek mewarisi sebagaimana yang datang dari Nabi ﷺ tentangnya. Dan seorang perempuan mewarisi orang yang ia sendiri merdekakan. Karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Maka saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu} [Al-Ahzab: 5].

بَابُ مِيرَاثِ أَهْلِ الْمِلَلِ

Bab Warisan Ahli Kitab dan Penganut Agama Lain

10 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ

10 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Ali bin Husain bin Ali, dari Umar bin Utsman bin Affan, dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ: إِنَّمَا وَرِثَ أَبَا طَالِبٍ عَقِيلٌ وَطَالِبٌ، وَلَمْ يَرِثْهُ عَلِيٌّ، قَالَ: فَلِذَلِكَ تَرَكْنَا نَصِيبَنَا مِنَ الشِّعْبِ

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib bahwa ia mengabarkan kepadanya: “Yang mewarisi Abu Thalib hanyalah Aqil dan Thalib, dan Ali tidak mewarisinya.” Ia berkata: “Karena itulah kami meninggalkan bagian kami dari (tanah) Syi‘b.”

12 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ الْأَشْعَثِ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عَمَّةً لَهُ يَهُودِيَّةً أَوْ نَصْرَانِيَّةً تُوُفِّيَتْ، وَأَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ الْأَشْعَثِ ذَكَرَ ذَلِكَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، وَقَالَ لَهُ: مَنْ يَرِثُهَا؟ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: يَرِثُهَا أَهْلُ دِينِهَا، ثُمَّ أَتَى عثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ: ” أَتُرَانِي نَسِيتُ مَا قَالَ لَكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: يَرِثُهَا أَهْلُ دِينِهَا “

12 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa Muhammad bin Al-Asy‘ats mengabarkan kepadanya: “Bahwa bibinya yang beragama Yahudi atau Nasrani wafat, dan Muhammad bin Al-Asy‘ats menyampaikan hal itu kepada Umar bin Al-Khaththab, lalu ia bertanya: ‘Siapa yang mewarisinya?’ Maka Umar bin Al-Khaththab menjawab: ‘Yang mewarisinya adalah orang-orang yang seagama dengannya.’ Kemudian ia mendatangi Utsman bin Affan dan menanyakan hal itu, maka Utsman berkata kepadanya: ‘Apakah engkau mengira aku lupa apa yang dikatakan Umar bin Al-Khaththab kepadamu? Yang mewarisinya adalah orang-orang yang seagama dengannya.'”

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ أَنَّ نَصْرَانِيًّا أَعْتَقَهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ هَلَكَ، قَالَ إِسْمَاعِيلُ: فَأَمَرَنِي عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: أَنْ أَجْعَلَ مَالَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Isma‘il bin Abi Hakim bahwa seorang Nasrani yang dimerdekakan oleh Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia. Isma‘il berkata: “Maka Umar bin Abdul Aziz memerintahkanku agar aku memasukkan hartanya ke Baitul Mal.”

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ الثِّقَةِ عِنْدَهُ أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ: أَبَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنْ يُوَرِّثَ أَحَدًا مِنَ الْأَعَاجِمِ إِلَّا أَحَدًا وُلِدَ فِي الْعَرَبِ

14 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari seseorang yang ia percayai, bahwa ia mendengar Sa‘id bin Al-Musayyib berkata: “Umar bin Al-Khaththab menolak untuk memberikan warisan kepada siapa pun dari kalangan non-Arab (‘ajam), kecuali kepada orang yang lahir di kalangan Arab.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ جَاءَتِ امْرَأَةٌ حَامِلٌ مِنْ أَرْضِ الْعَدُوِّ، فَوَضَعَتْهُ فِي أَرْضِ الْعَرَبِ، فَهُوَ وَلَدُهَا يَرِثُهَا إِنْ مَاتَتْ، وَتَرِثُهُ إِنْ مَاتَ مِيرَاثَهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ

Malik berkata: Jika ada seorang perempuan hamil yang datang dari negeri musuh, lalu ia melahirkan anaknya di negeri Arab, maka anak itu adalah anaknya, ia mewarisi ibunya jika ibunya meninggal, dan ibunya mewarisi anak itu jika anak itu meninggal, sesuai bagian warisannya dalam Kitab Allah.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، وَالسُّنَّةُ الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا، وَالَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا، أَنَّهُ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ بِقَرَابَةٍ، وَلَا وَلَاءٍ، وَلَا رَحِمٍ، وَلَا يَحْجُبُ أَحَدًا عَنْ مِيرَاثِهِ قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ لَا يَرِثُ إِذَا لَمْ يَكُنْ دُونَهُ وَارِثٌ، فَإِنَّهُ لَا يَحْجُبُ أَحَدًا عَنْ مِيرَاثِهِ

Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami, dan sunnah yang tidak ada perbedaan padanya, dan yang aku dapati para ahli ilmu di negeri kami berada di atasnya, adalah bahwa seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir karena kekerabatan, wala’, atau hubungan rahim, dan tidak menghalangi siapa pun dari warisannya. Malik berkata: Demikian pula setiap orang yang tidak berhak mewarisi, jika tidak ada ahli waris di bawahnya, maka ia tidak menghalangi siapa pun dari warisannya.

بَابُ مَنْ جُهِلَ أَمْرُهُ بِالْقَتْلِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ

Bab Orang yang Tidak Diketahui Keadaannya karena Pembunuhan atau Sebab Lain

15 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ عُلَمَائِهِمْ: أَنَّهُ لَمْ يَتَوَارَثْ مَنْ قُتِلَ يَوْمَ الْجَمَلِ، وَيَوْمَ صِفِّينَ، وَيَوْمَ الْحَرَّةِ، ثُمَّ كَانَ يَوْمَ قُدَيْدٍ فَلَمْ يُوَرَّثْ أَحَدٌ مِنْهُمْ مِنْ صَاحِبِهِ شَيْئًا إِلَّا مَنْ عُلِمَ أَنَّهُ قُتِلَ قَبْلَ صَاحِبِهِ

15 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, dari lebih dari satu orang ulama mereka: Bahwa tidak ada saling mewarisi antara orang-orang yang terbunuh pada hari Jamal, hari Shiffin, dan hari Harrah. Kemudian pada hari Qudayd pun demikian, tidak ada seorang pun dari mereka yang mewarisi dari temannya sedikit pun, kecuali jika diketahui bahwa ia terbunuh sebelum temannya.

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، وَلَا شَكَّ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا، وَكَذَلِكَ الْعَمَلُ فِي كُلِّ مُتَوَارِثَيْنِ هَلَكَا بِغَرَقٍ أَوْ قَتْلٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَوْتِ، إِذَا لَمْ يُعْلَمْ أَيُّهُمَا مَاتَ قَبْلَ صَاحِبِهِ، لَمْ يَرِثْ أَحَدٌ مِنْهُمَا مِنْ صَاحِبِهِ شَيْئًا، وَكَانَ مِيرَاثُهُمَا لِمَنْ بَقِيَ مِنْ وَرَثَتِهِمَا، يَرِثُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَرَثَتُهُ مِنَ الْأَحْيَاءِ

Malik berkata: Itulah perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, dan tidak ada keraguan menurut siapa pun dari ahli ilmu di negeri kami. Demikian pula praktik (fiqh) dalam setiap dua orang yang saling mewarisi, lalu keduanya meninggal karena tenggelam, terbunuh, atau sebab kematian lainnya, jika tidak diketahui siapa di antara keduanya yang meninggal lebih dahulu, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang mewarisi dari temannya sedikit pun. Warisan keduanya diberikan kepada siapa saja yang masih hidup dari ahli waris mereka, di mana setiap orang dari mereka diwarisi oleh ahli warisnya yang masih hidup.

وقَالَ مَالِكٌ: ” لَا يَنْبَغِي أَنْ يَرِثَ أَحَدٌ أَحَدًا بِالشَّكِّ، وَلَا يَرِثُ أَحَدٌ أَحَدًا إِلَّا بِالْيَقِينِ مِنَ الْعِلْمِ، وَالشُّهَدَاءِ، وَذَلِكَ أَنَّ الرَّجُلَ يَهْلَكُ هُوَ وَمَوْلَاهُ الَّذِي أَعْتَقَهُ أَبُوهُ، فَيَقُولُ بَنُو الرَّجُلِ الْعَرَبِيِّ: قَدْ وَرِثَهُ أَبُونَا. فَلَيْسَ ذَلِكَ لَهُمْ أَنْ يَرِثُوهُ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا شَهَادَةٍ. إِنَّهُ مَاتَ قَبْلَهُ. وَإِنَّمَا يَرِثُهُ أَوْلَى النَّاسِ بِهِ مِنَ الْأَحْيَاءِ “

Malik berkata: “Tidak sepantasnya seseorang mewarisi dari orang lain karena keraguan, dan tidak boleh seseorang mewarisi dari orang lain kecuali dengan keyakinan berdasarkan ilmu dan kesaksian. Misalnya, seorang laki-laki meninggal bersama maulanya (budak yang telah dimerdekakan) yang dimerdekakan oleh ayahnya, lalu anak-anak laki-laki Arab itu berkata: ‘Ayah kami telah mewarisinya.’ Maka itu tidak boleh bagi mereka untuk mewarisinya tanpa ilmu dan kesaksian bahwa ia telah meninggal lebih dahulu. Hanya saja yang mewarisinya adalah orang yang paling berhak dari kalangan yang masih hidup.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا الْأَخَوَانِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ. يَمُوتَانِ. وَلِأَحَدِهِمَا وَلَدٌ وَالْآخَرُ لَا. وَلَدَ لَهُ وَلَهُمَا أَخٌ لِأَبِيهِمَا، فَلَا يُعْلَمُ أَيُّهُمَا مَاتَ قَبْلَ صَاحِبِهِ. فَمِيرَاثُ الَّذِي لَا وَلَدَ لَهُ، لِأَخِيهِ لِأَبِيهِ. وَلَيْسَ لِبَنِي أَخِيهِ ـ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ، شَيْءٌ

Malik berkata: Di antara contoh lain adalah dua saudara seayah dan seibu yang meninggal, salah satunya memiliki anak dan yang lain tidak, dan keduanya memiliki saudara seayah. Jika tidak diketahui siapa di antara mereka yang meninggal lebih dahulu, maka warisan yang tidak memiliki anak diberikan kepada saudaranya seayah. Dan anak-anak saudaranya—yang seayah dan seibu—tidak mendapatkan apa pun.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا: أَنْ تَهْلَكَ الْعَمَّةُ وَابْنُ أَخِيهَا، أَوِ ابْنَةُ الْأَخِ وَعَمُّهَا، فَلَا يُعْلَمُ أَيُّهُمَا مَاتَ قَبْلُ. فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ أَيُّهُمَا مَاتَ قَبْلُ، لَمْ يَرِثِ الْعَمُّ مِنِ ابْنَةِ أَخِيهِ شَيْئًا. وَلَا يَرِثُ ابْنُ الْأَخِ مِنْ عَمَّتِهِ شَيْئًا “

Malik berkata: “Contoh lain juga, jika seorang bibi (saudari ayah) dan anak saudara laki-lakinya, atau anak perempuan saudara laki-laki dan pamannya, meninggal, lalu tidak diketahui siapa di antara mereka yang meninggal lebih dahulu. Jika tidak diketahui siapa yang lebih dahulu meninggal, maka paman tidak mewarisi dari anak perempuan saudaranya sedikit pun, dan anak saudara laki-laki tidak mewarisi dari bibinya sedikit pun.”

بَابُ مِيرَاثِ وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ وَوَلَدِ الزِّنَا

Bab Warisan Anak Hasil Li‘an dan Anak Zina

16 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ يَقُولُ فِي وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ وَوَلَدِ الزِّنَا إِنَّهُ إِذَا مَاتَ وَرِثَتْهُ أُمُّهُ، حَقَّهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَإِخْوَتُهُ لِأُمِّهِ حُقُوقَهُمْ، وَيَرِثُ الْبَقِيَّةَ، مَوَالِي أُمِّهِ. إِنْ كَانَتْ مَوْلَاةً. وَإِنْ كَانَتْ عَرَبِيَّةً , وَرِثَتْ حَقَّهَا، وَوَرِثَ إِخْوَتُهُ لِأُمِّهِ حُقُوقَهُمْ، وَكَانَ مَا بَقِيَ لِلْمُسْلِمِينَ

16 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya, bahwa ‘Urwah bin Zubair berkata tentang anak hasil li‘an dan anak zina: Jika ia meninggal, maka ibunya mewarisi bagiannya sesuai dengan haknya dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, dan saudara-saudaranya seibu mendapatkan hak mereka, dan sisanya diwarisi oleh maula (budak yang telah dimerdekakan) ibunya jika ibunya adalah seorang maula. Jika ibunya adalah wanita Arab, maka ia mewarisi bagiannya, saudara-saudaranya seibu mendapatkan hak mereka, dan sisanya menjadi milik kaum Muslimin.

قَالَ مَالِكٌ: وَبَلَغَنِي عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ مِثْلُ ذَلِكَ ” قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا

Malik berkata: Dan telah sampai kepadaku dari Sulaiman bin Yasar hal yang serupa. Malik berkata: Dan atas dasar itulah aku mendapati para ahli ilmu di negeri kami beramal.

28 – كِتَابُ النِّكَاحِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْخِطْبَةِ

Bab Tentang Khitbah (Lamaran)

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Janganlah salah seorang di antara kalian melamar di atas lamaran saudaranya.

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Janganlah salah seorang di antara kalian melamar di atas lamaran saudaranya.

قَالَ مَالِكٌ: وَتَفْسِيرُ قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا نُرَى، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ. أَنْ يَخْطُبَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ. فَتَرْكَنَ إِلَيْهِ. وَيَتَّفِقَانِ عَلَى صَدَاقٍ وَاحِدٍ مَعْلُومٍ، وَقَدْ تَرَاضَيَا. فَهِيَ تَشْتَرِطُ عَلَيْهِ لِنَفْسِهَا. فَتِلْكَ الَّتِي نَهَى أَنْ يَخْطُبَهَا الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ. وَلَمْ يَعْنِ بِذَلِكَ، إِذَا خَطَبَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ فَلَمْ يُوَافِقْهَا أَمْرُهُ، وَلَمْ تَرْكَنْ إِلَيْهِ، أَنْ لَا يَخْطُبَهَا أَحَدٌ. فَهَذَا بَابُ فَسَادٍ يَدْخُلُ عَلَى النَّاسِ

Malik berkata: Penafsiran sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut yang kami pahami—dan Allah lebih mengetahui—“Janganlah salah seorang di antara kalian meminang di atas pinangan saudaranya,” adalah seorang laki-laki meminang seorang perempuan, lalu perempuan itu condong kepadanya, dan keduanya telah sepakat atas mahar tertentu yang diketahui, serta telah saling merelakan. Perempuan itu pun mengajukan syarat untuk dirinya sendiri. Maka inilah yang dilarang, yaitu seorang laki-laki meminang perempuan di atas pinangan saudaranya. Dan beliau tidak bermaksud, jika seorang laki-laki meminang seorang perempuan namun urusannya tidak disetujui oleh perempuan itu, dan perempuan itu tidak condong kepadanya, maka tidak boleh ada orang lain yang meminangnya. Karena hal ini akan menjadi pintu kerusakan yang masuk ke tengah-tengah masyarakat.

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {ولَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ، أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ، عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ، وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا، إِلَّا أَنْ تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا} [البقرة: 235] أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلْمَرْأَةِ، وَهِيَ فِي عِدَّتِهَا مِنْ وَفَاةِ زَوْجِهَا إِنَّكِ عَلَيَّ لَكَرِيمَةٌ وَإِنِّي فِيكِ لَرَاغِبٌ، وَإِنَّ اللَّهَ لَسَائِقٌ إِلَيْكِ خَيْرًا وَرِزْقًا، وَنَحْوَ هَذَا مِنَ الْقَوْلِ “

3 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, bahwa ia berkata tentang firman Allah Tabaraka wa Ta‘ala: {Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-wanita itu secara sindiran atau kalian sembunyikan (keinginan itu) dalam hati kalian. Allah mengetahui bahwa kalian akan menyebut-nyebut mereka, tetapi janganlah kalian mengadakan janji dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan perkataan yang ma‘ruf} [Al-Baqarah: 235], yaitu seorang laki-laki berkata kepada perempuan yang sedang dalam masa ‘iddah karena wafat suaminya: “Sesungguhnya engkau mulia di sisiku, dan aku berminat kepadamu, dan sungguh Allah akan mendatangkan kebaikan dan rezeki kepadamu,” dan perkataan semisal ini.

بَابُ اسْتِئْذَانِ الْبِكْرِ وَالْأَيِّمِ فِي أَنْفُسِهِمَا

Bab tentang meminta izin kepada gadis dan janda mengenai diri mereka sendiri.

4 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ، عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

4 – Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Abdullah bin Al-Fadhl, dari Nafi‘ bin Jubair bin Muth‘im, dari Abdullah bin Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan gadis dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah diamnya.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا، أَوْ ذِي الرَّأْيِ مِنْ أَهْلِهَا أَوِ السُّلْطَانِ

5 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, dari Sa‘id bin Al-Musayyib, bahwa ia berkata: Umar bin Al-Khaththab berkata: “Seorang perempuan tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izin walinya, atau orang yang berakal dari keluarganya, atau penguasa.”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَسَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ كَانَا يُنْكِحَانِ بَنَاتِهِمَا الْأَبْكَارَ وَلَا يَسْتَأْمِرَانِهِنَّ قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي نِكَاحِ الْأَبْكَارِ قَالَ مَالِكٌ: وَلَيْسَ لِلْبِكْرِ جَوَازٌ فِي مَالِهَا، حَتَّى تَدْخُلَ بَيْتَهَا، وَيُعْرَفَ مِنْ حَالِهَا

6 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Al-Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdullah menikahkan putri-putri mereka yang masih gadis tanpa meminta pendapat mereka. Malik berkata: “Demikianlah yang berlaku di kalangan kami dalam pernikahan para gadis.” Malik berkata: “Dan seorang gadis tidak memiliki kebebasan mengelola hartanya, hingga ia masuk ke rumah suaminya dan diketahui keadaannya.”

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَسَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ كَانُوا يَقُولُونَ: فِي الْبِكْرِ يُزَوِّجُهَا أَبُوهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا إِنَّ ذَلِكَ لَازِمٌ لَهَا

7 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Al-Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdullah, dan Sulaiman bin Yasar berkata: “Dalam hal gadis, ayahnya boleh menikahkannya tanpa izinnya, dan itu berlaku baginya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الصَّدَاقِ وَالْحِبَاءِ

Bab tentang apa yang datang mengenai mahar dan hibah.

8 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيلًا، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا إِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِي إِلَّا إِزَارِي هَذَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ أَعْطَيْتَهَا إِيَّاهُ جَلَسْتَ لَا إِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا فَقَالَ: مَا أَجِدُ شَيْئًا، قَالَ: الْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلْ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْءٌ؟ فَقَالَ: نَعَمْ. مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا – لِسُوَرٍ سَمَّاهَا – فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

8 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abu Hazim bin Dinar, dari Sahl bin Sa‘d As-Sa‘idi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh seorang perempuan, lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah menghadiahkan diriku untukmu.” Maka perempuan itu berdiri lama. Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya jika engkau tidak berkeinginan kepadanya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar baginya?” Ia menjawab: “Aku tidak memiliki apa-apa kecuali kain sarungku ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika engkau memberikannya kepadanya, maka engkau akan duduk tanpa kain sarung. Carilah sesuatu!” Ia berkata: “Aku tidak menemukan apa-apa.” Beliau bersabda: “Carilah, walaupun hanya cincin dari besi.” Ia pun mencari, namun tidak menemukan apa-apa. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Apakah engkau hafal sesuatu dari Al-Qur’an?” Ia menjawab: “Ya, aku hafal surat ini dan surat itu”—ia menyebutkan beberapa surat—maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang engkau hafal dari Al-Qur’an.”

9 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً، وَبِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَمَسَّهَا، فَلَهَا صَدَاقُهَا كَامِلًا، وَذَلِكَ لِزَوْجِهَا غُرْمٌ عَلَى وَلِيِّهَا

9 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia berkata: ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata: Siapa saja laki-laki yang menikahi seorang perempuan, dan pada perempuan itu terdapat penyakit gila, kusta, atau belang, lalu ia telah menyentuhnya (berhubungan dengannya), maka perempuan itu berhak mendapatkan mahar secara penuh, dan itu menjadi tanggungan suaminya atas walinya.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا يَكُونُ ذَلِكَ غُرْمًا عَلَى وَلِيِّهَا لِزَوْجِهَا، إِذَا كَانَ وَلِيُّهَا الَّذِي أَنْكَحَهَا، هُوَ أَبُوهَا أَوْ أَخُوهَا، أَوْ مَنْ يُرَى أَنَّهُ يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنْهَا، فَأَمَّا إِذَا كَانَ وَلِيُّهَا الَّذِي أَنْكَحَهَا ابْنَ عَمٍّ، أَوْ مَوْلًى، أَوْ مِنَ الْعَشِيرَةِ، مِمَّنْ يُرَى أَنَّهُ لَا يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنْهَا، فَلَيْسَ عَلَيْهِ غُرْمٌ، وَتَرُدُّ تِلْكَ الْمَرْأَةُ مَا أَخَذَتْهُ مِنْ صَدَاقِهَا، وَيَتْرُكُ لَهَا قَدْرَ مَا تُسْتَحَلُّ بِهِ

Mālik berkata: Hal itu menjadi tanggungan walinya kepada suaminya, jika wali yang menikahkannya adalah ayahnya, saudaranya, atau orang yang dipandang mengetahui hal tersebut darinya. Adapun jika wali yang menikahkannya adalah anak paman, maula, atau dari kerabat yang dipandang tidak mengetahui hal tersebut darinya, maka tidak ada tanggungan atasnya. Perempuan itu harus mengembalikan apa yang telah ia ambil dari maharnya, dan dibiarkan untuknya sejumlah yang telah dihalalkan dengannya.

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَةَ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَأُمُّهَا بِنْتُ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ، كَانَتْ تَحْتَ ابْنٍ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَمَاتَ، وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا، وَلَمْ يُسَمِّ لَهَا صَدَاقًا، فَابْتَغَتْ أُمُّهَا صَدَاقَهَا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَيْسَ لَهَا صَدَاقٌ، وَلَوْ كَانَ لَهَا صَدَاقٌ لَمْ نُمْسِكْهُ وَلَمْ نَظْلِمْهَا، فَأَبَتْ أُمُّهَا أَنْ تَقْبَلَ ذَلِكَ، فَجَعَلُوا بَيْنَهُمْ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَقَضَى أَنْ لَا صَدَاقَ لَهَا وَلَهَا الْمِيرَاثُ “

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa putri ‘Ubaidullāh bin ‘Umar, dan ibunya adalah putri Zaid bin al-Khaṭṭāb, pernah menjadi istri dari seorang anak laki-laki ‘Abdullāh bin ‘Umar, lalu suaminya meninggal sebelum berhubungan dengannya dan belum pula menentukan mahar untuknya. Ibunya kemudian menuntut mahar untuknya. Maka ‘Abdullāh bin ‘Umar berkata, “Ia tidak berhak mendapatkan mahar. Seandainya ia berhak mendapatkan mahar, tentu kami tidak akan menahannya dan tidak akan menzaliminya.” Namun ibunya menolak untuk menerima hal itu. Lalu mereka mengangkat Zaid bin Tsābit sebagai penengah, dan ia memutuskan bahwa tidak ada mahar untuknya, namun ia berhak mendapatkan warisan.

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَتَبَ فِي خِلَافَتِهِ إِلَى بَعْضِ عُمَّالِهِ: أَنَّ كُلَّ مَا اشْتَرَطَ الْمُنْكِحُ مَنْ كَانَ أَبًا أَوْ غَيْرَهُ مِنْ حِبَاءٍ، أَوْ كَرَامَةٍ فَهُوَ لِلْمَرْأَةِ إِنِ ابْتَغَتْهُ

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz menulis pada masa kekhalifahannya kepada sebagian pejabatnya: Sesungguhnya segala sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang menikahkan, baik ia ayah atau selainnya, berupa hibah atau penghormatan, maka itu adalah milik perempuan jika ia menghendakinya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمَرْأَةِ يُنْكِحُهَا أَبُوهَا وَيَشْتَرِطُ فِي صَدَاقِهَا الْحِبَاءَ يُحْبَى بِهِ، إِنَّ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ يَقَعُ بِهِ النِّكَاحُ فَهُوَ لِابْنَتِهِ إِنِ ابْتَغَتْهُ، وَإِنْ فَارَقَهَا زَوْجُهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَلِزَوْجِهَا شَطْرُ الْحِبَاءِ الَّذِي وَقَعَ بِهِ النِّكَاحُ

Mālik berkata: Dalam kasus seorang ayah menikahkan putrinya dan mensyaratkan hibah dalam maharnya, maka hibah itu diberikan. Segala syarat yang menjadi sebab terjadinya akad nikah, maka itu adalah milik putrinya jika ia menghendakinya. Jika suaminya menceraikannya sebelum berhubungan dengannya, maka suaminya berhak atas setengah hibah yang menjadi sebab terjadinya akad nikah.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يُزَوِّجُ ابْنَهُ صَغِيرًا لَا مَالَ لَهُ إِنَّ الصَّدَاقَ عَلَى أَبِيهِ، إِذَا كَانَ الْغُلَامُ يَوْمَ تَزَوَّجَ لَا مَالَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ لِلْغُلَامِ مَالٌ فَالصَّدَاقُ فِي مَالِ الْغُلَامِ، إِلَّا أَنْ يُسَمِّيَ الْأَبُ أَنَّ الصَّدَاقَ عَلَيْهِ، وَذَلِكَ النِّكَاحُ ثَابِتٌ عَلَى الِابْنِ إِذَا كَانَ صَغِيرًا وَكَانَ فِي وِلَايَةِ أَبِيهِ

Mālik berkata: Dalam kasus seorang laki-laki menikahkan anaknya yang masih kecil dan tidak memiliki harta, maka mahar menjadi tanggungan ayahnya, jika pada hari pernikahan anak itu tidak memiliki harta. Namun jika anak itu memiliki harta, maka mahar diambil dari harta anak itu, kecuali jika ayahnya menyatakan bahwa mahar menjadi tanggungannya. Dan pernikahan itu tetap sah atas anak tersebut selama ia masih kecil dan berada dalam perwalian ayahnya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي طَلَاقِ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، وَهِيَ بِكْرٌ فَيَعْفُو أَبُوهَا عَنْ نِصْفِ الصَّدَاقِ إِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لِزَوْجِهَا مِنْ أَبِيهَا فِيمَا وَضَعَ عَنْهُ

Mālik berkata: Dalam kasus seorang laki-laki menceraikan istrinya sebelum berhubungan dengannya, dan ia masih perawan, lalu ayahnya memaafkan setengah mahar, maka hal itu boleh bagi suaminya dari ayahnya atas apa yang telah digugurkan darinya.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ {إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ} [البقرة: 237] فَهُنَّ النِّسَاءُ اللَّاتِي قَدْ دُخِلَ بِهِنَّ {أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ} [البقرة: 237] فَهُوَ الْأَبُ فِي ابْنَتِهِ الْبِكْرِ وَالسَّيِّدُ فِي أَمَتِهِ “،

Mālik berkata: Hal itu karena Allah Tabāraka wa Ta‘ālā berfirman dalam Kitab-Nya: {Kecuali jika mereka (para istri) memaafkan} [al-Baqarah: 237], maka mereka adalah para perempuan yang telah digauli. {Atau orang yang memegang ikatan nikah itu memaafkan} [al-Baqarah: 237], maka itu adalah ayah pada anak perempuannya yang masih perawan dan tuan pada budaknya.

قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا الَّذِي سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ وَالَّذِي عَلَيْهِ الْأَمْرُ عِنْدَنَا قَالَ مَالِكٌ: فِي الْيَهُودِيَّةِ أَوِ النَّصْرَانِيَّةِ تَحْتَ الْيَهُودِيِّ أَوِ النَّصْرَانِيِّ فَتُسْلِمُ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا إِنَّهُ لَا صَدَاقَ لَهَا

Mālik berkata: Inilah yang aku dengar dalam masalah ini dan inilah yang berlaku di tempat kami. Mālik berkata: Dalam kasus perempuan Yahudi atau Nasrani yang menikah dengan laki-laki Yahudi atau Nasrani, lalu ia masuk Islam sebelum digauli, maka ia tidak berhak mendapatkan mahar.

قَالَ مَالِكٌ: لَا أَرَى أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ بِأَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِينَارٍ، وَذَلِكَ أَدْنَى مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ

Mālik berkata: Aku tidak memandang boleh menikahkan perempuan dengan mahar kurang dari seperempat dinar, dan itu adalah batas minimal yang wajib dikenai hukuman potong tangan (dalam kasus pencurian).

بَابُ إِرْخَاءِ السُّتُورِ

Bab Menurunkan Tirai

12 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ: قَضَى فِي الْمَرْأَةِ إِذَا تَزَوَّجَهَا الرَّجُلُ أَنَّهُ إِذَا أُرْخِيَتِ السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ

12 – Telah menceritakan kepadaku Yaḥyā, dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb memutuskan dalam kasus seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, bahwa apabila tirai telah diturunkan, maka mahar telah menjadi wajib.

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ كَانَ يَقُولُ: إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بِامْرَأَتِهِ، فَأُرْخِيَتْ عَلَيْهِمَا السُّتُورُ فَقَدْ وَجَبَ الصَّدَاقُ

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, bahwa Zaid bin Tsābit biasa berkata: “Apabila seorang laki-laki telah masuk bersama istrinya, lalu tirai telah diturunkan atas mereka berdua, maka mahar telah menjadi wajib.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ بلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ كَانَ يَقُولُ: إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا، صُدِّقَ الرَّجُلُ عَلَيْهَا، وَإِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ فِي بَيْتِهِ صُدِّقَتْ عَلَيْهِ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Sa‘īd bin al-Musayyib biasa berkata: “Apabila seorang laki-laki masuk bersama wanita di rumahnya, maka laki-laki itu dibenarkan atas wanita tersebut. Dan apabila wanita masuk kepada laki-laki di rumahnya, maka wanita itu dibenarkan atas laki-laki tersebut.”

قَالَ مَالِكٌ: ” أَرَى ذَلِكَ فِي الْمَسِيسِ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا فِي بَيْتِهَا، فَقَالَتْ: قَدْ مَسَّنِي، وَقَالَ: لَمْ أَمَسَّهَا صُدِّقَ عَلَيْهَا، فَإِنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ فِي بَيْتِهِ، فَقَالَ: لَمْ أَمَسَّهَا، وَقَالَتْ: قَدْ مَسَّنِي صُدِّقَتْ عَلَيْهِ “

Mālik berkata: “Aku memandang hal itu dalam masalah persentuhan, yaitu apabila laki-laki masuk kepada wanita di rumahnya, lalu wanita berkata: ‘Dia telah menyentuhku,’ dan laki-laki berkata: ‘Aku tidak menyentuhnya,’ maka wanita itu dibenarkan atas laki-laki tersebut. Namun jika wanita masuk kepada laki-laki di rumahnya, lalu laki-laki berkata: ‘Aku tidak menyentuhnya,’ dan wanita berkata: ‘Dia telah menyentuhku,’ maka laki-laki itu dibenarkan atas wanita tersebut.”

بَابُ الْمَقَامِ عِنْدَ الْبِكْرِ وَالْأَيِّمِ

Bab tentang lamanya tinggal di sisi gadis dan janda.

14 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ الْمَخْزُومِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تَزَوَّجَ أُمَّ سَلَمَةَ وَأَصْبَحَتْ عِنْدَهُ، قَالَ لَهَا: لَيْسَ بِكِ عَلَى أَهْلِكِ هَوَانٌ، إِنْ شِئْتِ سَبَّعْتُ عِنْدَكِ، وَسَبَّعْتُ عِنْدَهُنَّ، وَإِنْ شِئْتِ ثَلَّثْتُ عِنْدَكِ، وَدُرْتُ فَقَالَتْ ثَلِّثْ

14 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, dari ‘Abd al-Malik bin Abī Bakr bin ‘Abd al-Rahmān bin al-Hārith bin Hisyām al-Makhzūmī, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ ketika menikahi Ummu Salamah dan pagi harinya beliau berada di sisinya, beliau berkata kepadanya: “Tidak ada kehinaan bagimu di sisi keluargamu. Jika engkau mau, aku akan tinggal tujuh hari di sisimu dan tujuh hari di sisi mereka, dan jika engkau mau, aku akan tinggal tiga hari di sisimu lalu aku berkeliling (ke istri-istri yang lain).” Maka Ummu Salamah berkata: “Tinggallah tiga hari.”

15 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: لِلْبِكْرِ سَبْعٌ، وَلِلثَّيِّبِ ثَلَاثٌ قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَةٌ غَيْرُ الَّتِي تَزَوَّجَ، فَإِنَّهُ يَقْسِمُ بَيْنَهُمَا، بَعْدَ أَنْ تَمْضِيَ أَيَّامُ الَّتِي تَزَوَّجَ بِالسَّوَاءِ وَلَا يَحْسِبُ عَلَى الَّتِي تَزَوَّجَ مَا أَقَامَ عِنْدَهَا

15 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Humayd ath-Thawīl, dari Anas bin Mālik bahwa ia biasa berkata: “Untuk gadis tujuh hari, dan untuk janda tiga hari.” Mālik berkata: “Itulah yang berlaku di kalangan kami.” Mālik berkata: “Jika seseorang memiliki istri selain yang baru dinikahinya, maka ia membagi (waktu) di antara mereka setelah selesai hari-hari yang diperuntukkan bagi istri yang baru dinikahi secara adil, dan tidak dihitung (waktu) yang ia tinggal di sisi istri yang baru dinikahi itu.”

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ الشُّرُوطِ فِي النِّكَاحِ

Bab tentang syarat-syarat yang tidak boleh dalam pernikahan.

16 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ تَشْتَرِطُ عَلَى زَوْجِهَا أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ بِهَا مِنْ بَلَدِهَا؟ فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: يَخْرُجُ بِهَا إِنْ شَاءَ

16 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Sa‘īd bin al-Musayyib ditanya tentang seorang wanita yang mensyaratkan kepada suaminya agar tidak membawanya keluar dari negerinya? Maka Sa‘īd bin al-Musayyib berkata: “Suaminya boleh membawanya keluar jika ia menghendaki.”

قَالَ مَالِكٌ: فَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ إِذَا شَرَطَ الرَّجُلُ لِلْمَرْأَةِ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ عِنْدَ عُقْدَةِ النِّكَاحِ أَنْ لَا أَنْكِحَ عَلَيْكِ، وَلَا أَتَسَرَّرَ، إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِشَيْءٍ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي ذَلِكَ يَمِينٌ بِطَلَاقٍ، أَوْ عَتَاقَةٍ فَيَجِبُ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَيَلْزَمُهُ

Mālik berkata: “Adapun yang berlaku di kalangan kami adalah apabila seorang laki-laki mensyaratkan kepada wanita, meskipun itu pada saat akad nikah, bahwa ‘Aku tidak akan menikah lagi atasmu dan tidak akan mengambil budak perempuan,’ maka syarat itu tidak ada nilainya, kecuali jika di dalamnya terdapat sumpah dengan talak atau pembebasan budak, maka hal itu wajib baginya dan harus ia penuhi.”

بَابُ نِكَاحِ الْمُحَلِّلِ وَمَا أَشْبَهَهُ

Bab tentang nikah muhallil dan yang semisalnya.

17 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ رِفَاعَةَ الْقُرَظِيِّ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الزَّبِيرِ، أَنَّ رِفَاعَةَ بْنَ سِمْوَالٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تَمِيمَةَ بِنْتَ وَهْبٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا، فَنَكَحَتْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ فَاعْتَرَضَ عَنْهَا، فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَمَسَّهَا فَفَارَقَهَا، فَأَرَادَ رِفَاعَةُ أَنْ يَنْكِحَهَا، وَهُوَ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ الَّذِي كَانَ طَلَّقَهَا، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَنَهَاهُ عَنْ تَزْوِيجِهَا، وَقَالَ: لَا تَحِلُّ لَكَ حَتَّى تَذُوقَ الْعُسَيْلَةَ

17 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari al-Miswar bin Rifā‘ah al-Qurazhi, dari az-Zubair bin ‘Abd ar-Rahmān bin az-Zubair, bahwa Rifā‘ah bin Simwāl menceraikan istrinya, Tamīmah binti Wahb, pada masa Rasulullah ﷺ dengan talak tiga. Lalu Tamīmah menikah dengan ‘Abd ar-Rahmān bin az-Zubair, namun ia tidak mampu menggaulinya, sehingga ia menceraikannya. Kemudian Rifā‘ah ingin menikahinya kembali, padahal ia adalah suami pertamanya yang telah menceraikannya. Maka hal itu disampaikan kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau melarang Rifā‘ah menikahinya kembali dan bersabda: “Ia tidak halal bagimu hingga ia merasakan ‘madu’ (hubungan suami istri) dengan suami yang lain.”

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ، فَتَزَوَّجَهَا بَعْدَهُ رَجُلٌ آخَرُ فَطَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، هَلْ يَصْلُحُ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لَا حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا

18 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari al-Qāsim bin Muhammad, dari ‘Ā’isyah istri Nabi ﷺ, bahwa ia pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak ba’in, lalu wanita itu dinikahi oleh laki-laki lain, kemudian ia menceraikannya sebelum menggaulinya. Apakah boleh suami pertama menikahinya kembali? ‘Ā’isyah menjawab: “Tidak, hingga suami kedua merasakan ‘madunya’.”

19 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ، ثُمَّ تَزَوَّجَهَا بَعْدَهُ رَجُلٌ آخَرُ فَمَاتَ عَنْهَا، قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، هَلْ يَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ أَنْ يُرَاجِعَهَا؟ فَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ: لَا يَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ أَنْ يُرَاجِعَهَا

19 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa al-Qāsim bin Muhammad ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak ba’in (talak tiga), kemudian setelah itu istrinya dinikahi oleh laki-laki lain, lalu laki-laki tersebut meninggal dunia sebelum menggaulinya. Apakah suaminya yang pertama boleh rujuk kembali kepadanya? Maka al-Qāsim bin Muhammad berkata: Tidak halal bagi suaminya yang pertama untuk rujuk kepadanya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُحَلِّلِ إِنَّهُ لَا يُقِيمُ عَلَى نِكَاحِهِ ذَلِكَ، حَتَّى يَسْتَقْبِلَ نِكَاحًا جَدِيدًا، فَإِنْ أَصَابَهَا فِي ذَلِكَ فَلَهَا مَهْرُهَا

Mālik berkata: Dalam kasus muḥallil (laki-laki yang menikahi wanita yang telah ditalak tiga agar bisa kembali ke suami pertama), ia tidak tetap dalam pernikahannya itu, hingga melakukan akad nikah baru. Jika ia telah menggaulinya dalam pernikahan itu, maka wanita tersebut berhak atas maharnya.

بَابُ مَا لَا يُجْمَعُ بَيْنَهُ مِنَ النِّسَاءِ

Bab tentang wanita-wanita yang tidak boleh digabungkan dalam satu pernikahan.

20 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا

20 – Dan telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak boleh digabungkan antara seorang wanita dengan bibinya dari pihak ayah, dan tidak pula antara seorang wanita dengan bibinya dari pihak ibu.

21 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: يُنْهَى أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا، أَوْ عَلَى خَالَتِهَا، وَأَنْ يَطَأَ الرَّجُلُ وَلِيدَةً، وَفِي بَطْنِهَا جَنِينٌ لِغَيْرِهِ

21 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, bahwa ia berkata: Dilarang menikahi seorang wanita di atas (bersamaan dengan) bibinya dari pihak ayah, atau bibinya dari pihak ibu, dan juga dilarang seorang laki-laki menggauli budak perempuan yang di dalam rahimnya terdapat janin milik orang lain.

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنْ نِكَاحِ الرَّجُلِ أُمَّ امْرَأَتِهِ

Bab tentang larangan menikahi ibu dari istri seseorang.

22 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: سُئِلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً ثُمَّ فَارَقَهَا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَهَا، هَلْ تَحِلُّ لَهُ أُمُّهَا؟ فَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ: لَا الْأُمُّ مُبْهَمَةٌ، لَيْسَ فِيهَا شَرْطٌ، وَإِنَّمَا الشَّرْطُ فِي الرَّبَائِبِ

22 – Dan telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd bahwa ia berkata: Zaid bin Tsābit pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita, kemudian menceraikannya sebelum menggaulinya. Apakah ibunya (ibu dari wanita itu) halal baginya? Maka Zaid bin Tsābit berkata: Tidak, ibu itu bersifat mutlak (haram dinikahi), tidak ada syarat padanya. Syarat itu hanya berlaku pada rabā’ib (anak tiri perempuan).

23 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ اسْتُفْتِيَ وَهُوَ بِالْكُوفَةِ، عَنْ نِكَاحِ الْأُمِّ بَعْدَ الِابْنَةِ إِذَا لَمْ تَكُنِ الِابْنَةُ مُسَّتْ فَأَرْخَصَ فِي ذَلِكَ، ثُمَّ إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَسَأَلَ عَنْ ذَلِكَ، فَأُخْبِرَ أَنَّهُ لَيْسَ كَمَا قَالَ، وَإِنَّمَا الشَّرْطُ فِي الرَّبَائِبِ فَرَجَعَ ابْنُ مَسْعُودٍ إِلَى الْكُوفَةِ فَلَمْ يَصِلْ إِلَى مَنْزِلِهِ، حَتَّى أَتَى الرَّجُلَ الَّذِي أَفْتَاهُ بِذَلِكَ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُفَارِقَ امْرَأَتَهُ

23 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari lebih dari satu orang, bahwa ‘Abdullāh bin Mas‘ūd pernah dimintai fatwa ketika ia berada di Kufah, tentang menikahi ibu setelah (menceraikan) anak perempuannya jika anak perempuan itu belum digauli, maka ia memberikan keringanan dalam hal itu. Kemudian Ibnu Mas‘ūd datang ke Madinah, lalu bertanya tentang hal itu, maka diberitahukan kepadanya bahwa tidak seperti yang ia katakan, dan sesungguhnya syarat itu hanya berlaku pada rabā’ib. Maka Ibnu Mas‘ūd kembali ke Kufah, dan belum sampai ke rumahnya, ia langsung mendatangi laki-laki yang telah ia beri fatwa itu, lalu memerintahkannya untuk menceraikan istrinya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ تَكُونُ تَحْتَهُ الْمَرْأَةُ، ثُمَّ يَنْكِحُ أُمَّهَا فَيُصِيبُهَا، إِنَّهَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ وَيُفَارِقُهُمَا جَمِيعًا، وَيَحْرُمَانِ عَلَيْهِ أَبَدًا، إِذَا كَانَ قَدْ أَصَابَ الْأُمَّ، فَإِنْ لَمْ يُصِبِ الْأُمَّ لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ، وَفَارَقَ الْأُمَّ

Mālik berkata: Dalam kasus seorang laki-laki yang telah memiliki seorang istri, lalu ia menikahi ibu dari istrinya dan menggaulinya, maka istrinya menjadi haram baginya dan ia harus menceraikan keduanya sekaligus, dan keduanya haram baginya selamanya, jika ia telah menggauli sang ibu. Namun jika ia belum menggauli sang ibu, maka istrinya tidak menjadi haram baginya, dan ia hanya menceraikan sang ibu.

وقَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ ثُمَّ يَنْكِحُ أُمَّهَا فَيُصِيبُهَا إِنَّهُ: لَا تَحِلُّ لَهُ أُمُّهَا أَبَدًا، وَلَا تَحِلُّ لِأَبِيهِ، وَلَا لِابْنِهِ، وَلَا تَحِلُّ لَهُ ابْنَتُهَا، وَتَحْرُمُ عَلَيْهِ امْرَأَتُهُ قَالَ مَالِكٌ: فَأَمَّا الزِّنَا فَإِنَّهُ لَا يُحَرِّمُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ، لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ {وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ} [النساء: 23] فَإِنَّمَا حَرَّمَ مَا كَانَ تَزْوِيجًا، وَلَمْ يَذْكُرْ تَحْرِيمَ الزِّنَا، فَكُلُّ تَزْوِيجٍ كَانَ عَلَى وَجْهِ الْحَلَالِ يُصِيبُ صَاحِبُهُ امْرَأَتَهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ التَّزْوِيجِ الْحَلَالِ، فَهَذَا الَّذِي سَمِعْتُ، وَالَّذِي عَلَيْهِ أَمْرُ النَّاسِ عِنْدَنَا “

Dan Mālik berkata: Dalam kasus seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu ia menikahi ibu dari wanita itu dan menggaulinya, maka: Ibunya tidak halal baginya selamanya, juga tidak halal bagi ayahnya, tidak pula bagi anaknya, dan anak perempuan dari wanita itu juga tidak halal baginya, dan istrinya menjadi haram baginya. Mālik berkata: Adapun zina, maka tidak mengharamkan apa pun dari hal tersebut, karena Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan ibu-ibu dari istri-istri kalian} [an-Nisā’: 23], maka yang diharamkan hanyalah yang terjadi melalui pernikahan, dan tidak disebutkan pengharaman karena zina. Maka setiap pernikahan yang sah, di mana suami menggauli istrinya, maka hukumnya seperti pernikahan yang halal. Inilah yang aku dengar, dan inilah yang menjadi pegangan masyarakat di tempat kami.

بَابُ نِكَاحِ الرَّجُلِ أُمَّ امْرَأَةٍ قَدْ أَصَابَهَا عَلَى وَجْهِ مَا يَكْرَهُ
قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَزْنِي بِالْمَرْأَةِ، فَيُقَامُ عَلَيْهِ الْحَدُّ فِيهَا. إِنَّهُ: يَنْكِحُ ابْنَتَهَا، وَيَنْكِحُهَا ابْنُهُ، إِنْ شَاءَ. وَذَلِكَ أَنَّهُ أَصَابَهَا حَرَامًا، وَإِنَّمَا الَّذِي حَرَّمَ اللَّهُ مَا أُصِيبَ بِالْحَلَالِ، أَوْ عَلَى وَجْهِ الشُّبْهَةِ بِالنِّكَاحِ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ} [النساء: 22]

Bab tentang laki-laki yang menikahi ibu dari seorang wanita yang telah digaulinya dengan cara yang tidak disukai (haram).
Mālik berkata: Dalam kasus seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita, lalu ia dijatuhi hukuman had karena perbuatannya itu, maka ia boleh menikahi anak perempuan wanita itu, dan anak laki-lakinya boleh menikahi wanita tersebut jika ia menghendaki. Hal itu karena ia menggaulinya secara haram, dan yang diharamkan Allah hanyalah apa yang diperoleh dengan cara halal, atau dengan cara syubhat karena pernikahan. Allah Ta‘ālā berfirman: {Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian} [an-Nisā’: 22].

قالَ مَالِكٌ: فَلَوْ أَنَّ رَجُلًا نَكَحَ امْرَأَةً فِي عِدَّتِهَا، نِكَاحًا حَلَالًا، فَأَصَابَهَا، حَرُمَتْ عَلَى ابْنِهِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا، وَذَلِكَ أَنَّ أَبَاهُ نَكَحَهَا عَلَى وَجْهِ الْحَلَالِ، لَا يُقَامُ عَلَيْهِ فِيهِ الْحَدُّ، وَيُلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ الَّذِي يُولَدُ فِيهِ بِأَبِيهِ، وَكَمَا حَرُمَتْ عَلَى ابْنِهِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا حِينَ تَزَوَّجَهَا أَبُوهُ فِي عِدَّتِهَا وَأَصَابَهَا، فَكَذَلِكَ يَحْرُمُ عَلَى الْأَبِ ابْنَتُهَا إِذَا هُوَ أَصَابَ أُمَّهَا “

Malik berkata: Seandainya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang masih dalam masa ‘iddahnya, dengan akad nikah yang halal, lalu ia menggaulinya, maka haram bagi anak laki-lakinya untuk menikahi perempuan itu. Hal ini karena ayahnya menikahinya dengan cara yang halal, tidak dikenakan had atasnya, dan anak yang lahir dari pernikahan itu dinasabkan kepada ayahnya. Sebagaimana perempuan itu haram dinikahi oleh anaknya ketika ayahnya menikahinya dalam masa ‘iddah dan telah menggaulinya, demikian pula ayah haram menikahi putrinya jika ia telah menggauli ibunya.

بَابُ جَامِعِ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ النِّكَاحِ

Bab Kompilasi Hal-hal yang Tidak Diperbolehkan dalam Nikah

24 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الشِّغَارِ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ الْآخَرُ ابْنَتَهُ، لَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ

24 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ melarang nikah syighar. Syighar adalah apabila seorang laki-laki menikahkan putrinya dengan syarat laki-laki lain menikahkan putrinya (dengan dirinya), tanpa ada mahar di antara keduanya.

25 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمُجَمِّعٍ ابْنَيْ يَزِيدَ بْنِ جَارِيَةَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِدَامٍ الْأَنْصَارِيَّةِ: أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ، فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهُ

25 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari Abdurrahman dan Mujammi‘, dua putra Yazid bin Jariyah Al-Anshari, dari Khansa’ binti Khidam Al-Anshariyyah: bahwa ayahnya menikahkannya padahal ia sudah janda, dan ia tidak menyukai hal itu. Maka ia mendatangi Rasulullah ﷺ, lalu beliau membatalkan pernikahannya.

26 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ:: هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُ “

26 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abu Az-Zubair Al-Makki, bahwa Umar bin Al-Khattab didatangkan kepadanya sebuah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Maka ia berkata: “Ini adalah nikah sirri (nikah rahasia), dan aku tidak mengakuinya. Seandainya aku telah mendahului (memberi peringatan) tentang hal ini, niscaya aku akan merajamnya.”

27 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَعَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ طُلَيْحَةَ الْأَسَدِيَّةَ، كَانَتْ تَحْتَ رُشَيْدٍ الثَّقَفِيِّ فَطَلَّقَهَا، فَنَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا فَضَرَبَهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَضَرَبَ زَوْجَهَا بِالْمِخْفَقَةِ ضَرَبَاتٍ، وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا، فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا الَّذِي تَزَوَّجَهَا لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ اعْتَدَّتْ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا مِنْ زَوْجِهَا الْأَوَّلِ، ثُمَّ كَانَ الْآخَرُ خَاطِبًا مِنَ الْخُطَّابِ، وَإِنْ كَانَ دَخَلَ بِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ اعْتَدَّتْ بَقِيَّةَ عِدَّتِهَا مِنَ الْأَوَّلِ، ثُمَّ اعْتَدَّتْ مِنَ الْآخَرِ ثُمَّ لَا يَجْتَمِعَانِ أَبَدًا

27 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin Al-Musayyib, dan dari Sulaiman bin Yasar, bahwa Thulaihah Al-Asadiyyah dahulu istri Rushaid Ats-Tsaqafi, lalu ia menceraikannya. Kemudian ia menikah lagi dalam masa ‘iddahnya. Maka Umar bin Al-Khattab memukulnya dan memukul suaminya dengan cambuk beberapa kali, lalu memisahkan keduanya. Kemudian Umar bin Al-Khattab berkata: “Perempuan mana saja yang menikah dalam masa ‘iddahnya, jika suaminya yang menikahinya belum menggaulinya, maka dipisahkan keduanya, lalu ia menjalani sisa masa ‘iddahnya dari suami pertamanya, kemudian laki-laki yang kedua itu menjadi pelamar di antara para pelamar. Namun jika telah digauli, maka dipisahkan keduanya, lalu ia menjalani sisa masa ‘iddahnya dari suami pertama, kemudian ia ber‘iddah dari suami kedua, dan keduanya tidak boleh bersatu selamanya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: وَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْهَا قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ يُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا، فَتَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، إِنَّهَا لَا تَنْكِحُ، إِنِ ارْتَابَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا حَتَّى تَسْتَبْرِئَ نَفْسَهَا مِنْ تِلْكَ الرِّيبَةِ إِذَا خَافَتِ الْحَمْلَ

Malik berkata: Dan Sa‘id bin Al-Musayyib berkata: “Perempuan itu berhak atas maharnya karena telah dihalalkan darinya.” Malik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai perempuan merdeka yang suaminya wafat, lalu ia ber‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, maka ia tidak boleh menikah, jika ia ragu terhadap haidnya, sampai ia memastikan dirinya bersih dari keraguan itu jika ia khawatir hamil.”

بَابُ نِكَاحِ الْأَمَةِ عَلَى الْحُرَّةِ

Bab Nikah Budak Perempuan di Atas (bersamaan dengan) Perempuan Merdeka

28 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ سُئِلَا عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ حُرَّةٌ فَأَرَادَ أَنْ يَنْكِحَ عَلَيْهَا أَمَةً فَكَرِهَا أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا

28 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang telah memiliki istri merdeka lalu ingin menikahi budak perempuan di atasnya (sebagai istri kedua), maka keduanya tidak menyukai jika keduanya dikumpulkan (dalam satu pernikahan).

29 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: لَا تُنْكَحُ الْأَمَةُ عَلَى الْحُرَّةِ إِلَّا أَنْ تَشَاءَ الْحُرَّةُ، فَإِنْ طَاعَتِ الْحُرَّةُ فَلَهَا الثُّلُثَانِ مِنَ الْقَسْمِ

29 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin Al-Musayyib bahwa ia berkata: “Tidak boleh menikahi budak perempuan di atas (bersamaan dengan) perempuan merdeka kecuali jika perempuan merdeka itu mengizinkan. Jika perempuan merdeka itu rela, maka ia mendapat dua pertiga bagian dari pembagian giliran.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَنْبَغِي لِحُرٍّ أَنْ يَتَزَوَّجَ أَمَةً وَهُوَ يَجِدُ طَوْلًا لِحُرَّةٍ، وَلَا يَتَزَوَّجَ أَمَةً إِذَا لَمْ يَجِدْ طَوْلًا لِحُرَّةٍ، إِلَّا أَنْ يَخْشَى الْعَنَتَ، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ، فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ} [النساء: 25]، وَقَالَ {ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ} [النساء: 25]، قَالَ مَالِكٌ وَالْعَنَتُ هُوَ الزِّنَا “

Malik berkata: Tidak sepantasnya seorang laki-laki merdeka menikahi seorang budak perempuan sementara ia mampu untuk menikahi perempuan merdeka, dan tidak pula ia menikahi budak perempuan jika ia tidak mampu menikahi perempuan merdeka, kecuali jika ia khawatir terjerumus dalam kesulitan (dosa). Hal itu karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: “Dan barang siapa di antara kalian yang tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman, maka (boleh menikahi) dari budak-budak perempuan yang kalian miliki dari kalangan perempuan beriman” (an-Nisā’: 25), dan Dia juga berfirman: “Itu bagi orang di antara kalian yang khawatir terjerumus dalam kesulitan (dosa)” (an-Nisā’: 25). Malik berkata: Kesulitan (al-‘anat) itu adalah zina.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الرَّجُلِ يَمْلِكُ امْرَأَتَهُ، وَقَدْ كَانَتْ تَحْتَهُ فَفَارَقَهَا

Bab tentang apa yang datang mengenai seorang laki-laki yang memiliki (kembali) istrinya, padahal sebelumnya ia telah berpisah darinya.

30 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي الرَّجُلِ يُطَلِّقُ الْأَمَةَ ثَلَاثًا، ثُمَّ يَشْتَرِيهَا، إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu ‘Abdurrahman, dari Zaid bin Tsabit, bahwa ia berpendapat tentang seorang laki-laki yang menalak budak perempuan tiga kali, kemudian membelinya, maka ia tidak halal baginya sampai budak perempuan itu menikah dengan suami lain.

31 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ سُئِلَا عَنْ رَجُلٍ زَوَّجَ عَبْدًا لَهُ جَارِيَةً فَطَلَّقَهَا الْعَبْدُ الْبَتَّةَ ثُمَّ وَهَبَهَا سَيِّدُهَا لَهُ، فَهَلْ تَحِلُّ لَهُ بِمِلْكِ الْيَمِينِ فَقَالَا: لَا تَحِلُّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Sa‘id bin al-Musayyib dan Sulaiman bin Yasar ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahkan budak laki-lakinya dengan seorang budak perempuan, lalu budak laki-laki itu menalaknya secara talak ba’in (talak yang tidak bisa dirujuk), kemudian tuannya menghadiahkan budak perempuan itu kepadanya. Apakah ia halal baginya dengan kepemilikan tangan kanan (milik)? Mereka berdua menjawab: Tidak halal baginya sampai budak perempuan itu menikah dengan suami lain.

32 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ، عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ تَحْتَهُ أَمَةٌ مَمْلُوكَةٌ فَاشْتَرَاهَا، وَقَدْ كَانَ طَلَّقَهَا وَاحِدَةً، فَقَالَ: تَحِلُّ لَهُ بِمِلْكِ يَمِينِهِ مَا لَمْ يَبُتَّ طَلَاقَهَا، فَإِنْ بَتَّ طَلَاقَهَا، فَلَا تَحِلُّ لَهُ بِمِلْكِ يَمِينِهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Syihab tentang seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan sebagai istri, lalu ia membelinya, padahal sebelumnya ia telah menalaknya satu kali. Ibnu Syihab berkata: Ia halal baginya dengan kepemilikan tangan kanannya selama talaknya belum ba’in (talak yang tidak bisa dirujuk). Jika talaknya ba’in, maka tidak halal baginya dengan kepemilikan tangan kanannya sampai budak perempuan itu menikah dengan suami lain.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَنْكِحُ الْأَمَةَ فَتَلِدُ مِنْهُ، ثُمَّ يَبْتَاعُهَا إِنَّهَا لَا تَكُونُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ بِذَلِكَ الْوَلَدِ الَّذِي وَلَدَتْ مِنْهُ، وَهِيَ لِغَيْرِهِ حَتَّى تَلِدَ مِنْهُ، وَهِيَ فِي مِلْكِهِ بَعْدَ ابْتِيَاعِهِ إِيَّاهَا

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menikahi budak perempuan lalu budak itu melahirkan anak darinya, kemudian ia membeli budak tersebut, maka budak itu tidak menjadi ummu walad (ibu dari anaknya) baginya karena anak yang telah dilahirkan darinya, selama ia masih menjadi milik orang lain, hingga budak itu melahirkan anak darinya setelah berada dalam kepemilikannya setelah ia membelinya.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنِ اشْتَرَاهَا وَهِيَ حَامِلٌ مِنْهُ ثُمَّ وَضَعَتْ عِنْدَهُ كَانَتْ أُمَّ وَلَدِهِ بِذَلِكَ الْحَمْلِ فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Malik berkata: Jika ia membeli budak perempuan itu dalam keadaan hamil darinya, lalu budak itu melahirkan anak di sisinya, maka budak itu menjadi ummu walad baginya karena kehamilan tersebut menurut pendapat kami, dan Allah lebih mengetahui.

بَابُ مَا جَاءَ فِي كَرَاهِيَةِ إِصَابَةِ الْأُخْتَيْنِ بِمِلْكِ الْيَمِينِ وَالْمَرْأَةِ وَابْنَتِهَا

Bab tentang apa yang datang mengenai larangan menggauli dua saudari dengan kepemilikan tangan kanan, serta wanita dan anak perempuannya.

33 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ وَابْنَتِهَا مِنْ مِلْكِ الْيَمِينِ تُوطَأُ إِحْدَاهُمَا بَعْدَ الْأُخْرَى، فَقَالَ عُمَرُ: مَا أُحِبُّ أَنْ أَخْبُرَهُمَا جَمِيعًا وَنَهَى عَنْ ذَلِكَ

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ud, dari ayahnya, bahwa ‘Umar bin al-Khattab pernah ditanya tentang seorang wanita dan anak perempuannya dari kepemilikan tangan kanan, apakah boleh menggauli salah satunya setelah yang lain? ‘Umar berkata: Aku tidak suka memberitahukan mereka berdua secara bersamaan, dan ia melarang hal itu.

34 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ عَنِ الْأُخْتَيْنِ مِنْ مِلْكِ الْيَمِينِ هَلْ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا؟ فَقَالَ عُثْمَانُ: ” أَحَلَّتْهُمَا آيَةٌ، وَحَرَّمَتْهُمَا آيَةٌ، فَأَمَّا أَنَا فَلَا أُحِبُّ أَنْ أَصْنَعَ ذَلِكَ، قَالَ: فَخَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ فَلَقِيَ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: لَوْ كَانَ لِي مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ ثُمَّ وَجَدْتُ أَحَدًا فَعَلَ ذَلِكَ لَجَعَلْتُهُ نَكَالًا ” قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: أُرَاهُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Qabisah bin Dzu’aib, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada ‘Utsman bin ‘Affan tentang dua saudari dari kepemilikan tangan kanan, apakah boleh dikumpulkan (digauli) keduanya? ‘Utsman berkata: “Ada ayat yang menghalalkan mereka berdua, dan ada ayat yang mengharamkan mereka berdua. Adapun aku, aku tidak suka melakukannya.” Lalu orang itu keluar dari sisi ‘Utsman dan bertemu dengan seorang sahabat Rasulullah ﷺ, lalu ia bertanya kepadanya tentang hal itu. Ia menjawab: “Seandainya aku memiliki kekuasaan, lalu aku mendapati seseorang melakukan hal itu, niscaya aku akan menjadikannya sebagai pelajaran (hukuman berat).” Ibnu Syihab berkata: Aku kira itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib.

35 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ مِثْلُ ذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ: فِي الْأَمَةِ تَكُونُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَيُصِيبُهَا، ثُمَّ يُرِيدُ أَنْ يُصِيبَ أُخْتَهَا إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لَهُ حَتَّى يُحَرِّمَ عَلَيْهِ فَرْجَ أُخْتِهَا بِنِكَاحٍ، أَوْ عَتَاقَةٍ، أَوْ كِتَابَةٍ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ يُزَوِّجُهَا عَبْدَهُ أَوْ غَيْرَ عَبْدِهِ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya dari az-Zubair bin al-‘Awwam hal yang serupa. Malik berkata: Tentang budak perempuan yang berada di sisi seorang laki-laki lalu ia menggaulinya, kemudian ia ingin menggauli saudari budak perempuan itu, maka tidak halal baginya sampai ia mengharamkan kemaluan saudari budak itu atas dirinya dengan pernikahan, atau memerdekakannya, atau dengan kitabah, atau yang semisalnya, seperti menikahkannya dengan budaknya atau selain budaknya.

بَابُ النَّهْيِ عَنْ أَنْ يُصِيبَ الرَّجُلُ أَمَةً كَانَتْ لِأَبِيهِ

Bab larangan seorang laki-laki menggauli budak perempuan yang dahulu pernah menjadi milik ayahnya.

36 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ: وَهَبَ لِابْنِهِ جَارِيَةً، فَقَالَ: لَا تَمَسَّهَا، فَإِنِّي قَدْ كَشَفْتُهَا

36 – Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Umar bin al-Khattab memberikan seorang jariyah (budak perempuan) kepada putranya, lalu ia berkata: “Jangan engkau menyentuhnya, karena aku telah menyingkapinya.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْمُجَبَّرِ، أَنَّهُ قَالَ: وَهَبَ سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ لِابْنِهِ جَارِيَةً، فَقَالَ: لَا تَقْرَبْهَا فَإِنِّي قَدْ أَرَدْتُهَا فَلَمْ أَنْشَطْ إِلَيْهَا

Dan ia telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdurrahman bin al-Mujabbar, bahwa ia berkata: Salim bin Abdullah memberikan seorang jariyah kepada putranya, lalu ia berkata: “Jangan engkau dekati dia, karena aku telah menginginkannya namun tidak bersemangat kepadanya.”

37 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ أَبَا نَهْشَلِ بْنَ الْأَسْوَدِ قَالَ لِلْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ: ” إِنِّي رَأَيْتُ جَارِيَةً لِي مُنْكَشِفًا عَنْهَا، وَهِيَ فِي الْقَمَرِ فَجَلَسْتُ مِنْهَا مَجْلِسَ الرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ، فَقَالَتْ: إِنِّي حَائِضٌ فَقُمْتُ، فَلَمْ أَقْرَبْهَا بَعْدُ، أَفَأَهَبُهَا لِابْنِي يَطَؤُهَا؟ فَنَهَاهُ الْقَاسِمُ عَنْ ذَلِكَ “

37 – Dan ia telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, bahwa Abu Nahsyal bin al-Aswad berkata kepada al-Qasim bin Muhammad: “Aku melihat seorang jariyah milikku dalam keadaan terbuka auratnya, dan saat itu di bawah cahaya bulan, lalu aku duduk bersamanya sebagaimana seorang laki-laki duduk bersama istrinya. Ia berkata: ‘Aku sedang haid,’ maka aku pun bangkit dan tidak mendekatinya lagi. Bolehkah aku memberikannya kepada putraku agar ia menggaulinya?” Maka al-Qasim melarangnya melakukan hal itu.”

38 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ أَنَّهُ: ” وَهَبَ لِصَاحِبٍ لَهُ جَارِيَةً ثُمَّ سَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ: قَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَهَبَهَا لِابْنِي فَيَفْعَلُ بِهَا كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ عَبْدُ الْمَلِكِ: لَمَرْوَانُ كَانَ أَوْرَعَ مِنْكَ وَهَبَ لِابْنِهِ جَارِيَةً، ثُمَّ قَالَ: لَا تَقْرَبْهَا فَإِنِّي قَدْ رَأَيْتُ سَاقَهَا مُنْكَشِفَةً “

38 – Dan ia telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibrahim bin Abi Ablah, dari Abdul Malik bin Marwan bahwa: “Ia memberikan seorang jariyah kepada sahabatnya, kemudian ia menanyakannya. Ia berkata: ‘Aku hampir saja memberikannya kepada putraku, lalu ia akan melakukan ini dan itu dengannya.’ Maka Abdul Malik berkata: ‘Marwan lebih wara‘ darimu. Ia pernah memberikan seorang jariyah kepada putranya, lalu berkata: Jangan engkau dekati dia, karena aku telah melihat betisnya tersingkap.'”

بَابُ النَّهْيِ عَنْ نِكَاحِ إِمَاءِ أَهْلِ الْكِتَابِ
قَالَ مَالِكٌ: ” لَا يَحِلُّ نِكَاحُ أَمَةٍ يَهُودِيَّةٍ وَلَا نَصْرَانِيَّةٍ، لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُحْصَنَاتُ مِنِ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ} [المائدة: 5] فَهُنَّ الْحَرَائِرُ مِنَ الْيَهُودِيَّاتِ وَالنَّصْرَانِيَّاتِ، وَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ} [النساء: 25] فَهُنَّ الْإِمَاءُ الْمُؤْمِنَاتُ

Bab Larangan Menikahi Budak Perempuan Ahli Kitab
Malik berkata: “Tidak halal menikahi budak perempuan Yahudi maupun Nasrani, karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {dan (dihalalkan juga menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara kaum mukminat dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu} [al-Ma’idah: 5]. Mereka itu adalah perempuan-perempuan merdeka dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Dan Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman: {Dan barang siapa di antara kamu yang tidak mampu menikahi perempuan-perempuan merdeka yang beriman, maka (boleh menikahi) budak-budak perempuan yang kamu miliki dari kalangan perempuan-perempuan mukminat} [an-Nisa’: 25]. Mereka itu adalah budak-budak perempuan mukminat.”

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنَّمَا أَحَلَّ اللَّهُ فِيمَا نُرَى نِكَاحَ الْإِمَاءِ الْمُؤْمِنَاتِ، وَلَمْ يُحْلِلْ نِكَاحَ إِمَاءِ أهْلِ الْكِتَابِ الْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّةِ قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمَةُ الْيَهُودِيَّةُ وَالنَّصْرَانِيَّةُ تَحِلُّ لِسَيِّدِهَا بِمِلْكِ الْيَمِينِ، وَلَا يَحِلُّ وَطْءُ أَمَةٍ مَجُوسِيَّةٍ بِمِلْكِ الْيَمِينِ

Malik berkata: “Maka sesungguhnya Allah, menurut pendapat kami, hanya menghalalkan pernikahan dengan budak perempuan mukminat, dan tidak menghalalkan pernikahan dengan budak perempuan Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani.” Malik berkata: “Adapun budak perempuan Yahudi dan Nasrani halal bagi tuannya melalui milk al-yamin (kepemilikan tangan kanan), dan tidak halal menggauli budak perempuan Majusi melalui milk al-yamin.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْإِحْصَانِ

Bab Tentang Apa yang Datang Mengenai al-Ihsan (status terjaga kehormatan dalam hukum fiqh)

39 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: ” {الْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ} [النساء: 24] هنَّ أُولَاتُ الْأَزْوَاجِ، وَيَرْجِعُ ذَلِكَ إِلَى أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الزِّنَا “

39 – Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Sa’id bin al-Musayyab bahwa ia berkata: “{al-muhshanat min an-nisa’} [an-Nisa’: 24] adalah perempuan-perempuan yang bersuami, dan hal itu kembali kepada bahwa Allah mengharamkan zina.”

40 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، وَبَلَغَهُ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَنَّهُمَا كَانَا يَقُولَانِ: إِذَا نَكَحَ الْحُرُّ الْأَمَةَ فَمَسَّهَا فَقَدْ أَحْصَنَتْهُ

40 – Dan ia telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibn Syihab, dan telah sampai kepadanya dari al-Qasim bin Muhammad bahwa keduanya berkata: “Jika seorang laki-laki merdeka menikahi seorang budak perempuan lalu menggaulinya, maka ia telah menjadi muhsan (terjaga kehormatannya).”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَكُلُّ مَنْ أَدْرَكْتُ كَانَ يَقُولُ: ذَلِكَ تُحْصِنُ الْأَمَةُ الْحُرَّ إِذَا نَكَحَهَا فَمَسَّهَا فَقَدْ أَحْصَنَتْهُ

Malik berkata: “Dan semua orang yang aku temui berkata: Demikianlah, seorang budak perempuan dapat membuat seorang laki-laki merdeka menjadi muhsan jika ia menikahinya lalu menggaulinya, maka ia telah menjadi muhsan.”

قَالَ مَالِكٌ: يُحْصِنُ الْعَبْدُ الْحُرَّةَ إِذَا مَسَّهَا بِنِكَاحٍ، وَلَا تُحْصِنُ الْحُرَّةُ الْعَبْدَ، إِلَّا أَنْ يَعْتِقَ وَهُوَ زَوْجُهَا فَيَمَسَّهَا بَعْدَ عِتْقِهِ، فَإِنْ فَارَقَهَا قَبْلَ أَنْ يَعْتِقَ فَلَيْسَ بِمُحْصَنٍ حَتَّى يَتَزَوَّجَ بَعْدَ عِتْقِهِ وَيَمَسَّ امْرَأَتَهُ

Malik berkata: “Seorang budak laki-laki dapat membuat perempuan merdeka menjadi muhsan jika ia menggaulinya melalui pernikahan. Namun perempuan merdeka tidak dapat membuat budak laki-laki menjadi muhsan, kecuali jika ia merdeka dan ia masih menjadi suaminya, lalu ia menggaulinya setelah ia merdeka. Jika ia berpisah dengannya sebelum ia merdeka, maka ia belum menjadi muhsan hingga ia menikah lagi setelah merdeka dan menggauli istrinya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمَةُ إِذَا كَانَتْ تَحْتَ الْحُرِّ ثُمَّ فَارَقَهَا قَبْلَ أَنْ تَعْتِقَ، فَإِنَّهُ لَا يُحْصِنُهَا نِكَاحُهُ إِيَّاهَا، وَهِيَ أَمَةٌ حَتَّى تُنْكَحَ بَعْدَ عِتْقِهَا وَيُصِيبَهَا زَوْجُهَا، فَذَلِكَ إِحْصَانُهَا وَالْأَمَةُ إِذَا كَانَتْ تَحْتَ الْحُرِّ فَتَعْتِقُ، وَهِيَ تَحْتَهُ قَبْلَ أَنْ يُفَارِقَهَا، فَإِنَّهُ يُحْصِنُهَا إِذَا عَتَقَتْ، وَهِيَ عِنْدَهُ إِذَا هُوَ أَصَابَهَا بَعْدَ أَنْ تَعْتِقَ

Malik berkata: “Dan budak perempuan yang berada di bawah pernikahan laki-laki merdeka, kemudian ia berpisah dengannya sebelum ia merdeka, maka pernikahan itu tidak membuatnya menjadi muhsan selama ia masih budak, hingga ia menikah lagi setelah merdeka dan suaminya menggaulinya. Itulah yang membuatnya menjadi muhsan. Dan budak perempuan yang berada di bawah pernikahan laki-laki merdeka, lalu ia merdeka sementara masih menjadi istrinya sebelum berpisah, maka pernikahan itu membuatnya menjadi muhsan jika ia telah merdeka dan masih bersamanya, jika suaminya menggaulinya setelah ia merdeka.”

وقَالَ مَالِكٌ: وَالْحُرَّةُ النَّصْرَانِيَّةُ وَالْيَهُودِيَّةُ، وَالْأَمَةُ الْمُسْلِمَةُ يُحْصِنَّ الْحُرَّ الْمُسْلِمَ، إِذَا نَكَحَ إِحْدَاهُنَّ فَأَصَابَهَا

Malik berkata: Wanita merdeka yang Nasrani dan Yahudi, serta budak perempuan yang Muslimah, dapat menghalalkan (menjadikan muḥṣan) laki-laki Muslim merdeka, apabila ia menikahi salah satu dari mereka lalu menggaulinya.

بَابُ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ

Bab Nikah Mut‘ah

41 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، عَنْ أَبِيهِمَا، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ، وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abdullah dan Hasan, kedua putra Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, dari ayah mereka berdua, dari Ali bin Abi Thalib ra., bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut‘ah pada hari Khaibar, dan (juga melarang) memakan daging keledai jinak.

42 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ دَخَلَتْ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَتْ: إِنَّ رَبِيعَةَ بْنَ أُمَيَّةَ اسْتَمْتَعَ بِامْرَأَةٍ فَحَمَلَتْ مِنْهُ، فَخَرَجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَزِعًا يَجُرُّ رِدَاءَهُ، فَقَالَ: هَذِهِ الْمُتْعَةُ. وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهَا، لَرَجَمْتُ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah bin Zubair, bahwa Khaulah binti Hakim masuk menemui Umar bin Khattab lalu berkata: “Rabi‘ah bin Umayyah telah melakukan mut‘ah dengan seorang wanita hingga wanita itu hamil darinya.” Maka Umar bin Khattab keluar dengan cemas sambil menyeret selendangnya, lalu berkata: “Inilah mut‘ah itu. Seandainya aku telah melarangnya sebelumnya, niscaya aku akan merajamnya.”

بَابُ نِكَاحِ الْعَبِيدِ

Bab Pernikahan Para Budak

43 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ رَبِيعَةَ بْنَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَقُولُ: يَنْكِحُ الْعَبْدُ أَرْبَعَ نِسْوَةٍ قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, bahwa ia mendengar Rabi‘ah bin Abi Abdurrahman berkata: “Budak laki-laki boleh menikahi empat wanita.” Malik berkata: “Ini adalah pendapat terbaik yang aku dengar dalam masalah ini.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْعَبْدُ مُخَالِفٌ لِلْمُحَلِّلِ إِنْ أَذِنَ لَهُ سَيِّدُهُ ثَبَتَ نِكَاحُهُ، وَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ سَيِّدُهُ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَالْمُحَلِّلُ يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا عَلَى كُلِّ حَالٍ إِذَا أُرِيدَ بِالنِّكَاحِ التَّحْلِيلُ

Malik berkata: Budak berbeda dengan muḥallil; jika tuannya mengizinkannya, maka pernikahannya tetap sah, dan jika tuannya tidak mengizinkan, maka keduanya dipisahkan. Sedangkan muḥallil, keduanya dipisahkan dalam segala keadaan jika tujuan pernikahan adalah untuk tahlīl (menghalalkan kembali istri bagi suami pertama).

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْعَبْدِ إِذَا مَلَكَتْهُ امْرَأَتُهُ، أَوِ الزَّوْجُ يَمْلِكُ امْرَأَتَهُ، إِنَّ مِلْكَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ يَكُونُ فَسْخًا بِغَيْرِ طَلَاقٍ، وَإِنْ تَرَاجَعَا بِنِكَاحٍ بَعْدُ لَمْ تَكُنْ تِلْكَ الْفُرْقَةُ طَلَاقًا

Malik berkata: Dalam kasus budak laki-laki yang dimiliki oleh istrinya, atau suami yang memiliki istrinya, maka kepemilikan salah satu dari mereka terhadap pasangannya menyebabkan pernikahan itu batal tanpa talak. Jika keduanya ingin kembali menikah setelah itu, maka perpisahan tersebut tidak dihitung sebagai talak.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْعَبْدُ إِذَا أَعْتَقَتْهُ امْرَأَتُهُ إِذَا مَلَكَتْهُ، وَهِيَ فِي عِدَّةٍ مِنْهُ لَمْ يَتَرَاجَعَا إِلَّا بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ

Malik berkata: Jika budak laki-laki dimerdekakan oleh istrinya ketika ia menjadi miliknya, dan ia masih dalam masa ‘iddah darinya, maka keduanya tidak bisa rujuk kecuali dengan akad nikah yang baru.

بَابُ نِكَاحِ الْمُشْرِكِ إِذَا أَسْلَمَتْ زَوْجَتُهُ قَبْلَهُ

Bab Pernikahan Orang Musyrik Jika Istrinya Masuk Islam Sebelum Dirinya

44 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ نِسَاءً كُنَّ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِمْنَ بِأَرْضِهِنَّ، وَهُنَّ غَيْرُ مُهَاجِرَاتٍ، وَأَزْوَاجُهُنَّ حِينَ أَسْلَمْنَ كُفَّارٌ. مِنْهُنَّ بِنْتُ الْوَلِيدِ بْنِ الْمُغِيرَةِ. وَكَانَتْ تَحْتَ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ. فَأَسْلَمَتْ يَوْمَ الْفَتْحِ. وَهَرَبَ زَوْجُهَا صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ مِنَ الْإِسْلَامِ. فَبَعَثَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَ عَمِّهِ وَهْبَ بْنَ عُمَيْرٍ. بِرِدَاءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَمَانًا لِصَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ. وَدَعَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْإِسْلَامِ. وَأَنْ يَقْدَمَ عَلَيْهِ. فَإِنْ رَضِيَ أَمْرًا قَبِلَهُ. وَإِلَّا سَيَّرَهُ شَهْرَيْنِ , فَلَمَّا قَدِمَ صَفْوَانُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرِدَائِهِ، نَادَاهُ عَلَى رُءُوسِ النَّاسِ , فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ إِنَّ هَذَا وَهْبَ بْنَ عُمَيْرٍ جَاءَنِي بِرِدَائِكَ. وَزَعَمَ أَنَّكَ دَعَوْتَنِي إِلَى الْقُدُومِ عَلَيْكَ. فَإِنْ رَضِيتُ أَمْرًا قَبِلْتُهُ , وَإِلَّا سَيَّرْتَنِي شَهْرَيْنِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: انْزِلْ أَبَا وَهْبٍ فَقَالَ: لَا وَاللَّهِ. لَا أَنْزِلُ حَتَّى تُبَيِّنَ لِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ لَكَ تَسِيرُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ هَوَازِنَ بِحُنَيْنٍ. فَأَرْسَلَ إِلَى صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ يَسْتَعِيرُهُ أَدَاةً وَسِلَاحًا عِنْدَهُ. فَقَالَ صَفْوَانُ: أَطَوْعًا أَمْ كَرْهًا؟ فَقَالَ: بَلْ طَوْعًا , فَأَعَارَهُ الْأَدَاةَ وَالسِّلَاحَ الَّذِي عِنْدَهُ. ثُمَّ خَرَجَ صَفْوَانُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ كَافِرٌ فَشَهِدَ حُنَيْنًا وَالطَّائِفَ , وَهُوَ كَافِرٌ، وَامْرَأَتُهُ مُسْلِمَةٌ، وَلَمْ يُفَرِّقْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ حَتَّى أَسْلَمَ صَفْوَانُ. وَاسْتَقَرَّتْ عِنْدَهُ امْرَأَتُهُ بِذَلِكَ النِّكَاحِ “

44 – Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa telah sampai kepadanya bahwa ada sejumlah perempuan pada masa Rasulullah ﷺ yang masuk Islam di negeri mereka, sementara mereka bukan termasuk kaum muhajirin, dan suami-suami mereka ketika mereka masuk Islam masih kafir. Di antara mereka adalah putri al-Walid bin al-Mughirah, yang saat itu menjadi istri Shafwan bin Umayyah. Ia masuk Islam pada hari penaklukan (Makkah), sementara suaminya, Shafwan bin Umayyah, melarikan diri dari Islam. Rasulullah ﷺ kemudian mengutus sepupunya, Wahb bin Umair, dengan membawa selendang Rasulullah ﷺ sebagai jaminan keamanan bagi Shafwan bin Umayyah. Rasulullah ﷺ mengundangnya untuk masuk Islam dan datang menghadap beliau. Jika ia menerima sesuatu, maka akan diterima; jika tidak, maka ia diberi waktu dua bulan. Ketika Shafwan datang kepada Rasulullah ﷺ dengan membawa selendangnya, ia memanggilnya di hadapan orang banyak dan berkata, “Wahai Muhammad, ini Wahb bin Umair datang kepadaku dengan membawa selendangmu, dan ia mengaku bahwa engkau mengundangku untuk datang kepadamu. Jika aku menerima sesuatu, aku akan menerimanya, jika tidak, engkau akan memberiku waktu dua bulan.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Turunlah, wahai Abu Wahb.” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan turun sampai engkau jelaskan kepadaku.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Bahkan, bagimu waktu berjalan selama empat bulan.” Kemudian Rasulullah ﷺ berangkat menuju Hawazin di Hunain. Beliau mengirim utusan kepada Shafwan bin Umayyah untuk meminjamkan peralatan dan senjata yang dimilikinya. Shafwan bertanya, “Apakah ini atas kemauan sendiri atau terpaksa?” Beliau menjawab, “Bahkan atas kemauan sendiri.” Maka Shafwan meminjamkan peralatan dan senjata yang dimilikinya. Kemudian Shafwan keluar bersama Rasulullah ﷺ dalam keadaan masih kafir, ia turut serta dalam (perang) Hunain dan Thaif, sementara ia masih kafir, dan istrinya telah Muslim. Rasulullah ﷺ tidak memisahkan antara dia dan istrinya hingga Shafwan masuk Islam. Maka istrinya tetap bersamanya dengan pernikahan tersebut.

45 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أنَّهُ قَالَ كَانَ بَيْنَ إِسْلَامِ صَفْوَانَ , وَبَيْنَ إِسْلَامِ امْرَأَتِهِ نَحْوٌ مِنْ شَهْرَيْنِ، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَلَمْ يَبْلُغْنَا أَنَّ امْرَأَةً هَاجَرَتْ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَزَوْجُهَا كَافِرٌ مُقِيمٌ بِدَارِ الْكُفْرِ، إِلَّا فَرَّقَتْ هِجْرَتُهَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ زَوْجِهَا إِلَّا أَنْ يَقْدَمَ زَوْجُهَا مُهَاجِرًا قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا

45 – Dan Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa ia berkata: Antara keislaman Shafwan dan keislaman istrinya terdapat selang waktu sekitar dua bulan. Ibnu Syihab berkata: Tidak sampai kepada kami bahwa ada seorang perempuan yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, sementara suaminya kafir dan tetap tinggal di negeri kufur, kecuali hijrahnya itu memisahkan antara dia dan suaminya, kecuali jika suaminya datang berhijrah sebelum habis masa iddahnya.

46 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ أُمَّ حَكِيمٍ بِنْتَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، وَكَانَتْ تَحْتَ عِكْرِمَةَ بْنِ أَبِي جَهْلٍ، فَأَسْلَمَتْ يَوْمَ الْفَتْحِ وَهَرَبَ زَوْجُهَا عِكْرِمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ مِنَ الْإِسْلَامِ حَتَّى قَدِمَ الْيَمَنَ فَارْتَحَلَتْ أُمُّ حَكِيمٍ حَتَّى قَدِمَتْ عَلَيْهِ بِالْيَمَنِ فَدَعَتْهُ إِلَى الْإِسْلَامِ فَأَسْلَمَ، وَقَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَبَ إِلَيْهِ فَرِحًا، وَمَا عَلَيْهِ رِدَاءٌ حَتَّى بَايَعَهُ فَثَبَتَا عَلَى نِكَاحِهِمَا ذَلِكَ

46 – Dan Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Ummu Hakim binti al-Harits bin Hisyam, yang saat itu menjadi istri Ikrimah bin Abu Jahal, masuk Islam pada hari penaklukan (Makkah), sementara suaminya, Ikrimah bin Abu Jahal, melarikan diri dari Islam hingga sampai ke Yaman. Maka Ummu Hakim pun menyusul hingga tiba di Yaman, lalu ia mengajak suaminya masuk Islam, maka Ikrimah pun masuk Islam. Ia kemudian datang kepada Rasulullah ﷺ pada tahun penaklukan. Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau menyambutnya dengan gembira, bahkan tanpa mengenakan selendang, hingga beliau membaiatnya. Maka keduanya tetap dalam pernikahan mereka tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَإِذَا أَسْلَمَ الرَّجُلُ قَبْلَ امْرَأَتِهِ، وَقَعَتِ الْفُرْقَةُ بَيْنَهُمَا، إِذَا عُرِضَ عَلَيْهَا الْإِسْلَامُ فَلَمْ تُسْلِمْ لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ} [الممتحنة: 10]

Malik berkata: “Jika seorang laki-laki masuk Islam sebelum istrinya, maka terjadi perpisahan antara keduanya, apabila Islam telah ditawarkan kepada istrinya namun ia tidak masuk Islam, karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Dan janganlah kamu mempertahankan tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir} (QS. Al-Mumtahanah: 10).”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْوَلِيمَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai walimah (pesta pernikahan).

47 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِهِ أَثَرُ صُفْرَةٍ، فَسَأَلَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَمْ سُقْتَ إِلَيْهَا؟ فَقَالَ: زِنَةَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ , فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

47 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Humaid ath-Thawil, dari Anas bin Malik, bahwa Abdurrahman bin Auf datang kepada Rasulullah ﷺ dan pada dirinya terdapat bekas warna kuning. Rasulullah ﷺ pun bertanya kepadanya, lalu ia memberitahukan bahwa ia baru saja menikah. Maka Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, “Berapa mahar yang kamu berikan kepadanya?” Ia menjawab, “Sebesar biji kurma dari emas.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Adakanlah walimah, meskipun hanya dengan seekor kambing.”

48 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: لَقَدْ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُولِمُ بِالْوَلِيمَةِ مَا فِيهَا خُبْزٌ وَلَا لَحْمٌ

48 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, bahwa ia berkata, “Sungguh telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengadakan walimah dengan hidangan yang tidak ada roti dan tidak ada daging di dalamnya.”

49 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةٍ فَلْيَأْتِهَا

49 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, maka hendaklah ia memenuhinya.”

50 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ، يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ، وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِينُ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

50 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa ia biasa berkata, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah, yang diundang adalah orang-orang kaya, sedangkan orang-orang miskin ditinggalkan. Barang siapa tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”

51 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: إِنَّ خَيَّاطًا دَعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَهُ، قَالَ أَنَسٌ فَذَهَبْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى ذَلِكَ الطَّعَامِ، فَقَرَّبَ إِلَيْهِ خُبْزًا مِنْ شَعِيرٍ وَمَرَقًا فِيهِ دُبَّاءٌ، قَالَ أَنَسٌ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَتَبَّعُ الدُّبَّاءَ مِنْ حَوْلِ الْقَصْعَةِ، فَلَمْ أَزَلْ أُحِبُّ الدُّبَّاءَ بَعْدَ ذَلِكَ الْيَوْمِ

51 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah, bahwa ia mendengar Anas bin Malik berkata, “Seorang penjahit pernah mengundang Rasulullah ﷺ untuk makan hidangan yang ia buat. Anas berkata, ‘Aku pun pergi bersama Rasulullah ﷺ ke hidangan itu. Lalu ia menghidangkan roti dari gandum dan kuah yang di dalamnya ada labu. Anas berkata, ‘Aku melihat Rasulullah ﷺ mengikuti potongan labu di sekitar wadah makanan. Sejak hari itu aku selalu menyukai labu.'”

بَابُ جَامِعِ النِّكَاحِ

Bab Kompilasi Hukum Nikah

52 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ أَوِ اشْتَرَى الْجَارِيَةَ، فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا، وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ، وَإِذَا اشْتَرَى الْبَعِيرَ فَلْيَأْخُذْ بِذِرْوَةِ سَنَامِهِ، وَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ

52 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak perempuan, hendaklah ia memegang ubun-ubunnya dan berdoa memohon keberkahan. Dan apabila ia membeli unta, hendaklah ia memegang puncak punuknya dan memohon perlindungan kepada Allah dari setan.”

53 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ، أَنَّ رَجُلًا خَطَبَ إِلَى رَجُلٍ أُخْتَهُ، فَذَكَرَ أَنَّهَا قَدْ كَانَتْ أَحْدَثَتْ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَضَرَبَهُ أَوْ كَادَ يَضْرِبُهُ ثُمَّ قَالَ: مَا لَكَ وَلِلْخَبَرِ

53 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abu az-Zubair al-Makki, bahwa seorang laki-laki melamar saudari seorang laki-laki lain, lalu ia menyebutkan bahwa saudarinya pernah melakukan sesuatu (yang tidak baik). Hal itu sampai kepada Umar bin al-Khaththab, maka Umar memukulnya atau hampir saja memukulnya, lalu berkata, “Apa urusanmu dengan menyebarkan kabar itu?”

54 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَعُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَا يَقُولَانِ فِي الرَّجُلِ يَكُونُ عِنْدَهُ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ، فَيُطَلِّقُ إِحْدَاهُنَّ الْبَتَّةَ أَنَّهُ يَتَزَوَّجُ إِنْ شَاءَ، وَلَا يَنْتَظِرُ أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا

54 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, bahwa al-Qasim bin Muhammad dan Urwah bin az-Zubair biasa berpendapat tentang seorang laki-laki yang memiliki empat istri, lalu ia menceraikan salah satu dari mereka dengan talak ba’in, maka ia boleh menikah lagi jika ia mau, dan tidak perlu menunggu hingga masa iddahnya selesai.

55 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَعُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ، أَفْتَيَا الْوَلِيدَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ عَامَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ بِذَلِكَ غَيْرَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ قَالَ: طَلَّقَهَا فِي مَجَالِسَ شَتَّى

55 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, bahwa al-Qasim bin Muhammad dan Urwah bin az-Zubair memberikan fatwa kepada al-Walid bin Abdul Malik pada tahun ia datang ke Madinah dengan pendapat tersebut, hanya saja al-Qasim bin Muhammad berkata, “Ia menceraikannya di beberapa majelis yang berbeda.”

56 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: ثَلَاثٌ لَيْسَ فِيهِنَّ لَعِبٌ النِّكَاحُ، وَالطَّلَاقُ، وَالْعِتْقُ

56 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa ia berkata, “Tiga perkara yang tidak boleh dipermainkan: nikah, talak, dan pembebasan budak.”

57 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، أَنَّهُ تَزَوَّجَ بِنْتَ مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْأَنْصَارِيِّ، فَكَانَتْ عِنْدَهُ حَتَّى كَبِرَتْ، فَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا فَتَاةً شَابَّةً، فَآثَرَ الشَّابَّةَ عَلَيْهَا، فَنَاشَدَتْهُ الطَّلَاقَ، فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً، ثُمَّ أَمْهَلَهَا حَتَّى إِذَا كَادَتْ تَحِلُّ رَاجَعَهَا، ثُمَّ عَادَ فَآثَرَ الشَّابَّةَ فَنَاشَدَتْهُ الطَّلَاقَ فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً، ثُمَّ رَاجَعَهَا ثُمَّ عَادَ فَآثَرَ الشَّابَّةَ، فَنَاشَدَتْهُ الطَّلَاقَ، فَقَالَ: ” مَا شِئْتِ إِنَّمَا بَقِيَتْ وَاحِدَةٌ، فَإِنْ شِئْتِ اسْتَقْرَرْتِ عَلَى مَا تَرَيْنَ مِنَ الْأُثْرَةِ، وَإِنْ شِئْتِ فَارَقْتُكِ؟ قَالَتْ: بَلْ أَسْتَقِرُّ عَلَى الْأُثْرَةِ فَأَمْسَكَهَا عَلَى ذَلِكَ، وَلَمْ يَرَ رَافِعٌ عَلَيْهِ إِثْمًا حِينَ قَرَّتْ عِنْدَهُ عَلَى الْأُثْرَةِ “

57 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Rafi‘ bin Khadij, bahwa ia menikahi putri Muhammad bin Maslamah al-Anshari. Ia tetap bersamanya hingga istrinya itu menjadi tua, lalu ia menikahi seorang gadis muda di atasnya. Ia lebih mengutamakan yang muda daripada istrinya yang tua, sehingga istrinya yang tua meminta agar dicerai. Maka ia menceraikannya satu kali, lalu menunggu hingga hampir habis masa iddahnya, kemudian ia rujuk kembali. Setelah itu, ia kembali mengutamakan yang muda, sehingga istrinya yang tua kembali meminta cerai, lalu ia menceraikannya satu kali, kemudian rujuk kembali. Lalu ia kembali mengutamakan yang muda, sehingga istrinya yang tua kembali meminta cerai. Ia berkata, “Terserah engkau, kini hanya tersisa satu talak. Jika engkau mau, tetaplah bersamaku dengan keadaan seperti ini, dan jika engkau mau, aku akan menceraikanmu.” Istrinya berkata, “Aku memilih tetap bersamamu dalam keadaan seperti ini.” Maka ia menahannya dalam keadaan tersebut, dan Rafi‘ tidak melihat ada dosa atasnya ketika istrinya rela tetap bersamanya dalam keadaan diutamakan (atas istri muda).

29 – كِتَابُ الطَّلَاقِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْبَتَّةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai lafaz “al-battah”

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ إِنِّي طَلَّقْتُ امْرَأَتِي مِائَةَ تَطْلِيقَةٍ فَمَاذَا تَرَى عَلَيَّ؟ فَقَالَ لَهُ ابْنُ عَبَّاسٍ طَلُقَتْ مِنْكَ لِثَلَاثٍ، وَسَبْعٌ وَتِسْعُونَ اتَّخَذْتَ بِهَا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا

1 – Diriwayatkan kepadaku dari Yahya, dari Malik, bahwa sampai kepadanya berita bahwa seorang laki-laki berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas, “Aku telah menceraikan istriku seratus kali talak, bagaimana pendapatmu tentangku?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Istrimu telah tercerai darimu dengan tiga talak, dan sembilan puluh tujuh sisanya engkau jadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan olok-olokan.”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فَقَالَ: إِنِّي طَلَّقْتُ امْرَأَتِي ثَمَانِيَ تَطْلِيقَاتٍ، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: فَمَاذَا قِيلَ لَكَ؟ قَالَ: قِيلَ لِي إِنَّهَا قَدْ بَانَتْ مِنِّي، فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: صَدَقُوا، مَنْ طَلَّقَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ فَقَدْ بَيَّنَ اللَّهُ لَهُ، وَمَنْ لَبَسَ عَلَى نَفْسِهِ لَبْسًا جَعَلْنَا لَبْسَهُ مُلْصَقًا بِهِ، لَا تَلْبِسُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَنَتَحَمَّلُهُ عَنْكُمْ، هُوَ كَمَا يَقُولُونَ

2 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa sampai kepadanya berita bahwa seorang laki-laki datang kepada ‘Abdullah bin Mas‘ud dan berkata, “Aku telah menceraikan istriku delapan kali talak.” Ibnu Mas‘ud bertanya, “Apa yang dikatakan kepadamu?” Ia menjawab, “Dikatakan kepadaku bahwa ia telah terpisah dariku.” Ibnu Mas‘ud berkata, “Mereka benar. Barang siapa menceraikan sebagaimana yang diperintahkan Allah, maka Allah telah menjelaskannya untuknya. Dan barang siapa membuat kerancuan atas dirinya, maka kami jadikan kerancuannya itu tetap melekat padanya. Janganlah kalian membuat kerancuan atas diri kalian, lalu kami yang menanggungnya untuk kalian. Itu sebagaimana yang mereka katakan.”

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: ” لَهُ الْبَتَّةُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فِيهَا؟ قَالَ أَبُو بَكْرٍ فَقُلْتُ لَهُ كَانَ أَبَانُ بْنُ عُثْمَانَ يَجْعَلُهَا وَاحِدَةً، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: ” لَوْ كَانَ الطَّلَاقُ أَلْفًا مَا أَبْقَتِ الْبَتَّةُ مِنْهَا شَيْئًا، مَنْ قَالَ: الْبَتَّةَ فَقَدْ رَمَى الْغَايَةَ الْقُصْوَى “

3 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Abu Bakr bin Hazm, bahwa ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz berkata, “Bagaimana hukum tentang ‘al-battah’ sebagaimana yang dikatakan orang-orang?” Abu Bakr berkata, “Aku berkata kepadanya, Aban bin ‘Utsman menganggapnya sebagai satu talak.” ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz berkata, “Seandainya talak itu seribu kali, maka ‘al-battah’ tidak akan menyisakan sedikit pun darinya. Barang siapa mengucapkan ‘al-battah’, maka ia telah mencapai batas akhir (talak).”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ كَانَ يَقْضِي فِي الَّذِي يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ أَنَّهَا ثَلَاثُ تَطْلِيقَاتٍ قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي ذَلِكَ

4 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa Marwan bin al-Hakam memutuskan dalam perkara seseorang yang menceraikan istrinya dengan lafaz ‘al-battah’ bahwa itu dihitung sebagai tiga talak. Malik berkata, “Ini adalah pendapat yang paling aku sukai dalam masalah tersebut.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْخَلِيَّةِ وَالْبَرِيَّةِ وَأَشْبَاهِ ذَلِكَ

Bab tentang apa yang datang mengenai lafaz “al-khaliyah”, “al-bariyah”, dan semisalnya

5 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّهُ كُتِبَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ مِنَ الْعِرَاقِ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِامْرَأَتِهِ: حَبْلُكِ عَلَى غَارِبِكِ، فَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى عَامِلِهِ أَنْ مُرْهُ يُوَافِينِي بِمَكَّةَ فِي الْمَوْسِمِ، فَبَيْنَمَا عُمَرُ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ إِذْ لَقِيَهُ الرَّجُلُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَقَالَ عُمَرُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَقَالَ: أَنَا الَّذِي أَمَرْتَ أَنْ أُجْلَبَ عَلَيْكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: ” أَسْأَلُكَ بِرَبِّ هَذِهِ الْبَنِيَّةِ، مَا أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ: حَبْلُكِ عَلَى غَارِبِكِ؟ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: لَوِ اسْتَحْلَفْتَنِي فِي غَيْرِ هَذَا الْمَكَانِ، مَا صَدَقْتُكَ؟ أَرَدْتُ بِذَلِكَ الْفِرَاقَ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: هُوَ مَا أَرَدْتَ

5 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa sampai kepadanya berita bahwa telah ditulis surat kepada ‘Umar bin al-Khattab dari Irak, bahwa seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Tali kendalimu di atas tengkukmu.” Maka ‘Umar bin al-Khattab menulis kepada gubernurnya agar memerintahkan orang itu menemuinya di Mekah pada musim haji. Ketika ‘Umar sedang thawaf di Ka‘bah, ia bertemu dengan laki-laki itu, lalu laki-laki itu memberi salam kepadanya. ‘Umar bertanya, “Siapa kamu?” Ia menjawab, “Aku adalah orang yang engkau perintahkan untuk dibawa menghadapmu.” ‘Umar berkata kepadanya, “Aku bertanya kepadamu demi Tuhan bangunan ini, apa maksudmu dengan ucapanmu: ‘Tali kendalimu di atas tengkukmu’?” Laki-laki itu berkata, “Seandainya engkau bersumpah kepadaku di tempat selain ini, aku tidak akan berkata jujur kepadamu. Aku bermaksud dengan itu adalah perpisahan.” Maka ‘Umar bin al-Khattab berkata, “Itu sebagaimana yang engkau maksudkan.”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ كَانَ يَقُولُ فِي الرَّجُلِ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ، إِنَّهَا ثَلَاثُ تَطْلِيقَاتٍ قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ

6 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa sampai kepadanya berita bahwa ‘Ali bin Abi Thalib berkata tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, “Engkau haram atasku,” bahwa itu dihitung sebagai tiga talak. Malik berkata, “Itu adalah pendapat terbaik yang aku dengar dalam masalah tersebut.”

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ: فِي الْخَلِيَّةِ وَالْبَرِيَّةِ، إِنَّهَا ثَلَاثُ تَطْلِيقَاتٍ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar biasa berkata tentang lafaz “al-khaliyah” dan “al-bariyyah”, bahwa keduanya adalah tiga talak, masing-masing dari keduanya.

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَنَّ رَجُلًا كَانَتْ تَحْتَهُ وَلِيدَةٌ لِقَوْمٍ، فَقَالَ لِأَهْلِهَا: شَأْنَكُمْ بِهَا، فَرَأَى النَّاسُ أَنَّهَا تَطْلِيقَةٌ وَاحِدَةٌ

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari al-Qāsim bin Muhammad, bahwa ada seorang laki-laki yang memiliki seorang budak perempuan milik suatu kaum sebagai istrinya, lalu ia berkata kepada keluarganya: “Uruslah urusan kalian dengannya.” Maka orang-orang memandangnya sebagai satu talak saja.

9 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ شِهَابٍ يَقُولُ فِي الرَّجُلِ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ: بَرِئْتِ مِنِّي وَبَرِئْتُ مِنْكِ، إِنَّهَا ثَلَاثُ تَطْلِيقَاتٍ بِمَنْزِلَةِ الْبَتَّةِ

9 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa ia mendengar Ibn Syihāb berkata tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya: “Engkau bebas dariku dan aku bebas darimu,” maka itu adalah tiga talak yang setara dengan talak bain (talak yang memutuskan hubungan secara total).

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ خَلِيَّةٌ أَوْ بَرِيَّةٌ، أَوْ بَائِنَةٌ، إِنَّهَا ثَلَاثُ تَطْلِيقَاتٍ لِلْمَرْأَةِ الَّتِي قَدْ دَخَلَ بِهَا، وَيُدَيَّنُ فِي الَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بِهَا أَوَاحِدَةً أَرَادَ أَمْ ثَلَاثًا، فَإِنْ قَالَ وَاحِدَةً أُحْلِفَ عَلَى ذَلِكَ، وَكَانَ خَاطِبًا مِنَ الْخُطَّابِ، لِأَنَّهُ لَا يُخْلِي الْمَرْأَةَ الَّتِي قَدْ دَخَلَ بِهَا زَوْجُهَا، وَلَا يُبِينُهَا، وَلَا يُبْرِيهَا إِلَّا ثَلَاثُ تَطْلِيقَاتٍ، وَالَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بِهَا تُخْلِيهَا، وَتُبْرِيهَا، وَتُبِينُهَا الْوَاحِدَةُ

Mālik berkata: Tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya: “Engkau khaliyah (bebas), atau bariyyah (terlepas), atau bā’inah (terputus),” maka itu adalah tiga talak bagi wanita yang telah digauli, dan bagi yang belum digauli, maka tergantung niatnya, apakah ia menginginkan satu atau tiga. Jika ia mengatakan satu, maka ia disumpah atas hal itu, dan ia dianggap sebagai pelamar di antara para pelamar. Karena tidaklah seorang suami membebaskan, memutuskan, atau melepaskan istrinya yang telah digauli kecuali dengan tiga talak, sedangkan bagi yang belum digauli, cukup satu talak untuk membebaskan, melepaskan, dan memutuskan hubungan.

قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ

Mālik berkata: Inilah pendapat terbaik yang aku dengar dalam masalah ini.

بَابُ مَا يُبِينُ مِنَ التَّمْلِيكِ

Bab tentang apa yang memutuskan (hubungan) dari tamlīk (penyerahan urusan talak kepada istri).

10 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّي جَعَلْتُ أَمْرَ امْرَأَتِي فِي يَدِهَا، فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا، فَمَاذَا تَرَى؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: ” أُرَاهُ كَمَا قَالَتْ، فَقَالَ الرَّجُلُ: لَا تَفْعَلْ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: أَنَا أَفْعَلُ أَنْتَ فَعَلْتَهُ

10 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya, ada seorang laki-laki datang kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar, lalu berkata: “Wahai Abū ‘Abd ar-Rahmān, aku telah menyerahkan urusan istriku kepadanya, lalu ia menalak dirinya sendiri. Bagaimana pendapatmu?” Maka ‘Abdullāh bin ‘Umar berkata: “Aku memandangnya sebagaimana yang ia katakan.” Lalu laki-laki itu berkata: “Jangan begitu, wahai Abū ‘Abd ar-Rahmān.” Maka Ibn ‘Umar berkata: “Aku tetap melakukannya, karena engkau yang telah melakukannya.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ: ” إِذَا مَلَّكَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ أَمْرَهَا، فَالْقَضَاءُ مَا قَضَتْ بِهِ، إِلَّا أَنْ يُنْكِرَ عَلَيْهَا، وَيَقُولُ: لَمْ أُرِدْ إِلَّا وَاحِدَةً، فَيَحْلِفُ عَلَى ذَلِكَ، وَيَكُونُ أَمْلَكَ بِهَا مَا كَانَتْ فِي عِدَّتِهَا “

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar biasa berkata: “Jika seorang laki-laki menyerahkan urusan istrinya kepadanya, maka keputusan adalah sebagaimana yang ia putuskan, kecuali jika ia mengingkarinya dan berkata: ‘Aku hanya bermaksud satu talak,’ maka ia disumpah atas hal itu, dan ia masih berhak rujuk selama istrinya masih dalam masa ‘iddah.”

بَابُ مَا يَجِبُ فِيهِ تَطْلِيقَةٌ وَاحِدَةٌ مِنَ التَّمْلِيكِ

Bab tentang apa yang wajib berupa satu talak dari tamlīk (penyerahan urusan talak kepada istri).

12 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سُلَيْمَانَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا عِنْدَ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، فَأَتَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَتِيقٍ وَعَيْنَاهُ تَدْمَعَانِ، فَقَالَ لَهُ زَيْدٌ: مَا شَأْنُكَ؟ فَقَالَ: مَلَّكْتُ امْرَأَتِي أَمْرَهَا فَفَارَقَتْنِي، فَقَالَ لَهُ زَيْدٌ: مَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ؟ قَالَ: الْقَدَرُ، فَقَالَ زَيْدٌ: ارْتَجِعْهَا إِنْ شِئْتَ، فَإِنَّمَا هِيَ وَاحِدَةٌ وَأَنْتَ أَمْلَكُ بِهَا

12 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Sa‘īd bin Sulaimān bin Zaid bin Tsābit, dari Khārijah bin Zaid bin Tsābit, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa ia sedang duduk di sisi Zaid bin Tsābit, lalu datang Muhammad bin Abī ‘Atīq dengan mata berlinang air mata. Zaid bertanya kepadanya: “Ada apa denganmu?” Ia menjawab: “Aku telah menyerahkan urusan istriku kepadanya, lalu ia berpisah dariku.” Zaid berkata: “Apa yang mendorongmu melakukan itu?” Ia menjawab: “Takdir.” Zaid berkata: “Rujuklah kepadanya jika engkau mau, karena itu hanya satu talak dan engkau masih berhak rujuk kepadanya.”

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ ثَقِيفٍ مَلَّكَ امْرَأَتَهُ أَمْرَهَا، فَقَالَتْ: أَنْتَ الطَّلَاقُ فَسَكَتَ، ثُمَّ قَالَتْ: أَنْتَ الطَّلَاقُ، فَقَالَ: بِفِيكِ الْحَجَرُ، ثُمَّ قَالَتْ: أَنْتَ الطَّلَاقُ، فَقَالَ: بِفَاكِ الْحَجَرُ، فَاخْتَصَمَا إِلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَاسْتَحْلَفَهُ: مَا مَلَّكَهَا إِلَّا وَاحِدَةً وَرَدَّهَا إِلَيْهِ

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abd ar-Rahmān bin al-Qāsim, dari ayahnya, bahwa seorang laki-laki dari Tsaqīf menyerahkan urusan istrinya kepadanya, lalu istrinya berkata: “Engkau talak,” dan ia diam. Kemudian istrinya berkata lagi: “Engkau talak,” lalu ia berkata: “Mulutmu penuh batu.” Kemudian istrinya berkata lagi: “Engkau talak,” lalu ia berkata: “Mulutmu penuh batu.” Lalu mereka berdua mengadukan perkara itu kepada Marwān bin al-Hakam, maka Marwān menyuruhnya bersumpah bahwa ia tidak menyerahkan urusan itu kecuali untuk satu talak, lalu Marwān mengembalikan istrinya kepadanya.

قَالَ مَالِكٌ: قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، فَكَانَ الْقَاسِمُ، يُعْجِبُهُ هَذَا الْقَضَاءُ وَيَرَاهُ أَحْسَنَ مَا سَمِعَ فِي ذَلِكَ

Mālik berkata: ‘Abd ar-Rahmān berkata, maka al-Qāsim menyukai keputusan ini dan menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang ia dengar dalam masalah ini.

قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ وَأَحَبُّهُ إِلَيَّ

Mālik berkata: Dan ini adalah pendapat terbaik yang aku dengar dalam masalah ini dan paling aku sukai.

بَابُ مَا لَا يُبِينُ مِنَ التَّمْلِيكِ

Bab tentang apa yang tidak memutuskan (hubungan) dari tamlīk (penyerahan urusan talak kepada istri).

14 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا: خَطَبَتْ عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، قَرِيبَةَ بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ فَزَوَّجُوهُ، ثُمَّ إِنَّهُمْ عَتَبُوا عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَقَالُوا: مَا زَوَّجْنَا إِلَّا عَائِشَةَ، فَأَرْسَلَتْ عَائِشَةُ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَجَعَلَ أَمْرَ قَرِيبَةَ بِيَدِهَا فَاخْتَارَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ طَلَاقًا “

14 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia pernah melamar Qaribah binti Abi Umayyah untuk Abdurrahman bin Abi Bakr, lalu mereka menikahkannya. Kemudian mereka mencela Abdurrahman dan berkata, “Kami tidak menikahkan kecuali karena Aisyah.” Maka Aisyah mengutus seseorang kepada Abdurrahman dan menyampaikan hal itu kepadanya. Lalu Abdurrahman menyerahkan urusan Qaribah kepada Aisyah. Qaribah pun memilih suaminya, dan hal itu tidak dianggap sebagai talak.

15 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” زَوَّجَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ غَائِبٌ بِالشَّامِ، فَلَمَّا قَدِمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ، قَالَ: ” وَمِثْلِي يُصْنَعُ هَذَا بِهِ، وَمِثْلِي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ؟ فَكَلَّمَتْ عَائِشَةُ الْمُنْذِرَ بْنَ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ الْمُنْذِرُ: فَإِنَّ ذَلِكَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: مَا كُنْتُ لِأَرُدَّ أَمْرًا قَضَيْتِهِ، فَقَرَّتْ حَفْصَةُ عِنْدَ الْمُنْذِرِ، وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ طَلَاقًا “

15 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, bahwa Aisyah, istri Nabi ﷺ, menikahkan Hafshah binti Abdurrahman dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair, sementara Abdurrahman sedang tidak berada di Syam. Ketika Abdurrahman kembali, ia berkata, “Apakah pantas orang seperti saya diperlakukan seperti ini? Apakah orang seperti saya bisa dilewati begitu saja?” Maka Aisyah berbicara dengan Al-Mundzir bin Az-Zubair, lalu Al-Mundzir berkata, “Urusan itu ada di tangan Abdurrahman.” Abdurrahman pun berkata, “Saya tidak akan menolak keputusan yang telah engkau buat.” Maka Hafshah tetap bersama Al-Mundzir, dan hal itu tidak dianggap sebagai talak.

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَأَبَا هُرَيْرَةَ سُئِلَا عَنِ الرَّجُلِ يُمَلِّكُ امْرَأَتَهُ أَمْرَهَا، فَتَرُدُّ بِذَلِكَ إِلَيْهِ، وَلَا تَقْضِي فِيهِ شَيْئًا، فَقَالَا: لَيْسَ ذَلِكَ بِطَلَاقٍ

16 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menyerahkan urusan istrinya kepada istrinya, lalu sang istri mengembalikan urusan itu kepadanya dan tidak memutuskan apa pun, maka keduanya berkata, “Itu bukanlah talak.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ: إِذَا مَلَّكَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ أَمْرَهَا، فَلَمْ تُفَارِقْهُ، وَقَرَّتْ عِنْدَهُ فَلَيْسَ ذَلِكَ بِطَلَاقٍ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin Al-Musayyib, bahwa ia berkata, “Jika seorang laki-laki menyerahkan urusan istrinya kepada istrinya, lalu sang istri tidak berpisah darinya dan tetap bersamanya, maka itu bukanlah talak.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُمَلَّكَةِ إِذَا مَلَّكَهَا زَوْجُهَا أَمْرَهَا، ثُمَّ افْتَرَقَا، وَلَمْ تَقْبَلْ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، فَلَيْسَ بِيَدِهَا مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ، وَهُوَ لَهَا مَا دَامَا فِي مَجْلِسِهِمَا

Malik berkata: Dalam kasus wanita yang diberi hak memilih (al-mumallakah), jika suaminya menyerahkan urusan kepadanya, lalu mereka berpisah dan sang istri tidak menerima apa pun dari hal itu, maka ia tidak memiliki hak apa pun dari urusan tersebut. Hak itu tetap ada padanya selama mereka masih dalam satu majelis.

بَابُ الْإِيلَاءِ

Bab Al-Ilā’ (Sumpah Tidak Menggauli Istri)

17 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: إِذَا آلَى الرَّجُلُ مِنِ امْرَأَتِهِ، لَمْ يَقَعْ عَلَيْهِ طَلَاقٌ، وَإِنْ مَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ حَتَّى يُوقَفَ، فَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَ وَإِمَّا أَنْ يَفِيءَ قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا

17 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, bahwa ia biasa berkata: “Jika seorang laki-laki melakukan ilā’ terhadap istrinya, tidak terjadi talak atasnya, meskipun telah berlalu empat bulan, hingga ia dihadapkan (kepada hakim); maka ia harus memilih antara menceraikan atau kembali (kepada istrinya).” Malik berkata: “Demikianlah pendapat yang berlaku di kalangan kami.”

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: أَيُّمَا رَجُلٍ آلَى مِنِ امْرَأَتِهِ، فَإِنَّهُ إِذَا مَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ، وُقِفَ حَتَّى يُطَلِّقَ أَوْ يَفِيءَ، وَلَا يَقَعُ عَلَيْهِ طَلَاقٌ إِذَا مَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ حَتَّى يُوقَفَ

18 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, bahwa ia biasa berkata: “Siapa saja laki-laki yang melakukan ilā’ terhadap istrinya, maka jika telah berlalu empat bulan, ia dihadapkan (kepada hakim) hingga ia menceraikan atau kembali (kepada istrinya), dan tidak terjadi talak atasnya hanya karena telah berlalu empat bulan hingga ia dihadapkan (kepada hakim).”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، وَأَبَا بَكْرِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ كَانَا يَقُولَانِ فِي الرَّجُلِ يُولِي مِنِ امْرَأَتِهِ إِنَّهَا إِذَا مَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ فَهِيَ تَطْلِيقَةٌ، وَلِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ مَا كَانَتْ فِي الْعِدَّةِ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa Sa’id bin Al-Musayyib dan Abu Bakar bin Abdurrahman biasa berkata tentang laki-laki yang melakukan ilā’ terhadap istrinya, bahwa jika telah berlalu empat bulan, maka itu adalah satu talak, dan suaminya masih berhak rujuk selama istrinya masih dalam masa iddah.

19 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ كَانَ يَقْضِي فِي الرَّجُلِ إِذَا آلَى مِنِ امْرَأَتِهِ أَنَّهَا إِذَا مَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ فَهِيَ تَطْلِيقَةٌ، وَلَهُ عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ مَا دَامَتْ فِي عِدَّتِهَا

19 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Marwan bin Al-Hakam biasa memutuskan dalam perkara laki-laki yang melakukan ilā’ terhadap istrinya, bahwa jika telah berlalu empat bulan, maka itu adalah satu talak, dan suaminya masih berhak rujuk selama istrinya masih dalam masa iddah.

قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ كَانَ رَأْيُ ابْنِ شِهَابٍ

Malik berkata: “Demikianlah pendapat Ibnu Syihab.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يُولِي مِنِ امْرَأَتِهِ، فَيُوقَفُ فَيُطَلِّقُ عِنْدَ انْقِضَاءِ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ، ثُمَّ يُرَاجِعُ امْرَأَتَهُ أَنَّهُ إِنْ لَمْ يُصِبْهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا فَلَا سَبِيلَ لَهُ إِلَيْهَا، وَلَا رَجْعَةَ لَهُ عَلَيْهَا، إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ مَرَضٍ أَوْ سِجْنٍ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْعُذْرِ، فَإِنَّ ارْتِجَاعَهُ إِيَّاهَا ثَابِتٌ عَلَيْهَا، فَإِنْ مَضَتْ عِدَّتُهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يُصِبْهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ وُقِفَ أَيْضًا، فَإِنْ لَمْ يَفِئْ دَخَلَ عَلَيْهِ الطَّلَاقُ بِالْإِيلَاءِ الْأَوَّلِ، إِذَا مَضَتِ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ لِأَنَّهُ نَكَحَهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَلَا عِدَّةَ لَهُ عَلَيْهَا وَلَا رَجْعَةَ

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang melakukan ila’ (bersumpah tidak akan menggauli istrinya), lalu ia ditahan (diberi tenggang waktu), kemudian ia menceraikan istrinya setelah berakhirnya empat bulan, lalu ia merujuk istrinya, maka jika ia tidak menggaulinya hingga masa iddahnya habis, maka tidak ada jalan lagi baginya untuk kembali kepadanya, dan tidak ada hak rujuk baginya atas istrinya, kecuali jika ia memiliki uzur seperti sakit, dipenjara, atau uzur lain yang serupa, maka rujuknya tetap sah atas istrinya. Jika masa iddahnya telah berlalu, lalu ia menikahinya kembali setelah itu, kemudian ia tidak menggaulinya hingga berlalu empat bulan, maka ia juga akan ditahan (diberi tenggang waktu). Jika ia tidak kembali (menggauli), maka jatuhlah talak atasnya karena ila’ yang pertama, ketika empat bulan telah berlalu, dan ia tidak memiliki hak rujuk lagi atas istrinya karena ia telah menikahinya lalu menceraikannya sebelum menggaulinya, sehingga tidak ada masa iddah atasnya dan tidak ada hak rujuk baginya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يُولِي مِنِ امْرَأَتِهِ، فَيُوقَفُ بَعْدَ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ، فَيُطَلِّقُ ثُمَّ يَرْتَجِعُ وَلَا يَمَسُّهَا فَتَنْقَضِي أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا، إِنَّهُ لَا يُوقَفُ وَلَا يَقَعُ عَلَيْهِ طَلَاقٌ، وَإِنَّهُ إِنْ أَصَابَهَا قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا كَانَ أَحَقَّ بِهَا، وَإِنْ مَضَتْ عِدَّتُهَا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَهَا، فَلَا سَبِيلَ لَهُ إِلَيْهَا، وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang melakukan ila’ terhadap istrinya, lalu ia ditahan setelah empat bulan, kemudian ia menceraikan dan merujuknya, namun tidak menggaulinya hingga berlalu empat bulan sebelum masa iddahnya habis, maka ia tidak lagi ditahan dan tidak jatuh talak atasnya. Jika ia menggaulinya sebelum masa iddahnya habis, maka ia lebih berhak atas istrinya. Namun jika masa iddahnya telah habis sebelum ia menggaulinya, maka tidak ada jalan lagi baginya untuk kembali kepadanya. Inilah pendapat terbaik yang aku dengar dalam masalah ini.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يُولِي مِنِ امْرَأَتِهِ، ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَنْقَضِي الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّةِ الطَّلَاقِ، قَالَ: هُمَا تَطْلِيقَتَانِ إِنْ هُوَ وُقِفَ، وَلَمْ يَفِئْ وَإِنْ مَضَتْ عِدَّةُ الطَّلَاقِ قَبْلَ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ، فَلَيْسَ الْإِيلَاءُ بِطَلَاقٍ، وَذَلِكَ أَنَّ الْأَرْبَعَةَ الْأَشْهُرِ الَّتِي كَانَتْ تُوقَفُ بَعْدَهَا مَضَتْ وَلَيْسَتْ لَهُ يَوْمَئِذٍ بِامْرَأَةٍ “

Malik berkata: “Tentang seorang laki-laki yang melakukan ila’ terhadap istrinya, lalu ia menceraikannya, kemudian berlalu empat bulan sebelum masa iddah talak habis, maka itu dihitung dua kali talak jika ia ditahan dan tidak kembali (menggauli). Namun jika masa iddah talak habis sebelum empat bulan, maka ila’ tidak dianggap sebagai talak, karena empat bulan yang menjadi batas penahanan telah berlalu dan pada saat itu ia bukan lagi istrinya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ حَلَفَ أَنْ لَا يَطَأَ امْرَأَتَهُ يَوْمًا أَوْ شَهْرًا، ثُمَّ مَكَثَ حَتَّى يَنْقَضِيَ أَكْثَرُ مِنَ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ، فَلَا يَكُونُ ذَلِكَ إِيلَاءً، وَإِنَّمَا يُوقَفُ فِي الْإِيلَاءِ مَنْ حَلَفَ عَلَى أَكْثَرَ مِنَ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ، فَأَمَّا مَنْ حَلَفَ أَنْ لَا يَطَأَ امْرَأَتَهُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ أَوْ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ، فَلَا أَرَى عَلَيْهِ إِيلَاءً لِأَنَّهُ إِذَا دَخَلَ الْأَجَلُ الَّذِي يُوقَفُ عِنْدَهُ خَرَجَ مِنْ يَمِينِهِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ وَقْفٌ

Malik berkata: Barang siapa bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama sehari atau sebulan, lalu ia membiarkan hingga berlalu lebih dari empat bulan, maka itu tidak dianggap sebagai ila’. Yang dikenai penahanan dalam ila’ adalah orang yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan. Adapun orang yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan atau kurang dari itu, maka aku tidak melihat itu sebagai ila’, karena ketika waktu yang dijanjikan telah tiba, ia telah keluar dari sumpahnya dan tidak dikenai penahanan.

قَالَ مَالِكٌ: مَنْ حَلَفَ لِامْرَأَتِهِ أَنْ لَا يَطَأَهَا حَتَّى تَفْطِمَ وَلَدَهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَكُونُ إِيلَاءً، وَقَدْ بَلَغَنِي أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَلَمْ يَرَهُ إِيلَاءً

Malik berkata: Barang siapa bersumpah kepada istrinya untuk tidak menggaulinya hingga anaknya disapih, maka itu tidak dianggap sebagai ila’. Telah sampai kepadaku bahwa Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang hal itu, dan beliau tidak menganggapnya sebagai ila’.

بَابُ إِيلَاءِ الْعَبْدِ
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ: عَنْ إِيلَاءِ الْعَبْدِ فَقَالَ: هُوَ نَحْوُ إِيلَاءِ الْحُرِّ، وَهُوَ عَلَيْهِ وَاجِبٌ وَإِيلَاءُ الْعَبْدِ شَهْرَانِ

Bab Ila’ bagi Budak
Yahya meriwayatkan dari Malik, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Syihab tentang ila’ bagi budak. Ibnu Syihab berkata: Hukum ila’ bagi budak sama seperti ila’ bagi orang merdeka, dan itu wajib atasnya. Namun masa ila’ bagi budak adalah dua bulan.

بَابُ ظِهَارِ الْحُرِّ

Bab Zhihar Orang Merdeka

20 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ، أَنَّهُ سَأَلَ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَةً إِنْ هُوَ تَزَوَّجَهَا، فَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ: إِنَّ رَجُلًا جَعَلَ امْرَأَةً عَلَيْهِ كَظَهْرِ أُمِّهِ، إِنْ هُوَ تَزَوَّجَهَا فَأَمَرَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنْ هُوَ تَزَوَّجَهَا أَنْ لَا يَقْرَبَهَا حَتَّى يُكَفِّرَ كَفَّارَةَ الْمُتَظَاهِرِ

20 – Yahya meriwayatkan dari Malik, dari Sa’id bin Amr bin Sulaim az-Zuraqi, bahwa ia bertanya kepada al-Qasim bin Muhammad tentang seorang laki-laki yang mentalak seorang wanita jika ia menikahinya. Al-Qasim bin Muhammad berkata: Ada seorang laki-laki yang menjadikan seorang wanita seperti punggung ibunya (melakukan zhihar) jika ia menikahinya, maka Umar bin Khattab memerintahkannya, jika ia menikahinya, agar tidak mendekatinya sebelum membayar kafarat zhihar.

21 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ: عَنْ رَجُلٍ تَظَاهَرَ مِنِ امْرَأَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَنْكِحَهَا، فَقَالَا: إِنْ نَكَحَهَا فَلَا يَمَسَّهَا حَتَّى يُكَفِّرَ كَفَّارَةَ الْمُتَظَاهِرِ

21 – Dan Yahya meriwayatkan dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada al-Qasim bin Muhammad dan Sulaiman bin Yasar tentang seorang laki-laki yang melakukan zhihar terhadap istrinya sebelum menikahinya. Keduanya berkata: Jika ia menikahinya, maka ia tidak boleh menggaulinya sebelum membayar kafarat zhihar.

22 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: فِي رَجُلٍ تَظَاهَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ نِسْوَةٍ لَهُ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ، إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌوَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مِثْلَ ذَلِكَ

22 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya bahwa ia berkata: Mengenai seorang laki-laki yang melakukan ẓihār terhadap empat istrinya dengan satu ucapan, maka baginya hanya wajib satu kafārah saja. Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Rabī‘ah bin Abī ‘Abdirrahmān hal yang serupa dengan itu.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَعَلَى ذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كَفَّارَةِ الْمُتَظَاهِرِ {فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا} [المجادلة: 3] {فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا، فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا} [المجادلة: 4]

Mālik berkata: “Demikianlah praktik yang berlaku di tempat kami. Allah Ta‘ālā berfirman tentang kafārah bagi orang yang melakukan ẓihār: {Maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur} [al-Mujādilah: 3]. {Barang siapa tidak mendapatkannya, maka hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur; dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin} [al-Mujādilah: 4].

قالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَتَظَاهَرُ مِنِ امْرَأَتِهِ فِي مَجَالِسَ مُتَفَرِّقَةٍ، قَالَ: لَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، فَإِنْ تَظَاهَرَ ثُمَّ كَفَّرَ، ثُمَّ تَظَاهَرَ بَعْدَ أَنْ يُكَفِّرَ فَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ أَيْضًا “

Mālik berkata: “Tentang seorang laki-laki yang melakukan ẓihār terhadap istrinya di beberapa majelis yang berbeda, ia berkata: Tidak wajib atasnya kecuali satu kafārah saja. Namun jika ia melakukan ẓihār lalu menunaikan kafārah, kemudian melakukan ẓihār lagi setelah menunaikan kafārah, maka wajib atasnya kafārah lagi.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ تَظَاهَرَ مِنِ امْرَأَتِهِ، ثُمَّ مَسَّهَا قَبْلَ أَنْ يُكَفِّرَ لَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، وَيَكُفُّ عَنْهَا، حَتَّى يُكَفِّرَ، وَلْيَسْتَغْفِرِ اللَّهَ وَذَلِكَ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ

Mālik berkata: Dan barang siapa melakukan ẓihār terhadap istrinya, lalu menyentuhnya sebelum menunaikan kafārah, maka tidak wajib atasnya kecuali satu kafārah saja, dan hendaknya ia menahan diri darinya sampai ia menunaikan kafārah, serta memohon ampun kepada Allah. Itulah yang terbaik yang aku dengar.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالظِّهَارُ مِنْ ذَوَاتِ الْمَحَارِمِ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَالنَّسَبِ سَوَاءٌ

Mālik berkata: “Ẓihār terhadap perempuan-perempuan maḥram karena hubungan persusuan dan nasab hukumnya sama.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ ظِهَارٌ قَالَ مَالِكٌ: فِي قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى (وَالَّذِينَ يَظَّاهَرُونَ) مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا قَالَ: سَمِعْتُ أَنَّ تَفْسِيرَ ذَلِكَ أَنْ يَتَظَاهَرَ الرَّجُلُ مِنِ امْرَأَتِهِ، ثُمَّ يُجْمِعَ عَلَى إِمْسَاكِهَا وَإِصَابَتِهَا، فَإِنْ أَجْمَعَ عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ، وَإِنْ طَلَّقَهَا، وَلَمْ يُجْمِعْ بَعْدَ تَظَاهُرِهِ مِنْهَا عَلَى إِمْسَاكِهَا، وَإِصَابَتِهَا فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ

Mālik berkata: Tidak ada ẓihār atas perempuan. Mālik berkata: Dalam firman Allah Tabāraka wa Ta‘ālā (Dan orang-orang yang melakukan ẓihār terhadap istri-istri mereka kemudian mereka kembali kepada apa yang telah mereka ucapkan), ia berkata: Aku mendengar bahwa tafsirnya adalah seorang laki-laki melakukan ẓihār terhadap istrinya, kemudian ia bertekad untuk tetap mempertahankan dan menggaulinya. Jika ia bertekad demikian, maka wajib atasnya kafārah. Namun jika ia menceraikannya dan tidak bertekad setelah ẓihār untuk mempertahankan dan menggaulinya, maka tidak ada kafārah atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ ذَلِكَ لَمْ يَمَسَّهَا، حَتَّى يُكَفِّرَ كَفَّارَةَ الْمُتَظَاهِرِ

Mālik berkata: Jika ia menikahinya kembali setelah itu, maka ia tidak boleh menggaulinya sampai ia menunaikan kafārah ẓihār.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَتَظَاهَرُ مِنْ أَمَتِهِ، إِنَّهُ إِنْ أَرَادَ أَنْ يُصِيبَهَا فَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ الظِّهَارِ قَبْلَ أَنْ يَطَأَهَا

Mālik berkata: Tentang seorang laki-laki yang melakukan ẓihār terhadap budaknya, jika ia ingin menggaulinya maka wajib atasnya kafārah ẓihār sebelum menggaulinya.

قَالَ مَالِكٌ: لَا يَدْخُلُ عَلَى الرَّجُلِ إِيلَاءٌ فِي تَظَاهُرِهِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ مُضَارًّا لَا يُرِيدُ أَنْ يَفِيءَ مِنْ تَظَاهُرِهِ

Mālik berkata: Tidak berlaku ilā’ (sumpah tidak menggauli istri) pada kasus ẓihār, kecuali jika ia bermaksud menyakiti dan tidak ingin kembali dari ẓihār-nya.

23 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَسْأَلُ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: كُلُّ امْرَأَةٍ أَنْكِحُهَا عَلَيْكِ مَا عِشْتِ فَهِيَ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي فَقَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ: يُجْزِيهِ عَنْ ذَلِكَ عِتْقُ رَقَبَةٍ

23 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, bahwa ia mendengar seorang laki-laki bertanya kepada ‘Urwah bin az-Zubair tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya: “Setiap perempuan yang aku nikahi selama engkau masih hidup, maka ia bagiku seperti punggung ibuku.” Maka ‘Urwah bin az-Zubair berkata: “Cukup baginya untuk itu dengan memerdekakan seorang budak.”

بَابُ ظِهَارِ الْعَبِيدِ

Bab Ẓihār Para Budak

24 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ عَنْ ظِهَارِ الْعَبْدِ، فَقَالَ: نَحْوُ ظِهَارِ الْحُرِّ قَالَ مَالِكٌ: يُرِيدُ أَنَّهُ يَقَعُ عَلَيْهِ كَمَا يَقَعُ عَلَى الْحُرِّ

24 – Yahyā telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Syihāb tentang ẓihār budak, maka ia berkata: Sama seperti ẓihār orang merdeka. Mālik berkata: Maksudnya, hukum ẓihār berlaku atasnya sebagaimana berlaku atas orang merdeka.

قَالَ مَالِكٌ: وَظِهَارُ الْعَبْدِ عَلَيْهِ وَاجِبٌ، وَصِيَامُ الْعَبْدِ فِي الظِّهَارِ شَهْرَانِ

Mālik berkata: Dan ẓihār budak wajib atasnya, dan puasa budak dalam kafārah ẓihār adalah dua bulan.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْعَبْدِ يَتَظَاهَرُ مِنِ امْرَأَتِهِ، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ إِيلَاءٌ، وَذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ ذَهَبَ يَصُومُ صِيَامَ كَفَّارَةِ الْمُتَظَاهِرِ، دَخَلَ عَلَيْهِ طَلَاقُ الْإِيلَاءِ قَبْلَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صِيَامِهِ

Mālik berkata: Tentang budak yang melakukan ẓihār terhadap istrinya, maka tidak berlaku ilā’ atasnya. Hal itu karena jika ia hendak berpuasa untuk kafārah ẓihār, maka talak ilā’ akan jatuh sebelum ia selesai dari puasanya.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْخِيَارِ

Bab Tentang Pilihan (al-Khiyār)

25 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ فِي بَرِيرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ، فَكَانَتْ إِحْدَى السُّنَنِ الثَّلَاثِ: أَنَّهَا أُعْتِقَتْ فَخُيِّرَتْ فِي زَوْجِهَا، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
وَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْبُرْمَةُ تَفُورُ بِلَحْمٍ، فَقُرِّبَ إِلَيْهِ خُبْزٌ وَأُدْمٌ مِنْ أُدْمِ الْبَيْتِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَلَمْ أَرَ بُرْمَةً فِيهَا لَحْمٌ؟ فَقَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَكِنْ ذَلِكَ لَحْمٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ وَأَنْتَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَهُوَ لَنَا هَدِيَّةٌ

25 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, dari al-Qasim bin Muhammad, dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata: “Pada diri Barirah terdapat tiga sunah. Salah satu dari tiga sunah itu adalah: ketika ia dimerdekakan, ia diberi pilihan terhadap suaminya. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Wala’ (hak perwalian) adalah bagi orang yang memerdekakan.’ Rasulullah ﷺ masuk sementara periuk sedang mendidih berisi daging. Lalu dihidangkan kepada beliau roti dan lauk dari lauk yang ada di rumah. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Bukankah aku melihat ada periuk berisi daging?’ Mereka menjawab: ‘Benar, wahai Rasulullah, tetapi itu adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah, sedangkan engkau tidak memakan sedekah.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Itu (bagi Barirah) adalah sedekah, dan bagi kita adalah hadiah.'”

26 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي الْأَمَةِ تَكُونُ تَحْتَ الْعَبْدِ فَتَعْتِقُ إِنَّ الْأَمَةَ لَهَا الْخِيَارُ مَا لَمْ يَمَسَّهَا

26 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia berkata mengenai seorang budak perempuan yang menjadi istri budak laki-laki, lalu ia dimerdekakan: “Sesungguhnya budak perempuan itu memiliki hak memilih selama suaminya belum menyentuhnya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ مَسَّهَا زَوْجُهَا فَزَعَمَتْ أَنَّهَا جَهِلَتْ، أَنَّ لَهَا الْخِيَارَ، فَإِنَّهَا تُتَّهَمُ وَلَا تُصَدَّقُ بِمَا ادَّعَتْ مِنَ الْجَهَالَةِ، وَلَا خِيَارَ لَهَا بَعْدَ أَنْ يَمَسَّهَا

Malik berkata: “Jika suaminya telah menyentuhnya, lalu ia mengaku tidak tahu bahwa ia memiliki hak memilih, maka ia dianggap tertuduh dan tidak diterima pengakuannya tentang ketidaktahuannya itu, dan ia tidak lagi memiliki hak memilih setelah suaminya menyentuhnya.”

27 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ مَوْلَاةً لِبَنِي عَدِيٍّ يُقَالُ لَهَا زَبْرَاءُ، أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ عَبْدٍ، وَهِيَ أَمَةٌ يَوْمَئِذٍ. فَعَتَقَتْ، قَالَتْ: فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ حَفْصَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَتْنِي. فَقَالَتْ: إِنِّي مُخْبِرَتُكِ خَبَرًا. وَلَا أُحِبُّ أَنْ تَصْنَعِي شَيْئًا. إِنَّ أَمْرَكِ بِيَدِكِ، مَا لَمْ يَمْسَسْكِ زَوْجُكِ، فَإِنْ مَسَّكِ فَلَيْسَ لَكِ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ. قَالَتْ، فَقُلْتُ: هُوَ الطَّلَاقُ ثُمَّ الطَّلَاقُ ثُمَّ الطَّلَاقُ فَفَارَقَتْهُ ثَلَاثًا

27 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibn Syihab, dari ‘Urwah bin Zubair, bahwa seorang maulah (budak perempuan yang dimerdekakan) milik Bani ‘Adiy yang bernama Zabra’ telah memberitahunya bahwa ia dahulu menjadi istri seorang budak laki-laki, sementara ia sendiri masih budak saat itu. Lalu ia dimerdekakan. Ia berkata: “Hafsah, istri Nabi ﷺ, mengutus seseorang kepadaku dan memanggilku. Ia berkata: ‘Aku akan memberitahumu suatu kabar, dan aku tidak ingin engkau melakukan sesuatu (sebelum mendengarnya). Urusanmu ada di tanganmu selama suamimu belum menyentuhmu. Jika ia telah menyentuhmu, maka engkau tidak memiliki pilihan apa-apa lagi.’ Aku berkata: ‘Itu adalah talak, lalu talak, lalu talak.’ Maka aku berpisah darinya dengan tiga talak.”

28 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً، وَبِهِ جُنُونٌ أَوْ ضَرَرٌ، فَإِنَّهَا تُخَيَّرُ فَإِنْ شَاءَتْ قَرَّتْ، وَإِنْ شَاءَتْ فَارَقَتْ

29 – قَالَ مَالِكٌ: فِي الْأَمَةِ تَكُونُ تَحْتَ الْعَبْدِ، ثُمَّ تَعْتِقُ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا أَوْ يَمَسَّهَا، إِنَّهَا إِنِ اخْتَارَتْ نَفْسَهَا فَلَا صَدَاقَ لَهَا، وَهِيَ تَطْلِيقَةٌ وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا “

28 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa ia berkata: “Siapa saja laki-laki yang menikahi seorang perempuan, sedangkan ia (laki-laki itu) memiliki penyakit gila atau cacat, maka perempuan itu diberi hak memilih: jika ia mau, ia tetap (bersama suaminya), dan jika ia mau, ia berpisah.”

29 – Malik berkata: “Tentang budak perempuan yang menjadi istri budak laki-laki, lalu ia dimerdekakan sebelum digauli atau disentuh oleh suaminya, jika ia memilih dirinya sendiri (berpisah), maka ia tidak berhak atas mahar, dan itu dianggap sebagai satu talak. Demikianlah ketentuan menurut kami.”

30 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: إِذَا خَيَّرَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ، فَاخْتَارَتْهُ، فَلَيْسَ ذَلِكَ بِطَلَاقٍ

30 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibn Syihab, bahwa ia mendengarnya berkata: “Jika seorang laki-laki memberi pilihan kepada istrinya, lalu istrinya memilih dirinya (tetap bersama suaminya), maka itu tidak dianggap sebagai talak.”

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُخَيَّرَةِ إِذَا خَيَّرَهَا زَوْجُهَا، فَاخْتَارَتْ نَفْسَهَا، فَقَدْ طَلُقَتْ ثَلَاثًا، وَإِنْ قَالَ زَوْجُهَا لَمْ أُخَيِّرْكِ إِلَّا وَاحِدَةً، فَلَيْسَ لَهُ ذَلِكَ، وَذَلِكَ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُهُ

Malik berkata: “Itulah pendapat terbaik yang aku dengar.” Malik berkata: “Tentang al-mukhayyirah (perempuan yang diberi hak memilih oleh suaminya), jika suaminya memberi pilihan kepadanya lalu ia memilih dirinya sendiri (berpisah), maka ia telah tertalak tiga. Jika suaminya berkata, ‘Aku hanya memberimu pilihan satu kali talak,’ maka itu tidak berlaku. Dan itu adalah pendapat terbaik yang aku dengar.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَإِنْ خَيَّرَهَا. فَقَالَتْ: قَدْ قَبِلْتُ وَاحِدَةً، وَقَالَ: لَمْ أُرِدْ هَذَا وَإِنَّمَا خَيَّرْتُكِ فِي الثَّلَاثِ جَمِيعًا، أَنَّهَا إِنْ لَمْ تَقْبَلْ إِلَّا وَاحِدَةً، أَقَامَتْ عِنْدَهُ عَلَى نِكَاحِهَا، وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ فِرَاقًا إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى “

Malik berkata: “Jika suaminya memberi pilihan kepadanya, lalu ia berkata, ‘Aku menerima satu (talak),’ dan suaminya berkata, ‘Aku tidak bermaksud demikian, aku memberimu pilihan untuk tiga talak sekaligus,’ maka jika ia hanya menerima satu, ia tetap menjadi istrinya dalam pernikahan, dan itu tidak dianggap sebagai perpisahan, insya Allah Ta‘ala.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْخُلْعِ

Bab tentang apa yang datang mengenai khulu‘ (perceraian atas permintaan istri dengan tebusan).

31 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِي الْغَلَسِ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ هَذِهِ؟ فَقَالَتْ: أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: لَا أَنَا وَلَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ لِزَوْجِهَا، فَلَمَّا جَاءَ زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَذِهِ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ، فَقَالَتْ حَبِيبَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ خُذْ مِنْهَا، فَأَخَذَ مِنْهَا، وَجَلَسَتْ فِي بَيْتِ أَهْلِهَا

31 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari ‘Amrah binti ‘Abdurrahman, bahwa ia mengabarkan kepadanya dari Habibah binti Sahl al-Anshariyyah bahwa ia pernah menjadi istri Tsabit bin Qais bin Syammas. Rasulullah ﷺ keluar untuk shalat Subuh dan mendapati Habibah binti Sahl di depan pintunya pada waktu masih gelap. Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, “Siapa ini?” Ia menjawab, “Saya Habibah binti Sahl, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Aku dan Tsabit bin Qais tidak cocok sebagai suami istri.” Ketika suaminya, Tsabit bin Qais, datang, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Ini Habibah binti Sahl telah menyampaikan apa yang Allah kehendaki untuk ia sampaikan.” Habibah berkata, “Wahai Rasulullah, semua yang telah diberikan kepadaku masih ada padaku.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada Tsabit bin Qais, “Ambillah darinya.” Lalu ia mengambil dari Habibah, dan Habibah tinggal di rumah keluarganya.

32 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ مَوْلَاةٍ لِصَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ أَنَّهَا: اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا بِكُلِّ شَيْءٍ لَهَا، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ

32 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari seorang budak perempuan milik Shafiyyah binti Abi ‘Ubaid, bahwa ia melakukan khulu‘ dari suaminya dengan menyerahkan seluruh miliknya, dan ‘Abdullah bin ‘Umar tidak mengingkari hal itu.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُفْتَدِيَةِ الَّتِي تَفْتَدِي مِنْ زَوْجِهَا أَنَّهُ ” إِذَا عُلِمَ أَنَّ زَوْجَهَا أَضَرَّ بِهَا، وَضَيَّقَ عَلَيْهَا، وَعُلِمَ أَنَّهُ ظَالِمٌ لَهَا مَضَى الطَّلَاقُ، وَرَدَّ عَلَيْهَا مَالَهَا، قَالَ: فَهَذَا الَّذِي كُنْتُ أَسْمَعُ وَالَّذِي عَلَيْهِ أَمْرُ النَّاسِ عِنْدَنَا ” قَالَ مَالِكٌ: لَا بَأْسَ بِأَنْ تَفْتَدِيَ الْمَرْأَةُ مِنْ زَوْجِهَا بِأَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَاهَا

Malik berkata: Mengenai wanita yang melakukan iftidā’ (menebus diri dari suaminya), jika diketahui bahwa suaminya telah berbuat buruk kepadanya, menyulitkannya, dan diketahui bahwa ia telah menzaliminya, maka talak itu tetap berlaku dan hartanya dikembalikan kepadanya. Malik berkata: “Inilah yang aku dengar dan yang menjadi praktik masyarakat di tempat kami.” Malik juga berkata: Tidak mengapa jika seorang wanita menebus dirinya dari suaminya dengan jumlah yang lebih banyak dari apa yang telah diberikan kepadanya.

بَابُ طَلَاقِ الْمُخْتَلِعَةِ

Bab Talak bagi Wanita yang Melakukan Khulu‘

33 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ رُبَيِّعَ بِنْتَ مُعَوَّذِ بْنِ عَفْرَاءَ جَاءَتْ هِيَ وَعَمُّهَا إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَأَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا فِي زَمَانِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَلَمْ يُنْكِرْهُ، وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عِدَّتُهَا عِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ “

33 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, bahwa Rubayyi‘ binti Mu‘awwidz bin ‘Afra’ datang bersama pamannya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar dan mengabarkan kepadanya bahwa ia telah melakukan khulu‘ dari suaminya pada masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan. Berita itu sampai kepada ‘Utsman bin ‘Affan dan beliau tidak mengingkarinya. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Masa iddahnya sama dengan masa iddah wanita yang ditalak.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ وَابْنَ شِهَابٍ كَانُوا يَقُولُونَ: عِدَّةُ الْمُخْتَلِعَةِ مِثْلُ عِدَّةِ الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثَةُ قُرُوءٍ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Sa‘id bin al-Musayyib, Sulaiman bin Yasar, dan Ibnu Syihab biasa mengatakan: Masa iddah wanita yang melakukan khulu‘ sama dengan masa iddah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’ (masa suci).

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُفْتَدِيَةِ إِنَّهَا: لَا تَرْجِعُ إِلَى زَوْجِهَا إِلَّا بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ، فَإِنْ هُوَ نَكَحَهَا، فَفَارَقَهَا. قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهَا عِدَّةٌ مِنَ الطَّلَاقِ الْآخَرِ، وَتَبْنِي عَلَى عِدَّتِهَا الْأُولَى

Malik berkata: Mengenai wanita yang melakukan iftidā’, ia tidak boleh kembali kepada suaminya kecuali dengan akad nikah yang baru. Jika suaminya menikahinya kembali, lalu menceraikannya sebelum menyentuhnya, maka tidak ada masa iddah baginya dari talak yang terakhir itu, dan ia melanjutkan masa iddahnya yang pertama.

قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ

Malik berkata: Inilah pendapat terbaik yang aku dengar tentang hal itu.

قَالَ مَالِكٌ: إِذَا افْتَدَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ زَوْجِهَا بِشَيْءٍ عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا، فَطَلَّقَهَا طَلَاقًا مُتَتَابِعًا نَسَقًا فَذَلِكَ ثَابِتٌ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَانَ بَيْنَ ذَلِكَ صُمَاتٌ فَمَا أَتْبَعَهُ بَعْدَ الصُّمَاتِ فَلَيْسَ بِشَيْءٍ

Malik berkata: Jika seorang wanita menebus dirinya dari suaminya dengan sesuatu dengan syarat suaminya menceraikannya, lalu suaminya menceraikannya dengan talak yang berturut-turut sekaligus, maka itu tetap berlaku. Namun, jika di antara talak-talaknya terdapat jeda, maka talak yang diucapkan setelah jeda itu tidak dianggap.

بَابُ مَا جَاءَ فِي اللِّعَانِ

Bab tentang Apa yang Diriwayatkan Mengenai Li‘ān

34 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ السَّاعِدِيَّ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُوَيْمِرًا الْعَجْلَانِيَّ، جَاءَ إِلَى عَاصِمِ بْنِ عَدِيٍّ الْأَنْصَارِيِّ، فَقَالَ لَهُ: يَا عَاصِمُ أَرَأَيْتَ رَجُلًا وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا أَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُونَهُ؟ أَمْ كَيْفَ يَفْعَلُ؟ سَلْ لِي يَا عَاصِمُ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَ عَاصِمٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَكَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسَائِلَ، وَعَابَهَا، حَتَّى كَبُرَ عَلَى عَاصِمٍ مَا سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَجَعَ عَاصِمٌ إِلَى أَهْلِهِ جَاءَهُ عُوَيْمِرٌ، فَقَالَ: يَا عَاصِمُ، مَاذَا قَالَ لَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ عَاصِمٌ لِعُوَيْمِرٍ لَمْ تَأْتِنِي بِخَيْرٍ، قَدْ كَرِهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْأَلَةَ الَّتِي سَأَلْتُهُ عَنْهَا، فَقَالَ عُوَيْمِرٌ: وَاللَّهِ لَا أَنْتَهِي حَتَّى أَسْأَلَهُ عَنْهَا، فَأَقْبَلَ عُوَيْمِرٌ حَتَّى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَطَ النَّاسِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ رَجُلًا وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا أَيَقْتُلُهُ فَتَقْتُلُونَهُ؟ أَمْ كَيْفَ يَفْعَلُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ أُنْزِلَ فِيكَ، وَفِي صَاحِبَتِكَ، فَاذْهَبْ فَأْتِ بِهَا، قَالَ سَهْلٌ، فَتَلَاعَنَا، وَأَنَا مَعَ النَّاسِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ تَلَاعُنِهِمَا، قَالَ عُوَيْمِرٌ كَذَبْتُ عَلَيْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَمْسَكْتُهَا. فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا. قَبْلَ أَنْ يَأْمُرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ مَالِكٌ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَكَانَتْ تِلْكَ بَعْدُ سُنَّةَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ

34 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa Sahl bin Sa‘d as-Sa‘idi memberitahunya bahwa ‘Uwaimir al-‘Ajlani datang kepada ‘Ashim bin ‘Adi al-Anshari, lalu berkata kepadanya, “Wahai ‘Ashim, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mendapati seorang laki-laki lain bersama istrinya, apakah ia boleh membunuhnya lalu kalian membunuhnya (sebagai qishash)? Atau apa yang harus ia lakukan? Tanyakanlah untukku, wahai ‘Ashim, tentang hal itu kepada Rasulullah ﷺ.” Maka ‘Ashim pun bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu, namun Rasulullah ﷺ tidak menyukai pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan mencelanya, sehingga terasa berat bagi ‘Ashim atas apa yang ia dengar dari Rasulullah ﷺ. Ketika ‘Ashim kembali kepada keluarganya, datanglah ‘Uwaimir kepadanya dan bertanya, “Wahai ‘Ashim, apa yang dikatakan Rasulullah ﷺ kepadamu?” ‘Ashim menjawab kepada ‘Uwaimir, “Engkau tidak membawakan kebaikan kepadaku. Rasulullah ﷺ tidak menyukai pertanyaan yang aku ajukan kepadanya.” Maka ‘Uwaimir berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berhenti sampai aku sendiri menanyakannya kepada beliau.” Maka ‘Uwaimir pun datang hingga menemui Rasulullah ﷺ di tengah-tengah orang banyak, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mendapati seorang laki-laki lain bersama istrinya, apakah ia boleh membunuhnya lalu kalian membunuhnya (sebagai qishash)? Atau apa yang harus ia lakukan?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Telah diturunkan (wahyu) tentang dirimu dan tentang istrimu. Maka pergilah dan bawalah dia kemari.” Sahl berkata, “Maka keduanya melakukan li‘ān, dan aku bersama orang-orang di sisi Rasulullah ﷺ. Ketika keduanya telah selesai melakukan li‘ān, ‘Uwaimir berkata, ‘Aku berdusta atasnya, wahai Rasulullah, jika aku tetap menahannya.’ Maka ia menceraikannya tiga kali sebelum Rasulullah ﷺ memerintahkannya.” Malik berkata, Ibnu Syihab berkata, “Setelah itu, hal tersebut menjadi sunnah bagi pasangan yang melakukan li‘ān.”

35 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا لَاعَنَ امْرَأَتَهُ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَانْتَفَلَ مِنْ وَلَدِهَا، فَفَرَّقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُمَا وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالْمَرْأَةِ

35 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ada seorang laki-laki melakukan li‘ān terhadap istrinya pada masa Rasulullah ﷺ, dan ia menolak anak yang dikandung istrinya itu. Maka Rasulullah ﷺ memisahkan keduanya dan menetapkan anak itu mengikuti ibunya.

قَالَ مَالِكٌ: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ، فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ، إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ، وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ، وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ، وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ}

Malik berkata, Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian salah seorang dari mereka adalah empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar, dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan akan terhindar dari hukuman (rajam) perempuan itu jika ia bersaksi empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya suaminya benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta, dan sumpah yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar.”

قالَ مَالِكٌ السُّنَّةُ عِنْدَنَا أَنَّ الْمُتَلَاعِنَيْنِ لَا يَتَنَاكَحَانِ أَبَدًا، وَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ جُلِدَ الْحَدَّ، وَأُلْحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَلَمْ تَرْجِعْ إِلَيْهِ أَبَدًا، وَعَلَى هَذَا السُّنَّةُ عِنْدَنَا الَّتِي لَا شَكَّ فِيهَا وَلَا اخْتِلَافَ “

Malik berkata, “Sunnah menurut kami adalah bahwa pasangan yang telah melakukan li‘ān tidak boleh menikah lagi selamanya. Jika suami mengingkari tuduhannya sendiri, maka ia dikenai hukuman had, dan anak itu dinisbatkan kepadanya, dan istrinya tidak boleh kembali kepadanya selamanya. Demikianlah sunnah menurut kami yang tidak ada keraguan dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَإِذَا فَارَقَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ فِرَاقًا بَاتًّا، لَيْسَ لَهُ عَلَيْهَا فِيهِ رَجْعَةٌ، ثُمَّ أَنْكَرَ حَمْلَهَا لَاعَنَهَا إِذَا كَانَتْ حَامِلًا، وَكَانَ حَمْلُهَا يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ إِذَا ادَّعَتْهُ، مَا لَمْ يَأْتِ دُونَ ذَلِكَ مِنَ الزَّمَانِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ، فَلَا يُعْرَفُ أَنَّهُ مِنْهُ، قَالَ: فَهَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا وَالَّذِي سَمِعْتُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ “

Malik berkata, “Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak ba’in (talak yang tidak bisa dirujuk), lalu ia mengingkari kehamilannya, maka ia boleh melakukan li‘ān jika istrinya sedang hamil, dan kehamilannya secara lahiriah memungkinkan berasal darinya jika istrinya mengakuinya, selama waktu kehamilan itu tidak kurang dari masa yang menimbulkan keraguan sehingga tidak diketahui bahwa anak itu darinya. Inilah ketentuan menurut kami dan yang aku dengar dari para ahli ilmu.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا قَذَفَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ بَعْدَ أَنْ يُطَلِّقَهَا ثَلَاثًا، وَهِيَ حَامِلٌ يُقِرُّ بِحَمْلِهَا، ثُمَّ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَآهَا تَزْنِي قَبْلَ أَنْ يُفَارِقَهَا، جُلِدَ الْحَدَّ وَلَمْ يُلَاعِنْهَا، وَإِنْ أَنْكَرَ حَمْلَهَا بَعْدَ أَنْ يُطَلِّقَهَا ثَلَاثًا لَاعَنَهَا قَالَ وَهَذَا الَّذِي سَمِعْتُ

Malik berkata: Apabila seorang laki-laki menuduh istrinya berzina setelah menceraikannya tiga kali, sementara istrinya itu sedang hamil dan ia mengakui kehamilannya, kemudian ia mengklaim bahwa ia melihat istrinya berzina sebelum berpisah dengannya, maka ia dikenai hukuman had dan tidak melakukan li‘ān terhadap istrinya. Namun, jika ia mengingkari kehamilan istrinya setelah menceraikannya tiga kali, maka ia melakukan li‘ān terhadapnya. Malik berkata: Inilah yang aku dengar.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْعَبْدُ بِمَنْزِلَةِ الْحُرِّ فِي قَذْفِهِ وَلِعَانِهِ، يَجْرِي مَجْرَى الْحُرِّ فِي مُلَاعَنَتِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى مَنْ قَذَفَ مَمْلُوكَةً حَدٌّ

Malik berkata: Budak laki-laki kedudukannya sama dengan orang merdeka dalam hal menuduh zina dan li‘ān; ia mengikuti hukum orang merdeka dalam pelaksanaan li‘ān, kecuali bahwa tidak ada hukuman had bagi siapa pun yang menuduh budak perempuan berzina.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالْأَمَةُ الْمُسْلِمَةُ، وَالْحُرَّةُ النَّصْرَانِيَّةُ وَالْيَهُودِيَّةُ، تُلَاعِنُ الْحُرَّ الْمُسْلِمَ، إِذَا تَزَوَّجَ إِحْدَاهُنَّ فَأَصَابَهَا، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} [النور: 6] فَهُنَّ مِنَ الْأَزْوَاجِ، وَعَلَى هَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا “

Malik berkata: “Budak perempuan muslimah, wanita merdeka Nasrani, dan wanita Yahudi, semuanya dapat melakukan li‘ān terhadap laki-laki muslim merdeka jika ia menikahi salah satu dari mereka dan telah menggaulinya. Hal ini karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Dan orang-orang yang menuduh istri-istri mereka} [an-Nur: 6], maka mereka termasuk dalam kategori istri, dan demikianlah praktik yang berlaku di tempat kami.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْعَبْدُ إِذَا تَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ الْحُرَّةَ الْمُسْلِمَةَ، أَوِ الْأَمَةَ الْمُسْلِمَةَ، أَوِ الْحُرَّةَ النَّصْرَانِيَّةَ أَوِ الْيَهُودِيَّةَ لَاعَنَهَا “

Malik berkata: Budak laki-laki, jika menikahi wanita merdeka muslimah, atau budak perempuan muslimah, atau wanita merdeka Nasrani atau Yahudi, maka ia dapat melakukan li‘ān terhadap istrinya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يُلَاعِنُ امْرَأَتَهُ فَيَنْزِعُ، وَيُكَذِّبُ نَفْسَهُ بَعْدَ يَمِينٍ أَوْ يَمِينَيْنِ مَا لَمْ يَلْتَعِنْ فِي الْخَامِسَةِ إِنَّهُ إِذَا نَزَعَ قَبْلَ أَنْ يَلْتَعِنَ جُلِدَ الْحَدَّ، وَلَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُمَا

Malik berkata: Dalam kasus seorang laki-laki melakukan li‘ān terhadap istrinya, lalu ia menarik kembali tuduhannya dan mendustakan dirinya sendiri setelah satu atau dua sumpah, selama ia belum sampai pada sumpah kelima, maka jika ia menarik kembali sebelum melakukan sumpah kelima, ia dikenai hukuman had dan tidak dipisahkan antara keduanya.

: ” فِي الرَّجُلِ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ، فَإِذَا مَضَتِ الثَّلَاثَةُ الْأَشْهُرِ قَالَتِ الْمَرْأَةُ: أَنَا حَامِلٌ، قَالَ: إِنْ أَنْكَرَ زَوْجُهَا حَمْلَهَا لَاعَنَهَا “

Tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya, lalu setelah tiga bulan berlalu, istrinya berkata: “Aku hamil.” Jika suaminya mengingkari kehamilannya, maka ia melakukan li‘ān terhadapnya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْأَمَةِ الْمَمْلُوكَةِ يُلَاعِنُهَا زَوْجُهَا ثُمَّ يَشْتَرِيهَا، إِنَّهُ لَا يَطَؤُهَا، وَإِنْ مَلَكَهَا وَذَلِكَ أَنَّ السُّنَّةَ مَضَتْ أَنَّ الْمُتَلَاعِنَيْنِ لَا يَتَرَاجَعَانِ أَبَدًا

Malik berkata: Dalam kasus budak perempuan yang dimiliki, jika suaminya melakukan li‘ān terhadapnya lalu membelinya, maka ia tidak boleh menggaulinya, meskipun ia telah memilikinya. Hal ini karena sunnah telah menetapkan bahwa pasangan yang telah melakukan li‘ān tidak boleh rujuk selamanya.

قَالَ مَالِكٌ: إِذَا لَاعَنَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَلَيْسَ لَهَا إِلَّا نِصْفُ الصَّدَاقِ

Malik berkata: Jika seorang laki-laki melakukan li‘ān terhadap istrinya sebelum menggaulinya, maka istrinya hanya berhak atas setengah mahar.

بَابُ مِيرَاثِ وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ

Bab Warisan Anak Hasil Li‘ān

36 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ يَقُولُ فِي وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ، وَوَلَدِ الزِّنَا إِنَّهُ إِذَا مَاتَ وَرِثَتْهُ أُمُّهُ، حَقَّهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِخْوَتُهُ لِأُمِّهِ حُقُوقَهُمْ، وَيَرِثُ الْبَقِيَّةَ مَوَالِي أُمِّهِ، إِنْ كَانَتْ مَوْلَاةً. وَإِنْ كَانَتْ عَرَبِيَّةً وَرِثَتْ حَقَّهَا، وَوَرِثَ إِخْوَتُهُ لِأُمِّهِ حُقُوقَهُمْ. وَكَانَ مَا بَقِيَ لِلْمُسْلِمِينَ

36 – Yahya meriwayatkan dari Malik bahwa sampai kepadanya, ‘Urwah bin az-Zubair berkata tentang anak hasil li‘ān dan anak zina: jika ia meninggal dunia, maka ibunya mewarisinya sesuai haknya dalam Kitab Allah Ta‘ala, dan saudara-saudaranya seibu mendapatkan hak mereka, dan sisanya diwarisi oleh mawali ibunya jika ibunya adalah seorang mawlah. Jika ibunya adalah wanita Arab, maka ia mewarisi haknya, dan saudara-saudaranya seibu mendapatkan hak mereka, dan sisanya menjadi milik kaum muslimin.

قَالَ مَالِكٌ: وَبَلَغَنِي عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ مِثْلُ ذَلِكَ وَعَلَى ذَلِكَ أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا

Malik berkata: Dan sampai kepadaku dari Sulaiman bin Yasar hal yang serupa, dan demikianlah aku dapati para ahli ilmu di negeri kami.

بَابُ طَلَاقِ الْبِكْرِ

Bab Talak Perawan

37 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِيَاسِ بْنِ الْبُكَيْرِ، أَنَّهُ قَالَ: طَلَّقَ رَجُلٌ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يَنْكِحَهَا، فَجَاءَ يَسْتَفْتِي، فَذَهَبْتُ مَعَهُ أَسْأَلُ لَهُ، فَسَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَأَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَا: ” لَا نَرَى أَنْ تَنْكِحَهَا حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَكَ، قَالَ: فَإِنَّمَا طَلَاقِي إِيَّاهَا وَاحِدَةٌ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّكَ أَرْسَلْتَ مِنْ يَدِكَ مَا كَانَ لَكَ مِنْ فَضْلٍ “

37 – Yahya meriwayatkan dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Tsauban, dari Muhammad bin Iyas bin Bukair, bahwa ia berkata: Seorang laki-laki menceraikan istrinya tiga kali sebelum menggaulinya, lalu ia ingin menikahinya kembali. Ia datang untuk meminta fatwa, maka aku pergi bersamanya untuk menanyakan hal itu. Ia bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Abu Hurairah tentang hal itu, lalu keduanya berkata: “Kami tidak berpendapat bahwa engkau boleh menikahinya kembali sampai ia menikah dengan suami lain.” Ia berkata: “Sesungguhnya talakku kepadanya hanya satu kali.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Engkau telah melepaskan dari tanganmu kelebihan yang engkau miliki.”

38 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ أَبِي عَيَّاشٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ يَسْأَلُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا؟ قَالَ عَطَاءٌ فَقُلْتُ: إِنَّمَا طَلَاقُ الْبِكْرِ وَاحِدَةٌ، فَقَالَ لِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ: إِنَّمَا أَنْتَ قَاصٌّ الْوَاحِدَةُ تُبِينُهَا، وَالثَّلَاثَةُ تُحَرِّمُهَا حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

38 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Bukair bin ‘Abdullāh bin al-Asyajj, dari al-Nu‘mān bin Abī ‘Ayyāsy al-Anshārī, dari ‘Athā’ bin Yasār, bahwa ia berkata: Seorang laki-laki datang bertanya kepada ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya tiga kali sebelum menyentuhnya (bercampur dengannya)? ‘Athā’ berkata: Maka aku berkata, “Talak bagi perempuan yang masih perawan hanyalah satu kali.” Maka ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh berkata kepadaku, “Engkau hanyalah seorang pencerita; satu kali talak memisahkannya, dan tiga kali talak mengharamkannya sampai ia menikah dengan suami yang lain.”

39 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي عَيَّاشٍ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ وَعَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ فَجَاءَهُمَا مُحَمَّدُ بْنُ إِيَاسِ بْنِ الْبُكَيْرِ فَقَالَ: إِنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا، فَمَاذَا تَرَيَانِ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ مَا لَنَا فِيهِ قَوْلٌ، فَاذْهَبْ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ فَإِنِّي تَرَكْتُهُمَا عِنْدَ عَائِشَةَ، فَسَلْهُمَا ثُمَّ ائْتِنَا فَأَخْبِرْنَا، فَذَهَبَ فَسَأَلَهُمَا، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِأَبِي هُرَيْرَةَ: أَفْتِهِ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ فَقَدْ جَاءَتْكَ مُعْضِلَةٌ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: ” الْوَاحِدَةُ تُبِينُهَا، وَالثَّلَاثَةُ تُحَرِّمُهَا، حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مِثْلَ ذَلِكَ

39 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Bukair bin ‘Abdullāh bin al-Asyajj, bahwa ia mengabarkan kepadanya, dari Mu‘āwiyah bin Abī ‘Ayyāsy al-Anshārī bahwa ia sedang duduk bersama ‘Abdullāh bin al-Zubair dan ‘Āshim bin ‘Umar bin al-Khaththāb. Ia berkata: Lalu datang kepada mereka Muhammad bin Iyyās bin al-Bukair dan berkata, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki dari penduduk pedalaman menceraikan istrinya tiga kali sebelum ia menggaulinya. Bagaimana pendapat kalian?” Maka ‘Abdullāh bin al-Zubair berkata, “Dalam perkara ini kami tidak punya pendapat. Pergilah kepada ‘Abdullāh bin ‘Abbās dan Abū Hurairah, karena aku meninggalkan mereka berdua di sisi ‘Āisyah. Tanyakanlah kepada mereka, lalu kembalilah kepada kami dan beritahukanlah.” Maka ia pergi dan bertanya kepada mereka berdua. Ibnu ‘Abbās berkata kepada Abū Hurairah, “Berilah fatwa, wahai Abū Hurairah, karena telah datang kepadamu masalah yang sulit.” Maka Abū Hurairah berkata, “Satu kali talak memisahkannya, dan tiga kali talak mengharamkannya sampai ia menikah dengan suami yang lain.” Dan Ibnu ‘Abbās berkata seperti itu juga.

قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا وَالثَّيِّبُ إِذَا مَلَكَهَا الرَّجُلُ فَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا، أَنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى الْبِكْرِ. الْوَاحِدَةُ تَبِينُهَا، وَالثَّلَاثُ تَحْرِمُهَا حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ

Mālik berkata: Demikianlah perkara ini menurut kami. Dan perempuan janda, apabila telah dimiliki oleh seorang laki-laki namun belum digauli, maka hukumnya sama dengan perempuan perawan; satu kali talak memisahkannya, dan tiga kali talak mengharamkannya sampai ia menikah dengan suami yang lain.

بَابُ طَلَاقِ الْمَرِيضِ

Bab Talak Orang yang Sakit

40 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْفٍ، قَالَ وَكَانَ أَعْلَمَهُمْ بِذَلِكَ، وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ الْبَتَّةَ وَهُوَ مَرِيضٌ، فَوَرَّثَهَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ مِنْهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا

40 – Diriwayatkan kepadaku dari Yahyā, dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari Thalhah bin ‘Abdullāh bin ‘Awf—dan ia adalah yang paling mengetahui tentang hal itu—dan dari Abū Salamah bin ‘Abd al-Rahmān bin ‘Awf, bahwa ‘Abd al-Rahmān bin ‘Awf menceraikan istrinya dengan talak ba’in (talak yang tidak bisa dirujuk) saat ia sedang sakit, lalu ‘Utsmān bin ‘Affān mewariskan istrinya darinya setelah masa iddahnya selesai.

41 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَرَّثَ نِسَاءَ ابْنِ مُكْمِلٍ مِنْهُ، وَكَانَ طَلَّقَهُنَّ وَهُوَ مَرِيضٌ

41 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin al-Fadhl, dari al-A‘raj, bahwa ‘Utsmān bin ‘Affān mewariskan istri-istri Ibnu Mukmil darinya, padahal ia telah menceraikan mereka saat ia sedang sakit.

42 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ رَبِيعَةَ بْنَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، يَقُولُ: بَلَغَنِي أَنَّ امْرَأَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ سَأَلَتْهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا، فَقَالَ: إِذَا حِضْتِ ثُمَّ طَهُرْتِ فَآذِنِينِي، فَلَمْ تَحِضْ حَتَّى مَرِضَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، فَلَمَّا طَهُرَتْ آذَنَتْهُ فَطَلَّقَهَا الْبَتَّةَ أَوْ تَطْلِيقَةً لَمْ يَكُنْ بَقِيَ لَهُ عَلَيْهَا مِنَ الطَّلَاقِ غَيْرُهَا، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ يَوْمَئِذٍ مَرِيضٌ، فَوَرَّثَهَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ مِنْهُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا

42 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, bahwa ia mendengar Rabi‘ah bin Abī ‘Abd al-Rahmān berkata: Telah sampai kepadaku bahwa istri ‘Abd al-Rahmān bin ‘Awf meminta agar ia menceraikannya. Maka ia berkata, “Jika engkau telah haid lalu suci, beritahukanlah kepadaku.” Namun ia belum haid hingga ‘Abd al-Rahmān bin ‘Awf jatuh sakit. Ketika ia telah suci, ia memberitahukan kepadanya, lalu ia menceraikannya dengan talak ba’in atau talak yang tidak tersisa lagi baginya selain itu, dan saat itu ‘Abd al-Rahmān bin ‘Awf sedang sakit. Maka ‘Utsmān bin ‘Affān mewariskan istrinya darinya setelah masa iddahnya selesai.

43 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، قَالَ: كَانَتْ عِنْدَ جَدِّي حَبَّانَ امْرَأَتَانِ هَاشِمِيَّةٌ، وَأَنْصَارِيَّةٌ، فَطَلَّقَ الْأَنْصَارِيَّةَ، وَهِيَ تُرْضِعُ فَمَرَّتْ بِهَا سَنَةٌ ثُمَّ هَلَكَ عَنْهَا، وَلَمْ تَحِضْ، فَقَالَتْ: أَنَا أَرِثُهُ لَمْ أَحِضْ، فَاخْتَصَمَتَا إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: ” فَقَضَى لَهَا بِالْمِيرَاثِ، فَلَامَتِ الْهَاشِمِيَّةُ عُثْمَانَ فَقَالَ: هَذَا عَمَلُ ابْنِ عَمِّكِ هُوَ أَشَارَ عَلَيْنَا بِهَذَا يَعْنِي عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ “

43 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Muhammad bin Yahyā bin Habbān, ia berkata: Kakekku, Habbān, memiliki dua istri, satu dari Bani Hasyim dan satu dari kalangan Anshar. Ia menceraikan istri Anshar saat ia sedang menyusui. Setahun berlalu, lalu ia wafat, dan istrinya itu belum haid. Maka ia berkata, “Aku berhak mewarisinya, karena aku belum haid.” Maka keduanya berselisih di hadapan ‘Utsmān bin ‘Affān, lalu ia memutuskan hak waris untuknya. Istri dari Bani Hasyim mencela ‘Utsmān, maka ia berkata, “Ini adalah pendapat sepupumu, dialah yang memberi saran kepada kami tentang hal ini, yaitu ‘Alī bin Abī Thālib.”

44 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ شِهَابٍ، يَقُولُ: إِذَا طَلَّقَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا وَهُوَ مَرِيضٌ فَإِنَّهَا تَرِثُهُ

44 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, bahwa ia mendengar Ibnu Syihab berkata: Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya tiga kali sementara ia sedang sakit, maka istrinya tetap mewarisinya.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ طَلَّقَهَا وَهُوَ مَرِيضٌ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا فَلَهَا نِصْفُ الصَّدَاقِ، وَلَهَا الْمِيرَاثُ، وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا فَلَهَا الْمَهْرُ كُلُّهُ، وَالْمِيرَاثُ الْبِكْرُ وَالثَّيِّبُ فِي هَذَا عِنْدَنَا سَوَاءٌ

Malik berkata: Dan jika ia menceraikannya saat sedang sakit sebelum berhubungan dengannya, maka istrinya berhak atas setengah mahar dan berhak atas warisan, serta tidak ada masa ‘iddah baginya. Namun jika ia telah berhubungan dengannya lalu menceraikannya, maka istrinya berhak atas seluruh mahar dan warisan. Baik gadis maupun janda dalam hal ini menurut kami sama saja.

بَابُ مَا جَاءَ فِي مُتْعَةِ الطَّلَاقِ

Bab tentang apa yang datang mengenai mut‘ah talak (pemberian hibah setelah perceraian).

45 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ طَلَّقَ امْرَأَةً لَهُ فَمَتَّعَ بِوَلِيدَةٍ

45 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf menceraikan seorang istrinya lalu memberinya mut‘ah berupa seorang budak perempuan.

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: لِكُلِّ مُطَلَّقَةٍ مُتْعَةٌ إِلَّا الَّتِي تُطَلَّقُ، وَقَدْ فُرِضَ لَهَا صَدَاقٌ، وَلَمْ تُمْسَ فَحَسْبُهَا نِصْفُ مَا فُرِضَ لَهَا

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa ia biasa berkata: Setiap perempuan yang dicerai berhak atas mut‘ah, kecuali yang dicerai padahal telah ditetapkan mahar untuknya namun belum disentuh, maka cukup baginya setengah dari mahar yang telah ditetapkan untuknya.

46 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ: لِكُلِّ مُطَلَّقَةٍ مُتْعَةٌ

46 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab bahwa ia berkata: Setiap perempuan yang dicerai berhak atas mut‘ah.

قَالَ مَالِكٌ: وَبَلَغَنِي عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ مِثْلُ ذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ لِلْمُتْعَةِ عِنْدَنَا حَدٌّ مَعْرُوفٌ فِي قَلِيلِهَا وَلَا كَثِيرِهَا

Malik berkata: Dan telah sampai kepadaku dari al-Qasim bin Muhammad hal yang serupa. Malik berkata: Tidak ada batasan yang diketahui menurut kami untuk mut‘ah, baik sedikit maupun banyak.

بَابُ مَا جَاءَ فِي طَلَاقِ الْعَبْدِ

Bab tentang apa yang datang mengenai talak budak.

47 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ نُفَيْعًا مُكَاتَبًا كَانَ لِأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ عَبْدًا لَهَا كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ حُرَّةٌ فَطَلَّقَهَا اثْنَتَيْنِ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُرَاجِعَهَا، فَأَمَرَهُ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْتِيَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَيَسْأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ، فَلَقِيَهُ عِنْدَ الدَّرَجِ آخِذًا بِيَدِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ فَسَأَلَهُمَا فَابْتَدَرَاهُ جَمِيعًا فَقَالَا: حَرُمَتْ عَلَيْكَ حَرُمَتْ عَلَيْكَ

47 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abu az-Zinad, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa Nufai‘, seorang mukatab milik Ummu Salamah istri Nabi ﷺ atau seorang budaknya, memiliki istri yang merdeka lalu ia menceraikannya dua kali. Kemudian ia ingin merujuknya kembali, maka istri-istri Nabi ﷺ memerintahkannya untuk mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan dan menanyakan hal itu kepadanya. Ia pun menemuinya di tangga, sedang ‘Utsman memegang tangan Zaid bin Tsabit. Ia menanyakan hal itu kepada keduanya, lalu keduanya serempak berkata: Ia telah haram bagimu, ia telah haram bagimu.

48 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ نُفَيْعًا مُكَاتَبًا كَانَ لِأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَّقَ امْرَأَةً حُرَّةً تَطْلِيقَتَيْنِ، فَاسْتَفْتَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ فَقَالَ: حَرُمَتْ عَلَيْكَ

48 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa Nufai‘, seorang mukatab milik Ummu Salamah istri Nabi ﷺ, menceraikan seorang istri merdeka dua kali, lalu ia meminta fatwa kepada ‘Utsman bin ‘Affan, maka ‘Utsman berkata: Ia telah haram bagimu.

49 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ، أَنَّ نُفَيْعًا مُكَاتَبًا كَانَ لِأُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَفْتَى زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَقَالَ: إِنِّي طَلَّقْتُ امْرَأَةً حُرَّةً تَطْلِيقَتَيْنِ فَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ: حَرُمَتْ عَلَيْكَ

49 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari ‘Abdur Rabbih bin Sa‘id, dari Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits at-Taimi, bahwa Nufai‘, seorang mukatab milik Ummu Salamah istri Nabi ﷺ, meminta fatwa kepada Zaid bin Tsabit. Ia berkata: Aku telah menceraikan seorang istri merdeka dua kali. Maka Zaid bin Tsabit berkata: Ia telah haram bagimu.

50 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ: ” إِذَا طَلَّقَ الْعَبْدُ امْرَأَتَهُ تَطْلِيقَتَيْنِ فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ، حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ: حُرَّةً كَانَتْ أَوْ أَمَةً، وَعِدَّةُ الْحُرَّةِ ثَلَاثُ حِيَضٍ، وَعِدَّةُ الْأَمَةِ حَيْضَتَانِ “

50 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar biasa berkata: “Jika seorang budak menceraikan istrinya dua kali, maka istrinya telah haram baginya sampai ia menikah dengan suami lain, baik istrinya itu merdeka maupun budak. Masa ‘iddah perempuan merdeka adalah tiga kali haid, sedangkan masa ‘iddah budak perempuan adalah dua kali haid.”

51 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ: مَنْ أَذِنَ لِعَبْدِهِ أَنْ يَنْكِحَ، فَالطَّلَاقُ بِيَدِ الْعَبْدِ، لَيْسَ بِيَدِ غَيْرِهِ مِنْ طَلَاقِهِ شَيْءٌ، فَأَمَّا أَنْ يَأْخُذَ الرَّجُلُ أَمَةَ غُلَامِهِ، أَوْ أَمَةَ وَلِيدَتِهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ

51 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar biasa berkata: Barang siapa mengizinkan budaknya untuk menikah, maka hak talak ada di tangan budak itu, tidak ada seorang pun selainnya yang memiliki hak talak atasnya. Adapun jika seseorang mengambil budak perempuan milik anaknya atau budak perempuan milik selirnya, maka tidak ada dosa atasnya.

بَابُ نَفَقَةِ الْأَمَةِ إِذَا طُلِّقَتْ وَهِيَ حَامِلٌ
قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ عَلَى حُرٍّ وَلَا عَبْدٍ طَلَّقَا مَمْلُوكَةً، وَلَا عَلَى عَبْدٍ طَلَّقَ حُرَّةً طَلَاقًا بَائِنًا، نَفَقَةٌ وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ

Bab tentang nafkah bagi budak perempuan jika dicerai dalam keadaan hamil.
Malik berkata: Tidak ada kewajiban nafkah atas laki-laki merdeka maupun budak yang menceraikan budak perempuan, dan tidak pula atas budak yang menceraikan perempuan merdeka dengan talak bain, meskipun ia sedang hamil, selama tidak ada hak rujuk baginya.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَيْسَ عَلَى حُرٍّ أَنْ يَسْتَرْضِعَ لِابْنِهِ، وَهُوَ عَبْدُ قَوْمٍ آخَرِينَ، وَلَا عَلَى عَبْدٍ أَنْ يُنْفِقَ مِنْ مَالِهِ عَلَى مَا يَمْلِكُ سَيِّدُهُ إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ

بَابُ عِدَّةِ الَّتِي تَفْقِدُ زَوْجَهَا

Malik berkata: Seorang laki-laki merdeka tidak wajib mencari wanita untuk menyusui anaknya, sedangkan ia adalah budak milik kaum lain. Dan seorang budak tidak wajib menafkahi dari hartanya sendiri atas apa yang dimiliki oleh tuannya, kecuali dengan izin tuannya.

Bab ‘Iddah bagi wanita yang kehilangan suaminya

52 – حَدَّثَنِي يحيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَا فَلَمْ تَدْرِ أَيْنَ هُوَ؟ فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ أَرْبَعَ سِنِينَ، ثُمَّ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ

52 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ‘Umar bin al-Khattab berkata: Siapa saja wanita yang kehilangan suaminya dan tidak mengetahui di mana suaminya berada, maka ia menunggu selama empat tahun, kemudian menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari, setelah itu ia halal (boleh menikah lagi).

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ تَزَوَّجَتْ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، فَدَخَلَ بِهَا زَوْجُهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا، فَلَا سَبِيلَ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ إِلَيْهَا

Malik berkata: Jika ia menikah setelah selesai masa ‘iddahnya, baik suami barunya telah menggaulinya atau belum, maka suami pertamanya tidak memiliki jalan lagi untuk kembali kepadanya.

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا، وَإِنْ أَدْرَكَهَا زَوْجُهَا، قَبْلَ أَنْ تَتَزَوَّجَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Malik berkata: Demikianlah ketentuan menurut kami. Namun, jika suaminya kembali sebelum ia menikah lagi, maka suaminya itu lebih berhak atas dirinya.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَأَدْرَكْتُ النَّاسَ يُنْكِرُونَ الَّذِي قَالَ بَعْضُ النَّاسِ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ: يُخَيَّرُ زَوْجُهَا الْأَوَّلُ إِذَا جَاءَ فِي صَدَاقِهَا أَوْ فِي امْرَأَتِهِ “

Malik berkata: Aku mendapati orang-orang mengingkari apa yang dikatakan sebagian orang tentang ‘Umar bin al-Khattab, bahwa ia berkata: Suami pertamanya diberi pilihan jika ia datang, baik dalam hal mahar maupun istrinya.

قَالَ مَالِكٌ: وَبَلَغَنِي، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: فِي الْمَرْأَةِ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا وَهُوَ غَائِبٌ عَنْهَا، ثُمَّ يُرَاجِعُهَا، فَلَا يَبْلُغُهَا رَجْعَتُهُ، وَقَدْ بَلَغَهَا طَلَاقُهُ إِيَّاهَا، فَتَزَوَّجَتْ أَنَّهُ إِنْ دَخَلَ بِهَا زَوْجُهَا الْآخَرُ أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا، فَلَا سَبِيلَ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ الَّذِي كَانَ طَلَّقَهَا إِلَيْهَا

Malik berkata: Telah sampai kepadaku bahwa ‘Umar bin al-Khattab berkata tentang seorang wanita yang ditalak suaminya sementara suaminya sedang tidak bersamanya, lalu suaminya merujuknya, tetapi ia tidak mengetahui rujuk suaminya, sedangkan ia telah mengetahui talaknya, lalu ia menikah lagi. Maka jika suami barunya telah menggaulinya atau belum, suami pertamanya yang telah menalaknya tidak memiliki jalan lagi untuk kembali kepadanya.

قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي هَذَا وَفِي الْمَفْقُودِ

Malik berkata: Inilah pendapat yang paling aku sukai dalam masalah ini dan dalam kasus orang yang hilang.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْأَقْرَاءِ وَعِدَّةِ الطَّلَاقِ وَطَلَاقِ الْحَائِضِ

Bab tentang apa yang datang mengenai al-aqra’ (masa suci), ‘iddah talak, dan talak wanita haid

53 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، وَهِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ، قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

53 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya saat ia sedang haid pada masa Rasulullah ﷺ. Maka ‘Umar bin al-Khattab bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Rasulullah ﷺ bersabda: Suruhlah dia untuk merujuk istrinya, lalu tahanlah dia sampai ia suci, kemudian ia haid lagi, lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, ia boleh menahannya, dan jika ia mau, ia boleh menceraikannya sebelum menyentuhnya. Itulah masa ‘iddah yang Allah perintahkan agar wanita ditalak padanya.

54 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا انْتَقَلَتْ حَفْصَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ حِينَ دَخَلَتْ فِي الدَّمِ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ، قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِعَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَتْ: صَدَقَ عُرْوَةُ وَقَدْ جَادَلَهَا فِي ذَلِكَ نَاسٌ، فَقَالُوا: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: 228] فَقَالَتْ عَائِشَةُ: صَدَقْتُمْ، تَدْرُونَ مَا الْأَقْرَاءُ؟ إِنَّمَا الْأَقْرَاءُ الْأَطْهَارُ “

54 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibn Syihab, dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, bahwa ia memindahkan Hafshah binti ‘Abdurrahman bin Abi Bakr as-Shiddiq ketika ia telah masuk ke dalam darah haid ketiga. Ibn Syihab berkata: Hal itu disebutkan kepada ‘Amrah binti ‘Abdurrahman, lalu ia berkata: ‘Urwah benar.’ Ada orang-orang yang mendebatnya tentang hal itu, mereka berkata: Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {tiga quru’} [al-Baqarah: 228]. Maka ‘Aisyah berkata: Kalian benar, tahukah kalian apa itu al-aqra’? Sesungguhnya al-aqra’ adalah masa-masa suci.

55 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَقُولُ: مَا أَدْرَكْتُ أَحَدًا مِنْ فُقَهَائِنَا إِلَّا وَهُوَ يَقُولُ هَذَا يُرِيدُ قَوْلَ عَائِشَةَ

55 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibn Syihab, bahwa ia berkata: Aku mendengar Abu Bakr bin ‘Abdurrahman berkata: Aku tidak mendapati seorang pun dari para fuqaha kami kecuali ia mengatakan hal ini, yakni pendapat ‘Aisyah.

56 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ الْأَحْوَصَ هَلَكَ بِالشَّامِ، حِينَ دَخَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي الدَّمِ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ، وَقَدْ كَانَ طَلَّقَهَا، فَكَتَبَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ إِلَى زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، يَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ زَيْدٌ إِنَّهَا: إِذَا دَخَلَتْ فِي الدَّمِ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ وَبَرِئَ مِنْهَا وَلَا تَرِثُهُ وَلَا يَرِثُهَا

56 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘ dan Zaid bin Aslam, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa al-Ahwas wafat di Syam ketika istrinya telah masuk ke dalam darah haid ketiga, dan ia telah menceraikannya. Maka Mu‘awiyah bin Abi Sufyan menulis surat kepada Zaid bin Tsabit menanyakan hal itu. Zaid pun menulis kepadanya: Jika ia telah masuk ke dalam darah haid ketiga, maka ia telah berlepas diri darinya dan ia pun berlepas diri darinya, dan ia tidak mewarisinya dan ia pun tidak mewarisinya.

57 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، وَابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ: إِذَا دَخَلَتِ الْمُطَلَّقَةُ فِي الدَّمِ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ، فَقَدْ بَانَتْ مِنْ زَوْجِهَا، وَلَا مِيرَاثَ بَيْنَهُمَا وَلَا رَجْعَةَ لَهُ عَلَيْهَا

57 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, dari Abū Bakr bin ‘Abd ar-Raḥmān, Sulaimān bin Yasār, dan Ibn Syihāb, bahwa mereka biasa mengatakan: Jika seorang perempuan yang ditalak telah masuk ke dalam darah haid dari haid ketiga, maka ia telah benar-benar berpisah dari suaminya, tidak ada lagi hak waris di antara keduanya dan suaminya tidak dapat merujukinya lagi.

58 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: إِذَا طَلَّقَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ، فَدَخَلَتْ فِي الدَّمِ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ، وَبَرِئَ مِنْهَا

58 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ia biasa mengatakan: Jika seorang laki-laki menceraikan istrinya, lalu istrinya telah masuk ke dalam darah haid dari haid ketiga, maka ia telah bebas darinya dan ia pun bebas darinya.

قَالَ مَالِكٌ: وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا

Mālik berkata: Dan demikianlah perkara ini menurut kami.

59 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ الْفُضَيْلِ بْنِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ مَوْلَى الْمَهْرِيِّ، أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، وَسَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، كَانَا يَقُولَانِ: إِذَا طُلِّقَتِ الْمَرْأَةُ فَدَخَلَتْ فِي الدَّمِ مِنَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ، فَقَدْ بَانَتْ مِنْهُ وَحَلَّتْ

59 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik, dari al-Fuḍail bin Abī ‘Abdullāh, maula al-Mahrī, bahwa al-Qāsim bin Muḥammad dan Sālim bin ‘Abdullāh biasa mengatakan: Jika seorang perempuan ditalak lalu ia telah masuk ke dalam darah haid dari haid ketiga, maka ia telah benar-benar berpisah darinya dan telah halal (untuk menikah lagi).

60 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَابْنِ شِهَابٍ، وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ: عِدَّةَ الْمُخْتَلِعَةِ ثَلَاثَةُ قُرُوءٍ

60 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, Ibn Syihāb, dan Sulaimān bin Yasār bahwa mereka biasa mengatakan: Masa ‘iddah perempuan yang melakukan khulu‘ adalah tiga quru’ (tiga kali suci atau haid).

61 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ شِهَابٍ يَقُولُ: عِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ الْأَقْرَاءُ وَإِنْ تَبَاعَدَتْ

61 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa ia mendengar Ibn Syihāb berkata: Masa ‘iddah perempuan yang ditalak adalah tiga quru’ meskipun jaraknya berjauhan.

62 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ أَنَّ امْرَأَتَهُ سَأَلَتْهُ الطَّلَاقَ، فَقَالَ لَهَا: إِذَا حِضْتِ فَآذِنِينِي، فَلَمَّا حَاضَتْ آذَنَتْهُ، فَقَالَ: إِذَا طَهُرْتِ فَآذِنِينِي، فَلَمَّا طَهُرَتْ آذَنَتْهُ فَطَلَّقَهَا ” قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ

62 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari seorang laki-laki dari Anṣār bahwa istrinya meminta cerai kepadanya, lalu ia berkata kepada istrinya: Jika kamu haid, beritahukanlah kepadaku. Ketika istrinya haid, ia memberitahunya. Lalu ia berkata: Jika kamu telah suci, beritahukanlah kepadaku. Ketika istrinya telah suci, ia memberitahunya, lalu ia menceraikannya. Mālik berkata: Inilah yang terbaik yang aku dengar dalam hal itu.

بَابُ مَا جَاءَ فِي عِدَّةِ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا إِذَا طُلِّقَتْ فِيهِ

Bab tentang apa yang datang mengenai masa ‘iddah perempuan di rumahnya jika ia ditalak di dalamnya.

63 – حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُ سَمِعَهُمَا يَذْكُرَانِ أَنَّ يَحْيَى بْنَ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ طَلَّقَ ابْنَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَكَمِ الْبَتَّةَ، فَانْتَقَلَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْحَكَمِ، فَأَرْسَلَتْ عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ إِلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فقَالَتِ: اتَّقِ اللَّهَ وَارْدُدِ الْمَرْأَةَ إِلَى بَيْتِهَا، فَقَالَ مَرْوَانُ فِي حَدِيثِ سُلَيْمَانَ، إِنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ غَلَبَنِي، وَقَالَ مَرْوَانُ فِي حَدِيثِ الْقَاسِمِ، أَوَمَا بَلَغَكِ شَأْنُ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ؟ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: ” لَا يَضُرُّكَ أَنْ لَا تَذْكُرَ حَدِيثَ فَاطِمَةَ، فَقَالَ مَرْوَانُ: إِنْ كَانَ بِكِ الشَّرُّ فَحَسْبُكِ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ مِنَ الشَّرِّ

63 – Telah menceritakan kepadaku Yaḥyā dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari al-Qāsim bin Muḥammad dan Sulaimān bin Yasār bahwa ia mendengar keduanya menyebutkan bahwa Yaḥyā bin Sa‘īd bin al-‘Āṣ menceraikan putri ‘Abd ar-Raḥmān bin al-Ḥakam dengan talak ba’in, lalu ‘Abd ar-Raḥmān bin al-Ḥakam memindahkannya. Maka ‘Āisyah Ummul Mu’minin mengirim utusan kepada Marwān bin al-Ḥakam, yang saat itu adalah amir Madinah, lalu berkata: Bertakwalah kepada Allah dan kembalikanlah perempuan itu ke rumahnya. Maka Marwān berkata dalam riwayat Sulaimān: ‘Abd ar-Raḥmān telah mengalahkanku. Dan Marwān berkata dalam riwayat al-Qāsim: Apakah engkau tidak mengetahui kisah Fāṭimah binti Qais? Maka ‘Āisyah berkata: Tidak mengapa jika engkau tidak menyebutkan hadis Fāṭimah. Maka Marwān berkata: Jika engkau menginginkan keburukan, maka cukuplah apa yang ada di antara dua hal ini dari keburukan.

64 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ بِنْتَ سَعِيدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ كَانَتْ تَحْتَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَطَلَّقَهَا الْبَتَّةَ فَانْتَقَلَتْ، فَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ

64 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa putri Sa‘īd bin Zaid bin ‘Amr bin Nufail pernah menjadi istri ‘Abdullāh bin ‘Amr bin ‘Utsmān bin ‘Affān, lalu ia menceraikannya dengan talak ba’in, maka ia pun berpindah (dari rumahnya), dan hal itu diingkari oleh ‘Abdullāh bin ‘Umar kepadanya.

65 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ طَلَّقَ امْرَأَةً لَهُ فِي مَسْكَنِ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ طَرِيقَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَكَانَ يَسْلُكُ الطَّرِيقَ الْأُخْرَى مِنْ أَدْبَارِ الْبُيُوتِ، كَرَاهِيَةَ أَنْ يَسْتَأْذِنَ عَلَيْهَا حَتَّى رَاجَعَهَا

65 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar pernah menceraikan salah satu istrinya di rumah Ḥafṣah, istri Nabi ﷺ, dan rumah itu adalah jalan menuju masjid. Maka ia pun menempuh jalan lain dari belakang rumah-rumah, karena tidak ingin meminta izin kepadanya hingga ia merujukinya kembali.

66 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا، وَهِيَ فِي بَيْتٍ بِكِرَاءٍ عَلَى مَنِ الْكِرَاءُ؟ فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: عَلَى زَوْجِهَا، قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَ زَوْجِهَا؟ قَالَ: فَعَلَيْهَا، قَالَ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهَا؟ قَالَ: فَعَلَى الْأَمِيرِ

66 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, bahwa Sa‘īd bin al-Musayyib pernah ditanya tentang seorang perempuan yang dicerai suaminya, sementara ia berada di rumah sewaan. Atas siapa biaya sewa itu? Sa‘īd bin al-Musayyib menjawab: Atas suaminya. Ia bertanya lagi: Jika suaminya tidak mampu? Ia menjawab: Maka atas perempuan itu. Ia bertanya lagi: Jika perempuan itu juga tidak mampu? Ia menjawab: Maka atas amir (penguasa).

بَابُ مَا جَاءَ فِي نَفَقَةِ الْمُطَلَّقَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai nafkah bagi perempuan yang ditalak.

67 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ، مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ، وَهُوَ غَائِبٌ بِالشَّامِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ، فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ، وَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ، ثُمَّ قَالَ: تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ عِنْدَهُ، فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي، قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمِ بْنَ هِشَامٍ خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ، لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، قَالَتْ: فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ: انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللَّهُ فِي ذَلِكَ خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ

67 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abdullah bin Yazid, maula al-Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, dari Fatimah binti Qais, bahwa Abu Amr bin Hafsh menceraikannya dengan talak bain (talak yang tidak bisa dirujuk), sementara ia sedang berada di Syam. Lalu wakilnya mengirimkan kepadanya gandum, namun ia tidak menyukainya. Maka wakil itu berkata, “Demi Allah, tidak ada kewajiban apa pun atas kami untukmu.” Maka ia pun datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal itu kepadanya. Beliau bersabda, “Tidak ada nafkah bagimu darinya,” dan beliau memerintahkannya untuk menjalani masa ‘iddah di rumah Ummu Syarik. Kemudian beliau bersabda, “Itu adalah rumah seorang wanita yang sering didatangi oleh para sahabatku. Jalani masa ‘iddah di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, karena ia adalah seorang laki-laki buta, sehingga engkau dapat meletakkan pakaianmu di sisinya. Jika masa ‘iddahmu telah selesai, beritahukanlah kepadaku.” Ia berkata, “Ketika masa ‘iddahku selesai, aku memberitahukan kepada beliau bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bin Hisyam telah melamarku.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Adapun Abu Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (sering memukul wanita), dan adapun Muawiyah, ia adalah seorang miskin, tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Ia berkata, “Aku tidak menyukainya.” Kemudian beliau bersabda, “Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Maka aku pun menikah dengannya, lalu Allah menjadikan dalam pernikahan itu kebaikan bagiku, dan aku merasa bahagia dengannya.

68 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ شِهَابٍ يَقُولُ: الْمَبْتُوتَةُ لَا تَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهَا، حَتَّى تَحِلَّ، وَلَيْسَتْ لَهَا نَفَقَةٌ إِلَّا أَنْ تَكُونَ حَامِلًا، فَيُنْفَقُ عَلَيْهَا حَتَّى تَضَعَ حَمْلَهَا قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا

68 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, bahwa ia mendengar Ibnu Syihab berkata, “Wanita yang ditalak bain (al-mubattatah) tidak keluar dari rumahnya hingga masa ‘iddahnya selesai, dan tidak ada nafkah baginya kecuali jika ia sedang hamil, maka ia dinafkahi hingga melahirkan.” Malik berkata, “Inilah pendapat yang berlaku di kalangan kami.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي عِدَّةِ الْأَمَةِ مِنْ طَلَاقِ زَوْجِهَا
69 – قَالَ مالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي طَلَاقِ الْعَبْدِ الْأَمَةَ، إِذَا طَلَّقَهَا وَهِيَ أَمَةٌ، ثُمَّ عَتَقَتْ بَعْدُ، فَعِدَّتُهَا عِدَّةُ الْأَمَةِ، لَا يُغَيِّرُ عِدَّتَهَا عِتْقُهَا، كَانَتْ لَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ، أَوْ لَمْ تَكُنْ لَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ. لَا تَنْتَقِلُ عِدَّتُهَا

Bab tentang apa yang datang mengenai masa ‘iddah budak perempuan dari talak suaminya.
69 – Malik berkata, “Pendapat yang berlaku di kalangan kami mengenai talak seorang budak laki-laki terhadap budak perempuan, jika ia menceraikannya sementara ia masih berstatus budak, kemudian ia dimerdekakan setelah itu, maka masa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah budak perempuan. Kemerdekaannya tidak mengubah masa ‘iddahnya, baik suaminya masih memiliki hak rujuk terhadapnya atau tidak. Masa ‘iddahnya tidak berubah.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمِثْلُ ذَلِكَ الْحَدُّ يَقَعُ عَلَى الْعَبْدِ، ثُمَّ يَعْتِقُ بَعْدَ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ الْحَدُّ، فَإِنَّمَا حَدُّهُ حَدُّ عَبْدٍ قَالَ مَالِكٍ: وَالْحُرُّ يُطَلِّقُ الْأَمَةَ ثَلَاثًا، وَتَعْتَدُّ بِحَيْضَتَيْنِ، وَالْعَبْدُ يُطَلِّقُ الْحُرَّةَ تَطْلِيقَتَيْنِ، وَتَعْتَدُّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ تَكُونُ تَحْتَهُ الْأَمَةُ، ثُمَّ يَبْتَاعُهَا فَيَعْتِقُهَا، إِنَّهَا تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْأَمَةِ حَيْضَتَيْنِ، مَا لَمْ يُصِبْهَا، فَإِنْ أَصَابَهَا بَعْدَ مِلْكِهِ إِيَّاهَا قَبْلَ عِتَاقِهَا، لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا إِلَّا الِاسْتِبْرَاءُ بِحَيْضَةٍ “

Malik berkata, “Demikian pula halnya dengan hukuman had yang dijatuhkan kepada seorang budak, lalu ia dimerdekakan setelah dijatuhkan had kepadanya, maka hukumannya tetap seperti hukuman budak.” Malik berkata, “Seorang laki-laki merdeka menceraikan budak perempuan tiga kali, maka masa ‘iddahnya adalah dua kali haid. Sedangkan budak laki-laki menceraikan wanita merdeka dua kali, dan masa ‘iddahnya adalah tiga kali quru’ (suci atau haid).” Malik berkata, “Tentang seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan sebagai istrinya, kemudian ia membelinya lalu memerdekakannya, maka masa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah budak perempuan, yaitu dua kali haid, selama ia belum menggaulinya. Jika ia menggaulinya setelah menjadi miliknya sebelum dimerdekakan, maka masa ‘iddahnya hanya istibra’ dengan satu kali haid.”

بَابُ جَامِعِ عِدَّةِ الطَّلَاقِ

Bab tentang kumpulan hukum masa ‘iddah talak.

70 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، وَعَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ اللَّيْثِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ طُلِّقَتْ فَحَاضَتْ حَيْضَةً أَوْ حَيْضَتَيْنِ، ثُمَّ رَفَعَتْهَا حَيْضَتُهَا، فَإِنَّهَا تَنْتَظِرُ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ، فَإِنْ بَانَ بِهَا حَمْلٌ فَذَلِكَ، وَإِلَّا اعْتَدَّتْ بَعْدَ التِّسْعَةِ أَشْهُرٍ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ حَلَّتْ

70 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dan dari Yazid bin Abdullah bin Qusayt al-Laitsi, dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa ia berkata: Umar bin Khattab berkata, “Siapa saja wanita yang ditalak lalu mengalami satu atau dua kali haid, kemudian haidnya terputus, maka ia menunggu selama sembilan bulan. Jika ternyata ia hamil, maka itu (masa ‘iddahnya selesai dengan kelahiran). Jika tidak, maka setelah sembilan bulan ia menjalani masa ‘iddah lagi selama tiga bulan, kemudian ia halal (boleh menikah lagi).”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: الطَّلَاقُ لِلرِّجَالِ، وَالْعِدَّةُ لِلنِّسَاءِ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa ia biasa berkata, “Talak adalah hak laki-laki, dan masa ‘iddah adalah urusan perempuan.”

71 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: عِدَّةُ الْمُسْتَحَاضَةِ سَنَةٌ قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْمُطَلَّقَةِ الَّتِي تَرْفَعُهَا حَيْضَتُهَا حِينَ يُطَلِّقُهَا زَوْجُهَا، أَنَّهَا تَنْتَظِرُ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ، فَإِنْ لَمْ تَحِضْ فِيهِنَّ اعْتَدَّتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، فَإِنْ حَاضَتْ قَبْلَ أَنْ تَسْتَكْمِلَ الْأَشْهُرَ الثَّلَاثَةَ، اسْتَقْبَلَتِ الْحَيْضَ، فَإِنْ مَرَّتْ بِهَا تِسْعَةُ أَشْهُرٍ قَبْلَ أَنْ تَحِيضَ، اعْتَدَّتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، فَإِنْ حَاضَتِ الثَّانِيَةَ قَبْلَ أَنْ تَسْتَكْمِلَ الْأَشْهُرَ الثَّلَاثَةَ، اسْتَقْبَلَتِ الْحَيْضَ، فَإِنْ مَرَّتْ بِهَا تِسْعَةُ أَشْهُرٍ قَبْلَ أَنْ تَحِيضَ اعْتَدَّتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، فَإِنْ حَاضَتِ الثَّالِثَةَ كَانَتْ قَدِ اسْتَكْمَلَتْ عِدَّةَ الْحَيْضِ، فَإِنْ لَمْ تَحِضِ اسْتَقْبَلَتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ، ثُمَّ حَلَّتْ، وَلِزَوْجِهَا عَلَيْهَا فِي ذَلِكَ الرَّجْعَةُ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ بَتَّ طَلَاقَهَا

71 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia berkata: Masa ‘iddah wanita mustahādhah adalah satu tahun. Mālik berkata: Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai wanita yang ditalak dan haidnya terputus saat suaminya menceraikannya, maka ia menunggu selama sembilan bulan. Jika dalam sembilan bulan itu ia tidak haid, maka ia menjalani masa ‘iddah selama tiga bulan. Jika ia haid sebelum menyelesaikan tiga bulan itu, maka ia kembali menjalani masa haid. Jika sembilan bulan berlalu tanpa ia haid, maka ia menjalani masa ‘iddah tiga bulan. Jika ia haid kedua kalinya sebelum menyelesaikan tiga bulan, maka ia kembali menjalani masa haid. Jika sembilan bulan berlalu tanpa ia haid, maka ia menjalani masa ‘iddah tiga bulan. Jika ia haid ketiga kalinya, berarti ia telah menyelesaikan masa ‘iddah haid. Jika ia tidak haid, maka ia menjalani masa ‘iddah tiga bulan, kemudian ia halal (boleh menikah lagi). Suaminya masih memiliki hak rujuk kepadanya selama masa itu, kecuali jika talaknya sudah bain (talak yang tidak bisa dirujuk).

قَالَ مَالِكٌ: السُّنَّةُ عِنْدَنَا أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، وَلَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ، فَاعْتَدَّتْ بَعْضَ عِدَّتِهَا ثُمَّ ارْتَجَعَهَا، ثُمَّ فَارَقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا، أَنَّهَا لَا تَبْنِي عَلَى مَا مَضَى مِنْ عِدَّتِهَا، وَأَنَّهَا تَسْتَأْنِفُ مِنْ يَوْمَ طَلَّقَهَا عِدَّةً مُسْتَقْبَلَةً، وَقَدْ ظَلَمَ زَوْجُهَا نَفْسَهُ، وَأَخْطَأَ إِنْ كَانَ ارْتَجَعَهَا وَلَا حَاجَةَ لَهُ بِهَا

Mālik berkata: Sunnah yang berlaku di kalangan kami adalah apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya, dan ia masih memiliki hak rujuk terhadapnya, lalu istrinya menjalani sebagian masa ‘iddahnya kemudian ia merujuknya, lalu ia berpisah lagi dengannya sebelum menyentuhnya, maka istrinya tidak melanjutkan sisa masa ‘iddah yang telah dijalani, melainkan ia memulai masa ‘iddah baru sejak hari ia ditalak, dan suaminya telah menzalimi dirinya sendiri dan berbuat salah jika ia merujuk istrinya padahal tidak membutuhkannya.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا أَسْلَمَتْ، وَزَوْجُهَا كَافِرٌ، ثُمَّ أَسْلَمَ. فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا مَا دَامَتْ فِي عِدَّتِهَا، فَإِنِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا فَلَا سَبِيلَ لَهُ عَلَيْهَا، وَإِنْ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا، لَمْ يُعَدَّ ذَلِكَ طَلَاقًا وَإِنَّمَا فَسَخَهَا مِنْهُ الْإِسْلَامُ بِغَيْرِ طَلَاقٍ

Mālik berkata: Praktik yang berlaku di kalangan kami adalah apabila seorang wanita masuk Islam, sementara suaminya masih kafir, lalu suaminya masuk Islam, maka suaminya lebih berhak terhadapnya selama ia masih dalam masa ‘iddahnya. Jika masa ‘iddahnya telah selesai, maka suaminya tidak lagi memiliki jalan untuk kembali kepadanya. Jika ia menikahinya kembali setelah masa ‘iddahnya selesai, maka itu tidak dianggap sebagai talak, melainkan pernikahan sebelumnya telah diputuskan oleh Islam tanpa talak.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْحَكَمَيْنِ

Bab tentang apa yang datang mengenai dua orang hakam (penengah).

72 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: فِي الْحَكَمَيْنِ اللَّذَيْنِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا، فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ، وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا، إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا، يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا، إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا} [النساء: 35]: إِنَّ إِلَيْهِمَا الْفُرْقَةَ بَيْنَهُمَا وَالْاجْتِمَاعَ

72 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Alī bin Abī Ṭālib berkata tentang dua orang hakam yang disebutkan Allah Ta‘ālā dalam firman-Nya: {Dan jika kamu khawatir terjadi perselisihan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal} [an-Nisā’: 35]: Sesungguhnya kepada keduanya (dua hakam) diserahkan keputusan untuk memisahkan atau menyatukan keduanya (suami-istri).

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، أَنَّ الْحَكَمَيْنِ يَجُوزُ قَوْلُهُمَا بَيْنَ الرَّجُلِ وَامْرَأَتِهِ فِي الْفُرْقَةِ وَالْاجْتِمَاعِ

Mālik berkata: Itu adalah pendapat terbaik yang aku dengar dari para ahli ilmu, bahwa dua orang hakam boleh memutuskan antara suami dan istri dalam hal perpisahan maupun penyatuan.

بَابُ مَا جَاءَ فِي يَمِينِ الرَّجُلِ بِطَلَاقِ مَا لَمْ يَنْكِحْ

Bab tentang apa yang datang mengenai sumpah seorang laki-laki dengan talak terhadap wanita yang belum dinikahinya.

73 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، وَسَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ وَالْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، وَابْنَ شِهَابٍ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ: كَانُوا يَقُولُونَ: إِذَا حَلَفَ الرَّجُلُ بِطَلَاقِ الْمَرْأَةِ قَبْلَ أَنْ يَنْكِحَهَا، ثُمَّ أَثِمَ إِنَّ ذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إِذَا نَكَحَهَا

73 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Umar bin al-Khattāb, ‘Abdullāh bin ‘Umar, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, Sālim bin ‘Abdullāh, al-Qāsim bin Muhammad, Ibn Syihāb, dan Sulaimān bin Yasār: Mereka berkata, “Jika seorang laki-laki bersumpah dengan talak terhadap seorang wanita sebelum menikahinya, kemudian ia melanggarnya, maka talak itu berlaku baginya jika ia menikahinya.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يَقُولُ: فِيمَنْ قَالَ: كُلُّ امْرَأَةٍ أَنْكِحُهَا فَهِيَ طَالِقٌ، إِنَّهُ إِذَا لَمْ يُسَمِّ قَبِيلَةً أَوِ امْرَأَةً بِعَيْنِهَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Abdullāh bin Mas‘ūd berkata tentang orang yang berkata: “Setiap wanita yang aku nikahi, maka ia tertalak,” bahwa jika ia tidak menyebutkan nama kabilah atau wanita tertentu, maka tidak ada apa-apa atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَقُولُ لِامْرَأَتِهِ أَنْتِ الطَّلَاقُ، وَكُلُّ امْرَأَةٍ أَنْكِحُهَا فَهِيَ طَالِقٌ، وَمَالُهُ صَدَقَةٌ، إِنْ لَمْ يَفْعَلْ كَذَا وَكَذَا، فَحَنِثَ قَالَ: أَمَّا نِسَاؤُهُ فَطَلَاقٌ كَمَا قَالَ، وَأَمَّا قَوْلُهُ كُلُّ امْرَأَةٍ أَنْكِحُهَا فَهِيَ طَالِقٌ، فَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يُسَمِّ امْرَأَةً بِعَيْنِهَا، أَوْ قَبِيلَةً، أَوْ أَرْضًا أَوْ نَحْوَ هَذَا، فَلَيْسَ يَلْزَمُهُ ذَلِكَ، وَلْيَتَزَوَّجْ مَا شَاءَ وَأَمَّا مَالُهُ فَلْيَتَصَدَّقْ بِثُلُثِهِ “

Malik berkata: “Inilah pendapat terbaik yang pernah aku dengar.” Malik berkata: “Tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, ‘Engkau adalah thalaq, dan setiap perempuan yang aku nikahi maka dia thalaq, dan hartaku adalah sedekah, jika aku tidak melakukan ini dan itu,’ lalu ia melanggar sumpahnya, maka mengenai istrinya, jatuhlah thalaq sebagaimana yang ia ucapkan. Adapun ucapannya ‘setiap perempuan yang aku nikahi maka dia thalaq’, jika ia tidak menyebutkan perempuan tertentu, atau kabilah, atau wilayah, atau semacamnya, maka hal itu tidak wajib baginya, dan ia boleh menikahi siapa saja yang ia kehendaki. Adapun hartanya, hendaklah ia bersedekah sepertiga darinya.”

بَابُ أَجَلِ الَّذِي لَا يَمَسُّ امْرَأَتَهُ

Bab tentang batas waktu bagi orang yang tidak menggauli istrinya

74 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَمَسَّهَا، فَإِنَّهُ يُضْرَبُ لَهُ أَجَلٌ سَنَةً، فَإِنْ مَسَّهَا وَإِلَّا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا

74 – Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa ia berkata: Barang siapa menikahi seorang perempuan lalu tidak mampu menggaulinya, maka ditetapkan baginya batas waktu selama satu tahun. Jika dalam waktu itu ia dapat menggaulinya, maka tidak apa-apa, tetapi jika tidak, maka keduanya dipisahkan.

75 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ مَتَى يُضْرَبُ لَهُ الْأَجَلُ؟ أَمِنْ يَوْمِ يَبْنِي بِهَا؟ أَمْ مِنْ يَوْمِ تُرَافِعُهُ إِلَى السُّلْطَانِ؟ فَقَالَ: بَلْ مِنْ يَوْمِ تُرَافِعُهُ إِلَى السُّلْطَانِ

75 – Dan Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Syihab: “Kapan batas waktu itu mulai dihitung? Apakah dari hari ia mulai hidup bersama istrinya, atau dari hari istrinya mengadukannya kepada penguasa?” Ibnu Syihab menjawab: “Bahkan dari hari istrinya mengadukannya kepada penguasa.”

قَالَ مَالِكٌ: فَأَمَّا الَّذِي قَدْ مَسَّ امْرَأَتَهُ، ثُمَّ اعْتَرَضَ عَنْهَا، فَإِنِّي لَمْ أَسْمَعْ أَنَّهُ يُضْرَبُ لَهُ أَجَلٌ، وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا

Malik berkata: “Adapun orang yang telah menggauli istrinya, kemudian berpaling darinya, maka aku tidak mendengar bahwa ditetapkan batas waktu baginya, dan tidak pula dipisahkan antara keduanya.”

بَابُ جَامِعِ الطَّلَاقِ

Bab Kompilasi Hukum Thalaq

76 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ قَالَ: بَلَغَنِي، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ ثَقِيفٍ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ، حِينَ أَسْلَمَ الثَّقَفِيُّ: أَمْسِكْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ

76 – Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa ia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seorang laki-laki dari Tsaqif yang masuk Islam dan memiliki sepuluh istri, ketika orang Tsaqif itu masuk Islam: “Tahanlah empat dari mereka dan ceraikanlah sisanya.”

77 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ وَحُمَيْدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَعُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ كُلُّهُمْ يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا تَطْلِيقَةً أَوْ تَطْلِيقَتَيْنِ ثُمَّ تَرَكَهَا حَتَّى تَحِلَّ، وَتَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، فَيَمُوتَ عَنْهَا أَوْ يُطَلِّقَهَا ثُمَّ يَنْكِحُهَا زَوْجُهَا الْأَوَّلُ، فَإِنَّهَا تَكُونُ عِنْدَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ طَلَاقِهَا قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ السُّنَّةُ عِنْدَنَا الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا

77 – Dan Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa ia berkata: Aku mendengar Sa’id bin al-Musayyib, Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, dan Sulaiman bin Yasar, semuanya berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Umar bin al-Khaththab berkata: “Perempuan mana pun yang dicerai suaminya satu atau dua kali, lalu ia dibiarkan hingga masa iddahnya habis dan menikah dengan laki-laki lain, kemudian suami barunya itu meninggal atau menceraikannya, lalu ia dinikahi kembali oleh suami pertamanya, maka ia kembali kepada suami pertamanya dengan sisa jumlah thalaq yang masih ada.” Malik berkata: “Demikianlah sunnah di tengah kami yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya.”

78 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ثَابِتِ بْنِ الْأَحْنَفِ، أَنَّهُ تَزَوَّجَ أُمَّ وَلَدٍ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: فَدَعَانِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجِئْتُهُ فَدَخَلْتُ عَلَيْهِ، فَإِذَا سِيَاطٌ مَوْضُوعَةٌ، وَإِذَا قَيْدَانِ مِنْ حَدِيدٍ، وَعَبْدَانِ لَهُ قَدْ أَجْلَسَهُمَا، فَقَالَ: طَلِّقْهَا وَإِلَّا وَالَّذِي يُحْلَفُ بِهِ فَعَلْتُ بِكَ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: فَقُلْتُ: هِيَ الطَّلَاقُ أَلْفًا، قَالَ: فَخَرَجْتُ مِنْ عِنْدِهِ، فَأَدْرَكْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ بِطَرِيقِ مَكَّةَ فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي كَانَ مِنْ شَأْنِي، فَتَغَيَّظَ عَبْدُ اللَّهِ، وَقَالَ: ” لَيْسَ ذَلِكَ بِطَلَاقٍ، وَإِنَّهَا لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْكَ، فَارْجِعْ إِلَى أَهْلِكَ، قَالَ: فَلَمْ تُقْرِرْنِي نَفْسِي، حَتَّى أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَهُوَ يَوْمَئِذٍ بِمَكَّةَ أَمِيرٌ عَلَيْهَا، فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي كَانَ مِنْ شَأْنِي، وَبِالَّذِي قَالَ لِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ فَقَالَ لِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ: لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْكَ فَارْجِعْ إِلَى أَهْلِكَ، وَكَتَبَ إِلَى جَابِرِ بْنِ الْأَسْوَدِ الزُّهْرِيِّ، وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ يَأْمُرُهُ أَنْ يُعَاقِبَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَأَنْ يُخَلِّيَ بَيْنِي وَبَيْنَ أَهْلِي، قَالَ: فَقَدِمْتُ الْمَدِينَةَ، فَجَهَّزَتْ صَفِيَّةُ امْرَأَةُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ امْرَأَتِي حَتَّى أَدْخَلَتْهَا عَلَيَّ بِعِلْمِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ثُمَّ دَعَوْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَوْمَ عُرْسِي لِوَلِيمَتِي فَجَاءَنِي “

78 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Tsabit bin Al-Ahnaf, bahwa ia menikahi seorang ummu walad milik Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab. Ia berkata: Lalu Abdullah bin Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab memanggilku, maka aku datang kepadanya dan masuk menemuinya. Ternyata di sana ada cambuk-cambuk yang diletakkan, dua rantai besi, dan dua budaknya yang telah didudukkan. Ia berkata: “Ceraikan dia, atau demi Dzat yang biasa dijadikan sumpah, aku akan melakukan begini dan begitu terhadapmu.” Aku berkata: “Dia aku ceraikan seribu kali.” Lalu aku keluar dari sisinya, dan aku bertemu Abdullah bin Umar di jalan menuju Makkah. Aku ceritakan kepadanya apa yang terjadi padaku. Abdullah pun marah dan berkata: “Itu bukanlah talak, dan dia tidak menjadi haram bagimu. Kembalilah kepada keluargamu.” Namun jiwaku belum tenang hingga aku mendatangi Abdullah bin Az-Zubair, yang saat itu adalah amir di Makkah. Aku ceritakan kepadanya apa yang terjadi padaku dan apa yang dikatakan Abdullah bin Umar kepadaku. Maka Abdullah bin Az-Zubair berkata: “Dia tidak menjadi haram bagimu, kembalilah kepada keluargamu.” Lalu ia menulis surat kepada Jabir bin Al-Aswad Az-Zuhri, amir Madinah, agar menghukum Abdullah bin Abdurrahman dan membiarkanku kembali kepada keluargaku. Maka aku pun tiba di Madinah, lalu Shafiyyah, istri Abdullah bin Umar, menyiapkan istriku hingga memasukkannya kepadaku dengan sepengetahuan Abdullah bin Umar. Kemudian aku mengundang Abdullah bin Umar pada hari pernikahanku untuk menghadiri walimahku, maka ia pun datang kepadaku.

79 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ: ” قَرَأَ {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ} [الطلاق: 1] لِقُبُلِ عِدَّتِهِنَّ ” قَالَ مَالِكٌ: يَعْنِي بِذَلِكَ أَنْ يُطَلِّقَ فِي كُلِّ طُهْرٍ مَرَّةً

79 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Abdullah bin Dinar, bahwa ia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Umar membaca (ayat): {Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan, maka ceraikanlah mereka} [At-Thalaq: 1] “pada awal masa iddah mereka.” Malik berkata: Maksudnya adalah menceraikan satu kali dalam setiap masa suci.

80 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: ” كَانَ الرَّجُلُ إِذَا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثُمَّ ارْتَجَعَهَا قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا، كَانَ ذَلِكَ لَهُ، وَإِنْ طَلَّقَهَا أَلْفَ مَرَّةٍ فَعَمَدَ رَجُلٌ إِلَى امْرَأَتِهِ فَطَلَّقَهَا حَتَّى إِذَا شَارَفَتِ انْقِضَاءَ عِدَّتِهَا رَاجَعَهَا، ثُمَّ طَلَّقَهَا، ثُمَّ قَالَ لَا وَاللَّهِ لَا آوِيكِ إِلَيَّ، وَلَا تَحِلِّينَ أَبَدًا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ، فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 229] فَاسْتَقْبَلَ النَّاسُ الطَّلَاقَ جَدِيدًا مِنْ يَوْمِئِذٍ، مَنْ كَانَ طَلَّقَ مِنْهُمْ أَوْ لَمْ يُطَلِّقْ “

80 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Dahulu, seorang laki-laki jika menceraikan istrinya lalu merujuknya sebelum iddahnya habis, maka itu boleh baginya, meskipun ia telah menceraikannya seribu kali. Lalu ada seorang laki-laki yang menceraikan istrinya, dan ketika hampir habis masa iddahnya ia merujuknya, lalu menceraikannya lagi, kemudian berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan mengembalikanmu kepadaku, dan engkau tidak akan halal selamanya.’ Maka Allah menurunkan firman-Nya: {Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik} [Al-Baqarah: 229]. Sejak saat itu, orang-orang memulai kembali hukum talak, baik yang sudah pernah menceraikan maupun yang belum.”

81 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِيِّ، ” أَنَّ الرَّجُلَ كَانَ يُطَلِّقُ امْرَأَتَهُ ثُمَّ يُرَاجِعُهَا، وَلَا حَاجَةَ لَهُ بِهَا، وَلَا يُرِيدُ إِمْسَاكَهَا كَيْمَا يُطَوِّلُ بِذَلِكَ عَلَيْهَا الْعِدَّةَ لِيُضَارَّهَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ} [البقرة: 231] يَعِظُهُمُ اللَّهُ بِذَلِكَ “

81 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Tsaura bin Zaid Ad-Daili, “Bahwa dahulu seorang laki-laki menceraikan istrinya lalu merujuknya, padahal ia tidak membutuhkan istrinya dan tidak ingin mempertahankannya, hanya saja ia ingin memperpanjang masa iddahnya untuk menyusahkannya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: {Dan janganlah kamu pertahankan mereka untuk memberi mudharat, karena hendak melampaui batas. Barang siapa melakukan demikian, maka sungguh ia telah menzalimi dirinya sendiri} [Al-Baqarah: 231]. Dengan ayat itu Allah menasihati mereka.”

82 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ سُئِلَا عَنْ طَلَاقِ السَّكْرَانِ؟ فَقَالَا: إِذَا طَلَّقَ السَّكْرَانُ جَازَ طَلَاقُهُ، وَإِنْ قَتَلَ قُتِلَ بِهِ قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا

82 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Sa‘id bin Al-Musayyib dan Sulaiman bin Yasar pernah ditanya tentang talak orang yang mabuk. Keduanya berkata: “Jika orang yang mabuk menjatuhkan talak, maka talaknya sah. Jika ia membunuh, maka ia dibunuh (qishash).” Malik berkata: “Demikianlah praktik yang berlaku di kalangan kami.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ كَانَ يَقُولُ: إِذَا لَمْ يَجِدِ الرَّجُلُ مَا يُنْفِقُ عَلَى امْرَأَتِهِ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ أَدْرَكْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا

Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Sa‘id bin Al-Musayyib biasa berkata: “Jika seorang laki-laki tidak memiliki sesuatu untuk menafkahi istrinya, maka dipisahkan antara keduanya.” Malik berkata: “Demikianlah aku dapati para ahli ilmu di negeri kami.”

بَابُ عِدَّةِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا إِذَا كَانَتْ حَامِلًا

Bab Masa ‘Iddah Wanita yang Suaminya Meninggal Dunia Jika Ia Sedang Hamil

83 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ رَبِّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ قَالَ: سُئِلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَامِلِ يُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا؟ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: آخِرَ الْأَجَلَيْنِ، وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: إِذَا وَلَدَتْ فَقَدْ حَلَّتْ
فَدَخَلَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهَا عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: وَلَدَتْ سُبَيْعَةُ الْأَسْلَمِيَّةُ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِنِصْفِ شَهْرٍ، فَخَطَبَهَا رَجُلَانِ: أَحَدُهُمَا شَابٌّ، وَالْآخَرُ كَهْلٌ، فَحَطَّتْ إِلَى الشَّابِّ، فَقَالَ الشَّيْخُ: لَمْ تَحِلِّي بَعْدُ، وَكَانَ أَهْلُهَا غَيَبًا، وَرَجَا إِذَا جَاءَ أَهْلُهَا أَنْ يُؤْثِرُوهُ بِهَا فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: قَدْ حَلَلْتِ، فَانْكِحِي مَنْ شِئْتِ

83 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari ‘Abd Rabbihi bin Sa‘id bin Qais, dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwa ia berkata: ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Abu Hurairah pernah ditanya tentang wanita hamil yang suaminya meninggal dunia. Maka Ibnu ‘Abbas berkata: “(‘Iddah-nya) adalah akhir dari dua masa.” Sedangkan Abu Hurairah berkata: “Jika ia telah melahirkan, maka ia telah halal (boleh menikah lagi).”
Lalu Abu Salamah bin ‘Abdurrahman masuk menemui Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, dan menanyakan hal itu kepadanya. Ummu Salamah berkata: “Suba‘i‘ah al-Aslamiyyah melahirkan setelah wafat suaminya setengah bulan kemudian. Lalu ada dua orang laki-laki yang melamarnya: salah satunya masih muda, dan yang lain sudah dewasa. Ia cenderung kepada yang muda. Maka orang yang tua berkata: ‘Engkau belum halal (belum boleh menikah lagi).’ Keluarganya saat itu sedang tidak ada, dan ia berharap jika keluarganya datang, mereka akan memilih dirinya untuk Suba‘i‘ah. Maka Suba‘i‘ah mendatangi Rasulullah ﷺ dan beliau bersabda: ‘Engkau telah halal, maka menikahlah dengan siapa yang engkau kehendaki.’”

84 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ يُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا وَهِيَ حَامِلٌ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: إِذَا وَضَعَتْ حَمْلَهَا فَقَدْ حَلَّتْ
فَأَخْبَرَهُ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَ عِنْدَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: لَوْ وَضَعَتْ وَزَوْجُهَا عَلَى سَرِيرِهِ لَمْ يُدْفَنْ بَعْدُ، لَحَلَّتْ

84 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa ia pernah ditanya tentang wanita yang suaminya meninggal dunia sedangkan ia sedang hamil. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Jika ia telah melahirkan kandungannya, maka ia telah halal (boleh menikah lagi).”
Lalu seorang laki-laki dari Anshar yang ada di sisinya memberitahukan kepadanya bahwa ‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Seandainya ia melahirkan sementara suaminya masih di atas ranjangnya dan belum dikuburkan, maka ia telah halal (boleh menikah lagi).”

85 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِي مَنْ شِئْتِ

85 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari al-Miswar bin Makhramah, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa Suba‘i‘ah al-Aslamiyyah mengalami nifas beberapa malam setelah wafat suaminya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Engkau telah halal, maka menikahlah dengan siapa yang engkau kehendaki.”

86 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَأَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ اخْتَلَفَا فِي الْمَرْأَةِ تُنْفَسُ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ، فَقَالَ أَبُو سَلَمَةَ: إِذَا وَضَعَتْ مَا فِي بَطْنِهَا، فَقَدْ حَلَّتْ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: آخِرَ الْأَجَلَيْنِ، فَجَاءَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَقَالَ: أَنَا مَعَ ابْنِ أَخِي يَعْنِي أَبَا سَلَمَةَ
فَبَعَثُوا كُرَيْبًا مَوْلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُهَا عَنْ ذَلِكَ، فَجَاءَهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ أَنَّهَا قَالَتْ: ولدت سُبَيْعَةُ الْأَسْلَمِيَّةُ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ، فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: قَدْ حَلَلْتِ فَانْكِحِي مَنْ شِئْتِ قَالَ مالِكٍ: وَهَذَا الْأَمْرُ الَّذِي لَمْ يَزَلْ عَلَيْهِ أَهْلُ الْعِلْمِ عِنْدَنَا

86 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berselisih pendapat tentang wanita yang mengalami nifas beberapa malam setelah wafat suaminya. Abu Salamah berkata: “Jika ia telah melahirkan apa yang ada dalam kandungannya, maka ia telah halal (boleh menikah lagi).” Sedangkan Ibnu ‘Abbas berkata: “Akhir dari dua masa.” Lalu datanglah Abu Hurairah dan berkata: “Aku bersama anak saudaraku, yaitu Abu Salamah.”
Mereka pun mengutus Kuraib, maula ‘Abdullah bin ‘Abbas, kepada Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, untuk menanyakan hal itu kepadanya. Lalu ia datang dan memberitahukan kepada mereka bahwa Ummu Salamah berkata: “Suba‘i‘ah al-Aslamiyyah melahirkan beberapa malam setelah wafat suaminya. Ia menyampaikan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda: ‘Engkau telah halal, maka menikahlah dengan siapa yang engkau kehendaki.’” Malik berkata: “Inilah pendapat yang senantiasa dipegang oleh para ahli ilmu di tempat kami.”

بَابُ مَقَامِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا فِي بَيْتِهَا حَتَّى تَحِلَّ

Bab Tinggalnya Wanita yang Suaminya Meninggal Dunia di Rumahnya Sampai Ia Halal (Boleh Menikah Lagi)

87 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ، عَنْ عَمَّتِهِ زَيْنَبَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ، أَنَّ الْفُرَيْعَةَ بِنْتَ مَالِكِ بنِ سِنَانٍ وَهِيَ أُخْتُ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَخْبَرَتْهَا: أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ أَنْ تَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهَا فِي بَنِي خُدْرَةَ، فَإِنَّ زَوْجَهَا خَرَجَ فِي طَلَبِ أَعْبُدٍ لَهُ أَبَقُوا، حَتَّى إِذَا كَانُوا بِطَرَفِ الْقَدُومِ لَحِقَهُمْ فَقَتَلُوهُ، قَالَتْ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي فِي بَنِي خُدْرَةَ، فَإِنَّ زَوْجِي لَمْ يَتْرُكْنِي فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ، وَلَا نَفَقَةٍ، قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، قَالَتْ: فَانْصَرَفْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي الْحُجْرَةِ نَادَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أَمَرَ بِي فَنُودِيتُ لَهُ فَقَالَ: كَيْفَ قُلْتِ؟ فَرَدَّدْتُ عَلَيْهِ الْقِصَّةَ الَّتِي ذَكَرْتُ لَهُ مِنْ شَأْنِ زَوْجِي، فَقَالَ: امْكُثِي فِي بَيْتِكِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ، قَالَتْ: فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، قَالَتْ فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَرْسَلَ إِلَيَّ، فَسَأَلَنِي عَنْ ذَلِكَ، فَأَخْبَرْتُهُ فَاتَّبَعَهُ وَقَضَى بِهِ “

87 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Sa‘d bin Ishaq bin Ka‘b bin ‘Ujrah, dari bibinya Zainab binti Ka‘b bin ‘Ujrah, bahwa al-Furay‘ah binti Malik bin Sinan, yang merupakan saudari Abu Sa‘id al-Khudri, memberitahunya: Bahwa ia datang kepada Rasulullah ﷺ untuk meminta izin agar dapat kembali kepada keluarganya di Bani Khudrah, karena suaminya keluar untuk mencari beberapa budaknya yang melarikan diri. Ketika mereka sampai di perbatasan al-Qadum, suaminya berhasil menyusul mereka, lalu mereka membunuhnya. Ia berkata: Maka aku meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk kembali kepada keluargaku di Bani Khudrah, karena suamiku tidak meninggalkanku di rumah yang dimilikinya, dan juga tidak meninggalkan nafkah. Ia berkata: Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya.” Ia berkata: Maka aku pun pergi, hingga ketika aku berada di kamar, Rasulullah ﷺ memanggilku atau memerintahkan agar aku dipanggil untuknya, lalu beliau bersabda: “Bagaimana yang engkau katakan tadi?” Maka aku mengulangi kisah yang telah aku ceritakan kepadanya tentang urusan suamiku. Beliau bersabda: “Tinggallah di rumahmu hingga ketentuan (al-kitāb) mencapai batas waktunya.” Ia berkata: Maka aku menjalani masa ‘iddah di rumah itu selama empat bulan sepuluh hari. Ia berkata: Ketika masa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan, beliau mengutus seseorang kepadaku dan menanyakan tentang hal itu, lalu aku memberitahukannya, maka beliau pun mengikuti (putusan itu) dan menetapkannya.

88 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ: كَانَ يَرُدُّ الْمُتَوَفَّى عَنْهُنَّ أَزْوَاجُهُنَّ مِنَ الْبَيْدَاءِ، يَمْنَعُهُنَّ الْحَجَّ

88 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Humayd bin Qays al-Makki, dari ‘Amr bin Shu‘aib, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ‘Umar bin al-Khattab biasa memulangkan para wanita yang ditinggal wafat suaminya dari al-Bayda’, dan melarang mereka menunaikan haji.

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ السَّائِبَ بْنَ خَبَّابٍ تُوُفِّيَ، وَإِنَّ امْرَأَتَهُ جَاءَتْ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، فَذَكَرَتْ لَهُ وَفَاةَ زَوْجِهَا، وَذَكَرَتْ لَهُ حَرْثًا لَهُمْ بِقَنَاةَ، وَسَأَلَتْهُ: هَلْ يَصْلُحُ لَهَا أَنْ تَبِيتَ فِيهِ؟ فَنَهَاهَا عَنْ ذَلِكَ، فَكَانَتْ تَخْرُجُ مِنَ الْمَدِينَةِ سَحَرًا فَتُصْبِحُ فِي حَرْثِهِمْ، فَتَظَلُّ فِيهِ يَوْمَهَا، ثُمَّ تَدْخُلُ الْمَدِينَةَ إِذَا أَمْسَتْ فَتَبِيتُ فِي بَيْتِهَا

Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa telah sampai kepadanya bahwa as-Sa’ib bin Khabbab wafat, dan istrinya datang kepada ‘Abdullah bin ‘Umar, lalu menceritakan kepadanya tentang wafatnya suaminya, dan menyebutkan bahwa mereka memiliki ladang di Qanah, dan ia bertanya kepadanya: “Apakah boleh baginya bermalam di sana?” Maka ia melarangnya melakukan hal itu. Maka wanita itu keluar dari Madinah pada waktu sahur, lalu pagi harinya berada di ladang mereka, dan ia berada di sana sepanjang harinya, kemudian masuk kembali ke Madinah ketika malam tiba dan bermalam di rumahnya.

89 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: فِي الْمَرْأَةِ الْبَدَوِيَّةِ يُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا، إِنَّهَا تَنْتَوِي حَيْثُ انْتَوَى أَهْلُهَا قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا

89 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, bahwa ia biasa berkata: “Pada wanita Badui yang ditinggal wafat suaminya, maka ia tinggal di mana keluarganya tinggal.” Malik berkata: “Dan inilah pendapat yang berlaku di kalangan kami.”

90 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: لَا تَبِيتُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا، وَلَا الْمَبْتُوتَةُ إِلَّا فِي بَيْتِهَا

90 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia biasa berkata: “Wanita yang ditinggal wafat suaminya, maupun wanita yang dicerai ba’in, tidak boleh bermalam kecuali di rumahnya.”

بَابُ عِدَّةِ أُمِّ الْوَلَدِ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا سَيِّدُهَا

Bab: Masa ‘iddah Umm al-Walad jika tuannya wafat.

91 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ: إِنَّ يَزِيدَ بْنَ عَبْدِ الْمَلِكِ فَرَّقَ بَيْنَ رِجَالٍ وَبَيْنَ نِسَائِهِمْ، وَكُنَّ أُمَّهَاتِ أَوْلَادِ رِجَالٍ هَلَكُوا، فَتَزَوَّجُوهُنَّ بَعْدَ حَيْضَةٍ أَوْ حَيْضَتَيْنِ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمْ، حَتَّى يَعْتَدِدْنَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، فَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ: ” سُبْحَانَ اللَّهِ يَقُولُ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ، وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا} [البقرة: 234] مَا هُنَّ مِنَ الْأَزْوَاجِ “

91 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia berkata: Aku mendengar al-Qasim bin Muhammad berkata: “Sesungguhnya Yazid bin ‘Abd al-Malik pernah memisahkan antara para lelaki dan istri-istri mereka, dan para istri itu adalah umm al-walad dari para lelaki yang telah wafat, lalu mereka menikahi para wanita itu setelah satu atau dua kali haid, maka Yazid memisahkan mereka hingga para wanita itu menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari.” Maka al-Qasim bin Muhammad berkata: “Subhanallah! Allah berfirman dalam Kitab-Nya: {Dan orang-orang di antara kamu yang wafat dan meninggalkan istri-istri} (al-Baqarah: 234), padahal mereka (umm al-walad) bukanlah termasuk istri-istri.”

92 – ، وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: عِدَّةُ أُمِّ الْوَلَدِ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا سَيِّدُهَا حَيْضَةٌ

92 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia berkata: “Masa ‘iddah umm al-walad jika tuannya wafat adalah satu kali haid.”

وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: عِدَّةُ أُمِّ الْوَلَدِ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا سَيِّدُهَا حَيْضَةٌ قَالَ مَالِكٌ: وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ لَمْ تَكُنْ مِمَّنْ تَحِيضُ فَعِدَّتُهَا ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ

Dan Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa ia biasa berkata: Masa ‘iddah umm al-walad apabila tuannya wafat adalah satu kali haid. Malik berkata: Inilah pendapat yang berlaku di kalangan kami. Malik juga berkata: Jika ia termasuk wanita yang tidak mengalami haid, maka masa ‘iddahnya adalah tiga bulan.

بَابُ عِدَّةِ الْأَمَةِ إِذَا تُوُفِّيَ سَيِّدُهَا أَوْ زَوْجُهَا

Bab tentang masa ‘iddah budak perempuan apabila tuannya atau suaminya wafat.

93 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ كَانَا يَقُولَانِ: عِدَّةُ الْأَمَةِ إِذَا هَلَكَ عَنْهَا زَوْجُهَا شَهْرَانِ وَخَمْسُ لَيَالٍ

  1. Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Sa‘id bin al-Musayyib dan Sulaiman bin Yasar biasa berkata: Masa ‘iddah budak perempuan apabila suaminya wafat adalah dua bulan dan lima malam.

94 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ: فِي الْعَبْدِ يُطَلِّقُ الْأَمَةَ طَلَاقًا لَمْ يَبُتَّهَا فِيهِ، لَهُ عَلَيْهَا فِيهِ الرَّجْعَةُ ثُمَّ يَمُوتُ وَهِيَ فِي عِدَّتِهَا مِنْ طَلَاقِهِ، إِنَّهَا تَعْتَدُّ عِدَّةَ الْأَمَةِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا شَهْرَيْنِ وَخَمْسَ لَيَالٍ، وَإِنَّهَا إِنْ عَتَقَتْ وَلَهُ عَلَيْهَا رَجْعَةٌ، ثُمَّ لَمْ تَخْتَرْ فِرَاقَهُ بَعْدَ الْعِتْقِ حَتَّى يَمُوتَ، وَهِيَ فِي عِدَّتِهَا مِنْ طَلَاقِهِ اعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْحُرَّةِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَذَلِكَ أَنَّهَا إِنَّمَا وَقَعَتْ عَلَيْهَا عِدَّةُ الْوَفَاةِ بَعْدَمَا عَتَقَتْ فَعِدَّتُهَا عِدَّةُ الْحُرَّةِ قَالَ مَالِكٌ: وهَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibn Syihab, seperti itu juga. Malik berkata: Dalam kasus seorang budak laki-laki yang menceraikan budak perempuan dengan talak yang tidak memutuskan (talak raj‘i), sehingga ia masih memiliki hak rujuk, lalu ia meninggal dunia sementara budak perempuan itu masih dalam masa ‘iddah dari talaknya, maka ia menjalani masa ‘iddah budak perempuan yang suaminya wafat, yaitu dua bulan dan lima malam. Dan jika ia dimerdekakan sementara suaminya masih memiliki hak rujuk, lalu ia tidak memilih berpisah setelah dimerdekakan hingga suaminya meninggal dunia, dan ia masih dalam masa ‘iddah dari talaknya, maka ia menjalani masa ‘iddah perempuan merdeka yang suaminya wafat, yaitu empat bulan sepuluh hari. Hal itu karena masa ‘iddah wafat baru berlaku atasnya setelah ia dimerdekakan, maka masa ‘iddahnya adalah masa ‘iddah perempuan merdeka. Malik berkata: Inilah pendapat yang berlaku di kalangan kami.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْعَزْلِ

Bab tentang apa yang datang mengenai ‘azl (coitus interruptus/penghalangan kehamilan).

95 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، عَنِ ابْنِ مُحَيْرِيزٍ، أَنَّهُ قَالَ: دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَرَأَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ، فَسَأَلْتُهُ عَنِ الْعَزْلِ؟ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ بَنِي الْمُصْطَلِقِ فَأَصَبْنَا سَبْيًا مِنْ سَبْيِ الْعَرَبِ، فَاشْتَهَيْنَا النِّسَاءَ، وَاشْتَدَّتْ عَلَيْنَا الْعُزْبَةُ، وَأَحْبَبْنَا الْفِدَاءَ، فَأَرَدْنَا أَنْ نَعْزِلَ، فَقُلْنَا نَعْزِلُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَظْهُرِنَا قَبْلَ أَنْ نَسْأَلَهُ، فَسَأَلْنَاهُ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: مَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَفْعَلُوا، مَا مِنْ نَسَمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلَّا وَهِيَ كَائِنَةٌ

  1. Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abd al-Rahman, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari Ibn Muhairiz, bahwa ia berkata: Aku masuk masjid dan melihat Abu Sa‘id al-Khudri, lalu aku duduk di dekatnya dan bertanya kepadanya tentang ‘azl. Maka Abu Sa‘id al-Khudri berkata: Kami pernah keluar bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Bani al-Musthaliq, lalu kami mendapatkan tawanan dari tawanan Arab. Kami sangat menginginkan wanita dan merasa berat menahan diri, dan kami juga ingin menebus mereka. Maka kami ingin melakukan ‘azl. Kami berkata: Kita lakukan ‘azl sementara Rasulullah ﷺ ada di tengah-tengah kita sebelum kita bertanya kepadanya. Lalu kami bertanya kepadanya tentang hal itu. Beliau bersabda: Tidak mengapa kalian tidak melakukannya, karena tidak ada satu jiwa pun yang akan ada hingga hari kiamat kecuali pasti akan ada.

96 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ: كَانَ يَعْزِلُ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abu al-Nadr, maula ‘Umar bin ‘Ubaidillah, dari ‘Amir bin Sa‘d bin Abi Waqqash, dari ayahnya, bahwa ia biasa melakukan ‘azl.

97 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ أَفْلَحَ مَوْلَى أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أُمِّ وَلَدٍ لِأَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ: كَانَ يَعْزِلُ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abu al-Nadr, maula ‘Umar bin ‘Ubaidillah, dari Ibn Aflah, maula Abu Ayyub al-Anshari, dari umm walad Abu Ayyub al-Anshari, bahwa ia (Abu Ayyub) biasa melakukan ‘azl.

98 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ: كَانَ لَا يَعْزِلُ، وَكَانَ يَكْرَهُ الْعَزْلَ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia tidak melakukan ‘azl dan ia membenci ‘azl.

99 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ سَعِيدٍ الْمَازِنِيِّ، عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ عَمْرِو بْنِ غَزِيَّةَ، أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا عِنْدَ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ فَجَاءَهُ ابْنُ قَهْدٍ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، فَقَالَ يَا أَبَا سَعِيدٍ إِنَّ عِنْدِي جَوَارِيَ لِي، لَيْسَ نِسَائِي اللَّاتِي أُكِنُّ بِأَعْجَبَ إِلَيَّ مِنْهُنَّ، وَلَيْسَ كُلُّهُنَّ يُعْجِبُنِي، أَنْ تَحْمِلَ مِنِّي أَفَأَعْزِلُ، فَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ: أَفْتِهِ يَا حَجَّاجُ، قَالَ فَقُلْتُ: يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ، إِنَّمَا نَجْلِسُ عِنْدَكَ لِنَتَعَلَّمَ مِنْكَ، قَالَ: أَفْتِهِ، قَالَ فَقُلْتُ: هُوَ حَرْثُكَ إِنْ شِئْتَ سَقَيْتَهُ، وَإِنْ شِئْتَ أَعْطَشْتَهُ، قَالَ: وَكُنْتُ أَسْمَعُ ذَلِكَ مِنْ زَيْدٍ، فَقَالَ زَيْدٌ: صَدَقَ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Dhamrah bin Sa‘id al-Mazini, dari al-Hajjaj bin ‘Amr bin Ghaziyyah, bahwa ia sedang duduk di sisi Zaid bin Tsabit, lalu datanglah Ibn Qahd, seorang laki-laki dari penduduk Yaman, dan berkata: Wahai Abu Sa‘id, aku memiliki beberapa budak perempuan, bukan istri-istriku yang aku tinggali, dan aku lebih menyukai mereka daripada istri-istriku, namun tidak semuanya aku sukai jika mereka hamil dariku. Apakah aku boleh melakukan ‘azl? Maka Zaid bin Tsabit berkata: Berilah fatwa, wahai Hajjaj! Aku pun berkata: Semoga Allah mengampunimu, kami duduk di sisimu untuk belajar darimu. Ia berkata: Berilah fatwa! Maka aku berkata: Mereka adalah ladangmu, jika engkau mau, engkau sirami, dan jika engkau mau, engkau biarkan kering. Ia berkata: Aku pernah mendengar hal itu dari Zaid, lalu Zaid berkata: Benar.

100 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ رَجُلٍ يُقَالُ لَهُ ذَفِيفٌ، أَنَّهُ قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنِ الْعَزْلِ فَدَعَا جَارِيَةً لَهُ، فَقَالَ: أَخْبِرِيهِمْ فَكَأَنَّهَا اسْتَحْيَتْ، فَقَالَ: هُوَ ذَلِكَ أَمَّا أَنَا فَأَفْعَلُهُ يَعْنِي أَنَّهُ يَعْزِلُ قَالَ مَالِكٌ لَا يَعْزِلُ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ الْحُرَّةَ إِلَّا بِإِذْنِهَا وَلَا بَأْسَ أَنْ يَعْزِلَ عَنْ أَمَتِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهَا وَمَنْ كَانَتْ تَحْتَهُ أَمَةُ قَوْمٍ فَلَا يَعْزِلُ إِلَّا بِإِذْنِهِمْ

100 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Humaid bin Qais al-Makki, dari seorang laki-laki yang disebut Dzafif, bahwa ia berkata: Ibnu Abbas pernah ditanya tentang ‘azl (mengeluarkan mani di luar rahim), lalu beliau memanggil seorang budak perempuannya dan berkata: “Beritahukan kepada mereka.” Namun budak perempuan itu tampak malu, lalu Ibnu Abbas berkata: “Itulah (yang dimaksud). Adapun aku, aku melakukannya,” maksudnya beliau melakukan ‘azl. Malik berkata: “Seorang laki-laki tidak boleh melakukan ‘azl terhadap istri yang merdeka kecuali dengan izinnya, dan tidak mengapa melakukan ‘azl terhadap budak perempuannya tanpa izinnya. Dan barang siapa memiliki budak perempuan milik suatu kaum, maka ia tidak boleh melakukan ‘azl kecuali dengan izin mereka.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْإِحْدَادِ

Bab tentang apa yang datang mengenai masa ihdad (berkabung).

101 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ الثَّلَاثَةَ: قَالَتْ زَيْنَبُ: دَخَلْتُ عَلَى أُمِّ حَبِيبَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ أَبُوهَا أَبُو سُفْيَانَ بْنُ حَرْبٍ، فَدَعَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِطِيبٍ فِيهِ صُفْرَةٌ خَلُوقٌ أَوْ غَيْرُهُ فَدَهَنَتْ بِهِ جَارِيَةً ثُمَّ مَسَحَتْ بِعَارِضَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: وَاللَّهِ مَا لِي بِالطِّيبِ مِنْ حَاجَةٍ، غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيْتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

101 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm, dari Humaid bin Nafi’, dari Zainab binti Abi Salamah, bahwa ia menceritakan kepadanya tiga hadis berikut: Zainab berkata: Aku masuk menemui Ummu Habibah, istri Nabi ﷺ, ketika ayahnya, Abu Sufyan bin Harb, wafat. Ummu Habibah lalu meminta minyak wangi yang berwarna kekuningan, khuluq atau yang lainnya, lalu ia mengoleskannya kepada seorang budak perempuan, kemudian mengusapkannya ke kedua pipinya. Lalu ia berkata: “Demi Allah, aku tidak membutuhkan minyak wangi, kecuali karena aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas orang mati lebih dari tiga malam, kecuali atas suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.”

102 – قَالَتْ زَيْنَبُ ثُمَّ دَخَلْتُ عَلَى زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ أَخُوهَا، فَدَعَتْ بِطِيبٍ فَمَسَّتْ مِنْهُ، ثُمَّ قَالَتْ: وَاللَّهِ مَا لِي بِالطِّيبِ حَاجَةٌ، غَيْرَ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيْتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

102 – Zainab berkata: Kemudian aku masuk menemui Zainab binti Jahsy, istri Nabi ﷺ, ketika saudaranya wafat. Ia meminta minyak wangi, lalu mengoleskannya, kemudian berkata: “Demi Allah, aku tidak membutuhkan minyak wangi, kecuali karena aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas orang mati lebih dari tiga malam, kecuali atas suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari.”

103 – قَالَتْ زَيْنَبُ: وَسَمِعْتُ أُمِّي أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنَتِي تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا، وَقَدِ اشْتَكَتْ عَيْنَيْهَا أَفَتَكْحُلُهُمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ: لَا ثُمَّ قَالَ: ” إِنَّمَا هِيَ {أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا} [البقرة: 234]، وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ “
قَالَ حُمَيْدُ بْنُ نَافِعٍ: فَقُلْتُ لِزَيْنَبَ: وَمَا تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ؟ فَقَالَتْ زَيْنَبُ: كَانَتِ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا، دَخَلَتْ حِفْشًا، وَلَبِسَتْ شَرَّ ثِيَابِهَا، وَلَمْ تَمَسَّ طِيبًا، وَلَا شَيْئًا حَتَّى تَمُرَّ بِهَا سَنَةٌ، ثُمَّ تُؤْتَى بِدَابَّةٍ حِمَارٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ طَيْرٍ فَتَفْتَضُّ بِهِ، فَقَلَّمَا تَفْتَضُّ بِشَيْءٍ إِلَّا مَاتَ، ثُمَّ تَخْرُجُ فَتُعْطَى بَعْرَةً، فَتَرْمِي بِهَا، ثُمَّ تُرَاجِعُ بَعْدُ مَا شَاءَتْ مِنْ طِيبٍ أَوْ غَيْرِهِ قَالَ مالِكٍ: ” وَالْحِفْشُ: الْبَيْتُ الرَّدِيءُ، وَتَفْتَضُّ تَمْسَحُ بِهِ جِلْدَهَا كَالنُّشْرَةِ “

103 – Zainab berkata: Aku juga mendengar ibuku, Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, putriku ditinggal wafat suaminya, dan kedua matanya sedang sakit. Bolehkah ia memakai celak?” Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak,” sebanyak dua atau tiga kali, setiap kali ditanya beliau menjawab: “Tidak.” Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya masa ‘iddah itu adalah {empat bulan sepuluh hari} (QS. Al-Baqarah: 234). Dahulu, salah seorang dari kalian di masa jahiliah melemparkan kotoran binatang di akhir tahun.” Humaid bin Nafi’ berkata: Aku bertanya kepada Zainab: “Apa maksud melemparkan kotoran binatang di akhir tahun itu?” Zainab menjawab: “Dahulu, jika seorang wanita ditinggal wafat suaminya, ia masuk ke dalam gubuk, mengenakan pakaian terburuknya, tidak memakai minyak wangi atau apa pun hingga berlalu satu tahun. Setelah itu, didatangkan kepadanya seekor hewan—keledai, kambing, atau burung—lalu ia mengusapkan tubuhnya ke hewan itu, dan hampir tidak ada hewan yang diusapkan kecuali mati. Setelah itu ia keluar dan diberi kotoran binatang, lalu ia melemparkannya, kemudian ia boleh kembali memakai minyak wangi atau yang lainnya sesuai keinginannya.” Malik berkata: “Al-hifsy adalah rumah yang buruk, dan taf-taddu artinya mengusapkan kulitnya ke hewan itu seperti ruqyah.”

104 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ عَائِشَةَ وَحَفْصَةَ زَوْجَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيْتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ

104 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, dari Shafiyyah binti Abi Ubaid, dari Aisyah dan Hafshah, kedua istri Nabi ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas orang mati lebih dari tiga malam, kecuali atas suaminya.”

105 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ لِامْرَأَةٍ حَادٍّ عَلَى زَوْجِهَا، اشْتَكَتْ عَيْنَيْهَا فَبَلَغَ ذَلِكَ مِنْهَا: اكْتَحِلِي بِكُحْلِ الْجِلَاءِ بِاللَّيْلِ وَامْسَحِيهِ بِالنَّهَارِ

105 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, berkata kepada seorang wanita yang sedang menjalani masa ḥaddād (berkabung) atas suaminya, yang mengeluhkan matanya hingga kondisinya parah: “Bercelaklah dengan celak al-jilā’ pada malam hari dan hapuslah pada siang hari.”

106 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُمَا كَانَا يَقُولَانِ فِي الْمَرْأَةِ يُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا: إِنَّهَا إِذَا خَشِيَتْ عَلَى بَصَرِهَا مِنْ رَمَدٍ، أَوْ شَكْوٍ أَصَابَهَا، إِنَّهَا تَكْتَحِلُ، وَتَتَدَاوَى بِدَوَاءٍ أَوْ كُحْلٍ وَإِنْ كَانَ فِيهِ طِيبٌ قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا كَانَتِ الضَّرُورَةُ فَإِنَّ دِينَ اللَّهِ يُسْرٌ

106 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, dari Sālim bin ‘Abdullāh dan Sulaimān bin Yasār, bahwa keduanya berkata tentang wanita yang ditinggal wafat suaminya: “Jika ia khawatir terhadap penglihatannya karena sakit mata atau keluhan yang menimpanya, maka ia boleh bercelak dan berobat dengan obat atau celak, meskipun di dalamnya terdapat aroma wangi.” Mālik berkata: “Jika dalam keadaan darurat, maka agama Allah itu mudah.”

107 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ أَبِي عُبَيْدٍ اشْتَكَتْ عَيْنَيْهَا، وَهِيَ حَادٌّ عَلَى زَوْجِهَا عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: فَلَمْ تَكْتَحِلْ حَتَّى كَادَتْ عَيْنَاهَا تَرْمَصَانِ

107 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa Shafiyyah binti Abī ‘Ubaid mengeluhkan matanya, padahal ia sedang menjalani masa ḥaddād atas suaminya, ‘Abdullāh bin ‘Umar. Maka ia tidak bercelak sampai-sampai kedua matanya hampir terkena belekan.

قَالَ مَالِكٌ: تَدَّهِنُ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا، بِالزَّيْتِ وَالشَّيْرَقِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ طِيبٌ

Mālik berkata: Wanita yang ditinggal wafat suaminya boleh memakai minyak zaitun, minyak syairaq, dan yang semisalnya, selama tidak mengandung wewangian.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا تَلْبَسُ الْمَرْأَةُ الْحَادُّ عَلَى زَوْجِهَا شَيْئًا مِنَ الْحَلْيِ: خَاتَمًا وَلَا خَلْخَالًا وَلَا غَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْحَلْيِ، وَلَا تَلْبَسُ شَيْئًا مِنَ الْعَصْبِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَصْبًا غَلِيظًا، وَلَا تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا بِشَيْءٍ مِنَ الصِّبْغِ إِلَّا بِالسَّوَادِ، وَلَا تَمْتَشِطُ إِلَّا بِالسِّدْرِ، وَمَا أَشْبَهَهُ مِمَّا لَا يَخْتَمِرُ فِي رَأْسِهَا “

Mālik berkata: “Wanita yang sedang menjalani masa ḥaddād atas suaminya tidak boleh memakai perhiasan apapun: baik cincin, gelang kaki, maupun selain itu dari perhiasan. Ia juga tidak boleh memakai kain berwarna, kecuali kain tebal, dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup dengan pewarna apapun kecuali hitam. Ia tidak boleh bersisir kecuali dengan daun bidara atau yang semisalnya yang tidak meninggalkan bekas pada rambutnya.”

108 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ، وَهِيَ حَادٌّ عَلَى أَبِي سَلَمَةَ، وَقَدْ جَعَلَتْ عَلَى عَيْنَيْهَا صَبِرًا، فَقَالَ: ” مَا هَذَا يَا أُمَّ سَلَمَةَ؟ فَقَالَتْ: إِنَّمَا هُوَ صَبِرٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: اجْعَلِيهِ فِي اللَّيْلِ وَامْسَحِيهِ بِالنَّهَارِ

108 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya: Bahwa Rasulullah ﷺ masuk menemui Ummu Salamah, sementara ia sedang menjalani masa ḥaddād atas Abū Salamah, dan ia telah meletakkan shabir (sejenis obat mata) pada kedua matanya. Maka beliau bersabda: “Apa ini, wahai Ummu Salamah?” Ia menjawab: “Ini hanya shabir, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Gunakanlah pada malam hari dan hapuslah pada siang hari.”

قَالَ مَالِكٌ: الْإِحْدَادُ عَلَى الصَّبِيَّةِ الَّتِي لَمْ تَبْلُغِ الْمَحِيضَ، كَهَيْئَتِهِ عَلَى الَّتِي قَدْ بَلَغَتِ الْمَحِيضَ، تَجْتَنِبُ مَا تَجْتَنِبُ الْمَرْأَةُ الْبَالِغَةُ إِذَا هَلَكَ عَنْهَا زَوْجُهَا

Mālik berkata: Masa ḥaddād bagi anak perempuan yang belum baligh sama seperti masa ḥaddād bagi yang telah baligh; ia menghindari apa yang dihindari oleh wanita dewasa jika suaminya wafat.

قَالَ مَالِكٌ: تُحِدُّ الْأَمَةُ إِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا شَهْرَيْنِ وَخَمْسَ لَيَالٍ مِثْلَ عِدَّتِهَا

Mālik berkata: Seorang budak perempuan yang ditinggal wafat suaminya menjalani masa ḥaddād selama dua bulan lima malam, sebagaimana masa ‘iddahnya.

قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ عَلَى أُمِّ الْوَلَدِ إِحْدَادٌ، إِذَا هَلَكَ عَنْهَا سَيِّدُهَا، وَلَا عَلَى أَمَةٍ يَمُوتُ عَنْهَا سَيِّدُهَا إِحْدَادٌ، وَإِنَّمَا الْإِحْدَادُ عَلَى ذَوَاتِ الْأَزْوَاجِ

Mālik berkata: Tidak ada masa ḥaddād atas umm al-walad jika tuannya wafat, dan tidak pula atas budak perempuan yang tuannya meninggal, tidak ada masa ḥaddād. Sesungguhnya masa ḥaddād hanya berlaku bagi wanita yang bersuami.

109 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَقُولُ: تَجْمَعُ الْحَادُّ رَأْسَهَا بِالسِّدْرِ وَالزَّيْتِ

109 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, biasa berkata: “Wanita yang sedang menjalani masa ḥaddād boleh mengikat rambutnya dengan daun bidara dan minyak zaitun.”

30 – كِتَابُ الرَّضَاعِ

بَابُ رَضَاعَةِ الصَّغِيرِ

Bab Penyusuan Anak Kecil

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا، وَأَنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُرَاهُ فُلَانًا – لِعَمٍّ لِحَفْصَةَ مِنَ الرَّضَاعَةِ – فَقَالَتْ عَائِشَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ فُلَانٌ حَيًّا – لِعَمِّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ – دَخَلَ عَلَيَّ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، إِنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr, dari ‘Amrah binti ‘Abdurrahmān, bahwa ‘Ā’isyah Ummul Mu’minīn memberitahunya bahwa Rasulullah ﷺ berada di sisinya, dan ia mendengar suara seorang laki-laki meminta izin masuk ke rumah Hafshah. ‘Ā’isyah berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, ini ada seorang laki-laki meminta izin masuk ke rumahmu.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku kira dia adalah Fulan, paman Hafshah dari jalur radā‘ (susuan).” ‘Ā’isyah berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya Fulan (paman dari jalur radā‘) masih hidup, apakah ia boleh masuk menemuiku?” Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya, sesungguhnya radā‘ (susuan) mengharamkan apa yang diharamkan oleh kelahiran.”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ: جَاءَ عَمِّي مِنَ الرَّضَاعَةِ، يَسْتَأْذِنُ عَلَيَّ، فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ عَلَيَّ، حَتَّى أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّهُ عَمُّكِ فَأْذَنِي لَهُ، قَالَتْ: فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّمَا أَرْضَعَتْنِي الْمَرْأَةُ، وَلَمْ يُرْضِعْنِي الرَّجُلُ، فَقَالَ: إِنَّهُ عَمُّكِ فَلْيَلِجْ عَلَيْكِ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَذَلِكَ بَعْدَمَا ضُرِبَ عَلَيْنَا الْحِجَابُ. وَقَالَتْ عَائِشَةُ: يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ
وَقَالَتْ عَائِشَةُ: يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ

2 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Ā’isyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata: Pamanku dari susuan datang meminta izin kepadaku, maka aku enggan memberinya izin untuk masuk kepadaku, sampai aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Lalu Rasulullah ﷺ datang, maka aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Beliau bersabda: “Dia adalah pamanmu, maka izinkanlah dia masuk.” Aku berkata: “Wahai Rasulullah, yang menyusuiku hanyalah perempuan, bukan laki-laki.” Beliau bersabda: “Dia adalah pamanmu, maka biarkanlah ia masuk kepadamu.” ‘Ā’isyah berkata: “Itu terjadi setelah diwajibkannya hijab atas kami.” Dan ‘Ā’isyah berkata: “Yang haram karena susuan sama dengan yang haram karena kelahiran.” Dan ‘Ā’isyah berkata: “Yang haram karena susuan sama dengan yang haram karena kelahiran.”

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أَفْلَحَ، أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا، وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ، بَعْدَ أَنْ أُنْزِلَ الْحِجَابُ، قَالَتْ: فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ عَلَيَّ، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ، فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ عَلَيَّ

3 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari ‘Urwah bin Zubair, dari ‘Ā’isyah Ummul Mukminin, bahwa ia memberitahukan kepadanya bahwa Aflah, saudara Abul Qu‘ais, datang meminta izin kepadanya, dan ia adalah pamannya dari susuan, setelah turunnya perintah hijab. Ia (‘Ā’isyah) berkata: “Maka aku enggan memberinya izin untuk masuk kepadaku. Ketika Rasulullah ﷺ datang, aku memberitahukan kepadanya apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku untuk mengizinkannya masuk kepadaku.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ وَإِنْ كَانَ مَصَّةً وَاحِدَةً فَهُوَ يُحَرِّمُ

4 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Tsaūr bin Zaid ad-Dīlī, dari ‘Abdullāh bin ‘Abbās, bahwa ia biasa berkata: “Apa yang terjadi dalam dua tahun, meskipun hanya sekali hisapan, maka itu menyebabkan keharaman (mahram) karena susuan.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَأَرْضَعَتْ إِحْدَاهُمَا غُلَامًا، وَأَرْضَعَتِ الْأُخْرَى جَارِيَةً، فَقِيلَ لَهُ هَلْ يَتَزَوَّجُ الْغُلَامُ الْجَارِيَةَ فَقَالَ: لَا اللِّقَاحُ وَاحِدٌ

5 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari ‘Amr bin Syarīd, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Abbās pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang memiliki dua istri, lalu salah satu dari keduanya menyusui seorang anak laki-laki, dan yang lainnya menyusui seorang anak perempuan. Maka ditanyakan kepadanya: “Apakah anak laki-laki itu boleh menikahi anak perempuan itu?” Ia menjawab: “Tidak, karena air susu (nasab susuan) mereka satu.”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ: لَا رَضَاعَةَ إِلَّا لِمَنْ أُرْضِعَ فِي الصِّغَرِ، وَلَا رَضَاعَةَ لِكَبِيرٍ

6 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar biasa berkata: “Tidak ada hukum susuan kecuali bagi yang disusui ketika masih kecil, dan tidak ada hukum susuan bagi orang dewasa.”

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَخْبَرَهُ أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَرْسَلَتْ بِهِ، وَهُوَ يَرْضَعُ إِلَى أُخْتِهَا أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، فَقَالَتْ: أَرْضِعِيهِ عَشْرَ رَضَعَاتٍ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيَّ، قَالَ سَالِمٌ فَأَرْضَعَتْنِي أُمُّ كُلْثُومٍ ثَلَاثَ رَضَعَاتٍ، ثُمَّ مَرِضَتْ، فَلَمْ تُرْضِعْنِي غَيْرَ ثَلَاثِ رَضَعَاتٍ، فَلَمْ أَكُنْ أَدْخُلُ عَلَى عَائِشَةَ مِنْ أَجْلِ أَنَّ أُمَّ كُلْثُومٍ لَمْ تُتِمَّ لِي عَشْرَ رَضَعَاتٍ

7 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa Sālim bin ‘Abdullāh bin ‘Umar memberitahunya bahwa ‘Ā’isyah Ummul Mukminin mengutusnya, saat ia masih menyusu, kepada saudara perempuannya, Ummu Kultsūm binti Abū Bakr as-Siddīq. Ia (‘Ā’isyah) berkata: “Susuilah dia sepuluh kali susuan agar ia boleh masuk menemuiku.” Sālim berkata: “Maka Ummu Kultsūm menyusuiku tiga kali, lalu ia sakit, sehingga tidak menyusuiku selain tiga kali saja. Maka aku tidak masuk menemui ‘Ā’isyah karena Ummu Kultsūm tidak menyempurnakan sepuluh kali susuan kepadaku.”

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ أَبِي عُبَيْدٍ، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، أَرْسَلَتْ بِعَاصِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدٍ، إِلَى أُخْتِهَا فَاطِمَةَ بِنْتِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ تُرْضِعُهُ عَشْرَ رَضَعَاتٍ لِيَدْخُلَ عَلَيْهَا، وَهُوَ صَغِيرٌ يَرْضَعُ، فَفَعَلَتْ فَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا

8 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa Shafiyyah binti Abī ‘Ubaid memberitahunya bahwa Hafshah Ummul Mukminin mengutus ‘Āshim bin ‘Abdullāh bin Sa‘d kepada saudara perempuannya, Fāthimah binti ‘Umar bin al-Khaththāb, agar ia menyusuinya sepuluh kali susuan supaya ia boleh masuk menemuinya, dan saat itu ia (‘Āshim) masih kecil dan sedang menyusu. Maka Fāthimah melakukannya, sehingga ia (‘Āshim) pun boleh masuk menemuinya.

9 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَيْهَا مَنْ أَرْضَعَتْهُ أَخَوَاتُهَا، وَبَنَاتُ أَخِيهَا، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا مَنْ أَرْضَعَهُ نِسَاءُ إِخْوَتِهَا

9 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdurrahmān bin al-Qāsim, dari ayahnya, bahwa ia memberitahunya bahwa ‘Ā’isyah, istri Nabi ﷺ, membolehkan masuk kepadanya orang-orang yang disusui oleh saudara-saudara perempuannya dan anak-anak perempuan dari saudara laki-lakinya, dan tidak membolehkan masuk kepadanya orang-orang yang disusui oleh istri-istri saudara laki-lakinya.

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ، أَنَّهُ سَأَلَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ عَنِ الرَّضَاعَةِ، فَقَالَ سَعِيدٌ: كُلُّ مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ قَطْرَةً وَاحِدَةً فَهُوَ يُحَرِّمُ، وَمَا كَانَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ فَإِنَّمَا هُوَ طَعَامٌ يَأْكُلُهُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُقْبَةَ، ثُمَّ سَأَلْتُ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ: مِثْلَ مَا قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibrāhīm bin ‘Uqbah, bahwa ia bertanya kepada Sa‘īd bin al-Musayyib tentang (hukum) radā‘ah (persusuan). Maka Sa‘īd berkata: “Segala sesuatu yang terjadi dalam dua tahun, meskipun hanya setetes saja, maka itu menyebabkan keharaman (mahram). Adapun yang terjadi setelah dua tahun, maka itu hanyalah makanan yang dimakan.” Ibrāhīm bin ‘Uqbah berkata: “Kemudian aku bertanya kepada ‘Urwah bin az-Zubair, maka ia berkata seperti apa yang dikatakan oleh Sa‘īd bin al-Musayyib.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ: لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْمَهْدِ، وَإِلَّا مَا أَنْبَتَ اللَّحْمَ وَالدَّمَ

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ia berkata: Aku mendengar Sa‘īd bin al-Musayyib berkata: “Tidak ada radā‘ah kecuali yang terjadi di masa bayi (masih dalam buaian), dan kecuali yang menumbuhkan daging dan darah.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: الرَّضَاعَةُ قَلِيلُهَا، وَكَثِيرُهَا تُحَرِّمُ، وَالرَّضَاعَةُ مِنْ قِبَلِ الرِّجَالِ تُحَرِّمُ قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الرَّضَاعَةُ قَلِيلُهَا وَكَثِيرُهَا، إِذَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ تُحَرِّمُ، فَأَمَّا مَا كَانَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ، فَإِنَّ قَلِيلَهُ وَكَثِيرَهُ لَا يُحَرِّمُ شَيْئًا وَإِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, bahwa ia berkata: “Radā‘ah, baik sedikit maupun banyak, menyebabkan keharaman (mahram). Dan radā‘ah dari pihak laki-laki juga menyebabkan keharaman.” Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Radā‘ah, baik sedikit maupun banyak, jika terjadi dalam dua tahun, maka menyebabkan keharaman. Adapun yang terjadi setelah dua tahun, maka baik sedikit maupun banyak tidak menyebabkan keharaman apa pun, dan itu hanyalah seperti makanan.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الرَّضَاعَةِ بَعْدَ الْكِبَرِ

Bab: Apa yang Diriwayatkan tentang Radā‘ah Setelah Dewasa

12 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَضَاعَةِ الْكَبِيرِ؟ فَقَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَكَانَ تَبَنَّى سَالِمًا، الَّذِي يُقَالُ لَهُ سَالِمٌ، مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، كَمَا تَبَنَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، وَأَنْكَحَ أَبُو حُذَيْفَةَ سَالِمًا، وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ ابْنُهُ أَنْكَحَهُ بِنْتَ أَخِيهِ فَاطِمَةَ بِنْتَ الْوَلِيدِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ، وَهِيَ يَوْمَئِذٍ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ الْأُوَلِ، وَهِيَ مِنْ أَفْضَلِ أَيَامَى قُرَيْشٍ، فَلَمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ فِي زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ مَا أَنْزَلَ فَقَالَ {ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ، فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ، وَمَوَالِيكُمْ} [الأحزاب: 5] رُدَّ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ أُولَئِكَ إِلَى أَبِيهِ، فَإِنْ لَمْ يُعْلَمْ أَبُوهُ رُدَّ إِلَى مَوْلَاهُ، فَجَاءَتْ سَهْلَةُ بِنْتُ سُهَيْلٍ وَهِيَ امْرَأَةُ أَبِي حُذَيْفَةَ، وَهِيَ مِنْ بَنِي عَامِرِ بْنِ لُؤَيٍّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ: كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا وَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيَّ، وَأَنَا فُضُلٌ وَلَيْسَ لَنَا إِلَّا بَيْتٌ وَاحِدٌ، فَمَاذَا تَرَى فِي شَأْنِهِ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْضِعِيهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ، فَيَحْرُمُ بِلَبَنِهَا، وَكَانَتْ تَرَاهُ ابْنًا مِنَ الرَّضَاعَةِ، فَأَخَذَتْ بِذَلِكَ عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ فِيمَنْ كَانَتْ تُحِبُّ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا مِنَ الرِّجَالِ، فَكَانَتْ تَأْمُرُ أُخْتَهَا أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، وَبَنَاتِ أَخِيهَا أَنْ يُرْضِعْنَ مَنْ أَحَبَّتْ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا مِنَ الرِّجَالِ، وَأَبَى سَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ، وَقُلْنَ: لَا وَاللَّهِ مَا نَرَى الَّذِي أَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَهْلَةَ بِنْتَ سُهَيْلٍ إِلَّا رُخْصَةً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَضَاعَةِ سَالِمٍ وَحْدَهُ، لَا وَاللَّهِ لَا يَدْخُلُ عَلَيْنَا بِهَذِهِ الرَّضَاعَةِ أَحَدٌ، فَعَلَى هَذَا كَانَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَضَاعَةِ الْكَبِيرِ

12 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, bahwa ia ditanya tentang radā‘ah orang dewasa. Ia berkata: “Telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bin az-Zubair, bahwa Abū Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabī‘ah, yang merupakan salah satu sahabat Rasulullah ﷺ, dan telah ikut serta dalam Perang Badar, serta telah mengangkat Sālim—yang dikenal dengan Sālim, maula Abū Hudzaifah—sebagai anak angkatnya, sebagaimana Rasulullah ﷺ mengangkat Zaid bin Hārithah sebagai anak angkat. Abū Hudzaifah menikahkan Sālim, karena ia mengira Sālim adalah anaknya, dengan putri saudaranya, Fāthimah binti al-Walīd bin ‘Utbah bin Rabī‘ah, yang pada saat itu termasuk kaum Muhājirīn yang pertama, dan termasuk wanita terbaik dari kalangan Quraisy. Ketika Allah Ta‘ālā menurunkan ayat dalam Kitab-Nya tentang Zaid bin Hārithah, sebagaimana firman-Nya: {Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (nama) bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu dalam agama dan maula-maulamu} [al-Ahzāb: 5], maka setiap orang dari mereka dikembalikan kepada ayahnya. Jika tidak diketahui ayahnya, maka dikembalikan kepada maulanya. Maka datanglah Sahlah binti Suhail, istri Abū Hudzaifah, yang berasal dari Bani ‘Āmir bin Lu’ayy, kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, dahulu kami menganggap Sālim sebagai anak, dan ia biasa masuk menemuiku, sedangkan aku dalam keadaan bebas (tidak berhijab), dan kami hanya memiliki satu rumah. Maka bagaimana pendapatmu tentang hal ini?’ Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: ‘Susuilah dia lima kali susuan, maka ia menjadi mahram dengan susumu.’ Maka Sahlah menganggapnya sebagai anak dari radā‘ah. ‘Āisyah Ummul Mukminin mengambil pendapat ini untuk orang-orang laki-laki yang ia ingin agar mereka boleh masuk menemuinya, sehingga ia memerintahkan saudara perempuannya, Ummu Kultsūm binti Abū Bakr as-Siddīq, dan putri-putri saudaranya untuk menyusui laki-laki yang ia ingin agar mereka boleh masuk menemuinya. Namun istri-istri Nabi ﷺ yang lain menolak agar ada seseorang yang boleh masuk menemui mereka dengan sebab radā‘ah tersebut. Mereka berkata: ‘Tidak, demi Allah, kami tidak melihat apa yang diperintahkan Rasulullah ﷺ kepada Sahlah binti Suhail kecuali sebagai keringanan khusus dari Rasulullah ﷺ untuk radā‘ah Sālim saja. Tidak, demi Allah, tidak ada seorang pun yang boleh masuk menemui kami dengan sebab radā‘ah ini.’ Maka demikianlah sikap istri-istri Nabi ﷺ dalam masalah radā‘ah orang dewasa.”

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَأَنَا مَعَهُ عِنْدَ دَارِ الْقَضَاءِ يَسْأَلُهُ عَنْ رَضَاعَةِ الْكَبِيرِ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: إِنِّي كَانَتْ لِي وَلِيدَةٌ، وَكُنْتُ أَطَؤُهَا فَعَمَدَتِ امْرَأَتِي إِلَيْهَا فَأَرْضَعَتْهَا، فَدَخَلْتُ عَلَيْهَا، فَقَالَتْ: دُونَكَ، فَقَدْ وَاللَّهِ أَرْضَعْتُهَا، فَقَالَ عُمَرُ: أَوْجِعْهَا، وَأْتِ جَارِيَتَكَ فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ رَضَاعَةُ الصَّغِيرِ

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Dīnār, bahwa ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar, dan aku bersamanya di dekat rumah pengadilan, ia bertanya kepadanya tentang penyusuan orang dewasa. Maka ‘Abdullāh bin ‘Umar berkata: Seorang laki-laki datang kepada ‘Umar bin al-Khattāb, lalu berkata: “Aku memiliki seorang budak perempuan, dan aku menggaulinya, kemudian istriku mendatanginya lalu menyusuinya. Lalu aku masuk menemuinya, dan ia berkata: ‘Silakan, demi Allah aku telah menyusuinya.’ Maka ‘Umar berkata: ‘Sakiti dia, dan datangi budak perempuanmu, karena sesungguhnya penyusuan itu hanyalah penyusuan anak kecil.’”

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ فَقَالَ: إِنِّي مَصِصْتُ عَنِ امْرَأَتِي مِنْ ثَدْيِهَا لَبَنًا فَذَهَبَ فِي بَطْنِي، فَقَالَ أَبُو مُوسَى: لَا أُرَاهَا إِلَّا قَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: انْظُرْ مَاذَا تُفْتِي بِهِ الرَّجُلَ؟ فَقَالَ أَبُو مُوسَى: فَمَاذَا تَقُولُ أَنْتَ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ: لَا رَضَاعَةَ إِلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ، فَقَالَ أَبُو مُوسَى: لَا تَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ، مَا كَانَ هَذَا الْحَبْرُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ “

14 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abū Mūsā al-Asy‘arī, ia berkata: “Aku telah mengisap susu dari payudara istriku hingga masuk ke perutku.” Maka Abū Mūsā berkata: “Aku tidak melihat kecuali ia telah menjadi haram bagimu.” Maka ‘Abdullāh bin Mas‘ūd berkata: “Perhatikan apa yang engkau fatwakan kepada laki-laki itu!” Maka Abū Mūsā berkata: “Lalu apa pendapatmu?” Maka ‘Abdullāh bin Mas‘ūd berkata: “Tidak ada penyusuan kecuali yang terjadi dalam dua tahun.” Maka Abū Mūsā berkata: “Jangan kalian tanyakan kepadaku tentang sesuatu selama orang alim ini masih ada di tengah-tengah kalian.”

بَابُ جَامِعِ مَا جَاءَ فِي الرَّضَاعَةِ

Bab Kompilasi Hukum yang Datang Mengenai Penyusuan

15 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، وَعَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ

15 – Dan telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Dīnār, dari Sulaimān bin Yasār, dan dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Ā’isyah Ummul Mukminin, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Diharamkan karena penyusuan apa yang diharamkan karena kelahiran.”

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ نَوْفَلٍ، أَنَّهُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ الْأَسَدِيَّةِ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهَا أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلَا يَضُرُّ أَوْلَادَهُمْ قَالَ مَالِكٌ: وَالْغِيلَةُ أَنْ يَمَسَّ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ وَهِيَ تُرْضِعُ

16 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Muhammad bin ‘Abd ar-Rahmān bin Nawfal, bahwa ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Ā’isyah Ummul Mukminin, dari Judāmah binti Wahb al-Asadiyyah, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh aku hampir melarang al-ghīlah, sampai aku mengingat bahwa bangsa Romawi dan Persia melakukan hal itu dan tidak membahayakan anak-anak mereka.” Mālik berkata: “Al-ghīlah adalah seorang laki-laki menggauli istrinya sementara ia sedang menyusui.”

17 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: وَلَيْسَ عَلَى هَذَا الْعَمَلُ

17 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr bin Hazm, dari ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahmān, dari ‘Ā’isyah istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata: “Termasuk yang diturunkan dari al-Qur’an adalah sepuluh kali penyusuan yang jelas yang mengharamkan, kemudian di-nasakh dengan lima kali penyusuan yang jelas, lalu Rasulullah ﷺ wafat sementara hal itu masih dibaca dalam al-Qur’an.” Yahyā berkata: Mālik berkata: “Tidak diamalkan atas hal ini.”

31 – كِتَابُ الْبُيُوعِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي بَيْعِ الْعُرْبَانِ

Bab Tentang Jual Beli ‘Urbān

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ الثِّقَةِ عِنْدَهُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ فِيمَا نُرَى، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوِ الْوَلِيدَةَ أَوْ يَتَكَارَى الدَّابَّةَ، ثُمَّ يَقُولُ لِلَّذِي اشْتَرَى مِنْهُ أَوْ تَكَارَى مِنْهُ أُعْطِيكَ دِينَارًا، أَوْ دِرْهَمًا، أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَقَلَّ، عَلَى أَنِّي إِنْ أَخَذْتُ السِّلْعَةَ أَوْ رَكِبْتُ مَا تَكَارَيْتُ مِنْكَ، فَالَّذِي أَعْطَيْتُكَ هُوَ مِنْ ثَمَنِ السِّلْعَةِ أَوْ مِنْ كِرَاءِ الدَّابَّةِ، وَإِنْ تَرَكْتُ ابْتِيَاعَ السِّلْعَةِ أَوْ كِرَاءَ الدَّابَّةِ، فَمَا أَعْطَيْتُكَ لَكَ بَاطِلٌ بِغَيْرِ شَيْءٍ

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari seseorang yang ia percayai, dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ melarang jual beli ‘urbān. Mālik berkata: “Menurut yang kami pahami, wallāhu a‘lam, yaitu seseorang membeli budak laki-laki atau budak perempuan, atau menyewa hewan tunggangan, lalu ia berkata kepada orang yang menjual atau menyewakan kepadanya: ‘Aku akan memberimu satu dinar, atau satu dirham, atau lebih atau kurang dari itu, dengan syarat jika aku mengambil barang itu atau menunggangi hewan yang kusewa darimu, maka yang aku berikan itu menjadi bagian dari harga barang atau sewa hewan tersebut. Namun jika aku membatalkan pembelian barang atau sewa hewan itu, maka apa yang aku berikan menjadi milikmu tanpa imbalan apa pun.’”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِأَنْ يَبْتَاعَ الْعَبْدَ التَّاجِرَ الْفَصِيحَ، بِالْأَعْبُدِ مِنَ الْحَبَشَةِ أَوْ مِنْ جِنْسٍ مِنَ الْأَجْنَاسِ، لَيْسُوا مِثْلَهُ فِي الْفَصَاحَةِ، وَلَا فِي التِّجَارَةِ، وَالنَّفَاذِ وَالْمَعْرِفَةِ لَا بَأْسَ بِهَذَا أَنْ تَشْتَرِيَ مِنْهُ الْعَبْدَ بِالْعَبْدَيْنِ، أَوْ بِالْأَعْبُدِ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ، إِذَا اخْتَلَفَ فَبَانَ اخْتِلَافُهُ، فَإِنْ أَشْبَهَ بَعْضُ ذَلِكَ بَعْضًا حَتَّى يَتَقَارَبَ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْهُ اثْنَيْنِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ. وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَجْنَاسُهُمْ

Malik berkata: Menurut praktik di kalangan kami, tidak mengapa membeli seorang budak yang pandai berdagang dan fasih, dengan menukarnya dengan budak-budak dari Habasyah atau dari golongan lain yang tidak sefasih dia, tidak pula seterampil dia dalam berdagang, kecakapan, dan pengetahuan. Tidak mengapa membeli darinya satu budak dengan dua budak, atau dengan beberapa budak sampai waktu tertentu yang telah diketahui, jika memang terdapat perbedaan yang jelas di antara mereka. Namun, jika sebagian dari mereka memiliki kemiripan sehingga hampir setara, maka tidak boleh mengambil dua budak dengan satu budak sampai waktu tertentu. Dan jika jenis mereka berbeda-beda…

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ بِأَنْ تَبِيعَ مَا اشْتَرَيْتَ مِنْ ذَلِكَ، قَبْلَ أَنْ تَسْتَوْفِيَهُ إِذَا انْتَقَدْتَ ثَمَنَهُ، مِنْ غَيْرِ صَاحِبِهِ الَّذِي اشْتَرَيْتَهُ مِنْهُ

Malik berkata: Tidak mengapa menjual apa yang telah engkau beli dari hal itu, sebelum engkau menerimanya sepenuhnya, jika engkau telah membayar harganya, kepada selain orang yang engkau beli darinya.

قَالَ مَالِكٌ: لَا يَنْبَغِي أَنْ يُسْتَثْنَى جَنِينٌ فِي بَطْنِ أُمِّهِ، إِذَا بِيعَتْ لِأَنَّ ذَلِكَ غَرَرٌ لَا يُدْرَى أَذَكَرٌ هُوَ أَمْ أُنْثَى؟ أَحَسَنٌ أَمْ قَبِيحٌ؟ أَوْ نَاقِصٌ أَوْ تَامٌّ؟ أَوْ حَيٌّ أَوْ مَيْتٌ؟ وَذَلِكَ يَضَعُ مِنْ ثَمَنِهَا

Malik berkata: Tidak sepatutnya mengecualikan janin yang masih dalam kandungan ibunya ketika dijual, karena hal itu termasuk gharar (ketidakjelasan/ketidakpastian); tidak diketahui apakah ia laki-laki atau perempuan, bagus atau buruk, cacat atau sempurna, hidup atau mati. Hal itu akan mengurangi nilai harganya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَبْتَاعُ الْعَبْدَ أَوِ الْوَلِيدَةَ بِمِائَةِ دِينَارٍ إِلَى أَجَلٍ، ثُمَّ يَنْدَمُ الْبَائِعُ فَيَسْأَلُ الْمُبْتَاعَ أَنْ يُقِيلَهُ بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ يَدْفَعُهَا إِلَيْهِ نَقْدًا أَوْ إِلَى أَجَلٍ، وَيَمْحُو عَنْهُ الْمِائَةَ دِينَارٍ الَّتِي لَهُ

Malik berkata: Tentang seseorang yang membeli budak laki-laki atau budak perempuan seharga seratus dinar dengan pembayaran tangguh, kemudian penjual menyesal dan meminta kepada pembeli agar membatalkan transaksi dengan imbalan sepuluh dinar yang diberikan kepadanya secara tunai atau juga secara tangguh, dan menghapuskan kewajiban seratus dinar yang menjadi haknya…

قَالَ مَالِكٌ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، وَإِنْ نَدِمَ الْمُبْتَاعُ، فَسَأَلَ الْبَائِعَ أَنْ يُقِيلَهُ فِي الْجَارِيَةِ أَوِ الْعَبْدِ وَيَزِيدَهُ عَشَرَةَ دَنَانِيرَ نَقْدًا، أَوْ إِلَى أَجَلٍ أَبْعَدَ مِنَ الْأَجَلِ الَّذِي اشْتَرَى إِلَيْهِ الْعَبْدَ أَوِ الْوَلِيدَةَ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَنْبَغِي، وَإِنَّمَا كَرِهَ ذَلِكَ لِأَنَّ الْبَائِعَ كَأَنَّهُ بَاعَ مِنْهُ مِائَةَ دِينَارٍ لَهُ إِلَى سَنَةٍ، قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ بِجَارِيَةٍ، وَبِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ نَقْدًا أَوْ إِلَى أَجَلٍ أَبْعَدَ مِنَ السَّنَةٍ، فَدَخَلَ فِي ذَلِكَ بَيْعُ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ إِلَى أَجَلٍ

Malik berkata: Hal itu tidak mengapa. Namun, jika pembeli yang menyesal lalu meminta kepada penjual agar membatalkan transaksi budak perempuan atau budak laki-laki, dan ia menambah sepuluh dinar secara tunai, atau secara tangguh dengan waktu yang lebih lama dari tenggat waktu pembelian budak tersebut, maka hal itu tidak sepatutnya dilakukan. Alasannya, karena penjual seakan-akan telah menjual seratus dinar yang menjadi haknya selama setahun, sebelum jatuh tempo, dengan budak perempuan, dan dengan sepuluh dinar secara tunai atau dengan tenggat waktu yang lebih lama dari setahun. Maka, ini termasuk jual beli emas dengan emas secara tangguh.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَبِيعُ مِنَ الرَّجُلِ الْجَارِيَةَ بِمِائَةِ دِينَارٍ إِلَى أَجَلٍ، ثُمَّ يَشْتَرِيهَا بِأَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ الثَّمَنِ الَّذِي بَاعَهَا بِهِ، إِلَى أَبْعَدَ مِنْ ذَلِكَ الْأَجَلِ الَّذِي بَاعَهَا إِلَيْهِ، إِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، وَتَفْسِيرُ مَا كَرِهَ مِنْ ذَلِكَ، أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ الْجَارِيَةَ إِلَى أَجَلٍ، ثُمَّ يَبْتَاعُهَا إِلَى أَجَلٍ أَبْعَدَ مِنْهُ يَبِيعُهَا بِثَلَاثِينَ دِينَارًا إِلَى شَهْرٍ، ثُمَّ يَبْتَاعُهَا بِسِتِّينَ دِينَارًا إِلَى سَنَةٍ، أَوْ إِلَى نِصْفِ سَنَةٍ، فَصَارَ إِنْ رَجَعَتْ إِلَيْهِ سِلْعَتُهُ بِعَيْنِهَا، وَأَعْطَاهُ صَاحِبُهُ ثَلَاثِينَ دِينَارًا إِلَى شَهْرٍ بِسِتِّينَ دِينَارًا إِلَى سَنَةٍ أَوْ إِلَى نِصْفِ سَنَةٍ فَهَذَا لَا يَنْبَغِي

Malik berkata: Tentang seseorang yang menjual budak perempuan kepada orang lain seharga seratus dinar dengan pembayaran tangguh, kemudian ia membelinya kembali dengan harga lebih tinggi dari harga jualnya, dengan tenggat waktu yang lebih lama dari tenggat waktu sebelumnya, maka hal itu tidak sah. Penjelasan tentang hal yang tidak disukai dari praktik ini adalah: seseorang menjual budak perempuan dengan pembayaran tangguh, lalu membelinya kembali dengan tenggat waktu yang lebih lama; misalnya ia menjualnya dengan tiga puluh dinar untuk sebulan, lalu membelinya kembali dengan enam puluh dinar untuk setahun atau setengah tahun. Maka, jika barangnya kembali kepadanya dalam keadaan yang sama, dan temannya memberikan tiga puluh dinar untuk sebulan dengan enam puluh dinar untuk setahun atau setengah tahun, maka hal ini tidak sepatutnya dilakukan.

بَابُ مَا جَاءَ فِي مَالِ الْمَمْلُوكِ

Bab tentang apa yang disebutkan mengenai harta milik budak.

2 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: مَنْ بَاعَ عَبْدًا، وَلَهُ مَالٌ، فَمَالُهُ لِلْبَائِعِ، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُبْتَاعُ

Diriwayatkan kepadaku oleh Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab berkata: Barang siapa menjual seorang budak, dan budak itu memiliki harta, maka hartanya menjadi milik penjual, kecuali jika pembeli mensyaratkannya.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ الْمُبْتَاعَ إِنِ اشْتَرَطَ مَالَ الْعَبْدِ فَهُوَ لَهُ نَقْدًا كَانَ أَوْ دَيْنًا، أَوْ عَرْضًا يُعْلَمُ أَوْ لَا يُعْلَمُ، وَإِنْ كَانَ لِلْعَبْدِ مِنَ الْمَالِ أَكْثَرُ مِمَّا اشْتَرَى بِهِ، كَانَ ثَمَنُهُ نَقْدًا أَوْ دَيْنًا أَوْ عَرْضًا، وَذَلِكَ أَنَّ مَالَ الْعَبْدِ لَيْسَ عَلَى سَيِّدِهِ فِيهِ زَكَاةٌ، وَإِنْ كَانَتْ لِلْعَبْدِ جَارِيَةٌ اسْتَحَلَّ فَرْجَهَا، بِمِلْكِهِ إِيَّاهَا، وَإِنْ عَتَقَ الْعَبْدُ أَوْ كَاتَبَ تَبِعَهُ مَالُهُ، وَإِنْ أَفْلَسَ أَخَذَ الْغُرَمَاءُ مَالَهُ، وَلَمْ يُتَّبَعْ سَيِّدُهُ بِشَيْءٍ مِنْ دَيْنِهِ

Malik berkata: Kesepakatan yang berlaku di kalangan kami adalah, jika pembeli mensyaratkan harta milik budak, maka harta itu menjadi miliknya, baik berupa tunai, utang, atau barang yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Jika budak memiliki harta lebih banyak dari harga pembeliannya, baik harga itu berupa tunai, utang, atau barang, maka tidak ada zakat atas harta budak yang wajib ditunaikan oleh tuannya. Jika budak memiliki budak perempuan, maka ia halal menggaulinya karena kepemilikannya. Jika budak itu merdeka atau melakukan mukatabah, maka hartanya tetap mengikutinya. Jika budak itu bangkrut, maka para kreditur mengambil hartanya, dan tuannya tidak dituntut untuk membayar utangnya sedikit pun.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْعُهْدَةِ

Bab tentang apa yang disebutkan mengenai tanggungan (jaminan).

3 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، أَنَّ أَبَانَ بْنَ عُثْمَانَ وَهِشَامَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ: كَانَا يَذْكُرَانِ فِي خُطْبَتِهِمَا عُهْدَةَ الرَّقِيقِ فِي الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ، مِنْ حِينِ يُشْتَرَى الْعَبْدُ أَوِ الْوَلِيدَةُ، وَعُهْدَةَ السَّنَةِ

3 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, bahwa Aban bin Utsman dan Hisyam bin Ismail: keduanya biasa menyebutkan dalam khutbah mereka tentang tanggungan (jaminan) budak selama tiga hari, sejak budak laki-laki atau perempuan dibeli, dan juga tanggungan selama setahun.

قَالَ مَالِكٌ: مَا أَصَابَ الْعَبْدُ أَوِ الْوَلِيدَةُ فِي الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ، مِنْ حِينِ يُشْتَرَيَانِ حَتَّى تَنْقَضِيَ الْأَيَّامُ الثَّلَاثَةُ، فَهُوَ مِنَ الْبَائِعِ، وَإِنَّ عُهْدَةَ السَّنَةِ مِنَ الْجُنُونِ، وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ، فَإِذَا مَضَتِ السَّنَةُ فَقَدْ بَرِئَ الْبَائِعُ مِنَ الْعُهْدَةِ كُلِّهَا

Malik berkata: Apa pun yang menimpa budak laki-laki atau perempuan dalam tiga hari, sejak keduanya dibeli hingga berakhirnya tiga hari tersebut, maka itu menjadi tanggungan penjual. Adapun tanggungan selama setahun adalah terkait kegilaan, lepra, dan baras (vitiligo). Jika telah berlalu satu tahun, maka penjual telah bebas dari seluruh tanggungan.

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ بَاعَ عَبْدًا أَوْ وَلِيدَةً مِنْ أَهْلِ الْمِيرَاثِ، أَوْ غَيْرِهِمْ بِالْبَرَاءَةِ، فَقَدْ بَرِئَ مِنْ كُلِّ عَيْبٍ، وَلَا عُهْدَةَ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَلِمَ عَيْبًا فَكَتَمَهُ، فَإِنْ كَانَ عَلِمَ عَيْبًا فَكَتَمَهُ، لَمْ تَنْفَعْهُ الْبَرَاءَةُ، وَكَانَ ذَلِكَ الْبَيْعُ مَرْدُودًا، وَلَا عُهْدَةَ عِنْدَنَا إِلَّا فِي الرَّقِيقِ

Malik berkata: Barang siapa menjual budak laki-laki atau perempuan dari ahli waris atau selain mereka dengan syarat bebas tanggungan (al-barā’ah), maka ia telah bebas dari segala cacat, dan tidak ada tanggungan atasnya kecuali jika ia mengetahui adanya cacat lalu menyembunyikannya. Jika ia mengetahui adanya cacat lalu menyembunyikannya, maka syarat bebas tanggungan itu tidak bermanfaat baginya, dan jual beli tersebut menjadi batal. Menurut kami, tidak ada tanggungan kecuali pada budak.

بَابُ الْعَيْبِ فِي الرَّقِيقِ

Bab Cacat pada Budak

4 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ بَاعَ غُلَامًا لَهُ بِثَمَانِمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَبَاعَهُ بِالْبَرَاءَةِ فَقَالَ الَّذِي ابْتَاعَهُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: بِالْغُلَامِ دَاءٌ لَمْ تُسَمِّهِ لِي، فَاخْتَصَمَا إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَقَالَ الرَّجُلُ: بَاعَنِي عَبْدًا، وَبِهِ دَاءٌ لَمْ يُسَمِّهِ، وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: بِعْتُهُ بِالْبَرَاءَةِ، فَقَضَى عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ، عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنْ يَحْلِفَ لَهُ لَقَدْ بَاعَهُ الْعَبْدَ، وَمَا بِهِ دَاءٌ يَعْلَمُهُ، فَأَبَى عَبْدُ اللَّهِ أَنْ يَحْلِفَ، وَارْتَجَعَ الْعَبْدَ، فَصَحَّ عِنْدَهُ، فَبَاعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بَعْدَ ذَلِكَ بِأَلْفٍ وَخَمْسِمِائَةِ دِرْهَمٍ “

4 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, dari Salim bin Abdullah, bahwa Abdullah bin Umar menjual seorang budaknya seharga delapan ratus dirham, dan ia menjualnya dengan syarat bebas tanggungan (al-barā’ah). Maka orang yang membeli budak itu berkata kepada Abdullah bin Umar: “Pada budak ini ada penyakit yang tidak engkau sebutkan kepadaku.” Lalu mereka berselisih di hadapan Utsman bin Affan. Orang itu berkata: “Ia menjual kepadaku seorang budak, padahal padanya ada penyakit yang tidak ia sebutkan.” Abdullah berkata: “Aku menjualnya dengan syarat bebas tanggungan.” Maka Utsman bin Affan memutuskan agar Abdullah bin Umar bersumpah bahwa ia benar-benar telah menjual budak itu dan tidak mengetahui adanya penyakit pada budak tersebut. Namun Abdullah enggan bersumpah, lalu ia mengambil kembali budaknya. Setelah jelas baginya (bahwa budak itu sehat), maka Abdullah menjualnya kembali setelah itu seharga seribu lima ratus dirham.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ كُلَّ مَنِ ابْتَاعَ وَلِيدَةً فَحَمَلَتْ، أَوْ عَبْدًا فَأَعْتَقَهُ. وَكُلَّ أَمْرٍ دَخَلَهُ الْفَوْتُ حَتَّى لَا يُسْتَطَاعَ رَدُّهُ، فَقَامَتِ الْبَيِّنَةُ، إِنَّهُ قَدْ كَانَ بِهِ عَيْبٌ عِنْدَ الَّذِي بَاعَهُ. أَوْ عُلِمَ ذَلِكَ بِاعْتِرَافٍ مِنَ الْبَائِعِ أَوْ غَيْرِهِ. فَإِنَّ الْعَبْدَ أَوِ الْوَلِيدَةَ يُقَوَّمُ وَبِهِ الْعَيْبُ الَّذِي كَانَ بِهِ يَوْمَ اشْتَرَاهُ. فَيُرَدُّ مِنَ الثَّمَنِ قَدْرُ مَا بَيْنَ قِيمَتِهِ صَحِيحًا وَقِيمَتِهِ وَبِهِ ذَلِكَ الْعَيْبُ

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami adalah bahwa siapa saja yang membeli budak perempuan lalu ia hamil, atau budak laki-laki lalu ia dimerdekakan, atau setiap perkara yang telah terjadi sehingga tidak mungkin dikembalikan, kemudian terbukti dengan bukti yang sah bahwa pada budak itu terdapat cacat ketika dijual, atau diketahui hal itu melalui pengakuan penjual atau selainnya, maka budak laki-laki atau perempuan itu dinilai dengan cacat yang ada padanya pada hari ia dibeli. Maka dari harga jual dikurangi sebesar selisih antara nilai budak dalam keadaan sehat dan nilainya dengan cacat tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي الْعَبْدَ، ثُمَّ يَظْهَرُ مِنْهُ عَلَى عَيْبٍ يَرُدُّهُ مِنْهُ، وَقَدْ حَدَثَ بِهِ عِنْدَ الْمُشْتَرِي عَيْبٌ آخَرُ: إِنَّهُ إِذَا كَانَ الْعَيْبُ الَّذِي حَدَثَ بِهِ مُفْسِدًا، مِثْلُ الْقَطْعِ أَوِ الْعَوَرِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْعُيُوبِ الْمُفْسِدَةِ. فَإِنَّ الَّذِي اشْتَرَى الْعَبْدَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ. إِنْ أَحَبَّ أَنْ يُوضَعَ عَنْهُ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ، بِقَدْرِ الْعَيْبِ الَّذِي كَانَ بِالْعَبْدِ يَوْمَ  اشْتَرَاهُ، وُضِعَ عَنْهُ. وَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَغْرَمَ قَدْرَ مَا أَصَابَ الْعَبْدَ مِنَ الْعَيْبِ عِنْدَهُ، ثُمَّ يَرُدُّ الْعَبْدَ، فَذَلِكَ لَهُ. وَإِنْ مَاتَ الْعَبْدُ عِنْدَ الَّذِي اشْتَرَاهُ، أُقِيمَ الْعَبْدُ وَبِهِ الْعَيْبُ الَّذِي كَانَ بِهِ يَوْمَ اشْتَرَاهُ. فَيُنْظَرُ كَمْ ثَمَنُهُ؟ فَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ يَوْمَ اشْتَرَاهُ بِغَيْرِ عَيْبٍ، مِائَةَ دِينَارٍ. وَقِيمَتُهُ يَوْمَ اشْتَرَاهُ وَبِهِ الْعَيْبُ، ثَمَانُونَ دِينَارًا وُضِعَ عَنِ الْمُشْتَرِي مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ. وَإِنَّمَا تَكُونُ الْقِيمَةُ يَوْمَ اشْتُرِيَ الْعَبْدُ “

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami mengenai seseorang yang membeli budak, kemudian ia menemukan cacat pada budak tersebut yang membolehkannya mengembalikan budak itu, namun setelah itu muncul cacat lain pada budak tersebut di tangan pembeli: jika cacat yang muncul itu merusak, seperti terpotong anggota tubuh, buta sebelah, atau cacat-cacat lain yang merusak sejenis itu, maka pembeli budak berhak memilih yang terbaik baginya. Jika ia ingin, ia dapat meminta pengurangan harga budak sebesar cacat yang ada pada budak itu saat dibeli, maka dikurangi darinya. Jika ia ingin, ia dapat menanggung kerugian akibat cacat yang terjadi di tangannya, lalu mengembalikan budak tersebut, maka itu haknya. Jika budak itu meninggal di tangan pembeli, maka budak itu dinilai dengan cacat yang ada padanya pada hari ia dibeli. Lalu dilihat berapa nilainya? Jika nilai budak pada hari dibeli tanpa cacat adalah seratus dinar, dan nilainya pada hari dibeli dengan cacat adalah delapan puluh dinar, maka dikurangi dari pembeli sebesar selisih antara kedua nilai tersebut. Penilaian itu dilakukan pada hari budak tersebut dibeli.

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ مَنْ رَدَّ وَلِيدَةً مِنْ عَيْبٍ وَجَدَهُ بِهَا، وَكَانَ قَدْ أَصَابَهَا: أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَ مِنْ ثَمَنِهَا، وَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَلَيْسَ عَلَيْهِ فِي إِصَابَتِهِ إِيَّاهَا شَيْءٌ، لِأَنَّهُ كَانَ ضَامِنًا لَهَا “

Malik berkata: “Kesepakatan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa siapa saja yang mengembalikan budak perempuan (walidah) karena cacat yang ditemukannya pada budak itu, dan ia telah menggaulinya: jika budak itu masih perawan, maka ia wajib mengganti apa yang berkurang dari harganya; namun jika budak itu sudah tidak perawan, maka tidak ada kewajiban apapun atasnya karena telah menggaulinya, sebab ia adalah penjamin atas budak tersebut.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، فِيمَنْ بَاعَ عَبْدًا أَوْ وَلِيدَةً أَوْ حَيَوَانًا بِالْبَرَاءَةِ، مِنْ أَهْلِ الْمِيرَاثِ أَوْ غَيْرِهِمْ. فَقَدْ بَرِئَ مِنْ كُلِّ عَيْبٍ فِيمَا بَاعَ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَلِمَ فِي ذَلِكَ عَيْبًا فَكَتَمَهُ. فَإِنْ كَانَ عَلِمَ عَيْبًا فَكَتَمَهُ. لَمْ تَنْفَعْهُ تَبْرِئَتُهُ. وَكَانَ مَا بَاعَ مَرْدُودًا عَلَيْهِ

Malik berkata: Kesepakatan yang berlaku di kalangan kami, mengenai seseorang yang menjual budak laki-laki, budak perempuan, atau hewan dengan syarat bebas dari cacat, baik kepada ahli waris maupun selain mereka, maka ia telah bebas dari segala cacat pada barang yang dijualnya, kecuali jika ia mengetahui adanya cacat lalu menyembunyikannya. Jika ia mengetahui adanya cacat lalu menyembunyikannya, maka pernyataan bebas dari cacat itu tidak bermanfaat baginya, dan barang yang dijual itu dikembalikan kepadanya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْجَارِيَةِ تُبَاعُ بِالْجَارِيتَيْنِ، ثُمَّ يُوجَدُ بِإِحْدَى الْجَارِيَتَيْنِ عَيْبٌ تُرَدُّ مِنْهُ. قَالَ: تُقَامُ الْجَارِيَةُ الَّتِي كَانَتْ قِيمَةَ الْجَارِيَتَيْنِ فَيُنْظَرُ كَمْ ثَمَنُهَا؟ ثُمَّ تُقَامُ الْجَارِيتَانِ بِغَيْرِ الْعَيْبِ الَّذِي وُجِدَ بِإِحْدَاهُمَا، تُقَامَانِ صَحِيحَتَيْنِ سَالِمَتَيْنِ. ثُمَّ يُقْسَمُ ثَمَنُ الْجَارِيَةِ الَّتِي بِيعَتْ بِالْجَارِيتَيْنِ عَلَيْهِمَا، بِقَدْرِ ثَمَنِهِمَا. حَتَّى يَقَعَ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا حِصَّتُهَا مِنْ ذَلِكَ. عَلَى الْمُرْتَفِعَةِ بِقَدْرِ ارْتِفَاعِهَا. وَعَلَى الْأُخْرَى بِقَدْرِهَا. ثُمَّ يُنْظَرُ إِلَى الَّتِي بِهَا الْعَيْبُ فَيُرَدُّ بِقَدْرِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا مِنْ تِلْكَ الْحِصَّةِ. إِنْ كَانَتْ كَثِيرَةً أَوْ قَلِيلَةً. وَإِنَّمَا تَكُونُ قِيمَةُ الْجَارِيَتَيْنِ عَلَيْهِ يَوْمَ قَبْضِهِمَا

Malik berkata: Tentang budak perempuan yang dijual dengan dua budak perempuan, kemudian ditemukan cacat pada salah satu dari dua budak perempuan itu sehingga harus dikembalikan, ia berkata: Budak perempuan yang nilainya setara dengan dua budak perempuan itu dinilai, lalu dilihat berapa harganya. Kemudian dua budak perempuan yang tidak ada cacat pada salah satunya dinilai dalam keadaan sehat dan selamat. Lalu harga budak perempuan yang dijual dengan dua budak perempuan itu dibagi kepada keduanya, sesuai dengan harga masing-masing. Sehingga masing-masing mendapat bagian dari harga itu sesuai dengan nilainya; yang nilainya lebih tinggi mendapat bagian lebih besar, dan yang lainnya sesuai dengan nilainya. Kemudian dilihat pada budak perempuan yang ada cacatnya, lalu dikembalikan sesuai dengan bagian yang jatuh padanya dari bagian tersebut, baik banyak maupun sedikit. Penilaian harga dua budak perempuan itu berlaku pada hari keduanya diterima.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي الْعَبْدَ فَيُؤَاجِرُهُ بِالْإِجَارَةِ الْعَظِيمَةِ، أَوِ الْغَلَّةِ الْقَلِيلَةِ. ثُمَّ يَجِدُ بِهِ عَيْبًا يُرَدُّ مِنْهُ: إِنَّهُ يَرُدُّهُ بِذَلِكَ الْعَيْبِ. وَتَكُونُ لَهُ إِجَارَتُهُ وَغَلَّتُهُ. وَهَذَا الْأَمْرُ الَّذِي كَانَتْ عَلَيْهِ الْجَمَاعَةُ بِبَلَدِنَا. وَذَلِكَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ عَبْدًا، فَبَنَى لَهُ دَارًا قِيمَةُ بِنَائِهَا ثَمَنُ الْعَبْدِ أَضْعَافًا. ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا يُرَدُّ مِنْهُ، رَدَّهُ. وَلَا يُحْسَبُ لِلْعَبْدِ عَلَيْهِ إِجَارَةٌ فِيمَا عَمِلَ لَهُ. فَكَذَلِكَ تَكُونُ لَهُ إِجَارَتُهُ، إِذَا آجَرَهُ مِنْ غَيْرِهِ. لِأَنَّهُ ضَامِنٌ لَهُ. وَهَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا

Malik berkata: Tentang seseorang yang membeli budak lalu menyewakannya dengan sewa yang besar atau hasil yang sedikit, kemudian ia menemukan cacat pada budak itu yang menyebabkan budak itu harus dikembalikan: maka ia boleh mengembalikannya karena cacat itu, dan hasil sewa serta penghasilan budak itu menjadi miliknya. Inilah praktik yang berlaku di kalangan masyarakat di negeri kami. Misalnya, jika seseorang membeli budak lalu membangunkan rumah untuknya dengan biaya pembangunan yang nilainya berkali-kali lipat dari harga budak itu, kemudian ia menemukan cacat pada budak itu yang menyebabkan budak itu harus dikembalikan, maka ia mengembalikannya. Tidak dihitungkan kepada budak itu sewa atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Demikian pula, hasil sewa menjadi miliknya jika ia menyewakannya kepada orang lain, karena ia adalah penjamin atas budak itu. Inilah ketentuan yang berlaku di kalangan kami.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا، فِيمَنِ ابْتَاعَ رَقِيقًا فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ. فَوَجَدَ فِي ذَلِكَ الرَّقِيقِ عَبْدًا مَسْرُوقًا. أَوْ وَجَدَ بِعَبْدٍ مِنْهُمْ عَيْبًا. إِنَّهُ يُنْظَرُ فِيمَا وُجِدَ مَسْرُوقًا. أَوْ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا فَإِنْ كَانَ هُوَ وَجْهَ ذَلِكَ الرَّقِيقِ. أَوْ أَكْثَرَهُ ثَمَنًا. أَوْ مِنْ أَجْلِهِ اشْتَرَى وَهُوَ الَّذِي فِيهِ الْفَضْلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ. كَانَ ذَلِكَ الْبَيْعُ مَرْدُودًا كُلُّهُ. وَإِنْ كَانَ الَّذِي وُجِدَ مَسْرُوقًا. أَوْ وُجِدَ بِهِ الْعَيْبُ مِنْ ذَلِكَ الرَّقِيقِ فِي الشَّيْءِ الْيَسِيرِ مِنْهُ. لَيْسَ هُوَ وَجْهَ ذَلِكَ الرَّقِيقِ. وَلَا مِنْ أَجْلِهِ اشْتُرِيَ. وَلَا فِيهِ الْفَضْلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ. رُدَّ ذَلِكَ الَّذِي وُجِدَ بِهِ الْعَيْبُ. أَوْ وُجِدَ مَسْرُوقًا بِعَيْنِهِ، بِقَدْرِ قِيمَتِهِ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي اشْتَرَى بِهِ أُولَئِكَ الرَّقِيقَ

Malik berkata: Ketentuan di kalangan kami, mengenai seseorang yang membeli beberapa budak dalam satu transaksi, lalu ia menemukan salah satu budak itu adalah budak curian, atau menemukan cacat pada salah satu budak itu, maka dilihat: jika budak yang ditemukan sebagai budak curian atau yang cacat itu adalah inti dari kelompok budak tersebut, atau yang paling mahal harganya, atau memang karena budak itulah ia membeli, dan budak itu yang memiliki keutamaan menurut pandangan orang-orang, maka seluruh transaksi jual beli itu batal. Namun jika budak yang ditemukan sebagai budak curian atau cacat itu hanyalah bagian kecil dari kelompok budak tersebut, bukan inti dari kelompok itu, bukan pula karena budak itu ia membeli, dan tidak ada keutamaan pada budak itu menurut pandangan orang-orang, maka hanya budak yang cacat atau budak curian itu saja yang dikembalikan, sesuai dengan nilai harganya dari harga yang digunakan untuk membeli seluruh budak tersebut.

بَابُ مَا يُفْعَلُ فِي الْوَلِيدَةِ إِذَا بِيعَتْ وَالشَّرْطُ فِيهَا

Bab tentang apa yang dilakukan terhadap budak perempuan (walidah) jika dijual dan ada syarat padanya.

5 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعَودٍ ابْتَاعَ جَارِيَةً مِنِ امْرَأَتِهِ زَيْنَبَ الثَّقَفِيَّةِ، وَاشْتَرَطَتْ عَلَيْهِ أَنَّكَ إِنْ بِعْتَهَا فَهِيَ لِي بِالثَّمَنِ الَّذِي تَبِيعُهَا بِهِ. فَسَأَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ عَنْ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: لَا تَقْرَبْهَا وَفِيهَا شَرْطٌ لِأَحَدٍ

5 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, bahwa ‘Ubaidullāh bin ‘Abdullāh bin ‘Utbah bin Mas‘ūd memberitahunya bahwa ‘Abdullāh bin Mas‘ūd membeli seorang jariyah dari istrinya, Zainab ats-Tsaqafiyyah, dan istrinya itu mensyaratkan kepadanya: “Jika engkau menjualnya, maka ia kembali kepadaku dengan harga yang engkau jual.” Maka ‘Abdullāh bin Mas‘ūd menanyakan hal itu kepada ‘Umar bin al-Khaththāb, lalu ‘Umar bin al-Khaththāb berkata: “Jangan engkau dekati dia (jariyah itu) selama masih ada syarat untuk seseorang atasnya.”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: لَا يَطَأُ الرَّجُلُ وَلِيدَةً، إِلَّا وَلِيدَةً إِنْ شَاءَ بَاعَهَا، وَإِنْ شَاءَ وَهَبَهَا، وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا، وَإِنْ شَاءَ صَنَعَ بِهَا مَا شَاءَ

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ia biasa berkata: “Seorang laki-laki tidak boleh menggauli seorang walīdah kecuali walīdah yang jika ia mau, ia bisa menjualnya, jika ia mau, ia bisa memberikannya, jika ia mau, ia bisa menahannya, dan jika ia mau, ia bisa melakukan apa saja terhadapnya.”

قَالَ مَالِكٌ: فِيمَنِ اشْتَرَى جَارِيَةً عَلَى شَرْطِ أَنْ لَا يَبِيعَهَا وَلَا يَهَبَهَا أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الشُّرُوطِ، فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَطَأَهَا، وَذَلِكَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَبِيعَهَا، وَلَا أَنْ يَهَبَهَا، فَإِذَا كَانَ لَا يَمْلِكُ ذَلِكَ مِنْهَا، فَلَمْ يَمْلِكْهَا مِلْكًا تَامًّا لِأَنَّهُ قَدِ اسْتُثْنِيَ عَلَيْهِ فِيهَا مَا مَلَكَهُ بِيَدِ غَيْرِهِ، فَإِذَا دَخَلَ هَذَا الشَّرْطُ، لَمْ يَصْلُحْ. وَكَانَ بَيْعًا مَكْرُوهًا “

Mālik berkata: Mengenai orang yang membeli seorang jariyah dengan syarat tidak boleh menjualnya dan tidak boleh memberikannya, atau syarat-syarat lain yang serupa, maka tidak sepantasnya bagi pembeli untuk menggaulinya. Hal itu karena ia tidak boleh menjualnya dan tidak boleh memberikannya. Jika ia tidak memiliki hak itu atasnya, maka ia tidak memilikinya secara penuh, karena telah dikecualikan darinya sesuatu yang ia miliki, namun berada di tangan orang lain. Jika syarat seperti ini masuk, maka tidak sah. Dan itu adalah jual beli yang makruh.

بَابُ النَّهْيِ عَنْ أَنْ يَطَأَ الرَّجُلُ وَلِيدَةً وَلَهَا زَوْجٌ

Bab Larangan Menggauli Walīdah yang Masih Memiliki Suami

7 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرٍ أَهْدَى لِعُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ جَارِيَةً، وَلَهَا زَوْجٌ. ابْتَاعَهَا بِالْبَصْرَةِ، فَقَالَ عُثْمَانُ: لَا أَقْرَبُهَا حَتَّى يُفَارِقَهَا زَوْجُهَا، فَأَرْضَى ابْنُ عَامِرٍ زَوْجَهَا فَفَارَقَهَا

7 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Āmir menghadiahkan seorang jariyah kepada ‘Utsmān bin ‘Affān, sementara jariyah itu masih memiliki suami. Ia membelinya di Bashrah. Maka ‘Utsmān berkata: “Aku tidak akan mendekatinya sampai suaminya berpisah dengannya.” Maka Ibnu ‘Āmir pun membuat suaminya rela hingga akhirnya mereka berpisah.

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ: ابْتَاعَ وَلِيدَةً فَوَجَدَهَا ذَاتَ زَوْجٍ فَرَدَّهَا

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari Abū Salamah bin ‘Abdirrahmān bin ‘Auf, bahwa ‘Abdurrahmān bin ‘Auf membeli seorang walīdah, lalu ia mendapati bahwa walīdah itu masih bersuami, maka ia pun mengembalikannya.

بَابُ مَا جَاءَ فِي ثَمَرِ الْمَالِ يُبَاعُ أَصْلُهُ

Bab Tentang Buah dari Harta yang Dijual Pokoknya

9 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ، فَثَمَرُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ

9 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa menjual pohon kurma yang telah dibuahi, maka buahnya milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkan.”

بَابُ النَّهْيِ عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا

Bab Larangan Menjual Buah-buahan Sebelum Jelas Kemasakannya

10 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا، نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ

10 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sebelum jelas kemasakannya. Beliau melarang penjual dan pembeli (dari transaksi tersebut).

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهِيَ، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا تُزْهِيَ؟ فَقَالَ: حِينَ تَحْمَرُّ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ؟

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ḥumayd ath-Thawīl, dari Anas bin Mālik bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sebelum tampak matang. Lalu ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullāh, apa maksudnya tampak matang?” Beliau bersabda: “Ketika buah itu memerah.” Dan Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bagaimana menurutmu jika Allah menahan buah itu (tidak jadi matang), dengan apa salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya?”

12 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَارِثَةَ، عَنْ أُمِّهِ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تَنْجُوَ مِنَ الْعَاهَةِ قَالَ مَالِكٌ: وَبَيْعُ الثِّمَارِ قَبْلَ أَنْ يَبْدُوَ صَلَاحُهَا مِنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

12 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū ar-Rijāl Muḥammad bin ‘Abdirrahmān bin Ḥārithah, dari ibunya ‘Amrah binti ‘Abdirrahmān, bahwa Rasulullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang menjual buah-buahan sebelum selamat dari penyakit. Mālik berkata: Menjual buah-buahan sebelum jelas kemasakannya termasuk jual beli gharar.

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ خَارِجَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُ كَانَ لَا يَبِيعُ ثِمَارَهُ حَتَّى تَطْلُعَ الثُّرَيَّا

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari Khārijah bin Zaid bin Tsābit, dari Zaid bin Tsābit bahwa ia tidak menjual buah-buahannya sebelum muncul bintang Tsurayya.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي بَيْعِ الْبِطِّيخِ، وَالْقِثَّاءِ، وَالْخِرْبِزِ، وَالْجَزَرِ، إِنَّ بَيْعَهُ إِذَا بَدَا صَلَاحُهُ حَلَالٌ جَائِزٌ، ثُمَّ يَكُونُ لِلْمُشْتَرِي مَا يَنْبُتُ حَتَّى يَنْقَطِعَ ثَمَرُهُ، وَيَهْلِكَ وَلَيْسَ فِي ذَلِكَ وَقْتٌ يُؤَقَّتُ، وَذَلِكَ أَنَّ وَقْتَهُ مَعْرُوفٌ عِنْدَ النَّاسِ، وَرُبَّمَا دَخَلَتْهُ الْعَاهَةُ، فَقَطَعَتْ ثَمَرَتَهُ، قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ ذَلِكَ الْوَقْتُ، فَإِذَا دَخَلَتْهُ الْعَاهَةُ بِجَائِحَةٍ تَبْلُغُ الثُّلُثَ فَصَاعِدًا كَانَ ذَلِكَ مَوْضُوعًا عَنِ الَّذِي ابْتَاعَهُ “

Malik berkata: “Adapun praktik yang berlaku di tengah kami dalam jual beli semangka, mentimun, melon, dan wortel adalah bahwa jual belinya, apabila telah tampak tanda kematangannya, hukumnya halal dan sah. Kemudian, pembeli berhak atas apa yang tumbuh hingga buahnya habis dan rusak, dan tidak ada waktu tertentu yang ditetapkan untuk itu, karena waktunya sudah dikenal oleh masyarakat. Terkadang juga tanaman itu terkena musibah sehingga buahnya habis sebelum waktu tersebut tiba. Jika tanaman itu terkena musibah dengan kerusakan yang mencapai sepertiga atau lebih, maka kerugian itu menjadi tanggungan penjual, bukan pembeli.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي بَيْعِ الْعَرِيَّةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai jual beli ‘ariyyah

14 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْخَصَ لِصَاحِبِ الْعَرِيَّةِ، أَنْ يَبِيعَهَا بِخَرْصِهَا

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, dari Zaid bin Tsabit, bahwa Rasulullah ﷺ memberikan keringanan kepada pemilik ‘ariyyah untuk menjualnya berdasarkan taksiran (kira-kira hasilnya).

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ مَوْلَى ابْنِ أَبِي أَحْمَدَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْخَصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا بِخَرْصِهَا، فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ أَوْ فِي خَمْسَةِ أَوْسُقٍ يَشُكُّ دَاوُدُ قَالَ: خَمْسَةِ أَوْسُقٍ، أَوْ دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Dawud bin al-Hushain, dari Abu Sufyan maula Ibnu Abi Ahmad, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ memberikan keringanan dalam jual beli ‘ariyyah berdasarkan taksiran hasilnya, pada jumlah kurang dari lima wasaq atau lima wasaq—Dawud ragu, ia berkata: “Lima wasaq, atau kurang dari lima wasaq.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا تُبَاعُ الْعَرَايَا بِخَرْصِهَا مِنَ التَّمْرِ، يُتَحَرَّى ذَلِكَ، وَيُخْرَصُ فِي رُءُوسِ النَّخْلِ، وَإِنَّمَا أُرْخِصَ فِيهِ لِأَنَّهُ أُنْزِلَ بِمَنْزِلَةِ التَّوْلِيَةِ وَالْإِقَالَةِ، وَالشِّرْكِ، وَلَوْ كَانَ بِمَنْزِلَةِ غَيْرِهِ مِنَ الْبُيُوعِ مَا أَشْرَكَ أَحَدٌ أَحَدًا فِي طَعَامِهِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ، وَلَا أَقَالَهُ مِنْهُ، وَلَا وَلَّاهُ أَحَدًا حَتَّى يَقْبِضَهُ الْمُبْتَاعُ

Malik berkata: “Adapun jual beli ‘ariyyah itu dilakukan dengan taksiran dari buah kurma, diperkirakan dan ditaksir di atas pohon kurma. Keringanan ini diberikan karena dipersamakan dengan akad tawliyah, iqālah, dan syirkah. Seandainya ia dipersamakan dengan akad jual beli lainnya, niscaya tidak ada seorang pun yang mau berbagi makanan dengan orang lain sampai ia mengambilnya seluruhnya, tidak pula membatalkan akadnya, dan tidak pula menyerahkan kepada orang lain sampai pembeli benar-benar menerima barangnya.”

بَابُ الْجَائِحَةِ فِي بَيْعِ الثِّمَارِ وَالزَّرْعِ

Bab tentang musibah (al-jā’ihah) dalam jual beli buah-buahan dan tanaman

15 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أُمِّهِ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَهَا تَقُولُ: ابْتَاعَ رَجُلٌ ثَمَرَ حَائِطٍ، فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَالَجَهُ، وَقَامَ فِيهِ حَتَّى تَبَيَّنَ لَهُ النُّقْصَانُ، فَسَأَلَ رَبَّ الْحَائِطِ أَنْ يَضَعَ لَهُ، أَوْ أَنْ يُقِيلَهُ، فَحَلَفَ أَنْ لَا يَفْعَلَ، فَذَهَبَتْ أُمُّ الْمُشْتَرِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” تَأَلَّى أَنْ لَا يَفْعَلَ خَيْرًا، فَسَمِعَ بِذَلِكَ رَبُّ الْحَائِطِ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هُوَ لَهُ “

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abu al-Rijal Muhammad bin Abdurrahman, dari ibunya, ‘Amrah binti Abdurrahman, bahwa ia mendengarnya berkata: “Seorang laki-laki membeli buah-buahan dari sebuah kebun pada masa Rasulullah ﷺ, lalu ia mengurus dan mengelolanya hingga tampak kekurangan hasilnya. Ia pun meminta kepada pemilik kebun agar diberi keringanan atau agar akadnya dibatalkan, namun pemilik kebun bersumpah tidak akan melakukannya. Maka ibu si pembeli itu pergi kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ia telah bersumpah untuk tidak berbuat kebaikan.’ Ketika pemilik kebun mendengar hal itu, ia pun datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, kebun itu untuknya (si pembeli).’”

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَضَى بِوَضْعِ الْجَائِحَةِ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Umar bin Abdul Aziz memutuskan agar kerugian akibat musibah (al-jā’ihah) menjadi tanggungan penjual.

قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا قَالَ مَالِكٌ: ” وَالْجَائِحَةُ الَّتِي تُوضَعُ عَنِ الْمُشْتَرِي: الثُّلُثُ فَصَاعِدًا، وَلَا يَكُونُ مَا دُونَ ذَلِكَ جَائِحَةً “

Malik berkata: “Demikianlah praktik yang berlaku di tengah kami.” Malik berkata: “Musibah (al-jā’ihah) yang menjadi tanggungan penjual adalah kerusakan yang mencapai sepertiga atau lebih, sedangkan yang kurang dari itu tidak dianggap sebagai musibah (al-jā’ihah).”

بَابُ مَا يَجُوزُ فِي اسْتِثْنَاءِ الثَّمَرِ

Bab tentang apa yang boleh dalam pengecualian buah-buahan (dalam jual beli)

17 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ كَانَ يَبِيعُ ثَمَرَ حَائِطِهِ وَيَسْتَثْنِي مِنْهُ

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abdurrahman, bahwa al-Qasim bin Muhammad biasa menjual buah-buahan kebunnya dan mengecualikan sebagian darinya.

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّ جَدَّهُ مُحَمَّدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ ” بَاعَ ثَمَرَ حَائِطٍ لَهُ، يُقَالُ لَهُ: الْأَفْرَقُ، بِأَرْبَعَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ، وَاسْتَثْنَى مِنْهُ بِثَمَانِمِائَةِ دِرْهَمٍ تَمْرًا “

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakr, bahwa kakeknya, Muhammad bin Amr bin Hazm, pernah menjual buah-buahan dari kebunnya yang bernama al-Afrak seharga empat ribu dirham, dan ia mengecualikan darinya buah kurma senilai delapan ratus dirham.

19 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَارِثَةَ، أَنَّ أُمَّهُ عَمْرَةَ بِنْتَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ كَانَتْ تَبِيعُ ثِمَارَهَا وَتَسْتَثْنِي مِنْهَا

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abu al-Rijal Muhammad bin Abdurrahman bin Haritsah, bahwa ibunya, ‘Amrah binti Abdurrahman, biasa menjual buah-buahan miliknya dan mengecualikan sebagian darinya.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا بَاعَ ثَمَرَ حَائِطِهِ، أَنَّ لَهُ أَنْ يَسْتَثْنِيَ مِنْ ثَمَرِ حَائِطِهِ مَا بَيْنَهُ، وَبَيْنَ ثُلُثِ الثَّمَرِ، لَا يُجَاوِزُ ذَلِكَ. وَمَا كَانَ دُونَ الثُّلُثِ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami adalah bahwa apabila seseorang menjual buah kebunnya, maka ia boleh mengecualikan sebagian buah dari kebunnya, antara dirinya dan sepertiga buah, tidak boleh melebihi itu. Dan jika kurang dari sepertiga, maka tidak mengapa.

قَالَ مَالِكٌ: فَأَمَّا الرَّجُلُ يَبِيعُ ثَمَرَ حَائِطِهِ، وَيَسْتَثْنِي مِنْ ثَمَرِ حَائِطِهِ ثَمَرَ نَخْلَةٍ أَوْ نَخَلَاتٍ يَخْتَارُهَا، وَيُسَمِّي عَدَدَهَا، فَلَا أَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا، لِأَنَّ رَبَّ الْحَائِطِ إِنَّمَا اسْتَثْنَى شَيْئًا مِنْ ثَمَرِ حَائِطِ نَفْسِهِ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ شَيْءٌ احْتَبَسَهُ مِنْ حَائِطِهِ، وَأَمْسَكَهُ لَمْ يَبِعْهُ، وَبَاعَ مِنْ حَائِطِهِ مَا سِوَى ذَلِكَ

Malik berkata: Adapun seseorang yang menjual buah kebunnya, lalu ia mengecualikan dari buah kebunnya buah dari satu atau beberapa pohon kurma yang ia pilih dan ia sebutkan jumlahnya, maka aku tidak melihat adanya masalah dalam hal itu. Karena pemilik kebun hanya mengecualikan sesuatu dari buah kebunnya sendiri, dan itu hanyalah sesuatu yang ia tahan dari kebunnya, dan ia simpan serta tidak ia jual, dan ia menjual dari kebunnya selain dari itu.

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنْ بَيْعِ التَّمْرِ

Bab tentang hal-hal yang dimakruhkan dari jual beli kurma.

20 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: التَّمْرُ بِالتَّمْرِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ عَامِلَكَ عَلَى خَيْبَرَ يَأْخُذُ الصَّاعَ بِالصَّاعَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ادْعُوهُ لِي، فَدُعِيَ لَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَتَأْخُذُ الصَّاعَ بِالصَّاعَيْنِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا يَبِيعُونَنِي الْجَنِيبَ بِالْجَمْعِ صَاعًا بِصَاعٍ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا

20 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Kurma dengan kurma harus sama (takarannya)”. Lalu dikatakan kepada beliau: “Sesungguhnya pegawaimu di Khaibar mengambil satu sha’ dengan dua sha’.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Panggilkan dia untukku.” Lalu dipanggilkanlah ia kepada beliau. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah engkau mengambil satu sha’ dengan dua sha’?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, mereka tidak mau menjualkan kepadaku kurma janib dengan kurma campuran satu sha’ dengan satu sha’.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Juallah kurma campuran itu dengan dirham, lalu belilah dengan dirham itu kurma janib.”

21 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَجِيدِ بْنِ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ، فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا؟ فَقَالَ: لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا لَنَأْخُذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَفْعَلْ بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا

21 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari ‘Abdul Majid bin Suhail bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, dari Sa’id bin al-Musayyib, dari Abu Sa’id al-Khudri, dan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ mengangkat seorang laki-laki sebagai amil di Khaibar. Lalu orang itu datang kepada beliau dengan membawa kurma janib. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Sesungguhnya kami mengambil satu sha’ dari jenis ini dengan dua sha’, dan dua sha’ dengan tiga sha’.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan lakukan itu. Juallah kurma campuran itu dengan dirham, lalu belilah dengan dirham itu kurma janib.”

22 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ، أَنَّ زَيْدًا أَبَا عَيَّاشٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَأَلَ سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ عَنِ الْبَيْضَاءِ بِالسُّلْتِ؟ فَقَالَ لَهُ سَعْدٌ: أَيَّتُهُمَا أَفْضَلُ؟ قَالَ الْبَيْضَاءُ، فَنَهَاهُ عَنْ ذَلِكَ، وَقَالَ سَعْدٌ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ عَنِ اشْتِرَاءِ التَّمْرِ بِالرُّطَبِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ؟ فَقَالُوا: نَعَمْ، فَنَهَى عَنْ ذَلِكَ

22 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari ‘Abdullah bin Yazid, bahwa Zaid Abu ‘Ayyasy memberitahunya bahwa ia bertanya kepada Sa’d bin Abi Waqqash tentang (menjual) al-bayda’ dengan as-sult. Maka Sa’d berkata kepadanya: “Manakah di antara keduanya yang lebih baik?” Ia menjawab: “Al-bayda’.” Maka Sa’d melarangnya dari hal itu. Dan Sa’d berkata: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ ditanya tentang membeli kurma kering dengan kurma basah?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah kurma basah itu akan berkurang jika telah kering?” Mereka menjawab: “Ya.” Maka beliau melarang hal itu.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai al-muzābanah dan al-muhāqalah.

23 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ: بَيْعُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ كَيْلًا، وَبَيْعُ الْكَرْمِ بِالزَّبِيبِ كَيْلًا

23 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ melarang al-muzābanah. Dan al-muzābanah adalah menjual buah (kurma) dengan kurma kering secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaran.

24 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ مَوْلَى ابْنِ أَبِي أَحْمَدَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَالْمُحَاقَلَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ: اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ فِي رُءُوسِ النَّخْلِ، وَالْمُحَاقَلَةُ: كِرَاءُ الْأَرْضِ بِالْحِنْطَةِ

24 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Dawud bin al-Hushain, dari Abu Sufyan maula Ibnu Abi Ahmad, dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ melarang al-muzābanah dan al-muhāqalah. Dan al-muzābanah adalah membeli buah dengan kurma kering yang masih di atas pohon, dan al-muhāqalah adalah menyewakan tanah dengan gandum.

25 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُزَابَنَةِ وَالْمُحَاقَلَةِ، وَالْمُزَابَنَةُ اشْتِرَاءُ الثَّمَرِ بِالتَّمْرِ، وَالْمُحَاقَلَةُ اشْتِرَاءُ الزَّرْعِ بِالْحِنْطَةِ، وَاسْتِكْرَاءُ الْأَرْضِ بِالْحِنْطَةِ “

25 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, bahwa Rasulullah ﷺ melarang praktik muzābanah dan muḥāqalah. Muzābanah adalah membeli buah dengan kurma, sedangkan muḥāqalah adalah membeli tanaman dengan gandum, serta menyewa tanah dengan gandum.

قَالَ ابْنُ شِهَابٍ، فَسَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ عَنِ ” اسْتِكْرَاءِ الْأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ

Ibnu Syihāb berkata, “Lalu aku bertanya kepada Sa‘īd bin al-Musayyib tentang menyewa tanah dengan emas dan perak, maka ia menjawab: Tidak mengapa dengan hal itu.”

قَالَ مَالِكٌ: ” نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمُزَابَنَةِ، وَتَفْسِيرُ الْمُزَابَنَةِ أَنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنَ الْجِزَافِ الَّذِي لَا يُعْلَمُ كَيْلُهُ، وَلَا وَزْنُهُ، وَلَا عَدَدُهُ، ابْتِيعَ بِشَيْءٍ مُسَمًّى مِنَ الْكَيْلِ أَوِ الْوَزْنِ أَوِ الْعَدَدِ، وَذَلِكَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: يَكُونُ لَهُ الطَّعَامُ الْمُصَبَّرُ الَّذِي لَا يُعْلَمُ كَيْلُهُ مِنَ الْحِنْطَةِ أَوِ التَّمْرِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْأَطْعِمَةِ، أَوْ يَكُونُ لِلرَّجُلِ السِّلْعَةُ مِنَ الْحِنْطَةِ أَوِ النَّوَى أَوِ الْقَضْبِ أَوِ الْعُصْفُرِ، أَوِ الْكُرْسُفِ، أَوِ الْكَتَّانِ أَوِ الْقَزِّ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ السِّلَعِ، لَا يُعْلَمُ كَيْلُ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ، وَلَا وَزْنُهُ وَلَا عَدَدُهُ، فَيَقُولُ الرَّجُلُ لِرَبِّ تِلْكَ السِّلْعَةِ: كِلْ سِلْعَتَكَ هَذِهِ، أَوْ مُرْ مَنْ يَكِيلُهَا، أَوْ زِنْ مِنْ ذَلِكَ مَا يُوزَنُ، أَوْ عُدَّ مِنْ ذَلِكَ مَا كَانَ يُعَدُّ، فَمَا نَقَصَ عَنْ كَيْلِ كَذَا وَكَذَا صَاعًا لِتَسْمِيَةٍ يُسَمِّيهَا أَوْ وَزْنِ كَذَا وَكَذَا رِطْلًا، أَوْ عَدَدِ كَذَا وَكَذَا، فَمَا نَقَصَ مِنْ ذَلِكَ، فَعَلَيَّ غُرْمُهُ لَكَ حَتَّى أُوفِيَكَ تِلْكَ التَّسْمِيَةَ، فَمَا زَادَ عَلَى تِلْكَ التَّسْمِيَةِ فَهُوَ لِي، أَضْمَنُ مَا نَقَصَ مِنْ ذَلِكَ، عَلَى أَنْ يَكُونَ لِي مَا زَادَ فَلَيْسَ ذَلِكَ بَيْعًا، وَلَكِنَّهُ الْمُخَاطَرَةُ وَالْغَرَرُ وَالْقِمَارُ، يَدْخُلُ هَذَا لِأَنَّهُ لَمْ يَشْتَرِ مِنْهُ شَيْئًا بِشَيْءٍ أَخْرَجَهُ، وَلَكِنَّهُ ضَمِنَ لَهُ مَا سُمِّيَ مِنْ ذَلِكَ الْكَيْلِ أَوِ الْوَزْنِ أَوِ الْعَدَدِ، عَلَى أَنْ يَكُونَ لَهُ مَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ، فَإِنْ نَقَصَتْ تِلْكَ السِّلْعَةُ عَنْ تِلْكَ التَّسْمِيَةِ، أَخَذَ مِنْ مَالِ صَاحِبِهِ مَا نَقَصَ بِغَيْرِ ثَمَنٍ، وَلَا هِبَةٍ طَيِّبَةٍ بِهَا نَفْسُهُ، فَهَذَا يُشْبِهُ الْقِمَارَ وَمَا كَانَ مِثْلُ هَذَا مِنَ الْأَشْيَاءِ فَذَلِكَ يَدْخُلُهُ “

Mālik berkata: “Rasulullah ﷺ melarang praktik muzābanah, dan penjelasan tentang muzābanah adalah setiap sesuatu yang dijual secara borongan (tanpa diketahui takaran, berat, atau jumlahnya), lalu dibeli dengan sesuatu yang telah ditentukan takaran, berat, atau jumlahnya. Contohnya adalah seseorang berkata kepada orang lain: ‘Engkau memiliki makanan yang diawetkan yang tidak diketahui takarannya, baik itu dari gandum, kurma, atau makanan sejenisnya; atau seseorang memiliki barang seperti gandum, biji kurma, qadhb (sejenis pakan ternak), ‘ushfur (safron), kapas, linen, sutra, atau barang sejenisnya, yang tidak diketahui takaran, berat, atau jumlahnya. Lalu seseorang berkata kepada pemilik barang itu: ‘Takar barangmu ini, atau suruhlah seseorang menakarnya, atau timbanglah yang bisa ditimbang, atau hitunglah yang bisa dihitung. Maka apa yang kurang dari takaran sekian sha‘ (satuan takaran) sesuai yang disebutkan, atau berat sekian rithl (satuan berat), atau jumlah sekian, maka kekurangannya akan aku tanggung hingga aku penuhi jumlah yang disebutkan itu. Sedangkan kelebihan dari jumlah yang disebutkan itu menjadi milikku. Aku menjamin kekurangannya, dengan syarat kelebihannya menjadi milikku.’ Maka ini bukanlah jual beli, melainkan mengandung unsur spekulasi, gharar (ketidakjelasan), dan perjudian. Hal ini terjadi karena ia tidak membeli sesuatu dengan sesuatu yang telah dikeluarkan, melainkan ia hanya menjamin takaran, berat, atau jumlah yang disebutkan, dengan syarat kelebihannya menjadi miliknya. Jika barang tersebut kurang dari jumlah yang disebutkan, ia mengambil kekurangannya dari harta pemilik barang tanpa harga atau pemberian yang diberikan dengan kerelaan hati. Maka ini menyerupai perjudian, dan segala sesuatu yang serupa dengan ini termasuk di dalamnya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: لَهُ الثَّوْبُ أَضْمَنُ لَكَ مِنْ ثَوْبِكَ هَذَا كَذَا وَكَذَا ظِهَارَةَ قَلَنْسُوَةٍ. قَدْرُ كُلِّ ظِهَارَةٍ كَذَا وَكَذَا. لِشَيْءٍ يُسَمِّيهِ. فَمَا نَقَصَ مِنْ ذَلِكَ فَعَلَيَّ غُرْمُهُ حَتَّى أُوفِيَكَ، وَمَا زَادَ فَلِي، أَوْ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: أَضْمَنُ لَكَ مِنْ ثِيَابِكَ هَذِي كَذَا وَكَذَا قَمِيصًا. ذَرْعُ كُلِّ قَمِيصٍ كَذَا وَكَذَا. فَمَا نَقَصَ مِنْ ذَلِكَ فَعَلَيَّ غُرْمُهُ، وَمَا زَادَ عَلَى ذَلِكَ فَلِي، أَوْ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: لَهُ الْجُلُودُ مِنْ جُلُودِ الْبَقَرِ أَوِ الْإِبِلِ: أُقَطِّعُ جُلُودَكَ هَذِهِ نِعَالًا عَلَى إِمَامٍ يُرِيهِ إِيَّاهُ. فَمَا نَقَصَ مِنْ مِائَةِ زَوْجٍ فَعَلَيَّ غُرْمُهُ، وَمَا زَادَ فَهُوَ لِي بِمَا ضَمِنْتُ لَكَ. وَمِمَّا يُشْبِهُ ذَلِكَ. أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ عِنْدَهُ حَبُّ الْبَانِ: اعْصُرْ حَبَّكَ هَذَا. فَمَا نَقَصَ مِنْ كَذَا وَكَذَا رِطْلًا. فَعَلَيَّ أَنْ أُعْطِيَكَهُ. وَمَا زَادَ فَهُوَ لِي. فَهَذَا كُلُّهُ وَمَا أَشْبَهَهُ مِنَ الْأَشْيَاءِ أَوْ ضَارَعَهُ مِنَ الْمُزَابَنَةِ الَّتِي لَا تَصْلُحُ وَلَا تَجُوزُ. وَكَذَلِكَ أَيْضًا إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: لَهُ الْخَبَطُ أَوِ النَّوَى أَوِ الْكُرْسُفُ أَوِ الْكَتَّانُ أَوِ الْقَضْبُ أَوِ الْعُصْفُرُ أَبْتَاعُ مِنْكَ هَذَا الْخَبَطَ بِكَذَا وَكَذَا صَاعًا مِنْ خَبَطٍ يُخْبَطُ مِثْلَ خَبَطِهِ، أَوْ هَذَا النَّوَى بِكَذَا وَكَذَا صَاعًا مِنْ نَوًى مِثْلِهِ، وَفِي الْعُصْفُرِ وَالْكُرْسُفِ، وَالْكَتَّانِ وَالْقَضْبِ مِثْلَ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ يَرْجِعُ إِلَى مَا وَصَفْنَا مِنَ الْمُزَابَنَةِ “

Malik berkata: “Termasuk dalam hal itu juga adalah ketika seseorang berkata kepada orang lain: ‘Pakaian itu, aku jamin untukmu lebih baik dari pakaianmu ini dengan harga sekian dan sekian, seukuran sebuah penutup kepala. Setiap penutup kepala dihargai sekian dan sekian, untuk sesuatu yang ia sebutkan. Maka apa yang kurang dari itu, aku menanggung kerugiannya hingga aku membayarmu, dan apa yang lebih, maka itu menjadi milikku.’ Atau seseorang berkata kepada orang lain: ‘Aku jamin untukmu dari pakaian-pakaianmu ini sekian dan sekian baju, dengan ukuran setiap baju sekian dan sekian. Maka apa yang kurang dari itu, aku menanggung kerugiannya, dan apa yang lebih dari itu, maka menjadi milikku.’ Atau seseorang berkata kepada orang lain yang memiliki kulit sapi atau unta: ‘Aku akan memotong kulit-kulitmu ini menjadi sandal sesuai dengan contoh yang ia tunjukkan kepadanya. Maka apa yang kurang dari seratus pasang, aku menanggung kerugiannya, dan apa yang lebih, maka itu menjadi milikku karena aku telah menjaminnya untukmu.’ Dan yang serupa dengan itu, seperti seseorang berkata kepada orang lain yang memiliki biji pohon ban: ‘Peraslah bijimu ini, maka apa yang kurang dari sekian dan sekian rithl, aku harus memberikannya kepadamu, dan apa yang lebih, maka itu menjadi milikku.’ Maka semua ini dan yang serupa dengannya, atau yang mendekatinya dari bentuk-bentuk muzābanah, adalah jual beli yang tidak sah dan tidak boleh dilakukan. Demikian pula apabila seseorang berkata kepada orang lain: ‘Ia memiliki dedaunan, biji kurma, kapas, rami, atau al-qadab, atau asfar: Aku akan membeli darimu dedaunan ini dengan sekian dan sekian sha‘ dari dedaunan yang dipetik seperti dedaunan ini, atau biji kurma ini dengan sekian dan sekian sha‘ dari biji kurma yang sejenisnya, dan pada asfar, kapas, rami, dan al-qadab juga seperti itu.’ Maka semua ini kembali kepada apa yang telah kami jelaskan dari bentuk-bentuk muzābanah.”

بَابُ جَامِعِ بَيْعِ الثَّمَرِ

Bab Kompilasi Jual Beli Buah-buahan

26 – قَالَ مَالِكٌ: ” مَنِ اشْتَرَى ثَمَرًا مِنْ نَخْلٍ مُسَمَّاةٍ أَوْ حَائِطٍ مُسَمًّى، أَوْ لَبَنًا مِنْ غَنَمٍ مُسَمَّاةٍ إِنَّهُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، إِذَا كَانَ يُؤْخَذُ عَاجِلًا يَشْرَعُ الْمُشْتَرِي فِي أَخْذِهِ عِنْدَ دَفْعِهِ الثَّمَنَ، وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ رَاوِيَةِ زَيْتٍ يَبْتَاعُ مِنْهَا رَجُلٌ بِدِينَارٍ أَوْ دِينَارَيْنِ، وَيُعْطِيهِ ذَهَبَهُ وَيَشْتَرِطُ عَلَيْهِ أَنْ يَكِيلَ لَهُ مِنْهَا، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ، فَإِنِ انْشَقَّتِ الرَّاوِيَةُ فَذَهَبَ زَيْتُهَا، فَلَيْسَ لِلْمُبْتَاعِ إِلَّا ذَهَبُهُ، وَلَا يَكُونُ بَيْنَهُمَا بَيْعٌ، وَأَمَّا كُلُّ شَيْءٍ كَانَ حَاضِرًا يُشْتَرَى عَلَى وَجْهِهِ مِثْلُ اللَّبَنِ إِذَا حُلِبَ، وَالرُّطَبِ يُسْتَجْنَى، فَيَأْخُذُ الْمُبْتَاعُ يَوْمًا بِيَوْمٍ، فَلَا بَأْسَ بِهِ، فَإِنْ فَنِيَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفِيَ الْمُشْتَرِي مَا اشْتَرَى رَدَّ عَلَيْهِ الْبَائِعُ مِنْ ذَهَبِهِ بِحِسَابِ مَا بَقِيَ لَهُ، أَوْ يَأْخُذُ مِنْهُ الْمُشْتَرِي سِلْعَةً، بِمَا بَقِيَ لَهُ يَتَرَاضَيَانِ عَلَيْهَا، وَلَا يُفَارِقُهُ حَتَّى يَأْخُذَهَا، فَإِنْ فَارَقَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ مَكْرُوهٌ لِأَنَّهُ يَدْخُلُهُ الدَّيْنُ بِالدَّيْنِ، وَقَدْ نُهِيَ عَنِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ، فَإِنْ وَقَعَ فِي بَيْعِهِمَا أَجَلٌ فَإِنَّهُ مَكْرُوهٌ وَلَا يَحِلُّ فِيهِ تَأْخِيرٌ وَلَا نَظِرَةٌ، وَلَا يَصْلُحُ إِلَّا بِصِفَةٍ مَعْلُومَةٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، فَيَضْمَنُ ذَلِكَ الْبَائِعُ لِلْمُبْتَاعِ، وَلَا يُسَمَّى ذَلِكَ فِي حَائِطٍ بِعَيْنِهِ، وَلَا فِي غَنَمٍ بِأَعْيَانِهَا ” وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الرَّجُلِ يَشْتَرِي مِنَ الرَّجُلِ الْحَائِطَ فِيهِ أَلْوَانٌ مِنَ النَّخْلِ مِنَ الْعَجْوَةِ وَالْكَبِيسِ وَالْعَذْقِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ أَلْوَانِ التَّمْرِ، فَيَسْتَثْنِي مِنْهَا ثَمَرَ النَّخْلَةِ أَوِ النَّخَلَاتِ يَخْتَارُهَا مِنْ نَخْلِهِ؟ فَقَالَ مَالِكٌ: ” ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ لِأَنَّهُ إِذَا صَنَعَ ذَلِكَ تَرَكَ ثَمَرَ النَّخْلَةِ مِنَ الْعَجْوَةِ، وَمَكِيلَةُ ثَمَرِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا وَأَخَذَ مَكَانَهَا ثَمَرَ نَخْلَةٍ مِنَ الْكَبِيسِ، وَمَكِيلَةُ ثَمَرِهَا عَشَرَةُ أَصْوُعٍ، فَإِنْ أَخَذَ الْعَجْوَةَ الَّتِي فِيهَا خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا، وَتَرَكَ الَّتِي فِيهَا عَشْرَةُ أَصْوُعٍ مِنَ الْكَبِيسِ فَكَأَنَّهُ اشْتَرَى الْعَجْوَةَ بِالْكَبِيسِ مُتَفَاضِلًا، وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ بَيْنَ يَدَيْهِ صُبَرٌ مِنَ التَّمْرِ قَدْ صَبَّرَ الْعَجْوَةَ، فَجَعَلَهَا خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا، وَجَعَلَ صُبْرَةَ الْكَبِيسِ عَشَرَةَ آصُعٍ، وَجَعَلَ صُبْرَةَ الْعَذْقِ اثْنَيْ عَشَرَ صَاعًا، فَأَعْطَى صَاحِبَ التَّمْرِ دِينَارًا عَلَى أَنَّهُ يَخْتَارُ فَيَأْخُذُ أَيَّ تِلْكَ الصُّبَرِ شَاءَ

26 – Malik berkata: “Barang siapa membeli buah dari pohon kurma yang telah ditentukan, atau dari kebun yang telah ditentukan, atau membeli susu dari kambing yang telah ditentukan, maka tidak mengapa dengan hal itu, selama diambil segera, di mana pembeli mulai mengambilnya ketika ia membayar harga. Contohnya seperti seseorang membeli minyak dari wadah minyak dengan satu atau dua dinar, lalu ia memberikan emasnya dan mensyaratkan agar ditakar untuknya dari wadah itu; maka ini tidak mengapa. Jika wadah itu pecah dan minyaknya tumpah, maka pembeli hanya berhak atas emasnya, dan tidak terjadi jual beli di antara keduanya. Adapun segala sesuatu yang hadir dan dibeli secara langsung, seperti susu yang diperah, atau kurma basah yang dipetik, lalu pembeli mengambilnya hari demi hari, maka tidak mengapa. Jika barang itu habis sebelum pembeli mengambil seluruh yang ia beli, maka penjual mengembalikan emasnya sesuai sisa yang belum diambil, atau pembeli mengambil barang lain senilai sisa haknya, sesuai kesepakatan keduanya, dan tidak berpisah sebelum mengambilnya. Jika ia berpisah sebelum mengambilnya, maka hal itu makruh karena mengandung unsur utang dengan utang, dan telah dilarang jual beli ‘al-kāli’ bil-kāli’ (utang dengan utang). Jika dalam jual beli mereka terdapat tempo, maka itu makruh dan tidak boleh ada penundaan atau penangguhan. Tidak sah kecuali dengan sifat yang jelas hingga waktu yang ditentukan, sehingga penjual menanggungnya untuk pembeli. Dan tidak boleh disebutkan secara spesifik pada kebun tertentu atau kambing tertentu.”

Malik juga ditanya tentang seseorang yang membeli kebun dari orang lain yang di dalamnya terdapat berbagai jenis pohon kurma: ajwah, kabis, ‘adzq, dan jenis kurma lainnya, lalu ia mengecualikan buah dari satu atau beberapa pohon kurma yang ia pilih dari kebunnya. Malik berkata: “Itu tidak sah, karena jika ia melakukan demikian, ia bisa saja meninggalkan buah pohon ajwah yang hasilnya lima belas sha‘, lalu mengambil sebagai gantinya buah pohon kabis yang hasilnya sepuluh sha‘. Jika ia mengambil ajwah yang berisi lima belas sha‘ dan meninggalkan kabis yang berisi sepuluh sha‘, maka seolah-olah ia membeli ajwah dengan kabis secara tidak seimbang. Ini seperti seseorang berkata kepada orang lain yang di depannya ada tumpukan kurma: tumpukan ajwah sebanyak lima belas sha‘, tumpukan kabis sepuluh sha‘, dan tumpukan ‘adzq dua belas sha‘, lalu ia memberikan satu dinar kepada pemilik kurma dengan syarat ia boleh memilih dan mengambil tumpukan mana saja yang ia kehendaki.”

قَالَ مَالِكٌ: فَهَذَا لَا يَصْلُحُ ” وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الرَّجُلِ يَشْتَرِي الرُّطَبَ مِنْ صَاحِبِ الْحَائِطِ فَيُسْلِفُهُ الدِّينَارَ، مَاذَا لَهُ إِذَا ذَهَبَ رُطَبُ ذَلِكَ الْحَائِطِ؟

Malik berkata: “Ini tidak sah.” Malik juga ditanya tentang seseorang yang membeli kurma basah dari pemilik kebun lalu ia membayarkan dinar sebagai pembayaran di muka (salam), apa yang menjadi haknya jika kurma basah dari kebun itu habis?”

قَالَ مَالِكٌ: يُحَاسِبُ صَاحِبَ الْحَائِطِ ثُمَّ يَأْخُذُ مَا بَقِيَ لَهُ مِنْ دِينَارِهِ، إِنْ كَانَ أَخَذَ بِثُلُثَيْ دِينَارٍ رُطَبًا أَخَذَ ثُلُثَ الدِّينَارِ الَّذِي بَقِيَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ أَخَذَ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ دِينَارِهِ رُطَبًا، أَخَذَ الرُّبُعَ الَّذِي بَقِيَ لَهُ، أَوْ يَتَرَاضَيَانِ بَيْنَهُمَا، فَيَأْخُذُ بِمَا بَقِيَ لَهُ مِنْ دِينَارِهِ عِنْدَ صَاحِبِ الْحَائِطِ مَا بَدَا لَهُ إِنْ أَحَبَّ أَنْ يَأْخُذَ تَمْرًا أَوْ سِلْعَةً سِوَى التَّمْرِ أَخَذَهَا بِمَا فَضَلَ لَهُ، فَإِنْ أَخَذَ تَمْرًا أَوْ سِلْعَةً أُخْرَى فَلَا يُفَارِقْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ ذَلِكَ مِنْهُ

Malik berkata: “Pemilik kebun harus menghitungnya, lalu pembeli mengambil sisa dari dinarnya. Jika ia telah mengambil kurma basah senilai dua pertiga dinar, maka ia mengambil sepertiga dinar yang tersisa. Jika ia telah mengambil kurma basah senilai tiga perempat dinar, maka ia mengambil seperempat yang tersisa. Atau keduanya saling merelakan, sehingga pembeli mengambil dari pemilik kebun barang lain sesuai sisa dinarnya, jika ia ingin mengambil kurma kering atau barang lain selain kurma, maka ia mengambilnya sesuai sisa haknya. Jika ia mengambil kurma kering atau barang lain, maka janganlah ia berpisah sebelum menerima haknya dari penjual.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا هَذَا بِمَنْزِلَةِ أَنْ يُكْرِيَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ رَاحِلَةً بِعَيْنِهَا أَوْ يُؤَاجِرَ غُلَامَهُ الْخَيَّاطَ أَوِ النَّجَّارَ أَوِ الْعَمَّالَ لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْأَعْمَالِ، أَوْ يُكْرِيَ مَسْكَنَهُ، وَيَسْتَلِفَ إِجَارَةَ ذَلِكَ الْغُلَامِ، أَوْ كِرَاءَ ذَلِكَ الْمَسْكَنِ، أَوْ تِلْكَ الرَّاحِلَةِ، ثُمَّ يَحْدُثُ فِي ذَلِكَ حَدَثٌ بِمَوْتٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، فَيَرُدُّ رَبُّ الرَّاحِلَةِ، أَوِ الْعَبْدِ أَوِ الْمَسْكَنِ إِلَى الَّذِي سَلَّفَهُ مَا بَقِيَ مِنْ كِرَاءِ الرَّاحِلَةِ، أَوْ إِجَارَةِ الْعَبْدِ، أَوْ كِرَاءِ الْمَسْكَنِ، يُحَاسِبُ صَاحِبَهُ بِمَا اسْتَوْفَى مِنْ ذَلِكَ، إِنْ كَانَ اسْتَوْفَى نِصْفَ حَقِّهِ رَدَّ عَلَيْهِ النِّصْفَ الْبَاقِيَ الَّذِي لَهُ عِنْدَهُ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ يَرُدُّ إِلَيْهِ مَا بَقِيَ لَهُ

Malik berkata: “Ini sama halnya dengan seseorang menyewakan kepada orang lain seekor hewan tunggangan tertentu, atau menyewakan budaknya yang bekerja sebagai penjahit, tukang kayu, atau pekerja untuk pekerjaan lain, atau menyewakan rumahnya, lalu ia meminjamkan upah sewa budak tersebut, atau sewa rumah tersebut, atau hewan tunggangan itu. Kemudian terjadi sesuatu pada barang tersebut, seperti kematian atau hal lain, maka pemilik hewan tunggangan, budak, atau rumah itu mengembalikan kepada orang yang telah meminjamkannya sisa sewa hewan tunggangan, atau upah budak, atau sewa rumah, dan ia menghitung dengan pemiliknya apa yang telah diambil darinya. Jika ia telah mengambil setengah dari haknya, maka ia mengembalikan setengah sisanya yang masih menjadi haknya, dan jika kurang atau lebih dari itu, maka sesuai perhitungannya ia mengembalikan sisa yang menjadi haknya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا يَصْلُحُ التَّسْلِيفُ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا، يُسَلَّفُ فِيهِ بِعَيْنِهِ، إِلَّا أَنْ يَقْبِضَ الْمُسَلِّفُ مَا سَلَّفَ فِيهِ عِنْدَ دَفْعِهِ الذَّهَبَ إِلَى صَاحِبِهِ، يَقْبِضُ الْعَبْدَ أَوِ الرَّاحِلَةَ أَوِ الْمَسْكَنَ أَوْ يَبْدَأُ فِيمَا اشْتَرَى مِنَ الرُّطَبِ. فَيَأْخُذُ مِنْهُ عِنْدَ دَفْعِهِ الذَّهَبَ إِلَى صَاحِبِهِ، لَا يَصْلُحُ أَنْ يَكُونَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ تَأْخِيرٌ وَلَا أَجَلٌ “

Malik berkata: “Tidak sah melakukan pinjaman (salam) pada hal-hal seperti ini, yang dipinjamkan secara spesifik, kecuali jika pihak yang meminjamkan telah menerima barang yang dipinjamkan itu pada saat menyerahkan emas (uang) kepada pemiliknya; ia menerima budak, hewan tunggangan, atau rumah, atau mulai mengambil apa yang dibeli dari buah basah, maka ia mengambilnya pada saat menyerahkan emas kepada pemiliknya. Tidak sah jika ada penundaan atau tenggat waktu dalam hal-hal tersebut.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَتَفْسِيرُ مَا كُرِهَ مِنْ ذَلِكَ، أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: أُسَلِّفُكَ فِي رَاحِلَتِكَ فُلَانَةَ أَرْكَبُهَا فِي الْحَجِّ، وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ الْحَجِّ أَجَلٌ مِنَ الزَّمَانِ، أَوْ يَقُولَ مِثْلَ ذَلِكَ فِي الْعَبْدِ أَوِ الْمَسْكَنِ، فَإِنَّهُ إِذَا صَنَعَ ذَلِكَ كَانَ إِنَّمَا يُسَلِّفُهُ ذَهَبًا، عَلَى أَنَّهُ إِنْ وَجَدَ تِلْكَ الرَّاحِلَةَ صَحِيحَةً لِذَلِكَ الْأَجَلِ الَّذِي سَمَّى لَهُ، فَهِيَ لَهُ بِذَلِكَ الْكِرَاءِ، وَإِنْ حَدَثَ بِهَا حَدَثٌ مِنْ مَوْتٍ أَوْ غَيْرِهِ رَدَّ عَلَيْهِ ذَهَبَهُ، وَكَانَتْ عَلَيْهِ عَلَى وَجْهِ السَّلَفِ عِنْدَهُ “

Malik berkata: “Penjelasan tentang apa yang dimakruhkan dari hal tersebut adalah jika seseorang berkata kepada orang lain: ‘Aku meminjamkan kepadamu untuk hewan tungganganmu yang tertentu, aku akan menungganginya untuk haji,’ padahal antara dia dan waktu haji masih ada tenggat waktu, atau ia mengatakan hal serupa untuk budak atau rumah. Jika ia melakukan hal itu, berarti ia meminjamkan emas kepadanya, dengan syarat bahwa jika ia mendapati hewan tunggangan itu masih sehat pada waktu yang telah ditentukan, maka itu menjadi miliknya dengan sewa tersebut. Namun jika terjadi sesuatu pada hewan itu, seperti kematian atau lainnya, maka emasnya dikembalikan kepadanya, dan itu menjadi utang (salam) atasnya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا فَرَقَ بَيْنَ ذَلِكَ الْقَبْضُ مَنْ قَبَضَ مَا اسْتَأْجَرَ أَوِ اسْتَكْرَى فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْغَرَرِ وَالسَّلَفِ الَّذِي يُكْرَهُ، وَأَخَذَ أَمْرًا مَعْلُومًا، وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْعَبْدَ أَوِ الْوَلِيدَةَ فَيَقْبِضَهُمَا، وَيَنْقُدَ أَثْمَانَهُمَا، فَإِنْ حَدَثَ بِهِمَا حَدَثٌ مِنْ عُهْدَةِ السَّنَةِ، أَخَذَ ذَهَبَهُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي ابْتَاعَ مِنْهُ، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ وَبِهَذَا مَضَتِ السُّنَّةُ فِي بَيْعِ الرَّقِيقِ

Malik berkata: “Yang membedakan hal tersebut adalah penerimaan (qabdh). Barang siapa telah menerima apa yang ia sewa atau pinjam, maka ia telah keluar dari gharar dan pinjaman (salam) yang dimakruhkan, dan ia telah mengambil sesuatu yang jelas. Contohnya adalah seseorang membeli budak laki-laki atau perempuan, lalu ia menerimanya dan membayar harganya. Jika kemudian terjadi sesuatu pada mereka dalam masa tanggungan satu tahun, maka ia mengambil kembali emasnya dari penjual yang ia beli darinya. Ini tidak mengapa, dan dengan cara inilah sunnah berjalan dalam jual beli budak.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنِ اسْتَأْجَرَ عَبْدًا بِعَيْنِهِ، أَوْ تَكَارَى رَاحِلَةً بِعَيْنِهَا إِلَى أَجَلٍ. يَقْبِضُ الْعَبْدَ أَوِ الرَّاحِلَةَ إِلَى ذَلِكَ الْأَجَلِ. فَقَدْ عَمِلَ بِمَا لَا يَصْلُحُ. لَا هُوَ قَبَضَ مَا اسْتَكْرَى أَوِ اسْتَأْجَرَ، وَلَا هُوَ سَلَّفَ فِي دَيْنٍ يَكُونُ ضَامِنًا عَلَى صَاحِبِهِ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

Malik berkata: “Barang siapa menyewa budak tertentu, atau menyewa hewan tunggangan tertentu hingga waktu tertentu, lalu ia menerima budak atau hewan tunggangan itu hingga waktu tersebut, maka ia telah melakukan sesuatu yang tidak sah. Ia tidak menerima apa yang ia sewa atau pinjam, dan juga tidak melakukan pinjaman (salam) dalam utang yang menjadi tanggungan pemiliknya hingga ia mengambilnya.”

بَابُ بَيْعِ الْفَاكِهَةِ
27 – قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ مَنِ ابْتَاعَ شَيْئًا مِنَ الْفَاكِهَةِ مِنْ رَطْبِهَا أَوْ يَابِسِهَا، فَإِنَّهُ لَا يَبِيعُهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ، وَلَا يُبَاعُ شَيْءٌ مِنْهَا بَعْضُهُ بِبَعْضٍ، إِلَّا يَدًا بِيَدٍ، وَمَا كَانَ مِنْهَا مِمَّا يَيْبَسُ، فَيَصِيرُ فَاكِهَةً يَابِسَةً تُدَّخَرُ، وَتُؤْكَلُ، فَلَا يُبَاعُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ إِلَّا يَدًا بِيَدٍ، وَمِثْلًا بِمِثْلٍ إِذَا كَانَ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ، فَإِنْ كَانَ مِنْ صِنْفَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ، فَلَا بَأْسَ بِأَنْ يُبَاعَ مِنْهُ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ يَدًا بِيَدٍ، وَلَا يَصْلُحُ إِلَى أَجَلٍ، وَمَا كَانَ مِنْهَا مِمَّا لَا يَيْبَسُ وَلَا يُدَّخَرُ، وَإِنَّمَا يُؤْكَلُ رَطْبًا كَهَيْئَةِ الْبِطِّيخِ وَالْقِثَّاءِ وَالْخِرْبِزِ، وَالْجَزَرِ وَالْأُتْرُجِّ، وَالْمَوْزِ وَالرُّمَّانِ وَمَا كَانَ مِثْلَهُ، وَإِنْ يَبِسَ لَمْ يَكُنْ فَاكِهَةً بَعْدَ ذَلِكَ، وَلَيْسَ هُوَ مِمَّا يُدَّخَرُ، وَيَكُونُ فَاكِهَةً، قَالَ: فَأَرَاهُ حَقِيقًا أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا لَمْ يَدْخُلْ فِيهِ شَيْءٌ مِنَ الْأَجَلِ فَإِنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ “

BAB JUAL BELI BUAH-BUAHAN

27 – Malik berkata: “Praktik yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami adalah bahwa siapa saja yang membeli sesuatu dari buah-buahan, baik yang masih segar maupun yang kering, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum ia menerimanya secara penuh. Tidak boleh pula menjual sebagian dari buah-buahan itu dengan sebagian yang lain kecuali secara tunai (yadan bi-yad). Adapun buah-buahan yang dapat dikeringkan sehingga menjadi buah kering yang bisa disimpan dan dimakan, maka tidak boleh menjual sebagian dengan sebagian yang lain kecuali secara tunai (yadan bi-yad) dan dengan takaran yang sama jika dari jenis yang sama. Namun, jika dari dua jenis yang berbeda, maka tidak mengapa menjual dua dengan satu secara tunai (yadan bi-yad), dan tidak boleh secara tempo. Adapun buah-buahan yang tidak bisa dikeringkan dan tidak bisa disimpan, dan hanya dimakan dalam keadaan segar seperti semangka, mentimun, khirbiz, wortel, utrujj, pisang, delima, dan yang sejenisnya, yang jika sudah kering tidak lagi disebut buah-buahan dan tidak bisa disimpan sebagai buah, maka menurutku boleh mengambil dari satu jenis dua dengan satu secara tunai (yadan bi-yad). Selama tidak ada unsur tempo di dalamnya, maka tidak mengapa.”

بَابُ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالْفِضَّةِ تِبْرًا وَعَيْنًا

BAB JUAL BELI EMAS DENGAN PERAK, BAIK DALAM BENTUK BATANG MAUPUN KOIN

28 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ قَالَ: أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّعْدَيْنِ أَنْ يَبِيعَا آنِيَةً مِنَ الْمَغَانِمِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، فَبَاعَا كُلَّ ثَلَاثَةٍ بِأَرْبَعَةٍ عَيْنًا أَوْ كُلَّ أَرْبَعَةٍ بِثَلَاثَةٍ عَيْنًا، فَقَالَ لَهُمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرْبَيْتُمَا فَرُدَّا

28 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ memerintahkan kedua orang dari suku Sa‘d agar menjual bejana-bejana dari rampasan perang yang terbuat dari emas atau perak. Maka keduanya menjual setiap tiga (dirham/dinar) dengan empat secara tunai, atau setiap empat dengan tiga secara tunai. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka: “Kalian telah melakukan riba, maka kembalikanlah!”

29 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي تَمِيمٍ، عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ، عنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الدِّينَارُ بِالدِّينَارِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ لَا فَضْلَ بَيْنَهُمَا

29 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Musa bin Abi Tamim, dari Abu al-Hubab Sa‘id bin Yasar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, tidak ada kelebihan di antara keduanya.”

30 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا شَيْئًا غَائِبًا بِنَاجِزٍ

30 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari Abu Sa‘id al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sepadan dan seimbang, dan janganlah kalian melebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Jangan pula kalian menjual perak dengan perak kecuali sepadan dan seimbang, dan janganlah kalian melebihkan sebagian atas sebagian yang lain. Jangan pula kalian menjual sesuatu yang tidak hadir dengan yang tunai.”

31 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَجَاءَهُ صَائِغٌ، فَقَالَ لَهُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنِّي أَصُوغُ الذَّهَبَ ثُمَّ أَبِيعُ الشَّيْءَ مِنْ ذَلِكَ بِأَكْثَرَ مِنْ وَزْنِهِ، فَأَسْتَفْضِلُ مِنْ ذَلِكَ قَدْرَ عَمَلِ يَدِي، فَنَهَاهُ عَبْدُ اللَّهِ عَنْ ذَلِكَ فَجَعَلَ الصَّائِغُ يُرَدِّدُ عَلَيْهِ الْمَسْأَلَةَ، وَعَبْدُ اللَّهِ يَنْهَاهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى بَابِ الْمَسْجِدِ أَوْ إِلَى دَابَّةٍ يُرِيدُ أَنْ يَرْكَبَهَا، ثُمَّ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: الدِّينَارُ بِالدِّينَارِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ لَا فَضْلَ بَيْنَهُمَا، هَذَا عَهْدُ نَبِيِّنَا إِلَيْنَا وَعَهْدُنَا إِلَيْكُمْ

31 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Humayd bin Qays al-Makki, dari Mujahid, bahwa ia berkata: Aku bersama Abdullah bin Umar, lalu datanglah seorang tukang emas kepadanya dan berkata: “Wahai Abu Abdurrahman, aku membuat perhiasan emas lalu aku jual barang itu dengan harga lebih dari beratnya, sehingga aku mendapatkan kelebihan sebagai upah kerjaku.” Maka Abdullah melarangnya dari hal itu. Tukang emas itu terus mengulang-ulang pertanyaannya, dan Abdullah tetap melarangnya hingga sampai ke pintu masjid atau ke hewan tunggangan yang hendak ia naiki. Kemudian Abdullah bin Umar berkata: “Dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, tidak ada kelebihan di antara keduanya. Inilah wasiat Nabi kita kepada kami dan wasiat kami kepada kalian.”

32 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ جَدِّهِ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ، أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَبِيعُوا الدِّينَارَ بِالدِّينَارَيْنِ، وَلَا الدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمَيْنِ

32 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, dari kakeknya Malik bin Abi ‘Amir, bahwa Utsman bin ‘Affan berkata: Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku: “Janganlah kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, dan janganlah kalian menjual satu dirham dengan dua dirham.”

33 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ بَاعَ سِقَايَةً مِنْ ذَهَبٍ أَوْ وَرِقٍ بِأَكْثَرَ مِنْ وَزْنِهَا، فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذَا إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ: مَا أَرَى بِمِثْلِ هَذَا بَأْسًا. فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ: مَنْ يَعْذِرُنِي مِنْ مُعَاوِيَةَ؟ أَنَا أُخْبِرُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيُخْبِرُنِي عَنْ رَأْيِهِ، لَا أُسَاكِنُكَ بِأَرْضٍ أَنْتَ بِهَا ” ثُمَّ قَدِمَ أَبُو الدَّرْدَاءِ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى مُعَاوِيَةَ: أَنْ لَا تَبِيعَ ذَلِكَ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَزْنًا بِوَزْنٍ “

33 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Aṭā’ bin Yasār, bahwa Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān pernah menjual wadah minuman dari emas atau perak dengan harga lebih dari beratnya. Maka Abū Dardā’ berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ melarang hal seperti ini kecuali sepadan dengan sepadan.” Lalu Mu‘āwiyah berkata kepadanya, “Aku tidak melihat ada masalah dengan hal seperti ini.” Maka Abū Dardā’ berkata, “Siapa yang bisa membelaku dari Mu‘āwiyah? Aku memberitahunya tentang Rasulullah ﷺ, sementara dia memberitahuku tentang pendapatnya sendiri. Aku tidak akan tinggal bersamamu di negeri yang engkau ada di dalamnya.” Kemudian Abū Dardā’ datang kepada ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka ‘Umar bin al-Khaṭṭāb menulis surat kepada Mu‘āwiyah: “Janganlah engkau menjual itu kecuali sepadan dengan sepadan, berat dengan berat.”

34 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ. إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقِ بِالْوَرِقِ. إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالذَّهَبِ أَحَدُهُمَا غَائِبٌ، وَالْآخَرُ نَاجِزٌ، وَإِنِ اسْتَنْظَرَكَ إِلَى أَنْ يَلِجَ بَيْتَهُ، فَلَا تُنْظِرْهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمُ الرَّمَاءَ، وَالرَّمَاءُ هُوَ الرِّبَا

34 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sepadan dengan sepadan, dan janganlah sebagian di antaranya melebihi sebagian yang lain. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sepadan dengan sepadan, dan janganlah sebagian di antaranya melebihi sebagian yang lain. Dan janganlah kalian menjual perak dengan emas, salah satunya tidak hadir (belum diserahkan), sedangkan yang lain sudah diserahkan. Jika ia meminta penangguhan kepadamu sampai ia masuk ke rumahnya, maka janganlah engkau menangguhkannya. Sesungguhnya aku khawatir kalian terjerumus ke dalam ar-ramā’, dan ar-ramā’ itu adalah riba.”

35 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ دِينارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ. إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقِ بِالْوَرِقِ. إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلَا تَبِيعُوا شَيْئًا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ، وَإِنِ اسْتَنْظَرَكَ إِلَى أَنْ يَلِجَ بَيْتَهُ، فَلَا تُنْظِرْهُ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمُ الرَّمَاءَ، وَالرَّمَاءُ هُوَ الرِّبَا

35 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Dīnār, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sepadan dengan sepadan, dan janganlah sebagian di antaranya melebihi sebagian yang lain. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sepadan dengan sepadan, dan janganlah sebagian di antaranya melebihi sebagian yang lain. Dan janganlah kalian menjual sesuatu dari keduanya yang belum diserahkan dengan yang sudah diserahkan. Jika ia meminta penangguhan kepadamu sampai ia masuk ke rumahnya, maka janganlah engkau menangguhkannya. Sesungguhnya aku khawatir kalian terjerumus ke dalam ar-ramā’, dan ar-ramā’ itu adalah riba.”

36 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: الدِّينَارُ بِالدِّينَارِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ، وَالصَّاعُ بِالصَّاعِ، وَلَا يُبَاعُ كَالِئٌ بِنَاجِزٍ

36 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, dari al-Qāsim bin Muḥammad, bahwa ia berkata: ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, “Dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, ṣā‘ dengan ṣā‘, dan tidak boleh menjual yang belum diserahkan dengan yang sudah diserahkan.”

37 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ: لَا رِبًا إِلَّا فِي ذَهَبٍ أَوْ فِي فِضَّةٍ، أَوْ مَا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ بِمَا يُؤْكَلُ أَوْ يُشْرَبُ

37 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, bahwa ia mendengar Sa‘īd bin al-Musayyib berkata: “Tidak ada riba kecuali pada emas atau perak, atau pada sesuatu yang ditakar atau ditimbang dari apa yang dimakan atau diminum.”

37 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ: قَطْعُ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ مِنَ الْفَسَادِ فِي الْأَرْضِ قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ، وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبِ، جِزَافًا إِذَا كَانَ تِبْرًا أَوْ حَلْيًا قَدْ صِيغَ، فَأَمَّا الدَّرَاهِمُ الْمَعْدُودَةُ، وَالدَّنَانِيرُ الْمَعْدُودَةُ، فَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يَشْتَرِيَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ جِزَافًا، حَتَّى يُعْلَمَ وَيُعَدَّ، فَإِنِ اشْتُرِيَ ذَلِكَ جِزَافًا، فَإِنَّمَا يُرَادُ بِهِ الْغَرَرُ حِينَ يُتْرَكُ عَدُّهُ، وَيُشْتَرَى جِزَافًا وَلَيْسَ هَذَا مِنْ بُيُوعِ الْمُسْلِمِينَ، فَأَمَّا مَا كَانَ يُوزَنُ مِنَ التِّبْرِ وَالْحَلْيِ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يُبَاعَ ذَلِكَ جِزَافًا، وَإِنَّمَا ابْتِيَاعُ ذَلِكَ جِزَافًا كَهَيْئَةِ الْحِنْطَةِ وَالتَّمْرِ وَنَحْوِهِمَا مِنَ الْأَطْعِمَةِ الَّتِي تُبَاعُ جِزَافًا، وَمِثْلُهَا يُكَالُ فَلَيْسَ بِابْتِيَاعِ ذَلِكَ جِزَافًا بَأْسٌ “

37 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, bahwa ia mendengar Sa‘īd bin al-Musayyib berkata: “Memotong emas dan perak (dari peredaran) adalah untuk mencegah kerusakan di muka bumi.” Mālik berkata: “Tidak mengapa seseorang membeli emas dengan perak, dan perak dengan emas, secara borongan (tanpa ditakar atau ditimbang) jika berupa bijih atau perhiasan yang telah ditempa. Adapun dirham yang sudah dihitung dan dinar yang sudah dihitung, maka tidak sepatutnya seseorang membeli sesuatu dari keduanya secara borongan, sampai diketahui dan dihitung. Jika dibeli secara borongan, maka yang dimaksud adalah gharar (ketidakjelasan) ketika dibiarkan tanpa dihitung dan dibeli secara borongan, dan ini bukan termasuk jual beli kaum muslimin. Adapun yang ditimbang dari bijih dan perhiasan, maka tidak mengapa dijual secara borongan. Membeli barang itu secara borongan seperti membeli gandum dan kurma serta makanan sejenis yang dijual secara borongan, dan yang sejenis itu ditakar, maka tidak mengapa membeli barang itu secara borongan.”

قَالَ مَالِكٌ: مَنِ اشْتَرَى مُصْحَفًا أَوْ سَيْفًا أَوْ خَاتَمًا، وَفِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ ذَهَبٌ أَوْ فِضَّةٌ بِدَنَانِيرَ أَوْ دَرَاهِمَ فَإِنَّ مَا اشْتُرِيَ مِنْ ذَلِكَ وَفِيهِ الذَّهَبُ بِدَنَانِيرَ فَإِنَّهُ يُنْظَرُ إِلَى قِيمَتِهِ، فَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ ذَلِكَ الثُّلُثَيْنِ، وَقِيمَةُ مَا فِيهِ مِنَ الذَّهَبِ الثُّلُثَ، فَذَلِكَ جَائِزٌ لَا بَأْسَ بِهِ، إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَدًا بِيَدٍ، وَلَا يَكُونُ فِيهِ تَأْخِيرٌ، وَمَا اشْتُرِيَ مِنْ ذَلِكَ بِالْوَرِقِ مِمَّا فِيهِ الْوَرِقُ، نُظِرَ إِلَى قِيمَتِهِ، فَإِنْ كَانَ قِيمَةُ ذَلِكَ الثُّلُثَيْنِ، وَقِيمَةُ مَا فِيهِ مِنَ الْوَرِقِ الثُّلُثَ، فَذَلِكَ جَائِزٌ لَا بَأْسَ بِهِ، إِذَا كَانَ ذَلِكَ يَدًا بِيَدٍ، وَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ عِنْدَنَا “

Malik berkata: Barang siapa membeli mushaf, pedang, atau cincin, dan pada salah satu dari barang tersebut terdapat emas atau perak, dengan dinar atau dirham, maka barang yang dibeli dari itu yang di dalamnya terdapat emas dengan dinar, hendaknya dilihat nilainya. Jika nilai barang tersebut dua pertiga, dan nilai emas yang ada di dalamnya sepertiga, maka itu boleh dan tidak mengapa, selama transaksi dilakukan tunai (yadan bi-yad), dan tidak ada penundaan di dalamnya. Dan barang yang dibeli dari itu dengan perak, yang di dalamnya terdapat perak, hendaknya dilihat nilainya. Jika nilai barang tersebut dua pertiga, dan nilai perak yang ada di dalamnya sepertiga, maka itu boleh dan tidak mengapa, selama transaksi dilakukan tunai (yadan bi-yad). Dan hal itu senantiasa menjadi kebiasaan masyarakat di tempat kami.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الصَّرْفِ

Bab tentang apa yang datang mengenai sharf (pertukaran uang).

38 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ النَّصْرِيِّ أَنَّهُ الْتَمَسَ صَرْفًا بِمِائَةِ دِينَارٍ، قَالَ فَدَعَانِي طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ فَتَرَاوَضْنَا حَتَّى اصْطَرَفَ مِنِّي وَأَخَذَ الذَّهَبَ يُقَلِّبُهَا فِي يَدِهِ، ثُمَّ قَالَ: حَتَّى يَأْتِيَنِي خَازِنِي مِنَ الْغَابَةِ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَسْمَعُ، فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ لَا تُفَارِقْهُ حَتَّى تَأْخُذَ مِنْهُ، ثُمَّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا، إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا، إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا، إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا، إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Malik bin Aus bin al-Hadatsan al-Nashri bahwa ia mencari penukaran uang seratus dinar. Ia berkata: Maka Thalhah bin Ubaidillah memanggilku, lalu kami saling tawar-menawar hingga ia menukarkan dariku dan mengambil emas itu, membolak-baliknya di tangannya. Kemudian ia berkata: “Tunggu sampai bendaharaku datang dari al-Ghabah.” Dan Umar bin al-Khaththab mendengar hal itu, lalu Umar berkata: “Demi Allah, jangan engkau berpisah darinya sampai engkau mengambil darinya.” Kemudian ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Emas dengan perak adalah riba, kecuali dilakukan tunai (hā’ wa hā’). Gandum dengan gandum adalah riba, kecuali dilakukan tunai (hā’ wa hā’). Kurma dengan kurma adalah riba, kecuali dilakukan tunai (hā’ wa hā’). Jelai dengan jelai adalah riba, kecuali dilakukan tunai (hā’ wa hā’).”

قَالَ مَالِكٌ: إِذَا اصْطَرَفَ الرَّجُلُ دَرَاهِمَ بِدَنَانِيرَ، ثُمَّ وَجَدَ فِيهَا دِرْهَمًا زَائِفًا، فَأَرَادَ رَدَّهُ انْتَقَضَ صَرْفُ الدِّينَارِ، وَرَدَّ إِلَيْهِ وَرِقَهُ، وَأَخَذَ إِلَيْهِ دِينَارَهُ، وَتَفْسِيرُ مَا كُرِهَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا، إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: وَإِنِ اسْتَنْظَرَكَ إِلَى أَنْ يَلِجَ بَيْتَهُ، فَلَا تُنْظِرْهُ وَهُوَ إِذَا رَدَّ عَلَيْهِ دِرْهَمًا مِنْ صَرْفٍ بَعْدَ أَنْ يُفَارِقَهُ كَانَ بِمَنْزِلَةِ الدَّيْنِ أَوِ الشَّيْءِ الْمُتَأَخِّرِ، فَلِذَلِكَ كُرِهَ ذَلِكَ، وَانْتَقَضَ الصَّرْفُ، وَإِنَّمَا أَرَادَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَنْ لَا يُبَاعَ الذَّهَبُ وَالْوَرِقُ، وَالطَّعَامُ كُلُّهُ عَاجِلًا بِآجِلٍ، فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ تَأْخِيرٌ، وَلَا نَظِرَةٌ وَإِنْ كَانَ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ أَوْ كَانَ مُخْتَلِفَةً أَصْنَافُهُ

Malik berkata: Jika seseorang menukarkan dirham dengan dinar, lalu ia mendapati di dalamnya ada satu dirham palsu, kemudian ia ingin mengembalikannya, maka pertukaran dinar itu batal, dan ia mengembalikan peraknya, dan mengambil kembali dinarnya. Penjelasan tentang apa yang tidak disukai dari hal itu adalah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Emas dengan perak adalah riba, kecuali dilakukan tunai (hā’ wa hā’).” Dan Umar bin al-Khaththab berkata: “Jika ia meminta penangguhan sampai ia masuk ke rumahnya, maka jangan engkau beri penangguhan.” Jika ia mengembalikan satu dirham dari pertukaran setelah berpisah, maka itu seperti utang atau sesuatu yang tertunda, karena itu hal tersebut tidak disukai dan pertukaran menjadi batal. Umar bin al-Khaththab hanya menginginkan agar emas dan perak, serta seluruh makanan, tidak dijual secara tangguh (tidak tunai), karena tidak sepatutnya ada penundaan atau penangguhan dalam hal itu, baik dari jenis yang sama maupun dari jenis yang berbeda.

بَابُ الْمُرَاطَلَةِ

Bab tentang murāthalah (pertukaran emas atau perak dengan cara ditimbang langsung).

39 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُسَيْطٍ، أَنَّهُ رَأَى سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ: يُرَاطِلُ الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ، فَيُفْرِغُ ذَهَبَهُ فِي كِفَّةِ الْمِيزَانِ، وَيُفْرِغُ صَاحِبُهُ الَّذِي يُرَاطِلُهُ ذَهَبَهُ فِي كِفَّةِ الْمِيزَانِ الْأُخْرَى، فَإِذَا اعْتَدَلَ لِسَانُ الْمِيزَانِ أَخَذَ وَأَعْطَى

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Yazid bin Abdullah bin Qusayth, bahwa ia melihat Sa’id bin al-Musayyib melakukan murāthalah emas dengan emas, yaitu ia menuangkan emasnya ke salah satu sisi timbangan, dan temannya yang menukar dengannya menuangkan emasnya ke sisi timbangan yang lain. Jika timbangan telah seimbang, maka mereka saling mengambil dan memberi.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي بَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، وَالْوَرِقِ بِالْوَرِقِ مُرَاطَلَةً أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، أَنْ يَأْخُذَ أَحَدَ عَشَرَ دِينَارًا، بعَشَرَةِ دَنَانِيرَ يَدًا بِيَدٍ، إِذَا كَانَ وَزْنُ الذَّهَبَيْنِ سَوَاءً عَيْنًا بِعَيْنٍ، وَإِنْ تَفَاضَلَ الْعَدَدُ، وَالدَّرَاهِمُ أَيْضًا فِي ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الدَّنَانِيرِ

Malik berkata: Praktik yang berlaku di tempat kami dalam jual beli emas dengan emas, dan perak dengan perak secara murāthalah, adalah tidak mengapa, yaitu seseorang mengambil sebelas dinar dengan sepuluh dinar secara tunai (yadan bi-yad), selama berat kedua emas itu sama, emas dengan emas secara langsung, meskipun jumlahnya berbeda. Demikian pula dirham dalam hal itu sama dengan dinar.

قَالَ مَالِكٌ: مَنْ رَاطَلَ ذَهَبًا بِذَهَبٍ، أَوْ وَرِقًا بِوَرِقٍ، فَكَانَ بَيْنَ الذَّهَبَيْنِ فَضْلُ مِثْقَالٍ، فَأَعْطَى صَاحِبَهُ قِيمَتَهُ مِنَ الْوَرِقِ أَوْ مِنْ غَيْرِهَا، فَلَا يَأْخُذُهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ قَبِيحٌ، وَذَرِيعَةٌ إِلَى الرِّبَا، لِأَنَّهُ إِذَا جَازَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْمِثْقَالَ بِقِيمَتِهِ، حَتَّى كَأَنَّهُ اشْتَرَاهُ عَلَى حِدَتِهِ، جَازَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ الْمِثْقَالَ بِقِيمَتِهِ مِرَارًا، لِأَنْ يُجِيزَ ذَلِكَ الْبَيْعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ صَاحِبِهِ

Malik berkata: Barang siapa menukar emas dengan emas, atau perak dengan perak, lalu terdapat kelebihan satu mitsqal di antara kedua emas tersebut, kemudian ia memberikan kepada temannya nilai kelebihan itu dari perak atau dari selainnya, maka ia tidak boleh mengambilnya. Sebab, hal itu buruk dan merupakan jalan menuju riba. Karena jika dibolehkan baginya untuk mengambil satu mitsqal dengan nilainya, seakan-akan ia membelinya secara terpisah, maka akan dibolehkan pula baginya untuk mengambil satu mitsqal dengan nilainya berulang kali, sehingga membolehkan jual beli tersebut antara dia dan temannya.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَوْ أَنَّهُ بَاعَهُ ذَلِكَ الْمِثْقَالَ مُفْرَدًا، لَيْسَ مَعَهُ غَيْرُهُ لَمْ يَأْخُذْهُ بِعُشْرِ الثَّمَنِ الَّذِي أَخَذَهُ بِهِ، لِأَنْ يُجَوِّزَ لَهُ الْبَيْعَ، فَذَلِكَ الذَّرِيعَةُ إِلَى إِحْلَالِ الْحَرَامِ، وَالْأَمْرُ الْمَنْهِيُّ عَنْهُ

Malik berkata: Seandainya ia menjual satu mitsqal itu secara terpisah, tanpa ada yang lain bersamanya, maka ia tidak akan mengambilnya dengan sepersepuluh harga yang ia ambil dengannya, agar membolehkan jual beli itu. Maka, hal itu adalah jalan menuju penghalalan yang haram dan perkara yang dilarang.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يُرَاطِلُ الرَّجُلَ، وَيُعْطِيهِ الذَّهَبَ الْعُتُقَ الْجِيَادَ، وَيَجْعَلُ مَعَهَا تِبْرًا ذَهَبًا غَيْرَ جَيِّدَةٍ، وَيَأْخُذُ مِنْ صَاحِبِهِ ذَهَبًا كُوفِيَّةً مُقَطَّعَةً، وَتِلْكَ الْكُوفِيَّةُ مَكْرُوهَةٌ عِنْدَ النَّاسِ، فَيَتَبَايَعَانِ ذَلِكَ مِثْلًا بِمِثْلٍ، إِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ

Malik berkata: Tentang seseorang yang menukar emas dengan orang lain, lalu ia memberikan emas murni yang bagus, dan mencampurkannya dengan tibr (serbuk emas) yang tidak bagus, kemudian ia mengambil dari temannya emas kufi yang terpotong-potong, padahal emas kufi itu tidak disukai oleh orang-orang, lalu mereka berdua melakukan jual beli tersebut dengan takaran yang sama, maka hal itu tidak sah.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَتَفْسِيرُ مَا كُرِهَ مِنْ ذَلِكَ، أَنَّ صَاحِبَ الذَّهَبِ الْجِيَادِ أَخَذَ فَضْلَ عُيُونِ ذَهَبِهِ فِي التِّبْرِ الَّذِي طَرَحَ مَعَ ذَهَبِهِ، وَلَوْلَا فَضْلُ ذَهَبِهِ عَلَى ذَهَبِ صَاحِبِهِ لَمْ يُرَاطِلْهُ صَاحِبُهُ بِتِبْرِهِ، ذَلِكَ إِلَى ذَهَبِهِ الْكُوفِيَّةِ، فَامْتَنَعَ، وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَرَادَ أَنْ يَبْتَاعَ ثَلَاثَةَ أَصْوُعٍ مِنْ تَمْرٍ عَجْوَةٍ، بِصَاعَيْنِ وَمُدٍّ مِنْ تَمْرٍ كَبِيسٍ، فَقِيلَ لَهُ: هَذَا لَا يَصْلُحُ، فَجَعَلَ صَاعَيْنِ مِنْ كَبِيسٍ، وَصَاعًا مِنْ حَشَفٍ، يُرِيدُ أَنْ يُجِيزَ بِذَلِكَ بَيْعَهُ، فَذَلِكَ لَا يَصْلُحُ. لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُ الْعَجْوَةِ لِيُعْطِيَهُ صَاعًا مِنَ الْعَجْوَةِ بِصَاعٍ مِنْ حَشَفٍ، وَلَكِنَّهُ إِنَّمَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ لِفَضْلِ الْكَبِيسِ، أَوْ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ بِعْنِي ثَلَاثَةَ أَصْوُعٍ مِنَ الْبَيْضَاءِ بِصَاعَيْنِ وَنِصْفٍ مِنْ حِنْطَةٍ شَامِيَّةٍ، فَيَقُولُ: هَذَا لَا يَصْلُحُ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، فَيَجْعَلُ صَاعَيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ شَامِيَّةٍ، وَصَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، يُرِيدُ أَنْ يُجِيزَ بِذَلِكَ الْبَيْعَ فِيمَا بَيْنَهُمَا، فَهَذَا لَا يَصْلُحُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِيُعْطِيَهُ بِصَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ صَاعًا مِنْ حِنْطَةٍ بَيْضَاءَ، لَوْ كَانَ ذَلِكَ الصَّاعُ مُفْرَدًا، وَإِنَّمَا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ لِفَضْلِ الشَّامِيَّةِ عَلَى الْبَيْضَاءِ، فَهَذَا لَا يَصْلُحُ، وَهُوَ مِثْلُ مَا وَصَفْنَا مِنَ التِّبْرِ “

Malik berkata: Penjelasan tentang apa yang dibenci dari hal tersebut adalah bahwa pemilik emas yang bagus telah mengambil kelebihan dari emasnya pada tibr yang ia campurkan bersama emasnya. Seandainya tidak ada kelebihan emasnya atas emas temannya, tentu temannya tidak akan menukarnya dengan tibr miliknya untuk ditukar dengan emas kufi miliknya, sehingga ia menolak. Contoh hal itu seperti seseorang yang ingin membeli tiga sha‘ kurma ajwah dengan dua sha‘ dan satu mud kurma kabis, lalu dikatakan kepadanya: Ini tidak sah. Maka ia mengganti dua sha‘ kabis dan satu sha‘ hashaf, dengan maksud agar jual belinya dibolehkan, maka itu tidak sah. Karena pemilik ajwah tidak akan memberikan satu sha‘ ajwah dengan satu sha‘ hashaf, tetapi ia memberikannya karena kelebihan kabis. Atau seperti seseorang berkata kepada orang lain: Juallah kepadaku tiga sha‘ gandum putih dengan dua setengah sha‘ gandum Syam, lalu dikatakan: Ini tidak sah kecuali sama takaran, lalu ia mengganti dua sha‘ gandum Syam dan satu sha‘ jelai, dengan maksud agar jual belinya dibolehkan di antara mereka, maka itu tidak sah. Karena ia tidak akan memberikan satu sha‘ gandum putih dengan satu sha‘ jelai, jika satu sha‘ itu berdiri sendiri. Ia memberikannya karena kelebihan gandum Syam atas gandum putih. Maka ini tidak sah, dan ini seperti yang kami gambarkan tentang tibr.

قَالَ مَالِكٌ: فَكُلُّ شَيْءٍ مِنَ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَالطَّعَامِ كُلِّهِ الَّذِي لَا يَنْبَغِي أَنْ يُبَاعَ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُجْعَلَ مَعَ الصِّنْفِ الْجَيِّدِ مِنَ الْمَرْغُوبِ فِيهِ الشَّيْءُ الرَّدِيءُ الْمَسْخُوطُ، لِيُجَازَ الْبَيْعُ، وَلِيُسْتَحَلَّ بِذَلِكَ مَا نُهِيَ عَنْهُ، مِنَ الْأَمْرِ الَّذِي لَا يَصْلُحُ إِذَا جُعِلَ ذَلِكَ مَعَ الصِّنْفِ الْمَرْغُوبِ فِيهِ، وَإِنَّمَا يُرِيدُ صَاحِبُ ذَلِكَ أَنْ يُدْرِكَ بِذَلِكَ فَضْلَ جَوْدَةِ مَا يَبِيعُ، فَيُعْطِي الشَّيْءَ الَّذِي لَوْ أَعْطَاهُ وَحْدَهُ، لَمْ يَقْبَلْهُ صَاحِبُهُ وَلَمْ يَهْمُمْ بِذَلِكَ، وَإِنَّمَا يَقْبَلُهُ مِنْ أَجْلِ الَّذِي يَأْخُذُ مَعَهُ لِفَضْلِ سِلْعَةِ صَاحِبِهِ عَلَى سِلْعَتِهِ، فَلَا يَنْبَغِي لِشَيْءٍ مِنَ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَالطَّعَامِ أَنْ يَدْخُلَهُ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الصِّفَةِ، فَإِنْ أَرَادَ صَاحِبُ الطَّعَامِ الرَّدِيءِ أَنْ يَبِيعَهُ بِغَيْرِهِ، فَلْيَبِعْهُ عَلَى حِدَتِهِ، وَلَا يَجْعَلُ مَعَ ذَلِكَ شَيْئًا، فَلَا بَأْسَ بِهِ إِذَا كَانَ كَذَلِكَ

Malik berkata: Maka segala sesuatu dari emas dan perak, serta seluruh jenis makanan yang tidak sepatutnya dijual kecuali sepadan (sama) dengan sepadan, tidaklah pantas dicampurkan dengan jenis yang baik dan diminati sesuatu yang buruk dan tidak disukai, agar jual beli itu diperbolehkan dan agar dengan itu dihalalkan apa yang telah dilarang, dari perkara yang tidak layak jika dicampurkan dengan jenis yang diminati. Sesungguhnya maksud orang yang melakukan itu adalah untuk mendapatkan kelebihan dari kualitas barang yang ia jual, sehingga ia memberikan sesuatu yang jika diberikan sendirian, pemiliknya tidak akan menerimanya dan tidak akan tertarik dengannya. Ia hanya menerimanya karena mengambil sesuatu yang bersamanya, karena kelebihan barang milik penjual atas barang miliknya. Maka tidak sepantasnya pada emas, perak, dan makanan ada sesuatu dari sifat seperti ini. Jika pemilik makanan yang buruk ingin menjualnya dengan selainnya, hendaklah ia menjualnya secara terpisah, dan tidak mencampurkan sesuatu dengannya. Maka tidak mengapa jika demikian.

بَابُ الْعِينَةِ وَمَا يُشْبِهُهَا

Bab ‘Inah dan yang semisal dengannya

40 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا. فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ

  1. Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya sebelum ia menerimanya secara penuh.

41 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا. فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya sebelum ia menerimanya.

42 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: كُنَّا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَبْتَاعُ الطَّعَامَ. فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِي ابْتَعْنَاهُ فِيهِ، إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia berkata: Dahulu pada masa Rasulullah ﷺ, kami membeli makanan, lalu diutuslah kepada kami seseorang yang memerintahkan kami untuk memindahkannya dari tempat kami membelinya ke tempat lain sebelum kami menjualnya.

43 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ حَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ ابْتَاعَ طَعَامًا أَمَرَ بِهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِلنَّاسِ، فَبَاعَ حَكِيمٌ الطَّعَامَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفِيَهُ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، وَقَالَ: لَا تَبِعْ طَعَامًا ابْتَعْتَهُ حَتَّى تَسْتَوْفِيَهُ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, bahwa Hakim bin Hizam membeli makanan yang Umar bin al-Khattab perintahkan untuk orang-orang, lalu Hakim menjual makanan itu sebelum ia menerimanya secara penuh. Maka hal itu sampai kepada Umar bin al-Khattab, lalu ia mengembalikan (jual beli itu) kepadanya dan berkata: Janganlah engkau menjual makanan yang telah engkau beli sebelum engkau menerimanya secara penuh.

44 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ صُكُوكًا خَرَجَتْ لِلنَّاسِ فِي زَمَانِ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ مِنْ طَعَامِ الْجَارِ، فَتَبَايَعَ النَّاسُ تِلْكَ الصُّكُوكَ بَيْنَهُمْ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفُوهَا، فَدَخَلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَرَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، فَقَالَ: ” أَتُحِلُّ بَيْعَ الرِّبَا يَا مَرْوَانُ؟ فَقَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ، وَمَا ذَاكَ؟ فقَالَ: هَذِهِ الصُّكُوكُ تَبَايَعَهَا النَّاسُ، ثُمَّ بَاعُوهَا، قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفُوهَا، فَبَعَثَ مَرْوَانُ الْحَرَسَ يَتْبَعُونَهَا، يَنْزِعُونَهَا مِنْ أَيْدِي النَّاسِ، وَيَرُدُّونَهَا إِلَى أَهْلِهَا “

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa pada masa Marwan bin al-Hakam, telah keluar surat-surat (sertifikat) untuk orang-orang dari makanan milik tetangga, lalu orang-orang memperjualbelikan surat-surat itu di antara mereka sebelum mereka menerimanya. Maka Zaid bin Tsabit dan seorang dari sahabat Rasulullah ﷺ masuk menemui Marwan bin al-Hakam, lalu berkata: “Apakah engkau menghalalkan jual beli riba, wahai Marwan?” Ia berkata: “Aku berlindung kepada Allah, apa maksudmu?” Ia berkata: “Surat-surat ini diperjualbelikan oleh orang-orang, lalu mereka menjualnya sebelum mereka menerimanya.” Maka Marwan mengutus para penjaga untuk mengikuti surat-surat itu, mengambilnya dari tangan orang-orang, dan mengembalikannya kepada pemiliknya.

45 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَجُلًا أَرَادَ أَنْ يَبْتَاعَ طَعَامًا مِنْ رَجُلٍ إِلَى أَجَلٍ، فَذَهَبَ بِهِ الرَّجُلُ الَّذِي يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ الطَّعَامَ إِلَى السُّوقِ، فَجَعَلَ يُرِيهِ الصُّبَرَ وَيَقُولُ لَهُ: مِنْ أَيِّهَا تُحِبُّ أَنْ أَبْتَاعَ لَكَ؟ فَقَالَ الْمُبْتَاعُ: أَتَبِيعُنِي مَا لَيْسَ عِنْدَكَ؟ فَأَتَيَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لِلْمُبْتَاعِ: لَا تَبْتَعْ مِنْهُ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ، وَقَالَ لِلْبَائِعِ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

  1. Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa seorang laki-laki ingin membeli makanan dari seseorang dengan pembayaran tangguh, lalu orang yang ingin menjual makanan itu membawanya ke pasar, lalu memperlihatkan kepadanya tumpukan-tumpukan makanan dan berkata: “Dari yang mana engkau ingin aku belikan untukmu?” Maka pembeli itu berkata: “Apakah engkau menjual kepadaku sesuatu yang tidak ada padamu?” Lalu keduanya mendatangi ‘Abdullah bin ‘Umar dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar berkata kepada pembeli: “Janganlah engkau membeli darinya sesuatu yang tidak ada padanya,” dan berkata kepada penjual: “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”

46 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ جَمِيلَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُؤَذِّنَ يَقُولُ لِسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ: إِنِّي رَجُلٌ أَبْتَاعُ مِنَ الْأَرْزَاقِ الَّتِي تُعْطَى النَّاسُ بِالْجَارِ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ أُرِيدُ أَنْ أَبِيعَ الطَّعَامَ الْمَضْمُونَ عَلَيَّ إِلَى أَجَلٍ، فَقَالَ لَهُ سَعِيدٌ: أَتُرِيدُ أَنْ تُوَفِّيَهُمْ مِنْ تِلْكَ الْأَرْزَاقِ الَّتِي ابْتَعْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَنَهَاهُ عَنْ ذَلِكَ

46 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ia mendengar Jamīl bin ‘Abd ar-Raḥmān al-Mu’adhdzin berkata kepada Sa‘īd bin al-Musayyib: “Aku adalah seorang yang membeli dari berbagai rizki yang diberikan kepada orang-orang secara jari (takaran) sebanyak yang dikehendaki Allah, kemudian aku ingin menjual makanan yang telah dijamin atas tanggunganku itu dengan pembayaran tempo.” Maka Sa‘īd berkata kepadanya: “Apakah engkau ingin menyerahkan kepada mereka dari rizki yang telah engkau beli itu?” Ia menjawab: “Ya.” Maka Sa‘īd melarangnya dari hal tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، أَنَّهُ مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا بُرًّا أَوْ شَعِيرًا، أَوْ سُلْتًا أَوْ ذُرَةً، أَوْ دُخْنًا أَوْ شَيْئًا مِنَ الْحُبُوبِ الْقِطْنِيَّةِ، أَوْ شَيْئًا مِمَّا يُشْبِهُ الْقِطْنِيَّةَ، مِمَّا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ أَوْ شَيْئًا مِنَ الْأُدُمِ كُلِّهَا: الزَّيْتِ وَالسَّمْنِ وَالْعَسَلِ، وَالْخَلِّ وَالْجُبْنِ وَالشِّيرَقِ، وَاللَّبَنِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْأُدْمِ، فَإِنَّ الْمُبْتَاعَ لَا يَبِيعُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ، حَتَّى يَقْبِضَهُ وَيَسْتَوْفِيَهُ “

Mālik berkata: “Ketentuan yang telah menjadi ijmā‘ di kalangan kami, yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, adalah bahwa siapa saja yang membeli makanan berupa gandum atau jelai, atau sult (sejenis gandum), atau jagung, atau dukhun (sejenis biji-bijian), atau sesuatu dari biji-bijian kapas, atau sesuatu yang serupa dengan kapas, yang wajib dizakati, atau sesuatu dari bahan makanan seperti minyak, mentega, madu, cuka, keju, syiraq (sejenis keju), susu, dan yang serupa dengan itu dari bahan makanan, maka pembeli tidak boleh menjual sesuatu dari itu sampai ia mengambil dan menerima barang tersebut secara penuh.”

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنْ بَيْعِ الطَّعَامِ إِلَى أَجَلٍ

Bab tentang larangan menjual makanan dengan pembayaran tempo

47 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، يَنْهَيَانِ أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ حِنْطَةً بِذَهَبٍ إِلَى أَجَلٍ، ثُمَّ يَشْتَرِيَ بِالذَّهَبِ تَمْرًا قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَ الذَّهَبَ

47 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Abū az-Zinād, bahwa ia mendengar Sa‘īd bin al-Musayyib dan Sulaimān bin Yasār melarang seseorang menjual gandum dengan emas secara tempo, lalu membeli dengan emas itu kurma sebelum menerima emas tersebut.

48 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ فَرْقَدٍ، أَنَّهُ سَأَلَ أَبَا بَكْرِ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنِ الرَّجُلِ: يَبِيعُ الطَّعَامَ مِنَ الرَّجُلِ بِذَهَبٍ إِلَى أَجَلٍ، ثُمَّ يَشْتَرِي بِالذَّهَبِ تَمْرًا قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَ الذَّهَبَ، فَكَرِهَ ذَلِكَ وَنَهَى عَنْهُ

48 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Katsīr bin Farqad, bahwa ia bertanya kepada Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm tentang seseorang yang menjual makanan kepada orang lain dengan emas secara tempo, lalu membeli dengan emas itu kurma sebelum menerima emas tersebut. Maka Abū Bakr membenci hal itu dan melarangnya.

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ بِمِثْلِ ذَلِكَ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb dengan makna yang serupa.

قَالَ مَالِكٍ: وَإِنَّمَا نَهَى سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَابْنُ شِهَابٍ عَنْ أَنْ لَا يَبِيعَ الرَّجُلُ حِنْطَةً بِذَهَبٍ، ثُمَّ يَشْتَرِي الرَّجُلُ بِالذَّهَبِ تَمْرًا قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَ الذَّهَبَ، مِنْ بَيْعِهِ الَّذِي اشْتَرَى مِنْهُ الْحِنْطَةَ، فَأَمَّا أَنْ يَشْتَرِيَ بِالذَّهَبِ الَّتِي بَاعَ بِهَا الْحِنْطَةَ إِلَى أَجَلٍ تَمْرًا، مِنْ غَيْرِ بَائِعِهِ الَّذِي بَاعَ مِنْهُ الْحِنْطَةَ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَ الذَّهَبَ، وَيُحِيلَ الَّذِي اشْتَرَى مِنْهُ التَّمْرَ عَلَى غَرِيمِهِ الَّذِي بَاعَ مِنْهُ الْحِنْطَةَ بِالذَّهَبِ الَّتِي لَهُ عَلَيْهِ فِي ثَمَرِ التَّمْرِ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

Mālik berkata: “Sesungguhnya Sa‘īd bin al-Musayyib, Sulaimān bin Yasār, Abū Bakr bin Muḥammad bin ‘Amr bin Ḥazm, dan Ibnu Syihāb melarang seseorang menjual gandum dengan emas, lalu membeli dengan emas itu kurma sebelum menerima emas tersebut, dari penjual yang sama yang menjualkan gandum kepadanya. Adapun jika ia membeli dengan emas yang ia peroleh dari penjualan gandum secara tempo itu kurma dari selain penjual yang menjualkan gandum kepadanya, sebelum menerima emas tersebut, lalu penjual kurma itu mengalihkan (piutang) kepada penjual gandum yang menjadi piutangnya dalam bentuk kurma, maka tidak mengapa dengan hal itu.”

قَالَ مَالِكٌ: وَقَدْ سَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَلَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا

Mālik berkata: “Aku telah menanyakan hal itu kepada lebih dari satu orang dari kalangan ahli ilmu, dan mereka tidak melihat adanya masalah dalam hal itu.”

بَابُ السُّلْفَةِ فِي الطَّعَامِ

Bab tentang as-salaf (jual beli salam) dalam makanan

49 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: لَا بَأْسَ بِأَنْ يُسَلِّفَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي الطَّعَامِ الْمَوْصُوفِ بِسِعْرٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، مَا لَمْ يَكُنْ فِي زَرْعٍ لَمْ يَبْدُ صَلَاحُهُ، أَوْ تَمْرٍ لَمْ يَبْدُ صَلَاحُهُ

49 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ia berkata: “Tidak mengapa seseorang memberikan salaf (pembayaran di muka) kepada orang lain dalam makanan yang telah ditentukan sifat dan harganya sampai waktu yang telah ditentukan, selama tidak dalam tanaman yang belum tampak baiknya, atau kurma yang belum tampak baiknya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَنْ سَلَّفَ فِي طَعَامٍ بِسِعْرٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، فَحَلَّ الْأَجَلُ فَلَمْ يَجِدِ الْمُبْتَاعُ عِنْدَ الْبَائِعِ وَفَاءً مِمَّا ابْتَاعَ مِنْهُ، فَأَقَالَهُ فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ إِلَّا وَرِقَهُ أَوْ ذَهَبَهُ أَوِ الثَّمَنَ الَّذِي دَفَعَ إِلَيْهِ بِعَيْنِهِ، وَإِنَّهُ لَا يَشْتَرِي مِنْهُ بِذَلِكَ الثَّمَنِ شَيْئًا حَتَّى يَقْبِضَهُ مِنْهُ، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا أَخَذَ غَيْرَ الثَّمَنِ الَّذِي دَفَعَ إِلَيْهِ، أَوْ صَرَفَهُ فِي سِلْعَةٍ غَيْرِ الطَّعَامِ الَّذِي ابْتَاعَ مِنْهُ، فَهُوَ بَيْعُ الطَّعَامِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَوْفَى

Mālik berkata: “Ketentuan di kalangan kami tentang orang yang melakukan salaf dalam makanan dengan harga yang telah diketahui sampai waktu yang telah ditentukan, lalu waktu itu tiba dan pembeli tidak mendapatkan pelunasan dari penjual atas apa yang ia beli darinya, kemudian ia membatalkan akadnya, maka tidak sepatutnya ia mengambil dari penjual kecuali uang perak, emas, atau harga yang ia serahkan kepadanya secara persis. Dan ia tidak boleh membeli dari penjual dengan harga itu sesuatu pun sampai ia menerima harga itu darinya. Hal ini karena jika ia mengambil selain harga yang ia serahkan, atau menukarnya dengan barang lain selain makanan yang ia beli darinya, maka itu termasuk menjual makanan sebelum diterima.”

قَالَ مَالِكٌ: وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَوْفَى

Malik berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli makanan sebelum diterima secara penuh.

قَالَ مَالِكٌ: ” فَإِنْ نَدِمَ الْمُشْتَرِي، فَقَالَ لِلْبَائِعِ: أَقِلْنِي وَأُنْظِرُكَ بِالثَّمَنِ الَّذِي دَفَعْتُ إِلَيْكَ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، وَأَهْلُ الْعِلْمِ يَنْهَوْنَ عَنْهُ، وَذَلِكَ أَنَّهُ لَمَّا حَلَّ الطَّعَامُ لِلْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ، أَخَّرَ عَنْهُ حَقَّهُ عَلَى أَنْ يُقِيلَهُ فَكَانَ ذَلِكَ بَيْعَ الطَّعَامِ إِلَى أَجَلٍ قَبْلَ أَنْ يُسْتَوْفَى

Malik berkata: “Jika pembeli menyesal, lalu berkata kepada penjual: ‘Batalkanlah jual beliku dan aku akan menunggumu dengan harga yang telah aku bayarkan kepadamu,’ maka hal itu tidak diperbolehkan, dan para ahli ilmu melarangnya. Sebab, ketika makanan itu telah menjadi hak pembeli atas penjual, ia menunda haknya dengan syarat penjual membatalkan jual beli, sehingga hal itu menjadi jual beli makanan dengan tempo sebelum diterima secara penuh.”

قَالَ مَالِكٌ: وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ أَنَّ الْمُشْتَرِيَ حِينَ حَلَّ الْأَجَلُ، وَكَرِهَ الطَّعَامَ أَخَذَ بِهِ دِينَارًا إِلَى أَجَلٍ، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِالْإِقَالَةِ، وَإِنَّمَا الْإِقَالَةُ مَا لَمْ يَزْدَدْ فِيهِ الْبَائِعُ، وَلَا الْمُشْتَرِي، فَإِذَا وَقَعَتْ فِيهِ الزِّيَادَةُ بِنَسِيئَةٍ إِلَى أَجَلٍ، أَوْ بِشَيْءٍ يَزْدَادُهُ أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ، أَوْ بِشَيْءٍ يَنْتَفِعُ بِهِ أَحَدُهُمَا، فَإِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِالْإِقَالَةِ، وَإِنَّمَا تَصِيرُ الْإِقَالَةُ إِذَا فَعَلَا ذَلِكَ بَيْعًا، وَإِنَّمَا أُرْخِصَ فِي الْإِقَالَةِ وَالشِّرْكِ، وَالتَّوْلِيَةِ مَا لَمْ يَدْخُلْ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ زِيَادَةٌ أَوْ نُقْصَانٌ، أَوْ نَظِرَةٌ، فَإِنْ دَخَلَ ذَلِكَ زِيَادَةٌ أَوْ نُقْصَانٌ أَوْ نَظِرَةٌ صَارَ بَيْعًا يُحِلُّهُ مَا يُحِلُّ الْبَيْعَ وَيُحَرِّمُهُ مَا يُحَرِّمُ الْبَيْعَ

Malik berkata: Penjelasannya adalah, ketika jatuh tempo dan pembeli tidak menyukai makanan itu, ia mengambilnya dengan satu dinar secara tempo, dan itu bukanlah iqālah (pembatalan jual beli). Iqālah hanyalah jika tidak ada tambahan dari pihak penjual maupun pembeli. Jika terdapat tambahan berupa penundaan waktu, atau sesuatu yang ditambahkan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya, atau sesuatu yang memberi manfaat kepada salah satunya, maka itu bukanlah iqālah. Iqālah hanya terjadi jika keduanya melakukannya sebagai jual beli. Diperbolehkan dalam iqālah, syirkah, dan tawliyah selama tidak ada tambahan, pengurangan, atau penundaan waktu. Jika terdapat tambahan, pengurangan, atau penundaan waktu, maka itu menjadi jual beli yang berlaku padanya hukum halal dan haram sebagaimana jual beli pada umumnya.

قَالَ مَالِكٌ: مَنْ سَلَّفَ فِي حِنْطَةٍ شَامِيَّةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَ مَحْمُولَةً بَعْدَ مَحِلِّ الْأَجَلِ

Malik berkata: Barang siapa melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka) dalam gandum Syam, maka tidak mengapa ia mengambilnya dalam bentuk muatan setelah jatuh tempo.

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ مَنْ سَلَّفَ فِي صِنْفٍ مِنَ الْأَصْنَافِ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَ خَيْرًا مِمَّا سَلَّفَ فِيهِ أَوْ أَدْنَى بَعْدَ مَحِلِّ الْأَجَلِ، وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ أَنْ يُسَلِّفَ الرَّجُلُ فِي حِنْطَةٍ مَحْمُولَةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَ شَعِيرًا أَوْ شَامِيَّةً، وَإِنْ سَلَّفَ فِي تَمْرٍ عَجْوَةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَ صَيْحَانِيًّا أَوْ جَمْعًا، وَإِنْ سَلَّفَ فِي زَبِيبٍ أَحْمَرَ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَ أَسْوَدَ إِذَا كَانَ ذَلِكَ كُلُّهُ بَعْدَ مَحِلِّ الْأَجَلِ، إِذَا كَانَتْ مَكِيلَةُ ذَلِكَ سَوَاءً بِمِثْلِ كَيْلِ مَا سَلَّفَ فِيهِ

Malik berkata: Demikian pula, siapa yang melakukan salam dalam salah satu jenis barang, maka tidak mengapa ia mengambil yang lebih baik atau yang lebih rendah dari yang disalaminya setelah jatuh tempo. Penjelasannya adalah, jika seseorang melakukan salam dalam gandum yang diangkut, maka tidak mengapa ia mengambil jelai atau gandum Syam. Jika ia melakukan salam dalam kurma ajwah, maka tidak mengapa ia mengambil kurma shayhani atau jam‘. Jika ia melakukan salam dalam kismis merah, maka tidak mengapa ia mengambil kismis hitam, selama semua itu dilakukan setelah jatuh tempo, dan takarannya sama dengan takaran barang yang disalaminya.

بَابُ بَيْعِ الطَّعَامِ بِالطَّعَامِ لَا فَضْلَ بَيْنَهُمَا

Bab: Jual Beli Makanan dengan Makanan Tanpa Ada Kelebihan di Antara Keduanya

50 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ قَالَ: فَنِيَ عَلَفُ حِمَارِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَقَالَ لِغُلَامِهِ: خُذْ مِنْ حِنْطَةِ أَهْلِكَ، فَابْتَعْ بِهَا شَعِيرًا، وَلَا تَأْخُذْ إِلَّا مِثْلَهُ

50 – Diceritakan kepadaku oleh Yahya, dari Malik, bahwa sampai kepadanya bahwa Sulaiman bin Yasar berkata: Pakan keledai Sa‘d bin Abi Waqqash habis, lalu ia berkata kepada pelayannya: “Ambillah gandum milik keluargamu, lalu belilah dengan itu jelai, dan jangan ambil kecuali seukuran (takarannya).”

51 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْأَسْوَدِ بْنِ عَبْدِ يَغُوثَ فَنِيَ عَلَفُ دَابَّتِهِ، فَقَالَ لِغُلَامِهِ: خُذْ مِنْ حِنْطَةِ أَهْلِكَ طَعَامًا، فَابْتَعْ بِهَا شَعِيرًا وَلَا تَأْخُذْ إِلَّا مِثْلَهُ

51 – Dan diceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa ia memberitahukan kepadanya bahwa Abdurrahman bin al-Aswad bin ‘Abd Yaghuts kehabisan pakan hewannya, lalu ia berkata kepada pelayannya: “Ambillah dari gandum keluargamu berupa makanan, lalu belilah dengan itu jelai, dan jangan ambil kecuali seukuran (takarannya).”

52 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنِ ابْنِ مُعَيْقِيبٍ الدَّوْسِيِّ مِثْلُ ذَلِكَ، قَالَ مَالِكٍ: وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا

52 – Dan diceritakan kepadaku dari Malik, bahwa sampai kepadanya dari al-Qasim bin Muhammad, dari Ibnu Mu‘aiqib ad-Dausi seperti itu juga. Malik berkata: “Dan demikianlah yang berlaku menurut kami.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنْ لَا تُبَاعَ الْحِنْطَةُ بِالْحِنْطَةِ، وَلَا التَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَلَا الْحِنْطَةُ بِالتَّمْرِ، وَلَا التَّمْرُ بِالزَّبِيبِ، وَلَا الْحِنْطَةُ بِالزَّبِيبِ، وَلَا شَيْءٌ مِنَ الطَّعَامِ كُلِّهِ إِلَّا يَدًا بِيَدٍ، فَإِنْ دَخَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ الْأَجَلُ لَمْ يَصْلُحْ، وَكَانَ حَرَامًا، وَلَا شَيْءَ مِنَ الْأُدْمِ كُلِّهَا إِلَّا يَدًا بِيَدٍ

Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami adalah, tidak boleh menjual gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, gandum dengan kurma, kurma dengan kismis, gandum dengan kismis, atau makanan apa pun kecuali secara tunai (serah terima langsung). Jika ada tempo dalam salah satu dari itu, maka tidak sah dan hukumnya haram. Dan tidak boleh menjual minyak samin atau lemak apa pun kecuali secara tunai (serah terima langsung).

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا يُبَاعُ شَيْءٌ مِنَ الطَّعَامِ وَالْأُدْمِ، إِذَا كَانَ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ: اثْنَانِ بِوَاحِدٍ، فَلَا يُبَاعُ مُدُّ حِنْطَةٍ بِمُدَّيْ حِنْطَةٍ، وَلَا مُدُّ تَمْرٍ بِمُدَّيْ تَمْرٍ، وَلَا مُدُّ زَبِيبٍ بِمُدَّيْ زَبِيبٍ، وَلَا مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْحُبُوبِ وَالْأُدْمِ كُلِّهَا، إِذَا كَانَ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ، وَإِنْ كَانَ يَدًا بِيَدٍ، إِنَّمَا ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الْوَرِقِ بِالْوَرِقِ، وَالذَّهَبِ بِالذَّهَبِ لَا يَحِلُّ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ الْفَضْلُ، وَلَا يَحِلُّ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ

Malik berkata: “Tidak boleh menjual sesuatu dari makanan dan lauk-pauk, apabila berasal dari satu jenis, dua banding satu. Maka tidak boleh menjual satu mud gandum dengan dua mud gandum, atau satu mud kurma dengan dua mud kurma, atau satu mud kismis dengan dua mud kismis, dan juga yang semisal itu dari biji-bijian dan lauk-pauk seluruhnya, apabila berasal dari satu jenis, meskipun dilakukan secara tunai. Hal itu sama kedudukannya dengan perak dengan perak, dan emas dengan emas; tidak halal adanya kelebihan pada salah satu pihak dalam hal itu, dan tidak halal kecuali sepadan dan tunai.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا اخْتَلَفَ مَا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ مِمَّا يُؤْكَلُ أَوْ يُشْرَبُ، فَبَانَ اخْتِلَافُهُ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ يَدًا بِيَدٍ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يُؤْخَذَ صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ بِصَاعَيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ، وَصَاعٌ مِنْ تَمْرٍ بِصَاعَيْنِ مِنْ زَبِيبٍ، وَصَاعٌ مِنْ حِنْطَةٍ بِصَاعَيْنِ مِنْ سَمْنٍ، فَإِذَا كَانَ الصِّنْفَانِ مِنْ هَذَا مُخْتَلِفَيْنِ، فَلَا بَأْسَ بِاثْنَيْنِ مِنْهُ بِوَاحِدٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ يَدًا بِيَدٍ، فَإِنْ دَخَلَ فِي ذَلِكَ الْأَجَلُ فَلَا يَحِلُّ

Malik berkata: “Apabila berbeda apa yang ditakar atau ditimbang dari sesuatu yang dimakan atau diminum, lalu jelas perbedaannya, maka tidak mengapa mengambil dua banding satu secara tunai. Tidak mengapa mengambil satu sha‘ kurma dengan dua sha‘ gandum, satu sha‘ kurma dengan dua sha‘ kismis, satu sha‘ gandum dengan dua sha‘ minyak samin. Maka apabila kedua jenis tersebut berbeda, tidak mengapa dua dari yang satu dengan satu dari yang lain, atau lebih dari itu, asalkan tunai. Namun jika ada penundaan (tempo) dalam transaksi tersebut, maka tidak halal.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا تَحِلُّ صُبْرَةُ الْحِنْطَةِ، بِصُبْرَةِ الْحِنْطَةِ، وَلَا بَأْسَ بِصُبْرَةِ الْحِنْطَةِ، بِصُبْرَةِ التَّمْرِ يَدًا بِيَدٍ، وَذَلِكَ أَنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يُشْتَرَى الْحِنْطَةُ بِالتَّمْرِ جِزَافًا

Malik berkata: “Tidak halal menukar tumpukan gandum dengan tumpukan gandum, tetapi tidak mengapa menukar tumpukan gandum dengan tumpukan kurma secara tunai. Hal itu karena tidak mengapa membeli gandum dengan kurma secara borongan (tanpa ditakar).”

قَالَ مَالِكٌ: وَكُلُّ مَا اخْتَلَفَ مِنَ الطَّعَامِ وَالْأُدْمِ فَبَانَ اخْتِلَافُهُ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يُشْتَرَى بَعْضُهُ بِبَعْضٍ جِزَافًا يَدًا بِيَدٍ، فَإِنْ دَخَلَهُ الْأَجَلُ فَلَا خَيْرَ فِيهِ، وَإِنَّمَا اشْتِرَاءُ ذَلِكَ جِزَافًا كَاشْتِرَاءِ بَعْضِ ذَلِكَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ جِزَافًا

Malik berkata: “Segala sesuatu dari makanan dan lauk-pauk yang berbeda jenisnya dan jelas perbedaannya, tidak mengapa membeli sebagian dengan sebagian lainnya secara borongan dan tunai. Namun jika ada tempo di dalamnya, maka tidak baik. Membeli secara borongan itu seperti membeli sebagian dari makanan tersebut dengan emas atau perak secara borongan.”

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ أَنَّكَ تَشْتَرِي الْحِنْطَةَ بِالْوَرِقِ جِزَافًا، وَالتَّمْرَ بِالذَّهَبِ جِزَافًا فَهَذَا حَلَالٌ لَا بَأْسَ بِهِ

Malik berkata: “Hal itu karena engkau membeli gandum dengan perak secara borongan, dan kurma dengan emas secara borongan, maka ini halal dan tidak mengapa.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ صَبَّرَ صُبْرَةَ طَعَامٍ، وَقَدْ عَلِمَ كَيْلَهَا، ثُمَّ بَاعَهَا جِزَافًا وَكَتَمَ عَلَى الْمُشْتَرِيَ كَيْلَهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، فَإِنْ أَحَبَّ الْمُشْتَرِي أَنْ يَرُدَّ ذَلِكَ الطَّعَامَ عَلَى الْبَائِعِ رَدَّهُ بِمَا كَتَمَهُ كَيْلَهُ وَغَرَّهُ، وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا عَلِمَ الْبَائِعُ كَيْلَهُ، وَعَدَدَهُ مِنَ الطَّعَامِ، وَغَيْرِهِ، ثُمَّ بَاعَهُ جِزَافًا، وَلَمْ يَعْلَمِ الْمُشْتَرِي ذَلِكَ، فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ إِنْ أَحَبَّ أَنْ يَرُدَّ ذَلِكَ عَلَى الْبَائِعِ رَدَّهُ، وَلَمْ يَزَلْ أَهْلُ الْعِلْمِ يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ

Malik berkata: “Barang siapa menumpuk tumpukan makanan, dan ia mengetahui takarannya, lalu menjualnya secara borongan dan menyembunyikan takarannya dari pembeli, maka hal itu tidak sah. Jika pembeli ingin mengembalikan makanan itu kepada penjual karena penjual menyembunyikan takarannya dan menipunya, maka ia boleh mengembalikannya. Demikian pula setiap makanan atau selainnya yang diketahui takaran atau jumlahnya oleh penjual, lalu dijual secara borongan tanpa diketahui oleh pembeli, maka jika pembeli ingin mengembalikannya kepada penjual, ia boleh mengembalikannya. Para ahli ilmu senantiasa melarang hal tersebut.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا خَيْرَ فِي الْخُبْزِ قُرْصٍ بِقُرْصَيْنِ، وَلَا عَظِيمٍ بِصَغِيرٍ، إِذَا كَانَ بَعْضُ ذَلِكَ أَكْبَرَ مِنْ بَعْضٍ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ يُتَحَرَّى أَنْ يَكُونَ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَإِنْ لَمْ يُوزَنْ

Malik berkata: “Tidak baik menukar roti satu keping dengan dua keping, atau yang besar dengan yang kecil, apabila sebagian di antaranya lebih besar dari sebagian yang lain. Namun jika diupayakan agar sepadan, maka tidak mengapa meskipun tidak ditimbang.”

قَالَ مَالِكٌ: ” لَا يَصْلُحُ مُدُّ زُبْدٍ وَمُدُّ لَبَنٍ، بِمُدَّيْ زُبْدٍ، وَهُوَ مِثْلُ الَّذِي وَصَفْنَا مِنَ التَّمْرِ الَّذِي يُبَاعُ صَاعَيْنِ مِنْ كَبِيسٍ وَصَاعًا مِنْ حَشَفٍ بِثَلَاثَةِ أَصْوُعٍ مِنْ عَجْوَةٍ، حِينَ قَالَ لِصَاحِبِهِ: إِنَّ صَاعَيْنِ مِنْ كَبِيسٍ بِثَلَاثَةِ أَصْوُعٍ مِنَ الْعَجْوَةِ، لَا يَصْلُحُ فَفَعَلَ ذَلِكَ لِيُجِيزَ بَيْعَهُ، وَإِنَّمَا جَعَلَ صَاحِبُ اللَّبَنِ اللَّبَنَ مَعَ زُبْدِهِ لِيَأْخُذَ فَضْلَ زُبْدِهِ عَلَى زُبْدِ صَاحِبِهِ حِينَ أَدْخَلَ مَعَهُ اللَّبَنَ

Malik berkata: “Tidak sah menukar satu mud mentega dan satu mud susu dengan dua mud mentega. Ini seperti yang kami jelaskan tentang kurma, yaitu menjual dua sha‘ kurma kering dan satu sha‘ kurma jelek dengan tiga sha‘ kurma ajwah, ketika seseorang berkata kepada temannya: ‘Dua sha‘ kurma kering dengan tiga sha‘ kurma ajwah,’ maka itu tidak sah. Ia melakukan itu agar jual belinya diizinkan. Pemilik susu mencampurkan susu dengan menteganya agar bisa mengambil kelebihan mentega atas mentega milik temannya ketika ia memasukkan susu bersamanya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالدَّقِيقُ بِالْحِنْطَةِ مِثْلًا بِمِثْلٍ لَا بَأْسَ بِهِ، وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَخْلَصَ الدَّقِيقَ فَبَاعَهُ بِالْحِنْطَةِ مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَلَوْ جَعَلَ نِصْفَ الْمُدِّ مِنْ دَقِيقٍ، وَنِصْفَهُ مِنْ حِنْطَةٍ فَبَاعَ ذَلِكَ بِمُدٍّ مِنْ حِنْطَةٍ، كَانَ ذَلِكَ مِثْلَ الَّذِي وَصَفْنَا لَا يَصْلُحُ، لِأَنَّهُ إِنَّمَا أَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ فَضْلَ حِنْطَتِهِ الْجَيِّدَةِ حَتَّى جَعَلَ مَعَهَا الدَّقِيقَ فَهَذَا لَا يَصْلُحُ

Malik berkata: Menjual tepung dengan gandum secara sama banyak tidak mengapa, karena ia telah memurnikan tepung lalu menjualnya dengan gandum secara sama banyak. Namun, jika ia mencampur setengah mud dari tepung dan setengahnya lagi dari gandum, lalu menjual campuran itu dengan satu mud gandum, maka hal itu seperti yang telah kami jelaskan, tidak sah. Sebab, ia bermaksud mengambil kelebihan dari gandum bagus miliknya dengan mencampurkannya dengan tepung, maka ini tidak sah.

بَابُ جَامِعِ بَيْعِ الطَّعَامِ

Bab Kompilasi Jual Beli Makanan

53 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، أَنَّهُ سَأَلَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ فَقَالَ: إِنِّي رَجُلٌ أَبْتَاعُ الطَّعَامَ يَكُونُ مِنَ الصُّكُوكِ بِالْجَارِ، فَرُبَّمَا ابْتَعْتُ مِنْهُ بِدِينَارٍ وَنِصْفِ دِرْهَمٍ فَأُعْطَى بِالنِّصْفِ طَعَامًا، فَقَالَ سَعِيدٌ: لَا وَلَكِنْ أَعْطِ أَنْتَ دِرْهَمًا، وَخُذْ بَقِيَّتَهُ طَعَامًا

53 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Muhammad bin Abdullah bin Abi Maryam, bahwa ia bertanya kepada Sa‘id bin al-Musayyib, lalu berkata: “Aku seorang yang membeli makanan yang berasal dari surat-surat piutang di pasar, kadang aku membelinya seharga satu dinar dan setengah dirham, lalu aku diberi makanan seharga setengah dirham.” Sa‘id berkata: “Jangan, tetapi berikanlah satu dirham, dan ambillah sisanya berupa makanan.”

54 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ: أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ سِيرِينَ كَانَ يَقُولُ: لَا تَبِيعُوا الْحَبَّ فِي سُنْبُلِهِ حَتَّى يَبْيَضَّ

54 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya: Bahwa Muhammad bin Sirin berkata: “Janganlah kalian menjual biji-bijian yang masih dalam bulirnya hingga warnanya memutih.”

قَالَ مَالِكٌ: مَنِ اشْتَرَى طَعَامًا بِسِعْرٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، فَلَمَّا حَلَّ الْأَجَلُ، قَالَ الَّذِي عَلَيْهِ الطَّعَامُ لِصَاحِبِهِ: لَيْسَ عِنْدِي طَعَامٌ، فَبِعْنِي الطَّعَامَ الَّذِي لَكَ عَلَيَّ إِلَى أَجَلٍ، فَيَقُولُ صَاحِبُ الطَّعَامِ: هَذَا لَا يَصْلُحُ لِأَنَّهُ قَدْ ” نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ حَتَّى يُسْتَوْفَى “، فَيَقُولُ الَّذِي عَلَيْهِ الطَّعَامُ لِغَرِيمِهِ: فَبِعْنِي طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ حَتَّى أَقْضِيَكَهُ، فَهَذَا لَا يَصْلُحُ لِأَنَّهُ إِنَّمَا يُعْطِيهِ طَعَامًا ثُمَّ يَرُدُّهُ إِلَيْهِ فَيَصِيرُ الذَّهَبُ الَّذِي أَعْطَاهُ ثَمَنَ الطَّعَامِ الَّذِي كَانَ لَهُ عَلَيْهِ، وَيَصِيرُ الطَّعَامُ الَّذِي أَعْطَاهُ مُحَلِّلًا فِيمَا بَيْنَهُمَا، وَيَكُونُ ذَلِكَ إِذَا فَعَلَاهُ بَيْعَ الطَّعَامِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَوْفَى “

Malik berkata: Seseorang membeli makanan dengan harga tertentu untuk tempo yang telah ditentukan, lalu ketika jatuh tempo, orang yang berutang makanan berkata kepada pemiliknya: ‘Aku tidak memiliki makanan, maka juallah kepadaku makanan yang menjadi hakmu atasku untuk tempo tertentu.’ Maka pemilik makanan berkata: ‘Ini tidak sah, karena Rasulullah ﷺ telah melarang jual beli makanan sebelum diterima.’ Lalu orang yang berutang makanan berkata kepada krediturnya: ‘Juallah kepadaku makanan untuk tempo tertentu agar aku dapat melunasinya kepadamu.’ Ini pun tidak sah, karena ia hanya memberikan makanan lalu mengembalikannya kepadanya, sehingga emas yang ia berikan menjadi harga makanan yang menjadi haknya, dan makanan yang ia berikan menjadi halal di antara mereka, dan jika keduanya melakukan hal itu, maka itu adalah jual beli makanan sebelum diterima.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ لَهُ عَلَى رَجُلٍ طَعَامٌ ابْتَاعَهُ مِنْهُ، وَلِغَرِيمِهِ عَلَى رَجُلٍ طَعَامٌ مِثْلُ ذَلِكَ الطَّعَامِ، فَقَالَ الَّذِي عَلَيْهِ الطَّعَامُ لِغَرِيمِهِ: أُحِيلُكَ عَلَى غَرِيمٍ لِي، عَلَيْهِ مِثْلُ الطَّعَامِ الَّذِي لَكَ عَلَيَّ بِطَعَامِكَ الَّذِي لَكَ عَلَيَّ

Malik berkata: Jika seseorang memiliki piutang makanan pada orang lain yang ia beli darinya, dan krediturnya juga memiliki piutang makanan pada orang lain berupa makanan yang sama, lalu orang yang berutang makanan berkata kepada krediturnya: ‘Aku alihkan kamu kepada orang yang berutang kepadaku, yang memiliki makanan seperti yang menjadi hakmu atasku, dengan makananmu yang menjadi hakmu atasku.’

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الطَّعَامُ إِنَّمَا هُوَ طَعَامٌ ابْتَاعَهُ، فَأَرَادَ أَنْ يُحِيلَ غَرِيمَهُ بِطَعَامٍ ابْتَاعَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، وَذَلِكَ بَيْعُ الطَّعَامِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَوْفَى، فَإِنْ كَانَ الطَّعَامُ سَلَفًا حَالًّا، فَلَا بَأْسَ أَنْ يُحِيلَ بِهِ غَرِيمَهُ، لِأَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِبَيْعٍ، وَلَا يَحِلُّ بَيْعُ الطَّعَامِ قَبْلَ أَنْ يُسْتَوْفَى لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، غَيْرَ أَنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ قَدِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِالشِّرْكِ وَالتَّوْلِيَةِ وَالْإِقَالَةِ فِي الطَّعَامِ وَغَيْرِهِ

Malik berkata: Jika orang yang berutang makanan itu hanyalah makanan yang ia beli, lalu ia ingin mengalihkan krediturnya dengan makanan yang ia beli itu, maka hal itu tidak sah, karena itu adalah jual beli makanan sebelum diterima. Namun, jika makanan itu adalah piutang yang sudah jatuh tempo, maka tidak mengapa ia mengalihkan krediturnya, karena itu bukan jual beli. Tidak halal menjual makanan sebelum diterima karena larangan Rasulullah ﷺ tentang hal itu. Akan tetapi, para ahli ilmu telah sepakat bahwa tidak mengapa melakukan syirkah, tawliyah, dan iqālah dalam makanan maupun selainnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ أَنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ أَنْزَلُوهُ عَلَى وَجْهِ الْمَعْرُوفِ، وَلَمْ يُنْزِلُوهُ عَلَى وَجْهِ الْبَيْعِ، وَذَلِكَ مِثْلُ الرَّجُلِ يُسَلِّفُ الدَّرَاهِمَ النُّقَّصَ، فَيُقْضَى دَرَاهِمَ وَازِنَةً فِيهَا فَضْلٌ، فَيَحِلُّ لَهُ ذَلِكَ، وَيَجُوزُ وَلَوِ اشْتَرَى مِنْهُ دَرَاهِمَ نُقَّصًا بِوَازِنَةٍ، لَمْ يَحِلَّ ذَلِكَ، وَلَوِ اشْتَرَطَ عَلَيْهِ حِينَ أَسْلَفَهُ وَازِنَةً، وَإِنَّمَا أَعْطَاهُ نُقَّصًا لَمْ يَحِلَّ لَهُ ذَلِكَ

Malik berkata: Hal itu karena para ahli ilmu memandangnya sebagai bentuk kebaikan (mu‘āruf), bukan sebagai jual beli. Contohnya seperti seseorang meminjamkan dirham yang kurang berat, lalu dibayar dengan dirham yang seimbang dan ada kelebihannya, maka itu halal baginya dan boleh. Namun, jika ia membeli dari orang itu dirham yang kurang berat dengan dirham yang seimbang, maka itu tidak halal. Jika ia mensyaratkan saat meminjamkan agar dibayar dengan dirham yang seimbang, sementara yang ia berikan adalah dirham yang kurang berat, maka itu tidak halal baginya.

55 – قَالَ مَالِكٌ: وَمِمَّا يُشْبِهُ ذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُزَابَنَةِ، وَأَرْخَصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا بِخَرْصِهَا مِنَ التَّمْرِ، وَإِنَّمَا فُرِقَ بَيْنَ ذَلِكَ أَنَّ بَيْعَ الْمُزَابَنَةِ بَيْعٌ عَلَى وَجْهِ الْمُكَايَسَةِ، وَالتِّجَارَةِ، وَأَنَّ بَيْعَ الْعَرَايَا عَلَى وَجْهِ الْمَعْرُوفِ لَا مُكَايَسَةَ فِيهِ

55 – Malik berkata: Dan di antara hal yang serupa dengan itu adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli muzābanah, namun memberikan keringanan dalam jual beli ‘arāyā berdasarkan taksiran dari kurma, dan perbedaan antara keduanya adalah bahwa jual beli muzābanah dilakukan dengan cara tawar-menawar dan perdagangan, sedangkan jual beli ‘arāyā dilakukan atas dasar kebaikan tanpa ada tawar-menawar di dalamnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَشْتَرِيَ رَجُلٌ طَعَامًا بِرُبُعٍ أَوْ ثُلُثٍ أَوْ كِسْرٍ مِنْ دِرْهَمٍ. عَلَى أَنْ يُعْطَى بِذَلِكَ طَعَامًا إِلَى أَجَلٍ. وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبْتَاعَ الرَّجُلُ طَعَامًا بِكِسْرٍ مِنْ دِرْهَمٍ إِلَى أَجَلٍ، ثُمَّ يُعْطَى دِرْهَمًا وَيَأْخُذُ بِمَا بَقِيَ لَهُ مِنْ دِرْهَمِهِ سِلْعَةً مِنَ السِّلَعِ. أَنَّهُ أَعْطَى الْكِسْرَ الَّذِي عَلَيْهِ، فِضَّةً. وَأَخَذَ بِبَقِيَّةِ دِرْهَمِهِ سِلْعَةً، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ

Malik berkata: Tidak sepantasnya seseorang membeli makanan dengan seperempat, sepertiga, atau pecahan dari satu dirham, dengan syarat ia akan diberi makanan itu secara tangguh. Namun tidak mengapa seseorang membeli makanan dengan pecahan dari satu dirham secara tangguh, lalu ia membayar satu dirham dan mengambil barang lain dari sisa uangnya. Karena ia telah membayar pecahan yang menjadi tanggungannya dengan perak, dan mengambil barang dari sisa dirhamnya, maka hal ini tidak mengapa.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا بَأْسَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ عِنْدَ الرَّجُلِ دِرْهَمًا، ثُمَّ يَأْخُذُ مِنْهُ بِرُبُعٍ أَوْ بِثُلُثٍ أَوْ بِكِسْرٍ مَعْلُومٍ سِلْعَةً مَعْلُومَةً، فَإِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ سِعْرٌ مَعْلُومٌ، وَقَالَ الرَّجُلُ: آخُذُ مِنْكَ بِسِعْرِ كُلِّ يَوْمٍ، فَهَذَا لَا يَحِلُّ لِأَنَّهُ غَرَرٌ يَقِلُّ مَرَّةً، وَيَكْثُرُ مَرَّةً، وَلَمْ يَفْتَرِقَا عَلَى بَيْعٍ مَعْلُومٍ

Malik berkata: “Tidak mengapa seseorang menitipkan satu dirham kepada orang lain, lalu ia mengambil darinya barang tertentu dengan seperempat, sepertiga, atau pecahan yang diketahui dari dirham tersebut. Namun jika tidak ada harga yang jelas dalam hal itu, dan orang tersebut berkata: ‘Aku akan mengambil darimu sesuai harga setiap hari,’ maka ini tidak boleh karena mengandung gharar (ketidakjelasan), kadang sedikit, kadang banyak, dan mereka tidak berpisah dalam keadaan jual beli yang jelas.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ بَاعَ طَعَامًا جِزَافًا وَلَمْ يَسْتَثْنِ مِنْهُ شَيْئًا، ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْهُ شَيْئًا، فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ لَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْهُ شَيْئًا، إِلَّا مَا كَانَ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَثْنِيَ مِنْهُ، وَذَلِكَ الثُّلُثُ فَمَا دُونَهُ، فَإِنْ زَادَ عَلَى الثُّلُثِ، صَارَ ذَلِكَ إِلَى الْمُزَابَنَةِ، وَإِلَى مَا يُكْرَهُ، فَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا مَا كَانَ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَثْنِيَ مِنْهُ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَثْنِيَ مِنْهُ إِلَّا الثُّلُثَ، فَمَا دُونَهُ، وَهَذَا الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا

Malik berkata: Barang siapa menjual makanan secara borongan (tanpa ditakar) dan tidak mengecualikan sedikit pun darinya, lalu ia ingin membeli sebagian darinya, maka tidak boleh baginya membeli sebagian darinya kecuali sebatas yang boleh ia kecualikan, yaitu sepertiga atau kurang darinya. Jika melebihi sepertiga, maka itu termasuk muzābanah dan hal yang dibenci, maka tidak sepantasnya ia membeli darinya kecuali sebatas yang boleh ia kecualikan, dan tidak boleh ia mengecualikan kecuali sepertiga atau kurang darinya. Inilah perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami.

بَابُ الْحُكْرَةِ وَالتَّرَبُّصِ

Bab tentang ihtikār (penimbunan) dan menunggu waktu (menahan barang).

56 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: لَا حُكْرَةَ فِي سُوقِنَا، لَا يَعْمِدُ رِجَالٌ بِأَيْدِيهِمْ فُضُولٌ مِنْ أَذْهَابٍ إِلَى رِزْقٍ مِنْ رِزْقِ اللَّهِ نَزَلَ بِسَاحَتِنَا، فَيَحْتَكِرُونَهُ عَلَيْنَا، وَلَكِنْ أَيُّمَا جَالِبٍ جَلَبَ عَلَى عَمُودِ كَبِدِهِ فِي الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ، فَذَلِكَ ضَيْفُ عُمَرَ فَلْيَبِعْ كَيْفَ شَاءَ اللَّهُ، وَلْيُمْسِكْ كَيْفَ شَاءَ اللَّهُ

56 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Umar bin al-Khattab berkata: “Tidak ada ihtikār di pasar kami. Tidak boleh sekelompok orang yang memiliki kelebihan harta mendatangi rezeki dari rezeki Allah yang turun di halaman kami, lalu mereka menimbunnya atas kami. Tetapi siapa saja yang membawa barang dagangan dengan susah payah di musim dingin dan panas, maka dia adalah tamu Umar. Silakan ia menjual sebagaimana yang Allah kehendaki, dan menahan sebagaimana yang Allah kehendaki.”

57 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يُونُسَ بْنِ يُوسُفَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مَرَّ بِحَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ وَهُوَ يَبِيعُ زَبِيبًا لَهُ بِالسُّوقِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: إِمَّا أَنْ تَزِيدَ فِي السِّعْرِ، وَإِمَّا أَنْ تُرْفَعَ مِنْ سُوقِنَا

57 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yunus bin Yusuf, dari Sa’id bin al-Musayyab, bahwa Umar bin al-Khattab melewati Hatib bin Abi Balta’ah yang sedang menjual anggur kering (kismis) miliknya di pasar. Maka Umar bin al-Khattab berkata kepadanya: “Naikkanlah harga barangmu, atau angkatlah barangmu dari pasar kami.”

58 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ كَانَ يَنْهَى عَنِ الْحُكْرَةِ

58 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Utsman bin ‘Affan melarang ihtikār (penimbunan barang).

بَابُ مَا يَجُوزُ مِنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ وَالسَّلَفِ فِيهِ

Bab tentang jual beli hewan sebagian dengan sebagian lainnya dan as-salaf (jual beli dengan pembayaran di muka) pada hewan.

59 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ حَسَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ بَاعَ جَمَلًا لَهُ يُدْعَى عُصَيْفِيرًا بِعِشْرِينَ بَعِيرًا إِلَى أَجَلٍ

59 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Shalih bin Kaisan, dari Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menjual seekor unta miliknya yang bernama ‘Usaifir dengan dua puluh ekor unta secara tangguh (pembayaran di kemudian hari).

60 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ اشْتَرَى رَاحِلَةً بِأَرْبَعَةِ أَبْعِرَةٍ مَضْمُونَةٍ عَلَيْهِ يُوفِيهَا صَاحِبَهَا بِالرَّبَذَةِ

60 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar membeli seekor kendaraan (unta tunggangan) dengan empat ekor unta yang dijamin atasnya, yang akan ia serahkan kepada pemiliknya di Rabdzah.

61 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ عَنْ: ” بَيْعِ الْحَيَوَانِ اثْنَيْنِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ ” قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِالْجَمَلِ بِالْجَمَلِ مِثْلِهِ، وَزِيَادَةِ دَرَاهِمَ يَدًا بِيَدٍ، وَلَا بَأْسَ بِالْجَمَلِ بِالْجَمَلِ مِثْلِهِ وَزِيَادَةِ دَرَاهِمَ، الْجَمَلُ بِالْجَمَلِ يَدًا بِيَدٍ. وَالدَّرَاهِمُ إِلَى أَجَلٍ. قَالَ: وَلَا خَيْرَ فِي الْجَمَلِ بِالْجَمَلِ مِثْلِهِ. وَزِيَادَةِ دَرَاهِمَ. الدَّرَاهِمُ نَقْدًا، وَالْجَمَلُ إِلَى أَجَلٍ. وَإِنْ أَخَّرْتَ الْجَمَلَ وَالدَّرَاهِمَ، لَا خَيْرَ فِي ذَلِكَ أَيْضًا

61 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Syihāb tentang: “Jual beli dua ekor hewan dengan satu ekor secara tempo,” maka ia berkata: “Tidak mengapa dengan hal itu.” Mālik berkata: “Praktik yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami adalah, tidak mengapa menukar unta dengan unta sejenisnya dan tambahan dirham secara tunai, dan tidak mengapa menukar unta dengan unta sejenisnya dan tambahan dirham, unta dengan unta secara tunai, dan dirham secara tempo. Ia berkata: Dan tidak baik menukar unta dengan unta sejenisnya dan tambahan dirham, dirhamnya tunai dan untanya secara tempo. Dan jika engkau menunda unta dan dirhamnya, maka itu juga tidak baik.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبْتَاعَ الْبَعِيرَ النَّجِيبَ بِالْبَعِيرَيْنِ، أَوْ بِالْأَبْعِرَةِ مِنَ الْحَمُولَةِ مِنْ مَاشِيَةِ الْإِبِلِ، وَإِنْ كَانَتْ مِنْ نَعَمٍ وَاحِدَةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يُشْتَرَى مِنْهَا اثْنَانِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ، إِذَا اخْتَلَفَتْ فَبَانَ اخْتِلَافُهَا، وَإِنْ أَشْبَهَ بَعْضُهَا بَعْضًا، وَاخْتَلَفَتْ أَجْنَاسُهَا، أَوْ لَمْ تَخْتَلِفْ، فَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا اثْنَانِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ

Mālik berkata: Tidak mengapa membeli unta yang unggul dengan dua ekor unta, atau dengan beberapa ekor unta dari kelompok unta ternak, dan meskipun dari satu jenis hewan ternak, maka tidak mengapa membeli dua ekor dengan satu ekor secara tempo, jika terdapat perbedaan yang jelas di antara keduanya, meskipun sebagian dari mereka mirip satu sama lain, dan berbeda jenisnya, atau tidak berbeda, maka tidak boleh membeli dua ekor dengan satu ekor secara tempo.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَتَفْسِيرُ مَا كُرِهَ مِنْ ذَلِكَ: أَنْ يُؤْخَذَ الْبَعِيرُ بِالْبَعِيرَيْنِ لَيْسَ بَيْنَهُمَا تَفَاضُلٌ فِي نَجَابَةٍ وَلَا رِحْلَةٍ فَإِذَا كَانَ هَذَا عَلَى مَا وَصَفْتُ لَكَ، فَلَا يُشْتَرَى مِنْهُ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ، وَلَا بَأْسَ أَنْ تَبِيعَ مَا اشْتَرَيْتَ مِنْهَا، قَبْلَ أَنْ تَسْتَوْفِيَهُ مِنْ غَيْرِ الَّذِي اشْتَرَيْتَهُ مِنْهُ إِذَا انْتَقَدْتَ ثَمَنَهُ

Mālik berkata: “Penjelasan tentang apa yang dimakruhkan dari hal itu adalah: mengambil seekor unta dengan dua ekor unta yang tidak ada keunggulan dalam keunggulan atau perjalanan, maka jika keadaannya seperti yang aku jelaskan kepadamu, maka tidak boleh membeli dua ekor dengan satu ekor secara tempo. Dan tidak mengapa menjual apa yang telah engkau beli darinya, sebelum engkau menerimanya dari selain orang yang engkau beli darinya, jika engkau telah membayar harganya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ سَلَّفَ فِي شَيْءٍ مِنَ الْحَيَوَانِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَوَصَفَهُ، وَحَلَّاهُ، وَنَقَدَ ثَمَنَهُ، فَذَلِكَ جَائِزٌ، وَهُوَ لَازِمٌ لِلْبَائِعِ وَالْمُبْتَاعِ عَلَى مَا وَصَفَا وَحَلَّيَا، وَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ مِنْ عَمَلِ النَّاسِ الْجَائِزِ بَيْنَهُمْ، وَالَّذِي لَمْ يَزَلْ عَلَيْهِ أَهْلُ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا

Mālik berkata: “Barang siapa melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka) pada sesuatu dari hewan hingga waktu tertentu, lalu ia menyebutkan sifatnya, cirinya, dan telah membayar harganya, maka itu boleh, dan itu mengikat bagi penjual dan pembeli sesuai dengan sifat dan ciri yang telah disebutkan. Dan hal itu senantiasa menjadi praktik yang dibolehkan di antara manusia, dan yang tetap menjadi pegangan para ahli ilmu di negeri kami.”

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ

Bab: Jual Beli Hewan yang Tidak Diperbolehkan

62 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ، ثُمَّ تُنْتَجَ الَّتِي فِي بَطْنِهَا

62 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa Rasulullah ﷺ melarang jual beli ḥabal al-ḥabalah, yaitu jual beli yang dilakukan oleh orang-orang jahiliah, di mana seseorang membeli seekor unta betina hingga ia melahirkan, kemudian melahirkan lagi anak yang ada dalam kandungannya.

63 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: ” لَا رِبًا فِي الْحَيَوَانِ، وَإِنَّمَا نُهِيَ مِنَ الْحَيَوَانِ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الْمَضَامِينِ وَالْمَلَاقِيحِ وَحَبَلِ الْحَبَلَةِ، وَالْمَضَامِينُ بَيْعُ مَا فِي بُطُونِ إِنَاثِ الْإِبِلِ، وَالْمَلَاقِيحُ بَيْعُ مَا فِي ظُهُورِ الْجِمَالِ

63 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia berkata: “Tidak ada riba pada hewan, dan yang dilarang dari hewan hanyalah tiga: al-madāmīn, al-malāqīḥ, dan ḥabal al-ḥabalah. Al-madāmīn adalah jual beli apa yang ada di perut unta betina, dan al-malāqīḥ adalah jual beli apa yang ada di punggung unta jantan.”

قَالَ مَالِكٌ: لَا يَنْبَغِي أَنْ يَشْتَرِيَ أَحَدٌ شَيْئًا مِنَ الْحَيَوَانِ بِعَيْنِهِ إِذَا كَانَ غَائِبًا عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ قَدْ رَآهُ وَرَضِيَهُ عَلَى أَنْ يَنْقُدَ ثَمَنَهُ لَا قَرِيبًا وَلَا بَعِيدًا

Mālik berkata: Tidak sepantasnya seseorang membeli sesuatu dari hewan tertentu jika hewan itu tidak hadir di hadapannya, meskipun ia telah melihat dan meridhainya, dengan syarat ia membayar harganya, baik dalam waktu dekat maupun jauh.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا كُرِهَ ذَلِكَ، لِأَنَّ الْبَائِعَ يَنْتَفِعُ بِالثَّمَنِ، وَلَا يُدْرَى هَلْ تُوجَدُ تِلْكَ السِّلْعَةُ عَلَى مَا رَآهَا الْمُبْتَاعُ أَمْ لَا؟ فَلِذَلِكَ كُرِهَ ذَلِكَ، وَلَا بَأْسَ بِهِ، إِذَا كَانَ مَضْمُونًا مَوْصُوفًا

Mālik berkata: Hal itu dimakruhkan karena penjual telah mengambil manfaat dari harga, sementara tidak diketahui apakah barang itu akan ditemukan sesuai dengan apa yang dilihat oleh pembeli atau tidak. Karena itulah hal itu dimakruhkan. Namun tidak mengapa jika barang itu dijamin dan telah disebutkan sifatnya.

بَابُ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِاللَّحْمِ

Bab: Jual Beli Hewan dengan Daging

64 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِاللَّحْمِ

64 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, bahwa Rasulullah ﷺ melarang jual beli hewan dengan daging.

65 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ: مِنْ مَيْسِرِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ بَيْعُ الْحَيَوَانِ بِاللَّحْمِ بِالشَّاةِ وَالشَّاتَيْنِ

65 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Dāwud bin al-Ḥuṣain, bahwa ia mendengar Sa‘īd bin al-Musayyib berkata: Termasuk praktik maisir (perjudian) orang-orang jahiliah adalah jual beli hewan dengan daging, dengan satu atau dua ekor kambing.

66 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: نُهِيَ عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِاللَّحْمِ
قَالَ أَبُو الزِّنَادِ: فَقُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ: أَرَأَيْتَ رَجُلًا اشْتَرَى شَارِفًا بِعَشَرَةِ شِيَاهٍ؟ فَقَالَ سَعِيدٌ: إِنْ كَانَ اشْتَرَاهَا لِيَنْحَرَهَا، فَلَا خَيْرَ فِي ذَلِكَ
قَالَ أَبُو الزِّنَادِ: وَكُلُّ مَنْ أَدْرَكْتُ مِنَ النَّاسِ يَنْهَوْنَ عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِاللَّحْمِ، قَالَ أَبُو الزِّنَادِ: وَكَانَ ذَلِكَ يُكْتَبُ فِي عُهُودِ الْعُمَّالِ فِي زَمَانِ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَهِشَامِ بْنِ إِسْمَاعِيلَ يَنْهَوْنَ عَنْ ذَلِكَ

66 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia biasa berkata: Dilarang menjual hewan dengan daging.
Abū az-Zinād berkata: Maka aku bertanya kepada Sa‘īd bin al-Musayyib: Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang membeli seekor unta muda dengan sepuluh ekor kambing? Sa‘īd menjawab: Jika ia membelinya untuk disembelih, maka tidak ada kebaikan dalam hal itu.
Abū az-Zinād berkata: Dan semua orang yang aku temui melarang jual beli hewan dengan daging. Abū az-Zinād berkata: Dan hal itu juga dicantumkan dalam surat keputusan para pejabat pada masa Abān bin ‘Utsmān dan Hisyām bin Ismā‘īl, mereka melarang hal tersebut.

بَابُ بَيْعِ اللَّحْمِ بِاللَّحْمِ
67 – قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي لَحْمِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْوُحُوشِ، أَنَّهُ لَا يُشْتَرَى بَعْضُهُ بِبَعْضٍ، إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَزْنًا بِوَزْنٍ، يَدًا بِيَدٍ، وَلَا بَأْسَ بِهِ وَإِنْ لَمْ يُوزَنْ، إِذَا تَحَرَّى أَنْ يَكُونَ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ

Bab Jual Beli Daging dengan Daging
67 – Mālik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami mengenai daging unta, sapi, kambing, dan hewan liar sejenisnya, adalah bahwa tidak boleh membeli sebagian dengan sebagian lainnya kecuali sepadan, seberat dengan seberat, tunai dengan tunai. Tidak mengapa jika tidak ditimbang, selama diperkirakan sepadan dan tunai.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ بِلَحْمِ الْحِيتَانِ، بِلَحْمِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْوُحُوشِ كُلِّهَا، اثْنَيْنِ بِوَاحِدٍ وَأَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ يَدًا بِيَدٍ، فَإِنْ دَخَلَ ذَلِكَ الْأَجَلُ فَلَا خَيْرَ فِيهِ

Mālik berkata: Tidak mengapa menukar daging ikan dengan daging unta, sapi, kambing, dan semua hewan liar sejenisnya, dua lawan satu atau lebih dari itu, asalkan tunai. Namun jika ada penundaan pembayaran, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَأَرَى لُحُومَ الطَّيْرِ كُلَّهَا مُخَالِفَةً لِلُحُومِ الْأَنْعَامِ، وَالْحِيتَانِ، فَلَا أَرَى بَأْسًا بِأَنْ يُشْتَرَى بَعْضُ ذَلِكَ بِبَعْضٍ مُتَفَاضِلًا يَدًا بِيَدٍ، وَلَا يُبَاعُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ إِلَى أَجَلٍ

بَابُ مَا جَاءَ فِي ثَمَنِ الْكَلْبِ

Mālik berkata: Aku memandang bahwa semua daging burung berbeda dengan daging hewan ternak dan ikan. Maka aku tidak melihat masalah jika sebagian daging burung ditukar dengan sebagian lainnya secara tidak sepadan, asalkan tunai. Dan tidak boleh ada penundaan dalam jual beli tersebut.

Bab Tentang Harga Anjing

68 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ، وَمَهْرِ الْبَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ يَعْنِي بِمَهْرِ الْبَغِيِّ: مَا تُعْطَاهُ الْمَرْأَةُ عَلَى الزِّنَا، وَحُلْوَانُ الْكَاهِنِ رَشْوَتُهُ، وَمَا يُعْطَى عَلَى أَنْ يَتَكَهَّنَ.

68 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Abū Bakr bin ‘Abdurrahmān bin al-Hārith bin Hisyām, dari Abū Mas‘ūd al-Anshārī bahwa Rasulullah ﷺ melarang (mengambil) harga anjing, upah pelacur, dan bayaran dukun. Yang dimaksud dengan upah pelacur adalah apa yang diberikan kepada perempuan sebagai imbalan atas perzinaan, dan bayaran dukun adalah suapnya, yaitu apa yang diberikan agar ia melakukan perdukunan.

قَالَ مَالِكٌ: أَكْرَهُ ثَمَنَ الْكَلْبِ الضَّارِي وَغَيْرِ الضَّارِي، لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ

Mālik berkata: Aku membenci harga anjing buas maupun yang bukan buas, karena larangan Rasulullah ﷺ terhadap harga anjing.

بَابُ السَّلَفِ وَبَيْعِ الْعُرُوضِ بَعْضِهَا بِبَعْضٍ

Bab Salam (jual beli dengan pembayaran di muka) dan Jual Beli Barang dengan Barang

69 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعٍ وَسَلَفٍ

69 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ melarang jual beli dan salam (dalam satu akad).

قَالَ مَالِكٌ: وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ آخُذُ سِلْعَتَكَ بِكَذَا وَكَذَا، عَلَى أَنْ تُسْلِفَنِي كَذَا وَكَذَا، فَإِنْ عَقَدَا بَيْعَهُمَا عَلَى هَذَا الْوَجْهِ فَهُوَ غَيْرُ جَائِزٍ. فَإِنْ تَرَكَ الَّذِي اشْتَرَطَ السَّلَفَ، مَا اشْتَرَطَ مِنْهُ كَانَ ذَلِكَ الْبَيْعُ جَائِزًا

Mālik berkata: Penjelasannya adalah seseorang berkata kepada orang lain, “Aku ambil barangmu dengan harga sekian, dengan syarat kamu memberikan pinjaman (salam) kepadaku sekian.” Jika mereka mengadakan akad jual beli dengan cara seperti ini, maka itu tidak boleh. Namun jika pihak yang mensyaratkan salam meninggalkan syarat tersebut, maka jual belinya sah.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ أَنْ يُشْتَرَى الثَّوْبُ مِنَ الْكَتَّانِ أَوِ الشَّطَوِيِّ أَوِ الْقَصَبِيِّ بِالْأَثْوَابِ مِنَ الْإِتْرِيبِيِّ، أَوِ الْقَسِّيِّ أَوِ الزِّيقَةِ، أَوِ الثَّوْبِ الْهَرَوِيِّ أَوِ الْمَرْوِيِّ بِالْمَلَاحِفِ الْيَمَانِيَّةِ، وَالشَّقَائِقِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ الْوَاحِدُ بِالْاثْنَيْنِ أَوِ الثَّلَاثَةِ يَدًا بِيَدٍ، أَوْ إِلَى أَجَلٍ، وَإِنْ كَانَ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ فَإِنْ دَخَلَ ذَلِكَ نَسِيئَةٌ فَلَا خَيْرَ فِيهِ

Mālik berkata: Tidak mengapa membeli kain dari linen, atau kain Syathwi, atau Qashabi dengan kain dari Itribi, atau Qassi, atau Ziqah, atau kain Harawi, atau Marwi dengan selendang Yaman, atau Shaqaiq, dan sejenisnya, satu lawan dua atau tiga, tunai ataupun tempo. Namun jika dari jenis yang sama lalu ada penundaan pembayaran, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَصْلُحُ حَتَّى يَخْتَلِفَ فَيَبِينَ اخْتِلَافُهُ، فَإِذَا أَشْبَهَ بَعْضُ ذَلِكَ بَعْضًا، وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَسْمَاؤُهُ، فَلَا يَأْخُذْ مِنْهُ اثْنَيْنِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ، وَذَلِكَ أَنْ يَأْخُذَ الثَّوْبَيْنِ مِنَ الْهَرَوِيِّ، بِالثَّوْبِ مِنَ الْمَرْوِيِّ أَوِ الْقُوهِيِّ إِلَى أَجَلٍ، أَوْ يَأْخُذَ الثَّوْبَيْنِ مِنَ الْفُرْقُبِيِّ بِالثَّوْبِ مِنَ الشَّطَوِيِّ فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ الْأَجْنَاسُ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ فَلَا يُشْتَرَى مِنْهَا اثْنَانِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ

Malik berkata: Tidak sah sampai terjadi perbedaan yang jelas antara keduanya. Jika sebagian dari barang-barang itu serupa satu sama lain, meskipun namanya berbeda, maka tidak boleh mengambil dua barang dari salah satunya dengan satu barang dari yang lain secara tangguh (dengan tempo). Contohnya adalah mengambil dua kain dari orang Harawi dengan satu kain dari orang Marwi atau Quhi secara tangguh, atau mengambil dua kain dari orang Furqubi dengan satu kain dari orang Shatwi. Jika jenis-jenis ini keadaannya seperti itu, maka tidak boleh membeli dua dari satu dengan satu secara tangguh.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ أَنْ تَبِيعَ مَا اشْتَرَيْتَ مِنْهَا قَبْلَ أَنْ تَسْتَوْفِيَهُ، مِنْ غَيْرِ صَاحِبِهِ الَّذِي اشْتَرَيْتَهُ مِنْهُ إِذَا انْتَقَدْتَ ثَمَنَهُ

Malik berkata: Tidak mengapa menjual barang yang telah engkau beli dari mereka sebelum engkau menerimanya, kepada selain penjual yang engkau membelinya darinya, apabila engkau telah membayar harganya.

بَابُ السُّلْفَةِ فِي الْعُرُوضِ

Bab tentang salam (jual beli tangguh) dalam barang-barang (selain emas dan perak).

70 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ وَرَجُلٌ يَسْأَلُهُ عَنْ رَجُلٍ سَلَّفَ فِي سَبَائِبَ فَأَرَادَ بَيْعَهَا قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهَا؟ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: تِلْكَ الْوَرِقُ بِالْوَرِقِ وَكَرِهَ ذَلِكَ

70 – Yahya menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa ia berkata: Aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Abbas, ketika seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang seseorang yang melakukan salam (pembelian tangguh) dalam sabā’ib (perak batangan), lalu ia ingin menjualnya sebelum menerimanya? Maka Ibn ‘Abbas berkata: Itu adalah perak dengan perak, dan ia membenci hal tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ فِيمَا نُرَى، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَبِيعَهَا مِنْ صَاحِبِهَا الَّذِي اشْتَرَاهَا مِنْهُ، بِأَكْثَرَ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي ابْتَاعَهَا بِهِ، وَلَوْ أَنَّهُ بَاعَهَا مِنْ غَيْرِ الَّذِي اشْتَرَاهَا مِنْهُ لَمْ يَكُنْ بِذَلِكَ بَأْسٌ

Malik berkata: Demikianlah menurut pendapat kami, dan Allah lebih mengetahui, bahwa yang dimaksud adalah ia ingin menjualnya kepada penjual yang sama, dengan harga lebih tinggi dari harga yang ia beli. Jika ia menjualnya kepada selain orang yang ia beli darinya, maka tidak mengapa.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، فِيمَنْ سَلَّفَ فِي رَقِيقٍ، أَوْ مَاشِيَةٍ أَوْ عُرُوضٍ، فَإِذَا كَانَ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ مَوْصُوفًا، فَسَلَّفَ فِيهِ إِلَى أَجَلٍ. فَحَلَّ الْأَجَلُ، فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ لَا يَبِيعُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ مِنِ الَّذِي اشْتَرَاهُ مِنْهُ، بِأَكْثَرَ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي سَلَّفَهُ فِيهِ، قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَ مَا سَلَّفَهُ فِيهِ، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا فَعَلَهُ فَهُوَ الرِّبَا، صَارَ الْمُشْتَرِي إِنْ أَعْطَى الَّذِي بَاعَهُ دَنَانِيرَ أَوْ دَرَاهِمَ، فَانْتَفَعَ بِهَا، فَلَمَّا حَلَّتْ عَلَيْهِ السِّلْعَةُ وَلَمْ يَقْبِضْهَا الْمُشْتَرِي بَاعَهَا مِنْ صَاحِبِهَا بِأَكْثَرَ مِمَّا سَلَّفَهُ فِيهَا، فَصَارَ أَنْ رَدَّ إِلَيْهِ مَا سَلَّفَهُ وَزَادَهُ مِنْ عِنْدِهِ

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi ijmā‘ di kalangan kami, tentang orang yang melakukan salam dalam budak, hewan ternak, atau barang-barang, apabila setiap barang tersebut telah dijelaskan sifatnya, lalu dilakukan salam dengan tempo tertentu. Ketika tempo telah jatuh tempo, maka pembeli tidak boleh menjual barang itu kepada penjual yang sama dengan harga lebih tinggi dari harga yang ia bayarkan, sebelum ia menerima barang yang ia beli secara salam itu. Sebab jika ia melakukannya, maka itu adalah riba. Pembeli, jika ia telah memberikan dinar atau dirham kepada penjual, lalu penjual memanfaatkannya, kemudian ketika barang telah jatuh tempo dan pembeli belum menerimanya, ia menjualnya kembali kepada penjual dengan harga lebih tinggi dari yang ia bayarkan, maka seakan-akan penjual mengembalikan uang yang telah ia terima dan menambahkannya dari dirinya sendiri.

قَالَ مَالِكٌ: مَنْ سَلَّفَ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا فِي حَيَوَانٍ أَوْ عُرُوضٍ، إِذَا كَانَ مَوْصُوفًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، ثُمَّ حَلَّ الْأَجَلُ، فَإِنَّهُ لَا بَأْسَ أَنْ يَبِيعَ الْمُشْتَرِي تِلْكَ السِّلْعَةَ مِنَ الْبَائِعِ، قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الْأَجَلُ أَوْ بَعْدَ مَا يَحِلُّ بِعَرْضٍ مِنَ الْعُرُوضِ يُعَجِّلُهُ، وَلَا يُؤَخِّرُهُ، بَالِغًا مَا بَلَغَ ذَلِكَ الْعَرْضُ، إِلَّا الطَّعَامَ فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ أَنْ يَبِيعَهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ، وَلِلْمُشْتَرِي أَنْ يَبِيعَ تِلْكَ السِّلْعَةَ مِنْ غَيْرِ صَاحِبِهِ الَّذِي ابْتَاعَهَا مِنْهُ بِذَهَبٍ أَوْ وَرِقٍ، أَوْ عَرْضٍ مِنَ الْعُرُوضِ، يَقْبِضُ ذَلِكَ وَلَا يُؤَخِّرُهُ، لِأَنَّهُ إِذَا أَخَّرَ ذَلِكَ قَبُحَ، وَدَخَلَهُ مَا يُكْرَهُ مِنَ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ وَالْكَالِئُ بِالْكَالِئِ أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ دَيْنًا لَهُ عَلَى رَجُلٍ بِدَيْنٍ عَلَى رَجُلٍ آخَرَ

Malik berkata: Barang siapa melakukan salam dengan emas atau perak dalam hewan atau barang-barang, apabila telah dijelaskan sifatnya dan dengan tempo tertentu, lalu tempo itu telah jatuh tempo, maka tidak mengapa pembeli menjual barang tersebut kepada penjual, sebelum atau sesudah jatuh tempo, dengan barang lain yang diserahkan secara tunai dan tidak ditangguhkan, berapapun nilai barang itu, kecuali makanan, maka tidak boleh menjualnya sebelum menerimanya. Pembeli boleh menjual barang itu kepada selain penjual yang ia beli darinya, baik dengan emas, perak, atau barang lain, dengan syarat ia menerima barang itu secara tunai dan tidak menangguhkannya. Karena jika ia menangguhkannya, maka itu tercela dan termasuk dalam larangan al-kāli’ bi al-kāli’, yaitu seseorang menjual piutang yang dimilikinya kepada seseorang dengan piutang kepada orang lain.

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ سَلَّفَ فِي سِلْعَةٍ إِلَى أَجَلٍ، وَتِلْكَ السِّلْعَةُ مِمَّا لَا يُؤْكَلُ، وَلَا يُشْرَبُ فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ يَبِيعُهَا مِمَّنْ شَاءَ، بِنَقْدٍ أَوْ عَرْضٍ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوْفِيَهَا مِنْ غَيْرِ صَاحِبِهَا الَّذِي اشْتَرَاهَا مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَبِيعَهَا مِنِ الَّذِي ابْتَاعَهَا مِنْهُ، إِلَّا بِعَرْضٍ يَقْبِضُهُ وَلَا يُؤَخِّرُهُ

Malik berkata: Barang siapa melakukan salam dalam suatu barang hingga tempo tertentu, dan barang itu bukan termasuk yang dimakan atau diminum, maka pembeli boleh menjualnya kepada siapa saja yang ia kehendaki, baik dengan uang tunai atau barang lain, sebelum ia menerimanya, kepada selain penjual yang ia beli darinya. Namun tidak sepatutnya ia menjualnya kepada penjual yang sama, kecuali dengan barang lain yang ia terima secara tunai dan tidak menangguhkannya.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ كَانَتِ السِّلْعَةُ لَمْ تَحِلَّ فَلَا بَأْسَ بِأَنْ يَبِيعَهَا مِنْ صَاحِبِهَا بِعَرْضٍ مُخَالِفٍ لَهَا، بَيِّنٍ خِلَافُهُ يَقْبِضُهُ وَلَا يُؤَخِّرُهُ

Malik berkata: Jika barang tersebut belum jatuh tempo, maka tidak mengapa menjualnya kepada penjual dengan barang lain yang berbeda secara jelas, yang ia terima secara tunai dan tidak menangguhkannya.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِيمَنْ سَلَّفَ دَنَانِيرَ أَوْ دَرَاهِمَ فِي أَرْبَعَةِ أَثْوَابٍ مَوْصُوفَةٍ إِلَى أَجَلٍ، فَلَمَّا حَلَّ الْأَجَلُ، تَقَاضَى صَاحِبَهَا فَلَمْ يَجِدْهَا عِنْدَهُ، وَوَجَدَ عِنْدَهُ ثِيَابًا دُونَهَا مِنْ صِنْفِهَا، فَقَالَ لَهُ الَّذِي عَلَيْهِ الْأَثْوَابُ: أُعْطِيكَ بِهَا ثَمَانِيَةَ أَثْوَابٍ مِنْ ثِيَابِي هَذِهِ، إِنَّهُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، إِذَا أَخَذَ تِلْكَ الْأَثْوَابَ الَّتِي يُعْطِيهِ قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا، فَإِنْ دَخَلَ ذَلِكَ الْأَجَلُ، فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ، وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ مَحِلِّ الْأَجَلِ، فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ أَيْضًا، إِلَّا أَنْ يَبِيعَهُ ثِيَابًا لَيْسَتْ مِنْ صِنْفِ الثِّيَابِ الَّتِي سَلَّفَهُ فِيهَا “

Malik berkata: “Tentang seseorang yang melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka) dengan dinar atau dirham untuk empat helai pakaian yang telah ditentukan sifatnya hingga waktu tertentu, lalu ketika waktu itu tiba, ia menagih kepada pemiliknya namun tidak mendapatkannya, dan ia mendapati di tempatnya ada pakaian lain yang lebih rendah dari jenis yang sama, lalu orang yang berkewajiban menyerahkan pakaian itu berkata: ‘Aku akan memberimu delapan helai pakaian dari pakaianku ini sebagai gantinya.’ Maka tidak mengapa dengan hal itu, selama ia mengambil pakaian-pakaian yang diberikan kepadanya sebelum mereka berpisah. Namun jika hal itu terjadi setelah jatuh tempo, maka tidak boleh. Dan jika itu terjadi sebelum jatuh tempo, juga tidak boleh, kecuali jika ia menjual kepadanya pakaian yang bukan dari jenis pakaian yang ia lakukan salam padanya.”

بَابُ بَيْعِ النُّحَاسِ وَالْحَدِيدِ وَمَا أَشْبَهَهُمَا مِمَّا يُوزَنُ

Bab Jual Beli Tembaga, Besi, dan yang Semisal Keduanya dari Barang yang Ditimbang

71 – قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَا كَانَ مِمَّا يُوزَنُ مِنْ غَيْرِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ: مِنَ النُّحَاسِ وَالشَّبَهِ وَالرَّصَاصِ وَالْآنُكِ، وَالْحَدِيدِ، وَالْقَضْبِ وَالتِّينِ، وَالْكُرْسُفِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، مِمَّا يُوزَنُ، فَلَا بَأْسَ بِأَنْ يُؤْخَذَ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ يَدًا بِيَدٍ، وَلَا بَأْسَ أَنْ يُؤْخَذَ رِطْلُ حَدِيدٍ بِرِطْلَيْ حَدِيدٍ وَرِطْلُ صُفْرٍ بِرِطْلَيْ صُفْرٍ

71 – Malik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai barang-barang yang ditimbang selain emas dan perak, seperti tembaga, kuningan, timah, perunggu, besi, baja, timah hitam, kapas, dan yang semisalnya dari barang-barang yang ditimbang, maka tidak mengapa mengambil dua dari satu jenis dengan satu, secara tunai. Tidak mengapa juga mengambil satu rithl besi dengan dua rithl besi, dan satu rithl kuningan dengan dua rithl kuningan.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا خَيْرَ فِيهِ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَ الصِّنْفَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَبَانَ اخْتِلَافُهُمَا، فَلَا بَأْسَ بِأَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ، فَإِنْ كَانَ الصِّنْفُ مِنْهُ يُشْبِهُ الصِّنْفَ الْآخَرَ، وَإِنِ اخْتَلَفَا فِي الِاسْمِ مِثْلُ الرَّصَاصِ وَالْآنُكِ وَالشَّبَهِ وَالصُّفْرِ فَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ

Malik berkata: Dan tidak baik mengambil dua dari satu jenis dengan satu dari jenis yang sama secara tangguh (tidak tunai). Namun jika kedua jenis itu berbeda dan perbedaan keduanya jelas, maka tidak mengapa mengambil dua dari satu dengan satu dari yang lain secara tangguh. Tetapi jika satu jenis menyerupai jenis lainnya, meskipun berbeda nama seperti timah dan perunggu, kuningan dan tembaga, maka aku tidak suka mengambil dua dari satu dengan satu dari yang lain secara tangguh.

قَالَ مَالِكٌ: وَمَا اشْتَرَيْتَ مِنْ هَذِهِ الْأَصْنَافِ كُلِّهَا، فَلَا بَأْسَ أَنْ تَبِيعَهُ قَبْلَ أَنْ تَقْبِضَهُ مِنْ غَيْرِ صَاحِبِهِ الَّذِي اشْتَرَيْتَهُ مِنْهُ، إِذَا قَبَضْتَ ثَمَنَهُ، إِذَا كُنْتَ اشْتَرَيْتَهُ كَيْلًا أَوْ وَزْنًا، فَإِنِ اشْتَرَيْتَهُ جِزَافًا فَبِعْهُ مِنْ غَيْرِ الَّذِي اشْتَرَيْتَهُ مِنْهُ، بِنَقْدٍ أَوْ إِلَى أَجَلٍ، وَذَلِكَ أَنَّ ضَمَانَهُ مِنْكَ إِذَا اشْتَرَيْتَهُ جِزَافًا، وَلَا يَكُونُ ضَمَانُهُ مِنْكَ إِذَا اشْتَرَيْتَهُ وَزْنًا حَتَّى تَزِنَهُ وَتَسْتَوْفِيَهُ، وَهَذَا أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي هَذِهِ الْأَشْيَاءِ كُلِّهَا، وَهُوَ الَّذِي لَمْ يَزَلْ عَلَيْهِ أَمْرُ النَّاسِ عِنْدَنَا

Malik berkata: Dan apa saja yang kamu beli dari semua jenis ini, maka tidak mengapa menjualnya sebelum kamu menerimanya dari selain orang yang kamu beli darinya, jika kamu telah menerima harganya, apabila kamu membelinya dengan takaran atau timbangan. Namun jika kamu membelinya secara borongan (tanpa takaran/timbangan), maka juallah kepada selain orang yang kamu beli darinya, baik secara tunai maupun tangguh, karena tanggungannya menjadi tanggunganmu jika kamu membelinya secara borongan. Dan tidak menjadi tanggunganmu jika kamu membelinya dengan timbangan sampai kamu menimbang dan mengambilnya secara penuh. Inilah pendapat yang paling aku sukai dari apa yang aku dengar tentang semua hal ini, dan inilah yang selalu menjadi praktik masyarakat di tempat kami.

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ مِمَّا لَا يُؤْكَلُ وَلَا يُشْرَبُ مِثْلُ: الْعُصْفُرِ وَالنَّوَى، وَالْخَبَطِ وَالْكَتَمِ وَمَا يُشْبِهُ ذَلِكَ، أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِأَنْ يُؤْخَذَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ مِنْهُ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ يَدًا بِيَدٍ، وَلَا يُؤْخَذُ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ مِنْهُ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ، فَإِنِ اخْتَلَفَ الصِّنْفَانِ فَبَانَ اخْتِلَافُهُمَا، فَلَا بَأْسَ بِأَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُمَا اثْنَانِ بِوَاحِدٍ إِلَى أَجَلٍ، وَمَا اشْتُرِيَ مِنْ هَذِهِ الْأَصْنَافِ كُلِّهَا، فَلَا بَأْسَ بِأَنْ يُبَاعَ قَبْلَ أَنْ يُسْتَوْفَى إِذَا قَبَضَ ثَمَنَهُ مِنْ غَيْرِ صَاحِبِهِ الَّذِي اشْتَرَاهُ مِنْهُ

Malik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai barang-barang yang ditakar atau ditimbang yang tidak dimakan dan tidak diminum, seperti: asfar (bunga safron), biji kurma, daun pohon, indigo, dan yang semisalnya, maka tidak mengapa mengambil dua dari satu jenis dengan satu secara tunai. Namun tidak boleh mengambil dua dari satu jenis dengan satu dari jenis yang sama secara tangguh. Jika kedua jenis itu berbeda dan perbedaannya jelas, maka tidak mengapa mengambil dua dari satu dengan satu dari yang lain secara tangguh. Dan apa saja yang dibeli dari semua jenis ini, maka tidak mengapa dijual sebelum diterima jika telah menerima harganya dari selain orang yang membelinya darinya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَكُلُّ شَيْءٍ يَنْتَفِعُ بِهِ النَّاسُ مِنَ الْأَصْنَافِ كُلِّهَا، وَإِنْ كَانَتِ الْحَصْبَاءَ وَالْقَصَّةَ، فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمِثْلَيْهِ إِلَى أَجَلٍ فَهُوَ رِبًا، وَوَاحِدٌ مِنْهُمَا بِمِثْلِهِ وَزِيَادَةُ شَيْءٍ مِنَ الْأَشْيَاءِ إِلَى أَجَلٍ فَهُوَ رِبًا

Malik berkata: “Segala sesuatu yang dimanfaatkan manusia dari semua jenis, meskipun berupa kerikil dan kapur, maka setiap satu dari keduanya dengan dua kali lipatnya secara tangguh adalah riba. Dan satu dari keduanya dengan yang sepadan ditambah sedikit dari barang lain secara tangguh juga merupakan riba.”

بَابُ النَّهْيِ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Bab Larangan Dua Akad Jual Beli dalam Satu Jual Beli

72 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

72 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Rasulullah ﷺ melarang dua akad jual beli dalam satu jual beli.

73 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِرَجُلٍ: ابْتَعْ لِي هَذَا الْبَعِيرَ بِنَقْدٍ، حَتَّى أَبْتَاعَهُ مِنْكَ إِلَى أَجَلٍ، فَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ فَكَرِهَهُ وَنَهَى عَنْهُ

73 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain: “Belikan untukku unta ini dengan pembayaran tunai, agar aku membelinya darimu secara tempo.” Maka hal itu ditanyakan kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar, lalu ia membencinya dan melarangnya.

74 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ: اشْتَرَى سِلْعَةً بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ نَقْدًا، أَوْ بِخَمْسَةَ عَشَرَ دِينَارًا إِلَى أَجَلٍ، فَكَرِهَ ذَلِكَ وَنَهَى عَنْهُ

74 – Dan telah diceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa al-Qāsim bin Muhammad ditanya tentang seorang laki-laki yang membeli suatu barang dengan sepuluh dinar tunai, atau dengan lima belas dinar secara tempo. Maka ia membenci hal itu dan melarangnya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ ابْتَاعَ سِلْعَةً مِنْ رَجُلٍ بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ نَقْدًا، أَوْ بِخَمْسَةَ عَشَرَ دِينَارًا إِلَى أَجَلٍ، قَدْ وَجَبَتْ لِلْمُشْتَرِي بِأَحَدِ الثَّمَنَيْنِ، إِنَّهُ لَا يَنْبَغِي ذَلِكَ لِأَنَّهُ إِنْ أَخَّرَ الْعَشَرَةَ كَانَتْ خَمْسَةَ عَشَرَ إِلَى أَجَلٍ، وَإِنْ نَقَدَ الْعَشَرَةَ كَانَ إِنَّمَا اشْتَرَى بِهَا الْخَمْسَةَ عَشَرَ الَّتِي إِلَى أَجَلٍ

Mālik berkata: Tentang seorang laki-laki yang membeli barang dari orang lain dengan sepuluh dinar tunai, atau dengan lima belas dinar secara tempo, maka telah menjadi hak pembeli dengan salah satu dari dua harga tersebut. Sesungguhnya hal itu tidak sepatutnya dilakukan, karena jika ia menunda pembayaran sepuluh dinar, maka menjadi lima belas dinar secara tempo, dan jika ia membayar sepuluh dinar tunai, maka sebenarnya ia membeli dengan lima belas dinar yang secara tempo.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ اشْتَرَى مِنْ رَجُلٍ سِلْعَةً بِدِينَارٍ نَقْدًا، أَوْ بِشَاةٍ مَوْصُوفَةٍ إِلَى أَجَلٍ، قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ بِأَحَدِ الثَّمَنَيْنِ، إِنَّ ذَلِكَ مَكْرُوهٌ، لَا يَنْبَغِي لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، وَهَذَا مِنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Mālik berkata: Tentang seorang laki-laki yang membeli barang dari orang lain dengan satu dinar tunai, atau dengan seekor kambing yang telah ditentukan sifatnya secara tempo, maka telah menjadi kewajiban atasnya dengan salah satu dari dua harga tersebut. Sesungguhnya hal itu makruh, tidak sepatutnya dilakukan, karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah melarang dua transaksi dalam satu transaksi, dan ini termasuk dua transaksi dalam satu transaksi.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي رَجُلٍ قَالَ لِرَجُلٍ: أَشْتَرِي مِنْكَ هَذِهِ الْعَجْوَةَ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا أَوِ الصَّيْحَانِيَّ عَشَرَةَ أَصْوُعٍ، أَوِ الْحِنْطَةَ الْمَحْمُولَةَ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا، أَوِ الشَّامِيَّةَ عَشَرَةَ أَصْوُعٍ بِدِينَارٍ، قَدْ وَجَبَتْ لِي إِحْدَاهُمَا، إِنَّ ذَلِكَ مَكْرُوهٌ لَا يَحِلُّ، وَذَلِكَ أَنَّهُ قَدْ أَوْجَبَ لَهُ عَشَرَةَ أَصْوُعٍ صَيْحَانِيًّا فَهُوَ يَدَعُهَا، وَيَأْخُذُ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا مِنَ الْعَجْوَةِ، أَوْ تَجِبُ عَلَيْهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا مِنَ الْحِنْطَةِ الْمَحْمُولَةِ، فَيَدَعُهَا وَيَأْخُذُ عَشَرَةَ أَصْوُعٍ مِنَ الشَّامِيَّةِ، فَهَذَا أَيْضًا مَكْرُوهٌ لَا يَحِلُّ، وَهُوَ أَيْضًا يُشْبِهُ مَا نُهِيَ عَنْهُ مِنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، وَهُوَ أَيْضًا مِمَّا نُهِيَ عَنْهُ أَنْ يُبَاعَ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ مِنَ الطَّعَامِ اثْنَانِ بِوَاحِدٍ “

Mālik berkata: “Tentang seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain: Aku akan membeli darimu kurma ‘ajwah ini sebanyak lima belas ṣā‘, atau kurma ṣaiḥānī sepuluh ṣū‘, atau gandum yang diangkut sebanyak lima belas ṣā‘, atau gandum Syam sepuluh ṣū‘ dengan satu dinar, maka salah satunya telah menjadi hakku. Sesungguhnya hal itu makruh dan tidak halal, karena ia telah menetapkan untuk dirinya sepuluh ṣū‘ kurma ṣaiḥānī lalu ia meninggalkannya dan mengambil lima belas ṣā‘ kurma ‘ajwah, atau menjadi wajib atasnya lima belas ṣā‘ gandum yang diangkut, lalu ia meninggalkannya dan mengambil sepuluh ṣū‘ gandum Syam. Maka ini juga makruh dan tidak halal, dan ini juga menyerupai apa yang dilarang berupa dua transaksi dalam satu transaksi, dan ini juga termasuk apa yang dilarang, yaitu menjual dua dari satu jenis makanan dengan satu.”

بَابُ بَيْعِ الْغَرَرِ

Bab Jual Beli Gharar (ketidakjelasan/ketidakpastian)

75 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

75 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Abū Ḥāzim bin Dīnār, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli gharar.

قَالَ مَالِكٌ: وَمِنَ الْغَرَرِ وَالْمُخَاطَرَةِ أَنْ يَعْمِدَ الرَّجُلُ قَدْ ضَلَّتْ دَابَّتُهُ، أَوْ أَبَقَ غُلَامُهُ، وَثَمَنُ الشَّيْءِ مِنْ ذَلِكَ خَمْسُونَ دِينَارًا، فَيَقُولُ رَجُلٌ: أَنَا آخُذُهُ مِنْكَ بِعِشْرِينَ دِينَارًا، فَإِنْ وَجَدَهُ الْمُبْتَاعُ ذَهَبَ مِنَ الْبَائِعِ ثَلَاثُونَ دِينَارًا، وَإِنْ لَمْ يَجِدْهُ ذَهَبَ الْبَائِعُ مِنَ الْمُبْتَاعِ بِعِشْرِينَ دِينَارًا

Mālik berkata: Termasuk gharar dan muḵāṭarah (spekulasi) adalah seseorang yang hewannya hilang atau budaknya kabur, dan harga barang tersebut lima puluh dinar, lalu seseorang berkata: “Aku akan mengambilnya darimu dengan dua puluh dinar.” Jika pembeli mendapatkannya, maka penjual kehilangan tiga puluh dinar, dan jika tidak mendapatkannya, maka penjual mengambil dua puluh dinar dari pembeli.

قَالَ مَالِكٌ: وَفِي ذَلِكَ عَيْبٌ آخَرُ إِنَّ تِلْكَ الضَّالَّةَ، إِنْ وُجِدَتْ، لَمْ يُدْرَ أَزَادَتْ أَمْ نَقَصَتْ، أَمْ مَا حَدَثَ بِهَا مِنَ الْعُيُوبِ فَهَذَا أَعْظَمُ الْمُخَاطَرَةِ

Mālik berkata: Dan dalam hal itu terdapat cacat lain, yaitu jika barang yang hilang itu ditemukan, tidak diketahui apakah bertambah atau berkurang, atau apa yang terjadi padanya dari cacat-cacat, maka ini adalah bentuk muḵāṭarah yang paling besar.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ مِنَ الْمُخَاطَرَةِ وَالْغَرَرِ اشْتِرَاءَ مَا فِي بُطُونِ الْإِنَاثِ مِنَ النِّسَاءِ وَالدَّوَابِّ، لِأَنَّهُ لَا يُدْرَى أَيَخْرُجُ أَمْ لَا يَخْرُجُ؟ فَإِنْ خَرَجَ لَمْ يُدْرَ أَيَكُونُ حَسَنًا أَمْ قَبِيحًا؟ أَمْ تَامًّا أَمْ نَاقِصًا؟ أَمْ ذَكَرًا أَمْ أُنْثَى؟ وَذَلِكَ كُلُّهُ يَتَفَاضَلُ، إِنْ كَانَ عَلَى كَذَا فَقِيمَتُهُ كَذَا، وَإِنْ كَانَ عَلَى كَذَا فَقِيمَتُهُ كَذَا

Mālik berkata: Dan praktik yang berlaku di kalangan kami, bahwa termasuk muḵāṭarah dan gharar adalah membeli apa yang ada di dalam perut betina, baik manusia maupun hewan, karena tidak diketahui apakah akan lahir atau tidak? Jika lahir, tidak diketahui apakah akan bagus atau jelek? Sempurna atau cacat? Laki-laki atau perempuan? Dan semua itu berbeda nilainya, jika begini maka harganya sekian, jika begitu maka harganya sekian.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَنْبَغِي بَيْعُ الْإِنَاثِ، وَاسْتِثْنَاءُ مَا فِي بُطُونِهَا، وَذَلِكَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: ثَمَنُ شَاتِي الْغَزِيرَةِ ثَلَاثَةُ دَنَانِيرَ فَهِيَ لَكَ بِدِينَارَيْنِ، وَلِي مَا فِي بَطْنِهَا، فَهَذَا مَكْرُوهٌ لِأَنَّهُ غَرَرٌ وَمُخَاطَرَةٌ “

Malik berkata: Tidak sepantasnya menjual hewan betina dengan mengecualikan apa yang ada di dalam perutnya, yaitu seseorang berkata kepada orang lain: “Harga kambing betinaku yang banyak susunya adalah tiga dinar, maka ia untukmu dengan dua dinar, dan yang ada di dalam perutnya menjadi milikku.” Ini makruh karena mengandung gharar (ketidakjelasan) dan perjudian.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَحِلُّ بَيْعُ الزَّيْتُونِ بِالزَّيْتِ، وَلَا الْجُلْجُلَانِ بِدُهْنِ الْجُلْجُلَانِ، وَلَا الزُّبْدِ بِالسَّمْنِ، لِأَنَّ الْمُزَابَنَةَ تَدْخُلُهُ، وَلِأَنَّ الَّذِي يَشْتَرِي الْحَبَّ وَمَا أَشْبَهَهُ بِشَيْءٍ مُسَمًّى مِمَّا يَخْرُجُ مِنْهُ، لَا يَدْرِي أَيَخْرُجُ مِنْهُ أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرُ؟ فَهَذَا غَرَرٌ وَمُخَاطَرَةٌ

Malik berkata: Tidak halal menjual buah zaitun dengan minyak zaitun, atau wijen dengan minyak wijen, atau mentega dengan samin, karena di dalamnya terdapat unsur muzābanah, dan karena orang yang membeli biji-bijian dan sejenisnya dengan sesuatu yang dihasilkan darinya, tidak mengetahui apakah hasilnya akan lebih sedikit atau lebih banyak dari itu? Maka ini adalah gharar dan perjudian.

قَالَ مَالِكٌ: وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا اشْتِرَاءُ حَبِّ الْبَانِ بِالسَّلِيخَةِ فَذَلِكَ غَرَرٌ، لِأَنَّ الَّذِي يَخْرُجُ مِنْ حَبِّ الْبَانِ هُوَ السَّلِيخَةُ، وَلَا بَأْسَ بِحَبِّ الْبَانِ بِالْبَانِ الْمُطَيَّبِ، لِأَنَّ الْبَانَ الْمُطَيَّبَ قَدْ طُيِّبَ وَنُشَّ وَتَحَوَّلَ عَنْ حَالِ السَّلِيخَةِ

Malik berkata: Termasuk juga dalam hal itu adalah membeli biji ban dengan salīkhah, maka itu adalah gharar, karena yang keluar dari biji ban adalah salīkhah. Namun tidak mengapa membeli biji ban dengan ban yang sudah diolah, karena ban yang sudah diolah telah diproses, dikeringkan, dan telah berubah dari keadaan salīkhah.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي رَجُلٍ بَاعَ سِلْعَةً مِنْ رَجُلٍ عَلَى أَنَّهُ لَا نُقْصَانَ عَلَى الْمُبْتَاعِ، إِنَّ ذَلِكَ بَيْعٌ غَيْرُ جَائِزٍ وَهُوَ مِنَ الْمُخَاطَرَةِ، وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ: أَنَّهُ كَأَنَّهُ اسْتَأْجَرَهُ بِرِبْحٍ، إِنْ كَانَ فِي تِلْكَ السِّلْعَةِ، وَإِنْ بَاعَ بِرَأْسِ الْمَالِ أَوْ بِنُقْصَانٍ فَلَا شَيْءَ لَهُ، وَذَهَبَ عَنَاؤُهُ بَاطِلًا، فَهَذَا لَا يَصْلُحُ وَلِلْمُبْتَاعِ فِي هَذَا أُجْرَةٌ بِمِقْدَارِ مَا عَالَجَ مِنْ ذَلِكَ، وَمَا كَانَ فِي تِلْكَ السِّلْعَةِ مِنْ نُقْصَانٍ أَوْ رِبْحٍ فَهُوَ لِلْبَائِعِ وَعَلَيْهِ، وَإِنَّمَا يَكُونُ ذَلِكَ إِذَا فَاتَتِ السِّلْعَةُ وَبِيعَتْ، فَإِنْ لَمْ تَفُتْ فُسِخَ الْبَيْعُ بَيْنَهُمَا

Malik berkata: “Tentang seseorang yang menjual barang kepada orang lain dengan syarat tidak ada kerugian bagi pembeli, maka itu adalah jual beli yang tidak sah dan termasuk perjudian. Penjelasannya: seolah-olah ia menyewakannya dengan keuntungan, jika ada keuntungan pada barang itu, dan jika dijual dengan harga pokok atau rugi maka ia tidak mendapat apa-apa, dan usahanya menjadi sia-sia. Maka ini tidak boleh, dan bagi pembeli dalam hal ini berhak mendapat upah sebesar apa yang telah ia usahakan dari hal itu, dan apa pun yang ada pada barang itu berupa kerugian atau keuntungan adalah milik dan tanggungan penjual. Hal itu hanya berlaku jika barang tersebut telah hilang atau telah dijual. Jika belum hilang, maka jual beli antara keduanya dibatalkan.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فَأَمَّا أَنْ يَبِيعَ رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ سِلْعَةً يَبُتُّ بَيْعَهَا، ثُمَّ يَنْدَمُ الْمُشْتَرِي، فَيَقُولُ لِلْبَائِعِ: ضَعْ عَنِّي فَيَأْبَى الْبَائِعُ، وَيَقُولُ: بِعْ فَلَا نُقْصَانَ عَلَيْكَ، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ، لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنَ الْمُخَاطَرَةِ، وَإِنَّمَا هُوَ شَيْءٌ وَضَعَهُ لَهُ، وَلَيْسَ عَلَى ذَلِكَ عَقَدَا بَيْعَهُمَا، وَذَلِكَ الَّذِي عَلَيْهِ الْأَمْرُ عِنْدَنَا “

Malik berkata: “Adapun jika seseorang menjual barang kepada orang lain dengan akad jual beli yang pasti, lalu pembeli menyesal dan berkata kepada penjual: ‘Kurangi harganya untukku,’ lalu penjual menolak dan berkata: ‘Jual saja, tidak ada kerugian bagimu,’ maka ini tidak mengapa, karena tidak termasuk perjudian. Itu hanyalah sesuatu yang diberikan kepadanya, dan bukan atas dasar itu mereka mengadakan akad jual beli. Inilah yang berlaku di tempat kami.”

بَابُ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ

Bab al-Mulāmasah dan al-Munābadah

76 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، وَعَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ

  1. Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dan dari Abu al-Zinad, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ melarang jual beli mulāmasah dan munābadah.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالْمُلَامَسَةُ: أَنْ يَلْمِسَ الرَّجُلُ الثَّوْبَ، وَلَا يَنْشُرُهُ، وَلَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهِ، أَوْ يَبْتَاعَهُ لَيْلًا، وَلَا يَعْلَمُ مَا فِيهِ، وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ ثَوْبَهُ، وَيَنْبِذَ الْآخَرُ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ عَلَى غَيْرِ تَأَمُّلٍ مِنْهُمَا، وَيَقُولُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا هَذَا بِهَذَا، فَهَذَا الَّذِي نُهِيَ عَنْهُ مِنَ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ

Malik berkata: “Mulāmasah adalah seseorang menyentuh kain tanpa membukanya dan tanpa mengetahui apa yang ada di dalamnya, atau membelinya pada malam hari tanpa mengetahui isinya. Sedangkan munābadah adalah seseorang melemparkan kainnya kepada orang lain, dan yang lain juga melemparkan kainnya kepadanya tanpa keduanya meneliti terlebih dahulu, lalu masing-masing berkata: ‘Ini ditukar dengan ini.’ Inilah yang dilarang dari jual beli mulāmasah dan munābadah.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي السَّاجِ الْمُدْرَجِ فِي جِرَابِهِ، أَوِ الثَّوْبِ الْقُبْطِيِّ الْمُدْرَجِ فِي طَيِّهِ، إِنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُمَا، حَتَّى يُنْشَرَا، وَيُنْظَرَ إِلَى مَا فِي أَجْوَافِهِمَا، وَذَلِكَ أَنَّ بَيْعَهُمَا مِنْ بَيْعِ الْغَرَرِ، وَهُوَ مِنَ الْمُلَامَسَةِ

Malik berkata: Tentang kayu gaharu yang masih terbungkus dalam kantongnya, atau kain Qibti yang masih terlipat, maka tidak boleh dijual sampai dibuka dan dilihat apa yang ada di dalamnya, karena menjualnya termasuk jual beli gharar, dan itu termasuk mulāmasah.

قَالَ مَالِكٌ: وَبَيْعُ الْأَعْدَالِ عَلَى الْبَرْنَامَجِ، مُخَالِفٌ لِبَيْعِ السَّاجِ فِي جِرَابِهِ، وَالثَّوْبِ فِي طَيِّهِ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، فَرَقَ بَيْنَ ذَلِكَ الْأَمْرُ الْمَعْمُولُ بِهِ، وَمَعْرِفَةُ ذَلِكَ فِي صُدُورِ النَّاسِ، وَمَا مَضَى مِنْ عَمَلِ الْمَاضِينَ فِيهِ، وَأَنَّهُ لَمْ يَزَلْ مِنْ بُيُوعِ النَّاسِ الْجَائِزَةِ، وَالتِّجَارَةِ بَيْنَهُمِ الَّتِي لَا يَرَوْنَ بِهَا بَأْسًا، لِأَنَّ بَيْعَ الْأَعْدَالِ عَلَى الْبَرْنَامَجِ عَلَى غَيْرِ نَشْرٍ، لَا يُرَادُ بِهِ الْغَرَرُ، وَلَيْسَ يُشْبِهُ الْمُلَامَسَةَ

Malik berkata: Jual beli al-a‘dāl (sejenis barang) berdasarkan al-barnāmaj (daftar atau catatan), berbeda dengan jual beli kayu sāj dalam kantongnya, atau kain dalam lipatannya, dan yang semisal dengan itu. Hal ini dibedakan oleh kebiasaan yang berlaku, pengetahuan masyarakat tentangnya, serta praktik orang-orang terdahulu dalam hal tersebut, dan bahwa hal itu senantiasa termasuk jual beli yang dibolehkan di antara manusia, serta perdagangan di antara mereka yang tidak mereka anggap bermasalah. Karena jual beli al-a‘dāl berdasarkan al-barnāmaj tanpa dibuka tidak dimaksudkan untuk gharar (ketidakjelasan), dan tidak serupa dengan jual beli mulāmasah (menyentuh tanpa melihat).

بَابُ بَيْعِ الْمُرَابَحَةِ

Bab Jual Beli Murābahah

77 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي الْبَزِّ يَشْتَرِيهِ الرَّجُلُ بِبَلَدٍ، ثُمَّ يَقْدَمُ بِهِ بَلَدًا آخَرَ، فَيَبِيعُهُ مُرَابَحَةً إِنَّهُ لَا يَحْسِبُ فِيهِ أَجْرَ السَّمَاسِرَةِ، وَلَا أَجْرَ الطَّيِّ، وَلَا الشَّدِّ، وَلَا النَّفَقَةَ، وَلَا كِرَاءَ بَيْتٍ، فَأَمَّا كِرَاءُ الْبَزِّ فِي حُمْلَانِهِ، فَإِنَّهُ يُحْسَبُ فِي أَصْلِ الثَّمَنِ، وَلَا يُحْسَبُ فِيهِ رِبْحٌ، إِلَّا أَنْ يُعْلِمَ الْبَائِعُ مَنْ يُسَاوِمُهُ بِذَلِكَ كُلِّهِ، فَإِنْ رَبَّحُوهُ عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ بَعْدَ الْعِلْمِ بِهِ فَلَا بَأْسَ بِهِ

77 – Yahya meriwayatkan kepadaku, ia berkata: Malik berkata: Praktik yang telah disepakati di kalangan kami terkait kain (al-bazz), yaitu seseorang membelinya di suatu negeri, lalu membawanya ke negeri lain, kemudian menjualnya secara murābahah, maka ia tidak menghitung upah makelar, tidak pula upah pelipatan, pengikatan, biaya, atau sewa rumah. Adapun sewa kain dalam pengangkutannya, maka itu dihitung sebagai bagian dari harga pokok, dan tidak dihitung sebagai keuntungan, kecuali jika penjual memberitahukan semua itu kepada orang yang menawar kepadanya. Jika setelah mengetahui hal itu mereka sepakat memberi keuntungan atas semua itu, maka tidak mengapa.

قَالَ مَالِكٌ: فَأَمَّا الْقِصَارَةُ، وَالْخِيَاطَةُ، وَالصِّبَاغُ، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبَزِّ يُحْسَبُ فِيهِ الرِّبْحُ كَمَا يُحْسَبُ فِي الْبَزِّ، فَإِنْ بَاعَ الْبَزَّ، وَلَمْ يُبَيِّنْ شَيْئًا مِمَّا سَمَّيْتُ إِنَّهُ لَا يُحْسَبُ لَهُ فِيهِ رِبْحٌ، فَإِنْ فَاتَ الْبَزُّ، فَإِنَّ الْكِرَاءَ يُحْسَبُ، وَلَا يُحْسَبُ عَلَيْهِ رِبْحٌ، فَإِنْ لَمْ يَفُتِ الْبَزُّ فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ بَيْنَهُمَا، إِلَّا أَنْ يَتَرَاضَيَا عَلَى شَيْءٍ مِمَّا يَجُوزُ بَيْنَهُمَا

Malik berkata: Adapun jasa pencucian, penjahitan, pewarnaan, dan yang semisalnya, maka itu diperlakukan seperti kain, keuntungannya dihitung sebagaimana dihitung pada kain. Jika ia menjual kain tersebut tanpa menjelaskan salah satu dari hal-hal yang telah kusebutkan, maka tidak boleh dihitung keuntungan atasnya. Jika kain tersebut telah hilang, maka sewanya tetap dihitung, namun tidak dihitung keuntungan atasnya. Jika kain belum hilang, maka jual belinya batal di antara keduanya, kecuali jika keduanya sepakat atas sesuatu yang dibolehkan di antara mereka.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي الْمَتَاعَ بِالذَّهَبِ أَوْ بِالْوَرِقِ، وَالصَّرْفُ يَوْمَ اشْتَرَاهُ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ بِدِينَارٍ، فَيَقْدَمُ بِهِ بَلَدًا فَيَبِيعُهُ مُرَابَحَةً، أَوْ يَبِيعُهُ حَيْثُ اشْتَرَاهُ مُرَابَحَةً عَلَى صَرْفِ ذَلِكَ الْيَوْمِ الَّذِي بَاعَهُ فِيهِ، فَإِنَّهُ إِنْ كَانَ ابْتَاعَهُ بِدَرَاهِمَ، وَبَاعَهُ بِدَنَانِيرَ، أَوِ ابْتَاعَهُ بِدَنَانِيرَ، وَبَاعَهُ بِدَرَاهِمَ، وَكَانَ الْمَتَاعُ لَمْ يَفُتْ، فَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ أَخَذَهُ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ، فَإِنْ فَاتَ الْمَتَاعُ كَانَ لِلْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ الَّذِي ابْتَاعَهُ بِهِ الْبَائِعُ، وَيُحْسَبُ لِلْبَائِعِ الرِّبْحُ عَلَى مَا اشْتَرَاهُ بِهِ عَلَى مَا رَبَّحَهُ الْمُبْتَاعُ

Malik berkata: Jika seseorang membeli barang dengan emas atau perak, dan nilai tukar pada hari pembelian adalah sepuluh dirham untuk satu dinar, lalu ia membawanya ke negeri lain dan menjualnya secara murābahah, atau ia menjualnya di tempat ia membelinya secara murābahah berdasarkan nilai tukar pada hari ia menjualnya, maka jika ia membelinya dengan dirham dan menjualnya dengan dinar, atau membelinya dengan dinar dan menjualnya dengan dirham, dan barang tersebut belum hilang, maka pembeli berhak memilih, jika ia mau, ia mengambilnya, dan jika ia mau, ia meninggalkannya. Jika barang telah hilang, maka pembeli berhak mendapatkan harga sesuai dengan harga yang dibayarkan penjual saat membeli, dan penjual dihitungkan keuntungan atas harga pembelian sesuai dengan kesepakatan keuntungan dengan pembeli.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَإِذَا بَاعَ رَجُلٌ سِلْعَةً قَامَتْ عَلَيْهِ بِمِائَةِ دِينَارٍ، لِلْعَشَرَةِ أَحَدَ عَشَرَ، ثُمَّ جَاءَهُ بَعْدَ ذَلِكَ أَنَّهَا قَامَتْ عَلَيْهِ بِتِسْعِينَ دِينَارًا، وَقَدْ فَاتَتِ السِّلْعَةُ خُيِّرَ الْبَائِعُ، فَإِنْ أَحَبَّ فَلَهُ قِيمَةُ سِلْعَتِهِ يَوْمَ قُبِضَتْ مِنْهُ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْقِيمَةُ أَكْثَرَ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي وَجَبَ لَهُ بِهِ الْبَيْعُ أَوَّلَ يَوْمٍ، فَلَا يَكُونُ لَهُ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، وَذَلِكَ مِائَةُ دِينَارٍ وَعَشْرَةُ دَنَانِيرَ، وَإِنْ أَحَبَّ ضُرِبَ لَهُ الرِّبْحُ عَلَى التِّسْعِينَ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ الَّذِي بَلَغَتْ سِلْعَتُهُ مِنَ الثَّمَنِ أَقَلَّ مِنَ الْقِيمَةِ فَيُخَيَّرُ فِي الَّذِي بَلَغَتْ سِلْعَتُهُ وَفِي رَأْسِ مَالِهِ وَرِبْحِهِ وَذَلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ دِينَارًا

Malik berkata: Jika seseorang menjual barang yang harga pokoknya seratus dinar, dengan keuntungan satu dinar untuk setiap sepuluh dinar, lalu setelah itu diketahui bahwa harga pokoknya adalah sembilan puluh dinar, dan barang tersebut telah hilang, maka penjual diberi pilihan: jika ia mau, ia berhak atas nilai barangnya pada hari barang itu diambil darinya, kecuali jika nilai tersebut lebih besar dari harga jual yang telah disepakati pada hari pertama, maka ia tidak berhak atas lebih dari itu, yaitu seratus dinar dan sepuluh dinar. Jika ia mau, maka keuntungan dihitung berdasarkan sembilan puluh dinar, kecuali jika harga barang yang diterima lebih kecil dari nilai barang, maka ia diberi pilihan antara harga yang diterima, modal pokok, dan keuntungannya, yaitu sembilan puluh sembilan dinar.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَإِنْ بَاعَ رَجُلٌ سِلْعَةً مُرَابَحَةً، فَقَالَ: قَامَتْ عَلَيَّ بِمِائَةِ دِينَارٍ. ثُمَّ جَاءَهُ بَعْدَ ذَلِكَ أَنَّهَا قَامَتْ بِمِائَةٍ وَعِشْرِينَ دِينَارًا. خُيِّرَ الْمُبْتَاعُ. فَإِنْ شَاءَ أَعْطَى الْبَائِعَ قِيمَةَ السِّلْعَةِ يَوْمَ قَبَضَهَا، وَإِنْ شَاءَ أَعْطَى الثَّمَنَ الَّذِي ابْتَاعَ بِهِ عَلَى حِسَابِ مَا رَبَّحَهُ. بَالِغًا مَا بَلَغَ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ أَقَلَّ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي ابْتَاعَ بِهِ السِّلْعَةَ. فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُنَقِّصَ رَبَّ السِّلْعَةِ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي ابْتَاعَهَا بِهِ، لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ رَضِيَ بِذَلِكَ، وَإِنَّمَا جَاءَ رَبُّ السِّلْعَةِ يَطْلُبُ الْفَضْلَ فَلَيْسَ لِلْمُبْتَاعِ فِي هَذَا حُجَّةٌ عَلَى الْبَائِعِ. بِأَنْ يَضَعَ مِنَ الثَّمَنِ الَّذِي ابْتَاعَ بِهِ عَلَى الْبَرْنَامَجِ “

Malik berkata: “Jika seseorang menjual suatu barang secara murabahah, lalu ia berkata: ‘Barang ini aku dapatkan seharga seratus dinar.’ Kemudian setelah itu ia datang dan mengatakan bahwa barang itu ternyata seharga seratus dua puluh dinar, maka pembeli diberi pilihan. Jika ia mau, ia dapat memberikan kepada penjual nilai barang pada hari ia menerimanya, dan jika ia mau, ia dapat memberikan harga yang ia beli berdasarkan perhitungan keuntungan yang telah ditentukan, berapapun jumlahnya. Kecuali jika harga tersebut lebih rendah dari harga yang ia beli barang itu, maka ia tidak boleh mengurangi harga dari harga pembelian barang tersebut, karena ia telah rela dengan itu. Adapun jika pemilik barang datang menuntut kelebihan, maka pembeli tidak memiliki hujjah terhadap penjual untuk mengurangi harga dari harga pembelian berdasarkan program (perhitungan) tersebut.”

بَابُ الْبَيْعِ عَلَى الْبَرْنَامَجِ

Bab Jual Beli Berdasarkan Program (Perincian)

78 – قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْقَوْمِ يَشْتَرُونَ السِّلْعَةَ الْبَزَّ، أَوِ الرَّقِيقَ. فَيَسْمَعُ بِهِ الرَّجُلُ فَيَقُولُ لِرَجُلٍ مِنْهُمُ الْبَزُّ الَّذِي اشْتَرَيْتَ مِنْ فُلَانٍ، قَدْ بَلَغَتْنِي صِفَتُهُ وَأَمْرُهُ، فَهَلْ لَكَ أَنْ أُرْبِحَكَ فِي نَصِيبِكَ كَذَا وَكَذَا، فَيَقُولُ: نَعَمْ فَيُرْبِحُهُ، وَيَكُونُ شَرِيكًا لِلْقَوْمِ مَكَانَهُ، فَإِذَا نَظَرَ إِلَيْهِ رَآهُ قَبِيحًا وَاسْتَغْلَاهُ “

78 – Malik berkata: “Praktik yang berlaku di tengah masyarakat kami adalah sekelompok orang membeli barang kain atau budak, lalu seseorang mendengar tentangnya dan berkata kepada salah satu dari mereka: ‘Kain yang kamu beli dari si Fulan, aku telah mengetahui sifat dan keadaannya, apakah kamu mau jika aku memberikan keuntungan sekian dan sekian pada bagianmu?’ Maka ia menjawab: ‘Ya’, lalu ia memberinya keuntungan dan ia menjadi sekutu bagi kelompok itu menggantikan posisinya. Namun ketika ia melihat barang itu, ternyata ia tidak menyukainya dan merasa rugi.”

قَالَ مَالِكٌ: ذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ، وَلَا خِيَارَ لَهُ فِيهِ، إِذَا كَانَ ابْتَاعَهُ عَلَى بَرْنَامَجٍ وَصِفَةٍ مَعْلُومَةٍ

Malik berkata: Hal itu tetap menjadi tanggung jawabnya, dan ia tidak memiliki hak khiyar (pilihan) dalam hal itu, jika pembeliannya berdasarkan program dan sifat yang telah diketahui.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَقْدَمُ لَهُ أَصْنَافٌ مِنَ الْبَزِّ، وَيَحْضُرُهُ السُّوَّامُ، وَيَقْرَأُ عَلَيْهِمْ بَرْنَامَجَهُ، وَيَقُولُ: فِي كُلِّ عِدْلٍ كَذَا وَكَذَا مِلْحَفَةً بَصْرِيَّةً، وَكَذَا وَكَذَا رَيْطَةً سَابِرِيَّةً ذَرْعُهَا كَذَا وَكَذَا، وَيُسَمِّي لَهُمْ أَصْنَافًا مِنَ الْبَزِّ بِأَجْنَاسِهِ، وَيَقُولُ: اشْتَرُوا مِنِّي عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ، فَيَشْتَرُونَ الْأَعْدَالَ عَلَى مَا وَصَفَ لَهُمْ ثُمَّ يَفْتَحُونَهَا فَيَسْتَغْلُونَهَا وَيَنْدَمُونَ

Malik berkata: “Tentang seseorang yang didatangkan kepadanya berbagai jenis kain, lalu para pembeli hadir dan dibacakan kepada mereka program (perincian) barangnya, dan ia berkata: ‘Dalam setiap bal ada sekian-sekian selimut Basrah, dan sekian-sekian kain Rayṭah Sabiriyah dengan ukuran sekian-sekian,’ lalu ia menyebutkan kepada mereka berbagai jenis kain dengan macam-macamnya, dan ia berkata: ‘Belilah dari saya berdasarkan sifat ini.’ Maka mereka membeli bal-bal tersebut sesuai dengan apa yang dijelaskan kepada mereka, lalu mereka membukanya dan merasa rugi serta menyesal.”

قَالَ مَالِكٌ: ذَلِكَ لَازِمٌ لَهُمْ إِذَا كَانَ مُوَافِقًا لِلْبَرْنَامَجِ الَّذِي بَاعَهُمْ عَلَيْهِ قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا الْأَمْرُ الَّذِي لَمْ يَزَلْ عَلَيْهِ النَّاسُ عِنْدَنَا يُجِيزُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِذَا كَانَ الْمَتَاعُ مُوَافِقًا لِلْبَرْنَامَجِ وَلَمْ يَكُنْ مُخَالِفًا لَهُ

Malik berkata: Hal itu tetap menjadi tanggung jawab mereka jika barangnya sesuai dengan program (perincian) yang dijual kepada mereka. Malik berkata: Dan inilah praktik yang terus berlangsung di tengah masyarakat kami, mereka membolehkannya di antara mereka, selama barangnya sesuai dengan program dan tidak menyelisihinya.

بَابُ بَيْعِ الْخِيَارِ

Bab Jual Beli dengan Khiyar (Pilihan)

79 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى صَاحِبِهِ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلَّا بَيْعَ الْخِيَارِ قَالَ مَالِكٌ: وَلَيْسَ لِهَذَا عِنْدَنَا حَدٌّ مَعْرُوفٌ، وَلَا أَمْرٌ مَعْمُولٌ بِهِ فِيهِ

79 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Dua orang yang berjual beli, masing-masing dari mereka memiliki hak khiyar (pilihan) atas yang lain selama mereka belum berpisah, kecuali pada jual beli dengan khiyar.” Malik berkata: “Dalam hal ini, menurut kami tidak ada batasan yang jelas, dan tidak ada praktik yang dijalankan secara khusus.”

80 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا بَيِّعَيْنِ تَبَايَعَا، فَالْقَوْلُ مَا قَالَ الْبَائِعُ أَوْ يَتَرَادَّانِ

80 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Abdullah bin Mas‘ud meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang melakukan akad jual beli, maka perkataan yang dipegang adalah perkataan penjual, atau keduanya saling mengembalikan (barang dan harga).”

قَالَ مَالِكٌ: ” فِيمَنْ بَاعَ مِنْ رَجُلٍ سِلْعَةً، فَقَالَ الْبَائِعُ: عِنْدَ مُوَاجَبَةِ الْبَيْعِ: أَبِيعُكَ عَلَى أَنْ أَسْتَشِيرَ فُلَانًا. فَإِنْ رَضِيَ فَقَدْ جَازَ الْبَيْعُ. وَإِنْ كَرِهَ فَلَا بَيْعَ بَيْنَنَا. فَيَتَبَايَعَانِ عَلَى ذَلِكَ. ثُمَّ يَنْدَمُ الْمُشْتَرِي قَبْلَ أَنْ يَسْتَشِيرَ الْبَائِعُ فُلَانًا: إِنَّ ذَلِكَ الْبَيْعَ لَازِمٌ لَهُمَا، عَلَى مَا وَصَفَا. وَلَا خِيَارَ لِلْمُبْتَاعِ. وَهُوَ لَازِمٌ لَهُ. إِنْ أَحَبَّ الَّذِي اشْتَرَطَ لَهُ الْبَائِعُ أَنْ يُجِيزَهُ

Malik berkata: “Tentang seseorang yang menjual barang kepada orang lain, lalu penjual berkata pada saat akad jual beli: ‘Aku menjual kepadamu dengan syarat aku akan meminta pendapat si Fulan. Jika ia setuju, maka jual beli sah, dan jika ia tidak suka, maka tidak ada jual beli di antara kita.’ Lalu keduanya sepakat atas hal itu. Kemudian pembeli menyesal sebelum penjual meminta pendapat si Fulan: maka jual beli itu tetap mengikat bagi keduanya sesuai dengan apa yang telah mereka sepakati, dan pembeli tidak memiliki hak khiyar. Itu tetap mengikat baginya jika orang yang dijadikan syarat oleh penjual menyetujuinya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي السِّلْعَةَ مِنَ الرَّجُلِ. فَيَخْتَلِفَانِ فِي الثَّمَنِ. فَيَقُولُ الْبَائِعُ بِعْتُكَهَا بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ، وَيَقُولُ الْمُبْتَاعُ ابْتَعْتُهَا مِنْكَ بِخَمْسَةِ دَنَانِيرَ. إِنَّهُ يُقَالُ لِلْبَائِعِ: إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِهَا لِلْمُشْتَرِي بِمَا قَالَ. وَإِنْ شِئْتَ فَاحْلِفْ بِاللَّهِ مَا بِعْتَ سِلْعَتَكَ إِلَّا بِمَا قُلْتَ. فَإِنْ حَلَفَ قِيلَ لِلْمُشْتَرِي: إِمَّا أَنْ تَأْخُذَ السِّلْعَةَ بِمَا قَالَ الْبَائِعُ. وَإِمَّا أَنْ تَحْلِفَ بِاللَّهِ مَا اشْتَرَيْتَهَا إِلَّا بِمَا قُلْتَ. فَإِنْ حَلَفَ بَرِئَ مِنْهَا، وَذَلِكَ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُدَّعٍ عَلَى صَاحِبِهِ “

Malik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai seorang laki-laki yang membeli barang dari orang lain, lalu mereka berselisih tentang harga. Penjual berkata, ‘Aku menjualnya kepadamu seharga sepuluh dinar,’ sedangkan pembeli berkata, ‘Aku membelinya darimu seharga lima dinar.’ Maka dikatakan kepada penjual: Jika engkau mau, berikanlah barang itu kepada pembeli dengan harga yang ia sebutkan. Jika engkau mau, bersumpahlah atas nama Allah bahwa engkau tidak menjual barangmu kecuali dengan harga yang engkau sebutkan. Jika penjual bersumpah, maka dikatakan kepada pembeli: Ambillah barang itu dengan harga yang dikatakan penjual, atau bersumpahlah atas nama Allah bahwa engkau tidak membelinya kecuali dengan harga yang engkau sebutkan. Jika pembeli bersumpah, maka ia terbebas dari kewajiban, karena masing-masing dari keduanya adalah pihak yang saling menuduh terhadap yang lain.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الرِّبَا فِي الدَّيْنِ

Bab tentang apa yang datang mengenai riba dalam utang.

81 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عُبَيْدٍ أَبِي صَالِحٍ مَوْلَى السَّفَّاحِ أَنَّهُ قَالَ: بِعْتُ بَزًّا لِي مِنْ أَهْلِ دَارِ نَخْلَةَ إِلَى أَجَلٍ، ثُمَّ أَرَدْتُ الْخُرُوجَ إِلَى الْكُوفَةِ فَعَرَضُوا عَلَيَّ أَنْ أَضَعَ عَنْهُمْ بَعْضَ الثَّمَنِ، وَيَنْقُدُونِي فَسَأَلْتُ عَنْ ذَلِكَ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ فَقَالَ: لَا آمُرُكَ أَنْ تَأْكُلَ هَذَا وَلَا تُوكِلَهُ

81 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abu al-Zinad, dari Busyr bin Sa‘id, dari ‘Ubaid Abu Shalih, maula as-Saffah, bahwa ia berkata: Aku pernah menjual kain milikku kepada penduduk Dar Nakhlah dengan pembayaran tempo. Kemudian aku ingin pergi ke Kufah, lalu mereka menawarkan kepadaku agar aku mengurangi sebagian harga, dan mereka akan membayarnya tunai. Maka aku bertanya tentang hal itu kepada Zaid bin Tsabit, lalu ia berkata: Aku tidak memerintahkanmu untuk memakan (keuntungan) ini dan tidak pula memberikannya kepada orang lain.

82 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حَفْصِ بْنِ خَلْدَةَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ الدَّيْنُ عَلَى الرَّجُلِ إِلَى أَجَلٍ، فَيَضَعُ عَنْهُ صَاحِبُ الْحَقِّ، وَيُعَجِّلُهُ الْآخَرُ، فَكَرِهَ ذَلِكَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَنَهَى عَنْهُ

82 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari ‘Utsman bin Hafsh bin Khaldah, dari Ibnu Syihab, dari Salim bin ‘Abdullah, dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa ia pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki piutang kepada orang lain hingga waktu tertentu, lalu pemilik hak mengurangi (sebagian) utangnya, dan yang berutang membayarnya lebih cepat. Maka ‘Abdullah bin ‘Umar membenci hal itu dan melarangnya.

83 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّهُ قَالَ: ” كَانَ الرِّبَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجَلٍ، فَإِذَا حَلَّ الْأَجَلُ، قَالَ: أَتَقْضِي أَمْ تُرْبِي؟ فَإِنْ قَضَى أَخَذَ، وَإِلَّا زَادَهُ فِي حَقِّهِ، وَأَخَّرَ عَنْهُ فِي الْأَجَلِ

83 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Zaid bin Aslam bahwa ia berkata: “Riba pada masa jahiliah adalah seseorang memiliki hak (piutang) kepada orang lain hingga waktu tertentu. Ketika jatuh tempo, ia berkata: ‘Apakah kamu akan melunasi atau menambah (utang)?’ Jika dilunasi, ia mengambilnya. Jika tidak, ia menambah jumlah utangnya dan menunda jatuh temponya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالْأَمْرُ الْمَكْرُوهُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا، أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ إِلَى أَجَلٍ، فَيَضَعُ عَنْهُ الطَّالِبُ، وَيُعَجِّلُهُ الْمَطْلُوبُ، وَذَلِكَ عِنْدَنَا بِمَنْزِلَةِ الَّذِي يُؤَخِّرُ دَيْنَهُ بَعْدَ مَحِلِّهِ عَنْ غَرِيمِهِ، وَيَزِيدُهُ الْغَرِيمُ فِي حَقِّهِ، قَالَ: فَهَذَا الرِّبَا بِعَيْنِهِ لَا شَكَّ فِيهِ

Malik berkata: “Perkara yang makruh dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami adalah seseorang memiliki utang kepada orang lain hingga waktu tertentu, lalu penagih mengurangi (sebagian utang), dan yang berutang membayarnya lebih cepat. Hal itu menurut kami sama dengan orang yang menunda utangnya setelah jatuh tempo dari pihak yang berutang, lalu pihak yang berutang menambah haknya. Ia berkata: Maka ini adalah riba itu sendiri, tidak ada keraguan di dalamnya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ عَلَى الرَّجُلِ مِائَةُ دِينَارٍ إِلَى أَجَلٍ، فَإِذَا حَلَّتْ، قَالَ لَهُ الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ: بِعْنِي سِلْعَةً يَكُونُ ثَمَنُهَا مِائَةَ دِينَارٍ نَقْدًا، بِمِائَةٍ وَخَمْسِينَ إِلَى أَجَلٍ، هَذَا بَيْعٌ لَا يَصْلُحُ، وَلَمْ يَزَلْ أَهْلُ الْعِلْمِ يَنْهَوْنَ عَنْهُ

Malik berkata: “Tentang seseorang yang memiliki piutang seratus dinar kepada orang lain hingga waktu tertentu, lalu ketika jatuh tempo, orang yang berutang berkata: ‘Juallah kepadaku barang dengan harga seratus dinar tunai, dengan pembayaran seratus lima puluh dinar secara tempo.’ Maka jual beli seperti ini tidak sah, dan para ahli ilmu senantiasa melarangnya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَإِنَّمَا كُرِهَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ إِنَّمَا يُعْطِيهِ ثَمَنَ مَا بَاعَهُ بِعَيْنِهِ، وَيُؤَخِّرُ عَنْهُ الْمِائَةَ الْأُولَى إِلَى الْأَجَلِ الَّذِي ذَكَرَ لَهُ آخِرَ مَرَّةٍ، وَيَزْدَادُ عَلَيْهِ خَمْسِينَ دِينَارًا فِي تَأْخِيرِهِ عَنْهُ، فَهَذَا مَكْرُوهٌ، وَلَا يَصْلُحُ، وَهُوَ أَيْضًا يُشْبِهُ حَدِيثَ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ فِي بَيْعِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ، إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا حَلَّتْ دُيُونُهُمْ، قَالُوا لِلَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ: إِمَّا أَنْ تَقْضِيَ، وَإِمَّا أَنْ تُرْبِيَ، فَإِنْ قَضَى أَخَذُوا، وَإِلَّا زَادُوهُمْ فِي حُقُوقِهِمْ وَزَادُوهُمْ فِي الْأَجَلِ “

Malik berkata: “Hal itu dibenci karena ia hanya memberikan harga barang yang dijualnya itu saja, lalu ia menunda pembayaran seratus dinar pertama hingga waktu yang disebutkan terakhir, dan ia menambah lima puluh dinar karena penundaan tersebut. Maka ini adalah perkara yang makruh dan tidak sah, dan ini juga mirip dengan riwayat dari Zaid bin Aslam tentang jual beli orang-orang jahiliah, bahwa ketika utang mereka jatuh tempo, mereka berkata kepada yang berutang: ‘Bayarlah atau tambahkan (utangmu)!’ Jika dibayar, mereka mengambilnya. Jika tidak, mereka menambah hak dan menambah waktu jatuh tempo.”

بَابُ جَامِعِ الدَّيْنِ وَالْحِوَلِ

Bab tentang kumpulan hukum utang dan pengalihan utang.

84 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ

84 – Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Abu al-Zinad, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Penundaan pembayaran oleh orang yang mampu adalah kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian dialihkan kepada orang yang mampu, maka hendaklah ia mengikuti (pengalihan tersebut).”

85 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ مُوسَى بْنِ مَيْسَرَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَسْأَلُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ فَقَالَ: إِنِّي رَجُلٌ أَبِيعُ بِالدَّيْنِ، فَقَالَ سَعِيدٌ: لَا تَبِعْ إِلَّا مَا آوَيْتَ إِلَى رَحْلِكَ

85 – Malik meriwayatkan dari Musa bin Maisarah, bahwa ia mendengar seseorang bertanya kepada Sa‘id bin al-Musayyib, ia berkata: “Aku seorang yang berjualan dengan sistem utang.” Maka Sa‘id berkata: “Janganlah engkau menjual kecuali apa yang telah engkau bawa ke tempatmu.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الَّذِي يَشْتَرِي السِّلْعَةَ مِنَ الرَّجُلِ عَلَى أَنْ يُوَفِّيَهُ تِلْكَ السِّلْعَةَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِمَّا لِسُوقٍ يَرْجُو نَفَاقَهَا فِيهِ وَإِمَّا لِحَاجَةٍ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ الَّذِي اشْتَرَطَ عَلَيْهِ ثُمَّ يُخْلِفُهُ الْبَائِعُ عَنْ ذَلِكَ الْأَجَلِ فَيُرِيدُ الْمُشْتَرِي رَدَّ تِلْكَ السِّلْعَةِ عَلَى الْبَائِعِ إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ لِلْمُشْتَرِي وَإِنَّ الْبَيْعَ لَازِمٌ لَهُ وَإِنَّ الْبَائِعَ لَوْ جَاءَ بِتِلْكَ السِّلْعَةِ قَبْلَ مَحِلِّ الْأَجَلِ لَمْ يُكْرَهِ الْمُشْتَرِي عَلَى أَخْذِهَا

Malik berkata: Mengenai seseorang yang membeli suatu barang dari orang lain dengan syarat bahwa ia akan menerima barang tersebut pada waktu yang telah ditentukan, baik untuk dijual di pasar yang ia harapkan laku di sana, atau untuk suatu kebutuhan pada waktu yang telah disyaratkan, kemudian penjual tidak menepati waktu tersebut sehingga pembeli ingin mengembalikan barang itu kepada penjual, maka hal itu tidak boleh bagi pembeli, dan jual beli tersebut tetap mengikat baginya. Dan jika penjual membawa barang itu sebelum jatuh tempo, maka pembeli tidak dipaksa untuk menerimanya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الَّذِي يَشْتَرِي الطَّعَامَ فَيَكْتَالُهُ، ثُمَّ يَأْتِيهِ مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنْهُ، فَيُخْبِرُ الَّذِي يَأْتِيهِ أَنَّهُ قَدِ اكْتَالَهُ لِنَفْسِهِ وَاسْتَوْفَاهُ، فَيُرِيدُ الْمُبْتَاعُ أَنْ يُصَدِّقَهُ، وَيَأْخُذَهُ بِكَيْلِهِ، إِنَّ مَا بِيعَ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ بِنَقْدٍ فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَمَا بِيعَ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ إِلَى أَجَلٍ، فَإِنَّهُ مَكْرُوهٌ حَتَّى يَكْتَالَهُ الْمُشْتَرِي الْآخَرُ لِنَفْسِهِ، وَإِنَّمَا كُرِهَ الَّذِي إِلَى أَجَلٍ لِأَنَّهُ ذَرِيعَةٌ إِلَى الرِّبَا، وَتَخَوُّفٌ أَنْ يُدَارَ ذَلِكَ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ بِغَيْرِ كَيْلٍ، وَلَا وَزْنٍ، فَإِنْ كَانَ إِلَى أَجَلٍ فَهُوَ مَكْرُوهٌ وَلَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا

Malik berkata: Mengenai seseorang yang membeli makanan lalu ia menakarnya, kemudian datang seseorang yang ingin membeli makanan itu darinya, lalu ia memberitahu orang yang datang bahwa ia telah menakarnya untuk dirinya sendiri dan telah mengambilnya secara penuh, kemudian pembeli ingin mempercayainya dan mengambilnya dengan takaran tersebut, maka jika jual beli itu dilakukan secara tunai, tidak mengapa. Namun jika jual beli itu dilakukan secara tempo, maka hal itu makruh sampai pembeli kedua menakarnya sendiri untuk dirinya. Adapun yang makruh pada jual beli tempo itu karena dikhawatirkan menjadi jalan menuju riba, dan dikhawatirkan dilakukan tanpa takaran atau timbangan. Jika dilakukan secara tempo, maka itu makruh dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami.

قَالَ مَالِكٌ: ” لَا يَنْبَغِي أَنْ يُشْتَرَى دَيْنٌ عَلَى رَجُلٍ غَائِبٍ، وَلَا حَاضِرٍ إِلَّا بِإِقْرَارٍ مِنِ الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ، وَلَا عَلَى مَيِّتٍ، وَإِنْ عَلِمَ الَّذِي تَرَكَ الْمَيِّتُ، وَذَلِكَ أَنَّ اشْتِرَاءَ ذَلِكَ غَرَرٌ، لَا يُدْرَى أَيَتِمُّ أَمْ لَا يَتِمُّ؟ قَالَ: وَتَفْسِيرُ مَا كُرِهَ مِنْ ذَلِكَ، أَنَّهُ إِذَا اشْتَرَى دَيْنًا عَلَى غَائِبٍ، أَوْ مَيِّتٍ أَنَّهُ لَا يُدْرَى مَا يَلْحَقُ الْمَيِّتَ مِنَ الدَّيْنِ الَّذِي لَمْ يُعْلَمْ بِهِ، فَإِنْ لَحِقَ الْمَيِّتَ دَيْنٌ ذَهَبَ الثَّمَنُ الَّذِي أَعْطَى الْمُبْتَاعُ بَاطِلًا

Malik berkata: “Tidak sepantasnya membeli utang atas seseorang yang ghaib, atau yang hadir kecuali dengan pengakuan dari orang yang berutang, dan tidak pula atas orang yang telah meninggal, meskipun diketahui apa yang ditinggalkan oleh si mayit. Hal itu karena membeli utang seperti itu mengandung gharar (ketidakjelasan), tidak diketahui apakah akan terlaksana atau tidak. Penjelasan tentang apa yang dimakruhkan dari hal itu adalah, jika seseorang membeli utang atas orang yang ghaib atau mayit, tidak diketahui apakah ada utang lain yang belum diketahui atas si mayit. Jika ternyata ada utang lain yang membebani si mayit, maka harga yang telah diberikan oleh pembeli menjadi sia-sia.”

قَالَ مَالِكٌ: وَفِي ذَلِكَ أَيْضًا عَيْبٌ آخَرُ، أَنَّهُ اشْتَرَى شَيْئًا لَيْسَ بِمَضْمُونٍ لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَتِمَّ ذَهَبَ ثَمَنُهُ بَاطِلًا فَهَذَا غَرَرٌ لَا يَصْلُحُ

Malik berkata: Dalam hal itu juga terdapat cacat lain, yaitu seseorang membeli sesuatu yang tidak dijamin untuknya, dan jika tidak terlaksana maka harganya menjadi sia-sia. Maka ini adalah gharar yang tidak sah.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا فُرِقَ بَيْنَ أَنْ لَا يَبِيعَ الرَّجُلُ إِلَّا مَا عِنْدَهُ، وَأَنْ يُسَلِّفَ الرَّجُلُ فِي شَيْءٍ لَيْسَ عِنْدَهُ أَصْلُهُ، أَنَّ صَاحِبَ الْعِينَةِ، إِنَّمَا يَحْمِلُ ذَهَبَهُ الَّتِي يُرِيدُ أَنْ يَبْتَاعَ بِهَا، فَيَقُولُ هَذِهِ عَشَرَةُ دَنَانِيرَ، فَمَا تُرِيدُ أَنْ أَشْتَرِيَ لَكَ بِهَا؟ فَكَأَنَّهُ يَبِيعُ عَشَرَةَ دَنَانِيرَ نَقْدًا، بِخَمْسَةَ عَشَرَ دِينَارًا إِلَى أَجَلٍ، فَلِهَذَا كُرِهَ هَذَا، وَإِنَّمَا تِلْكَ الدُّخْلَةُ وَالدُّلْسَةُ

Malik berkata: Perbedaan antara larangan seseorang menjual kecuali apa yang ada padanya dan seseorang melakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka untuk barang yang belum ada) pada sesuatu yang belum ada asalnya, adalah bahwa pemilik ‘inah (jual beli rekayasa) membawa uang emas yang ingin ia gunakan untuk membeli, lalu berkata: “Ini sepuluh dinar, apa yang ingin engkau aku belikan dengan uang ini?” Maka seolah-olah ia menjual sepuluh dinar tunai dengan lima belas dinar secara tempo. Karena itu, hal ini dimakruhkan, dan itulah tipu daya dan penipuan.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الشِّرْكَةِ وَالتَّوْلِيَةِ وَالْإِقَالَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai syirkah (kemitraan), tawliyah (penjualan tanpa keuntungan), dan iqālah (pembatalan akad jual beli).

86 – قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَبِيعُ الْبَزَّ الْمُصَنَّفَ، وَيَسْتَثْنِي ثِيَابًا بِرُقُومِهَا، إِنَّهُ إِنِ اشْتَرَطَ أَنْ يَخْتَارَ مِنْ ذَلِكَ الرَّقْمَ، فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْ أَنْ يَخْتَارَ مِنْهُ حِينَ اسْتَثْنَى، فَإِنِّي أَرَاهُ شَرِيكًا فِي عَدَدِ الْبَزِّ الَّذِي اشْتُرِيَ مِنْهُ، وَذَلِكَ أَنَّ الثَّوْبَيْنِ يَكُونُ رَقْمُهُمَا سَوَاءً وَبَيْنَهُمَا تَفَاوُتٌ فِي الثَّمَنِ

86 – Malik berkata: Mengenai seseorang yang menjual kain yang sudah dijahit, lalu ia mengecualikan beberapa lembar kain dengan nomor tertentu, jika ia mensyaratkan untuk memilih dari nomor tersebut, maka tidak mengapa. Namun jika ia tidak mensyaratkan untuk memilih saat mengecualikan, maka aku memandangnya sebagai sekutu dalam jumlah kain yang dibeli darinya. Hal itu karena dua kain bisa saja memiliki nomor yang sama, namun terdapat perbedaan harga di antara keduanya.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِالشِّرْكِ وَالتَّوْلِيَةِ وَالْإِقَالَةِ مِنْهُ فِي الطَّعَامِ وَغَيْرِهِ، قَبَضَ ذَلِكَ أَوْ لَمْ يَقْبِضْ، إِذَا كَانَ ذَلِكَ بِالنَّقْدِ، وَلَمْ يَكُنْ فِيهِ رِبْحٌ، وَلَا وَضِيعَةٌ، وَلَا تَأْخِيرٌ لِلثَّمَنِ، فَإِنْ دَخَلَ ذَلِكَ رِبْحٌ أَوْ وَضِيعَةٌ أَوْ تَأْخِيرٌ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، صَارَ بَيْعًا يُحِلُّهُ مَا يُحِلُّ الْبَيْعَ، وَيُحَرِّمُهُ مَا يُحَرِّمُ الْبَيْعَ، وَلَيْسَ بِشِرْكٍ وَلَا تَوْلِيَةٍ وَلَا إِقَالَةٍ

Malik berkata: Menurut praktik di kalangan kami, tidak mengapa melakukan syirkah, tawliyah, dan iqālah dalam makanan dan selainnya, baik barang itu sudah diterima maupun belum, selama itu dilakukan secara tunai, tidak ada keuntungan, tidak ada kerugian, dan tidak ada penundaan pembayaran harga. Namun, jika di dalamnya terdapat keuntungan, kerugian, atau penundaan dari salah satu pihak, maka itu menjadi jual beli yang berlaku padanya hukum-hukum yang menghalalkan dan mengharamkan jual beli, dan tidak lagi disebut syirkah, tawliyah, atau iqālah.

قَالَ مَالِكٌ: مَنِ اشْتَرَى سِلْعَةً بَزًّا أَوْ رَقِيقًا، فَبَتَّ بِهِ، ثُمَّ سَأَلَهُ رَجُلٌ أَنْ يُشَرِّكَهُ فَفَعَلَ، وَنَقَدَا الثَّمَنَ صَاحِبَ السِّلْعَةِ جَمِيعًا، ثُمَّ أَدْرَكَ السِّلْعَةَ شَيْءٌ يَنْتَزِعُهَا مِنْ أَيْدِيهِمَا، فَإِنَّ الْمُشَرَّكَ يَأْخُذُ مِنِ الَّذِي أَشْرَكَهُ الثَّمَنَ، وَيَطْلُبُ الَّذِي أَشْرَكَ بَيِّعَهُ الَّذِي بَاعَهُ السِّلْعَةَ بِالثَّمَنِ كُلِّهِ، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُشَرِّكُ عَلَى الَّذِي أَشْرَكَ بِحَضْرَةِ الْبَيْعِ، وَعِنْدَ مُبَايَعَةِ الْبَائِعِ الْأَوَّلِ، وَقَبْلَ أَنْ يَتَفَاوَتَ ذَلِكَ أَنَّ عُهْدَتَكَ عَلَى الَّذِي ابْتَعْتُ مِنْهُ، وَإِنْ تَفَاوَتَ ذَلِكَ، وَفَاتَ الْبَائِعَ الْأَوَّلَ فَشَرْطُ الْآخَرِ بَاطِلٌ وَعَلَيْهِ الْعُهْدَةُ

Malik berkata: Barang siapa membeli suatu barang, baik kain maupun budak, lalu transaksi itu telah selesai, kemudian ada seseorang yang memintanya untuk berserikat dan ia pun menyetujuinya, lalu keduanya membayar harga barang itu bersama-sama kepada pemilik barang, kemudian barang tersebut terkena sesuatu yang menyebabkan barang itu diambil dari tangan mereka berdua, maka orang yang diajak berserikat mengambil harga dari orang yang mengajaknya berserikat, dan orang yang mengajak berserikat menuntut penjual barang itu dengan harga seluruhnya, kecuali jika orang yang diajak berserikat mensyaratkan kepada orang yang mengajaknya berserikat di hadapan transaksi jual beli, dan pada saat bertransaksi dengan penjual pertama, dan sebelum terjadi perbedaan, bahwa tanggung jawab ada pada orang yang aku beli darinya. Namun, jika sudah terjadi perbedaan dan penjual pertama telah berlalu, maka syarat pihak kedua batal dan tanggung jawab ada padanya.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَقُولُ لِلرَّجُلِ: اشْتَرِ هَذِهِ السِّلْعَةَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ، وَانْقُدْ عَنِّي وَأَنَا أَبِيعُهَا لَكَ: إِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ. حِينَ قَالَ: انْقُدْ عَنِّي وَأَنَا أَبِيعُهَا لَكَ. وَإِنَّمَا ذَلِكَ سَلَفٌ يُسْلِفُهُ إِيَّاهُ، عَلَى أَنْ يَبِيعَهَا لَهُ. وَلَوْ أَنَّ تِلْكَ السِّلْعَةَ هَلَكَتْ. أَوْ فَاتَتْ. أَخَذَ ذَلِكَ الرَّجُلُ الَّذِي نَقَدَ الثَّمَنَ. مِنْ شَرِيكِهِ مَا نَقَدَ عَنْهُ فَهَذَا مِنَ السَّلَفِ الَّذِي يَجُرُّ مَنْفَعَةً

Malik berkata: “Tentang seseorang yang berkata kepada orang lain: Belilah barang ini antara aku dan engkau, dan bayarlah untukku, lalu aku akan menjualnya kepadamu; sesungguhnya hal itu tidak sah. Ketika ia berkata: Bayarlah untukku, lalu aku akan menjualnya kepadamu, maka itu adalah pinjaman yang ia berikan kepadanya dengan syarat akan menjualnya kepadanya. Jika barang itu rusak atau hilang, maka orang yang telah membayar harga itu mengambil dari rekannya apa yang telah ia bayarkan untuknya. Ini termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَوْ أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ سِلْعَةً، فَوَجَبَتْ لَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُ رَجُلٌ: أَشْرِكْنِي بِنِصْفِ هَذِهِ السِّلْعَةِ، وَأَنَا أَبِيعُهَا لَكَ جَمِيعًا، كَانَ ذَلِكَ حَلَالًا لَا بَأْسَ بِهِ، وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ أَنَّ هَذَا بَيْعٌ جَدِيدٌ. بَاعَهُ نِصْفَ السِّلْعَةِ، عَلَى أَنْ يَبِيعَ لَهُ النِّصْفَ الْآخَرَ “

Malik berkata: “Jika seseorang membeli suatu barang, lalu barang itu menjadi haknya, kemudian ada orang lain berkata kepadanya: Sertakan aku pada setengah barang ini, dan aku akan menjual semuanya kepadamu, maka hal itu halal dan tidak mengapa. Penjelasannya adalah bahwa ini merupakan jual beli baru; ia menjual setengah barang itu, dengan syarat orang tersebut akan menjual setengah sisanya kepadanya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي إِفْلَاسِ الْغَرِيمِ

Bab tentang apa yang datang mengenai kebangkrutan debitur

87 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ بَاعَ مَتَاعًا، فَأَفْلَسَ الَّذِي ابْتَاعَهُ مِنْهُ، وَلَمْ يَقْبِضِ الَّذِي بَاعَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا، فَوَجَدَهُ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَإِنْ مَاتَ الَّذِي ابْتَاعَهُ فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ فِيهِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ

87 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Siapa saja yang menjual suatu barang, lalu orang yang membelinya darinya bangkrut, dan penjual belum menerima sedikit pun dari harganya, kemudian ia menemukan barang itu masih ada, maka ia lebih berhak atas barang itu. Namun jika orang yang membelinya telah meninggal, maka pemilik barang itu sama kedudukannya dengan para kreditur lainnya.

88 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ أَفْلَسَ، فَأَدْرَكَ الرَّجُلُ مَالَهُ بِعَيْنِهِ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

88 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, dari Umar bin Abdul Aziz, dari Abu Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Siapa saja yang bangkrut, lalu seseorang mendapatkan hartanya masih ada, maka ia lebih berhak atas harta itu daripada orang lain.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ بَاعَ مِنْ رَجُلٍ مَتَاعًا فَأَفْلَسَ الْمُبْتَاعُ، فَإِنَّ الْبَائِعَ إِذَا وَجَدَ شَيْئًا مِنْ مَتَاعِهِ بِعَيْنِهِ أَخَذَهُ، وَإِنْ كَانَ الْمُشْتَرِي قَدْ بَاعَ بَعْضَهُ، وَفَرَّقَهُ فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أَحَقُّ بِهِ مِنَ الْغُرَمَاءِ، لَا يَمْنَعُهُ مَا فَرَّقَ الْمُبْتَاعُ مِنْهُ، أَنْ يَأْخُذَ مَا وَجَدَ بِعَيْنِهِ، فَإِنِ اقْتَضَى مِنْ ثَمَنِ الْمُبْتَاعِ شَيْئًا فَأَحَبَّ أَنْ يَرُدَّهُ وَيَقْبِضَ مَا وَجَدَ مِنْ مَتَاعِهِ، وَيَكُونَ فِيمَا لَمْ يَجِدْ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ فَذَلِكَ لَهُ

Malik berkata: Tentang seseorang yang menjual barang kepada orang lain, lalu pembeli itu bangkrut, maka jika penjual menemukan sebagian barangnya masih ada, ia boleh mengambilnya, meskipun pembeli telah menjual sebagian atau membagikannya. Pemilik barang lebih berhak atas barang itu daripada para kreditur, dan apa yang telah dibagikan oleh pembeli tidak menghalanginya untuk mengambil apa yang ia temukan masih ada. Jika ia telah menerima sebagian dari harga pembeli dan ingin mengembalikannya serta mengambil barang yang ia temukan, dan untuk barang yang tidak ia temukan ia mendapat bagian seperti para kreditur lainnya, maka itu boleh baginya.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَمَنِ اشْتَرَى سِلْعَةً مِنَ السِّلَعِ غَزْلًا أَوْ مَتَاعًا أَوْ بُقْعَةً مِنَ الْأَرْضِ ثُمَّ أَحْدَثَ فِي ذَلِكَ الْمُشْتَرَى عَمَلًا بَنَى الْبُقْعَةَ دَارًا، أَوْ نَسَجَ الْغَزْلَ ثَوْبًا، ثُمَّ أَفْلَسَ الَّذِي ابْتَاعَ ذَلِكَ، فَقَالَ: رَبُّ الْبُقْعَةِ أَنَا آخُذُ الْبُقْعَةَ وَمَا فِيهَا مِنَ الْبُنْيَانِ، إِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ لَهُ، وَلَكِنْ تُقَوَّمُ الْبُقْعَةُ وَمَا فِيهَا، مِمَّا أَصْلَحَ الْمُشْتَرِي ثُمَّ يُنْظَرُ كَمْ ثَمَنُ الْبُقْعَةِ؟ وَكَمْ ثَمَنُ الْبُنْيَانِ مِنْ تِلْكَ الْقِيمَةِ؟ ثُمَّ يَكُونَانِ شَرِيكَيْنِ فِي ذَلِكَ لِصَاحِبِ الْبُقْعَةِ، بِقَدْرِ حِصَّتِهِ وَيَكُونُ لِلْغُرَمَاءِ بِقَدْرِ حِصَّةِ الْبُنْيَانِ

Malik berkata: “Barang siapa membeli suatu barang, baik benang, barang, atau sebidang tanah, kemudian ia melakukan suatu pekerjaan pada barang yang dibelinya itu—misalnya ia membangun rumah di atas tanah tersebut, atau menenun benang menjadi kain—lalu pembeli itu jatuh pailit, kemudian pemilik tanah berkata, ‘Saya akan mengambil tanah beserta bangunan yang ada di atasnya,’ maka hal itu bukan haknya. Akan tetapi, tanah beserta apa yang ada di atasnya, dari apa yang telah diperbaiki oleh pembeli, dinilai harganya. Lalu dilihat berapa harga tanahnya, dan berapa harga bangunannya dari nilai tersebut. Kemudian keduanya menjadi sekutu dalam hal itu; pemilik tanah mendapatkan bagian sesuai porsinya, dan para kreditur mendapatkan bagian sesuai porsi bangunan.”

قَالَ مَالِكٌ: وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ أَنْ تَكُونَ قِيمَةُ ذَلِكَ كُلِّهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَخَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَتَكُونُ قِيمَةُ الْبُقْعَةِ خَمْسَمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَقِيمَةُ الْبُنْيَانِ أَلْفَ دِرْهَمٍ، فَيَكُونُ لِصَاحِبِ الْبُقْعَةِ الثُّلُثُ، وَيَكُونُ لِلْغُرَمَاءِ الثُّلُثَانِ

Malik berkata: “Penjelasannya adalah jika nilai keseluruhannya dua ribu lima ratus dirham, maka nilai tanahnya lima ratus dirham, dan nilai bangunannya seribu dirham. Maka pemilik tanah mendapat sepertiga, dan para kreditur mendapat dua pertiga.”

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ الْغَزْلُ وَغَيْرُهُ مِمَّا أَشْبَهَهُ، إِذَا دَخَلَهُ هَذَا، وَلَحِقَ الْمُشْتَرِيَ دَيْنٌ لَا وَفَاءَ لَهُ عِنْدَهُ، وَهَذَا الْعَمَلُ فِيهِ

Malik berkata: “Demikian pula halnya dengan benang dan selainnya yang serupa, apabila terjadi hal seperti ini, dan pembeli tertimpa utang yang tidak mampu ia bayar, serta ada pekerjaan yang dilakukan pada barang tersebut.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فَأَمَّا مَا بِيعَ مِنَ السِّلَعِ الَّتِي لَمْ يُحْدِثْ فِيهَا الْمُبْتَاعُ شَيْئًا، إِلَّا أَنَّ تِلْكَ السِّلْعَةَ نَفَقَتْ، وَارْتَفَعَ ثَمَنُهَا، فَصَاحِبُهَا يَرْغَبُ فِيهَا، وَالْغُرَمَاءُ يُرِيدُونَ إِمْسَاكَهَا، فَإِنَّ الْغُرَمَاءَ يُخَيَّرُونَ بَيْنَ أَنْ: يُعْطُوا رَبَّ السِّلْعَةِ الثَّمَنَ الَّذِي بَاعَهَا بِهِ، وَلَا يُنَقِّصُوهُ شَيْئًا، وَبَيْنَ أَنْ يُسَلِّمُوا إِلَيْهِ سِلْعَتَهُ، وَإِنْ كَانَتِ السِّلْعَةُ قَدْ نَقَصَ ثَمَنُهَا، فَالَّذِي بَاعَهَا بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ أَنْ يَأْخُذَ سِلْعَتَهُ، وَلَا تِبَاعَةَ لَهُ فِي شَيْءٍ مِنْ مَالِ غَرِيمِهِ، فَذَلِكَ لَهُ. وَإِنْ شَاءَ أَنْ يَكُونَ غَرِيمًا مِنَ الْغُرَمَاءِ يُحَاصُّ بِحَقِّهِ، وَلَا يَأْخُذُ سِلْعَتَهُ فَذَلِكَ لَهُ

Malik berkata: “Adapun barang-barang yang dijual yang tidak ada perubahan apa pun yang dilakukan oleh pembeli, kecuali barang itu menjadi laku dan harganya naik, lalu pemilik barang menginginkannya kembali, dan para kreditur ingin menahannya, maka para kreditur diberi pilihan antara: memberikan kepada pemilik barang harga yang ia jual tanpa menguranginya sedikit pun, atau mengembalikan barangnya kepadanya. Jika harga barang itu turun, maka penjual berhak memilih: jika ia ingin mengambil kembali barangnya, maka ia tidak dapat menuntut apa pun dari harta orang yang berutang kepadanya, itu menjadi haknya. Jika ia ingin menjadi salah satu kreditur yang menuntut haknya, dan tidak mengambil kembali barangnya, maka itu juga menjadi haknya.”

وقَالَ مَالِكٌ: فِيمَنِ اشْتَرَى جَارِيَةً أَوْ دَابَّةً فَوَلَدَتْ عِنْدَهُ، ثُمَّ أَفْلَسَ الْمُشْتَرِي، فَإِنَّ الْجَارِيَةَ أَوِ الدَّابَّةَ وَوَلَدَهَا لِلْبَائِعِ، إِلَّا أَنْ يَرْغَبَ الْغُرَمَاءُ فِي ذَلِكَ فَيُعْطُونَهُ حَقَّهُ كَامِلًا، وَيُمْسِكُونَ ذَلِكَ

Malik berkata: “Tentang seseorang yang membeli seorang budak perempuan atau hewan tunggangan, lalu keduanya melahirkan di tempat pembeli, kemudian pembeli itu jatuh pailit, maka budak perempuan atau hewan tunggangan beserta anaknya menjadi milik penjual, kecuali jika para kreditur menginginkan itu, maka mereka memberikan hak penjual secara penuh dan menahan barang tersebut.”

بَابُ مَا يَجُوزُ مِنَ السَّلَفِ

Bab: Apa Saja yang Diperbolehkan dalam Pinjaman (Salaf)

89 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: اسْتَسْلَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَكْرًا فَجَاءَتْهُ إِبِلٌ مِنَ الصَّدَقَةِ، قَالَ أَبُو رَافِعٍ فَأَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْ أَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَقُلْتُ: لَمْ أَجِدْ فِي الْإِبِلِ إِلَّا جَمَلًا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْطِهِ إِيَّاهُ فَإِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

89 – Yahya meriwayatkan dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari Abu Rafi‘ maula Rasulullah ﷺ, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ pernah meminjam seekor unta muda, lalu datanglah unta-unta sedekah kepada beliau. Abu Rafi‘ berkata: Rasulullah ﷺ memerintahkanku untuk membayar utang unta muda itu kepada orang tersebut. Aku berkata: Aku tidak menemukan di antara unta-unta itu kecuali seekor unta jantan yang bagus dan sudah berumur empat tahun. Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikanlah itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar utang.”

90 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّهُ قَالَ: اسْتَسْلَفَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ مِنْ رَجُلٍ دَرَاهِمَ، ثُمَّ قَضَاهُ دَرَاهِمَ خَيْرًا مِنْهَا، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ هَذِهِ خَيْرٌ مِنْ دَرَاهِمِي الَّتِي أَسْلَفْتُكَ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَدْ عَلِمْتُ وَلَكِنْ نَفْسِي بِذَلِكَ طَيِّبَةٌ

90 – Malik meriwayatkan dari Humaid bin Qais al-Makki, dari Mujahid, bahwa ia berkata: Abdullah bin Umar pernah meminjam sejumlah dirham dari seseorang, lalu ia membayarnya dengan dirham yang lebih baik. Orang itu berkata: “Wahai Abu Abdurrahman, dirham ini lebih baik daripada dirhamku yang aku pinjamkan kepadamu.” Abdullah bin Umar berkata: “Aku tahu, tetapi hatiku rela dengan itu.”

قَالَ مَالِكٌ: لَا بَأْسَ بِأَنْ يُقْبِضَ مَنْ أُسْلِفَ شَيْئًا مِنَ الذَّهَبِ أَوِ الْوَرِقِ أَوِ الطَّعَامِ أَوِ الْحَيَوَانِ مِمَّنْ أَسْلَفَهُ ذَلِكَ، أَفْضَلَ مِمَّا أَسْلَفَهُ، إِذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عَلَى شَرْطٍ مِنْهُمَا أَوْ عَادَةٍ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ عَلَى شَرْطٍ أَوْ وَأْيٍ أَوْ عَادَةٍ، فَذَلِكَ مَكْرُوهٌ، وَلَا خَيْرَ فِيهِ، قَالَ: وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى جَمَلًا رَبَاعِيًا خِيَارًا مَكَانَ بَكْرٍ اسْتَسْلَفَهُ، وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ اسْتَسْلَفَ دَرَاهِمَ فَقَضَى خَيْرًا مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ عَلَى طِيبِ نَفْسٍ مِنَ الْمُسْتَسْلِفِ، وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عَلَى شَرْطٍ وَلَا وَأْيٍ وَلَا عَادَةٍ كَانَ ذَلِكَ حَلَالًا لَا بَأْسَ بِهِ “

Malik berkata: Tidak mengapa jika orang yang menerima pinjaman salam (uang muka) berupa emas, perak, makanan, atau hewan dari orang yang meminjamkannya, menerima pembayaran yang lebih baik daripada yang ia pinjamkan, selama hal itu tidak disyaratkan di antara keduanya atau menjadi kebiasaan. Namun, jika hal itu menjadi syarat, janji, atau kebiasaan, maka hal itu makruh dan tidak baik. Ia berkata: Hal ini karena Rasulullah ﷺ membayar seekor unta jantan dewasa yang lebih baik sebagai ganti dari unta muda yang beliau pinjam, dan karena Abdullah bin Umar pernah meminjam sejumlah dirham lalu membayarnya dengan yang lebih baik. Jika hal itu dilakukan atas kerelaan dari pihak yang meminjam, tanpa adanya syarat, janji, atau kebiasaan, maka hal itu halal dan tidak mengapa.

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ السَّلَفِ

Bab tentang hal-hal yang tidak boleh dalam akad salam (jual beli dengan pembayaran di muka)

91 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ فِي ” رَجُلٍ أَسْلَفَ رَجُلًا طَعَامًا عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ إِيَّاهُ فِي بَلَدٍ آخَرَ، فَكَرِهَ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَقَالَ: فَأَيْنَ الْحَمْلُ يَعْنِي حُمْلَانَهُ

91 – Yahya meriwayatkan dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Umar bin Khattab berkata tentang seorang laki-laki yang memberikan pinjaman salam berupa makanan kepada orang lain dengan syarat akan diberikan kepadanya di negeri lain, maka Umar bin Khattab membenci hal itu dan berkata: “Lalu bagaimana dengan ongkos angkutnya?” maksudnya biaya pengangkutannya.

92 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَجُلًا أَتَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ: إِنِّي أَسْلَفْتُ رَجُلًا سَلَفًا، وَاشْتَرَطْتُ عَلَيْهِ أَفْضَلَ مِمَّا أَسْلَفْتُهُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَذَلِكَ الرِّبَا، قَالَ: فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: ” السَّلَفُ عَلَى ثَلَاثَةِ وُجُوهٍ: سَلَفٌ تُسْلِفُهُ تُرِيدُ بِهِ وَجْهَ اللَّهِ، فَلَكَ وَجْهُ اللَّهِ، وَسَلَفٌ تُسْلِفُهُ تُرِيدُ بِهِ وَجْهَ صَاحِبِكَ، فَلَكَ وَجْهُ صَاحِبِكَ، وَسَلَفٌ تُسْلِفُهُ لِتَأْخُذَ خَبِيثًا بِطَيِّبٍ، فَذَلِكَ الرِّبَا “، قَالَ: فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ قَالَ: أَرَى أَنْ تَشُقَّ الصَّحِيفَةَ، فَإِنْ أَعْطَاكَ مِثْلَ الَّذِي أَسْلَفْتَهُ قَبِلْتَهُ، وَإِنْ أَعْطَاكَ دُونَ الَّذِي أَسْلَفْتَهُ فَأَخَذْتَهُ أُجِرْتَ، وَإِنْ أَعْطَاكَ أَفْضَلَ مِمَّا أَسْلَفْتَهُ طَيِّبَةً بِهِ نَفْسُهُ، فَذَلِكَ شُكْرٌ شَكَرَهُ لَكَ وَلَكَ أَجْرُ مَا أَنْظَرْتَهُ

92 – Dan ia meriwayatkan dariku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa seorang laki-laki datang kepada Abdullah bin Umar dan berkata: “Wahai Abu Abdurrahman, aku telah memberikan pinjaman salam kepada seseorang, dan aku mensyaratkan kepadanya agar ia membayar dengan yang lebih baik dari yang aku berikan.” Maka Abdullah bin Umar berkata: “Itu adalah riba.” Ia bertanya: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku, wahai Abu Abdurrahman?” Abdullah berkata: “Salam itu ada tiga macam: salam yang engkau berikan karena mengharap ridha Allah, maka bagimu pahala dari Allah; salam yang engkau berikan karena mengharap ridha temanmu, maka bagimu ridha temanmu; dan salam yang engkau berikan agar mengambil yang buruk dengan yang baik, maka itu adalah riba.” Ia bertanya: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku, wahai Abu Abdurrahman?” Ia berkata: “Aku berpendapat agar engkau merobek surat perjanjian itu. Jika ia membayar kepadamu seperti yang engkau berikan, terimalah. Jika ia membayar kurang dari yang engkau berikan dan engkau menerimanya, engkau mendapat pahala. Jika ia membayar lebih baik dari yang engkau berikan dengan kerelaan hatinya, maka itu adalah bentuk syukur darinya kepadamu, dan engkau mendapat pahala atas penangguhan yang engkau berikan.”

93 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ: مَنْ أَسْلَفَ سَلَفًا فَلَا يَشْتَرِطْ إِلَّا قَضَاءَهُ

93 – Malik meriwayatkan dari Nafi’, bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata: “Barang siapa melakukan akad salam, maka janganlah ia mensyaratkan kecuali pengembaliannya saja.”

94 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يَقُولُ: مَنْ أَسْلَفَ سَلَفًا فَلَا يَشْتَرِطْ أَفْضَلَ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَتْ قَبْضَةً مِنْ عَلَفٍ فَهُوَ رِبًا

94 – Malik meriwayatkan bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Barang siapa melakukan akad salam, maka janganlah ia mensyaratkan yang lebih baik darinya, meskipun hanya segenggam rumput, maka itu adalah riba.”

قَالَ مَالِكٌ الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا أَنَّ مَنِ اسْتَسْلَفَ شَيْئًا مِنَ الْحَيَوَانِ بِصِفَةٍ وَتَحْلِيَةٍ مَعْلُومَةٍ فَإِنَّهُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ وَعَلَيْهِ أَنْ يَرُدَّ مِثْلَهُ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ الْوَلَائِدِ فَإِنَّهُ يُخَافُ فِي ذَلِكَ الذَّرِيعَةُ إِلَى إِحْلَالِ مَا لَا يَحِلُّ فَلَا يَصْلُحُ وَتَفْسِيرُ مَا كُرِهَ مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَسْتَسْلِفَ الرَّجُلُ الْجَارِيَةَ فَيُصِيبُهَا مَا بَدَا لَهُ ثُمَّ يَرُدُّهَا إِلَى صَاحِبِهَا بِعَيْنِهَا فَذَلِكَ لَا يَصْلُحُ وَلَا يَحِلُّ وَلَمْ يَزَلْ أَهْلُ الْعِلْمِ يَنْهَوْنَ عَنْهُ وَلَا يُرَخِّصُونَ فِيهِ لِأَحَدٍ

Malik berkata: Kesepakatan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa siapa yang meminjam sesuatu dari hewan dengan sifat dan ciri yang jelas, maka tidak mengapa dan ia wajib mengembalikan yang sejenis, kecuali dalam hal budak perempuan, karena dikhawatirkan hal itu menjadi jalan bagi dihalalkannya sesuatu yang haram, maka itu tidak boleh. Penjelasan tentang apa yang dimakruhkan dari hal itu adalah jika seseorang meminjam budak perempuan lalu ia memperlakukannya sesuka hatinya, kemudian mengembalikannya kepada pemiliknya dalam keadaan yang sama, maka itu tidak boleh dan tidak halal. Para ulama senantiasa melarang hal itu dan tidak memberikan keringanan kepada siapa pun.

بَابُ مَا يُنْهَى عَنْهُ مِنَ الْمُسَاوَمَةِ وَالْمُبَايَعَةِ

Bab tentang larangan dalam tawar-menawar dan jual beli

95 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ

95 – Yahya meriwayatkan dari Malik dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah sebagian kalian menjual di atas penjualan sebagian yang lain.”

96 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ لِلْبَيْعِ، وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ، فَمَنِ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ، بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا،  إِنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا، وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ

96 – Malik meriwayatkan dari Abu az-Zinad, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian menjemput para kafilah untuk membeli barang dagangan mereka (sebelum mereka sampai ke pasar), dan janganlah sebagian dari kalian menjual di atas penjualan orang lain, dan janganlah kalian melakukan najasy (menawar dengan pura-pura untuk menaikkan harga), dan janganlah penduduk kota menjualkan barang untuk penduduk desa, dan janganlah kalian menahan susu unta dan kambing (tidak diperah agar tampak banyak susunya). Barang siapa membeli hewan tersebut setelah itu, maka ia berhak memilih dua pilihan setelah memerah susunya: jika ia ridha, ia menahannya, dan jika ia tidak suka, ia boleh mengembalikannya beserta satu sha‘ kurma.”

قَالَ مَالِكٌ: وَتَفْسِيرُ قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ – لَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ أَنَّهُ إِنَّمَا نَهَى أَنْ يَسُومَ الرَّجُلُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ، إِذَا رَكَنَ الْبَائِعُ إِلَى السَّائِمِ وَجَعَلَ يَشْتَرِطُ وَزْنَ الذَّهَبِ، وَيَتَبَرَّأُ مِنَ الْعُيُوبِ، وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِمَّا يُعْرَفُ بِهِ أَنَّ الْبَائِعَ قَدْ أَرَادَ مُبَايَعَةَ السَّائِمِ فَهَذَا الَّذِي نَهَى عَنْهُ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Malik berkata: “Penjelasan dari sabda Rasulullah ﷺ —menurut pendapat kami, dan Allah lebih mengetahui— ‘janganlah sebagian dari kalian menjual di atas penjualan orang lain’ adalah larangan seseorang menawar di atas tawaran saudaranya, apabila penjual telah condong kepada pembeli dan mulai menetapkan syarat timbangan emas, serta berlepas diri dari cacat, dan hal-hal serupa yang menunjukkan bahwa penjual telah berniat menjual kepada pembeli tersebut. Inilah yang dilarang, dan Allah lebih mengetahui.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا بَأْسَ بِالسَّوْمِ بِالسِّلْعَةِ تُوقَفُ لِلْبَيْعِ، فَيَسُومُ بِهَا غَيْرُ وَاحِدٍ قَالَ: وَلَوْ تَرَكَ النَّاسُ السَّوْمَ عِنْدَ أَوَّلِ مَنْ يَسُومُ بِهَا أُخِذَتْ بِشِبْهِ الْبَاطِلِ مِنَ الثَّمَنِ، وَدَخَلَ عَلَى الْبَاعَةِ فِي سِلَعِهِمُ الْمَكْرُوهُ، وَلَمْ يَزَلِ الْأَمْرُ عِنْدَنَا عَلَى هَذَا “

Malik berkata: “Tidak mengapa menawar barang yang sedang dipajang untuk dijual, sehingga lebih dari satu orang menawarnya.” Ia berkata: “Seandainya orang-orang berhenti menawar pada penawar pertama, maka barang itu akan diambil dengan harga yang hampir batil, dan hal yang tidak baik akan menimpa para penjual dalam barang dagangan mereka. Dan keadaan ini tetap berlaku di tengah kami.”

97 – قَالَ مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ النَّجْشِ

97 – Malik meriwayatkan dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ melarang najasy (menawar dengan pura-pura untuk menaikkan harga).

قَالَ مَالِكٌ: وَالنَّجْشُ أَنْ تُعْطِيَهُ بِسِلْعَتِهِ أَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهَا، وَلَيْسَ فِي نَفْسِكَ اشْتِرَاؤُهَا فَيَقْتَدِي بِكَ غَيْرُكَ

Malik berkata: “Najasy adalah seseorang menawar barang dengan harga lebih tinggi dari nilainya, padahal dalam hatinya tidak ingin membelinya, sehingga orang lain menirunya.”

بَابُ جَامِعِ الْبُيُوعِ

Bab Kompilasi Hukum Jual Beli

98 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلًا ذَكَرَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُخْدَعُ فِي الْبُيُوعِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لَا خِلَابَةَ “، قَالَ: فَكَانَ الرَّجُلُ إِذَا بَايَعَ يَقُولُ لَا خِلَابَةَ

98 – Yahya meriwayatkan dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang laki-laki mengadukan kepada Rasulullah ﷺ bahwa ia sering tertipu dalam jual beli. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika engkau berjual beli, katakanlah: ‘Tidak ada penipuan’.” Ia berkata: “Maka setiap kali orang itu berjual beli, ia selalu mengatakan: ‘Tidak ada penipuan’.”

99 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: إِذَا جِئْتَ أَرْضًا يُوفُونَ الْمِكْيَالَ، وَالْمِيزَانَ فَأَطِلِ الْمُقَامَ بِهَا، وَإِذَا جِئْتَ أَرْضًا يُنَقِّصُونَ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، فَأَقْلِلِ الْمُقَامَ بِهَا

99 – Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia mendengar Sa‘id bin al-Musayyib berkata: “Jika engkau datang ke suatu negeri di mana mereka menunaikan takaran dan timbangan dengan benar, maka perpanjanglah tinggalmu di sana. Dan jika engkau datang ke negeri yang mereka mengurangi takaran dan timbangan, maka persingkatlah tinggalmu di sana.”

100 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ الْمُنْكَدِرِ، يَقُولُ: أَحَبَّ اللَّهُ عَبْدًا سَمْحًا إِنْ بَاعَ، سَمْحًا إِنِ ابْتَاعَ، سَمْحًا إِنْ قَضَى، سَمْحًا إِنِ اقْتَضَى

100 – Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia mendengar Muhammad bin al-Munkadir berkata: “Allah mencintai hamba yang mudah (lapang dada) ketika menjual, mudah ketika membeli, mudah ketika menagih, dan mudah ketika membayar.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي الْإِبِلَ أَوِ الْغَنَمَ، أَوِ الْبَزَّ أَوِ الرَّقِيقَ أَوْ شَيْئًا مِنَ الْعُرُوضِ جِزَافًا، إِنَّهُ لَا يَكُونُ الْجِزَافُ فِي شَيْءٍ مِمَّا يُعَدُّ عَدًّا

Malik berkata: “Tentang seseorang yang membeli unta atau kambing, atau kain, atau budak, atau sesuatu dari barang dagangan secara borongan (tanpa ditakar atau dihitung), maka tidak boleh melakukan transaksi borongan pada sesuatu yang biasa dihitung satu per satu.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يُعْطِي الرَّجُلَ السِّلْعَةَ يَبِيعُهَا لَهُ، وَقَدْ قَوَّمَهَا صَاحِبُهَا قِيمَةً، فَقَالَ: إِنْ بِعْتَهَا بِهَذَا الثَّمَنِ الَّذِي أَمَرْتُكَ بِهِ فَلَكَ دِينَارٌ، أَوْ شَيْءٌ يُسَمِّيهِ لَهُ يَتَرَاضَيَانِ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ تَبِعْهَا فَلَيْسَ لَكَ شَيْءٌ، إِنَّهُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، إِذَا سَمَّى ثَمَنًا يَبِيعُهَا بِهِ، وَسَمَّى أَجْرًا مَعْلُومًا إِذَا بَاعَ أَخَذَهُ، وَإِنْ لَمْ يَبِعْ فَلَا شَيْءَ لَهُ

Malik berkata: “Tentang seseorang yang memberikan barang kepada orang lain untuk dijualkan, dan pemiliknya telah menentukan harganya, lalu berkata: ‘Jika engkau menjualnya dengan harga yang aku perintahkan, maka bagimu satu dinar, atau sesuatu yang ia sebutkan dan keduanya ridha dengannya. Jika tidak terjual, maka tidak ada apa-apa bagimu.’ Maka tidak mengapa dengan hal itu, jika ia telah menyebutkan harga jualnya dan menyebutkan upah yang jelas yang akan diambilnya jika berhasil menjual, dan jika tidak terjual maka tidak ada apa-apa baginya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمِثْلُ ذَلِكَ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ إِنْ قَدَرْتَ عَلَى غُلَامِي الْآبِقِ أَوْ جِئْتَ بِجَمَلِي الشَّارِدِ فَلَكَ كَذَا وَكَذَا، فَهَذَا مِنْ بَابِ الْجُعْلِ وَلَيْسَ مِنْ بَابِ الْإِجَارَةِ، وَلَوْ كَانَ مِنْ بَابِ الْإِجَارَةِ لَمْ يَصْلُحْ

Malik berkata: “Demikian pula jika seseorang berkata kepada orang lain: ‘Jika engkau berhasil menangkap budakku yang melarikan diri, atau engkau membawa kembali untaku yang kabur, maka bagimu sekian dan sekian.’ Maka ini termasuk bab ju‘l (imbalan atas suatu pekerjaan tertentu), bukan dari bab ijarah (sewa jasa). Jika termasuk ijarah, maka tidak sah.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فَأَمَّا الرَّجُلُ يُعْطَى السِّلْعَةَ، فَيُقَالُ لَهُ: بِعْهَا وَلَكَ كَذَا وَكَذَا فِي كُلِّ دِينَارٍ لِشَيْءٍ يُسَمِّيهِ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، لِأَنَّهُ كُلَّمَا نَقَصَ دِينَارٌ مِنْ ثَمَنِ السِّلْعَةِ نَقَصَ مِنْ حَقِّهِ الَّذِي سَمَّى لَهُ، فَهَذَا غَرَرٌ لَا يَدْرِي كَمْ جَعَلَ لَهُ

Malik berkata: “Adapun seseorang yang diberikan barang, lalu dikatakan kepadanya: ‘Juallah ini dan untukmu sekian dan sekian pada setiap dinar untuk sesuatu yang telah disebutkan,’ maka hal itu tidak sah, karena setiap kali berkurang satu dinar dari harga barang tersebut, maka berkurang pula haknya yang telah disebutkan untuknya. Ini adalah gharar (ketidakjelasan), karena ia tidak mengetahui berapa yang sebenarnya diberikan kepadanya.”

101 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنِ الرَّجُلِ ” يَتَكَارَى الدَّابَّةَ، ثُمَّ يُكْرِيهَا بِأَكْثَرَ مِمَّا تَكَارَاهَا بِهِ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ “

101 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah ditanya tentang seseorang yang menyewa hewan tunggangan, kemudian ia menyewakannya lagi dengan harga yang lebih tinggi dari harga sewanya, maka ia berkata: “Tidak mengapa dengan hal itu.”

32 – كِتَابُ الْقِرَاضِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang apa yang datang mengenai qirāḍ (mudharabah)

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ وَعُبَيْدُ اللَّهِ ابْنَا عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي جَيْشٍ إِلَى الْعِرَاقِ فَلَمَّا قَفَلَا مَرَّا عَلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، وَهُوَ أَمِيرُ الْبَصْرَةِ، فَرَحَّبَ بِهِمَا وَسَهَّلَ، ثُمَّ قَالَ: لَوْ أَقْدِرُ لَكُمَا عَلَى أَمْرٍ أَنْفَعُكُمَا بِهِ لَفَعَلْتُ، ثُمَّ قَالَ: بَلَى هَاهُنَا مَالٌ مِنْ مَالِ اللَّهِ، أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَ بِهِ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، فَأُسْلِفُكُمَاهُ فَتَبْتَاعَانِ بِهِ مَتَاعًا مِنْ مَتَاعِ الْعِرَاقِ، ثُمَّ تَبِيعَانِهِ بِالْمَدِينَةِ، فَتُؤَدِّيَانِ رَأْسَ الْمَالِ إِلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، وَيَكُونُ الرِّبْحُ لَكُمَا، فَقَالَا: وَدِدْنَا ذَلِكَ، فَفَعَلَ، وَكَتَبَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُمَا الْمَالَ، فَلَمَّا قَدِمَا بَاعَا فَأُرْبِحَا، فَلَمَّا دَفَعَا ذَلِكَ إِلَى عُمَرَ قَالَ: أَكُلُّ الْجَيْشِ أَسْلَفَهُ، مِثْلَ مَا أَسْلَفَكُمَا؟ قَالَا: لَا، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ابْنَا أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، فَأَسْلَفَكُمَا، أَدِّيَا الْمَالَ وَرِبْحَهُ، فَأَمَّا عَبْدُ اللَّهِ فَسَكَتَ، وَأَمَّا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ: مَا يَنْبَغِي لَكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، هَذَا لَوْ نَقَصَ هَذَا الْمَالُ أَوْ هَلَكَ لَضَمِنَّاهُ؟ فَقَالَ عُمَرُ: أَدِّيَاهُ، فَسَكَتَ عَبْدُ اللَّهِ، وَرَاجَعَهُ عُبَيْدُ اللَّهِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ جُلَسَاءِ عُمَرَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ لَوْ جَعَلْتَهُ قِرَاضًا؟ فَقَالَ عُمَرُ: قَدْ جَعَلْتُهُ قِرَاضًا، فَأَخَذَ عُمَرُ رَأْسَ الْمَالِ وَنِصْفَ رِبْحِهِ، وَأَخَذَ عَبْدُ اللَّهِ وَعُبَيْدُ اللَّهِ ابْنَا عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ نِصْفَ رِبْحِ الْمَالِ “

1 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Abdullah dan Ubaidullah, dua putra Umar bin al-Khattab, pernah ikut dalam sebuah pasukan ke Irak. Ketika mereka kembali, mereka melewati Abu Musa al-Asy‘ari, yang saat itu adalah amir Bashrah. Ia menyambut dan memuliakan mereka, lalu berkata: “Seandainya aku mampu melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk kalian, pasti akan aku lakukan.” Kemudian ia berkata: “Di sini ada harta milik Allah yang ingin aku kirimkan kepada Amirul Mukminin. Aku akan meminjamkannya kepada kalian, lalu kalian belikan barang-barang dari Irak dengan harta itu, kemudian kalian jual di Madinah. Setelah itu, kalian kembalikan pokok modal kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya menjadi milik kalian.” Mereka berdua berkata: “Kami senang dengan itu.” Maka Abu Musa melakukannya dan menulis surat kepada Umar bin al-Khattab agar mengambil harta itu dari mereka. Ketika mereka sampai di Madinah, mereka menjual barang-barang itu dan memperoleh keuntungan. Ketika mereka menyerahkan harta itu kepada Umar, ia berkata: “Apakah seluruh pasukan juga diperlakukan seperti kalian, dipinjamkan harta sebagaimana kalian dipinjamkan?” Mereka menjawab: “Tidak.” Maka Umar bin al-Khattab berkata: “Kalian adalah putra Amirul Mukminin, lalu kalian dipinjamkan harta. Kembalikanlah harta itu beserta keuntungannya.” Abdullah diam, sedangkan Ubaidullah berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepantasnya engkau berkata demikian. Seandainya harta itu berkurang atau hilang, tentu kami akan menanggungnya.” Umar berkata: “Kembalikanlah!” Abdullah tetap diam, sedangkan Ubaidullah terus membantahnya. Lalu salah seorang dari majelis Umar berkata: “Wahai Amirul Mukminin, bagaimana jika engkau menjadikannya sebagai qirāḍ (mudharabah)?” Umar berkata: “Aku telah menjadikannya qirāḍ.” Maka Umar mengambil pokok modal dan setengah keuntungannya, sedangkan Abdullah dan Ubaidullah, dua putra Umar bin al-Khattab, mengambil setengah keuntungan dari harta itu.”

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ: أَعْطَاهُ مَالًا قِرَاضًا يَعْمَلُ فِيهِ عَلَى أَنَّ الرِّبْحَ بَيْنَهُمَا

2 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari al-‘Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Utsman bin ‘Affan pernah memberikan kepadanya sejumlah harta dalam bentuk qirāḍ (mudharabah) untuk dikelola, dengan kesepakatan bahwa keuntungan dibagi di antara mereka berdua.

بَابُ مَا يَجُوزُ فِي الْقِرَاضِ
3 – قَالَ مَالِكٌ: وَجْهُ الْقِرَاضِ الْمَعْرُوفِ الْجَائِزِ أَنْ يَأْخُذَ الرَّجُلُ الْمَالَ مِنْ صَاحِبِهِ عَلَى أَنْ يَعْمَلَ فِيهِ، وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَنَفَقَةُ الْعَامِلِ فِي الْمَالِ، فِي سَفَرِهِ مِنْ طَعَامِهِ وَكِسْوَتِهِ، وَمَا يُصْلِحُهُ بِالْمَعْرُوفِ، بِقَدْرِ الْمَالِ إِذَا شَخَصَ فِي الْمَالِ، إِذَا كَانَ الْمَالُ يَحْمِلُ ذَلِكَ. فَإِنْ كَانَ مُقِيمًا فِي أَهْلِهِ، فَلَا نَفَقَةَ لَهُ مِنَ الْمَالِ، وَلَا كِسْوَةَ

Bab tentang apa yang boleh dalam qirāḍ (mudharabah)
3 – Malik berkata: Bentuk qirāḍ (mudharabah) yang dikenal dan dibolehkan adalah seseorang mengambil harta dari pemiliknya untuk dikelola, tanpa ada tanggungan (jaminan) atasnya, dan nafkah pekerja diambil dari harta itu, selama dalam perjalanan, berupa makanan, pakaian, dan kebutuhan lain yang wajar, sesuai dengan besarnya harta jika ia bepergian untuk mengelola harta itu, selama harta tersebut mampu menanggungnya. Namun jika ia tinggal di keluarganya, maka tidak ada nafkah dan pakaian dari harta itu.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ بِأَنْ يُعِينَ الْمُتَقَارِضَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ عَلَى وَجْهِ الْمَعْرُوفِ، إِذَا صَحَّ ذَلِكَ مِنْهُمَا

Malik berkata: Tidak mengapa jika kedua pihak yang melakukan qirāḍ (mudharabah) saling membantu satu sama lain dengan cara yang wajar, jika hal itu memang benar-benar terjadi di antara mereka.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ بِأَنْ يَشْتَرِيَ رَبُّ الْمَالِ مِمَّنْ قَارَضَهُ بَعْضَ مَا يَشْتَرِي مِنَ السِّلَعِ إِذَا كَانَ ذَلِكَ صَحِيحًا عَلَى غَيْرِ شَرْطٍ

Malik berkata: Tidak mengapa jika pemilik harta membeli sebagian barang yang dibeli oleh pihak yang mengelola qirāḍ (mudharabah), selama hal itu dilakukan secara sah tanpa ada syarat tertentu.

قَالَ مَالِكٌ: فِيمَنْ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ، وَإِلَى غُلَامٍ لَهُ مَالًا قِرَاضًا يَعْمَلَانِ فِيهِ جَمِيعًا، إِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لَا بَأْسَ بِهِ، لِأَنَّ الرِّبْحَ مَالٌ لِغُلَامِهِ، لَا يَكُونُ الرِّبْحُ لِلسَّيِّدِ حَتَّى يَنْتَزِعَهُ مِنْهُ، وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ غَيْرِهِ مِنْ كَسْبِهِ

Malik berkata: Jika seseorang memberikan harta qirāḍ (mudharabah) kepada seorang laki-laki dan kepada budaknya untuk dikelola bersama-sama, maka hal itu boleh dan tidak mengapa, karena keuntungan itu menjadi milik budaknya, dan keuntungan itu tidak menjadi milik tuannya sampai ia mengambilnya dari budaknya, dan kedudukannya sama seperti orang lain dalam hal hasil usahanya.

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang apa yang tidak boleh dalam qirāḍ (mudharabah)

4 – قَالَ مَالِكٌ: إِذَا كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى رَجُلٍ دَيْنٌ، فَسَأَلَهُ أَنْ يُقِرَّهُ عِنْدَهُ قِرَاضًا، إِنَّ ذَلِكَ يُكْرَهُ حَتَّى يَقْبِضَ مَالَهُ، ثُمَّ يُقَارِضُهُ بَعْدُ أَوْ يُمْسِكُ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ مَخَافَةَ أَنْ يَكُونَ أَعْسَرَ بِمَالِهِ، فَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يُؤَخِّرَ ذَلِكَ عَلَى أَنْ يَزِيدَهُ فِيهِ

4 – Malik berkata: Jika seseorang memiliki piutang atas orang lain, lalu ia meminta agar piutangnya itu dijadikan sebagai modal qirāḍ, maka hal itu makruh sampai ia menerima kembali hartanya, kemudian setelah itu ia boleh melakukan qirāḍ atau menahannya. Hal ini karena dikhawatirkan orang tersebut mengalami kesulitan dengan hartanya, sehingga ia ingin menunda pembayaran dengan harapan akan mendapat tambahan darinya.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا فَهَلَكَ بَعْضُهُ، قَبْلَ أَنْ يَعْمَلَ فِيهِ، ثُمَّ عَمِلَ فِيهِ فَرَبِحَ، فَأَرَادَ أَنْ يَجْعَلَ رَأْسَ الْمَالِ بَقِيَّةَ الْمَالِ بَعْدَ الَّذِي هَلَكَ مِنْهُ، قَبْلَ أَنْ يَعْمَلَ فِيهِ

Malik berkata: “Jika seseorang memberikan harta kepada orang lain sebagai modal qirāḍ, lalu sebagian harta itu hilang sebelum digunakan untuk usaha, kemudian ia mengelolanya dan memperoleh keuntungan, lalu ia ingin menjadikan sisa harta setelah yang hilang itu sebagai modal pokok sebelum digunakan untuk usaha.”

قَالَ مَالِكٌ: لَا يُقْبَلُ قَوْلُهُ، وَيُجْبَرُ رَأْسُ الْمَالِ مِنْ رِبْحِهِ، ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ مَا بَقِيَ بَعْدَ رَأْسِ الْمَالِ عَلَى شَرْطِهِمَا، مِنَ الْقِرَاضِ

Malik berkata: Pendapatnya tidak diterima, dan modal pokok harus dipenuhi dari keuntungannya, kemudian keduanya membagi sisa keuntungan setelah modal pokok sesuai dengan syarat qirāḍ yang telah disepakati.

قالَ مَالِكٌ: لَا يَصْلُحُ الْقِرَاضُ إِلَّا فِي الْعَيْنِ مِنَ الذَّهَبِ أَوِ الْوَرِقِ، وَلَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْعُرُوضِ، وَالسِّلَعِ، وَمِنَ الْبُيُوعِ مَا يَجُوزُ إِذَا تَفَاوَتَ أَمْرُهُ، وَتَفَاحَشَ رَدُّهُ، فَأَمَّا الرِّبَا فَإِنَّهُ لَا يَكُونُ فِيهِ إِلَّا الرَّدُّ أَبَدًا، وَلَا يَجُوزُ مِنْهُ قَلِيلٌ، وَلَا كَثِيرٌ، وَلَا يَجُوزُ فِيهِ مَا يَجُوزُ فِي غَيْرِهِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ {وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ، لَا تَظْلِمُونَ، وَلَا تُظْلَمُونَ}

Malik berkata: Qirāḍ tidak sah kecuali dengan harta berupa emas atau perak (uang), dan tidak boleh dengan barang dagangan atau komoditas. Di antara transaksi jual beli ada yang boleh jika nilainya berfluktuasi dan pengembaliannya sangat merugikan. Adapun riba, maka dalam riba hanya ada pengembalian modal saja selamanya, tidak boleh mengambil sedikit maupun banyak, dan tidak boleh berlaku padanya apa yang boleh pada selainnya, karena Allah Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menzalimi dan tidak dizalimi.}

بَابُ مَا يَجُوزُ مِنَ الشَّرْطِ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang syarat-syarat yang boleh dalam qirāḍ

5 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا، وَشَرَطَ عَلَيْهِ أَنْ لَا تَشْتَرِيَ بِمَالِي إِلَّا سِلْعَةَ كَذَا وَكَذَا أَوْ يَنْهَاهُ أَنْ يَشْتَرِيَ سِلْعَةً بِاسْمِهَا

5 – Yahya berkata: Malik berkata: Mengenai seseorang yang memberikan harta kepada orang lain sebagai modal qirāḍ, lalu ia mensyaratkan agar tidak membeli dengan hartanya kecuali barang tertentu, atau melarangnya membeli barang tertentu dengan menyebut namanya.

قَالَ مَالِكٌ: مَنِ اشْتَرَطَ عَلَى مَنْ قَارَضَ أَنْ لَا يَشْتَرِيَ حَيَوَانًا أَوْ سِلْعَةً بِاسْمِهَا، فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ، وَمَنِ اشْتَرَطَ عَلَى مَنْ قَارَضَ أَنْ لَا يَشْتَرِيَ إِلَّا سِلْعَةَ كَذَا وَكَذَا، فَإِنَّ ذَلِكَ مَكْرُوهٌ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ السِّلْعَةُ الَّتِي أَمَرَهُ أَنْ لَا يَشْتَرِيَ غَيْرَهَا كَثِيرَةً مَوْجُودَةً لَا تُخْلِفُ فِي شِتَاءٍ وَلَا صَيْفٍ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

Malik berkata: Barang siapa yang mensyaratkan kepada pihak yang menerima qirāḍ agar tidak membeli hewan atau barang tertentu dengan menyebut namanya, maka tidak mengapa dengan syarat tersebut. Namun jika ia mensyaratkan agar tidak membeli kecuali barang tertentu saja, maka hal itu makruh, kecuali jika barang yang diperintahkan untuk dibeli itu banyak dan mudah didapat, tidak langka di musim panas maupun dingin, maka tidak mengapa dengan syarat tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا، وَاشْتَرَطَ عَلَيْهِ فِيهِ شَيْئًا مِنَ الرِّبْحِ خَالِصًا دُونَ صَاحِبِهِ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، وَإِنْ كَانَ دِرْهَمًا وَاحِدًا، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ نِصْفَ الرِّبْحِ لَهُ، وَنِصْفَهُ لِصَاحِبِهِ أَوْ ثُلُثَهُ أَوْ رُبُعَهُ أَوْ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرَ، فَإِذَا سَمَّى شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا، فَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ سَمَّى مِنْ ذَلِكَ حَلَالٌ وَهُوَ قِرَاضُ الْمُسْلِمِينَ، قَالَ: وَلَكِنْ إِنِ اشْتَرَطَ أَنَّ لَهُ مِنَ الرِّبْحِ دِرْهَمًا وَاحِدًا فَمَا فَوْقَهُ خَالِصًا لَهُ دُونَ صَاحِبِهِ، وَمَا بَقِيَ مِنَ الرِّبْحِ فَهُوَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، وَلَيْسَ عَلَى ذَلِكَ قِرَاضُ الْمُسْلِمِينَ “

Malik berkata: “Jika seseorang memberikan harta kepada orang lain sebagai modal qirāḍ, lalu ia mensyaratkan agar sebagian keuntungan menjadi miliknya secara khusus tanpa dibagi dengan mitranya, maka hal itu tidak sah, meskipun hanya satu dirham, kecuali jika ia mensyaratkan setengah keuntungan untuk dirinya dan setengahnya untuk mitranya, atau sepertiga, seperempat, kurang atau lebih dari itu. Jika disebutkan bagian tertentu, sedikit atau banyak, maka semua yang disebutkan itu halal dan itulah qirāḍ kaum muslimin. Namun, jika ia mensyaratkan bahwa dari keuntungan, satu dirham atau lebih menjadi miliknya secara khusus tanpa dibagi dengan mitranya, dan sisanya dibagi dua, maka hal itu tidak sah, dan bukan demikian qirāḍ kaum muslimin.”

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ الشَّرْطِ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang syarat-syarat yang tidak boleh dalam qirāḍ

6 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: ” لَا يَنْبَغِي لِصَاحِبِ الْمَالِ أَنْ يَشْتَرِطَ لِنَفْسِهِ شَيْئًا مِنَ الرِّبْحِ خَالِصًا. دُونَ الْعَامِلِ. وَلَا يَنْبَغِي لِلْعَامِلِ أَنْ يَشْتَرِطَ لِنَفْسِهِ شَيْئًا مِنَ الرِّبْحِ خَالِصًا. دُونَ صَاحِبِهِ. وَلَا يَكُونُ مَعَ الْقِرَاضِ بَيْعٌ، وَلَا كِرَاءٌ، وَلَا عَمَلٌ، وَلَا سَلَفٌ، وَلَا مِرْفَقٌ يَشْتَرِطُهُ أَحَدُهُمَا لِنَفْسِهِ دُونَ صَاحِبِهِ. إِلَّا أَنْ يُعِينَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ عَلَى غَيْرِ شَرْطٍ. عَلَى وَجْهِ الْمَعْرُوفِ. إِذَا صَحَّ ذَلِكَ مِنْهُمَا. وَلَا يَنْبَغِي لِلْمُتَقَارِضَيْنِ أَنْ يَشْتَرِطَ أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ زِيَادَةً، مِنْ ذَهَبٍ وَلَا فِضَّةٍ وَلَا طَعَامٍ، وَلَا شَيْءٍ مِنَ الْأَشْيَاءِ. يَزْدَادُهُ أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ. قَالَ: فَإِنْ دَخَلَ الْقِرَاضَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، صَارَ إِجَارَةً، وَلَا تَصْلُحُ الْإِجَارَةُ إِلَّا بِشَيْءٍ ثَابِتٍ مَعْلُومٍ، وَلَا يَنْبَغِي لِلَّذِي أَخَذَ الْمَالَ أَنْ يَشْتَرِطَ، مَعَ أَخْذِهِ الْمَالَ، أَنْ يُكَافِئَ. وَلَا يُوَلِّيَ مِنْ سِلْعَتِهِ أَحَدًا، وَلَا يَتَوَلَّى مِنْهَا شَيْئًا لِنَفْسِهِ، فَإِذَا وَفَرَ الْمَالُ. وَحَصَلَ عَزْلُ رَأْسِ الْمَالِ، ثُمَّ اقْتَسَمَا الرِّبْحَ عَلَى شَرْطِهِمَا. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمَالِ رِبْحٌ. أَوْ دَخَلَتْهُ وَضِيعَةٌ. لَمْ يَلْحَقِ الْعَامِلَ مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ. لَا مِمَّا أَنْفَقَ عَلَى نَفْسِهِ. وَلَا مِنَ الْوَضِيعَةِ، وَذَلِكَ عَلَى رَبِّ الْمَالِ فِي مَالِهِ، وَالْقِرَاضُ جَائِزٌ عَلَى مَا تَرَاضَى عَلَيْهِ رَبُّ الْمَالِ، وَالْعَامِلُ مِنْ نِصْفِ الرِّبْحِ أَوْ ثُلُثِهِ أَوْ رُبُعِهِ أَوْ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرَ

6 – Yahya berkata: Malik berkata: “Tidak sepantasnya pemilik modal mensyaratkan untuk dirinya sendiri bagian tertentu dari keuntungan secara eksklusif, tanpa melibatkan pekerja (‘āmil). Dan tidak sepantasnya pula bagi pekerja mensyaratkan untuk dirinya sendiri bagian tertentu dari keuntungan secara eksklusif, tanpa melibatkan pemilik modal. Tidak boleh dalam akad qirāḍ (mudharabah) terdapat jual beli, sewa-menyewa, pekerjaan, pinjaman, atau fasilitas yang disyaratkan oleh salah satu pihak untuk dirinya sendiri tanpa melibatkan pihak lain, kecuali jika salah satu dari keduanya membantu temannya tanpa syarat, dengan cara yang makruf (baik), jika hal itu benar-benar dilakukan oleh keduanya. Tidak sepantasnya bagi kedua pihak yang berakad qirāḍ, salah satunya mensyaratkan tambahan kepada pihak lain, baik berupa emas, perak, makanan, atau apa pun yang menambah keuntungan salah satu pihak atas pihak lainnya. Ia berkata: Jika dalam akad qirāḍ terdapat salah satu dari hal tersebut, maka akad itu menjadi akad ijarah (sewa), dan ijarah tidak sah kecuali dengan sesuatu yang tetap dan diketahui. Tidak sepantasnya bagi pihak yang menerima modal untuk mensyaratkan, bersamaan dengan penerimaan modal, adanya imbalan tertentu, atau mengangkat seseorang dari barang dagangannya, atau mengambil sebagian darinya untuk dirinya sendiri. Apabila modal telah utuh dan pokok modal telah dipisahkan, kemudian keduanya membagi keuntungan sesuai syarat yang telah disepakati. Jika modal tidak menghasilkan keuntungan, atau mengalami kerugian, maka pekerja tidak mendapatkan apa pun dari itu, baik dari apa yang ia belanjakan untuk dirinya sendiri maupun dari kerugian tersebut. Itu menjadi tanggungan pemilik modal atas hartanya. Akad qirāḍ boleh dilakukan sesuai kesepakatan antara pemilik modal dan pekerja, baik setengah keuntungan, sepertiga, seperempat, kurang dari itu, atau lebih.

قَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ لِلَّذِي يَأْخُذُ الْمَالَ قِرَاضًا أَنْ يَشْتَرِطَ أَنْ يَعْمَلَ فِيهِ سِنِينَ لَا يُنْزَعُ مِنْهُ. قَالَ: وَلَا يَصْلُحُ لِصَاحِبِ الْمَالِ أَنْ يَشْتَرِطَ أَنَّكَ لَا تَرُدُّهُ إِلَيَّ سِنِينَ، لِأَجَلٍ يُسَمِّيَانِهِ. لِأَنَّ الْقِرَاضَ لَا يَكُونُ إِلَى أَجَلٍ. وَلَكِنْ يَدْفَعُ رَبُّ الْمَالِ مَالَهُ إِلَى الَّذِي يَعْمَلُ لَهُ فِيهِ، فَإِنْ بَدَا لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَتْرُكَ ذَلِكَ. وَالْمَالُ نَاضٌّ لَمْ يَشْتَرِ بِهِ شَيْئًا، تَرَكَهُ. وَأَخَذَ صَاحِبُ الْمَالِ مَالَهُ، وَإِنْ بَدَا لِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يَقْبِضَهُ، بَعْدَ أَنْ يَشْتَرِيَ بِهِ سِلْعَةً. فَلَيْسَ ذَلِكَ لَهُ، حَتَّى يُبَاعَ الْمَتَاعُ، وَيَصِيرَ عَيْنًا، فَإِنْ بَدَا لِلْعَامِلِ أَنْ يَرُدَّهُ، وَهُوَ عَرْضٌ، لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ. حَتَّى يَبِيعَهُ، فَيَرُدَّهُ عَيْنًا كَمَا أَخَذَهُ

Malik berkata: Tidak boleh bagi orang yang menerima modal dalam akad qirāḍ untuk mensyaratkan bahwa ia akan mengelolanya selama beberapa tahun tanpa dapat dicabut darinya. Ia berkata: Dan tidak sah bagi pemilik modal untuk mensyaratkan bahwa modal itu tidak boleh dikembalikan kepadanya selama beberapa tahun, untuk jangka waktu yang mereka tentukan, karena qirāḍ tidak boleh dibatasi waktu tertentu. Akan tetapi, pemilik modal menyerahkan hartanya kepada orang yang akan mengelolanya, lalu jika salah satu dari keduanya ingin mengakhiri akad tersebut, dan modal masih berupa uang tunai yang belum dibelanjakan, maka akad itu berakhir dan pemilik modal mengambil kembali hartanya. Namun jika pemilik modal ingin mengambil kembali modalnya setelah dibelikan barang, maka itu tidak boleh baginya sampai barang tersebut dijual dan kembali menjadi uang tunai. Jika pekerja ingin mengembalikan modal saat masih berupa barang dagangan, maka itu juga tidak boleh baginya sampai ia menjual barang tersebut, lalu mengembalikannya dalam bentuk uang tunai sebagaimana ia menerimanya.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَصْلُحُ لِمَنْ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا، أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِ الزَّكَاةَ فِي حِصَّتِهِ مِنَ الرِّبْحِ خَاصَّةً، لِأَنَّ رَبَّ الْمَالِ، إِذَا اشْتَرَطَ ذَلِكَ، فَقَدِ اشْتَرَطَ لِنَفْسِهِ، فَضْلًا مِنَ الرِّبْحِ ثَابِتًا. فِيمَا سَقَطَ عَنْهُ مِنْ حِصَّةِ الزَّكَاةِ. الَّتِي تُصِيبُهُ مِنْ حِصَّتِهِ. وَلَا يَجُوزُ لِرَجُلٍ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَى مَنْ قَارَضَهُ، أَنْ لَا يَشْتَرِيَ إِلَّا مِنْ فُلَانٍ. لِرَجُلٍ يُسَمِّيهِ. فَذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ. لِأَنَّهُ يَصِيرُ لَهُ أَجِيرًا بِأَجْرٍ لَيْسَ بِمَعْرُوفٍ

Malik berkata: Tidak sah bagi seseorang yang menyerahkan harta kepada orang lain dalam akad qirāḍ untuk mensyaratkan agar zakat atas bagian keuntungannya hanya ditanggung oleh pekerja saja, karena jika pemilik modal mensyaratkan demikian, berarti ia telah mensyaratkan kelebihan keuntungan yang tetap untuk dirinya sendiri, berupa bagian zakat yang seharusnya menjadi tanggungannya dari bagian keuntungannya. Tidak boleh pula seseorang mensyaratkan kepada mitra qirāḍ-nya agar tidak membeli kecuali dari orang tertentu yang ia sebutkan, karena hal itu tidak diperbolehkan. Sebab, dengan demikian ia menjadi pekerja dengan upah yang tidak jelas.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَدْفَعُ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. وَيَشْتَرِطُ عَلَى الَّذِي دَفَعَ إِلَيْهِ الْمَالَ الضَّمَانَ، قَالَ: لَا يَجُوزُ لِصَاحِبِ الْمَالِ أَنْ يَشْتَرِطَ فِي مَالِهِ غَيْرَ مَا وُضِعَ الْقِرَاضُ عَلَيْهِ، وَمَا مَضَى مِنْ سُنَّةِ الْمُسْلِمِينَ فِيهِ، فَإِنْ نَمَا الْمَالُ عَلَى شَرْطِ الضَّمَانِ. كَانَ قَدِ ازْدَادَ فِي حَقِّهِ مِنَ الرِّبْحِ مِنْ أَجْلِ مَوْضِعِ الضَّمَانِ. وَإِنَّمَا يَقْتَسِمَانِ الرِّبْحَ عَلَى مَا لَوْ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ عَلَى غَيْرِ ضَمَانٍ. وَإِنْ تَلِفَ الْمَالُ لَمْ أَرَ عَلَى الَّذِي أَخَذَهُ ضَمَانًا، لِأَنَّ شَرْطَ الضَّمَانِ فِي الْقِرَاضِ بَاطِلٌ “

Malik berkata: “Tentang seseorang yang memberikan harta kepada orang lain sebagai qiradh (mudharabah), lalu ia mensyaratkan kepada penerima harta tersebut untuk menanggung kerugian, Malik berkata: Tidak boleh bagi pemilik harta untuk mensyaratkan dalam hartanya selain dari apa yang telah ditetapkan dalam qiradh dan apa yang telah menjadi sunnah kaum Muslimin di dalamnya. Jika harta itu berkembang dengan syarat penjaminan, maka ia telah menambah bagian keuntungannya karena adanya syarat penjaminan tersebut. Padahal, seharusnya mereka membagi keuntungan sesuai dengan seandainya ia memberikannya tanpa syarat penjaminan. Jika harta itu hilang, aku tidak melihat ada kewajiban penjaminan atas penerimanya, karena syarat penjaminan dalam qiradh adalah batal.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. وَاشْتَرَطَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَبْتَاعَ بِهِ إِلَّا نَخْلًا أَوْ دَوَابَّ. لِأَجْلِ أَنَّهُ يَطْلُبُ ثَمَرَ النَّخْلِ أَوْ نَسْلَ الدَّوَابِّ. وَيَحْبِسُ رِقَابَهَا

Malik berkata: Tentang seseorang yang memberikan harta kepada orang lain sebagai qiradh, lalu ia mensyaratkan agar tidak membelanjakan harta itu kecuali untuk membeli pohon kurma atau hewan tunggangan, karena ia menginginkan buah kurma atau keturunan hewan tersebut, dan ia menahan kepemilikan atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ هَذَا، وَلَيْسَ هَذَا مِنْ سُنَّةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الْقِرَاضِ. إِلَّا أَنْ يَشْتَرِيَ ذَلِكَ. ثُمَّ يَبِيعَهُ كَمَا يُبَاعُ غَيْرُهُ مِنَ السِّلَعِ

Malik berkata: Hal ini tidak boleh, dan ini bukan merupakan sunnah kaum Muslimin dalam qiradh, kecuali jika ia membeli barang tersebut, lalu menjualnya sebagaimana barang dagangan lainnya dijual.

قَالَ مَالِكٌ: لَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُقَارِضُ عَلَى رَبِّ الْمَالِ غُلَامًا يُعِينُهُ بِهِ. عَلَى أَنْ يَقُومَ مَعَهُ الْغُلَامُ فِي الْمَالِ. إِذَا لَمْ يَعْدُ أَنْ يُعِينَهُ فِي الْمَالِ. لَا يُعِينُهُ فِي غَيْرِهِ

Malik berkata: Tidak mengapa jika pihak yang menerima qiradh mensyaratkan kepada pemilik harta agar disediakan seorang budak yang membantunya, dengan syarat budak tersebut membantu dalam urusan harta itu, dan tidak membantu dalam urusan lain di luar itu.

بَابُ الْقِرَاضِ فِي الْعُرُوضِ

Bab Qiradh dalam Bentuk Barang Dagangan

7 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: ” لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُقَارِضَ أَحَدًا إِلَّا فِي الْعَيْنِ لِأَنَّهُ لَا تَنْبَغِي الْمُقَارَضَةُ فِي الْعُرُوضِ، لِأَنَّ الْمُقَارَضَةَ فِي الْعُرُوضِ إِنَّمَا تَكُونُ عَلَى أَحَدِ وَجْهَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَقُولَ لَهُ صَاحِبُ الْعَرْضِ، خُذْ هَذَا الْعَرْضَ فَبِعْهُ. فَمَا خَرَجَ مِنْ ثَمَنِهِ فَاشْتَرِ بِهِ. وَبِعْ عَلَى وَجْهِ الْقِرَاضِ. فَقَدِ اشْتَرَطَ صَاحِبُ الْمَالِ فَضْلًا لِنَفْسِهِ مِنْ بَيْعِ سِلْعَتِهِ، وَمَا يَكْفِيهِ مِنْ مَئُونَتِهَا أَوْ يَقُولَ: اشْتَرِ بِهَذِهِ السِّلْعَةِ وَبِعْ. فَإِذَا فَرَغْتَ فَابْتَعْ لِي مِثْلَ عَرْضِي الَّذِي دَفَعْتُ إِلَيْكَ. فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَهُوَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ. وَلَعَلَّ صَاحِبَ الْعَرْضِ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى الْعَامِلِ فِي زَمَنٍ هُوَ فِيهِ نَافِقٌ. كَثِيرُ الثَّمَنِ. ثُمَّ يَرُدَّهُ الْعَامِلُ حِينَ يَرُدُّهُ وَقَدْ رَخُصَ. فَيَشْتَرِيَهُ بِثُلُثِ ثَمَنِهِ. أَوْ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ. فَيَكُونُ الْعَامِلُ قَدْ رَبِحَ نِصْفَ مَا نَقَصَ مِنْ ثَمَنِ الْعَرْضِ. فِي حِصَّتِهِ مِنَ الرِّبْحِ. أَوْ يَأْخُذَ الْعَرْضَ فِي زَمَانٍ ثَمَنُهُ فِيهِ قَلِيلٌ. فَيَعْمَلُ فِيهِ حَتَّى يَكْثُرَ الْمَالُ فِي يَدَيْهِ. ثُمَّ يَغْلُو ذَلِكَ الْعَرْضُ وَيَرْتَفِعُ ثَمَنُهُ حِينَ يَرُدُّهُ. فَيَشْتَرِيهِ بِكُلِّ مَا فِي يَدَيْهِ. فَيَذْهَبُ عَمَلُهُ وَعِلَاجُهُ بَاطِلًا، فَهَذَا غَرَرٌ لَا يَصْلُحُ. فَإِنْ جُهِلَ ذَلِكَ. حَتَّى يَمْضِيَ نُظِرَ إِلَى قَدْرِ أَجْرِ الَّذِي دُفِعَ إِلَيْهِ الْقِرَاضُ، فِي بَيْعِهِ إِيَّاهُ، وَعِلَاجِهِ فَيُعْطَاهُ. ثُمَّ يَكُونُ الْمَالُ قِرَاضًا مِنْ يَوْمَ نَضَّ الْمَالُ. وَاجْتَمَعَ عَيْنًا. وَيُرَدُّ إِلَى قِرَاضٍ مِثْلِهِ “

7 – Yahya berkata: Malik berkata: “Tidak sepantasnya seseorang melakukan qiradh kecuali dengan uang tunai, karena tidak layak melakukan qiradh dengan barang dagangan. Qiradh dengan barang dagangan hanya terjadi dalam dua bentuk: Pertama, pemilik barang berkata, ‘Ambillah barang ini lalu juallah, kemudian dari hasil penjualannya belikan barang lain dan juallah dengan cara qiradh.’ Maka pemilik harta telah mensyaratkan keuntungan tambahan untuk dirinya dari penjualan barangnya, dan juga dari biaya yang telah dikeluarkannya. Atau ia berkata, ‘Belikan barang ini, lalu juallah. Setelah selesai, belikan lagi untukku barang sejenis dengan yang aku berikan kepadamu. Jika ada kelebihan, maka itu dibagi antara aku dan kamu.’ Bisa jadi pemilik barang menyerahkan barang itu kepada pengelola pada masa harga barang sedang tinggi, lalu pengelola mengembalikannya ketika harga telah turun, sehingga ia membelinya kembali dengan sepertiga harga atau bahkan kurang dari itu. Maka pengelola telah mendapatkan setengah dari selisih penurunan harga barang sebagai bagian keuntungannya. Atau ia menerima barang itu pada masa harga rendah, lalu ia mengelolanya hingga hartanya bertambah, kemudian harga barang naik saat ia mengembalikannya, sehingga ia membelinya kembali dengan seluruh harta yang ada padanya, maka sia-sialah usaha dan jerih payahnya. Ini adalah gharar (ketidakpastian) yang tidak sah. Jika hal itu tidak diketahui hingga berlalu waktu, maka dilihat berapa upah yang layak diberikan kepada penerima qiradh atas penjualan dan pengelolaannya, lalu diberikan kepadanya. Setelah itu, harta menjadi qiradh sejak hari harta itu menjadi uang tunai dan terkumpul dalam bentuk tunai, lalu dikembalikan ke qiradh yang serupa.”

بَابُ الْكِرَاءِ فِي الْقِرَاضِ

Bab Sewa dalam Qiradh

8 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. فَاشْتَرَى بِهِ مَتَاعًا. فَحَمَلَهُ إِلَى بَلَدِ التِّجَارَةِ. فَبَارَ عَلَيْهِ. وَخَافَ النُّقْصَانَ إِنْ بَاعَهُ. فَتَكَارَى عَلَيْهِ إِلَى بَلَدٍ آخَرَ. فَبَاعَ بِنُقْصَانٍ، فَاغْتَرَقَ الْكِرَاءُ أَصْلَ الْمَالِ كُلَّهُ

8 – Yahya berkata: Malik berkata: Tentang seseorang yang memberikan harta kepada orang lain sebagai qiradh, lalu ia membeli barang dagangan dengan harta itu, kemudian membawanya ke negeri perdagangan. Namun barang itu tidak laku di sana, dan ia khawatir akan mengalami kerugian jika menjualnya. Maka ia menyewa jasa untuk membawanya ke negeri lain, lalu menjualnya dengan kerugian, sehingga biaya sewa tersebut menghabiskan seluruh modal.

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ فِيمَا بَاعَ وَفَاءٌ لِلْكِرَاءِ، فَسَبِيلُهُ ذَلِكَ، وَإِنْ بَقِيَ مِنَ الْكِرَاءِ شَيْءٌ، بَعْدَ أَصْلِ الْمَالِ كَانَ عَلَى الْعَامِلِ. وَلَمْ يَكُنْ عَلَى رَبِّ الْمَالِ مِنْهُ شَيْءٌ يُتْبَعُ بِهِ. وَذَلِكَ أَنَّ رَبَّ الْمَالِ إِنَّمَا أَمَرَهُ بِالتِّجَارَةِ فِي مَالِهِ. فَلَيْسَ لِلْمُقَارَضِ أَنْ يَتْبَعَهُ بِمَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَالِ. وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ يُتْبَعُ بِهِ رَبُّ الْمَالِ، لَكَانَ ذَلِكَ دَيْنًا عَلَيْهِ. مِنْ غَيْرِ الْمَالِ الَّذِي قَارَضَهُ فِيهِ، فَلَيْسَ لِلْمُقَارَضِ أَنْ يَحْمِلَ ذَلِكَ عَلَى رَبِّ الْمَالِ

Malik berkata: Jika dari hasil penjualan terdapat cukup untuk membayar sewa, maka itulah jalannya. Namun jika masih tersisa dari sewa sesuatu setelah pokok modal, maka itu menjadi tanggungan ‘amil. Dan tidak ada kewajiban apa pun atas pemilik modal yang dapat dituntut darinya. Hal itu karena pemilik modal hanya memerintahkannya untuk berdagang dengan hartanya. Maka muqaradh (pengelola) tidak berhak menuntutnya dengan selain itu dari harta. Seandainya hal itu boleh dituntut dari pemilik modal, niscaya itu menjadi utang atasnya, di luar harta yang ia serahkan dalam muqaradhah. Maka muqaradh tidak boleh membebankan hal itu kepada pemilik modal.

بَابُ التَّعَدِّي فِي الْقِرَاضِ

Bab Pelanggaran dalam Qiradh (Mudharabah)

9 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. فَعَمِلَ فِيهِ فَرَبِحَ، ثُمَّ اشْتَرَى مِنْ رِبْحِ الْمَالِ أَوْ مِنْ جُمْلَتِهِ جَارِيَةً. فَوَطِئَهَا. فَحَمَلَتْ مِنْهُ. ثُمَّ نَقَصَ الْمَالُ

9 – Yahya berkata: Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menyerahkan harta kepada orang lain dalam akad qiradh, lalu ia mengelolanya dan memperoleh keuntungan, kemudian ia membeli seorang budak perempuan dari keuntungan harta itu atau dari keseluruhannya, lalu ia menggaulinya hingga budak itu hamil darinya, kemudian modal mengalami kerugian.

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ، أُخِذَتْ قِيمَةُ الْجَارِيَةِ مِنْ مَالِهِ. فَيُجْبَرُ بِهِ الْمَالُ. فَإِنْ كَانَ فَضْلٌ بَعْدَ وَفَاءِ الْمَالِ. فَهُوَ بَيْنَهُمَا عَلَى الْقِرَاضِ الْأَوَّلِ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَفَاءٌ، بِيعَتِ الْجَارِيَةُ حَتَّى يُجْبَرَ الْمَالُ مِنْ ثَمَنِهَا

Malik berkata: Jika ia (pengelola) memiliki harta, maka diambil nilai budak perempuan itu dari hartanya untuk menutupi modal. Jika masih ada kelebihan setelah modal terpenuhi, maka kelebihan itu dibagi di antara mereka berdua sesuai qiradh yang pertama. Jika tidak cukup, maka budak perempuan itu dijual hingga modal dapat ditutupi dari hasil penjualannya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا فَتَعَدَّى، فَاشْتَرَى بِهِ سِلْعَةً، وَزَادَ فِي ثَمَنِهَا مِنْ عِنْدِهِ

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menerima harta qiradh dari orang lain, lalu ia melanggar (akad) dengan membeli barang dagangan dan menambah harga barang itu dengan hartanya sendiri.

قَالَ مَالِكٌ: صَاحِبُ الْمَالِ بِالْخِيَارِ. إِنْ بِيعَتِ السِّلْعَةُ بِرِبْحٍ أَوْ وَضِيعَةٍ، أَوْ لَمْ تُبَعْ. إِنْ شَاءَ أَنْ يَأْخُذَ السِّلْعَةَ، أَخَذَهَا وَقَضَاهُ مَا أَسْلَفَهُ فِيهَا. وَإِنْ أَبَى كَانَ الْمُقَارَضُ شَرِيكًا لَهُ بِحِصَّتِهِ مِنَ الثَّمَنِ فِي النَّمَاءِ وَالنُّقْصَانِ. بِحِسَابِ مَا زَادَ الْعَامِلُ فِيهَا مِنْ عِنْدِهِ

Malik berkata: Pemilik harta berhak memilih; apakah barang itu dijual dengan untung, rugi, atau belum dijual. Jika ia ingin mengambil barang itu, maka ia mengambilnya dan mengembalikan kepada pengelola apa yang telah ia tambahkan pada barang itu. Jika ia menolak, maka muqaradh menjadi sekutu baginya sesuai bagian dari harga barang itu, baik dalam pertumbuhan maupun kerugian, berdasarkan perhitungan tambahan yang diberikan oleh pengelola dari hartanya sendiri.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ أَخَذَ مِنْ رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. ثُمَّ دَفَعَهُ إِلَى رَجُلٍ آخَرَ. فَعَمِلَ فِيهِ قِرَاضًا بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِهِ: إِنَّهُ ضَامِنٌ لِلْمَالِ. إِنْ نَقَصَ فَعَلَيْهِ النُّقْصَانُ. وَإِنْ رَبِحَ فَلِصَاحِبِ الْمَالِ شَرْطُهُ مِنَ الرِّبْحِ. ثُمَّ يَكُونُ لِلَّذِي عَمِلَ شَرْطُهُ، بِمَا بَقِيَ مِنَ الْمَالِ “

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menerima harta qiradh dari orang lain, lalu ia menyerahkannya kepada orang lain lagi, dan orang kedua itu mengelolanya sebagai qiradh tanpa izin pemilik harta: maka ia (orang pertama) bertanggung jawab atas harta itu. Jika terjadi kerugian, maka ia menanggung kerugian tersebut. Jika memperoleh keuntungan, maka pemilik harta berhak atas bagiannya dari keuntungan itu, kemudian orang yang mengelola (kedua) berhak atas bagiannya dari sisa harta.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ تَعَدَّى فَتَسَلَّفَ مِمَّا بِيَدَيْهِ مِنَ الْقِرَاضِ مَالًا. فَابْتَاعَ بِهِ سِلْعَةً لِنَفْسِهِ

Malik berkata: Tentang seseorang yang melanggar (akad) lalu meminjam dari harta qiradh yang ada padanya, kemudian ia membeli barang dagangan untuk dirinya sendiri.

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ رَبِحَ فَالرِّبْحُ عَلَى شَرْطِهِمَا فِي الْقِرَاضِ، وَإِنْ نَقَصَ فَهُوَ ضَامِنٌ لِلنُّقْصَانِ

Malik berkata: Jika ia memperoleh keuntungan, maka keuntungan itu dibagi sesuai syarat mereka dalam qiradh. Namun jika terjadi kerugian, maka ia bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا فَاسْتَسْلَفَ مِنْهُ الْمَدْفُوعُ إِلَيْهِ الْمَالُ مَالًا وَاشْتَرَى بِهِ سِلْعَةً لِنَفْسِهِ إِنَّ صَاحِبَ الْمَالِ بِالْخِيَارِ إِنْ شَاءَ شَرِكَهُ فِي السِّلْعَةِ عَلَى قِرَاضِهَا وَإِنْ شَاءَ خَلَّى بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا وَأَخَذَ مِنْهُ رَأْسَ الْمَالِ كُلَّهُ وَكَذَلِكَ يُفْعَلُ بِكُلِّ مَنْ تَعَدَّى

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menyerahkan harta qiradh kepada orang lain, lalu orang yang menerima harta itu meminjam sebagian darinya dan membeli barang dagangan untuk dirinya sendiri: maka pemilik harta berhak memilih, jika ia mau, ia dapat menjadi sekutu dalam barang itu sesuai qiradh-nya, dan jika ia mau, ia membiarkan pengelola dengan barang itu dan mengambil seluruh pokok hartanya. Demikian pula dilakukan terhadap siapa saja yang melanggar (akad).

بَابُ مَا يَجُوزُ مِنَ النَّفَقَةِ فِي الْقِرَاضِ

Bab Tentang Nafkah yang Diperbolehkan dalam Qiradh

10 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا إِنَّهُ إِذَا كَانَ الْمَالُ كَثِيرًا يَحْمِلُ النَّفَقَةَ، فَإِذَا شَخَصَ فِيهِ الْعَامِلُ، فَإِنَّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ، وَيَكْتَسِيَ بِالْمَعْرُوفِ مِنْ قَدْرِ الْمَالِ. وَيَسْتَأْجِرَ مِنَ الْمَالِ إِذَا كَانَ كَثِيرًا لَا يَقْوَى عَلَيْهِ بَعْضَ مَنْ يَكْفِيهِ بَعْضَ مَئُونَتِهِ. وَمِنَ الْأَعْمَالِ أَعْمَالٌ لَا يَعْمَلُهَا الَّذِي يَأْخُذُ الْمَالَ. وَلَيْسَ مِثْلُهُ يَعْمَلُهَا. مِنْ ذَلِكَ تَقَاضِي الدَّيْنِ، وَنَقْلُ الْمَتَاعِ، وَشَدُّهُ وَأَشْبَاهُ ذَلِكَ، فَلَهُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مِنَ الْمَالِ مَنْ يَكْفِيهِ ذَلِكَ. وَلَيْسَ لِلْمُقَارَضِ أَنْ يَسْتَنْفِقَ مِنَ الْمَالِ. وَلَا يَكْتَسِيَ مِنْهُ. مَا كَانَ مُقِيمًا فِي أَهْلِهِ إِنَّمَا يَجُوزُ لَهُ النَّفَقَةُ إِذَا شَخَصَ فِي الْمَالِ. وَكَانَ الْمَالُ يَحْمِلُ النَّفَقَةَ فَإِنْ كَانَ إِنَّمَا يَتَّجِرُ فِي الْمَالِ فِي الْبَلَدِ الَّذِي هُوَ بِهِ مُقِيمٌ، فَلَا نَفَقَةَ لَهُ مِنَ الْمَالِ وَلَا كِسْوَةَ

10 – Yahya berkata: Malik berkata: Tentang seseorang yang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai qiradh (mudharabah), jika hartanya banyak sehingga dapat menanggung biaya hidup, maka apabila pekerja (mudharib) bepergian untuk mengelola harta itu, ia boleh mengambil nafkah dari harta tersebut dan membeli pakaian yang wajar sesuai kadar harta. Ia juga boleh menyewa orang dari harta itu jika hartanya banyak dan ia tidak mampu mengelolanya sendiri, untuk membantu sebagian kebutuhannya. Ada pula pekerjaan-pekerjaan yang tidak dilakukan oleh penerima harta, dan bukan kebiasaannya untuk melakukannya, seperti menagih utang, memindahkan barang, mengemasnya, dan semacamnya. Maka ia boleh menyewa dari harta itu orang yang dapat membantunya dalam hal tersebut. Namun, penerima qiradh tidak boleh mengambil nafkah dari harta itu, dan tidak boleh membeli pakaian darinya, selama ia masih tinggal di rumah keluarganya. Ia hanya boleh mengambil nafkah jika ia bepergian untuk mengelola harta itu, dan hartanya memang cukup untuk menanggung nafkah. Jika ia hanya berdagang dengan harta itu di kota tempat ia tinggal, maka tidak ada nafkah dan pakaian untuknya dari harta tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. فَخَرَجَ بِهِ وَبِمَالِ نَفْسِهِ. قَالَ: يَجْعَلُ النَّفَقَةَ مِنَ الْقِرَاضِ، وَمِنْ مَالِهِ عَلَى قَدْرِ حِصَصِ الْمَالِ

Malik berkata: Tentang seseorang yang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai qiradh, lalu ia bepergian bersama harta itu dan juga membawa hartanya sendiri. Ia berkata: Nafkah diambil dari harta qiradh dan dari hartanya sendiri, sesuai dengan porsi masing-masing harta.

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ النَّفَقَةِ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang nafkah yang tidak boleh diambil dari harta qiradh.

11 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ مَعَهُ مَالٌ قِرَاضٌ فَهُوَ يَسْتَنْفِقُ مِنْهُ، وَيَكْتَسِي إِنَّهُ لَا يَهَبُ مِنْهُ شَيْئًا، وَلَا يُعْطِي مِنْهُ سَائِلًا، وَلَا غَيْرَهُ، وَلَا يُكَافِئُ فِيهِ أَحَدًا، فَأَمَّا إِنِ اجْتَمَعَ هُوَ وَقَوْمٌ فَجَاءُوا بِطَعَامٍ، وَجَاءَ هُوَ بِطَعَامٍ، فَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ وَاسِعًا، إِذَا لَمْ يَتَعَمَّدْ أَنْ يَتَفَضَّلَ عَلَيْهِمْ، فَإِنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ، أَوْ مَا يُشْبِهُهُ بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِ الْمَالِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَحَلَّلَ ذَلِكَ مِنْ رَبِّ الْمَالِ، فَإِنْ حَلَّلَهُ ذَلِكَ. فَلَا بَأْسَ بِهِ. وَإِنْ أَبَى أَنْ يُحَلِّلَهُ، فَعَلَيْهِ أَنْ يُكَافِئَهُ بِمِثْلِ ذَلِكَ. إِنْ كَانَ ذَلِكَ شَيْئًا لَهُ مُكَافَأَةٌ “

11 – Yahya berkata: Malik berkata: Tentang seseorang yang memegang harta qiradh lalu ia mengambil nafkah darinya dan membeli pakaian, maka ia tidak boleh memberikan apa pun dari harta itu sebagai hadiah, tidak boleh memberikannya kepada pengemis atau orang lain, dan tidak boleh membalas pemberian siapa pun dengan harta itu. Namun, jika ia berkumpul bersama orang-orang lalu mereka membawa makanan dan ia juga membawa makanan, saya berharap hal itu diperbolehkan, selama ia tidak sengaja bermaksud untuk berbuat baik kepada mereka. Jika ia sengaja melakukan itu, atau yang semisalnya, tanpa izin pemilik harta, maka ia harus meminta kehalalan dari pemilik harta. Jika pemilik harta menghalalkannya, maka tidak mengapa. Namun jika ia menolak menghalalkannya, maka ia harus membalasnya dengan yang semisal, jika memang hal itu ada balasannya.

بَابُ الدَّيْنِ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang utang dalam qiradh.

12 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا فَاشْتَرَى بِهِ سِلْعَةً. ثُمَّ بَاعَ السِّلْعَةَ بِدَيْنٍ. فَرَبِحَ فِي الْمَالِ. ثُمَّ هَلَكَ الَّذِي أَخَذَ الْمَالَ. قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَ الْمَالَ. قَالَ: إِنْ أَرَادَ وَرَثَتُهُ أَنْ يَقْبِضُوا ذَلِكَ الْمَالَ، وَهُمْ عَلَى شَرْطِ أَبِيهِمْ مِنَ الرِّبْحِ، فَذَلِكَ لَهُمْ. إِذَا كَانُوا أُمَنَاءَ عَلَى ذَلِكَ. فَإِنْ كَرِهُوا أَنْ يَقْتَضُوهُ، وَخَلَّوْا بَيْنَ صَاحِبِ الْمَالِ وَبَيْنَهُ، لَمْ يُكَلَّفُوا أَنْ يَقْتَضُوهُ. وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِمْ، وَلَا شَيْءَ لَهُمْ. إِذَا أَسْلَمُوهُ إِلَى رَبِّ الْمَالِ. فَإِنِ اقْتَضَوْهُ. فَلَهُمْ فِيهِ مِنَ الشَّرْطِ وَالنَّفَقَةِ، مِثْلُ مَا كَانَ لِأَبِيهِمْ فِي ذَلِكَ هُمْ فِيهِ بِمَنْزِلَةِ أَبِيهِمْ، فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا أُمَنَاءَ عَلَى ذَلِكَ. فَإِنَّ لَهُمْ أَنْ يَأْتُوا بِأَمِينٍ ثِقَةٍ. فَيَقْتَضِي ذَلِكَ الْمَالَ. فَإِذَا اقْتَضَى جَمِيعَ الْمَالِ. وَجَمِيعَ الرِّبْحِ. كَانُوا فِي ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ أَبِيهِمْ

12 – Yahya berkata: Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami tentang seseorang yang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai qiradh, lalu ia membeli barang dengan harta itu, kemudian menjual barang tersebut secara kredit, lalu memperoleh keuntungan dari harta itu, kemudian orang yang menerima harta itu meninggal sebelum menerima pembayaran, maka jika ahli warisnya ingin menagih harta tersebut dan mereka tetap pada syarat keuntungan seperti ayah mereka, maka itu boleh bagi mereka, selama mereka dapat dipercaya dalam hal itu. Jika mereka tidak ingin menagihnya dan menyerahkan urusan itu kepada pemilik harta, maka mereka tidak dibebani untuk menagihnya, dan tidak ada kewajiban maupun hak bagi mereka, jika mereka telah menyerahkannya kepada pemilik harta. Jika mereka menagihnya, maka mereka berhak atas bagian syarat dan nafkah sebagaimana yang menjadi hak ayah mereka; mereka dalam hal itu sama kedudukannya dengan ayah mereka. Namun jika mereka tidak dapat dipercaya dalam hal itu, maka mereka boleh menunjuk orang yang amanah dan terpercaya untuk menagih harta tersebut. Jika seluruh harta dan keuntungannya telah ditagih, maka mereka dalam hal itu sama kedudukannya dengan ayah mereka.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا عَلَى أَنَّهُ يَعْمَلُ فِيهِ، فَمَا بَاعَ بِهِ مِنْ دَيْنٍ فَهُوَ ضَامِنٌ لَهُ، إِنَّ ذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ إِنْ بَاعَ بِدَيْنٍ فَقَدْ ضَمِنَهُ “

Malik berkata: Tentang seseorang yang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai qiradh dengan syarat ia akan mengelolanya, maka setiap barang yang dijual secara kredit, ia bertanggung jawab atasnya; hal itu menjadi kewajibannya. Jika ia menjual secara kredit, maka ia telah menanggungnya.

بَابُ الْبِضَاعَةِ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang barang dagangan dalam qiradh.

13 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. وَاسْتَسْلَفَ مِنْ صَاحِبِ الْمَالِ سَلَفًا. أَوِ اسْتَسْلَفَ مِنْهُ صَاحِبُ الْمَالِ سَلَفًا. أَوْ أَبْضَعَ مَعَهُ صَاحِبُ الْمَالِ بِضَاعَةً يَبِيعُهَا لَهُ، أَوْ بِدَنَانِيرَ يَشْتَرِي لَهُ بِهَا سِلْعَةً

13 – Yahya berkata: Malik berkata: Tentang seseorang yang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai qiradh, lalu ia meminjam dari pemilik harta sejumlah uang, atau pemilik harta meminjam darinya sejumlah uang, atau pemilik harta menitipkan barang dagangan kepadanya untuk dijualkan, atau menitipkan dinar kepadanya untuk dibelikan barang.

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ صَاحِبُ الْمَالِ إِنَّمَا أَبْضَعَ مَعَهُ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالُهُ عِنْدَهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ مِثْلَ ذَلِكَ فَعَلَهُ، لِإِخَاءٍ بَيْنَهُمَا. أَوْ لِيَسَارَةِ مَئُونَةِ ذَلِكَ عَلَيْهِ. وَلَوْ أَبَى ذَلِكَ عَلَيْهِ لَمْ يَنْزِعْ مَالَهُ مِنْهُ. أَوْ كَانَ الْعَامِلُ إِنَّمَا اسْتَسْلَفَ مِنْ صَاحِبِ الْمَالِ. أَوْ حَمَلَ لَهُ بِضَاعَتَهُ. وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَالُهُ فَعَلَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ، وَلَوْ أَبَى ذَلِكَ عَلَيْهِ لَمْ يَرْدُدْ عَلَيْهِ مَالَهُ. فَإِذَا صَحَّ ذَلِكَ مِنْهُمَا جَمِيعًا، وَكَانَ ذَلِكَ مِنْهُمَا عَلَى وَجْهِ الْمَعْرُوفِ، وَلَمْ يَكُنْ شَرْطًا فِي أَصْلِ الْقِرَاضِ، فَذَلِكَ جَائِزٌ لَا بَأْسَ بِهِ. وَإِنْ دَخَلَ ذَلِكَ شَرْطٌ. أوْ خِيفَ أَنْ يَكُونَ إِنَّمَا صَنَعَ ذَلِكَ الْعَامِلُ لِصَاحِبِ الْمَالِ، لِيُقِرَّ مَالَهُ فِي يَدَيْهِ. أَوْ إِنَّمَا صَنَعَ ذَلِكَ صَاحِبُ الْمَالِ، لِأَنْ يُمْسِكَ الْعَامِلُ مَالَهُ، وَلَا يَرُدَّهُ عَلَيْهِ. فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ فِي الْقِرَاضِ. وَهُوَ مِمَّا يَنْهَى عَنْهُ أَهْلُ الْعِلْمِ

Malik berkata: Jika pemilik modal hanya menitipkan modalnya kepadanya, dan ia mengetahui bahwa seandainya modalnya tidak ada padanya, lalu ia memintanya melakukan hal yang sama, niscaya ia akan melakukannya karena adanya persaudaraan di antara keduanya, atau karena mudahnya urusan itu baginya. Dan seandainya ia menolak permintaan itu, ia tidak akan menarik modalnya darinya. Atau jika ‘amil (pengelola) hanya meminjam dari pemilik modal, atau membawakan barang dagangannya, dan ia mengetahui bahwa seandainya modalnya tidak ada padanya, ia akan melakukan hal yang sama untuknya, dan seandainya ia menolak permintaan itu, ia tidak akan mengembalikan modalnya. Jika semua itu benar-benar terjadi dari keduanya, dan dilakukan dengan cara yang baik, serta tidak menjadi syarat dalam akad qiradh (mudharabah) sejak awal, maka hal itu boleh dan tidak mengapa. Namun jika hal itu menjadi syarat, atau dikhawatirkan bahwa ‘amil melakukan itu untuk pemilik modal agar modalnya tetap berada di tangannya, atau pemilik modal melakukan itu agar ‘amil tetap memegang modalnya dan tidak mengembalikannya, maka hal itu tidak boleh dalam qiradh, dan itu adalah sesuatu yang dilarang oleh para ahli ilmu.

بَابُ السَّلَفِ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang pinjaman dalam qiradh

14 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ أَسْلَفَ رَجُلًا مَالًا، ثُمَّ سَأَلَهُ الَّذِي تَسَلَّفَ الْمَالَ أَنْ يُقِرَّهُ عِنْدَهُ قِرَاضًا

14 – Yahya berkata: Malik berkata tentang seorang laki-laki yang memberikan pinjaman uang kepada orang lain, kemudian orang yang menerima pinjaman itu memintanya agar uang tersebut tetap berada padanya sebagai qiradh (mudharabah).

قَالَ مَالِكٌ: لَا أُحِبُّ ذَلِكَ حَتَّى يَقْبِضَ مَالَهُ مِنْهُ، ثُمَّ يَدْفَعَهُ إِلَيْهِ قِرَاضًا إِنْ شَاءَ أَوْ يُمْسِكَهُ

Malik berkata: Aku tidak menyukai hal itu sampai ia mengambil kembali uangnya darinya, kemudian jika ia mau, ia memberikannya lagi sebagai qiradh, atau ia menahannya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ عِنْدَهُ. وَسَأَلَهُ أَنْ يَكْتُبَهُ عَلَيْهِ سَلَفًا. قَالَ: لَا أُحِبُّ ذَلِكَ. حَتَّى يَقْبِضَ مِنْهُ مَالَهُ، ثُمَّ يُسَلِّفَهُ إِيَّاهُ إِنْ شَاءَ، أَوْ يُمْسِكَهُ. وَإِنَّمَا ذَلِكَ مَخَافَةَ أَنْ يَكُونَ قَدْ نَقَصَ فِيهِ، فَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَهُ عَنْهُ. عَلَى أَنْ يَزِيدَهُ فِيهِ مَا نَقَصَ مِنْهُ، فَذَلِكَ مَكْرُوهٌ وَلَا يَجُوزُ وَلَا يَصْلُحُ “

Malik berkata: Tentang seseorang yang memberikan uang kepada orang lain sebagai qiradh, lalu orang itu memberitahunya bahwa uang itu telah terkumpul padanya, dan ia memintanya untuk menuliskan (akad) sebagai pinjaman. Malik berkata: Aku tidak menyukai hal itu, sampai ia mengambil kembali uangnya darinya, kemudian jika ia mau, ia meminjamkannya lagi, atau ia menahannya. Hal itu dikhawatirkan karena mungkin saja telah terjadi kekurangan pada uang itu, sehingga ia ingin menunda pengembaliannya dengan harapan akan ditambahkannya kekurangan tersebut. Maka hal itu makruh, tidak boleh, dan tidak sah.

بَابُ الْمُحَاسَبَةِ فِي الْقِرَاضِ

Bab tentang perhitungan dalam qiradh

15 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. فَعَمِلَ فِيهِ فَرَبِحَ. فَأَرَادَ أَنْ يَأْخُذَ حِصَّتَهُ مِنَ الرِّبْحِ. وَصَاحِبُ الْمَالِ غَائِبٌ. قَالَ: لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا بِحَضْرَةِ صَاحِبِ الْمَالِ، وَإِنْ أَخَذَ شَيْئًا فَهُوَ لَهُ ضَامِنٌ، حَتَّى يُحْسَبَ مَعَ الْمَالِ إِذَا اقْتَسَمَاهُ

15 – Yahya berkata: Malik berkata tentang seseorang yang memberikan uang kepada orang lain sebagai qiradh, lalu orang itu mengelolanya dan memperoleh keuntungan, kemudian ia ingin mengambil bagiannya dari keuntungan itu, sementara pemilik modal sedang tidak ada. Malik berkata: Tidak sepantasnya ia mengambil apa pun darinya kecuali di hadapan pemilik modal. Jika ia mengambil sesuatu, maka ia bertanggung jawab atasnya sampai dilakukan perhitungan bersama modal ketika mereka membaginya.

قَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ لِلْمُتَقَارِضَيْنِ أَنْ يَتَحَاسَبَا، وَيَتَفَاصَلَا وَالْمَالُ غَائِبٌ عَنْهُمَا، حَتَّى يَحْضُرَ الْمَالُ فَيَسْتَوْفِي صَاحِبُ الْمَالِ رَأْسَ مَالِهِ، ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ الرِّبْحَ عَلَى شَرْطِهِمَا

Malik berkata: Tidak boleh bagi kedua pihak dalam qiradh untuk saling menghitung dan berpisah sementara modal tidak ada di hadapan mereka, sampai modal itu hadir sehingga pemilik modal dapat mengambil kembali modal pokoknya, kemudian mereka membagi keuntungan sesuai syarat mereka.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ أَخَذَ مَالًا قِرَاضًا. فَاشْتَرَى بِهِ سِلْعَةً. وَقَدْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ. فَطَلَبَهُ غُرَمَاؤُهُ، فَأَدْرَكُوهُ بِبَلَدٍ غَائِبٍ عَنْ صَاحِبِ الْمَالِ. وَفِي يَدَيْهِ عَرْضٌ مُرَبَّحٌ بَيِّنٌ فَضْلُهُ. فَأَرَادُوا أَنْ يُبَاعَ لَهُمُ الْعَرْضُ فَيَأْخُذُوا حِصَّتَهُ مِنَ الرِّبْحِ، قَالَ: لَا يُؤْخَذُ مِنْ رِبْحِ الْقِرَاضِ شَيْءٌ حَتَّى يَحْضُرَ صَاحِبُ الْمَالِ فَيَأْخُذَ مَالَهُ، ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ الرِّبْحَ عَلَى شَرْطِهِمَا

Malik berkata: Tentang seseorang yang menerima uang sebagai qiradh, lalu ia membeli barang dengan uang itu, sementara ia memiliki utang. Para krediturnya menagihnya dan menemukannya di suatu negeri yang jauh dari pemilik modal, dan di tangannya ada barang dagangan yang jelas keuntungannya. Mereka ingin agar barang itu dijual untuk mereka dan mengambil bagian mereka dari keuntungan. Malik berkata: Tidak boleh diambil apa pun dari keuntungan qiradh sampai pemilik modal hadir dan mengambil modalnya, kemudian mereka membagi keuntungan sesuai syarat mereka.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا. فَتَجَرَ فِيهِ فَرَبِحَ. ثُمَّ عَزَلَ رَأْسَ الْمَالِ، وَقَسَمَ الرِّبْحَ. فَأَخَذَ حِصَّتَهُ، وَطَرَحَ حِصَّةَ صَاحِبِ الْمَالِ فِي الْمَالِ. بِحَضْرَةِ شُهَدَاءَ أَشْهَدَهُمْ عَلَى ذَلِكَ. قَالَ: لَا تَجُوزُ قِسْمَةُ الرِّبْحِ إِلَّا بِحَضْرَةِ صَاحِبِ الْمَالِ، وَإِنْ كَانَ أَخَذَ شَيْئًا رَدَّهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ صَاحِبُ الْمَالِ رَأْسَ مَالِهِ، ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ مَا بَقِيَ بَيْنَهُمَا عَلَى شَرْطِهِمَا

Malik berkata: Tentang seseorang yang memberikan uang kepada orang lain sebagai qiradh, lalu orang itu berdagang dan memperoleh keuntungan, kemudian ia memisahkan modal pokok dan membagi keuntungan, lalu ia mengambil bagiannya dan meletakkan bagian pemilik modal ke dalam modal, di hadapan para saksi yang ia persaksikan atas hal itu. Malik berkata: Tidak sah pembagian keuntungan kecuali di hadapan pemilik modal. Jika ia telah mengambil sesuatu, maka ia harus mengembalikannya sampai pemilik modal mengambil kembali modal pokoknya, kemudian mereka membagi sisa keuntungan di antara mereka sesuai syarat mereka.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا فَعَمِلَ فِيهِ، فَجَاءَهُ فَقَالَ لَهُ: هَذِهِ حِصَّتُكَ مِنَ الرِّبْحِ، وَقَدْ أَخَذْتُ لِنَفْسِي مِثْلَهُ، وَرَأْسُ مَالِكَ وَافِرٌ عِنْدِي

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai qirāḍ (mudharabah), lalu orang itu mengelolanya, kemudian ia datang dan berkata kepadanya: “Ini bagianmu dari keuntungan, dan aku telah mengambil bagian yang sama untuk diriku, dan modalmu masih utuh ada padaku.”

قَالَ مَالِكٌ: لَا أُحِبُّ ذَلِكَ حَتَّى يَحْضُرَ الْمَالُ كُلُّهُ، فَيُحَاسِبَهُ حَتَّى يَحْصُلَ رَأْسُ الْمَالِ. وَيَعْلَمَ أَنَّهُ وَافِرٌ. وَيَصِلَ إِلَيْهِ ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ الرِّبْحَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ يَرُدُّ إِلَيْهِ الْمَالَ إِنْ شَاءَ، أَوْ يَحْبِسُهُ. وَإِنَّمَا يَجِبُ حُضُورُ الْمَالِ، مَخَافَةَ أَنْ يَكُونَ الْعَامِلُ قَدْ نَقَصَ فِيهِ. فَهُوَ يُحِبُّ أَنْ لَا يُنْزَعَ مِنْهُ وَأَنْ يُقِرَّهُ فِي يَدِهِ

Malik berkata: Aku tidak menyukai hal itu sampai seluruh harta hadir, lalu dilakukan perhitungan hingga modal benar-benar didapatkan dan diketahui bahwa modal itu masih utuh. Setelah itu, modal tersebut sampai kepadanya, kemudian mereka berdua membagi keuntungan di antara mereka, lalu ia mengembalikan harta itu kepadanya jika ia mau, atau menahannya. Keharusan menghadirkan harta itu adalah karena dikhawatirkan si pengelola telah mengurangi harta tersebut. Ia ingin agar harta itu tidak diambil darinya dan tetap berada di tangannya.

بَابُ جَامِعِ مَا جَاءَ فِي الْقِرَاضِ

Bab Kompilasi Ketentuan yang Berkaitan dengan Qirāḍ

16 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا فَابْتَاعَ بِهِ سِلْعَةً، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُ الْمَالِ: بِعْهَا، وَقَالَ الَّذِي أَخَذَ الْمَالَ: لَا أَرَى وَجْهَ بَيْعٍ، فَاخْتَلَفَا فِي ذَلِكَ، قَالَ: لَا يُنْظَرُ إِلَى قَوْلِ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَيُسْأَلُ عَنْ ذَلِكَ أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ وَالْبَصَرِ بِتِلْكَ السِّلْعَةِ، فَإِنْ رَأَوْا وَجْهَ بَيْعٍ بِيعَتْ عَلَيْهِمَا، وَإِنْ رَأَوْا وَجْهَ انْتِظَارٍ انْتُظِرَ بِهَا

16 – Yahya berkata: Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai qirāḍ, lalu orang itu membeli barang dengan harta tersebut. Kemudian pemilik harta berkata kepadanya: “Jual barang itu,” sedangkan orang yang menerima harta berkata: “Aku tidak melihat alasan untuk menjualnya.” Mereka pun berselisih tentang hal itu. Malik berkata: Tidak dipertimbangkan pendapat salah satu dari mereka, melainkan ditanyakan kepada orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam barang tersebut. Jika mereka melihat ada alasan untuk menjualnya, maka barang itu dijual atas keduanya. Jika mereka melihat ada alasan untuk menunggu, maka barang itu ditahan.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ أَخَذَ مِنْ رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا فَعَمِلَ فِيهِ، ثُمَّ سَأَلَهُ صَاحِبُ الْمَالِ عَنْ مَالِهِ، فَقَالَ: هُوَ عِنْدِي وَافِرٌ، فَلَمَّا آخَذَهُ بِهِ، قَالَ: قَدْ هَلَكَ عِنْدِي مِنْهُ كَذَا وَكَذَا لِمَالٍ يُسَمِّيهِ، وَإِنَّمَا قُلْتُ لَكَ ذَلِكَ لِكَيْ تَتْرُكَهُ عِنْدِي، قَالَ: لَا يَنْتَفِعُ بِإِنْكَارِهِ بَعْدَ إِقْرَارِهِ أَنَّهُ عِنْدَهُ، وَيُؤْخَذُ بِإِقْرَارِهِ عَلَى نَفْسِهِ، إِلَّا أَنْ يَأْتِيَ فِي هَلَاكِ ذَلِكَ الْمَالِ بِأَمْرٍ يُعْرَفُ بِهِ قَوْلُهُ، فَإِنْ لَمْ يَأْتِ بِأَمْرٍ مَعْرُوفٍ أُخِذَ بِإِقْرَارِهِ، وَلَمْ يَنْفَعْهُ إِنْكَارُهُ

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menerima harta dari orang lain sebagai qirāḍ lalu mengelolanya, kemudian pemilik harta menanyakan hartanya, lalu ia berkata: “Hartamu masih utuh ada padaku.” Namun ketika pemilik harta menagihnya, ia berkata: “Sebagian harta itu telah hilang dariku sekian dan sekian,” untuk sejumlah harta yang ia sebutkan, “dan aku hanya mengatakan itu agar engkau membiarkannya tetap di tanganku.” Malik berkata: Ia tidak bisa mengambil manfaat dari pengingkarannya setelah sebelumnya mengakui bahwa harta itu ada padanya, dan ia dipegang pada pengakuannya terhadap dirinya sendiri, kecuali jika ia mendatangkan bukti yang dikenal tentang sebab hilangnya harta tersebut. Jika ia tidak mendatangkan bukti yang dikenal, maka ia dipegang pada pengakuannya dan pengingkarannya tidak bermanfaat baginya.

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ أَيْضًا لَوْ قَالَ: رَبِحْتُ فِي الْمَالِ كَذَا وَكَذَا، فَسَأَلَهُ رَبُّ الْمَالِ: أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهِ مَالَهُ وَرِبْحَهُ، فَقَالَ: مَا رَبِحْتُ فِيهِ شَيْئًا؟ وَمَا قُلْتُ ذَلِكَ إِلَّا لِأَنْ تُقِرَّهُ فِي يَدِي، فَذَلِكَ لَا يَنْفَعُهُ، وَيُؤْخَذُ بِمَا أَقَرَّ بِهِ، إِلَّا أَنْ يَأْتِيَ بِأَمْرٍ يُعْرَفُ بِهِ قَوْلُهُ وَصِدْقُهُ، فَلَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ

Malik berkata: Demikian pula jika ia berkata: “Aku telah memperoleh keuntungan sekian dan sekian dari harta itu,” lalu pemilik harta memintanya untuk menyerahkan harta dan keuntungannya, namun ia berkata: “Aku tidak memperoleh keuntungan apa pun, dan aku hanya mengatakan itu agar engkau membiarkannya tetap di tanganku.” Maka hal itu tidak bermanfaat baginya, dan ia dipegang pada apa yang telah ia akui, kecuali jika ia mendatangkan bukti yang dikenal yang membenarkan ucapannya, maka ia tidak diwajibkan menyerahkan keuntungan itu.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَالًا قِرَاضًا فَرَبِحَ فِيهِ رِبْحًا، فَقَالَ الْعَامِلُ: قَارَضْتُكَ عَلَى أَنَّ لِي الثُّلُثَيْنِ، وَقَالَ صَاحِبُ الْمَالِ: قَارَضْتُكَ عَلَى أَنَّ لَكَ الثُّلُثَ، قَالَ مَالِكٌ: الْقَوْلُ قَوْلُ الْعَامِلِ، وَعَلَيْهِ فِي ذَلِكَ، الْيَمِينُ. إِذَا كَانَ مَا قَالَ يُشْبِهُ قِرَاضَ مِثْلِهِ. وَكَانَ ذَلِكَ نَحْوًا مِمَّا يَتَقَارَضُ عَلَيْهِ النَّاسُ. وَإِنْ جَاءَ بِأَمْرٍ يُسْتَنْكَرُ، لَيْسَ عَلَى مِثْلِهِ يَتَقَارَضُ النَّاسُ، لَمْ يُصَدَّقْ وَرُدَّ إِلَى قِرَاضِ مِثْلِهِ

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang menyerahkan harta kepada orang lain sebagai qirāḍ, lalu diperoleh keuntungan darinya. Kemudian pengelola berkata: “Aku melakukan qirāḍ denganmu dengan syarat aku mendapat dua pertiga,” sedangkan pemilik harta berkata: “Aku melakukan qirāḍ denganmu dengan syarat engkau mendapat sepertiga.” Malik berkata: Pendapat yang dipegang adalah pendapat pengelola, dan ia harus bersumpah atas hal itu, jika apa yang ia katakan sesuai dengan praktik qirāḍ yang biasa dilakukan. Dan jika hal itu merupakan sesuatu yang tidak lazim dilakukan dalam qirāḍ, maka ia tidak dipercaya dan dikembalikan kepada praktik qirāḍ yang umum.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ أَعْطَى رَجُلًا مِائَةَ دِينَارٍ قِرَاضًا فَاشْتَرَى بِهَا سِلْعَةً. ثُمَّ ذَهَبَ لِيَدْفَعَ إِلَى رَبِّ السِّلْعَةِ الْمِائَةَ دِينَارٍ. فَوَجَدَهَا قَدْ سُرِقَتْ. فَقَالَ رَبُّ الْمَالِ: بِعِ السِّلْعَةَ. فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ كَانَ لِي، وَإِنْ كَانَ فِيهَا نُقْصَانٌ كَانَ عَلَيْكَ. لِأَنَّكَ أَنْتَ ضَيَّعْتَ. وَقَالَ الْمُقَارَضُ: بَلْ عَلَيْكَ وَفَاءُ حَقِّ هَذَا، إِنَّمَا اشْتَرَيْتُهَا بِمَالِكَ الَّذِي أَعْطَيْتَنِي

Malik berkata: Tentang seorang laki-laki yang memberikan seratus dinar kepada orang lain sebagai qirāḍ, lalu orang itu membeli barang dengan uang tersebut. Kemudian ia pergi untuk membayarkan seratus dinar itu kepada pemilik barang, namun ternyata uang itu telah dicuri. Lalu pemilik harta berkata: “Jual barang itu. Jika ada kelebihan, maka itu milikku, dan jika ada kekurangan, maka itu menjadi tanggung jawabmu, karena engkaulah yang telah menyia-nyiakannya.” Sedangkan pihak yang menerima qirāḍ berkata: “Bahkan engkaulah yang harus menanggung pelunasan ini, karena aku membelinya dengan hartamu yang engkau berikan kepadaku.”

قَالَ مَالِكٌ: ” يَلْزَمُ الْعَامِلَ الْمُشْتَرِيَ أَدَاءُ ثَمَنِهَا إِلَى الْبَائِعِ، وَيُقَالُ لِصَاحِبِ الْمَالِ الْقِرَاضِ: إِنْ شِئْتَ فَأَدِّ الْمِائَةَ الدِّينَارِ إِلَى الْمُقَارَضِ، وَالسِّلْعَةُ بَيْنَكُمَا. وَتَكُونُ قِرَاضًا عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْمِائَةُ الْأُولَى. وَإِنْ شِئْتَ فَابْرَأْ مِنَ السِّلْعَةِ، فَإِنْ دَفَعَ الْمِائَةَ دِينَارٍ إِلَى الْعَامِلِ كَانَتْ قِرَاضًا عَلَى سُنَّةِ الْقِرَاضِ الْأَوَّلِ. وَإِنْ أَبَى كَانَتِ السِّلْعَةُ لِلْعَامِلِ وَكَانَ عَلَيْهِ ثَمَنُهَا

Malik berkata: “Pekerja (agen) yang membeli barang wajib membayar harganya kepada penjual. Kepada pemilik modal qirād dikatakan: Jika engkau mau, bayarlah seratus dinar itu kepada pihak yang menerima qirād, dan barang itu menjadi milik kalian berdua. Maka qirād tetap berlaku sebagaimana seratus dinar yang pertama. Jika engkau mau, lepaskanlah hakmu atas barang itu. Jika ia (pemilik modal) menyerahkan seratus dinar kepada pekerja, maka itu menjadi qirād menurut ketentuan qirād yang pertama. Namun jika ia menolak, maka barang itu menjadi milik pekerja dan ia wajib membayar harganya.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُتَقَارِضَيْنِ إِذَا تَفَاصَلَا فَبَقِيَ بِيَدِ الْعَامِلِ مِنَ الْمَتَاعِ الَّذِي يَعْمَلُ فِيهِ خَلَقُ الْقِرْبَةِ أَوْ خَلَقُ الثَّوْبِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ.

Malik berkata: “Pada dua orang yang melakukan qirād, jika mereka berpisah dan masih tersisa barang dagangan di tangan pekerja, seperti kulit tempat air, kain bekas, atau barang sejenisnya.”

قَالَ مَالِكٌ: كُلُّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ كَانَ تَافِهًا، لَا خَطْبَ لَهُ، فَهُوَ لِلْعَامِلِ. وَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا أَفْتَى بِرَدِّ ذَلِكَ. وَإِنَّمَا يُرَدُّ، مِنْ ذَلِكَ الشَّيْءُ الَّذِي لَهُ ثَمَنٌ، وَإِنْ كَانَ شَيْئًا لَهُ اسْمٌ مِثْلُ الدَّابَّةِ أَوِ الْجَمَلِ أَوِ الشَّاذَكُونَةِ. أَوْ أَشْبَاهِ ذَلِكَ مِمَّا لَهُ ثَمَنٌ. فَإِنِّي أَرَى أَنْ يَرُدَّ مَا بَقِيَ عِنْدَهُ مِنْ هَذَا. إِلَّا أَنْ يَتَحَلَّلَ صَاحِبَهُ مِنْ ذَلِكَ “

Malik berkata: “Segala sesuatu dari barang-barang tersebut yang tidak berharga, tidak ada persoalan padanya, maka itu menjadi milik pekerja. Aku tidak mendengar ada seorang pun yang berfatwa agar barang itu dikembalikan. Yang wajib dikembalikan hanyalah barang yang memiliki nilai, meskipun hanya sekadar memiliki nama seperti hewan tunggangan, unta, atau syādzakūnah, atau yang semisalnya yang memiliki harga. Maka aku berpendapat bahwa sisa barang seperti itu harus dikembalikan, kecuali jika pemiliknya telah menghalalkan (merelakan) barang tersebut.”

33 – كِتَابُ الْمُسَاقَاةِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمُسَاقَاةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai musāqāh

1 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لِيَهُودِ خَيْبَرَ يَوْمَ افْتَتَحَ خَيْبَرَ: أُقِرُّكُمْ فِيهَا، مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى أَنَّ الثَّمَرَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ، قَالَ: فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ، ثُمَّ يَقُولُ: إِنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ، وَإِنْ شِئْتُمْ فَلِيَ، فَكَانُوا يَأْخُذُونَهُ “

  1. Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada orang-orang Yahudi Khaibar pada hari penaklukan Khaibar: “Aku biarkan kalian tinggal di sini selama Allah mengizinkan kalian, dengan syarat hasil buah-buahan dibagi antara kami dan kalian.” Rasulullah ﷺ biasa mengutus Abdullah bin Rawahah untuk memperkirakan hasil antara beliau dan mereka, lalu beliau berkata: “Jika kalian mau, silakan ambil (hasil itu), dan jika kalian mau, biar aku yang mengambilnya.” Maka mereka pun mengambilnya.”

2 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ، وَبَيْنَ يَهُودِ خَيْبَرَ، قَالَ: فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ، فَقَالُوا لَهُ: هَذَا لَكَ، وَخَفِّفْ عَنَّا، وَتَجَاوَزْ فِي الْقَسْمِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ: يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ، وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ، وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ، فَأَمَّا مَا عَرَضْتُمْ مِنَ الرَّشْوَةِ، فَإِنَّهَا سُحْتٌ، وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا، فَقَالُوا: بِهَذَا قَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ

  1. Malik juga meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa Rasulullah ﷺ biasa mengutus Abdullah bin Rawahah ke Khaibar untuk memperkirakan hasil antara beliau dan orang-orang Yahudi Khaibar. Mereka lalu mengumpulkan perhiasan dari perhiasan wanita-wanita mereka dan berkata kepadanya: “Ini untukmu, ringankanlah kami dan berilah kelonggaran dalam pembagian.” Maka Abdullah bin Rawahah berkata: “Wahai kaum Yahudi, demi Allah, kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci, namun kebencianku itu tidak akan membuatku berbuat zalim kepada kalian. Adapun apa yang kalian tawarkan berupa suap, itu adalah haram, dan kami tidak memakannya.” Mereka berkata: “Dengan inilah langit dan bumi tegak.”

قَالَ مَالِكٌ: ” إِذَا سَاقَى الرَّجُلُ النَّخْلَ، وَفِيهَا الْبَيَاضُ، فَمَا ازْدَرَعَ الرَّجُلُ الدَّاخِلُ فِي الْبَيَاضِ فَهُوَ لَهُ، قَالَ: وَإِنِ اشْتَرَطَ صَاحِبُ الْأَرْضِ أَنَّهُ يَزْرَعُ فِي الْبَيَاضِ لِنَفْسِهِ، فَذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، لِأَنَّ الرَّجُلَ الدَّاخِلَ فِي الْمَالِ، يَسْقِي لِرَبِّ الْأَرْضِ، فَذَلِكَ زِيَادَةٌ ازْدَادَهَا عَلَيْهِ، قَالَ: وَإِنِ اشْتَرَطَ الزَّرْعَ بَيْنَهُمَا، فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ، إِذَا كَانَتِ الْمَئُونَةُ كُلُّهَا عَلَى الدَّاخِلِ فِي الْمَالِ: الْبَذْرُ وَالسَّقْيُ وَالْعِلَاجُ كُلُّهُ، فَإِنِ اشْتَرَطَ الدَّاخِلُ فِي الْمَالِ عَلَى رَبِّ الْمَالِ، أَنَّ الْبَذْرَ عَلَيْكَ، كَانَ ذَلِكَ غَيْرَ جَائِزٍ، لِأَنَّهُ قَدِ اشْتَرَطَ عَلَى رَبِّ الْمَالِ زِيَادَةً ازْدَادَهَا عَلَيْهِ، وَإِنَّمَا تَكُونُ الْمُسَاقَاةُ عَلَى أَنَّ عَلَى الدَّاخِلِ فِي الْمَالِ: الْمَئُونَةَ كُلَّهَا، وَالنَّفَقَةَ، وَلَا يَكُونُ عَلَى رَبِّ الْمَالِ مِنْهَا شَيْءٌ، فَهَذَا وَجْهُ الْمُسَاقَاةِ الْمَعْرُوفُ

Malik berkata: “Jika seseorang melakukan musāqāh pada pohon kurma, dan di dalamnya terdapat lahan kosong, maka apa yang ditanami oleh orang yang masuk (bekerja) di lahan kosong itu menjadi miliknya. Jika pemilik tanah mensyaratkan bahwa ia akan menanam di lahan kosong itu untuk dirinya sendiri, maka itu tidak sah, karena orang yang masuk (bekerja) dalam harta tersebut menyirami untuk pemilik tanah, sehingga itu menjadi tambahan yang ia dapatkan atas pekerja. Jika disyaratkan hasil tanaman dibagi di antara keduanya, maka tidak mengapa, selama seluruh biaya, benih, penyiraman, dan perawatan ditanggung oleh pekerja. Namun jika pekerja mensyaratkan kepada pemilik modal bahwa benih harus disediakan oleh pemilik modal, maka itu tidak sah, karena berarti ia telah mensyaratkan tambahan atas pemilik modal. Musāqāh itu hanya sah jika seluruh biaya dan nafkah ditanggung oleh pekerja, dan tidak ada kewajiban apa pun atas pemilik modal. Inilah bentuk musāqāh yang dikenal.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الْعَيْنِ تَكُونُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ فَيَنْقَطِعُ مَاؤُهَا، فَيُرِيدُ أَحَدُهُمَا أَنْ يَعْمَلَ فِي الْعَيْنِ، وَيَقُولُ الْآخَرُ: لَا أَجِدُ مَا أَعْمَلُ بِهِ، إِنَّهُ يُقَالُ لِلَّذِي يُرِيدُ أَنْ يَعْمَلَ فِي الْعَيْنِ اعْمَلْ وَأَنْفِقْ، وَيَكُونُ لَكَ الْمَاءُ كُلُّهُ، تَسْقِي بِهِ حَتَّى يَأْتِيَ صَاحِبُكَ بِنِصْفِ مَا أَنْفَقْتَ، فَإِذَا جَاءَ بِنِصْفِ مَا أَنْفَقْتَ، أَخَذَ حِصَّتَهُ مِنَ الْمَاءِ، وَإِنَّمَا أُعْطِيَ الْأَوَّلُ الْمَاءَ كُلَّهُ، لِأَنَّهُ أَنْفَقَ، وَلَوْ لَمْ يُدْرِكْ شَيْئًا بِعَمَلِهِ، لَمْ يَعْلَقِ الْآخَرَ مِنَ النَّفَقَةِ شَيْءٌ

Malik berkata: “Pada mata air yang dimiliki bersama oleh dua orang, lalu airnya terputus, kemudian salah satu dari mereka ingin memperbaiki mata air itu, sementara yang lain berkata: ‘Aku tidak memiliki apa pun untuk memperbaikinya,’ maka dikatakan kepada yang ingin memperbaiki mata air itu: ‘Perbaikilah dan keluarkanlah biaya, dan air itu seluruhnya menjadi milikmu; engkau dapat mengairi dengannya sampai temanmu datang dengan setengah dari biaya yang telah engkau keluarkan. Jika ia datang dengan setengah dari biaya yang telah engkau keluarkan, maka ia mengambil bagiannya dari air tersebut. Adapun yang pertama diberikan seluruh air karena ia telah mengeluarkan biaya. Namun, jika ia tidak mendapatkan apa-apa dari usahanya, maka yang lain tidak menanggung apa pun dari biaya tersebut.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا كَانَتِ النَّفَقَةُ كُلُّهَا، وَالْمَئُونَةُ عَلَى رَبِّ الْحَائِطِ، وَلَمْ يَكُنْ عَلَى الدَّاخِلِ فِي الْمَالِ شَيْءٌ، إِلَّا أَنَّهُ يَعْمَلُ بِيَدِهِ، إِنَّمَا هُوَ أَجِيرٌ بِبَعْضِ الثَّمَرِ، فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَصْلُحُ، لِأَنَّهُ لَا يَدْرِي كَمْ إِجَارَتُهُ؟ إِذَا لَمْ يُسَمِّ لَهُ شَيْئًا يَعْرِفُهُ، وَيَعْمَلُ عَلَيْهِ لَا يَدْرِي أَيَقِلُّ ذَلِكَ أَمْ يَكْثُرُ؟

Malik berkata: “Jika seluruh biaya dan beban ditanggung oleh pemilik kebun, dan tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang ikut serta dalam harta itu kecuali ia bekerja dengan tangannya, maka ia hanyalah pekerja upahan dengan sebagian hasil, maka hal itu tidak sah, karena tidak diketahui berapa upahnya. Jika tidak disebutkan sesuatu yang jelas dan diketahui, dan ia bekerja tanpa mengetahui apakah hasilnya sedikit atau banyak, maka itu tidak diperbolehkan.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَكُلُّ مُقَارِضٍ أَوْ مُسَاقٍ فَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَسْتَثْنِيَ مِنَ الْمَالِ وَلَا مِنَ النَّخْلِ شَيْئًا دُونَ صَاحِبِهِ، وَذَلِكَ أَنَّهُ يَصِيرُ لَهُ أَجِيرًا بِذَلِكَ، يَقُولُ: أُسَاقِيكَ عَلَى أَنْ تَعْمَلَ لِي فِي كَذَا وَكَذَا نَخْلَةً تَسْقِيهَا، وَتَأْبُرُهَا، وَأُقَارِضُكَ فِي كَذَا وَكَذَا مِنَ الْمَالِ، عَلَى أَنْ تَعْمَلَ لِي بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ لَيْسَتْ مِمَّا أُقَارِضُكَ عَلَيْهِ. فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَنْبَغِي، وَلَا يَصْلُحُ، وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا

Malik berkata: “Setiap orang yang melakukan muqaradah (kerja sama modal-usaha) atau musāqah (bagi hasil kebun) tidak boleh mensyaratkan sesuatu dari harta atau pohon kurma untuk dirinya sendiri tanpa bagiannya, karena itu menjadikannya sebagai pekerja upahan. Ia berkata: ‘Aku bermusāqah denganmu dengan syarat engkau bekerja untukku pada sekian dan sekian pohon kurma, engkau menyiraminya dan menyerbukkannya, dan aku bermuqaradah denganmu pada sekian dan sekian harta, dengan syarat engkau bekerja untukku dengan sepuluh dinar yang tidak termasuk dalam muqaradah.’ Maka hal itu tidak boleh dan tidak sah, dan demikianlah praktik yang berlaku di kalangan kami.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالسُّنَّةُ فِي الْمُسَاقَاةِ الَّتِي يَجُوزُ لِرَبِّ الْحَائِطِ أَنْ يَشْتَرِطَهَا عَلَى الْمُسَاقَى: شَدُّ الْحِظَارِ، وَخَمُّ الْعَيْنِ وَسَرْوُ الشَّرَبِ، وَإِبَّارُ النَّخْلِ، وَقَطْعُ الْجَرِيدِ، وَجَذُّ الثَّمَرِ هَذَا وَأَشْبَاهُهُ. عَلَى أَنَّ لِلْمُسَاقَى شَطْرَ الثَّمَرِ أَوْ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ. أَوْ أَكْثَرَ إِذَا تَرَاضَيَا عَلَيْهِ، غَيْرَ أَنَّ صَاحِبَ الْأَصْلِ لَا يَشْتَرِطُ ابْتِدَاءَ عَمَلٍ جَدِيدٍ، يُحْدِثُهُ الْعَامِلُ فِيهَا. مِنْ بِئْرٍ يَحْتَفِرُهَا، أَوْ عَيْنٍ يَرْفَعُ رَأْسَهَا، أَوْ غِرَاسٍ يَغْرِسُهُ فِيهَا، يَأْتِي بِأَصْلِ ذَلِكَ مِنْ عِنْدِهِ. أَوْ ضَفِيرَةٍ يَبْنِيهَا، تَعْظُمُ فِيهَا نَفَقَتُهُ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ أَنْ يَقُولَ رَبُّ الْحَائِطِ لِرَجُلٍ مِنَ النَّاسِ: ابْنِ لِي هَاهُنَا بَيْتًا. أَوِ احْفِرْ لِي بِئْرًا. أَوْ أَجْرِ لِي عَيْنًا، أَوِ اعْمَلْ لِي عَمَلًا بِنِصْفِ ثَمَرِ حَائِطِي هَذَا قَبْلَ أَنْ يَطِيبَ ثَمَرُ الْحَائِطِ، وَيَحِلَّ بَيْعُهُ. فَهَذَا بَيْعُ الثَّمَرِ قَبْلَ أَنْ يَبْدُوَ صَلَاحُهُ. وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا

Malik berkata: “Sunnah dalam musāqah yang boleh disyaratkan oleh pemilik kebun kepada pekerja musāqah adalah: memperkuat pagar, membersihkan mata air, memperlancar aliran air, menyerbukkan kurma, memotong pelepah, dan memanen buah, serta hal-hal semacamnya. Dengan syarat bahwa pekerja musāqah mendapatkan setengah buah, atau kurang dari itu, atau lebih jika keduanya sepakat. Namun, pemilik kebun tidak boleh mensyaratkan dimulainya pekerjaan baru yang dikerjakan oleh pekerja, seperti menggali sumur, memperbaiki mata air, menanam pohon yang bibitnya ia bawa sendiri, atau membangun pagar yang besar biayanya. Hal itu sama saja seperti jika pemilik kebun berkata kepada seseorang: ‘Bangunkanlah aku rumah di sini, atau galilah sumur untukku, atau alirkan mata air untukku, atau kerjakanlah sesuatu untukku dengan setengah hasil kebun ini sebelum buahnya matang dan boleh dijual.’ Maka itu adalah jual beli buah sebelum tampak baiknya, dan Rasulullah ﷺ telah melarang jual beli buah sebelum tampak baiknya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فَأَمَّا إِذَا طَابَ الثَّمَرُ، وَبَدَا صَلَاحُهُ، وَحَلَّ بَيْعُهُ، ثُمَّ قَالَ رَجُلٌ لِرَجُلٍ: اعْمَلْ لِي بَعْضَ هَذِهِ الْأَعْمَالِ، لِعَمَلٍ يُسَمِّيهِ لَهُ بِنِصْفِ ثَمَرِ حَائِطِي هَذَا. فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ. إِنَّمَا اسْتَأْجَرَهُ بِشَيْءٍ مَعْرُوفٍ مَعْلُومٍ. قَدْ رَآهُ وَرَضِيَهُ. فَأَمَّا الْمُسَاقَاةُ، فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْحَائِطِ ثَمَرٌ، أَوْ قَلَّ ثَمَرُهُ أَوْ فَسَدَ. فَلَيْسَ لَهُ إِلَّا ذَلِكَ، وَأَنَّ الْأَجِيرَ لَا يُسْتَأْجَرُ إِلَّا بِشَيْءٍ مُسَمًّى. لَا تَجُوزُ الْإِجَارَةُ إِلَّا بِذَلِكَ. وَإِنَّمَا الْإِجَارَةُ بَيْعٌ مِنَ الْبُيُوعِ. إِنَّمَا يَشْتَرِي مِنْهُ عَمَلَهُ، وَلَا يَصْلُحُ ذَلِكَ إِذَا دَخَلَهُ الْغَرَرُ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Malik berkata: “Adapun jika buah telah matang, tampak baiknya, dan telah boleh dijual, lalu seseorang berkata kepada orang lain: ‘Kerjakanlah sebagian pekerjaan ini untukku, untuk pekerjaan yang ia sebutkan dengan setengah hasil kebun ini,’ maka tidak mengapa dengan hal itu. Ia hanya mengupahnya dengan sesuatu yang jelas dan diketahui, yang telah ia lihat dan ridai. Adapun dalam musāqah, jika kebun itu tidak berbuah, atau buahnya sedikit, atau rusak, maka ia hanya mendapatkan itu saja. Dan pekerja upahan tidak boleh diupah kecuali dengan sesuatu yang disebutkan secara jelas. Tidak sah ijarah (kontrak kerja) kecuali dengan itu. Sesungguhnya ijarah adalah salah satu bentuk jual beli; ia membeli pekerjaannya. Dan hal itu tidak sah jika mengandung gharar (ketidakjelasan), karena Rasulullah ﷺ melarang jual beli yang mengandung gharar.”

قَالَ مَالِكٌ: السُّنَّةُ فِي الْمُسَاقَاةِ عِنْدَنَا، أَنَّهَا تَكُونُ فِي أَصْلِ كُلِّ نَخْلٍ، أَوْ كَرْمٍ أَوْ زَيْتُونٍ أَوْ رُمَّانٍ أَوْ فِرْسِكٍ. أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْأُصُولِ. جَائِزٌ لَا بَأْسَ بِهِ. عَلَى أَنَّ لِرَبِّ الْمَالِ نِصْفَ الثَّمَرِ مِنْ ذَلِكَ، أَوْ ثُلُثَهُ أَوْ رُبُعَهُ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَقَلَّ

Malik berkata: Sunnah dalam musāqāh menurut kami adalah bahwa musāqāh itu berlaku pada setiap pokok pohon kurma, atau anggur, atau zaitun, atau delima, atau persik, atau yang semisal dengan itu dari pokok-pokok tanaman. Itu dibolehkan dan tidak mengapa, dengan syarat pemilik kebun mendapatkan setengah buah dari hasil tersebut, atau sepertiganya, atau seperempatnya, atau lebih dari itu, atau kurang.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْمُسَاقَاةُ أَيْضًا تَجُوزُ فِي الزَّرْعِ إِذَا خَرَجَ وَاسْتَقَلَّ، فَعَجَزَ صَاحِبُهُ عَنْ سَقْيِهِ وَعَمَلِهِ وَعِلَاجِهِ، فَالْمُسَاقَاةُ فِي ذَلِكَ أَيْضًا جَائِزَةٌ

Malik berkata: Musāqāh juga boleh dilakukan pada tanaman jika sudah tumbuh dan berdiri sendiri, lalu pemiliknya tidak mampu menyirami, mengurus, dan merawatnya. Maka musāqāh pada hal tersebut juga dibolehkan.

قَالَ مَالِكٌ: لَا تَصْلُحُ الْمُسَاقَاةُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْأُصُولِ مِمَّا تَحِلُّ فِيهِ الْمُسَاقَاةُ، إِذَا كَانَ فِيهِ ثَمَرٌ قَدْ طَابَ وَبَدَا صَلَاحُهُ وَحَلَّ بَيْعُهُ. وَإِنَّمَا يَنْبَغِي أَنْ يُسَاقَى مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ. وَإِنَّمَا مُسَاقَاةُ مَا حَلَّ بَيْعُهُ مِنَ الثِّمَارِ إِجَارَةٌ. لِأَنَّهُ إِنَّمَا سَاقَى صَاحِبَ الْأَصْلِ ثَمَرًا قَدْ بَدَا صَلَاحُهُ، عَلَى أَنْ يَكْفِيَهُ إِيَّاهُ وَيَجُذَّهُ لَهُ. بِمَنْزِلَةِ الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ يُعْطِيهِ إِيَّاهَا، وَلَيْسَ ذَلِكَ بِالْمُسَاقَاةِ، إِنَّمَا الْمُسَاقَاةُ مَا بَيْنَ أَنْ يَجُذَّ النَّخْلَ إِلَى أَنْ يَطِيبَ الثَّمَرُ وَيَحِلَّ بَيْعُهُ

Malik berkata: Musāqāh tidak sah pada pokok-pokok tanaman yang boleh dilakukan musāqāh padanya, jika buahnya sudah matang, tampak baiknya, dan sudah boleh dijual. Yang seharusnya adalah musāqāh dilakukan untuk tahun berikutnya. Adapun musāqāh pada buah yang sudah boleh dijual, itu adalah ijarah (sewa), karena ia hanya melakukan musāqāh kepada pemilik pokok atas buah yang sudah tampak baiknya, dengan syarat ia mencukupinya dan memetikkannya untuknya. Itu seperti dinar dan dirham yang diberikan kepadanya, dan itu bukan musāqāh. Musāqāh hanyalah dari sejak memetik kurma hingga buahnya matang dan boleh dijual.

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ سَاقَى ثَمَرًا فِي أَصْلٍ قَبْلَ أَنْ يَبْدُوَ صَلَاحُهُ، وَيَحِلَّ بَيْعُهُ، فَتِلْكَ الْمُسَاقَاةُ بِعَيْنِهَا جَائِزَةٌ

Malik berkata: Barang siapa melakukan musāqāh atas buah pada pokok sebelum tampak baiknya dan sebelum boleh dijual, maka musāqāh itu sendiri adalah sah.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَنْبَغِي أَنْ تُسَاقَى الْأَرْضُ الْبَيْضَاءُ، وَذَلِكَ أَنَّهُ يَحِلُّ لِصَاحِبِهَا كِرَاؤُهَا بِالدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ. وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْأَثْمَانِ الْمَعْلُومَةِ قَالَ: ” فَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِي يُعْطِي أَرْضَهُ الْبَيْضَاءَ بِالثُّلُثِ أَوِ الرُّبُعِ مِمَّا يَخْرُجُ مِنْهَا. فَذَلِكَ مِمَّا يَدْخُلُهُ الْغَرَرُ لِأَنَّ الزَّرْعَ يَقِلُّ مَرَّةً وَيَكْثُرُ مَرَّةً، وَرُبَّمَا هَلَكَ رَأْسًا، فَيَكُونُ صَاحِبُ الْأَرْضِ قَدْ تَرَكَ كِرَاءً مَعْلُومًا يَصْلُحُ لَهُ أَنْ يُكْرِيَ أَرْضَهُ بِهِ، وَأَخَذَ أَمْرًا غَرَرًا لَا يَدْرِي أَيَتِمُّ أَمْ لَا؟ فَهَذَا مَكْرُوهٌ. وَإِنَّمَا ذَلِكَ مَثَلُ رَجُلٍ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا لِسَفَرٍ بِشَيْءٍ مَعْلُومٍ. ثُمَّ قَالَ الَّذِي اسْتَأْجَرَ الْأَجِيرَ: هَلْ لَكَ أَنْ أُعْطِيَكَ عُشْرَ مَا أَرْبَحُ فِي سَفَرِي هَذَا إِجَارَةً لَكَ؟ فَهَذَا لَا يَحِلُّ وَلَا يَنْبَغِي

Malik berkata: Tidak sepatutnya dilakukan musāqāh pada tanah kosong, karena pemiliknya boleh menyewakannya dengan dinar dan dirham, atau semisal itu dari harga-harga yang diketahui. Ia berkata: “Adapun seseorang yang memberikan tanah kosongnya dengan imbalan sepertiga atau seperempat dari hasil yang keluar darinya, maka itu termasuk yang mengandung gharar (ketidakjelasan), karena hasil panen kadang sedikit dan kadang banyak, bahkan kadang-kadang bisa gagal sama sekali. Maka pemilik tanah telah meninggalkan sewa yang pasti, yang seharusnya ia bisa sewakan tanahnya dengan itu, dan mengambil sesuatu yang tidak pasti, yang ia tidak tahu apakah akan terwujud atau tidak. Maka ini makruh. Itu seperti seseorang yang menyewa pekerja untuk perjalanan dengan upah yang diketahui, lalu yang menyewa berkata: maukah aku memberimu sepersepuluh dari keuntungan yang aku dapatkan dalam perjalananku ini sebagai upahmu? Maka ini tidak boleh dan tidak sepatutnya dilakukan.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَنْبَغِي لِرَجُلٍ أَنْ يُؤَاجِرَ نَفْسَهُ وَلَا أَرْضَهُ وَلَا سَفِينَتَهُ إِلَّا بِشَيْءٍ مَعْلُومٍ لَا يَزُولُ إِلَى غَيْرِهِ

Malik berkata: Tidak sepatutnya seseorang menyewakan dirinya, atau tanahnya, atau kapalnya kecuali dengan sesuatu yang jelas dan tidak berubah kepada selainnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا فَرَّقَ بَيْنَ الْمُسَاقَاةِ فِي النَّخْلِ وَالْأَرْضِ الْبَيْضَاءِ أَنَّ صَاحِبَ النَّخْلِ لَا يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يَبِيعَ ثَمَرَهَا حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ، وَصَاحِبُ الْأَرْضِ يُكْرِيهَا وَهِيَ أَرْضٌ بَيْضَاءُ لَا شَيْءَ فِيهَا

Malik berkata: Perbedaan antara musāqāh pada pohon kurma dan tanah kosong adalah bahwa pemilik pohon kurma tidak bisa menjual buahnya sampai tampak baiknya, sedangkan pemilik tanah bisa menyewakannya ketika tanah itu masih kosong tanpa ada apa-apa di atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي النَّخْلِ أَيْضًا إِنَّهَا تُسَاقِي السِّنِينَ الثَّلَاثَ وَالْأَرْبَعَ وَأَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ وَأَكْثَرَ قَالَ: وَذَلِكَ الَّذِي سَمِعْتُ. وَكُلُّ شَيْءٍ مِثْلُ ذَلِكَ مِنَ الْأُصُولِ بِمَنْزِلَةِ النَّخْلِ. يَجُوزُ فِيهِ لِمَنْ سَاقَى مِنَ السِّنِينَ مِثْلُ مَا يَجُوزُ فِي النَّخْلِ

Malik berkata: Praktik yang berlaku di tempat kami pada pohon kurma juga adalah musāqāh dilakukan untuk tiga atau empat tahun, atau kurang dari itu, atau lebih. Ia berkata: Dan itulah yang aku dengar. Segala sesuatu yang serupa dengan itu dari pokok-pokok tanaman hukumnya sama dengan pohon kurma. Boleh dilakukan musāqāh untuk beberapa tahun sebagaimana boleh dilakukan pada pohon kurma.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُسَاقِي إِنَّهُ: لَا يَأْخُذُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي سَاقَاهُ شَيْئًا مِنْ ذَهَبٍ وَلَا وَرِقٍ يَزْدَادُهُ، وَلَا طَعَامٍ، وَلَا شَيْئًا مِنَ الْأَشْيَاءِ. لَا يَصْلُحُ ذَلِكَ. وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَأْخُذَ الْمُسَاقَى مِنْ رَبِّ الْحَائِطِ شَيْئًا يَزِيدُهُ إِيَّاهُ، مِنْ ذَهَبٍ وَلَا وَرِقٍ وَلَا طَعَامٍ وَلَا شَيْءٍ مِنَ الْأَشْيَاءِ. وَالزِّيَادَةُ فِيمَا بَيْنَهُمَا لَا تَصْلُحُ

Malik berkata: Dalam musāqī, tidak boleh mengambil dari pihak yang diajak musāqāh sesuatu pun dari emas atau perak sebagai tambahan, atau makanan, atau apa pun dari barang-barang. Itu tidak sah. Tidak sepatutnya pihak yang diajak musāqāh mengambil dari pemilik kebun sesuatu pun sebagai tambahan, baik emas, perak, makanan, atau apa pun dari barang-barang. Tambahan di antara keduanya tidak sah.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْمُقَارِضُ أَيْضًا بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ لَا يَصْلُحُ. إِذَا دَخَلَتِ الزِّيَادَةُ فِي الْمُسَاقَاةِ أَوِ الْمُقَارَضَةِ صَارَتْ إِجَارَةً، وَمَا دَخَلَتْهُ الْإِجَارَةُ فَإِنَّهُ لَا يَصْلُحُ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ تَقَعَ الْإِجَارَةُ بِأَمْرٍ غَرَرٍ. لَا يَدْرِي أَيَكُونُ أَمْ لَا يَكُونُ. أَوْ يَقِلُّ أَوْ يَكْثُرُ

Malik berkata: Demikian pula muqaridh (pemberi modal dalam mudharabah) berada pada kedudukan ini; tidak sah. Jika ada tambahan dalam musāqāh atau muqāradhah, maka berubah menjadi ijarah (sewa-menyewa), dan apabila telah masuk unsur ijarah, maka itu tidak sah. Tidak sepatutnya akad ijarah dilakukan atas sesuatu yang mengandung gharar (ketidakjelasan), yaitu tidak diketahui apakah akan ada (hasilnya) atau tidak, atau sedikit atau banyak.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يُسَاقِي الرَّجُلَ الْأَرْضَ فِيهَا النَّخْلُ وَالْكَرْمُ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْأُصُولِ فَيَكُونُ فِيهَا الْأَرْضُ الْبَيْضَاءُ

Malik berkata: Tentang seseorang yang melakukan musāqāh atas tanah yang di dalamnya terdapat pohon kurma, anggur, atau sejenisnya dari tanaman pokok, lalu di dalamnya juga terdapat tanah kosong (tidak ditanami).

قَالَ مَالِكٌ: إِذَا كَانَ الْبَيَاضُ تَبَعًا لِلْأَصْلِ، وَكَانَ الْأَصْلُ أَعْظَمَ ذَلِكَ. أَوْ أَكْثَرَهُ. فَلَا بَأْسَ بِمُسَاقَاتِهِ. وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ النَّخْلُ الثُّلُثَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ، وَيَكُونَ الْبَيَاضُ الثُّلُثَ أَوْ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ. وَذَلِكَ أَنَّ الْبَيَاضَ حِينَئِذٍ تَبَعٌ لِلْأَصْلِ. وَإِذَا كَانَتِ الْأَرْضُ الْبَيْضَاءُ فِيهَا نَخْلٌ أَوْ كَرْمٌ أَوْ مَا يُشْبِهُ ذَلِكَ مِنَ الْأُصُولِ فَكَانَ الْأَصْلُ الثُّلُثَ أَوْ أَقَلَّ. وَالْبَيَاضُ الثُّلُثَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ. جَازَ فِي ذَلِكَ، الْكِرَاءُ وَحَرُمَتْ فِيهِ الْمُسَاقَاةُ. وَذَلِكَ أَنَّ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ أَنْ يُسَاقُوا الْأَصْلَ، وَفِيهِ الْبَيَاضُ وَتُكْرَى الْأَرْضُ وَفِيهَا الشَّيْءُ الْيَسِيرُ مِنَ الْأَصْلِ. أَوْ يُبَاعَ الْمُصْحَفُ أَوِ السَّيْفُ وَفِيهِمَا الْحِلْيَةُ مِنَ الْوَرِقِ بِالْوَرِقِ. أَوِ الْقِلَادَةُ أَوِ الْخَاتَمُ وَفِيهِمَا الْفُصُوصُ وَالذَّهَبُ بِالدَّنَانِيرِ، وَلَمْ تَزَلْ هَذِهِ الْبُيُوعُ جَائِزَةً يَتَبَايَعُهَا النَّاسُ وَيَبْتَاعُونَهَا، وَلَمْ يَأْتِ فِي ذَلِكَ شَيْءٌ مَوْصُوفٌ مَوْقُوفٌ عَلَيْهِ، إِذَا هُوَ بَلَغَهُ كَانَ حَرَامًا. أَوْ قَصُرَ عَنْهُ كَانَ حَلَالًا. وَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ عِنْدَنَا الَّذِي عَمِلَ بِهِ النَّاسُ وَأَجَازُوهُ بَيْنَهُمْ، أَنَّهُ إِذَا كَانَ الشَّيْءُ مِنْ ذَلِكَ الْوَرِقِ أَوِ الذَّهَبِ تَبَعًا لِمَا هُوَ فِيهِ جَازَ بَيْعُهُ، وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ النَّصْلُ أَوِ الْمُصْحَفُ أَوِ الْفُصُوصُ قِيمَتُهُ الثُّلُثَانِ، أَوْ أَكْثَرُ، وَالْحِلْيَةُ قِيمَتُهَا الثُّلُثُ أَوْ أَقَلُّ

Malik berkata: Jika tanah kosong itu mengikuti tanaman pokok, dan tanaman pokok itu lebih banyak atau mayoritas, maka tidak mengapa dilakukan musāqāh atasnya. Misalnya, pohon kurma dua pertiga atau lebih, dan tanah kosong sepertiga atau kurang dari itu. Dalam hal ini, tanah kosong dianggap sebagai pengikut tanaman pokok. Namun, jika tanah kosong itu di dalamnya terdapat pohon kurma, anggur, atau sejenisnya dari tanaman pokok, tetapi tanaman pokok hanya sepertiga atau kurang, dan tanah kosong dua pertiga atau lebih, maka dalam hal ini boleh dilakukan akad sewa (kirā’), tetapi musāqāh diharamkan. Hal ini karena kebiasaan masyarakat adalah melakukan musāqāh atas tanaman pokok yang di dalamnya ada tanah kosong, dan menyewakan tanah yang di dalamnya hanya sedikit tanaman pokok. Atau seperti menjual mushaf atau pedang yang di dalamnya terdapat hiasan perak dengan perak, atau kalung atau cincin yang di dalamnya terdapat batu permata dan emas dengan dinar, dan jual beli seperti ini tetap dibolehkan, dilakukan dan diperjualbelikan oleh masyarakat, dan tidak ada satu pun ketentuan yang jelas dan tegas yang melarangnya; jika nilainya melebihi batas tertentu maka haram, jika kurang maka halal. Adapun ketentuan yang berlaku di kalangan kami, yang telah diamalkan dan dibolehkan oleh masyarakat, adalah jika unsur perak atau emas itu hanya sebagai pengikut dari barang utamanya, maka boleh dijual. Misalnya, nilai bilah pedang, mushaf, atau batu permata adalah dua pertiga atau lebih, dan nilai hiasannya sepertiga atau kurang.

بَابُ الشَّرْطِ فِي الرَّقِيقِ فِي الْمُسَاقَاةِ

Bab Syarat pada Budak dalam Musāqāh

3 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: ” إِنَّ أَحْسَنَ مَا سُمِعَ فِي عُمَّالِ الرَّقِيقِ فِي الْمُسَاقَاةِ. يَشْتَرِطُهُمُ الْمُسَاقَى عَلَى صَاحِبِ الْأَصْلِ: إِنَّهُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ. لِأَنَّهُمْ عُمَّالُ الْمَالِ. فَهُمْ بِمَنْزِلَةِ الْمَالِ. لَا مَنْفَعَةَ فِيهِمْ لِلدَّاخِلِ إِلَّا أَنَّهُ تَخِفُّ عَنْهُ بِهِمُ الْمَئُونَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا فِي الْمَالِ اشْتَدَّتْ مَئُونَتُهُ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الْمُسَاقَاةِ فِي الْعَيْنِ وَالنَّضْحِ. وَلَنْ تَجِدَ أَحَدًا يُسَاقَى فِي أَرْضَيْنِ سَوَاءٍ فِي الْأَصْلِ وَالْمَنْفَعَةِ. إِحْدَاهُمَا بِعَيْنٍ وَاثِنَةٍ غَزِيرَةٍ. وَالْأُخْرَى بِنَضْحٍ عَلَى شَيْءٍ وَاحِدٍ، لِخِفَّةِ مُؤْنَةِ الْعَيْنِ. وَشِدَّةِ مُؤْنَةِ النَّضْحِ، قَالَ: وَعَلَى ذَلِكَ، الْأَمْرُ عِنْدَنَا “. قَالَ: وَالْوَاثِنَةُ الثَّابِتُ مَاؤُهَا الَّتِي لَا تَغُورُ وَلَا تَنْقَطِعُ

3 – Yahya berkata: Malik berkata: “Pendapat terbaik yang aku dengar tentang pekerja dari kalangan budak dalam musāqāh, yang disyaratkan oleh pelaku musāqāh kepada pemilik tanaman pokok, adalah bahwa hal itu tidak mengapa, karena mereka adalah pekerja harta, sehingga kedudukan mereka seperti harta itu sendiri. Tidak ada manfaat bagi pelaku musāqāh dari mereka kecuali hanya meringankan beban biaya, dan jika mereka tidak ada dalam harta tersebut, maka bebannya menjadi berat. Hal ini seperti musāqāh pada tanah yang dialiri air mata air dan yang diairi dengan timba. Tidak akan engkau dapati seseorang melakukan musāqāh pada dua bidang tanah yang sama dalam hal tanaman pokok dan manfaatnya, salah satunya dialiri air mata air yang tetap dan melimpah, sedangkan yang lain diairi dengan timba pada satu titik saja, karena ringan biaya mata air dan beratnya biaya pengairan dengan timba.” Ia berkata: “Demikianlah ketentuan yang berlaku di kalangan kami.” Ia berkata: “Adapun al-wāthinah adalah mata air yang airnya tetap, tidak surut dan tidak terputus.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَيْسَ لِلْمُسَاقَى أَنْ يَعْمَلَ بِعُمَّالِ الْمَالِ فِي غَيْرِهِ، وَلَا أَنْ يَشْتَرِطَ ذَلِكَ عَلَى الَّذِي سَاقَاهُ

Malik berkata: Tidak boleh bagi pelaku musāqāh mempekerjakan para pekerja harta (budak) itu untuk selain harta tersebut, dan tidak boleh pula mensyaratkan hal itu kepada pihak yang bermusāqāh dengannya.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَجُوزُ لِلَّذِي سَاقَى أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَى رَبِّ الْمَالِ رَقِيقًا يَعْمَلُ بِهِمْ فِي الْحَائِطِ. لَيْسُوا فِيهِ حِينَ سَاقَاهُ إِيَّاهُ

Malik berkata: Tidak boleh pula bagi pihak yang bermusāqāh mensyaratkan kepada pemilik harta agar menyediakan budak yang akan dipekerjakan di kebun, padahal mereka tidak termasuk dalam harta yang dijadikan objek musāqāh saat akad dilakukan.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَنْبَغِي لِرَبِّ الْمَالِ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَى الَّذِي دَخَلَ فِي مَالِهِ بِمُسَاقَاةٍ، أَنْ يَأْخُذَ مِنْ رَقِيقِ الْمَالِ أَحَدًا يُخْرِجُهُ مِنَ الْمَالِ. وَإِنَّمَا مُسَاقَاةُ الْمَالِ عَلَى حَالِهِ الَّذِي هُوَ عَلَيْهِ قَالَ: فَإِنْ كَانَ صَاحِبُ الْمَالِ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ رَقِيقِ الْمَالِ أَحَدًا، فَلْيُخْرِجْهُ قَبْلَ الْمُسَاقَاةِ. أَوْ يُرِيدُ أَنْ يُدْخِلَ فِيهِ أَحَدًا، فَلْيَفْعَلْ ذَلِكَ قَبْلَ الْمُسَاقَاةِ. ثُمَّ لِيُسَاقِي بَعْدَ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ قَالَ: وَمَنْ مَاتَ مِنَ الرَّقِيقِ أَوْ غَابَ أَوْ مَرِضَ، فَعَلَى رَبِّ الْمَالِ أَنْ يُخْلِفَهُ

Malik berkata: Tidak sepantasnya pemilik harta mensyaratkan kepada orang yang masuk ke dalam hartanya melalui akad musāqāh, agar ia mengambil salah satu dari budak milik harta itu untuk dikeluarkan dari harta tersebut. Sesungguhnya musāqāh atas harta itu dilakukan sesuai dengan keadaan harta tersebut saat itu. Ia berkata: Jika pemilik harta ingin mengeluarkan salah satu budak dari harta itu, maka hendaklah ia mengeluarkannya sebelum akad musāqāh. Atau jika ia ingin memasukkan seseorang ke dalamnya, maka hendaklah ia melakukannya sebelum akad musāqāh. Setelah itu, jika ia mau, silakan melakukan musāqāh. Ia berkata: Jika ada budak yang meninggal, hilang, atau sakit, maka wajib bagi pemilik harta untuk menggantinya.

34 – كِتَابُ كِرَاءِ الْأَرْضِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي كِرَاءِ الْأَرْضِ

Bab tentang apa yang datang mengenai sewa menyewa tanah

1 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ قَيْسٍ الزُّرَقِيِّ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنْ كِرَاءِ الْمَزَارِعِ قَالَ حَنْظَلَةُ: فَسَأَلْتُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، فَقَالَ: أَمَّا بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَلَا بَأْسَ بِهِ

1 – Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, dari Hanzhalah bin Qais az-Zuraqi, dari Rafi‘ bin Khadij, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sewa menyewa lahan pertanian. Hanzhalah berkata: Lalu aku bertanya kepada Rafi‘ bin Khadij tentang (sewa) dengan emas dan perak, maka ia berkata: Adapun dengan emas dan perak, tidak mengapa.

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ عَنْ ” كِرَاءِ الْأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ “

2 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa ia berkata: Aku bertanya kepada Sa‘id bin al-Musayyib tentang sewa tanah dengan emas dan perak, maka ia berkata: Tidak mengapa.

3 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سَأَلَ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ كِرَاءِ الْمَزَارِعِ، فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِهَا بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَقُلْتُ لَهُ: أَرَأَيْتَ الْحَدِيثَ الَّذِي يُذْكَرُ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ؟ فَقَالَ: ” أَكْثَرَ رَافِعٌ وَلَوْ كَانَ لِي مَزْرَعَةٌ أَكْرَيْتُهَا

3 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa ia bertanya kepada Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar tentang sewa lahan pertanian, maka ia berkata: Tidak mengapa dengan emas dan perak. Ibnu Syihab berkata: Lalu aku berkata kepadanya: Bagaimana dengan hadits yang diriwayatkan dari Rafi‘ bin Khadij? Ia berkata: Rafi‘ terlalu berlebihan, dan seandainya aku memiliki lahan, pasti aku sewakan.

4 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ تَكَارَى أرْضًا، فَلَمْ تَزَلْ فِي يَدَيْهِ بِكِرَاءٍ حَتَّى مَاتَ، قَالَ ابْنُهُ: فَمَا كُنْتُ أُرَاهَا إِلَّا لَنَا مِنْ طُولِ مَا مَكَثَتْ فِي يَدَيْهِ، حَتَّى ذَكَرَهَا لَنَا عِنْدَ مَوْتِهِ، فَأَمَرَنَا بِقَضَاءِ شَيْءٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ كِرَائِهَا ذَهَبٍ أَوْ وَرِقٍ “

4 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah menyewa sebidang tanah, dan tanah itu tetap berada di tangannya dengan sewa hingga ia wafat. Anaknya berkata: Aku mengira tanah itu milik kami karena begitu lamanya berada di tangan beliau, hingga beliau menyebutkannya kepada kami saat wafatnya, lalu beliau memerintahkan kami untuk melunasi sesuatu yang masih menjadi tanggungannya dari sewa tanah itu, baik berupa emas maupun perak.

5 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ كَانَ يُكْرِي أَرْضَهُ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَسُئِلَ مَالِكٌ: عَنْ رَجُلٍ أَكْرَى مَزْرَعَتَهُ بِمِائَةِ صَاعٍ مِنْ تَمْرٍ أَوْ مِمَّا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنَ الْحِنْطَةِ أَوْ مِنْ غَيْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا فَكَرِهَ ذَلِكَ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa ia menyewakan tanahnya dengan emas dan perak. Malik pernah ditanya tentang seseorang yang menyewakan lahannya dengan seratus ṣā‘ kurma atau dengan apa yang dihasilkan dari lahan itu berupa gandum atau selain apa yang dihasilkan darinya, maka ia tidak menyukai hal itu.

35 – كِتَابُ الشُّفْعَةِ

بَابُ مَا تَقَعُ فِيهِ الشُّفْعَةُ

Bab tentang perkara yang berlaku padanya hak syuf‘ah

1 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَعَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى بِالشُّفْعَةِ، فِيمَا لَمْ يُقْسَمْ بَيْنَ الشُّرَكَاءِ، فَإِذَا وَقَعَتِ الْحُدُودُ بَيْنَهُمْ فَلَا شُفْعَةَ فِيهِ

1 – Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin al-Musayyib, dan dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan hak syuf‘ah pada sesuatu yang belum dibagi di antara para sekutu. Jika batas-batas telah ditetapkan di antara mereka, maka tidak ada hak syuf‘ah padanya.

قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ السُّنَّةُ الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا عِنْدَنَا

Malik berkata: Demikianlah sunnah yang tidak ada perbedaan pendapat tentangnya di kalangan kami.

2 – قَالَ مَالِكٌ: إِنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ سُئِلَ عَنِ الشُّفْعَةِ هَلْ فِيهَا مِنْ سُنَّةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمِ الشُّفْعَةُ فِي الدُّورِ وَالْأَرَضِينَ، وَلَا تَكُونُ إِلَّا بَيْنَ الشُّرَكَاءِ

2 – Malik berkata: Telah sampai kepadanya bahwa Sa‘id bin al-Musayyib pernah ditanya tentang syuf‘ah, apakah ada sunnah padanya? Ia menjawab: Ya, syuf‘ah berlaku pada rumah-rumah dan tanah-tanah, dan tidak berlaku kecuali di antara para sekutu.

3 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ مِثْلُ ذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ اشْتَرَى شِقْصًا مَعَ قَوْمٍ فِي أَرْضٍ بِحَيَوَانٍ عَبْدٍ أَوْ وَلِيدَةٍ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ مِنَ الْعُرُوضِ، فَجَاءَ الشَّرِيكُ يَأْخُذُ بِشُفْعَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ، فَوَجَدَ الْعَبْدَ أَوِ الْوَلِيدَةَ قَدْ هَلَكَا، وَلَمْ يَعْلَمْ أَحَدٌ قَدْرَ قِيمَتِهِمَا، فَيَقُولُ الْمُشْتَرِي قِيمَةُ الْعَبْدِ أَوِ الْوَلِيدَةِ مِائَةُ دِينَارٍ، وَيَقُولُ صَاحِبُ الشُّفْعَةِ الشَّرِيكُ بَلْ قِيمَتُهُمَا خَمْسُونَ دِينَارًا

3 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik bahwa telah sampai kepadanya dari Sulaiman bin Yasar hal yang serupa. Malik berkata: Tentang seseorang yang membeli bagian (syiqsh) bersama sekelompok orang dalam sebidang tanah dengan hewan, budak laki-laki, budak perempuan, atau barang-barang sejenis itu, lalu datanglah sekutunya untuk mengambil hak syuf‘ahnya setelah itu, namun ia mendapati budak laki-laki atau budak perempuan itu telah binasa, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui nilai keduanya. Maka pembeli berkata: Nilai budak laki-laki atau budak perempuan itu seratus dinar, sedangkan pemilik syuf‘ah (sekutu) berkata: Bahkan nilainya lima puluh dinar.

قَالَ مَالِكٌ: يَحْلِفُ الْمُشْتَرِي أَنَّ قِيمَةَ مَا اشْتَرَى بِهِ مِائَةُ دِينَارٍ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَنْ يَأْخُذَ صَاحِبُ الشُّفْعَةِ، أَخَذَ أَوْ يَتْرُكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَ الشَّفِيعُ بِبَيِّنَةٍ، أَنَّ قِيمَةَ الْعَبْدِ أَوِ الْوَلِيدَةِ دُونَ مَا قَالَ الْمُشْتَرِي

Malik berkata: Pembeli bersumpah bahwa nilai barang yang ia beli adalah seratus dinar, kemudian jika pemilik hak syuf‘ah ingin mengambilnya, maka ia boleh mengambilnya atau meninggalkannya, kecuali jika pemilik syuf‘ah mendatangkan bukti bahwa nilai budak laki-laki atau perempuan itu kurang dari yang dikatakan oleh pembeli.

قَالَ مَالِكٌ: مَنْ وَهَبَ شِقْصًا فِي دَارٍ، أَوْ أَرْضٍ مُشْتَرَكَةٍ، فَأَثَابَهُ الْمَوْهُوبُ لَهُ بِهَا نَقْدًا أَوْ عَرْضًا، فَإِنَّ الشُّرَكَاءَ يَأْخُذُونَهَا بِالشُّفْعَةِ إِنْ شَاءُوا، وَيَدْفَعُونَ إِلَى الْمَوْهُوبِ لَهُ قِيمَةَ مَثُوبَتِهِ دَنَانِيرَ أَوْ دَرَاهِمَ

Malik berkata: Barang siapa menghadiahkan bagian (syiqsh) dalam sebuah rumah atau tanah yang dimiliki bersama, lalu penerima hadiah membalasnya dengan uang tunai atau barang, maka para sekutu berhak mengambilnya dengan syuf‘ah jika mereka menghendaki, dan mereka memberikan kepada penerima hadiah nilai balasan tersebut berupa dinar atau dirham.

قَالَ مَالِكٌ: مَنْ وَهَبَ هِبَةً فِي دَارٍ أَوْ أَرْضٍ مُشْتَرَكَةٍ. فَلَمْ يُثَبْ مِنْهَا، وَلَمْ يَطْلُبْهَا. فَأَرَادَ شَرِيكُهُ أَنْ يَأْخُذَهَا بِقِيمَتِهَا، فَلَيْسَ ذَلِكَ لَهُ. مَا لَمْ يُثَبْ عَلَيْهَا، فَإِنْ أُثِيبَ، فَهُوَ لِلشَّفِيعِ بِقِيمَةِ الثَّوَابِ

Malik berkata: Barang siapa menghadiahkan suatu hadiah dalam rumah atau tanah yang dimiliki bersama, lalu tidak ada balasan atasnya dan tidak pula diminta balasan itu, kemudian sekutunya ingin mengambilnya dengan nilai barang tersebut, maka itu tidak boleh baginya selama belum ada balasan. Namun jika telah ada balasan, maka itu menjadi hak syuf‘ah bagi pemilik syuf‘ah dengan nilai balasan tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ اشْتَرَى شِقْصًا فِي أَرْضٍ مُشْتَرَكَةٍ، بِثَمَنٍ إِلَى أَجَلٍ. فَأَرَادَ الشَّرِيكُ أَنْ يَأْخُذَهَا بِالشُّفْعَةِ

Malik berkata: Mengenai seseorang yang membeli bagian (syiqsh) dalam tanah yang dimiliki bersama dengan pembayaran yang ditangguhkan, kemudian sekutunya ingin mengambilnya dengan syuf‘ah.

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ كَانَ مَلِيًّا، فَلَهُ الشُّفْعَةُ بِذَلِكَ الثَّمَنِ إِلَى ذَلِكَ الْأَجَلِ. وَإِنْ كَانَ مَخُوفًا أَنْ لَا يُؤَدِّيَ الثَّمَنَ إِلَى ذَلِكَ الْأَجَلِ، فَإِذَا جَاءَهُمْ بِحَمِيلٍ مَلِيٍّ ثِقَةٍ مِثْلِ الَّذِي اشْتَرَى مِنْهُ الشِّقْصَ فِي الْأَرْضِ الْمُشْتَرَكَةِ، فَذَلِكَ لَهُ

Malik berkata: Jika sekutu itu orang yang mampu, maka ia berhak mengambil syuf‘ah dengan harga yang sama dan tenggat waktu yang sama. Namun jika dikhawatirkan ia tidak mampu membayar harga sampai tenggat waktu tersebut, maka apabila ia mendatangkan penjamin yang mampu dan terpercaya seperti orang yang membeli bagian dalam tanah bersama itu, maka itu boleh baginya.

قَالَ مَالِكٌ: لَا تَقْطَعُ شُفْعَةَ الْغَائِبِ غَيْبَتُهُ، وَإِنْ طَالَتْ غَيْبَتُهُ. وَلَيْسَ لِذَلِكَ عِنْدَنَا حَدٌّ تُقْطَعُ إِلَيْهِ الشُّفْعَةُ قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يُوَرِّثُ الْأَرْضَ نَفَرًا مِنْ وَلَدِهِ، ثُمَّ يُولَدُ لِأَحَدِ النَّفَرِ ثُمَّ يَهْلِكُ الْأَبُ، فَيَبِيعُ أَحَدُ وَلَدِ الْمَيِّتِ حَقَّهُ فِي تِلْكَ الْأَرْضِ، ” فَإِنَّ أَخَا الْبَائِعِ أَحَقُّ بِشُفْعَتِهِ مِنْ عُمُومَتِهِ شُرَكَاءِ أَبِيهِ، قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا

Malik berkata: Ketidakhadiran orang yang berhak syuf‘ah tidak memutus hak syuf‘ahnya, meskipun ia lama tidak hadir. Tidak ada batas waktu tertentu menurut kami yang dapat memutus hak syuf‘ah. Malik berkata: Mengenai seseorang yang mewariskan tanah kepada beberapa anaknya, kemudian salah satu dari mereka memiliki anak, lalu sang ayah meninggal, kemudian salah satu anak dari yang meninggal itu menjual haknya atas tanah tersebut, maka saudara penjual lebih berhak atas syuf‘ahnya daripada paman-pamannya, para sekutu ayahnya. Malik berkata: Demikianlah praktik yang berlaku menurut kami.

قَالَ مَالِكٌ: الشُّفْعَةُ بَيْنَ الشُّرَكَاءِ عَلَى قَدْرِ حِصَصِهِمْ، يَأْخُذُ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ بِقَدْرِ نَصِيبِهِ، إِنْ كَانَ قَلِيلًا فَقَلِيلًا، وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا فَبِقَدْرِهِ، وَذَلِكَ إِنْ تَشَاحُّوا فِيهَا

Malik berkata: Syuf‘ah di antara para sekutu sesuai dengan bagian mereka masing-masing; setiap orang dari mereka mengambil sesuai dengan bagiannya, jika sedikit maka sedikit, jika banyak maka sebanyak itu, dan itu jika mereka berselisih dalam hal tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: ” فَأَمَّا أَنْ يَشْتَرِيَ رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ مِنْ شُرَكَائِهِ حَقَّهُ، فَيَقُولُ أَحَدُ الشُّرَكَاءِ: أَنَا آخُذُ مِنَ الشُّفْعَةِ بِقَدْرِ حِصَّتِي، وَيَقُولُ الْمُشْتَرِي: إِنْ شِئْتَ أَنْ تَأْخُذَ الشُّفْعَةَ كُلَّهَا أَسْلَمْتُهَا إِلَيْكَ، وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَدَعَ فَدَعْ، فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ إِذَا خَيَّرَهُ فِي هَذَا، وَأَسْلَمَهُ إِلَيْهِ، فَلَيْسَ لِلشَّفِيعِ إِلَّا أَنْ يَأْخُذَ الشُّفْعَةَ كُلَّهَا، أَوْ يُسْلِمَهَا إِلَيْهِ، فَإِنْ أَخَذَهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا، وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ لَهُ “

Malik berkata: Adapun jika seseorang membeli hak salah satu sekutunya dari sekutunya, lalu salah satu sekutu berkata: “Aku akan mengambil syuf‘ah sesuai bagianku,” dan pembeli berkata: “Jika kamu ingin mengambil seluruh syuf‘ah, aku serahkan semuanya kepadamu, dan jika kamu ingin meninggalkannya, silakan tinggalkan,” maka jika pembeli memberikan pilihan seperti ini dan menyerahkannya kepadanya, maka pemilik syuf‘ah hanya boleh mengambil seluruh syuf‘ah atau menyerahkannya kembali kepadanya. Jika ia mengambilnya, maka ia lebih berhak atasnya, jika tidak, maka ia tidak berhak apa-apa.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي الْأَرْضَ فَيَعْمُرُهَا بِالْأَصْلِ يَضَعُهُ فِيهَا، أَوِ الْبِئْرِ يَحْفِرُهَا، ثُمَّ يَأْتِي رَجُلٌ فَيُدْرِكُ فِيهَا حَقًّا، فَيُرِيدُ أَنْ يَأْخُذَهَا بِالشُّفْعَةِ، إِنَّهُ لَا شُفْعَةَ لَهُ فِيهَا، إِلَّا أَنْ يُعْطِيَهُ قِيمَةَ مَا عَمَرَ، فَإِنْ أَعْطَاهُ قِيمَةَ مَا عَمَرَ كَانَ أَحَقَّ بِالشُّفْعَةِ، وَإِلَّا فَلَا حَقَّ لَهُ فِيهَا

Malik berkata: Mengenai seseorang yang membeli tanah lalu membangunnya dengan pondasi yang ia letakkan di atasnya, atau menggali sumur di dalamnya, kemudian datang seseorang yang menuntut hak di dalamnya dan ingin mengambilnya dengan syuf‘ah, maka ia tidak berhak atas syuf‘ah kecuali jika ia memberikan nilai bangunan yang telah didirikan. Jika ia memberikan nilai bangunan tersebut, maka ia lebih berhak atas syuf‘ah, jika tidak, maka ia tidak berhak atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: ” مَنْ بَاعَ حِصَّتَهُ مِنْ أَرْضٍ أَوْ دَارٍ مُشْتَرَكَةٍ، فَلَمَّا عَلِمَ أَنَّ صَاحِبَ الشُّفْعَةِ يَأْخُذُ بِالشُّفْعَةِ، اسْتَقَالَ الْمُشْتَرِيَ، فَأَقَالَهُ. قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ لَهُ. وَالشَّفِيعُ أَحَقُّ بِهَا بِالثَّمَنِ الَّذِي كَانَ بَاعَهَا بِهِ

Malik berkata: Barang siapa menjual bagiannya dari tanah atau rumah yang dimiliki bersama, lalu ketika mengetahui bahwa pemilik syuf‘ah akan mengambilnya dengan syuf‘ah, pembeli membatalkan pembelian dan penjual pun menyetujuinya, maka itu tidak boleh baginya. Pemilik syuf‘ah lebih berhak atasnya dengan harga yang telah dijualkan.

قَالَ مَالِكٌ: ” مَنِ اشْتَرَى شِقْصًا فِي دَارٍ أَوْ أَرْضٍ. وَحَيَوَانًا وَعُرُوضًا فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ. فَطَلَبَ الشَّفِيعُ شُفْعَتَهُ فِي الدَّارِ أَوِ الْأَرْضِ، فَقَالَ الْمُشْتَرِي: خُذْ مَا اشْتَرَيْتُ جَمِيعًا. فَإِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُهُ جَمِيعًا

Malik berkata: Barang siapa membeli bagian (syiqsh) dalam rumah atau tanah, serta hewan dan barang-barang dalam satu transaksi, lalu pemilik syuf‘ah menuntut hak syuf‘ahnya pada rumah atau tanah, maka pembeli berkata: “Ambillah semua yang aku beli secara keseluruhan, karena aku membelinya secara keseluruhan.”

قَالَ مَالِكٌ: بَلْ يَأْخُذُ الشَّفِيعُ شُفْعَتَهُ فِي الدَّارِ أَوِ الْأَرْضِ. بِحِصَّتِهَا مِنْ ذَلِكَ الثَّمَنِ يُقَامُ كُلُّ شَيْءٍ اشْتَرَاهُ مِنْ ذَلِكَ عَلَى حِدَتِهِ. عَلَى الثَّمَنِ الَّذِي اشْتَرَاهُ بِهِ. ثُمَّ يَأْخُذُ الشَّفِيعُ شُفْعَتَهُ بِالَّذِي يُصِيبُهَا مِنَ الْقِيمَةِ مِنْ رَأْسِ الثَّمَنِ. وَلَا يَأْخُذُ مِنَ الْحَيَوَانِ وَالْعُرُوضِ شَيْئًا. إِلَّا أَنْ يَشَاءَ ذَلِكَ

Malik berkata: Bahkan pemilik hak syuf‘ah mengambil hak syuf‘ahnya pada rumah atau tanah, sesuai bagian dari harga tersebut. Setiap barang yang dibeli dari itu dinilai secara terpisah, berdasarkan harga yang dibelinya. Kemudian pemilik hak syuf‘ah mengambil hak syuf‘ahnya sesuai bagian nilainya dari harga pokok. Ia tidak mengambil apa pun dari hewan atau barang dagangan, kecuali jika ia menghendaki hal itu.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَمَنْ بَاعَ شِقْصًا مِنْ أَرْضٍ مُشْتَرَكَةٍ، فَسَلَّمَ بَعْضُ مَنْ لَهُ فِيهَا الشُّفْعَةُ لِلْبَائِعِ. وَأَبَى بَعْضُهُمْ إِلَّا أَنْ يَأْخُذَ بِشُفْعَتِهِ: إِنَّ مَنْ أَبَى أَنْ يُسَلِّمَ يَأْخُذُ بِالشُّفْعَةِ كُلِّهَا. وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ بِقَدْرِ حَقِّهِ وَيَتْرُكَ مَا بَقِيَ

Malik berkata: “Barang siapa menjual bagian (syiqsh) dari tanah yang dimiliki bersama, lalu sebagian orang yang memiliki hak syuf‘ah di dalamnya menyerahkan haknya kepada penjual, sementara sebagian lainnya menolak kecuali mengambil hak syuf‘ahnya: maka orang yang menolak untuk menyerahkan, ia mengambil seluruh hak syuf‘ah. Ia tidak boleh mengambil hanya sebesar haknya lalu meninggalkan sisanya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي نَفَرٍ شُرَكَاءَ فِي دَارٍ وَاحِدَةٍ، فَبَاعَ أَحَدُهُمْ حِصَّتَهُ، وَشُرَكَاؤُهُ غُيَّبٌ كُلُّهُمْ إِلَّا رَجُلًا، فَعُرِضَ عَلَى الْحَاضِرِ أَنْ يَأْخُذَ بِالشُّفْعَةِ أَوْ يَتْرُكَ، فَقَالَ: أَنَا آخُذُ بِحِصَّتِي وَأَتْرُكُ حِصَصَ شُرَكَائِي حَتَّى يَقْدَمُوا، فَإِنْ أَخَذُوا فَذَلِكَ، وَإِنْ تَرَكُوا أَخَذْتُ جَمِيعَ الشُّفْعَةِ

Malik berkata: “Jika ada sekelompok orang yang menjadi sekutu dalam satu rumah, lalu salah satu dari mereka menjual bagiannya, sementara para sekutunya semuanya sedang tidak hadir kecuali satu orang, maka ditawarkan kepada yang hadir untuk mengambil hak syuf‘ah atau meninggalkannya. Ia berkata: ‘Saya akan mengambil bagian saya dan membiarkan bagian sekutu-sekutu saya sampai mereka datang. Jika mereka mengambil, maka itu hak mereka. Jika mereka meninggalkan, saya akan mengambil seluruh hak syuf‘ah.’”

قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ لَهُ إِلَّا أَنْ يَأْخُذَ ذَلِكَ كُلَّهُ أَوْ يَتْرُكَ، فَإِنْ جَاءَ شُرَكَاؤُهُ، أَخَذُوا مِنْهُ أَوْ تَرَكُوا إِنْ شَاءُوا، فَإِذَا عُرِضَ هَذَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَقْبَلْهُ، فَلَا أَرَى لَهُ شُفْعَةً

Malik berkata: Ia tidak berhak kecuali mengambil semuanya atau meninggalkannya. Jika sekutunya datang, mereka boleh mengambil darinya atau meninggalkannya jika mereka mau. Jika hal ini telah ditawarkan kepadanya namun ia tidak menerimanya, maka menurut saya ia tidak lagi berhak atas syuf‘ah.

بَابُ مَا لَا تَقَعُ فِيهِ الشُّفْعَةُ

Bab Tentang Hal-hal yang Tidak Berlaku Syuf‘ah

4 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَارَةَ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ قَالَ: إِذَا وَقَعَتِ الْحُدُودُ فِي الْأَرْضِ، فَلَا شُفْعَةَ فِيهَا، وَلَا شُفْعَةَ فِي بِئْرٍ وَلَا فِي فَحْلِ النَّخْلِ قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى هَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا قَالَ مَالِكٌ: وَلَا شُفْعَةَ فِي طَرِيقٍ صَلُحَ الْقَسْمُ فِيهَا أَوْ لَمْ يَصْلُحْ

Yahya berkata: Malik berkata dari Muhammad bin ‘Umarah, dari Abu Bakr bin Hazm, bahwa ‘Utsman bin ‘Affan berkata: “Apabila batas-batas telah ditetapkan pada tanah, maka tidak ada syuf‘ah padanya, dan tidak ada syuf‘ah pada sumur maupun pada induk pohon kurma.” Malik berkata: “Demikianlah praktik yang berlaku di tempat kami.” Malik berkata: “Dan tidak ada syuf‘ah pada jalan, baik pembagiannya memungkinkan maupun tidak.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَا شُفْعَةَ فِي عَرْصَةِ دَارٍ صَلُحَ الْقَسْمُ فِيهَا أَوْ لَمْ يَصْلُحْ قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ اشْتَرَى شِقْصًا مِنْ أَرْضٍ مُشْتَرَكَةٍ، عَلَى أَنَّهُ فِيهَا بِالْخِيَارِ، فَأَرَادَ شُرَكَاءُ الْبَائِعِ أَنْ يَأْخُذُوا مَا بَاعَ شَرِيكُهُمْ بِالشُّفْعَةِ قَبْلَ أَنْ يَخْتَارَ الْمُشْتَرِي، إِنَّ ذَلِكَ لَا يَكُونُ لَهُمْ. حَتَّى يَأْخُذَ الْمُشْتَرِي، وَيَثْبُتَ لَهُ الْبَيْعُ. فَإِذَا وَجَبَ لَهُ الْبَيْعُ فَلَهُمُ الشُّفْعَةُ

Malik berkata: “Praktik yang berlaku di tempat kami adalah tidak ada syuf‘ah pada lahan kosong dari rumah, baik pembagiannya memungkinkan maupun tidak.” Malik berkata: “Jika seseorang membeli bagian (syiqsh) dari tanah yang dimiliki bersama, dengan syarat ia masih dalam masa khiyar, lalu para sekutu penjual ingin mengambil apa yang dijual oleh sekutunya dengan syuf‘ah sebelum pembeli memilih (melanjutkan atau membatalkan), maka hal itu tidak boleh bagi mereka. Sampai pembeli mengambil dan jual beli itu menjadi tetap baginya. Jika jual beli itu telah tetap baginya, maka mereka berhak atas syuf‘ah.”

وقَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي أَرْضًا فَتَمْكُثُ فِي يَدَيْهِ حِينًا. ثُمَّ يَأْتِي رَجُلٌ فَيُدْرِكُ فِيهَا حَقًّا بِمِيرَاثٍ: إِنَّ لَهُ الشُّفْعَةَ إِنْ ثَبَتَ حَقُّهُ. وَإِنَّ مَا أَغَلَّتِ الْأَرْضُ مِنْ غَلَّةٍ فَهِيَ لِلْمُشْتَرِي الْأَوَّلِ. إِلَى يَوْمِ يَثْبُتُ حَقُّ الْآخَرِ. لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ ضَمِنَهَا لَوْ هَلَكَ مَا كَانَ فِيهَا مِنْ غِرَاسٍ، أَوْ ذَهَبَ بِهِ سَيْلٌ ” قَالَ: فَإِنْ طَالَ الزَّمَانُ، أَوْ هَلَكَ الشُّهُودُ، أَوْ مَاتَ الْبَائِعُ أَوِ الْمُشْتَرِي، أَوْ هُمَا حَيَّانِ، فَنُسِيَ أَصْلُ الْبَيْعِ وَالِاشْتِرَاءِ لِطُولِ الزَّمَانِ، فَإِنَّ الشُّفْعَةَ تَنْقَطِعُ. وَيَأْخُذُ حَقَّهُ الَّذِي ثَبَتَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ أَمْرُهُ عَلَى غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ فِي حَدَاثَةِ الْعَهْدِ وَقُرْبِهِ، وَأَنَّهُ يَرَى أَنَّ الْبَائِعَ غَيَّبَ الثَّمَنَ وَأَخْفَاهُ لِيَقْطَعَ بِذَلِكَ حَقَّ صَاحِبِ الشُّفْعَةِ، قُوِّمَتِ الْأَرْضُ عَلَى قَدْرِ مَا يُرَى أَنَّهُ ثَمَنُهَا. فَيَصِيرُ ثَمَنُهَا إِلَى ذَلِكَ. ثُمَّ يُنْظَرُ إِلَى مَا زَادَ فِي الْأَرْضِ مِنْ بِنَاءٍ أَوْ غِرَاسٍ أَوْ عِمَارَةٍ. فَيَكُونُ عَلَى مَا يَكُونُ عَلَيْهِ مَنِ ابْتَاعَ الْأَرْضَ بِثَمَنٍ مَعْلُومٍ ثُمَّ بَنَى فِيهَا وَغَرَسَ. ثُمَّ أَخَذَهَا صَاحِبُ الشُّفْعَةِ بَعْدَ ذَلِكَ

Malik juga berkata: “Jika seseorang membeli tanah lalu tanah itu berada di tangannya beberapa waktu, kemudian datang seseorang yang menuntut hak di dalamnya karena warisan, maka ia berhak atas syuf‘ah jika haknya terbukti. Dan hasil yang diperoleh tanah itu berupa panen adalah milik pembeli pertama hingga hari hak orang lain itu terbukti, karena ia telah menanggung risiko jika tanaman di atasnya rusak atau hanyut oleh banjir.” Ia berkata: “Jika waktu telah berlalu lama, atau para saksi telah wafat, atau penjual atau pembeli telah meninggal, atau keduanya masih hidup namun asal-usul jual beli telah terlupakan karena lamanya waktu, maka syuf‘ah terputus. Orang yang haknya terbukti hanya mengambil haknya saja. Namun, jika kejadiannya masih baru dan dekat, dan diketahui bahwa penjual menyembunyikan harga dan merahasiakannya untuk memutuskan hak pemilik syuf‘ah, maka tanah itu dinilai sesuai harga yang diperkirakan. Maka harga tanah itu menjadi sesuai dengan penilaian tersebut. Kemudian dilihat apa yang telah ditambahkan pada tanah berupa bangunan, tanaman, atau perbaikan. Maka hukumnya seperti orang yang membeli tanah dengan harga tertentu, lalu membangun dan menanam di atasnya, kemudian diambil oleh pemilik syuf‘ah setelah itu.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالشُّفْعَةُ ثَابِتَةٌ فِي مَالِ الْمَيِّتِ كَمَا هِيَ فِي مَالِ الْحَيِّ. فَإِنْ خَشِيَ أَهْلُ الْمَيِّتِ أَنْ يَنْكَسِرَ مَالُ الْمَيِّتِ، قَسَمُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِمْ فِيهِ شُفْعَةٌ

Malik berkata: Syuf‘ah tetap berlaku pada harta orang yang telah meninggal sebagaimana berlaku pada harta orang yang masih hidup. Jika ahli waris khawatir harta si mayit akan rusak nilainya, lalu mereka membaginya kemudian menjualnya, maka tidak ada syuf‘ah atas mereka dalam hal itu.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا شُفْعَةَ عِنْدَنَا فِي عَبْدٍ وَلَا وَلِيدَةٍ. وَلَا بَعِيرٍ وَلَا بَقَرَةٍ وَلَا شَاةٍ. وَلَا فِي شَيْءٍ مِنَ الْحَيَوَانِ. وَلَا فِي ثَوْبٍ وَلَا فِي بِئْرٍ لَيْسَ لَهَا بَيَاضٌ. إِنَّمَا الشُّفْعَةُ فِيمَا يَصْلُحُ أَنَّهُ يَنْقَسِمُ وَتَقَعُ فِيهِ الْحُدُودُ مِنَ الْأَرْضِ. فَأَمَّا مَا لَا يَصْلُحُ فِيهِ الْقَسْمُ فَلَا شُفْعَةَ فِيهِ

Malik berkata: Menurut kami, tidak ada syuf‘ah pada budak laki-laki, budak perempuan, unta, sapi, kambing, atau pada hewan apa pun. Tidak pula pada pakaian, atau sumur yang tidak memiliki air yang mengalir. Syuf‘ah hanya berlaku pada sesuatu yang dapat dibagi dan dapat diberi batas-batas dari tanah. Adapun sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka tidak ada syuf‘ah padanya.

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنِ اشْتَرَى أَرْضًا فِيهَا شُفْعَةٌ لِنَاسٍ حُضُورٍ، فَلْيَرْفَعْهُمْ إِلَى السُّلْطَانِ. فَإِمَّا أَنْ يَسْتَحِقُّوا، وَإِمَّا أَنْ يُسَلِّمَ لَهُ السُّلْطَانُ. فَإِنْ تَرَكَهُمْ فَلَمْ يَرْفَعْ أَمْرَهُمْ إِلَى السُّلْطَانِ. وَقَدْ عَلِمُوا بِاشْتِرَائِهِ. فَتَرَكُوا ذَلِكَ حَتَّى طَالَ زَمَانُهُ ثُمَّ جَاءُوا يَطْلُبُونَ شُفْعَتَهُمْ. فَلَا أَرَى ذَلِكَ لَهُمْ

Malik berkata: Barang siapa membeli tanah yang padanya ada hak syuf‘ah bagi orang-orang yang hadir, maka hendaklah ia mengadukan mereka kepada penguasa. Maka bisa jadi mereka berhak, atau penguasa akan menyerahkannya kepadanya. Jika ia membiarkan mereka dan tidak mengadukan urusan mereka kepada penguasa, padahal mereka telah mengetahui pembeliannya, lalu mereka membiarkannya hingga waktu berlalu lama, kemudian mereka datang menuntut hak syuf‘ah mereka, maka aku tidak melihat itu menjadi hak mereka.

36 – كِتَابُ الْأَقْضِيَةِ

بَابُ التَّرْغِيبِ فِي الْقَضَاءِ بِالْحَقِّ

Bab Anjuran untuk Memutuskan Perkara dengan Kebenaran

1 – حَدَّثَنَا يحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ زَيْنَبَ بِنْتِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ. وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ. فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ مِنْهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ، فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْهُ شَيْئًا، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ

1 – Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Abu Salamah, dari Ummu Salamah istri Nabi ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia. Kalian berselisih perkara kepadaku, barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengemukakan hujjahnya daripada yang lain, maka aku memutuskan perkara baginya sesuai dengan apa yang aku dengar darinya. Maka barang siapa yang aku putuskan untuknya sesuatu dari hak saudaranya, janganlah ia mengambil sedikit pun darinya, karena sesungguhnya aku hanya memotongkan untuknya sepotong dari api neraka.”

2 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ: اخْتَصَمَ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ وَيَهُودِيٌّ، فَرَأَى عُمَرُ أَنَّ الْحَقَّ لِلْيَهُودِيِّ، فَقَضَى لَهُ. فَقَالَ لَهُ الْيَهُودِيُّ: وَاللَّهِ لَقَدْ قَضَيْتَ بِالْحَقِّ. فَضَرَبَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِالدِّرَّةِ، ثُمَّ قَالَ: وَمَا يُدْرِيكَ؟ فَقَالَ لَهُ الْيَهُودِيُّ: إِنَّا نَجِدُ أَنَّهُ لَيْسَ قَاضٍ يَقْضِي بِالْحَقِّ، إِلَّا كَانَ عَنْ يَمِينِهِ مَلَكٌ، وَعَنْ شِمَالِهِ مَلَكٌ، يُسَدِّدَانِهِ وَيُوَفِّقَانِهِ لِلْحَقِّ مَا دَامَ مَعَ الْحَقِّ، فَإِذَا تَرَكَ الْحَقَّ عَرَجَا وَتَرَكَاهُ “

2 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa ‘Umar bin al-Khaththab: Pernah seorang Muslim dan seorang Yahudi berselisih perkara kepadanya, lalu ‘Umar melihat bahwa kebenaran ada pada pihak Yahudi, maka ia memutuskan perkara untuknya. Maka orang Yahudi itu berkata kepadanya: “Demi Allah, sungguh engkau telah memutuskan perkara dengan benar.” Maka ‘Umar bin al-Khaththab memukulnya dengan cambuk, lalu berkata: “Apa yang membuatmu tahu?” Maka orang Yahudi itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami mendapati bahwa tidak ada seorang qadhi yang memutuskan perkara dengan benar kecuali di sebelah kanannya ada malaikat dan di sebelah kirinya ada malaikat yang membimbing dan menuntunnya kepada kebenaran selama ia bersama kebenaran. Jika ia meninggalkan kebenaran, kedua malaikat itu naik dan meninggalkannya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الشَّهَادَاتِ

Bab Tentang Persaksian

3 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ، عَنْ أَبِي عَمْرَةَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ. الَّذِي يَأْتِي بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا، أَوْ يُخْبِرُ بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا

3 – Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari ‘Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Utsman, dari Abu ‘Amrah al-Anshari, dari Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Maukah kalian aku beritahu siapa sebaik-baik para saksi? Yaitu orang yang datang membawa persaksiannya sebelum diminta, atau mengabarkan persaksiannya sebelum diminta.”

4 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ قَالَ: قَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ، فَقَالَ: لَقَدْ جِئْتُكَ لِأَمْرٍ، مَا لَهُ رَأْسٌ، وَلَا ذَنَبٌ، فَقَالَ عُمَرُ: مَا هُوَ؟ قَالَ: شَهَادَاتُ الزُّورِ ظَهَرَتْ بِأَرْضِنَا، فَقَالَ عُمَرُ: أَوَ قَدْ كَانَ ذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ لَا يُؤْسَرُ رَجُلٌ فِي الْإِسْلَامِ بِغَيْرِ الْعُدُولِ

4 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, bahwa ia berkata: Datang kepada ‘Umar bin al-Khaththab seorang laki-laki dari penduduk Irak, lalu ia berkata: “Aku datang kepadamu untuk suatu perkara yang tidak ada kepala dan tidak ada ekornya.” Maka ‘Umar berkata: “Apa itu?” Ia berkata: “Persaksian palsu telah muncul di negeri kami.” Maka ‘Umar berkata: “Apakah itu sudah terjadi?” Ia menjawab: “Ya.” Maka ‘Umar berkata: “Demi Allah, tidak akan dijadikan tawanan seorang pun dalam Islam kecuali dengan (persaksian) orang-orang yang adil.”

وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ خَصْمٍ وَلَا ظَنِينٍ

Dan telah menceritakan kepadaku Malik, bahwa ‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Tidak sah persaksian pihak yang bersengketa dan tidak pula orang yang dicurigai.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي شَهَادَةِ الْمَحْدُودِ

Bab Putusan Hukum dalam Persaksian Orang yang Pernah Dikenai Had (hukuman)

قَالَ يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ وَغَيْرِهِ، أَنَّهُمْ سُئِلُوا: عَنْ رَجُلٍ جُلِدَ الْحَدَّ أَتَجُوزُ شَهَادَتُهُ؟ فَقَالُوا: نَعَمْ، إِذَا ظَهَرَتْ مِنْهُ التَّوْبَةُ
وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ شِهَابٍ يُسْأَلُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: مِثْلَ مَا قَالَ: سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ
قَالَ مَالِكٌ: ” وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا، وَذَلِكَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ، ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ، فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً، وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا، وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ، إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ، وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ} [النور: 5]

Yahya berkata, dari Malik bahwa telah sampai kepadanya, dari Sulaiman bin Yasar dan selainnya, bahwa mereka pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang telah dijatuhi hukuman hadd, apakah kesaksiannya boleh diterima? Mereka menjawab: “Ya, jika telah tampak darinya tanda-tanda taubat.” Malik juga menceritakan kepadaku bahwa ia mendengar Ibnu Syihab ditanya tentang hal itu, lalu ia menjawab seperti yang dikatakan oleh Sulaiman bin Yasar. Malik berkata: “Itulah pendapat yang berlaku di kalangan kami, dan hal itu berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang terjaga (dari zina), lalu mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat setelah itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} (an-Nur: 5).”

قَالَ مَالِكٌ: فَالْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا. أَنَّ الَّذِي يُجْلَدُ الْحَدَّ ثُمَّ تَابَ، وَأَصْلَحَ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ، وَهُوَ أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي ذَلِكَ

Malik berkata: “Maka perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami adalah bahwa orang yang dijatuhi hukuman hadd lalu ia bertaubat dan memperbaiki diri, maka kesaksiannya boleh diterima. Dan itu adalah pendapat yang paling aku sukai dalam masalah ini.”

بَابُ الْقَضَاءِ بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ

Bab: Putusan dengan Sumpah Bersama Satu Orang Saksi

5 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَضَى بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ

5 – Yahya berkata: Malik berkata, dari Ja‘far bin Muhammad, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu orang saksi.

6 – وعَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَتَبَ إِلَى عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ – وَهُوَ عَامِلٌ عَلَى الْكُوفَةِ، أَنِ: اقْضِ بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ

6 – Dan dari Malik, dari Abu az-Zinad, bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abdurrahman bin Zaid bin al-Khaththab—yang saat itu menjadi gubernur Kufah—agar memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu orang saksi.

7 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ سُئِلَا: ” هَلْ يُقْضَى بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ، فَقَالَا: نَعَمْ قَالَ مَالِكٌ: مَضَتِ السُّنَّةُ فِي الْقَضَاءِ بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ الْوَاحِدِ. يَحْلِفُ صَاحِبُ الْحَقِّ مَعَ شَاهِدِهِ. وَيَسْتَحِقُّ حَقَّهُ. فَإِنْ نَكَلَ وَأَبَى أَنْ يَحْلِفَ، أُحْلِفَ الْمَطْلُوبُ. فَإِنْ حَلَفَ سَقَطَ عَنْهُ ذَلِكَ الْحَقُّ. وَإِنْ أَبَى أَنْ يَحْلِفَ ثَبَتَ عَلَيْهِ الْحَقُّ لِصَاحِبِهِ

7 – Malik juga menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Abu Salamah bin Abdurrahman dan Sulaiman bin Yasar pernah ditanya: “Apakah boleh memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu orang saksi?” Keduanya menjawab: “Ya.” Malik berkata: “Sunnah yang berlaku dalam masalah ini adalah memutuskan perkara dengan sumpah bersama satu orang saksi. Pemilik hak bersumpah bersama saksinya, lalu ia berhak mendapatkan haknya. Jika ia enggan dan menolak untuk bersumpah, maka yang dituntut bersumpah. Jika ia bersumpah, gugurlah hak itu darinya. Namun jika ia menolak untuk bersumpah, maka hak itu tetap menjadi milik pemilik hak.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَإِنَّمَا يَكُونُ ذَلِكَ فِي الْأَمْوَالِ خَاصَّةً. وَلَا يَقَعُ ذَلِكَ فِي شَيْءٍ مِنَ الْحُدُودِ. وَلَا فِي نِكَاحٍ وَلَا فِي طَلَاقٍ، وَلَا فِي عَتَاقَةٍ وَلَا فِي سَرِقَةٍ، وَلَا فِي فِرْيَةٍ. فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَإِنَّ الْعَتَاقَةَ مِنَ الْأَمْوَالِ، فَقَدْ أَخْطَأَ. لَيْسَ ذَلِكَ عَلَى مَا قَالَ. وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ عَلَى مَا قَالَ، لَحَلَفَ الْعَبْدُ مَعَ شَاهِدِهِ، إِذَا جَاءَ بِشَاهِدٍ أَنَّ سَيِّدَهُ أَعْتَقَهُ. وَأَنَّ الْعَبْدَ إِذَا جَاءَ بِشَاهِدٍ عَلَى مَالٍ مِنَ الْأَمْوَالِ ادَّعَاهُ، حَلَفَ مَعَ شَاهِدِهِ وَاسْتَحَقَّ حَقَّهُ كَمَا يَحْلِفُ الْحُرُّ

Malik berkata: “Hal itu hanya berlaku dalam perkara harta saja. Tidak berlaku dalam perkara hadd, tidak pula dalam nikah, talak, pembebasan budak, pencurian, ataupun tuduhan palsu. Jika ada yang berkata: ‘Bukankah pembebasan budak termasuk harta?’ Maka ia keliru. Tidak seperti yang ia katakan. Jika memang seperti yang ia katakan, tentu seorang budak bisa bersumpah bersama saksinya jika ia membawa saksi bahwa tuannya telah membebaskannya. Dan jika budak membawa saksi atas harta yang ia klaim, maka ia bersumpah bersama saksinya dan berhak atas haknya sebagaimana orang merdeka bersumpah.”

قَالَ مَالِكٌ: فَالسُّنَّةُ عِنْدَنَا أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا جَاءَ بِشَاهِدٍ عَلَى عَتَاقَتِهِ اسْتُحْلِفَ سَيِّدُهُ مَا أَعْتَقَهُ وَبَطَلَ ذَلِكَ عَنْهُ قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ السُّنَّةُ عِنْدَنَا أَيْضًا فِي الطَّلَاقِ. إِذَا جَاءَتِ الْمَرْأَةُ بِشَاهِدٍ أَنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا. أُحْلِفَ زَوْجُهَا مَا طَلَّقَهَا، فَإِذَا حَلَفَ لَمْ يَقَعْ عَلَيْهِ الطَّلَاقُ

Malik berkata: “Sunnah yang berlaku di kalangan kami adalah jika seorang budak membawa saksi atas pembebasannya, maka tuannya diminta bersumpah bahwa ia tidak membebaskannya, dan gugurlah klaim itu darinya. Malik berkata: Demikian pula sunnah yang berlaku di kalangan kami dalam perkara talak. Jika seorang wanita membawa saksi bahwa suaminya telah menceraikannya, maka suaminya diminta bersumpah bahwa ia tidak menceraikannya. Jika ia bersumpah, maka talak tidak jatuh padanya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فَسُنَّةُ الطَّلَاقِ وَالْعَتَاقَةِ فِي الشَّاهِدِ الْوَاحِدِ وَاحِدَةٌ، إِنَّمَا يَكُونُ الْيَمِينُ عَلَى زَوْجِ الْمَرْأَةِ. وَعَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ. وَإِنَّمَا الْعَتَاقَةُ حَدٌّ مِنَ الْحُدُودِ. لَا تَجُوزُ فِيهَا شَهَادَةُ النِّسَاءِ. لِأَنَّهُ إِذَا عَتَقَ الْعَبْدُ ثَبَتَتْ حُرْمَتُهُ. وَوَقَعَتْ لَهُ الْحُدُودُ. وَوَقَعَتْ عَلَيْهِ. وَإِنْ زَنَى وَقَدْ أُحْصِنَ رُجِمَ. وَإِنْ قَتَلَ الْعَبْدَ قُتِلَ بِهِ. وَثَبَتَ لَهُ الْمِيرَاثُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ يُوَارِثُهُ. فَإِنِ احْتَجَّ مُحْتَجٌّ فَقَالَ: لَوْ أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ عَبْدَهُ. وَجَاءَ رَجُلٌ يَطْلُبُ سَيِّدَ الْعَبْدِ بِدَيْنٍ لَهُ عَلَيْهِ. فَشَهِدَ لَهُ، عَلَى حَقِّهِ ذَلِكَ، رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ. فَإِنَّ ذَلِكَ يُثْبِتُ الْحَقَّ عَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ. حَتَّى تُرَدَّ بِهِ عَتَاقَتُهُ. إِذَا لَمْ يَكُنْ لِسَيِّدِ الْعَبْدِ مَالٌ غَيْرُ الْعَبْدِ. يُرِيدُ أَنْ يُجِيزَ بِذَلِكَ شَهَادَةَ النِّسَاءِ فِي الْعَتَاقَةِ. فَإِنَّ ذَلِكَ لَيْسَ عَلَى مَا قَالَ. وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ الرَّجُلُ يَعْتِقُ عَبْدَهُ. ثُمَّ يَأْتِي طَالِبُ الْحَقِّ عَلَى سَيِّدِهِ بِشَاهِدٍ وَاحِدٍ. فَيَحْلِفُ مَعَ شَاهِدِهِ. ثُمَّ يَسْتَحِقُّ حَقَّهُ. وَتُرَدُّ بِذَلِكَ عَتَاقَةُ الْعَبْدِ. أَوْ يَأْتِي الرَّجُلُ قَدْ كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَيِّدِ الْعَبْدِ مُخَالَطَةٌ وَمُلَابَسَةٌ. فَيَزْعُمُ أَنَّ لَهُ عَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ مَالًا. فَيُقَالُ لِسَيِّدِ الْعَبْدِ: احْلِفْ مَا عَلَيْكَ مَا ادَّعَى، فَإِنْ نَكَلَ وَأَبَى أَنْ يَحْلِفَ، حُلِّفَ صَاحِبُ الْحَقِّ، وَثَبَتَ حَقُّهُ عَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ. فَيَكُونُ ذَلِكَ يَرُدُّ عَتَاقَةَ الْعَبْدِ. إِذَا ثَبَتَ الْمَالُ عَلَى سَيِّدِهِ ” قَالَ: ” وَكَذَلِكَ أَيْضًا الرَّجُلُ يَنْكِحُ الْأَمَةَ. فَتَكُونُ امْرَأَتَهُ. فَيَأْتِي سَيِّدُ الْأَمَةِ إِلَى الرَّجُلِ الَّذِي تَزَوَّجَهَا فَيَقُولُ: ابْتَعْتَ مِنِّي جَارِيَتِي فُلَانَةَ. أَنْتَ وَفُلَانٌ بِكَذَا وَكَذَا دِينَارًا. فَيُنْكِرُ ذَلِكَ زَوْجُ الْأَمَةِ. فَيَأْتِي سَيِّدُ الْأَمَةِ بِرَجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ. فَيَشْهَدُونَ عَلَى مَا قَالَ. فَيَثْبُتُ بَيْعُهُ. وَيَحِقُّ حَقُّهُ، وَتَحْرُمُ الْأَمَةُ عَلَى زَوْجِهَا. وَيَكُونُ ذَلِكَ فِرَاقًا بَيْنَهُمَا، وَشَهَادَةُ النِّسَاءِ لَا تَجُوزُ فِي الطَّلَاقِ

Malik berkata: “Sunnah dalam masalah talak dan pembebasan budak dengan satu saksi adalah satu, yaitu sumpah hanya dibebankan kepada suami perempuan dan kepada tuan budak. Adapun pembebasan budak adalah termasuk hudud, sehingga tidak sah di dalamnya kesaksian perempuan. Karena apabila seorang budak telah dimerdekakan, maka kemuliaannya telah tetap, dan hudud berlaku baginya dan atasnya. Jika ia berzina dan telah menikah, maka ia dirajam. Jika ia membunuh, maka ia dibunuh sebagai qisas. Ia juga berhak mendapatkan warisan antara dirinya dan orang yang mewarisinya. Jika ada yang berargumen: ‘Seandainya seseorang membebaskan budaknya, lalu datang seseorang yang menuntut tuan budak itu atas utang yang dimilikinya, kemudian ada seorang laki-laki dan dua perempuan yang bersaksi atas hak tersebut, maka hal itu menetapkan hak atas tuan budak hingga pembebasan budak itu dibatalkan, apabila tuan budak tidak memiliki harta selain budak tersebut.’ Ia bermaksud membolehkan kesaksian perempuan dalam pembebasan budak. Maka hal itu tidak seperti yang dikatakan. Perumpamaannya adalah seseorang membebaskan budaknya, lalu penuntut hak datang kepada tuan budak dengan satu saksi laki-laki, kemudian ia bersumpah bersama saksinya, lalu haknya menjadi tetap, dan dengan itu pembebasan budak dibatalkan. Atau ada seseorang yang pernah berinteraksi dan berhubungan dengan tuan budak, lalu ia mengaku memiliki harta pada tuan budak, maka dikatakan kepada tuan budak: ‘Bersumpahlah bahwa engkau tidak memiliki utang sebagaimana yang didakwakan.’ Jika ia enggan dan menolak bersumpah, maka penuntut hak yang disuruh bersumpah, dan haknya menjadi tetap atas tuan budak. Dengan demikian, hal itu membatalkan pembebasan budak apabila harta tersebut telah tetap atas tuannya.” Ia berkata: “Demikian pula, seseorang menikahi seorang budak perempuan, lalu ia menjadi istrinya. Kemudian tuan budak perempuan itu datang kepada laki-laki yang menikahinya dan berkata: ‘Engkau telah membeli budak perempuanku si fulanah, engkau dan si fulan dengan harga sekian dinar.’ Lalu suami budak perempuan itu mengingkarinya. Kemudian tuan budak perempuan itu mendatangkan seorang laki-laki dan dua perempuan sebagai saksi, lalu mereka bersaksi atas apa yang dikatakannya, maka jual belinya menjadi sah, haknya menjadi tetap, dan budak perempuan itu menjadi haram bagi suaminya. Hal itu menjadi sebab perpisahan antara keduanya, dan kesaksian perempuan tidak sah dalam masalah talak.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمِنْ ذَلِكَ أَيْضًا الرَّجُلُ يَفْتَرِي عَلَى الرَّجُلِ الْحُرِّ، فَيَقَعُ عَلَيْهِ الْحَدُّ. فَيَأْتِي رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ فَيَشْهَدُونَ أَنَّ الَّذِي افْتُرِيَ عَلَيْهِ عَبْدٌ مَمْلُوكٌ. فَيَضَعُ ذَلِكَ الْحَدَّ عَنِ الْمُفْتَرِي بَعْدَ أَنْ وَقَعَ عَلَيْهِ. وَشَهَادَةُ النِّسَاءِ لَا تَجُوزُ فِي الْفِرْيَةِ

Malik berkata: “Demikian pula, seseorang menuduh seorang laki-laki merdeka dengan tuduhan palsu, sehingga hudud dijatuhkan atasnya. Kemudian datang seorang laki-laki dan dua perempuan yang bersaksi bahwa orang yang dituduh itu adalah seorang budak milik orang lain, maka hal itu menggugurkan hudud dari si penuduh setelah sebelumnya dijatuhkan atasnya. Dan kesaksian perempuan tidak sah dalam kasus tuduhan palsu (al-firiyah).”

قَالَ مَالِكٌ: وَمِمَّا يُشْبِهُ ذَلِكَ أَيْضًا مِمَّا يَفْتَرِقُ فِيهِ الْقَضَاءُ، وَمَا مَضَى مِنَ السُّنَّةِ، أَنَّ الْمَرْأَتَيْنِ يَشْهَدَانِ عَلَى اسْتِهْلَالِ الصَّبِيِّ، فَيَجِبُ بِذَلِكَ مِيرَاثُهُ حَتَّى يَرِثَ، وَيَكُونُ مَالُهُ لِمَنْ يَرِثُهُ. إِنْ مَاتَ الصَّبِيُّ. وَلَيْسَ مَعَ الْمَرْأَتَيْنِ اللَّتَيْنِ شَهِدَتَا، رَجُلٌ وَلَا يَمِينٌ. وَقَدْ يَكُونُ ذَلِكَ فِي الْأَمْوَالِ الْعِظَامِ. مِنَ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَالرِّبَاعِ وَالْحَوَائِطِ وَالرَّقِيقِ وَمَا سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْأَمْوَالِ. وَلَوْ شَهِدَتِ امْرَأَتَانِ عَلَى دِرْهَمٍ وَاحِدٍ. أَوْ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرَ. لَمْ تَقْطَعْ شَهَادَتُهُمَا شَيْئًا، وَلَمْ تَجُزْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهُمَا شَاهِدٌ أَوْ يَمِينٌ

Malik berkata: “Termasuk yang serupa dengan itu juga, yang dalam hal ini keputusan hukum berbeda dan telah menjadi sunnah, adalah dua orang perempuan bersaksi atas tangisan bayi (tanda hidupnya), sehingga dengan itu ia berhak mendapatkan warisan hingga ia mewarisi, dan hartanya menjadi milik ahli warisnya jika bayi itu meninggal. Padahal bersama dua perempuan yang bersaksi itu tidak ada laki-laki dan tidak ada sumpah. Hal ini bisa terjadi pada harta yang sangat besar, seperti emas, perak, rumah, kebun, budak, dan selain itu dari harta benda. Namun, jika dua perempuan bersaksi atas satu dirham, atau kurang atau lebih dari itu, maka kesaksian mereka tidak menetapkan apa pun dan tidak sah kecuali disertai seorang saksi laki-laki atau sumpah.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ لَا تَكُونُ الْيَمِينُ مَعَ الشَّاهِدِ الْوَاحِدِ. وَيَحْتَجُّ بِقَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَقَوْلُهُ الْحَقُّ {وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ، فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ: فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ} [البقرة: 282] يَقُولُ: فَإِنْ لَمْ يَأْتِ بِرَجُلٍ وَامْرَأَتَيْنِ فَلَا شَيْءَ لَهُ، وَلَا يُحَلَّفُ مَعَ شَاهِدِهِ

Malik berkata: “Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa sumpah tidak dapat digabungkan dengan satu orang saksi saja. Mereka berdalil dengan firman Allah Tabaraka wa Ta‘ala, dan firman-Nya adalah kebenaran: {Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai} (QS. Al-Baqarah: 282). Mereka berkata: Jika tidak dapat menghadirkan seorang laki-laki dan dua orang perempuan, maka ia tidak berhak mendapatkan apa pun, dan tidak boleh bersumpah bersama saksinya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فَمِنَ الْحُجَّةِ عَلَى مَنْ قَالَ ذَلِكَ الْقَوْلَ، أَنْ يُقَالَ لَهُ: أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ مَالًا: أَلَيْسَ يَحْلِفُ الْمَطْلُوبُ مَا ذَلِكَ الْحَقُّ عَلَيْهِ. فَإِنْ حَلَفَ بَطَلَ ذَلِكَ عَنْهُ. وَإِنْ نَكَلَ عَنِ الْيَمِينِ حُلِّفَ صَاحِبُ الْحَقِّ إِنَّ حَقَّهُ لَحَقٌّ. وَثَبَتَ حَقُّهُ عَلَى صَاحِبِهِ. فَهَذَا مَا لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ. وَلَا بِبَلَدٍ مِنَ الْبُلْدَانِ. فَبِأَيِّ شَيْءٍ أَخَذَ هَذَا؟ أَوْ فِي أَيِّ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَجَدَهُ؟ فَإِنْ أَقَرَّ بِهَذَا فَلْيُقْرِرْ بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَأَنَّهُ لَيَكْفِي مِنْ ذَلِكَ مَا مَضَى مِنَ السُّنَّةِ. وَلَكِنِ الْمَرْءُ قَدْ يُحِبُّ أَنْ يَعْرِفَ وَجْهَ الصَّوَابِ وَمَوْقِعَ الْحُجَّةِ. فَفِي هَذَا بَيَانُ مَا أَشْكَلَ مِنْ ذَلِكَ. إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى “

Malik berkata: “Di antara argumen terhadap orang yang berpendapat demikian adalah dengan dikatakan kepadanya: Bagaimana pendapatmu jika seseorang menuntut orang lain atas suatu harta; bukankah pihak yang dituntut harus bersumpah bahwa hak itu tidak ada padanya? Jika ia bersumpah, gugurlah tuntutan itu darinya. Namun jika ia enggan bersumpah, maka pemilik hak diminta bersumpah bahwa haknya benar-benar haknya, dan hak itu pun ditetapkan atas orang yang dituntut. Hal ini tidak diperselisihkan oleh siapa pun di antara manusia, dan tidak pula di negeri mana pun. Lalu, dari mana dasar pengambilan hukum ini? Atau di bagian mana dari Kitabullah ia menemukannya? Jika ia mengakui hal ini, maka hendaklah ia juga mengakui sumpah bersama saksi. Dan jika hal itu tidak ada dalam Kitabullah ‘Azza wa Jalla, maka cukuplah apa yang telah berlaku dari sunnah. Namun, seseorang kadang ingin mengetahui letak kebenaran dan dasar argumennya. Maka dalam hal ini terdapat penjelasan atas apa yang masih samar, insya Allah Ta‘ala.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِيمَنْ هَلَكَ وَلَهُ دَيْنٌ، وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لَهُ، فِيهِ شَاهِدٌ وَاحِدٌ
قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ فِي ” الرَّجُلِ يَهْلِكُ وَلَهُ دَيْنٌ، عَلَيْهِ شَاهِدٌ وَاحِدٌ، وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لِلنَّاسِ، لَهُمْ فِيهِ شَاهِدٌ وَاحِدٌ. فَيَأْبَى وَرَثَتُهُ أَنْ يَحْلِفُوا عَلَى حُقُوقِهِمْ مَعَ شَاهِدِهِمْ. قَالَ: فَإِنَّ الْغُرَمَاءَ يَحْلِفُونَ وَيَأْخُذُونَ حُقُوقَهُمْ، فَإِنْ فَضَلَ فَضْلٌ لَمْ يَكُنْ لِلْوَرَثَةِ مِنْهُ شَيْءٌ، وَذَلِكَ أَنَّ الْأَيْمَانَ عُرِضَتْ عَلَيْهِمْ قَبْلُ، فَتَرَكُوهَا. إِلَّا أَنْ يَقُولُوا لَمْ نَعْلَمْ لِصَاحِبِنَا فَضْلًا، وَيُعْلَمُ أَنَّهُمْ إِنَّمَا تَرَكُوا الْأَيْمَانَ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ. فَإِنِّي أَرَى أَنْ يَحْلِفُوا وَيَأْخُذُوا مَا بَقِيَ بَعْدَ دَيْنِهِ “

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الدَّعْوَى

Bab Hukum bagi Orang yang Meninggal Dunia dan Memiliki Piutang, serta Memiliki Utang yang Ada Satu Saksi Padanya

Yahya berkata: Malik berkata mengenai “seseorang yang meninggal dunia dan ia memiliki piutang, atasnya ada satu orang saksi, dan ia juga memiliki utang kepada orang lain, yang juga ada satu orang saksi atasnya. Lalu para ahli warisnya enggan bersumpah atas hak mereka bersama saksi mereka.” Malik berkata: “Maka para kreditur (yang berpiutang kepada si mayit) bersumpah dan mengambil hak mereka. Jika masih ada sisa, maka ahli waris tidak berhak atas sisa itu, karena sumpah telah ditawarkan kepada mereka sebelumnya, namun mereka menolaknya. Kecuali jika mereka berkata: ‘Kami tidak mengetahui adanya kelebihan harta bagi kerabat kami,’ dan diketahui bahwa mereka meninggalkan sumpah karena alasan itu. Maka menurutku, mereka boleh bersumpah dan mengambil sisa harta setelah utangnya dibayarkan.”

Bab Hukum dalam Gugatan

8 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ، عَنْ جَمِيلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُؤَذِّنِ، أَنَّهُ كَانَ يَحْضُرُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَهُوَ ” يَقْضِي بَيْنَ النَّاسِ، فَإِذَا جَاءَهُ الرَّجُلُ يَدَّعِي عَلَى الرَّجُلِ حَقًّا: نَظَرَ، فَإِنْ كَانَتْ بَيْنَهُمَا مُخَالَطَةٌ أَوْ مُلَابَسَةٌ أَحْلَفَ الَّذِي ادُّعِيَ عَلَيْهِ. وَإِنْ لَمْ يَكُنْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يُحَلِّفْهُ

8 – Yahya berkata: Malik meriwayatkan dari Jamil bin ‘Abd ar-Rahman al-Mu’adz-dzin, bahwa ia biasa menghadiri Umar bin ‘Abd al-‘Aziz ketika beliau memutuskan perkara di antara manusia. Jika ada seseorang yang mengajukan gugatan hak terhadap orang lain, beliau akan meneliti, jika di antara keduanya terdapat hubungan atau interaksi, maka beliau meminta pihak tergugat untuk bersumpah. Namun jika tidak ada hal semacam itu, beliau tidak memintanya bersumpah.

قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا، أَنَّهُ مَنِ ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ بِدَعْوَى، نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ بَيْنَهُمَا مُخَالَطَةٌ أَوْ مُلَابَسَةٌ أُحْلِفَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ. فَإِنْ حَلَفَ بَطَلَ ذَلِكَ الْحَقُّ عَنْهُ، وَإِنْ أَبَى أَنْ يَحْلِفَ، وَرَدَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعِي، فَحَلَفَ طَالِبُ الْحَقِّ، أَخَذَ حَقَّهُ

Malik berkata: “Demikianlah praktik yang berlaku di kalangan kami, bahwa siapa pun yang mengajukan gugatan terhadap seseorang, maka akan diteliti, jika di antara keduanya terdapat hubungan atau interaksi, maka pihak tergugat diminta bersumpah. Jika ia bersumpah, gugatan itu gugur darinya. Namun jika ia menolak bersumpah, dan sumpah itu dikembalikan kepada penggugat, lalu penggugat bersumpah, maka ia berhak mengambil haknya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي شَهَادَةِ الصِّبْيَانِ

Bab Hukum dalam Persaksian Anak-anak

9 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ يَقْضِي بِشَهَادَةِ الصِّبْيَانِ فِيمَا بَيْنَهُمْ مِنَ الْجِرَاحِ

9 – Yahya berkata: Malik meriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah, bahwa ‘Abdullah bin az-Zubair biasa memutuskan perkara dengan menerima persaksian anak-anak dalam perkara luka-luka yang terjadi di antara mereka.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ شَهَادَةَ الصِّبْيَانِ تَجُوزُ فِيمَا بَيْنَهُمْ مِنَ الْجِرَاحِ، وَلَا تَجُوزُ عَلَى غَيْرِهِمْ، وَإِنَّمَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُمْ فِيمَا بَيْنَهُمْ مِنَ الْجِرَاحِ وَحْدَهَا، لَا تَجُوزُ فِي غَيْرِ ذَلِكَ. إِذَا كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقُوا. أَوْ يُخَبَّبُوا أَوْ يُعَلَّمُوا. فَإِنِ افْتَرَقُوا فَلَا شَهَادَةَ لَهُمْ، إِلَّا أَنْ يَكُونُوا قَدْ أَشْهَدُوا الْعُدُولَ عَلَى شَهَادَتِهِمْ. قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقُوا “

Malik berkata: Ketentuan yang disepakati di kalangan kami adalah bahwa kesaksian anak-anak dibolehkan dalam perkara luka-luka yang terjadi di antara mereka, dan tidak dibolehkan terhadap selain mereka. Kesaksian mereka hanya sah dalam perkara luka-luka yang terjadi di antara mereka saja, tidak sah dalam selain itu. Hal itu berlaku selama mereka belum berpisah, atau belum dicampuri (oleh orang lain) atau diajari. Jika mereka telah berpisah, maka kesaksian mereka tidak diterima, kecuali jika mereka telah menghadirkan orang-orang adil untuk menyaksikan kesaksian mereka sebelum mereka berpisah.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْحِنْثِ عَلَى مِنْبَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bab tentang apa yang datang mengenai sumpah palsu di atas mimbar Nabi ﷺ

10 – قَالَ يَحْيَى، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ هَاشِمِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نِسْطَاسٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ حَلَفَ عَلَى مِنْبَرِي آثِمًا تَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

10 – Yahya berkata, Malik telah menceritakan kepada kami, dari Hasyim bin Hasyim bin ‘Utbah bin Abi Waqqash, dari Abdullah bin Nistas, dari Jabir bin Abdullah al-Anshari bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa bersumpah dusta di atas mimbarku, maka ia telah menempati tempat duduknya di neraka.”

11 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ مَعْبَدِ بْنِ كَعْبٍ السَّلَمِيِّ، عَنْ أَخِيهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ، وَأَوْجَبَ لَهُ النَّارَ، قَالُوا: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: وَإِنْ كَانَ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ، وَإِنْ كَانَ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ، وَإِنْ كَانَ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

11 – Malik juga menceritakan kepadaku, dari al-‘Ala bin Abdurrahman, dari Ma‘bad bin Ka‘b as-Sulami, dari saudaranya Abdullah bin Ka‘b bin Malik al-Anshari, dari Abu Umamah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa mengambil hak seorang Muslim dengan sumpahnya, maka Allah mengharamkan surga baginya dan mewajibkan neraka untuknya.” Mereka bertanya, “Walaupun hanya sesuatu yang sedikit, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Walaupun hanya sebatang kayu dari pohon arak, walaupun hanya sebatang kayu dari pohon arak, walaupun hanya sebatang kayu dari pohon arak.” Beliau mengucapkannya tiga kali.

بَابُ جَامِعِ مَا جَاءَ فِي الْيَمِينِ عَلَى الْمِنْبَرِ

Bab kumpulan hadits tentang sumpah di atas mimbar

12 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا غَطَفَانَ بْنَ طَرِيفٍ الْمُرِّيَّ، يَقُولُ: اخْتَصَمَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيُّ وَابْنُ مُطِيعٍ فِي دَارٍ كَانَتْ بَيْنَهُمَا. إِلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ. وَهُوَ أَمِيرٌ عَلَى الْمَدِينَةِ، فَقَضَى مَرْوَانُ عَلَى زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ بِالْيَمِينِ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ: أَحْلِفُ لَهُ مَكَانِي، قَالَ فَقَالَ: مَرْوَانُ: لَا وَاللَّهِ إِلَّا عِنْدَ مَقَاطِعِ الْحُقُوقِ، قَالَ: فَجَعَلَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ يَحْلِفُ أَنَّ حَقَّهُ لَحَقٌّ، وَيَأْبَى أَنْ يَحْلِفَ عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ: فَجَعَلَ مَرْوَانُ بْنُ الْحَكَمِ يَعْجَبُ مِنْ ذَلِكَ

12 – Yahya berkata: Malik berkata, dari Dawud bin al-Hushain bahwa ia mendengar Abu Ghathafan bin Tharif al-Murri berkata: Zaid bin Tsabit al-Anshari dan Ibnu Muti‘ berselisih mengenai sebuah rumah yang ada di antara mereka berdua, lalu perkara itu dibawa kepada Marwan bin al-Hakam, yang saat itu menjadi amir di Madinah. Maka Marwan memutuskan agar Zaid bin Tsabit bersumpah di atas mimbar. Zaid bin Tsabit berkata, “Aku akan bersumpah untuknya di tempatku ini.” Marwan berkata, “Tidak, demi Allah, kecuali di tempat pemutusan hak.” Maka Zaid bin Tsabit terus bersumpah bahwa haknya memang benar, namun ia enggan bersumpah di atas mimbar. Marwan bin al-Hakam pun merasa heran akan hal itu.

قَالَ مَالِكٌ: لَا أَرَى أَنْ يُحَلَّفَ أَحَدٌ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى أَقَلَّ مِنْ رُبُعِ دِينَارٍ وَذَلِكَ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ

Malik berkata: Aku tidak berpendapat seseorang boleh disuruh bersumpah di atas mimbar untuk perkara yang nilainya kurang dari seperempat dinar, yaitu tiga dirham.

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنْ غَلَقِ الرَّهْنِ

Bab tentang hal-hal yang tidak boleh dari syarat “ghalaq ar-rahn” (penutupan gadai)

13 – قَالَ يَحْيَى، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ

13 – Yahya berkata, Malik telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak boleh menutup gadai (rahn).”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ فِيمَا نُرَى، وَاللَّهُ أَعْلَمُ، أَنْ يَرْهَنَ الرَّجُلُ الرَّهْنَ عِنْدَ الرَّجُلِ بِالشَّيْءِ، وَفِي الرَّهْنِ فَضْلٌ عَمَّا رُهِنَ بِهِ، فَيَقُولُ الرَّاهِنُ لِلْمُرْتَهِنِ: إِنْ جِئْتُكَ بِحَقِّكَ، إِلَى أَجَلٍ يُسَمِّيهِ لَهُ، وَإِلَّا فَالرَّهْنُ لَكَ بِمَا رُهِنَ فِيهِ ” قَالَ: فَهَذَا لَا يَصْلُحُ وَلَا يَحِلُّ، وَهَذَا الَّذِي نُهِيَ عَنْهُ، وَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهُ بِالَّذِي رَهَنَ بِهِ بَعْدَ الْأَجَلِ، فَهُوَ لَهُ، وَأُرَى هَذَا الشَّرْطَ مُنْفَسِخًا

Malik berkata: “Penjelasan tentang hal itu menurut yang kami lihat—dan Allah lebih mengetahui—adalah seseorang menggadaikan barang kepada orang lain dengan sesuatu, dan pada barang gadai itu terdapat kelebihan dari nilai yang digadaikan. Lalu pihak yang menggadaikan berkata kepada penerima gadai: ‘Jika aku datang kepadamu dengan hakmu sampai waktu yang telah ditentukan, maka barang itu kembali kepadaku. Jika tidak, maka barang itu menjadi milikmu dengan nilai yang digadaikan.’” Malik berkata: “Ini tidak sah dan tidak halal, dan inilah yang dilarang. Jika pemilik barang datang dengan nilai yang digadaikan setelah waktu yang ditentukan, maka barang itu tetap miliknya, dan aku memandang syarat tersebut batal.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي رَهْنِ الثَّمَرِ وَالْحَيَوَانِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ، فِيمَنْ رَهَنَ حَائِطًا لَهُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، فَيَكُونُ ثَمَرُ ذَلِكَ الْحَائِطِ قَبْلَ ذَلِكَ الْأَجَلِ: إِنَّ الثَّمَرَ لَيْسَ بِرَهْنٍ مَعَ الْأَصْلِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ اشْتَرَطَ ذَلِكَ، الْمُرْتَهِنُ فِي رَهْنِهِ. وَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ارْتَهَنَ جَارِيَةً وَهِيَ حَامِلٌ، أَوْ حَمَلَتْ بَعْدَ ارْتِهَانِهِ إِيَّاهَا: إِنَّ وَلَدَهَا مَعَهَا

Bab keputusan hukum dalam gadai buah-buahan dan hewan.
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata tentang seseorang yang menggadaikan kebun miliknya sampai waktu tertentu, lalu buah dari kebun itu muncul sebelum waktu tersebut: sesungguhnya buah itu tidak termasuk dalam gadai bersama pokoknya, kecuali jika penerima gadai telah mensyaratkan hal itu dalam akad gadai. Dan jika seseorang menggadaikan budak perempuan yang sedang hamil, atau ia hamil setelah digadaikan, maka anaknya tetap bersama ibunya.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَفُرِقَ بَيْنَ الثَّمَرِ وَبَيْنَ وَلَدِ الْجَارِيَةِ. أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ بَاعَ نَخْلًا قَدْ أُبِّرَتْ فَثَمَرُهَا لِلْبَائِعِ، إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُبْتَاعُ، قَالَ: وَالْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا، أَنَّ مَنْ بَاعَ وَلِيدَةً، أَوْ شَيْئًا مِنَ الْحَيَوَانِ، وَفِي بَطْنِهَا جَنِينٌ، أَنَّ ذَلِكَ الْجَنِينَ لِلْمُشْتَرِي، اشْتَرَطَهُ الْمُشْتَرِي أَوْ لَمْ يَشْتَرِطْهُ، فَلَيْسَتِ النَّخْلُ مِثْلَ الْحَيَوَانِ، وَلَيْسَ الثَّمَرُ مِثْلَ الْجَنِينِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ “

Malik berkata: “Telah dibedakan antara buah (kurma) dan anak dari budak perempuan. Bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barang siapa menjual pohon kurma yang telah dibuahi, maka buahnya milik penjual, kecuali jika pembeli mensyaratkannya.’ Malik berkata: ‘Adapun perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami, yaitu barang siapa menjual budak perempuan atau hewan yang di dalam perutnya ada janin, maka janin itu milik pembeli, baik pembeli mensyaratkannya atau tidak. Maka pohon kurma tidaklah sama dengan hewan, dan buah tidaklah sama dengan janin yang ada di perut induknya.’”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَيْضًا: أَنَّ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ أَنْ يَرْهَنَ الرَّجُلُ ثَمَرَ النَّخْلِ، وَلَا يَرْهَنُ النَّخْلَ، وَلَيْسَ يَرْهَنُ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ جَنِينًا فِي بَطْنِ أُمِّهِ مِنَ الرَّقِيقِ، وَلَا مِنَ الدَّوَابِّ “

Malik berkata: “Hal lain yang juga menjelaskan hal tersebut adalah bahwa di antara kebiasaan manusia, seseorang boleh menggadaikan buah kurma, namun tidak menggadaikan pohon kurmanya. Dan tidak ada seorang pun yang menggadaikan janin yang ada di perut induk budak atau hewan.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الرَّهْنِ مِنَ الْحَيَوَانِ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا فِي الرَّهْنِ، أَنَّ مَا كَانَ مِنْ أَمْرٍ يُعْرَفُ هَلَاكُهُ مِنْ أَرْضٍ، أَوْ دَارٍ أَوْ حَيَوَانٍ، فَهَلَكَ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ، وَعُلِمَ هَلَاكُهُ فَهُوَ مِنَ الرَّاهِنِ، وَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَنْقُصُ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ شَيْئًا، وَمَا كَانَ مِنْ رَهْنٍ يَهْلِكُ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ، فَلَا يُعْلَمُ هَلَاكُهُ إِلَّا بِقَوْلِهِ، فَهُوَ مِنَ الْمُرْتَهِنِ. وَهُوَ لِقِيمَتِهِ ضَامِنٌ. يُقَالُ لَهُ: صِفْهُ. فَإِذَا وَصَفَهُ، أُحْلِفَ عَلَى صِفَتِهِ، وَتَسْمِيَةِ مَالِهِ فِيهِ، ثُمَّ يُقَوِّمُهُ أَهْلُ الْبَصَرِ بِذَلِكَ، فَإِنْ كَانَ فِيهِ فَضْلٌ عَمَّا سَمَّى فِيهِ الْمُرْتَهِنُ، أَخَذَهُ الرَّاهِنُ. وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِمَّا سَمَّى، أُحْلِفَ الرَّاهِنُ عَلَى مَا سَمَّى الْمُرْتَهِنُ، وَبَطَلَ عَنْهُ الْفَضْلُ الَّذِي سَمَّى الْمُرْتَهِنُ، فَوْقَ قِيمَةِ الرَّهْنِ. وَإِنْ أَبَى الرَّاهِنُ أَنْ يَحْلِفَ، أُعْطِيَ الْمُرْتَهِنُ مَا فَضَلَ بَعْدَ قِيمَةِ الرَّهْنِ. فَإِنْ قَالَ الْمُرْتَهِنُ: لَا عِلْمَ لِي بِقِيمَةِ الرَّهْنِ. حُلِّفَ الرَّاهِنُ عَلَى صِفَةِ الرَّهْنِ، وَكَانَ ذَلِكَ لَهُ، إِذَا جَاءَ بِالْأَمْرِ الَّذِي لَا يُسْتَنْكَرُ

Bab Hukum Gadai pada Hewan. Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami dalam masalah gadai adalah, apabila sesuatu yang diketahui kebinasaan atau kerusakannya seperti tanah, rumah, atau hewan, lalu binasa di tangan penerima gadai (murtahin), dan diketahui kebinasaannya, maka itu menjadi tanggungan pemberi gadai (rahin), dan hal itu tidak mengurangi hak penerima gadai sedikit pun. Adapun jika barang gadai itu binasa di tangan penerima gadai, dan tidak diketahui kebinasaannya kecuali dari pengakuannya, maka itu menjadi tanggungan penerima gadai. Ia wajib menanggung nilainya. Ia diminta untuk mendeskripsikan barang tersebut. Jika ia telah mendeskripsikannya, maka ia disumpah atas deskripsi dan nilai harta yang ada padanya, kemudian orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut menaksir nilainya. Jika ternyata nilainya lebih dari yang disebutkan oleh penerima gadai, maka kelebihannya diambil oleh pemberi gadai. Jika nilainya kurang dari yang disebutkan, maka pemberi gadai disumpah atas apa yang disebutkan oleh penerima gadai, dan kelebihan yang disebutkan oleh penerima gadai di atas nilai barang gadai menjadi batal. Jika pemberi gadai enggan bersumpah, maka penerima gadai diberikan kelebihan setelah nilai barang gadai. Jika penerima gadai berkata: ‘Aku tidak tahu nilai barang gadai,’ maka pemberi gadai disumpah atas deskripsi barang gadai, dan itu menjadi haknya, jika ia membawa bukti yang tidak dapat ditolak.”

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ إِذَا قَبَضَ الْمُرْتَهِنُ الرَّهْنَ. وَلَمْ يَضَعْهُ عَلَى يَدَيْ غَيْرِهِ

Malik berkata: “Hal itu berlaku apabila penerima gadai telah menerima barang gadai, dan tidak meletakkannya di tangan orang lain.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الرَّهْنِ يَكُونُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ
قَالَ يَحْيَى، سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَفِي الرَّجُلَيْنِ يَكُونُ لَهُمَا رَهْنٌ بَيْنَهُمَا. فَيَقُومُ أَحَدُهُمَا بِبَيْعِ رَهْنِهِ. وَقَدْ كَانَ الْآخَرُ أَنْظَرَهُ بحَقِّهِ سَنَةً. قَالَ: إِنْ كَانَ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يُقْسَمَ الرَّهْنُ. وَلَا يَنْقُصَ حَقُّ الَّذِي أَنْظَرَهُ بِحَقِّهِ، بِيعَ لَهُ نِصْفُ الرَّهْنِ الَّذِي كَانَ بَيْنَهُمَا. فَأُوفِيَ حَقَّهُ. وَإِنْ خِيفَ أَنْ يَنْقُصَ حَقُّهُ. بِيعَ الرَّهْنُ كُلُّهُ. فَأُعْطِيَ الَّذِي قَامَ بِبَيْعِ رَهْنِهِ، حَقَّهُ مِنْ ذَلِكَ. فَإِنْ طَابَتْ نَفْسُ الَّذِي أَنْظَرَهُ بِحَقِّهِ، أَنْ يَدْفَعَ نِصْفَ الثَّمَنِ إِلَى الرَّاهِنِ. وَإِلَّا حُلِّفَ الْمُرْتَهِنُ، أَنَّهُ مَا أَنْظَرَهُ إِلَّا لِيُوقِفَ لِي رَهْنِي عَلَى هَيْئَتِهِ. ثُمَّ أُعْطِيَ حَقَّهُ عَاجِلًا قَالَ: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ، فِي الْعَبْدِ يَرْهَنُهُ سَيِّدُهُ، وَلِلْعَبْدِ مَالٌ: إِنَّ مَالَ الْعَبْدِ لَيْسَ بِرَهْنٍ. إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُرْتَهِنُ

بَابُ الْقَضَاءِ فِي جَامِعِ الرُّهُونِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ، فِيمَنِ ارْتَهَنَ مَتَاعًا فَهَلَكَ الْمَتَاعُ عِنْدَ الْمُرْتَهِنِ. وَأَقَرَّ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ بِتَسْمِيَةِ الْحَقِّ. وَاجْتَمَعَا عَلَى التَّسْمِيَةِ. وَتَدَاعَيَا فِي الرَّهْنِ. فَقَالَ الرَّاهِنُ: قِيمَتُهُ عِشْرُونَ دِينَارًا. وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: قِيمَتُهُ عَشَرَةُ دَنَانِيرَ، وَالْحَقُّ الَّذِي لِلرَّجُلِ فِيهِ عِشْرُونَ دِينَارًا

Bab Hukum Gadai yang Terjadi antara Dua Orang
Yahya berkata, aku mendengar Malik berkata: “Jika dua orang memiliki barang gadai di antara mereka, lalu salah satu dari keduanya ingin menjual bagian barang gadainya, sementara yang lain telah menangguhkan haknya selama satu tahun, maka jika memungkinkan untuk membagi barang gadai tanpa mengurangi hak orang yang menangguhkan haknya, maka dijual setengah barang gadai yang ada di antara mereka, sehingga haknya dipenuhi. Namun jika dikhawatirkan haknya akan berkurang, maka seluruh barang gadai dijual, lalu orang yang menjual bagian barang gadainya diberikan haknya dari hasil penjualan itu. Jika orang yang menangguhkan haknya rela untuk memberikan setengah harga kepada pemberi gadai, maka itu boleh. Jika tidak, penerima gadai disumpah bahwa ia tidak menangguhkan haknya kecuali agar barang gadainya tetap dalam keadaannya, lalu ia diberikan haknya secara langsung.” Malik juga berkata, “Aku mendengar Malik berkata, tentang seorang budak yang digadaikan oleh tuannya, dan budak itu memiliki harta: sesungguhnya harta budak tidak termasuk dalam barang gadai, kecuali jika penerima gadai mensyaratkannya.”

Bab Hukum dalam Kompilasi Gadai
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata, tentang seseorang yang menggadaikan suatu barang, lalu barang itu rusak di tangan penerima gadai, dan orang yang berutang mengakui jumlah utangnya, dan keduanya sepakat atas jumlah itu, lalu mereka berselisih tentang nilai barang gadai. Pemberi gadai berkata: ‘Nilainya dua puluh dinar.’ Penerima gadai berkata: ‘Nilainya sepuluh dinar, sedangkan utang orang itu dua puluh dinar.’

قَالَ مَالِكٌ: ” يُقَالُ لِلَّذِي بِيَدِهِ الرَّهْنُ: صِفْهُ. فَإِذَا وَصَفَهُ، أُحْلِفَ عَلَيْهِ. ثُمَّ أَقَامَ تِلْكَ الصِّفَةَ أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ بِهَا. فَإِنْ كَانَتِ الْقِيمَةُ أَكْثَرَ مِمَّا رُهِنَ بِهِ. قِيلَ لِلْمُرْتَهِنِ: ارْدُدْ إِلَى الرَّاهِنِ بَقِيَّةَ حَقِّهِ، وَإِنْ كَانَتِ الْقِيمَةُ أَقَلَّ مِمَّا رُهِنَ بِهِ، أَخَذَ الْمُرْتَهِنُ بَقِيَّةَ حَقِّهِ مِنَ الرَّاهِنِ، وَإِنْ كَانَتِ الْقِيمَةُ بِقَدْرِ حَقِّهِ، فَالرَّهْنُ بِمَا فِيهِ ” قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا: يَقُولُ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الرَّجُلَيْنِ يَخْتَلِفَانِ فِي الرَّهْنِ. يَرْهَنُهُ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَيَقُولُ الرَّاهِنُ: أَرْهَنْتُكَهُ بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ، وَيَقُولُ الْمُرْتَهِنُ: ارْتَهَنْتُهُ مِنْكَ بِعِشْرِينَ دِينَارًا. وَالرَّهْنُ ظَاهِرٌ بِيَدِ الْمُرْتَهِنِ. قَالَ: يُحَلَّفُ الْمُرْتَهِنُ حَتَّى يُحِيطَ بِقِيمَةِ الرَّهْنِ. فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ. لَا زِيَادَةَ فِيهِ وَلَا نُقْصَانَ عَمَّا حُلِّفَ أَنَّ لَهُ فِيهِ، أَخَذَهُ الْمُرْتَهِنُ بِحَقِّهِ. وَكَانَ أَوْلَى بِالتَّبْدِئَةِ بِالْيَمِينِ. لِقَبْضِهِ الرَّهْنَ وَحِيَازَتِهِ إِيَّاهُ، إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّ الرَّهْنِ أَنْ يُعْطِيَهُ حَقَّهُ الَّذِي حُلِّفَ عَلَيْهِ. وَيَأْخُذَ رَهْنَهُ ” قَالَ: ” وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ أَقَلَّ مِنَ الْعِشْرِينَ الَّتِي سَمَّى، أُحْلِفَ الْمُرْتَهِنُ عَلَى الْعِشْرِينَ الَّتِي سَمَّى، ثُمَّ يُقَالُ لِلرَّاهِنِ: إِمَّا أَنْ تُعْطِيَهُ الَّذِي حَلَفَ عَلَيْهِ، وَتَأْخُذَ رَهْنَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَحْلِفَ عَلَى الَّذِي قُلْتَ أَنَّكَ رَهَنْتَهُ بِهِ، وَيَبْطُلُ عَنْكَ مَا زَادَ الْمُرْتَهِنُ عَلَى قِيمَةِ الرَّهْنِ، فَإِنْ حَلَفَ الرَّاهِنُ بَطَلَ ذَلِكَ عَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ لَزِمَهُ غُرْمُ مَا حَلَفَ عَلَيْهِ الْمُرْتَهِنُ

Malik berkata: “Kepada orang yang memegang barang gadai dikatakan: ‘Jelaskan sifatnya.’ Jika ia telah menjelaskannya, maka ia disuruh bersumpah atas sifat tersebut. Kemudian sifat itu dikonfirmasi oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Jika nilainya lebih besar dari jumlah yang digadaikan, maka kepada penerima gadai dikatakan: ‘Kembalikan sisa haknya kepada pemberi gadai.’ Dan jika nilainya lebih kecil dari jumlah yang digadaikan, maka penerima gadai mengambil sisa haknya dari pemberi gadai. Jika nilainya sama dengan haknya, maka barang gadai itu menjadi milik penerima gadai sesuai nilainya.” Yahya berkata: “Aku mendengar Malik berkata: ‘Ketentuan di sisi kami dalam kasus dua orang yang berselisih tentang barang gadai, salah satunya menggadaikan kepada temannya, lalu pemberi gadai berkata: Aku menggadaikan kepadamu dengan sepuluh dinar, dan penerima gadai berkata: Aku menerima gadai darimu dengan dua puluh dinar, sementara barang gadai itu nyata berada di tangan penerima gadai. Maka penerima gadai disuruh bersumpah hingga nilainya mencakup nilai barang gadai. Jika demikian, tidak ada tambahan dan tidak ada pengurangan dari apa yang ia sumpahkan sebagai haknya, maka penerima gadai mengambil barang gadai itu sesuai haknya. Ia lebih berhak untuk memulai sumpah, karena ia yang memegang dan menguasai barang gadai, kecuali jika pemilik barang gadai ingin memberikan hak yang telah disumpahkan kepadanya, lalu mengambil kembali barang gadainya.'” Malik berkata: “Jika barang gadai nilainya kurang dari dua puluh dinar yang disebutkan, maka penerima gadai disuruh bersumpah atas dua puluh dinar yang ia sebutkan, kemudian kepada pemberi gadai dikatakan: ‘Silakan kamu memberikan jumlah yang ia sumpahkan, lalu ambil barang gadainya, atau kamu bersumpah atas jumlah yang kamu katakan bahwa kamu menggadaikannya, sehingga gugur dari tanggunganmu kelebihan yang diklaim penerima gadai atas nilai barang gadai.’ Jika pemberi gadai bersumpah, maka gugurlah kelebihan itu darinya. Jika ia tidak bersumpah, maka ia wajib menanggung apa yang telah disumpahkan oleh penerima gadai.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فَإِنْ هَلَكَ الرَّهْنُ، وَتَنَاكَرَا الْحَقَّ، فَقَالَ الَّذِي لَهُ الْحَقُّ: كَانَتْ لِي فِيهِ عِشْرُونَ دِينَارًا. وَقَالَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ: لَمْ يَكُنْ لَكَ فِيهِ إِلَّا عَشَرَةُ دَنَانِيرَ. وَقَالَ الَّذِي لَهُ الْحَقُّ: قِيمَةُ الرَّهْنِ عَشَرَةُ دَنَانِيرَ. وَقَالَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ: قِيمَتُهُ عِشْرُونَ دِينَارًا، قِيلَ لِلَّذِي لَهُ الْحَقُّ: صِفْهُ. فَإِذَا وَصَفَهُ أُحْلِفَ عَلَى صِفَتِهِ، ثُمَّ أَقَامَ تِلْكَ الصِّفَةَ أَهْلُ الْمَعْرِفَةِ بِهَا، فَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ  الرَّهْنِ أَكْثَرَ مِمَّا ادَّعَى فِيهِ الْمُرْتَهِنُ، أُحْلِفَ عَلَى مَا ادَّعَى، ثُمَّ يُعْطَى الرَّاهِنُ مَا فَضَلَ مِنْ قِيمَةِ الرَّهْنِ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَقَلَّ مِمَّا يَدَّعِي فِيهِ الْمُرْتَهِنُ، أُحْلِفَ عَلَى الَّذِي زَعَمَ أَنَّهُ لَهُ فِيهِ، ثُمَّ قَاصَّهُ بِمَا بَلَغَ الرَّهْنُ، ثُمَّ أُحْلِفَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ عَلَى الْفَضْلِ الَّذِي بَقِيَ لِلْمُدَّعَى عَلَيْهِ، بَعْدَ مَبْلَغِ ثَمَنِ الرَّهْنِ، وَذَلِكَ أَنَّ الَّذِي بِيَدِهِ الرَّهْنُ صَارَ مُدَّعِيًا عَلَى الرَّاهِنِ، فَإِنْ حَلَفَ بَطَلَ عَنْهُ بَقِيَّةُ مَا حَلَفَ عَلَيْهِ الْمُرْتَهِنُ مِمَّا ادَّعَى فَوْقَ قِيمَةِ الرَّهْنِ، وَإِنْ نَكَلَ لَزِمَهُ مَا بَقِيَ مِنْ حَقِّ الْمُرْتَهِنِ بَعْدَ قِيمَةِ الرَّهْنِ “

Malik berkata: “Jika barang gadai rusak, lalu kedua belah pihak saling mengingkari hak, misalnya yang berhak berkata: ‘Aku punya hak dua puluh dinar atasnya,’ dan yang berkewajiban berkata: ‘Kamu hanya punya sepuluh dinar atasnya.’ Kemudian yang berhak berkata: ‘Nilai barang gadai sepuluh dinar,’ dan yang berkewajiban berkata: ‘Nilainya dua puluh dinar,’ maka kepada yang berhak dikatakan: ‘Jelaskan sifatnya.’ Jika ia telah menjelaskannya, ia disuruh bersumpah atas sifat tersebut, lalu sifat itu dikonfirmasi oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Jika nilai barang gadai lebih besar dari yang diklaim oleh penerima gadai, maka ia disuruh bersumpah atas klaimnya, lalu pemberi gadai diberikan kelebihan dari nilai barang gadai. Jika nilainya lebih kecil dari yang diklaim oleh penerima gadai, maka ia disuruh bersumpah atas apa yang ia klaim sebagai haknya, lalu dilakukan perhitungan dengan nilai barang gadai, kemudian yang berkewajiban disuruh bersumpah atas sisa kelebihan yang masih menjadi hak penggugat setelah dikurangi nilai barang gadai. Hal ini karena orang yang memegang barang gadai telah menjadi pihak yang menggugat pemberi gadai. Jika ia bersumpah, maka gugurlah sisa klaim penerima gadai atas apa yang ia sumpahkan melebihi nilai barang gadai. Jika ia enggan bersumpah, maka ia wajib membayar sisa hak penerima gadai setelah dikurangi nilai barang gadai.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي كِرَاءِ الدَّابَّةِ وَالتَّعَدِّي بِهَا
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الرَّجُلِ يَسْتَكْرِي الدَّابَّةَ إِلَى الْمَكَانِ الْمُسَمَّى. ثُمَّ يَتَعَدَّى ذَلِكَ الْمَكَانَ وَيَتَقَدَّمُ: إِنَّ رَبَّ الدَّابَّةِ يُخَيَّرُ، فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَأْخُذَ كِرَاءَ دَابَّتِهِ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي تُعُدِّيَ بِهَا إِلَيْهِ، أُعْطِيَ ذَلِكَ. وَيَقْبِضُ دَابَّتَهُ. وَلَهُ الْكِرَاءُ الْأَوَّلُ. وَإِنْ أَحَبَّ رَبُّ الدَّابَّةِ، فَلَهُ قِيمَةُ دَابَّتِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِي تَعَدَّى مِنْهُ الْمُسْتَكْرِي، وَلَهُ الْكِرَاءُ الْأَوَّلُ. إِنْ كَانَ اسْتَكْرَى الدَّابَّةَ الْبَدْأَةَ. فَإِنْ كَانَ اسْتَكْرَاهَا ذَاهِبًا وَرَاجِعًا، ثُمَّ تَعَدَّى حِينَ بَلَغَ الْبَلَدَ الَّذِي اسْتَكْرَى إِلَيْهِ، فَإِنَّمَا لِرَبِّ الدَّابَّةِ نِصْفُ الْكِرَاءِ الْأَوَّلِ، وَذَلِكَ أَنَّ الْكِرَاءَ نِصْفُهُ فِي الْبَدْأَةِ، وَنِصْفُهُ فِي الرَّجْعَةِ. فَتَعَدَّى الْمُتَعَدِّي بِالدَّابَّةِ، وَلَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ إِلَّا نِصْفُ الْكِرَاءِ الْأَوَّلِ. وَلَوْ أَنَّ الدَّابَّةَ هَلَكَتْ حِينَ بَلَغَ بِهَا الْبَلَدَ الَّذِي اسْتَكْرَى إِلَيْهِ. لَمْ يَكُنْ عَلَى الْمُسْتَكْرِي ضَمَانٌ. وَلَمْ يَكُنْ لِلْمُكْرِي، إِلَّا نِصْفُ الْكِرَاءِ “. قَالَ: وَعَلَى ذَلِكَ أَمْرُ أَهْلِ التَّعَدِّي وَالْخِلَافِ، لِمَا أَخَذُوا الدَّابَّةَ عَلَيْهِ قَالَ: ” وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَنْ أَخَذَ مَالًا قِرَاضًا مِنْ صَاحِبِهِ، فَقَالَ لَهُ رَبُّ الْمَالِ: لَا تَشْتَرِ بِهِ حَيَوَانًا وَلَا سِلَعًا كَذَا وَكَذَا لِسِلَعٍ يُسَمِّيهَا، وَيَنْهَاهُ عَنْهَا، وَيَكْرَهُ أَنْ يَضَعَ مَالَهُ فِيهَا، فَيَشْتَرِي الَّذِي أَخَذَ الْمَالَ الَّذِي نُهِيَ عَنْهُ، يُرِيدُ بِذَلِكَ أَنْ يَضْمَنَ الْمَالَ، وَيَذْهَبَ بِرِبْحِ صَاحِبِهِ، فَإِذَا صَنَعَ ذَلِكَ فَرَبُّ الْمَالِ بِالْخِيَارِ، إِنْ أَحَبَّ أَنْ يَدْخُلَ مَعَهُ فِي السِّلْعَةِ عَلَى مَا شَرَطَا بَيْنَهُمَا مِنَ الرِّبْحِ، فَعَلَ. وَإِنْ أَحَبَّ، فَلَهُ رَأْسُ مَالِهِ ضَامِنًا عَلَى الَّذِي أَخَذَ الْمَالَ وَتَعَدَّى ” قَالَ: وَكَذَلِكَ أَيْضًا، الرَّجُلُ يُبْضِعُ مَعَهُ الرَّجُلُ بِضَاعَةً، فَيَأْمُرُهُ صَاحِبُ الْمَالِ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهُ سِلْعَةً بِاسْمِهَا. فَيُخَالِفُ فَيَشْتَرِي بِبِضَاعَتِهِ غَيْرَ مَا أَمَرَهُ بِهِ، وَيَتَعَدَّى ذَلِكَ. فَإِنَّ صَاحِبَ الْبِضَاعَةِ عَلَيْهِ بِالْخِيَارِ. إِنْ أَحَبَّ أَنْ يَأْخُذَ مَا اشْتُرِيَ بِمَالِهِ، أَخَذَهُ. وَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ الْمُبْضِعُ مَعَهُ ضَامِنًا لِرَأْسِ مَالِهِ، فَذَلِكَ لَهُ

Bab Putusan Hukum tentang Sewa Hewan Tunggangan dan Melampaui Batas Penggunaannya

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai seseorang yang menyewa hewan tunggangan untuk menuju tempat yang telah disebutkan, kemudian ia melampaui tempat tersebut dan terus maju, maka pemilik hewan diberi pilihan: jika ia ingin mengambil upah sewa hewannya sampai ke tempat yang telah dilampaui, maka ia berhak mendapatkannya dan mengambil kembali hewannya. Ia juga tetap berhak atas upah sewa yang pertama. Namun jika pemilik hewan menghendaki, maka ia berhak atas nilai hewannya dari tempat di mana penyewa melampaui batas, dan ia juga tetap berhak atas upah sewa yang pertama, jika memang ia menyewa hewan itu hanya untuk perjalanan pergi saja. Jika ia menyewa hewan itu untuk pergi dan pulang, lalu ia melampaui batas ketika sampai di kota tujuan sewa, maka pemilik hewan hanya berhak atas setengah dari upah sewa yang pertama, karena upah sewa itu setengahnya untuk perjalanan pergi dan setengahnya untuk perjalanan pulang. Maka, jika penyewa melampaui batas dengan hewan itu, ia hanya wajib membayar setengah dari upah sewa yang pertama. Jika hewan itu mati ketika sampai di kota tujuan sewa, maka penyewa tidak menanggung ganti rugi, dan pemilik hewan hanya berhak atas setengah dari upah sewa.” Ia berkata: “Demikianlah praktik yang berlaku di kalangan orang-orang yang melampaui batas dan yang berbeda pendapat, sesuai dengan apa yang mereka sepakati saat mengambil hewan tersebut.” Ia berkata: “Demikian pula, seseorang yang menerima harta sebagai qirādh dari pemiliknya, lalu pemilik harta berkata kepadanya: ‘Jangan belikan dengan harta itu hewan atau barang-barang tertentu yang disebutkan namanya, dan ia melarang serta tidak suka hartanya digunakan untuk itu.’ Namun orang yang menerima harta itu justru membeli barang yang dilarang, dengan maksud agar ia menanggung risiko harta itu dan mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri. Jika ia melakukan hal tersebut, maka pemilik harta diberi pilihan: jika ia ingin ikut serta dalam barang tersebut sesuai dengan kesepakatan bagi hasil di antara mereka, maka ia boleh melakukannya. Jika ia ingin, maka ia berhak atas modalnya secara dijamin dari orang yang menerima harta dan melampaui batas.” Ia berkata: “Demikian pula, seseorang menitipkan barang dagangan kepada orang lain, lalu pemilik harta memerintahkannya untuk membeli barang tertentu dengan namanya, namun ia menyelisihi dan membeli barang lain dengan hartanya, serta melampaui batas. Maka, pemilik barang diberi pilihan: jika ia ingin mengambil barang yang dibeli dengan hartanya, ia boleh mengambilnya. Jika ia ingin agar orang yang dititipi itu menjamin modalnya, maka itu menjadi haknya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْمُسْتَكْرَهَةِ مِنَ النِّسَاءِ

Bab Putusan Hukum tentang Wanita yang Dipaksa

14 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ: قَضَى فِي امْرَأَةٍ أُصِيبَتْ مُسْتَكْرَهَةً، بِصَدَاقِهَا عَلَى مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِهَا

  1. Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Abdul Malik bin Marwan memutuskan dalam perkara seorang wanita yang dipaksa (untuk berzina), bahwa ia berhak atas mahar dari orang yang melakukan perbuatan itu kepadanya.

قَالَ يَحْيَى، سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الرَّجُلِ يَغْتَصِبُ الْمَرْأَةَ: بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا، إِنَّهَا إِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَعَلَيْهِ صَدَاقُ مِثْلِهَا، وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَ مِنْ ثَمَنِهَا، وَالْعُقُوبَةُ فِي ذَلِكَ عَلَى الْمُغْتَصِبِ، وَلَا عُقُوبَةَ عَلَى الْمُغْتَصَبَةِ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ، وَإِنْ كَانَ الْمُغْتَصِبُ عَبْدًا، فَذَلِكَ عَلَى سَيِّدِهِ، إِلَّا أَنْ يَشَاءَ أَنْ يُسَلِّمَهُ “

Yahya berkata, aku mendengar Malik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai laki-laki yang memerkosa wanita, baik masih perawan maupun janda, jika ia seorang wanita merdeka maka pelaku wajib membayar mahar sepadan dengannya, dan jika ia seorang budak wanita maka pelaku wajib membayar selisih harga yang berkurang dari nilainya. Hukuman dalam hal ini ditimpakan kepada pelaku pemerkosaan, dan tidak ada hukuman atas wanita yang diperkosa dalam semua hal tersebut. Jika pelaku pemerkosaan adalah seorang budak, maka tanggungannya ada pada tuannya, kecuali jika tuannya memilih untuk menyerahkannya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي اسْتِهْلَاكِ الْحَيَوَانِ وَالطَّعَامِ وَغَيْرِهِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَنِ اسْتَهْلَكَ شَيْئًا مِنَ الْحَيَوَانِ بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِهِ، أَنَّ عَلَيْهِ قِيمَتَهُ يَوْمَ اسْتَهْلَكَهُ، لَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُؤْخَذَ بِمِثْلِهِ مِنَ الْحَيَوَانِ، وَلَا يَكُونُ لَهُ أَنْ يُعْطِيَ صَاحِبَهُ، فِيمَا اسْتَهْلَكَ شَيْئًا مِنَ الْحَيَوَانِ، وَلَكِنْ عَلَيْهِ قِيمَتُهُ يَوْمَ اسْتَهْلَكَهُ، الْقِيمَةُ أَعْدَلُ ذَلِكَ فِيمَا بَيْنَهُمَا فِي الْحَيَوَانِ وَالْعُرُوضِ قَالَ: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: فِيمَنِ اسْتَهْلَكَ شَيْئًا مِنَ الطَّعَامِ بِغَيْرِ إِذْنِ صَاحِبِهِ فَإِنَّمَا يَرُدُّ عَلَى صَاحِبِهِ، مِثْلَ طَعَامِهِ بِمَكِيلَتِهِ مِنْ صِنْفِهِ، وَإِنَّمَا الطَّعَامُ بِمَنْزِلَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، إِنَّمَا يَرُدُّ مِنَ الذَّهَبِ الذَّهَبَ، وَمِنَ الْفِضَّةِ الْفِضَّةَ، وَلَيْسَ الْحَيَوَانُ بِمَنْزِلَةِ الذَّهَبِ فِي ذَلِكَ. فَرَقَ بَيْنَ ذَلِكَ السُّنَّةُ، وَالْعَمَلُ الْمَعْمُولُ بِهِ قَالَ يَحْيَى، وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: إِذَا اسْتُوْدِعَ الرَّجُلُ مَالًا فَابْتَاعَ بِهِ لِنَفْسِهِ وَرَبِحَ فِيهِ. فَإِنَّ ذَلِكَ الرِّبْحَ لَهُ، لِأَنَّهُ ضَامِنٌ لِلْمَالِ. حَتَّى يُؤَدِّيَهُ إِلَى صَاحِبِهِ

Bab Putusan Hukum tentang Menghabiskan (Menggunakan hingga Habis) Hewan, Makanan, dan Lainnya

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami mengenai seseorang yang menghabiskan sesuatu dari hewan tanpa izin pemiliknya, maka ia wajib mengganti dengan nilai hewan itu pada hari ia menghabiskannya. Ia tidak dibebani untuk mengganti dengan hewan sejenis, dan tidak pula boleh ia memberikan kepada pemiliknya, dalam hal menghabiskan sesuatu dari hewan, kecuali ia wajib mengganti dengan nilainya pada hari ia menghabiskannya. Nilai (harga) adalah yang paling adil di antara keduanya dalam perkara hewan dan barang dagangan. Ia berkata: Dan aku mendengar Malik berkata: Mengenai seseorang yang menghabiskan sesuatu dari makanan tanpa izin pemiliknya, maka ia wajib mengembalikan kepada pemiliknya makanan sejenis dengan takarannya dari jenis yang sama. Makanan itu kedudukannya seperti emas dan perak; emas diganti dengan emas, dan perak dengan perak. Adapun hewan tidaklah kedudukannya seperti emas dalam hal ini. Sunnah dan praktik yang berlaku membedakan antara keduanya. Yahya berkata, dan aku mendengar Malik berkata: Jika seseorang dititipi harta lalu ia membelanjakannya untuk dirinya sendiri dan memperoleh keuntungan darinya, maka keuntungan itu menjadi miliknya, karena ia bertanggung jawab atas harta itu hingga ia mengembalikannya kepada pemiliknya.

بَابُ الْقَضَاءِ فِيمَنِ ارْتَدَّ عَنِ الْإِسْلَامِ

Bab Putusan Hukum tentang Orang yang Murtad dari Islam

15 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ غَيَّرَ دِينَهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ وَمَعْنَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا نُرَى – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – مَنْ غَيَّرَ دِينَهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ . أَنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَى غَيْرِهِ، مِثْلُ الزَّنَادِقَةِ وَأَشْبَاهِهِمْ. فَإِنَّ أُولَئِكَ، إِذَا ظُهِرَ عَلَيْهِمْ قُتِلُوا، وَلَمْ يُسْتَتَابُوا، لِأَنَّهُ لَا تُعْرَفُ تَوْبَتُهُمْ، وَأَنَّهُمْ كَانُوا يُسِرُّونَ الْكُفْرَ وَيُعْلِنُونَ الْإِسْلَامَ، فَلَا أَرَى أَنْ يُسْتَتَابَ هَؤُلَاءِ. وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُمْ قَوْلُهُمْ. وَأَمَّا مَنْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَى غَيْرِهِ، وَأَظْهَرَ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يُسْتَتَابُ. فَإِنْ تَابَ. وَإِلَّا قُتِلَ. وَذَلِكَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا كَانُوا عَلَى ذَلِكَ، رَأَيْتُ أَنْ يُدْعَوْا إِلَى الْإِسْلَامِ وَيُسْتَتَابُوا، فَإِنْ تَابُوا قُبِلَ ذَلِكَ مِنْهُمْ، وَإِنْ لَمْ يَتُوبُوا قُتِلُوا، وَلَمْ يَعْنِ بِذَلِكَ، فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ، مَنْ خَرَجَ مِنَ الْيَهُودِيَّةِ إِلَى النَّصْرَانِيَّةِ، وَلَا مِنَ النَّصْرَانِيَّةِ إِلَى الْيَهُودِيَّةِ، وَلَا مَنْ يُغَيِّرُ دِينَهُ مِنْ أَهْلِ الْأَدْيَانِ كُلِّهَا. إِلَّا الْإِسْلَامَ فَمَنْ خَرَجَ مِنَ الْإِسْلَامِ إِلَى غَيْرِهِ، وَأَظْهَرَ ذَلِكَ، فَذَلِكَ الَّذِي عُنِيَ بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

15 – Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” Makna sabda Nabi ﷺ menurut yang kami pahami—dan Allah lebih mengetahui—”Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia” adalah: siapa yang keluar dari Islam menuju agama lain, seperti kaum zindiq dan yang semisal mereka. Maka mereka itu, jika telah terbukti, harus dibunuh dan tidak diminta untuk bertobat, karena tobat mereka tidak dapat diketahui, dan mereka dahulu menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Maka aku tidak berpendapat mereka diminta bertobat, dan tidak diterima ucapan mereka. Adapun siapa yang keluar dari Islam menuju agama lain dan menampakkan hal itu, maka ia diminta bertobat. Jika ia bertobat, diterima; jika tidak, maka dibunuh. Seandainya ada suatu kaum yang demikian, aku berpendapat mereka diajak masuk Islam dan diminta bertobat; jika mereka bertobat, diterima, jika tidak, dibunuh. Dan yang dimaksud dengan sabda itu—menurut yang kami pahami dan Allah lebih mengetahui—bukanlah orang yang keluar dari Yahudi ke Nasrani, atau dari Nasrani ke Yahudi, atau siapa pun yang mengganti agamanya dari kalangan pemeluk agama-agama selain Islam. Hanya Islamlah, siapa yang keluar darinya menuju agama lain dan menampakkan hal itu, maka itulah yang dimaksud—dan Allah lebih mengetahui.

16 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِّيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ: قَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَجُلٌ مِنْ قِبَلِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ. فَسَأَلَهُ عَنِ النَّاسِ، فَأَخْبَرَهُ. ثُمَّ قَالَ لَهُ عُمَرُ: هَلْ كَانَ فِيكُمْ مِنْ مُغَرِّبَةِ خَبَرٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، رَجُلٌ كَفَرَ بَعْدَ إِسْلَامِهِ، قَالَ: فَمَا فَعَلْتُمْ بِهِ؟ قَالَ: قَرَّبْنَاهُ فَضَرَبْنَا عُنُقَهُ، فَقَالَ عُمَرُ: أَفَلَا حَبَسْتُمُوهُ ثَلَاثًا، وَأَطْعَمْتُمُوهُ كُلَّ يَوْمٍ رَغِيفًا، وَاسْتَتَبْتُمُوهُ لَعَلَّهُ يَتُوبُ، وَيُرَاجِعُ أَمْرَ اللَّهِ؟ ثُمَّ قَالَ عُمَرُ: اللَّهُمَّ إِنِّي لَمْ أَحْضُرْ، وَلَمْ آمُرْ، وَلَمْ أَرْضَ إِذْ بَلَغَنِي

16 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Abdurrahman bin Muhammad bin Abdullah bin Abdil Qari, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Datang kepada Umar bin Khattab seorang laki-laki dari pihak Abu Musa al-Asy‘ari. Umar bertanya kepadanya tentang keadaan orang-orang, lalu ia memberitahukannya. Kemudian Umar berkata kepadanya: “Apakah ada peristiwa yang aneh di antara kalian?” Ia menjawab: “Ya, ada seorang laki-laki yang kafir setelah masuk Islam.” Umar bertanya: “Apa yang kalian lakukan terhadapnya?” Ia menjawab: “Kami mendekatkannya lalu memenggal lehernya.” Umar berkata: “Mengapa kalian tidak menahannya selama tiga hari, memberinya sepotong roti setiap hari, dan memintanya bertobat, barangkali ia mau bertobat dan kembali kepada perintah Allah?” Kemudian Umar berkata: “Ya Allah, aku tidak hadir, tidak memerintahkan, dan tidak meridhai ketika hal itu sampai kepadaku.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِيمَنْ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا

Bab Putusan Hukum tentang Seseorang yang Mendapati Lelaki Bersama Istrinya

17 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَأَيْتَ إِنْ وَجَدْتُ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أَأُمْهِلُهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ

17 – Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Suhail bin Abi Shalih as-Samman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Sa‘d bin ‘Ubadah berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Bagaimana menurutmu jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku harus menunggu sampai aku mendatangkan empat orang saksi?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya.”

18 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الشَّامِ يُقَالُ لَهُ: ابْنُ خَيْبَرِيٍّ، وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا فَقَتَلَهُ أَوْ قَتَلَهُمَا مَعًا، فَأَشْكَلَ عَلَى مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ الْقَضَاءُ فِيهِ، فَكَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، يَسْأَلُ لَهُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ عَنْ ذَلِكَ، فَسَأَلَ أَبُو مُوسَى عَنْ ذَلِكَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَ لَهُ: عَلِيٌّ: إِنَّ هَذَا الشَّيْءَ مَا هُوَ بِأَرْضِي، عَزَمْتُ عَلَيْكَ لَتُخْبِرَنِّي. فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى: كَتَبَ إِلَيَّ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ أَنْ أَسْأَلَكَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ عَلِيٌّ: أَنَا أَبُو حَسَنٍ، إِنْ لَمْ يَأْتِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَلْيُعْطَ بِرُمَّتِهِ “

18 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa seorang laki-laki dari penduduk Syam yang dipanggil Ibnu Khaibari, mendapati seorang laki-laki bersama istrinya lalu ia membunuhnya, atau membunuh keduanya sekaligus. Maka perkara itu menjadi sulit bagi Mu‘awiyah bin Abi Sufyan untuk memutuskannya, lalu ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy‘ari, meminta agar ia menanyakan hal itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib. Maka Abu Musa menanyakan hal itu kepada ‘Ali bin Abi Thalib, lalu ‘Ali berkata kepadanya: “Ini bukan perkara di negeriku, aku bersumpah agar engkau benar-benar memberitahuku.” Maka Abu Musa berkata kepadanya: “Mu‘awiyah bin Abi Sufyan menulis surat kepadaku agar aku menanyakan hal itu kepadamu.” Maka ‘Ali berkata: “Aku adalah Abu Hasan, jika ia tidak mendatangkan empat orang saksi, maka hendaklah ia dihukum seluruhnya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْمَنْبُوذِ

Bab Hukum tentang Anak yang Dibuang

19 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سُنَيْنٍ أَبِي جَمِيلَةَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، أَنَّهُ وَجَدَ مَنْبُوذًا فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: فَجِئْتُ بِهِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: مَا حَمَلَكَ عَلَى أَخْذِ هَذِهِ النَّسَمَةِ؟ فَقَالَ: وَجَدْتُهَا ضَائِعَةً فَأَخَذْتُهَا، فَقَالَ لَهُ عَرِيفُهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّهُ رَجُلٌ صَالِحٌ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: أَكَذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: اذْهَبْ فَهُوَ حُرٌّ وَلَكَ، وَلَاؤُهُ وَعَلَيْنَا نَفَقَتُهُ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْمَنْبُوذِ أَنَّهُ حُرٌّ وَأَنَّ وَلَاءَهُ لِلْمُسْلِمِينَ هُمْ يَرِثُونَهُ وَيَعْقِلُونَ عَنْهُ

19 – Yahya berkata: Malik berkata, dari Ibnu Syihab, dari Sunain Abu Jamilah, seorang laki-laki dari Bani Sulaim, bahwa ia menemukan seorang anak yang dibuang pada masa ‘Umar bin al-Khaththab. Ia berkata: “Lalu aku membawanya kepada ‘Umar bin al-Khaththab.” ‘Umar berkata: “Apa yang mendorongmu mengambil anak ini?” Ia menjawab: “Aku menemukannya dalam keadaan terlantar, maka aku mengambilnya.” Lalu kepala sukunya berkata: “Wahai Amirul Mukminin, dia adalah seorang laki-laki yang saleh.” ‘Umar berkata kepadanya: “Benarkah demikian?” Ia menjawab: “Ya.” Maka ‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Pergilah, dia merdeka dan menjadi milikmu, walā’ (hak perwalian) bagimu, dan kami yang menanggung nafkahnya.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Ketentuan di sisi kami mengenai anak yang dibuang adalah ia merdeka dan walā’-nya untuk kaum Muslimin, mereka yang mewarisinya dan menanggung diyatnya.”

بَابُ الْقَضَاءِ بِإِلْحَاقِ الْوَلَدِ بِأَبِيهِ

Bab Hukum Penetapan Nasab Anak kepada Ayahnya

20 – قَالَ يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ عُتْبَةُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَى أَخِيهِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، أَنَّ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ مِنِّي. فَاقْبِضْهُ إِلَيْكَ، قَالَتْ: فَلَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ أَخَذَهُ سَعْدٌ، وَقَالَ: ابْنُ أَخِي قَدْ كَانَ عَهِدَ إِلَيَّ فِيهِ، فَقَامَ إِلَيْهِ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ، فَقَالَ: أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي. وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ، فَتَسَاوَقَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ. ابْنُ أَخِي. قَدْ كَانَ عَهِدَ إِلَيَّ فِيهِ. وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ: أَخِي. وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي. وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ثُمَّ قَالَ لِسَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ: احْتَجِبِي مِنْهُ، لِمَا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ بِعُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَتْ: فَمَا رَآهَا حَتَّى لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

20 – Yahya berkata, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah bin az-Zubair, dari ‘Aisyah istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata: “‘Utbah bin Abi Waqqash pernah berwasiat kepada saudaranya, Sa‘d bin Abi Waqqash, bahwa anak dari budak perempuan Zam‘ah adalah anakku. Maka jagalah dia untukmu.” Ia berkata: “Ketika tahun penaklukan (Makkah), Sa‘d mengambil anak itu dan berkata: ‘Anak saudaraku, ia telah berwasiat kepadaku tentangnya.’ Lalu ‘Abd bin Zam‘ah berdiri dan berkata: ‘Dia saudaraku dan anak budak perempuan ayahku, ia lahir di atas ranjangnya.’ Maka keduanya membawa perkara itu kepada Rasulullah ﷺ. Sa‘d berkata: ‘Wahai Rasulullah, ini anak saudaraku, ia telah berwasiat kepadaku tentangnya.’ ‘Abd bin Zam‘ah berkata: ‘Dia saudaraku dan anak budak perempuan ayahku, ia lahir di atas ranjangnya.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Dia milikmu, wahai ‘Abd bin Zam‘ah.’ Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Anak itu milik (pemilik) ranjang, dan bagi pezina adalah batu (hukuman).’ Lalu beliau berkata kepada Saudah binti Zam‘ah: ‘Berhijablah darinya,’ karena beliau melihat kemiripannya dengan ‘Utbah bin Abi Waqqash. Ia (‘Aisyah) berkata: ‘Maka Saudah tidak pernah melihatnya sampai ia wafat (bertemu Allah Azza wa Jalla).’”

21 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِي، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ أَنَّ امْرَأَةً هَلَكَ عَنْهَا زَوْجُهَا، فَاعْتَدَّتْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، ثُمَّ تَزَوَّجَتْ حِينَ حَلَّتْ، فَمَكَثَتْ عِنْدَ زَوْجِهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَنِصْفَ شَهْرٍ، ثُمَّ وَلَدَتْ وَلَدًا تَامًّا، فَجَاءَ زَوْجُهَا إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَدَعَا عُمَرُ نِسْوَةً مِنْ نِسَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ قُدَمَاءَ، فَسَأَلَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ: أَنَا أُخْبِرُكَ عَنْ هَذِهِ الْمَرْأَةِ هَلَكَ عَنْهَا زَوْجُهَا حِينَ حَمَلَتْ مِنْهُ، فَأُهْرِيقَتْ عَلَيْهِ الدِّمَاءُ، فَحَشَّ وَلَدُهَا فِي بَطْنِهَا، فَلَمَّا أَصَابَهَا زَوْجُهَا الَّذِي نَكَحَهَا، وَأَصَابَ الْوَلَدَ الْمَاءُ تَحَرَّكَ الْوَلَدُ فِي بَطْنِهَا، وَكَبِرَ فَصَدَّقَهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا، وَقَالَ عُمَرُ: أَمَا إِنَّهُ ” لَمْ يَبْلُغْنِي عَنْكُمَا إِلَّا خَيْرٌ وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالْأَوَّلِ

21 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Yazid bin Abdullah bin al-Hadi, dari Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits at-Taimi, dari Sulaiman bin Yasar, dari Abdullah bin Abi Umayyah, bahwa ada seorang wanita yang suaminya meninggal dunia, lalu ia menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari. Setelah masa ‘iddahnya selesai, ia menikah lagi. Ia tinggal bersama suami barunya selama empat bulan setengah bulan, kemudian ia melahirkan seorang anak yang sempurna. Maka suaminya datang kepada Umar bin al-Khattab dan menceritakan hal itu kepadanya. Umar pun memanggil beberapa wanita tua dari masa jahiliah dan menanyakan hal itu kepada mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Aku akan memberitahumu tentang wanita ini. Suaminya meninggal dunia saat ia sedang mengandung darinya, lalu darah keluar darinya, sehingga anaknya terpendam di dalam rahimnya. Ketika ia digauli oleh suami barunya, dan air mani mengenai anak itu, maka anak itu bergerak dalam rahimnya dan tumbuh besar.” Umar bin al-Khattab membenarkan penjelasan wanita itu dan memisahkan keduanya, lalu berkata, “Ketahuilah, aku tidak mengetahui dari kalian berdua kecuali kebaikan.” Dan Umar menisbatkan anak itu kepada suami pertama.

22 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يُلِيطُ أَوْلَادَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الْإِسْلَامِ، فَأَتَى رَجُلَانِ كِلَاهُمَا يَدَّعِي وَلَدَ امْرَأَةٍ، فَدَعَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَائِفًا فَنَظَرَ إِلَيْهِمَا، فَقَالَ الْقَائِفُ: لَقَدِ اشْتَرَكَا فِيهِ فَضَرَبَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِالدِّرَّةِ، ثُمَّ دَعَا الْمَرْأَةَ، فَقَالَ: أَخْبِرِينِي خَبَرَكِ؟ فَقَالَتْ: كَانَ هَذَا لِأَحَدِ الرَّجُلَيْنِ يَأْتِينِي، وَهِيَ فِي إِبِلٍ لِأَهْلِهَا، فَلَا يُفَارِقُهَا حَتَّى يَظُنَّ وَتَظُنَّ أَنَّهُ قَدِ اسْتَمَرَّ بِهَا حَبَلٌ، ثُمَّ انْصَرَفَ عَنْهَا، فَأُهْرِيقَتْ عَلَيْهِ دِمَاءٌ، ثُمَّ خَلَفَ عَلَيْهَا هَذَا – تَعْنِي الْآخَرَ – فَلَا أَدْرِي مِنْ أَيِّهِمَا هُوَ؟ قَالَ فَكَبَّرَ الْقَائِفُ فَقَالَ عُمَرُ لِلْغُلَامِ: وَالِ أَيَّهُمَا شِئْتَ

22 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa Umar bin al-Khattab biasa menisbatkan anak-anak jahiliah kepada siapa pun yang mengakuinya di masa Islam. Lalu datanglah dua orang laki-laki, keduanya mengaku sebagai ayah dari anak seorang wanita. Umar bin al-Khattab memanggil seorang qā’if (ahli ilmu firasat), lalu qā’if itu melihat keduanya dan berkata, “Keduanya sama-sama berperan dalam anak ini.” Maka Umar bin al-Khattab memukulnya dengan cambuk, kemudian memanggil wanita itu dan berkata, “Ceritakanlah kisahmu kepadaku!” Wanita itu berkata, “Anak ini adalah dari salah satu di antara dua laki-laki itu, ia biasa mendatangiku saat aku berada di antara unta-unta milik keluargaku, dan ia tidak meninggalkanku hingga ia dan aku menyangka aku telah hamil. Kemudian ia pergi dariku, lalu darah keluar dariku, kemudian laki-laki yang lain menggantikannya—maksudnya laki-laki yang satunya lagi—maka aku tidak tahu dari siapa anak ini.” Maka qā’if itu bertakbir, lalu Umar berkata kepada anak laki-laki itu, “Pilihlah siapa pun di antara mereka yang kamu kehendaki sebagai ayahmu.”

23 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَوْ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ قَضَى أَحَدُهُمَا فِي امْرَأَةٍ غَرَّتْ رَجُلًا بِنَفْسِهَا، وَذَكَرَتْ أَنَّهَا حُرَّةٌ فَتَزَوَّجَهَا، فَوَلَدَتْ لَهُ أَوْلَادًا، فَقَضَى أَنْ يَفْدِيَ وَلَدَهُ بِمِثْلِهِمْ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَالْقِيمَةُ أَعْدَلُ فِي هَذَا إِنْ شَاءَ اللَّهُ

23 – Malik telah menyampaikan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Umar bin al-Khattab atau Utsman bin ‘Affan pernah memutuskan dalam perkara seorang wanita yang menipu seorang laki-laki dengan dirinya, dan ia mengaku bahwa dirinya adalah wanita merdeka, lalu laki-laki itu menikahinya dan wanita itu melahirkan anak-anak untuknya. Maka diputuskan bahwa laki-laki itu harus menebus anak-anaknya dengan yang semisal mereka. Yahya berkata, “Aku mendengar Malik berkata, ‘Nilai (tebusan) adalah yang lebih adil dalam hal ini, insya Allah.’”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي مِيرَاثِ الْوَلَدِ الْمُسْتَلْحَقِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، فِي الرَّجُلِ يَهْلِكُ وَلَهُ بَنُونَ. فَيَقُولُ أَحَدُهُمْ: قَدْ أَقَرَّ أَبِي أَنَّ فُلَانًا ابْنُهُ: إِنَّ ذَلِكَ النَّسَبَ لَا يَثْبُتُ بِشَهَادَةِ إِنْسَانٍ وَاحِدٍ. وَلَا يَجُوزُ إِقْرَارُ الَّذِي أَقَرَّ إِلَّا عَلَى نَفْسِهِ فِي حِصَّتِهِ مِنْ مَالِ أَبِيهِ. يُعْطَى الَّذِي شَهِدَ لَهُ قَدْرَ مَا يُصِيبُهُ مِنَ الْمَالِ الَّذِي بِيَدِهِ ” قَالَ مَالِكٌ: وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ أَنْ يَهْلِكَ الرَّجُلُ، وَيَتْرُكَ ابْنَيْنِ لَهُ، وَيَتْرُكَ سِتَّمِائَةِ دِينَارٍ، فَيَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَلَاثَمِائَةِ دِينَارٍ، ثُمَّ يَشْهَدُ أَحَدُهُمَا أَنَّ أَبَاهُ الْهَالِكَ أَقَرَّ أَنَّ فُلَانًا ابْنُهُ. فَيَكُونُ عَلَى الَّذِي شَهِدَ لِلَّذِي اسْتُلْحِقَ، مِائَةُ دِينَارٍ. وَذَلِكَ نِصْفُ مِيرَاثِ الْمُسْتَلْحَقِ، لَوْ لَحِقَ. وَلَوْ أَقَرَّ لَهُ الْآخَرُ أَخَذَ الْمِائَةَ الْأُخْرَى. فَاسْتَكْمَلَ حَقَّهُ وَثَبَتَ نَسَبُهُ. وَهُوَ أَيْضًا بِمَنْزِلَةِ الْمَرْأَةِ تُقِرُّ بِالدَّيْنِ عَلَى أَبِيهَا أَوْ عَلَى زَوْجِهَا. وَيُنْكِرُ ذَلِكَ الْوَرَثَةُ، فَعَلَيْهَا أَنْ تَدْفَعَ إِلَى الَّذِي أَقَرَّتْ لَهُ بِالدَّيْنِ قَدْرَ الَّذِي يُصِيبُهَا مِنْ ذَلِكَ الدَّيْنِ. لَوْ ثَبَتَ عَلَى الْوَرَثَةِ كُلِّهِمْ. إِنْ كَانَتِ امْرَأَةً وَرِثَتِ الثُّمُنَ، دَفَعَتْ إِلَى الْغَرِيمِ ثُمُنَ دَيْنِهِ، وَإِنْ كَانَتِ ابْنَةً وَرِثَتِ النِّصْفَ، دَفَعَتْ إِلَى الْغَرِيمِ نِصْفَ دَيْنِهِ. عَلَى حِسَابِ هَذَا يَدْفَعُ إِلَيْهِ مَنْ أَقَرَّ لَهُ مِنَ النِّسَاءِ

Bab Putusan Hukum tentang Warisan Anak yang Diakui (al-mustalḥaq)

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami, mengenai seorang laki-laki yang wafat dan meninggalkan beberapa anak laki-laki, lalu salah satu dari mereka berkata: ‘Ayahku telah mengakui bahwa si Fulan adalah anaknya’, maka nasab tersebut tidak dapat ditetapkan hanya dengan kesaksian satu orang saja. Pengakuan orang yang mengakui itu pun tidak berlaku kecuali atas dirinya sendiri, dalam bagian warisan ayahnya yang menjadi haknya. Maka orang yang diakui itu hanya diberikan bagian dari harta yang ada di tangan orang yang mengakui, sesuai dengan bagian yang menjadi haknya.” Malik berkata: “Penjelasannya adalah, jika seorang laki-laki wafat dan meninggalkan dua orang anak laki-laki serta meninggalkan enam ratus dinar, maka masing-masing dari keduanya mendapat tiga ratus dinar. Kemudian salah satu dari keduanya bersaksi bahwa ayahnya yang telah wafat mengakui bahwa si Fulan adalah anaknya. Maka orang yang bersaksi itu wajib memberikan kepada orang yang diakui seratus dinar, yaitu setengah dari bagian warisan yang seharusnya diterima oleh anak yang diakui, seandainya ia benar-benar diakui sebagai ahli waris. Jika yang satunya lagi juga mengakui, maka ia pun memberikan seratus dinar lainnya, sehingga anak yang diakui itu mendapatkan haknya secara penuh dan nasabnya pun ditetapkan. Hal ini juga serupa dengan seorang perempuan yang mengakui adanya utang atas ayahnya atau suaminya, sementara para ahli waris lainnya mengingkari. Maka perempuan itu wajib membayarkan kepada orang yang diakui sebagai kreditur sebesar bagian utang yang menjadi haknya, seandainya utang itu terbukti atas seluruh ahli waris. Jika perempuan itu adalah istri yang mewarisi seperdelapan, maka ia membayar kepada kreditur seperdelapan dari utangnya; jika ia adalah anak perempuan yang mewarisi setengah, maka ia membayar kepada kreditur setengah dari utangnya. Berdasarkan perhitungan ini, siapa pun dari kalangan perempuan yang mengakui, maka ia membayar kepada orang yang diakui sesuai dengan bagiannya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ شَهِدَ رَجُلٌ عَلَى مِثْلِ مَا شَهِدَتْ بِهِ الْمَرْأَةُ أَنَّ لِفُلَانٍ عَلَى أَبِيهِ دَيْنًا. أُحْلِفَ صَاحِبُ الدَّيْنِ مَعَ شَهَادَةِ شَاهِدِهِ. وَأُعْطِيَ الْغَرِيمُ حَقَّهُ كُلَّهُ. وَلَيْسَ هَذَا بِمَنْزِلَةِ الْمَرْأَةِ. لِأَنَّ الرَّجُلَ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ. وَيَكُونُ عَلَى صَاحِبِ الدَّيْنِ، مَعَ شَهَادَةِ شَاهِدِهِ، أَنْ يَحْلِفَ. وَيَأْخُذَ حَقَّهُ كُلَّهُ. فَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ أَخَذَ مِنْ مِيرَاثِ الَّذِي أَقَرَّ لَهُ، قَدْرَ مَا يُصِيبُهُ مِنْ ذَلِكَ الدَّيْنِ. لِأَنَّهُ أَقَرَّ بِحَقِّهِ. وَأَنْكَرَ الْوَرَثَةُ. وَجَازَ عَلَيْهِ إِقْرَارُهُ

Malik berkata: “Jika seorang laki-laki bersaksi sebagaimana kesaksian perempuan bahwa si Fulan memiliki utang atas ayahnya, maka pemilik utang itu diminta bersumpah bersama dengan kesaksian saksinya, lalu kreditur diberikan seluruh haknya. Hal ini tidak sama dengan kasus perempuan, karena kesaksian laki-laki dapat diterima. Maka atas pemilik utang, bersama dengan kesaksian saksinya, wajib bersumpah dan mengambil seluruh haknya. Jika ia tidak bersumpah, maka ia hanya mengambil dari warisan orang yang mengakui kepadanya, sebesar bagian utang yang menjadi haknya, karena ia telah mengakui haknya, sementara para ahli waris lainnya mengingkari, dan pengakuan itu berlaku atas dirinya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ

Bab Putusan Hukum tentang Ummahāt al-Aulād (Budak Perempuan yang Melahirkan Anak Tuannya)

24 – قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: مَا بَالُ رِجَالٍ يَطَئُونَ وَلَائِدَهُمْ، ثُمَّ يَعْزِلُوهُنَّ. لَا تَأْتِينِي وَلِيدَةٌ يَعْتَرِفُ سَيِّدُهَا أَنْ قَدْ أَلَمَّ بِهَا، إِلَّا أَلْحَقْتُ بِهِ وَلَدَهَا. فَاعْزِلُوا بَعْدُ، أَوِ اتْرُكُوا

  1. Yahya berkata: Malik berkata, dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari ayahnya, bahwa Umar bin al-Khattab berkata: “Mengapa ada laki-laki yang menggauli budak perempuannya, lalu mereka memisahkan diri dari mereka? Jangan sampai ada budak perempuan yang datang kepadaku, sementara tuannya mengakui telah menggaulinya, kecuali aku akan menetapkan anaknya sebagai anak tuannya. Maka silakan kalian menjauhi mereka setelah itu, atau tinggalkan saja.”

25 – ، وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: مَا بَالُ رِجَالٍ يَطَئُونَ وَلَائِدَهُمْ. ثُمَّ يَدَعُوهُنَّ يَخْرُجْنَ لَا تَأْتِينِي وَلِيدَةٌ يَعْتَرِفُ سَيِّدُهَا أَنْ قَدْ أَلَمَّ بِهَا إِلَّا قَدْ أَلْحَقْتُ بِهِ وَلَدَهَا فَأَرْسِلُوهُنَّ بَعْدُ أَوْ أَمْسِكُوهُنَّ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي أُمِّ الْوَلَدِ إِذَا جَنَتْ جِنَايَةً ضَمِنَ سَيِّدُهَا مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ قِيمَتِهَا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُسَلِّمَهَا وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَحْمِلَ مِنْ جِنَايَتِهَا أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهَا

  1. Malik menceritakan kepadaku dari Nafi‘, dari Shafiyyah binti Abi Ubaid, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa Umar bin al-Khattab berkata: “Mengapa ada laki-laki yang menggauli budak perempuan mereka, lalu membiarkan mereka pergi? Jangan sampai ada budak perempuan yang datang kepadaku, sementara tuannya mengakui telah menggaulinya, kecuali aku pasti menetapkan anaknya sebagai anak tuannya. Maka kirimkanlah mereka setelah itu atau tahanlah mereka.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Ketentuan di kalangan kami tentang umm al-walad, jika ia melakukan tindak pidana, maka tuannya menanggung ganti rugi antara kerugian yang ditimbulkan dengan nilai dirinya. Ia tidak boleh menyerahkannya (sebagai tebusan), dan ia tidak wajib menanggung dari tindak pidananya lebih dari nilai dirinya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي عِمَارَةِ الْمَوَاتِ

Bab Putusan Hukum tentang Menghidupkan Tanah Mati

26 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

  1. Yahya menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. Dan tidak ada hak bagi akar yang zalim.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالْعِرْقُ الظَّالِمُ: كُلُّ مَا احْتُفِرَ أَوْ أُخِذَ أَوْ غُرِسَ بِغَيْرِ حَقٍّ “

Malik berkata: “Akar yang zalim adalah segala sesuatu yang digali, diambil, atau ditanami tanpa hak.”

27 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ قَالَ مَالِكٌ: وَعَلَى ذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا

27 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, bahwa Umar bin al-Khattab berkata: “Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” Malik berkata: “Demikianlah ketetapan yang berlaku di tengah-tengah kami.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْمِيَاهِ

Bab: Putusan Hukum tentang Air

28 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي سَيْلِ مَهْزُورٍ وَمُذَيْنِبٍ يُمْسَكُ حَتَّى الْكَعْبَيْنِ، ثُمَّ يُرْسِلُ الْأَعْلَى عَلَى الْأَسْفَلِ

28 – Yahya meriwayatkan kepadaku, dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, bahwa sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang banjir Mahzur dan Mudhainib: “Air itu ditahan hingga setinggi mata kaki, kemudian yang di atas dilepaskan kepada yang di bawah.”

29 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُمْنَعُ فَضْلُ الْمَاءِ لِيُمْنَعَ بِهِ الْكَلَأُ

29 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Abu al-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kelebihan air dicegah sehingga menyebabkan rumput tidak dapat dimanfaatkan.”

30 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أُمِّهِ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يُمْنَعُ نَقْعُ بِئْرٍ

30 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Abu al-Rijal Muhammad bin Abdurrahman, dari ibunya, ‘Amrah binti Abdurrahman, bahwa ia memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah air sumur dicegah (untuk dimanfaatkan).”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْمَرْفِقِ

Bab: Putusan Hukum tentang Sarana (Malfak)

31 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

31 – Yahya meriwayatkan kepadaku, dari Malik, dari Amru bin Yahya al-Mazini, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh membalas bahaya.”

32 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَمْنَعُ أَحَدُكُمْ جَارَهُ خَشَبَةً يَغْرِزُهَا فِي جِدَارِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: مَا لِي أَرَاكُمْ عَنْهَا مُعْرِضِينَ؟ وَاللَّهِ لَأَرْمِيَنَّ بِهَا بَيْنَ أَكْتَافِكُمْ

32 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian melarang tetangganya menancapkan kayu di dindingnya.” Kemudian Abu Hurairah berkata: “Mengapa aku melihat kalian berpaling dari hal ini? Demi Allah, sungguh akan kulemparkan kayu itu di antara pundak kalian.”

33 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّ الضَّحَّاكَ بْنَ خَلِيفَةَ سَاقَ خَلِيجًا لَهُ مِنَ الْعُرَيْضِ، فَأَرَادَ أَنْ يَمُرَّ بِهِ فِي أَرْضِ مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ، فَأَبَى مُحَمَّدٌ، فَقَالَ لَهُ الضَّحَّاكُ: لِمَ تَمْنَعُنِي، وَهُوَ لَكَ مَنْفَعَةٌ تَشْرَبُ بِهِ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَلَا يَضُرُّكَ، فَأَبَى مُحَمَّدٌ، فَكَلَّمَ فِيهِ الضَّحَّاكُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَدَعَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُخَلِّيَ سَبِيلَهُ، فَقَالَ مُحَمَّدٌ: لَا، فَقَالَ عُمَرُ: ” لِمَ تَمْنَعُ أَخَاكَ مَا يَنْفَعُهُ، وَهُوَ لَكَ نَافِعٌ، تَسْقِي بِهِ أَوَّلًا وَآخِرًا، وَهُوَ لَا يَضُرُّكَ، فَقَالَ مُحَمَّدٌ: لَا وَاللَّهِ. فَقَالَ عُمَرُ: وَاللَّهِ لَيَمُرَّنَّ بِهِ، وَلَوْ عَلَى بَطْنِكَ، فَأَمَرَهُ عُمَرُ أَنْ يَمُرَّ بِهِ، فَفَعَلَ الضَّحَّاكُ “

33 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Amru bin Yahya al-Mazini, dari ayahnya, bahwa Dlahhak bin Khalifah mengalirkan saluran air miliknya dari al-‘Uraid, lalu ia ingin melewatkannya di tanah Muhammad bin Maslamah, namun Muhammad menolak. Dlahhak berkata kepadanya: “Mengapa engkau melarangku, padahal itu juga bermanfaat bagimu, engkau dapat meminum airnya pertama dan terakhir, dan itu tidak membahayakanmu.” Namun Muhammad tetap menolak. Maka Dlahhak mengadukan hal itu kepada Umar bin al-Khattab. Umar memanggil Muhammad bin Maslamah dan memerintahkannya untuk membiarkan saluran itu lewat. Muhammad tetap menolak. Umar berkata: “Mengapa engkau melarang saudaramu dari sesuatu yang bermanfaat baginya, padahal itu juga bermanfaat bagimu, engkau dapat meminum airnya pertama dan terakhir, dan itu tidak membahayakanmu.” Muhammad tetap berkata: “Tidak, demi Allah.” Umar berkata: “Demi Allah, sungguh saluran itu akan lewat, meskipun di atas perutmu.” Maka Umar memerintahkannya untuk membiarkan saluran itu lewat, dan Dlahhak pun melakukannya.

34 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ: كَانَ فِي حَائِطِ جَدِّهِ رَبِيعٌ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، فَأَرَادَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنْ يُحَوِّلَهُ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ الْحَائِطِ هِيَ أَقْرَبُ إِلَى أَرْضِهِ، فَمَنَعَهُ صَاحِبُ الْحَائِطِ فَكَلَّمَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فِي ذَلِكَ فَقَضَى لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ بِتَحْوِيلِهِ

34 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Amru bin Yahya al-Mazini, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Di kebun kakeknya terdapat saluran air milik Abdurrahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf ingin memindahkannya ke sisi kebun yang lebih dekat ke tanah miliknya, namun pemilik kebun melarangnya. Maka Abdurrahman bin Auf mengadukan hal itu kepada Umar bin al-Khattab, lalu Umar memutuskan untuk membolehkan Abdurrahman bin Auf memindahkan saluran tersebut.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي قَسْمِ الْأَمْوَالِ

Bab: Putusan Hukum tentang Pembagian Harta

35 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِيِّ، أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا دَارٍ أَوْ أَرْضٍ قُسِمَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَهِيَ عَلَى قَسْمِ الْجَاهِلِيَّةِ، وَأَيُّمَا دَارٍ أَوْ أَرْضٍ أَدْرَكَهَا الْإِسْلَامُ، وَلَمْ تُقْسَمْ فَهِيَ عَلَى قَسْمِ الْإِسْلَامِ

35 – Yahya meriwayatkan kepadaku, dari Malik, dari Tsaura bin Zaid ad-Daili, bahwa ia berkata: “Sampai kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Rumah atau tanah apa pun yang telah dibagi pada masa jahiliah, maka pembagiannya mengikuti pembagian masa jahiliah. Dan rumah atau tanah apa pun yang dijumpai oleh Islam dan belum dibagi, maka pembagiannya mengikuti pembagian Islam.'”

36 – قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” فِيمَنْ هَلَكَ، وَتَرَكَ أَمْوَالًا بِالْعَالِيَةِ، وَالسَّافِلَةِ: إِنَّ الْبَعْلَ لَا يُقْسَمُ مَعَ النَّضْحِ. إِلَّا أَنْ يَرْضَى أَهْلُهُ بِذَلِكَ. وَإِنَّ الْبَعْلَ يُقْسَمُ مَعَ الْعَيْنِ إِذَا كَانَ يُشْبِهُهَا، وَأَنَّ الْأَمْوَالَ إِذَا كَانَتْ بِأَرْضٍ وَاحِدَةٍ، الَّذِي بَيْنَهُمَا مُتَقَارِبٌ، أَنَّهُ يُقَامُ كُلُّ مَالٍ مِنْهَا ثُمَّ يُقْسَمُ بَيْنَهُمْ. وَالْمَسَاكِنُ وَالدُّورُ بِهَذِهِ الْمَنْزِلَةِ “

36 – Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Tentang seseorang yang wafat dan meninggalkan harta di daerah atas dan bawah: sesungguhnya tanah tadah hujan (al-ba‘l) tidak dibagi bersama tanah irigasi (an-naḍḥ), kecuali jika ahli warisnya rela dengan hal itu. Dan sesungguhnya tanah tadah hujan boleh dibagi bersama tanah mata air (al-‘ayn) jika keduanya serupa. Dan jika harta-harta itu berada di satu wilayah, yang jaraknya berdekatan, maka setiap harta dinilai kemudian dibagi di antara mereka. Adapun rumah-rumah dan tempat tinggal juga diperlakukan seperti ini.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الضَّوَارِي وَالْحَرِيسَةِ

Bab: Putusan Hukum tentang Binatang Buas dan Hewan Penjaga

37 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَرَامِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مُحَيِّصَةَ، أَنَّ نَاقَةً لِلْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ دَخَلَتْ حَائِطَ رَجُلٍ فَأَفْسَدَتْ فِيهِ. فَقَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ عَلَى أَهْلِ الْحَوَائِطِ حِفْظَهَا بِالنَّهَارِ، وَأَنَّ مَا أَفْسَدَتِ الْمَوَاشِي بِاللَّيْلِ ضَامِنٌ عَلَى أَهْلِهَا

37 – Diriwayatkan kepadaku oleh Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Haram bin Sa‘d bin Muḥaiṣah, bahwa unta milik al-Barā’ bin ‘Āzib masuk ke kebun seorang laki-laki lalu merusaknya. Maka Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa para pemilik kebun wajib menjaga kebunnya di siang hari, dan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan ternak di malam hari menjadi tanggungan pemiliknya.

38 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَاطِبٍ، أَنَّ رَقِيقًا لِحَاطِبٍ سَرَقُوا نَاقَةً لِرَجُلٍ مِنْ مُزَيْنَةَ فَانْتَحَرُوهَا، فَرُفِعَ ذَلِكَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَأَمَرَ عُمَرُ كَثِيرَ بْنَ الصَّلْتِ أَنْ يَقْطَعَ أَيْدِيَهُمْ، ثُمَّ قَالَ عُمَرُ: أَرَاكَ تُجِيعُهُمْ، ثُمَّ قَالَ عُمَرُ “: وَاللَّهِ لَأُغَرِّمَنَّكَ غُرْمًا يَشُقُّ عَلَيْكَ “، ثُمَّ قَالَ لِلْمُزَنِيِّ: كَمْ ثَمَنُ نَاقَتِكَ؟ فَقَالَ الْمُزَنِيُّ: قَدْ كُنْتُ وَاللَّهِ أَمْنَعُهَا مِنْ أَرْبَعِمِائَةِ دِرْهَمٍ، فَقَالَ عُمَرُ: أَعْطِهِ ثَمَانَمِائَةِ دِرْهَمٍ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَلَيْسَ عَلَى هَذَا الْعَمَلُ عِنْدَنَا، فِي تَضْعِيفِ الْقِيمَةِ، وَلَكِنْ مَضَى أَمْرُ النَّاسِ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّهُ، إِنَّمَا يَغْرَمُ الرَّجُلُ قِيمَةَ الْبَعِيرِ أَوِ الدَّابَّةِ يَوْمَ يَأْخُذُهَا

38 – Diriwayatkan kepadaku oleh Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Yahya bin ‘Abdurraḥmān bin Ḥāṭib, bahwa budak-budak milik Ḥāṭib mencuri seekor unta milik seorang laki-laki dari Muzainah lalu mereka menyembelihnya. Perkara itu dibawa kepada ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, lalu ‘Umar memerintahkan Katsīr bin aṣ-Ṣalt untuk memotong tangan mereka. Kemudian ‘Umar berkata: “Aku lihat engkau membuat mereka kelaparan.” Lalu ‘Umar berkata: “Demi Allah, sungguh aku akan membebankan ganti rugi yang memberatkanmu.” Kemudian ia berkata kepada orang Muzainah itu: “Berapa harga untamu?” Ia menjawab: “Demi Allah, aku biasa menolak menjualnya dengan harga empat ratus dirham.” Maka ‘Umar berkata: “Berikan kepadanya delapan ratus dirham.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Tidak ada amalan di sisi kami dalam hal melipatgandakan nilai (ganti rugi), tetapi yang berlaku di tengah masyarakat kami adalah bahwa seseorang hanya menanggung harga unta atau hewan pada hari ia mengambilnya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِيمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنَ الْبَهَائِمِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنَ الْبَهَائِمِ، إِنَّ عَلَى الَّذِي أَصَابَهَا قَدْرَ مَا نَقَصَ مِنْ ثَمَنِهَا

Bab: Putusan Hukum tentang Seseorang yang Mengenai (Merusak) Hewan Ternak
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Yang berlaku di sisi kami, jika seseorang mengenai (merusak) sesuatu dari hewan ternak, maka ia wajib menanggung sebesar nilai yang berkurang dari harganya.”

قَالَ يَحْيَى: وسَمِعْتُ مَالِكًا: يَقُولُ فِي الْجَمَلِ يَصُولُ عَلَى الرَّجُلِ، فَيَخَافُهُ عَلَى نَفْسِهِ، فَيَقْتُلُهُ أَوْ يَعْقِرُهُ، فَإِنَّهُ: إِنْ كَانَتْ لَهُ بَيِّنَةٌ عَلَى أَنَّهُ أَرَادَهُ، وَصَالَ عَلَيْهِ، فَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ تَقُمْ لَهُ بَيِّنَةٌ إِلَّا مَقَالَتُهُ. فَهُوَ ضَامِنٌ لِلْجَمَلِ

Yahya berkata: Aku juga mendengar Malik berkata tentang unta yang menyerang seseorang sehingga ia khawatir akan keselamatannya, lalu ia membunuh atau melukainya: Jika ia memiliki bukti bahwa unta itu memang mengincarnya dan menyerangnya, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Namun jika ia tidak memiliki bukti selain pengakuannya sendiri, maka ia wajib menanggung ganti rugi atas unta tersebut.

بَابُ الْقَضَاءِ فِيمَا يُعْطَى الْعُمَّالُ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” فِيمَنْ دَفَعَ إِلَى الْغَسَّالِ ثَوْبًا يَصْبُغُهُ، فَصَبَغَهُ، فَقَالَ صَاحِبُ الثَّوْبِ: لَمْ آمُرْكَ بِهَذَا الصِّبْغِ؟ وَقَالَ الْغَسَّالُ: بَلْ أَنْتَ أَمَرْتَنِي بِذَلِكَ، فَإِنَّ الْغَسَّالَ مُصَدَّقٌ فِي ذَلِكَ، وَالْخَيَّاطُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَالصَّائِغُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَيَحْلِفُونَ عَلَى ذَلِكَ، إِلَّا أَنْ يَأْتُوا بِأَمْرٍ لَا يُسْتَعْمَلُونَ فِي مِثْلِهِ، فَلَا يَجُوزُ قَوْلُهُمْ فِي ذَلِكَ، وَلْيَحْلِفْ صَاحِبُ الثَّوْبِ، فَإِنْ رَدَّهَا، وَأَبَى أَنْ يَحْلِفَ. حُلِّفَ الصَّبَّاغُ ” قَالَ وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: فِي الصَّبَّاغِ يُدْفَعُ إِلَيْهِ الثَّوْبُ فَيُخْطِئُ بِهِ، فَيَدْفَعُهُ إِلَى رَجُلٍ آخَرَ حَتَّى يَلْبَسَهُ الَّذِي أَعْطَاهُ إِيَّاهُ: إِنَّهُ لَا غُرْمَ عَلَى الَّذِي لَبِسَهُ، وَيَغْرَمُ الْغَسَّالُ لِصَاحِبِ الثَّوْبِ، وَذَلِكَ إِذَا لَبِسَ الثَّوْبَ الَّذِي دُفِعَ إِلَيْهِ عَلَى غَيْرِ مَعْرِفَةٍ، بِأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ، فَإِنْ لَبِسَهُ وَهُوَ يَعْرِفُ أَنَّهُ لَيْسَ ثَوْبَهُ فَهُوَ ضَامِنٌ لَهُ

Bab: Putusan Hukum tentang Apa yang Diberikan kepada Para Pekerja
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Tentang seseorang yang menyerahkan pakaian kepada tukang cuci untuk diwarnai, lalu tukang cuci itu mewarnainya, kemudian pemilik pakaian berkata: ‘Aku tidak memerintahkanmu dengan warna ini!’ dan tukang cuci berkata: ‘Justru engkau memerintahkanku demikian!’ Maka tukang cuci itu dipercaya dalam hal ini, demikian pula penjahit dan tukang emas, dan mereka harus bersumpah atas hal itu, kecuali jika mereka melakukan sesuatu yang tidak biasa dilakukan dalam pekerjaan tersebut, maka perkataan mereka tidak diterima, dan pemilik pakaianlah yang bersumpah. Jika ia menolak dan enggan bersumpah, maka tukang catlah yang disuruh bersumpah.” Yahya berkata: Aku juga mendengar Malik berkata: “Tentang tukang cat yang menerima pakaian lalu melakukan kesalahan, kemudian ia menyerahkannya kepada orang lain hingga orang yang menerima itu memakainya: maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas orang yang memakainya, dan tukang cuci wajib mengganti kepada pemilik pakaian, jika pakaian itu dipakai oleh orang yang menerimanya tanpa mengetahui bahwa itu bukan miliknya. Namun jika ia memakainya dengan mengetahui bahwa itu bukan pakaiannya, maka ia wajib menanggung ganti rugi.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْحَمَالَةِ وَالْحِوَلِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الرَّجُلِ يُحِيلُ الرَّجُلَ عَلَى الرَّجُلِ بِدَيْنٍ لَهُ عَلَيْهِ، أَنَّهُ إِنْ أَفْلَسَ الَّذِي أُحِيلَ عَلَيْهِ، أَوْ مَاتَ فَلَمْ يَدَعْ وَفَاءً، فَلَيْسَ لِلْمُحْتَالِ عَلَى الَّذِي أَحَالَهُ شَيْءٌ، وَأَنَّهُ لَا يَرْجِعُ عَلَى صَاحِبِهِ الْأَوَّلِ قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا قَالَ مَالِكٌ: فَأَمَّا الرَّجُلُ يَتَحَمَّلُ لَهُ الرَّجُلُ بِدَيْنٍ لَهُ عَلَى رَجُلٍ آخَرَ. ثُمَّ يَهْلِكُ الْمُتَحَمِّلُ. أَوْ يُفْلِسُ. فَإِنَّ الَّذِي تُحُمِّلَ لَهُ، يَرْجِعُ عَلَى غَرِيمِهِ الْأَوَّلِ

بَابُ الْقَضَاءِ فِيمَنِ ابْتَاعَ ثَوْبًا
وَبِهِ عَيْبٌ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: إِذَا ابْتَاعَ الرَّجُلُ ثَوْبًا وَبِهِ عَيْبٌ مِنْ حَرْقٍ أَوْ غَيْرِهِ قَدْ عَلِمَهُ الْبَائِعُ. فَشُهِدَ عَلَيْهِ بِذَلِكَ. أَوْ أَقَرَّ بِهِ. فَأَحْدَثَ فِيهِ الَّذِي ابْتَاعَهُ حَدَثًا مِنْ تَقْطِيعٍ يُنَقِّصُ ثَمَنَ الثَّوْبِ. ثُمَّ عَلِمَ الْمُبْتَاعُ بِالْعَيْبِ. فَهُوَ رَدٌّ عَلَى الْبَائِعِ. وَلَيْسَ عَلَى الَّذِي ابْتَاعَهُ غُرْمٌ فِي تَقْطِيعِهِ إِيَّاهُ قَالَ: وَإِنِ ابْتَاعَ رَجُلٌ ثَوْبًا وَبِهِ عَيْبٌ مِنْ حَرْقٍ أَوْ عَوَارٍ، فَزَعَمَ الَّذِي بَاعَهُ أَنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ بِذَلِكَ. وَقَدْ قَطَعَ الثَّوْبَ الَّذِي ابْتَاعَهُ. أَوْ صَبَغَهُ. فَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ، إِنْ شَاءَ أَنْ يُوضَعَ عَنْهُ قَدْرُ مَا نَقَصَ الْحَرْقُ أَوِ الْعَوَارُ مِنْ ثَمَنِ الثَّوْبِ، وَيُمْسِكُ الثَّوْبَ، فَعَلَ. وَإِنْ شَاءَ أَنْ يَغْرَمَ مَا نَقَصَ التَّقْطِيعُ أَوِ الصِّبْغُ مِنْ ثَمَنِ الثَّوْبِ، وَيَرُدُّهُ، فَعَلَ. وَهُوَ فِي ذَلِكَ بِالْخِيَارِ. فَإِنْ كَانَ الْمُبْتَاعُ قَدْ صَبَغَ الثَّوْبَ صِبْغًا يَزِيدُ فِي ثَمَنِهِ، فَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ. إِنْ شَاءَ أَنْ يُوضَعَ عَنْهُ قَدْرُ مَا نَقَصَ الْعَيْبُ مِنْ ثَمَنِ الثَّوْبِ. وَإِنْ شَاءَ أَنْ يَكُونَ شَرِيكًا لِلَّذِي بَاعَهُ الثَّوْبَ، فَعَلَ. وَيُنْظَرُ كَمْ ثَمَنُ الثَّوْبِ وَفِيهِ الْحَرْقُ أَوِ الْعَوَارُ. فَإِنْ كَانَ ثَمَنُهُ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ، وَثَمَنُ مَا زَادَ فِيهِ الصِّبْغُ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ، كَانَا شَرِيكَيْنِ فِي الثَّوْبِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِقَدْرِ حِصَّتِهِ. فَعَلَى حِسَابِ هَذَا يَكُونُ مَا زَادَ الصِّبْغُ فِي ثَمَنِ الثَّوْبِ

BAB PUTUSAN HUKUM TENTANG HAMĀLAH DAN HAWĀLAH

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami mengenai seseorang yang mengalihkan (meng-hawalah-kan) piutangnya kepada orang lain, adalah jika orang yang dialihkan kepadanya itu bangkrut atau meninggal dunia dan tidak meninggalkan harta untuk membayar, maka orang yang menerima hawalah tidak memiliki hak apa pun atas orang yang mengalihkan kepadanya, dan ia tidak dapat kembali menuntut kepada pihak pertamanya. Malik berkata: Inilah ketentuan yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami. Malik berkata: Adapun jika seseorang menanggung (menjamin/hamālah) utang seseorang kepada orang lain, lalu penanggung itu binasa atau bangkrut, maka orang yang ditanggungkan (yang berpiutang) boleh kembali menuntut kepada debitur pertamanya.

BAB PUTUSAN HUKUM TENTANG ORANG YANG MEMBELI KAIN DAN TERDAPAT CACAT PADANYA

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Jika seseorang membeli kain dan terdapat cacat padanya, seperti terbakar atau selainnya, yang diketahui oleh penjual, lalu ada saksi atas hal itu atau penjual mengakuinya, kemudian pembeli melakukan sesuatu pada kain itu seperti memotong yang mengurangi nilai kain, lalu setelah itu pembeli mengetahui cacatnya, maka kain itu boleh dikembalikan kepada penjual, dan pembeli tidak menanggung kerugian atas pemotongan yang telah ia lakukan. Malik berkata: Jika seseorang membeli kain yang terdapat cacat seperti terbakar atau berlubang, lalu penjual mengaku tidak mengetahui cacat itu, dan pembeli telah memotong atau mewarnai kain tersebut, maka pembeli diberi pilihan: jika ia mau, ia dapat meminta pengurangan harga sebesar nilai kekurangan akibat terbakar atau berlubang dan tetap memegang kain itu; jika ia mau, ia dapat menanggung kekurangan harga akibat pemotongan atau pewarnaan lalu mengembalikan kain itu, dan ia tetap diberi pilihan dalam hal ini. Jika pembeli telah mewarnai kain dengan pewarnaan yang menambah nilai kain, maka pembeli tetap diberi pilihan: jika ia mau, ia dapat meminta pengurangan harga sebesar nilai kekurangan akibat cacat; jika ia mau, ia dapat menjadi mitra penjual dalam kain itu. Lalu dilihat berapa harga kain dalam keadaan cacat (terbakar atau berlubang). Jika harga kainnya sepuluh dirham, dan harga tambahan akibat pewarnaan lima dirham, maka keduanya menjadi mitra dalam kain itu, masing-masing sesuai bagiannya. Maka perhitungan tambahan harga akibat pewarnaan pada kain berlaku seperti ini.

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ النُّحْلِ

BAB TENTANG PEMBERIAN (HIBAH) YANG TIDAK DIBENARKAN

39 – حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، أَنَّهُمَا حَدَّثَاهُ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، أَنَّهُ قَالَ: إِنَّ أَبَاهُ بَشِيرًا أَتَى بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا؟ فَقَالَ: لَا، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَارْتَجِعْهُ

  1. Telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Humaid bin Abdurrahman bin ‘Auf, dan dari Muhammad bin Nu‘man bin Basyir, bahwa keduanya menceritakan kepadanya dari Nu‘man bin Basyir, ia berkata: Ayahku, Basyir, membawaku kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Aku telah memberikan anakku ini seorang budak laki-laki yang aku miliki.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah semua anakmu engkau beri seperti ini?” Ia menjawab: “Tidak.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalau begitu, tariklah kembali pemberian itu.”

40 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا قَالَتْ: إِنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ كَانَ نَحَلَهَا جَادَّ عِشْرِينَ وَسْقًا مِنْ مَالِهِ بِالْغَابَةِ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ قَالَ: ” وَاللَّهِ يَا بُنَيَّةُ مَا مِنَ النَّاسِ أَحَدٌ أَحَبُّ إِلَيَّ غِنًى بَعْدِي مِنْكِ، وَلَا أَعَزُّ عَلَيَّ فَقْرًا بَعْدِي مِنْكِ، وَإِنِّي كُنْتُ نَحَلْتُكِ جَادَّ عِشْرِينَ وَسْقًا، فَلَوْ كُنْتِ جَدَدْتِيهِ وَاحْتَزْتِيهِ كَانَ لَكِ. وَإِنَّمَا هُوَ الْيَوْمَ مَالُ وَارِثٍ، وَإِنَّمَا هُمَا أَخَوَاكِ، وَأُخْتَاكِ، فَاقْتَسِمُوهُ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ، قَالَتْ عَائِشَةُ، فَقُلْتُ: يَا أَبَتِ، وَاللَّهِ لَوْ كَانَ كَذَا وَكَذَا لَتَرَكْتُهُ، إِنَّمَا هِيَ أَسْمَاءُ، فَمَنِ الْأُخْرَى؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: ذُو بَطْنِ بِنْتِ خَارِجَةَ، أُرَاهَا جَارِيَةً “

40 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah bin Zubair, dari ‘Aisyah istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata: Sesungguhnya Abu Bakar ash-Shiddiq telah memberikannya dua puluh wasq hasil panen dari hartanya di al-Ghabah sebagai hibah. Ketika ajal menjemputnya, ia berkata: “Demi Allah, wahai putriku, tidak ada seorang pun di antara manusia yang lebih aku sukai menjadi kaya setelahku selain engkau, dan tidak ada yang lebih berat bagiku jika menjadi miskin setelahku selain engkau. Sungguh aku telah memberimu dua puluh wasq itu. Seandainya engkau telah mengambil dan memilikinya, maka itu menjadi milikmu. Namun sekarang, itu adalah harta warisan, dan yang berhak hanyalah kedua saudaramu laki-laki dan saudaramu perempuan. Maka bagilah sesuai Kitab Allah.” ‘Aisyah berkata: Aku bertanya, “Wahai Ayah, demi Allah, seandainya itu lebih banyak pun pasti akan kutinggalkan. Hanya saja itu adalah Asma’, lalu siapa yang satu lagi?” Abu Bakar menjawab, “Yang di dalam kandungan putri Kharijah, aku kira ia akan lahir perempuan.”

41 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: مَا بَالُ رِجَالٍ يَنْحَلُونَ أَبْنَاءَهُمْ نُحْلًا، ثُمَّ يُمْسِكُونَهَا فَإِنْ مَاتَ ابْنُ أَحَدِهِمْ، قَالَ: مَا لِي بِيَدِي لَمْ أُعْطِهِ أَحَدًا، وَإِنْ مَاتَ هُوَ، قَالَ: هُوَ لِابْنِي قَدْ كُنْتُ أَعْطَيْتُهُ إِيَّاهُ. مَنْ نَحَلَ نِحْلَةً، فَلَمْ يَحُزْهَا الَّذِي نُحِلَهَا، حَتَّى يَكُونَ إِنْ مَاتَ لِوَرَثَتِهِ، فَهِيَ بَاطِلٌ

41 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari ‘Urwah bin Zubair, dari ‘Abdurrahman bin ‘Abd al-Qari, bahwa ‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Mengapa ada orang-orang yang memberikan hibah kepada anak-anak mereka, lalu tetap menahannya? Jika anaknya meninggal, ia berkata: ‘Itu masih milikku, aku belum memberikannya kepada siapa pun.’ Namun jika ia sendiri yang meninggal, ia berkata: ‘Itu milik anakku, aku sudah memberikannya kepadanya.’ Barang siapa memberikan suatu hibah, namun yang diberi belum mengambilnya hingga jika ia meninggal hibah itu menjadi milik ahli warisnya, maka hibah itu batal.”

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ الْعَطِيَّةِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَنْ أَعْطَى أَحَدًا عَطِيَّةً لَا يُرِيدُ ثَوَابَهَا، فَأَشْهَدَ عَلَيْهَا. فَإِنَّهَا ثَابِتَةٌ لِلَّذِي أُعْطِيَهَا. إِلَّا أَنْ يَمُوتَ الْمُعْطِي قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهَا الَّذِي أُعْطِيَهَا قَالَ: وَإِنْ أَرَادَ الْمُعْطِي إِمْسَاكَهَا بَعْدَ أَنْ أَشْهَدَ عَلَيْهَا. فَلَيْسَ ذَلِكَ لَهُ. إِذَا قَامَ عَلَيْهِ بِهَا صَاحِبُهَا، أَخَذَهَا

Bab: Pemberian yang Tidak Diperbolehkan
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami, apabila seseorang memberikan suatu pemberian kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, lalu ia menghadirkan saksi atas pemberian itu, maka pemberian itu tetap menjadi hak orang yang diberi. Kecuali jika pemberi meninggal sebelum yang diberi menerima pemberian tersebut. Ia berkata: Jika pemberi ingin menarik kembali pemberiannya setelah menghadirkan saksi atasnya, maka itu tidak boleh baginya. Jika penerima menuntut haknya, maka ia berhak mengambilnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ أَعْطَى عَطِيَّةً. ثُمَّ نَكَلَ الَّذِي أَعْطَاهَا. فَجَاءَ الَّذِي أُعْطِيَهَا بِشَاهِدٍ يَشْهَدُ لَهُ أَنَّهُ أَعْطَاهُ ذَلِكَ. عَرْضًا كَانَ أَوْ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا أَوْ حَيَوَانًا. أُحْلِفَ الَّذِي أُعْطِيَ مَعَ شَهَادَةِ شَاهِدِهِ. فَإِنْ أَبَى الَّذِي أُعْطِيَ أَنْ يَحْلِفَ، حُلِّفَ الْمُعْطِي. وَإِنْ أَبَى أَنْ يَحْلِفَ أَيْضًا، أَدَّى إِلَى الْمُعْطَى مَا ادَّعَى عَلَيْهِ. إِذَا كَانَ لَهُ شَاهِدٌ وَاحِدٌ. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ شَاهِدٌ، فَلَا شَيْءَ لَهُ

Malik berkata: Barang siapa memberikan suatu pemberian, lalu orang yang diberi mengingkarinya, kemudian orang yang diberi mendatangkan seorang saksi yang bersaksi bahwa ia telah menerima pemberian itu, baik berupa barang, emas, perak, atau hewan, maka yang diberi harus bersumpah bersama dengan saksi tersebut. Jika yang diberi enggan bersumpah, maka pemberi yang disuruh bersumpah. Jika pemberi juga enggan bersumpah, maka diberikan kepada penerima apa yang ia klaim, jika ia memiliki satu orang saksi. Namun jika ia tidak memiliki saksi, maka ia tidak mendapatkan apa-apa.

قَالَ مَالِكٌ: مَنْ أَعْطَى عَطِيَّةً لَا يُرِيدُ ثَوَابَهَا ثُمَّ مَاتَ الْمُعْطَى، فَوَرَثَتُهُ بِمَنْزِلَتِهِ، وَإِنْ مَاتَ الْمُعْطِي، قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَ الْمُعْطَى عَطِيَّتَهُ، فَلَا شَيْءَ لَهُ. وَذَلِكَ أَنَّهُ أُعْطِيَ عَطَاءً لَمْ يَقْبِضْهُ. فَإِنْ أَرَادَ الْمُعْطِي أَنْ يُمْسِكَهَا، وَقَدْ أَشْهَدَ عَلَيْهَا حِينَ أَعْطَاهَا، فَلَيْسَ ذَلِكَ لَهُ، إِذَا قَامَ صَاحِبُهَا أَخَذَهَا

Malik berkata: Barang siapa memberikan suatu pemberian tanpa mengharapkan imbalan, kemudian penerima meninggal, maka ahli warisnya menempati posisinya. Namun jika pemberi meninggal sebelum penerima menerima pemberiannya, maka penerima tidak berhak apa-apa. Karena ia diberi sesuatu yang belum ia terima. Jika pemberi ingin menarik kembali pemberiannya, padahal ia telah menghadirkan saksi saat memberikannya, maka itu tidak boleh baginya. Jika penerima menuntut haknya, maka ia berhak mengambilnya.

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْهِبَةِ

Bab: Putusan Hukum tentang Hibah

42 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ أَبِي غَطَفَانَ بْنِ طَرِيفٍ الْمُرِّيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: مَنْ وَهَبَ هِبَةً لِصِلَةِ رَحِمٍ، أَوْ عَلَى وَجْهِ صَدَقَةٍ، فَإِنَّهُ لَا يَرْجِعُ فِيهَا، وَمَنْ وَهَبَ هِبَةً يَرَى أَنَّهُ إِنَّمَا أَرَادَ بِهَا الثَّوَابَ، فَهُوَ عَلَى هِبَتِهِ يَرْجِعُ فِيهَا إِذَا لَمْ يُرْضَ مِنْهَا قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ الْهِبَةَ إِذَا تَغَيَّرَتْ عِنْدَ الْمَوْهُوبِ لَهُ لِلثَّوَابِ. بِزِيَادَةٍ أَوْ نُقْصَانٍ. فَإِنَّ عَلَى الْمَوْهُوبِ لَهُ أَنْ يُعْطِيَ صَاحِبَهَا قِيمَتَهَا، يَوْمَ قَبَضَهَا

42 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Dawud bin al-Hushain, dari Abu Ghathafan bin Tharif al-Murri, bahwa ‘Umar bin al-Khaththab berkata: “Barang siapa memberikan hibah karena hubungan kekerabatan atau dalam rangka sedekah, maka ia tidak boleh menarik kembali hibah itu. Namun barang siapa memberikan hibah dengan maksud mengharapkan imbalan, maka ia boleh menarik kembali hibahnya jika ia tidak puas dengan imbalan yang diterima.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Ketentuan yang disepakati di kalangan kami, jika hibah yang diberikan untuk imbalan telah berubah di tangan penerima, baik bertambah atau berkurang, maka penerima wajib memberikan kepada pemberi nilainya pada hari ia menerima hibah tersebut.

بَابُ الِاعْتِصَارِ فِي الصَّدَقَةِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، أَنَّ كُلَّ مَنْ تَصَدَّقَ عَلَى ابْنِهِ بِصَدَقَةٍ قَبَضَهَا الِابْنُ. أَوْ كَانَ فِي حَجْرِ أَبِيهِ فَأَشْهَدَ لَهُ عَلَى صَدَقَتِهِ. فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَعْتَصِرَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ. لِأَنَّهُ لَا يَرْجِعُ فِي شَيْءٍ مِنَ الصَّدَقَةِ قَالَ وسَمِعْتُ مَالِكًا: ” يَقُولُ الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِيمَنْ نَحَلَ وَلَدَهُ نُحْلًا، أَوْ أَعْطَاهُ عَطَاءً لَيْسَ بِصَدَقَةٍ. إِنَّ لَهُ أَنْ يَعْتَصِرَ ذَلِكَ. مَا لَمْ يَسْتَحْدِثِ الْوَلَدُ دَيْنًا يُدَايِنُهُ النَّاسُ بِهِ. وَيَأْمَنُونَهُ عَلَيْهِ. مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ الْعَطَاءِ الَّذِي أَعْطَاهُ أَبُوهُ. فَلَيْسَ لِأَبِيهِ أَنْ يَعْتَصِرَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، بَعْدَ أَنْ تَكُونَ عَلَيْهِ الدُّيُونُ. أَوْ يُعْطِي الرَّجُلُ ابْنَهُ أَوِ ابْنَتَهُ. فَتَنْكِحُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ. وَإِنَّمَا تَنْكِحُهُ لِغِنَاهُ. وَلِلْمَالِ الَّذِي أَعْطَاهُ أَبُوهُ. فَيُرِيدُ أَنْ يَعْتَصِرَ ذَلِكَ الْأَبُ. أَوْ يَتَزَوَّجُ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ قَدْ نَحَلَهَا أَبُوهَا النُّحْلَ. إِنَّمَا يَتَزَوَّجُهَا وَيَرْفَعُ فِي صِدَاقِهَا لِغِنَاهَا وَمَالِهَا. وَمَا أَعْطَاهَا أَبُوهَا. ثُمَّ يَقُولُ الْأَبُ: أَنَا أَعْتَصِرُ ذَلِكَ. فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَعْتَصِرَ مِنِ ابْنِهِ وَلَا مِنِ ابْنَتِهِ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ. إِذَا كَانَ عَلَى مَا وَصَفْتُ لَكَ “

Bab Penarikan Kembali dalam Sedekah

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami, yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, adalah bahwa setiap orang yang bersedekah kepada anaknya dengan suatu sedekah yang telah diterima oleh anaknya, atau anak itu masih dalam perwalian ayahnya lalu ayahnya menghadirkan saksi atas sedekah tersebut, maka tidak boleh baginya untuk menarik kembali sedikit pun dari sedekah itu. Karena tidak boleh menarik kembali sesuatu pun dari sedekah. Malik juga berkata: “Aku mendengar Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami mengenai seseorang yang memberikan hibah kepada anaknya, atau memberinya pemberian yang bukan sedekah, maka ia boleh menarik kembali pemberian itu, selama anak tersebut belum membuat utang yang orang-orang meminjaminya karena pemberian yang telah diberikan ayahnya itu, dan mereka merasa aman atasnya karena pemberian tersebut. Jika sudah ada utang atas anak itu karena pemberian ayahnya, maka ayahnya tidak boleh menarik kembali sedikit pun dari pemberian itu setelah adanya utang. Atau seorang laki-laki memberikan sesuatu kepada anak laki-laki atau anak perempuannya, lalu perempuan itu menikah dengan seorang laki-laki, dan ia menikahinya karena kekayaannya dan harta yang diberikan ayahnya. Kemudian ayah ingin menarik kembali pemberian itu. Atau seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang telah dihibahi oleh ayahnya, dan ia menikahinya serta menaikkan mahar karena kekayaan dan harta yang diberikan ayahnya. Kemudian ayah berkata: Aku ingin menarik kembali pemberian itu. Maka tidak boleh baginya menarik kembali sedikit pun dari anak laki-laki atau anak perempuannya dalam hal itu, jika keadaannya seperti yang aku jelaskan kepadamu.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْعُمْرَى

Bab Putusan Hukum tentang ‘Umrā

43 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَيُّمَا رَجُلٍ أُعْمِرَ عُمْرَى لَهُ، وَلِعَقِبِهِ، فَإِنَّهَا لِلَّذِي يُعْطَاهَا، لَا تَرْجِعُ إِلَى الَّذِي أَعْطَاهَا أَبَدًا، لِأَنَّهُ أَعْطَى عَطَاءً وَقَعَتْ فِيهِ الْمَوَارِيثُ

  1. Malik meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf, dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa saja yang diberi ‘umrā untuk dirinya dan keturunannya, maka itu menjadi milik orang yang diberi, tidak akan kembali kepada orang yang memberikannya selamanya, karena ia telah memberikan pemberian yang berlaku hukum waris di dalamnya.”

44 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ أَنَّهُ سَمِعَ مَكْحُولًا الدِّمَشْقِيَّ، يَسْأَلُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، عَنِ الْعُمْرَى وَمَا يَقُولُ النَّاسُ فِيهَا؟ فَقَالَ الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ: مَا أَدْرَكْتُ النَّاسَ إِلَّا وَهُمْ عَلَى شُرُوطِهِمْ فِي أَمْوَالِهِمْ. وَفِيمَا أُعْطُوا قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَعَلَى ذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا، أَنَّ الْعُمْرَى تَرْجِعُ إِلَى الَّذِي أَعْمَرَهَا إِذَا لَمْ يَقُلْ هِيَ لَكَ وَلِعَقِبِكَ

  1. Malik meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari Abdurrahman bin al-Qasim, bahwa ia mendengar Makḥūl ad-Dimasyqi bertanya kepada al-Qasim bin Muhammad tentang ‘umrā dan apa yang dikatakan orang-orang tentangnya? Al-Qasim bin Muhammad menjawab: “Aku tidak mendapati orang-orang kecuali mereka tetap pada syarat-syarat mereka dalam harta mereka dan dalam apa yang mereka berikan.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Dan demikianlah ketentuan yang berlaku di kalangan kami, bahwa ‘umrā kembali kepada orang yang memberikannya jika tidak dikatakan: ‘Ini untukmu dan untuk keturunanmu.'”

45 – ، وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَرِثَ مِنْ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ دَارَهَا، قَالَ: وَكَانَتْ حَفْصَةُ قَدْ أَسْكَنَتْ بِنْتَ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ، مَا عَاشَتْ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ بِنْتُ زَيْدٍ، قَبَضَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْمَسْكَنَ، وَرَأَى أَنَّهُ لَهُ

  1. Malik meriwayatkan kepadaku, dari Nāfi‘, bahwa Abdullah bin ‘Umar mewarisi rumah Hafshah binti ‘Umar. Ia berkata: “Hafshah dahulu telah menempatkan putri Zaid bin al-Khaṭṭāb di rumah itu selama ia hidup. Ketika putri Zaid wafat, Abdullah bin ‘Umar mengambil kembali rumah itu, dan ia menganggap rumah itu miliknya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي اللُّقَطَةِ

Bab Putusan Hukum tentang Barang Temuan (Luqāṭah)

46 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ يَزِيدَ مَوْلَى الْمُنْبَعِثِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ اللُّقَطَةِ؟ فَقَالَ: اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا، ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً، فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا، وَإِلَّا فَشَأْنَكَ بِهَا، قَالَ: فَضَالَّةُ الْغَنَمِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: هِيَ لَكَ، أَوْ لِأَخِيكَ، أَوْ لِلذِّئْبِ، قَالَ: فَضَالَّةُ الْإِبِلِ؟ قَالَ: مَا لَكَ وَلَهَا مَعَهَا سِقَاؤُهَا، وَحِذَاؤُهَا، تَرِدُ الْمَاءَ، وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا

  1. Malik meriwayatkan kepadaku, dari Rabi‘ah bin Abi Abdurrahman, dari Yazid, maula al-Munba‘its, dari Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya kepadanya tentang barang temuan (luqāṭah). Beliau bersabda: “Kenalilah bungkus dan talinya, kemudian umumkan selama setahun. Jika datang pemiliknya, (serahkan padanya), jika tidak, maka terserah engkau.” Ia bertanya: “Bagaimana dengan kambing yang tersesat, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” Ia bertanya: “Bagaimana dengan unta yang tersesat?” Beliau bersabda: “Apa urusanmu dengannya? Ia bersama air minumnya dan sandalnya, ia bisa mendatangi air dan memakan pohon hingga pemiliknya menemukannya.”

47 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ مُوسَى، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَدْرٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّ أَبَاهُ أَخْبَرَهُ: أَنَّهُ نَزَلَ مَنْزِلَ قَوْمٍ بِطَرِيقِ الشَّامِ فَوَجَدَ صُرَّةً فِيهَا ثَمَانُونَ دِينَارًا، فَذَكَرَهَا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: عَرِّفْهَا عَلَى أَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ، وَاذْكُرْهَا لِكُلِّ مَنْ يَأْتِي مِنَ الشَّأْمِ سَنَةً، فَإِذَا مَضَتِ السَّنَةُ فَشَأْنَكَ بِهَا

47 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ayyub bin Musa, dari Mu’awiyah bin Abdullah bin Badr al-Juhani, bahwa ayahnya memberitahunya: Bahwa ia singgah di suatu tempat milik suatu kaum di jalan Syam, lalu ia menemukan sebuah kantong yang berisi delapan puluh dinar. Ia pun menceritakan hal itu kepada Umar bin al-Khattab. Maka Umar berkata kepadanya: Umumkanlah (temuan itu) di pintu-pintu masjid, dan sebutkanlah kepada setiap orang yang datang dari Syam selama setahun. Jika telah berlalu setahun, maka terserah engkau terhadapnya.

48 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ أَنَّ رَجُلًا وَجَدَ لُقَطَةً فَجَاءَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ: إِنِّي وَجَدْتُ لُقَطَةً فَمَاذَا تَرَى فِيهَا؟ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: عَرِّفْهَا، قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ؟ قَالَ: زِدْ، قَالَ: قَدْ فَعَلْتُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا آمُرُكَ أَنْ تَأْكُلَهَا وَلَوْ شِئْتَ لَمْ تَأْخُذْهَا

48 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Nafi’, bahwa seorang laki-laki menemukan barang temuan (luqathah), lalu ia datang kepada Abdullah bin Umar dan berkata kepadanya: “Aku telah menemukan barang temuan, apa pendapatmu tentangnya?” Abdullah bin Umar berkata: “Umumkanlah.” Ia berkata: “Aku sudah melakukannya.” Abdullah berkata: “Tambahlah (umumkan lagi).” Ia berkata: “Aku sudah melakukannya.” Maka Abdullah berkata: “Aku tidak memerintahkanmu untuk memakannya, dan kalau engkau mau, engkau tidak perlu mengambilnya.”

بَابُ الْقَضَاءِ فِي اسْتِهْلَاكِ الْعَبْدِ اللُّقَطَةَ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْعَبْدِ يَجِدُ اللُّقَطَةَ فَيَسْتَهْلِكُهَا، قَبْلَ أَنْ تَبْلُغَ الْأَجَلَ الَّذِي أُجِّلَ فِي اللُّقَطَةِ وَذَلِكَ سَنَةٌ، أَنَّهَا فِي رَقَبَتِهِ، إِمَّا أَنْ يُعْطِيَ سَيِّدُهُ ثَمَنَ مَا اسْتَهْلَكَ غُلَامُهُ، وَإِمَّا أَنْ يُسَلِّمَ إِلَيْهِمْ غُلَامَهُ، وَإِنْ أَمْسَكَهَا حَتَّى يَأْتِيَ الْأَجَلُ الَّذِي أُجِّلَ فِي اللُّقَطَةِ ثُمَّ اسْتَهْلَكَهَا، كَانَتْ دَيْنًا عَلَيْهِ. يُتْبَعُ بِهِ، وَلَمْ تَكُنْ فِي رَقَبَتِهِ، وَلَمْ يَكُنْ عَلَى سَيِّدِهِ فِيهَا شَيْءٌ

Bab: Putusan Hukum tentang Budak yang Menggunakan Barang Temuan
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Ketentuan menurut kami mengenai budak yang menemukan barang temuan lalu menggunakannya sebelum sampai pada waktu yang telah ditentukan untuk barang temuan, yaitu satu tahun, maka itu menjadi tanggung jawab budak tersebut. Pilihannya, tuannya memberikan harga barang yang telah digunakan oleh budaknya, atau menyerahkan budaknya kepada mereka (pemilik barang). Namun jika ia menahan barang itu hingga tiba waktu yang telah ditentukan untuk barang temuan, lalu ia menggunakannya, maka itu menjadi utang atas dirinya, yang dapat dituntut darinya, dan tidak lagi menjadi tanggungan dirinya (sebagai budak), serta tidak ada kewajiban atas tuannya.

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الضَّوَالِّ

Bab: Putusan Hukum tentang Hewan Tersesat

49 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ ثَابِتَ بْنَ الضَّحَّاكِ الْأَنْصَارِيَّ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ وَجَدَ بَعِيرًا بِالْحَرَّةِ فَعَقَلَهُ، ثُمَّ ذَكَرَهُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَأَمَرَهُ عُمَرُ أَنْ يُعَرِّفَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَقَالَ لَهُ ثَابِتٌ: إِنَّهُ قَدْ شَغَلَنِي عَنْ ضَيْعَتِي، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: أَرْسِلْهُ حَيْثُ وَجَدْتَهُ

49 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa Tsabit bin adh-Dhahhak al-Anshari memberitahunya, bahwa ia menemukan seekor unta di al-Harrah, lalu ia mengikatnya. Kemudian ia menceritakan hal itu kepada Umar bin al-Khattab, maka Umar memerintahkannya untuk mengumumkannya tiga kali. Tsabit berkata kepadanya: “Itu telah menyibukkanku dari kebunku.” Maka Umar berkata kepadanya: “Lepaskanlah ia di tempat engkau menemukannya.”

50 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ وَهُوَ مُسْنِدٌ ظَهْرَهُ إِلَى الْكَعْبَةِ: مَنْ أَخَذَ ضَالَّةً فَهُوَ ضَالٌّ

50 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, dari Sa’id bin al-Musayyab, bahwa Umar bin al-Khattab berkata, sementara ia bersandar pada Ka’bah: “Barang siapa mengambil hewan tersesat, maka ia pun tersesat.”

51 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ شِهَابٍ يَقُولُ: كَانَتْ ضَوَالُّ الْإِبِلِ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ إِبِلًا مُؤَبَّلَةً تَنَاتَجُ. لَا يَمَسُّهَا أَحَدٌ. حَتَّى إِذَا كَانَ زَمَانُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، أَمَرَ بِتَعْرِيفِهَا. ثُمَّ تُبَاعُ. فَإِذَا جَاءَ صَاحِبُهَا. أُعْطِيَ ثَمَنَهَا “

51 – Malik telah menceritakan kepadaku, bahwa ia mendengar Ibnu Syihab berkata: “Hewan-hewan unta yang tersesat pada masa Umar bin al-Khattab adalah unta-unta yang dibiarkan berkembang biak, tidak ada seorang pun yang menyentuhnya. Hingga ketika masa Utsman bin Affan, ia memerintahkan untuk diumumkan, lalu dijual. Jika pemiliknya datang, maka diberikan kepadanya harga jualnya.”

بَابُ صَدَقَةِ الْحَيِّ عَنِ الْمَيِّتِ

Bab: Sedekah Orang Hidup untuk Orang yang Telah Meninggal

52 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ. فَحَضَرَتْ أُمَّهُ الْوَفَاةُ بِالْمَدِينَةِ. فَقِيلَ لَهَا: أَوْصِي. فَقَالَتْ: فِيمَ أُوصِي؟ إِنَّمَا الْمَالُ مَالُ سَعْدٍ، فَتُوُفِّيَتْ قَبْلَ أَنْ يَقْدَمَ سَعْدٌ، فَلَمَّا قَدِمَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ، ذُكِرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ يَنْفَعُهَا أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، فَقَالَ سَعْدٌ حَائِطُ كَذَا وَكَذَا صَدَقَةٌ عَنْهَا لِحَائِطٍ سَمَّاهُ

52 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Sa’id bin Amru bin Syurahbil bin Sa’id bin Sa’d bin Ubadah, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ia berkata: Sa’d bin Ubadah pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu peperangannya. Ibunya pun menghadapi ajal di Madinah. Lalu dikatakan kepadanya: “Berwasiatlah.” Ia berkata: “Untuk apa aku berwasiat? Harta itu hanyalah milik Sa’d.” Lalu ia wafat sebelum Sa’d kembali. Ketika Sa’d bin Ubadah datang, hal itu diceritakan kepadanya. Maka Sa’d berkata: “Wahai Rasulullah, apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya.” Maka Sa’d berkata: “Kebun ini dan itu aku sedekahkan atas namanya,” untuk sebuah kebun yang ia sebutkan.

53 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا، وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ، تَصَدَّقَتْ. أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ

53 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku telah meninggal secara tiba-tiba, dan aku kira seandainya ia sempat berbicara, pasti ia akan bersedekah. Apakah aku boleh bersedekah atas namanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya.”

54 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ تَصَدَّقَ عَلَى أَبَوَيْهِ بِصَدَقَةٍ، فَهَلَكَا فَوَرِثَ ابْنُهُمَا الْمَالَ، وَهُوَ نَخْلٌ. فَسَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: قَدْ أُجِرْتَ فِي صَدَقَتِكَ، وَخُذْهَا بِمِيرَاثِكَ

54 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar, dari Bani al-Harits bin al-Khazraj, bersedekah kepada kedua orang tuanya dengan suatu sedekah. Lalu keduanya meninggal dunia, dan anak mereka mewarisi harta itu, yang berupa pohon kurma. Ia pun menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda: “Engkau telah mendapat pahala atas sedekahmu, dan ambillah (harta itu) sebagai warisanmu.”

37 – كِتَابُ الْوَصِيَّةِ

بَابُ الْأَمْرِ بِالْوَصِيَّةِ

Bab Perintah untuk Berwasiat

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، لَهُ شَيْءٌ يُوصَى فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ عِنْدَهُ مَكْتُوبَةٌ قَالَ مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، لَهُ شَيْءٌ يُوصَى فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ عِنْدَهُ مَكْتُوبَةٌ

1 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah pantas bagi seorang Muslim yang memiliki sesuatu yang hendak diwasiatkan, bermalam dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya.” Malik berkata, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah pantas bagi seorang Muslim yang memiliki sesuatu yang hendak diwasiatkan, bermalam dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّ الْمُوصِيَ إِذَا أَوْصَى فِي صِحَّتِهِ أَوْ مَرَضِهِ بِوَصِيَّةٍ، فِيهَا عَتَاقَةُ رَقِيقٍ مِنْ رَقِيقِهِ، أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يُغَيِّرُ مِنْ ذَلِكَ مَا بَدَا لَهُ وَيَصْنَعُ مِنْ ذَلِكَ مَا شَاءَ حَتَّى يَمُوتَ. وَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَطْرَحَ تِلْكَ الْوَصِيَّةَ، وَيُبْدِلَهَا، فَعَلَ. إِلَّا أَنْ يُدَبِّرَ مَمْلُوكًا. فَإِنْ دَبَّرَ، فَلَا سَبِيلَ إِلَى تَغْيِيرِ مَا دَبَّرَ. وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ. لَهُ شَيْءٌ يُوصَى فِيهِ. يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ عِنْدَهُ مَكْتُوبَةٌ

Malik berkata: Pendapat yang telah disepakati di kalangan kami adalah bahwa seseorang yang berwasiat, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dengan suatu wasiat yang di dalamnya terdapat pembebasan budak dari budaknya, atau selain itu, maka ia boleh mengubah apa yang ia kehendaki dari wasiat tersebut dan melakukan apa yang ia inginkan darinya hingga ia meninggal dunia. Jika ia ingin membatalkan wasiat itu atau menggantinya, maka ia boleh melakukannya. Kecuali jika ia telah melakukan tadbir (menetapkan pembebasan budak setelah wafatnya). Jika ia telah melakukan tadbir, maka tidak ada jalan untuk mengubah apa yang telah ia tetapkan. Hal itu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah pantas bagi seorang Muslim yang memiliki sesuatu yang hendak diwasiatkan, bermalam dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya.”

قَالَ مَالِكٌ: فَلَوْ كَانَ الْمُوصِي لَا يَقْدِرُ عَلَى تَغْيِيرِ وَصِيَّتِهِ، وَلَا مَا ذُكِرَ فِيهَا مِنَ الْعَتَاقَةِ. كَانَ كُلُّ مُوصٍ قَدْ حَبَسَ مَالَهُ الَّذِي أَوْصَى فِيهِ مِنَ الْعَتَاقَةِ وَغَيْرِهَا، وَقَدْ يُوصِي الرَّجُلُ فِي صِحَّتِهِ وَعِنْدَ سَفَرِهِ

Malik berkata: Seandainya orang yang berwasiat tidak dapat mengubah wasiatnya, atau apa yang disebutkan di dalamnya berupa pembebasan budak, niscaya setiap orang yang berwasiat telah menahan hartanya yang diwasiatkan, baik berupa pembebasan budak maupun selainnya. Padahal seseorang bisa saja berwasiat dalam keadaan sehat atau ketika hendak bepergian.

قَالَ مَالِكٌ: فَالْأَمْرُ عِنْدَنَا الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ، أَنَّهُ يُغَيِّرُ مِنْ ذَلِكَ مَا شَاءَ غَيْرَ التَّدْبِيرِ

Malik berkata: Maka pendapat yang berlaku di kalangan kami dan tidak ada perbedaan di dalamnya, adalah bahwa ia boleh mengubah apa yang ia kehendaki dari wasiat tersebut, kecuali tadbir.

بَابُ جَوَازِ وَصِيَّةِ الصَّغِيرِ وَالضَّعِيفِ وَالْمُصَابِ وَالسَّفِيهِ

Bab Bolehnya Wasiat dari Anak Kecil, Orang Lemah, Orang Sakit, dan Orang Bodoh

2 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عَمْرَو بْنَ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيَّ، أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قِيلَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: إِنَّ هَاهُنَا غُلَامًا يَفَاعًا لَمْ يَحْتَلِمْ مِنْ غَسَّانَ، وَوَارِثُهُ بِالشَّامِ، وَهُوَ ذُو مَالٍ، وَلَيْسَ لَهُ هَاهُنَا إِلَّا ابْنَةُ عَمٍّ لَهُ. قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: فَلْيُوصِ لَهَا. قَالَ: فَأَوْصَى لَهَا بِمَالٍ يُقَالَ لَهُ بِئْرُ جُشَمٍ، قَالَ عَمْرُو بْنُ سُلَيْمٍ: فَبِيعَ ذَلِكَ الْمَالُ بِثَلَاثِينَ أَلْفَ دِرْهَمٍ. وَابْنَةُ عَمِّهِ الَّتِي أَوْصَى لَهَا، هِيَ أُمُّ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ

2 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm, dari ayahnya, bahwa Amru bin Sulaim az-Zuraqi memberitahunya bahwa telah dikatakan kepada Umar bin al-Khattab: “Di sini ada seorang anak laki-laki yang sudah mendekati baligh, namun belum bermimpi (belum baligh sempurna) dari Ghassan, dan ahli warisnya berada di Syam, sedangkan ia memiliki harta, dan di sini ia hanya memiliki seorang putri dari pamannya.” Umar bin al-Khattab berkata: “Maka hendaklah ia berwasiat untuknya.” Maka ia pun berwasiat untuknya dengan harta yang disebut Bi’r Jusyam. Amru bin Sulaim berkata: “Harta itu kemudian dijual seharga tiga puluh ribu dirham. Dan putri pamannya yang diwasiati itu adalah ibu dari Amru bin Sulaim az-Zuraqi.”

3 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ أَنَّ غُلَامًا مِنْ غَسَّانَ، حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ بِالْمَدِينَةِ، وَوَارِثُهُ بِالشَّامِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ فُلَانًا يَمُوتُ أَفَيُوصِي؟ قَالَ: فَلْيُوصِ قَالَ يحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَكَانَ الْغُلَامُ ابْنَ عَشْرِ سِنِينَ أَوِ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ سَنَةً، قَالَ: فَأَوْصَى بِبِئْرِ جُشَمٍ فَبَاعَهَا أَهْلُهَا بِثَلَاثِينَ أَلْفَ دِرْهَمٍ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا. أَنَّ الضَّعِيفَ فِي عَقْلِهِ، وَالسَّفِيهَ، وَالْمُصَابَ الَّذِي يُفِيقُ أَحْيَانًا. تَجُوزُ وَصَايَاهُمْ. إِذَا كَانَ مَعَهُمْ مِنْ عُقُولِهِمْ، مَا يَعْرِفُونَ مَا يُوصُونَ بِهِ. فَأَمَّا مَنْ لَيْسَ مَعَهُ مِنْ عَقْلِهِ مَا يَعْرِفُ بِذَلِكَ مَا يُوصِي بِهِ، وَكَانَ مَغْلُوبًا عَلَى عَقْلِهِ، فَلَا وَصِيَّةَ لَهُ

3 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari Abu Bakr bin Hazm, bahwa seorang anak laki-laki dari Ghassan menghadapi kematian di Madinah, sementara ahli warisnya berada di Syam. Maka hal itu disebutkan kepada ‘Umar bin al-Khattab, lalu dikatakan kepadanya: “Si Fulan akan meninggal, apakah ia boleh berwasiat?” Ia menjawab: “Silakan berwasiat.” Yahya bin Sa‘id berkata, Abu Bakr berkata: “Anak laki-laki itu berusia sepuluh atau dua belas tahun.” Ia berkata: “Lalu ia berwasiat dengan sumur Jusyam, kemudian keluarganya menjualnya seharga tiga puluh ribu dirham.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Pendapat yang disepakati di kalangan kami adalah bahwa orang yang lemah akalnya, orang safih (tidak cakap), dan orang yang terkena gangguan (jiwa) namun kadang-kadang sadar, wasiat mereka sah apabila mereka masih memiliki akal sehingga mengetahui apa yang mereka wasiatkan. Adapun orang yang sama sekali tidak memiliki akal sehingga tidak mengetahui apa yang ia wasiatkan, dan akalnya benar-benar hilang, maka tidak ada wasiat baginya.”

بَابُ الْوَصِيَّةِ فِي الثُّلُثِ لَا تَتَعَدَّى

Bab: Wasiat pada sepertiga (harta) tidak boleh dilampaui

4 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: جَاءَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ. مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ بَلَغَ بِي مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى. وَأَنَا ذُو مَالٍ. وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لِي. أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا، فَقُلْتُ: فَالشَّطْرُ؟ قَالَ: لَا، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ. وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ، إِلَّا أُجِرْتَ. حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ قَالَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَأُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ، فَتَعْمَلَ عَمَلًا صَالِحًا، إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً، وَلَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ، اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ. لَكِنِ الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ. يَرْثِي لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: فِي الرَّجُلِ يُوصِي بِثُلُثِ مَالِهِ لِرَجُلٍ. وَيَقُولُ غُلَامِي يَخْدُمُ فُلَانًا مَا عَاشَ. ثُمَّ هُوَ حُرٌّ. فَيُنْظَرُ فِي ذَلِكَ، فَيُوجَدُ الْعَبْدُ ثُلُثَ مَالِ الْمَيِّتِ. قَالَ: فَإِنَّ خِدْمَةَ الْعَبْدِ تُقَوَّمُ، ثُمَّ يَتَحَاصَّانِ. يُحَاصُّ الَّذِي أُوصِيَ لَهُ بِالثُّلُثِ بِثُلُثِهِ. وَيُحَاصُّ الَّذِي أُوصِيَ لَهُ بِخِدْمَةِ الْعَبْدِ. بِمَا قُوِّمَ لَهُ مِنْ خِدْمَةِ الْعَبْدِ، فَيَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ خِدْمَةِ الْعَبْدِ، أَوْ مِنْ إِجَارَتِهِ، إِنْ كَانَتْ لَهُ إِجَارَةٌ، بِقَدْرِ حِصَّتِهِ. فَإِذَا مَاتَ الَّذِي جُعِلَتْ لَهُ خِدْمَةُ الْعَبْدِ مَا عَاشَ، عَتَقَ الْعَبْدُ قَالَ: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ، فِي الَّذِي يُوصِي فِي ثُلُثِهِ فَيَقُولُ لِفُلَانٍ كَذَا وَكَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا وَكَذَا يُسَمِّي مَالًا مِنْ مَالِهِ فَيَقُولُ وَرَثَتُهُ قَدْ زَادَ عَلَى ثُلُثِهِ: فَإِنَّ الْوَرَثَةَ يُخَيَّرُونَ بَيْنَ أَنْ يُعْطُوا أَهْلَ الْوَصَايَا وَصَايَاهُمْ وَيَأْخُذُوا جَمِيعَ مَالِ الْمَيِّتِ وَبَيْنَ أَنْ يَقْسِمُوا لِأَهْلِ الْوَصَايَا ثُلُثَ مَالِ الْمَيِّتِ فَيُسَلِّمُوا إِلَيْهِمْ ثُلُثَهُ فَتَكُونُ حُقُوقُهُمْ فِيهِ إِنْ أَرَادُوا بَالِغًا مَا بَلَغَ

4 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari ‘Amir bin Sa‘d bin Abi Waqqash, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ datang menjengukku pada tahun Haji Wada‘ karena sakit yang sangat berat menimpaku. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sakitku telah mencapai seperti yang engkau lihat, dan aku memiliki harta, sementara yang mewarisiku hanya seorang anak perempuan. Bolehkah aku bersedekah dua pertiga hartaku?” Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan.” Aku berkata: “Setengahnya?” Beliau bersabda: “Jangan.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sungguh, jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia. Dan engkau tidaklah membelanjakan suatu nafkah yang engkau niatkan untuk mencari ridha Allah, kecuali engkau akan diberi pahala karenanya, bahkan apa yang engkau letakkan di mulut istrimu.” Ia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah aku akan tertinggal setelah sahabat-sahabatku?” Rasulullah ﷺ bersabda: “Engkau tidak akan tertinggal, lalu melakukan suatu amal saleh, kecuali engkau akan bertambah derajat dan kemuliaan karenanya. Barangkali engkau akan tertinggal sehingga ada kaum yang mendapat manfaat darimu dan ada pula yang mendapat mudarat karenamu. Ya Allah, sempurnakanlah hijrah sahabat-sahabatku dan jangan Engkau kembalikan mereka ke belakang. Tetapi yang malang adalah Sa‘d bin Khawlah.” Rasulullah ﷺ merasa iba kepadanya karena ia wafat di Makkah. Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Tentang seseorang yang berwasiat sepertiga hartanya kepada seseorang, dan berkata: ‘Budakku melayani si Fulan selama ia hidup, kemudian ia merdeka.’ Maka hal itu dilihat, jika budak itu sepertiga dari harta si mayit, maka pelayanan budak itu dinilai, lalu keduanya berbagi. Orang yang diwasiati sepertiga mendapat sepertiganya, dan orang yang diwasiati pelayanan budak mendapat bagian sesuai nilai pelayanan budak itu. Maka masing-masing dari keduanya mengambil dari pelayanan budak itu atau dari sewanya, jika budak itu disewakan, sesuai dengan bagiannya. Jika orang yang dijadikan pelayanan budak itu meninggal, maka budak itu merdeka.” Ia berkata: Aku juga mendengar Malik berkata, tentang orang yang berwasiat pada sepertiga hartanya, lalu berkata: ‘Untuk si Fulan sekian dan sekian, dan untuk si Fulan sekian dan sekian,’ ia menyebutkan sejumlah harta dari hartanya, lalu ahli warisnya berkata: ‘Ia telah melebihi sepertiga hartanya.’ Maka ahli waris diberi pilihan antara memberikan seluruh wasiat kepada para penerima wasiat dan mengambil seluruh harta si mayit, atau membagi kepada para penerima wasiat sepertiga harta si mayit, lalu menyerahkan sepertiganya kepada mereka, sehingga hak-hak mereka ada di dalamnya, jika mereka menghendaki, sebanyak apapun nilainya.

بَابُ أَمْرِ الْحَامِلِ وَالْمَرِيضِ وَالَّذِي يَحْضُرُ الْقِتَالَ فِي أَمْوَالِهِمْ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي وَصِيَّةِ الْحَامِلِ وَفِي قَضَايَاهَا فِي مَالِهَا وَمَا يَجُوزُ لَهَا. أَنَّ الْحَامِلَ كَالْمَرِيضِ. فَإِذَا كَانَ الْمَرَضُ الْخَفِيفُ، غَيْرُ الْمَخُوفِ عَلَى صَاحِبِهِ، فَإِنَّ صَاحِبَهُ يَصْنَعُ فِي مَالِهِ مَا يَشَاءُ. وَإِذَا كَانَ الْمَرَضُ الْمَخُوفُ عَلَيْهِ، لَمْ يَجُزْ لِصَاحِبِهِ شَيْءٌ إِلَّا فِي ثُلُثِهِ قَالَ: ” وَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ الْحَامِلُ أَوَّلُ. حَمْلِهَا بِشْرٌ وَسُرُورٌ. وَلَيْسَ بِمَرَضٍ وَلَا خَوْفٍ. لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ: {فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ} وَقَالَ: {حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ} [الأعراف: 189] فَالْمَرْأَةُ الْحَامِلُ إِذَا أَثْقَلَتْ لَمْ يَجُزْ لَهَا قَضَاءٌ إِلَّا فِي ثُلُثِهَا فَأَوَّلُ الْإِتْمَامِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ. قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي كِتَابِهِ: {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ} [البقرة: 233] وَقَالَ: {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15] فَإِذَا مَضَتْ لِلْحَامِلِ سِتَّةُ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمَ حَمَلَتْ لَمْ يَجُزْ لَهَا قَضَاءٌ فِي مَالِهَا إِلَّا فِي الثُّلُثِ “. قَالَ: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ فِي الرَّجُلِ يَحْضُرُ الْقِتَالَ: إِنَّهُ إِذَا زَحَفَ فِي الصَّفِّ لِلْقِتَالِ، لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَقْضِيَ فِي مَالِهِ شَيْئًا. إِلَّا فِي الثُّلُثِ. وَإِنَّهُ بِمَنْزِلَةِ الْحَامِلِ وَالْمَرِيضِ الْمَخُوفِ عَلَيْهِ مَا كَانَ بِتِلْكَ الْحَالِ

BAB TENTANG HUKUM WANITA HAMIL, ORANG SAKIT, DAN ORANG YANG AKAN BERPERANG TERKAIT HARTA MEREKA

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Penjelasan terbaik yang aku dengar tentang wasiat wanita hamil dan hukum-hukum terkait harta miliknya serta apa yang boleh baginya adalah bahwa wanita hamil itu seperti orang sakit. Jika sakitnya ringan dan tidak membahayakan dirinya, maka ia boleh melakukan apa saja terhadap hartanya sesuai kehendaknya. Namun jika sakitnya membahayakan, maka tidak boleh baginya melakukan sesuatu kecuali pada sepertiga hartanya. Ia berkata: “Demikian pula wanita hamil, pada awal kehamilannya merupakan kabar gembira dan kebahagiaan, bukan penyakit dan bukan pula keadaan yang menakutkan. Karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang Ishaq dan setelah Ishaq (akan lahir) Ya‘qub} dan berfirman: {Dia mengandung dengan kandungan yang ringan, lalu berjalan dengannya; ketika kandungannya menjadi berat, keduanya berdoa kepada Allah, Rabb mereka: ‘Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, niscaya kami termasuk orang-orang yang bersyukur.’} (al-A‘raf: 189). Maka wanita hamil, jika kandungannya telah berat, tidak boleh baginya melakukan sesuatu kecuali pada sepertiga hartanya. Permulaan masa sempurna kehamilan adalah enam bulan. Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh} (al-Baqarah: 233) dan berfirman: {Masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan} (al-Ahqaf: 15). Maka jika telah berlalu enam bulan sejak hari ia mulai mengandung, tidak boleh baginya melakukan sesuatu terhadap hartanya kecuali pada sepertiganya.” Ia berkata: Aku juga mendengar Malik berkata tentang seorang laki-laki yang akan berperang: Jika ia telah maju ke barisan untuk bertempur, maka tidak boleh baginya melakukan sesuatu terhadap hartanya kecuali pada sepertiganya. Keadaannya sama dengan wanita hamil dan orang sakit yang membahayakan, selama ia dalam kondisi tersebut.

بَابُ الْوَصِيَّةِ لِلْوَارِثِ وَالْحِيَازَةِ
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: فِي هَذِهِ الْآيَةِ ” إِنَّهَا مَنْسُوخَةٌ. قَوْلُ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ} [البقرة: 180] نَسَخَهَا مَا نَزَلَ مِنْ قِسْمَةِ الْفَرَائِضِ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ “. قَالَ: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: السُّنَّةُ الثَّابِتَةُ عِنْدَنَا الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا. أَنَّهُ لَا تَجُوزُ وَصِيَّةٌ لِوَارِثٍ. إِلَّا أَنْ يُجِيزَ لَهُ ذَلِكَ وَرَثَةُ الْمَيِّتِ وَأَنَّهُ إِنْ أَجَازَ لَهُ بَعْضُهُمْ. وَأَبَى بَعْضٌ. جَازَ لَهُ حَقُّ مَنْ أَجَازَ مِنْهُمْ. وَمَنْ أَبَى، أَخَذَ حَقَّهُ مِنْ ذَلِكَ. قَالَ: وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ فِي الْمَرِيضِ الَّذِي يُوصِي فَيَسْتَأْذِنُ وَرَثَتَهُ فِي وَصِيَّتِهِ وَهُوَ مَرِيضٌ: لَيْسَ لَهُ مِنْ مَالِهِ إِلَّا ثُلُثُهُ. فَيَأْذَنُونَ لَهُ أَنْ يُوصِيَ لِبَعْضِ وَرَثَتِهِ بِأَكْثَرَ مِنْ ثُلُثِهِ. إِنَّهُ لَيْسَ لَهُمْ أَنْ يَرْجِعُوا فِي ذَلِكَ. وَلَوْ جَازَ ذَلِكَ لَهُمْ، صَنَعَ كُلُّ وَارِثٍ ذَلِكَ فَإِذَا هَلَكَ الْمُوصِي، أَخَذُوا ذَلِكَ لِأَنْفُسِهِمْ وَمَنَعُوهُ الْوَصِيَّةَ فِي ثُلُثِهِ، وَمَا أُذِنَ لَهُ بِهِ فِي مَالِهِ. قَالَ: ” فَأَمَّا أَنْ يَسْتَأْذِنَ وَرَثَتَهُ فِي وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا لِوَارِثٍ فِي صِحَّتِهِ، فَيَأْذَنُونَ لَهُ. فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يَلْزَمُهُمْ. وَلِوَرَثَتِهِ أَنْ يَرُدُّوا ذَلِكَ إِنْ شَاءُوا. وَذَلِكَ أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا كَانَ صَحِيحًا كَانَ أَحَقَّ بِجَمِيعِ مَالِهِ. يَصْنَعُ فِيهِ مَا شَاءَ إِنْ شَاءَ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ جَمِيعِهِ، خَرَجَ فَيَتَصَدَّقُ بِهِ. أَوْ يُعْطِيهِ مَنْ شَاءَ وَإِنَّمَا يَكُونُ اسْتِئْذَانُهُ وَرَثَتَهُ جَائِزًا عَلَى الْوَرَثَةِ. إِذَا أَذِنُوا لَهُ حِينَ يُحْجَبُ عَنْهُ مَالُهُ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ شَيْءٌ إِلَّا فِي ثُلُثِهِ. وَحِينَ هُمْ أَحَقُّ بِثُلُثَيْ مَالِهِ مِنْهُ. فَذَلِكَ حِينَ يَجُوزُ عَلَيْهِمْ أَمْرُهُمْ وَمَا أَذِنُوا لَهُ بِهِ. فَإِنْ سَأَلَ بَعْضُ وَرَثَتِهِ أَنْ يَهَبَ لَهُ مِيرَاثَهُ حِينَ تَحْضُرُهُ الْوَفَاةُ فَيَفْعَلُ. ثُمَّ لَا يَقْضِي فِيهِ الْهَالِكُ شَيْئًا. فَإِنَّهُ رَدٌّ عَلَى مَنْ وَهَبَهُ إِلَّا أَنْ يَقُولَ لَهُ الْمَيِّتُ: فُلَانٌ، لِبَعْضِ وَرَثَتِهِ ضَعِيفٌ، وَقَدْ أَحْبَبْتُ أَنْ تَهَبَ لَهُ مِيرَاثَكَ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ إِذَا سَمَّاهُ الْمَيِّتُ لَهُ ” قَالَ: وَإِنْ وَهَبَ لَهُ مِيرَاثَهُ. ثُمَّ أَنْفَذَ الْهَالِكُ بَعْضَهُ وَبَقِيَ بَعْضٌ فَهُوَ رَدٌّ عَلَى الَّذِي وَهَبَ يَرْجِعُ إِلَيْهِ مَا بَقِيَ بَعْدَ وَفَاةِ الَّذِي أُعْطِيَهُ. قَالَ: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: فِيمَنْ أَوْصَى بِوَصِيَّةٍ فَذَكَرَ أَنَّهُ قَدْ كَانَ أَعْطَى بَعْضَ وَرَثَتِهِ شَيْئًا لَمْ يَقْبِضْهُ فَأَبَى الْوَرَثَةُ أَنْ يُجِيزُوا ذَلِكَ فَإِنَّ ذَلِكَ يَرْجِعُ إِلَى الْوَرَثَةِ مِيرَاثًا عَلَى كِتَابِ اللَّهِ لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَمْ يُرِدْ أَنْ يَقَعَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فِي ثُلُثِهِ وَلَا يُحَاصُّ أَهْلُ الْوَصَايَا فِي ثُلُثِهِ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ

BAB WASIAT UNTUK AHLI WARIS DAN PENGUASAAN HARTA

Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata tentang ayat ini, “Ayat ini telah di-naskh (dihapus hukumnya). Firman Allah Tabaraka wa Ta‘ala: {Jika ia meninggalkan kebaikan, maka wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat} [al-Baqarah: 180] telah di-naskh oleh ayat yang turun tentang pembagian faraidh dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla.” Ia berkata: Aku juga mendengar Malik berkata: Sunnah yang tetap di sisi kami, yang tidak ada perbedaan padanya, adalah bahwa tidak sah wasiat untuk ahli waris, kecuali jika para ahli waris mayit mengizinkannya. Jika sebagian dari mereka mengizinkan dan sebagian lagi menolak, maka yang berhak menerima hanyalah bagian dari yang mengizinkan, sedangkan yang menolak, ia mengambil haknya dari wasiat tersebut.

Ia berkata: Aku mendengar Malik berkata tentang orang sakit yang berwasiat lalu meminta izin kepada para ahli warisnya dalam wasiatnya, padahal ia sedang sakit: Tidak ada hak baginya atas hartanya kecuali sepertiganya. Jika para ahli waris mengizinkannya untuk berwasiat kepada sebagian ahli warisnya lebih dari sepertiga hartanya, maka mereka tidak boleh menarik kembali izin itu. Sebab, jika mereka boleh menariknya, maka setiap ahli waris akan melakukan hal itu; ketika pewasiat meninggal, mereka mengambil bagian itu untuk diri mereka sendiri dan mencegah wasiat pada sepertiga harta, serta apa yang telah diizinkan untuknya dari hartanya.

Ia berkata: “Adapun jika ia meminta izin kepada para ahli warisnya untuk suatu wasiat kepada ahli waris ketika ia masih sehat, lalu mereka mengizinkannya, maka hal itu tidak mengikat mereka. Para ahli waris berhak menolaknya jika mereka mau. Sebab, jika seseorang masih sehat, ia lebih berhak atas seluruh hartanya; ia boleh melakukan apa saja terhadap hartanya, jika ia ingin menghabiskan semuanya, ia boleh bersedekah dengannya atau memberikannya kepada siapa saja yang ia kehendaki. Permintaan izinnya kepada para ahli waris hanya berlaku jika para ahli waris mengizinkan ketika ia sudah tidak lagi berkuasa atas hartanya, dan ia tidak boleh berwasiat kecuali pada sepertiganya. Pada saat itu, para ahli waris lebih berhak atas dua pertiga hartanya daripada dirinya. Maka pada saat itulah keputusan mereka dan apa yang mereka izinkan menjadi sah atas mereka.

Jika sebagian ahli waris meminta agar ia memberikan warisannya ketika kematian sudah dekat lalu ia melakukannya, kemudian pewaris tidak memutuskan apa pun atasnya, maka itu dikembalikan kepada yang memberi kecuali si mayit berkata kepada sebagian ahli warisnya: “Si Fulan, dari sebagian ahli warismu, lemah, dan aku ingin kamu memberikan warisanmu kepadanya,” lalu ia memberikannya, maka itu sah jika si mayit menyebutkannya secara khusus.

Ia berkata: Jika ia telah memberikan warisannya, lalu pewaris melaksanakan sebagian dan sebagian lagi masih tersisa, maka yang tersisa itu dikembalikan kepada yang memberi, dan ia berhak mengambil kembali sisanya setelah wafatnya yang diberi. Ia berkata: Aku mendengar Malik berkata tentang seseorang yang berwasiat lalu menyebutkan bahwa ia telah memberikan sesuatu kepada sebagian ahli warisnya namun belum diterima, lalu para ahli waris menolak untuk mengizinkan, maka itu dikembalikan kepada para ahli waris sebagai warisan menurut Kitab Allah, karena si mayit tidak bermaksud agar sesuatu dari itu masuk ke dalam sepertiga hartanya, dan para penerima wasiat tidak berhak mendapat bagian dari sepertiga harta karena hal itu.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمُؤَنَّثِ مِنَ الرِّجَالِ وَمَنْ أَحَقُّ بِالْوَلَدِ

BAB TENTANG LAKI-LAKI YANG MEMILIKI SIFAT KEWANITAAN DAN SIAPA YANG PALING BERHAK ATAS ANAK

5 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ مُخَنَّثًا كَانَ عِنْدَ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْمَعُ: يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنْ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الطَّائِفَ غَدًا فَأَنَا أَدُلُّكَ عَلَى ابْنَةِ غَيْلَانَ فَإِنَّهَا تُقْبِلُ بِأَرْبَعٍ. وَتُدْبِرُ بِثَمَانٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَدْخُلَنَّ هَؤُلَاءِ عَلَيْكُمْ

5 – Malik meriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, bahwa ada seorang mukhannats (laki-laki yang menyerupai wanita) yang berada di rumah Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ. Ia berkata kepada ‘Abdullah bin Abi Umayyah, sementara Rasulullah ﷺ mendengarnya: “Wahai ‘Abdullah, jika Allah membukakan kota Tha’if untuk kalian besok, aku akan tunjukkan kepadamu putri Ghailan, karena ia datang dengan empat (lipatan daging) dan pergi dengan delapan.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah orang-orang seperti ini masuk menemui kalian.”

6 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، يَقُولُ: كَانَتْ عِنْدَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ امْرَأَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فَوَلَدَتْ لَهُ عَاصِمَ بْنَ عُمَرَ، ثُمَّ إِنَّهُ فَارَقَهَا، فَجَاءَ عُمَرُ قُبَاءً فَوَجَدَ ابْنَهُ عَاصِمًا يَلْعَبُ بِفِنَاءِ الْمَسْجِدِ فَأَخَذَ بِعَضُدِهِ فَوَضَعَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ عَلَى الدَّابَّةِ. فَأَدْرَكَتْهُ جَدَّةُ الْغُلَامِ. فَنَازَعَتْهُ إِيَّاهُ. حَتَّى أَتَيَا أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ فَقَالَ عُمَرُ: ابْنِي. وَقَالَتِ الْمَرْأَةُ: ابْنِي. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: خَلِّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ. قَالَ: فَمَا رَاجَعَهُ عُمَرُ الْكَلَامَ. قَالَ: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَهَذَا الْأَمْرُ الَّذِي آخُذُ بِهِ فِي ذَلِكَ

6 – Malik telah meriwayatkan kepadaku dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia berkata: Aku mendengar al-Qasim bin Muhammad berkata: Umar bin al-Khattab memiliki seorang istri dari kalangan Anshar, lalu wanita itu melahirkan untuknya ‘Ashim bin Umar. Kemudian Umar menceraikannya. Suatu ketika Umar datang ke Quba’ dan mendapati putranya, ‘Ashim, sedang bermain di halaman masjid. Maka Umar memegang lengan ‘Ashim dan mendudukkannya di atas tunggangannya di hadapannya. Lalu nenek dari anak itu (ibu dari mantan istrinya) mengejarnya dan memperebutkan anak itu darinya, hingga keduanya datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Umar berkata, “Ini anakku.” Sementara wanita itu berkata, “Ini anakku.” Maka Abu Bakar berkata, “Biarkanlah anak itu bersama ibunya.” Umar pun tidak membantah perkataan Abu Bakar. Malik berkata, “Inilah pendapat yang aku pegang dalam masalah ini.”

بَابُ الْعَيْبِ فِي السِّلْعَةِ وَضَمَانِهَا قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ فِي الرَّجُلِ يَبْتَاعُ السِّلْعَةَ مِنَ الْحَيَوَانِ أَوِ الثِّيَابِ أَوِ الْعُرُوضِ: فَيُوجَدُ ذَلِكَ الْبَيْعُ غَيْرَ جَائِزٍ فَيُرَدُّ وَيُؤْمَرُ الَّذِي قَبَضَ السِّلْعَةَ أَنْ يَرُدَّ إِلَى صَاحِبِهِ سِلْعَتَهُ.

Bab tentang cacat pada barang dagangan dan jaminannya. Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata tentang seseorang yang membeli barang dagangan, baik berupa hewan, pakaian, atau barang-barang lainnya, lalu ternyata jual beli itu tidak sah, maka barang itu dikembalikan dan orang yang telah menerima barang tersebut diperintahkan untuk mengembalikan barang itu kepada pemiliknya.

قَالَ مَالِكٌ: فَلَيْسَ لِصَاحِبِ السِّلْعَةِ إِلَّا قِيمَتُهَا يَوْمَ قُبِضَتْ مِنْهُ وَلَيْسَ يَوْمَ يَرُدُّ ذَلِكَ إِلَيْهِ. وَذَلِكَ أَنَّهُ ضَمِنَهَا مِنْ يَوْمَ قَبَضَهَا. فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ نُقْصَانٍ بَعْدَ ذَلِكَ. كَانَ عَلَيْهِ. فَبِذَلِكَ كَانَ نِمَاؤُهَا وَزِيَادَتُهَا لَهُ. وَإِنَّ الرَّجُلَ يَقْبِضُ السِّلْعَةَ فِي زَمَانٍ هِيَ فِيهِ نَافِقَةٌ مَرْغُوبٌ فِيهَا ثُمَّ يَرُدُّهَا فِي زَمَانٍ هِيَ فِيهِ سَاقِطَةٌ لَا يُرِيدُهَا أَحَدٌ فَيَقْبِضُ الرَّجُلُ السِّلْعَةَ مِنَ الرَّجُلِ فَيَبِيعُهَا بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ. وَيُمْسِكُهَا وَثَمَنُهَا ذَلِكَ. ثُمَّ يَرُدُّهَا وَإِنَّمَا ثَمَنُهَا دِينَارٌ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَذْهَبَ مِنْ مَالِ الرَّجُلِ بِتِسْعَةِ دَنَانِيرَ أَوْ يَقْبِضُهَا مِنْهُ الرَّجُلُ فَيَبِيعُهَا بِدِينَارٍ. أَوْ يُمْسِكُهَا. وَإِنَّمَا ثَمَنُهَا دِينَارٌ. ثُمَّ يَرُدُّهَا وَقِيمَتُهَا يَوْمَ يَرُدُّهَا عَشَرَةُ دَنَانِيرَ. فَلَيْسَ عَلَى الَّذِي قَبَضَهَا أَنْ يَغْرَمَ لِصَاحِبِهَا مِنْ مَالِهِ تِسْعَةَ دَنَانِيرَ. إِنَّمَا عَلَيْهِ قِيمَةُ مَا قَبَضَ يَوْمَ قَبْضِهِ. قَالَ: وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَنَّ السَّارِقَ إِذَا سَرَقَ السِّلْعَةَ فَإِنَّمَا يُنْظَرُ إِلَى ثَمَنِهَا يَوْمَ يَسْرِقُهَا. فَإِنْ كَانَ يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ كَانَ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَإِنِ اسْتَأْخَرَ قَطْعُهُ إِمَّا فِي سِجْنٍ يُحْبَسُ فِيهِ حَتَّى يُنْظَرَ فِي شَأْنِهِ وَإِمَّا أَنْ يَهْرُبَ السَّارِقُ ثُمَّ يُؤْخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَلَيْسَ اسْتِئْخَارُ قَطْعِهِ بِالَّذِي يَضَعُ عَنْهُ حَدًّا قَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ يَوْمَ سَرَقَ وَإِنْ رَخُصَتْ تِلْكَ السِّلْعَةُ بَعْدَ ذَلِكَ. وَلَا بِالَّذِي يُوجِبُ عَلَيْهِ قَطْعًا لَمْ يَكُنْ وَجَبَ عَلَيْهِ يَوْمَ أَخَذَهَا إِنْ غَلَتْ تِلْكَ السِّلْعَةُ بَعْدَ ذَلِكَ

Malik berkata: Maka pemilik barang tidak berhak mendapatkan selain nilainya pada hari barang itu diambil darinya, bukan pada hari barang itu dikembalikan kepadanya. Hal itu karena ia telah menanggung barang itu sejak hari ia menerimanya. Maka, jika terjadi kekurangan pada barang itu setelahnya, maka itu menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian, pertumbuhan dan tambahan pada barang itu menjadi miliknya. Seseorang bisa saja menerima barang pada masa barang itu laku dan diminati, lalu ia mengembalikannya pada masa barang itu sudah tidak laku dan tidak diinginkan siapa pun. Seseorang menerima barang dari orang lain, lalu menjualnya seharga sepuluh dinar dan menahannya dengan harga tersebut. Kemudian ia mengembalikannya, padahal harganya hanya satu dinar. Maka tidak boleh ia mengambil sembilan dinar dari harta orang itu, atau seseorang menerima barang itu lalu menjualnya seharga satu dinar, atau menahannya, padahal harganya satu dinar, lalu ia mengembalikannya, sedangkan nilainya pada hari pengembalian adalah sepuluh dinar. Maka orang yang telah menerima barang itu tidak wajib membayar sembilan dinar dari hartanya kepada pemiliknya. Ia hanya wajib membayar nilai barang yang ia terima pada hari ia menerimanya. Malik berkata: Di antara yang menjelaskan hal ini adalah bahwa jika seorang pencuri mencuri barang, maka yang diperhatikan adalah harga barang pada hari ia mencurinya. Jika pada hari itu sudah wajib dipotong tangannya, maka itu yang berlaku, meskipun pelaksanaan hukumannya ditunda, baik karena ia dipenjara untuk menunggu urusannya atau karena pencurinya melarikan diri lalu ditangkap setelah itu. Maka penundaan pelaksanaan hukum tidak menggugurkan hukuman yang telah wajib pada hari ia mencuri, meskipun setelah itu harga barang menjadi murah. Dan tidak pula mewajibkan hukuman potong tangan jika pada hari ia mengambil barang itu belum wajib, meskipun setelah itu harga barang menjadi mahal.

بَابُ جَامِعِ الْقَضَاءِ وَكَرَاهِيَتِهِ

Bab tentang kumpulan hukum qadha’ dan hal-hal yang dimakruhkan darinya.

7 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ، كَتَبَ إِلَى سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ، أَنْ هَلُمَّ إِلَى الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ فَكَتَبَ إِلَيْهِ سَلْمَانُ: إِنَّ الْأَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا. وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ. وَقَدْ بَلَغَنِي أَنَّكَ جُعِلْتَ طَبِيبًا تُدَاوِي فَإِنْ كُنْتَ تُبْرِئُ فَنَعِمَّا لَكَ. وَإِنْ كُنْتَ مُتَطَبِّبًا فَاحْذَرْ أَنْ تَقْتُلَ إِنْسَانًا فَتَدْخُلَ النَّارَ فَكَانَ أَبُو الدَّرْدَاءِ إِذَا قَضَى بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ أَدْبَرَا عَنْهُ نَظَرَ إِلَيْهِمَا. وَقَالَ: ارْجِعَا إِلَيَّ أَعِيدَا عَلَيَّ قِصَّتَكُمَا مُتَطَبِّبٌ وَاللَّهِ. قَالَ: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: مَنِ اسْتَعَانَ عَبْدًا بِغَيْرِ إِذْنِ سَيِّدِهِ فِي شَيْءٍ لَهُ بَالٌ. وَلِمِثْلِهِ إِجَارَةٌ فَهُوَ ضَامِنٌ لِمَا أَصَابَ الْعَبْدَ. إِنْ أُصِيبَ الْعَبْدُ بِشَيْءٍ. وَإِنْ سَلِمَ الْعَبْدُ، فَطَلَبَ سَيِّدُهُ إِجَارَتَهُ لِمَا عَمِلَ، فَذَلِكَ لِسَيِّدِهِ. وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا قَالَ: وسَمِعْتُ مَالِكًا، يَقُولُ فِي الْعَبْدِ: يَكُونُ بَعْضُهُ حُرًّا وَبَعْضُهُ مُسْتَرَقًّا، إِنَّهُ يُوقَفُ مَالُهُ بِيَدِهِ. وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُحْدِثَ فِيهِ شَيْئًا. وَلَكِنَّهُ يَأْكُلُ فِيهِ وَيَكْتَسِي بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا هَلَكَ. فَمَالُهُ لِلَّذِي بَقِيَ لَهُ فِيهِ الرِّقُّ قَالَ: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ الْوَالِدَ يُحَاسِبُ وَلَدَهُ بِمَا أَنْفَقَ عَلَيْهِ مِنْ يَوْمِ يَكُونُ لِلْوَلَدِ مَالٌ. نَاضًّا كَانَ أَوْ عَرْضًا إِنْ أَرَادَ الْوَالِدُ ذَلِكَ.

7 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa Abu Darda’ menulis surat kepada Salman al-Farisi, “Mari datanglah ke tanah suci.” Maka Salman menulis balasan kepadanya, “Sesungguhnya tanah tidak dapat menyucikan siapa pun. Sesungguhnya yang menyucikan manusia adalah amal perbuatannya. Telah sampai kepadaku bahwa engkau dijadikan sebagai tabib yang mengobati orang. Jika engkau benar-benar menyembuhkan, maka itu baik bagimu. Namun jika engkau hanya berpura-pura sebagai tabib, maka berhati-hatilah jangan sampai membunuh seseorang sehingga engkau masuk neraka.” Maka Abu Darda’ apabila memutuskan perkara antara dua orang lalu keduanya pergi darinya, ia memandang kepada mereka dan berkata, “Kembalilah kepadaku, ceritakan kembali kisah kalian kepadaku. Demi Allah, aku hanyalah seperti tabib.” Ia berkata, “Aku mendengar Malik berkata: Barang siapa meminta bantuan seorang budak tanpa izin tuannya dalam suatu urusan yang penting, dan untuk urusan itu ada upah, maka ia bertanggung jawab atas apa pun yang menimpa budak tersebut. Jika budak itu mengalami sesuatu, maka ia bertanggung jawab. Namun jika budak itu selamat, lalu tuannya menuntut upah atas pekerjaan yang dilakukan budak itu, maka upah itu menjadi hak tuannya. Demikianlah ketentuan menurut kami.” Ia berkata, “Aku mendengar Malik berkata tentang budak yang sebagian dirinya merdeka dan sebagian lagi masih menjadi budak, maka hartanya tetap berada di tangannya, namun ia tidak boleh melakukan sesuatu terhadap hartanya itu. Ia boleh makan dan berpakaian darinya secara patut. Jika ia meninggal, maka hartanya menjadi milik pihak yang masih memiliki bagian perbudakan atasnya.” Ia berkata, “Aku mendengar Malik berkata: Ketentuan menurut kami, orang tua boleh menuntut perhitungan kepada anaknya atas apa yang telah ia nafkahkan sejak hari anak itu memiliki harta, baik berupa uang tunai maupun barang, jika orang tua menghendaki hal itu.”

8 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ دَلَافٍ الْمُزَنِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ جُهَيْنَةَ كَانَ يَسْبِقُ الْحَاجَّ فَيَشْتَرِي الرَّوَاحِلَ. فَيُغْلِي بِهَا. ثُمَّ يُسْرِعُ السَّيْرَ فَيَسْبِقُ الْحَاجَّ. فَأَفْلَسَ فَرُفِعَ أَمْرُهُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: أَمَّا بَعْدُ. أَيُّهَا النَّاسُ. فَإِنَّ الْأُسَيْفِعَ، أُسَيْفِعَ جُهَيْنَةَ رَضِيَ مِنْ دِينِهِ وَأَمَانَتِهِ. بِأَنْ يُقَالَ سَبَقَ الْحَاجَّ أَلَا وَإِنَّهُ قَدْ دَانَ مُعْرِضًا. فَأَصْبَحَ قَدْ رِينَ بِهِ. فَمَنْ كَانَ لَهُ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا بِالْغَدَاةِ. نَقْسِمُ مَالَهُ بَيْنَهُمْ. وَإِيَّاكُمْ وَالدَّيْنَ فَإِنَّ أَوَّلَهُ هَمٌّ وَآخِرَهُ حَرْبٌ

8 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari ‘Umar bin ‘Abd ar-Rahman bin Dalaf al-Muzani, dari ayahnya, bahwa seorang laki-laki dari Juhainah biasa mendahului jamaah haji lalu membeli hewan tunggangan, kemudian menjualnya dengan harga tinggi. Setelah itu ia mempercepat perjalanan sehingga kembali mendahului jamaah haji. Lalu ia bangkrut, dan perkaranya diajukan kepada ‘Umar bin al-Khattab. Maka ‘Umar berkata, “Amma ba‘du. Wahai manusia, sesungguhnya al-Usaifi‘, Usaifi‘ Juhainah, merasa cukup dalam urusan agama dan amanahnya hanya dengan dikatakan ‘ia telah mendahului jamaah haji’. Ketahuilah, ia telah berutang dengan cara yang tidak benar, dan kini ia telah terjerat utang. Maka siapa pun yang memiliki piutang atasnya, hendaklah datang kepada kami besok pagi, agar kami membagikan hartanya di antara mereka. Dan jauhilah utang, karena awalnya adalah kegelisahan dan akhirnya adalah permusuhan.”

بَابُ مَا جَاءَ فِيمَا أَفْسَدَ الْعَبِيدُ أَوْ جَرَحُوا
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: السُّنَّةُ عِنْدَنَا فِي جِنَايَةِ الْعَبِيدِ. أَنَّ كُلَّ مَا أَصَابَ الْعَبْدُ مِنْ جُرْحٍ جَرَحَ بِهِ إِنْسَانًا. أَوْ شَيْءٍ اخْتَلَسَهُ. أَوْ حَرِيسَةٍ احْتَرَسَهَا، أَوْ تَمْرٍ مُعَلَّقٍ جَذَّهُ أَوْ أَفْسَدَهُ أَوْ سَرِقَةٍ سَرَقَهَا لَا قَطْعَ عَلَيْهِ فِيهَا، إِنَّ ذَلِكَ فِي رَقَبَةِ الْعَبْدِ. لَا يَعْدُو ذَلِكَ الرَّقَبَةَ. قَلَّ ذَلِكَ أَوْ كَثُرَ فَإِنْ شَاءَ سَيِّدُهُ أَنْ يُعْطِيَ قِيمَةَ مَا أَخَذَ غُلَامُهُ، أَوْ أَفْسَدَ أَوْ عَقْلَ مَا جَرَحَ، أَعْطَاهُ. وَأَمْسَكَ غُلَامَهُ وَإِنْ شَاءَ أَنْ يُسْلِمَهُ أَسْلَمَهُ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ غَيْرُ ذَلِكَ فَسَيِّدُهُ فِي ذَلِكَ بِالْخِيَارِ

Bab tentang apa yang terjadi jika budak merusak atau melukai.
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Sunnah menurut kami dalam kasus tindak pidana yang dilakukan budak adalah, setiap luka yang ditimbulkan budak kepada seseorang, atau sesuatu yang diambilnya secara diam-diam, atau barang yang dijaganya lalu rusak, atau kurma yang tergantung yang dipetik atau dirusaknya, atau pencurian yang dilakukannya—tidak ada hukuman potong tangan atasnya—semua itu menjadi tanggungan budak tersebut. Tidak melebihi tanggungan budak itu, sedikit atau banyak. Jika tuannya mau, ia dapat membayar nilai barang yang diambil atau dirusak oleh budaknya, atau membayar diyat atas luka yang ditimbulkan, lalu ia tetap memelihara budaknya. Jika ia mau, ia dapat menyerahkan budaknya, dan ia tidak menanggung apa pun selain itu. Maka tuan budak memiliki pilihan dalam hal ini.

بَابُ مَا يَجُوزُ مِنَ النُّحْلِ

Bab tentang apa yang boleh diberikan sebagai hibah (nuhlah).

9 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، قَالَ: مَنْ نَحَلَ وَلَدًا لَهُ صَغِيرًا لَمْ يَبْلُغْ أَنْ يَحُوزَ نُحْلَهُ فَأَعْلَنَ ذَلِكَ لَهُ. وَأَشْهَدَ عَلَيْهَا. فَهِيَ جَائِزَةٌ. وَإِنْ وَلِيَهَا أَبُوهُ

9 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa ‘Utsman bin ‘Affan berkata: Barang siapa memberikan hibah (nuhlah) kepada anaknya yang masih kecil yang belum mampu menerima dan menguasai hibah itu, lalu ia mengumumkannya dan menghadirkan saksi atasnya, maka hibah itu sah, sekalipun ayahnya sendiri yang mengurusnya.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ مَنْ نَحَلَ ابْنًا لَهُ صَغِيرًا ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا ثُمَّ هَلَكَ وَهُوَ يَلِيهِ، إِنَّهُ لَا شَيْءَ لِلْابْنِ مِنْ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْأَبُ عَزَلَهَا بِعَيْنِهَا، أَوْ دَفَعَهَا إِلَى رَجُلٍ وَضَعَهَا لِابْنِهِ عِنْدَ ذَلِكَ الرَّجُلِ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ جَائِزٌ لِلْابْنِ

Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa siapa saja yang memberikan hibah emas atau perak kepada anaknya yang masih kecil, kemudian ia meninggal dunia sementara ia masih menjadi wali anak tersebut, maka anak itu tidak berhak atas apa pun dari hibah tersebut, kecuali jika sang ayah telah memisahkan harta itu secara khusus, atau menyerahkannya kepada seseorang dan menitipkannya untuk anaknya pada orang tersebut. Jika ia melakukan hal itu, maka hibah itu sah untuk anaknya.

38 – كِتَابُ الْعِتْقِ وَالْوَلَاءِ

بَابُ مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ

Bab tentang Seseorang yang Membebaskan Bagian Kepemilikannya pada Seorang Budak

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ. فَكَانَ لَهُ مَالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ الْعَبْدِ، قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيمَةَ الْعَدْلِ. فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ. وَعَتَقَ عَلَيْهِ الْعَبْدُ. وَإِلَّا فَقَدْ عَتَقَ مِنْهُ مَا عَتَقَ

1 – Malik meriwayatkan dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa membebaskan bagian kepemilikannya pada seorang budak, lalu ia memiliki harta yang cukup untuk menebus harga budak tersebut, maka budak itu dinilai dengan nilai keadilan, lalu ia memberikan bagian para sekutunya, dan budak itu menjadi merdeka seluruhnya. Jika tidak, maka yang merdeka hanyalah bagian yang telah dibebaskan.”

قَالَ مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ. فَكَانَ لَهُ مَالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ الْعَبْدِ، قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيمَةَ الْعَدْلِ. فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ. وَعَتَقَ عَلَيْهِ الْعَبْدُ. وَإِلَّا فَقَدْ عَتَقَ مِنْهُ مَا عَتَقَ

Malik meriwayatkan dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa membebaskan bagian kepemilikannya pada seorang budak, lalu ia memiliki harta yang cukup untuk menebus harga budak tersebut, maka budak itu dinilai dengan nilai keadilan, lalu ia memberikan bagian para sekutunya, dan budak itu menjadi merdeka seluruhnya. Jika tidak, maka yang merdeka hanyalah bagian yang telah dibebaskan.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي الْعَبْدِ يُعْتِقُ سَيِّدُهُ مِنْهُ شِقْصًا. ثُلُثَهُ أَوْ رُبُعَهُ أَوْ نِصْفَهُ. أَوْ سَهْمًا مِنَ الْأَسْهُمِ بَعْدَ مَوْتِهِ. أَنَّهُ لَا يَعْتِقُ مِنْهُ إِلَّا مَا أَعْتَقَ سَيِّدُهُ وَسَمَّى مِنْ ذَلِكَ الشِّقْصِ. وَذَلِكَ أَنَّ عَتَاقَةَ ذَلِكَ الشِّقْصِ، إِنَّمَا وَجَبَتْ وَكَانَتْ بَعْدَ وَفَاةِ الْمَيِّتِ، وَأَنَّ سَيِّدَهُ كَانَ مُخَيَّرًا فِي ذَلِكَ مَا عَاشَ. فَلَمَّا وَقَعَ الْعِتْقُ لِلْعَبْدِ عَلَى سَيِّدِهِ الْمُوصِي، لَمْ يَكُنْ لِلْمُوصِي إِلَّا مَا أَخَذَ مِنْ مَالِهِ. وَلَمْ يَعْتِقْ مَا بَقِيَ مِنَ الْعَبْدِ. لِأَنَّ مَالَهُ قَدْ صَارَ لِغَيْرِهِ. فَكَيْفَ يَعْتِقُ مَا بَقِيَ مِنَ الْعَبْدِ عَلَى قَوْمٍ آخَرِينَ. لَيْسُوا هُمُ ابْتَدَءُوا الْعَتَاقَةَ. وَلَا أَثْبَتُوهَا. وَلَا لَهُمُ الْوَلَاءُ وَلَا يَثْبُتُ لَهُمْ وَإِنَّمَا صَنَعَ ذَلِكَ الْمَيِّتُ هُوَ الَّذِي أَعْتَقَ. وَأُثْبِتَ لَهُ الْوَلَاءُ. فَلَا يُحْمَلُ ذَلِكَ فِي مَالِ غَيْرِهِ إِلَّا أَنْ يُوصِيَ بِأَنْ يَعْتِقَ مَا بَقِيَ مِنْهُ فِي مَالِهِ. فَإِنَّ ذَلِكَ لَازِمٌ لِشُرَكَائِهِ وَوَرَثَتِهِ. وَلَيْسَ لِشُرَكَائِهِ أَنْ يَأْبَوْا ذَلِكَ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي ثُلُثِ مَالِ الْمَيِّتِ. لِأَنَّهُ لَيْسَ عَلَى وَرَثَتِهِ فِي ذَلِكَ ضَرَرٌ.

Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami mengenai seorang budak yang tuannya membebaskan sebagian kepemilikannya—sepertiga, seperempat, setengah, atau satu bagian dari beberapa bagian—setelah kematiannya, adalah bahwa yang merdeka hanyalah bagian yang dibebaskan dan disebutkan secara jelas oleh tuannya dari bagian tersebut. Hal itu karena pembebasan bagian tersebut hanya berlaku dan terjadi setelah wafatnya si pewasiat, dan selama ia masih hidup, tuannya bebas memilih. Maka, ketika pembebasan itu berlaku untuk budak atas nama tuan yang berwasiat, maka yang menjadi hak pewasiat hanyalah apa yang diambil dari hartanya, dan bagian budak yang tersisa tidak menjadi merdeka. Sebab, hartanya telah menjadi milik orang lain. Bagaimana mungkin bagian yang tersisa dari budak itu menjadi merdeka atas orang-orang lain yang bukan mereka yang memulai pembebasan dan tidak menetapkannya, serta mereka tidak berhak atas al-walā’ dan tidak ditetapkan untuk mereka? Sesungguhnya yang melakukan hal itu adalah si mayit yang membebaskan, dan hak al-walā’ ditetapkan untuknya. Maka, hal itu tidak berlaku atas harta orang lain kecuali jika ia berwasiat agar bagian yang tersisa dari budak itu dibebaskan dari hartanya. Maka, hal itu wajib bagi para sekutunya dan ahli warisnya, dan para sekutunya tidak boleh menolak hal itu selama masih dalam sepertiga harta si mayit, karena tidak ada mudarat bagi ahli warisnya dalam hal tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَوْ أَعْتَقَ رَجُلٌ ثُلُثَ عَبْدِهِ وَهُوَ مَرِيضٌ. فَبَتَّ عِتْقَهُ عَتَقَ عَلَيْهِ كُلُّهُ فِي ثُلُثِهِ. وَذَلِكَ أَنَّهُ لَيْسَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يُعْتِقُ ثُلُثَ عَبْدِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ. لِأَنَّ الَّذِي يُعْتِقُ ثُلُثَ عَبْدِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ، لَوْ عَاشَ رَجَعَ فِيهِ. وَلَمْ يَنْفُذْ عِتْقُهُ. وَأَنَّ الْعَبْدَ الَّذِي يَبِتُّ سَيِّدُهُ عِتْقَ ثُلُثِهِ فِي مَرَضِهِ، يَعْتِقُ عَلَيْهِ كُلُّهُ إِنْ عَاشَ. وَإِنْ مَاتَ عَتَقَ عَلَيْهِ فِي ثُلُثِهِ. وَذَلِكَ أَنَّ أَمْرَ الْمَيِّتِ جَائِزٌ فِي ثُلُثِهِ. كَمَا أَنَّ أَمْرَ الصَّحِيحِ جَائِزٌ فِي مَالِهِ كُلِّهِ

Malik berkata: Jika seseorang membebaskan sepertiga budaknya sementara ia sedang sakit, lalu ia menegaskan pembebasan itu, maka seluruh budak itu menjadi merdeka dari sepertiga hartanya. Hal ini berbeda dengan orang yang membebaskan sepertiga budaknya setelah kematiannya, karena orang yang membebaskan sepertiga budaknya setelah kematiannya, jika ia masih hidup, ia dapat menarik kembali wasiatnya dan pembebasan itu tidak berlaku. Sedangkan budak yang tuannya menegaskan pembebasan sepertiganya saat ia sakit, maka seluruh budak itu menjadi merdeka jika tuannya sembuh, dan jika ia meninggal, maka budak itu merdeka dari sepertiga hartanya. Hal ini karena ketentuan bagi orang yang meninggal berlaku pada sepertiga hartanya, sebagaimana ketentuan bagi orang sehat berlaku pada seluruh hartanya.

بَابُ الشَّرْطِ فِي الْعِتْقِ
2 – قَالَ مَالِكٌ: مَنْ أَعْتَقَ عَبْدًا لَهُ فَبَتَّ عِتْقَهُ، حَتَّى تَجُوزَ شَهَادَتُهُ وَتَتِمَّ حُرِّيَّتُهُ وَيَثْبُتَ مِيرَاثُهُ. ” فَلَيْسَ لِسَيِّدِهِ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِ مِثْلَ مَا يَشْتَرِطُ عَلَى عَبْدِهِ مِنْ مَالٍ أَوْ خِدْمَةٍ. وَلَا يَحْمِلَ عَلَيْهِ شَيْئًا مِنَ الرِّقِّ. لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيمَةَ الْعَدْلِ. فَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ. وَعَتَقَ عَلَيْهِ الْعَبْدُ

Bab Syarat dalam Pembebasan Budak
2 – Malik berkata: Siapa yang membebaskan budaknya dan menegaskan pembebasannya, sehingga kesaksiannya sah, kemerdekaannya sempurna, dan hak warisnya tetap, maka tuannya tidak boleh mensyaratkan kepadanya sesuatu seperti yang disyaratkan kepada budaknya, baik berupa harta maupun pelayanan, dan tidak boleh membebankan kepadanya sesuatu dari perbudakan. Karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa membebaskan bagian kepemilikannya pada seorang budak, maka budak itu dinilai dengan nilai keadilan, lalu ia memberikan bagian para sekutunya, dan budak itu menjadi merdeka seluruhnya.”

قَالَ مَالِكٌ: فَهُوَ، إِذَا كَانَ لَهُ الْعَبْدُ خَالِصًا أَحَقُّ بِاسْتِكْمَالِ عَتَاقَتِهِ. وَلَا يَخْلِطُهَا بِشَيْءٍ مِنَ الرِّقِّ

Malik berkata: Maka, apabila budak itu sepenuhnya miliknya, ia lebih berhak untuk menyempurnakan pembebasannya. Dan ia tidak mencampurnya dengan sesuatu pun dari status perbudakan.

بَابُ مَنْ أَعْتَقَ رَقِيقًا لَا يَمْلِكُ مَالًا غَيْرَهُمْ

Bab tentang orang yang memerdekakan budak-budak yang tidak memiliki harta selain mereka.

3 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، وَعَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ، وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، أَنَّ رَجُلًا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْتَقَ عَبِيدًا لَهُ سِتَّةً عِنْدَ مَوْتِهِ فَأَسْهَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُمْ فَأَعْتَقَ ثُلُثَ تِلْكَ الْعَبِيدِ

3 – Malik menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dan dari lebih dari satu orang, dari al-Hasan bin Abi al-Hasan al-Bashri, dan dari Muhammad bin Sirin, bahwa ada seorang laki-laki pada masa Rasulullah ﷺ yang memerdekakan enam orang budaknya ketika menjelang wafatnya. Maka Rasulullah ﷺ melakukan undian di antara mereka, lalu memerdekakan sepertiga dari budak-budak tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: وَبَلَغَنِي أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِذَلِكَ الرَّجُلِ مَالٌ غَيْرُهُمْ

Malik berkata: Dan sampai kepadaku bahwa laki-laki itu tidak memiliki harta selain mereka.

4 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ رَجُلًا فِي إِمَارَةِ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ، أَعْتَقَ رَقِيقًا لَهُ كُلَّهُمْ جَمِيعًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرُهُمْ. فَأَمَرَ أَبَانُ بْنُ عُثْمَانَ، بِتِلْكَ الرَّقِيقِ فَقُسِمَتْ أَثْلَاثًا. ثُمَّ أَسْهَمَ عَلَى أَيِّهِمْ يَخْرُجُ سَهْمُ الْمَيِّتِ فَيَعْتِقُونَ. فَوَقَعَ السَّهْمُ عَلَى أَحَدِ الْأَثْلَاثِ فَعَتَقَ الثُّلُثُ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهِ السَّهْمُ

4 – Dan Malik menceritakan kepadaku, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, bahwa ada seorang laki-laki pada masa pemerintahan Aban bin ‘Utsman yang memerdekakan seluruh budaknya, dan ia tidak memiliki harta selain mereka. Maka Aban bin ‘Utsman memerintahkan agar budak-budak itu dibagi menjadi tiga bagian. Kemudian diundi, pada bagian mana yang keluar undiannya untuk si mayit, maka mereka dimerdekakan. Maka undian jatuh pada salah satu dari tiga bagian itu, lalu sepertiga yang terkena undian itu pun dimerdekakan.

بَابُ الْقَضَاءِ فِي مَالِ الْعَبْدِ إِذَا عَتَقَ

Bab tentang putusan hukum atas harta budak apabila ia dimerdekakan.

5 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا أُعْتِقَ تَبِعَهُ مَالُهُ قَالَ مَالِكٌ: وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا أُعْتِقَ تَبِعَهُ مَالُهُ، أَنَّ الْمُكَاتَبَ إِذَا كُوتِبَ تَبِعَهُ مَالُهُ. وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْهُ الْمُكَاتِبُ، وَذَلِكَ أَنَّ عَقْدَ الْكِتَابَةِ هُوَ عَقْدُ الْوَلَاءِ. إِذَا تَمَّ ذَلِكَ وَلَيْسَ مَالُ الْعَبْدِ وَالْمُكَاتَبِ بِمَنْزِلَةِ مَا كَانَ لَهُمَا مِنْ وَلَدٍ إِنَّمَا أَوْلَادُهُمَا بِمَنْزِلَةِ رِقَابِهِمَا لَيْسُوا بِمَنْزِلَةِ أَمْوَالِهِمَا لِأَنَّ السُّنَّةَ الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا عَتَقَ تَبِعَهُ مَالُهُ وَلَمْ يَتْبَعْهُ وَلَدُهُ وَأَنَّ الْمُكَاتَبَ إِذَا كُوتِبَ تَبِعَهُ مَالُهُ وَلَمْ يَتْبَعْهُ وَلَدُهُ.

5 – Malik menceritakan kepadaku, dari Ibn Syihab, bahwa ia mendengarnya berkata: Sunnah yang telah berlaku adalah bahwa apabila seorang budak dimerdekakan, maka hartanya mengikutinya. Malik berkata: Dan di antara yang menjelaskan hal itu adalah bahwa apabila seorang budak dimerdekakan, maka hartanya mengikutinya, sebagaimana seorang mukatab apabila ia melakukan akad kitabah, maka hartanya juga mengikutinya, meskipun hal itu tidak disyaratkan oleh mukatib. Karena akad kitabah itu adalah akad wala’. Apabila hal itu telah sempurna, maka harta budak dan mukatab tidaklah sama dengan anak-anak yang mereka miliki. Anak-anak mereka itu kedudukannya seperti leher mereka (yaitu budak), bukan seperti harta mereka. Karena sunnah yang tidak ada perbedaan di dalamnya adalah bahwa apabila budak dimerdekakan, maka hartanya mengikutinya dan anaknya tidak mengikutinya, dan apabila mukatab melakukan akad kitabah, maka hartanya mengikutinya dan anaknya tidak mengikutinya.

قَالَ مَالِكٌ: وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَيْضًا أَنَّ الْعَبْدَ وَالْمُكَاتَبَ إِذَا أَفْلَسَا أُخِذَتْ أَمْوَالُهُمَا وَأُمَّهَاتُ أَوْلَادِهِمَا. وَلَمْ تُؤْخَذْ أَوْلَادُهُمَا لِأَنَّهُمْ لَيْسُوا بِأَمْوَالٍ لَهُمَا.

Malik berkata: Dan di antara yang menjelaskan hal itu juga adalah bahwa apabila budak dan mukatab bangkrut, maka harta mereka dan ummahat awlad mereka diambil, namun anak-anak mereka tidak diambil, karena mereka bukanlah harta bagi keduanya.

قَالَ مَالِكٌ: وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَيْضًا أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا بِيعَ وَاشْتَرَطَ الَّذِي ابْتَاعَهُ مَالَهُ. لَمْ يَدْخُلْ وَلَدُهُ فِي مَالِهِ.

Malik berkata: Dan di antara yang menjelaskan hal itu juga adalah bahwa apabila budak dijual dan orang yang membelinya mensyaratkan hartanya, maka anaknya tidak termasuk dalam hartanya.

قَالَ مَالِكٌ: وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَيْضًا أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا جَرَحَ أُخِذَ هُوَ وَمَالُهُ وَلَمْ يُؤْخَذْ وَلَدُهُ

Malik berkata: Dan di antara yang menjelaskan hal itu juga adalah bahwa apabila budak melukai (seseorang), maka ia dan hartanya diambil, namun anaknya tidak diambil.

بَابُ عِتْقِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ وَجَامِعِ الْقَضَاءِ فِي الْعَتَاقَةِ

Bab tentang pembebasan ummahat awlad dan kumpulan putusan hukum tentang pembebasan budak.

6 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، قَالَ: أَيُّمَا وَلِيدَةٍ وَلَدَتْ مِنْ سَيِّدِهَا. فَإِنَّهُ لَا يَبِيعُهَا وَلَا يَهَبُهَا وَلَا يُوَرِّثُهَا. وَهُوَ يَسْتَمْتِعُ بِهَا. فَإِذَا مَاتَ فَهِيَ حُرَّةٌ

6 – Malik menceritakan kepadaku, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ‘Umar bin al-Khattab berkata: Setiap wanita budak yang melahirkan anak dari tuannya, maka ia tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Namun tuannya boleh menikmati dirinya. Apabila tuannya meninggal, maka ia menjadi merdeka.

7 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَتْهُ وَلِيدَةٌ قَدْ ضَرَبَهَا سَيِّدُهَا بِنَارٍ أَوْ أَصَابَهَا بِهَا فَأَعْتَقَهَا

7 – Dan Malik menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Umar bin al-Khattab didatangi oleh seorang wanita budak yang telah dipukul oleh tuannya dengan api atau telah terkena api itu, lalu ia memerdekakannya.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَا تَجُوزُ عَتَاقَةُ رَجُلٍ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِمَالِهِ. وَأَنَّهُ لَا تَجُوزُ عَتَاقَةُ الْغُلَامِ حَتَّى يَحْتَلِمَ أَوْ يَبْلُغَ مَبْلَغَ الْمُحْتَلِمِ وَأَنَّهُ لَا تَجُوزُ عَتَاقَةُ الْمُوَلَّى عَلَيْهِ فِي مَالِهِ. وَإِنْ بَلَغَ الْحُلُمَ حَتَّى يَلِيَ مَالَهُ

Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami adalah bahwa tidak sah pembebasan seorang laki-laki yang memiliki utang yang meliputi seluruh hartanya. Dan tidak sah pembebasan seorang anak laki-laki sampai ia mimpi basah atau mencapai usia mimpi basah. Dan tidak sah pembebasan orang yang berada di bawah perwalian dalam hartanya, meskipun ia telah baligh, sampai ia mampu mengelola hartanya sendiri.

بَابُ مَا يَجُوزُ مِنَ الْعِتْقِ فِي الرِّقَابِ الْوَاجِبَةِ

Bab tentang pembebasan budak yang sah dalam rangka membebaskan budak yang wajib (dalam kaffarah dan semacamnya).

8 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِلَالِ بْنِ أُسَامَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ، أَنَّهُ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ جَارِيَةً لِي كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِي. فَجِئْتُهَا. وَقَدْ فُقِدَتْ شَاةٌ مِنَ الْغَنَمِ. فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ: أَكَلَهَا الذِّئْبُ. فَأَسِفْتُ عَلَيْهَا. وَكُنْتُ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأُعْتِقُهَا. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيْنَ اللَّهُ؟ فَقَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. فَقَالَ: مَنْ أَنَا؟ فَقَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْتِقْهَا

8 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Hilal bin Usamah, dari ‘Atha’ bin Yasar, dari ‘Umar bin al-Hakam, bahwa ia berkata: Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki seorang budak perempuan yang menggembalakan kambing-kambingku. Aku mendatanginya, dan ternyata seekor kambingku hilang. Aku bertanya kepadanya tentang hal itu, lalu ia menjawab, ‘Kambing itu dimakan serigala.’ Aku pun menyesal atas kejadian itu, dan aku hanyalah manusia biasa dari keturunan Adam, maka aku menampar wajahnya. Kini aku wajib memerdekakan seorang budak, apakah aku boleh memerdekakannya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Di mana Allah?” Ia menjawab, “Di langit.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah aku?” Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia.”

9 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجَارِيَةٍ لَهُ سَوْدَاءَ. فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلَيَّ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً. فَإِنْ كُنْتَ تَرَاهَا مُؤْمِنَةً أُعْتِقُهَا. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْهَدِينَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: أَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: أَتُوقِنِينَ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْتِقْهَا

9 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ud, bahwa seorang laki-laki dari kalangan Anshar datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa seorang budak perempuannya yang berkulit hitam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku wajib memerdekakan seorang budak yang beriman. Jika engkau menganggapnya beriman, aku akan memerdekakannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya, “Apakah engkau meyakini adanya kebangkitan setelah mati?” Ia menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Merdekakanlah dia.”

10 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنِ الْمَقْبُرِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: سُئِلَ أَبُو هُرَيْرَةَ، عَنِ الرَّجُلِ تَكُونُ عَلَيْهِ رَقَبَةٌ. هَلْ يُعْتِقُ فِيهَا ابْنَ زِنًا؟ فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: نَعَمْ. ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ

10 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya dari al-Maqburi, bahwa ia berkata: Abu Hurairah pernah ditanya tentang seseorang yang wajib memerdekakan seorang budak, apakah boleh memerdekakan anak hasil zina? Abu Hurairah menjawab, “Ya, itu sah baginya.”

11 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ، عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ، وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَنَّهُ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ تَكُونُ عَلَيْهِ رَقَبَةٌ. هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يُعْتِقَ وَلَدَ زِنًا؟ قَالَ: نَعَمْ. ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ

11 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya dari Fadhalah bin ‘Ubaid al-Anshari, dan ia termasuk sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ia pernah ditanya tentang seseorang yang wajib memerdekakan seorang budak, apakah boleh memerdekakan anak hasil zina? Ia menjawab, “Ya, itu sah baginya.”

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنَ الْعِتْقِ فِي الرِّقَابِ الْوَاجِبَةِ

Bab: Hal-hal yang Tidak Diperbolehkan dalam Memerdekakan Budak pada Kewajiban Membebaskan Budak

12 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ سُئِلَ عَنِ الرَّقَبَةِ الْوَاجِبَةِ هَلْ تُشْتَرَى بِشَرْطٍ؟ فَقَالَ: لَا

12 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar pernah ditanya tentang budak yang wajib dimerdekakan, apakah boleh membelinya dengan syarat tertentu? Ia menjawab, “Tidak.”

قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي الرِّقَابِ الْوَاجِبَةِ. أَنَّهُ لَا يَشْتَرِيهَا الَّذِي يُعْتِقُهَا فِيمَا وَجَبَ عَلَيْهِ بِشَرْطٍ عَلَى أَنْ يُعْتِقَهَا. لِأَنَّهُ إِذَا فَعَلَ ذَلِكَ فَلَيْسَتْ بِرَقَبَةٍ تَامَّةٍ. لِأَنَّهُ يَضَعُ مِنْ ثَمَنِهَا لِلَّذِي يَشْتَرِطُ مِنْ عِتْقِهَا.

Malik berkata: Itulah pendapat terbaik yang aku dengar tentang budak yang wajib dimerdekakan, yaitu tidak boleh orang yang hendak memerdekakannya membelinya dengan syarat harus dimerdekakan. Karena jika demikian, maka itu bukan budak yang sempurna, sebab ia telah mengurangi harga dari budak itu bagi orang yang mensyaratkan pembebasannya.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِيَ الرَّقَبَةَ فِي التَّطَوُّعِ وَيَشْتَرِطَ أَنْ يُعْتِقَهَا.

Malik berkata: Tidak mengapa membeli budak untuk tujuan sukarela (tathawwu‘) dengan syarat akan dimerdekakan.

قَالَ مَالِكٌ: إِنَّ أَحْسَنَ مَا سُمِعَ فِي الرِّقَابِ الْوَاجِبَةِ، ” أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْتَقَ فِيهَا نَصْرَانِيٌّ وَلَا يَهُودِيٌّ. وَلَا يُعْتَقُ فِيهَا مُكَاتَبٌ. وَلَا مُدَبَّرٌ وَلَا أُمُّ وَلَدٍ. وَلَا مُعْتَقٌ إِلَى سِنِينَ. وَلَا أَعْمَى. وَلَا بَأْسَ أَنْ يُعْتَقَ النَّصْرَانِيُّ وَالْيَهُودِيُّ وَالْمَجُوسِيُّ تَطَوُّعًا. لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ: {فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً} [محمد: 4] فَالْمَنُّ الْعَتَاقَةُ “.

Malik berkata: Pendapat terbaik yang aku dengar tentang budak yang wajib dimerdekakan adalah, “Tidak boleh memerdekakan di dalamnya seorang Nasrani maupun Yahudi, tidak pula budak mukatab, mudabbar, ummu walad, budak yang dimerdekakan dengan penundaan waktu, atau budak yang buta. Namun tidak mengapa memerdekakan Nasrani, Yahudi, dan Majusi secara sukarela, karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Kemudian setelah itu (kamu boleh) membebaskan mereka atau menerima tebusan} [Muhammad: 4], dan membebaskan itu adalah memerdekakan.”

قَالَ مَالِكٌ: فَأَمَّا الرِّقَابُ الْوَاجِبَةُ الَّتِي ذَكَرَ اللَّهُ فِي الْكِتَابِ. فَإِنَّهُ لَا يُعْتَقُ فِيهَا إِلَّا رَقَبَةٌ مُؤْمِنَةٌ.

Malik berkata: Adapun budak-budak yang wajib dimerdekakan sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Kitab-Nya, maka tidak boleh dimerdekakan kecuali budak yang beriman.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَكَذَلِكَ فِي إِطْعَامِ الْمَسَاكِينِ فِي الْكَفَّارَاتِ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُطْعَمَ فِيهَا إِلَّا الْمُسْلِمُونَ. وَلَا يُطْعَمُ فِيهَا أَحَدٌ عَلَى غَيْرِ دِينِ الْإِسْلَامِ

Malik berkata: “Demikian pula dalam memberi makan orang miskin pada kafarat, tidak sepatutnya diberikan kecuali kepada kaum Muslimin, dan tidak boleh diberikan kepada siapa pun yang bukan beragama Islam.”

بَابُ عِتْقِ الْحَيِّ عَنِ الْمَيِّتِ

Bab: Memerdekakan Budak Atas Nama Orang yang Telah Meninggal

13 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَمْرَةَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ أُمَّهُ أَرَادَتْ أَنْ تُوصِيَ، ثُمَّ أَخَّرَتْ ذَلِكَ إِلَى أَنْ تُصْبِحَ. فَهَلَكَتْ، وَقَدْ كَانَتْ هَمَّتْ بِأَنْ تُعْتِقَ. فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: فَقُلْتُ لِلْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ: أَيَنْفَعُهَا أَنْ أُعْتِقَ عَنْهَا، فَقَالَ الْقَاسِمُ: إِنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّي هَلَكَتْ فَهَلْ يَنْفَعُهَا أَنْ أُعْتِقَ عَنْهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ

13 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abdurrahman bin Abi ‘Amrah al-Anshari, bahwa ibunya ingin berwasiat, lalu menunda hal itu hingga pagi hari. Namun ia wafat, padahal sebelumnya ia berniat untuk memerdekakan (budak). Maka ‘Abdurrahman berkata: Aku bertanya kepada al-Qasim bin Muhammad, “Apakah bermanfaat baginya jika aku memerdekakan (budak) atas namanya?” Al-Qasim menjawab: “Sesungguhnya Sa‘d bin ‘Ubadah pernah berkata kepada Rasulullah ﷺ, ‘Ibuku telah wafat, apakah bermanfaat baginya jika aku memerdekakan (budak) atas namanya?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ya.’”

14 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: تُوُفِّيَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ فِي نَوْمٍ نَامَهُ فَأَعْتَقَتْ عَنْهُ عَائِشَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِقَابًا كَثِيرَةً

14 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia berkata: ‘Abdurrahman bin Abi Bakr wafat dalam tidurnya, lalu ‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, memerdekakan banyak budak atas namanya.

قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي ذَلِكَ

Malik berkata: Inilah pendapat yang paling aku sukai dalam masalah ini.

بَابُ فَضْلِ عِتْقِ الرِّقَابِ وَعِتْقِ الزَّانِيَةِ وَابْنِ الزِّنَا

Bab Keutamaan Memerdekakan Budak, Memerdekakan Pezina Perempuan, dan Anak Hasil Zina

15 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الرِّقَابِ أَيُّهَا أَفْضَلُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَغْلَاهَا ثَمَنًا وَأَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا

15 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang budak mana yang paling utama (untuk dimerdekakan)? Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Yang paling mahal harganya dan paling berharga di mata pemiliknya.”

16 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ أَعْتَقَ وَلَدَ زِنًا وَأُمَّهُ

16 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia telah memerdekakan anak hasil zina dan ibunya.

بَابُ مَصِيرِ الْوَلَاءِ لِمَنْ أَعْتَقَ

Bab Tentang Kewalian (walā’) Menjadi Milik Orang yang Memerdekakan

17 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: جَاءَتْ بَرِيرَةُ فَقَالَتْ: إِنِّي كَاتَبْتُ أَهْلِي عَلَى تِسْعِ أَوَاقٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُوقِيَّةٌ فَأَعِينِينِي. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أَعُدَّهَا لَهُمْ عَنْكِ. عَدَدْتُهَا وَيَكُونَ لِي وَلَاؤُكِ فَعَلْتُ. فَذَهَبَتْ بَرِيرَةُ إِلَى أَهْلِهَا. فَقَالَتْ لَهُمْ ذَلِكَ فَأَبَوْا عَلَيْهَا. فَجَاءَتْ مِنْ عِنْدِ أَهْلِهَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ. فَقَالَتْ لِعَائِشَةَ إِنِّي قَدْ عَرَضْتُ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ فَأَبَوْا عَلَيَّ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْوَلَاءُ لَهُمْ. فَسَمِعَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَسَأَلَهَا. فَأَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذِيهَا وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الْوَلَاءَ. فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ فَفَعَلَتْ عَائِشَةُ. ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّاسِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ. وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ. قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ. وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ. وَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

17 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata: Barirah datang dan berkata: “Aku telah melakukan mukātabah dengan tuanku atas sembilan uqiyah, setiap tahun satu uqiyah. Maka bantulah aku.” ‘Aisyah berkata: “Jika tuanmu mau, aku akan membayarnya untukmu, dan walā’-mu menjadi milikku.” Maka aku lakukan. Barirah pun pergi kepada tuannya dan menyampaikan hal itu, namun mereka menolak. Ia kembali dari tuannya sementara Rasulullah ﷺ sedang duduk. Ia berkata kepada ‘Aisyah: “Aku telah menawarkan hal itu kepada mereka, tetapi mereka menolak kecuali jika walā’-ku tetap untuk mereka.” Rasulullah ﷺ mendengar hal itu, lalu bertanya kepadanya. ‘Aisyah pun memberitahukannya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ambillah dia dan syaratkanlah walā’ untuk mereka, karena sesungguhnya walā’ itu hanya untuk orang yang memerdekakan.” Maka ‘Aisyah pun melakukannya. Kemudian Rasulullah ﷺ berdiri di hadapan orang-orang, memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu bersabda: “Amma ba‘du, mengapa ada orang-orang yang membuat syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah? Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah adalah batil, meskipun seratus syarat. Ketetapan Allah lebih berhak dan syarat Allah lebih kuat. Sesungguhnya walā’ itu hanya untuk orang yang memerdekakan.”

18 – ، وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، أَرَادَتْ أَنْ تَشْتَرِيَ جَارِيَةً تُعْتِقُهَا. فَقَالَ أَهْلُهَا: نَبِيعُكِهَا عَلَى أَنَّ وَلَاءَهَا لَنَا. فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: لَا يَمْنَعَنَّكِ ذَلِكَ فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

18 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ‘Aisyah Ummul Mukminin ingin membeli seorang budak perempuan untuk dimerdekakan. Namun keluarganya berkata: “Kami akan menjualnya kepadamu dengan syarat walā’-nya untuk kami.” Maka ‘Aisyah menyebutkan hal itu kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda: “Jangan sampai hal itu menghalangimu, karena sesungguhnya walā’ itu hanya untuk orang yang memerdekakan.”

19 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ بَرِيرَةَ جَاءَتْ تَسْتَعِينُ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَتْ عَائِشَةُ: إِنْ أَحَبَّ أَهْلُكِ أَنْ أَصُبَّ لَهُمْ ثَمَنَكِ صَبَّةً وَاحِدَةً وَأُعْتِقَكِ فَعَلْتُ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ بَرِيرَةُ لِأَهْلِهَا. فَقَالُوا: لَا. إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَنَا وَلَاؤُكِ. قَالَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ: فَزَعَمَتْ عَمْرَةُ أَنَّ عَائِشَةَ، ذَكَرَتْ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اشْتَرِيهَا وَأَعْتِقِيهَا فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ

  1. Malik meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman, bahwa Barirah datang meminta bantuan kepada ‘Aisyah Ummul Mukminin. Maka ‘Aisyah berkata, “Jika keluargamu mau, aku akan membayarkan harga dirimu sekaligus dan memerdekakanmu.” Barirah pun menyampaikan hal itu kepada keluarganya. Mereka berkata, “Tidak, kecuali jika kami tetap mendapatkan hak wala’-mu.” Yahya bin Sa‘id berkata, ‘Amrah mengabarkan bahwa ‘Aisyah menyampaikan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Belilah dia dan merdekakanlah dia, karena sesungguhnya wala’ itu hanya untuk orang yang memerdekakan.”

20 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْوَلَاءِ وَعَنْ هِبَتِهِ

  1. Malik meriwayatkan kepadaku, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ melarang jual beli wala’ dan melarang pemberiannya sebagai hibah.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْعَبْدِ يَبْتَاعُ نَفْسَهُ مِنْ سَيِّدِهِ عَلَى أَنَّهُ يُوَالِي مَنْ شَاءَ: ” إِنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ. وَلَوْ أَنَّ رَجُلًا أَذِنَ لِمَوْلَاهُ أَنْ يُوَالِيَ مَنْ شَاءَ، مَا جَازَ ذَلِكَ. لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ وَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْوَلَاءِ وَعَنْ هِبَتِهِ فَإِذَا جَازَ لِسَيِّدِهِ أَنْ يَشْتَرِطَ ذَلِكَ لَهُ، وَأَنْ يَأْذَنَ لَهُ أَنْ يُوَالِيَ مَنْ شَاءَ، فَتِلْكَ الْهِبَةُ “

Malik berkata tentang seorang budak yang membeli dirinya sendiri dari tuannya dengan syarat ia boleh memberikan wala’-nya kepada siapa saja yang ia kehendaki: “Hal itu tidak boleh, karena sesungguhnya wala’ hanya untuk orang yang memerdekakan. Seandainya seseorang mengizinkan maulanya untuk memberikan wala’-nya kepada siapa saja yang ia kehendaki, itu pun tidak boleh. Karena Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Wala’ hanya untuk orang yang memerdekakan,’ dan Rasulullah ﷺ melarang jual beli wala’ dan pemberiannya sebagai hibah. Jika dibolehkan bagi tuannya untuk mensyaratkan hal itu baginya, dan mengizinkan dia memberikan wala’-nya kepada siapa saja yang ia kehendaki, maka itu adalah hibah.”

بَابُ جَرِّ الْعَبْدِ الْوَلَاءَ إِذَا أُعْتِقَ

Bab: Penarikan wala’ oleh budak jika ia dimerdekakan

21 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ، اشْتَرَى عَبْدًا. فَأَعْتَقَهُ. وَلِذَلِكَ الْعَبْدِ بَنُونَ مِنِ امْرَأَةٍ حُرَّةٍ. فَلَمَّا أَعْتَقَهُ الزُّبَيْرُ قَالَ: هُمْ مَوَالِيَّ. وَقَالَ: مَوَالِي أُمِّهِمْ. بَلْ هُمْ مَوَالِينَا. فَاخْتَصَمُوا إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ، فَقَضَى عُثْمَانُ، لِلزُّبَيْرِ بِوَلَائِهِمْ
وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ سُئِلَ عَنْ عَبْدٍ لَهُ وَلَدٌ مِنِ امْرَأَةٍ حُرَّةٍ، لِمَنْ وَلَاؤُهُمْ؟ فَقَالَ سَعِيدٌ: إِنْ مَاتَ أَبُوهُمْ وَهُوَ عَبْدٌ لَمْ يُعْتَقْ فَوَلَاؤُهُمْ لِمَوَالِي أُمِّهِمْ

  1. Malik meriwayatkan kepadaku, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abd ar-Rahman, bahwa az-Zubair bin al-‘Awwam membeli seorang budak, lalu memerdekakannya. Budak itu memiliki anak-anak dari seorang wanita merdeka. Ketika az-Zubair memerdekakannya, ia berkata, “Mereka adalah maulaku.” Dan ia berkata, “Mereka adalah maula ibu mereka, bahkan mereka adalah maula kami.” Maka mereka berselisih dan mengadukan perkara itu kepada ‘Utsman bin ‘Affan, lalu ‘Utsman memutuskan bahwa wala’ mereka adalah milik az-Zubair.

    Malik juga mengabarkan kepadaku bahwa ia mendengar, Sa‘id bin al-Musayyib pernah ditanya tentang seorang budak yang memiliki anak dari wanita merdeka, “Kepada siapa wala’ mereka?” Sa‘id menjawab, “Jika ayah mereka meninggal dalam keadaan masih budak dan belum dimerdekakan, maka wala’ mereka untuk maula ibu mereka.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَثَلُ ذَلِكَ وَلَدُ الْمُلَاعَنَةِ مِنَ الْمَوَالِي يُنْسَبُ إِلَى مَوَالِي أُمِّهِ، فَيَكُونُونَ هُمْ مَوَالِيَهُ، إِنْ مَاتَ وَرِثُوهُ، وَإِنْ جَرَّ جَرِيرَةً، عَقَلُوا عَنْهُ، فَإِنِ اعْتَرَفَ بِهِ أَبُوهُ أُلْحِقَ بِهِ وَصَارَ وَلَاؤُهُ إِلَى مَوَالِي أَبِيهِ، وَكَانَ مِيرَاثُهُ لَهُمْ وَعَقْلُهُ عَلَيْهِمْ، وَيُجْلَدُ أَبُوهُ الْحَدَّ.

Malik berkata: Demikian pula anak hasil mula‘anah dari kalangan mawali, nasabnya dinisbatkan kepada maula ibunya, sehingga mereka menjadi maulanya. Jika ia meninggal, mereka mewarisinya, dan jika ia menanggung diyat, mereka yang menanggungnya. Jika ayahnya mengakuinya, maka ia dinisbatkan kepada ayahnya dan wala’-nya berpindah kepada maula ayahnya, sehingga warisannya untuk mereka dan diyatnya menjadi tanggungan mereka, dan ayahnya dikenai hukuman had.

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ الْمُلَاعِنَةُ مِنَ الْعَرَبِ إِذَا اعْتَرَفَ زَوْجُهَا الَّذِي لَاعَنَهَا بِوَلَدِهَا، صَارَ بِمِثْلِ هَذِهِ الْمَنْزِلَةِ، إِلَّا أَنَّ بَقِيَّةَ مِيرَاثِهِ، بَعْدَ مِيرَاثِ أُمِّهِ وَإِخْوَتِهِ لِأُمِّهِ، لِعَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ مَا لَمْ يُلْحَقْ بِأَبِيهِ وَإِنَّمَا وَرَّثَ وَلَدُ الْمُلَاعَنَةِ الْمُوَالَاةَ مَوَالِيَ أُمِّهِ قَبْلَ أَنْ يَعْتَرِفَ بِهِ أَبُوهُ، لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ نَسَبٌ وَلَا عَصَبَةٌ، فَلَمَّا ثَبَتَ نَسَبُهُ صَارَ إِلَى عَصَبَتِهِ

Malik berkata: Demikian pula wanita yang melakukan mula‘anah dari kalangan Arab, jika suaminya yang telah melakukan mula‘anah mengakui anaknya, maka anak itu mendapatkan kedudukan yang sama, kecuali sisa warisannya, setelah warisan untuk ibunya dan saudara-saudara seibunya, menjadi milik seluruh kaum Muslimin selama belum dinisbatkan kepada ayahnya. Anak hasil mula‘anah hanya mewariskan wala’ kepada maula ibunya sebelum ayahnya mengakuinya, karena ia tidak memiliki nasab dan tidak memiliki ‘ashabah. Ketika nasabnya telah tetap, maka ia kembali kepada ‘ashabahnya.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي وَلَدِ الْعَبْدِ مِنِ امْرَأَةٍ حُرَّةٍ، وَأَبُو الْعَبْدِ حُرٌّ، أَنَّ الْجَدَّ أَبَا الْعَبْدِ يَجُرُّ وَلَاءَ وَلَدِ ابْنِهِ الْأَحْرَارِ مِنِ امْرَأَةٍ حُرَّةٍ، يَرِثُهُمْ مَا دَامَ أَبُوهُمْ عَبْدًا، فَإِنْ عَتَقَ أَبُوهُمْ رَجَعَ الْوَلَاءُ إِلَى مَوَالِيهِ، وَإِنْ مَاتَ وَهُوَ عَبْدٌ كَانَ الْمِيرَاثُ وَالْوَلَاءُ لِلْجَدِّ، وَإِنِ الْعَبْدُ كَانَ لَهُ ابْنَانِ حُرَّانِ فَمَاتَ أَحَدُهُمَا وَأَبُوهُ عَبْدٌ، جَرَّ الْجَدُّ أَبُو الْأَبِ، الْوَلَاءَ وَالْمِيرَاثَ.

Malik berkata: Ketentuan yang disepakati di kalangan kami mengenai anak budak dari wanita merdeka, sedangkan ayah budak itu adalah orang merdeka, adalah bahwa kakek (ayah dari budak) menarik wala’ anak-anak merdeka dari wanita merdeka tersebut, dan ia mewarisi mereka selama ayah mereka masih budak. Jika ayah mereka dimerdekakan, maka wala’ kembali kepada maula ayahnya. Jika ayah mereka meninggal dalam keadaan masih budak, maka warisan dan wala’ menjadi milik kakek. Jika seorang budak memiliki dua anak laki-laki yang merdeka, lalu salah satunya meninggal dunia sementara ayahnya masih budak, maka kakek (ayah dari ayah) menarik wala’ dan warisan.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْأَمَةِ تُعْتَقُ وَهِيَ حَامِلٌ وَزَوْجُهَا مَمْلُوكٌ ثُمَّ يَعْتِقُ زَوْجُهَا قَبْلَ أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا أَوْ بَعْدَمَا تَضَعُ: إِنَّ وَلَاءَ مَا كَانَ فِي بَطْنِهَا لِلَّذِي أَعْتَقَ أُمَّهُ، لِأَنَّ ذَلِكَ الْوَلَدَ قَدْ كَانَ أَصَابَهُ الرِّقُّ قَبْلَ أَنْ تُعْتَقَ أُمُّهُ، وَلَيْسَ هُوَ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي تَحْمِلُ بِهِ أُمُّهُ بَعْدَ الْعَتَاقَةِ لِأَنَّ الَّذِي تَحْمِلُ بِهِ أُمُّهُ بَعْدَ الْعَتَاقَةِ إِذَا أُعْتِقَ أَبُوهُ جَرَّ وَلَاءَهُ.

Malik berkata tentang seorang budak perempuan yang dimerdekakan sementara ia sedang hamil dan suaminya masih berstatus budak, kemudian suaminya dimerdekakan sebelum ia melahirkan atau setelah melahirkan: Sesungguhnya wala’ (hak perwalian) anak yang ada dalam kandungannya adalah milik orang yang memerdekakan ibunya, karena anak tersebut telah terkena status perbudakan sebelum ibunya dimerdekakan. Ia tidak sama dengan anak yang dikandung ibunya setelah dimerdekakan, karena anak yang dikandung ibunya setelah dimerdekakan, jika ayahnya dimerdekakan, maka wala’-nya mengikuti ayahnya.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْعَبْدِ يَسْتَأْذِنُ سَيِّدَهُ أَنْ يُعْتِقَ عَبْدًا لَهُ فَيَأْذَنَ لَهُ سَيِّدُهُ: إِنَّ وَلَاءَ الْعَبْدِ الْمُعْتَقِ لِسَيِّدِ الْعَبْدِ، لَا يَرْجِعُ وَلَاؤُهُ لِسَيِّدِهِ الَّذِي أَعْتَقَهُ وَإِنْ عَتَقَ

Malik berkata tentang seorang budak yang meminta izin kepada tuannya untuk memerdekakan budaknya sendiri, lalu tuannya mengizinkannya: Sesungguhnya wala’ budak yang dimerdekakan itu menjadi milik tuan dari budak tersebut, tidak kembali kepada tuan yang telah memerdekakannya, meskipun ia telah dimerdekakan.

بَابُ مِيرَاثِ الْوَلَاءِ

Bab Warisan Wala’

22 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ الْعَاصِيَ بْنَ هِشَامٍ هَلَكَ. وَتَرَكَ بَنِينَ لَهُ ثَلَاثَةً. اثْنَانِ لِأُمٍّ، وَرَجُلٌ لِعَلَّةٍ. فَهَلَكَ أَحَدُ اللَّذَيْنِ لِأُمٍّ. وَتَرَكَ مَالًا وَمَوَالِيَ فَوَرِثَهُ أَخُوهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ. مَالَهُ وَوَلَاءَهُ مَوَالِيهِ، ثُمَّ هَلَكَ الَّذِي وَرِثَ الْمَالَ وَوَلَاءَ الْمَوَالِي. وَتَرَكَ ابْنَهُ وَأَخَاهُ لِأَبِيهِ. فَقَالَ ابْنُهُ: قَدْ أَحْرَزْتُ مَا كَانَ أَبِي أَحْرَزَ مِنَ الْمَالِ وَوَلَاءِ الْمَوَالِي. وَقَالَ أَخُوهُ: لَيْسَ كَذَلِكَ إِنَّمَا أَحْرَزْتَ الْمَالَ وَأَمَّا وَلَاءُ الْمَوَالِي، فَلَا. أَرَأَيْتَ لَوْ هَلَكَ أَخِي الْيَوْمَ أَلَسْتُ أَرِثُهُ أَنَا؟ فَاخْتَصَمَا إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَقَضَى لِأَخِيهِ بِوَلَاءِ الْمَوَالِي

22 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, dari Abdul Malik bin Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam, dari ayahnya, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa Al-‘Ash bin Hisyam wafat dan meninggalkan tiga orang anak laki-laki: dua orang dari satu ibu, dan satu orang karena suatu sebab. Salah satu dari dua anak seibu itu wafat dan meninggalkan harta serta mawali (budak yang telah dimerdekakan), lalu diwarisi oleh saudaranya seayah dan seibu, baik harta maupun wala’ mawali-nya. Kemudian, orang yang mewarisi harta dan wala’ mawali itu juga wafat, dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang saudara seayah. Maka anaknya berkata: “Aku telah memperoleh apa yang telah diperoleh ayahku berupa harta dan wala’ mawali.” Saudaranya berkata: “Tidak demikian, engkau hanya memperoleh harta, adapun wala’ mawali, tidak. Bagaimana menurutmu jika saudaraku wafat hari ini, bukankah aku yang mewarisinya?” Lalu mereka berdua berselisih dan mengadukan perkara tersebut kepada Utsman bin Affan, maka Utsman memutuskan bahwa wala’ mawali menjadi milik saudaranya.

23 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَبُوهُ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا عِنْدَ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ، فَاخْتَصَمَ إِلَيْهِ نَفَرٌ مِنْ جُهَيْنَةَ وَنَفَرٌ مِنْ بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ وَكَانَتِ امْرَأَةٌ مِنْ جُهَيْنَةَ عِنْدَ رَجُلٍ مِنْ بَنِي الْحَارِثِ بْنِ الْخَزْرَجِ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ بْنُ كُلَيْبٍ. فَمَاتَتِ الْمَرْأَةُ وَتَرَكَتْ مَالًا وَمَوَالِيَ فَوَرِثَهَا ابْنُهَا وَزَوْجُهَا. ثُمَّ مَاتَ ابْنُهَا. فَقَالَ وَرَثَتُهُ: لَنَا وَلَاءُ الْمَوَالِي. قَدْ كَانَ ابْنُهَا أَحْرَزَهُ. فَقَالَ الْجُهَنِيُّونَ: لَيْسَ كَذَلِكَ إِنَّمَا هُمْ مَوَالِي صَاحِبَتِنَا. فَإِذَا مَاتَ وَلَدُهَا فَلَنَا وَلَاؤُهُمْ. وَنَحْنُ نَرِثُهُمْ. فَقَضَى أَبَانُ بْنُ عُثْمَانَ لِلْجُهَنِيِّينَ بِوَلَاءِ الْمَوَالِي

23 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm, bahwa ayahnya mengabarkan kepadanya bahwa ia sedang duduk di hadapan Aban bin Utsman, lalu datang sekelompok orang dari Juhainah dan sekelompok orang dari Bani Al-Harits bin Al-Khazraj berselisih kepadanya. Ada seorang wanita dari Juhainah yang menikah dengan seorang laki-laki dari Bani Al-Harits bin Al-Khazraj yang bernama Ibrahim bin Kulaib. Wanita itu meninggal dunia dan meninggalkan harta serta mawali, lalu diwarisi oleh anak laki-lakinya dan suaminya. Kemudian anak laki-lakinya meninggal dunia. Maka para ahli warisnya berkata: “Wala’ mawali itu milik kami, karena anaknya telah memperolehnya.” Orang-orang Juhainah berkata: “Tidak demikian, mereka adalah mawali dari kerabat kami. Jika anaknya meninggal, maka wala’ mereka kembali kepada kami, dan kami yang mewarisi mereka.” Maka Aban bin Utsman memutuskan bahwa wala’ mawali menjadi milik orang-orang Juhainah.

24 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: فِي رَجُلٍ هَلَكَ وَتَرَكَ بَنِينَ لَهُ ثَلَاثَةً. وَتَرَكَ مَوَالِيَ أَعْتَقَهُمْ هُوَ عَتَاقَةً. ثُمَّ إِنَّ الرَّجُلَيْنِ مِنْ بَنِيهِ هَلَكَا. وَتَرَكَا أَوْلَادًا. فَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: يَرِثُ الْمَوَالِيَ الْبَاقِي مِنَ الثَّلَاثَةِ، فَإِذَا هَلَكَ هُوَ، فَوَلَدُهُ وَوَلَدُ إِخْوَتِهِ فِي وَلَاءِ الْمَوَالِي، شَرَعٌ، سَوَاءٌ

24 – Malik telah mengabarkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Said bin Al-Musayyib berkata tentang seorang laki-laki yang wafat dan meninggalkan tiga orang anak laki-laki, serta meninggalkan mawali yang telah ia merdekakan sendiri. Kemudian dua orang dari anak-anaknya wafat dan meninggalkan keturunan. Maka Said bin Al-Musayyib berkata: “Mawali itu diwarisi oleh anak yang masih hidup dari ketiganya. Jika ia wafat, maka anak-anaknya dan anak-anak saudara-saudaranya sama-sama berhak atas wala’ mawali tersebut, secara syar’i, dengan kedudukan yang sama.”

بَابُ مِيرَاثِ السَّائِبَةِ وَوَلَاءِ مَنْ أَعْتَقَ الْيَهُودِيَّ وَالنَّصْرَانِيَّ

Bab Warisan Saibah dan Wala’ Orang yang Memerdekakan Yahudi dan Nasrani

25 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ، عَنِ السَّائِبَةِ؟ قَالَ: يُوَالِي مَنْ شَاءَ فَإِنْ مَاتَ وَلَمْ يُوَالِي أَحَدًا فَمِيرَاثُهُ لِلْمُسْلِمِينَ وَعَقْلُهُ عَلَيْهِمْ

25 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa ia bertanya kepada Ibnu Syihab tentang saibah. Ia menjawab: “Ia boleh memilih untuk berwala’ kepada siapa saja yang ia kehendaki. Jika ia meninggal dan belum berwala’ kepada siapa pun, maka hartanya menjadi milik kaum Muslimin dan diyatnya (tanggungan pembayarannya) juga atas mereka.”

قَالَ مَالِكٌ إِنَّ أَحْسَنَ مَا سُمِعَ فِي السَّائِبَةِ: أَنَّهُ لَا يُوَالِي أَحَدًا. وَأَنَّ مِيرَاثَهُ لِلْمُسْلِمِينَ وَعَقْلَهُ عَلَيْهِمْ.

Malik berkata: Sesungguhnya pendapat terbaik yang didengar mengenai saibah adalah bahwa ia tidak berwala’ kepada siapa pun, dan bahwa hartanya menjadi milik kaum Muslimin serta diyatnya juga menjadi tanggungan mereka.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ يُسْلِمُ عَبْدُ أَحَدِهِمَا، فَيُعْتِقُهُ قَبْلَ أَنْ يُبَاعَ عَلَيْهِ: ” إِنَّ وَلَاءَ الْعَبْدِ الْمُعْتَقِ لِلْمُسْلِمِينَ، وَإِنْ أَسْلَمَ الْيَهُودِيُّ أَوِ النَّصْرَانِيُّ بَعْدَ ذَلِكَ. لَمْ يَرْجِعْ إِلَيْهِ الْوَلَاءُ أَبَدًا. قَالَ: وَلَكِنْ إِذَا أَعْتَقَ الْيَهُودِيُّ أَوِ النَّصْرَانِيُّ عَبْدًا عَلَى دِينِهِمَا. ثُمَّ أَسْلَمَ الْمُعْتَقُ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ الْيَهُودِيُّ أَوِ النَّصْرَانِيُّ الَّذِي أَعْتَقَهُ. ثُمَّ أَسْلَمَ الَّذِي أَعْتَقَهُ. رَجَعَ إِلَيْهِ الْوَلَاءُ. لِأَنَّهُ قَدْ كَانَ ثَبَتَ لَهُ الْوَلَاءُ يَوْمَ أَعْتَقَهُ “.

Malik berkata tentang seorang Yahudi atau Nasrani yang budaknya masuk Islam, lalu ia memerdekakannya sebelum budak itu dijual darinya: “Sesungguhnya wala’ (hak perwalian) budak yang dimerdekakan itu menjadi milik kaum Muslimin, meskipun setelah itu si Yahudi atau Nasrani masuk Islam. Wala’ itu tidak akan kembali kepadanya selamanya.” Malik berkata: “Namun, jika seorang Yahudi atau Nasrani memerdekakan budak yang masih dalam agama mereka, kemudian budak yang dimerdekakan itu masuk Islam sebelum orang yang memerdekakannya (Yahudi atau Nasrani) masuk Islam, lalu setelah itu orang yang memerdekakannya masuk Islam, maka wala’ kembali kepadanya. Karena pada saat ia memerdekakannya, hak wala’ telah tetap menjadi miliknya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ كَانَ لِلْيَهُودِيِّ أَوِ النَّصْرَانِيِّ وَلَدٌ مُسْلِمٌ. وَرِثَ مَوَالِيَ أَبِيهِ الْيَهُودِيِّ أَوِ النَّصْرَانِيِّ، إِذَا أَسْلَمَ الْمَوْلَى الْمُعْتَقُ. قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ الَّذِي أَعْتَقَهُ، وَإِنْ كَانَ الْمُعْتَقُ حِينَ أُعْتِقَ مُسْلِمًا. لَمْ يَكُنْ لِوَلَدِ النَّصْرَانِيِّ أَوِ الْيَهُودِيِّ الْمُسْلِمَيْنِ مِنْ وَلَاءِ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ شَيْءٌ. لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلْيَهُودِيِّ وَلَا لِلنَّصْرَانِيِّ وَلَاءٌ، فَوَلَاءُ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ لِجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ

Malik berkata: Jika seorang Yahudi atau Nasrani memiliki anak yang Muslim, maka anak itu mewarisi para mawla (budak yang dimerdekakan) ayahnya yang Yahudi atau Nasrani, apabila mawla yang dimerdekakan itu masuk Islam sebelum orang yang memerdekakannya masuk Islam. Namun, jika budak yang dimerdekakan itu sudah Muslim ketika dimerdekakan, maka anak Muslim dari seorang Nasrani atau Yahudi tidak memiliki hak apa pun atas wala’ budak Muslim tersebut. Karena seorang Yahudi maupun Nasrani tidak memiliki hak wala’, maka wala’ budak Muslim menjadi milik komunitas kaum Muslimin.

39 – كِتَابُ الْمُكَاتَبِ

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْمُكَاتَبِ

Bab Hukum (Qadha’) tentang Budak Mukatab

1 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، كَانَ يَقُولُ الْمُكَاتَبُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ شَيْءٌ

1 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar berkata: “Budak mukatab tetap dianggap sebagai budak selama masih ada sisa pembayaran dari akad mukatabnya.”

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، كَانَا يَقُولَانِ الْمُكَاتَبُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ شَيْءٌ قَالَ مَالِكٌ وَهُوَ رَأْيِي.

2 – Malik meriwayatkan bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Urwah bin Zubair dan Sulaiman bin Yasar keduanya berkata: “Budak mukatab tetap dianggap sebagai budak selama masih ada sisa pembayaran dari akad mukatabnya.” Malik berkata: “Itulah pendapatku.”

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ هَلَكَ الْمُكَاتَبُ، وَتَرَكَ مَالًا أَكْثَرَ مِمَّا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ. وَلَهُ وَلَدٌ وُلِدُوا فِي كِتَابَتِهِ. أَوْ كَاتَبَ عَلَيْهِمْ وَرِثُوا مَا بَقِيَ مِنَ الْمَالِ بَعْدَ قَضَاءِ كِتَابَتِهِ

Malik berkata: Jika budak mukatab meninggal dunia dan meninggalkan harta yang lebih banyak daripada sisa pembayaran akad mukatabnya, dan ia memiliki anak-anak yang lahir dalam masa mukatabnya, atau ia telah melakukan akad mukatab atas mereka, maka mereka mewarisi sisa harta setelah pembayaran akad mukatabnya dilunasi.

3 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَكِّيِّ، أَنَّ مُكَاتَبًا، كَانَ لِابْنِ الْمُتَوَكِّلِ هَلَكَ بِمَكَّةَ وَتَرَكَ عَلَيْهِ بَقِيَّةً مِنْ كِتَابَتِهِ. وَدُيُونًا لِلنَّاسِ. وَتَرَكَ ابْنَتَهُ. فَأَشْكَلَ عَلَى عَامِلِ مَكَّةَ الْقَضَاءُ فِيهِ. فَكَتَبَ إِلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ يَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ. فَكَتَبَ إِلَيْهِ عَبْدُ الْمَلِكِ أَنِ ابْدَأْ بِدُيُونِ النَّاسِ ثُمَّ اقْضِ مَا بَقِيَ مِنْ كِتَابَتِهِ. ثُمَّ اقْسِمْ مَا بَقِيَ مِنْ مَالِهِ بَيْنَ ابْنَتِهِ وَمَوْلَاهُ

3 – Malik meriwayatkan dari Humaid bin Qais al-Makki bahwa seorang budak mukatab milik Ibn al-Mutawakkil meninggal di Makkah dan masih memiliki sisa pembayaran akad mukatabnya serta utang kepada orang-orang, dan ia meninggalkan seorang putri. Hal ini membingungkan penguasa Makkah dalam memutuskan hukumnya, lalu ia menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan untuk menanyakannya. Maka Abdul Malik menulis kepadanya: “Mulailah dengan melunasi utang-utang orang-orang, kemudian bayarlah sisa akad mukatabnya, lalu bagikan sisa hartanya antara putrinya dan mawla-nya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ أَنْ يُكَاتِبَهُ إِذَا سَأَلَهُ ذَلِكَ وَلَمْ أَسْمَعْ أَنَّ أَحَدًا مِنَ الْأَئِمَّةِ أَكْرَهَ رَجُلًا عَلَى أَنْ يُكَاتِبَ عَبْدَهُ. وَقَدْ سَمِعْتُ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ إِذَا سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ: {فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا} [النور: 33] يَتْلُو هَاتَيْنِ الْآيَتَيْنِ {وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا} [المائدة: 2] {فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ} [الجمعة: 10] “.

Malik berkata: “Pendapat yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa seorang tuan tidak wajib melakukan akad mukatab dengan budaknya jika budak itu memintanya. Aku tidak pernah mendengar ada seorang pun dari para imam yang memaksa seseorang untuk melakukan akad mukatab dengan budaknya. Aku juga pernah mendengar sebagian ahli ilmu, ketika ditanya tentang hal itu dan dikatakan kepadanya bahwa Allah Ta‘ala berfirman: {Maka lakukanlah akad mukatab dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka} (an-Nur: 33), ia membaca dua ayat ini: {Maka apabila kamu telah halal (dari ihram), maka berburu lah} (al-Ma’idah: 2) dan {Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi dan carilah karunia Allah} (al-Jumu‘ah: 10).”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا ذَلِكَ أَمْرٌ أَذِنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ لِلنَّاسِ وَلَيْسَ بِوَاجِبٍ عَلَيْهِمْ.

Malik berkata: “Sesungguhnya hal itu adalah perkara yang Allah Azza wa Jalla izinkan bagi manusia, dan bukanlah kewajiban atas mereka.”

قَالَ مَالِكٌ: ” وسَمِعْتُ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ فِي قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ} [النور: 33] إِنَّ ذَلِكَ أَنْ يُكَاتِبَ الرَّجُلُ غُلَامَهُ ثُمَّ يَضَعُ عَنْهُ مِنْ آخِرِ كِتَابَتِهِ شَيْئًا مُسَمًّى “.
قَالَ مَالِكٌ: فَهَذَا الَّذِي سَمِعْتُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ. وَأَدْرَكْتُ عَمَلَ النَّاسِ عَلَى ذَلِكَ عِنْدَنَا.
قَالَ مَالِكٌ: وَقَدْ بَلَغَنِي أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، كَاتَبَ غُلَامًا لَهُ عَلَى خَمْسَةٍ وَثَلَاثِينَ أَلْفَ دِرْهَمٍ. ثُمَّ وَضَعَ عَنْهُ مِنْ آخِرِ كِتَابَتِهِ خَمْسَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ

Malik berkata: “Aku mendengar sebagian ahli ilmu berkata tentang firman Allah Tabaraka wa Ta‘ala: {Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia berikan kepadamu} [an-Nur: 33], bahwa maksudnya adalah seorang laki-laki melakukan mukatabah terhadap budaknya, kemudian ia mengurangi dari sisa pembayaran mukatabahnya sejumlah tertentu.”
Malik berkata: Inilah yang aku dengar dari ahli ilmu. Dan aku mendapati praktik masyarakat di tempat kami juga demikian.
Malik berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Abdullah bin Umar melakukan mukatabah terhadap seorang budaknya dengan nilai tiga puluh lima ribu dirham. Kemudian ia mengurangi dari sisa pembayaran mukatabahnya sebesar lima ribu dirham.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ الْمُكَاتَبَ إِذَا كَاتَبَهُ سَيِّدُهُ تَبِعَهُ مَالُهُ. وَلَمْ يَتْبَعْهُ وَلَدُهُ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُمْ فِي كِتَابَتِهِ.
قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ فِي الْمُكَاتَبِ يُكَاتِبُهُ سَيِّدُهُ وَلَهُ جَارِيَةٌ بِهَا حَبَلٌ مِنْهُ: لَمْ يَعْلَمْ بِهِ هُوَ وَلَا سَيِّدُهُ يَوْمَ كِتَابَتِهِ. فَإِنَّهُ لَا يَتْبَعُهُ ذَلِكَ الْوَلَدُ. لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ دَخَلَ فِي كِتَابَتِهِ. وَهُوَ لِسَيِّدِهِ. فَأَمَّا الْجَارِيَةُ فَإِنَّهَا لِلْمُكَاتَبِ لِأَنَّهَا مِنْ مَالِهِ.
قَالَ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ وَرِثَ مُكَاتَبًا مِنِ امْرَأَتِهِ هُوَ وَابْنُهَا: إِنَّ الْمُكَاتَبَ إِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ كِتَابَتَهُ. اقْتَسَمَا مِيرَاثَهُ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَإِنْ أَدَّى كِتَابَتَهُ ثُمَّ مَاتَ. فَمِيرَاثُهُ لِابْنِ الْمَرْأَةِ. وَلَيْسَ لِلزَّوْجِ مِنْ مِيرَاثِهِ شَيْءٌ.

Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di tempat kami adalah bahwa apabila seorang tuan melakukan mukatabah terhadap budaknya, maka harta budak tersebut mengikutinya. Namun anak-anaknya tidak mengikutinya kecuali jika disyaratkan dalam akad mukatabahnya.
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata tentang seorang mukatab yang dimukatabkan oleh tuannya, sementara ia memiliki seorang jariyah yang sedang hamil darinya: baik dia maupun tuannya tidak mengetahuinya pada hari akad mukatabah. Maka anak tersebut tidak mengikutinya, karena tidak termasuk dalam akad mukatabah, dan anak itu menjadi milik tuannya. Adapun jariyah tersebut, maka ia menjadi milik mukatab karena termasuk hartanya.
Malik berkata tentang seorang laki-laki yang mewarisi seorang mukatab dari istrinya bersama anak istrinya: Jika mukatab itu meninggal sebelum melunasi pembayaran mukatabahnya, maka warisannya dibagi sesuai dengan ketentuan Allah. Namun jika ia telah melunasi pembayaran mukatabahnya lalu meninggal, maka warisannya menjadi milik anak perempuan itu, dan suami tidak mendapatkan bagian dari warisannya.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُكَاتَبِ يُكَاتِبُ عَبْدَهُ قَالَ: يُنْظَرُ فِي ذَلِكَ. فَإِنْ كَانَ إِنَّمَا أَرَادَ الْمُحَابَاةَ لِعَبْدِهِ، وَعُرِفَ ذَلِكَ مِنْهُ بِالتَّخْفِيفِ عَنْهُ. فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ. وَإِنْ كَانَ إِنَّمَا كَاتَبَهُ عَلَى وَجْهِ الرَّغْبَةِ وَطَلَبِ الْمَالِ، وَابْتِغَاءِ الْفَضْلِ وَالْعَوْنِ عَلَى كِتَابَتِهِ فَذَلِكَ جَائِزٌ لَهُ.

Malik berkata tentang seorang mukatab yang melakukan mukatabah terhadap budaknya: Hal itu perlu diteliti. Jika ternyata ia hanya bermaksud memudahkan budaknya dan hal itu diketahui dari keringanan yang diberikan kepadanya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Namun jika ia melakukan mukatabah dengan tujuan mencari harta, mengharapkan keutamaan, dan membantu budaknya dalam pembayaran mukatabahnya, maka hal itu diperbolehkan baginya.

قَالَ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ وَطِئَ مُكَاتَبَةً لَهُ: إِنَّهَا إِنْ حَمَلَتْ فَهِيَ بِالْخِيَارِ. إِنْ شَاءَتْ كَانَتْ أُمَّ وَلَدٍ. وَإِنْ شَاءَتْ قَرَّتْ عَلَى كِتَابَتِهَا فَإِنْ لَمْ تَحْمِلْ فَهِيَ عَلَى كِتَابَتِهَا.

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang menggauli budak mukatabnya: Jika ia hamil, maka ia berhak memilih; jika ia menghendaki, ia menjadi umm walad, dan jika ia menghendaki, ia tetap pada status mukatabahnya. Jika tidak hamil, maka ia tetap pada status mukatabahnya.

قَالَ مَالِكٌ الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي الْعَبْدِ يَكُونُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ: إِنَّ أَحَدَهُمَا لَا يُكَاتِبُ نَصِيبَهُ مِنْهُ. أَذِنَ لَهُ بِذَلِكَ صَاحِبُهُ أَوْ لَمْ يَأْذَنْ. إِلَّا أَنْ يُكَاتِبَاهُ جَمِيعًا. لِأَنَّ ذَلِكَ يَعْقِدُ لَهُ عِتْقًا. وَيَصِيرُ إِذَا أَدَّى الْعَبْدُ مَا كُوتِبَ عَلَيْهِ. إِلَى أَنْ يَعْتِقَ نِصْفُهُ. وَلَا يَكُونُ عَلَى الَّذِي كَاتَبَ بَعْضَهُ، أَنْ يَسْتَتِمَّ عِتْقَهُ فَذَلِكَ خِلَافُ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيمَةَ الْعَدْلِ “.

Malik berkata: Ketentuan yang disepakati di tempat kami mengenai seorang budak yang dimiliki bersama oleh dua orang laki-laki adalah bahwa salah satu dari mereka tidak boleh melakukan mukatabah atas bagiannya saja, baik dengan izin temannya maupun tanpa izinnya, kecuali jika keduanya melakukan mukatabah bersama-sama. Karena hal itu akan menyebabkan terjadinya pembebasan (kemerdekaan) bagi budak tersebut, dan apabila budak itu telah melunasi pembayaran mukatabahnya, maka setengahnya menjadi merdeka. Tidak wajib bagi pihak yang melakukan mukatabah atas sebagian budak untuk menyempurnakan kemerdekaannya. Hal ini bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa memerdekakan bagian kepemilikannya pada seorang budak, maka budak itu dinilai dengan nilai yang adil.”

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ جَهِلَ ذَلِكَ حَتَّى يُؤَدِّيَ الْمُكَاتَبُ أَوْ قَبْلَ أَنْ يُؤَدِّيَ رَدَّ إِلَيْهِ الَّذِي كَاتَبَهُ. مَا قَبَضَ مِنَ الْمُكَاتَبِ. فَاقْتَسَمَهُ هُوَ وَشَرِيكُهُ عَلَى قَدْرِ حِصَصِهِمَا. وَبَطَلَتْ كِتَابَتُهُ. وَكَانَ عَبْدًا لَهُمَا عَلَى حَالِهِ الْأُولَى.
قَالَ مَالِكٌ فِي مُكَاتَبٍ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَأَنْظَرَهُ أَحَدُهُمَا بِحَقِّهِ الَّذِي عَلَيْهِ وَأَبَى الْآخَرُ أَنْ يُنْظِرَهُ: فَاقْتَضَى الَّذِي أَبَى أَنْ يُنْظِرَهُ بَعْضَ حَقِّهِ. ثُمَّ مَاتَ الْمُكَاتَبُ وَتَرَكَ مَالًا لَيْسَ فِيهِ وَفَاءٌ مِنْ كِتَابَتِهِ.

Malik berkata: Jika hal itu tidak diketahui hingga mukatab tersebut membayar atau sebelum ia membayar, maka apa yang telah diterima oleh pihak yang melakukan mukatabah dikembalikan kepadanya, lalu ia dan rekannya membaginya sesuai dengan porsi masing-masing, dan akad mukatabahnya batal, serta budak tersebut kembali menjadi milik mereka berdua seperti semula.
Malik berkata tentang seorang mukatab yang dimiliki bersama oleh dua orang laki-laki, lalu salah satunya memberikan penangguhan pembayaran atas haknya, sementara yang lain menolak untuk menangguhkan, lalu yang menolak menangguhkan menagih sebagian haknya, kemudian mukatab tersebut meninggal dan meninggalkan harta yang tidak cukup untuk melunasi pembayaran mukatabahnya.

قَالَ مَالِكٌ: يَتَحَاصَّانِ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ لَهُمَا عَلَيْهِ. يَأْخُذُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِقَدْرِ حِصَّتِهِ. فَإِنْ تَرَكَ الْمُكَاتَبُ فَضْلًا عَنْ كِتَابَتِهِ، أَخَذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا بَقِيَ مِنَ الْكِتَابَةِ. وَكَانَ مَا بَقِيَ بَيْنَهُمَا بِالسَّوَاءِ فَإِنْ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ وَقَدِ اقْتَضَى الَّذِي لَمْ يُنْظِرْهُ أَكْثَرَ مِمَّا اقْتَضَى صَاحِبُهُ، كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ. وَلَا يَرُدُّ عَلَى صَاحِبِهِ فَضْلَ مَا اقْتَضَى. لِأَنَّهُ إِنَّمَا اقْتَضَى الَّذِي لَهُ بِإِذْنِ صَاحِبِهِ. وَإِنْ وَضَعَ عَنْهُ أَحَدُهُمَا الَّذِي لَهُ ثُمَّ اقْتَضَى صَاحِبُهُ بَعْضَ الَّذِي لَهُ عَلَيْهِ ثُمَّ عَجَزَ فَهُوَ بَيْنَهُمَا وَلَا يَرُدُّ الَّذِي اقْتَضَى عَلَى صَاحِبِهِ شَيْئًا لِأَنَّهُ إِنَّمَا اقْتَضَى الَّذِي لَهُ عَلَيْهِ. وَذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الدَّيْنِ لِلرَّجُلَيْنِ بِكِتَابٍ وَاحِدٍ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ. فَيُنْظِرُهُ أَحَدُهُمَا وَيَشِحُّ الْآخَرُ فَيَقْتَضِي بَعْضَ حَقِّهِ. ثُمَّ يُفْلِسُ الْغَرِيمُ فَلَيْسَ عَلَى الَّذِي اقْتَضَى. أَنْ يَرُدَّ شَيْئًا مِمَّا أَخَذَ

Malik berkata: Keduanya berbagi sesuai dengan sisa yang masih menjadi hak mereka atasnya. Masing-masing mengambil sesuai dengan bagiannya. Jika mukatab meninggalkan kelebihan dari nilai penebusannya, maka masing-masing dari mereka mengambil sisa dari penebusan tersebut, dan sisa itu dibagi rata di antara mereka. Jika mukatab tidak mampu membayar, dan yang tidak memberinya penangguhan telah mengambil lebih banyak daripada yang diambil oleh temannya, maka budak itu menjadi milik mereka berdua, masing-masing setengah. Dan ia tidak mengembalikan kelebihan yang telah diambil kepada temannya, karena ia hanya mengambil bagian yang menjadi haknya dengan izin temannya. Jika salah satu dari mereka membebaskan haknya, kemudian temannya menagih sebagian dari haknya atas mukatab, lalu mukatab tidak mampu membayar, maka budak itu tetap menjadi milik mereka berdua, dan yang telah menagih tidak mengembalikan apa pun kepada temannya, karena ia hanya menagih bagian yang menjadi haknya. Hal ini seperti utang dua orang laki-laki dengan satu surat perjanjian atas satu orang. Salah satu dari mereka menangguhkan, sedangkan yang lain menagih sebagian haknya. Kemudian si berutang bangkrut, maka yang telah menagih tidak wajib mengembalikan apa pun dari apa yang telah diambilnya.

بَابُ الْحَمَالَةِ فِي الْكِتَابَةِ
4 – قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا ” أَنَّ الْعَبِيدَ إِذَا كُوتِبُوا جَمِيعًا كِتَابَةً وَاحِدَةً فَإِنَّ بَعْضَهُمْ حُمَلَاءُ عَنْ بَعْضٍ. وَإِنَّهُ لَا يُوضَعُ عَنْهُمْ لِمَوْتِ أَحَدِهِمْ شَيْءٌ. وَإِنْ قَالَ أَحَدُهُمْ: قَدْ عَجَزْتُ. وَأَلْقَى بِيَدَيْهِ. فَإِنَّ لِأَصْحَابِهِ أَنْ يَسْتَعْمِلُوهُ فِيمَا يُطِيقُ مِنَ الْعَمَلِ. وَيَتَعَاوَنُونَ بِذَلِكَ فِي كِتَابَتِهِمْ حَتَّى يَعْتِقَ بِعِتْقِهِمْ إِنْ عَتَقُوا. وَيَرِقَّ بِرِقِّهِمْ إِنْ رَقُّوا “.

Bab Penjaminan dalam Penebusan Budak (Kitābah)
4 – Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami adalah bahwa apabila para budak ditebus (mukatab) secara bersama-sama dengan satu akad penebusan, maka sebagian dari mereka menjadi penjamin bagi sebagian yang lain. Dan tidaklah gugur kewajiban mereka karena kematian salah satu dari mereka. Jika salah satu dari mereka berkata, “Aku tidak mampu lagi,” dan menyerahkan dirinya, maka teman-temannya berhak mempekerjakannya dalam pekerjaan yang masih mampu ia lakukan. Mereka saling membantu dalam penebusan mereka hingga mereka merdeka bersama jika mereka semua merdeka, dan tetap menjadi budak bersama jika mereka tetap dalam status budak.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا كَاتَبَهُ سَيِّدُهُ. لَمْ يَنْبَغِ لِسَيِّدِهِ أَنْ يَتَحَمَّلَ لَهُ بِكِتَابَةِ عَبْدِهِ أَحَدٌ. إِنْ مَاتَ الْعَبْدُ أَوْ عَجَزَ. وَلَيْسَ هَذَا مِنْ سُنَّةِ الْمُسْلِمِينَ. وَذَلِكَ أَنَّهُ إِنْ تَحَمَّلَ رَجُلٌ لِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ بِمَا عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ. ثُمَّ اتَّبَعَ ذَلِكَ سَيِّدُ الْمُكَاتَبِ قِبَلَ الَّذِي تَحَمَّلَ لَهُ أَخَذَ مَالَهُ بَاطِلًا. لَا هُوَ ابْتَاعَ الْمُكَاتَبَ فَيَكُونَ مَا أُخِذَ مِنْهُ مِنْ ثَمَنِ شَيْءٍ هُوَ لَهُ. وَلَا الْمُكَاتَبُ عَتَقَ فَيَكُونَ فِي ثَمَنِ حُرْمَةٍ ثَبَتَتْ لَهُ فَإِنْ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ رَجَعَ إِلَى سَيِّدِهِ. وَكَانَ عَبْدًا مَمْلُوكًا لَهُ. وَذَلِكَ أَنَّ الْكِتَابَةَ لَيْسَتْ بِدَيْنٍ ثَابِتٍ. يُتَحَمَّلُ لِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ بِهَا. إِنَّمَا هِيَ شَيْءٌ. إِنْ أَدَّاهُ الْمُكَاتَبُ عَتَقَ. وَإِنْ مَاتَ الْمُكَاتَبُ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لَمْ يُحَاصَّ الْغُرَمَاءَ سَيِّدُهُ بِكِتَابَتِهِ. وَكَانَ الْغُرَمَاءُ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْ سَيِّدِهِ. وَإِنْ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لِلنَّاسِ. رُدَّ عَبْدًا مَمْلُوكًا لِسَيِّدِهِ. وَكَانَتْ دُيُونُ النَّاسِ فِي ذِمَّةِ الْمُكَاتَبِ. لَا يَدْخُلُونَ مَعَ سَيِّدِهِ فِي شَيْءٍ مِنْ ثَمَنِ رَقَبَتِهِ.

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami adalah bahwa apabila seorang tuan mengadakan akad penebusan (kitābah) dengan budaknya, maka tidak sepatutnya ada orang lain yang menanggung penebusan budak tersebut untuk tuannya, jika budak itu meninggal atau tidak mampu membayar. Hal ini bukan termasuk sunnah kaum Muslimin. Sebab, jika seseorang menanggung penebusan mukatab untuk tuannya, lalu tuan mukatab menagih kepada orang yang menanggungnya, maka ia mengambil harta orang itu secara tidak sah. Ia tidak membeli mukatab sehingga apa yang diambilnya dari harga itu menjadi miliknya, dan mukatab pun belum merdeka sehingga harga itu menjadi sebagai tebusan atas kemerdekaannya. Jika mukatab tidak mampu membayar, maka ia kembali menjadi milik tuannya dan tetap sebagai budak miliknya. Sebab, akad penebusan (kitābah) bukanlah utang yang tetap, sehingga dapat dijamin untuk tuan mukatab. Ia hanyalah sesuatu yang jika mukatab membayarnya, ia menjadi merdeka. Jika mukatab meninggal dunia dan masih memiliki utang, maka para kreditur tidak membagi harta peninggalan dengan tuannya karena penebusan itu, dan para kreditur lebih berhak atas harta tersebut daripada tuannya. Jika mukatab tidak mampu membayar dan masih memiliki utang kepada orang lain, maka ia kembali menjadi budak milik tuannya, dan utang-utang orang lain tetap menjadi tanggungan mukatab, mereka tidak berhak atas bagian apa pun dari harga dirinya bersama tuannya.

قَالَ مَالِكٌ: إِذَا كَاتَبَ الْقَوْمُ جَمِيعًا كِتَابَةً وَاحِدَةً. وَلَا رَحِمَ بَيْنَهُمْ يَتَوَارَثُونَ بِهَا. فَإِنَّ بَعْضَهُمْ حُمَلَاءُ عَنْ بَعْضٍ. وَلَا يَعْتِقُ بَعْضُهُمْ دُونَ بَعْضٍ حَتَّى يُؤَدُّوا الْكِتَابَةَ كُلَّهَا. فَإِنْ مَاتَ أَحَدٌ مِنْهُمْ وَتَرَكَ مَالًا هُوَ أَكْثَرُ مِنْ جَمِيعِ مَا عَلَيْهِمْ. أُدِّيَ عَنْهُمْ جَمِيعُ مَا عَلَيْهِمْ. وَكَانَ فَضْلُ الْمَالِ لِسَيِّدِهِ. وَلَمْ يَكُنْ لِمَنْ كَاتَبَ مَعَهُ مِنْ فَضْلِ الْمَالِ شَيْءٌ. وَيَتْبَعُهُمُ السَّيِّدُ بِحِصَصِهِمِ الَّتِي بَقِيَتْ عَلَيْهِمْ مِنَ الْكِتَابَةِ الَّتِي قُضِيَتْ مِنْ مَالِ الْهَالِكِ لِأَنَّ الْهَالِكَ إِنَّمَا كَانَ تَحَمَّلَ عَنْهُمْ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يُؤَدُّوا مَا عَتَقُوا بِهِ مِنْ مَالِهِ. وَإِنْ كَانَ لِلْمُكَاتَبِ الْهَالِكِ وَلَدٌ حُرٌّ لَمْ يُولَدْ فِي الْكِتَابَةِ. وَلَمْ يُكَاتَبْ عَلَيْهِ لَمْ يَرِثْهُ لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ لَمْ يُعْتَقْ حَتَّى مَاتَ

Malik berkata: Jika suatu kaum seluruhnya melakukan mukātabah (perjanjian pembebasan budak dengan pembayaran) dengan satu akad, dan tidak ada hubungan kekerabatan di antara mereka yang menyebabkan mereka saling mewarisi, maka sebagian dari mereka menanggung sebagian yang lain. Tidak ada yang merdeka dari mereka kecuali setelah mereka semua melunasi pembayaran mukātabah tersebut. Jika salah seorang dari mereka meninggal dunia dan meninggalkan harta yang jumlahnya lebih banyak dari seluruh kewajiban mereka, maka seluruh kewajiban mereka dibayarkan dari harta tersebut, dan kelebihan harta menjadi milik tuannya. Orang yang melakukan mukātabah bersama dia tidak mendapatkan bagian apa pun dari kelebihan harta itu. Tuannya tetap menuntut bagian-bagian yang masih tersisa dari pembayaran mukātabah yang telah dilunasi dari harta orang yang wafat itu, karena yang wafat itu sebenarnya telah menanggung kewajiban mereka, maka mereka wajib membayar apa yang menyebabkan mereka merdeka dari harta orang tersebut. Jika budak mukātab yang wafat itu memiliki anak yang merdeka yang tidak lahir dalam masa mukātabah dan tidak termasuk dalam akad mukātabah, maka anak tersebut tidak mewarisinya, karena budak mukātab tersebut belum merdeka hingga ia wafat.

بَابُ الْقِطَاعَةِ فِي الْكِتَابَةِ

Bab tentang pemutusan akad dalam mukātabah

5 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تُقَاطِعُ مُكَاتَبِيهَا بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي الْمُكَاتَبِ يَكُونُ بَيْنَ الشَّرِيكَيْنِ. فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يُقَاطِعَهُ عَلَى حِصَّتِهِ. إِلَّا بِإِذْنِ شَرِيكِهِ. وَذَلِكَ أَنَّ الْعَبْدَ وَمَالَهُ بَيْنَهُمَا. فَلَا يَجُوزُ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا مِنْ مَالِهِ إِلَّا بِإِذْنِ شَرِيكِهِ. وَلَوْ قَاطَعَهُ أَحَدُهُمَا دُونَ صَاحِبِهِ ثُمَّ حَازَ ذَلِكَ. ثُمَّ مَاتَ الْمُكَاتَبُ وَلَهُ مَالٌ. أَوْ عَجَزَ لَمْ يَكُنْ لِمَنْ قَاطَعَهُ شَيْءٌ مِنْ مَالِهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرُدَّ مَا قَاطَعَهُ عَلَيْهِ وَيَرْجِعَ حَقَّهُ فِي رَقَبَتِهِ. وَلَكِنْ مَنْ قَاطَعَ مُكَاتَبًا بِإِذْنِ شَرِيكِهِ ثُمَّ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ فَإِنْ أَحَبَّ الَّذِي قَاطَعَهُ أَنْ يَرُدَّ الَّذِي أَخَذَ مِنْهُ مِنَ الْقِطَاعَةِ وَيَكُونُ عَلَى نَصِيبِهِ مِنْ رَقَبَةِ الْمُكَاتَبِ كَانَ ذَلِكَ لَهُ وَإِنْ مَاتَ الْمُكَاتَبُ وَتَرَكَ مَالًا اسْتَوْفَى الَّذِي بَقِيَتْ لَهُ الْكِتَابَةُ حَقَّهُ الَّذِي بَقِيَ لَهُ عَلَى الْمُكَاتَبِ مِنْ مَالِهِ ثُمَّ كَانَ مَا بَقِيَ مِنْ مَالِ الْمُكَاتَبِ بَيْنَ الَّذِي قَاطَعَهُ وَبَيْنَ شَرِيكِهِ عَلَى قَدْرِ حِصَصِهِمَا فِي الْمُكَاتَبِ وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا قَاطَعَهُ وَتَمَاسَكَ صَاحِبُهُ بِالْكِتَابَةِ ثُمَّ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ قِيلَ لِلَّذِي قَاطَعَهُ إِنْ شِئْتَ أَنْ تَرُدَّ عَلَى صَاحِبِكَ نِصْفَ الَّذِي أَخَذْتَ وَيَكُونُ الْعَبْدُ بَيْنَكُمَا شَطْرَيْنِ وَإِنْ أَبَيْتَ فَجَمِيعُ الْعَبْدِ لِلَّذِي تَمَسَّكَ بِالرِّقِّ خَالِصًا.

5 – Malik meriwayatkan bahwa telah sampai kepadanya bahwa Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, biasa memutus akad mukātabah dengan budak-budaknya dengan emas dan perak. Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami mengenai budak mukātab yang dimiliki dua orang sekutu adalah bahwa tidak boleh salah satu dari mereka memutus akad mukātabah atas bagiannya kecuali dengan izin sekutunya. Hal itu karena budak dan hartanya adalah milik bersama mereka berdua, sehingga tidak boleh salah satu dari mereka mengambil sesuatu dari hartanya kecuali dengan izin sekutunya. Jika salah satu dari mereka memutus akad mukātabah tanpa sekutunya lalu menerima pembayaran tersebut, kemudian budak mukātab itu meninggal dunia dan memiliki harta, atau tidak mampu membayar, maka orang yang memutus akad mukātabah itu tidak berhak atas harta budak tersebut dan tidak boleh menarik kembali apa yang telah diterimanya dari akad tersebut, melainkan ia kembali kepada haknya atas budak itu. Namun, jika seseorang memutus akad mukātabah dengan izin sekutunya, kemudian budak mukātab itu tidak mampu membayar, maka jika orang yang memutus akad itu ingin mengembalikan apa yang telah diterimanya dari akad tersebut dan kembali kepada bagiannya atas budak mukātab itu, maka itu boleh baginya. Jika budak mukātab itu meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka orang yang masih memiliki sisa akad mukātabah berhak mengambil haknya yang masih tersisa dari harta budak tersebut, lalu sisa harta budak mukātab itu dibagi antara orang yang memutus akad dan sekutunya sesuai dengan porsi kepemilikan mereka atas budak mukātab itu. Jika salah satu dari mereka memutus akad mukātabah dan sekutunya tetap bertahan pada akad, kemudian budak mukātab itu tidak mampu membayar, maka dikatakan kepada orang yang memutus akad: Jika engkau mau, kembalikan kepada sekutumu setengah dari apa yang telah engkau terima, dan budak itu menjadi milik kalian berdua masing-masing setengah. Jika engkau menolak, maka seluruh budak itu menjadi milik orang yang tetap bertahan pada status budak secara penuh.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُكَاتَبِ يَكُونُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ: فَيُقَاطِعُهُ أَحَدُهُمَا بِإِذْنِ صَاحِبِهِ. ثُمَّ يَقْتَضِي الَّذِي تَمَسَّكَ بِالرِّقِّ مِثْلَ مَا قَاطَعَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ. أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ يَعْجِزُ الْمُكَاتَبُ.

Malik berkata tentang budak mukātab yang dimiliki dua orang: Salah satu dari mereka memutus akad mukātabah dengan izin sekutunya, kemudian orang yang tetap mempertahankan status budak menuntut pembayaran sebesar yang telah diterima oleh sekutunya, atau lebih dari itu, lalu budak mukātab itu tidak mampu membayar.

قَالَ مَالِكٌ: فَهُوَ بَيْنَهُمَا لِأَنَّهُ إِنَّمَا اقْتَضَى الَّذِي لَهُ عَلَيْهِ وَإِنِ اقْتَضَى أَقَلَّ مِمَّا أَخَذَ الَّذِي قَاطَعَهُ ثُمَّ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ فَأَحَبَّ الَّذِي قَاطَعَهُ أَنْ يَرُدَّ عَلَى صَاحِبِهِ نِصْفَ مَا تَفَضَّلَهُ بِهِ، وَيَكُونُ الْعَبْدُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، فَذَلِكَ لَهُ وَإِنْ أَبَى فَجَمِيعُ الْعَبْدِ لِلَّذِي لَمْ يُقَاطِعْهُ وَإِنْ مَاتَ الْمُكَاتَبُ وَتَرَكَ مَالًا. فَأَحَبَّ الَّذِي قَاطَعَهُ أَنْ يَرُدَّ عَلَى صَاحِبِهِ نِصْفَ مَا تَفَضَّلَهُ بِهِ. وَيَكُونُ الْمِيرَاثُ بَيْنَهُمَا. فَذَلِكَ لَهُ. وَإِنْ كَانَ الَّذِي تَمَسَّكَ بِالْكِتَابَةِ قَدْ أَخَذَ مِثْلَ مَا قَاطَعَ عَلَيْهِ شَرِيكُهُ. أَوْ أَفْضَلَ فَالْمِيرَاثُ بَيْنَهُمَا بِقَدْرِ مِلْكِهِمَا لِأَنَّهُ إِنَّمَا أَخَذَ حَقَّهُ

Malik berkata: Maka budak itu menjadi milik bersama mereka berdua, karena orang yang tetap mempertahankan status budak hanya menuntut haknya. Jika ia menuntut kurang dari apa yang telah diterima oleh orang yang memutus akad, lalu budak mukātab itu tidak mampu membayar, dan orang yang memutus akad ingin mengembalikan kepada sekutunya setengah dari kelebihan yang telah diterimanya, dan budak itu menjadi milik mereka berdua masing-masing setengah, maka itu boleh baginya. Jika ia menolak, maka seluruh budak itu menjadi milik orang yang tidak memutus akad. Jika budak mukātab itu meninggal dunia dan meninggalkan harta, lalu orang yang memutus akad ingin mengembalikan kepada sekutunya setengah dari kelebihan yang telah diterimanya, maka warisan dibagi antara mereka berdua. Jika orang yang tetap bertahan pada akad telah menerima pembayaran sebesar yang diterima oleh sekutunya atau lebih, maka warisan dibagi antara mereka berdua sesuai dengan porsi kepemilikan mereka, karena ia hanya mengambil haknya.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُكَاتَبِ يَكُونُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ: فَيُقَاطِعُ أَحَدُهُمَا عَلَى نِصْفِ حَقِّهِ بِإِذْنِ صَاحِبِهِ. ثُمَّ يَقْبِضُ الَّذِي تَمَسَّكَ بِالرِّقِّ أَقَلَّ مِمَّا قَاطَعَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ ثُمَّ يَعْجِزُ الْمُكَاتَبُ.

Malik berkata tentang mukatab yang dimiliki oleh dua orang laki-laki: lalu salah satu dari keduanya melakukan muqāṭa‘ah (kesepakatan pembayaran sebagian dari haknya) atas setengah haknya dengan izin rekannya. Kemudian, yang tetap memegang status budak menerima lebih sedikit dari apa yang telah disepakati oleh rekannya, lalu mukatab tersebut tidak mampu membayar (menjadi ‘ajz).

قَالَ مَالِكٌ: إِنْ أَحَبَّ الَّذِي قَاطَعَ الْعَبْدَ أَنْ يُرَدَّ عَلَى صَاحِبِهِ نِصْفَ مَا تَفَضَّلَهُ بِهِ. كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَهُمَا شَطْرَيْنِ وَإِنْ أَبَى أَنْ يَرُدَّ فَلِلَّذِي تَمَسَّكَ بِالرِّقِّ حِصَّةُ صَاحِبِهِ الَّذِي كَانَ قَاطَعَ عَلَيْهِ الْمُكَاتَبَ.

Malik berkata: Jika orang yang telah melakukan muqāṭa‘ah dengan budak itu ingin mengembalikan kepada rekannya setengah dari kelebihan yang telah ia peroleh, maka budak itu menjadi milik mereka berdua, masing-masing setengah. Namun jika ia menolak untuk mengembalikan, maka bagi yang tetap memegang status budak berhak atas bagian rekannya yang telah melakukan muqāṭa‘ah dengan mukatab tersebut.

قَالَ مَالِكٌ وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ ” أَنَّ الْعَبْدَ يَكُونُ بَيْنَهُمَا شَطْرَيْنِ. فَيُكَاتِبَانِهِ جَمِيعًا. ثُمَّ يُقَاطِعُ أَحَدُهُمَا الْمُكَاتَبَ عَلَى نِصْفِ حَقِّهِ بِإِذْنِ صَاحِبِهِ. وَذَلِكَ الرُّبُعُ مِنْ جَمِيعِ الْعَبْدِ. ثُمَّ يَعْجِزُ الْمُكَاتَبُ فَيُقَالُ لِلَّذِي قَاطَعَهُ: إِنْ شِئْتَ فَارْدُدْ عَلَى صَاحِبِكَ نِصْفَ مَا فَضَلْتَهُ بِهِ. وَيَكُونُ الْعَبْدُ بَيْنَكُمَا شَطْرَيْنِ وَإِنْ أَبَى كَانَ لِلَّذِي تَمَسَّكَ بِالْكِتَابَةِ رُبُعُ صَاحِبِهِ الَّذِي قَاطَعَ الْمُكَاتَبَ عَلَيْهِ خَالِصًا. وَكَانَ لَهُ نِصْفُ الْعَبْدِ. فَذَلِكَ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْعَبْدِ. وَكَانَ لِلَّذِي قَاطَعَ رُبُعُ الْعَبْدِ. لِأَنَّهُ أَبَى أَنْ يَرُدَّ ثَمَنَ رُبُعِهِ الَّذِي قَاطَعَ عَلَيْهِ “.

Malik berkata, dan penjelasannya adalah: Budak itu dimiliki oleh mereka berdua, masing-masing setengah. Lalu keduanya memukatabkannya bersama-sama. Kemudian salah satu dari mereka melakukan muqāṭa‘ah dengan mukatab atas setengah haknya dengan izin rekannya. Itu berarti seperempat dari keseluruhan budak. Kemudian mukatab itu tidak mampu membayar, lalu dikatakan kepada orang yang melakukan muqāṭa‘ah: Jika engkau mau, kembalikan kepada rekannya setengah dari kelebihan yang telah engkau peroleh, dan budak itu menjadi milik kalian berdua, masing-masing setengah. Namun jika ia menolak, maka bagi yang tetap memegang perjanjian mukatab berhak atas seperempat bagian rekannya yang telah melakukan muqāṭa‘ah, secara penuh. Dan ia memiliki setengah budak. Maka totalnya adalah tiga perempat dari budak. Sedangkan yang melakukan muqāṭa‘ah memiliki seperempat budak, karena ia menolak mengembalikan harga seperempat yang telah disepakati dalam muqāṭa‘ah.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُكَاتَبِ: يُقَاطِعُهُ سَيِّدُهُ فَيَعْتِقُ. وَيَكْتُبُ عَلَيْهِ مَا بَقِيَ مِنْ قَطَاعَتِهِ دَيْنًا عَلَيْهِ. ثُمَّ يَمُوتُ الْمُكَاتَبُ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ لِلنَّاسِ.

Malik berkata tentang mukatab: Tuannya melakukan muqāṭa‘ah dengannya, lalu ia merdeka. Dan tuannya menulis (menetapkan) atasnya sisa dari muqāṭa‘ah itu sebagai utang. Kemudian mukatab itu meninggal dunia, sementara ia masih memiliki utang kepada orang-orang.

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنَّ سَيِّدَهُ لَا يُحَاصُّ غُرَمَاءَهُ بِالَّذِي عَلَيْهِ مِنْ قَطَاعَتِهِ وَلِغُرَمَائِهِ أَنْ يُبَدَّءُوا عَلَيْهِ

Malik berkata: Maka tuannya tidak berhak bersaing dengan para krediturnya atas sisa muqāṭa‘ah yang masih menjadi tanggungannya, dan para krediturnya berhak untuk didahulukan atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ لِلْمُكَاتَبِ أَنْ يُقَاطِعَ سَيِّدَهُ إِذَا كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ لِلنَّاسِ. فَيَعْتِقُ وَيَصِيرُ لَا شَيْءَ لَهُ. لِأَنَّ أَهْلَ الدَّيْنِ أَحَقُّ بِمَالِهِ مِنْ سَيِّدِهِ. فَلَيْسَ ذَلِكَ بِجَائِزٍ لَهُ.

Malik berkata: Tidak boleh bagi mukatab untuk melakukan muqāṭa‘ah dengan tuannya jika ia masih memiliki utang kepada orang lain. Lalu ia merdeka dan tidak memiliki apa-apa. Karena para pemilik utang lebih berhak atas hartanya daripada tuannya. Maka hal itu tidak diperbolehkan baginya.

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الرَّجُلِ يُكَاتِبُ عَبْدَهُ. ثُمَّ يُقَاطِعُهُ بِالذَّهَبِ فَيَضَعُ عَنْهُ مِمَّا عَلَيْهِ مِنَ الْكِتَابَةِ. عَلَى أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ مَا قَاطَعَهُ عَلَيْهِ أَنَّهُ لَيْسَ بِذَلِكَ بَأْسٌ. وَإِنَّمَا كَرِهَ ذَلِكَ مَنْ كَرِهَهُ. لِأَنَّهُ أَنْزَلَهُ بِمَنْزِلَةِ الدَّيْنِ يَكُونُ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ إِلَى أَجَلٍ. فَيَضَعُ عَنْهُ وَيَنْقُدُهُ. وَلَيْسَ هَذَا مِثْلَ الدَّيْنِ إِنَّمَا كَانَتْ قَطَاعَةُ الْمُكَاتَبِ سَيِّدَهُ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ مَالًا. فِي أَنْ يَتَعَجَّلَ الْعِتْقَ فَيَجِبُ لَهُ الْمِيرَاثُ، وَالشَّهَادَةُ، وَالْحُدُودُ، وَتَثْبُتُ لَهُ حُرْمَةُ الْعَتَاقَةِ. وَلَمْ يَشْتَرِ دَرَاهِمَ بِدَرَاهِمَ. وَلَا ذَهَبًا بِذَهَبٍ. وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ مَثَلُ رَجُلٍ قَالَ لِغُلَامِهِ: ائْتِنِي بِكَذَا وَكَذَا دِينَارًا وَأَنْتَ حُرٌّ فَوَضَعَ عَنْهُ مِنْ ذَلِكَ. فَقَالَ: إِنْ جِئْتَنِي بِأَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ. فَأَنْتَ حُرٌّ فَلَيْسَ هَذَا دَيْنًا ثَابِتًا. وَلَوْ كَانَ دَيْنًا ثَابِتًا لَحَاصَّ بِهِ السَّيِّدُ غُرَمَاءَ الْمُكَاتَبِ إِذَا مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ فَدَخَلَ مَعَهُمْ فِي مَالِ مُكَاتَبِهِ “

Malik berkata: “Praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai seseorang yang memukatabkan budaknya, kemudian melakukan muqāṭa‘ah dengan emas, lalu ia mengurangi dari apa yang menjadi tanggungan budak itu dari perjanjian mukatab, dengan syarat budak itu menyegerakan pembayaran yang telah disepakati, maka hal itu tidak mengapa. Hanya saja, yang tidak menyukainya adalah orang-orang yang memang tidak menyukainya, karena mereka menganggapnya seperti utang yang dimiliki seseorang atas orang lain hingga waktu tertentu, lalu ia mengurangi dan menerima pembayaran. Namun ini tidak sama dengan utang. Muqāṭa‘ah antara mukatab dan tuannya adalah agar ia memberikan sejumlah harta, sehingga ia dapat segera merdeka, lalu baginya berlaku hak waris, kesaksian, hudūd, dan tetap baginya kehormatan sebagai orang merdeka. Ia tidak membeli dirham dengan dirham, atau emas dengan emas. Perumpamaannya seperti seseorang berkata kepada budaknya: ‘Bawakan aku sekian dinar, maka engkau merdeka,’ lalu ia mengurangi dari jumlah itu, dan berkata: ‘Jika engkau membawakan aku kurang dari itu, maka engkau merdeka.’ Maka ini bukan utang yang tetap. Jika itu adalah utang yang tetap, tentu tuan akan bersaing dengan para kreditur mukatab jika ia meninggal atau bangkrut, lalu masuk bersama mereka dalam harta mukatabnya.”

بَابُ جِرَاحِ الْمُكَاتَبِ
6 – قَالَ مَالِكٌ: أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي الْمُكَاتَبِ يَجْرَحُ الرَّجُلَ جَرْحًا يَقَعُ فِيهِ الْعَقْلُ عَلَيْهِ: أَنَّ الْمُكَاتَبَ إِنْ قَوِيَ عَلَى أَنْ يُؤَدِّيَ عَقْلَ ذَلِكَ الْجَرْحِ مَعَ كِتَابَتِهِ، أَدَّاهُ. وَكَانَ عَلَى كِتَابَتِهِ. فَإِنْ لَمْ يَقْوَ عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ عَجَزَ عَنْ كِتَابَتِهِ. وَذَلِكَ أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يُؤَدِّيَ عَقْلَ ذَلِكَ الْجَرْحِ قَبْلَ الْكِتَابَةِ. فَإِنْ هُوَ عَجَزَ عَنْ أَدَاءِ عَقْلِ ذَلِكَ الْجَرْحِ خُيِّرَ سَيِّدُهُ. فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يُؤَدِّيَ عَقْلَ ذَلِكَ الْجَرْحِ فَعَلَ وَأَمْسَكَ غُلَامَهُ وَصَارَ عَبْدًا مَمْلُوكًا. وَإِنْ شَاءَ أَنْ يُسَلِّمَ الْعَبْدَ إِلَى الْمَجْرُوحِ أَسْلَمَهُ. وَلَيْسَ عَلَى السَّيِّدِ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ يُسَلِّمَ عَبْدَهُ

Bab Luka pada Mukatab

6 – Malik berkata: Pendapat terbaik yang aku dengar mengenai mukatab yang melukai seseorang dengan luka yang mewajibkan pembayaran diyat adalah: jika mukatab itu mampu membayar diyat luka tersebut bersamaan dengan kewajiban kitabahnya, maka ia harus membayarnya, dan kewajiban kitabahnya tetap berlaku. Namun jika ia tidak mampu melakukan itu, berarti ia telah lemah dalam menunaikan kitabahnya. Hal ini karena seharusnya ia membayar diyat luka tersebut sebelum kitabah. Jika ia tidak mampu membayar diyat luka itu, maka tuannya diberi pilihan: jika ia ingin membayar diyat luka itu, maka ia lakukan dan ia menahan budaknya, sehingga budak itu kembali menjadi budak miliknya. Jika ia ingin menyerahkan budaknya kepada orang yang terluka, maka ia serahkan. Tidak ada kewajiban atas tuan selain menyerahkan budaknya.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْقَوْمِ يُكَاتَبُونَ جَمِيعًا: فَيَجْرَحُ أَحَدُهُمْ جَرْحًا فِيهِ عَقْلٌ

Malik berkata tentang sekelompok orang yang semuanya menjadi mukatab, lalu salah satu dari mereka melukai seseorang dengan luka yang mewajibkan diyat.

قَالَ مَالِكٌ: ” مَنْ جَرَحَ مِنْهُمْ جَرْحًا فِيهِ عَقْلٌ. قِيلَ لَهُ وَلِلَّذِينَ مَعَهُ فِي الْكِتَابَةِ أَدُّوا جَمِيعًا عَقْلَ ذَلِكَ الْجَرْحِ. فَإِنْ أَدَّوْا ثَبَتُوا عَلَى كِتَابَتِهِمْ. وَإِنْ لَمْ يُؤَدُّوا فَقَدْ عَجَزُوا. وَيُخَيَّرُ سَيِّدُهُمْ فَإِنْ شَاءَ أَدَّى عَقْلَ ذَلِكَ الْجَرْحِ وَرَجَعُوا عَبِيدًا لَهُ جَمِيعًا وَإِنْ شَاءَ. أَسْلَمَ الْجَارِحَ وَحْدَهُ وَرَجَعَ الْآخَرُونَ عَبِيدًا لَهُ جَمِيعًا بِعَجْزِهِمْ عَنْ أَدَاءِ عَقْلِ ذَلِكَ الْجَرْحِ الَّذِي جَرَحَ صَاحِبُهُمْ

Malik berkata: “Barang siapa di antara mereka yang melukai dengan luka yang mewajibkan diyat, maka dikatakan kepadanya dan kepada orang-orang yang bersamanya dalam kitabah: Bayarlah bersama-sama diyat luka tersebut. Jika mereka membayar, maka mereka tetap dalam kitabah mereka. Jika mereka tidak membayar, berarti mereka telah lemah. Maka tuan mereka diberi pilihan: jika ia mau, ia membayar diyat luka itu dan mereka semua kembali menjadi budaknya. Jika ia mau, ia hanya menyerahkan pelaku luka itu saja, dan yang lainnya kembali menjadi budaknya karena ketidakmampuan mereka membayar diyat luka yang dilakukan oleh teman mereka.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا أَنَّ الْمُكَاتَبَ إِذَا أُصِيبَ بِجَرْحٍ يَكُونُ لَهُ فِيهِ عَقْلٌ. أَوْ أُصِيبَ أَحَدٌ مِنْ وَلَدِ الْمُكَاتَبِ الَّذِينَ مَعَهُ فِي كِتَابَتِهِ. فَإِنَّ عَقْلَهُمْ عَقْلُ الْعَبِيدِ فِي قِيمَتِهِمْ. وَأَنَّ مَا أُخِذَ لَهُمْ مِنْ عَقْلِهِمْ يُدْفَعُ إِلَى سَيِّدِهِمِ الَّذِي لَهُ الْكِتَابَةُ. وَيُحْسَبُ ذَلِكَ لِلْمُكَاتَبِ فِي آخِرِ كِتَابَتِهِ. فَيُوضَعُ عَنْهُ مَا أَخَذَ سَيِّدُهُ مِنْ دِيَةِ جَرْحِهِ

Malik berkata: Ketentuan yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami adalah bahwa jika mukatab mengalami luka yang mewajibkan diyat, atau salah satu anak mukatab yang bersamanya dalam kitabah mengalami hal itu, maka diyat mereka adalah diyat budak sesuai dengan nilai mereka. Apa yang diambil untuk mereka dari diyat tersebut diserahkan kepada tuan mereka yang memiliki hak kitabah. Hal itu dihitung untuk mukatab di akhir kitabahnya, sehingga dikurangi dari kewajiban yang harus dibayar mukatab dari diyat lukanya yang telah diambil oleh tuannya.

قَالَ مَالِكٌ وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ: أَنَّهُ كَأَنَّهُ كَاتَبَهُ عَلَى ثَلَاثَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ. وَكَانَ دِيَةُ جَرْحِهِ الَّذِي أَخَذَهَا سَيِّدُهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَإِذَا أَدَّى الْمُكَاتَبُ إِلَى سَيِّدِهِ أَلْفَيْ دِرْهَمٍ فَهُوَ حُرٌّ. وَإِنْ كَانَ الَّذِي بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَكَانَ الَّذِي أَخَذَ مِنْ دِيَةِ جَرْحِهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَقَدْ عَتَقَ. وَإِنْ كَانَ عَقْلُ جَرْحِهِ أَكْثَرَ مِمَّا بَقِيَ عَلَى الْمُكَاتَبِ أَخَذَ سَيِّدُ الْمُكَاتَبِ مَا بَقِيَ مِنْ كِتَابَتِهِ. وَعَتَقَ وَكَانَ مَا فَضَلَ بَعْدَ أَدَاءِ كِتَابَتِهِ لِلْمُكَاتَبِ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُدْفَعَ إِلَى الْمُكَاتَبِ شَيْءٌ مِنْ دِيَةِ جَرْحِهِ. فَيَأْكُلَهُ. وَيَسْتَهْلِكَهُ. فَإِنْ عَجَزَ رَجَعَ إِلَى سَيِّدِهِ أَعْوَرَ أَوْ مَقْطُوعَ الْيَدِ أَوْ مَعْضُوبَ الْجَسَدِ. وَإِنَّمَا كَاتَبَهُ سَيِّدُهُ عَلَى مَالِهِ وَكَسْبِهِ. وَلَمْ يُكَاتِبْهُ عَلَى أَنْ يَأْخُذَ ثَمَنَ وَلَدِهِ. وَلَا مَا أُصِيبَ مِنْ عَقْلِ جَسَدِهِ فَيَأْكُلَهُ وَيَسْتَهْلِكَهُ وَلَكِنْ عَقْلُ جِرَاحَاتِ الْمُكَاتَبِ وَوَلَدِهِ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي كِتَابَتِهِ. أَوْ كَاتَبَ عَلَيْهِمْ يُدْفَعُ إِلَى سَيِّدِهِ وَيُحْسَبُ ذَلِكَ لَهُ فِي آخِرِ كِتَابَتِهِ “

Malik berkata, penjelasannya adalah: seolah-olah ia membuat perjanjian kitabah dengan budaknya sebesar tiga ribu dirham, lalu diyat luka yang diambil tuannya adalah seribu dirham. Maka jika mukatab membayar dua ribu dirham kepada tuannya, ia menjadi merdeka. Jika sisa kewajiban kitabahnya adalah seribu dirham dan jumlah yang diambil dari diyat lukanya juga seribu dirham, maka ia telah merdeka. Jika diyat lukanya lebih besar dari sisa kewajiban kitabah, maka tuan mukatab mengambil sisa kitabahnya, dan mukatab menjadi merdeka, dan kelebihan setelah pembayaran kitabah menjadi milik mukatab. Tidak sepatutnya diberikan kepada mukatab sesuatu dari diyat lukanya untuk dimakan atau dihabiskan. Jika ia tidak mampu, ia kembali kepada tuannya dalam keadaan cacat, seperti buta sebelah, atau tangannya terpotong, atau tubuhnya rusak. Tuannya membuat perjanjian kitabah dengannya atas harta dan penghasilannya, bukan atas harga anaknya, atau apa yang didapat dari diyat tubuhnya lalu ia makan dan habiskan. Namun, diyat luka mukatab dan anak-anaknya yang lahir dalam masa kitabah, atau yang juga dibuatkan perjanjian kitabah atas mereka, diserahkan kepada tuannya dan dihitung untuknya di akhir kitabahnya.”

بَابُ بَيْعِ الْمُكَاتَبِ
7 – قَالَ مَالِكٌ إِنَّ أَحْسَنَ مَا سُمِعَ فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي مُكَاتَبَ الرَّجُلِ: ” أَنَّهُ لَا يَبِيعُهُ إِذَا كَانَ كَاتَبَهُ بِدَنَانِيرَ أَوْ دَرَاهِمَ إِلَّا بِعَرْضٍ مِنَ الْعُرُوضِ يُعَجِّلُهُ وَلَا يُؤَخِّرُهُ. لِأَنَّهُ إِذَا أَخَّرَهُ كَانَ دَيْنًا بِدَيْنٍ وَقَدْ نُهِيَ عَنِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ. قَالَ: وَإِنْ كَاتَبَ الْمُكَاتَبَ سَيِّدُهُ بِعَرْضٍ مِنَ الْعُرُوضِ مِنَ الْإِبِلِ أَوِ الْبَقَرِ أَوِ الْغَنَمِ أَوِ الرَّقِيقِ. فَإِنَّهُ يَصْلُحُ لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَشْتَرِيَهُ بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ أَوْ عَرْضٍ مُخَالِفٍ لِلْعُرُوضِ الَّتِي كَاتَبَهُ سَيِّدُهُ عَلَيْهَا يُعَجِّلُ ذَلِكَ وَلَا يُؤَخِّرُهُ

BAB JUAL BELI MUKĀTAB

7 – Malik berkata: “Pendapat terbaik yang aku dengar mengenai seseorang yang membeli mukātab milik orang lain adalah: Tidak boleh menjualnya jika ia telah memukātabkannya dengan dinar atau dirham, kecuali dengan barang (‘aradh) dari barang-barang dagangan yang diserahkan secara tunai dan tidak ditunda. Karena jika ditunda, maka itu menjadi utang dengan utang, dan telah dilarang melakukan transaksi kalā’ bi al-kalā’ (utang dengan utang). Ia berkata: Jika tuan memukātabkan mukātab dengan barang (‘aradh) dari barang-barang seperti unta, sapi, kambing, atau budak, maka boleh bagi pembeli untuk membelinya dengan emas, perak, atau barang (‘aradh) lain yang berbeda dari barang-barang yang digunakan tuannya untuk memukātabkannya, dengan syarat pembayaran dilakukan secara tunai dan tidak ditunda.”

قَالَ مَالِكٌ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي الْمُكَاتَبِ: أَنَّهُ إِذَا بِيعَ كَانَ أَحَقَّ بِاشْتِرَاءِ كِتَابَتِهِ مِمَّنِ اشْتَرَاهَا إِذَا قَوِيَ أَنْ يُؤَدِّيَ إِلَى سَيِّدِهِ الثَّمَنَ الَّذِي بَاعَهُ بِهِ نَقْدًا. وَذَلِكَ أَنَّ اشْتِرَاءَهُ نَفْسَهُ عَتَاقَةٌ وَالْعَتَاقَةُ تُبَدَّأُ عَلَى مَا كَانَ مَعَهَا مِنَ الْوَصَايَا وَإِنْ بَاعَ بَعْضُ مَنْ كَاتَبَ الْمُكَاتَبَ نَصِيبَهُ مِنْهُ فَبَاعَ نِصْفَ الْمُكَاتَبِ أَوْ ثُلُثَهُ أَوْ رُبُعَهُ أَوْ سَهْمًا مِنْ أَسْهُمِ الْمُكَاتَبِ فَلَيْسَ لِلْمُكَاتَبِ فِيمَا بِيعَ مِنْهُ شُفْعَةٌ. وَذَلِكَ أَنَّهُ يَصِيرُ بِمَنْزِلَةِ الْقَطَاعَةِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُقَاطِعَ بَعْضَ مَنْ كَاتَبَهُ إِلَّا بِإِذْنِ شُرَكَائِهِ. وَأَنَّ مَا بِيعَ مِنْهُ لَيْسَتْ لَهُ بِهِ حُرْمَةٌ تَامَّةٌ. وَأَنَّ مَالَهُ مَحْجُورٌ عَنْهُ. وَأَنَّ اشْتِرَاءَهُ بَعْضَهُ يُخَافُ عَلَيْهِ مِنْهُ الْعَجْزُ لِمَا يَذْهَبُ مِنْ مَالِهِ. وَلَيْسَ ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ اشْتِرَاءِ الْمُكَاتَبِ نَفْسَهُ كَامِلًا. إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ مَنْ بَقِيَ لَهُ فِيهِ كِتَابَةٌ فَإِنْ أَذِنُوا لَهُ كَانَ أَحَقَّ بِمَا بِيعَ مِنْهُ

Malik berkata: “Pendapat terbaik yang aku dengar mengenai mukātab adalah: Jika ia dijual, maka ia lebih berhak untuk membeli akad mukātabnya dari orang yang membelinya, jika ia mampu membayar kepada tuannya harga yang dijualkan kepadanya secara tunai. Hal ini karena pembelian dirinya sendiri berarti pembebasan (‘itāq), dan pembebasan (‘itāq) didahulukan atas wasiat-wasiat lain yang bersamaan dengannya. Jika sebagian orang yang memukātabkan mukātab menjual bagiannya, seperti menjual setengah, sepertiga, seperempat, atau satu saham dari saham-saham mukātab, maka mukātab tidak memiliki hak syuf‘ah atas bagian yang dijual tersebut. Hal ini karena ia berada pada kedudukan seperti pemutusan akad, dan ia tidak boleh memutuskan akad dengan sebagian orang yang memukātabkannya kecuali dengan izin para sekutunya. Apa yang dijual darinya tidak memiliki perlindungan penuh baginya, dan hartanya masih dalam status terlarang baginya. Membeli sebagian dirinya sendiri dikhawatirkan akan menyebabkan ia tidak mampu (membayar) karena hartanya berkurang. Ini tidak sama dengan membeli seluruh dirinya sendiri secara penuh, kecuali jika orang yang masih memiliki hak akad mukātab padanya mengizinkan, maka jika mereka mengizinkan, ia lebih berhak atas bagian yang dijual darinya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” لَا يَحِلُّ بَيْعُ نَجْمٍ مِنْ نُجُومِ الْمُكَاتَبِ وَذَلِكَ أَنَّهُ غَرَرٌ إِنْ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ بَطَلَ مَا عَلَيْهِ. وَإِنْ مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ وَعَلَيْهِ دُيُونٌ لِلنَّاسِ لَمْ يَأْخُذِ الَّذِي اشْتَرَى نَجْمَهُ بِحِصَّتِهِ مَعَ غُرَمَائِهِ شَيْئًا. وَإِنَّمَا الَّذِي يَشْتَرِي نَجْمًا مِنْ نُجُومِ الْمُكَاتَبِ بِمَنْزِلَةِ سَيِّدِ الْمُكَاتَبِ فَسَيِّدُ الْمُكَاتَبِ لَا يُحَاصُّ بِكِتَابَةِ غُلَامِهِ غُرَمَاءَ الْمُكَاتَبِ. وَكَذَلِكَ الْخَرَاجُ أَيْضًا يَجْتَمِعُ لَهُ عَلَى غُلَامِهِ. فَلَا يُحَاصُّ بِمَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنَ الْخَرَاجِ غُرَمَاءَ غُلَامِهِ

Malik berkata: “Tidak halal menjual satu cicilan (najm) dari cicilan-cicilan mukātab, karena itu mengandung gharar (ketidakpastian). Jika mukātab tidak mampu membayar, maka batal apa yang menjadi tanggungannya. Jika ia meninggal atau bangkrut dan memiliki utang kepada orang lain, maka orang yang membeli cicilannya tidak mendapatkan bagian bersama para krediturnya sedikit pun. Orang yang membeli satu cicilan dari cicilan-cicilan mukātab itu kedudukannya seperti tuan mukātab, dan tuan mukātab tidak berhak menuntut bagian dari harta mukātab bersama para kreditur mukātab. Demikian pula hasil (kharāj) yang terkumpul dari budaknya juga menjadi miliknya, sehingga ia tidak berhak menuntut bagian hasil tersebut bersama para kreditur budaknya.”

قَالَ مَالِكٌ: لَا بَأْسَ بِأَنْ يَشْتَرِيَ الْمُكَاتَبُ كِتَابَتَهُ بِعَيْنٍ أَوْ عَرْضٍ مُخَالِفٍ لِمَا كُوتِبَ بِهِ مِنَ الْعَيْنِ أَوِ الْعَرْضِ أَوْ غَيْرِ مُخَالِفٍ مُعَجَّلٍ أَوْ مُؤَخَّرٍ

Malik berkata: “Tidak mengapa jika mukātab membeli akad mukātabnya dengan uang (‘ayn) atau barang (‘aradh) yang berbeda dari yang digunakan dalam akad mukātab, atau dengan yang tidak berbeda, baik secara tunai maupun ditunda.”

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُكَاتَبِ يَهْلِكُ وَيَتْرُكُ أُمَّ وَلَدٍ وَأَوْلَادًا لَهُ صِغَارًا مِنْهَا أَوْ مِنْ غَيْرِهَا. فَلَا يَقْوَوْنَ عَلَى السَّعْيِ وَيُخَافُ عَلَيْهِمُ الْعَجْزُ عَنْ كِتَابَتِهِمْ. قَالَ: تُبَاعُ أُمُّ وَلَدِ أَبِيهِمْ. إِذَا كَانَ فِي ثَمَنِهَا مَا يُؤَدَّى بِهِ عَنْهُمْ جَمِيعُ كِتَابَتِهِمْ أُمَّهُمْ. كَانَتْ أَوْ غَيْرَ أُمِّهِمْ يُؤَدَّى عَنْهُمْ وَيَعْتِقُونَ لِأَنَّ أَبَاهُمْ كَانَ لَا يَمْنَعُ بَيْعَهَا إِذَا خَافَ الْعَجْزَ عَنْ كِتَابَتِهِ. فَهَؤُلَاءِ إِذَا خِيفَ عَلَيْهِمُ الْعَجْزُ بِيعَتْ أُمُّ وَلَدِ أَبِيهِمْ فَيُؤَدَّى عَنْهُمْ ثَمَنُهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي ثَمَنِهَا مَا يُؤَدَّى عَنْهُمْ وَلَمْ تَقْوَ هِيَ وَلَا هُمْ عَلَى السَّعْيِ رَجَعُوا جَمِيعًا رَقِيقًا لِسَيِّدِهِمْ

Malik berkata mengenai mukātab yang meninggal dunia dan meninggalkan umm walad serta anak-anak kecil darinya atau dari selainnya, yang tidak mampu bekerja dan dikhawatirkan tidak mampu melunasi akad mukātab mereka: “Umm walad ayah mereka dijual, jika dari hasil penjualannya dapat digunakan untuk melunasi seluruh akad mukātab mereka, baik umm mereka sendiri maupun bukan, maka dilunasi dari hasil penjualan itu dan mereka pun merdeka. Karena ayah mereka dahulu tidak melarang penjualan umm walad jika dikhawatirkan tidak mampu melunasi akad mukātabnya. Maka jika mereka dikhawatirkan tidak mampu, umm walad ayah mereka dijual dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi akad mukātab mereka. Jika dari hasil penjualannya tidak cukup untuk melunasi akad mukātab mereka, dan baik umm walad maupun anak-anak itu tidak mampu bekerja, maka mereka semua kembali menjadi budak bagi tuan mereka.”

قَالَ مَالِكٌ الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الَّذِي يَبْتَاعُ كِتَابَةَ الْمُكَاتَبِ ثُمَّ يَهْلِكُ الْمُكَاتَبُ قَبْلَ أَنْ يُؤَدِّيَ كِتَابَتَهُ: أَنَّهُ يَرِثُهُ الَّذِي اشْتَرَى كِتَابَتَهُ. وَإِنْ عَجَزَ فَلَهُ رَقَبَتُهُ. وَإِنْ أَدَّى الْمُكَاتَبُ كِتَابَتَهُ إِلَى الَّذِي اشْتَرَاهَا وَعَتَقَ فَوَلَاؤُهُ لِلَّذِي عَقَدَ كِتَابَتَهُ لَيْسَ لِلَّذِي اشْتَرَى كِتَابَتَهُ مِنْ وَلَائِهِ شَيْءٌ

Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami mengenai seseorang yang membeli kitabah (perjanjian pembebasan) seorang mukatab, lalu mukatab itu meninggal sebelum melunasi kitabahnya, maka yang mewarisinya adalah orang yang membeli kitabahnya. Jika ia tidak mampu (melunasi), maka ia menjadi milik (budak) orang tersebut. Jika mukatab itu melunasi kitabahnya kepada orang yang membelinya dan ia merdeka, maka wala’ (hak perwalian) tetap menjadi milik orang yang mengadakan akad kitabah, bukan milik orang yang membeli kitabahnya; orang yang membeli kitabahnya tidak mendapatkan apa pun dari hak wala’ tersebut.

بَابُ سَعْيِ الْمُكَاتَبِ

Bab Tentang Usaha Mukatab

8 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، سُئِلَا عَنْ رَجُلٍ كَاتَبَ عَلَى نَفْسِهِ وَعَلَى بَنِيهِ ثُمَّ مَاتَ. هَلْ يَسْعَى بَنُو الْمُكَاتَبِ فِي كِتَابَةِ أَبِيهِمْ أَمْ هُمْ عَبِيدٌ؟ فَقَالَا: بَلْ يَسْعَوْنَ فِي كِتَابَةِ أَبِيهِمْ وَلَا يُوضَعُ عَنْهُمْ لِمَوْتِ أَبِيهِمْ شَيْءٌ

8 – Malik menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Urwah bin Zubair dan Sulaiman bin Yasar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang melakukan kitabah atas dirinya dan anak-anaknya, lalu ia meninggal dunia. Apakah anak-anak mukatab itu harus berusaha (melunasi) kitabah ayah mereka ataukah mereka menjadi budak? Keduanya menjawab: “Bahkan mereka harus berusaha (melunasi) kitabah ayah mereka, dan tidak ada keringanan bagi mereka karena kematian ayah mereka.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ كَانُوا صِغَارًا لَا يُطِيقُونَ السَّعْيَ. لَمْ يُنْتَظَرْ بِهِمْ أَنْ يَكْبَرُوا، وَكَانُوا رَقِيقًا لِسَيِّدِ أَبِيهِمْ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الْمُكَاتَبُ تَرَكَ مَا يُؤَدَّى بِهِ عَنْهُمْ نُجُومُهُمْ. إِلَى أَنْ يَتَكَلَّفُوا السَّعْيَ. فَإِنْ كَانَ فِيمَا تَرَكَ مَا يُؤَدَّى عَنْهُمْ، أُدِّيَ ذَلِكَ عَنْهُمْ. وَتُرِكُوا عَلَى حَالِهِمْ. حَتَّى يَبْلُغُوا السَّعْيَ. فَإِنْ أَدَّوْا عَتَقُوا وَإِنْ عَجَزُوا رَقُّوا

Malik berkata: Jika mereka masih kecil dan belum mampu berusaha, maka tidak perlu menunggu mereka hingga dewasa, dan mereka menjadi budak bagi tuan ayah mereka, kecuali jika mukatab itu meninggalkan harta yang dapat digunakan untuk membayar cicilan mereka, hingga mereka mampu berusaha. Jika dalam harta yang ditinggalkan terdapat cukup untuk membayar (kitabah) mereka, maka itu dibayarkan untuk mereka dan mereka dibiarkan dalam keadaan mereka hingga mampu berusaha. Jika mereka melunasi, maka mereka merdeka; jika tidak mampu, maka mereka tetap menjadi budak.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُكَاتَبِ يَمُوتُ وَيَتْرُكُ مَالًا لَيْسَ فِيهِ وَفَاءُ الْكِتَابَةِ. وَيَتْرُكُ وَلَدًا مَعَهُ فِي كِتَابَتِهِ وَأُمَّ وَلَدٍ. فَأَرَادَتْ أُمُّ وَلَدِهِ أَنْ تَسْعَى عَلَيْهِمْ: إِنَّهُ يُدْفَعُ إِلَيْهَا الْمَالُ إِذَا كَانَتْ مَأْمُونَةً عَلَى ذَلِكَ قَوِيَّةً عَلَى السَّعْيِ. وَإِنْ لَمْ تَكُنْ قَوِيَّةً عَلَى السَّعْيِ. وَلَا مَأْمُونَةً عَلَى الْمَالِ لَمْ تُعْطَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ. وَرَجَعَتْ هِيَ وَوَلَدُ الْمُكَاتَبِ رَقِيقًا لِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ

Malik berkata tentang seorang mukatab yang meninggal dunia dan meninggalkan harta yang tidak cukup untuk melunasi kitabahnya, serta meninggalkan anak yang ikut dalam kitabahnya dan seorang ummu walad (ibu dari anaknya). Jika ummu walad itu ingin berusaha untuk mereka, maka harta itu diserahkan kepadanya jika ia dapat dipercaya dan mampu berusaha. Namun jika ia tidak mampu berusaha dan tidak dapat dipercaya dalam mengelola harta, maka tidak diberikan apa pun dari harta itu. Maka ia dan anak mukatab itu kembali menjadi budak bagi tuan mukatab.

قَالَ مَالِكٌ: إِذَا كَاتَبَ الْقَوْمُ جَمِيعًا كِتَابَةً وَاحِدَةً. وَلَا رَحِمَ بَيْنَهُمْ فَعَجَزَ بَعْضُهُمْ وَسَعَى بَعْضُهُمْ حَتَّى عَتَقُوا جَمِيعًا. فَإِنَّ الَّذِينَ سَعَوْا يَرْجِعُونَ عَلَى الَّذِينَ عَجَزُوا بِحِصَّةِ مَا أَدَّوْا عَنْهُمْ لِأَنَّ بَعْضَهُمْ حُمَلَاءُ عَنْ بَعْضٍ

Malik berkata: Jika suatu kaum melakukan kitabah bersama dalam satu akad, dan tidak ada hubungan kekerabatan di antara mereka, lalu sebagian dari mereka tidak mampu (melunasi) dan sebagian lagi berusaha hingga semuanya merdeka, maka mereka yang telah berusaha dapat menuntut bagian yang telah mereka bayarkan dari mereka yang tidak mampu, karena sebagian dari mereka menanggung sebagian yang lain.

بَابُ عِتْقِ الْمُكَاتَبِ إِذَا أَدَّى مَا عَلَيْهِ قَبْلَ مَحِلِّهِ

Bab Pembebasan Mukatab Jika Melunasi Sebelum Waktunya

9 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ سَمِعَ رَبِيعَةَ بْنَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، وَغَيْرَهُ يَذْكُرُونَ أَنَّ مُكَاتَبًا كَانَ لِلْفُرَافِصَةِ بْنِ عُمَيْرٍ الْحَنَفِيِّ وَأَنَّهُ عَرَضَ عَلَيْهِ أَنْ يَدْفَعَ إِلَيْهِ جَمِيعَ مَا عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ. فَأَبَى الْفُرَافِصَةُ فَأَتَى الْمُكَاتَبُ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَدَعَا مَرْوَانُ الْفُرَافِصَةَ فَقَالَ لَهُ ذَلِكَ. فَأَبَى فَأَمَرَ مَرْوَانُ بِذَلِكَ الْمَالِ أَنْ يُقْبَضَ مِنَ الْمُكَاتَبِ فَيُوضَعَ فِي بَيْتِ الْمَالِ. وَقَالَ لِلْمُكَاتَبِ اذْهَبْ فَقَدْ عُتِقْتَ. فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْفُرَافِصَةُ قَبَضَ الْمَالَ

9 – Malik menceritakan kepadaku bahwa ia mendengar Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman dan yang lainnya menyebutkan bahwa ada seorang mukatab milik al-Furafishah bin ‘Umair al-Hanafi, dan ia (mukatab) menawarkan untuk membayar seluruh kewajiban kitabahnya sekaligus. Namun al-Furafishah menolak. Maka mukatab itu mendatangi Marwan bin al-Hakam yang saat itu menjadi amir Madinah, lalu menceritakan hal itu kepadanya. Marwan memanggil al-Furafishah dan menyampaikan hal itu kepadanya, namun ia tetap menolak. Maka Marwan memerintahkan agar uang itu diambil dari mukatab dan disimpan di Baitul Mal, lalu berkata kepada mukatab: “Pergilah, engkau telah merdeka.” Ketika al-Furafishah melihat hal itu, ia pun mengambil uang tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: فَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ الْمُكَاتَبَ إِذَا أَدَّى جَمِيعَ مَا عَلَيْهِ مِنْ نُجُومِهِ قَبْلَ مَحِلِّهَا. جَازَ ذَلِكَ لَهُ. وَلَمْ يَكُنْ لِسَيِّدِهِ أَنْ يَأْبَى ذَلِكَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ أَنَّهُ يَضَعُ عَنِ الْمُكَاتَبِ بِذَلِكَ كُلَّ شَرْطٍ أَوْ خِدْمَةٍ أَوْ سَفَرٍ. لِأَنَّهُ لَا تَتِمُّ عَتَاقَةُ رَجُلٍ وَعَلَيْهِ بَقِيَّةٌ مِنْ رِقٍّ. وَلَا تَتِمُّ حُرْمَتُهُ وَلَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُ وَلَا يَجِبُ مِيرَاثُهُ وَلَا أَشْبَاهُ هَذَا مِنْ أَمْرِهِ. وَلَا يَنْبَغِي لِسَيِّدِهِ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَيْهِ خِدْمَةً بَعْدَ عَتَاقَتِهِ

Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa seorang mukatab jika melunasi seluruh kewajiban cicilannya sebelum jatuh tempo, maka itu boleh baginya, dan tuannya tidak boleh menolak hal itu. Dengan demikian, seluruh syarat, pelayanan, atau perjalanan yang dibebankan kepada mukatab menjadi gugur. Sebab, tidak sempurna kemerdekaan seseorang jika masih tersisa sedikit pun dari status perbudakan. Kemuliaannya tidak sempurna, kesaksiannya tidak sah, warisannya tidak wajib, dan hal-hal serupa dari urusannya tidak berlaku. Tidak sepatutnya tuannya mensyaratkan pelayanan apa pun setelah ia merdeka.

قَالَ مَالِكٌ فِي مُكَاتَبٍ مَرِضَ مَرَضًا شَدِيدًا فَأَرَادَ أَنْ يَدْفَعَ نُجُومَهُ كُلَّهَا إِلَى سَيِّدِهِ: لِأَنْ يَرِثَهُ وَرَثَةٌ لَهُ أَحْرَارٌ. وَلَيْسَ مَعَهُ فِي كِتَابَتِهِ وَلَدٌ لَهُ

Malik berkata tentang seorang mukatab yang sakit keras lalu ingin membayarkan seluruh cicilannya kepada tuannya, agar ia dapat diwarisi oleh ahli warisnya yang merdeka, dan ia tidak memiliki anak yang ikut dalam kitabahnya.

قَالَ مَالِكٌ: ذَلِكَ جَائِزٌ لَهُ لِأَنَّهُ تَتِمُّ بِذَلِكَ حُرْمَتُهُ وَتَجُوزُ شَهَادَتُهُ وَيَجُوزُ اعْتِرَافُهُ بِمَا عَلَيْهِ مِنْ دُيُونِ النَّاسِ. وَتَجُوزُ وَصِيَّتُهُ وَلَيْسَ لِسَيِّدِهِ أَنْ يَأْبَى ذَلِكَ عَلَيْهِ بِأَنْ يَقُولَ فَرَّ مِنِّي بِمَالِهِ “

Malik berkata: “Hal itu boleh baginya karena dengan demikian kehormatannya menjadi sempurna, kesaksiannya boleh diterima, dan pengakuannya atas utang-utangnya kepada manusia juga sah. Wasiatnya pun boleh dilakukan, dan tuannya tidak berhak menolaknya dengan alasan bahwa ia telah melarikan diri darinya dengan hartanya.”

بَابُ مِيرَاثِ الْمُكَاتَبِ إِذَا عَتَقَ

Bab Warisan Mukatab Jika Ia Telah Merdeka

10 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ سُئِلَ عَنْ مُكَاتَبٍ كَانَ بَيْنَ رَجُلَيْنِ، فَأَعْتَقَ أَحَدُهُمَا نَصِيبَهُ، فَمَاتَ الْمُكَاتَبُ وَتَرَكَ مَالًا كَثِيرًا. فَقَالَ: يُؤَدَّى إِلَى الَّذِي تَمَاسَكَ بِكِتَابَتِهِ الَّذِي بَقِيَ لَهُ، ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ مَا بَقِيَ بِالسَّوِيَّةِ

10 – Malik mengabarkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Sa‘id bin al-Musayyib pernah ditanya tentang seorang mukatab yang dimiliki oleh dua orang laki-laki, lalu salah satu dari keduanya memerdekakan bagiannya, kemudian mukatab itu meninggal dunia dan meninggalkan harta yang banyak. Ia berkata: “Harta itu diberikan kepada yang masih mempertahankan akad kitabahnya, yaitu yang masih memiliki hak atasnya, kemudian keduanya membagi sisa harta itu secara rata.”

قَالَ مَالِكٌ: ” إِذَا كَاتَبَ الْمُكَاتَبُ فَعَتَقَ، فَإِنَّمَا يَرِثُهُ أَوْلَى النَّاسِ بِمَنْ كَاتَبَهُ مِنَ الرِّجَالِ يَوْمَ تُوُفِّيَ الْمُكَاتَبُ مِنْ وَلَدٍ أَوْ عَصَبَةٍ، قَالَ: وَهَذَا أَيْضًا فِي كُلِّ مَنْ أُعْتِقَ، فَإِنَّمَا مِيرَاثُهُ لِأَقْرَبِ النَّاسِ مِمَّنْ أَعْتَقَهُ مِنْ وَلَدٍ أَوْ عَصَبَةٍ مِنَ الرِّجَالِ يَوْمَ يَمُوتُ الْمُعْتَقُ بَعْدَ أَنْ يَعْتِقَ وَيَصِيرَ مَوْرُوثًا بِالْوَلَاءِ

Malik berkata: “Jika seorang mukatab telah melunasi akad kitabahnya lalu ia merdeka, maka yang mewarisinya adalah orang yang paling dekat hubungan nasabnya dengan orang yang mengadakan akad kitabah dengannya dari kalangan laki-laki, baik anak maupun ‘ashabah, pada hari wafatnya mukatab. Ia berkata: Hal ini juga berlaku pada setiap orang yang dimerdekakan; maka warisannya adalah untuk kerabat terdekat dari orang yang memerdekakannya, baik anak maupun ‘ashabah dari kalangan laki-laki, pada hari wafatnya orang yang dimerdekakan, setelah ia merdeka dan menjadi ahli waris karena wala’.”

قَالَ مَالِكٌ: الْإِخْوَةُ فِي الْكِتَابَةِ بِمَنْزِلَةِ الْوَلَدِ إِذَا كُوتِبُوا جَمِيعًا كِتَابَةً وَاحِدَةً إِذَا لَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ وَلَدٌ كَاتَبَ عَلَيْهِمْ أَوْ وُلِدُوا فِي كِتَابَتِهِ أَوْ كَاتَبَ عَلَيْهِمْ، ثُمَّ هَلَكَ أَحَدُهُمْ وَتَرَكَ مَالًا أُدِّيَ عَنْهُمْ جَمِيعُ مَا عَلَيْهِمْ مِنْ كِتَابَتِهِمْ وَعَتَقُوا، وَكَانَ فَضْلُ الْمَالِ بَعْدَ ذَلِكَ لِوَلَدِهِ دُونَ إِخْوَتِهِ

Malik berkata: “Saudara-saudara dalam akad kitabah kedudukannya seperti anak-anak, jika mereka semua diakadkan kitabah dalam satu akad, selama tidak ada salah satu dari mereka yang memiliki anak yang melakukan akad kitabah atas mereka, atau mereka lahir dalam masa akad kitabahnya, atau akad kitabah dilakukan atas mereka, kemudian salah satu dari mereka meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka seluruh sisa kewajiban kitabah mereka dilunasi dan mereka semua merdeka. Sisa harta setelah itu menjadi milik anaknya, bukan saudara-saudaranya.”

بَابُ الشَّرْطِ فِي الْمُكَاتَبِ
11 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ فِي رَجُلٍ كَاتَبَ عَبْدَهُ بِذَهَبٍ أَوْ وَرِقٍ. وَاشْتَرَطَ عَلَيْهِ فِي كِتَابَتِهِ سَفَرًا أَوْ خِدْمَةً أَوْ ضَحِيَّةً: ” إِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ سَمَّى بِاسْمِهِ ثُمَّ قَوِيَ الْمُكَاتَبُ عَلَى أَدَاءِ نُجُومِهِ كُلِّهَا قَبْلَ مَحِلِّهَا. قَالَ: إِذَا أَدَّى نُجُومَهُ كُلَّهَا وَعَلَيْهِ هَذَا الشَّرْطُ عَتَقَ فَتَمَّتْ حُرْمَتُهُ وَنُظِرَ إِلَى مَا شَرَطَ عَلَيْهِ مِنْ خِدْمَةٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ. مِمَّا يُعَالِجُهُ هُوَ بِنَفْسِهِ. فَذَلِكَ مَوْضُوعٌ عَنْهُ لَيْسَ لِسَيِّدِهِ فِيهِ شَيْءٌ وَمَا كَانَ مِنْ ضَحِيَّةٍ أَوْ كِسْوَةٍ أَوْ شَيْءٍ يُؤَدِّيهِ. فَإِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ يُقَوَّمُ ذَلِكَ عَلَيْهِ فَيَدْفَعُهُ مَعَ نُجُومِهِ وَلَا يَعْتِقُ حَتَّى يَدْفَعَ ذَلِكَ مَعَ نُجُومِهِ

Bab Syarat dalam Mukatab
11 – Malik mengabarkan kepadaku tentang seorang laki-laki yang mengadakan akad kitabah dengan budaknya dengan emas atau perak, lalu ia mensyaratkan dalam akad kitabahnya adanya perjalanan, pelayanan, atau kurban: “Setiap hal yang disebutkan secara spesifik, kemudian mukatab itu mampu melunasi seluruh cicilannya sebelum jatuh tempo, maka jika ia telah melunasi seluruh cicilannya dan masih ada syarat tersebut, ia menjadi merdeka dan kehormatannya menjadi sempurna. Kemudian dilihat syarat yang ditetapkan atasnya, seperti pelayanan, perjalanan, atau hal serupa yang dapat ia lakukan sendiri, maka itu gugur darinya dan tuannya tidak berhak atasnya. Sedangkan untuk kurban, pakaian, atau sesuatu yang harus ia serahkan, maka itu diperlakukan seperti dinar dan dirham, dinilai harganya dan dibayarkan bersama cicilannya, dan ia tidak merdeka hingga membayarkan itu bersama cicilannya.”

قَالَ مَالِكٌ الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ أَنَّ الْمُكَاتَبَ بِمَنْزِلَةِ عَبْدٍ أَعْتَقَهُ سَيِّدُهُ بَعْدَ خِدْمَةِ عَشْرِ سِنِينَ. فَإِذَا هَلَكَ سَيِّدُهُ الَّذِي أَعْتَقَهُ قَبْلَ عَشْرِ سِنِينَ. فَإِنَّ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ خِدْمَتِهِ لِوَرَثَتِهِ وَكَانَ وَلَاؤُهُ لِلَّذِي عَقَدَ عِتْقَهُ وَلِوَلَدِهِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الْعَصَبَةِ

Malik berkata: “Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami, yang tidak ada perbedaan padanya, adalah bahwa mukatab kedudukannya seperti budak yang dimerdekakan tuannya setelah melayani selama sepuluh tahun. Jika tuannya yang memerdekakannya meninggal sebelum sepuluh tahun, maka sisa masa pelayanannya menjadi hak ahli warisnya, dan hak wala’ tetap untuk orang yang mengadakan akad pembebasan dan anak-anaknya dari kalangan laki-laki atau ‘ashabah.”

قَالَ مَالِكٌ فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِطُ عَلَى مُكَاتَبِهِ أَنَّكَ لَا تُسَافِرُ وَلَا تَنْكِحُ وَلَا تَخْرُجُ مِنْ أَرْضِي إِلَّا بِإِذْنِي: فَإِنْ فَعَلْتَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ بِغَيْرِ إِذْنِي فَمَحْوُ كِتَابَتِكَ بِيَدِي

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang mensyaratkan kepada mukatabnya: “Engkau tidak boleh bepergian, tidak boleh menikah, dan tidak boleh keluar dari tanahku kecuali dengan izinku. Jika engkau melakukan salah satu dari hal tersebut tanpa izinku, maka akad kitabahmu akan aku batalkan dengan tanganku.”

قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ مَحْوُ كِتَابَتِهِ بِيَدِهِ إِنْ فَعَلَ الْمُكَاتَبُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ. وَلْيَرْفَعْ سَيِّدُهُ ذَلِكَ إِلَى السُّلْطَانِ وَلَيْسَ لِلْمُكَاتَبِ أَنْ يَنْكِحَ وَلَا يُسَافِرَ وَلَا يَخْرُجَ مِنْ أَرْضِ سَيِّدِهِ. إِلَّا بِإِذْنِهِ اشْتَرَطَ ذَلِكَ أَوْ لَمْ يَشْتَرِطْهُ. وَذَلِكَ أَنَّ الرَّجُلَ يُكَاتِبُ عَبْدَهُ بِمِائَةِ دِينَارٍ وَلَهُ أَلْفُ دِينَارٍ أَوْ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ فَيَنْطَلِقُ فَيَنْكِحُ الْمَرْأَةَ فَيُصْدِقُهَا الصَّدَاقَ الَّذِي يُجْحِفُ بِمَالِهِ وَيَكُونُ فِيهِ عَجْزُهُ فَيَرْجِعُ إِلَى سَيِّدِهِ عَبْدًا لَا مَالَ لَهُ. أَوْ يُسَافِرُ فَتَحِلُّ نُجُومُهُ وَهُوَ غَائِبٌ فَلَيْسَ ذَلِكَ لَهُ وَلَا عَلَى ذَلِكَ كَاتَبَهُ. وَذَلِكَ بِيَدِ سَيِّدِهِ إِنْ شَاءَ أَذِنَ لَهُ فِي ذَلِكَ وَإِنْ شَاءَ مَنَعَهُ “

Malik berkata: Menghapus tulisan perjanjiannya dengan tangannya sendiri tidaklah berarti apa-apa jika mukatab melakukan hal tersebut. Hendaknya tuannya membawa perkara itu kepada penguasa. Mukatab tidak berhak menikah, bepergian, atau keluar dari tanah milik tuannya kecuali dengan izinnya, baik syarat itu disebutkan maupun tidak. Hal ini karena seseorang bisa memukatab budaknya dengan seratus dinar, padahal ia memiliki seribu dinar atau lebih. Lalu ia pergi menikahi seorang wanita dan memberikan mahar yang memberatkan hartanya sehingga ia menjadi tidak mampu membayar, lalu ia kembali menjadi budak tuannya tanpa memiliki harta. Atau ia bepergian, lalu jatuh tempo cicilan-cicilannya saat ia sedang tidak ada, maka itu tidak boleh baginya dan bukan atas dasar itu ia dimukatabkan. Semua itu berada di tangan tuannya; jika ia mau, ia mengizinkan, dan jika ia mau, ia melarangnya.

بَابُ وَلَاءِ الْمُكَاتَبِ إِذَا أَعْتَقَ
12 – قَالَ مَالِكٌ: إِنَّ الْمُكَاتَبَ إِذَا أَعْتَقَ عَبْدَهُ إِنَّ ذَلِكَ غَيْرُ جَائِزٍ لَهُ. إِلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ فَإِنْ أَجَازَ ذَلِكَ سَيِّدُهُ لَهُ ثُمَّ عَتَقَ الْمُكَاتَبُ كَانَ وَلَاؤُهُ لِلْمُكَاتَبِ. وَإِنْ مَاتَ الْمُكَاتَبُ قَبْلَ أَنْ يُعْتَقَ كَانَ وَلَاءُ الْمُعْتَقِ لِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ وَإِنْ مَاتَ الْمُعْتَقُ قَبْلَ أَنْ يُعْتَقَ الْمُكَاتَبُ وَرِثَهُ سَيِّدُ الْمُكَاتَبِ

Bab Wala’ Mukatab Jika Ia Memerdekakan
12 – Malik berkata: Jika seorang mukatab memerdekakan budaknya, maka hal itu tidak sah baginya kecuali dengan izin tuannya. Jika tuannya mengizinkannya, lalu mukatab itu dimerdekakan, maka wala’-nya menjadi milik mukatab. Jika mukatab meninggal sebelum ia dimerdekakan, maka wala’ orang yang dimerdekakan menjadi milik tuan mukatab. Jika orang yang dimerdekakan meninggal sebelum mukatab dimerdekakan, maka tuan mukatab mewarisinya.

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ أَيْضًا لَوْ كَاتَبَ الْمُكَاتَبُ عَبْدًا فَعَتَقَ الْمُكَاتَبُ الْآخَرُ قَبْلَ سَيِّدِهِ الَّذِي كَاتَبَهُ فَإِنَّ وَلَاءَهُ لِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ مَا لَمْ يَعْتِقِ الْمُكَاتَبُ الْأَوَّلُ الَّذِي كَاتَبَهُ. فَإِنْ عَتَقَ الَّذِي كَاتَبَهُ رَجَعَ إِلَيْهِ وَلَاءُ مُكَاتَبِهِ الَّذِي كَانَ عَتَقَ قَبْلَهُ. وَإِنْ مَاتَ الْمُكَاتَبُ الْأَوَّلُ قَبْلَ أَنْ يُؤَدِّيَ أَوْ عَجَزَ عَنْ كِتَابَتِهِ وَلَهُ وَلَدٌ أَحْرَارٌ لَمْ يَرِثُوا وَلَاءَ مُكَاتَبِ أَبِيهِمْ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ لِأَبِيهِمُ الْوَلَاءُ. وَلَا يَكُونُ لَهُ الْوَلَاءُ حَتَّى يَعْتِقَ

Malik berkata: Demikian pula jika mukatab memukatab seorang budak, lalu mukatab yang lain itu dimerdekakan sebelum tuannya yang memukatabkannya, maka wala’-nya tetap menjadi milik tuan mukatab selama mukatab pertama yang memukatabkannya belum dimerdekakan. Jika yang memukatabkannya telah dimerdekakan, maka wala’ mukatabnya yang telah dimerdekakan sebelumnya kembali kepadanya. Jika mukatab pertama meninggal sebelum melunasi atau tidak mampu membayar perjanjiannya, dan ia memiliki anak-anak yang merdeka, maka mereka tidak mewarisi wala’ mukatab ayah mereka, karena wala’ itu belum tetap bagi ayah mereka. Dan wala’ itu tidak menjadi miliknya hingga ia dimerdekakan.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْمُكَاتَبِ يَكُونُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ فَيَتْرُكُ أَحَدُهُمَا لِلْمُكَاتَبِ الَّذِي لَهُ عَلَيْهِ وَيَشِحُّ الْآخَرُ ثُمَّ يَمُوتُ الْمُكَاتَبُ وَيَتْرُكُ مَالًا

Malik berkata tentang mukatab yang dimiliki oleh dua orang laki-laki, lalu salah satu dari keduanya membebaskan haknya atas mukatab tersebut, sementara yang lain enggan, kemudian mukatab itu meninggal dunia dan meninggalkan harta.

قَالَ مَالِكٌ: يَقْضِي الَّذِي لَمْ يَتْرُكْ لَهُ شَيْئًا مَا بَقِيَ لَهُ عَلَيْهِ. ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ الْمَالَ كَهَيْئَتِهِ لَوْ مَاتَ عَبْدًا لِأَنَّ الَّذِي صَنَعَ لَيْسَ بِعَتَاقَةٍ. وَإِنَّمَا تَرَكَ مَا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ

Malik berkata: Orang yang tidak membebaskan haknya mengambil sisa piutangnya dari harta mukatab. Setelah itu, keduanya membagi harta tersebut sebagaimana jika ia meninggal dalam keadaan masih budak, karena apa yang dilakukan itu bukanlah pembebasan (’itq), melainkan hanya meninggalkan hak yang ia miliki atasnya.

قَالَ مَالِكٌ وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ: أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا مَاتَ وَتَرَكَ مُكَاتَبًا وَتَرَكَ بَنِينَ رِجَالًا وَنِسَاءً. ثُمَّ أَعْتَقَ أَحَدُ الْبَنِينَ نَصِيبَهُ مِنَ الْمُكَاتَبِ إِنَّ ذَلِكَ لَا يُثْبِتُ لَهُ مِنَ الْوَلَاءِ شَيْئًا وَلَوْ كَانَتْ عَتَاقَةً لَثَبَتَ الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ مِنْهُمْ مِنْ رِجَالِهِمْ وَنِسَائِهِمْ

Malik berkata, dan di antara yang menjelaskan hal itu adalah: Jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang mukatab serta anak-anak laki-laki dan perempuan, lalu salah satu anak laki-laki memerdekakan bagiannya dari mukatab, maka hal itu tidak menetapkan wala’ apa pun baginya. Seandainya itu merupakan pembebasan (’itq), niscaya wala’ itu menjadi milik siapa saja dari anak-anak laki-laki dan perempuan yang memerdekakannya.

قَالَ مَالِكٌ: وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَيْضًا ” أَنَّهُمْ إِذَا أَعْتَقَ أَحَدُهُمْ نَصِيبَهُ ثُمَّ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ لَمْ يُقَوَّمْ عَلَى الَّذِي أَعْتَقَ نَصِيبَهُ مَا بَقِيَ مِنَ الْمُكَاتَبِ وَلَوْ كَانَتْ عَتَاقَةً قُوِّمَ عَلَيْهِ حَتَّى يَعْتِقَ فِي مَالِهِ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ قُوِّمَ عَلَيْهِ قِيمَةَ الْعَدْلِ. فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ عَتَقَ مِنْهُ مَا عَتَقَ قَالَ: وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَيْضًا: أَنَّ مِنْ سُنَّةِ الْمُسْلِمِينَ الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا. أَنَّ مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مُكَاتَبٍ لَمْ يُعْتَقْ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ وَلَوْ عَتَقَ عَلَيْهِ. كَانَ الْوَلَاءُ لَهُ دُونَ شُرَكَائِهِ وَمِمَّا يُبَيِّنُ ذَلِكَ أَيْضًا: أَنَّ مِنْ سُنَّةِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّ الْوَلَاءَ لِمَنْ عَقَدَ الْكِتَابَةَ. وَأَنَّهُ لَيْسَ لِمَنْ وَرِثَ سَيِّدَ الْمُكَاتَبِ مِنَ النِّسَاءِ مِنْ وَلَاءِ الْمُكَاتَبِ. وَإِنْ أَعْتَقْنَ نَصِيبَهُنَّ شَيْءٌ إِنَّمَا وَلَاؤُهُ لِوَلَدِ سَيِّدِ الْمُكَاتَبِ الذُّكُورِ أَوْ عَصَبَتِهِ مِنَ الرِّجَالِ “

Malik berkata: Di antara hal yang juga menjelaskan hal tersebut adalah, “Bahwa apabila salah seorang dari mereka memerdekakan bagiannya, kemudian mukatab itu tidak mampu (melunasi), maka tidak dilakukan penilaian (harga) atas orang yang telah memerdekakan bagiannya terhadap sisa bagian dari mukatab itu. Seandainya itu merupakan pembebasan budak biasa, maka akan dinilai atasnya hingga budak itu merdeka dari hartanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Barang siapa memerdekakan bagian miliknya pada seorang budak, maka dinilai atasnya nilai yang adil. Jika ia tidak memiliki harta, maka merdeka darinya hanya bagian yang telah dimerdekakan.’” Malik berkata: “Di antara hal yang juga menjelaskan hal tersebut adalah bahwa termasuk sunnah kaum muslimin yang tidak ada perbedaan di dalamnya, bahwa siapa yang memerdekakan bagian miliknya pada seorang mukatab, maka tidak menjadi merdeka atasnya dari hartanya. Namun jika ia memerdekakan, maka hak wala’ (loyalitas) menjadi miliknya, bukan kepada para sekutunya. Dan di antara hal yang juga menjelaskan hal tersebut adalah bahwa termasuk sunnah kaum muslimin, hak wala’ adalah bagi orang yang mengadakan akad kitabah (perjanjian pembebasan budak). Dan tidak ada hak wala’ bagi perempuan yang mewarisi tuan mukatab dari wala’ mukatab. Jika mereka memerdekakan bagian mereka, maka wala’ itu hanya untuk anak laki-laki tuan mukatab atau kerabat laki-lakinya.”

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ مِنْ عِتْقِ الْمُكَاتَبِ
13 – قَالَ مَالِكٌ: ” إِذَا كَانَ الْقَوْمُ جَمِيعًا فِي كِتَابَةٍ وَاحِدَةٍ. لَمْ يُعْتِقْ سَيِّدُهُمْ أَحَدًا مِنْهُمْ دُونَ مُؤَامَرَةِ أَصْحَابِهِ الَّذِينَ مَعَهُ فِي الْكِتَابَةِ وَرِضًا مِنْهُمْ. وَإِنْ كَانُوا صِغَارًا فَلَيْسَ مُؤَامَرَتُهُمْ بِشَيْءٍ. وَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ. قَالَ: وَذَلِكَ أَنَّ الرَّجُلَ رُبَّمَا كَانَ يَسْعَى عَلَى جَمِيعِ الْقَوْمِ وَيُؤَدِّي عَنْهُمْ كِتَابَتَهُمْ لِتَتِمَّ بِهِ عَتَاقَتُهُمْ فَيَعْمِدُ السَّيِّدُ إِلَى الَّذِي يُؤَدِّي عَنْهُمْ. وَبِهِ نَجَاتُهُمْ مِنَ الرِّقِّ، فَيُعْتِقُهُ. فَيَكُونُ ذَلِكَ عَجْزًا لِمَنْ بَقِيَ مِنْهُمْ وَإِنَّمَا أَرَادَ بِذَلِكَ الْفَضْلَ وَالزِّيَادَةَ لِنَفْسِهِ فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ عَلَى مَنْ بَقِيَ مِنْهُمْ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ وَهَذَا أَشَدُّ الضَّرَرِ

Bab Tentang Pembebasan Mukatab yang Tidak Diperbolehkan
13 – Malik berkata: “Apabila suatu kaum seluruhnya berada dalam satu akad kitabah, maka tuan mereka tidak boleh memerdekakan salah satu dari mereka tanpa musyawarah dan kerelaan dari para pemilik hak lainnya yang bersama mereka dalam akad kitabah itu. Jika mereka masih anak-anak, maka musyawarah mereka tidak dianggap. Dan hal itu tidak boleh dilakukan terhadap mereka. Malik berkata: Hal itu karena terkadang seseorang berusaha untuk seluruh kelompok dan membayarkan akad kitabah mereka agar kemerdekaan mereka sempurna, lalu tuan membebaskan orang yang membayarkan untuk mereka, yang dengan itu menjadi jalan keselamatan mereka dari perbudakan, sehingga ia dimerdekakan. Maka hal itu menjadi kelemahan bagi yang tersisa dari mereka, padahal yang dimaksudkan hanyalah keutamaan dan tambahan untuk dirinya sendiri. Maka hal itu tidak boleh dilakukan terhadap yang tersisa dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ‘Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain,’ dan ini adalah bentuk bahaya yang paling besar.”

قَالَ مَالِكٌ فِي الْعَبِيدِ يُكَاتَبُونَ جَمِيعًا: إِنَّ لِسَيِّدِهِمْ أَنْ يُعْتِقَ مِنْهُمُ الْكَبِيرَ الْفَانِيَ وَالصَّغِيرَ الَّذِي لَا يُؤَدِّي وَاحِدٌ مِنْهُمَا شَيْئًا وَلَيْسَ عِنْدَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَوْنٌ وَلَا قُوَّةٌ فِي كِتَابَتِهِمْ فَذَلِكَ جَائِزٌ لَهُ

Malik berkata tentang para budak yang seluruhnya dimukatabkan: Sesungguhnya tuan mereka boleh memerdekakan dari mereka budak yang sudah tua renta atau yang masih kecil yang tidak mampu membayar apa pun, dan tidak ada pada keduanya bantuan maupun kekuatan dalam akad kitabah mereka. Maka hal itu diperbolehkan baginya.

بَابُ مَا جَاءَ فِي عِتْقِ الْمُكَاتَبِ وَأُمِّ وَلَدِهِ
14 – قَالَ مَالِكٌ فِي الرَّجُلِ يُكَاتِبُ عَبْدَهُ. ثُمَّ يَمُوتُ الْمُكَاتَبُ وَيَتْرُكُ أُمَّ وَلَدِهِ. وَقَدْ بَقِيَتْ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ بَقِيَّةٌ وَيَتْرُكُ وَفَاءً بِمَا عَلَيْهِ: إِنَّ أُمَّ وَلَدِهِ أَمَةٌ مَمْلُوكَةٌ حِينَ لَمْ يُعْتَقِ الْمُكَاتَبُ حَتَّى مَاتَ. وَلَمْ يَتْرُكْ وَلَدًا فَيُعْتَقُونَ بِأَدَاءِ مَا بَقِيَ فَتُعْتَقُ أُمُّ وَلَدِ أَبِيهِمْ بِعِتْقِهِمْ

Bab Tentang Apa yang Diriwayatkan Mengenai Pembebasan Mukatab dan Ummu Walad-nya
14 – Malik berkata tentang seorang laki-laki yang memukatabkan budaknya, kemudian mukatab itu meninggal dunia dan meninggalkan ummu walad-nya, sementara masih tersisa kewajiban dari akad kitabahnya dan ia meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi kewajibannya: Sesungguhnya ummu walad-nya tetap menjadi budak milik tuannya selama mukatab itu belum merdeka hingga ia wafat, dan ia tidak meninggalkan anak, sehingga mereka dapat dimerdekakan dengan membayar sisa kewajibannya, lalu ummu walad ayah mereka pun dimerdekakan dengan kemerdekaan mereka.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُكَاتَبِ يُعْتِقُ عَبْدًا لَهُ أَوْ يَتَصَدَّقُ بِبَعْضِ مَالِهِ وَلَمْ يَعْلَمْ بِذَلِكَ سَيِّدُهُ حَتَّى عَتَقَ الْمُكَاتَبُ

Malik berkata: Tentang mukatab yang memerdekakan budaknya atau bersedekah dengan sebagian hartanya, sementara tuannya tidak mengetahui hal itu hingga mukatab tersebut merdeka.

قَالَ مَالِكٌ: يَنْفُذُ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَلَيْسَ لِلْمُكَاتَبِ أَنْ يَرْجِعَ فِيهِ فَإِنْ عَلِمَ سَيِّدُ الْمُكَاتَبِ قَبْلَ أَنْ يَعْتِقَ الْمُكَاتَبُ فَرَدَّ ذَلِكَ وَلَمْ يُجِزْهُ فَإِنَّهُ إِنْ عَتَقَ الْمُكَاتَبُ وَذَلِكَ فِي يَدِهِ  لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ ذَلِكَ الْعَبْدَ وَلَا أَنْ يُخْرِجَ تِلْكَ الصَّدَقَةَ إِلَّا أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ طَائِعًا مِنْ عِنْدِ نَفْسِهِ

Malik berkata: Hal itu tetap berlaku atasnya dan mukatab tidak boleh menarik kembali apa yang telah ia lakukan. Jika tuan mukatab mengetahui sebelum mukatab itu merdeka lalu ia menolaknya dan tidak mengizinkannya, maka jika mukatab itu telah merdeka dan hal itu masih berada di tangannya, maka ia tidak wajib memerdekakan budak tersebut dan tidak pula mengeluarkan sedekah itu, kecuali jika ia melakukannya secara sukarela dari dirinya sendiri.

بَابُ الْوَصِيَّةِ فِي الْمُكَاتَبِ
15 – قَالَ مَالِكٌ إِنَّ أَحْسَنَ مَا سَمِعْتُ فِي الْمُكَاتَبِ يُعْتِقُهُ سَيِّدُهُ عِنْدَ الْمَوْتِ: أَنَّ الْمُكَاتَبَ يُقَامُ عَلَى هَيْئَتِهِ تِلْكَ الَّتِي لَوْ بِيعَ كَانَ ذَلِكَ الثَّمَنَ الَّذِي يَبْلُغُ فَإِنْ كَانَتِ الْقِيمَةُ أَقَلَّ مِمَّا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنَ الْكِتَابَةِ وُضِعَ ذَلِكَ فِي ثُلُثِ الْمَيِّتِ. وَلَمْ يُنْظَرْ إِلَى عَدَدِ الدَّرَاهِمِ الَّتِي بَقِيَتْ عَلَيْهِ. وَذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ قُتِلَ لَمْ يَغْرَمْ قَاتِلُهُ إِلَّا قِيمَتَهُ يَوْمَ قَتْلِهِ وَلَوْ جُرِحَ لَمْ يَغْرَمْ جَارِحُهُ إِلَّا دِيَةَ جَرْحِهِ يَوْمَ جَرَحَهُ. وَلَا يُنْظَرُ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ إِلَى مَا كُوتِبَ عَلَيْهِ مِنَ الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ. لِأَنَّهُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ شَيْءٌ وَإِنْ كَانَ الَّذِي بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ أَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ لَمْ يُحْسَبْ فِي ثُلُثِ الْمَيِّتِ إِلَّا مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ. وَذَلِكَ أَنَّهُ إِنَّمَا تَرَكَ الْمَيِّتُ لَهُ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ فَصَارَتْ وَصِيَّةً أَوْصَى بِهَا

BAB WASIAT PADA MUKĀTAB

15 – Malik berkata: Pendapat terbaik yang aku dengar mengenai mukātab yang dimerdekakan tuannya saat menjelang wafat adalah: mukātab itu tetap pada keadaannya, yaitu jika ia dijual maka harga yang didapatkan adalah nilai yang berlaku. Jika nilai mukātab itu lebih rendah dari sisa pembayaran kitabah yang masih harus dibayarnya, maka nilai tersebut diambil dari sepertiga harta peninggalan mayit. Tidak dilihat jumlah dirham yang masih tersisa atasnya. Hal ini karena jika ia dibunuh, maka pembunuhnya hanya menanggung nilai mukātab pada hari ia dibunuh; dan jika ia terluka, pelukanya hanya menanggung diyat luka pada hari ia dilukai. Dalam hal ini tidak diperhatikan berapa jumlah dinar dan dirham yang menjadi akad kitabahnya. Sebab, ia tetap berstatus budak selama masih ada sisa pembayaran kitabah. Namun, jika sisa pembayaran kitabah yang masih harus dibayarnya lebih sedikit dari nilainya, maka yang dihitung dalam sepertiga harta mayit hanyalah sisa pembayaran kitabah tersebut. Karena yang ditinggalkan mayit untuknya hanyalah sisa pembayaran kitabah itu, sehingga menjadi wasiat yang diwasiatkan kepadanya.

قَالَ مَالِكٌ وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَتْ قِيمَةُ الْمُكَاتَبِ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَلَمْ يَبْقَ مِنْ كِتَابَتِهِ إِلَّا مِائَةُ دِرْهَمٍ. فَأَوْصَى سَيِّدُهُ لَهُ بِالْمِائَةِ دِرْهَمٍ الَّتِي بَقِيَتْ عَلَيْهِ. حُسِبَتْ لَهُ فِي ثُلُثِ سَيِّدِهِ فَصَارَ حُرًّا بِهَا

Malik berkata: Penjelasannya, jika nilai mukātab seribu dirham dan sisa pembayaran kitabahnya hanya seratus dirham, lalu tuannya mewasiatkan kepadanya seratus dirham yang masih tersisa itu, maka seratus dirham tersebut dihitung dari sepertiga harta tuannya, dan dengan itu ia menjadi merdeka.

قَالَ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ كَاتَبَ عَبْدَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ: إِنَّهُ يُقَوَّمُ عَبْدًا. فَإِنْ كَانَ فِي ثُلُثِهِ سَعَةٌ لِثَمَنِ الْعَبْدِ جَازَ لَهُ ذَلِكَ

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang membuat akad kitabah dengan budaknya saat menjelang wafat: Budak itu dinilai sebagai seorang budak. Jika sepertiga hartanya cukup untuk menutupi harga budak tersebut, maka hal itu boleh dilakukan.

قَالَ مَالِكٌ وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ: ” أَنْ تَكُونَ قِيمَةُ الْعَبْدِ أَلْفَ دِينَارٍ. فَيُكَاتِبُهُ سَيِّدُهُ عَلَى مِائَتَيْ دِينَارٍ عِنْدَ مَوْتِهِ فَيَكُونُ ثُلُثُ مَالِ سَيِّدِهِ أَلْفَ دِينَارٍ. فَذَلِكَ جَائِزٌ لَهُ. وَإِنَّمَا هِيَ وَصِيَّةٌ أَوْصَى لَهُ بِهَا فِي ثُلُثِهِ فَإِنْ كَانَ السَّيِّدُ قَدْ أَوْصَى لِقَوْمٍ بِوَصَايَا. وَلَيْسَ فِي الثُّلُثِ فَضْلٌ عَنْ قِيمَةِ الْمُكَاتَبِ، بُدِئَ بِالْمُكَاتَبِ. لِأَنَّ الْكِتَابَةَ عَتَاقَةٌ. وَالْعَتَاقَةُ تُبَدَّأُ عَلَى الْوَصَايَا، ثُمَّ تُجْعَلُ تِلْكَ الْوَصَايَا فِي كِتَابَةِ الْمُكَاتَبِ يَتْبَعُونَهُ بِهَا وَيُخَيَّرُ وَرَثَةُ الْمُوصِي. فَإِنْ أَحَبُّوا أَنْ يُعْطُوا أَهْلَ الْوَصَايَا وَصَايَاهُمْ كَامِلَةً وَتَكُونُ كِتَابَةُ الْمُكَاتَبِ لَهُمْ. فَذَلِكَ لَهُمْ وَإِنْ أَبَوْا وَأَسْلَمُوا الْمُكَاتَبَ وَمَا عَلَيْهِ إِلَى أَهْلِ الْوَصَايَا. فَذَلِكَ لَهُمْ لِأَنَّ الثُّلُثَ صَارَ فِي الْمُكَاتَبِ وَلِأَنَّ كُلَّ وَصِيَّةٍ أَوْصَى بِهَا أَحَدٌ فَقَالَ: الْوَرَثَةُ الَّذِي أَوْصَى بِهِ صَاحِبُنَا أَكْثَرُ مِنْ ثُلُثِهِ. وَقَدْ أَخَذَ مَا لَيْسَ لَهُ. قَالَ: فَإِنَّ وَرَثَتَهُ يُخَيَّرُونَ. فَيُقَالُ لَهُمْ قَدْ أَوْصَى صَاحِبُكُمْ بِمَا قَدْ عَلِمْتُمْ. فَإِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ تُنَفِّذُوا ذَلِكَ لِأَهْلِهِ عَلَى مَا أَوْصَى بِهِ الْمَيِّتُ وَإِلَّا فَأَسْلِمُوا إِلَى أَهْلِ الْوَصَايَا ثُلُثَ مَالِ الْمَيِّتِ كُلِّهِ. قَالَ فَإِنْ أَسْلَمَ الْوَرَثَةُ الْمُكَاتَبَ إِلَى أَهْلِ الْوَصَايَا. كَانَ لِأَهْلِ الْوَصَايَا مَا عَلَيْهِ مِنَ الْكِتَابَةِ فَإِنْ أَدَّى الْمُكَاتَبُ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْكِتَابَةِ أَخَذُوا ذَلِكَ فِي وَصَايَاهُمْ عَلَى قَدْرِ حِصَصِهِمْ وَإِنْ عَجَزَ الْمُكَاتَبُ كَانَ عَبْدًا لِأَهْلِ الْوَصَايَا لَا يَرْجِعُ إِلَى أَهْلِ الْمِيرَاثِ لِأَنَّهُمْ تَرَكُوهُ حِينَ خُيِّرُوا. وَلِأَنَّ أَهْلَ الْوَصَايَا حِينَ أُسْلِمَ إِلَيْهِمْ ضَمِنُوهُ فَلَوْ مَاتَ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ عَلَى الْوَرَثَةِ شَيْءٌ وَإِنْ مَاتَ الْمُكَاتَبُ قَبْلَ أَنْ يُؤَدِّيَ كِتَابَتَهُ وَتَرَكَ مَالًا هُوَ أَكْثَرُ مِمَّا عَلَيْهِ. فَمَالُهُ لِأَهْلِ الْوَصَايَا. وَإِنْ أَدَّى الْمُكَاتَبُ مَا عَلَيْهِ عَتَقَ وَرَجَعَ وَلَاؤُهُ إِلَى عَصَبَةِ الَّذِي عَقَدَ كِتَابَتَهُ “

Malik berkata, dan penjelasan tentang hal itu adalah: “Misalnya nilai seorang budak seribu dinar. Lalu tuannya memukatabkannya (membuat perjanjian pembebasan dengan pembayaran bertahap) dengan dua ratus dinar saat ia meninggal dunia, dan sepertiga harta tuannya adalah seribu dinar. Maka itu boleh baginya. Itu hanyalah wasiat yang diwasiatkan kepadanya dalam sepertiga hartanya. Jika tuan tersebut telah berwasiat kepada beberapa orang dengan wasiat-wasiat, dan dalam sepertiga harta itu tidak ada kelebihan dari nilai budak mukatab, maka dimulai dengan budak mukatab. Karena mukatab itu adalah pembebasan (pembebasan budak), dan pembebasan didahulukan atas wasiat-wasiat. Kemudian wasiat-wasiat itu dijadikan dalam penulisan (akad) mukatab, mereka (ahli wasiat) mengikutinya, dan para ahli waris pewasiat diberi pilihan. Jika mereka ingin memberikan kepada para penerima wasiat hak wasiat mereka secara penuh dan penulisan (akad) mukatab menjadi milik mereka, maka itu hak mereka. Jika mereka menolak dan menyerahkan budak mukatab beserta kewajibannya kepada para penerima wasiat, maka itu juga hak mereka, karena sepertiga harta telah menjadi milik budak mukatab. Dan setiap wasiat yang diwasiatkan seseorang, lalu dikatakan: para ahli waris yang diwasiatkan oleh orang kami (pewasiat) lebih dari sepertiga hartanya, dan ia telah mengambil apa yang bukan haknya, maka para ahli warisnya diberi pilihan. Dikatakan kepada mereka: Sesungguhnya orang kalian telah berwasiat sebagaimana yang kalian ketahui. Jika kalian ingin melaksanakan itu kepada para penerimanya sesuai wasiat si mayit, silakan. Jika tidak, maka serahkanlah kepada para penerima wasiat sepertiga dari seluruh harta si mayit. Jika para ahli waris menyerahkan budak mukatab kepada para penerima wasiat, maka bagi para penerima wasiat adalah apa yang menjadi tanggungan budak mukatab dari akadnya. Jika budak mukatab melunasi apa yang menjadi tanggungannya dari akad, mereka mengambilnya dalam wasiat mereka sesuai bagian mereka. Jika budak mukatab tidak mampu, maka ia menjadi budak bagi para penerima wasiat dan tidak kembali kepada ahli waris, karena mereka telah meninggalkannya ketika diberi pilihan. Dan karena para penerima wasiat ketika telah diserahkan kepadanya, mereka menanggungnya. Jika ia mati, maka mereka tidak punya hak apa pun atas ahli waris. Jika budak mukatab mati sebelum melunasi akadnya dan meninggalkan harta yang lebih banyak dari tanggungannya, maka hartanya menjadi milik para penerima wasiat. Jika budak mukatab melunasi tanggungannya, ia merdeka dan wala’ (hak perwalian) kembali kepada ‘ashabah (kerabat laki-laki) dari orang yang mengadakan akad mukatab dengannya.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمُكَاتَبِ يَكُونُ لِسَيِّدِهِ عَلَيْهِ عَشَرَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ فَيَضَعُ عَنْهُ عِنْدَ مَوْتِهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ

Malik berkata: Tentang budak mukatab yang masih memiliki tanggungan sepuluh ribu dirham kepada tuannya, lalu tuannya membebaskan seribu dirham dari tanggungannya saat ia meninggal dunia.

قَالَ مَالِكٌ: يُقَوَّمُ الْمُكَاتَبُ فَيُنْظَرُ كَمْ قِيمَتُهُ. فَإِنْ كَانَتْ قِيمَتُهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَالَّذِي وُضِعَ عَنْهُ عُشْرُ الْكِتَابَةِ. وَذَلِكَ فِي الْقِيمَةِ مِائَةُ دِرْهَمٍ. وَهُوَ عُشْرُ الْقِيمَةِ فَيُوضَعُ عَنْهُ عُشْرُ الْكِتَابَةِ فَيَصِيرُ ذَلِكَ إِلَى عُشْرِ الْقِيمَةِ نَقْدًا. وَإِنَّمَا ذَلِكَ كَهَيْئَتِهِ لَوْ وُضِعَ عَنْهُ جَمِيعُ مَا عَلَيْهِ وَلَوْ فَعَلَ ذَلِكَ لَمْ يُحْسَبْ فِي ثُلُثِ مَالِ الْمَيِّتِ إِلَّا قِيمَةُ الْمُكَاتَبِ أَلْفُ دِرْهَمٍ. وَإِنْ كَانَ الَّذِي وُضِعَ عَنْهُ نِصْفُ الْكِتَابَةِ حُسِبَ فِي ثُلُثِ مَالِ الْمَيِّتِ نِصْفُ الْقِيمَةِ. وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرَ فَهُوَ عَلَى هَذَا الْحِسَابِ

Malik berkata: Budak mukatab itu dinilai, lalu dilihat berapa nilainya. Jika nilainya seribu dirham, maka yang dibebaskan darinya adalah sepersepuluh dari akad mukatab, dan itu dalam nilai adalah seratus dirham, yaitu sepersepuluh dari nilai. Maka dibebaskan darinya sepersepuluh dari akad mukatab, sehingga itu menjadi sepersepuluh dari nilai secara tunai. Hal itu seperti jika seluruh tanggungannya dibebaskan, maka yang dihitung dalam sepertiga harta si mayit hanyalah nilai budak mukatab, yaitu seribu dirham. Jika yang dibebaskan adalah setengah dari akad mukatab, maka yang dihitung dalam sepertiga harta si mayit adalah setengah dari nilainya. Jika kurang atau lebih dari itu, maka perhitungannya seperti itu.

قَالَ مَالِكٌ: إِذَا وَضَعَ الرَّجُلُ عَنْ مُكَاتَبِهِ عِنْدَ مَوْتِهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ مِنْ عَشَرَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ وَلَمْ يُسَمِّ أَنَّهَا مِنْ أَوَّلِ كِتَابَتِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهَا. وُضِعَ عَنْهُ مِنْ كُلِّ نَجْمٍ عُشْرُهُ

Malik berkata: Jika seseorang membebaskan seribu dirham dari tanggungan budak mukatabnya saat ia meninggal dunia dari sepuluh ribu dirham, dan ia tidak menyebutkan apakah itu dari awal akad atau dari akhirnya, maka dibebaskan dari setiap cicilan sepersepuluhnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا وَضَعَ الرَّجُلُ عَنْ مُكَاتَبِهِ عِنْدَ الْمَوْتِ أَلْفَ دِرْهَمٍ مِنْ أَوَّلِ كِتَابَتِهِ أَوْ مِنْ آخِرِهَا. وَكَانَ أَصْلُ الْكِتَابَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ آلَافِ دِرْهَمٍ قُوِّمَ الْمُكَاتَبُ قِيمَةَ النَّقْدِ ثُمَّ قُسِمَتْ تِلْكَ الْقِيمَةُ فَجُعِلَ لِتِلْكَ الْأَلْفِ الَّتِي مِنْ أَوَّلِ الْكِتَابَةِ حِصَّتُهَا مِنْ تِلْكَ الْقِيمَةِ بِقَدْرِ قُرْبِهَا مِنَ الْأَجَلِ وَفَضْلِهَا. ثُمَّ الْأَلْفُ الَّتِي تَلِي الْأَلْفَ الْأُولَى بِقَدْرِ فَضْلِهَا أَيْضًا. ثُمَّ الْأَلْفُ الَّتِي تَلِيهَا بِقَدْرِ فَضْلِهَا أَيْضًا حَتَّى يُؤْتَى عَلَى آخِرِهَا تَفْضُلُ كُلُّ أَلْفٍ بِقَدْرِ مَوْضِعِهَا فِي تَعْجِيلِ الْأَجَلِ وَتَأْخِيرِهِ؛ لِأَنَّ مَا اسْتَأْخَرَ مِنْ ذَلِكَ كَانَ أَقَلَّ فِي الْقِيمَةِ ثُمَّ يُوضَعُ فِي ثُلُثِ الْمَيِّتِ قَدْرُ مَا أَصَابَ تِلْكَ الْأَلْفَ مِنَ الْقِيمَةِ عَلَى تَفَاضُلِ ذَلِكَ إِنْ قَلَّ أَوْ كَثُرَ. فَهُوَ عَلَى هَذَا الْحِسَابِ

Malik berkata: Apabila seseorang menghapuskan dari mukatabnya, saat menjelang wafat, seribu dirham dari awal akad kitabah atau dari akhirnya, sedangkan pokok akad kitabah itu sebesar tiga ribu dirham, maka mukatab tersebut dinilai dengan nilai tunai, kemudian nilai itu dibagi, lalu untuk seribu dirham yang dari awal akad kitabah diberikan bagiannya dari nilai itu sesuai dengan kedekatannya dengan waktu jatuh tempo dan kelebihannya. Kemudian seribu dirham berikutnya setelah seribu yang pertama juga diberikan sesuai kelebihannya. Lalu seribu dirham berikutnya juga diberikan sesuai kelebihannya, hingga sampai pada yang terakhir; setiap seribu memiliki kelebihan sesuai posisinya dalam hal percepatan atau penundaan jatuh tempo, karena yang paling akhir nilainya lebih sedikit. Kemudian dimasukkan ke dalam sepertiga harta mayit sebesar bagian nilai yang diperoleh oleh seribu dirham itu, baik sedikit maupun banyak, sesuai perbedaan tersebut. Maka perhitungannya seperti ini.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ أَوْصَى لِرَجُلٍ بِرُبُعِ مُكَاتَبٍ أَوْ أَعْتَقَ رُبُعَهُ. فَهَلَكَ الرَّجُلُ ثُمَّ هَلَكَ الْمُكَاتَبُ وَتَرَكَ مَالًا كَثِيرًا أَكْثَرَ مِمَّا بَقِيَ عَلَيْهِ

Malik berkata: Tentang seseorang yang berwasiat kepada orang lain dengan seperempat bagian dari seorang mukatab, atau memerdekakan seperempatnya, lalu orang tersebut wafat, kemudian mukatab itu juga wafat dan meninggalkan harta yang banyak, lebih banyak dari sisa hutangnya.

قَالَ مَالِكٌ: يُعْطَى وَرَثَةُ السَّيِّدِ وَالَّذِي أَوْصَى لَهُ بِرُبُعِ الْمُكَاتَبِ مَا بَقِيَ لَهُمْ عَلَى الْمُكَاتَبِ ثُمَّ يَقْتَسِمُونَ مَا فَضَلَ فَيَكُونُ لِلْمُوصَى لَهُ بِرُبُعِ الْمُكَاتَبِ ثُلُثُ مَا فَضَلَ بَعْدَ أَدَاءِ الْكِتَابَةِ وَلِوَرَثَةِ سَيِّدِهِ الثُّلُثَانِ. وَذَلِكَ أَنَّ الْمُكَاتَبَ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ شَيْءٌ فَإِنَّمَا يُورَثُ بِالرِّقِّ

Malik berkata: Ahli waris tuan dan orang yang diwasiati seperempat bagian mukatab diberikan apa yang masih menjadi hak mereka atas mukatab, kemudian mereka membagi sisa harta itu. Maka bagi orang yang diwasiati seperempat bagian mukatab mendapat sepertiga dari sisa setelah pembayaran akad kitabah, dan bagi ahli waris tuannya dua pertiga. Hal itu karena mukatab tetap berstatus budak selama masih ada sisa akad kitabah atasnya; maka ia diwarisi berdasarkan status perbudakan.

قَالَ مَالِكٌ فِي مُكَاتَبٍ أَعْتَقَهُ سَيِّدُهُ عِنْدَ الْمَوْتِ قَالَ: إِنْ لَمْ يَحْمِلْهُ ثُلُثُ الْمَيِّتِ عَتَقَ مِنْهُ قَدْرُ مَا حَمَلَ الثُّلُثُ وَيُوضَعُ عَنْهُ مِنَ الْكِتَابَةِ قَدْرُ ذَلِكَ. إِنْ كَانَ عَلَى الْمُكَاتَبِ خَمْسَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ وَكَانَتْ قِيمَتُهُ أَلْفَيْ دِرْهَمٍ نَقْدًا. وَيَكُونُ ثُلُثُ الْمَيِّتِ أَلْفَ دِرْهَمٍ. عَتَقَ نِصْفُهُ وَيُوضَعُ عَنْهُ شَطْرُ الْكِتَابَةِ

Malik berkata tentang mukatab yang dimerdekakan oleh tuannya saat menjelang wafat: Jika sepertiga harta mayit tidak mencukupi untuk memerdekakannya, maka yang merdeka adalah sebesar yang tertutupi oleh sepertiga itu, dan dari akad kitabahnya dihapuskan sebesar itu pula. Jika atas mukatab itu terdapat lima ribu dirham dan nilainya dua ribu dirham tunai, sedangkan sepertiga harta mayit seribu dirham, maka yang merdeka adalah setengahnya dan dihapuskan setengah dari akad kitabahnya.

قَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ قَالَ: فِي وَصِيَّتِهِ غُلَامِي فُلَانٌ حُرٌّ وَكَاتِبُوا فُلَانًا تُبَدَّأُ الْعَتَاقَةُ عَلَى الْكِتَابَةِ

Malik berkata: Tentang seseorang yang berkata dalam wasiatnya, “Budakku si Fulan merdeka, dan lakukan akad kitabah kepada si Fulan,” maka yang didahulukan adalah pembebasan (‘itq) atas akad kitabah.

40 – كِتَابُ الْمُدَبَّرِ

بَابُ الْقَضَاءِ فِي الْمُدَبَّرِ
1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ قَالَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَنْ دَبَّرَ جَارِيَةً لَهُ. فَوَلَدَتْ أَوْلَادًا بَعْدَ تَدْبِيرِهِ إِيَّاهَا. ثُمَّ مَاتَتِ الْجَارِيَةُ قَبْلَ الَّذِي دَبَّرَهَا: إِنَّ وَلَدَهَا بِمَنْزِلَتِهَا. قَدْ ثَبَتَ لَهُمْ مِنَ الشَّرْطِ مِثْلُ الَّذِي ثَبَتَ لَهَا. وَلَا يَضُرُّهُمْ هَلَاكُ أُمِّهِمْ. فَإِذَا مَاتَ الَّذِي كَانَ دَبَّرَهَا فَقَدْ عَتَقُوا، إِنْ وَسِعَهُمُ الثُّلُثُ

Bab Hukum tentang Budak Mudabbar
1 – Malik menceritakan kepadaku bahwa ia berkata: Ketentuan di sisi kami tentang seseorang yang menjadikan budak perempuannya sebagai mudabbar, lalu budak itu melahirkan anak-anak setelah ia dijadikan mudabbar, kemudian budak perempuan itu meninggal sebelum orang yang menjadikannya mudabbar, maka anak-anaknya menempati kedudukannya. Mereka mendapatkan syarat yang sama seperti yang didapatkan ibunya. Kematian ibu mereka tidak membahayakan mereka. Maka apabila orang yang menjadikan budak itu mudabbar wafat, maka anak-anak itu merdeka, jika sepertiga harta mencukupi untuk mereka.

وقَالَ مَالِكٌ: كُلُّ ذَاتِ رَحِمٍ فَوَلَدُهَا بِمَنْزِلَتِهَا. إِنْ كَانَتْ حُرَّةً فَوَلَدَتْ بَعْدَ عِتْقِهَا. فَوَلَدُهَا أَحْرَارٌ. وَإِنْ كَانَتْ مُدَبَّرَةً أَوْ مُكَاتَبَةً أَوْ مُعْتَقَةً إِلَى سِنِينَ. أَوْ مُخْدَمَةً أَوْ بَعْضَهَا حُرًّا أَوْ مَرْهُونَةً أَوْ أُمَّ وَلَدٍ فَوَلَدُ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ عَلَى مِثَالِ حَالِ أُمِّهِ. يَعْتِقُونَ بِعِتْقِهَا وَيَرِقُّونَ بِرِقِّهَا

Malik berkata: Setiap perempuan yang memiliki rahim, maka anaknya menempati kedudukannya. Jika ia merdeka lalu melahirkan setelah dimerdekakan, maka anaknya juga merdeka. Jika ia mudabbar, mukatab, dimerdekakan dengan syarat waktu tertentu, dijadikan pelayan, sebagian dirinya merdeka, digadaikan, atau umm walad, maka anak dari masing-masing mereka mengikuti keadaan ibunya; mereka merdeka dengan kemerdekaan ibunya dan tetap berstatus budak dengan status perbudakan ibunya.

قَالَ مَالِكٌ فِي مُدَبَّرَةٍ دُبِّرَتْ وَهِيَ حَامِلٌ وَلَمْ يَعْلَمْ سَيِّدُهَا بِحَمْلِهَا: إِنَّ وَلَدَهَا بِمَنْزِلَتِهَا. وَإِنَّمَا ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ رَجُلٍ أَعْتَقَ جَارِيَةً لَهُ وَهِيَ حَامِلٌ. وَلَمْ يَعْلَمْ بِحَمْلِهَا

Malik berkata tentang budak perempuan mudabbar yang dijadikan mudabbar saat ia sedang hamil dan tuannya tidak mengetahui kehamilannya: Maka anaknya menempati kedudukan ibunya. Hal itu seperti seseorang yang memerdekakan budak perempuannya saat ia hamil dan ia tidak mengetahui kehamilannya.

قَالَ مَالِكٌ: فَالسُّنَّةُ فِيهَا أَنَّ وَلَدَهَا يَتْبَعُهَا وَيَعْتِقُ بِعِتْقِهَا

Malik berkata: Sunnah dalam hal ini adalah bahwa anaknya mengikuti ibunya dan merdeka dengan kemerdekaan ibunya.

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ لَوْ أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ جَارِيَةً وَهِيَ حَامِلٌ. فَالْوَلِيدَةُ وَمَا فِي بَطْنِهَا لِمَنِ ابْتَاعَهَا. اشْتَرَطَ ذَلِكَ الْمُبْتَاعُ أَوْ لَمْ يَشْتَرِطْهُ

Malik berkata: Demikian pula jika seseorang membeli budak perempuan yang sedang hamil, maka budak perempuan itu dan apa yang ada dalam kandungannya menjadi milik orang yang membelinya, baik pembeli itu mensyaratkan hal tersebut atau tidak.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا يَحِلُّ لِلْبَائِعِ أَنْ يَسْتَثْنِيَ مَا فِي بَطْنِهَا. لِأَنَّ ذَلِكَ غَرَرٌ. يَضَعُ مِنْ ثَمَنِهَا. وَلَا يَدْرِي أَيَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِ أَمْ لَا. وَإِنَّمَا ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ مَا لَوْ بَاعَ جَنِينًا فِي بَطْنِ أُمِّهِ. وَذَلِكَ لَا يَحِلُّ لَهُ، لِأَنَّهُ غَرَرٌ

Malik berkata: Tidak halal bagi penjual untuk mengecualikan apa yang ada di dalam perutnya, karena hal itu adalah gharar (ketidakjelasan) yang mengurangi harga jualnya, dan tidak diketahui apakah hal itu akan sampai kepadanya atau tidak. Itu sama saja seperti jika seseorang menjual janin yang ada di dalam perut induknya, dan hal itu tidak halal baginya karena merupakan gharar.

قَالَ مَالِكٌ فِي مُكَاتَبٍ أَوْ مُدَبَّرٍ ابْتَاعَ أَحَدُهُمَا جَارِيَةً. فَوَطِئَهَا. فَحَمَلَتْ مِنْهُ وَوَلَدَتْ. قَالَ: وَلَدُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ جَارِيَتِهِ بِمَنْزِلَتِهِ. يَعْتِقُونَ بِعِتْقِهِ. وَيَرِقُّونَ بِرِقِّهِ

Malik berkata tentang seorang mukatab atau mudabbar yang salah satunya membeli seorang jariyah (budak perempuan), lalu ia menggaulinya sehingga budak itu hamil dan melahirkan anak darinya: Anak dari masing-masing mereka dari budak perempuannya itu statusnya mengikuti status ayahnya; mereka merdeka jika ayahnya merdeka, dan tetap menjadi budak jika ayahnya masih budak.

قَالَ مَالِكٌ: فَإِذَا أُعْتِقَ هُوَ. فَإِنَّمَا أُمُّ وَلَدِهِ مَالٌ مِنْ مَالِهِ. يُسَلَّمُ إِلَيْهِ إِذَا أُعْتِقَ

Malik berkata: Jika ia (mukatab atau mudabbar itu) dimerdekakan, maka ibu dari anaknya itu menjadi harta miliknya, yang diserahkan kepadanya ketika ia telah merdeka.

بَابُ جَامِعِ مَا جَاءَ فِي التَّدْبِيرِ
2 – قَالَ مَالِكٌ فِي مُدَبَّرٍ قَالَ لِسَيِّدِهِ: ” عَجِّلْ لِي الْعِتْقَ. وَأُعْطِيكَ خَمْسِينَ مِنْهَا مُنَجَّمَةً عَلَيَّ. فَقَالَ سَيِّدُهُ: نَعَمْ. أَنْتَ حُرٌّ. وَعَلَيْكَ خَمْسُونَ دِينَارًا. تُؤَدِّي إِلَيَّ كُلَّ عَامٍ عَشَرَةَ دَنَانِيرَ. فَرَضِيَ بِذَلِكَ الْعَبْدُ. ثُمَّ هَلَكَ السَّيِّدُ بَعْدَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ “

Bab Kompilasi Ketentuan tentang Tadbir
2 – Malik berkata tentang seorang mudabbar yang berkata kepada tuannya: “Segerakanlah kemerdekaanku, dan aku akan memberimu lima puluh dinar secara bertahap.” Lalu tuannya berkata: “Ya, kamu merdeka, dan kamu wajib membayar lima puluh dinar kepadaku, setiap tahun sepuluh dinar.” Maka budak itu pun ridha dengan syarat tersebut. Kemudian tuannya wafat setelah itu, sehari, dua hari, atau tiga hari kemudian.

قَالَ مَالِكٌ: يَثْبُتُ لَهُ الْعِتْقُ. وَصَارَتِ الْخَمْسُونَ دِينَارًا دَيْنًا عَلَيْهِ. وَجَازَتْ شَهَادَتُهُ. وَثَبَتَتْ حُرْمَتُهُ. وَمِيرَاثُهُ وَحُدُودُهُ. وَلَا يَضَعُ عَنْهُ مَوْتُ سَيِّدِهِ. شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ الدَّيْنِ

Malik berkata: Kemerdekaan itu tetap berlaku baginya, dan lima puluh dinar itu menjadi utang atasnya. Kesaksiannya sah, kehormatannya tetap, demikian pula warisan dan hukum-hukum (hudud) atasnya. Kematian tuannya tidak menggugurkan sedikit pun dari utang tersebut.

قَالَ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ دَبَّرَ عَبْدًا لَهُ. فَمَاتَ السَّيِّدُ. وَلَهُ مَالٌ حَاضِرٌ وَمَالٌ غَائِبٌ. فَلَمْ يَكُنْ فِي مَالِهِ الْحَاضِرِ مَا يَخْرُجُ فِيهِ الْمُدَبَّرُ قَالَ: يُوقَفُ الْمُدَبَّرُ بِمَالِهِ. وَيُجْمَعُ خَرَاجُهُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ مِنَ الْمَالِ الْغَائِبِ. فَإِنْ كَانَ فِيمَا تَرَكَ سَيِّدُهُ، مِمَّا يَحْمِلُهُ الثُّلُثُ، عَتَقَ بِمَالِهِ. وَبِمَا جُمِعَ مِنْ خَرَاجِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيمَا تَرَكَ سَيِّدُهُ مَا يَحْمِلُهُ، عَتَقَ مِنْهُ قَدْرُ الثُّلُثِ، وَتُرِكَ مَالُهُ فِي يَدَيْهِ

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang mentadbir seorang budaknya, lalu tuannya meninggal dunia, sedangkan ia memiliki harta yang hadir (di tempat) dan harta yang tidak hadir (di tempat lain). Jika dalam harta yang hadir tidak cukup untuk membebaskan mudabbar itu, maka mudabbar itu ditahan bersama hartanya, dan hasil usahanya dikumpulkan sampai jelas keadaan harta yang tidak hadir. Jika dalam harta yang ditinggalkan tuannya terdapat bagian yang dapat ditanggung oleh sepertiga (harta warisan), maka ia merdeka dengan hartanya dan dengan hasil usahanya yang telah dikumpulkan. Jika dalam harta yang ditinggalkan tuannya tidak cukup, maka ia merdeka seukuran sepertiga, dan hartanya tetap berada di tangannya.

بَابُ الْوَصِيَّةِ فِي التَّدْبِيرِ
3 – قَالَ مَالِكٌ الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا: ” أَنَّ كُلَّ عَتَاقَةٍ أَعْتَقَهَا رَجُلٌ. فِي وَصِيَّةٍ أَوْصَى بِهَا فِي صِحَّةٍ أَوْ مَرَضٍ: أَنَّهُ يَرُدُّهَا مَتَى شَاءَ. وَيُغَيِّرُهَا مَتَى شَاءَ، مَا لَمْ يَكُنْ تَدْبِيرًا. فَإِذَا دَبَّرَ، فَلَا سَبِيلَ لَهُ إِلَى رَدِّ مَا دَبَّرَ “

Bab Wasiat dalam Tadbir
3 – Malik berkata: Ketentuan yang telah disepakati di kalangan kami adalah bahwa setiap pembebasan budak yang dilakukan seseorang melalui wasiat, baik ketika sehat maupun sakit, maka ia boleh membatalkan atau mengubahnya kapan saja ia mau, selama itu bukan tadbir. Jika ia telah mentadbir, maka ia tidak boleh membatalkan tadbir yang telah ditetapkannya.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَكُلُّ وَلَدٍ وَلَدَتْهُ أَمَةٌ، أَوْصَى بِعِتْقِهَا وَلَمْ تُدَبَّرْ. فَإِنَّ وَلَدَهَا لَا يَعْتِقُونَ مَعَهَا إِذَا عَتَقَتْ. وَذَلِكَ أَنَّ سَيِّدَهَا يُغَيِّرُ وَصِيَّتَهُ إِنْ شَاءَ. وَيَرُدُّهَا مَتَى شَاءَ. وَلَمْ يَثْبُتْ لَهَا عَتَاقَةٌ. وَإِنَّمَا هِيَ بِمَنْزِلَةِ رَجُلٍ قَالَ لِجَارِيَتِهِ: إِنْ بَقِيَتْ عِنْدِي فُلَانَةُ حَتَّى أَمُوتَ، فَهِيَ حُرَّةٌ “

Malik berkata: Setiap anak yang dilahirkan oleh seorang budak perempuan yang diwasiatkan untuk dimerdekakan namun tidak ditadbir, maka anaknya tidak ikut merdeka bersamanya ketika ia dimerdekakan. Hal itu karena tuannya dapat mengubah wasiatnya jika ia mau, dan membatalkannya kapan saja ia mau, sehingga kemerdekaan tidak tetap baginya. Keadaannya seperti seorang laki-laki yang berkata kepada budak perempuannya: “Jika si fulanah masih bersamaku hingga aku wafat, maka ia merdeka.”

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ أَدْرَكَتْ ذَلِكَ، كَانَ لَهَا ذَلِكَ. وَإِنْ شَاءَ، قَبْلَ ذَلِكَ، بَاعَهَا وَوَلَدَهَا لِأَنَّهُ لَمْ يُدْخِلْ وَلَدَهَا فِي شَيْءٍ مِمَّا جَعَلَ لَهَا. قَالَ: وَالْوَصِيَّةُ فِي الْعَتَاقَةِ مُخَالِفَةٌ لِلتَّدْبِيرِ، فَرَقَ بَيْنَ ذَلِكَ مَا مَضَى مِنَ السُّنَّةِ. قَالَ: وَلَوْ كَانَتِ الْوَصِيَّةُ بِمَنْزِلَةِ التَّدْبِيرِ. كَانَ كُلُّ مُوصٍ لَا يَقْدِرُ عَلَى تَغْيِيرِ وَصِيَّتِهِ. وَمَا ذُكِرَ فِيهَا مِنَ الْعَتَاقَةِ. وَكَانَ قَدْ حَبَسَ عَلَيْهِ مِنْ مَالِهِ مَا لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ “

Malik berkata: Jika ia (budak perempuan itu) mengalami hal tersebut (yakni tetap bersama tuannya hingga tuannya wafat), maka ia berhak atas kemerdekaan itu. Namun jika tuannya mau, sebelum itu, ia dapat menjual budak perempuan itu beserta anaknya, karena anaknya tidak termasuk dalam apa yang telah dijanjikan untuknya. Malik berkata: Wasiat dalam pembebasan budak berbeda dengan tadbir; perbedaan antara keduanya telah dijelaskan dalam sunnah yang telah lalu. Malik berkata: Jika wasiat itu sama dengan tadbir, tentu setiap orang yang berwasiat tidak dapat mengubah wasiatnya, dan apa yang disebutkan di dalamnya tentang pembebasan budak, serta ia telah menahan dari hartanya sesuatu yang tidak dapat ia manfaatkan.

قَالَ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ دَبَّرَ رَقِيقًا لَهُ جَمِيعًا. فِي صِحَّتِهِ وَلَيْسَ لَهُ مَالٌ غَيْرُهُمْ: ” إِنْ كَانَ دَبَّرَ بَعْضَهُمْ قَبْلَ بَعْضٍ بُدِئَ بِالْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ، حَتَّى يَبْلُغَ الثُّلُثَ. وَإِنْ كَانَ دَبَّرَهُمْ جَمِيعًا فِي مَرَضِهِ. فَقَالَ: فُلَانٌ حُرٌّ. وَفُلَانٌ حُرٌّ. وَفُلَانٌ حُرٌّ. فِي كَلَامٍ وَاحِدٍ. إِنْ حَدَثَ بِي فِي مَرَضِي هَذَا حَدَثُ مَوْتٍ، أَوْ دَبَّرَهُمْ جَمِيعًا فِي كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ، تَحَاصَّوْا فِي الثُّلُثِ. وَلَمْ يُبَدَّأْ أَحَدٌ مِنْهُمْ قَبْلَ صَاحِبِهِ. وَإِنَّمَا هِيَ وَصِيَّةٌ. وَإِنَّمَا لَهُمُ الثُّلُثُ. يُقْسَمُ بَيْنَهُمْ بِالْحِصَصِ. ثُمَّ يَعْتِقُ مِنْهُمُ الثُّلُثُ بَالِغًا مَا بَلَغَ. قَالَ: وَلَا يُبَدَّأُ أَحَدٌ مِنْهُمْ إِذَا كَانَ ذَلِكَ كُلُّهُ فِي مَرَضِهِ “

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang mendebarkan seluruh budaknya ketika ia masih sehat, dan ia tidak memiliki harta selain mereka: “Jika ia mendebarkan sebagian dari mereka sebelum yang lain, maka dimulai dari yang pertama, lalu yang berikutnya, hingga mencapai sepertiga (dari hartanya). Jika ia mendebarkan mereka semua dalam sakitnya, lalu berkata: ‘Si fulan merdeka, si fulan merdeka, si fulan merdeka,’ dalam satu ucapan, ‘Jika terjadi sesuatu padaku dalam sakitku ini berupa kematian,’ atau ia mendebarkan mereka semua dalam satu kalimat, maka mereka berbagi dalam sepertiga (harta). Tidak didahulukan salah satu dari mereka atas yang lain. Itu hanyalah wasiat, dan mereka hanya berhak atas sepertiga, yang dibagi di antara mereka secara proporsional. Kemudian sepertiga dari mereka dimerdekakan, sebanyak apapun jumlahnya.” Ia berkata: “Tidak didahulukan salah satu dari mereka jika semua itu terjadi dalam sakitnya.”

قَالَ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ دَبَّرَ غُلَامًا لَهُ. فَهَلَكَ السَّيِّدُ وَلَا مَالَ لَهُ إِلَّا الْعَبْدُ الْمُدَبَّرُ. وَلِلْعَبْدِ مَالٌ قَالَ: يُعْتَقُ ثُلُثُ الْمُدَبَّرِ. وَيُوقَفُ مَالُهُ بِيَدَيْهِ

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang mendebarkan seorang budak laki-lakinya, lalu tuannya meninggal dan tidak memiliki harta kecuali budak mudabbar itu, sementara budak tersebut memiliki harta: Ia berkata, ‘Sepertiga dari budak mudabbar itu dimerdekakan, dan hartanya tetap berada di tangannya.’

قَالَ مَالِكٌ فِي مُدَبَّرٍ كَاتَبَهُ سَيِّدُهُ فَمَاتَ السَّيِّدُ وَلَمْ يَتْرُكْ مَالًا غَيْرَهُ

Malik berkata tentang seorang mudabbar yang telah dimukatabkan oleh tuannya, lalu tuannya meninggal dan tidak meninggalkan harta selain dia.

قَالَ مَالِكٌ: ” يُعْتَقُ مِنْهُ ثُلُثُهُ. وَيُوضَعُ عَنْهُ ثُلُثُ كِتَابَتِهِ. وَيَكُونُ عَلَيْهِ ثُلُثَاهَا

Malik berkata: “Dari budak itu dimerdekakan sepertiganya, dan sepertiga dari pembayaran mukatabnya dihapuskan, dan sisanya tetap menjadi tanggungannya.”

قَالَ مَالِكٌ فِي رَجُلٍ أَعْتَقَ نِصْفَ عَبْدٍ لَهُ وَهُوَ مَرِيضٌ. فَبَتَّ عِتْقَ نِصْفِهِ. أَوْ بَتَّ عِتْقَهُ كُلَّهُ. وَقَدْ كَانَ دَبَّرَ عَبْدًا لَهُ آخَرَ قَبْلَ ذَلِكَ. قَالَ: يُبَدَّأُ بِالْمُدَبَّرِ قَبْلَ الَّذِي أَعْتَقَهُ وَهُوَ مَرِيضٌ. وَذَلِكَ أَنَّهُ لَيْسَ لِلرَّجُلِ أَنْ يَرُدَّ مَا دَبَّرَ. وَلَا أَنْ يَتَعَقَّبَهُ بِأَمْرٍ يَرُدُّهُ بِهِ. فَإِذَا عَتَقَ الْمُدَبَّرُ فَلْيَكُنْ مَا بَقِيَ مِنَ الثُّلُثِ فِي الَّذِي أَعْتَقَ شَطْرَهُ. حَتَّى يَسْتَتِمَّ عِتْقُهُ كُلُّهُ، فِي ثُلُثِ مَالِ الْمَيِّتِ. فَإِنْ لَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ فَضْلَ الثُّلُثِ، عَتَقَ مِنْهُ مَا بَلَغَ فَضْلَ الثُّلُثِ، بَعْدَ عِتْقِ الْمُدَبَّرِ الْأَوَّلِ

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang memerdekakan separuh budaknya saat ia sakit, lalu ia menegaskan kemerdekaan separuhnya, atau menegaskan kemerdekaan seluruhnya, sementara sebelumnya ia telah mendebarkan budak lain miliknya: Ia berkata, ‘Didahulukan budak mudabbar sebelum yang dimerdekakan saat sakit. Hal itu karena seseorang tidak boleh membatalkan apa yang telah ia debarkan, dan tidak boleh membatalkannya dengan sesuatu yang mengembalikannya. Maka jika budak mudabbar telah merdeka, maka sisa dari sepertiga (harta) digunakan untuk yang dimerdekakan separuhnya, hingga seluruhnya merdeka dalam sepertiga harta si mayit. Jika sisa itu tidak cukup untuk seluruh sepertiga, maka yang dimerdekakan hanyalah sebesar sisa sepertiga, setelah kemerdekaan budak mudabbar yang pertama.’

بَابُ مَسِّ الرَّجُلِ وَلِيدَتَهُ إِذَا دَبَّرَهَا

Bab: Menyentuh budak perempuan oleh laki-laki jika ia telah didabarkan

4 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، دَبَّرَ جَارِيَتَيْنِ لَهُ فَكَانَ يَطَؤُهُمَا وَهُمَا مُدَبَّرَتَانِ

Malik meriwayatkan dari Nafi‘, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar mendebarkan dua budak perempuannya, lalu ia tetap menggauli keduanya padahal keduanya adalah budak mudabbar.

5 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، كَانَ يَقُولُ: إِذَا دَبَّرَ الرَّجُلُ جَارِيَتَهُ فَإِنَّ لَهُ أَنْ يَطَأَهَا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَهَا وَلَا يَهَبَهَا وَوَلَدُهَا بِمَنْزِلَتِهَا

Malik meriwayatkan dari Yahya bin Sa‘id, bahwa Sa‘id bin al-Musayyib berkata: Jika seorang laki-laki mendebarkan budak perempuannya, maka ia masih boleh menggaulinya, tetapi tidak boleh menjual atau memberikannya, dan anaknya memiliki kedudukan yang sama dengannya.

بَابُ بَيْعِ الْمُدَبَّرِ
6 – قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي الْمُدَبَّرِ. ” أَنَّ صَاحِبَهُ لَا يَبِيعُهُ. وَلَا يُحَوِّلُهُ عَنْ مَوْضِعِهِ الَّذِي وَضَعَهُ فِيهِ. وَأَنَّهُ إِنْ رَهِقَ سَيِّدَهُ دَيْنٌ، فَإِنَّ غُرَمَاءَهُ لَا يَقْدِرُونَ عَلَى بَيْعِهِ، مَا عَاشَ سَيِّدُهُ. فَإِنْ مَاتَ سَيِّدُهُ وَلَا دَيْنَ عَلَيْهِ فَهُوَ فِي ثُلُثِهِ. لِأَنَّهُ اسْتَثْنَى عَلَيْهِ عَمَلَهُ مَا عَاشَ. فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَخْدُمَهُ حَيَاتَهُ. ثُمَّ يُعْتِقَهُ عَلَى وَرَثَتِهِ، إِذَا مَاتَ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ. وَإِنْ مَاتَ سَيِّدُ الْمُدَبَّرِ، وَلَا مَالَ لَهُ غَيْرُهُ، عَتَقَ ثُلُثُهُ. وَكَانَ ثُلُثَاهُ لِوَرَثَتِهِ. فَإِنْ مَاتَ سَيِّدُ الْمُدَبَّرِ، وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مُحِيطٌ بِالْمُدَبَّرِ، بِيعَ فِي دَيْنِهِ. لِأَنَّهُ إِنَّمَا يَعْتِقُ فِي الثُّلُثِ. قَالَ: فَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ لَا يُحِيطُ إِلَّا بِنِصْفِ الْعَبْدِ. بِيعَ نِصْفُهُ لِلدَّيْنِ. ثُمَّ عَتَقَ ثُلُثُ مَا بَقِيَ بَعْدَ الدَّيْنِ “

Bab: Menjual budak mudabbar
Malik berkata: Pendapat yang disepakati di kalangan kami tentang budak mudabbar adalah bahwa tuannya tidak boleh menjualnya, dan tidak boleh memindahkannya dari tempat yang telah ia tetapkan. Jika tuannya terlilit utang, maka para krediturnya tidak dapat menjualnya selama tuannya masih hidup. Jika tuannya meninggal dan tidak ada utang atasnya, maka budak itu masuk dalam sepertiga (harta). Karena tuannya telah mengecualikan pekerjaannya selama ia hidup, maka ia tidak boleh melayaninya seumur hidupnya, lalu dimerdekakan untuk ahli warisnya jika tuannya meninggal dari harta pokoknya. Jika tuan budak mudabbar meninggal dan tidak memiliki harta selain budak itu, maka sepertiganya dimerdekakan, dan dua pertiganya menjadi milik ahli warisnya. Jika tuan budak mudabbar meninggal dan ia memiliki utang yang nilainya sama dengan budak mudabbar, maka budak itu dijual untuk membayar utangnya, karena ia hanya dimerdekakan dalam sepertiga (harta). Ia berkata: Jika utang itu hanya setara dengan separuh budak, maka separuhnya dijual untuk membayar utang, lalu sepertiga dari sisanya dimerdekakan setelah utang dibayar.”

قَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ بَيْعُ الْمُدَبَّرِ. وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَشْتَرِيَهُ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِيَ الْمُدَبَّرُ نَفْسَهُ مِنْ سَيِّدِهِ فَيَكُونُ ذَلِكَ جَائِزًا لَهُ. أَوْ يُعْطِيَ أَحَدٌ سَيِّدَ الْمُدَبَّرِ مَالًا. وَيُعْتِقُهُ سَيِّدُهُ الَّذِي دَبَّرَهُ. فَذَلِكَ يَجُوزُ لَهُ أَيْضًا

Malik berkata: Tidak boleh menjual mudabbir. Dan tidak boleh bagi siapa pun untuk membelinya, kecuali jika mudabbir itu membeli dirinya sendiri dari tuannya, maka hal itu diperbolehkan baginya. Atau seseorang memberikan harta kepada tuan mudabbir, lalu tuannya yang telah mentadbirnya itu memerdekakannya. Maka hal itu juga diperbolehkan baginya.

قَالَ مَالِكٌ: وَوَلَاؤُهُ لِسَيِّدِهِ الَّذِي دَبَّرَهُ

Malik berkata: Dan wala’ (hak perwalian) mudabbir tetap menjadi milik tuannya yang telah mentadbirnya.

قَالَ مَالِكٌ: لَا يَجُوزُ بَيْعُ خِدْمَةِ الْمُدَبَّرِ. لِأَنَّهُ غَرَرٌ إِذْ لَا يُدْرَى كَمْ يَعِيشُ سَيِّدُهُ فَذَلِكَ غَرَرٌ لَا يَصْلُحُ

Malik berkata: Tidak boleh menjual jasa mudabbir, karena itu mengandung gharar (ketidakjelasan), sebab tidak diketahui berapa lama tuannya akan hidup, maka itu adalah gharar yang tidak sah.

وقَالَ مَالِكٌ فِي الْعَبْدِ يَكُونُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ. فَيُدَبِّرُ أَحَدُهُمَا حِصَّتَهُ: إِنَّهُمَا يَتَقَاوَمَانِهِ. فَإِنِ اشْتَرَاهُ الَّذِي دَبَّرَهُ كَانَ مُدَبَّرًا كُلَّهُ. وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِهِ انْتَقَضَ تَدْبِيرُهُ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الَّذِي بَقِيَ لَهُ فِيهِ الرِّقُّ أَنْ يُعْطِيَهُ شَرِيكَهُ الَّذِي دَبَّرَهُ بِقِيمَتِهِ. فَإِنْ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ بِقِيمَتِهِ لَزِمَهُ ذَلِكَ. وَكَانَ مُدَبَّرًا كُلَّهُ “

Malik berkata tentang seorang budak yang dimiliki oleh dua orang laki-laki, lalu salah satu dari keduanya mentadbir bagian miliknya: Keduanya harus menaksir nilai budak itu. Jika yang mentadbir membelinya, maka seluruh budak itu menjadi mudabbir. Jika ia tidak membelinya, maka tadbirnya batal, kecuali jika yang masih memiliki bagian perbudakan dalam budak itu ingin memberikan nilainya kepada rekannya yang telah mentadbir. Jika ia memberikannya dengan nilainya, maka itu menjadi haknya, dan seluruh budak itu menjadi mudabbir.

وقَالَ مَالِكٌ: فِي رَجُلٍ نَصْرَانِيٍّ دَبَّرَ عَبْدًا لَهُ نَصْرَانِيًّا فَأَسْلَمَ الْعَبْدُ

Malik berkata tentang seorang Nasrani yang mentadbir budaknya yang juga Nasrani, lalu budak itu masuk Islam.

قَالَ مَالِكٌ: يُحَالُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْعَبْدِ. وَيُخَارَجُ عَلَى سَيِّدِهِ النَّصْرَانِيِّ. وَلَا يُبَاعُ عَلَيْهِ حَتَّى يَتَبَيَّنَ أَمْرُهُ. فَإِنْ هَلَكَ النَّصْرَانِيُّ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ، قُضِيَ دَيْنُهُ مِنْ ثَمَنِ الْمُدَبَّرِ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي مَالِهِ مَا يَحْمِلُ الدَّيْنَ. فَيَعْتِقُ الْمُدَبَّرُ

Malik berkata: Dipisahkan antara budak itu dan tuannya. Dan dilakukan muharajah (penebusan) atas tuan Nasrani tersebut. Budak itu tidak dijual sampai keadaannya menjadi jelas. Jika tuan Nasrani itu meninggal dunia dan memiliki utang, maka utangnya dibayar dari harga mudabbir, kecuali jika dalam hartanya terdapat cukup untuk menanggung utangnya, maka mudabbir itu dimerdekakan.

بَابُ جِرَاحِ الْمُدَبَّرِ

Bab: Luka pada mudabbir

7 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، قَضَى فِي الْمُدَبَّرِ إِذَا جَرَحَ أَنَّ لِسَيِّدِهِ أَنْ يُسَلِّمَ مَا يَمْلِكُ مِنْهُ إِلَى الْمَجْرُوحِ. فَيَخْتَدِمُهُ الْمَجْرُوحُ وَيُقَاصُّهُ بِجِرَاحِهِ مِنْ دِيَةِ جَرْحِهِ. فَإِنْ أَدَّى قَبْلَ أَنْ يَهْلِكَ سَيِّدُهُ رَجَعَ إِلَى سَيِّدِهِ

Malik meriwayatkan bahwa telah sampai kepadanya bahwa Umar bin Abdul Aziz memutuskan dalam perkara mudabbir yang melukai seseorang, bahwa tuannya boleh menyerahkan bagian yang dimilikinya dari budak itu kepada orang yang terluka, sehingga orang yang terluka dapat mempekerjakannya dan mengkompensasikan lukanya dari diyat luka tersebut. Jika diyat itu dibayar sebelum tuannya meninggal, maka budak itu kembali kepada tuannya.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْمُدَبَّرِ إِذَا جَرَحَ. ثُمَّ هَلَكَ سَيِّدُهُ وَلَيْسَ لَهُ مَالٌ غَيْرُهُ. أَنَّهُ يُعْتَقُ ثُلُثُهُ. ثُمَّ يُقْسَمُ عَقْلُ الْجَرْحِ أَثْلَاثًا. فَيَكُونُ ثُلُثُ الْعَقْلِ عَلَى الثُّلُثِ الَّذِي عَتَقَ مِنْهُ. وَيَكُونُ ثُلُثَاهُ عَلَى الثُّلُثَيْنِ اللَّذَيْنِ بِأَيْدِي الْوَرَثَةِ إِنْ شَاءُوا أَسْلَمُوا الَّذِي لَهُمْ مِنْهُ إِلَى صَاحِبِ الْجَرْحِ وَإِنْ شَاءُوا أَعْطَوْهُ ثُلُثَيِ الْعَقْلِ، وَأَمْسَكُوا نَصِيبَهُمْ مِنَ الْعَبْدِ. وَذَلِكَ أَنَّ عَقْلَ ذَلِكَ الْجَرْحِ إِنَّمَا كَانَتْ جِنَايَتُهُ مِنَ الْعَبْدِ. وَلَمْ تَكُنْ دَيْنًا عَلَى السَّيِّدِ. فَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ الَّذِي أَحْدَثَ الْعَبْدُ بِالَّذِي يُبْطِلُ مَا صَنَعَ السَّيِّدُ مِنْ عِتْقِهِ وَتَدْبِيرِهِ. فَإِنْ كَانَ عَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ دَيْنٌ لِلنَّاسِ، مَعَ جِنَايَةِ الْعَبْدِ، بِيعَ مِنَ الْمُدَبَّرِ بِقَدْرِ عَقْلِ الْجَرْحِ، وَقَدْرِ الدَّيْنِ. ثُمَّ يُبَدَّأُ بِالْعَقْلِ الَّذِي كَانَ فِي جِنَايَةِ الْعَبْدِ. فَيُقْضَى مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ. ثُمَّ يُقْضَى دَيْنُ سَيِّدِهِ. ثُمَّ يُنْظَرُ إِلَى مَا بَقِيَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنَ الْعَبْدِ، فَيَعْتِقُ ثُلُثُهُ، وَيَبْقَى ثُلُثَاهُ لِلْوَرَثَةِ. وَذَلِكَ أَنَّ جِنَايَةَ الْعَبْدِ هِيَ أَوْلَى مِنْ دَيْنِ سَيِّدِهِ. وَذَلِكَ أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا هَلَكَ وَتَرَكَ عَبْدًا مُدَبَّرًا قِيمَتُهُ خَمْسُونَ وَمِائَةُ دِينَارٍ، وَكَانَ الْعَبْدُ قَدْ شَجَّ رَجُلًا حُرًّا مُوضِحَةً عَقْلُهَا خَمْسُونَ دِينَارًا. وَكَانَ عَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ مِنَ الدَّيْنِ خَمْسُونَ دِينَارًا

Malik berkata: Dan praktik di kalangan kami mengenai mudabbir yang melukai, kemudian tuannya meninggal dan tidak memiliki harta selain budak itu, maka sepertiga dari budak itu dimerdekakan. Kemudian diyat luka itu dibagi menjadi tiga bagian. Sepertiga diyat dibebankan pada sepertiga yang telah merdeka, dan dua pertiganya dibebankan pada dua pertiga yang masih dimiliki ahli waris. Jika mereka mau, mereka menyerahkan bagian mereka dari budak itu kepada orang yang terluka, dan jika mereka mau, mereka membayar dua pertiga diyat dan tetap mempertahankan bagian mereka dari budak itu. Hal ini karena diyat luka tersebut berasal dari perbuatan budak, dan bukan merupakan utang atas tuan. Maka apa yang dilakukan budak itu tidak membatalkan tindakan tuan dalam memerdekakan dan mentadbirnya. Jika tuan budak itu memiliki utang kepada orang lain, bersamaan dengan tindak pidana budak, maka budak mudabbir dijual sebesar nilai diyat luka dan nilai utang. Kemudian didahulukan pembayaran diyat yang timbul dari tindak pidana budak, lalu dibayar dari harga budak, kemudian dibayar utang tuannya. Setelah itu, dilihat sisa budak yang masih ada, maka sepertiganya dimerdekakan dan dua pertiganya tetap menjadi milik ahli waris. Hal ini karena tindak pidana budak lebih diutamakan daripada utang tuannya. Misalnya, jika seseorang meninggal dan meninggalkan budak mudabbir yang nilainya seratus lima puluh dinar, dan budak itu telah melukai seorang laki-laki merdeka dengan luka yang diyatnya lima puluh dinar, dan tuan budak itu memiliki utang lima puluh dinar.

قَالَ مَالِكٌ: ” فَإِنَّهُ يُبْدَأُ بِالْخَمْسِينَ دِينَارًا الَّتِي فِي عَقْلِ الشَّجَّةِ فَتُقْضَى مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ. ثُمَّ يُقْضَى دَيْنُ سَيِّدِهِ. ثُمَّ يُنْظَرُ إِلَى مَا بَقِيَ مِنَ الْعَبْدِ. فَيَعْتِقُ ثُلُثُهُ، وَيَبْقَى ثُلُثَاهُ لِلْوَرَثَةِ. فَالْعَقْلُ أَوْجَبُ فِي رَقَبَتِهِ مِنْ دَيْنِ سَيِّدِهِ. وَدَيْنُ سَيِّدِهِ أَوْجَبُ مِنَ التَّدْبِيرِ، الَّذِي إِنَّمَا هُوَ وَصِيَّةٌ فِي ثُلُثِ مَالِ الْمَيِّتِ. فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَجُوزَ شَيْءٌ مِنَ التَّدْبِيرِ، وَعَلَى سَيِّدِ الْمُدَبَّرِ دَيْنٌ لَمْ يُقْضَ. وَإِنَّمَا هُوَ وَصِيَّةٌ. وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ} [النساء: 12]

Malik berkata: “Maka dimulai dengan lima puluh dinar yang merupakan bagian dari diyat luka di kepala, yang dibayarkan dari harga budak tersebut. Setelah itu, dibayarkanlah utang tuannya. Kemudian dilihat sisa dari budak itu; sepertiganya dimerdekakan, dan dua pertiganya tetap menjadi milik ahli waris. Maka diyat lebih didahulukan dari harga dirinya dibandingkan dengan utang tuannya, dan utang tuannya lebih didahulukan daripada tadbir (wasiat pembebasan budak setelah wafat), yang pada dasarnya hanyalah wasiat pada sepertiga harta mayit. Maka tidak sepatutnya ada bagian dari tadbir yang boleh dijalankan sementara tuan mudabbar masih memiliki utang yang belum dilunasi. Itu hanyalah wasiat. Hal ini karena Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman: {setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau utang} (an-Nisā’: 12).”

قالَ مَالِكٌ: فَإِنْ كَانَ فِي ثُلُثِ الْمَيِّتِ مَا يَعْتِقُ فِيهِ الْمُدَبَّرُ كُلُّهُ عَتَقَ. وَكَانَ عَقْلُ جِنَايَتِهِ دَيْنًا عَلَيْهِ. يُتَّبَعُ بِهِ بَعْدَ عِتْقِهِ. وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الْعَقْلُ الدِّيَةَ كَامِلَةً وَذَلِكَ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَى سَيِّدِهِ دَيْنٌ

Malik berkata: Jika dalam sepertiga harta mayit terdapat cukup untuk memerdekakan seluruh budak mudabbar, maka ia merdeka seluruhnya. Dan diyat atas kejahatannya menjadi utang atas dirinya, yang dituntut setelah ia merdeka. Dan jika diyat itu adalah diyat penuh, maka itu berlaku jika tuannya tidak memiliki utang.

وقَالَ مَالِكٌ فِي الْمُدَبَّرِ إِذَا جَرَحَ رَجُلًا فَأَسْلَمَهُ سَيِّدُهُ إِلَى الْمَجْرُوحِ. ثُمَّ هَلَكَ سَيِّدُهُ. وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ مَالًا غَيْرَهُ. فَقَالَ الْوَرَثَةُ: نَحْنُ نُسَلِّمُهُ إِلَى صَاحِبِ الْجُرْحِ. وَقَالَ صَاحِبُ الدَّيْنِ: أَنَا أَزِيدُ عَلَى ذَلِكَ: إِنَّهُ إِذَا زَادَ الْغَرِيمُ شَيْئًا فَهُوَ أَوْلَى بِهِ وَيُحَطُّ عَنِ الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ قَدْرُ مَا زَادَ الْغَرِيمُ عَلَى دِيَةِ الْجَرْحِ. فَإِنْ لَمْ يَزِدْ شَيْئًا لَمْ يَأْخُذِ الْعَبْدَ

Malik berkata tentang budak mudabbar yang melukai seseorang, lalu tuannya menyerahkannya kepada orang yang terluka. Kemudian tuannya meninggal dunia dan ia memiliki utang serta tidak meninggalkan harta selain budak itu. Maka para ahli waris berkata: Kami menyerahkannya kepada pemilik luka. Dan pemilik utang berkata: Aku menambah atas itu. Jika si penagih utang menambah sesuatu, maka ia lebih berhak atas budak itu, dan dari utang yang ada atasnya dikurangi sebesar tambahan yang diberikan penagih utang atas diyat luka. Jika tidak ada tambahan, maka ia tidak mengambil budak itu.

وقَالَ مَالِكٌ فِي الْمُدَبَّرِ إِذَا جَرَحَ وَلَهُ مَالٌ فَأَبَى سَيِّدُهُ أَنْ يَفْتَدِيَهُ: فَإِنَّ الْمَجْرُوحَ يَأْخُذُ مَالَ الْمُدَبَّرِ فِي دِيَةِ جُرْحِهِ. فَإِنْ كَانَ فِيهِ وَفَاءٌ اسْتَوْفَى الْمَجْرُوحُ دِيَةَ جُرْحِهِ وَرَدَّ الْمُدَبَّرَ إِلَى سَيِّدِهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ وَفَاءٌ، اقْتَضَاهُ مِنْ دِيَةِ جُرْحِهِ. وَاسْتَعْمَلَ الْمُدَبَّرَ بِمَا بَقِيَ لَهُ مِنْ دِيَةِ جُرْحِهِ

Malik berkata tentang budak mudabbar yang melukai seseorang dan ia memiliki harta, lalu tuannya enggan menebusnya: Maka orang yang terluka mengambil harta budak mudabbar sebagai diyat lukanya. Jika harta itu mencukupi, maka orang yang terluka mengambil diyat lukanya dan budak mudabbar dikembalikan kepada tuannya. Jika tidak mencukupi, maka ia mengambil dari diyat lukanya, dan budak mudabbar digunakan untuk menutupi sisa diyat yang belum terpenuhi.

بَابُ مَا جَاءَ فِي جِرَاحِ أُمِّ الْوَلَدِ
8 – قَالَ مَالِكٌ فِي أُمِّ الْوَلَدِ تَجْرَحُ: إِنَّ عَقْلَ ذَلِكَ الْجَرْحِ ضَامِنٌ عَلَى سَيِّدِهَا فِي مَالِهِ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ عَقْلُ ذَلِكَ الْجَرْحِ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَةِ أُمِّ الْوَلَدِ. فَلَيْسَ عَلَى سَيِّدِهَا أَنْ يُخْرِجَ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهَا. وَذَلِكَ أَنَّ رَبَّ الْعَبْدِ أَوِ الْوَلِيدَةِ. إِذَا أَسْلَمَ غُلَامَهُ أَوْ وَلِيدَتَهُ، بِجُرْحٍ أَصَابَهُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا. فَلَيْسَ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ، وَإِنْ كَثُرَ الْعَقْلُ. فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ سَيِّدُ أُمِّ الْوَلَدِ أَنْ يُسَلِّمَهَا، لِمَا مَضَى فِي ذَلِكَ مِنَ السُّنَّةِ، فَإِنَّهُ إِذَا أَخْرَجَ قِيمَتَهَا فَكَأَنَّهُ أَسْلَمَهَا. فَلَيْسَ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ. وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ. وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَحْمِلَ مِنْ جِنَايَتِهَا أَكْثَرَ مِنْ قِيمَتِهَا.

Bab tentang apa yang datang mengenai luka pada umm al-walad.
8 – Malik berkata tentang umm al-walad yang melukai seseorang: Sesungguhnya diyat atas luka tersebut menjadi tanggungan tuannya dari hartanya, kecuali jika diyat luka itu lebih besar dari nilai umm al-walad. Maka tuannya tidak wajib membayar lebih dari nilainya. Hal ini karena pemilik budak laki-laki atau perempuan, jika ia menyerahkan budaknya karena luka yang disebabkan oleh salah satu dari mereka, maka ia tidak wajib membayar lebih dari itu, meskipun diyatnya besar. Jika tuan umm al-walad tidak dapat menyerahkannya, sebagaimana telah berlaku dalam sunnah, maka jika ia membayar nilainya, itu sama dengan menyerahkannya. Maka ia tidak wajib membayar lebih dari itu. Ini adalah pendapat terbaik yang aku dengar. Ia tidak wajib menanggung dari kejahatan umm al-walad lebih dari nilainya.

41 – كِتَابُ الْحُدُودِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي الرَّجْمِ

Bab tentang apa yang datang mengenai rajam (hukuman rajam)

1 – حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: جَاءَتِ الْيَهُودُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَذَكَرُوا لَهُ أَنَّ رَجُلًا مِنْهُمْ وَامْرَأَةً زَنَيَا، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا تَجِدُونَ فِي التَّوْرَاةِ فِي شَأْنِ الرَّجْمِ؟ فَقَالُوا: نَفْضَحُهُمْ وَيُجْلَدُونَ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ، كَذَبْتُمْ إِنَّ فِيهَا الرَّجْمَ، فَأَتَوْا بِالتَّوْرَاةِ فَنَشَرُوهَا، فَوَضَعَ أَحَدُهُمْ يَدَهُ عَلَى آيَةِ الرَّجْمِ، ثُمَّ قَرَأَ مَا قَبْلَهَا وَمَا بَعْدَهَا، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ: ارْفَعْ يَدَكَ، فَرَفَعَ يَدَهُ، فَإِذَا فِيهَا آيَةُ الرَّجْمِ. فَقَالُوا: صَدَقَ يَا مُحَمَّدُ فِيهَا آيَةُ الرَّجْمِ، فَأَمَرَ بِهِمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَحْنِي عَلَى الْمَرْأَةِ يَقِيهَا الْحِجَارَةَ

1 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa ia berkata: Orang-orang Yahudi datang kepada Rasulullah ﷺ. Mereka menyebutkan kepada beliau bahwa ada seorang laki-laki dan seorang perempuan dari mereka yang telah berzina. Maka Rasulullah ﷺ bertanya kepada mereka: “Apa yang kalian temukan dalam Taurat tentang hukum rajam?” Mereka menjawab: “Kami mempermalukan mereka dan mereka dicambuk.” Maka ‘Abdullah bin Salam berkata: “Kalian berdusta, sesungguhnya di dalamnya (Taurat) ada (hukum) rajam.” Lalu mereka membawa Taurat dan membukanya, kemudian salah seorang dari mereka meletakkan tangannya pada ayat rajam, lalu ia membaca apa yang ada sebelum dan sesudahnya. Maka ‘Abdullah bin Salam berkata kepadanya: “Angkat tanganmu!” Lalu ia mengangkat tangannya, ternyata di situ ada ayat rajam. Mereka pun berkata: “Engkau benar, wahai Muhammad, di dalamnya memang ada ayat rajam.” Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan keduanya, lalu keduanya dirajam. ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Aku melihat laki-laki itu membungkuk melindungi perempuan itu dari lemparan batu.”

قَالَ مَالِكٌ: يَعْنِي يَحْنِي يُكِبُّ عَلَيْهَا حَتَّى تَقَعَ الْحِجَارَةُ عَلَيْهِ

Malik berkata: Maksudnya, ia membungkuk dan menutupi dirinya di atas perempuan itu hingga batu-batu itu menimpanya.

2 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ جَاءَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، فَقَالَ لَهُ: إِنَّ الْآخِرَ زَنَى فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ: هَلْ ذَكَرْتَ هَذَا لِأَحَدٍ غَيْرِي؟ فَقَالَ: لَا. فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ: فَتُبْ إِلَى اللَّهِ وَاسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ، فَإِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ. فَلَمْ تُقْرِرْهُ نَفْسُهُ، حَتَّى أَتَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَا قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ مِثْلَ مَا قَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ. فَلَمْ تُقْرِرْهُ نَفْسُهُ حَتَّى جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ لَهُ: إِنَّ الْأَخِرَ زَنَى. فَقَالَ سَعِيدٌ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، كُلُّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حَتَّى إِذَا أَكْثَرَ عَلَيْهِ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَهْلِهِ فَقَالَ: أَيَشْتَكِي أَمْ بِهِ جِنَّةٌ؟ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَاللَّهِ إِنَّهُ لَصَحِيحٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبِكْرٌ أَمْ ثَيِّبٌ؟ فَقَالُوا: بَلْ ثَيِّبٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَ

2 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa seorang laki-laki dari (kabilah) Aslam datang kepada Abu Bakar as-Siddiq, lalu berkata kepadanya: “Sesungguhnya si Fulan telah berzina.” Abu Bakar berkata kepadanya: “Apakah engkau telah menceritakan hal ini kepada selainku?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka Abu Bakar berkata kepadanya: “Bertobatlah kepada Allah dan tutupilah dirimu dengan penutup Allah, karena sesungguhnya Allah menerima tobat hamba-hamba-Nya.” Namun jiwanya tidak merasa tenang, hingga ia mendatangi ‘Umar bin al-Khattab dan berkata kepadanya seperti yang ia katakan kepada Abu Bakar. Maka ‘Umar berkata kepadanya seperti yang dikatakan Abu Bakar. Namun jiwanya tetap tidak merasa tenang, hingga ia datang kepada Rasulullah ﷺ. Ia berkata kepada beliau: “Sesungguhnya si Fulan telah berzina.” Sa‘id berkata: “Rasulullah ﷺ berpaling darinya sebanyak tiga kali, setiap kali ia mengulanginya, Rasulullah ﷺ tetap berpaling darinya. Hingga ketika ia terus-menerus mendesak, Rasulullah ﷺ mengutus seseorang kepada keluarganya dan bertanya: ‘Apakah ia sedang sakit ataukah ia gila?’ Mereka menjawab: ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, ia benar-benar sehat.’ Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Apakah ia masih bujang atau sudah menikah?’ Mereka menjawab: ‘Bahkan ia sudah menikah, wahai Rasulullah.’ Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar ia dirajam, lalu ia pun dirajam.”

3 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهُ هَزَّالٌ: يَا هَزَّالُ، لَوْ سَتَرْتَهُ بِرِدَائِكَ لَكَانَ خَيْرًا لَكَ قَالَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ: فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ فِي مَجْلِسٍ فِيهِ يَزِيدُ بْنُ نُعَيْمِ بْنِ هَزَّالٍ الْأَسْلَمِيِّ فَقَالَ يَزِيدُ: هَزَّالٌ جَدِّي، وَهَذَا الْحَدِيثُ حَقٌّ

3 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepada seorang laki-laki dari (kabilah) Aslam yang bernama Hazzal: “Wahai Hazzal, seandainya engkau menutupi (aib)nya dengan selendangmu, itu lebih baik bagimu.” Yahya bin Sa‘id berkata: Aku menceritakan hadis ini dalam suatu majelis yang di dalamnya terdapat Yazid bin Nu‘aim bin Hazzal al-Aslami. Maka Yazid berkata: “Hazzal adalah kakekku, dan hadis ini benar adanya.”

4 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَجُلًا اعْتَرَفَ عَلَى نَفْسِهِ بِالزِّنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَشَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ بِاعْتِرَافِهِ عَلَى نَفْسِهِ

4 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa seorang laki-laki mengakui dirinya telah berzina pada masa Rasulullah ﷺ. Ia bersaksi atas dirinya sendiri sebanyak empat kali, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar ia dirajam. Ibnu Syihab berkata: Karena itulah seseorang dapat dikenai hukuman berdasarkan pengakuannya sendiri.

5 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ زَيْدِ بْنِ طَلْحَةَ، عَنْ أَبِيهِ زَيْدِ بْنِ طَلْحَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا زَنَتْ وَهِيَ حَامِلٌ. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اذْهَبِي حَتَّى تَضَعِي فَلَمَّا وَضَعَتْ جَاءَتْهُ. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اذْهَبِي حَتَّى تُرْضِعِيهِ فَلَمَّا أَرْضَعَتْهُ جَاءَتْهُ. فَقَالَ: اذْهَبِي فَاسْتَوْدِعِيهِ قَالَ: فَاسْتَوْدَعَتْهُ ثُمَّ جَاءَتْ فَأَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ

5 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ya‘qub bin Zaid bin Talhah, dari ayahnya Zaid bin Talhah, dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ dan memberitahukan bahwa ia telah berzina sementara ia sedang hamil. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Pergilah hingga engkau melahirkan.” Setelah ia melahirkan, ia datang kembali kepada beliau. Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Pergilah hingga engkau menyapihnya.” Setelah ia menyapih anaknya, ia datang kembali kepada beliau. Beliau bersabda, “Pergilah dan titipkanlah anak itu.” Maka ia menitipkan anaknya, lalu ia datang kembali. Maka beliau memerintahkan agar wanita itu dirajam.

6 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُمَا أَخْبَرَاهُ أَنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ. وَقَالَ الْآخَرُ وَهُوَ أَفْقَهُهُمَا: أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ. وَائْذَنْ لِي فِي أَنْ أَتَكَلَّمَ قَالَ: تَكَلَّمْ فَقَالَ: إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا. فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ. فَأَخْبَرَنِي أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ. فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَبِجَارِيَةٍ لِي. ثُمَّ إِنِّي سَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي: أَنَّ مَا عَلَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ. وَأَخْبَرُونِي أَنَّمَا الرَّجْمُ عَلَى امْرَأَتِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ أَمَّا غَنَمُكَ وَجَارِيَتُكَ فَرَدٌّ عَلَيْكَ وَجَلَدَ ابْنَهُ مِائَةً. وَغَرَّبَهُ عَامًا وَأَمَرَ أُنَيْسًا الْأَسْلَمِيَّ أَنْ يَأْتِيَ امْرَأَةَ الْآخَرِ. فَإِنِ اعْتَرَفَتْ، رَجَمَهَا. فَاعْتَرَفَتْ. فَرَجَمَهَا قَالَ مَالِكٌ: وَالْعَسِيفُ الْأَجِيرُ

6 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ud, dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa keduanya mengabarkan kepadanya bahwa ada dua orang laki-laki berselisih di hadapan Rasulullah ﷺ. Salah satu dari mereka berkata, “Wahai Rasulullah, putuskanlah perkara di antara kami berdasarkan Kitabullah.” Yang lain, yang lebih faqih di antara mereka, berkata, “Benar, wahai Rasulullah, putuskanlah perkara di antara kami berdasarkan Kitabullah, dan izinkan aku berbicara.” Beliau bersabda, “Bicaralah.” Ia berkata, “Sesungguhnya anakku bekerja sebagai ‘asif (pekerja) pada orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya. Orang ini memberitahuku bahwa atas anakku berlaku hukuman rajam. Maka aku menebusnya darinya dengan seratus ekor kambing dan seorang budak perempuan milikku. Kemudian aku bertanya kepada ahl al-‘ilm, lalu mereka memberitahuku bahwa atas anakku adalah hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan selama satu tahun, dan mereka memberitahuku bahwa rajam itu atas istrinya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan Kitabullah. Adapun kambing dan budak perempuanmu, dikembalikan kepadamu.’ Lalu beliau mencambuk anaknya seratus kali dan mengasingkannya selama satu tahun. Beliau memerintahkan Unais al-Aslami untuk mendatangi istri orang itu. Jika ia mengakui, maka rajamlah ia. Maka wanita itu mengakui, lalu ia pun dirajam. Malik berkata: ‘Asif adalah pekerja upahan.’

7 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ، قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنِّي وَجَدْتُ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أَأُمْهِلُهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ

7 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Sa‘d bin ‘Ubadah berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Bagaimana pendapatmu jika aku mendapati seorang laki-laki bersama istriku, apakah aku harus menunggu hingga aku mendatangkan empat orang saksi?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya.”

8 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ الرَّجْمُ فِي كِتَابِ اللَّهِ حَقٌّ. عَلَى مَنْ زَنَى مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ. إِذَا أُحْصِنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ

8 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ud, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, bahwa ia berkata: Aku mendengar ‘Umar bin al-Khattab berkata, “Hukuman rajam dalam Kitabullah adalah benar, atas laki-laki dan perempuan yang berzina, jika telah muhsan, apabila ada bukti, atau kehamilan, atau pengakuan.”

9 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَاهُ رَجُلٌ وَهُوَ بِالشَّامِ فَذَكَرَ لَهُ أَنَّهُ وَجَدَ مَعَ امْرَأَتِهِ رَجُلًا. فَبَعَثَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، أَبَا وَاقِدٍ اللَّيْثِيَّ إِلَى امْرَأَتِهِ يَسْأَلُهَا عَنْ ذَلِكَ. فَأَتَاهَا وَعِنْدَهَا نِسْوَةٌ حَوْلَهَا فَذَكَرَ لَهَا الَّذِي قَالَ زَوْجُهَا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ. وَأَخْبَرَهَا أَنَّهَا لَا تُؤْخَذُ بِقَوْلِهِ وَجَعَلَ يُلَقِّنُهَا أَشْبَاهَ ذَلِكَ لِتَنْزِعَ فَأَبَتْ أَنْ تَنْزِعَ وَتَمَّتْ عَلَى الِاعْتِرَافِ فَأَمَرَ بِهَا عُمَرُ فَرُجِمَتْ

9 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sulaiman bin Yasar, dari Abu Waqid al-Laitsi, bahwa ‘Umar bin al-Khattab didatangi oleh seorang laki-laki ketika ia berada di Syam. Laki-laki itu menceritakan kepadanya bahwa ia mendapati seorang laki-laki bersama istrinya. Maka ‘Umar bin al-Khattab mengutus Abu Waqid al-Laitsi kepada istrinya untuk menanyakannya tentang hal itu. Abu Waqid mendatanginya dan di sekelilingnya ada beberapa wanita. Ia menyampaikan kepadanya apa yang dikatakan suaminya kepada ‘Umar bin al-Khattab, dan memberitahunya bahwa ia tidak akan diambil berdasarkan perkataan suaminya, serta terus membimbingnya agar ia mencabut pengakuannya, namun ia menolak untuk mencabut dan tetap pada pengakuannya. Maka ‘Umar memerintahkan agar wanita itu dirajam.

10 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: لَمَّا صَدَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، مِنْ مِنًى أَنَاخَ بِالْأَبْطَحِ ثُمَّ كَوَّمَ كَوْمَةً بَطْحَاءَ ثُمَّ طَرَحَ عَلَيْهَا رِدَاءَهُ. وَاسْتَلْقَى. ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ: اللَّهُمَّ كَبِرَتْ سِنِّي، وَضَعُفَتْ قُوَّتِي، وَانْتَشَرَتْ رَعِيَّتِي، فَاقْبِضْنِي إِلَيْكَ غَيْرَ مُضَيِّعٍ، وَلَا مُفَرِّطٍ ثُمَّ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَخَطَبَ النَّاسَ. فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ سُنَّتْ لَكُمُ السُّنَنُ. وَفُرِضَتْ لَكُمُ الْفَرَائِضُ. وَتُرِكْتُمْ عَلَى الْوَاضِحَةِ. إِلَّا أَنْ تَضِلُّوا بِالنَّاسِ يَمِينًا وَشِمَالًا. وَضَرَبَ بِإِحْدَى يَدَيْهِ عَلَى الْأُخْرَى “. ثُمَّ قَالَ: إِيَّاكُمْ أَنْ تَهْلِكُوا عَنْ آيَةِ الرَّجْمِ. أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ لَا نَجِدُ حَدَّيْنِ فِي كِتَابِ اللَّهِ. فَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا. وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْلَا أَنْ يَقُولَ النَّاسُ: زَادَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى لَكَتَبْتُهَا – الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوهُمَا أَلْبَتَّةَ – فَإِنَّا قَدْ قَرَأْنَاهَا

10 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ia mendengarnya berkata: Ketika ‘Umar bin al-Khattab kembali dari Mina, ia singgah di al-Abthah, lalu mengumpulkan sebongkah kerikil, kemudian meletakkan selendangnya di atasnya dan berbaring. Lalu ia menadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata: “Ya Allah, usiaku telah lanjut, kekuatanku telah melemah, dan rakyatku telah tersebar, maka wafatkanlah aku kepada-Mu dalam keadaan tidak menyia-nyiakan dan tidak melalaikan.” Kemudian ia tiba di Madinah dan berkhutbah di hadapan orang-orang. Ia berkata: “Wahai manusia, sungguh telah disyariatkan untuk kalian sunah-sunah, dan telah diwajibkan untuk kalian kewajiban-kewajiban, dan kalian telah ditinggalkan di atas jalan yang jelas, kecuali jika kalian tersesat ke kanan dan ke kiri bersama manusia.” Ia memukulkan salah satu tangannya ke tangan yang lain, lalu berkata: “Janganlah kalian binasa karena ayat rajam, jangan sampai ada yang berkata: ‘Kami tidak menemukan dua hudud dalam Kitab Allah.’ Sungguh Rasulullah ﷺ telah merajam, dan kami pun telah merajam. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau bukan karena orang-orang akan berkata: ‘Umar bin al-Khattab telah menambah dalam Kitab Allah Ta‘ala,’ niscaya aku akan menuliskannya: ‘Asy-syaikhu wasy-syaikhatu farjumūhumā al-battata’ (laki-laki dan perempuan tua, rajamlah keduanya sungguh-sungguh), karena sungguh kami telah membacanya.”

قَالَ مَالِكٌ: قَالَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ:، قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: فَمَا انْسَلَخَ ذُو الْحِجَّةِ حَتَّى قُتِلَ عُمَرُ رَحِمَهُ اللَّهُ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: قَوْلُهُ الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ يَعْنِي: الثَّيِّبَ وَالثَّيِّبَةَ فَارْجُمُوهُمَا أَلْبَتَّةَ

Malik berkata: Yahya bin Sa‘id berkata, Sa‘id bin al-Musayyib berkata: “Belum berlalu bulan Dzulhijjah hingga ‘Umar—semoga Allah merahmatinya—dibunuh.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: Ucapannya “asy-syaikhu wasy-syaikhatu” maksudnya adalah “ats-tsayyibu wat-tsayyibah” (laki-laki dan perempuan yang sudah menikah), “farjumūhumā al-battata” (rajamlah keduanya sungguh-sungguh).

11 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ أُتِيَ بِامْرَأَةٍ قَدْ وَلَدَتْ فِي سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُرْجَمَ. فَقَالَ لَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْسَ ذَلِكَ عَلَيْهَا ” إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا} [الأحقاف: 15] وَقَالَ {وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ} [البقرة: 233] فَالْحَمْلُ يَكُونُ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَا رَجْمَ عَلَيْهَا “. فَبَعَثَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فِي أَثَرِهَا فَوَجَدَهَا قَدْ رُجِمَتْ

11 – Malik meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Utsman bin ‘Affan didatangkan seorang perempuan yang melahirkan dalam enam bulan, lalu ia memerintahkan agar perempuan itu dirajam. Maka ‘Ali bin Abi Thalib berkata kepadanya: “Itu tidak berlaku atasnya. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {dan masa mengandungnya dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan} [al-Ahqaf: 15], dan Dia berfirman: {dan para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan} [al-Baqarah: 233]. Maka kehamilan bisa enam bulan, sehingga tidak ada rajam atasnya.” Maka ‘Utsman bin ‘Affan mengutus seseorang untuk mengejarnya, namun ternyata ia telah dirajam.

حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ، عَنِ الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَقَالَ ابْنُ شِهَابٍ: عَلَيْهِ الرَّجْمُ أَحْصَنَ أَوْ لَمْ يُحْصِنْ

Malik meriwayatkan kepadaku bahwa ia bertanya kepada Ibnu Syihab tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka Ibnu Syihab berkata: “Atasnya hukuman rajam, baik sudah muhsan (pernah menikah) maupun belum.”

بَابُ مَا جَاءَ فِيمَنِ اعْتَرَفَ عَلَى نَفْسِهِ بِالزِّنَا

Bab tentang apa yang datang mengenai orang yang mengakui dirinya berzina.

12 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ رَجُلًا اعْتَرَفَ عَلَى نَفْسِهِ بِالزِّنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَوْطٍ فَأُتِيَ بِسَوْطٍ مَكْسُورٍ فَقَالَ: فَوْقَ هَذَا فَأُتِيَ بِسَوْطٍ جَدِيدٍ لَمْ تُقْطَعْ ثَمَرَتُهُ. فَقَالَ: دُونَ هَذَا فَأُتِيَ بِسَوْطٍ قَدْ رُكِبَ بِهِ وَلَانَ فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجُلِدَ. ثُمَّ قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ آنَ لَكُمْ أَنْ تَنْتَهُوا عَنْ حُدُودِ اللَّهِ مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا. فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ. فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِي لَنَا صَفْحَتَهُ، نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ

12 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, bahwa seorang laki-laki mengakui dirinya berzina pada masa Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ meminta didatangkan cambuk, lalu didatangkan kepadanya cambuk yang patah, beliau bersabda: “Lebih dari ini.” Lalu didatangkan cambuk baru yang belum terpotong ujungnya, beliau bersabda: “Kurang dari ini.” Lalu didatangkan cambuk yang sudah dipakai dan telah lentur, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar ia dicambuk. Kemudian beliau bersabda: “Wahai manusia, sudah saatnya kalian berhenti dari melanggar hudud Allah. Barang siapa yang terkena sesuatu dari kekejian ini, hendaklah ia menutupi dirinya dengan penutup Allah. Karena siapa yang menampakkan dirinya kepada kami, maka kami akan menegakkan Kitab Allah atasnya.”

13 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ أَبِي عُبَيْدٍ، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ، أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ وَقَعَ عَلَى جَارِيَةٍ بِكْرٍ فَأَحْبَلَهَا. ثُمَّ اعْتَرَفَ عَلَى نَفْسِهِ بِالزِّنَا. وَلَمْ يَكُنْ أَحْصَنَ. فَأَمَرَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ فَجُلِدَ الْحَدَّ. ثُمَّ نُفِيَ إِلَى فَدَكَ

13 – Malik meriwayatkan kepadaku dari Nafi‘, bahwa Shafiyyah binti Abi ‘Ubaid memberitahunya bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq didatangkan seorang laki-laki yang telah menyetubuhi seorang budak perempuan yang masih perawan hingga menghamilinya. Kemudian ia mengakui dirinya berzina, dan ia belum pernah menikah (belum muhsan). Maka Abu Bakar memerintahkan agar ia ditegakkan had atasnya, lalu ia diasingkan ke Fadak.

قَالَ مَالِكٌ فِي الَّذِي يَعْتَرِفُ عَلَى نَفْسِهِ بِالزِّنَا ثُمَّ يَرْجِعُ عَنْ ذَلِكَ وَيَقُولُ لَمْ أَفْعَلْ. وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ مِنِّي عَلَى وَجْهِ كَذَا وَكَذَا لِشَيْءٍ يَذْكُرُهُ: إِنَّ ذَلِكَ يُقْبَلُ مِنْهُ وَلَا يُقَامُ عَلَيْهِ الْحَدُّ. وَذَلِكَ أَنَّ الْحَدَّ الَّذِي هُوَ لِلَّهِ لَا يُؤْخَذُ إِلَّا بِأَحَدِ وَجْهَيْنِ. إِمَّا بِبَيِّنَةٍ عَادِلَةٍ تُثْبِتُ عَلَى صَاحِبِهَا وَإِمَّا بِاعْتِرَافٍ. يُقِيمُ عَلَيْهِ حَتَّى يُقَامَ عَلَيْهِ الْحَدُّ. فَإِنْ أَقَامَ عَلَى اعْتِرَافِهِ، أُقِيمَ عَلَيْهِ الْحَدُّ

Malik berkata tentang seseorang yang mengakui dirinya telah berzina, kemudian ia menarik kembali pengakuannya itu dan berkata, “Saya tidak melakukannya. Pengakuan itu saya lakukan karena alasan begini dan begitu,” lalu ia menyebutkan alasannya: Maka hal itu diterima darinya dan tidak ditegakkan atasnya hukuman had. Sebab had yang merupakan hak Allah tidak ditegakkan kecuali dengan salah satu dari dua cara: dengan bukti yang adil yang menetapkan atas pelakunya, atau dengan pengakuan. Jika ia tetap pada pengakuannya hingga ditegakkan atasnya had, maka had ditegakkan atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: الَّذِي أَدْرَكْتُ عَلَيْهِ أَهْلَ الْعِلْمِ أَنَّهُ لَا نَفْيَ عَلَى الْعَبِيدِ إِذَا زَنَوْا

Malik berkata: Pendapat yang aku dapati dari para ahli ilmu adalah bahwa tidak ada hukuman pengasingan (nafy) atas budak jika mereka berzina.

بَابُ جَامِعِ مَا جَاءَ فِي حَدِّ الزِّنَا

Bab Kompilasi Ketentuan yang Datang Mengenai Had Zina

14 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْأَمَةِ إِذَا زَنَتْ وَلَمْ تُحْصِنْ؟ فَقَالَ: ” إِنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا. ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا. ثُمَّ إِنْ زَنَتْ فَاجْلِدُوهَا. ثُمَّ بِيعُوهَا وَلَوْ بِضَفِيرٍ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: لَا أَدْرِي أَبَعْدَ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَالضَّفِيرُ الْحَبْلُ

14 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang budak perempuan yang berzina dan belum pernah menikah? Beliau bersabda: “Jika ia berzina, maka deralah dia. Kemudian jika ia berzina lagi, deralah dia. Kemudian jika ia berzina lagi, deralah dia. Kemudian juallah dia, meskipun hanya dengan seutas tali.” Ibnu Syihab berkata: Aku tidak tahu, apakah setelah yang ketiga atau keempat. Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Al-dhafir” adalah tali.

15 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدًا كَانَ يَقُومُ عَلَى رَقِيقِ الْخُمُسِ وَأَنَّهُ اسْتَكْرَهَ جَارِيَةً مِنْ ذَلِكَ الرَّقِيقِ فَوَقَعَ بِهَا. فَجَلَدَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَنَفَاهُ وَلَمْ يَجْلِدِ الْوَلِيدَةَ لِأَنَّهُ اسْتَكْرَهَهَا

15 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Nafi’, bahwa ada seorang budak yang bertugas mengurus budak-budak hasil khumus, lalu ia memaksa seorang budak perempuan dari budak-budak itu dan menyetubuhinya. Maka Umar bin al-Khattab mencambuknya dan mengasingkannya, dan tidak mencambuk budak perempuan itu karena ia dipaksa.

16 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَيَّاشِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ الْمَخْزُومِيَّ قَالَ: أَمَرَنِي عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي فِتْيَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَجَلَدْنَا وَلَائِدَ مِنْ وَلَائِدِ الْإِمَارَةِ خَمْسِينَ خَمْسِينَ فِي الزِّنَا

16 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, bahwa Sulaiman bin Yasar memberitahunya bahwa Abdullah bin ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi berkata: Umar bin al-Khattab memerintahkanku bersama sekelompok pemuda Quraisy, lalu kami mencambuk para budak perempuan milik pemerintahan masing-masing lima puluh kali cambukan karena zina.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمُغْتَصَبَةِ
قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْمَرْأَةِ تُوجَدُ حَامِلًا وَلَا زَوْجَ لَهَا. فَتَقُولُ: قَدِ اسْتُكْرِهْتُ. أَوْ تَقُولُ: تَزَوَّجْتُ. إِنَّ ذَلِكَ لَا يُقْبَلُ مِنْهَا وَإِنَّهَا يُقَامُ عَلَيْهَا الْحَدُّ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ لَهَا عَلَى مَا ادَّعَتْ مِنَ النِّكَاحِ بَيِّنَةٌ. أَوْ عَلَى أَنَّهَا اسْتُكْرِهَتْ أَوْ جَاءَتْ تَدْمَى إِنْ كَانَتْ بِكْرًا. أَوِ اسْتَغَاثَتْ حَتَّى أُتِيَتْ. وَهِيَ عَلَى ذَلِكَ الْحَالِ. أَوْ مَا أَشْبَهَ هَذَا. مِنَ الْأَمْرِ الَّذِي تَبْلُغُ فِيهِ فَضِيحَةَ نَفْسِهَا “. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَأْتِ بِشَيْءٍ مِنْ هَذَا، أُقِيمَ عَلَيْهَا الْحَدُّ. وَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهَا مَا ادَّعَتْ مِنْ ذَلِكَ

Bab Ketentuan tentang Perempuan yang Diperkosa
Malik berkata: “Praktik di kalangan kami mengenai perempuan yang ditemukan hamil tanpa suami, lalu ia berkata: ‘Saya dipaksa,’ atau ia berkata: ‘Saya telah menikah,’ maka hal itu tidak diterima darinya dan had ditegakkan atasnya, kecuali jika ia memiliki bukti atas pengakuan nikahnya, atau bukti bahwa ia dipaksa, atau ia datang dalam keadaan berdarah jika ia masih perawan, atau ia meminta pertolongan hingga orang-orang datang menolongnya dan ia masih dalam keadaan demikian, atau hal-hal lain yang serupa yang menyebabkan ia menanggung aib atas dirinya sendiri.” Ia berkata: Jika ia tidak dapat mendatangkan salah satu dari hal-hal tersebut, maka had ditegakkan atasnya dan tidak diterima pengakuannya itu.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالْمُغْتَصَبَةُ لَا تَنْكِحُ حَتَّى تَسْتَبْرِئَ نَفْسَهَا. بِثَلَاثِ حِيَضٍ قَالَ: فَإِنِ ارْتَابَتْ مِنْ حَيْضَتِهَا. فَلَا تَنْكِحُ حَتَّى تَسْتَبْرِئَ نَفْسَهَا مِنْ تِلْكَ الرِّيبَةِ “

Malik berkata: “Perempuan yang diperkosa tidak boleh menikah hingga ia memastikan dirinya bersih (istibra’) dengan tiga kali haid.” Ia berkata: “Jika ia ragu terhadap haidnya, maka ia tidak boleh menikah hingga ia memastikan dirinya bersih dari keraguan itu.”

بَابُ الْحَدِّ فِي الْقَذْفِ وَالنَّفْيِ وَالتَّعْرِيضِ

Bab Had dalam Tuduhan Zina, Pengasingan, dan Sindiran

17 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، أَنَّهُ قَالَ: جَلَدَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ، عَبْدًا فِي فِرْيَةٍ ثَمَانِينَ
قَالَ أَبُو الزِّنَادِ: فَسَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ، عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ: أَدْرَكْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَالْخُلَفَاءَ هَلُمَّ جَرًّا فَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا جَلَدَ عَبْدًا فِي فِرْيَةٍ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ

17 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Abu al-Zinad, bahwa ia berkata: Umar bin Abdul Aziz pernah mencambuk seorang budak delapan puluh kali karena tuduhan palsu (qadzaf). Abu al-Zinad berkata: Lalu aku bertanya kepada Abdullah bin Amir bin Rabi’ah tentang hal itu, maka ia berkata: Aku mendapati Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, dan para khalifah setelahnya, aku tidak pernah melihat seorang pun mencambuk budak karena tuduhan palsu lebih dari empat puluh kali.

18 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَكِيمٍ الْأَيْلِيِّ، أَنَّ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ مِصْبَاحٌ، اسْتَعَانَ ابْنًا لَهُ فَكَأَنَّهُ اسْتَبْطَأَهُ فَلَمَّا جَاءَهُ قَالَ لَهُ: يَا زَانٍ. قَالَ زُرَيْقٌ: فَاسْتَعْدَانِي عَلَيْهِ فَلَمَّا أَرَدْتُ أَنْ أَجْلِدَهُ. قَالَ ابْنُهُ: وَاللَّهِ لَئِنْ جَلَدْتَهُ لَأَبُوءَنَّ عَلَى نَفْسِي بِالزِّنَا. فَلَمَّا قَالَ ذَلِكَ: أَشْكَلَ عَلَيَّ أَمْرُهُ فَكَتَبْتُ فِيهِ إِلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَهُوَ الْوَالِي يَوْمَئِذٍ. أَذْكُرُ لَهُ ذَلِكَ. فَكَتَبَ إِلَيَّ عُمَرُ أَنْ أَجِزْ عَفْوَهُ. قَالَ زُرَيْقٌ: وَكَتَبْتُ إِلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَيْضًا: أَرَأَيْتَ رَجُلًا افْتُرِيَ عَلَيْهِ. أَوْ عَلَى أَبَوَيْهِ. وَقَدْ هَلَكَا. أَوْ أَحَدُهُمَا قَالَ: فَكَتَبَ إِلَيَّ عُمَرُ: إِنْ عَفَا فَأَجِزْ عَفْوَهُ فِي نَفْسِهِ. وَإِنِ افْتُرِيَ عَلَى أَبَوَيْهِ. وَقَدْ هَلَكَا. أَوْ أَحَدُهُمَا فَخُذْ لَهُ بِكِتَابِ اللَّهِ. إِلَّا أَنْ يُرِيدَ سِتْرًا قَالَ يَحْيَى، سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ الرَّجُلُ الْمُفْتَرَى عَلَيْهِ يَخَافُ إِنْ كُشِفَ ذَلِكَ مِنْهُ أَنْ تَقُومَ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَإِذَا كَانَ عَلَى مَا وَصَفْتُ فَعَفَا جَازَ عَفْوُهُ

18 – Malik meriwayatkan dari Ruzaik bin Hakim al-Ayli, bahwa ada seorang laki-laki bernama Mishbah meminta bantuan anaknya, namun seolah-olah ia merasa anaknya lambat, maka ketika anaknya datang, ia berkata kepadanya: “Wahai pezina!” Ruzaik berkata: Lalu anaknya meminta aku menjadi saksi atas ayahnya. Ketika aku hendak mencambuk ayahnya, anak itu berkata: “Demi Allah, jika engkau mencambuknya, sungguh aku akan mengakui zina atas diriku sendiri.” Ketika ia berkata demikian, aku menjadi bingung terhadap urusannya, maka aku menulis surat tentang hal itu kepada Umar bin Abdul Aziz yang saat itu menjadi gubernur, aku mengabarkan hal itu kepadanya. Lalu Umar menulis surat kepadaku agar aku menerima pemaafannya. Ruzaik berkata: Aku juga menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang difitnah (dituduh zina), atau kedua orang tuanya, padahal keduanya telah meninggal, atau salah satunya?” Maka Umar menulis surat kepadaku: “Jika ia memaafkan, maka terimalah pemaafannya atas dirinya sendiri. Namun jika yang difitnah adalah kedua orang tuanya dan keduanya telah meninggal, atau salah satunya, maka ambillah haknya berdasarkan Kitabullah, kecuali jika ia ingin menutup aib.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata: “Itu jika orang yang difitnah takut jika perkara itu diungkapkan akan ada bukti yang menjeratnya. Jika keadaannya seperti yang aku sebutkan lalu ia memaafkan, maka pemaafannya sah.”

19 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ: فِي رَجُلٍ قَذَفَ قَوْمًا جَمَاعَةً أَنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ قَالَ مَالِكٌ وَإِنْ تَفَرَّقُوا فَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا حَدٌّ وَاحِدٌ

19 – Malik meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Jika seseorang menuduh sekelompok orang (berzina), maka ia hanya dikenai satu had saja.” Malik berkata: “Dan jika mereka berpencar, maka ia tetap hanya dikenai satu had saja.”

حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الرِّجَالِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَارِثَةَ بْنِ النُّعْمَانِ الْأَنْصَارِيِّ، ثُمَّ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ عَنْ أُمِّهِ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ رَجُلَيْنِ اسْتَبَّا فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلْآخَرِ: وَاللَّهِ مَا أَبِي بِزَانٍ. وَلَا أُمِّي بِزَانِيَةٍ. فَاسْتَشَارَ فِي ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ قَائِلٌ: مَدَحَ أَبَاهُ وَأُمَّهُ. وَقَالَ آخَرُونَ قَدْ كَانَ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ مَدْحٌ غَيْرُ هَذَا نَرَى أَنْ تَجْلِدَهُ الْحَدَّ فَجَلَدَهُ عُمَرُ الْحَدَّ ثَمَانِينَ

Malik meriwayatkan dari Abu ar-Rijal Muhammad bin Abdurrahman bin Haritsah bin Nu’man al-Anshari, dari Bani Najjar, dari ibunya, ‘Amrah binti Abdurrahman, bahwa dua orang laki-laki saling mencaci pada masa Umar bin Khattab. Salah satunya berkata kepada yang lain: “Demi Allah, ayahku bukan pezina dan ibuku bukan pezina.” Umar bin Khattab meminta pendapat tentang hal itu. Ada yang berkata: “Ia memuji ayah dan ibunya.” Namun yang lain berkata: “Sebenarnya ada bentuk pujian lain untuk ayah dan ibunya, kami berpendapat engkau harus menegakkan had atasnya.” Maka Umar menegakkan had atasnya, yakni delapan puluh cambukan.

قَالَ مَالِكٌ: لَا حَدَّ عِنْدَنَا إِلَّا فِي نَفْيٍ أَوْ قَذْفٍ أَوْ تَعْرِيضٍ يُرَى أَنَّ قَائِلَهُ إِنَّمَا أَرَادَ بِذَلِكَ نَفْيًا أَوْ قَذْفًا فَعَلَى مَنْ قَالَ ذَلِكَ الْحَدُّ تَامًّا.

Malik berkata: “Menurut kami, had hanya ditegakkan dalam kasus penafian (nasab), tuduhan zina, atau sindiran yang jelas bahwa pelakunya memang bermaksud menafikan (nasab) atau menuduh zina. Maka atas orang yang mengucapkan demikian, had ditegakkan secara sempurna.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ إِذَا نَفَى رَجُلٌ رَجُلًا مِنْ أَبِيهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ الْحَدَّ وَإِنْ كَانَتْ أُمُّ الَّذِي نُفِيَ مَمْلُوكَةً فَإِنَّ عَلَيْهِ الْحَدَّ

Malik berkata: “Praktik di kalangan kami, jika seorang laki-laki menafikan seseorang dari ayahnya, maka atasnya dikenakan had, meskipun ibu dari yang dinafikan itu adalah seorang budak, maka tetap atasnya dikenakan had.”

بَابُ مَا لَا حَدَّ فِيهِ
قَالَ مَالِكٌ إِنَّ أَحْسَنَ مَا سُمِعَ فِي الْأَمَةِ يَقَعُ بِهَا الرَّجُلُ وَلَهُ فِيهَا شِرْكٌ: أَنَّهُ لَا يُقَامُ عَلَيْهِ الْحَدُّ. وَأَنَّهُ يُلْحَقُ بِهِ الْوَلَدُ. وَتُقَوَّمُ عَلَيْهِ الْجَارِيَةُ حِينَ حَمَلَتْ. فَيُعْطَى شُرَكَاؤُهُ حِصَصَهُمْ مِنَ الثَّمَنِ. وَتَكُونُ الْجَارِيَةُ لَهُ وَعَلَى هَذَا الْأَمْرُ عِنْدَنَا.

Bab: Hal-hal yang tidak dikenai had
Malik berkata: “Pendapat terbaik yang aku dengar tentang seorang budak perempuan yang digauli oleh seorang laki-laki yang memiliki bagian kepemilikan atasnya, adalah bahwa tidak ditegakkan had atasnya. Anak yang lahir dinisbatkan kepadanya, dan budak perempuan itu dinilai harganya ketika ia hamil, lalu para sekutunya diberi bagian mereka dari harga tersebut, dan budak perempuan itu menjadi miliknya. Demikianlah praktik yang berlaku di kalangan kami.”

قَالَ مَالِكٌ فِي الرَّجُلِ يُحِلُّ لِلرَّجُلِ جَارِيَتَهُ: إِنَّهُ إِنْ أَصَابَهَا الَّذِي أُحِلَّتْ لَهُ قُوِّمَتْ عَلَيْهِ. يَوْمَ أَصَابَهَا حَمَلَتْ أَوْ لَمْ تَحْمِلْ وَدُرِئَ عَنْهُ الْحَدُّ بِذَلِكَ. فَإِنْ حَمَلَتْ أُلْحِقَ بِهِ الْوَلَدُ

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang menghalalkan budak perempuannya untuk laki-laki lain: “Jika laki-laki yang dihalalkan itu menggaulinya, maka budak perempuan itu dinilai harganya pada hari ia digauli, baik ia hamil maupun tidak, dan dengan itu had gugur darinya. Jika ia hamil, maka anaknya dinisbatkan kepadanya.”

قَالَ مَالِكٌ فِي الرَّجُلِ يَقَعُ عَلَى جَارِيَةِ ابْنِهِ أَوِ ابْنَتِهِ: أَنَّهُ يُدْرَأُ عَنْهُ الْحَدُّ. وَتُقَامُ عَلَيْهِ الْجَارِيَةُ حَمَلَتْ أَوْ لَمْ تَحْمِلْ

Malik berkata tentang seorang laki-laki yang menggauli budak perempuan anak laki-lakinya atau anak perempuannya: “Had gugur darinya, dan budak perempuan itu dinilai harganya, baik ia hamil maupun tidak.”

20 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، قَالَ لِرَجُلٍ خَرَجَ بِجَارِيَةٍ لِامْرَأَتِهِ مَعَهُ فِي سَفَرٍ. فَأَصَابَهَا فَغَارَتِ امْرَأَتُهُ. فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: وَهَبَتْهَا لِي. فَقَالَ عُمَرُ: لَتَأْتِينِي بِالْبَيِّنَةِ. أَوْ لَأَرْمِيَنَّكَ بِالْحِجَارَةِ. قَالَ: فَاعْتَرَفَتِ امْرَأَتُهُ أَنَّهَا وَهَبَتْهَا لَهُ

20 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abd ar-Rahman, bahwa ‘Umar bin al-Khattab berkata kepada seorang laki-laki yang bepergian membawa seorang jariyah milik istrinya bersamanya dalam suatu perjalanan. Laki-laki itu berhubungan dengannya, sehingga istrinya menjadi cemburu. Lalu istrinya menceritakan hal itu kepada ‘Umar bin al-Khattab, maka ‘Umar menanyainya tentang hal tersebut. Ia menjawab, “Ia telah memberikannya kepadaku.” Maka ‘Umar berkata, “Kamu harus mendatangkan bukti, atau aku benar-benar akan merajammu dengan batu.” Lalu istrinya mengakui bahwa ia memang telah memberikannya kepada suaminya.

بَابُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ

Bab tentang perkara yang mewajibkan pemotongan (tangan pencuri).

21 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ ثَمَنُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ

21 – Malik telah menceritakan kepadaku dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ memotong (tangan pencuri) karena mencuri perisai yang harganya tiga dirham.

22 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ الْمَكِّيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا قَطْعَ فِي ثَمَرٍ مُعَلَّقٍ. وَلَا فِي حَرِيسَةِ جَبَلٍ فَإِذَا آوَاهُ الْمُرَاحُ أَوِ الْجَرِينُ فَالْقَطْعُ فِيمَا يَبْلُغُ ثَمَنَ الْمِجَنِّ

22 – Dan Malik telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abdullah bin ‘Abd ar-Rahman bin Abi Husain al-Makki, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada pemotongan (tangan) karena mencuri buah yang masih tergantung, dan tidak pula pada hewan ternak yang berada di pegunungan. Namun jika telah dibawa ke tempat penggembalaan atau ke tempat penyimpanan, maka pemotongan (tangan) berlaku pada apa yang nilainya setara dengan harga perisai.”

23 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ سَارِقًا سَرَقَ فِي زَمَانِ عُثْمَانَ أُتْرُجَّةً فَأَمَرَ بِهَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ أَنْ تُقَوَّمَ. فَقُوِّمَتْ بِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ. مِنْ صَرْفِ اثْنَيْ عَشَرَ دِرْهَمًا بِدِينَارٍ. فَقَطَعَ عُثْمَانُ يَدَهُ

23 – Dan Malik telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abdullah bin Abi Bakr, dari ayahnya, dari ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman, bahwa seorang pencuri pada masa ‘Utsman mencuri sebuah utrujjah (buah sitrun), lalu ‘Utsman bin ‘Affan memerintahkan agar dinilai harganya. Maka dinilai seharga tiga dirham, dengan kurs dua belas dirham satu dinar. Maka ‘Utsman memotong tangannya.

24 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. أَنَّهَا قَالَتْ: مَا طَالَ عَلَيَّ. وَمَا نَسِيتُ الْقَطْعُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا

24 – Dan Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman, dari ‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata: “Selama aku hidup dan tidak lupa, pemotongan (tangan) itu berlaku pada seperempat dinar ke atas.”

25 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهَا قَالَتْ: خَرَجَتْ عَائِشَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَكَّةَ وَمَعَهَا مَوْلَاتَانِ لَهَا. وَمَعَهَا غُلَامٌ لِبَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَبَعَثَتْ مَعَ الْمَوْلَاتَيْنِ بِبُرْدٍ مُرَجَّلٍ قَدْ خِيطَ عَلَيْهِ خِرْقَةٌ خَضْرَاءُ قَالَتْ: فَأَخَذَ الْغُلَامُ الْبُرْدَ فَفَتَقَ عَنْهُ فَاسْتَخْرَجَهُ وَجَعَلَ مَكَانَهُ لِبْدًا أَوْ فَرْوَةً وَخَاطَ عَلَيْهِ فَلَمَّا قَدِمَتِ الْمَوْلَاتَانِ الْمَدِينَةَ دَفَعَتَا ذَلِكَ إِلَى أَهْلِهِ فَلَمَّا فَتَقُوا عَنْهُ وَجَدُوا فِيهِ اللِّبْدَ وَلَمْ يَجِدُوا الْبُرْدَ. فَكَلَّمُوا الْمَرْأَتَيْنِ فَكَلَّمَتَا عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ كَتَبَتَا إِلَيْهَا وَاتَّهَمَتَا الْعَبْدَ. فَسُئِلَ الْعَبْدُ عَنْ ذَلِكَ. فَاعْتَرَفَ. فَأَمَرَتْ بِهِ عَائِشَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَقُطِعَتْ يَدُهُ. وَقَالَتْ عَائِشَةُ: الْقَطْعُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا

25 – Dan Malik telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm, dari ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman, bahwa ia berkata: “‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, pernah pergi ke Makkah bersama dua orang budak perempuannya. Bersama mereka juga ada seorang anak laki-laki milik Bani ‘Abdullah bin Abi Bakr as-Siddiq. Lalu ‘Aisyah mengirimkan bersama kedua budak perempuan itu sebuah burd (kain) yang telah disisir dan dijahitkan di atasnya sepotong kain hijau. Ia berkata: Anak laki-laki itu mengambil burd tersebut, lalu membukanya dan mengeluarkannya, kemudian menggantinya dengan wol atau bulu domba dan menjahitnya kembali. Ketika kedua budak perempuan itu sampai di Madinah, mereka menyerahkan barang itu kepada keluarganya. Ketika mereka membukanya, mereka menemukan wol di dalamnya dan tidak menemukan burd itu. Lalu mereka berbicara kepada kedua perempuan itu, dan keduanya berbicara kepada ‘Aisyah istri Nabi ﷺ atau menulis surat kepadanya, dan mereka menuduh anak laki-laki itu. Maka anak laki-laki itu ditanya tentang hal itu, lalu ia mengakuinya. Maka ‘Aisyah, istri Nabi ﷺ, memerintahkan agar tangannya dipotong. Dan ‘Aisyah berkata: Pemotongan (tangan) berlaku pada seperempat dinar ke atas.”

وَقَالَ مَالِكٌ: أَحَبُّ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ إِلَيَّ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ. وَإِنِ ارْتَفَعَ الصَّرْفُ أَوِ اتَّضَعَ. وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍّ قِيمَتُهُ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ. وَأَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ قَطَعَ فِي أُتْرُجَّةٍ قُوِّمَتْ بِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ. وَهَذَا أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي ذَلِكَ

Dan Malik berkata: Yang paling aku sukai sebagai batas minimal yang mewajibkan pemotongan (tangan) adalah tiga dirham, baik nilai tukarnya naik maupun turun. Hal itu karena Rasulullah ﷺ memotong (tangan pencuri) pada perisai yang nilainya tiga dirham, dan ‘Utsman bin ‘Affan memotong (tangan pencuri) pada utrujjah yang dinilai tiga dirham. Inilah pendapat yang paling aku sukai dalam masalah ini.

بَابُ مَا جَاءَ فِي قَطْعِ الْآبِقِ وَالسَّارِقِ

Bab tentang apa yang datang mengenai pemotongan (tangan) budak yang melarikan diri dan pencuri.

26 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدًا لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، سَرَقَ وَهُوَ آبِقٌ فَأَرْسَلَ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ – وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ – لِيَقْطَعَ يَدَهُ فَأَبَى سَعِيدٌ أَنْ يَقْطَعَ يَدَهُ. وَقَالَ: لَا تُقْطَعُ يَدُ الْآبِقِ السَّارِقِ إِذَا سَرَقَ. فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فِي أَيِّ كِتَابِ اللَّهِ وَجَدْتَ هَذَا ثُمَّ أَمَرَ بِهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ فَقُطِعَتْ يَدُهُ

26 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, bahwa seorang budak milik ‘Abdullah bin ‘Umar mencuri saat ia sedang melarikan diri (abīq), maka ‘Abdullah bin ‘Umar mengirimnya kepada Sa‘id bin al-‘Ash — yang saat itu adalah amir Madinah — agar memotong tangannya. Namun Sa‘id menolak untuk memotong tangannya dan berkata, “Tangan budak yang melarikan diri dan mencuri tidak dipotong jika ia mencuri.” Maka ‘Abdullah bin ‘Umar berkata kepadanya, “Di kitab Allah yang mana engkau menemukan hal ini?” Kemudian ‘Abdullah bin ‘Umar memerintahkan agar budak itu dipotong tangannya, maka dipotonglah tangannya.

27 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَكِيمٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ أَخَذَ عَبْدًا آبِقًا. قَدْ سَرَقَ قَالَ: فَأَشْكَلَ عَلَيَّ أَمْرُهُ. قَالَ: فَكَتَبْتُ فِيهِ إِلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ وَهُوَ الْوَالِي يَوْمَئِذٍ. قَالَ: فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّنِي كُنْتُ أَسْمَعُ أَنَّ الْعَبْدَ الْآبِقَ إِذَا سَرَقَ وَهُوَ آبِقٌ لَمْ تُقْطَعْ يَدُهُ. قَالَ: فَكَتَبَ إِلَيَّ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ نَقِيضَ كِتَابِي يَقُولُ: كَتَبْتَ إِلَيَّ أَنَّكَ كُنْتَ تَسْمَعُ ” أَنَّ الْعَبْدَ الْآبِقَ إِذَا سَرَقَ لَمْ تُقْطَعْ يَدُهُ. وَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ فِي كِتَابِهِ {وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ} [المائدة: 38] فَإِنْ بَلَغَتْ سَرِقَتُهُ رُبُعَ دِينَارٍ فَصَاعِدًا فَاقْطَعْ يَدَهُ
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ، وَسَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، وَعُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ، كَانُوا يَقُولُونَ إِذَا سَرَقَ الْعَبْدُ الْآبِقُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ قُطِعَ

27 – Dan diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ruzaik bin Hakim bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa ia pernah menangkap seorang budak yang melarikan diri dan telah mencuri. Ia berkata, “Aku bingung dengan urusannya.” Ia berkata, “Maka aku menulis surat tentang hal itu kepada ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz untuk menanyakannya, dan saat itu ia adalah gubernur. Aku mengabarkan kepadanya bahwa aku pernah mendengar bahwa budak yang melarikan diri, jika ia mencuri saat dalam keadaan melarikan diri, maka tidak dipotong tangannya.” Ia berkata, “Maka ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz menulis surat balasan kepadaku, ia berkata: ‘Engkau menulis kepadaku bahwa engkau pernah mendengar bahwa budak yang melarikan diri jika mencuri tidak dipotong tangannya. Padahal Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman dalam kitab-Nya: {Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan, sebagai hukuman dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana} [al-Ma’idah: 38]. Maka jika nilai curiannya mencapai seperempat dinar atau lebih, potonglah tangannya.’”
Dan diriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa al-Qasim bin Muhammad, Salim bin ‘Abdullah, dan ‘Urwah bin al-Zubair, mereka berkata: “Jika budak yang melarikan diri mencuri sesuatu yang mewajibkan pemotongan (tangan), maka dipotong (tangannya).”

قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا أَنَّ الْعَبْدَ الْآبِقَ إِذَا سَرَقَ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ قُطِعَ “

Malik berkata, “Itulah perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami, bahwa budak yang melarikan diri jika mencuri sesuatu yang mewajibkan pemotongan (tangan), maka dipotong (tangannya).”

بَابُ تَرْكِ الشَّفَاعَةِ لِلسَّارِقِ إِذَا بَلَغَ السُّلْطَانَ

Bab: Larangan memberi syafaat kepada pencuri jika perkara telah sampai kepada penguasa.

28 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَفْوَانَ، أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ قِيلَ لَهُ: إِنَّهُ مَنْ لَمْ يُهَاجِرْ هَلَكَ فَقَدِمَ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ الْمَدِينَةَ فَنَامَ فِي الْمَسْجِدِ. وَتَوَسَّدَ رِدَاءَهُ. فَجَاءَ سَارِقٌ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ. فَأَخَذَ صَفْوَانُ السَّارِقَ فَجَاءَ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُقْطَعَ يَدُهُ فَقَالَ لَهُ صَفْوَانُ: إِنِّي لَمْ أُرِدْ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ هُوَ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَهَلَّا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ

28 – Dan diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibn Syihab, dari Shafwan bin ‘Abdullah bin Shafwan, bahwa Shafwan bin Umayyah dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya siapa yang tidak berhijrah akan binasa.” Maka Shafwan bin Umayyah pun datang ke Madinah, lalu tidur di masjid dan menjadikan selendangnya sebagai bantal. Lalu datanglah seorang pencuri dan mengambil selendangnya. Maka Shafwan menangkap pencuri itu dan membawanya kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar tangan pencuri itu dipotong. Maka Shafwan berkata, “Aku tidak bermaksud demikian, wahai Rasulullah, itu aku sedekahkan kepadanya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Mengapa tidak sebelum engkau membawanya kepadaku?”

29 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ، لَقِيَ رَجُلًا قَدْ أَخَذَ سَارِقًا. وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِهِ إِلَى السُّلْطَانِ. فَشَفَعَ لَهُ الزُّبَيْرُ لِيُرْسِلَهُ. فَقَالَ: لَا حَتَّى أَبْلُغَ بِهِ السُّلْطَانَ. فَقَالَ الزُّبَيْرُ: إِذَا بَلَغْتَ بِهِ السُّلْطَانَ فَلَعَنَ اللَّهُ الشَّافِعَ وَالْمُشَفِّعَ

29 – Dan diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abd al-Rahman, bahwa al-Zubair bin al-‘Awwam bertemu dengan seorang laki-laki yang telah menangkap seorang pencuri dan hendak membawanya kepada penguasa. Maka al-Zubair memberi syafaat agar ia melepaskannya. Laki-laki itu berkata, “Tidak, sampai aku membawanya kepada penguasa.” Maka al-Zubair berkata, “Jika engkau telah membawanya kepada penguasa, maka Allah melaknat orang yang memberi syafaat dan yang menerima syafaat.”

بَابُ جَامِعِ الْقَطْعِ

Bab: Kompilasi hukum potong tangan.

30 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ أَقْطَعَ الْيَدِ وَالرِّجْلِ قَدِمَ فَنَزَلَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَشَكَا إِلَيْهِ أَنَّ عَامِلَ الْيَمَنِ قَدْ ظَلَمَهُ. فَكَانَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ فَيَقُولُ أَبُو بَكْرٍ: وَأَبِيكَ مَا لَيْلُكَ بِلَيْلِ سَارِقٍ. ثُمَّ إِنَّهُمْ فَقَدُوا عِقْدًا لِأَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ امْرَأَةِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَطُوفُ مَعَهُمْ. وَيَقُولُ: اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِمَنْ بَيَّتَ أَهْلَ هَذَا الْبَيْتِ الصَّالِحِ. فَوَجَدُوا الْحُلِيَّ عِنْدَ صَائِغٍ. زَعَمَ أَنَّ الْأَقْطَعَ جَاءَهُ بِهِ فَاعْتَرَفَ بِهِ الْأَقْطَعُ، أَوْ شُهِدَ عَلَيْهِ بِهِ. فَأَمَرَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ فَقُطِعَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى. وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَاللَّهِ لَدُعَاؤُهُ عَلَى نَفْسِهِ أَشَدُّ عِنْدِي عَلَيْهِ مِنْ سَرِقَتِهِ قَالَ يَحْيَى

30 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, bahwa seorang laki-laki dari penduduk Yaman yang telah dipotong tangan dan kakinya datang dan singgah di rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia mengadukan kepadanya bahwa pejabat Yaman telah menzhaliminya. Laki-laki itu biasa shalat malam, lalu Abu Bakar berkata, “Demi ayahmu, malam harimu bukanlah malam seorang pencuri.” Kemudian, mereka kehilangan kalung milik Asma’ binti Umais, istri Abu Bakar Ash-Shiddiq, lalu laki-laki itu ikut berkeliling bersama mereka dan berkata, “Ya Allah, timpakanlah kepada siapa yang telah mengganggu penghuni rumah yang saleh ini.” Lalu mereka menemukan perhiasan itu di tempat seorang tukang emas, yang mengaku bahwa laki-laki yang terpotong itu datang membawanya kepadanya. Laki-laki yang terpotong itu pun mengakuinya, atau ada saksi atasnya. Maka Abu Bakar Ash-Shiddiq memerintahkan agar tangan kirinya dipotong. Abu Bakar berkata, “Demi Allah, doanya terhadap dirinya sendiri lebih berat bagiku atasnya daripada pencuriannya.” Yahya berkata:

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الَّذِي يَسْرِقُ مِرَارًا ثُمَّ يُسْتَعْدَى عَلَيْهِ: إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ إِلَّا أَنْ تُقْطَعَ يَدُهُ لِجَمِيعِ مَنْ سَرَقَ مِنْهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ أُقِيمَ عَلَيْهِ الْحَدُّ. فَإِنْ كَانَ قَدْ أُقِيمَ عَلَيْهِ الْحَدُّ قَبْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ سَرَقَ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ، قُطِعَ أَيْضًا.

Malik berkata: Pendapat kami mengenai orang yang mencuri berulang kali lalu diadukan kepadanya adalah: tidak ada atasnya kecuali dipotong tangannya untuk semua orang yang telah ia curi darinya, selama belum ditegakkan had atasnya. Jika telah ditegakkan had atasnya sebelumnya, kemudian ia mencuri lagi sesuatu yang mewajibkan pemotongan, maka dipotong juga.

31 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّ أَبَا الزِّنَادِ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَامِلًا لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَخَذَ نَاسًا فِي حِرَابَةٍ وَلَمْ يَقْتُلُوا أَحَدًا فَأَرَادَ أَنْ يَقْطَعَ أَيْدِيَهُمْ أَوْ يَقْتُلَ، فَكَتَبَ إِلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فِي ذَلِكَ فَكَتَبَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: لَوْ أَخَذْتَ بِأَيْسَرِ ذَلِكَ قَالَ يَحْيَى وسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الَّذِي يَسْرِقُ أَمْتِعَةَ النَّاسِ الَّتِي تَكُونُ مَوْضُوعَةً بِالْأَسْوَاقِ مُحْرَزَةً قَدْ أَحْرَزَهَا أَهْلُهَا فِي أَوْعِيَتِهِمْ وَضَمُّوا بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ: إِنَّهُ مَنْ سَرَقَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا مِنْ حِرْزِهِ فَبَلَغَ قِيمَتُهُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ فَإِنَّ عَلَيْهِ الْقَطْعَ سَوَاءٌ كَانَ صَاحِبُ الْمَتَاعِ عِنْدَ مَتَاعِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَيْلًا ذَلِكَ أَوْ نَهَارًا

31 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, bahwa Abu Az-Zinad mengabarkan kepadanya bahwa seorang pejabat Umar bin Abdul Aziz menangkap sekelompok orang karena melakukan hirabah (perampokan bersenjata), namun mereka tidak membunuh siapa pun. Ia ingin memotong tangan mereka atau membunuh mereka, lalu ia menulis surat kepada Umar bin Abdul Aziz tentang hal itu. Maka Umar bin Abdul Aziz menulis kepadanya: “Seandainya engkau mengambil tindakan yang paling ringan dari itu.” Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata, “Pendapat kami mengenai orang yang mencuri barang-barang milik orang-orang yang diletakkan di pasar, yang telah diamankan oleh pemiliknya dalam wadah-wadah mereka dan mereka mengumpulkan sebagian dengan sebagian yang lain: barang siapa mencuri sesuatu dari tempat aman itu, dan nilainya mencapai batas yang mewajibkan pemotongan, maka wajib dipotong tangannya, baik pemilik barang berada di dekat barangnya atau tidak, baik itu terjadi di malam hari atau siang hari.”

قَالَ مَالِكٌ فِي الَّذِي يَسْرِقُ: مَا يَجِبُ عَلَيْهِ فِيهِ الْقَطْعُ ثُمَّ يُوجَدُ مَعَهُ مَا سَرَقَ فَيُرَدُّ إِلَى صَاحِبِهِ إِنَّهُ تُقْطَعُ يَدُهُ.

Malik berkata mengenai orang yang mencuri sesuatu yang mewajibkan pemotongan, kemudian barang curian itu ditemukan bersamanya dan dikembalikan kepada pemiliknya: maka tetap dipotong tangannya.

قَالَ مَالِكٌ فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: كَيْفَ تُقْطَعُ يَدُهُ وَقَدْ أُخِذَ الْمَتَاعُ مِنْهُ وَدُفِعَ إِلَى صَاحِبِهِ؟ فَإِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الشَّارِبِ. يُوجَدُ مِنْهُ رِيحُ الشَّرَابِ الْمُسْكِرِ. وَلَيْسَ بِهِ سُكْرٌ فَيُجْلَدُ الْحَدَّ. قَالَ: وَإِنَّمَا يُجْلَدُ الْحَدَّ فِي الْمُسْكِرِ إِذَا شَرِبَهُ. وَإِنْ لَمْ يُسْكِرْهُ وَذَلِكَ أَنَّهُ إِنَّمَا شَرِبَهُ لِيُسْكِرَهُ. فَكَذَلِكَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي السَّرِقَةِ. الَّتِي أُخِذَتْ مِنْهُ وَلَوْ لَمْ يَنْتَفِعْ بِهَا. وَرَجَعَتْ إِلَى صَاحِبِهَا وَإِنَّمَا سَرَقَهَا حِينَ سَرَقَهَا لِيَذْهَبَ بِهَا.

Malik berkata: Jika ada yang bertanya, “Bagaimana mungkin tangannya dipotong padahal barang itu telah diambil darinya dan dikembalikan kepada pemiliknya?” Maka itu seperti orang yang minum khamr, ditemukan padanya bau minuman memabukkan, namun ia tidak mabuk, tetap ditegakkan had atasnya. Ia tetap dijatuhi had atas minuman memabukkan jika ia meminumnya, meskipun tidak membuatnya mabuk, karena ia meminumnya memang untuk membuatnya mabuk. Demikian pula, tangan pencuri dipotong dalam kasus pencurian, meskipun barang itu telah diambil darinya dan ia tidak sempat memanfaatkannya, serta barang itu telah kembali kepada pemiliknya. Karena ia mencurinya pada saat mencuri memang untuk membawanya pergi.

قَالَ مَالِكٌ فِي الْقَوْمِ يَأْتُونَ إِلَى الْبَيْتِ فَيَسْرِقُونَ مِنْهُ جَمِيعًا فَيَخْرُجُونَ بِالْعِدْلِ يَحْمِلُونَهُ جَمِيعًا أَوِ الصُّنْدُوقِ أَوِ الْخَشَبَةِ أَوْ بِالْمِكْتَلِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ: ” مِمَّا يَحْمِلُهُ الْقَوْمُ جَمِيعًا إِنَّهُمْ إِذَا أَخْرَجُوا ذَلِكَ مِنْ حِرْزِهِ. وَهُمْ يَحْمِلُونَهُ جَمِيعًا. فَبَلَغَ ثَمَنُ مَا خَرَجُوا بِهِ مِنْ ذَلِكَ. مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ. وَذَلِكَ ثَلَاثَةُ دَرَاهِمَ فَصَاعِدًا فَعَلَيْهِمُ الْقَطْعُ جَمِيعًا. قَالَ: وَإِنْ خَرَجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِمَتَاعٍ عَلَى حِدَتِهِ. فَمَنْ خَرَجَ مِنْهُمْ بِمَا تَبْلُغُ قِيمَتُهُ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ فَصَاعِدًا فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ. وَمَنْ لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُمْ بِمَا تَبْلُغُ قِيمَتُهُ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ ” قَالَ يَحْيَى:

Malik berkata tentang sekelompok orang yang datang ke sebuah rumah lalu mereka mencuri darinya secara bersama-sama, kemudian mereka keluar membawa barang curian itu bersama-sama, baik berupa karung, peti, kayu, keranjang, atau yang semisalnya—yaitu barang yang dibawa bersama-sama oleh sekelompok orang—bahwa jika mereka mengeluarkan barang itu dari tempat penyimpanannya sementara mereka membawanya bersama-sama, dan nilai barang yang mereka bawa itu mencapai harga yang mewajibkan pemotongan tangan, yaitu tiga dirham atau lebih, maka mereka semua wajib dikenai hukuman potong tangan. Ia berkata: Jika masing-masing dari mereka keluar membawa barang sendiri-sendiri, maka siapa di antara mereka yang membawa barang yang nilainya mencapai tiga dirham atau lebih, maka atasnya berlaku hukuman potong tangan. Dan siapa yang tidak membawa barang yang nilainya mencapai tiga dirham, maka tidak ada hukuman potong tangan atasnya.” Yahya berkata:

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ إِذَا كَانَتْ دَارُ رَجُلٍ مُغْلَقَةً عَلَيْهِ لَيْسَ مَعَهُ فِيهَا غَيْرُهُ فَإِنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَى مَنْ سَرَقَ مِنْهَا شَيْئًا الْقَطْعُ حَتَّى يَخْرُجَ بِهِ مِنَ الدَّارِ كُلِّهَا. وَذَلِكَ أَنَّ الدَّارَ كُلَّهَا هِيَ حِرْزُهُ فَإِنْ كَانَ مَعَهُ فِي الدَّارِ سَاكِنٌ غَيْرُهُ وَكَانَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ يُغْلِقُ عَلَيْهِ بَابَهُ وَكَانَتْ حِرْزًا لَهُمْ جَمِيعًا فَمَنْ سَرَقَ مِنْ بُيُوتِ تِلْكَ الدَّارِ شَيْئًا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ فَخَرَجَ بِهِ إِلَى الدَّارِ فَقَدْ أَخْرَجَهُ مِنْ حِرْزِهِ إِلَى غَيْرِ حِرْزِهِ وَوَجَبَ عَلَيْهِ فِيهِ الْقَطْعُ

Malik berkata: Menurut kami, jika rumah seseorang tertutup rapat dan tidak ada orang lain di dalamnya selain dirinya, maka siapa pun yang mencuri sesuatu dari rumah itu tidak wajib dipotong tangannya sampai ia keluar membawa barang itu dari seluruh bagian rumah. Hal itu karena seluruh rumah adalah tempat penyimpanannya (ḥirz). Namun, jika ada penghuni lain di rumah itu selain dirinya, dan masing-masing dari mereka menutup pintunya sendiri, dan rumah itu menjadi tempat penyimpanan bagi mereka semua, maka siapa pun yang mencuri sesuatu dari kamar-kamar rumah itu yang mewajibkan potong tangan, lalu ia keluar membawanya ke bagian rumah yang lain, maka ia telah mengeluarkannya dari tempat penyimpanannya ke tempat yang bukan penyimpanannya, dan wajib atasnya hukuman potong tangan.

قَالَ مَالِكٌ وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْعَبْدِ يَسْرِقُ مِنْ مَتَاعِ سَيِّدِهِ: ” أَنَّهُ إِنْ كَانَ لَيْسَ مِنْ خَدَمِهِ. وَلَا مِمَّنْ يَأْمَنُ عَلَى بَيْتِهِ. ثُمَّ دَخَلَ سِرًّا. فَسَرَقَ مِنْ مَتَاعِ سَيِّدِهِ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ. فَلَا قَطْعَ عَلَيْهِ. وَكَذَلِكَ الْأَمَةُ إِذَا سَرَقَتْ مِنْ مَتَاعِ سَيِّدِهَا. لَا قَطْعَ عَلَيْهَا. وَقَالَ فِي الْعَبْدِ لَا يَكُونُ مِنْ خَدَمِهِ. وَلَا مِمَّنْ يَأْمَنُ عَلَى بَيْتِهِ. فَدَخَلَ سِرًّا. فَسَرَقَ مِنْ مَتَاعِ امْرَأَةِ سَيِّدِهِ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ إِنَّهُ تُقْطَعُ يَدُهُ. قَالَ: وَكَذَلِكَ أَمَةُ الْمَرْأَةِ إِذَا كَانَتْ لَيْسَتْ بِخَادِمٍ لَهَا. وَلَا لِزَوْجِهَا وَلَا مِمَّنْ تَأْمَنُ عَلَى بَيْتِهَا. فَدَخَلَتْ سِرًّا فَسَرَقَتْ مِنْ مَتَاعِ سَيِّدَتِهَا مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ فَلَا قَطْعَ عَلَيْهَا

Malik berkata, dan pendapat kami tentang budak yang mencuri dari harta tuannya: “Jika ia bukan termasuk pelayan tuannya, dan bukan pula orang yang dipercaya untuk menjaga rumahnya, kemudian ia masuk secara diam-diam lalu mencuri dari harta tuannya sesuatu yang mewajibkan potong tangan, maka tidak ada hukuman potong tangan atasnya. Demikian pula budak perempuan jika mencuri dari harta tuannya, tidak ada hukuman potong tangan atasnya. Dan ia berkata tentang budak yang bukan pelayan tuannya, dan bukan pula orang yang dipercaya untuk menjaga rumahnya, lalu ia masuk secara diam-diam dan mencuri dari harta istri tuannya sesuatu yang mewajibkan potong tangan, maka tangannya dipotong. Ia berkata: Demikian pula budak perempuan milik seorang wanita, jika ia bukan pelayan bagi wanita itu, atau bagi suaminya, dan bukan pula orang yang dipercaya untuk menjaga rumahnya, lalu ia masuk secara diam-diam dan mencuri dari harta majikannya sesuatu yang mewajibkan potong tangan, maka tidak ada hukuman potong tangan atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ أَمَةُ الْمَرْأَةِ الَّتِي لَا تَكُونُ مِنْ خَدَمِهَا. وَلَا مِمَّنْ تَأْمَنُ عَلَى بَيْتِهَا. فَدَخَلَتْ سِرًّا فَسَرَقَتْ مِنْ مَتَاعِ زَوْجِ سَيِّدَتِهَا مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ أَنَّهَا تُقْطَعُ يَدُهَا

Malik berkata: Demikian pula budak perempuan milik seorang wanita yang bukan pelayan bagi wanita itu, dan bukan pula orang yang dipercaya untuk menjaga rumahnya, lalu ia masuk secara diam-diam dan mencuri dari harta suami majikannya sesuatu yang mewajibkan potong tangan, maka tangannya dipotong.

قَالَ مَالِكٌ وَكَذَلِكَ الرَّجُلُ يَسْرِقُ مِنْ مَتَاعِ امْرَأَتِهِ. أَوِ الْمَرْأَةُ تَسْرِقُ مِنْ مَتَاعِ زَوْجِهَا مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ: إِنْ كَانَ الَّذِي سَرَقَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ مَتَاعِ صَاحِبِهِ فِي بَيْتٍ سِوَى الْبَيْتِ الَّذِي يُغْلِقَانِ عَلَيْهِمَا. وَكَانَ فِي حِرْزٍ سِوَى الْبَيْتِ الَّذِي هُمَا فِيهِ. فَإِنَّ مَنْ سَرَقَ مِنْهُمَا مِنْ مَتَاعِ صَاحِبِهِ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ. فَعَلَيْهِ الْقَطْعُ فِيهِ

Malik berkata: Demikian pula seorang laki-laki yang mencuri dari harta istrinya, atau seorang wanita yang mencuri dari harta suaminya, sesuatu yang mewajibkan potong tangan: jika yang mencuri di antara keduanya mengambil dari harta pasangannya di kamar yang berbeda dari kamar yang mereka berdua tempati, dan barang itu berada di tempat penyimpanan yang berbeda dari kamar yang mereka tempati, maka siapa pun di antara mereka yang mencuri dari harta pasangannya sesuatu yang mewajibkan potong tangan, maka atasnya berlaku hukuman potong tangan.

قَالَ مَالِكٌ فِي الصَّبِيِّ الصَّغِيرِ وَالْأَعْجَمِيِّ الَّذِي لَا يُفْصِحُ: ” أَنَّهُمَا إِذَا سُرِقَا مِنْ حِرْزِهِمَا أَوْ غَلْقِهِمَا. فَعَلَى مَنْ سَرَقَهُمَا الْقَطْعُ. وَإِنْ خَرَجَا مِنْ حِرْزِهِمَا وَغَلْقِهِمَا. فَلَيْسَ عَلَى مَنْ سَرَقَهُمَا قَطْعٌ. قَالَ: وَإِنَّمَا هُمَا بِمَنْزِلَةِ حَرِيسَةِ الْجَبَلِ وَالثَّمَرِ الْمُعَلَّقِ

Malik berkata tentang anak kecil dan orang asing yang tidak fasih: “Jika keduanya dicuri dari tempat penyimpanan atau penutup mereka, maka atas orang yang mencuri mereka berlaku hukuman potong tangan. Namun jika keduanya keluar dari tempat penyimpanan atau penutup mereka, maka tidak ada hukuman potong tangan atas orang yang mencuri mereka. Ia berkata: Keduanya dalam hal ini seperti hewan penjaga gunung dan buah-buahan yang tergantung.

قَالَ مَالِكٌ وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الَّذِي يَنْبِشُ الْقُبُورَ: ” أَنَّهُ إِذَا بَلَغَ مَا أَخْرَجَ مِنَ الْقَبْرِ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ. فَعَلَيْهِ فِيهِ الْقَطْعُ.

Malik berkata, dan pendapat kami tentang orang yang membongkar kuburan: “Jika barang yang ia keluarkan dari kubur mencapai nilai yang mewajibkan potong tangan, maka atasnya berlaku hukuman potong tangan.”

وقَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ أَنَّ الْقَبْرَ حِرْزٌ لِمَا فِيهِ كَمَا أَنَّ الْبُيُوتَ حِرْزٌ لِمَا فِيهَا. قَالَ: وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ الْقَطْعُ حَتَّى يَخْرُجَ بِهِ مِنَ الْقَبْرِ

Malik berkata: Hal itu karena kubur adalah tempat yang melindungi apa yang ada di dalamnya, sebagaimana rumah-rumah adalah tempat yang melindungi apa yang ada di dalamnya. Ia berkata: Maka tidak wajib dipotong (tangan pencuri) sampai ia keluar dari kubur membawa barang tersebut.

بَابُ مَا لَا قَطْعَ فِيهِ

Bab tentang perkara yang tidak ada hukuman potong tangan di dalamnya.

32 – وحَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ، وَحَدَّثَنِي يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، أَنَّ عَبْدًا سَرَقَ وَدِيًّا مِنْ حَائِطِ رَجُلٍ. فَغَرَسَهُ فِي حَائِطِ سَيِّدِهِ. فَخَرَجَ صَاحِبُ الْوَدِيِّ يَلْتَمِسُ وَدِيَّهُ فَوَجَدَهُ. فَاسْتَعْدَى عَلَى الْعَبْدِ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ فَسَجَنَ مَرْوَانُ الْعَبْدَ وَأَرَادَ قَطْعَ يَدِهِ. فَانْطَلَقَ سَيِّدُ الْعَبْدِ إِلَى رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ. فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا قَطْعَ فِي ثَمَرٍ. وَلَا كَثَرٍ وَالْكَثَرُ الْجُمَّارُ. فَقَالَ الرَّجُلُ: فَإِنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ، أَخَذَ غُلَامًا لِي. وَهُوَ يُرِيدُ قَطْعَهُ. وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ تَمْشِيَ مَعِيَ إِلَيْهِ فَتُخْبِرَهُ بِالَّذِي سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَشَى مَعَهُ رَافِعٌ إِلَى مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ فَقَالَ: أَخَذْتَ غُلَامًا لِهَذَا. فَقَالَ: نَعَمْ. فَقَالَ: فَمَا أَنْتَ صَانِعٌ بِهِ. قَالَ: أَرَدْتُ قَطْعَ يَدِهِ. فَقَالَ لَهُ رَافِعٌ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا قَطْعَ فِي ثَمَرٍ وَلَا كَثَرٍ فَأَمَرَ مَرْوَانُ بِالْعَبْدِ فَأُرْسِلَ

32 – Yahya telah menceritakan kepadaku dari Malik, dan Yahya bin Sa‘id juga telah menceritakan kepadaku, dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, bahwa seorang budak mencuri pohon kurma muda dari kebun seorang laki-laki, lalu ia menanamnya di kebun tuannya. Kemudian pemilik pohon kurma muda itu keluar mencari pohonnya dan menemukannya. Ia lalu mengadukan budak itu kepada Marwan bin al-Hakam, maka Marwan memenjarakan budak tersebut dan bermaksud memotong tangannya. Lalu tuan budak itu pergi kepada Rafi‘ bin Khadij dan menanyakan hal tersebut kepadanya. Maka Rafi‘ memberitahunya bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada potong tangan dalam (pencurian) buah-buahan dan tidak pula dalam kathar (inti pohon kurma).” Laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya Marwan bin al-Hakam telah menangkap budakku dan ia ingin memotong tangannya. Aku ingin engkau pergi bersamaku menemuinya dan memberitahukan kepadanya apa yang engkau dengar dari Rasulullah ﷺ.” Maka Rafi‘ pun pergi bersamanya menemui Marwan bin al-Hakam, lalu berkata: “Engkau telah menangkap budak laki-laki orang ini.” Marwan menjawab: “Ya.” Rafi‘ bertanya: “Apa yang akan engkau lakukan terhadapnya?” Marwan menjawab: “Aku bermaksud memotong tangannya.” Maka Rafi‘ berkata kepadanya: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak ada potong tangan dalam (pencurian) buah-buahan dan tidak pula dalam kathar.” Maka Marwan memerintahkan agar budak itu dibebaskan.

33 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْحَضْرَمِيِّ جَاءَ بِغُلَامٍ لَهُ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ: اقْطَعْ يَدَ غُلَامِي هَذَا فَإِنَّهُ سَرَقَ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: مَاذَا سَرَقَ؟ فَقَالَ: سَرَقَ مِرْآةً لِامْرَأَتِي ثَمَنُهَا سِتُّونَ دِرْهَمًا. فَقَالَ عُمَرُ: أَرْسِلْهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَطْعٌ خَادِمُكُمْ سَرَقَ مَتَاعَكُمْ

33 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari as-Sa’ib bin Yazid, bahwa Abdullah bin ‘Amr bin al-Hadhrami membawa seorang budaknya kepada ‘Umar bin al-Khaththab dan berkata kepadanya: “Potonglah tangan budakku ini, karena ia telah mencuri.” ‘Umar bertanya kepadanya: “Apa yang ia curi?” Ia menjawab: “Ia mencuri cermin milik istriku yang harganya enam puluh dirham.” Maka ‘Umar berkata: “Lepaskan dia, tidak ada hukuman potong tangan atasnya. Pelayan kalian mencuri barang milik kalian sendiri.”

34 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ، أُتِيَ بِإِنْسَانٍ قَدِ اخْتَلَسَ مَتَاعًا فَأَرَادَ قَطْعَ يَدِهِ. فَأَرْسَلَ إِلَى زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ يَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ. فَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ: لَيْسَ فِي الْخُلْسَةِ قَطْعٌ

34 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa Marwan bin al-Hakam didatangkan seorang yang telah mengambil barang secara sembunyi-sembunyi, lalu Marwan bermaksud memotong tangannya. Maka ia mengirim utusan kepada Zaid bin Tsabit untuk menanyakan hal itu. Zaid bin Tsabit berkata: “Tidak ada hukuman potong tangan dalam pencurian secara sembunyi-sembunyi (khulsa).”

35 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، أَنَّهُ أَخَذَ نَبَطِيًّا قَدْ سَرَقَ خَوَاتِمَ مِنْ حَدِيدٍ. فَحَبَسَهُ لِيَقْطَعَ يَدَهُ. فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ عَمْرَةُ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَوْلَاةً لَهَا يُقَالُ لَهَا أُمَيَّةُ قَالَ: أَبُو بَكْرٍ: فَجَاءَتْنِي وَأَنَا بَيْنَ ظَهْرَانَيِ النَّاسِ. فَقَالَتْ: تَقُولُ لَكَ خَالَتُكَ عَمْرَةُ: يَا ابْنَ أُخْتِي أَخَذْتَ نَبَطِيًّا فِي شَيْءٍ يَسِيرٍ ذُكِرَ لِي فَأَرَدْتَ قَطْعَ يَدِهِ. قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَتْ: فَإِنَّ عَمْرَةَ تَقُولُ لَكَ: لَا قَطْعَ إِلَّا فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا. قَالَ أَبُو بَكْرٍ: فَأَرْسَلْتُ النَّبَطِيَّ

35 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia berkata: Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm memberitahuku bahwa ia pernah menangkap seorang Nabathi yang telah mencuri cincin-cincin dari besi. Maka ia menahannya untuk memotong tangannya. Lalu ‘Amrah binti ‘Abdurrahman mengutus seorang budaknya yang bernama Umayyah kepadanya. Abu Bakar berkata: Ia datang kepadaku saat aku sedang berada di tengah-tengah orang banyak. Ia berkata: “Bibimu ‘Amrah berkata kepadamu: Wahai anak saudaraku, engkau telah menangkap seorang Nabathi karena sesuatu yang sedikit, sebagaimana yang diceritakan kepadaku, lalu engkau ingin memotong tangannya?” Aku menjawab: “Ya.” Ia berkata: “Sesungguhnya ‘Amrah berkata kepadamu: Tidak ada potong tangan kecuali pada pencurian senilai seperempat dinar ke atas.” Abu Bakar berkata: Maka aku pun membebaskan Nabathi itu.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي اعْتِرَافِ الْعَبِيدِ أَنَّهُ مَنِ اعْتَرَفَ مِنْهُمْ عَلَى نَفْسِهِ بِشَيْءٍ. يَقَعُ الْحَدُّ فِيهِ أَوِ الْعُقُوبَةُ فِيهِ فِي جَسَدِهِ فَإِنَّ اعْتِرَافَهُ جَائِزٌ عَلَيْهِ وَلَا يُتَّهَمُ أَنْ يُوقِعَ عَلَى نَفْسِهِ هَذَا.

Malik berkata: Adapun perkara yang telah menjadi kesepakatan di kalangan kami mengenai pengakuan para budak adalah bahwa siapa saja di antara mereka yang mengakui atas dirinya sendiri suatu perkara yang menyebabkan had atau hukuman pada tubuhnya, maka pengakuannya itu sah atas dirinya dan tidak dituduh bahwa ia sengaja menimpakan hal itu pada dirinya sendiri.

قَالَ مَالِكٌ: وَأَمَّا مَنِ اعْتَرَفَ مِنْهُمْ. بِأَمْرٍ يَكُونُ غُرْمًا عَلَى سَيِّدِهِ. فَإِنَّ اعْتِرَافَهُ غَيْرُ جَائِزٍ عَلَى سَيِّدِهِ.

Malik berkata: Adapun jika di antara mereka ada yang mengakui suatu perkara yang menimbulkan tanggungan (ganti rugi) atas tuannya, maka pengakuannya itu tidak sah atas tuannya.

قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ عَلَى الْأَجِيرِ وَلَا عَلَى الرَّجُلِ يَكُونَانِ مَعَ الْقَوْمِ يَخْدُمَانِهِمْ. إِنْ سَرَقَاهُمْ قَطْعٌ. لِأَنَّ حَالَهُمَا لَيْسَتْ بِحَالِ السَّارِقِ. وَإِنَّمَا حَالُهُمَا حَالُ الْخَائِنِ. وَلَيْسَ عَلَى الْخَائِنِ قَطْعٌ.

Malik berkata: Tidak ada hukuman potong tangan atas pekerja upahan maupun laki-laki yang bersama suatu kaum melayani mereka, jika mereka mencuri dari mereka. Karena keadaan mereka tidak sama dengan keadaan pencuri, melainkan keadaan mereka seperti pengkhianat, dan tidak ada hukuman potong tangan atas pengkhianat.

قَالَ مَالِكٌ فِي الَّذِي يَسْتَعِيرُ الْعَارِيَةَ فَيَجْحَدُهَا: إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ قَطْعٌ. وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ مَثَلُ رَجُلٍ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ دَيْنٌ فَجَحَدَهُ ذَلِكَ. فَلَيْسَ عَلَيْهِ فِيمَا جَحَدَهُ قَطْعٌ.

Malik berkata tentang seseorang yang meminjam barang pinjaman lalu mengingkarinya: Sesungguhnya tidak dikenakan hukuman potong tangan atasnya. Hal itu seperti seseorang yang memiliki piutang atas orang lain lalu orang itu mengingkarinya. Maka tidak ada hukuman potong tangan atas apa yang diingkarinya itu.

قَالَ مَالِكٌ الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا فِي السَّارِقِ يُوجَدُ فِي الْبَيْتِ قَدْ جَمَعَ الْمَتَاعَ وَلَمْ يَخْرُجْ بِهِ: إِنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ قَطْعٌ وَإِنَّمَا مَثَلُ ذَلِكَ. كَمَثَلِ رَجُلٍ وَضَعَ بَيْنَ يَدَيْهِ خَمْرًا لِيَشْرَبَهَا. فَلَمْ يَفْعَلْ. فَلَيْسَ عَلَيْهِ حَدٌّ. وَمَثَلُ ذَلِكَ رَجُلٌ جَلَسَ مِنِ امْرَأَةٍ مَجْلِسًا وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يُصِيبَهَا حَرَامًا. فَلَمْ يَفْعَلْ. وَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ مِنْهَا. فَلَيْسَ عَلَيْهِ أَيْضًا فِي ذَلِكَ حَدٌّ.

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi ijmā‘ di kalangan kami mengenai pencuri yang ditemukan di dalam rumah telah mengumpulkan barang-barang namun belum keluar membawanya: maka tidak dikenakan hukuman potong tangan atasnya. Hal itu seperti seseorang yang meletakkan khamar di hadapannya untuk diminum, namun tidak jadi melakukannya, maka tidak ada hukuman had atasnya. Demikian pula seperti seseorang yang duduk bersama seorang wanita dengan niat ingin berbuat haram dengannya, namun tidak melakukannya dan tidak sampai melakukan perbuatan itu, maka tidak ada pula hukuman had atasnya.

قَالَ مَالِكٌ الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْخُلْسَةِ قَطْعٌ بَلَغَ ثَمَنُهَا مَا يُقْطَعُ فِيهِ أَوْ لَمْ يَبْلُغْ

Malik berkata: Ketentuan yang telah menjadi ijmā‘ di kalangan kami adalah bahwa tidak ada hukuman potong tangan dalam kasus pencurian secara sembunyi-sembunyi (khulsa), baik nilainya mencapai batas yang mewajibkan potong tangan maupun tidak.

42 – كِتَابُ الْأَشْرِبَةِ

بَابُ الْحَدِّ فِي الْخَمْرِ

Bab Hukuman Had atas Khamar

1 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، خَرَجَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ: إِنِّي وَجَدْتُ مِنْ فُلَانٍ رِيحَ شَرَابٍ. فَزَعَمَ أَنَّهُ شَرَابُ الطِّلَاءِ وَأَنَا سَائِلٌ عَمَّا شَرِبَ. فَإِنْ كَانَ يُسْكِرُ جَلَدْتُهُ فَجَلَدَهُ عُمَرُ الْحَدَّ تَامًّا

1 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari As-Sa’ib bin Yazid, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa Umar bin Al-Khaththab keluar menemui mereka lalu berkata: “Aku mendapati dari si Fulan bau minuman.” Ia mengaku bahwa itu adalah minuman thila’ (minuman yang difermentasi dari getah pohon), dan aku akan menanyakan apa yang diminumnya. Jika ternyata memabukkan, aku akan mencambuknya.” Maka Umar mencambuknya dengan hukuman had secara sempurna.

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، اسْتَشَارَ فِي الْخَمْرِ يَشْرَبُهَا الرَّجُلُ فَقَالَ لَهُ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: نَرَى أَنْ تَجْلِدَهُ ثَمَانِينَ. فَإِنَّهُ إِذَا شَرِبَ سَكِرَ. وَإِذَا سَكِرَ هَذَى، وَإِذَا هَذَى، افْتَرَى. أَوْ كَمَا قَالَ: فَجَلَدَ عُمَرُ فِي الْخَمْرِ ثَمَانِينَ

2 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Tsaura bin Zaid Ad-Daili, bahwa Umar bin Al-Khaththab bermusyawarah tentang khamar yang diminum seseorang. Maka Ali bin Abi Thalib berkata kepadanya: “Menurut kami, hendaknya engkau mencambuknya delapan puluh kali, karena jika ia minum maka ia akan mabuk, dan jika mabuk ia akan mengigau, dan jika mengigau ia akan berbuat dusta (qadzaf).” Atau sebagaimana ia katakan. Maka Umar mencambuk dalam perkara khamar sebanyak delapan puluh kali.

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ حَدِّ الْعَبْدِ فِي الْخَمْرِ؟ فَقَالَ بَلَغَنِي أَنَّ عَلَيْهِ نِصْفَ حَدِّ الْحُرِّ فِي الْخَمْرِ، وَأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَدْ جَلَدُوا عَبِيدَهُمْ نِصْفَ حَدِّ الْحُرِّ فِي الْخَمْرِ “

3 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa ia ditanya tentang hukuman had bagi budak dalam perkara khamar? Ia berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa atasnya setengah dari hukuman had orang merdeka dalam perkara khamar, dan bahwa Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Abdullah bin Umar telah mencambuk budak-budak mereka setengah dari hukuman had orang merdeka dalam perkara khamar.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، يَقُولُ: مَا مِنْ شَيْءٍ إِلَّا اللَّهُ يُحِبُّ أَنْ يُعْفَى عَنْهُ مَا لَمْ يَكُنْ حَدًّا

4 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, bahwa ia mendengar Sa’id bin Al-Musayyib berkata: “Tidak ada sesuatu pun kecuali Allah menyukai agar dimaafkan darinya selama itu bukan hukuman had.”

قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: وَالسُّنَّةُ عِنْدَنَا أَنَّ كُلَّ مَنْ شَرِبَ شَرَابًا مُسْكِرًا فَسَكِرَ أَوْ لَمْ يَسْكَرْ فَقَدْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَدُّ

Yahya berkata: Malik berkata: Sunnah di kalangan kami adalah bahwa setiap orang yang meminum minuman memabukkan, baik ia mabuk maupun tidak, maka wajib atasnya hukuman had.

بَابُ مَا يُنْهَى أَنْ يُنْبَذَ فِيهِ

Bab Larangan Memfermentasi dalam Wadah Tertentu

5 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَأَقْبَلْتُ نَحْوَهُ. فَانْصَرَفَ قَبْلَ أَنْ أَبْلُغَهُ. فَسَأَلْتُ مَاذَا قَالَ؟ فَقِيلَ لِي: نَهَى أَنْ يُنْبَذَ فِي الدُّبَّاءِ وَالْمُزَفَّتِ

5 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ berkhutbah kepada manusia dalam salah satu peperangannya. Abdullah bin Umar berkata: “Maka aku mendekat ke arahnya, namun beliau telah selesai sebelum aku sampai kepadanya. Maka aku bertanya, ‘Apa yang beliau katakan?’ Maka dikatakan kepadaku: ‘Beliau melarang memfermentasi (minuman) dalam ad-dubba’ (labu kering) dan al-muzaffat (wadah yang dilapisi ter).'”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى أَنْ يُنْبَذَ فِي الدُّبَّاءِ وَالْمُزَفَّتِ

6 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Al-‘Ala bin Abdurrahman bin Ya’qub, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ melarang memfermentasi (minuman) dalam ad-dubba’ (labu kering) dan al-muzaffat (wadah yang dilapisi ter).

بَابُ مَا يُكْرَهُ أَنْ يُنْبَذَ جَمِيعًا

Bab Larangan Memfermentasi Campuran Bersama-sama

7 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُنْبَذَ الْبُسْرُ وَالرُّطَبُ جَمِيعًا وَالتَّمْرُ وَالزَّبِيبُ جَمِيعًا

7 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, bahwa Rasulullah ﷺ melarang memfermentasi busr (kurma mengkal) dan ruthab (kurma basah) bersama-sama, serta tamr (kurma kering) dan zabib (kismis) bersama-sama.

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ الثِّقَةِ عِنْدَهُ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحُبَابِ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يُشْرَبَ التَّمْرُ وَالزَّبِيبُ جَمِيعًا وَالزَّهْوُ وَالرُّطَبُ جَمِيعًا

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari seseorang yang ia percayai, dari Bukair bin ‘Abdullāh bin al-Asyajj, dari ‘Abdurrahmān bin al-Hubāb al-Anshāri, dari Abū Qatādah al-Anshāri, bahwa Rasulullah ﷺ melarang mencampur minuman dari kurma kering dan anggur kering secara bersamaan, serta mencampur buah kurma yang masih muda dan yang sudah matang secara bersamaan.

قَالَ مَالِكٌ: وَهُوَ الْأَمْرُ الَّذِي لَمْ يَزَلْ عَلَيْهِ أَهْلُ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا أَنَّهُ يُكْرَهُ ذَلِكَ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ

Mālik berkata: Inilah pendapat yang senantiasa dipegang oleh para ahli ilmu di negeri kami, bahwa hal itu makruh karena larangan Rasulullah ﷺ terhadapnya.

بَابُ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ

Bab: Pengharaman Khamr

9 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْبِتْعِ؟ فَقَالَ: كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ

9 – Dan telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari Abū Salamah bin ‘Abdirrahmān, dari ‘Āisyah istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang al-bita‘. Maka beliau bersabda: “Setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram.”

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْغُبَيْرَاءِ؟ فَقَالَ: لَا خَيْرَ فِيهَا وَنَهَى عَنْهَا

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Athā’ bin Yasār, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang al-ghubairā’. Maka beliau bersabda: “Tidak ada kebaikan di dalamnya,” dan beliau melarangnya.

قَالَ مَالِكٌ فَسَأَلْتُ زَيْدَ بْنَ أَسْلَمَ مَا الْغُبَيْرَاءُ؟ فَقَالَ: هِيَ الْأُسْكَرْكَةُ

Mālik berkata: Lalu aku bertanya kepada Zaid bin Aslam, “Apa itu al-ghubairā’?” Ia menjawab: “Itu adalah minuman yang memabukkan.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا، ثُمَّ لَمْ يَتُبْ مِنْهَا، حُرِمَهَا فِي الْآخِرَةِ

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa meminum khamr di dunia, lalu ia tidak bertobat darinya, maka ia akan diharamkan meminumnya di akhirat.”

بَابُ جَامِعِ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ

Bab: Kompilasi Pengharaman Khamr

12 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنِ ابْنِ وَعْلَةَ الْمِصْرِيِّ، أَنَّهُ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ، عَمَّا يُعْصَرُ مِنَ الْعِنَبِ؟ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: أَهْدَى رَجُلٌ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَاوِيَةَ خَمْرٍ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَهَا؟ قَالَ: لَا. فَسَارَّهُ رَجُلٌ إِلَى جَنْبِهِ. فَقَالَ لَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِمَ سَارَرْتَهُ. فَقَالَ: أَمَرْتُهُ أَنْ يَبِيعَهَا. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْبَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا فَفَتَحَ الرَّجُلُ الْمَزَادَتَيْنِ حَتَّى ذَهَبَ مَا فِيهِمَا

12 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari Ibnu Wa‘lah al-Mishri, bahwa ia bertanya kepada ‘Abdullāh bin ‘Abbās tentang (minuman) yang diperas dari anggur. Maka Ibnu ‘Abbās berkata: “Seseorang pernah menghadiahkan satu wadah khamr kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: ‘Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah mengharamkannya?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Lalu seseorang yang berada di sampingnya membisikkan sesuatu kepadanya. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: ‘Apa yang engkau bisikkan kepadanya?’ Ia menjawab: ‘Aku memerintahkannya untuk menjualnya.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya Dzat yang mengharamkan meminumnya juga mengharamkan menjualnya.’ Maka orang itu pun membuka kedua wadah tersebut hingga isinya tumpah habis.”

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسْقِي أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ، وَأَبَا طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيَّ، وَأُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ، شَرَابًا مِنْ فَضِيخٍ وَتَمْرٍ. قَالَ: فَجَاءَهُمْ آتٍ. فَقَالَ: إِنَّ الْخَمْرَ قَدْ حُرِّمَتْ. فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: يَا أَنَسُ قُمْ إِلَى هَذِهِ الْجِرَارِ فَاكْسِرْهَا. قَالَ: فَقُمْتُ إِلَى مِهْرَاسٍ لَنَا فَضَرَبْتُهَا بِأَسْفَلِهِ حَتَّى تَكَسَّرَتْ

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ishāq bin ‘Abdullāh bin Abī Thalhah, dari Anas bin Mālik, bahwa ia berkata: “Aku pernah menuangkan minuman dari fadīkh dan kurma untuk Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāh, Abū Thalhah al-Anshāri, dan Ubay bin Ka‘b. Lalu datang seseorang kepada mereka dan berkata: ‘Sesungguhnya khamr telah diharamkan.’ Maka Abū Thalhah berkata: ‘Wahai Anas, pergilah ke tempayan-tempayan ini dan pecahkanlah!’ Maka aku pun pergi ke alat penumbuk kami, lalu aku memukulkannya ke bagian bawah tempayan-tempayan itu hingga semuanya pecah.”

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ وَاقِدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، حِينَ قَدِمَ الشَّامَ شَكَا إِلَيْهِ أَهْلُ الشَّامِ وَبَاءَ الْأَرْضِ وَثِقَلَهَا. وَقَالُوا: لَا يُصْلِحُنَا إِلَّا هَذَا الشَّرَابُ. فَقَالَ عُمَرُ: اشْرَبُوا هَذَا الْعَسَلَ. قَالُوا: لَا يُصْلِحُنَا الْعَسَلُ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ: هَلْ لَكَ أَنْ نَجْعَلَ لَكَ مِنْ هَذَا الشَّرَابِ شَيْئًا لَا يُسْكِرُ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَطَبَخُوهُ حَتَّى ذَهَبَ مِنْهُ الثُّلُثَانِ وَبَقِيَ الثُّلُثُ. فَأَتَوْا بِهِ عُمَرَ فَأَدْخَلَ فِيهِ عُمَرُ إِصْبَعَهُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ. فَتَبِعَهَا يَتَمَطَّطُ فَقَالَ: هَذَا الطِّلَاءُ هَذَا مِثْلُ طِلَاءِ الْإِبِلِ فَأَمَرَهُمْ عُمَرُ أَنْ يَشْرَبُوهُ. فَقَالَ لَهُ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ أَحْلَلْتَهَا. وَاللَّهِ فَقَالَ عُمَرُ: كَلَّا وَاللَّهِ اللَّهُمَّ إِنِّي لَا أُحِلُّ لَهُمْ شَيْئًا حَرَّمْتَهُ عَلَيْهِمْ. وَلَا أُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ شَيْئًا أَحْلَلْتَهُ لَهُمْ

14 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Dawud bin al-Hushain, dari Waqid bin ‘Amr bin Sa‘d bin Mu‘adz, bahwa ia mengabarkan kepadanya dari Mahmud bin Labid al-Anshari, bahwa Umar bin al-Khattab, ketika tiba di Syam, penduduk Syam mengeluhkan kepadanya tentang wabah di negeri mereka dan beratnya. Mereka berkata, “Tidak ada yang cocok bagi kami kecuali minuman ini.” Maka Umar berkata, “Minumlah madu ini.” Mereka berkata, “Madu tidak cocok bagi kami.” Lalu seorang dari penduduk negeri itu berkata, “Maukah engkau jika kami membuatkan untukmu dari minuman ini sesuatu yang tidak memabukkan?” Umar menjawab, “Ya.” Maka mereka memasaknya hingga dua pertiganya menguap dan tersisa sepertiganya. Lalu mereka membawanya kepada Umar, lalu Umar mencelupkan jarinya ke dalamnya kemudian mengangkat tangannya, lalu cairan itu menetes perlahan. Umar berkata, “Ini adalah tila’, ini seperti tila’ unta.” Maka Umar memerintahkan mereka untuk meminumnya. Lalu Ubadah bin ash-Shamit berkata kepadanya, “Engkau telah menghalalkannya, demi Allah.” Umar berkata, “Tidak, demi Allah. Ya Allah, aku tidak menghalalkan bagi mereka sesuatu yang Engkau haramkan atas mereka, dan aku tidak mengharamkan atas mereka sesuatu yang Engkau halalkan bagi mereka.”

15 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ قَالُوا لَهُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّا نَبْتَاعُ مِنْ ثَمَرِ النَّخْلِ وَالْعِنَبِ فَنَعْصِرُهُ خَمْرًا فَنَبِيعُهَا. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتَهُ وَمَنْ سَمِعَ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ. أَنِّي لَا آمُرُكُمْ أَنْ تَبِيعُوهَا وَلَا تَبْتَاعُوهَا وَلَا تَعْصِرُوهَا وَلَا تَشْرَبُوهَا وَلَا تَسْقُوهَا فَإِنَّهَا رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ

15 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Nafi‘, dari Abdullah bin Umar, bahwa sekelompok laki-laki dari penduduk Irak berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdurrahman, kami membeli buah kurma dan anggur lalu kami memerasnya menjadi khamr, kemudian kami menjualnya.” Maka Abdullah bin Umar berkata, “Aku bersaksi kepada Allah atas kalian, para malaikat-Nya, dan siapa saja dari jin dan manusia yang mendengar, bahwa aku tidak memerintahkan kalian untuk menjualnya, tidak pula membelinya, tidak pula memerasnya, tidak pula meminumnya, dan tidak pula memberikannya kepada orang lain, karena itu adalah najis dari perbuatan setan.”

43 – كِتَابُ الْعُقُولِ

بَابُ ذِكْرِ الْعُقُولِ

Bab Penjelasan tentang Diyat

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ فِي الْعُقُولِ أَنَّ فِي النَّفْسِ مِائَةً مِنَ الْإِبِلِ. وَفِي الْأَنْفِ، إِذَا أُوعِيَ جَدْعًا مِائَةٌ مِنَ الْإِبِلِ. وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ الدِّيَةِ وَفِي الْجَائِفَةِ مِثْلُهَا. وَفِي الْعَيْنِ خَمْسُونَ. وَفِي الْيَدِ خَمْسُونَ. وَفِي الرِّجْلِ خَمْسُونَ. وَفِي كُلِّ أُصْبُعٍ مِمَّا هُنَالِكَ. عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ. وَفِي السِّنِّ خَمْسٌ. وَفِي الْمُوضِحَةِ خَمْسٌ.

1 – Diriwayatkan kepadaku oleh Yahya, dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm, dari ayahnya, bahwa dalam kitab yang ditulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amr bin Hazm tentang diyat disebutkan: “Untuk jiwa (pembunuhan) diyatnya seratus ekor unta. Untuk hidung, jika terpotong seluruhnya, seratus ekor unta. Untuk luka yang sampai ke otak (ma’mumah) sepertiga diyat. Untuk luka yang menembus (ja’ifah) juga sepertiga diyat. Untuk mata lima puluh ekor unta. Untuk tangan lima puluh ekor unta. Untuk kaki lima puluh ekor unta. Untuk setiap jari dari anggota-anggota tersebut, sepuluh ekor unta. Untuk gigi lima ekor unta. Untuk luka yang menampakkan tulang (mudhihah) lima ekor unta.”

بَابُ الْعَمَلِ فِي الدِّيَةِ

Bab Pelaksanaan dalam Pembayaran Diyat

2 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، قَوَّمَ الدِّيَةَ عَلَى أَهْلِ الْقُرَى، فَجَعَلَهَا عَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفَ دِينَارٍ، وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ

2 – Malik mengabarkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Umar bin al-Khattab menetapkan diyat bagi penduduk desa, maka ia menjadikannya bagi pemilik emas seribu dinar, dan bagi pemilik perak dua belas ribu dirham.

قَالَ مَالِكٌ: ” فَأَهْلُ الذَّهَبِ: أَهْلُ الشَّامِ، وَأَهْلُ مِصْرَ. وَأَهْلُ الْوَرِقِ: أَهْلُ الْعِرَاقِ ، وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَّ الدِّيَةَ تُقْطَعُ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ أَوْ أَرْبَعِ سِنِينَ

Malik berkata: “Penduduk emas adalah penduduk Syam dan Mesir, sedangkan penduduk perak adalah penduduk Irak.” Dan diriwayatkan kepadaku oleh Yahya, dari Malik, bahwa ia mendengar bahwa diyat dibayarkan dalam tiga tahun atau empat tahun.

قَالَ مَالِكٌ: وَالثَّلَاثُ أَحَبُّ مَا سَمِعْتُ إِلَيَّ فِي ذَلِكَ، قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فِي الدِّيَةِ الْإِبِلُ، وَلَا مِنْ أَهْلِ الْعَمُودِ الذَّهَبُ، وَلَا الْوَرِقُ، وَلَا مِنْ أَهْلِ الذَّهَبِ الْوَرِقُ، وَلَا مِنْ أَهْلِ الْوَرِقِ الذَّهَبُ

Malik berkata: “Tiga tahun adalah pendapat yang paling aku sukai dalam hal itu.” Malik berkata: “Kesepakatan yang berlaku di kalangan kami, bahwa tidak diterima dari penduduk desa dalam pembayaran diyat berupa unta, tidak pula dari penduduk kota berupa emas atau perak, tidak pula dari penduduk emas berupa perak, dan tidak pula dari penduduk perak berupa emas.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي دِيَةِ الْعَمْدِ، إِذَا قُبِلَتْ وَجِنَايَةِ الْمَجْنُونِ
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ، كَانَ يَقُولُ: فِي دِيَةِ الْعَمْدِ إِذَا قُبِلَتْ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ بِنْتَ مَخَاضٍ، وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ بِنْتَ لَبُونٍ، وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ حِقَّةً، وَخَمْسٌ وَعِشْرُونَ جَذَعَةً

Bab tentang Diyat Pembunuhan Sengaja jika Diterima dan Kejahatan Orang Gila
Diriwayatkan kepadaku oleh Yahya, dari Malik, bahwa Ibnu Syihab berkata: “Dalam diyat pembunuhan sengaja jika diterima adalah dua puluh lima ekor unta betina umur satu tahun, dua puluh lima ekor unta betina umur dua tahun, dua puluh lima ekor unta betina umur tiga tahun, dan dua puluh lima ekor unta betina umur empat tahun.”

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ كَتَبَ إِلَى مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ، أَنَّهُ أُتِيَ بِمَجْنُونٍ قَتَلَ رَجُلًا، فَكَتَبَ إِلَيْهِ مُعَاوِيَةُ، أَنِ اعْقِلْهُ وَلَا تُقِدْ مِنْهُ، فَإِنَّهُ لَيْسَ عَلَى مَجْنُونٍ قَوَدٌ

3 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa Marwān bin al-Ḥakam menulis surat kepada Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān, bahwa telah didatangkan kepadanya seorang gila yang membunuh seorang laki-laki. Maka Mu‘āwiyah menulis surat kepadanya: “Tanggunglah diyatnya dan janganlah melakukan qishāsh terhadapnya, karena tidak ada qishāsh atas orang gila.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْكَبِيرِ وَالصَّغِيرِ إِذَا قَتَلَا رَجُلًا جَمِيعًا عَمْدًا أَنَّ عَلَى الْكَبِيرِ أَنْ يُقْتَلَ، وَعَلَى الصَّغِيرِ نِصْفُ الدِّيَةِ

Mālik berkata: “Dalam kasus orang dewasa dan anak kecil yang bersama-sama membunuh seorang laki-laki dengan sengaja, maka orang dewasa harus dihukum mati, dan atas anak kecil setengah diyat.”

قَالَ مَالِكٌ: وَكَذَلِكَ الْحُرُّ وَالْعَبْدُ يَقْتُلَانِ الْعَبْدَ فَيُقْتَلُ الْعَبْدُ، وَيَكُونُ عَلَى الْحُرِّ نِصْفُ قِيمَتِهِ

Mālik berkata: “Demikian pula, jika seorang merdeka dan seorang budak bersama-sama membunuh seorang budak, maka budak itu dihukum mati, dan atas orang merdeka setengah dari nilai budak tersebut.”

بَابُ دِيَةِ الْخَطَأِ فِي الْقَتْلِ

Bab Diyat karena Pembunuhan Tidak Sengaja

4 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عِرَاكِ بْنِ مَالِكٍ، وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَجُلًا، مِنْ بَنِي سَعْدِ بْنِ لَيْثٍ أَجْرَى فَرَسًا، فَوَطِئَ عَلَى إِصْبَعِ رَجُلٍ مِنْ جُهَيْنَةَ، فَنُزِيَ مِنْهَا، فَمَاتَ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِلَّذِي ادُّعِيَ عَلَيْهِمْ: أَتَحْلِفُونَ بِاللَّهِ خَمْسِينَ يَمِينًا مَا مَاتَ مِنْهَا؟ فَأَبَوْا وَتَحَرَّجُوا، وَقَالَ لِلْآخَرِينَ: أَتَحْلِفُونَ أَنْتُمْ؟ فَأَبَوْا، فَقَضَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِشَطْرِ الدِّيَةِ عَلَى السَّعْدِيِّينَ
قَالَ مَالِكٌ وَلَيْسَ الْعَمَلُ عَلَى هَذَا “

4 – Telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari ‘Irāk bin Mālik dan Sulaimān bin Yasār, bahwa seorang laki-laki dari Bani Sa‘d bin Laits menjalankan seekor kuda, lalu kuda itu menginjak jari seorang laki-laki dari Juhaynah, sehingga jarinya terlepas dan ia pun meninggal. Maka ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata kepada orang-orang yang dituduh: “Maukah kalian bersumpah atas nama Allah sebanyak lima puluh sumpah bahwa dia tidak mati karenanya?” Mereka menolak dan merasa berat, lalu ia berkata kepada pihak lain: “Apakah kalian mau bersumpah?” Mereka pun menolak. Maka ‘Umar bin al-Khaṭṭāb memutuskan setengah diyat atas orang-orang Sa‘diyin tersebut.”
Mālik berkata: “Namun, praktik (fiqh) yang berlaku tidak berdasarkan hal ini.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، وَرَبِيعَةَ بْنَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، كَانُوا يَقُولُونَ دِيَةُ الْخَطَإِ عِشْرُونَ بِنْتَ مَخَاضٍ، وَعِشْرُونَ بِنْتَ لَبُونٍ، وَعِشْرُونَ ابْنَ لَبُونٍ ذَكَرًا، وَعِشْرُونَ حِقَّةً، وَعِشْرُونَ جَذَعَةً

Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa Ibn Syihāb, Sulaimān bin Yasār, dan Rabī‘ah bin Abī ‘Abdirraḥmān, mereka berkata: “Diyat karena pembunuhan tidak sengaja adalah dua puluh ekor binti makhāḍ, dua puluh ekor binti labūn, dua puluh ekor ibn labūn jantan, dua puluh ekor ḥiqqah, dan dua puluh ekor jadza‘ah.”

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا: أَنَّهُ لَا قَوَدَ بَيْنَ الصِّبْيَانِ، وَإِنَّ عَمْدَهُمْ خَطَأٌ، مَا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِمُ الْحُدُودُ، وَيَبْلُغُوا الْحُلُمَ، وَإِنَّ قَتْلَ الصَّبِيِّ، لَا يَكُونُ إِلَّا خَطَأً، وَذَلِكَ لَوْ أَنَّ صَبِيًّا وَكَبِيرًا قَتَلَا رَجُلًا حُرًّا خَطَأً، كَانَ عَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ الدِّيَةِ “.

Mālik berkata: “Kesepakatan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa tidak ada qishāsh di antara anak-anak, dan pembunuhan sengaja yang dilakukan mereka dihukumi sebagai pembunuhan tidak sengaja, selama belum wajib atas mereka hudūd dan belum mencapai usia baligh. Dan pembunuhan yang dilakukan anak kecil tidak dianggap kecuali sebagai pembunuhan tidak sengaja. Maka jika seorang anak kecil dan orang dewasa bersama-sama membunuh seorang laki-laki merdeka secara tidak sengaja, maka atas ‘āqilah masing-masing dari mereka setengah diyat.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَنْ قُتِلَ خَطَأً، فَإِنَّمَا عَقْلُهُ مَالٌ لَا قَوَدَ فِيهِ، وَإِنَّمَا هُوَ كَغَيْرِهِ مِنْ مَالِهِ يُقْضَى بِهِ دَيْنُهُ، وَتَجُوزُ فِيهِ وَصِيَّتُهُ، فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ تَكُونُ الدِّيَةُ قَدْرَ ثُلُثِهِ، ثُمَّ عَفَا عَنْ دِيَتِهِ، فَذَلِكَ جَائِزٌ لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرُ دِيَتِهِ جَازَ لَهُ مِنْ ذَلِكَ الثُّلُثُ إِذَا عَفَا عَنْهُ وَأَوْصَى بِهِ

Mālik berkata: “Barang siapa terbunuh karena tidak sengaja, maka diyatnya adalah harta, tidak ada qishāsh di dalamnya. Diyat itu seperti harta lainnya, dapat digunakan untuk melunasi utangnya, dan wasiatnya pun sah atas diyat tersebut. Jika ia memiliki harta, maka diyat menjadi sepertiga dari hartanya. Jika ia memaafkan diyatnya, maka itu boleh baginya. Jika ia tidak memiliki harta selain diyatnya, maka sepertiga dari diyat itu boleh digunakan jika ia memaafkan dan mewasiatkannya.”

بَابُ عَقْلِ الْجِرَاحِ فِي الْخَطَأِ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّ الْأَمْرَ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَهُمْ فِي الْخَطَإِ، أَنَّهُ لَا يُعْقَلُ حَتَّى يَبْرَأَ الْمَجْرُوحُ، وَيَصِحَّ وَأَنَّهُ إِنْ كُسِرَ عَظْمٌ مِنَ الْإِنْسَانِ يَدٌ أَوْ رِجْلٌ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْجَسَدِ خَطَأً، فَبَرَأَ وَصَحَّ وَعَادَ لِهَيْئَتِهِ، فَلَيْسَ فِيهِ عَقْلٌ، فَإِنْ نَقَصَ أَوْ كَانَ فِيهِ عَثَلٌ فَفِيهِ مِنْ عَقْلِهِ بِحِسَابِ مَا نَقَصَ مِنْهُ

Bab Diyat Luka karena Kesalahan
Telah menceritakan kepadaku Mālik, bahwa kesepakatan yang berlaku di kalangan mereka dalam kasus kesalahan adalah bahwa tidak diberikan diyat sampai orang yang terluka sembuh dan sehat. Jika ada tulang manusia yang patah—baik tangan, kaki, atau bagian tubuh lainnya—karena kesalahan, lalu sembuh dan kembali seperti semula, maka tidak ada diyat atasnya. Namun, jika ada kekurangan atau cacat, maka diyatnya dihitung sesuai dengan kadar kekurangan tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ الْعَظْمُ مِمَّا جَاءَ فِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقْلٌ مُسَمًّى، فَبِحِسَابِ مَا فَرَضَ فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا كَانَ مِمَّا لَمْ يَأْتِ فِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقْلٌ مُسَمًّى، وَلَمْ تَمْضِ فِيهِ سُنَّةٌ، وَلَا عَقْلٌ مُسَمًّى، فَإِنَّهُ يُجْتَهَدُ فِيهِ.

Mālik berkata: “Jika tulang itu termasuk yang telah ditetapkan oleh Nabi ﷺ diyat tertentu, maka diyatnya sesuai dengan ketetapan Nabi ﷺ. Adapun jika tidak ada ketetapan dari Nabi ﷺ dan tidak ada sunnah maupun diyat tertentu atasnya, maka diputuskan berdasarkan ijtihad.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَيْسَ فِي الْجِرَاحِ فِي الْجَسَدِ إِذَا كَانَتْ خَطَأً عَقْلٌ إِذَا بَرَأَ الْجُرْحُ، وَعَادَ لِهَيْئَتِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ عَثَلٌ أَوْ شَيْنٌ، فَإِنَّهُ يُجْتَهَدُ فِيهِ إِلَّا الْجَائِفَةَ، فَإِنَّ فِيهَا ثُلُثَ دِيَةِ النَّفْسِ.

Mālik berkata: “Tidak ada diyat atas luka di tubuh jika terjadi karena kesalahan, apabila luka itu sembuh dan kembali seperti semula. Namun, jika terdapat cacat atau aib pada salah satu bagian tersebut, maka diputuskan berdasarkan ijtihad, kecuali luka jaifah, karena padanya terdapat sepertiga diyat jiwa.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَيْسَ فِي مُنَقِّلَةِ الْجَسَدِ عَقْلٌ، وَهِيَ مِثْلُ مُوضِحَةِ الْجَسَدِ.

Mālik berkata: “Tidak ada diyat pada luka munqillah di tubuh, dan luka ini seperti luka mudhīhah pada tubuh.”

قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا: أَنَّ الطَّبِيبَ إِذَا خَتَنَ، فَقَطَعَ الْحَشَفَةَ إِنَّ عَلَيْهِ الْعَقْلَ، وَأَنَّ ذَلِكَ مِنَ الْخَطَإِ الَّذِي تَحْمِلُهُ الْعَاقِلَةُ، وَأَنَّ كُلَّ مَا أَخْطَأَ بِهِ الطَّبِيبُ أَوْ تَعَدَّى إِذَا لَمْ يَتَعَمَّدْ ذَلِكَ، فَفِيهِ الْعَقْلُ “

Malik berkata: “Pendapat yang disepakati di kalangan kami adalah bahwa apabila seorang tabib melakukan khitan lalu memotong hasyafah (kepala zakar), maka ia wajib membayar diyat penuh (‘aql), dan hal itu termasuk kesalahan yang menjadi tanggungan ‘āqilah (kelompok penanggung diyat), dan setiap kesalahan yang dilakukan tabib atau ia melampaui batas, selama ia tidak sengaja melakukannya, maka di dalamnya ada kewajiban membayar diyat (‘aql).”

بَابُ عَقْلِ الْمَرْأَةِ
وَحَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: تُعَاقِلُ الْمَرْأَةُ الرَّجُلَ إِلَى ثُلُثِ الدِّيَةِ إِصْبَعُهَا كَإِصْبَعِهِ، وَسِنُّهَا كَسِنِّهِ، وَمُوضِحَتُهَا كَمُوضِحَتِهِ، وَمُنَقِّلَتُهَا كَمُنَقِّلَتِهِ

Bab Diyat Perempuan
Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ia berkata: “Perempuan menanggung diyat bersama laki-laki hingga sepertiga diyat; jarinya sama dengan jarinya (laki-laki), giginya sama dengan giginya, lukanya yang menampakkan tulang sama dengan lukanya, dan lukanya yang memindahkan tulang sama dengan lukanya.”

وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، وَبَلَغَهُ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُمَا كَانَا يَقُولَانِ مِثْلَ قَوْلِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ فِي الْمَرْأَةِ: أَنَّهَا تُعَاقِلُ الرَّجُلَ إِلَى ثُلُثِ دِيَةِ الرَّجُلِ، فَإِذَا بَلَغَتْ ثُلُثَ دِيَةِ الرَّجُلِ كَانَتْ إِلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ

Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dan sampai kepadanya dari ‘Urwah bin al-Zubair, bahwa keduanya berkata seperti perkataan Sa‘id bin al-Musayyib tentang perempuan: bahwa ia menanggung diyat bersama laki-laki hingga sepertiga diyat laki-laki, maka apabila telah mencapai sepertiga diyat laki-laki, maka menjadi setengah dari diyat laki-laki.

قَالَ مَالِكٌ: وَتَفْسِيرُ ذَلِكَ أَنَّهَا تُعَاقِلُهُ فِي الْمُوضِحَةِ وَالْمُنَقِّلَةِ، وَمَا دُونَ الْمَأْمُومَةِ وَالْجَائِفَةِ، وَأَشْبَاهِهِمَا مِمَّا يَكُونُ فِيهِ ثُلُثُ الدِّيَةِ فَصَاعِدًا، فَإِذَا بَلَغَتْ ذَلِكَ كَانَ عَقْلُهَا فِي ذَلِكَ النِّصْفَ مِنْ عَقْلِ الرَّجُلِ

Malik berkata: “Penjelasannya adalah bahwa ia menanggung diyat bersama laki-laki dalam luka yang menampakkan tulang, luka yang memindahkan tulang, dan luka-luka di bawah luka yang menembus kepala dan dada serta yang semisalnya yang diyatnya sepertiga ke atas. Maka apabila telah mencapai batas itu, diyatnya menjadi setengah dari diyat laki-laki.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ شِهَابٍ يَقُولُ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا أَصَابَ امْرَأَتَهُ بِجُرْحٍ أَنَّ عَلَيْهِ عَقْلَ ذَلِكَ الْجُرْحِ، وَلَا يُقَادُ مِنْهُ

Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa ia mendengar Ibnu Syihab berkata: “Sunnah yang berlaku adalah apabila seorang laki-laki melukai istrinya, maka ia wajib membayar diyat luka tersebut, dan tidak dikenakan qishāsh darinya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا ذَلِكَ فِي الْخَطَإِ، أَنْ يَضْرِبَ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ فَيُصِيبَهَا مِنْ ضَرْبِهِ مَا لَمْ يَتَعَمَّدْ كَمَا يَضْرِبُهَا بِسَوْطٍ، فَيَفْقَأُ عَيْنَهَا، وَنَحْوَ ذَلِكَ

Malik berkata: “Hal itu hanya berlaku dalam kasus kesalahan, yaitu seorang laki-laki memukul istrinya lalu mengenai bagian tubuhnya tanpa sengaja, seperti memukul dengan cambuk lalu mengenai matanya, dan semacamnya.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْمَرْأَةِ يَكُونُ لَهَا زَوْجٌ وَوَلَدٌ مِنْ غَيْرِ عَصَبَتِهَا، وَلَا قَوْمِهَا فَلَيْسَ عَلَى زَوْجِهَا إِذَا كَانَ مِنْ قَبِيلَةٍ أُخْرَى مِنْ عَقْلِ جِنَايَتِهَا شَيْءٌ، وَلَا عَلَى وَلَدِهَا إِذَا كَانُوا مِنْ غَيْرِ قَوْمِهَا، وَلَا عَلَى إِخْوَتِهَا مِنْ أُمِّهَا إِذَا كَانُوا مِنْ غَيْرِ عَصَبَتِهَا، وَلَا قَوْمِهَا فَهَؤُلَاءِ أَحَقُّ بِمِيرَاثِهَا، وَالْعَصَبَةُ عَلَيْهِمُ الْعَقْلُ مُنْذُ زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْيَوْمِ، وَكَذَلِكَ مَوَالِي الْمَرْأَةِ مِيرَاثُهُمْ لِوَلَدِ الْمَرْأَةِ، وَإِنْ كَانُوا مِنْ غَيْرِ قَبِيلَتِهَا، وَعَقْلُ جِنَايَةِ الْمَوَالِي عَلَى قَبِيلَتِهَا

Malik berkata: “Tentang perempuan yang memiliki suami dan anak dari selain ‘ashabah (keluarga laki-laki sedarah) dan bukan dari kaumnya, maka suaminya, jika berasal dari kabilah lain, tidak menanggung diyat atas tindak kejahatannya, begitu pula anak-anaknya jika mereka bukan dari kaumnya, dan juga saudara-saudaranya dari pihak ibu jika bukan dari ‘ashabah dan bukan dari kaumnya. Mereka lebih berhak atas warisannya, sedangkan ‘ashabah menanggung diyat sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini. Demikian pula mawali (budak yang dimerdekakan) perempuan, waris mereka untuk anak-anak perempuan itu, meskipun mereka bukan dari kabilahnya, dan diyat tindak kejahatan mawali ditanggung oleh kabilahnya.”

بَابُ عَقْلِ الْجَنِينِ

Bab Diyat Janin

5 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ امْرَأَتَيْنِ مِنْ هُذَيْلٍ رَمَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى، فَطَرَحَتْ جَنِينَهَا، فَقَضَى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ وَلِيدَةٍ

Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah bin ‘Abd al-Rahman bin ‘Auf, dari Abu Hurairah, bahwa dua perempuan dari Hudzail saling melempar, lalu salah satunya menyebabkan janinnya gugur. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan diyat janin itu berupa seorang budak laki-laki atau budak perempuan.

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى فِي الْجَنِينِ يُقْتَلُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ بِغُرَّةٍ عَبْدٍ أَوْ وَلِيدَةٍ، فَقَالَ الَّذِي قُضِيَ عَلَيْهِ: كَيْفَ أَغْرَمُ مَا لَا شَرِبَ، وَلَا أَكَلْ، وَلَا نَطَقَ، وَلَا اسْتَهَلْ وَمِثْلُ ذَلِكَ بَطَلْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ

Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan dalam kasus janin yang terbunuh di dalam perut ibunya dengan diyat berupa seorang budak laki-laki atau budak perempuan. Maka orang yang dijatuhi keputusan itu berkata: “Bagaimana aku harus menanggung sesuatu yang belum minum, belum makan, belum berbicara, belum menangis, dan semisalnya itu batal?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ini adalah termasuk dari saudara-saudara para dukun.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: الْغُرَّةُ تُقَوَّمُ خَمْسِينَ دِينَارًا، أَوْ سِتَّمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَدِيَةُ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ الْمُسْلِمَةِ خَمْسُمِائَةِ دِينَارٍ، أَوْ سِتَّةُ آلَافِ دِرْهَمٍ

Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abd al-Rahman, bahwa ia berkata: “Diyat janin (al-ghurrah) dinilai sebesar lima puluh dinar atau enam ratus dirham, dan diyat perempuan muslimah merdeka adalah lima ratus dinar atau enam ribu dirham.”

قَالَ مَالِكٌ: فَدِيَةُ جَنِينِ الْحُرَّةِ عُشْرُ دِيَتِهَا، وَالْعُشْرُ خَمْسُونَ دِينَارًا، أَوْ سِتُّمِائَةِ دِرْهَمٍ.

Malik berkata: “Diyat janin perempuan merdeka adalah sepersepuluh dari diyatnya, dan sepersepuluh itu adalah lima puluh dinar atau enam ratus dirham.”

قَالَ مَالِكٌ: وَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا يُخَالِفُ فِي أَنَّ الْجَنِينَ لَا تَكُونُ فِيهِ الْغُرَّةُ حَتَّى يُزَايِلَ بَطْنَ أُمِّهِ، وَيَسْقُطُ مِنْ بَطْنِهَا مَيِّتًا.

Malik berkata: Aku tidak mendengar seorang pun yang berbeda pendapat bahwa janin tidak dikenakan diyat ghurrah kecuali setelah ia keluar dari perut ibunya dan jatuh dari perutnya dalam keadaan mati.

قَالَ مَالِكٌ: وَسَمِعْتُ أَنَّهُ إِذَا خَرَجَ الْجَنِينُ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ حَيًّا، ثُمَّ مَاتَ أَنَّ فِيهِ الدِّيَةَ كَامِلَةً.

Malik berkata: Aku mendengar bahwa jika janin keluar dari perut ibunya dalam keadaan hidup, kemudian mati, maka atasnya dikenakan diyat secara penuh.

قَالَ مَالِكٌ: وَلَا حَيَاةَ لِلْجَنِينِ إِلَّا بِالْاسْتِهْلَالِ، فَإِذَا خَرَجَ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ فَاسْتَهَلَّ، ثُمَّ مَاتَ فَفِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً، وَنَرَى أَنَّ فِي جَنِينِ الْأَمَةِ عُشْرَ ثَمَنِ أُمِّهِ.

Malik berkata: Tidak ada kehidupan bagi janin kecuali dengan istihlal (tangisan pertama saat lahir), maka apabila ia keluar dari perut ibunya lalu menangis, kemudian mati, maka atasnya dikenakan diyat secara penuh. Kami berpendapat bahwa untuk janin budak perempuan dikenakan sepersepuluh dari harga ibunya.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا قَتَلَتِ الْمَرْأَةُ رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً عَمْدًا، وَالَّتِي قَتَلَتْ حَامِلٌ لَمْ يُقَدْ مِنْهَا حَتَّى تَضَعَ حَمْلَهَا، وَإِنْ قُتِلَتِ الْمَرْأَةُ وَهِيَ حَامِلٌ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَلَيْسَ عَلَى مَنْ قَتَلَهَا فِي جَنِينِهَا شَيْءٌ، فَإِنْ قُتِلَتْ عَمْدًا قُتِلَ الَّذِي قَتَلَهَا، وَلَيْسَ فِي جَنِينِهَا دِيَةٌ، وَإِنْ قُتِلَتْ خَطَأً فَعَلَى عَاقِلَةِ قَاتِلِهَا دِيَتُهَا، وَلَيْسَ فِي جَنِينِهَا دِيَةٌ، وحَدَّثَنِي يَحْيَى سُئِلَ مَالِكٌ، عَنْ جَنِينِ الْيَهُودِيَّةِ وَالنَّصْرَانِيَّةِ يُطْرَحُ؟ فَقَالَ: أَرَى أَنَّ فِيهِ عُشْرَ دِيَةِ أُمِّهِ

Malik berkata: Jika seorang perempuan membunuh seorang laki-laki atau perempuan secara sengaja, dan perempuan yang membunuh itu sedang hamil, maka tidak boleh dilaksanakan qishash darinya sampai ia melahirkan kandungannya. Jika seorang perempuan dibunuh dalam keadaan hamil, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, maka tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang membunuhnya terkait janinnya. Jika ia dibunuh secara sengaja, maka pelakunya dibunuh (qishash), dan tidak ada diyat atas janinnya. Jika ia dibunuh secara tidak sengaja, maka atas ‘aqilah (keluarga penanggung diyat) si pembunuh wajib membayar diyatnya, dan tidak ada diyat atas janinnya. Yahya menceritakan kepadaku bahwa Malik pernah ditanya tentang janin perempuan Yahudi atau Nasrani yang gugur, maka ia berkata: Aku berpendapat bahwa atasnya dikenakan sepersepuluh dari diyat ibunya.

بَابُ مَا فِيهِ الدِّيَةُ كَامِلَةً

Bab tentang perkara yang dikenakan diyat secara penuh.

حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، ” أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: فِي الشَّفَتَيْنِ الدِّيَةُ كَامِلَةً، فَإِذَا قُطِعَتِ السُّفْلَى، فَفِيهَا ثُلُثَا الدِّيَةِ

Yahya menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ia berkata: Pada kedua bibir dikenakan diyat secara penuh. Jika yang terpotong adalah bibir bawah, maka atasnya dua pertiga diyat.

حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَأَلَ ابْنَ شِهَابٍ عَنِ الرَّجُلِ الْأَعْوَرِ يَفْقَأُ عَيْنَ الصَّحِيحِ، فَقَالَ ابْنُ شِهَابٍ: إِنْ أَحَبَّ الصَّحِيحُ أَنْ يَسْتَقِيدَ مِنْهُ، فَلَهُ الْقَوَدُ، وَإِنْ أَحَبَّ، فَلَهُ الدِّيَةُ أَلْفُ دِينَارٍ أَوِ اثْنَا عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ فِي كُلِّ زَوْجٍ مِنَ الْإِنْسَانِ الدِّيَةَ كَامِلَةً، وَأَنَّ فِي اللِّسَانِ الدِّيَةَ كَامِلَةً، وَأَنَّ فِي الْأُذُنَيْنِ إِذَا ذَهَبَ سَمْعُهُمَا الدِّيَةَ كَامِلَةً اصْطُلِمَتَا، أَوْ لَمْ تُصْطَلَمَا، وَفِي ذَكَرِ الرَّجُلِ الدِّيَةُ كَامِلَةً، وَفِي الْأُنْثَيَيْنِ الدِّيَةُ كَامِلَةً وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مالِكٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ فِي ثَدْيَيِ الْمَرْأَةِ الدِّيَةَ كَامِلَةً.

Yahya menceritakan kepadaku, dari Malik, bahwa ia bertanya kepada Ibnu Syihab tentang seorang laki-laki yang buta sebelah memecahkan mata orang yang sehat, maka Ibnu Syihab berkata: Jika orang yang sehat ingin menuntut qishash darinya, maka ia berhak mendapat qishash. Jika ia menginginkan, maka ia berhak mendapat diyat seribu dinar atau dua belas ribu dirham. Yahya juga menceritakan kepadaku, dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa pada setiap pasangan anggota tubuh manusia dikenakan diyat secara penuh, dan pada lidah dikenakan diyat secara penuh, dan pada kedua telinga jika pendengarannya hilang dikenakan diyat secara penuh, baik keduanya terpotong maupun tidak, dan pada kemaluan laki-laki dikenakan diyat secara penuh, dan pada kedua kemaluan perempuan dikenakan diyat secara penuh. Yahya juga menceritakan kepadaku, dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa pada kedua payudara perempuan dikenakan diyat secara penuh.

قَالَ مَالِكٌ: وَأَخَفُّ ذَلِكَ عِنْدِي الْحَاجِبَانِ، وَثَدْيَا الرَّجُلِ.

Malik berkata: Yang paling ringan menurutku adalah kedua alis dan kedua payudara laki-laki.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا أُصِيبَ مِنْ أَطْرَافِهِ أَكْثَرُ مِنْ دِيَتِهِ، فَذَلِكَ لَهُ إِذَا أُصِيبَتْ يَدَاهُ وَرِجْلَاهُ وَعَيْنَاهُ، فَلَهُ ثَلَاثُ دِيَاتٍ.

Malik berkata: Ketentuan di sisi kami adalah jika seorang laki-laki mengalami luka pada anggota tubuhnya melebihi diyatnya, maka itu menjadi haknya. Jika kedua tangan, kedua kaki, dan kedua matanya terluka, maka ia berhak atas tiga diyat.

قَالَ مَالِكٌ: فِي عَيْنِ الْأَعْوَرِ الصَّحِيحَةِ إِذَا فُقِئَتْ خَطَأً إِنَّ فِيهَا الدِّيَةَ كَامِلَةً

Malik berkata: Pada mata sehat milik orang yang buta sebelah, jika dicongkel secara tidak sengaja, maka atasnya dikenakan diyat secara penuh.

بَابُ مَا جَاءَ فِي عَقْلِ الْعَيْنِ إِذَا ذَهَبَ بَصَرُهَا
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ، كَانَ يَقُولُ: فِي الْعَيْنِ الْقَائِمَةِ إِذَا طَفِئَتْ مِائَةُ دِينَارٍ قَالَ يَحْيَى: وسُئِلَ مَالِكٌ عَنْ شَتَرِ الْعَيْنِ، وَحِجَاجِ الْعَيْنِ، فَقَالَ: لَيْسَ فِي ذَلِكَ إِلَّا الِاجْتِهَادُ إِلَّا أَنْ يَنْقُصَ بَصَرُ الْعَيْنِ، فَيَكُونُ لَهُ بِقَدْرِ مَا نَقَصَ مِنْ بَصَرِ الْعَيْنِ.

Bab tentang ketentuan diyat pada mata jika penglihatannya hilang.
Yahya menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa Zaid bin Tsabit berkata: Pada mata yang masih ada jika penglihatannya padam, maka diyatnya seratus dinar. Yahya berkata: Malik pernah ditanya tentang cacat pada mata dan selaput mata, maka ia berkata: Tidak ada ketentuan khusus dalam hal itu kecuali ijtihad, kecuali jika penglihatan mata berkurang, maka ia mendapat diyat sesuai kadar berkurangnya penglihatan mata tersebut.

قَالَ يَحْيَى قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْعَيْنِ الْقَائِمَةِ الْعَوْرَاءِ، إِذَا طَفِئَتْ، وَفِي الْيَدِ الشَّلَّاءِ إِذَا قُطِعَتْ، إِنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ إِلَّا الِاجْتِهَادُ، وَلَيْسَ فِي ذَلِكَ عَقْلٌ مُسَمًّى

Yahya berkata, Malik berkata: Ketentuan di sisi kami pada mata yang masih ada namun buta, jika penglihatannya padam, dan pada tangan yang lumpuh jika terpotong, maka tidak ada ketentuan khusus dalam hal itu kecuali ijtihad, dan tidak ada diyat yang telah ditetapkan namanya.

بَابُ مَا جَاءَ فِي عَقْلِ الشِّجَاجِ
وَحَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، يَذْكُرُ أَنَّ الْمُوضِحَةَ فِي الْوَجْهِ مِثْلُ الْمُوضِحَةِ فِي الرَّأْسِ، إِلَّا أَنْ تَعِيبَ الْوَجْهَ فَيُزَادُ فِي عَقْلِهَا، مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ عَقْلِ نِصْفِ الْمُوضِحَةِ فِي الرَّأْسِ، فَيَكُونُ فِيهَا خَمْسَةٌ وَسَبْعُونَ دِينَارًا

Bab tentang ketentuan diyat pada luka-luka kepala dan wajah

Yahya meriwayatkan dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia mendengar Sulaiman bin Yasar menyebutkan bahwa luka muḍiḥah di wajah sama dengan muḍiḥah di kepala, kecuali jika luka tersebut mencacati wajah, maka diyatnya ditambah, yaitu sebesar selisih antara diyat muḍiḥah di wajah dan diyat setengah muḍiḥah di kepala, sehingga diyatnya menjadi tujuh puluh lima dinar.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ فِي الْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشَرَةَ فَرِيضَةً. قَالَ: وَالْمُنَقِّلَةُ الَّتِي يَطِيرُ فِرَاشُهَا مِنَ الْعَظْمِ، وَلَا تَخْرِقُ إِلَى الدِّمَاغِ، وَهِيَ تَكُونُ فِي الرَّأْسِ وَفِي الْوَجْهِ

Malik berkata: “Ketentuan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa pada luka munqillah terdapat lima belas bagian diyat. Munqillah adalah luka yang tulangnya terangkat dari tempatnya, namun tidak sampai menembus ke otak, dan luka ini bisa terjadi di kepala maupun di wajah.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا أَنَّ الْمَأْمُومَةَ وَالْجَائِفَةَ لَيْسَ فِيهِمَا قَوَدٌ. وَقَدْ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: لَيْسَ فِي الْمَأْمُومَةِ قَوَدٌ.

Malik berkata: “Ketentuan yang disepakati di kalangan kami adalah bahwa pada luka ma’mūmah dan jā’ifah tidak ada qishāṣ (hukuman balasan setimpal). Ibnu Syihab juga berkata: Tidak ada qishāṣ pada luka ma’mūmah.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْمَأْمُومَةُ مَا خَرَقَ الْعَظْمَ إِلَى الدِّمَاغِ، وَلَا تَكُونُ الْمَأْمُومَةُ إِلَّا فِي الرَّأْسِ، وَمَا يَصِلُ إِلَى الدِّمَاغِ إِذَا خَرَقَ الْعَظْمَ

Malik berkata: “Ma’mūmah adalah luka yang menembus tulang hingga mencapai otak, dan ma’mūmah hanya terjadi di kepala, yaitu luka yang sampai ke otak jika menembus tulang.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَيْسَ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ مِنَ الشِّجَاجِ عَقْلٌ. حَتَّى تَبْلُغَ الْمُوضِحَةَ، وَإِنَّمَا الْعَقْلُ فِي الْمُوضِحَةِ فَمَا فَوْقَهَا. وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَهَى إِلَى الْمُوضِحَةِ فِي كِتَابِهِ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ فَجَعَلَ فِيهَا خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ، وَلَمْ تَقْضِ الْأَئِمَّةُ فِي الْقَدِيمِ، وَلَا فِي الْحَدِيثِ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ بِعَقْلٍ “

Malik berkata: “Ketentuan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa pada luka-luka kepala selain muḍiḥah tidak ada diyat, sampai luka itu mencapai derajat muḍiḥah. Diyat hanya berlaku pada muḍiḥah dan luka yang lebih berat darinya. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suratnya kepada ‘Amr bin Hazm menetapkan diyat pada muḍiḥah sebesar lima ekor unta, dan para imam baik di masa dahulu maupun sekarang tidak memutuskan adanya diyat pada luka yang lebih ringan dari muḍiḥah.”

وَقَدْ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: لَيْسَ فِي الْمَأْمُومَةِ قَوَدٌ

Ibnu Syihab berkata: “Tidak ada qishāṣ pada luka ma’mūmah.”

قَالَ مَالِكٌ: وَمَا يَصِلُ إِلَى الدِّمَاغِ إِذَا خَرَقَ الْعَظْمَ. قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَيْسَ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ مِنَ الشِّجَاجِ عَقْلٌ. حَتَّى تَبْلُغَ الْمُوضِحَةَ، وَإِنَّمَا الْعَقْلُ فِي الْمُوضِحَةِ فَمَا فَوْقَهَا. وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتَهَى إِلَى الْمُوضِحَةِ فِي كِتَابِهِ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ فَجَعَلَ فِيهَا خَمْسًا مِنَ الْإِبِلِ، وَلَمْ تَقْضِ الْأَئِمَّةُ فِي الْقَدِيمِ، وَلَا فِي الْحَدِيثِ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ بِعَقْلٍ “

Malik berkata: “Luka yang sampai ke otak adalah jika menembus tulang.” Malik juga berkata: “Ketentuan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa pada luka-luka kepala selain muḍiḥah tidak ada diyat, sampai luka itu mencapai derajat muḍiḥah. Diyat hanya berlaku pada muḍiḥah dan luka yang lebih berat darinya. Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suratnya kepada ‘Amr bin Hazm menetapkan diyat pada muḍiḥah sebesar lima ekor unta, dan para imam baik di masa dahulu maupun sekarang tidak memutuskan adanya diyat pada luka yang lebih ringan dari muḍiḥah.”

وَحَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ قَالَ: كُلُّ نَافِذَةٍ فِي عُضْوٍ مِنَ الْأَعْضَاءِ، فَفِيهَا ثُلُثُ عَقْلِ ذَلِكَ الْعُضْوِ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ كَانَ ابْنُ شِهَابٍ لَا يَرَى ذَلِكَ
 وَأَنَا لَا أَرَى فِي نَافِذَةٍ فِي عُضْوٍ مِنَ الْأَعْضَاءِ فِي الْجَسَدِ أَمْرًا مُجْتَمَعًا عَلَيْهِ، وَلَكِنِّي أَرَى فِيهَا الِاجْتِهَادَ يَجْتَهِدُ الْإِمَامُ فِي ذَلِكَ وَلَيْسَ فِي ذَلِكَ أَمْرٌ مُجْتَمَعٌ عَلَيْهِ عِنْدَنَا “

Yahya meriwayatkan dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ia berkata: “Setiap luka yang menembus pada salah satu anggota tubuh, maka diyatnya adalah sepertiga dari diyat anggota tersebut.” Malik berkata kepadaku bahwa Ibnu Syihab tidak berpendapat demikian. Dan aku sendiri tidak melihat adanya kesepakatan pada luka yang menembus salah satu anggota tubuh, tetapi menurutku hal itu merupakan ranah ijtihad, di mana imam berijtihad dalam menetapkannya, dan tidak ada ketentuan yang disepakati di kalangan kami.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ الْمَأْمُومَةَ وَالْمُنَقِّلَةَ وَالْمُوضِحَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا فِي الْوَجْهِ وَالرَّأْسِ، فَمَا كَانَ فِي الْجَسَدِ مِنْ ذَلِكَ فَلَيْسَ فِيهِ إِلَّا الِاجْتِهَادُ.

Malik berkata: “Ketentuan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa luka ma’mūmah, munqillah, dan muḍiḥah hanya terjadi di wajah dan kepala. Adapun jika luka-luka tersebut terjadi di anggota tubuh lain, maka penetapannya hanya berdasarkan ijtihad.”

قَالَ مَالِكٌ: فَلَا أَرَى اللَّحْيَ الْأَسْفَلَ وَالْأَنْفَ مِنَ الرَّأْسِ فِي جِرَاحِهِمَا لِأَنَّهُمَا عَظْمَانِ مُنْفَرِدَانِ وَالرَّأْسُ بَعْدَهُمَا عَظْمٌ وَاحِدٌ
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، أَقَادَ مِنَ الْمُنَقِّلَةِ

Malik berkata: “Aku tidak menganggap rahang bawah dan hidung sebagai bagian dari kepala dalam hal luka-luka yang terjadi pada keduanya, karena keduanya adalah dua tulang yang terpisah, sedangkan kepala setelah keduanya adalah satu tulang.” Yahya meriwayatkan dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abdirrahman, bahwa ‘Abdullah bin az-Zubair pernah melakukan qishāṣ pada luka munqillah.

بَابُ مَا جَاءَ فِي عَقْلِ الْأَصَابِعِ

Bab tentang ketentuan diyat pada jari-jari

وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ: كَمْ فِي إِصْبَعِ الْمَرْأَةِ؟ فَقَالَ: عَشْرٌ مِنَ الْإِبِلِ فَقُلْتُ: كَمْ فِي إِصْبَعَيْنِ؟ قَالَ: عِشْرُونَ مِنَ الْإِبِلِ، فَقُلْتُ: كَمْ فِي ثَلَاثٍ؟ فَقَالَ: ثَلَاثُونَ مِنَ الْإِبِلِ فَقُلْتُ: كَمْ فِي أَرْبَعٍ؟ قَالَ: عِشْرُونَ مِنَ الْإِبِلِ فَقُلْتُ: حِينَ عَظُمَ جُرْحُهَا، وَاشْتَدَّتْ مُصِيبَتُهَا، نَقَصَ عَقْلُهَا؟ فَقَالَ سَعِيدٌ: أَعِرَاقِيٌّ أَنْتَ؟ فَقُلْتُ: بَلْ عَالِمٌ مُتَثَبِّتٌ، أَوْ جَاهِلٌ مُتَعَلِّمٌ، فَقَالَ سَعِيدٌ: هِيَ السُّنَّةُ يَا ابْنَ أَخِي

Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abd ar-Rahman, bahwa ia berkata: Aku bertanya kepada Sa‘id bin al-Musayyib: “Berapa diyat untuk satu jari perempuan?” Ia menjawab: “Sepuluh ekor unta.” Aku bertanya lagi: “Berapa untuk dua jari?” Ia menjawab: “Dua puluh ekor unta.” Aku bertanya: “Berapa untuk tiga jari?” Ia menjawab: “Tiga puluh ekor unta.” Aku bertanya: “Berapa untuk empat jari?” Ia menjawab: “Dua puluh ekor unta.” Aku berkata: “Ketika lukanya semakin besar dan musibahnya semakin berat, justru diyatnya berkurang?” Sa‘id berkata: “Apakah kamu orang Irak?” Aku menjawab: “Bukan, aku adalah orang yang berilmu dan teliti, atau orang bodoh yang sedang belajar.” Sa‘id berkata: “Itulah sunnah, wahai anak saudaraku.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي أَصَابِعِ الْكَفِّ، إِذَا قُطِعَتْ فَقَدْ تَمَّ عَقْلُهَا، وَذَلِكَ أَنَّ خَمْسَ الْأَصَابِعِ إِذَا قُطِعَتْ كَانَ عَقْلُهَا عَقْلَ الْكَفِّ، خَمْسِينَ مِنَ الْإِبِلِ، فِي كُلِّ إِصْبَعٍ عَشَرَةٌ مِنَ الْإِبِلِ

Malik berkata: Ketentuan di tempat kami mengenai jari-jari tangan, jika terpotong maka diyatnya telah sempurna, yaitu jika kelima jari terpotong maka diyatnya adalah diyat tangan, yaitu lima puluh ekor unta, dan untuk setiap jari sepuluh ekor unta.

قَالَ مَالِكٌ: وَحِسَابُ الْأَصَابِعِ ثَلَاثَةٌ وَثَلَاثُونَ دِينَارًا، وَثُلُثُ دِينَارٍ فِي كُلِّ أُنْمُلَةٍ، وَهِيَ مِنَ الْإِبِلِ ثَلَاثُ فَرَائِضَ وَثُلُثُ فَرِيضَةٍ

Malik berkata: Perhitungan diyat jari-jari adalah tiga puluh tiga dinar dan sepertiga dinar untuk setiap ruas jari, dan dari unta adalah tiga diyat dan sepertiga diyat.

بَابُ جَامِعِ عَقْلِ الْأَسْنَانِ

Bab Kompilasi Diyat Gigi

7 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ جُنْدُبٍ، عَنْ أَسْلَمَ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، قَضَى فِي الضِّرْسِ بِجَمَلٍ، وَفِي التَّرْقُوَةِ بِجَمَلٍ، وَفِي الضِّلَعِ بِجَمَلٍ

Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Muslim bin Jundub, dari Aslam, maula ‘Umar bin al-Khattab, bahwa ‘Umar bin al-Khattab memutuskan untuk gigi geraham satu ekor unta, untuk tulang selangka satu ekor unta, dan untuk tulang rusuk satu ekor unta.

وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ سَمِعَ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ: قَضَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي الْأَضْرَاسِ بِبَعِيرٍ بَعِيرٍ، وَقَضَى مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ فِي الْأَضْرَاسِ بِخَمْسَةِ أَبْعِرَةٍ خَمْسَةِ أَبْعِرَةٍ. قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: فَالدِّيَةُ تَنْقُصُ فِي قَضَاءِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، وَتَزِيدُ فِي قَضَاءِ مُعَاوِيَةَ، فَلَوْ كُنْتُ أَنَا لَجَعَلْتُ فِي الْأَضْرَاسِ بَعِيرَيْنِ بَعِيرَيْنِ، فَتِلْكَ الدِّيَةُ سَوَاءٌ، وَكُلُّ مُجْتَهِدٍ مَأْجُورٌ

Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia mendengar Sa‘id bin al-Musayyib berkata: “‘Umar bin al-Khattab memutuskan untuk setiap geraham satu ekor unta, dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan memutuskan untuk setiap geraham lima ekor unta.” Sa‘id bin al-Musayyib berkata: “Maka diyatnya berkurang menurut keputusan ‘Umar bin al-Khattab, dan bertambah menurut keputusan Mu‘awiyah. Kalau aku, aku akan menetapkan untuk setiap geraham dua ekor unta, sehingga diyatnya menjadi sama, dan setiap mujtahid mendapat pahala.”

وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: إِذَا أُصِيبَتِ السِّنُّ فَاسْوَدَّتْ فَفِيهَا عَقْلُهَا تَامًّا، فَإِنْ طُرِحَتْ بَعْدَ أَنْ تَسْوَدَّ فَفِيهَا عَقْلُهَا أَيْضًا تَامًّا

Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ia berkata: “Jika gigi terkena luka lalu menjadi hitam, maka diyatnya tetap sempurna. Jika kemudian tanggal setelah menjadi hitam, maka diyatnya juga tetap sempurna.”

بَابُ الْعَمَلِ فِي عَقْلِ الْأَسْنَانِ

Bab Praktik dalam Diyat Gigi

8 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ، عَنْ أَبِي غَطَفَانَ بْنِ طَرِيفٍ الْمُرِّيِّ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ، أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ بَعَثَهُ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَسْأَلُهُ: مَاذَا فِي الضِّرْسِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: فِيهِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ. قَالَ فَرَدَّنِي مَرْوَانُ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ: أَتَجْعَلُ مُقَدَّمَ الْفَمِ مِثْلَ الْأَضْرَاسِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ: لَوْ لَمْ تَعْتَبِرْ ذَلِكَ إِلَّا بِالْأَصَابِعِ عَقْلُهَا سَوَاءٌ

Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Dawud bin al-Hushain, dari Abu Ghatafan bin Tarif al-Murri, bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa Marwan bin al-Hakam mengutusnya kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas untuk menanyakan: “Berapa diyat untuk geraham?” Maka ‘Abdullah bin ‘Abbas menjawab: “Lima ekor unta.” Lalu Marwan mengutusku kembali kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas dan berkata: “Apakah kamu menyamakan gigi depan dengan geraham?” Maka ‘Abdullah bin ‘Abbas menjawab: “Jika kamu hanya memperhatikan jari-jari, diyatnya sama.”

وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ كَانَ يُسَوِّي بَيْنَ الْأَسْنَانِ فِي الْعَقْلِ، وَلَا يُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ

Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa ia menyamakan seluruh gigi dalam hal diyat, dan tidak mengutamakan sebagian atas sebagian yang lain.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ مُقَدَّمَ الْفَمِ وَالْأَضْرَاسِ وَالْأَنْيَابِ عَقْلُهَا سَوَاءٌ، وَذَلِكَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي السِّنِّ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ، وَالضِّرْسُ سِنٌّ مِنَ الْأَسْنَانِ، لَا يَفْضُلُ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ

Malik berkata: Ketentuan di tempat kami adalah bahwa gigi depan, geraham, dan taring, diyatnya sama, karena Rasulullah ﷺ bersabda: “Pada setiap gigi lima ekor unta.” Dan geraham adalah salah satu dari gigi, tidak ada keutamaan sebagian atas sebagian yang lain.

بَابُ مَا جَاءَ فِي دِيَةِ جِرَاحِ الْعَبْدِ
وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، كَانَا يَقُولَانِ: فِي مُوضِحَةِ الْعَبْدِ نِصْفُ عُشْرِ ثَمَنِهِ

Bab tentang Diyat Luka Budak
Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Sa‘id bin al-Musayyib dan Sulaiman bin Yasar berkata: “Untuk luka muwadhihah pada budak, diyatnya setengah sepersepuluh dari harganya.”

وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ كَانَ يَقْضِي فِي الْعَبْدِ يُصَابُ بِالْجِرَاحِ أَنَّ عَلَى مَنْ جَرَحَهُ قَدْرَ مَا نَقَصَ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ.

Malik meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Marwan bin al-Hakam memutuskan dalam perkara budak yang terkena luka, bahwa orang yang melukainya wajib membayar sebesar nilai yang berkurang dari harga budak tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ فِي مُوضِحَةِ الْعَبْدِ نِصْفَ عُشْرِ ثَمَنِهِ، وَفِي مُنَقِّلَتِهِ الْعُشْرُ وَنِصْفُ الْعُشْرِ مِنْ ثَمَنِهِ، وَفِي مَأْمُومَتِهِ وَجَائِفَتِهِ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا ثُلُثُ ثَمَنِهِ، وَفِيمَا سِوَى هَذِهِ الْخِصَالِ الْأَرْبَعِ مِمَّا يُصَابُ بِهِ الْعَبْدُ مَا نَقَصَ مِنْ ثَمَنِهِ يُنْظَرُ فِي ذَلِكَ بَعْدَ مَا يَصِحُّ الْعَبْدُ، وَيَبْرَأُ كَمْ بَيْنَ قِيمَةِ الْعَبْدِ بَعْدَ أَنْ أَصَابَهُ الْجُرْحُ، وَقِيمَتِهِ صَحِيحًا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَهُ هَذَا، ثُمَّ يَغْرَمُ الَّذِي أَصَابَهُ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ.

Malik berkata: Dan praktik yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa untuk luka mudhihah pada budak, wajib membayar setengah dari sepersepuluh harga budaknya; untuk luka munqillah, wajib membayar sepersepuluh dan setengah sepersepuluh dari harga budaknya; untuk luka ma’mumah dan ja’ifah, pada masing-masingnya wajib membayar sepertiga harga budaknya. Adapun selain dari keempat jenis luka ini yang menimpa budak, maka dilihat berapa nilai yang berkurang dari harga budak tersebut setelah ia sembuh dan pulih, lalu dibandingkan antara nilai budak setelah terkena luka dan nilainya ketika masih sehat sebelum terluka, kemudian orang yang melukainya wajib membayar selisih antara kedua nilai tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْعَبْدِ إِذَا كُسِرَتْ يَدُهُ أَوْ رِجْلُهُ، ثُمَّ صَحَّ كَسْرُهُ فَلَيْسَ عَلَى مَنْ أَصَابَهُ شَيْءٌ، فَإِنْ أَصَابَ كَسْرَهُ ذَلِكَ نَقْصٌ أَوْ عَثَلٌ كَانَ عَلَى مَنْ أَصَابَهُ قَدْرُ مَا نَقَصَ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ

Malik berkata: Dalam kasus budak yang tangannya atau kakinya patah, lalu patahnya itu sembuh dengan baik, maka tidak ada kewajiban apa pun atas orang yang menyebabkan patah tersebut. Namun, jika akibat patah itu terjadi kekurangan atau cacat, maka orang yang menyebabkannya wajib membayar sebesar nilai yang berkurang dari harga budak tersebut.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْقِصَاصِ بَيْنَ الْمَمَالِيكِ، كَهَيْئَةِ قِصَاصِ الْأَحْرَارِ نَفْسُ الْأَمَةِ بِنَفْسِ الْعَبْدِ، وَجُرْحُهَا بِجُرْحِهِ، فَإِذَا قَتَلَ الْعَبْدُ عَبْدًا عَمْدًا خُيِّرَ سَيِّدُ الْعَبْدِ الْمَقْتُولِ، فَإِنْ شَاءَ قَتَلَ، وَإِنْ شَاءَ أَخَذَ الْعَقْلَ، فَإِنْ أَخَذَ الْعَقْلَ أَخَذَ قِيمَةَ عَبْدِهِ، وَإِنْ شَاءَ رَبُّ الْعَبْدِ الْقَاتِلِ أَنْ يُعْطِيَ ثَمَنَ الْعَبْدِ الْمَقْتُولِ فَعَلَ، وَإِنْ شَاءَ أَسْلَمَ عَبْدَهُ، فَإِذَا أَسْلَمَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ غَيْرُ ذَلِكَ، وَلَيْسَ لِرَبِّ الْعَبْدِ الْمَقْتُولِ إِذَا أَخَذَ الْعَبْدَ الْقَاتِلَ، وَرَضِيَ بِهِ أَنْ يَقْتُلَهُ، وَذَلِكَ فِي الْقِصَاصِ كُلِّهِ بَيْنَ الْعَبِيدِ فِي قَطْعِ الْيَدِ وَالرِّجْلِ وَأَشْبَاهِ ذَلِكَ بِمَنْزِلَتِهِ فِي الْقَتْلِ

Malik berkata: Praktik yang berlaku di kalangan kami dalam qishash antara para budak adalah seperti halnya qishash di antara orang-orang merdeka; jiwa seorang budak perempuan dibalas dengan jiwa budak laki-laki, dan lukanya dibalas dengan luka yang sama. Jika seorang budak membunuh budak lain secara sengaja, maka tuan dari budak yang terbunuh diberi pilihan: jika ia menghendaki, ia dapat membunuh (sebagai qishash), dan jika ia menghendaki, ia dapat mengambil ‘aql (diyat). Jika ia memilih mengambil ‘aql, maka ia mengambil nilai budaknya. Jika tuan dari budak pembunuh ingin membayar harga budak yang terbunuh, ia boleh melakukannya, atau jika ia ingin menyerahkan budaknya, ia juga boleh. Jika ia menyerahkan budaknya, maka tidak ada kewajiban lain atasnya. Tuan dari budak yang terbunuh, jika telah menerima budak pembunuh dan ridha dengannya, maka ia tidak boleh membunuhnya. Demikian pula dalam seluruh kasus qishash di antara para budak, baik dalam pemotongan tangan, kaki, dan semisalnya, kedudukannya sama seperti dalam kasus pembunuhan.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ يَجْرَحُ الْيَهُودِيَّ أَوِ النَّصْرَانِيَّ إِنَّ سَيِّدَ الْعَبْدِ إِنْ شَاءَ أَنْ يَعْقِلَ عَنْهُ مَا قَدْ أَصَابَ فَعَلَ، أَوْ أَسْلَمَهُ، فَيُبَاعُ فَيُعْطِي الْيَهُودِيَّ أَوِ النَّصْرَانِيَّ مِنْ ثَمَنِ الْعَبْدِ دِيَةَ جُرْحِهِ أَوْ ثَمَنَهُ كُلَّهُ إِنْ أَحَاطَ بِثَمَنِهِ، وَلَا يُعْطِي الْيَهُودِيَّ وَلَا النَّصْرَانِيَّ عَبْدًا مُسْلِمًا

Malik berkata: Dalam kasus budak Muslim yang melukai seorang Yahudi atau Nasrani, maka tuan budak tersebut, jika ia menghendaki untuk membayar diyat atas nama budaknya, ia boleh melakukannya, atau ia dapat menyerahkan budaknya, lalu budak itu dijual dan kepada Yahudi atau Nasrani diberikan dari hasil penjualan budak tersebut diyat luka atau seluruh harga budak jika luka itu menghabiskan seluruh nilainya. Namun, tidak boleh memberikan budak Muslim kepada Yahudi atau Nasrani.

بَابُ مَا جَاءَ فِي دِيَةِ أَهْلِ الذِّمَّةِ

Bab tentang diyat bagi ahludz-dzimmah.

وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ، قَضَى أَنَّ دِيَةَ الْيَهُودِيِّ أَوِ النَّصْرَانِيِّ إِذَا قُتِلَ أَحَدُهُمَا مِثْلُ نِصْفِ دِيَةِ الْحُرِّ الْمُسْلِمِ

Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Umar bin Abdul Aziz memutuskan bahwa diyat bagi Yahudi atau Nasrani jika salah satu dari mereka terbunuh adalah setara dengan setengah diyat orang merdeka Muslim.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنْ لَا يُقْتَلَ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ، إِلَّا أَنْ يَقْتُلَهُ مُسْلِمٌ قَتْلَ غِيلَةٍ فَيُقْتَلُ بِهِ

Malik berkata: Praktik yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa seorang Muslim tidak dibunuh karena membunuh seorang kafir, kecuali jika seorang Muslim membunuhnya dengan cara ghilah (pengkhianatan), maka ia dibunuh karenanya.

وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ سُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، كَانَ يَقُولُ: دِيَةُ الْمَجُوسِيِّ ثَمَانِيَ مِائَةِ دِرْهَمٍ

Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, bahwa Sulaiman bin Yasar berkata: Diyat bagi seorang Majusi adalah delapan ratus dirham.

قَالَ مَالِكٌ: وَهُوَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا.

Malik berkata: Dan demikianlah praktik yang berlaku di kalangan kami.

قَالَ مَالِكٌ: وَجِرَاحُ الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ وَالْمَجُوسِيِّ فِي دِيَاتِهِمْ عَلَى حِسَابِ جِرَاحِ الْمُسْلِمِينَ فِي دِيَاتِهِمُ الْمُوضِحَةُ نِصْفُ عُشْرِ دِيَتِهِ، وَالْمَأْمُومَةُ ثُلُثُ دِيَتِهِ، وَالْجَائِفَةُ ثُلُثُ دِيَتِهِ فَعَلَى حِسَابِ ذَلِكَ جِرَاحَاتُهُمْ كُلُّهَا

Malik berkata: Luka-luka pada Yahudi, Nasrani, dan Majusi dalam diyat mereka dihitung sebagaimana luka-luka pada kaum Muslimin dalam diyat mereka; mudhihah setengah dari sepersepuluh diyatnya, ma’mumah sepertiga diyatnya, ja’ifah sepertiga diyatnya, dan demikian pula perhitungan seluruh luka mereka.

بَابُ مَا يُوجِبُ الْعَقْلَ عَلَى الرَّجُلِ فِي خَاصَّةِ مَالِهِ

Bab tentang perkara yang mewajibkan ‘aql atas seorang laki-laki dari harta pribadinya.

حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: لَيْسَ عَلَى الْعَاقِلَةِ عَقْلٌ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ، إِنَّمَا عَلَيْهِمْ عَقْلُ قَتْلِ الْخَطَإِ

Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Tidak ada kewajiban ‘aql atas ‘aqilah dalam kasus pembunuhan sengaja (‘amd), mereka hanya menanggung ‘aql untuk pembunuhan tidak sengaja (khatha’).

وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ الْعَاقِلَةَ لَا تَحْمِلُ شَيْئًا مِنْ دِيَةِ الْعَمْدِ، إِلَّا أَنْ يَشَاءُوا ذَلِكَ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ مِثْلَ ذَلِكَ.

Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa ia berkata: Sunnah telah berlaku bahwa ‘aqilah tidak menanggung apa pun dari diyat pembunuhan sengaja (‘amd), kecuali jika mereka menghendaki demikian. Dari Yahya bin Sa’id juga seperti itu.

قَالَ مَالِكٌ: إِنَّ ابْنَ شِهَابٍ قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ حِينَ يَعْفُو أَوْلِيَاءُ الْمَقْتُولِ، أَنَّ الدِّيَةَ تَكُونُ عَلَى الْقَاتِلِ فِي مَالِهِ خَاصَّةً إِلَّا أَنْ تُعِينَهُ الْعَاقِلَةُ عَنْ طِيبِ نَفْسٍ مِنْهَا.

Malik berkata: Ibnu Syihab berkata: Sunnah telah berlaku dalam kasus pembunuhan sengaja, apabila para wali korban memaafkan, maka diyat menjadi tanggungan si pembunuh dari hartanya sendiri, kecuali jika ‘āqilah membantunya dengan kerelaan dari mereka.

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ الدِّيَةَ لَا تَجِبُ عَلَى الْعَاقِلَةِ حَتَّى تَبْلُغَ الثُّلُثَ فَصَاعِدًا، فَمَا بَلَغَ الثُّلُثَ فَهُوَ عَلَى الْعَاقِلَةِ، وَمَا كَانَ دُونَ الثُّلُثِ فَهُوَ فِي مَالِ الْجَارِحِ خَاصَّةً.

Malik berkata: Ketentuan menurut kami adalah bahwa diyat tidak menjadi tanggungan ‘āqilah kecuali jika mencapai sepertiga atau lebih. Apa yang mencapai sepertiga, maka itu menjadi tanggungan ‘āqilah, dan apa yang kurang dari sepertiga maka menjadi tanggungan pelaku luka dari hartanya sendiri.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا فِيمَنْ قُبِلَتْ مِنْهُ الدِّيَةُ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ، أَوْ فِي شَيْءٍ مِنَ الْجِرَاحِ الَّتِي فِيهَا الْقِصَاصُ، أَنَّ عَقْلَ ذَلِكَ لَا يَكُونُ عَلَى الْعَاقِلَةِ إِلَّا أَنْ يَشَاءُوا، وَإِنَّمَا عَقْلُ ذَلِكَ فِي مَالِ الْقَاتِلِ أَوِ الْجَارِحِ خَاصَّةً، إِنْ وُجِدَ لَهُ مَالٌ، فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ لَهُ مَالٌ كَانَ دَيْنًا عَلَيْهِ وَلَيْسَ عَلَى الْعَاقِلَةِ مِنْهُ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءُوا.

Malik berkata: Ketentuan yang tidak ada perbedaan pendapat di antara kami mengenai orang yang diterima darinya diyat dalam pembunuhan sengaja, atau dalam sebagian luka yang ada qishāsh-nya, adalah bahwa diyat tersebut tidak menjadi tanggungan ‘āqilah kecuali jika mereka menghendaki, dan sesungguhnya diyat itu hanya dari harta si pembunuh atau pelaku luka saja, jika ia memiliki harta. Jika ia tidak memiliki harta, maka itu menjadi utang atasnya dan tidak ada bagian dari ‘āqilah kecuali jika mereka menghendaki.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا تَعْقِلُ الْعَاقِلَةُ أَحَدًا أَصَابَ نَفْسَهُ عَمْدًا، أَوْ خَطَأً بِشَيْءٍ، وَعَلَى ذَلِكَ رَأْيُ أَهْلِ الْفِقْهِ عِنْدَنَا، وَلَمْ أَسْمَعْ أَنَّ أَحَدًا ضَمَّنَ الْعَاقِلَةَ مِنْ دِيَةِ الْعَمْدِ شَيْئًا، وَمِمَّا يُعْرَفُ بِهِ ذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ {فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ} [البقرة: 178] فَتَفْسِيرُ ذَلِكَ فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ، أَنَّهُ مَنْ أُعْطِيَ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ مِنَ الْعَقْلِ فَلْيَتْبَعْهُ بِالْمَعْرُوفِ، وَلْيُؤَدِّ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ “

Malik berkata: “‘Āqilah tidak menanggung siapa pun yang melukai dirinya sendiri, baik sengaja maupun tidak sengaja, dalam hal apa pun. Demikianlah pendapat ahli fiqh di kalangan kami, dan aku tidak pernah mendengar ada yang mewajibkan ‘āqilah membayar diyat pembunuhan sengaja sedikit pun. Di antara yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta‘ala dalam Kitab-Nya: {Barang siapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan (yang membayar diyat) membayarnya dengan baik} (QS. Al-Baqarah: 178). Penafsiran ayat ini menurut kami—dan Allah lebih mengetahui—adalah bahwa siapa yang diberikan sebagian diyat oleh saudaranya, hendaklah ia menagihnya dengan cara yang baik dan membayarnya dengan baik.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الصَّبِيِّ الَّذِي لَا مَالَ لَهُ، وَالْمَرْأَةِ الَّتِي لَا مَالَ لَهَا، إِذَا جَنَى أَحَدُهُمَا جِنَايَةً دُونَ الثُّلُثِ إِنَّهُ ضَامِنٌ عَلَى الصَّبِيِّ وَالْمَرْأَةِ فِي مَالِهِمَا خَاصَّةً إِنْ كَانَ لَهُمَا مَالٌ أُخِذَ مِنْهُ، وَإِلَّا فَجِنَايَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا دَيْنٌ عَلَيْهِ لَيْسَ عَلَى الْعَاقِلَةِ مِنْهُ شَيْءٌ، وَلَا يُؤْخَذُ أَبُو الصَّبِيِّ بِعَقْلِ جِنَايَةِ الصَّبِيِّ، وَلَيْسَ ذَلِكَ عَلَيْهِ.

Malik berkata: Mengenai anak kecil yang tidak punya harta, dan perempuan yang tidak punya harta, jika salah satu dari mereka melakukan tindak pidana yang nilainya kurang dari sepertiga, maka tanggung jawabnya atas anak kecil dan perempuan itu dari harta mereka sendiri, jika mereka memiliki harta maka diambil darinya, dan jika tidak, maka tindak pidana masing-masing menjadi utang atasnya dan tidak ada bagian dari ‘āqilah, dan ayah anak kecil tidak dibebani membayar diyat tindak pidana anak kecil, dan itu bukan tanggung jawabnya.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا قُتِلَ كَانَتْ فِيهِ الْقِيمَةُ يَوْمَ يُقْتَلُ، وَلَا تَحْمِلُ عَاقِلَةُ قَاتِلِهِ مِنْ قِيمَةِ الْعَبْدِ شَيْئًا قَلَّ أَوْ كَثُرَ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ عَلَى الَّذِي أَصَابَهُ فِي مَالِهِ خَاصَّةً بَالِغًا مَا بَلَغَ، وَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعَبْدِ الدِّيَةَ أَوْ أَكْثَرَ، فَذَلِكَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْعَبْدَ سِلْعَةٌ مِنَ السِّلَعِ

Malik berkata: Ketentuan yang tidak ada perbedaan pendapat di antara kami adalah bahwa apabila seorang budak dibunuh, maka yang berlaku adalah nilai budak pada hari ia dibunuh, dan ‘āqilah pembunuhnya tidak menanggung sedikit pun dari nilai budak, baik sedikit maupun banyak. Hal itu hanya menjadi tanggungan orang yang melakukannya dari hartanya sendiri, berapa pun nilainya. Jika nilai budak itu setara dengan diyat atau lebih, maka itu tetap menjadi tanggungannya dari hartanya sendiri, karena budak adalah barang dagangan di antara barang-barang dagangan.

بَابُ مَا جَاءَ فِي مِيرَاثِ الْعَقْلِ وَالتَّغْلِيظِ فِيهِ

Bab tentang apa yang datang mengenai warisan diyat dan penegasannya

9 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، نَشَدَ النَّاسَ بِمِنًى: مَنْ كَانَ عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الدِّيَةِ أَنْ يُخْبِرَنِي، فَقَامَ الضَّحَّاكُ بْنُ سُفْيَانَ الْكِلَابِيُّ فَقَالَ: كَتَبَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أُوَرِّثَ امْرَأَةَ أَشْيَمَ الضِّبَابِيِّ مِنْ دِيَةِ زَوْجِهَا فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ادْخُلِ الْخِبَاءَ حَتَّى آتِيَكَ، فَلَمَّا نَزَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَخْبَرَهُ الضَّحَّاكُ، فَقَضَى بِذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ  قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: وَكَانَ قَتْلُ أَشْيَمَ خَطَأً

9 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ibnu Syihab, bahwa Umar bin al-Khaththab pernah menyeru orang-orang di Mina: “Siapa yang memiliki pengetahuan tentang diyat, hendaklah memberitahuku.” Maka berdirilah adh-Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi dan berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat kepadaku agar aku mewariskan kepada istri Asyam adh-Dhibabi dari diyat suaminya.” Maka Umar bin al-Khaththab berkata kepadanya: “Masuklah ke dalam kemah hingga aku menemuimu.” Ketika Umar bin al-Khaththab turun, adh-Dhahhak memberitahunya, lalu Umar bin al-Khaththab memutuskan demikian. Ibnu Syihab berkata: “Pembunuhan Asyam itu tidak sengaja.”

10 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ يُقَالُ لَهُ قَتَادَةُ، حَذَفَ ابْنَهُ بِالسَّيْفِ، فَأَصَابَ سَاقَهُ، فَنُزِيَ فِي جُرْحِهِ فَمَاتَ، فَقَدِمَ سُرَاقَةُ بْنُ جُعْشُمٍ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: اعْدُدْ عَلَى مَاءِ قُدَيْدٍ عِشْرِينَ وَمِائَةَ بَعِيرٍ حَتَّى أَقْدَمَ عَلَيْكَ، فَلَمَّا قَدِمَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، أَخَذَ مِنْ تِلْكَ الْإِبِلِ ثَلَاثِينَ حِقَّةً، وَثَلَاثِينَ جَذَعَةً، وَأَرْبَعِينَ خَلِفَةً، ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ أَخُو الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: هَأَنَذَا، قَالَ: خُذْهَا فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَيْسَ لِقَاتِلٍ شَيْءٌ

10 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari ‘Amr bin Syu‘aib, bahwa seorang laki-laki dari Bani Mudlij yang bernama Qatadah melempar anaknya dengan pedang, lalu mengenai betisnya, sehingga lukanya memburuk dan ia pun meninggal. Maka Suraqah bin Ju‘syum datang menghadap ‘Umar bin al-Khattab dan menceritakan hal itu kepadanya. Lalu ‘Umar berkata kepadanya, “Hitunglah di Ma’ Qudayd seratus dua puluh unta sampai aku datang kepadamu.” Ketika ‘Umar bin al-Khattab telah datang kepadanya, ia mengambil dari unta-unta itu tiga puluh hiqqah, tiga puluh jadza‘ah, dan empat puluh khalifah. Kemudian ia berkata, “Di mana saudara si terbunuh?” Ia menjawab, “Ini saya.” ‘Umar berkata, “Ambillah itu, karena Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Pembunuh tidak mendapat bagian apa pun.’”

وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، وَسُلَيْمَانَ بْنَ يَسَارٍ، سُئِلَا: أَتُغَلَّظُ الدِّيَةُ فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ؟ فَقَالَا: لَا، وَلَكِنْ يُزَادُ فِيهَا لِلْحُرْمَةِ، فَقِيلَ لِسَعِيدٍ: هَلْ يُزَادُ فِي الْجِرَاحِ كَمَا يُزَادُ فِي النَّفْسِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ.

Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Sa‘id bin al-Musayyab dan Sulaiman bin Yasar pernah ditanya, “Apakah diyat diperberat pada bulan haram?” Keduanya menjawab, “Tidak, tetapi ditambah karena kehormatannya.” Lalu ditanyakan kepada Sa‘id, “Apakah luka-luka juga ditambah sebagaimana jiwa?” Ia menjawab, “Ya.”

قَالَ مَالِكٌ: أُرَاهُمَا أَرَادَا مِثْلَ الَّذِي صَنَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي عَقْلِ الْمُدْلِجِيِّ حِينَ أَصَابَ ابْنَهُ

Malik berkata, “Aku kira keduanya bermaksud seperti yang dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khattab dalam diyat orang Mudlij ketika ia melukai anaknya.”

11 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، ” أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ أُحَيْحَةُ بْنُ الْجُلَاحِ، كَانَ لَهُ عَمٌّ صَغِيرٌ هُوَ أَصْغَرُ مِنْ أُحَيْحَةَ، وَكَانَ عِنْدَ أَخْوَالِهِ، فَأَخَذَهُ أُحَيْحَةُ فَقَتَلَهُ، فَقَالَ أَخْوَالُهُ: كُنَّا أَهْلَ ثُمِّهِ وَرُمِّهِ حَتَّى إِذَا اسْتَوَى عَلَى عُمَمِهِ، غَلَبَنَا حَقُّ امْرِئٍ فِي عَمِّهِ “، قَالَ عُرْوَةُ: فَلِذَلِكَ لَا يَرِثُ قَاتِلٌ مَنْ قَتَلَ

11 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, dari ‘Urwah bin az-Zubair, bahwa seorang laki-laki dari Anshar yang bernama Uhayshah bin al-Julah memiliki seorang paman kecil yang usianya lebih muda dari Uhayshah, dan ia berada di sisi keluarga ibunya. Lalu Uhayshah mengambilnya dan membunuhnya. Maka keluarga ibunya berkata, “Kami adalah keluarganya yang mengasuh dan membesarkannya, tetapi ketika ia telah dewasa, hak seorang laki-laki atas pamannya mengalahkan kami.” ‘Urwah berkata, “Karena itulah pembunuh tidak mewarisi dari orang yang dibunuhnya.”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا أَنَّ قَاتِلَ الْعَمْدِ لَا يَرِثُ مِنْ دِيَةِ مَنْ قَتَلَ شَيْئًا، وَلَا مِنْ مَالِهِ، وَلَا يَحْجُبُ أَحَدًا وَقَعَ لَهُ مِيرَاثٌ، وَأَنَّ الَّذِي يَقْتُلُ خَطَأً لَا يَرِثُ مِنَ الدِّيَةِ شَيْئًا، وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي أَنْ يَرِثَ مِنْ مَالِهِ لِأَنَّهُ لَا يُتَّهَمُ عَلَى أَنَّهُ قَتَلَهُ لِيَرِثَهُ، وَلِيَأْخُذَ مَالَهُ فَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يَرِثَ مِنْ مَالِهِ، وَلَا يَرِثُ مِنْ دِيَتِهِ

Malik berkata, “Pendapat yang tidak ada perbedaan di antara kami adalah bahwa pembunuh sengaja tidak mewarisi sedikit pun dari diyat orang yang dibunuhnya, juga tidak dari hartanya, dan tidak menghalangi siapa pun yang berhak mendapat warisan. Adapun orang yang membunuh karena tidak sengaja, ia tidak mewarisi sedikit pun dari diyat, namun ada perbedaan pendapat apakah ia boleh mewarisi dari hartanya, karena ia tidak dituduh membunuh untuk mewarisi dan mengambil hartanya. Maka yang lebih aku sukai adalah ia boleh mewarisi dari hartanya, tetapi tidak dari diyatnya.”

بَابُ جَامِعِ الْعَقْلِ

Bab: Kompilasi Hukum Diyat

12 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: جَرْحُ الْعَجْمَاءِ جُبَارٌ، وَالْبِئْرُ جُبَارٌ، وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ، وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ

12 – Yahya telah menceritakan kepadaku, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Sa‘id bin al-Musayyab dan Abu Salamah bin ‘Abd ar-Rahman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Luka yang disebabkan oleh hewan tidak ada diyatnya (jubar), sumur tidak ada diyatnya (jubar), tambang tidak ada diyatnya (jubar), dan pada rikaz (harta temuan) ada seperlimanya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَتَفْسِيرُ الْجُبَارِ أَنَّهُ لَا دِيَةَ فِيهِ

Malik berkata, “Penjelasan jubar adalah tidak ada diyat padanya.”

وَقَالَ مَالِكٌ: الْقَائِدُ وَالسَّائِقُ وَالرَّاكِبُ كُلُّهُمْ ضَامِنُونَ لِمَا أَصَابَتِ الدَّابَّةُ، إِلَّا أَنْ تَرْمَحَ الدَّابَّةُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا شَيْءٌ تَرْمَحُ لَهُ. وَقَدْ قَضَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي الَّذِي أَجْرَى فَرَسَهُ بِالْعَقْلِ “.

Malik berkata, “Orang yang menuntun, menggiring, dan menunggangi hewan, semuanya bertanggung jawab atas apa yang dilakukan hewan itu, kecuali jika hewan itu menendang tanpa ada sesuatu yang menyebabkan ia menendang. Dan ‘Umar bin al-Khattab telah memutuskan diyat pada orang yang menjalankan kudanya.”

قَالَ مَالِكٌ: فَالْقَائِدُ وَالرَّاكِبُ وَالسَّائِقُ أَحْرَى أَنْ يَغْرَمُوا مِنَ الَّذِي أَجْرَى فَرَسَهُ.

Malik berkata, “Maka orang yang menuntun, menunggangi, dan menggiring hewan lebih pantas untuk menanggung ganti rugi daripada orang yang sekadar menjalankan kudanya.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الَّذِي يَحْفِرُ الْبِئْرَ عَلَى الطَّرِيقِ، أَوْ يَرْبِطُ الدَّابَّةَ، أَوْ يَصْنَعُ أَشْبَاهَ هَذَا عَلَى طَرِيقِ الْمُسْلِمِينَ، أَنَّ مَا صَنَعَ مِنْ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَصْنَعَهُ عَلَى طَرِيقِ الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ ضَامِنٌ لِمَا أُصِيبَ فِي ذَلِكَ مِنْ جَرْحٍ، أَوْ غَيْرِهِ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَقْلُهُ دُونَ ثُلُثِ الدِّيَةِ فَهُوَ فِي مَالِهِ خَاصَّةً، وَمَا بَلَغَ الثُّلُثَ فَصَاعِدًا، فَهُوَ عَلَى الْعَاقِلَةِ، وَمَا صَنَعَ مِنْ ذَلِكَ مِمَّا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَصْنَعَهُ عَلَى طَرِيقِ الْمُسْلِمِينَ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ فِيهِ، وَلَا غُرْمَ وَمِنْ ذَلِكَ الْبِئْرُ يَحْفِرُهَا الرَّجُلُ لِلْمَطَرِ وَالدَّابَّةُ يَنْزِلُ عَنْهَا الرَّجُلُ لِلْحَاجَةِ فَيَقِفُهَا عَلَى الطَّرِيقِ، فَلَيْسَ عَلَى أَحَدٍ فِي هَذَا غُرْمٌ “،

Malik berkata: Adapun praktik yang berlaku di kalangan kami mengenai orang yang menggali sumur di jalan, atau mengikat hewan tunggangan, atau melakukan hal-hal serupa di jalan kaum Muslimin, maka apa pun yang ia lakukan dari hal tersebut yang tidak boleh ia lakukan di jalan kaum Muslimin, maka ia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi akibat perbuatannya itu, baik berupa luka maupun selainnya. Jika diyat (ganti rugi) dari hal itu kurang dari sepertiga diyat, maka itu menjadi tanggungannya sendiri secara khusus, dan jika mencapai sepertiga atau lebih, maka itu menjadi tanggungan ‘āqilah. Adapun apa yang ia lakukan dari hal-hal yang dibolehkan di jalan kaum Muslimin, maka tidak ada tanggungan atasnya dan tidak pula kewajiban ganti rugi. Termasuk dalam hal ini adalah sumur yang digali seseorang untuk menampung air hujan, atau seseorang turun dari hewan tunggangannya untuk suatu keperluan lalu menambatkannya di jalan, maka tidak ada kewajiban ganti rugi atas siapa pun dalam hal ini.

وقَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يَنْزِلُ فِي الْبِئْرِ، فَيُدْرِكُهُ رَجُلٌ آخَرُ فِي أَثَرِهِ، فَيَجْبِذُ الْأَسْفَلُ الْأَعْلَى، فَيَخِرَّانِ فِي الْبِئْرِ فَيَهْلِكَانِ جَمِيعًا أَنَّ عَلَى عَاقِلَةِ الَّذِي جَبَذَهُ الدِّيَةَ

Malik berkata: Mengenai seseorang yang turun ke dalam sumur, lalu datang orang lain mengikutinya, kemudian orang yang di bawah menarik orang yang di atas sehingga keduanya terjatuh ke dalam sumur dan keduanya meninggal, maka diyatnya menjadi tanggungan ‘āqilah orang yang menarik itu.

قَالَ مَالِكٌ: فِي الصَّبِيِّ يَأْمُرُهُ الرَّجُلُ يَنْزِلُ فِي الْبِئْرِ أَوْ يَرْقَى فِي النَّخْلَةِ، فَيَهْلِكُ فِي ذَلِكَ أَنَّ الَّذِي أَمَرَهُ ضَامِنٌ لِمَا أَصَابَهُ مِنْ هَلَاكٍ أَوْ غَيْرِهِ.

Malik berkata: Mengenai seorang anak kecil yang diperintahkan oleh seseorang untuk turun ke dalam sumur atau memanjat pohon kurma, lalu ia meninggal karena hal itu, maka orang yang memerintahnya bertanggung jawab atas kematian atau kerugian yang menimpanya.

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ عَقْلٌ يَجِبُ عَلَيْهِمْ أَنْ يَعْقِلُوهُ مَعَ الْعَاقِلَةِ فِيمَا تَعْقِلُهُ الْعَاقِلَةُ مِنَ الدِّيَاتِ، وَإِنَّمَا يَجِبُ الْعَقْلُ عَلَى مَنْ بَلَغَ الْحُلُمَ مِنَ الرِّجَالِ

Malik berkata: Ketentuan yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kami adalah bahwa perempuan dan anak-anak tidak wajib menanggung diyat bersama ‘āqilah dalam perkara diyat yang menjadi tanggungan ‘āqilah, dan diyat hanya wajib atas laki-laki yang telah baligh.

وقَالَ مَالِكٌ: فِي عَقْلِ الْمَوَالِي، تُلْزَمُهُ الْعَاقِلَةُ إِنْ شَاءُوا، وَإِنْ أَبَوْا كَانُوا أَهْلَ دِيوَانٍ، أَوْ مُقْطَعِينَ، وَقَدْ تَعَاقَلَ النَّاسُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَفِي زَمَانِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ قَبْلَ أَنْ يَكُونَ دِيوَانٌ، وَإِنَّمَا كَانَ الدِّيوَانُ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْقِلَ عَنْهُ غَيْرُ قَوْمِهِ وَمَوَالِيهِ، لِأَنَّ الْوَلَاءَ لَا يَنْتَقِلُ، وَلِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ.

Malik berkata: Dalam hal diyat para mawālī, maka ‘āqilah mereka yang menanggungnya jika mereka mau, dan jika mereka enggan, sementara mereka adalah ahli dīwān atau orang yang mendapat bagian tanah, maka pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq sebelum adanya dīwān, orang-orang saling menanggung diyat. Dīwān baru ada pada masa ‘Umar bin al-Khaththab. Maka tidak boleh ada yang menanggung diyat selain dari kaum dan mawālī-nya sendiri, karena wala’ tidak dapat berpindah, dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wala’ itu bagi orang yang memerdekakan.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْوَلَاءُ نَسَبٌ ثَابِتٌ. قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَا أُصِيبَ مِنَ الْبَهَائِمِ أَنَّ عَلَى مَنْ أَصَابَ مِنْهَا شَيْئًا قَدْرَ مَا نَقَصَ مِنْ ثَمَنِهَا.

Malik berkata: Wala’ adalah nasab yang tetap. Malik juga berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami mengenai hewan ternak yang mengalami kerugian adalah bahwa orang yang menyebabkan kerugian pada hewan tersebut wajib mengganti sesuai dengan nilai kerugian dari harga hewan itu.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَكُونُ عَلَيْهِ الْقَتْلُ فَيُصِيبُ حَدًّا مِنَ الْحُدُودِ أَنَّهُ لَا يُؤْخَذُ بِهِ، وَذَلِكَ أَنَّ الْقَتْلَ يَأْتِي عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ إِلَّا الْفِرْيَةَ، فَإِنَّهَا تَثْبُتُ عَلَى مَنْ قِيلَتْ لَهُ يُقَالُ لَهُ: مَا لَكَ لَمْ تَجْلِدْ مَنِ افْتَرَى عَلَيْكَ، فَأَرَى أَنْ يُجْلَدَ الْمَقْتُولُ الْحَدَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْتَلَ، ثُمَّ يُقْتَلَ، وَلَا أَرَى أَنْ يُقَادَ مِنْهُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْجِرَاحِ إِلَّا الْقَتْلَ لِأَنَّ الْقَتْلَ يَأْتِي عَلَى ذَلِكَ كُلِّهِ “.

Malik berkata: Dalam kasus seseorang yang dijatuhi hukuman mati lalu ia juga terkena hukuman hadd, maka ia tidak diambil (dihukum) dengan hadd tersebut, karena hukuman mati mencakup semuanya kecuali tuduhan palsu (al-firiyah), maka tuduhan itu tetap berlaku atas orang yang dituduh, dan dikatakan kepadanya: “Mengapa engkau tidak menuntut orang yang menuduhmu berbohong untuk dihukum cambuk?” Maka menurutku, orang yang akan dieksekusi tetap dicambuk karena tuduhan sebelum dieksekusi, lalu setelah itu ia dibunuh. Aku tidak berpendapat bahwa ia harus dibalas dalam hal luka-luka kecuali dalam kasus pembunuhan, karena hukuman mati mencakup semuanya.

وقَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّ الْقَتِيلَ إِذَا وُجِدَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ قَوْمٍ فِي قَرْيَةٍ أَوْ غَيْرِهَا لَمْ يُؤْخَذْ بِهِ أَقْرَبُ النَّاسِ إِلَيْهِ دَارًا، وَلَا مَكَانًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ قَدْ يُقْتَلُ الْقَتِيلُ، ثُمَّ يُلْقَى عَلَى بَابِ قَوْمٍ لِيُلَطَّخُوا بِهِ فَلَيْسَ يُؤَاخَذُ أَحَدٌ بِمِثْلِ ذَلِكَ.

Malik berkata: Ketentuan yang berlaku di kalangan kami adalah bahwa jika ditemukan seseorang yang terbunuh di tengah-tengah suatu kaum, baik di desa maupun di tempat lain, maka tidak diambil tanggung jawab dari orang yang rumahnya paling dekat atau tempatnya paling dekat dengan korban, karena bisa saja korban dibunuh lalu dilemparkan di depan pintu suatu kaum agar mereka dituduh, maka tidak ada seorang pun yang bisa dimintai pertanggungjawaban dalam kasus seperti ini.

قَالَ مَالِكٌ: فِي جَمَاعَةٍ مِنَ النَّاسِ، اقْتَتَلُوا فَانْكَشَفُوا، وَبَيْنَهُمْ قَتِيلٌ أَوْ جَرِيحٌ، لَا يُدْرَى مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِهِ، إِنَّ أَحْسَنَ مَا سُمِعَ فِي ذَلِكَ، أَنَّ عَلَيْهِ الْعَقْلَ، وَأَنَّ عَقْلَهُ عَلَى الْقَوْمِ الَّذِينَ نَازَعُوهُ، وَإِنْ كَانَ الْجَرِيحُ أَوِ الْقَتِيلُ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيقَيْنِ فَعَقْلُهُ عَلَى الْفَرِيقَيْنِ جَمِيعًا

Malik berkata: Dalam kasus sekelompok orang yang saling berkelahi lalu mereka bubar, dan di antara mereka ditemukan orang yang terbunuh atau terluka, dan tidak diketahui siapa pelakunya, maka pendapat terbaik yang pernah aku dengar dalam hal ini adalah bahwa diyatnya tetap harus dibayar, dan diyat itu menjadi tanggungan kelompok yang berselisih dengannya. Jika korban luka atau terbunuh itu bukan dari kedua kelompok yang bertikai, maka diyatnya menjadi tanggungan kedua kelompok tersebut secara bersama-sama.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْغِيلَةِ وَالسِّحْرِ

Bab tentang apa yang datang mengenai al-ghīlah dan sihir

13 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَتَلَ نَفَرًا، خَمْسَةً أَوْ سَبْعَةً بِرَجُلٍ وَاحِدٍ قَتَلُوهُ قَتْلَ غِيلَةٍ وَقَالَ عُمَرُ: لَوْ تَمَالَأَ عَلَيْهِ أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ جَمِيعًا

13 – Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa ‘Umar bin al-Khattab membunuh sekelompok orang, lima atau tujuh orang, karena mereka telah membunuh satu orang dengan cara ghīlah (pembunuhan tipu daya). ‘Umar berkata, “Seandainya seluruh penduduk Shan‘a’ bersekongkol membunuhnya, niscaya aku akan membunuh mereka semua.”

14 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدِ بْنِ زُرَارَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ حَفْصَةَ، زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَتَلَتْ جَارِيَةً لَهَا سَحَرَتْهَا، وَقَدْ كَانَتْ دَبَّرَتْهَا، فَأَمَرَتْ بِهَا فَقُتِلَتْ

14 – Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik, dari Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Sa‘d bin Zurārah, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Hafshah, istri Nabi ﷺ, membunuh seorang budak perempuannya karena telah menyihirnya, padahal budak itu telah dimerdekakan olehnya. Maka ia memerintahkan agar budak itu dibunuh, lalu dibunuhlah budak itu.

قَالَ مَالِكٌ: ” السَّاحِرُ الَّذِي يَعْمَلُ السِّحْرَ، وَلَمْ يَعْمَلْ ذَلِكَ لَهُ غَيْرُهُ، هُوَ مَثَلُ الَّذِي قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي كِتَابِهِ {وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ} [البقرة: 102] فَأَرَى أَنْ يُقْتَلَ ذَلِكَ، إِذَا عَمِلَ ذَلِكَ هُوَ نَفْسُهُ “

Malik berkata: “Penyihir yang melakukan sihir, dan tidak ada orang lain yang melakukannya untuknya, maka ia seperti yang difirmankan Allah Ta‘ala dalam Kitab-Nya: {Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah dengan sihir itu), tiadalah baginya bagian di akhirat} [al-Baqarah: 102]. Maka aku berpendapat bahwa ia harus dibunuh, jika ia sendiri yang melakukannya.”

بَابُ مَا يَجِبُ فِي الْعَمْدِ

Bab tentang kewajiban dalam pembunuhan sengaja (‘amd)

15 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ حُسَيْنٍ مَوْلَى عَائِشَةَ بِنْتِ قُدَامَةَ، أَنَّ عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ، أَقَادَ وَلِيَّ رَجُلٍ مِنْ رَجُلٍ قَتَلَهُ بِعَصًا فَقَتَلَهُ وَلِيُّهُ بِعَصًا قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا، أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا ضَرَبَ الرَّجُلَ بِعَصًا أَوْ رَمَاهُ بِحَجَرٍ أَوْ ضَرَبَهُ عَمْدًا فَمَاتَ مِنْ ذَلِكَ. فَإِنَّ ذَلِكَ هُوَ الْعَمْدُ وَفِيهِ الْقِصَاصُ.

15 – Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik, dari ‘Umar bin Husain, maula ‘Aisyah binti Qudāmah, bahwa ‘Abd al-Malik bin Marwān telah membalas (qishāsh) wali seorang laki-laki dari seorang laki-laki yang membunuhnya dengan tongkat, lalu wali korban membunuh pelaku dengan tongkat pula. Malik berkata: “Dan perkara yang telah disepakati dan tidak ada perbedaan di sisi kami, bahwa jika seseorang memukul orang lain dengan tongkat, atau melemparnya dengan batu, atau memukulnya dengan sengaja lalu orang itu mati karenanya, maka itu adalah pembunuhan sengaja (‘amd) dan padanya berlaku qishāsh.”

قَالَ مَالِكٌ: فَقَتْلُ الْعَمْدِ عِنْدَنَا أَنْ يَعْمِدَ الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فَيَضْرِبَهُ حَتَّى تَفِيظَ نَفْسُهُ، وَمِنَ الْعَمْدِ أَيْضًا أَنْ يَضْرِبَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي النَّائِرَةِ تَكُونُ بَيْنَهُمَا ثُمَّ يَنْصَرِفُ عَنْهُ وَهُوَ حَيٌّ فَيُنْزَى فِي ضَرْبِهِ فَيَمُوتُ فَتَكُونُ فِي ذَلِكَ الْقَسَامَةُ.

Malik berkata: “Pembunuhan sengaja menurut kami adalah seseorang sengaja memukul orang lain hingga ia meninggal dunia. Termasuk juga pembunuhan sengaja adalah seseorang memukul orang lain dalam suatu pertengkaran di antara mereka, lalu ia meninggalkannya dalam keadaan masih hidup, kemudian luka pukulannya itu menyebabkan kematian, maka dalam hal itu berlaku qasāmah (sumpah lima puluh orang dari keluarga korban).”

قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ يُقْتَلُ فِي الْعَمْدِ الرِّجَالُ الْأَحْرَارُ بِالرَّجُلِ الْحُرِّ الْوَاحِدِ، وَالنِّسَاءُ بِالْمَرْأَةِ كَذَلِكَ، وَالْعَبِيدُ بِالْعَبْدِ كَذَلِكَ

Malik berkata: “Ketentuan di sisi kami adalah bahwa dalam pembunuhan sengaja, para laki-laki merdeka dibunuh karena membunuh satu laki-laki merdeka, para perempuan karena membunuh satu perempuan, dan para budak karena membunuh satu budak.”

بَابُ الْقِصَاصِ فِي الْقَتْلِ

Bab tentang qishāsh dalam pembunuhan

حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ مَرْوَانَ بْنَ الْحَكَمِ كَتَبَ إِلَى مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ يَذْكُرُ أَنَّهُ أُتِيَ بِسَكْرَانَ قَدْ قَتَلَ رَجُلًا، فَكَتَبَ إِلَيْهِ مُعَاوِيَةُ: أَنِ اقْتُلْهُ بِهِ.

Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Marwān bin al-Hakam menulis surat kepada Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān, menyebutkan bahwa telah didatangkan kepadanya seorang pemabuk yang telah membunuh seorang laki-laki, maka Mu‘āwiyah membalas suratnya: “Bunuhlah dia sebagai balasan.”

قَالَ يَحْيَى قَالَ مَالِكٌ: ” أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي تَأْوِيلِ هَذِهِ الْآيَةِ قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ} [البقرة: 178] فَهَؤُلَاءِ الذُّكُورُ {وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى} [البقرة: 178] أَنَّ الْقِصَاصَ يَكُونُ بَيْنَ الْإِنَاثِ كَمَا يَكُونُ بَيْنَ الذُّكُورِ، وَالْمَرْأَةُ الْحُرَّةُ تُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ كَمَا يُقْتَلُ الْحُرُّ بِالْحُرِّ، وَالْأَمَةُ تُقْتَلُ بِالْأَمَةِ كَمَا يُقْتَلُ الْعَبْدُ بِالْعَبْدِ، وَالْقِصَاصُ يَكُونُ بَيْنَ النِّسَاءِ كَمَا يَكُونُ بَيْنَ الرِّجَالِ، وَالْقِصَاصُ أَيْضًا يَكُونُ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ فِي كِتَابِهِ: {وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ} [المائدة: 45] فَذَكَرَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ، فَنَفْسُ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ بِنَفْسِ الرَّجُلِ الْحُرِّ، وَجُرْحُهَا بِجُرْحِهِ “.

Yahya berkata, Malik berkata: “Penafsiran terbaik yang aku dengar tentang ayat ini, firman Allah Ta‘ala: {Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak} [al-Baqarah: 178], maka ini adalah untuk laki-laki. {Dan perempuan dengan perempuan} [al-Baqarah: 178], bahwa qishāsh berlaku di antara para perempuan sebagaimana berlaku di antara para laki-laki. Perempuan merdeka dibunuh karena membunuh perempuan merdeka sebagaimana laki-laki merdeka dibunuh karena membunuh laki-laki merdeka. Budak perempuan dibunuh karena membunuh budak perempuan sebagaimana budak laki-laki dibunuh karena membunuh budak laki-laki. Qishāsh berlaku di antara perempuan sebagaimana berlaku di antara laki-laki, dan qishāsh juga berlaku antara laki-laki dan perempuan. Hal ini karena Allah Ta‘ala berfirman dalam Kitab-Nya: {Dan Kami telah tetapkan bagi mereka di dalamnya: jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishāshnya} [al-Mā’idah: 45]. Maka Allah Ta‘ala menyebutkan bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, maka jiwa perempuan merdeka dibalas dengan jiwa laki-laki merdeka, dan lukanya dibalas dengan lukanya.”

قَالَ مَالِكٌ: فِي الرَّجُلِ يُمْسِكُ الرَّجُلَ لِلرَّجُلِ فَيَضْرِبُهُ فَيَمُوتُ مَكَانَهُ أَنَّهُ إِنْ أَمْسَكَهُ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ يُرِيدُ قَتْلَهُ قُتِلَا بِهِ جَمِيعًا، وَإِنْ أَمْسَكَهُ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ إِنَّمَا يُرِيدُ الضَّرْبَ مِمَّا يَضْرِبُ بِهِ النَّاسُ لَا يَرَى أَنَّهُ عَمَدَ لِقَتْلِهِ، فَإِنَّهُ يُقْتَلُ الْقَاتِلُ، وَيُعَاقَبُ الْمُمْسِكُ أَشَدَّ الْعُقُوبَةِ، وَيُسْجَنُ سَنَةً لِأَنَّهُ أَمْسَكَهُ، وَلَا يَكُونُ عَلَيْهِ الْقَتْلُ.

Malik berkata: Mengenai seorang laki-laki yang memegangi laki-laki lain untuk orang lain, lalu orang itu memukulnya hingga ia mati di tempat, maka jika ia memegangi dengan mengetahui bahwa orang yang memukul itu bermaksud membunuhnya, keduanya dibunuh sebagai qishāsh. Namun jika ia memegangi dengan anggapan bahwa orang itu hanya ingin memukulnya dengan pukulan yang biasa dilakukan orang dan tidak bermaksud membunuhnya, maka yang membunuhlah yang dikenai hukuman mati, sedangkan yang memegangi diberi hukuman yang berat dan dipenjara selama satu tahun karena telah memegangi, namun ia tidak dikenai hukuman mati.

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَقْتُلُ الرَّجُلَ عَمْدًا، أَوْ يَفْقَأُ عَيْنَهُ عَمْدًا، فَيُقْتَلُ الْقَاتِلُ أَوْ تُفْقَأُ عَيْنُ الْفَاقِئِ، قَبْلَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْهُ أَنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ دِيَةٌ وَلَا قِصَاصٌ، وَإِنَّمَا كَانَ حَقُّ الَّذِي قُتِلَ أَوْ فُقِئَتْ عَيْنُهُ فِي الشَّيْءِ بِالَّذِي ذَهَبَ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَقْتُلُ الرَّجُلَ عَمْدًا، ثُمَّ يَمُوتُ الْقَاتِلُ فَلَا يَكُونُ لِصَاحِبِ الدَّمِ إِذَا مَاتَ الْقَاتِلُ شَيْءٌ دِيَةٌ، وَلَا غَيْرُهَا وَذَلِكَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ} [البقرة: 178] “.

Malik berkata: “Tentang seseorang yang membunuh orang lain dengan sengaja, atau dengan sengaja mencungkil matanya, lalu si pembunuh dibunuh atau mata pelaku dicungkil sebelum qishāsh dilaksanakan terhadapnya, maka tidak ada diyat maupun qishāsh atasnya. Hak orang yang terbunuh atau yang matanya dicungkil hanyalah pada apa yang telah hilang darinya. Hal ini seperti seseorang yang membunuh orang lain dengan sengaja, kemudian si pembunuh meninggal dunia, maka ahli waris korban tidak berhak atas diyat atau yang lainnya jika si pembunuh telah meninggal dunia. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Diwajibkan atas kalian qishāsh dalam kasus orang-orang yang terbunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak…} (al-Baqarah: 178).”

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنَّمَا يَكُونُ لَهُ الْقِصَاصُ عَلَى صَاحِبِهِ الَّذِي قَتَلَهُ، وَإِذَا هَلَكَ قَاتِلُهُ الَّذِي قَتَلَهُ فَلَيْسَ لَهُ قِصَاصٌ وَلَا دِيَةٌ.

Malik berkata: Maka qishāsh hanya berlaku atas pelaku yang membunuhnya, dan jika pembunuhnya telah meninggal, maka tidak ada qishāsh maupun diyat baginya.

قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ بَيْنَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ قَوَدٌ فِي شَيْءٍ مِنَ الْجِرَاحِ، وَالْعَبْدُ يُقْتَلُ بِالْحُرِّ إِذَا قَتَلَهُ عَمْدًا، وَلَا يُقْتَلُ الْحُرُّ بِالْعَبْدِ، وَإِنْ قَتَلَهُ عَمْدًا وَهُوَ أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ

Malik berkata: Tidak ada qishāsh antara orang merdeka dan budak dalam hal luka apa pun. Budak dibunuh karena membunuh orang merdeka dengan sengaja, tetapi orang merdeka tidak dibunuh karena membunuh budak, meskipun ia membunuhnya dengan sengaja. Dan inilah pendapat terbaik yang pernah aku dengar.

بَابُ الْعَفْوِ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ أَدْرَكَ مَنْ يَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، يَقُولُونَ: ” فِي الرَّجُلِ إِذَا أَوْصَى أَنْ يُعْفَى عَنْ قَاتِلِهِ، إِذَا قَتَلَ عَمْدًا: إِنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ لَهُ. وَأَنَّهُ أَوْلَى بِدَمِهِ مِنْ غَيْرِهِ مِنْ أَوْلِيَائِهِ مِنْ بَعْدِهِ “.

Bab Pemaafan dalam Pembunuhan Sengaja
Yahya meriwayatkan dari Malik, bahwa ia mendapati para ulama yang diridhai berkata: “Jika seseorang berwasiat agar pembunuhnya dimaafkan apabila ia dibunuh dengan sengaja, maka hal itu boleh baginya. Ia lebih berhak atas darahnya daripada ahli warisnya yang lain setelahnya.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يَعْفُو عَنْ قَتْلِ الْعَمْدِ بَعْدَ أَنْ يَسْتَحِقَّهُ، وَيَجِبَ لَهُ: إِنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْقَاتِلِ عَقْلٌ يَلْزَمُهُ. إِلَّا أَنْ يَكُونَ الَّذِي عَفَا عَنْهُ اشْتَرَطَ ذَلِكَ عِنْدَ الْعَفْوِ عَنْهُ “.

Malik berkata: “Tentang seseorang yang memaafkan pembunuhan sengaja setelah hak itu menjadi miliknya dan telah wajib baginya, maka tidak ada kewajiban diyat atas si pembunuh, kecuali jika orang yang memaafkan itu mensyaratkan adanya diyat saat memaafkan.”

قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الْقَاتِلِ عَمْدًا إِذَا عُفِيَ عَنْهُ: أَنَّهُ يُجْلَدُ مِائَةَ جَلْدَةٍ وَيُسْجَنُ سَنَةً “.

Malik berkata: “Tentang pembunuh dengan sengaja yang telah dimaafkan: ia dikenai hukuman cambuk seratus kali dan dipenjara selama satu tahun.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا قَتَلَ الرَّجُلُ عَمْدًا وَقَامَتْ عَلَى ذَلِكَ، الْبَيِّنَةُ. وَلِلْمَقْتُولِ بَنُونَ وَبَنَاتٌ، فَعَفَا الْبَنُونَ وَأَبَى الْبَنَاتُ أَنْ يَعْفُونَ، فَعَفْوُ الْبَنِينَ جَائِزٌ عَلَى الْبَنَاتِ، وَلَا أَمْرَ لِلْبَنَاتِ مَعَ الْبَنِينَ فِي الْقِيَامِ بِالدَّمِ وَالْعَفْوِ عَنْهُ

Malik berkata: Jika seseorang membunuh dengan sengaja dan telah ada bukti yang jelas atas hal itu, lalu korban memiliki anak laki-laki dan perempuan, kemudian anak laki-laki memaafkan sedangkan anak perempuan menolak memaafkan, maka pemaafan anak laki-laki berlaku juga atas anak perempuan. Anak perempuan tidak memiliki hak dalam menuntut darah maupun dalam pemaafan jika ada anak laki-laki.

بَابُ الْقِصَاصِ فِي الْجِرَاحِ قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا أَنَّ مَنْ كَسَرَ يَدًا، أَوْ رِجْلًا عَمْدًا أَنَّهُ يُقَادُ مِنْهُ، وَلَا يَعْقِلُ.

Bab Qishāsh dalam Luka-luka
Yahya berkata: Malik berkata: Ketetapan yang disepakati di kalangan kami adalah bahwa siapa yang mematahkan tangan atau kaki orang lain dengan sengaja, maka ia dikenai qishāsh tanpa diwajibkan membayar diyat.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَلَا يُقَادُ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى تَبْرَأَ جِرَاحُ صَاحِبِهِ، فَيُقَادُ مِنْهُ، فَإِنْ جَاءَ جُرْحُ الْمُسْتَقَادِ مِنْهُ مِثْلَ جُرْحِ الْأَوَّلِ حِينَ يَصِحُّ فَهُوَ الْقَوَدُ، وَإِنْ زَادَ جُرْحُ الْمُسْتَقَادِ مِنْهُ أَوْ مَاتَ فَلَيْسَ عَلَى الْمَجْرُوحِ الْأَوَّلِ الْمُسْتَقِيدِ شَيْءٌ، وَإِنْ بَرَأَ جُرْحُ الْمُسْتَقَادِ مِنْهُ، وَشَلَّ الْمَجْرُوحُ الْأَوَّلُ، أَوْ بَرَأَتْ جِرَاحُهُ، وَبِهَا عَيْبٌ أَوْ نَقْصٌ أَوْ عَثَلٌ، فَإِنَّ الْمُسْتَقَادَ مِنْهُ لَا يَكْسِرُ الثَّانِيَةَ، وَلَا يُقَادُ بِجُرْحِهِ، قَالَ: وَلَكِنَّهُ يُعْقَلُ لَهُ بِقَدْرِ مَا نَقَصَ مِنْ يَدِ الْأَوَّلِ أَوْ فَسَدَ مِنْهَا، وَالْجِرَاحُ فِي الْجَسَدِ عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ “.

Malik berkata: “Tidak dilakukan qishāsh terhadap siapa pun sampai luka korban sembuh, lalu barulah dilakukan qishāsh. Jika luka orang yang dikenai qishāsh serupa dengan luka korban saat sembuh, maka itulah qishāsh. Namun jika luka orang yang dikenai qishāsh lebih parah atau ia meninggal, maka tidak ada tanggungan apa pun atas korban yang menuntut qishāsh. Jika luka orang yang dikenai qishāsh sembuh, tetapi korban menjadi lumpuh, atau lukanya sembuh namun ada cacat, kekurangan, atau kerusakan, maka orang yang dikenai qishāsh tidak boleh dipatahkan anggota tubuhnya untuk kedua kalinya, dan tidak dilakukan qishāsh atas lukanya. Namun, ia wajib membayar diyat sesuai dengan kadar kekurangan atau kerusakan pada tangan korban, dan luka-luka pada tubuh berlaku dengan ketentuan yang sama.”

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا عَمَدَ الرَّجُلُ إِلَى امْرَأَتِهِ، فَفَقَأَ عَيْنَهَا، أَوْ كَسَرَ يَدَهَا، أَوْ قَطَعَ إِصْبَعَهَا، أَوْ شِبْهَ ذَلِكَ مُتَعَمِّدًا لِذَلِكَ، فَإِنَّهَا تُقَادُ مِنْهُ، وَأَمَّا الرَّجُلُ يَضْرِبُ امْرَأَتَهُ بِالْحَبْلِ أَوْ بِالسَّوْطِ فَيُصِيبُهَا مِنْ ضَرْبِهِ مَا لَمْ يُرِدْ، وَلَمْ يَتَعَمَّدْ، فَإِنَّهُ يَعْقِلُ مَا أَصَابَ مِنْهَا عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، وَلَا يُقَادُ مِنْهُ
وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرِ بْنَ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَقَادَ مِنْ كَسْرِ الْفَخِذِ

Malik berkata: Apabila seorang laki-laki dengan sengaja melukai istrinya, seperti mencolok matanya, mematahkan tangannya, memotong jarinya, atau yang semisal itu dengan sengaja, maka ia dikenai qishāsh (hukuman setimpal) darinya. Adapun jika seorang laki-laki memukul istrinya dengan tali atau cambuk, lalu mengenai istrinya sehingga terjadi luka yang tidak ia maksudkan dan tidak ia sengaja, maka ia wajib membayar diyat (ganti rugi) atas luka yang ditimbulkan dengan cara seperti ini, dan tidak dikenai qishāsh darinya.
Dan Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm pernah menerapkan qishāsh atas kasus patahnya paha.

بَابُ مَا جَاءَ فِي دِيَةِ السَّائِبَةِ وَجِنَايَتِهِ

Bab tentang diyat (ganti rugi) budak yang dimerdekakan dan tindak kejahatannya.

16 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ سَائِبَةً أَعْتَقَهُ بَعْضُ الْحُجَّاجِ، فَقَتَلَ ابْنَ رَجُلٍ مِنْ بَنِي عَائِذٍ، فَجَاءَ الْعَائِذِيُّ أَبُو الْمَقْتُولِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، يَطْلُبُ دِيَةَ ابْنِهِ، فَقَالَ عُمَرُ: لَا دِيَةَ لَهُ. فَقَالَ الْعَائِذِيُّ: أَرَأَيْتَ لَوْ قَتَلَهُ ابْنِي؟ فَقَالَ عُمَرُ: إِذًا تُخْرِجُونَ دِيَتَهُ. فَقَالَ: هُوَ إِذًا كَالْأَرْقَمِ إِنْ يُتْرَكْ يَلْقَمْ، وَإِنْ يُقْتَلْ يَنْقَمْ “

16 – Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Abu Zinad, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa seorang budak yang telah dimerdekakan oleh sebagian jamaah haji, kemudian ia membunuh anak seorang laki-laki dari Bani ‘Aidz. Maka datanglah orang ‘Aidzi, ayah dari korban, kepada Umar bin Khattab untuk menuntut diyat anaknya. Umar berkata: “Tidak ada diyat baginya.” Orang ‘Aidzi itu berkata: “Bagaimana jika anakku yang membunuhnya?” Umar menjawab: “Kalau begitu, kalian harus membayar diyatnya.” Ia berkata: “Kalau begitu, ia seperti ular berbisa: jika dibiarkan, ia akan menggigit; jika dibunuh, ia akan membalas dendam.”

44 – كِتَابُ الْقَسَامَةِ

بَابُ تَبْدِئَةِ أَهْلِ الدَّمِ فِي الْقَسَامَةِ

Bab tentang mendahulukan keluarga korban dalam qasāmah.

1 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي لَيْلَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَهْلٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رِجَالٌ مِنْ كُبَرَاءِ قَوْمِهِ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَهْلٍ وَمُحَيِّصَةَ خَرَجَا إِلَى خَيْبَرَ مِنْ جَهْدٍ أَصَابَهُمْ، فَأُتِيَ مُحَيِّصَةُ فَأُخْبِرَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَهْلٍ قَدْ قُتِلَ وَطُرِحَ فِي فَقِيرِ بِئْرٍ أَوْ عَيْنٍ، فَأَتَى يَهُودَ فَقَالَ: أَنْتُمْ وَاللَّهِ قَتَلْتُمُوهُ، فَقَالُوا: وَاللَّهِ مَا قَتَلْنَاهُ، فَأَقْبَلَ حَتَّى قَدِمَ عَلَى قَوْمِهِ، فَذَكَرَ لَهُمْ ذَلِكَ ثُمَّ أَقْبَلَ هُوَ وَأَخُوهُ حُوَيِّصَةُ – وَهُوَ أَكْبَرُ مِنْهُ – وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ، فَذَهَبَ مُحَيِّصَةُ لِيَتَكَلَّمَ وَهُوَ الَّذِي كَانَ بِخَيْبَرَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَبِّرْ كَبِّرْ، – يُرِيدُ السِّنَّ – فَتَكَلَّمَ حُوَيِّصَةُ، ثُمَّ تَكَلَّمَ مُحَيِّصَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِمَّا أَنْ يَدُوا صَاحِبَكُمْ، وَإِمَّا أَنْ يُؤْذِنُوا بِحَرْبٍ، فَكَتَبَ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذَلِكَ، فَكَتَبُوا: إِنَّا وَاللَّهِ مَا قَتَلْنَاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحُوَيِّصَةَ وَمُحَيِّصَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ: أَتَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ؟ فَقَالُوا: لَا، قَالَ: أَفَتَحْلِفُ لَكُمْ يَهُودُ؟ قَالُوا: لَيْسُوا بِمُسْلِمِينَ، فَوَدَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عِنْدِهِ، فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ بِمِائَةِ نَاقَةٍ حَتَّى أُدْخِلَتْ عَلَيْهِمُ الدَّارَ، قَالَ سَهْلٌ لَقَدْ رَكَضَتْنِي مِنْهَا نَاقَةٌ حَمْرَاءُ قَالَ مَالِكٌ: الْفَقِيرُ هُوَ الْبِئْرُ

1 – Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Abu Laila bin Abdullah bin Abdurrahman bin Sahl, dari Sahl bin Abi Hasymah, bahwa sejumlah orang dari para pemuka kaumnya memberitahunya bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhayyishah pergi ke Khaibar karena kesulitan yang menimpa mereka. Kemudian Muhayyishah didatangi dan diberitahu bahwa Abdullah bin Sahl telah terbunuh dan dilemparkan ke dalam sumur atau mata air. Maka ia mendatangi orang-orang Yahudi dan berkata: “Kalianlah, demi Allah, yang telah membunuhnya.” Mereka menjawab: “Demi Allah, kami tidak membunuhnya.” Lalu ia kembali kepada kaumnya dan menceritakan hal itu kepada mereka. Kemudian ia bersama saudaranya, Huwaiyyishah—yang lebih tua darinya—dan Abdurrahman, mendatangi Rasulullah ﷺ. Muhayyishah hendak berbicara, padahal dialah yang berada di Khaibar. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Dahulukan yang lebih tua, dahulukan yang lebih tua,” maksudnya usia. Maka Huwaiyyishah berbicara, lalu Muhayyishah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalian hanya punya dua pilihan: mereka membayar diyat teman kalian, atau mereka menyatakan perang.” Rasulullah ﷺ menulis surat kepada mereka tentang hal itu. Mereka membalas: “Demi Allah, kami tidak membunuhnya.” Rasulullah ﷺ berkata kepada Huwaiyyishah, Muhayyishah, dan Abdurrahman: “Apakah kalian mau bersumpah dan berhak atas darah teman kalian?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah kalian mau orang Yahudi bersumpah untuk kalian?” Mereka menjawab: “Mereka bukan Muslim.” Maka Rasulullah ﷺ membayar diyat dari hartanya sendiri, dan mengirimkan seratus ekor unta hingga dimasukkan ke rumah mereka. Sahl berkata: “Salah satu unta merah itu pernah menendangku.” Malik berkata: “Al-faqīr adalah sumur.”

2 – قَالَ يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَهْلٍ الْأَنْصَارِيَّ، وَمُحَيِّصَةَ بْنَ مَسْعُودٍ خَرَجَا إِلَى خَيْبَرَ فَتَفَرَّقَا فِي حَوَائِجِهِمَا، فَقُتِلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَهْلٍ، فَقَدِمَ مُحَيِّصَةُ، فَأَتَى هُوَ وَأَخُوهُ حُوَيِّصَةُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَهْلٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَهَبَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لِيَتَكَلَّمَ لِمَكَانِهِ مِنْ أَخِيهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَبِّرْ كَبِّرْ، فَتَكَلَّمَ حُوَيِّصَةُ وَمُحَيِّصَةُ فَذَكَرَا شَأْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَهْلٍ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَتَحْلِفُونَ خَمْسِينَ يَمِينًا، وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ أَوْ قَاتِلِكُمْ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ نَشْهَدْ، وَلَمْ نَحْضُرْ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَتُبْرِئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ نَقْبَلُ أَيْمَانَ قَوْمٍ كُفَّارٍ؟

2 – Yahya meriwayatkan dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Bushair bin Yasar, bahwa ia mengabarkan kepadanya bahwa ‘Abdullah bin Sahl al-Anshari dan Muhayyishah bin Mas‘ud pergi ke Khaibar, lalu mereka berpisah untuk urusan masing-masing. Kemudian ‘Abdullah bin Sahl terbunuh. Muhayyishah pun kembali, lalu ia bersama saudaranya Huwaiyyishah dan ‘Abdurrahman bin Sahl mendatangi Nabi ﷺ. ‘Abdurrahman hendak berbicara karena ia adalah saudara korban, namun Rasulullah ﷺ bersabda: “Yang lebih tua, yang lebih tua.” Maka Huwaiyyishah dan Muhayyishah pun berbicara dan menceritakan perihal ‘Abdullah bin Sahl. Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka: “Apakah kalian bersumpah lima puluh kali, lalu kalian berhak atas darah saudara kalian atau pembunuhnya?” Mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, kami tidak menyaksikan dan tidak hadir.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Kalau begitu, pihak Yahudi membebaskan diri mereka dengan lima puluh sumpah.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami menerima sumpah suatu kaum yang kafir?”

قَالَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ: فَزَعَمَ بُشَيْرُ بْنُ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَاهُ مِنْ عِنْدِهِ قَالَ مَالِكٌ: ” الْأَمْرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ عِنْدَنَا، وَالَّذِي سَمِعْتُ مِمَّنْ أَرْضَى فِي الْقَسَامَةِ، وَالَّذِي اجْتَمَعَتْ عَلَيْهِ الْأَئِمَّةُ فِي الْقَدِيمِ وَالْحَدِيثِ، أَنْ يَبْدَأَ بِالْأَيْمَانِ الْمُدَّعُونَ فِي الْقَسَامَةِ فَيَحْلِفُونَ، وَأَنَّ الْقَسَامَةَ لَا تَجِبُ إِلَّا بِأَحَدِ أَمْرَيْنِ، إِمَّا أَنْ يَقُولَ الْمَقْتُولُ: دَمِي عِنْدَ فُلَانٍ، أَوْ يَأْتِيَ وُلَاةُ الدَّمِ بِلَوْثٍ مِنْ بَيِّنَةٍ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ قَاطِعَةً عَلَى الَّذِي يُدَّعَى عَلَيْهِ الدَّمُ، فَهَذَا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ لِلْمُدَّعِينَ الدَّمَ عَلَى مَنِ ادَّعَوْهُ عَلَيْهِ، وَلَا تَجِبُ الْقَسَامَةُ عِنْدَنَا إِلَّا بِأَحَدِ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ “

Yahya bin Sa‘id berkata: Bushair bin Yasar mengklaim bahwa Rasulullah ﷺ membayar diyat dari pihak beliau sendiri. Malik berkata: “Pendapat yang disepakati di kalangan kami, dan yang aku dengar dari orang-orang yang aku percaya dalam masalah qasāmah, serta yang disepakati para imam terdahulu dan sekarang, adalah bahwa yang memulai sumpah dalam qasāmah adalah para penuntut, lalu mereka bersumpah. Qasāmah tidak diwajibkan kecuali dengan salah satu dari dua hal: pertama, jika korban berkata, ‘Darahku ada pada si fulan’, atau kedua, para wali darah membawa indikasi bukti, meskipun tidak bersifat pasti terhadap orang yang dituduh. Hal ini mewajibkan qasāmah bagi para penuntut darah terhadap orang yang mereka tuduh. Qasāmah tidak diwajibkan menurut kami kecuali dengan salah satu dari dua cara ini.”

قَالَ مَالِكٌ: وَتِلْكَ السُّنَّةُ الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا عِنْدَنَا، وَالَّذِي لَمْ يَزَلْ عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ، أَنَّ الْمُبَدَّئِينَ بِالْقَسَامَةِ أَهْلُ الدَّمِ، وَالَّذِينَ يَدَّعُونَهُ فِي الْعَمْدِ وَالْخَطَإِ

Malik berkata: “Itulah sunnah yang tidak ada perbedaan di kalangan kami, dan yang selalu diamalkan oleh masyarakat, bahwa yang memulai qasāmah adalah para wali darah, yaitu mereka yang menuntut dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja.”

قالَ مَالِكٌ: وَقَدْ بَدَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَارِثِيِّينَ فِي قَتْلِ صَاحِبِهِمِ الَّذِي قُتِلَ بِخَيْبَرَ قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ حَلَفَ الْمُدَّعُونَ اسْتَحَقُّوا دَمَ صَاحِبِهِمْ، وَقَتَلُوا مَنْ حَلَفُوا عَلَيْهِ، وَلَا يُقْتَلُ فِي الْقَسَامَةِ إِلَّا وَاحِدٌ، لَا يُقْتَلُ فِيهَا اثْنَانِ، يَحْلِفُ مِنْ وُلَاةِ الدَّمِ خَمْسُونَ رَجُلًا خَمْسِينَ يَمِينًا، فَإِنْ قَلَّ عَدَدُهُمْ أَوْ نَكَلَ بَعْضُهُمْ، رُدَّتِ الْأَيْمَانُ عَلَيْهِمْ، إِلَّا أَنْ يَنْكُلَ أَحَدٌ مِنْ وُلَاةِ الْمَقْتُولِ، وُلَاةِ الدَّمِ الَّذِينَ يَجُوزُ لَهُمُ الْعَفْوُ عَنْهُ، فَإِنْ نَكَلَ أَحَدٌ مِنْ أُولَئِكَ، فَلَا سَبِيلَ إِلَى الدَّمِ إِذَا نَكَلَ أَحَدٌ مِنْهُمْ قَالَ يَحْيَى:

Malik berkata: “Rasulullah ﷺ telah memulai dengan sumpah kepada kaum Haritsiyyin dalam kasus pembunuhan sahabat mereka yang terbunuh di Khaibar.” Malik berkata: “Jika para penuntut bersumpah, mereka berhak atas darah korban mereka dan boleh membunuh orang yang mereka tuduh. Dalam qasāmah, tidak boleh dibunuh lebih dari satu orang; hanya satu orang yang boleh dibunuh, tidak dua. Dari para wali darah, lima puluh orang bersumpah lima puluh kali. Jika jumlah mereka kurang atau sebagian enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada mereka, kecuali jika yang enggan adalah salah satu dari wali korban, yaitu wali darah yang berhak memaafkan. Jika salah satu dari mereka enggan, maka tidak ada jalan untuk menuntut darah jika salah satu dari mereka enggan.” Yahya berkata:

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنَّمَا تُرَدُّ الْأَيْمَانُ عَلَى مَنْ بَقِيَ مِنْهُمْ إِذَا نَكَلَ أَحَدٌ مِمَّنْ لَا يَجُوزُ لَهُ عَفْوٌ، فَإِنْ نَكَلَ أَحَدٌ مِنْ وُلَاةِ الدَّمِ الَّذِينَ يَجُوزُ لَهُمُ الْعَفْوُ عَنِ الدَّمِ، وَإِنْ كَانَ وَاحِدًا

Malik berkata: “Sumpah hanya dikembalikan kepada yang tersisa dari mereka jika yang enggan bersumpah adalah orang yang tidak berhak memaafkan. Namun, jika yang enggan bersumpah adalah salah satu dari wali darah yang berhak memaafkan, meskipun hanya satu orang…”

فَإِنَّ الْأَيْمَانَ لَا تُرَدُّ عَلَى مَنْ بَقِيَ مِنْ وُلَاةِ الدَّمِ، إِذَا نَكَلَ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَنِ الْأَيْمَانِ، وَلَكِنِ الْأَيْمَانُ إِذَا كَانَ ذَلِكَ تُرَدُّ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ، فَيَحْلِفُ مِنْهُمْ خَمْسُونَ رَجُلًا خَمْسِينَ يَمِينًا، فَإِنْ لَمْ يَبْلُغُوا خَمْسِينَ رَجُلًا رُدَّتِ الْأَيْمَانُ عَلَى مَنْ حَلَفَ مِنْهُمْ، فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ أَحَدٌ يَحْلِفُ إِلَّا الَّذِي ادُّعِيَ عَلَيْهِ حَلَفَ هُوَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَبَرِئَ قَالَ يَحْيَى:

“Maka sumpah tidak dikembalikan kepada wali darah yang tersisa jika salah satu dari mereka enggan bersumpah. Namun, jika demikian, sumpah dikembalikan kepada pihak yang dituduh, lalu lima puluh orang dari mereka bersumpah lima puluh kali. Jika jumlah mereka tidak mencapai lima puluh orang, maka sumpah dikembalikan kepada siapa saja dari mereka yang telah bersumpah. Jika tidak ada yang bersumpah kecuali orang yang dituduh, maka ia bersumpah lima puluh kali dan ia terbebas.” Yahya berkata:

قَالَ مَالِكٌ: ” وَإِنَّمَا فُرِقَ بَيْنَ الْقَسَامَةِ فِي الدَّمِ وَالْأَيْمَانِ فِي الْحُقُوقِ، أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا دَايَنَ الرَّجُلَ اسْتَثْبَتَ عَلَيْهِ فِي حَقِّهِ، وَأَنَّ الرَّجُلَ إِذَا أَرَادَ قَتْلَ الرَّجُلِ لَمْ يَقْتُلْهُ فِي جَمَاعَةٍ مِنَ النَّاسِ، وَإِنَّمَا يَلْتَمِسُ الْخَلْوَةَ، قَالَ: فَلَوْ لَمْ تَكُنِ الْقَسَامَةُ إِلَّا فِيمَا تَثْبُتُ فِيهِ الْبَيِّنَةُ، وَلَوْ عُمِلَ فِيهَا كَمَا يُعْمَلُ فِي الْحُقُوقِ هَلَكَتِ الدِّمَاءُ، وَاجْتَرَأَ النَّاسُ عَلَيْهَا إِذَا عَرَفُوا الْقَضَاءَ فِيهَا، وَلَكِنْ إِنَّمَا جُعِلَتِ الْقَسَامَةُ إِلَى وُلَاةِ الْمَقْتُولِ، يُبَدَّءُونَ بِهَا فِيهَا، لِيَكُفَّ النَّاسُ عَنِ الدَّمِ، وَلِيَحْذَرَ الْقَاتِلُ أَنْ يُؤْخَذَ فِي مِثْلِ ذَلِكَ بِقَوْلِ الْمَقْتُولِ

Malik berkata: “Adapun perbedaan antara qasāmah dalam kasus darah (pembunuhan) dan sumpah dalam perkara hak-hak (perdata) adalah bahwa jika seseorang berutang kepada orang lain, maka hak itu dapat dibuktikan atas dirinya. Sedangkan jika seseorang ingin membunuh orang lain, ia tidak akan melakukannya di hadapan banyak orang, melainkan mencari kesempatan menyendiri. Malik berkata: Seandainya qasāmah hanya berlaku pada perkara yang dapat dibuktikan dengan bayyinah (alat bukti), dan jika diperlakukan seperti perkara hak-hak, niscaya darah (nyawa) akan sia-sia dan orang-orang akan berani melakukannya jika mereka mengetahui hukumannya. Namun, qasāmah itu memang diberikan kepada para wali korban, merekalah yang memulai qasāmah dalam perkara ini, agar manusia menahan diri dari menumpahkan darah, dan agar si pembunuh takut diambil (dihukum) dalam perkara seperti ini hanya dengan ucapan pihak korban.”

قَالَ يَحْيَى: وَقَدْ قَالَ مَالِكٌ: فِي الْقَوْمِ يَكُونُ لَهُمُ الْعَدَدُ يُتَّهَمُونَ بِالدَّمِ فَيَرُدُّ وُلَاةُ الْمَقْتُولِ الْأَيْمَانَ عَلَيْهِمْ، وَهُمْ نَفَرٌ لَهُمْ عَدَدٌ أَنَّهُ يَحْلِفُ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ عَنْ نَفْسِهِ خَمْسِينَ يَمِينًا، وَلَا تُقْطَعُ الْأَيْمَانُ عَلَيْهِمْ بِقَدْرِ عَدَدِهِمْ، وَلَا يَبْرَءُونَ دُونَ أَنْ يَحْلِفَ كُلُّ إِنْسَانٍ عَنْ نَفْسِهِ خَمْسِينَ يَمِينًا.

Yahya berkata: Malik juga berkata tentang suatu kaum yang jumlahnya banyak dan mereka dituduh dalam kasus darah, lalu para wali korban mengembalikan sumpah kepada mereka, dan mereka adalah sekelompok orang yang memiliki jumlah, maka setiap orang dari mereka bersumpah lima puluh kali atas dirinya sendiri. Sumpah tidak dibagi sesuai jumlah mereka, dan mereka tidak terbebas kecuali setiap orang dari mereka bersumpah lima puluh kali atas dirinya sendiri.

قَالَ مَالِكٌ: ” وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ فِي ذَلِكَ، قَالَ: وَالْقَسَامَةُ تَصِيرُ إِلَى عَصَبَةِ الْمَقْتُولِ، وَهُمْ وُلَاةُ الدَّمِ الَّذِينَ يَقْسِمُونَ عَلَيْهِ وَالَّذِينَ يُقْتَلُ بِقَسَامَتِهِمْ “

Malik berkata: “Ini adalah pendapat terbaik yang aku dengar dalam masalah ini.” Ia berkata: “Qasāmah itu menjadi hak ‘ashabah (keluarga laki-laki) korban, merekalah para wali darah yang melakukan qasāmah dan yang menyebabkan seseorang dihukum mati dengan qasāmah mereka.”

بَابُ مَنْ تَجُوزُ قَسَامَتُهُ فِي الْعَمْدِ مِنْ وُلَاةِ الدَّمِ
قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ الَّذِي لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا، أَنَّهُ لَا يَحْلِفُ فِي الْقَسَامَةِ فِي الْعَمْدِ أَحَدٌ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمَقْتُولِ وُلَاةٌ إِلَّا النِّسَاءُ فَلَيْسَ لِلنِّسَاءِ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ قَسَامَةٌ وَلَا عَفْوٌ

Bab: Siapa yang sah qasāmahnya dalam pembunuhan sengaja dari para wali darah.
Yahya berkata: Malik berkata: Ketentuan yang tidak ada perbedaan di kalangan kami adalah bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan perempuan yang bersumpah dalam qasāmah pada pembunuhan sengaja. Jika korban tidak memiliki wali kecuali perempuan, maka perempuan tidak memiliki hak qasāmah maupun hak memaafkan dalam pembunuhan sengaja.

قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: ” فِي الرَّجُلِ يُقْتَلُ عَمْدًا، أَنَّهُ إِذَا قَامَ عَصَبَةُ الْمَقْتُولِ أَوْ مَوَالِيهِ، فَقَالُوا: نَحْنُ نَحْلِفُ وَنَسْتَحِقُّ دَمَ صَاحِبِنَا فَذَلِكَ لَهُمْ ” قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ أَرَادَ النِّسَاءُ أَنْ يَعْفُونَ عَنْهُ، فَلَيْسَ ذَلِكَ لَهُنَّ الْعَصَبَةُ وَالْمَوَالِي أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْهُنَّ، لِأَنَّهُمْ هُمِ الَّذِينَ اسْتَحَقُّوا الدَّمَ وَحَلَفُوا عَلَيْهِ

Yahya berkata: Malik berkata: “Dalam kasus seorang laki-laki yang dibunuh secara sengaja, jika ‘ashabah korban atau para mawālī-nya (kerabat yang mendapat warisan karena pembebasan budak) berdiri dan berkata: ‘Kami bersumpah dan berhak atas darah saudara kami,’ maka itu menjadi hak mereka.” Malik berkata: Jika para perempuan ingin memaafkan, maka itu bukan hak mereka; ‘ashabah dan mawālī lebih berhak dalam hal itu daripada perempuan, karena merekalah yang berhak atas darah dan telah bersumpah atasnya.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِنْ عَفَتِ الْعَصَبَةُ أَوِ الْمَوَالِي بَعْدَ أَنْ يَسْتَحِقُّوا الدَّمَ وَأَبَى النِّسَاءُ، وَقُلْنَ لَا نَدَعُ دَمَ صَاحِبِنَا، فَهُنَّ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِذَلِكَ، لِأَنَّ مَنْ أَخَذَ الْقَوَدَ أَحَقُّ مِمَّنْ تَرَكَهُ مِنَ النِّسَاءِ، وَالْعَصَبَةِ إِذَا ثَبَتَ الدَّمُ وَوَجَبَ الْقَتْلُ

Malik berkata: Jika ‘ashabah atau mawālī telah memaafkan setelah mereka berhak atas darah, sementara para perempuan menolak dan berkata, “Kami tidak akan melepaskan darah saudara kami,” maka merekalah (perempuan) yang lebih berhak dan lebih utama dalam hal itu. Sebab, siapa yang mengambil qishāsh lebih berhak daripada yang meninggalkannya, baik dari kalangan perempuan maupun ‘ashabah, jika darah telah terbukti dan hukuman mati telah wajib.

قَالَ مَالِكٌ: لَا يُقْسِمُ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ مِنَ الْمُدَّعِينَ إِلَّا اثْنَانِ فَصَاعِدًا، فَتُرَدُّ الْأَيْمَانُ عَلَيْهِمَا حَتَّى يَحْلِفَا خَمْسِينَ يَمِينًا، ثُمَّ قَدِ اسْتَحَقَّا الدَّمَ وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا

Malik berkata: Tidak sah qasāmah dalam pembunuhan sengaja dari para penuntut kecuali dua orang atau lebih. Maka sumpah dikembalikan kepada mereka berdua hingga keduanya bersumpah lima puluh kali, lalu keduanya berhak atas darah. Demikianlah ketentuan menurut kami.

قَالَ مَالِكٌ: وَإِذَا ضَرَبَ النَّفَرُ الرَّجُلَ حَتَّى يَمُوتَ تَحْتَ أَيْدِيهِمْ قُتِلُوا بِهِ جَمِيعًا، فَإِنْ هُوَ مَاتَ بَعْدَ ضَرْبِهِمْ كَانَتِ الْقَسَامَةُ، وَإِذَا كَانَتِ الْقَسَامَةُ لَمْ تَكُنْ إِلَّا عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، وَلَمْ يُقْتَلْ غَيْرُهُ، وَلَمْ نَعْلَمْ قَسَامَةً كَانَتْ قَطُّ إِلَّا عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ

Malik berkata: Jika sekelompok orang memukul seseorang hingga ia mati di tangan mereka, maka mereka semua dihukum mati karenanya. Namun, jika ia mati setelah dipukul mereka, maka berlaku qasāmah. Dan jika qasāmah berlaku, maka hanya berlaku atas satu orang saja, dan tidak ada yang dihukum mati selain dia. Kami tidak mengetahui adanya qasāmah kecuali hanya atas satu orang saja.

بَابُ الْقَسَامَةِ فِي قَتْلِ الْخَطَأِ
قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: الْقَسَامَةُ فِي قَتْلِ الْخَطَإِ، يُقْسِمُ الَّذِينَ يَدَّعُونَ الدَّمَ، وَيَسْتَحِقُّونَهُ بِقَسَامَتِهِمْ يَحْلِفُونَ خَمْسِينَ يَمِينًا تَكُونُ عَلَى قَسْمِ مَوَارِيثِهِمْ مِنَ الدِّيَةِ، فَإِنْ كَانَ فِي الْأَيْمَانِ كُسُورٌ، إِذَا قُسِمَتْ بَيْنَهُمْ نُظِرَ إِلَى الَّذِي يَكُونُ عَلَيْهِ أَكْثَرُ تِلْكَ الْأَيْمَانِ، إِذَا قُسِمَتْ فَتُجْبَرُ عَلَيْهِ تِلْكَ الْيَمِينُ

Bab: Qasāmah dalam pembunuhan karena kelalaian (khathā’).
Yahya berkata: Malik berkata: Qasāmah dalam pembunuhan karena kelalaian, yang bersumpah adalah mereka yang menuntut darah dan mereka berhak atasnya dengan qasāmah mereka. Mereka bersumpah lima puluh kali, yang dibagi sesuai bagian warisan mereka dari diyat. Jika dalam sumpah itu terdapat kekurangan ketika dibagi di antara mereka, maka dilihat siapa yang mendapat bagian sumpah terbanyak, maka ia menanggung kekurangan sumpah itu.

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمَقْتُولِ وَرَثَةٌ إِلَّا النِّسَاءُ، فَإِنَّهُنَّ يَحْلِفْنَ وَيَأْخُذْنَ الدِّيَةَ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ إِلَّا رَجُلٌ وَاحِدٌ حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا، وَأَخَذَ الدِّيَةَ، وَإِنَّمَا يَكُونُ ذَلِكَ فِي قَتْلِ الْخَطَإِ، وَلَا يَكُونُ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ

بَابُ الْمِيرَاثِ فِي الْقَسَامَةِ
قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: إِذَا قَبِلَ وُلَاةُ الدَّمِ الدِّيَةَ، فَهِيَ مَوْرُوثَةٌ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ، يَرِثُهَا بَنَاتُ الْمَيِّتِ وَأَخَوَاتُهُ، وَمَنْ يَرِثُهُ مِنَ النِّسَاءِ، فَإِنْ لَمْ يُحْرِزِ النِّسَاءُ مِيرَاثَهُ كَانَ مَا بَقِيَ مِنْ دِيَتِهِ لِأَوْلَى النَّاسِ بِمِيرَاثِهِ مَعَ النِّسَاءِ

Malik berkata: Jika korban pembunuhan tidak memiliki ahli waris kecuali para perempuan, maka mereka bersumpah dan mengambil diyat. Jika ia tidak memiliki ahli waris kecuali satu orang laki-laki, maka ia bersumpah lima puluh kali sumpah, lalu mengambil diyat. Hal ini hanya berlaku dalam kasus pembunuhan karena kesalahan (qatl al-khata’), dan tidak berlaku dalam pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd).

Bab Warisan dalam Kasus Qasamah
Yahya berkata: Malik berkata: Jika para wali darah menerima diyat, maka diyat itu menjadi harta warisan yang dibagikan sesuai Kitabullah. Diyat itu diwarisi oleh anak-anak perempuan si mayit, saudari-saudarinya, dan siapa saja dari kalangan perempuan yang berhak mewarisinya. Jika para perempuan tidak memperoleh seluruh warisannya, maka sisa diyat itu diberikan kepada kerabat terdekat yang berhak mewarisi bersama para perempuan.

قَالَ مَالِكٌ: إِذَا قَامَ بَعْضُ وَرَثَةِ الْمَقْتُولِ الَّذِي يُقْتَلُ خَطَأً، يُرِيدُ أَنْ يَأْخُذَ مِنَ الدِّيَةِ بِقَدْرِ حَقِّهِ مِنْهَا، وَأَصْحَابُهُ غَيَبٌ لَمْ يَأْخُذْ ذَلِكَ، وَلَمْ يَسْتَحِقَّ مِنَ الدِّيَةِ شَيْئًا قَلَّ وَلَا كَثُرَ دُونَ أَنْ يَسْتَكْمِلَ الْقَسَامَةَ يَحْلِفُ خَمْسِينَ يَمِينًا، فَإِنْ حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا، اسْتَحَقَّ حِصَّتَهُ مِنَ الدِّيَةِ، وَذَلِكَ أَنَّ الدَّمَ لَا يَثْبُتُ إِلَّا بِخَمْسِينَ يَمِينًا، وَلَا تَثْبُتُ الدِّيَةُ حَتَّى يَثْبُتَ الدَّمُ، فَإِنْ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنَ الْوَرَثَةِ أَحَدٌ، حَلَفَ مِنَ الْخَمْسِينَ يَمِينًا بِقَدْرِ مِيرَاثِهِ مِنْهَا، وَأَخَذَ حَقَّهُ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ الْوَرَثَةُ حُقُوقَهُمْ، إِنْ جَاءَ أَخٌ لِأُمٍّ فَلَهُ السُّدُسُ وَعَلَيْهِ مِنَ الْخَمْسِينَ يَمِينًا السُّدُسُ، فَمَنْ حَلَفَ اسْتَحَقَّ مِنَ الدِّيَةِ، وَمَنْ نَكَلَ بَطَلَ حَقُّهُ، وَإِنْ كَانَ بَعْضُ الْوَرَثَةِ غَائِبًا أَوْ صَبِيًّا لَمْ يَبْلُغْ حَلَفَ الَّذِينَ حَضَرُوا خَمْسِينَ يَمِينًا، فَإِنْ جَاءَ الْغَائِبُ بَعْدَ ذَلِكَ أَوْ بَلَغَ الصَّبِيُّ الْحُلُمَ حَلَفَ كُلٌّ مِنْهُمَا، يَحْلِفُونَ عَلَى قَدْرِ حُقُوقِهِمْ مِنَ الدِّيَةِ وَعَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ مِنْهَا. قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ

Malik berkata: Jika sebagian ahli waris korban yang terbunuh karena kesalahan ingin mengambil bagian diyat sesuai haknya, sementara ahli waris lainnya tidak hadir, maka ia tidak berhak mengambil apa pun dari diyat, sedikit maupun banyak, kecuali setelah menyempurnakan qasamah dengan bersumpah lima puluh kali sumpah. Jika ia telah bersumpah lima puluh kali, maka ia berhak atas bagiannya dari diyat. Hal ini karena hak atas darah (qishash) tidak dapat ditetapkan kecuali dengan lima puluh sumpah, dan diyat pun tidak dapat ditetapkan sebelum hak atas darah itu ditetapkan. Jika kemudian ada ahli waris lain yang datang, maka ia bersumpah dari lima puluh sumpah itu sesuai bagian warisannya, lalu mengambil haknya, hingga seluruh ahli waris memperoleh haknya. Jika ada saudara seibu, maka ia mendapat sepertiga dan harus bersumpah sepertiga dari lima puluh sumpah. Siapa yang bersumpah, ia berhak atas bagian diyat; siapa yang enggan bersumpah, gugur haknya. Jika sebagian ahli waris tidak hadir atau masih anak-anak yang belum baligh, maka yang hadir bersumpah lima puluh kali. Jika yang tidak hadir datang kemudian atau anak tersebut telah baligh, maka masing-masing bersumpah sesuai haknya dari diyat dan bagian warisannya. Yahya berkata: Malik berkata: Inilah pendapat terbaik yang pernah aku dengar.

بَابُ الْقَسَامَةِ فِي الْعَبِيدِ
قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْعَبِيدِ أَنَّهُ إِذَا أُصِيبَ الْعَبْدُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، ثُمَّ جَاءَ سَيِّدُهُ بِشَاهِدٍ حَلَفَ مَعَ شَاهِدِهِ يَمِينًا وَاحِدَةً، ثُمَّ كَانَ لَهُ قِيمَةُ عَبْدِهِ، وَلَيْسَ فِي الْعَبِيدِ قَسَامَةٌ فِي عَمْدٍ وَلَا خَطَإٍ، وَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ قَالَ ذَلِكَ

Bab Qasamah pada Budak
Yahya berkata: Malik berkata: Ketentuan di kalangan kami mengenai budak adalah, jika seorang budak terbunuh baik sengaja maupun karena kesalahan, lalu tuannya membawa seorang saksi, maka ia bersumpah bersama saksinya satu kali sumpah, lalu ia berhak atas nilai budaknya. Tidak ada qasamah pada budak, baik dalam pembunuhan sengaja maupun karena kesalahan. Aku tidak pernah mendengar seorang pun dari ahli ilmu yang berpendapat demikian.

قَالَ مَالِكٌ: فَإِنْ قُتِلَ الْعَبْدُ عَبْدًا عَمْدًا أَوْ خَطَأً، لَمْ يَكُنْ عَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ الْمَقْتُولِ قَسَامَةٌ وَلَا يَمِينٌ، وَلَا يَسْتَحِقُّ سَيِّدُهُ ذَلِكَ إِلَّا بِبَيِّنَةٍ عَادِلَةٍ أَوْ بِشَاهِدٍ فَيَحْلِفُ مَعَ شَاهِدِهِ قَالَ يَحْيَى: قَالَ مَالِكٌ: وَهَذَا أَحْسَنُ مَا سَمِعْتُ

Malik berkata: Jika seorang budak membunuh budak lain, baik sengaja maupun karena kesalahan, maka tidak ada qasamah atau sumpah atas tuan budak yang terbunuh itu, dan tuannya tidak berhak atas apa pun kecuali dengan bukti yang sah atau seorang saksi, lalu ia bersumpah bersama saksinya. Yahya berkata: Malik berkata: Inilah pendapat terbaik yang pernah aku dengar.

45 – كِتَابُ الْجَامِعِ

بَابُ الدُّعَاءِ لِلْمَدِينَةِ وَأَهْلِهَا

Bab Doa untuk Kota Madinah dan Penduduknya

1 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى بَنُ يَحْيَى، قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمْ فِي مِكْيَالِهِمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِي صَاعِهِمْ وَمُدِّهِمْ يَعْنِي أَهْلَ الْمَدِينَةِ

1 – Yahya bin Yahya meriwayatkan kepadaku, ia berkata: Malik menceritakan kepadaku, dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah Al-Anshari, dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, berkahilah takaran mereka, dan berkahilah sha‘ dan mudd mereka,” yakni penduduk Madinah.

2 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ إِذَا رَأَوْا أَوَّلَ الثَّمَرِ جَاءُوا بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا أَخَذَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي ثَمَرِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي مَدِينَتِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي مُدِّنَا، اللَّهُمَّ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ عَبْدُكَ وَخَلِيلُكَ وَنَبِيُّكَ، وَإِنِّي عَبْدُكَ وَنَبِيُّكَ، وَإِنَّهُ دَعَاكَ لِمَكَّةَ، وَإِنِّي أَدْعُوكَ لِلْمَدِينَةِ بِمِثْلِ مَا دَعَاكَ بِهِ لِمَكَّةَ، وَمِثْلَهُ مَعَهُ، ثُمَّ يَدْعُو أَصْغَرَ وَلِيدٍ يَرَاهُ فَيُعْطِيهِ ذَلِكَ الثَّمَرَ

2 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Dahulu, apabila orang-orang melihat buah pertama (yang masak), mereka membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya, beliau berdoa: “Ya Allah, berkahilah buah kami, berkahilah kota Madinah kami, berkahilah takaran sha‘ kami, dan berkahilah takaran mudd kami. Ya Allah, sesungguhnya Ibrahim adalah hamba-Mu, kekasih-Mu, dan nabi-Mu, dan aku adalah hamba-Mu dan nabi-Mu. Ia telah berdoa kepada-Mu untuk (kebaikan) Makkah, dan aku berdoa kepada-Mu untuk (kebaikan) Madinah dengan doa yang sama seperti yang ia panjatkan untuk Makkah, bahkan dengan tambahan yang serupa.” Kemudian beliau memanggil anak kecil yang paling muda yang beliau lihat, lalu memberinya buah tersebut.

بَابُ مَا جَاءَ فِي سُكْنَى الْمَدِينَةِ وَالْخُرُوجِ مِنْهَا

Bab tentang apa yang datang mengenai tinggal di Madinah dan keluar darinya.

3 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ قَطَنِ بْنِ وَهْبِ بْنِ عُمَيْرِ بْنِ الْأَجْدَعِ، أَنَّ يُحَنَّسَ، مَوْلَى الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فِي الْفِتْنَةِ، فَأَتَتْهُ مَوْلَاةٌ لَهُ تُسَلِّمُ عَلَيْهِ، فَقَالَتْ: إِنِّي أَرَدْتُ الْخُرُوجَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ اشْتَدَّ عَلَيْنَا الزَّمَانُ، فَقَالَ لَهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: اقْعُدِي لُكَعُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا يَصْبِرُ عَلَى لَأْوَائِهَا وَشِدَّتِهَا أَحَدٌ، إِلَّا كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

3 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Qathan bin Wahb bin Umair bin al-Ajda‘, bahwa Yuhannas, maula az-Zubair bin al-‘Awwam, mengabarkan kepadanya bahwa ia sedang duduk di sisi Abdullah bin Umar pada masa fitnah. Lalu datanglah seorang budak perempuan miliknya memberi salam kepadanya, lalu berkata: “Aku ingin keluar (dari Madinah), wahai Abu Abdurrahman, masa telah menjadi berat bagi kami.” Maka Abdullah bin Umar berkata kepadanya: “Duduklah, wahai Lukā‘! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah seseorang bersabar atas kesulitan dan penderitaannya (Madinah), kecuali aku akan menjadi pemberi syafaat atau saksi baginya pada hari kiamat.”

4 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْإِسْلَامِ، فَأَصَابَ الْأَعْرَابِيَّ وَعْكٌ بِالْمَدِينَةِ، فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَقِلْنِي بَيْعَتِي، فَأَبَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ جَاءَهُ، فَقَالَ: أَقِلْنِي بَيْعَتِي، فَأَبَى، ثُمَّ جَاءَهُ، فَقَالَ: أَقِلْنِي بَيْعَتِي، فَأَبَى، فَخَرَجَ الْأَعْرَابِيُّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي خَبَثَهَا، وَيَنْصَعُ طِيبُهَا

4 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Jabir bin Abdullah, bahwa seorang Arab Badui membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam. Lalu orang Badui itu mengalami demam di Madinah, maka ia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, batalkanlah baiatku.” Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak. Kemudian ia datang lagi dan berkata: “Batalkanlah baiatku.” Namun beliau menolak. Ia datang lagi dan berkata: “Batalkanlah baiatku.” Namun beliau tetap menolak. Lalu orang Badui itu pun keluar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Madinah itu seperti alat peniup api (tungku), ia akan menghilangkan keburukannya dan memperjelas yang baiknya.”

5 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الْحُبَابِ سَعِيدَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: أُمِرْتُ بِقَرْيَةٍ تَأْكُلُ الْقُرَى، يَقُولُونَ يَثْرِبُ وَهِيَ الْمَدِينَةُ، تَنْفِي النَّاسَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

5 – Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa ia berkata: Aku mendengar Abu al-Habbab Sa‘id bin Yasar berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan (untuk tinggal) di sebuah kota yang memakan (mengalahkan) kota-kota lain. Mereka menyebutnya Yatsrib, padahal ia adalah Madinah. Ia akan menyingkirkan manusia sebagaimana alat peniup api menyingkirkan kotoran besi.”

6 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَخْرُجُ أَحَدٌ مِنَ الْمَدِينَةِ رَغْبَةً عَنْهَا، إِلَّا أَبْدَلَهَا اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ

6 – Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang keluar dari Madinah karena tidak menyukainya, kecuali Allah akan menggantikan (penduduk) yang lebih baik darinya.”

7 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ أَبِي زُهَيْرٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: تُفْتَحُ الْيَمَنُ فَيَأْتِي قَوْمٌ يَبُسُّونَ فَيَتَحَمَّلُونَ بِأَهْلِيهِمْ وَمَنْ أَطَاعَهُمْ، وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ، وَتُفْتَحُ الشَّامُ فَيَأْتِي قَوْمٌ يُبِسُّونَ فَيَتَحَمَّلُونَ بِأَهْلِيهِمْ وَمَنْ أَطَاعَهُمْ، وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ، وَتُفْتَحُ الْعِرَاقُ فَيَأْتِي قَوْمٌ يُبِسُّونَ فَيَتَحَمَّلُونَ بِأَهْلِيهِمْ، وَمَنْ أَطَاعَهُمْ وَالْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

7 – Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari Abdullah bin az-Zubair, dari Sufyan bin Abi Zuhair, bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yaman akan dibuka, lalu datanglah suatu kaum yang mengajak (keluarganya) dan orang-orang yang taat kepada mereka untuk pindah ke sana, padahal Madinah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahui. Syam akan dibuka, lalu datanglah suatu kaum yang mengajak (keluarganya) dan orang-orang yang taat kepada mereka untuk pindah ke sana, padahal Madinah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahui. Irak akan dibuka, lalu datanglah suatu kaum yang mengajak (keluarganya) dan orang-orang yang taat kepada mereka untuk pindah ke sana, padahal Madinah lebih baik bagi mereka seandainya mereka mengetahui.”

8 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ حِمَاسٍ، عَنْ عَمِّهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَتُتْرَكَنَّ الْمَدِينَةُ عَلَى أَحْسَنِ مَا كَانَتْ، حَتَّى يَدْخُلَ الْكَلْبُ أَوِ الذِّئْبُ فَيُغَذِّي عَلَى بَعْضِ سَوَارِي الْمَسْجِدِ أَوْ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَلِمَنْ تَكُونُ الثِّمَارُ ذَلِكَ الزَّمَانَ، قَالَ: لِلْعَوَافِي الطَّيْرِ وَالسِّبَاعِ

8 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari Ibn Himās, dari pamannya, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh, Madinah akan ditinggalkan dalam keadaan terbaiknya, hingga anjing atau serigala masuk lalu kencing di sebagian tiang masjid atau di mimbar.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu untuk siapa buah-buahan itu pada masa itu?” Beliau menjawab, “Untuk binatang liar, burung-burung, dan hewan buas.”

9 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ حِينَ خَرَجَ مِنَ الْمَدِينَةِ الْتَفَتَ إِلَيْهَا فَبَكَى، ثُمَّ قَالَ: يَا مُزَاحِمُ، أَتَخْشَى أَنْ نَكُونَ مِمَّنْ نَفَتِ الْمَدِينَةُ؟

9 – Mālik meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, ketika ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz keluar dari Madinah, ia menoleh ke arahnya lalu menangis, kemudian berkata, “Wahai Muzāhim, apakah engkau takut kita termasuk orang-orang yang diusir oleh Madinah?”

بَابُ مَا جَاءَ فِي تَحْرِيمِ الْمَدِينَةِ

Bab tentang larangan (keharaman) Madinah

10 – حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَمْرٍو، مَوْلَى الْمُطَّلِبِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَعَ لَهُ أُحُدٌ فَقَالَ: هَذَا جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ، اللَّهُمَّ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ، وَأَنَا أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا

10 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari ‘Amr, maula al-Muththalib, dari Anas bin Mālik, bahwa Rasulullah ﷺ ketika melihat Gunung Uhud bersabda, “Ini adalah gunung yang mencintai kita dan kita mencintainya. Ya Allah, sesungguhnya Ibrāhīm telah mengharamkan (menjadikan suci) Makkah, dan aku mengharamkan (menjadikan suci) apa yang ada di antara dua batu hitamnya (Madinah).”

11 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: لَوْ رَأَيْتُ الظِّبَاءَ بِالْمَدِينَةِ تَرْتَعُ مَا ذَعَرْتُهَا، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا حَرَامٌ

11 – Telah menceritakan kepadaku Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, dari Abū Hurairah, bahwa ia biasa berkata, “Seandainya aku melihat kijang-kijang di Madinah sedang merumput, aku tidak akan mengusirnya.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Apa yang ada di antara dua batu hitamnya adalah tanah haram (suci).”

12 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يُونُسَ بْنِ يُوسُفَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّهُ وَجَدَ غِلْمَانًا قَدْ أَلْجَئُوا ثَعْلَبًا إِلَى زَاوِيَةٍ، فَطَرَدَهُمْ عَنْهُ، قَالَ مَالِكٌ: ” لَا أَعْلَمُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ: أَفِي حَرَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْنَعُ هَذَا؟ “

12 – Telah menceritakan kepadaku Mālik, dari Yūnus bin Yūsuf, dari ‘Athā’ bin Yasār, dari Abū Ayyūb al-Anshārī, bahwa ia mendapati anak-anak telah mengurung seekor rubah ke sudut, lalu ia mengusir mereka darinya. Mālik berkata, “Aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‘Apakah di tanah haram Rasulullah ﷺ dilakukan seperti ini?'”

13 – وحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عنْ رَجُلٍ قَالَ: دَخَلَ عَلَيَّ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَنَا بِالْأَسْوَافِ، قَدِ اصْطَدْتُ نُهَسًا، فَأَخَذَهُ مِنْ يَدِي فَأَرْسَلَهُ “

13 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Mālik, dari seorang laki-laki yang berkata: “Zaid bin Tsābit masuk menemuiku saat aku berada di Aswāf, aku telah menangkap seekor burung nahas, lalu ia mengambilnya dari tanganku dan melepaskannya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي وَبَاءِ الْمَدِينَةِ

Bab tentang wabah di Madinah

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَّهَا قَالَتْ: لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وُعِكَ أَبُو بَكْرٍ وَبِلَالٌ، قَالَتْ: فَدَخَلْتُ عَلَيْهِمَا، فَقُلْتُ: يَا أَبَتِ، كَيْفَ تَجِدُكَ؟ وَيَا بِلَالُ، كَيْفَ تَجِدُكَ؟ قَالَتْ: فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ إِذَا أَخَذَتْهُ الْحُمَّى يَقُولُ:
[البحر الرجز]

كُلُّ امْرِئٍ مُصَبَّحٌ فِي أَهْلِهِ … وَالْمَوْتُ أَدْنَى مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ
وَكَانَ بِلَالٌ إِذَا أُقْلِعَ عَنْهُ يَرْفَعُ عَقِيرَتَهُ فَيَقُولُ:
[البحر الطويل]

أَلَا لَيْتَ شِعْرِي هَلْ أَبِيتَنَّ لَيْلَةً … بِوَادٍ وَحَوْلِي إِذْخِرٌ وَجَلِيلُ؟
وَهَلْ أَرِدَنْ يَوْمًا مِيَاهَ مَجِنَّةٍ … وَهَلْ يَبْدُوَنْ لِي شَامَةٌ وَطَفِيلُ؟
قَالَتْ عَائِشَةُ: فَجِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ” اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ، أَوْ أَشَدَّ، وَصَحِّحْهَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي صَاعِهَا وَمُدِّهَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا فَاجْعَلْهَا بِالْجُحْفَةِ.

15 – قَالَ مَالِكٌ: وحَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: وَكَانَ عَامِرُ بْنُ فُهَيْرَةَ يَقُولُ:
[البحر الرجز]

قَدْ رَأَيْتُ الْمَوْتَ قَبْلَ ذَوْقِهْ … إِنَّ الْجَبَانَ حَتْفُهُ مِنْ فَوْقِهْ “

14 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Āisyah Ummul Mukminin, bahwa ia berkata: Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, Abū Bakr dan Bilāl jatuh sakit. Ia berkata: Maka aku masuk menemui mereka berdua, lalu aku berkata, “Wahai ayahku, bagaimana keadaanmu? Dan wahai Bilāl, bagaimana keadaanmu?” Ia berkata: Maka Abū Bakr, jika demam menyerangnya, ia berkata:

(Setiap orang akan berada di pagi hari bersama keluarganya … namun maut lebih dekat dari tali sandal kakinya)

Dan Bilāl, jika demamnya reda, ia mengangkat suaranya dan berkata:

(Andai aku tahu, apakah aku akan bermalam satu malam … di sebuah lembah dan di sekitarku ada tanaman idzkhir dan jalīl?
Dan apakah aku akan suatu hari mendatangi air Majinnah … dan apakah Syāmah dan Tufail akan tampak bagiku?)

‘Āisyah berkata: Maka aku datang kepada Rasulullah ﷺ dan memberitahukan hal itu kepadanya, lalu beliau bersabda: “Ya Allah, jadikanlah kecintaan kami kepada Madinah seperti kecintaan kami kepada Makkah, atau lebih besar lagi. Sehatkanlah ia, berkahilah bagi kami takaran sāʻ dan mudd-nya, dan pindahkanlah demamnya ke al-Juhfah.”

15 – Mālik berkata: Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Sa‘īd, bahwa ‘Āisyah berkata: Dan ‘Āmir bin Fuhayrah biasa berkata:

(Sungguh aku telah melihat kematian sebelum merasakannya … sesungguhnya orang pengecut ajalnya datang dari atasnya)

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نُعَيْمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُجْمِرِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى أَنْقَابِ الْمَدِينَةِ مَلَائِكَةٌ، لَا يَدْخُلُهَا الطَّاعُونُ، وَلَا الدَّجَّالُ

16 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nu‘aim bin ‘Abdullāh al-Mujmir, dari Abū Hurairah, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Di pintu-pintu Madinah ada para malaikat, tidak akan masuk ke dalamnya wabah tha‘ūn dan tidak pula Dajjāl.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي إِجْلَاءِ الْيَهُودِ مِنَ الْمَدِينَةِ

Bab tentang pengusiran Yahudi dari Madinah

17 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَقُولُ: كَانَ مِنْ آخِرِ مَا تَكَلَّمَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ قَالَ: قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ، لَا يَبْقَيَنَّ دِينَانِ بِأَرْضِ الْعَرَبِ

17 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ismā‘īl bin Abī Ḥakīm, bahwa ia mendengar ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz berkata: Termasuk dari ucapan terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah ﷺ adalah beliau bersabda: “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Tidak boleh ada dua agama yang tersisa di tanah Arab.”

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ

18 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan berkumpul dua agama di Jazirah Arab.”

قَالَ مَالِكٌ: قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: فَفَحَصَ عَنْ ذَلِكَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ حَتَّى أَتَاهُ الثَّلَجُ وَالْيَقِينُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، فَأَجْلَى يَهُودَ خَيْبَرَ.

19 – قَالَ مَالِكٌ: وَقَدْ أَجْلَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَهُودَ نَجْرَانَ وَفَدَكَ، فَأَمَّا يَهُودُ خَيْبَرَ فَخَرَجُوا مِنْهَا لَيْسَ لَهُمْ مِنَ الثَّمَرِ، وَلَا مِنَ الْأَرْضِ شَيْءٌ، وَأَمَّا يَهُودُ فَدَكَ فَكَانَ لَهُمْ نِصْفُ الثَّمَرِ وَنِصْفُ الْأَرْضِ، لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَالَحَهُمْ عَلَى نِصْفِ الثَّمَرِ وَنِصْفِ الْأَرْضِ، فَأَقَامَ لَهُمْ عُمَرُ نِصْفَ الثَّمَرِ وَنِصْفَ الْأَرْضِ، قِيمَةً مِنْ ذَهَبٍ وَوَرِقٍ وَإِبِلٍ وَحِبَالٍ، وَأَقْتَابٍ ثُمَّ أَعْطَاهُمُ الْقِيمَةَ وَأَجْلَاهُمْ مِنْهَا

Mālik berkata: Ibn Syihāb berkata: Maka ‘Umar bin al-Khaṭṭāb meneliti hal itu hingga ia memperoleh keyakinan dan kepastian bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan berkumpul dua agama di Jazirah Arab.” Maka ia pun mengusir orang-orang Yahudi dari Khaybar.

19 – Mālik berkata: Dan sungguh ‘Umar bin al-Khaṭṭāb telah mengusir orang-orang Yahudi Najrān dan Fadak. Adapun orang-orang Yahudi Khaybar, mereka keluar dari sana tanpa memiliki bagian dari hasil buah maupun tanah sedikit pun. Sedangkan orang-orang Yahudi Fadak, mereka memiliki separuh hasil buah dan separuh tanah, karena Rasulullah ﷺ telah berdamai dengan mereka atas separuh hasil buah dan separuh tanah. Maka ‘Umar memberikan kepada mereka nilai separuh hasil buah dan separuh tanah itu berupa emas, perak, unta, tali, dan pelana, kemudian ia memberikan nilai itu kepada mereka dan mengusir mereka dari sana.

بَابُ مَا جَاءَ فِي أَمْرِ الْمَدِينَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai urusan Madinah

20 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَعَ لَهُ أُحُدٌ فَقَالَ: هَذَا جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ

20 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ ketika tampak baginya (Gunung) Uhud, beliau bersabda: “Ini adalah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya.”

21 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، أَنَّ أَسْلَمَ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ زَارَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَيَّاشٍ الْمَخْزُومِيَّ فَرَأَى عِنْدَهُ نَبِيذًا، وَهُوَ بِطَرِيقِ مَكَّةَ، فَقَالَ لَهُ أَسْلَمُ: إِنَّ هَذَا الشَّرَابَ يُحِبُّهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَحَمَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَيَّاشٍ قَدَحًا عَظِيمًا، فَجَاءَ بِهِ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَوَضَعَهُ فِي يَدَيْهِ، فَقَرَّبَهُ عُمَرُ إِلَى فِيهِ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّ هَذَا لَشَرَابٌ طَيِّبٌ، فَشَرِبَ مِنْهُ، ثُمَّ نَاوَلَهُ رَجُلًا عَنْ يَمِينِهِ، فَلَمَّا أَدْبَرَ عَبْدُ اللَّهِ نَادَاهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ: أَأَنْتَ الْقَائِلُ لَمَكَّةُ خَيْرٌ مِنَ الْمَدِينَةِ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ، فَقُلْتُ: هِيَ حَرَمُ اللَّهِ وَأَمْنُهُ، وَفِيهَا بَيْتُهُ، فَقَالَ عُمَرُ: لَا أَقُولُ فِي بَيْتِ اللَّهِ وَلَا فِي حَرَمِهِ شَيْئًا، ثُمَّ قَالَ عُمَرُ: أَأَنْتَ الْقَائِلُ لَمَكَّةُ خَيْرٌ مِنَ الْمَدِينَةِ، قَالَ فَقُلْتُ: هِيَ حَرَمُ اللَّهِ وَأَمْنُهُ، وَفِيهَا بَيْتُهُ، فَقَالَ عُمَرُ: لَا أَقُولُ فِي حَرَمِ اللَّهِ وَلَا فِي بَيْتِهِ شَيْئًا ثُمَّ انْصَرَفَ

21 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari ‘Abd al-Raḥmān bin al-Qāsim, bahwa Aslam, maula ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, mengabarkan kepadanya, bahwa ia mengunjungi ‘Abdullāh bin ‘Ayyāsy al-Makhzūmī dan melihat di sisinya terdapat nabīdz, sedangkan ia sedang dalam perjalanan menuju Makkah. Maka Aslam berkata kepadanya: “Minuman ini disukai oleh ‘Umar bin al-Khaṭṭāb.” Maka ‘Abdullāh bin ‘Ayyāsy membawa sebuah gelas besar, lalu membawanya kepada ‘Umar bin al-Khaṭṭāb dan meletakkannya di tangannya. Maka ‘Umar mendekatkan gelas itu ke mulutnya, lalu mengangkat kepalanya dan berkata: “Ini adalah minuman yang baik,” lalu ia meminumnya, kemudian memberikan kepada seorang laki-laki di sebelah kanannya. Ketika ‘Abdullāh berpaling, ‘Umar bin al-Khaṭṭāb memanggilnya dan berkata: “Apakah engkau yang mengatakan bahwa Makkah lebih baik daripada Madinah?” Maka ‘Abdullāh menjawab: “Aku berkata, ia adalah tanah haram Allah dan tempat aman-Nya, dan di dalamnya terdapat rumah-Nya.” Maka ‘Umar berkata: “Aku tidak akan mengatakan apa pun tentang rumah Allah dan tanah haram-Nya.” Kemudian ‘Umar berkata lagi: “Apakah engkau yang mengatakan bahwa Makkah lebih baik daripada Madinah?” Ia menjawab: “Aku berkata, ia adalah tanah haram Allah dan tempat aman-Nya, dan di dalamnya terdapat rumah-Nya.” Maka ‘Umar berkata: “Aku tidak akan mengatakan apa pun tentang tanah haram Allah dan rumah-Nya.” Kemudian ia pun pergi.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الطَّاعُونِ

Bab tentang apa yang datang mengenai tha‘ūn (wabah)

22 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ نَوْفَلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، خَرَجَ إِلَى الشَّامِ حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغَ لَقِيَهُ أُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ، فَأَخْبَرُوهُ أَنَّ الْوَبَأَ قَدْ وَقَعَ بِأَرْضِ الشَّامِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ادْعُ لِي الْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ فَدَعَاهُمْ فَاسْتَشَارَهُمْ، وَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ الْوَبَأَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَاخْتَلَفُوا، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: قَدْ خَرَجْتَ لِأَمْرٍ وَلَا نَرَى أَنْ تَرْجِعَ عَنْهُ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ مَعَكَ بَقِيَّةُ النَّاسِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا نَرَى أَنْ تُقْدِمَهُمْ عَلَى هَذَا الْوَبَإِ، فَقَالَ عُمَرُ: ارْتَفِعُوا عَنِّي، ثُمَّ قَالَ: ادْعُ لِي الْأَنْصَارَ، فَدَعَوْتُهُمْ فَاسْتَشَارَهُمْ فَسَلَكُوا سَبِيلَ الْمُهَاجِرِينَ، وَاخْتَلَفُوا كَاخْتِلَافِهِمْ، فَقَالَ: ارْتَفِعُوا عَنِّي، ثُمَّ قَالَ: ادْعُ لِي مَنْ كَانَ هَاهُنَا مِنْ مَشْيَخَةِ قُرَيْشٍ مِنْ مُهَاجِرَةِ الْفَتْحِ، فَدَعَوْتُهُمْ فَلَمْ يَخْتَلِفْ عَلَيْهِ مِنْهُمُ رَجُلَانِ، فَقَالُوا: نَرَى أَنْ تَرْجِعَ بِالنَّاسِ، وَلَا تُقْدِمَهُمْ عَلَى هَذَا الْوَبَإِ، فَنَادَى عُمَرُ فِي النَّاسِ: إِنِّي مُصْبِحٌ عَلَى ظَهْرٍ فَأَصْبِحُوا عَلَيْهِ، فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ: أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ؟ فَقَالَ عُمَرُ: لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا يَا أَبَا عُبَيْدَةَ؟ نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ إِبِلٌ فَهَبَطَتْ وَادِيًا لَهُ عُدْوَتَانِ إِحْدَاهُمَا خَصِبَةٌ، وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ، أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ الْخَصِبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ، وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللَّهِ، فَجَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَكَانَ غَائِبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ، فَقَالَ: إِنَّ عِنْدِي مِنْ هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ، قَالَ: فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ، ثُمَّ انْصَرَفَ

22 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari ‘Abd al-Ḥamīd bin ‘Abd al-Raḥmān bin Zaid bin al-Khaṭṭāb, dari ‘Abdullāh bin ‘Abdullāh bin al-Ḥārith bin Nawfal, dari ‘Abdullāh bin ‘Abbās, bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berangkat menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, ia bertemu dengan para pemimpin pasukan, yaitu Abū ‘Ubaidah bin al-Jarrāḥ dan para sahabatnya. Mereka memberitahukan kepadanya bahwa wabah telah terjadi di wilayah Syam. Ibn ‘Abbās berkata: Maka ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata, “Panggilkan kepadaku para Muhājirīn yang pertama.” Lalu mereka dipanggil dan ia bermusyawarah dengan mereka, serta memberitahukan bahwa wabah telah terjadi di Syam. Mereka pun berbeda pendapat. Sebagian dari mereka berkata, “Engkau telah keluar untuk suatu urusan, dan kami tidak melihat alasan untuk kembali darinya.” Sebagian yang lain berkata, “Bersamamu masih ada sisa manusia dan para sahabat Rasulullah ﷺ, dan kami tidak melihat engkau membawa mereka menghadapi wabah ini.” Maka ‘Umar berkata, “Tinggalkan aku.” Kemudian ia berkata, “Panggilkan kepadaku kaum Anṣār.” Lalu aku memanggil mereka dan ia bermusyawarah dengan mereka, namun mereka menempuh jalan yang sama dengan para Muhājirīn dan berselisih sebagaimana mereka. Maka ia berkata, “Tinggalkan aku.” Kemudian ia berkata, “Panggilkan kepadaku siapa saja di sini dari para tokoh Quraisy dari Muhājirīn al-Fatḥ.” Lalu aku memanggil mereka, dan tidak ada dua orang pun di antara mereka yang berselisih pendapat. Mereka berkata, “Kami berpendapat agar engkau kembali bersama orang-orang, dan jangan membawa mereka menghadapi wabah ini.” Maka ‘Umar menyeru kepada orang-orang, “Sesungguhnya aku akan berangkat pagi hari di atas kendaraan, maka berangkatlah kalian juga.” Abū ‘Ubaidah berkata, “Apakah ini berarti lari dari takdir Allah?” Maka ‘Umar berkata, “Seandainya yang mengucapkannya bukan engkau, wahai Abū ‘Ubaidah! Ya, kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah. Bagaimana pendapatmu jika engkau memiliki unta lalu turun di sebuah lembah yang memiliki dua sisi, salah satunya subur dan yang lainnya tandus. Bukankah jika engkau menggembalakan di yang subur, engkau menggembalakan dengan takdir Allah, dan jika engkau menggembalakan di yang tandus, engkau pun menggembalakan dengan takdir Allah?” Lalu datanglah ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Auf, yang sebelumnya sedang ada keperluan, lalu berkata, “Aku memiliki pengetahuan tentang hal ini. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.’” Maka ‘Umar memuji Allah, lalu pergi.

23 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، وَعَنْ سَالِمٍ أَبِي النَّضْرِ، مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَسْأَلُ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الطَّاعُونِ؟ فَقَالَ أُسَامَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الطَّاعُونُ رِجْزٌ أُرْسِلَ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ – أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ – فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ قَالَ مَالِكٌ: قَالَ أَبُو النَّضْرِ: لَا يُخْرِجُكُمْ إِلَّا فِرَارٌ مِنْهُ

23 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Muḥammad bin al-Munkadir, dan dari Sālim Abū al-Naḍr, maula ‘Umar bin ‘Ubaidillāh, dari ‘Āmir bin Sa‘d bin Abī Waqqāṣ, dari ayahnya, bahwa ia mendengar ayahnya bertanya kepada Usāmah bin Zaid, “Apa yang engkau dengar dari Rasulullah ﷺ tentang tha‘ūn (wabah)?” Usāmah menjawab, “Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Tha‘ūn adalah azab yang diutus kepada suatu kaum dari Banī Isrā’īl—atau kepada orang-orang sebelum kalian. Jika kalian mendengar wabah itu terjadi di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.’” Mālik berkata, Abū al-Naḍr berkata, “Janganlah kalian keluar kecuali karena melarikan diri darinya.”

24 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ، فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَأَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ، فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ

24 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari ‘Abdullāh bin ‘Āmir bin Rabī‘ah, bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berangkat menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, ia mendapat kabar bahwa wabah telah terjadi di Syam. Maka ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Auf memberitahunya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika kalian mendengar wabah itu terjadi di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar melarikan diri darinya.” Maka ‘Umar bin al-Khaṭṭāb pun kembali dari Sargh.

25 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ إِنَّمَا رَجَعَ بِالنَّاسِ مِنْ سَرْغَ، عَنْ حَدِيثِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ

25 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah, bahwa Umar bin al-Khattab hanya memulangkan orang-orang dari Sargh karena hadis dari Abdurrahman bin Auf.

26 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: لَبَيْتٌ بِرُكْبَةَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ عَشَرَةِ أَبْيَاتٍ بِالشَّامِ قَالَ مَالِكٌ: يُرِيدُ لِطُولِ الْأَعْمَارِ وَالْبَقَاءِ، وَلِشِدَّةِ الْوَبَإِ بِالشَّامِ

26 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, bahwa ia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Umar bin al-Khattab berkata: “Sebuah rumah di Rukbah lebih aku sukai daripada sepuluh rumah di Syam.” Malik berkata: Maksudnya adalah karena panjang umur dan kelangsungan hidup, serta karena kerasnya wabah di Syam.

46 – كِتَابُ الْقَدَرِ

بَابُ النَّهْيِ عَنِ الْقَوْلِ بِالْقَدَرِ

Bab Larangan Berbicara tentang Qadar (Takdir)

1 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” تَحَاجَّ آدَمُ وَمُوسَى، فَحَجَّ آدَمُ مُوسَى قَالَ لَهُ مُوسَى: أَنْتَ آدَمُ الَّذِي أَغْوَيْتَ النَّاسَ وَأَخْرَجْتَهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ، فَقَالَ لَهُ آدَمُ: أَنْتَ مُوسَى الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ عِلْمَ كُلِّ شَيْءٍ، وَاصْطَفَاهُ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَتِهِ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: أَفَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِّرَ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُخْلَقَ “

1 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Abu al-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Adam dan Musa saling berdebat, lalu Adam mengalahkan Musa. Musa berkata kepadanya: ‘Engkaulah Adam yang telah menyesatkan manusia dan mengeluarkan mereka dari surga.’ Maka Adam berkata kepadanya: ‘Engkaulah Musa yang telah Allah berikan ilmu tentang segala sesuatu dan Allah pilih di antara manusia dengan risalah-Nya.’ Musa berkata: ‘Ya.’ Adam berkata: ‘Apakah engkau mencelaku atas perkara yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan?'”

2 – وحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْخَطَّابِ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ يَسَارٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، سُئِلَ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ: {وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ} [الأعراف: 172] فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ عَنْهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى خَلَقَ آدَمَ، ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ بِيَمِينِهِ، فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، فَقَالَ: خَلَقْتُ هَؤُلَاءِ لِلْجَنَّةِ، وَبِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ يَعْمَلُونَ، ثُمَّ مَسَحَ ظَهْرَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ ذُرِّيَّةً، فَقَالَ: خَلَقْتُ هَؤُلَاءِ لِلنَّارِ، وَبِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ يَعْمَلُونَ “، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَفِيمَ الْعَمَلُ؟ قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ إِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلْجَنَّةِ، اسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَمُوتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُدْخِلُهُ بِهِ الْجَنَّةَ، وَإِذَا خَلَقَ الْعَبْدَ لِلنَّارِ، اسْتَعْمَلَهُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، حَتَّى يَمُوتَ عَلَى عَمَلٍ مِنْ أَعْمَالِ أَهْلِ النَّارِ فَيُدْخِلُهُ بِهِ النَّارَ “

2 – Dan telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Zaid bin Abi Unaisah, dari Abdurrahman bin Abdurrahman bin Zaid bin al-Khattab, bahwa ia mengabarkan kepadanya dari Muslim bin Yasar al-Juhani, bahwa Umar bin al-Khattab pernah ditanya tentang ayat ini: {Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.”} [al-A’raf: 172]. Maka Umar bin al-Khattab berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ ditanya tentang ayat ini, lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menciptakan Adam, kemudian mengusap punggungnya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengeluarkan darinya keturunan. Allah berfirman: ‘Aku ciptakan mereka untuk surga, dan dengan amal perbuatan ahli surga mereka beramal.’ Kemudian Allah mengusap punggungnya lagi, lalu mengeluarkan darinya keturunan. Allah berfirman: ‘Aku ciptakan mereka untuk neraka, dan dengan amal perbuatan ahli neraka mereka beramal.’ Maka seorang laki-laki bertanya: ‘Wahai Rasulullah, lalu untuk apa amal perbuatan itu?’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya Allah, apabila menciptakan seorang hamba untuk surga, maka Allah akan mempekerjakannya dengan amal perbuatan ahli surga hingga ia wafat dalam keadaan melakukan salah satu amal perbuatan ahli surga, lalu Allah memasukkannya ke dalam surga dengan amal itu. Dan apabila Allah menciptakan seorang hamba untuk neraka, maka Allah akan mempekerjakannya dengan amal perbuatan ahli neraka hingga ia wafat dalam keadaan melakukan salah satu amal perbuatan ahli neraka, lalu Allah memasukkannya ke dalam neraka dengan amal itu.'”

3 – عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ “

3 – Dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku tinggalkan di tengah kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya: Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.”

4 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَاوُسٍ الْيَمَانِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: ” أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ “
قَالَ طَاوُسٌ: وَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ، أَوِ الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ

4 – Dan telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Ziyad bin Sa’d, dari Amru bin Muslim, dari Thawus al-Yamani, bahwa ia berkata: “Aku mendapati sebagian sahabat Rasulullah ﷺ berkata: Segala sesuatu itu dengan qadar (takdir).” Thawus berkata: Dan aku mendengar Abdullah bin Umar berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Segala sesuatu itu dengan qadar, bahkan kelemahan dan kecerdikan, atau kecerdikan dan kelemahan.”

5 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ: إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْهَادِي وَالْفَاتِنُ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ziyad bin Sa’d, dari Amru bin Dinar, bahwa ia berkata: Aku mendengar Abdullah bin az-Zubair berkata dalam khutbahnya: “Sesungguhnya Allah-lah yang memberi petunjuk dan yang menyesatkan.”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ أَسِيرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَقَالَ: مَا رَأْيُكَ فِي هَؤُلَاءِ الْقَدَرِيَّةِ؟ فَقُلْتُ: رَأْيِي أَنْ تَسْتَتِيبَهُمْ فَإِنْ تَابُوا، وَإِلَّا عَرَضْتَهُمْ عَلَى السَّيْفِ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: وَذَلِكَ رَأْيِي قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ رَأْيِي

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari pamannya Abū Suhail bin Mālik, bahwa ia berkata: Aku pernah berjalan bersama ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz, lalu ia berkata: “Apa pendapatmu tentang kaum Qadariyyah ini?” Aku menjawab: “Pendapatku adalah agar engkau meminta mereka bertobat. Jika mereka bertobat, maka biarkanlah, namun jika tidak, maka hadapkan mereka pada pedang.” Maka ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz berkata: “Itulah juga pendapatku.” Mālik berkata: “Itulah juga pendapatku.”

بَابُ جَامِعِ مَا جَاءَ فِي أَهْلِ الْقَدَرِ

Bab: Kompilasi Apa yang Diriwayatkan tentang Ahli Qadar

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَسْأَلِ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا، وَلِتَنْكِحَ فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū al-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah seorang wanita meminta agar saudarinya dicerai agar ia dapat mengambil bagiannya, dan agar ia menikah, karena sesungguhnya ia hanya akan mendapatkan apa yang telah ditakdirkan untuknya.”

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ قَالَ: قَالَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّهُ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَى اللَّهُ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعَ اللَّهُ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْهُ الْجَدُّ مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ ثُمَّ قَالَ مُعَاوِيَةُ سَمِعْتُ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذِهِ الْأَعْوَادِ

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yazīd bin Ziyād, dari Muhammad bin Ka‘b al-Qurazī, ia berkata: Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān, ketika berada di atas mimbar, berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada yang dapat menahan apa yang telah Allah berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang telah Allah tahan, dan tidak berguna kekayaan bagi orang yang memilikinya di hadapan Allah. Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan memahamkannya dalam agama (fiqh).” Kemudian Mu‘āwiyah berkata: “Aku mendengar kalimat-kalimat ini dari Rasulullah ﷺ di atas mimbar-mimbar ini.”

9 – وحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ كَمَا يَنْبَغِي، الَّذِي لَا يَعْجَلُ شَيْءٌ أَنَاهُ وَقَدَّرَهُ، حَسْبِيَ اللَّهُ وَكَفَى، سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ دَعَا، لَيْسَ وَرَاءَ اللَّهِ مَرْمَى

9 – Dan telah menceritakan kepadaku Yahyā, dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa dahulu dikatakan: “Segala puji bagi Allah yang menciptakan segala sesuatu sebagaimana mestinya, yang tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Nya dan yang telah menentukan takdirnya. Cukuplah Allah bagiku dan Dia sebaik-baik penolong. Allah mendengar siapa yang berdoa. Tidak ada tujuan setelah Allah.”

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ: إِنَّ أَحَدًا لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ فَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya bahwa dahulu dikatakan: “Sesungguhnya tidak seorang pun akan meninggal dunia sebelum ia menyempurnakan rezekinya. Maka bersikaplah sederhana dalam mencari (rezeki).”

47 – كِتَابُ حُسْنِ الْخَلُقِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي حُسْنِ الْخُلُقِ

Bab: Apa yang Diriwayatkan tentang Akhlak Mulia

1 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ: آخِرُ مَا أَوْصَانِي بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ وَضَعْتُ رِجْلِي فِي الْغَرْزِ أَنْ قَالَ: أَحْسِنْ خُلُقَكَ لِلنَّاسِ يَا مُعَاذُ بْنَ جَبَلٍ

1 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa Mu‘ādz bin Jabal berkata: “Pesan terakhir yang disampaikan kepadaku oleh Rasulullah ﷺ ketika aku telah meletakkan kakiku di pelana adalah beliau bersabda: ‘Perbaikilah akhlakmu kepada manusia, wahai Mu‘ādz bin Jabal.’”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ، وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ بِهَا

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari ‘Urwah bin al-Zubair, dari ‘Āisyah istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata: “Tidaklah Rasulullah ﷺ diberi pilihan antara dua perkara, melainkan beliau memilih yang lebih mudah di antara keduanya, selama itu bukan dosa. Jika itu dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Dan tidaklah Rasulullah ﷺ membalas untuk dirinya sendiri, kecuali jika kehormatan Allah dilanggar, maka beliau membalas karena Allah.”

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

3 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari ‘Alī bin Husain bin ‘Alī bin Abī Thālib, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتِ: اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَتْ عَائِشَةُ وَأَنَا مَعَهُ فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ، ثُمَّ أَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَلَمْ أَنْشَبْ أَنْ سَمِعْتُ ضَحِكَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهُ، فَلَمَّا خَرَجَ الرَّجُلُ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قُلْتَ فِيهِ مَا قُلْتَ، ثُمَّ لَمْ تَنْشَبْ أَنْ ضَحِكْتَ مَعَهُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنْ شَرِّ النَّاسِ مَنِ اتَّقَاهُ النَّاسُ لِشَرِّهِ

4 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya dari ‘Āisyah istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata: “Seorang laki-laki meminta izin untuk masuk kepada Rasulullah ﷺ, dan aku bersama beliau di rumah. Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Seburuk-buruk anak keluarga.’ Kemudian Rasulullah ﷺ mengizinkannya masuk. ‘Āisyah berkata: Tidak lama kemudian aku mendengar Rasulullah ﷺ tertawa bersamanya. Ketika laki-laki itu keluar, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan tentang dia apa yang engkau katakan, lalu tidak lama kemudian engkau tertawa bersamanya?’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya di antara seburuk-buruk manusia adalah orang yang dijauhi manusia karena kejahatannya.’”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ كَعْبِ الْأَحْبَارِ، أَنَّهُ قَالَ: إِذَا أَحْبَبْتُمْ أَنْ تَعْلَمُوا مَا لِلْعَبْدِ عِنْدَ رَبِّهِ، فَانْظُرُوا مَاذَا يَتْبَعُهُ مِنْ حُسْنِ الثَّنَاءِ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari pamannya Abū Suhail bin Mālik, dari ayahnya, dari Ka‘b al-Aḥbār, bahwa ia berkata: Jika kalian ingin mengetahui bagaimana kedudukan seorang hamba di sisi Tuhannya, maka lihatlah bagaimana pujian baik yang mengikutinya.

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ قَالَ: بَلَغَنِي: أَنَّ الْمَرْءَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الْقَائِمِ بِاللَّيْلِ الظَّامِي بِالْهَوَاجِرِ

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik dari Yaḥyā bin Sa‘īd, bahwa ia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa seseorang dapat mencapai derajat orang yang shalat malam dan berpuasa di siang hari yang panas, hanya dengan akhlaknya yang baik.

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ يَقُولُ: أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ؟ قَالُوا: بَلَى، قَالَ: إِصْلَاحُ ذَاتِ الْبَيْنِ وَإِيَّاكُمْ وَالْبِغْضَةَ، فَإِنَّهَا هِيَ الْحَالِقَةُ

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, bahwa ia berkata: Aku mendengar Sa‘īd bin al-Musayyib berkata: Maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang lebih baik daripada banyak shalat dan sedekah? Mereka menjawab: Tentu. Ia berkata: Mendamaikan hubungan di antara sesama, dan jauhilah permusuhan, karena permusuhan itu adalah pencukur (kebaikan).

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ أَنَّهُ قَدْ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ حُسْنَ الْأَخْلَاقِ

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْحَيَاءِ

Bab tentang apa yang datang mengenai malu.

9 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ صَفْوَانَ بْنِ سَلَمَةَ الزُّرَقِيِّ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ رُكَانَةَ، يَرْفَعُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِكُلِّ دِينٍ خُلُقٌ، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ

9 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Salamah bin Ṣafwān bin Salamah az-Zuraqī, dari Yazīd bin Ṭalḥah bin Rukānah, yang meriwayatkannya sampai kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْإِيمَانِ

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Sālim bin ‘Abdullāh, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam melewati seorang laki-laki yang sedang menasihati saudaranya tentang malu, maka Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Biarkanlah dia, karena malu itu bagian dari iman.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْغَضَبِ

Bab tentang apa yang datang mengenai marah.

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ رَجُلًا أَتَى إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عَلِّمْنِي كَلِمَاتٍ أَعِيشُ بِهِنَّ، وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ فَأَنْسَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَغْضَبْ

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Ḥumaid bin ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku beberapa kata yang dapat aku jadikan pedoman hidup, dan jangan terlalu banyak agar aku tidak lupa. Maka Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jangan marah.

12 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

12 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Orang yang kuat bukanlah yang menang dalam bergulat, sesungguhnya orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمُهَاجَرَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai memutus hubungan (muḥājarah).

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُهَاجِرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا، وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari ‘Aṭā’ bin Yazīd al-Laythī, dari Abū Ayyūb al-Anṣārī, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak halal bagi seorang Muslim memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga malam; keduanya bertemu, lalu yang satu berpaling dan yang lain pun berpaling, dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang lebih dahulu memberi salam.

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُهَاجِرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ قَالَ مَالِكٌ: لَا أَحْسِبُ التَّدَابُرَ إِلَّا الْإِعْرَاضَ عَنْ أَخِيكَ الْمُسْلِمِ فَتُدْبِرَ عَنْهُ بِوَجْهِكَ

14 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Anas bin Mālik, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jangan saling membenci, jangan saling dengki, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang Muslim memutus hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mālik berkata: Aku tidak mengira tadābur (membelakangi) kecuali berpaling dari saudara Muslimmu, sehingga engkau membelakanginya dengan wajahmu.

15 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

15 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah perkataan yang paling dusta. Janganlah kalian mencari-cari kesalahan, jangan saling memata-matai, jangan saling bersaing, jangan saling dengki, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مُسْلِمٍ عَبْدِ اللَّهِ الْخُرَاسَانِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَصَافَحُوا يَذْهَبِ الْغِلُّ، وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا، وَتَذْهَبِ الشَّحْنَاءُ

16 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Aṭā’ bin Abī Muslim ‘Abdullāh al-Khurāsānī, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Salinglah berjabat tangan, niscaya akan hilang rasa dendam; dan salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai, dan permusuhan pun akan hilang.”

17 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُسْلِمٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا

17 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Suhail bin Abī Ṣāliḥ, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan hari Kamis, maka diampuni setiap hamba Muslim yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, kecuali seseorang yang antara dirinya dan saudaranya terdapat permusuhan. Maka dikatakan: Tangguhkanlah kedua orang ini sampai mereka berdamai, tangguhkanlah kedua orang ini sampai mereka berdamai.”

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ: ” تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ كُلَّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ: يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ، إِلَّا عَبْدًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: اتْرُكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَفِيئَا، أَوِ ارْكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَفِيئَا “””””””

18 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Muslim bin Abī Maryam, dari Abū Ṣāliḥ as-Sammān, dari Abū Hurairah, bahwa ia berkata: “Amal perbuatan manusia diperlihatkan setiap pekan dua kali: pada hari Senin dan hari Kamis. Maka diampuni setiap hamba yang beriman, kecuali seorang hamba yang antara dirinya dan saudaranya terdapat permusuhan. Maka dikatakan: Biarkanlah kedua orang ini sampai mereka kembali (berdamai), atau tinggalkanlah kedua orang ini sampai mereka kembali (berdamai).”

48 – كِتَابُ اللِّبَاسِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي لُبْسِ الثِّيَابِ لِلْجَمَالِ بِهَا

Bab tentang apa yang disebutkan mengenai memakai pakaian untuk keindahan dengannya

1 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ بَنِي أَنْمَارٍ. قَالَ جَابِرٌ: فَبَيْنَا أَنَا نَازِلٌ تَحْتَ شَجَرَةٍ، إِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلُمَّ إِلَى الظِّلِّ، قَالَ: فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُمْتُ إِلَى غِرَارَةٍ لَنَا، فَالْتَمَسْتُ فِيهَا شَيْئًا، فَوَجَدْتُ فِيهَا جِرْوَ قِثَّاءٍ فَكَسَرْتُهُ، ثُمَّ قَرَّبْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكُمْ هَذَا؟ قَالَ فَقُلْتُ: خَرَجْنَا بِهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَدِينَةِ، قَالَ جَابِرٌ: وَعِنْدَنَا صَاحِبٌ لَنَا نُجَهِّزُهُ، يَذْهَبُ يَرْعَى ظَهْرَنَا، قَالَ: فَجَهَّزْتُهُ ثُمَّ أَدْبَرَ يَذْهَبُ فِي الظَّهْرِ، وَعَلَيْهِ بُرْدَانِ لَهُ قَدْ خَلَقَا، قَالَ: فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِ فَقَالَ: أَمَا لَهُ ثَوْبَانِ غَيْرُ هَذَيْنِ؟ فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَهُ ثَوْبَانِ فِي الْعَيْبَةِ كَسَوْتُهُ إِيَّاهُمَا، قَالَ: فَادْعُهُ فَمُرْهُ فَلْيَلْبَسْهُمَا، قَالَ: فَدَعَوْتُهُ فَلَبِسَهُمَا، ثُمَّ وَلَّى يَذْهَبُ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا لَهُ ضَرَبَ اللَّهُ عُنُقَهُ، أَلَيْسَ هَذَا خَيْرًا لَهُ؟ قَالَ: فَسَمِعَهُ الرَّجُلُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَالَ: فَقُتِلَ الرَّجُلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

1 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari Jābir bin ‘Abdullāh al-Anṣārī, bahwa ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Banī Anmār. Jābir berkata: Ketika aku sedang berteduh di bawah sebuah pohon, tiba-tiba Rasulullah ﷺ datang, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, kemarilah ke tempat teduh.” Maka Rasulullah ﷺ pun turun. Aku pun pergi ke sebuah kantong milik kami, mencari sesuatu di dalamnya, lalu aku menemukan sepotong kecil mentimun, lalu aku membelahnya, kemudian aku suguhkan kepada Rasulullah ﷺ. Beliau bertanya: “Dari mana kalian mendapatkan ini?” Aku menjawab: “Kami membawanya, wahai Rasulullah, dari Madinah.” Jābir berkata: “Kami juga memiliki seorang teman yang kami persiapkan untuk pergi menggembalakan hewan kami.” Maka aku menyiapkannya, lalu ia pergi menggembala, dan ia mengenakan dua kain burdah miliknya yang sudah usang. Rasulullah ﷺ melihatnya lalu bersabda: “Tidakkah ia memiliki dua pakaian lain selain kedua itu?” Aku menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah, ia memiliki dua pakaian di dalam peti, aku telah memberikannya kepadanya.” Beliau bersabda: “Panggillah dia dan perintahkan agar ia memakainya.” Maka aku memanggilnya dan ia pun memakainya, lalu ia pergi. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada apa dengannya, semoga Allah mematahkan lehernya, bukankah ini lebih baik baginya?” Lalu orang itu mendengarnya dan berkata: “Wahai Rasulullah, (aku lakukan ini) di jalan Allah.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Di jalan Allah.” Maka orang itu pun terbunuh di jalan Allah.

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: إِنِّي لَأُحِبُّ أَنْ أَنْظُرَ إِلَى الْقَارِئِ أَبْيَضَ الثِّيَابِ

2 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata: “Sungguh aku senang melihat seorang qāri’ (pembaca al-Qur’an) mengenakan pakaian putih.”

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَيُّوبَ بْنِ أَبِي تَمِيمَةَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، قَالَ: قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: إِذَا أَوْسَعَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ، فَأَوْسِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ جَمَعَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابَهُ

3 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ayyūb bin Abī Tamīmah, dari Ibnu Sīrīn, ia berkata: ‘Umar bin al-Khaṭṭāb berkata: “Jika Allah telah melapangkan rezeki kalian, maka lapangkanlah (nikmat itu) untuk diri kalian sendiri.” (Kemudian) seseorang mengumpulkan pakaiannya pada dirinya.

بَابُ مَا جَاءَ فِي لُبْسِ الثِّيَابِ الْمُصَبَّغَةِ وَالذَّهَبِ

Bab tentang apa yang disebutkan mengenai memakai pakaian yang dicelup dan emas

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ: كَانَ يَلْبَسُ الثَّوْبَ الْمَصْبُوغَ بِالْمِشْقِ وَالْمَصْبُوغَ بِالزَّعْفَرَانِ قَالَ يَحْيَى: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: وَأَنَا أَكْرَهُ أَنْ يَلْبَسَ الْغِلْمَانُ شَيْئًا مِنَ الذَّهَبِ، لِأَنَّهُ بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ تَخَتُّمِ الذَّهَبِ، فَأَنَا أَكْرَهُهُ لِلرِّجَالِ الْكَبِيرِ مِنْهُمْ وَالصَّغِيرِ قَالَ يَحْيَى: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” فِي الْمَلَاحِفِ الْمُعَصْفَرَةِ فِي الْبُيُوتِ لِلرِّجَالِ، وَفِي الْأَفْنِيَةِ قَالَ: لَا أَعْلَمُ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا حَرَامًا، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ اللِّبَاسِ أَحَبُّ إِلَيَّ “

4 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar biasa mengenakan pakaian yang diwarnai dengan misyk (sejenis pewarna) dan yang diwarnai dengan za‘farān. Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Aku tidak suka anak-anak laki-laki mengenakan sesuatu yang terbuat dari emas, karena telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ melarang memakai cincin dari emas. Maka aku tidak menyukainya baik untuk laki-laki dewasa maupun anak-anak.” Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Tentang pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur (sejenis pewarna merah) yang dipakai laki-laki di rumah atau di halaman, aku tidak mengetahui ada sesuatu yang diharamkan dari hal itu. Namun, selain pakaian tersebut lebih aku sukai.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي لُبْسِ الْخَزِّ

Bab tentang apa yang datang mengenai memakai kain khazz (kain sutra campuran).

5 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا كَسَتْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ مِطْرَفَ خَزٍّ كَانَتْ عَائِشَةُ تَلْبَسُهُ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Āisyah, istri Nabi ﷺ, bahwa ia pernah memakaikan kepada ‘Abdullāh bin az-Zubair sebuah mantel dari kain khazz yang dahulu biasa dipakai oleh ‘Āisyah.

بَابُ مَا يُكْرَهُ لِلنِّسَاءِ لُبْسُهُ مِنَ الثِّيَابِ

Bab tentang pakaian yang dimakruhkan untuk dipakai oleh perempuan.

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ أَبِي عَلْقَمَةَ، عَنْ أُمِّهِ، أَنَّهَا قَالَتْ: دَخَلَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَلَى عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى حَفْصَةَ خِمَارٌ رَقِيقٌ، فَشَقَّتْهُ عَائِشَةُ وَكَسَتْهَا خِمَارًا كَثِيفًا

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Alqamah bin Abī ‘Alqamah, dari ibunya, bahwa ia berkata: Hafshah binti ‘Abdurrahmān masuk menemui ‘Āisyah, istri Nabi ﷺ, dan pada Hafshah terdapat kerudung tipis. Maka ‘Āisyah merobeknya dan memakaikan kepadanya kerudung yang tebal.

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُسْلِمِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ: نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ، مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَرِيحُهَا يُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ خَمْسِمِائَةِ سَنَةٍ

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Muslim bin Abī Maryam, dari Abū Shāliḥ, dari Abū Hurairah, bahwa ia berkata: “Ada perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, condong dan membuat condong (orang lain), mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal bau surga itu tercium dari jarak perjalanan lima ratus tahun.”

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَنَظَرَ فِي أُفُقِ السَّمَاءِ فَقَالَ: مَاذَا فُتِحَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْخَزَائِنِ؟ وَمَاذَا وَقَعَ مِنَ الْفِتَنِ؟ كَمْ مِنْ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ أَيْقِظُوا صَوَاحِبَ الْحُجَرِ

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, dari Ibnu Syihāb, bahwa Rasulullah ﷺ bangun di malam hari lalu memandang ke ufuk langit, kemudian bersabda: “Apa saja yang dibukakan malam ini dari perbendaharaan? Dan apa saja fitnah yang terjadi? Berapa banyak wanita yang berpakaian di dunia namun telanjang pada hari kiamat? Bangunkanlah para penghuni kamar-kamar (istri-istri Nabi).”

بَابُ مَا جَاءَ فِي إِسْبَالِ الرَّجُلِ ثَوْبَهُ

Bab tentang apa yang datang mengenai isbāl (menjulurkan pakaian) bagi laki-laki.

9 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الَّذِي يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ، لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

9 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Dīnār, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat.”

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ،، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَنْظُرُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ يَجُرُّ إِزَارَهُ بَطَرًا

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah Tabāraka wa Ta‘ālā tidak akan memandang pada hari kiamat kepada orang yang menyeret sarungnya dengan sombong.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، وَزَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، كُلُّهُمْ يُخْبِرُهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

11 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dan ‘Abdullāh bin Dīnār, dan Zaid bin Aslam, semuanya mengabarkan kepadanya dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah tidak akan memandang pada hari kiamat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong.”

12 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنِ الْإِزَارِ، فَقَالَ: أَنَا أُخْبِرُكَ بِعِلْمٍ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ، لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ، مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ، مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ، لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا

12 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari al-‘Alā’ bin ‘Abdurrahmān, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Aku bertanya kepada Abū Sa‘īd al-Khudrī tentang izār (sarung), maka ia berkata: “Aku akan memberitahumu dengan ilmu. Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Batas izār seorang mukmin adalah sampai pertengahan betisnya, tidak mengapa antara itu dan mata kaki. Apa yang lebih rendah dari itu maka di neraka, apa yang lebih rendah dari itu maka di neraka. Allah tidak akan memandang pada hari kiamat kepada orang yang menyeret izār-nya dengan sombong.'”

بَابُ مَا جَاءَ فِي إِسْبَالِ الْمَرْأَةِ ثَوْبَهَا

Bab tentang apa yang datang mengenai isbāl (menjulurkan pakaian) bagi perempuan.

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ نَافِعٍ مَوْلَى ابْنِ عُمَرَ، عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ أَبِي عُبَيْدٍ، أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا قَالَتْ حِينَ ذُكِرَ الْإِزَارُ، فَالْمَرْأَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: تُرْخِيهِ شِبْرًا، قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: إِذًا يَنْكَشِفُ عَنْهَا، قَالَ: فَذِرَاعًا لَا تَزِيدُ عَلَيْهِ

13 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū Bakr bin Nāfi‘, dari ayahnya Nāfi‘, maula Ibnu ‘Umar, dari Shafiyyah binti Abī ‘Ubaid, bahwa ia mengabarkan kepadanya, dari Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, bahwa ia berkata ketika disebutkan tentang izār (kain penutup bagian bawah), “Bagaimana dengan wanita, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Hendaklah ia memanjangkannya satu jengkal.” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu akan tersingkap (kakinya).” Beliau bersabda, “Maka satu hasta, tidak boleh lebih dari itu.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الِانْتِعَالِ

Bab tentang apa yang datang mengenai memakai sandal.

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَمْشِيَنَّ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ لِيُنْعِلْهُمَا جَمِيعًا أَوْ لِيُحْفِهِمَا جَمِيعًا

14 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berjalan dengan satu sandal saja. Hendaklah ia memakai keduanya atau melepaskan keduanya sekaligus.”

15 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا انْتَعَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِالْيَمِينِ، وَإِذَا نَزَعَ فَلْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ، وَلْتَكُنِ الْيُمْنَى أَوَّلَهُمَا تُنْعَلُ، وَآخِرَهُمَا تُنْزَعُ

15 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian memakai sandal, hendaklah ia memulai dengan yang kanan. Dan apabila melepas, hendaklah ia memulai dengan yang kiri. Maka yang kanan menjadi yang pertama dipakai dan yang terakhir dilepas.”

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ كَعْبِ الْأَحْبَارِ، أَنَّ رَجُلًا نَزَعَ نَعْلَيْهِ، فَقَالَ: ” لِمَ خَلَعْتَ نَعْلَيْكَ؟ لَعَلَّكَ تَأَوَّلْتَ هَذِهِ الْآيَةَ: {فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى} “، قَالَ: ثُمَّ قَالَ كَعْبٌ لِلرَّجُلِ: أَتَدْرِي مَا كَانَتْ نَعْلَا مُوسَى؟ – قَالَ مَالِكٌ: لَا أَدْرِي مَا أَجَابَهُ الرَّجُلُ – فَقَالَ كَعْبٌ: كَانَتَا مِنْ جِلْدِ حِمَارٍ مَيِّتٍ

16 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari pamannya Abū Suhail bin Mālik, dari ayahnya, dari Ka‘b al-Ahbār, bahwa seorang laki-laki melepas kedua sandalnya, lalu Ka‘b berkata, “Mengapa engkau melepas kedua sandalmu? Barangkali engkau menafsirkan ayat ini: {Maka lepaskanlah kedua sandalmu, sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Thuwa}.” Kemudian Ka‘b berkata kepada laki-laki itu, “Tahukah engkau bagaimana kedua sandal Mūsā?” Mālik berkata, “Aku tidak tahu apa jawaban laki-laki itu.” Lalu Ka‘b berkata, “Keduanya terbuat dari kulit keledai yang telah mati.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي لُبْسِ الثِّيَابِ

Bab tentang apa yang datang mengenai memakai pakaian.

17 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لِبْسَتَيْنِ، وَعَنْ بَيْعَتَيْنِ، عَنِ الْمُلَامَسَةِ، وَعَنِ الْمُنَابَذَةِ، وَعَنْ أَنْ يَحْتَبِيَ الرَّجُلُ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، لَيْسَ عَلَى فَرْجِهِ مِنْهُ شَيْءٌ، وَعَنْ أَنْ يَشْتَمِلَ الرَّجُلُ بِالثَّوْبِ الْوَاحِدِ عَلَى أَحَدِ شِقَّيْهِ

17 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ melarang dari dua jenis pakaian, dan dari dua jenis jual beli, dari jual beli mulāmasah, dan dari munābadah, dan dari seorang laki-laki duduk dengan satu kain tanpa ada sesuatu pun yang menutupi kemaluannya, serta dari seorang laki-laki membalutkan kain satu sisi saja pada tubuhnya.

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ تُبَاعُ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ الْحُلَّةَ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا حُلَلٌ، فَأَعْطَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مِنْهَا حُلَّةً، فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَكَسَوْتَنِيهَا وَقَدْ قُلْتَ فِي حُلَّةِ عُطَارِدٍ مَا قُلْتَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا، فَكَسَاهَا عُمَرُ أَخًا لَهُ مُشْرِكًا بِمَكَّةَ

18 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb melihat sebuah hulah (pakaian indah) berbordir dijual di depan pintu masjid, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya engkau membeli hulah ini lalu memakainya pada hari Jumat, dan ketika menerima tamu yang datang kepadamu?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya pakaian ini hanya dipakai oleh orang yang tidak mendapat bagian di akhirat.” Kemudian Rasulullah ﷺ mendapatkan beberapa hulah dari jenis itu, lalu beliau memberikan kepada ‘Umar bin al-Khattāb salah satunya. Maka ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, engkau memberikannya kepadaku padahal engkau telah berkata tentang hulah ‘Utārid apa yang telah engkau katakan?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku tidak memberikannya kepadamu untuk engkau pakai.” Maka ‘Umar memberikannya kepada saudaranya yang musyrik di Makkah.

19 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ: رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ، وَقَدْ رَقَعَ بَيْنَ كَتِفَيْهِ بِرِقَاعٍ ثَلَاثٍ لَبَّدَ بَعْضَهَا فَوْقَ بَعْضٍ

19 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Isḥāq bin ‘Abdullāh bin Abī Ṭalḥah, bahwa ia berkata: Anas bin Mālik berkata, “Aku melihat ‘Umar bin al-Khattāb, dan saat itu ia adalah amir (pemimpin) Madinah, ia menambal bagian antara kedua pundaknya dengan tiga tambalan yang dijahit bertumpuk satu di atas yang lain.”

49 – كِتَابُ صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

بَابُ مَا جَاءَ فِي صِفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bab tentang apa yang datang mengenai sifat Nabi ﷺ

1 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بِالطَّوِيلِ الْبَائِنِ، وَلَا بِالْقَصِيرِ، وَلَيْسَ بِالْأَبْيَضِ الْأَمْهَقِ، وَلَا بِالْآدَمِ، وَلَا بِالْجَعْدِ الْقَطَطِ، وَلَا بِالسَّبِطِ، بَعَثَهُ اللَّهُ عَلَى رَأْسِ أَرْبَعِينَ سَنَةً، فَأَقَامَ بِمَكَّةَ عَشْرَ سِنِينَ، وَبِالْمَدِينَةِ عَشْرَ سِنِينَ، وَتَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رَأْسِ سِتِّينَ سَنَةً، وَلَيْسَ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ عِشْرُونَ شَعْرَةً بَيْضَاءَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

1 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Rabī‘ah bin Abī ‘Abd ar-Raḥmān, dari Anas bin Mālik, bahwa ia mendengarnya berkata: Rasulullah ﷺ tidaklah sangat tinggi, juga tidak pendek; tidak berkulit putih pucat, juga tidak berkulit sawo matang; tidak berambut keriting kaku, juga tidak lurus. Allah mengutus beliau pada usia empat puluh tahun, lalu beliau tinggal di Makkah selama sepuluh tahun, dan di Madinah selama sepuluh tahun. Allah ‘azza wa jalla mewafatkan beliau pada usia enam puluh tahun, dan di kepala serta jenggot beliau tidak terdapat dua puluh helai rambut putih pun. ﷺ

بَابُ مَا جَاءَ فِي صِفَةِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَالدَّجَّالِ

Bab tentang sifat ‘Īsā bin Maryam ‘alaihis salām dan Dajjāl.

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” أَرَانِي اللَّيْلَةَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ، فَرَأَيْتُ رَجُلًا آدَمَ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ مِنْ أُدْمِ الرِّجَالِ، لَهُ لِمَّةٌ كَأَحْسَنِ مَا أَنْتَ رَاءٍ مِنَ اللِّمَمِ قَدْ رَجَّلَهَا، فَهِيَ تَقْطُرُ مَاءً مُتَّكِئًا عَلَى رَجُلَيْنِ أَوْ عَلَى عَوَاتِقِ رَجُلَيْنِ، يَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ، فَسَأَلْتُ مَنْ هَذَا؟ قِيلَ: هَذَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ، ثُمَّ إِذَا أَنَا بِرَجُلٍ جَعْدٍ قَطَطٍ أَعْوَرِ الْعَيْنِ الْيُمْنَى، كَأَنَّهَا عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ، فَسَأَلْتُ: مَنْ هَذَا؟ فَقِيلَ لِي هَذَا الْمَسِيحُ الدَّجَّالُ “

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku diperlihatkan (dalam mimpi) malam ini di dekat Ka‘bah, lalu aku melihat seorang laki-laki berkulit sawo matang, sebaik-baik yang pernah engkau lihat dari laki-laki yang berkulit sawo matang, memiliki rambut panjang, sebaik-baik yang pernah engkau lihat dari rambut panjang, ia telah menyisirnya, sehingga meneteskan air, bersandar pada dua orang laki-laki atau di atas pundak dua orang laki-laki, sedang bertawaf di Ka‘bah. Maka aku bertanya, ‘Siapa ini?’ Dijawab: ‘Ini adalah al-Masīḥ bin Maryam.’ Kemudian aku melihat seorang laki-laki berambut keriting kaku, bermata satu pada mata kanannya, seolah-olah matanya seperti buah anggur yang menonjol. Maka aku bertanya, ‘Siapa ini?’ Dijawab kepadaku: ‘Ini adalah al-Masīḥ ad-Dajjāl.'”

بَابُ مَا جَاءَ فِي السُّنَّةِ فِي الْفِطْرَةِ

Bab tentang apa yang datang dalam sunnah mengenai fitrah.

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: ” خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: تَقْلِيمُ الْأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَالْاخْتِتَانُ “

3 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Sa‘īd bin Abī Sa‘īd al-Maqburī, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, ia berkata: “Lima perkara dari fitrah: memotong kuku, memangkas kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan khitan.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: ” كَانَ إِبْرَاهِيمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلَ النَّاسِ ضَيَّفَ الضَّيْفَ، وَأَوَّلَ النَّاسِ اخْتَتَنَ، وَأَوَّلَ النَّاسِ قَصَّ الشَّارِبَ، وَأَوَّلَ النَّاسِ رَأَى الشَّيْبَ، فَقَالَ: يَا رَبِّ مَا هَذَا؟ فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: وَقَارٌ يَا إِبْرَاهِيمُ، فَقَالَ: يَا رَبِّ زِدْنِي وَقَارًا ” قَالَ يَحْيَى: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: يُؤْخَذُ مِنَ الشَّارِبِ حَتَّى يَبْدُوَ طَرَفُ الشَّفَةِ، وَهُوَ الْإِطَارُ، وَلَا يَجُزُّهُ فَيُمَثِّلُ بِنَفْسِهِ

4 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari Sa‘īd bin al-Musayyib bahwa ia berkata: “Ibrāhīm ‘alaihis salām adalah manusia pertama yang menjamu tamu, manusia pertama yang berkhitan, manusia pertama yang memangkas kumis, dan manusia pertama yang melihat uban. Ia berkata: ‘Ya Rabb, apakah ini?’ Allah Tabāraka wa Ta‘ālā berfirman: ‘Ini adalah kewibawaan, wahai Ibrāhīm.’ Ia berkata: ‘Ya Rabb, tambahkanlah kewibawaan kepadaku.'” Yaḥyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Kumis diambil hingga tampak ujung bibir, yaitu bagian tepinya, dan tidak dicukur habis sehingga menyerupai diri sendiri (tidak wajar).”

بَابُ النَّهْيِ عَنِ الْأَكْلِ بِالشِّمَالِ

Bab larangan makan dengan tangan kiri.

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ السَّلَمِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ بِشِمَالِهِ، أَوْ يَمْشِيَ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ، وَأَنْ يَشْتَمِلَ الصَّمَّاءَ، وَأَنْ يَحْتَبِيَ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ كَاشِفًا عَنْ فَرْجِهِ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zubair, dari Jābir bin ‘Abdullāh as-Sulamī, bahwa Rasulullah ﷺ melarang seseorang makan dengan tangan kirinya, atau berjalan dengan satu sandal, atau memakai pakaian yang membungkus seluruh tubuh (isytimāl aṣ-ṣammā’), atau duduk bersandar dengan satu kain sambil menyingkap auratnya.

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ، وَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ، وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari Abū Bakr bin ‘Ubaidillāh bin ‘Abdullāh bin ‘Umar, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang di antara kalian makan, hendaklah ia makan dengan tangan kanannya, dan hendaklah ia minum dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمَسَاكِينِ

Bab tentang apa yang datang mengenai orang-orang miskin.

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ، قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يَفْطُنُ النَّاسُ لَهُ فَيُتَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلَ النَّاسَ

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling kepada manusia, lalu ditolak dengan satu atau dua suapan, atau satu atau dua butir kurma.” Mereka bertanya: “Lalu siapakah orang miskin itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Yaitu orang yang tidak memiliki kecukupan yang dapat mencukupinya, dan orang-orang tidak menyadarinya sehingga tidak bersedekah kepadanya, dan ia tidak berdiri untuk meminta-minta kepada manusia.”

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنِ ابْنِ بُجَيْدٍ الْأَنْصَارِيِّ ثُمَّ الْحَارِثِيِّ، عَنْ جَدَّتِهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رُدُّوا الْمِسْكِينَ وَلَوْ بِظِلْفٍ مُحْرَقٍ

8 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari Ibn Bujayd al-Anshāri kemudian al-Hārithi, dari neneknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Berikanlah kepada orang miskin, meskipun hanya dengan sepotong kuku yang telah dibakar.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي مِعَى الْكَافِرِ

Bab tentang apa yang datang mengenai usus orang kafir

9 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَأْكُلُ الْمُسْلِمُ فِي مِعًى وَاحِدٍ، وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

9 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang Muslim makan dengan satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus.”

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَافَهُ ضَيْفٌ كَافِرٌ، فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ فَحُلِبَتْ، فَشَرِبَ حِلَابَهَا، ثُمَّ أُخْرَى فَشَرِبَهُ، ثُمَّ أُخْرَى فَشَرِبَهُ، حَتَّى شَرِبَ حِلَابَ سَبْعِ شِيَاهٍ، ثُمَّ إِنَّهُ أَصْبَحَ فَأَسْلَمَ، فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ فَحُلِبَتْ، فَشَرِبَ حِلَابَهَا، ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِأُخْرَى فَلَمْ يَسْتَتِمَّهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ يَشْرَبُ فِي مِعًى وَاحِدٍ، وَالْكَافِرُ يَشْرَبُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Suhail bin Abī Shālih, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah kedatangan tamu seorang kafir, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar disediakan seekor kambing untuknya, lalu kambing itu diperah susunya, lalu ia meminum susunya. Kemudian diperah lagi kambing yang lain, lalu ia meminumnya, demikian hingga ia meminum susu dari tujuh ekor kambing. Kemudian pada pagi harinya ia masuk Islam, maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar disediakan seekor kambing untuknya, lalu diperah susunya dan ia meminumnya. Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar disediakan kambing yang lain, namun ia tidak menghabiskan susunya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang mukmin minum dengan satu usus, sedangkan orang kafir minum dengan tujuh usus.”

بَابُ النَّهْيِ عَنِ الشَّرَابِ فِي آنِيَةِ الْفِضَّةِ، وَالنَّفْخِ فِي الشَّرَابِ

Bab larangan minum dari bejana perak dan meniup ke dalam minuman

11 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الَّذِي يَشْرَبُ فِي آنِيَةِ الْفِضَّةِ، إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ مَرْوَانَ بْنِ الْحَكَمِ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ، فَقَالَ لَهُ مَرْوَانُ بْنُ الْحَكَمِ: أَسَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشَّرَابِ؟ فَقَالَ لَهُ أَبُو سَعِيدٍ: نَعَمْ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَا أَرْوَى مِنْ نَفَسٍ وَاحِدٍ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَأَبِنِ الْقَدَحَ عَنْ فِيكَ، ثُمَّ تَنَفَّسْ، قَالَ: فَإِنِّي أَرَى الْقَذَاةَ فِيهِ، قَالَ: فَأَهْرِقْهَا

11 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik dari Nāfi‘, dari Zaid bin ‘Abdullāh bin ‘Umar bin al-Khattāb, dari ‘Abdullāh bin ‘Abdurrahmān bin Abī Bakr ash-Shiddīq, dari Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang minum dari bejana perak, sesungguhnya ia sedang mengalirkan api neraka Jahannam ke dalam perutnya.” Al-Juhani berkata: Aku pernah berada di sisi Marwān bin al-Hakam, lalu Abū Sa‘īd al-Khudri masuk menemuinya. Maka Marwān bin al-Hakam bertanya kepadanya: “Apakah engkau mendengar dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau melarang meniup ke dalam minuman?” Abū Sa‘īd menjawab: “Ya.” Lalu seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa puas minum dengan satu kali napas.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jauhkanlah gelas itu dari mulutmu, lalu bernapaslah.” Ia berkata: “Sesungguhnya aku melihat ada kotoran di dalamnya.” Beliau bersabda: “Maka buanglah kotoran itu.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي شُرْبِ الرَّجُلِ وَهُوَ قَائِمٌ

Bab tentang apa yang datang mengenai minum seseorang dalam keadaan berdiri

13 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَعَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ كَانُوا يَشْرَبُونَ قِيَامًا

13 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Umar bin al-Khattāb, ‘Alī bin Abī Thālib, dan ‘Utsmān bin ‘Affān biasa minum dalam keadaan berdiri.

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، وَسَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ كَانَا لَا يَرَيَانِ بِشُرْبِ الْإِنْسَانِ وَهُوَ قَائِمٌ بَأْسًا

14 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, bahwa ‘Ā’isyah Ummul Mukminin dan Sa‘d bin Abī Waqqāsh tidak memandang masalah pada seseorang yang minum dalam keadaan berdiri.

15 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ 6، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْقَارِئِ، أَنَّهُ قَالَ: رَأَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَشْرَبُ قَائِمًا

15 – Dan telah menceritakan kepadaku Mālik, dari Abū Ja‘far al-Qāri’, bahwa ia berkata: Aku melihat ‘Abdullāh bin ‘Umar minum dalam keadaan berdiri.

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ كَانَ يَشْرَبُ قَائِمًا

16 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Āmir bin ‘Abdullāh bin az-Zubair, dari ayahnya, bahwa ia biasa minum dalam keadaan berdiri.

بَابُ السُّنَّةِ فِي الشُّرْبِ وَمُنَاوَلَتِهِ عَنِ الْيَمِينِ

Bab tentang sunnah dalam minum dan memberikan minuman dari arah kanan

17 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِلَبَنٍ قَدْ شِيبَ بِمَاءٍ مِنَ الْبِئْرِ، وَعَنْ يَمِينِهِ أَعْرَابِيٌّ، وَعَنْ يَسَارِهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، فَشَرِبَ ثُمَّ أَعْطَى الْأَعْرَابِيَّ، وَقَالَ: الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ

17 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibn Syihāb, dari Anas bin Mālik, bahwa Rasulullah ﷺ didatangkan susu yang telah dicampur dengan air dari sumur. Di sebelah kanannya ada seorang Arab Badui, dan di sebelah kirinya Abū Bakr ash-Shiddīq. Maka beliau minum, lalu memberikan (sisa minuman) kepada orang Arab Badui itu, dan bersabda: “Dari yang kanan, lalu yang kanan berikutnya.”

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِشَرَابٍ فَشَرِبَ مِنْهُ، وَعَنْ يَمِينِهِ غُلَامٌ، وَعَنْ يَسَارِهِ الْأَشْيَاخُ، فَقَالَ لِلْغُلَامِ: أَتَأْذَنُ لِي أَنْ أُعْطِيَ هَؤُلَاءِ؟ فَقَالَ الْغُلَامُ: لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا أُوثِرُ بِنَصِيبِي مِنْكَ أَحَدًا، قَالَ: فَتَلَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَدِهِ

18 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū Ḥāzim bin Dīnār, dari Sahl bin Sa‘d al-Anṣārī, bahwa Rasulullah ﷺ didatangkan minuman lalu beliau meminumnya. Di sebelah kanannya ada seorang anak laki-laki, dan di sebelah kirinya ada para orang tua. Maka beliau berkata kepada anak itu, “Apakah engkau mengizinkan aku untuk memberikan (minuman ini) kepada mereka?” Anak itu menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mengutamakan bagianku darimu kepada siapa pun.” Maka Rasulullah ﷺ pun memberikan minuman itu ke tangan anak tersebut.

بَابُ جَامِعِ مَا جَاءَ فِي الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ

Bab: Kompilasi Hadis-Hadis tentang Makanan dan Minuman

19 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: قَالَ أَبُو طَلْحَةَ لِأُمِّ سُلَيْمٍ: لَقَدْ سَمِعْتُ صَوْتَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَعِيفًا، أَعْرِفُ فِيهِ الْجُوعَ، فَهَلْ عِنْدَكِ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ، فَأَخْرَجَتْ أَقْرَاصًا مِنْ شَعِيرٍ، ثُمَّ أَخَذَتْ خِمَارًا لَهَا، فَلَفَّتِ الْخُبْزَ بِبَعْضِهِ، ثُمَّ دَسَّتْهُ تَحْتَ يَدِي، وَرَدَّتْنِي بِبَعْضِهِ، ثُمَّ أَرْسَلَتْنِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَذَهَبْتُ بِهِ، فَوَجَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا فِي الْمَسْجِدِ، وَمَعَهُ النَّاسُ، فَقُمْتُ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: آرْسَلَكَ أَبُو طَلْحَةَ؟ قَالَ فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: لِلطَّعَامِ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَنْ مَعَهُ، قُومُوا، قَالَ: فَانْطَلَقَ وَانْطَلَقْتُ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ حَتَّى جِئْتُ أَبَا طَلْحَةَ فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: يَا أُمَّ سُلَيْمٍ، قَدْ جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ، وَلَيْسَ عِنْدَنَا مِنَ الطَّعَامِ مَا نُطْعِمُهُمْ، فَقَالَتِ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَانْطَلَقَ أَبُو طَلْحَةَ حَتَّى لَقِيَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو طَلْحَةَ مَعَهُ، حَتَّى دَخَلَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلُمِّي يَا أُمَّ سُلَيْمٍ مَا عِنْدَكِ؟ فَأَتَتْ بِذَلِكَ الْخُبْزِ، فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُتَّ وَعَصَرَتْ عَلَيْهِ أُمُّ سُلَيْمٍ عُكَّةً لَهَا فَآدَمَتْهُ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ، ثُمَّ قَالَ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ بِالدُّخُولِ، فَأَذِنَ لَهُمْ، فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ قَالَ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ، فَأَذِنَ لَهُمْ، فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ قَالَ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ، فَأَذِنَ لَهُمْ، فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ قَالَ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ، فَأَذِنَ لَهُمْ، فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ قَالَ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ حَتَّى أَكَلَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ وَشَبِعُوا، وَالْقَوْمُ سَبْعُونَ رَجُلًا أَوْ ثَمَانُونَ رَجُلًا

19 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Isḥāq bin ‘Abdullāh bin Abī Ṭalḥah, bahwa ia mendengar Anas bin Mālik berkata: Abū Ṭalḥah berkata kepada Ummu Sulaim, “Sungguh aku mendengar suara Rasulullah ﷺ yang lemah, aku tahu beliau sedang lapar. Apakah engkau punya sesuatu (makanan)?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia mengeluarkan beberapa potong roti dari gandum, kemudian mengambil kerudungnya, membungkus roti itu dengan sebagian kerudungnya, lalu meletakkannya di bawah tanganku, dan menutupi aku dengan sebagian kerudung itu, kemudian mengutusku kepada Rasulullah ﷺ. Anas berkata: Maka aku pun pergi membawanya, dan aku mendapati Rasulullah ﷺ sedang duduk di masjid bersama orang-orang. Aku berdiri di hadapan mereka, lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Apakah Abū Ṭalḥah yang mengutusmu?” Aku menjawab, “Ya.” Beliau bertanya, “Untuk makanan?” Aku menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah ﷺ berkata kepada orang-orang yang bersamanya, “Berdirilah kalian.” Anas berkata: Maka beliau pun berangkat dan aku berjalan di depan mereka hingga aku menemui Abū Ṭalḥah dan memberitahunya. Abū Ṭalḥah berkata, “Wahai Ummu Sulaim, sungguh Rasulullah ﷺ datang bersama orang-orang, dan kita tidak punya makanan untuk menjamu mereka.” Ummu Sulaim berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Anas berkata: Maka Abū Ṭalḥah pun pergi hingga bertemu Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ datang bersama Abū Ṭalḥah hingga mereka masuk (ke rumah). Rasulullah ﷺ bersabda, “Kemari, wahai Ummu Sulaim, apa yang ada padamu?” Maka Ummu Sulaim membawa roti itu. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar roti itu dihancurkan, lalu Ummu Sulaim memeras minyak dari tempatnya ke atas roti itu hingga menjadi lauk. Kemudian Rasulullah ﷺ mengucapkan apa yang Allah kehendaki untuk beliau ucapkan, lalu bersabda, “Izinkan sepuluh orang untuk masuk.” Maka diizinkanlah mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, kemudian keluar. Lalu beliau bersabda, “Izinkan sepuluh orang lagi.” Maka diizinkanlah mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, kemudian keluar. Beliau bersabda lagi, “Izinkan sepuluh orang lagi.” Maka diizinkanlah mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, kemudian keluar. Beliau bersabda lagi, “Izinkan sepuluh orang lagi.” Maka diizinkanlah mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, kemudian keluar. Beliau terus berkata, “Izinkan sepuluh orang lagi,” hingga seluruh orang telah makan dan kenyang, dan jumlah mereka adalah tujuh puluh atau delapan puluh orang laki-laki.

20 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: طَعَامُ الِاثْنَيْنِ كَافِي الثَّلَاثَةِ وَطَعَامُ الثَّلَاثَةِ كَافِي الْأَرْبَعَةِ

20 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Makanan untuk dua orang cukup untuk tiga orang, dan makanan untuk tiga orang cukup untuk empat orang.”

21 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَغْلِقُوا الْبَابَ، وَأَوْكُوا السِّقَاءَ، وَأَكْفِئُوا الْإِنَاءَ، أَوْ خَمِّرُوا الْإِنَاءَ، وَأَطْفِئُوا الْمِصْبَاحَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَفْتَحُ غَلَقًا، وَلَا يَحُلُّ وِكَاءً، وَلَا يَكْشِفُ إِنَاءً، وَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تُضْرِمُ عَلَى النَّاسِ بَيْتَهُمْ

21 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Abu az-Zubair al-Makki, dari Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tutuplah pintu, ikatlah kantong air, balikkanlah bejana, atau tutuplah bejana, dan matikanlah lampu, karena setan tidak dapat membuka sesuatu yang tertutup, tidak dapat melepaskan ikatan, dan tidak dapat menyingkap bejana. Dan sesungguhnya tikus kecil dapat membakar rumah manusia.”

22 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ، وَضِيَافَتُهُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ، فَمَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ، وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ

22 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi, dari Abu Syuraih al-Ka’bi, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya; hak tamu adalah sehari semalam, dan jamuan tamu adalah tiga hari, selebihnya dari itu adalah sedekah. Dan tidak halal bagi tamu untuk tinggal hingga memberatkan tuan rumahnya.”

23 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سُمَيٍّ، مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ، إِذِ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ، وَخَرَجَ، فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ، يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ مِنِّي، فَنَزَلَ الْبِئْرَ، فَمَلَأَ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ، حَتَّى رَقِيَ، فَسَقَى الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ، فَغَفَرَ لَهُ ” فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ لَأَجْرًا؟ فَقَالَ: فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

23 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Sumayy, maula Abu Bakar, dari Abu Shalih as-Samman, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketika seorang laki-laki berjalan di suatu jalan, tiba-tiba ia sangat kehausan, lalu ia menemukan sebuah sumur, ia turun ke dalamnya dan minum, kemudian keluar. Tiba-tiba ia melihat seekor anjing yang terengah-engah, memakan tanah karena kehausan. Laki-laki itu berkata: ‘Sungguh, anjing ini telah merasakan kehausan seperti yang aku rasakan.’ Maka ia turun ke sumur, mengisi sepatunya, lalu menggigitnya dengan mulutnya hingga naik ke atas, kemudian ia memberi minum anjing itu. Maka Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah kami mendapat pahala dalam (berbuat baik kepada) hewan?” Beliau menjawab: “Pada setiap makhluk hidup yang bernyawa ada pahala.”

24 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّهُ قَالَ: ” بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثًا قِبَلَ السَّاحِلِ، فَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ وَهُمْ ثَلَاثُمِائَةٍ، قَالَ: وَأَنَا فِيهِمْ، قَالَ: فَخَرَجْنَا حَتَّى إِذَا كُنَّا بِبَعْضِ الطَّرِيقِ فَنِيَ الزَّادُ، فَأَمَرَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِأَزْوَادِ ذَلِكَ الْجَيْشِ، فَجُمِعَ ذَلِكَ كُلُّهُ، فَكَانَ مِزْوَدَيْ تَمْرٍ، قَالَ: فَكَانَ يُقَوِّتُنَاهُ كُلَّ يَوْمٍ قَلِيلًا قَلِيلًا، حَتَّى فَنِيَ، وَلَمْ تُصِبْنَا إِلَّا تَمْرَةٌ تَمْرَةٌ، فَقُلْتُ: وَمَا تُغْنِي تَمْرَةٌ، فَقَالَ: لَقَدْ وَجَدْنَا فَقْدَهَا حَيْثُ فَنِيَتْ، قَالَ: ثُمَّ انْتَهَيْنَا إِلَى الْبَحْرِ، فَإِذَا حُوتٌ مِثْلُ الظَّرِبِ، فَأَكَلَ مِنْهُ ذَلِكَ الْجَيْشُ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ لَيْلَةً، ثُمَّ أَمَرَ أَبُو عُبَيْدَةَ بِضِلْعَيْنِ مِنْ أَضْلَاعِهِ، فَنُصِبَا ثُمَّ أَمَرَ بِرَاحِلَةٍ فَرُحِلَتْ، ثُمَّ مَرَّتْ تَحْتَهُمَا وَلَمْ تُصِبْهُمَا ” قَالَ مَالِكٌ: الظَّرِبُ الْجُبَيْلُ

24 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Wahb bin Kaysan, dari Jabir bin Abdullah, bahwa ia berkata: “Rasulullah ﷺ mengutus suatu pasukan ke arah pesisir, dan beliau mengangkat Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai pemimpin mereka, dan mereka berjumlah tiga ratus orang.” Ia berkata: “Aku termasuk di antara mereka.” Ia berkata: “Kami berangkat hingga di suatu perjalanan bekal kami habis. Maka Abu Ubaidah memerintahkan agar seluruh bekal pasukan dikumpulkan, dan ternyata hanya ada dua kantong kurma. Lalu ia membagikan sedikit demi sedikit setiap hari, hingga habis, dan kami hanya mendapatkan satu butir kurma seorang. Aku bertanya: ‘Apa gunanya satu butir kurma?’ Ia menjawab: ‘Kami benar-benar merasakan kehilangan kurma itu ketika sudah habis.’ Kemudian kami sampai di tepi laut, dan kami menemukan seekor ikan seperti bukit kecil. Pasukan itu memakan ikan tersebut selama delapan belas malam. Lalu Abu Ubaidah memerintahkan agar diambil dua tulang rusuknya, lalu ditegakkan, kemudian ia memerintahkan agar seekor unta dipersiapkan dan dilewatkan di bawah kedua tulang rusuk itu, dan unta itu dapat lewat tanpa menyentuhnya.” Malik berkata: “az-Zharib adalah bukit kecil.”

25 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ، عَنْ جَدَّتِهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنَاتِ، لَا تَحْقِرَنَّ إِحْدَاكُنَّ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ كُرَاعَ شَاةٍ مُحْرَقًا

25 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Amru bin Sa’d bin Mu’adz, dari neneknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai para wanita mukmin, janganlah salah seorang di antara kalian meremehkan pemberian kepada tetangganya, meskipun hanya berupa kaki kambing yang hangus.”

26 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ نُهُوا عَنْ أَكْلِ الشَّحْمِ، فَبَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ

26 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Abdullah bin Abi Bakar, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi; mereka dilarang memakan lemak, lalu mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya.”

27 – وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ ” أَنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ كَانَ يَقُولُ: يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ، عَلَيْكُمْ بِالْمَاءِ الْقَرَاحِ، وَالْبَقْلِ الْبَرِّيِّ، وَخُبْزِ الشَّعِيرِ، وَإِيَّاكُمْ وَخُبْزَ الْبُرِّ، فَإِنَّكُمْ لَنْ تَقُومُوا بِشُكْرِهِ “

27 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, bahwa telah sampai kepadanya: “Bahwa ‘Īsā bin Maryam biasa berkata: Wahai Bani Israil, biasakanlah kalian dengan air tawar, sayuran liar, dan roti jelai, dan jauhilah roti gandum, karena kalian tidak akan mampu mensyukurinya.”

28 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَوَجَدَ فِيهِ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ وَعُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ فَسَأَلَهُمَا، فَقَالَا: أَخْرَجَنَا الْجُوعُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَخْرَجَنِي الْجُوعُ، فَذَهَبُوا إِلَى أَبِي الْهَيْثَمِ بْنِ التَّيِّهَانِ الْأَنْصَارِيِّ، فَأَمَرَ لَهُمْ بِشَعِيرٍ عِنْدَهُ يُعْمَلُ، وَقَامَ يَذْبَحُ لَهُمْ شَاةً، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَكِّبْ عَنْ ذَاتِ الدَّرِّ، فَذَبَحَ لَهُمْ شَاةً، وَاسْتَعْذَبَ لَهُمْ مَاءً، فَعُلِّقَ فِي نَخْلَةٍ، ثُمَّ أُتُوا بِذَلِكَ الطَّعَامِ، فَأَكَلُوا مِنْهُ، وَشَرِبُوا مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَتُسْأَلُنَّ عَنْ نَعِيمِ هَذَا الْيَوْمِ

28 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ masuk ke masjid lalu mendapati di dalamnya Abū Bakr as-Siddīq dan ‘Umar bin al-Khattāb. Beliau bertanya kepada keduanya, lalu mereka berkata: “Kami keluar karena lapar.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku pun keluar karena lapar.” Lalu mereka pergi ke rumah Abū al-Haytsam bin at-Tayyihān al-Anshārī, lalu ia memerintahkan untuk membuatkan jelai yang ada padanya, dan ia berdiri untuk menyembelihkan seekor kambing bagi mereka. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Jangan sembelih yang sedang menyusui,” lalu ia menyembelihkan seekor kambing untuk mereka, dan mengambilkan air segar untuk mereka, lalu air itu digantungkan di pohon kurma. Kemudian makanan itu dihidangkan kepada mereka, lalu mereka makan darinya dan meminum air tersebut. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh kalian akan ditanya tentang kenikmatan hari ini.”

29 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، كَانَ يَأْكُلُ خُبْزًا بِسَمْنٍ، فَدَعَا رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ وَيَتَّبِعُ بِاللُّقْمَةِ وَضَرَ الصَّحْفَةِ، فَقَالَ عُمَرُ: كَأَنَّكَ مُقْفِرٌ، فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا أَكَلْتُ سَمْنًا، وَلَا رَأَيْتُ أكْلًا بِهِ مُنْذُ كَذَا وَكَذَا، فَقَالَ عُمَرُ: لَا آكُلُ السَّمْنَ حَتَّى يَحْيَا النَّاسُ مِنْ أَوَّلِ مَا يَحْيَوْنَ

29 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb pernah makan roti dengan samin (mentega), lalu ia mengundang seorang laki-laki dari penduduk pedalaman, dan orang itu makan dan mengikuti suapan dengan mengelap sisa makanan di piring. Maka ‘Umar berkata: “Seakan-akan engkau sedang kelaparan.” Ia menjawab: “Demi Allah, aku tidak pernah makan samin, dan tidak pernah melihat makanan yang mengandung samin sejak sekian lama.” Maka ‘Umar berkata: “Aku tidak akan makan samin hingga manusia dapat hidup dari apa yang mereka hidupkan pertama kali.”

30 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يُطْرَحُ لَهُ صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ، فَيَأْكُلُهُ حَتَّى يَأْكُلَ حَشَفَهَا

30 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ishāq bin ‘Abdullāh bin Abī Talhah, dari Anas bin Mālik, bahwa ia berkata: “Aku melihat ‘Umar bin al-Khattāb, dan saat itu ia adalah amīrul mu’minīn, dihidangkan kepadanya satu ṣā‘ kurma, lalu ia memakannya hingga memakan kurma yang jelek sekalipun.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: سُئِلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عَنِ الْجَرَادِ؟ فَقَالَ: وَدِدْتُ أَنَّ عِنْدِي قَفْعَةً نَأْكُلُ مِنْهُ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Dīnār, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa ia berkata: “‘Umar bin al-Khattāb pernah ditanya tentang belalang, maka ia berkata: Aku ingin sekali memiliki satu wadah belalang untuk kami makan darinya.”

31 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ خُثَيْمٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ بِأَرْضِهِ بِالْعَقِيقِ، فَأَتَاهُ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ عَلَى دَوَابٍّ فَنَزَلُوا عِنْدَهُ، قَالَ حُمَيْدٌ: فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: ” اذْهَبْ إِلَى أُمِّي، فَقُلْ: إِنَّ ابْنَكِ يُقْرِئُكِ السَّلَامَ، وَيَقُولُ أَطْعِمِينَا شَيْئًا “، قَالَ: فَوَضَعَتْ ثَلَاثَةَ أَقْرَاصٍ فِي صَحْفَةٍ، وَشَيْئًا مِنْ زَيْتٍ وَمِلْحٍ، ثُمَّ وَضَعَتْهَا عَلَى رَأْسِي، وَحَمَلْتُهَا إِلَيْهِمْ، فَلَمَّا وَضَعْتُهَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ، كَبَّرَ أَبُو هُرَيْرَةَ وَقَالَ: ” الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَشْبَعَنَا مِنَ الْخُبْزِ بَعْدَ أَنْ لَمْ يَكُنْ طَعَامُنَا إِلَّا الْأَسْوَدَيْنِ: الْمَاءَ وَالتَّمْرَ “، فَلَمْ يُصِبِ الْقَوْمُ مِنَ الطَّعَامِ شَيْئًا، فَلَمَّا انْصَرَفُوا، قَالَ: يَا ابْنَ أَخِي، أَحْسِنْ إِلَى غَنَمِكَ، وَامْسَحِ الرُّعَامَ عَنْهَا، وَأَطِبْ مُرَاحَهَا، وَصَلِّ فِي نَاحِيَتِهَا، فَإِنَّهَا مِنْ دَوَابِّ الْجَنَّةِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَيُوشِكُ أَنْ يَأْتِيَ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ تَكُونُ الثَّلَّةُ مِنَ الْغَنَمِ أَحَبَّ إِلَى صَاحِبِهَا مِنْ دَارِ مَرْوَانَ

31 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Muhammad bin ‘Amr bin Halhalah, dari Humayd bin Mālik bin Khuthaym, bahwa ia berkata: “Aku pernah duduk bersama Abū Hurairah di tanah miliknya di ‘Aqīq, lalu datanglah sekelompok orang dari penduduk Madinah dengan menunggangi hewan, lalu mereka singgah di tempatnya. Humayd berkata: Maka Abū Hurairah berkata: ‘Pergilah kepada ibuku, dan katakan: Sesungguhnya anakmu menyampaikan salam kepadamu, dan berkata: Berilah kami makanan.’ Maka ibunya meletakkan tiga potong roti di atas piring, dan sedikit minyak serta garam, lalu meletakkannya di atas kepalaku, dan aku membawanya kepada mereka. Ketika aku meletakkannya di hadapan mereka, Abū Hurairah bertakbir dan berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah mengenyangkan kami dengan roti, setelah sebelumnya makanan kami hanyalah dua yang hitam: air dan kurma.’ Namun kaum itu tidak mendapatkan makanan sedikit pun. Ketika mereka telah pergi, ia berkata: ‘Wahai anak saudaraku, berbuat baiklah kepada kambingmu, bersihkanlah ingusnya, rawatlah tempat istirahatnya, dan shalatlah di sisinya, karena ia termasuk hewan surga. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hampir saja akan datang suatu masa kepada manusia, di mana sekawanan kambing lebih dicintai oleh pemiliknya daripada rumah Marwān.’”

32 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي نُعَيْمٍ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ، قَالَ: أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَعَامٍ وَمَعَهُ رَبِيبُهُ عُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

32 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū Nu‘aym Wahb bin Kaysān, ia berkata: “Rasulullah ﷺ didatangkan makanan, dan bersama beliau ada anak tirinya, ‘Umar bin Abī Salamah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: ‘Sebutlah nama Allah dan makanlah dari yang dekat denganmu.’”

33 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ لِي يَتِيمًا، وَلَهُ إِبِلٌ أَفَأَشْرَبُ مِنْ لَبَنِ إِبِلِهِ؟ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنْ كُنْتَ تَبْغِي ضَالَّةَ إِبِلِهِ، وَتَهْنَأُ جَرْبَاهَا، وَتَلُطُّ حَوْضَهَا، وَتَسْقِيهَا يَوْمَ وِرْدِهَا، فَاشْرَبْ غَيْرَ مُضِرٍّ بِنَسْلٍ، وَلَا نَاهِكٍ فِي الْحَلْبِ

33 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ia berkata: Aku mendengar al-Qāsim bin Muhammad berkata: Ada seorang laki-laki datang kepada ‘Abdullāh bin ‘Abbās lalu berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku memiliki seorang yatim, dan ia memiliki unta. Bolehkah aku meminum susu untanya?” Maka Ibn ‘Abbās berkata: “Jika engkau mencari unta yang hilang miliknya, mengobati yang sakit di antara untanya, membersihkan kolam minumnya, dan memberinya minum pada hari ia kehausan, maka minumlah, selama tidak merugikan keturunannya dan tidak berlebihan dalam memerahnya.”

34 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ كَانَ لَا يُؤْتَى أَبَدًا بِطَعَامٍ، وَلَا شَرَابٍ حَتَّى الدَّوَاءُ فَيَطْعَمَهُ أَوْ يَشْرَبَهُ، إِلَّا قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا، وَأَطْعَمَنَا وَسَقَانَا، وَنَعَّمَنَا، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَلْفَتْنَا نِعْمَتُكَ بِكُلِّ شَرٍّ، فَأَصْبَحْنَا مِنْهَا وَأَمْسَيْنَا بِكُلِّ خَيْرٍ، نَسْأَلُكَ تَمَامَهَا، وَشُكْرَهَا لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ، إِلَهَ الصَّالِحِينَ، وَرَبَّ الْعَالَمِينَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

35 – قَالَ يَحْيَى: سُئِلَ مَالِكٌ: هَلْ تَأْكُلُ الْمَرْأَةُ مَعَ غَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ مِنْهَا أَوْ مَعَ غُلَامِهَا؟ فَقَالَ مَالِكٌ: ” لَيْسَ بِذَلِكَ بَأْسٌ، إِذَا كَانَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ مَا يُعْرَفُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَأْكُلَ مَعَهُ مِنَ الرِّجَالِ، قَالَ: وَقَدْ تَأْكُلُ الْمَرْأَةُ مَعَ زَوْجِهَا، وَمَعَ غَيْرِهِ مِمَّنْ يُؤَاكِلُهُ، أَوْ مَعَ أَخِيهَا عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ، وَيُكْرَهُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَخْلُوَ مَعَ الرَّجُلِ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا حُرْمَةٌ “

34 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa tidak pernah didatangkan kepadanya makanan atau minuman, bahkan obat sekalipun, lalu ia memakannya atau meminumnya, kecuali ia berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada kami, memberi makan dan minum kepada kami, dan melimpahkan nikmat kepada kami. Allah Mahabesar. Ya Allah, jadikanlah nikmat-Mu bagi kami sebagai pelindung dari segala keburukan, sehingga kami berada di pagi dan petang dalam kebaikan-Mu. Kami memohon kepada-Mu kesempurnaan dan rasa syukur atas nikmat itu. Tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, dan tidak ada Tuhan selain Engkau, Tuhan orang-orang saleh dan Rabb seluruh alam. Segala puji bagi Allah, dan tidak ada Tuhan selain Allah. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah. Ya Allah, berkahilah rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami dan lindungilah kami dari azab neraka.”

35 – Yahyā berkata: Mālik pernah ditanya: “Bolehkah seorang perempuan makan bersama laki-laki yang bukan mahramnya atau bersama pelayannya?” Mālik menjawab: “Tidak mengapa, jika itu dilakukan dengan cara yang dikenal bagi perempuan untuk makan bersama laki-laki. Ia juga boleh makan bersama suaminya, atau bersama selain suaminya yang biasa makan bersamanya, atau bersama saudaranya dalam keadaan seperti itu. Namun, makruh bagi perempuan untuk berduaan dengan laki-laki yang tidak ada hubungan mahram dengannya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي أَكْلِ اللَّحْمِ

Bab tentang apa yang datang mengenai makan daging.

36 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَاللَّحْمَ، فَإِنَّ لَهُ ضَرَاوَةً كَضَرَاوَةِ الْخَمْرِ

36 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb berkata: “Jauhilah daging, karena ia memiliki sifat ketagihan seperti ketagihan terhadap khamr.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَدْرَكَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ وَمَعَهُ حِمَالُ لَحْمٍ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، قَرِمْنَا إِلَى اللَّحْمِ، فَاشْتَرَيْتُ بِدِرْهَمٍ لَحْمًا، فَقَالَ عُمَرُ: ” أَمَا يُرِيدُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَطْوِيَ بَطْنَهُ عَنْ جَارِهِ، أَوِ ابْنِ عَمِّهِ، أَيْنَ تَذْهَبُ عَنْكُمْ هَذِهِ الْآيَةُ: {أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا} [الأحقاف: 20]؟ “

Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb mendapati Jābir bin ‘Abdullāh sedang membawa sekeranjang daging. Ia bertanya: “Apa ini?” Jābir menjawab: “Wahai Amīrul Mu’minīn, kami ingin makan daging, maka aku membeli daging seharga satu dirham.” ‘Umar berkata: “Tidakkah salah seorang dari kalian ingin menahan perutnya dari tetangganya atau dari anak pamannya? Ke mana hilangnya ayat ini dari kalian: {Kalian telah menghabiskan kenikmatan-kenikmatan kalian di kehidupan dunia dan kalian telah menikmatinya} (al-Ahqāf: 20)?”

بَابُ مَا جَاءَ فِي لُبْسِ الْخَاتَمِ

Bab tentang apa yang datang mengenai memakai cincin.

37 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ: يَلْبَسُ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ، ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَبَذَهُ، وَقَالَ: لَا أَلْبَسُهُ أَبَدًا، قَالَ: فَنَبَذَ النَّاسُ خَوَاتِيمَهُمْ

37 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Dīnār, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah memakai cincin dari emas, kemudian beliau berdiri dan melepaskannya, lalu bersabda: “Aku tidak akan memakainya lagi selamanya.” Maka orang-orang pun melepaskan cincin-cincin mereka.

38 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ صَدَقَةَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ عَنْ لُبْسِ الْخَاتَمِ، فَقَالَ: الْبَسْهُ وَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنِّي أَفْتَيْتُكَ بِذَلِكَ

38 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Shadaqah bin Yasār, bahwa ia berkata: Aku bertanya kepada Sa‘īd bin al-Musayyib tentang memakai cincin. Ia menjawab: “Pakai saja, dan beritahukan kepada orang-orang bahwa aku telah memberikan fatwa kepadamu tentang itu.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي نَزْعِ الْمَعَالِيقِ وَالْجَرَسِ مِنَ الْعُنُقِ

Bab tentang apa yang datang mengenai mencopot jimat dan lonceng dari leher.

39 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ، أَنَّ أَبَا بَشِيرٍ الْأَنْصَارِيَّ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، قَالَ: فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ: حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي مَقِيلِهِمْ لَا تَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ، أَوْ قِلَادَةٌ، إِلَّا قُطِعَتْ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مُالكا يَقُولُ: أَرَى ذَلِكَ مِنَ الْعَيْنِ

39 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr, dari ‘Abbād bin Tamīm, bahwa Abū Bashīr al-Anshārī memberitahunya, bahwa ia pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam salah satu perjalanan beliau. Ia berkata: Lalu Rasulullah ﷺ mengutus seorang utusan—‘Abdullāh bin Abī Bakr berkata: Aku kira beliau berkata, “dan orang-orang sedang beristirahat siang”—untuk menyampaikan: “Janganlah ada di leher unta yang tersisa kalung dari tali busur atau kalung apapun, kecuali dipotong.” Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Aku memandang hal itu (dilarang) karena pengaruh ‘ain.”

50 – كِتَابُ الْعَيْنِ

بَابُ الْوُضُوءِ مِنَ الْعَيْنِ

Bab Wudhu karena ‘Ain

1 – وَحَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَاهُ يَقُولُ: اغْتَسَلَ أَبِي سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ بِالْخَرَّارِ، فَنَزَعَ جُبَّةً كَانَتْ عَلَيْهِ، وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ يَنْظُرُ، قَالَ: – وَكَانَ سَهْلٌ رَجُلًا أَبْيَضَ حَسَنَ الْجِلْدِ، قَالَ: فَقَالَ لَهُ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ، وَلَا جِلْدَ عَذْرَاءَ، قَالَ: فَوُعِكَ سَهْلٌ مَكَانَهُ، وَاشْتَدَّ وَعْكُهُ، فَأُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُخْبِرَ أَنَّ سَهْلًا وُعِكَ، وَأَنَّهُ غَيْرُ رَائِحٍ مَعَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَتَاهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ سَهْلٌ بِالَّذِي كَانَ مِنْ شَأْنِ عَامِرٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَامَ يَقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ، أَلَّا بَرَّكْتَ، إِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ، تَوَضَّأْ لَهُ، فَتَوَضَّأَ لَهُ عَامِرٌ، فَرَاحَ سَهْلٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ

1 – Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Muhammad bin Abi Umamah bin Sahl bin Hunayf, bahwa ia mendengar ayahnya berkata: Ayahku, Sahl bin Hunayf, mandi di Kharrar, lalu ia melepas jubah yang dipakainya, sementara ‘Amir bin Rabi‘ah melihatnya. Ia berkata: Sahl adalah seorang laki-laki berkulit putih dan kulitnya bagus. Lalu ‘Amir bin Rabi‘ah berkata kepadanya: “Aku belum pernah melihat seperti hari ini, bahkan kulit gadis perawan pun tidak seindah ini.” Maka Sahl langsung jatuh sakit di tempat itu, dan sakitnya semakin parah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi dan diberitahu bahwa Sahl jatuh sakit dan tidak bisa pergi bersamamu, wahai Rasulullah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya, lalu Sahl menceritakan kepadanya tentang kejadian yang dialaminya dari ‘Amir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengapa salah seorang di antara kalian membunuh saudaranya? Mengapa engkau tidak mendoakan keberkahan? Sesungguhnya ‘ain itu benar adanya. Berwudhulah untuknya!” Maka ‘Amir berwudhu untuk Sahl, lalu Sahl pun pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada lagi keluhan padanya.

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، أَنَّهُ قَالَ: رَأَى عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ يَغْتَسِلُ، فَقَالَ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ وَلَا جِلْدَ مُخْبَأَةٍ، فَلُبِطَ سَهْلٌ، فَأُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ لَكَ فِي سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ؟ وَاللَّهِ مَا يَرْفَعُ رَأْسَهُ، فَقَالَ: هَلْ تَتَّهِمُونَ لَهُ أَحَدًا؟ قَالُوا: نَتَّهِمُ عَامِرَ بْنَ رَبِيعَةَ، قَالَ: فَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامِرًا فَتَغَيَّظَ عَلَيْهِ، وَقَالَ: عَلَامَ يَقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ، أَلَّا بَرَّكْتَ اغْتَسِلْ لَهُ، فَغَسَلَ عَامِرٌ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَمِرْفَقَيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ، وَأَطْرَافَ رِجْلَيْهِ وَدَاخِلَةَ إِزَارِهِ فِي قَدَحٍ، ثُمَّ صُبَّ عَلَيْهِ، فَرَاحَ سَهْلٌ مَعَ النَّاسِ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ

2 – Telah menceritakan kepadaku Malik, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunayf, bahwa ia berkata: ‘Amir bin Rabi‘ah melihat Sahl bin Hunayf sedang mandi, lalu berkata: “Aku belum pernah melihat seperti hari ini, bahkan kulit yang tersembunyi sekalipun.” Maka Sahl pun jatuh sakit. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi dan dikatakan: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan Sahl bin Hunayf? Demi Allah, ia tidak bisa mengangkat kepalanya.” Beliau bertanya: “Apakah kalian menuduh seseorang?” Mereka menjawab: “Kami menuduh ‘Amir bin Rabi‘ah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Amir dan menampakkan kemarahannya kepadanya, lalu bersabda: “Mengapa salah seorang di antara kalian membunuh saudaranya? Mengapa engkau tidak mendoakan keberkahan? Mandilah untuknya!” Maka ‘Amir membasuh wajahnya, kedua tangannya, kedua sikunya, kedua lututnya, ujung-ujung kedua kakinya, dan bagian dalam kain sarungnya ke dalam sebuah wadah, lalu air itu disiramkan kepada Sahl. Maka Sahl pun pergi bersama orang-orang dan tidak ada lagi keluhan padanya.

بَابُ الرُّقْيَةِ مِنَ الْعَيْنِ

Bab Ruqyah karena ‘Ain

3 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ الْمَكِّيِّ، أَنَّهُ قَالَ: دُخِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِابْنَيْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِحَاضِنَتِهِمَا: مَا لِي أَرَاهُمَا ضَارِعَيْنِ؟ فَقَالَتْ حَاضِنَتُهُمَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ تَسْرَعُ إِلَيْهِمَا الْعَيْنُ، وَلَمْ يَمْنَعْنَا أَنْ نَسْتَرْقِيَ لَهُمَا إِلَّا أَنَّا لَا نَدْرِي مَا يُوَافِقُكَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اسْتَرْقُوا لَهُمَا، فَإِنَّهُ لَوْ سَبَقَ شَيْءٌ الْقَدَرَ لَسَبَقَتْهُ الْعَيْنُ

3 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Humayd bin Qays al-Makki, bahwa ia berkata: Dua anak Ja‘far bin Abi Thalib dibawa masuk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata kepada pengasuh mereka: “Mengapa aku melihat mereka kurus?” Pengasuh mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, mereka sering terkena ‘ain, dan kami tidak meminta ruqyah untuk mereka kecuali karena kami tidak tahu apakah itu sesuai dengan engkau atau tidak.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mintakanlah ruqyah untuk mereka, karena seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya ‘ain-lah yang akan mendahuluinya.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ عُرْوَةَ بْنَ الزُّبَيْرِ، حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَفِي الْبَيْتِ صَبِيٌّ يَبْكِي، فَذَكَرُوا لَهُ أَنَّ بِهِ الْعَيْنَ، قَالَ عُرْوَةُ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَا تَسْتَرْقُونَ لَهُ مِنَ الْعَيْنِ

4 – Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa ‘Urwah bin Zubair menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan di dalam rumah itu ada seorang anak kecil yang sedang menangis. Lalu mereka menyebutkan kepada beliau bahwa anak itu terkena ‘ain. ‘Urwah berkata: Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mengapa kalian tidak meminta ruqyah untuknya karena ‘ain?”

بَابُ مَا جَاءَ فِي أَجْرِ الْمَرِيضِ

Bab tentang Pahala Orang Sakit

5 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ بَعَثَ اللَّهُ تَعَالَى إِلَيْهِ مَلَكَيْنِ، فَقَالَ: انْظُرَا مَاذَا يَقُولُ لِعُوَّادِهِ، فَإِنْ هُوَ إِذَا جَاءُوهُ، حَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، رَفَعَا ذَلِكَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ، فَيَقُولُ: لِعَبْدِي عَلَيَّ إِنْ تَوَفَّيْتُهُ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَإِنْ أَنَا شَفَيْتُهُ أَنْ أُبْدِلَ لَهُ لَحْمًا خَيْرًا مِنْ لَحْمِهِ، وَدَمًا خَيْرًا مِنْ دَمِهِ، وَأَنْ أُكَفِّرَ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ “

5 – Diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Aṭā’ bin Yasār, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seorang hamba sakit, Allah Ta‘ālā mengutus dua malaikat kepadanya, lalu berkata: Lihatlah apa yang ia katakan kepada orang-orang yang menjenguknya. Jika ketika mereka datang kepadanya, ia memuji Allah dan menyanjung-Nya, maka kedua malaikat itu melaporkan hal itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla, padahal Dia lebih mengetahui. Maka Allah berfirman: Bagi hamba-Ku itu menjadi hak-Ku, jika Aku mewafatkannya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga, dan jika Aku menyembuhkannya, Aku akan mengganti dagingnya dengan daging yang lebih baik dari dagingnya, dan darahnya dengan darah yang lebih baik dari darahnya, serta Aku akan menghapuskan dosa-dosanya.”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ عَائِشَةَ، زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ مُصِيبَةٍ، حَتَّى الشَّوْكَةُ إِلَّا قُصَّ بِهَا، أَوْ كُفِّرَ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ لَا يَدْرِي يَزِيدُ أَيُّهُمَا قَالَ عُرْوَةُ

6 – Diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yazīd bin Khuṣaifah, dari ‘Urwah bin Zubair, bahwa ia berkata: Aku mendengar ‘Āisyah, istri Nabi ﷺ berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah, bahkan sampai duri yang menusuknya, kecuali akan ditulis baginya pahala atau dihapuskan sebagian dari kesalahannya karena musibah itu. Yazīd tidak tahu mana di antara dua lafaz itu yang dikatakan oleh ‘Urwah.

7 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الْحُبَابِ سَعِيدَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

7 – Diceritakan kepadaku Mālik, dari Muḥammad bin ‘Abdullāh bin Abī Ṣa‘ṣa‘ah, bahwa ia berkata: Aku mendengar Abū al-Ḥubāb Sa‘īd bin Yasār berkata: Aku mendengar Abū Hurairah berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan menimpakan musibah kepadanya.

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ رَجُلًا جَاءَهُ الْمَوْتُ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ رَجُلٌ: هَنِيئًا لَهُ. مَاتَ وَلَمْ يُبْتَلَ بِمَرَضٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَيْحَكَ، وَمَا يُدْرِيكَ، لَوْ أَنَّ اللَّهَ ابْتَلَاهُ بِمَرَضٍ يُكَفِّرُ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

8 – Diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, bahwa ada seorang laki-laki yang meninggal dunia pada masa Rasulullah ﷺ, lalu seseorang berkata: Sungguh beruntung dia, meninggal tanpa pernah diuji dengan sakit. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Celaka kamu, apa yang membuatmu tahu? Seandainya Allah mengujinya dengan sakit yang dengannya dihapuskan dosa-dosanya.

بَابُ التَّعَوُّذِ وَالرُّقْيَةِ مِنَ الْمَرَضِ

Bab Perlindungan dan Ruqyah dari Penyakit

9 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ، أَنَّ عَمْرَو بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ السَّلَمِيَّ أَخْبَرَهُ، أَنَّ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ أَخْبَرَهُ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ عُثْمَانُ: وَبِي وَجَعٌ قَدْ كَادَ يُهْلِكُنِي، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: امْسَحْهُ بِيَمِينِكَ سَبْعَ مَرَّاتٍ، وَقُلْ أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ، مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ قَالَ: فَقُلْتُ ذَلِكَ، فَأَذْهَبَ اللَّهُ مَا كَانَ بِي، فَلَمْ أَزَلْ آمُرُ بِهَا أَهْلِي وَغَيْرَهُمْ

9 – Diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yazīd bin Khuṣaifah, bahwa ‘Amr bin ‘Abdullāh bin Ka‘b as-Salamī memberitahunya, bahwa Nāfi‘ bin Jubair memberitahunya, dari ‘Utsmān bin Abī al-‘Āṣ, bahwa ia mendatangi Rasulullah ﷺ. ‘Utsmān berkata: Aku sedang menderita sakit yang hampir membinasakanku. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Usaplah bagian yang sakit dengan tangan kananmu sebanyak tujuh kali, dan ucapkan: “A‘ūdzu bi‘izzatillāhi wa qudratihi min sharri mā ajidu” (Aku berlindung dengan kemuliaan Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan yang aku rasakan). ‘Utsmān berkata: Maka aku mengucapkan hal itu, lalu Allah menghilangkan apa yang ada padaku, dan aku terus memerintahkan keluarga dan orang lain untuk mengamalkannya.

10 – وحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفِثُ، قَالَتْ: فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ، كُنْتُ أَنَا أَقْرَأُ عَلَيْهِ، وَأَمْسَحُ عَلَيْهِ بِيَمِينِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا

10 – Diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ibnu Syihāb, dari ‘Urwah bin Zubair, dari ‘Āisyah, bahwa Rasulullah ﷺ apabila merasa sakit, beliau membaca al-mu‘awwidzāt (surat-surat perlindungan) atas dirinya dan meniupkan. ‘Āisyah berkata: Ketika sakit beliau semakin parah, akulah yang membacakan untuk beliau dan mengusap beliau dengan tangan kanannya, mengharap keberkahannya.

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ وَهِيَ تَشْتَكِي وَيَهُودِيَّةٌ تَرْقِيهَا، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ ارْقِيهَا بِكِتَابِ اللَّهِ

11 – Diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari ‘Amrah binti ‘Abdurraḥmān, bahwa Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq masuk menemui ‘Āisyah yang sedang sakit, dan ada seorang wanita Yahudi sedang meruqyahnya. Maka Abū Bakr berkata: Ruqyahlah dia dengan Kitābullāh.

بَابُ تَعَالُجِ الْمَرِيضِ

Bab Pengobatan Orang Sakit

12 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ رَجُلًا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَابَهُ جُرْحٌ، فَاحْتَقَنَ الْجُرْحُ الدَّمَ، وَأَنَّ الرَّجُلَ دَعَا رَجُلَيْنِ مِنْ بَنِي أَنْمَارٍ فَنَظَرَا إِلَيْهِ، فَزَعَمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُمَا: أَيُّكُمَا أَطَبُّ؟ فَقَالَا: أَوَ فِي الطِّبِّ خَيْرٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَزَعَمَ زَيْدٌ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَنْزَلَ الدَّوَاءَ الَّذِي أَنْزَلَ الْأَدْوَاءَ

12 – Diceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, bahwa ada seorang laki-laki pada masa Rasulullah ﷺ yang terkena luka, lalu lukanya itu mengumpulkan darah. Laki-laki itu memanggil dua orang dari Bani Anmār untuk melihatnya. Keduanya mengaku bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepada mereka: Siapa di antara kalian yang paling ahli dalam pengobatan? Mereka berdua berkata: Apakah dalam pengobatan ada kebaikan, wahai Rasulullah? Zaid mengabarkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Allah menurunkan obat sebagaimana Dia menurunkan penyakit.

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ سَعْدَ بْنَ زُرَارَةَ، اكْتَوَى فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الذُّبْحَةِ فَمَاتَ

13 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Yahya bin Sa‘id, ia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Sa‘d bin Zurārah melakukan pengobatan dengan kay pada masa Rasulullah ﷺ karena penyakit tenggorokan, lalu ia meninggal dunia.

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ اكْتَوَى مِنَ اللَّقْوَةِ، وَرُقِيَ مِنَ الْعَقْرَبِ

14 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Nāfi‘, bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar pernah melakukan pengobatan dengan kay karena penyakit lumpuh, dan pernah diruqyah karena disengat kalajengking.

بَابُ الْغَسْلِ بِالْمَاءِ مِنَ الْحُمَّى

Bab Mandi dengan Air karena Demam

15 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، كَانَتْ إِذَا أُتِيَتْ بِالْمَرْأَةِ وَقَدْ حُمَّتْ تَدْعُو لَهَا، أَخَذَتِ الْمَاءَ فَصَبَّتْهُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ جَيْبِهَا، وَقَالَتْ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُبْرِدَهَا بِالْمَاءِ

15 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari Fāṭimah binti al-Mundzir, bahwa Asmā’ binti Abī Bakr, apabila didatangkan kepadanya seorang perempuan yang sedang demam, ia mendoakannya, lalu mengambil air dan menuangkannya di antara dirinya dan kerah bajunya, seraya berkata: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk mendinginkan demam dengan air.”

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الْحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَابْرُدُوهَا بِالْمَاءِ

16 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya demam itu berasal dari panasnya Jahannam, maka dinginkanlah dengan air.”

وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَأَطْفِئُوهَا بِالْمَاءِ

Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Nāfi‘, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Demam itu berasal dari panasnya Jahannam, maka padamkanlah dengan air.”

بَابُ عِيَادَةِ الْمَرِيضِ وَالطِّيَرَةِ

Bab Menjenguk Orang Sakit dan Tathayyur (Merasa Sial karena Pertanda)

17 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا عَادَ الرَّجُلُ الْمَرِيضَ، خَاضَ الرَّحْمَةَ حَتَّى إِذَا قَعَدَ عِنْدَهُ قَرَّتْ فِيهِ أَوْ نَحْوَ هَذَا

17 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya dari Jābir bin ‘Abdullāh, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila seseorang menjenguk orang sakit, maka ia berjalan di tengah rahmat hingga apabila ia duduk di sisinya, rahmat itu menetap padanya atau semisal itu.”

18 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ، عَنْ أَبِي عَطِيَّةَ الأَشْجَعِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا عَدْوَى، وَلَا هَامَ، وَلَا صَفَرَ، وَلَا يَحُلَّ الْمُمْرِضُ عَلَى الْمُصِحِّ، وَلْيَحْلُلِ الْمُصِحُّ حَيْثُ شَاءَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا ذَاكَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ أَذًى

18 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, bahwa telah sampai kepadanya dari Bukair bin ‘Abdullāh bin al-Asyajj, dari Abū ‘Aṭiyyah al-Asyja‘ī, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada penularan, tidak ada hama, tidak ada shafar, dan tidak boleh orang yang sakit menetap di tempat orang yang sehat, namun orang yang sehat boleh menetap di mana saja ia mau.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, apa maksudnya?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Itu adalah gangguan.”

51 – كتابُ الشَّعَرِ

51 – Kitab tentang Rambut

بَابُ السُّنَّةِ فِي الشَّعَرِ

Bab Sunnah dalam Masalah Rambut

1 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ نَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ، وَإِعْفَاءِ اللِّحَى

1 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Abū Bakr bin Nāfi‘, dari ayahnya Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mencukur kumis dan memelihara jenggot.

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ عَامَ حَجَّ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَتَنَاوَلَ قُصَّةً مِنْ شَعَرٍ كَانَتْ فِي يَدِ حَرَسِيٍّ يَقُولُ: يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذِهِ وَيَقُولُ: إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَ هَذِهِ نِسَاؤُهُمْ

2 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ibnu Syihāb, dari Ḥumayd bin ‘Abdurraḥmān bin ‘Auf, bahwa ia mendengar Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān pada tahun haji, sedang berada di atas mimbar, dan mengambil seberkas rambut yang ada di tangan seorang penjaga, lalu berkata: “Wahai penduduk Madinah, di mana para ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah ﷺ melarang hal seperti ini dan bersabda: ‘Bani Israil binasa ketika para wanita mereka melakukan hal ini.’”

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: سَدَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاصِيَتَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ، ثُمَّ فَرَقَ بَعْدَ ذَلِكَ قَالَ مَالِكٌ: لَيْسَ عَلَى الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى شَعَرِ امْرَأَةِ ابْنِهِ، أَوْ شَعَرِ أُمِّ امْرَأَتِهِ بَأْسٌ

3 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ziyād bin Sa‘d, dari Ibnu Syihāb, bahwa ia mendengarnya berkata: “Rasulullah ﷺ pernah membiarkan rambut depannya terurai sesuai kehendak Allah, kemudian setelah itu beliau membaginya.” Malik berkata: “Tidak mengapa seorang laki-laki melihat rambut istri anaknya atau rambut ibu mertuanya.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ الْإِخْصَاءَ، وَيَقُولُ فِيهِ تَمَامُ الْخَلْقِ

4 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa ia membenci kebiri, dan berkata: ‘Padanya terdapat kesempurnaan ciptaan.’”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ إِذَا اتَّقَى، وَأَشَارَ بِإِصْبُعَيْهِ الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ

5 – Diriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Ṣafwān bin Sulaim, bahwa telah sampai kepadanya bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Aku dan penanggung anak yatim, baik untuknya maupun untuk orang lain, di surga seperti ini jika ia bertakwa,” seraya beliau mengisyaratkan dengan jari tengah dan jari yang di samping ibu jari.

بَابُ إِصْلَاحِ الشَّعَرِ

Bab Memperbaiki Rambut

6 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ لِي جُمَّةً أَفَأُرَجِّلُهَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ وَأَكْرِمْهَا، فَكَانَ أَبُو قَتَادَةَ رُبَّمَا دَهَنَهَا فِي الْيَوْمِ مَرَّتَيْنِ، لَمَّا قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَأَكْرِمْهَا

6 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa Abū Qatādah al-Anshārī berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Aku memiliki rambut panjang, bolehkah aku menyisirnya?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya, dan muliakanlah ia.” Maka Abū Qatādah terkadang meminyakinya dalam sehari dua kali, karena sabda Rasulullah ﷺ kepadanya: “Dan muliakanlah ia.”

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ، أَخْبَرَهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ، فَدَخَلَ رَجُلٌ ثَائِرَ الرَّأْسِ وَاللِّحْيَةِ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ أَنِ اخْرُجْ – كَأَنَّهُ يَعْنِي إِصْلَاحَ شَعَرِ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ – فَفَعَلَ الرَّجُلُ، ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَيْسَ هَذَا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدُكُمْ ثَائِرَ الرَّأْسِ كَأَنَّهُ شَيْطَانٌ

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, bahwa ‘Athā’ bin Yasār mengabarkan kepadanya, ia berkata: Rasulullah ﷺ berada di masjid, lalu masuklah seorang laki-laki dengan rambut dan jenggot yang acak-acakan. Maka Rasulullah ﷺ memberi isyarat dengan tangannya agar ia keluar – seakan-akan beliau maksudkan untuk merapikan rambut kepala dan jenggotnya. Maka laki-laki itu pun melakukannya, kemudian kembali. Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukankah ini lebih baik daripada salah seorang dari kalian datang dengan rambut acak-acakan seperti setan?”

بَابُ مَا جَاءَ فِي صَبْغِ الشَّعَرِ

Bab tentang apa yang datang mengenai mewarnai rambut

8 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْأَسْوَدِ بْنِ عَبْدِ يَغُوثَ قَالَ – وَكَانَ جَلِيسًا لَهُمْ، وَكَانَ أَبْيَضَ اللِّحْيَةِ وَالرَّأْسِ قَالَ -: فَغَدَا عَلَيْهِمْ ذَاتَ يَوْمٍ وَقَدْ حَمَّرَهُمَا، قَالَ: فَقَالَ لَهُ الْقَوْمُ: هَذَا أَحْسَنُ، فَقَالَ: إِنَّ أُمِّي عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَرْسَلَتْ إِلَيَّ الْبَارِحَةَ جَارِيَتَهَا نُخَيْلَةَ فَأَقْسَمَتْ عَلَيَّ لَأَصْبُغَنَّ، وَأَخْبَرَتْنِي أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ كَانَ يَصْبُغُ قَالَ يَحْيَى: سَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” فِي صَبْغِ الشَّعَرِ بِالسَّوَادِ لَمْ أَسْمَعْ فِي ذَلِكَ شَيْئًا مَعْلُومًا، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الصِّبْغِ أَحَبُّ إِلَيَّ، قَالَ: وَتَرْكُ الصَّبْغِ كُلِّهِ وَاسِعٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، لَيْسَ عَلَى النَّاسِ فِيهِ ضِيقٌ ” قَالَ: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: فِي هَذَا الْحَدِيثِ بَيَانُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَصْبُغْ، وَلَوْ صَبَغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَرْسَلَتْ بِذَلِكَ عَائِشَةُ إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ

8 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ibrāhīm at-Taimī, dari Abū Salamah bin ‘Abdurrahman, bahwa ‘Abdurrahman bin al-Aswad bin ‘Abd Yaghūts berkata – ia adalah teman duduk mereka, dan ia berambut serta berjenggot putih –: Suatu hari ia datang kepada mereka, dan ia telah mewarnai rambut dan jenggotnya dengan merah. Maka orang-orang berkata kepadanya: “Ini lebih baik.” Ia berkata: “Ibuku, ‘Āisyah, istri Nabi ﷺ, semalam mengutus budaknya, Nukhailah, kepadaku dan bersumpah agar aku benar-benar mewarnai rambutku, dan ia mengabarkan kepadaku bahwa Abū Bakr as-Siddīq biasa mewarnai rambutnya.” Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Tentang mewarnai rambut dengan warna hitam, aku tidak mendengar sesuatu yang jelas mengenai hal itu, dan selain warna hitam lebih aku sukai. Ia berkata: Tidak mewarnai rambut sama sekali juga diperbolehkan, insya Allah, tidak ada kesempitan bagi manusia dalam hal itu.” Ia berkata: Aku mendengar Mālik berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa Rasulullah ﷺ tidak mewarnai rambutnya, dan seandainya Rasulullah ﷺ mewarnai rambutnya, niscaya ‘Āisyah akan mengutus kabar tentang hal itu kepada ‘Abdurrahman bin al-Aswad.”

بَابُ مَا يُؤْمَرُ بِهِ مِنَ التَّعَوُّذِ

Bab tentang anjuran untuk berlindung (ta‘awwudz)

9 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي أُرَوَّعُ فِي مَنَامِي، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُلْ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ غَضَبِهِ وَعِقَابِهِ، وَشَرِّ عِبَادِهِ، وَمِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ وَأَنْ يَحْضُرُونِ

9 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, ia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa Khālid bin al-Walīd berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Aku sering merasa takut dalam tidurku.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Ucapkanlah: ‘A‘ūdzu bikalimāti-Llāhi at-tāmmati min ghadzabihi wa ‘iqābihi wa syarri ‘ibādihi wa min hamazāti asy-syayāthīn wa an yahdhurūn’ (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari murka-Nya dan siksa-Nya, dan dari kejahatan hamba-hamba-Nya, dan dari bisikan-bisikan setan dan agar mereka tidak mendekatiku).”

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: ” أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَى عِفْرِيتًا مِنَ الْجِنِّ يَطْلُبُهُ بِشُعْلَةٍ مِنْ نَارٍ، كُلَّمَا الْتَفَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَآهُ، فَقَالَ لَهُ جِبْرِيلُ: أَفَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ تَقُولُهُنَّ، إِذَا قُلْتَهُنَّ طَفِئَتْ شُعْلَتُهُ، وَخَرَّ لِفِيهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلَى، فَقَالَ جِبْرِيلُ فَقُلْ: أَعُوذُ بِوَجْهِ اللَّهِ الْكَرِيمِ، وَبِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ اللَّاتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ، مِنْ شَرِّ مَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ، وَشَرِّ مَا يَعْرُجُ فِيهَا، وَشَرِّ مَا ذَرَأَ فِي الْأَرْضِ، وَشَرِّ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا، وَمِنْ فِتَنِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَمِنْ طَوَارِقِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، إِلَّا طَارِقًا يَطْرُقُ بِخَيْرٍ يَا رَحْمَنُ “

10 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yahyā bin Sa‘īd, bahwa ia berkata: “Rasulullah ﷺ diperjalankan (isrā’), lalu beliau melihat ‘ifrīt dari golongan jin yang mengejarnya dengan membawa nyala api. Setiap kali Rasulullah ﷺ menoleh, beliau melihatnya. Maka Jibrīl berkata kepadanya: ‘Maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang jika engkau ucapkan, nyala apinya akan padam dan ia akan jatuh tersungkur?’ Rasulullah ﷺ berkata: ‘Tentu.’ Maka Jibrīl berkata: ‘Ucapkanlah: A‘ūdzu biwajhi-Llāhil-karīm, wa bikalimāti-Llāhi at-tāmmāti allātī lā yujāwizuhunna barrun wa lā fājir, min syarri mā yanzilu minas-samā’, wa syarri mā ya‘ruju fīhā, wa syarri mā dzara’a fil-ardh, wa syarri mā yakhruju minhā, wa min fitanil-laili wannahār, wa min thawāriqil-laili wannahār, illā thāriqan yathruqu bikhairin yā Rahmān (Aku berlindung dengan wajah Allah Yang Mulia, dan dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna yang tidak dapat dilampaui oleh orang baik maupun orang jahat, dari kejahatan apa yang turun dari langit, dan kejahatan apa yang naik ke sana, dan kejahatan apa yang diciptakan di bumi, dan kejahatan apa yang keluar darinya, dan dari fitnah malam dan siang, dan dari kejadian-kejadian malam dan siang, kecuali kejadian yang datang membawa kebaikan, wahai Yang Maha Pengasih).’”

11 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ قَالَ: مَا نِمْتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ أَيِّ شَيْءٍ؟ فَقَالَ: لَدَغَتْنِي عَقْرَبٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّكَ لَوْ قُلْتَ حِينَ أَمْسَيْتَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ تَضُرَّكَ

11 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki dari (kabilah) Aslam berkata: “Aku tidak tidur malam ini.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Kenapa?” Ia menjawab: “Aku disengat kalajengking.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Seandainya engkau mengucapkan ketika memasuki waktu sore: ‘A‘ūdzu bikalimātillāhit-tāmmāti min syarri mā khalaq (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang Dia ciptakan),’ niscaya itu tidak akan membahayakanmu.”

12 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سُمَيٍّ مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ، عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ، أَنَّ كَعْبَ الْأَحْبَارِ قَالَ: لَوْلَا كَلِمَاتٌ أَقُولُهُنَّ لَجَعَلَتْنِي يَهُودُ حِمَارًا، فَقِيلَ لَهُ: وَمَا هُنَّ؟ فَقَالَ: أَعُوذُ بِوَجْهِ اللَّهِ الْعَظِيمِ، الَّذِي لَيْسَ شَيْءٌ أَعْظَمَ مِنْهُ، وَبِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ الَّتِي لَا يُجَاوِزُهُنَّ بَرٌّ وَلَا فَاجِرٌ، وَبِأَسْمَاءِ اللَّهِ الْحُسْنَى كُلِّهَا مَا عَلِمْتُ مِنْهَا وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ وَبَرَأَ وَذَرَأَ

12 – Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Sumayy, maula Abu Bakr, dari Al-Qa‘qā‘ bin Hakim, bahwa Ka‘b Al-Ahbar berkata: “Seandainya bukan karena beberapa kalimat yang aku ucapkan, niscaya orang-orang Yahudi telah menjadikanku seperti keledai.” Lalu ditanyakan kepadanya: “Apa kalimat-kalimat itu?” Ia menjawab: “A‘ūdzu biwajhillāhil-‘azhīm, alladzī laisa syai’un a‘zhama minhu, wabikalimātillāhit-tāmmāti allati lā yujāwizuhunna barrun wa lā fājir, wabiasmā’illāhil-husnā kullihā mā ‘alimtu minhā wa mā lam a‘lam, min syarri mā khalaqa wa bara’a wa dzara’a (Aku berlindung dengan Wajah Allah Yang Maha Agung, yang tidak ada sesuatu pun yang lebih agung dari-Nya, dan dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna yang tidak dapat dilampaui oleh orang yang baik maupun yang jahat, dan dengan seluruh nama-nama Allah yang indah, baik yang aku ketahui maupun yang tidak aku ketahui, dari kejahatan apa yang Dia ciptakan, adakan, dan sebarkan).”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمُتَحَابِّينَ فِي اللَّهِ

Bab: Tentang Orang-Orang yang Saling Mencintai karena Allah

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ، عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ لِجَلَالِي، الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلِّي “

13 – Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Abdullah bin Abdurrahman bin Ma‘mar, dari Abu Hubab Sa‘id bin Yasar, dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta‘ala berfirman pada hari kiamat: ‘Di manakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.'”

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَوْ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُتعَلِّقٌ بالْمَسْجِدِ إِذَا خَرَجَ مِنْهُ حَتَّى يَعُودَ إِلَيْهِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَى ذَلِكَ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ ذَاتُ حَسَبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ “

14 – Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Khubaib bin Abdurrahman Al-Anshari, dari Hafsh bin ‘Ashim, dari Abu Sa‘id Al-Khudri, atau dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan Allah naungi dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: pemimpin yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya selalu terpaut dengan masjid ketika ia keluar darinya hingga ia kembali kepadanya, dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul di atas (kecintaan) itu dan berpisah di atasnya, seorang laki-laki yang mengingat Allah dalam kesendirian lalu matanya meneteskan air mata, seorang laki-laki yang diajak (berbuat maksiat) oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan lalu ia berkata: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah,’ dan seorang laki-laki yang bersedekah dengan suatu sedekah lalu ia menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.”

15 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ الْعَبْدَ، قَالَ لِجِبْرِيلَ قَدْ أَحْبَبْتُ فُلَانًا، فَأَحِبَّهُ، فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ السَّمَاءِ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلَانًا، فَأَحِبُّوهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ، وَإِذَا أَبْغَضَ اللَّهُ الْعَبْدَ ” قَالَ مَالِكٌ: لَا أَحْسِبُهُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ فِي الْبُغْضِ مِثْلَ ذَلِكَ

15 – Dan ia meriwayatkan kepadaku dari Malik, dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia berfirman kepada Jibril: ‘Aku telah mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan, maka cintailah dia.’ Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diterima pula (kecintaan) baginya di bumi. Dan jika Allah membenci seorang hamba…” Malik berkata: “Aku tidak mengira kecuali beliau juga berkata dalam kebencian seperti itu.”

16 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: دَخَلْتُ مَسْجِدَ دِمَشْقَ فَإِذَا فَتًى شَابٌّ بَرَّاقُ الثَّنَايَا، وَإِذَا النَّاسُ مَعَهُ إِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيْءٍ أَسْنَدُوا إِلَيْهِ، وَصَدَرُوا عَنْ قَوْلِهِ، فَسَأَلْتُ عَنْهُ، فَقِيلَ هَذَا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ هَجَّرْتُ فَوَجَدْتُهُ قَدْ سَبَقَنِي بِالتَّهْجِيرِ، وَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي، قَالَ: فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى قَضَى صَلَاتَهُ، ثُمَّ جِئْتُهُ مِنْ قِبَلِ وَجْهِهِ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، ثُمَّ قُلْتُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ لِلَّهِ، فَقَالَ: أَاللَّهِ؟ فَقُلْتُ: أَاللَّهِ، فَقَالَ: أَاللَّهِ؟ فَقُلْتُ: أَاللَّهِ، فَقَالَ: أَاللَّهِ؟ فَقُلْتُ: أَاللَّهِ. قَالَ: فَأَخَذَ بِحُبْوَةِ رِدَائِي فَجَبَذَنِي إِلَيْهِ، وَقَالَ: أَبْشِرْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ، وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ، وَالْمُتَزَاوِرِينَ فِيَّ، وَالْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ “

16 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū Ḥāzim bin Dīnār, dari Abū Idrīs al-Khaulānī, bahwa ia berkata: Aku masuk ke masjid Damaskus, ternyata ada seorang pemuda yang giginya putih berkilau, dan orang-orang berkumpul di sekitarnya; apabila mereka berselisih dalam suatu perkara, mereka mengembalikannya kepadanya dan mengambil keputusan berdasarkan ucapannya. Aku pun bertanya tentang dia, lalu dikatakan kepadaku: “Itu adalah Mu‘ādz bin Jabal.” Keesokan harinya, aku datang lebih pagi, namun ternyata ia telah mendahuluiku dan sedang melaksanakan shalat. Aku pun menunggunya hingga ia selesai shalat, lalu aku mendatanginya dari arah depannya dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian aku berkata: “Demi Allah, sungguh aku mencintaimu karena Allah.” Ia bertanya: “Demi Allah?” Aku menjawab: “Demi Allah.” Ia bertanya lagi: “Demi Allah?” Aku menjawab: “Demi Allah.” Ia bertanya lagi: “Demi Allah?” Aku menjawab: “Demi Allah.” Maka ia memegang ujung selendangku dan menarikku ke arahnya, lalu berkata: “Bergembiralah! Sungguh aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Allah Tabāraka wa Ta‘ālā berfirman: ‘Wajib atas-Ku kecintaan-Ku bagi orang-orang yang saling mencintai karena Aku, yang saling duduk bersama karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku, dan yang saling memberi karena Aku.'”

17 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: الْقَصْدُ وَالتُّؤَدَةُ وَحُسْنُ السَّمْتِ جُزْءٌ مِنْ خَمْسَةٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

17 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya dari ‘Abdullāh bin ‘Abbās, bahwa ia biasa berkata: Kesederhanaan, ketenangan, dan penampilan yang baik adalah bagian dari dua puluh lima bagian kenabian.

52 – كِتَابُ الرُّؤْيَا

بَابُ مَا جَاءَ فِي الرُّؤْيَا

Bab tentang apa yang datang mengenai mimpi

1 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الرُّؤْيَا الْحَسَنَةُ مِنَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ، وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ ذَلِكَ

1 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Isḥāq bin ‘Abdullāh bin Abī Ṭalḥah al-Anṣārī, dari Anas bin Mālik, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Mimpi yang baik dari seorang laki-laki saleh adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.” Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, dari Rasulullah ﷺ dengan makna yang serupa.

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ زُفَرَ بْنِ صَعْصَعَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ يَقُولُ: هَلْ رَأَى أَحَدٌ مِنْكُمُ اللَّيْلَةَ رُؤْيَا، وَيَقُولُ: لَيْسَ يَبْقَى بَعْدِي مِنَ النُّبُوَّةِ إِلَّا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ

2 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Isḥāq bin ‘Abdullāh bin Abī Ṭalḥah, dari Zufar bin Sha‘ṣha‘ah, dari ayahnya, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ apabila selesai dari shalat Subuh, beliau bersabda: “Apakah ada di antara kalian yang bermimpi tadi malam?” Dan beliau bersabda: “Tidak ada yang tersisa dari kenabian setelahku kecuali mimpi yang saleh.”

3 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَنْ يَبْقَى بَعْدِي مِنَ النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ، فَقَالُوا: وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الرَّجُلُ الصَّالِحُ أَوْ تُرَى لَهُ، جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنَ النُّبُوَّةِ

3 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Aṭā’ bin Yasār, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan tersisa setelahku dari kenabian kecuali al-mubashshirāt.” Mereka bertanya: “Apakah al-mubashshirāt itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang laki-laki saleh atau diperlihatkan kepadanya; itu adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”

4 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا قَتَادَةَ بْنَ رِبْعِيٍّ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ مِنَ اللَّهِ، وَالْحُلْمُ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الشَّيْءَ يَكْرَهُهُ، فَلْيَنْفُثْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ إِذَا اسْتَيْقَظَ، وَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَرِّهَا، فَإِنَّهَا لَنْ تَضُرَّهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ قَالَ أَبُو سَلَمَةَ: إِنْ كُنْتُ لَأَرَى الرُّؤْيَا هِيَ أَثْقَلُ عَلَيَّ مِنَ الْجَبَلِ فَلَمَّا سَمِعْتُ هَذَا الْحَدِيثَ فَمَا كُنْتُ أُبَالِيهَا

4 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, dari Abū Salamah bin ‘Abdirraḥmān, bahwa ia berkata: Aku mendengar Abū Qatādah bin Rib‘ī berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Mimpi yang baik itu dari Allah, sedangkan mimpi buruk dari setan. Maka jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah ia meludah kecil ke sebelah kirinya tiga kali ketika bangun, dan memohon perlindungan kepada Allah dari keburukannya, maka itu tidak akan membahayakannya, insya Allah.” Abū Salamah berkata: “Dulu aku melihat mimpi yang terasa lebih berat bagiku daripada gunung, namun setelah aku mendengar hadits ini, aku tidak lagi peduli dengannya.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: فِي هَذِهِ الْآيَةِ: {لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ} [يونس: 64] قَالَ: هِيَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الرَّجُلُ الصَّالِحُ أَوْ تُرَى لَهُ

5 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Hisyām bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa ia biasa berkata tentang ayat ini: {Bagi mereka kabar gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat} [Yūnus: 64], ia berkata: “Itu adalah mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang laki-laki saleh atau diperlihatkan kepadanya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي النَّرْدِ

Bab tentang apa yang datang mengenai permainan dadu (an-nard)

6 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ مُوسَى بْنِ مَيْسَرَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

6 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Mūsā bin Maysarah, dari Sa‘īd bin Abī Hind, dari Abū Mūsā al-Asy‘arī, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa bermain nard (permainan dadu), maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ أَبِي عَلْقَمَةَ، عَنْ أُمِّهِ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ بَلَغَهَا: أَنَّ أَهْلَ بَيْتٍ فِي دَارِهَا كَانُوا سُكَّانًا فِيهَا، وَعِنْدَهُمْ نَرْدٌ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِمْ لَئِنْ لَمْ تُخْرِجُوهَا لَأُخْرِجَنَّكُمْ مِنْ دَارِي، وَأَنْكَرَتْ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ

Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Alqamah bin Abī ‘Alqamah, dari ibunya, dari ‘Ā’isyah istri Nabi ﷺ, bahwa sampai kepadanya kabar bahwa ada satu keluarga yang tinggal di rumahnya, dan mereka memiliki nard (permainan dadu). Maka ia mengirim pesan kepada mereka: “Jika kalian tidak mengeluarkannya, sungguh aku akan mengusir kalian dari rumahku.” Dan ia mengingkari hal itu pada mereka.

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ إِذَا وَجَدَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِهِ يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ ضَرَبَهُ وَكَسَرَهَا قَالَ يَحْيَى: وَسَمِعْتُ مَالِكًا يَقُولُ: ” لَا خَيْرَ فِي الشَّطْرَنْجِ، وَكَرِهَهَا، وَسَمِعْتُهُ يَكْرَهُ اللَّعِبَ بِهَا، وَبِغَيْرِهَا مِنَ الْبَاطِلِ، وَيَتْلُو هَذِهِ الْآيَةَ: {فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ} [يونس: 32] “

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa jika ia mendapati salah satu keluarganya bermain nard (permainan dadu), ia memukulnya dan memecahkan nard tersebut. Yahyā berkata: Aku mendengar Mālik berkata, “Tidak ada kebaikan dalam catur, dan ia membencinya.” Aku mendengarnya membenci bermain catur dan permainan batil lainnya, dan ia membaca ayat ini: {Maka tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan} (Yūnus: 32).

53 – كِتَابُ السَّلَامَ

بَابُ الْعَمَلِ فِي السَّلَامِ

Bab Tentang Praktik dalam Memberi Salam

1 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِي، وَإِذَا سَلَّمَ مِنَ الْقَوْمِ وَاحِدٌ أَجْزَأَ عَنْهُمْ

1 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang berkendara memberi salam kepada yang berjalan kaki, dan jika salah seorang dari suatu kaum telah memberi salam, maka itu sudah mencukupi mereka.”

2 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ، أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، ثُمَّ زَادَ شَيْئًا مَعَ ذَلِكَ أَيْضًا، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَهُوَ يَوْمَئِذٍ قَدْ ذَهَبَ بَصَرُهُ، مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا الْيَمَانِي الَّذِي يَغْشَاكَ فَعَرَّفُوهُ إِيَّاهُ، قَالَ: فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ السَّلَامَ انْتَهَى إِلَى الْبَرَكَةِ قَالَ يَحْيَى: سُئِلَ مَالِكٌ، هَلْ يُسَلَّمُ عَلَى الْمَرْأَةِ؟ فَقَالَ: أَمَّا الْمُتَجَالَّةُ فَلَا أَكْرَهُ ذَلِكَ، وَأَمَّا الشَّابَّةُ فَلَا أُحِبُّ ذَلِكَ

2 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Wahb bin Kaysān, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Athā’, bahwa ia berkata: Aku sedang duduk di sisi ‘Abdullāh bin ‘Abbās, lalu masuklah seorang lelaki dari Yaman kepadanya, lalu ia berkata, “Assalāmu ‘alaikum wa rahmatullāhi wa barakātuh,” kemudian ia menambah sesuatu lagi setelah itu. Ibnu ‘Abbās—yang pada hari itu telah hilang penglihatannya—bertanya, “Siapa itu?” Mereka menjawab, “Itu orang Yaman yang sering mengunjungimu.” Lalu mereka memperkenalkannya kepada Ibnu ‘Abbās. Maka Ibnu ‘Abbās berkata, “Sesungguhnya salam itu telah berakhir pada (ucapan) keberkahan.” Yahyā berkata: Mālik pernah ditanya, “Apakah boleh memberi salam kepada perempuan?” Ia menjawab, “Adapun perempuan tua, aku tidak membencinya. Adapun perempuan muda, aku tidak menyukainya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي السَّلَامِ عَلَى الْيَهُودِيِّ وَالنَّصْرَانِيِّ

Bab Tentang Salam kepada Yahudi dan Nasrani

3 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ الْيَهُودَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَحَدُهُمْ، فَإِنَّمَا يَقُولُ: السَّامُ عَلَيْكُمْ، فَقُلْ: عَلَيْكَ ” قَالَ يَحْيَى: وَسُئِلَ مَالِكٌ عَمَّنْ سَلَّمَ عَلَى الْيَهُودِيِّ أَوِ النَّصْرَانِيِّ هَلْ يَسْتَقِيلُهُ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: لَا

3 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Dīnār, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya orang Yahudi, jika salah seorang dari mereka memberi salam kepada kalian, maka sesungguhnya ia berkata, ‘As-sāmu ‘alaikum’ (kematian atas kalian). Maka jawablah: ‘Wa ‘alaik’ (dan atasmu juga).” Yahyā berkata: Mālik pernah ditanya tentang orang yang memberi salam kepada Yahudi atau Nasrani, apakah ia harus meminta agar salamnya dikembalikan? Ia menjawab: Tidak.

بَابُ جَامِعِ السَّلَامِ

Bab Kompilasi Hadis-hadis tentang Salam

4 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَبِي مُرَّةَ مَوْلَى عَقِيلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ، وَالنَّاسُ مَعَهُ إِذْ أَقْبَلَ نَفَرٌ ثَلَاثَةٌ، فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَذَهَبَ وَاحِدٌ، فَلَمَّا وَقَفَا عَلَى مَجْلِسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلَّمَا، فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ فَجَلَسَ فِيهَا، وَأَمَّا الْآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ، وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا، فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنِ النَّفَرِ الثَّلَاثَةِ: أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللَّهِ فَآوَاهُ اللَّهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللَّهُ مِنْهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ “

4 – Telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Ishāq bin ‘Abdullāh bin Abī Thalhah, dari Abū Murrah, maula ‘Aqīl bin Abī Thālib, dari Abū Wāqid al-Laitsī, bahwa Rasulullah ﷺ ketika sedang duduk di masjid dan orang-orang bersamanya, tiba-tiba datang tiga orang. Dua orang di antara mereka mendekat kepada Rasulullah ﷺ, sedangkan satu orang pergi. Ketika keduanya berdiri di majelis Rasulullah ﷺ, mereka mengucapkan salam. Salah satu dari mereka melihat ada tempat kosong di lingkaran majelis, lalu ia duduk di situ. Yang lain duduk di belakang mereka, sedangkan yang ketiga pergi meninggalkan majelis. Setelah Rasulullah ﷺ selesai, beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang tiga orang itu? Salah satu dari mereka berlindung kepada Allah, maka Allah pun melindunginya. Yang satu lagi merasa malu, maka Allah pun malu kepadanya. Sedangkan yang satu lagi berpaling, maka Allah pun berpaling darinya.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَسَلَّمَ عَلَيْهِ رَجُلٌ، فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ، ثُمَّ سَأَلَ عُمَرُ الرَّجُلَ: كَيْفَ أَنْتَ؟ فَقَالَ: أَحْمَدُ إِلَيْكَ اللَّهَ، فَقَالَ عُمَرُ: ذَلِكَ الَّذِي أَرَدْتُ مِنْكَ

5 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Isḥāq bin ‘Abdullāh bin Abī Ṭalḥah, dari Anas bin Mālik, bahwa ia mendengar ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, lalu seorang laki-laki memberi salam kepadanya, maka ‘Umar membalas salamnya, kemudian ‘Umar bertanya kepada laki-laki itu: “Bagaimana keadaanmu?” Ia menjawab: “Aku memuji Allah di hadapanmu.” Maka ‘Umar berkata: “Itulah yang aku harapkan darimu.”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّ الطُّفَيْلَ بْنَ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ يَأْتِي عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَيَغْدُو مَعَهُ إِلَى السُّوقِ، قَالَ: فَإِذَا غَدَوْنَا إِلَى السُّوقِ، لَمْ يَمُرَّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى سَقَاطٍ، وَلَا صَاحِبِ بِيعَةٍ، وَلَا مِسْكِينٍ، وَلَا أَحَدٍ إِلَّا سَلَّمَ عَلَيْهِ، قَالَ الطُّفَيْلُ: فَجِئْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَوْمًا فَاسْتَتْبَعَنِي إِلَى السُّوقِ، فَقُلْتُ لَهُ: وَمَا تَصْنَعُ فِي السُّوقِ؟ وَأَنْتَ لَا تَقِفُ عَلَى الْبَيِّعِ، وَلَا تَسْأَلُ عَنِ السِّلَعِ، وَلَا تَسُومُ بِهَا، وَلَا تَجْلِسُ فِي مَجَالِسِ السُّوقِ؟ قَالَ: وَأَقُولُ اجْلِسْ بِنَا هَاهُنَا نَتَحَدَّثُ، قَالَ فَقَالَ لِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: يَا أَبَا بَطْنٍ – وَكَانَ الطُّفَيْلُ ذَا بَطْنٍ – إِنَّمَا نَغْدُو مِنْ أَجْلِ السَّلَامِ، نُسَلِّمُ عَلَى مَنْ لَقِيَنَا

6 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Isḥāq bin ‘Abdullāh bin Abī Ṭalḥah, bahwa al-Ṭufail bin Ubay bin Ka‘b memberitahunya bahwa ia biasa mendatangi ‘Abdullāh bin ‘Umar lalu pergi bersamanya ke pasar. Ia berkata: “Jika kami pergi ke pasar, tidaklah ‘Abdullāh bin ‘Umar melewati para pedagang kecil, pemilik kios, orang miskin, atau siapa pun kecuali ia memberi salam kepadanya.” Al-Ṭufail berkata: “Suatu hari aku datang kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar, lalu ia mengajakku ke pasar. Aku berkata kepadanya: ‘Apa yang engkau lakukan di pasar? Padahal engkau tidak berdiri di tempat jual beli, tidak bertanya tentang barang dagangan, tidak menawar, dan tidak duduk di majelis-majelis pasar?’ Aku berkata lagi: ‘Duduklah bersama kami di sini, kita berbincang-bincang.’ Maka ‘Abdullāh bin ‘Umar berkata kepadaku: ‘Wahai Abā Baṭn (dan al-Ṭufail memang berperut besar), sesungguhnya kami pergi ke pasar hanya untuk memberi salam, kami memberi salam kepada siapa saja yang kami temui.’”

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ رَجُلًا سَلَّمَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، فَقَالَ: السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَالْغَادِيَاتُ وَالرَّائِحَاتُ، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: وَعَلَيْكَ أَلْفًا، ثُمَّ كَأَنَّهُ كَرِهَ ذَلِكَ

7 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik, dari Yaḥyā bin Sa‘īd, bahwa seorang laki-laki memberi salam kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar, lalu berkata: “Assalāmu ‘alaika wa raḥmatullāhi wa barakātuh, wal-ghādiyātu war-rā’iḥāt.” Maka ‘Abdullāh bin ‘Umar menjawab: “Wa ‘alaika alfān (dan atasmu dua ribu),” kemudian seolah-olah ia tidak menyukai hal itu.

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ ” إِذَا دُخِلَ الْبَيْتُ غَيْرُ الْمَسْكُونِ يُقَالُ: السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ “

8 – Dan telah menceritakan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya: “Jika masuk ke rumah yang tidak berpenghuni, hendaklah dikatakan: ‘Assalāmu ‘alainā wa ‘alā ‘ibādillāhiṣ-ṣāliḥīn (Salam sejahtera atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh).’”

54 – كِتَابُ الِاسْتِئْذَانِ

بَابُ الِاسْتِئْذَانِ

Bāb al-Isti’dzān (Bab tentang Permohonan Izin)

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَسْتَأْذِنُ عَلَى أُمِّي؟ فَقَالَ: نَعَمْ، قَالَ الرَّجُلُ: إِنِّي مَعَهَا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اسْتَأْذِنْ عَلَيْهَا، فَقَالَ الرَّجُلُ: إِنِّي خَادِمُهَا، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اسْتَأْذِنْ عَلَيْهَا، أَتُحِبُّ أَنْ تَرَاهَا عُرْيَانَةً؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَاسْتَأْذِنْ عَلَيْهَا

1 – Mālik telah menceritakan kepadaku, dari Ṣafwān bin Sulaym, dari ‘Aṭā’ bin Yasār, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya oleh seorang laki-laki: “Wahai Rasulullah, haruskah aku meminta izin kepada ibuku?” Beliau menjawab: “Ya.” Laki-laki itu berkata: “Padahal aku bersamanya di dalam rumah.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Mintalah izin kepadanya.” Laki-laki itu berkata: “Aku adalah pelayannya.” Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Mintalah izin kepadanya. Apakah engkau suka melihatnya dalam keadaan telanjang?” Ia menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Maka mintalah izin kepadanya.”

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، عَنِ الثِّقَةِ عِنْدَهُ، عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الِاسْتِئْذَانُ ثَلَاثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ فَادْخُلْ وَإِلَّا فَارْجِعْ

2 – Dan telah menceritakan kepadaku Mālik, dari seseorang yang ia percaya, dari Bukayr bin ‘Abdullāh bin al-Ashajj, dari Busr bin Sa‘īd, dari Abū Sa‘īd al-Khudrī, dari Abū Mūsā al-Ash‘arī bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Permohonan izin itu tiga kali. Jika diizinkan bagimu, maka masuklah. Jika tidak, maka kembalilah.”

3 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ عُلَمَائِهِمْ، أَنَّ أَبَا مُوسَى الْأَشْعَرِيَّ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَاسْتَأْذَنَ ثَلَاثًا ثُمَّ رَجَعَ، فَأَرْسَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فِي أَثَرِهِ، فَقَالَ: مَا لَكَ لَمْ تَدْخُلْ؟ فَقَالَ أَبُو مُوسَى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: الِاسْتِئْذَانُ ثَلَاثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ فَادْخُلْ، وَإِلَّا فَارْجِعْ فَقَالَ عُمَرُ: وَمَنْ يَعْلَمُ هَذَا لَئِنْ لَمْ تَأْتِنِي بِمَنْ يَعْلَمُ ذَلِكَ لَأَفْعَلَنَّ بِكَ كَذَا وَكَذَا، فَخَرَجَ أَبُو مُوسَى حَتَّى جَاءَ مَجْلِسًا فِي الْمَسْجِدِ يُقَالُ لَهُ مَجْلِسُ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ إِنِّي أَخْبَرْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: الِاسْتِئْذَانُ ثَلَاثٌ، فَإِنْ أُذِنَ لَكَ فَادْخُلْ، وَإِلَّا فَارْجِعْ، فَقَالَ: لَئِنْ لَمْ تَأْتِنِي بِمَنْ يَعْلَمُ هَذَا لَأَفْعَلَنَّ بِكَ كَذَا وَكَذَا، فَإِنْ كَانَ سَمِعَ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْكُمْ فَلْيَقُمْ مَعِي، فَقَالُوا لِأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ: قُمْ مَعَهُ، وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ أَصْغَرَهُمْ، فَقَامَ مَعَهُ فَأَخْبَرَ بِذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِأَبِي مُوسَى: أَمَا إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ، وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

3 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Rabi‘ah bin Abi ‘Abd ar-Rahman, dari lebih dari satu orang ulama mereka, bahwa Abu Musa al-Asy‘ari datang meminta izin kepada ‘Umar bin al-Khattab. Ia meminta izin tiga kali lalu kembali. Maka ‘Umar bin al-Khattab mengutus seseorang untuk mengejarnya, lalu berkata: “Mengapa engkau tidak masuk?” Abu Musa menjawab: “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Meminta izin itu tiga kali. Jika diizinkan bagimu, maka masuklah. Jika tidak, maka kembalilah.'” ‘Umar berkata: “Siapa yang mengetahui hal ini? Demi Allah, jika engkau tidak membawakan kepadaku seseorang yang mengetahui hal itu, sungguh aku akan melakukan ini dan itu terhadapmu.” Maka Abu Musa keluar hingga mendatangi sebuah majelis di masjid yang disebut Majelis al-Anshar. Ia berkata: “Aku telah memberitahu ‘Umar bin al-Khattab bahwa aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Meminta izin itu tiga kali. Jika diizinkan bagimu, maka masuklah. Jika tidak, maka kembalilah.’ Lalu ia berkata: ‘Jika engkau tidak membawakan kepadaku seseorang yang mengetahui hal ini, sungguh aku akan melakukan ini dan itu terhadapmu.’ Maka jika ada di antara kalian yang mendengar hal itu, hendaklah ia berdiri bersamaku.” Mereka berkata kepada Abu Sa‘id al-Khudri: “Berdirilah bersamanya,” dan Abu Sa‘id adalah yang termuda di antara mereka. Maka ia pun berdiri bersamanya dan memberitahukan hal itu kepada ‘Umar bin al-Khattab. Maka ‘Umar bin al-Khattab berkata kepada Abu Musa: “Sesungguhnya aku tidak menuduhmu, tetapi aku khawatir orang-orang akan mengada-adakan perkataan atas nama Rasulullah ﷺ.”

بَابُ التَّشْمِيتِ فِي الْعُطَاسِ

Bab Tentang Mendoakan Orang yang Bersin (Tasyymit)

4 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِنْ عَطَسَ فَشَمِّتْهُ، ثُمَّ إِنْ عَطَسَ فَشَمِّتْهُ، ثُمَّ إِنْ عَطَسَ فَشَمِّتْهُ، ثُمَّ إِنْ عَطَسَ فَقُلْ: إِنَّكَ مَضْنُوكٌ ” قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ لَا أَدْرِي أَبَعْدَ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ

4 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari ‘Abdullah bin Abi Bakr, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika ia bersin, doakanlah ia (ucapkan: yarhamukallah), kemudian jika ia bersin lagi, doakanlah ia, kemudian jika ia bersin lagi, doakanlah ia, lalu jika ia bersin lagi, katakanlah: ‘Sesungguhnya engkau sedang sakit (madhnuuk).'” ‘Abdullah bin Abi Bakr berkata: “Aku tidak tahu, apakah setelah yang ketiga atau yang keempat.”

5 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا عَطَسَ، فَقِيلَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللَّهُ؟ قَالَ: يَرْحَمُنَا اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ، وَيَغْفِرُ لَنَا وَلَكُمْ

5 – Malik meriwayatkan kepadaku dari Nafi‘, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar, jika ia bersin lalu dikatakan kepadanya: “Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu),” ia menjawab: “Semoga Allah merahmati kami dan kalian, serta mengampuni kami dan kalian.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الصُّوَرِ وَالتَّمَاثِيلِ

Bab Tentang Larangan Gambar dan Patung

6 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّ رَافِعَ بْنَ إِسْحَاقَ، مَوْلَى الشِّفَاءِ، أَخْبَرَهُ قَالَ: دَخَلْتُ أَنَا وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي طَلْحَةَ، عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ نَعُودُهُ، فَقَالَ لَنَا أَبُو سَعِيدٍ: أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَمَاثِيلُ أَوْ تَصَاوِيرُ شَكَّ إِسْحَقُ لَا يَدْرِي أَيَّتَهُمَا قَالَ أَبُو سَعِيدٍ

6 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Ishaq bin ‘Abdullah bin Abi Thalhah, bahwa Rafi‘ bin Ishaq, maula asy-Syifa’, memberitahunya, ia berkata: “Aku dan ‘Abdullah bin Abi Thalhah masuk menemui Abu Sa‘id al-Khudri untuk menjenguknya. Maka Abu Sa‘id berkata kepada kami: ‘Rasulullah ﷺ memberitahu kami bahwa malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya terdapat patung atau gambar.'” Ishaq ragu, ia tidak tahu mana di antara keduanya yang dikatakan oleh Abu Sa‘id.

7 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي طَلْحَةَ الْأَنْصَارِيِّ يَعُودُهُ، قَالَ: فَوَجَدَ عِنْدَهُ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ فَدَعَا أَبُو طَلْحَةَ إِنْسَانًا، فَنَزَعَ نَمَطًا مِنْ تَحْتِهِ، فَقَالَ لَهُ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ: لِمَ تَنْزِعُهُ؟ قَالَ: لِأَنَّ فِيهِ تَصَاوِيرَ، وَقَدْ قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ عَلِمْتَ، فَقَالَ سَهْلٌ: أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مَا كَانَ رَقْمًا فِي ثَوْبٍ، قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُ أَطْيَبُ لِنَفْسِي

7 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Abu an-Nadhr, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas‘ud, bahwa ia masuk menemui Abu Thalhah al-Anshari untuk menjenguknya. Ia mendapati di sisinya Sahl bin Hunaif. Lalu Abu Thalhah memanggil seseorang, kemudian ia mencabut sehelai kain dari bawahnya. Sahl bin Hunaif bertanya kepadanya: “Mengapa engkau mencabutnya?” Ia menjawab: “Karena di dalamnya terdapat gambar, dan Rasulullah ﷺ telah bersabda tentang hal itu sebagaimana yang engkau ketahui.” Sahl berkata: “Bukankah Rasulullah ﷺ hanya bersabda tentang gambar yang berupa corak pada kain?” Ia menjawab: “Benar, tetapi itu lebih menenangkan hatiku.”

8 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا اشْتَرَتْ نُمْرُقَةً فِيهَا تَصَاوِيرُ، فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَى الْبَابِ فَلَمْ يَدْخُلْ، فَعَرَفَتْ فِي وَجْهِهِ الْكَرَاهِيَةَ، وَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ، وَإِلَى رَسُولِهِ، فَمَاذَا أَذْنَبْتُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَمَا بَالُ هَذِهِ النُّمْرُقَةِ؟ قَالَتِ: اشْتَرَيْتُهَا لَكَ تَقْعُدُ عَلَيْهَا، وَتَوَسَّدُهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ: أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ “، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لَا تَدْخُلُهُ الْمَلَائِكَةُ

8 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Nafi‘, dari al-Qasim bin Muhammad, dari ‘Aisyah istri Nabi ﷺ, bahwa ia membeli sebuah bantal yang terdapat gambar-gambarnya. Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau berdiri di pintu dan tidak masuk. ‘Aisyah pun mengetahui dari wajah beliau adanya ketidaksukaan, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku bertobat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Apa kesalahanku?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Apa maksud bantal ini?” Ia menjawab, “Aku membelinya untukmu agar engkau duduk di atasnya dan bersandar padanya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya para pembuat gambar-gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan kepada mereka: ‘Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan.'” Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar, tidak akan dimasuki malaikat.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي أَكْلِ الضَّبِّ

Bab tentang apa yang datang mengenai memakan dhab (biawak gurun).

9 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّهُ قَالَ: دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ فَإِذَا ضِبَابٌ فِيهَا بَيْضٌ، وَمَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ وَخَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ فَقَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكُمْ هَذَا؟ فَقَالَتْ: أَهْدَتْهُ لِي أُخْتِي هُزَيْلَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ، فَقَالَ: لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَخَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ: كُلَا، فَقَالَا: أَوَلَا تَأْكُلُ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: إِنِّي تَحْضُرُنِي مِنَ اللَّهِ حَاضِرَةٌ، قَالَتْ مَيْمُونَةُ: أَنَسْقِيكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنْ لَبَنٍ عِنْدَنَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَلَمَّا شَرِبَ قَالَ: مِنْ أَيْنَ لَكُمْ هَذَا؟ فَقَالَتْ: أَهْدَتْهُ لِي أُخْتِي هُزَيْلَةُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَأَيْتِكِ جَارِيَتَكِ الَّتِي كُنْتِ اسْتَأْمَرْتِينِي فِي عِتْقِهَا، أَعْطِيهَا أُخْتَكِ، وَصِلِي بِهَا رَحِمَكِ، تَرْعَى عَلَيْهَا فَإِنَّهُ خَيْرٌ لَكِ

9 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abd al-Rahman bin ‘Abdullah bin ‘Abd al-Rahman bin Abi Sa‘sa‘ah, dari Sulaiman bin Yasar, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ masuk ke rumah Maimunah binti al-Harits, lalu di sana terdapat dhab (biawak gurun) yang masih putih. Bersama beliau ada ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Khalid bin al-Walid. Beliau bertanya, “Dari mana kalian mendapatkan ini?” Maimunah menjawab, “Saudariku, Huzailah binti al-Harits, memberikannya kepadaku sebagai hadiah.” Lalu beliau berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Khalid bin al-Walid, “Makanlah.” Mereka berdua bertanya, “Apakah engkau tidak ikut makan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku sedang didatangi sesuatu dari Allah.” Maimunah berkata, “Maukah aku memberimu minum susu yang ada pada kami, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya.” Setelah beliau minum, beliau bertanya, “Dari mana kalian mendapatkan ini?” Maimunah menjawab, “Saudariku Huzailah memberikannya kepadaku.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Bagaimana pendapatmu tentang budak perempuanmu yang dahulu engkau minta pendapatku untuk memerdekakannya? Berikanlah ia kepada saudaramu, dan sambunglah silaturahmi dengannya, biarkan ia menggembala untukmu, karena itu lebih baik bagimu.”

10 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوذٍ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ اللَّاتِي فِي بَيْتِ مَيْمُونَةَ: أَخْبِرُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا يُرِيدُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ؟ فَقِيلَ: هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَرَفَعَ يَدَهُ، فَقُلْتُ: أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ: لَا، وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي، فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ

10 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibn Syihab, dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunayf, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, dari Khalid bin al-Walid bin al-Mughirah, bahwa ia masuk bersama Rasulullah ﷺ ke rumah Maimunah, istri Nabi ﷺ, lalu dihidangkan dhab yang dipanggang. Rasulullah ﷺ pun mengulurkan tangannya kepadanya. Sebagian wanita yang ada di rumah Maimunah berkata, “Beritahukanlah kepada Rasulullah ﷺ apa yang hendak beliau makan itu.” Maka dikatakan, “Itu adalah dhab, wahai Rasulullah.” Maka beliau menarik tangannya. Aku bertanya, “Apakah itu haram, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi ia tidak ada di negeri kaumku, maka aku merasa tidak suka memakannya.” Khalid berkata, “Maka aku menariknya dan memakannya, sementara Rasulullah ﷺ melihat.”

11 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَجُلًا نَادَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا تَرَى فِي الضَّبِّ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَسْتُ بِآكِلِهِ، وَلَا بِمُحَرِّمِهِ

11 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa seorang laki-laki memanggil Rasulullah ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang dhab?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Aku tidak memakannya, dan aku juga tidak mengharamkannya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي أَمْرِ الْكِلَابِ

Bab tentang apa yang datang mengenai urusan anjing.

12 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ، أَنَّ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ سُفْيَانَ بْنَ أَبِي زُهَيْرٍ، وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ أَزْدِ شَنُوءَةَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ يُحَدِّثُ نَاسًا مَعَهُ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَا يُغْنِي عَنْهُ زَرْعًا، وَلَا ضَرْعًا، نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ قَالَ: أَنْتَ سَمِعْتَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِي وَرَبِّ هَذَا الْمَسْجِدِ

12 – Malik meriwayatkan dari Yazid bin Khushaifah, bahwa as-Sa’ib bin Yazid memberitahunya, bahwa ia mendengar Sufyan bin Abi Zuhair, seorang laki-laki dari Azd Syanu’ah dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ, sedang berbicara kepada sekelompok orang bersamanya di pintu masjid. Ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Barang siapa memelihara anjing yang tidak digunakan untuk menjaga tanaman atau ternak, maka setiap hari amalnya akan berkurang satu qirath.'” Ia (as-Sa’ib) berkata, “Apakah engkau mendengar ini langsung dari Rasulullah ﷺ?” Ia menjawab, “Ya, demi Tuhan masjid ini.”

13 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبًا ضَارِيًا أَوْ كَلْبَ مَاشِيَةٍ، نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

13 – Dan Malik meriwayatkan dariku, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa memelihara anjing kecuali anjing pemburu atau anjing penjaga ternak, maka setiap hari amalnya akan berkurang dua qirath.”

14 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ “

14 – Dan Malik meriwayatkan dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing.

بَابُ مَا جَاءَ فِي أَمْرِ الْغَنَمِ

Bab tentang apa yang datang mengenai urusan kambing.

15 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رَأْسُ الْكُفْرِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ، وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَهْلِ الْخَيْلِ وَالْإِبِلِ، وَالْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ، وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ

15 – Malik meriwayatkan dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Pusat kekufuran ada di arah timur, dan kesombongan serta keangkuhan terdapat pada para pemilik kuda dan unta, serta para penggembala unta, sedangkan ketenangan ada pada para pemilik kambing.”

16 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرُ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمًا يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ، وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ

16 – Dan Malik meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah, dari ayahnya, dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Hampir-hampir harta terbaik seorang Muslim adalah kambing yang ia gembalakan di puncak-puncak gunung dan tempat-tempat turunnya hujan, ia lari dengan agamanya dari fitnah.”

17 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَحْتَلِبَنَّ أَحَدٌ مَاشِيَةَ أَحَدٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِ، أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تُؤْتَى مَشْرُبَتُهُ، فَتُكْسَرَ خِزَانَتُهُ فَيُنْتَقَلَ طَعَامُهُ، وَإِنَّمَا تَخْزُنُ لَهُمْ ضُرُوعُ مَوَاشِيهِمْ أَطْعِمَاتِهِمْ، فَلَا يَحْتَلِبَنَّ أَحَدٌ مَاشِيَةَ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِهِ

17 – Dan Malik meriwayatkan dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah sekali-kali seseorang memerah susu hewan ternak milik orang lain tanpa izinnya. Apakah salah seorang di antara kalian suka jika tempat minumnya didatangi, lalu gudangnya dipecahkan, kemudian makanannya diambil? Sesungguhnya puting susu hewan ternak mereka hanyalah sebagai tempat menyimpan makanan mereka. Maka janganlah sekali-kali seseorang memerah susu hewan ternak milik orang lain kecuali dengan izinnya.”

18 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا قَدْ رَعَى غَنَمًا، قِيلَ: وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: وَأَنَا

18 – Dan Malik meriwayatkan bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada seorang nabi pun kecuali pernah menggembalakan kambing.” Ditanyakan, “Apakah engkau juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, aku juga.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْفَأْرَةِ تَقَعُ فِي السَّمْنِ، وَالْبَدْءِ بِالْأَكْلِ قَبْلَ الصَّلَاةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai tikus yang jatuh ke dalam lemak, dan mendahulukan makan sebelum shalat.

19 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، كَانَ يُقَرَّبُ إِلَيْهِ عَشَاؤُهُ، فَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ، فَلَا يَعْجَلُ عَنْ طَعَامِهِ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

19 – Malik meriwayatkan dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar, apabila makan malam dihidangkan kepadanya, lalu ia mendengar bacaan imam sementara ia berada di rumahnya, maka ia tidak tergesa-gesa meninggalkan makanannya sampai ia selesai memenuhi kebutuhannya dari makanan itu.

20 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنِ الْفَأْرَةِ تَقَعُ فِي السَّمْنِ؟ فَقَالَ: انْزِعُوهَا وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوهُ

20 – Dan Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, dari Abdullah bin Abbas, dari Maimunah istri Nabi ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang tikus yang jatuh ke dalam lemak. Beliau bersabda: “Ambillah tikus itu dan apa yang ada di sekitarnya, lalu buanglah.”

بَابُ مَا يُنَّقَى مِنَ الشُّؤْمِ

Bab tentang apa yang dihilangkan dari kesialan (thiyarah).

21 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنْ كَانَ، فَفِي الْفَرَسِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالْمَسْكَنِ يَعْنِي الشُّؤْمَ

21 – Malik meriwayatkan dari Abu Hazim bin Dinar, dari Sahl bin Sa’d as-Sa’idi, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika memang ada (kesialan), maka itu terdapat pada kuda, wanita, dan tempat tinggal.” Maksudnya adalah kesialan.

22 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ، وَسَالِمٍ، ابْنَيْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” الشُّؤْمُ: فِي الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ “

22 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Hamzah dan Salim, dua putra Abdullah bin Umar, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Kesialan itu terdapat pada rumah, wanita, dan kuda.”

23 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، دَارٌ سَكَنَّاهَا، وَالْعَدَدُ كَثِيرٌ، وَالْمَالُ وَافِرٌ، فَقَلَّ الْعَدَدُ، وَذَهَبَ الْمَالُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعُوهَا ذَمِيمَةً

23 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id bahwa ia berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, rumah yang kami tempati, jumlah kami banyak, dan harta kami melimpah, kemudian jumlah kami berkurang dan harta kami hilang.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tinggalkanlah rumah itu, karena ia tercela.”

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنَ الْأَسْمَاءِ

Bab tentang nama-nama yang makruh (tidak disukai).

24 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلَقْحَةٍ تُحْلَبُ: مَنْ يَحْلُبُ هَذِهِ؟ فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا اسْمُكَ؟ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: مُرَّةُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اجْلِسْ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ يَحْلُبُ هَذِهِ؟ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا اسْمُكَ؟، فَقَالَ حَرْبٌ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اجْلِسْ، ثُمَّ قَالَ: مَنْ يَحْلُبُ هَذِهِ؟ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا اسْمُكَ؟، فَقَالَ: يَعِيشُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: احْلُبْ

24 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa Rasulullah ﷺ berkata kepada seekor unta betina yang sedang diperah: “Siapa yang akan memerah unta ini?” Maka berdirilah seorang laki-laki, lalu Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Murrah (pahit).” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Duduklah.” Kemudian beliau berkata: “Siapa yang akan memerah unta ini?” Lalu berdirilah seorang laki-laki, dan Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Harb (perang).” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Duduklah.” Kemudian beliau berkata: “Siapa yang akan memerah unta ini?” Lalu berdirilah seorang laki-laki, dan Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Ya‘isy (hidup).” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Perahlah.”

25 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، قَالَ لِرَجُلٍ: مَا اسْمُكَ؟ فَقَالَ جَمْرَةُ، فَقَالَ: ابْنُ مَنْ؟، فَقَالَ: ابْنُ شِهَابٍ: قَالَ: مِمَّنْ؟ قَالَ: مِنَ الْحُرَقَةِ، قَالَ: أَيْنَ مَسْكَنُكَ؟ قَالَ: بِحَرَّةِ النَّارِ، قَالَ: بِأَيِّهَا؟، قَالَ: بِذَاتِ لَظًى، قَالَ عُمَرُ: أَدْرِكْ أَهْلَكَ فَقَدِ احْتَرَقُوا، قَالَ: فَكَانَ كَمَا قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

25 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa Umar bin al-Khattab bertanya kepada seorang laki-laki: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Jamrah (bara api).” Umar bertanya: “Anak siapa?” Ia menjawab: “Anak Syihab (nyala api).” Umar bertanya: “Dari siapa?” Ia menjawab: “Dari keluarga al-Huraqah (yang terbakar).” Umar bertanya: “Di mana tempat tinggalmu?” Ia menjawab: “Di Harrah an-Nar (daerah berbatu yang panas).” Umar bertanya: “Di bagian mana?” Ia menjawab: “Di Dzat Laza (yang berapi-api).” Maka Umar berkata: “Segeralah temui keluargamu, karena mereka pasti terbakar.” Dan ternyata benar seperti yang dikatakan Umar bin al-Khattab ra.

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْحِجَامَةِ وَأُجْرَةِ الْحَجَّامِ

Bab tentang apa yang datang mengenai hijamah (bekam) dan upah tukang bekam.

26 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ حُمَيْدٍ الطَّوِيلِ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ – فَأَمَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَاعٍ مِنْ تَمْرٍ، وَأَمَرَ أَهْلَهُ أَنْ يُخَفِّفُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ “

26 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Humayd ath-Thawil, dari Anas bin Malik, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ berbekam—yang membekam beliau adalah Abu Thaibah—lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan agar diberikan satu sha‘ kurma kepadanya, dan beliau memerintahkan keluarganya agar meringankan beban pajaknya.”

27 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنْ كَانَ دَوَاءٌ يَبْلُغُ الدَّاءَ، فَإِنَّ الْحِجَامَةَ تَبْلُغُهُ

27 – Malik meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika ada obat yang dapat mencapai penyakit, maka hijamah (bekam) pasti dapat mencapainya.”

28 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنِ ابْنِ مُحَيِّصَةَ الْأَنْصَارِيِّ، أَحَدِ بَنِي حَارِثَةَ، أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي إِجَارَةِ الْحَجَّامِ، فَنَهَاهُ عَنْهَا فَلَمْ يَزَلْ يَسْأَلُهُ وَيَسْتَأْذِنُهُ حَتَّى قَالَ: اعْلِفْهُ نُضَّاحَكَ يَعْنِي رَقِيقَكَ “

28 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Ibnu Muhayyishah al-Anshari, salah seorang dari Bani Haritsah, bahwa ia meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk bekerja sebagai tukang bekam, maka beliau melarangnya. Namun ia terus-menerus memohon dan meminta izin hingga beliau bersabda: “Berikanlah upahnya kepada pelayanmu,” maksudnya budakmu.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمَشْرِقِ

Bab tentang apa yang datang mengenai al-masyriq (timur).

29 – حَدَّثَنِي مالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُشِيرُ إِلَى الْمَشْرِقِ وَيَقُولُ: هَا إِنَّ الْفِتْنَةَ هَاهُنَا، إِنَّ الْفِتْنَةَ هَاهُنَا، مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ

29 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar, bahwa ia berkata: Aku melihat Rasulullah ﷺ menunjuk ke arah timur dan bersabda: “Ketahuilah, fitnah itu dari sini, fitnah itu dari sini, dari tempat terbitnya tanduk setan.”

30 – وحَدَّثَنِي مَالِكٍ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَرَادَ الْخُرُوجَ إِلَى الْعِرَاقِ فَقَالَ لَهُ كَعْبُ الْأَحْبَارِ: لَا تَخْرُجْ إِلَيْهَا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَإِنَّ بِهَا تِسْعَةَ أَعْشَارِ السِّحْرِ، وَبِهَا فَسَقَةُ الْجِنِّ، وَبِهَا الدَّاءُ الْعُضَالُ

30 – Malik meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Umar bin al-Khattab hendak pergi ke Irak, lalu Ka‘b al-Ahbar berkata kepadanya: “Janganlah engkau pergi ke sana, wahai Amirul Mukminin, karena di sana terdapat sembilan per sepuluh sihir, di sana pula terdapat para jin yang fasik, dan di sana terdapat penyakit yang sulit disembuhkan.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي قَتْلِ الْحَيَّاتِ وَمَا يُقَالُ فِي ذَلِكَ

Bab tentang apa yang datang mengenai membunuh ular dan apa yang dikatakan tentang hal itu.

31 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ أَبِي لُبَابَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ الْحَيَّاتِ الَّتِي فِي الْبُيُوتِ

31 – Malik meriwayatkan kepadaku, dari Nafi‘, dari Abu Lubabah, bahwa Rasulullah ﷺ melarang membunuh ular yang berada di dalam rumah.

32 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ سَائِبَةَ مَوْلَاةٍ لِعَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ الْجِنَّانِ الَّتِي فِي الْبُيُوتِ، إِلَّا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ، وَالْأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَخْطِفَانِ الْبَصَرَ، وَيَطْرَحَانِ مَا فِي بُطُونِ النِّسَاءِ

32 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Nafi‘, dari Saibah, mantan budak perempuan ‘Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ melarang membunuh jinān (ular-ular) yang ada di rumah, kecuali yang memiliki dua garis putih di punggungnya dan yang ekornya terputus, karena keduanya dapat membutakan pandangan dan menyebabkan keguguran pada kandungan wanita.

33 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ صَيْفِيٍّ، مَوْلَى ابْنِ أَفْلَحَ، عَنْ أَبِي السَّائِبِ، مَوْلَى هِشَامِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي، فَجَلَسْتُ أَنْتَظِرُهُ حَتَّى قَضَى صَلَاتَهُ، فَسَمِعْتُ تَحْرِيكًا تَحْتَ سَرِيرٍ فِي بَيْتِهِ، فَإِذَا حَيَّةٌ فَقُمْتُ لِأَقْتُلَهَا، فَأَشَارَ أَبُو سَعِيدٍ أَنِ اجْلِسْ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَشَارَ إِلَى بَيْتٍ فِي الدَّارِ، فَقَالَ: أَتَرَى هَذَا الْبَيْتَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: إِنَّهُ قَدْ كَانَ فِيهِ فَتًى حَدِيثُ عَهْدٍ بِعُرْسٍ، فَخَرَجَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْخَنْدَقِ، فَبَيْنَا هُوَ بِهِ إِذْ أَتَاهُ الْفَتَى يَسْتَأْذِنُهُ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ائْذَنْ لِي أُحْدِثُ بِأَهْلِي عَهْدًا، فَأَذِنَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: خُذْ عَلَيْكَ سِلَاحَكَ، فَإِنِّي أَخْشَى عَلَيْكَ بَنِي قُرَيْظَةَ، فَانْطَلَقَ الْفَتَى إِلَى أَهْلِهِ، فَوَجَدَ امْرَأَتَهُ قَائِمَةً بَيْنَ الْبَابَيْنِ، فَأَهْوَى إِلَيْهَا بِالرُّمْحِ لِيَطْعُنَهَا، وَأَدْرَكَتْهُ غَيْرَةٌ، فَقَالَتْ: لَا تَعْجَلْ حَتَّى تَدْخُلَ وَتَنْظُرَ مَا فِي بَيْتِكَ، فَدَخَلَ فَإِذَا هُوَ بِحَيَّةٍ مُنْطَوِيَةٍ عَلَى فِرَاشِهِ، فَرَكَزَ فِيهَا رُمْحَهُ، ثُمَّ خَرَجَ بِهَا فَنَصَبَهُ فِي الدَّارِ، فَاضْطَرَبَتِ الْحَيَّةُ فِي رَأْسِ الرُّمْحِ، وَخَرَّ الْفَتَى مَيِّتًا، فَمَا يُدْرَى أَيُّهُمَا كَانَ أَسْرَعَ مَوْتًا الْفَتَى أَمِ الْحَيَّةُ؟ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ بِالْمَدِينَةِ جِنًّا قَدْ أَسْلَمُوا، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهُمْ شَيْئًا، فَآذِنُوهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنْ بَدَا لَكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فَاقْتُلُوهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

33 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Shaifi, mantan budak Ibnu Aflah, dari Abu Sa’ib, mantan budak Hisyam bin Zuhrah, bahwa ia berkata: Aku masuk menemui Abu Sa‘id al-Khudri dan mendapati beliau sedang shalat. Aku pun duduk menunggu hingga beliau selesai shalat. Lalu aku mendengar suara gerakan di bawah ranjang di rumahnya. Ternyata ada seekor ular. Aku pun berdiri hendak membunuhnya, namun Abu Sa‘id memberi isyarat agar aku duduk. Setelah beliau selesai, beliau menunjuk ke sebuah rumah di dalam rumah itu, lalu berkata: “Apakah kamu melihat rumah itu?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau berkata: “Dulu di rumah itu ada seorang pemuda yang baru saja menikah. Ia keluar bersama Rasulullah ﷺ ke Khandaq. Ketika ia berada di sana, pemuda itu datang meminta izin kepada Rasulullah ﷺ, seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memperbarui hubungan dengan keluargaku.’ Rasulullah ﷺ pun mengizinkannya dan bersabda: ‘Bawalah senjatamu, karena aku khawatir terhadap Bani Quraizhah.’ Maka pemuda itu pun pergi ke keluarganya. Ia mendapati istrinya berdiri di antara dua pintu, lalu ia mengacungkan tombaknya hendak menikam istrinya karena cemburu. Istrinya berkata: ‘Jangan terburu-buru hingga engkau masuk dan melihat apa yang ada di rumahmu.’ Ia pun masuk dan mendapati seekor ular melingkar di atas ranjangnya. Ia pun menikam ular itu dengan tombaknya, lalu membawanya keluar dan menancapkannya di halaman rumah. Ular itu menggeliat di ujung tombak, dan pemuda itu pun jatuh meninggal. Tidak diketahui mana yang lebih dahulu mati, pemuda itu atau ular tersebut. Hal itu kemudian diceritakan kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda: ‘Di Madinah ini ada jin yang telah masuk Islam. Jika kalian melihat sesuatu dari mereka, maka beri peringatan selama tiga hari. Jika setelah itu masih muncul, maka bunuhlah, karena itu adalah setan.'”

بَابُ مَا يُؤْمَرُ بِهِ مِنَ الْكَلَامِ فِي السَّفَرِ

Bab tentang anjuran berbicara dalam perjalanan

34 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، وَهُوَ يُرِيدُ السَّفَرَ يَقُولُ: بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ، وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللَّهُمَّ ازْوِ لَنَا الْأَرْضَ، وَهَوِّنْ عَلَيْنَا السَّفَرَ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ، وَمِنْ كَآبَةِ الْمُنْقَلَبِ، وَمِنْ سُوءِ الْمَنْظَرِ فِي الْمَالِ وَالْأَهْلِ

34 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Rasulullah ﷺ apabila meletakkan kakinya di pelana untuk bepergian, beliau berdoa: “Bismillah, ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan pengganti (penjaga) bagi keluarga. Ya Allah, mudahkanlah bumi bagi kami dan ringankanlah perjalanan kami. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, dari kesedihan saat kembali, dan dari keburukan pemandangan pada harta dan keluarga.”

وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ الثِّقَةِ عِنْدَهُ، عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ، عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيمٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا، فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، فَإِنَّهُ لَنْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ

Dan Malik telah menceritakan kepadaku, dari seseorang yang ia percayai, dari Ya‘qub bin ‘Abdullah bin al-Asyajj, dari Busyr bin Sa‘id, dari Sa‘d bin Abi Waqqash, dari Khaulah binti Hakim, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa singgah di suatu tempat, hendaklah ia mengucapkan: ‘Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang Dia ciptakan,’ maka tidak akan ada sesuatu pun yang membahayakannya hingga ia beranjak dari tempat itu.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْوَحْدَةِ فِي السَّفَرِ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ

Bab tentang apa yang datang mengenai bepergian sendirian bagi laki-laki dan perempuan

35 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ، وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ، وَالثَّلَاثَةُ رَكْبٌ

35 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abdurrahman bin Harmalah, dari ‘Amr bin Syu‘aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang bepergian sendirian adalah setan, dua orang yang bepergian adalah dua setan, dan tiga orang adalah rombongan.”

36 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الشَّيْطَانُ يَهُمُّ بِالْوَاحِدِ وَالْاثْنَيْنِ، فَإِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً لَمْ يَهُمَّ بِهِمْ

36 – Dan Malik telah menceritakan kepadaku, dari ‘Abdurrahman bin Harmalah, dari Sa‘id bin al-Musayyab, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Setan akan mengganggu orang yang sendirian dan dua orang, namun jika mereka bertiga, maka setan tidak akan mengganggu mereka.”

37 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ مِنْهَا

37 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Sa‘id bin Abi Sa‘id al-Maqburi, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya.”

بَابُ مَا يُؤْمَرُ بِهِ مِنَ الْعَمَلِ فِي السَّفَرِ

Bab: Anjuran untuk beramal dalam perjalanan

38 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ، مَوْلَى سُلَيْمَانَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ يَرْفَعُهُ، إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيَرْضَى بِهِ، وَيُعِينُ عَلَيْهِ مَا لَا يُعِينُ عَلَى الْعُنْفِ، فَإِذَا رَكِبْتُمْ هَذِهِ الدَّوَابَّ الْعُجْمَ فَأَنْزِلُوهَا مَنَازِلَهَا، فَإِنْ كَانَتِ الْأَرْضُ جَدْبَةً فَانْجُوا عَلَيْهَا بِنِقْيِهَا، وَعَلَيْكُمْ بِسَيْرِ اللَّيْلِ، فَإِنَّ الْأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ، مَا لَا تُطْوَى بِالنَّهَارِ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّعْرِيسَ عَلَى الطَّرِيقِ، فَإِنَّهَا طُرُقُ الدَّوَابِّ، وَمَأْوَى الْحَيَّاتِ

38 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Abu ‘Ubaid, maula Sulaiman bin ‘Abd al-Malik, dari Khalid bin Ma‘dan secara marfu‘, bahwa Allah Tabaraka wa Ta‘ala itu Maha Lembut, mencintai kelembutan, meridhainya, dan menolong dalam kelembutan apa yang tidak Dia tolong dalam kekerasan. Jika kalian menunggangi hewan-hewan tunggangan yang bisu ini, maka turunkanlah mereka di tempat perhentiannya. Jika tanahnya tandus, maka selamatkanlah diri kalian di atasnya dengan membawa bekal. Hendaklah kalian berjalan di malam hari, karena bumi dilipat (jaraknya) di malam hari sebagaimana tidak terjadi di siang hari. Dan jauhilah tidur di jalan, karena itu adalah jalur hewan-hewan dan tempat berlindungnya ular.

39 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سُمَيٍّ، مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَوْمَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ، فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ وَجْهِهِ، فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ

39 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Sumayy, maula Abu Bakr, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Perjalanan itu adalah bagian dari azab, menghalangi salah seorang dari kalian dari tidurnya, makanannya, dan minumannya. Maka apabila salah seorang dari kalian telah memenuhi keperluannya, hendaklah ia segera kembali kepada keluarganya.”

بَابُ الْأَمْرِ بِالرِّفْقِ بِالْمَمْلُوكِ

Bab: Perintah untuk berlemah lembut kepada budak

40 – حَدَّثَنِي مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ، وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيقُ

40 – Malik telah meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Abu Hurairah berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Bagi budak, makanan dan pakaiannya yang patut, dan tidak dibebani pekerjaan kecuali yang ia sanggupi.”

41 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ يَذْهَبُ إِلَى الْعَوَالِي كُلَّ يَوْمِ سَبْتٍ، فَإِذَا وَجَدَ عَبْدًا فِي عَمَلٍ لَا يُطِيقُهُ وَضَعَ عَنْهُ مِنْهُ

41 – Malik telah meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Umar bin al-Khattab biasa pergi ke ‘Awali setiap hari Sabtu. Jika ia mendapati seorang budak mengerjakan pekerjaan yang tidak sanggup ia lakukan, maka ia meringankan beban pekerjaan itu darinya.

42 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ سَمِعَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، وَهُوَ يَخْطُبُ وَهُوَ يَقُولُ: لَا تُكَلِّفُوا الْأَمَةَ غَيْرَ ذَاتِ الصَّنْعَةِ، الْكَسْبَ، فَإِنَّكُمْ مَتَى كَلَّفْتُمُوهَا ذَلِكَ، كَسَبَتْ بِفَرْجِهَا، وَلَا تُكَلِّفُوا الصَّغِيرَ الْكَسْبَ، فَإِنَّهُ إِذَا لَمْ يَجِدْ سَرَقَ، وَعِفُّوا إِذْ أَعَفَّكُمُ اللَّهُ، وَعَلَيْكُمْ مِنَ الْمَطَاعِمِ بِمَا طَابَ مِنْهَا

42 – Malik telah meriwayatkan kepadaku dari pamannya, Abu Suhail bin Malik, dari ayahnya, bahwa ia mendengar ‘Utsman bin ‘Affan, ketika sedang berkhutbah, berkata: “Janganlah kalian membebani budak perempuan yang tidak memiliki keahlian dengan pekerjaan mencari nafkah. Jika kalian membebani mereka dengan itu, maka mereka akan mencari nafkah dengan kemaluannya. Dan jangan pula membebani anak kecil dengan pekerjaan mencari nafkah, karena jika ia tidak mendapatkannya, ia akan mencuri. Jagalah kehormatan kalian sebagaimana Allah telah menjaga kehormatan kalian. Dan makanlah dari makanan yang baik-baik.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْمَمْلُوكِ وَهِبَتِهِ

Bab: Apa yang datang tentang budak dan pemberiannya

43 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْعَبْدُ إِذَا نَصَحَ لِسَيِّدِهِ، وَأَحْسَنَ عِبَادَةَ اللَّهِ فَلَهُ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ

43 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Budak yang menasihati tuannya dan beribadah kepada Allah dengan baik, maka baginya pahala dua kali lipat.”

44 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أَمَةً كَانَتْ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَقَدْ تَهَيَّأَتْ بِهَيْئَةِ الْحَرَائِرِ، فَدَخَلَ عَلَى ابْنَتِهِ حَفْصَةَ فَقَالَ: أَلَمْ أَرَ جَارِيَةَ أَخِيكِ تَجُوسُ النَّاسَ، وَقَدْ تَهَيَّأَتْ بِهَيْئَةِ الْحَرَائِرِ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عُمَرُ

44 – Malik telah meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa seorang budak perempuan milik ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khattab dilihat oleh ‘Umar bin al-Khattab, dan ia telah berdandan seperti wanita merdeka. Maka ‘Umar masuk ke rumah putrinya, Hafshah, dan berkata: “Bukankah aku melihat budak perempuan saudaramu berkeliling di tengah-tengah manusia, dan ia telah berdandan seperti wanita merdeka?” Maka ‘Umar mengingkari hal itu.

55 – كِتَابُ الْبَيْعَةِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْبَيْعَةِ

Bab: Apa yang datang tentang baiat

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ قَالَ: كُنَّا إِذَا بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، يَقُولُ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِيمَا اسْتَطَعْتُمْ

1 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari ‘Abdullah bin Dinar, bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Kami apabila membaiat Rasulullah ﷺ untuk mendengar dan taat, Rasulullah ﷺ bersabda kepada kami: ‘Sesuai kemampuan kalian.'”

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ أُمَيْمَةَ بِنْتِ رُقَيْقَةَ، أَنَّهَا قَالَتْ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نِسْوَةٍ بَايَعْنَهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، فَقُلْنَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نُبَايِعُكَ عَلَى أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلَا نَسْرِقَ، وَلَا نَزْنِيَ، وَلَا نَقْتُلَ أَوْلَادَنَا، وَلَا نَأْتِيَ بِبُهْتَانٍ نَفْتَرِيهِ بَيْنَ أَيْدِينَا وَأَرْجُلِنَا، وَلَا نَعْصِيَكَ فِي مَعْرُوفٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فِيمَا اسْتَطَعْتُنَّ وَأَطَقْتُنَّ، قَالَتْ: فَقُلْنَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَرْحَمُ بِنَا مِنْ أَنْفُسِنَا، هَلُمَّ نُبَايِعْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ، إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ

2 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Muhammad bin al-Munkadir, dari Umaymah binti Ruqaiqah, bahwa ia berkata: Aku datang kepada Rasulullah ﷺ bersama sekelompok wanita untuk berbaiat kepadanya atas Islam. Kami berkata: Wahai Rasulullah, kami membaiatmu untuk tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak membuat-buat kebohongan yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki kami, dan tidak mendurhakaimu dalam perkara yang makruf. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Dalam hal yang kalian mampu dan sanggupi.” Ia berkata: Lalu kami berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih penyayang kepada kami daripada diri kami sendiri. Mari kami membaiatmu, wahai Rasulullah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita. Sungguh, ucapanku kepada seratus wanita sama dengan ucapanku kepada satu wanita, atau seperti ucapanku kepada satu wanita.”

3 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، كَتَبَ إِلَى عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ مَرْوَانَ يُبَايِعُهُ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ: ” بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، أَمَّا بَعْدُ: لِعَبْدِ اللَّهِ عَبْدِ الْمَلِكِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ، سَلَامٌ عَلَيْكَ، فَإِنِّي أَحْمَدُ إِلَيْكَ اللَّهَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، وَأُقِرُّ لَكَ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ عَلَى سُنَّةِ اللَّهِ، وَسُنَّةِ رَسُولِهِ فِيمَا اسْتَطَعْتُ “

3 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Abdullah bin Dinar, bahwa Abdullah bin Umar menulis surat kepada Abdul Malik bin Marwan untuk membaiatnya. Maka ia menulis kepadanya: “Bismillahirrahmanirrahim. Amma ba‘du: Dari Abdullah, hamba Abdul Malik, Amirul Mukminin. Salam sejahtera atasmu. Sesungguhnya aku memuji Allah kepadamu, tiada tuhan selain Dia, dan aku mengakui kepadamu untuk mendengar dan taat di atas sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya selama aku mampu.”

56 – كِتَابُ الْكَلَامِ

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنَ الْكَلَامِ

Bab tentang hal-hal yang dimakruhkan dari ucapan

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرٌ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

1 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir,’ maka sungguh salah satu dari keduanya telah kembali kepadanya (dosa ucapan itu).”

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا سَمِعْتَ الرَّجُلَ يَقُولُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ

2 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika engkau mendengar seseorang berkata, ‘Manusia telah binasa,’ maka dialah yang paling binasa di antara mereka.”

3 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَا يَقُلْ أَحَدُكُمْ: يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ، فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ “

3 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Abu al-Zinad, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian berkata: ‘Celakalah zaman!’ Karena sesungguhnya Allah-lah yang (mengatur) zaman itu.”

4 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، ” أَنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ لَقِيَ خِنْزِيرًا بِالطَّرِيقِ فَقَالَ لَهُ: انْفُذْ بِسَلَامٍ، فَقِيلَ لَهُ: تَقُولُ هَذَا لِخِنْزِيرٍ؟ فَقَالَ عِيسَى إِنِّي أَخَافُ أَنْ أُعَوِّدَ لِسَانِي الْمَنْطِقَ بِالسُّوءِ “

4 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Yahya bin Sa‘id, bahwa Isa bin Maryam bertemu seekor babi di jalan, lalu ia berkata kepadanya: “Pergilah dengan selamat.” Maka dikatakan kepadanya: “Engkau mengatakan hal itu kepada seekor babi?” Isa menjawab: “Sesungguhnya aku khawatir lisanku terbiasa mengucapkan perkataan buruk.”

بَابُ مَا يُؤْمَرُ بِهِ مِنَ التَّحَفُّظِ فِي الْكَلَامِ

Bab tentang anjuran untuk berhati-hati dalam ucapan

5 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ بِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ الْمُزَنِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، مَا كَانَ يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، يَكْتُبُ اللَّهُ لَهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، مَا كَانَ يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ يَكْتُبُ اللَّهُ لَهُ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ

5 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah, dari ayahnya, dari Bilal bin al-Harits al-Muzani, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kalimat yang diridhai Allah, yang ia tidak menyangka akan mencapai apa yang telah dicapainya, maka Allah menuliskan untuknya keridhaan-Nya hingga hari ia bertemu dengan-Nya. Dan sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah, yang ia tidak menyangka akan mencapai apa yang telah dicapainya, maka Allah menuliskan untuknya kemurkaan-Nya hingga hari ia bertemu dengan-Nya.”

6 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ  بِالْكَلِمَةِ مَا يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا فِي الْجَنَّةِ

6 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Abdullah bin Dinar, dari Abu Shalih as-Samman, bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa Abu Hurairah berkata: “Sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kalimat tanpa memikirkannya, lalu ia terjerumus karenanya ke dalam api neraka Jahanam. Dan sesungguhnya seseorang mengucapkan satu kalimat tanpa memikirkannya, lalu Allah mengangkatnya karenanya ke dalam surga.”

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنَ الْكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ

Bab tentang hal-hal yang dimakruhkan dari ucapan tanpa menyebut nama Allah

7 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: قَدِمَ رَجُلَانِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَخَطَبَا، فَعَجِبَ النَّاسُ لِبَيَانِهِمَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا – أَوْ قَالَ: إِنَّ بَعْضَ الْبَيَانِ لَسِحْرٌ

7 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari Abdullah bin Umar, bahwa ia berkata: Dua orang laki-laki datang dari arah timur lalu berpidato, maka orang-orang pun kagum terhadap kefasihan keduanya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari kefasihan itu benar-benar sihir” – atau beliau bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari kefasihan itu adalah sihir.”

8 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ ” أَنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ كَانَ يَقُولُ: لَا تُكْثِرُوا الْكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَتَقْسُوَ قُلُوبُكُمْ، فَإِنَّ الْقَلْبَ الْقَاسِيَ بَعِيدٌ مِنَ اللَّهِ، وَلَكِنْ لَا تَعْلَمُونَ، وَلَا تَنْظُرُوا فِي ذُنُوبِ النَّاسِ كَأَنَّكُمْ أَرْبَابٌ، وَانْظُرُوا فِي ذُنُوبِكُمْ كَأَنَّكُمْ عَبِيدٌ، فَإِنَّمَا النَّاسُ مُبْتَلًى، وَمُعَافًى، فَارْحَمُوا أَهْلَ الْبَلَاءِ، وَاحْمَدُوا اللَّهَ عَلَى الْعَافِيَةِ

8 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Isa bin Maryam pernah berkata: “Janganlah kalian memperbanyak ucapan tanpa mengingat Allah, sehingga hati kalian menjadi keras. Sesungguhnya hati yang keras itu jauh dari Allah, namun kalian tidak mengetahuinya. Janganlah kalian memandang dosa-dosa manusia seolah-olah kalian adalah tuhan, dan lihatlah dosa-dosa kalian sendiri seolah-olah kalian adalah hamba. Sesungguhnya manusia itu ada yang sedang diuji dan ada yang diberi keselamatan, maka kasihilah orang-orang yang diuji dan bersyukurlah kepada Allah atas keselamatan.”

9 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تُرْسِلُ إِلَى بَعْضِ أَهْلِهَا، بَعْدَ الْعَتَمَةِ فَتَقُولُ: أَلَا تُرِيحُونَ الْكُتَّابَ

9 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Aisyah, istri Nabi ﷺ, biasa mengirim pesan kepada sebagian keluarganya setelah waktu isya, lalu berkata: “Tidakkah kalian memberi istirahat kepada para penulis?”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الْغِيبَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai ghibah (menggunjing).

10 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيَّادٍ، أَنَّ الْمُطَّلِبَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبَ الْمَخْزُومِيَّ أَخْبَرَهُ، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا الْغِيبَةُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنْ تَذْكُرَ مِنَ الْمَرْءِ مَا يَكْرَهُ أَنْ يَسْمَعَ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ حَقًّا؟ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا قُلْتَ بَاطِلًا فَذَلِكَ الْبُهْتَانُ

10 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Al-Walid bin Abdullah bin Shayyad, bahwa Al-Muthallib bin Abdullah bin Hantab Al-Makhzumi memberitahunya, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Apakah ghibah itu?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Engkau menyebutkan tentang seseorang sesuatu yang ia tidak suka untuk didengar.” Ia bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana jika itu benar?” Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika engkau mengatakan yang tidak benar, maka itu adalah buhtan (fitnah besar).”

بَابُ مَا جَاءَ فِيمَا يُخَافُ مِنَ اللِّسَانِ

Bab tentang apa yang datang mengenai hal yang dikhawatirkan dari lisan.

11 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ وَقَاهُ اللَّهُ شَرَّ اثْنَيْنِ، وَلَجَ الْجَنَّةَ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا تُخْبِرْنَا، فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ عَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ الْأُولَى، فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: لَا تُخْبِرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ أَيْضًا، فَقَالَ الرَّجُلُ: لَا تُخْبِرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَ ذَلِكَ أَيْضًا، ثُمَّ ذَهَبَ الرَّجُلُ يَقُولُ مِثْلَ مَقَالَتِهِ الْأُولَى، فَأَسْكَتَهُ رَجُلٌ إِلَى جَنْبِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ وَقَاهُ اللَّهُ شَرَّ اثْنَيْنِ وَلَجَ الْجَنَّةَ، مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ، مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ، مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ

11 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yasar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang Allah lindungi dari keburukan dua hal, maka ia akan masuk surga.” Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau beritahukan kepada kami.” Maka Rasulullah ﷺ diam. Kemudian Rasulullah ﷺ mengulangi ucapannya yang pertama, lalu laki-laki itu berkata: “Janganlah engkau beritahukan kepada kami, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah ﷺ diam. Kemudian Rasulullah ﷺ mengulangi hal yang sama lagi, lalu laki-laki itu berkata: “Janganlah engkau beritahukan kepada kami, wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah ﷺ mengulangi hal yang sama lagi, lalu laki-laki itu pergi dan mengucapkan seperti ucapannya yang pertama, lalu seorang laki-laki di sampingnya membungkamnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang Allah lindungi dari keburukan dua hal, ia akan masuk surga: yaitu apa yang ada di antara dua rahangnya (lisan) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan), apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya.”

12 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ دَخَلَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ وَهُوَ يَجْبِذُ لِسَانَهُ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: مَهْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ هَذَا أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ

12 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa Umar bin Khattab masuk menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq, sedangkan Abu Bakar sedang menarik lidahnya. Umar berkata kepadanya: “Cukup, semoga Allah mengampunimu.” Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya inilah (lidah) yang telah menjerumuskanku ke tempat-tempat bahaya.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي مُنَاجَاةِ اثْنَيْنِ دُونَ وَاحِدٍ

Bab tentang apa yang datang mengenai dua orang yang berbisik-bisik tanpa yang ketiga.

13 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، قَالَ: كُنْتُ أَنَا وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عِنْدَ دَارِ خَالِدِ بْنِ عُقْبَةَ الَّتِي بِالسُّوقِ، فَجَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يُنَاجِيَهُ، وَلَيْسَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَحَدٌ غَيْرِي، وَغَيْرُ الرَّجُلِ الَّذِي يُرِيدُ أَنْ يُنَاجِيَهُ، فَدَعَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَجُلًا آخَرَ حَتَّى كُنَّا أَرْبَعَةً، فَقَالَ لِي وَلِلرَّجُلِ الَّذِي دَعَاهُ: اسْتَأْخِرَا شَيْئًا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ وَاحِدٍ

13 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Abdullah bin Dinar, ia berkata: Aku dan Abdullah bin Umar berada di rumah Khalid bin Uqbah yang ada di pasar. Lalu datang seorang laki-laki yang ingin berbicara secara rahasia dengannya, sedangkan tidak ada seorang pun bersama Abdullah bin Umar selain aku dan laki-laki yang ingin berbicara rahasia itu. Maka Abdullah bin Umar memanggil seorang laki-laki lain hingga kami menjadi empat orang. Lalu ia berkata kepadaku dan kepada laki-laki yang dipanggilnya: “Mundurlah sedikit, karena aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Janganlah dua orang saling berbisik tanpa yang ketiga.'”

14 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا كَانَ ثَلَاثَةٌ فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ وَاحِدٍ

14 – Malik telah menceritakan kepadaku dari Nafi‘, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila ada tiga orang, maka janganlah dua orang saling berbisik tanpa melibatkan yang satu.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي الصِّدْقِ وَالْكَذِبِ

Bab tentang apa yang datang mengenai kejujuran dan kebohongan.

15 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَكْذِبُ امْرَأَتِي يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا خَيْرَ فِي الْكَذِبِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعِدُهَا، وَأَقُولُ لَهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا جُنَاحَ عَلَيْكَ

15 – Malik telah menceritakan kepadaku dari Shafwan bin Sulaim, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah ﷺ: “Bolehkah aku berbohong kepada istriku, wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada kebaikan dalam kebohongan.” Laki-laki itu berkata: “Wahai Rasulullah, aku berjanji kepadanya dan aku mengatakannya kepadanya.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada dosa atasmu.”

16 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يَقُولُ: ” عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَالْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَالْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يُقَالُ: صَدَقَ وَبَرَّ وَكَذَبَ وَفَجَرَ “

16 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Abdullah bin Mas‘ud biasa berkata: “Hendaklah kalian berlaku jujur, karena kejujuran menuntun kepada kebajikan, dan kebajikan menuntun ke surga. Dan jauhilah kebohongan, karena kebohongan menuntun kepada kefajiran, dan kefajiran menuntun ke neraka. Tidakkah engkau melihat bahwa dikatakan: ‘Dia jujur dan berbuat baik, dan dia berbohong dan berbuat jahat’?”

17 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّهُ قِيلَ لِلُقْمَانَ: مَا بَلَغَ بِكَ مَا نَرَى؟ يُرِيدُونَ الْفَضْلَ فَقَالَ لُقْمَانُ: صِدْقُ الْحَدِيثِ، وَأَدَاءُ الْأَمَانَةِ، وَتَرْكُ مَا لَا يَعْنِينِي

17 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa dikatakan kepada Luqman: “Apa yang membuatmu mencapai apa yang kami lihat (pada dirimu)?” Maksud mereka adalah keutamaan. Maka Luqman berkata: “Kejujuran dalam berbicara, menunaikan amanah, dan meninggalkan apa yang tidak menjadi urusanku.”

18 – وحَدَّثَنِي مَالِكٌ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يَقُولُ: لَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ، وَتُنْكَتُ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَسْوَدَّ قَلْبُهُ كُلُّهُ، فَيُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ مِنَ الْكَاذِبِينَ

18 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa ‘Abdullah bin Mas‘ud biasa berkata: “Seseorang akan terus-menerus berbohong, dan akan ditorehkan di hatinya satu titik hitam, hingga seluruh hatinya menjadi hitam, lalu ia akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”

19 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ، أَنَّهُ قَالَ: قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقِيلَ لَهُ: أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا؟ فَقَالَ: نَعَمْ، فَقِيلَ لَهُ: أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ فَقَالَ: لَا

19 – Malik telah menceritakan kepadaku dari Shafwan bin Sulaim, bahwa ia berkata: “Dikatakan kepada Rasulullah ﷺ: ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?’ Beliau menjawab: ‘Ya.’ Lalu ditanyakan kepadanya: ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi kikir?’ Beliau menjawab: ‘Ya.’ Lalu ditanyakan kepadanya: ‘Apakah seorang mukmin bisa menjadi pendusta?’ Beliau menjawab: ‘Tidak.'”

بَابُ مَا جَاءَ فِي إِضَاعَةِ الْمَالِ، وَذِي الْوَجْهَيْنِ

Bab tentang apa yang datang mengenai menyia-nyiakan harta dan orang bermuka dua.

20 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا، وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا، يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا، وَأَنْ تَنَاصَحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ، وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ: وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

20 – Malik telah menceritakan kepadaku dari Suhail bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah meridhai untuk kalian tiga perkara dan membenci untuk kalian tiga perkara. Allah meridhai untuk kalian agar kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, agar kalian berpegang teguh pada tali Allah secara bersama-sama, dan agar kalian saling menasihati kepada orang yang Allah jadikan sebagai pemimpin urusan kalian. Dan Allah membenci untuk kalian: ‘katanya dan katanya’, menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.”

21 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مِنْ شَرِّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ: الَّذِي يَأْتِي هَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ، وَهَؤُلَاءِ بِوَجْهٍ “

21 – Malik telah menceritakan kepadaku dari Abu al-Zinad, dari al-A‘raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Di antara manusia terburuk adalah orang bermuka dua: yang datang kepada kelompok ini dengan satu wajah, dan kepada kelompok itu dengan wajah lain.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي عَذَابِ الْعَامَّةِ بِعَمَلِ الْخَاصَّةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai azab yang menimpa masyarakat umum karena perbuatan golongan khusus.

22 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَهْلِكُ، وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ

22 – Malik telah menceritakan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya bahwa Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami akan binasa padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang saleh?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Ya, jika keburukan telah merajalela.”

23 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَقُولُ: كَانَ يُقَالُ: إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يُعَذِّبُ الْعَامَّةَ بِذَنْبِ الْخَاصَّةِ، وَلَكِنْ إِذَا عُمِلَ الْمُنْكَرُ جِهَارًا، اسْتَحَقُّوا الْعُقُوبَةَ كُلُّهُمْ

23 – Malik telah menceritakan kepadaku dari Isma‘il bin Abi Hakim, bahwa ia mendengar ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz berkata: “Dulu dikatakan: Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta‘ala tidak mengazab masyarakat umum karena dosa golongan khusus, tetapi jika kemungkaran dilakukan secara terang-terangan, maka mereka semua berhak mendapatkan hukuman.”

بَابُ مَا جَاءَ فِي التُّقَى

Bab tentang apa yang datang mengenai ketakwaan.

24 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ وَخَرَجْتُ مَعَهُ، حَتَّى دَخَلَ حَائِطًا فَسَمِعْتُهُ وَهُوَ يَقُولُ: وَبَيْنِي وَبَيْنَهُ جِدَارٌ وَهُوَ فِي جَوْفِ الْحَائِطِ: عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ، بَخٍ بَخٍ، وَاللَّهِ لَتَتَّقِيَنَّ اللَّهَ أَوْ لَيُعَذِّبَنَّكَ

25 – قَالَ مَالِكٌ وَبَلَغَنِي أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ كَانَ يَقُولُ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَمَا يَعْجَبُونَ بِالْقَوْلِ. قَالَ مَالِكٌ: يُرِيدُ بِذَلِكَ الْعَمَلَ، إِنَّمَا يُنْظَرُ إِلَى عَمَلِهِ، وَلَا يُنْظَرُ إِلَى قَوْلِهِ

24 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Malik, ia berkata: Aku mendengar Umar bin al-Khaththab dan aku keluar bersamanya, hingga ia masuk ke sebuah kebun. Lalu aku mendengarnya, sementara antara aku dan dia ada dinding dan dia berada di tengah kebun, ia berkata: “Umar bin al-Khaththab, Amirul Mukminin, wah, wah, demi Allah, sungguh engkau harus bertakwa kepada Allah atau Dia benar-benar akan mengazabmu.”

25 – Malik berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa al-Qasim bin Muhammad biasa berkata: ‘Aku mendapati orang-orang (ulama terdahulu), mereka tidak kagum dengan perkataan.’ Malik berkata: ‘Yang dimaksud dengan itu adalah amal, yang dilihat hanyalah amalnya, tidak dilihat pada perkataannya.'”

بَابُ الْقَوْلِ إِذَا سَمِعْتَ الرَّعْدَ

Bab Ucapan Ketika Mendengar Petir

26 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ كَانَ ” إِذَا سَمِعَ الرَّعْدَ تَرَكَ الْحَدِيثَ، وَقَالَ: سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ، وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: إِنَّ هَذَا لَوَعِيدٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ شَدِيدٌ

26 – Malik telah menceritakan kepadaku dari Amir bin Abdullah bin az-Zubair, bahwa ia, “Jika mendengar suara petir, ia meninggalkan pembicaraan, lalu berkata: ‘Mahasuci Allah yang petir bertasbih dengan memuji-Nya, dan para malaikat karena takut kepada-Nya.’ Kemudian ia berkata: ‘Sesungguhnya ini adalah ancaman yang sangat keras bagi penduduk bumi.'”

بَابُ مَا جَاءَ فِي تَرِكَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bab Tentang Apa yang Diriwayatkan Mengenai Harta Warisan Nabi ﷺ

27 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَّ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَدْنَ أَنْ يَبْعَثْنَ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَيَسْأَلْنَهُ مِيرَاثَهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ لَهُنَّ عَائِشَةُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا فَهُوَ صَدَقَةٌ

27 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah Ummul Mukminin, bahwa istri-istri Nabi ﷺ ketika Rasulullah ﷺ wafat, mereka ingin mengutus Utsman bin Affan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq untuk menanyakan warisan mereka dari Rasulullah ﷺ. Maka Aisyah berkata kepada mereka: “Bukankah Rasulullah ﷺ telah bersabda: ‘Kami para nabi tidak diwarisi, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.'”

28 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا يَقْتَسِمُ وَرَثَتِي دَنَانِيرَ، مَا تَرَكْتُ بَعْدَ نَفَقَةِ نِسَائِي، وَمَئُونَةِ عَامِلِي، فَهُوَ صَدَقَةٌ

28 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Ahli warisku tidak akan membagi-bagi dinar. Apa yang aku tinggalkan setelah nafkah untuk para istriku dan biaya pekerjaku, maka itu adalah sedekah.”

57 – كِتَابُ جَهَنَّمَ

بَابُ مَا جَاءَ فِي صِفَةِ جَهَنَّمَ

Bab Tentang Sifat Jahannam

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: نَارُ بَنِي آدَمَ الَّتِي يُوقِدُونَ جُزْءٌ مِنْ سَبْعِينَ جُزْءًا مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنْ كَانَتْ لَكَافِيَةً قَالَ: إِنَّهَا فُضِّلَتْ عَلَيْهَا بِتِسْعَةٍ وَسِتِّينَ جُزْءًا

1 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Abu az-Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Api bani Adam yang mereka nyalakan adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari api Jahannam.” Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, itu saja sudah cukup.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya api Jahannam melebihi itu dengan enam puluh sembilan bagian.”

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ: أَتُرَوْنَهَا حَمْرَاءَ كَنَارِكُمْ هَذِهِ، لَهِيَ أَسْوَدُ مِنَ الْقَارِ وَالْقَارُ الزِّفْتُ

2 – Malik telah menceritakan kepadaku dari pamannya, Abu Suhail bin Malik, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa ia berkata: “Apakah kalian mengira api itu merah seperti api kalian ini? Sungguh, ia lebih hitam dari ter (aspal), dan ter adalah aspal.”

58 – كِتَابُ الصَّدَقَةِ

بَابُ التَّرْغِيبِ فِي الصَّدَقَةِ

Bab Anjuran Bersedekah

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ، وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا طَيِّبًا، كَانَ إِنَّمَا يَضَعُهَا فِي كَفِّ الرَّحْمَنِ، يُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ فَصِيلَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ

1 – Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, dari Abu al-Hubab Sa’id bin Yasar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa bersedekah dengan sedekah dari hasil yang baik—dan Allah tidak menerima kecuali yang baik—maka seolah-olah ia meletakkannya di telapak tangan ar-Rahman, lalu Dia memeliharanya sebagaimana salah seorang dari kalian memelihara anak kudanya atau anak untanya, hingga sedekah itu menjadi seperti gunung.”

2 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: كَانَ أَبُو طَلْحَةَ أَكْثَرَ أَنْصَارِيٍّ بِالْمَدِينَةِ مَالًا مِنْ نَخْلٍ، وَكَانَ أَحَبَّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرُحَاءَ، وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيهَا طَيِّبٍ، قَالَ أَنَسٌ، فَلَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} [آل عمران: 92] قَامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ: {لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ} [آل عمران: 92]، وَإِنَّ أَحَبَّ أَمْوَالِي إِلَيَّ بَيْرُحَاءَ، وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلَّهِ أَرْجُو بِرَّهَا، وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللَّهِ، فَضَعْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ حَيْثُ شِئْتَ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ، وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهِ، وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ، فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَسَمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ، وَبَنِي عَمِّهِ “

2 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah, bahwa ia mendengar Anas bin Malik berkata: “Abu Thalhah adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya di Madinah berupa kebun kurma, dan harta yang paling ia cintai adalah (kebun) Bairuha’, yang letaknya menghadap masjid. Rasulullah ﷺ biasa memasukinya dan meminum air yang baik dari sana.” Anas berkata, “Ketika turun ayat ini: {Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai} (Ali Imran: 92), Abu Thalhah segera mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: {Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai} (Ali Imran: 92), dan harta yang paling aku cintai adalah Bairuha’, maka aku menjadikannya sebagai sedekah karena Allah, aku berharap mendapatkan kebaikan dan simpanannya di sisi Allah. Maka letakkanlah, wahai Rasulullah, di mana pun engkau kehendaki.’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Bagus, itu adalah harta yang menguntungkan, itu adalah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang kau katakan tentangnya, dan aku berpendapat agar engkau memberikannya kepada kerabat-kerabatmu.’ Abu Thalhah berkata, ‘Aku akan melakukannya, wahai Rasulullah.’ Maka Abu Thalhah membagikannya kepada kerabat-kerabatnya dan anak-anak pamannya.”

3 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَعْطُوا السَّائِلَ، وَإِنْ جَاءَ عَلَى فَرَسٍ

3 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Berilah orang yang meminta, meskipun ia datang dengan menunggang kuda.”

4 – وَحَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُعَاذٍ الْأَشْهَلِيِّ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ جَدَّتِهِ، أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنَاتِ، لَا تَحْقِرَنَّ إِحْدَاكُنَّ أَنْ تُهْدِيَ لِجَارَتِهَا، وَلَوْ كُرَاعَ شَاةٍ مُحْرَقًا

4 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Zaid bin Aslam, dari Amru bin Mu’adz al-Asyhali al-Anshari, dari neneknya, bahwa ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai para wanita mukmin, janganlah salah seorang di antara kalian meremehkan untuk memberikan hadiah kepada tetangganya, meskipun hanya berupa kaki kambing yang telah dibakar.”

5 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٌ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مِسْكِينًا سَأَلَهَا، وَهِيَ صَائِمَةٌ، وَلَيْسَ فِي بَيْتِهَا إِلَّا رَغِيفٌ، فَقَالَتْ لِمَوْلَاةٍ لَهَا: أَعْطِيهِ إِيَّاهُ، فَقَالَتْ: لَيْسَ لَكِ مَا تُفْطِرِينَ عَلَيْهِ، فَقَالَتْ: أَعْطِيهِ إِيَّاهُ، قَالَتْ: فَفَعَلْتُ، قَالَتْ: فَلَمَّا أَمْسَيْنَا أَهْدَى لَنَا أَهْلُ بَيْتٍ أَوْ إِنْسَانٌ مَا كَانَ يُهْدِي لَنَا شَاةً وَكَفَنَهَا، فَدَعَتْنِي عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَتْ: كُلِي مِنْ هَذَا، هَذَا خَيْرٌ مِنْ قُرْصِكِ

5 – Malik telah meriwayatkan kepadaku bahwa telah sampai kepadanya dari Aisyah, istri Nabi ﷺ, bahwa seorang miskin meminta kepadanya, sedangkan ia sedang berpuasa, dan di rumahnya tidak ada apa-apa selain sepotong roti. Maka ia berkata kepada pembantunya, ‘Berikanlah roti itu kepadanya.’ Pembantunya berkata, ‘Engkau tidak punya apa-apa untuk berbuka.’ Ia berkata, ‘Berikanlah roti itu kepadanya.’ Maka pembantunya pun melakukannya. Ketika sore tiba, keluarga atau seseorang yang biasanya tidak pernah menghadiahkan apa pun kepada kami, menghadiahkan seekor kambing dan membungkusnya. Maka Aisyah Ummul Mukminin memanggilku dan berkata, ‘Makanlah dari ini, ini lebih baik daripada rotimu.'”

6 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مالِكٍ، قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ مِسْكِينًا اسْتَطْعَمَ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ وَبَيْنَ يَدَيْهَا عِنَبٌ، فَقَالَتْ لِإِنْسَانٍ: ” خُذْ حَبَّةً، فَأَعْطِهِ إِيَّاهَا، فَجَعَلَ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَيَعْجَبُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: أَتَعْجَبُ كَمْ تَرَى فِي هَذِهِ الْحَبَّةِ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ

6 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, bahwa telah sampai kepadanya seorang miskin meminta makanan kepada Aisyah Ummul Mukminin, sementara di hadapannya ada buah anggur. Maka ia berkata kepada seseorang, ‘Ambil satu butir, lalu berikan kepadanya.’ Orang itu pun memandangnya dan merasa heran. Maka Aisyah berkata, ‘Apakah engkau heran? Tahukah engkau berapa banyak timbangan kebaikan dalam satu butir ini?'”

بَابُ مَا جَاءَ فِي التَّعَفُّفِ عَنِ الْمَسْأَلَةِ

Bab tentang apa yang datang mengenai menjaga diri dari meminta-minta.

7 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ نَاسًا مِنَ الْأَنْصَارِ سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ، حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ، ثُمَّ قَالَ: مَا يَكُونُ عِنْدِي مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً هُوَ خَيْرٌ وَأَوْسَعُ مِنَ الصَّبْرِ

7 – Malik telah meriwayatkan kepadaku, dari Ibnu Syihab, dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi, dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa sekelompok orang Anshar meminta kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau memberi mereka. Kemudian mereka meminta lagi, lalu beliau memberi mereka, hingga habis apa yang ada pada beliau. Kemudian beliau bersabda, “Apa pun kebaikan yang ada padaku, tidak akan aku simpan dari kalian. Barang siapa menjaga diri (dari meminta), Allah akan menjaganya. Barang siapa merasa cukup, Allah akan mencukupinya. Barang siapa bersabar, Allah akan memberinya kesabaran. Dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.”

8 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ: وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنِ الْمَسْأَلَةِ – الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ

8 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Nāfi‘, dari ‘Abdullāh bin ‘Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda ketika beliau berada di atas mimbar, saat menyebutkan tentang sedekah dan menjaga diri dari meminta-minta: “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah yang memberi, sedangkan tangan yang di bawah adalah yang meminta.”

9 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِعَطَاءٍ، فَرَدَّهُ عُمَرُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ رَدَدْتَهُ؟ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَخْبَرْتَنَا أَنَّ خَيْرًا لِأَحَدِنَا أَنْ لَا يَأْخُذَ مِنْ أَحَدٍ شَيْئًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا ذَلِكَ عَنِ الْمَسْأَلَةِ، فَأَمَّا مَا كَانَ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ يَرْزُقُكَهُ اللَّهُ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا أَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا، وَلَا يَأْتِينِي شَيْءٌ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ إِلَّا أَخَذْتُهُ

9 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atā’ bin Yasār, bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan pemberian kepada ‘Umar bin al-Khattāb, lalu ‘Umar menolaknya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, “Mengapa engkau menolaknya?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah memberitahu kami bahwa lebih baik bagi salah seorang dari kami untuk tidak mengambil sesuatu dari siapa pun?” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya itu (larangan) hanya berlaku terhadap meminta-minta. Adapun apa yang diberikan tanpa diminta, maka itu adalah rezeki yang Allah berikan kepadamu.” Maka ‘Umar bin al-Khattāb berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak akan meminta sesuatu pun kepada siapa pun, dan tidak akan datang kepadaku sesuatu tanpa aku meminta kecuali aku akan menerimanya.”

10 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْتِيَ رَجُلًا أَعْطَاهُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ، فَيَسْأَلَهُ أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ

10 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Abū az-Zinād, dari al-A‘raj, dari Abū Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh jika salah seorang di antara kalian mengambil talinya, lalu ia pergi mencari kayu bakar di punggungnya, itu lebih baik baginya daripada ia mendatangi seseorang yang telah Allah beri kelebihan, lalu ia meminta kepadanya, baik orang itu memberinya ataupun menolaknya.”

11 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٌ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ رَجُلٍ، مِنْ بَنِي أَسَدٍ أَنَّهُ قَالَ: نَزَلْتُ أَنَا وَأَهْلِي بِبَقِيعِ الْغَرْقَدِ فَقَالَ لِي أَهْلِي: اذْهَبْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْأَلْهُ لَنَا شَيْئًا نَأْكُلُهُ، وَجَعَلُوا يَذْكُرُونَ مِنْ حَاجَتِهِمْ، فَذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُ عِنْدَهُ رَجُلًا يَسْأَلُهُ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا أَجِدُ مَا أُعْطِيكَ، فَتَوَلَّى الرَّجُلُ عَنْهُ وَهُوَ مُغْضَبٌ، وَهُوَ يَقُولُ: لَعَمْرِي إِنَّكَ لَتُعْطِي مَنْ شِئْتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ لَيَغْضَبُ عَلَيَّ أَنْ لَا أَجِدَ مَا أُعْطِيهِ، مَنْ سَأَلَ مِنْكُمْ وَلَهُ أُوقِيَّةٌ أَوْ عَدْلُهَا، فَقَدْ سَأَلَ إِلْحَافًا قَالَ الْأَسَدِيُّ: فَقُلْتُ: لَلَقْحَةٌ لَنَا خَيْرٌ مِنْ أُوقِيَّةٍ

11 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Atā’ bin Yasār, dari seorang laki-laki dari Bani Asad, bahwa ia berkata: Aku dan keluargaku tinggal di Baqī‘ al-Gharqad. Keluargaku berkata kepadaku, “Pergilah kepada Rasulullah ﷺ dan mintalah sesuatu untuk kita makan,” dan mereka menyebutkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Maka aku pun pergi kepada Rasulullah ﷺ, dan aku mendapati di sisinya ada seorang laki-laki yang sedang meminta kepadanya, dan Rasulullah ﷺ bersabda, “Aku tidak menemukan sesuatu untuk aku berikan kepadamu.” Maka laki-laki itu berpaling darinya dalam keadaan marah, sambil berkata, “Demi hidupku, engkau pasti memberi kepada siapa yang engkau kehendaki.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh ia marah kepadaku karena aku tidak menemukan sesuatu untuk aku berikan kepadanya. Barang siapa di antara kalian yang meminta padahal ia memiliki satu uqiyah atau yang setara dengannya, maka sungguh ia telah meminta dengan memaksa.” Orang Asadi itu berkata, “Seekor unta betina milik kami lebih baik daripada satu uqiyah.”

قَالَ مَالِكٌ: وَالْأُوقِيَّةُ: أَرْبَعُونَ دِرْهَمًا -، قَالَ: فَرَجَعْتُ وَلَمْ أَسْأَلْهُ، فَقُدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ بِشَعِيرٍ وَزَبِيبٍ، فَقَسَمَ لَنَا مِنْهُ حَتَّى أَغْنَانَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Mālik berkata: “Satu uqiyah adalah empat puluh dirham.” Ia berkata: “Maka aku pun kembali dan tidak meminta kepadanya. Setelah itu, Rasulullah ﷺ didatangi dengan membawa gandum dan kismis, lalu beliau membagikan kepada kami hingga Allah ‘Azza wa Jalla mencukupi kami.”

12 – وَعَنْ مَالِكٍ عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ: مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ عَبْدٌ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ قَالَ مَالِكٌ: لَا أَدْرِي أَيُرْفَعُ هَذَا الْحَدِيثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ لَا

12 – Dari Mālik, dari al-‘Alā’ bin ‘Abdurrahmān, bahwa ia mendengarnya berkata: “Sedekah tidak mengurangi harta, dan Allah tidak menambah seorang hamba dengan memberi maaf kecuali kemuliaan, dan tidaklah seorang hamba bersikap rendah hati kecuali Allah akan mengangkat derajatnya.” Mālik berkata: “Aku tidak tahu apakah hadis ini marfū‘ dari Nabi ﷺ atau tidak.”

بَابُ مَا يُكْرَهُ مِنَ الصَّدَقَةِ

Bab: Hal-hal yang makruh dalam sedekah

13 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِآلِ مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ

13 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sedekah tidak halal bagi keluarga Muhammad, sesungguhnya ia adalah kotoran manusia.”

14 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا مِنْ بَنِي عَبْدِ الْأَشْهَلِ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ سَأَلَهُ إِبِلًا مِنَ الصَّدَقَةِ. فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى عُرِفَ الْغَضَبُ فِي وَجْهِهِ، وَكَانَ مِمَّا يُعْرَفُ بِهِ الْغَضَبُ فِي وَجْهِهِ، أَنْ تَحْمَرَّ عَيْنَاهُ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ لَيَسْأَلُنِي مَا لَا يَصْلُحُ لِي، وَلَا لَهُ، فَإِنْ مَنَعْتُهُ كَرِهْتُ الْمَنْعَ، وَإِنْ أَعْطَيْتُهُ أَعْطَيْتُهُ مَا لَا يَصْلُحُ لِي وَلَا لَهُ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا أَسْأَلُكَ مِنْهَا شَيْئًا أَبَدًا

14 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari ‘Abdullāh bin Abī Bakr, dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengangkat seorang laki-laki dari Bani ‘Abd al-Asyhal untuk mengurus zakat. Ketika laki-laki itu kembali, ia meminta unta dari zakat tersebut. Maka Rasulullah ﷺ pun marah hingga tampak kemarahan di wajah beliau, dan salah satu tanda kemarahan beliau adalah kedua matanya memerah. Kemudian beliau bersabda: “Sungguh, ada orang yang meminta kepadaku sesuatu yang tidak layak bagiku maupun baginya. Jika aku menolaknya, aku tidak suka menolak, dan jika aku memberikannya, aku memberikan sesuatu yang tidak layak bagiku maupun baginya.” Maka laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak akan pernah meminta apa pun darinya kepadamu selamanya.”

15 – وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْأَرْقَمِ: ادْلُلْنِي عَلَى بَعِيرٍ مِنَ الْمَطَايَا أَسْتَحْمِلُ عَلَيْهِ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، فَقُلْتُ: نَعَمْ جَمَلًا مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْأَرْقَمِ: أَتُحِبُّ أَنَّ رَجُلًا بَادِنًا فِي يَوْمٍ حَارٍّ غَسَلَ لَكَ مَا تَحْتَ إِزَارِهِ وَرُفْغَيْهِ، ثُمَّ أَعْطَاكَهُ فَشَرِبْتَهُ قَالَ: فَغَضِبْتُ، وَقُلْتُ: يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ، أَتَقُولُ لِي مِثْلَ هَذَا؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْأَرْقَمِ: إِنَّمَا الصَّدَقَةُ أَوْسَاخُ النَّاسِ يَغْسِلُونَهَا عَنْهُمْ

15 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia berkata: ‘Abdullāh bin al-Arqam berkata, “Tunjukkan kepadaku seekor unta dari tunggangan yang bisa aku gunakan untuk membawa Amīr al-Mu’minīn.” Maka aku berkata, “Ya, seekor unta dari zakat.” Lalu ‘Abdullāh bin al-Arqam berkata, “Apakah kamu suka jika ada seseorang yang gemuk pada hari yang panas mencuci bagian bawah sarung dan kedua pahanya untukmu, lalu memberikannya kepadamu dan kamu meminumnya?” Ia berkata, “Aku pun marah dan berkata, ‘Semoga Allah mengampunimu, apakah engkau berkata seperti itu kepadaku?’” Maka ‘Abdullāh bin al-Arqam berkata, “Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran manusia yang mereka bersihkan dari diri mereka.”

59 – كِتَابُ الْعِلْمِ

بَابُ مَا جَاءَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ

Bab tentang apa yang datang mengenai mencari ilmu

1 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ ” أَنَّ لُقْمَانَ الْحَكِيمَ أَوْصَى ابْنَهُ فَقَالَ: يَا بُنَيَّ جَالِسِ الْعُلَمَاءَ، وَزَاحِمْهُمْ بِرُكْبَتَيْكَ، فَإِنَّ اللَّهَ يُحْيِي الْقُلُوبَ بِنُورِ الْحِكْمَةِ، كَمَا يُحْيِي اللَّهُ الْأَرْضَ الْمَيْتَةَ بِوَابِلِ السَّمَاءِ “

1 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik bahwa telah sampai kepadanya, “Sesungguhnya Luqmān al-Hakīm berwasiat kepada anaknya, lalu berkata: Wahai anakku, duduklah bersama para ulama dan dekatilah mereka dengan kedua lututmu, karena Allah menghidupkan hati dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang mati dengan hujan deras dari langit.”

60 – كِتَابُ دَعْوَةِ الْمَظْلُومِ

بَابُ مَا يُتَّقَى مِنْ دَعْوَةِ الْمَظْلُومِ

Bab tentang apa yang harus diwaspadai dari doa orang yang dizalimi

1 – حَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ اسْتَعْمَلَ مَوْلًى لَهُ يُدْعَى هُنَيًّا عَلَى الْحِمَى، فَقَالَ: ” يَا هُنَيُّ، اضْمُمْ جَنَاحَكَ عَنِ النَّاسِ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ، فَإِنَّ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ مُسْتَجَابَةٌ، وَأَدْخِلْ رَبَّ الصُّرَيْمَةِ، وَرَبَّ الْغُنَيْمَةِ، وَإِيَّايَ وَنَعَمَ ابْنِ عَوْفٍ وَنَعَمَ ابْنِ عَفَّانَ فَإِنَّهُمَا إِنْ تَهْلِكْ مَاشِيَتُهُمَا يَرْجِعَا إِلَى نَخْلٍ وَزَرْعٍ، وَإِنَّ رَبَّ الصُّرَيْمَةِ وَرَبَّ الْغُنَيْمَةِ إِنْ تَهْلِكْ مَاشِيَتُهُمَا يَأْتِنِي بِبَنِيهِ، فَيَقُولُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَفَتَارِكُهُمْ أَنَا لَا أَبَا لَكَ فَالْمَاءُ وَالْكَلَأُ أَيْسَرُ عَلَيَّ مِنَ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَايْمُ اللَّهِ إِنَّهُمْ لَيَرَوْنَ أَنِّي قَدْ ظَلَمْتُهُمْ، إِنَّهَا لَبِلَادُهُمْ وَمِيَاهُهُمْ، قَاتَلُوا عَلَيْهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَأَسْلَمُوا عَلَيْهَا فِي الْإِسْلَامِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْلَا الْمَالُ الَّذِي أَحْمِلُ عَلَيْهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَا حَمَيْتُ عَلَيْهِمْ مِنْ بِلَادِهِمْ شِبْرًا “

1 – Diriwayatkan kepadaku dari Mālik, dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ‘Umar bin al-Khattāb mengangkat seorang budaknya yang bernama Hunayy untuk menjaga tanah himā (tanah larangan), lalu ia berkata: “Wahai Hunayy, lindungilah dirimu dari manusia, dan waspadalah terhadap doa orang yang dizalimi, karena doa orang yang dizalimi itu mustajab. Masukkanlah pemilik al-Shuraymah dan pemilik al-Ghunaymah, dan jauhilah aku dari unta milik Ibn ‘Awf dan Ibn ‘Affān, karena jika ternak mereka binasa, mereka masih bisa kembali kepada kebun kurma dan ladang mereka. Sedangkan pemilik al-Shuraymah dan pemilik al-Ghunaymah, jika ternak mereka binasa, mereka akan datang kepadaku bersama anak-anak mereka dan berkata: ‘Wahai Amīr al-Mu’minīn, wahai Amīr al-Mu’minīn, apakah aku akan membiarkan mereka? Tidak, demi Allah! Air dan rumput lebih mudah bagiku daripada emas dan perak. Demi Allah, mereka pasti mengira aku telah menzalimi mereka. Sesungguhnya itu adalah tanah dan air mereka; mereka telah berperang untuknya di masa jahiliyah dan memeluk Islam di atasnya di masa Islam. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau bukan karena harta yang aku gunakan di jalan Allah, niscaya aku tidak akan melarang mereka dari tanah mereka sejengkal pun.”

61 – كِتَابُ أَسْمَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

1 – حَدَّثَنِي مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لِي خَمْسَةُ أَسْمَاءٍ: أَنَا مُحَمَّدٌ، وَأَنَا أَحْمَدُ، وَأَنَا الْمَاحِي، الَّذِي يَمْحُو اللَّهُ بِيَ الْكُفْرَ، وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِي يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِي، وَأَنَا الْعَاقِبُ “

Malik meriwayatkan kepadaku dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muṭ‘im, bahwa Nabi bersabda: “Aku memiliki lima nama: Aku adalah Muhammad, dan aku adalah Ahmad, dan aku adalah al-Māḥī — yang denganku Allah menghapus kekafiran, dan aku adalah al-Ḥāsyir — yang manusia akan dikumpulkan di bawah panjiku, dan aku adalah al-‘Āqib (yakni, yang tidak ada nabi setelahku).”