خَيْرُ مَا نَبْتَدِئُ بِهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قَالَ أَبُو إبْرَاهِيمَ إسْمَاعِيلُ بْنُ يَحْيَى الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -: اخْتَصَرْت هَذَا الْكِتَابَ مِنْ عِلْمِ مُحَمَّدِ بْنِ إدْرِيسَ الشَّافِعِيِّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمِنْ مَعْنَى قَوْلِهِ لِأُقَرِّبَهُ عَلَى مَنْ أَرَادَهُ مَعَ إعْلَامِهِ نَهْيَهُ عَنْ تَقْلِيدِهِ وَتَقْلِيدِ غَيْرِهِ لِيَنْظُرَ فِيهِ لِدِينِهِ وَيَحْتَاطَ فِيهِ لِنَفْسِهِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

Sebaik-baik permulaan adalah dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Aku meringkas kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – dan dari maksud perkataannya, agar memudahkan bagi yang menginginkannya, sekaligus memberitahukan larangannya untuk taklid kepadanya dan kepada selainnya, supaya ia meneliti untuk agamanya dan berhati-hati untuk dirinya. Dan hanya kepada Allah lah taufik.”

 

بَابُ الطَّهَارَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا} الفرقان: 48 وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ فِي الْبَحْرِ «هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ» وَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَكُلُّ مَاءٍ مِنْ بَحْرٍ عَذْبٍ أَوْ مَالِحٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ سَمَاءٍ أَوْ بَرَدٍ أَوْ ثَلْجٍ مُسَخَّنٍ وَغَيْرِ مُسَخَّنٍ فَسَوَاءٌ وَالتَّطَهُّرُ بِهِ جَائِزٌ وَلَا أَكْرَهُ الْمَاءَ الْمُشَمَّسَ إلَّا مِنْ جِهَةِ الطِّبِّ لِكَرَاهِيَةِ عُمَرَ عَنْ ذَلِكَ وَقَوْلُهُ: إنَّهُ يُورِثُ الْبَرَصَ وَمَا عَدَا ذَلِكَ مِنْ مَاءِ وَرْدٍ أَوْ شَجَرٍ أَوْ عِرْقِ مَاءٍ أَوْ زَعْفَرَانٍ أَوْ عُصْفُرٍ أَوْ نَبِيذٍ أَوْ مَاءٍ بُلَّ فِيهِ خُبْزٌ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ مَاءٍ مُطْلَقٍ حَتَّى يُضَافَ إلَى مَا خَالَطَهُ أَوْ خَرَجَ مِنْهُ فَلَا يَجُوزُ التَّطَهُّرُ بِهِ

 

 

Bab Thaharah (Bersuci). (Imam Syafi’i berkata): Allah Azza wa Jalla berfirman, “Dan Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al-Furqan: 48). Dan diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda tentang laut, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Imam Syafi’i berkata): Maka semua air, baik dari laut yang tawar atau asin, sumur, langit, embun, salju yang dipanaskan atau tidak, adalah sama, dan bersuci dengannya diperbolehkan. Aku tidak memakruhkan air yang terkena sinar matahari kecuali dari sisi medis karena Umar radhiyallahu ‘anhu memakruhkannya dan berkata, “Sesungguhnya itu menimbulkan penyakit kusta.” Adapun selain itu, seperti air mawar, air pohon, air yang keluar dari tanah, air za’faran, air ushfur, air nabidz, air yang direndam roti, atau selainnya yang tidak lagi disebut sebagai air murni hingga harus disandarkan pada campurannya atau asalnya, maka tidak boleh bersuci dengannya.

 

بَابُ الْآنِيَةِ

Bab tentang Bejana

 

بَابُ الْآنِيَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَيُتَوَضَّأُ فِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ إذَا دُبِغَتْ وَاحْتَجَّ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَيُّمَا إهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ» (قَالَ) : وَكَذَلِكَ جُلُودُ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مِنْ السِّبَاعِ إذَا دُبِغَتْ إلَّا جِلْدَ كَلْبٍ أَوْ خِنْزِيرٍ؛ لِأَنَّهُمَا نَجِسَانِ وَهُمَا حَيَّانِ (قَالَ) : وَلَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ إلَّا الْإِهَابُ وَحْدَهُ، وَلَوْ كَانَ الصُّوفُ وَالشَّعْرُ وَالرِّيشُ لَا يَمُوتُ بِمَوْتِ ذَوَاتِ الرُّوحِ أَوْ كَانَ يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ كَانَ ذَلِكَ فِي قَرْنِ الْمَيْتَةِ وَسِنِّهَا وَجَازَ فِي عَظْمِهَا؛ لِأَنَّهُ قَبْلَ الدِّبَاغِ وَبَعْدَهُ سَوَاءٌ (قَالَ) : وَلَا يُدْهَنُ فِي عَظْمِ فِيلٍ وَاحْتَجَّ بِكَرَاهِيَةِ ابْنِ عُمَرَ لِذَلِكَ (قَالَ) : فَأَمَّا جِلْدُ كُلِّ ذَكِيٍّ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ فَلَا بَأْسَ بِالْوُضُوءِ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يُدْبَغْ (قَالَ) : وَلَا أَكْرَهُ مِنْ الْآنِيَةِ إلَّا الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الَّذِي يَشْرَبُ فِي آنِيَةِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي جَوْفِهِ نَارَ جَهَنَّمَ» (قَالَ) : وَأَكْرَهُ مَا ضُبِّبَ بِالْفِضَّةِ لِئَلَّا يَكُونَ شَارِبًا عَلَى فِضَّةٍ (قَالَ) : وَلَا بَأْسَ بِالْوُضُوءِ مِنْ مَاءِ مُشْرِكٍ وَبِفَضْلِ وُضُوئِهِ مَا لَمْ يَعْلَمْ نَجَاسَتَهُ تَوَضَّأَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مِنْ مَاءٍ فِي جَرَّةِ نَصْرَانِيَّةٍ

 

 

Bab Bejana (Berkata Asy-Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – dan boleh berwudhu dengan kulit bangkai jika telah disamak, dan beliau berargumen dengan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Kulit apa pun yang disamak, maka ia telah suci.” (Asy-Syafi’i Berkata): Demikian juga kulit hewan buas yang tidak dimakan dagingnya jika telah disamak, kecuali kulit anjing atau babi karena keduanya najis dan keduanya hidup. (Asy-Syafi’i Berkata): Tidak suci dengan penyamakan kecuali kulit saja, seandainya bulu, rambut, dan bulu burung tidak mati dengan kematian makhluk bernyawa atau bisa suci dengan penyamakan, maka hal itu juga berlaku pada tanduk, gigi bangkai, dan boleh pada tulangnya karena sebelum dan setelah disamak sama saja. (Asy-Syafi’i Berkata): Dan tidak boleh meminyaki tulang gajah, dan beliau berargumen dengan kebencian Ibnu Umar terhadap hal itu. (Asy-Syafi’i Berkata): Adapun kulit setiap hewan halal yang dimakan dagingnya, maka tidak mengapa berwudhu dengannya meski tidak disamak. (Asy-Syafi’i Berkata): Dan tidak ada yang aku benci dari bejana kecuali emas dan perak, berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Orang yang minum dari bejana perak, sesungguhnya ia menggemuruhkan api neraka Jahannam di perutnya.” (Asy-Syafi’i Berkata): Dan aku membenci yang dilapisi perak agar tidak minum di atas perak. (Asy-Syafi’i Berkata): Dan tidak mengapa berwudhu dengan air orang musyrik dan sisa wudhunya selama tidak diketahui najisnya. Umar – radhiyallahu ‘anhu – pernah berwudhu dengan air di dalam tempayan seorang Nasrani.

بَابُ السِّوَاكِ

 

Bab tentang Siwak

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan aku menyukai bersiwak untuk shalat dan pada setiap keadaan yang menyebabkan perubahan pada mulut, seperti saat bangun dari tidur, saat lapar, dan segala sesuatu yang mengubah mulut; karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.'” (Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya bersiwak itu wajib, niscaya beliau akan memerintahkannya baik memberatkan atau tidak.”

 

بَابُ نِيَّةِ الْوُضُوءِ

Bab Niat Wudhu

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يُجْزِئُ طَهَارَةٌ مِنْ غُسْلٍ وَلَا وُضُوءٍ وَلَا تَيَمُّمٍ إلَّا بِنِيَّةٍ وَاحْتَجَّ عَلَى مَنْ أَجَازَ الْوُضُوءَ بِغَيْرِ نِيَّةٍ بِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ» وَلَا يَجُوزُ التَّيَمُّمُ بِغَيْرِ نِيَّةٍ وَهُمَا طَهَارَتَانِ فَكَيْفَ يَفْتَرِقَانِ (قَالَ) : وَإِذَا تَوَضَّأَ لِنَافِلَةٍ أَوْ لِقِرَاءَةِ مُصْحَفٍ أَوْ لِجِنَازَةٍ أَوْ لِسُجُودِ قُرْآنٍ أَجْزَأَ وَإِنْ صَلَّى بِهِ فَرِيضَةً.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak sah bersuci baik mandi, wudhu, maupun tayammum kecuali dengan niat. Beliau berargumen terhadap orang yang membolehkan wudhu tanpa niat dengan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- “Amal perbuatan tergantung pada niatnya.” Tayammum juga tidak boleh dilakukan tanpa niat, padahal keduanya adalah bentuk bersuci, lalu bagaimana bisa dibedakan? (Beliau berkata): Jika seseorang berwudhu untuk shalat sunnah, membaca mushaf, mengurus jenazah, atau sujud tilawah, maka wudhunya sah meskipun digunakan untuk shalat fardhu.

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ نَوَى فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ عَزَبَتْ نِيَّتُهُ أَجْزَأَتْهُ نِيَّةٌ وَاحِدَةٌ مَا لَمْ يُحْدِثْ نِيَّةً أَنْ يَتَبَرَّدَ أَوْ يَتَنَظَّفَ بِالْمَاءِ فَيُعِيدُ مَا كَانَ غَسَلَهُ لِتَبَرُّدٍ أَوْ تَنَظُّفٍ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang berniat untuk berwudhu lalu niatnya hilang, maka niat satu kali itu sudah cukup selama dia tidak mengubah niat untuk sekadar mendinginkan badan atau membersihkan diri dengan air. Jika dia mengubah niat seperti itu, maka dia harus mengulangi bagian yang sudah dibasuh untuk tujuan mendinginkan badan atau membersihkan diri.”

 

بَابُ سُنَّةِ الْوُضُوءِ

 

Bab Sunnah-Sunnah Wudhu

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Asy-Syafi’i berkata: Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka jangan mencelupkan tangannya ke dalam bejana sebelum mencucinya tiga kali, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam.” Al-Muzanni berkata: Aku ragu tentang ‘tiga kali’. (قَالَ) : Jika seseorang bangun untuk shalat dari tidurnya atau dalam keadaan tidak berwudhu, maka aku suka jika ia menyebut nama Allah, kemudian menuangkan air dari bejananya ke kedua tangannya dan mencucinya tiga kali, kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana untuk mengambil seteguk air untuk mulut dan hidungnya, lalu berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung tiga kali serta menyampaikan air ke pangkal hidungnya, kecuali jika ia sedang berpuasa maka hendaknya ia melakukannya dengan lembut. Kemudian ia mengambil air kedua dengan kedua tangannya untuk membasuh wajahnya tiga kali, dari tempat tumbuhnya rambut kepala hingga pangkal kedua telinga, dan dari ujung jenggot hingga bagian depan wajah dan dagunya. Jika ia tidak berjenggot, maka ia membasuh seluruh kulit wajahnya. Jika ia memiliki jenggot dan cambang, maka ia menyiramkan air pada jenggot dan cambangnya. Jika air tidak sampai ke kulit wajah yang tertutup rambut, itu sudah cukup jika rambutnya lebat. Kemudian ia membasuh lengan kanannya hingga siku, lalu lengan kiri seperti itu juga, dan memasukkan kedua sikunya dalam wudhu (dalam mandi) tiga kali-tiga kali. Jika ia tidak memiliki kedua tangan, ia membasuh sisa tangannya hingga siku. Jika tangannya terpotong dari siku, maka tidak ada kewajiban wudhu baginya pada keduanya, tetapi aku suka jika tempat potongannya terkena air. Kemudian ia mengusap kepalanya tiga kali, dan aku suka jika ia meratakan seluruh kepala dan pelipisnya, dimulai dari depan kepalanya, lalu mengusap hingga ke tengkuknya, kemudian mengembalikannya ke tempat awal. Ia juga mengusap kedua telinganya, bagian luar dan dalam, dengan air baru, dan memasukkan kedua jarinya ke lubang telinganya. Lalu ia membasuh kedua kakinya tiga kali-tiga kali hingga kedua mata kaki. Kedua mata kaki adalah tonjolan tulang yang merupakan pertemuan antara tulang betis dan kaki, dan keduanya wajib dibasuh seperti siku. Ia juga harus menyela-nyela jari-jari kakinya karena perintah Rasulullah ﷺ kepada Laqith bin Shabirah tentang hal itu. Itulah wudhu yang paling sempurna, insya Allah.

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَمُرَّ الْمَاءُ عَلَى مَا سَقَطَ مِنْ اللِّحْيَةِ عَنْ الْوَجْهِ وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَفِيهَا قَوْلَانِ (قَالَ) : يَجْزِيهِ فِي أَحَدِهِمَا وَلَا يَجْزِيهِ فِي الْآخَرِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا يَجْزِيهِ أَشْبَهَ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجْعَلُ مَا سَقَطَ مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الرَّأْسِ مِنْ الرَّأْسِ فَكَذَلِكَ يَلْزَمُهُ أَنْ لَا يَجْعَلَ مَا سَقَطَ مِنْ مَنَابِتِ شَعْرِ الْوَجْهِ مِنْ الْوَجْهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ غَسَلَ وَجْهَهُ مَرَّةً وَلَمْ يَغْسِلْ يَدَيْهِ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا فِي الْإِنَاءِ وَلَمْ يَكُنْ فِيهِمَا قَذَرٌ وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ مَرَّةً مَرَّةً وَمَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ بِيَدِهِ أَوْ بِبَعْضِهَا مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ مَنَابِتِ شَعْرِ رَأْسِهِ أَجْزَأَهُ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى عِمَامَتِهِ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالنَّزْعَتَانِ مِنْ الرَّأْسِ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ مَرَّةً مَرَّةً وَعَمَّ بِكُلِّ مَرَّةٍ مَا غَسَلَ أَجْزَأَهُ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً، ثُمَّ قَالَ «هَذَا وُضُوءٌ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ تَبَارَكَ تَعَالَى صَلَاةً إلَّا بِهِ» ، ثُمَّ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قَالَ «مَنْ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ آتَاهُ اللَّهُ أَجْرَهُ مَرَّتَيْنِ» ، ثُمَّ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ «هَذَا وُضُوئِي وَوُضُوءُ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي وَوُضُوءُ خَلِيلِي إبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمْ» .

 

 

Beliau berkata: “Aku lebih suka jika air mengalir pada bagian jenggot yang turun dari wajah. Jika tidak dilakukan, ada dua pendapat.” Beliau berkata: “Dalam satu pendapat itu cukup, sedangkan dalam pendapat lain tidak cukup.” Al-Muzanni berkata: “Aku berpendapat bahwa itu lebih mirip dengan perkataannya, karena dia tidak menganggap bagian yang jatuh dari tempat tumbuhnya rambut kepala sebagai bagian dari kepala, maka demikian pula seharusnya dia tidak menganggap bagian yang jatuh dari tempat tumbuhnya rambut wajah sebagai bagian dari wajah.” Asy-Syafi’i berkata: “Jika seseorang membasuh wajahnya sekali, tidak membasuh tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana, dan tidak ada kotoran pada tangannya, lalu membasuh kedua lengannya sekali-sekali, serta mengusap sebagian kepalanya dengan tangan atau sebagiannya selama tidak keluar dari tempat tumbuhnya rambut kepala, maka itu cukup.” Dia berargumen dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap ubun-ubunnya dan atas sorban beliau.” Asy-Syafi’i berkata: “Dua tarikan dari kepala, lalu membasuh kedua kakinya sekali-sekali, dan meratakan setiap basuhan yang dia lakukan, itu cukup.” Dia berargumen bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu sekali-sekali, lalu bersabda: “Ini adalah wudhu yang Allah Tabaraka wa Ta’ala tidak menerima shalat kecuali dengannya.” Kemudian beliau berwudhu dua kali-dua kali, lalu bersabda: “Barangsiapa berwudhu dua kali-dua kali, Allah akan memberinya pahala dua kali lipat.” Kemudian beliau berwudhu tiga kali-tiga kali, lalu bersabda: “Ini adalah wudhuku dan wudhu para nabi sebelumku serta wudhu kekasihku Ibrahim ‘alaihissalam.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَفِي تَرْكِهِ أَنْ يَتَمَضْمَضَ وَيَسْتَنْشِقَ وَيَمْسَحَ أُذُنَيْهِ تَرْكٌ لِلسُّنَّةِ وَلَيْسَتْ الْأُذُنَانِ مِنْ الْوَجْهِ فَيُغْسَلَا وَلَا مِنْ الرَّأْسِ فَيَجْزِي مَسْحُهُ عَلَيْهِمَا فَهُمَا سُنَّةٌ عَلَى حِيَالِهِمَا وَاحْتَجَّ بِأَنَّهُ لَمَّا لَمْ يَكُنْ عَلَى مَا فَوْقَ الْأُذُنَيْنِ مِمَّا يَلِيهِمَا مِنْ الرَّأْسِ وَلَا عَلَى مَا وَرَاءَهُمَا مِمَّا يَلِي مَنَابِتَ شَعْرِ الرَّأْسِ إلَيْهِمَا وَلَا عَلَى مَا يَلِيهِمَا إلَى الْعُنُقِ مَسْحٌ وَهُوَ إلَى الرَّأْسِ أَقْرَبُ كَانَتْ الْأُذُنَانِ مِنْ الرَّأْسِ أَبْعَدُ

(Dia berkata): “Meninggalkan berkumur-kumur, menghirup air ke hidung, dan mengusap kedua telinga adalah meninggalkan sunnah. Kedua telinga bukan bagian dari wajah yang harus dibasuh, juga bukan bagian dari kepala yang cukup dengan diusap. Keduanya adalah sunnah tersendiri. Dia berargumen bahwa karena tidak ada kewajiban mengusap bagian atas telinga yang berbatasan dengan kepala, bagian belakangnya yang berbatasan dengan tempat tumbuh rambut kepala, atau bagian yang berbatasan dengan leher—padahal itu lebih dekat ke kepala—maka telinga lebih jauh dari kepala.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : لَوْ كَانَتَا مِنْ الرَّأْسِ أَجْزَأَ مَنْ حَجَّ حَلَقَهُمَا عَنْ تَقْصِيرِ الرَّأْسِ فَصَحَّ أَنَّهُمَا سُنَّةٌ عَلَى حِيَالِهِمَا

(Al-Muzani berkata): “Seandainya telinga bagian dari kepala, niscaya mencukupi bagi orang yang berhaji mencukurnya sebagai pengganti memendekkan rambut kepala. Maka benar bahwa keduanya adalah sunnah tersendiri.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْفَرْقُ بَيْنَ مَا يَجْزِي مِنْ مَسْحِ بَعْضِ الرَّأْسِ وَلَا يَجْزِي إلَّا مَسْحُ كُلِّ الْوَجْهِ فِي التَّيَمُّمِ أَنَّ مَسْحَ الْوَجْهِ بَدَلٌ مِنْ الْغَسْلِ يَقُومُ مَقَامَهُ وَمَسْحَ بَعْضِ الرَّأْسِ أَصْلٌ لَا بَدَلٌ مِنْ غَيْرِهِ

(Asy-Syafi’i berkata): “Perbedaan antara yang cukup dengan mengusap sebagian kepala dan yang tidak cukup kecuali mengusap seluruh wajah dalam tayammum adalah bahwa mengusap wajah pengganti dari membasuh, sedangkan mengusap sebagian kepala adalah asal, bukan pengganti dari yang lain.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ فَرَّقَ وُضُوءَهُ وَغَسْلَهُ أَجُزْأَهُ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِابْنِ عُمَرَ

(Dia berkata): “Jika seseorang memisahkan wudhunya (tidak berurutan), itu tetap sah.” Dia berargumen dengan perbuatan Ibnu Umar dalam hal ini.

 

(قَالَ) : وَإِنْ بَدَأَ بِذِرَاعَيْهِ قَبْلَ وَجْهِهِ رَجَعَ إلَى ذِرَاعَيْهِ فَغَسَلَهُمَا حَتَّى يَكُونَا بَعْدَ وَجْهِهِ حَتَّى يَأْتِيَ الْوُضُوءَ وَلَاءً كَمَا ذَكَرَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ {فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ} المائدة: 6- (هَكَذَا قَرَأَهُ الْمُزَنِيّ إلَى الْكَعْبَيْنِ)

(Dia berkata): “Jika seseorang memulai dengan membasuh kedua lengannya sebelum wajah, ia harus kembali membasuh keduanya setelah wajah agar wudhunya berurutan sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala: ‘Basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga siku, usaplah kepala-kepala kalian, dan basuhlah kaki-kaki kalian hingga mata kaki.’ (QS. Al-Maidah: 6) —demikianlah Al-Muzani membacanya ‘hingga mata kaki’.”

 

فَإِنْ صَلَّى بِالْوُضُوءِ عَلَى غَيْرِ وَلَاءٍ رَجَعَ فَبَنَى عَلَى الْوَلَاءِ مِنْ وُضُوئِهِ وَأَعَادَ الصَّلَاةَ وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَزَّ {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} البقرة: 158 فَبَدَأَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِالصَّفَا وَقَالَ «نَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ»

“Jika seseorang shalat dengan wudhu yang tidak berurutan, ia harus kembali memperbaiki wudhunya dengan urutan yang benar dan mengulangi shalatnya.” Dia berargumen dengan firman Allah: ‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar Allah.’ (QS. Al-Baqarah: 158), lalu Rasulullah ﷺ memulai dari Shafa seraya bersabda: “Kita memulai dari apa yang Allah mulai.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ قَدَّمَ يُسْرَى قَبْلَ يُمْنَى أَجْزَأَهُ وَلَا يَحْمِلُ الْمُصْحَفَ وَلَا يَمَسُّهُ إلَّا طَاهِرًا وَلَا يَمْتَنِعُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ إلَّا جُنُبًا.

(Dia berkata): “Jika seseorang mendahulukan yang kiri sebelum yang kanan, itu sah. Tidak boleh membawa atau menyentuh mushaf kecuali dalam keadaan suci, dan tidak dilarang membaca Al-Qur’an kecuali dalam keadaan junub.”

(قَالَ أَبُو إبْرَاهِيمَ) : إنْ قَدَّمَ الْوُضُوءَ وَأَخَّرَ يُعِيدُ الْوُضُوءَ وَالصَّلَاةَ

 

(Abu Ibrahim berkata): Jika dia mendahulukan wudhu dan mengakhirkannya, maka dia harus mengulangi wudhu dan shalatnya.

 

بَابُ الِاسْتِطَابَةِ

 

Bab tentang Istithabah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «إنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ فَإِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إلَى الْغَائِطِ فَلَا يَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا يَسْتَدْبِرْهَا بِغَائِطٍ وَلَا بِبَوْلٍ وَلِيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ» وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَذَلِكَ فِي الصَّحَارَى؛ لِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَدْ جَلَسَ عَلَى لَبِنْتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ بَيْتَ الْمَقْدِسِ» فَدَلَّ أَنَّ الْبِنَاءَ مُخَالِفٌ لِلصَّحَارَى (قَالَ) : وَإِنْ جَاءَ مِنْ الْغَائِطِ أَوْ خَرَجَ مِنْ ذَكَرِهِ أَوْ مِنْ دُبُرِهِ شَيْءٌ فَلْيَسْتَنْجِ بِالْمَاءِ وَلِيَسْتَطِبْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ لَيْسَ فِيهَا رَجِيعٌ وَلَا عَظْمٌ وَلَا يَمْسَحْ بِحَجَرٍ قَدْ مَسَحَ بِهِ مَرَّةً إلَّا أَنْ يَكُونَ قَدْ طَهَّرَهُ بِالْمَاءِ وَالِاسْتِنْجَاءُ مِنْ الْبَوْلِ كَالِاسْتِنْجَاءِ مِنْ الْخَلَاءِ وَيَسْتَنْجِي بِشِمَالِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Muhammad bin Ajlan dari Al-Qa’qa’ bin Hakim dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Sesungguhnya aku bagi kalian bagaikan seorang ayah. Jika salah seorang dari kalian pergi untuk buang air besar, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya, baik saat buang air besar maupun kecil. Dan hendaklah beristinja dengan tiga batu.” Beliau juga melarang menggunakan kotoran hewan dan tulang. (Imam Syafi’i berkata): Hal itu berlaku di padang pasir, karena “Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah duduk di atas dua batu bata dengan menghadap Baitul Maqdis.” Ini menunjukkan bahwa bangunan berbeda dengan padang pasir. (Imam Syafi’i berkata): Jika keluar sesuatu setelah buang air besar, atau keluar dari kemaluan atau duburnya sesuatu, maka hendaklah beristinja dengan air dan membersihkan dengan tiga batu yang tidak mengandung kotoran atau tulang. Jangan mengusap dengan batu yang telah digunakan sekali kecuali jika telah dibersihkan dengan air. Istinja dari air kencing sama seperti istinja dari buang air besar, dan hendaklah beristinja dengan tangan kiri.

 

وَإِنْ اسْتَطَابَ بِمَا يَقُومُ مَقَامَ الْحِجَارَةِ مِنْ الْخَزَفِ وَالْآجُرِّ وَقِطَعِ الْخَشَبِ وَمَا أَشْبَهَهُ فَأَنْقَى مَا هُنَالِكَ أَجْزَأَهُ مَا لَمْ يَعْدُ الْمَخْرَجَ، فَإِنْ عَدَا الْمَخْرَجَ فَلَا يُجْزِئُهُ فِيهِ إلَّا الْمَاءُ وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ يَسْتَطِيبُ بِالْأَحْجَارِ إذَا لَمْ يَنْتَشِرْ مِنْهُ إلَّا مَا يَنْتَشِرُ مِنْ الْعَامَّةِ فِي ذَلِكَ الْمَوْضِعِ وَحَوْلَهُ وَالْفَرْقُ بَيْنَ أَنْ يَسْتَطِيبَ بِيَمِينِهِ فَيُجْزِئَ وَبِالْعَظْمِ فَلَا يُجْزِئُ أَنَّ الْيَمِينَ أَدَاةٌ وَالنَّهْيَ عَنْهَا أَدَبٌ وَالِاسْتِطَابَةَ طَهَارَةٌ وَالْعَظْمَ لَيْسَ بِطَاهِرٍ، فَإِنْ مَسَحَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَلَمْ يُنَقِّ أَعَادَ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّهُ لَمْ يَبْقَ أَثَرًا إلَّا أَثَرًا لَاصِقًا لَا يُخْرِجُهُ إلَّا الْمَاءُ وَلَا بَأْسَ بِالْجِلْدِ الْمَدْبُوغِ أَنْ يُسْتَطَابَ بِهِ وَإِنْ اسْتَطَابَ بِحَجَرٍ لَهُ ثَلَاثَةُ أَحْرُفٍ كَانَ كَثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ إذَا أَنْقَى وَلَا يُجْزِئَ أَنْ يَسْتَطِيبَ بِعَظْمٍ وَلَا نَجَسٍ.

 

 

Jika seseorang beristinja’ dengan sesuatu yang dapat menggantikan fungsi batu seperti gerabah, bata, potongan kayu, atau sejenisnya, lalu membersihkan sebaik mungkin, maka itu sudah mencukupi selama tidak melampaui tempat keluarnya. Jika melampaui, maka tidak sah kecuali dengan air. Dalam pendapat lama disebutkan bahwa beristinja’ dengan batu diperbolehkan selama tidak menyebar kecuali seperti yang biasa dilakukan masyarakat di tempat tersebut dan sekitarnya. Perbedaan antara beristinja’ dengan tangan kanan (yang sah) dan dengan tulang (yang tidak sah) adalah karena tangan kanan merupakan alat, larangan menggunakannya hanya sebagai adab, sedangkan istinja’ adalah pensucian, sementara tulang tidak suci. Jika seseorang mengusap dengan tiga batu tetapi belum bersih, ia harus mengulanginya hingga yakin tidak ada lagi bekas kecuali bekas yang menempel yang hanya bisa dihilangkan dengan air. Tidak masalah beristinja’ dengan kulit yang disamak. Jika beristinja’ dengan batu yang memiliki tiga sisi, itu dianggap seperti tiga batu jika sudah membersihkan. Tidak sah beristinja’ dengan tulang atau benda najis.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَاَلَّذِي يُوجِبُ الْوُضُوءَ الْغَائِطُ وَالْبَوْلُ وَالنَّوْمُ مُضْطَجِعًا وَقَائِمًا وَرَاكِعًا وَسَاجِدًا وَزَائِلًا عَنْ مُسْتَوَى الْجُلُوسِ قَلِيلًا كَانَ النَّوْمَ أَوْ كَثِيرًا وَالْغَلَبَةُ عَلَى الْعَقْلِ بِجُنُونٍ أَوْ مَرَضٍ مُضْطَجِعًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مُضْطَجِعٍ وَالرِّيحُ يَخْرُجُ مِنْ الدُّبُرِ وَمُلَامَسَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ وَالْمُلَامَسَةُ أَنْ يُفْضِيَ بِشَيْءٍ مِنْهُ إلَى جَسَدِهَا أَوْ تُفْضِيَ إلَيْهِ لَا حَائِلَ بَيْنَهُمَا أَوْ يُقَبِّلَهَا وَمَسُّ الْفَرْجِ بِبَطْنِ الْكَفِّ مِنْ نَفْسِهِ وَمِنْ غَيْرِهِ وَمِنْ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحَيِّ وَالْمَيِّتِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَسَوَاءٌ كَانَ الْفَرْجُ قُبُلًا أَوْ دُبُرًا أَوْ مَسُّ الْحَلْقَةِ نَفْسِهَا مِنْ الدُّبُرِ وَلَا وُضُوءَ عَلَى مَنْ مَسَّ ذَلِكَ مِنْ بَهِيمَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَا حُرْمَةَ لَهَا وَلَا تَعَبُّدَ عَلَيْهَا وَكُلُّ مَا خَرَجَ مِنْ دُبُرٍ أَوْ قُبُلٍ مِنْ دُودٍ أَوْ دَمٍ أَوْ مَذْيٍ أَوْ وَدْيٍ أَوْ بَلَلٍ أَوْ غَيْرِهِ فَذَلِكَ كُلُّهُ يُوجِبُ الْوُضُوءَ كَمَا وَصَفْت وَلَا اسْتِنْجَاءَ عَلَى مَنْ نَامَ أَوْ خَرَجَ مِنْهُ رِيحٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Hal-hal yang mewajibkan wudhu adalah buang air besar, buang air kecil, tidur baik dalam keadaan berbaring, berdiri, rukuk, sujud, atau bergeser sedikit dari posisi duduk, baik tidur sebentar maupun lama, hilang akal karena gila atau sakit baik dalam keadaan berbaring atau tidak, keluarnya angin dari dubur, sentuhan laki-laki terhadap perempuan (yaitu apabila sebagian tubuhnya menyentuh tubuh perempuan tanpa penghalang atau menciumnya), menyentuh kemaluan dengan telapak tangan baik milik sendiri atau orang lain, baik anak kecil maupun dewasa, hidup atau mati, laki-laki atau perempuan, baik kemaluan depan maupun belakang, atau menyentuh lubang dubur itu sendiri. Tidak wajib wudhu bagi yang menyentuh hal tersebut dari hewan, karena hewan tidak memiliki kehormatan dan tidak dibebani syariat. Segala yang keluar dari dubur atau qubul seperti cacing, darah, madzi, wadi, basahan, atau lainnya, semuanya mewajibkan wudhu seperti yang telah dijelaskan. Tidak wajib istinja’ bagi orang yang tidur atau keluar angin darinya.”

 

(قَالَ) : وَنُحِبُّ لِلنَّائِمِ قَاعِدًا أَنْ يَتَوَضَّأَ وَلَا يَبِينُ أَنْ أُوجِبَهُ عَلَيْهِ لِمَا رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانُوا يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ فَيَنَامُونَ أَحْسَبُهُ قَالَ قُعُودًا وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ قَاعِدًا وَيُصَلِّي فَلَا يَتَوَضَّأُ.

 

 

Beliau berkata: “Kami menganjurkan orang yang tidur dalam posisi duduk untuk berwudhu, namun tidak mewajibkannya, berdasarkan riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – biasa menunggu shalat Isya’ lalu tertidur – aku kira dia berkata dalam posisi duduk – dan dari Ibnu Umar – radhiyallahu ‘anhuma – bahwa dia pernah tidur sambil duduk lalu shalat tanpa berwudhu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَوْ صِرْنَا إلَى النَّظَرِ كَانَ إذَا غَلَبَ عَلَيْهِ النَّوْمُ تَوَضَّأَ بِأَيِّ حَالَاتِهِ كَانَ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Sungguh, Asy-Syafi’i telah mengatakan, “Seandainya kita berpegang pada pendapat yang lebih teliti, maka orang yang mengantuk hendaknya berwudu dalam keadaan apa pun.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا وَرُوِيَ عَنْ صَفْوَانَ بْنِ عَسَّالٍ أَنَّهُ قَالَ «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَأْمُرُنَا إذَا كُنَّا مُسَافِرِينَ أَوْ سَفْرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافِنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهنَّ إلَّا مِنْ جَنَابَةٍ لَكِنْ مِنْ بَوْلٍ وَغَائِطٍ وَنَوْمٍ» (قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَلَمَّا جَعَلَهُنَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِأُمِّي هُوَ وَأُمِّي، فِي مَعْنَى الْحَدَثِ وَاحِدًا اسْتَوَى الْحَدَثُ فِي جَمِيعِهِنَّ مُضْطَجِعًا كَانَ أَوْ قَاعِدًا، وَلَوْ اخْتَلَفَ حَدَثُ النَّوْمِ لِاخْتِلَافِ حَالِ النَّائِمِ لَاخْتَلَفَ كَذَلِكَ الْغَائِطُ وَالْبَوْلُ وَلَأَبَانَهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – كَمَا أَبَانَ أَنَّ الْأَكْلَ فِي الصَّوْمِ عَامِدًا مُفْطِرٌ وَنَاسِيًا غَيْرُ مُفْطِرٍ وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِ فَإِذَا نَامَتْ الْعَيْنَانِ اُسْتُطْلِقَ الْوِكَاءُ» مَعَ مَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ مَنْ اسْتَجْمَعَ نَوْمًا مُضْطَجِعًا أَوْ قَاعِدًا وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَنْ اسْتَجْمَعَ نَوْمًا فَعَلَيْهِ الْوُضُوءُ وَعَنْ الْحَسَنِ إذَا نَامَ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا تَوَضَّأَ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata, dan diriwayatkan dari Shafwan bin ‘Assal bahwa ia berkata, “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan kami jika kami dalam perjalanan untuk tidak melepas khuf (sepatu kulit) selama tiga hari tiga malam kecuali karena junub, tetapi (boleh melepas) karena buang air kecil, buang air besar, dan tidur.” (Al-Muzani berkata): Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menyamakan ketiganya (buang air kecil, buang air besar, dan tidur) dalam makna hadats yang satu, maka hadats itu sama saja dalam semua keadaan, baik tidur berbaring maupun duduk. Seandainya hadats tidur berbeda karena perbedaan keadaan orang yang tidur, tentu buang air besar dan kecil juga akan berbeda, dan Nabi – ‘alaihis salam – akan menjelaskannya, sebagaimana beliau menjelaskan bahwa makan dalam puasa dengan sengaja membatalkan puasa, sedangkan jika lupa tidak membatalkan. Diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda, “Kedua mata adalah ikatan dubur. Jika kedua mata tidur, maka ikatan itu terlepas.” Bersamaan dengan apa yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, “Barangsiapa tidur nyenyak baik berbaring maupun duduk,” dan dari Abu Hurairah, “Barangsiapa tidur nyenyak, maka wajib baginya berwudhu,” serta dari Al-Hasan, “Jika seseorang tidur duduk atau berdiri, maka ia harus berwudhu.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Al-Muzani berkata): Ini adalah perbedaan pendapat yang mengharuskan penelitian. Asy-Syafi’i telah menempatkannya dalam penelitian tentang makna orang yang pingsan, bagaimana ia berwudhu. Demikian pula orang yang tidur, dalam maknanya, bagaimana ia berwudhu. Ia berargumen dalam masalah mulamasah (sentuhan) dengan firman Allah Ta’ala: {atau kalian menyentuh perempuan} An-Nisa’: 43 dan dengan perkataan Ibnu Umar: “Seorang laki-laki mencium istrinya atau memegangnya dengan tangannya termasuk mulamasah.” Dari Ibnu Mas’ud juga ada pendapat yang mirip dengan makna perkataan Ibnu Umar. Ia berargumen dalam masalah menyentuh kemaluan dengan hadits Busrah dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Jika salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu.” Ia mengqiyaskan dubur dengan farji berdasarkan riwayat dari Aisyah bahwa ia berkata: “Jika seorang perempuan menyentuh farjinya, maka ia harus berwudhu.” Ia berargumen bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa memerdekakan bagiannya pada seorang budak, maka budak itu dinilai harganya.” Maka budak perempuan memiliki makna yang sama dengan budak laki-laki, demikian pula dubur memiliki makna yang sama dengan kemaluan. (Ia berkata): Adapun selain itu seperti muntah, mimisan, atau darah yang keluar bukan dari tempat keluarnya hadats, maka tidak ada kewajiban wudhu, sebagaimana tidak ada wudhu untuk sendawa yang berubah atau ludah karena keduanya keluar bukan dari tempat keluarnya hadats. Namun, ia harus membasuh mulutnya dan bagian tubuh yang terkena muntah. Ia berargumen bahwa Ibnu Umar pernah memencet bisul di wajahnya lalu keluar darah, kemudian ia menggosoknya di antara jari-jarinya, lalu shalat tanpa membasuh tangannya. Dari Ibnu Abbas: “Basuhlah bekas bekam darimu, itu cukup.” Dari Ibnu Musayyib bahwa ia pernah mimisan lalu mengusap hidungnya dengan kain, kemudian shalat. Dari Al-Qasim: “Tidak ada kewajiban wudhu bagi orang yang berbekam.” (Ia berkata): Tidak ada kewajiban wudhu bagi orang yang shalat lalu tertawa terbahak-bahak, juga tidak ada wudhu untuk sesuatu yang disentuh api, berdasarkan riwayat: “Dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau pernah makan paha kambing lalu shalat tanpa berwudhu.”

 

(قَالَ) : وَكُلُّ مَا أَوْجَبَ الْوُضُوءَ فَهُوَ بِالْعَمْدِ وَالسَّهْوِ سَوَاءٌ (قَالَ) : وَمَنْ اسْتَيْقَنَ الطُّهْرَ، ثُمَّ شَكَّ فِي الْحَدَثِ أَوْ اسْتَيْقَنَ الْحَدَثَ، ثُمَّ شَكَّ فِي الطُّهْرِ فَلَا يَزُولُ الْيَقِينُ بِالشَّكِّ

 

 

(Dia berkata): “Segala hal yang mewajibkan wudu, baik dilakukan sengaja atau lupa, hukumnya sama.” (Dia berkata): “Barangsiapa yakin telah suci, lalu ragu tentang hadats, atau yakin hadats, lalu ragu tentang kesucian, maka keyakinan tidak hilang karena keraguan.”

بَابُ مَا يُوجِبُ الْغُسْلَ

 

Bab tentang hal-hal yang mewajibkan mandi.

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami orang yang terpercaya, yaitu Al-Walid bin Muslim, dari Al-Auza’i, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari Aisyah bahwa dia berkata, “Jika dua khitan bertemu, maka wajib mandi. Aku dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melakukannya, lalu kami mandi.” Dan dia meriwayatkannya dari jalur lain dari Aisyah bahwa Beliau berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Jika dua khitan bertemu, maka wajib mandi.” (Dia berkata): Telah menceritakan kepada kami Ibrahim, Beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Amir Ad-Dimasyqi dan yang lain, mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Al-Walid bin Muslim dari Al-Auza’i dalam hadits ini seperti itu.

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyebutkan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَإِذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ وَالْتِقَاؤُهُمَا أَنْ تَغِيبَ الْحَشَفَةُ فِي الْفَرْجِ فَيَكُونُ خِتَانُهُ حِذَاءَ خِتَانِهَا فَذَاكَ الْتِقَاؤُهُمَا كَمَا يُقَالُ الْتَقَى الْفَارِسَانِ إذَا تَحَاذَيَا وَإِنْ لَمْ يَتَضَامَّا فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَيْهِمَا

Beliau berkata: “Ketika dua khitan bertemu, yang dimaksud pertemuan keduanya adalah ketika kepala penis masuk ke dalam vagina, sehingga khitan laki-laki sejajar dengan khitan perempuan. Itulah yang disebut pertemuan keduanya, sebagaimana dikatakan dua penunggang kuda bertemu ketika mereka berhadapan meski tidak bersentuhan. Maka wajib mandi bagi keduanya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْتِقَاءُ الْخِتَانَيْنِ أَنْ يُحَاذِيَ خِتَانُ الرَّجُلِ خِتَانَ الْمَرْأَةِ لَا أَنْ يُصِيبَ خِتَانُهُ خِتَانَهَا وَذَلِكَ أَنَّ خِتَانَ الْمَرْأَةِ مُسْتَعْلٍ وَيَدْخُلُ الذَّكَرُ أَسْفَلَ مِنْ خِتَانِ الْمَرْأَةِ.

Al-Muzani berkata: “Pertemuan dua khitan adalah ketika khitan laki-laki sejajar dengan khitan perempuan, bukan ketika khitannya menyentuh khitannya. Karena khitan perempuan terletak di bagian atas, sedangkan penis masuk di bagian bawah khitan perempuan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَسَمِعْت الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: الْعَرَبُ تَقُولُ إذَا حَاذَى الْفَارِسُ الْفَارِسَ الْتَقَى الْفَارِسَانِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ أَنْزَلَ الْمَاءَ الدَّافِقَ مُتَعَمِّدًا أَوْ نَائِمًا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنْ الْمَرْأَةِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ عَلَيْهِمَا وَمَاءُ الرَّجُلِ الَّذِي يُوجِبُ الْغُسْلَ هُوَ الْمَنِيُّ الْأَبْيَضُ الثَّخِينُ الَّذِي يُشْبِهُ رَائِحَةَ الطَّلْعِ فَمَتَى خَرَجَ الْمَنِيُّ مِنْ ذَكَرِ الرَّجُلِ أَوْ رَأَتْ الْمَرْأَةُ الْمَاءَ الدَّافِقَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ وَقَبْلَ الْبَوْلِ وَبَعْدَهُ سَوَاءٌ، (قَالَ) : وَتَغْتَسِلُ الْحَائِضُ إذَا طَهُرَتْ وَالنُّفَسَاءُ إذَا ارْتَفَعَ دَمُهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata: Orang Arab berkata, “Jika seorang penunggang kuda bertemu dengan penunggang kuda lainnya, maka kedua penunggang kuda itu bertemu.” (Asy-Syafi’i berkata): Dan jika seseorang mengeluarkan air mani dengan sengaja, dalam keadaan tidur, atau hal itu terjadi pada wanita, maka wajib bagi keduanya untuk mandi. Air laki-laki yang mewajibkan mandi adalah mani yang putih kental yang baunya seperti bunga pohon kurma. Ketika mani keluar dari kemaluan laki-laki atau wanita melihat air yang memancar, maka wajib mandi, baik sebelum atau setelah buang air kecil, itu sama saja. (Dia berkata): Dan wanita haid harus mandi ketika suci, begitu juga wanita nifas ketika darahnya berhenti.

 

بَابُ غُسْلِ الْجَنَابَةِ

Bab tentang mandi junub

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : يَبْدَأُ الْجُنُبُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ ثَلَاثًا قَبْلَ إدْخَالِهِمَا الْإِنَاءَ، ثُمَّ يَغْسِلُ مَا بِهِ مِنْ الْأَذَى، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ الْعَشْرَ فِي الْإِنَاءِ يُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعْرِهِ، ثُمَّ يَحْثِي عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ حَتَّى يَعُمَّ جَمِيعَ جَسَدِهِ وَشَعْرِهِ وَيُمِرُّ يَدَيْهِ عَلَى مَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْ جَسَدِهِ وَرُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (قَالَ) : فَإِنْ تَرَكَ إمْرَارَ يَدَيْهِ عَلَى جَسَدِهِ فَلَا يَضُرُّهُ وَفِي إفَاضَةِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ دَلِيلٌ أَنَّهُ إنْ لَمْ يُدَلِّكْهُ أَجْزَأَهُ وَبِقَوْلِهِ «إذَا وَجَدْت الْمَاءَ فَأَمْسِسْهُ جِلْدَك» (قَالَ) : وَفِي أَمْرِهِ الْجُنُبَ الْمُتَيَمِّمَ إذَا وَجَدَ الْمَاءَ اغْتَسِلْ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِوُضُوءٍ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْوُضُوءَ لَيْسَ بِفَرْضٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Orang yang junub memulai dengan mencuci kedua tangannya tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana, kemudian membersihkan kotoran yang ada padanya, lalu berwudhu seperti wudhu untuk shalat. Kemudian ia memasukkan sepuluh jarinya ke dalam bejana dan menyela-nyelai pangkal rambutnya, lalu menyiram kepalanya tiga siraman. Setelah itu, ia mengguyur air ke seluruh tubuhnya hingga merata ke semua bagian tubuh dan rambutnya, serta mengusapkan kedua tangannya ke bagian tubuh yang bisa dijangkau. Hal serupa diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. (Imam Syafi’i berkata): Jika ia tidak mengusapkan tangannya ke tubuhnya, itu tidak masalah. Dalam perbuatan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang mengguyur air ke kulitnya terdapat petunjuk bahwa jika tidak menggosoknya, itu sudah mencukupi, sebagaimana sabdanya, “Jika engkau menemukan air, maka sentuhkanlah ke kulitmu.” (Imam Syafi’i berkata): Dalam perintah Nabi kepada orang junub yang bertayamum ketika menemukan air untuk mandi dan tidak memerintahkannya berwudhu, terdapat petunjuk bahwa wudhu bukanlah kewajiban.

 

(قَالَ) : وَإِنْ تَرَكَ الْوُضُوءَ لِلْجَنَابَةِ وَالْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ فَقَدْ أَسَاءَ وَيُجْزِئُهُ وَيَسْتَأْنِفُ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ وَقَدْ فَرَضَ اللَّهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – غَسْلَ الْوَجْهِ مِنْ الْحَدَثِ كَمَا فَرَضَ غَسْلَهُ مَعَ سَائِرِ الْبَدَنِ مِنْ الْجَنَابَةِ فَكَيْفَ يُجْزِئُهُ تَرْكُ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَا يُجْزِئُهُ مِنْ الْآخَرِ، وَكَذَلِكَ غُسْلُ الْمَرْأَةِ إلَّا أَنَّهَا تَحْتَاجُ مِنْ غَمْرِ ضَفَائِرِهَا حَتَّى يَبْلُغَ الْمَاءُ أُصُولَ الشَّعْرِ إلَى أَكْثَرَ مِمَّا يَحْتَاجُ إلَيْهِ الرَّجُلُ. وَرُوِيَ «أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ سَأَلَتْ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَتْ إنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي أَفَأَنْقُضُهُ لِلْغُسْلِ مِنْ الْجَنَابَةِ؟ فَقَالَ لَا إنَّمَا يَكْفِيك أَنْ تَحْثِي عَلَيْهِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ مِنْ مَاءٍ تُفِيضِي عَلَيْك الْمَاءَ» (قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يُغَلْغِلَ الْمَاءَ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ وَكَمَا وَصَلَ الْمَاءُ إلَى شَعْرِهَا وَبَشَرِهَا أَجْزَأَهَا، وَكَذَلِكَ غُسْلُهَا مِنْ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ وَلَمَّا أَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِالْغُسْلِ مِنْ الْحَيْضِ قَالَ «خُذِي فِرْصَةً – وَالْفِرْصَةُ الْقِطْعَةُ مِنْ مَسْكٍ – فَتَطْهُرِي بِهَا» فَقَالَتْ عَائِشَةُ تَتَبَّعِي بِهَا أَثَرَ الدَّمِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang meninggalkan wudhu untuk junub, berkumur, dan menghirup air (istinsyaq), maka ia telah berbuat buruk, tetapi itu sudah mencukupi. Ia harus mengulangi berkumur dan istinsyaq. Allah Ta’ala telah mewajibkan membasuh wajah dari hadats sebagaimana mewajibkan membasuhnya bersama seluruh badan untuk junub. Bagaimana mungkin meninggalkan berkumur dan istinsyaq dianggap cukup untuk salah satunya tetapi tidak untuk yang lain? Begitu pula mandi wanita, hanya saja ia perlu menyiram kepangannya hingga air mencapai akar rambut, lebih banyak daripada yang diperlukan laki-laki.”

 

Diriwayatkan bahwa Ummu Salamah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Aku adalah seorang wanita yang mengikat rambutku dengan kuat. Apakah aku harus melepaskannya untuk mandi junub?” Beliau menjawab, “Tidak, cukup bagimu menyiramnya dengan tiga siraman air, lalu menuangkan air ke atasmu.”

 

Beliau berkata: “Aku lebih suka jika air meresap hingga ke akar rambut. Jika air telah mencapai rambut dan kulitnya, itu sudah mencukupi. Begitu pula mandinya dari haid dan nifas.” Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk mandi dari haid, beliau bersabda, “Ambillah firshah (sepotong misk) dan bersucilah dengannya.” Aisyah berkata, “Gosoklah bekas darah dengannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَطِيبًا فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَالْمَاءُ كَافٍ وَمَا بَدَأَ بِهِ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ فِي الْغُسْلِ أَجْزَأَهُمَا (قَالَ) : وَإِنْ أَدْخَلَ الْجُنُبُ أَوْ الْحَائِضُ أَيْدِيَهُمَا فِي الْإِنَاءِ وَلَا نَجَاسَةَ فِيهَا لَمْ يَضُرَّهُ

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika kamu tidak menemukan wewangian, maka air saja cukup. Dan apa yang dimulai oleh laki-laki maupun perempuan dalam mandi, itu sudah mencukupi bagi mereka.” (Dia berkata): “Jika orang yang junub atau wanita haid memasukkan tangan mereka ke dalam wadah dan tidak ada najis di dalamnya, maka hal itu tidak membahayakan.”

بَابُ فَضْلِ الْجُنُبِ وَغَيْرِهِ

Bab tentang keutamaan orang junub dan lainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ «رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَتَى بِالْوَضُوءِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ وَأَمَرَ النَّاسَ أَنْ يَتَوَضَّئُوا مِنْهُ فَرَأَيْت الْمَاءَ يَنْبُعُ مِنْ تَحْتِ أَصَابِعِهِ حَتَّى تَوَضَّأَ النَّاسُ مِنْ عِنْدِ آخِرِهِمْ» وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: «كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُوا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي إنَاءٍ وَاحِدٍ جَمِيعًا» وَرُوِيَ «عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: كُنْت أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ تَعْنِي مِنْ الْجَنَابَةِ، وَأَنَّهَا كَانَتْ تَغْسِلُ رَأْسَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهِيَ حَائِضٌ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا بَأْسَ أَنْ يُتَوَضَّأَ وَيُغْتَسَلَ بِفَضْلِ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إذَا اغْتَسَلَ وَعَائِشَةُ مِنْ إنَاءٍ وَاحِدٍ فَقَدْ اغْتَسَلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِفَضْلِ صَاحِبِهِ (قَالَ) : وَلَيْسَتْ الْحَيْضَةُ فِي الْيَدِ وَلَا الْمُؤْمِنُ بِنَجَسٍ إنَّمَا تَعَبُّدٌ أَنْ يُمَاسَّ الْمَاءُ فِي بَعْضِ حَالَاتِهِ، وَكَذَلِكَ مَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا تَوَضَّأَ بِفَضْلِ صَاحِبِهِ فِي كُلِّ ذَلِكَ دَلَالَةٌ أَنَّهُ لَا تَوْقِيتَ فِيمَا – يَتَطَهَّرُ بِهِ الْمُغْتَسِلُ وَالْمُتَوَضِّئُ إلَّا عَلَى مَا أَمَرَهُ اللَّهُ بِهِ وَقَدْ يَخْرِقُ بِالْكَثِيرِ فَلَا يَكْفِي وَيُرْفِقُ بِالْقَلِيلِ فَيَكْفِي (قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُنْقَصَ عَمَّا رُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ تَوَضَّأَ بِالْمُدِّ وَاغْتَسَلَ بِالصَّاعِ»

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Ishaq bin Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- didatangkan air wudhu, lalu beliau meletakkan tangannya di bejana dan memerintahkan orang-orang untuk berwudhu darinya. Aku melihat air memancar dari bawah jari-jemarinya hingga orang-orang berwudhu sampai yang terakhir.” Dan dari Ibnu Umar, ia berkata: “Para lelaki dan perempuan berwudhu pada zaman Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dari satu bejana secara bersama-sama.” Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: “Aku pernah mandi bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dari satu bejana, yakni dari junub. Dan ia pernah mencuci kepala Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- saat ia sedang haid.” (Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa berwudhu atau mandi dengan sisa air orang junub atau haid, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan Aisyah jika mandi dari satu bejana, maka masing-masing telah mandi dengan sisa air yang lain. (Ia berkata): Haid tidak berada di tangan, dan seorang mukmin tidak najis. Ini hanya bentuk ketaatan bahwa air disentuh dalam keadaan tertentu. Demikian juga riwayat Ibnu Umar bahwa masing-masing berwudhu dengan sisa air yang lain. Semua ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan tertentu dalam air yang digunakan untuk bersuci, kecuali sesuai perintah Allah. Terkadang banyak air digunakan tetapi tidak mencukupi, atau sedikit tetapi mencukupi. (Ia berkata): Aku suka jika tidak mengurangi dari yang diriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha’.

 

بَابُ التَّيَمُّمِ

 

Bab Tayamum

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً} النساء: 43 الْآيَةُ وَرُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ تَيَمَّمَ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ» (قَالَ) : وَمَعْقُولٌ إذَا كَانَ بَدَلًا مِنْ الْوُضُوءِ عَلَى الْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ أَنْ يُؤْتَى بِالتَّيَمُّمِ عَلَى مَا يُؤْتَى بِالْوُضُوءِ عَلَيْهِ وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ: ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapat air…” (QS. An-Nisa: 43). Dan diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bertayammum dengan mengusap wajah dan kedua lengannya. (Imam Syafi’i) berkata: “Masuk akal jika tayammum sebagai pengganti wudu pada wajah dan kedua tangan, maka dilakukan seperti cara berwudu.” Dan dari Ibnu Umar bahwa Beliau berkata: “Satu kali tepukan untuk wajah dan satu kali tepukan untuk kedua tangan hingga siku.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالتَّيَمُّمُ أَنْ يَضْرِبَ بِيَدَيْهِ عَلَى الصَّعِيدِ وَهُوَ التُّرَابُ مِنْ كُلِّ أَرْضٍ سَبَخِهَا وَمَدَرِهَا وَبَطْحَائِهَا وَغَيْرِهِ مِمَّا يَعْلَقُ بِالْيَدِ مِنْهُ غُبَارٌ مَا لَمْ تُخَالِطْهُ نَجَاسَةٌ وَيَنْوِي بِالتَّيَمُّمِ الْفَرِيضَةَ فَيَضْرِبُ عَلَى التُّرَابِ ضَرْبَةً وَيُفَرِّقُ أَصَابِعَهُ حَتَّى يُثِيرَ التُّرَابَ، ثُمَّ يَمْسَحُ بِيَدِهِ وَجْهَهُ كَمَا وَصَفْت فِي الْوُضُوءِ، ثُمَّ يَضْرِبُ ضَرْبَةً أُخْرَى كَذَلِكَ، ثُمَّ يَمْسَحُ ذِرَاعَهُ الْيُمْنَى فَيَضَعُ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُمْنَى وَأَصَابِعِهَا، ثُمَّ يُمِرُّهَا عَلَى ظَهْرِ الذِّرَاعِ إلَى مِرْفَقِهِ، ثُمَّ يُدِيرُ كَفَّهُ إلَى بَطْنِ الذِّرَاعِ، ثُمَّ يُقْبِلُ بِهَا إلَى كُوعِهِ، ثُمَّ يُمِرُّهَا عَلَى ظَهْرِ إبْهَامِهِ وَيَكُونُ بَطْنُ كَفِّهِ الْيُمْنَى لَمْ يَمَسَّهَا شَيْءٌ مِنْ يَدِهِ فَيَمْسَحُ بِهَا الْيُسْرَى كَمَا وَصَفْت فِي الْيُمْنَى وَيَمْسَحُ إحْدَى الرَّاحَتَيْنِ بِالْأُخْرَى وَيُخَلِّلُ بَيْنَ أَصَابِعِهِمَا فَإِنْ أَبْقَى شَيْئًا مِمَّا كَانَ يَمُرُّ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ حَتَّى صَلَّى أَعَادَ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ التَّيَمُّمِ، ثُمَّ يُصَلِّي.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tayamum adalah menepukkan kedua tangan ke tanah, yaitu debu dari segala jenis tanah, baik yang asin, berlumpur, berpasir, atau lainnya selama debu itu menempel di tangan dan tidak tercampur najis. Niatkan tayamum untuk kewajiban, lalu tepukkan tangan ke tanah sekali sambil merenggangkan jari-jari hingga debu beterbangan. Kemudian usapkan tangan ke wajah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam wudhu. Selanjutnya, tepukkan lagi tangan ke tanah seperti tadi, lalu usapkan ke lengan kanan dengan meletakkan telapak tangan kiri di atas punggung telapak kanan dan jari-jarinya, lalu mengusapkannya ke punggung lengan hingga siku. Putar telapak tangan ke bagian dalam lengan, lalu balikkan ke pergelangan, kemudian usapkan ke punggung ibu jari. Pastikan bagian dalam telapak kanan tidak tersentuh tangan, lalu usapkan ke lengan kiri seperti cara kanan. Usap kedua telapak tangan dan selipkan jari-jarinya. Jika ada bagian yang terlewat saat tayamum hingga salat, ulangi bagian yang terlewat itu, lalu salatlah.

 

وَإِنْ بَدَأَ بِيَدَيْهِ قَبْلَ وَجْهِهِ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ وَيَمْسَحَ يَدَيْهِ حَتَّى يَكُونَا بَعْدَ وَجْهِهِ مِثْلَ الْوُضُوءِ سَوَاءً وَإِنْ قَدَّمَ يُسْرَى يَدَيْهِ عَلَى الْيُمْنَى أَجْزَأَهُ.

 

 

Dan jika ia memulai dengan kedua tangannya sebelum wajahnya, maka ia harus mengulang dan mengusap kedua tangannya hingga keduanya berada setelah wajahnya seperti wudhu yang sama. Dan jika ia mendahulukan tangan kirinya atas tangan kanannya, maka itu sudah mencukupi.

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ نَسِيَ الْجَنَابَةَ فَتَيَمَّمَ لِلْحَدَثِ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ ذَكَرَ الْجَنَابَةَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِنْ التَّيَمُّمِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : لَيْسَ عَلَى الْمُحْدِثِ عِنْدِي مَعْرِفَةُ أَيِّ الْأَحْدَاثِ كَانَ مِنْهُ وَإِنَّمَا عَلَيْهِ أَنْ يَتَطَهَّرَ لِلْحَدَثِ، وَلَوْ كَانَ عَلَيْهِ مَعْرِفَةُ أَيِّ الْأَحْدَاثِ كَانَ مِنْهُ كَمَا عَلَيْهِ مَعْرِفَةُ أَيِّ الصَّلَوَاتِ عَلَيْهِ لَوَجَبَ لَوْ تَوَضَّأَ مِنْ رِيحٍ، ثُمَّ عَلِمَ أَنَّ حَدَثَهُ بَوْلٌ أَوْ اغْتَسَلَتْ امْرَأَةٌ تَنْوِي الْحَيْضَ وَإِنَّمَا كَانَتْ جُنُبًا أَوْ مِنْ حَيْضٍ وَإِنَّمَا كَانَتْ نُفَسَاء لَمْ يُجْزِئْ أَحَدًا مِنْهُمْ حَتَّى يَعْلَمَ الْحَدَثَ الَّذِي تَطَهَّرَ مِنْهُ وَلَا يَقُولُ بِهَذَا أَحَدٌ نَعْلَمُهُ، وَلَوْ كَانَ الْوُضُوءُ يَحْتَاجُ إلَى النِّيَّةِ لِمَا يَتَوَضَّأُ لَهُ لَمَا جَازَ لِمَنْ يَتَوَضَّأُ لِقِرَاءَةِ مُصْحَفٍ أَوْ لِصَلَاةٍ عَلَى جِنَازَةِ أَوْ تَطَوُّعٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِ الْفَرْضَ فَلَمَّا صَلَّى بِهِ الْفَرْضَ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ لِلْفَرْضِ أَجْزَأَهُ أَنْ لَا يَنْوِيَ لِأَيِّ الْفُرُوضِ وَلَا لِأَيِّ الْأَحْدَاثِ تَوَضَّأَ وَلَا لِأَيِّ الْأَحْدَاثِ اغْتَسَلَ.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya seseorang lupa bahwa ia junub lalu bertayamum untuk hadats kecil, itu sudah mencukupinya. Karena jika ia ingat junub, tidak ada kewajiban lebih baginya selain tayamum.” (Al-Muzani berkata): “Menurutku, orang yang berhadats tidak wajib mengetahui jenis hadats apa yang menimpanya. Ia hanya wajib bersuci untuk hadats. Seandainya ia wajib mengetahui jenis hadatsnya—sebagaimana wajib mengetahui jenis shalat yang harus dilaksanakan—maka jika ia berwudhu karena angin (kentut), lalu tahu bahwa hadatsnya adalah kencing, atau seorang wanita mandi dengan niat haid padahal ia junub, atau niat haid padahal ia nifas, maka tidak sah bagi mereka sampai ia mengetahui hadats yang disucikannya. Tidak ada seorang pun yang kami ketahui berpendapat demikian. Seandainya wudhu memerlukan niat untuk tujuan tertentu, maka tidak boleh bagi orang yang berwudhu untuk membaca mushaf, shalat jenazah, atau shalat sunnah lalu menggunakannya untuk shalat fardhu. Namun ketika ia shalat fardhu tanpa berwudhu khusus untuk fardhu, itu sudah mencukupinya. Jadi, tidak perlu berniat untuk jenis kewajiban apa, hadats apa ia berwudhu, atau hadats apa ia mandi.”

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا وَجَدَ الْجُنُبُ الْمَاءَ بَعْدَ التَّيَمُّمِ اغْتَسَلَ وَإِذَا وَجَدَهُ الَّذِي لَيْسَ بِجُنُبٍ تَوَضَّأَ وَإِذَا تَيَمَّمَ فَفَرَغَ مِنْ تَيَمُّمِهِ بَعْدَ طَلَبِ الْمَاءِ، ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَعُودَ إلَى الْمَاءِ وَإِنْ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ، ثُمَّ رَأَى الْمَاءَ بَعْدَ دُخُولِهِ بَنَى عَلَى صَلَاتِهِ وَأَجْزَأَتْهُ الصَّلَاةُ (وَقَالَ الْمُزَنِيّ) : وُجُودُ الْمَاءِ عِنْدِي يَنْقُضُ طُهْرَ التَّيَمُّمِ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا سَوَاءٌ كَمَا أَنَّ مَا نَقَضَ الطُّهْرَ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا سَوَاءٌ، وَلَوْ كَانَ الَّذِي مَنَعَ نَقْضَ طُهْرِهِ الصَّلَاةَ لَمَا ضَرَّهُ الْحَدَثُ فِي الصَّلَاةِ وَقَدْ أَجْمَعُوا وَالشَّافِعِيُّ مَعَهُمْ أَنَّ رَجُلَيْنِ لَوْ تَوَضَّأَ أَحَدُهُمَا وَتَيَمَّمَ الْآخَرُ فِي سَفَرٍ لِعَدَمِ الْمَاءِ أَنَّهُمَا طَاهِرَانِ وَأَنَّهُمَا قَدْ أَدَّيَا فَرْضَ الطُّهْرِ، فَإِنْ أَحْدَثَ الْمُتَوَضِّئُ وَوَجَدَ الْمُتَيَمِّمُ الْمَاءَ أَنَّهُمَا فِي نَقْضِ الطُّهْرِ قَبْلَ الصَّلَاةِ سَوَاءٌ فَلِمَ لَا كَانَا فِي نَقْضِ الطُّهْرِ بَعْدَ الدُّخُولِ فِيهَا سَوَاءً؟ وَمَا الْفَرْقُ وَقَدْ قَالَ فِيهِ جَمَاعَةُ الْعُلَمَاءِ إنَّ عِدَّةَ مَنْ لَمْ تَحِضْ الشُّهُورُ، فَإِنْ اعْتَدَّتْ بِهَا إلَّا يَوْمًا، ثُمَّ حَاضَتْ أَنَّ الشُّهُورَ تَنْتَقِضُ لِوُجُودِ الْحَيْضِ فِي بَعْضِ الطُّهْرِ فَكَذَلِكَ التَّيَمُّمُ يَنْتَقِضُ وَإِنْ كَانَ فِي الصَّلَاةِ وُجُودُ الْمَاءِ كَمَا يَنْتَقِضُ طُهْرُ الْمُتَوَضِّئِ وَإِنْ كَانَ فِي الصَّلَاةِ إذَا كَانَ الْحَدَثُ وَهَذَا عِنْدِي بِقَوْلِهِ أَوْلَى.

 

 

(Dia berkata): “Jika orang yang junub menemukan air setelah bertayamum, maka ia wajib mandi. Jika orang yang tidak junub menemukannya, ia wajib berwudhu. Jika seseorang bertayamum setelah mencari air, lalu melihat air, maka ia harus kembali menggunakan air meskipun sudah masuk shalat. Jika ia melihat air setelah masuk shalat, maka ia boleh melanjutkan shalatnya dan shalatnya sah.” (Al-Muzani berkata): “Menurutku, adanya air membatalkan kesucian tayamum baik dalam shalat maupun di luar shalat, sebagaimana hal yang membatalkan kesucian berlaku sama baik dalam shalat maupun di luarnya. Seandainya shalat mencegah pembatalan kesucian, maka hadats dalam shalat tidak akan berpengaruh. Para ulama termasuk Syafi’i sepakat bahwa jika dua orang, satu berwudhu dan satu bertayamum karena tidak ada air dalam perjalanan, maka keduanya suci dan telah menunaikan kewajiban bersuci. Jika orang yang berwudhu berhadats dan orang yang bertayamum menemukan air, maka keduanya sama dalam hal membatalkan kesucian sebelum shalat. Lalu mengapa tidak sama setelah masuk shalat? Apa bedanya? Sebagian ulama berkata bahwa iddah wanita yang tidak haid adalah bulan-bulan. Jika ia beriddah kecuali satu hari lalu haid, maka bulan-bulan itu batal karena adanya haid dalam sebagian masa suci. Demikian pula tayamum batal meskipun dalam shalat jika ada air, sebagaimana wudhu batal meskipun dalam shalat jika terjadi hadats. Dan ini menurutku lebih utama dengan pendapatnya.”

 

 

(قَالَ) : وَلَا يَجْمَعُ بِالتَّيَمُّمِ صَلَاتَيْ فَرْضٍ بَلْ يُجَدِّدُ لِكُلِّ فَرِيضَةٍ طَلَبًا لِلْمَاءِ وَتَيَمُّمًا بَعْدَ الطَّلَبِ الْأَوَّلِ لِقَوْلِهِ جَلَّ وَعَزَّ {إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ} المائدة: 6 وَقَوْلِ ابْنِ عَبَّاسٍ: ” لَا تُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ إلَّا بِتَيَمُّمٍ “.

 

 

(Dia berkata): “Tidak boleh menggabungkan dua shalat fardhu dengan satu tayammum, melainkan harus memperbarui tayammum untuk setiap shalat fardhu dengan mencari air terlebih dahulu dan bertayammum setelah pencarian pertama, berdasarkan firman Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia: ‘Apabila kamu hendak mengerjakan shalat…’ (QS. Al-Maidah: 6) dan perkataan Ibnu Abbas: ‘Janganlah shalat wajib kecuali dengan tayammum.'”

 

(قَالَ) : وَيُصَلِّي بَعْدَ الْفَرِيضَةِ النَّوَافِلَ وَعَلَى الْجَنَائِزِ وَيَقْرَأُ فِي الْمُصْحَفِ وَيَسْجُدُ سُجُودَ الْقُرْآنِ وَإِنْ تَيَمَّمَ بِزِرْنِيخٍ أَوْ نَوْرَةٍ أَوْ ذُرَاوَةٍ وَنَحْوِهِ لَمْ يَجْزِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Dan dia melaksanakan shalat sunnah setelah shalat wajib, menshalati jenazah, membaca Al-Qur’an dari mushaf, serta melakukan sujud tilawah. Namun, jika dia bertayamum dengan menggunakan zat seperti zirnikh (arsenik), nuurah (kapur), dzuraawah (debu halus), atau semisalnya, maka tayamumnya tidak sah.”

 

بَابُ جَامِعِ التَّيَمُّمِ

 

Bab tentang Tayammum yang Menyeluruh

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَيْسَ لِلْمُسَافِرِ أَنْ يَتَيَمَّمَ إلَّا بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ وَإِعْوَازِ الْمَاءِ بَعْدَ طَلَبِهِ وَلِلْمُسَافِرِ أَنْ يَتَيَمَّمَ أَقَلَّ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ سَفَرٍ طَالَ، أَوْ قَصُرَ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِظَاهِرِ الْقُرْآنِ وَبِأَثَرِ ابْنِ عُمَرَ وَلَا يَتَيَمَّمُ مَرِيضٌ فِي شِتَاءٍ وَلَا صَيْفٍ إلَّا مَنْ بِهِ قُرْحٌ لَهُ غَوْرٌ أَوْ بِهِ ضَنًى مِنْ مَرَضٍ يَخَافُ إنْ يَمَسُّهُ الْمَاءُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ التَّلَفُ أَوْ يَكُونَ مِنْهُ الْمَرَضُ الْمَخُوفُ لَا لِشَيْنٍ وَلَا لِإِبْطَاءِ بُرْءٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang musafir tidak boleh bertayamum kecuali setelah masuk waktu shalat dan tidak adanya air setelah mencarinya. Seorang musafir boleh bertayamum untuk perjalanan sekecil apa pun, baik panjang atau pendek. Beliau berargumen dalam hal ini berdasarkan zahir Al-Qur’an dan atsar Ibnu Umar. Orang sakit tidak boleh bertayamum baik di musim dingin maupun panas, kecuali bagi yang memiliki luka dalam, atau menderita penyakit yang dikhawatirkan jika terkena air akan menyebabkan kebinasaan atau penyakit berbahaya, bukan karena alasan kotor atau memperlambat kesembuhan.

 

(قَالَ) : فِي الْقَدِيمِ: يَتَيَمَّمُ إذَا خَافَ إنْ مَسَّهُ الْمَاءُ شِدَّةَ الضَّنَى (قَالَ) : وَإِنْ كَانَ فِي بَعْضِ جَسَدِهِ دُونَ بَعْضٍ غَسَلَ مَا لَا ضَرَرَ عَلَيْهِ وَيَتَيَمَّمُ لَا يُجْزِئُهُ أَحَدُهُمَا دُونَ الْآخَرِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى قُرْحِهِ دَمٌ يَخَافُ إنْ غَسَلَهُ تَيَمَّمَ وَأَعَادَ إذَا قَدَرَ عَلَى غَسْلِ الدَّمِ وَإِذَا كَانَ فِي الْمِصْرِ فِي حَشٍّ أَوْ مَوْضِعٍ نَجَسٍ أَوْ مَرْبُوطًا عَلَى خَشَبَةٍ صَلَّى يُومِئُ وَيُعِيدُ إذَا قَدَرَ (قَالَ) : وَلَوْ أَلْصَقَ عَلَى مَوْضِعِ التَّيَمُّمِ لُصُوقًا نَزَعَ اللُّصُوقَ وَأَعَادَ وَلَا يَعْدُو بِالْجَبَائِرِ مَوْضِعِ الْكَسْرِ وَلَا يَضَعُهَا إلَّا عَلَى وُضُوءٍ كَالْخُفَّيْنِ، فَإِنْ خَافَ الْكَسِيرُ غَيْرُ مُتَوَضِّئِ التَّلَفَ إذَا أُلْقِيَتْ الْجَبَائِرُ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا: يَمْسَحُ عَلَيْهَا وَيُعِيدُ مَا صَلَّى إذَا قَدَرَ عَلَى الْوُضُوءِ، وَالْقَوْلُ الْآخَرُ: لَا يُعِيدُ، وَإِنْ صَحَّ حَدِيثُ «عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ انْكَسَرَ إحْدَى زَنْدَيْهِ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ يَمْسَحَ عَلَى الْجَبَائِرِ» قُلْت بِهِ وَهَذَا مِمَّا أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِيهِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) أَوْلَى قَوْلَيْهِ بِالْحَقِّ عِنْدِي أَنْ يُجْزِئَهُ وَلَا يُعِيدُ، وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا عَجَزَ عَنْهُ الْمُصَلِّي وَفِيمَا رُخِّصَ لَهُ فِي تَرْكِهِ مِنْ طُهْرٍ وَغَيْرِهِ وَقَدْ أَجْمَعَتْ الْعُلَمَاءُ وَالشَّافِعِيُّ مَعَهُمْ أَنْ لَا تُعِيدَ الْمُسْتَحَاضَةُ وَالْحَدَثُ فِي صَلَاتِهَا دَائِمٌ وَالنَّجَسُ قَائِمٌ وَلَا الْمَرِيضُ الْوَاجِدُ لِلْمَاءِ وَلَا الَّذِي مَعَهُ الْمَاءُ يَخَافُ الْعَطَشَ إذَا صَلَّيَا بِالتَّيَمُّمِ وَلَا الْعُرْيَانُ وَلَا الْمُسَافِرُ يُصَلِّي إلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ يُومِئُ إيمَاءً فَقَضَى ذَلِكَ مِنْ إجْمَاعِهِمْ عَلَى طَرْحِ مَا عَجَزَ عَنْهُ الْمُصَلِّي وَرَفْعِ الْإِعَادَةِ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ مَنْ كَانَ مَعَهُ مَاءٌ يُوَضِّئُهُ فِي سَفَرِهِ وَخَافَ الْعَطَشَ فَهُوَ كَمَنْ لَمْ يَجِدْ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَكَذَلِكَ مَنْ عَلَى قُرُوحِهِ دَمٌ يَخَافُ إنْ غَسَلَهَا كَمَنْ لَيْسَ بِهِ نَجَسٌ.

 

 

(Dia berkata): Dalam pendapat lama, seseorang boleh bertayamum jika khawatir air akan memperparah sakitnya. (Dia berkata): Jika ada bagian tubuh yang tidak bisa dibasuh, dia mencuci bagian yang tidak membahayakan dan bertayamum. Tidak sah jika hanya melakukan salah satunya. Jika ada darah pada lukanya dan dia khawatir membasuhnya, dia bertayamum dan mengulangi shalat ketika mampu membersihkan darah. Jika berada di kota dalam keadaan terikat di tempat najis atau terikat di kayu, dia shalat dengan isyarat dan mengulanginya ketika mampu. (Dia berkata): Jika ada sesuatu yang menempel di tempat tayamum, dia harus melepasnya dan mengulangi. Pembalut tidak boleh melebihi area patah dan hanya boleh dipakai setelah wudhu seperti khuf. Jika orang yang patah tulang (tanpa wudhu) khawatir celaka saat melepas pembalut, ada dua pendapat: Pertama, mengusap pembalut dan mengulangi shalat jika mampu berwudhu. Kedua, tidak perlu mengulang. Jika hadis Ali -radhiyallahu ‘anhu- sahih bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkannya mengusap pembalut saat patah tulang, aku memilih pendapat ini. Ini termasuk hal yang aku memohon petunjuk Allah. (Al-Muzani berkata): Menurutku, pendapat yang lebih benar adalah cukup baginya dan tidak perlu mengulang. Demikian juga segala yang tidak mampu dilakukan oleh orang shalat dan hal-hal yang diberi keringanan untuk ditinggalkan seperti bersuci dll. Ulama dan Asy-Syafi’i sepakat bahwa wanita mustahadhah, orang yang terus menerus hadats, orang yang najis tetap ada, orang sakit yang memiliki air, orang yang memiliki air tetapi khawatir kehausan jika shalat dengan tayamum, orang yang telanjang, dan musafir yang shalat tidak menghadap kiblat dengan isyarat tidak perlu mengulang shalat. Ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menggugurkan kewajiban yang tidak mampu dilakukan dan menghilangkan kewajiban mengulang. Asy-Syafi’i berkata, “Siapa yang memiliki air dalam perjalanan tetapi khawatir kehausan, statusnya seperti orang yang tidak menemukan air.” (Al-Muzani berkata): Demikian juga orang yang memiliki darah pada lukanya dan khawatir membasuhnya, statusnya seperti orang yang tidak terkena najis.

 

 

وَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَتَيَمَّمُ صَحِيحٌ فِي مِصْرٍ لِمَكْتُوبَةٍ وَلَا لِجِنَازَةٍ، وَلَوْ جَازَ مَا قَالَ غَيْرِي: ” يَتَيَمَّمُ ” لِلْجِنَازَةِ لِخَوْفِ الْفَوْتِ لَزِمَهُ ذَلِكَ لِفَوْتِ الْجُمُعَةِ وَالْمَكْتُوبَةِ فَإِذَا لَمْ يَجُزْ عِنْدَهُ لِفَوْتِ الْأَوْكَدِ كَانَ مِنْ أَنْ يَجُوزَ فِيمَا دُونَهُ أَبْعَدَ وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ لَا يُصَلِّي عَلَى جِنَازَةٍ إلَّا مُتَوَضِّئًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Orang yang sehat tidak boleh bertayamum di kota untuk shalat wajib atau jenazah. Seandainya pendapat orang lain yang membolehkan tayamum untuk jenazah karena khawatir luput diterima, maka hal itu juga harus berlaku untuk luputnya shalat Jumat dan shalat wajib. Jika menurutnya tidak boleh untuk hal yang lebih penting (shalat wajib), maka untuk hal yang kurang penting (shalat jenazah) tentu lebih tidak boleh lagi.” Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau tidak pernah menshalati jenazah kecuali dalam keadaan berwudhu.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ كَانَ مَعَهُ فِي السَّفَرِ مِنْ الْمَاءِ مَا لَا يَغْسِلُهُ لِلْجَنَابَةِ غَسَلَ أَيَّ بَدَنِهِ شَاءَ وَتَيَمَّمَ وَصَلَّى وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: يَتَيَمَّمُ وَلَا يَغْسِلُ مِنْ أَعْضَائِهِ شَيْئًا وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ؛ لِأَنَّ الْمَاءَ لَا يُطَهِّرُ بَدَنَهُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا هَذَا أَشْبَهُ بِالْحَقِّ عِنْدِي لِأَنَّ كُلَّ بَدَلٍ لِعَدَمٍ فَحُكْمُ مَا وَجَدَ مِنْ بَعْضِ الْمَعْدُومِ حُكْمُ الْعَدَمِ كَالْقَاتِلِ خَطَأً يَجِدُ بَعْضَ رَقَبَةٍ فَحُكْمُ الْبَعْضِ كَحُكْمِ الْعَدَمِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ إلَّا الْبَدَلُ وَلَوْ لَزِمَهُ غَسْلُ بَعْضِهِ لِوُجُودِ بَعْضِ الْمَاءِ وَكَمَالِ الْبَدَلِ لَزِمَهُ عِتْقُ بَعْضِ رَقَبَةٍ لِوُجُودِ الْبَعْضِ وَكَمَالِ الْبَدَلِ وَلَا يَقُولُ بِهَذَا أَحَدٌ نَعْلَمُهُ وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang dalam perjalanan memiliki air yang tidak cukup untuk mandi junub, ia boleh membasuh bagian tubuh mana saja yang ia kehendaki, lalu bertayamum dan shalat.” Dalam riwayat lain, beliau berkata: “Ia bertayamum dan tidak perlu membasuh bagian tubuhnya sama sekali.” Dalam pendapat lamanya, beliau menyatakan: “Karena air tersebut tidak cukup untuk menyucikan seluruh tubuhnya.” (Al-Muzani berkata): “Aku berpendapat bahwa pendapat ini lebih mendekati kebenaran menurutku. Sebab, segala pengganti atas ketiadaan, maka hukum sebagian yang ditemukan dari sesuatu yang tidak sempurna sama dengan hukum ketiadaan. Seperti orang yang membunuh tanpa sengaja lalu menemukan sebagian budak, maka hukum sebagian itu sama dengan ketiadaan, dan ia hanya wajib membayar pengganti. Jika ia diwajibkan membasuh sebagian tubuh karena adanya sebagian air sebagai pengganti yang sempurna, maka konsekuensinya ia juga harus membebaskan sebagian budak karena adanya sebagian dan kesempurnaan pengganti. Namun, tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian sepengetahuanku. Dalam hal ini terdapat dalil, dan hanya kepada Allah lah tempat memohon pertolongan.”

 

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ تَعْجِيلَ التَّيَمُّمِ لِاسْتِحْبَابِي تَعْجِيلَ الصَّلَاةِ وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ لَوْ أَخَّرَهُ إلَى آخِرِ الْوَقْتِ رَجَاءَ أَنْ يَجِدَ الْمَاءَ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا كَأَنَّ التَّعْجِيلَ بِقَوْلِهِ أَوْلَى لِأَنَّ السُّنَّةَ أَنْ يُصَلِّيَ مَا بَيْنَ أَوَّلِ الْوَقْتِ وَآخِرِهِ فَلَمَّا كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِهِ فِي أَدَاءِ الصَّلَاةِ بِالْوُضُوءِ فَالتَّيَمُّمُ مِثْلُهُ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku menyukai menyegerakan tayammum karena aku menganjurkan menyegerakan shalat.” Dalam kitab Al-Imla’, beliau berkata: “Jika seseorang menundanya hingga akhir waktu dengan harapan menemukan air, itu lebih aku sukai.” (Al-Muzani berkata): Aku berkata: “Tampaknya penyegeraan menurut pendapatnya lebih utama, karena sunnah adalah shalat di antara awal dan akhir waktu. Karena pahalanya lebih besar dalam menunaikan shalat dengan wudhu, maka tayammum pun demikian. Dan dengan Allah-lah taufik.”

 

 

(قَالَ) : فَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ، ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهُ كَانَ فِي رَحْلِهِ أَعَادَ وَإِنْ وَجَدَهُ بِثَمَنٍ فِي مَوْضِعِهِ وَهُوَ وَاجِدُ الثَّمَنِ غَيْرُ خَائِفٍ إنْ اشْتَرَاهُ الْجُوعَ فِي سَفَرِهِ فَلَيْسَ لَهُ التَّيَمُّمُ وَإِنْ أُعْطِيَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ الثَّمَنِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَنْ يَشْتَرِيَهُ وَيَتَيَمَّمُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika tidak menemukan air, kemudian mengetahui bahwa air ada di dalam barang bawaannya, maka ia harus mengulangi (wudhu). Jika ia menemukannya dengan harga di tempatnya dan ia memiliki harga tersebut tanpa khawatir jika membelinya akan menyebabkan kelaparan dalam perjalanannya, maka tidak boleh baginya bertayamum. Namun jika diberi dengan harga lebih mahal, tidak wajib baginya membelinya dan ia boleh bertayamum.”

 

 

وَلَوْ كَانَ مَعَ رَجُلٍ مَاءٌ فَأَجْنَبَ رَجُلٌ وَطَهُرَتْ امْرَأَةٌ مِنْ الْحَيْضِ وَمَاتَ رَجُلٌ وَلَمْ يَسَعْهُمْ الْمَاءُ كَانَ الْمَيِّتُ أَحَبَّهُمْ إلَى أَنْ يَجُودُوا بِالْمَاءِ عَلَيْهِ وَيَتَيَمَّمُ الْحَيَّانِ؛ لِأَنَّهُمَا قَدْ يَقْدِرَانِ عَلَى الْمَاءِ وَالْمَيِّتُ إذَا دُفِنَ لَمْ يُقْدَرْ عَلَى غُسْلِهِ، فَإِنْ كَانَ مَعَ الْمَيِّتِ مَاءٌ فَهُوَ أَحَقُّهُمْ بِهِ، فَإِنْ خَافُوا الْعَطَشَ شَرِبُوهُ وَيَمَّمُوهُ وَأَدَّوْا ثَمَنَهُ فِي مِيرَاثِهِ

 

 

Jika seseorang memiliki air, lalu seorang laki-laki junub, seorang wanita suci dari haid, dan seorang laki-laki meninggal, sementara air tidak mencukupi untuk mereka semua, maka mayit lebih berhak untuk diberi air (untuk dimandikan), sedangkan orang yang masih hidup bertayammum. Karena keduanya (yang hidup) masih mungkin mendapatkan air, sedangkan mayit jika sudah dikubur tidak mungkin dimandikan. Jika mayit memiliki air, maka dia lebih berhak atas air tersebut. Namun jika mereka khawatir kehausan, mereka boleh meminumnya, lalu bertayammum untuk mayit, dan membayar harganya dari harta warisnya.

 

بَابُ مَا يُفْسِدُ الْمَاءَ

 

Bab tentang hal-hal yang merusak air

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “وَإِذَا وَقَعَ فِي الْإِنَاءِ نُقْطَةُ خَمْرٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ دَمٍ أَوْ أَيُّ نَجَاسَةٍ كَانَتْ مِمَّا يُدْرِكُهُ الطَّرَفُ فَقَدْ فَسَدَ الْمَاءُ وَلَا تُجْزِئُ بِهِ الطَّهَارَةُ.”

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika dalam wadah terdapat setetes khamr, air kencing, darah, atau najis apa pun yang dapat terlihat oleh mata, maka air itu telah rusak dan tidak sah digunakan untuk bersuci.”

 

 

وَإِنْ تَوَضَّأَ رَجُلٌ، ثُمَّ جَمَعَ وُضُوءَهُ فِي إنَاءٍ نَظِيفٍ، ثُمَّ تَوَضَّأَ بِهِ أَوْ غَيْرُهُ لَمْ يَجْزِهِ؛ لِأَنَّهُ أَدَّى بِهِ الْوُضُوءَ الْفَرْضَ مَرَّةً وَلَيْسَ بِنَجَسٍ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَوَضَّأَ وَلَا شَكَّ أَنَّ مِنْ بَلَلِ الْوُضُوءِ مَا يُصِيبُ ثِيَابَهُ وَلَا نَعْلَمُهُ غَسَلَهُ وَلَا أَحَدًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَعَلَهُ وَلَا يَتَوَضَّأُ بِهِ لِأَنَّ عَلَى النَّاسِ تَعَبُّدًا فِي أَنْفُسِهِمْ بِالطَّهَارَةِ مِنْ غَيْرِ نَجَاسَةٍ وَلَيْسَ عَلَى ثَوْبٍ وَلَا أَرْضٍ تَعَبُّدٌ وَلَا أَنْ يُمَاسَّهُ مَاءٌ مِنْ غَيْرِهِ نَجَاسَةٌ.

 

 

Dan jika seseorang berwudhu, lalu mengumpulkan air bekas wudhunya dalam wadah yang bersih, kemudian dia atau orang lain berwudhu dengannya, itu tidak sah. Sebab air itu telah digunakan untuk menunaikan kewajiban wudhu sekali, dan air itu tidak najis. Karena Nabi ﷺ berwudhu, dan tidak diragukan bahwa ada percikan air wudhu yang mengenai pakaiannya, namun kami tidak mengetahui beliau atau seorang muslim pun yang mencucinya. Juga tidak boleh berwudhu dengannya, karena manusia diperintahkan untuk menyucikan diri sendiri meski tanpa najis. Namun, tidak ada kewajiban seperti itu pada pakaian atau tanah, dan air yang terkena sesuatu selain najis tidak menjadi najis.

 

 

وَإِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي الْإِنَاءِ فَقَدْ نَجُسَ الْمَاءُ وَعَلَيْهِ أَنْ يُهْرِيقَهُ وَيَغْسِلَ مِنْهُ الْإِنَاءَ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِتُرَابٍ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Dan jika anjing menjilat bejana, maka air itu telah najis dan wajib baginya untuk menumpahkannya serta mencuci bejana tersebut tujuh kali, yang pertama dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.

 

(قَالَ) : فَإِنْ كَانَ فِي بَحْرٍ لَا يَجِدُ فِيهِ تُرَابًا فَغَسَلَهُ بِمَا يَقُومُ مَقَامَ التُّرَابِ فِي التَّنْظِيفِ مِنْ أُشْنَانٍ أَوْ نُخَالَةٍ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ فَفِيهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يَطْهُرَ إلَّا بِأَنْ يُمَاسَّهُ التُّرَابُ وَالْآخَرُ يَطْهُرُ بِمَا يَكُونُ خَلَفًا مِنْ تُرَابٍ، أَوْ أَنْظَفَ مِنْهُ كَمَا وَصَفْت كَمَا نَقُولُ فِي الِاسْتِنْجَاءِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ الْخَزَفَ فِي الِاسْتِنْجَاءِ كَالْحِجَارَةِ لِأَنَّهَا تُنَقِّي إنْقَاءَهَا فَكَذَلِكَ يَلْزَمُهُ أَنْ يَجْعَلَ الْأُشْنَانَ كَالتُّرَابِ؛ لِأَنَّهُ يُنَقِّي إنْقَاءَهُ أَوْ أَكْثَرَ وَكَمَا جَعَلَ مَا عَمِلَ عَمَلَ الْقَرَظِ وَالشَّثِّ فِي الْإِهَابِ فِي مَعْنَى الْقَرَظِ وَالشَّثِّ فَكَذَلِكَ الْأُشْنَانُ فِي تَطْهِيرِ الْإِنَاءِ فِي مَعْنَى التُّرَابِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : الشَّثُّ شَجَرَةٌ تَكُونُ بِالْحِجَازِ (قَالَ) : وَيُغْسَلُ الْإِنَاءُ مِنْ النَّجَاسَةِ سِوَى ذَلِكَ ثَلَاثًا أَحَبُّ إلَيَّ، فَإِنْ غَسَلَهُ وَاحِدَةً تَأَنَّى عَلَيْهِ طَهُرَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang berada di laut dan tidak menemukan tanah, lalu membersihkannya dengan sesuatu yang dapat menggantikan fungsi tanah dalam pembersihan, seperti usynan (semacam tumbuhan pembersih), dedak, atau semisalnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, tidak suci kecuali jika disentuh oleh tanah. Kedua, suci dengan sesuatu yang dapat menggantikan tanah atau lebih bersih darinya, sebagaimana yang telah dijelaskan, seperti pendapat kami dalam istinja’.”

 

Al-Muzani berkata: “Aku berpendapat bahwa ini lebih dekat dengan pendapatnya, karena ia menjadikan gerabah dalam istinja’ seperti batu, sebab keduanya membersihkan dengan cara yang sama. Maka demikian pula seharusnya usynan dianggap seperti tanah dalam membersihkan bejana, karena ia membersihkan seperti tanah atau lebih. Sebagaimana ia menganggap sesuatu yang berfungsi seperti qarazh (tanaman penyamak) dan syats (sejenis pohon) dalam penyamakan kulit memiliki makna yang sama dengan qarazh dan syats, maka usynan dalam pensucian bejana juga memiliki makna seperti tanah.”

 

Al-Muzani berkata: “Syats adalah pohon yang tumbuh di Hijaz.”

 

Beliau berkata: “Bejana yang terkena najis selain itu sebaiknya dicuci tiga kali menurut pendapatku yang lebih aku sukai. Namun, jika dicuci sekali dengan sempurna, maka ia menjadi suci.”

 

 

وَمَا مَسَّ الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيرُ مِنْ الْمَاءِ مِنْ أَبْدَانِهِمَا نَجَّسَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِمَا قَذَرٌ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ الْخِنْزِيرَ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ الْكَلْبِ فَقَاسَهُ عَلَيْهِ وَقَاسَ مَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ النَّجَاسَاتِ عَلَى أَمْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ فِي دَمِ الْحَيْضَةِ يُصِيبُ الثَّوْبَ أَنْ تَحُتَّهُ، ثُمَّ تَقْرُصَهُ بِالْمَاءِ وَتُصَلِّيَ فِيهِ وَلَمْ يُوَقِّتْ فِي ذَلِكَ سَبْعًا وَاحْتَجَّ فِي جَوَازِ الْوُضُوءِ بِفَضْلِ مَا سِوَى الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ بِحَدِيثِ «رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ سُئِلَ أَنَتَوَضَّأُ بِمَا أَفْضَلَتْ الْحُمُرِ؟ قَالَ نَعَمْ وَبِمَا أَفْضَلَتْ السِّبَاعُ كُلُّهَا» وَبِحَدِيثِ أَبِي قَتَادَةَ فِي الْهِرَّةِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ» وَبِقَوْلِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – «إذَا سَقَطَ الذُّبَابُ فِي الْإِنَاءِ فَامْقُلُوهُ» فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْأَحْيَاءِ نَجَاسَةٌ إلَّا مَا ذَكَرْت مِنْ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ (قَالَ) : وَغَمْسُ الذُّبَابِ فِي الْإِنَاءِ لَيْسَ يَقْتُلُهُ وَالذُّبَابُ لَا يُؤْكَلُ، فَإِنْ مَاتَ ذُبَابٌ أَوْ خُنْفُسَاءُ أَوْ نَحْوُهُمَا فِي إنَاءٍ نَجَّسَهُ (وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ) إنْ وَقَعَ فِي الْمَاءِ الَّذِي يُنَجِّسُهُ مِثْلُهُ نَجَّسَهُ إذَا كَانَ مِمَّا لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِ الْعُلَمَاءِ وَقَوْلُهُ مَعَهُمْ أَوْلَى بِهِ مِنْ انْفِرَادِهِ عَنْهُمْ (قَالَ) : وَإِنْ وَقَعَتْ فِيهِ جَرَادَةٌ مَيِّتَةٌ أَوْ حُوتٌ لَمْ تُنَجِّسْهُ؛ لِأَنَّهُمَا مَأْكُولَانِ مَيِّتَيْنِ، (قَالَ) : وَلُعَابُ الدَّوَابِّ وَعِرْقُهَا قِيَاسًا عَلَى بَنِي آدَمَ (قَالَ) : وَأَيُّمَا إهَابِ مَيْتَةٍ دَبَغَ بِهِ الْعَرَبُ أَوْ نَحْوِهِ فَقَدْ طَهُرَ وَحَلَّ بَيْعُهُ وَتُوُضِّئَ فِيهِ إلَّا جِلْدَ كَلْبٍ أَوْ خِنْزِيرٍ؛ لِأَنَّهُمَا نَجِسَانِ وَهُمَا حَيَّانِ وَلَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ عَظْمٌ وَلَا صُوفٌ وَلَا شَعْرٌ؛ لِأَنَّهُ قَبْلَ الدِّبَاغِ وَبَعْدَهُ سَوَاءٌ.

 

 

Apa yang disentuh oleh anjing dan babi dari air pada tubuh keduanya, maka itu menajiskannya meskipun tidak ada kotoran pada keduanya. Dia berargumen bahwa babi lebih buruk keadaannya daripada anjing, lalu mengqiyaskannya padanya. Dan mengqiyaskan najis-najis selain itu pada perintah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Asma’ binti Abu Bakar tentang darah haid yang mengenai pakaian, yaitu untuk menggosoknya lalu mencucinya dengan air dan shalat dengannya, tanpa menentukan tujuh kali. Dia berargumen tentang bolehnya berwudhu dengan sisa air selain anjing dan babi dengan hadits Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- ketika ditanya, “Apakah kami boleh berwudhu dengan sisa minuman keledai?” Beliau menjawab, “Ya, dan dengan sisa minuman semua binatang buas.” Juga dengan hadits Abu Qatadah tentang kucing bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya ia tidak najis.” Dan dengan sabdanya -‘alaihish shalatu wassalam- “Jika lalat jatuh ke dalam bejana, maka celupkanlah.” Ini menunjukkan bahwa tidak ada najis pada makhluk hidup kecuali yang telah aku sebutkan yaitu anjing dan babi. (Dia berkata): Mencelupkan lalat ke dalam bejana tidak membunuhnya, dan lalat tidak dimakan. Jika lalat atau kumbang atau semisalnya mati dalam bejana, maka itu menajiskannya. (Dan dia berkata di tempat lain): Jika yang dapat menajiskan air jatuh ke dalamnya, maka itu menajiskannya jika termasuk yang memiliki darah yang mengalir. (Al-Muzani berkata): Ini lebih sesuai dengan pendapat ulama, dan pendapatnya bersama mereka lebih utama daripada menyendiri dari mereka. (Dia berkata): Jika belalang mati atau ikan mati jatuh ke dalamnya, itu tidak menajiskannya karena keduanya halal dimakan dalam keadaan mati. (Dia berkata): Air liur dan keringat hewan diqiyaskan pada manusia. (Dia berkata): Kulit bangkai apa pun yang disamak oleh orang Arab atau semisalnya, maka ia telah suci dan boleh diperjualbelikan serta boleh berwudhu dengannya, kecuali kulit anjing atau babi karena keduanya najis dan hidup, serta tidak suci dengan disamak tulang, wol, atau rambut karena sebelum dan setelah disamak sama saja.

 

بَابُ الْمَاءِ الَّذِي يَنْجُسُ وَاَلَّذِي لَا يَنْجُسُ

 

Bab tentang air yang najis dan yang tidak najis

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ كَثِيرٍ الْمَخْزُومِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبَّادِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا أَوْ قَالَ خَبَثًا» وَرَوَى الشَّافِعِيُّ أَنَّ ابْنِ جُرَيْجٍ رَوَاهُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِإِسْنَادٍ لَا يَحْضُرُ الشَّافِعِيَّ ذِكْرُهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «إذَا كَانَ الْمَاء قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ نَجَسًا» وَقَالَ فِي الْحَدِيثِ بِقِلَالِ هَجَرَ ” قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ وَقَدْ رَأَيْت قِلَالَ هَجَرَ فَالْقُلَّةُ تَسَعُ قِرْبَتَيْنِ أَوْ قِرْبَتَيْنِ وَشَيْئًا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ تَكُونَ الْقُلَّتَانِ خَمْسَ قِرَبٍ (قَالَ) : وَقِرَبُ الْحِجَازِ كِبَارٌ وَاحْتَجَّ بِأَنَّهُ «قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّك تَتَوَضَّأُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ وَهِيَ تُطْرَحُ فِيهَا الْمَحَايِضُ وَلُحُومُ الْكِلَابِ وَمَا يُنْجِي النَّاسُ فَقَالَ الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ» قَالَ وَمَعْنَى لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إذَا كَانَ كَثِيرًا لَمْ يُغَيِّرْهُ النَّجَسُ. وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «خُلِقَ الْمَاءُ طَهُورًا لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَيَّرَ رِيحَهُ أَوْ طَعْمَهُ» وَقَالَ فِيمَا رُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ نَزَحَ زَمْزَمَ مِنْ زِنْجِيٍّ مَاتَ فِيهَا إمَّا لَا نَعْرِفُهُ وَزَمْزَمُ عِنْدَنَا وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ ” أَرْبَعٌ لَا يَخْبُثْنَ ” فَذَكَرَ الْمَاءَ وَهُوَ لَا يُخَالِفُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَقَدْ يَكُونُ الدَّمُ ظَهَرَ فِيهَا فَنَزَحَهَا إنْ كَانَ فَعَلَ أَوْ تَنْظِيفًا لَا وَاجِبًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang terpercaya dari Al-Walid bin Katsir Al-Makhzumi dari Muhammad bin ‘Abbad bin Ja’far dari ‘Abdullah bin ‘Abdullah bin ‘Umar dari ayahnya dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda, “Jika air mencapai dua qullah, maka tidak mengandung najis” — atau beliau mengatakan, “kotoran.” Imam Syafi’i juga meriwayatkan bahwa Ibnu Juraij meriwayatkannya dari Nabi ﷺ dengan sanad yang tidak disebutkan oleh Imam Syafi’i, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika air mencapai dua qullah, maka tidak mengandung najis.” Dalam hadits tentang qilah (bejana besar) Hajr, Ibnu Juraij berkata, “Aku pernah melihat qilah Hajr, dan satu qullah dapat menampung dua qirbah (tempat air) atau dua qirbah lebih sedikit.” (Imam Syafi’i berkata): Sebagai kehati-hatian, dua qullah setara dengan lima qirbah. (Beliau juga berkata): Qirbah penduduk Hijaz berukuran besar. Beliau berargumen dengan hadits, “Wahai Rasulullah, engkau berwudhu dari sumur Budha’ah, padahal ke dalamnya dibuang kain haid, daging anjing, dan kotoran manusia.” Maka beliau menjawab, “Air tidak dinajiskan oleh sesuatu pun.” Beliau menjelaskan bahwa makna “tidak dinajiskan oleh sesuatu pun” adalah jika air itu banyak dan najis tidak mengubahnya. Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda, “Air diciptakan suci dan menyucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu pun kecuali yang mengubah bau atau rasanya.” Dalam riwayat dari Ibnu ‘Abbas disebutkan bahwa beliau pernah menguras air Zamzam karena ada seorang budak yang meninggal di dalamnya — kami tidak mengetahuinya — sedangkan Zamzam menurut kami (tetap suci). Diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau berkata, “Ada empat hal yang tidak menjadi kotor,” lalu menyebutkan air. Ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi ﷺ. Mungkin darah terlihat di dalamnya, lalu beliau mengurasnya sebagai bentuk pembersihan, bukan karena kewajiban.

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ خَمْسُ قِرَبٍ كِبَارٍ مِنْ قِرَبِ الْحِجَازِ فَوَقَعَ فِيهِ دَمٌ أَوْ أَيُّ نَجَاسَةٍ كَانَتْ فَلَمْ تُغَيِّرْ طَعْمَهُ وَلَا لَوْنَهُ وَلَا رِيحَهُ لَمْ يَنْجُسْ وَهُوَ بِحَالِهِ طَاهِرٌ؛ لِأَنَّ فِيهِ خَمْسُ قِرَبٍ فَصَاعِدًا وَهَذَا فَرْقُ مَا بَيْنَ الْكَثِيرِ الَّذِي لَا يُنَجِّسُهُ إلَّا مَا غَيَّرَهُ وَبَيْنَ الْقَلِيلِ الَّذِي يُنَجِّسُهُ مَا لَمْ يُغَيِّرْهُ، فَإِنْ وَقَعَتْ مَيْتَةٌ فِي بِئْرٍ فَغَيَّرَتْ طَعْمَهَا أَوْ رِيحَهَا أَوْ لَوْنَهَا أُخْرِجَتْ الْمَيْتَةُ وَنُزِحَتْ الْبِئْرُ حَتَّى يَذْهَبَ تَغَيُّرُهَا فَتَطْهُرَ بِذَلِكَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika air mencapai lima qirbah besar (tempat air dari Hijaz) lalu terkena darah atau najis apapun yang tidak mengubah rasanya, warnanya, atau baunya, maka air itu tidak menjadi najis dan tetap suci. Karena air tersebut mencapai lima qirbah atau lebih. Inilah perbedaan antara air banyak yang tidak menjadi najis kecuali jika berubah, dan air sedikit yang menjadi najis meski tidak berubah. Jika bangkai jatuh ke dalam sumur lalu mengubah rasa, bau, atau warnanya, maka bangkai itu harus dikeluarkan dan air sumur harus dikuras hingga perubahan itu hilang, sehingga sumur menjadi suci kembali.”

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ الْمَاءُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسِ قِرَبٍ فَخَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ لَيْسَتْ بِقَائِمَةٍ نَجَّسَتْهُ، فَإِنْ صُبَّ عَلَيْهِ مَاءٌ أَوْ صُبَّ عَلَى مَاءٍ آخَرَ حَتَّى يَكُونَ الْمَاءَانِ جَمِيعًا خَمْسَ قِرَبٍ فَصَاعِدًا فَطَهُرَا لَمْ يُنَجِّسْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ (قَالَ) : فَإِنْ فُرِّقَا بَعْدَ ذَلِكَ لَمْ يُنَجِّسَا بَعْدَ مَا طَهُرَا إلَّا بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِمَا وَإِنْ وَقَعَ فِي الْمَاءِ الْقَلِيلِ مَا لَا يَخْتَلِطُ بِهِ مِثْلُ الْعَنْبَرِ أَوْ الْعُودِ أَوْ الدُّهْنِ الطَّيِّبِ فَلَا بَأْسَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مَخُوضًا بِهِ وَإِذَا كَانَ مَعَهُ فِي السَّفَرِ إنَاءَانِ يَسْتَيْقِنُ أَنَّ أَحَدَهُمَا قَدْ نَجُسَ وَالْآخَرَ لَيْسَ بِنَجَسٍ تَأَخَّى وَأَرَاقَ النَّجِسَ عَلَى الْأَغْلَبِ عِنْدَهُ وَتَوَضَّأَ بِالطَّاهِرِ؛ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ تُمْكِنُ وَالْمَاءَ عَلَى أَصْلِهِ طَاهِرٌ

 

 

Beliau berkata: “Jika air kurang dari lima qirbah (kurang lebih 270 liter) lalu bercampur dengan najis yang tidak tetap (tidak melekat), maka air itu menjadi najis. Namun, jika dituangkan air ke dalamnya atau dituangkan ke air lain hingga kedua air tersebut mencapai lima qirbah atau lebih, maka keduanya menjadi suci dan tidak saling menajiskan.” Beliau berkata: “Jika keduanya dipisahkan setelah itu, maka keduanya tidak najis setelah disucikan kecuali jika terjadi najis baru di dalamnya. Jika yang jatuh ke dalam air sedikit adalah sesuatu yang tidak bercampur dengannya, seperti ambar, kayu gaharu, atau minyak wangi, maka tidak masalah karena tidak tercampur. Jika dalam perjalanan seseorang memiliki dua bejana, dan ia yakin salah satunya najis sedangkan yang lain tidak, maka ia boleh memilih (berdasarkan dugaan kuatnya) dan menuangkan yang najis, lalu berwudhu dengan yang suci, karena kesucian itu mungkin dan air pada dasarnya suci.”

 

بَابُ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ

Bab Mengusap Sepatu Kulit

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا الثَّقَفِيُّ يَعْنِي عَبْدَ الْوَهَّابِ عَنْ الْمُهَاجِرِ أَبِي مَخْلَدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَرْخَصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيِهِنَّ وَلِلْمُقِيمِ يَوْمًا وَلَيْلَةً إذَا تَطَهَّرَ وَلَبِسَ خُفَّيْهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِمَا» (قَالَ) : وَإِذَا تَطَهَّرَ الرَّجُلُ الْمُقِيمُ بِغُسْلٍ أَوْ وُضُوءٍ، ثُمَّ أَدْخَلَ رِجْلَيْهِ الْخُفَّيْنِ وَهُمَا طَاهِرَتَانِ، ثُمَّ أَحْدَثَ فَإِنَّهُ يَمْسَحُ عَلَيْهِمَا مِنْ وَقْتِ مَا أَحْدَثَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَذَلِكَ إلَى الْوَقْتِ الَّذِي أَحْدَثَ فِيهِ، فَإِنْ كَانَ مُسَافِرًا مَسَحَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهنَّ إلَى الْوَقْتِ الَّذِي أَحْدَثَ فِيهِ وَإِذَا جَاوَزَ الْوَقْتَ فَقَدْ الْقَطْعُ الْمَسْحُ، فَإِنْ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ وَصَلَّى بَعْدَ ذَهَابِ وَقْتِ الْمَسْحِ أَعَادَ غَسْلَ رِجْلَيْهِ وَالصَّلَاةَ، وَلَوْ مَسَحَ فِي الْحَضَرِ، ثُمَّ سَافَرَ أَتَمَّ مَسْحَ مُقِيمٍ، وَلَوْ مَسَحَ مُسَافِرًا، ثُمَّ أَقَامَ مَسَحَ مَسْحَ مُقِيمِ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ats-Tsaqafi, yaitu Abdul Wahhab, dari Al-Muhajir Abu Makhlad, dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, “Bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberikan keringanan bagi musafir selama tiga hari tiga malam, dan bagi mukim sehari semalam, jika ia telah bersuci dan memakai kedua khufnya, untuk mengusap keduanya.” (Dia berkata): Dan jika seorang mukim bersuci dengan mandi atau wudhu, kemudian memakai kedua khufnya dalam keadaan suci, lalu berhadats, maka ia boleh mengusap keduanya sejak waktu hadats tersebut selama sehari semalam hingga waktu ia berhadats lagi. Jika ia musafir, ia boleh mengusap selama tiga hari tiga malam hingga waktu ia berhadats lagi. Jika waktu tersebut telah berlalu, maka usapannya terputus. Jika ia berwudhu, mengusap, dan shalat setelah habis waktu mengusap, ia harus mengulangi membasuh kedua kakinya dan shalatnya. Jika ia mengusap dalam keadaan mukim kemudian bepergian, ia menyempurnakan masa mengusap sebagai mukim. Jika ia mengusap dalam keadaan musafir kemudian menetap, ia mengusap sesuai masa mengusap mukim.

 

 

وَإِذَا تَوَضَّأَ فَغَسَلَ إحْدَى رِجْلَيْهِ، ثُمَّ أَدْخَلَهَا الْخُفَّ، ثُمَّ غَسَلَ الْأُخْرَى، ثُمَّ أَدْخَلَهَا الْخُفَّ لَمْ يُجْزِئْهُ إذَا أَحْدَثَ أَنْ يَمْسَحَ حَتَّى يَكُونَ طَاهِرًا بِكَمَالِهِ قَبْلَ لِبَاسِهِ أَحَدَ خُفَّيْهِ، فَإِنْ نَزَعَ الْخُفَّ الْأَوَّلَ الْمَلْبُوسَ قَبْلَ تَمَامِ طَهَارَتِهِ، ثُمَّ لَبِسَهُ جَازَ لَهُ أَنْ يَمْسَحَ؛ لِأَنَّ لِبَاسَهُ مَعَ الَّذِي قَبْلَهُ بَعْدَ كَمَالِ الطَّهَارَةِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : كَيْفَمَا صَحَّ لَبِسَ خُفَّيْهِ عَلَى طُهْرٍ جَازَ لَهُ الْمَسْحُ عِنْدِي.

 

 

Dan apabila seseorang berwudhu lalu membasuh salah satu kakinya, kemudian memakai khuf (sepatu kulit), lalu membasuh kaki yang lain, kemudian memakai khuf, maka tidak sah baginya untuk mengusap (khuf) jika ia berhadats, kecuali jika ia dalam keadaan suci secara sempurna sebelum memakai salah satu khufnya. Jika ia melepas khuf pertama yang telah dipakai sebelum kesempurnaan bersucinya, lalu memakainya kembali, maka boleh baginya untuk mengusap (khuf), karena memakainya bersama yang sebelumnya terjadi setelah kesempurnaan bersuci. (Al-Muzani berkata): Menurutku, selama kedua khuf dipakai dalam keadaan suci, maka boleh baginya untuk mengusap.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ تَخَرَّقَ مِنْ مُقَدَّمِ الْخُفِّ شَيْءٌ بَانَ مِنْهُ بَعْضُ الرِّجْلِ وَإِنْ قَلَّ لَمْ يُجْزِهِ أَنْ يَمْسَحَ عَلَى خُفٍّ غَيْرِ سَاتِرٍ لِجَمِيعِ الْقَدَمِ وَإِنْ كَانَ خَرْقُهُ مِنْ فَوْقِ الْكَعْبَيْنِ لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ وَلَا يَمْسَحُ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ إلَّا أَنْ يَكُونَ الْجَوْرَبَانِ مُجَلِّدِي الْقَدَمَيْنِ إلَى الْكَعْبَيْنِ حَتَّى يَقُومَا مَقَامَ الْخُفَّيْنِ وَمَا لَبِسَ مِنْ خُفِّ خَشَبٍ، أَوْ مَا قَامَ مَقَامَهُ أَجْزَأَهُ أَنْ يَمْسَحَ عَلَيْهِ وَلَا يَمْسَحُ عَلَى جُرْمُوقَيْنِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ يَمْسَحُ عَلَيْهِمَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا وَلَا أَعْلَمُ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا وَقَوْلُهُ مَعَهُمْ أَوْلَى بِهِ مِنْ انْفِرَادِهِ عَنْهُمْ وَزَعَمَ إنَّمَا أُرِيدَ بِالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ الْمِرْفَقُ فَكَذَلِكَ الْجُرْمُوقَانِ مِرْفَقٌ وَهُوَ بِالْخُفِّ شَبِيهٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika bagian depan khuf robek sehingga terlihat sebagian kaki, meski sedikit, tidak boleh mengusap khuf yang tidak menutupi seluruh kaki. Jika robekan berada di atas mata kaki, hal itu tidak mengapa. Tidak boleh mengusap kaos kaki kecuali jika kaos kaki tersebut menutupi kedua kaki hingga mata kaki sehingga kedudukannya seperti khuf. Apa yang dipakai berupa khuf kayu atau yang semisalnya, boleh mengusapnya. Tidak boleh mengusap jurmuqain (sejenis alas kaki). Dalam qaul qadim, beliau berpendapat boleh mengusapnya. (Al-Muzani berkata): Aku berkata, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Pendapat beliau yang sejalan dengan mereka lebih utama daripada pendapatnya yang menyendiri. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan mengusap khuf adalah mihfaq (alas kaki yang menutupi), begitu pula jurmuqain adalah mihfaq dan serupa dengan khuf.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَإِنْ نَزَعَ خُفَّيْهِ بَعْدَ مَسْحِهِمَا غَسَلَ قَدَمَيْهِ وَفِي الْقَدِيمِ وَكِتَابِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى يَتَوَضَّأُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا وَاَلَّذِي قَبْلَ هَذَا أَوْلَى؛ لِأَنَّ غَسْلَ الْأَعْضَاءِ لَا يُنْتَقَضُ فِي السُّنَّةِ إلَّا بِالْحَدَثِ وَإِنَّمَا اُنْتُقِضَ طُهْرُ الْقَدَمَيْنِ؛ لِأَنَّ الْمَسْحَ عَلَيْهِمَا كَانَ لِعَدَمِ ظُهُورِهِمَا كَمَسْحِ التَّيَمُّمِ لِعَدَمِ الْمَاءِ فَلَمَّا كَانَ وُجُودُ الْمَعْدُومِ مِنْ الْمَاءِ بَعْدَ الْمَسْحِ يُبْطِلُ الْمَسْحَ وَيُوجِبُ الْغُسْلَ كَانَ كَذَلِكَ ظُهُورُ الْقَدَمَيْنِ بَعْدَ الْمَسْحِ يُبْطِلُ الْمَسْحَ وَيُوجِبُ الْغُسْلَ وَسَائِرُ الْأَعْضَاءِ سِوَى الْقَدَمَيْنِ مَغْسُولٌ وَلَا غَسْلَ عَلَيْهَا ثَانِيَةً إلَّا بِحَدَثٍ ثَانٍ. .

 

(Dia berkata): “Jika dia melepas kedua khufnya setelah mengusap keduanya, maka dia harus mencuci kedua kakinya. Dalam pendapat lama dan kitab Ibnu Abi Laila, dia harus berwudhu.” (Al-Muzani berkata): “Aku berkata, pendapat yang sebelumnya lebih utama. Karena membasuh anggota badan tidak batal dalam sunnah kecuali dengan hadats. Kekhususan kesucian kedua kaki batal karena mengusap keduanya disebabkan ketidaktersediaan (saat memakai khuf), seperti tayammum karena ketiadaan air. Ketika air yang sebelumnya tidak ada muncul setelah mengusap, maka itu membatalkan usap dan mewajibkan mandi. Demikian pula, munculnya kedua kaki setelah diusap membatalkan usap dan mewajibkan cuci. Sedangkan anggota selain kedua kaki sudah dibasuh dan tidak perlu dibasuh lagi kecuali dengan hadats baru.”

بَابُ كَيْفَ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ

 

Bab tentang cara mengusap kedua khuf

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Yahya dari Tsaur bin Yazid dari Raja’ bin Haiwah dari penulis Al-Mughirah dari Al-Mughirah bin Syu’bah, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas dan bawah khuf.” Dan dia berhujjah dengan atsar Ibnu Umar bahwa dia mengusap bagian atas dan bawah khuf.

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَغْمِسَ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ، ثُمَّ يَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى تَحْتَ عَقِبِ الْخُفِّ وَكَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ، ثُمَّ يُمِرُّ الْيُمْنَى إلَى سَاقِهِ وَالْيُسْرَى إلَى أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Dan aku suka jika dia mencelupkan kedua tangannya ke dalam air, kemudian meletakkan telapak tangan kirinya di bawah tumit khuf (sepatu kulit) dan telapak tangan kanannya di atas ujung jari-jarinya, lalu menggerakkan tangan kanannya ke betisnya dan tangan kirinya ke ujung jari-jarinya.”

 

 

(قَالَ) : فَإِنْ مَسَحَ عَلَى بَاطِنِ الْخُفِّ وَتَرَكَ الظَّاهِرَ أَعَادَ وَإِنْ مَسَحَ عَلَى الظَّاهِرِ وَتَرَكَ الْبَاطِنَ أَجْزَأَهُ وَكَيْفَمَا أَتَى بِالْمَسْحِ عَلَى ظَهْرِ الْقَدَمِ بِكُلِّ الْيَدِ أَوْ بِبَعْضِهِ أَجْزَأَهُ

 

 

(Dia berkata): “Jika seseorang mengusap bagian dalam khuf dan meninggalkan bagian luarnya, maka ia harus mengulanginya. Namun jika ia mengusap bagian luar dan meninggalkan bagian dalam, itu sudah mencukupi. Bagaimanapun caranya ia mengusap punggung kaki, baik dengan seluruh tangan atau sebagiannya, itu sudah mencukupi.”

 

بَابُ الْغُسْلِ لِلْجُمُعَةِ وَالْأَعْيَادِ

 

Bab tentang mandi untuk hari Jumat dan hari raya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالِاخْتِيَارُ فِي السُّنَّةِ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ صَلَاةَ الْجُمُعَةِ الِاغْتِسَالُ لَهَا؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «الْغُسْلُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ» يُرِيدُ وُجُوبَ الِاخْتِيَارِ لِأَنَّهُ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ تَوَضَّأَ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ» وَقَالَ عُمَرُ لِعُثْمَانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – حِينَ رَاحَ وَالْوُضُوءُ أَيْضًا؟ وَقَدْ عَلِمْت أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَأْمُرُ بِالْغُسْلِ، وَلَوْ عَلِمَا وُجُوبَهُ لَرَجَعَ عُثْمَانُ وَمَا تَرَكَهُ عُمَرُ (قَالَ) : وَيَجْزِيهِ غُسْلُهُ لَهَا إذَا كَانَ بَعْدَ الْفَجْرِ وَإِنْ كَانَ جُنُبًا فَاغْتَسَلَ لَهُمَا جَمِيعًا أَجْزَأَهُ (قَالَ) : وَأَحَبُّ الْغُسْلِ مِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ (قَالَ) : وَكَذَلِكَ الْغُسْلُ لِلْأَعْيَادِ سُنَّةٌ اخْتِيَارًا وَإِنْ تَرَكَ الْغُسْلَ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ أَجْزَأَتْهُ الصَّلَاةُ وَإِنْ نَوَى الْغُسْلَ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ لَمْ يَجْزِهِ مِنْ الْجَنَابَةِ حَتَّى يَنْوِيَ الْجَنَابَةَ وَأَوْلَى الْغُسْلِ أَنْ يَجِبَ عِنْدِي بَعْدَ غُسْلِ الْجَنَابَةِ الْغُسْلُ مِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ وَالْوُضُوءُ مِنْ مَسِّهِ مُفْضِيًا إلَيْهِ، وَلَوْ ثَبَتَ الْحَدِيثُ بِذَلِكَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قُلْت بِهِ ثُمَّ غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَلَا نُرَخِّصُ فِي تَرْكِهِ وَلَا نُوجِبُهُ إيجَابًا لَا يُجْزِئُ غَيْرُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Pilihan dalam sunnah bagi setiap orang yang hendak melaksanakan shalat Jumat adalah mandi untuknya, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Mandi itu wajib bagi setiap orang yang bermimpi (baligh).” Maksudnya adalah wajibnya pilihan, karena beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa berwudhu maka itu sudah cukup dan baik, dan barangsiapa mandi maka mandi itu lebih utama.” Umar berkata kepada Utsman -radhiyallahu ‘anhuma- saat berangkat (ke Jumat): “Dengan wudhu juga?” Padahal engkau tahu bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk mandi. Seandainya mereka mengetahui kewajibannya, pasti Utsman akan kembali dan Umar tidak akan meninggalkannya. (Imam Syafi’i berkata): Cukup baginya mandi untuk Jumat jika dilakukan setelah fajar. Jika dalam keadaan junub lalu mandi untuk keduanya (junub dan Jumat), maka itu mencukupinya. (Ia berkata): Mandi yang paling utama setelah mandi junub adalah mandi untuk memandikan mayit. (Ia berkata): Demikian pula mandi untuk hari raya adalah sunnah secara pilihan. Jika seseorang tidak mandi untuk Jumat atau hari raya, shalatnya tetap sah. Jika berniat mandi untuk Jumat atau hari raya, itu tidak mencukupinya dari janabah sampai ia berniat untuk janabah. Menurutku, mandi yang paling utama setelah mandi junub adalah mandi untuk memandikan mayit dan wudhu karena menyentuhnya dengan langsung. Seandainya hadits tentang itu shahih dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, niscaya aku akan berpendapat dengannya. Kemudian mandi Jumat, kami tidak memberikan keringanan untuk meninggalkannya namun juga tidak mewajibkannya dengan kewajiban yang tidak bisa digantikan dengan selainnya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : إذَا لَمْ يَثْبُتْ فَقَدْ ثَبَتَ تَأْكِيدُ غُسْلِ الْجُمُعَةِ فَهُوَ أَوْلَى وَأَجْمَعُوا إنْ مَسَّ خِنْزِيرًا أَوْ مَسَّ مَيْتَةً أَنَّهُ لَا غُسْلَ وَلَا وُضُوءَ عَلَيْهِ إلَّا غَسْلَ مَا أَصَابَهُ فَكَيْفَ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ فِي أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ؟ ،.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika tidak tetap (hukumnya), maka telah tetap penegasan mandi Jumat, dan itu lebih utama. Mereka sepakat jika menyentuh babi atau menyentuh bangkai bahwa tidak ada mandi atau wudu baginya kecuali mencuci bagian yang terkena. Lalu bagaimana mungkin hal itu diwajibkan terhadap saudaranya yang mukmin?

 

بَابُ حَيْضِ الْمَرْأَةِ وَطُهْرِهَا وَاسْتِحَاضَتِهَا

 

Bab tentang haid, suci, dan istihadhah seorang wanita

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata:

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: {فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ} البقرة: 222

“Jauhilah wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.” (QS. Al-Baqarah: 222)

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Imam Syafi’i berkata:

Dari haid {فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ} البقرة: 222

“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 222)

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Imam Syafi’i berkata:

“Mereka suci dengan air.”

 

(قَالَ) : Dia (Imam Syafi’i) berkata:

“Jika seorang wanita terus mengeluarkan darah, maka perhatikanlah:

– Jika darahnya kental, mengalir deras, cenderung hitam, dan berbau, maka itu adalah haid. Hendaknya ia meninggalkan shalat.

– Jika darah tersebut hilang dan digantikan darah merah tipis yang cerah, maka itu adalah darah penyakit (istihadhah), bukan haid. Itu adalah masa suci. Ia wajib mandi seperti yang telah dijelaskan, lalu shalat, dan suaminya boleh menggaulinya.

– Tidak boleh baginya berpatokan pada tiga hari, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Jika masa haidnya telah selesai, mandilah dan shalatlah.’

– Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak akan mengatakan ‘jika masa haidnya telah selesai’ kecuali ia mengetahuinya.”

 

(قَالَ) : Dia (Imam Syafi’i) berkata:

“Jika darahnya tidak terpisah seperti yang telah dijelaskan, sehingga sulit dikenali, maka perhatikan kebiasaan haidnya sebelumnya. Ia meninggalkan shalat pada waktu yang biasa ia haid, berdasarkan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:

‘Hendaknya ia memperhatikan jumlah hari dan malam yang biasa ia haid sebelum tertimpa kondisi ini, lalu meninggalkan shalat. Jika melebihi itu, mandilah, lalu pakai pembalut, kemudian shalat.'”

 

(قَالَ) : Dia (Imam Syafi’i) berkata:

“Keluarnya cairan kuning atau keruh di masa haid termasuk haid. Jika sudah berhenti, ia mandi dan shalat.

Jika darah baru muncul tanpa kebiasaan sebelumnya, ia menahan shalat. Jika melebihi 15 hari, ia yakin itu istihadhah. Jika bingung membedakan haid dan istihadhah, tidak boleh meninggalkan shalat kecuali pada masa minimal haid wanita (1 hari 1 malam). Ia wajib mandi dan mengqadha shalat selama 14 hari.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Imam Syafi’i berkata:

“Masa haid paling lama 15 hari, sedangkan nifas paling lama 60 hari.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Imam Syafi’i berkata:

“Orang yang terkena mazi (keluar cairan mani sedikit) yang tidak terputus seperti wanita mustahadhah, ia berwudhu setiap shalat fardhu setelah mencuci kemaluannya dan membalutnya.”

 

كِتَاب الصَّلَاة

 

بَابُ وَقْتِ الصَّلَاةِ وَالْأَذَانِ وَالْعُذْرِ فِيهِ

 

Bab Waktu Shalat, Azan, dan Uzur di Dalamnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْوَقْتُ لِلصَّلَاةِ وَقْتَانِ وَقْتُ مَقَامٍ وَرَفَاهِيَةٍ وَوَقْتُ عُذْرٍ وَضَرُورَةٍ فَإِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فَهُوَ أَوَّلُ وَقْتِ الظُّهْرِ وَالْأَذَانِ، ثُمَّ لَا يَزَالُ وَقْتُ الظُّهْرِ قَائِمًا حَتَّى يَصِيرَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ فَإِذَا جَاوَزَ ذَلِكَ بِأَقَلِّ زِيَادَةٍ فَقَدْ دَخَلَ وَقْتُ الْعَصْرِ وَالْأَذَانِ، ثُمَّ لَا يَزَالُ وَقْتُ الْعَصْرِ قَائِمًا حَتَّى يَصِيرَ ظِلُّ كُلٍّ مِثْلَيْهِ فَمَنْ جَاوَزَهُ فَقَدْ فَاتَهُ وَقْتُ الِاخْتِيَارِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ أَقُولَ فَاتَتْ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ» فَإِذَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَهُوَ وَقْتُ الْمَغْرِبِ وَالْأَذَانِ وَلَا وَقْتَ لِلْمَغْرِبِ إلَّا وَقْتٌ وَاحِدٌ فَإِذَا غَابَ الشَّفَقُ الْأَحْمَرُ فَهُوَ أَوَّلُ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَالْأَذَانِ، ثُمَّ لَا يَزَالُ وَقْتُ الْعِشَاءِ قَائِمًا حَتَّى يَذْهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ وَلَا أَذَانَ إلَّا بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِ الصَّلَاةِ خَلَا الصُّبْحَ فَإِنَّهَا يُؤَذِّنُ قَبْلَهَا بِلَيْلٍ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِقِيَاسٍ وَلَكِنْ اتَّبَعْنَا فِيهِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِقَوْلِهِ «إنَّ بِلَالًا يُنَادِي بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ» ، ثُمَّ لَا يَزَالُ وَقْتُ الصُّبْحِ قَائِمًا بَعْدَ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَسْفِرْ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ رَكْعَةً مِنْهَا فَقَدْ خَرَجَ وَقْتُهَا فَاعْتَمِدْ فِي ذَلِكَ عَلَى إمَامَةِ جِبْرِيلَ بِالنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلِمَا رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي ذَلِكَ (قَالَ) : وَالْوَقْتُ الْآخِرُ هُوَ وَقْتُ الْعُذْرِ وَالضَّرُورَةِ فَإِذَا أُغْمِيَ عَلَى رَجُلٍ فَأَفَاقَ وَطَهُرَتْ امْرَأَةٌ مِنْ حَيْضٍ أَوْ نِفَاسٍ وَأَسْلَمَ نَصْرَانِيٌّ وَبَلَغَ صَبِيٌّ قَبْلَ مَغِيبِ الشَّمْسِ بِرَكْعَةٍ أَعَادُوا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ، وَكَذَلِكَ قَبْلَ الْفَجْرِ بِرَكْعَةٍ أَعَادُوا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ، وَكَذَلِكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بِرَكْعَةٍ أَعَادُوا الصُّبْحَ وَذَلِكَ وَقْتُ إدْرَاكِ الصَّلَوَاتِ فِي الْعُذْرِ وَالضَّرُورَاتِ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ» «وَأَنَّهُ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي وَقْتِ الظُّهْرِ بِعَرَفَةَ وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِي وَقْتِ الْعِشَاءِ بِمُزْدَلِفَةَ» فَدَلَّ عَلَى أَنَّ وَقْتَهُمَا لِلضَّرُورَاتِ وَاحِدٌ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ إنْ أَدْرَكَ الْإِحْرَامَ فِي وَقْتِ الْآخِرَةِ صَلَّاهُمَا جَمِيعًا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بِشَيْءٍ وَزَعَمَ الشَّافِعِيُّ أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً بِسَجْدَتَيْنِ أَتَمَّهَا جُمُعَةً وَمَنْ أَدْرَكَ مِنْهَا سَجْدَةً أَتَمَّهَا ظُهْرًا لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصَّلَاةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ» وَمَعْنَى قَوْلِهِ عِنْدِي إنْ لَمْ تَفُتْهُ وَإِذَا لَمْ تَفُتْهُ صَلَّاهَا جُمُعَةً وَالرَّكْعَةُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ بِسَجْدَتَيْنِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت: وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – «مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصَّلَاةِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ» لَا يَكُونُ مُدْرِكًا لَهَا إلَّا بِكَمَالِ سَجْدَتَيْنِ فَكَيْفَ يَكُونُ مُدْرِكًا لَهَا وَالظُّهْرُ مَعَهَا بِإِحْرَامٍ قَبْلَ الْمَغِيبِ فَأَحَدُ قَوْلَيْهِ يَقْضِي عَلَى الْآخَرِ

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Waktu shalat ada dua: waktu utama (mukhayyar) dan waktu darurat (dharuri). Ketika matahari tergelincir, itulah awal waktu Zhuhur dan adzan. Waktu Zhuhur tetap berlangsung hingga bayangan setiap benda sama panjangnya dengan bendanya. Jika bayangan melebihi itu sedikit saja, maka masuklah waktu Ashar dan adzan. Waktu Ashar terus berlangsung hingga bayangan menjadi dua kali panjang benda. Barangsiapa melewati waktu ini, maka ia telah kehilangan waktu pilihan (ikhtiyar), namun tidak boleh dikatakan shalatnya telah terlewat, karena Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan Ashar.”

 

Ketika matahari terbenam, itulah waktu Maghrib dan adzan. Waktu Maghrib hanya satu. Ketika syafaq merah (mega merah) hilang, itulah awal waktu Isya dan adzan. Waktu Isya terus berlangsung hingga sepertiga malam. Adzan hanya dilakukan setelah masuk waktu shalat, kecuali Subuh yang diadzan sebelum waktunya di malam hari. Ini bukan qiyas, tetapi mengikuti Nabi SAW berdasarkan sabdanya: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.”

 

Waktu Subuh terus berlangsung setelah fajar selama belum terang. Jika matahari terbit sebelum seseorang shalat satu rakaat Subuh, maka waktu Subuh telah habis. Hal ini berdasarkan imamnya Jibril kepada Nabi SAW dan hadis-hadis yang diriwayatkan darinya.

 

(Imam Syafi’i berkata): Waktu akhir adalah waktu uzur dan darurat. Jika seseorang pingsan lalu sadar, wanita suci dari haid atau nifas, seorang Nasrani masuk Islam, atau anak mencapai baligh sebelum matahari terbenam dengan mendapatkan satu rakaat, maka mereka mengulang Zhuhur dan Ashar. Demikian pula sebelum fajar dengan satu rakaat, mereka mengulang Maghrib dan Isya. Sebelum matahari terbit dengan satu rakaat, mereka mengulang Subuh. Ini adalah waktu mendapatkan shalat dalam keadaan uzur dan darurat. Beliau berargumen dengan sabda Nabi SAW: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan Ashar. Dan barangsiapa mendapatkan satu rakaat Subuh sebelum matahari terbit, maka ia telah mendapatkan Subuh.” Juga karena Nabi SAW menggabungkan Zhuhur dan Ashar di waktu Zhuhur di Arafah, serta Maghrib dan Isya di waktu Isya di Muzdalifah, menunjukkan bahwa waktu keduanya dalam keadaan darurat adalah satu.

 

Imam Syafi’i juga berkata: Jika seseorang mendapatkan takbiratul ihram di waktu akhir, maka ia shalat keduanya sekaligus. (Al-Muzani berkata): Menurutku ini tidak benar. Imam Syafi’i berpendapat bahwa barangsiapa mendapatkan satu rakaat Jumat dengan dua sujud, maka ia menyempurnakannya sebagai Jumat. Barangsiapa mendapatkan satu sujud, maka ia menyempurnakannya sebagai Zhuhur, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia telah mendapatkan shalat.” Menurutku maksudnya adalah jika belum terlewat. Jika belum terlewat, ia shalat sebagai Jumat. Menurut Imam Syafi’i, satu rakaat adalah dengan dua sujud.

 

(Al-Muzani berkata): Aku katakan: Demikian pula sabdanya SAW: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat sebelum matahari terbenam, maka ia telah mendapatkan Ashar.” Ia tidak dianggap mendapatkan shalat kecuali dengan sempurnanya dua sujud. Bagaimana mungkin ia mendapatkan Ashar sedangkan Zhuhur masih bersamanya dengan takbiratul ihram sebelum terbenam? Salah satu dari dua pendapatnya bertentangan dengan yang lain.

بَابُ صفة الْأَذَان

 

Bab tentang tata cara azan

وَمَا يُقَامُ لَهُ مِنْ الصَّلَوَاتِ وَلَا يُؤَذَّنُ.

 

Dan tidak didirikan shalat untuknya serta tidak dikumandangkan azan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أُحِبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَكُونَ فِي أَذَانِهِ وَإِقَامَتِهِ إلَّا مُسْتَقْبِلًا الْقِبْلَةَ لَا تَزُولُ قَدَمَاهُ وَلَا وَجْهُهُ عَنْهَا وَيَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَمُدُّ صَوْتَهُ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَّمَ أَبَا مَحْذُورَةَ هَذَا الْأَذَانَ (قَالَ) : وَيَلْتَوِي فِي: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ يَمِينًا وَشِمَالًا لِيُسْمِعَ النَّوَاحِيَ وَحَسَنٌ أَنْ يَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَيَكُونُ عَلَى طُهْرٍ، فَإِنْ أَذَّنَ جُنُبًا كَرِهْته وَأَجْزَأَهُ وَأُحِبُّ رَفْعَ الصَّوْتِ لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِهِ وَأَنْ لَا يَتَكَلَّمَ فِي أَذَانِهِ فَإِنْ تَكَلَّمَ لَمْ يُعِدْ وَمَا فَاتَ وَقْتُهُ أَقَامَ وَلَمْ يُؤَذِّنْ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حُبِسَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ بِهَوًى مِنْ اللَّيْلِ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَقَامَ لِكُلِّ صَلَاةٍ وَلَمْ يُؤَذِّنْ وَجَمَعَ بِعَرَفَةَ بِأَذَانٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَبِمُزْدَلِفَةَ بِإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُؤَذَّنْ فَدَلَّ أَنَّ مَنْ جَمَعَ فِي وَقْتِ الْأُولَى مِنْهُمَا فَبِأَذَانٍ وَفِي الْآخِرَةِ فَبِإِقَامَةٍ وَغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا أُحِبُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ فِي جَمَاعَةٍ وَلَا وَحْدَهُ إلَّا بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْهُ أَجْزَأَهُ وَأُحِبُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُقِيمَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ أَجْزَأَهَا وَمَنْ سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ أَحْبَبْت أَنْ يَقُولَ مِثْلَ مَا يَقُولُ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَلَاةٍ فَإِذَا فَرَغَ قَالَهُ وَتَرْكُ الْأَذَانِ فِي السَّفَرِ وَأَخَفُّ مِنْهُ فِي الْحَضَرِ، وَالْإِقَامَةُ فُرَادَى إلَّا أَنَّهُ يَقُولُ قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ مَرَّتَيْنِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku tidak suka seseorang dalam adzan dan iqamahnya kecuali menghadap kiblat, tidak bergeser kedua kakinya maupun wajahnya darinya. Dan mengucapkan: ‘Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Asyhadu an la ilaha illallah Asyhadu an la ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.’ Kemudian ia memalingkan (kepalanya) dan mengeraskan suaranya seraya mengucapkan: ‘Asyhadu an la ilaha illallah Asyhadu an la ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Hayya ‘alash shalah Hayya ‘alash shalah, Hayya ‘alal falah Hayya ‘alal falah, Allahu Akbar Allahu Akbar, La ilaha illallah.’ Ia berhujjah bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengajari Abu Mahdzurah adzan ini. (Ia berkata): ‘Dan memalingkan (kepala) ke kanan dan kiri saat mengucapkan ‘Hayya ‘alash shalah Hayya ‘alal falah’ agar suaranya terdengar ke segala penjuru. Dan baik meletakkan dua jarinya di telinga serta dalam keadaan suci. Jika beradzan dalam keadaan junub, aku tidak menyukainya namun sah, dan aku suka mengeraskan suara karena perintah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang hal itu, serta tidak berbicara saat adzan. Jika berbicara, tidak perlu mengulanginya. Jika waktu shalat telah lewat, cukup iqamah tanpa adzan.’ Ia berhujjah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tertahan pada Perang Khandaq hingga setelah Maghrib di awal malam, lalu memerintahkan Bilal untuk iqamah setiap shalat tanpa adzan. Beliau juga mengerjakan shalat jamak di Arafah dengan satu adzan dan dua iqamah, serta di Muzdalifah dengan dua iqamah tanpa adzan. Ini menunjukkan bahwa orang yang menjamak shalat pada waktu pertama dari keduanya maka dengan adzan, sedangkan pada waktu terakhir cukup dengan iqamah tanpa adzan. Aku tidak suka seseorang shalat berjamaah atau sendirian kecuali dengan adzan dan iqamah. Jika tidak dilakukan, tetap sah. Aku suka jika wanita melakukan iqamah, jika tidak dilakukan tetap sah. Siapa yang mendengar muadzin, aku suka ia mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali jika sedang shalat, maka ucapkan setelah selesai. Adzan boleh ditinggalkan dalam perjalanan dan lebih ringan lagi di tempat tinggal. Iqamah dilakukan sendiri kecuali mengucapkan ‘Qad qamatish shalah’ dua kali.”

 

وَكَذَلِكَ كَانَ يَفْعَلُ أَبُو مَحْذُورَةَ مُؤَذِّنُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ قَدْ أَمَرَ بِلَالًا بِأَنْ يُوتِرَ الْإِقَامَةَ قِيلَ: لَهُ فَأَنْتَ تُثَنِّي اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ فَتَجْعَلُهَا مَرَّتَيْنِ، (وَقَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَالَ فِي الْقَدِيمِ يَزِيدُ فِي أَذَانِ الصُّبْحِ التَّثْوِيبَ وَهُوَ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِ مَرَّتَيْنِ وَرَوَاهُ عَنْ بِلَالٍ مُؤَذِّنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَعَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَكَرِهَهُ فِي الْجَدِيدِ؛ لِأَنَّ أَبَا مَحْذُورَةَ لَمْ يَحْكِهِ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقِيَاسُ قَوْلَيْهِ أَنَّ الزِّيَادَةَ أَوْلَى بِهِ فِي الْأَخْبَارِ كَمَا أُخِذَ فِي التَّشَهُّدِ بِالزِّيَادَةِ وَفِي دُخُولِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْبَيْتَ بِزِيَادَةِ أَنَّهُ صَلَّى فِيهِ وَتَرَكَ مَنْ قَالَ لَمْ يَفْعَلْ، (قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُجْعَلَ مُؤَذِّنُ الْجَمَاعَةِ إلَّا عَدْلًا ثِقَةً لِإِشْرَافِهِ عَلَى النَّاسِ وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ صَيِّتًا وَأَنْ يَكُونَ حَسَنَ الصَّوْتِ أَرَقَّ لِسَامِعِهِ، وَأُحِبُّ أَنْ يُؤَذِّنَ مُتَرَسِّلًا بِغَيْرِ تَمْطِيطٍ وَلَا يُغَنِّي فِيهِ وَأُحِبُّ الْإِقَامَةَ إدْرَاجًا مُبِينًا وَكَيْفَمَا جَاءَ بِهِمَا أَجْزَأَ (قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ الْمُصَلَّى بِهِ فَاضِلًا عَالِمًا قَارِئًا وَأَيُّ النَّاسِ أَذَّنَ وَصَلَّى أَجْزَأَهُ وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ الْمُؤَذِّنُونَ اثْنَيْنِ؛ لِأَنَّهُ الَّذِي حَفِظْنَاهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِلَالٍ وَابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنْ كَانَ الْمُؤَذِّنُونَ أَكْثَرَ أَذَّنُوا وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ وَلَا يَرْزُقُهُمْ الْإِمَامُ وَهُوَ يَجِدُ مُتَطَوِّعًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مُتَطَوِّعًا فَلَا بَأْسَ أَنْ يَرْزُقَ مُؤَذِّنًا وَلَا يَرْزُقُهُ إلَّا مِنْ خُمْسِ الْخُمْسِ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْزُقَهُ مِنْ الْفَيْءِ وَلَا مِنْ الصَّدَقَاتِ؛ لِأَنَّ لِكُلٍّ مَالِكًا مَوْصُوفًا وَأُحِبُّ الْأَذَانَ لِمَا جَاءَ فِيهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الْأَئِمَّةُ ضُمَنَاءُ وَالْمُؤَذِّنُونَ أُمَنَاءُ فَأَرْشَدَ اللَّهُ الْأَئِمَّةَ وَغَفَرَ لِلْمُؤَذِّنِينَ» .

 

 

Demikian pula yang dilakukan Abu Mahdzurah, muadzin Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Jika ada yang berkata bahwa Bilal diperintahkan untuk mengganjilkan iqamah, maka dijawab: “Kamu sendiri mengulang ‘Allahu Akbar Allahu Akbar’ dua kali.” (Al-Muzani berkata): Dalam pendapat lamanya, ia menambahkan tasywib dalam azan Subuh yaitu “ash-shalatu khairun min an-naum” dua kali, dan meriwayatkannya dari Bilal muadzin Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan dari Ali -radhiyallahu ‘anhu-, namun ia tidak menyukainya dalam pendapat barunya karena Abu Mahdzurah tidak meriwayatkannya dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. (Al-Muzani berkata): Qiyas dari dua pendapatnya bahwa tambahan lebih utama dalam riwayat, sebagaimana diambil dalam tasyahhud dengan tambahan, dan dalam masuknya Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ke rumah dengan tambahan bahwa beliau shalat di dalamnya, sementara pendapat yang menyatakan tidak melakukannya ditinggalkan. (Ia berkata): Aku suka jika muadzin jamaah hanya orang yang adil dan terpercaya karena kedudukannya yang mengawasi manusia, dan aku suka ia bersuara lantang, merdu, dan lembut didengar. Aku suka azan dilantunkan perlahan tanpa dipanjangkan atau dinyanyikan, dan iqamah diucapkan jelas dan berurutan. Bagaimanapun cara melakukannya, itu sudah mencukupi. (Ia berkata): Aku suka imam shalat adalah orang yang utama, berilmu, dan pandai membaca. Siapa pun yang azan dan shalat, itu sudah mencukupi. Aku suka ada dua muadzin karena itulah yang kami hafal dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum. Jika muadzin lebih banyak, mereka boleh azan satu per satu. Imam tidak boleh memberi mereka upah jika ada yang sukarela. Jika tidak ada yang sukarela, tidak mengapa memberi upah muadzin, tetapi hanya dari seperlima bagian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, tidak boleh dari fa’i atau sedekah karena keduanya memiliki pemilik tertentu. Aku menyukai azan karena sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Para imam adalah penanggung jawab, dan para muadzin adalah orang yang dipercaya. Allah memberi petunjuk kepada para imam dan mengampuni para muadzin.”

 

 

وَيُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ تَعْجِيلُ الصَّلَاةِ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا إلَّا أَنْ يَشْتَدَّ الْحَرُّ فَيُبْرَدَ بِهَا فِي مَسَاجِدِ الْجَمَاعَاتِ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «إذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ» وَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَوَّلُ الْوَقْتِ رِضْوَانُ اللَّهِ وَآخِرُهُ عَفْوُ اللَّهِ» وَأَقَلُّ مَا لِلْمُصَلِّي فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا أَنْ يَكُونَ عَلَيْهَا مُحَافِظًا وَمِنْ الْمُخَاطَرَةِ بِالنِّسْيَانِ وَالشُّغْلِ وَالْآفَاتِ خَارِجًا وَرِضْوَانُ اللَّهِ إنَّمَا يَكُونُ لِلْمُحْسِنِينَ وَالْعَفْوُ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ لِلْمُقَصِّرِينَ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

 

Disunahkan bagi imam untuk menyegerakan shalat di awal waktunya, kecuali jika panas sangat terik, maka shalat ditunda hingga lebih dingin di masjid-masjid jamaah karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Jika panas sangat terik, maka tunggulah waktu yang lebih dingin untuk shalat.” Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – juga bersabda, “Awal waktu adalah keridhaan Allah, sedangkan akhir waktu adalah ampunan Allah.” Minimal keutamaan shalat di awal waktu adalah menjaga dari kelupaan, kesibukan, dan hal-hal yang menghalangi. Keridhaan Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang berbuat baik, sedangkan ampunan lebih cocok bagi orang-orang yang lalai. Wallahu a’lam.

 

بَابُ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ

Bab Menghadap Kiblat

وَلَا فَرْضَ إلَّا الْخَمْسُ.

 

Dan tidak ada kewajiban kecuali shalat lima waktu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ صَلَاةُ فَرِيضَةٍ وَلَا نَافِلَةٍ وَلَا سُجُودُ قُرْآنٍ وَلَا جِنَازَةٍ إلَّا مُتَوَجِّهًا إلَى الْبَيْتِ الْحَرَامِ مَا كَانَ يَقْدِرُ عَلَى رُؤْيَتِهِ إلَّا فِي حَالَتَيْنِ إحْدَاهُمَا النَّافِلَةُ فِي السَّفَرِ رَاكِبًا وَطَوِيلُ السَّفَرِ وَقَصِيرُهُ سَوَاءٌ وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ فِي السَّفَرِ أَيْنَمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ وَأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُوتِرُ عَلَى الْبَعِيرِ» وَأَنَّ عَلِيًّا – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – كَانَ يُوتِرُ عَلَى الرَّاحِلَةِ، (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَفِي هَذَا دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِفَرْضٍ وَلَا فَرْضَ إلَّا الْخَمْسُ «لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِلْأَعْرَابِيِّ حِينَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا إلَّا أَنْ تَطَوَّعَ» وَالْحَالَةُ الثَّانِيَةُ شِدَّةُ الْخَوْفِ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالا أَوْ رُكْبَانًا} البقرة: 239 قَالَ ابْنُ عُمَرَ مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةَ وَغَيْرِ مُسْتَقْبِلِيهَا فَلَا يُصَلِّي فِي غَيْرِ هَاتَيْنِ الْحَالَتَيْنِ إلَّا إلَى الْبَيْتِ إنْ كَانَ مُعَايَنًا فَبِالصَّوَابِ وَإِنْ كَانَ مَغِيبًا فَبِالِاجْتِهَادِ بِالدَّلَائِلِ عَلَى صَوَابِ جِهَةِ الْقِبْلَةِ، فَإِنْ اخْتَلَفَ اجْتِهَادُ رَجُلَيْنِ لَمْ يَسْعَ أَحَدَهُمَا اتِّبَاعُ صَاحِبِهِ، فَإِنْ كَانَ الْغَيْمُ وَخَفِيَتْ الدَّلَائِلُ عَلَى رَجُلٍ فَهُوَ كَالْأَعْمَى وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمَنْ دَلَّهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَكَانَ أَعْمَى وَسِعَهُ اتِّبَاعُهُ وَلَا يَسَعُ بَصِيرًا خَفِيَتْ عَلَيْهِ الدَّلَائِلُ اتِّبَاعُهُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : لَا فَرْقَ بَيْنَ مَنْ جَهِلَ الْقِبْلَةَ لِعَدَمِ الْعِلْمِ وَبَيْنَ مَنْ جَهِلَهَا لِعَدَمِ الْبَصَرِ وَقَدْ جَعَلَ الشَّافِعِيُّ مَنْ خَفِيَتْ عَلَيْهِ الدَّلَائِلُ كَالْأَعْمَى فَهُمَا سَوَاءٌ (قَالَ) : وَلَا تَتْبَعْ دَلَالَةَ مُشْرِكٍ بِحَالٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) Tidak boleh bagi seseorang mengerjakan shalat fardhu, shalat sunnah, sujud tilawah, atau shalat jenazah kecuali menghadap ke Baitul Haram selama ia mampu melihatnya, kecuali dalam dua keadaan. Pertama, shalat sunnah saat bepergian dengan berkendaraan, baik perjalanan panjang maupun pendek. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di atas kendaraannya saat bepergian ke mana pun arahnya, dan beliau SAW juga melakukan witir di atas unta. Ali RA juga pernah melakukan witir di atas kendaraan. (Imam Syafi’i berkata) Ini menunjukkan bahwa witir bukanlah kewajiban, dan tidak ada shalat wajib selain lima waktu, berdasarkan sabda Nabi SAW kepada seorang badui yang bertanya, “Apakah ada kewajiban lain selain itu?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah dengan shalat sunnah.” Keadaan kedua adalah ketakutan yang sangat, berdasarkan firman Allah SWT, “Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239). Ibnu Umar berkata, baik menghadap kiblat maupun tidak. Maka, tidak boleh shalat di luar dua keadaan ini kecuali menghadap Baitul Haram. Jika kiblat terlihat, maka wajib menghadap dengan benar; jika tertutup, maka berijtihad berdasarkan petunjuk arah kiblat. Jika ijtihad dua orang berbeda, tidak boleh salah satunya mengikuti yang lain. Jika langit mendung dan petunjuk arah kiblat tidak jelas bagi seseorang, maka ia seperti orang buta. Imam Syafi’i juga berkata di tempat lain, “Siapa yang diberi petunjuk oleh seorang Muslim dan ia buta, maka boleh mengikutinya. Namun, orang yang bisa melihat tetapi petunjuk arah kiblat tidak jelas baginya, tidak boleh mengikuti orang lain.” (Al-Muzani berkata) Tidak ada perbedaan antara orang yang tidak tahu kiblat karena tidak memiliki pengetahuan dan orang yang tidak tahu karena tidak bisa melihat. Imam Syafi’i menyamakan orang yang petunjuk arah kiblat tidak jelas baginya dengan orang buta, keduanya sama. (Dia berkata) Jangan sekali-kali mengikuti petunjuk orang musyrik dalam keadaan apa pun.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ اجْتَهَدَ فَصَلَّى إلَى الْمَشْرِقِ، ثُمَّ رَأَى الْقِبْلَةَ إلَى الْغَرْبِ اسْتَأْنَفَ؛ لِأَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ مِنْ خَطَأِ جِهَتِهَا إلَى يَقِينِ صَوَابِ جِهَتِهَا وَيُعِيدُ الْأَعْمَى مَا صَلَّى مَعَهُ مَتَى أَعْلَمَهُ وَإِنْ كَانَ شَرْقًا، ثُمَّ رَأَى أَنَّهُ مُنْحَرِفٌ وَتِلْكَ جِهَةٌ وَاحِدَةٌ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْحَرِفَ وَيَعْتَدَّ بِمَا مَضَى، وَإِنْ كَانَ مَعَهُ أَعْمَى يَنْحَرِفُ بِانْحِرَافِهِ وَإِذَا اجْتَهَدَ بِهِ رَجُلٌ، ثُمَّ قَالَ لَهُ رَجُلٌ آخَرُ: قَدْ أَخْطَأَ بِك فَصَدَّقَهُ تَحَرَّفَ حَيْثُ قَالَ لَهُ وَمَا مَضَى مُجْزِئٌ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ اجْتَهَدَ بِهِ مَنْ لَهُ قَبُولُ اجْتِهَادِهِ، (قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ احْتَجَّ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الصِّيَامِ فِيمَنْ اجْتَهَدَ، ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهُ أَخْطَأَ أَنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُهُ بِأَنْ قَالَ وَذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ تَوَخَّى الْقِبْلَةَ، ثُمَّ عَلِمَ بَعْدَ كَمَالِ الصَّلَاةِ أَنَّهُ أَخْطَأَ أَجْزَأَتْ عَنْهُ كَمَا يُجْزِئُ ذَلِكَ فِي خَطَأِ عَرَفَةَ وَاحْتَجَّ أَيْضًا فِي كِتَابِ الطَّهَارَةِ بِهَذَا الْمَعْنَى فَقَالَ: إذَا تَوَخَّى فِي أَحَدِ الْإِنَاءَيْنِ أَنَّهُ طَاهِرٌ وَالْآخَرَ نَجِسٌ فَصَلَّى، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَتَوَضَّأَ ثَانِيَةً فَكَانَ الْأَغْلَبُ عِنْدَهُ أَنَّ الَّذِي تَرَكَ هُوَ الطَّاهِرُ لَمْ يَتَوَضَّأْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا وَيَتَيَمَّمُ وَيُعِيدُ كُلَّ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بِتَيَمُّمٍ؛ لِأَنَّ مَعَهُ مَاءً مُتَيَقَّنًا وَلَيْسَ كَالْقِبْلَةِ يَتَوَخَّاهَا فِي مَوْضِعٍ ثُمَّ يَرَاهَا فِي غَيْرِهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ نَاحِيَةٍ إلَّا وَهِيَ قِبْلَةٌ لِقَوْمٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa berijtihad lalu shalat menghadap ke timur, kemudian mengetahui arah kiblat sebenarnya ke barat, maka ia harus mengulang shalat. Karena ia wajib kembali dari kesalahan arah kiblatnya menuju kepastian arah yang benar. Orang buta juga harus mengulang shalatnya bersama orang yang memberitahukan arah kiblat, meski awalnya shalat ke timur. Jika kemudian ia menyadari bahwa arahnya melenceng namun masih dalam satu arah (kiblat), ia cukup membetulkan arah dan shalat sebelumnya tetap sah. Jika ada orang buta bersamanya, ia mengikuti pergeseran arah tersebut. Jika seseorang berijtihad tentang arah kiblat, lalu orang lain memberitahukan bahwa arahnya salah dan ia mempercayainya, maka ia harus mengarah ke tempat yang ditunjukkan, dan shalat sebelumnya tetap sah karena ijtihadnya diterima.

 

(Al-Muzani berkata): Imam Syafi’i berargumen dalam kitab Puasa tentang orang yang berijtihad kemudian tahu bahwa ia salah, bahwa hal itu tetap mencukupinya. Beliau berkata: “Seandainya seseorang berusaha mencari arah kiblat, lalu setelah selesai shalat ia tahu bahwa arahnya salah, shalatnya tetap sah, sebagaimana kesalahan dalam wukuf di Arafah.” Beliau juga berargumen dalam kitab Thaharah dengan makna serupa: “Jika seseorang ragu antara dua bejana (mana yang suci dan najis), lalu shalat, kemudian ingin wudhu lagi, dan menurut perkiraannya yang ditinggalkan adalah bejana suci, maka ia tidak boleh berwudhu dengan salah satunya. Ia harus tayamum dan mengulang semua shalat yang dilakukan dengan tayamum, karena ia memiliki air yang pasti suci. Hal ini berbeda dengan kiblat yang dicari di satu tempat kemudian diketahui ada di tempat lain, karena setiap arah adalah kiblat bagi suatu kaum.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَقَدْ أَجَازَ صَلَاتَهُ وَإِنْ أَخْطَأَ الْقِبْلَةَ فِي هَذَيْنِ الْمَوْضِعَيْنِ؛ لِأَنَّهُ أَدَّى مَا كُلِّفَ وَلَمْ يَجْعَلْ عَلَيْهِ إصَابَةَ الْعَيْنِ لِلْعَجْزِ عَنْهَا فِي حَالِ الصَّلَاةِ

(Al-Muzani berkata) Maka ia membolehkan shalatnya meskipun salah arah kiblat pada dua tempat ini, karena ia telah menunaikan apa yang dibebankan kepadanya dan tidak diwajibkan untuk tepat mengarah ke kiblat karena ketidakmampuan melakukannya saat shalat.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا الْقِيَاسُ عَلَى مَا عَجَزَ عَنْهُ الْمُصَلِّي فِي الصَّلَاةِ مِنْ قِيَامٍ وَقُعُودٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ وَسَتْرٍ أَنَّ فَرْضَ اللَّهِ كُلَّهُ سَاقِطٌ عَنْهُ دُونَ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِيمَاءِ عُرْيَانًا فَإِذَا قَدَرَ مِنْ بَعْدُ لَمْ يَعُدْ فَكَذَلِكَ إذَا عَجَزَ عَنْ التَّوَجُّهِ إلَى عَيْنِ الْقِبْلَةِ كَانَ عَنْهُ أَسْقَطَ

(Al-Muzani berkata) Dan ini adalah qiyas atas apa yang tidak mampu dilakukan oleh orang yang shalat, seperti berdiri, duduk, rukuk, sujud, dan menutup aurat, bahwa seluruh kewajiban dari Allah gugur darinya kecuali apa yang mampu dilakukannya seperti memberi isyarat dalam keadaan telanjang. Jika kemudian ia mampu, ia tidak perlu mengulang. Demikian pula jika ia tidak mampu menghadap ke arah kiblat yang tepat, kewajiban itu gugur darinya.

 

وَقَدْ حُوِّلَتْ الْقِبْلَةُ ثُمَّ صَلَّى أَهْلُ قُبَاءَ رَكْعَةً إلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ ثُمَّ أَتَاهُمْ آتٍ فَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ الْقِبْلَةَ قَدْ حُوِّلَتْ فَاسْتَدَارُوا وَبَنَوْا بَعْدَ يَقِينِهِمْ أَنَّهُمْ صَلَّوْا إلَى غَيْرِ قِبْلَةٍ، وَلَوْ كَانَ صَوَابُ عَيْنِ الْقِبْلَةِ الْمُحَوَّلِ إلَيْهَا فَرْضًا مَا أَجْزَأَهُمْ خِلَافُ الْفَرْضِ لِجَهْلِهِمْ بِهِ كَمَا لَا يُجْزِئُ مَنْ تَوَضَّأَ بِغَيْرِ مَاءٍ طَاهِرٍ لِجَهْلِهِ بِهِ ثُمَّ اسْتَيْقَنَ أَنَّهُ غَيْرُ طَاهِرٍ فَتَفَهَّمْ – رَحِمَك اللَّهُ –

Dan arah kiblat telah diubah, lalu penduduk Quba shalat satu rakaat ke arah yang bukan kiblat. Kemudian datang seseorang yang memberitahu mereka bahwa arah kiblat telah diubah, lalu mereka berputar dan melanjutkan shalat setelah yakin bahwa mereka shalat ke arah yang salah. Jika ketepatan arah kiblat yang baru diwajibkan, shalat mereka tidak sah karena melanggar kewajiban akibat ketidaktahuan, sebagaimana tidak sahnya wudhu seseorang dengan air yang tidak suci karena ketidaktahuannya, kemudian ia yakin bahwa air itu tidak suci. Pahamilah—semoga Allah merahmatimu.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَدَخَلَ فِي قِيَاسِ هَذَا الْبَابِ أَنَّ مَنْ عَجَزَ عَمَّا عَلَيْهِ مِنْ نَفْسِ الصَّلَاةِ، أَوْ مَا أُمِرَ بِهِ فِيهَا أَوْ لَهَا أَنَّ ذَلِكَ سَاقِطٌ عَنْهُ لَا يُعِيدُ إذَا قَدَرَ وَهُوَ أَوْلَى بِأَحَدِ قَوْلَيْهِ مِنْ قَوْلِهِ فِيمَنْ صَلَّى فِي ظُلْمَةٍ أَوْ خَفِيَتْ عَلَيْهِ الدَّلَائِلُ، أَوْ بِهِ دَمٌ لَا يَجِدُ مَا يَغْسِلُهُ بِهِ، أَوْ كَانَ مَحْبُوسًا فِي نَجِسٍ أَنَّهُ يُصَلِّي كَيْفَ أَمْكَنَهُ وَيُعِيدُ إذَا قَدَرَ.

(Al-Muzani berkata) Termasuk dalam qiyas bab ini adalah bahwa siapa yang tidak mampu melaksanakan kewajiban dalam shalat, atau apa yang diperintahkan di dalamnya atau untuknya, maka kewajiban itu gugur darinya dan ia tidak perlu mengulang jika kemudian mampu. Ini lebih utama daripada salah satu dari dua pendapatnya tentang orang yang shalat dalam kegelapan, atau tanda-tanda kiblat tidak jelas baginya, atau ada darah yang tidak menemukan air untuk mencucinya, atau terkurung dalam najis, bahwa ia shalat semampunya dan mengulang jika mampu.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ دَخَلَ غُلَامٌ فِي صَلَاةٍ فَلَمْ يُكْمِلْهَا أَوْ صَوْمِ يَوْمٍ فَلَمْ يُكْمِلْهُ حَتَّى اسْتَكْمَلَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً أَحْبَبْت أَنْ يُتِمَّ وَيُعِيدَ وَلَا يَبِينُ أَنَّ عَلَيْهِ إعَادَةً (قَالَ الْمُزَنِيّ) لَا يُمْكِنُهُ صَوْمُ يَوْمٍ هُوَ فِي آخِرِهِ غَيْرُ صَائِمٍ وَيُمْكِنُهُ صَلَاةٌ هُوَ فِي آخِرِ وَقْتِهَا غَيْرُ مُصَلٍّ أَلَا تَرَى أَنَّ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ الْغُرُوبِ أَنَّهُ يَبْتَدِئُ الْعَصْرَ مِنْ أَوَّلِهَا وَلَا يُمْكِنُهُ فِي آخِرِ يَوْمٍ أَنْ يَبْتَدِئَ صَوْمَهُ مِنْ أَوَّلِهِ فَيُعِيدُ الصَّلَاةَ لِإِمْكَانِ الْقُدْرَةِ وَلَا يُعِيدُ الصَّوْمَ لِارْتِفَاعِ إمْكَانِ الْقُدْرَةِ وَلَا تَكْلِيفَ مَعَ الْعَجْزِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seorang anak memasuki shalat lalu tidak menyempurnakannya, atau berpuasa sehari lalu tidak menyempurnakannya hingga ia genap berusia lima belas tahun, aku lebih suka agar ia menyempurnakan dan mengulangi, meski tidak jelas bahwa ia wajib mengulang.” (Al-Muzani berkata): “Tidak mungkin baginya berpuasa sehari jika di akhir hari ia tidak berpuasa, namun mungkin baginya shalat jika di akhir waktunya ia tidak shalat. Tidakkah engkau melihat bahwa orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, ia memulai shalat Ashar dari awalnya, sementara tidak mungkin baginya di akhir hari untuk memulai puasanya dari awal? Maka ia mengulangi shalat karena kemungkinan kemampuan, dan tidak mengulangi puasa karena hilangnya kemungkinan kemampuan. Tidak ada taklif (beban syariat) dalam keadaan tidak mampu.”

 

بَابُ صِفَاتِ الصَّلَاةِ وَمَا يَجُوزُ مِنْهَا وَمَا يُفْسِدُهَا

Bab tentang tata cara shalat, hal-hal yang diperbolehkan di dalamnya, dan hal-hal yang membatalkannya

 

وَعَدَدُ سُجُودِ الْقُرْآنِ وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَحْرَمَ إمَامًا، أَوْ وَحْدَهُ نَوَى صَلَاتَهُ فِي حَالِ التَّكْبِيرِ لَا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ وَلَا يُجْزِئُهُ إلَّا قَوْلُهُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، أَوْ: اللَّهُ الْأَكْبَرُ فَإِنْ لَمْ يُحْسِنْ بِالْعَرَبِيَّةِ كَبَّرَ بِلِسَانِهِ.

 

 

Dan jumlah sujud Al-Qur’an serta lainnya (Asy-Syafi’i berkata): Dan apabila seseorang memulai shalat sebagai imam atau sendirian, ia berniat shalatnya saat takbir, bukan sebelumnya atau sesudahnya. Tidak sah kecuali dengan mengucapkan: “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar”. Jika ia tidak mampu mengucapkannya dalam bahasa Arab, maka ia bertakbir dengan bahasanya sendiri.

 

وَكَذَلِكَ الذِّكْرُ وَعَلَيْهِ أَنْ يَتَعَلَّمَ، وَلَا يُكَبِّرُ إنْ كَانَ إمَامًا حَتَّى تَسْتَوِيَ الصُّفُوفُ خَلْفَهُ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ إذَا كَبَّرَ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَيَأْخُذُ كُوعَهُ الْأَيْسَرَ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى وَيَجْعَلُهَا تَحْتَ صَدْرِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: ” وَجَّهْت وَجْهِي لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْت وَأَنَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ ” ثُمَّ يَتَعَوَّذُ فَيَقُولُ: ” أَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ” ثُمَّ يَقْرَأُ مُرَتِّلًا بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَيَبْتَدِئُهَا بِ ” بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ “؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَعَدَّهَا آيَةً فَإِذَا قَالَ {وَلا الضَّالِّينَ} الفاتحة: 7 قَالَ: آمِينَ فَيَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ لِيَقْتَدِيَ بِهِ مَنْ خَلْفُهُ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا» وَبِالدَّلَالَةِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ جَهَرَ بِهَا وَأَمَرَ الْإِمَامَ بِالْجَهْرِ بِهَا.

 

 

Demikian pula dzikir dan dia harus mempelajarinya. Jika menjadi imam, jangan bertakbir hingga shaf-shaf di belakangnya lurus. Dia mengangkat kedua tangannya saat takbir sejajar dengan bahu, menggenggam pergelangan tangan kiri dengan telapak tangan kanan, dan meletakkannya di bawah dada. Kemudian mengucapkan: “Aku hadapkan wajahku kepada Yang Menciptakan langit dan bumi dengan penuh ketundukan, dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dengan itu aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” Lalu berlindung dengan mengucapkan: “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.” Kemudian membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dengan tartil, memulainya dengan “Bismillahirrahmanirrahim” karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membacanya dan menganggapnya sebagai satu ayat. Saat mengucapkan {wa adh-dhaalliin} (QS. Al-Fatihah: 7), dia mengucapkan “Aamiin” dengan mengeraskan suara agar diikuti oleh makmum di belakangnya, sesuai sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Jika imam mengucapkan ‘Aamiin’, ucapkanlah ‘Aamiin’.” Juga berdasarkan petunjuk dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau mengeraskannya dan memerintahkan imam untuk mengeraskan “Aamiin”.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Dan hendaknya orang yang di belakangnya memperdengarkan (bacaan) kepada diri mereka sendiri, kemudian setelah membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah), ia membaca sebuah surah. Ketika selesai dan hendak rukuk, ia memulai takbir dalam keadaan berdiri, sehingga takbir tersebut masih berlangsung saat ia turun untuk rukuk. Ia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya ketika memulai takbir, meletakkan kedua telapak tangannya di atas lututnya, merenggangkan jari-jemarinya, meluruskan punggung dan lehernya, tidak menundukkan lehernya lebih rendah dari punggungnya dan tidak pula mengangkatnya, meluruskannya, serta menjauhkan siku-sikunya dari lambungnya. Ketika rukuk, ia mengucapkan: ‘Subhana Rabbiyal ‘Azhim’ (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung) tiga kali, dan itu adalah minimal kesempurnaan.

 

Ketika hendak bangkit dari rukuk, ia memulai ucapannya bersamaan dengan mengangkat badan: ‘Sami’allahu liman hamidah’ (Allah mendengar orang yang memuji-Nya), dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya. Ketika telah tegak berdiri, ia juga mengucapkan: ‘Rabbana lakal hamdu mil’as-samawati wa mil’al-ardi wa mil’a ma syi’ta min syai’in ba’du’ (Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit, bumi, dan apa pun yang Engkau kehendaki setelahnya). Orang-orang di belakangnya juga mengucapkan hal yang sama. Riwayat ini dinisbatkan kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Ketika hendak sujud, ia memulai takbir dalam keadaan berdiri, kemudian turun bersamaan dengan memulai takbir hingga takbirnya berakhir bersamaan dengan sujudnya. Bagian tubuhnya yang pertama kali menyentuh tanah adalah kedua lututnya, kemudian kedua tangannya, lalu dahinya dan hidungnya. Ia bertumpu pada jari-jari kakinya, dan dalam sujudnya mengucapkan: ‘Subhana Rabbiyal A’la’ (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi) tiga kali, dan itu adalah minimal kesempurnaan. Ia menjauhkan kedua sikunya dari lambungnya hingga jika tidak ada penutup, terlihat putih ketiaknya. Ia merenggangkan kedua kakinya, mengangkat perutnya dari pahanya, dan menghadapkan jari-jemarinya ke arah kiblat.

 

Kemudian ia bangkit dengan bertakbir seperti sebelumnya hingga duduk tegak di atas kaki kirinya, menegakkan kaki kanannya, lalu sujud lagi seperti itu. Ketika duduk dengan tegak, ia bangkit dengan sengaja bertumpu pada tanah dengan kedua tangannya hingga berdiri tegak. Ia tidak mengangkat kedua tangannya saat sujud maupun saat bangkit dari sujud. Kemudian pada rakaat kedua, ia melakukan hal yang sama. Ia duduk pada rakaat kedua di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya, dan menggenggam jari-jari tangan kanannya di atas paha kanannya kecuali jari telunjuk yang ia isyaratkan saat tasyahud.”

(Al-Muzani berkata): Berniat dengan tasbih ikhlas karena Allah Azza wa Jalla. (Dia berkata): Ketika selesai dari tasyahud, dia berdiri sambil bertakbir dengan bertumpu pada tanah dengan kedua tangannya hingga tegak berdiri, lalu shalat dua rakaat terakhir seperti itu, membaca di dalamnya Ummul Qur’an (Al-Fatihah) secara sirr (pelan). Ketika duduk di rakaat keempat, dia menarik kedua kakinya dan mengeluarkannya dari bawah paha kanannya, menempelkan pantatnya ke tanah, merebahkan kaki kiri, menegakkan kaki kanan, menghadapkan jari-jarinya ke kiblat, membentangkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya, meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya, menggenggam jari-jarinya kecuali jari telunjuk, dan berisyarat dengannya saat tasyahud. Kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, berdzikir kepada Allah, memuji-Nya, dan berdoa dengan kadar yang lebih sedikit daripada tasyahud dan shalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, serta meringankan (shalat) bagi makmum di belakangnya. Mereka melakukan seperti yang dilakukannya, kecuali jika imam membaca sirr, makmum membaca (Al-Fatihah), dan jika imam membaca jahr (keras), makmum tidak membaca. (Al-Muzani berkata) -semoga Allah merahmatinya-: Sungguh, sahabat-sahabat kami meriwayatkan dari Asy-Syafi’i bahwa Beliau berkata: “Makmum membaca (Al-Fatihah) di belakang imam meskipun imam membaca jahr.” (Dia berkata): Muhammad bin ‘Ashim dan Ibrahim berkata: Kami mendengar Ar-Rabi’ berkata: (Asy-Syafi’i berkata): “Makmum membaca di belakang imam, baik imam membaca jahr atau sirr, dengan Ummul Qur’an (Al-Fatihah).” Muhammad berkata: Dan aku mendengar Ar-Rabi’ berkata: (Asy-Syafi’i berkata): “Barangsiapa yang menghafal kurang dari tujuh ayat Al-Qur’an lalu menjadi imam atau shalat sendirian, maka dia mengulang sebagian ayat hingga membacanya tujuh ayat. Jika tidak melakukannya, aku tidak memandangnya harus mengulang shalat.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ كَانَ وَحْدَهُ لَمْ أَكْرَهْ أَنْ يُطِيلَ ذِكْرَ اللَّهِ وَتَمْجِيدَهُ وَالدُّعَاءَ رَجَاءَ الْإِجَابَةِ، ثُمَّ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ: ” السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ “، ثُمَّ عَنْ شِمَالِهِ: ” السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ ” حَتَّى يُرَى خَدَّاهُ وَلَا يَثْبُتُ سَاعَةَ يُسَلِّمُ إلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهُ نِسَاءٌ فَيَثْبُتُ لِيَنْصَرِفْنَ قَبْلَ الرِّجَالِ وَيَنْصَرِفُ حَيْثُ شَاءَ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ وَيَقْرَأُ بَيْنَ كُلٍّ سُورَتَيْنِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ” فَعَلَهُ ابْنُ عُمَرَ وَإِنْ كَانَتْ الصَّلَاةُ ظُهْرًا، أَوْ عَصْرًا أَسَرَّ بِالْقِرَاءَةِ فِي جَمِيعِهَا وَإِنْ كَانَتْ عِشَاءِ الْآخِرَةِ، أَوْ مَغْرِبًا جَهَرَ فِي الْأَوَّلِيَّيْنِ مِنْهُمَا وَأَسَرَّ فِي بَاقِيهِمَا وَإِنْ كَانَتْ صُبْحًا جَهَرَ فِيهَا كُلِّهَا، (قَالَ) : وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِنْ الصُّبْحِ وَفَرَغَ مِنْ قَوْلِهِ: ” سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ ” قَالَ وَهُوَ قَائِمٌ ” اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْت وَعَافَنِي فِيمَنْ عَافَيْت وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْت وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْت وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْت إنَّك تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْك وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْت تَبَارَكْت رَبَّنَا وَتَعَالَيْت ” وَالْجِلْسَةُ فِيهَا كَالْجِلْسَةِ فِي الرَّابِعَةِ فِي غَيْرِهَا (قَالَ) : حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو الْغَزِّيِّ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ عَنْ ابْنِ جَعْفَرٍ الدَّارِيِّ عَنْ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا زَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا وَاحْتَجَّ فِي الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ بِمَا رُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَنَتَ قَبْلَ قَتْلِ أَهْلِ بِئْرِ مَعُونَةٍ ثُمَّ قَنَتَ بَعْدَ قَتْلِهِمْ فِي الصَّلَاةِ سِوَاهَا، ثُمَّ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي سِوَاهَا» وَقَنَتَ عُمَرُ وَعَلِيٌّ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ، (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالتَّشَهُّدُ أَنْ يَقُولَ: ” التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ سَلَامٌ عَلَيْك أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ سَلَامٌ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ” يَقُولُ هَذَا فِي الْجِلْسَةِ الْأُولَى وَفِي آخِرِ صَلَاتِهِ فَإِذَا تَشَهَّدَ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ فَيَقُولُ ” اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْت عَلَى إبْرَاهِيمَ وَآلِ إبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْت عَلَى إبْرَاهِيمَ وَآلِ إبْرَاهِيمَ إنَّك حَمِيدٌ مَجِيدٌ ” (قَالَ) : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ وَاصِلِ بْنِ عَبْدِ الْأَعْلَى الْكُوفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ إلْيَاسَ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «أَتَانِي جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – فَعَلَّمَنِي الصَّلَاةَ فَقَامَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَكَبَّرَ بِنَا فَقَرَأَ بِنَا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَجَهَرَ بِهَا فِي كُلِّ رَكْعَةٍ» .

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang shalat sendirian, aku tidak memakruhkan jika ia memperpanjang dzikir kepada Allah, pujian, dan doa dengan harapan dikabulkan. Kemudian ia mengucapkan salam ke kanan: ‘Assalamu’alaikum wa rahmatullah’, lalu ke kiri: ‘Assalamu’alaikum wa rahmatullah’ hingga terlihat pipinya. Ia tidak perlu menahan diri saat salam kecuali jika ada wanita bersamanya, maka ia menahan diri agar mereka pergi sebelum laki-laki. Ia boleh pergi ke kanan atau kiri sesukanya, dan membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ di antara dua surah. Ibnu Umar melakukan hal ini. Jika shalat Zhuhur atau Ashar, ia membaca dengan suara pelan pada seluruh bacaannya. Jika shalat Isya atau Maghrib, ia mengeraskan suara pada dua rakaat pertama dan memelankannya pada sisanya. Jika shalat Subuh, ia mengeraskan seluruh bacaannya.”

 

(Dia berkata): “Ketika mengangkat kepala dari rukuk kedua dalam shalat Subuh dan selesai mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah, Rabbana lakal hamdu’, ia berdiri lalu membaca: ‘Allahummahdini fiman hadait, wa ‘afini fiman ‘afait, wa tawallani fiman tawallait, wa barik li fima a’thait, wa qini syarra ma qadhait, innaka taqdhii wa la yuqdha ‘alaik, wa innahu la yadzillu man walait, tabarakta Rabbana wa ta’alait.’ Duduk di sini seperti duduk pada rakaat keempat di shalat lainnya.”

 

(Dia berkata): “Ibrahim menceritakan kepada kami, Muhammad bin Amr Al-Ghazzi menceritakan kepada kami, Abu Nu’aim menceritakan kepada kami dari Ibnu Ja’far Ad-Dari dari Ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik yang berkata: ‘Nabi ﷺ selalu melakukan qunut hingga meninggal dunia.’ Dia berargumen tentang qunut dalam shalat Subuh berdasarkan riwayat: ‘Dari Nabi ﷺ bahwa beliau berqunut sebelum pembunuhan ahli Bi’r Ma’unah, kemudian berqunut setelah mereka dibunuh dalam shalat selain itu, lalu meninggalkan qunut pada shalat lainnya.’ Umar dan Ali berqunut setelah rakaat terakhir.”

 

(Asy-Syafi’i berkata) -rahimahullah-: “Tasyahud adalah mengucapkan: ‘At-tahiyyatul mubarakatush shalawatuth thayyibatu lillah, salamun ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh, salamun ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin. Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah.’ Ini dibaca pada duduk pertama dan akhir shalat. Setelah tasyahud, bershalawatlah kepada Nabi dengan membaca: ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama shallaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, wa barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad, kama barakta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid.'”

 

(Dia berkata): “Abdul A’la bin Wasil bin Abdul A’la Al-Kufi menceritakan kepada kami, Abu Nu’aim menceritakan kepada kami dari Khalid bin Ilyas dari Al-Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jibril -‘alaihissalam- datang kepadaku dan mengajarkan shalat. Nabi ﷺ lalu berdiri dan bertakbir bersama kami, membaca ‘Bismillahirrahmanirrahim’ dengan suara keras pada setiap rakaat.'”

 

 

(قَالَ) : وَمَنْ ذَكَرَ صَلَاةً وَهُوَ فِي أُخْرَى أَتَمَّهَا، ثُمَّ قَضَى (قَالَ) : حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ قَالَ الرَّبِيعُ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ: التَّشَهُّدُ بِهِمَا مُبَاحٌ فَمَنْ أَخَذَ يَتَشَهَّدُ ابْنُ مَسْعُودٍ لَمْ يُعَنِّفْ إلَّا أَنَّ فِي تَشَهُّدِ ابْنِ عَبَّاسٍ زِيَادَةً وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِي عَمَلِ الصَّلَاةِ إلَّا أَنَّ الْمَرْأَةَ يُسْتَحَبُّ لَهَا أَنْ تَضُمَّ بَعْضَهَا إلَى بَعْضٍ وَأَنْ تُلْصِقَ بَطْنَهَا فِي السُّجُودِ بِفَخْذَيْهَا كَأَسْتَرِ مَا يَكُونُ وَأُحِبُّ ذَلِكَ لَهَا فِي الرُّكُوعِ وَفِي جَمِيعِ عَمَلِ الصَّلَاةِ وَأَنْ تُكَثِّفَ جِلْبَابَهَا وَتُجَافِيَهُ رَاكِعَةً وَسَاجِدَةً لِئَلَّا تَصِفَهَا ثِيَابُهَا وَأَنْ تَخْفِضَ صَوْتَهَا وَإِنْ نَابَهَا شَيْءٌ فِي صَلَاتِهَا صَفَّقَتْ فَإِنَّمَا التَّسْبِيحُ لِلرِّجَالِ وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Beliau berkata: “Barangsiapa mengingat shalat (yang tertinggal) sedangkan ia sedang mengerjakan shalat lain, hendaknya menyelesaikan shalatnya terlebih dahulu, kemudian mengqadha (shalat yang tertinggal).” Beliau berkata: “Ibrahim menceritakan kepada kami, Ar-Rabi’ berkata, Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, ia berkata: ‘Tasyahud dengan kedua (bacaan) itu diperbolehkan. Siapa yang mengambil tasyahud Ibnu Mas’ud tidaklah tercela, hanya saja dalam tasyahud Ibnu Abbas terdapat tambahan. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam amalan shalat, kecuali bahwa disunnahkan bagi perempuan untuk merapatkan sebagian tubuhnya kepada sebagian yang lain, dan menempelkan perutnya ke pahanya saat sujud agar lebih tertutup. Aku menyukai hal itu baginya dalam rukuk dan seluruh amalan shalat. Juga disunnahkan baginya untuk mempertebal jilbabnya dan menjauhkannya saat rukuk dan sujud agar pakaiannya tidak menggambarkan bentuk tubuhnya, serta merendahkan suaranya. Jika ada sesuatu yang mengganggunya dalam shalat, ia boleh bertepuk tangan, karena tasbih itu untuk laki-laki sedangkan tepuk tangan untuk perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.'”

 

 

(قَالَ) : وَعَلَى الْمَرْأَةِ إذَا كَانَتْ حُرَّةً أَنْ تَسْتَتِرَ فِي صَلَاتِهَا حَتَّى لَا يَظْهَرَ مِنْهَا شَيْءٌ إلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّاهَا، فَإِنْ ظَهَرَ مِنْهَا شَيْءٌ سِوَى ذَلِكَ أَعَادَتْ الصَّلَاةَ، فَإِنْ صَلَّتْ الْأَمَةُ مَكْشُوفَةَ الرَّأْسِ أَجْزَأَهَا وَأُحِبُّ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ فِي قَمِيصٍ وَرِدَاءٍ وَإِنْ صَلَّى فِي إزَارٍ وَاحِدٍ، أَوْ سَرَاوِيلَ أَجْزَأَ وَكُلُّ ثَوْبٍ يَصِفُ مَا تَحْتَهُ وَلَا يَسْتُرُ لَمْ تُجْزِئْ الصَّلَاةُ فِيهِ.

 

 

Beliau berkata: “Wanita merdeka wajib menutup diri dalam shalatnya hingga tidak terlihat darinya sesuatu kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Jika terlihat sesuatu selain itu, ia harus mengulangi shalatnya. Jika budak perempuan shalat dengan kepala terbuka, shalatnya sah. Aku menyukai jika laki-laki shalat dengan mengenakan gamis dan selendang, meskipun jika ia shalat dengan satu sarung atau celana, itu sah. Setiap pakaian yang menggambarkan apa yang ada di bawahnya dan tidak menutupi, maka shalat tidak sah dengannya.”

 

 

وَمَنْ سَلَّمَ، أَوْ تَكَلَّمَ سَاهِيًا أَوْ نَسِيَ شَيْئًا مِنْ صُلْبِ الصَّلَاةِ بَنَى مَا لَمْ يَتَطَاوَلْ ذَلِكَ وَإِنْ تَطَاوَلَ اسْتَأْنَفَ الصَّلَاةَ وَإِنْ تَكَلَّمَ أَوْ سَلَّمَ عَامِدًا، أَوْ أَحْدَثَ فِيمَا بَيْنَ إحْرَامِهِ وَبَيْنَ سَلَامِهِ اسْتَأْنَفَ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «تَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ» .

 

 

Barangsiapa mengucapkan salam, berbicara karena lupa, atau lupa sesuatu yang termasuk rukun shalat, maka ia boleh melanjutkan selama tidak terlalu lama. Jika terlalu lama, ia harus memulai shalat dari awal. Jika ia berbicara atau mengucapkan salam dengan sengaja, atau berhadats antara takbiratul ihram dan salam, maka ia harus memulai shalat dari awal, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang menghalalkannya (mengakhiri shalat) adalah salam.”

 

 

وَإِنْ عَمِلَ فِي الصَّلَاةِ عَمَلًا قَلِيلًا مِثْلُ دَفْعِهِ الْمَارَّ بَيْنَ يَدَيْهِ أَوْ قَتْلِ حَيَّةٍ، أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ وَيَنْصَرِفُ حَيْثُ شَاءَ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَاجَةٌ أَحْبَبْت الْيَمِينَ لِمَا كَانَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – يُحِبُّ مِنْ التَّيَامُنِ.

 

 

Dan jika seseorang melakukan perbuatan ringan dalam shalat seperti menghalau orang yang lewat di depannya, membunuh ular, atau semisalnya, hal itu tidak membatalkan shalatnya. Ia boleh berpaling ke kanan atau ke kiri sesuai keinginannya. Jika tidak ada keperluan, aku lebih menyukai arah kanan karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyukai kebiasaan mendahulukan kanan.

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ فَاتَ رَجُلًا مَعَ الْإِمَامِ رَكْعَتَانِ مِنْ الظُّهْرِ قَضَاهُمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَسُورَةٍ كَمَا فَاتَهُ وَإِنْ كَانَتْ مَغْرِبًا وَفَاتَهُ مِنْهَا رَكْعَةٌ قَضَاهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَسُورَةٍ وَقَعَدَ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ الصَّلَاةِ فَهُوَ أَوَّلُ صَلَاتِهِ:

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang tertinggal dua rakaat dari shalat Zhuhur bersama imam, maka ia mengqadhanya dengan membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan satu surah sebagaimana yang tertinggal. Jika itu shalat Maghrib dan ia tertinggal satu rakaat, maka ia mengqadhanya dengan membaca Ummul Qur’an dan satu surah, lalu duduk. Sedangkan bagian shalat yang ia dapatkan bersama imam adalah awal shalatnya.”

 

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَدْ جَعَلَ هَذِهِ الرَّكْعَةَ فِي مَعْنَى أُولَى يَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَسُورَةٍ وَلَيْسَ هَذَا مِنْ حُكْمِ الثَّالِثَةِ وَجَعَلَهَا فِي مَعْنَى الثَّالِثَةِ مِنْ الْمَغْرِبِ بِالْقُعُودِ وَلَيْسَ هَذَا مِنْ حُكْمِ الْأُولَى فَجَعْلُهَا آخِرَةً أَوْلَى وَهَذَا مُتَنَاقِضٌ وَإِذَا قَالَ مَا: أَدْرَكَ أَوَّلَ صَلَاتِهِ فَالْبَاقِي عَلَيْهِ آخِرُ صَلَاتِهِ وَقَدْ قَالَ بِهَذَا الْمَعْنَى فِي مَوْضِعٍ آخَرَ

 

 

Al-Muzani berkata: “Ia telah menjadikan rakaat ini dalam makna pertama (awal), yaitu membaca Ummul Qur’an dan satu surah, padahal ini bukan hukum rakaat ketiga. Ia juga menjadikannya dalam makna rakaat ketiga Maghrib dengan duduk, padahal ini bukan hukum rakaat pertama. Maka, menjadikannya sebagai rakaat terakhir lebih utama, dan ini kontradiktif. Jika ia mengatakan bahwa yang didapatkannya adalah awal shalatnya, maka sisanya adalah akhir shalatnya. Ia telah menyatakan makna ini di tempat lain.”

 

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ مَا أَدْرَكَ فَهُوَ أَوَّلُ صَلَاتِهِ وَعَنْ الْأَوْزَاعِيِّ أَنَّهُ قَالَ: مَا أَدْرَكَ فَهُوَ أَوَّلُ صَلَاتِهِ

 

 

Al-Muzani berkata: “Telah diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- bahwa apa yang didapatkannya adalah awal shalatnya. Dan dari Al-Auza’i, ia berkata: ‘Apa yang didapatkannya adalah awal shalatnya.'”

 

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَيَقْرَأُ فِي الثَّالِثَةِ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَيُسِرُّ وَيَقْعُدُ وَيُسَلِّمُ فِيهَا هَذَا أَصَحُّ لِقَوْلِهِ: وَأَقْيَسُ عَلَى أَصْلِهِ؛ لِأَنَّهُ يَجْعَلُ كُلَّ مُصَلٍّ لِنَفْسِهِ لَا يُفْسِدُهَا عَلَيْهِ بِفَسَادِهَا عَلَى إمَامِهِ وَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّهُ يَبْتَدِئُ صَلَاتَهُ بِالدُّخُولِ فِيهَا بِالْإِحْرَامِ بِهَا، فَإِنْ فَاتَهُ مَعَ الْإِمَامِ بَعْضُهَا فَكَذَلِكَ الْبَاقِي عَلَيْهِ مِنْهَا آخِرُهَا.

 

 

Al-Muzani berkata: “Maka ia membaca pada rakaat ketiga dengan Ummul Qur’an, merendahkan suara, duduk, dan mengucapkan salam. Ini lebih sahih berdasarkan ucapannya, dan lebih sesuai dengan prinsipnya. Karena ia menjadikan setiap orang yang shalat untuk dirinya sendiri, tidak merusak shalatnya akibat kerusakan shalat imamnya. Mereka telah sepakat bahwa seseorang memulai shalatnya dengan masuk ke dalamnya melalui takbiratul ihram. Jika ia tertinggal sebagian shalat bersama imam, maka sisanya adalah akhir shalatnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Dan seseorang boleh shalat (berjamaah) meskipun ia sudah shalat (sendirian) sebelumnya untuk setiap shalat. Yang pertama adalah kewajibannya, sedangkan yang kedua adalah sunnah karena menaati Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – karena beliau bersabda: ‘Jika kamu datang (ke masjid), maka shalatlah meskipun kamu sudah shalat.'”

 

 

(قَالَ) : وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ إلَّا أَنْ يُومِئَ أَوْمَأَ وَجَعَلَ السُّجُودَ أَخَفَضَ مِنْ الرُّكُوعِ (قَالَ) : وَأُحِبُّ إذَا قَرَأَ آيَةَ رَحْمَةٍ أَنْ يَسْأَلَ أَوْ آيَةَ عَذَابٍ أَنْ يَسْتَعِيذَ وَالنَّاسُ (قَالَ) : وَبَلَغَنَا عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ فَعَلَ ذَلِكَ فِي صَلَاتِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Barangsiapa tidak mampu kecuali hanya memberi isyarat, maka hendaklah dia memberi isyarat dan menjadikan sujud lebih rendah daripada rukuk.” Beliau berkata: “Dan aku suka jika membaca ayat rahmat untuk memohon, atau ayat azab untuk meminta perlindungan, dan orang-orang.” Beliau berkata: “Telah sampai kepada kami dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau melakukan hal itu dalam shalatnya.”

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ صَلَّتْ إلَى جَنْبِهِ امْرَأَةٌ صَلَاةً هُوَ فِيهَا لَمْ تُفْسِدْ عَلَيْهِ وَإِذَا قَرَأَ السَّجْدَةَ سَجَدَ فِيهَا. وَسُجُودُ الْقُرْآنِ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَجْدَةً سِوَى سَجْدَةِ ” ص ” فَإِنَّهَا سَجْدَةُ شُكْرٍ وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ سَجَدَ فِي الْحَجِّ سَجْدَتَيْنِ وَقَالَ فُضِّلَتْ بِأَنَّ فِيهَا سَجْدَتَيْنِ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْجُدُ فِيهَا سَجْدَتَيْنِ (قَالَ) : وَسَجَدَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي {إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ} الانشقاق: 1 وَعُمَرُ فِي {وَالنَّجْمِ} النجم: 1 (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ فِي الْمُفَصَّلِ سُجُودًا وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلَيْسَتْ بِفَرْضٍ وَاحْتُجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَجَدَ وَتَرَكَ وَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – إنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَكْتُبْهَا عَلَيْنَا إلَّا أَنْ نَشَاءَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seorang wanita shalat di sampingnya dalam shalat yang dia lakukan, hal itu tidak membatalkan shalatnya. Dan jika dia membaca ayat sajdah, dia bersujud di dalamnya. Sujud dalam Al-Qur’an ada empat belas, selain sujud dalam Surah ‘Shad’ karena itu adalah sujud syukur.” Diriwayatkan dari Umar—semoga Allah meridhainya—bahwa dia bersujud dua kali dalam Surah Al-Hajj dan berkata, “Surah ini diutamakan karena memiliki dua sujud.” Ibnu Umar juga biasa bersujud dua kali di dalamnya. Beliau berkata: “Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—pernah bersujud dalam Surah ‘Idzas-samaa’un-syaqqat’ (Al-Insyiqaq: 1), dan Umar bersujud dalam Surah ‘Wan-najmi’ (An-Najm: 1).” Asy-Syafi’i berkata: “Itu adalah bukti bahwa dalam Al-Mufashshal terdapat sujud. Barangsiapa tidak bersujud, itu bukan kewajiban. Dijadikan dalil bahwa Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—pernah bersujud dan juga meninggalkannya. Umar bin Al-Khaththab—semoga Allah meridhainya—berkata: ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak mewajibkannya atas kita kecuali jika kita menghendakinya.'”

 

 

وَيُصَلِّي فِي الْكَعْبَةِ الْفَرِيضَةَ وَالنَّافِلَةَ وَعَلَى ظَهْرِهَا إنْ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْبِنَاءِ مَا يَكُونُ سُتْرَةً لِمُصَلٍّ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَمْ يُصَلِّ إلَى غَيْرِ شَيْءٍ مِنْ الْبَيْتِ، وَيَقْضِي الْمُرْتَدُّ كُلَّ مَا تَرَكَ فِي الرِّدَّةِ.

 

 

Dan dia shalat di Ka’bah baik shalat fardhu maupun sunnah, begitu pula di atasnya jika ada bangunan yang bisa menjadi sutrah (pembatas) bagi orang yang shalat. Jika tidak ada, maka janganlah shalat menghadap ke bagian mana pun dari Ka’bah. Orang yang murtad harus mengqadha semua yang dia tinggalkan selama dalam kemurtadan.

بَابُ سُجُودِ السَّهْوِ وَسُجُودِ الشُّكْرِ

Bab Sujud Sahwi dan Sujud Syukur

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَمَنْ شَكَّ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ أَثْلَاثًا صَلَّى أَمْ أَرْبَعًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَبْنِيَ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، وَكَذَلِكَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِذَا فَرَغَ مِنْ التَّشَهُّدِ سَجَدَ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ قَبْلَ التَّسْلِيمِ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَبِحَدِيثِ ابْنِ بُحَيْنَةَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ سَجَدَ قَبْلَ التَّسْلِيمِ» (قَالَ) : وَإِنْ ذَكَرَ أَنَّهُ فِي الْخَامِسَةِ سَجَدَ، أَوْ لَمْ يَسْجُدْ قَعَدَ فِي الرَّابِعَةِ، أَوْ لَمْ يَقْعُدْ فَإِنَّهُ يَجْلِسُ لِلرَّابِعَةِ وَيَتَشَهَّدُ وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Barangsiapa ragu dalam shalatnya, tidak tahu apakah sudah tiga atau empat rakaat, maka ia harus membangun (shalatnya) berdasarkan apa yang diyakininya. Demikian pula sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -: Jika telah selesai dari tasyahud, sujudlah dua sujud sahwi sebelum salam. Beliau berargumen dalam hal ini dengan hadits Abu Sa’id Al-Khudri – radhiyallahu ‘anhu – dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan hadits Ibnu Buhainah: “Dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau sujud sebelum salam.” (Beliau berkata): Jika ia ingat bahwa ia telah sujud pada rakaat kelima, atau belum sujud, atau duduk pada rakaat keempat, atau belum duduk, maka ia harus duduk untuk rakaat keempat, bertasyahud, lalu sujud sahwi.

 

 

فَإِنْ نَسِيَ الْجُلُوسَ مِنْ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ فَذَكَرَ فِي ارْتِفَاعِهِ وَقَبْلَ انْتِصَابِهِ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إلَى الْجُلُوسِ، ثُمَّ يَبْنِي عَلَى صَلَاتِهِ وَإِنْ ذَكَرَ بَعْدَ اعْتِدَالِهِ فَإِنَّهُ يَمْضِي وَإِنْ جَلَسَ فِي الْأُولَى فَذَكَرَ قَامَ وَبَنَى وَعَلَيْهِ سَجْدَتَا السَّهْوِ وَإِنْ ذَكَرَ فِي الثَّانِيَةِ أَنَّهُ نَاسٍ لِسَجْدَةٍ مِنْ أُولَى بَعْدَمَا اعْتَدَلَ قَائِمًا فَلْيَسْجُدْ لِلْأُولَى حَتَّى تَتِمَّ قَبْلَ الثَّانِيَةِ وَإِنْ ذَكَرَ بَعْدَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ الثَّانِيَةِ أَنَّهُ نَسِيَ سَجْدَةً مِنْ الْأُولَى، فَإِنَّ عَمَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ كَلَا عَمَلٍ فَإِذَا سَجَدَ فِيهَا كَانَتْ مِنْ حُكْمِ الْأُولَى وَتَمَّتْ الْأُولَى بِهَذِهِ السَّجْدَةِ وَسَقَطَتْ الثَّانِيَةُ.

 

 

Jika seseorang lupa duduk setelah rakaat kedua lalu ingat saat bangun sebelum tegak sempurna, maka ia harus kembali duduk, kemudian melanjutkan shalatnya. Jika ia ingat setelah tegak sempurna, maka ia harus terus melanjutkan. Jika ia duduk pada rakaat pertama lalu ingat, ia harus berdiri dan melanjutkan shalat dengan melakukan sujud sahwi. Jika pada rakaat kedua ia ingat bahwa ia lupa satu sujud dari rakaat pertama setelah tegak berdiri, maka ia harus sujud untuk rakaat pertama sebelum menyelesaikan rakaat kedua. Jika ia ingat setelah selesai rakaat kedua bahwa ia lupa satu sujud dari rakaat pertama, maka seluruh amalan pada rakaat kedua dianggap tidak ada. Ketika ia sujud pada rakaat kedua, sujud itu dihitung untuk rakaat pertama, sehingga rakaat pertama sempurna dengan sujud tersebut dan rakaat kedua gugur.

 

 

وَإِنْ ذَكَرَ فِي الرَّابِعَةِ أَنَّهُ نَسِيَ سَجْدَةً مِنْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَإِنَّ الْأُولَى صَحِيحَةٌ إلَّا سَجْدَةً وَعَمَلُهُ فِي الثَّانِيَةِ كَلَا عَمَلٍ فَلَمَّا سَجَدَ فِيهَا سَجْدَةً كَانَتْ مِنْ حُكْمِ الْأُولَى وَتَمَّتْ الْأُولَى وَبَطَلَتْ الثَّانِيَةُ وَكَانَتْ الثَّالِثَةُ ثَانِيَةً فَلَمَّا قَامَ فِي ثَالِثَةٍ قَبْلَ أَنْ يُتِمَّ الثَّانِيَةَ الَّتِي كَانَتْ عِنْدَهُ ثَالِثَةً كَانَ عَمَلُهُ كَلَا عَمَلٍ فَلَمَّا سَجَدَ فِيهَا سَجْدَةً كَانَتْ مِنْ حُكْمِ الثَّانِيَةِ فَتَمَّتْ الثَّانِيَةُ وَبَطَلَتْ الثَّالِثَةُ الَّتِي كَانَتْ عِنْدَهُ رَابِعَةً ثُمَّ يَقُومُ فَيَأْتِي بِرَكْعَتَيْنِ وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ بَعْدَ التَّشَهُّدِ وَقَبْلَ السَّلَامِ، وَعَلَى هَذَا الْبَابُ كُلُّهُ وَقِيَاسُهُ.

 

 

Dan jika ia ingat pada rakaat keempat bahwa ia lupa satu sujud dari setiap rakaat, maka rakaat pertama sah kecuali satu sujud, dan amalannya pada rakaat kedua dianggap tidak ada. Ketika ia sujud pada rakaat kedua, sujud itu termasuk hukum rakaat pertama, sehingga rakaat pertama sempurna dan rakaat kedua batal. Rakaat ketiga menjadi rakaat kedua. Ketika ia berdiri pada rakaat ketiga sebelum menyempurnakan rakaat kedua yang ia anggap sebagai rakaat ketiga, amalannya dianggap tidak ada. Ketika ia sujud pada rakaat itu, sujud tersebut termasuk hukum rakaat kedua, sehingga rakaat kedua sempurna dan rakaat ketiga yang ia anggap sebagai rakaat keempat batal. Kemudian ia berdiri dan melaksanakan dua rakaat, lalu sujud sahwi setelah tasyahud sebelum salam. Demikianlah seluruh bab ini dan qiyasnya.

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ شَكَّ هَلْ سَهَا أَمْ لَا؟ فَلَا سَهْوَ عَلَيْهِ وَإِنْ اسْتَيْقَنَ السَّهْوَ، ثُمَّ شَكَّ هَلْ سَجَدَ لِلسَّهْوِ أَمْ لَا؟ سَجَدَهُمَا وَإِنْ شَكَّ هَلْ سَجَدَ سَجْدَةً أَوَسَجْدَتَيْنِ سَجَدَ أُخْرَى وَإِنْ سَهَا سَهْوَيْنِ، أَوْ أَكْثَرَ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إلَّا سَجْدَتَا السَّهْوِ وَمَا سَهَا عَنْهُ مِنْ تَكْبِيرٍ سِوَى تَكْبِيرَةِ الِافْتِتَاحِ، أَوْ ذِكْرٍ فِي رُكُوعٍ، أَوْ فِي سُجُودٍ، أَوْ جَهَرَ فِيمَا يُسِرُّ بِالْقِرَاءَةِ، أَوْ أَسَرَّ فِيمَا يَجْهَرُ فَلَا سُجُودَ لِلسَّهْوِ إلَّا فِي عَمَلِ الْبَدَنِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika ragu apakah telah lupa (dalam shalat) atau tidak, maka tidak ada kewajiban sujud sahwi baginya. Namun, jika yakin telah lupa lalu ragu apakah sudah sujud sahwi atau belum, hendaknya dia melakukan dua sujud sahwi. Jika ragu apakah sudah sujud sekali atau dua kali, dia harus sujud sekali lagi. Jika melakukan dua kesalahan atau lebih, cukup baginya dua sujud sahwi. Kesalahan seperti meninggalkan takbir (selain takbiratul ihram), zikir dalam rukuk atau sujud, mengeraskan bacaan yang seharusnya pelan, atau memelankan bacaan yang seharusnya keras, tidak mengharuskan sujud sahwi kecuali dalam gerakan fisik (shalat).”

 

 

وَإِنْ ذَكَرَ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ بَعْدَ أَنْ سَلَّمَ فَإِنْ ذَكَرَ قَرِيباً أَعَادَهُمَا وَسَلَّمَ وَإِنْ تَطَاوَلَ ذَلِكَ لَمْ يُعِدْ.

 

 

Dan jika ia ingat dua sujud sahwi setelah salam, jika ingatnya masih dekat (waktunya), maka ia ulangi kedua sujud tersebut lalu salam. Namun jika sudah lama (waktunya), maka tidak perlu mengulanginya.

 

 

وَمَنْ سَهَا خَلْفَ إمَامِهِ فَلَا سُجُودَ عَلَيْهِ وَإِنْ سَهَا إمَامُهُ سَجَدَ مَعَهُ، فَإِنْ لَمْ يَسْجُدْ إمَامُهُ سَجَدَ مِنْ خَلْفِهِ، فَإِنْ كَانَ قَدْ سَبَقَهُ إمَامُهُ بِبَعْضِ صَلَاتِهِ سَجَدَهُمَا بَعْدَ الْقَضَاءِ اتِّبَاعًا لِإِمَامِهِ لَا لِمَا يَبْقَى مِنْ صَلَاتِهِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْقِيَاسُ عَلَى أَصْلِهِ أَنَّهُ إنَّمَا أَسْجُدُ مَعَهُ مَا لَيْسَ مِنْ فَرْضِي فِيمَا أَدْرَكْت مَعَهُ اتِّبَاعًا لِفِعْلِهِ فَإِذَا لَمْ يَفْعَلْ سَقَطَ عَنِّي اتِّبَاعُهُ وَكُلٌّ يُصَلِّي عَنْ نَفْسِهِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : سَمِعْت الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَقُولُ إذَا كَانَتْ سَجْدَتَا السَّهْوِ بَعْدَ التَّسْلِيمِ تَشَهَّدَ لَهُمَا وَإِذَا كَانَتَا قَبْلَ التَّسْلِيمِ أَجْزَأَهُ التَّشَهُّدُ الْأَوَّلُ.

 

 

Barangsiapa lupa di belakang imamnya, maka tidak ada sujud sahwi baginya. Namun jika imamnya lupa, maka dia sujud bersamanya. Jika imam tidak sujud, maka makmum sujud sendiri. Jika imam mendahuluinya dalam sebagian shalatnya, maka makmum melakukan dua sujud sahwi setelah menyelesaikan shalatnya, sebagai bentuk mengikuti imam, bukan untuk sisa shalatnya. (Al-Muzani berkata): Qiyas berdasarkan prinsipnya adalah bahwa aku hanya sujud bersamanya untuk hal yang bukan kewajibanku dalam shalat yang aku ikuti bersamanya, sebagai bentuk mengikuti perbuatannya. Jika imam tidak melakukannya, maka kewajiban mengikutinya gugur dariku, dan masing-masing shalat untuk dirinya sendiri. (Al-Muzani berkata): Aku mendengar Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata: Jika dua sujud sahwi dilakukan setelah salam, maka membaca tasyahud untuk keduanya. Jika dilakukan sebelum salam, maka tasyahud pertama sudah mencukupi.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا تَكَلَّمَ عَامِدًا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ وَإِنْ تَكَلَّمَ سَاهِيًا بَنَى وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ؛ لِأَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – رَوَى «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ تَكَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ سَاهِيًا فَبَنَى» وَكَانَ ذَلِكَ دَلِيلًا عَلَى مَا رَوَى ابْنُ مَسْعُودٍ مِنْ نَهْيِهِ عَنْ الْكَلَامِ فِي الصَّلَاةِ بِمَكَّةَ لَمَّا قَدِمَ مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ وَذَلِكَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ وَأَنَّ ذَلِكَ عَلَى الْعَمْدِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang berbicara dengan sengaja dalam shalat, maka shalatnya batal. Namun, jika ia berbicara karena lupa, ia boleh melanjutkan shalatnya dan melakukan sujud sahwi. Hal ini karena Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – meriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau pernah berbicara di Madinah karena lupa, lalu beliau melanjutkan shalatnya.” Ini menjadi bukti atas riwayat Ibnu Mas’ud tentang larangan berbicara dalam shalat di Makkah ketika beliau kembali dari tanah Habasyah, yang terjadi sebelum hijrah, dan larangan itu berlaku jika dilakukan dengan sengaja.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ سُجُودَ الشُّكْرِ وَيَسْجُدُ الرَّاكِبُ إيمَاءً وَالْمَاشِي عَلَى الْأَرْضِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إذَا كَبَّرَ وَلَا يَسْجُدُ إلَّا طَاهِرًا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَرُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ رَأَى نُغَاشًا فَسَجَدَ شُكْرًا لِلَّهِ» وَسَجَدَ أَبُو بَكْرٍ حِينَ بَلَغَهُ فَتْحُ الْيَمَامَةِ شُكْرًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku menyukai sujud syukur. Orang yang berkendara boleh sujud dengan isyarat, sedangkan yang berjalan di tanah (boleh sujud) dengan menempelkan dahinya ke tanah. Dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya ketika takbir, dan tidak boleh sujud kecuali dalam keadaan suci.” (Al-Muzani berkata): “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau melihat Nughasy lalu bersujud syukur kepada Allah. Juga Abu Bakar yang bersujud syukur ketika mendengar berita kemenangan di Yamamah.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : النُّغَاشُ النَّاقِصُ الْخَلْقِ. .

 

(Al-Muzani berkata): “An-Nughasy adalah makhluk yang cacat.”

بَابُ أَقَلِّ مَا يُجْزِئُ مِنْ عَمَلِ الصَّلَاةِ

 

Bab tentang minimal yang mencukupi dari amalan shalat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَقُلُّ مَا يُجْزِئُ مِنْ عَمَلِ الصَّلَاةِ أَنْ يُحْرِمَ وَيَقْرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ يَبْتَدِئُهَا بِ {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} الفاتحة: 1 إنْ أَحْسَنَهَا وَيَرْكَعَ حَتَّى يَطْمَئِنَّ رَاكِعًا وَيَرْفَعَ حَتَّى يَعْتَدِلَ قَائِمًا وَيَسْجُدَ حَتَّى يَطْمَئِنَّ سَاجِدًا عَلَى الْجَبْهَةِ، ثُمَّ يَرْفَعُ حَتَّى يَعْتَدِلَ جَالِسًا، ثُمَّ يَسْجُدَ الْأُخْرَى كَمَا وَصَفْت، ثُمَّ يَقُومُ حَتَّى يَفْعَلَ ذَلِكَ فِي كُلِّسَ رَكْعَةٍ وَيَجْلِسَ فِي الرَّابِعَةِ وَيَتَشَهَّدَ وَيُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَسْلِيمَةً يَقُولُ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ أَجْزَأْته صَلَاتُهُ وَضَيَّعَ حَظَّ نَفْسِهِ فِيمَا تَرَكَ، وَإِنْ كَانَ لَا يُحْسِنُ أُمَّ الْقُرْآنِ فَيَحْمَدُ اللَّهَ وَيُكَبِّرُهُ مَكَانَ أُمِّ الْقُرْآنِ لَا يُجْزِئُهُ غَيْرُهُ، وَإِنْ كَانَ يُحْسِنُ غَيْرَ أُمِّ الْقُرْآنِ قَرَأَ بِقَدْرِهَا سَبْعَ آيَاتٍ لَا يُجْزِئُهُ دُونَ ذَلِكَ (قَالَ) : فَإِنْ تَرَكَ مِنْ أُمِّ الْقُرْآنِ حَرْفًا وَهُوَ فِي الرَّكْعَةِ رَجَعَ إلَيْهِ وَأَتَمَّهَا وَإِنْ لَمْ يَذْكُرْ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الصَّلَاةِ وَتَطَاوَلَ ذَلِكَ أَعَادَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Minimal yang mencukupi dalam amalan shalat adalah seseorang berihram, membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) yang dimulai dengan {Bismillahirrahmanirrahim} Al-Fatihah: 1 jika dia mampu membacanya, lalu ruku’ hingga thuma’ninah, kemudian bangkit hingga berdiri tegak, lalu sujud hingga thuma’ninah dengan meletakkan dahinya, kemudian bangkit hingga duduk tegak, lalu sujud kedua seperti yang telah dijelaskan, kemudian berdiri untuk melakukan hal yang sama pada setiap rakaat, duduk pada rakaat keempat, membaca tasyahud, bershalawat kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, lalu mengucapkan salam ‘Assalamu ‘alaikum’. Jika melakukan itu, shalatnya sah tetapi dia telah menyia-nyiakan bagian dirinya pada apa yang ditinggalkan. Jika tidak mampu membaca Ummul Qur’an, maka dia membaca tahmid dan takbir sebagai gantinya, tidak ada yang mencukupi selain itu. Jika dia mampu membaca selain Ummul Qur’an, maka dia membaca tujuh ayat yang setara dengannya, kurang dari itu tidak mencukupi. (Imam Syafi’i berkata): Jika meninggalkan satu huruf dari Ummul Qur’an dan dia masih dalam rakaat tersebut, maka dia kembali dan menyempurnakannya. Jika tidak ingat hingga keluar dari shalat dan waktunya telah lama, maka dia mengulangi shalatnya.”

 

بَابُ طُولِ الْقِرَاءَةِ وَقِصَرِهَا

 

Bab Panjang dan Pendeknya Bacaan (dalam Shalat)

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -: وَأُحِبُّ أَنْ يَقْرَأَ فِي الصُّبْحِ مَعَ أُمِّ الْقُرْآنِ بِطِوَالِ الْمُفَصَّلِ وَفِي الظُّهْرِ شَبِيهًا بِقِرَاءَةِ الصُّبْحِ وَفِي الْعَصْرِ نَحْوًا مِمَّا يَقْرَؤُهُ فِي الْعِشَاءِ وَأُحِبُّ أَنْ يَقْرَأَ فِي الْعِشَاءِ بِسُورَةِ الْجُمُعَةِ وَ ” إذَا جَاءَك الْمُنَافِقُونَ ” وَمَا أَشْبَهَهَا فِي الطُّولِ وَفِي الْمَغْرِبِ بِالْعَادِيَاتِ وَمَا أَشْبَهَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah ta’ala – berkata: “Aku suka jika pada shalat Subuh dibaca bersama Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dengan surat-surat panjang dari Al-Mufassal, pada Zhuhur seperti bacaan Subuh, pada Asar semisal bacaan Isya, dan aku suka jika pada Isya dibaca surat Al-Jumu’ah dan ‘Idza Ja’akal Munafiqun’ serta yang serupa panjangnya, sedangkan pada Maghrib dengan surat Al-‘Adiyat dan yang sejenisnya.”

 

بَابُ الصَّلَاةِ بِالنَّجَاسَةِ وَمَوَاضِعِ الصَّلَاةِ مِنْ مَسْجِدٍ وَغَيْرِهِ

Bab tentang shalat dengan najis dan tempat-tempat shalat baik di masjid maupun selainnya.

 

. بَابُ الصَّلَاةِ بِالنَّجَاسَةِ وَمَوَاضِعِ الصَّلَاةِ مِنْ مَسْجِدٍ وَغَيْرِهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا صَلَّى الْجُنُبُ بِقَوْمٍ أَعَادَ وَلَمْ يُعِيدُوا وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَالْعَبَّاسِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : يَقُولُ كَمَا لَا يُجْزِئُ عَنِّي فِعْلُ إمَامِي فَكَذَلِكَ لَا يَفْسُدُ عَلَى فَسَادِ إمَامِي، وَلَوْ كَانَ مَعْنَايَ فِي إفْسَادِهِ مَعْنَاهُ لَمَا جَازَ أَنْ يُحْدِثَ فَيَنْصَرِفُ وَأَبْنِي وَلَا أَنْصَرِفُ وَقَدْ بَطَلَتْ إمَامَتُهُ وَاتِّبَاعِي لَهُ وَلَمْ تَبْطُلْ صَلَاتِي وَلَا طَهَارَتِي بِانْتِقَاضِ طُهْرِهِ.

 

 

Bab Shalat dengan Najis dan Tempat-Tempat Shalat dari Masjid dan Lainnya (Berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah ta’ala-): “Jika seorang junub shalat bersama suatu kaum, maka ia mengulangi shalatnya sedangkan mereka tidak perlu mengulang.” Ia berargumen dalam hal ini dengan Umar bin Al-Khaththab dan Al-Abbas. (Berkata Al-Muzani): “Ia berkata, sebagaimana perbuatan imamku tidak mencukupiku, maka begitu pula shalatku tidak rusak karena kerusakan imamku. Seandainya makna kerusakanku sama dengan makna kerusakannya, tidak boleh baginya berhadats lalu pergi sedangkan aku tetap (shalat), atau aku pergi padahal kepemimpinannya telah batal dan ikutanku kepadanya, sementara shalat dan kesucianku tidak batal karena rusaknya kesuciannya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ صَلَّى رَجُلٌ وَفِي ثَوْبِهِ نَجَاسَةٌ مِنْ دَمٍ، أَوْ قَيْحٍ وَكَانَ قَلِيلًا مِثْلَ دَمِ الْبَرَاغِيثِ وَمَا يَتَعَافَاهُ النَّاسُ لَمْ يُعِدْ وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا أَوْ قَلِيلًا بَوْلًا، أَوْ عَذِرَةً، أَوْ خَمْرًا وَمَا كَانَ فِي مَعْنَى ذَلِكَ أَعَادَ فِي الْوَقْتِ وَغَيْرِ الْوَقْتِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَلَا يَعْدُو مَنْ صَلَّى بِنَجَاسَةٍ مِنْ أَنْ يَكُونَ مُؤَدِّيًا فَرْضَهُ، أَوْ غَيْرَ مُؤَدٍّ وَلَيْسَ ذَهَابُ الْوَقْتِ بِمُزِيلٍ مِنْهُ فَرْضًا لَمْ يُؤَدِّهِ وَلَا إمْكَانُ الْوَقْتِ بِمُوجِبٍ عَلَيْهِ إعَادَةَ فَرْضٍ قَدْ أَدَّاهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang shalat sementara pada bajinya terdapat najis seperti darah atau nanah dalam jumlah sedikit seperti darah kutu atau hal-hal yang dianggap remeh oleh orang-orang, maka ia tidak perlu mengulangi shalatnya. Namun jika najis tersebut banyak atau sedikit berupa air kencing, kotoran, khamar, atau sejenisnya, maka ia wajib mengulangi shalat baik masih dalam waktu shalat maupun sudah lewat waktunya.” (Al-Muzani berkata): “Orang yang shalat dengan membawa najis tidak lepas dari dua keadaan: apakah ia telah menunaikan kewajibannya atau belum. Berakhirnya waktu tidak menghilangkan kewajiban yang belum ia tunaikan, dan masih tersedianya waktu tidak mewajibkan mengulangi kewajiban yang sudah ia tunaikan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ كَانَ مَعَهُ ثَوْبَانِ أَحَدُهُمَا طَاهِرٌ وَالْآخَرُ نَجِسٌ وَلَا يَعْرِفُهُ فَإِنَّهُ يَتَحَرَّى أَحَدَ الثَّوْبَيْنِ فَيُصَلِّي فِيهِ وَيُجْزِئُهُ، وَكَذَلِكَ إنَاءَانِ مِنْ مَاءٍ أَحَدُهُمَا طَاهِرٌ وَالْآخَرُ نَجِسٌ فَإِنَّهُ يَتَوَضَّأُ بِأَحَدِهِمَا عَلَى التَّحَرِّي وَيُجْزِئُهُ وَإِنْ خَفِيَ مَوْضِعُ النَّجَاسَةِ مِنْ الثَّوْبِ غَسَلَهُ كُلَّهُ لَا يُجْزِئُهُ غَيْرُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memiliki dua pakaian, satu suci dan satu najis, namun ia tidak mengetahui mana yang najis, maka ia boleh memilih salah satunya dengan berhati-hati lalu shalat memakainya, dan itu sudah cukup. Demikian pula jika ada dua wadah air, satu suci dan satu najis, ia boleh berwudu dengan salah satunya secara berhati-hati, dan itu sudah cukup. Jika letak najis pada pakaian tidak diketahui, maka ia harus mencuci seluruh pakaian tersebut, tidak cukup selain itu.

 

 

وَإِنْ أَصَابَ ثَوْبَ الْمَرْأَةِ مِنْ دَمِ حَيْضِهَا قَرَصَتْهُ بِالْمَاءِ حَتَّى تُنَقِّيَهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ وَيَجُوزُ أَنْ يُصَلَّى بِثَوْبِ الْحَائِضِ وَالثَّوْبِ الَّذِي جَامَعَ فِيهِ الرَّجُلُ أَهْلَهُ وَإِنْ صَلَّى فِي ثَوْبِ نَصْرَانِيٍّ أَجْزَأَهُ مَا لَمْ يَعْلَمْ فِيهِ قَذِرًا، وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْهُ وَأَصْلُ الْأَبْوَالِ وَمَا خَرَجَ مِنْ مَخْرَجِ حَيٍّ مِمَّا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ أَوْ لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ فَكُلُّ ذَلِكَ نَجَسٌ إلَّا مَا دَلَّ عَلَيْهِ السُّنَّةُ مِنْ الرَّشِّ عَلَى بَوْلِ الصَّبِيِّ مَا لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ وَلَا يَتَبَيَّنُ لِي فَرْقٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَوْلِ الصَّبِيَّةِ، وَلَوْ غُسِلَ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ وَيَفْرُكُ الْمَنِيَّ فَإِنْ صَلَّى بِهِ وَلَمْ يَفْرُكْهُ فَلَا بَأْسَ؛ لِأَنَّ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – قَالَتْ: كُنْت أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ ” وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ أَمِطْهُ عَنْك بِإِذْخِرَةٍ فَإِنَّمَا هُوَ كَبُصَاقٍ أَوْ مُخَاطٍ.

 

 

Jika darah haid wanita mengenai pakaiannya, ia cukup mencucinya dengan air hingga bersih, lalu boleh shalat dengannya. Juga diperbolehkan shalat dengan memakai pakaian wanita haid atau pakaian yang digunakan suami untuk berhubungan dengan istrinya. Jika seseorang shalat dengan pakaian Nasrani, itu sah selama tidak diketahui ada najis padanya, meski pakaian lain lebih aku sukai. Pada dasarnya, semua kencing dan apa yang keluar dari lubang makhluk hidup—baik yang dagingnya dimakan maupun tidak—adalah najis, kecuali yang ditunjukkan oleh Sunnah tentang memerciki kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan. Aku tidak melihat perbedaan antara kencing bayi laki-laki dan perempuan, namun jika dicuci lebih aku sukai. Mani boleh digosok, dan jika shalat dengannya tanpa digosok juga tidak masalah, karena Aisyah ra. berkata: “Aku pernah menggosok mani dari pakaian Rasulullah saw., lalu beliau shalat dengannya.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Bersihkanlah dengan idzkhir, karena ia seperti ludah atau ingus.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُصَلَّى عَلَى جِلْدِ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ إذَا ذُكِّيَ وَفِي صُوفِهِ وَشَعْرِهِ وَرِيشِهِ إذَا أُخِذَ مِنْهُ وَهُوَ حَيٌّ، وَلَا يَصِلُ مَا انْكَسَرَ مِنْ عَظْمِهِ إلَّا بِعَظْمِ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ ذَكِيًّا، فَإِنْ رَقَّعَهُ بِعَظْمِ مَيْتَةٍ أَجْبَرَهُ السُّلْطَانُ عَلَى قَلْعِهِ، فَإِنْ مَاتَ صَارَ مَيِّتَاً كُلُّهُ، وَاَللَّهُ حَسِيبُهُ وَلَا تَصِلُ الْمَرْأَةُ شَعْرَهَا بِشَعْرِ إنْسَانٍ وَلَا شَعْرِ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ بِحَالٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Boleh shalat di atas kulit hewan yang halal dimakan dagingnya jika disembelih, begitu juga pada bulu, rambut, atau bulu burungnya yang diambil saat hewan itu masih hidup. Tidak boleh menyambung tulang yang patah kecuali dengan tulang hewan halal yang disembelih. Jika seseorang menambalnya dengan tulang bangkai, penguasa boleh memaksanya untuk mencabutnya. Jika hewan itu mati, seluruhnya menjadi bangkai, dan Allah yang akan menghisabnya. Seorang wanita tidak boleh menyambung rambutnya dengan rambut manusia atau rambut hewan yang tidak halal dimakan dagingnya dalam keadaan apa pun.”

 

 

وَإِنْ بَالَ رَجُلٌ فِي مَسْجِدٍ، أَوْ أَرْضٍ يُطَهَّرُ بِأَنْ يُصَبَّ عَلَيْهِ ذَنُوبٌ مِنْ مَاءٍ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي – بَوْلِ الْأَعْرَابِيِّ حِينَ بَالَ فِي الْمَسْجِدِ – «صُبُّوا عَلَيْهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهُوَ الدَّلْوُ الْعَظِيمُ وَإِنْ بَالَ اثْنَانِ لَمْ يُطَهِّرْهُ إلَّا دَلْوَانِ وَالْخَمْرُ فِي الْأَرْضِ كَالْبَوْلِ وَإِنْ لَمْ تَذْهَبْ رِيحُهُ.

 

 

Jika seseorang kencing di masjid atau tanah, tempat itu disucikan dengan menyiramkan satu timba air, berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengenai orang Badui yang kencing di masjid, “Siramlah dengan satu timba air.” (Asy-Syafi’i berkata): Itu adalah ember besar. Jika dua orang kencing, tidak disucikan kecuali dengan dua ember. Khamr yang tumpah di tanah seperti kencing, meski baunya tidak hilang.

 

 

وَإِنْ صَلَّى فَوْقَ قَبْرٍ، أَوْ إلَى جَنْبِهِ وَلَمْ يَنْبُشْ أَجْزَأَهُ وَمَا خَالَطَ التُّرَابَ مِنْ نَجِسٍ لَا تُنَشِّفُهُ الْأَرْضُ إنَّمَا يَتَفَرَّقُ فِيهِ فَلَا يُطَهِّرُهُ إلَّا الْمَاءُ وَإِنْ ضُرِبَ لَبَنٌ فِيهِ بَوْلٌ لَمْ يَطْهُرْ إلَّا بِمَا تَطْهُرُ بِهِ الْأَرْضُ مِنْ الْبَوْلِ، وَالنَّارُ لَا تُطَهِّرُ شَيْئًا.

 

 

Dan jika dia shalat di atas kuburan atau di sampingnya tanpa menggali, maka sah shalatnya. Najis yang bercampur dengan tanah dan tidak diserap oleh bumi, ia hanya menyebar di dalamnya, dan tidak dapat disucikan kecuali dengan air. Jika susu dicampur dengan air kencing, ia tidak suci kecuali dengan cara yang digunakan untuk menyucikan tanah dari air kencing. Api tidak dapat menyucikan sesuatu apa pun.

 

 

وَالْبِسَاطُ كَالْأَرْضِ إنْ صَلَّى فِي مَوْضِعٍ مِنْهُ طَاهِرٍ وَالْبَاقِي نَجِسٌ وَلَمْ تَسْقُطْ عَلَيْهِ ثِيَابُهُ أَجْزَأَهُ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَمُرَّ الْجُنُبُ فِي الْمَسْجِدِ مَارًّا وَلَا يُقِيمُ فِيهِ وَتَأَوَّلَ قَوْلَ اللَّهِ – جَلَّ ذِكْرُهُ – {وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ} النساء: 43 (قَالَ) : وَذَلِكَ عِنْدِي مَوْضِعُ الصَّلَاةِ (قَالَ) : وَأَكْرَهُ مَمَرَّ الْحَائِضِ فِيهِ.

 

 

Dan permadani seperti tanah; jika seseorang shalat di bagian yang suci sedangkan sisanya najis, dan pakaiannya tidak terjatuh di atas bagian yang najis, maka shalatnya sah. Tidak mengapa orang yang junub melewati masjid sekadar lewat, tetapi tidak boleh berdiam di dalamnya. Dia menafsirkan firman Allah – Yang Mahatinggi sebutan-Nya – {Dan jangan (pula) yang junub kecuali sekedar berlalu} An-Nisa’: 43. (Dia berkata): “Itu menurutku adalah tempat shalat.” (Dia juga berkata): “Aku tidak menyukai wanita haid melewati masjid.”

 

(قَالَ) :: Tidak mengapa seorang musyrik bermalam di setiap masjid kecuali Masjidil Haram, berdasarkan firman Allah SWT: “Maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.” QS. At-Taubah: 28. (قَالَ الْمُزَنِيّ) :: Jika seorang musyrik bermalam di dalamnya, maka seorang muslim yang junub lebih berhak untuk duduk dan bermalam di dalamnya. Dan aku lebih menyukai pengagungan terhadap masjid daripada seorang musyrik bermalam atau duduk di dalamnya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : «وَالنَّهْيُ عَنْ الصَّلَاةِ فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ اخْتِيَارًا لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: فَإِنَّهَا جِنٌّ مِنْ جِنٍّ خُلِقَتْ» وَكَمَا «قَالَ حِينَ نَامُوا عَنْ الصَّلَاةِ: اُخْرُجُوا بِنَا مِنْ هَذَا الْوَادِي فَإِنَّ بِهِ شَيْطَانًا» فَكَرِهَ قُرْبَهُ لَا لِنَجَاسَةِ الْإِبِلِ وَلَا مَوْضِعًا فِيهِ شَيْطَانٌ وَقَدْ مَرَّ بِالنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – شَيْطَانٌ فَخَنَقَهُ وَلَمْ تَفْسُدْ عَلَيْهِ صَلَاتُهُ وَمَرَاحُ الْغَنَمِ الَّذِي تَجُوزُ فِيهِ الصَّلَاةُ الَّذِي لَا بَوْلَ فِيهِ وَلَا بَعْرَ وَالْعَطَنُ مَوْضِعٌ قُرْبَ الْبِئْرِ الَّذِي يَتَنَحَّى إلَيْهِ الْإِبِلُ لِيَرِدَ غَيْرُهَا الْمَاءَ لَا الْمَرَاحُ الَّذِي تَبِيتُ فِيهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Larangan shalat di tempat unta-unta beristirahat dipilih berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: ‘Sesungguhnya mereka adalah jin dari golongan jin yang diciptakan.'” Dan sebagaimana sabdanya ketika para sahabat tertidur dari shalat: “Keluarlah bersama kami dari lembah ini karena di dalamnya ada setan.” Maka beliau tidak menyukai kedekatan dengannya bukan karena najisnya unta atau tempat yang ada setannya. Sungguh pernah setan melewati Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu beliau mencekiknya, namun shalat beliau tidak batal. Sedangkan kandang kambing yang boleh shalat di dalamnya adalah yang tidak ada kencing atau kotorannya. Al-‘athan adalah tempat dekat sumur yang disinggahi unta untuk minum agar unta lain bisa minum, bukan kandang tempat mereka bermalam.

 

بَابُ السَّاعَاتِ الَّتِي يُكْرَهُ فِيهَا صَلَاةُ التَّطَوُّعِ

 

Bab tentang waktu-waktu yang dimakruhkan untuk shalat sunnah.

 

وَيَجُوزُ فِيهَا الْقَضَاءُ وَالْجِنَازَةُ وَالْفَرِيضَةُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حِبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ» وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِثْلُ ذَلِكَ وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إلَّا بِمَكَّةَ إلَّا بِمَكَّةَ إلَّا بِمَكَّةَ ” وَعَنْ الصُّنَابِحِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «إنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ وَمَعَهَا قَرْنُ الشَّيْطَانِ فَإِذَا ارْتَفَعَتْ فَارَقَهَا فَإِذَا اسْتَوَتْ قَارَنَهَا فَإِذَا زَالَتْ فَارَقَهَا فَإِذَا دَنَتْ لِلْغُرُوبِ قَارَنَهَا فَإِذَا غَرُبَتْ فَارَقَهَا» وَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ الصَّلَاةِ فِي تِلْكَ السَّاعَاتِ وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ نِصْفَ النَّهَارِ حَتَّى تَزُولَ الشَّمْسُ إلَّا يَوْمَ الْجُمُعَةِ» وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ مَنْ وَلِيَ مِنْكُمْ مِنْ أَمْرَ النَّاسِ شَيْئًا فَلَا يَمْنَعَنَّ أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ، أَوْ صَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ، أَوْ نَهَارٍ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبِهَذَا أَقُولُ وَالنَّهْيُ عَنْ الصَّلَاةِ فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ عَنْ التَّطَوُّعِ إلَّا يَوْمَ الْجُمُعَةِ لِلتَّهْجِيرِ حَتَّى يَخْرُجَ الْإِمَامُ فَأَمَّا صَلَاةُ فَرْضٍ، أَوْ جِنَازَةٍ، أَوْ مَأْمُورٍ بِهَا مُؤَكَّدَةً وَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَرْضًا، أَوْ كَانَ يُصَلِّيهَا فَأَغْفَلَهَا فَتُصَلَّى فِي هَذِهِ الْأَوْقَاتِ بِالدَّلَالَةِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي قَوْلِهِ «مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا» «وَبِأَنَّهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – رَأَى قَيْسًا يُصَلِّي بَعْدَ الصُّبْحِ فَقَالَ مَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ؟ قَالَ رَكْعَتَا الْفَجْرِ فَلَمْ يُنْكِرْهُ» «وَبِأَنَّهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ فَسَأَلَتْهُ عَنْهُمَا أُمُّ سَلَمَةَ فَقَالَ هُمَا رَكْعَتَانِ كُنْت أُصَلِّيهِمَا فَشَغَلَنِي عَنْهُمَا الْوَفْدُ» وَثَبَتَ عَنْهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – أَنَّهُ قَالَ «أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ» فَأُحِبُّ فَضْلَ الدَّوَامِ وَصَلَّى النَّاسُ عَلَى جَنَائِزِهِمْ بَعْدَ الْعَصْرِ وَبَعْدَ الصُّبْحِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ نَهْيُهُ عَنْ الصَّلَاةِ فِي السَّاعَاتِ الَّتِي نَهَى فِيهَا عَنْهَا إلَّا عَلَى مَا وَصَفْت وَالنَّهْيُ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ ثَابِتٌ إلَّا بِمَكَّةَ وَلَيْسَ مِنْ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ شَيْءٌ مُخْتَلِفٌ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِيمَنْ نَسِيَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ حَتَّى صَلَّى الظُّهْرَ وَالْوِتْرَ حَتَّى صَلَّى الصُّبْحَ أَنَّهُ لَا يُعِيدُ وَاَلَّذِي قَبْلَ هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ وَأَشْبَهُ عِنْدِي بِأَصْلِهِ.

 

 

Dan di dalamnya diperbolehkan qadha, jenazah, dan fardhu (Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Tidak ada shalat setelah Ashar sampai matahari terbenam dan tidak ada shalat setelah Subuh sampai matahari terbit.” Dari Abu Dzar dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- seperti itu juga. Dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Kecuali di Makkah, kecuali di Makkah, kecuali di Makkah.” Dari Ash-Shunabihi bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Sesungguhnya matahari terbit bersama tanduk setan. Ketika meninggi, ia berpisah. Ketika tegak lurus, ia menyertai. Ketika condong, ia berpisah. Ketika mendekati terbenam, ia menyertai. Ketika terbenam, ia berpisah.” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang shalat pada waktu-waktu itu. Dari Abu Sa’id Al-Khudri: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang shalat di tengah hari sampai matahari condong kecuali pada hari Jumat.” Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Wahai Bani Abdi Manaf, siapa di antara kalian yang mengurus urusan manusia, janganlah menghalangi seorang pun untuk thawaf di Baitullah ini atau shalat kapan saja yang ia kehendaki, malam atau siang.” (Asy-Syafi’i berkata): “Aku berpendapat demikian. Larangan shalat pada waktu-waktu ini adalah untuk shalat sunnah kecuali pada hari Jumat untuk tahjir sampai imam keluar. Adapun shalat fardhu, jenazah, atau yang diperintahkan secara tegas meski bukan fardhu, atau shalat yang biasa dilaksanakan lalu terlupa, maka boleh dilaksanakan pada waktu-waktu ini berdasarkan petunjuk dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam sabdanya: ‘Barangsiapa lupa shalat atau tertidur, hendaknya ia shalat ketika ingat.’ Juga karena beliau -‘alaihis salam- melihat Qais shalat setelah Subuh lalu bertanya: ‘Apa dua rakaat ini?’ Ia menjawab: ‘Dua rakaat fajar.’ Beliau tidak mengingkarinya.’ Juga karena beliau -‘alaihis salam- shalat dua rakaat setelah Ashar lalu Ummu Salamah bertanya tentangnya. Beliau menjawab: ‘Dua rakaat yang biasa aku kerjakan lalu terganggu oleh tamu.’ Telah tetap dari beliau -‘alaihis salam- bahwa beliau bersabda: ‘Amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meski sedikit.’ Maka aku menyukai keutamaan kontinuitas. Orang-orang juga shalat jenazah setelah Ashar dan Subuh. Maka tidak mungkin larangan beliau terhadap shalat pada waktu-waktu yang dilarang kecuali seperti yang kujelaskan. Larangan itu tetap berlaku selain itu kecuali di Makkah. Tidak ada pertentangan dalam hadis-hadis ini.” (Al-Muzani berkata): Aku berkata: Ini bertentangan dengan pendapat beliau tentang orang yang lupa dua rakaat fajar sampai shalat Zhuhur dan Witir sampai shalat Subuh bahwa ia tidak mengulang. Yang sebelumnya lebih sesuai dengan pendapat beliau dan lebih mirip menurutku dengan dasar beliau.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) Berkata Asy-Syafi’i: “Barangsiapa mengingat shalat (yang tertinggal) sedangkan ia sedang mengerjakan shalat lain, hendaknya ia menyelesaikan shalatnya terlebih dahulu, kemudian mengqadha’nya. Jika ia mengingatnya di luar shalat, maka hendaknya memulai dengan shalat yang tertinggal itu. Jika ia khawatir habisnya waktu shalat yang sedang dihadapi, maka mulailah dengan shalat yang sedang dihadapi, kemudian mengqadha’ shalat yang tertinggal.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) Berkata Al-Muzani: “Para sahabat kami berkata bahwa Asy-Syafi’i mengatakan tentang shalat sunnah ada dua pendapat. Salah satunya: shalat berjamaah yang ditekankan, aku tidak membolehkan meninggalkannya bagi yang mampu melakukannya, yaitu shalat dua hari raya, gerhana matahari dan bulan, shalat istisqa’, shalat sendirian, dan sebagian shalat sunnah lebih ditekankan daripada yang lain. Yang paling ditekankan adalah witir, kemudian shalat tahajud, lalu dua rakaat fajar. Barangsiapa meninggalkan salah satunya, keadaannya lebih buruk daripada yang meninggalkan semua shalat sunnah. Mereka berkata: ‘Jika witir terlewat hingga shalat subuh didirikan, maka tidak perlu diqadha’. Jika dua rakaat fajar terlewat hingga shalat zuhur didirikan, maka tidak perlu diqadha’. Aku tidak memberi keringanan bagi seorang muslim untuk meninggalkan salah satunya, meskipun aku tidak mewajibkannya.'”

 

(Dan dia berkata): “Jika witir terlewat, maka tidak perlu diqadha’. Jika dua rakaat fajar terlewat hingga shalat zuhur didirikan, maka tidak perlu diqadha’.” Mereka berkata: “Adapun shalat fardhu, shalat jenazah, atau shalat yang diperintahkan dengan penekanan meskipun bukan fardhu, atau shalat yang biasa dikerjakan lalu terlupa, maka hendaknya dikerjakan pada waktu-waktu yang Rasulullah ﷺ larang berdasarkan petunjuk dari Rasulullah ﷺ dalam sabdanya: ‘Barangsiapa lupa shalat atau tertidur darinya, maka hendaknya mengerjakannya ketika ingat.’ Dan karena Nabi ﷺ melihat Qais shalat setelah subuh, lalu bertanya: ‘Dua rakaat apa ini?’ Qais menjawab: ‘Dua rakaat fajar.’ Maka Nabi tidak mengingkarinya. Dan karena Nabi ﷺ shalat dua rakaat setelah ashar, lalu Ummu Salamah bertanya tentangnya, maka beliau menjawab: ‘Itu dua rakaat yang biasa aku kerjakan, lalu aku disibukkan oleh tamu.’ Dan telah tetap dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: ‘Amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus-menerus meskipun sedikit.’ Dan aku menyukai keutamaan kontinuitas.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) Berkata Al-Muzani: “Dikatakan kepada mereka: ‘Jika kalian menyamakan dalam qadha’ antara shalat sunnah yang tidak terlalu ditekankan dengan shalat fardhu karena kontinuitas shalat sunnah yang tidak terlalu ditekankan, maka mengapa kalian menolak qadha’ witir yang lebih ditekankan, kemudian dua rakaat fajar yang tingkatannya berikutnya dalam penekanan, yang keduanya lebih ditekankan? Apakah kalian mengqadha’ yang tidak terlalu ditekankan tetapi tidak mengqadha’ yang lebih ditekankan? Ini dari segi perkataan tidaklah sulit – dan dengan Allah pertolongan – dan dari argumen kalian adalah sabda Rasulullah ﷺ tentang qadha’ shalat sunnah: ‘Barangsiapa lupa shalat atau tertidur darinya, maka hendaknya mengerjakannya ketika ingat.’ Kalian telah menyelisihi apa yang kalian jadikan hujjah dalam hal ini. Jika mereka berkata: ‘Maka qadha’ itu dilakukan ketika dekat (waktunya), bukan ketika jauh.’ Dikatakan kepada mereka: ‘Jika demikian, seharusnya menurut makna yang kalian katakan, dua rakaat fajar tidak perlu diqadha’ pada tengah hari karena jauhnya waktu qadha’ dari terbit fajar. Sedangkan kalian berkata: ‘Boleh diqadha’ selama belum shalat zuhur.’ Ini bertolak belakang. Dan seharusnya kalian berkata: ‘Jika ia shalat subuh pada waktu fajar, maka boleh baginya mengqadha’ witir karena waktunya lebih dekat dengan fajar.’ Berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: ‘Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk subuh, maka hendaknya berwitir.’ Ini dekat dengan waktunya, tetapi kalian tidak mengatakannya. Dalam hal ini, batalah alasan yang kalian kemukakan.”

 

بَابُ صَلَاةِ التَّطَوُّعِ وَقِيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ

 

Bab tentang shalat sunnah dan shalat malam di bulan Ramadan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : الْفَرْضُ خَمْسٌ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ «لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِلْأَعْرَابِيِّ حِينَ قَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا؟ قَالَ لَا إلَّا أَنْ تَطَوَّعَ»

 

 

Imam Syafi’i—rahimahullah ta’ala—berkata: “Kewajiban shalat ada lima dalam sehari semalam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada seorang badui ketika dia bertanya, ‘Apakah ada kewajiban selain itu?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali jika engkau ingin menambah yang sunnah.'”

 

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالتَّطَوُّعُ وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا صَلَاةُ جَمَاعَةٍ مُؤَكَّدَةٍ فَلَا أُجِيزُ تَرْكَهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهَا وَهِيَ صَلَاةُ الْعِيدَيْنِ وَكُسُوفِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ وَالِاسْتِسْقَاءِ وَصَلَاةِ مُنْفَرِدٍ وَبَعْضُهَا أَوْكَدُ مِنْ بَعْضٍ فَأَوْكَدُ ذَلِكَ الْوِتْرُ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ صَلَاةَ التَّهَجُّدِ، ثُمَّ رَكْعَتَا الْفَجْرِ وَلَا أُرَخِّصُ لِمُسْلِمٍ فِي تَرْكِ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَلَا أُوجِبُهُمَا، وَمَنْ تَرَكَ وَاحِدَةً مِنْهُمَا أَسْوَأُ حَالًا مِمَّنْ تَرَكَ جَمِيعَ النَّوَافِلِ

 

 

Imam Syafi’i berkata: “Shalat sunnah terbagi menjadi dua jenis. Pertama, shalat berjamaah yang ditekankan, dan aku tidak membolehkan meninggalkannya bagi yang mampu melakukannya, yaitu shalat dua hari raya, gerhana matahari dan bulan, shalat istisqa’, serta shalat sendirian. Sebagiannya lebih ditekankan daripada yang lain, dan yang paling ditekankan adalah witir, yang mirip dengan shalat tahajud. Kemudian dua rakaat fajar, dan aku tidak memberi keringanan bagi seorang muslim untuk meninggalkan salah satunya, meski aku tidak mewajibkannya. Orang yang meninggalkan salah satunya lebih buruk keadaannya daripada yang meninggalkan semua shalat sunnah.”

 

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ فَاتَهُ الْوِتْرُ حَتَّى يُصَلِّيَ الصُّبْحَ لَمْ يَقْضِ قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: الْوِتْرُ فِيمَا بَيْنَ الْعِشَاءِ وَالْفَجْرِ

 

 

Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Jika seseorang melewatkan witir hingga shalat Subuh, maka tidak perlu mengqadhanya. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Witir dilakukan antara Isya dan Subuh.'”

 

 

 

(قَالَ) : فَإِنْ فَاتَتْهُ رَكْعَتَا الْفَجْرِ حَتَّى تُقَامَ الظُّهْرُ لَمْ يَقْضِ؛ لِأَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ ” إذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إلَّا الْمَكْتُوبَةَ ” وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى» وَفِي ذَلِكَ دَلَالَتَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّوَافِلَ مَثْنَى مَثْنَى بِسَلَامٍ مَقْطُوعَةً وَالْمَكْتُوبَةَ مَوْصُولَةٌ، وَالْأُخْرَى أَنَّ الْوِتْرَ وَاحِدَةٌ فَيُصَلِّي النَّافِلَةَ مَثْنَى مَثْنَى قَائِمًا وَقَاعِدًا إذَا كَانَ مُقِيمًا، وَإِنْ كَانَ مُسَافِرًا فَحَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ دَابَّتُهُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُصَلِّي الْوِتْرَ عَلَى رَاحِلَتِهِ أَيْنَمَا تَوَجَّهَتْ بِهِ.

 

 

Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Jika seseorang melewatkan dua rakaat fajar hingga shalat Zuhur didirikan, maka tidak perlu mengqadhanya, karena Abu Hurairah berkata, ‘Jika shalat (wajib) telah didirikan, tidak ada shalat lain kecuali yang wajib.’ Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat.’ Dalam hal ini ada dua petunjuk: Pertama, shalat sunnah dilakukan dua rakaat-dua rakaat dengan salam terpisah, sedangkan shalat wajib disambung. Kedua, witir itu satu rakaat, sehingga seseorang boleh shalat sunnah dua rakaat-dua rakaat, baik berdiri maupun duduk jika sedang bermukim. Jika sedang bepergian, maka dia boleh shalat di mana pun kendaraannya menghadap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa shalat witir di atas kendaraannya ke arah mana pun kendaraannya menghadap.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : فَأَمَّا قِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ فَصَلَاةُ الْمُنْفَرِدِ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْهُ وَرَأَيْتهمْ بِالْمَدِينَةِ يَقُومُونَ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَأَحَبُّ إلَيَّ عِشْرُونَ؛ لِأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ، وَكَذَلِكَ يَقُومُونَ بِمَكَّةَ وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ (قَالَ) :

Beliau berkata: “Adapun shalat malam di bulan Ramadhan, maka shalat sendirian lebih aku sukai daripada berjamaah. Aku melihat mereka di Madinah shalat malam dengan 39 rakaat, tapi yang lebih aku sukai adalah 20 rakaat karena diriwayatkan dari Umar. Demikian pula mereka shalat di Mekah dan witir dengan 3 rakaat.”

 

(قَالَ) :: وَلَا يُقْنَتُ فِي رَمَضَانَ إلَّا فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ، وَكَذَلِكَ كَانَ يَفْعَلُ ابْنُ عُمَرَ وَمُعَاذٌ الْقَارِي (قَالَ) :

Beliau berkata: “Dan tidak ada qunut dalam Ramadhan kecuali pada separuh akhir bulan, demikianlah yang dilakukan Ibnu Umar dan Mu’adz al-Qari.”

 

(قَالَ) : وَآخِرُ اللَّيْلِ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَوَّلِهِ، فَإِنْ جَزَّأَ اللَّيْلَ أَثْلَاثًا فَالْأَوْسَطُ أَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَقُومَهُ

Beliau berkata: “Akhir malam lebih aku sukai daripada awalnya. Jika malam dibagi tiga bagian, maka bagian tengah lebih aku sukai untuk shalat malam.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا فِي كِتَابِ اخْتِلَافِهِ وَمَالِكِ قُلْت لِلشَّافِعِيِّ أَيَجُوزُ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ لَيْسَ قَبْلَهَا شَيْءٌ؟ قَالَ نَعَمْ وَاَلَّذِي أَخْتَارُهُ مَا فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصَلِّي إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ وَالْحُجَّةُ فِي الْوِتْرِ بِوَاحِدَةٍ السُّنَّةُ وَالْآثَارُ.

Al-Muzani berkata: “Aku berkata dalam kitab perbedaan pendapatnya dan Malik, aku bertanya kepada Syafi’i: ‘Bolehkah witir dengan satu rakaat tanpa sebelumnya shalat apapun?’ Dia menjawab: ‘Ya, dan yang aku pilih adalah apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ, beliau shalat 11 rakaat dan berwitir dengan satu rakaat. Dalil tentang witir dengan satu rakaat adalah sunnah dan atsar.'”

 

رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى» وَعَنْ عَائِشَةَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصَلِّي إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ» وَأَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَةِ وَالرَّكْعَتَيْنِ مِنْ الْوِتْرِ حَتَّى يَأْمُرَ بِبَعْضِ حَاجَتِهِ وَأَنَّ عُثْمَانَ كَانَ يُحْيِي اللَّيْلَ بِرَكْعَةٍ هِيَ وِتْرُهُ وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ كَانَ يُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ وَأَنَّ مُعَاوِيَةَ أَوْتَرَ بِوَاحِدَةٍ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَصَابَ.

Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda: “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk subuh, maka shalatlah satu rakaat sebagai witir bagi shalat yang telah dikerjakan.” Dari Aisyah: “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ shalat 11 rakaat dan berwitir dengan satu rakaat.” Dan bahwa Ibnu Umar mengucapkan salam antara satu rakaat dan dua rakaat dalam witir sampai memerintahkan sebagian kebutuhannya. Dan bahwa Utsman menghidupkan malam dengan satu rakaat sebagai witirnya. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa dia berwitir dengan satu rakaat. Dan bahwa Mu’awiyah berwitir dengan satu rakaat, lalu Ibnu Abbas berkata: “Dia benar.”

Berikut terjemahannya dalam Bahasa Indonesia:

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata, maka ini lebih utama daripada ucapannya yang berwitir dengan tiga rakaat. Dia telah mengingkari pendapat Malik yang mengatakan tidak suka berwitir kurang dari tiga rakaat dan mengucapkan salam antara rakaat pertama dan dua rakaat dalam witir. Dia berargumen bahwa siapa yang salam setelah dua rakaat, berarti telah memisahkan keduanya dari rakaat setelahnya. Dia juga mengingkari pendapat orang Kufah yang berwitir dengan tiga rakaat seperti Maghrib. Maka witir dengan satu rakaat lebih utama. (Al-Muzani berkata): Aku tidak mengetahui bahwa Asy-Syafi’i menyebutkan tempat qunut dalam witir. Pendapatnya menyerupai qunut setelah rukuk seperti yang dia katakan dalam qunut Subuh. Ketika seseorang mengangkat kepalanya setelah rukuk, dia mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” yang merupakan doa, maka tempat ini lebih mirip dengan qunut yang juga doa. Karena siapa yang berpendapat qunut sebelum rukuk, dia memerintahkan untuk takbir berdiri kemudian berdoa. Hukum orang yang takbir setelah berdiri sebenarnya untuk rukuk, maka ini adalah takbir tambahan dalam shalat yang tidak berdasar pada dalil atau qiyas.

بَابُ فَضْلِ الْجَمَاعَةِ وَالْعُذْرِ بِتَرْكِهَا

 

Bab tentang keutamaan berjamaah dan uzur untuk meninggalkannya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أُرَخِّصُ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ فِي تَرْكِ إتْيَانِهَا إلَّا مِنْ عُذْرٍ وَإِنْ جَمَعَ فِي بَيْتِهِ، أَوْ فِي مَسْجِدٍ وَإِنْ صَغُرَ أَجْزَأَ عَنْهُ، وَالْمَسْجِدُ الْأَعْظَمُ وَحَيْثُ كَثُرَتْ الْجَمَاعَاتُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْهُ وَرُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَأْمُرُ مُنَادِيَهُ فِي اللَّيْلَةِ الْمَطِيرَةِ وَاللَّيْلَةِ ذَاتِ الرِّيحِ أَنْ يَقُولَ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ» وَأَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «إذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ الْغَائِطَ فَلْيَبْدَأْ بِهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ» قَالَ فِيهِ أَقُولُ لِأَنَّ الْغَائِطَ يَشْغَلُهُ عَنْ الْخُشُوعِ قَالَ فَإِذَا حَضَرَ فِطْرُهُ أَوْ طَعَامٌ مُطَرٍّ وَبِهِ إلَيْهِ حَاجَةٌ وَكَانَتْ نَفْسُهُ شَدِيدَةَ التَّوَقَانِ إلَيْهِ أَرْخَصْت لَهُ فِي تَرْكِ إتْيَانِ الْجَمَاعَةِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ احْتَجَّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «إذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ فَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ» (قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَتَأَوَّلَهُ عَلَى هَذَا الْمَعْنَى لِئَلَّا يُشْغِلَهُ مُنَازَعَةُ نَفْسِهِ عَمَّا يَلْزَمُهُ مِنْ فَرْضِ الصَّلَاةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (Imam Syafi’i berkata): Dan aku tidak memberikan keringanan bagi orang yang mampu melaksanakan shalat berjamaah untuk meninggalkannya kecuali karena uzur. Meskipun dia berjamaah di rumahnya atau di masjid sekalipun kecil, itu sudah mencukupi baginya. Namun masjid yang lebih besar dan tempat yang banyak jamaahnya lebih aku sukai. Diriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memerintahkan muadzinnya pada malam hujan dan malam berangin untuk mengumumkan: “Ketahuilah, shalatlah di tempat tinggal kalian.” Dan beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika salah seorang dari kalian merasa ingin buang air besar, hendaknya dia mendahulukannya sebelum shalat.” Imam Syafi’i berkata tentang hal ini: Aku berpendapat demikian karena buang air besar dapat mengganggu kekhusyukan. Beliau berkata: Jika makanan berbuka atau makanan yang sangat diinginkan telah tersedia, dan dia sangat membutuhkannya, serta nafsunya sangat ingin kepadanya, maka aku memberikan keringanan baginya untuk tidak menghadiri jamaah. (Al-Muzani berkata): Dan beliau berhujjah di tempat lain bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika makan malam telah dihidangkan dan iqamah shalat dikumandangkan, maka mulailah dengan makan malam.” (Al-Muzani berkata): Maka beliau menafsirkannya dengan makna ini agar seseorang tidak terganggu oleh pertarungan nafsunya dari apa yang wajib dalam shalat.

 

Gagal diterjemahkan بَابُ صَلَاةِ الْإِمَامِ قَائِمًا بِقُعُودٍ أَوْ قَاعِدًا بِقِيَامٍ

 

أَوْ بِعِلَّةٍ مَا تَحْدُثُ وَصَلَاةُ مَنْ بَلَغَ، أَوْ احْتَلَمَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ لِلْإِمَامِ إذَا لَمْ يَسْتَطِعْ الْقِيَامَ فِي الصَّلَاةِ أَنْ يَسْتَخْلِفَ، فَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا وَصَلَّى الَّذِينَ خَلْفَهُ قِيَامًا أَجْزَأَتْهُ وَإِيَّاهُمْ، وَكَذَلِكَ فَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي مَرَضِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ وَفِعْلُهُ الْآخِرُ نَاسِخٌ لِفِعْلِهِ الْأَوَّلِ وَفَرَضَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْمَرِيضِ أَنْ يُصَلِّيَ جَالِسًا إذَا لَمْ يَقْدِرْ قَائِمًا وَعَلَى الصَّحِيحِ أَنْ يُصَلِّيَ قَائِمًا فَكُلٌّ قَدْ أَدَّى فَرْضَهُ، فَإِنْ صَلَّى الْإِمَامُ لِنَفْسِهِ جَالِسًا رَكْعَةً ثُمَّ قَدَرَ عَلَى الْقِيَامِ قَامَ فَأَتَمَّ صَلَاتَهُ، فَإِنْ تَرَكَ الْقِيَامَ أَفْسَدَ عَلَى نَفْسِهِ وَتَمَّتْ صَلَاتُهُمْ إلَّا أَنْ يَعْلَمُوا بِصِحَّتِهِ، وَتَرْكُهُ الْقِيَامَ فِي الصَّلَاةِ فَيَتَّبِعُونَهُ، وَكَذَلِكَ إنْ صَلَّى قَائِمًا رَكْعَةً، ثُمَّ ضَعُفَ عَنْ الْقِيَامِ، أَوْ أَصَابَتْهُ عِلَّةٌ مَانِعَةٌ فَلَهُ أَنْ يَقْعُدَ وَيَبْنِيَ عَلَى صَلَاتِهِ.

 

 

Atau karena suatu uzur yang terjadi, dan shalatnya orang yang telah baligh atau bermimpi (Asy-Syafi’i berkata): Dan aku suka jika imam tidak mampu berdiri dalam shalat, hendaknya ia mengangkat pengganti. Jika ia shalat sambil duduk sedangkan makmum di belakangnya shalat sambil berdiri, maka itu cukup baginya dan bagi mereka. Demikian pula yang dilakukan Rasulullah ﷺ pada sakit yang menyebabkan wafatnya. Perbuatan terakhir beliau menghapus perbuatan sebelumnya. Allah tabaraka wa ta’ala mewajibkan orang sakit untuk shalat sambil duduk jika tidak mampu berdiri, sedangkan orang yang sehat wajib shalat sambil berdiri. Masing-masing telah menunaikan kewajibannya. Jika imam shalat untuk dirinya sendiri sambil duduk satu rakaat, lalu ia mampu berdiri, maka ia berdiri dan menyempurnakan shalatnya. Jika ia meninggalkan berdiri, ia merusak shalatnya sendiri, tetapi shalat mereka tetap sah kecuali jika mereka tahu tentang kesehatannya dan ia sengaja tidak berdiri dalam shalat, maka mereka mengikutinya. Demikian pula jika ia shalat sambil berdiri satu rakaat, lalu lemah untuk berdiri atau terkena uzur yang menghalangi, maka ia boleh duduk dan melanjutkan shalatnya.

 

 

وَإِنْ صَلَّتْ أَمَةٌ رَكْعَةً مَكْشُوفَةَ الرَّأْسِ، ثُمَّ أُعْتِقَتْ فَعَلَيْهَا أَنْ تَسْتَتِرَ إنْ كَانَ الثَّوْبُ قَرِيبًا مِنْهَا وَتَبْنِيَ عَلَى صَلَاتِهَا فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ، أَوْ كَانَ الثَّوْبُ بَعِيدًا مِنْهَا بَطَلَتْ صَلَاتُهَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: وَكَذَلِكَ الْمُصَلِّي عُرْيَانًا لَا يَجِدُ ثَوْبًا، ثُمَّ يَجِدُهُ وَالْمُصَلِّي خَائِفًا، ثُمَّ يَأْمَنُ وَالْمُصَلِّي مَرِيضًا يُومِئُ ثُمَّ يَصِحُّ، أَوْ يُصَلِّي وَلَا يُحْسِنُ أُمَّ الْقُرْآنِ ثُمَّ يُحْسِنُ أَنَّ مَا مَضَى جَائِزٌ عَلَى مَا كُلِّفَ وَمَا بَقِيَ عَلَى مَا كُلِّفَ وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَعَلَى الْآبَاءِ وَالْأُمَّهَاتِ أَنْ يُؤَدِّبُوا أَوْلَادَهُمْ وَيُعَلِّمُوهُمْ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ وَيَضْرِبُوهُمْ عَلَى ذَلِكَ إذَا عَقَلُوا فَمَنْ احْتَلَمَ، أَوْ حَاضَ، أَوْ اسْتَكْمَلَ خَمْسَ عَشْرَ سَنَةً لَزِمَهُ الْفَرْضُ.

 

 

Jika seorang budak perempuan shalat satu rakaat dengan kepala terbuka, kemudian dimerdekakan, maka ia wajib menutup kepala jika pakaian berada dekat dengannya dan melanjutkan shalatnya. Jika tidak dilakukan, atau pakaian jauh darinya, maka shalatnya batal. (Al-Muzani berkata): Aku berkata: Demikian pula orang yang shalat dalam keadaan telanjang karena tidak menemukan pakaian, kemudian menemukannya; orang yang shalat dalam keadaan takut, kemudian merasa aman; orang yang shalat dalam keadaan sakit dengan isyarat, kemudian sembuh; atau orang yang shalat tanpa menguasai Ummul Quran, kemudian menguasainya—yang telah lalu sah sesuai kemampuannya dan sisanya sesuai kewajibannya. Ini adalah makna perkataan Syafi’i. (Syafi’i berkata): Wajib bagi para ayah dan ibu untuk mendidik anak-anak mereka, mengajarkan thaharah dan shalat, serta memukul mereka jika sudah mengerti. Siapa yang sudah bermimpi (balig), haid, atau genap lima belas tahun, maka wajib baginya (menunaikan) kewajiban.

 

بَابُ اخْتِلَافِ نِيَّةِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

Bab tentang perbedaan niat antara imam dan makmum serta hal-hal lainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا صَلَّى الْإِمَامُ بِقَوْمٍ الظُّهْرَ فِي وَقْتِ الْعَصْرِ وَجَاءَ قَوْمٌ فَصَلَّوْا خَلْفَهُ يَنْوُونَ الْعَصْرَ أَجْزَأَتْهُمْ الصَّلَاةُ جَمِيعًا وَقَدْ أَدَّى كُلٌّ فَرْضَهُ وَقَدْ «أَجَازَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنْ يُصَلِّيَ مَعَهُ الْمَكْتُوبَةَ، ثُمَّ يُصَلِّيَ بِقَوْمِهِ» هِيَ لَهُ نَافِلَةٌ وَلَهُمْ مَكْتُوبَةٌ وَقَدْ كَانَ عَطَاءٌ يُصَلِّي مَعَ الْإِمَامِ الْقُنُوتَ، ثُمَّ يَعْتَدُّ بِهَا مِنْ الْعَتَمَةِ فَإِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ قَامَ فَبَنَى رَكْعَتَيْنِ مِنْ الْعَتَمَةِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَإِذَا جَازَ أَنْ يَأْتَمَّ الْمُصَلِّي نَافِلَةً خَلْفَ الْمُصَلِّي فَرِيضَةً فَكَذَلِكَ الْمُصَلِّي فَرِيضَةً خَلْفَ الْمُصَلِّي نَافِلَةً وَفَرِيضَةً وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang imam shalat Zhuhur bersama suatu kaum pada waktu Asar, lalu datang sekelompok orang lain dan shalat di belakangnya dengan niat shalat Asar, maka shalat mereka semua sah. Setiap orang telah menunaikan kewajibannya. Rasulullah ﷺ pernah mengizinkan Mu’adz bin Jabal untuk shalat wajib bersamanya, kemudian ia shalat lagi bersama kaumnya. Bagi Mu’adz itu adalah shalat sunnah, sedangkan bagi kaumnya adalah shalat wajib. ‘Atha’ pernah shalat qunut bersama imam, lalu ia menganggapnya sebagai shalat Isya. Ketika imam mengucapkan salam, ia berdiri dan menyempurnakan dua rakaat lagi dari shalat Isya. (Al-Muzani berkata): Jika boleh seseorang shalat sunnah di belakang orang yang shalat wajib, maka demikian pula seseorang yang shalat wajib di belakang orang yang shalat sunnah atau wajib. Dan dengan pertolongan Allah.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا أَحَسَّ الْإِمَامُ بِرَجُلٍ وَهُوَ رَاكِعٌ لَمْ يَنْتَظِرْهُ وَلْتَكُنْ صَلَاتُهُ خَالِصَةً لِلَّهِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا وَرَأَيْت فِي رِوَايَةِ بَعْضِهِمْ عَنْهُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِانْتِظَارِهِ وَالْأَوْلَى عِنْدِي أَوْلَى بِالصَّوَابِ لِتَقْدِيمِهَا عَلَى مَنْ قَصَّرَ فِي إتْيَانِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika imam menyadari ada seseorang yang sedang rukuk, jangan menunggunya, dan hendaknya shalatnya ikhlas karena Allah.” (Al-Muzani berkata) : Aku berkata dan melihat dalam riwayat sebagian mereka darinya bahwa tidak mengapa menunggunya, dan yang lebih utama menurutku lebih dekat kepada kebenaran karena mendahulukannya atas orang yang lalai dalam melakukannya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُؤْتَمُّ بِالْأَعْمَى وَبِالْعَبْدِ وَأَكْرَهُ إمَامَةَ مَنْ يَلْحَنَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُحِيلُ الْمَعْنَى، فَإِنْ أَحَالَ، أَوْ لَفَظَ بِالْعَجَمِيَّةِ فِي أُمِّ الْقُرْآنِ أَجْزَأَتْهُ دُونَهُمْ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِهَا أَجْزَأَتْهُمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Boleh mengikuti (shalat di belakang) orang buta dan budak, namun aku tidak menyukai imam yang salah dalam membaca (lahn), karena dapat mengubah makna. Jika ia mengubah makna atau mengucapkan bahasa non-Arab dalam Ummul Qur’an (Al-Fatihah), shalatnya sah tetapi tidak bagi makmum. Namun jika kesalahan terjadi di selain Al-Fatihah, shalat mereka tetap sah.

 

 

وَأَكْرَهُ إمَامَةَ مَنْ بِهِ تَمْتَمَةٌ أَوْ فَأْفَأَةٌ، فَإِنْ أَمَّ أَجْزَأَ إذَا قَرَأَ مَا يُجْزِئُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا يَؤُمُّ أَرَتُّ وَلَا أَلْثَغُ وَلَا يَأْتَمُّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا بِخُنْثَى، فَإِنْ فَعَلَ أَعَادَ.

 

 

Dan aku tidak menyukai imam yang memiliki kegagapan atau kesulitan berbicara. Jika dia menjadi imam, itu sah asalkan dia membaca bacaan yang sah dalam shalat. Orang yang gagap atau tidak jelas ucapannya tidak boleh menjadi imam. Seorang laki-laki tidak boleh bermakmum kepada perempuan atau khuntsa. Jika melakukannya, maka dia harus mengulangi shalatnya.

 

 

وَأَكْرَهُ إمَامَةَ الْفَاسِقِ وَالْمُظْهِرِ لِلْبِدَعِ وَلَا يُعِيدُ مَنْ ائْتَمَّ بِهِمَا، فَإِنْ أَمَّ أُمِّيٌّ بِمَنْ يَقْرَأُ أَعَادَ الْقَارِئُ وَإِنْ ائْتَمَّ بِهِ مِثْلُهُ أَجْزَأَهُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَدْ أَجَازَ صَلَاةَ مَنْ ائْتَمَّ بِجُنُبٍ وَالْجُنُبُ لَيْسَ فِي صَلَاةٍ فَكَيْفَ لَا يَجُوزُ مَنْ ائْتَمَّ بِأُمِّيٍّ وَالْأُمِّيُّ فِي صَلَاةٍ وَقَدْ وُضِعَتْ الْقِرَاءَةُ عَنْ الْأُمِّيِّ وَلَمْ يُوضَعْ الطُّهْرُ عَنْ الْمُصَلِّي وَأَصْلُهُ أَنَّ كُلًّا مُصَلٍّ عَنْ نَفْسِهِ فَكَيْفَ يُجْزِئُهُ خَلْفَ الْعَاصِي بِتَرْكِ الْغُسْلِ وَلَا يُجْزِئُهُ خَلْفَ الْمُطِيعِ الَّذِي لَمْ يُقَصِّرْ وَقَدْ احْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَّى قَاعِدًا بِقِيَامٍ وَفَقْدُ الْقِيَامِ أَشَدُّ مِنْ فَقْدِ الْقِرَاءَةِ فَنَفْهَمُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْقِيَاسُ أَنَّ كُلَّ مُصَلٍّ خَلْفَ جُنُبٍ وَامْرَأَةٍ وَمَجْنُونٍ وَكَافِرٍ يُجْزِئُهُ صَلَاتُهُ إذَا لَمْ يَعْلَمْ بِحَالِهِمْ لِأَنَّ كُلَّ مُصَلٍّ لِنَفْسِهِ لَا نُفْسِدُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ بِفَسَادِهَا عَلَى غَيْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَصْلِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي صَلَاةِ الْخَوْفِ لِلطَّائِفَةِ الثَّانِيَةِ رَكْعَتُهَا مَعَ الْإِمَامِ إذَا نَسِيَ سَجْدَةً مِنْ الْأُولَى وَقَدْ بَطَلَتْ هَذِهِ الرَّكْعَةُ الثَّانِيَةُ عَلَى الْإِمَامِ وَأَجْزَأَتْهُمْ عِنْدَهُ (قَالَ) : وَلَا يَكُونُ هَذَا أَكْثَرَ مِمَّنْ تَرَكَ أُمَّ الْقُرْآنِ فَقَدْ أَجَازَ لِمَنْ صَلَّى رَكْعَةً يَقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَإِنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا إمَامُهُ وَهُوَ فِي مَعْنَى مَا وَصَفْت.

 

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Aku tidak menyukai imam yang fasik dan yang menampakkan bid’ah, dan orang yang bermakmum kepada keduanya tidak perlu mengulangi shalat. Jika seorang ummi (yang tidak bisa membaca Al-Qur’an) menjadi imam bagi orang yang bisa membaca, maka makmum yang bisa membaca harus mengulangi shalatnya. Namun jika yang bermakmum juga ummi, maka shalatnya sah. (Al-Muzani berkata): Telah dibolehkan shalat orang yang bermakmum kepada orang junub, padahal orang junub tidak dalam keadaan shalat. Maka bagaimana tidak boleh bermakmum kepada ummi, sedangkan ummi dalam keadaan shalat? Bacaan telah dihapus dari ummi, tetapi bersuci tidak dihapus dari orang yang shalat. Pada dasarnya, setiap orang shalat untuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa sah bermakmum kepada orang yang bermaksiat karena tidak mandi, tetapi tidak sah bermakmum kepada orang yang taat yang tidak lalai? Dia berargumen bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat sambil duduk diimami oleh orang yang shalat berdiri, padahal tidak berdiri lebih berat daripada tidak membaca. Maka kami memahaminya. (Al-Muzani berkata): Qiyas menunjukkan bahwa setiap orang yang shalat bermakmum kepada orang junub, wanita, orang gila, atau kafir, shalatnya sah jika tidak mengetahui keadaan mereka. Karena setiap orang shalat untuk dirinya sendiri, kita tidak merusak shalatnya karena shalat orang lain rusak. Ini dianalogikan dengan pendapat asli Syafi’i tentang shalat khauf untuk kelompok kedua, yang rakaatnya bersama imam ketika imam lupa satu sujud dari rakaat pertama. Rakaat kedua itu batal bagi imam tetapi sah bagi mereka menurutnya. (Dia berkata): Hal ini tidak lebih parah daripada orang yang meninggalkan Ummul Qur’an (Al-Fatihah). Dia telah membolehkan orang yang shalat satu rakaat dengan membaca Ummul Qur’an meskipun imamnya tidak membacanya, dan ini sesuai dengan makna yang telah dijelaskan.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ ائْتَمَّ بِكَافِرٍ ثُمَّ عَلِمَ أَعَادَ وَلَمْ يَكُنْ هَذَا إسْلَامًا مِنْهُ وَعُزِّرَ؛ لِأَنَّ الْكَافِرَ لَا يَكُونُ إمَامًا بِحَالٍ وَالْمُؤْمِنَ يَكُونُ إمَامًا فِي الْأَحْوَالِ الظَّاهِرَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang shalat bermakmum kepada orang kafir kemudian mengetahuinya, maka ia harus mengulangi shalatnya. Hal ini tidak dianggap sebagai keislamannya (orang kafir itu) dan ia harus dihukum, karena orang kafir tidak boleh menjadi imam dalam keadaan apapun, sedangkan orang beriman boleh menjadi imam dalam keadaan-keadaan yang zahir.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ أَحْرَمَ فِي مَسْجِدٍ، أَوْ غَيْرِهِ ثُمَّ جَاءَ الْإِمَامُ فَتَقَدَّمَ بِجَمَاعَةٍ فَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُكْمِلَ رَكْعَتَيْنِ وَيُسَلِّمَ يَكُونَانِ لَهُ نَافِلَةً وَيَبْتَدِئُ الصَّلَاةَ مَعَهُ وَكَرِهْت لَهُ أَنْ يَفْتَتِحَهَا صَلَاةَ انْفِرَادٍ ثُمَّ يَجْعَلَهَا صَلَاةَ جَمَاعَةٍ وَهَذَا يُخَالِفُ صَلَاةَ الَّذِينَ افْتَتَحَ بِهِمْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الصَّلَاةَ، ثُمَّ ذَكَرَ فَانْصَرَفَ فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّهُمْ؛ لِأَنَّهُمْ افْتَتَحُوا الصَّلَاةَ جَمَاعَةً وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ: قَالَ قَائِلٌ يَدْخُلُ مَعَ الْإِمَامِ وَيَعْتَدُّ بِمَا مَضَى (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا عِنْدِي عَلَى أَصْلِهِ أَقْيَسُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ فَلَمْ يَضُرَّهُمْ وَصَحَّ إحْرَامُهُمْ وَلَا إمَامَ لَهُمْ ثُمَّ ابْتَدَأَ بِهِمْ وَقَدْ سَبَقُوهُ بِالْإِحْرَامِ، وَكَذَلِكَ سَبَقَهُ أَبُو بَكْرٍ بِبَعْضِ الصَّلَاةِ، ثُمَّ جَاءَ فَأَحْرَمَ وَائْتَمَّ بِهِ أَبُو بَكْرٍ وَهَكَذَا الْقَوْلُ بِهَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ وَهُوَ الْقِيَاسُ عِنْدِي عَلَى فِعْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa yang memulai shalat di masjid atau tempat lainnya, kemudian imam datang dan memimpin jamaah, maka lebih aku sukai jika ia menyempurnakan dua rakaat lalu salam, sehingga itu menjadi shalat sunnah baginya, kemudian memulai shalat lagi bersama imam. Dan aku tidak menyukai jika ia memulai shalat sendirian lalu mengubahnya menjadi shalat berjamaah, karena ini bertentangan dengan shalat orang-orang yang Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memulai shalat bersama mereka, kemudian beliau ingat sesuatu lalu pergi mandi, kemudian kembali dan mengimami mereka; karena mereka memulai shalat secara berjamaah. Dalam pendapat lamanya, beliau berkata: Sebagian orang berkata, ia bisa bergabung dengan imam dan menganggap rakaat yang telah dilakukannya. (Al-Muzani berkata): Menurutku, ini lebih sesuai dengan kaidah asal; karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak sedang shalat sehingga tidak merugikan mereka, dan ihram mereka sah meskipun tidak ada imam bagi mereka, kemudian beliau memulai shalat bersama mereka padahal mereka sudah lebih dulu berihram. Demikian juga Abu Bakar telah mendahului beliau dalam sebagian shalat, kemudian beliau datang dan berihram, lalu Abu Bakar bermakmum kepadanya. Begitulah pendapat berdasarkan dua hadis ini, dan itulah qiyas menurutku berdasarkan perbuatan beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam-.

 

بَابُ مَوْقِفِ الْمَأْمُومِ مَعَ الْإِمَامِ

 

Bab tentang posisi makmum bersama imam

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَمَّ رَجُلٌ رَجُلًا قَامَ الْمَأْمُومُ عَنْ يَمِينِهِ وَإِنْ كَانَ خُنْثَى مُشْكِلًا، أَوْ امْرَأَةً قَامَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا خَلْفَهُ وَحْدَهُ وَرُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَّ أَنَسًا وَعَجُوزًا مُنْفَرِدَةً خَلْفَ أَنَسٍ» «وَرَكَعَ أَبُو بَكْرٍ وَحْدَهُ وَخَافَ أَنْ تَفُوتَهُ الرَّكْعَةُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَلَمْ يَأْمُرْهُ بِإِعَادَةٍ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seorang laki-laki mengimami laki-laki lain, maka makmum berdiri di sebelah kanannya. Jika makmum adalah khuntsa musykil (orang yang memiliki alat kelamin ganda) atau seorang perempuan, maka masing-masing berdiri sendiri di belakang imam. Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah mengimami Anas dan seorang nenek yang berdiri sendiri di belakang Anas. Juga diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah rukuk sendiri karena khawatir kehilangan rakaat, lalu dia menceritakannya kepada Nabi ﷺ, namun Nabi tidak memerintahkannya untuk mengulang.”

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ صَلَّتْ بَيْنَ يَدَيْهِ امْرَأَةٌ أَجْزَأَتْهُ صَلَاتُهُ «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُصَلِّي وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ كَاعْتِرَاضِ الْجِنَازَةِ» .

 

 

Beliau berkata: “Jika seorang wanita shalat di depannya, shalatnya tetap sah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat sementara Aisyah berbaring di antara beliau dan kiblat seperti posisi jenazah.”

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ صَلَّى رَجُلٌ فِي طَرَفِ الْمَسْجِدِ وَالْإِمَامُ فِي طَرَفِهِ وَلَمْ تَتَّصِلْ الصُّفُوفُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ، أَوْ فَوْقَ ظَهْرِ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ صَلَّى أَبُو هُرَيْرَةَ فَوْقَ ظَهْرِ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang shalat di ujung masjid sedangkan imam berada di ujung lainnya, dan shaf-shaf tidak bersambung antara dirinya dengan imam, atau di atas atap masjid dengan mengikuti shalat imam, maka hal itu sudah mencukupinya. Abu Hurairah pernah shalat di atas atap masjid dengan mengikuti shalat imam di dalam masjid.”

 

 

(قَالَ) : فَإِنْ صَلَّى قُرْبَ الْمَسْجِدِ وَقُرْبُهُ مَا يَعْرِفُهُ النَّاسُ مِنْ أَنْ يَتَّصِلَ بِشَيْءٍ بِالْمَسْجِدِ لَا حَائِلَ دُونَهُ فَيُصَلِّيَ مُنْقَطِعًا عَنْ الْمَسْجِدِ، أَوْ فِنَائِهِ عَلَى قَدْرِ مِائَتَيْ ذِرَاعٍ أَوَثَلَثِمِائَةٍ، أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَإِذَا جَاوَزَ ذَلِكَ لَمْ يَجْزِهِ، وَكَذَلِكَ الصَّحْرَاءُ وَالسَّفِينَةُ وَالْإِمَامُ فِي أُخْرَى، وَلَوْ أَجَزْت أَبْعَدَ مِنْ هَذَا أَجَزْت أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى مِيلٍ وَمَذْهَبُ عَطَاءٍ أَنْ يُصَلِّيَ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ مَنْ عَلِمَهَا وَلَا أَقُولُ بِهَذَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَدْ أَجَازَ الْقُرْبَ فِي الْإِبِلِ بِلَا تَأْقِيتُ وَهُوَ عِنْدِي أَوْلَى؛ لِأَنَّ التَّأْقِيتِ لَا يُدْرَكُ إلَّا بِخَبَرٍ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang shalat dekat masjid, dan kedekatannya adalah sebagaimana yang dikenal orang, yaitu terhubung dengan sesuatu yang berkaitan dengan masjid tanpa penghalang, lalu ia shalat terpisah dari masjid atau halamannya sejauh dua ratus hasta atau tiga ratus hasta, atau sekitar itu. Jika melebihi jarak tersebut, maka tidak sah. Begitu pula di padang pasir, kapal, dan imam berada di tempat lain. Seandainya aku membolehkan lebih jauh dari ini, berarti aku membolehkan shalat sejauh satu mil. Pendapat Atha’ adalah bahwa orang yang mengetahui shalat imam boleh shalat mengikutinya, tapi aku tidak berpendapat demikian.” Al-Muzani berkata: “Dia membolehkan kedekatan (dalam shalat) pada unta tanpa batasan tertentu, dan menurutku ini lebih utama, karena batasan hanya diketahui melalui riwayat.”

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang shalat di rumah dekat masjid, shalatnya tidak sah kecuali jika shaf-shaf (barisan) bersambung dan tidak ada penghalang antara dia dan masjid. Adapun shalat di lantai atas rumah, tidak sah dalam keadaan apa pun karena terpisah dari masjid. Diriwayatkan dari Aisyah bahwa beberapa wanita shalat di kamarnya, lalu beliau bersabda: ‘Janganlah kalian shalat mengikuti imam karena kalian terhalang (dari imam)’.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ خَرَجَ مِنْ إمَامَةِ الْإِمَامِ فَأَتَمَّ لِنَفْسِهِ لَمْ يَبِنْ أَنْ يُعِيدَ مِنْ قِبَلِ أَنَّ الرَّجُلَ خَرَجَ مِنْ صَلَاةِ مُعَاذٍ بَعْدَ مَا افْتَتَحَ مَعَهُ فَصَلَّى لِنَفْسِهِ فَأَعْلَمَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِذَلِكَ فَلَمْ نَعْلَمْهُ أَمَرَهُ بِالْإِعَادَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa keluar dari imamnya (meninggalkan shalat berjamaah) lalu menyempurnakan shalatnya sendiri, tidak jelas apakah ia harus mengulang. Hal ini karena ada seorang lelaki yang keluar dari shalatnya Muadz setelah memulai bersamanya, lalu shalat sendiri dan memberitahu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang hal itu, namun kami tidak mengetahui beliau memerintahkannya untuk mengulang.

 

بَابُ صَلَاةِ الْإِمَامِ وَصِفَةِ الْأَئِمَّةِ

Bab tentang shalat imam dan sifat-sifat para imam.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَصَلَاةُ الْأَئِمَّةِ مَا قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَا صَلَّيْت خَلْفَ أَحَدٍ قَطُّ أَخَفَّ وَلَا أَتَمَّ صَلَاةً مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَرُوِيَ عَنْهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – أَنَّهُ قَالَ «فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمْ السَّقِيمَ وَالضَّعِيفَ» (قَالَ) : فَيَؤُمُّهُمْ أَقْرَؤُهُمْ وَأَفْقَهُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَؤُمُّهُمْ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، فَإِنْ لَمْ يَجْتَمِعْ ذَلِكَ فِي وَاحِدٍ، فَإِنْ قُدِّمَ أَفْقَهُهُمْ إذَا كَانَ يَقْرَأُ مَا يُكْتَفَى بِهِ فِي الصَّلَاةِ فَحَسَنٌ وَإِنْ قَدَّمَ أَقْرَأَهُمْ إذَا عَلِمَ مَا يَلْزَمُهُ فَحَسَنٌ وَيُقَدَّمُ هَذَانِ عَلَى أَسَنَّ مِنْهُمَا وَإِنَّمَا قِيلَ: يَؤُمُّهُمْ أَقْرَؤُهُمْ أَنَّ مَنْ مَضَى كَانُوا يُسْلِمُونَ كِبَارًا فَيَتَفَقَّهُونَ قَبْلَ أَنْ يَقْرَءُوا وَمَنْ بَعْدَهُمْ كَانُوا يَقْرَءُونَ صِغَارًا قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهُوا فَإِنْ اسْتَوَوْا أَمَّهُمْ أَسَنُّهُمْ، فَإِنْ اسْتَوَوْا فَقُدِّمَ ذُو النَّسَبِ فَحَسَنٌ وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ، فَإِنْ اسْتَوَوْا فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً وَقَالَ فِيهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ» (قَالَ) : فَإِنْ أَمَّ مَنْ بَلَغَ غَايَةً فِي خِلَافِ الْحَمْدِ فِي الدِّينِ أَجْزَأَ صَلَّى ابْنُ عُمَرَ خَلْفَ الْحَجَّاجِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Shalat para imam sebagaimana yang dikatakan Anas bin Malik, “Aku tidak pernah shalat di belakang seorang pun yang lebih ringan dan lebih sempurna shalatnya daripada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam.” Dan diriwayatkan darinya – ‘alaihis salam – bahwa beliau bersabda, “Hendaklah dia meringankan (shalat), karena di antara mereka ada yang sakit dan lemah.” (Imam Syafi’i berkata): Maka yang menjadi imam adalah yang paling pandai membaca Al-Qur’an dan paling faqih di antara mereka, berdasarkan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, “Yang menjadi imam adalah yang paling pandai membaca Kitabullah.” Jika kedua sifat itu tidak terkumpul dalam satu orang, maka jika didahulukan yang lebih faqih selama dia bisa membaca bacaan yang cukup dalam shalat, itu baik. Dan jika didahulukan yang lebih pandai membaca selama dia mengetahui kewajibannya, itu juga baik. Kedua orang ini didahulukan daripada yang lebih tua dari mereka. Alasan dikatakan “yang paling pandai membaca” adalah karena generasi awal masuk Islam ketika sudah dewasa sehingga mereka mempelajari fikih sebelum belajar membaca, sedangkan generasi setelahnya belajar membaca ketika masih kecil sebelum mempelajari fikih. Jika mereka setara, maka yang lebih tua yang menjadi imam. Jika masih setara, maka didahulukan yang memiliki nasab (keturunan) yang lebih baik, itu juga baik. Dalam kitab Al-Qadim disebutkan, jika mereka setara, maka yang lebih dahulu hijrah. Dan dalam kitab itu juga disebutkan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, “Para imam itu dari Quraisy.” (Imam Syafi’i berkata): Jika yang menjadi imam adalah orang yang mencapai puncak dalam menyelisihi pujian dalam agama, shalatnya tetap sah. Ibnu Umar pernah shalat di belakang Al-Hajjaj.

 

(قَالَ) :: وَلَا يَتَقَدَّمُ أَحَدٌ فِي بَيْتِ رَجُلٍ إلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا فِي وِلَايَةِ سُلْطَانٍ بِغَيْرِ أَمْرِهِ وَلَا فِي بَيْتِ رَجُلٍ، أَوْ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُؤَدِّي إلَى تَأَذِّيه.

 

Dia berkata, “Janganlah seseorang memasuki rumah seorang lelaki tanpa izinnya, tidak pula wilayah kekuasaan seorang sultan tanpa perintahnya, atau rumah lelaki maupun selainnya, karena hal itu dapat menyakiti hatinya.”

 

بَابُ إمَامَةِ الْمَرْأَةِ

Bab tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Shalat

 

بَابُ إمَامَةِ الْمَرْأَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا صَلَّتْ بِنِسْوَةٍ الْعَصْرَ فَقَامَتْ وَسَطَهُنَّ وَرُوِيَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا أَمَّتْهُنَّ فَقَامَتْ وَسَطَهُنَّ وَعَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّهُ كَانَ يَأْمُرُ جَارِيَةً لَهُ تَقُومُ بِأَهْلِهِ فِي رَمَضَانَ وَعَنْ صَفْوَانَ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ مِنْ السُّنَّةِ أَنْ تُصَلِّيَ الْمَرْأَةُ بِنِسَاءٍ تَقُومُ وَسَطَهُنَّ.

 

 

Bab Imamah Perempuan (Berkata Asy-Syafi’i): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Laits dari ‘Atha’ dari ‘Aisyah bahwa ia pernah shalat Asar bersama para wanita dengan berdiri di tengah-tengah mereka. Diriwayatkan pula dari Ummu Salamah bahwa ia mengimami mereka dengan berdiri di tengah-tengah mereka. Dari Ali bin Husain – semoga Allah meridhai keduanya – bahwa ia pernah memerintahkan seorang budak perempuannya untuk mengimami keluarganya di bulan Ramadan. Dan dari Shafwan bin Sulaim, ia berkata, “Termasuk sunnah adalah seorang perempuan shalat mengimami wanita-wanita dengan berdiri di tengah-tengah mereka.”

بَابُ صَلَاةِ الْمُسَافِرِ وَالْجَمْعِ فِي السَّفَرِ

 

Bab tentang shalat musafir dan mengumpulkan shalat dalam perjalanan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا سَافَرَ الرَّجُلُ سَفَرًا يَكُونُ سِتَّةً وَأَرْبَعِينَ مِيلًا بِالْهَاشِمِيِّ فَلَهُ أَنْ يَقْصُرَ الصَّلَاةَ سَافَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمْيَالًا فَقَصَرَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَقْصُرُ إلَى جُدَّةَ وَإِلَى الطَّائِفِ وَعُسْفَانَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَقْرَبُ ذَلِكَ إلَى مَكَّةَ سِتَّةٌ وَأَرْبَعُونَ مِيلًا بِالْهَاشِمِيِّ وَسَافَرَ ابْنُ عُمَرَ إلَى رِئْمٍ فَقَصَرَ قَالَ مَالِكٌ وَذَلِكَ نَحْوٌ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرْدٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang melakukan perjalanan sejauh 46 mil menurut ukuran Hasyimi, maka ia boleh mengqashar shalat. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah melakukan perjalanan beberapa mil lalu mengqashar shalat. Ibnu Abbas berkata: ‘Aku mengqashar shalat ketika perjalanan ke Jeddah, Thaif, dan Usfan.'” (Imam Syafi’i berkata): “Jarak terdekat dari Makkah adalah 46 mil menurut ukuran Hasyimi. Ibnu Umar pernah melakukan perjalanan ke Ri’m lalu mengqashar shalat.” Malik berkata: “Itu kira-kira sejauh 4 burd.”

 

 

(قَالَ) : وَأَكْرَهُ تَرْكَ الْقَصْرِ رَغْبَةً عَنْ السُّنَّةِ فَأَمَّا أَنَا فَلَا أُحِبُّ أَنْ أَقْصُرَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ احْتِيَاطًا عَلَى نَفْسِي وَإِنَّ تَرْكَ الْقَصْرِ مُبَاحٌ لِي، قَصَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَتَمَّ.

 

 

Beliau berkata: “Aku tidak suka meninggalkan qashar karena tidak menyukai sunnah. Adapun aku, aku tidak suka melakukan qashar dalam kurang dari tiga hari sebagai bentuk kehati-hatian bagi diriku, meskipun meninggalkan qashar adalah boleh bagiku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qashar dan juga menyempurnakan shalat.”

 

 

(قَالَ) : وَلَا يَقْصُرُ إلَّا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ فَأَمَّا الْمَغْرِبُ وَالصُّبْحُ فَلَا يُقْصَرَانِ وَلَهُ أَنْ يُفْطِرَ فِي أَيَّامِ رَمَضَانَ فِي سَفَرِهِ وَيَقْضِيَ، فَإِنْ صَامَ فِيهِ أَجْزَأَهُ وَقَدْ صَامَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي رَمَضَانَ فِي سَفَرٍ وَإِذَا نَوَى السَّفَرَ فَلَا يَقْصُرُ حَتَّى يُفَارِقَ الْمَنَازِلَ إنْ كَانَ حَضَرِيًّا وَيُفَارِقَ مَوْضِعَهُ إنْ كَانَ بَدَوِيًّا، فَإِنْ نَوَى السَّفَرَ فَأَقَامَ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ أَتَمَّ الصَّلَاةَ وَصَامَ وَاحْتَجَّ فِيمَنْ أَقَامَ أَرْبَعَةً يُتِمُّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَ بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلَاثًا «وَبِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَقَامَ بِمِنًى ثَلَاثًا يَقْصُرُ وَقَدِمَ مَكَّةَ فَأَقَامَ قَبْلَ خُرُوجِهِ إلَى عَرَفَةَ ثَلَاثًا يَقْصُرُ» وَلَمْ يَحْسِبْ الْيَوْمَ الَّذِي قَدِمَ فِيهِ لِأَنَّهُ كَانَ فِيهِ سَائِرًا وَلَا يَوْمَ التَّرْوِيَةِ الَّذِي خَرَجَ فِيهِ سَائِرًا وَأَنَّ عُمَرَ أَجْلَى أَهْلَ الذِّمَّةِ مِنْ الْحِجَازِ وَضَرَبَ لِمَنْ يَقْدَمُ مِنْهُمْ تَاجِرًا مَقَامَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فَأَشْبَهَ مَا وَصَفْت أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ مَقَامَ السَّفَرِ وَمَا جَاوَزَهُ مَقَامَ الْإِقَامَةِ وَرُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ مَنْ أَقَامَ أَرْبَعًا أَتَمَّ وَعَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ مِنْ أَجْمَعَ إقَامَةَ أَرْبَعٍ أَتَمَّ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا جَاوَزَ أَرْبَعًا لِحَاجَةٍ أَوْ مَرَضٍ وَهُوَ عَازِمٌ عَلَى الْخُرُوجِ أَتَمَّ وَإِنْ قَصَرَ أَعَادَ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي خَوْفٍ، أَوْ حَرْبٍ فَيَقْصُرُ، قَصَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَامَ الْفَتْحِ لِحَرْبِ هَوَازِنَ سَبْعَ عَشْرَةَ أَوْ ثَمَانِ عَشْرَةَ (وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ) إنْ أَقَامَ عَلَى شَيْءٍ يُنْجِحُ الْيَوْمَ وَالْيَوْمَيْنِ أَنَّهُ لَا يَزَالُ يَقْصُرُ مَا لَمْ يَجْمَعْ مُكْثًا أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِمَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ سَبْعَ عَشْرَةَ، أَوْ ثَمَانِ عَشْرَةَ يَقْصُرُ حَتَّى خَرَجَ إلَى حُنَيْنٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَمَشْهُورٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ أَقَامَ بِأَذْرَبِيجَانَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ يَقْصُرُ يَقُولُ أَخْرُجُ الْيَوْمَ وَأَخْرُجُ غَدًا.

 

 

Beliau berkata: “Tidak boleh mengqashar shalat kecuali pada shalat Zhuhur, Ashar, dan Isya yang terakhir. Adapun Maghrib dan Subuh, tidak boleh diqashar. Dia boleh berbuka di hari-hari Ramadan saat bepergian dan mengqadhanya. Jika dia berpuasa, itu sudah cukup. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpuasa di Ramadan saat bepergian. Jika berniat bepergian, dia tidak boleh mengqashar sampai meninggalkan pemukiman jika dia orang kota, atau meninggalkan tempatnya jika dia orang badui. Jika berniat bepergian lalu menetap selama empat hari, dia harus menyempurnakan shalat dan berpuasa. Dia berargumen tentang orang yang menetap empat hari harus menyempurnakan shalat dengan hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Seorang Muhajir boleh tinggal di Mekkah setelah menyelesaikan manasiknya selama tiga hari,’ dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah tinggal di Mina selama tiga hari sambil mengqashar shalat, serta tiba di Mekkah lalu tinggal sebelum keluar ke Arafah selama tiga hari sambil mengqashar. Beliau tidak menghitung hari kedatangan karena masih dalam perjalanan, juga hari Tarwiyah karena beliau keluar dalam keadaan bepergian. Juga karena Umar mengusir ahli dzimmah dari Hijaz dan memberi batas tiga hari bagi pedagang mereka yang datang, sehingga mirip dengan apa yang dijelaskan bahwa itu adalah masa bepergian, dan lebih dari itu adalah masa menetap. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan, ‘Barangsiapa menetap empat hari, harus menyempurnakan shalat,’ dan dari Ibnul Musayyib, ‘Barangsiapa berniat menetap empat hari, harus menyempurnakan.’

 

Asy-Syafi’i berkata: “Jika melebihi empat hari karena kebutuhan atau sakit sambil tetap berniat keluar, dia harus menyempurnakan shalat. Jika mengqashar, dia harus mengulang kecuali dalam keadaan takut atau perang, maka boleh mengqashar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengqashar shalat saat Fathu Mekkah karena perang Hawazin selama tujuh belas atau delapan belas hari.” Dalam Al-Imla’, Beliau berkata: “Jika menetap untuk urusan yang diselesaikan dalam satu atau dua hari, dia tetap boleh mengqashar selama tidak berniat menetap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah tinggal di Mekkah saat Fathu Mekkah selama tujuh belas atau delapan belas hari sambil mengqashar sampai keluar ke Hunain.”

 

Al-Muzani berkata: “Diriwayatkan terkenal dari Ibnu Umar bahwa dia tinggal di Azerbaijan selama enam bulan sambil mengqashar shalat, dengan berkata, ‘Aku akan keluar hari ini atau besok.'”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَإِذَا قَصَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي حَرْبِهِ سَبْعَ عَشَرَةَ، أَوْ ثَمَانِ عَشَرَةَ، ثُمَّ ابْنُ عُمَرَ وَلَا عَزَمَ عَلَى وَقْتِ إقَامَةٍ فَالْحَرْبُ وَغَيْرُهَا سَوَاءٌ عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَوْ قَالَهُ قَائِلٌ كَانَ مَذْهَبًا

(Al-Muzani berkata): “Jika Nabi ﷺ mengqashar shalat dalam peperangannya sebanyak tujuh belas atau delapan belas (hari), kemudian Ibnu Umar (juga melakukannya) tanpa menetapkan durasi bermukim, maka menurut qiyasku, peperangan dan lainnya adalah sama. Syafi’i pernah berkata, ‘Seandainya ada yang berpendapat demikian, itu bisa menjadi mazhab.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ خَرَجَ فِي آخِرِ وَقْتِ الصَّلَاةِ قَصَرَ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الْوَقْتِ لَمْ يَقْصُرْ

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang bepergian di akhir waktu shalat, ia boleh mengqashar. Namun jika setelah waktu shalat habis, ia tidak boleh mengqashar.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ أَنْ يُتِمَّ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ: إنْ أَمْكَنَتْ الْمَرْأَةَ الصَّلَاةُ فَلَمْ تُصَلِّ حَتَّى حَاضَتْ، أَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهَا لَزِمَتْهَا، وَإِنْ لَمْ تُمْكِنْ لَمْ تَلْزَمْهَا فَكَذَلِكَ إذَا دَخَلَ عَلَيْهِ وَقْتُهَا وَهُوَ مُقِيمٌ لَزِمَتْهُ صَلَاةُ مُقِيمٍ وَإِنَّمَا تَجِبُ عِنْدَهُ بِأَوَّلِ الْوَقْتِ وَالْإِمْكَانِ وَإِنَّمَا وَسِعَ لَهُ التَّأْخِيرُ إلَى آخِرِ الْوَقْتِ.

(Al-Muzani berkata): “Yang lebih dekat dengan pendapatnya (Syafi’i) adalah menyempurnakan (shalat), karena ia berpendapat: ‘Jika seorang wanita mampu shalat tetapi tidak melakukannya hingga haid atau pingsan, ia tetap wajib. Jika tidak mampu, tidak wajib.’ Begitu pula jika waktu shalat masuk saat seseorang sedang bermukim, ia wajib shalat seperti orang bermukim. Kewajiban itu berlaku baginya sejak awal waktu dan kemampuan. Ia hanya diberi kelonggaran untuk menunda hingga akhir waktu.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Tidak boleh baginya shalat dua rakaat dalam perjalanan kecuali jika ia berniat mengqashar saat takbiratul ihram. Jika ia bertakbiratul ihram tanpa berniat qashar, maka ia tetap pada kewajiban asalnya yaitu empat rakaat. Seandainya shalat wajibnya dua rakaat, niscaya musafir tidak boleh shalat bermakmum kepada muqim.” (Al-Muzani berkata): “Ini bukan hujjah, bagaimana mungkin bisa menjadi hujjah sementara ia membolehkan shalat fardhu di belakang nafilah, padahal nafilah bukan fardhu atau sebagian fardhu. Dua rakaat musafir itu fardhu, dan dalam empat rakaat terdapat kewajiban seperti dua rakaat.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِنْ نَسِيَ صَلَاةً فِي سَفَرٍ فَذَكَرَهَا فِي حَضَرٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَهَا صَلَاةَ حَضَرٍ؛ لِأَنَّ عِلَّةَ الْقَصْرِ هِيَ النِّيَّةُ وَالسَّفَرُ فَإِذَا ذَهَبَتْ الْعِلَّةُ ذَهَبَ الْقَصْرُ وَإِذَا نَسِيَ صَلَاةَ حَضَرٍ فَذَكَرَهَا فِي سَفَرٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَهَا أَرْبَعًا؛ لِأَنَّ أَصْلَ الْفَرْضِ أَرْبَعٌ فَلَا يُجْزِئْهُ أَقَلُّ مِنْهَا وَإِنَّمَا أُرَخِّصُ لَهُ فِي الْقَصْرِ مَا دَامَ وَقْتُ الصَّلَاةِ قَائِمًا وَهُوَ مُسَافِرٌ فَإِذَا زَالَ وَقْتُهَا ذَهَبَتْ الرُّخْصَةُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seseorang lupa mengerjakan shalat dalam perjalanan lalu ingat di tempat tinggal, maka ia wajib menunaikannya sebagai shalat tamam (lengkap), karena sebab qashar adalah niat dan safar. Jika sebab itu hilang, maka hilang pula qashar. Dan jika ia lupa mengerjakan shalat tamam lalu ingat dalam perjalanan, maka ia wajib menunaikannya empat rakaat, karena asal kewajiban adalah empat rakaat, sehingga tidak sah jika kurang dari itu. Keringanan qashar hanya berlaku selama waktu shalat masih ada dan ia dalam keadaan safar. Jika waktu shalat telah habis, maka keringanan itu pun hilang.”

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ أَحْرَمَ يَنْوِي الْقَصْرَ، ثُمَّ نَوَى الْمُقَامَ أَتَمَّهَا أَرْبَعًا وَمَنْ خَلْفَهُ مِنَ الْمُسَافِرِينَ وَلَوْ أَحْرَمَ فِي مَرْكَبٍ، ثُمَّ نَوَى السَّفَرَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَقْصُرَ وَإِنْ أَحْرَمَ خَلْفَ مُقِيمٍ، أَوْ خَلْفَ مَنْ لَا يَدْرِي فَأَحْدَثَ الْإِمَامُ كَانَ عَلَى الْمُسَافِرِ أَنْ يُتِمَّ أَرْبَعًا وَإِنْ أَحْدَثَ إمَامٌ مُسَافِرٌ بِمُسَافِرِينَ فَسَدَتْ صَلَاتُهُ فَإِنْ عَلِمَ الْمَأْمُومُ أَنَّهُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ إلَّا رَكْعَتَانِ وَإِنْ شَكَّ لَمْ يُجْزِهِ إلَّا أَرْبَعٌ.

 

 

(Dia berkata): “Jika seseorang memulai shalat dengan niat mengqashar, lalu berniat untuk menetap, maka ia harus menyempurnakannya menjadi empat rakaat, begitu pula orang-orang yang bepergian di belakangnya. Sekiranya ia memulai shalat di dalam kendaraan, lalu berniat untuk bepergian, ia tidak boleh mengqashar. Jika ia memulai shalat di belakang imam yang menetap, atau di belakang imam yang tidak diketahui keadaannya, lalu imam batal, maka orang yang bepergian itu wajib menyempurnakan shalatnya menjadi empat rakaat. Jika seorang imam yang bepergian bersama rombongan yang juga bepergian batal shalatnya, maka shalatnya rusak. Jika makmum tahu bahwa imam telah shalat dua rakaat, maka ia hanya wajib shalat dua rakaat. Namun jika ragu, ia tidak boleh kecuali shalat empat rakaat.”

 

 

فَإِنْ رَعَفَ وَخَلْفَهُ مُسَافِرُونَ وَمُقِيمُونَ فَقَدَّمَ مُقِيمًا كَانَ عَلَى جَمِيعِهِمْ وَعَلَى الرَّاعِفِ أَنْ يُصَلُّوا أَرْبَعًا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُكْمِلْ وَاحِدٌ مِنْهُمْ الصَّلَاةَ حَتَّى كَانَ فِيهَا فِي صَلَاةِ مُقِيمٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا غَلَطٌ الرَّاعِفُ يَبْتَدِئُ وَلَمْ يَأْتَمَّ بِمُقِيمٍ فَلَيْسَ عَلَيْهِ وَلَا عَلَى الْمُسَافِرِ إتْمَامٌ، وَلَوْ صَلَّى الْمُسْتَخْلَفُ بَعْدَ حَدَثِهِ أَرْبَعًا لَمْ يُصَلِّ هُوَ إلَّا رَكْعَتَانِ؛ لِأَنَّهُ مُسَافِرٌ لَمْ يَأْتَمَّ بِمُقِيمٍ.

 

 

Jika imam mengalami mimisan dan di belakangnya ada musafir serta mukim, lalu ia mengangkat seorang mukim sebagai pengganti, maka seluruh jamaah dan imam yang mimisan wajib menyempurnakan shalat menjadi empat rakaat. Sebab, tidak ada satu pun dari mereka yang menyelesaikan shalat kecuali dalam keadaan shalat mukim. (Al-Muzani berkata) Ini keliru. Imam yang mimisan memulai shalat sendiri dan tidak mengikuti mukim, sehingga ia dan musafir tidak wajib menyempurnakan shalat. Seandainya pengganti shalat empat rakaat setelah imam batal, maka imam (musafir) hanya shalat dua rakaat karena statusnya sebagai musafir yang tidak mengikuti mukim.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا كَانَ لَهُ طَرِيقَانِ يَقْصُرُ فِي أَحَدِهِمَا وَلَا يَقْصُرُ فِي الْآخَرِ، فَإِنْ سَلَكَ الْأَبْعَدَ لِخَوْفٍ، أَوْ حُزُونَةٍ فِي الْأَقْرَبِ قَصَرَ وَإِلَّا لَمْ يَقْصُرْ وَفِي الْإِمْلَاءِ إنْ سَلَكَ الْأَبْعَدَ قَصَرَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا عِنْدِي أَقْيَسُ؛ لِأَنَّهُ سَفَرٌ مُبَاحٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seseorang memiliki dua jalan, di mana salah satunya memungkinkan qashar dan yang lain tidak, maka jika ia mengambil jalan yang lebih jauh karena rasa takut atau kesulitan di jalan yang lebih dekat, ia boleh mengqashar. Jika tidak, maka tidak boleh mengqashar. Dalam Al-Imla’ disebutkan bahwa jika ia mengambil jalan yang lebih jauh, ia boleh mengqashar.” (Al-Muzani berkata) : “Menurutku ini lebih tepat karena itu adalah perjalanan yang diperbolehkan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَيْسَ لِأَحَدٍ سَافَرَ فِي مَعْصِيَةٍ أَنْ يَقْصُرَ وَلَا يَمْسَحَ مَسْحَ الْمُسَافِرِ، فَإِنْ فَعَلَ أَعَادَ وَلَا تَخْفِيفَ عَلَى مَنْ سَفَرُهُ فِي مَعْصِيَةٍ وَإِنْ صَلَّى مُسَافِرٌ بِمُقِيمِينَ وَمُسَافِرِينَ فَإِنَّهُ يُصَلِّي وَالْمُسَافِرُونَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسَلِّمُ بِهِمْ وَيَأْمُرُ الْمُقِيمِينَ أَنْ يُتِمُّوا أَرْبَعًا، وَكُلُّ مُسَافِرٍ فَلَهُ أَنْ يُتِمَّ وَإِنَّمَا رُخِّصَ لَهُ أَنْ يَقْصُرَ الصَّلَاةَ إنْ شَاءَ، فَإِنْ أَتَمَّ فَلَهُ الْإِتْمَامُ وَكَانَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ يُتِمُّ الصَّلَاةَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Tidak boleh bagi seseorang yang bepergian untuk maksiat mengqashar shalat atau mengusap khuf seperti musafir. Jika dia melakukannya, maka dia harus mengulanginya. Tidak ada keringanan bagi orang yang bepergian untuk maksiat. Jika seorang musafir shalat bersama orang yang mukim dan musafir, maka dia shalat dua rakaat bersama musafir lainnya, lalu mengucapkan salam bersama mereka, dan memerintahkan orang yang mukim untuk menyempurnakan shalat empat rakaat. Setiap musafir boleh menyempurnakan shalat, karena keringanan mengqashar shalat adalah pilihan. Jika dia memilih menyempurnakan, maka itu boleh. Utsman bin Affan biasa menyempurnakan shalat.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

وَاحْتَجَّ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ «بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَمَعَ فِي سَفَرِهِ إلَى تَبُوكَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ جَمِيعًا» وَأَنَّ ابْنَ عُمَرَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِي وَقْتِ الْعِشَاءِ «وَأَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي السَّفَرِ؟ كَانَ إذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَهُوَ فِي مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي وَقْتِ الزَّوَالِ وَإِذَا سَافَرَ قَبْلَ الزَّوَالِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعَصْرِ فِي وَقْتِ الْعَصْرِ»

Dan ia berargumen tentang menggabungkan dua shalat dalam perjalanan, “karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah menggabungkan dalam perjalanannya ke Tabuk antara Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya sekaligus.” Juga karena Ibnu Umar pernah menggabungkan Maghrib dan Isya pada waktu Isya. “Dan karena Ibnu Abbas berkata, ‘Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang shalat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam perjalanan? Jika matahari tergelincir dan beliau masih di rumahnya, beliau menggabungkan Zhuhur dan Ashar pada waktu tergelincir. Jika beliau bepergian sebelum tergelincir, beliau mengakhirkan Zhuhur hingga menggabungkannya dengan Ashar pada waktu Ashar.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَحْسَبُهُ فِي الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِثْلَ ذَلِكَ وَهَكَذَا فَعَلَ بِعَرَفَةَ؛ لِأَنَّهُ أَرْفَقُ بِهِ تَقْدِيمُ الْعَصْرِ لِيَتَّصِلَ لَهُ الدُّعَاءُ وَأَرْفَقُ بِهِ بِالْمُزْدَلِفَةِ تَأْخِيرُ الْمَغْرِبِ لِيَتَّصِلَ لَهُ السَّفَرُ فَلَا يَنْقَطِعُ بِالنُّزُولِ لِلْمَغْرِبِ كَمَا فِي ذَلِكَ مِنْ التَّضْيِيقِ عَلَى النَّاسِ فَدَلَّتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى أَنَّ مَنْ لَهُ الْقَصْرُ فَلَهُ الْجَمْعُ كَمَا وَصَفْت وَالْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي أَيِّ الْوَقْتَيْنِ شَاءَ وَلَا يُؤَخِّرُ الْأُولَى عَنْ وَقْتِهَا إلَّا بِنِيَّةِ الْجَمْعِ وَإِنْ صَلَّى الْأُولَى فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا وَلَمْ يَنْوِ مَعَ التَّسْلِيمِ الْجَمْعَ لَمْ يَكُنْ لَهُ الْجَمْعُ، فَإِنْ نَوَى مَعَ التَّسْلِيمِ الْجَمْعَ كَانَ لَهُ الْجَمْعُ

(Asy-Syafi’i berkata): “Aku menduga dalam Maghrib dan Isya juga seperti itu, dan begitulah yang beliau lakukan di Arafah; karena lebih memudahkan baginya dengan mengawalkan Ashar agar doanya bersambung, dan lebih memudahkan di Muzdalifah dengan mengakhirkan Maghrib agar perjalanannya tetap berlanjut tanpa terputus karena berhenti untuk Maghrib, yang bisa menyulitkan orang. Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menunjukkan bahwa siapa yang berhak mengqashar, maka ia juga berhak menjamak, seperti yang kujelaskan. Dan menjamak dua shalat boleh pada salah satu dari dua waktu yang ia kehendaki, serta tidak boleh mengakhirkan shalat pertama dari waktunya kecuali dengan niat jamak. Jika ia shalat pertama di awal waktu tanpa niat jamak saat salam, maka ia tidak boleh menjamak. Namun jika ia berniat jamak saat salam, maka ia boleh menjamak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا عِنْدِي أَوْلَى مِنْ قَوْلِهِ فِي الْجَمْعِ فِي الْمَطَرِ فِي مَسْجِدِ الْجَمَاعَاتِ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَا يَجْمَعُ إلَّا مَنْ افْتَتَحَ الْأُولَى بِنِيَّةِ الْجَمْعِ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَمَعَ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ قَالَ مَالِكٌ أَرَى ذَلِكَ فِي مَطَرٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالسُّنَّةُ فِي الْمَطَرِ كَالسُّنَّةِ فِي السَّفَرِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَالْقِيَاسُ عِنْدِي إنْ سَلَّمَ وَلَمْ يَنْوِ الْجَمْعَ فَجَمَعَ فِي قُرْبٍ مَا سَلَّمَ بِقَدْرِ مَا لَوْ أَرَادَ الْجَمْعَ كَانَ ذَلِكَ فَصْلًا قَرِيبًا بَيْنَهُمَا أَنَّ لَهُ الْجَمْعَ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ جَمَعَ الصَّلَاتَيْنِ إلَّا وَبَيْنَهُمَا انْفِصَالٌ فَكَذَلِكَ كُلُّ جَمْعٍ، وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ سَهَا فَسَلَّمَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَلَمْ يُطِلْ فَصْلَ مَا بَيْنَهُمَا أَنَّهُ يُتِمُّ كَمَا أَتَمَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَقَدْ فَصَلَ وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ قَطْعًا لِاتِّصَالِ الصَّلَاةِ فِي الْحُكْمِ فَكَذَلِكَ عِنْدِي إيصَالُ جَمْعِ الصَّلَاتَيْنِ أَنْ لَا يَكُونَ التَّفْرِيقُ بَيْنَهُمَا إلَّا بِمِقْدَارِ مَا لَا يَطُولُ.

(Al-Muzani berkata): “Ini menurutku lebih utama daripada pendapatnya tentang jamak karena hujan di masjid jamaah antara Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya, di mana tidak boleh menjamak kecuali yang memulai shalat pertama dengan niat jamak.” Ia berargumen bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah menjamak di Madinah tanpa rasa takut atau safar. Malik berkata, “Aku melihat hal itu berlaku saat hujan.” (Asy-Syafi’i berkata): “Sunnah dalam hujan seperti sunnah dalam safar.” (Al-Muzani berkata): “Menurut qiyasku, jika seseorang salam tanpa niat jamak lalu menjamak dalam jarak dekat setelah salam—sekira jika ia berniat jamak, jaraknya tetap pendek—maka ia boleh menjamak. Karena tidak ada jamak dua shalat kecuali ada jeda di antara keduanya. Begitu pula siapa yang lupa lalu salam dari dua rakaat tanpa memanjangkan jeda, ia boleh menyempurnakan shalatnya sebagaimana Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menyempurnakan meski ada jeda, dan itu tidak memutus kesinambungan shalat secara hukum. Begitu pula menurutku dalam menjamak dua shalat, pemisahan antara keduanya tidak boleh kecuali sebentar.”

 

بَابُ وُجُوبِ الْجُمُعَةِ وَغَيْرِهِ مِنْ أَمْرِهَا

 

Bab tentang kewajiban shalat Jumat dan hal-hal lain yang terkait dengannya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْخِطْمِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيّ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا مِنْ بَنِي وَائِلٍ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «تَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ إلَّا امْرَأَةً، أَوْ صَبِيًّا أَوْ مَمْلُوكًا» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَتَجِبُ الْجُمُعَةُ عَلَى أَهْلِ الْمِصْرِ وَإِنْ كَثُرَ أَهْلُهُ حَتَّى لَا يَسْمَعَ أَكْثَرُهُمْ النِّدَاءَ؛ لِأَنَّ الْجُمُعَةَ تَجِبُ عَلَى أَهْلِ الْمِصْرِ الْجَامِعِ وَعَلَى كُلِّ مَنْ كَانَ خَارِجًا مِنْ الْمِصْرِ إذَا سَمِعَ النِّدَاءَ وَكَانَ الْمُنَادِي صَيِّتًا وَكَانَ لَيْسَ بِأَصَمَّ مُسْتَمِعًا وَالْأَصْوَاتُ هَادِئَةً وَالرِّيحُ سَاكِنَةً، وَلَوْ قُلْنَا حَتَّى يَسْمَعَ جَمِيعُهُمْ مَا كَانَ عَلَى الْأَصَمِّ جُمُعَةٌ وَلَكِنْ إذَا كَانَ لَهُمْ السَّبِيلُ إلَى عِلْمِ النِّدَاءِ بِمَنْ يَسْمَعُهُ مِنْهُمْ فَعَلَيْهِمْ الْجُمُعَةُ لِقَوْلِ اللَّهِ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – {إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ} الجمعة: 9 الْآيَةُ وَإِنْ كَانَتْ قَرْيَةٌ مُجْتَمِعَةُ الْبِنَاءِ وَالْمَنَازِلِ وَكَانَ أَهْلُهَا لَا يَظْعَنُونَ عَنْهَا شِتَاءً وَلَا صَيْفًا إلَّا ظَعْنَ حَاجَةٍ وَكَانَ أَهْلُهَا أَرْبَعِينَ رَجُلًا حُرًّا بَالِغًا غَيْرَ مَغْلُوبٍ عَلَى عَقْلِهِ وَجَبَتْ عَلَيْهِمْ الْجُمُعَةُ وَاحْتَجَّ بِمَا لَا يُثْبِتُهُ أَهْلُ الْحَدِيثِ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حِينَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ جَمَعَ بِأَرْبَعِينَ رَجُلًا» وَعَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ: ” كُلُّ قَرْيَةٍ فِيهَا أَرْبَعُونَ رَجُلًا فَعَلَيْهِمْ الْجُمُعَةُ ” وَمِثْلُهُ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Salamah bin ‘Ubaidillah Al-Khathmi, dari Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, bahwa ia mendengar seorang laki-laki dari Bani Wa’il berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalat Jum’at wajib bagi setiap muslim kecuali wanita, anak kecil, atau budak.” (Imam Syafi’i berkata): Dan shalat Jum’at wajib bagi penduduk kota meskipun penduduknya banyak hingga sebagian besar mereka tidak mendengar azan. Karena shalat Jum’at wajib bagi penduduk kota yang memiliki masjid jami’ dan bagi setiap orang yang berada di luar kota jika ia mendengar azan, selama muadzinnya bersuara keras, pendengarnya tidak tuli, suara-suara tenang, dan angin tidak berhembus. Seandainya kita mengatakan hingga semua mendengar, maka orang tuli tidak akan pernah terkena kewajiban Jum’at. Tetapi jika mereka memiliki sarana untuk mengetahui azan melalui orang yang mendengarnya di antara mereka, maka wajib bagi mereka shalat Jum’at berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Apabila diseru untuk menunaikan shalat…” (QS. Al-Jumu’ah: 9). Dan jika ada sebuah desa yang bangunan dan rumah-rumahnya berdekatan, penduduknya tidak bepergian darinya baik di musim dingin maupun panas kecuali karena kebutuhan, dan penduduknya terdiri dari empat puluh laki-laki merdeka yang sudah baligh dan tidak terganggu akalnya, maka wajib bagi mereka shalat Jum’at. Imam Syafi’i berargumen dengan riwayat yang tidak diakui oleh ahli hadits, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tiba di Madinah melaksanakan shalat Jum’at dengan empat puluh laki-laki.” Dan dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bahwa ia berkata, “Setiap desa yang terdapat empat puluh laki-laki di dalamnya, maka wajib bagi mereka shalat Jum’at.” Dan yang serupa juga diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ خَطَبَ بِهِمْ وَهُمْ أَرْبَعُونَ، ثُمَّ انْفَضُّوا عَنْهُ، ثُمَّ رَجَعُوا مَكَانَهُمْ صَلَّوْا صَلَاةَ الْجُمُعَةِ وَإِنْ لَمْ يَعُودُوا حَتَّى تَبَاعَدَ أَحْبَبْت أَنْ يَبْتَدِئَ الْخُطْبَةَ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ صَلَّاهَا بِهِمْ ظُهْرًا، فَإِنْ انْفَضُّوا بَعْدَ إحْرَامِهِ بِهِمْ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا إنْ بَقِيَ مَعَهُ اثْنَانِ حَتَّى تَكُونَ صَلَاتُهُ صَلَاةَ جَمَاعَةٍ أَجْزَأَتْهُمْ الْجُمُعَةُ، وَالْقَوْلُ الْآخَرُ لَا تُجْزِئُهُمْ بِحَالٍ حَتَّى يَكُونَ مَعَهُ أَرْبَعُونَ يُكْمِلُ بِهِمْ الصَّلَاةَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: لَيْسَ لِقَوْلِهِ إنْ بَقِيَ مَعَهُ اثْنَانِ أَجْزَأَتْهُمْ الْجُمُعَةُ مَعْنًى؛ لِأَنَّهُ مَعَ الْوَاحِدِ وَالِاثْنَيْنِ فِي الِاسْتِقْبَالِ فِي مَعْنَى الْمُنْفَرِدِ فِي الْجُمُعَةِ وَلَا جَمَاعَةَ تَجِبُ بِهِمْ الْجُمُعَةُ عِنْدَهُ أَقَلَّ مِنْ الْأَرْبَعِينَ فَلَوْ جَازَتْ بِاثْنَيْنِ؛ لِأَنَّهُ أَحْرَمَ بِالْأَرْبَعِينَ جَازَتْ بِنَفْسِهِ؛ لِأَنَّهُ أَحْرَمَ بِالْأَرْبَعِينَ فَلَيْسَ لِهَذَا وَجْهٌ فِي مَعْنَاهُ هَذَا وَاَلَّذِي هُوَ أَشْبَهُ بِهِ إنْ كَانَ صَلَّى رَكْعَةً ثُمَّ انْفَضُّوا صَلَّى أُخْرَى مُنْفَرِدًا كَمَا لَوْ أَدْرَكَ مَعَهُ رَجُلٌ رَكْعَةً صَلَّى أُخْرَى مُنْفَرِدًا وَلَا جُمُعَةَ لَهُ إلَّا بِهِمْ وَلَا لَهُمْ إلَّا بِهِ فَأَدَاؤُهُ رَكْعَةً بِهِمْ كَأَدَائِهِمْ رَكْعَةً بِهِ عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ: إنَّهُ لَوْ صَلَّى بِهِمْ رَكْعَةً، ثُمَّ أَحْدَثَ بَنَوْا وُحْدَانًا رَكْعَةً وَأَجْزَأَتْهُمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ia berkhutbah bersama mereka yang berjumlah empat puluh, kemudian mereka bubar darinya, lalu kembali ke tempat semula, maka mereka melaksanakan shalat Jumat. Namun jika mereka tidak kembali hingga berjauhan, aku lebih suka jika ia memulai khutbah lagi. Jika tidak dilakukan, ia shalat Zhuhur bersama mereka. Jika mereka bubar setelah ia takbiratul ihram bersama mereka, maka ada dua pendapat: Pertama, jika tersisa dua orang bersamanya hingga shalatnya menjadi shalat berjamaah, maka Jumat mereka sah. Pendapat kedua, tidak sah dalam keadaan apa pun kecuali jika bersamanya empat puluh orang yang menyempurnakan shalat. (Al-Muzani berkata): Aku berkata: Pernyataan bahwa jika tersisa dua orang bersamanya maka Jumat mereka sah tidak memiliki makna, karena bersama satu atau dua orang dalam menghadap (kiblat) statusnya seperti sendiri dalam Jumat, dan tidak ada jamaah yang mewajibkan Jumat menurutnya kurang dari empat puluh. Jika boleh dengan dua orang karena ia takbiratul ihram dengan empat puluh, maka boleh juga sendiri karena ia takbiratul ihram dengan empat puluh. Ini tidak memiliki dasar dalam maknanya. Yang lebih mirip adalah jika ia shalat satu rakaat lalu mereka bubar, ia shalat rakaat berikutnya sendiri, seperti jika ada seorang yang menyusul satu rakaat bersamanya, ia shalat rakaat berikutnya sendiri. Tidak ada Jumat baginya kecuali dengan mereka, dan tidak ada Jumat bagi mereka kecuali dengannya. Pelaksanaannya satu rakaat bersama mereka seperti pelaksanaan mereka satu rakaat bersamanya menurutku dalam qiyas. Di antara yang menunjukkan hal itu dari perkataannya: Jika ia shalat satu rakaat bersama mereka lalu berhadats, mereka menyempurnakan satu rakaat sendiri dan itu sah bagi mereka.

 

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Imam Syafi’i berkata: Seandainya seseorang rukuk bersama imam, kemudian ia terjepit sehingga tidak mampu sujud hingga imam menyelesaikan sujudnya, maka ia mengikuti imam ketika bangkit dan sujud itu dianggap sah. Namun jika hal itu terjadi pada rakaat pertama dan ia tidak sempat sujud hingga imam rukuk pada rakaat kedua, maka ia tidak boleh sujud untuk rakaat pertama kecuali keluar dari makmumnya, karena para sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – hanya sujud karena udzur sebelum rukuk kedua. Maka ia rukuk bersama imam pada rakaat kedua, dan rakaat sebelumnya gugur. Dalam kitab Al-Imla’, beliau menyebutkan dua pendapat tentang hal ini: Pertama, tidak mengikuti imam meski telah rukuk hingga menyelesaikan sisa rakaatnya. Kedua, jika menqadha yang tertinggal, tidak dianggap sah dan tetap mengikuti imam pada selain itu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : “Aku (Al-Muzani) berkata: Menurutku pendapat pertama lebih sesuai dengan qiyas pendapat beliau, karena sujud hanya dianggap sah jika didapati imam masih shalat dengan ketentuan mendapatkan rukuk, dan gugur jika tidak mendapatkan rukuk. Beliau juga pernah berkata: Jika lupa satu rakaat, ia rukuk pada rakaat kedua bersama imam, lalu mengqadha rakaat yang terlupa. Dalam hal ini, salah satu dari dua pendapat beliau menjadi dalil – dan hanya kepada Allah tempat memohon taufik -.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Jika seseorang berhadats dalam salat Jumat, lalu seorang laki-laki maju (menggantikannya) baik atas perintahnya atau tanpa perintahnya, dan dia telah masuk (salat) bersama imam sebelum imam berhadats, maka dia (mengimami) salat dua rakaat. Namun jika dia tidak sempat takbiratul ihram bersama imam, maka dia salat Zhuhur karena dia dianggap memulai salat baru.” (قَالَ الْمُزَنِيّ) : Aku (Al-Muzani) berkata: “Sepertinya hal ini berlaku jika ihramnya (orang yang menggantikan) terjadi setelah imam berhadats.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا جُمُعَةَ عَلَى مُسَافِرٍ وَلَا عَبْدٍ وَلَا امْرَأَةٍ وَلَا مَرِيضٍ وَلَا مَنْ لَهُ عُذْرٌ وَإِنْ حَضَرُوهَا أَجْزَأَتْهُمْ، وَلَا أُحِبُّ لِمَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ بِالْعُذْرِ أَنْ يُصَلِّيَ حَتَّى يَتَأَخَّى انْصِرَافُ الْإِمَامِ ثُمَّ يُصَلِّي جَمَاعَةً فَمَنْ صَلَّى مِنْ الَّذِينَ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ قَبْلَ الْإِمَامِ أَجْزَأَتْهُمْ وَإِنْ صَلَّى مَنْ عَلَيْهِ الْجُمُعَةُ قَبْلَ الْإِمَامِ أَعَادَهَا ظُهْرًا بَعْدَ الْإِمَامِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada kewajiban Jumat atas musafir, budak, wanita, orang sakit, atau orang yang memiliki uzur, meskipun mereka menghadirinya maka itu sudah mencukupi. Dan aku tidak suka bagi orang yang meninggalkan Jumat karena uzur untuk shalat hingga menunggu imam selesai, kemudian shalat berjamaah. Barangsiapa yang shalat dari orang-orang yang tidak wajib Jumat atas mereka sebelum imam, maka itu sudah mencukupi. Namun jika orang yang wajib Jumat shalat sebelum imam, maka ia harus mengulanginya sebagai shalat Zhuhur setelah imam.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ مَرِضَ لَهُ وَلَدٌ، أَوْ وَالِدٌ فَرَآهُ مَنْزُولًا بِهِ، أَوْ خَافَ فَوْتَ نَفْسِهِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَدَعَ الْجُمُعَةَ، وَكَذَلِكَ إنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذُو قَرَابَةٍ وَكَانَ ضَائِعًا لَا قَيِّمَ لَهُ غَيْرُهُ، أَوْ لَهُ قَيِّمٌ غَيْرُهُ لَهُ شُغْلٌ عَنْهُ فِي وَقْتِ الْجُمُعَةِ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَدَعَ لَهُ الْجُمُعَةَ تَرَكَهَا ابْنُ عُمَرَ لِمَنْزُولٍ بِهِ وَمَنْ طَلَعَ لَهُ الْفَجْرُ فَلَا يُسَافِرُ حَتَّى يُصَلِّيَهَا. .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa yang anak atau orang tuanya sakit sehingga ia melihatnya dalam keadaan parah, atau khawatir akan kematiannya, maka tidak mengapa meninggalkan shalat Jumat. Demikian pula jika tidak ada kerabatnya dan ia dalam keadaan terlantar tanpa penjaga selain dirinya, atau ada penjaga lain namun sibuk pada waktu Jumat, maka tidak mengapa meninggalkan shalat Jumat. Ibnu Umar pernah meninggalkan shalat Jumat karena ada keluarganya yang sakit parah. Dan barangsiapa yang fajar telah terbit, maka janganlah bepergian hingga ia melaksanakan shalat (Subuh) terlebih dahulu.

 

بَابُ الْغُسْلِ لِلْجُمُعَةِ وَالْخُطْبَةِ وَمَا يَجِبُ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ

 

Bab tentang mandi untuk shalat Jumat, khutbah, dan hal-hal yang wajib dalam shalat Jumat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالسُّنَّةُ أَنْ يَغْتَسِلَ لِلْجُمُعَةِ كُلُّ مُحْتَلِمٍ وَمَنْ اغْتَسَلَ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَجْزَأَهُ وَمَنْ تَرَكَ الْغُسْلَ لَمْ يُعِدْ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ تَوَضَّأَ فَبِهَا وَنَعِمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ» فَإِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَجَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ وَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُونَ فَقَدْ انْقَطَعَ الرُّكُوعُ فَلَا يَرْكَعُ أَحَدٌ إلَّا أَنْ يَأْتِيَ رَجُلٌ لَمْ يَكُنْ رَكَعَ فَيَرْكَعُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Disunnahkan mandi Jumat bagi setiap orang yang sudah baligh. Barangsiapa mandi setelah terbit fajar pada hari Jumat, maka itu sudah mencukupi. Dan barangsiapa tidak mandi, maka tidak perlu mengulanginya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa berwudhu, maka itu sudah cukup dan baik. Dan barangsiapa mandi, maka mandi itu lebih utama.’ Apabila matahari telah tergelincir, imam telah duduk di mimbar, dan muadzin telah mengumandangkan azan, maka waktu rukuk telah terputus. Tidak ada seorang pun yang boleh rukuk kecuali seseorang yang datang dan belum rukuk, maka dia boleh rukuk.”

 

وَرُوِيَ «أَنْ سُلَيْكًا الْغَطَفَانِيُّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَالنَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ أَرَكَعْت؟ قَالَ: لَا قَالَ: فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ» وَأَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَكَعَهُمَا وَمَرْوَانُ يَخْطُبُ وَقَالَ مَا كُنْت لِأَدَعَهُمَا بَعْدَ شَيْءٍ سَمِعْته مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Dan diriwayatkan bahwa Sulaiman Al-Ghathafani masuk ke masjid saat Nabi ﷺ sedang berkhutbah. Beliau bertanya, “Apakah kamu sudah shalat (tahiyatul masjid)?” Ia menjawab, “Belum.” Nabi bersabda, “Shalatlah dua rakaat.” Juga diriwayatkan bahwa Abu Sa’id Al-Khudri melaksanakan dua rakaat tersebut saat Marwan berkhutbah, seraya berkata, “Aku tidak akan meninggalkannya setelah mendengar sesuatu dari Rasulullah ﷺ.”

 

(قَالَ) : ” وَيُنْصِتُ النَّاسُ وَيَخْطُبُ الْإِمَامُ قَائِمًا خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا جِلْسَةً خَفِيفَةً ” إلَّا أَنْ يَكُونَ مَرِيضًا فَيَخْطُبُ جَالِسًا وَلَا بَأْسَ بِالْكَلَامِ مَا لَمْ يَخْطُبْ وَيُحَوِّلُ النَّاسُ وُجُوهَهُمْ إلَى الْإِمَامِ وَيَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ فَإِذَا فَرَغَ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَيُصَلِّي بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِأُمِّ الْقُرْآنِ يَبْتَدِئُهَا بِ {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} الفاتحة: 1 وَبِسُورَةِ الْجُمُعَةِ وَيَقْرَأُ فِي الثَّانِيَةِ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَ {إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ} المنافقون: 1 ثُمَّ يَتَشَهَّدُ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَيَجْهَرُ الْإِمَامُ بِالْقِرَاءَةِ وَلَا يَقْرَأُ مَنْ خَلْفَهُ وَمَتَى دَخَلَ وَقْتُ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ الْإِمَامُ مِنْ الْجُمُعَةِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُتِمَّهَا ظُهْرًا وَمَنْ أَدْرَكَ مَعَ الْإِمَامِ رَكْعَةً بِسَجْدَتَيْنِ أَتَمَّهَا جُمُعَةً وَإِنْ تَرَكَ سَجْدَةً فَلَمْ يَدْرِ أَمِنَ الَّتِي أَدْرَكَ أَمْ الْأُخْرَى حَسَبَهَا رَكْعَةً وَأَتَمَّهَا ظُهْرًا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصَّلَاةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ» وَمَعْنَى قَوْلِهِ إنْ لَمْ تَفُتْهُ وَمَنْ لَمْ تَفُتْهُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَأَقَلُّهَا رَكْعَةٌ بِسَجْدَتَيْهَا «وَحُكِيَ فِي أَدَاءِ الْخُطْبَةِ اسْتِوَاءُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى الدَّرَجَةِ الَّتِي تَلِي الْمُسْتَرَاحَ قَائِمًا، ثُمَّ سَلَّمَ وَجَلَسَ عَلَى الْمُسْتَرَاحِ حَتَّى فَرَغَ الْمُؤَذِّنُونَ، ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ الْأُولَى، ثُمَّ جَلَسَ، ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ الثَّانِيَةَ» وَرُوِيَ «أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ إذَا خَطَبَ اعْتَمَدَ عَلَى عَنَزَتِهِ اعْتِمَادًا وَقِيلَ عَلَى قَوْسٍ» (قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى ذَلِكَ، أَوْ مَا أَشْبَهَهُ، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ أَحْبَبْت أَنْ يُسْكِنَ جَسَدَهُ وَيَدَيْهِ إمَّا بِأَنْ يَجْعَلَ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى أَوْ يُقِرَّهُمَا فِي مَوْضِعِهِمَا وَيُقْبِلَ بِوَجْهِهِ قَصْدَ وَجْهِهِ وَلَا يَلْتَفِتُ يَمِينًا وَلَا شِمَالًا وَأُحِبُّ أَنْ يَرْفَعَ صَوْتَهُ حَتَّى يُسْمِعَ وَأَنْ يَكُونَ كَلَامُهُ مُتَرَسِّلًا مُبَيَّنًا مُعْرَبًا بِغَيْرِ مَا يُشْبِهُ الْعِيَّ وَغَيْرِ التَّمْطِيطِ وَتَقْطِيعِ الْكَلَامِ وَمَدِّهِ وَلَا مَا يُسْتَنْكَرُ مِنْهُ وَلَا الْعَجَلَةُ فِيهِ عَلَى الْأَفْهَامِ وَلَا تَرْكِ الْإِفْصَاحِ بِالْقَصْدِ وَلْيَكُنْ كَلَامُهُ قَصِيرًا بَلِيغًا جَامِعًا وَأَقَلُّ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ خُطْبَةٍ مِنْهُمَا أَنْ يَحْمَدَ اللَّهَ وَيُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَيُوصِيَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَطَاعَتِهِ وَيَقْرَأَ آيَةً فِي الْأُولَى وَيَحْمَدَ اللَّهَ وَيُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَيُوصِيَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَيَدْعُو فِي الْآخِرَةِ؛ لِأَنَّ مَعْقُولًا أَنَّ الْخُطْبَةَ جَمْعُ بَعْضِ الْكَلَامِ مِنْ وُجُوهٍ إلَى بَعْضٍ وَهَذَا مِنْ أَوْجَزِهِ وَإِذَا حُصِرَ الْإِمَامُ لُقِّنَ وَإِذَا قَرَأَ سَجْدَةً فَنَزَلَ فَسَجَدَ لَمْ يَكُنْ بِهِ بَأْسٌ كَمَا لَا يَقْطَعُ الصَّلَاةَ (قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَقْرَأَ فِي الْآخِرَةِ بِآيَةٍ ثُمَّ يَقُولَ: أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي وَلَكُمْ.

 

Beliau berkata: “Dan orang-orang diam sementara imam berdiri menyampaikan dua khutbah, duduk sebentar di antara keduanya,” kecuali jika ia sakit maka boleh berkhutbah sambil duduk. Tidak mengapa berbicara selama belum berkhutbah. Orang-orang menghadapkan wajah mereka kepada imam dan mendengarkan dzikir. Setelah selesai, shalat didirikan lalu imam memimpin shalat dua rakaat. Pada rakaat pertama membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) yang dimulai dengan {Bismillahirrahmanirrahim} dan surat Al-Jumu’ah. Pada rakaat kedua membaca Ummul Qur’an dan {Idza ja’akal munafiqun}. Kemudian bertasyahud dan bershalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Imam mengeraskan bacaan sedangkan makmum di belakangnya tidak membaca. Jika waktu Ashar masuk sebelum imam mengucapkan salam dari shalat Jum’at, maka ia harus menyempurnakannya sebagai shalat Zhuhur. Barangsiapa mendapatkan satu rakaat bersama imam dengan dua sujud, ia menyempurnakannya sebagai shalat Jum’at. Jika ia tertinggal satu sujud dan tidak tahu apakah itu dari rakaat yang ia dapatkan atau rakaat lainnya, ia hitung sebagai satu rakaat dan menyempurnakannya sebagai shalat Zhuhur. Karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka ia telah mendapatkan shalat.” Maksud sabdanya adalah jika tidak terlewat. Barangsiapa yang tidak terlewat, ia shalat dua rakaat, minimal satu rakaat dengan dua sujudnya. Diriwayatkan dalam pelaksanaan khutbah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berdiri di anak tangga yang dekat dengan tempat duduknya, lalu mengucapkan salam dan duduk di tempat duduknya hingga muadzin selesai. Kemudian beliau berdiri untuk khutbah pertama, duduk, lalu berdiri lagi untuk khutbah kedua. Diriwayatkan juga bahwa beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- jika berkhutbah bersandar pada tongkatnya, atau dikatakan pada busur. Beliau berkata: Aku suka jika imam bersandar pada itu atau yang serupa. Jika tidak, aku lebih suka ia menenangkan tubuh dan tangannya, baik dengan meletakkan tangan kanan di atas kiri atau membiarkannya di tempatnya, serta menghadapkan wajahnya lurus tanpa menoleh ke kanan atau kiri. Aku suka ia mengangkat suaranya hingga terdengar, ucapannya lancar, jelas, dan terstruktur tanpa seperti gagap, tidak terlalu memanjangkan atau memotong kata-kata, serta tidak mengandung hal yang tidak pantas atau terburu-buru yang mengganggu pemahaman. Jangan sampai tidak jelas maksudnya. Hendaknya ucapannya singkat, padat, dan mencakup. Minimal yang disebut khutbah adalah memuji Allah, bershalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, menasihati untuk bertakwa dan taat kepada Allah, membaca satu ayat pada khutbah pertama, memuji Allah, bershalawat kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, menasihati untuk bertakwa, dan berdoa pada khutbah terakhir. Karena secara logika, khutbah adalah mengumpulkan beberapa perkataan dari berbagai aspek, dan ini adalah yang paling ringkas. Jika imam bingung, ia boleh diberi isyarat. Jika ia membaca ayat sajdah lalu turun untuk sujud, tidak mengapa sebagaimana tidak membatalkan shalat. Beliau berkata: Aku suka pada khutbah terakhir dibacakan satu ayat lalu mengucapkan: “Aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian.”

 

 

وَإِنْ سَلَّمَ رَجُلٌ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ كَرِهْته وَرَأَيْت أَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِ بَعْضُهُمْ؛ لِأَنَّ الرَّدَّ فَرْضٌ وَيَنْبَغِي تَشْمِيتُ الْعَاطِسِ؛ لِأَنَّهَا سُنَّةٌ وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ لَا يُشَمِّتُهُ وَلَا يَرُدُّ السَّلَامَ إلَّا إشَارَةً (قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قُلْت: أَنَا الْجَدِيدُ أَوْلَى بِهِ؛ لِأَنَّ الرَّدَّ فَرْضٌ وَالصَّمْتَ سُنَّةٌ، وَالْفَرْضُ أَوْلَى مِنْ السُّنَّةِ وَهُوَ يَقُولُ: «إنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَلَّمَ قَتَلَةَ ابْنِ أَبِي الْحَقِيقِ فِي الْخُطْبَةِ» وَكَلَّمَ سُلَيْكًا الْغَطَفَانِيُّ وَهُوَ يَقُولُ: يَتَكَلَّمُ الرَّجُلُ فِيمَا يَعْنِيهِ وَيَقُولُ: لَوْ كَانَتْ الْخُطْبَةُ صَلَاةً مَا تَكَلَّمَ فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (قَالَ الْمُزَنِيّ) وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى مَا وَصَفْت، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

Dan jika seseorang mengucapkan salam sedangkan imam sedang berkhutbah, aku tidak menyukainya, tetapi aku berpendapat bahwa sebagian jamaah boleh menjawabnya karena menjawab salam adalah wajib. Juga disunnahkan untuk mendoakan orang yang bersin karena itu sunnah. Dalam pendapat lama dikatakan bahwa tidak perlu mendoakan orang yang bersin atau menjawab salam kecuali dengan isyarat. (Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – aku berkata: Pendapat baruku lebih utama karena menjawab salam itu wajib sedangkan diam itu sunnah, dan yang wajib lebih utama daripada yang sunnah. Dia juga berkata: “Sesungguhnya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berbicara dengan para pembunuh Ibnu Abi Al-Haqiq saat berkhutbah,” dan beliau berbicara dengan Sulaik Al-Ghathafani. Beliau bersabda: Seseorang boleh berbicara tentang hal yang penting baginya, dan beliau berkata: Seandainya khutbah itu adalah shalat, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak akan berbicara di dalamnya. (Al-Muzani berkata) Dalam hal ini terdapat dalil atas apa yang telah kujelaskan, dan dengan Allah lah taufik.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالْجُمُعَةُ خَلْفَ كُلِّ إمَامٍ صَلَّاهَا مِنْ أَمِيرٍ وَمَأْمُورٍ وَمُتَغَلِّبٍ عَلَى بَلَدٍ وَغَيْرِ أَمِيرٍ جَائِزَةٌ وَخَلْفَ عَبْدٍ وَمُسَافِرٍ كَمَا تُجْزِئُ الصَّلَاةُ فِي غَيْرِهَا وَلَا يُجْمَعُ فِي مِصْرٍ وَإِنْ عَظُمَ وَكَثُرَتْ مَسَاجِدُهُ إلَّا فِي مَسْجِدٍ وَاحِدٍ مِنْهَا وَأَيُّهَا جَمَعَ فِيهِ فَبَأْ بِهَا بَعْدَ الزَّوَالِ فَهِيَ الْجُمُعَةُ وَمَا بَعْدَهَا فَإِنَّمَا هِيَ ظُهْرٌ يُصَلُّونَهَا أَرْبَعًا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمَنْ بَعْدَهُ صَلَّوْا فِي مَسْجِدِهِ وَحَوْلَ الْمَدِينَةِ مَسَاجِدُ لَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَمَعَ إلَّا فِيهِ، وَلَوْ جَازَ فِي مَسْجِدَيْنِ لَجَازَ فِي مَسَاجِدِ الْعَشَائِرِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Shalat Jumat di belakang setiap imam yang menunaikannya, baik dari pemimpin, yang diperintah, orang yang menguasai suatu negeri, atau selain pemimpin, adalah sah. Begitu pula shalat di belakang budak atau musafir, sebagaimana shalat sah pada selain Jumat. Tidak boleh dilakukan shalat Jumat di sebuah kota – meskipun besar dan memiliki banyak masjid – kecuali di satu masjid saja. Masjid mana pun yang digunakan untuk shalat Jumat setelah tergelincir matahari, maka itulah shalat Jumat. Adapun shalat setelahnya hanyalah shalat Zhuhur yang dilaksanakan empat rakaat. Karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan orang setelahnya shalat di masjidnya, sedangkan di sekitar Madinah terdapat banyak masjid, namun kami tidak mengetahui seorang pun dari mereka yang melaksanakan shalat Jumat kecuali di masjid beliau. Seandainya boleh di dua masjid, tentu boleh pula di masjid-masjid kabilah.”

 

بَابُ التَّبْكِيرِ إلَى الْجُمُعَةِ

 

Bab Tentang Bersegera Menuju Shalat Jum’at

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ، ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً قَالَ: فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ التَّبْكِيرَ إلَيْهَا وَأَنْ لَا تُؤْتَى إلَّا مَشْيًا لَا يَزِيدُ عَلَى سَجِيَّةِ مِشْيَتِهِ وَرُكُوبِهِ وَلَا يُشَبِّكُ بَيْنَ أَصَابِعِهِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «فَإِنَّ أَحَدَكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا كَانَ يَعْمِدُ إلَى الصَّلَاةِ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Az-Zuhri dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – dia berkata, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian pergi (ke masjid), maka seolah-olah dia telah berkurban dengan seekor unta. Barangsiapa yang pergi pada waktu kedua, seolah-olah dia telah berkurban dengan seekor sapi. Barangsiapa yang pergi pada waktu ketiga, seolah-olah dia telah berkurban dengan seekor domba bertanduk. Barangsiapa yang pergi pada waktu keempat, seolah-olah dia telah berkurban dengan seekor ayam. Dan barangsiapa yang pergi pada waktu kelima, seolah-olah dia telah berkurban dengan sebutir telur.” Beliau bersabda: “Ketika imam telah keluar (untuk khutbah), para malaikat hadir untuk mendengarkan dzikir.” (Imam Syafi’i berkata): Dan aku menyukai bersegera menuju shalat Jum’at, serta tidak mendatanginya kecuali dengan berjalan tanpa melebihi kebiasaan jalannya atau berkendara, dan tidak menyilangkan jari-jarinya berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Sesungguhnya salah seorang dari kalian dalam keadaan shalat selama dia bermaksud menuju shalat.”

 

بَابُ الْهَيْئَةِ لِلْجُمُعَةِ

 

Bab Tentang Tata Cara Shalat Jumat

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ السَّبَّاقِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ فِي جُمُعَةٍ مِنْ الْجُمَعِ يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ إنَّ هَذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عِيدًا لِلْمُسْلِمِينَ فَاغْتَسِلُوا وَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ طِيبٌ فَلَا يَضُرُّهُ أَنْ يَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ»

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Ibnus Sabbaq, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda pada suatu Jumat: “Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya hari ini adalah hari yang Allah jadikan sebagai hari raya bagi kalian. Maka mandilah, dan siapa yang memiliki wewangian, hendaknya ia menggunakannya. Dan bersiwaklah kalian.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَأُحِبُّ أَنْ يَتَنَظَّفَ بِغُسْلٍ وَأَخْذِ شَعْرٍ وَظُفْرٍ وَعِلَاجٍ لِمَا يَقْطَعُ تَغْيِيرَ الرِّيحِ مِنْ جَمِيعِ جَسَدِهِ وَسِوَاكٍ وَيَسْتَحْسِنُ ثِيَابَهُ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ وَيُطَيِّبُهَا اتِّبَاعًا لِلسُّنَّةِ وَلِئَلَّا يُؤْذِيَ أَحَدًا قَارَبَهُ وَأَحَبُّ مَا يُلْبَسُ إلَيَّ الْبَيَاضُ، فَإِنْ جَاوَزَهُ بِعَصَبِ الْيَمَنِ وَالْقَطَرِيِّ وَمَا أَشْبَهَهُ مِمَّا يُصْنَعُ غَزْلُهُ وَلَا يُصْبَغُ بَعْدَ مَا يُنْسَجُ فَحَسَنٌ وَأَكْرَهُ لِلنِّسَاءِ الطِّيبَ وَمَا يَشْتَهُونَ بِهِ وَأُحِبُّ لِلْإِمَامِ مِنْ حُسْنِ الْهَيْئَةِ أَكْثَرَ وَأَنْ يَعْتَمَّ وَيَرْتَدِيَ بِبُرْدٍ فَإِنَّهُ يُقَالُ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَعْتَمُّ وَيَرْتَدِي بِبُرْدٍ»

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Aku menyukai agar seseorang membersihkan diri dengan mandi, memotong rambut, kuku, dan menghilangkan bau tidak sedap dari seluruh tubuhnya, serta bersiwak. Juga memperindah pakaian semampunya dan memberinya wewangian sebagai bentuk mengikuti sunnah dan agar tidak mengganggu orang di sekitarnya. Pakaian yang paling aku sukai adalah warna putih. Jika ingin lebih dari itu, boleh dengan pakaian bergaris dari Yaman, Qathari, atau sejenisnya yang ditenun tanpa dicelup setelah ditenun. Aku tidak menyukai wanita memakai wewangian yang memicu syahwat. Untuk imam, aku lebih menyukai penampilan yang lebih baik, memakai sorban dan selendang burdah, karena dikatakan: ‘Nabi ﷺ biasa memakai sorban dan berselendang burdah’.”

 

بَابُ صَلَاةِ الْخَوْفِ

 

Bab Shalat Khauf

(Asy-Syafi’i berkata): Dan apabila mereka melaksanakan shalat khauf dalam perjalanan karena musuh yang tidak aman, maka imam shalat bersama satu kelompok satu rakaat, sementara kelompok lain menghadapi musuh. Ketika imam selesai dari rakaat itu, ia berdiri dan tetap dalam keadaan berdiri sambil memanjangkan berdiri, lalu kelompok tersebut menyempurnakan rakaat yang tersisa bagi mereka dengan membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan satu surah, serta meringankannya, kemudian salam dan pergi untuk menghadapi musuh. Kemudian kelompok lain datang, dan imam shalat bersama mereka rakaat kedua yang tersisa baginya, membaca setelah kedatangan mereka Ummul Qur’an dan surah pendek, lalu tetap duduk. Kelompok itu kemudian berdiri dan menyempurnakan untuk diri mereka sendiri rakaat yang tersisa dengan membaca Ummul Qur’an dan surah pendek, lalu duduk bersama imam selama mereka tahu telah bertasyahud, kemudian imam mengucapkan salam bersama mereka. Kedua kelompok telah shalat bersama imam, dan masing-masing kelompok mengambil dari imam apa yang diambil kelompok lainnya. Beliau berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka, lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka telah sujud, hendaklah mereka pindah ke belakangmu dan datanglah golongan lain yang belum shalat, lalu shalatlah bersamamu.” (QS. An-Nisa’: 102). Beliau juga berdalil bahwa Nabi ﷺ melakukan hal serupa pada hari Dzatur Riqa’.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Kelompok itu minimal tiga orang atau lebih, dan aku tidak suka jika shalat dilakukan dengan kurang dari satu kelompok atau penjagaan dilakukan oleh kurang dari satu kelompok. Jika shalat Maghrib, jika imam shalat dua rakaat bersama kelompok pertama lalu tetap berdiri dan mereka menyempurnakan untuk diri mereka sendiri, maka itu baik. Jika ia tetap duduk dan mereka menyempurnakan, itu juga boleh. Kemudian kelompok lain datang, dan imam shalat bersama mereka rakaat yang tersisa, lalu tetap duduk hingga mereka menyelesaikan rakaat yang tersisa, kemudian salam bersama mereka. Jika shalat dalam keadaan tidak bepergian, maka imam menunggu dalam keadaan duduk pada rakaat kedua atau berdiri pada rakaat ketiga hingga kelompok yang bersamanya menyempurnakan shalat, lalu kelompok lain datang dan imam shalat bersama mereka seperti yang telah dijelaskan.

 

Jika mereka dibagi menjadi empat kelompok, lalu imam shalat satu rakaat dengan satu kelompok dan tetap berdiri, lalu mereka menyempurnakan sendiri; kemudian satu rakaat dengan kelompok lain dan tetap duduk, lalu mereka menyempurnakan; kemudian satu rakaat dengan kelompok ketiga dan tetap berdiri, lalu mereka menyempurnakan; kemudian satu rakaat dengan kelompok keempat dan tetap duduk, lalu mereka menyempurnakan—maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, bahwa imam telah berbuat salah tetapi tidak perlu mengulang. Kedua, shalat imam batal, tetapi shalat kelompok pertama dan kedua tetap sah karena mereka telah menyelesaikan shalat sebelum shalat imam batal, sebab imam hanya boleh menunggu satu kali setelah yang lain. Shalat kelompok yang tahu perbuatan imam dan tetap mengikutinya batal, berbeda dengan yang tidak tahu.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Aku lebih suka jika orang yang shalat membawa senjatanya selama tidak najis, tidak menghalangi shalat, atau dipakai untuk melindungi seseorang. Tidak boleh membawa tombak kecuali berada di pinggir pasukan. Jika imam lupa pada rakaat pertama, ia memberi isyarat kepada makmum di belakangnya dengan sesuatu yang mereka pahami bahwa ia lupa. Jika mereka telah menyelesaikan, mereka sujud sahwi lalu salam. Jika imam tidak lupa tetapi makmum lupa setelah imam, mereka sujud sahwi untuk kelupaan mereka. Kelompok lain juga sujud bersama imam untuk kelupaan imam pada rakaat pertama.

 

Jika ketakutan lebih parah dari itu, seperti pertempuran sengit, pengejaran musuh hingga dikhawatirkan jika mundur musuh akan menyerang dari belakang sehingga menyebabkan kekalahan, maka mereka boleh shalat sesuai kemampuan, baik menghadap kiblat atau tidak, sambil duduk di kendaraan atau berdiri di tanah, dengan memberi isyarat menggunakan kepala. Beliau berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla: “Jika kamu dalam keadaan takut, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239). Ibnu Umar berkata: “Menghadap kiblat atau tidak.” Nafi’ berkata: “Aku tidak melihat Ibnu Umar menyebutkan hal itu kecuali dari Rasulullah ﷺ.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ صَلَّى عَلَى فَرَسِهِ فِي شِدَّةِ الْخَوْفِ رَكْعَةً، ثُمَّ أَمِنَ نَزَلَ فَصَلَّى أُخْرَى مُوَاجِهَةَ الْقِبْلَةِ وَإِنْ صَلَّى رَكْعَةً آمِنًا، ثُمَّ سَارَ إلَى شِدَّةِ الْخَوْفِ فَرَكِبَ ابْتِدَاءً؛ لِأَنَّ عَمَلَ النُّزُولِ خَفِيفٌ وَالرُّكُوبَ أَكْثَرُ مِنْ النُّزُولِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: قَدْ يَكُونُ الْفَارِسُ أَخَفَّ رُكُوبًا وَأَقَلَّ شَغْلًا لِفُرُوسِيَّتِهِ مِنْ نُزُولِ ثَقِيلٍ غَيْرِ فَارِسٍ.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya seseorang shalat di atas kudanya dalam keadaan sangat takut sebanyak satu rakaat, kemudian merasa aman lalu turun dan shalat satu rakaat lagi dengan menghadap kiblat. Atau jika dia shalat satu rakaat dalam keadaan aman, kemudian berjalan menuju situasi sangat takut lalu naik kuda sejak awal, karena tindakan turun lebih ringan sedangkan naik lebih banyak daripada turun.” (Al-Muzani berkata): Aku berkata: “Bisa jadi seorang penunggang kuda lebih ringan dalam naik dan lebih sedikit aktivitasnya karena keahliannya menunggang kuda dibandingkan turunnya orang berat yang bukan penunggang kuda.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا بَأْسَ أَنْ يَضْرِبَ فِي الصَّلَاةِ الضَّرْبَةَ وَيَطْعَنَ الطَّعْنَةَ فَأَمَّا إنْ تَابَعَ الضَّرْبَ، أَوْ رَدَّدَ الطَّعْنَةَ فِي الْمَطْعُونِ أَوْ عَمِلَ مَا يَطُولُ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ، وَلَوْ رَأَوْا سَوَادًا أَوْ جَمَاعَةً، أَوْ إبِلًا فَظَنُّوهُمْ عَدُوًّا فَصَلَّوْا صَلَاةَ شِدَّةِ الْخَوْفِ يُومِئُونَ إيمَاءً، ثُمَّ بَانَ لَهُمْ أَنْ لَيْسَ عَدُوٌّ أَوْ شَكُّوا أَعَادُوا وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ لَا يُعِيدُونَ لِأَنَّهُمْ صَلَّوْا وَالْعِلَّةُ مَوْجُودَةٌ (قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ عِنْدِي أَنْ يُعِيدُوا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Tidak mengapa seseorang memukul sekali atau menikam sekali dalam shalat. Namun jika dia terus-menerus memukul, mengulang-ulang tikaman pada yang ditikam, atau melakukan gerakan yang panjang, maka batal shalatnya. Jika mereka melihat bayangan hitam, sekelompok orang, atau unta lalu mengira itu musuh, kemudian shalat dalam kondisi sangat takat dengan isyarat, lalu ternyata bukan musuh atau mereka ragu, maka mereka harus mengulang shalat. Dalam kitab Al-Imla’, beliau berpendapat tidak perlu mengulang karena mereka telah shalat dalam kondisi yang memungkinkan (ketakutan).” (Al-Muzani berkata): “Aku berpendapat: Pendapat yang lebih mendekati menurutku adalah mereka harus mengulang shalat.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ كَانَ الْعَدُوُّ قَلِيلًا مِنْ نَاحِيَةِ الْقِبْلَةِ وَالْمُسْلِمُونَ كَثِيرًا يَأْمَنُونَهُمْ فِي مُسْتَوًى لَا يَسْتُرهُمْ شَيْءٌ إنْ حَمَلُوا عَلَيْهِمْ رَأَوْهُمْ صَلَّى الْإِمَامُ بِهِمْ جَمِيعًا وَرَكَعَ وَسَجَدَ بِهِمْ جَمِيعًا إلَّا صَفًّا يَلِيهِ، أَوْ بَعْضَ صَفٍّ يَنْظُرُونَ الْعَدُوَّ فَإِذَا قَامُوا بَعْدَ السَّجْدَتَيْنِ سَجَدَ الَّذِينَ حَرَسُوهُ أَوَّلًا إلَّا صَفًّا، أَوْ بَعْضَ صَفٍّ يَحْرُسْهُ مِنْهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا سَجْدَتَيْنِ وَجَلَسُوا سَجَدَ الَّذِينَ حَرَسُوهُمْ، ثُمَّ يَتَشَهَّدُونَ ثُمَّ يُسَلِّمُ بِهِمْ جَمِيعًا مَعًا وَهَذَا نَحْوُ صَلَاةِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَوْمَ عُسْفَانَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ تَأَخَّرَ الصَّفُّ الَّذِي حَرَسَهُ إلَى الصَّفِّ الثَّانِي وَتَقَدَّمَ الثَّانِي فَحَرَسَهُ فَلَا بَأْسَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika musuh sedikit di arah kiblat dan kaum Muslimin banyak, merasa aman dari mereka di tempat terbuka yang tidak ada penghalang jika musuh menyerang, mereka akan melihatnya. Imam shalat bersama mereka semua, rukuk dan sujud bersama mereka semua kecuali satu shaf di belakangnya atau sebagian shaf yang mengawasi musuh. Ketika mereka bangun setelah dua sujud, orang yang mengawasi musuh sujud terlebih dahulu kecuali satu shaf atau sebagian shaf yang mengawasi musuh. Ketika mereka telah sujud dua kali dan duduk, orang yang mengawasi mereka sujud, kemudian bertasyahud, lalu imam mengucapkan salam bersama mereka semua. Ini seperti shalat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pada hari Usfan. (Imam Syafi’i berkata): Jika shaf yang mengawasi mundur ke shaf kedua dan shaf kedua maju untuk mengawasi, maka tidak mengapa.

 

 

وَلَوْ صَلَّى فِي الْخَوْفِ بِطَائِفَةٍ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ صَلَّى بِالطَّائِفَةِ الْأُخْرَى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ سَلَّمَ فَهَكَذَا صَلَاةُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِبَطْنِ نَخْلٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) وَهَذَا عِنْدِي يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ فَرِيضَةٍ خَلْفَ مَنْ يُصَلِّي نَافِلَةً؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَّى بِالطَّائِفَةِ الثَّانِيَةِ فَرِيضَةً لَهُمْ وَنَافِلَةً لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Dan jika dia shalat dalam keadaan takut dengan satu kelompok dua rakaat, kemudian salam, lalu shalat dengan kelompok yang lain dua rakaat, kemudian salam, maka seperti inilah shalat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – di Bathni Nakhl. (Al-Muzani berkata) Dan menurutku, ini menunjukkan bolehnya shalat fardhu di belakang orang yang shalat sunnah; karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – shalat dengan kelompok kedua sebagai fardhu bagi mereka dan sunnah bagi beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam -.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْخَوْفِ فِي طَلَبِ الْعَدُوِّ؛ لِأَنَّهُ آمِنٌ وَطَلَبُهُمْ تَطَوُّعٌ وَالصَّلَاةُ فَرَائِضُ وَلَا يُصَلِّيهَا كَذَلِكَ إلَّا خَائِفًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh bagi seseorang untuk melaksanakan shalat khauf saat mengejar musuh, karena dia dalam keadaan aman. Mengejar mereka adalah sunnah, sedangkan shalat adalah kewajiban. Shalat khauf tidak dilaksanakan kecuali dalam keadaan takut.

 

بَابُ مَنْ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْخَوْفِ

Bab tentang siapa yang boleh melaksanakan shalat khauf

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : كُلُّ قِتَالٍ كَانَ فَرْضًا، أَوْ مُبَاحًا لِأَهْلِ الْكُفْرِ وَالْبَغْيِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ وَمَنْ أَرَادَ دَمَ مُسْلِمٍ، أَوْ مَالَهُ، أَوْ حَرِيمَهُ فَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ» فَلِمَنْ قَاتَلَهُمْ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ الْخَوْفِ وَمَنْ قَاتَلَ عَلَى مَا لَا يَحِلُّ لَهُ فَلَيْسَ لَهُ ذَلِكَ، فَإِنْ فَعَلَ أَعَادَ، وَلَوْ كَانُوا مُوَلِّينَ لِلْمُشْرِكِينَ أَدْبَارَهُمْ غَيْرَ مُتَحَرِّفِينَ لِقِتَالٍ وَلَا مُتَحَيِّزِينَ إلَى فِئَةٍ وَكَانُوا يُومِئُونَ أَعَادُوا لِأَنَّهُمْ حِينَئِذٍ عَاصُونَ وَالرُّخْصَةُ لَا تَكُونُ لِعَاصٍ (قَالَ) : وَلَوْ غَشِيَهُمْ سَيْلٌ وَلَا يَجِدُونَ نَجْوَةً صَلَّوْا يُومِئُونَ عَدْوًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ وَرِكَابِهِمْ.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Setiap peperangan yang hukumnya fardhu atau mubah (diperbolehkan) melawan orang-orang kafir, pemberontak, perampok, atau orang yang ingin menumpahkan darah muslim, mengambil hartanya, atau melanggar kehormatannya—karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia syahid’—maka bagi yang memerangi mereka boleh melaksanakan shalat khauf. Sedangkan orang yang berperang untuk sesuatu yang tidak halal baginya, tidak boleh melakukannya. Jika ia melakukannya, ia harus mengulanginya. Jika mereka (pasukan muslim) lari dari orang-orang musyrik tanpa taktik perang atau bergabung dengan kelompok lain, lalu mereka shalat dengan isyarat, maka mereka wajib mengulanginya karena saat itu mereka bermaksiat, dan keringanan tidak berlaku bagi pelaku maksiat.” (Dia berkata): “Jika mereka diterjang banjir dan tidak menemukan tempat yang tinggi, mereka boleh shalat dengan isyarat sambil berlari di atas kaki atau kendaraan mereka.”

 

بَابٌ فِي كَرَاهِيَةِ اللِّبَاسِ وَالْمُبَارَزَةِ

 

Bab tentang kebencian terhadap pakaian dan pertarungan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَكْرَهُ لُبْسَ الدِّيبَاجِ وَالدِّرْعِ الْمَنْسُوجَةِ بِالذَّهَبِ وَالْقَبَاءِ بِأَزْرَارِ الذَّهَبِ فَإِنْ فَاجَأَتْهُ الْحَرْبُ فَلَا بَأْسَ وَلَا أَكْرَهُ لِمَنْ كَانَ يَعْلَمُ مِنْ نَفْسِهِ فِي الْحَرْبِ بَلَاءً أَنْ يُعْلِمَ وَلَا أَنْ يَرْكَبَ الْأَبْلَقَ قَدْ أَعْلَمَ حَمْزَةُ يَوْمَ بَدْرٍ وَلَا أَكْرَهُ الْبِرَازَ، قَدْ بَارَزَ عُبَيْدَةُ وَحَمْزَةُ وَعَلِيٌّ بِأَمْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (قَالَ) : وَيُلْبِسُ فَرَسَهُ وَأَدَاتَهُ جِلْدَ مَا سِوَى الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ مِنْ جِلْدِ قِرْدٍ وَفِيلٍ وَأَسَدٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ جُنَّةٌ لِلْفَرَسِ وَلَا تَعَبُّدَ عَلَى الْفَرَسِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak menyukai memakai pakaian sutera, baju besi yang ditenun dengan emas, atau pakaian dengan kancing emas. Namun jika perang tiba-tiba terjadi, maka tidak mengapa. Aku juga tidak membenci orang yang mengetahui dirinya memiliki keberanian dalam perang untuk menunjukkan tanda pengenal atau menunggang kuda belang. Hamzah telah menunjukkan tanda pengenal pada Perang Badar. Aku juga tidak membenci pertarungan satu lawan satu, karena Ubaidah, Hamzah, dan Ali pernah melakukannya atas perintah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. (Beliau juga berkata): Boleh mengenakan kulit selain anjing dan babi, seperti kulit monyet, gajah, singa, atau sejenisnya pada kuda dan perlengkapannya, karena itu adalah pelindung bagi kuda dan tidak ada beban syariat pada kuda.

 

بَابُ صَلَاةِ الْعِيدَيْنِ

Bab Shalat Dua Hari Raya

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ حُضُورُ الْجُمُعَةِ وَجَبَ عَلَيْهِ حُضُورُ الْعِيدَيْنِ وَأُحِبُّ الْغُسْلَ بَعْدَ الْفَجْرِ لِلْغُدُوِّ إلَى الْمُصَلَّى فَإِنْ تَرَكَ الْغُسْلَ تَارِكٌ أَجْزَأَهُ

(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa yang wajib menghadiri Jumat, maka wajib pula menghadiri dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dan aku menyukai mandi setelah subuh untuk pergi ke tempat shalat. Jika seseorang tidak mandi, itu sudah cukup.”

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ إظْهَارَ التَّكْبِيرِ جَمَاعَةً وَفُرَادَى فِي لَيْلَةِ الْفِطْرِ وَلَيْلَةِ النَّحْرِ مُقِيمِينَ وَسَفَرًا فِي مَنَازِلِهِمْ وَمَسَاجِدِهِمْ وَأَسْوَاقِهِمْ وَيَغْدُونَ إذَا صَلَّوْا الصُّبْحَ لِيَأْخُذُوا مَجَالِسَهُمْ وَيَنْتَظِرُونَ الصَّلَاةَ وَيُكَبِّرُونَ بَعْدَ الْغُدُوِّ حَتَّى يَخْرُجَ الْإِمَامُ إلَى الصَّلَاةِ

(Dia berkata): “Dan aku menyukai menampakkan takbir, baik berjamaah maupun sendiri, pada malam Idul Fitri dan malam Idul Adha, baik dalam keadaan mukim maupun safar, di rumah-rumah mereka, masjid-masjid, dan pasar-pasar. Mereka berangkat setelah shalat subuh untuk mengambil tempat duduk mereka, menunggu shalat, dan bertakbir setelah berangkat hingga imam keluar untuk shalat.”

 

وَقَالَ فِي غَيْرِ هَذَا الْكِتَابِ حَتَّى يَفْتَتِحَ الْإِمَامُ الصَّلَاةَ

Dan dia berkata dalam kitab lainnya: “Hingga imam memulai shalat.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا أَقْيَسُ؛ لِأَنَّ مَنْ لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ وَلَمْ يُحْرِمْ إمَامُهُ وَلَمْ يَخْطُبْ فَجَائِزٌ أَنْ يَتَكَلَّمَ

(Al-Muzani berkata): “Ini lebih tepat, karena siapa yang tidak sedang shalat, imamnya belum ihram, dan belum berkhutbah, maka boleh baginya untuk berbicara.”

 

وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ اللَّهِ – تَعَالَى – فِي شَهْرِ رَمَضَانَ {وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ} البقرة: 185

Dan dia berargumen dengan firman Allah Ta’ala dalam bulan Ramadhan: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

 

وَعَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ وَعُرْوَةَ وَأَبِي سَلَمَةَ وَأَبِي بَكْرٍ يُكَبِّرُونَ لَيْلَةَ الْفِطْرِ فِي الْمَسْجِدِ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ وَشَبَّهَ لَيْلَةَ النَّحْرِ بِهَا، إلَّا مَنْ كَانَ حَاجًّا فَذِكْرُهُ التَّلْبِيَةُ

Dari Ibnu Al-Musayyib, Urwah, Abu Salamah, dan Abu Bakar, mereka bertakbir pada malam Idul Fitri di masjid dengan mengeraskan takbir. Dan dia menyamakan malam Idul Adha dengan itu, kecuali orang yang sedang haji, maka dzikirnya adalah talbiyah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ لِلْإِمَامِ أَنْ يُصَلِّيَ بِهِمْ حَيْثُ هُوَ أَرْفَقُ بِهِمْ وَأَنْ يَمْشِيَ إلَى الْمُصَلَّى وَيَلْبَسَ عِمَامَةً وَيَمْشِيَ النَّاسُ وَيَلْبَسُونَ الْعَمَائِمَ وَيَمَسُّونَ مِنْ طِيبِهِمْ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوا

(Imam Syafi’i berkata): “Dan aku menyukai imam shalat bersama mereka di tempat yang lebih mudah bagi mereka, berjalan ke tempat shalat, memakai imamah, dan orang-orang juga berjalan serta memakai imamah, serta memakai wewangian sebelum berangkat.”

 

وَرَوَى الزُّهْرِيُّ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَا رَكِبَ فِي عِيدٍ وَلَا جِنَازَةٍ قَطُّ»

Az-Zuhri meriwayatkan: “Bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah berkendaraan pada hari raya maupun jenazah.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ ذَلِكَ إلَّا أَنْ يَضْعُفَ فَيَرْكَبَ

(Imam Syafi’i berkata): “Dan aku menyukai hal itu, kecuali jika lemah, maka boleh berkendaraan.”

 

وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ خُرُوجُ الْإِمَامِ فِي الْوَقْتِ الَّذِي يُوَافِي فِيهِ الصَّلَاةَ وَذَلِكَ حِينَ تَبْرُزُ الشَّمْسُ وَيُؤَخَّرُ الْخُرُوجُ فِي الْفِطْرِ عَنْ ذَلِكَ قَلِيلًا

“Dan aku menyukai imam keluar pada waktu yang sesuai untuk shalat, yaitu ketika matahari terbit, sedangkan pada Idul Fitri keluarnya sedikit diundur.”

 

وَرُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَتَبَ إلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنْ عَجِّلْ الْأَضْحَى وَأَخِّرْ الْفِطْرَ وَذَكِّرْ النَّاسَ»

Diriwayatkan: “Bahwa Nabi ﷺ menulis kepada Amr bin Hazm: ‘Segerakanlah Idul Adha dan undurkanlah Idul Fitri, serta ingatkanlah orang-orang.'”

 

وَرُوِيَ «أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَلْبَسُ بُرْدَ حِبَرَةٍ وَيَعْتَمُّ فِي كُلِّ عِيدٍ وَيُطْعِمُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ الْغُدُوِّ»

Diriwayatkan: “Bahwa beliau ﷺ memakai burdah hibarah dan memakai imamah pada setiap hari raya, serta memberi makan pada hari Idul Fitri sebelum berangkat.”

 

وَرُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ كَانَ يُطْعِمُ قَبْلَ الْخُرُوجِ إلَى الْجَبَّانِ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَأْمُرُ بِهِ»

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ: “Bahwa beliau memberi makan sebelum keluar ke tanah lapang pada hari Idul Fitri dan memerintahkannya.”

 

وَعَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَأْكُلُونَ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَلَا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ يَوْمَ النَّحْرِ

Dari Ibnu Al-Musayyib, Beliau berkata: “Dulu kaum muslimin makan pada hari Idul Fitri sebelum shalat, dan tidak melakukannya pada hari Idul Adha.”

 

وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَغْدُو إلَى الْمُصَلَّى فِي يَوْمِ الْفِطْرِ إذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى فَيُكَبِّرُ بِالْمُصَلَّى حَتَّى إذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ تَرَكَ التَّكْبِيرَ

Diriwayatkan dari Ibnu Umar: “Bahwa dia berangkat ke tempat shalat pada hari Idul Fitri ketika matahari terbit, lalu bertakbir hingga sampai ke tempat shalat, kemudian bertakbir di tempat shalat hingga imam duduk di mimbar, maka dia berhenti bertakbir.”

 

وَعَنْ عُرْوَةَ وَأَبِي سَلَمَةَ أَنَّهُمَا كَانَا يَجْهَرَانِ بِالتَّكْبِيرِ حِينَ يَغْدُوَانِ إلَى الْمُصَلَّى

Dari Urwah dan Abu Salamah: “Bahwa keduanya mengeraskan takbir ketika berangkat ke tempat shalat.”

 

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَلْبَسَ أَحْسَنَ مَا يَجِدُ فَإِذَا بَلَغَ الْإِمَامُ الْمُصَلَّى نُودِيَ: ” الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ ” بِلَا أَذَانٍ وَلَا إقَامَةٍ، ثُمَّ يُحْرِمُ بِالتَّكْبِيرِ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، ثُمَّ يُكَبِّرُ سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ سِوَى تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ وَيَرْفَعُ – كُلَّمَا كَبَّرَ – يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَيَقِفُ بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ بِقَدْرِ قِرَاءَةِ آيَةٍ لَا طَوِيلَةٍ وَلَا قَصِيرَةٍ يُهَلِّلُ اللَّهَ وَيُكَبِّرُهُ وَيَحْمَدُهُ وَيُمَجِّدُهُ فَإِذَا فَرَغَ مِنْ سَبْعِ تَكْبِيرَاتٍ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِ {ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ} ق: 1 وَيَجْهَرُ بِقِرَاءَتِهِ، ثُمَّ يَرْكَعُ وَيَسْجُدُ فَإِذَا قَامَ فِي الثَّانِيَةِ كَبَّرَ خَمْسَ تَكْبِيرَاتٍ سِوَى تَكْبِيرَةِ الْقِيَامِ مِنْ الْجُلُوسِ وَيَقِفُ بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ كَقَدْرِ قِرَاءَةِ آيَةٍ لَا طَوِيلَةٍ وَلَا قَصِيرَةٍ كَمَا وَصَفْت فَإِذَا فَرَغَ مِنْ خَمْسِ تَكْبِيرَاتٍ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَبِ {اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ} القمر: 1 ، ثُمَّ يَرْكَعُ وَيَسْجُدُ وَيَتَشَهَّدُ وَيُسَلِّمُ وَلَا يَقْرَأُ مَنْ خَلْفَهُ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ كَبَّرُوا فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا وَخَمْسًا وَصَلَّوْا قَبْلَ الْخُطْبَةِ وَجَهَرُوا بِالْقِرَاءَةِ وَرُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرِ بِ {ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ} ق: 1 وَ {اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ} القمر: 1 » (قَالَ) : ثُمَّ يَخْطُبُ فَإِذَا ظَهَرَ عَلَى الْمِنْبَرِ يُسَلِّمُ وَيَرُدُّ النَّاسُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ هَذَا يُرْوَى غَالِبًا وَيُنْصِتُونَ وَيَسْتَمِعُونَ مِنْهُ وَيَخْطُبُ قَائِمًا خُطْبَتَيْنِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا جِلْسَةً خَفِيفَةً وَأُحِبُّ أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى شَيْءٍ وَأَنْ يُثَبِّتَ يَدَيْهِ وَجَمِيعَ بَدَنِهِ، فَإِنْ كَانَ الْفِطْرُ أَمَرَهُمْ بِطَاعَةِ اللَّهِ وَحَضَّهُمْ عَلَى الصَّدَقَةِ وَالتَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ وَالْكَفِّ عَنْ مَعْصِيَتِهِ، ثُمَّ يَنْزِلُ فَيَنْصَرِفُ.

 

 

Beliau berkata: “Aku suka jika imam memakai pakaian terbaik yang dimilikinya. Ketika imam tiba di tempat shalat, diserukan: ‘Ash-shalatu jami’ah’ tanpa azan dan iqamah. Kemudian, ia memulai dengan takbiratul ihram sambil mengangkat tangan sejajar bahu, lalu bertakbir tujuh kali selain takbiratul ihram. Setiap kali bertakbir, ia mengangkat tangan sejajar bahu dan berhenti sejenak antara dua takbir sepanjang bacaan satu ayat, tidak terlalu panjang atau pendek, sambil bertahlil, bertakbir, memuji, dan mengagungkan Allah. Setelah selesai tujuh takbir, ia membaca Ummul Quran (Al-Fatihah), lalu membaca Surah Qaf (Qaf wal-Qur’anil Majid) dengan suara keras. Kemudian, ia rukuk dan sujud.

 

Ketika bangkit untuk rakaat kedua, ia bertakbir lima kali selain takbir bangkit dari duduk, dengan berhenti sejenak antara dua takbir seperti sebelumnya. Setelah selesai lima takbir, ia membaca Al-Fatihah dan Surah Al-Qamar (Iqtarabatis-sa’atu wansyaqqal qamar). Lalu, ia rukuk, sujud, tasyahud, dan salam. Makmum tidak perlu membaca (surat) karena Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar bertakbir tujuh dan lima kali pada shalat Id, shalat sebelum khutbah, serta mengeraskan bacaan. Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ membaca Surah Qaf dan Al-Qamar pada shalat Idul Adha dan Idul Fitri.”

 

Beliau berkata: “Kemudian, ia berkhutbah. Saat naik mimbar, ia mengucapkan salam, dan orang-orang menjawabnya karena hal ini sering diriwayatkan. Mereka diam dan mendengarkan khutbahnya. Ia berkhutbah dua kali sambil berdiri, duduk sebentar di antara keduanya. Aku suka jika ia berpegangan pada sesuatu dan menenangkan tangan serta seluruh tubuhnya. Jika itu Idul Fitri, ia memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah, mendorong sedekah, mendekatkan diri kepada Allah, dan menjauhi maksiat. Lalu, ia turun dan pergi.”

 

 

(قَالَ) : وَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَنَقَّلَ الْمَأْمُومُ قَبْلَ صَلَاةِ الْعِيدِ وَبَعْدَهَا فِي بَيْتِهِ وَالْمَسْجِدِ وَطَرِيقِهِ وَحَيْثُ أَمْكَنَهُ كَمَا يُصَلِّي قَبْلَ الْجُمُعَةِ وَبَعْدَهَا وَرُوِيَ أَنَّ سَهْلًا السَّاعِدِيَّ وَرَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ كَانَا يُصَلِّيَانِ قَبْلَ الْعِيدِ وَبَعْدَهُ وَيُصَلِّي الْعِيدَيْنِ الْمُنْفَرِدُ فِي بَيْتِهِ وَالْمُسَافِرُ وَالْعَبْدُ وَالْمَرْأَةُ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak mengapa bagi makmum untuk berpindah-pindah sebelum dan setelah shalat Id, baik di rumahnya, masjid, jalan, atau di mana saja memungkinkan, sebagaimana shalat sebelum dan setelah Jumat. Diriwayatkan bahwa Sahl As-Sa’idi dan Rafi’ bin Khadij biasa melaksanakan shalat sebelum dan setelah Id. Orang yang menyendiri, musafir, hamba sahaya, dan wanita boleh mengerjakan shalat dua hari raya di rumah mereka.”

 

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ حُضُورَ الْعَجَائِزِ غَيْرِ ذَاتِ الْهَيْئَةِ الْعِيدَيْنِ وَأُحِبُّ إذَا حَضَرَ النِّسَاءُ الْعِيدَيْنِ أَنْ يَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَلَا يَلْبَسْنَ شُهْرَةً مِنْ الثِّيَابِ وَتُزَيَّنُ الصِّبْيَانُ بِالصِّبْغِ وَالْحُلِيِّ وَرُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ كَانَ يَغْدُو مِنْ طَرِيقٍ وَيَرْجِعُ مِنْ أُخْرَى» (قَالَ) : وَأُحِبُّ ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ.

 

 

Beliau berkata: “Aku suka jika para wanita tua yang tidak berpenampilan mencolok hadir pada hari raya, dan aku suka jika wanita yang hadir pada hari raya membersihkan diri dengan air serta tidak memakai pakaian yang mencolok. Anak-anak kecil boleh dihias dengan pewarna dan perhiasan.” Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau pergi melalui satu jalan dan pulang melalui jalan lain. Beliau berkata: “Aku menyukai hal itu dilakukan oleh imam dan makmum.”

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ الْعُذْرُ مِنْ مَطَرٍ، أَوْ غَيْرِهِ أَمَرْته أَنْ يُصَلِّيَ فِي الْمَسَاجِدِ وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ صَلَّى بِالنَّاسِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ فِي الْمَسْجِدِ فِي يَوْمِ الْفِطْرِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika ada uzur seperti hujan atau lainnya, aku perintahkan dia untuk shalat di masjid.” Diriwayatkan bahwa Umar pernah mengimami orang-orang shalat di masjid pada hari hujan saat hari raya Idul Fitri.

 

(قَالَ) : وَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ يَأْمُرَ الْإِمَامُ مَنْ يُصَلِّي بِضَعَفَةِ النَّاسِ فِي مَوْضِعٍ مِنْ الْمِصْرِ وَمَنْ جَاءَ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ جَلَسَ حَتَّى يَفْرُغَ فَإِذَا فَرَغَ قَضَى مَكَانَهُ، أَوْ فِي بَيْتِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Aku tidak melihat masalah jika imam memerintahkan seseorang untuk mengimami shalat bersama orang-orang yang lemah di suatu tempat di kota. Dan siapa pun yang datang saat imam sedang berkhutbah, hendaknya duduk hingga khutbah selesai. Jika khutbah telah selesai, dia boleh mengqadha shalatnya di tempat itu atau di rumahnya.”

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ الْعِيدُ أَضْحَى عَلَّمَهُمْ الْإِمَامُ كَيْفَ يَنْحَرُونَ وَأَنَّ عَلَى مَنْ نَحَرَ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَجِبَ وَقْتُ نَحْرِ الْإِمَام أَنْ يُعِيدَ وَيُخْبِرُهُمْ بِمَا يَجُوزُ مِنْ الْأَضَاحِيّ وَمَا لَا يَجُوزُ وَيُسَنُّ مَا يَجُوزُ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَأَنَّهُمْ يُضَحُّونَ يَوْمَ النَّحْرِ وَأَيَّامَ التَّشْرِيقِ كُلَّهَا (قَالَ) : وَكَذَلِكَ قَالَ الْحَسَنُ وَعَطَاءٌ، ثُمَّ لَا يَزَالُ يُكَبِّرُ خَلْفَ كُلِّ صَلَاةِ فَرِيضَةٍ مِنْ الظُّهْرِ مِنْ النَّحْرِ إلَى أَنْ يُصَلِّيَ الصُّبْحَ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَيُكَبِّرُ بَعْدَ الصُّبْحِ ثُمَّ يَقْطَعُ وَبَلَغَنَا نَحْوُ ذَلِكَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: وَالصُّبْحُ آخِرُ صَلَاةٍ بِمِنًى وَالنَّاسُ لَهُمْ تَبَعٌ.

 

 

(Dia berkata): Dan ketika Hari Raya Idul Adha tiba, imam mengajarkan mereka cara menyembelih, serta bahwa siapa yang menyembelih sebelum waktu penyembelihan imam wajib, maka harus mengulang. Imam juga memberitahukan hewan-hewan kurban yang diperbolehkan dan yang tidak, serta sunnahnya jenis unta, sapi, dan kambing yang memenuhi syarat. Mereka boleh berkurban pada Hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan seluruh Hari Tasyriq. (Dia berkata): Demikian pula pendapat Al-Hasan dan Atha’. Kemudian, takbir terus dilantunkan setelah setiap shalat fardhu mulai dari Zhuhur pada Hari Nahar hingga Subuh pada akhir Hari Tasyriq. Setelah Subuh, takbir diucapkan lalu dihentikan. Kami juga menerima riwayat serupa dari Ibnu Abbas. Beliau berkata: “Shalat Subuh adalah shalat terakhir di Mina, dan orang-orang mengikutinya.”

 

بَابُ التَّكْبِيرِ فِي الْعِيدَيْنِ

 

Bab tentang takbir pada dua hari raya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : التَّكْبِيرُ كَمَا كَبَّرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الصَّلَوَاتِ (قَالَ) : فَأُحِبُّ أَنْ يَبْدَأَ الْإِمَامُ فَيَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ ثَلَاثًا نَسَقًا وَمَا زَادَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ فَحَسَنٌ وَمَنْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنْ صَلَاةِ الْإِمَامِ قَضَى، ثُمَّ كَبَّرَ وَيُكَبِّرُ خَلْفَ الْفَرَائِضِ وَالنَّوَافِلِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : الَّذِي قَبْلَ هَذَا عِنْدِي أَوْلَى بِهِ لَا يُكَبِّرُ إلَّا خَلْفَ الْفَرَائِضِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Takbir itu sebagaimana Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bertakbir dalam shalat.” (Dia berkata): “Maka aku suka jika imam memulai dengan mengucapkan: Allahu Akbar tiga kali berturut-turut, dan tambahan dzikir kepada Allah itu baik. Barangsiapa tertinggal sebagian dari shalat imam, hendaklah dia menyelesaikannya, kemudian bertakbir, dan bertakbir di belakang shalat fardhu dan nafilah.” (Al-Muzani berkata): “Yang sebelumnya menurutku lebih utama, tidak bertakbir kecuali di belakang shalat fardhu.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ شَهِدَ عَدْلَانِ فِي الْفِطْرِ بِأَنَّ الْهِلَالَ كَانَ بِالْأَمْسِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ الزَّوَالِ صَلَّى بِالنَّاسِ الْعِيدَ وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الزَّوَالِ لَمْ يُصَلُّوا؛ لِأَنَّهُ عَمَلٌ فِي وَقْتٍ إذَا جَاوَزَهُ لَمْ يُعْمَلْ فِي غَيْرِهِ كَعَرَفَةَ وَقَالَ فِي كِتَابِ الصِّيَامِ: وَأُحِبُّ أَنْ أَذْكُرَ فِيهِ شَيْئًا وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثَابِتًا أَنْ يُعْمَلَ مِنْ الْغَدِ وَمِنْ بَعْدِ الْغَدِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَوْلُهُ الْأَوَّلُ أَوْلَى بِهِ؛ لِأَنَّهُ احْتَجَّ فَقَالَ لَوْ جَازَ أَنْ يَقْضِيَ كَانَ بَعْدَ الظُّهْرِ أَجْوَزَ وَإِلَى وَقْتِهِ أَقْرَبَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا مِنْ قَوْلِهِ عَلَى صَوَابِ أَحَدِ قَوْلَيْهِ عِنْدِي دَلِيلٌ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya dua orang yang adil bersaksi tentang hilal Idul Fitri bahwa hilal telah terlihat kemarin, jika kesaksian itu sebelum tergelincir matahari (zawal), maka imam hendaknya shalat Id bersama orang-orang. Namun jika setelah zawal, mereka tidak perlu shalat, karena itu adalah amal yang terkait waktu. Jika waktunya terlewat, tidak boleh dilakukan di waktu lain seperti wukuf di Arafah.” Dia juga berkata dalam kitab puasa: “Aku ingin menyebutkan sesuatu meski tidak pasti, yaitu agar dilakukan esok hari atau lusa.” (Al-Muzani berkata): “Pendapat pertamanya lebih utama, karena beliau berargumen: ‘Seandainya boleh mengqadha, tentu lebih boleh dilakukan setelah Zhuhur dan lebih dekat ke waktunya’.” (Al-Muzani berkata): “Ini termasuk pendapat beliau yang benar menurutku, sebagai dalil antara dua pendapatnya. Wallahu taufiq.”

 

بَابُ صَلَاةِ كُسُوفِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ

 

Bab tentang shalat gerhana matahari dan bulan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فِي أَيِّ وَقْتٍ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي نِصْفِ النَّهَارِ، أَوْ بَعْدَ الْعَصْرِ فَسَوَاءٌ وَيَتَوَجَّهُ الْإِمَامُ إلَى حَيْثُ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ فَيَأْمُرُ بِالصَّلَاةِ جَامِعَةً، ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَقْرَأُ فِي الْقِيَامِ الْأَوَّلِ بَعْدَ أُمِّ الْقُرْآنِ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ إنْ كَانَ يَحْفَظُهَا أَوْ قَدْرِهَا مِنْ الْقُرْآنِ إنْ كَانَ لَا يَحْفَظُهَا، ثُمَّ يَرْكَعُ فَيُطِيلُ وَيَجْعَلُ رُكُوعَهُ قَدْرَ قِرَاءَةِ مِائَةِ آيَةٍ مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، ثُمَّ يَرْفَعُ فَيَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَقَدْرِ مِائَتَيْ آيَةٍ مِنْ الْبَقَرَةِ، ثُمَّ يَرْكَعُ بِقَدْرِ مَا يَلِي رُكُوعَهُ الْأَوَّلَ، ثُمَّ يَرْفَعُ فَيَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ، ثُمَّ يَقُومُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ فَيَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَقَدْرِ مِائَةٍ وَخَمْسِينَ آيَةً مِنْ الْبَقَرَةِ، ثُمَّ يَرْكَعُ بِقَدْرِ سَبْعِينَ آيَةً مِنْ الْبَقَرَةِ، ثُمَّ يَرْفَعُ فَيَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَقَدْرِ مِائَةِ آيَةٍ مِنْ الْبَقَرَةِ ثُمَّ يَرْكَعُ بِقَدْرِ خَمْسِينَ آيَةً مِنْ الْبَقَرَةِ ثُمَّ يَرْفَعُ، ثُمَّ يَسْجُدُ وَإِنْ جَاوَزَ هَذَا، أَوْ قَصَّرَ عَنْهُ فَإِذَا قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ أَجْزَأَهُ وَيُسِرُّ فِي خُسُوفِ الشَّمْسِ بِالْقِرَاءَةِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ صَلَاةِ النَّهَارِ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ «خَسَفَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا قَالَ نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا، ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ سَجَدَ، ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ تَجَلَّتْ الشَّمْسُ فَقَالَ إنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إلَى ذِكْرِ اللَّهِ» وَوُصِفَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ: كُنْت إلَى جَنْبِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَمَا سَمِعْت مِنْهُ حَرْفًا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : لِأَنَّهُ أَسَرَّ، وَلَوْ سَمِعَهُ مَا قَدَّرَ قِرَاءَتَهُ وَرُوِيَ «أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ صَلَّى فِي خُسُوفِ الْقَمَرِ رَكْعَتَيْنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ رَكِبَ فَخَطَبَنَا فَقَالَ: إنَّمَا صَلَّيْت كَمَا رَأَيْت النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُصَلِّي» قَالَ: وَبَلَغَنَا عَنْ عُثْمَانَ أَنَّهُ صَلَّى فِي كُلِّ رَكْعَةٍ رَكْعَتَيْنِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Kapan pun gerhana matahari terjadi, baik di tengah hari atau setelah Ashar, sama saja. Imam hendaknya menuju tempat ia biasa shalat Jum’at, lalu memerintahkan shalat berjamaah. Kemudian ia bertakbir dan membaca dalam qiyam pertama setelah Ummul Quran (Al-Fatihah) dengan Surah Al-Baqarah jika ia menghafalnya, atau seukuran itu dari Al-Quran jika tidak menghafalnya. Lalu ia rukuk dengan memanjangkannya, menjadikan rukuknya seukuran bacaan seratus ayat dari Surah Al-Baqarah. Kemudian ia bangkit seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah, Rabbana lakal hamd.” Lalu membaca Ummul Quran dan seukuran dua ratus ayat dari Al-Baqarah. Kemudian rukuk seukuran rukuk pertama, lalu bangkit dan sujud dua kali.

 

Kemudian berdiri untuk rakaat kedua, membaca Ummul Quran dan seukuran seratus lima puluh ayat dari Al-Baqarah. Lalu rukuk seukuran tujuh puluh ayat dari Al-Baqarah. Kemudian bangkit dan membaca Ummul Quran serta seukuran seratus ayat dari Al-Baqarah. Lalu rukuk seukuran lima puluh ayat dari Al-Baqarah, kemudian bangkit dan sujud. Jika melebihi atau kurang dari itu, maka cukup dengan membaca Ummul Quran. Dalam shalat gerhana matahari, bacaan dilirihkan karena termasuk shalat siang.

 

Imam Syafi’i berargumen dengan riwayat Ibnu Abbas yang berkata: “Matahari gerhana, lalu Rasulullah ﷺ shalat bersama orang-orang. Beliau berdiri lama, kira-kira seukuran bacaan Surah Al-Baqarah, kemudian rukuk panjang, lalu bangkit dan berdiri lagi (lebih pendek dari pertama), kemudian rukuk (lebih pendek dari pertama), lalu sujud. Kemudian berdiri lagi (lebih pendek), rukuk (lebih pendek), bangkit, berdiri (lebih pendek), rukuk (lebih pendek), lalu sujud. Setelah selesai, matahari telah terang. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Jika kalian melihatnya, bersegeralah berdzikir kepada Allah.'”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Aku berada di samping Rasulullah ﷺ tapi tidak mendengar satu huruf pun darinya.” (Imam Syafi’i berkata): “Karena beliau melirihkan bacaannya. Seandainya terdengar, tentu Ibnu Abbas tidak perlu memperkirakan bacaannya.”

 

Diriwayatkan pula: “Ibnu Abbas shalat gerhana bulan dengan dua rakaat, setiap rakaat dua rukuk, lalu berkuda dan berkhutbah: ‘Aku shalat sebagaimana melihat Nabi ﷺ shalat.'” Imam Syafi’i menambahkan: “Telah sampai kepada kami bahwa Utsman shalat dengan dua rukuk setiap rakaat.”

 

قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ اجْتَمَعَ عِيدٌ وَخُسُوفٌ وَاسْتِسْقَاءٌ وَجِنَازَةٌ بُدِئَ بِالصَّلَاةِ عَلَى الْجِنَازَةِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَضَرَ الْإِمَامُ أَمَرَ مَنْ يَقُومُ بِهَا وَبُدِئَ بِالْخُسُوفِ، ثُمَّ يُصَلِّي الْعِيدَ ثُمَّ أَخَّرَ الِاسْتِسْقَاءَ إلَى يَوْمٍ آخَرَ وَإِنْ خَافَ فَوْتَ الْعِيدِ صَلَّاهَا وَخَفَّفَ، ثُمَّ خَرَجَ مِنْهَا إلَى صَلَاةِ الْخُسُوفِ ثُمَّ يَخْطُبُ لِلْعِيدِ وَلِلْخُسُوفِ وَلَا يَضُرُّهُ أَنْ يَخْطُبَ بَعْدَ الزَّوَالِ لَهُمَا، وَإِنْ كَانَ فِي وَقْتِ الْجُمُعَةِ بَدَأَ بِصَلَاةِ الْخُسُوفِ وَخَفَّفَ فَقَرَأَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَمَا أَشْبَهَهَا، ثُمَّ يَخْطُبُ لِلْجُمُعَةِ وَيَذْكُرُ فِيهَا الْخُسُوفَ، ثُمَّ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ وَإِنْ خَسَفَ الْقَمَرُ صَلَّى كَذَلِكَ إلَّا أَنَّهُ يَجْهَرُ بِالْقِرَاءَةِ؛ لِأَنَّهَا صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَإِنْ خُسِفَ بِهِ فِي وَقْتِ قُنُوتٍ بَدَأَ بِالْخُسُوفِ قَبْلَ الْوِتْرِ وَقَبْلَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ وَإِنْ فَاتَتَا؛ لِأَنَّهُمَا صَلَاةُ انْفِرَادٍ وَيَخْطُبُ بَعْدَ صَلَاةِ الْخُسُوفِ لَيْلًا وَنَهَارًا وَيَحُضُّ النَّاسَ عَلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُهُمْ بِالتَّوْبَةِ وَالتَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ وَيُصَلِّي حَيْثُ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ لَا حَيْثُ يُصَلِّي الْأَعْيَادَ، فَإِنْ لَمْ يُصَلِّ حَتَّى تَغِيبَ كَاسِفَةً، أَوْ مُنْجَلِيَةً، أَوْ خَسَفَ الْقَمَرُ فَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى تُجْلَى أَوْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ لَمْ يُصَلِّ لِلْخُسُوفِ، فَإِنْ غَابَ خَاسِفًا صَلَّى لِلْخُسُوفِ بَعْدَ الصُّبْحِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ وَيُخَفِّفُ لِلْفَرَاغِ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ، فَإِنْ طَلَعَتْ أَوْ أَحْرَمَ فَتَجَلَّتْ أَتَمُّوهَا، فَإِنْ جَلَّلَهَا سَحَابٌ أَوْ حَائِلٌ فَهِيَ عَلَى الْخُسُوفِ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ تَجَلِّيَ جَمِيعِهَا، وَإِذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ فَخَافَ فَوْتَ أَحَدِهِمَا بَدَأَ بِاَلَّذِي يَخَافُ فَوْتَهُ، ثُمَّ رَجَعَ إلَى الْآخَرِ وَإِنْ لَمْ يَقْرَأْ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْ الْخُسُوفِ إلَّا بِأُمِّ الْقُرْآنِ أَجْزَأَهُ وَلَا يَجُوزُ عِنْدِي تَرْكُهَا لِمُسَافِرٍ وَلَا لِمُقِيمٍ بِإِمَامٍ وَمُنْفَرِدِينَ وَلَا آمُرُ بِصَلَاةِ جَمَاعَةٍ فِي سِوَاهَا وَآمُرُ بِالصَّلَاةِ مُنْفَرِدِينَ.

 

 

Imam Syafi’i berkata: “Jika berkumpul hari raya, gerhana, istisqa (shalat minta hujan), dan jenazah, maka dimulai dengan shalat jenazah. Jika imam belum hadir, ia memerintahkan seseorang untuk menunaikannya, lalu dimulai dengan shalat gerhana. Kemudian shalat hari raya, lalu mengakhirkan istisqa ke hari lain. Jika khawatir terlewat waktu hari raya, ia shalat dengan meringankannya, lalu keluar untuk shalat gerhana. Kemudian berkhutbah untuk hari raya dan gerhana, dan tidak mengapa berkhutbah setelah zawal (tergelincir matahari) untuk keduanya. Jika terjadi pada waktu Jum’at, dimulai dengan shalat gerhana dan diringankan dengan membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah) dan Qul Huwallahu Ahad serta yang semisalnya di setiap rakaat. Kemudian berkhutbah Jum’at dengan menyebut gerhana, lalu shalat Jum’at. Jika terjadi gerhana bulan, shalat seperti itu namun dengan menjahrkan bacaan karena ia adalah shalat malam. Jika gerhana terjadi saat waktu qunut, dimulai dengan shalat gerhana sebelum witir dan sebelum dua rakaat fajar meski terlewat, karena keduanya adalah shalat sendirian. Berkhutbah setelah shalat gerhana baik siang atau malam, mengajak manusia kepada kebaikan, memerintahkan taubat dan mendekatkan diri kepada Allah. Shalat di tempat shalat Jum’at, bukan tempat shalat hari raya. Jika tidak shalat hingga gerhana matahari selesai atau bulan terbit, maka tidak perlu shalat gerhana. Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, shalat gerhana setelah subuh selama matahari belum terbit dan diringankan agar selesai sebelum terbit. Jika matahari terbit atau sudah takbiratul ihram lalu gerhana selesai, tetap disempurnakan. Jika gerhana tertutup awan atau penghalang, tetap dianggap gerhana hingga yakin telah selesai sepenuhnya. Jika dua perkara berkumpul dan khawatir terlewat salah satunya, mulai dengan yang dikhawatirkan terlewat, lalu kembali ke yang lain. Jika dalam shalat gerhana hanya membaca Ummul Qur’an di setiap rakaat, itu cukup. Menurutku tidak boleh meninggalkannya baik bagi musafir maupun mukim, baik dengan imam maupun sendirian. Aku tidak memerintahkan shalat berjamaah selainnya, namun memerintahkan shalat sendirian.”

 

بَابُ صَلَاةِ الِاسْتِسْقَاءِ

Bab Shalat Istisqa’

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata): Dan seorang imam melakukan shalat istisqa’ di tempat ia biasa shalat Id, serta keluar dalam keadaan bersuci dengan air dan menghilangkan bau yang tidak sedap dengan siwak atau yang lainnya, dengan mengenakan pakaian yang sederhana dan dalam keadaan rendah hati. Apa yang kusukai bagi imam dalam hal ini, maka aku juga menyukainya bagi seluruh orang. Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau keluar pada hari Jumat dan dua hari raya dengan penampilan terbaik. Dan juga diriwayatkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam keluar untuk istisqa’ dalam keadaan rendah hati. Aku berpendapat bahwa yang meriwayatkan berkata: dalam keadaan sederhana. (Asy-Syafi’i berkata): Dan aku menyukai jika anak-anak kecil keluar serta bersuci untuk istisqa’, begitu pula wanita tua dan yang tidak memiliki penampilan mencolok di antara mereka. Namun, aku tidak menyukai keluarnya orang yang bertentangan dengan Islam untuk istisqa’ di tempat kaum Muslimin beristisqa’, dan aku melarang mereka dari hal itu. Tetapi jika mereka keluar dengan penampilan yang berbeda, aku tidak melarangnya.

 

Seorang imam memerintahkan orang-orang sebelumnya untuk berpuasa tiga hari, meninggalkan kezaliman, dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kebaikan semampu mereka. Kemudian pada hari keempat, imam mengajak mereka keluar ke tempat yang paling luas, lalu menyerukan: “Ash-Shalatu Jami’ah!” Lalu imam shalat bersama mereka dua rakaat seperti shalat Id, dengan mengeraskan bacaan. Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, dan Ali radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka mengeraskan bacaan dalam shalat istisqa’ dan shalat sebelum khutbah, serta bertakbir tujuh kali dan lima kali dalam istisqa’. Dari Utsman bin Affan, ia bertakbir tujuh kali dan lima kali. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Bertakbirlah seperti shalat Id, tujuh kali dan lima kali.”

 

Kemudian imam berkhutbah dengan khutbah pertama, lalu duduk, kemudian berdiri lagi dan berkhutbah dengan memendekkan khutbah kedua. Ia menghadap jamaah dalam kedua khutbah dan memperbanyak istighfar, serta sering membaca:

 

{اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا – يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا}

“Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat kepadamu.” (QS. Nuh: 10-11).

 

Lalu imam menghadap kiblat dan membalik selendangnya, menjadikan bagian bawah yang di sisi kirinya berada di atas bahu kanannya, dan bagian bawah yang di sisi kanannya di atas bahu kirinya. Jika ia membaliknya tanpa mengubah posisi, itu sudah cukup. Jika ia memakai saj (jenis pakaian), maka ia meletakkan yang di bahu kirinya ke bahu kanan, dan yang di bahu kanan ke bahu kiri. Orang-orang juga melakukan hal yang sama. Diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengenakan khimishah (selendang) hitam, lalu beliau ingin mengambil bagian bawahnya dan menjadikannya di atas, tetapi karena berat, beliau membaliknya.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Imam berdoa dengan suara lirih, dan orang-orang berdoa bersamanya. Di antara doa mereka:

 

“Ya Allah, Engkau telah memerintahkan kami untuk berdoa kepada-Mu dan menjanjikan pengabulan. Kami telah memohon sebagaimana perintah-Mu, maka kabulkanlah sebagaimana janji-Mu. Ya Allah, berilah kami ampunan atas dosa-dosa kami, kabulkanlah permohonan kami untuk diturunkan hujan, dan lapangkanlah rezeki kami.”

 

Kemudian imam berdoa dengan doa apa pun yang ia kehendaki, baik urusan agama maupun dunia. Mereka memulai, dan imam memulai dengan istighfar, menjadikannya sebagai pemisah dalam ucapannya, dan mengakhirinya dengan istighfar. Lalu imam menghadap jamaah, mendorong mereka untuk taat kepada Tuhan mereka, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berdoa untuk kaum mukminin dan mukminat, membaca satu atau dua ayat, lalu berkata: “Aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian,” kemudian turun. Jika Allah menurunkan hujan bagi mereka, (maka selesai). Jika tidak, mereka mengulangi shalat dan istisqa’ keesokan harinya hingga Allah menurunkan hujan.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika mereka telah membalik selendangnya, mereka membiarkannya tetap terbalik hingga melepasnya kapan pun mereka mau. Jika ada daerah yang kekeringan dan daerah lain yang subur, maka baik jika penduduk daerah subur beristisqa’ untuk penduduk daerah kering dan kaum Muslimin, serta memohon kepada Allah tambahan bagi yang diberi kelapangan. Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah itu luas.

 

Istisqa’ dilakukan di tempat yang tidak mengumpulkan antara penduduk badui dan perkotaan. Para musafir juga melakukannya karena itu sunnah, bukan pengalihan kewajiban. Mereka melakukan seperti yang dilakukan penduduk kota, yaitu shalat dan khutbah. Namun, cukup bagi imam beristisqa’ tanpa shalat, atau di belakang shalat-shalatnya.

 

بَابُ الدُّعَاءُ فِي الِاسْتِسْقَاءِ

Bab Doa Memohon Hujan

 

بَابُ الدُّعَاءُ فِي الِاسْتِسْقَاءِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنِي خَالِدُ بْنُ رَبَاحٍ عَنْ الْمُطَّلِبِ بْنِ حَنْطَبٍ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ إذَا اسْتَسْقَى قَالَ اللَّهُمَّ سُقْيَا رَحْمَةٍ وَلَا سُقْيَا عَذَابٍ وَلَا مَحْقٍ وَلَا بَلَاءٍ وَلَا هَدْمٍ وَلَا غَرَقٍ اللَّهُمَّ عَلَى الظِّرَابِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَرُوِيَ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ إذَا اسْتَسْقَى قَالَ اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا هَنِيئًا مُرِيعًا غَدَقًا مُجَلَّلًا عَامًّا طَبَقًا سَحًّا دَائِمًا، اللَّهُمَّ اسْقِنَا الْغَيْثَ وَلَا تَجْعَلْنَا مِنْ الْقَانِطِينَ اللَّهُمَّ إنَّ بِالْعِبَادِ وَالْبِلَادِ وَالْبَهَائِمِ وَالْخَلْقِ مِنْ الْبَلَاءِ وَالْجَهْدِ وَالضَّنْكِ مَا لَا نَشْكُو إلَّا إلَيْك اللَّهُمَّ أَنْبِتْ لَنَا الزَّرْعَ وَأَدِرَّ لَنَا الضَّرْعَ وَاسْقِنَا مِنْ بَرَكَاتِ السَّمَاءِ وَأَنْبِتْ لَنَا مِنْ بَرَكَاتِ الْأَرْضِ اللَّهُمَّ ارْفَعْ عَنَّا الْجَهْدَ وَالْجُوعَ وَالْعَرَى وَاكْشِفْ عَنَّا مِنْ الْبَلَاءِ مَا لَا يَكْشِفُهُ غَيْرُك اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَغْفِرُك إنَّك كُنْت غَفَّارًا فَأَرْسِلْ السَّمَاءَ عَلَيْنَا مِدْرَارًا» ، وَأُحِبُّ أَنْ يَفْعَلَ هَذَا كُلَّهُ وَلَا وَقْتَ فِي الدُّعَاءِ لَا يُجَاوِزُ

 

 

Bab Doa Memohon Hujan

(Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami, ia berkata: Khalid bin Rabah menceritakan kepadaku dari Al-Muthallib bin Hanthab, bahwa Nabi ﷺ apabila memohon hujan, beliau berdoa:

“Ya Allah, turunkanlah hujan sebagai rahmat, bukan sebagai azab, bukan untuk menghancurkan, bukan sebagai bencana, bukan untuk merobohkan, dan bukan untuk menenggelamkan. Ya Allah, turunkanlah hujan di bukit-bukit, tempat tumbuhnya pepohonan, dan di sekitar kami, bukan untuk membahayakan kami.”

 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Salim dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ apabila memohon hujan, beliau berdoa:

“Ya Allah, turunkanlah kepada kami hujan yang menyuburkan, menyehatkan, menyegarkan, melimpah, merata, lebat, meliputi seluruh wilayah, terus-menerus. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, dan janganlah Engkau jadikan kami termasuk orang-orang yang putus asa. Ya Allah, sesungguhnya hamba-hamba-Mu, negeri-negeri, hewan-hewan, dan seluruh makhluk sedang mengalami bencana, kesulitan, dan kesempitan yang tidak kami adukan kecuali kepada-Mu. Ya Allah, tumbuhkanlah tanaman untuk kami, perbanyaklah susu ternak kami, berilah kami minum dari berkah langit, dan tumbuhkanlah bagi kami berkah bumi. Ya Allah, angkatlah dari kami kesulitan, kelaparan, dan kekurangan, serta singkirkanlah dari kami bencana yang tidak dapat dihilangkan selain oleh-Mu. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon ampun kepada-Mu, sungguh Engkau Maha Pengampun, maka turunkanlah hujan yang lebat kepada kami.”

 

Dan aku (Imam Syafi’i) menyukai untuk mengamalkan semua doa ini, dan tidak ada batasan waktu dalam berdoa yang tidak boleh dilampaui.

 

بَابُ الْحُكْمِ فِي تَارِكِ الصَّلَاةِ مُتَعَمِّدًا

 

Bab tentang hukum bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : يُقَالُ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا بِلَا عُذْرٍ: لَا يُصَلِّيهَا غَيْرُك، فَإِنْ صَلَّيْت وَإِلَّا اسْتَتَبْنَاك، فَإِنْ تُبْت وَإِلَّا قَتَلْنَاك كَمَا يُكَفَّرُ فَنَقُولُ إنْ آمَنْت وَإِلَّا قَتَلْنَاك وَقَدْ قِيلَ: يُسْتَتَابُ ثَلَاثًا فَإِنْ صَلَّى فِيهَا وَإِلَّا قُتِلَ وَذَلِكَ حَسَنٌ – إنْ شَاءَ اللَّهُ – (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَدْ قَالَ فِي الْمُرْتَدِّ إنْ لَمْ يَتُبْ قُتِلَ وَلَمْ يُنْتَظَرْ بِهِ ثَلَاثًا لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ تَرَكَ دِينَهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ» وَقَدْ جُعِلَ تَارِكُ الصَّلَاةِ بِلَا عُذْرٍ كَتَارِكِ الْإِيمَانِ فَلَهُ حُكْمُهُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ عِنْدَهُ مِثْلُهُ وَلَا يُنْتَظَرُ بِهِ ثَلَاثًا. .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dikatakan kepada orang yang meninggalkan shalat hingga keluar waktunya tanpa uzur: “Tidak ada yang akan mengerjakannya selain dirimu. Jika engkau shalat (mengqadha), (itu baik). Jika tidak, kami akan memintamu bertobat. Jika engkau bertobat, (itu baik). Jika tidak, kami akan membunuhmu sebagaimana (hukum) orang kafir, maka kami katakan: ‘Jika engkau beriman, (itu baik). Jika tidak, kami akan membunuhmu.’ Dan telah dikatakan: ‘Ia diberi kesempatan bertobat selama tiga hari. Jika ia shalat dalam waktu itu, (itu baik). Jika tidak, ia dibunuh.’ Dan itu baik – insya Allah. (Al-Muzani berkata): Beliau (Imam Syafi’i) telah menyatakan tentang murtad bahwa jika tidak bertobat, ia dibunuh tanpa diberi penundaan tiga hari, berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: ‘Barangsiapa meninggalkan agamanya, penggallah lehernya.’ Dan orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur dianggap seperti orang yang meninggalkan iman, maka baginya hukum yang sama dalam qiyas pendapat beliau, karena menurut beliau keduanya sama dan tidak diberi penundaan tiga hari.

كِتَابُ الْجَنَائِزِ بَابُ إغْمَاضِ الْمَيِّتِ

 

Bab Menutup Mata Mayit

 

بَابُ إغْمَاضِ الْمَيِّتِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَوَّلُ مَا يَبْدَأُ بِهِ أَوْلِيَاءُ الْمَيِّتِ أَنْ يَتَوَلَّى أَرْفَقُهُمْ بِهِ إغْمَاضَ عَيْنَيْهِ بِأَسْهَلَ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ وَأَنْ يَشُدَّ لَحْيَهُ الْأَسْفَلَ بِعِصَابَةٍ عَرِيضَةٍ وَيَرْبِطَهَا مِنْ فَوْقِ رَأْسِهِ لِئَلَّا يَسْتَرْخِيَ لَحْيُهُ الْأَسْفَلُ فَيَنْفَتِحَ فُوهُ فَلَا يَنْطَبِقُ وَيَرُدُّ ذِرَاعَيْهِ حَتَّى يُلْصِقَهُمَا بِعَضُدَيْهِ، ثُمَّ يَمُدَّهُمَا أَوْ يَرُدَّهُمَا إلَى فَخِذَيْهِ وَيَفْعَلُ ذَلِكَ بِمَفَاصِلِ رُكْبَتَيْهِ، وَيَرُدُّ فَخِذَيْهِ إلَى بَطْنِهِ، ثُمَّ يَمُدُّهُمَا وَيُلَيِّنُ أَصَابِعَهُ حَتَّى يتباقى لِينُهُ عَلَى غَاسِلِهِ وَيَخْلَعُ عَنْهُ ثِيَابَهُ وَيُجْعَلُ عَلَى بَطْنِهِ سَيْفٌ، أَوْ حَدِيدٌ وَيُسَجَّى بِثَوْبٍ يُغَطَّى بِهِ جَمِيعُ جَسَدِهِ وَيُجْعَلُ عَلَى لَوْحٍ أَوْ سَرِيرٍ.

 

 

Bab Menutup Mata Mayit (Berkata Asy-Syafi’i): Hal pertama yang dilakukan oleh keluarga mayit adalah yang paling lembut di antara mereka hendaknya menutup kedua matanya dengan cara yang paling mudah yang ia mampu. Kemudian mengikat rahang bawahnya dengan kain yang lebar dan mengikatnya dari atas kepala agar rahang bawah tidak kendur sehingga mulutnya terbuka dan tidak bisa menutup. Lalu mengembalikan kedua lengannya hingga menempel pada lengan atas, kemudian memanjangkannya atau mengembalikannya ke pahanya. Hal yang sama dilakukan pada persendian kedua lututnya, dan mengembalikan kedua pahanya ke perutnya, kemudian memanjangkannya. Melemaskan jari-jarinya agar tetap lentur bagi yang memandikannya. Melepas pakaiannya, meletakkan pedang atau besi di atas perutnya, menutupinya dengan kain yang menutupi seluruh tubuhnya, dan meletakkannya di atas papan atau tempat tidur.

 

 

بَابُ غُسْلِ الْمَيِّتِ وَغُسْلِ الزَّوْجِ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةِ زَوْجَهَا

 

 

Pembahasan tentang memandikan mayat, memandikan istri oleh suami, dan memandikan suami oleh istri

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُفْضَى بِالْمَيِّتِ إلَى مُغْتَسَلِهِ وَيَكُونُ كَالْمُنْحَدَرِ قَلِيلًا، ثُمَّ يُعَادُ تَلْيِينُ مَفَاصِلِهِ وَيُطْرَحُ عَلَيْهِ مَا يُوَارِي مَا بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ إلَى سُرَّتِهِ وَيُسْتَرُ مَوْضِعُهُ الَّذِي يُغْسَلُ فِيهِ فَلَا يَرَاهُ أَحَدٌ إلَّا غَاسِلُهُ وَمَنْ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ مَعُونَتِهِ عَلَيْهِ وَيَغُضُّونَ أَبْصَارَهُمْ عَنْهُ إلَّا فِيمَا لَا يُمْكِنُ غَيْرُهُ لِيَعْرِفَ الْغَاسِلُ مَا غَسَلَ وَمَا بَقِيَ، وَيَتَّخِذُ إنَاءَيْنِ إنَاءٌ يَغْرِفُ بِهِ مِنْ الْمَاءِ الْمَجْمُوعِ فَيَصُبُّ فِي الْإِنَاءِ الَّذِي يَلِي الْمَيِّتَ فَمَا تَطَايَرَ مِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ إلَى الْإِنَاءِ الَّذِي يَلِيهِ لَمْ يَصُبَّ الْآخَرُ، وَغَيْرُ الْمُسَخَّنِ مِنْ الْمَاءِ أَحَبُّ إلَيَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ بَرْدٌ، أَوْ يَكُونَ بِالْمَيِّتِ مَا لَا يُنَقِّيهِ إلَّا الْمُسَخَّنُ فَيُغَسَّلُ بِهِ، وَيُغَسِّلُ فِي قَمِيصٍ وَلَا يَمَسُّ عَوْرَةَ الْمَيِّتِ بِيَدِهِ وَيُعِدُّ خِرْقَتَيْنِ نَظِيفَتَيْنِ لِذَلِكَ قَبْلَ غُسْلِهِ، وَيُلْقَى الْمَيِّتُ عَلَى ظَهْرِهِ ثُمَّ يَبْدَأُ غَاسِلُهُ فَيُجْلِسُهُ إجْلَاسًا رَفِيقًا وَيُمِرُّ يَدَهُ عَلَى بَطْنِهِ إمْرَارًا بَلِيغًا وَالْمَاءُ يُصَبُّ عَلَيْهِ لِيَخْفَى شَيْءٌ إنْ خَرَجَ مِنْهُ وَعَلَى يَدِهِ إحْدَى الْخِرْقَتَيْنِ حَتَّى يُنَقِّيَ مَا هُنَالِكَ ثُمَّ يُلْقِهَا لِتُغْسَلَ، ثُمَّ يَأْخُذُ الْأُخْرَى، ثُمَّ يَبْدَأُ فَيُدْخِلُ أُصْبُعَهُ فِي فِيهِ بَيْنَ شَفَتَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Mayit dibawa ke tempat pemandiannya dengan posisi sedikit dimiringkan. Kemudian sendi-sendinya dilunakkan kembali, dan diletakkan penutup antara kedua lututnya hingga pusarnya. Tempat yang dimandikan ditutup sehingga tidak ada yang melihat kecuali yang memandikan atau orang yang harus membantunya. Mereka harus menundukkan pandangan kecuali pada bagian yang tidak mungkin dihindari agar pemandinya tahu bagian yang sudah dan belum dibasuh. Disiapkan dua wadah: satu untuk mengambil air yang sudah dikumpulkan lalu dituangkan ke wadah yang dekat mayit. Jika air bekas mandi mayit terciprat ke wadah dekatnya, jangan menuangkan yang lain. Air yang tidak dipanaskan lebih aku sukai kecuali jika dingin atau mayit memiliki kotoran yang hanya bisa dibersihkan dengan air hangat, maka boleh dipakai. Memandikan dengan mengenakan baju, tidak menyentuh aurat mayit langsung dengan tangan. Siapkan dua kain bersih sebelumnya. Mayit dibaringkan telentang, lalu pemandinya mendudukkannya dengan lembut, mengusap perutnya dengan tangan sambil air dituangkan untuk menyamarkan jika ada yang keluar. Tangan dibalut salah satu kain untuk membersihkan area tersebut, lalu kain dicuci. Ambil kain kedua, lalu mulai dengan memasukkan jari ke mulutnya di antara kedua bibirnya.

 

وَلَا يَفْغَرُ فَاهُ فَيُمِرُّهَا عَلَى أَسْنَانِهِ بِالْمَاءِ وَيُدْخِلُ طَرَفَ أُصْبُعَيْهِ فِي مَنْخِرَيْهِ بِشَيْءٍ مِنْ مَاءٍ فَيُنَقِّيَ شَيْئًا إنْ كَانَ هُنَاكَ، وَيُوَضِّئُهُ وُضُوءَ الصَّلَاةِ وَيَغْسِلُ رَأْسَهُ وَلِحْيَتَهُ حَتَّى يُنَقِّيَهُمَا، وَيُسَرِّحُهُمَا تَسْرِيحًا رَفِيقًا، ثُمَّ يُغَسِّلُهُ مِنْ صَفْحَةِ عُنُقِهِ الْيُمْنَى وَشِقِّ صَدْرِهِ وَجَنْبِهِ وَفَخِذِهِ وَسَاقِهِ، ثُمَّ يَعُودُ إلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرَ فَيَصْنَعُ بِهِ مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَحْرِفُهُ إلَى جَنْبِهِ الْأَيْسَرَ فَيَغْسِلُ ظَهْرَهُ وَقَفَاهُ وَفَخِذَهُ وَسَاقَهُ الْيُمْنَى وَهُوَ يَرَاهُ مُتَمَكِّنًا ثُمَّ يَحْرِفُهُ إلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ فَيَصْنَعُ بِهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَيَغْسِلُ مَا تَحْتَ قَدَمَيْهِ وَمَا بَيْنَ فَخِذَيْهِ وَأَلْيَتَيْهِ بِالْخِرْقَةِ وَيَسْتَقْصِي ذَلِكَ، ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى جَمِيعِهِ الْمَاءَ الْقَرَاحَ وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ فِيهِ كَافُورٌ (قَالَ) :: وَأَقَلُّ غُسْلِ الْمَيِّتِ فِيمَا أُحِبُّ ثَلَاثًا، فَإِنْ لَمْ يَبْلُغْ الْإِنْقَاءَ فَخَمْسًا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِمَنْ غَسَّلَ ابْنَتَهُ «اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا، أَوْ خَمْسًا، أَوْ أَكْثَرَ إنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا، أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ» (قَالَ) : وَيَجْعَلُ فِي كُلِّ مَاءٍ قَرَاحٍ كَافُورًا وَإِنْ لَمْ يَجْعَلْ إلَّا فِي الْآخِرَةِ أَجْزَأَهُ وَيَتَتَبَّعُ مَا بَيْنَ أَظَافِرِهِ بِعُودٍ، وَلَا يَخْرُجُ حَتَّى يُخْرِجَ مَا تَحْتَهَا مِنْ الْوَسَخِ وَكُلَّمَا صَبَّ عَلَيْهِ الْمَاءَ الْقَرَاحَ بَعْدَ السِّدْرِ حَسِبَهُ غُسْلًا وَاحِدًا وَيَتَعَاهَدُ مَسْحَ بَطْنِهِ فِي كُلِّ غَسْلَةٍ، وَيُقْعِدُهُ عِنْدَ آخِرِ غَسْلَةٍ، فَإِنْ خَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَنْقَاهُ بِالْخِرْقَةِ كَمَا وَصَفْت وَأَعَادَ عَلَيْهِ غُسْلَهُ، ثُمَّ يُنَشِّفُ فِي ثَوْبٍ، ثُمَّ يَصِيرُ فِي أَكْفَانِهِ وَإِنْ غَسَلَ بِالْمَاءِ الْقَرَاحِ مَرَّةً أَجْزَأَهُ وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ رَأَى حَلْقَ الشَّعْرِ وَتَقْلِيمَ الْأَظْفَارِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَرَهُ.

 

 

Dan dia tidak membuka mulutnya lalu mengalirkan air di antara giginya, serta memasukkan ujung dua jarinya ke dalam kedua lubang hidungnya dengan sedikit air untuk membersihkan jika ada kotoran. Lalu dia berwudhu seperti wudhu untuk shalat, mencuci kepala dan jenggotnya hingga bersih, serta menyisirnya dengan lembut. Kemudian dia membasuh bagian kanan leher, dada, sisi tubuh, paha, dan betisnya. Lalu kembali ke sisi kiri dan melakukan hal yang sama. Setelah itu, memiringkannya ke sisi kiri untuk membasuh punggung, tengkuk, paha, dan betis kanan dengan posisi yang memungkinkan. Kemudian memiringkannya ke sisi kanan dan melakukan hal serupa, serta membersihkan bagian bawah kaki, antara paha, dan pantat dengan kain, secara menyeluruh. Lalu menuangkan air murni ke seluruh tubuhnya, dan disukai jika dicampur kapur barus. (Dia berkata): “Minimal memandikan mayit menurutku tiga kali. Jika belum bersih, maka lima kali, karena Nabi ﷺ bersabda kepada orang yang memandikan putrinya: ‘Mandikanlah tiga atau lima kali, atau lebih jika diperlukan, dengan air dan daun sidr. Berilah kapur barus pada basuhan terakhir.'” (Dia berkata): “Disarankan menambahkan kapur barus di setiap air murni, tapi jika hanya di akhir pun cukup. Dia juga membersihkan kotoran di bawah kuku dengan kayu hingga bersih. Setiap kali menuangkan air murni setelah daun sidr, dihitung sebagai satu kali basuhan. Dia juga rutin mengusap perut setiap basuhan, dan mendudukkannya pada basuhan terakhir. Jika keluar sesuatu, dibersihkan dengan kain seperti yang dijelaskan, lalu mengulangi basuhannya. Kemudian dikeringkan dengan kain dan dikafani. Jika hanya memandikan dengan air murni sekali, itu sudah cukup. Sebagian ulama menganjurkan mencukur rambut dan memotong kuku, sebagian lain tidak.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَتَرْكُهُ أَعْجَبُ إلَيَّ؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ إلَى بَلَى عَنْ قَرِيبٍ وَنَسْأَلُ اللَّهَ حُسْنَ ذَلِكَ الْمَصِيرِ.

 

(Al-Muzani berkata): “Meninggalkannya lebih aku sukai karena ia akan binasa dalam waktu dekat. Dan kami memohon kepada Allah agar diberikan akhir yang baik.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَقْرَبُ المُحْرِمُ الطِّيبَ فِي غُسْلِهِ وَلَا حَنُوطِهِ وَلَا يُخَمِّرُ رَأْسَهُ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «كَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ اللَّذَيْنِ مَاتَ فِيهِمَا وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ» وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا تُقَرِّبُوهُ طِيبًا فَإِنَّهُ يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا» وَإِنَّ ابْنًا لِعُثْمَانَ تُوُفِّيَ مُحْرِمًا فَلَمْ يُخَمِّرْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُقَرِّبْهُ طِيبًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Orang yang sedang ihram tidak boleh mendekati wewangian dalam mandinya maupun kafannya, dan tidak boleh menutup kepalanya, berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: ‘Kafanilah dia dengan dua kain yang dia mati di dalamnya, dan jangan tutup kepalanya.’ Dan berdasarkan sabda beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam -: ‘Jangan kalian dekatkan wewangian padanya, karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan bertalbiyah.’ Dan sungguh, seorang anak Utsman meninggal dalam keadaan ihram, maka kepalanya tidak ditutup dan tidak didekatkan wewangian padanya.”

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ بِقُرْبِ الْمَيِّتِ مِجْمَرَةٌ لَا تَنْقَطِعُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ غُسْلِهِ فَإِذَا رَأَى مِنْ الْمَيِّتِ شَيْئًا لَا يَتَحَدَّثُ بِهِ لِمَا عَلَيْهِ مِنْ سَتْرِ أَخِيهِ.

 

 

Beliau berkata: “Dan aku suka jika di dekat mayit terdapat wangi-wangian yang tidak terputus hingga selesai dimandikan. Jika melihat sesuatu pada mayit, janganlah ia menceritakannya karena kewajiban menutupi aib saudaranya.”

 

 

(قَالَ) : وَأَوْلَاهُمْ بِغُسْلِهِ أَوْلَاهُمْ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَيُغَسِّلُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ زَوْجَهَا. غَسَّلَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ زَوْجَهَا أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَعَلِيٌّ امْرَأَتَهُ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَقَالَتْ عَائِشَةُ لَوْ اسْتَقْبَلْنَا مِنْ أَمْرِنَا مَا اسْتَدْبَرْنَا مَا غَسَّلَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إلَّا نِسَاؤُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Orang yang paling berhak memandikannya adalah yang paling berhak menyalatkannya. Seorang suami boleh memandikan istrinya, dan seorang istri boleh memandikan suaminya. Asma’ binti Umais memandikan suaminya, Abu Bakar Ash-Shiddiq – radhiyallahu ‘anhu -, dan Ali memandikan istrinya, Fatimah binti Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Aisyah berkata: ‘Seandainya kami mengetahui sebelumnya apa yang kami ketahui sekarang, tidak ada yang memandikan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – kecuali istri-istrinya.'”

 

(قَالَ) : وَلَيْسَ لِلْعِدَّةِ مَعْنًى يَحِلُّ لِأَحَدِهِمَا فِيهَا مَا لَا يَحِلُّ لَهُ مِنْ صَاحِبِهِ وَيُغَسِّلُ الْمُسْلِمُ قَرَابَتَهُ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَيَتْبَعُ جِنَازَتَهُ وَلَا يُصَلِّي عَلَيْهِ «لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ عَلِيًّا فَغَسَّلَ أَبَا طَالِبٍ» .

 

 

Beliau berkata: “Masa ‘iddah tidak memiliki makna yang membolehkan salah satu dari keduanya melakukan apa yang tidak halal baginya terhadap pasangannya. Seorang muslim boleh memandikan kerabatnya yang musyrik, mengikuti jenazahnya, tetapi tidak menshalatkannya, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan Ali untuk memandikan Abu Thalib.”

 

بَابُ عَدَدِ الْكَفَنِ وَكَيْفَ الْحَنُوطُ

Bab tentang jumlah kain kafan dan cara memakai wewangian jenazah

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyebutkan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Asy-Syafi’i berkata: “Aku menyukai jumlah kain kafan hingga tiga helai kain putih yang bersih tanpa baju dan sorban, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikafani dengan tiga helai kain putih yang bersih tanpa baju dan sorban.” (قَالَ) : Beliau berkata: “Dan dikasari dengan kayu gaharu hingga harum, kemudian dibentangkan kain yang terbaik dan terluas, lalu yang kedua di atasnya, kemudian kain yang menempel pada mayit dan ditaburkan wewangian di antara kain-kain tersebut. Kemudian mayit diangkat dan diletakkan di atas kain yang paling atas dalam keadaan terlentang. Lalu diambil sedikit kapas yang telah dibersihkan bijinya dan diberi wewangian serta kapur barus, kemudian dimasukkan di antara kedua pantatnya dengan memasukkan yang dalam dan diperbanyak untuk menahan sesuatu yang mungkin keluar ketika mayit digerakkan saat diangkat atau digoyang. Lalu diikatkan pada mayit sepotong kain yang ujungnya dibelah yang melingkupi kedua pantat dan kemaluannya, kemudian diikat seperti ikatan celana yang longgar.” (قَالَ الْمُزَنِيّ) : Al-Muzani berkata: “Aku tidak menyukai pendapatnya tentang memasukkan kapas secara dalam, karena hal itu mengandung unsur kekerasan terhadap kehormatan mayit. Akan tetapi, cukup diberi kapas sebesar buah pisang di antara kedua pantatnya dan sehelai kapas di bawahnya, lalu ditekankan pada kedua pantatnya dan diikat dari atas seperti ikatan celana yang diikatkan padanya. Jika ada sesuatu yang keluar, maka ikatan itu akan mencegahnya agar tidak terlihat. Ini lebih baik dalam memuliakan mayit daripada melanggar kehormatannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَأْخُذُ الْقُطْنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ الْحَنُوطَ وَالْكَافُورَ فَيَضَعُهُ عَلَى فِيهِ وَمَنْخِرَيْهِ وَعَيْنَيْهِ وَأُذُنَيْهِ وَمَوْضِعِ سُجُودِهِ، وَإِنْ كَانَتْ بِهِ جِرَاحٌ نَافِذَةٌ وَضَعَ عَلَيْهَا وَيُحَنِّطُ رَأْسَهُ وَلِحْيَتَهُ بِالْكَافُورِ وَعَلَى مَسَاجِدِهِ وَيُوضَعُ الْمَيِّتُ مِنْ الْكَفَنِ بِالْمَوْضِعِ الَّذِي يَبْقَى مِنْهُ مِنْ عِنْدِ رِجْلَيْهِ أَقَلُّ مِمَّا يَبْقَى مِنْ عِنْدِ رَأْسِهِ، ثُمَّ يَثْنِي عَلَيْهِ ضَيِّقَ الثَّوْبِ الَّذِي يَلِيهِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ يَثْنِي ضَيِّقَ الثَّوْبِ الْآخَرِ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِ كَمَا وَصَفْت كَمَا يَشْتَمِلُ الْحَيُّ بِالسِّيَاجِ، ثُمَّ يَصْنَعُ بِالْأَثْوَابِ كُلِّهَا كَذَلِكَ، ثُمَّ يَجْمَعُ مَا عِنْدَ رَأْسِهِ مِنْ الثِّيَابِ جَمْعَ الْعِمَامَةِ، ثُمَّ يَرُدُّهُ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ يَرُدُّ مَا عَلَى رِجْلَيْهِ عَلَى ظُهُورِ رِجْلَيْهِ إلَى حَيْثُ بَلَغَ، فَإِنْ خَافُوا أَنْ تَنْتَشِرَ الْأَكْفَانُ عَقَدُوهَا عَلَيْهِ فَإِذَا أَدْخَلُوهُ الْقَبْرَ حَلُّوهَا وَأَضْجَعُوهُ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ وَوَسَّدُوا رَأْسَهُ بِلَبِنَةٍ وَأَسْنَدُوهُ لِئَلَّا يَسْتَلْقِيَ عَلَى ظَهْرِهِ وَأَدْنَوْهُ إلَى اللَّحْدِ مِنْ مُقَدِّمَتِهِ لِئَلَّا يَنْكَبَّ عَلَى وَجْهِهِ، وَيُنْصَبُ اللَّبِنُ عَلَى اللَّحْدِ وَيُسَدُّ فَرْجُ اللَّبِنِ ثُمَّ يُهَالُ التُّرَابُ عَلَيْهِ وَالْإِهَالَةُ أَنْ يَطْرَحَ مِنْ عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ التُّرَابَ بِيَدَيْهِ جَمِيعًا، ثُمَّ يُهَالُ بِالْمَسَاحِي وَلَا أُحِبُّ أَنْ يُرَدَّ فِي الْقَبْرِ أَكْثَرُ مِنْ تُرْبِهِ لِئَلَّا يَرْتَفِعَ جِدًّا، وَيُشْخَصُ عَنْ وَجْهِ الْأَرْضِ قَدْرَ شِبْرٍ وَيُرَشُّ عَلَيْهِ الْمَاءُ وَيُوضَعُ عَلَيْهِ الْحَصْبَاءُ وَيُوضَعُ عِنْدَ رَأْسِهِ صَخْرَةٌ، أَوْ عَلَامَةٌ مَا كَانَتْ فَإِذَا فَرَغَ مِنْ الْقَبْرِ فَقَدْ أَكْمَلَ وَيَنْصَرِفُ مَنْ شَاءَ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ إذَا وُورِيَ فَذَلِكَ لَهُ وَاسِعٌ (قَالَ) : وَبَلَغَنَا «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ سَطَّحَ قَبْرَ ابْنِهِ إبْرَاهِيمَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – وَوَضَعَ عَلَيْهِ حَصْبَاءَ مِنْ حَصْبَاءِ الْعَرْصَةِ وَأَنَّهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – رَشَّ عَلَى قَبْرِهِ» وَرُوِيَ عَنْ الْقَاسِمِ قَالَ رَأَيْت قَبْرَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ مُسَطَّحَةً (قَالَ) : وَلَا تُبْنَى الْقُبُورُ وَلَا تُجَصَّصُ

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Ambillah kapas lalu letakkan wewangian dan kapur barus di atasnya, kemudian letakkan di mulut, hidung, mata, telinga, dan tempat sujudnya. Jika ada luka yang terbuka, letakkan juga di sana. Berikan kapur barus pada kepala, jenggot, dan tempat-tempat sujudnya. Letakkan mayit di kain kafan dengan posisi bagian yang tersisa di kaki lebih sedikit daripada bagian yang tersisa di kepala. Kemudian lipat kain yang sempit di sebelah kanannya, lalu lipat kain lainnya di sebelah kirinya seperti yang telah dijelaskan, sebagaimana orang hidup mengenakan pakaian. Lakukan hal yang sama dengan semua kain. Kemudian kumpulkan kain di bagian kepala seperti sorban, lalu letakkan di wajahnya. Selanjutnya, letakkan kain di kakinya hingga menutupi punggung kakinya. Jika khawatir kain kafan terbuka, ikatlah. Saat memasukkannya ke liang lahat, lepaskan ikatan itu dan baringkan di sisi kanannya. Letakkan batu bata sebagai bantal kepala dan sandarkan agar tidak terlentang. Dekatkan ke bagian depan liang lahat agar tidak terjungkir. Pasang batu bata di liang lahat dan tutup celah-celahnya. Kemudian taburkan tanah ke atasnya, yaitu dengan melemparkan tanah dari tepi kuburan dengan kedua tangan. Setelah itu, taburkan tanah dengan sekop. Aku tidak suka jika kuburan diberi tanah lebih dari yang seharusnya agar tidak terlalu tinggi. Kuburan harus menonjol sekitar satu jengkal dari permukaan tanah, lalu disiram air dan diberi kerikil. Letakkan batu atau tanda di bagian kepala. Setelah selesai mengurusi kuburan, orang boleh pulang jika ingin. Jika ingin pulang setelah mayit dikubur, itu juga diperbolehkan.” (Imam Syafi’i berkata): “Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ meratakan kuburan putranya, Ibrahim عليه السلام, dan meletakkan kerikil dari tanah lapang di atasnya, serta menyiram kuburannya.” Diriwayatkan dari Al-Qasim, ia berkata: “Aku melihat kuburan Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar rata.” (Imam Syafi’i berkata): “Kuburan tidak boleh dibangun atau diplester.”

 

 

(قَالَ) :: وَالْمَرْأَةُ فِي غُسْلِهَا كَالرَّجُلِ وَتُتَعَهَّدُ بِأَكْثَرَ مَا يُتَعَهَّدُ بِهِ الرَّجُلُ وَأَنْ يُضَفَّرَ شَعْرُ رَأْسِهَا ثَلَاثَةَ قُرُونٍ فَيُلْقَيْنَ خَلْفَهَا لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ بِذَلِكَ أُمَّ عَطِيَّةَ فِي ابْنَتِهِ وَبِأَمْرِهِ غَسَّلَتْهَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَتُكَفَّنُ بِخَمْسَةِ أَثْوَابٍ خِمَارٍ وَإِزَارٍ وَثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ أَحَدُهَا دِرْعًا لِمَا رَأَيْت فِيهِ مِنْ قَوْلِ الْعُلَمَاءِ وَقَدْ قَالَ بِهِ الشَّافِعِيُّ مَرَّةً مَعَهَا، ثُمَّ خَطَّ عَلَيْهِ.

 

 

(Dia berkata) :: “Wanita dalam mandi jenazahnya sama seperti laki-laki, tetapi diperhatikan lebih banyak daripada yang diperhatikan pada laki-laki, dan rambut kepalanya dikepang menjadi tiga bagian lalu dibiarkan tergantung di belakangnya karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan hal itu kepada Ummu ‘Athiyyah untuk anak perempuannya, dan dengan perintahnya beliau memandikannya.” (Al-Muzani berkata) : “Dan dia dikafani dengan lima kain, yaitu kerudung, sarung, dan tiga kain lainnya.” (Al-Muzani berkata) : “Dan aku lebih suka jika salah satunya adalah baju besi karena apa yang aku lihat dalam pendapat ulama, dan Asy-Syafi’i pernah berpendapat demikian bersamanya, kemudian beliau menggarisbawahinya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمُؤْنَةُ الْمَيِّتِ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ دُونَ وَرَثَتِهِ وَغُرَمَائِهِ فَإِنْ اشْتَجَرُوا فِي الْكَفَنِ فَثَلَاثَةُ أَثْوَابٍ إنْ كَانَ وَسَطًا لَا مُوسِرًا وَلَا مُقِلًّا وَمِنْ الْحَنُوطِ بِالْمَعْرُوفِ لَا سَرَفًا وَلَا تَقْصِيرًا (قَالَ) :: وَيُغَسَّلُ السَّقْطُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ إنْ اسْتَهَلَّ وَإِنْ لَمْ يَسْتَهِلَّ غُسِّلَ وَكُفِّنَ وَدُفِنَ وَالْخِرْقَةُ الَّتِي تُوَارِيهِ لِفَافَةُ تَكْفِينِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Biaya pemakaman mayit diambil dari pokok hartanya, bukan dari ahli waris atau para piutangnya. Jika mereka berselisih tentang kain kafan, maka cukup tiga helai kain jika mayit berstatus menengah (tidak kaya maupun miskin). Dan wewangiannya secukupnya, tidak berlebihan maupun terlalu sedikit.” (Beliau juga berkata): “Janin yang keguguran dimandikan dan dishalatkan jika sempat menangis. Jika tidak menangis, cukup dimandikan, dikafani, lalu dikubur. Kain yang menutupnya dianggap sebagai kafannya.”

 

بَابُ الشَّهِيدِ وَمَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُغَسَّلُ

 

Bab tentang syahid dan orang yang dishalatkan serta dimandikan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالشُّهَدَاءُ الَّذِينَ عَاشُوا وَأَكَلُوا الطَّعَامَ، أَوْ بَقُوا مُدَّةً يَنْقَطِعُ فِيهَا الْحَرْبُ وَإِنْ لَمْ يَطْعَمُوا كَغَيْرِهِمْ مِنْ الْمَوْتَى وَاَلَّذِينَ قَتَلَهُمْ الْمُشْرِكُونَ فِي الْمُعْتَرَكِ يُكَفَّنُونَ بِثِيَابِهِمْ الَّتِي قُتِلُوا بِهَا إنْ شَاءَ أَوْلِيَاؤُهُمْ وَتُنْزَعُ عَنْهُمْ الْخِفَافُ وَالْفِرَاءُ وَالْجُلُودُ وَمَا لَمْ يَكُنْ مِنْ عَامِّ لِبَاسِ النَّاسِ وَلَا يُغَسَّلُونَ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِمْ وَرُوِيَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُغَسِّلْهُمْ» (قَالَ) : وَعُمَرُ شَهِيدٌ غَيْرَ أَنَّهُ لَمَّا لَمْ يُقْتَلْ فِي الْمُعْتَرَكِ غُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَالْغُسْلُ وَالصَّلَاةُ سُنَّةٌ لَا يَخْرُجُ مِنْهَا إلَّا مَنْ أَخْرَجَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Para syuhada yang masih hidup dan memakan makanan, atau bertahan selama masa di mana peperangan terputus meskipun mereka tidak makan seperti mayat lainnya, serta orang-orang yang dibunuh oleh kaum musyrik di medan perang, mereka dikafani dengan pakaian mereka yang mereka pakai saat terbunuh jika keluarganya menghendaki. Dilepas dari mereka khuff (sepatu kulit), bulu hewan, kulit, dan apa saja yang bukan termasuk pakaian umum masyarakat. Mereka tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Anas bin Malik, ‘dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau tidak menshalatkan mereka dan tidak memandikan mereka.'” (Dia berkata): “Umar adalah syahid, tetapi karena dia tidak terbunuh di medan perang, maka dia dimandikan dan dishalatkan. Memandikan dan menshalatkan adalah sunnah, tidak ada yang dikecualikan darinya kecuali orang yang dikecualikan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -.”

 

بَابُ حَمْلِ الْجِنَازَةِ

Bab Mengusung Jenazah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَرُوِيَ «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ حَمَلَ فِي جِنَازَةِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ» وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ حَمَلَ سَرِيرَ ابْنِ عَوْفٍ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ عَلَى كَاهِلِهِ وَأَنَّ عُثْمَانَ حَمَلَ بَيْنَ عَمُودَيْ سَرِيرِ أُمِّهِ فَلَمْ يُفَارِقْهُ حَتَّى وُضِعَ وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ حَمَلَ بَيْنَ عَمُودَيْ سَرِيرِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ وَأَنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ حَمَلَ بَيْنَ عَمُودَيْ سَرِيرِ الْمِسْوَرِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau pernah memikul jenazah Sa’ad bin Mu’adz di antara kedua tiang (keranda). Dan dari Sa’ad bin Abi Waqqash bahwa ia memikul keranda Ibnu ‘Auf di antara kedua tiang di atas pundaknya. Juga bahwa Utsman memikul keranda ibunya di antara kedua tiang dan tidak melepaskannya sampai keranda itu diletakkan. Dari Abu Hurairah bahwa ia memikul keranda Sa’ad bin Abi Waqqash di antara kedua tiang, dan bahwa Ibnu Zubair memikul keranda Al-Miswar di antara kedua tiang.

 

(قَالَ) : وَوَجْهُ حَمْلِهَا مِنْ الْجَوَانِبِ أَنْ يَضَعَ يَاسِرَةَ السَّرِيرِ الْمُقَدَّمَةَ عَلَى عَاتِقِهِ الْأَيْمَنِ، ثُمَّ يَاسِرَتَهُ الْمُؤَخَّرَةَ، ثُمَّ يَامِنَةَ السَّرِيرِ الْمُقَدَّمَةَ عَلَى عَاتِقِهِ الْأَيْسَرِ، ثُمَّ يَامِنَتَهُ الْمُؤَخَّرَةَ، فَإِنْ كَثُرَ النَّاسُ أَحْبَبْت أَنْ يَكُونَ أَكْثَرُ حَمْلِهِ بَيْنَ الْعَمُودَيْنِ وَمِنْ أَيْنَ حُمِلَ فَحَسَنٌ.

 

 

(Dia berkata): “Cara membawanya dari sisi adalah dengan meletakkan bagian depan sisi kiri tempat tidur di bahu kanannya, kemudian bagian belakang sisi kirinya, lalu bagian depan sisi kanan tempat tidur di bahu kirinya, kemudian bagian belakang sisi kanannya. Jika banyak orang, aku lebih suka jika sebagian besar bebannya berada di antara dua tiang, dan dari mana pun dibawa, itu baik.”

بَابُ الْمَشْيِ أَمَامَ الْجِنَازَةِ

 

Bab Berjalan di Depan Jenazah

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْمَشْيُ بِالْجِنَازَةِ الْإِسْرَاعُ وَهُوَ فَوْقَ سَجِيَّةِ الْمَشْيِ وَالْمَشْيُ أَمَامَهَا أَفْضَلُ «؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَانُوا يَمْشُونَ أَمَامَ الْجِنَازَةِ» .

 

(Imam Syafi’i berkata): “Berjalan bersama jenazah adalah dengan mempercepat langkah, melebihi kebiasaan berjalan biasa, dan berjalan di depannya lebih utama; karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, Abu Bakar, Umar, dan Utsman biasa berjalan di depan jenazah.”

 

بَابُ مَنْ أَوْلَى بِالصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ

Bab tentang siapa yang lebih berhak memimpin shalat jenazah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْوَلِيُّ أَحَقُّ بِالصَّلَاةِ مِنْ الْوَالِي؛ لِأَنَّ هَذَا مِنْ الْأُمُورِ الْخَاصَّةِ وَأَحَقُّ قَرَابَتِهِ الْأَبُ، ثُمَّ الْجَدُّ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ، ثُمَّ الْوَلَدُ وَوَلَدُ الْوَلَدِ، ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ، ثُمَّ أَقْرَبُهُمْ بِهِ عَصَبَةً فَإِنْ اجْتَمَعَ لَهُ أَوْلِيَاءُ فِي دَرَجَةٍ فَأَحَبُّهُمْ إلَيَّ أَسَنُّهُمْ فَإِنْ لَمْ يُحْمَدْ حَالُهُ فَأَفْضَلُهُمْ وَأَفْقَهُهُمْ فَإِنْ اسْتَوَوْا أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ وَالْوَلِيُّ الْحُرُّ أَوْلَى مِنْ الْوَلِيِّ الْمَمْلُوكِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Wali lebih berhak menyalatkan mayit daripada penguasa, karena ini termasuk urusan khusus. Kerabat yang paling berhak adalah ayah, kemudian kakek dari pihak ayah, lalu anak dan cucu, kemudian saudara kandung, kemudian saudara seayah, kemudian kerabat terdekat dari jalur ‘ashabah. Jika ada beberapa wali dalam satu derajat, maka yang paling aku sukai adalah yang paling tua. Jika keadaannya tidak terpuji, maka yang lebih utama dan lebih faqih. Jika mereka setara, diadakan undian di antara mereka. Wali yang merdeka lebih diutamakan daripada wali yang budak.

 

بَابُ الصَّلَاةِ عَلَى الْجِنَازَةِ

 

Bab Shalat Jenazah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَيُصَلَّى عَلَى الْجَنَائِزِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَإِنْ اجْتَمَعَتْ جَنَائِزُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ وَأَرَادُوا الْمُبَادَرَةَ جَعَلُوا النِّسَاءَ مِمَّا يَلِي الْقِبْلَةَ، ثُمَّ الصِّبْيَانُ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الرِّجَالُ مِمَّا يَلِي الْإِمَامَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: وَالْخَنَاثَى فِي مَعْنَاهُ يَكُونُ النِّسَاءُ بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ الصِّبْيَانِ كَمَا جَعَلَهُمْ فِي الصَّلَاةِ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ.

 

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Shalat jenazah boleh dilakukan kapan saja. Jika jenazah laki-laki, perempuan, dan anak-anak berkumpul dan ingin disegerakan, letakkan jenazah perempuan di sisi kiblat, lalu anak-anak di sebelahnya, kemudian laki-laki di sisi imam.” (Al-Muzani berkata): Aku mengatakan: “Khuntsa (orang dengan kelamin ambigu) statusnya mengikuti makna ini. Jenazah perempuan ditempatkan di antara mereka dan anak-anak, sebagaimana posisi mereka dalam shalat (hidup) antara laki-laki dan perempuan.”

 

بَابُ الْقِيَامُ عِنْدَ وُرُودِ الْجِنَازَةِ لِلصَّلَاةِ وَكَيْفِيَّةِ الصَّلَاةِ وَالدَّفْنِ

 

Bab Berdiri Saat Jenazah Datang untuk Shalat, Tata Cara Shalat, dan Penguburan

 

بَابُ هَلْ يُسَنُّ الْقِيَامُ عِنْدَ وُرُودِ الْجِنَازَةِ لِلصَّلَاةِ وَفِي كَيْفِيَّةِ الصَّلَاةِ وَالدَّفْنِ (قَالَ) : حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ قَالَ: حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ عَنْ الشَّافِعِيِّ قَالَ: الْقِيَامُ فِي الْجَنَائِزِ مَنْسُوخٌ وَاحْتَجَّ بِحَدِيثِ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ إبْرَاهِيمُ: قَالَ حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُسْلِمٍ الْمِصِّيصِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ «عَنْ قَيْسِ بْنِ مَسْعُودِ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ شَهِدَ جِنَازَةً مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَرَأَى النَّاسَ قِيَامًا يَنْتَظِرُونَ أَيْنَ تُوضَعُ فَأَشَارَ إلَيْهِمْ بِدُرَّةٍ أَوْ سَوْطٍ اجْلِسُوا فَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَدْ جَلَسَ بَعْدَمَا كَانَ يَقُومُ» قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَأَخْبَرَنِي نَافِعُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنْ مَسْعُودٍ عَنْ عَلِيٍّ مِثْلَهُ.

 

 

Bab apakah disunnahkan berdiri saat jenazah datang untuk dishalatkan dan tata cara shalat serta penguburan. (Dia) berkata: Ibrahim menceritakan kepada kami, Beliau berkata: Ar-Rabi’ menceritakan kepada kami dari Asy-Syafi’i, Beliau berkata: Berdiri saat jenazah telah dihapus (mansukh). Dan dia berargumen dengan hadis Ali -radhiyallahu ‘anhu-. Ibrahim berkata: Dia berkata, Yusuf bin Muslim Al-Mishishi menceritakan kepada kami, Beliau berkata: Hajjaj bin Muhammad menceritakan kepada kami dari Ibnu Juraij, Beliau berkata: Musa bin ‘Uqbah mengabarkan kepadaku dari Qais bin Mas’ud bin Al-Hakam dari ayahnya, bahwa dia menyaksikan jenazah bersama Ali bin Abi Thalib, lalu dia melihat orang-orang berdiri menunggu di mana jenazah akan diletakkan. Maka Ali memberi isyarat kepada mereka dengan durrah (tongkat kecil) atau cambuk, “Duduklah, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah duduk setelah sebelumnya berdiri.” Ibnu Juraij berkata: Nafi’ bin Jubair mengabarkan kepadaku dari Mas’ud dari Ali seperti itu.

بَابُ التَّكْبِيرِ عَلَى الْجَنَائِزِ

Bab tentang takbir pada jenazah

 

وَمَنْ أَوْلَى بِأَنْ يُدْخِلَهُ الْقَبْرَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَبَّرَ أَرْبَعًا وَقَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الْأُولَى» وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَجَهَرَ بِهَا وَقَالَ إنَّمَا فَعَلْت لِتَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ كُلَّمَا كَبَّرَ عَلَى الْجِنَازَةِ وَعَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ وَعُرْوَةَ مِثْلُهُ (قَالَ) : وَيُكَبِّرُ الْمُصَلِّي عَلَى الْمَيِّتِ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، ثُمَّ يُكَبِّرُ الثَّانِيَةَ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ كَذَلِكَ ثُمَّ يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، ثُمَّ يُكَبِّرُ الثَّالِثَةَ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ كَذَلِكَ وَيَدْعُو لِلْمَيِّتِ فَيَقُولُ: ” اللَّهُمَّ عَبْدُك وَابْنُ عَبْدِك خَرَجَ مِنْ رَوَحِ الدُّنْيَا وَسِعَتِهَا وَمَحْبُوبِهِ وَأَحِبَّائِهِ فِيهَا إلَى ظُلْمَةِ الْقَبْرِ وَمَا هُوَ لَاقِيهِ وَكَانَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُك وَرَسُولُك وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ اللَّهُمَّ نَزَلَ بِك وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُولٍ بِهِ وَأَصْبَحَ فَقِيرًا إلَى رَحْمَتِك وَأَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ وَقَدْ جِئْنَاك رَاغِبِينَ إلَيْك شُفَعَاءَ لَهُ، اللَّهُمَّ إنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِي إحْسَانِهِ وَإِنْ كَانَ مُسِيئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ وَلَقِّهِ بِرَحْمَتِك رِضَاكَ وَقِه فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَهُ وَأَفْسِحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ وَجَافِ الْأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ وَلَقِّهِ بِرَحْمَتِك الْأَمْنَ مِنْ عَذَابِك حَتَّى تَبْعَثَهُ إلَى جَنَّتِك يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ ثُمَّ يُكَبِّرُ الرَّابِعَةَ، ثُمَّ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ وَيُخْفِي الْقِرَاءَةَ وَالدُّعَاءَ وَيَجْهَرُ بِالسَّلَامِ (قَالَ) : وَمَنْ فَاتَهُ بَعْضُ الصَّلَاةِ افْتَتَحَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ تَكْبِيرَ الْإِمَامِ، ثُمَّ قَضَى مَكَانَهُ وَمَنْ لَمْ يُدْرِكْ صَلَّى عَلَى الْقَبْرِ. وَرُوِيَ «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ صَلَّى عَلَى الْقَبْرِ» وَعَنْ عُمَرَ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ مِثْلُهُ.

 

 

Dan siapakah yang lebih berhak untuk memasukkannya ke dalam kubur? (Asy-Syafi’i berkata): Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad bin Aqil dari Jabir bin Abdullah, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bertakbir empat kali dan membaca Ummul Qur’an setelah takbir pertama.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia membaca Al-Fatihah dan mengeraskannya, seraya berkata, “Aku lakukan ini agar kalian tahu bahwa itu sunnah.” Dari Ibnu Umar, ia mengangkat kedua tangannya setiap kali bertakbir dalam shalat jenazah. Demikian juga diriwayatkan dari Ibnul Musayyib dan Urwah.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Orang yang shalat atas jenazah bertakbir dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya, kemudian membaca Al-Fatihah. Lalu bertakbir kedua kalinya sambil mengangkat tangan seperti sebelumnya, memuji Allah, bershalawat kepada Nabi ﷺ, dan berdoa untuk kaum mukminin dan mukminat. Kemudian bertakbir ketiga kalinya sambil mengangkat tangan seperti sebelumnya dan berdoa untuk mayit dengan mengatakan,

 

“Ya Allah, hamba-Mu dan anak hamba-Mu ini telah meninggalkan kenikmatan dunia, keluasannya, serta orang-orang yang dicintai dan mencintainya di dalamnya, menuju kegelapan kubur dan apa yang akan ia hadapi. Ia bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Engkau dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu, dan Engkau lebih mengetahui tentangnya. Ya Allah, ia kembali kepada-Mu, dan Engkau sebaik-baik tempat kembali. Ia membutuhkan rahmat-Mu, sedangkan Engkau tidak membutuhkan siksaannya. Kami datang kepada-Mu sebagai pemberi syafaat untuknya. Ya Allah, jika ia berbuat baik, tambahkan kebaikannya. Jika ia berbuat salah, maafkanlah. Temuilah ia dengan keridhaan-Mu, lindungilah dari fitnah dan azab kubur, luaskanlah kuburnya, jauhkan tanah dari lambungnya, dan berilah ia keamanan dari azab-Mu hingga Engkau membangkitkannya ke surga-Mu, wahai Yang Maha Pengasih.”

 

Kemudian bertakbir keempat kali, lalu mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Bacaan dan doa dilakukan dengan suara pelan, sedangkan salam dikeraskan.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa tertinggal sebagian shalat, ia memulai dan tidak menunggu takbir imam, lalu menyempurnakan di tempatnya. Barangsiapa tidak sempat (shalat jenazah), ia boleh shalat di kuburan. Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau pernah shalat di kuburan. Demikian juga diriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar, dan Aisyah.

 

 

(قَالَ) : وَلَا يُدْخِلُ الْمَيِّتَ قَبْرَهُ إلَّا الرِّجَالُ مَا كَانُوا مَوْجُودِينَ وَيُدْخِلُهُ مِنْهُمْ أَفْقَهُهُمْ وَأَقْرَبُهُمْ بِهِ رَحِمًا، وَيُدْخِلُ الْمَرْأَةَ زَوْجُهَا وَأَقْرَبُهُمْ بِهَا رَحِمًا وَيَسْتُرُ عَلَيْهَا بِثَوْبٍ إذَا أُنْزِلَتْ الْقَبْرَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونُوا وِتْرًا ثَلَاثَةً، أَوْ خَمْسَةً (قَالَ) : وَيُسَلُّ الْمَيِّتُ سَلًّا مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سُلَّ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ» (قَالَ) : حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ أَبِي الصَّبَّاحِ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ الْمِنْهَالِ عَنْ خَلِيفَةَ عَنْ حَجَّاجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – دَخَلَ قَبْرًا لَيْلًا فَأُسْرِجَ لَهُ وَأَخَذَهُ مِنْ قِبَلِ الْقِبْلَةِ» (قَالَ) : حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ مَنِيعٍ عَنْ هُشَيْمٍ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ مَاتَ فَشَهِدَهُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ فَأَدْخَلَهُ مِنْ قِبَلِ رِجْلِهِ الْقَبْرَ.

 

 

Beliau berkata: “Mayit tidak dimasukkan ke kuburnya kecuali oleh laki-laki yang hadir, dan yang memasukkannya adalah yang paling faqih dan paling dekat kekerabatannya dengannya. Untuk wanita, yang memasukkannya adalah suaminya atau yang paling dekat kekerabatannya dengannya, dan dia ditutupi dengan kain ketika dimasukkan ke kubur.” Asy-Syafi’i berkata: “Aku suka jika mereka berjumlah ganjil, tiga atau lima orang.” Beliau berkata: “Mayit dimasukkan dengan perlahan dari arah kepalanya.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Rasulullah ﷺ dimasukkan dari arah kepalanya.” Beliau berkata: “Ibrahim bin Muhammad menceritakan kepada kami, Al-Fadhl bin Abi Ash-Shabbah menceritakan kepada kami, Yahya menceritakan kepada kami dari Al-Minhal dari Khalifah dari Hajjaj dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas: ‘Nabi ﷺ pernah masuk ke kubur di malam hari, lalu diberikan lampu untuk Beliau, dan Beliau mengambilnya dari arah kiblat.'” Beliau berkata: “Ibrahim menceritakan kepada kami, Ibnu Mani’ menceritakan kepada kami dari Husyaim dari Khalid Al-Hadzdza’ dari Ibnu Sirin: ‘Seorang laki-laki Anshar meninggal, lalu Anas bin Malik menghadirinya dan memasukkannya ke kubur dari arah kakinya.'”

 

بَابُ مَا يُقَالُ إذَا أُدْخِلَ الْمَيِّتُ قَبْرَهُ

 

Bab tentang apa yang diucapkan ketika mayit dimasukkan ke dalam kuburnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أُدْخِلَ الْمَيِّتُ قَبْرَهُ قَالَ الَّذِينَ يُدْخِلُونَهُ ” بِسْمِ اللَّهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ سَلَّمَهُ إلَيْك الْأَشِحَّاءُ مِنْ وَلَدِهِ وَأَهْلِهِ وَقَرَابَتِهِ وَإِخْوَانِهِ وَفَارَقَ مَنْ كَانَ يُحِبُّ قُرْبَهُ وَخَرَجَ مِنْ سِعَةِ الدُّنْيَا وَالْحَيَاةِ إلَى ظُلْمَةِ الْقَبْرِ وَضِيقِهِ وَنَزَلَ بِكَ وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُولٍ بِهِ إنْ عَاقَبْته فَبِذَنْبِهِ وَإِنْ عَفَوْت فَأَنْتَ أَهْلُ الْعَفْوِ أَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ وَهُوَ فَقِيرٌ إلَى رَحْمَتِك اللَّهُمَّ اُشْكُرْ حَسَنَاتِهِ وَاغْفِرْ سَيِّئَاتِهِ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَاجْمَعْ لَهُ بِرَحْمَتِك الْأَمْنَ مِنْ عَذَابِك وَاكْفِهِ كُلَّ هَوْلٍ دُونَ الْجَنَّةِ اللَّهُمَّ اُخْلُفْهُ فِي تَرِكَتِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَارْفَعْهُ فِي عِلِّيِّينَ وَعُدْ عَلَيْهِ بِفَضْلِ رَحْمَتِك يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ “.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Ketika mayit dimasukkan ke dalam kuburnya, orang-orang yang memasukkannya mengucapkan: ‘Dengan nama Allah dan di atas agama Rasulullah. Ya Allah, serahkanlah ia kepada-Mu, sementara orang-orang yang kikir dari anaknya, keluarganya, kerabatnya, dan saudara-saudaranya meninggalkannya. Ia telah berpisah dengan orang yang ia cintai kedekatannya, keluar dari kelapangan dunia dan kehidupan menuju kegelapan kubur dan kesempitannya, serta datang kepada-Mu sedangkan Engkau adalah sebaik-baik tempat datang. Jika Engkau menghukumnya, itu karena dosanya, dan jika Engkau memaafkan, maka Engkau adalah Yang Maha Pemaaf. Engkau Maha Kaya dari menyiksanya, sedangkan ia sangat membutuhkan rahmat-Mu. Ya Allah, terimalah kebaikannya, ampunilah kesalahannya, lindungilah ia dari azab kubur, dan kumpulkanlah baginya dengan rahmat-Mu keamanan dari azab-Mu. Cukupilah ia dari segala ketakutan sebelum surga. Ya Allah, gantilah ia dalam harta yang ditinggalkannya pada orang-orang yang masih hidup, angkatlah derajatnya di ‘illiyyin, dan berilah ia dengan keutamaan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara para penyayang.'”

بَابُ التَّعْزِيَةِ وَمَا يُهَيَّأُ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ

 

Bab tentang Ta’ziyah dan Apa yang Disiapkan untuk Keluarga Orang yang Meninggal

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ تَعْزِيَةَ أَهْلِ الْمَيِّتِ رَجَاءَ الْأَجْرِ بِتَعْزِيَتِهِمْ وَأَنْ يُخَصَّ بِهَا خِيَارُهُمْ وَضُعَفَاؤُهُمْ عَنْ احْتِمَالِ مُصِيبَتِهِمْ وَيُعَزَّى الْمُسْلِمُ بِمَوْتِ أَبِيهِ النَّصْرَانِيِّ فَيَقُولُ: ” أَعْظَمَ اللَّهُ أَجْرَك وَأَخْلَفَ عَلَيْك ” وَيَقُولُ فِي تَعْزِيَةِ النَّصْرَانِيِّ لِقَرَابَتِهِ ” أَخْلَفَ اللَّهُ عَلَيْك وَلَا نَقَصَ عَدَدَك ” (وَقَالَ) وَأُحِبُّ لِقَرَابَةِ الْمَيِّتِ وَجِيرَانِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ طَعَامًا يَسَعُهُمْ فَإِنَّهُ سُنَّةٌ وَفِعْلُ أَهْلِ الْخَيْرِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Aku menyukai memberikan takziah kepada keluarga mayit dengan harapan mendapat pahala karenanya, dan agar orang-orang terbaik serta yang lemah di antara mereka mendapat perhatian khusus untuk meringankan musibah mereka. Seorang Muslim boleh diberi takziah atas kematian ayahnya yang Nasrani dengan mengucapkan, “Semoga Allah melipatgandakan pahalamu dan menggantikan untukmu.” Sedangkan dalam takziah kepada seorang Nasrani atas kematian kerabatnya, diucapkan, “Semoga Allah memberi pengganti untukmu dan tidak mengurangi jumlahmu.” (Dia juga berkata): Aku menyukai apabila kerabat dan tetangga mayit menyediakan makanan yang cukup untuk keluarga mayit pada siang dan malam harinya, karena itu adalah sunnah dan perbuatan orang-orang yang baik.

 

بَاب الْبُكَاءِ عَلَى الْمَيِّتِ

 

Bab Menangisi Mayit

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَأُرَخِّصُ فِي الْبُكَاءِ بِلَا نَدْبٍ وَلَا نِيَاحَةٍ لِمَا فِي النَّوْحِ مِنْ تَجْدِيدِ الْحُزْنِ وَمَنْعِ الصَّبْرِ وَعَظِيمِ الْإِثْمِ وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ» وَذَكَرَ ذَلِكَ ابْنُ عَبَّاسٍ لِعَائِشَةَ فَقَالَتْ: – رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ – وَاَللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمَيِّتَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ ” وَلَكِنْ قَالَ ” إنَّ اللَّهَ يَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ ” (قَالَ) : وَقَالَتْ عَائِشَةُ حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ {وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} الأنعام: 164 وَقَالَ: ابْنُ عَبَّاسٍ عِنْدَ ذَلِكَ: اللَّهُ أَضْحَكَ وَأَبْكَى.

 

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Aku membolehkan menangis selama tidak disertai ratapan atau tangisan keras, karena meratap dapat memperbarui kesedihan, menghilangkan kesabaran, dan mengandung dosa besar.” Diriwayatkan dari Umar -radhiyallahu ‘anhu- bahwa ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Sesungguhnya mayit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya.” Ibnu Abbas menyampaikan hal itu kepada Aisyah, lalu Aisyah berkata: “Semoga Allah merahmati Umar. Demi Allah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak pernah bersabda bahwa Allah menyiksa mayit karena tangisan keluarganya. Tetapi beliau bersabda: ‘Allah menambah azab bagi orang kafir karena tangisan keluarganya atasnya.'” Aisyah juga berkata: “Cukuplah Al-Qur’an bagi kalian: ‘Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.'” (QS. Al-An’am: 164). Ibnu Abbas saat itu berkata: “Allah yang menjadikan tertawa dan menangis.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مَا رَوَتْ عَائِشَةُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَشْبَهُ بِدَلَالَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ {وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى} الأنعام: 164 وَقَالَ {لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى} طه: 15 «، وَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – لِرَجُلٍ فِي ابْنِهِ إنَّهُ لَا يَجْنِي عَلَيْك وَلَا تَجْنِي عَلَيْهِ» وَمَا زِيدَ فِي عَذَابِ الْكَافِرِ فَبِاسْتِيجَابِهِ لَهُ لَا بِذَنْبِ غَيْرِهِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) بَلَغَنِي أَنَّهُمْ كَانُوا يُوصُونَ بِالْبُكَاءِ عَلَيْهِ وَبِالنِّيَاحَةِ أَوْ بِهِمَا وَهِيَ مَعْصِيَةٌ وَمَنْ أَمَرَ بِهَا فَعُمِلَتْ بَعْدَهُ كَانَتْ لَهُ ذَنْبًا فَيَجُوزُ أَنْ يُزَادَ بِذَنْبِهِ عَذَابًا – كَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ – لَا بِذَنْبِ غَيْرِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Apa yang diriwayatkan oleh Aisyah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – lebih sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Allah berfirman, ‘Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain’ (QS. Al-An’am: 164), dan firman-Nya, ‘Agar setiap jiwa dibalas sesuai dengan apa yang diusahakannya’ (QS. Thaha: 15).” Nabi – ‘alaihis salam – juga bersabda kepada seorang lelaki tentang anaknya, “Sesungguhnya dia tidak menanggung dosamu, dan kamu tidak menanggung dosanya.” Adapun bertambahnya azab orang kafir, itu karena dia sendiri yang pantas menerimanya, bukan karena dosa orang lain. (Al-Muzani berkata): Telah sampai kepadaku bahwa dahulu mereka berwasiat untuk meratap dan menangisi mayit, atau melakukan keduanya, padahal itu adalah maksiat. Barangsiapa memerintahkan hal itu lalu dilaksanakan setelah kematiannya, maka itu menjadi dosa baginya. Oleh karena itu, boleh saja azabnya ditambah karena dosanya sendiri – sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i – bukan karena dosa orang lain.

كِتَابُ الزَّكَاةِ بَابُ فَرْضِ الْإِبِلِ السَّائِمَةِ

 

Bab Kewajiban Zakat Unta yang Digembalakan

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

بَابُ فَرْضِ الْإِبِلِ السَّائِمَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا الْقَاسِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ الْمُثَنَّى بْنِ أَنَسٍ، أَوْ ابْنِ فُلَانِ بْنِ أَنَسٍ شَكَّ الشَّافِعِيُّ «عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ هَذِهِ الصَّدَقَةُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى الْمُسْلِمِينَ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ بِهَا فَمَنْ سَأَلَهَا عَلَى وَجْهِهَا فَلْيُعْطَهَا وَمَنْ سَأَلَ فَوْقَهَا فَلَا يُعْطَهُ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنْ الْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا الْغَنَمُ فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ بِنْتُ مَخَاضٍ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ إلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ أُنْثَى فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ إلَى سِتِّينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةَ الْجَمَلِ فَإِذَا بَلَغَتْ إحْدَى وَسِتِّينَ إلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ فَفِيهَا جَذَعَةٌ فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَسَبْعِينَ إلَى تِسْعِينَ فَفِيهَا ابْنَتَا لَبُونٍ فَإِذَا بَلَغَتْ إحْدَى وَتِسْعِينَ إلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا الْجَمَلِ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ جَذَعَةٌ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إنْ اسْتَيْسَرَتَا عَلَيْهِ، أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا فَإِذَا بَلَغَتْ عَلَيْهِ الْحِقَّةُ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ حِقَّةٌ وَعِنْدَهُ جَذَعَةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُتَصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا، أَوْ شَاتَيْنِ» .

 

Bab Kewajiban Zakat Unta yang Digembalakan (Berkata Asy-Syafi’i): Telah mengabarkan kepada kami Al-Qasim bin Abdullah bin Umar dari Al-Mutsanna bin Anas, atau Ibnu Fulan bin Anas -Asy-Syafi’i ragu- dari Anas bin Malik, ia berkata: “Inilah zakat, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas kaum muslimin, yang diperintahkan oleh Allah Jalla wa ‘Azza. Barangsiapa memintanya sesuai ketentuannya, maka berikanlah. Dan barangsiapa meminta lebih dari itu, maka jangan diberikan. Pada 24 ekor unta atau kurang darinya, zakatnya adalah kambing; setiap 5 ekor zakatnya 1 ekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor, maka zakatnya 1 ekor bintu makhadh (unta betina berumur 1 tahun). Jika tidak ada bintu makhadh, maka boleh diganti dengan ibnu labun (unta jantan berumur 2 tahun). Jika mencapai 36 hingga 45 ekor, maka zakatnya 1 ekor bintu labun (unta betina berumur 2 tahun). Jika mencapai 46 hingga 60 ekor, maka zakatnya 1 ekor hiqqah (unta betina berumur 3 tahun) yang siap dikawini unta jantan. Jika mencapai 61 hingga 75 ekor, maka zakatnya 1 ekor jadza’ah (unta betina berumur 4 tahun). Jika mencapai 76 hingga 90 ekor, maka zakatnya 2 ekor bintu labun. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor, maka zakatnya 2 ekor hiqqah yang siap dikawini unta jantan. Jika lebih dari 120 ekor, maka setiap 40 ekor zakatnya 1 ekor bintu labun, dan setiap 50 ekor zakatnya 1 ekor hiqqah. Barangsiapa yang kewajiban zakatnya adalah jadza’ah tetapi ia tidak memilikinya, sedangkan ia memiliki hiqqah, maka hiqqah itu diterima darinya dan ia harus menambahkan 2 ekor kambing jika mudah baginya, atau 20 dirham. Jika kewajibannya adalah hiqqah tetapi ia tidak memilikinya, sedangkan ia memiliki jadza’ah, maka jadza’ah itu diterima darinya dan petugas zakat harus memberinya 20 dirham atau 2 ekor kambing.”

(Asy-Syafi’i berkata): Hadits Anas bin Malik adalah sahih dari jalur Hammad bin Salamah dan lainnya dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ini adalah salinan kitab Umar tentang zakat yang dahulu diambil darinya, lalu ia menyebutkan makna ini dari awal hingga perkataannya: “Pada setiap empat puluh ekor unta, zakatnya adalah seekor bintu labun (unta betina berumur 2 tahun), dan pada setiap lima puluh ekor unta, zakatnya adalah seekor hiqqah (unta betina berumur 3 tahun).”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبِهَذَا كُلِّهِ نَأْخُذُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ إلَّا بِالْحَوْلِ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسٍ مِنْ الْإِبِلِ شَيْءٌ وَلَا فِيمَا بَيْنَ الْفَرِيضَتَيْنِ شَيْءٌ وَإِنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ بِنْتُ مَخَاضٍ فَلَمْ تَكُنْ عِنْدَهُ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَرٌ، فَإِنْ جَاءَ بِابْنِ لَبُونٍ وَابْنَةِ مَخَاضٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ ابْنَ لَبُونٍ ذَكَرًا وَابْنَةُ مَخَاضٍ مَوْجُودَةٌ، وَإِبَانَةٌ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ أَنْ تَكُونَ الْإِبِلُ مِائَةً وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ فَيَكُونُ فِيهَا ثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ وَلَيْسَ فِي زِيَادَتِهَا شَيْءٌ حَتَّى تَكْمُلَ مِائَةً وَثَلَاثِينَ فَإِذَا أَكْمَلْتهَا فَفِيهَا حِقَّةٌ وَابْنَتَا لَبُونٍ وَلَيْسَ فِي زِيَادَتِهَا شَيْءٌ حَتَّى تَكْمُلَ مِائَةً وَأَرْبَعِينَ فَإِذَا أَكْمَلَتْهَا فَفِيهَا حِقَّتَانِ وَابْنَةُ لَبُونٍ وَلَيْسَ فِي زِيَادَتِهَا شَيْءٌ حَتَّى تَكْمُلَ مِائَةً وَخَمْسِينَ فَإِذَا كَمَّلْتَهَا فَفِيهَا ثَلَاثُ حِقَاقٍ وَلَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَكْمُلَ مِائَةً وَسِتِّينَ فَإِذَا كَمَّلْتَهَا فَفِيهَا أَرْبَعُ بَنَاتِ لَبُونٍ وَلَيْسَ فِي زِيَادَتِهَا شَيْءٌ حَتَّى تَكْمُلَ مِائَةً وَسَبْعِينَ فَإِذَا كَمَّلْتَهَا فَفِيهَا حِقَّةٌ وَثَلَاثُ بَنَاتِ لَبُونٍ وَلَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ مِائَةً وَثَمَانِينَ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا حِقَّتَانِ وَابْنَتَا لَبُونٍ وَلَيْسَ فِي زِيَادَتِهَا شَيْءٌ حَتَّى تَبْلُغَ مِائَةً وَتِسْعِينَ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا ثَلَاثُ حِقَاقٍ وَابْنَةُ لَبُونٍ وَلَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ مِائَتَيْنِ فَإِذَا بَلَغَتْهَا، فَإِنْ كَانَتْ أَرْبَعُ حِقَاقٍ مِنْهَا خَيْرًا مِنْ خَمْسِ بَنَاتِ لَبُونٍ أَخَذَهَا الْمُصَدِّقُ وَإِنْ كَانَتْ خَمْسُ بَنَاتِ لَبُونٍ خَيْرًا مِنْهَا أَخَذَهَا لَا يَحِلُّ لَهُ غَيْرُ ذَلِكَ فَإِنْ أَخَذَ مِنْ رَبِّ الْمَالِ الصِّنْفَ الْأَدْنَى كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يُخْرِجَ الْفَضْلَ فَيُعْطِيَهُ أَهْلَ السُّهْمَانِ، فَإِنْ وَجَدَ أَحَدَ الصِّنْفَيْنِ وَلَمْ يَجِدْ الْآخَرَ أَخَذَ الَّذِي وَجَدَ وَلَا يُفَرِّقُ الْفَرِيضَةَ وَإِنْ كَانَ الْفَرْضَانِ مَعِيبَيْنِ بِمَرَضٍ، أَوْ هُيَامٍ أَوْ جَرَبٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ وَسَائِرُ الْإِبِلِ صِحَاحٌ قِيلَ لَهُ إنْ جِئْت بِالصِّحَاحِ وَإِلَّا أَخَذْنَا مِنْك السِّنَّ الَّتِي هِيَ أَعْلَى وَرَدَدْنَا، أَوْ السِّنَّ الَّتِي هِيَ أَسْفَلُ وَأَخَذْنَا وَالْخِيَارُ فِي الشَّاتَيْنِ، أَوْ الْعِشْرِينَ دِرْهَمًا إلَى الَّذِي أَعْطَى وَلَا يَخْتَارُ السَّاعِي إلَّا مَا هُوَ خَيْرٌ لِأَهْلِ السُّهْمَانِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dengan semua ini kami mengambil (pendapat).” (Imam Syafi’i berkata): “Zakat tidak wajib kecuali setelah mencapai haul (satu tahun), dan tidak ada kewajiban zakat pada unta yang kurang dari lima ekor, juga tidak ada kewajiban pada jumlah di antara dua batas nishab. Jika seseorang wajib membayar bintu makhadh (unta betina berumur 1 tahun) tetapi tidak memilikinya, maka boleh menggantinya dengan ibnu labun (unta jantan berumur 2 tahun). Jika dia membawa ibnu labun dan bintu makhadh, maka petugas zakat tidak boleh mengambil ibnu labun jantan jika bintu makhadh tersedia. Dijelaskan bahwa pada setiap 40 ekor unta zakatnya adalah bintu labun (unta betina berumur 2 tahun), dan pada setiap 50 ekor zakatnya adalah hiqqah (unta betina berumur 3 tahun). Jika unta mencapai 121 ekor, maka zakatnya tiga bintu labun, dan tidak ada tambahan zakat sampai mencapai 130 ekor. Jika mencapai 130 ekor, zakatnya satu hiqqah dan dua bintu labun. Tidak ada tambahan zakat sampai mencapai 140 ekor. Jika mencapai 140 ekor, zakatnya dua hiqqah dan satu bintu labun. Tidak ada tambahan zakat sampai mencapai 150 ekor. Jika mencapai 150 ekor, zakatnya tiga hiqqah, dan tidak ada tambahan zakat sampai mencapai 160 ekor. Jika mencapai 160 ekor, zakatnya empat bintu labun, dan tidak ada tambahan zakat sampai mencapai 170 ekor. Jika mencapai 170 ekor, zakatnya satu hiqqah dan tiga bintu labun. Tidak ada tambahan zakat sampai mencapai 180 ekor. Jika mencapai 180 ekor, zakatnya dua hiqqah dan dua bintu labun. Tidak ada tambahan zakat sampai mencapai 190 ekor. Jika mencapai 190 ekor, zakatnya tiga hiqqah dan satu bintu labun. Tidak ada tambahan zakat sampai mencapai 200 ekor. Jika mencapai 200 ekor, jika empat hiqqah lebih baik daripada lima bintu labun, maka petugas zakat mengambilnya. Jika lima bintu labun lebih baik, maka petugas mengambilnya. Tidak halal baginya mengambil selain itu. Jika petugas mengambil jenis yang lebih rendah dari pemilik harta, maka wajib baginya untuk mengeluarkan kelebihan dan memberikannya kepada mustahik. Jika petugas menemukan salah satu dari dua jenis dan tidak menemukan yang lain, maka dia mengambil yang ditemukan dan tidak boleh memisahkan ketentuan zakat. Jika kedua jenis unta yang wajib dizakati cacat karena sakit, kurus, kudis, atau lainnya, sedangkan unta-unta lainnya sehat, maka dikatakan kepadanya: ‘Jika kamu membawa yang sehat, kami akan mengambilnya. Jika tidak, kami akan mengambil yang lebih tua dan mengembalikan yang lebih muda, atau mengambil yang lebih muda dan mengembalikan yang lebih tua.’ Pilihan antara dua kambing atau dua puluh dirham ada pada orang yang memberi, dan petugas zakat tidak boleh memilih kecuali apa yang lebih baik bagi mustahik.”

 

وَكَذَلِكَ إنْ كَانَتْ أَعْلَى بِسِنِينَ، أَوْ أَسْفَلَ فَالْخِيَارُ بَيْنَ أَرْبَعِ شِيَاهٍ، أَوْ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا وَلَا يَأْخُذُ مَرِيضًا وَفِي الْإِبِلِ عَدَدٌ صَحِيحٌ وَإِنْ كَانَتْ كُلُّهَا مَعِيبَةً لَمْ يُكَلِّفْهُ صَحِيحًا مِنْ غَيْرِهَا وَيَأْخُذُ جَبْرَ الْمَعِيبِ، وَإِذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ جَذَعَةٌ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ مَاخِضًا إلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ، وَلَوْ كَانَتْ إبِلُهُ مَعِيبَةً وَفَرِيضَتُهَا شَاةً وَكَانَتْ أَكْثَرَ ثَمَنًا مِنْ بَعِيرٍ مِنْهَا قِيلَ: لَك الْخِيَارُ فِي أَنْ تُعْطِيَ بَعِيرًا مِنْهَا تَطَوُّعًا مَكَانَهَا، أَوْ شَاةً مِنْ غَنَمِك تَجُوزُ أُضْحِيَّةٌ، فَإِنْ كَانَتْ غَنَمُهُ مَعْزًا فَثَنِيَّةٌ أَوْ ضَأْنًا فَجَذَعَةٌ وَلَا أَنْظُرُ إلَى الْأَغْلَبِ فِي الْبَلَدِ لِأَنَّهُ إنَّمَا قِيلَ: إنَّ عَلَيْهِ شَاةً مِنْ شَاةِ بَلَدِهِ تَجُوزُ فِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ، وَإِذَا كَانَتْ إبِلُهُ كِرَامًا لَمْ يَأْخُذْ مِنْهُ الصَّدَقَةَ دُونَهَا كَمَا لَوْ كَانَتْ لِئَامًا لَمْ يَكُنْ لَنَا أَنْ نَأْخُذَ مِنْهَا كِرَامًا وَإِذَا عَدَّ عَلَيْهِ السَّاعِي فَلَمْ يَأْخُذْ مِنْهُ حَتَّى نَقَصَتْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَإِنْ فَرَّطَ فِي دَفْعِهَا فَعَلَيْهِ الضَّمَانُ وَمَا هَلَكَ، أَوْ نَقَصَ فِي يَدَيْ السَّاعِي فَهُوَ أَمِينٌ حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَرَمِيُّ بْنُ يُونُسَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسٍ مِثْلَهُ.

 

 

Demikian pula jika lebih tinggi beberapa tahun atau lebih rendah, maka pilihannya antara empat ekor kambing atau empat puluh dirham, dan tidak boleh mengambil yang sakit. Pada unta, jumlahnya harus sehat. Jika semuanya cacat, dia tidak diwajibkan memberikan yang sehat dari selainnya, tetapi mengambil ganti rugi untuk yang cacat. Jika wajib atasnya seekor jadza’ah (unta muda), dia tidak boleh mengambil yang sudah melahirkan kecuali dengan sukarela. Jika untanya cacat dan kewajibannya seekor kambing, sementara unta itu lebih mahal daripada seekor unta darinya, dikatakan: Kamu boleh memilih memberikan seekor unta darinya secara sukarela sebagai gantinya, atau seekor kambing dari kambingmu yang sah untuk kurban. Jika kambingnya adalah kambing kacang, maka harus tsaniyyah (berumur dua tahun), atau jika domba maka jadza’ah (berumur satu tahun). Aku tidak melihat yang dominan di negeri itu, karena dikatakan: Kewajibannya adalah seekor kambing dari kambing negerinya yang sah untuk zakat kambing. Jika untanya bagus, tidak boleh mengambil zakat selain darinya, sebagaimana jika buruk, kita tidak boleh mengambil yang bagus darinya. Jika petugas zakat menghitungnya lalu tidak mengambil sampai berkurang, maka tidak ada kewajiban atasnya. Jika dia lalai menyerahkannya, maka dia menanggung ganti rugi atas yang hilang atau berkurang. Sedangkan yang hilang atau berkurang di tangan petugas zakat, maka dia adalah amanah. Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, Beliau berkata: Telah menceritakan kepada kami Harami bin Yunus bin Muhammad dari ayahnya dari Hammad bin Salamah dari Tsumamah bin Abdullah bin Anas dari Anas semisalnya.

 

بَابُ صَدَقَةِ الْبَقَرِ السَّائِمَةِ

 

Bab tentang zakat sapi yang digembalakan

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ مُعَاذًا أَخَذَ مِنْ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا وَمِنْ أَرْبَعِينَ بَقَرَةً مُسِنَّةً.

 

(Imam Syafi’i berkata) : Malik mengabarkan kepada kami dari Humaid bin Qais dari Thawus bahwa Mu’adz mengambil seekor anak sapi dari tiga puluh ekor sapi dan seekor sapi dewasa dari empat puluh ekor sapi.

 

(قَالَ) : وَرُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ مُعَاذًا أَنْ يَأْخُذَ مِنْ ثَلَاثِينَ تَبِيعًا وَمِنْ أَرْبَعِينَ مُسِنَّةً نَصًّا» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهَذَا مَا لَا أَعْلَمُ فِيهِ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَقِيته خِلَافًا وَرُوِيَ عَنْ طَاوُسٍ «أَنَّ مُعَاذًا كَانَ يَأْخُذُ مِنْ ثَلَاثِينَ بَقَرَةً تَبِيعًا وَمِنْ أَرْبَعِينَ بَقَرَةً مُسِنَّةً وَأَنَّهُ أُتِيَ بِدُونِ ذَلِكَ فَأَبَى أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا، وَقَالَ: لَمْ أَسْمَعْ فِيهِ شَيْئًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَتَّى أَلْقَاهُ فَأَسْأَلَهُ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَبْلَ أَنْ يَقْدَمَ مُعَاذٌ وَأَنَّ مُعَاذًا أُتِيَ بِوَقْصِ الْبَقَرِ فَقَالَ لَمْ يَأْمُرْنِي فِيهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِشَيْءٍ» .

 

 

Beliau berkata: Diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan Mu’adz untuk mengambil zakat dari setiap 30 ekor sapi berupa tabi’ (sapi jantan berumur satu tahun) dan dari setiap 40 ekor sapi berupa musinnah (sapi betina berumur dua tahun) secara tegas. Asy-Syafi’i berkata: Ini adalah pendapat yang tidak aku ketahui adanya perselisihan di antara ulama yang aku temui. Diriwayatkan dari Thawus bahwa Mu’adz biasa mengambil zakat dari 30 ekor sapi berupa tabi’ dan dari 40 ekor sapi berupa musinnah. Ketika ada yang kurang dari jumlah itu, ia menolak mengambil zakat darinya seraya berkata, “Aku tidak mendengar sesuatu pun dari Rasulullah ﷺ mengenai hal ini sampai aku bisa menemuinya dan bertanya kepadanya.” Namun, Rasulullah ﷺ wafat sebelum Mu’adz kembali. Dan ketika Mu’adz didatangi dengan sapi yang pincang, ia berkata, “Nabi ﷺ tidak memerintahkan apa pun kepadaku tentang hal ini.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الْوَقْصُ مَا لَمْ يَبْلُغْ الْفَرِيضَةَ (قَالَ) : وَبِهَذَا كُلِّهِ نَأْخُذُ وَلَيْسَ فِيمَا بَيْنَ الْفَرِيضَتَيْنِ شَيْءٌ وَإِذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ إحْدَى السِّنَّيْنِ وَهُمَا فِي بَقَرَةٍ أَخَذَ الْأَفْضَلَ وَإِذَا وَجَدَ إحْدَاهُمَا لَمْ يُكَلِّفْهُ الْأُخْرَى وَلَا يَأْخُذُ الْمَعِيبَ وَفِيهَا صِحَاحٌ كَمَا قُلْت فِي الْإِبِلِ

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Al-waqsh adalah apa yang belum mencapai kadar wajib.” (Dia juga berkata): “Kami mengambil pendapat ini secara keseluruhan, dan tidak ada kewajiban di antara dua kadar wajib. Jika salah satu dari dua usia (hewan) diwajibkan padanya dan keduanya ada pada seekor sapi, maka diambil yang lebih baik. Jika dia menemukan salah satunya, dia tidak dibebani untuk mencari yang lain, dan tidak boleh mengambil yang cacat jika ada yang sehat, sebagaimana yang telah kukatakan tentang unta.”

 

بَابُ صَدَقَةِ الْغَنَمِ السَّائِمَةِ

 

Bab tentang zakat kambing yang digembalakan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – ثَابِتٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ مَعْنَى مَا أَذْكُرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى وَهُوَ أَنْ لَيْسَ فِي الْغَنَمِ صَدَقَةٌ حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا بَلَغْتهَا فَفِيهَا شَاةٌ وَلَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ مِائَةً وَإِحْدَى وَعِشْرِينَ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا شَاتَانِ وَلَيْسَ فِي زِيَادَتِهَا شَيْءٌ حَتَّى تَبْلُغَ مِائَتَيْنِ وَشَاةً فَإِذَا بَلَغْتهَا فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ، ثُمَّ لَا شَيْءَ فِي زِيَادَتِهَا حَتَّى تَبْلُغَ أَرْبَعَمِائَةٍ فَإِذَا بَلَغَتْهَا فَفِيهَا أَرْبَعُ شِيَاهٍ، ثُمَّ فِي كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ وَمَا نَقَصَ عَنْ مِائَةٍ فَلَا شَيْءَ فِيهَا وَتُعَدُّ عَلَيْهِمْ السَّخْلَةُ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لِسَاعِيهِ اعْتَدَّ عَلَيْهِمْ بِالسَّخْلَةِ يَرُوحُ بِهَا الرَّاعِي وَلَا تَأْخُذْهَا وَلَا تَأْخُذْ الْأَكُولَةَ وَلَا الرُّبَّى وَلَا الْمَاخِضَ وَلَا فَحْلَ الْغَنَمِ وَخُذْ الْجَذَعَةَ وَالثَّنِيَّةَ وَذَلِكَ عَدْلٌ بَيْنَ غِذَاءِ الْمَالِ وَخِيَارِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Telah tetap dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang zakat kambing, makna yang aku sebutkan insya Allah Ta’ala, yaitu: Tidak ada zakat pada kambing hingga mencapai empat puluh ekor. Jika sudah mencapainya, maka zakatnya satu ekor kambing. Tidak ada zakat pada tambahannya hingga mencapai seratus dua puluh satu ekor. Jika mencapainya, maka zakatnya dua ekor kambing. Tidak ada zakat pada tambahannya hingga mencapai dua ratus satu ekor. Jika mencapainya, maka zakatnya tiga ekor kambing. Kemudian tidak ada zakat pada tambahannya hingga mencapai empat ratus ekor. Jika mencapainya, maka zakatnya empat ekor kambing. Selanjutnya, pada setiap seratus ekor zakatnya satu ekor kambing. Apa yang kurang dari seratus maka tidak ada zakatnya. Dan anak kambing (sakhlah) dihitung (dalam nisab).” Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – berkata kepada petugas zakatnya: “Hitunglah bagi mereka anak kambing (sakhlah) yang digembalakan oleh penggembala, jangan kamu ambil. Jangan pula mengambil yang terlalu gemuk, yang dijadikan pemimpin, yang sedang hamil, atau pejantan kambing. Ambillah yang berumur satu tahun (jadza’ah) atau dua tahun (tsaniyyah), karena itu adil antara makanan harta dan pilihannya.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالرُّبَّى هِيَ الَّتِي يَتْبَعُهَا وَلَدُهَا وَالْمَاخِضُ الْحَامِلُ وَالْأَكُولَةُ السَّمِينَةُ تُعَدُّ لِلذَّبْحِ

(Imam Syafi’i berkata): “Ar-Rubba adalah hewan yang diikuti oleh anaknya, Al-Makhidh adalah hewan yang sedang hamil, dan Al-Akulah adalah hewan yang gemuk dan siap untuk disembelih.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبَلَغَنَا «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِمُعَاذٍ إيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ»

(Imam Syafi’i berkata): “Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda kepada Mu’adz: ‘Hindarilah mengambil harta mereka yang paling berharga.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَبِهَذَا نَأْخُذُ، أَوْ لَمَّا لَمْ يَخْتَلِفْ أَهْلُ الْعِلْمِ فِيمَا عَلِمْت مَعَ مَا وَصَفْت فِي أَنْ لَا يُؤْخَذَ أَقُلُّ مِنْ جَذَعَةٍ، أَوْ ثَنِيَّةٍ إذَا كَانَتْ فِي غَنَمِهِ، أَوْ أَعْلَى مِنْهَا دَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ إنَّمَا أَرَادُوا مَا تَجُوزُ أُضْحِيَّةً وَلَا يُؤْخَذُ أَعْلَى إلَّا أَنْ يَطَّوَّعَ، وَيَخْتَارُ السَّاعِي السِّنَّ الَّتِي وَجَبَتْ لَهُ إذَا كَانَتْ الْغَنَمُ كُلُّهَا وَاحِدَةً فَإِنْ كَانَتْ كُلُّهَا فَوْقَ الثَّنِيَّةِ خَيَّرَ رَبَّهَا فَإِنْ جَاءَ بِثَنِيَّةٍ إنْ كَانَتْ مَعْزًا، أَوْ بِجَذَعَةٍ إنْ كَانَتْ ضَأْنًا إلَّا أَنْ يَطَّوَّعَ فَيُعْطِيَ مِنْهَا إلَّا أَنْ يَكُونَ بِهَا نَقْصٌ لَا تَجُوزُ أُضْحِيَّةً وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ قِيمَةً مِنْ السِّنِّ الَّتِي وَجَبَتْ عَلَيْهِ قُبِلَتْ مِنْهُ إنْ جَازَتْ أُضْحِيَّةً إلَّا أَنْ تَكُونَ تَيْسًا فَلَا تُقْبَلُ بِحَالٍ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي فَرْضِ الْغَنَمِ ذُكُورٌ وَهَكَذَا الْبَقَرُ إلَّا أَنْ يَجِبَ فِيهَا تَبِيعٌ وَالْبَقَرُ ثِيرَانٌ فَيُعْطِيَ ثَوْرًا فَيُقْبَلُ مِنْهُ إذَا كَانَ خَيْرًا مِنْ تَبِيعٍ، وَكَذَلِكَ قَالَ فِي الْإِبِلِ بِهَذَا الْمَعْنَى لَا نَأْخُذُ ذَكَرًا مَكَانَ أُنْثَى إلَّا أَنْ تَكُونَ مَاشِيَتُهُ كُلُّهَا ذُكُورًا

(Imam Syafi’i berkata): “Kami berpegang pada ini, atau karena para ulama tidak berbeda pendapat dalam hal yang kami ketahui bersama dengan apa yang telah kami jelaskan, bahwa tidak boleh diambil hewan yang kurang dari Jadza’ah (domba berumur satu tahun) atau Tsaniyyah (kambing berumur dua tahun) jika ada dalam kambingnya, atau yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa mereka hanya menginginkan hewan yang sah untuk kurban. Tidak boleh diambil yang lebih tinggi kecuali jika pemiliknya rela. Petugas zakat memilih usia hewan yang wajib baginya jika semua kambingnya sama. Jika semuanya di atas Tsaniyyah, maka pemiliknya boleh memilih. Jika dia memberikan Tsaniyyah jika kambingnya adalah ma’zan (kambing), atau Jadza’ah jika domba, kecuali jika dia rela memberikan yang lebih tinggi, kecuali jika hewan tersebut memiliki cacat yang tidak sah untuk kurban. Jika hewan tersebut lebih bernilai dari usia yang wajib baginya, maka diterima darinya jika sah untuk kurban, kecuali jika itu adalah Tais (kambing jantan), maka tidak diterima sama sekali karena dalam ketentuan zakat kambing tidak ada jantan. Demikian juga sapi, kecuali jika yang wajib adalah Tabi’ (sapi muda), dan sapinya adalah Tsiiran (sapi jantan), maka dia boleh memberikan sapi jantan dan diterima jika lebih baik dari Tabi’. Demikian juga beliau berkata tentang unta dengan makna yang sama: kami tidak mengambil jantan sebagai pengganti betina kecuali jika semua ternaknya adalah jantan.”

 

(قَالَ) : وَلَا يَعْتَدُّ بِالسَّخْلَةِ عَلَى رَبِّ الْمَاشِيَةِ إلَّا بِأَنْ يَكُونَ السَّخْلُ مِنْ غَنَمِهِ قَبْلَ الْحَوْلِ وَيَكُونَ أَصْلُ الْغَنَمِ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا فَإِذَا لَمْ تَكُنْ الْغَنَمُ مِمَّا فِيهِ الصَّدَقَةُ فَلَا يُعْتَدُّ بِالسَّخْلِ حَتَّى تَتِمَّ بِالسَّخْلِ أَرْبَعِينَ، ثُمَّ يَسْتَقْبِلَ بِهَا الْحَوْلَ وَالْقَوْلُ فِي ذَلِكَ قَوْلُ رَبِّ الْمَاشِيَةِ.

(Imam Syafi’i berkata): “Tidak diperhitungkan anak kambing (sakhlah) bagi pemilik ternak kecuali jika anak kambing tersebut berasal dari kambingnya sebelum haul (satu tahun) dan asal kambingnya berjumlah empat puluh atau lebih. Jika kambing tersebut bukan termasuk yang wajib zakat, maka anak kambing tidak dihitung sampai genap empat puluh dengan anak kambing tersebut, kemudian dimulai haul baru. Pendapat dalam hal ini adalah pendapat pemilik ternak.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَتْ لَهُ أَرْبَعُونَ فَأَمْكَنَهُ أَنْ يُصْدِقَهَا فَلَمْ يَفْعَلْ حَتَّى مَاتَتْ، أَوْ بَعْضَهَا فَعَلَيْهِ شَاةٌ، وَلَوْ لَمْ يُمْكِنْهُ حَتَّى مَاتَتْ مِنْهَا شَاةٌ فَلَا زَكَاةَ فِي الْبَاقِي؛ لِأَنَّهَا أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَلَوْ أَخْرَجَهَا بَعْدَ حَوْلِهَا فَلَمْ يُمْكِنْهُ دَفْعُهَا إلَى أَهْلِهَا أَوْ الْوَالِي حَتَّى هَلَكَتْ لَمْ تَجْزِ عَنْهُ، فَإِنْ كَانَ فِيمَا بَقِيَ مَا تَجِبُ فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ زَكَّى وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَكُلُّ فَائِدَةٍ مِنْ غَيْرِ نِتَاجِهَا فَهِيَ لِحَوْلِهَا.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya dia memiliki empat puluh ekor kambing dan memungkinkan baginya untuk mengeluarkan zakatnya tetapi tidak melakukannya hingga sebagiannya mati, maka wajib baginya seekor kambing. Jika tidak memungkinkan baginya hingga seekor darinya mati, maka tidak ada zakat pada sisanya karena jumlahnya kurang dari empat puluh ekor. Jika dia mengeluarkannya setelah haulnya tetapi tidak bisa menyerahkannya kepada pemiliknya atau penguasa hingga harta itu rusak, maka tidak sah zakatnya. Jika pada sisa harta tersebut terdapat kadar yang wajib dizakati, maka dia harus berzakat. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban atasnya. Setiap tambahan yang bukan dari hasil berkembang biak, maka haulnya mengikuti haul asalnya.”

 

 

وَلَوْ نَتَجَتْ أَرْبَعِينَ قَبْلَ الْحَوْلِ ثُمَّ مَاتَتْ الْأُمَّهَاتُ، ثُمَّ جَاءَ الْمُصَدِّقُ وَهِيَ أَرْبَعُونَ جَدْيًا أَوْ بَهْمَةً، أَوْ بَيْنَ جَدْيٍ وَبَهْمَةٍ، أَوْ كَانَ هَذَا فِي إبِلٍ فَجَاءَ الْمُصَدِّقُ وَهِيَ فِصَالٌ، أَوْ فِي بَقَرٍ وَهِيَ عُجُولٌ أَخَذَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ مِنْ هَذَا وَأَخَذَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْغَنَمِ أُنْثَى وَمِنْ الْبَقَرِ ذَكَرًا.

 

 

Dan seandainya hewan ternak melahirkan empat puluh ekor sebelum genap satu tahun, kemudian induk-induknya mati, lalu petugas zakat datang sementara anak-anaknya telah berjumlah empat puluh ekor berupa kambing muda atau domba, atau campuran antara kambing muda dan domba, atau jika ini terjadi pada unta lalu petugas zakat datang saat anak-anaknya sudah disapih, atau pada sapi saat anak-anaknya sudah menjadi pedet, maka diambil dari setiap jenis ini, dan diambil dari unta dan kambing betina, sedangkan dari sapi diambil jantan.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

 

وَإِنْ لَمْ يَجِدْ إلَّا وَاحِدًا إنْ كَانَتْ الْبَقَرُ ثَلَاثِينَ، وَإِنْ كَانَتْ أَرْبَعِينَ فَأُنْثَى فَإِذَا كَانَتْ الْعُجُولُ إنَاثًا وَوَجَبَ تَبِيعٌ قِيلَ: إنْ شِئْت فَائِتِ بِذَكَرٍ مِثْلَ أَحَدِهَا وَإِنْ شِئْت أَعْطَيْت مِنْهَا أُنْثَى وَأَنْتَ مُتَطَوِّعٌ بِالْفَضْلِ، وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ فِي أَنَّهُ لَمْ يَبْطُلْ عَنْ الصِّغَارِ الصَّدَقَةُ؛ لِأَنَّ حُكْمَهَا حُكْمُ الْأُمَّهَاتِ مَعَ الْأُمَّهَاتِ فَكَذَلِكَ إذَا حَالَ عَلَيْهَا حَوْلُ الْأُمَّهَاتِ وَلَا نُكَلِّفُهُ كَبِيرَةً مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ لَمَّا قِيلَ: لِي دَعْ الرُّبَّى وَالْمَاخِضَ وَذَاتَ الدَّرِّ وَفَحْلَ الْغَنَمِ وَخُذْ الْجَذَعَةَ وَالثَّنِيَّةَ عَقَلْت أَنَّهُ قِيلَ: لِي دَعْ خَيْرًا مِمَّا تَأْخُذُ إذَا كَانَ عِنْدَهُ خَيْرٌ مِنْهُ وَدُونَهُ وَخُذْ الْعَدْلَ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَمَا يُشْبِهُ رُبْعَ عُشْرِ مَالِهِ فَإِذَا كَانَتْ عِنْدَهُ أَرْبَعُونَ تُسَاوِي عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَكُلْفَتُهُ شَاةٌ تُسَاوِي عِشْرِينَ دِرْهَمًا فَلَمْ آخُذْ عَدْلًا بَلْ أَخَذْت قِيمَةَ مَالِهِ كُلِّهِ فَلَا آخُذُ صَغِيرًا وَعِنْدَهُ كَبِيرٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إلَّا صَغِيرٌ أَخَذْت الصَّغِيرَ كَمَا أَخَذْت الْأَوْسَطَ مِنْ التَّمْرِ وَلَا آخُذُ الجعرور فَإِذَا لَمْ يَكُنْ إلَّا الجعرور أَخَذْت مِنْهُ الجعرور وَلَمْ نُنْقِصْ مِنْ عَدَدِ الْكَيْلِ وَلَكِنْ نَقَصْنَا مِنْ الْجَوْدَةِ لَمَّا لَمْ نَجِدْ الْجَيِّدَ كَذَلِكَ نَقَصْنَا مِنْ السِّنِّ إذَا لَمْ نَجِدْهَا وَلَمْ نُنْقِصْ مِنْ الْعَدَدِ وَلَوْ كَانَتْ ضَأْنًا وَمَعْزًا كَانَتْ سَوَاءً، أَوْ بَقَرًا وَجَوَامِيسَ وَعِرَابًا وَدِرْبَانِيَةً وَإِبِلًا مُخْتَلِفَةً فَالْقِيَاسُ أَنْ نَأْخُذَ مِنْ كُلٍّ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ، فَإِنْ كَانَ إبِلُهُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ عَشْرٌ مُهْرِيَّةٌ وَعَشْرٌ أَرْحَبِيَّةٌ وَخَمْسٌ عِيدِيَّةٌ فَمَنْ قَالَ يَأْخُذُ مِنْ كُلٍّ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ قَالَ يَأْخُذُ ابْنَةَ مَخَاضٍ بِقِيمَةِ خُمْسَيْ مُهْرِيَّةٍ وَخُمْسَيْ أَرْحَبِيَّةٍ وَخُمْسِ عِيدِيَّةٍ.

 

 

Dan jika tidak ditemukan kecuali satu, jika sapi berjumlah tiga puluh, dan jika berjumlah empat puluh maka betina. Jika anak sapi betina dan wajib memberikan tabi’ (anak sapi jantan), dikatakan: “Jika engkau mau, berikanlah jantan yang setara dengan salah satunya, atau jika engkau mau, berikanlah betina dan engkau bersedekah dengan kelebihan tersebut.” Imam Syafi’i berargumen bahwa zakat tidak gugur dari hewan kecil karena hukumnya sama dengan induk ketika bersama induknya. Demikian pula jika telah mencapai haul seperti induknya. Kami tidak membebankannya dengan hewan besar karena ketika dikatakan: “Tinggalkan rubba (hewan hamil), yang sedang menyusui, pemilik susu, dan pejantan kambing, ambillah jadza’ah (kambing usia 1 tahun) dan tsaniyyah (kambing usia 2 tahun),” aku memahami bahwa maksudnya adalah: “Tinggalkan yang lebih baik dari apa yang engkau ambil jika ia memiliki yang lebih baik atau yang setara, dan ambillah yang adil antara kecil dan besar, serta yang menyerupai seperempat sepersepuluh hartanya.” Jika ia memiliki empat puluh ekor yang setara dengan dua puluh dirham, dan kewajibannya satu kambing yang setara dengan dua puluh dirham, maka aku tidak mengambil yang setara, melainkan mengambil nilai seluruh hartanya. Maka aku tidak mengambil yang kecil jika ia memiliki yang besar. Jika tidak ada kecuali yang kecil, aku mengambil yang kecil, sebagaimana aku mengambil kurma pertengahan dan tidak mengambil jaur (kurma jelek). Jika tidak ada kecuali jaur, aku mengambil jaur tanpa mengurangi jumlah takaran, tetapi mengurangi kualitas karena tidak menemukan yang baik. Demikian pula kami mengurangi usia jika tidak menemukannya tanpa mengurangi jumlah. Jika terdiri dari domba dan kambing, atau sapi dan kerbau, atau unta yang beragam, maka qiyasnya adalah mengambil dari setiap jenis sesuai porsinya. Jika untanya dua puluh lima ekor: sepuluh muhriyah, sepuluh arhobiyah, dan lima ‘idiyah, maka yang berpendapat untuk mengambil dari setiap jenis sesuai porsinya mengatakan: “Ambillah bintu makhad (anak unta betina usia 1 tahun) dengan nilai dua perlima muhriyah, dua perlima arhobiyah, dan seperlima ‘idiyah.”

 

 

وَلَوْ أَدَّى فِي أَحَدِ الْبَلَدَيْنِ عَنْ أَرْبَعِينَ شَاةً مُتَفَرِّقَةً كَرِهْت ذَلِكَ وَأَجْزَأَهُ وَعَلَى صَاحِبِ الْبَلَدِ الْآخَرِ أَنْ يُصَدِّقَهُ، فَإِنْ اتَّهَمَهُ أَحْلَفَهُ.

 

 

Dan jika ia menunaikan zakat untuk empat puluh kambing yang terpisah di salah satu dari dua negeri, aku tidak menyukai hal itu tetapi itu sudah mencukupi. Pemilik negeri lainnya wajib membenarkannya. Jika ia menuduhnya, maka ia harus bersumpah.

 

وَلَوْ قَالَ الْمُصَدِّقُ هِيَ وَدِيعَةٌ، أَوْ لَمْ يَحُلْ عَلَيْهَا الْحَوْلُ صَدَّقَهُ، وَإِنْ اتَّهَمَهُ أَحْلَفَهُ.

 

Dan jika pemungut zakat mengatakan harta itu adalah titipan, atau belum sampai haulnya, maka perkataannya diterima. Namun jika dia menuduhnya, maka dia harus bersumpah.

 

 

وَلَوْ شَهِدَ الشَّاهِدَانِ أَنَّ لَهُ هَذِهِ الْمِائَةَ بِعَيْنِهَا مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ فَقَالَ قَدْ بِعْتهَا ثُمَّ اشْتَرَيْتهَا صُدِّقَ، وَلَوْ مَرَّتْ بِهِ سَنَةٌ وَهِيَ أَرْبَعُونَ فَنَتَجَتْ شَاةً فَحَالَتْ عَلَيْهَا سَنَةٌ ثَانِيَةٌ وَهِيَ إحْدَى وَأَرْبَعُونَ فَنَتَجَتْ شَاةً فَحَالَتْ عَلَيْهَا سَنَةٌ ثَالِثَةٌ وَهِيَ اثْنَانِ وَأَرْبَعُونَ فَعَلَيْهِ ثَلَاثُ شِيَاهٍ.

 

 

Dan jika dua saksi bersaksi bahwa dia memiliki seratus ini sejak awal tahun, lalu dia berkata, “Aku telah menjualnya kemudian membelinya kembali,” maka perkataannya diterima. Dan jika telah berlalu satu tahun dan jumlahnya empat puluh, lalu beranak seekor kambing, kemudian masuk tahun kedua dan menjadi empat puluh satu, lalu beranak seekor kambing, kemudian masuk tahun ketiga dan menjadi empat puluh dua, maka dia wajib membayar tiga ekor kambing.

 

 

وَلَوْ ضَلَّتْ، أَوْ غَصَبَهَا أَحْوَالًا فَوَجَدَهَا زَكَّاهَا لِأَحْوَالِهَا وَالْإِبِلُ الَّتِي فَرِيضَتُهَا مِنْ الْغَنَمِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّ الشَّاةَ الَّتِي فِيهَا فِي رِقَابِهَا يُبَاعُ مِنْهَا بِغَيْرٍ فَتُؤْخَذُ مِنْهُ إنْ لَمْ يَأْتِ بِهَا وَهَذَا أَشْبَهُ الْقَوْلَيْنِ وَالثَّانِي أَنَّ فِي خَمْسٍ مِنْ الْإِبِلِ حَالَ عَلَيْهَا ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ ثَلَاثُ شِيَاهٍ فِي كُلِّ حَوْلٍ شَاةٌ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْأَوَّلُ أَوْلَى بِهِ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ فِي خَمْسٍ مِنْ الْإِبِلِ لَا يُسَاوِي وَاحِدُهَا شَاةً لِعُيُوبِهَا إنْ سَلَّمَ وَاحِدًا مِنْهَا فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَاةٌ.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Dan sekiranya tersesat atau dirampas oleh keadaan, lalu ia menemukannya, maka ia menyucikannya sesuai keadaannya. Adapun unta yang kewajibannya dari kambing, maka terdapat dua pendapat: salah satunya adalah bahwa kambing yang ada pada lehernya dijual dengan yang lain, lalu diambil darinya jika ia tidak membawanya. Ini adalah pendapat yang lebih mirip di antara keduanya. Pendapat kedua adalah bahwa pada setiap lima unta yang telah mencapai tiga keadaan, terdapat tiga kambing, di setiap keadaan satu kambing. (Al-Muzani berkata): Pendapat pertama lebih utama, karena ia mengatakan pada setiap lima unta yang salah satunya tidak setara dengan satu kambing karena cacatnya, jika ia menyerahkan salah satunya, maka tidak ada kewajiban kambing atasnya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ ارْتَدَّ فَحَالَ الْحَوْلُ عَلَى غَنَمِهِ أَوْقَفْته، فَإِنْ تَابَ أُخِذَتْ صَدَقَتُهَا وَإِنْ قُتِلَ كَانَتْ فَيْئًا خُمُسُهَا لِأَهْلِ الْخُمْسِ وَأَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهَا لِأَهْلِ الْفَيْءِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang murtad lalu telah berlalu satu tahun atas ternak kambingnya, aku akan menahannya. Jika ia bertaubat, diambil zakatnya. Namun jika ia dibunuh, maka ternak itu menjadi fai’, di mana seperlimanya untuk ahli khumus dan empat perlimanya untuk ahli fai’.”

 

 

وَلَوْ غَلَّ صَدَقَتَهُ عُزِّرَ إنْ كَانَ الْإِمَامُ عَدْلًا إلَّا أَنْ يَدَّعِيَ الْجَهَالَةَ وَلَا يُعَزَّرُ إذَا لَمْ يَكُنْ الْإِمَامُ عَدْلًا.

 

 

Dan jika seseorang menyembunyikan zakatnya, ia akan dihukum jika imamnya adil kecuali ia mengaku tidak tahu. Namun, ia tidak akan dihukum jika imamnya tidak adil.

 

وَلَوْ ضَرَبَتْ غَنَمُهُ فُحُولَ الظِّبَاءِ لَمْ يَكُنْ حُكْمُ أَوْلَادِهَا كَحُكْمِ الْغَنَمِ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلْبَغْلِ فِي السُّهْمَانِ حُكْمُ الْخَيْلِ.

 

Dan sekiranya kambing-kambingnya mengawini pejantan-pejantan kijang, niscaya tidaklah hukum anak-anaknya seperti hukum kambing, sebagaimana bagal tidak memiliki hukum kuda dalam pembagian harta rampasan perang.

 

بَابُ صَدَقَةِ الْخُلَطَاءِ

 

Bab Sedekah bagi Orang-Orang yang Berserikat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : جَاءَ الْحَدِيثُ «لَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُفْتَرِقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَاَلَّذِي لَا أَشُكُّ فِيهِ أَنَّ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَقْسِمَا الْمَاشِيَةَ خَلِيطَانِ، وَتَرَاجُعُهُمَا بِالسَّوِيَّةِ أَنْ يَكُونَا خَلِيطَيْنِ فِي الْإِبِلِ فِيهَا الْغَنَمُ فَتُوجَدُ الْإِبِلُ فِي يَدَيْ أَحَدِهِمَا فَيُؤْخَذُ مِنْهُ صَدَقَتُهَا فَيَرْجِعُ عَلَى شَرِيكِهِ بِالسَّوِيَّةِ (قَالَ) : وَقَدْ يَكُونُ الْخَلِيطَانِ الرَّجُلَيْنِ يَتَخَالَطَانِ بِمَاشِيَتِهِمَا وَإِنْ عَرَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَاشِيَتَهُ وَلَا يَكُونَانِ خَلِيطَيْنِ حَتَّى يُرِيحَا وَيَسْرَحَا وَيَحْلُبَا مَعًا وَيَسْقِيَا مَعًا وَيَكُونَ فُحُولَتُهُمَا مُخْتَلِطَةً فَإِذَا كَانَا هَكَذَا صَدَّقَا صَدَقَةَ الْوَاحِدِ بِكُلِّ حَالٍ وَلَا يَكُونَانِ خَلِيطَيْنِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِمَا الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ اخْتَلَطَا وَيَكُونَانِ مُسْلِمَيْنِ، فَإِنْ تَفَرَّقَا فِي مَرَاحٍ، أَوْ مَسْرَحٍ أَوْ سَقْيٍ، أَوْ فَحْلٍ قَبْلَ أَنْ يَحُولَ الْحَوْلُ فَلَيْسَا خَلِيطَيْنِ وَيُصْدِقَانِ صَدَقَةَ الِاثْنَيْنِ وَهَكَذَا إذَا كَانَا شَرِيكَيْنِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Hadits menyatakan, “Jangan menggabungkan yang terpisah atau memisahkan yang tergabung karena khawatir (mengurangi) zakat. Jika ada dua orang yang berserikat (khalith), maka mereka saling mengembalikan (hak masing-masing) secara adil.” (Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Aku tidak ragu bahwa dua orang yang berserikat selama belum membagi ternaknya dianggap sebagai khalith. Saling mengembalikan secara adil maksudnya jika mereka berserikat dalam kepemilikan unta yang di dalamnya ada kambing, lalu unta itu ditemukan di tangan salah satunya, maka zakatnya diambil darinya, lalu ia meminta bagian yang sama dari rekannya.” (Dia berkata): “Dua orang bisa disebut khalith jika ternak mereka bercampur, meski masing-masing mengenali ternaknya. Mereka tidak dianggap khalith sampai mereka menggembalakan, merumputkan, memerah susu, memberi minum bersama, dan pejantannya bercampur. Jika sudah demikian, mereka membayar zakat seperti satu orang dalam semua kondisi. Mereka tidak dianggap khalith sampai genap satu tahun sejak bercampur dan keduanya Muslim. Jika mereka berpisah dalam tempat gembalaan, penggembalaan, penyiraman, atau pejantan sebelum genap setahun, maka mereka bukan khalith dan harus membayar zakat untuk dua orang. Demikian juga jika mereka sekutu.”

 

 

(قَالَ) : وَلَمَّا لَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا إذَا كَانَ ثَلَاثَةُ خُلَطَاءَ لَوْ كَانَتْ لَهُمْ مِائَةٌ وَعِشْرُونَ شَاةً أُخِذَتْ مِنْهُمْ وَاحِدَةٌ وَصَدَّقُوا صَدَقَةَ الْوَاحِدِ فَنَقَصُوا الْمَسَاكِينَ شَاتَيْنِ مِنْ مَالِ الْخُلَطَاءِ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ لَوْ تَفَرَّقَ مَالُهُمْ كَانَتْ فِيهِ ثَلَاثَةُ شِيَاهٍ لَمْ يَجُزْ إلَّا أَنْ يَقُولُوا لَوْ كَانَتْ أَرْبَعُونَ شَاةً مِنْ ثَلَاثَةٍ كَانَتْ عَلَيْهِمْ شَاةٌ؛ لِأَنَّهُ صَدَّقُوا الْخُلَطَاءَ صَدَقَةَ الْوَاحِدِ (قَالَ) : وَبِهَذَا أَقُولُ فِي الْمَاشِيَةِ كُلِّهَا وَالزَّرْعِ وَالْحَائِطِ أَرَأَيْت لَوْ أَنَّ حَائِطًا صَدَقَتُهُ مُجَزَّأَةٌ عَلَى مِائَةِ إنْسَانٍ لَيْسَ فِيهِ إلَّا عَشْرَةُ أَوْسُقٍ أَمَا كَانَتْ فِيهِ صَدَقَةُ الْوَاحِدِ؟ وَمَا قُلْت فِي الْخُلَطَاءِ مَعْنَى الْحَدِيثِ نَفْسِهِ، ثُمَّ قَوْلُ عَطَاءٍ وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: سَأَلْت عَطَاءً عَنْ الِاثْنَيْنِ، أَوْ النَّفَرِ يَكُونُ لَهُمْ أَرْبَعُونَ شَاةً فَقَالَ عَلَيْهِمْ شَاةٌ ” الشَّافِعِيُّ الَّذِي شَكَّ ” (قَالَ) : وَمَعْنَى قَوْلِهِ «لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ خَشْيَةَ الصَّدَقَةِ» لَا يُفَرَّقُ بَيْنَ ثَلَاثَةِ خُلَطَاءَ فِي عِشْرِينَ وَمِائَةِ شَاةٍ وَإِنَّمَا عَلَيْهِ شَاةٌ؛ لِأَنَّهَا إذَا فُرِّقَتْ كَانَ فِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُفْتَرِقٍ رَجُلٍ لَهُ مِائَةُ شَاةٍ وَشَاةٍ وَرَجُلٍ لَهُ مِائَةُ شَاةٍ، فَإِذَا تُرِكَا مُفْتَرِقِينَ فَعَلَيْهِمَا شَاتَانِ وَإِذَا جُمِعَتَا فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ وَالْخَشْيَةُ خَشْيَةُ السَّاعِي أَنْ تَقِلَّ الصَّدَقَةُ وَخَشْيَةُ رَبِّ الْمَالِ أَنْ تَكْثُرَ الصَّدَقَةُ فَأَمَرَ أَنْ يُقَرَّ كُلٌّ عَلَى حَالِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Ketika aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat, jika ada tiga orang yang berserikat dan mereka memiliki seratus dua puluh ekor kambing, maka diambil satu ekor sebagai zakat, dan mereka menunaikan zakat seperti satu orang. Namun, hal itu mengurangi hak orang miskin dua ekor kambing dari harta tiga sekutu tersebut. Seandainya harta mereka dipisah, maka zakatnya menjadi tiga ekor kambing. Tidak boleh kecuali mereka mengatakan, ‘Seandainya ada empat puluh ekor kambing milik tiga orang, maka zakatnya satu ekor,’ karena mereka menunaikan zakat seperti satu orang.” Beliau berkata: “Pendapat ini juga aku terapkan pada seluruh hewan ternak, tanaman, dan kebun. Bagaimana pendapatmu jika sebuah kebun yang zakatnya dibagi kepada seratus orang, padahal hanya menghasilkan sepuluh wasaq, bukankah zakatnya seperti zakat satu orang?” Apa yang kukatakan tentang sekutu sesuai dengan makna hadits itu sendiri. Kemudian pendapat ‘Atha’ dan ulama lainnya, serta diriwayatkan dari Ibnu Juraij, Beliau berkata: “Aku bertanya kepada ‘Atha’ tentang dua orang atau sekelompok orang yang memiliki empat puluh ekor kambing, lalu dia menjawab, ‘Zakatnya satu ekor.'” Asy-Syafi’i yang ragu berkata: “Makna sabda Nabi, ‘Jangan memisahkan harta yang berserikat atau menggabungkan harta yang terpisah karena khawatir terhadap zakat,’ adalah jangan memisahkan tiga sekutu yang memiliki seratus dua puluh ekor kambing, karena zakatnya hanya satu ekor. Sebab, jika dipisah, zakatnya menjadi tiga ekor. Dan jangan menggabungkan harta yang terpisah, seperti seorang yang memiliki seratus satu ekor kambing dan seorang lain yang memiliki seratus ekor. Jika dibiarkan terpisah, zakatnya dua ekor, tetapi jika digabung, zakatnya tiga ekor. Yang dimaksud ‘khawatir’ adalah kekhawatiran petugas zakat (sā‘i) agar zakat tidak berkurang, dan kekhawatiran pemilik harta agar zakat tidak bertambah. Maka, diperintahkan agar setiap harta dibiarkan sesuai keadaannya.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْهِمَا شَاةٌ وَعُدَّتُهُمَا سَوَاءٌ فَظَلَمَ السَّاعِي وَأَخَذَ مِنْ غَنَمِ أَحَدِهِمَا عَنْ غَنَمِهِ وَغَنَمِ الْآخَرِ شَاةً رَبَّى فَأَرَادَ الْمَأْخُوذُ مِنْهُ الشَّاةَ الرُّجُوعَ عَلَى خَلِيطِهِ بِنِصْفِ قِيمَةِ مَا أُخِذَ عَنْ غَنَمِهِمَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ إلَّا بِقِيمَةِ نِصْفِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ إنْ كَانَتْ جَذَعَةً أَوْ ثَنِيَّةً؛ لِأَنَّ الزِّيَادَةَ ظُلْمٌ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya kewajiban atas keduanya adalah seekor kambing dan jumlah ternak mereka sama, lalu petugas zakat berbuat zalim dengan mengambil dari ternak salah seorang di antara mereka – yaitu seekor kambing yang sudah besar – dari ternaknya dan ternak rekannya, lalu orang yang diambil kambingnya ingin menuntut rekannya untuk membayar setengah nilai yang diambil dari ternak mereka berdua, maka dia tidak boleh menuntutnya kecuali dengan nilai setengah dari kewajibannya jika kambing itu jadza’ah atau tsaniyyah, karena kelebihan itu adalah kezaliman.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَتْ لَهُ أَرْبَعُونَ شَاةً فَأَقَامَتْ فِي يَدِهِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ، ثُمَّ بَاعَ نِصْفَهَا، ثُمَّ حَالَ الْحَوْلُ عَلَيْهَا أَخَذَ مِنْ نَصِيبِ الْأَوَّلِ نِصْفَ شَاةٍ لِحَوْلِهِ الْأَوَّلِ فَإِذَا حَالَ حَوْلُهُ الثَّانِي أَخَذَ مِنْهُ نِصْفَ شَاةٍ لِحَوْلِهِ.

 

Beliau berkata: “Seandainya dia memiliki empat puluh kambing dan kambing-kambing itu berada di tangannya selama enam bulan, kemudian dia menjual separuhnya, lalu genap satu tahun atasnya, maka diambil dari bagian pertama setengah kambing untuk haul pertamanya. Jika kemudian genap haulnya yang kedua, diambil darinya setengah kambing untuk haulnya.”

 

 

وَلَوْ كَانَتْ لَهُ غَنَمٌ يَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ فَخَالَطَهُ رَجُلٌ بِغَنَمٍ تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ وَلَمْ يَكُونَا شَائِعًا زُكِّيَتْ مَاشِيَةُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى حَوْلِهَا وَلَمْ يُزَكَّيَا زَكَاةَ الْخَلِيطَيْنِ فِي الْعَامِ الَّذِي اخْتَلَطَا فِيهِ فَإِذَا كَانَ قَابِلَ وَهُمَا خَلِيطَانِ كَمَا هُمَا زُكِّيَا زَكَاةَ الْخَلِيطَيْنِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ حَالَ عَلَيْهِمَا الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ اخْتَلَطَا، فَإِنْ كَانَتْ مَاشِيَتُهُمَا ثَمَانِينَ وَحَوْلُ أَحَدِهِمَا فِي الْمُحَرَّمِ وَحَوْلُ الْآخَرِ فِي صَفَرٍ أُخِذَ مِنْهُمَا نِصْفُ شَاةٍ فِي الْمُحَرَّمِ وَنِصْفُ شَاةٍ فِي صَفَرٍ.

 

 

Dan jika seseorang memiliki kambing yang wajib dizakati, lalu ia bercampur dengan orang lain yang juga memiliki kambing yang wajib dizakati, dan keduanya tidak dalam kepemilikan bersama, maka hewan ternak masing-masing dizakati sesuai haulnya, dan tidak dikenakan zakat gabungan pada tahun mereka bercampur. Namun, jika pada tahun berikutnya mereka masih dalam keadaan bercampur seperti sebelumnya, maka mereka wajib membayar zakat gabungan, karena haulnya telah sempurna sejak hari mereka bercampur. Jika jumlah hewan ternak mereka delapan puluh ekor, dengan haul salah satunya di bulan Muharram dan haul yang lain di bulan Shafar, maka diambil setengah kambing pada bulan Muharram dan setengah kambing lagi pada bulan Shafar.

 

 

وَلَوْ كَانَ بَيْنَ رَجُلَيْنِ أَرْبَعُونَ شَاةً وَلِأَحَدِهِمَا بِبَلَدٍ آخَرَ أَرْبَعُونَ شَاةً أَخَذَ الْمُصَدِّقُ مِنْ الشَّرِيكَيْنِ شَاةً ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِهَا عَنْ صَاحِبِ الْأَرْبَعِينَ الْغَائِبَةِ وَرُبُعُهَا عَنْ الَّذِي لَهُ عِشْرُونَ لِأَنِّي أَضُمُّ مَالَ كُلِّ رَجُلٍ إلَى مَالِهِ.

 

 

Jika ada empat puluh ekor kambing dimiliki oleh dua orang, dan salah satu dari mereka memiliki empat puluh ekor kambing lain di negeri yang berbeda, maka petugas zakat akan mengambil satu ekor kambing dari kedua mitra tersebut. Tiga perempatnya diambil dari pemilik empat puluh ekor kambing yang tidak hadir, dan seperempatnya dari orang yang memiliki dua puluh ekor. Karena aku menggabungkan harta setiap orang dengan hartanya sendiri.

 

بَابُ مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ الصَّدَقَةُ

 

Bab Orang yang Wajib Mengeluarkan Zakat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَتَجِبُ الصَّدَقَةُ عَلَى كُلِّ مَالِكٍ تَامِّ الْمِلْكِ مِنْ الْأَحْرَارِ وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا، أَوْ مَعْتُوهًا، أَوْ امْرَأَةً لَا فَرْقَ بَيْنَهُمْ فِي ذَلِكَ كَمَا تَجِبُ فِي مَالِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا لَزِمَ مَالُهُ بِوَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ جِنَايَةٌ، أَوْ مِيرَاثٌ، أَوْ نَفَقَةٌ عَلَى وَالِدٍ، أَوْ وَلَدٍ زَمِنٍ مُحْتَاجٍ وَسَوَاءٌ ذَلِكَ فِي الْمَاشِيَةِ وَالزَّرْعِ وَزَكَاةِ الْفِطْرَةِ وَرُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «ابْتَغُوا فِي أَمْوَالِ الْيَتِيمِ، أَوْ قَالَ: فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى لَا تَأْكُلُهَا الزَّكَاةُ» وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ أَنَّ الزَّكَاةَ فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Zakat wajib atas setiap pemilik penuh yang merdeka, meskipun masih kecil, gila, atau perempuan—tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal ini—sebagaimana zakat juga wajib pada harta masing-masing mereka jika harta tersebut terkena kewajiban karena sebab tertentu, seperti denda (jinaayah), warisan, atau nafkah untuk orang tua atau anak yang sakit dan membutuhkan. Hal yang sama berlaku pada hewan ternak, tanaman, dan zakat fitrah. Diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda, ‘Carilah (keluarkan zakat) pada harta anak yatim—atau beliau berkata: pada harta anak-anak yatim—jangan sampai zakat memakannya (menghabiskan harta mereka).’ Juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Ibnu Umar, dan Aisyah bahwa zakat itu (wajib) pada harta anak yatim.”

 

(قَالَ) : فَأَمَّا مَالُ الْمُكَاتَبِ فَخَارِجٌ مِنْ مِلْكِ مَوْلَاهُ إلَّا بِالْعَجْزِ وَمِلْكُهُ غَيْرُ تَامٍّ عَلَيْهِ، فَإِنْ عَتَقَ فَكَأَنَّهُ اسْتَفَادَ مِنْ سَاعَتِهِ وَإِنْ عَجَزَ فَكَأَنَّ مَوْلَاهُ اسْتَفَادَ مِنْ سَاعَتِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Adapun harta mukatab (budak yang sedang menebus dirinya) telah keluar dari kepemilikan tuannya kecuali jika ia gagal (membayar), dan kepemilikannya tidak sempurna atas harta itu. Jika ia merdeka, seakan-akan ia memperoleh harta itu sejak saat itu. Namun jika ia gagal (membayar), seakan-akan tuannya yang memperoleh harta itu sejak saat itu.”

 

بَابُ الْوَقْتِ الَّذِي تَجِبُ فِيهِ الصَّدَقَةُ وَأَيْنَ يَأْخُذُهَا الْمُصَدِّقُ

Bab tentang waktu di mana zakat menjadi wajib dan di mana petugas zakat mengambilnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَبْعَثَ الْوَالِي الْمُصَدِّقَ فَيُوَافِي أَهْلَ الصَّدَقَةِ مَعَ حُلُولِ الْحَوْلِ فَيَأْخُذُ صَدَقَاتِهِمْ وَأُحِبُّ ذَلِكَ فِي الْمُحَرَّمِ وَكَذَا رَأَيْت السُّعَاةَ عِنْدَمَا كَانَ الْمُحَرَّمُ شِتَاءً، أَوْ صَيْفًا (قَالَ) : وَيَأْخُذُهَا عَلَى مِيَاهِ أَهْلِ الْمَاشِيَةِ وَعَلَى رَبِّ الْمَاشِيَةِ أَنْ يُورِدَهَا الْمَاءَ لِتُؤْخَذْ صَدَقَتُهَا عَلَيْهِ وَإِذَا جَرَتْ الْمَاشِيَةُ عَنْ الْمَاءِ فَعَلَى الْمُصَدِّقِ أَنْ يَأْخُذَهَا فِي بُيُوتِ أَهْلِهَا وَأَفْنِيَتِهِمْ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُتْبِعَهَا رَاعِيَةً وَيَحْصُرَهَا إلَى مَضِيقٍ تَخْرُجُ مِنْهُ وَاحِدَةً وَاحِدَةً فَيَعُدُّهَا كَذَلِكَ حَتَّى يَأْتِيَ عَلَى عِدَّتِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku suka jika penguasa mengutus petugas zakat untuk mendatangi para pemilik zakat tepat saat haul tiba, agar ia dapat mengambil zakat mereka. Aku lebih menyukai hal itu dilakukan pada bulan Muharram. Demikian pula aku melihat para petugas zakat melakukannya, baik ketika Muharram jatuh pada musim dingin maupun musim panas.” (Beliau juga berkata): “Petugas zakat hendaknya mengambil zakat di tempat minum hewan ternak. Pemilik hewan wajib membawa ternaknya ke tempat minum agar zakatnya bisa diambil di sana. Jika hewan ternak tidak berada di tempat minum, petugas zakat boleh mengambil zakat di rumah-rumah atau halaman pemiliknya. Petugas tidak wajib mengejar ternak tersebut ke tempat penggembalaan, mengumpulkannya di tempat sempit, lalu menghitungnya satu per satu sampai selesai.”

بَابُ تَعْجِيلِ الصَّدَقَةِ

 

Bab Menyegerakan Sedekah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بِكْرًا فَجَاءَتْهُ إبِلٌ مِنْ إبِلِ الصَّدَقَةِ قَالَ أَبُو رَافِعٍ فَأَمَرَنِي أَنْ أَقْضِيَهُ إيَّاهَا» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الْعِلْمُ يُحِيطُ أَنَّهُ لَا يَقْضِي مِنْ إبِلِ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ لَا تَحِلُّ لَهُ إلَّا وَقَدْ تَسَلَّفَ لِأَهْلِهَا مَا يَقْضِيهِ مِنْ مَالِهِمْ وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْحَالِفِ بِاَللَّهِ «فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ» وَعَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ كَانَ يَحْلِفُ وَيُكَفِّرُ، ثُمَّ يَحْنَثُ وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَبْعَثُ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ إلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ bin Yasar dari Abu Rafi’, bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah meminjam seekor unta muda dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah unta-unta zakat kepada beliau. Abu Rafi’ berkata, “Lalu beliau menyuruhku untuk membayarkan unta itu kepadanya.” (Imam Syafi’i berkata): Ilmu meliputi bahwa beliau tidak membayar dari unta zakat, dan zakat tidak halal baginya kecuali beliau telah meminjam untuk pemiliknya apa yang beliau bayarkan dari harta mereka. Dan beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda tentang orang yang bersumpah dengan nama Allah, “Hendaklah dia melakukan yang lebih baik dan menebus sumpahnya.” Dan dari sebagian sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa dia pernah bersumpah dan menebusnya, kemudian melanggar sumpahnya. Dan dari Ibnu Umar bahwa dia biasa mengirim zakat fitri kepada orang yang bertugas mengumpulkannya dua hari sebelum hari raya.

 

(قَالَ) : فَبِهَذَا نَأْخُذُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَنَجْعَلُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ مَا هُوَ أَوْلَى بِهِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَسَلَّفَ صَدَقَةَ الْعَبَّاسِ قَبْلَ حُلُولِهَا» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا تَسَلَّفَ الْوَالِي لَهُمْ فَهَلَكَ مِنْهُ قَبْلَ دَفْعِهِ إلَيْهِمْ وَقَدْ فَرَّطَ، أَوْ لَمْ يُفَرِّطْ فَهُوَ ضَامِنٌ فِي مَالِهِ؛ لِأَنَّ فِيهِمْ أَهْلَ رُشْدٍ لَا يُوَلَّى عَلَيْهِمْ وَلَيْسَ كَوَلِيِّ الْيَتِيمِ الَّذِي يَأْخُذُ لَهُ مَا لَا صَلَاحَ لَهُ إلَّا بِهِ.

 

 

(Dia berkata): “Maka dengan ini kami mengambil.” (Al-Muzani berkata): “Dan kami letakkan pada tempat ini apa yang lebih layak dengannya, yaitu ‘Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – meminjam zakat Al-Abbas sebelum jatuh temponya’.” (Asy-Syafi’i berkata): “Dan jika wali meminjamkan untuk mereka lalu harta itu rusak sebelum diserahkan kepada mereka, baik karena kelalaian atau tidak, maka dia harus menanggungnya dengan hartanya sendiri; karena di antara mereka ada orang yang sudah baligh sehingga tidak perlu diwakili, dan ini berbeda dengan wali anak yatim yang mengambil sesuatu untuknya yang tidak bermanfaat kecuali dengan itu.”

 

 

وَلَوْ اسْتَسْلَفَ لِرَجُلَيْنِ بَعِيرًا فَأَتْلَفَاهُ وَمَاتَا قَبْلَ الْحَوْلِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ مِنْ أَمْوَالِهِمَا لِأَهْلِ السُّهْمَانِ لِأَنَّهُمَا لَمَّا لَمْ يَبْلُغَا الْحَوْلَ عَلِمْنَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لَهُمَا فِي صَدَقَةٍ قَدْ حَلَّتْ فِي حَوْلٍ لَمْ يَبْلُغَاهُ، وَلَوْ مَاتَا بَعْدَ الْحَوْلِ كَانَا قَدْ اسْتَوْفَيَا الصَّدَقَةَ، وَلَوْ أَيْسَرَا قَبْلَ الْحَوْلِ، فَإِنْ كَانَ يُسْرُهُمَا مِمَّا دَفَعَ إلَيْهِمَا فَإِنَّمَا بُورِكَ لَهُمَا فِي حَقِّهِمَا فَلَا يُؤْخَذُ مِنْهُمَا وَإِنْ كَانَ يُسْرُهُمَا مِنْ غَيْرِ مَا أَخَذَا أُخِذَ مِنْهُمَا مَا دَفَعَ إلَيْهِمَا لِأَنَّ الْحَوْلَ لَمْ يَأْتِ إلَّا وَهُمَا مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الصَّدَقَةِ.

 

 

Dan jika seseorang meminjamkan seekor unta kepada dua orang, lalu mereka merusaknya dan keduanya meninggal sebelum haul (tahun zakat), maka dia berhak mengambilnya dari harta mereka untuk diberikan kepada ahli suhman (penerima zakat). Karena ketika keduanya tidak mencapai haul, kita tahu bahwa mereka tidak berhak atas zakat yang telah jatuh tempo dalam haul yang tidak mereka capai. Jika keduanya meninggal setelah haul, berarti mereka telah menerima zakat tersebut. Jika mereka menjadi kaya sebelum haul, dan kekayaan mereka berasal dari apa yang diberikan kepada mereka, maka itu adalah berkah bagi hak mereka, sehingga tidak diambil dari mereka. Namun jika kekayaan mereka berasal dari selain apa yang mereka terima, maka diambil dari mereka apa yang telah diberikan kepada mereka, karena haul tidak terjadi kecuali mereka bukan lagi termasuk ahli zakat.

 

 

وَلَوْ عَجَّلَ رَبُّ الْمَالِ زَكَاةَ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ قَبْلَ الْحَوْلِ وَهَلَكَ مَالُهُ قَبْلَ الْحَوْلِ فَوَجَدَ عَيْنَ مَالِهِ عِنْدَ الْمُعْطَى لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ بِهِ؛ لِأَنَّهُ أَعْطَى مِنْ مَالِهِ مُتَطَوِّعًا لِغَيْرِ ثَوَابٍ، وَلَوْ مَاتَ الْمُعْطَى قَبْلَ الْحَوْلِ وَفِي يَدَيْ رَبِّ الْمَالِ مِائَتَا دِرْهَمٍ إلَّا خَمْسَةَ دَرَاهِمَ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ وَمَا أَعْطَى كَمَا تَصَدَّقَ بِهِ، أَوْ أَنْفَقَهُ فِي هَذَا الْمَعْنَى.

 

 

Jika pemilik harta menyegerakan zakat 200 dirham sebelum haul (genap setahun) dan hartanya musnah sebelum haul, lalu ia menemukan harta aslinya pada penerima, ia tidak boleh mengambilnya kembali karena ia memberikannya secara sukarela tanpa mengharap pahala. Jika penerima meninggal sebelum haul dan pemilik harta masih memegang 200 dirham kecuali lima dirham, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Apa yang telah diberikan dianggap seperti sedekah atau nafkah dalam makna ini.

 

 

وَلَوْ كَانَ رَجُلٌ لَهُ مَالٌ لَا تَجِبُ فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ فَأَخْرَجَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ فَقَالَ إنْ أَفَدْت مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَهَذِهِ زَكَاتُهَا لَمْ يَجُزْ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ دَفَعَهَا بِلَا سَبَبِ مَالٍ تَجِبُ فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ فَيَكُونُ قَدْ عَجَّلَ شَيْئًا لَيْسَ عَلَيْهِ إنْ حَالَ عَلَيْهِ فِيهِ حَوْلٌ.

 

 

Seandainya ada seorang laki-laki yang memiliki harta yang tidak memenuhi nishab zakat, lalu ia mengeluarkan lima dirham seraya berkata, “Jika aku mendapatkan dua ratus dirham, maka ini adalah zakatnya,” maka hal itu tidak sah karena ia memberikannya tanpa adanya sebab harta yang wajib dizakati. Dengan demikian, ia telah menyegerakan sesuatu yang belum wajib atasnya, meskipun nantinya harta itu telah mencapai haul.

 

 

وَإِذَا عَجَّلَ شَاتَيْنِ مِنْ مِائَتَيْ شَاةٍ فَحَالَ الْحَوْلُ وَقَدْ زَادَتْ شَاةً أَخَذَ مِنْهَا شَاةً ثَالِثَةً فَيَجْزِي عَنْهُ مَا أَعْطَى مِنْهُ وَلَا يُسْقِطُ تَقْدِيمُهُ الشَّاتَيْنِ الْحَقَّ عَلَيْهِ فِي الشَّاةِ الثَّالِثَةِ؛ لِأَنَّ الْحَقَّ إنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ بَعْدَ الْحَوْلِ كَمَا لَوْ أَخَذَ مِنْهَا شَاتَيْنِ فَحَالَ الْحَوْلُ وَلَيْسَ فِيهَا إلَّا شَاةٌ رَدَّ عَلَيْهِ شَاةً.

 

 

Dan jika dia menyegerakan dua ekor kambing dari dua ratus ekor kambing, lalu genap setahun dan ternyata bertambah seekor kambing, maka diambil darinya seekor kambing ketiga. Pemberiannya itu sudah mencukupi baginya, dan penyegerakan dua ekor kambing itu tidak menggugurkan kewajibannya atas kambing ketiga. Karena kewajiban itu baru berlaku setelah genap setahun, sebagaimana jika dia mengambil dua ekor kambing darinya lalu genap setahun sementara di sana hanya ada seekor kambing, maka dia mengembalikan seekor kambing.

 

بَابُ النِّيَّةِ فِي إخْرَاجِ الصَّدَقَةِ

 

Bab Niat dalam Mengeluarkan Sedekah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا وَلَّى إخْرَاجَ زَكَاتِهِ لَمْ يَجْزِهِ إلَّا بِنِيَّةِ أَنَّهُ فَرْضٌ وَلَا يُجْزِئُهُ ذَهَبٌ عَنْ وَرِقٍ وَلَا وَرِقٌ عَنْ ذَهَبٍ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan apabila seseorang menyerahkan zakatnya, tidak sah kecuali dengan niat bahwa itu adalah kewajiban. Tidak boleh mengganti emas dengan perak atau perak dengan emas karena itu bukan yang diwajibkan atasnya.

 

وَلَوْ أَخْرَجَ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ فَقَالَ إنْ كَانَ مَالِي الْغَائِبُ سَالِمًا فَهَذِهِ زَكَاتُهُ أَوْ نَافِلَةٌ فَكَانَ مَالُهُ سَالِمًا لَمْ يُجْزِئْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْصِدْ بِالنِّيَّةِ قَصْدَ فَرْضٍ خَالِصٍ إنَّمَا جَعَلَهَا مُشْتَرِكَةً بَيْنَ فَرْضٍ وَنَافِلَةٍ، وَلَوْ قَالَ عَنْ مَالِي الْغَائِبِ إنْ كَانَ سَالِمًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ سَالِمًا فَنَافِلَةٌ أَجْزَأَتْ عَنْهُ؛ لِأَنَّ إعْطَاءَهُ عَنْ الْغَائِبِ هَكَذَا وَإِنْ لَمْ يَقُلْهُ، وَلَوْ أَخْرَجَهَا لِيَقْسِمَهَا وَهِيَ خَمْسَةُ دَرَاهِمَ فَهَلَكَ مَالُهُ كَانَ لَهُ حَبْسُ الدَّرَاهِمِ، وَلَوْ ضَاعَتْ مِنْهُ الَّتِي أَخْرَجَهَا مِنْ غَيْرِ تَفْرِيطٍ رَجَعَ إلَى مَا بَقِيَ مِنْ مَالِهِ، فَإِنْ كَانَ فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ زَكَّاهُ وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِذَا أَخَذَ الْوَالِي مِنْ رَجُلٍ زَكَاتَهُ بِلَا نِيَّةٍ فِي دَفْعِهَا إلَيْهِ أَجْزَأَتْ عَنْهُ كَمَا يُجْزِئُ فِي الْقَسْمِ لَهَا أَنْ يَقْسِمَهَا عَنْهُ وَلِيُّهُ، أَوْ السُّلْطَانُ وَلَا يَقْسِمُهَا بِنَفْسِهِ وَأُحِبُّ أَنْ يَتَوَلَّى الرَّجُلُ قَسْمَهَا عَنْ نَفْسِهِ لِيَكُونَ عَلَى يَقِينٍ مِنْ أَدَائِهَا عَنْهُ.

 

 

Jika seseorang mengeluarkan sepuluh dirham dan berkata, “Jika hartaku yang tidak hadir dalam keadaan selamat, maka ini adalah zakatnya atau sedekah sunnah,” lalu hartanya memang selamat, maka tidak cukup baginya karena niatnya tidak murni untuk kewajiban, melainkan menggabungkannya antara kewajiban dan sunnah. Namun jika ia berkata, “Ini untuk hartaku yang tidak hadir jika ia selamat, dan jika tidak selamat maka menjadi sedekah sunnah,” maka itu cukup baginya karena pemberian untuk harta yang tidak hadir seperti itu—meski tidak diucapkan. Jika ia mengeluarkannya untuk dibagikan (sebanyak lima dirham) lalu hartanya musnah, ia berhak menahan dirham tersebut. Jika harta yang dikeluarkan hilang tanpa kelalaian, ia kembali kepada sisa hartanya. Jika pada harta sejenis ada kewajiban zakat, ia menzakatinya; jika tidak, tidak ada kewajiban. Jika penguasa mengambil zakat seseorang tanpa niat dari pemberi, itu tetap sah—sebagaimana sahnya pembagian zakat oleh walinya atau penguasa, meski ia tidak membagikannya sendiri. Namun, lebih disukai jika seseorang membagikan zakatnya sendiri agar yakin telah menunaikannya.

بَابُ مَا يُسْقِطُ الصَّدَقَةَ عَنْ الْمَاشِيَةِ

 

Bab tentang hal-hal yang menggugurkan zakat hewan ternak

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : يُرْوَى عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «فِي سَائِمَةِ الْغَنَمِ زَكَاةٌ» وَإِذَا كَانَ هَذَا ثَابِتًا فَلَا زَكَاةَ فِي غَيْرِ سَائِمَةٍ وَرُوِيَ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ لَيْسَ فِي الْبَقَرِ وَالْإِبِلِ الْعَوَامِلِ صَدَقَةٌ حَتَّى تَكُونَ سَائِمَةً وَالسَّائِمَةُ الرَّاعِيَةُ وَذَلِكَ أَنْ يَجْتَمِعَ فِيهَا أَمْرَانِ أَنْ لَا يَكُونَ لَهَا مُؤْنَةٌ فِي الْعَلَفِ وَيَكُونَ لَهَا نَمَاءُ الرَّعْيِ فَأَمَّا إنْ عُلِفَتْ فَالْعَلَفُ مُؤْنَةٌ تَحْبَطُ بِفَضْلِهَا وَقَدْ كَانَتْ النَّوَاضِحُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ خُلَفَائِهِ فَلَمْ أَعْلَمْ أَحَدًا رَوَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَخَذَ مِنْهَا صَدَقَةً وَلَا أَحَدًا مِنْ خُلَفَائِهِ (قَالَ) : وَإِنْ كَانَتْ الْعَوَامِلُ تَرْعَى مُدَّةً وَتُتْرَكُ أُخْرَى، أَوْ كَانَتْ غَنَمًا تُعْلَفُ فِي حِينٍ وَتُرْعَى فِي آخَرَ فَلَا يَبِينُ لِي أَنَّ فِي شَيْءٍ مِنْهَا صَدَقَةً وَرُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ» (قَالَ) :: وَلَا صَدَقَةَ فِي خَيْلٍ وَلَا فِي شَيْءٍ مِنْ الْمَاشِيَةِ عَدَا الْإِبِلَ وَالْبَقَرَ وَالْغَنَمَ بِدَلَالَةِ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي ذَلِكَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَالَ قَائِلُونَ: فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ الْمُسْتَعْمَلَةِ وَغَيْرِ الْمُسْتَعْمَلَةِ وَمَعْلُوفَةٍ وَغَيْرِ مَعْلُوفَةٍ سَوَاءٌ فَالزَّكَاةُ فِيهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَرَضَ فِيهَا الزَّكَاةَ وَهُوَ قَوْلُ الْمَدَنِيِّينِ يُقَالُ لَهُمْ – وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ -، وَكَذَلِكَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الزَّكَاةَ فِي الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ كَمَا فَرَضَهَا فِي الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ فَزَعَمْتُمْ أَنَّ مَا اُسْتُعْمِلَ مِنْ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ وَهِيَ ذَهَبٌ وَوَرِقٌ كَمَا أَنَّ الْمَاشِيَةَ إبِلٌ وَبَقَرٌ فَإِذَا أَزَلْتُمْ الزَّكَاةَ عَمَّا اُسْتُعْمِلَ مِنْ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ فَأَزِيلُوهَا عَمَّا اُسْتُعْمِلَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ؛ لِأَنَّ مَخْرَجَ قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي ذَلِكَ وَاحِدٌ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda, “Pada kambing yang digembalakan terdapat zakat.” Jika ini telah tetap, maka tidak ada zakat pada yang bukan digembalakan. Dan diriwayatkan dari sebagian sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa tidak ada zakat pada sapi dan unta yang digunakan bekerja hingga ia digembalakan. Yang digembalakan adalah yang merumput, yaitu yang memenuhi dua syarat: tidak ada biaya untuk makanannya dan berkembang biak dengan merumput. Adapun jika diberi makan, maka pakan itu adalah biaya yang menghilangkan kelebihan (yang dizakati). Unta yang digunakan untuk mengairi telah ada sejak zaman Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – kemudian para khalifahnya, dan aku tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkan bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengambil zakat darinya atau salah seorang khalifahnya. (Dia berkata): Jika hewan pekerja itu merumput sebagian waktu dan tidak pada waktu lainnya, atau kambing yang diberi makan pada suatu waktu dan digembalakan pada waktu lain, maka tidak jelas bagiku bahwa ada zakat pada sebagian darinya. Dan diriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Tidak ada zakat bagi seorang Muslim pada budaknya dan kudanya.” (Dia berkata): Dan tidak ada zakat pada kuda atau hewan ternak lainnya selain unta, sapi, dan kambing, berdasarkan petunjuk sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam hal itu. (Al-Muzani berkata): Sebagian orang berkata, “Pada unta, sapi, dan kambing yang digunakan bekerja atau tidak, yang diberi makan atau tidak, sama saja, zakat tetap berlaku padanya. Karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah mewajibkan zakat padanya. Ini adalah pendapat penduduk Madinah – dan kepada Allah pertolongan -.” Demikian juga Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mewajibkan zakat pada emas dan perak sebagaimana beliau mewajibkannya pada unta dan sapi. Namun kalian berpendapat bahwa emas dan perak yang digunakan tidak ada zakatnya, padahal ia tetap emas dan perak, sebagaimana hewan ternak adalah unta dan sapi. Jika kalian menghilangkan zakat dari emas dan perak yang digunakan, maka hilangkan juga dari unta dan sapi yang digunakan, karena sumber perkataan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam hal ini satu.

 

بَابُ الْمُبَادَلَةِ بِالْمَاشِيَةِ وَالصَّدَاقِ مِنْهَا

 

Bab tentang pertukaran dengan hewan ternak dan mahar darinya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا بَادَلَ إبِلًا بِإِبِلٍ، أَوْ غَنَمًا بِغَنَمٍ، أَوْ بَقَرًا بِبَقَرٍ، أَوْ صِنْفًا بِصِنْفٍ غَيْرِهَا فَلَا زَكَاةَ حَتَّى يَحُولَ الْحَوْلُ عَلَى الثَّانِيَةِ مِنْ يَوْمِ يَمْلِكُهَا وَأَكْرَهُ الْفِرَارَ مِنْ الصَّدَقَةِ وَإِنَّمَا تَجِبُ الصَّدَقَةُ بِالْمِلْكِ وَالْحَوْلِ لَا بِالْفِرَارِ، وَلَوْ رَدَّ أَحَدُهُمَا بِعَيْبٍ قَبْلَ الْحَوْلِ اسْتَأْنَفَ بِهَا الْحَوْلَ، وَلَوْ أَقَامَتْ فِي يَدِهِ حَوْلًا ثُمَّ أَرَادَ رَدَّهَا بِالْعَيْبِ لَمْ يَكُنْ لَهُ رَدُّهَا نَاقِصَةً عَمَّا أَخَذَهَا عَلَيْهِ وَيَرْجِعُ بِمَا نَقَصَهَا الْعَيْبُ مِنْ الثَّمَنِ وَلَوْ كَانَتْ الْمُبَادَلَةُ فَاسِدَةً زَكَّى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِأَنَّ مِلْكَهُ لَمْ يَزُلْ، وَلَوْ حَالَ الْحَوْلُ عَلَيْهَا، ثُمَّ بَادَلَ بِهَا، أَوْ بَاعَهَا فِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّ مُبْتَاعَهَا بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَرُدَّ الْبَيْعَ بِنَقْصِ الصَّدَقَةِ، أَوْ يُجِيزَ الْبَيْعَ وَمَنْ قَالَ بِهَذَا قَالَ فَإِنْ أَعْطَى رَبُّ الْمَالِ الْبَائِعُ الْمُصَدِّقَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ فِيهَا مِنْ مَاشِيَةٍ غَيْرِهَا فَلَا خِيَارَ لِلْمُبْتَاعِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَنْقُصْ مِنْ الْبَيْعِ شَيْءٌ وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الْبَيْعَ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّهُ بَاعَ مَا يَمْلِكُ وَمَا لَا يَمْلِكُ فَلَا يَجُوزُ إلَّا أَنْ يُجَدِّدَا بَيْعًا مُسْتَأْنَفًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menukar unta dengan unta, kambing dengan kambing, sapi dengan sapi, atau jenis hewan lain dengan jenis yang sama, maka tidak ada zakat sampai haul (putaran tahun) kedua terhitung sejak dia memilikinya. Aku tidak menyukai tindakan menghindar dari sedekah (zakat), karena zakat itu wajib disebabkan kepemilikan dan haul, bukan karena menghindar. Jika salah satu pihak mengembalikan hewan karena cacat sebelum haul, maka haul dimulai lagi sejak dia memilikinya. Jika hewan tersebut berada di tangannya selama satu haul lalu dia ingin mengembalikannya karena cacat, dia tidak boleh mengembalikannya dengan mengurangi nilai yang telah disepakati, tetapi dia berhak mendapatkan pengurangan harga sesuai dengan cacat tersebut. Jika pertukaran itu tidak sah, maka masing-masing pihak tetap wajib mengeluarkan zakat karena kepemilikan mereka tidak hilang. Jika haul telah sempurna pada hewan tersebut, lalu dia menukarnya atau menjualnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, pembeli memiliki hak pilih antara membatalkan jual beli dengan mengurangi zakat yang harus dikeluarkan, atau melanjutkan akad jual beli. Orang yang berpendapat seperti ini mengatakan, jika pemilik harta (penjual) telah memberikan zakat yang wajib atas hewan tersebut dari hewan lain, maka pembeli tidak memiliki hak pilih karena tidak ada pengurangan dalam akad jual beli. Pendapat kedua mengatakan bahwa jual beli itu tidak sah karena dia menjual sesuatu yang dia miliki dan tidak dia miliki (karena sudah terkena kewajiban zakat), sehingga tidak boleh kecuali jika mereka melakukan akad jual beli yang baru.

 

 

وَلَوْ أَصْدَقَهَا أَرْبَعِينَ شَاةً بِأَعْيَانِهَا فَقَبَضَتْهَا، أَوْ لَمْ تَقْبِضْهَا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَأَخَذَتْ صَدَقَتَهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ بِهَا رَجَعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ الْغَنَمِ وَبِنِصْفِ قِيمَةِ الَّتِي وَجَبَتْ فِيهَا، وَكَانَتْ الصَّدَقَةُ مِنْ حِصَّتِهَا مِنْ النِّصْفِ، وَلَوْ أَدَّتْ عَنْهَا مِنْ غَيْرِهَا رَجَعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِهَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهَا شَيْءٌ هَذَا إذَا لَمْ تَزِدْ وَلَمْ تَنْقُصْ، وَكَانَتْ بِحَالِهَا يَوْمَ أَصْدَقَهَا أَوْ يَوْمَ قَبَضَتْهَا مِنْهُ، وَلَوْ لَمْ تُخْرِجْهَا بَعْدَ الْحَوْلِ حَتَّى أَخَذَتْ نِصْفَهَا فَاسْتَهْلَكَتْهُ أَخَذَ مِنْ النِّصْفِ الَّذِي فِي يَدَيْ زَوْجِهَا شَاةً وَرَجَعَ عَلَيْهَا بِقِيمَتِهَا.

 

 

Dan jika dia memberinya mahar empat puluh ekor kambing secara langsung lalu dia menerimanya, atau tidak menerimanya namun telah berlalu satu tahun sehingga dia mengambil zakatnya, kemudian dia menceraikannya sebelum berhubungan, maka dia berhak mengambil separuh kambing dan separuh nilai yang wajib padanya. Zakat itu diambil dari bagiannya yang separuh. Jika zakat itu dibayarkan dari selainnya, dia berhak mengambil separuhnya karena tidak diambil darinya sesuatu apa pun, ini jika tidak bertambah atau berkurang, dan tetap dalam keadaan seperti saat dia memberinya mahar atau saat dia menerimanya darinya. Jika dia tidak mengeluarkannya setelah satu tahun hingga dia mengambil separuhnya lalu menghabiskannya, maka dia mengambil satu ekor kambing dari separuh yang ada di tangan suaminya dan menuntutnya dengan nilai kambing tersebut.

بَابُ رَهْنِ الْمَاشِيَةِ الَّتِي تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ

 

Bab tentang gadai hewan ternak yang wajib dizakati

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ رَهَنَهُ مَاشِيَةً وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ أُخِذَتْ مِنْهَا وَمَا بَقِيَ فَرَهْنٌ، وَلَوْ بَاعَهُ بَيْعًا عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ إيَّاهَا كَانَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ كَمَنْ رَهَنَ شَيْئًا لَهُ وَشَيْئًا لَيْسَ لَهُ، وَلَوْ حَالَ عَلَيْهَا حَوْلٌ وَجَبَتْ فِيهَا الصَّدَقَةُ، فَإِنْ كَانَتْ إبِلًا فَرِيضَتُهَا الْغَنَمُ بِيعَ مِنْهَا فَاسْتُوْفِيَتْ صَدَقَتُهَا وَكَانَ مَا بَقِيَ رَهْنًا وَمَا نَتَجَ مِنْهَا خَارِجًا مِنْ الرَّهْنِ وَلَا يُبَاعُ مِنْهَا مَاخِضٌ حَتَّى تَضَعَ إلَّا أَنْ يَشَاءَ الرَّاهِنُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang menggadaikan hewan ternak yang wajib dizakati, zakat diambil darinya dan sisanya tetap sebagai gadai. Jika ia menjualnya dengan syarat menggadaikannya, pembeli berhak membatalkan jual beli seperti halnya menggadaikan sesuatu yang dimiliki dan bukan miliknya. Jika telah genap satu tahun (haul) padanya, maka wajib dikeluarkan sedekah (zakat). Jika ternak itu unta dan zakatnya adalah kambing, sebagian unta dijual untuk menunaikan zakatnya, sisanya tetap sebagai gadai, dan anak yang dilahirkannya tidak termasuk dalam gadai. Tidak boleh dijual unta yang sedang hamil sampai melahirkan, kecuali jika penggadai menghendakinya.”

 

بَابُ زَكَاةِ الثِّمَارِ

 

Bab Zakat Buah-buahan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنْ التَّمْرِ صَدَقَةٌ» (قَالَ) : فَبِهَذَا نَأْخُذُ وَالْوَسْقُ سِتُّونَ صَاعًا بِصَاعِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَالصَّاعُ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِأَبِي هُوَ وَأُمِّي – وَالْخَلِيطَانِ فِي أَصْلِ النَّخْلِ يُصْدِقَانِ صَدَقَةَ الْوَاحِدِ فَإِنْ وَرِثُوا نَخْلًا فَاقْتَسَمُوهَا بَعْدَمَا حَلَّ بَيْعُ ثَمَرِهَا وَكَانَ فِي جَمَاعَتِهَا خَمْسَةُ أَوْسُقٍ فَعَلَيْهِمْ الصَّدَقَةُ لِأَنَّ أَوَّلَ وُجُوبِهَا كَانَ وَهُمْ شُرَكَاءُ اقْتَسَمُوهَا قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ بَيْعُ ثَمَرِهَا فَلَا زَكَاةَ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ حَتَّى تَبْلُغَ حِصَّتُهُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا عِنْدِي غَيْرُ جَائِزٍ فِي أَصْلِهِ؛ لِأَنَّ الْقَسْمَ عِنْدَهُ كَالْبَيْعِ، وَلَا يَجُوزُ قَسْمُ التَّمْرِ جُزَافًا وَإِنْ كَانَ مَعَهُ نَخْلٌ كَمَا لَا يَجُوزُ عِنْدَهُ عَرَضٌ بِعَرَضٍ مَعَ كُلِّ عَرَضٍ ذَهَبٌ تَبَعٌ لَهُ أَوْ غَيْرُ تَبَعٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَثَمَرُ النَّخْلِ يَخْتَلِفُ فَثَمَرُ النَّخْلِ يُوجَدُ بِتِهَامَةَ وَهِيَ بِنَجْدٍ بُسْرٌ وَبَلَحٌ فَيُضَمُّ بَعْضُ ذَلِكَ إلَى بَعْضٍ لِأَنَّهَا ثَمَرَةُ عَامٍ وَاحِدٍ، وَلَوْ كَانَ بَيْنَهَا الشَّهْرُ وَالشَّهْرَانِ وَإِذَا أَثْمَرَتْ فِي عَامٍ قَابِلٍ لَمْ يُضَمَّ وَإِذَا كَانَ آخِرُ إطْلَاعِ ثَمَرٍ أَطْلَعَتْ قَبْلَ أَنْ يَجِدَّ فَالْأَطْلَاعُ الَّتِي بَعْدَ بُلُوغِ الْآخِرَةِ كَأَطْلَاعِ تِلْكَ النَّخْلِ عَامًا آخَرَ لَا تُضَمُّ إلَّا طِلَاعَةً إلَى الْعَامِ قَبْلَهَا (قَالَ) : وَيُتْرَكُ لِصَاحِبِ الْحَائِطِ جَيِّدُ التَّمْرِ مِنْ الْبَرْدِيِّ وَالْكَبِيسِ وَلَا يُؤْخَذُ الجعرور وَلَا مُصْرَانُ الْفَأْرَةِ وَلَا عِذْقُ ابْنُ حُبَيْقٍ وَيُؤْخَذُ وَسَطٌ مِنْ التَّمْرِ إلَّا أَنْ يَكُونَ تَمْرُهُ بَرْدِيًّا كُلُّهُ فَيُؤْخَذُ مِنْهُ، أَوْ جعرورا كُلُّهُ فَيُؤْخَذُ مِنْهُ (قَالَ) : وَإِنْ كَانَ لَهُ نَخْلٌ مُخْتَلِفَةٌ وَاحِدٌ يَحْمِلُ فِي وَقْتٍ وَالْآخَرُ حِمْلَيْنِ، أَوْ سَنَةٌ حَمِيلَيْنِ فَهُمَا مُخْتَلِفَانِ.

 

 

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Sha’sha’ah Al-Mazini dari ayahnya dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda: “Tidak ada zakat pada kurma yang kurang dari lima wasaq.” (Imam Syafi’i) berkata: “Inilah yang kami pegang. Satu wasaq adalah enam puluh sha’ dengan sha’-nya Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wasallam—, dan satu sha’ adalah empat mud dengan mud-nya Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—, ayah dan ibuku sebagai tebusannya. Dua orang yang berserikat dalam kepemilikan pohon kurma, mereka berdua mengeluarkan zakat seperti satu orang. Jika mereka mewarisi pohon kurma lalu membaginya setelah buahnya boleh diperjualbelikan, dan totalnya mencapai lima wasaq, maka mereka wajib mengeluarkan zakat karena kewajiban zakat itu muncul saat mereka masih berserikat. Namun, jika mereka membaginya sebelum buahnya boleh diperjualbelikan, maka tidak ada zakat atas seorang pun dari mereka sampai bagiannya mencapai lima wasaq.” (Al-Muzani) berkata: “Ini menurutku tidak boleh pada asalnya, karena pembagian menurutnya seperti jual beli, dan tidak boleh membagi kurma secara kasar meskipun disertai pohonnya, sebagaimana tidak boleh menukar barang dengan barang disertai emas sebagai tambahan atau bukan.” (Imam Syafi’i) berkata: “Buah kurma itu berbeda-beda. Di Tihamah—yang terletak di Najd—ada kurma basah (busr) dan kurma muda (balah), maka sebagiannya digabungkan dengan sebagian lainnya karena itu adalah hasil satu tahun, meskipun jaraknya satu atau dua bulan. Jika pohon itu berbuah lagi pada tahun berikutnya, tidak digabungkan. Jika muncul buah terakhir sebelum panen, maka buah yang muncul setelah buah terakhir itu dianggap seperti buah tahun berikutnya dan tidak digabungkan, kecuali jika muncul sebelum tahun sebelumnya.” (Imam Syafi’i) berkata: “Pemilik kebun dibiarkan memilih kurma yang bagus dari jenis Al-Bardi atau Al-Kabish, dan tidak diambil Al-Ji’ror (kurma jelek), Mutsran Al-Fa’rah (kurma yang dimakan tikus), atau ‘Idzqu Ibnu Hubaiq. Diambil kurma pertengahan, kecuali jika semua kurmanya jenis Al-Bardi, maka diambil darinya, atau semua jenis Al-Ji’ror, maka diambil darinya.” (Imam Syafi’i) berkata: “Jika seseorang memiliki pohon kurma yang berbeda, satu berbuah pada satu waktu dan yang lain berbuah dua kali, atau dalam setahun berbuah dua kali, maka keduanya dianggap berbeda.”

 

بَابُ كَيْفَ تُؤْخَذُ زَكَاةُ النَّخْلِ وَالْعِنَبِ بِالْخَرْصِ

 

Bab tentang cara mengambil zakat kurma dan anggur dengan metode kharash

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ صَالِحٍ التَّمَّارِ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ عَتَّابِ بْنِ أُسَيْدٍ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ – فِي زَكَاةِ الْكَرْمِ -: يُخْرَصُ كَمَا يُخْرَصُ النَّخْلُ، ثُمَّ تُؤَدَّى زَكَاتُهُ زَبِيبًا كَمَا تُؤَدَّى زَكَاةُ النَّخْلِ تَمْرًا» وَبِإِسْنَادِهِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَبْعَثُ مَنْ يَخْرُصُ عَلَى النَّاسِ كُرُومَهُمْ وَثِمَارَهُمْ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ «رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِيَهُودِ خَيْبَرَ حِينَ افْتَتَحَ خَيْبَرَ أُقِرُّكُمْ عَلَى مَا أَقَرَّكُمْ اللَّهُ عَلَى أَنَّ التَّمْرَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ قَالَ فَكَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ فَيَخْرُصُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ يَقُولُ إنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ وَإِنْ شِئْتُمْ فَلِي فَكَانُوا يَأْخُذُونَهُ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَوَقْتُ الْخَرْصِ إذَا حَلَّ الْبَيْعُ وَذَلِكَ حِينَ يَرَى فِي الْحَائِطِ الْحُمْرَةَ أَوْ الصُّفْرَةَ، وَكَذَلِكَ حِينَ يَتَمَوَّهُ الْعِنَبُ وَيُوجَدُ فِيهِ مَا يُؤْكَلُ مِنْهُ (قَالَ) : وَيَأْتِي الْخَارِصُ النَّخْلَةَ فَيَطِيفُ بِهَا حَتَّى يَرَى كُلَّ مَا فِيهَا، ثُمَّ يَقُولُ خَرْصُهَا رُطَبًا كَذَا وَكَذَا وَيَنْقُصُ إذَا صَارَا تَمْرًا كَذَا وَكَذَا فَيَبْنِيهَا عَلَى كَيْلِهَا تَمْرًا وَيَصْنَعُ ذَلِكَ بِجَمِيعِ الْحَائِطِ وَهَكَذَا الْعِنَبُ، ثُمَّ يُخَلِّي بَيْنَ أَهْلِهِ وَبَيْنَهُ فَإِذَا صَارَ تَمْرًا، أَوْ زَبِيبًا أَخَذَ الْعُشْرَ عَلَى خَرْصِهِ، فَإِنْ ذَكَر أَهْلُهُ أَنَّهُ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ أَذْهَبَتْهُ، أَوْ شَيْئًا مِنْهُ صَدَقُوا فَإِنْ اُتُّهِمُوا حَلَفُوا.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin Shalih At-Tammar dari Az-Zuhri dari Ibnul Musayyab dari ‘Attab bin Usaid “bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda tentang zakat anggur: ‘Ia dikira seperti kurma dikira, kemudian zakatnya dibayar dengan zabib (anggur kering) sebagaimana zakat kurma dibayar dengan tamr (kurma kering)’.” Dan dengan sanadnya bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – biasa mengutus orang untuk mengira-ngira kebun dan buah-buahan milik orang, dan beliau berargumen bahwa “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepada Yahudi Khaibar ketika menaklukkan Khaibar: ‘Aku membiarkan kalian sebagaimana Allah membiarkan kalian, bahwa kurma itu antara kami dan kalian.’ Maka beliau mengutus Abdullah bin Rawahah untuk mengira-ngira (hasil panen) mereka, kemudian berkata: ‘Jika kalian mau, itu untuk kalian, jika tidak, itu untukku.’ Maka mereka biasanya mengambilnya.” (Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): Waktu pengiraan adalah ketika buah sudah bisa dijual, yaitu ketika terlihat warna kemerahan atau kekuningan di kebun, dan demikian pula ketika anggur mulai matang dan ada yang bisa dimakan. (Beliau berkata): Penaksir mendatangi pohon kurma lalu mengelilinginya sampai melihat semua yang ada padanya, kemudian berkata: ‘Taksirannya sebagai ruthab (kurma basah) sekian dan sekian, dan akan berkurang jika sudah menjadi tamr (kurma kering) sekian dan sekian.’ Maka ia menetapkannya berdasarkan takaran tamr, dan melakukan hal yang sama untuk seluruh kebun, demikian pula dengan anggur. Kemudian ia membiarkannya antara pemiliknya dan buah tersebut. Ketika sudah menjadi tamr atau zabib, ia mengambil sepersepuluh berdasarkan taksirannya. Jika pemiliknya menyebutkan bahwa ada bencana yang menghancurkannya atau sebagiannya, mereka dibenarkan. Jika mereka dicurigai, mereka harus bersumpah.

 

وَإِنْ قَالَ قَدْ أَحْصَيْت مَكِيلَةَ مَا أَخَذْت وَهُوَ كَذَا وَمَا بَقِيَ كَذَا فَهَذَا خَطَأٌ فِي الْخَرْصِ صُدِّقَ؛ لِأَنَّهَا زَكَاةٌ هُوَ فِيهَا أَمِينٌ، وَإِنْ قَالَ: سُرِقَ بَعْدَمَا صَيَّرْته إلَى الْجَرِينِ، فَإِنْ كَانَ بَعْدَمَا يَبِسَ وَأَمْكَنَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ إلَى الْوَالِي، أَوْ إلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ فَقَدْ ضَمِنَ مَا أَمْكَنَهُ أَنْ يُؤَدِّيَ فَفَرَّطَ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ بَعْدَ هَذَا وَلَوْ اسْتَهْلَكَ رَجُلٌ ثَمَرَةً وَقَدْ خَرَصَ عَلَيْهِ أُخِذَ بِثَمَنِ عُشْرِ وَسَطِهَا وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ وَإِنْ اسْتَهْلَكَهُ رُطَبًا، أَوْ بُسْرًا بَعْدَ الْخَرْصِ ضَمِنَ مَكِيلَةَ خَرْصِهِ وَإِنْ أَصَابَ حَائِطَهُ عَطَشٌ يَعْلَمُ أَنَّهُ إنْ تَرَكَ ثَمَرَهُ أَضَرَّ بِالنَّخْلِ وَإِنْ قَطَعَهَا بَعْدَ أَنْ يَخْرُصَ بَطَلَ عَلَيْهِ كَثِيرٌ مِنْ ثَمَنِهَا كَانَ لَهُ قَطْعُهَا وَيُؤْخَذُ ثَمَنُ عُشْرِهَا، أَوْ عُشْرُهَا مَقْطُوعَةً وَمَنْ قَطَعَ مِنْ ثَمَرِ نَخْلِهِ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ بَيْعُهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ فِيهِ عُشْرٌ وَأَكْرَهُ ذَلِكَ لَهُ إلَّا أَنْ يَأْكُلَهُ أَوْ يُطْعِمَهُ، أَوْ يُخَفِّفَهُ عَنْ نَخْلِهِ وَإِنْ أَكَلَ رُطَبًا ضَمِنَ عُشْرَهُ تَمْرًا مِثْلَ وَسَطِهِ.

 

 

Dan jika dia berkata, “Aku telah menghitung takaran apa yang telah aku ambil, yaitu sekian, dan yang tersisa sekian,” lalu ternyata ada kesalahan dalam perkiraan, maka perkataannya dipercaya karena zakat itu amanah baginya. Jika dia berkata, “Hasil itu dicuri setelah aku memindahkannya ke tempat pengeringan,” maka jika pencurian terjadi setelah hasil itu kering dan memungkinkan baginya untuk menyerahkan kepada pemerintah atau pemilik saham, dia menanggung apa yang seharusnya bisa dia serahkan tetapi dia lalai. Jika tidak memungkinkan, maka tidak ada tanggungan atasnya. Dalam bagian lain setelah ini disebutkan, “Jika seseorang memakan buah yang telah diperkirakan zakatnya, maka dia dikenakan harga sepersepuluh dari nilai tengahnya, dan perkataannya dipercaya. Jika dia memakannya dalam keadaan basah atau mentah setelah perkiraan, dia menanggung takaran perkiraannya.” Jika kebunnya terkena kekeringan dan dia tahu bahwa jika buahnya dibiarkan akan merusak pohonnya, maka dia boleh memotongnya setelah perkiraan, meskipun banyak harganya yang hilang. Dia boleh memotongnya dan dikenakan sepersepuluh dari harganya atau sepersepuluh dari buah yang dipotong. Siapa yang memotong buah kurmanya sebelum boleh dijual, maka tidak ada zakat sepersepuluh atasnya, tetapi hal itu tidak disukai kecuali untuk dimakan, diberikan sebagai makanan, atau meringankan beban pohonnya. Jika dia memakan kurma basah, dia menanggung sepersepuluhnya dalam bentuk kurma kering dengan kualitas tengah.

 

وَإِنْ كَانَ لَا يَكُونُ تَمْرًا أَعْلَمَ الْوَالِي لِيَأْمُرَ مَنْ يَبِيعُ مَعَهُ عَشْرَةً رُطَبًا، فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ خَرَصَهُ لِيَصِيرَ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ، ثُمَّ صَدَّقَ رَبَّهُ فِيمَا بَلَغَ رُطَبُهُ وَأَخَذَ عُشْرَ ثَمَنِهِ، فَإِنْ أَكَلَ أَخَذَ مِنْهُ قِيمَةَ عُشْرِهِ رُطَبًا وَمَا قُلْت فِي النَّخْلِ وَكَانَ فِي الْعِنَبِ فَهُوَ مِثْلُهُ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ بَعَثَ مَعَ ابْنِ رَوَاحَةَ غَيْرَهُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَفِي كُلٍّ أُحِبُّ أَنْ يَكُونَ خَارِصَانِ، أَوْ أَكْثَرَ وَقَدْ قِيلَ: يَجُوزُ خَارِصٌ وَاحِدٌ كَمَا يَجُوزُ حَاكِمٌ وَاحِدٌ.

 

 

Dan jika buah itu belum menjadi kurma, hendaknya penguasa memberitahukan agar memerintahkan orang yang menjualnya bersama sepuluh ruthab (kurma basah). Jika tidak dilakukan, maka dia harus memperkirakannya agar menjadi sepuluh, lalu membenarkan Tuhannya dalam jumlah ruthab yang dicapai, dan mengambil sepersepuluh dari harganya. Jika dia memakannya, maka dia harus mengambil nilai sepersepuluhnya dalam bentuk ruthab. Apa yang aku katakan tentang pohon kurma, berlaku juga bagi anggur. Dan telah diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau mengutus selain Ibnu Rawahah. (Asy-Syafi’i berkata): “Dalam setiap kasus, aku lebih suka ada dua orang yang melakukan kharash (estimasi), atau lebih. Namun ada yang berpendapat: boleh dengan satu orang kharash, sebagaimana boleh dengan satu hakim.”

 

 

وَلَا تُؤْخَذُ صَدَقَةُ شَيْءٍ مِنْ الشَّجَرِ غَيْرَ الْعِنَبِ وَالنَّخْلِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَخَذَ الصَّدَقَةَ مِنْهُمَا وَكِلَاهُمَا قُوتٌ وَلَا شَيْءَ فِي الزَّيْتُونِ؛ لِأَنَّهُ يُؤْكَلُ أُدْمًا وَلَا فِي الْجَوْزِ وَلَا فِي اللَّوْزِ وَغَيْرِهِ مِمَّا يَكُونُ أُدْمًا وَيَيْبَسُ وَيُدَّخَرُ؛ لِأَنَّهُ فَاكِهَةٌ لَا أَنَّهُ كَانَ بِالْحِجَازِ قُوتًا عَلِمْنَاهُ؛ وَلِأَنَّ الْخَبَرَ فِي النَّخْلِ وَالْعِنَبِ خَاصٌّ.

 

 

Dan tidak diambil zakat dari sesuatu pun dari pohon selain anggur dan kurma, karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengambil zakat dari keduanya dan keduanya adalah makanan pokok. Tidak ada zakat pada zaitun karena ia dimakan sebagai lauk, juga tidak pada kenari, almond, dan lainnya yang dijadikan lauk, dikeringkan, dan disimpan; karena ia adalah buah-buahan, bukan karena ia menjadi makanan pokok di Hijaz yang kami ketahui. Dan karena hadits tentang kurma dan anggur adalah khusus.

 

بَابُ صَدَقَةِ الزَّرْعِ

Bab tentang sedekah hasil pertanian

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : – فِي قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – {وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ} الأنعام: 141 دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّهُ إنَّمَا جَعَلَ الزَّكَاةَ عَلَى الزَّرْعِ (قَالَ) : فَمَا جَمَعَ أَنْ يَزْرَعَهُ الْآدَمِيُّونَ وَيَيْبَسَ وَيُدَّخَرَ وَيُقْتَاتَ مَأْكُولًا خُبْزًا وَسَوِيقًا، أَوْ طَبِيخًا فَفِيهِ الصَّدَقَةُ وَرُوِيَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَخَذَ الصَّدَقَةَ مِنْ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالذُّرَةِ» وَهَذَا مِمَّا يُزْرَعُ وَيُقْتَاتُ فَيُؤْخَذُ مِنْ الْعَلَسِ وَهُوَ الْحِنْطَةُ وَالسُّلْتُ وَالْقُطْنِيَّةُ كُلُّهَا إذَا بَلَغَ الصِّنْفُ الْوَاحِدُ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ وَالْعَلَسُ وَالْقَمْحُ صِنْفٌ وَاحِدٌ وَلَا يُضَمُّ صِنْفٌ مِنْ الْقُطْنَةِ انْفَرَدَ بِاسْمٍ إلَى صِنْفٍ وَلَا شَعِيرٌ إلَى حِنْطَةٍ، وَلَا حَبَّةٌ عُرِفَتْ بِاسْمٍ مُنْفَرِدٍ إلَى غَيْرِهَا فَاسْمُ الْقُطْنِيَّةِ يَجْمَعُ الْعَدَسَ وَالْحِمَّصَ قِيلَ: ثُمَّ يَنْفَرِدُ كُلُّ وَاحِدٍ بِاسْمٍ دُونَ صَاحِبِهِ وَقَدْ يَجْمَعُهَا اسْمُ الْحُبُوبِ، فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ أَخَذَ عُمَرُ الْعُشْرَ مِنْ النَّبَطِ فِي الْقُطْنِيَّةِ قِيلَ: «وَأَخَذَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْعُشْرَ مِنْ التَّمْرِ وَالزَّبِيبِ» وَأَخَذَ عُمَرُ الْعُشْرَ مِنْ الْقُطْنِيَّةِ وَالزَّبِيبِ أَفَيُضَمُّ ذَلِكَ كُلُّهُ؟ قَالَ: وَلَا يَبِينُ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ الْفَثِّ وَإِنْ كَانَ قُوتًا وَلَا مِنْ حَبِّ الْحَنْظَلِ وَلَا مِنْ حَبِّ شَجَرَةٍ بَرِّيَّةٍ كَمَا لَا يُؤْخَذُ مِنْ بَقَرِ الْوَحْشِ وَلَا مِنْ الظِّبَاءِ صَدَقَةٌ وَلَا مِنْ الثُّفَّاءِ وَلَا الْإِسْفِيوشِ وَلَا مِنْ حُبُوبِ الْبُقُولِ، وَكَذَلِكَ الْقِثَّاءُ وَالْبِطِّيخُ وَحَبُّهُ، وَلَا مِنْ الْعُصْفُرِ وَلَا مِنْ حَبِّ الْفُجْلِ وَلَا مِنْ السِّمْسِمِ وَلَا مِنْ التُّرْمُسِ لِأَنِّي لَا أَعْلَمُهُ يُؤْكَلُ إلَّا دَوَاءً، أَوْ تَفَكُّهًا، وَلَا مِنْ الأبذار.

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah ta’ala- berkata): “Dalam firman Allah tabaraka wa ta’ala {Dan berikanlah haknya pada hari memanennya} (QS. Al-An’am: 141) terdapat petunjuk bahwa zakat hanya diwajibkan pada tanaman.” (Beliau berkata): “Tanaman yang ditanam manusia, mengering, disimpan, dan dijadikan makanan baik berupa roti, tepung, atau masakan, maka padanya ada zakat. Diriwayatkan bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengambil zakat dari gandum, jelai, dan jagung.” Ini termasuk tanaman yang ditanam dan dijadikan makanan. Maka diambil zakat dari al-‘alas (jenis gandum), sulth, dan semua jenis quthniyah jika satu jenis mencapai lima wasaq. Al-‘alas dan qamh adalah satu jenis. Jenis quthniyah yang memiliki nama tersendiri tidak digabung dengan jenis lain, tidak pula jelai dengan gandum, tidak pula biji yang dikenal dengan nama khusus dengan yang lain. Nama quthniyah mencakup kacang adas dan kacang arab. Dikatakan: “Kemudian masing-masing memiliki nama tersendiri.” Kadang semua itu dikumpulkan dengan nama al-hubub (biji-bijian). Jika ada yang berkata: “Umar pernah mengambil sepersepuluh dari nabath dalam quthniyah,” dijawab: “Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mengambil sepersepuluh dari kurma dan kismis,” dan Umar mengambil sepersepuluh dari quthniyah dan kismis. Apakah semua itu digabungkan?” Beliau berkata: “Tidak jelas bahwa zakat diambil dari al-fats (sejenis tanaman) meskipun itu makanan pokok, tidak dari biji hanzhal, tidak dari biji pohon liar, sebagaimana tidak diambil zakat dari sapi liar atau kijang, tidak dari ats-tsuffa’ (lobak) atau al-isfiwisy, tidak dari biji-bijian sayuran. Demikian pula qitsa’ (mentimun), semangka dan bijinya, tidak dari al-‘ushfur (kesumba), tidak dari biji lobak, tidak dari wijen, tidak dari lupin karena aku tidak mengetahui itu dimakan kecuali sebagai obat atau camilan, dan tidak dari biji-bijian kecil.”

 

 

وَلَا يُؤْخَذُ زَكَاةُ شَيْءٍ مِمَّا يَيْبَسُ حَتَّى يَيْبَسَ وَيُدَاسَ وَيَيْبَسَ زَبِيبُهُ وَتَمْرُهُ وَيَنْتَهِي وَإِنْ أَخَذَهُ رَطْبًا كَانَ عَلَيْهِ رَدُّهُ، أَوْ رَدُّ قِيمَتِهِ إنْ لَمْ يُوجَدْ وَأَخَذَهُ يَابِسًا وَلَا أُجِيزُ بَيْعَ بَعْضِهِ بِبَعْضٍ رَطْبًا لِاخْتِلَافِ نُقْصَانِهِ، وَالْعُشْرُ مُقَاسَمَةً كَالْبَيْعِ وَلَوْ أَخَذَهُ مِنْ عِنَبٍ لَا يَصِيرُ زَبِيبًا، أَوْ مِنْ رُطَبٍ لَا يَصِيرُ تَمْرًا أَمَرْته بِرَدِّهِ لِمَا وَصَفْت وَكَانَ شَرِيكًا فِيهِ يَبِيعُهُ وَلَوْ قَسَمَهُ عِنَبًا مُوَازَنَةً كَرِهْته لَهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ غُرْمٌ.

 

 

Zakat tidak boleh diambil dari sesuatu yang mengering hingga benar-benar kering, diinjak, dan keringnya anggur dan kurmanya selesai. Jika diambil dalam keadaan basah, wajib dikembalikan atau mengganti nilainya jika tidak ada dan diambil dalam keadaan kering. Aku tidak memperbolehkan menjual sebagian dengan sebagian lain dalam keadaan basah karena perbedaan penyusutannya. Sepersepuluh (zakat) adalah pembagian seperti jual beli. Jika diambil dari anggur yang tidak menjadi kismis, atau dari ruthab yang tidak menjadi kurma, aku perintahkan untuk mengembalikannya karena alasan yang telah kujelaskan. Jika dia adalah mitra dalam penjualannya, dan jika membaginya dengan timbangan anggur, aku tidak menyukainya baginya dan tidak ada kewajiban ganti rugi.

 

بَابُ الزَّرْعِ فِي أَوْقَاتٍ

Bab tentang bercocok tanam pada waktu-waktu tertentu

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : الذُّرَةُ تُزْرَعُ مَرَّةً فَتَخْرُجُ فَتُحْصَدُ، ثُمَّ تَسْتَخْلِفُ فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعِ فَتُحْصَدُ أُخْرَى فَهُوَ زَرْعٌ وَاحِدٌ وَإِنْ تَأَخَّرَتْ حَصْدَتُهُ الْأُخْرَى وَهَكَذَا بَذْرُ الْيَوْمِ وَبَذْرُ بَعْدِ شَهْرٍ؛ لِأَنَّهُ وَقْتٌ وَاحِدٌ لِلزَّرْعِ وَتَلَاحُقُهُ فِيهِ مُتَقَارِبٌ (قَالَ) : وَإِذَا زُرِعَ فِي السَّنَةِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فِي أَوْقَاتٍ مُخْتَلِفَةٍ فِي خَرِيفٍ وَرَبِيعٍ وَصَيْفٍ فَفِيهِ أَقَاوِيلُ مِنْهَا أَنَّهُ زَرْعٌ وَاحِدٌ إذَا زُرِعَ فِي سَنَةٍ وَإِنْ أُدْرِكَ بَعْضُهُ فِي غَيْرِهَا وَمِنْهَا أَنْ يُضَمَّ مَا أُدْرِكَ فِي سَنَةٍ وَاحِدَةٍ وَمَا أُدْرِكَ فِي السَّنَةِ الْأُخْرَى ضُمَّ إلَى مَا أُدْرِكَ فِي الْأُخْرَى وَمِنْهَا أَنَّهُ مُخْتَلِفٌ لَا يُضَمُّ وَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – فِي مَوْضِعٍ آخَرَ -: وَإِذَا كَانَ الزَّرْعَانِ وَحَصَادُهُمَا مَعًا فِي سَنَةٍ فَهُمَا كَالزَّرْعِ الْوَاحِدِ، وَإِنْ كَانَ بَذْرُ أَحَدِهِمَا قَبْلَ السَّنَةِ وَحَصَادُ الْآخَرِ مُتَأَخِّرٌ عَنْ السَّنَةِ فَهُمَا زَرْعَانِ لَا يُضَمَّانِ وَلَا يُضَمُّ زَرْعُ سَنَةٍ إلَى زَرْعِ سَنَةٍ غَيْرِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i—rahimahullāh ta‘ālā—berkata): “Jagung ditanam sekali lalu tumbuh dan dipanen, kemudian tumbuh lagi di beberapa tempat dan dipanen lagi. Itu dianggap satu tanam meski panen berikutnya tertunda. Begitu pula benih yang ditanam hari ini dan benih yang ditanam sebulan kemudian, karena masih dalam satu musim tanam dan jaraknya berdekatan.” (Beliau juga) berkata: “Jika dalam setahun dilakukan tiga kali penanaman di waktu berbeda—musim gugur, semi, dan panas—maka ada beberapa pendapat: sebagian berpendapat itu dianggap satu tanam selama masih dalam satu tahun meski sebagian panennya masuk tahun berikutnya; sebagian lain berpendapat untuk menggabungkan panen yang diperoleh dalam satu tahun, sedangkan panen di tahun berikutnya digabung dengan panen tahun berikutnya lagi; dan sebagian lain berpendapat itu berbeda sehingga tidak digabung.” (Imam Syafi’i juga) berkata di tempat lain: “Jika dua tanaman dipanen dalam satu tahun, maka keduanya dianggap satu tanam. Namun, jika benih salah satunya ditanam sebelum tahun tersebut dan panennya terlambat hingga tahun berikutnya, maka itu dianggap dua tanam yang tidak boleh digabung. Tanaman satu tahun juga tidak boleh digabung dengan tanaman tahun lainnya.”

 

بَابُ قَدْرِ الصَّدَقَةِ فِيمَا أَخْرَجَتْ الْأَرْضُ

 

Bab tentang kadar zakat pada hasil bumi

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : بَلَغَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ قَوْلًا مَعْنَاهُ: «مَا سُقِيَ بِنَضْحٍ، أَوْ غَرْبٍ فَفِيهِ نِصْفُ الْعُشْرِ وَمَا سُقِيَ بِغَيْرِهِ مِنْ عَيْنٍ، أَوْ سَمَاءٍ فَفِيهِ الْعُشْرُ» وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ مَعْنَى ذَلِكَ، وَلَا أَعْلَمُ فِي ذَلِكَ مُخَالِفًا وَبِهَذَا أَقُولُ وَمَا سُقِيَ مِنْ هَذَا بِنَهْرٍ، أَوْ سَيْلٍ، أَوْ مَا يَكُونُ فِيهِ الْعُشْرُ فَلَمْ يَكْتَفِ بِهِ حَتَّى يُسْقَى بِالْغَرْبِ فَالْقِيَاسُ أَنْ يُنْظَرَ إلَى مَا عَاشَ فِي السِّقْيَيْنِ، فَإِنْ عَاشَ بِهِمَا نِصْفَيْنِ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَرْبَاعِ الْعُشْرِ، وَإِنْ عَاشَ بِالسَّيْلِ أَكْثَرَ زِيدَ فِيهِ بِقَدْرِ ذَلِكَ وَقَدْ قِيلَ: يُنْظَرُ أَيُّهُمَا عَاشَ بِهِ أَكْثَرَ فَيَكُونُ صَدَقَتُهُ بِهِ وَالْقِيَاسُ مَا وَصَفْت وَالْقَوْلُ قَوْلُ رَبِّ الزَّرْعِ مَعَ يَمِينِهِ وَأَخْذُ الْعُشْرِ أَنْ يُكَالَ لِرَبِّ الْمَالِ تِسْعَةً وَيَأْخُذَ الْمُصَدِّقُ الْعَاشِرَ وَهَكَذَا نِصْفُ الْعُشْرِ مَعَ خَرَاجِ الْأَرْضِ وَمَا زَادَ مِمَّا قَلَّ أَوْ كَثُرَ فَبِحِسَابِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda dengan makna: “Apa yang disirami dengan timba atau ember, maka zakatnya setengah sepersepuluh. Dan apa yang disirami selain itu, seperti mata air atau hujan, maka zakatnya sepersepuluh.” Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar makna yang serupa, dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Inilah pendapatku.

 

Jika tanaman disirami oleh sungai, aliran air, atau sumber yang mengharuskan zakat sepersepuluh, tetapi juga memerlukan penyiraman dengan ember, maka menurut qiyas, dilihat seberapa besar ketergantungan pada kedua cara penyiraman tersebut. Jika bergantung setengah-setengah, maka zakatnya tiga perempat sepersepuluh. Jika lebih banyak tergantung pada aliran air, maka ditambahkan sesuai porsinya. Ada juga yang berpendapat: dilihat cara mana yang lebih dominan, maka zakatnya mengikuti cara itu. Namun, qiyas yang benar adalah seperti yang kujelaskan.

 

Perkataan pemilik tanaman (tentang cara penyiraman) dapat diterima dengan sumpahnya. Cara mengambil zakat sepersepuluh adalah dengan menakar sembilan bagian untuk pemilik dan satu bagian untuk petugas zakat. Begitu pula setengah sepersepuluh terkait kharaj tanah. Adapun kelebihan atau kekurangan dari kadar tersebut, dihitung sesuai proporsinya.

 

بَابُ صَدَقَةِ الْوَرِقِ

 

Bab sedekah perak

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْت أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنْ الْوَرِقِ صَدَقَةٌ» (قَالَ) : وَبِهَذَا نَأْخُذُ فَإِذَا بَلَغَ الْوَرِقُ خَمْسَ أَوَاقٍ وَذَلِكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ بِدَرَاهِمِ الْإِسْلَامِ وَكُلُّ عَشَرَةِ دَرَاهِمَ مِنْ دَرَاهِمِ الْإِسْلَامِ وَزْنُ سَبْعَةِ مَثَاقِيلَ ذَهَبٍ بِمِثْقَالِ الْإِسْلَامِ فَفِي الْوَرِقِ صَدَقَةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Amr bin Yahya Al-Mazini dari ayahnya bahwa Beliau berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah.” (Imam Syafi’i) berkata: “Dan dengan ini kami mengambil hukum. Apabila perak mencapai lima uqiyah – yaitu dua ratus dirham menurut ukuran dirham Islam – dan setiap sepuluh dirham dari dirham Islam setara dengan berat tujuh mitsqal emas menurut timbangan Islam – maka pada perak itu ada zakatnya.”

 

 

وَلَوْ كَانَتْ لَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ تَنْقُصُ حَبَّةً، أَوْ أَقَلَّ، أَوْ تَجُوزُ جَوَازَ الْوَازِنَةِ أَوْ لَهَا فَضْلٌ عَلَى الْوَازِنَةِ غَيْرُهَا فَلَا زَكَاةَ فِيهَا كَمَا لَوْ كَانَتْ لَهُ أَرْبَعَةُ أَوْسُقٍ بَرْدِيٌّ خَيْرٌ قِيمَةً مِنْ مِائَةِ وَسْقٍ غَيْرِهِ لَمْ يَكُنْ فِيهَا زَكَاةٌ.

 

 

Dan sekiranya dia memiliki dua ratus dirham yang kurang satu biji atau kurang dari itu, atau memenuhi timbangan atau lebih dari timbangan lainnya, maka tidak ada zakat padanya. Seperti jika dia memiliki empat wasaq kurma yang nilainya lebih baik dari seratus wasaq lainnya, maka tidak ada zakat padanya.

 

 

وَلَوْ كَانَتْ لَهُ وَرِقٌ رَدِيئَةٌ وَوَرِقٌ جَيِّدَةٌ أُخِذَ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا بِقَدْرِهَا وَأَكْرَهُ لَهُ الْوَرِقَ الْمَغْشُوشَ لِئَلَّا يَغُرَّ بِهِ أَحَدًا، وَلَوْ كَانَتْ لَهُ فِضَّةٌ خَلَطَهَا بِذَهَبٍ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُدْخِلَهَا النَّارَ حَتَّى يُمَيِّزَ بَيْنَهُمَا فَيُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا.

 

 

Dan jika ia memiliki perak yang buruk dan perak yang baik, maka diambil dari masing-masing sesuai kadarnya. Aku tidak menyukai perak yang dicampur (palsu) agar tidak menipu seseorang. Dan jika ia memiliki perak yang dicampur dengan emas, wajib baginya untuk memasukkannya ke dalam api hingga terpisah antara keduanya, lalu mengeluarkan zakat dari masing-masingnya.

 

 

وَلَوْ كَانَتْ لَهُ فِضَّةٌ مَلْطُوخَةٌ عَلَى لِجَامٍ، أَوْ مُمَوَّهٌ بِهَا سَقْفُ بَيْتٍ وَكَانَتْ تُمَيَّزُ فَتَكُونُ شَيْئًا إنْ جُمِعَتْ بِالنَّارِ فَعَلَيْهِ إخْرَاجُ الصَّدَقَةِ عَنْهَا وَإِلَّا فَهِيَ مُسْتَهْلَكَةٌ.

 

 

Seandainya ia memiliki perak yang melekat pada tali kekang, atau atap rumah yang dilapisi perak, dan perak itu dapat dipisahkan sehingga menjadi sesuatu jika dikumpulkan dengan api, maka ia wajib mengeluarkan zakat darinya. Jika tidak, maka perak itu dianggap sia-sia.

 

 

وَإِذَا كَانَ فِي يَدَيْهِ أَقَلُّ مِنْ خَمْسِ أَوَاقٍ وَمَا يُتِمُّ خَمْسَ أَوَاقٍ دَيْنًا لَهُ، أَوْ غَائِبًا عَنْهُ أَحْصَى الْحَاضِرَةَ وَانْتَظَرَ الْغَائِبَةَ، فَإِنْ اقْتَضَاهَا أَدَّى رُبْعَ عُشْرِهَا وَمَا زَادَ، وَلَوْ قِيرَاطًا فَبِحِسَابِهِ وَإِنْ ارْتَدَّ، ثُمَّ حَالَ الْحَوْلُ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّ فِيهِ الزَّكَاةَ وَالثَّانِي يُوقَفُ، فَإِنْ أَسْلَمَ فَفِيهِ الزَّكَاةُ وَلَا يَسْقُطُ عَنْهُ الْفَرْضُ بِالرِّدَّةِ وَإِنْ قُتِلَ لَمْ يَكُنْ فِيهِ زَكَاةٌ وَبِهَذَا أَقُولُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : أَوْلَى بِقَوْلِهِ عِنْدِي الْقَوْلُ الْأَوَّلُ عَلَى مَعْنَاهُ.

 

 

Dan jika di tangannya terdapat kurang dari lima uqiyah dan yang menyempurnakan lima uqiyah berupa hutang yang harus dibayar kepadanya, atau harta yang tidak ada di tempatnya, maka dia menghitung harta yang ada dan menunggu harta yang tidak ada. Jika dia berhasil mendapatkannya, maka dia membayar seperempat sepersepuluhnya dan lebih dari itu, meskipun hanya sebesar qirath, maka dihitung sesuai kadarnya. Jika dia murtad, kemudian haul (tahun zakat) tiba, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya mengatakan wajib zakat, dan yang kedua menunggu. Jika dia masuk Islam kembali, maka wajib zakat, dan kewajiban itu tidak gugur karena kemurtadannya. Jika dia terbunuh, maka tidak ada zakat, dan inilah pendapat yang aku pilih. (Al-Muzani berkata): Menurutku, pendapat pertama lebih sesuai dengan makna perkataannya.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَحَرَامٌ أَنْ يُؤَدِّيَ الرَّجُلُ الزَّكَاةَ مِنْ شَرِّ مَالِهِ لِقَوْلِ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ: {وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ} البقرة: 267 يَعْنِي – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – لَا تُعْطُوا فِي الزَّكَاةِ مَا خَبُثَ أَنْ تَأْخُذُوهُ لِأَنْفُسِكُمْ وَتَتْرُكُوا الطَّيِّبَ عِنْدَكُمْ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Haram bagi seseorang menunaikan zakat dari harta yang buruk, berdasarkan firman Allah SWT: {Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya} QS. Al-Baqarah: 267. Maksudnya – wallahu a’lam – janganlah kalian memberikan dalam zakat sesuatu yang buruk yang kalian sendiri tidak mau mengambilnya untuk diri kalian, sementara kalian menyimpan yang baik.”

 

بَابُ صَدَقَةِ الذَّهَبِ وَقَدْرِ مَا لَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ

 

Bab sedekah emas dan batas kadar yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَا أَعْلَمُ اخْتِلَافًا فِي أَنْ لَيْسَ فِي الذَّهَبِ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ عِشْرِينَ مِثْقَالًا جَيِّدًا كَانَ، أَوْ رَدِيئًا، أَوْ إنَاءً، أَوْ تِبْرًا، فَإِنْ نَقَصَتْ حَبَّةٌ أَوْ أَقَلُّ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهَا صَدَقَةٌ، وَلَوْ كَانَتْ لَهُ مَعَهَا خَمْسُ أَوَاقٍ فِضَّةً إلَّا قِيرَاطًا، أَوْ أَقَلَّ لَمْ يَكُنْ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَكَاةٌ، وَإِذَا لَمْ يُجْمَعْ التَّمْرُ إلَى الزَّبِيبِ وَهُمَا يُخْرَصَانِ وَيُعْشَرَانِ وَهُمَا حُلْوَانِ مَعًا وَأَشَدُّ تَقَارُبًا فِي الثَّمَنِ وَالْخِلْقَةِ وَالْوَزْنِ مِنْ الذَّهَبِ إلَى الْوَرِقِ فَكَيْفَ يَجْمَعُ جَامِعٌ بَيْنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَلَا يَجْمَعُ بَيْنَ التَّمْرِ وَالزَّبِيبِ؟ وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ خَالَفَ سُنَّةَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؛ لِأَنَّهُ قَالَ «لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ» فَأَخَذَهَا فِي أَقَلَّ، فَإِنْ قَالَ ضَمَمْت إلَيْهَا غَيْرَهَا قِيلَ: تُضَمُّ إلَيْهَا بَقَرًا، فَإِنْ قَالَ: لَيْسَتْ مِنْ جِنْسِهَا قِيلَ: وَكَذَلِكَ فَالذَّهَبُ لَيْسَ مِنْ جِنْسِ الْوَرِقِ (قَالَ) :: وَلَا يَجِبُ عَلَى رَجُلٍ زَكَاةٌ فِي ذَهَبٍ حَتَّى يَكُونَ عِشْرِينَ مِثْقَالًا فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ وَآخِرِهِ، فَإِنْ نَقَصَتْ شَيْئًا ثُمَّ تَمَّتْ عِشْرِينَ مِثْقَالًا فَلَا زَكَاةَ فِيهَا حَتَّى تَسْتَقْبِلَ بِهَا حَوْلًا مِنْ يَوْمِ تَمَّتْ عِشْرِينَ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa tidak ada zakat pada emas sampai mencapai 20 mitsqal, baik yang bagus, jelek, berbentuk bejana, atau batangan. Jika kurang satu biji atau lebih sedikit, maka tidak diambil zakat darinya. Sekalipun seseorang memiliki emas bersama lima awaq perak kurang satu qirath atau lebih sedikit, tidak ada zakat pada salah satunya. Jika kurma tidak digabungkan dengan zabib (kismis) padahal keduanya diperkirakan (kadar airnya) dan dizakati (jika mencapai nishab), sedangkan keduanya sama-sama manis dan lebih dekat kesamaan dalam harga, bentuk, dan timbangan dibanding emas dengan perak, maka bagaimana mungkin seseorang menggabungkan antara emas dan perak tetapi tidak menggabungkan antara kurma dan zabib? Barangsiapa melakukan hal itu, maka ia telah menyelisihi sunnah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – karena beliau bersabda: “Tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima awaq.” Lalu ia mengambil zakat pada jumlah yang kurang dari itu. Jika ia berkata: “Aku menggabungkannya dengan yang lain,” maka dikatakan: “Engkau bisa menggabungkannya dengan sapi.” Jika ia berkata: “Itu tidak sejenis,” maka dikatakan: “Demikian pula emas tidak sejenis dengan perak.” (Imam Syafi’i) berkata: Tidak wajib atas seseorang zakat pada emas sampai mencapai 20 mitsqal pada awal dan akhir haul. Jika berkurang sedikit kemudian genap 20 mitsqal, maka tidak ada zakat padanya sampai ia memulai haul baru sejak hari genap 20 mitsqal.

 

بَابُ زَكَاةِ الْحُلِيِّ

Bab tentang zakat perhiasan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تُحَلِّي بَنَاتِ أَخِيهَا أَيْتَامًا فِي حِجْرِهَا فَلَا تُخْرِجُ مِنْهُ زَكَاةً وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يُحَلِّي بَنَاتِهِ وَجَوَارِيهِ ذَهَبًا، ثُمَّ لَا يُخْرِجُ زَكَاةَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullahu ta’ala – berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah bahwa ia biasa menghiasi anak-anak perempuan saudaranya yang yatim dalam asuhannya dengan perhiasan, namun tidak mengeluarkan zakat darinya. Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa ia biasa menghiasi anak-anak perempuannya dan budak-budak perempuannya dengan emas, kemudian tidak mengeluarkan zakatnya.

 

(قَالَ) : وَيُرْوَى عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ فِي الْحُلِيِّ الزَّكَاةَ، وَهَذَا مِمَّا أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِيهِ فَمَنْ قَالَ: فِيهِ الزَّكَاةُ زَكَّى خَاتَمَهُ وَحِلْيَةَ سَيْفِهِ وَمِنْطَقَتَهُ وَمُصْحَفَهُ وَمَنْ قَالَ: لَا زَكَاةَ فِيهِ قَالَ: لَا زَكَاةَ فِي خَاتَمِهِ وَلَا حِلْيَةِ سَيْفِهِ وَلَا مِنْطَقَتِهِ إذَا كَانَتْ مِنْ وَرِقٍ، فَإِنْ اتَّخَذَهُ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ اتَّخَذَ لِنَفْسِهِ حُلِيَّ امْرَأَةٍ فَفِيهِ الزَّكَاةُ وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ تُحَلَّى ذَهَبًا، أَوْ وَرِقًا وَلَا أَجْعَلُ حُلِيَّهَا زَكَاةً فَإِنْ اتَّخَذَ رَجُلٌ، أَوْ امْرَأَةٌ إنَاءً مِنْ ذَهَبٍ، أَوْ وَرِقٍ زَكَّيَاهُ فِي الْقَوْلَيْنِ جَمِيعًا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا اتِّخَاذُهُ، فَإِنْ كَانَ وَزْنُهُ أَلْفًا وَقِيمَتُهُ مَصُوغًا أَلْفَيْنِ فَإِنَّمَا زَكَاتُهُ عَلَى وَزْنِهِ لَا عَلَى قِيمَتِهِ وَإِنْ انْكَسَرَ حُلِيُّهَا فَلَا زَكَاةَ فِيهِ.

 

 

Diriwayatkan dari Umar dan Abdullah bin Amr bin Ash bahwa pada perhiasan ada zakat. Ini termasuk hal yang aku memohon petunjuk Allah padanya. Barangsiapa berpendapat ada zakat padanya, maka ia menzakati cincinnya, hiasan pedangnya, ikat pinggangnya, dan mushafnya. Barangsiapa berpendapat tidak ada zakat padanya, maka ia berkata: tidak ada zakat pada cincinnya, hiasan pedangnya, atau ikat pinggangnya jika terbuat dari perak. Jika dibuat dari emas atau seseorang membuat perhiasan wanita untuk dirinya sendiri, maka ada zakat padanya. Wanita boleh berhias dengan emas atau perak, dan aku tidak mewajibkan zakat pada perhiasannya. Jika seorang laki-laki atau wanita membuat bejana dari emas atau perak, maka mereka menzakatinya menurut kedua pendapat, karena tidak diperbolehkan bagi keduanya membuatnya. Jika beratnya seribu dan nilainya ketika berbentuk dua ribu, maka zakatnya dihitung berdasarkan beratnya, bukan nilainya. Jika perhiasannya rusak, maka tidak ada zakat padanya.

 

 

وَلَوْ وَرِثَ رَجُلٌ حُلِيًّا، أَوْ اشْتَرَاهُ فَأَعْطَاهُ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِهِ، أَوْ خَدَمِهِ هِبَةً، أَوْ عَارِيَّةً، أَوْ أَرْصَدَهُ لِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ زَكَاةٌ فِي قَوْلِ مَنْ قَالَ لَا زَكَاةَ فِيهِ إذَا أَرْصَدَهُ لِمَا يَصْلُحُ لَهُ، فَإِنْ أَرْصَدَهُ لِمَا لَا يَصْلُحُ لَهُ فَعَلَيْهِ الزَّكَاةُ فِي الْقَوْلَيْنِ جَمِيعًا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي غَيْرِ كِتَابِ الزَّكَاةِ لَيْسَ فِي الْحُلِيِّ زَكَاةٌ وَهَذَا أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ؛ لِأَنَّ أَصْلُهُ أَنَّ فِي الْمَاشِيَةِ زَكَاةً وَلَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعْمَلِ مِنْهَا زَكَاةٌ فَكَذَلِكَ الذَّهَبُ وَالْوَرِقُ فِيهِمَا الزَّكَاةُ وَلَيْسَ فِي الْمُسْتَعْمَلِ مِنْهُمَا زَكَاةٌ.

 

 

Jika seseorang mewarisi perhiasan, atau membelinya lalu memberikannya kepada seorang wanita dari keluarganya, atau pelayannya sebagai hadiah, pinjaman, atau menyiapkannya untuk itu, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya menurut pendapat yang mengatakan tidak ada zakat padanya jika disiapkan untuk keperluan yang layak. Namun, jika disiapkan untuk keperluan yang tidak layak, maka wajib zakat menurut kedua pendapat. (Al-Muzani berkata): Imam Syafi’i juga pernah mengatakan di luar kitab zakat bahwa tidak ada zakat pada perhiasan, dan ini lebih sesuai dengan prinsip dasarnya. Karena prinsip dasarnya adalah ada zakat pada hewan ternak, tetapi tidak ada zakat pada hewan yang digunakan. Demikian pula emas dan perak, ada zakat pada keduanya, tetapi tidak ada zakat pada yang digunakan darinya.

 

بَابُ مَا لَا يَكُونُ فِيهِ زَكَاةٌ

Bab tentang harta yang tidak wajib dizakati

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَمَا كَانَ مِنْ لُؤْلُؤٍ، أَوْ زَبَرْجَدٍ أَوْ يَاقُوتٍ وَمِرْجَانٍ وَحِلْيَةِ بَحْرٍ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ وَلَا فِي مِسْكٍ وَلَا عَنْبَرٍ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي الْعَنْبَرِ إنَّمَا هُوَ شَيْءٌ دَسَرَهُ الْبَحْرُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Tidak ada zakat pada mutiara, zamrud, yaqut, marjan, atau perhiasan laut, juga tidak pada misk (kasturi) maupun anbar (ambergris).” Ibnu Abbas berkata tentang anbar, “Itu hanyalah sesuatu yang dilontarkan oleh laut.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِمَّا خَالَفَ الذَّهَبَ وَالْوَرِقَ وَالْمَاشِيَةَ وَالْحَرْثَ عَلَى مَا وَصَفْت.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Tidak ada zakat pada sesuatu yang berbeda dengan emas, perak, hewan ternak, dan hasil pertanian sebagaimana yang telah aku jelaskan.”

 

بَابُ زَكَاةِ التِّجَارَةِ

Bab Zakat Perdagangan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ أَنَّ أَبَاهُ حِمَاسًا قَالَ مَرَرْت عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَلَى عُنُقِي آدِمَةٌ أَحْمِلُهَا فَقَالَ أَلَا تُؤَدِّي زَكَاتَك يَا حِمَاسُ؟ فَقُلْت يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ مَا لِي غَيْرُ هَذِهِ وَأَهَبُ فِي الْقَرْظِ فَقَالَ ذَاكَ مَالٌ فَضَعْ فَوَضَعْتهَا بَيْنَ يَدَيْهِ فَحَسِبَهَا فَوَجَدَهَا قَدْ وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ فَأَخَذَ مِنْهَا الزَّكَاةَ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Yahya bin Sa’id dari Abdullah bin Abi Salamah, dari Abu ‘Amr bin Himas bahwa ayahnya, Himas, berkata: Aku melewati Umar bin Khattab sementara di leherku ada kulit yang kubawa. Dia berkata, “Wahai Himas, tidakkah engkau menunaikan zakatmu?” Aku menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku tidak memiliki apa-apa selain ini, dan aku bekerja mengumpulkan kulit.” Umar berkata, “Itu adalah harta, letakkanlah!” Maka aku meletakkannya di hadapannya. Dia menghitungnya dan menemukan bahwa zakat wajib dikeluarkan darinya, lalu dia mengambil zakat dari kulit itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا اتَّجَرَ فِي مِائَتَيْ دِرْهَمٍ فَصَارَتْ ثَلَثَمِائَةٍ قَبْلَ الْحَوْلِ، ثُمَّ حَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ زَكَّى الْمِائَتَيْنِ لِحَوْلِهَا وَالْمِائَةَ الَّتِي زَادَتْ لِحَوْلِهَا وَلَا يُضَمُّ مَا رَبِحَ إلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْهَا وَإِنَّمَا صَرَفَهَا فِي غَيْرِهَا، ثُمَّ بَاعَ مَا صَرَفَهَا فِيهِ وَلَا يُشْبِهُ أَنْ يَمْلِكَ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ سِتَّةَ أَشْهُرٍ، ثُمَّ يَشْتَرِي بِهَا عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ فَيَحُولَ الْحَوْلُ وَالْعَرْضُ فِي يَدَيْهِ فَيَقُولُ الْعَرْضُ بِزِيَادَتِهِ أَوْ بِنَقْصِهِ؛ لِأَنَّ الزَّكَاةَ حِينَئِذٍ تَحَوَّلَتْ فِي الْعَرَضِ بِنِيَّةِ التِّجَارَةِ وَصَارَ الْعَرْضُ كَالدَّرَاهِمِ يُحْسَبُ عَلَيْهَا لِحَوْلِهَا فَإِذَا نَضَّ ثَمَنُ الْعَرَضِ بَعْدَ الْحَوْلِ أُخِذَتْ الزَّكَاةُ مِنْ ثَمَنِهِ بَالِغًا مَا بَلَغَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang berdagang dengan dua ratus dirham lalu menjadi tiga ratus sebelum haul, kemudian haulnya tiba, maka ia wajib mengeluarkan zakat untuk dua ratus dirham sesuai haulnya dan seratus dirham yang bertambah sesuai haulnya. Keuntungan tidak digabungkan karena bukan bagian dari modal, melainkan telah dialihkan ke barang lain. Kemudian ia menjual barang yang dibeli dengan modal tersebut. Tidak sama halnya jika seseorang memiliki dua ratus dirham selama enam bulan, lalu membeli barang dagangan dengannya, kemudian haul tiba sementara barang masih di tangannya. Maka nilai barang dihitung sesuai harga saat itu, baik bertambah atau berkurang, karena zakat saat itu telah beralih ke barang dengan niat dagang, dan barang tersebut dianggap seperti dirham yang dihitung zakatnya sesuai haulnya. Jika harga barang telah cair setelah haul, zakat diambil dari harganya berapapun jumlahnya.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِعَرَضٍ فَحَال الْحَوْلُ عَلَى عَرَضٍ التِّجَارَةِ قُوِّمَ بِالْأَغْلَبِ مِنْ نَقْدِ بَلَدِهِ دَنَانِيرَ، أَوْ دَرَاهِمَ وَإِنَّمَا قَوَّمْته بِالْأَغْلَبِ؛ لِأَنَّهُ اشْتَرَاهُ لِلتِّجَارَةِ بِعَرْضٍ (قَالَ) : وَيُخْرِجُ زَكَاتَهُ مِنْ الَّذِي قُوِّمَ بِهِ وَلَوْ كَانَ فِي يَدَيْهِ عَرَضٌ لِلتِّجَارَةِ تَجِبُ فِي قِيمَتِهِ الزَّكَاةُ وَأَقَامَ فِي يَدَيْهِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ، ثُمَّ اشْتَرَى بِهِ عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِدَنَانِيرَ فَأَقَامَ فِي يَدَيْهِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَقَدْ حَالَ الْحَوْلُ عَلَى الْمَالَيْنِ مَعًا وَقَامَ أَحَدُهُمَا مَكَانَ صَاحِبِهِ فَيُقَوِّمُ الْعَرَضُ الَّذِي فِي يَدَيْهِ وَيُخْرِجُ زَكَاتَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang membeli barang dagangan dengan barang (bukan uang), lalu haul (tahun zakat) telah sempurna atas barang dagangan tersebut, maka barang itu dinilai dengan mata uang yang paling dominan di negerinya, baik dinar maupun dirham. Barang itu dinilai dengan yang paling dominan karena ia membelinya untuk diperdagangkan dengan barang.” Beliau berkata: “Dan ia mengeluarkan zakat dari nilai yang telah ditetapkan. Jika di tangannya ada barang dagangan yang wajib dizakati nilainya dan telah berada di tangannya selama enam bulan, lalu ia membeli barang dagangan lain dengan dinar yang berada di tangannya selama enam bulan, maka haul telah sempurna atas kedua harta tersebut bersama-sama, dan salah satunya menggantikan yang lain. Maka, barang yang ada di tangannya dinilai dan ia mengeluarkan zakatnya.”

 

 

وَلَوْ اشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِدَنَانِيرَ، أَوْ بِدَرَاهِمَ، أَوْ بِشَيْءٍ تَجِبُ فِيهِ الصَّدَقَةُ مِنْ الْمَاشِيَةِ وَكَانَ إفَادَةُ مَا اشْتَرَى بِهِ ذَلِكَ الْعَرَضَ مِنْ يَوْمِهِ لَمْ يُقَوَّمْ الْعَرْضُ حَتَّى يَحُولَ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ أَفَادَ ثَمَنَ الْعَرْضِ، ثُمَّ يُزَكِّيهِ بَعْدَ الْحَوْلِ، وَلَوْ أَقَامَ هَذَا الْعَرْضَ فِي يَدَيْهِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ، ثُمَّ بَاعَهُ بِدَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ فَأَقَامَتْ فِي يَدَيْهِ سِتَّةَ أَشْهُرٍ زَكَّاهَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : إذَا كَانَتْ فَائِدَتُهُ نَقْدًا فَحَوْلُ الْعَرَضِ مِنْ حِينِ أَفَادَ النَّقْدَ؛ لِأَنَّ مَعْنَى قِيمَةِ الْعَرَضِ لِلتِّجَارَةِ وَالنَّقْدِ فِي الزَّكَاةِ رُبْعُ عُشْرٍ وَلَيْسَ كَذَلِكَ زَكَاةُ الْمَاشِيَةِ أَلَا تَرَى أَنَّ فِي خَمْسٍ مِنْ الْإِبِلِ السَّائِمَةِ بِالْحَوْلِ شَاةً أَفَيُضَمُّ مَا فِي حَوْلِهِ زَكَاةُ شَاةٍ إلَى مَا فِي حَوْلِهِ زَكَاةُ رُبْعِ عُشْرٍ وَمِنْ قَوْلِهِ لَوْ أَبْدَلَ إبِلًا بِبَقَرٍ، أَوْ بَقَرًا بِغَنَمٍ لَمْ يَضُمَّهَا فِي حَوْلٍ؛ لِأَنَّ مَعْنَاهَا فِي الزَّكَاةِ مُخْتَلِفٌ، وَكَذَلِكَ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَضُمَّ فَائِدَةَ مَاشِيَةٍ زَكَاتُهَا شَاةٌ، أَوْ تَبِيعٌ، أَوْ بِنْتُ لَبُونٍ أَوْ بِنْتُ مَخَاضٍ إلَى حَوْلِ عَرَضٍ زَكَاتُهُ رُبْعُ عُشْرٍ فَحَوْلُ هَذَا الْعَرَضِ مِنْ حِينِ اشْتَرَاهُ لَا مِنْ حِينِ أَفَادَ الْمَاشِيَةَ الَّتِي بِهَا اشْتَرَاهُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَانَ اشْتَرَى الْعَرَضَ بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ لَمْ يُقَوَّمْ إلَّا بِدَرَاهِمَ، وَإِنْ كَانَ الدَّنَانِيرُ الْأَغْلَبَ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ وَلَوْ بَاعَهُ بَعْدَ الْحَوْلِ بِدَنَانِيرَ قَوَّمَ الدَّنَانِيرَ بِدَرَاهِمَ وَزُكِّيَتْ الدَّنَانِيرُ بِقِيمَةِ الدَّرَاهِمِ؛ لِأَنَّ أَصْلَ مَا اشْتَرَى بِهِ الْعَرَضَ الدَّرَاهِمُ، وَكَذَلِكَ لَوْ اشْتَرَى بِالدَّنَانِيرِ لَمْ يُقَوَّمْ الْعَرَضُ إلَّا بِالدَّنَانِيرِ وَلَوْ بَاعَهُ بِدَرَاهِمَ وَعَرَضٍ قُوِّمَ بِالدَّنَانِيرِ.

 

 

Jika seseorang membeli barang untuk diperdagangkan dengan dinar, dirham, atau sesuatu yang wajib dizakati seperti hewan ternak, dan nilai pembayaran barang tersebut diperoleh pada hari yang sama, maka barang tersebut tidak dinilai hingga haul (satu tahun) terhitung dari hari dia memperoleh harga pembayaran barang tersebut. Setelah haul, barulah dia menzakatinya. Jika dia menyimpan barang tersebut selama enam bulan, lalu menjualnya dengan dirham atau dinar dan menyimpannya lagi selama enam bulan, maka dia wajib mengeluarkan zakatnya. (Al-Muzani berkata): Jika keuntungannya berupa uang, maka haul barang dihitung sejak dia memperoleh uang tersebut, karena makna nilai barang untuk perdagangan dan uang dalam zakat adalah seperempat puluh (2,5%), berbeda dengan zakat hewan ternak. Tidakkah engkau melihat bahwa pada lima ekor unta yang digembalakan selama setahun zakatnya adalah satu kambing? Apakah boleh menggabungkan sesuatu yang haulnya zakat kambing dengan sesuatu yang haulnya zakat seperempat puluh? Dan dari perkataannya: Jika dia menukar unta dengan sapi, atau sapi dengan kambing, maka tidak boleh menggabungkan haulnya karena makna zakatnya berbeda. Demikian pula, tidak sepatutnya menggabungkan keuntungan hewan ternak yang zakatnya kambing, tabi’, bintu labun, atau bintu makhaad dengan haul barang yang zakatnya seperempat puluh. Maka haul barang ini dihitung sejak dia membelinya, bukan sejak dia memperoleh hewan ternak yang digunakan untuk membelinya. (Asy-Syafi’i berkata): Jika dia membeli barang dengan dua ratus dirham, maka barang tersebut hanya dinilai dengan dirham, meskipun dinar lebih dominan sebagai mata uang negeri tersebut. Jika dia menjualnya setelah haul dengan dinar, maka dinar tersebut dinilai dengan dirham dan dizakati berdasarkan nilai dirham, karena asal pembayaran barang tersebut adalah dirham. Demikian pula, jika dia membeli dengan dinar, maka barang tersebut hanya dinilai dengan dinar. Jika dia menjualnya dengan dirham dan barang lain, maka dinilai dengan dinar.

 

 

وَلَوْ أَقَامَتْ عِنْدَهُ مِائَةُ دِينَارٍ أَحَدَ عَشَرَ شَهْرًا ثُمَّ اشْتَرَى بِهَا أَلْفَ دِرْهَمٍ، أَوْ مِائَةَ دِينَارٍ فَلَا زَكَاةَ فِي الدَّنَانِيرِ الْأَخِيرَةِ وَلَا فِي الدَّرَاهِمِ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ مَلَكَهَا؛ لِأَنَّ الزَّكَاةَ فِيهَا بِأَنْفُسِهَا وَلَوْ اشْتَرَى عَرَضًا لِغَيْرِ تِجَارَةٍ فَهُوَ كَمَا لَوْ مَلَكَ بِغَيْرِ شِرَاءٍ، فَإِنْ نَوَى بِهِ التِّجَارَةَ فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ.

 

 

Dan jika seratus dinar tetap berada di sisinya selama sebelas bulan, kemudian dia membeli dengan uang itu seribu dirham atau seratus dinar, maka tidak ada zakat pada dinar-dinar terakhir itu dan tidak pula pada dirham-dirham hingga haul (masa satu tahun) berlalu sejak dia memilikinya. Karena zakat pada harta tersebut terkait dengan dirinya sendiri. Dan jika dia membeli barang bukan untuk diperdagangkan, maka hukumnya seperti dia memiliki tanpa pembelian. Jika dia berniat untuk memperdagangkannya, maka tidak ada zakat atasnya.

 

 

وَلَوْ اشْتَرَى شَيْئًا لِلتِّجَارَةِ ثُمَّ نَوَاهُ لِقِنْيَةٍ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ زَكَاةٌ وَأُحِبُّ لَوْ فَعَلَ وَلَا يُشْبِهُ هَذَا السَّائِمَةَ إذَا نَوَى عَلَفَهَا فَلَا يَنْصَرِفُ عَنْ السَّائِمَةِ حَتَّى يَعْلِفَهَا، وَلَوْ كَانَ يَمْلِكُ أَقَلَّ مِمَّا تَجِبُ فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ زَكَّى ثَمَنَ الْعَرَضِ مِنْ يَوْمِ مِلْكِ الْعَرَضِ؛ لِأَنَّ الزَّكَاةَ تَحَوَّلَتْ فِيهِ بِعَيْنِهَا أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ اشْتَرَاهُ بِعِشْرِينَ دِينَارًا وَكَانَتْ قِيمَتُهُ يَوْمَ يَحُولُ الْحَوْلُ أَقَلَّ سَقَطَتْ عَنْهُ الزَّكَاةُ؛ لِأَنَّهَا تَحَوَّلَتْ فِيهِ وَفِي ثَمَنِهِ إذَا بِيعَ لَا فِيمَا اشْتَرَى بِهِ.

 

 

Jika seseorang membeli sesuatu untuk diperdagangkan, kemudian ia berniat untuk menyimpannya (tidak diperdagangkan), maka tidak ada zakat atasnya. Dan aku suka jika ia melakukan hal itu. Namun, hal ini tidak sama dengan hewan ternak yang digembalakan. Jika ia berniat untuk memberinya pakan, maka statusnya tidak berubah dari digembalakan sampai ia benar-benar memberinya pakan. Jika seseorang memiliki harta kurang dari nisab yang wajib dizakati, ia tetap harus mengeluarkan zakat dari nilai barang tersebut sejak hari ia memilikinya. Karena zakat telah berpindah pada barang itu sendiri. Tidakkah kamu melihat, jika ia membelinya dengan dua puluh dinar, lalu pada saat haul tiba nilainya kurang dari nisab, maka zakatnya gugur? Karena zakat telah berpindah pada barang itu dan pada harganya ketika dijual, bukan pada uang yang digunakan untuk membelinya.

 

 

(قَالَ) : وَلَا تَمْنَعُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ فِي الرَّقِيقِ زَكَاةَ الْفِطْرِ إذَا كَانُوا مُسْلِمِينَ أَلَا تَرَى أَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى عَدَدِ الْأَحْرَارِ الَّذِينَ لَيْسُوا بِمَالٍ إنَّمَا هِيَ طَهُورٌ لِمَنْ لَزِمَهُ اسْمُ الْإِيمَانِ.

 

 

Beliau berkata: “Zakat perdagangan pada budak tidak menghalangi zakat fitrah jika mereka muslim. Tidakkah engkau melihat bahwa zakat fitrah itu diwajibkan berdasarkan jumlah orang merdeka yang bukan sebagai harta? Sesungguhnya zakat fitrah itu sebagai penyuci bagi orang yang melekat padanya nama keimanan.”

 

 

وَإِذَا اشْتَرَى نَخْلًا، أَوْ زَرْعًا لِلتِّجَارَةِ، أَوْ وَرِثَهَا زَكَّاهَا زَكَاةَ النَّخْلِ وَالزَّرْعِ، وَلَوْ كَانَ مَكَانَ النَّخْلِ غِرَاسٌ لَا زَكَاةَ فِيهَا زَكَّاهَا زَكَاةَ التِّجَارَةِ وَالْخُلَطَاءُ فِي الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ كَالْخُلَطَاءِ فِي الْمَاشِيَةِ وَالْحَرْثِ عَلَى مَا وَصَفْت سَوَاءٌ.

 

 

Dan jika seseorang membeli kebun kurma atau tanaman untuk diperdagangkan, atau mewarisinya, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya seperti zakat kebun kurma dan tanaman. Sekalipun di tempat kebun kurma tersebut ditanami tanaman lain yang tidak ada zakatnya, maka ia wajib mengeluarkan zakat perdagangan. Sedangkan para sekutu dalam emas dan perak seperti sekutu dalam hewan ternak dan pertanian, sebagaimana yang telah dijelaskan, hukumnya sama.

 

بَابُ الزَّكَاةِ فِي مَالِ الْقَرَابَةِ

Bab Zakat pada Harta Kerabat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا دَفَعَ الرَّجُلُ أَلْفَ دِرْهَمٍ قِرَاضًا عَلَى النِّصْفِ فَاشْتَرَى بِهَا سِلْعَةً وَحَالَ الْحَوْلُ عَلَيْهَا وَهِيَ تُسَاوِي أَلْفَيْنِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ تُزَكَّى كُلُّهَا؛ لِأَنَّهَا مِلْكٌ لِرَبِّ الْمَالِ أَبَدًا حَتَّى يُسَلِّمَ إلَيْهِ رَأْسَ مَالِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ الْعَامِلُ نَصْرَانِيًّا فَإِذَا سَلَّمَ لَهُ رَأْسَ مَالِهِ اقْتَسَمَا الرِّبْحَ وَهَذَا أَشْبَهُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ الزَّكَاةَ عَلَى رَبِّ الْمَالِ فِي الْأَلْفِ وَالْخَمْسِمِائَةِ وَوُقِفَتْ زَكَاةُ خَمْسِمِائَةٍ، فَإِنْ حَالَ عَلَيْهَا حَوْلٌ مِنْ يَوْمِ صَارَتْ لِلْعَامِلِ زَكَّاهَا إنْ كَانَ مُسْلِمًا فَإِذَا لَمْ يَبْلُغْ رِبْحُهُ إلَّا مِائَةَ دِرْهَمٍ زَكَّاهَا؛ لِأَنَّهُ خَلِيطٌ بِهَا، وَلَوْ كَانَ رَبُّ الْمَالِ نَصْرَانِيًّا وَالْعَامِلُ مُسْلِمًا فَلَا رِبْحَ لِمُسْلِمٍ حَتَّى يُسَلِّمَ إلَى النَّصْرَانِيِّ رَأْسَ مَالِهِ فِي الْقَوْلِ الْأَوَّلِ، ثُمَّ يَسْتَقْبِلُ بِرِبْحِهِ حَوْلًا، وَالْقَوْلُ الثَّانِي يُحْصَى ذَلِكَ كُلُّهُ، فَإِنْ سَلَّمَ لَهُ رِبْحَهُ أَدَّى زَكَاتَهُ كَمَا يُؤَدِّي مَا مَرَّ عَلَيْهِ مِنْ السِّنِينَ مُنْذُ كَانَ لَهُ فِي الْمَالِ فَضْلٌ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seseorang menyerahkan seribu dirham sebagai modal qirad (bagi hasil) dengan pembagian separuh, lalu dibelikan barang dagangan, kemudian berlalu satu tahun sedangkan nilainya menjadi dua ribu, maka ada dua pendapat: Pertama, zakat dikenakan pada seluruhnya karena itu tetap menjadi milik pemilik modal sampai pokok modal diserahkan kepadanya. Begitu pula jika pekerja (pengelola) beragama Nasrani. Ketika pokok modal diserahkan kepada pemilik, mereka membagi keuntungan. Ini pendapat yang lebih kuat, wallahu a’lam. Pendapat kedua, zakat wajib atas pemilik modal untuk seribu lima ratus dirham, sedangkan zakat lima ratus dirham ditangguhkan. Jika telah berlalu satu tahun sejak menjadi milik pekerja (pengelola), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya jika ia Muslim. Jika keuntungannya hanya seratus dirham, ia tetap menzakatinya karena ia telah bercampur dengan harta itu. Jika pemilik modal Nasrani sedangkan pekerja Muslim, maka tidak ada keuntungan bagi Muslim sampai ia menyerahkan pokok modal kepada Nasrani menurut pendapat pertama. Kemudian, ia menghitung haul (tahun zakat) baru untuk keuntungannya. Pendapat kedua menghitung semuanya. Jika ia menyerahkan keuntungannya, ia membayar zakatnya sebagaimana ia membayar zakat untuk tahun-tahun yang telah berlalu sejak ia memiliki kelebihan dalam harta tersebut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : أَوْلَى بِقَوْلِهِ عِنْدِي أَنْ لَا يَكُونَ عَلَى الْعَامِلِ زَكَاةٌ حَتَّى يُحَصِّلَ رَأْسَ الْمَالِ؛ لِأَنَّ هَذَا مَعْنَاهُ فِي الْقِرَاضِ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ لَوْ كَانَ لَهُ شَرِكَةٌ فِي الْمَالِ، ثُمَّ نَقَصَ قَدْرُ الرِّبْحِ كَانَ لَهُ فِي الْبَاقِي شِرْكٌ فَلَا رِبْحَ لَهُ إلَّا بَعْدَ أَدَاءِ رَأْسِ الْمَالِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Pendapat yang lebih utama menurutku adalah bahwa pekerja tidak wajib membayar zakat hingga ia memperoleh modal pokok; karena inilah maknanya dalam qirad (perdagangan bagi hasil). Sebab, jika ia memiliki bagian dalam harta, lalu keuntungan berkurang, maka ia tetap memiliki bagian dalam sisa harta. Jadi, tidak ada keuntungan baginya kecuali setelah mengembalikan modal pokok.

 

بَابُ الدَّيْنِ مَعَ الصَّدَقَةِ وَزَكَاةِ اللُّقَطَةِ وَكِرَاءِ الدُّورِ وَالْغَنِيمَةِ

 

Bab tentang hutang bersama sedekah, zakat barang temuan, sewa rumah, dan harta rampasan perang

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا كَانَتْ لَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَعَلَيْهِ مِثْلُهَا فَاسْتَعْدَى عَلَيْهِ السُّلْطَانُ قَبْلَ الْحَوْلِ وَلَمْ يَقْضِ عَلَيْهِ بِالدَّيْنِ حَتَّى حَالَ الْحَوْلُ أَخْرَجَ زَكَاتَهَا، ثُمَّ قَضَى غُرَمَاءَهُ بَقِيَّتَهَا، وَلَوْ قَضَى عَلَيْهِ بِالدَّيْنِ وَجَعَلَ لَهُمْ مَالَهُ حَيْثُ وَجَدُوهُ قَبْلَ الْحَوْلِ، ثُمَّ حَالَ الْحَوْلُ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهُ الْغُرَمَاءُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ زَكَاةٌ لِأَنَّهُ صَارَ لَهُمْ دُونَهُ قَبْلَ الْحَوْلِ وَهَكَذَا فِي الزَّرْعِ وَالثَّمَرِ وَالْمَاشِيَةِ الَّتِي صَدَقَتُهَا مِنْهَا كَالْمُرْتَهِنِ لِلشَّيْءِ فَيَكُونُ لِلْمُرْتَهِنِ مَالُهُ فِيهِ وَلِلْغُرَمَاءِ فَضْلُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seseorang memiliki dua ratus dirham dan memiliki utang yang sama jumlahnya, lalu penguasa dimintai untuk menindaknya sebelum haul (genap setahun), namun utangnya belum ditetapkan hingga haul tiba, maka ia tetap mengeluarkan zakatnya, lalu membayar sisa hartanya kepada para kreditur. Namun, jika utangnya telah ditetapkan dan hartanya diserahkan kepada kreditur di mana pun ditemukan sebelum haul, lalu haul tiba sebelum kreditur mengambilnya, maka tidak ada kewajiban zakat baginya karena hartanya telah menjadi milik mereka sebelum haul. Hal yang sama berlaku pada tanaman, buah-buahan, dan hewan ternak yang zakatnya diambil dari jenisnya, seperti barang yang digadaikan. Maka, bagi pemegang gadai adalah haknya atas barang tersebut, sedangkan kelebihannya adalah untuk para kreditur.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَكُلُّ مَالٍ رُهِنَ فَحَالَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ أَخْرَجَ مِنْهُ الزَّكَاةَ قَبْل الدَّيْنِ

(Dia berkata): “Setiap harta yang digadaikan dan telah mencapai haul, maka zakat dikeluarkan darinya sebelum utang.”

 

(وَقَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ قَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى إذَا كَانَتْ لَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَعَلَيْهِ مِثْلُهَا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ وَالْأَوَّلُ مِنْ قَوْلَيْهِ مَشْهُورٌ

(Al-Muzani berkata): “Dia telah mengatakan dalam kitab Ikhtilaf Ibnu Abi Laila bahwa jika seseorang memiliki dua ratus dirham dan memiliki utang yang sama, maka tidak ada zakat atasnya. Pendapat pertama dari dua pendapatnya lebih terkenal.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ كَانَ لَهُ دَيْنٌ يَقْدِرُ عَلَى أَخْذِهِ فَعَلَيْهِ تَعْجِيلُ زَكَاتِهِ كَالْوَدِيعَةِ، وَلَوْ جَحَدَ مَالَهُ، أَوْ غَصَبَهُ، أَوْ غَرِقَ فَأَقَامَ زَمَانًا، ثُمَّ قَدَرَ عَلَيْهِ فَلَا يَجُوزُ فِيهِ إلَّا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ أَنْ لَا يَكُونَ عَلَيْهِ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ قَبَضَهُ؛ لِأَنَّهُ مَغْلُوبٌ عَلَيْهِ، أَوْ يَكُونَ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ؛ لِأَنَّ مِلْكَهُ لَمْ يَزُلْ عَنْهُ لِمَا مَضَى مِنْ السِّنِينَ، فَإِنْ قَبَضَ مِنْ ذَلِكَ مَا فِي مِثْلِهِ الزَّكَاةُ زَكَّاهُ لِمَا مَضَى وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي مِثْلِهِ زَكَاةٌ فَكَانَ لَهُ مَالٌ ضَمَّهُ إلَيْهِ وَإِلَّا حَسَبَهُ فَإِذَا قَبَضَ مَا إذَا جَمَعَ إلَيْهِ ثَبَتَ فِيهِ الزَّكَاةُ زَكَّى لِمَا مَضَى.

(Dia berkata): “Jika seseorang memiliki piutang yang mampu ditagih, maka ia wajib segera mengeluarkan zakatnya seperti harta titipan. Namun, jika hartanya diingkari, dirampas, atau tenggelam lalu tertahan lama kemudian ia mampu mendapatkannya kembali, maka dalam hal ini hanya ada dua pendapat: (1) tidak wajib zakat sampai mencapai haul sejak hari ia menerimanya kembali karena sebelumnya ia tidak kuasa atasnya, atau (2) tetap wajib zakat karena kepemilikannya tidak hilang selama tahun-tahun sebelumnya. Jika ia menerima harta yang termasuk jenis wajib zakat, ia mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang lalu. Jika tidak termasuk jenis wajib zakat, maka ia menggabungkannya dengan hartanya yang lain (jika ada) atau menghitungnya. Ketika ia menerima harta yang jika digabungkan memenuhi nisab, ia wajib mengeluarkan zakat untuk tahun-tahun yang lalu.”

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا عَرَّفَ لُقَطَةً سَنَةً، ثُمَّ حَالَ عَلَيْهَا أَحْوَالٌ وَلَمْ يُزَكِّهَا، ثُمَّ جَاءَهُ صَاحِبُهَا فَلَا زَكَاةَ عَلَى الَّذِي وَجَدَهَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لَهَا مَالِكًا قَطُّ حَتَّى جَاءَ صَاحِبُهَا وَالْقَوْلُ فِيهَا كَمَا وَصَفْت فِي أَنَّ عَلَيْهِ الزَّكَاةَ لِمَا مَضَى؛ لِأَنَّهَا مَالُهُ، أَوْ فِي سُقُوطِ الزَّكَاةِ عَنْهُ فِي مُقَامِهَا فِي يَدِ الْمُلْتَقِطِ بَعْدَ السَّنَةِ؛ لِأَنَّهُ أُبِيحَ لَهُ أَكْلُهَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : أُشَبِّهُ الْأَمْرِ بِقَوْلِهِ عِنْدِي أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ لِقَوْلِهِ: إنَّ مِلْكِهِ لَمْ يَزُلْ عَنْهُ وَقَدْ قَالَ فِي بَابِ صَدَقَاتِ الْغَنَمِ، وَلَوْ ضَلَّتْ غَنَمُهُ، أَوْ غَصَبَهَا أَحْوَالًا، ثُمَّ وَجَدَهَا زَكَّاهَا لِأَحْوَالِهَا فَقَضَى مَا لَمْ يَخْتَلِفْ مِنْ قَوْلِهِ فِي هَذَا لِأَحَدِ قَوْلَيْهِ فِي أَنَّ عَلَيْهِ الزَّكَاةَ كَمَا قَطَعَ فِي ضَوَالِّ الْغَنَمِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Dia berkata): Jika seseorang mengumumkan barang temuan selama setahun, kemudian berlalu beberapa haul tanpa dizakati, lalu pemiliknya datang, maka tidak ada zakat bagi yang menemukannya karena ia tidak pernah menjadi pemiliknya sampai pemilik asli datang. Pendapat tentang hal ini seperti yang telah aku jelaskan, apakah ia wajib zakat untuk masa lalu karena itu adalah hartanya, atau gugur kewajiban zakatnya saat barang itu tetap di tangan penemu setelah setahun karena ia diizinkan memakannya. (Al-Muzani berkata): Aku cenderung pada pendapat bahwa ia wajib zakat, karena menurutnya kepemilikannya tidak hilang. Dia juga telah menyatakan dalam bab zakat kambing: “Jika kambingnya hilang atau dirampas beberapa haul, lalu ditemukan, ia harus menzakatinya untuk haul-haul tersebut.” Ini sesuai dengan salah satu dari dua pendapatnya bahwa zakat tetap wajib, sebagaimana ketetapannya dalam kasus kambing yang hilang. Dan hanya kepada Allah pertolongan.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Seandainya seseorang menyewakan rumah selama empat tahun seharga seratus dinar, maka sewa itu jatuh tempo (harus dibayar) seketika, kecuali jika disyaratkan adanya tenggat waktu. Ketika genap satu tahun, ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 25 dinar. Pada tahun kedua, 50 dinar untuk dua tahun, kecuali kadar zakat dari 25 dinar sebelumnya. Pada tahun ketiga, 75 dinar untuk tiga tahun, kecuali kadar zakat dari dua tahun pertama. Pada tahun keempat, ia mengeluarkan zakat seratus dinar untuk empat tahun, kecuali kadar zakat dari tahun-tahun yang telah berlalu. Jika pemilik rumah menerima uang sewa, lalu rumah itu runtuh, maka perjanjian sewa batal dan tidak ada kewajiban zakat kecuali atas uang yang telah diterimanya. Ini tidak mirip dengan mahar perempuan, karena mahar itu menjadi miliknya secara penuh. Jika terjadi perceraian, separuhnya gugur. Sedangkan dalam sewa, tidak ada kepemilikan atas sesuatu kecuali dengan keamanan manfaat yang dinikmati penyewa selama masa sewa yang memiliki porsi dalam pembayaran sewa.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيُّ) : “Ini adalah pendapat yang berbeda, dasarnya ada dalam kitab al-Ijarat. Karena ia menjadikan sewa itu jatuh tempo dan menjadi milik pemilik rumah jika ia menyerahkan objek yang disewakan, seperti harga barang, kecuali jika disyaratkan tenggat waktu. Pendapatnya di sini menurutku lebih mirip dengan pendapat ulama tentang kepemilikan, bukan seperti yang ia jelaskan dalam masalah zakat.”

 

(قَالَ) : “Jika mereka mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) lalu pemimpin belum membagikannya hingga genap satu tahun, maka ia telah berbuat salah jika tidak ada uzur. Tidak ada zakat pada perak atau emas darinya hingga dimiliki secara penuh selama satu haul setelah pembagian. Karena tidak ada seorang pun yang memiliki kepemilikan tertentu atasnya, dan pemimpin berhak melarang mereka membagikannya kecuali jika memungkinkan. Juga karena di dalamnya terdapat seperlima (untuk baitulmal). Jika bagian Nabi ﷺ dipisahkan untuk kepentingan kaum muslimin, maka tidak ada zakatnya karena tidak ada pemilik tertentu.”

 

بَابُ الْبَيْعِ فِي الْمَالِ الَّذِي تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ بِالْخِيَارِ وَغَيْرِهِ

Bab jual beli dalam harta yang wajib dizakati dengan khiyar dan selainnya.

 

وَبَيْعِ الْمُصَدِّقِ وَمَا قَبَضَ مِنْهُ وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ بَاعَ بَيْعًا صَحِيحًا عَلَى أَنَّهُ بِالْخِيَارِ، أَوْ الْمُشْتَرِي، أَوْ هُمَا قَبَضَ، أَوْ لَمْ يَقْبِضْ فَحَالَ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ مَلَكَ الْبَائِعُ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِيهِ الزَّكَاةُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتِمُّ بِخُرُوجِهِ مِنْ مِلْكِهِ حَتَّى حَالَ الْحَوْلُ وَلِمُشْتَرِيهِ الرَّدُّ بِالتَّغَيُّرِ الَّذِي دَخَلَ فِيهِ بِالزَّكَاةِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ قَالَ فِي بَابِ زَكَاةِ الْفِطْرِ إنَّ الْمِلْكَ يَتِمُّ بِخِيَارِهِمَا، أَوْ بِخِيَارِ الْمُشْتَرِي وَفِي الشُّفْعَةِ أَنَّ الْمِلْكَ يَتِمُّ بِخِيَارِ الْمُشْتَرِي وَحْدَهُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْأَوَّلُ إذَا كَانَا جَمِيعًا بِالْخِيَارِ عِنْدِي أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ؛ لِأَنَّ قَوْلَهُ لَمْ يَخْتَلِفْ فِي رَجُلٍ حَلَفَ بِعِتْقِ عَبْدِهِ أَنْ لَا يَبِيعَهُ فَبَاعَهُ أَنَّهُ عَتِيقٌ وَالسَّنَدُ عِنْدَهُ أَنَّ الْمُتَبَايِعَيْنِ جَمِيعًا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا تَفَرُّقَ الْأَبَدَانِ فَلَوْلَا أَنَّهُ مَلَكَهُ مَا عَتَقَ عَلَيْهِ عَبْدُهُ.

 

 

Dan penjualan orang yang membayar zakat serta apa yang telah diterimanya dan selain itu (Asy-Syafi’i berkata): Sekiranya ia melakukan penjualan yang sah dengan syarat ia memiliki hak khiyar (hak memilih), atau pembeli, atau keduanya, baik barang telah diterima atau belum, lalu haul (masa satu tahun) telah sempurna sejak hari penjual itu memiliki barang tersebut, maka wajib atasnya zakat. Karena kepemilikan tidak sempurna dengan keluarnya barang dari kepemilikannya hingga haul tiba, dan pembeli berhak mengembalikan barang jika terjadi perubahan karena zakat. (Al-Muzani berkata): Dan ia telah menyebutkan dalam bab zakat fitrah bahwa kepemilikan sempurna dengan khiyar keduanya, atau khiyar pembeli saja. Dan dalam syuf’ah (hak beli pertama), kepemilikan sempurna dengan khiyar pembeli saja. (Al-Muzani berkata): Pendapat pertama, jika keduanya memiliki khiyar, menurutku lebih sesuai dengan dasar hukum. Karena perkataannya tidak berbeda dalam kasus seseorang yang bersumpah untuk memerdekakan budaknya jika ia menjualnya, lalu ia menjualnya, maka budak itu merdeka. Dan sandaran hukum menurutnya adalah bahwa kedua pihak yang bertransaksi memiliki khiyar selama mereka belum berpisah secara fisik. Seandainya ia tidak memilikinya, niscaya budaknya tidak akan merdeka.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ مَلَكَ ثَمَرَةَ نَخْلٍ مِلْكًا صَحِيحًا قَبْلَ أَنْ تُرَى فِيهِ الصُّفْرَةُ أَوْ الْحُمْرَةُ فَالزَّكَاةُ عَلَى مَالِكِهَا الْآخَرِ يُزَكِّيهَا حِينَ تَزْهَى.

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa memiliki buah kurma dengan kepemilikan yang sah sebelum terlihat warna kuning atau merah padanya, maka zakatnya menjadi tanggungan pemiliknya yang baru, dan ia menzakatinya ketika buah itu mulai membaik.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

 

وَلَوْ اشْتَرَى الثَّمَرَةَ بَعْدَمَا يَبْدُو صَلَاحُهَا فَالْعُشْرُ فِيهَا وَالْبَيْعُ فِيهَا مَفْسُوخٌ كَمَا لَوْ بَاعَهُ عَبْدَيْنِ أَحَدُهُمَا لَهُ وَالْآخَرُ لَيْسَ لَهُ وَلَوْ اشْتَرَاهَا قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا عَلَى أَنْ يَجُدَّهَا أَخَذَ يَجُدُّهَا، فَإِنْ بَدَا صَلَاحُهَا فُسِخَ الْبَيْعُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ تُقْطَعَ فَيَمْنَعَ الزَّكَاةَ وَلَا يُجْبَرُ رَبُّ النَّخْلِ عَلَى تَرْكِهَا وَقَدْ اشْتَرَطَ قَطْعَهَا، وَلَوْ رَضِيَا التَّرْكَ فَالزَّكَاةُ عَلَى الْمُشْتَرِي، وَلَوْ رَضِيَ الْبَائِعُ التَّرْكَ وَأَبَى الْمُشْتَرِي فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنْ يُجْبَرَ عَلَى التَّرْكِ وَالثَّانِي أَنْ يُفْسَخَ؛ لِأَنَّهُمَا اشْتَرَطَا الْقَطْعَ، ثُمَّ بَطَلَ بِوُجُوبِ الزَّكَاةِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَأَشْبَهَ هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ بِقَوْلِهِ: أَنْ يُفْسَخَ الْبَيْعُ قِيَاسًا عَلَى فَسْخِ الْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا.

 

 

Jika seseorang membeli buah setelah tampak matangnya, maka zakat sepersepuluh wajib padanya dan akad jual belinya batal, seperti halnya jika ia menjual dua budak yang satu miliknya dan yang lain bukan miliknya. Jika ia membelinya sebelum tampak matang dengan syarat akan memetiknya, maka ia boleh memetiknya. Namun jika kemudian buah itu tampak matang, akad jual beli dibatalkan karena tidak boleh dipetik sehingga menghalangi zakat, dan pemilik pohon tidak bisa dipaksa untuk membiarkannya padahal ia telah mensyaratkan untuk memetiknya. Jika kedua pihak rela membiarkannya, maka zakat wajib atas pembeli. Jika penjual rela membiarkannya tetapi pembeli menolak, maka ada dua pendapat: Pertama, pembeli dipaksa untuk membiarkannya. Kedua, akad dibatalkan karena keduanya telah mensyaratkan pemetikan, lalu syarat itu batal dengan kewajiban zakat. (Al-Muzanni berkata): Kedua pendapat ini mirip dengan pendapatnya bahwa akad jual beli dibatalkan berdasarkan qiyas dari pembatalan masalah sebelumnya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ اسْتَهْلَكَ رَجُلٌ ثَمَرَةً وَقَدْ خُرِصَتْ أَخَذَ بِثَمَنِ عُشْرِ وَسَطِهَا وَالْقَوْلُ فِي ذَلِكَ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَوْ بَاعَ الْمُصَدِّقُ شَيْئًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ بِمِثْلِهِ أَوْ يَقْسِمَهُ عَلَى أَهْلِهِ لَا يَجْزِي غَيْرُهُ وَأَفْسَخُ بَيْعَهُ إذَا قَدَرْت عَلَيْهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَكْرَهُ لِلرَّجُلِ شِرَاءَ صَدَقَتِهِ إذَا وَصَلَتْ إلَى أَهْلِهَا وَلَا أَفْسَخُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang menghabiskan buah yang telah diperkirakan hasilnya (khiras), maka dia harus membayar sepersepuluh dari harga pertengahannya. Pendapat dalam hal ini adalah pendapatnya disertai sumpah. Jika petugas zakat (mushaddiq) menjual sesuatu, maka dia harus menggantinya dengan yang semisal atau membagikannya kepada ahli zakat, tidak boleh selain itu. Dan aku membatalkan penjualannya jika aku mampu.” (Imam Syafi’i berkata): “Dan aku tidak menyukai seseorang membeli zakatnya setelah sampai kepada ahlinya, namun aku tidak membatalkannya.”

 

بَابُ زَكَاةِ الْمَعْدِنِ

 

Bab Zakat Barang Tambang

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَا زَكَاةَ فِي شَيْءٍ مِمَّا يَخْرُجُ مِنْ الْمَعَادِنِ إلَّا ذَهَبًا، أَوْ وَرِقًا فَإِذَا خَرَجَ مِنْهَا ذَهَبٌ أَوْ وَرِقٌ فَكَانَ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ حَتَّى يُعَالَجَ بِالنَّارِ أَوْ الطَّحْنِ، أَوْ التَّحْصِيلِ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى يَصِيرَ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا، فَإِنْ دَفَعَ مِنْهُ شَيْئًا قَبْلَ أَنْ يَحْصُلَ ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا فَالْمُصَدِّقُ ضَامِنٌ وَالْقَوْلُ فِيهِ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ إنْ اسْتَهْلَكَهُ وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ تُرَابِ الْمَعَادِنِ بِحَالٍ لِأَنَّهُ ذَهَبٌ، أَوْ وَرِقٌ مُخْتَلِطٌ بِغَيْرِهِ

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Tidak ada zakat pada sesuatu yang keluar dari tambang kecuali emas atau perak. Jika keluar darinya emas atau perak namun belum terpisah hingga diolah dengan api, penggilingan, atau pemurnian, maka tidak ada zakat padanya hingga menjadi emas atau perak. Jika ia menyerahkan sebagiannya sebelum menjadi emas atau perak, maka petugas zakat (mushaddiq) menanggungnya, dan perkataannya (pemilik) dianggap benar dengan sumpah jika ia telah menghabiskannya. Tidak boleh menjual tanah tambang sama sekali karena ia adalah emas atau perak yang bercampur dengan lainnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَذَهَبَ بَعْضُ أَهْلِ نَاحِيَتِنَا إلَى أَنَّ فِي الْمَعَادِنِ الزَّكَاةَ، وَغَيْرُهُمْ ذَهَبَ إلَى أَنَّ الْمَعَادِنَ رِكَازٌ فَفِيهَا الْخُمُسُ

 

(Imam Syafi’i berkata): “Sebagian ulama di daerah kami berpendapat bahwa tambang wajib zakat, sedangkan lainnya berpendapat tambang adalah rikaz (harta terpendam) sehingga wajib seperlima (khumus).”

 

(قَالَ) : وَمَا قِيلَ: فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى يَبْلُغَ الذَّهَبُ مِنْهُ عِشْرِينَ مِثْقَالًا وَالْوَرِقُ مِنْهُ خَمْسَ أَوَاقٍ

 

(Dia berkata): “Pada yang dikenai zakat, tidak ada zakat hingga emas mencapai 20 mitsqal atau perak mencapai 5 uqiyah.”

 

(قَالَ) : وَيَضُمُّ مَا أَصَابَ فِي الْأَيَّامِ الْمُتَتَابِعَةِ، فَإِنْ كَانَ الْمَعْدِنُ غَيْرَ حَاقِدٍ فَقَطَعَ الْعَمَلَ فِيهِ، ثُمَّ اسْتَأْنَفَهُ لَمْ يَضُمَّ كَثُرَ الْقَطْعُ عَنْهُ لَهُ أَوْ قَلَّ وَالْقَطْعُ تَرْكُ الْعَمَلِ لِغَيْرِ عُذْرٍ أَدَّاهُ، أَوْ عِلَّةِ مَرَضٍ، أَوْ هَرَبِ عَبِيدٍ لَا وَقْتَ فِيهِ إلَّا مَا وَصَفْت، وَلَوْ تَابَعَ فَحَقَدَ وَلَمْ يَقْطَعْ الْعَمَلَ فِيهِ ضَمَّ مَا أَصَابَ مِنْهُ بِالْعَمَلِ الْآخَرِ إلَى الْأَوَّلِ

 

(Dia berkata): “Ia menggabungkan apa yang diperoleh pada hari-hari yang berurutan. Jika tambang tidak produktif lalu ia menghentikan pekerjaannya, kemudian melanjutkannya lagi, maka tidak perlu menggabungkan (hasil), baik jedanya lama atau sebentar. Penghentian adalah meninggalkan pekerjaan tanpa uzur yang dibenarkan, sakit, atau budak yang melarikan diri. Tidak ada ketentuan waktu kecuali seperti yang kusebutkan. Jika ia melanjutkan dan tambang produktif tanpa menghentikan pekerjaan, ia menggabungkan hasil dari pekerjaan berikutnya dengan yang pertama.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَاَلَّذِي أَنَا فِيهِ وَاقِفُ الزَّكَاةِ فِي الْمَعْدِنِ وَالتِّبْرِ الْمَخْلُوقِ فِي الْأَرْضِ

 

(Al-Muzani berkata): “Dia (Imam Syafi’i) berkata di tempat lain: ‘Pendapat yang aku pegang adalah adanya zakat pada tambang dan debu emas yang tercipta di bumi.'”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : إذَا لَمْ يَثْبُتْ لَهُ أَصْلٌ فَأَوْلَى بِهِ أَنْ يَجْعَلَهُ فَائِدَةً يُزَكَّى لِحَوْلِهِ وَقَدْ أَخْبَرَنِي عَنْهُ بِذَلِكَ مَنْ أَثِقُ بِقَوْلِهِ وَهُوَ الْقِيَاسُ عِنْدِي وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ

 

(Al-Muzani berkata): “Jika tidak ada asal (kepemilikan sebelumnya), maka lebih tepat dianggap sebagai faidah (keuntungan) yang dizakati setelah haul. Aku telah mendengar hal itu dari orang yang kupercaya perkataannya, dan itu adalah qiyas menurutku. Wallahu taufiq.”

 

بَابُ مَا يَقُولُ الْمُصَدِّقُ إذَا أَخَذَ الصَّدَقَةَ لِمَنْ يَأْخُذُهَا مِنْهُ

 

Bab tentang apa yang dikatakan oleh pemungut zakat ketika mengambil zakat dari orang yang memberikannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – {خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُم} التوبة: 103 (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالصَّلَاةُ عَلَيهِمْ الدُّعَاءُ لَهُم عِندَ أَخْذِ الصَّدَقَةِ مِنهُم فَحَقٌّ عَلَى الْوَالِي إذَا أَخَذَ صَدَقَةَ امْرِئٍ أَن يَدْعُوَ لَهُ وَأُحِبُّ أَن يَقُولَ آجَرَكَ اللَّهُ فِيمَا أَعْطَيت وَجَعَلَهُ طَهُورًا لَك وَبَارَكَ لَك فِيمَا أَبْقَيت.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Ambillah zakat dari harta mereka untuk membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103). (Imam Syafi’i berkata): “Doa untuk mereka adalah memohonkan kebaikan bagi mereka saat mengambil zakat dari mereka. Maka wajib bagi penguasa, ketika mengambil zakat seseorang, untuk mendoakannya. Dan aku suka jika ia mengucapkan: ‘Semoga Allah memberimu pahala atas apa yang kau berikan, menjadikannya penyuci bagimu, dan memberkahimu dalam apa yang kau sisakan.'”

 

بَابُ مَنْ تَلْزَمُهُ زَكَاةُ الْفِطْرِ

Bab tentang orang yang wajib membayar zakat fitrah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ ذَكَرٍ وَأُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ»

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mewajibkan zakat fitri di bulan Ramadhan kepada manusia berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki maupun perempuan dari kalangan muslimin.”

 

وَرُوِيَ عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ حَدِيثٍ آخَرَ قَالَ «مِمَّنْ تَمُونُونَ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَلَمْ يَفْرِضْهَا إلَّا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَالْعَبِيدُ لَا مَالَ لَهُمْ وَإِنَّمَا فَرْضُهُمْ عَلَى سَيِّدِهِمْ فَهُمْ وَالْمَرْأَةُ مِمَّنْ يُمَوَّنُونَ فَكُلُّ مَنْ لَزِمَتْهُ مُؤْنَةُ أَحَدٍ حَتَّى لَا يَكُونَ لَهُ تَرْكُهَا أَدَّى زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَذَلِكَ مَنْ أَجْبَرْنَاهُ عَلَى نَفَقَتِهِ مِنْ وَلَدِهِ الصِّغَارِ وَالْكِبَارِ الزَّمْنَى الْفُقَرَاءِ وَآبَائِهِ وَأُمَّهَاتِهِ الزَّمْنَى الْفُقَرَاءِ وَزَوْجَتِهِ وَخَادِمٍ لَهَا وَيُؤَدِّي عَنْ عَبِيدِهِ الْحُضُورِ وَالْغُيَّبِ وَإِنْ لَمْ يَرْجُ رَجْعَتَهُمْ إذَا عَلِمَ حَيَاتَهُمْ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ: وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ حَيَاتَهُمْ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِابْنِ عُمَرَ بِأَنَّهُ كَانَ يُؤَدِّي عَنْ غِلْمَانِهِ بِوَادِي الْقُرَى.

 

 

Dan diriwayatkan darinya – shallallahu ‘alaihi wasallam – dari hadis lain, beliau bersabda: “Dari orang yang kalian nafkahi.” (Asy-Syafi’i berkata): “Zakat fitrah hanya diwajibkan atas kaum muslimin. Budak tidak memiliki harta, kewajiban mereka ada pada tuannya. Mereka dan wanita termasuk orang yang dinafkahi. Siapa pun yang wajib menafkahi seseorang hingga tidak boleh meninggalkannya, maka dia wajib membayar zakat fitrah untuknya. Yaitu orang yang kita wajibkan untuk menafkahi anak-anaknya yang kecil, dewasa yang miskin dan cacat, orang tua yang miskin dan cacat, istrinya, serta pelayannya. Dia juga wajib membayar zakat untuk budaknya yang hadir maupun tidak, meski tidak mengharapkan kembalinya mereka jika mengetahui mereka masih hidup.” Dalam bagian lain kitab ini disebutkan: “Meski tidak mengetahui apakah mereka masih hidup.” Beliau berargumen dalam hal ini dengan perbuatan Ibnu Umar yang membayar zakat untuk budak-budaknya di Wadi Qura.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا مِنْ قَوْلِهِ أَوْلَى (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُزَكِّي عَمَّنْ كَانَ مَرْهُونًا أَوْ مَغْصُوبًا عَلَى كُلِّ حَالٍ، وَرَقِيقُ رَقِيقِهِ وَرَقِيقُ الْخِدْمَةِ وَالتِّجَارَةِ سَوَاءٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Ini lebih utama dari perkataannya.” (Asy-Syafi’i berkata): “Dan dia menzakati orang yang tergadai atau dirampas dalam segala keadaan, budaknya, budak pelayan, dan budak dagang adalah sama.”

 

وَإِنْ كَانَ فِيمَنْ يُمَوِّنُ كَافِرًا لَمْ يُزَكِّ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَطْهُرُ بِالزَّكَاةِ إلَّا مُسْلِمٌ قَالَ مُحَمَّدٌ وَابْنُ عَاصِمٍ: قَالَ سَمِعْت: الْمَغْصُوبُ الَّذِي لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ وَإِنْ كَانَ وَلَدُهُ فِي وِلَايَتِهِ لَهُمْ أَمْوَالٌ زَكَّى مِنْهَا عَنْهُمْ إلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ فَيَجْزِي عَنْهُمْ فَإِنْ تَطَوَّعَ حُرٌّ مِمَّنْ يُمَوِّنُ فَأَخْرَجَهَا عَنْ نَفْسِهِ أَجْزَأَهُ، وَإِنَّمَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُزَكِّيَ عَمَّنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ مِنْ نَهَارِ آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَغَابَتْ الشَّمْسُ لَيْلَةَ شَوَّالٍ فَيُزَكِّي عَنْهُ وَإِنْ مَاتَ مِنْ لَيْلَتِهِ وَإِنْ وُلِدَ لَهُ بَعْدَمَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَلَدٌ، أَوْ مَلَكَ عَبْدًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِي عَامِهِ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ عَبْدٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ آخَرَ فَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِقَدْرِ مَا يَمْلِكُ مِنْهُ وَلَوْ كَانَ يَمْلِكُ نِصْفَهُ وَنِصْفُهُ حُرٌّ فَعَلَيْهِ فِي نِصْفِهِ نِصْفُ زَكَاتِهِ، فَإِنْ كَانَ لِلْعَبْدِ مَا يَقُوتُهُ لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَيَوْمِهِ أَدَّى النِّصْفَ عَنْ نِصْفِهِ الْحُرِّ؛ لِأَنَّهُ مَالِكٌ لِمَا اكْتَسَبَ فِي يَوْمِهِ.

 

 

Dan jika di antara orang yang diberi nafkah ada seorang kafir, maka tidak dizakati untuknya, karena zakat hanya membersihkan seorang muslim. Muhammad dan Ibnu ‘Ashim berkata: Aku mendengar bahwa harta yang dirampas yang tidak ada manfaatnya, meskipun anaknya berada dalam perwaliannya, mereka memiliki harta, maka dizakati dari harta itu untuk mereka kecuali jika ia bersedekah sunnah, maka itu mencukupi untuk mereka. Jika seorang merdeka dari orang yang diberi nafkah bersedekah sunnah dan mengeluarkannya untuk dirinya sendiri, maka itu mencukupi baginya. Kewajibannya hanyalah menzakati orang yang berada dalam tanggungannya pada siang hari terakhir bulan Ramadhan saat matahari terbenam di malam Syawal, maka ia menzakati untuknya meskipun ia meninggal pada malam itu. Jika ia memiliki anak setelah matahari terbenam, atau memiliki budak, maka tidak ada zakat baginya pada tahun itu. Jika seorang budak dimiliki bersama antara dia dan orang lain, maka masing-masing menzakati sesuai bagian yang dimilikinya. Sekalipun ia memiliki separuhnya dan separuhnya merdeka, maka ia wajib menzakati separuh bagiannya. Jika budak memiliki cukup untuk nafkahnya pada malam dan hari Idul Fitri, maka ia menunaikan separuh zakat untuk separuh bagian yang merdeka, karena ia pemilik dari apa yang ia peroleh pada harinya.

 

 

وَإِنْ بَاعَ عَبْدًا عَلَى أَنَّ لَهُ الْخِيَارَ فَأَهَلَّ شَوَّالٌ وَلَمْ يَخْتَرْ إنْفَاذَ الْبَيْعِ، ثُمَّ أَنْفَذَهُ فَزَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى الْبَائِعِ وَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ لِلْمُشْتَرِي فَالزَّكَاةُ عَلَى الْمُشْتَرِي وَالْمِلْكُ لَهُ وَهُوَ كَمُخْتَارِ الرَّدِّ بِالْعَيْبِ وَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ لَهُمَا جَمِيعًا فَزَكَاةُ الْفِطْرِ عَلَى الْمُشْتَرِي (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا غَلَطٌ فِي أَصْلِ قَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ فِي رَجُلٍ لَوْ قَالَ عَبْدِي حُرٌّ إنْ بِعْته فَبَاعَهُ أَنَّهُ يَعْتِقُ؛ لِأَنَّ الْمِلْكَ لَمْ يَتِمَّ لِلْمُشْتَرِي؛ لِأَنَّهُمَا جَمِيعًا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا تَفَرُّقَ الْأَبَدَانِ فَهُمَا فِي خِيَارِ التَّفَرُّقِ كَهُوَ فِي خِيَارِ الشَّرْطِ بِوَقْتٍ لَا فَرْقَ فِي الْقِيَاسِ بَيْنَهُمَا.

 

 

Dan jika seseorang menjual budak dengan syarat ia memiliki hak khiyar (hak memilih), lalu bulan Syawal tiba dan ia belum memilih untuk melanjutkan penjualan, kemudian ia memutuskan untuk melanjutkannya, maka zakat fitrah menjadi tanggungan penjual. Jika hak khiyar ada pada pembeli, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pembeli dan kepemilikan budak berpindah kepadanya, seperti halnya khiyar dalam pengembalian barang karena cacat. Jika hak khiyar dimiliki oleh kedua belah pihak, maka zakat fitrah menjadi tanggungan pembeli. (Al-Muzani berkata): Ini adalah kesalahan dalam dasar pendapatnya, karena ia berpendapat bahwa jika seseorang mengatakan, “Budakku merdeka jika aku menjualnya,” lalu ia menjualnya, maka budak itu merdeka, karena kepemilikan tidak sempurna bagi pembeli, sebab keduanya masih memiliki hak khiyar selama belum berpisah secara fisik. Keduanya dalam khiyar perpisahan sama seperti khiyar syarat dalam waktu tertentu, tidak ada perbedaan dalam qiyas antara keduanya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ مَاتَ حِينَ أَهَلَّ شَوَّالٌ وَلَهُ رَقِيقٌ فَزَكَاةُ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ فِي مَالِهِ مُبْدَأَةٌ عَلَى الدَّيْنِ وَغَيْرِهِ مِنْ مِيرَاثٍ وَوَصَايَا، وَلَوْ وَرِثُوا رَقِيقًا، ثُمَّ أَهَلَّ شَوَّالٌ فَعَلَيْهِمْ زَكَاتُهُمْ بِقَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ، وَلَوْ مَاتَ قَبْلَ شَوَّالٍ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ زَكَّى عَنْهُمْ الْوَرَثَةُ؛ لِأَنَّهُمْ فِي مِلْكِهِمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang meninggal saat bulan Syawal tiba dan ia memiliki budak, maka zakat fitrah untuk dirinya dan budaknya diambil dari hartanya dengan didahulukan atas utang dan lainnya seperti warisan serta wasiat. Jika mereka mewarisi budak, kemudian bulan Syawal tiba, maka mereka wajib membayar zakat fitrah budak tersebut sesuai porsi warisan mereka. Jika ia meninggal sebelum Syawal dan memiliki utang, maka para ahli waris membayarkan zakat fitrah untuk budak tersebut karena budak itu termasuk dalam kepemilikan mereka.”

 

 

وَلَوْ أَوْصَى لِرَجُلٍ بِعَبْدٍ يَخْرُجُ مِنْ الثُّلُثِ فَمَاتَ، ثُمَّ أَهَلَّ شَوَّالٌ أَوْقَفْنَا زَكَاتَهُ فَإِنْ قِيلَ: فَهِيَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ خَرَجَ إلَى مِلْكِهِ وَإِنْ رَدَّ فَهِيَ عَلَى الْوَارِثِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ مِنْ مِلْكِهِ، وَلَوْ مَاتَ الْمُوصَى لَهُ فَوَرَثَتُهُ يَقُومُونَ مَقَامَهُ، فَإِنْ قَبِلُوا فَزَكَاةُ الْفِطْرِ فِي مَالِ أَبِيهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ بِمِلْكِهِ مَلَكُوهُ.

 

 

Dan jika seseorang mewasiatkan seorang hamba kepada seseorang yang keluar dari sepertiga (harta), lalu dia meninggal, kemudian bulan Syawal tiba, kami menahan zakatnya. Jika dikatakan: zakat itu menjadi tanggungannya karena hamba itu telah berpindah ke kepemilikannya. Namun jika wasiat itu ditolak, maka zakat menjadi tanggungan ahli waris karena hamba itu tidak keluar dari kepemilikannya. Jika orang yang diberi wasiat meninggal dan ahli warisnya menggantikan posisinya, lalu mereka menerima wasiat tersebut, maka zakat fitrah dibayarkan dari harta ayah mereka karena mereka memilikinya melalui kepemilikan ayah mereka.

 

 

وَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِ شَوَّالٌ وَعِنْدَهُ قُوتُهُ وَقُوتُ مَنْ يَقُوتُ لِيَوْمِهِ وَمَا يُؤَدِّي بِهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْهُ وَعَنْهُمْ أَدَّاهَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ بَعْدَ الْقُوتِ لِيَوْمِهِ إلَّا مَا يُؤَدِّي عَنْ بَعْضِهِمْ أَدَّى عَنْ بَعْضِهِمْ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ إلَّا قُوتُ يَوْمِهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ أَحَدٌ مِمَّنْ يَقُوتُ وَاجِدًا لِزَكَاةِ الْفِطْرِ لَمْ أُرَخِّصْ لَهُ فِي تَرْكِ أَدَائِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَلَا يَبِينُ لِي أَنْ تَجِبَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهَا مَفْرُوضَةٌ عَلَى غَيْرِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَهَا بَعْد أَدَائِهَا إذَا كَانَ مُحْتَاجًا وَغَيْرُهَا مِنْ الصَّدَقَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ وَالتَّطَوُّعِ.

 

 

Barangsiapa yang memasuki bulan Syawal dan memiliki cukup makanan untuk dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya pada hari itu, serta memiliki kelebihan untuk membayar zakat fitrah untuk dirinya dan mereka, maka hendaknya dia membayarnya. Jika setelah kebutuhan sehari-harinya dia hanya memiliki kelebihan untuk membayar zakat sebagian dari mereka, maka dia membayar untuk sebagian mereka. Jika dia hanya memiliki cukup untuk kebutuhan sehari-harinya, maka tidak ada kewajiban baginya. Jika ada di antara orang yang menjadi tanggungannya yang memiliki kelebihan untuk zakat fitrah, aku tidak memberikan keringanan baginya untuk meninggalkan pembayaran zakat untuk dirinya sendiri, tetapi menurutku tidak wajib baginya karena zakat fitrah diwajibkan pada orang lain. Tidak mengapa jika dia menerimanya setelah membayar zakat jika dia membutuhkan, begitu juga dengan sedekah wajib dan sunnah lainnya.

 

 

وَإِنْ زَوَّجَ أَمَتَهُ عَبْدًا، أَوْ مُكَاتَبًا فَعَلَيْهِ أَنْ يُؤَدِّيَ عَنْهَا، فَإِنْ زَوَّجَهَا حُرًّا فَعَلَى الْحُرِّ الزَّكَاةُ عَنْ امْرَأَتِهِ، فَإِنْ كَانَ مُحْتَاجًا فَعَلَى سَيِّدِهَا فَإِنْ لَمْ يُدْخِلْهَا عَلَيْهِ، أَوْ مَنَعَهَا مِنْهُ فَعَلَى السَّيِّدِ.

 

 

Dan jika seseorang menikahkan budak perempuannya dengan seorang budak laki-laki atau mukatab, maka dia wajib membayar zakat untuknya. Jika dia menikahkannya dengan seorang merdeka, maka zakatnya menjadi tanggungan suaminya yang merdeka. Jika suaminya tidak mampu, maka menjadi kewajiban tuannya. Jika tuannya tidak menyerahkan budak itu kepada suaminya atau menghalanginya, maka zakatnya tetap menjadi tanggungan tuannya.

 

بَابُ مَكِيلَةِ زَكَاةِ الْفِطْرِ

 

Bab tentang takaran zakat fitrah

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ»

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mewajibkan zakat fitri di bulan Ramadan atas manusia sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبَيَّنَ فِي سُنَّتِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ الْبَقْلِ مِمَّا يَقْتَاتُ الرَّجُلُ وَمَا فِيهِ الزَّكَاةُ

(Imam Syafi’i berkata): Dan beliau menjelaskan dalam sunnahnya -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa zakat fitri dari sayuran termasuk apa yang dimakan manusia dan apa yang padanya ada zakat.

 

(قَالَ) : وَأَيُّ قُوتٍ كَانَ الْأَغْلَبُ عَلَى الرَّجُلِ أَدَّى مِنْهُ زَكَاةَ الْفِطْرِ كَانَ حِنْطَةً، أَوْ ذُرَةً أَوْ عَلَسًا، أَوْ شَعِيرًا، أَوْ تَمْرًا، أَوْ زَبِيبًا وَمَا أَدَّى مِنْ هَذَا أَدَّى صَاعًا بِصَاعِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَا تُقَوَّمُ الزَّكَاةُ وَلَوْ قُوِّمَتْ كَانَ لَوْ أَدَّى ثَمَنَ صَاعِ زَبِيبٍ ضُرُوعٍ أَدَّى ثَمَنَ آصُعَ حِنْطَةً

(Beliau berkata): Dan makanan pokok apa pun yang paling dominan bagi seseorang, maka dia menunaikan zakat fitri darinya, baik itu gandum, jagung, alas (sejenis gandum), sya’ir, kurma, atau kismis. Apa pun yang ditunaikan dari ini, maka ditunaikan satu sha’ sesuai sha’ Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Zakat tidak dinilai dengan uang, sekiranya dinilai, maka jika seseorang menunaikan harga satu sha’ kismis yang buruk, berarti dia telah menunaikan harga beberapa sha’ gandum.

 

(قَالَ) : وَلَا يُؤَدِّي إلَّا الْحَبَّ نَفْسَهُ لَا يُؤَدِّي دَقِيقًا وَلَا سَوِيقًا وَلَا قِيمَةً وَأَحَبُّ إلَيَّ لِأَهْلِ الْبَادِيَةِ أَنْ لَا يُؤَدُّوا أَقِطًا؛ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ لَهُمْ قُوتًا فَالْفَثُّ قُوتٌ وَقَدْ يُقْتَاتُ الْحَنْظَلُ وَاَلَّذِي لَا أَشُكُّ فِيهِ أَنَّهُمْ يُؤَدُّونَ مِنْ قُوتِ أَقْرَبِ الْبُلْدَانِ بِهِمْ إلَّا أَنْ يَقْتَاتُوا ثَمَرَةً لَا زَكَاةَ فِيهَا فَيُؤَدُّونَ مِنْ ثَمَرَةٍ فِيهَا زَكَاةٌ، وَلَوْ أَدَّوْا أَقِطًا لَمْ أَرَ عَلَيْهِمْ إعَادَةً

(Beliau berkata): Dan tidak boleh menunaikan kecuali biji-bijian itu sendiri, tidak boleh menunaikan tepung, tidak juga sawiq (tepung yang sudah dimasak), dan tidak dengan nilai (uang). Dan lebih aku sukai bagi penduduk pedalaman untuk tidak menunaikan aqith (keju kering), karena meskipun itu makanan pokok mereka, tetapi al-fats (sejenis tumbuhan) juga makanan pokok, dan terkadang hanlal (sejenis tumbuhan pahit) dimakan. Dan yang tidak aku ragukan adalah bahwa mereka menunaikan dari makanan pokok negeri terdekat dengan mereka, kecuali jika mereka memakan buah yang tidak ada zakat padanya, maka mereka menunaikan dari buah yang ada zakatnya. Dan jika mereka menunaikan aqith, aku tidak memandang mereka harus mengulanginya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قِيَاسُ مَا مَضَى أَنْ يَرَى عَلَيْهِمْ إعَادَةً؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْهَا فِيمَا يُقْتَاتُ إذَا لَمْ يَكُنْ ثَمَرَةً فِيهَا زَكَاةٌ، أَوْ يُجِيزُ الْقُوتَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ زَكَاةٌ.

(Al-Muzani berkata): Qiyas dari yang telah lalu adalah bahwa beliau memandang mereka harus mengulanginya, karena beliau tidak menjadikan zakat pada apa yang dimakan jika bukan buah yang ada zakat padanya, atau membolehkan makanan pokok meskipun tidak ada zakat padanya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُخْرِجَ الرَّجُلُ نِصْفَ صَاعٍ حِنْطَةً وَنِصْفَ صَاعٍ شَعِيرًا إلَّا مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ وَإِنْ كَانَ قُوتُهُ حِنْطَةٌ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ شَعِيرًا وَلَا يُخْرِجُهُ مِنْ مُسَوَّسٍ وَلَا مَعِيبٍ، فَإِنْ كَانَ قَدِيمًا لَمْ تَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَلَا لَوْنُهُ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ قُوتُهُ حُبُوبًا مُخْتَلِفَةً فَاخْتَارَ لَهُ خَيْرَهَا وَمِنْ أَيْنَ أَخْرَجَهُ أَجْزَأَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Tidak boleh seseorang mengeluarkan setengah sha’ gandum dan setengah sha’ jelai kecuali dari satu jenis. Jika makanannya adalah gandum, maka tidak boleh baginya mengeluarkan jelai, dan tidak boleh mengeluarkannya dari yang rusak atau cacat. Jika makanan itu lama tetapi rasa dan warnanya tidak berubah, maka itu cukup. Jika makanannya terdiri dari berbagai jenis biji-bijian, maka hendaknya memilih yang terbaik darinya, dan dari mana pun ia mengeluarkannya, itu cukup.”

 

 

وَيُقَسِّمُهَا عَلَى مَنْ تُقَسَّمُ عَلَيْهِ زَكَاةُ الْمَالِ وَأَحَبُّ إلَيَّ ذَوُو رَحِمِهِ إنْ كَانَ لَا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُمْ بِحَالٍ.

 

 

Dan dia membagikannya kepada orang-orang yang berhak menerima zakat harta. Dan lebih aku sukai adalah kerabatnya jika dia tidak wajib menafkahi mereka dalam keadaan apa pun.

 

وَإِنْ طَرَحَهَا عِنْدَ مَنْ تُجْمَعُ عِنْدَهُ أَجْزَأَهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى.

 

Dan jika ia meletakkannya di tempat yang dikumpulkan padanya, maka itu sudah mencukupi, insya Allah Ta’ala.

 

سَأَلَ رَجُلٌ سَالِمًا فَقَالَ أَلَمْ يَكُنْ ابْنُ عُمَرَ يَدْفَعُهَا إلَى السُّلْطَانِ؟ فَقَالَ: بَلَى، وَلَكِنْ أَرَى أَنْ لَا يَدْفَعَهَا إلَيْهِ.

 

 

Seorang laki-laki bertanya kepada Salim, “Bukankah Ibnu Umar biasa menyerahkannya kepada penguasa?” Dia menjawab, “Benar, tapi aku berpendapat untuk tidak menyerahkannya kepadanya.”

 

بَابُ الِاخْتِيَارِ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ

 

Bab tentang kebebasan memilih dalam sedekah sunnah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقُولُ «خَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَلْيَبْدَأْ أَحَدُكُمْ بِمَنْ يَعُولُ» (قَالَ) : فَهَكَذَا أُحِبُّ أَنْ يَبْدَأَ بِنَفْسِهِ، ثُمَّ بِمَنْ يَعُولُ؛ لِأَنَّ نَفَقَةَ مَنْ يَعُولُ فَرْضٌ وَالْفَرْضُ أَوْلَى بِهِ مِنْ النَّفْلِ، ثُمَّ قَرَابَتَهُ، ثُمَّ مَنْ شَاءَ وَرُوِيَ «أَنَّ امْرَأَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ كَانَتْ صَنَاعًا وَلَيْسَ لَهُ مَالٌ فَقَالَتْ لَقَدْ شَغَلْتنِي أَنْتَ وَوَلَدُك عَنْ الصَّدَقَةِ فَسَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ لَك فِي ذَلِكَ أَجْرَانِ فَأَنْفِقِي عَلَيْهِمْ» ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. .

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Telah mengabarkan kepada kami Anas bin Iyadh dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa ia mendengar Rasulullah – shallallahu alaihi wasallam – bersabda, “Sedekah yang paling baik adalah dari kelebihan harta, dan hendaknya salah seorang dari kalian memulai dengan orang yang menjadi tanggungannya.” (Imam Syafi’i) berkata: “Demikianlah aku suka jika seseorang memulai dengan dirinya sendiri, kemudian dengan orang yang menjadi tanggungannya, karena nafkah untuk orang yang ditanggung adalah kewajiban, dan kewajiban lebih utama daripada sunnah. Kemudian kerabatnya, lalu siapa saja yang ia kehendaki.” Dan diriwayatkan bahwa istri Ibnu Mas’ud adalah seorang yang bekerja dengan tangannya, sementara ia tidak memiliki harta. Ia berkata, “Engkau dan anakmu telah menyibukkanku dari bersedekah.” Lalu ia bertanya kepada Rasulullah – shallallahu alaihi wasallam – tentang hal itu. Beliau bersabda, “Bagimu dalam hal itu dua pahala. Berinfaklah kepada mereka.” Wallahu a’lam.

 

كِتَابُ الصِّيَامِ بَابُ النِّيَّةِ فِي الصَّوْمِ

 

 

Bab Niat dalam Puasa

 

بَابُ النِّيَّةِ فِي الصَّوْمِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ صِيَامُ فَرْضٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَلَا نَذْرٍ وَلَا كَفَّارَةٍ إلَّا أَنْ يَنْوِيَ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَأَمَّا فِي التَّطَوُّعِ فَلَا بَأْسَ إنْ أَصْبَحَ وَلَمْ يَطْعَمْ شَيْئًا أَنْ يَنْوِيَ الصَّوْمَ قَبْلَ الزَّوَالِ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِأَنَّ «رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَزْوَاجِهِ فَيَقُولُ هَلْ مِنْ غَدَاءٍ؟ ، فَإِنْ قَالُوا: لَا قَالَ: إنِّي صَائِمٌ» .

 

 

Bab Niat dalam Puasa (Berkata Asy-Syafi’i): Tidak diperbolehkan bagi seseorang berpuasa wajib dari bulan Ramadhan, nazar, atau kafarat kecuali ia berniat puasa sebelum fajar. Adapun dalam puasa sunnah, tidak mengapa jika ia bangun pagi dan belum makan sesuatu, lalu berniat puasa sebelum zawal (tengah hari). Ia berargumen dalam hal ini dengan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Beliau biasa masuk menemui istri-istrinya lalu bertanya: ‘Apakah ada makanan?’ Jika mereka menjawab tidak, beliau berkata: ‘Sesungguhnya aku berpuasa.'”

 

 

وَلَا يَجِبُ عَلَيْهِ صَوْمُ شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّ الْهِلَالَ قَدْ كَانَ، أَوْ يَسْتَكْمِلَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ فَيَعْلَمَ أَنَّ الْحَادِيَ وَالثَّلَاثِينَ مِنْ رَمَضَانَ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا» وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَتَقَدَّمُ الصِّيَامَ بِيَوْمٍ وَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ أَنَّ الْهِلَالَ رُئِيَ قَبْلَ الزَّوَالِ، أَوْ بَعْدَهُ فَهُوَ لِلَّيْلَةِ الْمُسْتَقْبَلَةِ وَوَجَبَ الصِّيَامُ، وَلَوْ شَهِدَ عَلَى رُؤْيَتِهِ عَدْلٌ وَاحِدٌ رَأَيْت أَنْ أَقْبَلَهُ لِلْأَثَرِ فِيهِ وَالِاحْتِيَاطِ وَرَوَاهُ عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَقَالَ عَلِيٌّ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – أَصُومُ يَوْمًا مِنْ شَعْبَانَ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أُفْطِرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ.

 

 

Dan tidak wajib baginya berpuasa bulan Ramadhan hingga dia yakin bahwa hilal telah terlihat, atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari sehingga dia tahu bahwa hari ketiga puluh satu adalah Ramadhan, berdasarkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Jika terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari.” Ibnu Umar pernah memulai puasa sehari sebelumnya. Jika dua saksi bersaksi bahwa hilal terlihat sebelum atau setelah tergelincir matahari, maka itu untuk malam berikutnya dan puasa menjadi wajib. Sekalipun hanya satu saksi yang adil bersaksi tentang melihat hilal, aku berpendapat untuk menerimanya berdasarkan atsar dan kehati-hatian. Hal ini diriwayatkan dari Ali -radhiyallahu ‘anhu-. Ali -‘alaihis salam- berkata: “Berpuasa sehari di bulan Sya’ban lebih aku sukai daripada berbuka sehari di bulan Ramadhan.”

 

(قَالَ) : وَالْقِيَاسُ أَنْ لَا يُقْبَلَ عَلَى مَغِيبٍ إلَّا شَاهِدَانِ.

 

 

Beliau berkata: “Menurut qiyas, kesaksian terhadap orang yang tidak hadir tidak diterima kecuali oleh dua saksi.”

 

 

(قَالَ) :: وَعَلَيْهِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ نِيَّةُ الصِّيَامِ لِلْغَدِ وَمَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ، أَوْ احْتِلَامٍ اغْتَسَلَ وَأَتَمَّ صَوْمَهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ، ثُمَّ يَصُومُ (قَالَ) : وَإِنْ كَانَ يَرَى الْفَجْرَ لَمْ يَجِبْ وَقَدْ وَجَبَ، أَوْ يَرَى أَنَّ اللَّيْلَ قَدْ وَجَبَ وَلَمْ يَجِبْ أَعَادَ.

 

 

(Dia berkata) : “Wajib baginya setiap malam berniat puasa untuk esok hari. Barangsiapa memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena berhubungan atau mimpi basah, ia mandi dan menyempurnakan puasanya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena berhubungan, kemudian beliau berpuasa.” (Dia berkata) : “Jika seseorang mengira fajar belum tiba padahal sudah, atau mengira malam sudah tiba padahal belum, maka ia harus mengulang.”

 

 

وَإِنْ طَلَعَ الْفَجْرُ وَفِي فِيهِ طَعَامٌ لَفَظَهُ فَإِنْ ازْدَرَدَهُ أَفْسَدَ صَوْمَهُ وَإِنْ كَانَ مُجَامِعًا أَخْرَجَهُ مَكَانَهُ، فَإِنْ مَكَثَ شَيْئًا، أَوْ تَحَرَّكَ لِغَيْرِ إخْرَاجِهِ أَفْسَدَ وَقَضَى كَفَّارَةً.

 

 

Jika fajar terbit dan di mulutnya masih ada makanan, lalu ia memuntahkannya, maka jika ia menelannya kembali, puasanya batal. Jika sedang berjima’, ia harus mengeluarkannya seketika. Jika tertinggal sebentar atau bergerak bukan untuk mengeluarkannya, puasanya batal dan wajib membayar kafarat.

 

 

وَإِنْ كَانَ بَيْنَ أَسْنَانِهِ مَا يَجْرِي بِهِ الرِّيقُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَإِنْ تَقَيَّأَ عَامِدًا أَفْطَرَ وَإِنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ لَمْ يُفْطِرْ وَاحْتَجَّ فِي الْقَيْءِ بِابْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ رَوَيْنَاهُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (قَالَ الْمُزَنِيّ) : أَقْرَبُ مَا يَحْضُرُنِي لِلشَّافِعِيِّ فِيمَا يَجْرِي بِهِ الرِّيقُ أَنَّهُ لَا يُفْطِرُ مَا غَلَبَ النَّاسَ مِنْ الْغُبَارِ فِي الطَّرِيقِ وَغَرْبَلَةِ الدَّقِيقِ وَهَدْمِ الرَّجُلِ الدَّارَ وَمَا يَتَطَايَرُ مِنْ ذَلِكَ فِي الْعُيُونِ وَالْأُنُوفِ وَالْأَفْوَاهِ وَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ يَصِلُ إلَى الْحَلْقِ حِينَ يَفْتَحُهُ فَيَدْخُلُ فِيهِ فَيُشْبِهُ مَا قَالَ الشَّافِعِيُّ مِنْ قِلَّةِ مَا يَجْرِي بِهِ الرِّيقُ.

 

 

Dan jika di antara giginya terdapat sesuatu yang mengalir bersama ludah, maka tidak ada qadha baginya. Jika ia sengaja muntah, maka batal puasanya. Namun jika muntah tidak disengaja, tidak membatalkan puasa. Al-Muzani berhujah tentang muntah dengan riwayat dari Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma-. (Al-Muzani berkata): Kami telah meriwayatkannya dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. (Al-Muzani berkata): Pendapat terdekat yang aku ingat dari Asy-Syafi’i tentang sesuatu yang mengalir bersama ludah adalah bahwa tidak membatalkan puasa hal-hal yang biasa dialami orang seperti debu di jalanan, ayakan tepung, atau seseorang merobohkan rumah, serta partikel yang beterbangan masuk ke mata, hidung, dan mulut. Termasuk jika sesuatu mencapai kerongkongan saat terbuka lalu masuk ke dalamnya, maka itu menyerupai pendapat Asy-Syafi’i tentang sedikitnya sesuatu yang mengalir bersama ludah.

 

 

(قَالَ) : وَحَدَّثَنِي إبْرَاهِيمُ قَالَ سَمِعْت الرُّبَيِّعَ أَخْبَرَ عَنْ الشَّافِعِيِّ قَالَ الَّذِي أُحِبُّ أَنْ يُفْطِرَ يَوْمَ الشَّكِّ أَنْ لَا يَكُونَ صَوْمًا كَانَ يَصُومُهُ وَيَحْتَمِلُ مَذْهَبُ ابْنِ عُمَرَ أَنْ يَكُونَ مُتَطَوِّعًا قَبْلَهُ وَيَحْتَمِلُ خِلَافَهُ (قَالَ) : وَإِنْ أَصْبَحَ لَا يَرَى أَنَّ يَوْمَهُ مِنْ رَمَضَانَ وَلَمْ يَطْعَمْ، ثُمَّ اسْتَبَانَ ذَلِكَ لَهُ فَعَلَيْهِ صِيَامُهُ وَإِعَادَتُهُ.

 

 

Dia (Ibrahim) berkata: Telah menceritakan kepadaku Ibrahim, Beliau berkata: Aku mendengar Ar-Rabi’ mengabarkan dari Asy-Syafi’i, Beliau berkata: “Yang aku sukai adalah berbuka pada hari yang diragukan (syak), agar tidak menjadi puasa yang biasa dia lakukan. Pendapat Ibnu Umar memungkinkan untuk melakukan puasa sunnah sebelumnya, dan juga memungkinkan pendapat yang berbeda.” Dia (Ibrahim) berkata: “Jika seseorang memasuki pagi hari tanpa meyakini bahwa hari itu adalah Ramadhan dan tidak makan, kemudian ternyata jelas baginya bahwa itu adalah Ramadhan, maka dia wajib berpuasa dan mengulanginya.”

 

 

وَلَوْ نَوَى أَنْ يَصُومَ غَدًا، فَإِنْ كَانَ أَوَّلَ الشَّهْرِ فَهُوَ فَرْضٌ وَإِلَّا فَهُوَ تَطَوُّعٌ، فَإِنْ بَانَ لَهُ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ لَمْ يُجْزِئْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَصُمْهُ عَلَى أَنَّهُ فَرْضٌ وَإِنَّمَا صَامَهُ عَلَى الشَّكِّ.

 

 

Dan jika seseorang berniat untuk berpuasa besok, jika itu awal bulan (Ramadhan), maka itu wajib. Jika tidak, maka itu sunnah. Jika ternyata puasanya termasuk Ramadhan, puasanya tidak sah karena ia tidak berniat puasa wajib, melainkan puasa dalam keadaan ragu.

 

 

وَلَوْ عَقَدَ رَجُلٌ عَلَى أَنَّ غَدًا عِنْدَهُ مِنْ رَمَضَانَ فِي يَوْمِ شَكٍّ ثُمَّ بَانَ لَهُ أَنَّهُ مِنْ رَمَضَانَ أَجْزَأَهُ وَإِنْ أَكَلَ شَاكًّا فِي الْفَجْرِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ.

 

 

Jika seseorang berniat bahwa besok adalah Ramadhan pada hari yang diragukan, kemudian jelas baginya bahwa itu memang Ramadhan, maka niatnya sah. Dan jika dia makan dalam keadaan ragu tentang terbitnya fajar, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya.

 

 

وَإِنْ وَطِئَ امْرَأَتَهُ وَأَوْلَجَ عَامِدًا فَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ وَكَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ عَنْهُ وَعَنْهَا وَإِنْ كَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ لِلْخَبَرِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي أَكْلِ النَّاسِي قَالَ) وَالْكَفَّارَةُ عِتْقُ رَقَبَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، فَإِنْ أَفْطَرَ فِيهِمَا ابْتَدَأَهُمَا، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مُدًّا لِكُلِّ مِسْكِينٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَاحْتَجَّ بِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا أَخْبَرَهُ الْوَاطِئُ أَنَّهُ لَا يَجِدُ رَقَبَةً وَلَا يَسْتَطِيعُ صِيَامَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ وَلَا يَجِدُ إطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا أَتَى بِعِرْقٍ فِيهِ تَمْرٌ قَالَ سُفْيَانُ وَالْعِرْقُ الْمِكْتَلُ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اذْهَبْ فَتَصَدَّقْ بِهِ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْمِكْتَلُ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا وَهُوَ سِتُّونَ مُدًّا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ دَخَلَ فِي الصَّوْمِ، ثُمَّ وَجَدَ رَقَبَةً فَلَهُ أَنْ يُتِمَّ صَوْمَهُ.

 

 

Dan jika seseorang menyetubuhi istrinya dengan sengaja, maka keduanya wajib mengqadha dan membayar satu kafarat untuk dirinya dan istrinya. Jika ia lupa, maka tidak ada qadha atasnya berdasarkan hadis dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang orang yang makan dalam keadaan lupa. Kafaratnya adalah memerdekakan budak. Jika tidak mampu, maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika ia berbuka di tengah puasa, maka ia harus memulai lagi. Jika tidak mampu, maka memberi makan enam puluh mud kepada setiap orang miskin dengan takaran mud Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Diriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ketika diberitahu oleh orang yang menyetubuhi istrinya bahwa ia tidak mampu memerdekakan budak, tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut, dan tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin, lalu ia membawa sekeranjang kurma. Sufyan berkata, “Al-‘irq adalah keranjang.” Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Pergilah dan sedekahkanlah ini.” Asy-Syafi’i berkata, “Sekeranjang itu lima belas sha’, yaitu enam puluh mud.” Asy-Syafi’i juga berkata, “Jika ia sudah mulai puasa lalu menemukan budak, ia boleh menyelesaikan puasanya.”

 

 

وَإِنْ أَكَلَ عَامِدًا فِي صَوْمِ رَمَضَانَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْعُقُوبَةُ وَلَا كَفَّارَةَ إلَّا بِالْجِمَاعِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ.

 

 

Dan jika seseorang makan dengan sengaja saat berpuasa Ramadan, maka wajib baginya mengqadha dan mendapat hukuman, serta tidak ada kafarat kecuali karena berjima’ di bulan Ramadan.

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ تَلَذَّذَ بِامْرَأَتِهِ حَتَّى يُنْزِلَ فَقَدْ أَفْطَرَ وَلَا كَفَّارَةَ وَإِنْ أَدْخَلَ فِي دُبُرِهَا حَتَّى يُغَيِّبَهُ، أَوْ فِي بَهِيمَةٍ، أَوْ تَلَوَّطَ ذَاكِرًا لِلصَّوْمِ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang bersenang-senang dengan istrinya hingga mengeluarkan mani, maka puasanya batal dan tidak ada kafarat. Namun jika memasukkan (kemaluannya) ke duburnya hingga hilang, atau pada hewan, atau melakukan liwath (homoseksual) dalam keadaan ingat sedang berpuasa, maka wajib baginya qadha dan kafarat.”

 

 

وَالْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إذَا خَافَتَا عَلَى وَلَدِهِمَا أَفْطَرَتَا وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ وَتَصَدَّقَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عَنْ كُلِّ يَوْمٍ عَلَى مِسْكِينٍ بِمُدٍّ مِنْ حِنْطَةٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : كَيْفَ يُكَفِّرُ مِنْ أُبِيحَ لَهُ الْأَكْلُ وَالْإِفْطَارُ وَلَا يُكَفِّرُ مَنْ لَمْ يُبَحْ لَهُ الْأَكْلُ فَأَكَلَ وَأَفْطَرَ وَفِي الْقِيَاسِ أَنَّ الْحَامِلَ كَالْمَرِيضِ وَكَالْمُسَافِرِ وَكُلٌّ يُبَاحُ لَهُ الْفِطْرُ فَهُوَ فِي الْقِيَاسِ سَوَاءٌ وَاحْتَجَّ بِالْخَبَرِ «مَنْ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَلَا كَفَّارَةَ» (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَلَمْ يَجْعَلْ عَلَيْهِ أَحَدٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ عَلِمْته فِيهِ كَفَّارَةً وَقَدْ أَفْطَرَ عَامِدًا وَكَذَا قَالُوا فِي الْحَصَاةِ يَبْتَلِعُهَا الصَّائِمُ.

 

 

Wanita hamil dan menyusui jika khawatir terhadap anak mereka, boleh berbuka dan wajib mengqadha serta bersedekah setiap hari dengan satu mud gandum untuk seorang miskin. (Al-Muzani berkata): “Bagaimana mungkin orang yang diizinkan makan dan berbuka diwajibkan kafarah, sedangkan orang yang tidak diizinkan makan lalu makan dan berbuka tidak diwajibkan kafarah? Secara qiyas, wanita hamil seperti orang sakit dan musafir yang diizinkan berbuka, sehingga dalam qiyas kedudukannya sama.” Dia berargumen dengan hadis: “Barangsiapa sengaja muntah, wajib mengqadha tanpa kafarah.” (Al-Muzani berkata): “Aku tidak mengetahui seorang ulama pun yang mewajibkan kafarah padanya, padahal dia sengaja berbuka. Demikian juga pendapat mereka tentang kerikil yang ditelan oleh orang yang berpuasa.”

 

 

(قَالَ) : وَمَنْ حَرَّكَتْ الْقُبْلَةُ شَهْوَتَهُ كَرِهْتهَا لَهُ وَإِنْ فَعَلَ لَمْ يَنْتَقِضْ صَوْمُهُ وَتَرْكُهُ أَفْضَلُ (قَالَ إبْرَاهِيمُ) : سَمِعْت الرَّبِيعَ يَقُولُ: فِيهِ قَوْلٌ آخَرَ أَنَّهُ يُفْطِرُ إلَّا أَنْ يَغْلِبَهُ فَيَكُونُ فِي مَعْنَى الْمُكْرَهِ يَبْقَى مَا بَيْنَ أَسْنَانِهِ وَفِي فِيهِ مِنْ الطَّعَامِ فَيَجْرِي بِهِ الرِّيقُ وَرُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ قَالَتْ عَائِشَةُ: وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ» بِأَبِي هُوَ وَأُمِّي (قَالَ) : وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُمَا كَانَا يَكْرَهَانِهَا لِلشَّبَابِ وَلَا يَكْرَهَانِهَا لِلشَّيْخِ.

 

 

Beliau berkata: “Barangsiapa ciuman membangkitkan syahwatnya, maka hal itu dibenci baginya. Namun jika dilakukan, puasanya tidak batal, dan meninggalkannya lebih utama.” Ibrahim berkata: “Aku mendengar Ar-Rabi’ berkata: ‘Ada pendapat lain bahwa hal itu membatalkan puasa kecuali jika ia tidak mampu menahan diri, sehingga serupa dengan orang yang dipaksa. Sisa makanan yang tersisa di sela-sela gigi atau mulutnya, lalu tercampur ludah, (tidak membatalkan).’ Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah mencium (istri) saat berpuasa. Aisyah berkata: ‘Beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsunya.'” Beliau berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa keduanya membenci hal itu bagi pemuda, tetapi tidak membencinya bagi orang tua.”

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ وَطِئَ دُونَ الْفَرْجِ فَأَنْزَلَ أَفْطَرَ وَلَمْ يُكَفِّرْ وَإِنْ تَلَذَّذَ بِالنَّظَرِ فَأَنْزَلَ لَمْ يُفْطِرْ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang bersetubuh tanpa memasukkan kemaluan lalu keluar mani, maka puasanya batal dan tidak wajib membayar kafarat. Namun jika dia merasa nikmat karena melihat lalu keluar mani, puasanya tidak batal.”

 

 

وَإِذَا أُغْمِيَ عَلَى رَجُلٍ فَمَضَى لَهُ يَوْمٌ، أَوْ يَوْمَانِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ وَلَمْ يَكُنْ أَكَلَ وَلَا شَرِبَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ فَإِنْ أَفَاقَ فِي بَعْضِ النَّهَارِ فَهُوَ فِي يَوْمِهِ ذَلِكَ صَائِمٌ، وَكَذَلِكَ إنْ أَصْبَحَ رَاقِدًا، ثُمَّ اسْتَيْقَظَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : إذَا نَوَى مِنْ اللَّيْلِ، ثُمَّ أُغْمِيَ عَلَيْهِ فَهُوَ عِنْدِي صَائِمٌ أَفَاقَ، أَوْ لَمْ يُفِقْ وَالْيَوْمُ الثَّانِي لَيْسَ بِصَائِمٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَنْوِهِ فِي اللَّيْلِ، وَإِذَا لَمْ يَنْوِ فِي اللَّيْلِ فَأَصْبَحَ مُفِيقًا فَلَيْسَ بِصَائِمٍ.

 

 

Dan jika seseorang pingsan dan berlalu baginya satu hari atau dua hari di bulan Ramadan tanpa makan atau minum, maka ia wajib mengqadha. Jika ia sadar di sebagian siang, maka pada hari itu ia dianggap berpuasa. Demikian pula jika ia bangun setelah tertidur. (Al-Muzani berkata): Jika ia berniat di malam hari, lalu pingsan, maka menurutku ia tetap dianggap berpuasa, baik sadar atau tidak. Namun, hari kedua tidak dianggap berpuasa karena tidak ada niat di malam harinya. Jika ia tidak berniat di malam hari, lalu bangun dalam keadaan sadar, maka ia tidak dianggap berpuasa.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فَلَا صَوْمَ عَلَيْهَا فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتْ الصَّوْمَ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا أَنْ تُعِيدَ مِنْ الصَّلَاةِ إلَّا مَا كَانَ فِي وَقْتِهَا الَّذِي هُوَ وَقْتُ الْعُذْرِ وَالضَّرُورَةِ كَمَا وَصَفْت فِي بَابِ الصَّلَاةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Apabila seorang wanita haid, maka tidak ada kewajiban puasa baginya. Ketika ia telah suci, ia harus mengqadha puasa tersebut dan tidak wajib baginya mengulangi shalat kecuali shalat yang masih dalam waktunya, yaitu waktu udzur dan darurat, sebagaimana telah aku jelaskan dalam bab shalat.”

 

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ تَعْجِيلَ الْفِطْرِ وَتَأْخِيرَ السُّحُورِ اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Beliau berkata: “Dan aku suka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur sebagai bentuk mengikuti Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.”

 

 

وَإِذَا سَافَرَ الرَّجُلُ بِالْمَرْأَةِ سَفَرًا يَكُونُ سِتَّةً وَأَرْبَعِينَ مِيلًا بِالْهَاشِمِيِّ كَانَ لَهُمَا أَنْ يُفْطِرَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَيَأْتِيَ أَهْلَهُ، فَإِنْ صَامَا فِي سَفَرِهِمَا أَجْزَأَهُمَا وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَصُومَ شَهْرَ رَمَضَانَ دَيْنًا وَلَا قَضَاءَ لِغَيْرِهِ، فَإِنْ فَعَلَ لَمْ يَجْزِهِ لِرَمَضَانَ وَلَا لِغَيْرِهِ «صَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي السَّفَرِ وَأَفْطَرَ وَقَالَ لِحَمْزَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: إنْ شِئْت فَصُمْ وَإِنْ شِئْت فَأَفْطِرْ» .

 

 

Dan apabila seorang laki-laki melakukan perjalanan bersama seorang wanita sejauh enam puluh empat mil menurut ukuran Hasyimi, maka keduanya boleh berbuka di bulan Ramadan dan mendatangi istrinya. Jika mereka berpuasa dalam perjalanan, puasanya sah. Tidak boleh bagi seseorang berpuasa Ramadan sebagai hutang atau qadha untuk orang lain. Jika dilakukan, puasanya tidak sah baik untuk Ramadan maupun selainnya. “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah berpuasa dalam perjalanan dan juga berbuka. Beliau berkata kepada Hamzah -radhiyallahu ‘anhu-: ‘Jika engkau mau, berpuasalah. Jika engkau mau, berbukalah.'”

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ قَدِمَ رَجُلٌ مِنْ سَفَرٍ نَهَارًا مُفْطِرًا كَانَ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ حَيْثُ لَا يَرَاهُ أَحَدٌ وَإِنْ كَانَتْ امْرَأَتُهُ حَائِضًا فَطَهُرَتْ كَانَ لَهُ أَنْ يُجَامِعَهَا، وَلَوْ تَرَكَ ذَلِكَ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang tiba dari bepergian di siang hari dalam keadaan tidak berpuasa, dia boleh makan di tempat yang tidak terlihat oleh siapa pun. Dan jika istrinya sedang haid lalu suci, dia boleh menyetubuhinya, meskipun jika dia meninggalkannya itu lebih aku sukai.”

 

 

وَلَوْ أَنَّ مُقِيمًا نَوَى الصَّوْمَ قَبْلَ الْفَجْرِ، ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ الْفَجْرِ مُسَافِرًا لَمْ يُفْطِرْ يَوْمَهُ؛ لِأَنَّهُ دَخَلَ فِيهِ مُقِيمًا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : رُوِيَ «عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ صَامَ فِي مَخْرَجِهِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ وَصَامَ النَّاسُ مَعَهُ، ثُمَّ أَفْطَرَ وَأَمَرَ مَنْ صَامَ مَعَهُ بِالْإِفْطَارِ» ، وَلَوْ كَانَ لَا يَجُوزُ فِطْرُهُ مَا فَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Seandainya seorang yang bermukim berniat puasa sebelum fajar, kemudian setelah fajar ia bepergian (musafir), maka ia tidak batal puasanya pada hari itu, karena ia memulai puasa dalam keadaan bermukim. (Al-Muzani) berkata: Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berpuasa saat berangkat ke Mekkah pada bulan Ramadhan hingga sampai di Kura’ al-Ghamim, dan orang-orang pun berpuasa bersamanya. Kemudian beliau berbuka dan memerintahkan orang yang berpuasa bersamanya untuk berbuka. Seandainya berbuka dalam keadaan seperti itu tidak diperbolehkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan melakukannya.

 

 

(قَالَ) : وَمَنْ رَأَى الْهِلَالَ وَحْدَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ الصِّيَامُ، فَإِنْ رَأَى هِلَالَ شَوَّالٍ حَلَّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ حَيْثُ لَا يَرَاهُ أَحَدٌ وَلَا يُعَرِّضُ نَفْسَهُ لِلتُّهْمَةِ بِتَرْكِ فَرْضِ اللَّهِ وَالْعُقُوبَةِ مِنْ السُّلْطَانِ (قَالَ) : وَلَا أَقْبَلُ عَلَى رُؤْيَةِ الْفِطْرِ إلَّا عَدْلَيْنِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا بَعْضٌ لِأَحَدِ قَوْلَيْهِ أَنْ لَا يَقْبَلَ فِي الصَّوْمِ إلَّا عَدْلَيْنِ (قَالَ) : حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ قَالَ: حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُصَامَ بِشَهَادَةِ رَجُلٍ وَاحِدٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَامَ إلَّا بِشَاهِدَيْنِ؛ وَلِأَنَّهُ الِاحْتِيَاطُ قَالَ وَإِنْ صَحَّا قَبْلَ الزَّوَالِ أَفْطَرَ وَصَلَّى بِهِمْ الْإِمَامُ صَلَاةَ الْعِيدِ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الزَّوَالِ فَلَا صَلَاةَ فِي يَوْمِهِ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُصَلِّيَ الْعِيدَ مِنْ الْغَدِ لِمَا ذُكِرَ فِيهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثَابِتًا (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَلَهُ قَوْلٌ آخَرُ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي مِنْ الْغَدِ وَهُوَ عِنْدِي أَقْيَسُ؛ لِأَنَّهُ لَوْ جَازَ أَنْ يَقْضِيَ جَازَ فِي يَوْمِهِ وَإِذَا لَمْ يَجُزْ الْقَضَاءُ فِي أَقْرَبِ الْوَقْتِ كَانَ فِيمَا بَعْدَهُ أَبْعَدَ، وَلَوْ كَانَ ضُحَى غَدٍ مِثْلَ ضُحَى الْيَوْمِ لَزِمَ فِي ضُحَى يَوْمٍ بَعْدَ شَهْرٍ؛ لِأَنَّهُ مِثْلُ ضُحَى الْيَوْمِ.

 

 

Beliau berkata: “Barangsiapa melihat hilal sendirian, wajib baginya berpuasa. Jika ia melihat hilal Syawal, halal baginya untuk makan di tempat yang tidak terlihat orang lain, dan jangan membiarkan dirinya dicurigai meninggalkan kewajiban Allah serta hukuman dari penguasa.” Beliau berkata: “Aku tidak menerima kesaksian melihat hilal Idul Fitri kecuali dari dua orang yang adil.” Al-Muzani berkata: “Ini adalah salah satu dari dua pendapatnya, yaitu tidak menerima dalam puasa kecuali dari dua saksi yang adil.” Beliau berkata: “Ibrahim menceritakan kepada kami, berkata: Ar-Rabi’ menceritakan kepada kami, Asy-Syafi’i berkata: ‘Tidak boleh berpuasa berdasarkan kesaksian satu orang, dan tidak boleh berpuasa kecuali dengan dua saksi, karena ini lebih hati-hati.'” Beliau berkata: “Jika hilal terbukti sebelum zawal (tergelincir matahari), maka berbukalah dan imam shalat Id bersama mereka. Jika setelah zawal, tidak ada shalat pada hari itu, dan lebih aku sukai untuk shalat Id keesokan harinya karena alasan yang disebutkan, meskipun belum tetap (kepastian hilal).” Al-Muzani berkata: “Ada pendapat lain darinya bahwa tidak shalat Id keesokan harinya, dan menurutku ini lebih tepat. Sebab, jika boleh mengqadha, maka boleh juga pada hari itu. Jika qadha tidak diperbolehkan pada waktu terdekat, maka waktu setelahnya lebih tidak boleh. Seandainya dhuha esok sama seperti dhuha hari ini, maka wajib juga pada dhuha sehari setelah sebulan, karena sama seperti dhuha hari ini.”

 

 

قَالَ وَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ الصَّوْمُ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ لِمَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ فَلَمْ يَقْضِهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْهِ شَهْرُ رَمَضَانَ آخَرُ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ الشَّهْرَ ثُمَّ يَقْضِيَ مِنْ بَعْدِهِ الَّذِي عَلَيْهِ وَيُكَفِّرُ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّا لِمِسْكِينٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنْ مَاتَ أَطْعَمَ عَنْهُ وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ الْقَضَاءُ حَتَّى مَاتَ فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ (قَالَ) : وَمَنْ قَضَى مُتَفَرِّقًا أَجْزَأَهُ وَمُتَتَابِعًا أَحَبُّ إلَيَّ وَلَا يُصَامُ يَوْمُ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمُ النَّحْرِ وَلَا أَيَّامُ مِنًى فَرْضًا، أَوْ نَفْلًا.

 

 

Beliau berkata: “Barangsiapa memiliki kewajiban puasa dari bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian, lalu tidak menggantinya padahal ia mampu hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka ia wajib berpuasa pada bulan itu (Ramadhan yang baru), kemudian mengganti puasa yang tertinggal setelahnya, serta memberi makan seorang miskin setiap harinya sebanyak satu mud dengan takaran mud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika ia meninggal, maka diberi makan atas namanya. Namun jika ia tidak sempat mengganti hingga meninggal, maka tidak ada kewajiban kafarah baginya.” (Dia berkata): “Barangsiapa mengganti puasa secara terpisah, itu sudah cukup. Namun, berpuasa berturut-turut lebih aku sukai. Tidak boleh berpuasa pada hari Idul Fitri, hari Idul Adha, dan hari-hari Mina, baik puasa wajib maupun sunnah.”

 

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَإِنْ بَلَعَ حَصَاةً، أَوْ مَا لَيْسَ بِطَعَامٍ، أَوْ احْتَقَنَ، أَوْ دَاوَى جُرْحَهُ حَتَّى يَصِلَ إلَى جَوْفِهِ أَوْ اسْتَعَطَ حَتَّى يَصِلَ إلَى جَوْفِ رَأْسِهِ فَقَدْ أَفْطَرَ إذَا كَانَ ذَاكِرًا وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ إذَا كَانَ نَاسِيًا، وَإِذَا اسْتَنْشَقَ رَفْقُ فَإِنْ اسْتَيْقَنَ أَنَّهُ قَدْ وَصَلَ إلَى الرَّأْسِ أَوْ الْجَوْفِ فِي الْمَضْمَضَةِ وَهُوَ عَامِدٌ ذَاكِرٌ لِصَوْمِهِ أَفْطَرَ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى: لَا يَلْزَمُهُ حَتَّى يُحْدِثَ ازْدِرَادًا فَأَمَّا إنْ كَانَ أَرَادَ الْمَضْمَضَةَ فَسَبَقَهُ لِإِدْخَالِ النَّفَسِ وَإِخْرَاجِهِ فَلَا يُعِيدُ هَذَا خَطَأٌ فِي مَعْنَى النِّسْيَانِ، أَوْ أَخَفُّ مِنْهُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : إذَا كَانَ الْآكِلُ لَا يَشُكُّ فِي اللَّيْلِ فَيُوَافِي الْفَجْرَ مُفْطِرًا بِإِجْمَاعٍ وَهُوَ بِالنَّاسِي أَشْبَهُ؛ لِأَنَّ كِلَيْهِمَا لَا يَعْلَمُ أَنَّهُ صَائِمٌ وَالسَّابِقُ إلَى جَوْفِهِ الْمَاءُ يَعْلَمُ أَنَّهُ صَائِمٌ فَإِذَا أَفْطَرَ فِي الْأَشْبَهِ بِالنَّاسِي كَانَ الْأَبْعَدُ عِنْدِي أَوْلَى بِالْفِطْرِ.

 

(Dia berkata): “Jika seseorang menelan kerikil, sesuatu yang bukan makanan, berobat dengan suntikan, mengobati lukanya hingga mencapai rongga tubuhnya, atau memasukkan sesuatu ke hidung hingga mencapai rongga kepalanya, maka puasanya batal jika dia ingat. Tidak ada konsekuensi jika dia lupa. Jika seseorang beristinsyaq (menghirup air ke hidung) dengan lembut, lalu yakin air itu masuk ke kepala atau rongga tubuh saat berkumur dalam keadaan sengaja dan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal.” (Dia juga berkata) dalam kitab Ibnu Abi Laila: “Tidak wajib baginya kecuali jika terjadi penelanan. Jika dia bermaksud berkumur tetapi tanpa sengaja masuk saat menarik atau mengeluarkan napas, maka tidak perlu mengulang. Ini termasuk kesalahan yang serupa dengan lupa atau lebih ringan.” (Al-Muzani berkata): “Jika seseorang makan di malam hari tanpa keraguan, lalu fajar tiba dalam keadaan belum berhenti makan, maka menurut ijma’ puasanya batal. Namun, ini lebih mirip dengan orang yang lupa karena keduanya tidak menyadari sedang berpuasa. Sedangkan orang yang tanpa sengaja menelan air ke rongga tubuhnya justru tahu bahwa dia sedang berpuasa. Jika puasa batal pada kasus yang lebih mirip dengan lupa, maka menurutku kasus yang lebih jauh dari lupa justru lebih layak dianggap membatalkan puasa.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ اشْتَبَهَتْ الشُّهُورُ عَلَى أَسِيرٍ فَتَحَرَّى شَهْرَ رَمَضَانَ فَوَافَقَهُ، أَوْ مَا بَعْدَهُ أَجْزَأَهُ وَلِلصَّائِمِ أَنْ يَكْتَحِلَ وَيَنْزِلَ الْحَوْضَ فَيَغْطِسَ فِيهِ وَيَحْتَجِمَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَحْتَجِمُ صَائِمًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang tawanan kebingungan menentukan bulan, lalu ia berusaha menetapkan bulan Ramadan dan ternyata benar, atau justru bulan setelahnya, maka itu sudah mencukupi. Orang yang berpuasa boleh bercelak, masuk ke kolam lalu menyelam di dalamnya, serta berbekam. Ibnu Umar pernah berbekam dalam keadaan berpuasa.

 

 

قَالَ، وَمِمَّا سَمِعْت مِنْ الرَّبِيعِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أَعْلَمُ فِي الْحِجَامَةِ شَيْئًا يَثْبُتُ وَلَوْ ثَبَتَ الْحَدِيثَانِ: حَدِيثُ «أَفْطَرَ الْحَاجِمُ» ، وَحَدِيثٌ آخَرُ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ» فَإِنَّ حَدِيثَ ابْنِ عَبَّاسٍ احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ نَاسِخٌ لِلْأَوَّلِ وَإِنَّ فِيهِ بَيَانًا وَأَنَّهُ زَمَنُ الْفَتْحِ وَحِجَامَةُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَعْدُهُ.

 

 

Dia berkata, dan di antara yang kudengar dari Ar-Rabi’ (Asy-Syafi’i berkata): “Aku tidak mengetahui sesuatu yang pasti mengenai bekam, sekalipun dua hadis itu sahih: hadis ‘orang yang membekam batal puasanya’, dan hadis lain ‘bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berbekam dalam keadaan berpuasa’. Sesungguhnya hadis Ibnu Abbas ‘dia berbekam dalam keadaan berpuasa’ menghapus yang pertama, dan di dalamnya terdapat penjelasan bahwa itu terjadi pada masa Fathu Makkah, dan bekam Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – terjadi setelahnya.”

 

وَأَكْرَهُ الْعِلْكَ؛ لِأَنَّهُ يَجْلِبُ الرِّيقَ.

 

Dan aku tidak suka mengunyah permen karet karena itu menimbulkan banyak air liur.

 

 

قَالَ: وَصَوْمُ شَهْرِ رَمَضَانَ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ بَالِغٍ مِنْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ وَعَبْدٍ.

 

 

Beliau berkata: “Puasa bulan Ramadan wajib bagi setiap orang yang telah baligh, baik laki-laki, perempuan, maupun hamba sahaya.”

 

 

وَمَنْ احْتَلَمَ مِنْ الْغِلْمَانِ، أَوْ أَسْلَمَ مِنْ الْكُفَّارِ بَعْدَ أَيَّامٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَإِنَّهُمَا يَسْتَقْبِلَانِ الصَّوْمَ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا فِيمَا مَضَى.

 

 

Dan siapa saja dari anak laki-laki yang bermimpi (balig), atau dari orang kafir yang masuk Islam setelah beberapa hari dari bulan Ramadan, maka keduanya wajib memulai puasa (ke depan) dan tidak ada kewajiban mengqadha atas apa yang telah berlalu.

 

 

وَأُحِبُّ لِلصَّائِمِ أَنْ يُنَزِّهَ صِيَامَهُ عَنْ اللَّغَطِ الْقَبِيحِ وَالْمُشَاتَمَةِ وَإِنْ شُوتِمَ أَنْ يَقُولَ إنِّي صَائِمٌ لِلْخَبَرِ فِي ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Dan aku menyukai jika orang yang berpuasa menyucikan puasanya dari perkataan kotor dan pertengkaran. Jika dia dicaci, hendaknya mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa,” karena ada hadis tentang hal itu dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

قَالَ وَالشَّيْخُ الْكَبِيرُ الَّذِي لَا يَسْتَطِيعُ الصَّوْمَ وَيَقْدِرُ عَلَى الْكَفَّارَةِ يَتَصَدَّقُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ بِمُدٍّ مِنْ حِنْطَةٍ وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ – فِي قَوْلِهِ جَلَّ وَعَزَّ – {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ} البقرة: 184 قَالَ الْمَرْأَةُ الْهَرِمَةُ وَالشَّيْخُ الْكَبِيرُ الْهَرِمُ يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.

 

 

Dia berkata, “Orang tua yang sudah lanjut usia yang tidak mampu berpuasa namun mampu membayar kafarah, hendaknya bersedekah setiap hari dengan satu mud gandum.” Diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (puasa) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184). Dia berkata, “Wanita yang sudah sangat tua dan laki-laki yang sudah sangat lanjut usia boleh tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَغَيْرُهُ مِنْ الْمُفَسِّرِينَ يَقْرَءُونَهَا {يُطِيقُونَهُ} البقرة: 184 ، وَكَذَلِكَ نَزْعُمُ أَنَّهَا نَزَلَتْ حِينَ نَزَلَ فَرْضُ الصَّوْمِ ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ قَالَ وَآخِرُ الْآيَةِ يَدُلُّ عَلَى هَذَا الْمَعْنَى لِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ {فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا} البقرة: 184 فَزَادَ عَلَى مِسْكِينٍ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ثُمَّ قَالَ {وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ} البقرة: 184 قَالَ فَلَا يَأْمُرُ بِالصِّيَامِ مَنْ لَا يُطِيقُهُ، ثُمَّ بَيَّنَ فَقَالَ {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} البقرة: 185 ، وَإِلَى هَذَا نَذْهَبُ وَهُوَ أَشْبَهُ بِظَاهِرِ الْقُرْآنِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا بَيِّنٌ فِي التَّنْزِيلِ مُسْتَغْنًى فِيهِ عَنْ التَّأْوِيلِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dan para mufasir lainnya membacanya {يُطِيقُونَهُ} (Al-Baqarah: 184), demikian pula kami membacanya. Kami berpendapat bahwa ayat ini turun ketika kewajiban puasa ditetapkan, kemudian hukum itu dihapus.” Beliau berkata: “Akhir ayat menunjukkan makna ini karena Allah ‘azza wa jalla berfirman {فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا} (Al-Baqarah: 184), maka siapa yang menambah lebih dari satu orang miskin, itu lebih baik baginya. Kemudian Allah berfirman {وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ} (Al-Baqarah: 184).” Beliau berkata: “Allah tidak memerintahkan puasa bagi yang tidak mampu.” Kemudian Allah menjelaskan dengan firman-Nya {فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ} (Al-Baqarah: 185). Kepada pendapat inilah kami berpegang, dan ini lebih sesuai dengan zhahir Al-Qur’an.” (Al-Muzani berkata): “Ini jelas dalam nash Al-Qur’an dan tidak memerlukan takwil.”

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan aku tidak memakruhkan bersiwak dengan kayu basah atau lainnya saat berpuasa, tetapi aku memakruhkannya di waktu sore karena aku menyukai bau mulut orang yang berpuasa.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا أَكْرَهُ فِي الصَّوْمِ السِّوَاكَ بِالْعُودِ الرَّطْبِ وَغَيْرِهِ وَأَكْرَهُهُ بِالْعَشِيِّ لِمَا أُحِبُّ مِنْ خُلُوفِ فَمِ الصَّائِمِ.

 

بَابُ صَوْمِ التَّطَوُّعِ

 

Bab Puasa Sunnah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -: أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ يَحْيَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ عَمَّتِهِ «عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ أَنَّهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقُلْت خَبَّأْنَا لَك حَيْسًا فَقَالَ أَمَا إنِّي كُنْت أُرِيدُ الصَّوْمَ وَلَكِنْ قَرِّبِيهِ» قَالَ: وَقَدْ «صَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي سَفَرِهِ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ ثُمَّ أَفْطَرَ» وَرَكَعَ عُمَرُ رَكْعَةً ثُمَّ انْصَرَفَ فَقِيلَ لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ: إنَّمَا هُوَ تَطَوُّعٌ فَمَنْ شَاءَ زَادَ وَمَنْ شَاءَ نَقَصَ وَمِمَّا يَثْبُتُ عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مِثْلُ ذَلِكَ وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَجَابِرٍ أَنَّهُمَا كَانَا لَا يَرَيَانِ بِالْإِفْطَارِ فِي صَوْمِ التَّطَوُّعِ بَأْسًا، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي رَجُلٍ صَلَّى رَكْعَةً وَلَمْ يُصَلِّ مَعَهَا لَهُ أَجْرُ مَا احْتَسَبَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah ta’ala – berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Thalhah bin Yahya bin Thalhah dari bibinya (Aisyah binti Thalhah) bahwa ia berkata, “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menemuiku, lalu aku berkata, ‘Kami menyembunyikan hais (makanan dari kurma, samin, dan keju) untukmu.’ Beliau bersabda, ‘Aku sebenarnya ingin berpuasa, tapi bawalah kemari.'” Beliau juga bersabda, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah berpuasa dalam perjalanannya hingga sampai di Kura’ al-Ghamim, kemudian berbuka.” Umar pernah shalat satu rakaat lalu pergi. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, “Itu hanyalah sunnah. Siapa yang mau boleh menambah, dan siapa yang mau boleh mengurangi.” Di antara yang diriwayatkan dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – adalah hal serupa, juga dari Ibnu Abbas – rahimahullah – dan Jabir bahwa keduanya tidak menganggap masalah berbuka dalam puasa sunnah. Ibnu Abbas berkata tentang seseorang yang shalat satu rakaat tanpa menambahnya, “Ia mendapat pahala sesuai niatnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَمَنْ دَخَلَ فِي صَوْمٍ أَوْ صَلَاةٍ فَأَحَبَّ أَنْ يَسْتَتِمَّ وَإِنْ خَرَجَ قَبْلَ التَّمَامِ لَمْ يُعِدْ.

 

 

(Imam Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya -) berkata: “Barangsiapa yang memulai puasa atau shalat lalu ingin menyempurnakannya, namun keluar (membatalkan) sebelum selesai, maka tidak perlu mengulang.”

 

بَابُ النَّهْيِ عَنْ الْوِصَالِ فِي الصَّوْمِ

 

Bab Larangan Melakukan Wishal dalam Puasa

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ الْوِصَالِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّك تُوَاصِلُ قَالَ إنِّي لَسْت مِثْلَكُمْ إنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى» .

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang dari menyambung puasa (wishal). Maka dikatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau menyambung puasa?’ Beliau bersabda, ‘Aku tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum.'”

(Asy-Syafi’i berkata): “Allah membedakan antara Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan manusia lainnya dalam beberapa perkara yang dihalalkan untuk beliau tetapi diharamkan bagi mereka, dan dalam beberapa perkara yang diwajibkan atas beliau tetapi diringankan dari mereka.”

 

بَابُ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَيَوْمِ عَاشُورَاءَ

 

Bab tentang puasa hari Arafah dan hari Asyura

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ قَالَ حَدَّثَنَا دَاوُد بْنُ شابور وَغَيْرُهُ عَنْ أُمِّ قَزْعَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ أَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ السَّنَةِ وَالسَّنَةِ الَّتِي تَلِيهَا وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً» قَالَ فَأُحِبُّ صَوْمَهَا إلَّا أَنْ يَكُونَ حَاجًّا فَأُحِبُّ لَهُ تَرْكَ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ لِأَنَّهُ حَاجٌّ مُضَحٍّ مُسَافِرٌ وَلِتَرْكِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَوْمَهُ فِي الْحَجِّ وَلِيَقْوَى بِذَلِكَ عَلَى الدُّعَاءِ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ يَوْمُ عَرَفَةَ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan bin Uyainah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Dawud bin Syabur dan lainnya menceritakan kepada kami dari Ummu Qaz’ah dari Abul Khalil dari Abu Harmalah dari Abu Qatadah, ia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Puasa hari Arafah menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang, sedangkan puasa hari Asyura menghapus dosa setahun.” Aku (Asy-Syafi’i) menyukai puasa pada hari itu, kecuali jika seseorang sedang berhaji. Maka aku lebih suka ia tidak berpuasa pada hari Arafah karena ia adalah seorang haji yang berkurban dan sedang bepergian, serta karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak berpuasa saat haji, dan agar ia kuat berdoa. Sebab, doa terbaik adalah doa pada hari Arafah.

 

 

بَابُ النَّهْيِ عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ

 

 

Pembahasan larangan berpuasa pada hari Idul Fitri dan Idul Adha serta hari-hari Tasyriq

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَنْهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ الْأَضْحَى وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْهَا وَلَوْ صَامَهَا مُتَمَتِّعٌ لَا يَجِدُ هَدْيًا لَمْ يُجْزِ عَنْهُ عِنْدَنَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dan beliau melarang berpuasa pada hari Idul Fitri, hari Idul Adha, dan hari-hari Tasyriq karena larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sekiranya seseorang yang sedang melakukan tamattu’ berpuasa pada hari-hari tersebut karena tidak mendapatkan hewan kurban, puasanya tidak sah menurut pendapat kami.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَدْ كَانَ قَالَ يُجْزِيهِ ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ.

 

(Al-Muzani) berkata: “Dia pernah mengatakan itu cukup baginya, kemudian dia menarik kembali pendapatnya.”

 

بَابُ فَضْلِ الصَّدَقَةِ فِي رَمَضَانَ وَطَلَبِ الْقِرَاءَةِ

 

Bab tentang keutamaan sedekah di bulan Ramadhan dan anjuran untuk membaca Al-Qur’an

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ كَانَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ فِي رَمَضَانَ فَيَعْرِضُ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ فَإِذَا لَقِيَهُ كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Ibrahim bin Sa’d mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari ‘Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau adalah manusia yang paling dermawan dalam kebaikan, dan beliau paling dermawan pada bulan Ramadhan. Jibril – ‘alaihis salam – biasa menemui beliau setiap malam di bulan Ramadhan untuk membacakan Al-Qur’an kepadanya. Ketika Jibril menemuinya, beliau menjadi lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ لِلرَّجُلِ الزِّيَادَةَ بِالْجُودِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ اقْتِدَاءً بِهِ وَلِحَاجَةِ النَّاسِ فِيهِ إلَى مَصَالِحِهِمْ وَلِتَشَاغُلِ كَثِيرٍ مِنْهُمْ بِالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ عَنْ مَكَاسِبِهِمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku suka jika seseorang menambah kedermawanannya di bulan Ramadhan, sebagai bentuk mengikuti Nabi, karena kebutuhan manusia terhadap urusan mereka, dan karena banyak dari mereka yang sibuk berpuasa dan shalat sehingga meninggalkan pekerjaan mereka.”

 

بَابُ الِاعْتِكَافِ

 

Bab I’tikaf

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ إحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ قَالَ وَأُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أُنْسِيتهَا قَالَ وَرَأَيْتنِي أَسْجُدُ فِي صَبِيحَتِهَا فِي مَاءٍ وَطِينٍ فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالْتَمِسُوهَا فِي كُلِّ وِتْرٍ فَمَطَرَتْ السَّمَاءُ مِنْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ، وَكَانَ الْمَسْجِدُ عَلَى عَرِيشٍ فَوَكَفَ الْمَسْجِدَ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – انْصَرَفَ عَلَيْنَا وَعَلَى جَبْهَتِهِ وَأَنْفِهِ أَثَرُ الْمَاءِ وَالطِّينِ فِي صَبِيحَةِ إحْدَى وَعِشْرِينَ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abi al-Had dari Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits at-Taimi dari Abi Salamah bin Abdurrahman dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa dia berkata, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- biasa beri’tikaf pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan. Ketika tiba malam kedua puluh satu, yaitu malam yang pada pagi harinya beliau keluar dari i’tikafnya, beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang beri’tikaf bersamaku, hendaknya dia beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir.’ Beliau bersabda, ‘Aku diperlihatkan malam ini (Lailatul Qadar), kemudian aku dilupakan.’ Beliau bersabda, ‘Aku melihat diriku sujud pada pagi harinya di atas air dan lumpur. Maka carilah malam itu pada sepuluh hari terakhir, dan carilah pada setiap malam ganjil.’ Lalu pada malam itu turun hujan, dan masjid saat itu beratap daun-daun, sehingga air menetes di dalam masjid. Abu Sa’id berkata, ‘Kedua mataku melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- selesai shalat Subuh bersama kami, dan pada dahi serta hidung beliau terdapat bekas air dan lumpur pada pagi hari kedua puluh satu.'”

(Asy-Syafi’i berkata): “Hadis Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menunjukkan bahwa Lailatul Qadar berada pada sepuluh malam terakhir, dan yang paling mirip adalah pada malam kedua puluh satu atau dua puluh tiga. Aku tidak suka meninggalkan pencariannya pada semua malam tersebut.” Dan diriwayatkan hadis dari Aisyah bahwa ia berkata: “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- apabila beri’tikaf mendekatkan kepalanya kepadaku lalu aku menyisirnya. Beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali untuk keperluan manusia.” Aisyah juga berkata: “Aku memandikannya sedangkan aku dalam keadaan haid.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَلَا بَأْسَ أَنْ يُدْخِلَ الْمُعْتَكِفُ رَأْسَهُ فِي الْبَيْتِ لِيُغْسَلَ وَيُرَجَّلَ وَالِاعْتِكَافُ سُنَّةٌ حَسَنَةٌ وَيَجُوزُ بِغَيْرِ صَوْمٍ وَفِي يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa seorang yang sedang i’tikaf memasukkan kepalanya ke dalam rumah untuk dicuci atau disisir rambutnya. I’tikaf adalah sunnah yang baik dan boleh dilakukan tanpa puasa, termasuk pada hari Idul Fitri, hari Idul Adha, dan hari-hari Tasyriq.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : لَوْ كَانَ الِاعْتِكَافُ يُوجِبُ الصَّوْمَ وَإِنَّمَا هُوَ تَطَوُّعٌ لَمْ يَجُزْ صَوْمُ شَهْرِ رَمَضَانَ بِغَيْرِ تَطَوُّعٍ وَفِي اعْتِكَافِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي رَمَضَانَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَصُمْ لِلِاعْتِكَافِ فَتَفَهَّمُوا رَحِمَكُمْ اللَّهُ وَدَلِيلٌ آخَرُ لَوْ كَانَ الِاعْتِكَافُ لَا يَجُوزُ إلَّا مُقَارِنًا لِلصَّوْمِ لَخَرَجَ مِنْهُ الصَّائِمُ بِاللَّيْلِ لِخُرُوجِهِ فِيهِ مِنْ الصَّوْمِ فَلَمَّا لَمْ يَخْرُجْ مِنْهُ مِنْ الِاعْتِكَافِ بِاللَّيْلِ وَخَرَجَ فِيهِ مِنْ الصَّوْمِ ثَبَتَ مُنْفَرِدًا بِغَيْرِ الصَّوْمِ، وَقَدْ «أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُمَرَ أَنْ يَعْتَكِفَ لَيْلَةً كَانَتْ عَلَيْهِ نَذْرًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَلَا صِيَامَ فِيهَا»

 

 

(Al-Muzani berkata): Seandainya i’tikaf mengharuskan puasa dan ia hanyalah sunnah, maka tidak boleh berpuasa bulan Ramadhan tanpa disertai amalan sunnah. Dalam i’tikaf Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di bulan Ramadhan terdapat dalil bahwa beliau tidak berpuasa karena i’tikaf. Maka pahamilah, semoga Allah merahmati kalian. Dalil lain, seandainya i’tikaf tidak boleh kecuali bersamaan dengan puasa, niscaya orang yang berpuasa akan keluar dari i’tikaf pada malam hari karena ia keluar dari puasa pada waktu itu. Ketika ia tidak keluar dari i’tikaf pada malam hari namun keluar dari puasa, maka terbuktilah bahwa i’tikaf berdiri sendiri tanpa puasa. Dan sungguh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memerintahkan Umar untuk beri’tikaf pada suatu malam yang ia bernadzar di masa jahiliyah, padahal tidak ada puasa pada malam itu.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ دَخَلَ فِيهِ قَبْلَ الْغُرُوبِ فَإِذَا هَلَّ شَوَّالٌ فَقَدْ أَتَمَّ الْعَشْرَ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِطَ فِي الِاعْتِكَافِ الَّذِي أَوْجَبَهُ بِأَنْ يَقُولَ إنْ عَرَضَ لِي عَارِضٌ خَرَجْت وَلَا بَأْسَ أَنْ يَعْتَكِفَ وَلَا يَنْوِيَ أَيَّامًا مَتَى شَاءَ خَرَجَ وَاعْتِكَافُهُ فِي الْمَسْجِدِ الْجَامِعِ أَحَبُّ إلَيَّ فَإِنْ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِهِ فَمِنْ الْجُمُعَةِ إلَى الْجُمُعَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa ingin beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir (Ramadhan), hendaknya memasukinya sebelum maghrib. Jika bulan Syawal telah tiba, maka ia telah menyelesaikan sepuluh hari tersebut. Tidak mengapa ia mensyaratkan dalam i’tikaf yang diwajibkannya dengan mengatakan, “Jika ada keperluan mendesak, aku akan keluar.” Juga tidak mengapa beri’tikaf tanpa meniatkan hari tertentu, ia boleh keluar kapan saja. I’tikaf di masjid jami’ lebih aku sukai. Jika beri’tikaf di selain masjid jami’, maka (minimal) dari Jumat ke Jumat.

 

(قَالَ) : وَيَخْرُجُ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ إلَى مَنْزِلِهِ وَإِنْ بَعُدَ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَسْأَلَ عَنْ الْمَرِيضِ إذَا دَخَلَ مَنْزِلَهُ وَإِنْ أَكَلَ فِيهِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَلَا يُقِيمُ بَعْدَ فَرَاغِهِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِيَ وَيَبِيعَ وَيَخِيطَ وَيُجَالِسَ الْعُلَمَاءَ وَيُحَدِّثَ بِمَا أَحَبَّ مَا لَمْ يَكُنْ مَأْثَمًا وَلَا يُفْسِدُهُ سِبَابٌ وَلَا جِدَالٌ وَلَا يَعُودُ الْمَرْضَى وَلَا يَشْهَدُ الْجِنَازَةَ إذَا كَانَ اعْتِكَافُهُ وَاجِبًا.

 

 

Beliau berkata: “Boleh keluar untuk buang hajat dan kencing ke rumahnya meski jauh, tidak mengapa menanyakan keadaan orang sakit jika masuk ke rumahnya. Jika makan di sana, tidak ada dosa baginya. Jangan tinggal setelah selesai, tidak masalah membeli, menjual, menjahit, duduk bersama ulama, atau bercerita tentang hal yang disukai selama bukan dosa. Tidak merusak iktikafnya dengan cacian atau debat. Tidak menjenguk orang sakit atau menghadiri jenazah jika iktikafnya wajib.”

 

(قَالَ) : وَلَا بَأْسَ إذَا كَانَ مُؤَذِّنًا أَنْ يَصْعَدَ الْمَنَارَةَ، وَإِنْ كَانَ خَارِجًا وَأَكْرَهُ الْأَذَانَ بِالصَّلَاةِ لِلْوُلَاةِ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَيْهِ شَهَادَةٌ فَعَلَيْهِ أَنْ يُجِيبَ فَإِنْ فَعَلَ خَرَجَ مِنْ اعْتِكَافِهِ، وَإِنْ مَرِضَ أَوْ أَخْرَجَهُ السُّلْطَانُ وَاعْتِكَافُهُ وَاجِبٌ فَإِذَا بَرِئَ أَوْ خُلِّيَ عَنْهُ بَنَى فَإِنْ مَكَثَ بَعْدَ بُرْئِهِ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ ابْتَدَأَ، وَإِنْ خَرَجَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ نُقِضَ اعْتِكَافُهُ فَإِنْ نَذَرَ اعْتِكَافًا بِصَوْمٍ فَأَفْطَرَ اسْتَأْنَفَ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak mengapa jika seorang muadzin naik ke menara meskipun sedang dalam keadaan tidak berihram. Namun, aku tidak menyukai azan untuk shalat bagi penguasa. Jika ada kewajiban bersaksi, ia harus memenuhinya. Jika ia melakukannya, maka batal lah iktikafnya. Jika sakit atau dipaksa oleh penguasa, sedangkan iktikafnya wajib, maka setelah sembuh atau dibebaskan, ia harus melanjutkan. Jika setelah sembuh ia menunda tanpa uzur, ia harus memulai dari awal. Jika keluar tanpa kebutuhan, iktikafnya batal. Jika bernazar iktikaf dengan puasa lalu berbuka, ia harus mengulang.”

(وَقَالَ) : فِي بَابِ مَا جَمَعْت لَهُ مِنْ كِتَابِ الصِّيَامِ وَالسُّنَنِ وَالْآثَارِ لَا يُبَاشِرُ الْمُعْتَكِفُ فَإِنْ فَعَلَ أَفْسَدَ اعْتِكَافَهُ.

 

Dan Beliau berkata: Dalam bab apa yang telah aku kumpulkan untuknya dari kitab puasa, sunnah, dan atsar, “Orang yang beri’tikaf tidak boleh berhubungan badan. Jika melakukannya, maka i’tikafnya batal.”

(وَقَالَ) : فِي مَوْضِعٍ مِنْ مَسَائِلَ فِي الِاعْتِكَافِ لَا يَفْسُدُ الِاعْتِكَافُ مِنْ الْوَطْءِ إلَّا مَا يُوجِبُ الْحَدَّ.

 

Dan Beliau berkata: Dalam salah satu bagian dari masalah-masalah tentang i’tikaf, i’tikaf tidak batal karena hubungan suami istri kecuali yang mewajibkan had (hukuman).

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ مَنْهِيٌّ فِي الِاعْتِكَافِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ عَنْ الْجِمَاعِ فَلَمَّا لَمْ يَفْسُدْ عِنْدَهُ صَوْمٌ وَلَا حَجٌّ بِمُبَاشَرَةٍ دُونَ مَا يُوجِبُ الْحَدَّ أَوْ الْإِنْزَالَ فِي الصَّوْمِ كَانَتْ الْمُبَاشَرَةُ فِي الِاعْتِكَافِ كَذَلِكَ عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Ini lebih mirip dengan pendapatnya; karena hubungan intim dilarang dalam i’tikaf, puasa, dan haji. Ketika menurutnya puasa atau haji tidak batal dengan sentuhan yang tidak mewajibkan had atau mengeluarkan mani dalam puasa, maka sentuhan dalam i’tikaf pun demikian menurutku berdasarkan qiyas.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ جَعَلَ عَلَى نَفْسِهِ اعْتِكَافَ شَهْرٍ وَلَمْ يَقُلْ مُتَتَابِعًا أَحْبَبْته مُتَتَابِعًا.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Jika seseorang mewajibkan atas dirinya i’tikaf selama satu bulan dan tidak menyebutkan ‘berturut-turut’, aku lebih menyukainya dilakukan secara berturut-turut.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ أَنَّهُ يُجْزِئُهُ مُتَفَرِّقًا.

 

(Al-Muzani berkata): Dan dalam hal itu terdapat dalil bahwa hal itu mencukupinya secara terpisah.

 

(قَالَ) : وَإِنْ نَوَى يَوْمًا فَدَخَلَ فِي نِصْفِ النَّهَارِ اعْتَكَفَ إلَى مِثْلِهِ، وَإِنْ قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ اعْتِكَافُ يَوْمٍ دَخَلَ فِيهِ قَبْلَ الْفَجْرِ إلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ، وَإِنْ قَالَ يَوْمَيْنِ فَإِلَى غُرُوبِ الشَّمْسِ مِنْ الْيَوْمِ الثَّانِي إلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ نِيَّةُ النَّهَارِ دُونَ اللَّيْلِ وَيَجُوزُ اعْتِكَافُهُ لَيْلَةً، وَإِنْ قَالَ لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَعْتَكِفَ يَوْمَ يَقْدُمُ فُلَانٌ فَقَدِمَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ اعْتَكَفَ فِي مَا بَقِيَ فَإِنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ مَحْبُوسًا فَإِذَا قَدَرَ قَضَاهُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang berniat i’tikaf selama satu hari dan memulainya di pertengahan siang, maka ia beri’tikaf hingga waktu yang sama keesokan harinya. Jika ia berkata, ‘Aku wajib beri’tikaf satu hari untuk Allah,’ lalu memulainya sebelum fajar, maka i’tikafnya berlangsung hingga terbenam matahari. Jika ia mengatakan dua hari, maka hingga terbenam matahari pada hari kedua, kecuali jika ia berniat hanya untuk siang hari tanpa malam. Dan diperbolehkan i’tikafnya hanya semalam. Jika ia berkata, ‘Aku wajib beri’tikaf untuk Allah pada hari si fulan datang,’ lalu si fulan datang di awal siang, maka ia beri’tikaf pada sisa hari itu. Jika ia sakit atau tertahan, maka ketika mampu, ia menggantinya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ إذْ قَدِمَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ أَنْ يَقْضِيَ مِقْدَارَ مَا مَضَى مِنْ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ يَوْمٍ آخَرَ حَتَّى يَكُونَ قَدْ أَكْمَلَ اعْتِكَافَ يَوْمٍ، وَقَدْ يَقْدُمُ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ لِطُلُوعِ الشَّمْسِ، وَقَدْ مَضَى بَعْضُ يَوْمٍ فَيَقْضِي بَعْضَ يَوْمٍ فَلَا بُدَّ مِنْ قَضَائِهِ حَتَّى يَتِمَّ يَوْمٌ وَلَوْ اسْتَأْنَفَ يَوْمًا حَتَّى يَكُونَ اعْتِكَافُهُ مَوْصُولًا كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Tampaknya, jika seseorang memulai i’tikaf di awal siang, ia harus mengganti sejumlah waktu yang telah berlalu dari hari itu dengan hari lain agar ia menyempurnakan i’tikaf satu hari penuh. Terkadang seseorang memulai di awal siang saat matahari terbit, sementara sebagian hari telah berlalu, maka ia harus mengganti sebagian hari itu. Ia wajib menggantinya hingga sempurna satu hari. Namun, jika ia memulai hari baru sehingga i’tikafnya bersambung, itu lebih aku sukai.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا بَأْسَ أَنْ يَلْبَسَ الْمُعْتَكِفُ وَالْمُعْتَكِفَةُ وَيَأْكُلَا وَيَتَطَيَّبَا بِمَا شَاءَا، وَإِنْ هَلَكَ زَوْجُهَا خَرَجَتْ فَاعْتَدَّتْ ثُمَّ بَنَتْ وَلَا بَأْسَ أَنْ تُوضَعَ الْمَائِدَةُ فِي الْمَسْجِدِ وَغَسْلُ الْيَدَيْنِ فِي الطَّشْتِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يُنْكِحَ نَفْسَهُ وَيُنْكِحَ غَيْرَهُ وَالْمَرْأَةُ وَالْعَبْدُ وَالْمُسَافِرُونَ يَعْتَكِفُونَ حَيْثُ شَاءُوا؛ لِأَنَّهُ لَا جُمُعَةَ عَلَيْهِمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa orang yang beri’tikaf (laki-laki atau perempuan) memakai pakaian, makan, dan memakai wewangian sesuka mereka. Jika suaminya meninggal, dia boleh keluar untuk menjalani masa iddah, kemudian membangun (kehidupan baru). Juga tidak masalah meletakkan meja makan di masjid dan mencuci tangan di baskom. Tidak ada masalah baginya untuk menikahkan dirinya sendiri atau menikahkan orang lain. Wanita, budak, dan musafir boleh beri’tikaf di mana saja mereka mau, karena tidak ada kewajiban Jumat atas mereka.

كِتَابُ الْحَجِّ

 

Gagal diterjemahkan  (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَرَضَ اللَّهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – الْحَجَّ عَلَى كُلِّ حُرٍّ بَالِغٍ اسْتَطَاعَ إلَيْهِ سَبِيلًا بِدَلَالَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَمَنْ حَجَّ مَرَّةً وَاحِدَةً فِي دَهْرِهِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ غَيْرُهَا.

(Asy-Syafi’i berkata): “Kemampuan (istitha’ah) itu ada dua macam. Pertama: seseorang mampu secara fisik dan memiliki harta yang cukup untuk melaksanakan haji dengan bekal dan kendaraan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya, ‘Wahai Rasulullah, apa itu istitha’ah?’ Beliau menjawab, ‘Bekal dan kendaraan.’ Kedua: seseorang yang lumpuh badannya sehingga tidak mampu bertahan di atas kendaraan dalam keadaan apapun, namun ia mampu memerintahkan orang yang taat kepadanya untuk menghajikannya, baik dengan ketaatan orang itu atau dengan upah. Maka orang ini termasuk yang wajib haji sesuai kemampuannya. Dan sudah dikenal dalam bahasa Arab ketika seseorang berkata, ‘Aku mampu membangun rumahku atau menjahit bajuku,’ maksudnya adalah dengan menyewa atau memerintahkan orang yang taat kepadaku.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Seorang wanita dari Khats’am bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kewajiban haji dari Allah telah sampai pada ayahku yang sudah tua renta dan tidak mampu bertahan di atas kendaraannya. Bolehkah aku menghajikannya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ya.’ Wanita itu bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah itu bermanfaat baginya?’ Beliau menjawab, ‘Ya, seperti halnya jika ayahmu memiliki hutang lalu kau melunasinya, itu akan bermanfaat baginya.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَجَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَاءَهَا الْحَجَّ عَنْهُ كَقَضَائِهَا الدَّيْنَ عَنْهُ فَلَا شَيْءَ أَوْلَى أَنْ يُجْمَعَ بَيْنَهُ مِمَّا جَمَعَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَهُ وَرُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إنْ كُنْت حَجَجْت فَلَبِّ عَنْهُ، وَإِلَّا فَاحْجُجْ» وَرُوِيَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ لِشَيْخٍ كَبِيرٍ لَمْ يَحُجَّ إنْ شِئْت فَجَهَّزَ رَجُلًا يَحُجُّ عَنْك

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan pelaksanaan haji untuknya seperti pelunasan hutang untuknya. Maka tidak ada yang lebih utama untuk dikumpulkan daripada apa yang telah dikumpulkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Diriwayatkan dari Atha’, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau mendengar seorang lelaki berkata, “Labbaik atas nama Syubrumah.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika engkau telah berhaji, maka bertalbiyahlah untuknya. Jika belum, maka berhajilah.” Dan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata kepada seorang syeikh tua yang belum berhaji, “Jika engkau mau, persiapkanlah seseorang untuk berhaji atas namamu.”

 

بَابُ الِاسْتِطَاعَةِ بِالْغَيْرِ

 

Bab kemampuan melalui orang lain

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا اسْتَطَاعَ الرَّجُلُ فَأَمْكَنَهُ مَسِيرُ النَّاسِ مِنْ بَلَدِهِ فَقَدْ لَزِمَهُ الْحَجُّ فَإِنْ مَاتَ قَضَى عَنْهُ، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ لِبُعْدِ دَارِهِ وَدُنُوِّ الْحَجِّ مِنْهُ، وَلَمْ يَعِشْ حَتَّى يُمْكِنَهُ مِنْ قَابِلٍ لَمْ يَلْزَمْهُ، وَإِنْ كَانَ عَامَ جَدْبٍ أَوْ عَطَشٍ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ أَوْ كَانَ خَوْفُ عَدُوٍّ أَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ غَيْرَ وَاجِدٍ لِلسَّبِيلِ لَمْ يَلْزَمْهُ، وَلَمْ يَبْنِ عَلَى أَنْ أُوجِبَ عَلَيْهِ رُكُوبَ الْبَحْرِ لِلْحَجِّ إذَا قَدَرَ عَلَيْهِ. وَرُوِيَ عَنْ عَطَاءٍ وَطَاوُسٍ أَنَّهُمَا قَالَا: الْحَجَّةُ الْوَاجِبَةُ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَهُوَ الْقِيَاسُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mampu dan memungkinkan baginya untuk melakukan perjalanan haji dari negerinya, maka haji menjadi wajib baginya. Jika ia meninggal, maka hajinya ditunaikan atas namanya. Namun jika tidak memungkinkan karena jauhnya tempat tinggalnya atau dekatnya waktu haji, dan ia tidak hidup sampai memungkinkannya di tahun berikutnya, maka haji tidak wajib baginya. Jika itu adalah tahun paceklik atau kekeringan dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, atau ada rasa takut terhadap musuh yang seolah-olah menghalangi jalannya, maka haji tidak wajib baginya. Dan beliau tidak berpendapat untuk mewajibkan seseorang menaiki kapal laut untuk haji meskipun ia mampu. Diriwayatkan dari Atha’ dan Thawus bahwa mereka berdua berkata: Haji wajib dibiayai dari harta pokok, dan itu adalah qiyas.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَلْيَسْتَأْجِرْ عَنْهُ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ بِأَقَلَّ مَا يُؤْجَرُ مِنْ مِيقَاتِهِ وَلَا يَحُجُّ عَنْهُ إلَّا مَنْ قَدْ أَدَّى الْفَرْضَ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَجَّ فَهِيَ عَنْهُ وَلَا أُجْرَةَ لَهُ وَرُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يُلَبِّي عَنْ فُلَانٍ فَقَالَ لَهُ إنْ كُنْت حَجَجْت فَلَبِّ عَنْهُ، وَإِلَّا فَاحْجُجْ عَنْ نَفْسِك» وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ ” لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ ” فَقَالَ: وَيْحَك، ” وَمَنْ شُبْرُمَةُ؟ ” فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ ” اُحْجُجْ عَنْ نَفْسِك ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ “.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Hendaknya dia menyewa orang untuk menunaikan haji dan umrah atas namanya dengan upah minimal yang berlaku dari miqatnya. Tidak boleh menghajikan orang lain kecuali yang telah menunaikan kewajiban haji sekali. Jika belum berhaji, maka hajinya dianggap untuk dirinya sendiri dan tidak ada upah baginya.” Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau mendengar seorang mengucapkan talbiyah atas nama fulan, lalu beliau bersabda: “Jika engkau sudah berhaji, bertalbiyahlah untuknya. Jika belum, berhajilah untuk dirimu sendiri.” Dan dari Ibnu Abbas, dia mendengar seorang berkata: “Labbaik atas nama Syubrumah.” Lalu Beliau berkata: “Celaka kamu, siapa Syubrumah?” Orang itu memberitahunya, lalu Beliau berkata: “Berhajilah untuk dirimu sendiri, baru berhaji untuk Syubrumah.”

(قَالَ) : وَكَذَلِكَ لَوْ أَحْرَمَ مُتَطَوِّعًا وَعَلَيْهِ حَجٌّ كَانَ فَرْضَهُ أَوْ عُمْرَةٌ كَانَتْ فَرْضَهُ.

 

Beliau berkata: “Demikian pula, jika seseorang berihram untuk melakukan ibadah sunnah, sementara ia masih memiliki kewajiban haji atau umrah yang wajib, maka ibadah sunnahnya berubah menjadi wajib.”

Teks Asli

بَابُ بَيَانِ وَقْتِ فَرْضِ الْحَجِّ وَكَوْنِهِ عَلَى التَّرَاخِي

 

Terjemahan

Bab tentang penjelasan waktu diwajibkannya haji dan sifatnya yang boleh ditunda.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أُنْزِلَتْ فَرِيضَةُ الْحَجِّ بَعْدَ الْهِجْرَةِ «وَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَبَا بَكْرٍ عَلَى الْحَجِّ وَتَخَلَّفَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِالْمَدِينَةِ بَعْدَ مُنْصَرَفِهِ مِنْ تَبُوكَ لَا مُحَارِبًا وَلَا مَشْغُولًا بِشَيْءٍ وَتَخَلَّفَ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ قَادِرِينَ عَلَى الْحَجِّ وَأَزْوَاجُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» وَلَوْ كَانَ كَمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْفَرْضَ وَلَا تَرَكَ الْمُتَخَلِّفُونَ عَنْهُ وَلَمْ يَحُجَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَعْدَ فَرْضِ الْحَجِّ إلَّا حَجَّةَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ حَجَّةُ الْوَدَاعِ، وَرُوِيَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَقَامَ بِالْمَدِينَةِ تِسْعَ سِنِينَ وَلَمْ يَحُجَّ ثُمَّ حَجَّ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Kewajiban haji diturunkan setelah hijrah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar untuk memimpin haji, sementara beliau sendiri tetap tinggal di Madinah setelah kembali dari Tabuk—tidak karena berperang atau sibuk dengan urusan lain. Kebanyakan kaum muslimin yang mampu berhaji juga tidak pergi, termasuk istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Seandainya haji seperti orang yang meninggalkan shalat hingga waktunya habis, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan meninggalkan kewajiban itu, dan orang-orang pun tidak akan meninggalkannya. Setelah kewajiban haji ditetapkan, beliau hanya melaksanakan satu haji, yaitu Haji Wada’. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah selama sembilan tahun tanpa berhaji, kemudian beliau berhaji.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Waktu haji adalah antara saat ia diwajibkan hingga ia meninggal.”

 

بَابُ بَيَانِ وَقْتِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ

Bab tentang penjelasan waktu haji dan umrah

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Berkata Asy-Syafi’i:

قَالَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – {الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ} البقرة: 197 الْآيَةَ.

Allah – Yang Maha Agung dan Mulia – berfirman: “Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah: 197) ayat tersebut.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَشْهُرُ الْحَجِّ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ وَتِسْعٌ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَهُوَ يَوْمُ عَرَفَةَ فَمَنْ لَمْ يُدْرِكْهُ إلَى الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ وَرُوِيَ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ سُئِلَ أَيُهَلُّ بِالْحَجِّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ؟ قَالَ لَا وَعَنْ عَطَاءٍ أَنَّهُ قِيلَ لَهُ أَرَأَيْت رَجُلًا جَاءَ مُهِلًّا بِالْحَجِّ فِي رَمَضَانَ مَا كُنْت قَائِلًا لَهُ؟ قَالَ أَقُولُ لَهُ اجْعَلْهَا عُمْرَةً وَعَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُحْرِمَ بِالْحَجِّ إلَّا فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ مِنْ أَجْلِ قَوْلِ اللَّهِ – جَلَّ وَعَزَّ – {الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ} البقرة: 197 .

 

(Imam Syafi’i berkata): Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah, dan sembilan hari pertama Dzulhijjah termasuk hari Arafah. Barangsiapa tidak sempat wukuf hingga fajar hari nahar (10 Dzulhijjah), maka hajinya telah terlewat. Diriwayatkan bahwa Jabir bin Abdullah ditanya, “Bolehkah seseorang berihram untuk haji sebelum bulan-bulan haji?” Ia menjawab, “Tidak.” Dari Atha’, ketika ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang datang berihram untuk haji di bulan Ramadhan, apa yang akan kau katakan padanya?” Ia menjawab, “Aku akan menyuruhnya mengubahnya menjadi umrah.” Dari Ikrimah, ia berkata, “Tidak sepatutnya seseorang berihram untuk haji kecuali pada bulan-bulan haji, berdasarkan firman Allah -Yang Maha Agung dan Mulia- {Musim haji adalah bulan-bulan yang telah dimaklumi} QS. Al-Baqarah:197.”

 

(قَالَ) : فَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَحُجَّ قَبْلَ أَشْهُرِ الْحَجِّ فَإِنْ فَعَلَ فَإِنَّهَا تَكُونُ عُمْرَةً كَرَجُلٍ دَخَلَ فِي صَلَاةٍ قَبْلَ وَقْتِهَا فَتَكُونُ نَافِلَةً.

 

 

Beliau berkata: “Tidak boleh bagi siapa pun untuk berhaji sebelum bulan-bulan haji. Jika dilakukan, maka itu menjadi umrah, seperti seseorang yang mengerjakan shalat sebelum waktunya, maka itu menjadi shalat sunnah.”

 

(قَالَ) : وَوَقْتُ الْعُمْرَةِ مَتَى شَاءَ وَمَنْ قَالَ لَا يَعْتَمِرُ إلَّا مَرَّةً فِي السَّنَةِ خَالَفَ سُنَّةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؛ لِأَنَّهُ أَعْمَرَ عَائِشَةَ فِي شَهْرٍ وَاحِدٍ مِنْ سَنَةٍ وَاحِدَةٍ مَرَّتَيْنِ وَخَالَفَ فِعْلَ عَائِشَةَ نَفْسِهَا وَعَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَابْنِ عُمَرَ وَأَنَسٍ – رَحِمَهُمُ اللَّهُ -.

 

 

Beliau berkata: “Waktu umrah adalah kapan saja yang dikehendaki. Barangsiapa yang mengatakan tidak boleh berumrah kecuali sekali dalam setahun, maka dia telah menyelisihi sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, karena beliau pernah memerintahkan Aisyah untuk berumrah dua kali dalam satu bulan pada tahun yang sama. Dan dia juga telah menyelisihi perbuatan Aisyah sendiri, Ali – radhiyallahu ‘anhu -, Ibnu Umar, dan Anas – rahimahumullah -.”

 

بَابُ بَيَانِ أَنَّ الْعُمْرَةَ وَاجِبَةٌ كَالْحَجِّ

 

Bab penjelasan bahwa umrah itu wajib seperti haji

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ – جَلَّ ذِكْرُهُ – {وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ} البقرة: 196 فَقَرَنَ الْعُمْرَةَ بِهِ وَأَشْبَهَ بِظَاهِرِ الْقُرْآنِ أَنْ تَكُونَ الْعُمْرَةُ وَاجِبَةً «وَاعْتَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَبْلَ الْحَجِّ» وَمَعَ ذَلِكَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إنَّهَا لَقَرِينَتُهَا فِي كِتَابِ اللَّهِ وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ وَعَنْ عَطَاءٍ قَالَ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ إلَّا وَعَلَيْهِ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ وَاجِبَتَانِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Allah – Yang Mahatinggi sebutan-Nya – berfirman: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah” (QS. Al-Baqarah: 196). Maka Dia menyandingkan umrah dengan haji, dan menurut zahir Al-Qur’an, umrah itu wajib. “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah berumrah sebelum haji.” Di samping itu, perkataan Ibnu Abbas: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh umrah adalah penyerta haji dalam Kitab Allah: ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah’.” Dan dari ‘Atha’, ia berkata: “Tidak ada seorang pun dari makhluk Allah kecuali wajib atasnya haji dan umrah.”

 

(قَالَ) : وَقَالَ غَيْرُهُ مِنْ مَكِّيِّينَا وَسَنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي قِرَانِ الْعُمْرَةِ مَعَ الْحَجِّ هَدْيًا وَلَوْ كَانَتْ نَافِلَةً أَشْبَهَ أَنْ لَا تُقْرَنَ مَعَ الْحَجِّ. وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «دَخَلَتْ الْعُمْرَةُ فِي الْحَجِّ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ» وَرُوِيَ أَنَّ «فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنَّ الْعُمْرَةَ هِيَ الْحَجُّ الْأَصْغَرُ» .

 

 

Beliau berkata: Dan yang lain dari ahli Mekkah kami berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah mensunnahkan dalam menggabungkan umrah dengan haji dengan menyembelih hadyu, sekalipun itu sunnah. Namun lebih mirip agar tidak digabungkan dengan haji. Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Umrah telah masuk ke dalam haji hingga hari kiamat.” Dan diriwayatkan bahwa “Dalam kitab yang ditulis Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk Amr bin Hazm, bahwa umrah adalah haji kecil.”

بَابُ الْقِرَانِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

Bab tentang Qiran dan selain itu

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُجْزِئُهُ أَنْ يَقْرُنَ الْعُمْرَةَ مَعَ الْحَجِّ وَيُهْرِيقَ دَمًا وَالْقَارِنُ أَخَفُّ حَالًا مِنْ الْمُتَمَتِّعِ. وَإِنْ اعْتَمَرَ قَبْلَ الْحَجِّ ثُمَّ أَقَامَ بِمَكَّةَ حَتَّى يُنْشِئَ الْحَجَّ أَنْشَأَهُ مِنْ مَكَّةَ لَا مِنْ الْمِيقَاتِ، وَلَوْ أَفْرَدَ الْحَجَّ وَأَرَادَ الْعُمْرَةَ بَعْدَ الْحَجِّ خَرَجَ مِنْ الْحَرَمِ ثُمَّ أَهَلَّ مِنْ أَيْنَ شَاءَ فَسَقَطَ عَنْهُ بِإِحْرَامِهِ بِالْحَجِّ مِنْ الْمِيقَاتِ وَأَحْرَمَ بِهَا مِنْ أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ مِنْ مِيقَاتِهَا وَلَا مِيقَاتَ لَهَا دُونَ الْحِلِّ كَمَا يَسْقُطُ مِيقَاتُ الْحَجِّ إذَا قَدَّمَ الْعُمْرَةَ قَبْلَهُ لِدُخُولِ أَحَدِهِمَا فِي الْآخَرِ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Cukup baginya untuk menggabungkan umrah dengan haji dan menyembelih hewan. Orang yang melakukan qiran (gabungan haji dan umrah) lebih ringan keadaannya daripada yang melakukan tamattu’. Jika seseorang berumrah sebelum haji, kemudian tinggal di Makkah hingga memulai haji, maka ia memulainya dari Makkah, bukan dari miqat. Jika ia melakukan ifrad haji (haji saja) dan ingin berumrah setelah haji, ia keluar dari tanah haram lalu berihram dari mana saja yang ia kehendaki. Kewajiban ihram haji dari miqat gugur darinya, dan ia berihram untuk umrah dari tempat terdekat dari miqatnya. Tidak ada miqat untuk umrah selain tanah halal, sebagaimana miqat haji gugur jika umrah didahulukan sebelum haji karena salah satunya masuk dalam yang lain.

(قَالَ) : وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ الْجِعْرَانَةِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اعْتَمَرَ مِنْهَا فَإِنْ أَخْطَأَهُ ذَلِكَ فَمِنْ التَّنْعِيمِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَعْمَرَ عَائِشَةُ مِنْهَا وَهِيَ أَقْرَبُ الْحِلِّ إلَى الْبَيْتِ فَإِنْ أَخْطَأَهُ ذَلِكَ فَمِنْ الْحُدَيْبِيَةِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَّى بِهَا وَأَرَادَ أَنْ يَدْخُلَ بِعُمْرَةٍ مِنْهَا.

 

Beliau berkata: “Yang lebih aku sukai adalah memulai ihram dari Ji’ranah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berumrah dari sana. Jika tidak memungkinkan, maka dari Tan’im, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh Aisyah berumrah dari sana, dan itu adalah tempat halal terdekat ke Baitullah. Jika itu pun tidak memungkinkan, maka dari Hudaibiyah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di sana dan hendak memasuki Makkah untuk umrah dari sana.”

 

بَابُ بَيَانِ إفْرَادِ الْحَجِّ عَنْ الْعُمْرَةِ

 

Bab penjelasan tentang mengerjakan haji secara ifrad tanpa umrah

 

وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فِي مُخْتَصَرِ الْحَجِّ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُفْرِدَ؛ لِأَنَّ الثَّابِتَ عِنْدَنَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَفْرَدَ، وَقَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ الْأَحَادِيثِ: إنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ أَفْرَدَ الْحَجَّ يُشْبِهُ أَنْ يَقُولَ قَالَهُ عَلَى مَا يُعْرَفُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِي أَدْرَكَ وَفْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّ أَحَدًا لَا يَكُونُ مُقِيمًا عَلَى حَجٍّ إلَّا، وَقَدْ ابْتَدَأَ إحْرَامَهُ بِحَجٍّ وَأَحْسَبُ عُرْوَةَ حِينَ حَدَّثَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَحْرَمَ بِحَجٍّ ذَهَبَ إلَى أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ تَقُولُ يَفْعَلُ فِي حَجِّهِ هَذَا الْمَعْنَى، وَقَالَ فِيمَا اخْتَلَفَتْ فِيهِ الْأَحَادِيثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي مَخْرَجِهِ لَيْسَ شَيْءٌ مِنْ الِاخْتِلَافِ أَيْسَرَ مِنْ هَذَا، وَإِنْ كَانَ الْغَلَطُ فِيهِ قَبِيحًا مِنْ جِهَةِ أَنَّهُ مُبَاحٌ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَ ثُمَّ السُّنَّةَ ثُمَّ مَا لَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ التَّمَتُّعَ بِالْعُمْرَةِ إلَى الْحَجِّ، وَإِفْرَادَ الْحَجِّ وَالْقِرَانِ وَاسِعٌ كُلُّهُ وَثَبَتَ أَنَّهُ «خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَنْتَظِرُ الْقَضَاءَ فَنَزَلَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَهُوَ فِيمَا بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ أَهَلَّ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ هَدْيٌ أَنْ يَجْعَلَهَا عُمْرَةً، وَقَالَ لَوْ اسْتَقْبَلْت مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْت لَمَا سُقْت الْهَدْيَ وَلَجَعَلْتهَا عُمْرَةً» .

 

 

Dan selain itu (Asy-Syafi’i berkata): Dalam ringkasan haji, yang lebih aku sukai adalah mengerjakan haji secara ifrad (terpisah dari umrah), karena yang tetap menurut kami adalah bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengerjakan haji ifrad. Dan beliau berkata dalam kitab Ikhtilaf al-Ahadits: Sesungguhnya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Seandainya aku mengetahui sebelumnya apa yang aku ketahui sekarang, niscaya aku tidak akan membawa hewan hadyu dan akan menjadikannya umrah.” (Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa yang mengatakan bahwa beliau mengerjakan haji ifrad, maka seolah-olah ia mengatakan hal itu berdasarkan apa yang diketahui dari para ulama yang sempat bertemu dengan utusan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa tidak ada seorang pun yang menetap dalam ibadah haji kecuali ia memulai ihramnya dengan haji. Dan aku menduga bahwa Urwah ketika ia meriwayatkan bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – berihram untuk haji, ia berpendapat bahwa ia mendengar Aisyah mengatakan bahwa beliau melakukan hal itu dalam hajinya. Dan beliau berkata mengenai perbedaan hadits-hadits dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam perjalanannya: “Tidak ada perbedaan yang lebih ringan daripada ini, meskipun kesalahan dalam hal ini buruk dari sisi bahwa hal itu diperbolehkan. Karena Al-Qur’an, kemudian Sunnah, kemudian apa yang tidak aku ketahui adanya perbedaan pendapat, menunjukkan bahwa tamattu’ dengan umrah sampai haji, ifrad haji, dan qiran, semuanya luas (diperbolehkan). Dan telah tetap bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – keluar menunggu keputusan, lalu turun kepadanya keputusan ketika beliau berada di antara Shafa dan Marwah, dan beliau memerintahkan para sahabatnya bahwa barangsiapa di antara mereka yang telah berihram dan tidak membawa hewan hadyu, hendaknya ia menjadikannya umrah. Dan beliau bersabda: “Seandainya aku mengetahui sebelumnya apa yang aku ketahui sekarang, niscaya aku tidak akan membawa hewan hadyu dan akan menjadikannya umrah.”

(فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ) : فَمِنْ أَيْنَ أَثْبَتَ حَدِيثَ عَائِشَةَ وَجَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ وَطَاوُسٍ دُونَ حَدِيثِ مَنْ قَالَ قَرَنَ؟ .

 

(Jika ada yang berkata): “Lalu dari mana engkau menetapkan hadits Aisyah, Jabir, Ibnu Umar, dan Thawus, bukan hadits orang yang mengatakan Qarn?”

 

(قِيلَ) : لِتَقَدُّمِ صُحْبَةِ جَابِرٍ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَحُسْنِ سِيَاقِهِ لِابْتِدَاءِ الْحَدِيثِ وَآخِرِهِ وَلِرِوَايَةِ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَفَضْلِ حِفْظِهَا عَنْهُ وَقُرْبِ ابْنُ عُمَرَ مِنْهُ؛ وَلِأَنَّ مَنْ وَصَفَ انْتِظَارَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْقَضَاءَ إذْ لَمْ يَحُجَّ مِنْ الْمَدِينَةِ بَعْدَ نُزُولِ فَرْضِ الْحَجِّ طَلَبَ الِاخْتِيَارِ فِيمَا وَسَّعَ اللَّهُ مِنْ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ أَحْفَظَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَتَى فِي الْمُتَلَاعِنَيْنِ فَانْتَظَرَ الْقَضَاءَ كَذَلِكَ حُفِظَ عَنْهُ فِي الْحَجِّ يَنْتَظِرُ الْقَضَاءَ.

 

 

Dikatakan: Karena lamanya persahabatan Jabir dengan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan baiknya susunan hadisnya dari awal hingga akhir, serta karena riwayat Aisyah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan keutamaan hafalannya darinya, juga kedekatan Ibnu Umar dengannya. Juga karena orang yang menggambarkan penantian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – terhadap keputusan ketika belum berhaji dari Madinah setelah turunnya kewajiban haji, menunjukkan pencarian pilihan dalam apa yang Allah lapangkan dari haji dan umrah, sehingga lebih mungkin untuk lebih terjaga. Karena beliau pernah melakukan hal serupa dalam kasus dua orang yang saling melaknat, lalu menunggu keputusan. Demikian pula dalam haji, beliau menunggu keputusan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : إنْ ثَبَتَ حَدِيثُ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَرَنَ حَتَّى يَكُونَ مُعَارِضًا لِلْأَحَادِيثِ سِوَاهُ فَأَصْلُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْعُمْرَةَ فَرْضٌ وَأَدَاءُ الْفَرْضَيْنِ فِي وَقْتِ الْحَجِّ أَفْضَلُ مِنْ أَدَاءِ فَرْضٍ وَاحِدٍ؛ لِأَنَّ مَنْ كَثُرَ عَمَلُهُ لِلَّهِ كَانَ أَكْثَرَ فِي ثَوَابِ اللَّهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika hadis Anas dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang menyatakan beliau menggabungkan (haji dan umrah) terbukti sahih hingga bertentangan dengan hadis-hadis lainnya, maka pendapat asli Imam Syafi’i adalah bahwa umrah itu wajib, dan menunaikan dua kewajiban (haji dan umrah) pada waktu haji lebih utama daripada menunaikan satu kewajiban saja; karena siapa yang banyak amalnya untuk Allah, maka lebih banyak pula pahalanya di sisi Allah.

بَابُ بَيَانِ التَّمَتُّعِ بِالْعُمْرَةِ وَبَيَانِ الْمَوَاقِيتِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

Bab tentang penjelasan tamattu’ dalam umrah, penjelasan miqat, dan lainnya

(Asy-Syafi’i berkata): Allah -Yang Maha Agung dan Mulia- berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan umrah sebelum haji…” (QS. Al-Baqarah: 196). Maka apabila seseorang berihram untuk haji pada bulan Syawal, Dzulqa’dah, atau Dzulhijjah, maka ia menjadi seorang yang melakukan tamattu’. Dan sesungguhnya ia boleh berpuasa ketika ia memasuki ibadah haji, dan ini adalah pendapat ‘Amr bin Dinar.

 

(قَالَ) : وَعَلَيْهِ أَنْ لَا يَخْرُجَ مِنْ الْحَجِّ حَتَّى يَصُومَ إذَا لَمْ يَجِدْ هَدْيًا وَأَنْ يَكُونَ آخِرُ مَالَهُ مِنْ الْأَيَّامِ الثَّلَاثَةِ فِي آخِرِ صِيَامِهِ يَوْمَ عَرَفَةَ؛ لِأَنَّهُ يَخْرُجُ بَعْدَ عَرَفَةَ مِنْ الْحَجِّ، وَيَكُونُ فِي يَوْمٍ لَا صَوْمَ فِيهِ يَوْمِ النَّحْرِ، وَلَا يُصَامُ فِيهِ وَلَا أَيَّامِ مِنًى لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْهَا وَأَنَّ مَنْ طَافَ فِيهَا فَقَدْ حَلَّ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ أَقُولَ هَذَا فِي حَجٍّ وَهُوَ خَارِجٌ مِنْهُ، وَقَدْ كُنْت أَرَاهُ، وَقَدْ يَكُونُ مَنْ قَالَ يَصُومُ أَيَّامَ مِنًى ذَهَبَ عَنْهُ نَهْيُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْهَا.

 

 

Beliau berkata: “Wajib baginya untuk tidak keluar dari haji hingga berpuasa jika tidak menemukan hewan kurban, dan hendaknya akhir dari tiga hari puasanya adalah hari Arafah. Karena ia keluar dari haji setelah Arafah, dan berada pada hari yang tidak boleh berpuasa yaitu hari Nahr (Idul Adha). Tidak boleh berpuasa pada hari itu maupun hari-hari Mina karena larangan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – terhadapnya. Barangsiapa yang thawaf pada hari-hari tersebut, maka ia telah bertahallul. Tidak boleh bagiku mengatakan hal ini dalam haji sedangkan ia telah keluar darinya. Aku pernah memandangnya demikian, dan mungkin orang yang mengatakan boleh berpuasa pada hari-hari Mina telah melupakan larangan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – terhadapnya.”

(Al-Muzani berkata): Ucapan ini adalah qiyas; karena tidak ada perbedaan pendapat bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menyamakan dalam larangannya terhadap hari itu (hari Arafah) dan hari Nahr (Idul Adha). Maka jika tidak boleh berpuasa pada hari Nahr karena larangan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – terhadapnya, maka demikian pula hari-hari Mina karena larangan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – terhadapnya.

 

(قَالَ) : وَيَصُومُ السَّبْعَةَ إذَا رَجَعَ إلَى أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَصُمْ حَتَّى مَاتَ تُصُدِّقَ عَمَّا أَمْكَنَهُ فَلَمْ يَصُمْهُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ فَإِنْ لَمْ يَمُتْ وَدَخَلَ فِي الصَّوْمِ ثُمَّ وَجَدَ الْهَدْيَ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْهَدْيُ، وَإِنْ أَهْدَى فَحَسَنٌ وَحَاضِرُو الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِينَ لَا مُتْعَةَ عَلَيْهِمْ مَنْ كَانَ أَهْلُهُ دُونَ لَيْلَتَيْنِ وَهُوَ حِينَئِذٍ أَقْرَبُ الْمَوَاقِيتِ وَمَنْ سَافَرَ إلَيْهِ صَلَّى صَلَاةَ الْحَضَرِ وَمِنْهُ يَرْجِعُ مَنْ لَمْ يَكُنْ آخِرُ عَهْدِهِ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ حَتَّى يَطُوفَ فَإِنْ جَاوَزَ ذَلِكَ إلَى أَنْ يَصِيرَ مُسَافِرًا أَجْزَأَهُ دَمٌ.

 

 

(Dia berkata): “Dan dia berpuasa tujuh hari apabila telah kembali kepada keluarganya. Jika dia tidak berpuasa hingga meninggal, maka disedekahkan sesuai kemampuannya, yaitu untuk setiap hari yang ditinggalkan sebanyak satu mud gandum. Jika dia tidak meninggal dan telah memulai puasa kemudian menemukan hewan kurban, maka tidak wajib baginya berkurban. Namun jika dia berkurban, itu baik. Penduduk Masjidil Haram yang tidak memiliki kewajiban mut’ah adalah mereka yang keluarganya berada dalam jarak kurang dari dua malam, dan saat itu merupakan miqat terdekat. Barangsiapa melakukan perjalanan ke sana, maka shalatlah seperti shalat orang yang tidak bepergian. Dan darinya (miqat) kembali orang yang terakhir kali tidak melakukan thawaf di Ka’bah hingga dia thawaf. Jika melewati batas itu hingga menjadi musafir, maka cukup baginya dengan menyembelih dam.”

 

بَابُ مَوَاقِيتِ الْحَجِّ

 

Bab tentang Waktu-Waktu Haji

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مِيقَاتُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مِنْ ذِي الْحُلَيْفَةِ وَأَهْلِ الشَّامِ وَمِصْرَ وَالْمَغْرِبِ وَغَيْرِهَا مِنْ الْجُحْفَةِ وَأَهْلِ تِهَامَةِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ وَأَهْلِ نَجْدِ الْيَمَنِ قَرْنًا وَأَهْلِ الْمَشْرِقِ ذَاتَ عِرْقٍ وَلَوْ أَهَلُّوا مِنْ الْعَقِيقِ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ وَالْمَوَاقِيتُ لِأَهْلِهَا وَلِكُلِّ مَنْ يَمُرُّ بِهَا مِمَّنْ أَرَادَ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً وَأَيُّهُمْ مَرَّ بِمِيقَاتِ غَيْرِهِ، وَلَمْ يَأْتِ مِنْ بَلَدِهِ كَانَ مِيقَاتُهُ مِيقَاتَ ذَلِكَ الْبَلَدِ الَّذِي مَرَّ بِهِ وَالْمَوَاقِيتُ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَالْقِرَانِ سَوَاءٌ وَمَنْ سَلَكَ بَرًّا أَوْ بَحْرًا تَأَخَّرَ حَتَّى يُهِلَّ مِنْ حَذْوِ الْمَوَاقِيتِ أَوْ مِنْ وَرَائِهَا وَلَوْ أَتَى عَلَى مِيقَاتٍ لَا يُرِيدُ حَجًّا وَلَا عُمْرَةً فَجَاوَزَهُ ثُمَّ بَدَا لَهُ أَنْ يُحْرِمَ أَحْرَمَ مِنْهُ وَذَلِكَ مِيقَاتُهُ وَمَنْ كَانَ أَهْلُهُ دُونَ الْمِيقَاتِ فَمِيقَاتُهُ مِنْ حَيْثُ يُحْرِمُ مِنْ أَهْلِهِ لَا يُجَاوِزُهُ وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ أَهَلَّ مِنْ الْفُرْعِ وَهَذَا عِنْدَنَا أَنَّهُ مَرَّ بِمِيقَاتِهِ لَا يُرِيدُ إحْرَامًا ثُمَّ بَدَا لَهُ فَأَهَلَّ مِنْهُ أَوْ جَاءَ إلَى الْفُرْعِ مِنْ مَكَّةَ أَوْ غَيْرِهَا ثُمَّ بَدَا لَهُ فَأَهَلَّ مِنْهُ، وَرُوِيَ «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُهِلُّ حَتَّى تَنْبَعِثَ بِهِ رَاحِلَتُهُ» .

 

(Imam Syafi’i berkata): Miqat penduduk Madinah adalah Dzulhulaifah, penduduk Syam, Mesir, Maghrib, dan lainnya dari Juhfah, penduduk Tihamah Yaman adalah Yalamlam, penduduk Najd Yaman adalah Qarn, dan penduduk Masyriq adalah Dzatu ‘Irq. Jika mereka berihram dari ‘Aqiq, itu lebih aku sukai. Miqat-miqt itu berlaku bagi penduduknya dan setiap orang yang melewatinya yang hendak menunaikan haji atau umrah. Siapa saja yang melewati miqat selain miqatnya, dan tidak datang dari negerinya, maka miqatnya adalah miqat negeri yang dia lewati. Miqat dalam haji, umrah, dan qiran adalah sama. Barangsiapa yang menempuh jalan darat atau laut, maka dia menunda hingga berihram dari sejajar miqat atau dari belakangnya. Jika seseorang melewati miqat tanpa niat haji atau umrah, lalu melewatinya, kemudian timbul keinginan untuk berihram, maka dia berihram dari sana, dan itulah miqatnya. Barangsiapa yang keluarganya berada di bawah miqat, maka miqatnya adalah dari tempat dia berihram bersama keluarganya, tidak melebihinya. Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia berihram dari Al-Fur’. Menurut kami, hal itu karena dia melewati miqatnya tanpa niat berihram, kemudian timbul keinginan, lalu berihram dari sana, atau dia datang ke Al-Fur’ dari Makkah atau lainnya, kemudian timbul keinginan, lalu berihram dari sana. Diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau tidak berihram hingga kendaraannya membawanya pergi.

 

بَابُ الْإِحْرَامِ وَالتَّلْبِيَةِ

Bab Ihram dan Talbiyah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ الْإِحْرَامَ اغْتَسَلَ لِإِحْرَامِهِ مِنْ مِيقَاتِهِ وَتَجَرَّدَ وَلَبِسَ إزَارًا وَرِدَاءً أَبْيَضَيْنِ وَيَتَطَيَّبُ لِإِحْرَامِهِ إنْ أَحَبَّ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يَرْكَبُ فَإِذَا تَوَجَّهَتْ بِهِ رَاحِلَتُهُ لَبَّى وَيَكْفِيهِ أَنْ يَنْوِيَ حَجًّا أَوْ عُمْرَةً عِنْدَ دُخُولِهِ فِيهِ وَرُوِيَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ بِالْغُسْلِ وَتَطَيَّبَ لِإِحْرَامِهِ» وَتَطَيَّبَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang hendak berihram, hendaknya ia mandi untuk ihram dari miqatnya, melepas pakaian biasa, lalu mengenakan dua kain putih (izar dan rida’), serta memakai wewangian untuk ihram jika ia mau sebelum berihram. Kemudian, ia shalat dua rakaat, lalu naik kendaraan. Ketika kendaraannya telah siap berangkat, ia bertalbiyah. Cukup baginya berniat haji atau umrah saat memulainya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan mandi dan memakai wewangian untuk ihramnya.” Ibnu Abbas dan Sa’ad bin Abi Waqqash juga memakai wewangian.

 

(قَالَ) : فَإِنْ لَبَّى بِحَجٍّ وَهُوَ يُرِيدُ عُمْرَةً فَهِيَ عُمْرَةٌ، وَإِنْ لَبَّى بِعُمْرَةٍ يُرِيدُ حَجًّا فَهُوَ حَجٌّ، وَإِنْ لَمْ يُرِدْ حَجًّا وَلَا عُمْرَةً فَلَيْسَ بِشَيْءٍ، وَإِنْ لَبَّى يُرِيدُ الْإِحْرَامَ وَلَمْ يَنْوِ حَجًّا وَلَا عُمْرَةً فَلَهُ الْخِيَارُ أَيُّهُمَا شَاءَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang mengucapkan talbiyah untuk haji sedangkan ia bermaksud umrah, maka itu dianggap umrah. Jika ia mengucapkan talbiyah untuk umrah tetapi bermaksud haji, maka itu dianggap haji. Jika ia tidak bermaksud haji atau umrah, maka talbiyahnya tidak sah. Dan jika ia mengucapkan talbiyah dengan niat ihram tanpa meniatkan haji atau umrah, maka ia boleh memilih salah satu yang ia kehendaki.”

 

وَإِنْ لَبَّى بِأَحَدِهِمَا فَنَسِيَهُ فَهُوَ قَارِنٌ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّلْبِيَةِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَتَانِي جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – فَأَمَرَنِي أَنْ آمُرَ أَصْحَابِي أَوْ مَنْ مَعِي أَنْ يَرْفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ بِالتَّلْبِيَةِ»

 

 

Dan jika seseorang mengucapkan talbiyah untuk salah satu dari keduanya (haji atau umrah) lalu ia lupa, maka ia termasuk qarin (menggabungkan haji dan umrah), dan hendaknya ia mengeraskan suaranya saat bertalbiyah; berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Jibril – ‘alaihis salam – datang kepadaku dan memerintahkanku untuk menyuruh para sahabatku atau orang yang bersamaku untuk mengeraskan suara mereka saat bertalbiyah.”

 

(قَالَ) : وَيُلَبِّي الْمُحْرِمُ قَائِمًا، وَقَاعِدًا وَرَاكِبًا وَنَازِلًا وَجُنُبًا وَمُتَطَهِّرًا وَعَلَى كُلِّ حَالٍ رَافِعًا صَوْتَهُ فِي جَمِيعِ مَسَاجِدِ الْجَمَاعَاتِ وَفِي كُلِّ مَوْضِعٍ وَكَانَ السَّلَفُ يَسْتَحِبُّونَ التَّلْبِيَةَ عِنْدَ اضْطِمَامِ الرِّفَاقِ وَعِنْدَ الْإِشْرَافِ وَالْهُبُوطِ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَفِي اسْتِقْبَالِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَبِالْأَسْحَارِ وَنُحِبُّهُ عَلَى كُلِّ حَالٍ.

 

 

(Dia berkata): “Orang yang berihram mengucapkan talbiah dalam keadaan berdiri, duduk, berkendara, turun, junub, suci, dan dalam segala kondisi dengan mengeraskan suaranya di semua masjid jamaah serta di setiap tempat. Para salaf menyukai talbiah saat berkumpulnya rombongan, ketika berada di ketinggian atau menuruni tempat rendah, setelah shalat, di awal malam dan siang, serta pada waktu sahur. Kami menyukainya dalam segala keadaan.”

(قَالَ) : وَالتَّلْبِيَةُ أَنْ يَقُولَ «لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَك لَبَّيْكَ إنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَك وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَك» ؛ لِأَنَّهَا تَلْبِيَةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَا يَضِيقُ أَنْ يَزِيدَ عَلَيْهِ.

 

(Dia berkata): Talbiyah adalah mengucapkan “Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk, laa syarika lak”; karena itu adalah talbiyah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan tidak mengapa menambahkan bacaan lain setelahnya.

 

وَأَخْتَارُ أَنْ يُفْرِدَ تَلْبِيَةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يَقْصُرُ عَنْهَا وَلَا يُجَاوِزُهَا إلَّا أَنْ يَرَى شَيْئًا يُعْجِبُهُ فَيَقُولُ «لَبَّيْكَ إنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ الْآخِرَةِ» فَإِنَّهُ لَا يُرْوَى عَنْهُ مِنْ وَجْهٍ يَثْبُتُ أَنَّهُ زَادَ غَيْرَ هَذَا فَإِذَا فَرَغَ مِنْ التَّلْبِيَةِ صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَسَأَلَ اللَّهَ رِضَاهُ وَالْجَنَّةَ وَاسْتَعَاذَ بِرَحْمَتِهِ مِنْ النَّارِ فَإِنَّهُ يُرْوَى عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Dan aku memilih agar talbiyah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – diucapkan secara khusus, tidak dikurangi atau dilebihi kecuali jika melihat sesuatu yang mengagumkannya, lalu mengucapkan: “Labbaik, sesungguhnya kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirat.” Karena tidak ada riwayat yang sah darinya bahwa beliau menambah selain ini. Setelah selesai bertalbiyah, bershalawatlah kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, memohon ridha Allah dan surga-Nya, serta meminta perlindungan dengan rahmat-Nya dari neraka. Karena hal itu diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -.

 

(قَالَ) : وَالْمَرْأَةُ فِي ذَلِكَ كَالرَّجُلِ إلَّا مَا أُمِرَتْ بِهِ مِنْ السَّتْرِ وَأَسْتَرُ لَهَا أَنْ تَخْفِضَ صَوْتَهَا بِالتَّلْبِيَةِ، وَإِنَّ لَهَا أَنْ تَلْبَسَ الْقَمِيصَ وَالْقَبَاءَ وَالدِّرْعَ وَالسَّرَاوِيلَ وَالْخِمَارَ وَالْخُفَّيْنِ وَالْقُفَّازَيْنِ، وَإِحْرَامُهَا فِي وَجْهَهَا فَلَا تُخَمِّرُهُ وَتَسْدُلُ عَلَيْهِ الثَّوْبَ وَتُجَافِيهِ عَنْهُ وَلَا تَمَسُّهُ وَتُخَمِّرُ رَأْسَهَا فَإِنْ خَمَّرَتْ وَجْهَهَا عَامِدَةً افْتَدَتْ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ تَخْتَضِبَ لِلْإِحْرَامِ قَبْلَ أَنْ تُحْرِمَ. وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ قَالَ «مِنْ السُّنَّةِ أَنْ تَمْسَحَ الْمَرْأَةُ بِيَدَيْهَا شَيْئًا مِنْ الْحِنَّاءِ وَلَا تُحْرِمُ وَهِيَ غُفْلٌ» وَأُحِبُّ لَهَا أَنْ تَطُوفَ لَيْلًا وَلَا رَمَلَ عَلَيْهَا وَلَكِنْ تَطُوفُ عَلَى هَيْنَتِهَا.

 

 

(Dia berkata): “Perempuan dalam hal itu sama seperti laki-laki, kecuali apa yang diperintahkan kepadanya berupa menutup (aurat). Aku lebih menyukai baginya untuk merendahkan suaranya saat talbiyah. Dia boleh mengenakan gamis, qaba’ (jubah), baju besi, celana, kerudung, sepatu, dan sarung tangan. Ihramnya ada di wajahnya, maka jangan menutupinya, tetapi dia boleh menjulurkan kain di atasnya dan menjauhkannya tanpa menyentuhnya. Dia boleh menutup kepalanya. Jika sengaja menutup wajahnya, dia harus membayar fidyah. Aku lebih suka jika dia memakai inai sebelum berihram. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Ubaid dan Abdullah bin Dinar, ia berkata, ‘Termasuk sunnah adalah perempuan mengusapkan sedikit inai dengan tangannya dan tidak berihram dalam keadaan polos.’ Aku lebih suka jika dia thawaf di malam hari dan tidak perlu berlari-lari kecil, tetapi thawaf dengan tenang.”

 

بَابُ فِيمَا يَمْتَنِعُ عَلَى الْمُحْرِمِ مِنْ اللُّبْسِ

Bab tentang hal-hal yang dilarang dipakai oleh orang yang berihram.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ قَمِيصًا وَلَا عِمَامَةً وَلَا بُرْنُسًا وَلَا خُفَّيْنِ إلَّا أَنْ لَا يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ إزَارًا لَبِسَ سَرَاوِيلَ لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِذَلِكَ كُلِّهِ وَلَا يَلْبَسُ ثَوْبًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا وَرْسٌ وَلَا شَيْءٌ مِنْ الطِّيبِ وَلَا يُغَطِّي رَأْسَهُ، وَلَهُ أَنْ يُغَطِّيَ وَجْهَهُ فَإِنْ احْتَاجَ إلَى تَغْطِيَةِ رَأْسِهِ وَلُبْسِ ثَوْبٍ مَخِيطٍ وَخُفَّيْنِ فَفَعَلَ ذَلِكَ مِنْ شِدَّةِ بَرْدٍ أَوْ حَرٍّ إنْ فَعَلَ ذَلِكَ كُلَّهُ فِي مَكَانِهِ كَانَتْ عَلَيْهِ فِدْيَةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ فَرَّقَ ذَلِكَ شَيْئًا بَعْدَ شَيْءٍ كَانَ عَلَيْهِ لِكُلِّ لُبْسَةٍ فِدْيَةٌ، وَإِنْ احْتَاجَ إلَى حَلْقِ رَأْسِهِ فَحَلَقَهُ فَعَلَيْهِ فِدْيَةٌ، وَإِنْ تَطَيَّبَ نَاسِيًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ تَطَيَّبَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ وَالْفَرْقُ فِي الْمُتَطَيِّبِ بَيْنَ الْجَاهِلِ وَالْعَالِمِ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ الْأَعْرَابِيَّ، وَقَدْ أَحْرَمَ وَعَلَيْهِ خَلُوقٌ بِنَزْعِ الْجُبَّةِ وَغَسْلِ الصُّفْرَةِ» ، وَلَمْ يَأْمُرْهُ فِي الْخَبَرِ بِفِدْيَةٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : فِي هَذَا دَلِيلٌ أَنْ لَيْسَ عَلَيْهِ فِدْيَةٌ إذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْخَبَرِ وَهَكَذَا رُوِيَ فِي الْحَدِيثِ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الصَّائِمِ يَقَعُ عَلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَعْتِقْ وَافْعَلْ» وَلَمْ يَذْكُرْ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ وَأَجْمَعُوا أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Orang yang berihram tidak boleh mengenakan baju, sorban, burnus, atau sepatu kecuali jika tidak menemukan sandal, maka ia boleh memakai sepatu dan memotongnya di bawah mata kaki. Jika tidak menemukan kain sarung, ia boleh memakai celana berdasarkan perintah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – tentang semua itu. Ia juga tidak boleh memakai pakaian yang terkena za’faran, wars, atau wewangian lainnya, serta tidak boleh menutup kepalanya. Namun, ia boleh menutup wajahnya. Jika ia perlu menutup kepala, memakai pakaian berjahit, atau sepatu karena sangat dingin atau panas, dan melakukannya sekaligus di satu tempat, maka ia wajib membayar satu fidyah. Jika melakukannya secara terpisah, maka wajib membayar fidyah untuk setiap kali pemakaian. Jika ia perlu mencukur rambut dan melakukannya, maka wajib membayar fidyah. Jika memakai wewangian karena lupa, tidak ada kewajiban apa pun. Jika sengaja memakainya, maka wajib membayar fidyah. Perbedaan antara orang yang bodoh dan yang tahu dalam hal memakai wewangian adalah bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkan seorang badui yang berihram dan memakai khaluq untuk melepas jubahnya dan mencuci warna kuningnya, tetapi tidak memerintahkannya untuk membayar fidyah dalam riwayat tersebut. (Al-Muzani berkata): Ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban fidyah jika tidak disebutkan dalam riwayat. Demikian juga diriwayatkan dalam hadis tentang orang yang berpuasa lalu bersetubuh dengan istrinya, Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Bebaskan budak dan lakukan,” tanpa menyebutkan kewajiban qadha, namun para ulama sepakat bahwa ia wajib mengqadha.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَا شَمَّ مِنْ نَبَاتِ الْأَرْضِ مِمَّا لَا يُتَّخَذُ طِيبًا أَوْ أَكَلَ تُفَّاحًا أَوْ أُتْرُجًّا أَوْ دَهَنَ جَسَدَهُ بِغَيْرِ طِيبٍ فَلَا فِدْيَةَ عَلَيْهِ، وَإِنْ دَهَنَ رَأْسَهُ أَوْ لِحْيَتَهُ بِدُهْنٍ غَيْرِ طِيبٍ فَعَلَيْهِ الْفِدْيَةُ؛ لِأَنَّهُ مَوْضِعُ الدَّهْنِ وَتَرْجِيلِ الشَّعْرِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa mencium tumbuhan bumi yang tidak dijadikan wewangian, atau memakan apel atau jeruk, atau mengolesi tubuhnya dengan sesuatu yang bukan wewangian, maka tidak ada fidyah baginya. Namun, jika ia mengolesi kepala atau jenggotnya dengan minyak yang bukan wewangian, maka wajib membayar fidyah, karena itu adalah tempat pengolesan minyak dan perapian rambut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَيَدْهَنُ الْمُحْرِمُ الشِّجَاجَ فِي مَوَاضِعَ لَيْسَ فِيهَا شَعْرٌ مِنَ الرَّأْسِ وَلَا فِدْيَةَ. (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَالْقِيَاسُ عِنْدِي أَنَّهُ يَجُوزُ لَهُ الزَّيْتُ لِكُلِّ حَالٍ يَدْهَنُ بِهِ الْمُحْرِمُ الشَّعْرَ بِغَيْرِ طِيبٍ وَلَوْ كَانَ فِيهِ طِيبٌ مَا أَكَلَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Orang yang berihram boleh mengoleskan minyak pada luka di bagian tubuh yang tidak berambut dari kepala tanpa dikenakan fidyah.” (Al-Muzani berkata): “Menurut qiyas yang aku pegang, diperbolehkan menggunakan minyak dalam segala kondisi untuk mengoleskan rambut orang yang berihram tanpa wewangian, sekalipun minyak itu mengandung wewangian selama tidak dimakan.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Barangsiapa memakan habis yang mengandung za’faran yang mewarnai lidah, maka wajib membayar fidyah. Jika za’faran itu sudah hancur (tidak mewarnai), maka tidak ada fidyah. Sedangkan ‘ushfur (safflower) bukan termasuk wewangian. Jika menyentuh wewangian kering yang tidak meninggalkan bekas, atau hanya menyisakan aroma, maka tidak ada fidyah. Dia boleh duduk di dekat penjual minyak wangi dan membeli wewangian selama tidak menyentuhnya dengan anggota badan, serta boleh duduk di dekat Ka’bah saat dibakar wewangian. Jika dia menyentuh wewangian tanpa tahu bahwa itu basah lalu menempel di tangannya, maka dia cukup mencucinya. Jika dia sengaja melakukannya, maka wajib membayar fidyah. Jika dia mencukur rambut dan memakai wewangian dengan sengaja, maka wajib membayar dua fidyah. Jika mencukur satu helai rambut, wajib membayar satu mud. Jika dua helai, dua mud. Jika tiga helai, wajib menyembelih hewan. Jika rambut yang dicukur terpisah-pisah, maka setiap helai wajib satu mud. Begitu pula dengan kuku, baik sengaja atau tidak sama hukumnya. Orang yang berihram boleh mencukur rambut orang yang tidak berihram, tetapi sebaliknya tidak boleh. Jika orang tidak berihram mencukur rambut orang yang berihram atas perintahnya, maka fidyah wajib dibayar oleh orang yang berihram. Jika dilakukan tanpa perintah, baik dipaksa atau saat tidur, maka orang yang mencukur itu wajib membayar fidyah dan menyedekahkannya. Jika tidak sampai (tidak diketahui), maka tidak ada fidyah atasnya.”

Gagal diterjemahkan (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَأَصَبْت فِي سَمَاعِي مِنْهُ ثُمَّ خَطَّ عَلَيْهِ أَنْ يَفْتَدِيَ وَيَرْجِعَ بِالْفِدْيَةِ عَلَى الْمُحِلِّ وَهَذَا أَشْبَهَ بِمَعْنَاهُ عِنْدِي.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا بَأْسَ بِالْكُحْلِ مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ طِيبٌ فَإِنْ كَانَ فِيهِ طِيبٌ افْتَدَى وَلَا بَأْسَ بِالِاغْتِسَالِ وَدُخُولِ الْحَمَّامِ اغْتَسَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – وَهُوَ مُحْرِمٌ وَدَخَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ حَمَّامَ الْجُحْفَةِ فَقَالَ مَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِأَوْسَاخِكُمْ شَيئًا. (قَالَ) : وَلَا بَأْسَ أَن يَقطَعَ الْعِرْقَ وَيَحتَجِمَ مَا لَمْ يَقطَعْ شَعْرًا «وَاحْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – مُحْرِمًا» وَلَا يَنكِحُ المُحرِمُ وَلَا يُنكِحُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَن ذَلِكَ، وَقَالَ فَإِن نَكَحَ أَو أَنكَحَ فَالنِّكَاحُ فَاسِدٌ وَلَا بَأْسَ بِأَن يُرَاجِعَ امرَأَتَهُ إذَا طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً مَا لَم تَنقَضِ الْعِدَّةُ وَيَلبَسُ المُحرِمُ المِنطَقَةَ لِلنَّفَقَةِ وَيَستَظِلُّ فِي المَحمَلِ وَنَازِلًا فِي الأَرضِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak mengapa menggunakan celak selama tidak mengandung wewangian. Jika ada wewangiannya, maka harus membayar fidyah. Tidak mengapa mandi dan masuk pemandian. Rasulullah ﷺ pernah mandi dalam keadaan ihram, dan Ibnu Abbas pernah masuk pemandian di Juhfah seraya berkata, “Allah tidak peduli dengan kotoran kalian sedikitpun.” (Dia juga berkata): Tidak mengapa memotong pembuluh darah atau berbekam selama tidak memotong rambut. “Rasulullah ﷺ pernah berbekam dalam keadaan ihram.” Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau menikahkan, karena Nabi ﷺ melarang hal itu. Jika dia menikah atau menikahkan, maka pernikahannya batal. Tidak mengapa merujuk istrinya jika dia menceraikannya sekali selama masa iddah belum berakhir. Orang yang ihram boleh memakai sabuk untuk menyimpan bekal, berteduh di dalam tandu, dan singgah di tanah.

 

بَابُ مَا يَلْزَمُ عِنْدَ الْإِحْرَامِ وَبَيَانُ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

Bab tentang kewajiban saat ihram, penjelasan thawaf, sa’i, dan lainnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ لِلْمُحْرِمِ أَنْ يَغْتَسِلَ مِنْ ذِي طُوًى لِدُخُولِ مَكَّةَ وَيَدْخُلُ مِنْ ثَنِيَّةَ كَذَا وَتَغْتَسِلُ الْمَرْأَةُ الْحَائِضُ «لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَسْمَاءَ بِذَلِكَ، وَقَوْلُهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – لِلْحَائِضِ افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ»

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dan aku menyukai bagi orang yang berihram untuk mandi dari Dzi Thuwa ketika memasuki Mekah, dan masuk melalui celah gunung demikian. Wanita yang haid juga mandi karena perintah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Asma’ untuk melakukan hal itu, dan sabda beliau -‘alaihis salam- kepada wanita haid: ‘Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf di Ka’bah.'”

 

 

(قَالَ) : فَإِذَا رَأَى الْبَيْتَ قَالَ اللَّهُمَّ زِدْ هَذَا الْبَيْتَ تَشْرِيفًا وَتَعْظِيمًا وَتَكْرِيمًا وَمَهَابَةً وَزِدْ مَنْ شَرَّفَهُ وَعَظَّمَهُ مِمَّنْ حَجَّهُ أَوْ اعْتَمَرَهُ تَشْرِيفًا وَتَعْظِيمًا وَتَكْرِيمًا وَمَهَابَةً.

 

 

Beliau berkata: “Ketika melihat Ka’bah, ucapkanlah: ‘Ya Allah, tambahkanlah kehormatan, kemuliaan, pengagungan, dan kewibawaan bagi rumah ini. Serta tambahkanlah kehormatan, kemuliaan, pengagungan, dan kewibawaan bagi orang yang memuliakan dan mengagungkannya, baik yang berhaji maupun yang berumrah.'”

 

(وَقَالَ) : وَتَقُولُ ” اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْك السَّلَامُ فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلَامِ ” وَيَفْتَتِحُ الطَّوَافَ بِالِاسْتِلَامِ فَيُقَبِّلُ الرُّكْنَ الْأَسْوَدَ وَيَسْتَلِمُ الْيَمَانِيَّ بِيَدِهِ وَيُقَبِّلُهَا وَلَا يُقَبِّلُهُ؛ لِأَنَّى لَمْ أَعْلَمْ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَبَّلَ إلَّا الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ وَاسْتَلَمَ الْيَمَانِيَّ، وَأَنَّهُ لَمْ يُعَرِّجْ عَلَى شَيْءٍ دُونَ الطَّوَافِ وَلَا يَبْتَدِئُ بِشَيْءٍ غَيْرِ الطَّوَافِ إلَّا أَنْ يَجِدَ الْإِمَامَ فِي الْمَكْتُوبَةِ أَوْ يَخَافَ فَوْتَ فَرْضٍ أَوْ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ.

 

 

Dan Beliau berkata: “Ucapkanlah ‘Ya Allah, Engkau adalah Maha Pemberi Keselamatan, dan dari-Mu segala keselamatan, maka hidupkanlah kami, wahai Rabb kami, dengan keselamatan.'” Dia memulai thawaf dengan istilam (menyentuh Hajar Aswad), lalu mencium sudut (Hajar Aswad) yang hitam, dan menyentuh Rukun Yamani dengan tangannya serta mencium tangannya, tetapi tidak mencium Rukun Yamani. Karena aku tidak mengetahui adanya riwayat dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau mencium sesuatu selain Hajar Aswad dan menyentuh Rukun Yamani. Juga bahwa beliau tidak menyibukkan diri dengan sesuatu selain thawaf, dan tidak memulai dengan sesuatu selain thawaf kecuali jika menemukan imam sedang shalat wajib atau khawatir kehilangan kewajiban atau dua rakaat shalat fajar.

 

(قَالَ) : وَيَقُولُ عِنْدَ ابْتِدَائِهِ الطَّوَافَ وَالِاستِلَامَ ” بِاسمِ اللَّهِ وَاَللَّهُ أَكبَرُ اللَّهُمَّ إيمَانًا بِك وَتَصدِيقًا بِكِتَابِك وَوَفَاءً بِعهدِك وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّك مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – ” وَيَضطَبِعُ لِلطَّوَافِ؛ لِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – اضطَبَعَ حِينَ طَافَ» ثُمَّ عُمَرُ.

 

 

Beliau berkata: Dan mengucapkan saat memulai thawaf dan menyentuh Hajar Aswad: “Dengan nama Allah, Allah Maha Besar. Ya Allah, dengan penuh keimanan kepada-Mu, membenarkan kitab-Mu, memenuhi janji-Mu, dan mengikuti sunnah Nabi-Mu Muhammad – shallallahu ‘alaihi wasallam -.” Dia juga melakukan idtiba’ saat thawaf, karena “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – ber-idtiba’ ketika thawaf,” kemudian Umar.

(قَالَ) : وَالِاضْطِبَاعُ أَنْ يَشْتَمِلَ بِرِدَائِهِ عَلَى مَنْكِبِهِ الْأَيْسَرِ وَمِنْ تَحْتِ مَنْكِبِهِ الْأَيْمَنِ فَيَكُونُ مَنْكِبُهُ الْأَيْمَنُ مَكْشُوفًا حَتَّى يُكْمِلَ سَعْيَهُ وَالِاسْتِلَامُ فِي كُلِّ وِتْرٍ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْهُ فِي كُلِّ شَفْعٍ.

 

Beliau berkata: “Idtiba’ adalah dengan menyelimuti kainnya di atas bahu kirinya dan di bawah bahu kanannya, sehingga bahu kanannya terbuka hingga ia menyelesaikan sa’inya. Dan istilam (menyentuh Hajar Aswad) pada setiap witir lebih aku sukai daripada pada setiap syaf’.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَرْمُلُ ثَلَاثًا وَيَمْشِي أَرْبَعًا وَيَبْتَدِئُ الطَّوَافَ مِنْ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ وَيَرْمُلُ ثَلَاثًا؛ لِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَمَلَ مِنْ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ حَتَّى انْتَهَى إلَيْهِ ثَلَاثًا» وَالرَّمَلُ هُوَ الْخَبَبُ لَا شِدَّةَ السَّعْيِ وَالدُّنُوُّ مِنْ الْبَيْتِ أَحَبُّ إلَيَّ، وَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ الرَّمَلُ وَكَانَ إذَا وَقَفَ وَجَدَ فُرْجَةً وَقَفَ ثُمَّ رَمَلَ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ أَحْبَبْت أَنْ يَصِيرَ حَاشِيَةً فِي الطَّوَافِ إلَّا أَنْ يَمْنَعَهُ كَثْرَةُ النِّسَاءِ فَيَتَحَرَّكَ حَرَكَةَ مَشْيِهِ مُتَقَارِبًا وَلَا أُحِبُّ أَنْ يَثِبَ مِنْ الْأَرْضِ، وَإِنْ تَرَكَ الرَّمَلَ فِي الثَّلَاثِ لَمْ يَقْضِ فِي الْأَرْبَعِ، وَإِنْ تَرَكَ الِاضْطِبَاعَ وَالرَّمَلَ وَالِاسْتِلَامَ فَقَدْ أَسَاءَ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَكُلَّمَا حَاذَى الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ كَبَّرَ، وَقَالَ فِي رَمَلِهِ ” اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا وَذَنْبًا مَغْفُورًا وَسَعْيًا مَشْكُورًا ” وَيَقُولُ فِي سَعْيِهِ ” اللَّهُمَّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاعْفُ عَمَّا تَعْلَمُ إنَّك أَنْتَ الْأَعَزُّ الْأَكْرَمُ اللَّهُمَّ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ” وَيَدْعُو فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ بِمَا أَحَبَّ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا وَلَا يُجْزِئُ الطَّوَافُ إلَّا بِمَا تُجْزِئُ بِهِ الصَّلَاةُ مِنْ الطَّهَارَةِ مِنْ الْحَدَثِ وَغَسْلِ النَّجَسِ فَإِنْ أَحْدَثَ تَوَضَّأَ وَابْتَدَأَ، وَإِنْ بَنَى عَلَى طَوَافٍ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ طَافَ فَسَلَكَ الْحِجْرَ أَوْ عَلَى جِدَارِ الْحِجْرِ أَوْ عَلَى شَاذَرْوَانِ الْكَعْبَةَ لَمْ يُعْتَدَّ بِهِ فِي الطَّوَافِ، وَإِنْ نَكَّسَ الطَّوَافَ لَمْ يُجْزِهِ بِحَالٍ.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan ia berlari kecil (ramal) tiga putaran dan berjalan empat putaran, serta memulai thawaf dari Hajar Aswad dan berlari kecil tiga putaran; karena ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlari kecil dari Hajar Aswad hingga kembali kepadanya sebanyak tiga putaran.’ Ramal adalah lari kecil, bukan lari cepat. Mendekati Ka’bah lebih aku sukai. Jika tidak memungkinkan ramal, dan jika berhenti ia menemukan celah, maka ia berhenti lalu ramal. Jika tidak memungkinkan, aku lebih suka ia berada di pinggiran thawaf kecuali jika dihalangi oleh banyaknya wanita, maka ia bergerak dengan gerakan berjalan yang rapat. Aku tidak suka ia melompat dari tanah. Jika meninggalkan ramal pada tiga putaran pertama, tidak perlu mengqadha pada empat putaran berikutnya. Jika meninggalkan idtiba’, ramal, atau istilam, ia telah berbuat buruk tetapi tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Setiap kali sejajar dengan Hajar Aswad, ia bertakbir. Dalam ramalnya ia mengucapkan: ‘Ya Allah, jadikanlah haji ini haji yang mabrur, dosa yang diampuni, dan usaha yang disyukuri.’ Dalam sa’inya ia mengucapkan: ‘Ya Allah, ampunilah, rahmatilah, dan maafkanlah apa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Mulia lagi Maha Terhormat. Ya Allah, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungilah kami dari azab neraka.’ Di antara itu, ia berdoa dengan apa yang ia sukai, baik urusan agama maupun dunia. Thawaf tidak sah kecuali dengan syarat-syarat yang sama seperti shalat, yaitu bersuci dari hadats dan mencuci najis. Jika berhadats, ia berwudhu dan memulai lagi. Jika melanjutkan thawaf yang sebelumnya, itu cukup. Jika thawaf tetapi melewati Hijr atau di atas dinding Hijr atau di atas syadzarwan Ka’bah, tidak dianggap dalam thawaf. Jika melakukan thawaf terbalik, tidak sah sama sekali.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : الشَّاذَرْوَانُ تَأْزِيرُ الْبَيْتِ خَارِجًا عَنْهُ وَأَحْسَبُهُ عَلَى أَسَاسِ الْبَيْتِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ مُبَايِنًا لِأَسَاسِ الْبَيْتِ لَأَجْزَأَهُ الطَّوَافُ عَلَيْهِ.

 

(Al-Muzani berkata): Syadzarwan adalah dinding yang mengelilingi Ka’bah di bagian luarnya, dan aku mengira ia berada di atas fondasi Ka’bah. Karena jika ia terpisah dari fondasi Ka’bah, niscaya tawaf di atasnya sudah cukup.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا فَرَغَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَلْفَ الْمَقَامِ يَقْرَأُ فِي الْأُولَى بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} الكافرون: 1 وَفِي الثَّانِيَةِ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} الإخلاص: 1 .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Setelah selesai (thawaf), hendaknya shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Pada rakaat pertama membaca Ummul Quran (Al-Fatihah) dan ‘Qul ya ayyuhal kafirun’ (Surat Al-Kafirun), sedangkan pada rakaat kedua membaca Ummul Quran dan ‘Qul huwallahu ahad’ (Surat Al-Ikhlas).”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : ثُمَّ يَعُودُ إلَى الرُّكْنِ فَيَسْتَلِمُهُ ثُمَّ يَخْرُجُ مِنْ بَابِ الصَّفَا فَيَرْقَى عَلَيْهَا فَيُكَبِّرُ وَيُهَلِّلُ وَيَدْعُو اللَّهَ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ بِمَا أَحَبَّ مِنْ دِينٍ وَدُنْيَا ثُمَّ يَنْزِلُ فَيَمْشِي حَتَّى إذَا كَانَ دُونَ الْمِيلِ الْأَخْضَرِ الْمُعَلَّقِ فِي رُكْنِ الْمَسْجِدِ بِنَحْوٍ مِنْ سِتَّةِ أَذْرُعٍ سَعَى سَعْيًا شَدِيدًا حَتَّى يُحَاذِيَ الْمِيلَيْنِ الْأَخْضَرَيْنِ اللَّذَيْنِ بِفِنَاءِ الْمَسْجِدِ وَدَارِ الْعَبَّاسِ ثُمَّ يَمْشِيَ حَتَّى يَرْقَى عَلَى الْمَرْوَةِ فَيَصْنَعَ عَلَيْهَا كَمَا صَنَعَ عَلَى الصَّفَا حَتَّى يُتِمَّ سَبْعًا يَبْدَأُ بِالصَّفَا وَيَخْتِمُ بِالْمَرْوَةِ فَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا وَكَانَ مَعَهُ هَدْيٌ نَحَرَ وَحَلَقَ أَوْ قَصَّرَ وَالْحَلْقُ أَفْضَلُ، وَقَدْ فَرَغَ مِنْ الْعُمْرَةِ وَلَا يَقْطَعُ الْمُعْتَمِرُ التَّلْبِيَةَ حَتَّى يَفْتَتِحَ الطَّوَافَ مُسْتَلِمًا أَوْ غَيْرَ مُسْتَلِمٍ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَلَيْسَ عَلَى النِّسَاءِ حَلْقٌ وَلَكِنْ يُقَصِّرْنَ. وَإِنْ كَانَ حَاجًّا أَوْ قَارِنًا أَجْزَأَهُ طَوَافٌ وَاحِدٌ لِحَجِّهِ وَعُمْرَتِهِ «؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِعَائِشَةَ وَكَانَتْ قَارِنَةً طَوَافُك يَكْفِيك لِحَجِّك وَعُمْرَتِك» غَيْرَ أَنَّ عَلَى الْقَارِنِ الْهَدْيَ؛ لِقِرَانِهِ وَيُقِيمُ عَلَى إحْرَامِهِ حَتَّى يُتِمَّ حَجَّهُ مَعَ إمَامِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Kemudian ia kembali ke rukun (Hajar Aswad) dan menyentuhnya, lalu keluar dari pintu Shafa, naik ke atasnya, bertakbir, bertahlil, dan berdoa kepada Allah dengan apa yang ia kehendaki, baik urusan agama maupun dunia. Setelah itu, ia turun dan berjalan hingga sebelum tiang hijau yang tergantung di sudut masjid sekitar enam hasta, lalu ia berlari-lari kecil dengan cepat hingga sejajar dengan dua tiang hijau yang ada di halaman masjid dan rumah Abbas. Kemudian ia berjalan hingga naik ke Marwah dan melakukan di sana sebagaimana yang dilakukannya di Shafa, hingga menyelesaikan tujuh putaran, dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah.

 

Jika ia sedang berumrah dan membawa hewan kurban, maka ia menyembelih, mencukur rambut, atau memendekkannya—dan mencukur lebih utama. Ia telah menyelesaikan umrahnya, dan orang yang berumrah tidak memutus talbiyah hingga memulai thawaf, baik dengan menyentuh Hajar Aswad atau tidak. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas. Wanita tidak wajib mencukur rambut, tetapi cukup memendekkannya.

 

Jika ia sedang berhaji atau qiran (menggabungkan haji dan umrah), maka cukup baginya satu thawaf untuk haji dan umrahnya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Aisyah yang sedang qiran: “Thawafmu sudah mencukupi untuk haji dan umrahmu.” Namun, orang yang qiran wajib menyembelih hewan kurban karena penggabungannya, dan ia tetap dalam keadaan ihram hingga menyelesaikan hajinya bersama imam (hari nahar).

 

 

وَيَخْطُبُ الْإِمَامُ يَوْمَ السَّابِعِ مِنْ ذِي الْحِجَّة بَعْدَ الظُّهْرِ بِمَكَّةَ وَيَأْمُرُهُمْ بِالْغُدُوِّ مِنْ الْغَدِ إلَى مِنًى لِيُوَافُوا الظُّهْرَ بِمِنًى فَيُصَلِّي بِهَا الْإِمَامُ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ الْآخِرَةَ وَالصُّبْحَ مِنْ الْغَدِ ثُمَّ يَغْدُو إذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ إلَى عَرَفَةَ وَهُوَ عَلَى تَلْبِيَتِهِ فَإِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ صَعِدَ الْإِمَامُ فَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَخَطَبَ الْخُطْبَةَ الْأُولَى فَإِذَا جَلَسَ أَخَذَ الْمُؤَذِّنُونَ فِي الْأَذَانِ وَأَخَذَ هُوَ فِي الْكَلَامِ وَخَفَّفَ الْكَلَامَ الْآخِرَ حَتَّى يَنْزِلَ بِقَدْرِ فَرَاغِ الْمُؤَذِّنِ مِنْ الْأَذَانِ وَيُقِيمُ الْمُؤَذِّنُ وَيُصَلِّي الظُّهْرَ ثُمَّ يُقِيمُ فَيُصَلِّي الْعَصْرَ وَلَا يَجْهَرُ بِالْقِرَاءَةِ ثُمَّ يَرْكَبُ فَيَرُوحُ إلَى الْمَوْقِفِ عِنْدَ الصَّخَرَاتِ ثُمَّ يَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ بِالدُّعَاءِ وَحَيْثُمَا وَقَفَ النَّاسُ مِنْ عَرَفَةَ أَجْزَأَهُمْ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «هَذَا مَوْقِفٌ وَكُلُّ عَرَفَةَ مَوْقِفٌ» .

 

 

Dan imam berkhutbah pada hari ketujuh Dzulhijjah setelah Zhuhur di Makkah, lalu memerintahkan mereka untuk berangkat ke Mina keesokan harinya agar dapat melaksanakan Zhuhur di Mina. Imam kemudian shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya terakhir, dan Subuh keesokan harinya di Mina. Setelah matahari terbit, imam berangkat ke Arafah sambil tetap bertalbiyah. Ketika matahari tergelincir, imam naik ke mimbar dan menyampaikan khutbah pertama. Saat duduk, muadzin mulai mengumandangkan azan sementara imam melanjutkan pembicaraan dan mempersingkat pembicaraan terakhir hingga turun sekira muadzin selesai azan. Muadzin lalu iqamah dan imam shalat Zhuhur, kemudian iqamah lagi dan shalat Ashar tanpa mengeraskan bacaan. Setelah itu, imam menunggang kendaraan dan berangkat ke tempat wukuf di dekat batu-batu, lalu menghadap kiblat untuk berdoa. Di mana pun jamaah berwukuf di Arafah, itu sudah mencukupi karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ini adalah tempat wukuf, dan seluruh Arafah adalah tempat wukuf.”

 

(قَالَ) : حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ قَالَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ قَالَ سَمِعْت الشَّافِعِيُّ يَقُولُ عَرَفَةُ كُلُّ سَهْلٍ وَجَبَلٍ أَقْبَلَ عَلَى الْمَوْقِفِ فِيمَا بَيْنَ التَّلْعَةِ الَّتِي تُفْضِي إلَى طَرِيقِ نُعْمَانَ، وَإِلَى حُصَيْنٍ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ كَبْكَبٍ وَأُحِبُّ لِحَاجٍّ تَرْكَ صَوْمِ عَرَفَةَ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَصُمْهُ وَأَرَى أَنَّهُ أَقْوَى لِلْمُفْطِرِ عَلَى الدُّعَاءِ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ يَوْمُ عَرَفَةَ.

 

 

Beliau berkata: Ibrahim menceritakan kepada kami, Beliau berkata: Ar-Rabi’ menceritakan kepada kami, Beliau berkata: Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata: Arafah adalah seluruh dataran dan gunung yang menghadap ke tempat wukuf, antara bukit yang mengarah ke jalan Nu’man hingga Hushain, serta bagian yang menghadap dari Kakbaba. Dan aku menganjurkan bagi jamaah haji untuk tidak berpuasa di Arafah, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak berpuasa pada hari itu. Aku juga berpendapat bahwa berbuka lebih menguatkan untuk berdoa, dan sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah.

 

فَإِذَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ دَفَعَ الْإِمَامُ وَعَلَيْهِ الْوَقَارُ وَالسَّكِينَةُ فَإِنْ وَجَدَ فُرْجَةً أَسْرَعَ فَإِذَا أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ جَمَعَ مَعَ الْإِمَامِ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِإِقَامَتَيْنِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَّاهُمَا بِهَا وَلَمَّا يُنَادِ فِي وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا إلَّا بِإِقَامَةٍ وَلَا يُسَبِّحُ بَيْنَهُمَا وَلَا عَلَى إثْرِ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَيَبِيتُ بِهَا فَإِنْ لَمْ يَبِتْ بِهَا فَعَلَيْهِ دَمُ شَاةٍ، وَإِنْ خَرَجَ مِنْهَا بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْت فِيمَنْ قَدَّمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَعَ ضَعَفَةِ أَهْلِهِ يَعْنِي مِنْ مُزْدَلِفَةَ إلَى مِنًى.

 

 

Maka apabila matahari telah terbenam, imam berangkat dengan penuh ketenangan dan ketawadhu’an. Jika menemukan jalan yang longgar, ia boleh mempercepat langkah. Ketika tiba di Muzdalifah, imam mengerjakan shalat Maghrib dan Isya bersama jamaah dengan dua iqamah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat tersebut di sana tanpa adzan kecuali iqamah, tanpa tasbih di antara keduanya atau setelah salah satunya. Ia bermalam di Muzdalifah. Jika tidak bermalam di sana, wajib baginya menyembelih seekor kambing, kecuali jika ia berangkat setelah pertengahan malam. Ibnu Abbas berkata, “Aku termasuk orang yang diutus Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama keluarga beliau yang lemah dari Muzdalifah menuju Mina.”

 

(قَالَ) : وَيَأْخُذُ مِنْهَا الْحَصَى لِلرَّمْيِ يَكُونُ قَدْرَ حَصَى الْخَذْفِ؛ لِأَنَّ بِقَدْرِهَا رَمَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمِنْ حَيْثُ أَخَذَ أَجْزَأَ إذَا وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمُ حَجَرٍ مَرْمَرٍ أَوْ بِرَامٍ أَوْ كَذَّانَ أَوْ فِهْرٍ فَإِنْ كَانَ كُحْلًا أَوْ زِرْنِيخًا أَوْ مَا أَشْبَهَهُ لَمْ يُجْزِهِ، وَإِنْ رَمَى بِمَا قَدْ رَمَى بِهِ مَرَّةً كَرِهْته وَأَجْزَأَ عَنْهُ وَلَوْ رَمَى فَوَقَعَتْ حَصَاةٌ عَلَى مَحْمَلٍ ثُمَّ اسْتَنَّتْ فَوَقَعَتْ فِي مَوْضِعِ الْحَصَى أَجْزَأَهُ، وَإِنْ وَقَعَتْ فِي ثَوْبِ رَجُلٍ فَنَفَضَهَا لَمْ يُجْزِهِ فَإِذَا أَصْبَحَ صَلَّى الصُّبْحَ فِي أَوَّلِ وَقْتِهَا ثُمَّ يَقِفُ عَلَى قُزَحَ حَتَّى يُسْفِرَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ ثُمَّ يَدْفَعُ إلَى مِنًى فَإِذَا صَارَ فِي بَطْنِ مُحَسِّرٍ حَرَّكَ دَابَّتَهُ قَدْرَ رَمْيَةِ حَجَرٍ فَإِذَا أَتَى مِنًى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي سَبْعَ حَصَيَاتٍ وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ كُلَّمَا رَمَى حَتَّى يُرَى بَيَاضُ مَا تَحْتِ مَنْكِبَيْهِ، وَيُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ، وَإِنْ رَمَى قَبْلَ الْفَجْرِ بَعْدَ نِصْفِ اللَّيْلِ أَجْزَأَ عَنْهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ أُمَّ سَلَمَةَ أَنْ تُعَجِّلَ الْإِفَاضَةَ وَتُوَافِيَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِمَكَّةَ وَكَانَ يَوْمَهَا فَأَحَبَّ أَنْ يُوَافِيَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَا يُمْكِنُ أَنْ تَكُونَ رَمَتْ إلَّا قَبْلَ الْفَجْرِ ثُمَّ يَنْحَرُ الْهَدْيَ إنْ كَانَ مَعَهُ ثُمَّ يَحْلِقُ أَوْ يُقَصِّرُ وَيَأْكُلُ مِنْ لَحْمِ هَدْيِهِ، وَقَدْ حَلَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إلَّا النِّسَاءَ فَقَطْ وَلَا يَقْطَعُ التَّلْبِيَةَ حَتَّى يَرْمِيَ الْجَمْرَةَ بِأَوَّلِ حَصَاةٍ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى الْجَمْرَةَ وَعُمَرُ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَعَطَاءٌ وَطَاوُسٌ وَمُجَاهِدٌ لَمْ يَزَالُوا يُلَبُّونَ حَتَّى رَمَوْا الْجَمْرَةَ.

 

 

(Dia berkata): “Dan dia mengambil darinya kerikil untuk melempar, yang ukurannya seperti kerikil lemparan kecil, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melempar dengan ukuran seperti itu. Dan dari mana saja dia mengambilnya, itu sudah mencukupi selama disebut sebagai batu marmar, baram, kadzdzan, atau fihr. Jika berupa batu kohl, zarnikh, atau sejenisnya, maka tidak mencukupi. Jika dia melempar dengan sesuatu yang pernah digunakan untuk melempar sekali, aku memakruhkannya tetapi itu sudah mencukupi. Jika dia melempar lalu kerikil itu jatuh di tempat pijakan kemudian menggelinding dan jatuh di tempat pelemparan, itu sudah mencukupi. Namun jika jatuh di pakaian seseorang lalu dia mengibaskannya, maka tidak mencukupi. Ketika pagi tiba, dia shalat Subuh di awal waktunya, lalu berdiri di Quzah hingga fajar menyingsing sebelum matahari terbit, kemudian berangkat ke Mina. Ketika sampai di Bathn Muhassir, dia mempercepat kendaraannya sejauh lemparan batu. Setiba di Mina, dia melempar Jamrah Aqabah dari lembah dengan tujuh kerikil, mengangkat kedua tangannya setiap kali melempar hingga terlihat putih ketiaknya, dan bertakbir dengan setiap kerikil. Jika dia melempar sebelum fajar setelah tengah malam, itu sudah mencukupi, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ummu Salamah untuk segera berangkat dan tiba untuk shalat Subuh di Makkah pada harinya, dan dia ingin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak mungkin dia melempar kecuali sebelum fajar. Kemudian dia menyembelih hadyu jika membawanya, lalu mencukur atau memendekkan rambut, dan memakan daging hadyunya. Dia sudah halal dari segala sesuatu kecuali wanita saja, dan tidak memutus talbiyah hingga melempar jamrah dengan kerikil pertama, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terus bertalbiyah hingga melempar jamrah, begitu pula Umar, Ibnu Abbas, Atha’, Thawus, dan Mujahid terus bertalbiyah hingga mereka melempar jamrah.”

 

(قَالَ) : وَيَتَطَيَّبُ إنْ شَاءَ لِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَطَيَّبَ لِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ وَيَخْطُبُ الْإِمَامُ بَعْدَ الظُّهْرِ يَوْمَ النَّحْرِ وَيُعَلِّمُ النَّاسَ النَّحْرَ وَالرَّمْيَ وَالتَّعْجِيلَ لِمَنْ أَرَادَهُ فِي يَوْمَيْنِ بَعْدَ النَّحْرِ وَمَنْ حَلَقَ قَبْلَ أَنْ يَذْبَحَ أَوْ نَحَرَ قَبْلَ أَنْ يَرْمِيَ أَوْ قَدَّمَ الْإِفَاضَةَ عَلَى الرَّمْيِ أَوْ قَدَّمَ نُسُكًا قَبْلَ نُسُكٍ مِمَّا يُفْعَلُ يَوْمَ النَّحْرِ فَلَا حَرَجَ وَلَا فِدْيَةَ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَا سُئِلَ يَوْمئِذٍ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ أَوْ أُخِّرَ إلَّا قَالَ «افْعَلْ وَلَا حَرَجَ» وَيَطُوفُ بِالْبَيْتِ طَوَافَ الْفَرْضِ وَهِيَ الْإِفَاضَةُ، وَقَدْ حَلَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ النِّسَاءِ وَغَيْرِهِنَّ ثُمَّ يَرْمِي أَيَّامَ مِنًى الثَّلَاثَةَ فِي كُلِّ يَوْمٍ إذَا زَالَتْ الشَّمْسُ الْجَمْرَةُ الْأُولَى بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَالثَّانِيَةَ بِسَبْعٍ وَالثَّالِثَةَ بِسَبْعٍ فَإِنْ رَمَى بِحَصَاتَيْنِ أَوْ ثَلَاثٍ فِي مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ فَهُنَّ كَوَاحِدَةٍ، وَإِنْ نَسِيَ مِنْ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ شَيْئًا مِنْ الرَّمْيِ رَمَاهُ فِي الْيَوْمِ الثَّانِي وَمَا نَسِيَهُ فِي الثَّانِي رَمَاهُ فِي الثَّالِثِ.

 

 

Beliau berkata: “Dan boleh memakai wewangian jika dia mau ketika tahallul sebelum thawaf di Ka’bah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memakai wewangian ketika tahallul sebelum thawaf di Ka’bah. Imam berkhutbah setelah Zhuhur pada hari Nahr (Idul Adha) dan mengajarkan kepada orang-orang tentang penyembelihan, melempar jumrah, serta mempercepat (nafar awal) bagi yang menginginkannya dalam dua hari setelah Nahr. Barangsiapa mencukur rambut sebelum menyembelih, atau menyembelih sebelum melempar, atau mendahulukan ifadhah sebelum melempar, atau mendahulukan satu manasik sebelum manasik lain yang dilakukan pada hari Nahr, maka tidak apa-apa dan tidak perlu membayar fidyah. Beliau berargumen dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika itu, bahwa beliau tidak ditanya tentang sesuatu yang didahulukan atau diakhirkan kecuali menjawab: ‘Lakukanlah, tidak apa-apa.’ Kemudian dia thawaf di Ka’bah sebagai thawaf wajib yaitu ifadhah, dan dia telah halal dari segala sesuatu termasuk (berhubungan dengan) wanita dan lainnya. Lalu dia melempar jumrah pada tiga hari Mina, setiap hari ketika matahari tergelincir: jumrah pertama dengan tujuh kerikil, jumrah kedua dengan tujuh kerikil, dan jumrah ketiga dengan tujuh kerikil. Jika dia melempar dua atau tiga kerikil dalam satu kali lemparan, maka itu dihitung sebagai satu. Jika dia lupa sebagian lemparan pada hari pertama, dia bisa melakukannya pada hari kedua. Dan apa yang dilupakan pada hari kedua, bisa dilakukan pada hari ketiga.”

 

(قَالَ) : وَلَا بَأْسَ إذَا رَمَى الرِّعَاءُ الْجَمْرَةَ يَوْمَ النَّحْرِ أَنْ يَصْدُرُوا وَيَدَعُوا الْمَبِيتَ بِمِنًى فِي لَيْلَتِهِمْ وَيَدَعُوا الرَّمْيَ مِنْ الْغَدِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ ثُمَّ يَأْتُوا مِنْ بَعْدِ الْغَدِ وَهُوَ يَوْمُ النَّفْرِ الْأَوَّلِ فَيَرْمُونَ لِلْيَوْمِ الْمَاضِي ثُمَّ يَعُودُوا فَيَسْتَأْنِفُوا يَوْمَهُمْ ذَلِكَ وَيَخْطُبُ الْإِمَامُ بَعْدَ الظُّهْرِ يَوْمَ الثَّالِثِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ وَهُوَ النَّفْرُ الْأَوَّلُ فَيُوَدِّعُ الْحَاجَّ وَيُعْلِمُهُمْ أَنَّ مَنْ أَرَادَ التَّعْجِيلَ فَذَلِكَ لَهُ وَيَأْمُرُهُمْ أَنْ يَخْتِمُوا حَجَّهُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَطَاعَتِهِ وَاتِّبَاعِ أَمْرِهِ فَمَنْ لَمْ يَتَعَجَّلْ حَتَّى يُمْسِيَ رَمَى مِنْ الْغَدِ فَإِذَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ انْقَضَتْ أَيَّامُ مِنًى.

 

 

Beliau berkata: “Tidak mengapa jika para penggembala melempar jumrah pada hari nahar (hari penyembelihan), lalu mereka berangkat dan meninggalkan mabit (bermalam) di Mina pada malam mereka, serta meninggalkan lemparan pada keesokan harinya dari hari nahar. Kemudian mereka datang pada hari setelahnya, yaitu hari nafar pertama, lalu melempar untuk hari yang telah lewat. Setelah itu, mereka kembali dan memulai hari mereka itu. Imam berkhutbah setelah zuhur pada hari ketiga dari hari nahar, yaitu hari nafar pertama, untuk berpamitan dengan jamaah haji dan memberitahu mereka bahwa siapa yang ingin bersegera (nafar awal), maka itu diperbolehkan. Imam juga memerintahkan mereka untuk mengakhiri haji mereka dengan takwa kepada Allah, ketaatan kepada-Nya, dan mengikuti perintah-Nya. Barangsiapa yang tidak bersegera hingga petang, maka ia melempar pada keesokan harinya. Jika matahari telah terbenam, maka berakhirlah hari-hari Mina.”

 

وَإِنْ تَدَارَكَ عَلَيْهِ رَمْيَانُ فِي أَيَّامِ مِنًى ابْتَدَأَ الْأَوَّلَ حَتَّى يُكْمِلَ ثُمَّ عَادَ فَابْتَدَأَ الْآخَرَ وَلَمْ يُجْزِهِ أَنْ يَرْمِيَ بِأَرْبَعَ عَشْرَةَ حَصَاةً فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ فَإِنْ أَخَّرَ ذَلِكَ حَتَّى تَنْقَضِيَ أَيَّامُ الرَّمْيِ وَتَرَكَ حَصَاةً فَعَلَيْهِ مُدُّ طَعَامٍ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِمِسْكِينٍ، وَإِنْ كَانَتْ حَصَاتَانِ فَمُدَّانِ لِمِسْكِينَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ ثَلَاثُ حَصَيَاتٍ فَدَمٌ، وَإِنْ تَرَكَ الْمَبِيتَ لَيْلَةً مِنْ لَيَالِي مِنًى فَعَلَيْهِ مُدٌّ، وَإِنْ تَرَكَ لَيْلَتَيْنِ فَعَلَيْهِ مُدَّانِ، وَإِنْ تَرَكَ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَدَمٌ وَالدَّمُ شَاةٌ يَذْبَحُهَا لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ وَلَا رُخْصَةَ فِي تَرْكِ الْمَبِيتِ بِمِنًى إلَّا لِرِعَاءِ الْإِبِلِ وَأَهْلِ سِقَايَةِ الْعَبَّاسِ دُونَ غَيْرِهِمْ. وَلَا رُخْصَةَ فِيهَا إلَّا لِمَنْ وَلِيَ الْقِيَامَ عَلَيْهَا مِنْهُمْ وَسَوَاءٌ مَنْ اُسْتُعْمِلَ عَلَيْهَا مِنْهُمْ أَوْ مِنْ غَيْرِهِمْ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَرْخَصَ لِأَهْلِ السِّقَايَةِ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ أَنْ يَبِيتُوا بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنًى وَيَفْعَلُ الصَّبِيُّ فِي كُلِّ أَمْرِهِ مَا يَفْعَلُ الْكَبِيرُ وَمَا عَجَزَ عَنْهُ الصَّبِيُّ مِنْ الطَّوَافِ وَالسَّعْيِ حُمِلَ وَفُعِلَ ذَلِكَ بِهِ وَجُعِلَ الْحَصَى فِي يَدِهِ لِيَرْمِيَ فَإِنْ عَجَزَ رُمِيَ عَنْهُ، وَلَيْسَ عَلَى الْحَاجِّ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ الرَّمْيِ أَيَّامَ مِنًى إلَّا وَدَاعُ الْبَيْتِ فَيُوَدِّعُ الْبَيْتَ ثُمَّ يَنْصَرِفُ إلَى بَلَدِهِ وَالْوَدَاعُ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَيَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَهُ فَإِنْ لَمْ يَطُفْ وَانْصَرَفَ فَعَلَيْهِ دَمٌ لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ وَلَيْسَ عَلَى الْحَائِضِ وَدَاعٌ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَرْخَصَ لَهَا أَنْ تَنْفِرَ بِلَا وَدَاعٍ.

 

 

Jika seseorang mengejar dua lemparan pada hari-hari Mina, ia memulai yang pertama hingga selesai, kemudian kembali dan memulai yang lain. Tidak cukup baginya melempar empat belas kerikil dalam satu tempat. Jika ia menunda hingga hari-hari lemparan selesai dan meninggalkan satu kerikil, maka wajib baginya memberi satu mud makanan sesuai takaran Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada seorang miskin. Jika dua kerikil, maka dua mud untuk dua orang miskin. Jika tiga kerikil, maka wajib menyembelih dam. Jika ia meninggalkan bermalam satu malam di Mina, wajib satu mud. Jika dua malam, dua mud. Jika tiga malam, wajib dam, dan dam itu seekor kambing yang disembelih untuk fakir miskin Haram. Tidak ada keringanan dalam meninggalkan bermalam di Mina kecuali untuk penggembala unta dan petugas siqayah Abbas, selain mereka tidak ada keringanan kecuali bagi yang bertugas mengurusnya, baik dari mereka atau selain mereka. Karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberi keringanan kepada petugas siqayah dari keluarganya untuk bermalam di Mekah pada malam-malam Mina. Anak kecil melakukan segala kewajiban seperti orang dewasa. Jika ia tidak mampu thawaf atau sa’i, ia digendong dan dilakukan untuknya, serta kerikil diletakkan di tangannya untuk melempar. Jika tidak mampu, dilemparkan untuknya. Setelah selesai melempar di hari-hari Mina, jamaah haji hanya perlu melakukan thawaf wada’, yaitu mengelilingi Ka’bah lalu shalat dua rakaat. Jika tidak thawaf dan langsung pergi, wajib membayar dam untuk fakir miskin Haram. Wanita haid tidak wajib thawaf wada’, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberi keringanan baginya untuk berangkat tanpa wada’.

 

 

وَإِذَا أَصَابَ الْمُحْرِمُ امْرَأَتَهُ الْمُحْرِمَةَ فَغَيَّبَ الْحَشَفَةَ مَا بَيْنَ أَنْ يُحْرِمَ إلَى أَنْ يَرْمِيَ الْجَمْرَةَ فَقَدْ أَفْسَدَ حَجَّهُ وَسَوَاءٌ وَطِئَ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ؛ لِأَنَّهُ فَسَادٌ وَاحِدٌ وَعَلَيْهِ الْهَدْيُ بَدَنَةٌ وَيَحُجُّ مِنْ قَابِلٍ بِامْرَأَتِهِ وَيُجْزِي عَنْهُمَا هَدْيٌ وَاحِدٌ وَمَا تَلَذَّذَ مِنْهَا دُونَ الْجِمَاعِ فَشَاةٌ تُجْزِئُهُ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمُفْسِدُ بَدَنَةً فَبَقَرَةٌ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَسَبْعًا مِنْ الْغَنَمِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ قُوِّمَتْ الْبَدَنَةُ دَرَاهِمَ بِمَكَّةَ وَالدَّرَاهِمُ طَعَامًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ صَامَ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا هَكَذَا كُلُّ وَاجِبٍ عَلَيْهِ يَعْسُرُ بِهِ مَا لَمْ يَأْتِ فِيهِ نَصُّ خَبَرٍ وَلَا يَكُونُ الطَّعَامُ وَالْهَدْيُ إلَّا بِمَكَّةَ أَوْ مِنًى وَالصَّوْمُ حَيْثُ شَاءَ؛ لِأَنَّهُ لَا مَنْفَعَةَ لِأَهْلِ الْحَرَمِ فِي الصَّوْمِ وَمَنْ وَطِئَ أَهْلَهُ بَعْدَ رَمْيِ الْجِمَارِ فَعَلَيْهِ بَدَنَةٌ وَيُتِمُّ حَجَّهُ.

 

 

Dan jika seorang yang berihram menyetubuhi istrinya yang juga berihram dengan memasukkan hasyafah (kepala kemaluan) antara saat memulai ihram hingga melempar jumrah, maka hajinya telah rusak, baik sekali atau dua kali bersetubuh, karena itu satu kerusakan. Dia wajib membayar dam berupa seekor unta, dan harus mengulang haji tahun depan bersama istrinya, dengan satu dam yang mencukupi untuk keduanya. Jika dia melakukan kenikmatan selain bersetubuh, maka cukup dengan seekor kambing. Jika pelaku kerusakan tidak menemukan unta, maka seekor sapi. Jika tidak menemukan, maka tujuh ekor kambing. Jika tidak menemukan, maka nilai unta dihitung dengan dirham di Makkah, dan dirham tersebut dibelikan makanan. Jika tidak menemukan, maka dia berpuasa sehari untuk setiap mud. Demikianlah setiap kewajiban yang memberatkannya selama tidak ada nash yang menjelaskan. Makanan dan dam hanya boleh diberikan di Makkah atau Mina, sedangkan puasa boleh dilakukan di mana saja, karena puasa tidak memberi manfaat bagi penduduk Haram. Barangsiapa menyetubuhi istrinya setelah melempar jumrah, maka wajib membayar seekor unta dan menyempurnakan hajinya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَرَأْت عَلَيْهِ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ قُلْت أَنَا: إنْ لَمْ تَكُنْ الْبَدَنَةُ إجْمَاعًا أَوْ أَصْلًا فَالْقِيَاسُ شَاةٌ؛ لِأَنَّهَا هَدْيٌ عِنْدِي.

 

 

(Al-Muzanni berkata): Aku membacakan masalah ini kepadanya. Aku berkata: “Jika unta bukan berdasarkan ijma’ atau asal, maka qiyasnya adalah kambing, karena menurutku itu adalah hadyu.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ أَفْسَدَ الْعُمْرَةَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ مِنْ الْمِيقَاتِ الَّذِي ابْتَدَأَهَا مِنْهُ فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَائِشَةَ أَنْ تَقْضِيَ الْعُمْرَةَ مِنْ التَّنْعِيمِ فَلَيْسَ كَمَا قَالَ إنَّمَا كَانَتْ قَارِنًا وَكَانَ عُمْرَتُهَا شَيْئًا اسْتَحْسَنَتْهُ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِهَا لَا أَنَّ عُمْرَتَهَا كَانَتْ قَضَاءً لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَهَا «طَوَافُك يَكْفِيك لِحَجِّك وَعُمْرَتِك.»

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa yang merusak umrahnya, maka wajib baginya mengqadhanya dari miqat dimana ia memulai umrah tersebut. Jika ada yang berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Aisyah untuk mengqadha umrah dari Tan’im, maka hal itu tidak seperti yang dikatakan. Sesungguhnya Aisyah adalah qarin (melakukan haji dan umrah secara bersamaan), dan umrahnya adalah sesuatu yang beliau sukai, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk melakukannya, bukan karena umrahnya adalah qadha. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: ‘Thawafmu sudah mencukupimu untuk haji dan umrahmu.'”

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Barangsiapa yang sampai di Arafah sebelum fajar pada hari Nahr (Idul Adha), maka ia telah mendapatkan haji.” Ia berargumen dalam hal ini dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang sampai di Arafah sebelum fajar pada hari Nahr, maka ia telah mendapatkan haji.”

(قَالَ) : وَمَنْ فَاتَهُ ذَلِكَ فَاتَهُ الْحَجُّ فَأَمَرَهُ أَنْ يُحِلَّ بِطَوَافٍ وَسَعْيٍ وَحِلَاقٍ.

 

Beliau berkata: “Barangsiapa yang luput dari hal itu, maka luputlah hajinya.” Lalu dia memerintahkannya untuk bertahallul dengan melakukan thawaf, sa’i, dan mencukur rambut.

(Dia berkata): “Dan jika dia melakukan amalan umrah, bukan berarti hajinya berubah menjadi umrah. Bagaimana mungkin berubah menjadi umrah, padahal dia memulainya sebagai haji?” (Al-Muzani berkata): “Jika amalannya menurutnya adalah amalan haji, maka dia tidak keluar darinya ke umrah. Maka qiyas dari perkataannya adalah dia harus menyelesaikan sisa hajinya, yaitu bermalam di Mina, melempar jumrah di sana, bersama dengan thawaf dan sa’i. Dan dia menafsirkan perkataan Umar ‘Lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berumrah’ bahwa yang dimaksud adalah thawaf dan sa’i termasuk amalan haji, bukan berarti itu adalah umrah.”

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Tidak boleh memasuki Mekkah kecuali dengan ihram dalam haji atau umrah; karena Mekkah berbeda dengan semua negeri lainnya. Namun, sebagian sahabat kami memberikan keringanan bagi para pencari kayu bakar dan orang yang memasukinya untuk keperluan keluarganya atau mencari nafkah untuk dirinya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَدْخُلُ مَكَّةَ إلَّا بِإِحْرَامٍ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ؛ لِمُبَايَنَتِهَا جَمِيعَ الْبُلْدَانِ إلَّا أَنَّ مِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ رَخَّصَ لِلْحَطَّابِينَ وَمَنْ يَدْخُلُهُ لِمَنَافِعِ أَهْلِهِ أَوْ كَسْبِ نَفْسِهِ.

(Asy-Syafi’i berkata): “Mungkin penebang kayu mereka adalah budak, dan barang siapa yang memasuki (tanah haram) tanpa ihram, maka tidak ada kewajiban qadha atasnya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَعَلَّ حَطَّابِيهِمْ عَبِيدٌ وَمَنْ دَخَلَهَا بِغَيْرِ إحْرَامٍ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ.

 

بَابُ مَنْ لَمْ يُدْرِكْ عَرَفَةَ

 

Bab tentang orang yang tidak sampai di Arafah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ وَمَنْ لَمْ يُدْرِكْ عَرَفَةَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ فَلْيَأْتِ الْبَيْتَ وَلْيَطُفْ بِهِ وَلْيَسْعَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ ثُمَّ لِيَحْلِق أَوْ يُقَصِّرْ إنْ شَاءَ، وَإِنْ كَانَ مَعَهُ هَدْيٌ فَلْيَنْحَرْهُ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ وَيَرْجِعَ إلَى أَهْلِهِ فَإِذَا أَدْرَكَ الْحَجَّ قَابِلًا فَلْيَحْجُجْ وَلْيَهْدِ ” وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ لِأَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، وَقَدْ فَاتَهُ الْحَجُّ ” اصْنَعْ مَا يَصْنَعُ الْمُعْتَمِرُ ثُمَّ قَدْ حَلَلْتُ فَإِذَا أَدْرَكْتُ الْحَجَّ قَابِلًا فَاحْجُجْ وَأَهْدِ مَا اسْتَيْسَرَ مِنْ الْهَدْيِ “، وَقَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَيْضًا لِهَبَّارِ بْنِ الْأَسْوَدِ مِثْلَ مَعْنَى ذَلِكَ وَزَادَ ” فَإِنْ لَمْ تَجِدْ هَدْيًا فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إذَا رَجَعْت “.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Anas bin Iyad mengabarkan kepada kami dari Musa bin Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa ia berkata, “Barangsiapa tidak sampai di Arafah sebelum fajar, maka hajinya telah terlewat. Hendaklah ia mendatangi Baitullah, thawaf di sana, sa’i antara Shafa dan Marwah, lalu mencukur atau memendekkan rambut jika ia mau. Jika ia membawa hewan kurban, hendaklah menyembelihnya sebelum mencukur dan pulang ke keluarganya. Jika ia mendapati haji tahun depan, hendaklah berhaji dan berkurban.” Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata kepada Abu Ayyub Al-Anshari ketika hajinya terlewat, “Lakukan seperti yang dilakukan orang yang berumrah, kemudian aku telah bertahallul. Jika aku mendapati haji tahun depan, berhajilah dan berkurbanlah dengan hewan kurban yang mudah.” Umar -radhiyallahu ‘anhu- juga berkata kepada Habbah bin Al-Aswad dengan makna yang serupa dan menambahkan, “Jika engkau tidak mendapatkan hewan kurban, maka berpuasalah tiga hari selama haji dan tujuh hari jika engkau telah pulang.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Maka dengan semua ini kami mengambil (pendapat).” (قَالَ) : “Dan dalam hadits Umar terdapat petunjuk bahwa ia menugaskan Abu Ayyub untuk melakukan pekerjaan orang yang berumrah, bukan berarti ihramnya berubah menjadi umrah.”

 

بَابُ الصَّبِيِّ إذَا بَلَغَ وَالْعَبْدُ إذَا عَتَقَ وَالذِّمِّيُّ إذَا أَسْلَمَ، وَقَدْ أَحْرَمُوا

 

Bab tentang anak kecil ketika baligh, budak ketika merdeka, dan kafir dzimmi ketika masuk Islam, sedangkan mereka sedang berihram

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا بَلَغَ غُلَامٌ أَوْ أُعْتِقَ عَبْدٌ أَوْ أَسْلَمَ ذِمِّيٌّ، وَقَدْ أَحْرَمُوا ثُمَّ وَافَوْا عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ فَقَدْ أَدْرَكُوا الْحَجَّ وَعَلَيْهِمْ دَمٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang anak mencapai baligh, atau seorang budak dimerdekakan, atau seorang dzimmi masuk Islam, dan mereka telah berihram kemudian sampai di Arafah sebelum terbit fajar pada hari Nahr, maka mereka telah mendapatkan haji dan wajib atas mereka menyembelih dam.

 

(وَقَالَ) : وَفِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَنَّهُ لَا يَبِينُ لَهُ أَنَّ الْغُلَامَ وَالْعَبْدَ عَلَيْهِمَا فِي ذَلِكَ دَمٌ وَأَوْجَبَهُ عَلَى الْكَافِرِ؛ لِأَنَّ إحْرَامَهُ قَبْلَ عَرَفَةَ وَهُوَ كَافِرٌ لَيْسَ بِإِحْرَامٍ.

 

 

(Dan dia berkata): Di tempat lain disebutkan bahwa tidak jelas baginya bahwa anak kecil dan budak wajib membayar dam dalam hal itu, dan dia mewajibkannya atas orang kafir; karena ihramnya sebelum Arafah sedangkan dia dalam keadaan kafir tidak dianggap sebagai ihram.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَإِذَا لَمْ يَبِنْ عِنْدَهُ أَنَّ عَلَى الْعَبْدِ وَالصَّبِيِّ دَمًا وَهُمَا مُسْلِمَانِ فَالْكَافِرُ أَحَقُّ أَنْ لَا يَكُونَ عَلَيْهِ دَمٌ؛ لِأَنَّ إحْرَامَهُ مَعَ الْكُفْرِ لَيْسَ بِإِحْرَامٍ وَالْإِسْلَامُ يَجُبُّ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَإِنَّمَا وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ مَعَ الْإِسْلَامِ بِعَرَفَاتٍ فَكَأَنَّهَا مَنْزِلُهُ أَوْ كَرَجُلٍ صَارَ إلَى عَرَفَةَ وَلَا يُرِيدُ حَجًّا ثُمَّ أَحْرَمَ أَوْ كَمَنْ جَاوَزَ الْمِيقَاتَ لَا يُرِيدُ حَجًّا ثُمَّ أَحْرَمَ فَلَا دَمَ عَلَيْهِ وَكَذَلِكَ نَقُولُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika menurutnya tidak jelas bahwa budak dan anak kecil wajib membayar dam sedangkan mereka berdua adalah muslim, maka orang kafir lebih berhak untuk tidak dikenai dam. Karena ihramnya dalam keadaan kafir bukanlah ihram yang sah, dan Islam menghapus apa yang sebelumnya. Kewajiban haji atasnya baru berlaku bersama keislaman di Arafah, seakan-akan itu adalah miqatnya. Atau seperti seseorang yang pergi ke Arafah tanpa niat haji kemudian berihram, atau seperti orang yang melewati miqat tanpa niat haji kemudian berihram, maka tidak ada dam atasnya. Demikianlah pendapat kami.

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya seorang budak merusak hajinya sebelum Arafah, kemudian dimerdekakan, atau seorang anak yang hampir baligh (murahiq) karena berhubungan sebelum Arafah kemudian bermimpi (baligh), maka mereka harus menyempurnakan hajinya dan tidak dianggap sebagai haji Islam (yang menggugurkan kewajiban). Karena diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa seorang wanita mengangkat anak kecilnya dari tempat duduknya dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah anak ini mendapatkan pahala haji?’ Beliau menjawab, ‘Ya, dan engkau juga mendapatkan pahala.'”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَفْسَدَ الْعَبْدُ حَجَّهُ قَبْلَ عَرَفَةَ ثُمَّ أُعْتِقَ وَالْمُرَاهِقُ بِوَطْءٍ قَبْلَ عَرَفَةَ ثُمَّ احْتَلَمَ أَتَمَّا وَلَمْ تُجْزِ عَنْهُمَا مِنْ حَجَّةِ الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَنَّ امْرَأَةً رَفَعَتْ إلَيْهِ مِنْ مِحَفَّتِهَا صَبِيًّا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِهَذَا حَجٌّ قَالَ نَعَمْ وَلَك أَجْرٌ» .

 

(قَالَ) : وَإِذَا جَعَلَ لَهُ حَجًّا فَالْحَاجُّ إذَا جَامَعَ أَفْسَدَ حَجَّهُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَكَذَلِكَ فِي مَعْنَاهُ عِنْدِي يُعِيدُ وَيُهْدِي.

 

 

Beliau berkata: “Dan apabila diwajibkan haji baginya, maka jika seorang jamaah haji bersetubuh, ia telah merusak hajinya.” Al-Muzani berkata: “Demikian pula maknanya menurutku, ia harus mengulang dan menyembelih hewan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَحْرَمَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إذْنِ سَيِّدِهِ أَحْبَبْت أَنْ يَدَعَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَهُ حَبْسُهُ وَفِيهِ قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: تُقَوَّمُ الشَّاةُ دَرَاهِمَ وَالدَّرَاهِمُ طَعَامًا ثُمَّ يَصُومُ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا ثُمَّ يُحِلُّ. وَالْآخَرُ: لَا شَيْءَ عَلَيْهِ حَتَّى يُعْتَقَ فَيَكُونُ عَلَيْهِ شَاةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seorang hamba berihram tanpa izin tuannya, aku lebih menyukai agar dia meninggalkannya. Jika tidak, tuannya berhak menahannya. Dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: kambing dinilai dengan dirham, lalu dirham diubah menjadi makanan, kemudian dia berpuasa satu hari untuk setiap mud, setelah itu dia bertahallul. Pendapat kedua: tidak ada kewajiban atasnya sampai dia merdeka, maka dia wajib menyembelih seekor kambing.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : أَوْلَى بِقَوْلِهِ وَأَشْبَهُ عِنْدِي بِمَذْهَبِهِ أَنْ يُحِلَّ وَلَا يُظْلَمُ مَوْلَاهُ بِغَيْبَتِهِ وَمَنْعِ خِدْمَتِهِ فَإِذَا أُعْتِقَ أَهْرَاقَ دَمًا فِي مَعْنَاهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Pendapat yang lebih utama dan menurutku lebih sesuai dengan mazhabnya adalah bahwa dia (budak) dibolehkan (untuk dimerdekakan) dan tuannya tidak dizalimi dengan ketidakhadirannya dan terhalangnya pelayanannya. Maka jika dia dimerdekakan, dia menumpahkan darah yang semakna dengannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يَتَمَتَّعَ فَأَعْطَاهُ دَمًا لِتَمَتُّعِهِ لَمْ يُجْزِ عَنْهُ إلَّا الصَّوْمُ مَا كَانَ مَمْلُوكًا وَيُجْزِي أَنْ يُعْطَى عَنْهُ مَيِّتًا كَمَا يُعْطَى عَنْ مَيِّتٍ قَضَاءً؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ سَعْدًا أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ أُمِّهِ بَعْدَ مَوْتِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya dia mengizinkannya untuk bersenang-senang lalu memberinya dam untuk kesenangannya, itu tidak mencukupi kecuali puasa selama dia masih menjadi budak. Dan boleh memberikan (dam) untuk orang yang sudah meninggal sebagaimana diberikan untuk menunaikan kewajiban orang yang meninggal, karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan Sa’ad untuk bersedekah atas nama ibunya setelah kematiannya.”

 

 

بَابُ هَلْ لَهُ أَنْ يُحْرِمَ بِحَجَّتَيْنِ أَوْ عُمْرَتَيْنِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِذَلِكَ

 

 

Bab tentang apakah seseorang boleh berihram untuk dua haji atau dua umrah serta hal-hal yang terkait dengannya.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّتَيْنِ أَوْ عُمْرَتَيْنِ مَعًا أَوْ يَحُجُّ ثُمَّ أَدْخَلَ عَلَيْهِ حَجًّا آخَرَ أَوْ بِعُمْرَتَيْنِ مَعًا أَوْ بِعُمْرَةٍ ثُمَّ أَدْخَلَ عَلَيْهَا أُخْرَى فَهُوَ حَجٌّ وَاحِدٌ وَعُمْرَةٌ وَاحِدَةٌ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا فِدْيَةَ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa berniat melakukan dua haji atau dua umrah sekaligus, atau berhaji kemudian memasukkan haji lain ke dalamnya, atau dua umrah sekaligus, atau umrah kemudian memasukkan umrah lainnya, maka itu dianggap sebagai satu haji dan satu umrah, tidak ada kewajiban qadha atau fidyah baginya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : لَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ فِي حَجَّتَيْنِ أَوْ حَجَّةٍ فَإِذَا أَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يَعْمَلُ عَمَلَ حَجَّتَيْنِ فِي حَالٍ وَلَا عُمْرَتَيْنِ وَلَا صَوْمَيْنِ فِي حَالٍ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ لَا مَعْنَى إلَّا لِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فَبَطَلَتْ الْأُخْرَى.

 

 

(Al-Muzani berkata): Tidak lepas dari dua kemungkinan, antara dua haji atau satu haji. Jika mereka sepakat bahwa tidak ada amalan dua haji dalam satu waktu, tidak pula dua umrah atau dua puasa dalam satu waktu, maka hal itu menunjukkan bahwa hanya satu yang memiliki makna, sehingga yang lainnya menjadi batal.

 

بَابُ الْإِجَارَةِ عَلَى الْحَجِّ وَالْوَصِيَّةِ بِهِ

 

Bab tentang upah dalam haji dan wasiat untuk melakukannya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ الرَّجُلُ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ إذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَرْكَبٍ لِضَعْفِهِ أَوْ كِبَرِهِ إلَّا بِأَنْ يَقُولَ يُحْرِمُ عَنْهُ مِنْ مَوْضِعِ كَذَا وَكَذَا فَإِنْ وَقَّتَ لَهُ وَقْتًا فَأَحْرَمَ قَبْلَهُ فَقَدْ زَادَهُ، وَإِنْ تَجَاوَزَهُ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ فَرَجَعَ مُحْرِمًا أَجْزَأَهُ، وَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ فَعَلَيْهِ دَمٌ مِنْ مَالِهِ وَيَرُدُّ مِنْ الْأُجْرَةِ بِقَدْرِ مَا تَرَكَ وَمَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ شَيْءٍ يَفْعَلُهُ فَمِنْ مَالِهِ دُونَ مَالِ الْمُسْتَأْجِرِ فَإِنْ أَفْسَدَ حَجَّهُ أَفْسَدَ إجَارَتَهُ وَعَلَيْهِ الْحَجُّ لِمَا أَفْسَدَ عَنْ نَفْسِهِ وَلَوْ لَمْ يُفْسِدْ فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُتِمَّ الْحَجَّ فَلَهُ بِقَدْرِ عَمَلِهِ وَلَا يُحْرِمُ عَنْ رَجُلٍ إلَّا مَنْ قَدْ حَجَّ مَرَّةً، وَلَوْ أَوْصَى أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ وَارِثٌ وَلَمْ يُسَمِّ شَيْئًا أُحِجَّ عَنْهُ بِأَقْلِّ مَا يُوجَدُ أَحَدٌ يَحُجُّ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ أَحَجَّ عَنْهُ غَيْرُهُ وَلَوْ أَوْصَى لِرَجُلٍ بِمِائَةِ دِينَارٍ يَحُجُّ بِهَا عَنْهُ فَمَا زَادَ عَلَى أَجْرِ مِثْلِهِ فَهُوَ وَصِيَّةٌ لَهُ فَإِنْ امْتَنَعَ لَمْ يَحُجَّ عَنْهُ أَحَدٌ إلَّا بِأَقْلِّ مَا يُوجَدُ بِهِ مَنْ يَحُجُّ عَنْهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh seseorang menyewa orang lain untuk menghajikannya jika ia tidak mampu berkendara karena kelemahan atau usia tua, kecuali dengan mengatakan, “Berdihlallah untuknya dari tempat ini dan itu.” Jika ia menentukan waktu tertentu lalu orang yang diupah berihram sebelumnya, maka ia telah menambah. Jika melewati tempat itu sebelum berihram lalu kembali dengan berihram, maka sah. Jika tidak kembali, maka wajib baginya menyembelih dam dari hartanya dan mengembalikan sebagian upah sesuai yang ditinggalkan. Apa yang wajib ia lakukan, maka dari hartanya sendiri bukan harta orang yang menyewa. Jika ia merusak hajinya, maka rusak pula upahnya, dan ia wajib menghaji untuk dirinya sendiri karena merusak. Jika tidak merusak lalu meninggal sebelum menyempurnakan haji, maka ia mendapat upah sesuai amalannya. Tidak boleh berihram untuk orang lain kecuali yang pernah haji. Jika seseorang berwasiat agar ahli waris menghajikannya tanpa menyebut jumlah, maka dihajikan dengan upah terendah yang ada. Jika ahli waris menolak, orang lain boleh menghajikannya. Jika berwasiat seratus dinar untuk seseorang agar menghajikannya, maka kelebihan dari upah sepadan menjadi wasiat untuknya. Jika orang itu menolak, tidak ada yang menghajikannya kecuali dengan upah terendah yang ada.

 

بَابُ جَزَاءِ الصَّيْدِ

Bab tentang denda perburuan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَعَلَى مَنْ قَتَلَ الصَّيْدَ الْجَزَاءُ عَمْدًا كَانَ أَوْ خَطَأً وَالْكَفَّارَةُ فِيهِمَا سَوَاءٌ؛ لِأَنَّ كُلًّا مَمْنُوعٌ بِحُرْمَةٍ وَكَانَ فِيهِ الْكَفَّارَةُ وَقِيَاسُ مَا اخْتَلَفُوا مِنْ كَفَّارَةِ قَتْلِ الْمُؤْمِنِ عَمْدًا عَلَى مَا أَجْمَعُوا عَلَيْهِ مِنْ كَفَّارَةِ قَتْلِ الصَّيْدِ عَمْدًا (قَالَ) : وَالْعَامِدُ أَوْلَى بِالْكَفَّارَةِ فِي الْقِيَاسِ مِنْ الْمُخْطِئِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa membunuh hewan buruan, wajib membayar denda (jaza’), baik sengaja maupun tidak sengaja, dan kafarah (tebusan) dalam kedua keadaan itu sama. Karena keduanya adalah sesuatu yang dilindungi kehormatannya dan terdapat kewajiban kafarah padanya. Qiyas (analogi) perbedaan pendapat mereka tentang kafarah pembunuhan seorang mukmin yang disengaja adalah berdasarkan kesepakatan mereka tentang kafarah pembunuhan hewan buruan yang disengaja.” (Beliau juga) berkata: “Orang yang sengaja lebih berhak dikenai kafarah menurut qiyas daripada yang tidak sengaja.”

 

بَابُ كَيْفِيَّةِ الْجَزَاءِ

 

Bab tentang Cara Pembalasan

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – {فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ} المائدة: 95 .

 

(Berkata Asy-Syafi’i) : Allah – Yang Maha Agung dan Mulia – berfirman: “Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya” QS. Al-Maidah: 95.

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan an-na’am adalah unta, sapi, dan kambing.”

 

(قَالَ) : وَمَا أُكِلَ مِنْ الصَّيْدِ صِنْفَانِ دَوَابُّ وَطَائِرٌ فَمَا أَصَابَ الْمُحْرِمُ مِنْ الدَّوَابِّ نُظِرَ إلَى أَقْرَبِ الْأَشْيَاءِ مِنْ الْمَقْتُولِ شَبَهًا مِنْ النَّعَمِ فَفَدَى بِهِ، وَقَدْ حَكَمَ عُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – وَغَيْرُهُمْ فِي بُلْدَانٍ مُخْتَلِفَةٍ وَأَزْمَانٍ شَتَّى بِالْمِثْلِ مِنْ النَّعَمِ فَحَكَمَ حَاكِمُهُمْ فِي النَّعَامَةِ بِبَدَنَةٍ وَهِيَ لَا تَسْوَى بَدَنَةً، وَفِي حِمَارِ الْوَحْشِ بِبَقَرَةٍ وَهُوَ لَا يَسْوَى بَقَرَةً وَفِي الضَّبُعِ بِكَبْشٍ وَهُوَ لَا يَسْوَى كَبْشًا وَفِي الْغَزَالِ بِعَنْزٍ، وَقَدْ يَكُونُ أَكْثَرَ مِنْ ثَمَنِهَا أَضْعَافًا وَدُونَهَا وَمِثْلَهَا وَفِي الْأَرْنَبِ بِعَنَاقٍ وَفِي الْيَرْبُوعِ بِجُفْرَةٍ وَهُمَا لَا يُسَاوِيَانِ عَنَاقًا وَلَا جُفْرَةً فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُمْ نَظَرُوا إلَى أَقْرَبِ مَا يُقْتَلُ مِنْ الصَّيْدِ شَبَهًا بِالْبَدَلِ مِنْ النَّعَمِ لَا بِالْقِيمَةِ وَلَوْ حَكَمُوا بِالْقِيمَةِ لَاخْتَلَفَتْ لِاخْتِلَافِ الْأَسْعَارِ وَتَبَايُنِهَا فِي الْأَزْمَانِ وَكُلُّ دَابَّةٍ مِنْ الصَّيْدِ لَمْ نُسَمِّهَا فَفِدَاؤُهَا قِيَاسًا عَلَى مَا سَمَّيْنَا فِدَاءَهُ مِنْهَا لَا نَخْتَلِفُ وَلَا يُفْدَى إلَّا مِنْ النَّعَمِ وَفِي صِغَارِ أَوْلَادِهَا صِغَارُ أَوْلَادِ هَذِهِ، وَإِذَا أَصَابَ صَيْدًا أَعْوَرَ أَوْ مَكْسُورًا فَدَاهُ بِمِثْلِهِ وَالصَّحِيحُ أَحَبُّ إلَيَّ وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ.

 

 

Beliau berkata: “Binatang buruan yang dimakan terdiri dari dua jenis: hewan darat dan burung. Jika seorang muhrim membunuh hewan darat, maka dilihat hewan ternak yang paling mirip dengan hewan yang terbunuh tersebut, lalu dia membayar fidyah dengannya. Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Ibnu Umar, Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhum – dan lainnya telah memutuskan di berbagai negeri dan zaman yang berbeda dengan mengganti dengan hewan ternak yang sepadan. Seorang hakim mereka memutuskan untuk burung unta dengan seekor badanah (unta gemuk), padahal nilainya tidak setara dengan badanah. Untuk keledai liar dengan seekor sapi, padahal nilainya tidak setara dengan sapi. Untuk dubuk dengan seekor kambing jantan, padahal nilainya tidak setara dengan kambing jantan. Untuk gazelle dengan seekor kambing betina, padahal harganya bisa berkali-kali lipat lebih mahal, lebih murah, atau setara. Untuk kelinci dengan seekor anak kambing betina. Untuk tikus padang pasir dengan seekor anak unta, padahal keduanya tidak setara dengan anak kambing betina atau anak unta. Ini menunjukkan bahwa mereka melihat pada hewan buruan yang paling mirip dengan penggantinya dari hewan ternak, bukan berdasarkan nilai. Seandainya mereka memutuskan berdasarkan nilai, tentu akan berbeda karena perbedaan harga dan fluktuasinya di berbagai zaman. Setiap hewan buruan yang tidak kami sebutkan, maka fidyahnya diqiyaskan pada hewan yang telah kami sebutkan fidyahnya. Kami tidak berselisih pendapat, dan fidyah hanya dibayar dengan hewan ternak. Untuk anak-anak hewan buruan yang kecil, fidyahnya adalah anak-anak hewan ternak yang kecil. Jika dia membunuh hewan buruan yang cacat atau patah, maka dia membayar fidyah dengan hewan yang serupa. Namun, yang sehat lebih aku sukai, dan ini adalah pendapat Atha’.”

 

(قَالَ) : وَيُفْدَى الذَّكَرُ بِالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَيَفْدِي بِالْإِنَاثِ أَحَبُّ إلَيَّ، وَإِنْ جَرَحَ ظَبْيًا فَنَقَصَ مِنْ قِيمَتِهِ الْعُشْرُ فَعَلَيْهِ الْعُشْرُ مِنْ ثَمَنِ شَاةٍ وَكَذَلِكَ إنْ كَانَ النَّقْصُ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ.

 

 

Beliau berkata: “Laki-laki ditebus dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan.” Di tempat lain, dia juga berkata: “Aku lebih suka jika tebusan dilakukan dengan perempuan.” Jika seseorang melukai seekor kijang sehingga mengurangi nilainya sepersepuluh, maka dia wajib membayar sepersepuluh dari harga seekor kambing. Demikian pula jika kerugiannya lebih sedikit atau lebih banyak.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : عَلَيْهِ عُشْرُ الشَّاةِ أَوْلَى بِأَصْلِهِ، وَإِنْ قَتَلَ الصَّيْدَ فَإِنْ شَاءَ جَزَاءً بِمِثْلِهِ، وَإِنْ شَاءَ قُوِّمَ الْمِثْلُ دَرَاهِمَ ثُمَّ الدَّرَاهِمُ طَعَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ، وَإِنْ شَاءَ صَامَ عَنْ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا وَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِشَيْءِ مِنْ الْجَزَاءِ إلَّا بِمَكَّةَ أَوْ بِمِنًى فَأَمَّا الصَّوْمُ فَحَيْثُ شَاءَ؛ لِأَنَّهُ لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ، وَإِنْ أَكَلَ مِنْ لَحْمِهِ فَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ إلَّا فِي قَتْلِهِ أَوْ جَرْحِهِ. وَلَوْ دَلَّ عَلَى صَيْدٍ كَانَ مُسِيئًا وَلَا جَزَاءَ عَلَيْهِ كَمَا لَوْ أَمَرَ بِقَتْلِ مُسْلِمٍ لَمْ يُقْتَصَّ مِنْهُ وَكَانَ مُسِيئًا وَمَنْ قَطَعَ مِنْ شَجَرَةِ الْحَرَمِ شَيْئًا جَزَاهُ مُحْرِمًا كَانَ أَوْ حَلَالًا وَفِي الشَّجَرَةِ الصَّغِيرَةِ شَاةٌ وَفِي الْكَبِيرَةِ بَقَرَةٌ وَذَكَرُوا هَذَا عَنْ ابْنِ الزُّبَيْرِ وَعَطَاءٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dia wajib membayar sepersepuluh kambing sebagai yang lebih utama menurut dasar hukumnya. Jika dia membunuh hewan buruan, maka jika dia mau, dia boleh membayar tebusan dengan hewan yang sepadan. Jika dia mau, nilai hewan yang sepadan itu dihitung dalam dirham, kemudian dirham tersebut dibelikan makanan, lalu disedekahkan. Jika dia mau, dia boleh berpuasa satu hari untuk setiap mud. Tidak sah baginya untuk menyedekahkan sebagian dari tebusan kecuali di Mekah atau Mina. Adapun puasa, boleh dilakukan di mana saja karena tidak ada manfaatnya bagi fakir miskin Haram. Jika dia memakan dagingnya, maka tidak ada tebusan kecuali karena membunuh atau melukainya. Jika dia menunjukkan lokasi hewan buruan, maka dia telah berbuat buruk tetapi tidak ada tebusan atasnya, seperti halnya jika dia memerintahkan pembunuhan seorang muslim, dia tidak diqishash tetapi tetap berbuat buruk. Siapa yang memotong sesuatu dari pohon Haram, baik dalam keadaan ihram atau halal, dia wajib membayar tebusan. Untuk pohon kecil, tebusannya seekor kambing, dan untuk pohon besar, seekor sapi. Mereka menyebutkan hal ini dari Ibnu Zubair dan Atha’.

 

(قَالَ) : وَسَوَاءٌ مَا قُتِلَ فِي الْحَرَمِ أَوْ فِي الْإِحْرَامِ مُفْرِدًا كَانَ أَوْ قَارِنًا فَجَزَاءٌ وَاحِدٌ وَلَوْ اشْتَرَكُوا فِي قَتَلَ صَيْدٍ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمْ إلَّا جَزَاءٌ وَاحِدٌ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ وَمَا قُتِلَ مِنْ الصَّيْدِ لِإِنْسَانٍ فَعَلَيْهِ جَزَاؤُهُ لِلْمَسَاكِينِ وَقِيمَتُهُ لِصَاحِبِهِ وَلَوْ جَازَ إذَا تَحَوَّلَ حَالَ الصَّيْدِ مِنْ التَّوَحُّشِ إلَى الِاسْتِئْنَاسِ أَنْ يَصِيرَ حُكْمُهُ حُكْمَ الْأَنِيسِ جَازَ أَنْ يُضَحِّيَ بِهِ وَيُجْزِي بِهِ مَا قَتَلَ مِنْ الصَّيْدِ، وَإِذَا تَوَحَّشَ الْإِنْسِيُّ مِنْ الْبَقَرِ وَالْإِبِلِ أَنْ يَكُونَ صَيْدًا يُجْزِيهِ الْمُحْرِمُ وَلَا يُضَحِّي بِهِ وَلَكِنْ كُلٌّ عَلَى أَصْلِهِ وَمَا أَصَابَ مِنْ الصَّيْدِ فَدَاهُ إلَى أَنْ يَخْرُجَ مِنْ إحْرَامِهِ وَخُرُوجُهُ مِنْ الْعُمْرَةِ بِالطَّوَافِ وَالسَّعْيِ وَالْحِلَاقِ وَخُرُوجُهُ مِنْ الْحَجِّ خُرُوجَانِ الْأَوَّلُ الرَّمْيُ وَالْحَلْقُ وَهَكَذَا لَوْ طَافَ بَعْدَ عَرَفَةَ وَحَلَقَ، وَإِنْ لَمْ يَرْمِ فَقَدْ خَرَجَ مِنْ الْإِحْرَامِ فَإِنْ أَصَابَ بَعْدَ ذَلِكَ صَيْدًا فِي الْحِلِّ فَلَيْسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ.

 

 

Beliau berkata: “Sama saja apakah hewan buruan dibunuh di tanah haram atau dalam keadaan ihram, baik sebagai mutamatti’ (haji tamattu’) atau qarin (haji qiran), dendanya satu. Sekalipun beberapa orang bersama-sama membunuh satu hewan buruan, mereka hanya dikenai satu denda. Ini adalah pendapat Ibnu Umar. Jika hewan buruan dibunuh untuk seseorang, maka dia wajib membayar dendanya untuk orang miskin dan nilainya untuk pemiliknya. Seandainya keadaan hewan buruan berubah dari liar menjadi jinak sehingga hukumnya seperti hewan ternak, boleh dijadikan hewan kurban dan bisa menebus pelanggaran membunuh hewan buruan. Jika hewan ternak seperti sapi atau unta menjadi liar sehingga dianggap sebagai hewan buruan, orang yang berihram boleh membayar dendanya tetapi tidak boleh berkurban dengannya. Namun, segala sesuatu tetap pada hukum asalnya. Apa pun hewan buruan yang dibunuh, wajib ditebus sampai dia keluar dari ihram. Keluar dari ihram umrah adalah dengan thawaf, sa’i, dan mencukur rambut. Sedangkan keluar dari ihram haji ada dua tahap: pertama melempar jumrah dan mencukur rambut. Demikian pula jika dia thawaf setelah Arafah dan mencukur rambut, meskipun belum melempar jumrah, dia sudah keluar dari ihram. Jika setelah itu dia membunuh hewan buruan di luar tanah haram, tidak ada kewajiban apa pun atasnya.”

 

بَابُ جَزَاءِ الطَّائِرِ

Bab tentang denda untuk buruan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالطَّائِرُ صِنْفَانِ حَمَامٌ وَغَيْرُ حَمَامٍ فَمَا كَانَ مِنْهَا حَمَامًا فَفِيهِ شَاةٌ اتِّبَاعًا لِعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَنَافِعِ بْنِ عَبْدِ الْحَارِثِ وَابْنِ عُمَرَ وَعَاصِمِ بْنِ عُمَرَ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Burung ada dua jenis, yaitu merpati dan selain merpati. Adapun yang termasuk merpati, maka kewajibannya adalah seekor kambing, berdasarkan pendapat Umar, Utsman, Ibnu Abbas, Nafi’ bin Abdul Harits, Ibnu Umar, Ashim bin Umar, dan Sa’id bin Musayyib.”

 

(قَالَ) : وَهَذَا إذَا أُصِيبَ بِمَكَّةَ أَوْ أَصَابَهُ الْمُحْرِمُ قَالَ عَطَاءٌ فِي الْقُمْرِيّ وَالدُّبْسِيِّ شَاةٌ.

 

 

Beliau berkata: “Dan ini jika terjadi di Mekah atau dilakukan oleh orang yang berihram.” Atha’ berkata mengenai burung qumri dan dubsi (jenis burung): (denda) seekor kambing.

 

(قَالَ) : وَكُلُّ مَا عَبَّ وَهَدَرَ فَهُوَ حَمَامٌ وَفِيهِ شَاةٌ وَمَا سِوَاهُ مِنْ الطَّيْرِ فَفِيهِ قِيمَتُهُ فِي الْمَكَانِ الَّذِي أُصِيبَ فِيهِ، وَقَالَ عُمَرُ لِكَعْبٍ فِي جَرَادَتَيْنِ مَا جَعَلْت فِي نَفْسِك قَالَ دِرْهَمَيْنِ قَالَ بَخٍ دِرْهَمَانِ خَيْرٌ مِنْ مِائَةِ جَرَادَةٍ افْعَلْ مَا جَعَلْتُ فِي نَفْسِك وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي جَرَادَةٍ تَمْرَةٌ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي جَرَادَةٍ تَصَدَّقْ بِقَبْضَةِ طَعَامٍ وَلْيَأْخُذَنَّ بِقَبْضَةِ جَرَادَاتٍ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُمَا رَأَيَا فِي ذَلِكَ الْقِيمَةَ فَأَمَرَا بِالِاحْتِيَاطِ، وَمَا كَانَ مِنْ بَيْضِ طَيْرٍ يُؤْكَلُ فَفِي كُلِّ بَيْضَةٍ قِيمَتُهَا، وَإِنْ كَانَ فِيهَا فَرْخٌ فَقِيمَتُهَا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي أَصَابَهَا فِيهِ وَلَا يَأْكُلُهَا مُحْرِمٌ؛ لِأَنَّهُ مِنْ الصَّيْدِ، وَقَدْ يَكُونُ فِيهَا صَيْدٌ.

 

 

Beliau berkata: “Setiap yang berkotek dan bersuara keras adalah burung merpati, dan kewajibannya adalah seekor kambing. Adapun selainnya dari jenis burung, maka kewajibannya adalah membayar nilainya di tempat burung itu dibunuh.” Umar berkata kepada Ka’b tentang dua belalang, “Apa yang engkau tetapkan untuk dirimu?” Ka’b menjawab, “Dua dirham.” Umar berkata, “Bagus! Dua dirham lebih baik dari seratus belalang. Lakukanlah apa yang engkau tetapkan untuk dirimu.” Diriwayatkan darinya bahwa dia berkata tentang seekor belalang, “Satu kurma.” Ibnu Abbas berkata tentang seekor belalang, “Bersedekahlah dengan segenggam makanan, dan ambillah segenggam belalang.” Hal ini menunjukkan bahwa keduanya melihat nilai dalam hal itu dan memerintahkan untuk berhati-hati. Adapun telur burung yang boleh dimakan, maka untuk setiap telur adalah nilainya. Jika di dalamnya ada anak burung, maka nilainya adalah di tempat telur itu diambil, dan orang yang sedang ihram tidak boleh memakannya karena termasuk hasil buruan, dan bisa jadi di dalamnya ada buruan.

 

(قَالَ) : وَإِنْ نَتَفَ طَيْرًا فَعَلَيْهِ بِقَدْرِ مَا نَقَصَ النَّتْفُ فَإِنْ تَلِفَ بَعْدُ فَالِاحْتِيَاطُ أَنْ يَفْدِيَهُ وَالْقِيَاسُ أَنْ لَا شَيْءَ عَلَيْهِ إذَا كَانَ مُمْتِنِعًا حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّهُ مَاتَ مِنْ نَتْفِهِ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ حَبَسَهُ وَأَلْقَطَهُ وَسَقَاهُ حَتَّى يَصِيرَ مُمْتَنِعًا وَفَدَى مَا نَقَصَ النَّتْفُ مِنْهُ وَكَذَلِكَ لَوْ كَسَرَهُ فَجَبَرَهُ فَصَارَ أَعْرَجَ لَا يَمْتَنِعُ فَدَاهُ كَامِلًا.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang mencabut bulu burung, maka dia wajib mengganti sesuai kadar bulu yang hilang. Jika burung itu mati setelahnya, maka kehati-hatian mengharuskan untuk membayar gantinya, namun menurut qiyas tidak ada kewajiban jika burung itu sudah tidak bisa terbang hingga diketahui bahwa kematiannya disebabkan oleh pencabutan bulu. Jika burung itu masih bisa terbang, maka dia harus menahannya, memberinya makan dan minum sampai burung itu tidak bisa terbang lagi, lalu membayar ganti rugi atas bulu yang hilang. Demikian pula jika dia mematahkan tulangnya lalu sembuh namun menjadi pincang dan tidak bisa melarikan diri, maka dia harus membayar ganti rugi penuh.”

 

بَابُ مَا يَحِلُّ لِلْمُحْرِمِ قَتْلُهُ

 

Bab tentang hewan yang halal dibunuh oleh orang yang berihram

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلِلْمُحْرِمِ أَنْ يَقْتُلَ الْحَيَّةَ وَالْعَقْرَبَ وَالْفَأْرَةَ وَالْحِدَأَةَ وَالْغُرَابَ وَالْكَلْبَ الْعَقُورَ وَمَا أَشْبَهَ الْكَلْبَ الْعَقُورَ مِثْلَ السَّبُعِ وَالنِّمْرِ وَالْفَهْدِ وَالذِّئْبِ صِغَارُ ذَلِكَ وَكِبَارُهُ سَوَاءٌ وَلَيْسَ فِي الرَّخَمِ وَالْخَنَافِسِ وَالْقِرْدَانِ وَالْحَلَمِ وَمَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ جَزَاءٌ؛ لِأَنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ الصَّيْدِ، وَقَالَ اللَّهُ – عَزَّ وَجَلَّ – {وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا} المائدة: 96 فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الصَّيْدَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْهِمْ مَا كَانَ لَهُمْ قَبْلَ الْإِحْرَامِ حَلَالًا؛ لِأَنَّهُ لَا يُشْبِهُ أَنْ يَحْرُمَ فِي الْإِحْرَامِ خَاصَّةً إلَّا مَا كَانَ مُبَاحًا قَبْلَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan bagi orang yang berihram boleh membunuh ular, kalajengking, tikus, burung elang, burung gagak, anjing galak, dan yang semisal anjing galak seperti binatang buas, harimau, macan tutul, serigala, baik yang kecil maupun yang besar sama saja. Tidak ada denda untuk membunuh burung nasar, kumbang, kera, kutu, dan hewan yang dagingnya tidak halal dimakan, karena ini bukan termasuk hewan buruan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan buruan darat selama kamu dalam keadaan ihram.” (QS. Al-Maidah: 96). Ini menunjukkan bahwa hewan buruan yang diharamkan bagi mereka adalah yang sebelumnya halal bagi mereka sebelum ihram, karena tidak mungkin diharamkan khusus dalam ihram kecuali yang sebelumnya boleh (dimakan).

 

بَابُ الْإِحْصَارِ

Bab tentang Ihshar (terhalang menyelesaikan haji atau umrah)

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – {فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ} البقرة: 196 «وَأُحْصِرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِالْحُدَيْبِيَةِ فَنَحَرَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ» وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Allah -Yang Maha Agung dan Mulia- berfirman: “Jika kamu terkepung (terhalang), maka sembelihlah kurban yang mudah didapat.” (QS. Al-Baqarah: 196). Dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah terkepung di Hudaibiyah, lalu beliau menyembelih unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang.

 

(قَالَ) : وَإِذَا أُحْصِرَ بِعَدُوٍّ كَافِرٍ أَوْ مُسْلِمٍ أَوْ سُلْطَانٍ يَحْبِسُ فِي سَجْنٍ نَحَرَ هَدْيًا لِإِحْصَارِهِ حَيْثُ أُحْصِرَ فِي حِلٍّ أَوْ حَرَمٍ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا فَيَقْضِي، وَإِذَا لَمْ يَجِدْ هَدْيًا يَشْتَرِيهِ أَوْ كَانَ مُعْسِرًا فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا يَحِلَّ إلَّا بِهَدْيٍ. وَالْآخَرُ: أَنَّهُ إذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى شَيْءٍ حَلِّ وَأَتَى بِهِ إذَا قَدَرَ عَلَيْهِ وَقِيلَ إذَا لَمْ يَقْدِرْ أَجْزَأَهُ وَعَلَيْهِ إطْعَامٌ أَوْ صِيَامٌ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ وَلَمْ يَقْدِرْ فَمَتَى قَدَرَ.

 

 

(Dia berkata): Dan jika seseorang terhalang oleh musuh kafir, muslim, atau penguasa yang memenjarakannya, maka ia menyembelih hewan kurban karena terhalangnya di tempat ia terhalang, baik di tanah halal atau haram. Tidak ada kewajiban qadha atasnya kecuali jika itu wajib, maka ia mengqadhanya. Jika ia tidak menemukan hewan kurban untuk dibeli atau dalam kesulitan, maka ada dua pendapat. Pertama: tidak halal kecuali dengan kurban. Kedua: jika tidak mampu sama sekali, ia halal dan melakukannya ketika mampu. Dikatakan juga jika tidak mampu, itu sudah mencukupi, tetapi ia wajib memberi makan atau berpuasa. Jika tidak menemukan dan tidak mampu, maka ketika ia mampu.

 

(وَقَالَ) فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَشْبَهُهُمَا بِالْقِيَاسِ: إذَا أُمِرَ بِالرُّجُوعِ لِلْخَوْفِ أَنْ لَا يُؤْمَرَ بِالْمُقَامِ لِلصِّيَامِ وَالصَّوْمُ يُجْزِئُهُ فِي كُلِّ مَكَان.

 

 

(Dan dia berkata) di tempat lain yang lebih sesuai dengan qiyas: Jika diperintahkan untuk kembali karena takut, maka tidak diperintahkan untuk tetap berdiam demi puasa, dan puasanya sah di mana saja.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْقِيَاسُ عِنْدَهُ حَقٌّ، وَقَدْ زَعَمَ أَنَّ هَذَا أَشْبَهُ بِالْقِيَاسِ، وَالصَّوْمُ عِنْدَهُ إذَا لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ أَنْ يُقَوِّمَ الشَّاةُ دَرَاهِمَ ثُمَّ الدَّرَاهِمُ طَعَامًا ثُمَّ يَصُومُ مَكَانَ كُلِّ مُدٍّ يَوْمًا وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لَا حَصْرَ إلَّا حَصْرَ الْعَدُوِّ وَذَهَبَ الْحَصْرُ الْآنَ وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ لَا يُحِلُّ مُحْرِمٌ حَبَسَهُ بَلَاءٌ حَتَّى يَطُوفَ إلَّا مَنْ حَبَسَهُ عَدُوٌّ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Qiyas menurutnya adalah benar, dan ia berpendapat bahwa ini lebih mirip dengan qiyas. Menurutnya, jika seseorang tidak menemukan hewan kurban, maka ia boleh menilai harga kambing dengan dirham, kemudian mengubah dirham tersebut menjadi makanan, lalu berpuasa sebagai ganti setiap satu mud (makanan) selama satu hari. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, “Tidak ada halangan kecuali halangan dari musuh, dan halangan itu sekarang telah hilang.” Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar bahwa ia berkata, “Seorang yang sedang ihram tidak boleh bertahallul jika tertahan oleh bencana hingga ia tawaf, kecuali jika ia tertahan oleh musuh.”

 

(قَالَ) : فَيُقِيمُ عَلَى إحْرَامِهِ قَالَ فَإِنْ أَدْرَكَ الْحَجَّ، وَإِلَّا طَافَ وَسَعَى وَعَلَيْهِ الْحَجُّ مِنْ قَابِلٍ وَمَا اسْتَيْسَرَ مِنْ الْهَدْيِ فَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا أَجْزَأَهُ وَلَا وَقْتَ لِلْعُمْرَةِ فَتَفُوتَهُ وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْمُحْصَرِ بِالْعَدُوِّ وَالْمَرَضِ أَنَّ الْمُحْصَرَ بِالْعَدُوِّ خَائِفُ الْقَتْلِ إنْ أَقَامَ، وَقَدْ رُخِّصَ لِمَنْ لَقِيَ الْمُشْرِكِينَ أَنْ يَتَحَرَّفَ لِقِتَالٍ أَوْ يَتَحَيَّزَ إلَى فِئَةٍ فَيَنْتَقِلُ بِالرُّجُوعِ مِنْ خَوْفِ قَتْلٍ إلَى أَمْنٍ وَالْمَرِيضُ حَالُهُ وَاحِدَةٌ فِي التَّقَدُّمِ وَالرُّجُوعِ، وَالْإِحْلَالُ رُخْصَةٌ فَلَا يُعَدَّى بِهَا مَوْضِعُهَا كَمَا أَنَّ الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ رُخْصَةٌ فَلَمْ يُقَسْ عَلَيْهِ مَسْحُ عِمَامَةٍ وَلَا قُفَّازَيْنِ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يُقَاسَ حِلُّ الْمَرِيضِ عَلَى حَصْرِ الْعَدُوِّ جَازَ أَنْ يُقَاسَ حِلُّ مُخْطِئِ الطَّرِيقِ وَمُخْطِئِ الْعَدَدِ حَتَّى يَفُوتَهُ الْحَجُّ عَلَى حَصْرِ الْعَدُوِّ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

Beliau berkata: “Maka dia tetap dalam keadaan ihramnya.” Beliau berkata: “Jika dia sempat menunaikan haji (sebelum sembuh), jika tidak, maka dia thawaf dan sa’i, dan wajib baginya menunaikan haji pada tahun berikutnya serta menyembelih hadyu yang mudah baginya. Jika dia sedang umrah, itu sudah mencukupinya, dan tidak ada waktu tertentu bagi umrah sehingga terlewatkan. Perbedaan antara orang yang terhalang oleh musuh dan orang yang sakit adalah bahwa orang yang terhalang oleh musuh takut dibunuh jika tetap tinggal, dan telah diberikan keringanan bagi orang yang bertemu dengan kaum musyrik untuk berpindah posisi untuk berperang atau bergabung dengan kelompok, sehingga dia berpindah dari ketakutan dibunuh kepada keamanan dengan kembali. Sedangkan orang sakit, keadaannya sama baik saat maju maupun mundur. Dan tahallul adalah keringanan, sehingga tidak boleh diperluas melebihi tempatnya, sebagaimana mengusap khuff adalah keringanan, tetapi tidak boleh diqiyaskan kepada mengusap imamah atau sarung tangan. Seandainya boleh mengqiyaskan tahallul orang sakit kepada tahallul karena terhalang musuh, maka boleh juga mengqiyaskan tahallul orang yang salah jalan atau salah hitungan hingga hajinya terlewatkan karena terhalang musuh. Dan dengan Allah lah taufik.”

 

بَابُ إحْرَامِ الْعَبْدِ وَالْمَرْأَةِ

 

Bab Ihram Budak dan Wanita

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ أَحْرَمَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إذْنِ سَيِّدِهِ وَالْمَرْأَةُ بِغَيْرِ إذْنِ زَوْجِهَا فَهُمَا فِي مَعْنَى الْإِحْصَارِ وَلِلسَّيِّدِ وَالزَّوْجِ مَنْعُهُمَا، وَهُمَا فِي مَعْنَى الْعَدُوِّ فِي الْإِحْصَارِ وَفِي أَكْثَرَ مِنْ مَعْنَاهُ فَإِنَّ لَهُمَا مَنْعَهُمَا وَلَيْسَ ذَلِكَ لِلْعَدُوِّ وَمُخَالِفُونَ لَهُ فِي أَنَّهُمَا غَيْرُ خَائِفِينَ خَوْفَهُ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang hamba berihram tanpa izin tuannya dan seorang wanita berihram tanpa izin suaminya, maka keduanya berada dalam makna ihshar (terhalang). Tuannya dan suaminya berhak mencegah mereka. Keduanya juga berada dalam makna musuh dalam ihshar, bahkan lebih dari itu. Sebab, tuannya dan suaminya berhak mencegah mereka, sedangkan musuh tidak memiliki hak itu. Ada juga yang berbeda pendapat dengan beliau, bahwa keduanya tidak merasa takut seperti rasa takut terhadap musuh.

 

بَابٌ يُذْكَرُ فِيهِ الْأَيَّامُ الْمَعْلُومَاتُ وَالْمَعْدُودَاتُ

 

Bab yang menyebutkan hari-hari yang diketahui dan hari-hari yang terhitung

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan al-ayyam al-ma’lumat (hari-hari yang diketahui) adalah sepuluh hari, dan yang terakhir adalah hari nahar (penyembelihan). Sedangkan al-ma’dudat (hari-hari yang terhitung) adalah tiga hari setelah hari nahar.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : سَمَّاهُنَّ اللَّهُ – عَزَّ وَجَلَّ – بِاسْمَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ وَأَجْمَعُوا أَنَّ الِاسْمَيْنِ لَمْ يَقَعَا عَلَى أَيَّامٍ وَاحِدَةٍ، وَإِنْ لَمْ يَقَعَا عَلَى أَيَّامٍ وَاحِدَةٍ فَأَشْبَهُ الْأَمْرَيْنِ أَنْ تَكُونَ كُلُّ أَيَّامٍ مِنْهَا غَيْرَ الْأُخْرَى كَمَا أَنَّ اسْمَ كُلِّ يَوْمٍ غَيْرُ الْآخَرِ وَهُوَ مَا قَالَ الشَّافِعِيُّ عِنْدِي.

 

 

(Al-Muzani berkata): Allah -Azza wa Jalla- menamakan mereka dengan dua nama yang berbeda. Mereka sepakat bahwa dua nama tersebut tidak berlaku pada hari yang sama. Jika tidak berlaku pada hari yang sama, maka yang paling mirip adalah setiap hari darinya berbeda dengan yang lain, sebagaimana nama setiap hari berbeda dengan yang lain. Itulah pendapat Asy-Syafi’i menurutku.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَإِنْ قِيلَ لَوْ كَانَتْ الْمَعْلُومَاتُ الْعَشْرَ لَكَانَ النَّحْرُ فِي جَمِيعِهَا فَلَمَّا لَمْ يَجُزْ النَّحْرُ فِي جَمِيعِهَا بَطَلَ أَنْ تَكُونَ الْمَعْلُومَاتُ فِيهَا، يُقَالُ لَهُ قَالَ اللَّهُ – عَزَّ وَجَلَّ – {سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا – وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا} نوح: 15 – 16 وَلَيْسَ الْقَمَرُ فِي جَمِيعِهَا، وَإِنَّمَا هُوَ فِي وَاحِدِهَا أَفَيَبْطُلُ أَنْ يَكُونَ الْقَمَرُ فِيهِنَّ نُورًا كَمَا قَالَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ لِمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika dikatakan, “Seandainya sepuluh hari yang diketahui (Dzulhijjah) itu (semuanya termasuk hari-hari penyembelihan), maka penyembelihan boleh dilakukan pada seluruhnya. Namun karena penyembelihan tidak diperbolehkan pada seluruhnya, maka batallah pendapat bahwa hari-hari yang diketahui itu termasuk di dalamnya.” Maka dijawab: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Tujuh langit yang berlapis-lapis – dan Dia menjadikan bulan sebagai cahaya di dalamnya” (Nuh: 15-16), padahal bulan tidak berada di semua langit, melainkan hanya di salah satunya. Apakah hal itu membatalkan bahwa bulan adalah cahaya di dalamnya sebagaimana firman Allah Jalla wa ‘Azza? Dalam hal ini terdapat dalil bagi pendapat Asy-Syafi’i, dan dengan Allah-lah taufik.

 

بَابُ الْهَدْيِ

 

Bab tentang Hadya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْهَدْيُ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ فَمَنْ نَذَرَ لِلَّهِ هَدْيًا فَسَمَّى شَيْئًا فَهُوَ عَلَى مَا سَمَّى، وَإِنْ لَمْ يُسَمِّهِ فَلَا يُجْزِئُهُ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ الْأُنْثَى فَصَاعِدًا وَيُجْزِئُهُ الذَّكَرُ وَالْأُنْثَى، وَلَا يُجْزِئُهُ مِنْ الضَّأْنِ إلَّا الْجَذَعُ فَصَاعِدًا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْحَرَ دُونَ الْحَرَمِ وَهُوَ مَحِلُّهَا لِقَوْلِ اللَّهِ – جَلَّ وَعَزَّ – {ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ} الحج: 33 إلَّا أَنْ يُحْصَرَ فَيَنْحَرَ حَيْثُ أُحْصِرَ كَمَا فَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْحُدَيْبِيَةِ، وَإِنْ كَانَ الْهَدْيُ بَدَنَةً أَوْ بَقَرَةً قَلَّدَهَا نَعْلَيْنِ وَأَشْعَرَهَا وَضَرَبَ شِقَّهَا الْأَيْمَنَ مِنْ مَوْضِعِ السَّنَامِ بِحَدِيدَةٍ حَتَّى يُدْمِيَهَا وَهِيَ مُسْتَقْبِلَةٌ الْقِبْلَةَ، وَإِنْ كَانَتْ شَاةً قَلَّدَهَا خُرَبَ الْقِرَبِ وَلَا يُشْعِرُهَا، وَإِنْ تَرَكَ التَّقْلِيدَ وَالْإِشْعَارَ أَجْزَأَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Hadyu (hewan kurban) terdiri dari unta, sapi, dan kambing. Barangsiapa bernazar untuk menyembelih hadyu karena Allah dan menyebut jenis hewan tertentu, maka ia wajib menyembelih sesuai yang disebutkannya. Jika tidak menyebut jenisnya, maka tidak sah baginya hadyu dari unta, sapi, atau kambing kecuali yang betina berumur minimal tertentu, sedangkan jantan atau betina sudah mencukupi. Untuk domba, tidak sah kecuali yang berumur jadza’ (minimal satu tahun) ke atas. Tidak boleh menyembelih hadyu di luar tanah haram, karena tempat penyembelihannya adalah di sana, berdasarkan firman Allah -Yang Maha Agung-: “Kemudian tempat penyembelihannya adalah di dekat Baitul Atiq.” (QS. Al-Hajj: 33), kecuali jika terhalang, maka ia boleh menyembelih di tempat terhalangnya, sebagaimana yang dilakukan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- di Hudaibiyah. Jika hadyunya berupa unta atau sapi, maka ia memberinya kalung dari sepasang sandal, memberi tanda (isy’ar), dan melukai bagian kanan punuknya dengan besi hingga mengeluarkan darah sambil menghadap kiblat. Jika hadyunya berupa kambing, maka ia memberinya kalung dari kulit tempat air, tanpa memberi tanda (isy’ar). Jika ia meninggalkan pemberian kalung dan tanda, tetap sah.

 

(قَالَ) : وَيَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِكَ السَّبْعَةُ فِي الْبَدَنَةِ الْوَاحِدَةِ وَفِي الْبَقَرَةِ كَذَلِكَ وَرُوِيَ «عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْبَدَنَةَ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ» .

 

 

Beliau berkata: “Diperbolehkan bagi tujuh orang untuk berserikat dalam satu unta atau satu sapi. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa ia berkata: ‘Kami pernah menyembelih unta dan sapi bersama Rasulullah SAW di Hudaibiyah, dimana satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi untuk tujuh orang’.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَإِنْ كَانَ الْهَدْيُ نَاقَةً فَنُتِجَتْ سِيقَ مَعَهَا فَصِيلُهَا وَتُنْحَرُ الْإِبِلُ مَعْقُولَةً وَغَيْرَ مَعْقُولَةٍ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْهُ نَحَرَهَا بَارِكَةً وَيَذْبَحُ الْبَقَرَ وَالْغَنَمَ فَإِنْ ذَبَحَ الْإِبِلَ وَنَحَرَ الْبَقَرَ وَالْغَنَمَ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَكَرِهْته لَهُ فَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا نَحَرَهُ بَعْدَ مَا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَيَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ عِنْدَ الْمَرْوَةِ وَحَيْثُ نَحَرَ مِنْ فِجَاجِ مَكَّةَ أَجْزَأَهُ، وَإِنْ كَانَ حَاجًّا نَحَرَهُ بَعْدَمَا يَرْمِي جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ وَحَيْثُ نَحَرَ مَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ وَمَا كَانَ مِنْهَا تَطَوُّعًا أَكَلَ مِنْهَا لِقَوْلِ اللَّهِ – جَلَّ وَعَزَّ – {فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا} الحج: 36 «وَأَكَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ لَحْمِ هَدْيِهِ وَأَطْعَمَ وَكَانَ هَدْيُهُ تَطَوُّعًا» وَمَا عَطِبَ مِنْهَا نَحَرَهَا وَخَلَّى بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمَسَاكِينِ وَلَا بَدَلَ عَلَيْهِ فِيهَا وَمَا كَانَ وَاجِبًا مِنْ جَزَاءِ الصَّيْدِ أَوْ غَيْرِهِ فَلَا يَأْكُلُ مِنْهَا شَيْئًا فَإِنْ أَكَلَ فَعَلَيْهِ بِقَدْرِ مَا أَكَلَ لِمَسَاكِينِ الْحَرَمِ وَمَا عَطِبَ مِنْهَا فَعَلَيْهِ مَكَانَهُ.

 

Beliau berkata: “Jika hewan kurban berupa unta betina yang telah melahirkan, maka anaknya juga ikut disembelih bersamanya. Unta boleh disembelih dalam keadaan terikat atau tidak. Jika tidak memungkinkan, sembelihlah dalam keadaan berdiri. Sapi dan kambing disembelih. Jika seseorang menyembelih unta atau memotong sapi dan kambing, itu sah meski makruh baginya. Bagi yang berumrah, sembelihlah setelah thawaf di Ka’bah dan sa’i antara Shafa dan Marwah, sebelum bercukur di Marwah. Di mana pun disembelih di lembah Mekah, itu sah. Bagi yang berhaji, sembelihlah setelah melempar jumrah Aqabah sebelum bercukur, dan di mana pun disembelih, itu sah. Jika kurban itu sunah, boleh memakan sebagiannya berdasarkan firman Allah: ‘Maka makanlah sebagian darinya’ (QS. Al-Hajj: 36). Nabi SAW pernah memakan daging kurbannya yang sunah dan memberikannya kepada orang lain. Jika hewan kurban cacat, sembelihlah dan berikan kepada fakir miskin tanpa kewajiban mengganti. Jika kurban itu wajib seperti denda berburu, tidak boleh memakannya sedikit pun. Jika dimakan, wajib mengganti sejumlah yang dimakan untuk fakir miskin Haram. Jika hewannya cacat, wajib menggantinya.”

 

كِتَابُ الْبَيْعِ بَابُ مَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ وَنَهَى عَنْهُ مِنْ الْمُبَايَعَاتِ وَسُنَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ

 

 

Bab Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Transaksi Jual Beli serta Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di Dalamnya

 

بَابُ مَا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ وَنَهَى عَنْهُ مِنْ الْمُبَايَعَاتِ وَسُنَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِيهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – {لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ} النساء: 29 فَلَمَّا «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بُيُوعٍ تَرَاضَى بِهَا الْمُتَبَايِعَانِ» اسْتَدْلَلْنَا أَنَّ اللَّهَ – جَلَّ وَعَزَّ – أَحَلَّ الْبُيُوعَ إلَّا مَا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَوْ مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ فَإِذَا عَقَدَا بَيْعًا مِمَّا يَجُوزُ وَافْتَرَقَا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا بِهِ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ مِنْهُمَا رَدُّهُ إلَّا بِعَيْبٍ أَوْ بِشَرْطِ خِيَارٍ.

 

 

Bab tentang apa yang Allah perintahkan dan larang dalam jual beli serta sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal itu. (Asy-Syafi’i berkata): Allah berfirman, “Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridha di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 29). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang beberapa jenis jual beli yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, kami memahami bahwa Allah menghalalkan semua bentuk jual beli kecuali yang diharamkan melalui lisan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang semakna dengannya. Jika dua orang mengadakan akad jual beli yang diperbolehkan dan mereka berpisah dalam keadaan ridha, maka tidak ada hak bagi salah satunya untuk membatalkan kecuali karena ada cacat atau syarat khiyar.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ أَجَازَ فِي الْإِمْلَاءِ وَفِي كِتَابِ الْجَدِيدِ وَالْقَدِيمِ وَفِي الصَّدَاقِ وَفِي الصُّلْحِ خِيَارَ الرُّؤْيَةِ وَهَذَا كُلُّهُ غَيْرُ جَائِزٍ فِي مَعْنَاهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dan dia telah membolehkan dalam imla’, dalam kitab yang baru dan lama, dalam mahar, dan dalam perdamaian adanya khiyar ru’yah. Semua ini tidak boleh menurut maknanya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا بِنَفْيِ خِيَارِ الرُّؤْيَةِ أَوْلَى بِهِ إذْ أَصْلُ قَوْلِهِ وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْبَيْعَ بَيْعَانِ لَا ثَالِثَ لَهُمَا صِفَةٌ مَضْمُونَةٌ وَعَيْنٌ مَعْرُوفَةٌ وَأَنَّهُ يَبْطُلُ بَيْعُ الثَّوْبِ لَمْ يُرَ بَعْضُهُ لِجَهْلِهِ بِهِ فَكَيْفَ يُجِيزُ شِرَاءَ مَا لَمْ يَرَ شَيْئًا مِنْهُ قَطُّ، وَلَا يَدْرِي أَنَّهُ ثَوْبٌ أَمْ لَا حَتَّى يَجْعَلَ لَهُ خِيَارَ الرُّؤْيَةِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Pendapat ini lebih tepat dengan menafikan khiyar ru’yah, karena dasar dan makna perkataannya adalah bahwa jual beli itu ada dua macam tanpa ada yang ketiga: (1) barang dengan sifat yang dijamin, dan (2) barang yang dikenal. Dan bahwa jual beli batal jika sebagian pakaian tidak dilihat karena ketidaktahuan tentangnya. Maka bagaimana mungkin boleh membeli sesuatu yang sama sekali tidak dilihat sedikitpun, dan tidak diketahui apakah itu pakaian atau bukan, lalu diberi hak khiyar ru’yah?

 

بَابُ خِيَارِ الْمُتَبَايِعَيْنِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا

 

Bab tentang hak khiyar (memilih) bagi dua orang yang berakad jual beli selama mereka belum berpisah.

(Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Dua orang yang berjual beli, masing-masing dari keduanya memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi) selama mereka belum berpisah, kecuali dalam jual beli khiyar.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إذَا أَرَادَ أَنْ يُوجِبَ الْبَيْعَ مَشَى قَلِيلًا ثُمَّ رَجَعَ وَفِي حَدِيثِ أَبِي الْوَضِيءِ قَالَ كُنَّا فِي غَزَاةٍ فَبَاعَ صَاحِبٌ لَنَا فَرَسًا مِنْ رَجُلٍ فَلَمَّا أَرَدْنَا الرَّحِيلَ خَاصَمَهُ فِيهِ إلَى أَبِي بَرْزَةَ فَقَالَ أَبُو بَرْزَةَ سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقُولُ «الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا» .

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Dalam hadits lain disebutkan bahwa Ibnu Umar apabila ingin mengikat suatu transaksi jual beli, ia berjalan sebentar kemudian kembali. Dan dalam hadits Abu Al-Wadhi’, ia berkata: Kami pernah berada dalam suatu peperangan, lalu seorang teman kami menjual seekor kuda kepada seorang laki-laki. Ketika kami hendak berangkat, teman kami itu berselisih dengan pembeli kuda tersebut hingga mereka mengadukan perkaranya kepada Abu Barzah. Maka Abu Barzah berkata: Aku mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi) selama mereka belum berpisah.”

 

(قَالَ) : وَفِي الْحَدِيثِ مَا لَمْ يَحْضُرْ يَحْيَى بْنَ حَسَّانَ حِفْظُهُ، وَقَدْ سَمِعْته مِنْ غَيْرِهِ أَنَّهُمَا بَاتَا لَيْلَةً ثُمَّ غَدَوَا عَلَيْهِ فَقَالَ لَا أَرَاكُمَا تَفَرَّقْتُمَا وَجَعَلَ لَهُمَا الْخِيَارَ إذْ بَقِيَا فِي مَكَان وَاحِدٍ بَعْدَ الْبَيْعِ، وَقَالَ عَطَاءٌ يُخَيَّرُ بَعْدَ وُجُوبِ الْبَيْعِ، وَقَالَ شُرَيْحٌ: شَاهِدُ عَدْلٍ أَنَّكُمَا تَفَرَّقْتُمَا بَعْدَ رِضًا بِبَيْعٍ أَوْ خَيَّرَ أَحَدُكُمَا صَاحِبَهُ بَعْدَ الْبَيْعِ.

 

 

Beliau berkata: “Dalam hadits terdapat bagian yang tidak dihafal oleh Yahya bin Hassan, tetapi aku mendengarnya dari orang lain bahwa keduanya bermalam satu malam, lalu menemui Nabi keesokan harinya. Beliau bersabda, ‘Aku tidak melihat kalian berpisah,’ dan beliau memberikan hak khiyar kepada mereka selama mereka masih berada di satu tempat setelah jual beli. Atha’ berkata, ‘Hak khiyar diberikan setelah transaksi jual beli wajib dilakukan.’ Syuraih berkata, ‘Saksikanlah dengan adil bahwa kalian berdua telah berpisah setelah rela dengan jual beli atau salah satu dari kalian memberikan hak khiyar kepada yang lain setelah jual beli.'”

(Asy-Syafi’i berkata): “Dengan inilah kami berpendapat, dan ini adalah pendapat mayoritas penduduk Hijaz serta mayoritas ahli hadis di berbagai negeri.”

 

(قَالَ) : وَهُمَا قَبْلَ التَّسَاوُمِ غَيْرُ مُتَسَاوِمَيْنِ ثُمَّ يَكُونَانِ مُتَسَاوِمَيْنِ ثُمَّ يَكُونَانِ مُتَبَايِعَيْنِ فَلَوْ تَسَاوَمَا فَقَالَ رَجُلٌ امْرَأَتِي طَالِقٌ إنْ كُنْتُمَا تَبَايَعْتُمَا كَانَ صَادِقًا، وَإِنَّمَا جَعَلَ لَهُمَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْخِيَارَ بَعْدَ التَّبَايُعِ مَا لَمْ يَفْتَرِقَا فَلَا تَفَرُّقَ بَعْدَمَا صَارَا مُتَبَايِعَيْنِ إلَّا تَفَرُّقَ الْأَبْدَانِ فَكُلُّ مُتَبَايِعَيْنِ فِي سِلْعَةٍ وَعَيْنٍ وَصَرْفٍ وَغَيْرِهِ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فَسْخُ الْبَيْعِ حَتَّى يَتَفَرَّقَا تَفَرُّقَ الْأَبْدَانِ عَلَى ذَلِكَ أَوْ يَكُونَ بَيْعُهُمَا عَنْ خِيَارٍ، وَإِذَا كَانَ يَجِبُ التَّفَرُّقُ بَعْدَ الْبَيْعِ فَكَذَلِكَ يَجِبُ إذَا خَيَّرَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ بَعْدَ الْبَيْعِ وَكَذَلِكَ قَالَ طَاوُسٌ «خَيَّرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجُلًا بَعْدَ الْبَيْعِ فَقَالَ الرَّجُلُ عَمْرَكَ اللَّهُ مِمَّنْ أَنْتَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – امْرُؤٌ مِنْ قُرَيْشٍ» (قَالَ) : فَكَانَ طَاوُسٌ يَحْلِفُ مَا الْخِيَارُ إلَّا بَعْدَ الْبَيْعِ

 

 

Beliau berkata: “Keduanya sebelum tawar-menawar bukanlah pihak yang sedang menawar, kemudian menjadi pihak yang menawar, lalu menjadi pihak yang bertransaksi. Jika keduanya telah menawar, lalu seseorang berkata, ‘Istriku talak jika kalian berdua telah bertransaksi,’ maka ucapannya benar. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan hak khiyar (memilih) bagi mereka setelah transaksi selama mereka belum berpisah. Tidak ada perpisahan setelah keduanya menjadi pihak yang bertransaksi kecuali perpisahan fisik. Setiap dua pihak yang bertransaksi dalam barang, benda, sharf (pertukaran mata uang), atau lainnya, masing-masing memiliki hak membatalkan transaksi hingga mereka berpisah secara fisik, atau transaksi mereka didasarkan pada khiyar. Jika perpisahan wajib dilakukan setelah transaksi, maka demikian pula jika salah satunya memberikan khiyar kepada rekannya setelah transaksi.” Thawus juga berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan khiyar kepada seorang laki-laki setelah transaksi. Laki-laki itu bertanya, ‘Demi umurmu, engkau dari mana?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Aku seorang dari Quraisy.'” Beliau berkata: “Thawus bersumpah bahwa khiyar hanya berlaku setelah transaksi.”

 

 

(قَالَ) : فَإِنْ اشْتَرَى جَارِيَةً فَأَعْتَقَهَا الْمُشْتَرِي قَبْلَ التَّفَرُّقِ أَوْ الْخِيَارِ، وَاخْتَارَ الْبَائِعُ نَقْضَ الْبَيْعِ كَانَ لَهُ وَكَانَ عِتْقُ الْمُشْتَرِي بَاطِلًا؛ لِأَنَّهُ أَعْتَقَ مَا لَمْ يَتِمَّ مِلْكُهُ فَإِنْ أَعْتَقَهَا الْبَائِعُ كَانَ جَائِزًا، وَلَوْ عَجَّلَ الْمُشْتَرِي فَوَطِئَهَا فَأَحْبَلَهَا قَبْلَ التَّفَرُّقِ فِي غَفْلَةٍ مِنْ الْبَائِعِ فَاخْتَارَ الْبَائِعُ فَسْخَ الْبَيْعِ كَانَ عَلَى الْمُشْتَرِي مَهْرُ مِثْلِهَا وَقِيمَةُ وَلَدِهِ مِنْهَا يَوْمَ تَلِدُهُ وَلَحِقَهُ بِالشُّبْهَةِ، وَإِنْ وَطِئَهَا الْبَائِعُ فَهِيَ أَمَتُهُ وَالْوَطْءُ اخْتِيَارٌ لِفَسْخِ الْبَيْعِ.

 

 

Beliau berkata: Jika seseorang membeli budak perempuan lalu pembeli memerdekakannya sebelum berpisah atau masa khiyar, dan penjual memilih membatalkan transaksi, maka itu haknya dan pembebasan oleh pembeli menjadi batal karena ia memerdekakan sesuatu yang kepemilikannya belum sempurna. Jika penjual yang memerdekakannya, itu diperbolehkan. Jika pembeli tergesa-gesa lalu menyetubuhinya hingga hamil sebelum berpisah (dalam keadaan penjual lalai), lalu penjual memilih membatalkan akad, maka pembeli wajib membayar mahar semisalnya dan nilai anak yang dilahirkan pada hari kelahirannya, serta anak itu dihukumi sebagai anak syubhat. Jika penjual yang menyetubuhinya, maka budak itu tetap miliknya dan persetubuhan itu dianggap sebagai pilihan untuk membatalkan jual beli.

(Al-Muzani berkata): Dan menurutku, ini merupakan dalil bahwa jika seseorang mengatakan kepada dua istrinya, “Salah seorang dari kalian berdua tertalak,” maka dia memiliki pilihan. Jika dia menggauli salah seorang dari mereka, maka lebih mirip bahwa dia telah memilihnya, dan istri yang lain telah tertalak, sebagaimana hubungan intim dijadikan sebagai pilihan untuk membatalkan jual beli.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ مَاتَ أَحَدُهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا فَالْخِيَارُ لِوَارِثِهِ، وَإِنْ كَانَتْ بَهِيمَةً فَنُتِجَتْ قَبْلَ التَّفَرُّقِ ثُمَّ تَفَرَّقَا فَوَلَدُهَا لِلْمُشْتَرِي؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ وَقَعَ وَهُوَ حَمْلٌ، وَكَذَلِكَ كُلُّ خِيَارٍ بِشَرْطٍ جَائِزٍ فِي أَصْلِ الْعَقْدِ وَلَا بَأْسَ بِنَقْدِ الثَّمَنِ فِي بَيْعِ الْخِيَارِ، وَلَا يَجُوزُ شَرْطُ خِيَارٍ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ وَلَوْلَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْخِيَارِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فِي الْمُصَرَّاةِ وَلِحَبَّانَ بْنِ مُنْقِذٍ فِيمَا اشْتَرَى ثَلَاثًا لَمَا جَازَ بَعْدَ التَّفَرُّقِ سَاعَةً وَلَا يَكُونُ لِلْبَائِعِ الِانْتِفَاعُ بِالثَّمَنِ وَلَا لِلْمُشْتَرِي الِانْتِفَاعُ بِالْجَارِيَةِ فَلَمَّا أَجَازَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى مَا وَصَفْنَاهُ ثَلَاثًا اتَّبَعْنَاهُ وَلَمْ نُجَاوِزْهُ وَذَلِكَ أَنَّ أَمْرَهُ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ ثَلَاثًا حَدًّا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika salah satu dari keduanya meninggal sebelum mereka berpisah, maka hak khiyar berpindah kepada ahli warisnya. Jika hewan ternak melahirkan sebelum perpisahan, kemudian mereka berpisah, maka anaknya menjadi milik pembeli karena akad terjadi saat hewan tersebut masih hamil. Demikian pula setiap khiyar dengan syarat yang diperbolehkan dalam asal akad. Tidak masalah menyerahkan harga secara tunai dalam jual beli khiyar. Tidak boleh mensyaratkan khiyar lebih dari tiga hari. Seandainya bukan karena hadis dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang khiyar tiga hari dalam musharrah dan hadis Habban bin Munqidz dalam apa yang dia beli dengan khiyar tiga hari, niscaya tidak diperbolehkan khiyar setelah berpisah meski sesaat. Penjual tidak boleh memanfaatkan harga, dan pembeli tidak boleh memanfaatkan budak perempuan. Ketika Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membolehkannya selama tiga hari seperti yang kami sebutkan, kami mengikutinya dan tidak melampauinya. Hal itu karena perintah beliau menunjukkan bahwa tiga hari adalah batasannya.

 

بَابُ الرِّبَا وَمَا لَا يَجُوزُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ مُتَفَاضِلًا وَلَا مُؤَجَّلًا وَالصَّرْفِ

 

Bab Riba dan Apa yang Tidak Diperbolehkan Sebagiannya dengan Sebagian Lainnya Secara Berlebih atau Ditunda serta Sharaf

 

سَمِعْت الْمُزَنِيَّ يَقُولُ: (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ الثَّقَفِيُّ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ يَسَارٍ وَرَجُلٍ آخَرَ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَلَا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ وَلَا الْبُرَّ بِالْبُرِّ وَلَا الشَّعِيرَ بِالشَّعِيرِ وَلَا التَّمْرَ بِالتَّمْرِ وَلَا الْمِلْحَ بِالْمِلْحِ إلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ عَيْنًا بِعَيْنٍ يَدًا بِيَدٍ وَلَكِنْ بِيعُوا الذَّهَبَ بِالْوَرِقِ وَالْوَرِقَ بِالذَّهَبِ وَالْبُرَّ بِالشَّعِيرِ وَالشَّعِيرَ بِالْبُرِّ وَالتَّمْرَ بِالْمِلْحِ وَالْمِلْحَ بِالتَّمْرِ يَدًا بِيَدٍ كَيْفَ شِئْتُمْ» .

 

 

Aku mendengar Al-Muzani berkata: (Asy-Syafi’i berkata): Abdul Wahhab bin Abdul Majid Ats-Tsaqafi mengabarkan kepadaku dari Ayyub dari Muhammad bin Sirin dari Muslim bin Yasar dan seorang laki-laki lainnya dari Ubadah bin Ash-Shamit bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Janganlah kalian menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, atau garam dengan garam, kecuali sama beratnya, tunai dengan tunai. Tetapi, juallah emas dengan perak, perak dengan emas, gandum dengan jewawut, jewawut dengan gandum, kurma dengan garam, dan garam dengan kurma, tunai dengan tunai, sesuka kalian.”

 

(قَالَ) : وَنَقَصَ أَحَدُهُمَا التَّمْرَ وَالْمِلْحَ وَزَادَ الْآخَرُ «فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى» .

 

 

Beliau berkata: “Salah satu dari keduanya mengurangi kurma dan garam, sedangkan yang lain menambah. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka sungguh ia telah melakukan riba.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Pendapat ini sesuai dengan hadis-hadis dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengenai sharf (jual beli emas dan perak), dan dengan itulah kami berpendapat serta meninggalkan pendapat orang yang meriwayatkan dari Usamah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, ‘Sesungguhnya riba itu hanya dalam nasi’ah (tangguh),’ karena riwayat tersebut mujmal (global), sedangkan semua itu telah dijelaskan (dalam hadis lain). Mungkin saja Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya tentang riba apakah berlaku pada dua jenis yang berbeda, seperti emas dengan perak atau kurma dengan gandum, lalu beliau menjawab, ‘Riba itu dalam nasi’ah,’ maka perawi hanya menghafal dan menyampaikan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tanpa menyampaikan pertanyaannya.”

 

(قَالَ) : وَيَحْتَمِلُ قَوْلُ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إلَّا هَاءَ وَهَاءَ» يُعْطِي بِيَدٍ وَيَأْخُذُ بِأُخْرَى فَيَكُونُ الْأَخْذُ مَعَ الْإِعْطَاءِ وَيَحْتَمِلُ أَنْ لَا يَتَفَرَّقَ الْمُتَبَايِعَانِ مِنْ مَكَانِهِمَا حَتَّى يَتَقَابَضَا فَلَمَّا قَالَ ذَلِكَ عُمَرُ لِمَالِكِ بْنِ أَوْسٍ لَا تُفَارِقُهُ حَتَّى تُعْطِيَهُ وَرِقَهُ أَوْ تَرُدَّ إلَيْهِ ذَهَبَهُ، وَهُوَ رَاوِي الْحَدِيثِ دَلَّ عَلَى أَنَّ مَخْرَجَ «هَاءَ وَهَاءَ» تَقَابُضُهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا، وَالرِّبَا مِنْ وَجْهَيْنِ. أَحَدُهُمَا: فِي النَّقْدِ بِالزِّيَادَةِ وَفِي الْوَزْنِ وَالْكَيْلِ. وَالْآخَرُ: يَكُونُ فِي الدَّيْنِ بِزِيَادَةِ الْأَجَلِ، وَإِنَّمَا حَرَّمْنَا غَيْرَ مَا سَمَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ الْمَأْكُولِ الْمَكِيلَ وَالْمَوْزُونَ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى مَا سَمَّى وَلَمْ يَجُزْ أَنْ نَقِيسَ الْوَزْنَ عَلَى الْوَزْنِ مِنْ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ؛ لِأَنَّهُمَا غَيْرُ مَأْكُولَيْنِ وَمُبَايِنَانِ لِمَا سِوَاهُمَا وَهَكَذَا قَالَ ابْنُ الْمُسَيِّبِ لَا رِبَا إلَّا فِي ذَهَبٍ أَوْ وَرِقٍ أَوْ مَا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ مِمَّا يُؤْكَلُ وَيُشْرَبُ.

 

 

Beliau berkata: “Perkataan Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Emas dengan perak adalah riba kecuali dengan cara ‘haa’ wa haa’ (serah terima langsung),’ bisa dimaknai bahwa pemberian dan penerimaan dilakukan secara langsung. Juga bisa dimaknai bahwa kedua pihak yang bertransaksi tidak boleh berpisah dari tempat mereka hingga saling menerima barang. Ketika Umar mengatakan hal itu kepada Malik bin Aus, ‘Jangan kau tinggalkan dia hingga kau berikan perakmu atau mengembalikan emasnya,’ dan dia adalah perawi hadis, hal itu menunjukkan bahwa makna ‘haa’ wa haa’ adalah saling menerima sebelum berpisah. Riba terjadi dari dua sisi: pertama, dalam mata uang dengan tambahan, serta dalam timbangan dan takaran. Kedua, terjadi dalam utang dengan penambahan tempo. Kami mengharamkan selain apa yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari makanan yang ditakar atau ditimbang karena ia termasuk dalam makna yang beliau sebutkan. Tidak boleh mengqiyaskan timbangan emas dan perak dengan timbangan lainnya karena keduanya bukan makanan dan berbeda dengan selainnya. Begitu pula Ibnu al-Musayyib berkata, ‘Tidak ada riba kecuali dalam emas, perak, atau sesuatu yang ditakar atau ditimbang dari makanan dan minuman.'”

 

(قَالَ) : وَهَذَا صَحِيحٌ وَلَوْ قِسْنَا عَلَيْهِمَا الْوَزْنَ لَزِمَنَا أَنْ لَا نُسْلِمَ دِينَارًا فِي مَوْزُونٍ مِنْ طَعَامٍ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ نُسْلِمَ دِينَارًا فِي مَوْزُونٍ مِنْ وَرِقٍ وَلَا أَعْلَمُ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ اخْتِلَافًا أَنَّ الدِّينَارَ وَالدِّرْهَمَ يُسْلَمَانِ فِي كُلِّ شَيْءٍ وَلَا يُسْلَمُ أَحَدُهُمَا فِي الْآخَرِ غَيْرَ أَنَّ مِنْ النَّاسِ مَنْ كَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ دِينَارًا أَوْ دِرْهَمًا فِي فُلُوسٍ وَهُوَ عِنْدَنَا جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِيهِ وَلَا فِي تِبْرِهَا، وَإِنَّهَا لَيْسَتْ بِثَمَنٍ لِلْأَشْيَاءِ الْمُتْلَفَةِ، وَإِنَّمَا أَنْظُرُ فِي التِّبْرِ إلَى أَصْلِهِ، وَالنُّحَاسُ مِمَّا لَا رِبَا فِيهِ، وَقَدْ أَجَازَ عَدَدٌ مِنْهُمْ إبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ السَّلَفَ فِي الْفُلُوسِ وَكَيْفَ يَكُونُ مَضْرُوبُ الذَّهَبِ دَنَانِيرَ وَمَضْرُوبُ الْوَرِقِ دَرَاهِمَ فِي مَعْنَى الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ غَيْرَ مَضْرُوبَيْنِ وَلَا يَكُونُ مَضْرُوبُ النُّحَاسِ فُلُوسًا فِي مَعْنَى النُّحَاسِ غَيْرَ مَضْرُوبٍ.

 

 

Beliau berkata: “Ini benar. Seandainya kita mengukur berdasarkan timbangan keduanya, niscaya kita tidak boleh menyerahkan satu dinar untuk makanan yang ditimbang, sebagaimana tidak boleh menyerahkan satu dinar untuk perak yang ditimbang. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslimin bahwa dinar dan dirham boleh diserahkan untuk segala sesuatu, tetapi tidak boleh menyerahkan salah satunya untuk yang lain. Hanya saja, sebagian orang tidak menyukai penyerahan dinar atau dirham untuk fulus (uang tembaga), sedangkan menurut kami itu diperbolehkan karena tidak ada zakat pada fulus maupun pada batangannya. Fulus juga bukan sebagai harga pengganti barang yang rusak. Aku hanya melihat pada asal batangannya, sedangkan tembaga termasuk yang tidak terkena riba. Sejumlah ulama seperti Ibrahim An-Nakha’i membolehkan salaf (utang-piutang) dalam fulus. Bagaimana mungkin emas yang dicetak menjadi dinar dan perak yang dicetak menjadi dirham dianggap seperti emas dan perak yang belum dicetak, sementara tembaga yang dicetak menjadi fulus tidak dianggap seperti tembaga yang belum dicetak?”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Asy-Syafi’i berkata: “Tidak boleh meminjamkan sesuatu yang ditakar atau ditimbang dari makanan dan minuman dengan sebagian darinya, meskipun jenisnya berbeda, keduanya boleh (dipertukarkan) secara berlebih dengan tunai, berdasarkan qiyas pada emas yang tidak boleh dipinjamkan dalam perak, dan perak yang tidak boleh dipinjamkan dalam emas. Segala sesuatu yang keluar dari kategori makanan, minuman, emas, dan perak, maka tidak mengapa menjual sebagiannya dengan sebagian lain secara berlebih hingga tempo, meskipun dari jenis yang sama. Tidak mengapa meminjamkan satu unta dengan dua unta, baik dimaksudkan untuk disembelih atau tidak, atau satu ritl tembaga dengan dua ritl, atau satu barang dengan dua barang, asalkan yang tunai diserahkan dan yang tempo dijelaskan sifatnya. Adapun makanan atau minuman yang tidak ditakar atau ditimbang, maka tidak boleh menjual yang kering dengan yang basah menurut qiyasku pada apa yang ditakar atau ditimbang dari makanan atau minuman, baik yang tahan lama atau tidak, dan ini lebih utama daripada mengqiyaskannya pada barang yang dijual secara bilangan selain makanan, seperti pakaian, kayu, dan lainnya. Tidak sah menurut qiyas pendapat ini satu delima dengan dua delima secara bilangan atau timbangan, tidak pula satu buah pir dengan dua buah pir, atau satu semangka dengan dua semangka, dan semisalnya. Namun, boleh menjual satu jenis darinya dengan jenis lain secara berlebih dan secara borongan dengan tunai. Tidak mengapa satu delima dengan dua buah pir, sebagaimana tidak mengapa satu mud gandum dengan dua mud kurma dan semisalnya. Adapun obat-obatan seperti halilaj dan balilaj, meskipun bukan untuk dikonsumsi, tetapi dianggap sebagai makanan dan minuman, maka lebih tepat diqiyaskan pada makanan dan minuman untuk nutrisi, karena semuanya memiliki makna makanan dan minuman untuk manfaat tubuh, lebih utama daripada mengqiyaskannya pada hal-hal yang keluar dari kategori makanan dan minuman seperti hewan, pakaian, kayu, dan lainnya.”

 

وَأَصْلُ الْحِنْطَةِ وَالتَّمْرِ الْكَيْلُ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُبَاعَ الْجِنْسُ الْوَاحِدُ بِمِثْلِهِ وَزْنًا بِوَزْنٍ وَلَا وَزْنًا بِكَيْلٍ؛ لِأَنَّ الصَّاعَ يَكُونُ وَزْنُهُ أَرْطَالًا وَصَاعٌ دُونَهُ أَوْ أَكْثَرُ مِنْهُ فَلَوْ كَيْلًا كَانَ صَاعٌ بِأَكْثَرَ مِنْ صَاعٍ كَيْلًا وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ الدَّقِيقِ بِالْحِنْطَةِ مِثْلًا بِمِثْلٍ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ يَكُونُ مُتَفَاضِلًا فِي نَحْوِ ذَلِكَ وَلَا بَأْسَ بِخَلِّ الْعِنَبِ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَأَمَّا خَلُّ الزَّبِيبِ فَلَا خَيْرَ فِي بَعْضِهِ بِبَعْضٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ مِنْ قِبَلِ أَنَّ الْمَاءَ يَقِلُّ فِيهِ وَيَكْثُرُ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ الْأَجْنَاسُ فَلَا بَأْسَ وَلَا خَيْرَ فِي التَّحَرِّي فِيمَا فِي بَعْضِهِ بِبَعْضٍ رِبًا وَلَا خَيْرَ فِي مُدِّ عَجْوَةٍ وَدِرْهَمٍ بِمُدَّيْ عَجْوَةٍ حَتَّى يَكُونَ التَّمْرُ بِالتَّمْرِ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَكُلُّ زَيْتٍ وَدُهْنِ لَوْزٍ وَجَوْزٍ وَبُزُورٍ لَا يَجُوزُ مِنْ الْجِنْسِ الْوَاحِدِ إلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ. فَإِذَا اخْتَلَفَ الْجِنْسَانِ فَلَا بَأْسَ بِهِ مُتَفَاضِلًا يَدًا بِيَدٍ وَلَا يَجُوزُ مِنْ الْجِنْسِ الْوَاحِدِ مَطْبُوخٌ بِنِيءٍ مِنْهُ بِحَالٍ إذَا كَانَ إنَّمَا يُدَّخَرُ مَطْبُوخًا وَلَا مَطْبُوخَ مِنْهُ بِمَطْبُوخٍ؛ لِأَنَّ النَّارَ تُنْقِصُ مِنْ بَعْضٍ أَكْثَرَ مِمَّا تُنْقِصُ مِنْ بَعْضٍ وَلَيْسَ لَهُ غَايَةٌ يَنْتَهِي إلَيْهَا كَمَا يَكُونُ لِلتَّمْرِ فِي الْيُبْسِ غَايَةٌ يَنْتَهِي إلَيْهَا.

 

 

Asal hukum gandum dan kurma adalah dengan takaran, sehingga tidak boleh menjual satu jenis dengan jenis yang sama secara timbang-menimbang atau timbang dengan takaran. Karena satu sha’ beratnya bisa beberapa rithl, dan ada sha’ yang kurang atau lebih dari itu. Jika dengan takaran, berarti satu sha’ ditukar dengan lebih dari satu sha’ secara takaran. Tidak boleh menjual tepung dengan gandum secara sama karena akan terjadi kelebihan. Tidak masalah menjual cuka anggur secara sama, tetapi cuka kismis tidak baik jika sebagian ditukar dengan sebagian lain secara sama karena kadar airnya bisa berkurang atau bertambah. Jika jenisnya berbeda, tidak masalah. Tidak ada kebaikan dalam memeriksa adanya riba dalam sebagian pertukaran. Tidak baik menukar satu mud ajwah dengan satu dirham atau dua mud ajwah, sehingga kurma harus ditukar dengan kurma secara sama. Semua minyak atau lemak dari almond, kenari, atau biji-bijian tidak boleh diperjualbelikan dalam satu jenis kecuali secara sama. Jika dua jenis berbeda, tidak masalah dengan kelebihan asal tunai. Tidak boleh menukar satu jenis yang dimasak dengan yang mentah jika biasanya disimpan dalam bentuk matang, atau yang dimasak dengan yang dimasak, karena api mengurangi sebagian lebih dari yang lain dan tidak ada batasan yang pasti, berbeda dengan kurma yang memiliki batasan kekeringan.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : مَا أَرَى لِاشْتِرَاطِهِ – يَعْنِي الشَّافِعِيَّ – إذَا كَانَ إنَّمَا يُدَّخَرُ مَطْبُوخٌ مَعْنًى؛ لِأَنَّ الْقِيَاسَ أَنَّ مَا اُدُّخِرَ وَمَا لَمْ يُدَّخَرْ وَاحِدٌ وَالنَّارُ تُنْقِصُهُ.

 

(Al-Muzani) berkata: Aku tidak melihat alasan untuk persyaratannya – yaitu Asy-Syafi’i – jika yang disimpan hanyalah sesuatu yang dimasak, karena menurut qiyas, yang disimpan dan yang tidak disimpan adalah sama, dan api akan mengurangi nilainya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يُبَاعُ عَسَلُ نَحْلٍ بِعَسَلِ نَحْلٍ إلَّا مُصَفَّيَيْنِ مِنْ الشَّمْعِ؛ لِأَنَّهُمَا لَوْ بِيعَا وَزْنًا وَفِي أَحَدِهِمَا شَمْعٌ وَهُوَ غَيْرُ الْعَسَلِ كَانَ الْعَسَلُ بِالْعَسَلِ غَيْرَ مَعْلُومٍ وَكَذَلِكَ لَوْ بِيعَا كَيْلًا وَلَا خَيْرَ فِي مُدِّ حِنْطَةٍ فِيهَا قَصْلٌ أَوْ زُوَانٌ بِمُدِّ حِنْطَةٍ لَا شَيْءَ فِيهَا مِنْ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهَا حِنْطَةٌ بِحِنْطَةٍ مُتَفَاضِلَةٍ وَمَجْهُولَةٍ، وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا اخْتَلَطَ بِهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ لَا يَزِيدُ فِي كَيْلِهِ مِنْ قَلِيلِ التُّرَابِ وَمَا دَقَّ مِنْ تِبْنِهِ. فَأَمَّا الْوَزْنُ فَلَا خَيْرَ فِي مِثْلِ هَذَا وَلَبَنُ الْغَنَمِ مَاعِزِهِ وَضَأْنِهِ صِنْفٌ، وَلَبَنُ الْبَقَرِ عِرَابِهَا وَجَوَامِيسِهَا صِنْفٌ وَلَبَنُ الْإِبِلِ مُهْرِيِّهَا وَعِرَابِهَا صِنْفٌ وَاحِدٌ. فَأَمَّا إذَا اخْتَلَفَ الصِّنْفَانِ فَلَا بَأْسَ مُتَفَاضِلًا يَدٌ بِيَدٍ وَلَا خَيْرَ فِي زُبْدِ غَنَمٍ بِلَبَنِ غَنَمٍ؛ لِأَنَّ الزُّبْدَ شَيْءٌ مِنْ اللَّبَنِ وَلَا خَيْرَ فِي سَمْنِ غَنَمٍ بِزُبْدِ غَنَمٍ، وَإِذَا أُخْرِجَ مِنْهُ الزُّبْدُ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُبَاعَ بِزُبْدٍ وَسَمْنٍ وَلَا خَيْرَ فِي شَاةٍ فِيهَا لَبَنٌ يُقْدَرُ عَلَى حَلْبِهِ بِلَبَنٍ مِنْ قِبَلِ أَنَّ فِي الشَّاةِ لَبَنًا لَا أَدْرِي كَمْ حِصَّتُهُ مِنْ اللَّبَنِ الَّذِي اشْتَرَيْت بِهِ نَقْدًا، وَإِنْ كَانَتْ نَسِيئَةً فَهُوَ أَفْسَدُ لِلْبَيْعِ، وَقَدْ «جَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِلَّبَنِ التَّصْرِيَةَ بَدَلًا» ، وَإِنَّمَا اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ كَالْجَوْزِ وَاللَّوْزِ الْمَبِيعِ فِي قِشْرِهِ يَسْتَخْرِجُهُ صَاحِبُهُ أَنَّى شَاءَ، وَلَيْسَ كَالْوَلَدِ لَا يُقْدَرُ عَلَى اسْتِخْرَاجِهِ وَكُلُّ مَا لَمْ يَجُزْ التَّفَاضُلُ فِيهِ فَالْقَسْمُ فِيهِ كَالْبَيْعِ، وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ تَمْرٍ بِرُطَبٍ بِحَالٍ؛ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَيَنْقُصُ الرُّطَبُ إذَا يَبِسَ؟» فَنَهَى عَنْهُ فَنَظَرَ إلَى الْمُتَعَقِّبِ. فَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ بَيْعُ رُطَبٍ بِرُطَبٍ؛ لِأَنَّهُمَا فِي الْمُتَعَقِّبِ مَجْهُولَا الْمِثْلِ تَمْرًا، وَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ قَمْحٌ مَبْلُولٌ بِقَمْحٍ جَافٍ.

 

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh menjual madu lebah dengan madu lebah kecuali jika keduanya telah disaring dari lilin. Karena jika keduanya dijual dengan timbangan dan salah satunya mengandung lilin (yang bukan madu), maka pertukaran madu dengan madu menjadi tidak diketahui kadarnya. Demikian pula jika dijual dengan takaran. Tidak boleh pula menukar satu mud gandum yang mengandung sekam atau kutu dengan satu mud gandum murni, karena itu adalah pertukaran gandum dengan gandum yang berbeda kualitas dan tidak diketahui. Hal ini berlaku untuk segala sesuatu yang tercampur kecuali jika campurannya sedikit seperti debu atau serbuk jerami. Adapun dalam timbangan, pertukaran semacam ini tidak diperbolehkan. Susu kambing (baik jenis ma’iz maupun dha’n) dianggap satu jenis, susu sapi (baik jenis ‘irab maupun kerbau) dianggap satu jenis, dan susu unta (baik jenis muhriyah maupun ‘irab) dianggap satu jenis. Namun jika jenisnya berbeda, boleh ditukar dengan kadar berbeda asalkan tunai. Tidak boleh menukar mentega domba dengan susu domba karena mentega adalah bagian dari susu. Juga tidak boleh menukar samin domba dengan mentega domba. Namun jika mentega telah dipisahkan, boleh ditukar dengan mentega atau samin. Tidak boleh menukar kambing yang masih bisa diperah susunya dengan susu, karena susu dalam kambing tersebut tidak diketahui jumlahnya dibanding susu yang dibeli secara tunai. Jika transaksinya tempo, itu lebih buruk. Nabi ﷺ menetapkan hak perah susu sebagai pengganti. Susu dalam kantung susu seperti kacang dalam cangkangnya yang bisa diambil pemiliknya kapan saja, tidak seperti anak hewan yang tidak bisa diambil sesuka hati. Setiap yang tidak boleh ada perbedaan kadar dalam pertukarannya, maka pembagiannya seperti jual beli. Tidak boleh menjual kurma kering dengan kurma basah dalam keadaan apa pun, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ: “Apakah kurma basah berkurang jika mengering?” Lalu beliau melarangnya karena melihat konsekuensinya. Demikian pula tidak boleh menjual kurma basah dengan kurma basah, karena keduanya dalam konsekuensi tidak diketahui kesetaraannya ketika menjadi kurma kering. Begitu pula tidak boleh menukar gandum basah dengan gandum kering.

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ الْمُتَبَايِعَانِ الذَّهَبَ بِالْوَرِقِ بِأَعْيَانِهِمَا إذَا تَفَرَّقَا قَبْلَ الْقَبْضِ كَانَا فِي مَعْنَى مَنْ لَمْ يُبَايِعْ دَلَّ عَلَى أَنَّ كُلَّ سِلْعَةٍ بَاعَهَا فَهَلَكَتْ قَبْلَ الْقَبْضِ فَمِنْ مَالِ بَائِعِهَا؛ لِأَنَّهُ كَانَ عَلَيْهِ تَسْلِيمُهَا فَلَمَّا هَلَكَتْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَخْذُ ثَمَنِهَا.

 

 

Beliau berkata: “Dan apabila dua orang yang saling berjual beli emas dengan perak dalam bentuk fisiknya berpisah sebelum serah terima, maka keduanya berada dalam makna orang yang belum berjual beli. Hal ini menunjukkan bahwa setiap barang yang dijual lalu rusak sebelum serah terima, maka kerugiannya ditanggung oleh penjualnya. Karena kewajiban menyerahkan barang ada padanya, maka ketika barang itu rusak, ia tidak berhak mengambil harganya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا اشْتَرَى بِالدَّنَانِيرِ دَرَاهِمَ بِأَعْيَانِهَا فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُعْطِيَ غَيْرَ مَا وَقَعَ عَلَيْهِ الْبَيْعُ فَإِنْ وَجَدَ بِالدَّنَانِيرِ أَوْ الدَّرَاهِمِ عَيْبًا فَهُوَ بِالْخِيَارِ إنْ شَاءَ حَبَسَ الدَّنَانِيرَ بِالدَّرَاهِمِ سَوَاءٌ قَبْلَ التَّفَرُّقِ أَوْ بَعْدَهُ أَوْ حَبَسَ الدَّرَاهِمَ بِالدَّنَانِيرِ أَوْ نَقَضَ الْبَيْعَ، وَإِذَا تَبَايَعَا ذَلِكَ بِغَيْرِ عَيْنِ الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ وَتَقَابَضَا ثُمَّ وَجَدَ بِالدَّنَانِيرِ أَوْ بَعْضِ الدَّرَاهِمِ عَيْبًا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا أَبْدَلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا صَاحِبَهُ الْمَعِيبَ، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ التَّفَرُّقِ فَفِيهِ أَقَاوِيلُ. أَحَدُهَا: أَنَّهُ كَالْجَوَابِ فِي الْعَيْنِ. وَالثَّانِي: أَنْ يُبَدَّلَ الْمَعِيبُ؛ لِأَنَّهُ بَيْعُ صِفَةٍ أَجَازَهَا الْمُسْلِمُونَ إذَا قُبِضَتْ قَبْلَ التَّفَرُّقِ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ مِنْ حُجَّتِهِ كَمَا لَوْ اشْتَرَى سَلَمًا بِصِفَةٍ ثُمَّ قَبَضَهُ فَأَصَابَ بِهِ عَيْبًا أَخَذَ صَاحِبُهُ بِمِثْلِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang membeli dirham dengan dinar secara fisik, maka tidak boleh bagi siapa pun untuk memberikan selain apa yang menjadi objek transaksi. Jika ditemukan cacat pada dinar atau dirham, maka pembeli memiliki hak pilih: boleh menahan dinar dengan dirham (sebagai ganti), baik sebelum atau setelah berpisah, atau menahan dirham dengan dinar, atau membatalkan transaksi. Jika keduanya bertransaksi tanpa menyerahkan fisik dinar dan dirham, lalu menerimanya, kemudian ditemukan cacat pada dinar atau sebagian dirham sebelum berpisah, maka masing-masing pihak wajib mengganti yang cacat untuk pihak lainnya. Jika cacat ditemukan setelah berpisah, maka ada beberapa pendapat. Pertama: sama seperti jawaban dalam kasus fisik. Kedua: barang yang cacat harus diganti, karena ini adalah transaksi berdasarkan sifat yang diizinkan oleh kaum Muslimin jika diterima sebelum berpisah. Hal ini mirip dengan argumennya, seperti jika seseorang membeli secara salam dengan sifat tertentu, lalu menerimanya dan menemukan cacat, maka penjual wajib mengganti dengan yang serupa.

(قَالَ) : وَتَنَوُّعُ الصِّفَاتِ غَيْرُ تَنَوُّعِ الْأَعْيَانِ وَمَنْ أَجَازَ بَعْضَ الصَّفْقَةِ رَدَّ الْمَعِيبَ مِنْ الدَّرَاهِمِ بِحِصَّتِهَا مِنْ الدِّينَارِ.

 

Beliau berkata: “Keragaman sifat bukanlah keragaman zat. Dan siapa yang membolehkan sebagian transaksi, maka ia boleh mengembalikan dirham yang cacat sesuai dengan bagiannya dari dinar.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : إذَا كَانَ بَيْعُ الْعَيْنِ وَالصِّفَاتِ مِنْ الدَّنَانِيرِ بِالدَّرَاهِمِ فِيمَا يَجُوزُ بِالْقَبْضِ قَبْلَ الِافْتِرَاقِ سَوَاءٌ وَفِيمَا يَفْسُدُ بِهِ الْبَيْعُ مِنْ الِافْتِرَاقِ قَبْلَ الْقَبْضِ سَوَاءٌ لَزِمَ أَنْ يَكُونَا فِي حُكْمِ الْمَعِيبِ بَعْدَ الْقَبْضِ سَوَاءً، وَقَدْ قَالَ يَرُدُّ الدَّرَاهِمَ بِقَدْرِ حِصَّتِهَا مِنْ الدِّينَارِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika penjualan benda dan sifat-sifatnya berupa dinar dengan dirham dalam hal yang diperbolehkan dengan serah terima sebelum berpisah adalah sama, dan dalam hal yang merusak penjualan karena berpisah sebelum serah terima adalah sama, maka keduanya harus dihukum sama seperti barang cacat setelah serah terima. Dan dia telah berkata: mengembalikan dirham sesuai dengan bagiannya dari dinar.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ رَاطَلَ مِائَةَ دِينَارٍ عُتُقٍ مَرْوَانِيَّةٍ وَمِائَةَ دِينَارٍ مِنْ ضَرْبٍ مَكْرُوهٍ بِمِائَتَيْ دِينَارٍ مِنْ ضَرْبٍ وَسَطٍ خَيْرٌ مِنْ الْمَكْرُوهِ وَدُونَ الْمَرْوَانِيَّةِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنِّي لَمْ أَرَ بَيْنَ أَحَدٍ مِمَّنْ لَقِيت مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ اخْتِلَافًا فِي أَنَّ مَا جَمَعَتْهُ الصَّفْقَةُ مِنْ عَبْدٍ وَدَارٍ أَنَّ الثَّمَنَ مَقْسُومٌ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِقَدْرِ قِيمَتِهِ مِنْ الثَّمَنِ فَكَانَ قِيمَةُ الْجَيِّدِ مِنْ الذَّهَبِ أَكْثَرَ مِنْ الرَّدِيءِ وَالْوَسَطُ أَقَلَّ مِنْ الْجَيِّدِ وَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ إلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِيَ الدَّرَاهِمَ مِنْ الصَّرَّافِ وَيَبِيعَهَا مِنْهُ إذَا قَبَضَهَا بِأَقَلَّ مِنْ الثَّمَنِ أَوْ أَكْثَرَ وَعَادَةٌ وَغَيْرُ عَادَةٍ سَوَاءٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seseorang menukar seratus dinar emas murni Marwaniyah dan seratus dinar dari jenis yang dibenci dengan dua ratus dinar dari jenis pertengahan yang lebih baik dari yang dibenci namun di bawah kualitas Marwaniyah, maka itu tidak diperbolehkan. Karena aku tidak menemukan perbedaan pendapat di antara para ulama yang aku temui mengenai hal bahwa jika satu transaksi mencakup seorang budak dan sebuah rumah, maka harga dibagi sesuai nilai masing-masing dari total harga. Maka nilai emas yang bagus lebih tinggi daripada yang buruk, dan yang pertengahan lebih rendah daripada yang bagus. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang menukar emas dengan emas kecuali dengan takaran yang sama. Dan tidak mengapa seseorang membeli dirham dari penukar uang dan menjualnya kembali kepadanya setelah menerimanya, baik dengan harga lebih rendah atau lebih tinggi, baik itu kebiasaan atau bukan, hukumnya sama.

 

بَابُ بَيْعِ اللَّحْمِ بِاللَّحْمِ

 

Bab jual beli daging dengan daging

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : اللَّحْمُ كُلُّهُ صِنْفٌ وَحْشِيُّهُ، وَإِنْسِيُّهُ وَطَائِرُهُ لَا يَحِلُّ فِيهِ الْبَيْعُ حَتَّى يَكُونَ يَابِسًا وَزْنًا بِوَزْنٍ، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ فِيهَا قَوْلَانِ. فَخَرَّجَهُمَا ثُمَّ قَالَ فِي آخِرِهِ: وَمَنْ قَالَ اللَّحْمَانِ صِنْفٌ وَاحِدٌ لَزِمَهُ إذَا حَدَّهُ بِجِمَاعِ اللَّحْمِ أَنْ يَقُولَهُ فِي جِمَاعِ الثَّمَرِ فَيَجْعَلُ الزَّبِيبَ وَالتَّمْرَ وَغَيْرَهُمَا مِنْ الثِّمَارِ صِنْفًا وَاحِدًا وَهَذَا مِمَّا لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَقُولَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Daging seluruhnya adalah satu jenis, baik yang berasal dari hewan liar, hewan ternak, maupun unggas. Tidak diperbolehkan menjualnya kecuali dalam keadaan kering dan ditimbang dengan timbangan yang sama.” Dia juga berkata di tempat lain mengenai hal ini ada dua pendapat. Kemudian dia menguraikan keduanya dan di akhir ucapannya berkata: “Barangsiapa yang berpendapat bahwa dua jenis daging adalah satu jenis, maka konsekuensinya jika dia mendefinisikannya sebagai kelompok daging, dia juga harus mengatakan hal yang sama tentang kelompok buah-buahan, sehingga menjadikan kismis, kurma, dan buah-buahan lainnya sebagai satu jenis. Ini adalah pendapat yang tidak boleh diucapkan oleh siapa pun.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَإِذَا كَانَ تَصْيِيرُ اللَّحْمَانِ صِنْفًا وَاحِدًا قِيَاسًا لَا يَجُوزُ بِحَالٍ وَأَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ عَلَى الْأَسْمَاءِ الْجَامِعَةِ وَأَنَّهَا عَلَى الْأَصْنَافِ وَالْأَسْمَاءِ الْخَاصَّةِ فَقَدْ قَطَعَ بِأَنَّ اللَّحْمَانِ أَصْنَافٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika menjadikan berbagai jenis daging sebagai satu jenis berdasarkan qiyas sama sekali tidak diperbolehkan, dan hal itu tidak termasuk dalam nama-nama umum (jami’), melainkan termasuk dalam jenis-jenis dan nama-nama khusus, maka sungguh telah dipastikan bahwa berbagai jenis daging itu berbeda-beda.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ قَطَعَ قَبْلَ هَذَا الْبَابِ بِأَنَّ أَلْبَانَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالْإِبِلِ أَصْنَافٌ مُخْتَلِفَةٌ فَلُحُومُهَا الَّتِي هِيَ أَصْلُ الْأَلْبَانِ بِالِاخْتِلَافِ أَوْلَى، وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ الْمَجْمُوعَةِ: فَإِذَا اخْتَلَفَتْ أَجْنَاسُ الْحِيتَانِ فَلَا بَأْسَ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ مُتَفَاضِلًا وَكَذَلِكَ لُحُومُ الطَّيْرِ إذَا اخْتَلَفَتْ أَجْنَاسُهَا.

 

(Al-Muzanni berkata): Dan sebelumnya ia telah menetapkan dalam bab ini bahwa susu sapi, kambing, dan unta adalah jenis-jenis yang berbeda, maka daging-dagingnya yang merupakan asal susu lebih utama untuk dibedakan. Dia juga berkata dalam Al-Imla’ atas masalah-masalah Malik yang terkumpul: Jika jenis-jenis ikan berbeda, maka tidak mengapa sebagiannya ditukar dengan sebagian lainnya meskipun berbeda nilai. Demikian pula daging burung jika jenis-jenisnya berbeda.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَفِي ذَلِكَ كِفَايَةٌ لِمَا وَصَفْنَا. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Dalam hal itu sudah cukup untuk apa yang telah kami jelaskan. Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

بَيْعُ اللَّحْمِ بِالْحَيَوَانِ

 

Jual beli daging dengan hewan

(Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dari Ibnul Musayyab, “Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang menjual daging dengan hewan.” Dan dari Ibnu Abbas bahwa seekor unta disembelih pada masa Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu – lalu datang seorang lelaki membawa seekor anak kambing betina seraya berkata, “Berikanlah kepadaku bagian dengan anak kambing ini.” Maka Abu Bakar berkata, “Ini tidak boleh.” Al-Qasim bin Muhammad, Ibnul Musayyab, Urwah bin Az-Zubair, dan Abu Bakr bin Abdurrahman mengharamkan jual beli daging dengan hewan, baik secara tunai maupun tempo. Mereka menganggap besar larangan ini dan tidak memberikan keringanan dalam hal tersebut.

 

(قَالَ) : وَبِهَذَا نَأْخُذُ كَانَ اللَّحْمُ مُخْتَلِفًا أَوْ غَيْرَ مُخْتَلِفٍ وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – خَالَفَ فِي ذَلِكَ أَبَا بَكْرٍ، وَإِرْسَالُ ابْنِ الْمُسَيِّبِ عِنْدَنَا حَسَنٌ.

 

 

Beliau berkata: “Dengan ini kami berpendapat, baik daging itu berbeda atau tidak berbeda, dan kami tidak mengetahui seorang pun dari sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang menyelisihi Abu Bakar dalam hal itu. Dan riwayat mursal dari Ibnul Musayyab menurut kami adalah hasan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : إذَا لَمْ يَثْبُتْ الْحَدِيثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَالْقِيَاسُ عِنْدِي أَنَّهُ جَائِزٌ وَذَلِكَ أَنَّهُ كَانَ فَصِيلٌ بِجَزُورٍ قَائِمَيْنِ جَائِزًا وَلَا يَجُوزَانِ مَذْبُوحَيْنِ؛ لِأَنَّهُمَا طَعَامَانِ لَا يَحِلُّ إلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ فَهَذَا لَحْمٌ وَهَذَا حَيَوَانٌ وَهُمَا مُخْتَلِفَانِ فَلَا بَأْسَ بِهِ فِي الْقِيَاسِ إنْ كَانَ فِيهِ قَوْلٌ مُتَقَدِّمٌ مِمَّنْ يَكُونُ بِقَوْلِهِ اخْتِلَافٌ إلَّا أَنْ يَكُونَ الْحَدِيثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثَابِتًا فَيَكُونُ مَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Jika hadis dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak tetap (valid), maka menurutku qiyas itu boleh. Hal itu karena pernah ada pertukaran anak unta dengan dua unta yang masih hidup, itu diperbolehkan, namun tidak boleh jika keduanya sudah disembelih. Sebab keduanya adalah makanan yang tidak halal kecuali dengan pertukaran yang sepadan. Yang satu daging, yang lain hewan, dan keduanya berbeda. Maka tidak masalah dalam qiyas jika ada pendapat terdahulu dari orang yang pendapatnya diperselisihkan, kecuali jika hadis dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – sudah tetap (valid), maka yang berlaku adalah apa yang dikatakan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -.”

 

بَابُ بَيْعِ الثَّمَرِ

 

Bab Jual Beli Buah

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ بَاعَ نَخْلًا بَعْدَ أَنْ يُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ» .

 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Barangsiapa menjual pohon kurma setelah dikawinkan (diberbukakan), maka buahnya milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا جَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْإِبَارَ حَدًّا لِمِلْكِ الْبَائِعِ فَقَدْ جَعَلَ مَا قَبْلَهُ حَدًّا لِمِلْكِ الْمُشْتَرِي وَأَقَلُّ الْإِبَارِ أَنْ يُؤَبَّرَ شَيْءٌ مِنْ حَائِطِهِ، وَإِنْ قَلَّ، وَإِنْ لَمْ يُؤَبَّرْ الَّذِي إلَى جَنْبِهِ فَيَكُونُ فِي مَعْنَى مَا أُبِّرَ كُلُّهُ، وَلَوْ تَشَقَّقَ طَلْعُ إنَاثِهِ أَوْ شَيْءٌ مِنْهُ فَهُوَ فِي مَعْنَى مَا أُبِّرَ كُلُّهُ، وَإِنْ كَانَ فِيهَا فُحُولُ نَخْلٍ بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ الْإِنَاثُ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ وَهِيَ قَبْلَ الْإِبَارِ وَبَعْدَهُ فِي الْبَيْعِ فِي مَعْنَى مَا لَمْ يَخْتَلِفْ فِيهِ مِنْ أَنَّ كُلَّ ذَاتِ حَمْلٍ مِنْ بَنِي آدَمَ وَمِنْ الْبَهَائِمِ بِيعَتْ فَحَمْلُهَا تَبَعٌ لَهَا كَعُضْوٍ مِنْهَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُزَايِلْهَا فَإِنْ بِيعَتْ بَعْدَ أَنْ وَلَدَتْ فَالْوَلَدُ لِلْبَائِعِ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ وَالْكُرْسُفُ إذَا بِيعَ أَصْلُهُ كَالنَّخْلِ إذَا خَرَجَ جَوْزُهُ، وَلَمْ يَتَشَقَّقْ فَهُوَ لِلْمُشْتَرِي، وَإِذَا تَشَقَّقَ فَهُوَ لِلْبَائِعِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan penyerbukan (al-ibar) sebagai batas kepemilikan penjual, maka beliau juga menjadikan apa yang sebelumnya sebagai batas kepemilikan pembeli. Minimal penyerbukan adalah ketika sebagian dari kebunnya diserbuki, meskipun sedikit, meskipun yang di sebelahnya tidak diserbuki. Maka statusnya sama seperti yang seluruhnya diserbuki. Jika mayang pohon betinanya pecah atau sebagiannya, maka statusnya sama seperti yang seluruhnya diserbuki. Jika ada pohon jantan setelah pohon betina diserbuki, maka buahnya milik penjual. Baik sebelum maupun setelah penyerbukan dalam jual beli, statusnya sama seperti yang tidak diperselisihkan, yaitu bahwa setiap yang mengandung dari anak Adam atau hewan jika dijual, maka kandungannya mengikutinya seperti bagian dari dirinya, karena belum terpisah. Jika dijual setelah melahirkan, maka anaknya milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya. Kapas jika dijual pokoknya seperti pohon kurma, jika bijinya keluar tetapi belum pecah, maka milik pembeli. Jika sudah pecah, maka milik penjual.”

 

(قَالَ) : وَيُخَالِفُ الثِّمَارُ مِنْ الْأَعْنَابِ وَغَيْرِهَا النَّخْلَ فَتَكُونُ كُلُّ ثَمَرَةٍ خَرَجَتْ بَارِزَةً وَتُرَى فِي أَوَّلِ مَا تَخْرُجُ كَمَا تُرَى فِي آخِرِهِ فَهُوَ فِي مَعْنَى ثَمَرِ النَّخْلِ بَارِزًا مِنْ الطَّلْعِ، فَإِذَا بَاعَهُ شَجَرًا مُثْمِرًا فَهُوَ لِلْبَائِعِ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُبْتَاعُ؛ لِأَنَّ الثَّمَرَ فَارَقَ أَنْ يَكُونَ مُسْتَوْدَعًا فِي الشَّجَرِ كَمَا يَكُونُ الْحَمْلُ مُسْتَوْدَعًا فِي الْأَمَةِ، وَمَعْقُولٌ إذَا كَانَتْ الثَّمَرَةُ لِلْبَائِعِ أَنَّ عَلَى الْمُشْتَرِي تَرْكَهَا فِي شَجَرِهَا إلَى أَنْ تَبْلُغَ الْجِدَادَ أَوْ الْقِطَافَ أَوْ اللِّقَاطَ فِي الشَّجَرِ فَإِذَا كَانَ لَا يُصْلِحُهَا إلَّا السَّقْيُ فَعَلَى الْمُشْتَرِي تَخْلِيَةُ الْبَائِعِ وَمَا يَكْفِي مِنْ السَّقْيِ، وَإِنَّمَا لَهُ مِنْ الْمَاءِ مَا فِيهِ صَلَاحُ ثَمَرِهِ فَإِذَا كَانَتْ الشَّجَرَةُ مِمَّا تَكُونُ فِيهِ الثَّمَرَةُ ظَاهِرَةً ثُمَّ تَخْرُجُ مِنْهَا قَبْلَ أَنْ تَبْلُغَ الْخَارِجَةُ ثَمَرَةَ غَيْرِهَا فَإِنْ تَمَيَّزَ فَلِلْبَائِعِ الثَّمَرَةُ الْخَارِجَةُ وَلِلْمُشْتَرِي الْحَادِثَةُ، وَإِنْ كَانَ لَا يَتَمَيَّزُ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا لَا يَجُوزُ الْبَيْعُ إلَّا أَنْ يُسَلِّمَهُ الْبَائِعُ الثَّمَرَةَ كُلَّهَا فَيَكُونُ قَدْ زَادَهُ حَقًّا لَهُ أَوْ يَتْرُكَهُ الْمُشْتَرِي لِلْبَائِعِ فَيَعْفُو لَهُ عَنْ حَقِّهِ.

 

 

Beliau berkata: Buah-buahan seperti anggur dan selainnya berbeda dengan kurma, di mana setiap buah yang muncul terlihat sejak awal kemunculannya hingga akhir, maka statusnya seperti buah kurma yang muncul dari mayang. Jika seseorang menjual pohon yang sedang berbuah, buah itu tetap milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya, karena buah tersebut telah terlepas dari status tersimpan di pohon, seperti janin yang tersimpan dalam rahim budak perempuan. Logisnya, jika buah itu milik penjual, maka pembeli wajib membiarkannya tetap di pohon hingga masa panen atau pemetikan. Jika buah itu hanya bisa tumbuh dengan penyiraman, maka pembeli wajib memberi kesempatan kepada penjual untuk menyiram secukupnya, dan air yang diberikan hanya untuk kebutuhan buahnya. Jika pohon tersebut termasuk jenis yang buahnya terlihat jelas lalu muncul buah baru sebelum buah sebelumnya matang, maka jika bisa dibedakan, buah yang lama milik penjual dan yang baru milik pembeli. Jika tidak bisa dibedakan, ada dua pendapat: pertama, jual beli tidak sah kecuali penjual menyerahkan seluruh buahnya, berarti ia telah menambahkan haknya; atau pembeli membiarkannya untuk penjual, sehingga penjual melepaskan haknya.

 

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ مَفْسُوخٌ وَكَذَلِكَ قَالَ فِي هَذَا الْكِتَابِ وَفِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ مَفْسُوخٌ وَهَكَذَا قَالَ فِي بَيْعِ الْبَاذِنْجَانِ فِي شَجَرِهِ وَالْخِرْبِزِ وَهَكَذَا قَالَ فِيمَنْ بَاعَ قُرْطًا جَزَّهُ عِنْدَ بُلُوغِ الْجِزَازِ فَتَرَكَهُ الْمُشْتَرِي حَتَّى زَادَ كَانَ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ فِي أَنْ يَدَعَ لَهُ الْفَضْلَ الَّذِي لَهُ بِلَا ثَمَنٍ أَوْ يَنْقُضَ الْبَيْعَ كَمَا لَوْ بَاعَهُ حِنْطَةً فَانْثَالَتْ عَلَيْهَا حِنْطَةٌ فَلَهُ الْخِيَارُ فِي أَنْ يُسَلِّمَ لَهُ الزِّيَادَةَ أَوْ يَفْسَخَ لِاخْتِلَاطِ مَا بَاعَ بِمَا لَمْ يَبِعْ.

 

 

Pendapat kedua menyatakan bahwa jual beli itu batal. Demikian pula yang disebutkan dalam kitab ini dan dalam Al-Imla’ atas masalah-masalah Malik, bahwa jual beli itu batal. Begitu juga pendapatnya mengenai jual beli terong yang masih di pohonnya dan semangka. Demikian pula pendapatnya tentang orang yang menjual anting lalu memotongnya saat tiba waktu panen, kemudian pembiarnya membiarkannya hingga bertambah, maka penjual memiliki hak pilih untuk memberikan kelebihan itu tanpa harga atau membatalkan jual beli. Seperti halnya jika seseorang menjual gandum lalu tercampur dengan gandum lain, maka ia berhak memilih untuk menyerahkan kelebihannya atau membatalkan jual beli karena tercampurnya barang yang dijual dengan yang tidak dijual.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا عِنْدِي أَشْبَهُ بِمَذْهَبِهِ إذَا لَمْ يَكُنْ قَبَضَ؛ لِأَنَّ التَّسْلِيمَ عَلَيْهِ مَضْمُونٌ بِالثَّمَنِ مَا دَامَ فِي يَدَيْهِ وَلَا يُكَلَّفُ مَا لَا سَبِيلَ لَهُ إلَيْهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Menurutku, ini lebih mirip dengan pendapatnya jika barang belum diterima, karena penyerahan menjadi tanggungannya selama barang masih di tangannya, dan dia tidak dibebani sesuatu yang tidak mungkin dia lakukan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا فَإِذَا كَانَ بَعْدَ الْقَبْضِ لَمْ يَضُرَّ الْبَيْعَ شَيْءٌ لِتَمَامِهِ وَهَذَا الْمُخْتَلَطُ لَهُمَا يَتَرَاضَيَانِ فِيهِ بِمَا شَاءَا إذْ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا يَقُولُ لَا أَدْرِي مَا لِي فِيهِ، وَإِنْ تَدَاعَيَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الَّذِي كَانَتْ الثَّمَرَةُ فِي يَدَيْهِ وَالْآخَرُ مُدَّعٍ عَلَيْهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata, jika setelah serah terima, tidak ada sesuatu pun yang merusak jual beli karena kesempurnaannya. Dan yang tercampur ini, keduanya boleh berdamai sesuai keinginan mereka, karena masing-masing berkata, “Aku tidak tahu bagianku di dalamnya.” Jika mereka berselisih, maka keputusan ada pada orang yang buahnya berada di tangannya, sedangkan yang lain adalah pihak yang menuduh.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَكُلُّ أَرْضٍ بِيعَتْ فَلِلْمُشْتَرِي جَمِيعُ مَا فِيهَا مِنْ بِنَاءٍ وَأَصْلٍ وَالْأَصْلُ مَا لَهُ ثَمَرَةٌ بَعْدَ ثَمَرَةٍ مِنْ كُلِّ شَجَرَةٍ مُثْمِرَةٍ وَزَرْعٍ مُثْمِرٍ، وَإِنْ كَانَ فِيهَا زَرْعٌ فَهُوَ لِلْبَائِعِ يُتْرَكُ حَتَّى يُحْصَدَ، وَإِنْ كَانَ زَرْعًا يُجَزُّ مِرَارًا فَلِلْبَائِعِ جِزَّةٌ وَاحِدَةٌ وَمَا بَقِيَ فَكَالْأَصْلِ، وَإِنْ كَانَ فِيهَا حَبٌّ قَدْ بَذَرَهُ فَالْمُشْتَرِي بِالْخِيَارِ إنْ أَحَبَّ نَقْضَ الْبَيْعِ أَوْ تَرْكَ الْبَذْرِ حَتَّى يَبْلُغَ فَيُحْصَدَ، وَإِنْ كَانَتْ فِيهَا حِجَارَةٌ مُسْتَوْدَعَةٌ فَعَلَى الْبَائِعِ نَقْلُهَا وَتَسْوِيَةُ الْأَرْضِ حَالَهَا لَا يَتْرُكُهَا حُفَرًا وَلَوْ كَانَ غَرَسَ عَلَيْهَا شَجَرًا فَإِنْ كَانَتْ تَضُرُّ بِعُرُوقِ الشَّجَرِ فَلِلْمُشْتَرِي الْخِيَارُ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَضُرُّ بِهَا وَيَضُرُّهَا إذَا أَرَادَ قَلْعَهَا قِيلَ لِلْبَائِعِ: أَنْتَ بِالْخِيَارِ إنْ سَلَّمْتهَا فَالْبَيْعُ جَائِزٌ، وَإِنْ أَبَيْت قِيلَ لِلْمُشْتَرِي أَنْتَ بِالْخِيَارِ فِي الرَّدِّ أَوْ يَقْلَعُهُ وَيَكُونُ عَلَيْهِ قِيمَةُ مَا أَفْسَدَ عَلَيْك.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Setiap tanah yang dijual, maka bagi pembeli adalah segala yang ada di dalamnya berupa bangunan dan asal (pokok). Asal adalah segala yang memiliki buah berulang kali dari setiap pohon yang berbuah dan tanaman yang berbuah. Jika di dalamnya ada tanaman, maka itu milik penjual, dibiarkan hingga dipanen. Jika tanaman itu dipotong berkali-kali, maka penjual mendapat satu kali potongan dan sisanya dianggap seperti asal. Jika di dalamnya ada benih yang telah ditabur, maka pembeli memiliki pilihan: jika mau, ia boleh membatalkan jual beli atau membiarkan benih hingga tumbuh dan dipanen. Jika di dalamnya ada batu-batu yang disimpan, maka penjual wajib memindahkannya dan meratakan tanah seperti semula, tidak boleh meninggalkannya berlubang. Jika penjual menanam pohon di atasnya, maka jika akar pohon itu merusak, pembeli memiliki pilihan. Jika tidak merusak tetapi akan merusak jika dicabut, maka penjual diberi pilihan: jika menyerahkannya, jual beli sah. Jika menolak, maka pembeli diberi pilihan untuk menolak atau mencabutnya dengan kewajiban membayar nilai kerusakan yang ditimbulkan.”

 

بَابُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ

 

Bab tidak diperbolehkan menjual buah hingga nampak matangnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهِيَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا تُزْهِي قَالَ حَتَّى تَحْمَرَّ» وَرَوَى عَنْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ابْنُ عُمَرَ «حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا» وَرَوَى غَيْرُهُ «حَتَّى تَنْجُوَ مِنْ الْعَاهَةِ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Humaid dari Anas, “Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang menjual buah-buahan hingga matang.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apa itu matang?” Beliau menjawab, “Hingga memerah.” Dan diriwayatkan dari beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – oleh Ibnu Umar, “Hingga tampak kebaikannya.” Dan yang lain meriwayatkan, “Hingga terbebas dari cacat.”

 

(قَالَ) : فَبِهَذَا نَأْخُذُ وَفِي قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «إذَا مَنَعَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – الثَّمَرَةَ فَبِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ؟» دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّهُ إنَّمَا نَهَى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ الَّتِي تُتْرَكُ حَتَّى تَبْلُغَ غَايَةَ إبَانِهَا لَا أَنَّهُ نَهَى عَمَّا يُقْطَعُ مِنْهَا وَذَلِكَ أَنَّ مَا يُقْطَعُ مِنْهَا لَا آفَةَ تَأْتِي عَلَيْهِ تَمْنَعُهُ إنَّمَا يُمْنَعُ مَا يُتْرَكُ مُدَّةً يَكُونُ فِي مِثْلِهَا الْآفَةُ كَالْبَلَحِ وَكُلِّ مَا دُونَ الْبُسْرِ يَحِلُّ بَيْعُهُ عَلَى أَنْ يُقْطَعَ مَكَانَهُ، وَإِذَا أَذِنَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي بَيْعِهِ إذَا صَارَ أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ فَقَدْ أَذِنَ فِيهِ إذَا بَدَا فِيهِ النُّضْجُ وَاسْتُطِيعَ أَكْلُهُ خَارِجًا مِنْ أَنْ يَكُونَ كُلُّهُ بَلَحًا وَصَارَ عَامَّتُهُ فِي تِلْكَ الْحَالِ يَمْتَنِعُ فِي الظَّاهِرِ مِنْ الْعَاهَةِ لِغِلَظِ نَوَاتِهِ فِي عَامَّتِهِ وَبُسْرِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Kami berpegang pada hal ini. Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Jika Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia mencegah buah (dari matang), dengan apa salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya?’ terdapat petunjuk bahwa beliau hanya melarang menjual buah yang dibiarkan hingga mencapai puncak masa panennya, bukan melarang apa yang dipetik darinya. Sebab, apa yang dipetik tidak terkena musibah yang menghalanginya. Yang dilarang adalah buah yang dibiarkan dalam rentang waktu yang biasanya terkena musibah, seperti kurma muda dan segala yang belum menjadi busr (kurma setengah matang). Dibolehkan menjualnya dengan syarat dipetik di tempatnya. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan penjualannya ketika sudah memerah atau menguning, berarti beliau mengizinkannya ketika mulai tampak matang dan bisa dimakan, bukan saat masih seluruhnya berupa kurma muda. Mayoritas buah dalam keadaan seperti itu secara lahiriah terhindar dari cacat karena kerasnya biji pada umumnya dan ketika menjadi busr.”

Gagal diterjemahkan (قَالَ) : وَكَذَلِكَ كُلُّ ثَمَرَةٍ مِنْ أَصْلٍ يُرَى فِيهِ أَوَّلُ النُّضْجِ لَا كِمَامَ عَلَيْهَا وَلِلْخِرْبِزِ نُضْجٌ كَنُضْجِ الرُّطَبِ فَإِذَا رُئِيَ ذَلِكَ فِيهِ حَلَّ بَيْعُ خِرْبِزِهِ وَالْقِثَّاءُ يُؤْكَلُ صِغَارًا طَيِّبًا فَبُدُوُّ صَلَاحِهِ أَنْ يَتَنَاهَى عِظَمُهُ أَوْ عِظَمُ بَعْضِهِ ثُمَّ يُتْرَكُ حَتَّى يَتَلَاحَقَ صِغَارُهُ بِكِبَارِهِ وَلَا وَجْهَ لِمَنْ قَالَ: يَجُوزُ إذَا بَدَا صَلَاحُهُمَا وَيَكُونُ لِمُشْتَرِيهِمَا مَا ثَبَتَ أَصْلُهُمَا أَنْ يَأْخُذَ كُلَّ مَا خَرَجَ مِنْهُمَا وَهَذَا مُحَرَّمٌ وَكَيْفَ لَمْ يَجُزْ بَيْعُ الْقِثَّاءِ وَالْخِرْبِزِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُمَا كَمَا لَا يَحِلُّ بَيْعُ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهُ وَيَحِلُّ مَا لَمْ يُرَ وَلَمْ يُخْلَقْ مِنْهُمَا وَلَوْ جَازَ لِبُدُوِّ صَلَاحِهِمَا شِرَاءُ مَا لَمْ يُخْلَقْ مِنْهُمَا لَجَازَ لِبُدُوِّ صَلَاحِ ثَمَرِ النَّخْلِ شِرَاءُ مَا لَمْ يَحْمِلْ النَّخْلُ سِنِينَ، وَقَدْ نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعِ السِّنِينَ.

 

 

(قَالَ) : وَكُلُّ ثَمَرَةٍ وَزَرْعٍ دُونَهَا حَائِلٌ مِنْ قِشْرٍ أَوْ كِمَامٍ وَكَانَتْ إذَا صَارَتْ إلَى مَا يُكِنُّهَا أَخْرَجُوهَا مِنْ قِشْرِهَا وَكِمَامِهَا بِلَا فَسَادٍ عَلَيْهَا إذَا ادَّخَرُوهَا فَاَلَّذِي أَخْتَارُ فِيهَا أَنْ لَا يَجُوزَ بَيْعُهَا فِي شَجَرِهَا وَلَا مَوْضُوعَةً بِالْأَرْضِ لِلْحَائِلِ وَقِيَاسُ ذَلِكَ عَلَى شِرَاءِ لَحْمِ شَاةٍ مَذْبُوحَةٍ عَلَيْهَا جِلْدُهَا لِلْحَائِلِ دُونَ لَحْمِهَا.

 

 

Beliau berkata: “Setiap buah dan tanaman memiliki pelindung seperti kulit atau kelopak. Ketika sudah mencapai tahap yang memungkinkan untuk disimpan, mereka mengeluarkannya dari kulit atau kelopaknya tanpa merusaknya jika disimpan. Pendapatku dalam hal ini adalah tidak boleh menjualnya saat masih di pohon atau setelah dipetik selama masih ada pelindungnya. Hal ini dianalogikan seperti membeli daging kambing yang telah disembelih namun masih terbungkus kulitnya sebagai pelindung, bukan dagingnya yang langsung.”

 

(قَالَ) : وَلَمْ أَجِدْ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَأْخُذُ عُشْرَ الْحُبُوبِ فِي أَكْمَامِهَا وَلَا يُجِيزُ بَيْعَ الْحِنْطَةِ بِالْحِنْطَةِ فِي سُنْبُلِهَا فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَأَنَا أُجِيزَ بَيْعَ الْحِنْطَةِ فِي سُنْبُلِهَا لَزِمَهُ أَنْ يُجِيزَهُ فِي تِبْنِهَا أَوْ فِضَّةً فِي تُرَابٍ بِالتُّرَابِ وَعَلَى الْجَوْزِ قِشْرَتَانِ وَاحِدَةٌ فَوْقَ الْقِشْرَةِ الَّتِي يَرْفَعُهَا النَّاسُ عَنْهَا فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهُ، وَعَلَيْهِ الْقِشْرَةُ الْعُلْيَا؛ لِأَنَّهُ يَصْلُحُ أَنْ يُرْفَعَ بِدُونِ الْعُلْيَا. وَكَذَلِكَ الرَّانِجُ وَمَا كَانَتْ عَلَيْهِ قِشْرَتَانِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَثْنِيَ مِنْ التَّمْرِ مُدًّا؛ لِأَنَّهُ لَا يَدْرِي كَمْ الْمُدُّ مِنْ الْحَائِطِ أَسَهْمٌ مِنْ أَلْفِ سَهْمٍ أَوْ مِنْ مِائَةٍ أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ فَهَذَا مَجْهُولٌ وَلَوْ اسْتَثْنَى رُبُعَهُ أَوْ نَخَلَاتٍ بِعَيْنِهَا فَجَائِزٌ.

 

 

Beliau berkata: “Aku tidak menemukan seorang pun dari kalangan ulama yang mengambil sepersepuluh biji-bijian yang masih dalam sekamnya, dan tidak membolehkan penjualan gandum dengan gandum yang masih dalam bulirnya. Jika ada yang berkata: ‘Aku membolehkan penjualan gandum yang masih dalam bulirnya,’ maka ia harus membolehkannya juga dalam jeraminya, atau perak dalam debu dengan debu. Dan pada kenari ada dua kulit, satu di atas kulit yang biasa dikupas orang, maka tidak boleh menjualnya, dan ia harus mengupas kulit terluarnya karena bisa dikupas tanpa kulit terluar itu. Demikian juga dengan resin dan apa saja yang memiliki dua kulit. Tidak boleh menyisihkan satu mud dari kurma, karena ia tidak tahu berapa kadar satu mud dari kebun itu, apakah satu bagian dari seribu bagian, atau seratus, atau lebih sedikit atau lebih banyak, sehingga ini tidak diketahui. Namun jika ia menyisihkan seperempatnya atau pohon-pohon kurma tertentu, maka itu boleh.”

 

 

وَإِنْ بَاعَ ثَمَرَ حَائِطٍ وَفِيهِ الزَّكَاةُ فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لِلْمُشْتَرِي الْخِيَارُ فِي أَنْ يَأْخُذَ مَا جَاوَزَ الصَّدَقَةَ بِحِصَّتِهِ مِنْ الثَّمَنِ أَوْ الرَّدُّ. وَالثَّانِي: إنْ شَاءَ أَخَذَ الْفَضْلَ عَنْ الصَّدَقَةِ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ أَوْ الرَّدَّ وَلِلسُّلْطَانِ أَخْذُ الْعُشْرِ مِنْ الثَّمَرَةِ. (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِيمَنْ اشْتَرَى مَا فِيهِ الزَّكَاةُ أَنَّهُ يَجْعَلُ أَحَدَ الْقَوْلَيْنِ أَنَّ الْبَيْعَ فِيهِ بَاطِلٌ وَلَمْ يَقُلْهُ هَا هُنَا

 

 

Dan jika seseorang menjual buah kebun yang masih terkena kewajiban zakat, maka ada dua pendapat. Pertama, pembeli memiliki hak pilih untuk mengambil bagian yang melebihi zakat sesuai dengan bagiannya dari harga atau mengembalikan. Kedua, jika dia mau, dia bisa mengambil kelebihan dari zakat dengan seluruh harga atau mengembalikan, dan pemerintah berhak mengambil sepersepuluh dari buah. (Al-Muzani berkata): Ini bertentangan dengan pendapatnya tentang orang yang membeli sesuatu yang masih terkena zakat, di mana dia menjadikan salah satu dari dua pendapat bahwa jual beli tersebut batal, tetapi dia tidak mengatakan itu di sini.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَرْجِعُ مَنْ اشْتَرَى الثَّمَرَةَ وَسُلِّمَتْ إلَيْهِ بِالْجَائِحَةِ عَلَى الْبَائِعِ وَلَوْ لَمْ يَكُنْ سُفْيَانُ وَهَنَ حَدِيثَهُ فِي الْجَائِحَةِ لَصِرْت إلَيْهِ فَإِنِّي سَمِعْته مِنْهُ وَلَا يَذْكُرُ الْحَائِجَةَ ثُمَّ ذَكَرَهَا، وَقَالَ كَانَ كَلَامٌ قَبْلَ وَضْعِ الْجَوَائِحِ لَمْ أَحْفَظْهُ وَلَوْ صِرْت إلَى ذَلِكَ لَوَضَعْت كُلَّ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ أُصِيبَ مِنْ السَّمَاءِ بِغَيْرِ جِنَايَةِ أَحَدٍ فَأَمَّا أَنْ يُوضَعَ الثُّلُثُ فَصَاعِدًا وَلَا يُوضَعُ مَا دُونَهُ فَهَذَا لَا خَبَرَ وَلَا قِيَاسَ وَلَا مَعْقُولَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Orang yang membeli buah dan telah diserahkan kepadanya tidak boleh menuntut kembali kepada penjual karena musibah (gâ’ihah). Seandainya bukan karena Sufyan yang melemahkan hadisnya tentang gâ’ihah, niscaya aku akan mengikuti pendapatnya. Sungguh, aku telah mendengarnya darinya, dan dia tidak menyebutkan al-hâ’ijah (kebutuhan), lalu kemudian menyebutkannya.” Dia juga berkata, “Ada pembicaraan sebelum penetapan gâ’ihah yang tidak aku hafal. Seandainya aku mengikuti hal itu, niscaya aku akan menggugurkan setiap kerusakan sedikit atau banyak yang terjadi karena langit (bencana alam) tanpa ada kesalahan seseorang. Adapun menggugurkan sepertiga atau lebih, tetapi tidak menggugurkan yang kurang dari itu, maka ini tidak ada dasar hadis, qiyas, maupun akal sehat.”

 

بَابُ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ

 

Bab tentang Muhāqalah dan Muzābanah

 

بَابُ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ» وَالْمُحَاقَلَةُ أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ الزَّرْعَ بِمِائَةِ فَرَقِ حِنْطَةٍ وَالْمُزَابَنَةُ أَنْ يَبِيعَ التَّمْرَ فِي رُءُوسِ النَّخْلِ بِمِائَةِ فَرَقِ تَمْرٍ.

 

 

Bab tentang Muhāqalah dan Muzābanah (Asy-Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang Muhāqalah dan Muzābanah.” Muhāqalah adalah seseorang menjual tanaman dengan seratus farq gandum, sedangkan Muzābanah adalah menjual kurma di pohonnya dengan seratus farq kurma.

 

(قَالَ) : وَعَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قُلْت لِعَطَاءٍ مَا الْمُحَاقَلَةُ؟ قَالَ: الْمُحَاقَلَةُ فِي الْحَرْثِ كَهَيْئَةِ الْمُزَابَنَةِ فِي النَّخْلِ سَوَاءٌ بَيْعُ الزَّرْعِ بِالْقَمْحِ قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ فَقُلْت لِعَطَاءٍ أَفَسَّرَ لَكُمْ جَابِرٌ الْمُحَاقَلَةَ كَمَا أَخْبَرْتَنِي؟ قَالَ نَعَمْ.

 

 

Beliau berkata: Dari Ibnu Juraij, aku bertanya kepada Atha’, “Apa itu al-muhāqalah?” Dia menjawab, “Al-muhāqalah dalam pertanian seperti bentuk al-muzābanah dalam kurma, yaitu menjual tanaman dengan gandum.” Ibnu Juraij berkata, lalu aku bertanya kepada Atha’, “Apakah Jabir telah menjelaskan al-muhāqalah kepada kalian seperti yang engkau kabarkan kepadaku?” Dia menjawab, “Ya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبِهَذَا نَقُولُ إلَّا فِي الْعَرَايَا، وَجِمَاعُ الْمُزَابَنَةِ: أَنْ يَنْظُرَ كُلُّ مَا عَقَدَ بَيْعَهُ مِمَّا الْفَضْلُ فِي بَعْضِهِ عَلَى بَعْضٍ يَدًا بِيَدٍ رِبًا فَلَا يَجُوزُ مِنْهُ شَيْءٌ يُعْرَفُ بِشَيْءٍ مِنْهُ جُزَافًا وَلَا جُزَافًا بِجُزَافٍ مِنْ صِنْفِهِ فَأَمَّا أَنْ يَقُولَ أَضْمَنُ لَك صُبْرَتَك هَذِهِ بِعِشْرِينَ صَاعًا فَمَا زَادَ فَلِي وَمَا نَقَصَ فَعَلَيَّ تَمَامُهَا فَهَذَا مِنْ الْقِمَارِ وَالْمُخَاطَرَةِ وَلَيْسَ مِنْ الْمُزَابَنَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Kami berpendapat demikian kecuali dalam kasus ‘araya. Inti muzabanah adalah setiap transaksi jual-beli yang mengandung kelebihan sebagian atas sebagian lainnya secara tunai (riba), maka tidak boleh sedikit pun darinya yang diketahui dengan sebagian lainnya secara takaran (juzaf), atau takaran dengan takaran dari jenis yang sama. Adapun jika seseorang mengatakan, “Aku menjamin untukmu gandummu ini dengan 20 sha’. Jika lebih, itu untukku, dan jika kurang, aku yang menanggung kekurangannya,” maka ini termasuk qimar (judi) dan risiko, bukan termasuk muzabanah.

 

بَابُ الْعَرَايَا

 

Bab Al-‘Araya

 

أَخْبَرَنَا الْمُزَنِيّ قَالَ الشَّافِعِيُّ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ دَاوُد بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ أَبِي سُفْيَانَ مَوْلَى ابْنِ أَبِي أَحْمَدَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَرْخَصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ أَوْ فِي خَمْسَةِ أَوْسُقٍ» الشَّكُّ مِنْ دَاوُد، وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعِ التَّمْرِ بِالتَّمْرِ إلَّا أَنَّهُ أَرْخَصَ فِي بَيْعِ الْعَرَايَا» .

 

 

Al-Muzani mengabarkan kepada kami, Beliau berkata: Asy-Syafi’i mengabarkan kepada kami, Malik mengabarkan kepada kami dari Dawud bin Al-Hushain dari Abu Sufyan, maula Ibnu Abi Ahmad, dari Abu Hurairah: “Bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberikan keringanan dalam jual beli ‘araya (kurma yang masih di pohon) di bawah lima wasaq atau pada lima wasaq.” Keraguan ini berasal dari Dawud. Dan Ibnu Umar berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang menjual kurma dengan kurma, kecuali beliau memberikan keringanan dalam jual beli ‘araya.”

(Al-Muzani) berkata: “Asy-Syafi’i meriwayatkan sebuah hadits yang di dalamnya disebutkan, aku berkata kepada Mahmud bin Labid – atau Mahmud bin Labid berkata kepada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mungkin Zaid bin Tsabit atau yang lainnya – ‘Apa maksud dari ‘araya kalian ini?’ Maka dia (sahabat itu) menjawab, ‘Si fulan dan si fulanah’ – dan dia menyebutkan nama beberapa lelaki dari kalangan Anshar yang membutuhkan – mereka mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kurma basah telah datang (musimnya), sementara mereka tidak memiliki uang kontan untuk membeli kurma basah agar bisa memakannya bersama orang-orang, padahal mereka memiliki kelebihan makanan dari kurma kering. Maka Nabi memberikan keringanan bagi mereka untuk membeli ‘araya (kurma basah yang masih di pohon) dengan takaran kurma kering yang mereka miliki, agar mereka bisa memakannya dalam keadaan basah.'”

(Asy-Syafi’i berkata): “Hadits Sufyan menunjukkan hal seperti ini. Ibnu ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Busyair bin Yasar dari Sahl bin Abi Hatsmah, bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang menjual kurma dengan kurma, kecuali beliau memberikan keringanan dalam ‘araya (jual beli kurma yang masih di pohon) untuk dijual dengan takaran kurma kering, yang akan dimakan oleh pemiliknya dalam keadaan basah (ruthab).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : اخْتَلَفَ مَا وَصَفَ الشَّافِعِيُّ فِي الْعَرَايَا وَكَرِهْت الْإِكْثَارَ فَأَصَحُّ ذَلِكَ عِنْدِي مَا جَاءَ فِيهِ الْخَبَرُ وَمَا قَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ الْحَدِيثِ ” وَفِي الْإِمْلَاءِ أَنَّ قَوْمًا شَكَوْا إلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ لَا نَقْدَ عِنْدَهُمْ وَلَهُمْ تَمْرٌ مِنْ فَضْلِ قُوتِهِمْ فَأَرْخَصَ لَهُمْ فِيهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dijelaskan oleh Asy-Syafi’i tentang ‘araya (jual beli kurma basah dengan kurma kering), dan aku tidak menyukai berlebihan dalam hal itu. Menurutku, yang paling sahih adalah apa yang terdapat dalam hadis dan apa yang beliau sebutkan dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits. Dalam kitab al-Imla’ disebutkan bahwa suatu kaum mengeluh kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa mereka tidak memiliki uang tunai, sedangkan mereka memiliki kurma lebih dari kebutuhan pokok mereka, maka beliau memberikan keringanan bagi mereka dalam hal itu.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ تَكُونَ الْعَرِيَّةُ أَقَلَّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ وَلَا أَفْسَخُهُ فِي الْخَمْسَةِ وَأَفْسَخُهُ فِي أَكْثَرَ.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dan lebih aku sukai jika ariyah (pinjaman) itu kurang dari lima wasaq, aku tidak membatalkannya jika lima wasaq, tetapi aku membatalkannya jika lebih dari itu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : يَلْزَمُهُ فِي أَصْلِهِ أَنْ يُفْسَخَ الْبَيْعُ فِي خَمْسَةِ أَوْسُقٍ؛ لِأَنَّهُ شَكٌّ وَأَصْلُ بَيْعِ التَّمْرِ فِي رُءُوسِ النَّخْلِ بِالتَّمْرِ حَرَامٌ بِيَقِينٍ وَلَا يَحِلُّ مِنْهُ إلَّا مَا أَرْخَصَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِيَقِينٍ فَأَقَلُّ مِنْ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ يَقِينٌ عَلَى مَا جَاءَ بِهِ الْخَبَرُ وَلَيْسَتْ الْخَمْسَةُ بِيَقِينٍ فَلَا يَبْطُلُ الْيَقِينُ بِالشَّكِّ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dalam prinsipnya, ia wajib membatalkan penjualan pada lima wasaq karena itu adalah keraguan. Pada dasarnya, menjual kurma di pohon dengan kurma adalah haram secara pasti, dan tidak halal kecuali apa yang Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – izinkan dengan pasti. Kurang dari lima wasaq adalah kepastian berdasarkan hadis yang datang, sedangkan lima wasaq bukanlah kepastian. Maka, kepastian tidak bisa dibatalkan dengan keraguan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَبْتَاعُ الَّذِي يَشْتَرِي الْعَرِيَّةَ بِالتَّمْرِ إلَّا بِأَنْ يَخْرُصَ الْعَرِيَّةَ كَمَا يَخْرُصُ الْعُشْرَ فَيُقَالُ فِيهَا الْآنَ رُطَبًا كَذَا، وَإِذَا يَبِسَ كَانَ كَذَا فَيَدْفَعُ مِنْ التَّمْرِ مَكِيلَةً خَرَصَهَا تَمْرًا وَيَقْبِضُ النَّخْلَةَ بِتَمْرِهَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ تَفَرَّقَا قَبْلَ دَفْعِهِ فَسَدَ الْبَيْعُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Tidak boleh seseorang membeli ‘ariyah dengan kurma kecuali dengan cara memperkirakan ‘ariyah tersebut sebagaimana memperkirakan sepersepuluh. Lalu dikatakan tentangnya: ‘Sekarang masih ruthab sebanyak sekian, dan ketika sudah kering menjadi sekian.’ Kemudian ia menyerahkan kurma seukuran yang diperkirakan sebagai kurma, dan menerima pohon kurma beserta buahnya sebelum mereka berpisah. Jika mereka berpisah sebelum penyerahan, maka jual belinya batal.”

 

(قَالَ) : وَيَبِيعُ صَاحِبُ الْحَائِطِ لِكُلِّ مَنْ أَرْخَصَ لَهُ، وَإِنْ أَتَى عَلَى جَمِيعِ حَائِطِهِ وَالْعَرَايَا مِنْ الْعِنَبِ كَهِيَ مِنْ التَّمْرِ لَا يَخْتَلِفَانِ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَنَّ الْخَرْصَ فِي ثَمَرَتِهِمَا وَلَا حَائِلَ دُونَ الْإِحَاطَةِ بِهِمَا.

 

 

(Dia berkata): “Pemilik kebun boleh menjual (hasil)nya kepada siapa saja yang menawarnya dengan harga lebih murah, meskipun mencakup seluruh kebunnya. Dan (aturan) ‘araya pada anggur sama seperti pada kurma, tidak ada perbedaan. Karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menetapkan metode kharash (perkiraan) pada buah keduanya, dan tidak ada halangan untuk menerapkannya.”

 

بَابُ الْبَيْعِ قَبْلَ الْقَبْضِ

Bab Jual Beli Sebelum Serah Terima

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ» ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَمَّا الَّذِي نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُوَ الطَّعَامُ أَنْ يُبَاعَ حَتَّى يُكْتَالَ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِرَأْيِهِ وَلَا أَحْسَبُ كُلَّ شَيْءٍ إلَّا مِثْلَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya dengan sempurna.” Ibnu Abbas berkata, “Adapun yang dilarang oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – adalah makanan yang dijual sebelum ditakar.” Ibnu Abbas juga berkata menurut pendapatnya, “Aku tidak menganggap segala sesuatu kecuali seperti itu.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا نَهَى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ حَتَّى يُقْبَضَ؛ لِأَنَّ ضَمَانَهُ مِنْ الْبَائِعِ، وَلَمْ يَتَكَامَلْ لِلْمُشْتَرِي فِيهِ تَمَامُ مِلْكٍ فَيَجُوزُ بِهِ الْبَيْعُ كَذَلِكَ قِسْنَا عَلَيْهِ بَيْعَ الْعُرُوضِ قَبْلَ الْقَبْضِ؛ لِأَنَّهُ بَيْعُ مَا لَمْ يُقْبَضْ وَرِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ وَمَنْ ابْتَاعَهُ جُزَافًا فَقَبَضَهُ أَنْ يَنْقُلَهُ مِنْ مَوْضِعِهِ، وَقَدْ رَوَى «عُمَرُ وَابْنُ عُمَرَ أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَبَايَعُونَ الطَّعَامَ جُزَافًا فَيَبْعَثُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَنْ يَأْمُرُهُمْ بِنَقْلِهِ مِنْ الْمَوْضِعِ الَّذِي ابْتَاعُوهُ فِيهِ إلَى مَوْضِعٍ غَيْرِهِ» وَمَنْ وَرِثَ طَعَامًا كَانَ لَهُ بَيْعُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهُ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ عَلَى غَيْرِهِ وَلَوْ أَسْلَمَ فِي طَعَامٍ وَبَاعَ طَعَامًا آخَرَ فَأَحْضَرَ الْمُشْتَرِي مَنْ اكْتَالَهُ مِنْ بَائِعِهِ، وَقَالَ اكْتَالَهُ لَك لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ بَيْعُ الطَّعَامِ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ فَإِنْ قَالَ أَكْتَالُهُ لِنَفْسِي وَخُذْهُ بِالْكَيْلِ الَّذِي حَضَرْته لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ بَاعَ كَيْلًا فَلَا يَبْرَأُ حَتَّى يَكِيلَهُ لِمُشْتَرِيهِ وَيَكُونَ لَهُ زِيَادَتُهُ وَعَلَيْهِ نُقْصَانُهُ، وَكَذَا رَوَى الْحَسَنُ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ الطَّعَامِ حَتَّى تَجْرِيَ فِيهِ الصِّيعَانُ» وَلَا يَقْبِضُ الَّذِي لَهُ طَعَامٌ مِنْ طَعَامٍ يَشْتَرِيهِ لِنَفْسِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ وَكِيلًا لِنَفْسِهِ مُسْتَوْفِيًا لَهَا قَابِضًا مِنْهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Ketika Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang menjual makanan sebelum diterima, karena tanggungannya masih pada penjual, dan kepemilikan penuh bagi pembeli belum sempurna sehingga tidak sah menjualnya. Demikian pula kami mengqiyaskan larangan ini pada penjualan barang-barang sebelum diterima, karena itu termasuk menjual sesuatu yang belum diterima dan mengambil keuntungan dari sesuatu yang belum dijamin. Barangsiapa membeli makanan secara juzaf (tidak ditakar) lalu menerimanya, ia wajib memindahkannya dari tempat semula. Diriwayatkan oleh Umar dan Ibnu Umar bahwa mereka biasa membeli makanan secara juzaf, lalu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengutus seseorang untuk memerintahkan mereka memindahkannya dari tempat pembelian ke tempat lain. Barangsiapa mewarisi makanan, ia boleh menjualnya sebelum menerimanya karena makanan itu bukan tanggungan orang lain. Jika seseorang berwasiat tentang makanan lalu menjual makanan lain, lalu pembeli menghadirkan orang yang menakarnya dari penjualnya dan berkata “Ini takaran untukmu”, itu tidak sah karena termasuk menjual makanan sebelum diterima. Jika ia berkata “Aku menakarnya untuk diriku sendiri, ambillah dengan takaran yang telah kuhadirkan”, itu juga tidak sah karena ia menjual takaran, sehingga tidak terbebas kewajiban sampai menakarnya untuk pembeli, dan kelebihannya menjadi miliknya sedangkan kekurangannya menjadi tanggungannya. Demikian pula Hasan meriwayatkan dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau melarang menjual makanan sampai takaran-takaran berlaku padanya. Orang yang memiliki makanan tidak boleh menerima makanan yang dibelinya untuk dirinya sendiri, karena ia tidak bisa menjadi wakil bagi dirinya sendiri yang menerima dan mengambil alih untuk dirinya.

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ حَلَّ لَهُ عَلَيْهِ طَعَامٌ فَأَحَالَ بِهِ عَلَى رَجُلٍ لَهُ عَلَيْهِ طَعَامٌ أَسْلَفَهُ إيَّاهُ لَمْ يَجُزْ مِنْ قِبَلِ أَنَّ أَصْلَ مَا كَانَ لَهُ بَيْعٌ، وَإِحَالَتُهُ بِهِ بَيْعٌ مِنْهُ لَهُ بِطَعَامٍ عَلَى غَيْرِهِ وَلَوْ أَعْطَاهُ طَعَامًا فَصَدَّقَهُ فِي كَيْلِهِ لَمْ يَجُزْ فَإِنْ قَبَضَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَابِضِ مَعَ يَمِينِهِ فِيمَا وَجَدَ وَلَوْ كَانَ الطَّعَامُ سَلَفًا جَازَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ مَا شَاءَ يَدًا بِيَدٍ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya ada makanan yang menjadi haknya atas seseorang, lalu dia mengalihkannya kepada orang lain yang juga memiliki makanan yang pernah dia pinjamkan sebelumnya, hal itu tidak diperbolehkan. Karena pada dasarnya itu adalah transaksi jual-beli, dan pengalihannya merupakan jual-beli makanan miliknya kepada orang lain. Jika dia memberikan makanan dan membenarkan takarannya, itu juga tidak sah. Namun jika telah diterima, maka perkataan penerima dengan sumpahnya tentang apa yang dia terima menjadi patokan. Jika makanan itu adalah pinjaman, dia boleh mengambil sebagian darinya secara tunai sesuai keinginannya.”

 

بَابُ بَيْعِ الْمُصَرَّاةِ

 

Bab tentang jual beli hewan yang diperah susunya

(Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Janganlah kalian menahan air susu unta dan kambing untuk dijual. Barangsiapa membelinya setelah itu, maka dia memiliki dua pilihan setelah memerahnya: jika dia ridha (puas), dia boleh mempertahankannya; dan jika dia tidak suka, dia boleh mengembalikannya beserta satu sha’ kurma.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «لَا تُصَرُّوا الْإِبِلَ وَالْغَنَمَ لِلْبَيْعِ فَمَنْ ابْتَاعَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ بَعْدَ أَنْ يَحْلُبَهَا إنْ رَضِيَهَا أَمْسَكَهَا، وَإِنْ سَخِطَهَا رَدَّهَا وَصَاعًا مِنْ تَمْرٍ» .

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالتَّصْرِيَةُ أَنْ تُرْبَطَ أَخْلَافُ النَّاقَةِ أَوْ الشَّاةِ ثُمَّ تُتْرَكَ مِنْ الْحِلَابِ الْيَوْمَ وَالْيَوْمَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ حَتَّى يَجْتَمِعَ لَهَا لَبَنٌ فَيَرَاهُ مُشْتَرِيهَا كَثِيرًا فَيَزِيدَ فِي ثَمَنِهَا لِذَلِكَ ثُمَّ إذَا حَلَبَهَا بَعْدَ تِلْكَ الْحَلْبَةِ حَلْبَةً أَوْ اثْنَتَيْنِ عَرَفَ أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِلَبَنِهَا لِنُقْصَانِهِ كُلَّ يَوْمٍ عَنْ أَوَّلِهِ وَهَذَا غُرُورٌ لِلْمُشْتَرِي وَالْعِلْمُ يُحِيطُ أَنَّ أَلْبَانَ الْإِبِلِ وَالْغَنَمِ مُخْتَلِفَةٌ فِي الْكَثْرَةِ وَالْأَثْمَانِ فَجَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَدَلَهَا ثَمَنًا وَاحِدًا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “At-tashriyah adalah mengikat puting susu unta atau kambing, lalu tidak diperah selama sehari, dua hari, atau tiga hari hingga susunya terkumpul. Pembeli melihat susunya banyak, lalu menaikkan harganya karena itu. Kemudian ketika ia memerahnya setelah masa itu sekali atau dua kali, ia tahu bahwa itu bukan susu aslinya karena berkurang setiap hari dari awal. Ini adalah penipuan terhadap pembeli. Ilmu meliputi bahwa susu unta dan kambing berbeda dalam jumlah dan harga. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan gantinya dengan harga yang sama, yaitu satu sha’ kurma.”

 

(قَالَ) : وَكَذَلِكَ الْبَقَرُ فَإِنْ كَانَ رَضِيَهَا الْمُشْتَرِي وَحَلَبَهَا زَمَانًا ثُمَّ أَصَابَ بِهَا عَيْبًا غَيْرَ التَّصْرِيَةِ فَلَهُ رَدُّهَا بِالْعَيْبِ وَيَرُدُّ مَعَهَا صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ثَمَنًا لِلَبَنِ التَّصْرِيَةِ وَلَا يَرُدُّ اللَّبَنَ الْحَادِثَ فِي مِلْكِهِ؛ لِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى أَنَّ الْخَرَاجَ بِالضَّمَانِ» .

 

 

(Dia berkata): “Demikian pula dengan sapi. Jika pembeli telah menerimanya dan memerahnya untuk beberapa waktu, kemudian menemukan cacat selain penyembunyian cacat, maka ia boleh mengembalikannya karena cacat tersebut. Ia harus mengembalikan bersama sapi itu satu sha’ kurma sebagai harga susu hasil penyembunyian cacat, namun tidak perlu mengembalikan susu yang dihasilkan selama kepemilikannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan bahwa hasil (manfaat) itu menjadi tanggungan (pemilik).”

 

بَابُ الرَّدِّ بِالْعَيْبِ

 

Bab tentang pengembalian barang karena cacat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنِي مَنْ لَا أَتَّهِمُ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ مَخْلَدِ بْنِ خَفَّافٍ أَنَّهُ ابْتَاعَ غُلَامًا فَاسْتَغَلَّهُ ثُمَّ أَصَابَ بِهِ عَيْبًا فَقَضَى لَهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بِرَدِّهِ وَغَلَّتِهِ فَأَخْبَرَ عُرْوَةُ عُمَرَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى فِي مِثْلِ هَذَا أَنَّ «الْخَرَاجَ بِالضَّمَانِ» فَرَدَّ عُمَرُ قَضَاءَهُ، وَقَضَى لِمَخْلَدِ بْنِ خَفَّافٍ بِرَدِّ الْخَرَاجِ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepadaku orang yang tidak aku curigai, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Makhlad bin Khaffaf, bahwa dia membeli seorang budak lalu memanfaatkannya, kemudian menemukan cacat padanya. Maka Umar bin Abdul Aziz memutuskan agar budak itu dikembalikan beserta hasil pemanfaatannya. Lalu Urwah mengabarkan kepada Umar dari Aisyah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memutuskan dalam kasus seperti ini bahwa “hasil pemanfaatan menjadi tanggungan (penjual).” Maka Umar menarik kembali keputusannya dan memutuskan agar Makhlad bin Khaffaf mengembalikan hasil pemanfaatannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَبِهَذَا نَأْخُذُ فَمَا حَدَثَ فِي مِلْكِ الْمُشْتَرِي مِنْ غَلَّةٍ وَنِتَاجِ مَاشِيَةٍ وَوَلَدِ أَمَةٍ فَكُلُّهُ فِي مَعْنَى الْغَلَّةِ لَا يَرُدُّ مِنْهَا شَيْئًا وَيَرُدُّ الَّذِي ابْتَاعَهُ وَحْدَهُ إنْ لَمْ يَكُنْ نَاقِصًا عَمَّا أَخَذَهُ بِهِ، وَإِنْ كَانَتْ أَمَةً ثَيِّبًا فَوَطِئَهَا فَالْوَطْءُ أَقْلُّ مِنْ الْخِدْمَةِ، وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا فَافْتَضَّهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرُدَّهَا نَاقِصَةً كَمَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَنْ يَقْبَلَهَا نَاقِصَةً وَيَرْجِعُ بِمَا بَيْنَ قِيمَتِهَا مَعِيبَةً وَصَحِيحَةً مِنْ الثَّمَنِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dengan ini kami berpendapat bahwa segala yang terjadi dalam kepemilikan pembeli, baik hasil panen, keturunan hewan ternak, maupun anak dari budak perempuan, semuanya termasuk dalam makna hasil (ghallah). Tidak ada yang dikembalikan darinya sedikitpun, dan pembeli hanya mengembalikan barang yang dibelinya saja jika tidak berkurang dari nilai saat diterimanya. Jika budak perempuan itu sudah tidak perawan lalu disetubuhi, maka persetubuhan itu lebih ringan daripada pelayanan. Jika dia masih perawan lalu diambil keperawanannya, maka dia tidak boleh mengembalikannya dalam keadaan berkurang (nilainya), sebagaimana dia juga tidak wajib menerimanya dalam keadaan berkurang. Dia berhak mendapatkan selisih harga antara nilai budak yang cacat dan yang sehat dari harga pembelian.”

 

 

وَلَوْ أَصَابَ الْمُشْتَرِيَانِ صَفْقَةً وَاحِدَةً مِنْ رَجُلٍ بِجَارِيَةٍ عَيْبًا فَأَرَادَ أَحَدُهُمَا الرَّدَّ وَالْآخَرُ الْإِمْسَاكَ فَذَلِكَ لَهُمَا؛ لِأَنَّ مَوْجُودًا فِي شِرَاءِ الِاثْنَيْنِ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُشْتَرٍ لِلنِّصْفِ بِنِصْفِ الثَّمَنِ وَلَوْ اشْتَرَاهَا جَعْدَةً فَوَجَدَهَا سَبْطَةً فَلَهُ الرَّدُّ. وَلَوْ كَانَ بَاعَهَا أَوْ بَعْضَهَا ثُمَّ عَلِمَ بِالْعَيْبِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الْبَائِعِ بِشَيْءٍ وَلَا مِنْ قِيمَةِ الْعَيْبِ، وَإِنَّمَا لَهُ قِيمَةُ الْعَيْبِ إذَا فَاتَتْ بِمَوْتٍ أَوْ عِتْقٍ أَوْ حَدَثَ بِهَا عِنْدَهُ عَيْبٌ لَا يَرْضَى الْبَائِعُ أَنْ يَرُدَّ بِهِ إلَيْهِ فَإِنْ حَدَثَ عِنْدَهُ عَيْبٌ كَانَ لَهُ قِيمَةُ الْعَيْبِ الْأَوَّلِ إلَّا أَنْ يَرْضَى الْبَائِعُ أَنْ يَقْبَلَهَا نَاقِصَةً فَيَكُونُ ذَلِكَ لَهُ إلَّا إنْ شَاءَ الْمُشْتَرِي حَبْسَهَا وَلَا يَرْجِعُ بِشَيْءٍ.

 

 

Jika dua pembeli melakukan satu transaksi dengan seorang laki-laki untuk membeli seorang budak perempuan yang ternyata memiliki cacat, lalu salah seorang dari mereka ingin mengembalikan sementara yang lain ingin mempertahankannya, maka hal itu diperbolehkan bagi keduanya. Sebab, dalam pembelian oleh dua orang, masing-masing dianggap membeli separuh dengan separuh harga. Jika seseorang membelinya dalam keadaan rambut keriting, lalu ternyata rambutnya lurus, ia berhak mengembalikan. Jika ia telah menjualnya atau sebagian darinya, kemudian mengetahui adanya cacat, ia tidak boleh menuntut penjual untuk mengembalikan apa pun, termasuk nilai cacat tersebut. Nilai cacat hanya dapat dituntut jika barang tersebut hilang karena kematian, dimerdekakan, atau muncul cacat baru yang tidak disetujui penjual untuk menerima pengembalian. Jika muncul cacat baru, ia berhak mendapatkan nilai cacat pertama, kecuali jika penjual bersedia menerimanya dalam keadaan berkurang nilainya. Kecuali jika pembeli memilih untuk menahannya dan tidak menuntut apa pun.

 

 

وَلَوْ اخْتَلَفَا فِي الْعَيْبِ وَمِثْلُهُ يَحْدُثُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْبَائِعِ مَعَ يَمِينِهِ عَلَى الْبَتِّ لَقَدْ بَاعَهُ بَرِيئًا مِنْ هَذَا الْعَيْبِ.

 

 

Dan jika mereka berselisih tentang cacat (barang) dan hal serupa terjadi, maka perkataan yang dianggap adalah perkataan penjual disertai sumpahnya untuk menguatkan bahwa ia telah menjual barang tersebut bebas dari cacat itu.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : يَحْلِفُ بِاَللَّهِ مَا بِعْتُك هَذَا الْعَبْدَ وَأَوْصَلْته إلَيْك وَبِهِ هَذَا الْعَيْبُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَبِيعُهُ إيَّاهُ وَهُوَ بَرِيءٌ ثُمَّ يُصِيبُهُ قَبْلَ أَنْ يُوصِلَهُ إلَيْهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dia bersumpah demi Allah, “Aku tidak menjual budak ini kepadamu dan menyerahkannya kepadamu dalam keadaan cacat ini; karena bisa saja dia menjualnya dalam keadaan sehat, kemudian cacat itu menimpanya sebelum diserahkan kepadamu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : يَنْبَغِي فِي أَصْلِ قَوْلِهِ أَنْ يُحَلِّفَهُ لَقَدْ أَقْبَضَهُ إيَّاهُ وَمَا بِهِ هَذَا الْعَيْبُ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ يَضْمَنُ مَا حَدَثَ عِنْدَهُ قَبْلَ دَفْعِهِ إلَى الْمُشْتَرِي، وَيَجْعَلُ لِلْمُشْتَرِي رَدَّهُ بِمَا حَدَثَ عِنْدَ الْبَائِعِ وَلَوْ لَمْ يُحَلِّفْهُ إلَّا عَلَى أَنَّهُ بَاعَهُ بَرِيئًا مِنْ هَذَا الْعَيْبِ أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ صَادِقًا، وَقَدْ حَدَثَ الْعَيْبُ عِنْدَهُ قَبْلَ الدَّفْعِ فَنَكُونُ قَدْ ظَلَمْنَا الْمُشْتَرِي؛ لِأَنَّ لَهُ الرَّدَّ بِمَا حَدَثَ بَعْدَ الْبَيْعِ فِي يَدِ الْبَائِعِ فَهَذَا يُبَيِّنُ لَك مَا وَصَفْنَا أَنَّهُ لَازِمٌ فِي أَصْلِهِ عَلَى مَا وَصَفْنَا مِنْ مَذْهَبِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dalam pokok perkataannya, seharusnya ia menyumpahnya bahwa sungguh ia telah menyerahkannya kepadanya tanpa cacat ini, karena ia menjamin apa yang terjadi padanya sebelum diserahkan kepada pembeli. Dan ia memberikan hak kepada pembeli untuk mengembalikannya karena cacat yang terjadi pada penjual. Seandainya ia hanya menyumpahnya bahwa ia menjualnya dalam keadaan bebas dari cacat ini, mungkin ia benar, tetapi cacat itu terjadi padanya sebelum penyerahan, maka kita telah menzalimi pembeli. Karena pembeli berhak mengembalikan barang akibat cacat yang terjadi setelah penjualan namun masih di tangan penjual. Ini menjelaskan bahwa hal itu wajib dalam pokoknya menurut pendapatnya yang telah kami jelaskan.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَسَمِعْت الشَّافِعِيَّ يَقُولُ كُلُّ مَا اشْتَرَيْت مِمَّا يَكُونُ مَأْكُولُهُ فِي جَوْفِهِ فَكَسَرْته فَأَصَبْته فَاسِدًا فَلَكَ رَدُّهُ وَمَا بَيْنَ قِيمَتِهِ فَاسِدًا صَحِيحًا وَقِيمَتِهِ فَاسِدًا مَكْسُورًا، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ فِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنْ لَيْسَ لَهُ الرَّدُّ إلَّا أَنْ يَشَاءَ الْبَائِعُ وَلِلْمُشْتَرِي مَا بَيْنَ قِيمَتِهِ صَحِيحًا وَفَاسِدًا إلَّا أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ فَاسِدًا قِيمَةٌ فَيَرْجِعُ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku mendengar Asy-Syafi’i mengatakan, “Segala yang engkau beli dari sesuatu yang bagian dalamnya dimakan, lalu engkau membukanya dan mendapatinya rusak, maka engkau berhak mengembalikannya serta selisih nilai antara yang rusak dalam keadaan utuh dan yang rusak dalam keadaan terbuka.” Dalam kesempatan lain, ia menyebutkan ada dua pendapat mengenai hal ini. Salah satunya adalah bahwa pembeli tidak boleh mengembalikannya kecuali jika penjual mengizinkan, dan pembeli hanya berhak mendapatkan selisih nilai antara yang baik dan yang rusak, kecuali jika barang rusak tersebut tidak memiliki nilai sama sekali, maka ia berhak mendapatkan kembali seluruh uang pembayaran.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُرَدُّ الرَّانِجُ مَكْسُورًا كَمَا لَا يُرَدُّ الثَّوْبُ مَقْطُوعًا إلَّا أَنْ يَشَاءَ الْبَائِعُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Ini lebih mirip dengan asalnya; karena minyak yang rusak tidak boleh dikembalikan sebagaimana pakaian yang sobek tidak boleh dikembalikan kecuali jika penjual menghendakinya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ بَاعَ عَبْدَهُ، وَقَدْ جَنَى فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ كَمَا يَكُونُ الْعِتْقُ جَائِزًا وَعَلَى السَّيِّدِ الْأَقَلُّ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ أَرْشُ جِنَايَتِهِ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْبَيْعَ مَفْسُوخٌ مِنْ قِبَلِ أَنَّ الْجِنَايَةَ فِي عُنُقِهِ كَالرَّهْنِ فَيُرَدُّ الْبَيْعُ وَيُبَاعُ فَيُعْطِي رَبَّ الْجِنَايَةِ جِنَايَتَهُ، وَبِهَذَا أَقُولُ إلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ السَّيِّدُ بِدَفْعِ الْجِنَايَةِ أَوْ قِيمَةِ الْعَبْدِ إنْ كَانَتْ جِنَايَتُهُ أَكْثَرَ كَمَا يَكُونُ هَذَا فِي الرَّهْنِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual budaknya yang telah melakukan kejahatan, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: penjualan itu sah sebagaimana memerdekakan budak juga sah, dan tuannya wajib membayar nilai budak yang lebih rendah atau denda kejahatannya. Kedua: penjualan itu batal karena kejahatan yang menjadi tanggungan budak itu seperti gadai, maka penjualan dibatalkan dan budak dijual lalu diberikan kepada pemilik hak kejahatan sebagai ganti rugi. Pendapat inilah yang aku pilih, kecuali jika tuannya rela membayar denda kejahatan atau nilai budak jika nilai kejahatannya lebih besar, sebagaimana hal ini berlaku dalam gadai.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا أَقُولُهُ كَمَا يَكُونُ الْعِتْقُ جَائِزًا تَجْوِيزًا مِنْهُ لِلْعِتْقِ، وَقَدْ سَوَّى فِي الرَّهْنِ بَيْنَ إبْطَالِ الْبَيْعِ وَالْعِتْقِ فَإِذَا جَازَ الْعِتْقُ فِي الْجِنَايَةِ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ مِثْلُهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku mengatakan hal itu sebagaimana memerdekakan budak diperbolehkan sebagai bentuk kebolehannya untuk dimerdekakan, dan dia telah menyamakan dalam gadai antara pembatalan penjualan dan pemerdekaan budak. Maka jika memerdekakan budak dalam kasus kriminal diperbolehkan, maka penjualan juga diperbolehkan seperti itu.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ اشْتَرَى عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلْبَائِعِ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُبْتَاعُ فَيَكُونَ مَبِيعًا مَعَهُ فَمَا جَازَ أَنْ يَبِيعَهُ مِنْ مَالِهِ جَازَ أَنْ يَبِيعَهُ مِنْ مَالِ عَبْدِهِ وَمَا حَرُمَ مِنْ ذَلِكَ حَرُمَ مِنْ هَذَا. فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ بَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلْبَائِعِ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُبْتَاعُ».

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa membeli seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya menjadi milik penjual, kecuali jika pembeli mensyaratkannya, maka harta itu ikut terjual bersamanya. Apa yang boleh dijual dari hartanya, maka boleh juga dijual dari harta budaknya. Dan apa yang haram dari hal itu, maka haram pula dalam hal ini. Jika ada yang berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya milik penjual, kecuali jika pembeli mensyaratkannya.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَالَ الْعَبْدِ لِمَالِكِ الْعَبْدِ فَالْعَبْدُ لَا يَمْلِكُ شَيْئًا وَلَوْ كَانَ اشْتَرَطَ مَالَهُ مَجْهُولًا، وَقَدْ يَكُونُ دَيْنًا وَاشْتَرَاهُ بِدَيْنٍ كَانَ هَذَا بَيْعَ الْغَرَرِ وَشِرَاءَ الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ فَمَعْنَى قَوْلِهِ ” إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُبْتَاعُ ” عَلَى مَعْنَى مَا حَلَّ كَمَا أَبَاحَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ الْبَيْعَ مُطْلَقًا عَلَى مَعْنَى مَا يَحِلُّ لَا عَلَى مَا يَحْرُمُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Hal ini menunjukkan bahwa harta seorang budak adalah milik pemilik budak tersebut, sehingga budak tidak memiliki sesuatu pun meskipun ia mensyaratkan hartanya yang tidak diketahui. Bisa jadi itu berupa utang, dan jika ia membelinya dengan utang, maka ini termasuk jual beli yang mengandung ketidakpastian (gharar) dan membeli utang dengan utang. Maksud dari perkataan “kecuali jika pembeli mensyaratkannya” adalah dalam konteks yang diperbolehkan, sebagaimana Allah dan Rasul-Nya membolehkan jual beli secara mutlak dalam hal yang halal, bukan yang haram.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: وَقَدْ كَانَ الشَّافِعِيُّ قَالَ يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِطَ مَالَهُ، وَإِنْ كَانَ مَجْهُولًا؛ لِأَنَّهُ تَبَعٌ لَهُ كَمَا يَجُوزُ حَمْلُ الْأَمَةِ تَبَعًا لَهَا وَحُقُوقُ الدَّارِ تَبَعًا لَهَا وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ الْحَمْلِ دُونَ أُمِّهِ وَلَا حُقُوقُ الدَّارِ دُونَهَا ثُمَّ رَجَعَ عَنْهُ إلَى مَا قَالَ فِي هَذَا الْكِتَابِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata: Sungguh Asy-Syafi’i pernah mengatakan bahwa boleh mensyaratkan hartanya, meskipun tidak diketahui, karena itu mengikutinya sebagaimana boleh membawa budak perempuan yang mengikutinya dan hak-hak rumah yang mengikutinya. Tidak boleh menjual janin tanpa ibunya dan tidak pula hak-hak rumah tanpa rumahnya. Kemudian beliau menarik pendapatnya itu dan kembali kepada apa yang beliau katakan dalam kitab ini.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَاَلَّذِي رَجَعَ إلَيْهِ أَصَحُّ.

 

(Al-Muzani berkata): “Dan pendapat yang ia rujuk kembali adalah yang lebih sahih.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَحَرَامٌ التَّدْلِيسُ وَلَا يُنْتَقَضُ بِهِ الْبَيْعُ.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Dan haram hukumnya melakukan tadlis (penipuan dalam jual beli), namun akad jual beli tidak menjadi batal karenanya.”

 

(قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَاصِمٍ) : سَمِعْت الْمُزَنِيَّ يَقُولُ هَذَا غَلَطٌ عِنْدِي فَلَوْ كَانَ الثَّمَنُ مُحَرَّمًا بِالتَّدْلِيسِ كَانَ الْبَيْعُ بِالثَّمَنِ الْمُحَرَّمِ مُنْتَقَضًا، وَإِذَا قَالَ: لَا يُنْقَضُ بِهِ الْبَيْعُ فَقَدْ ثَبَتَ تَحْلِيلُ الثَّمَنِ غَيْرَ أَنَّهُ بِالتَّدْلِيسِ مَأْثُومٌ فَتَفَهَّمْ فَلَوْ كَانَ الثَّمَنُ مُحَرَّمًا وَبِهِ وَقَعَتْ الْعُقْدَةُ كَانَ الْبَيْعُ فَاسِدًا أَرَأَيْت لَوْ اشْتَرَاهَا بِجَارِيَةٍ فَدَلَّسَ الْمُشْتَرِي بِالثَّمَنِ كَمَا دَلَّسَ الْبَائِعُ بِمَا بَاعَ فَهَذَا إذًا حَرَامٌ بِحَرَامٍ يَبْطُلُ بِهِ الْبَيْعُ فَلَيْسَ كَذَلِكَ إنَّمَا حَرُمَ عَلَيْهِ التَّدْلِيسُ وَالْبَيْعُ فِي نَفْسِهِ جَائِزٌ وَلَوْ كَانَ مِنْ أَحَدِهِمَا سَبَبٌ يَحْرُمُ فَلَيْسَ السَّبَبُ هُوَ الْبَيْعُ، وَلَوْ كَانَ هُوَ السَّبَبُ حَرُمَ الْبَيْعُ، وَفَسَدَ الشِّرَاءُ فَتَفَهَّمْ.

 

 

(Abu Abdullah Muhammad bin ‘Ashim berkata): Aku mendengar Al-Muzani berkata, “Ini adalah kekeliruan menurutku. Seandainya harga itu haram karena penipuan, maka jual beli dengan harga yang haram itu menjadi batal. Jika dikatakan bahwa jual beli tidak batal karenanya, maka telah tetap kehalalan harga tersebut, hanya saja pelakunya berdosa karena penipuan. Pahamilah! Seandainya harga itu haram dan akad terjadi dengannya, maka jual beli itu rusak. Bagaimana pendapatmu jika seseorang membelinya dengan seorang budak perempuan, lalu pembeli menipu dengan harga sebagaimana penjual menipu dengan barang yang dijualnya? Maka ini adalah haram dengan haram yang membatalkan jual beli. Namun tidak demikian, yang haram adalah penipuannya, sedangkan jual beli itu sendiri tetap sah. Jika salah satu dari keduanya memiliki sebab yang haram, maka sebab itu bukanlah jual belinya. Seandainya sebab itu adalah jual belinya, maka jual beli itu haram dan pembeliannya rusak. Pahamilah!

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan aku tidak menyukai penjualan sari buah dari orang yang memproduksi khamr, serta pedang dari orang yang bermaksiat kepada Allah dengannya, namun aku tidak membatalkan transaksinya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَكْرَهُ بَيْعَ الْعَصِيرِ مِمَّنْ يَعْصِرُ الْخَمْرَ وَالسَّيْفَ مِمَّنْ يَعْصِي اللَّهَ بِهِ وَلَا أَنْقُضُ الْبَيْعَ.

 

بَابُ بَيْعِ الْبَرَاءَةِ

Bab tentang jual beli barā’ah (jaminan bebas dari cacat)

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إذَا بَاعَ الرَّجُلُ شَيْئًا مِنْ الْحَيَوَانِ بِالْبَرَاءَةِ فَاَلَّذِي أَذْهَبُ إلَيْهِ قَضَاءُ عُثْمَانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ عَيْبٍ لَمْ يَعْلَمْهُ وَلَا يَبْرَأُ مِنْ عَيْبٍ عَلِمَهُ وَلَمْ يُسَمِّهِ لَهُ وَيَقِفُهُ عَلَيْهِ تَقْلِيدًا فَإِنَّ الْحَيَوَانَ مُفَارِقٌ لِمَا سِوَاهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُفْتَدَى بِالصِّحَّةِ وَالسَّقَمِ وَتَحَوُّلِ طَبَائِعِهِ فَقَلَّمَا يَبْرَأُ مِنْ عَيْبٍ يَخْفَى أَوْ يَظْهَرُ، وَإِنْ أَصَحَّ فِي الْقِيَاسِ لَوْلَا مَا وَصَفْنَا مِنْ افْتِرَاقِ الْحَيَوَانِ وَغَيْرِهِ أَنْ لَا يَبْرَأَ مِنْ عُيُوبٍ تَخْفَى لَهُ لَمْ يَرَهَا وَلَوْ سَمَّاهَا لِاخْتِلَافِهَا أَوْ يَبْرَأُ مِنْ كُلِّ عَيْبٍ وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual seekor hewan dengan jaminan bebas cacat, maka pendapat yang aku pegang adalah keputusan Utsman – radhiyallahu ‘anhu – bahwa penjual terbebas dari segala cacat yang tidak diketahuinya, namun tidak terbebas dari cacat yang diketahuinya meski tidak disebutkan dan dijelaskan kepada pembeli, sebagai bentuk kehati-hatian. Sebab hewan berbeda dengan lainnya karena tidak bisa dijamin kesehatannya, sakitnya, atau perubahan sifat alaminya, sehingga jarang terbebas dari cacat yang tersembunyi atau tampak. Secara qiyas yang lebih tepat, seandainya bukan karena perbedaan hewan dengan lainnya, seharusnya penjual tidak terbebas dari cacat yang tersembunyi baginya meski tidak dilihatnya, atau terbebas dari segala cacat. Namun pendapat pertama lebih benar.

 

بَابُ بَيْعِ الْأَمَةِ

 

Bab tentang penjualan budak perempuan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إذَا بَاعَهُ جَارِيَةً لَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ مِنْهُمَا فِيهَا مُوَاضَعَةٌ فَإِذَا دَفَعَ الثَّمَنَ لَزِمَ الْبَائِعَ التَّسْلِيمُ وَلَا يُجْبَرُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَلَى إخْرَاجِ مِلْكِهِ مِنْ يَدِهِ إلَى غَيْرِهِ وَلَوْ كَانَ لَا يَلْزَمُ دَفْعُ الثَّمَنِ حَتَّى تَحِيضَ وَتَطْهُرَ كَانَ الْبَيْعُ فَاسِدًا لِلْجَهْلِ بِوَقْتِ دَفْعِ الثَّمَنِ. وَفَسَادٌ آخَرُ: أَنَّ الْجَارِيَةَ لَا مُشْتَرَاةَ شِرَاءَ الْعَيْنِ فَيَكُونُ لِصَاحِبِهَا أَخْذُهَا وَلَا عَلَى بَيْعِ الصِّفَةِ فَيَكُونُ الْأَجَلُ مَعْلُومًا وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ الْعَيْنِ إلَى أَجَلٍ وَلَا لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَأْخُذَ مِنْهُ حَمِيلًا بِعُهْدَةٍ وَلَا بِوَجْهٍ، وَإِنَّمَا التَّحَفُّظُ قَبْلَ الشِّرَاءِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual seorang budak perempuan tanpa ada kesepakatan khusus antara keduanya, maka ketika harga dibayarkan, penjual wajib menyerahkan budak tersebut. Namun, tidak ada pihak yang dipaksa untuk melepaskan kepemilikannya kepada pihak lain. Jika pembayaran harga ditunda hingga budak tersebut haid dan suci, maka jual beli itu batal karena ketidakjelasan waktu pembayaran. Ada alasan lain yang membatalkan: budak perempuan tidak boleh dibeli sebagai barang fisik yang bisa langsung dimiliki, sehingga pemilik sebelumnya berhak mengambilnya kembali. Juga tidak boleh dijual berdasarkan sifat tertentu dengan tenggat waktu yang diketahui, karena tidak boleh menjual barang fisik dengan pembayaran tertunda. Pembeli juga tidak boleh mengambil jaminan atau alasan apa pun darinya. Kewaspadaan hanya berlaku sebelum pembelian.

 

بَابُ الْبَيْعِ مُرَابَحَةً

Bab Jual Beli dengan Sistem Murabahah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا بَاعَهُ مُرَابَحَةً عَلَى الْعَشَرَةِ وَاحِدٌ، وَقَالَ قَامَتْ عَلَيَّ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ ثُمَّ قَالَ أَخْطَأْت وَلَكِنَّهَا قَامَتْ عَلَيَّ بِتِسْعِينَ فَهِيَ وَاجِبَةٌ لِلْمُشْتَرِي بِرَأْسِ مَالِهَا وَبِحِصَّتِهِ مِنْ الرِّبْحِ فَإِنْ قَالَ: ثَمَنُهَا أَكْثَرُ مِنْ مِائَةٍ وَأَقَامَ عَلَى ذَلِكَ بَيِّنَةً لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ وَهُوَ مُكَذِّبٌ لَهَا وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ خَانَهُ حَطَطْت الْخِيَانَةَ وَحِصَّتَهَا مِنْ الرِّبْحِ وَلَوْ كَانَ الْمَبِيعُ قَائِمًا كَانَ لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَرُدَّهُ وَلَمْ أُفْسِدْ الْبَيْعَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَنْعَقِدْ عَلَى مُحَرَّمٍ عَلَيْهِمَا مَعًا إنَّمَا، وَقَعَ مُحَرَّمًا عَلَى الْخَائِنِ مِنْهُمَا كَمَا يُدَلَّسُ لَهُ بِالْعَيْبِ فَيَكُونُ التَّدْلِيسُ مُحَرَّمًا وَمَا أُخِذَ مِنْ ثَمَنِهِ مُحَرَّمًا وَكَانَ لِلْمُشْتَرِي فِي ذَلِكَ الْخِيَارُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menjual barang dengan sistem murabahah dengan harga sepuluh plus satu, lalu dia berkata, “Barang ini menanggungku seratus dirham,” kemudian dia berkata, “Aku keliru, tapi sebenarnya menanggungku sembilan puluh,” maka barang itu tetap wajib bagi pembeli dengan modalnya dan bagiannya dari keuntungan. Jika dia berkata, “Harganya lebih dari seratus,” dan mengajukan bukti, maka tidak diterima darinya dan dia dianggap mendustakannya. Jika diketahui bahwa dia berkhianat, maka khianat itu dan bagiannya dari keuntungan harus dikurangi. Jika barang yang dijual masih ada, pembeli berhak mengembalikannya, dan akad jual beli tidak batal karena tidak didasarkan pada sesuatu yang haram bagi keduanya, melainkan hanya haram bagi pihak yang berkhianat, seperti halnya penipuan dengan cacat. Maka penipuan itu haram, dan apa yang diambil dari harganya juga haram. Pembeli memiliki hak khiyar dalam hal ini.

بَابُ الرَّجُلِ يَبِيعُ الشَّيْءَ إلَى أَجَلٍ ثُمَّ يَشْتَرِيهِ بِأَقَلَّ مِنْ الثَّمَنِ

 

Bab tentang seseorang yang menjual sesuatu dengan pembayaran tertunda kemudian membelinya kembali dengan harga lebih murah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا بَأْسَ بِأَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ السِّلْعَةَ إلَى أَجَلٍ وَيَشْتَرِيَهَا مِنْ الْمُشْتَرِي بِأَقَلَّ بِنَقْدٍ وَعَرْضٍ، وَإِلَى أَجَلٍ قَالَ بَعْضُ النَّاسِ إنَّ امْرَأَةً أَتَتْ عَائِشَةَ فَسَأَلَتْهَا عَنْ بَيْعٍ بَاعَتْهُ مِنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ بِكَذَا وَكَذَا إلَى الْعَطَاءِ ثُمَّ اشْتَرَتْهُ مِنْهُ بِأَقَلَّ فَقَالَتْ عَائِشَةُ بِئْسَمَا اشْتَرَيْت وَبِئْسَمَا ابْتَعْت أَخْبِرِي زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ أَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إلَّا أَنْ يَتُوبَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Tidak mengapa seseorang menjual barang secara tempo lalu membelinya kembali dari pembeli dengan harga lebih rendah, baik secara tunai maupun barang, dan dengan tempo.” Sebagian orang meriwayatkan bahwa seorang wanita datang kepada Aisyah dan bertanya tentang penjualan yang dia lakukan dengan Zaid bin Arqam dengan harga sekian sampai waktu tertentu, kemudian dia membelinya kembali darinya dengan harga lebih murah. Aisyah berkata: “Buruk sekali apa yang kamu beli dan buruk sekali apa yang kamu jual. Beritahu Zaid bin Arqam bahwa dia telah menggugurkan jihadnya bersama Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – kecuali jika dia bertaubat.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Ini adalah mujmal (global/tidak rinci). Seandainya ini benar, bisa jadi Aisyah mencela jual beli hingga pemberian (al-‘atha’) karena itu adalah tempo yang tidak diketahui. Sedangkan Zaid adalah seorang sahabat. Jika mereka berselisih, maka mazhab kami adalah qiyas, dan itu sejalan dengan pendapat Zaid. Kami tidak menetapkan seperti ini atas Aisyah. Jika barang ini milikku seperti harta lainnya, mengapa aku tidak boleh menjual milikku dengan apa yang aku kehendaki dan yang diinginkan pembeli?”

 

بَابُ تَفْرِيقِ صِفَةِ الْبَيْعِ وَجَمْعِهَا

 

Bab tentang memisahkan dan menggabungkan sifat jual beli.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : “Imam Al-Muzani berkata: Pendapat Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berbeda-beda mengenai pemisahan dan penggabungan transaksi. Aku telah menyiapkan tempat baginya untuk mengumpulkan penjelasan pendapatnya yang lebih utama dalam masalah ini, insya Allah.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى: وَإِذَا اشْتَرَى ثَوْبَيْنِ صَفْقَةً وَاحِدَةً فَهَلَكَ أَحَدُهُمَا فِي يَدِهِ وَوَجَدَ بِالْآخَرِ عَيْبًا، وَاخْتَلَفَا فِي ثَمَنِ الثَّوْبِ فَقَالَ الْبَائِعُ قِيمَتُهُ عَشَرَةٌ، وَقَالَ الْمُشْتَرِي قِيمَتُهُ ثَمَانِيَةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْبَائِعِ مِنْ قِبَلِ أَنَّ الثَّمَنَ كُلَّهُ قَدْ لَزِمَ الْمُشْتَرِيَ فَإِنْ أَرَادَ رَدَّ الثَّوْبِ بِأَكْثَرَ مِنْ الثَّمَنِ أَوْ أَرَادَ الرُّجُوعَ بِالْعَيْبِ بِأَكْثَرَ مِنْ الثَّمَنِ فَلَا يُعْطِيهِ بِقَوْلِهِ الزِّيَادَةَ، وَقَالَ فِي كِتَابِ الصُّلْحِ: إنَّهُ كَالْبَيْعِ، وَقَالَ فِيهِ فِي مَوْضِعَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ إنْ صَالَحَهُ مِنْ دَارٍ بِمِائَةٍ وَبِعَبْدٍ ثَمَنُهُ مِائَةٌ ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا أَنَّ لَهُ الْخِيَارَ إنْ شَاءَ رَدَّ الْعَبْدَ وَأَخَذَ الْمِائَةَ بِنِصْفِ الصُّلْحِ وَيَسْتَرِدُّ نِصْفَ الدَّارِ؛ لِأَنَّ الصَّفْقَةَ وَقَعَتْ عَلَى شَيْئَيْنِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – dalam kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila berkata: Jika seseorang membeli dua baju dalam satu transaksi, lalu salah satunya rusak di tangannya dan ia menemukan cacat pada baju yang lain, kemudian mereka berselisih tentang harga baju tersebut. Penjual mengatakan harganya sepuluh, sedangkan pembeli mengatakan harganya delapan, maka perkataan penjual yang diambil karena harga penuh telah menjadi tanggungan pembeli. Jika pembeli ingin mengembalikan baju dengan harga lebih tinggi atau menuntut ganti rugi cacat dengan nilai lebih tinggi dari harga, maka ia tidak boleh diberikan tambahan berdasarkan klaimnya. Dalam kitab As-Sulh, beliau berkata: Hal itu seperti jual beli. Dalam dua tempat berbeda, beliau juga menyatakan: Jika seseorang berdamai dengan menukar rumah senilai seratus dengan budak yang harganya seratus, lalu ia menemukan cacat pada budak tersebut, maka ia memiliki hak khiyar. Jika ia mau, ia boleh mengembalikan budak dan mengambil seratus sebagai separuh dari perdamaian, serta mengambil kembali separuh nilai rumah, karena transaksi tersebut melibatkan dua objek.

 

وَقَالَ فِي نُشُوزِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ وَفِي كِتَابِ الشُّرُوطِ لَوْ اشْتَرَى عَبْدًا وَاسْتَحَقَّ نِصْفَهُ إنْ شَاءَ رَدَّ الثَّمَنَ، وَإِنْ شَاءَ أَخَذَ نِصْفَهُ بِنِصْفِ الثَّمَنِ. وَقَالَ فِي الشُّفْعَةِ: إنْ اشْتَرَى شِقْصًا وَعَرْضًا صَفْقَةً وَاحِدَةً أُخِذَتْ الشُّفْعَةُ بِحِصَّتِهَا مِنْ الثَّمَنِ، وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ: وَإِذَا صَرَفَ دِينَارًا بِعِشْرِينَ دِرْهَمًا فَقَبَضَ تِسْعَةَ عَشَرَ دِرْهَمًا، وَلَمْ يَجِدْ دِرْهَمًا فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَ التِّسْعَةَ عَشَرَةَ بِحِصَّتِهَا مِنْ الدِّينَارِ ويتناقضه الْبَيْعَ بِحِصَّةِ الدِّرْهَمِ ثُمَّ إنْ شَاءَ اشْتَرَى مِنْهُ بِحِصَّةِ الدِّينَارِ مَا شَاءَ يَتَقَابَضَانِهِ قَبْلَ التَّفَرُّقِ أَوْ تَرَكَهُ عَمْدًا مَتَى شَاءَ أَخَذَهُ. وَقَالَ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ الْجَدِيدِ الْأَوَّلِ: لَوْ اشْتَرَى بِمِائَةِ دِينَارٍ مِائَةَ صَاعِ تَمْرٍ وَمِائَةَ صَاعِ حِنْطَةٍ وَمِائَةَ صَاعِ شَعِيرٍ جَازَ وَكُلُّ صِنْفٍ مِنْهَا بِقِيمَتِهِ مِنْ الْمِائَةِ، وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ الْمَجْمُوعَةِ: وَإِذَا جَمَعَتْ الصَّفْقَةُ بَرْدِيًّا وَعَجْوَةً بِعَشَرَةٍ وَقِيمَةُ الْبَرْدِيِّ خَمْسَةُ أَسْدَاسِ الثَّمَنِ وَقِيمَةُ الْعَجْوَةِ سُدُسُ الْعَشَرَةِ فَالْبَرْدِيُّ بِخَمْسَةِ أَسْدَاسِ الثَّمَنِ وَالْعَجْوَةُ بِسُدُسِ الثَّمَنِ وَبِهَذَا الْمَعْنَى قَالَ فِي الْإِمْلَاءِ لَا يَجُوزُ ذَهَبٌ جَيِّدٌ وَرَدِيءٌ بِذَهَبٍ وَسَطٍ وَلَا تَمْرٌ جَيِّدٌ وَرَدِيءٌ بِتَمْرٍ وَسَطٍ؛ لِأَنَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الصِّنْفَيْنِ حِصَّةً فِي الْقِيمَةِ فَيَكُونُ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ مَجْهُولًا وَبِهَذَا الْمَعْنَى قَالَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُسَلِّفَ مِائَةَ دِينَارٍ فِي مِائَةِ صَاعِ تَمْرٍ وَمِائَةِ صَاعِ حِنْطَةٍ؛ لِأَنَّ ثَمَنَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَجْهُولٌ. وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ الْمَجْمُوعَةِ: إنَّ الصَّفْقَةَ إذَا جَمَعَتْ شَيْئَيْنِ مُخْتَلِفَيْنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَبِيعٌ بِحِصَّتِهِ مِنْ الثَّمَنِ. وَقَالَ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ: لَوْ ابْتَاعَ غَنَمًا حَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ الْمُصَّدِّقُ الصَّدَقَةَ مِنْهَا فَلِلْمُشْتَرِي الْخِيَارُ فِي رَدِّ الْبَيْعِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُسَلَّمْ لَهُ كَمَا اشْتَرَى كَامِلًا أَوْ يَأْخُذُ مَا بَقِيَ بِحِصَّتِهِ مِنْ الثَّمَنِ. وَقَالَ: إنْ أَسْلَفَ فِي رُطَبٍ فَنَفِدَ رَجَعَ بِحِصَّةِ مَا بَقِيَ، وَإِنْ شَاءَ أَخَّرَ إلَى قَابِلٍ. وَقَالَ فِي كِتَابِ الصَّدَاقِ: وَلَوْ أَصْدَقَ أَرْبَعَ نِسْوَةٍ أَلْفًا قُسِمَتْ عَلَى مُهُورِهِنَّ.

 

 

Dan dia berkata tentang pembangkangan suami terhadap istri, dan dalam kitab syarat-syarat: Jika seseorang membeli seorang budak lalu berhak atas separuhnya, ia boleh mengembalikan harganya atau mengambil separuhnya dengan separuh harga. Dalam syuf’ah, Beliau berkata: Jika seseorang membeli bagian dan barang dalam satu transaksi, syuf’ah diambil sesuai porsinya dari harga. Dalam imla’ atas masalah Malik, Beliau berkata: Jika seseorang menukar satu dinar dengan dua puluh dirham lalu menerima sembilan belas dirham dan tidak mendapatkan satu dirham, tidak mengapa mengambil sembilan belas sesuai porsinya dari dinar, dan membatalkan penjualan untuk porsi satu dirham. Kemudian jika ia mau, ia boleh membeli darinya sesuai porsi dinar yang diinginkan, asalkan saling menerima sebelum berpisah. Atau jika sengaja meninggalkannya, ia boleh mengambilnya kapan saja. Dalam kitab jual beli baru pertama, Beliau berkata: Jika seseorang membeli seratus sha’ kurma, seratus sha’ gandum, dan seratus sha’ barley dengan seratus dinar, itu diperbolehkan, dan setiap jenis dinilai sesuai bagiannya dari seratus. Dalam imla’ atas masalah Malik yang terkumpul, Beliau berkata: Jika satu transaksi menggabungkan kurma biasa dan ajwah seharga sepuluh, dengan nilai kurma biasa lima perenam harga dan ajwah seperenam sepuluh, maka kurma biasa dibeli dengan lima perenam harga dan ajwah dengan seperenam harga. Dengan makna ini, dia berkata dalam imla’: Tidak boleh menukar emas bagus dan jelek dengan emas sedang, atau kurma bagus dan jelek dengan kurma sedang, karena setiap jenis memiliki porsi nilai, sehingga pertukaran emas dengan emas atau kurma dengan kurma menjadi tidak jelas. Dengan makna ini, Beliau berkata: Tidak boleh meminjamkan seratus dinar untuk seratus sha’ kurma dan seratus sha’ gandum, karena harga masing-masing tidak jelas. Dalam imla’ atas masalah Malik yang terkumpul, Beliau berkata: Jika satu transaksi menggabungkan dua hal berbeda, masing-masing dijual sesuai porsinya dari harga. Dalam beberapa kitabnya, Beliau berkata: Jika seseorang membeli kambing lalu zakat diambil darinya sebelum setahun, pembeli boleh memilih untuk membatalkan pembelian karena tidak menerima sesuai yang dibeli, atau mengambil sisanya sesuai porsi harganya. Beliau berkata: Jika meminjamkan untuk kurma basah lalu habis, ia kembali dengan porsi yang tersisa, atau menundanya hingga tahun depan. Dalam kitab mahar, Beliau berkata: Jika seseorang memberi mahar seribu untuk empat istri, itu dibagi sesuai mahar masing-masing.

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا فَاسْتُحِقَّ نِصْفُهُ كَانَ الْخِيَارُ لَهَا أَنْ تَأْخُذَ نِصْفَهُ وَالرُّجُوعُ بِنِصْفِ قِيمَتِهِ أَوْ الرَّدُّ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia memberinya mahar seorang budak, lalu separuhnya dimiliki (karena dimerdekakan), maka dia (istri) berhak memilih antara mengambil separuhnya, menerima separuh nilainya, atau mengembalikannya.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) : فَأَمَّا قِيمَةُ مَا اُسْتِحِقَّ مِنْ الْعَبْدِ فَهَذَا غَلَطٌ فِي مَعْنَاهُ وَكَيْفَ تَأْخُذُ قِيمَةَ مَا لَمْ تَمْلِكْهُ قَطُّ؟ بَلْ قِيَاسُ قَوْلِهِ هَذَا تَرْجِعُ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا لَوْ اُسْتُحِقَّ كُلُّهُ كَانَ لَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا. وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى الْمُوَطَّإِ وَلَوْ اشْتَرَى جَارِيَةً أَوْ جَارِيَتَيْنِ فَأَصَابَ بِإِحْدَاهُمَا عَيْبًا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرُدَّهَا بِحِصَّتِهَا مِنْ الثَّمَنِ وَذَلِكَ أَنَّهَا صَفْقَةٌ وَاحِدَةٌ فَلَا تُرَدُّ إلَّا مَعًا كَمَا يَكُونُ لَهُ لَوْ بِيعَ مِنْ دَارٍ أَلْفُ سَهْمٍ وَهُوَ شَفِيعُهَا أَنْ يَأْخُذَ بَعْضَ السُّهْمَانِ دُونَ بَعْضٍ، وَإِنَّمَا مَنَعْت أَنْ يَرُدَّ الْمَعِيبَ بِحِصَّتِهِ مِنْ الثَّمَنِ أَنَّهُ وَقَعَ غَيْرَ مَعْلُومِ الْقِيمَةِ، وَإِنَّمَا يُعْلَمُ بَعْدُ وَأَيُّ شَيْءٍ عَقَدَاهُ بِرِضَاهُمَا عَلَيْهِ كَذَلِكَ كَانَ فَاسِدًا لَا يَجُوزُ أَنْ أَقُولَ أَشْتَرِي مِنْك الْجَارِيَةَ بِهَاتَيْنِ الْجَارِيَتَيْنِ عَلَى أَنَّ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بِقِيمَتِهَا مِنْهَا وَلَوْ سَمَّيْت أَيَّتَهمَا أَرْفَعُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عَلَى أَمْرٍ غَيْرِ مَعْلُومٍ، وَقَالَ فَإِنْ فَاتَتْ إحْدَى الْجَارِيَتَيْنِ بِمَوْتٍ أَوْ بِوِلَادَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ رَدُّ الَّتِي بِعَيْبٍ وَيَرْجِعُ بِقِيمَةِ الْعَيْبِ مِنْ الْجَارِيَةِ كَانَتْ قِيمَةُ الَّتِي فَاتَتْ عِشْرِينَ وَاَلَّتِي بَقِيَتْ ثَلَاثِينَ وَقِيمَةُ الْجَارِيَةِ الَّتِي اشْتَرَى بِهَا خَمْسُونَ فَصَارَ حِصَّةُ الْمَعِيبَةِ مِنْ الْجَارِيَةِ ثَلَاثَةَ أَخْمَاسِهَا وَكَانَ الْعَيْبُ يُنْقِصُهَا الْعُشْرَ فَيَرْجِعُ بِعُشْرِ الثَّمَنِ وَهُوَ ثَلَاثَةٌ.

 

Al-Muzani -rahimahullah- berkata: “Adapun nilai yang diwajibkan dari budak, ini adalah kesalahan dalam maknanya. Bagaimana mungkin engkau mengambil nilai sesuatu yang sama sekali tidak pernah engkau miliki? Seharusnya, analogi dari perkataan ini adalah engkau berhak mendapatkan separuh mahar perempuan semisalnya, sebagaimana jika seluruhnya diwajibkan, maka dia berhak mendapat mahar semisalnya.”

 

Dalam kitab Al-Imla’ ‘ala Al-Muwaththa’, Beliau berkata: “Jika seseorang membeli satu atau dua budak perempuan, lalu ditemukan cacat pada salah satunya, dia tidak boleh mengembalikan budak yang cacat itu dengan bagian harganya. Karena itu adalah satu transaksi, sehingga tidak boleh dikembalikan kecuali bersamaan. Sebagaimana jika seribu saham dari sebuah rumah dijual dan dia sebagai syafi’ (pemilik hak syuf’ah), dia tidak boleh mengambil sebagian saham saja. Alasan aku melarang pengembalian barang cacat dengan bagian harganya adalah karena nilainya tidak diketahui saat akad, baru diketahui setelahnya. Segala sesuatu yang mereka akadkan dengan kerelaan kedua belah pihak dalam kondisi seperti ini adalah fasid (rusak) dan tidak boleh. Aku tidak boleh mengatakan, ‘Aku membeli budak perempuan ini darimu dengan dua budak perempuan ini, dengan ketentuan masing-masing budak dinilai sesuai nilainya,’ meskipun engkau tentukan mana yang lebih mahal, karena itu bergantung pada sesuatu yang tidak diketahui.”

 

Dia juga berkata: “Jika salah satu dari dua budak perempuan itu hilang karena mati atau melahirkan, dia tidak boleh mengembalikan yang cacat, tetapi berhak mendapatkan nilai cacat dari budak tersebut. Misalnya, nilai budak yang hilang adalah dua puluh, yang tersisa tiga puluh, dan nilai budak yang dibeli dengannya adalah lima puluh. Maka bagian budak yang cacat adalah tiga perlima dari budak tersebut, dan cacat itu mengurangi nilainya sepersepuluh. Jadi, dia berhak mendapatkan sepersepuluh dari harga, yaitu tiga.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

وَقَالَ فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ عَلَى الْمُوَطَّإِ وَلَوْ صَرَفَ الدِّينَارَ بِالدَّرَاهِمِ فَوَجَدَ مِنْهَا زَائِفًا فَهُوَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَخْذِهِ وَرَدِّهِ وَيَنْقُضُ الصَّرْفَ؛ لِأَنَّهَا صَفْقَةٌ وَاحِدَةٌ.

Dan dia berkata dalam kitab Al-Imla’ ‘ala Al-Muwaththa’: “Jika seseorang menukar dinar dengan dirham lalu menemukan ada yang palsu, maka ia berhak memilih antara menerima atau menolaknya, dan transaksi penukaran itu batal karena itu adalah satu kesatuan akad.”

 

وَقَالَ فِيهِ أَيْضًا فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: فَإِنْ كَانَ الدِّرْهَمُ زَائِفًا مِنْ قِبَلِ السِّكَّةِ أَوْ قُبْحِ الْفِضَّةِ فَلَا بَأْسَ عَلَى الْمُشْتَرِي فِي أَنْ يَقْبَلَهُ فَإِنْ رَدَّهُ رَدَّ الصَّرْفَ كُلَّهُ؛ لِأَنَّهَا بَيْعَةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ زَافَ عَلَى أَنَّهُ نُحَاسٌ أَوْ تِبْرٌ غَيْرُ فِضَّةٍ فَلَا يَكُونُ لَهُ أَنْ يَقْبِضَهُ وَالْبَيْعُ مُنْتَقَضٌ

Dia juga berkata dalam bagian lain: “Jika dirham itu palsu karena cacat cetakan atau rendahnya kadar perak, maka tidak mengapa bagi pembeli untuk menerimanya. Namun jika ia menolaknya, ia harus membatalkan seluruh transaksi penukaran karena itu adalah satu akad. Tetapi jika ternyata dirham itu terbuat dari tembaga atau logam bukan perak, maka ia tidak boleh menerimanya dan akad jual belinya batal.”

 

وَقَالَ فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ الْمَجْمُوعَةِ: وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ ذَهَبٍ بِذَهَبٍ وَلَا وَرِقٍ بِوَرِقٍ وَلَا بِشَيْءٍ مِنْ الْمَأْكُولِ أَوْ الْمَشْرُوبِ إلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ فَإِنْ تَفَرَّقَا مِنْ مَقَامِهِمَا وَبَقِيَ قِبَلَ أَحَدٍ مِنْهُمَا شَيْءٌ فَسَدَ،

Dia berkata dalam kitab Al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik Al-Majmu’ah: “Tidak boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, atau dengan sesuatu yang dimakan atau diminum kecuali dengan takaran yang sama. Jika kedua pihak berpisah dari tempat transaksi dan masih ada barang yang belum diserahkan, maka akadnya rusak.”

 

وَقَالَ فِي كِتَابِ الصُّلْحِ إنَّهُ كَالْبَيْعِ فَإِنْ صَالَحَهُ مِنْ دَارٍ بِمِائَةٍ وَبِعَبْدٍ قِيمَتُهُ مِائَةٌ، وَأَصَابَ بِالْعَبْدِ عَيْبًا فَلَيْسَ لَهُ إلَّا أَنْ يَنْقُضَ الصُّلْحَ كُلَّهُ أَوْ يُجِيزَهُ مَعًا،

Dia berkata dalam kitab Ash-Shulh: “Sulh (perdamaian) itu seperti jual beli. Jika seseorang berdamai dengan menukar rumah senilai seratus dengan budak yang nilainya seratus, lalu ditemukan cacat pada budak itu, maka ia hanya boleh membatalkan seluruh perdamaian atau menerimanya sepenuhnya.”

 

وَقَالَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِعَيْنِهَا، وَلَوْ اُسْتُحِقَّ الْعَبْدُ انْتَقَضَ الصُّلْحُ كُلُّهُ،

Dia juga berkata mengenai masalah ini: “Jika budak itu diklaim oleh pihak lain, maka seluruh perdamaian batal.”

 

وَقَالَ فِي الصَّدَاقِ فَإِذَا ذَهَبَ بَعْضُ الْبَيْعِ لَمْ أَرُدَّ الْبَاقِيَ،

Dia berkata tentang mahar: “Jika sebagian dari barang yang dijual hilang, aku tidak meminta sisa yang lain untuk dikembalikan.”

 

وَقَالَ فِي كِتَابِ الْمُكَاتَبِ نِصْفُهُ عَبْدٌ وَنِصْفُهُ حُرٌّ كَانَ فِي مَعْنَى مَنْ بَاعَ مَا يَمْلِكُ وَمَا لَا يَمْلِكُ وَفَسَدَتْ الْكِتَابَةُ.

Dia berkata dalam kitab Al-Mukatab: “Jika setengah statusnya budak dan setengahnya merdeka, maka itu seperti orang yang menjual apa yang ia miliki dan tidak ia miliki, sehingga akad kitabah (perjanjian pembebasan budak) itu batal.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا كُلُّهُ مَنْعُ تَفْرِيقِ صَفْقَةٍ

 

 

(Al-Muzanni berkata): “Semua ini adalah larangan memisahkan satu transaksi.”

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَإِذَا اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي الشَّيْءِ الْوَاحِدِ تَنَافَيَا، وَكَانَا كُلًّا مَعْنًى، وَكَانَ أَوْلَاهُمَا بِهِ مَا أَشْبَهَ قَوْلَهُ الَّذِي لَمْ يَخْتَلِفْ.

 

 

(Al-Muzanni berkata): “Jika perkataannya berbeda tentang satu hal sehingga bertentangan, dan keduanya memiliki makna, maka yang lebih utama adalah yang paling mirip dengan perkataannya yang tidak berbeda.”

(قَالَ) : وَأَخْبَرَنِي بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنْ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَنَّهُ يَخْتَارُ تَفْرِيقَ الصَّفْقَةِ وَيَرَاهُ أَوْلَى قَوْلَيْ الشَّافِعِيِّ.

 

(Dia berkata): Dan sebagian sahabat kami mengabarkan kepadaku dari Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – bahwa ia memilih pemisahan transaksi dan menganggapnya sebagai pendapat yang lebih utama dari dua pendapat Asy-Syafi’i.

 

بَابُ اخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعَيْنِ وَإِذَا قَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا لَا أَدْفَعُ حَتَّى أَقْبِضَ

 

Bab tentang perselisihan antara dua pihak yang bertransaksi dan ketika masing-masing dari mereka berkata, “Aku tidak akan menyerahkan sampai aku menerima.”

(Asy-Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Aun bin Abdullah dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Jika dua orang yang berjual beli berselisih, maka perkataan (yang dipegang) adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli memiliki hak memilih.”

 

قَالَ) : وَقَالَ مَالِكٌ إنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «أَيُّمَا بَيِّعَيْنِ تَبَايَعَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْبَائِعِ أَوْ يَتَرَادَّانِ» .

 

 

Dia (Imam Malik) berkata: “Malik menyebutkan bahwa telah sampai kepadanya dari Ibnu Mas’ud, bahwa ia pernah menceritakan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda: ‘Jika dua orang yang berjual-beli berselisih, maka perkataan (yang dipegang) adalah perkataan penjual, atau keduanya boleh membatalkan transaksi.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : «قَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ» فَإِذَا تَبَايَعَا عَبْدًا فَقَالَ الْبَائِعُ بِأَلْفٍ وَالْمُشْتَرِي بِخَمْسِمِائَةٍ فَالْبَائِعُ يَدَّعِي فَضْلَ الثَّمَنِ وَالْمُشْتَرِي يَدَّعِي السِّلْعَةَ بِأَقَلَّ مِنْ الثَّمَنِ فَيَتَحَالَفَانِ فَإِذَا حَلَفَا مَعًا قِيلَ لِلْمُشْتَرِي: أَنْتَ بِالْخِيَارِ فِي أَخْذِهِ بِأَلْفٍ أَوْ رَدِّهِ وَلَا يَلْزَمُك مَا لَا تُقِرُّ بِهِ فَأَيُّهُمَا نَكَلَ عَنْ الْيَمِينِ وَحَلَفَ صَاحِبُهُ حُكِمَ لَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menetapkan bahwa bukti itu atas penggugat dan sumpah atas tergugat.” Jika dua orang melakukan transaksi budak, penjual mengatakan seribu dan pembeli mengatakan lima ratus, maka penjual menuntut tambahan harga dan pembeli menuntut barang dengan harga lebih rendah, maka keduanya bersumpah. Jika keduanya telah bersumpah, dikatakan kepada pembeli: “Kamu berhak memilih untuk mengambilnya dengan seribu atau mengembalikannya, dan kamu tidak terikat dengan apa yang tidak kamu akui.” Siapa pun yang menolak bersumpah dan lawannya telah bersumpah, maka hukum berpihak kepadanya.

 

(قَالَ) : وَإِذَا حَكَمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُمَا مُتَصَادِقَانِ عَلَى الْبَيْعِ وَمُخْتَلِفَانِ فِي الثَّمَنِ بِنَقْضِ الْبَيْعِ وَوَجَدْنَا الْفَائِتَ فِي كُلِّ مَا نَقَضَ فِيهِ الْقَائِمُ مُنْتَقَضًا فَعَلَى الْمُشْتَرِي رَدُّهُ إنْ كَانَ قَائِمًا أَوْ قِيمَتُهُ إنْ كَانَ فَائِتًا كَانَتْ أَقَلَّ مِنْ الثَّمَنِ أَوْ أَكْثَرَ.

 

 

Beliau berkata: “Dan apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan sementara keduanya sepakat atas jual beli namun berselisih dalam harga, dengan membatalkan jual beli, dan kami menemukan barang yang hilang pada setiap apa yang dibatalkan padanya barang yang masih ada menjadi batal, maka wajib bagi pembeli untuk mengembalikannya jika masih ada, atau nilainya jika telah hilang, baik nilainya lebih sedikit atau lebih banyak dari harga.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : يَقُولُ صَارَا فِي مَعْنَى مَنْ لَمْ يَتَبَايَعْ فَيَأْخُذُ الْبَائِعُ عَبْدَهُ قَائِمًا أَوْ قِيمَتَهُ مُتْلَفًا. (قَالَ) : فَرَجَعَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ إلَى مَا قُلْنَا وَخَالَفَ صَاحِبَيْهِ. وَقَالَ: لَا أَعْلَمُ مَا قَالَا إلَّا خِلَافَ الْقِيَاسِ وَالسُّنَّةِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Keduanya berada dalam makna orang yang tidak bertransaksi, sehingga penjual boleh mengambil budaknya yang masih hidup atau nilainya jika telah rusak. (Dia berkata): Kemudian Muhammad bin Al-Hasan kembali kepada pendapat kami dan menyelisihi kedua sahabatnya. Beliau berkata: Aku tidak mengetahui apa yang mereka berdua katakan kecuali bertentangan dengan qiyas dan sunnah.

 

(قَالَ) : وَالْمَعْقُولُ إذَا تَنَاقَضَاهُ وَالسِّلْعَةُ قَائِمَةٌ تَنَاقَضَاهُ وَهِيَ فَائِتَةٌ؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ أَنْ يُفْسَخَ الْعَقْدُ فَقَائِمٌ وَفَائِتٌ وَسَوَاءٌ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَلَوْ لَمْ يَخْتَلِفَا، وَقَالَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَا أَدْفَعُ حَتَّى أَقْبِضَ فَاَلَّذِي أَحَبَّ الشَّافِعِيُّ مِنْ أَقَاوِيلَ وَصَفَهَا أَنْ يُؤْمَرَ الْبَائِعُ بِدَفْعِ السِّلْعَةِ وَيُجْبَرُ الْمُشْتَرِي عَلَى دَفْعِ الثَّمَنِ مِنْ سَاعَتِهِ فَإِنْ غَابَ وَلَهُ مَالٌ أَشْهَدَ عَلَى وَقْفِ مَالِهِ وَأَشْهَدَ عَلَى وَقْفِ السِّلْعَةِ فَإِذَا دَفَعَ أُطْلِقَ عَنْهُ الْوَقْفُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ فَهَذَا مُفْلِسٌ وَالْبَائِعُ أَحَقُّ بِسِلْعَتِهِ وَلَا يَدَعُ النَّاسَ يَتَمَانَعُونَ الْحُقُوقَ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى أَخْذِهَا مِنْهُمْ.

 

 

Beliau berkata: “Yang masuk akal jika keduanya saling bertentangan, baik barang masih ada maupun sudah hilang, karena hukumnya adalah membatalkan akad, baik barang masih ada maupun sudah hilang, itu sama saja.” Al-Muzani berkata: “Meskipun keduanya tidak berselisih, dan masing-masing dari mereka berkata, ‘Aku tidak akan menyerahkan sampai aku menerima,’ maka pendapat yang disukai Syafi’i dari berbagai pendapat yang dijelaskannya adalah bahwa penjual diperintahkan untuk menyerahkan barang dan pembeli dipaksa untuk membayar harga pada saat itu juga. Jika pembeli tidak ada tetapi memiliki harta, maka dihadirkan saksi untuk menghentikan hartanya dan menghentikan barang. Jika dia membayar, maka penghentian itu dibatalkan. Jika dia tidak memiliki harta, maka dia dianggap bangkrut, dan penjual lebih berhak atas barangnya. Jangan biarkan orang-orang saling menahan hak-hak, sedangkan dia mampu mengambilnya dari mereka.”

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَ الثَّمَنُ عَرْضًا أَوْ ذَهَبًا بِعَيْنِهِ فَتَلِفَ مِنْ يَدَيْ الْمُشْتَرِي أَوْ تَلِفَتْ السِّلْعَةُ مَعَ يَدَيْ الْبَائِعِ انْتَقَضَ الْبَيْعُ.

 

Beliau berkata: “Seandainya harga berupa barang atau emas tertentu lalu rusak di tangan pembeli, atau barangnya rusak di tangan penjual, maka jual belinya batal.”

(قَالَ) : وَلَا أُحِبُّ مُبَايَعَةَ مَنْ أَكْثَرُ مَالِهِ مِنْ رِبًا أَوْ مِنْ حَرَامٍ وَلَا أَفْسَخُ الْبَيْعَ لِإِمْكَانِ الْحَلَالِ فِيهِ.

 

Dia berkata, “Dan aku tidak suka melakukan transaksi jual beli dengan orang yang sebagian besar hartanya berasal dari riba atau haram. Aku juga tidak membatalkan transaksi selama masih memungkinkan untuk dihalalkan.”

 

بَابُ الْبَيْعِ الْفَاسِدِ

Bab tentang jual beli yang rusak/batal

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إذَا اشْتَرَى جَارِيَةً عَلَى أَنْ لَا يَبِيعَهَا أَوْ عَلَى أَنْ لَا خَسَارَةَ عَلَيْهِ مِنْ ثَمَنِهَا فَالْبَيْعُ فَاسِدٌ وَلَوْ قَبَضَهَا فَأَعْتَقَهَا لَمْ يَجُزْ عِتْقُهَا، وَإِنْ أَوْلَدَهَا رُدَّتْ إلَى رَبِّهَا وَكَانَ عَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَقِيمَةُ وَلَدِهِ يَوْمَ خَرَجَ مِنْهَا فَإِنْ مَاتَ الْوَلَدُ قَبْلَ الْحُكْمِ أَوْ بَعْدَهُ فَسَوَاءٌ وَلَوْ كَانَ بَاعَهَا فَسَدَ الْبَيْعُ حَتَّى تُرَدَّ إلَى الْأَوَّلِ فَإِنْ مَاتَتْ فَعَلَيْهِ قِيمَتُهَا كَانَ أَكْثَرَ مِنْ الثَّمَنِ الْفَاسِدِ أَوْ أَقَلَّ وَلَوْ اشْتَرَى زَرْعًا وَاشْتَرَطَ عَلَى الْبَائِعِ حَصَادَهُ كَانَ فَاسِدًا.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): Jika seseorang membeli budak perempuan dengan syarat tidak boleh menjualnya atau tidak boleh merugi dari harganya, maka jual belinya batal. Meskipun ia telah menerimanya lalu memerdekakannya, pemerdekaannya tidak sah. Jika ia menghamilinya, budak itu harus dikembalikan kepada pemilik aslinya, dan ia wajib membayar mahar semisalnya serta nilai anaknya pada hari kelahirannya. Jika anak itu meninggal sebelum atau setelah keputusan hukum, hukumnya sama. Jika ia menjual budak tersebut, jual belinya batal hingga dikembalikan kepada pemilik pertama. Jika budak itu meninggal, ia wajib membayar nilainya, baik lebih banyak atau lebih sedikit dari harga jual yang batal. Jika seseorang membeli tanaman dengan syarat penjual harus memanennya, maka jual belinya batal.

 

وَلَوْ قَالَ بِعْنِي هَذِهِ الصُّبْرَةَ كُلَّ إرْدَبٍّ بِدِرْهَمٍ عَلَى أَنْ تَزِيدَنِي إرْدَبًّا أَوْ أُنْقِصُك إرْدَبًّا كَانَ فَاسِدًا وَكُلُّ مَا كَانَ مِنْ هَذَا النَّحْوِ فَالْبَيْعُ فِيهِ فَاسِدٌ وَلَوْ اشْتَرَطَ فِي بَيْعِ السَّمْنِ أَنْ يَزِنَهُ بِظُرُوفِهِ مَا جَازَ، وَإِنْ كَانَ عَلَى أَنْ يَطْرَحَ عَنْهُ وَزْنَ الظُّرُوفِ جَازَ. وَلَوْ اشْتَرَطَ الْخِيَارَ فِي الْبَيْعِ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ بَعْدَ التَّفَرُّقِ فَسَدَ الْبَيْعُ.

 

 

Dan jika dia mengatakan, “Juallah padaku tumpukan ini setiap irdab dengan satu dirham, dengan syarat kamu menambahiku satu irdab atau aku mengurangimu satu irdab,” maka jual beli itu rusak. Dan setiap transaksi yang serupa dengan ini, maka jual belinya rusak. Jika dalam jual beli samin disyaratkan untuk menimbangnya beserta wadahnya, maka tidak boleh. Namun jika dengan syarat mengurangi berat wadahnya, maka boleh. Dan jika dalam jual beli disyaratkan hak khiyar lebih dari tiga kali setelah berpisah, maka jual belinya rusak.

 

بَابُ بَيْعِ الْغَرَرِ

 

Bab Jual Beli yang Mengandung Ketidakpastian (Gharar)

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي حَازِمِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ» قَالَ «وَنَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ثَمَنِ عَسْبِ الْفَحْلِ» وَلَا يَجُوزُ بِحَالٍ وَمِنْ بُيُوعِ الْغَرَرِ عِنْدَنَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَك وَبَيْعُ الْحَمْلِ فِي بَطْنِ أُمِّهِ وَالْعَبْدِ الْآبِقِ وَالطَّيْرِ وَالْحُوتِ قَبْلَ أَنْ يُصَادَا وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ وَمِمَّا يَدْخُلُ فِي هَذَا الْمَعْنَى أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ عَبْدًا لِرَجُلٍ وَلَمْ يُوَكِّلْهُ فَالْعَقْدُ فَاسِدٌ أَجَازَهُ السَّيِّدُ أَوْ لَمْ يُجِزْهُ كَمَا اشْتَرَى آبِقًا فَوَجَدَهُ لَمْ يَجُزْ الْبَيْعُ؛ لِأَنَّهُ كَانَ عَلَى فَسَادٍ إذْ لَمْ يَدْرِ أَيَجِدُهُ أَوْ لَا يَجِدُهُ وَكَذَلِكَ مُشْتَرِي الْعَبْدِ بِغَيْرِ إذْنِ سَيِّدِهِ لَا يَدْرِي أَيُجِيزُهُ الْمَالِكُ أَوْ لَا يُجِيزُهُ وَلَوْ اشْتَرَى مِائَةَ ذِرَاعٍ مِنْ دَارٍ لَمْ يَجُزْ لِجَهْلِهِ بِالْأَذْرُعِ وَلَوْ عَلِمَا ذَرْعَهَا فَاشْتَرَى مِنْهَا أَذْرُعًا مُشَاعَةً جَازَ وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ اللَّبَنِ فِي الضُّرُوعِ؛ لِأَنَّهُ مَجْهُولٌ كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَكْرَهُ بَيْعَ الصُّوفِ عَلَى ظَهْرِ الْغَنَمِ وَاللَّبَنِ فِي ضُرُوعِهَا إلَّا بِكَيْلٍ وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ الْمِسْكِ فِي فَأْرِهِ؛ لِأَنَّهُ مَجْهُولٌ لَا يُدْرَى كَمَا وَزْنُهُ مِنْ وَزْنِ جُلُودِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Hazim bin Dinar dari Ibnul Musayyab bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – “melarang jual beli gharar (penipuan).” Beliau bersabda, “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – juga melarang harga air mani pejantan.” Dan hal itu tidak diperbolehkan sama sekali. Di antara jual beli gharar menurut kami adalah menjual sesuatu yang tidak kamu miliki, menjual janin dalam kandungan ibunya, budak yang melarikan diri, burung dan ikan sebelum ditangkap, serta hal-hal serupa. Termasuk dalam makna ini adalah seseorang yang menjual budak milik orang lain tanpa diwakilkan, maka akadnya batal, baik pemiliknya mengizinkan atau tidak. Seperti jika seseorang membeli budak yang melarikan diri lalu menemukannya, jual beli itu tidak sah karena transaksinya cacat sejak awal akibat ketidaktahuan apakah ia akan menemukannya atau tidak. Demikian pula pembeli budak tanpa izin tuannya, ia tidak tahu apakah pemilik akan mengizinkan atau tidak. Jika seseorang membeli seratus hasta dari sebuah rumah, itu tidak sah karena ketidaktahuan tentang ukuran hastanya. Namun jika ia mengetahui ukurannya lalu membeli beberapa hasta secara berserikat, itu diperbolehkan. Tidak boleh menjual susu yang masih di dalam kantung susu karena tidak diketahui jumlahnya. Ibnu Abbas membenci menjual bulu yang masih di punggung kambing dan susu dalam kantungnya kecuali dengan takaran. Juga tidak boleh menjual kasturi yang masih di dalam kantungnya karena tidak diketahui berapa berat kasturi dibanding kulitnya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَهُ إذَا رَآهُ بِعَيْنِهِ حَتَّى يُحِيطَ بِهِ عِلْمًا جُزَافًا.

 

(Al-Muzani berkata): Boleh membelinya jika dia melihatnya dengan mata kepalanya sendiri hingga dia mengetahui secara umum.

 

بَابُ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ وَالْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ وَشِرَاءِ الْأَعْمَى

 

Bab tentang jual beli habal al-habalah, mulamasah, munabadzah, dan pembelian oleh orang buta

(Asy-Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – melarang jual beli habl al-habalah.” Dan itu adalah jenis jual beli yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah, di mana seseorang membeli unta dengan ketentuan sampai unta betina itu melahirkan, kemudian anak yang dikandungnya juga melahirkan.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Jika keduanya melakukan akad jual-beli dengan syarat seperti ini, maka akad tersebut batal karena ketidakjelasan waktunya, dan mungkin juga tidak akan pernah menghasilkan (anak ternak).”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا عَقَدَا الْبَيْعَ عَلَى هَذَا فَمَفْسُوخٌ لِلْجَهْلِ بِوَقْتِهِ، وَقَدْ لَا تُنْتِجُ أَبَدًا.

 

 

وَقَدْ «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ بَيْعِ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَةِ» وَالْمُلَامَسَةُ عِنْدَنَا أَنْ يَأْتِيَ الرَّجُلُ بِثَوْبِهِ مَطْوِيًّا فَيَلْمِسهُ الْمُشْتَرِي أَوْ فِي ظُلْمَةٍ فَيَقُولُ رَبُّ الثَّوْبِ أَبِيعُك هَذَا عَلَى أَنَّهُ إذَا وَجَبَ الْبَيْعُ فَنَظَرُك إلَيْهِ اللَّمْسُ لَا خِيَارَ لَك إذَا نَظَرْت إلَى جَوْفِهِ أَوْ طُولِهِ وَعَرْضِهِ. وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ أَنْبِذَ إلَيْك ثَوْبِي وَتَنْبِذَ إلَيَّ ثَوْبَك عَلَى أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْآخَرِ وَلَا خِيَارَ إذَا عَرَفْنَا الطُّولَ وَالْعَرْضَ وَكَذَلِكَ أَنْبِذُهُ إلَيْك بِثَمَنٍ مَعْلُومٍ

 

 

“Rasulullah ﷺ telah melarang jual beli mulamasah dan munabadzah.” Mulamasah menurut kami adalah ketika seseorang datang dengan pakaiannya yang terlipat, lalu pembeli menyentuhnya (tanpa melihat) atau dalam kegelapan, kemudian pemilik pakaian berkata: “Aku menjual ini kepadamu dengan ketentuan jika transaksi telah terjadi, maka sentuhanmu (tanpa melihat) itu mengikat, tidak ada khiyar (hak memilih) bagimu jika nanti kamu melihat bagian dalamnya, panjang atau lebarnya.” Sedangkan munabadzah adalah aku melemparkan pakaianku kepadamu dan kamu melemparkan pakaianmu kepadaku dengan ketentuan masing-masing saling memiliki tanpa hak khiyar setelah kita mengetahui panjang dan lebarnya. Demikian pula jika aku melemparkannya kepadamu dengan harga tertentu.”

 

 

(قَالَ) : وَلَا يَجُوزُ شِرَاءُ الْأَعْمَى، وَإِنْ ذَاقَ مَا لَهُ طَعْمٌ؛ لِأَنَّهُ يَخْتَلِفُ فِي الثَّمَنِ بِاللَّوْنِ إلَّا فِي السَّلَمِ بِالصِّفَةِ، وَإِذَا وَكَّلَ بَصِيرًا يَقْبِضُ لَهُ عَلَى الصِّفَةِ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak boleh membeli (barang) oleh orang buta, meskipun ia merasakan sesuatu yang memiliki rasa, karena harga bisa berbeda berdasarkan warna kecuali dalam salam (pesanan) dengan sifat (yang dijelaskan). Dan jika dia mewakilkan kepada orang yang bisa melihat untuk menerimanya berdasarkan sifat (yang ditentukan).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ الشَّافِعِيُّ بِلَفْظَةِ الْأَعْمَى الَّذِي عَرَفَ الْأَلْوَانَ قَبْلَ أَنْ يَعْمَى فَأَمَّا مَنْ خُلِقَ أَعْمَى فَلَا مَعْرِفَةَ لَهُ بِالْأَلْوَانِ فَهُوَ فِي مَعْنَى مَنْ اشْتَرَى مَا يَعْرِفُ طَعْمَهُ وَيَجْهَلُ لَوْنَهُ وَهُوَ يُفْسِدُهُ فَتَفَهَّمْهُ وَلَا تغلط عَلَيْهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Nampaknya yang dimaksud Asy-Syafi’i dengan istilah ‘orang buta’ adalah orang yang pernah mengenal warna sebelum ia buta. Adapun orang yang terlahir buta, maka ia tidak memiliki pengetahuan tentang warna. Ia seperti orang yang membeli sesuatu yang ia tahu rasanya tetapi tidak tahu warnanya, dan hal itu merusaknya. Maka pahamilah dan jangan salah paham terhadapnya.”

 

بَابُ الْبَيْعِ بِالثَّمَنِ الْمَجْهُولِ وَبَيْعِ النَّجْشِ وَنَحْوِ ذَلِكَ

 

Bab Jual Beli dengan Harga yang Tidak Diketahui, Jual Beli Najsy, dan Sejenisnya

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا الدَّرَاوَرْدِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ» .

 

(Imam Syafi’i berkata): Darawirdi mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Amr bin Alqamah dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dua transaksi dalam satu transaksi.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهُمَا وَجْهَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنْ يَقُولَ قَدْ بِعْتُك هَذَا الْعَبْدَ بِأَلْفٍ نَقْدًا أَوْ بِأَلْفَيْنِ إلَى سَنَةٍ قَدْ وَجَبَ لَك بِأَيِّهِمَا شِئْتُ أَنَا وَشِئْتَ أَنْتَ فَهَذَا بَيْعُ الثَّمَنِ فَهُوَ مَجْهُولٌ. الثَّانِي: أَنْ يَقُولَ قَدْ بِعْتُك عَبْدِي هَذَا بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ تَبِيعَنِي دَارَك بِأَلْفٍ فَإِذَا وَجَبَ لَك عَبْدِي وَجَبَتْ لِي دَارُك؛ لِأَنَّ مَا نَقَصَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِمَّا بَاعَ ازْدَادَهُ فِيمَا اشْتَرَى فَالْبَيْعُ فِي ذَلِكَ مَفْسُوخٌ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Ada dua bentuk. Pertama: Jika seseorang mengatakan, “Aku menjual budak ini kepadamu dengan seribu tunai atau dua ribu dengan tempo satu tahun, dan engkau berhak memilih salah satunya, baik aku yang memilih atau engkau,” maka ini adalah jual beli harga yang tidak diketahui. Kedua: Jika seseorang mengatakan, “Aku menjual budakku ini kepadamu dengan seribu dengan syarat engkau menjual rumahmu kepadaku dengan seribu, sehingga ketika budakku menjadi hakmu, rumahmu menjadi hakku,” karena apa yang berkurang dari masing-masing pihak dari apa yang dijual bertambah pada apa yang dibeli, maka jual beli dalam hal ini batal.

 

 

«وَنَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ النَّجْشِ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالنَّجْشُ خَدِيعَةُ وَلَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ أَهْلِ الدِّينِ وَهُوَ أَنْ يَحْضُرَ السِّلْعَةَ تُبَاعُ فَيُعْطِي بِهَا الشَّيْءَ وَهُوَ لَا يُرِيدُ شِرَاءَهَا لِيَقْتَدِيَ بِهَا السَّوَامُّ فَيُعْطِي بِهَا أَكْثَرَ مِمَّا كَانُوا يُعْطُونَ لَوْ لَمْ يَعْلَمُوا سَوْمَهُ فَهُوَ عَاصٍ لِلَّهِ بِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَعَقْدُ الشِّرَاءِ نَافِذٌ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ النَّجْشِ، وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يَبِعْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ» .

 

 

«Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang najsy.» (Asy-Syafi’i berkata): Najsy adalah tipu daya dan bukan termasuk akhlak ahli agama. Ia terjadi ketika seseorang datang saat suatu barang dijual, lalu menawar dengan harga tertentu tanpa bermaksud membelinya, agar para pembeli mengikutinya sehingga mereka menawar dengan harga lebih tinggi daripada yang seharusnya jika tidak mengetahui tawarannya. Pelakunya bermaksiat kepada Allah karena melanggar larangan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Namun, akad jual belinya tetap sah karena bukan termasuk najsy. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – juga bersabda, «Janganlah seseorang menjual di atas penjualan orang lain.»

(Asy-Syafi’i berkata): Dan beliau menjelaskan mengenai makna larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjual atas penjualan saudaranya, yaitu ketika dua pihak telah sepakat terhadap barang, sehingga pembeli merasa puas atau tidak menyesal, lalu datang seseorang sebelum mereka berpisah dan menawarkan barang yang serupa atau lebih baik dengan harga lebih murah, sehingga ia membatalkan transaksi rekannya karena ia masih memiliki hak khiyar (pilihan) sebelum berpisah. Maka hal ini merupakan perusakan, dan ia telah bermaksiat kepada Allah jika ia mengetahui hadis tersebut, sedangkan akad jual belinya sudah mengikat.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَكَذَلِكَ الْمُدَلِّسُ عَصَى اللَّهَ بِهِ وَالْبَيْعُ فِيهِ لَازِمٌ وَكَذَلِكَ الثَّمَنُ حَلَالٌ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الثَّمَنُ حَرَامٌ عَلَى الْمُدَلِّسِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Demikian pula pelaku tadlis (penipuan dalam jual beli) telah bermaksiat kepada Allah karenanya, namun akad jual belinya tetap sah dan harganya halal.” (Asy-Syafi’i berkata): “Harga (hasil penipuan) itu haram bagi pelaku tadlis.”

 

بَابُ النَّهْيِ عَنْ بَيْعِ حَاضِرٍ لِبَادٍ وَالنَّهْيِ عَنْ تَلَقِّي السِّلَعِ

 

Bab larangan menjual barang orang kota kepada orang desa dan larangan menerima barang dagangan

(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah, Beliau berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Janganlah orang kota menjual (barang) untuk orang desa.” Dan selain Az-Zuhri menambahkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, “Biarkanlah manusia, Allah memberi rezeki sebagian mereka melalui sebagian yang lain.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ» وَزَادَ غَيْرُ الزُّهْرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «دَعُوا النَّاسَ يَرْزُقُ اللَّهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ» .

 

(قَالَ) : فَإِنْ بَاعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ فَهُوَ عَاصٍ إذَا كَانَ عَالِمًا بِالْحَدِيثِ وَلَمْ يُفْسَخْ؛ لِأَنَّ فِي قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «دَعُوا النَّاسَ يَرْزُقُ اللَّهُ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ» يَتَبَيَّنُ أَنَّ عُقْدَةَ الْبَيْعِ جَائِزَةٌ وَلَوْ كَانَتْ مَفْسُوخَةً لَمْ يَكُنْ بَيْعُ حَاضِرٍ لِبَادٍ يَمْنَعُ الْمُشْتَرِي شَيْئًا مِنْ فَضْلِ الْبَيْعِ، وَإِنَّمَا كَانَ أَهْلُ الْبَوَادِي إذَا قَدِمُوا بِسِلَعِهِمْ يَبِيعُونَهَا بِسُوقِ يَوْمِهِمْ لِلْمُؤْنَةِ عَلَيْهِمْ فِي حَبْسِهَا وَاحْتِبَاسِهِمْ عَلَيْهَا وَلَا يُعْرَفُ مِنْ قِلَّةِ سِلْعَتِهِ وَحَاجَةِ النَّاسِ إلَيْهَا مَا يَعْلَمُ الْحَاضِرُ فَيُصِيبُ النَّاسُ مِنْ بُيُوعِهِمْ رِزْقًا، وَإِذَا تَوَكَّلَ لَهُمْ أَهْلُ الْقَرْيَةِ الْمُقِيمُونَ تَرَبَّصُوا بِهَا؛ لِأَنَّهُ لَا مُؤْنَةَ عَلَيْهِمْ فِي الْمُقَامِ بِهَا فَلَمْ يُصِبْ النَّاسُ مَا يَكُونُ فِي بَيْعِ أَهْلِ الْبَادِيَةِ. وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا تَتَلَقَّوْا الرُّكْبَانَ لِلْبَيْعِ»

 

 

Beliau berkata: “Jika seorang penduduk kota menjual (barang) kepada penduduk desa, maka dia telah bermaksiat jika dia mengetahui hadis (larangan tersebut) dan akad jual belinya tidak dibatalkan. Karena dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ‘Biarkan manusia, Allah memberi rezeki sebagian mereka dari sebagian yang lain,’ jelas bahwa akad jual beli itu sah. Seandainya akad itu batal, maka penjualan penduduk kota kepada penduduk desa tidak akan menghalangi pembeli dari kelebihan jual beli. Sesungguhnya, penduduk desa jika datang dengan barang dagangan mereka, mereka menjualnya di pasar harian mereka karena kesulitan yang mereka alami jika menahan barang tersebut dan menetap untuknya. Mereka tidak mengetahui kelangkaan barang dan kebutuhan manusia terhadapnya seperti yang diketahui penduduk kota, sehingga manusia mendapatkan rezeki dari jual beli mereka. Namun, jika penduduk desa menyerahkan (barang dagangan) kepada penduduk kota yang menetap, mereka (penduduk kota) menahannya (untuk dijual kemudian) karena tidak ada kesulitan bagi mereka untuk menetap dengannya, sehingga manusia tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan dari penjualan penduduk desa.” Dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Janganlah kalian menyongsong kafilah untuk membeli (barang dagangan mereka).”

(Asy-Syafi’i berkata): Dan aku mendengar dalam hadis ini, “Barangsiapa yang menemuinya, maka penjual barang memiliki hak memilih setelah sampai di pasar.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَسَمِعْت فِي هَذَا الْحَدِيثِ «فَمَنْ تَلَقَّاهَا فَصَاحِبُ السِّلْعَةِ بِالْخِيَارِ بَعْدَ أَنْ يَقْدُمَ السُّوقَ» .

 

(قَالَ) : وَبِهَذَا نَأْخُذُ إنْ كَانَ ثَابِتًا وَهَذَا دَلِيلٌ أَنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ غَيْرَ أَنَّ لِصَاحِبِهَا الْخِيَارَ بَعْدَ قُدُومِ السُّوقِ؛ لِأَنَّ شِرَاءَهَا مِنْ الْبَدْوِيِّ قَبْلَ أَنْ يَصِيرَ إلَى مَوْضِعِ الْمُتَسَاوِمَيْنِ مِنْ الْغَرَرِ بِوَجْهِ النَّقْصِ مِنْ الثَّمَنِ فَلَهُ الْخِيَارُ.

 

 

Beliau berkata: “Kami mengambil pendapat ini jika memang telah tetap, dan ini merupakan dalil bahwa jual beli itu boleh. Hanya saja, pemilik barang memiliki hak khiyar (memilih) setelah tiba di pasar. Karena membelinya dari orang badui sebelum sampai ke tempat para penawar termasuk gharar (ketidakjelasan) yang menyebabkan berkurangnya harga, maka dia berhak khiyar.”

 

بَابُ بَيْعٍ وَسَلَفٍ

 

Pasal tentang jual beli dan pinjam meminjam

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ – عَنْ بَيْعٍ وَسَلَفٍ».

 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang jual beli dan peminjaman (yang mengandung riba).”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَذَلِكَ أَنَّ مِنْ سُنَّتِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ تَكُونَ الْأَثْمَانُ مَعْلُومَةً وَالْبَيْعُ مَعْلُومًا فَلَمَّا كُنْتُ إذَا اشْتَرَيْتُ مِنْك دَارًا بِمِائَةٍ عَلَى أَنْ أُسَلِّفَك مِائَةً كُنْتُ لَمْ أَشْتَرِهَا بِمِائَةٍ مُفْرَدَةٍ وَلَا بِمِائَتَيْنِ، وَالْمِائَةُ السَّلَفُ عَارِيَّةٌ لَهُ بِهَا مَنْفَعَةٌ مَجْهُولَةٌ وَصَارَ الثَّمَنُ غَيْرَ مَعْلُومٍ وَلَا خَيْرَ فِي أَنْ يُسَلِّفَهُ مِائَةً عَلَى أَنْ يُقْبِضَهُ خَيْرًا مِنْهَا وَلَا عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ إيَّاهَا فِي بَلَدِ كَذَا، وَلَوْ أَسْلَفَهُ إيَّاهَا بِلَا شَرْطٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْكُرَهُ فَيَقْضِيَهُ خَيْرًا مِنْهَا، وَلَوْ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ مِنْ بَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ حَالٍّ فَأَخَّرَهُ بِهِ مُدَّةً كَانَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ مَتَى شَاءَ وَذَلِكَ أَنَّهُ لَيْسَ بِإِخْرَاجِ شَيْءٍ مِنْ مِلْكِهِ وَلَا أَخَذَ مِنْهُ عِوَضًا فَيَلْزَمُهُ، وَهَذَا مَعْرُوفٌ لَا يَجِبُ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِيهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Hal itu karena termasuk sunnah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa harga harus diketahui dan jual beli harus jelas. Ketika aku membeli rumah darimu seharga seratus dengan syarat aku meminjamkanmu seratus, maka aku tidak membelinya dengan seratus saja atau dua ratus. Seratus yang dipinjamkan adalah pinjaman yang mengandung manfaat tidak diketahui, sehingga harga menjadi tidak jelas. Tidak ada kebaikan dalam meminjamkan seratus dengan syarat harus mengembalikan yang lebih baik darinya atau memberikannya di suatu tempat tertentu. Namun jika meminjamkan tanpa syarat, maka tidak mengapa jika ia berterima kasih lalu mengembalikan yang lebih baik. Jika seseorang memiliki hak dari jual beli atau lainnya yang seharusnya segera dibayar, lalu ia menundanya untuk suatu waktu, maka ia boleh menariknya kapan saja, karena hal itu bukan mengeluarkan sesuatu dari miliknya atau mengambil ganti yang mengikat. Ini adalah hal yang dikenal dan tidak wajib baginya untuk menariknya.”

 

بَابُ تَصَرُّفِ الْوَصِيِّ فِي مَالِ مُوَلِّيهِ

 

Bab tentang tindakan wali dalam mengelola harta orang yang diwalikannya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأُحِبُّ أَنْ يَتَّجِرَ الْوَصِيُّ بِأَمْوَالِ مَنْ يَلِي وَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ قَدْ اتَّجَرَ عُمَرُ بِمَالِ يَتِيمٍ وَأَبْضَعَتْ عَائِشَةُ بِأَمْوَالِ بَنِي مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ فِي الْبَحْرِ وَهُمْ أَيْتَامٌ تَلِيهِمْ، وَإِذَا كُنَّا نَأْمُرُ الْوَصِيَّ أَنْ يَشْتَرِيَ بِمَالِ الْيَتِيمِ عَقَارًا؛ لِأَنَّهُ خَيْرٌ لَهُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَبِيعَ لَهُ عَقَارًا إلَّا لِغِبْطَةٍ أَوْ حَاجَةٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku suka jika wali berdagang dengan harta orang yang berada di bawah perwaliannya tanpa tanggungan. Umar pernah berdagang dengan harta anak yatim, dan Aisyah pernah mengirimkan barang dagangan ke laut dengan harta anak-anak Muhammad bin Abu Bakar yang berada di bawah perwaliannya. Jika kami memerintahkan wali untuk membeli properti dengan harta anak yatim karena itu lebih baik baginya, maka tidak boleh menjual properti tersebut kecuali untuk keuntungan atau kebutuhan.”

بَابُ تَصَرُّفِ الرَّقِيقِ

 

Bab tentang tindakan budak

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَدَانَ الْعَبْدُ بِغَيْرِ إذْنِ سَيِّدِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ مَا كَانَ عَبْدًا وَمَتَى عَتَقَ اُتُّبِعَ بِهِ، وَكَذَلِكَ مَا أَقَرَّ بِهِ مِنْ جِنَايَةٍ وَلَوْ أَقَرَّ بِسَرِقَةٍ مِنْ حِرْزِهَا يُقْطَعُ فِي مِثْلِهَا قَطَعْنَاهُ، وَإِذَا صَارَ حُرًّا أَغْرَمْنَاهُ؛ لِأَنَّهُ أَقَرَّ بِشَيْئَيْنِ أَحَدُهُمَا لِلَّهِ فِي يَدَيْهِ فَأَخَذْنَاهُ، وَالْآخَرُ لِلنَّاسِ فِي مَالِهِ وَلَا مَالَ لَهُ فَأَخَّرْنَاهُ بِهِ كَالْمُعْسِرِ نُؤَخِّرُهُ بِمَا عَلَيْهِ فَإِذَا أَفَادَ أَغْرَمْنَاهُ وَلَمْ يَجُزْ إقْرَارُهُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang budak berutang tanpa izin tuannya, utang itu tidak wajib dibayar selama ia masih budak. Namun ketika ia merdeka, utang itu ditagih darinya. Demikian pula pengakuan kejahatan yang dilakukannya. Seandainya ia mengaku mencuri dari tempat penyimpanan yang layak, kami potong tangannya jika kasusnya memenuhi syarat. Jika ia telah merdeka, kami wajibkan dia membayar denda. Sebab ia mengakui dua hal: satu untuk Allah yang ada di tangannya maka kami ambil (dengan potong tangan), dan satu lagi untuk manusia yang terkait dengan hartanya. Namun karena ia tidak memiliki harta, kami tunda seperti orang yang kesulitan, kami tuntut ketika ia mampu. Pengakuannya tidak sah terkait harta tuannya.

 

بَابُ بَيْعِ مَا يَجُوزُ بَيْعُهُ وَمَا لَا يَجُوزُ

 

Bab tentang jual beli yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ»

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Abu Bakr bin Abdurrahman dari Abu Mas’ud Al-Anshari bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang (menerima) harga anjing, upah pelacur, dan bayaran dukun.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيًا نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ» .

 

(Imam Syafi’i berkata) : Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak atau anjing pemburu, maka pahalanya akan berkurang setiap hari sebanyak dua qirath.”

 

(قَالَ) : وَلَا يَحِلُّ لِلْكَلْبِ ثَمَنٌ بِحَالٍ وَلَوْ جَازَ ثَمَنُهُ جَازَ حُلْوَانُ الْكَاهِنِ وَمَهْرُ الْبَغِيِّ، وَلَا يَجُوزُ اقْتِنَاؤُهُ إلَّا لِصَاحِبِ صَيْدٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ مَاشِيَةٍ أَوْ مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُمْ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ مِمَّا فِيهِ مَنْفَعَةٌ فِي حَيَاتِهِ بِيعَ وَحَلَّ ثَمَنُهُ وَقِيمَتُهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ يُؤْكَلُ مِنْ ذَلِكَ الْفَهْدُ يُعَلَّمُ لِلصَّيْدِ وَالْبَازِي وَالشَّاهِينِ وَالصَّقْرُ مِنْ الْجَوَارِحِ الْمُعَلَّمَةِ وَمِثْلُ الْهِرِّ وَالْحِمَارِ الْإِنْسِيِّ وَالْبَغْلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا فِيهِ مَنْفَعَةٌ حَيًّا وَكُلُّ مَا لَا مَنْفَعَةَ فِيهِ مِنْ وَحْشٍ مِثْلَ الْحِدَأَةِ وَالرَّخَمَةِ وَالْبُغَاثَةِ وَالْفَأْرَةِ وَالْجِرْذَانِ وَالْوَزَغَانِ وَالْخَنَافِسِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ فَأَرَى – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – أَنْ لَا يَجُوزَ شِرَاؤُهُ وَلَا بَيْعُهُ وَلَا قِيمَةَ عَلَى مَنْ قَتَلَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا مَعْنَى لِلْمَنْفَعَةِ فِيهِ حَيًّا وَلَا مَذْبُوحًا فَثَمَنُهُ كَأَكْلِ الْمَالِ بِالْبَاطِلِ.

 

 

(Dia berkata): “Anjing tidak halal harganya dalam keadaan apa pun. Seandainya harga anjing diperbolehkan, maka upah dukun dan mahar pelacur juga akan diperbolehkan. Tidak boleh memeliharanya kecuali bagi pemilik kegiatan berburu, bertani, menggembala hewan ternak, atau yang semakna dengan itu. Adapun selain itu, jika hewan tersebut memiliki manfaat selama hidupnya, maka boleh diperjualbelikan dan halal harganya serta nilainya—meskipun tidak dimakan—seperti macan tutul yang dilatih untuk berburu, elang, alap-alap, dan falcon yang termasuk hewan pemburu terlatih. Begitu pula kucing, keledai jinak, bagal, dan lainnya yang memiliki manfaat selama hidupnya. Sedangkan semua hewan liar yang tidak memiliki manfaat—seperti burung hering, burung pemakan bangkai, burung kecil, tikus, tikus besar, cicak, kumbang, dan sejenisnya—maka menurut pendapatku (wallahu a‘lam), tidak boleh membeli, menjual, atau menuntut ganti rugi bagi yang membunuhnya karena tidak ada manfaat baik saat hidup maupun setelah disembelih. Harganya seperti memakan harta dengan cara batil.”

 

بَابُ السَّلَمِ

 

Bab Salam

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي كَثِيرٍ أَوْ ابْنِ كَثِيرٍ الشَّكُّ مِنْ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِي الْمِنْهَالِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسَلِّفُونَ فِي التَّمْرِ السَّنَةَ وَرُبَّمَا قَالَ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَنْ أَسْلَفَ فَلْيُسَلِّفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ وَأَجَلٍ مَعْلُومٍ»

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Najih dari Abdullah bin Abi Katsir atau Ibnu Katsir—keraguan ini dari Al-Muzani—dari Abul Minhal dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau tiba di Madinah dan penduduknya melakukan salaf (jual beli pesanan) pada kurma untuk satu tahun, kadang dua atau tiga tahun. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa melakukan salaf, hendaknya ia melakukannya dalam takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, dan waktu yang diketahui.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَدْ أَذِنَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – فِي الرَّهْنِ وَالسَّلَمِ فَلَا بَأْسَ بِالرَّهْنِ وَالْحَمِيلِ فِيهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا جَازَ السَّلَمُ فِي التَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالتَّمْرُ قَدْ يَكُونُ رُطَبًا فَقَدْ دَلَّ عَلَى أَنَّهُ أَجَازَ الرُّطَبَ سَلَفًا مَضْمُونًا فِي غَيْرِ حِينِهِ الَّذِي يَطِيبُ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ إذَا أَسْلَفَ سَنَتَيْنِ كَانَ فِي بَعْضِهَا فِي غَيْرِ حِينِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Allah – Yang Maha Agung dan Mulia – telah mengizinkan dalam hal gadai dan salam (jual beli dengan pembayaran di muka), maka tidak mengapa dengan gadai dan penjamin di dalamnya.” (Imam Syafi’i berkata): “Dan jika diperbolehkan salam dalam kurma untuk dua tahun, sedangkan kurma bisa berupa ruthab (kurma basah), maka hal itu menunjukkan bahwa beliau membolehkan ruthab sebagai salaf (pembayaran di muka) yang dijamin di luar musimnya yang layak; karena jika seseorang membayar di muka untuk dua tahun, maka sebagiannya pasti berada di luar musimnya.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ فُقِدَ الرُّطَبُ أَوْ الْعِنَبُ حَتَّى لَا يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ فِي الْبَلَدِ الَّذِي أَسْلَفَهُ فِيهِ قِيلَ الْمُسَلِّفُ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَرْجِعَ بِمَا بَقِيَ مِنْ سَلَفِهِ بِحِصَّتِهِ أَوْ يُؤَخِّرُ ذَلِكَ إلَى رُطَبٍ قَابِلٍ وَقِيلَ يَنْفَسِخُ بِحِصَّتِهِ «وَنَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَكِيمًا عَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ» وَأَجَازَ السَّلَفَ فَدَلَّ أَنَّهُ نَهَى حَكِيمًا عَنْ بَيْعِ مَا لَيْسَ عِنْدَهُ إذَا لَمْ يَكُنْ مَضْمُونًا وَذَلِكَ بَيْعُ الْأَعْيَانِ فَإِذَا أَجَازَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِصِفَةٍ مَضْمُونًا إلَى أَجَلٍ كَانَ حَالًّا أَجْوَزَ وَمِنْ الْغَرَرِ أَبْعَدَ فَأَجَازَهُ عَطَاءٌ حَالًّا.

 

 

Beliau berkata: “Jika kurma basah atau anggur hilang hingga tidak tersisa sedikit pun di negeri tempat ia memberikan pinjaman, dikatakan bahwa pemberi pinjaman memiliki pilihan antara mengambil kembali sisa pinjamannya sesuai bagiannya atau menundanya hingga kurma basah tahun depan.” Ada juga pendapat bahwa akad itu batal sesuai bagiannya. “Nabi ﷺ melarang Hakim menjual sesuatu yang tidak dimilikinya.” Namun, beliau membolehkan salam (pesanan dengan pembayaran di muka), menunjukkan bahwa larangan itu berlaku jika barang tidak dijamin, yaitu dalam jual beli barang konkret. Ketika Nabi ﷺ membolehkannya dengan syarat dijamin hingga waktu tertentu, itu lebih sah dan jauh dari gharar (ketidakpastian). Oleh karena itu, ‘Atha’ membolehkannya secara tunai.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا وَاَلَّذِي اخْتَارَ الشَّافِعِيُّ أَنْ لَا يُسَلَّفَ جُزَافًا مِنْ ثِيَابٍ وَلَا غَيْرِهَا وَلَوْ كَانَ دِرْهَمًا حَتَّى يَصِفَهُ بِوَزْنِهِ وَسِكَّتِهِ وَبِأَنَّهُ وَضَحٌ أَوْ أَسْوَدُ كَمَا يَصِفُ مَا أَسْلَمَ فِيهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku dan orang yang dipilih oleh Asy-Syafi’i berpendapat bahwa tidak boleh memberikan pinjaman secara borongan, baik berupa pakaian maupun selainnya, meskipun hanya satu dirham, hingga ia menjelaskannya dengan timbangan, cetakannya, serta apakah itu putih atau hitam, sebagaimana ia menjelaskan sesuatu yang ia berikan sebagai pembayaran di dalamnya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: فَقَدْ أَجَازَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَنْ يَدْفَعَ سِلْعَتَهُ غَيْرَ مَكِيلَةٍ وَلَا مَوْزُونَةٍ فِي سَلَمٍ.

 

(Al-Muzani) berkata: Aku berkata: Sungguh, dia (Imam Syafi’i) telah membolehkan dalam tempat lain untuk menyerahkan barangnya yang tidak ditakar maupun tidak ditimbang dalam akad salam.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ وَاَلَّذِي احْتَجَّ بِهِ فِي تَجْوِيزِ السَّلَمِ فِي الْحَيَوَانِ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَسَلَّفَ بِكْرًا فَصَارَ بِهِ عَلَيْهِ حَيَوَانًا مَضْمُونًا» وَأَنَّ عَلِيًّا – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بَاعَ جَمَلًا بِعِشْرِينَ جَمَلًا إلَى أَجَلٍ وَأَنَّ ابْنَ عُمَرَ اشْتَرَى رَاحِلَةً بِأَرْبَعَةِ أَبْعِرَةٍ إلَى أَجَلٍ.

 

 

(Al-Muzani) berkata: “Ini lebih mirip dengan dasar hukumnya, dan dalil yang digunakan untuk membolehkan salam dalam hewan adalah bahwa Nabi ﷺ pernah meminjam seekor unta muda, lalu menjadi tanggungan hewan yang dijamin.” Juga bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu pernah menjual seekor unta dengan dua puluh unta hingga tempo tertentu, dan bahwa Ibnu Umar pernah membeli seekor tunggangan dengan empat tunggangan hingga tempo tertentu.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : Al-Muzani berkata:

قُلْت أَنَا: Aku berkata:

وَهَذَا مِنْ الْجُزَافِ الْعَاجِلِ فِي الْمَوْصُوفِ الْآجِلِ. Dan ini termasuk ketergesa-gesaan dalam menilai sesuatu yang seharusnya ditunda.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ لَمْ يَذْكُرَا فِي السَّلَمِ أَجَلًا فَذَكَرَاهُ قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا جَازَ وَلَوْ أَوْجَبَاهُ بَعْدَ التَّفَرُّقِ لَمْ يَجُزْ (قَالَ) : وَلَا يَجُوزُ فِي السَّلَفِ حَتَّى يَدْفَعَ الثَّمَنَ قَبْلَ يُفَارِقُهُ وَيَكُونَ مَا سَلَّفَ فِيهِ مَوْصُوفًا، وَإِنْ كَانَ مَا سَلَّفَ فِيهِ بِصِفَةٍ مَعْلُومَةٍ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِهَا وَأَجَلٍ مَعْلُومٍ جَازَ قَالَ اللَّهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ} البقرة: 189 فَلَمْ يَجْعَلْ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ عِلْمًا إلَّا بِهَا فَلَا يَجُوزُ إلَى الْحَصَادِ وَالْعَطَاءِ لِتَأْخِيرِ ذَلِكَ وَتَقْدِيمِهِ وَلَا إلَى فَصْحِ النَّصَارَى وَقَدْ يَكُونُ عَامًا فِي شَهْرٍ وَعَامًا فِي غَيْرِهِ عَلَى حِسَابٍ يُنْسِئُونَ فِيهِ أَيَّامًا فَلَوْ أَجَزْنَاهُ كُنَّا قَدْ عَمِلْنَا فِي دِينِنَا بِشَهَادَةِ النَّصَارَى وَهَذَا غَيْرُ حَلَالٍ لِلْمُسْلِمِينَ وَلَوْ كَانَ أَجَلُهُ إلَى يَوْمِ كَذَا فَحَتَّى يَطْلُعَ فَجْرُ ذَلِكَ الْيَوْمِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika dua pihak tidak menyebutkan tenggat waktu dalam akad salam, lalu mereka menyebutkannya sebelum berpisah, maka itu diperbolehkan. Namun jika mereka menetapkannya setelah berpisah, maka tidak sah.” (Beliau juga berkata): “Tidak sah dalam akad salaf (salam) kecuali jika pembeli menyerahkan harga sebelum berpisah, dan barang yang disalafkan harus disebutkan sifatnya. Jika barang yang disalafkan memiliki sifat yang diketahui oleh ahli di bidangnya serta tenggat waktu yang jelas, maka akad itu sah.” Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Itu adalah penanda waktu bagi manusia dan haji.'” (QS. Al-Baqarah: 189). Maka Allah tidak menjadikan pengetahuan bagi umat Islam kecuali dengan hilal. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan tenggat waktu berdasarkan masa panen atau pemberian upah, karena hal itu bisa maju atau mundur. Juga tidak boleh berdasarkan Paskah Nashara, karena terkadang jatuh pada bulan tertentu dalam satu tahun, dan pada bulan lain di tahun berikutnya berdasarkan perhitungan mereka yang menggeser hari. Seandainya kita membolehkannya, berarti kita telah menjalankan agama kita berdasarkan kesaksian Nashara, dan ini tidak halal bagi umat Islam. Bahkan jika tenggat waktu ditetapkan sampai hari tertentu, maka batasnya adalah hingga terbit fajar hari tersebut.

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ كَانَ مَا سَلَّفَ فِيهِ مِمَّا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ سَمَّيَا مِكْيَالًا مَعْرُوفًا عَنْ الْعَامَّةِ وَيَكُونُ الْمُسَلَّفُ فِيهِ مَأْمُونًا فِي مَحَلِّهِ فَإِنْ كَانَ تَمْرًا قَالَ صَيْحَانِيٌّ أَوْ بَرْدِيٌّ أَوْ كَذَا، وَإِنْ كَانَ حِنْطَةً قَالَ شَامِيَّةٌ أَوْ ميسانية أَوْ كَذَا، وَإِنْ كَانَ يَخْلُفُ فِي الْجِنْسِ الْوَاحِدِ بالحدارة وَالرِّقَّةِ وَصَفَا مَا يَضْبِطَانِهِ بِهِ، وَقَالَ فِي كُلِّ وَاحِدٍ: جَيِّدًا وَأَجَلًا مَعْلُومًا أَوْ قَالَ حَالًّا وَعَتِيقًا مِنْ الطَّعَامِ أَوْ جَدِيدًا، وَأَنْ يَصِفَ ذَلِكَ بِحَصَادِ عَامِ كَذَا مُسَمًّى أَصَحُّ وَيَكُونُ الْمَوْضِعُ مَعْرُوفًا وَلَا يُسْتَغْنَى فِي الْعَسَلِ مِنْ أَنْ يَصِفَهُ بِبَيَاضٍ أَوْ صُفْرَةٍ أَوْ خُضْرَةٍ؛ لِأَنَّهُ يَتَبَايَنُ فِي ذَلِكَ وَلَوْ اشْتَرَطَا أَجْوَدَ الطَّعَامِ أَوْ أَرْدَأَهُ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ لَا يُوقَفُ عَلَيْهِ.

 

 

(Dia berkata): “Jika barang yang dipinjamkan termasuk yang ditakar atau ditimbang, hendaknya kedua pihak menyebut takaran yang dikenal umum, dan barang yang dipinjamkan harus terjamin kualitasnya di tempatnya. Jika berupa kurma, sebutkan jenisnya seperti Shaikhani atau Baridi atau semisalnya. Jika berupa gandum, sebutkan Syamiyah atau Maisaniyah atau semisalnya. Jika dalam satu jenis terdapat perbedaan kualitas seperti kekerasan dan kelembutan, jelaskan ciri yang bisa memastikannya. Untuk setiap barang, sebutkan ‘kualitas baik’ dan ‘jangka waktu yang jelas’, atau ‘matang’ dan ‘lama’ untuk makanan, atau ‘baru’. Menyebutkan tahun panen tertentu lebih tepat, dan lokasinya harus diketahui. Untuk madu, wajib menjelaskan warnanya seperti putih, kuning, atau hijau karena madu bervariasi dalam hal ini. Jika kedua pihak mensyaratkan ‘makanan terbaik’ atau ‘terburuk’, itu tidak boleh karena tidak bisa dipastikan.”

 

 

وَلَوْ كَانَ مَا أَسْلَفَ فِيهِ رَقِيقًا قَالَ: عَبْدًا نَوْبِيًّا خُمَاسِيًّا أَوْ سُدَاسِيًّا أَوْ مُحْتَلِمًا وَوَصَفَ سِنَّهُ وَأَسْوَدُ هُوَ أَوْ وَضِيءٌ أَبْيَضُ أَوْ أَصْفَرُ أَوْ أَسْحَمُ. وَكَذَلِكَ إنْ كَانَتْ جَارِيَةً وَصَفَهَا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِطَ مَعَهَا وَلَدَهَا وَلَا أَنَّهَا حُبْلَى، وَإِنْ كَانَ فِي بَعِيرٍ قَالَ: مِنْ نَعَمِ بَنِي فُلَان مِنْ ثَنِيٍّ غَيْرِ مُودَنٍ نَقِيٌّ مِنْ الْعُيُوبِ سَبْطُ الْخَلْقِ أَحْمَرُ مَجْفَرُ الْجَنْبَيْنِ رُبَاعُ أَوْ قَالَ بَازِلٌ، وَهَكَذَا الدَّوَابُّ يَصِفُهَا بِنِتَاجِهَا وَجِنْسِهَا وَأَلْوَانِهَا وَأَسْنَانِهَا وَيَصِفُ الثِّيَابَ بِالْجِنْسِ مِنْ كَتَّانٍ أَوْ قُطْنٍ أَوْ وَشْيٍ إسْكَنْدَرَانِيٍّ أَوْ يَمَانِيٍّ وَنَسْجِ بَلَدِهِ وَذَرْعِهِ مِنْ عَرْضٍ وَطُولٍ أَوْ صَفَّافَةٍ أَوْ دِقَّةٍ أَوْ جَوْدَةٍ. وَهَكَذَا النُّحَاسُ يَصِفُهُ أَبْيَضَ أَوْ شَبَهً أَوْ أَحْمَرَ وَيَصِفُ الْعَبِيدَ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى وَبِجِنْسٍ إنْ كَانَ لَهُ فِي نَحْوِ ذَلِكَ.

 

 

Dan jika yang disebutkan sebelumnya adalah budak, ia berkata: “Seorang budak Nubia berusia lima atau enam tahun, atau sudah baligh,” lalu menjelaskan usianya, apakah ia hitam, putih cerah, kuning, atau sawo matang. Begitu pula jika itu seorang budak perempuan, ia menjelaskannya, dan tidak boleh mensyaratkan anaknya bersamanya atau bahwa ia hamil. Jika itu unta, ia berkata: “Dari hewan ternak Bani Fulan, berumur dua tahun tapi belum berpunuk, bersih dari cacat, bertubuh proporsional, merah, dengan sisi tubuh yang kering, berumur empat tahun,” atau ia berkata, “Sudah lepas dari induknya.” Begitu pula hewan-hewan lain, ia menjelaskannya berdasarkan keturunannya, jenisnya, warnanya, dan usianya. Ia juga menjelaskan pakaian berdasarkan jenisnya, seperti linen, katun, tenunan Iskandariyah atau Yaman, anyaman negerinya, ukurannya dalam lebar dan panjang, atau kehalusan dan kualitasnya. Begitu pula tembaga, ia menjelaskannya sebagai putih, kuningan, atau merah, dan menjelaskan budak apakah laki-laki atau perempuan, serta jenisnya jika ada dalam hal tersebut.

 

وَإِنْ كَانَ فِي لَحْمٍ قَالَ لَحْمُ مَاعِزٍ ذَكَرٌ خَصِيٌّ أَوْ غَيْرُ خَصِيٍّ أَوْ لَحْمُ مَاعِزَةٍ ثَنِيَّةٌ أَوْ ثَنِيٌّ أَوْ جَذَعٌ رَضِيعٌ أَوْ فَطِيمٌ وَسَمِينٌ أَوْ مُنَقًّى مِنْ فَخِذٍ أَوْ يَدٍ وَيَشْتَرِطُ الْوَزْنَ فِي نَحْوِ ذَلِكَ وَيَقُولُ فِي لَحْمِ الْبَعِيرِ خَاصَّةً بَعِيرٌ رَاعٍ مِنْ قِبَلِ اخْتِلَافِ لَحْمِ الرَّاعِي وَلَحْمِ الْمَعْلُوفِ، وَأَكْرَهُ اشْتِرَاطَ الْأَعْجَفِ وَالْمَشْوِيِّ وَالْمَطْبُوخِ. وَيَجُوزُ السَّلَمُ فِي لُحُومِ الصَّيْدِ إذَا كَانَتْ بِبَلَدٍ لَا تَخْتَلِفُ وَيَقُولُ فِي السَّمْنِ: سَمْنُ مَاعِزٍ أَوْ ضَأْنٍ أَوْ بَقَرٍ، وَإِنْ كَانَ مِنْهَا شَيْءٌ يَخْتَلِفُ بِبَلَدٍ سَمَّاهُ وَيَصِفُ اللَّبَنَ كَالسَّمْنِ فَإِنْ كَانَ لَبَنَ إبِلٍ قَالَ: لَبَنُ عُودٍ أَوْ أَوْارَكٍ أَوْ حَمْضِيَّةٍ وَيَقُولُ رَاعِيَةٌ أَوْ مَعْلُوفَةٌ لِاخْتِلَافِ أَلْبَانِهَا فِي الثَّمَنِ وَالصِّحَّةِ وَيَقُولُ حَلِيبُ يَوْمِهِ وَلَا يُسَلِّفُ فِي اللَّبَنِ الْمَخِيضِ؛ لِأَنَّ فِيهِ مَاءً وَهَكَذَا كُلُّ مُخْتَلِطٍ بِغَيْرِهِ لَا يُعْرَفُ أَوْ مُصْلَحٍ بِغَيْرِهِ.

 

 

Dan jika dalam daging, ia menyebut daging kambing jantan yang dikebiri atau tidak dikebiri, atau daging kambing betina yang sudah berumur, atau muda, atau anak yang masih menyusu atau sudah disapih, atau yang gemuk, atau yang bersih dari paha atau kaki. Ia mensyaratkan timbangan dalam hal seperti itu. Dalam daging unta khususnya, ia menyebut unta yang digembalakan karena perbedaan daging yang digembalakan dan yang diberi makan. Dan aku tidak menyukai persyaratan daging yang kurus, yang dipanggang, atau yang dimasak. Salam (jual beli pesanan) diperbolehkan dalam daging buruan jika berada di negeri yang tidak berbeda. Dalam mentega, ia menyebut mentega kambing, domba, atau sapi. Jika ada sesuatu yang berbeda di suatu negeri, ia menyebutkannya. Ia mendeskripsikan susu seperti mentega. Jika itu susu unta, ia berkata: susu unta yang besar, sedang, atau asam. Ia menyebut yang digembalakan atau yang diberi makan karena perbedaan harganya dan kesehatannya. Ia menyebut susu hari itu dan tidak memesan susu yang sudah diaduk karena mengandung air. Demikian pula segala sesuatu yang tercampur dengan lainnya yang tidak diketahui atau diperbaiki dengan lainnya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : يَدْخُلُ فِي هَذَا الطِّيبُ الْغَالِيَةُ وَالْأَدْهَانُ الْمُرَبِّبَةُ وَنَحْوُهَا. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا خَيْرَ فِي أَنْ يُسَمِّيَ لَبَنًا حَامِضًا؛ لِأَنَّ زِيَادَةَ حُمُوضَتِهِ زِيَادَةُ نَقْصٍ، وَيُوصَفُ اللِّبَأُ كَاللَّبَنِ إلَّا أَنَّهُ مَوْزُونٌ وَيَقُولُ فِي الصُّوفِ صُوفُ ضَأْنِ بَلَدِ كَذَا لِاخْتِلَافِهِ فِي الْبُلْدَانِ وَيُسَمِّي لَوْنًا لِاخْتِلَافِ أَلْوَانِهَا، وَيَقُولُ جَيِّدًا نَقِيًّا وَمَغْسُولًا لِمَا يَعْلَقُ بِهِ فَيَثْقُلُ فَيُسَمِّي قِصَارًا أَوْ طِوَالًا بِوَزْنٍ، وَإِنْ اخْتَلَفَ صُوفُ فُحُولِهَا مِنْ غَيْرِهَا وَصْفًا مَا يَخْتَلِفُ وَكَذَلِكَ الْوَبَرُ وَالشَّعْرُ وَيَقُولُ فِي الْكُرْسُفِ: كُرْسُفُ بَلَدِ كَذَا وَيَقُولُ جَيِّدًا أَبْيَضَ نَقِيًّا أَوْ أَسْمَرَ، وَإِنْ اخْتَلَفَ قَدِيمُهُ وَجَدِيدُهُ سَمَّاهُ، وَإِنْ كَانَ يَكُونُ نَدِيًّا سَمَّاهُ جَافًّا بِوَزْنٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Termasuk dalam hal ini adalah wewangian yang mahal, minyak-minyak yang mengental, dan semisalnya.” (Asy-Syafi’i berkata): “Tidak baik menyebut susu sebagai ‘asam’, karena semakin asam berarti semakin berkurang kualitasnya. Susu pertama (liba’) digambarkan seperti susu biasa, hanya saja ia ditimbang. Dalam menyebut wol, ia mengatakan ‘wol domba dari negeri ini atau itu’ karena perbedaannya di berbagai negeri. Ia juga menyebutkan warnanya karena perbedaan warnanya, serta mengatakan ‘baik, bersih, dan telah dicuci’ untuk menghilangkan kotoran yang menempel dan memberatkannya. Ia menyebut wol itu pendek atau panjang dengan timbangan. Jika wol pejantannya berbeda dari yang lain dalam sifat yang membedakan, demikian pula bulu dan rambut. Dalam menyebut kapas, ia mengatakan ‘kapas dari negeri ini atau itu’, serta mengatakan ‘baik, putih bersih, atau kecoklatan’. Jika kapas lama dan barunya berbeda, ia menyebutkannya. Jika kapas itu basah, ia menyebutnya kering dengan timbangan.”

 

(قَالَ إبْرَاهِيمُ) : وَحَدَّثَنَا الرَّبِيعُ قَالَ سَمِعْت الشَّافِعِيَّ يَقُولُ وَلَا يَجُوزُ السَّلَفُ فِيهَا حَتَّى يُسَمِّيَ أَخْضَرَ أَوْ أَبْيَضَ أَوْ زبيريا أَوْ سِيلَانِيًّا وَبِأَنْ لَا يَكُونَ فِيهِ عِرْقٌ وَلَا كُلِّي وَيَقُولُ فِي الْحَطَبِ سُمْرٌ أَوْ سَلَمٌ أَوْ حَمْضٌ أَوْ أَرَاكٌ أَوْ عَرْعَرٌ وَيَقُولُ فِي عِيدَانِ الْقِسِيِّ عُودُ شَوْحَطَةٍ جَدْلٌ مُسْتَوِي الْبِنْيَةِ.

 

 

(Ibrahim berkata): Dan telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi’, Beliau berkata: Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata: “Tidak boleh melakukan salaf (salam) padanya hingga disebutkan hijau, putih, zabiri, atau silani, dan harus tidak ada urat atau batu ginjal di dalamnya.” Dan dia berkata tentang kayu bakar: “Samur, salam, hamdh, arak, atau ara’ar.” Dan dia berkata tentang tongkat panah: “Kayu syauhat yang dipilin dengan struktur yang lurus.”

 

 

(قَالَ) : وَلَا بَأْسَ أَنْ يُسَلِّفَ فِي الشَّيْءِ كَيْلًا، وَإِنْ كَانَ أَصْلُهُ وَزْنًا، وَيُسَلِّفُ فِي لَحْمِ الطَّيْرِ بِصِفَةٍ وَوَزْنٍ غَيْرَ أَنَّهُ لَا سِنَّ لَهُ يَعْنِي يُعْرَفُ فَيُوصَفُ بِصَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ وَمَا احْتَمَلَ أَنْ يُبَاعَ مُبَعَّضًا وُصِفَ مَوْضِعُهُ، وَكَذَلِكَ الْحِيتَانُ وَمَا ضُبِطَتْ صِفَتُهُ مِنْ خَشَبِ سَاجٍ أَوْ عِيدَانِ قِسِيٍّ مِنْ طُولٍ أَوْ عَرْضٍ جَازَ فِيهِ السَّلَمُ وَمَا لَمْ يَكُنْ لَمْ يَجُزْ، وَكَذَلِكَ حِجَارَةُ الْأَرْحَاءِ وَالْبُنْيَانِ وَالْآنِيَةِ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak mengapa melakukan salaf (pesanan dengan pembayaran di muka) pada sesuatu yang ditakar, meskipun asalnya ditimbang. Boleh juga melakukan salaf pada daging burung dengan sifat dan timbangan, meskipun tidak memiliki usia—maksudnya bisa dikenali lalu dideskripsikan sebagai kecil atau besar. Jika sesuatu bisa dijual secara terpisah, maka tempatnya harus dideskripsikan. Begitu pula dengan ikan. Apa saja yang sifatnya bisa ditetapkan, seperti kayu jati atau batang panah dari segi panjang atau lebar, boleh dilakukan salaf. Sedangkan yang tidak memenuhi syarat, tidak boleh. Demikian pula batu-batu penggiling, bangunan, dan bejana.”

 

 

(قَالَ) : وَيَجُوزُ السَّلَفُ فِيمَا لَا يَنْقَطِعُ مِنْ الْعِطْرِ فِي أَيْدِي النَّاسِ بِوَزْنٍ وَصِفَةٍ كَغَيْرِهِ وَالْعَنْبَرُ مِنْهُ الْأَشْهَبُ وَالْأَخْضَرُ وَالْأَبْيَضُ وَلَا يَجُوزُ حَتَّى يُسَمَّى، وَإِنْ سَمَّاهُ قِطْعَةً أَوْ قِطَعًا صِحَاحًا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُعْطِيَهُ مُفَتَّتًا وَمَتَاعُ الصَّيَادِلَةِ كَمَتَاعِ الْعَطَّارِينَ وَلَا خَيْرَ فِي شِرَاءِ شَيْءٍ خَالَطَهُ لُحُومُ الْحَيَّاتِ مِنْ الدرياق؛ لِأَنَّ الْحَيَّاتِ مُحَرَّمَاتٌ وَلَا مَا خَالَطَهُ لَبَنُ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مِنْ غَيْرِ الْآدَمِيِّينَ.

 

 

Beliau berkata: “Boleh melakukan salam (pesanan dengan pembayaran di muka) pada wewangian yang biasa dimiliki orang dengan timbangan dan sifat seperti lainnya. Ambar termasuk di dalamnya, baik yang abu-abu, hijau, atau putih, namun tidak boleh sampai disebut namanya. Jika disebut sebagai ‘sepotong’ atau ‘beberapa potong utuh’, maka tidak boleh memberikannya dalam bentuk hancuran. Barang-barang para penjual obat sama dengan barang para penjual wewangian. Tidak baik membeli sesuatu yang tercampur daging ular dalam obat penawar, karena ular adalah hewan yang haram. Begitu pula sesuatu yang tercampur susu hewan yang tidak halal dagingnya selain manusia.”

 

وَلَوْ أَقَالَهُ بَعْضَ السَّلَمِ، وَقَبَضَ بَعْضًا فَجَائِزٌ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ذَلِكَ الْمَعْرُوفُ وَأَجَازَهُ عَطَاءٌ.

 

Dan jika dia membatalkan sebagian dari salam (transaksi), dan menerima sebagian (uangnya), maka itu diperbolehkan. Ibnu Abbas berkata: “Itulah yang dikenal (baik).” Dan Atha’ juga membolehkannya.

 

(قَالَ) : وَإِذَا أَقَالَهُ فَبَطَلَ عَنْهُ الطَّعَامُ وَصَارَ عَلَيْهِ ذَهَبًا تَبَايَعَا بَعْدُ بِالذَّهَبِ مَا شَاءَا وَتَقَابَضَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا مِنْ عَرْضٍ وَغَيْرِهِ وَلَا يَجُوزُ فِي السَّلَفِ الشَّرِكَةُ وَلَا التَّوْلِيَةُ؛ لِأَنَّهُمَا بَيْعٌ وَالْإِقَالَةُ فَسْخُ بَيْعٍ وَلَوْ عَجَّلَ لَهُ قَبْلَ مَحَلِّهِ أَدْنَى مِنْ حَقِّهِ أَجَزْتُهُ وَلَا أَجْعَلُ لِلتُّهْمَةِ مَوْضِعًا.

 

 

Beliau berkata: “Jika dia membatalkan transaksi, maka makanan menjadi batal darinya dan berubah menjadi emas. Setelah itu, keduanya boleh melakukan transaksi jual beli dengan emas sesuai keinginan mereka dan saling menyerahkan sebelum berpisah, baik berupa barang atau lainnya. Dalam salam (pesanan), tidak boleh ada syirkah (kemitraan) atau tawliyah (penjualan dengan harga beli), karena keduanya termasuk jual beli. Sedangkan iqalah adalah pembatalan jual beli. Jika dia menyegerakan pembayaran sebelum jatuh tempo meskipun kurang dari haknya, aku membolehkannya dan tidak memberikan ruang untuk prasangka.”

 

بَابُ مَا لَا يَجُوزُ السَّلَمُ فِيهِ

Bab tentang hal-hal yang tidak boleh dilakukan salam (jual beli pesanan) di dalamnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَجُوزُ السَّلَمُ فِي النَّبْلِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُقْدَرُ عَلَى ذَرْعِ ثَخَانَتِهَا لِرِقَّتِهَا وَلَا وَصْفِهِ مَا فِيهَا مِنْ رِيشٍ وَعَقِبٍ وَغَيْرِهِ، وَلَا فِي اللُّؤْلُؤِ، وَلَا فِي الزَّبَرْجَدِ وَلَا الْيَاقُوتِ مِنْ قِبَلِ أَنَّى لَوْ قُلْت لُؤْلُؤَةٌ مُدَحْرَجَةٌ صَافِيَةٌ صَحِيحَةٌ مُسْتَطِيلَةٌ وَزْنُهَا كَذَا فَقَدْ تَكُونُ الثَّقِيلَةُ الْوَزْنِ وَزْنَ شَيْءٍ وَهِيَ صَغِيرَةٌ وَأُخْرَى أَخَفُّ مِنْهَا وَهِيَ كَبِيرَةٌ مُتَفَاوِتَتَيْنِ فِي الثَّمَنِ وَلَا أَضْبِطُ أَنْ أَصِفَهَا بِالْعِظَمِ وَلَا يَجُوزُ السَّلَمُ فِي جَوْزٍ وَلَا رَانِجٍ وَلَا قِثَّاءٍ وَلَا بِطِّيخٍ وَلَا رُمَّانٍ وَلَا سَفَرْجَلٍ عَدَدًا؛ لِتَبَايُنِهَا إلَّا أَنْ يُضْبَطَ بِكَيْلٍ أَوْ وَزْنٍ فَيُوصَفُ بِمَا يَجُوزُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh melakukan salam (jual beli pesanan) pada anak panah, karena tidak mungkin mengukur ketebalannya akibat tipisnya, juga tidak bisa mendeskripsikan bulu, tangkai, dan bagian lainnya. Begitu pula tidak boleh pada mutiara, zamrud, atau yaqut, sebab jika kau sebutkan “mutiara bulat, jernih, sempurna, panjang dengan berat sekian”, bisa saja yang beratnya besar ternyata kecil, atau yang lebih ringan justru besar, sehingga harganya berbeda. Aku juga tidak bisa memastikan deskripsi ukurannya. Tidak boleh pula salam pada kenari, ranj, mentimun, semangka, delima, atau apel dengan hitungan biji, karena perbedaannya, kecuali jika diukur dengan takaran atau timbangan, maka boleh dideskripsikan sesuai yang diperbolehkan.

 

(قَالَ) : وَأَرَى النَّاسَ تَرَكُوا وَزْنَ الرُّءُوسِ؛ لِمَا فِيهَا مِنْ الصُّوفِ وَأَطْرَافِ الْمَشَافِرِ وَالْمَنَاخِرِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ لَا يُؤْكَلُ فَلَوْ تَحَامَلَ رَجُلٌ فَأَجَازَ السَّلَفَ فِيهِ لَمْ يَجُزْ إلَّا مَوْزُونًا.

 

 

Beliau berkata: “Aku melihat orang-orang meninggalkan timbangan kepala karena adanya bulu, ujung bibir, lubang hidung, dan sejenisnya yang tidak dimakan. Seandainya seseorang memaksakan diri untuk membolehkan jual beli salam (pesanan) padanya, tidak boleh kecuali dengan ditimbang.”

 

(قَالَ) : وَلَا يَجُوزُ السَّلَفُ فِي جُلُودِ الْغَنَمِ وَلَا جُلُودِ غَيْرِهَا وَلَا إهَابٍ مِنْ رِقٍّ؛ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُ فِيهِ الذَّرْعُ لِاخْتِلَافِ خِلْقَتِهِ وَلَا السَّلَفُ فِي خُفَّيْنِ وَلَا نَعْلَيْنِ وَلَا السَّلَفُ فِي الْبُقُولِ جَزْمًا حَتَّى يُسَمِّيَ وَزْنًا وَجِنْسًا وَصَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا وَأَجَلًا مَعْلُومًا.

 

 

(Dia berkata): “Tidak diperbolehkan melakukan salaf (jual beli salam) pada kulit domba, kulit hewan lainnya, maupun kulit yang disamak, karena tidak mungkin dilakukan pengukuran (qadr) padanya akibat perbedaan bentuknya. Juga tidak diperbolehkan salaf pada sepasang khuff (sepatu tertutup) atau sepasang sandal, serta tidak boleh salaf pada sayur-mayur secara pasti hingga disebutkan takarannya, jenisnya, kecil atau besarnya, serta tempo waktu yang diketahui.”

بَابُ التَّسْعِيرِ

 

Bab tentang Penetapan Harga

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا الدَّرَاوَرْدِيُّ عَنْ دَاوُد بْنِ صَالِحٍ التَّمَّارِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ مَرَّ بِحَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ بِسُوقِ الْمُصَلِّي وَبَيْنَ يَدَيْهِ غِرَارَتَانِ فِيهِمَا زَبِيبٌ فَسَأَلَهُ عَنْ سِعْرِهِمَا فَسَّرَ لَهُ مُدَّيْنِ بِدِرْهَمٍ فَقَالَ عُمَرُ لَقَدْ حَدَثَتْ بَعِيرٌ مُقْبِلَةٌ مِنْ الطَّائِفِ تَحْمِلُ زَبِيبًا وَهُمْ يَعْتَبِرُونَ سِعْرَك فَإِمَّا أَنْ تَرْفَعَ فِي السِّعْرِ، وَإِمَّا أَنْ تُدْخِلَ زَبِيبَك الْبَيْتَ فَتَبِيعَهُ كَيْفَ شِئْت فَلَمَّا رَجَعَ عُمَرُ حَاسَبَ نَفْسَهُ ثُمَّ أَتَى حَاطِبًا فِي دَارِهِ فَقَالَ لَهُ إنَّ الَّذِي قُلْتُ لَك لَيْسَ بِعَزِيمَةٍ مِنِّي وَلَا قَضَاءٍ إنَّمَا هُوَ شَيْءٌ أَرَدْت بِهِ الْخَيْرَ لِأَهْلِ الْبَلَدِ فَحَيْثُ شِئْتَ فَبِعْ وَكَيْفَ شِئْتَ فَبِعْ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Ad-Darawardi mengabarkan kepada kami dari Dawud bin Shalih At-Tammar dari Al-Qasim bin Muhammad dari Umar bahwa ia pernah melewati Hatib bin Abi Balta’ah di pasar Al-Musalla, di hadapannya ada dua keranjang berisi kismis. Umar bertanya tentang harganya, lalu Hatib menjelaskan bahwa dua mud dijual dengan satu dirham. Umar berkata, “Sungguh, ada unta yang baru datang dari Thaif membawa kismis, dan orang-orang akan mengikuti harga jualmu. Maka, engkau bisa menaikkan harganya atau menyimpan kismismu di rumah lalu menjualnya sesukamu.” Ketika Umar pulang, ia mengevaluasi dirinya sendiri, kemudian mendatangi Hatib di rumahnya dan berkata, “Apa yang kukatakan tadi bukanlah ketetapan atau keputusan dariku. Itu hanyalah saran yang kusampaikan demi kebaikan penduduk negeri. Maka, juallah di mana saja engkau mau dan dengan cara apa saja engkau mau.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهَذَا الْحَدِيثُ مُسْتَقْصًى لَيْسَ بِخِلَافٍ لِمَا رَوَى مَالِكٌ وَلَكِنَّهُ رَوَى بَعْضَ الْحَدِيثِ أَوْ رَوَاهُ مَنْ رَوَى عَنْهُ وَهَذَا أَتَى بِأَوَّلِ الْحَدِيثِ وَآخِرِهِ وَبِهِ أَقُولُ؛ لِأَنَّ النَّاسَ مُسَلَّطُونَ عَلَى أَمْوَالِهِمْ لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَهَا وَلَا شَيْئًا مِنْهَا بِغَيْرِ طِيبِ أَنْفُسِهِمْ إلَّا فِي الْمَوَاضِعِ الَّتِي تَلْزَمُهُمْ وَهَذَا لَيْسَ مِنْهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Hadis ini lengkap dan tidak bertentangan dengan riwayat Malik, tetapi dia hanya meriwayatkan sebagian hadis atau perawi yang meriwayatkan darinya. Sedangkan ini mencakup awal dan akhir hadis. Pendapatku sesuai dengan ini, karena manusia berkuasa atas harta mereka. Tidak seorang pun boleh mengambil harta mereka atau sebagiannya tanpa kerelaan hati mereka, kecuali pada hal-hal yang diwajibkan kepada mereka, dan ini bukan termasuk dalam hal tersebut.”

 

بَابُ الزِّيَادَةِ فِي السَّلَفِ وَضَبْطِ مَا يُكَالُ وَمَا يُوزَنُ

 

Bab tentang tambahan dalam pinjaman dan ketentuan apa yang ditakar dan apa yang ditimbang.

(Asy-Syafi’i berkata): “Pokok kewajiban yang harus diterima oleh pemberi pinjaman (musallif) adalah menerima apa yang dipinjamkannya dalam jenis yang sama. Jika ada kelebihan, dan kelebihan itu bermanfaat untuk tujuan pinjaman tersebut, maka ia wajib menerimanya, dan kelebihan itu dianggap sebagai pemberian sukarela. Namun, jika terjadi perbedaan dalam manfaat atau harga, ia berhak menolaknya dan hanya berhak menerima yang paling minimal sesuai sifatnya. Jika itu gandum, ia wajib menyerahkan gandum yang bersih dari sekam, jerami, kotoran, biji-bijian lain seperti jewawut, atau jelai. Untuk kurma, ia tidak wajib menerimanya kecuali dalam keadaan kering. Jika itu daging burung, ia tidak wajib menerima bagian kepala dan kaki dalam timbangan karena tidak ada daging di sana. Begitu pula dengan daging ikan, ia tidak wajib menerima kepala atau ekor yang tidak berdaging. Jika diberikan timbangan sebagai pengganti takaran, atau sebaliknya, atau jenis yang berbeda, hal itu tidak diperbolehkan karena itu termasuk jual beli salam sebelum disempurnakan. Pokok takaran dan timbangan di Hijaz adalah: segala yang ditimbang pada masa Rasulullah ﷺ dasarnya adalah timbangan, dan segala yang ditakar dasarnya adalah takaran. Adapun hal-hal baru yang dibuat manusia dikembalikan kepada pokoknya. Jika pembayaran diberikan sebelum jatuh tempo, maka: jika berupa tembaga, emas batangan, atau barang selain makanan, minuman, atau hewan hidup, ia wajib menerimanya. Namun, jika berupa makanan, minuman, atau hewan hidup, ia tidak boleh dipaksa menerimanya sebelum jatuh tempo karena akan menimbulkan biaya perawatan hingga waktu jatuh tempo. Demikianlah seluruh bab ini dan qiyasnya.”

 

بَابُ الرَّهْنِ

 

Bab tentang Gadai

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَذِنَ اللَّهُ – جَلَّ ثَنَاؤُهُ – بِالرَّهْنِ فِي الدَّيْنِ وَالدَّيْنُ حَقٌّ فَكَذَلِكَ كُلُّ حَقٍّ لَزِمَ فِي حِينِ الرَّهْنِ وَمَا تَقَدَّمَ الرَّهْنُ، وَقَالَ اللَّهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – {فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ} البقرة: 283 (قَالَ) : وَلَا مَعْنَى لِلرَّهْنِ حَتَّى يَكُونَ مَقْبُوضًا مِنْ جَائِزِ الْأَمْرِ حِينَ رَهَنَ وَحِينَ أَقْبَضَ وَمَا جَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ، وَقَبْضُهُ مِنْ مُشَاعٍ وَغَيْرِهِ، وَلَوْ مَاتَ الْمُرْتَهِنُ قَبْلَ الْقَبْضِ فَلِلرَّاهِنِ تَسْلِيمُ الرَّهْنِ إلَى وَارِثِهِ وَمَنْعُهُ وَلَوْ قَالَ أَرْهَنُك دَارِي عَلَى أَنْ تُدَايِنَنِي فَدَايَنَهُ لَمْ يَكُنْ رَهْنًا حَتَّى يَعْقِدَ الرَّهْنَ مَعَ الْحَقِّ أَوْ بَعْدَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Allah—Yang Maha Tinggi pujian-Nya—telah mengizinkan gadai dalam utang, dan utang adalah hak. Demikian pula setiap hak yang mengikat saat gadai atau sebelum gadai terjadi. Allah—Yang Maha Suci dan Maha Tinggi—berfirman: “Maka barang jaminan yang diserahkan.” (QS. Al-Baqarah: 283). (Dia berkata): Gadai tidak memiliki makna kecuali jika barang itu diterima dari pihak yang berwenang saat menggadaikan dan saat menyerahkannya. Segala yang boleh dijual, boleh digadaikan, dan penerimaannya boleh dari harta bersama atau lainnya. Jika penerima gadai meninggal sebelum menerima barang, pemberi gadai berhak menyerahkan barang gadai kepada ahli warisnya atau menahannya. Jika seseorang berkata, “Aku menggadaikan rumahku kepadamu agar engkau memberiku pinjaman,” lalu dipinjami, itu bukan gadai sampai akad gadai dilakukan bersamaan dengan hak atau setelahnya.

 

(قَالَ) : حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ عَنْ الشَّافِعِيِّ قَالَ لَا يَجُوزُ إلَّا مَعَهُ أَوْ بَعْدَهُ فَأَمَّا قَبْلَهُ فَلَا رَهْنَ قَالَ: وَيَجُوزُ ارْتِهَانُ الْحَاكِمِ وَوَلِيُّ الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ لَهُ وَرَهْنُهُمَا عَلَيْهِ فِي النَّظَرِ لَهُ وَذَلِكَ أَنْ يَبِيعَا وَيَفْضُلَا وَيَرْتَهِنَا فَأَمَّا أَنْ يُسَلِّفَا وَيَرْتَهِنَا فَهُمَا ضَامِنَانِ؛ لِأَنَّهُ لَا فَضْلَ لَهُ فِي السَّلَفِ يَعْنِي الْقَرْضَ وَمَنْ قُلْت لَا يَجُوزُ ارْتِهَانُهُ إلَّا فِيمَا يَفْضُلُ مِنْ وَلِيٍّ لِيَتِيمٍ أَوْ أَبٍ لِابْنٍ طِفْلٍ أَوْ مُكَاتَبٍ أَوْ عَبْدٍ مَأْذُونٍ لَهُ فِي التِّجَارَةِ فَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَرْهَنَ شَيْئًا؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ وَالدَّيْنَ لَازِمٌ.

 

 

Beliau berkata: Ar-Rabi’ meriwayatkan dari Asy-Syafi’i, ia berkata: “Tidak boleh kecuali bersamanya atau setelahnya. Adapun sebelumnya, maka tidak ada gadai.” Beliau berkata: “Boleh bagi hakim dan wali orang yang berada di bawah pengampuan untuk menggadaikan harta orang tersebut, dan gadai mereka berlaku dalam rangka memperhatikan kepentingannya. Yaitu dengan menjual dan menyisakan kelebihan, lalu menggadaikannya. Adapun jika meminjamkan lalu menggadaikan, maka keduanya menjadi penanggung, karena tidak ada kelebihan dalam pinjaman (qardh).” Dan siapa yang aku katakan tidak boleh menggadaikan kecuali pada kelebihan harta dari wali anak yatim, atau ayah untuk anak kecil, atau mukatab, atau budak yang diizinkan berdagang, maka tidak boleh baginya menggadaikan sesuatu, karena gadai adalah amanah sedangkan hutang bersifat mengikat.

 

(قَالَ) : فَالرَّهْنُ نَقْصٌ عَلَيْهِمْ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْهَنُوا إلَّا حَيْثُ يَجُوزُ أَنْ يُودِعُوا أَمْوَالَهُمْ مِنْ الضَّرُورَةِ بِالْخَوْفِ إلَى تَحْوِيلِ أَمْوَالِهِمْ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ وَلَوْ كَانَ لِابْنِهِ الطِّفْلِ عَلَيْهِ حَقٌّ جَازَ أَنْ يَرْتَهِنَ لَهُ شَيْئًا مِنْ نَفْسِهِ؛ لِأَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَهُ فِي الْقَبْضِ لَهُ، وَإِذَا قَبَضَ الرَّهْنَ لَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِهِ إخْرَاجُهُ مِنْ الرَّهْنِ حَتَّى يَبْرَأَ مِمَّا فِيهِ مِنْ الْحَقِّ. وَلَوْ أَكْرَى الرَّهْنَ مِنْ صَاحِبِهِ أَوْ أَعَارَهُ إيَّاهُ لَمْ يَنْفَسِخْ الرَّهْنُ وَلَوْ رَهَنَهُ وَدِيعَةً لَهُ فِي يَدِهِ وَأَذِنَ لَهُ بِقَبْضِهِ فَجَاءَتْ عَلَيْهِ مُدَّةٌ يُمْكِنُهُ أَنْ يَقْبِضَهُ فِيهَا فَهُوَ قَبْضٌ؛ لِأَنَّ قَبْضَهُ وَدِيعَةً غَيْرُ قَبْضِهِ رَهْنًا.

 

 

Beliau berkata: “Rahn (gadai) adalah beban bagi mereka, sehingga tidak boleh mereka menggadaikan kecuali dalam keadaan darurat karena khawatir terhadap pengalihan harta mereka atau semacamnya. Jika anak kecilnya memiliki hak atasnya, boleh baginya menggadaikan sebagian dari dirinya sendiri, karena ia mewakili anak tersebut dalam penerimaan. Ketika rahn telah diterima, pemiliknya tidak boleh mengeluarkannya dari gadai hingga hak yang terkait di dalamnya terpenuhi. Jika ia menyewakan atau meminjamkan rahn kepada pemiliknya, gadai tidak batal. Jika ia menggadaikan barang titipan yang ada di tangannya dan diizinkan untuk menerimanya, lalu datang masa yang memungkinkannya menerimanya, maka itu dianggap sebagai penerimaan, karena penerimaan sebagai titipan berbeda dengan penerimaan sebagai gadai.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَ فِي الْمَسْجِدِ الْوَدِيعَةِ فِي بَيْتِهِ لَمْ يَكُنْ قَبْضًا حَتَّى يَصِيرَ إلَى مَنْزِلِهِ وَهِيَ فِيهِ وَلَا يَكُونُ الْقَبْضُ إلَّا مَا حَضَرَهُ الْمُرْتَهِنُ أَوْ وَكِيلُهُ لَا حَائِلَ دُونَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Sekalipun barang gadai berada di masjid atau di rumahnya, tidak dianggap sebagai penerimaan (qabdh) hingga sampai ke rumahnya dan barang itu ada di dalamnya. Penerimaan hanya terjadi ketika barang itu diserahkan langsung kepada penerima gadai (murtahin) atau wakilnya tanpa ada penghalang.”

 

 

وَالْإِقْرَارُ بِقَبْضِ الرَّهْنِ جَائِزٌ إلَّا فِيمَا لَا يُمْكِنُ فِي مِثْلِهِ فَإِنْ أَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يُحَلِّفَ الْمُرْتَهِنَ أَنَّهُ قَبَضَ مَا كَانَ أَقَرَّ لَهُ بِقَبْضِهِ أَحَلَفْتَهُ وَالْقَبْضُ فِي الْعَبْدِ وَالثَّوْبِ وَمَا يَحُولُ أَنْ يَأْخُذَهُ مُرْتَهِنُهُ مِنْ يَدَيْ رَاهِنِهِ، وَقَبَضَ مَا لَا يَحُولُ مِنْ أَرْضٍ وَدَارٍ أَنْ يُسَلَّمَ لَا حَائِلَ دُونَهُ وَكَذَلِكَ الشِّقْصُ وَشِقْصُ السَّيْفِ أَنْ يَحُولَ حَتَّى يَضَعَهُ الرَّاهِنُ وَالْمُرْتَهِنُ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ أَوْ يَدَيْ الشَّرِيكِ.

 

 

Pengakuan penerimaan gadai diperbolehkan kecuali dalam hal yang tidak mungkin dilakukan pada hal serupa. Jika pemberi gadai ingin meminta penerima gadai bersumpah bahwa ia telah menerima apa yang telah diakuinya sebagai penerimaan, maka ia harus disumpah. Penerimaan pada budak, pakaian, dan apa saja yang bisa diambil penerima gadai dari tangan pemberi gadai. Sedangkan penerimaan atas tanah, rumah, atau sesuatu yang tidak bisa dipindahkan adalah dengan penyerahan tanpa penghalang. Demikian juga bagian atau bagian pedang, penerimaannya adalah dengan meletakkannya di tangan orang yang adil atau tangan rekan oleh pemberi dan penerima gadai.

 

 

وَلَوْ كَانَ فِي يَدَيْ الْمُرْتَهِنِ بِغَصْبٍ لِلرَّاهِنِ فَرَهَنَهُ إيَّاهُ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهُ مِنْهُ وَأَذِنَ لَهُ فِي قَبْضِهِ فَقَبَضَهُ كَانَ رَهْنًا وَكَانَ مَضْمُونًا عَلَى الْغَاصِبِ بِالْغَصْبِ حَتَّى يَدْفَعَهُ إلَى الْمَغْصُوبِ مِنْهُ أَوْ يُبْرِئَهُ مِنْ ضَمَانِ الْغَصْبِ.

 

 

Dan sekiranya barang itu berada di tangan penerima gadai karena dirampas dari pemberi gadai, lalu ia menggadaikannya kepadanya sebelum menerimanya darinya, dan ia mengizinkannya untuk menerimanya, lalu ia menerimanya, maka itu sah sebagai gadai. Barang itu tetap menjadi tanggungan si perampas karena perampasan hingga ia menyerahkannya kepada pemilik yang dirampas atau membebaskannya dari tanggungan perampasan.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا يُشْبِهُ أَصْلَ قَوْلِهِ إذَا جَعَلَ قَبْضَ الْغَصْبِ فِي الرَّهْنِ جَائِزًا كَمَا جَعَلَ قَبْضَهُ فِي الْبَيْعِ جَائِزًا أَنْ لَا يَجْعَلَ الْغَاصِبَ فِي الرَّهْنِ ضَامِنًا إذْ الرَّهْنُ عِنْدَهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ.

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata, pendapatnya mirip dengan dasar ucapannya bahwa jika ia membolehkan penerimaan barang rampasan dalam gadai sebagaimana ia membolehkan penerimaannya dalam jual beli, maka ia tidak menjadikan perampas dalam gadai sebagai penjamin, karena gadai menurutnya tidak dijamin.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang menggadaikan dua rumah, lalu salah satunya diserahkan (diterima) sedangkan yang lain tidak, maka rumah yang telah diserahkan menjadi gadai sedangkan yang lain tidak, dengan seluruh haknya. Dan jika rumah tersebut mengalami kerusakan setelah diserahkan, statusnya tetap sebagai gadai. Begitu pula dengan kayu atau batu bata (yang lepas) darinya.”

 

(Qāla al-Shāfi‘ī): wa law rahanahū dārayni fa qabaḍa iḥdāhumā wa lam yaqbiḍ al-ukhrā kānat al-maqbūḍah rahnan dūna al-ukhrā bi jamī‘ al-ḥaqq wa law aṣābahā hadmun ba‘da al-qabḍi kānat rahnan bi ḥālihā, wa mā saqaṭa min khashabihā aw ṭūbihā ya‘nī al-ājurr.

 

 

وَلَوْ رَهَنَهُ جَارِيَةً قَدْ وَطِئَهَا قَبْلَ الْقَبْضِ فَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ أَقَرَّ بِهِ فَهِيَ خَارِجَةٌ مِنْ الرَّهْنِ وَلَوْ اغْتَصَبَهَا بَعْدَ الْقَبْضِ فَوَطِئَهَا فَهِيَ بِحَالِهَا فَإِنْ افْتَضَّهَا فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَهَا يَكُونُ رَهْنًا مَعَهَا أَوْ قِصَاصًا مِنْ الْحَقِّ فَإِنْ أَحْبَلَهَا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرُهَا لَمْ تُبَعْ مَا كَانَتْ حَامِلًا فَإِذَا وَلَدَتْ بِيعَتْ دُونَ وَلَدِهَا وَعَلَيْهِ مَا نَقَصَتْهَا الْوِلَادَةُ، وَإِنْ مَاتَتْ مِنْ ذَلِكَ فَعَلَيْهِ قِيمَتُهَا تَكُونُ رَهْنًا أَوْ قِصَاصًا مِنْ الْحَقِّ.

 

 

Jika seseorang menggadaikan seorang budak perempuan yang telah disetubuhinya sebelum penerimaan gadai, lalu ternyata budak tersebut hamil dan dia mengakui kehamilannya, maka budak itu keluar dari status gadai. Jika dia merampas budak tersebut setelah penerimaan gadai lalu menyetubuhinya, maka status gadai tetap berlaku. Jika dia merusak keperawanannya, maka dia wajib menanggung penurunan nilainya yang menjadi bagian gadai bersamanya atau sebagai pengurangan dari hak. Jika dia menghamili budak itu sementara tidak memiliki harta lain selainnya, maka budak tidak boleh dijual selama hamil. Setelah melahirkan, budak boleh dijual tanpa anaknya, dan dia wajib menanggung penurunan nilai akibat kelahiran. Jika budak mati karena hal itu, maka dia wajib membayar nilainya sebagai bagian gadai atau pengurangan dari hak.

(قَالَ) : وَلَا يَكُونُ إحْبَالُهُ لَهَا أَكْبَرَ مِنْ عِتْقِهَا وَلَا مَالَ لَهُ فَأُبْطِلَ الْعِتْقَ وَتُبَاعُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) : يَعْنِي إذَا كَانَ مُعْسِرًا.

 

Beliau berkata: “Dan tidak boleh kehamilannya lebih besar daripada pembebasannya, dan dia tidak memiliki harta, maka pembebasannya batal dan dia dijual.” (Al-Muzani berkata): “Maksudnya jika dia dalam keadaan tidak mampu.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ كَانَتْ تُسَاوِي أَلْفًا وَالْحَقُّ مِائَةٌ بِيعَ مِنْهَا بِقَدْرِ الْمِائَةِ وَالْبَاقِي لِسَيِّدِهَا وَلَا تُوطَأُ وَتُعْتَقُ بِمَوْتِهِ فِي قَوْلِ مَنْ يُعْتِقُهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika nilainya seribu dan hak yang harus dibayar seratus, maka dijual darinya sebesar seratus dan sisanya untuk pemiliknya. Dia tidak boleh digauli dan merdeka setelah kematiannya menurut pendapat orang yang memerdekakannya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: قَدْ قَطَعَ بِعِتْقِهَا فِي كِتَابِ عِتْقِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ.

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Sungguh ia telah memastikan kebebasannya dalam kitab tentang pembebasan ummahat al-awlād.

 

(قَالَ) : وَفِي الْأُمِّ أَنَّهُ إذَا أَعْتَقَهَا فَهِيَ حُرَّةٌ، وَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Dan dalam kitab Al-Umm disebutkan bahwa jika seseorang memerdekakan ibunya, maka ia menjadi merdeka, tetapi sungguh dia telah menzalimi dirinya sendiri.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ بِيعَتْ أُمُّ الْوَلَدِ بِمَا وَصَفْت ثُمَّ مَلَكَهَا سَيِّدُهَا فَهِيَ أُمُّ وَلَدِهِ بِذَلِكَ الْوَلَدِ.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya ummul walad dijual sebagaimana yang telah aku jelaskan, kemudian tuannya memilikinya kembali, maka dia tetap statusnya sebagai ummul walad karena anak tersebut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت: أَنَا أُشَبِّهُ بِقَوْلِ أَنْ لَا تَصِيرَ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ؛ لِأَنَّ قَوْلَهُ إنَّ الْعَقْدَ إذَا لَمْ يَجُزْ فِي وَقْتِهِ لَمْ يَجُزْ بَعْدَهُ حَتَّى يُبْتَدَأَ بِمَا يَجُوزُ، وَقَدْ قَالَ لَا يَكُونُ إحْبَالُهُ لَهَا أَكْبَرَ مِنْ عِتْقِهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata: Aku sependapat dengan pendapat bahwa dia tidak menjadi umm walad baginya; karena perkataannya bahwa jika akad tidak sah pada waktunya, maka tidak sah setelahnya hingga dimulai dengan yang sah. Dan dia telah berkata bahwa kehamilannya tidak lebih besar daripada pembebasannya.

(قَالَ) : وَلَوْ أَعْتَقَهَا أَبْطَلْتُ عِتْقَهَا.

 

Dia berkata, “Seandainya dia memerdekakannya, niscaya aku batalkan kemerdekaannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا فَهِيَ فِي مَعْنَى مَنْ أَعْتَقَهَا مَنْ لَا يَجُوزُ عِتْقُهُ فِيهَا فَهِيَ رَقِيقٌ بِحَالِهَا فَكَيْفَ تُعْتَقُ أَوْ تَصِيرُ أُمَّ وَلَدٍ بِحَادِثٍ مِنْ شِرَاءٍ وَهِيَ فِي مَعْنَى مَنْ أَعْتَقَهَا مَحْجُورٌ ثُمَّ أُطْلِقَ عَنْهُ الْحَجْرُ فَهُوَ لَا يَجْعَلُهَا حُرَّةً عَلَيْهِ أَبَدًا بِهَذَا.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata, dia dalam makna orang yang memerdekakannya, yaitu orang yang tidak sah memerdekakannya, maka dia tetap sebagai budak. Bagaimana mungkin dia dimerdekakan atau menjadi umm walad karena peristiwa pembelian, sementara dia dalam makna orang yang memerdekakannya adalah orang yang terhalang (dalam berbuat), kemudian penghalang itu dihilangkan darinya, maka dia tidak akan menjadikannya merdeka atasnya selamanya dengan hal ini.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَحْبَلَهَا أَوْ أَعْتَقَهَا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ خَرَجَتْ مِنْ الرَّهْنِ وَلَوْ اخْتَلَفَا فَقَالَ الرَّاهِنُ أَعْتَقْتهَا بِإِذْنِك، وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَهِيَ رَهْنٌ وَهَذَا إذَا كَانَ الرَّاهِنُ مُعْسِرًا فَأَمَّا إذَا كَانَ مُوسِرًا أَخَذَ مِنْهُ قِيمَةَ الْجَارِيَةِ، وَالْعِتْقُ وَالْوَلَاءُ لَهُ وَتَكُونُ مَكَانَهَا أَوْ قِصَاصًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika dia (pemberi gadai) menghamilinya atau memerdekakannya dengan izin penerima gadai, maka ia keluar dari status gadai. Jika mereka berselisih, dimana pemberi gadai berkata ‘Aku memerdekakannya dengan izinmu’ sedangkan penerima gadai mengingkarinya, maka perkataan penerima gadai yang diterima disertai sumpahnya, dan budak itu tetap dalam status gadai. Ini berlaku jika pemberi gadai dalam keadaan kesulitan (tidak mampu). Namun jika dia dalam keadaan mampu, maka penerima gadai mengambil nilai budak tersebut, sementara hak memerdekakan dan perwalian tetap miliknya, dan budak itu tetap berada di tempatnya atau sebagai qishash.”

 

وَلَوْ أَقَرَّ الْمُرْتَهِنُ أَنَّهُ أَذِنَ لَهُ بِوَطْئِهَا وَزَعَمَ أَنَّ هَذَا الْوَلَدَ مِنْ زَوْجٍ لَهَا وَادَّعَاهُ الرَّاهِنُ فَهُوَ ابْنُهُ وَهِيَ أُمُّ وَلَدٍ لَهُ وَلَا يُصَدَّقُ الْمُرْتَهِنُ وَفِي الْأَصْلِ وَلَا يَمِينَ عَلَيْهِ.

 

 

Seandainya pihak yang menerima gadai (murtahin) mengakui bahwa dia mengizinkan (rahin) untuk mencampuri istrinya, dan mengklaim bahwa anak ini berasal dari suaminya, sementara rahin mengakuinya sebagai anaknya, maka anak itu adalah anaknya (rahin) dan wanita tersebut menjadi ummu walad baginya. Pihak murtahin tidak boleh dipercaya, dan pada dasarnya tidak ada sumpah yang dibebankan kepadanya.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : أَصْلُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ إنْ أَعْتَقَهَا أَوْ أَحْبَلَهَا، وَهِيَ رَهْنٌ فَسَوَاءٌ، فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا أُخِذَتْ مِنْهُ الْقِيمَةُ وَكَانَتْ رَهْنًا مَكَانَهَا أَوْ قِصَاصًا، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا لَمْ يَكُنْ لَهُ إبْطَالُ الرَّهْنِ بِالْعِتْقِ وَلَا بِالْإِحْبَالِ وَبِيعَتْ فِي الرَّهْنِ فَلَمَّا جَعَلَهَا الشَّافِعِيُّ أُمَّ وَلَدٍ؛ لِأَنَّهُ أَحْبَلَهَا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ وَلَمْ تُبَعْ كَأَنَّهُ أَحْبَلَهَا وَلَيْسَتْ بِرَهْنٍ فَكَذَلِكَ إذَا كَانَ مُوسِرًا لَمْ تَكُنْ عَلَيْهِ قِيمَةٌ؛ لِأَنَّهُ أَحْبَلَهَا بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فَلَا تُبَاعُ كَأَنَّهُ أَحْبَلَهَا وَلَيْسَتْ بِرَهْنٍ فَتَفَهَّمْ.

 

(Al-Muzani berkata): Pokok pendapat Syafi’i adalah jika ia memerdekakannya atau menghamilkannya, sementara ia dalam status gadai, maka sama saja. Jika ia mampu, diambil darinya nilai (hamba tersebut) dan ia tetap sebagai pengganti gadai atau sebagai qishash. Jika ia tidak mampu, ia tidak boleh membatalkan gadai dengan memerdekakan atau menghamilkan, dan hamba itu dijual dalam status gadai. Ketika Syafi’i menjadikannya ummu walad karena ia menghamilkannya dengan izin penerima gadai dan tidak dijual, seolah ia menghamilkannya tanpa status gadai. Demikian pula jika ia mampu, tidak ada kewajiban membayar nilai, karena ia menghamilkannya dengan izin penerima gadai, sehingga tidak dijual, seolah ia menghamilkannya tanpa status gadai. Pahamilah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ وَطِئَهَا الْمُرْتَهِنُ حُدَّ وَوَلَدُهُ مِنْهَا رَقِيقٌ لَا يَلْحَقُهُ وَلَا مَهْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ أَكْرَهَهَا فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَلَا أَقْبَلُ مِنْهُ دَعْوَاهُ الْجَهَالَةَ إلَّا أَنْ يَكُونَ أَسْلَمَ حَدِيثًا أَوْ بِبَادِيَةٍ نَائِيَةٍ وَمَا أَشْبَهَهُ، وَلَوْ كَانَ رَبُّهَا أَذِنَ لَهُ فِي وَطْئِهَا وَكَانَ يَجْهَلُ دُرِئَ عَنْهُ الْحَدُّ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَكَانَ حُرًّا وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ يَوْمَ سَقَطَ وَفِي الْمَهْرِ قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِ الْغُرْمَ. وَالْآخَرُ: لَا غُرْمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ أَبَاحَهَا لَهُ وَمَتَى مَلَكَهَا كَانَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya orang yang menggadaikan (murtahin) menzinahi perempuan yang digadaikan, maka ia harus dihukum had, dan anak yang dilahirkan darinya adalah budak yang tidak dinasabkan kepadanya, serta tidak ada mahar kecuali jika ia memaksanya, maka ia wajib membayar mahar seperti perempuan itu. Aku tidak menerima pengakuannya tentang ketidaktahuan (jahalah) kecuali jika ia baru masuk Islam atau tinggal di pedalaman yang jauh atau semisalnya. Jika pemilik perempuan itu mengizinkannya untuk menzinahinya dan ia tidak tahu (hukumnya), maka had dihindarkan darinya, anak dinasabkan kepadanya dan statusnya merdeka, serta ia wajib membayar nilai anak itu pada hari kelahirannya. Ada dua pendapat mengenai mahar: pertama, ia wajib membayar ganti rugi; kedua, tidak ada ganti rugi karena pemilik telah mengizinkannya. Jika ia memilikinya (perempuan itu), maka ia menjadi ummu walad baginya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا قَدْ مَضَى فِي مِثْلِ هَذَا جَوَابِي لَا يَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ أَبَدًا.

 

(Al-Muzani berkata): Aku telah mengatakan sebelumnya dalam hal seperti ini jawabanku, tidak sepatutnya dia menjadi ummu walad baginya selamanya.

 

(قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ) : وَهِمَ الْمُزَنِيّ فِي هَذَا فِي كِتَابِ الرَّبِيعِ وَمَتَى مَلَكَهَا لَمْ تَكُنْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ.

 

 

(Abu Muhammad berkata): Al-Muzani keliru dalam hal ini dalam kitab Ar-Rabi’, dan ketika dia memilikinya, dia tidak memiliki umm walad.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَانَ الرَّهْنُ إلَى أَجَلٍ فَأَذِنَ لِلرَّاهِنِ فِي بَيْعِ الرَّهْنِ فَبَاعَهُ فَجَائِزٌ وَلَا يَأْخُذُ الْمُرْتَهِنُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا وَلَا مَكَانَهُ رَهْنًا؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهُ وَلَمْ يَجِبْ لَهُ الْبَيْعُ، وَإِنْ رَجَعَ فِي الْإِذْنِ قَبْلَ الْبَيْعِ فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ وَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ وَلَوْ قَالَ أَذِنْت لَهُ عَلَى أَنْ تُعْطِيَنِي ثَمَنَهُ وَأَنْكَرَ الرَّاهِنُ الشَّرْطَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ مَعَ يَمِينِهِ وَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ. وَلَوْ أَذِنَ لَهُ أَنْ يَبِيعَهُ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ ثَمَنَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ بَيْعُهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ إلَّا عَلَى أَنْ يُعَجِّلَهُ حَقَّهُ قَبْلَ مَحِلِّهِ، وَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ بِهِ، وَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika barang gadai memiliki tenggat waktu lalu pemberi gadai mengizinkan penerima gadai untuk menjual barang gadai tersebut, kemudian ia menjualnya, maka itu diperbolehkan. Penerima gadai tidak berhak mengambil sebagian dari harganya atau menggantinya dengan barang gadai lain, karena ia telah mengizinkannya dan penjualan itu tidak wajib baginya. Jika ia mencabut izin sebelum penjualan terjadi, maka penjualan itu batal dan barang tetap sebagai gadai. Jika penerima gadai berkata, “Aku mengizinkannya dengan syarat engkau memberiku harganya,” sementara pemberi gadai mengingkari syarat tersebut, maka perkataan penerima gadai yang diterima disertai sumpah, dan penjualannya batal. Jika ia mengizinkannya untuk menjual dengan syarat memberinya harganya, maka penjualan itu tidak sah, karena ia hanya mengizinkannya dengan syarat mempercepat haknya sebelum jatuh tempo. Penjualan itu batal karenanya, dan barang tetap sebagai gadai.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا أُشَبِّهُ بِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ فِي هَذَا الْمَعْنَى أَنْ لَا يَفْسَخَ الشَّرْطُ الْبَيْعَ؛ لِأَنَّ عَقْدَ الْبَيْعِ لَمْ يَكُنْ فِيهِ شَرْطٌ. أَلَا تَرَى أَنَّ مِنْ قَوْلِهِ لَوْ أَمَرْت رَجُلًا أَنْ يَبِيعَ ثَوْبِي عَلَى أَنَّ لَهُ عُشْرَ ثَمَنِهِ فَبَاعَهُ أَنَّ الْبَيْعَ جَائِزٌ لَا يَفْسَخُهُ فَسَادُ الشَّرْطِ فِي الثَّمَنِ وَكَذَا إذَا بَاعَ الرَّاهِنُ بِإِذْنِ الْمُرْتَهِنِ فَلَا يَفْسَخُهُ فَسَادُ الشَّرْطِ فِي الْعَقْدِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku berpendapat serupa dengan pendapat Asy-Syafi’i dalam makna ini bahwa syarat tidak membatalkan jual beli, karena akad jual beli tidak mengandung syarat. Tidakkah engkau melihat bahwa di antara pendapat beliau adalah: Jika engkau menyuruh seseorang menjual bajuku dengan syarat dia mendapat sepersepuluh harganya, lalu dia menjualnya, maka jual beli itu sah dan kerusakan syarat dalam harga tidak membatalkannya. Demikian pula jika orang yang menggadaikan menjual dengan izin penerima gadai, maka kerusakan syarat dalam akad tidak membatalkannya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا وَيَنْبَغِي إذَا نَفَذَ الْبَيْعُ عَلَى هَذَا أَنْ يَكُونَ الثَّمَنُ مَكَانَ الرَّهْنِ أَوْ يَتَقَاصَّانِ.

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata, dan sepatutnya apabila jual beli telah berlaku menurut ketentuan ini, maka harga (yang dibayarkan) menggantikan posisi barang gadai atau keduanya saling memperhitungkan.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Jika barang gadai itu dijual untuk melunasi hak yang sudah jatuh tempo, dan pemiliknya mengizinkan penjualan tanpa syarat apa pun, maka dia wajib memberikan hasil penjualannya kepada pemilik barang gadai, karena penjualan itu dilakukan untuk kepentingannya dan dia mengambil haknya dari hasil penjualan tersebut.”

 

 

وَلَوْ رَهَنَهُ أَرْضًا مِنْ أَرْضِ الْخَرَاجِ فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ؛ لِأَنَّهَا غَيْرُ مَمْلُوكَةٍ فَإِنْ كَانَ فِيهَا غِرَاسٌ أَوْ بِنَاءٌ لِلرَّاهِنِ فَهُوَ رَهْنٌ، وَإِنْ أَدَّى عَنْهَا الْخَرَاجَ فَهُوَ مُتَطَوِّعٌ لَا يَرْجِعُ بِهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ دَفَعَهُ بِأَمْرِهِ فَيَرْجِعُ بِهِ كَرَجُلٍ اكْتَرَى أَرْضًا مِنْ رَجُلٍ اكْتَرَاهَا فَدَفَعَ الْمُكْتَرِي الثَّانِي كِرَاءَهَا عَنْ الْأَوَّلِ فَهُوَ مُتَطَوِّعٌ.

 

 

Dan jika dia menggadaikan tanah dari tanah kharaj, maka gadai itu batal karena tanah itu tidak dimiliki. Jika ada tanaman atau bangunan milik penggadai di atasnya, maka itu sah sebagai gadai. Jika dia membayar kharajnya, maka itu dianggap sukarela dan tidak bisa menuntut kembali kecuali jika membayarnya atas perintah pemilik, maka dia bisa menuntut kembali. Seperti seseorang yang menyewa tanah dari orang lain yang juga menyewanya, lalu penyewa kedua membayar sewa untuk penyewa pertama, maka itu dianggap sukarela.

 

 

وَلَوْ اشْتَرَى عَبْدًا بِالْخِيَارِ ثَلَاثًا فَرَهَنَهُ قَبْلَهَا فَجَائِزٌ وَهُوَ قَطْعٌ لِخِيَارِهِ، وَإِيجَابٌ لِلْبَيْعِ فِي الْعَبْدِ، وَإِنْ كَانَ الْخِيَارُ لِلْبَائِعِ أَوْ لِلْبَائِعِ وَالْمُشْتَرِي فَرَهَنَهُ قَبْلَ الثَّلَاثِ فَتَمَّ لَهُ مِلْكُهُ بَعْدَ الثَّلَاثِ فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ؛ لِأَنَّهُ انْعَقَدَ وَمِلْكُهُ عَلَى الْعَبْدِ غَيْرُ تَامٍّ وَيَجُوزُ رَهْنُ الْعَبْدِ الْمُرْتَدِّ وَالْقَاتِلِ فَإِنْ قُتِلَ بَطَلَ الرَّهْنُ.

 

 

Dan jika seseorang membeli budak dengan hak khiyar selama tiga hari, lalu ia menggadaikannya sebelum masa tiga hari itu, maka itu boleh dan hal itu memutuskan hak khiyar-nya serta menetapkan jual beli atas budak tersebut. Namun, jika hak khiyar itu milik penjual atau milik penjual dan pembeli, lalu pembeli menggadaikan budak itu sebelum masa tiga hari, sementara kepemilikannya menjadi sempurna setelah tiga hari, maka gadai tersebut batal. Sebab akad gadai terjadi saat kepemilikannya atas budak belum sempurna. Dibolehkan pula menggadaikan budak yang murtad atau pembunuh. Jika budak itu dibunuh, maka gadainya batal.

 

 

وَلَوْ أَسْلَفَهُ أَلْفًا بِرَهْنٍ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّاهِنُ أَنْ يَزِيدَهُ أَلْفًا وَيَجْعَلَ الرَّهْنَ الْأَوَّلَ رَهْنًا بِهَا وَبِالْأَلْفِ الْأُولَى فَفَعَلَ لَمْ يَجُزْ الْآخَرُ؛ لِأَنَّهُ كَانَ رَهْنًا كُلَّهُ بِالْأَلْفِ الْأُولَى كَمَا لَوْ تَكَارَى دَارًا سَنَةً بِعَشَرَةٍ ثُمَّ اكْتَرَاهَا تِلْكَ السَّنَةَ بِعَيْنِهَا بِعِشْرِينَ لَمْ يَكُنْ الْكِرَاءُ الثَّانِي إلَّا بَعْدَ فَسْخِ الْأَوَّلِ. (قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: وَأَجَازَهُ فِي الْقَدِيمِ وَهُوَ أَقْيَسُ؛ لِأَنَّهُ أَجَازَ فِي الْحَقِّ الْوَاحِدِ بِالرَّهْنِ الْوَاحِدِ أَنْ يَزِيدَهُ فِي الْحَقِّ رَهْنًا فَكَذَلِكَ يَجُوزُ أَنْ يَزِيدَهُ فِي الرَّهْنِ حَقًّا.

 

 

Seandainya seseorang meminjamkan seribu dengan jaminan, lalu si peminjam memintanya untuk menambah seribu lagi dan menjadikan jaminan pertama sebagai jaminan untuk tambahan tersebut beserta seribu pertama, lalu dilaksanakan, maka tambahan itu tidak sah. Karena seluruh jaminan itu sudah menjadi jaminan untuk seribu pertama. Seperti halnya jika seseorang menyewa rumah selama setahun dengan sepuluh, lalu menyewa lagi rumah itu untuk tahun yang sama dengan dua puluh, maka sewa kedua tidak sah kecuali setelah membatalkan yang pertama. (Al-Muzani) berkata: Aku berpendapat dalam pendapat lama bahwa hal itu diperbolehkan, dan itu lebih tepat. Karena dia membolehkan dalam satu hak dengan satu jaminan untuk menambah jaminan pada hak tersebut, maka demikian pula boleh menambah hak pada jaminan.

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya orang yang menerima gadai (murtahin) bersaksi bahwa barang gadai (rahn) yang ada di tangannya bernilai dua ribu, maka kesaksian itu dapat diterima dalam hukum. Jika kedua pihak sepakat, maka itulah yang berlaku.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَشْهَدَ الْمُرْتَهِنُ أَنَّ هَذَا الرَّهْنَ فِي يَدِهِ بِأَلْفَيْنِ جَازَتْ الشَّهَادَةُ فِي الْحُكْمِ فَإِنْ تَصَادَقَا فَهُوَ مَا قَالَا.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ رَهَنَ عَبْدًا قَدْ صَارَتْ فِي عُنُقِهِ جِنَايَةٌ عَلَى آدَمِيٍّ أَوْ فِي مَالٍ فَالرَّهْنُ مَفْسُخٌ، وَلَوْ أَبْطَلَ رَبُّ الْجِنَايَةِ حَقَّهُ؛ لِأَنَّهُ كَانَ أَوْلَى بِهِ بِحَقٍّ لَهُ فِي عُنُقِهِ وَلَوْ كَانَتْ الْجِنَايَةُ تُسَاوِي دِينَارًا وَالْعَبْدُ يُسَاوِي أَلْفًا وَهَذَا أَكْبَرُ مِنْ أَنْ يَكُونَ رَهْنُهُ بِحَقٍّ ثُمَّ رَهَنَهُ بَعْدَ الْأَوَّلِ فَلَا يَجُوزُ الرَّهْنُ الثَّانِي، وَلَوْ ارْتَهَنَهُ فَقَبَضَهُ ثُمَّ أَقَرَّ الرَّاهِنُ أَنَّهُ جَنَى قَبْلَ الرَّهْنِ جِنَايَةً ادَّعَى بِهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ؛ لِأَنَّهُ أَقَرَّ بِحَقٍّ فِي عُنُقِ عَبْدِهِ وَلَا تَبْرَأُ ذِمَّتُهُ مِنْ دَيْنِ الْمُرْتَهِنِ، وَقِيلَ يَحْلِفُ الْمُرْتَهِنُ مَا عَلِمَ فَإِذَا حَلَفَ كَانَ الْقَوْلُ فِي إقْرَارِ الرَّاهِنِ بِأَنَّ عَبْدَهُ جَنَى قَبْلَ أَنْ يَرْهَنَهُ وَاحِدًا مِنْ قَوْلَيْنِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعَبْدَ رَهْنٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْ مَالِهِ شَيْءٌ، وَإِنْ كَانَ مُوسِرًا؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا أَقَرَّ فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ بِحَقَّيْنِ لِرَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا مِنْ قِبَلِ الْجِنَايَةِ وَالْآخَرُ مِنْ قِبَلِ الرَّهْنِ، وَإِذَا فُكَّ مِنْ الرَّهْنِ، وَهُوَ لَهُ فَالْجِنَايَةُ فِي رَقَبَتِهِ بِإِقْرَارِ سَيِّدِهِ إنْ كَانَتْ خَطَأً أَوْ شِبْهَ عَمْدٍ لَا قِصَاصَ، وَإِنْ كَانَتْ عَمْدًا فِيهَا قِصَاصٌ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُهُ عَلَى الْعَبْدِ إذَا لَمْ يُقِرَّ بِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seseorang menggadaikan budak yang telah ada tanggungan jinayah (denda) atas nyawa manusia atau harta di lehernya, maka gadai tersebut batal. Meskipun pemilik jinayah membatalkan haknya, karena ia lebih berhak atas budak tersebut dengan hak yang ada di lehernya. Sekalipun nilai jinayah hanya satu dinar sedangkan budak bernilai seribu dinar, karena ini lebih besar daripada hak gadainya. Kemudian jika ia menggadaikannya lagi setelah gadai pertama, maka gadai kedua tidak sah. Jika penerima gadai telah menerima budak tersebut, lalu pemberi gadai mengakui bahwa budaknya telah melakukan jinayah sebelum digadaikan yang ia klaim, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: perkataan pemberi gadai yang diikuti, karena ia mengakui adanya hak di leher budaknya dan tanggungannya tidak lepas dari hutang penerima gadai. Kedua: penerima gadai bersumpah bahwa ia tidak tahu. Jika ia bersumpah, maka status pengakuan pemberi gadai bahwa budaknya melakukan jinayah sebelum digadaikan menjadi salah satu dari dua pendapat. Pertama: budak tersebut tetap sebagai gadai dan tidak diambil dari hartanya apapun, meskipun ia kaya, karena ia hanya mengakui satu hal dengan dua hak untuk dua orang, satu dari sisi jinayah dan satu dari sisi gadai. Ketika budak tersebut ditebus dan menjadi miliknya, maka jinayah tetap di lehernya berdasarkan pengakuan tuannya. Jika jinayah tersebut karena kesalahan atau semi sengaja, tidak ada qishash. Jika jinayah tersebut sengaja dan ada qishash, maka perkataannya tidak diterima atas budak tersebut jika ia tidak mengakuinya.

 

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ إذَا كَانَ مُوسِرًا أُخِذَ مِنْ السَّيِّدِ الْأَقَلُّ مِنْ قِيمَةِ الْعَبْدِ أَوْ أَرْشُ الْجِنَايَةِ فَيُدْفَعُ إلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يُقِرُّ بِأَنَّ فِي عُنُقِ عَبْدِهِ حَقًّا أَتْلَفَهُ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ بِرَهْنِهِ إيَّاهُ وَكَانَ كَمَنْ أَعْتَقَ عَبْدَهُ، وَقَدْ جَنَى وَهُوَ مُوسِرٌ أَوْ أَتْلَفَهُ أَوْ قَتَلَهُ فَيَضْمَنُ الْأَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ أَرْشَ الْجِنَايَةِ وَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ، وَإِنَّمَا أُتْلِفَ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ لَا عَلَى الْمُرْتَهِنِ، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ وَمَتَى خَرَجَ مِنْ الرَّهْنِ وَهُوَ فِي مِلْكِهِ فَالْجِنَايَةُ فِي عُنْقِهِ، وَإِنْ خَرَجَ مِنْ الرَّهْنِ بِبَيْعٍ فَفِي ذِمَّةِ سَيِّدِهِ الْأَقَلُّ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ أَرْشُ جِنَايَتِهِ.

 

 

Pendapat kedua: Jika tuannya mampu, maka diambil dari tuannya nilai yang lebih rendah antara harga budak atau diyat (tebusan) kejahatan, lalu diberikan kepada korban. Karena tuannya mengakui bahwa ada hak pada budaknya yang telah merugikan korban dengan menjadikannya sebagai jaminan. Hal ini seperti orang yang memerdekakan budaknya, lalu budak itu melakukan kejahatan saat tuannya mampu, merusak, atau membunuh, maka tuannya menanggung nilai yang lebih rendah antara harga budak atau diyat kejahatan, sementara budak tetap sebagai jaminan. Kerugian itu ditanggung oleh korban, bukan oleh penerima jaminan. Jika tuannya tidak mampu, maka budak tetap sebagai jaminan. Jika budak keluar dari status jaminan dan masih dalam kepemilikannya, maka kejahatan itu tetap menjadi tanggungannya. Namun jika keluar dari jaminan karena dijual, maka tanggungan beralih kepada tuannya dengan nilai yang lebih rendah antara harga budak atau diyat kejahatannya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: وَهَذَا أَصَحُّهَا وَأَشْبَهُهَا بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ هُوَ وَالْعُلَمَاءُ مُجْمِعَةٌ أَنَّ مَنْ أَقَرَّ بِمَا يَضُرُّهُ لَزِمَهُ، وَمَنْ أَقَرَّ بِمَا يُبْطِلُ بِهِ حَقَّ غَيْرِهِ لَمْ يَجُزْ عَلَى غَيْرِهِ، وَمَنْ أَتْلَفَ شَيْئًا لِغَيْرِهِ فِيهِ حَقٌّ فَهُوَ ضَامِنٌ بِعُدْوَانِهِ، وَقَدْ قَالَ: إنْ لَمْ يَحْلِفْ الْمُرْتَهِنُ عَلَى عِلْمِهِ كَانَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ أَوْلَى بِهِ مِنْهُ، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ بِهَذَا الْمَعْنَى لَوْ أَقَرَّ أَنَّهُ أَعْتَقَهُ لَمْ يَضُرَّ الْمُرْتَهِنَ فَإِنْ كَانَ مُوسِرًا أُخِذَتْ مِنْهُ قِيمَتُهُ فَجُعِلَتْ رَهْنًا مَكَانَهُ وَلَوْ كَانَ مُعْسِرًا بِيعَ فِي الرَّهْنِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata: “Inilah pendapat yang paling sahih dan paling mirip dengan perkataannya, karena dia dan para ulama sepakat bahwa siapa yang mengakui sesuatu yang merugikannya, maka itu mengikatnya. Siapa yang mengakui sesuatu yang membatalkan hak orang lain, maka tidak boleh diterima atas orang lain. Siapa yang merusak sesuatu milik orang lain yang ada hak di dalamnya, maka dia wajib menanggung karena kezalimannya.” Dia juga berkata: “Jika penerima gadai tidak bersumpah berdasarkan pengetahuannya, maka pihak yang dirugikan lebih berhak atasnya daripada dia.” Asy-Syafi’i juga berkata dengan makna ini: “Jika dia mengaku telah memerdekakannya, itu tidak merugikan penerima gadai. Jika dia mampu, diambil darinya nilainya lalu dijadikan pengganti gadai. Jika dia tidak mampu, dijual sebagai gadai.”

(قَالَ) : وَمَتَى رَجَعَ إلَيْهِ عَتَقَ؛ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّهُ حُرٌّ.

 

Beliau berkata: “Dan apabila dia kembali kepadanya, dia merdeka; karena dia mengakui bahwa dia adalah orang yang merdeka.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ جَنَى بَعْدَ الرَّهْنِ ثُمَّ بَرِئَ مِنْ الْجِنَايَةِ بِعَفْوٍ أَوْ صُلْحٍ أَوْ غَيْرِهِ فَهُوَ عَلَى حَالِهِ رَهْنٌ؛ لِأَنَّ أَصْلَ الرَّهْنِ كَانَ صَحِيحًا وَلَوْ دَبَّرَهُ ثُمَّ رَهَنَهُ كَانَ الرَّهْنُ مَفْسُوخًا؛ لِأَنَّهُ أَثْبَتَ لَهُ عِتْقًا قَدْ يَقَعُ قَبْلَ حُلُولِ الرَّهْنِ فَلَا يَسْقُطُ الْعِتْقُ، وَالرَّهْنُ غَيْرُ جَائِزٍ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِي التَّدْبِيرِ إلَّا بِأَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ مِلْكِهِ. وَلَوْ قَالَ لَهُ إنْ دَخَلْت الدَّارَ فَأَنْتَ حُرٌّ ثُمَّ رَهَنَهُ كَانَ هَكَذَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang melakukan pelanggaran setelah menggadaikan barang, kemudian dibebaskan dari pelanggaran tersebut melalui pengampunan, perdamaian, atau cara lain, maka status gadai tetap berlaku. Sebab asal akad gadai itu sah. Namun, jika seseorang memerdekakan budak dengan tadbir kemudian menggadaikannya, akad gadai itu batal. Karena ia telah menetapkan kemerdekaan yang mungkin terjadi sebelum jatuh tempo gadai, sehingga kemerdekaan tidak gugur sementara gadai tidak diperbolehkan. Ia juga tidak boleh membatalkan tadbir kecuali dengan mengeluarkan budak tersebut dari kepemilikannya. Demikian pula jika seseorang berkata, ‘Jika kamu masuk rumah maka kamu merdeka,’ lalu ia menggadaikan budak tersebut, hukumnya sama seperti ini.”

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: وَقَدْ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ فَلَوْ أَوْصَى بِهِ ثُمَّ رَهَنَهُ أَمَا كَانَ جَائِزًا؟ فَكَذَلِكَ التَّدْبِيرُ فِي أَصْلِ قَوْلِهِ، وَقَدْ قَالَ فِي الْكِتَابِ الْجَدِيدِ آخِرُ مَا سَمِعْنَاهُ مِنْهُ: وَلَوْ قَالَ فِي الْمُدَبَّرِ إنْ أَدَّى بَعْدَ مَوْتِي كَذَا فَهُوَ حُرٌّ أَوْ وَهَبَهُ هِبَةَ بَتَاتٍ قَبَضَ أَوْ لَمْ يَقْبِضْ وَرَجَعَ فَهَذَا رُجُوعٌ فِي التَّدْبِيرِ هَذَا نَصُّ قَوْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Dan (Asy-Syafi’i telah mengatakan): Sesungguhnya tadbir (pembebasan budak setelah kematian) itu adalah wasiat. Seandainya seseorang berwasiat dengannya kemudian menggadaikannya, bukankah itu diperbolehkan? Demikian pula tadbir pada dasarnya menurut pendapatnya. Dan dia telah mengatakan dalam kitab terbaru, yang terakhir kami dengar darinya: “Seandainya dia berkata tentang budak yang ditalak, ‘Jika dia membayar setelah kematianku sesuatu, maka dia merdeka,’ atau memberikannya sebagai hibah mutlak, baik telah diterima atau belum, lalu dia menarik kembali, maka ini adalah pembatalan dalam tadbir.” Ini adalah teks perkataannya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: فَقَدْ أَبْطَلَ تَدْبِيرَهُ بِغَيْرِ إخْرَاجٍ لَهُ مِنْ مِلْكِهِ كَمَا لَوْ أَوْصَى بِرَقَبَتِهِ، وَإِذَا رَهَنَهُ فَقَدْ أَوْجَبَ لِلْمُرْتَهِنِ حَقًّا فِيهِ فَهُوَ أَوْلَى بِرَقَبَتِهِ مِنْهُ وَلَيْسَ لِسَيِّدِهِ بَيْعُهُ لِلْحَقِّ الَّذِي عَقَدَهُ فِيهِ فَكَيْفَ يَبْطُلُ التَّدْبِيرُ بِقَوْلِهِ إنْ أَدَّى كَذَا فَهُوَ حُرٌّ أَوْ وَهَبَهُ وَلَمْ يَقْبِضْهُ الْمَوْهُوبُ لَهُ حَتَّى رَجَعَ فِي هِبَتِهِ وَمِلْكُهُ فِيهِ بِحَالِهِ وَلَا حَقَّ فِيهِ لِغَيْرِهِ وَلَا يَبْطُلُ تَدْبِيرُهُ بِأَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ يَدِهِ إلَى يَدِ مَنْ هُوَ أَحَقُّ بِرَقَبَتِهِ مِنْهُ وَبَيْعُهُ، وَقَبْضُ ثَمَنِهِ فِي دَيْنِهِ وَمُنِعَ سَيِّدُهُ مِنْ بَيْعِهِ فَهَذَا أَقْيَسُ بِقَوْلِهِ، وَقَدْ شَرَحْت لَك فِي كِتَابِ الْمُدَبَّرِ فَتَفَهَّمْهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Sungguh ia telah membatalkan pengaturannya tanpa mengeluarkannya dari kepemilikannya, seperti jika ia mewasiatkan kebebasannya. Dan jika ia menggadaikannya, maka ia telah mewajibkan hak bagi penerima gadai atasnya, sehingga penerima gadai lebih berhak atas kebebasannya daripada dirinya sendiri. Pemiliknya tidak boleh menjualnya karena hak yang telah ditetapkan padanya. Lalu bagaimana bisa pengaturan itu batal dengan ucapannya “Jika ia membayar demikian maka ia merdeka”, atau ia menghadiahkannya namun penerima hadiah belum menerimanya hingga ia menarik kembali hibahnya, sementara kepemilikannya tetap ada dan tidak ada hak orang lain padanya. Pengaturannya tidak batal dengan mengeluarkannya dari tangannya ke tangan orang yang lebih berhak atas kebebasannya daripada dirinya, serta penjualannya dan penerimaan harganya untuk hutangnya, sementara pemiliknya dilarang menjualnya. Ini lebih sesuai dengan pendapatnya. Dan sungguh aku telah menjelaskan kepadamu dalam kitab Al-Mudabbar, maka pahamilah.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang menggadaikan minuman manis (yang belum memabukkan), maka itu diperbolehkan. Jika minuman tersebut berubah menjadi cuka, pahit, atau sesuatu yang banyaknya tidak memabukkan, maka gadai tetap berlaku. Namun jika minuman itu berubah menjadi sesuatu yang memabukkan, maka akad gadai batal karena telah menjadi haram dan tidak boleh diperjualbelikan, seperti halnya jika seseorang menggadaikan budak lalu budak tersebut meninggal. Jika minuman itu berubah menjadi khamr kemudian menjadi cuka secara alami tanpa campur tangan manusia, maka status gadai tetap berlaku. Tetapi jika berubah menjadi cuka karena campur tangan manusia, maka tidak halal. Jika si pemberi gadai berkata, ‘Aku menggadaikannya padamu dalam bentuk minuman (belum memabukkan), lalu berubah menjadi khamr di tanganmu,’ sedangkan penerima gadai berkata, ‘Engkau menggadaikannya padaku dalam bentuk khamr,’ maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: perkataan si pemberi gadai yang diambil karena perubahan status terjadi seperti cacat dalam jual beli. Pendapat ini mengharuskan khamr tersebut dibuang dan tidak ada gadai, sedangkan akad jual beli tetap berlaku. Kedua: perkataan penerima gadai yang diambil karena ia tidak mengakui pernah menerima sesuatu yang halal untuk digadaikan, dan kasus ini tidak seperti cacat pada budak yang kepemilikannya halal meski ada cacat. Penerima gadai berhak memilih untuk membatalkan akad jual beli.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا هَذَا عِنْدِي أَقْيَسُ؛ لِأَنَّ الرَّاهِنَ مُدَّعٍ.

 

(Al-Muzani berkata): Aku berpendapat ini lebih tepat menurutku; karena pihak yang menggadaikan adalah penggugat.

 

(قَالَ) : وَلَا بَأْسَ أَنْ يَرْهَنَ الْجَارِيَةَ وَلَهَا وَلَدٌ صَغِيرٌ؛ لِأَنَّ هَذَا لَيْسَ بِتَفْرِقَةٍ

 

Dia berkata, “Tidak mengapa menggadaikan budak perempuan yang memiliki anak kecil, karena hal ini tidak termasuk memisahkan (keluarga).”

 

 

لَوْ ارْتَهَنَ نَخْلًا مُثْمِرًا فَالثَّمَرُ خَارِجٌ مِنْ الرَّهْنِ طَلْعًا كَانَ أَوْ بُسْرًا إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ مَعَ النَّخْلِ؛ لِأَنَّهُ عَيْنٌ تُرَى وَمَا هَلَكَ فِي يَدَيْ الْمُرْتَهِنِ مِنْ رَهْنٍ صَحِيحٍ وَفَاسِدٍ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ، وَإِذَا رَهَنَهُ مَا يَفْسُدُ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ غَدِهِ أَوْ مُدَّةٍ قَصِيرَةٍ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ يَابِسًا مِثْلُ الْبَقْلِ وَالْبِطِّيخِ فَإِنْ كَانَ الْحَقُّ حَالًّا فَجَائِزٌ وَيُبَاعُ، وَإِنْ كَانَ إلَى أَجَلٍ يَفْسُدُ إلَيْهِ كَرِهْتُهُ وَمَنَعَنِي مِنْ فَسْخِهِ أَنَّ لِلرَّاهِنِ بَيْعَهُ قَبْلَ مَحِلِّ الْحَقِّ عَلَى أَنْ يُعْطَى صَاحِبَ الْحَقِّ حَقُّهُ بِلَا شَرْطٍ فَإِنْ شَرَطَ أَنْ لَا يُبَاعَ إلَى أَنْ يَحِلَّ الْحَقُّ فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ. وَلَوْ رَهَنَهُ أَرْضًا بِلَا نَخْلٍ فَأَخْرَجَتْ نَخْلًا فَالنَّخْلُ خَارِجٌ مِنْ الرَّهْنِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ قَلْعُهَا؛ لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ عَلَى الْأَرْضِ مِنْهَا حَتَّى يَحِلَّ الْحَقُّ فَإِنْ بَلَغَتْ حَقَّ الْمُرْتَهِنِ لَمْ تُقْلَعْ، وَإِنْ لَمْ تَبْلُغْ قُلِعَتْ، وَإِنْ فَلِسَ بِدُيُونِ النَّاسِ بِيعَتْ الْأَرْضُ بِالنَّخْلِ ثُمَّ قُسِمَ الثَّمَنُ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ بِلَا نَخْلٍ وَعَلَى مَا بَلَغَتْ بِالنَّخْلِ فَأُعْطِيَ الْمُرْتَهِنُ ثَمَنَ الْأَرْضِ وَالْغُرَمَاءُ ثَمَنَ النَّخْلِ.

 

 

Jika seseorang menggadaikan pohon kurma yang berbuah, maka buahnya tidak termasuk dalam gadai, baik masih muda atau sudah mengeras, kecuali jika disyaratkan bersama pohonnya karena buah adalah benda yang terlihat. Apa pun yang rusak di tangan penerima gadai dari gadai yang sah atau batal, maka tidak ada tanggungan atasnya. Jika yang digadaikan adalah benda yang mudah rusak dalam sehari atau dua hari atau waktu singkat sehingga tidak bisa dimanfaatkan dalam keadaan kering seperti sayuran atau semangka, maka jika haknya harus segera dipenuhi, gadai itu boleh dan bisa dijual. Namun jika haknya berjangka hingga benda itu rusak, maka aku tidak menyukainya dan mencegah pembatalannya karena pemberi gadai boleh menjualnya sebelum jatuh tempo hak asalkan pemegang hak diberikan haknya tanpa syarat. Jika disyaratkan untuk tidak dijual hingga hak itu jatuh tempo, maka gadainya batal. Jika seseorang menggadaikan tanah tanpa pohon kurma lalu tanah itu menghasilkan pohon kurma, maka pohon itu tidak termasuk dalam gadai dan tidak wajib dicabut karena tidak merugikan tanah hingga hak itu jatuh tempo. Jika nilai pohon itu mencukupi hak penerima gadai, maka tidak perlu dicabut. Jika tidak mencukupi, maka dicabut. Jika pemberi gadai bangkrut karena hutang orang banyak, maka tanah beserta pohonnya dijual, lalu hasilnya dibagi antara harga tanah kosong tanpa pohon dan nilai tambah karena pohon. Penerima gadai diberi harga tanah, sedangkan kreditur diberi harga pohon.

 

(قَالَ) : وَلَوْ رَهَنَهُ أَرْضًا وَنَخْلًا ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الرَّاهِنُ أَحْدَثْت فِيهَا نَخْلًا وَأَنْكَرَ الْمُرْتَهِنُ وَلَمْ تَكُنْ دَلَالَةٌ وَأَمْكَنَ مَا قَالَ الرَّاهِنُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ ثُمَّ كَالْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا وَلَوْ شَرَطَ لِلْمُرْتَهِنِ إذَا حَلَّ الْحَقُّ أَنْ يَبِيعَهُ لِمَنْ يَجُزْ أَنْ يَبِيعَ لِنَفْسِهِ إلَّا بِأَنْ يَحْضُرَهُ رَبُّ الرَّهْنِ فَإِنْ امْتَنَعَ أَمَرَ الْحَاكِمُ بِبَيْعِهِ وَلَوْ كَانَ الشَّرْطُ لِلْعَدْلِ جَازَ بَيْعُهُ مَا لَمْ يَفْسَخَا أَوْ أَحَدُهُمَا وَكَالَتَهُ وَلَوْ بَاعَ بِمَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ فَلَمْ يُفَارِقْهُ حَتَّى جَاءَ مَنْ يَزِيدُهُ قَبِلَ الزِّيَادَةَ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَبَيْعُهُ مَرْدُودٌ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seseorang menggadaikan tanah dan kebun kurma, kemudian mereka berselisih. Pemberi gadai berkata, ‘Aku telah menanam pohon kurma baru di sana,’ sementara penerima gadai mengingkarinya, dan tidak ada bukti, namun perkataan pemberi gadai mungkin benar, maka perkataannya diterima disertai sumpah. Kemudian hukumnya seperti kasus sebelumnya. Jika disyaratkan bagi penerima gadai ketika hak telah jatuh tempo untuk menjualnya kepada siapa pun yang sah, dia boleh menjualnya untuk dirinya sendiri kecuali jika pemilik gadai hadir. Jika pemilik gadai menolak, hakim memerintahkan untuk menjualnya. Jika syaratnya diberikan kepada orang yang adil, penjualannya sah selama keduanya atau salah satunya tidak membatalkannya, dan dia menjadi wakilnya. Jika dia menjual dengan harga yang biasa diterima orang untuk barang serupa, lalu sebelum berpisah datang orang yang menawar lebih tinggi, dia boleh menerima tambahan harga. Jika tidak melakukannya, maka penjualannya dibatalkan.”

 

 

وَإِذَا بِيعَ الرَّهْنُ فَثَمَنُهُ مِنْ الرَّاهِنِ حَتَّى يَقْبِضَهُ الْمُرْتَهِنُ، وَلَوْ مَاتَ الرَّاهِنُ فَأَمَرَ الْحَاكِمُ عَدْلًا فَبَاعَ الرَّهْنَ وَضَاعَ الثَّمَنُ مِنْ يَدَيْ الْعَدْلِ فَاسْتُحِقَّ الرَّهْنُ لَمْ يَضْمَنْ الْحَاكِمُ وَلَا الْعَدْلُ؛ لِأَنَّهُ أَمِينٌ وَأَخَذَ الْمُسْتَحِقُّ مَتَاعَهُ وَالْحَقُّ وَالثَّمَنُ فِي ذِمَّةِ الْمَيِّتِ وَالْعُهْدَةُ عَلَيْهِ كَهِيَ لَوْ بَاعَ عَلَى نَفْسِهِ فَلَيْسَ الَّذِي يَبِيعُ لَهُ الرَّهْنَ مِنْ الْعُهْدَةِ بِسَبِيلٍ وَلَوْ بَاعَ الْعَدْلُ فَقَبَضَ الثَّمَنَ فَقَالَ ضَاعَ فَهُوَ مُصَدَّقٌ، وَإِنْ قَالَ: دَفَعْته إلَى الْمُرْتَهِنِ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ الْمُرْتَهِنُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ، وَعَلَى الدَّافِعِ الْبَيِّنَةُ وَلَوْ بَاعَ بِدَيْنٍ كَانَ ضَامِنًا. وَلَوْ قَالَ لَهُ أَحَدُهُمَا: بِعْ بِدَنَانِيرَ وَالْآخَرُ بِعْ بِدَرَاهِمَ لَمْ يَبِعْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا لِحَقِّ الْمُرْتَهِنِ فِي ثَمَنِ الرَّهْنِ وَحَقِّ الرَّاهِنِ فِي رَقَبَتِهِ وَثَمَنِهِ وَجَاءَ الْحَاكِمُ حَتَّى يَأْمُرَهُ بِالْبَيْعِ بِنَقْدِ الْبَلَدِ ثُمَّ يَصْرِفَهُ فِيمَا الرَّهْنُ فِيهِ، وَإِنْ تَغَيَّرَتْ حَالُ الْعَدْلِ فَأَيُّهُمَا دَعَا إلَى إخْرَاجِهِ كَانَ ذَلِكَ لَهُ، وَإِنْ أَرَادَ الْعَدْلُ رَدَّهُ وَهُمَا حَاضِرَانِ فَذَلِكَ لَهُ وَلَوْ دَفَعَهُ بِغَيْرِ أَمْرِ الْحَاكِمِ مِنْ غَيْرِ مَحْضَرِهِمَا ضَمِنَ، وَإِنْ كَانَا بِعِيدَيْ الْغَيْبَةِ لَمْ أَرَ أَنْ يَضْطَرَّهُ عَلَى حَبْسِهِ، وَإِنَّمَا هِيَ وَكَالَةٌ لَيْسَتْ لَهُ فِيهَا مَنْفَعَةٌ وَأَخْرَجَهُ الْحَاكِمُ إلَى عَدْلٍ.

 

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Apabila barang gadai dijual, maka harganya menjadi tanggungan penggadai hingga diterima oleh penerima gadai. Jika penggadai meninggal dan hakim memerintahkan seorang yang adil untuk menjual barang gadai, lalu harga barang itu hilang dari tangan orang yang adil tersebut, kemudian barang gadai itu diklaim oleh pemiliknya, maka hakim dan orang yang adil itu tidak menanggung kerugian karena ia adalah orang yang dipercaya. Pemilik yang berhak mengambil barangnya, dan hak serta harga barang tetap menjadi tanggungan orang yang meninggal. Tanggung jawabnya sama seperti jika ia menjual untuk dirinya sendiri. Orang yang menjualkan barang gadai tidak memiliki tanggung jawab atasnya. Jika orang yang adil itu menjual lalu menerima harganya, kemudian mengatakan harganya hilang, maka perkataannya dipercaya. Jika ia mengatakan telah menyerahkan kepada penerima gadai, tetapi penerima gadai mengingkarinya, maka perkataan penerima gadai yang diikuti, dan penyerah harus membuktikan. Jika ia menjual dengan pembayaran utang, maka ia menanggungnya. Jika salah satu dari keduanya berkata, “Juallah dengan dinar,” dan yang lain berkata, “Juallah dengan dirham,” maka ia tidak boleh menjual dengan salah satunya karena hak penerima gadai atas harga barang gadai dan hak penggadai atas barang dan harganya. Hakim kemudian memerintahkannya untuk menjual dengan mata uang setempat, lalu menggunakannya sesuai tujuan gadai. Jika keadaan orang yang adil berubah, maka siapa pun yang meminta untuk mengeluarkannya berhak melakukannya. Jika orang yang adil ingin mengembalikannya dan keduanya hadir, maka itu boleh dilakukan. Jika ia menyerahkannya tanpa perintah hakim dan tanpa kehadiran keduanya, maka ia menanggungnya. Jika keduanya jauh dan tidak hadir, aku tidak melihat perlunya memaksanya untuk menahannya, karena itu hanyalah amanah yang tidak ada manfaat baginya, dan hakim menyerahkannya kepada orang yang adil.

 

 

وَلَوْ جَنَى الْمَرْهُونُ عَلَى سَيِّدِهِ فَلَهُ الْقِصَاصُ فَإِنْ عَفَا فَلَا دَيْنَ لَهُ عَلَى عَبْدِهِ وَهُوَ رَهْنٌ بِحَالِهِ فَإِنْ جَنَى عَبْدُهُ الْمَرْهُونُ عَلَى عَبْدٍ لَهُ آخَرَ مَرْهُونٍ فَ

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: هَذَا أَوْلَى مِنْ قَوْلِهِ لَا يَجُوزُ أَنْ يَزْدَادَ حَرْفًا فِي الرَّهْنِ الْوَاحِدِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Ini lebih utama daripada ucapannya bahwa tidak boleh menambah satu huruf pun dalam satu akad gadai.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Imam Syafi’i berkata: Jika seorang tuan memerintah budaknya untuk melakukan kejahatan, maka jika budak itu sudah baligh dan berakal, ia berdosa tetapi tidak dikenakan kewajiban apa pun. Namun jika budak itu masih kecil atau orang asing (yang tidak memahami), lalu ia dijual karena kejahatan tersebut, maka tuannya diwajibkan untuk membayar senilai harganya sebagai jaminan penggantinya. Jika tuannya mengizinkan budaknya dijadikan jaminan lalu budak itu melakukan kejahatan dan dijual karenanya, maka yang lebih tepat adalah tuannya tidak menanggung (kerugian), dan ini berbeda dengan orang yang meminjam (budak) yang manfaatnya teralihkan untuk melayani budak tersebut dari pemilik aslinya. Tuannya berhak mempekerjakan budaknya yang dijadikan jaminan, dan pihak yang dirugikan dalam kejahatan yang dilakukan budak adalah tuannya sendiri. Jika penerima jaminan menghendaki, ia boleh menghadiri persidangannya. Jika diputuskan untuk membayar sesuatu, maka itu diambil dari jaminan. Jika penerima jaminan memaafkan, maka pengampunannya tidak sah. Jika seseorang menggadaikan dua budak, satu dengan dinar dan satu dengan gandum, lalu salah satu budak membunuh yang lain, maka kejahatan itu dianggap sia-sia (tidak ada ganti rugi).”

 

 

وَأَكْرَهُ أَنْ يَرْهَنَ مِنْ مُشْرِكٍ مُصْحَفًا أَوْ عَبْدًا مُسْلِمًا وَأُجْبِرُهُ عَلَى أَنْ يَضَعَهُمَا عَلَى يَدَيْ مُسْلِمٍ وَلَا بَأْسَ بِرَهْنِهِ مَا سِوَاهُمَا «رَهَنَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – دِرْعَهُ عِنْدَ أَبِي الشَّحْمِ الْيَهُودِيِّ» . (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فِي غَيْرِ كِتَابِ الرَّهْنِ الْكَبِيرِ: إنَّ الرَّهْنَ فِي الْمُصْحَفِ وَالْعَبْدِ الْمُسْلِمِ مِنْ النَّصْرَانِيِّ بَاطِلٌ.

 

 

Aku tidak menyukai jika seorang musyrik menggadaikan mushaf atau budak Muslim, dan aku memaksanya untuk menyerahkan keduanya kepada seorang Muslim. Tidak masalah menggadaikan selain keduanya. “Nabi ﷺ pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi bernama Abu Syahm.” (Asy-Syafi’i berkata) dalam selain kitab Ar-Rahn Al-Kabir: “Sesungguhnya gadai atas mushaf dan budak Muslim dari seorang Nasrani adalah batal.”

 

بَابُ اخْتِلَافِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ

 

Bab tentang perselisihan antara pemberi gadai dan penerima gadai.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَعْقُولٌ إذَا أَذِنَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – بِالرَّهْنِ أَنَّهُ زِيَادَةُ وَثِيقَةٍ لِصَاحِبِ الْحَقِّ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِالْحَقِّ بِعَيْنِهِ وَلَا جُزْءًا مِنْ عَدَدِهِ وَلَوْ بَاعَ رَجُلًا شَيْئًا عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ مِنْ مَالِهِ مَا يَعْرِفَانِهِ يَضَعَانِهِ عَلَى يَدَيْ عَدْلٍ أَوْ عَلَى يَدَيْ الْمُرْتَهِنِ كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا وَلَمْ يَكُنْ الرَّهْنُ تَامًّا حَتَّى يَقْبِضَهُ الْمُرْتَهِنُ، وَلَوْ امْتَنَعَ الرَّاهِنُ أَنْ يُقْبِضَهُ الرَّهْنَ لَمْ يُجْبِرْهُ وَالْبَائِعُ بِالْخِيَارِ فِي إتْمَامِ الْبَيْعِ بِلَا رَهْنٍ أَوْ رَدِّهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرْضَ بِذِمَّتِهِ دُونَ الرَّهْنِ وَهَكَذَا لَوْ بَاعَهُ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُ حَمِيلًا بِعَيْنِهِ فَلَمْ يَتَحَمَّلْ لَهُ فَلَهُ رَدُّ الْبَيْعِ وَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي رَدُّ الْبَيْعِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِ نَقْصٌ يَكُونُ لَهُ بِهِ الْخِيَارُ، وَلَوْ كَانَا جَهِلَا الرَّهْنَ أَوْ الْحَمِيلَ فَالْبَيْعُ فَاسِدٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dapat dipahami bahwa ketika Allah -Yang Maha Agung dan Mulia- mengizinkan rahn (gadai), itu adalah tambahan jaminan bagi pemilik hak, dan ia bukan hak itu sendiri atau bagian dari jumlahnya. Jika seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan syarat menggadaikan sebagian hartanya yang mereka ketahui, lalu mereka menyerahkannya kepada pihak yang adil atau kepada penerima gadai, maka jual beli itu sah, namun gadai belum sempurna hingga penerima gadai menerimanya. Jika pemberi gadai menolak menyerahkan barang gadai, ia tidak bisa dipaksa, dan penjual berhak memilih antara menyelesaikan transaksi tanpa gadai atau membatalkannya, karena ia tidak rela dengan tanggungannya tanpa gadai. Demikian pula jika ia menjual dengan syarat memberikan penjamin tertentu, lalu penjamin itu tidak bersedia, maka penjual berhak membatalkan jual beli. Namun pembeli tidak berhak membatalkan, karena tidak ada kerugian yang memicu hak pilih baginya. Jika kedua pihak tidak mengetahui barang gadai atau penjamin, maka jual beli itu batal.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: هَذَا عِنْدِي غَلَطٌ الرَّهْنُ فَاسِدٌ لِلْجَهْلِ بِهِ وَالْبَيْعُ جَائِزٌ لِعِلْمِهِمَا بِهِ وَلِلْبَائِعِ الْخِيَارُ إنْ شَاءَ أَتَمَّ الْبَيْعَ بِلَا رَهْنٍ، وَإِنْ شَاءَ فَسَخَ لِبُطْلَانِ الْوَثِيقَةِ فِي مَعْنَى قَوْلِهِ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Menurutku ini keliru. Rahn (gadai) itu batal karena ketidaktahuan tentangnya, sedangkan jual belinya sah karena kedua pihak mengetahuinya. Penjual memiliki hak pilih: jika mau, ia bisa menyempurnakan akad jual beli tanpa rahn, atau jika mau, ia bisa membatalkan karena kegagalan jaminan sesuai makna ucapannya. Wallahut taufiq.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ قَالَ: أَرْهَنُك أَحَدَ عَبْدَيَّ كَانَ فَاسِدًا لَا يَجُوزُ إلَّا مَعْلُومًا يَعْرِفَانِهِ جَمِيعًا بِعَيْنِهِ، وَلَوْ أَصَابَ الْمُرْتَهِنُ بَعْدَ الْقَبْضِ بِالرَّهْنِ عَيْبًا فَقَالَ: كَانَ بِهِ قَبْلَ الْقَبْضِ فَأَنَا أَفْسَخُ الْبَيْعَ. وَقَالَ الرَّاهِنُ: بَلْ حَدَثَ بَعْدَ الْقَبْضِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ مَعَ يَمِينِهِ إذَا كَانَ مِثْلُهُ يَحْدُثُ، وَلَوْ قُتِلَ الرَّهْنُ بِرِدَّةٍ أَوْ قُطِعَ بِسَرِقَةٍ قَبْلَ الْقَبْضِ كَانَ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang mengatakan, ‘Aku menggadaikan salah satu dari dua budakku kepadamu,’ maka hal itu tidak sah dan tidak diperbolehkan kecuali jika barang gadai tersebut diketahui dan diakui bersama secara spesifik. Jika penerima gadai menemukan cacat pada barang gadai setelah menerimanya, lalu dia berkata, ‘Cacat ini sudah ada sebelum penyerahan, maka aku membatalkan akad jual beli.’ Sedangkan pemberi gadai berkata, ‘Cacat itu terjadi setelah penyerahan,’ maka perkataan pemberi gadai yang diterima disertai sumpahnya, selama cacat seperti itu memang mungkin terjadi setelah penyerahan. Jika barang gadai terbunuh karena murtad atau dipotong (tangan) karena pencurian sebelum diserahkan, maka dia berhak membatalkan akad jual beli.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: فِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّ الْبَيْعَ وَإِنْ جَهِلَا الرَّهْنَ أَوْ الْحَمِيلَ غَيْرُ فَاسِدٍ، وَإِنَّمَا لَهُ الْخِيَارُ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ أَوْ إثْبَاتِهِ لِجَهْلِهِ بِالرَّهْنِ أَوْ الْحَمِيلِ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ كَانَ حَدَثَ ذَلِكَ بَعْدَ الْقَبْضِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فَسْخُ الْبَيْعِ، وَلَوْ مَاتَ فِي يَدَيْهِ، وَقَدْ دَلَّسَ لَهُ فِيهِ بِعَيْبٍ قَبْلَ أَنْ يَخْتَارَ فَسْخَ الْبَيْعِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَخْتَارَ؛ لِمَا فَاتَ مِنْ الرَّهْنِ. وَلَوْ لَمْ يَشْتَرِطَا رَهْنًا فِي الْبَيْعِ فَتَطَوَّعَ الْمُشْتَرِي فَرَهَنَهُ فَلَا سَبِيلَ لَهُ إلَى إخْرَاجِهِ مِنْ الرَّهْنِ وَبَقِيَ مِنْ الْحَقِّ شَيْءٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Dalam hal ini terdapat dalil bahwa jual beli tidak batal meskipun kedua pihak tidak mengetahui adanya gadai atau penjamin, dan dia hanya memiliki hak khiyar untuk membatalkan atau melanjutkan jual beli karena ketidaktahuannya tentang gadai atau penjamin. Dan kepada Allah lah taufik. (Asy-Syafi’i berkata): Jika hal itu terjadi setelah penerimaan barang, maka tidak ada hak baginya untuk membatalkan jual beli, sekalipun barang itu mati di tangannya. Dan jika penjual menipunya dengan cacat sebelum dia memilih untuk membatalkan jual beli, maka dia tidak berhak memilih karena gadai telah lepas. Jika kedua pihak tidak mensyaratkan gadai dalam jual beli, lalu pembeli secara sukarela menggadaikannya, maka dia tidak berhak mengeluarkannya dari gadai selama masih ada sisa hak.

 

وَلَوْ اشْتَرَطَا أَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ نَفْسُهُ رَهْنًا فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ لَمْ يَمْلِكْهُ الْمَبِيعُ إلَّا بِأَنْ يَكُونَ مَحْبُوسًا عَلَى الْمُشْتَرِي وَلَوْ قَالَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ: أَرْهَنُك عَلَى أَنْ تَزِيدَنِي فِي الْأَجَلِ فَفَعَلَا فَالرَّهْنُ مَفْسُوخٌ وَالْحَقُّ الْأَوَّلُ بِحَالِهِ وَيَرُدُّ مَا زَادَهُ. وَإِذَا أَقَرَّ أَنَّ الْمَوْضُوعَ عَلَى يَدَيْهِ قَبَضَ الرَّهْنَ جَعَلْته رَهْنًا، وَلَمْ أَقْبَلْ قَوْلَ الْعَدْلِ لَمْ أَقْبِضْهُ وَأَيُّهُمَا مَاتَ قَامَ وَارِثُهُ مَقَامَهُ.

 

 

Jika kedua pihak mensyaratkan bahwa barang yang dijual itu sendiri menjadi jaminan (rahn), maka jual belinya batal karena penjual tidak memilikinya kecuali dengan syarat barang itu tertahan untuk pembeli. Dan jika orang yang berutang berkata, “Aku menjaminkan kepadamu dengan syarat engkau menambah tempo untukku,” lalu keduanya melakukannya, maka akad jaminannya batal, hak (utang) pertama tetap berlaku, dan kelebihan yang diberikan harus dikembalikan. Jika seseorang mengakui bahwa barang yang ada di tangannya adalah jaminan yang telah diterimanya, aku menganggapnya sebagai jaminan, dan aku tidak menerima pengakuan orang yang adil jika ia berkata, “Aku tidak menerimanya.” Siapa pun di antara mereka yang meninggal, ahli warisnya menggantikan posisinya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: وَجُمْلَةُ قَوْلِهِ فِي اخْتِلَافِ الرَّاهِنِ وَالْمُرْتَهِنِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاهِنِ فِي الْحَقِّ، وَالْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ فِي الرَّهْنِ فِيمَا يُشْبِهُ وَلَا يُشْبِهُ وَيَحْلِفُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى دَعْوَى صَاحِبِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Secara ringkas pendapatnya mengenai perselisihan antara orang yang menggadaikan (rahin) dan penerima gadai (murtahin) adalah bahwa perkataan orang yang menggadaikan dianggap benar terkait hak, sedangkan perkataan penerima gadai dianggap benar terkait barang gadai baik yang serupa maupun tidak serupa, dan masing-masing dari mereka harus bersumpah atas klaim pasangannya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ قَالَ رَجُلٌ لِرَجُلَيْنِ رَهَنْتُمَانِي عَبْدَكُمَا هَذَا بِمِائَةٍ، وَقَبَضْته مِنْكُمَا فَصَدَّقَهُ أَحَدُهُمَا وَكَذَّبَهُ الْآخَرُ كَانَ نِصْفُهُ رَهْنًا بِخَمْسِينَ وَنِصْفُهُ خَارِجًا مِنْ الرَّهْنِ فَإِنْ شَهِدَ شَرِيكُ صَاحِبِ نِصْفِ الْعَبْدِ عَلَيْهِ بِدَعْوَى الْمُرْتَهِنِ، وَكَانَ عَدْلًا حَلَفَ الْمُرْتَهِنُ مَعَهُ وَكَانَ نَصِيبُهُ مِنْهُ رَهْنًا بِخَمْسِينَ وَلَا مَعْنَى فِي شَهَادَتِهِ نَرُدُّهَا بِهِ. وَإِذَا كَانَتْ لَهُ عَلَى رَجُلٍ أَلْفَانِ إحْدَاهُمَا بِرَهْنٍ وَالْأُخْرَى بِغَيْرِ رَهْنٍ فَقَضَاهُ أَلْفًا ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الْقَاضِي: هِيَ الَّتِي فِي الرَّهْنِ. وَقَالَ الْمُرْتَهِنُ: هِيَ الَّتِي بِلَا رَهْنٍ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْقَاضِي مَعَ يَمِينِهِ. وَلَوْ قَالَ رَهَنْته هَذِهِ الدَّارَ الَّتِي فِي يَدَيْهِ بِأَلْفٍ وَلَمْ أَدْفَعْهَا إلَيْهِ فَغَصَبَنِيهَا أَوْ تَكَارَاهَا مِنَى رَجُلٌ وَأَنْزَلَهُ فِيهَا أَوْ تَكَارَاهَا هُوَ مِنِّي فَنَزَلَهَا وَلَمْ أُسَلِّمْهَا رَهْنًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seorang laki-laki berkata kepada dua orang laki-laki, “Kalian berdua menggadaikan budak kalian ini kepadaku dengan seratus,” dan dia menerimanya dari keduanya, lalu salah seorang dari mereka membenarkannya dan yang lain mendustakannya, maka separuhnya menjadi gadai dengan lima puluh dan separuhnya lagi lepas dari gadai. Jika rekan pemilik separuh budak bersaksi untuk klaim penerima gadai, dan dia orang yang adil, maka penerima gadai bersumpah bersamanya, dan bagiannya menjadi gadai dengan lima puluh, dan tidak ada makna dalam kesaksiannya yang kami tolak karenanya. Dan jika dia memiliki dua ribu terhadap seorang laki-laki, satu dengan gadai dan yang lain tanpa gadai, lalu dia membayar seribu, kemudian mereka berselisih, maka hakim berkata, “Itu yang dengan gadai,” dan penerima gadai berkata, “Itu yang tanpa gadai,” maka ucapan yang diterima adalah ucapan hakim disertai sumpahnya. Dan seandainya dia berkata, “Aku menggadaikan rumah ini yang ada dalam kekuasaannya dengan seribu, tapi aku tidak menyerahkannya kepadanya,” lalu dia merampasnya dariku, atau seorang laki-laki menyewanya dariku dan menempatinya, atau dia menyewanya dariku lalu menempatinya dan aku tidak menyerahkannya sebagai gadai, maka ucapan yang diterima adalah ucapannya disertai sumpahnya.

بَابُ انْتِفَاعِ الرَّاهِنِ بِمَا يَرْهَنُهُ

 

Bab tentang pemanfaatan barang gadai oleh orang yang menggadaikannya

 

قَالَ حَدَّثَنَا إبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي الْمُزَنِيّ قَالَ: (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «الرَّهْنُ مَرْكُوبٌ وَمَحْلُوبٌ» .

 

 

Dia (Ibrahim bin Muhammad) berkata, telah menceritakan kepada kami, dia berkata, Al-Muzani mengabarkan kepadaku, dia berkata (Asy-Syafi’i berkata): Dan telah diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda, “Barang gadai boleh dinaiki dan diperah susunya.”

 

(قَالَ) : وَمَعْنَى هَذَا الْقَوْلِ أَنَّ مَنْ رَهَنَ ذَاتَ دَرٍّ وَظَهْرٍ لَمْ يُمْنَعْ الرَّاهِنُ مِنْ ظَهْرِهَا وَدَرِّهَا، وَأَصْلُ الْمَعْرِفَةِ بِهَذَا الْبَابِ أَنَّ لِلْمُرْتَهِنِ حَقًّا فِي رَقَبَةِ الرَّهْنِ دُونَ غَيْرِهِ، وَمَا يَحْدُثُ مِمَّا يَتَمَيَّزُ مِنْهُ غَيْرُهُ وَكَذَلِكَ سُكْنَى الدُّورِ وَزُرُوعِ الْأَرَضِينَ وَغَيْرِهَا فَلِلرَّاهِنِ أَنْ يَسْتَخْدِمَ فِي الرَّهْنِ عَبْدَهُ وَيَرْكَبَ دَوَابَّهُ وَيُؤَاجِرَهَا وَيَحْلُبَ دَرَّهَا وَيَجُزَّ صُوفَهَا وَتَأْوِي بِاللَّيْلِ إلَى مُرْتَهِنِهَا أَوْ إلَى يَدَيْ الْمَوْضُوعَةِ عَلَى يَدَيْهِ وَكُلُّ وَلَدِ أَمَةٍ وَنِتَاجِ مَاشِيَةٍ وَثَمَرِ شَجَرَةٍ وَنَخْلَةٍ فَذَلِكَ كُلُّهُ خَارِجٌ مِنْ الرَّهْنِ يُسَلَّمُ لِلرَّاهِنِ وَعَلَيْهِ مُؤْنَةُ رُهُونِهِ، وَمَنْ مَاتَ مِنْ رَقِيقِهِ فَعَلَيْهِ كَفَنُهُ. وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْأَمَةِ تُعْتَقُ أَوْ تُبَاعُ فَيَتْبَعُهَا وَلَدُهَا وَبَيْنَ الرَّهْنِ أَنَّهُ إذَا أَعْتَقَ أَوْ بَاعَ زَالَ مِلْكُهُ وَحَدَثَ الْوَلَدُ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ، وَإِذَا رَهَنَ فَلَمْ يَزُلْ مِلْكُهُ وَحَدَثَ الْوَلَدُ فِي مِلْكِهِ إلَّا أَنَّهُ مُحَوَّلٌ دُونَهُ لِحَقٍّ حُبِسَ بِهِ لِغَيْرِهِ كَمَا يُؤَاجِرُهَا فَتَكُونُ مُحْتَبِسَةً بِحَقِّ غَيْرِهِ.

 

 

(Dia berkata): Makna ucapan ini adalah bahwa orang yang menggadaikan hewan yang memiliki susu dan tenaga tidak boleh dilarang dari memanfaatkan tenaga dan susunya. Asas pengetahuan dalam bab ini adalah bahwa penerima gadai memiliki hak atas kepemilikan barang gadai, bukan yang lain. Apa pun yang muncul darinya yang dapat dipisahkan adalah milik pihak lain. Demikian pula hak tinggal di rumah, tanaman di ladang, dan lainnya. Pemberi gadai boleh mempekerjakan budaknya dalam barang gadai, menunggang hewan tunggangannya, menyewakannya, memerah susunya, mencukur bulunya, dan hewan itu boleh bermalam di tempat penerima gadai atau di tangan orang yang ditunjuk. Semua anak dari budak perempuan, hasil ternak, buah pohon, dan kurma semuanya terlepas dari gadai dan diserahkan kepada pemberi gadai. Namun, pemberi gadai bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan barang gadainya. Jika ada budak yang meninggal, pemberi gadai wajib menanggung biaya kafannya. Perbedaan antara budak perempuan yang dimerdekakan atau dijual sehingga anaknya mengikutinya dengan gadai adalah bahwa jika dimerdekakan atau dijual, kepemilikannya hilang dan anaknya lahir di luar kepemilikannya. Sedangkan dalam gadai, kepemilikannya tidak hilang dan anaknya lahir dalam kepemilikannya, hanya saja haknya dialihkan karena ada hak orang lain yang ditahan untuknya, seperti ketika dia menyewakannya sehingga dia tertahan karena hak orang lain.

 

وَإِنْ وَلَدَتْ لَمْ يَدْخُلْ وَلَدُهَا فِي ذَلِكَ مَعَهَا وَالرَّهْنُ كَالضَّمِينِ لَا يَلْزَمُ إلَّا مَنْ أَخَلَّ نَفْسَهُ فِيهِ وَوَلَدُ الْأَمَةِ لَمْ يَدْخُلْ فِي الرَّهْنِ قَطُّ، وَأَكْرَهُ رَهْنَ الْأَمَةِ إلَّا أَنْ تُوضَعَ عَلَى يَدَيْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ وَلَيْسَ لِلسَّيِّدِ أَخْذُهَا لِلْخِدْمَةِ خَوْفًا أَنْ يُحْبِلَهَا، وَمَا كَانَتْ مِنْ زِيَادَةٍ لَا تَتَمَيَّزُ مِنْهَا مِثْلُ الْجَارِيَةِ تَكْبَرُ وَالثَّمَرَةُ تَعْظُمُ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهُوَ غَيْرُ مُتَمَيِّزٍ مِنْهَا وَهِيَ رَهْنٌ كُلُّهَا. وَلَوْ كَانَ الرَّهْنُ مَاشِيَةً فَأَرَادَ الرَّاهِنُ أَنْ يُنْزِيَ عَلَيْهَا أَوْ عَبْدًا صَغِيرًا أَنْ يَخْتِنَهُ أَوْ احْتَاجَ إلَى شُرْبِ دَوَاءٍ أَوْ فَتْحِ عِرْقٍ أَوْ الدَّابَّةِ إلَى تَوْدِيجٍ أَوْ تبزيع فَلَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَمْنَعَهُ مِمَّا فِيهِ لِلرَّهْنِ مَنْفَعَةٌ، وَيَمْنَعُهُ مِمَّا فِيهِ مَضَرَّةٌ.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Jika dia melahirkan, anaknya tidak termasuk dalam gadai bersamanya. Gadai seperti penjaminan, hanya berlaku bagi yang menjadikan dirinya sebagai jaminan. Anak budak perempuan tidak pernah termasuk dalam gadai. Aku tidak menyukai gadai budak perempuan kecuali diserahkan kepada wanita terpercaya, dan tuannya tidak boleh mengambilnya untuk pelayanan karena khawatir akan menghamilinya. Adapun pertambahan yang tidak terpisah darinya, seperti budak perempuan yang bertambah dewasa atau buah yang membesar dan semisalnya, maka itu tidak terpisah darinya dan seluruhnya tetap sebagai gadai. Jika barang gadai berupa hewan ternak lalu pemberi gadai ingin mengawinkannya, atau budak kecil ingin dikhitan, atau butuh minum obat, atau membuka pembuluh darah, atau hewan tunggangan perlu dijinakkan atau dilonggarkan tali kekangnya, maka penerima gadai tidak boleh melarang selama ada manfaat bagi barang gadai, tetapi boleh melarang jika ada mudaratnya.

 

بَابُ رَهْنِ الْمُشْتَرَكِ

 

Bab tentang gadai barang bersama

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا رَهَنَاهُ مَعًا عَبْدًا بِمِائَةٍ، وَقَبَضَ الْمُرْتَهِنُ فَجَائِزٌ، وَإِنْ أَبْرَأَ أَحَدَهُمَا مِمَّا عَلَيْهِ فَنِصْفُهُ خَارِجٌ مِنْ الرَّهْنِ. وَلَوْ رَهَنَهُ مِنْ رَجُلَيْنِ بِمِائَةٍ، وَقَبَضَاهُ فَنِصْفُهُ مَرْهُونٌ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِخَمْسِينَ فَإِنْ أَبْرَأَهُ أَحَدَهُمَا أَوْ قَبَضَ مِنْهُ نِصْفَ الْمِائَةِ فَنِصْفُهُ خَارِجٌ مِنْ الرَّهْنِ. وَلَوْ كَانَ الرَّهْنُ مِمَّا يُكَالُ أَوْ يُوزَنُ كَانَ لِلَّذِي افْتَكَّ نِصْفَهُ أَنْ يُقَاسِمَ الْمُرْتَهِنَ بِإِذْنِ شَرِيكِهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَأْذَنَ رَجُلٌ لِرَجُلٍ فِي أَنْ يَرْهَنَ عَبْدَهُ إلَّا بِشَيْءٍ مَعْلُومٍ أَوْ أَجَلٍ مَعْلُومٍ فَإِنْ رَهَنَهُ بِأَكْثَرَ لَمْ يَجُزْ مِنْ الرَّهْنِ شَيْءٌ وَلَوْ رَهَنَهُ بِمَا أَذِنَ لَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَخْذَهُ بِافْتِكَاكِهِ وَكَانَ الْحَقُّ حَالًّا كَانَ ذَلِكَ لَهُ وَتَبِعَ فِي مَالِهِ حَتَّى يُوفِيَ الْغَرِيمَ حَقَّهُ وَلَوْ لَمْ يُرِدْ ذَلِكَ الْغَرِيمُ أَسْلَمَ عَبْدَهُ الْمَرْهُونَ، وَإِنْ كَانَ أَذِنَ لَهُ إلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَهُ بِافْتِكَاكِهِ إلَّا إلَى مَحِلِّهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang menggadaikan seorang budak bersama-sama seharga seratus, dan penerima gadai menerimanya, maka itu sah. Jika salah seorang dibebaskan dari kewajibannya, maka separuhnya keluar dari gadai. Seandainya dia menggadaikannya dari dua orang seharga seratus, dan keduanya menerimanya, maka separuhnya tergadai untuk masing-masing mereka sebesar lima puluh. Jika salah seorang membebaskannya atau menerima separuh dari seratus, maka separuhnya keluar dari gadai. Jika barang gadai itu termasuk yang ditakar atau ditimbang, maka pihak yang menebus separuhnya berhak membagi dengan penerima gadai atas izin rekannya. Tidak boleh seseorang memberi izin kepada orang lain untuk menggadaikan budaknya kecuali dengan sesuatu yang diketahui atau tempo yang diketahui. Jika dia menggadaikannya lebih dari itu, maka tidak ada sesuatu pun dari gadai yang sah. Jika dia menggadaikannya sesuai izin yang diberikan, lalu ingin mengambilnya dengan menebusnya sementara hak itu jatuh tempo, maka itu boleh baginya dan dia bertanggung jawab atas hartanya hingga melunasi hak kreditur. Jika kreditur tidak menghendaki itu, dia menyerahkan budaknya yang tergadai. Jika izin diberikan sampai tempo tertentu, maka dia tidak boleh mengambilnya dengan menebus kecuali sampai waktu jatuh temponya.

 

وَلَوْ رَهَنَ عَبْدَهُ رَجُلَيْنِ وَأَقَرَّ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنهُمَا بِقَبضِهِ كُلِّهِ بِالرَّهنِ، وَادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنهُمَا أَنَّ رَهنَهُ وَقَبضَهُ كَانَ قَبلَ صَاحِبِهِ، وَلَيسَ الرَّهنُ فِي يَدَينِ وَاحِدٍ مِنهُمَا فَصَدَّقَ الرَّاهِنُ أَحَدَهُمَا فَالقَولُ قَولُ الرَّاهِنِ وَلَا يَمِينَ عَلَيهِ. وَلَو أَنكَرَ أَيُّهُمَا الْأَوَّلَ أُحلِفَ وَكَانَ الرَّهنُ مَفسُوخًا. وَكَذَلِكَ لَو كَانَ فِي أَيدِيهِمَا مَعًا، وَإِن كَانَ فِي يَدَينِ أَحَدِهِمَا وَصَدَّقَ الَّذِي لَيسَ فِي يَدَيهِ فَفِيهَا قَولَانِ. أَحَدُهُمَا: يُصَدَّقُ وَالْآخَرُ لَا يُصَدَّقُ؛ لِأَنَّ الَّذِي هُوَ فِي يَدَيهِ العَبدُ يَملِكُ بِالرَّهنِ مِثلَ مَا يَملِكُ المُرتَهِنُ غَيرَهُ.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Jika seseorang menggadaikan budaknya kepada dua orang dan mengakui kepada masing-masing dari mereka bahwa seluruhnya telah diterima sebagai gadai, lalu masing-masing dari mereka mengklaim bahwa gadai dan penerimaannya lebih dahulu daripada yang lain, sementara barang gadai tidak berada di tangan salah satu dari mereka, lalu pemberi gadai membenarkan salah satunya, maka perkataan pemberi gadai yang diikuti tanpa perlu bersumpah. Namun jika salah satu dari mereka menyangkal yang pertama, maka ia harus bersumpah dan gadai tersebut batal. Demikian pula jika barang gadai berada di tangan keduanya bersama-sama. Jika barang gadai berada di tangan salah satu dari mereka dan pemberi gadai membenarkan yang tidak memegangnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: dibenarkan. Kedua: tidak dibenarkan, karena yang memegang budak tersebut memiliki hak gadai sebagaimana pemegang gadai lainnya.

(قال المزني) قلت أنا: أصحهما أن يصدق؛ لأنه حق من الحقوق اجتمع فيه إقرار المرتهن ورب الرهن.

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Yang lebih benar di antara keduanya adalah bahwa ia harus dibenarkan, karena itu adalah hak dari beberapa hak yang di dalamnya terdapat pengakuan dari pihak yang menggadaikan dan pemilik barang gadai.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : ثُمَّ رَأَيْت أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُرْتَهِنِ الَّذِي هُوَ فِي يَدَيْهِ؛ لِأَنَّ الرَّاهِنَ مُقِرٌّ لَهُ أَنَّهُ أَقْبَضَهُ إيَّاهُ فِي جُمْلَةِ قَوْلِهِ وَلَهُ فَضْلُ يَدَيْهِ عَلَى صَاحِبِهِ فَلَا تُقْبَلُ دَعْوَى الرَّاهِنِ عَلَيْهِ إلَّا أَنْ يُقِرَّ الَّذِي فِي يَدَيْهِ أَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَدْ قَبَضَهُ فَيَعْلَمُ بِذَلِكَ أَنَّ قَبْضَ صَاحِبِهِ قَبْلَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Kemudian aku berpendapat bahwa perkataan yang dipegang adalah perkataan penerima gadai (murtahin) yang memegang barang gadai, karena pemberi gadai (rahin) mengakuinya bahwa ia telah menyerahkan barang tersebut kepadanya dalam pernyataannya, dan ia memiliki kelebihan penguasaan atas pemilik sebelumnya. Maka, klaim pemberi gadai terhadapnya tidak diterima kecuali jika pihak yang memegang barang mengakui bahwa masing-masing dari mereka telah menerimanya, sehingga diketahui bahwa penerimaan pemilik sebelumnya lebih dahulu.

 

بَابُ رَهْنِ الْأَرْضِ

Bab tentang gadai tanah

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إذَا رَهَنَ أَرْضًا وَلَمْ يَقُلْ بِبِنَائِهَا وَشَجَرِهَا فَالْأَرْضُ رَهْنٌ دُونَ بِنَائِهَا وَشَجَرِهَا وَلَوْ رَهَنَ شَجَرًا وَبَيْنَ الشَّجَرِ بَيَاضٌ فَالشَّجَرُ رَهْنٌ دُونَ الْبَيَاضِ وَلَا يَدْخُلُ فِي الرَّهْنِ إلَّا مَا سَمَّى.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan tanah tanpa menyebut bangunan dan pepohonannya, maka yang tergadai hanya tanahnya saja tanpa bangunan dan pepohonannya. Dan jika ia menggadaikan pohon-pohon sedangkan di antara pohon-pohon itu ada lahan kosong, maka yang tergadai hanya pohon-pohonnya saja tanpa lahan kosong tersebut. Tidak termasuk dalam gadai kecuali apa yang disebutkan secara spesifik.

 

 

وَإِذَا رَهَنَ ثَمَرًا قَدْ خَرَجَ مِنْ نَخْلِهِ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ بَيْعُهُ وَمَعَهُ النَّخْلُ فَهُمَا رَهْنٌ؛ لِأَنَّ الْحَقَّ لَوْ حَلَّ جَازَ أَنْ يُبَاعَ وَكَذَلِكَ إذَا بَلَغَتْ هَذِهِ الثَّمَرَةُ قَبْلَ مَحِلِّ الْحَقِّ وَبِيعَتْ خُيِّرَ الرَّاهِنُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنُهَا مَرْهُونًا مَعَ النَّخْلِ أَوْ قِصَاصًا إلَّا أَنْ تَكُونَ هَذِهِ الثَّمَرَةُ تَيْبَسُ فَلَا يَكُونُ لَهُ بَيْعُهَا إلَّا بِإِذْنِ الرَّاهِنِ.

 

 

Dan jika seseorang menggadaikan buah yang telah keluar dari pohon kurmanya sebelum waktu penjualannya halal, sementara pohonnya juga ikut digadaikan, maka keduanya menjadi gadai. Karena jika hak (utang) telah jatuh tempo, boleh menjualnya. Demikian pula jika buah ini telah matang sebelum jatuh tempo hak (utang) lalu dijual, maka penggadai boleh memilih antara menjadikan harganya sebagai gadai bersama pohonnya atau sebagai tebusan, kecuali jika buah ini mengering, maka tidak boleh dijual kecuali dengan izin penggadai.

 

 

وَلَوْ رَهَنَهُ الثَّمَرَ دُونَ النَّخْلِ طَلْعًا أَوْ مُؤَبَّرَةً أَوْ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا لَمْ يَجُزْ الرَّهْنُ إلَّا أَنْ يَتَشَارَطَا أَنَّ لِلْمُرْتَهِنِ إذَا حَلَّ حَقُّهُ قَطْعَهَا وَبَيْعَهَا فَيَجُوزُ الرَّهْنُ؛ لِأَنَّ الْمَعْرُوفَ مِنْ الثَّمَرِ أَنَّهُ يُتْرَكُ إلَى أَنْ يَصْلُحَ أَلَا تَرَى «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُهَا» لِمَعْرِفَةِ النَّاسِ أَنَّهَا تُتْرَكُ إلَى بُدُوِّ صَلَاحِهَا، وَكَذَلِكَ الْحُكْمُ فِي كُلِّ ثَمَرَةٍ وَزَرْعٍ قَبْلَ بُدُوِّ صَلَاحِهَا فَمَا لَمْ يَحِلَّ بَيْعُهُ فَلَا يَجُوزُ رَهْنُهُ، وَإِنْ كَانَ مِنْ الثَّمَرِ شَيْءٌ يَخْرُجُ فَرَهَنَهُ وَكَانَ يَخْرُجُ بَعْدَهُ غَيْرُهُ مِنْهُ فَلَا يَتَمَيَّزُ الْخَارِجُ الْأَوَّلُ الْمَرْهُونُ مِنْ الْآخَرِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ لَيْسَ بِمَعْرُوفٍ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَا أَنْ يُقْطَعَ فِي مُدَّةٍ قَبْلَ أَنْ يُلْحَقُهُ الثَّانِي فَيَجُوزَ الرَّهْنُ فَإِنْ تُرِكَ حَتَّى يَخْرُجَ بَعْدَهُ ثَمَرَةٌ لَا تَتَمَيَّزُ فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَفْسُدُ الرَّهْنُ كَمَا يَفْسُدُ الْبَيْعُ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ لَا يَفْسُدُ وَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاهِنِ فِي قَدْرِ الثَّمَرَةِ الْمُخْتَلِطَةِ مِنْ الْمَرْهُونَةِ كَمَا لَوْ رَهَنَهُ حِنْطَةً فَاخْتَلَطَتْ بِحِنْطَةٍ لِلرَّاهِنِ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ فِي قَدْرِ الْمَرْهُونَةِ مِنْ الْمُخْتَلِطَةِ بِهَا مَعَ يَمِينِهِ.

 

 

Jika seseorang menggadaikan buah tanpa pohon kurma, baik yang masih berbunga, sudah berbuah, atau sebelum tampak kematangannya, maka gadai itu tidak sah kecuali jika kedua pihak mensyaratkan bahwa penerima gadai berhak memotong dan menjualnya ketika haknya jatuh tempo. Gadai diperbolehkan karena kebiasaan pada buah adalah dibiarkan hingga matang. Tidakkah engkau melihat bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah hingga tampak kematangannya? Ini karena masyarakat tahu bahwa buah dibiarkan hingga matang. Hukum yang sama berlaku untuk semua buah dan tanaman sebelum tampak kematangannya. Apa yang tidak boleh dijual, maka tidak boleh digadaikan. Jika ada sebagian buah yang keluar lalu digadaikan, kemudian muncul bagian lain yang tidak bisa dibedakan dari yang pertama, maka gadai tidak sah karena gadai tidak dikenal kecuali jika mereka mensyaratkan pemotongan dalam waktu tertentu sebelum bagian kedua muncul. Jika dibiarkan hingga muncul buah lain yang tidak bisa dibedakan, maka ada dua pendapat: Pertama, gadai menjadi batal seperti jual beli yang batal. Kedua, tidak batal, dan perkataan pemberi gadai dianggap benar mengenai kadar buah yang tergadai yang tercampur, seperti jika seseorang menggadai gandum lalu tercampur dengan gandum milik pemberi gadai, maka perkataannya dianggap benar tentang kadar yang tergadai dengan disertai sumpah.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) Aku berkata: Ini lebih mirip dengan perkataannya, dan aku telah menjelaskannya dalam buku ini pada bab tentang buah kebun yang dijual pokoknya.

 

(قُلْت أَنَا) : وَيَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْقَوْلُ فِي الزِّيَادَةِ قَوْلَ الْمُرْتَهِنِ؛ لِأَنَّ الثَّمَرَةَ فِي يَدَيْهِ وَالرَّاهِنُ مُدَّعٍ قَدْرَ الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الَّذِي هِيَ فِي يَدَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ فِي قِيَاسِهِ عِنْدِي، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Aku berkata): “Pendapat mengenai tambahan seharusnya adalah pendapat penerima gadai (murtahin), karena buahnya berada di tangannya, sedangkan penggadai (rahin) mengklaim jumlah tambahan atasnya. Maka pendapat yang dipegang adalah pendapat pihak yang memegangnya disertai sumpahnya menurut analogiku. Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا رَهَنَهُ ثَمَرَةً فَعَلَى الرَّاهِنِ سَقْيُهَا وَصَلَاحُهَا وَجِدَادُهَا وَتَشْمِيسُهَا كَمَا يَكُونُ عَلَيْهِ نَفَقَةُ الْعَبْدِ وَلَيْسَ لِلرَّاهِنِ وَلَا لِلْمُرْتَهِنِ قَطْعُهَا قَبْلَ أَوَانِهَا إلَّا بِأَنْ يَرْضَيَا بِهِ، وَإِذَا بَلَغَتْ إبَّانَهَا فَأَيُّهُمَا أَرَادَ قَطْعَهَا جُبِرَ الْآخَرُ عَلَى ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ مِنْ صَلَاحِهَا فَإِنْ أَبَى الْمَوْضُوعَةُ عَلَى يَدَيْهِ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِأَنْ يَضَعَهَا فِي مَنْزِلِهِ إلَّا بِكِرَاءٍ قِيلَ لِلرَّاهِنِ عَلَيْك لَهَا مَنْزِلٌ تُحْرَزُ فِيهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ صَلَاحِهَا فَإِنْ جِئْت بِهِ، وَإِلَّا اكْتَرَى عَلَيْك مِنْهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menggadaikan buah, maka yang menggadaikan wajib menyiramnya, merawatnya, memetiknya, dan menjemurnya, sebagaimana ia wajib menafkahi budak. Tidak boleh bagi yang menggadaikan maupun yang menerima gadai untuk memetiknya sebelum waktunya kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak. Jika sudah tiba waktu panen, siapa pun di antara mereka yang ingin memetiknya, pihak lain harus mengizinkannya karena itu bagian dari perawatannya. Jika pihak yang memegang gadai menolak menyimpannya di rumahnya kecuali dengan upah, maka dikatakan kepada yang menggadaikan, “Engkau wajib menyediakan tempat penyimpanan untuknya karena itu bagian dari perawatannya. Jika engkau bisa menyediakannya, baiklah. Jika tidak, maka disewa dengan biaya darimu.”

 

بَابُ مَا يُفْسِدُ الرَّهْنَ مِنْ الشَّرْطِ وَمَا لَا يُفْسِدُهُ وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

Bab tentang syarat yang merusak gadai, syarat yang tidak merusaknya, dan selain itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إنْ اشْتَرَطَ الْمُرْتَهِنُ مِنْ مَنَافِعِ الرَّهْنِ شَيْئًا فَالشَّرْطُ بَاطِلٌ وَلَوْ كَانَتْ لَهُ أَلْفٌ فَقَالَ زِدْنِي أَلْفًا عَلَى أَنْ أَرْهَنَك بِهَمَا مَعًا رَهْنًا يَعْرِفَانِهِ كَانَ الرَّهْنُ مَفْسُوخًا. وَلَوْ قَالَ لَهُ: بِعْنِي عَبْدًا بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ أُعْطِيَك بِهَا وَبِالْأَلْفِ الَّتِي لَك عَلَيَّ بِلَا رَهْنٍ دَارِي رَهْنًا فَفَعَلَ كَانَ الْبَيْعُ وَالرَّهْنُ مَفْسُوخًا وَلَوْ أَسْلَفَهُ أَلْفًا عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ بِهَا رَهْنًا وَشَرَطَ الْمُرْتَهِنُ لِنَفْسِهِ مَنْفَعَةَ الرَّهْنِ فَالشَّرْطُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ زِيَادَةٌ فِي السَّلَفِ وَلَوْ كَانَ اشْتَرَى مِنْهُ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ فَالْبَيْعُ بِالْخِيَارِ فِي فَسْخِ الْبَيْعِ أَوْ إثْبَاتِهِ وَالرَّهْنِ وَيَبْطُلُ الشَّرْطُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika penerima gadai mensyaratkan sesuatu dari manfaat barang gadai, maka syarat itu batal. Sekalipun ia memiliki seribu (dirham), lalu berkata, “Tambahkan seribu lagi untukku, dengan aku menggadaikan keduanya kepadamu sebagai satu gadai yang dikenal,” maka gadai itu batal. Jika ia berkata kepadanya, “Juallah aku seorang budak dengan seribu (dirham) dengan syarat aku memberimu (seribu itu) dan seribu yang menjadi hakmu atas diriku tanpa menggadaikan rumahku sebagai gadai,” lalu ia melakukannya, maka jual beli dan gadai itu batal. Jika ia meminjamkan seribu (dirham) dengan syarat ia menggadaikannya sebagai gadai, lalu penerima gadai mensyaratkan manfaat barang gadai untuk dirinya, maka syarat itu batal karena itu merupakan tambahan dalam pinjaman. Jika ia membeli darinya dengan syarat ini, maka jual beli itu boleh dipilih antara membatalkan atau menetapkan jual beli dan gadai, sedangkan syaratnya batal.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قُلْت أَنَا: أَصْلُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ كُلَّ بَيْعٍ فَاسِدٍ بِشَرْطٍ وَغَيْرِهِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ، وَإِنْ أُجِيزَ حَتَّى يُبْتَدَأَ بِمَا يَجُوزُ.

 

(Al-Muzani berkata): Aku berkata: Pokok pendapat Syafi’i adalah bahwa setiap jual beli yang rusak karena syarat atau lainnya itu tidak boleh, meskipun diizinkan, hingga dimulai dengan yang diperbolehkan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ اُشْتُرِطَ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنْ لَا يُبَاعَ الرَّهْنُ عِنْدَ مَحِلِّ الْحَقِّ إلَّا بِمَا يُرْضِي الرَّاهِنَ أَوْ حَتَّى يَبْلُغَ كَذَا أَوْ بَعْدَ مَحِلِّ الْحَقِّ بِشَهْرٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ كَانَ الرَّهْنُ فَاسِدًا حَتَّى لَا يَكُونَ دُونَ بَيْعِهِ حَائِلٌ عِنْدَ مَحِلِّ الْحَقِّ. وَلَوْ رَهَنَهُ نَخْلًا عَلَى أَنَّ مَا أَثْمَرَتْ أَوْ مَاشِيَةً عَلَى أَنَّ مَا نَتَجَتْ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الرَّهْنِ كَانَ الرَّهْنُ مِنْ النَّخْلِ وَالْمَاشِيَةِ رَهْنًا وَلَمْ يَدْخُلْ مَعَهُ ثَمَرُ الْحَائِطِ وَلَا نِتَاجُ الْمَاشِيَةِ إذَا كَانَ الرَّهْنُ بِحَقٍّ وَاجِبٍ قَبْلَ الرَّهْنِ وَهَذَا كَرَجُلٍ رَهَنَ مِنْ رَجُلٍ دَارًا عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ أُخْرَى غَيْرَ أَنَّ الْبَيْعَ إنْ وَقَعَ عَلَى هَذَا الشَّرْطِ فُسِخَ الرَّهْنُ وَكَانَ الْبَائِعُ بِالْخِيَارِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتِمَّ لَهُ الشَّرْطُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya disyaratkan kepada penerima gadai bahwa barang gadai tidak boleh dijual ketika jatuh tempo hak kecuali dengan keridhaan pemberi gadai, atau sampai mencapai jumlah tertentu, atau setelah jatuh tempo hak sebulan atau semisalnya, maka akad gadai itu batal sehingga tidak ada penghalang untuk menjualnya ketika jatuh tempo hak. Dan seandainya dia menggadaikan pohon kurma dengan syarat buahnya atau hewan ternak dengan syarat anaknya termasuk dalam gadai, maka akad gadai terhadap pohon kurma dan hewan ternak itu sah, tetapi buah kebun dan anak hewan ternak tidak termasuk di dalamnya jika gadai itu untuk hak yang wajib sebelum akad gadai. Ini seperti seseorang yang menggadaikan sebuah rumah kepada orang lain dengan syarat akan menggadaikan rumah lainnya. Namun, jika penjualan terjadi dengan syarat ini, maka akad gadai dibatalkan dan penjual memiliki hak khiyar karena syaratnya tidak terpenuhi.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ هَذَا جَائِزٌ فِي قَوْلِ مَنْ أَجَازَ أَنْ يَرْهَنَهُ عَبْدَيْنِ فَيُصِيبَ أَحَدَهُمَا حُرًّا فَيُجِيزَ الْجَائِزَ وَيَرُدَّ الْمَرْدُودَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Dan dia berkata di tempat lain, ini diperbolehkan menurut pendapat orang yang membolehkan untuk menggadaikan dua budak, lalu salah satunya menjadi merdeka, maka yang diperbolehkan dibolehkan dan yang ditolak ditolak.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَفِيهَا قَوْلٌ آخَرُ يَفْسُدُ كَمَا يَفْسُدُ الْبَيْعُ إذَا جَمَعَتْ الصَّفْقَةُ جَائِزًا وَغَيْرَ جَائِزٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Di dalamnya terdapat pendapat lain yang batal, sebagaimana batalnya jual beli jika transaksi menggabungkan antara yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) Aku berkata: Apa yang diputuskan dan ditetapkannya lebih utama, dan jawaban-jawabannya dalam makna ini serupa dengan apa yang diputuskannya. Dan dia telah berkata, “Jika keduanya bertransaksi dengan syarat salah satunya menggadaikan minuman ini, lalu dia menggadaikannya, kemudian minuman itu berubah menjadi khamr saat itu juga, maka dia memiliki hak khiyar dalam transaksi karena gadainya tidak sempurna.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ دَفَعَ إلَيْهِ حَقًّا فَقَالَ قَدْ رَهَنْتُكَهُ بِمَا فِيهِ، وَقَبَضَهُ الْمُرْتَهِنُ وَرَضِيَ كَانَ الْحَقُّ رَهْنًا وَمَا فِيهِ خَارِجًا مِنْ الرَّهْنِ إنْ كَانَ فِيهِ شَيْءٌ لِجَهْلِ الْمُرْتَهِنِ بِمَا فِيهِ وَأَمَّا الْخَرِيطَةُ فَلَا يَجُوزُ الرَّهْنُ فِيهَا إلَّا بِأَنْ يَقُولَ دُونَ مَا فِيهَا وَيَجُوزُ فِي الْحَقِّ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ مِنْ الْحَقِّ أَنَّ لَهُ قِيمَةً وَالظَّاهِرُ مِنْ الْخَرِيطَةِ أَنْ لَا قِيمَةَ لَهَا، وَإِنَّمَا يُرَادُ مَا فِيهَا وَلَوْ شَرَطَ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنَّهُ ضَامِنٌ لِلرَّهْنِ وَدَفَعَهُ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ وَغَيْرُ مَضْمُونٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seseorang menyerahkan hak (sebuah wadah) kepadanya dan berkata, “Aku menggadaikannya beserta isinya,” lalu penerima gadai menerimanya dan rela, maka hak (wadah) tersebut menjadi gadai sedangkan isinya tidak termasuk gadai jika ada sesuatu di dalamnya, karena ketidaktahuan penerima gadai tentang isinya. Adapun karung, tidak boleh menggadaikannya kecuali dengan menyatakan “tanpa isinya.” Namun, hal itu boleh dilakukan pada hak (wadah), karena yang tampak pada hak (wadah) adalah memiliki nilai, sedangkan yang tampak pada karung adalah tidak memiliki nilai, yang diinginkan hanyalah isinya. Jika pemberi gadai mensyaratkan kepada penerima gadai bahwa ia menanggung (jaminan) atas barang gadai, lalu menyerahkannya, maka gadai tersebut batal dan tidak dijamin.

 

بَابُ ضَمَانِ الرَّهْنِ

 

Bab tentang jaminan gadai

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي فُدَيْكٍ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ وَالرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ» وَوَصَلَهُ ابْنُ الْمُسَيِّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِثْلُهُ أَوْ مِثْلُ مَعْنَاهُ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Isma’il bin Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi’b dari Az-Zuhri dari Ibnul Musayyab bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Gadai tidak tertutup. Gadai tetap milik orang yang menggadaikannya. Baginya keuntungannya dan baginya pula kerugiannya.” Ibnu Musayyab menyambungnya dari Abu Hurairah dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan hadits yang serupa atau semakna dengannya dari hadits Ibnu Abi Unaisah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَفِيهِ دَلِيلٌ أَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ إذْ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ فَمَنْ كَانَ مِنْهُ شَيْءٌ فَضَمَانُهُ مِنْهُ لَا مِنْ غَيْرِهِ» ثُمَّ أَكَّدَهُ بِقَوْلِهِ «لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ» وَغُنْمُهُ سَلَامَتُهُ وَزِيَادَتُهُ وَغُرْمُهُ عَطَبُهُ وَنُقْصَانُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Di dalamnya terdapat dalil bahwa barang gadai tidak dijamin, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barang gadai milik pemiliknya. Siapa yang memiliki sesuatu, maka jaminannya berasal darinya, bukan dari orang lain.’ Kemudian beliau menegaskannya dengan sabdanya, ‘Baginya keuntungannya dan baginya pula kerugiannya.’ Keuntungannya adalah keselamatan dan pertambahannya, sedangkan kerugiannya adalah kerusakan dan pengurangannya.”

 

أَلَا تَرَى لَوْ ارْتَهَنَ خَاتَمًا بِدِرْهَمٍ يُسَاوِي دِرْهَمًا فَهَلَكَ الْخَاتَمُ فَمَنْ قَالَ ذَهَبَ دِرْهَمُ الْمُرْتَهِنِ بِالْخَاتَمِ زَعَمَ أَنَّ غُرْمَهُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ؛ لِأَنَّ دِرْهَمَهُ ذَهَبَ، وَكَانَ الرَّاهِنُ بَرِيئًا مِنْ غُرْمِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَخَذَ ثَمَنَهُ مِنْ الْمُرْتَهِنِ، وَلَمْ يَغْرَمْ لَهُ شَيْئًا، وَأَحَالَ مَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Tidakkah engkau melihat, seandainya seseorang menggadaikan cincin dengan satu dirham yang setara dengan satu dirham, lalu cincin itu rusak? Barangsiapa berpendapat bahwa dirham penggadai (pemberi gadai) hilang bersama cincin, maka ia menganggap kerugian itu menjadi tanggungan penerima gadai, karena dirhamnya telah hilang. Sedangkan pemberi gadai terbebas dari kerugian, karena ia telah menerima harganya dari penerima gadai dan tidak menanggung kerugian apa pun. Pendapat ini merujuk pada apa yang datang dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -.

(قَالَ) : وَقَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ» لَا يَسْتَحِقُّهُ الْمُرْتَهِنُ بِأَنْ يَدَعَ الرَّاهِنُ قَضَاءَ حَقِّهِ عِنْدَ مَحِلِّهِ.

 

Beliau berkata: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Rahn (gadai) tidak tertutup” maksudnya adalah murtahin (penerima gadai) tidak berhak memilikinya dengan alasan rahin (pemberi gadai) meninggalkan pembayaran haknya ketika jatuh tempo.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مِلْكُ الرَّهْنِ لِرَبِّهِ وَالْمُرْتَهِنُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ بِأَخْذِهِ وَلَا مُخَاطِرٌ بِارْتِهَانِهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ إذَا هَلَكَ بَطَلَ مَالُهُ كَانَ مُخَاطِرًا بِمَالِهِ، وَإِنَّمَا جَعَلَهُ اللَّهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – وَثِيقَةً لَهُ وَكَانَ خَيْرًا لَهُ تَرْكُ الِارْتِهَانِ بِأَنْ يَكُونَ مَالُهُ مَضْمُونًا فِي جَمِيعِ مَالِ غَرِيمِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Kepemilikan barang gadai tetap pada pemiliknya, dan penerima gadai tidak dianggap melampaui batas dengan mengambilnya maupun mengambil risiko dengan penerimaan gadainya. Sebab, jika barang itu rusak lalu hartanya hilang, berarti ia telah mengambil risiko dengan hartanya. Allah Tabaraka wa Ta’ala menjadikan gadai sebagai jaminan baginya, dan lebih baik baginya untuk tidak menerima gadai dengan menjadikan hartanya terjamin dalam seluruh harta orang yang berutang.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَا ظَهَرَ هَلَاكُهُ وَخَفِيَ سَوَاءٌ لَا يَضْمَنُ الْمُرْتَهِنُ وَلَا الْمَوْضُوعُ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ الرَّهْنِ شَيْئًا إلَّا فِيمَا يَضْمَنَانِ فِيهِ مِنْ الْوَدِيعَةِ بِالتَّعَدِّي فَإِنْ قَضَاهُ مَا فِي الرَّهْنِ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّاهِنُ فَحَبَسَهُ عَنْهُ وَهُوَ يُمْكِنُهُ فَهُوَ ضَامِنٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Apa yang jelas kerusakannya atau yang tersembunyi adalah sama, penerima gadai (murtahin) atau pihak yang memegang barang gadai tidak menanggung apa pun kecuali dalam hal yang mereka tanggung terkait titipan karena melampaui batas. Jika dia (penerima gadai) melunasi utang dengan nilai barang gadai, kemudian peminjam (rahin) memintanya tetapi dia menahannya padahal memungkinkan untuk mengembalikan, maka dia (penerima gadai) bertanggung jawab.”

كِتَابُ التَّفْلِيسِ

 

قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَاصِمٍ قَالَ: سَمِعْتُ الْمُزَنِيّ قَالَ: (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا ابنُ أَبِي فُدَيْكٍ عَنِ ابنِ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو المُعْتَمِرِ بنُ عُمَرَ بنِ نَافِعٍ عَنْ خَلْدَةَ أَوِ ابنِ خَلْدَةَ الزُّرَقِيِّ الشَّكُّ مِنَ المُزَنِيِّ «عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا أَفْلَسَ فَقَالَ هَذَا الَّذِي قَضَى فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَيُّمَا رَجُلٍ مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ فَصَاحِبُ المَتَاعِ أَحَقُّ بِمَتَاعِهِ إذَا وَجَدَهُ بِعَيْنِهِ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَفِي ذَلِكَ بَيَانُ أَنَّهُ جَعَلَ لَهُ نَقْضَ البَيْعِ الأَوَّلِ إنْ شَاءَ إذَا مَاتَ أَوْ أَفْلَسَ.

 

 

Dia berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ashim, Beliau berkata: Aku mendengar Al-Muzani berkata: (Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi`b, Beliau berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu Al-Mu’tamir bin Umar bin Nafi’ dari Kholdah atau Ibnu Kholdah Az-Zuraqi – keraguan dari Al-Muzani – dari Abu Hurairah bahwa dia melihat seorang laki-laki yang bangkrut, lalu Beliau berkata: “Inilah yang telah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Siapa saja laki-laki yang meninggal atau bangkrut, maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya jika menemukannya dalam bentuk aslinya.'” (Asy-Syafi’i berkata): Dan dalam hal itu terdapat penjelasan bahwa beliau memberikan hak kepadanya untuk membatalkan transaksi pertama jika dia menghendaki, ketika (pembeli) meninggal atau bangkrut.

(Asy-Syafi’i berkata): Dan dikatakan kepada orang yang menerima hadis tentang orang yang bangkrut dalam hidupnya tetapi tidak dalam kematiannya, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memutuskan syuf’ah (hak beli lebih dahulu) atas orang yang masih hidup, lalu kalian memutuskannya atas ahli warisnya. Maka mengapa kalian tidak memutuskan pada orang yang bangkrut dalam kematiannya atas ahli warisnya sebagaimana kalian memutuskan atasnya dalam hidupnya? Sungguh kalian telah memberikan kepada ahli waris lebih banyak daripada yang dimiliki oleh pewaris yang darinya mereka mewarisi. Padahal, kondisi ahli waris pada umumnya tidak memiliki kecuali apa yang dimiliki oleh mayit.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan aku tidak memberikan hak kepada para kreditur untuk mencegahnya dengan membayar harga, juga tidak kepada ahli waris mayit. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjadikannya lebih berhak atas hal itu daripada mereka.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْتُ أَنَا: وَقَالَ فِي الْمُحْبَسِ إذَا هَلَكَ أَهْلُهُ رَجَعَ إلَى أَقْرَبِ النَّاسِ إلَى الْمُحْبِسِ فَقَدْ جُعِلَ لِأَقْرَبِ النَّاسِ بِالْمُحْبِسِ فِي حَيَاتِهِ مَا لَمْ يَجْعَلْ لِلْمُحْبِسِ، وَهَذَا عِنْدِي جَائِزٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Dan dia berkata mengenai harta wakaf, jika keluarganya meninggal, maka harta itu kembali kepada orang yang paling dekat dengan wakaf. Sungguh telah diberikan kepada orang terdekat dengan wakaf semasa hidupnya apa yang tidak diberikan kepada wakaf, dan menurutku ini diperbolehkan.

 

(قَالَ) : وَإِنْ تَغَيَّرَتْ السِّلْعَةُ بِنَقْصٍ فِي بَدَنِهَا بِعَوَرٍ أَوْ غَيْرِهِ أَوْ زَادَتْ فَسَوَاءٌ إنْ شَاءَ أَخَذَهَا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهَا كَمَا تُنْقَضُ الشُّفْعَةُ بِهَدْمٍ مِنْ السَّمَاءِ إنْ شَاءَ أَخَذَهَا بِجَمِيعِ الثَّمَنِ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهَا.

 

 

Beliau berkata: “Jika barang berubah karena cacat pada fisiknya atau lainnya, atau bertambah, maka sama saja. Jika dia mau, dia bisa mengambilnya dengan membayar seluruh harga, atau jika mau, dia bisa meninggalkannya. Sebagaimana hak syuf’ah gugur karena kerusakan dari langit, jika dia mau, dia bisa mengambilnya dengan membayar seluruh harga, atau jika mau, dia bisa meninggalkannya.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ بَاعَهُ نَخْلًا فِيهِ ثَمَرٌ أَوْ طَلْعٌ قَدْ أُبِّرَ وَاسْتَثْنَاهُ الْمُشْتَرِي وَقَبَضَهَا وَأَكَلَ الثَّمَرَ أَوْ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ ثُمَّ فَلِسَ أَوْ مَاتَ فَإِنَّهُ يَأْخُذُ عَيْنَ مَالِهِ وَيَكُونُ أُسْوَةَ الْغُرَمَاءِ فِي حِصَّةِ الثَّمَرِ يَوْمَ قَبَضَهُ لَا يَوْمَ أَكَلَهُ وَلَا يَوْمَ أَصَابَتْهُ الْجَائِحَةُ.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya ia menjual pohon kurma yang memiliki buah atau mayang yang telah diserbuki, lalu pembeli mengecualikannya dan mengambilnya, kemudian memakan buahnya atau terkena bencana, lalu si penjual bangkrut atau meninggal, maka pembeli berhak mengambil pokok hartanya dan mendapat bagian seperti kreditur lainnya dalam bagian buah pada hari ia mengambilnya, bukan pada hari ia memakannya atau pada hari terkena bencana.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ بَاعَهَا مَعَ ثَمَرٍ فِيهَا قَدْ اخْضَرَّ ثُمَّ فَلِسَ وَالثَّمَرُ رُطَبٌ أَوْ تَمْرٌ أَوْ بَاعَهُ زَرْعًا مَعَ أَرْضٍ خَرَجَ أَوْ لَمْ يَخْرُجْ ثُمَّ أَصَابَهُ مُدْرَكًا أَخَذَهُ كُلَّهُ. وَلَوْ بَاعَهُ حَائِطًا لَا ثَمَرَ فِيهِ أَوْ أَرْضًا لَا زَرْعَ فِيهَا ثُمَّ فَلِسَ الْمُشْتَرِي فَإِنْ كَانَ النَّخْلُ قَدْ أُبِّرَ وَالْأَرْضُ قَدْ زُرِعَتْ كَانَ لَهُ الْخِيَارُ فِي النَّخْلِ وَالْأَرْضِ وَتَبْقَى الثِّمَارُ إلَى الْجِدَادِ وَالزَّرْعُ إلَى الْحَصَادِ إنْ أَرَادَ الْغُرَمَاءُ تَأْخِيرَ ذَلِكَ وَإِنْ شَاءَ ضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ وَإِنْ أَرَادَ الْغُرَمَاءُ بَيْعَ الثَّمَرِ قَبْلَ الْجِدَادِ، وَالزَّرْعُ بَقْلًا فَذَلِكَ لَهُمْ.

 

 

(Dia berkata): Seandainya ia menjualnya beserta buah yang masih hijau, kemudian pembeli bangkrut dan buah itu telah menjadi ruthab atau tamr, atau ia menjual tanaman bersama tanah—baik sudah tumbuh atau belum—kemudian tertimpa musibah, ia berhak mengambil semuanya. Jika ia menjual kebun tanpa buah atau tanah tanpa tanaman, lalu pembeli bangkrut, sementara pohon kurma telah diserbuki dan tanah telah ditanami, maka ia berhak memilih untuk pohon dan tanah. Buah tetap ada hingga panen dan tanaman hingga dipanen, jika para kreditor menunda hal itu. Jika ia mau, ia bisa berunding dengan para kreditor. Jika para kreditor ingin menjual buah sebelum panen atau tanaman masih sayuran, maka itu hak mereka.

 

وَكَذَلِكَ لَوْ بَاعَهُ أَمَةً فَوَلَدَتْ ثُمَّ أَفْلَسَ كَانَتْ لَهُ الْأَمَةُ إنْ شَاءَ وَالْوَلَدُ لِلْغُرَمَاءِ وَإِنْ كَانَتْ حُبْلَى كَانَتْ لَهُ حُبْلَى؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَعَلَ الْإِبَارَ كَالْوِلَادَةِ وَإِذَا لَمْ تُؤَبَّرْ فَهِيَ كَالْحَامِلِ لَمْ تَلِدْ. وَلَوْ بَاعَهُ نَخْلًا لَا ثَمَرَ فِيهَا ثُمَّ أَثْمَرَتْ فَلَمْ تُؤَبَّرْ حَتَّى أَفْلَسَ فَلَمْ يَخْتَرْ الْبَائِعُ حَتَّى أُبِّرَتْ كَانَ لَهُ النَّخْلُ دُونَ الثَّمَرَةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ عَيْنَ مَالِهِ إلَّا بِالتَّفْلِيسِ وَالِاخْتِيَارِ وَكَذَلِكَ كُلُّ مَا كَانَ يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرِ الشَّجَرِ فِي أَكْمَامٍ فَيَنْشَقُّ كَالْكُرْسُفِ وَمَا أَشْبَهَهُ فَإِذَا انْشَقَّ فَمِثْلُ النَّخْلِ يُؤَبَّرُ وَإِذَا لَمْ يَنْشَقَّ فَمِثْلُ النَّخْلِ لَمْ يُؤَبَّرْ. وَلَوْ قَالَ الْبَائِعُ اخْتَرْتَ عَيْنَ مَالِي قَبْلَ الْإِبَارِ وَأَنْكَرَ الْمُفْلِسُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَعَلَى الْبَائِعِ الْبَيِّنَةُ، وَإِنْ صَدَّقَهُ الْغُرَمَاءُ لَمْ أَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ الثَّمَرِ شَيْئًا؛ لِأَنَّهُمْ أَقَرُّوا بِهِ لِلْبَائِعِ وَأَجْعَلُهُ لِلْغَرِيمِ سِوَى مَنْ صَدَّقَ الْبَائِعَ ويحاصهم فِيمَا بَقِيَ إلَّا أَنْ يَشْهَدَ مِنْ الْغُرَمَاءِ عَدْلَانِ فَيَجُوزُ، وَإِنْ صَدَّقَهُ الْمُفْلِسُ وَكَذَّبَهُ الْغُرَمَاءُ فَمَنْ أَجَازَ إقْرَارَهُ أَجَازَهُ وَمَنْ لَمْ يُجِزْهُ لَمْ يُجِزْهُ وَأُحْلِفَ لَهُ الْغُرَمَاءُ الَّذِينَ يَدْفَعُونَهُ وَلَوْ وَجَدَ بَعْضَ مَالٍ كَانَ لَهُ بِحِصَّتِهِ وَيَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ فِي بَقِيَّتِهِ، وَلَوْ كَانَتْ دَارًا فَبُنِيَتْ أَوْ أَرْضًا فَغُرِسَتْ خَيَّرْته بَيْنَ أَنْ يُعْطَى الْعِمَارَةَ، وَيَكُونَ ذَلِكَ لَهُ أَوْ يَكُونَ لَهُ الْأَرْضُ وَالْعِمَارَةُ تُبَاعُ لِلْغُرَمَاءِ إلَّا أَنْ يَشَاءَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ أَنْ يَقْلَعُوا وَيَضْمَنُوا مَا نَقَصَ الْقَلْعُ فَيَكُونَ لَهُمْ.

 

 

Demikian pula, jika ia menjual seorang budak perempuan lalu budak itu melahirkan, kemudian pembeli bangkrut, maka budak perempuan itu menjadi milik penjual jika ia menghendaki, sedangkan anaknya menjadi milik para kreditur. Jika budak itu sedang hamil, maka ia tetap menjadi milik penjual dalam keadaan hamil, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bahwa pembuahan (pada pohon) dihukumi sama seperti kelahiran (pada manusia). Jika belum terjadi pembuahan, maka statusnya seperti perempuan hamil yang belum melahirkan. Jika ia menjual pohon kurma yang belum berbuah, kemudian berbuah namun belum terjadi pembuahan hingga pembeli bangkrut, dan penjual belum memilih (untuk mengambil kembali pohonnya) hingga terjadi pembuahan, maka pohon itu menjadi milik penjual tanpa buahnya, karena ia tidak memiliki asetnya kecuali setelah terjadi kebangkrutan dan pemilihan. Demikian pula segala sesuatu yang keluar dari buah pohon dalam kelopaknya lalu pecah seperti kapas atau semisalnya. Jika sudah pecah, maka hukumnya seperti pohon kurma yang sudah dibuahi. Jika belum pecah, maka seperti pohon kurma yang belum dibuahi. Jika penjual berkata, “Aku telah memilih asetku sebelum pembuahan,” sementara pihak yang bangkrut mengingkarinya, maka perkataan pihak yang bangkrut yang diterima disertai sumpahnya, sedangkan penjual harus mendatangkan bukti. Jika para kreditur membenarkannya, maka aku tidak memberikan bagian buah kepada mereka, karena mereka telah mengakuinya untuk penjual. Aku berikan kepada kreditur selain yang membenarkan penjual, dan mereka berbagi dalam sisa harta, kecuali jika dua orang kreditur yang adil bersaksi, maka itu diperbolehkan. Jika pihak yang bangkrut membenarkannya sementara para kreditur mendustakannya, maka bagi yang membolehkan pengakuannya, ia membolehkannya, dan bagi yang tidak membolehkan, ia tidak membolehkannya. Para kreditur yang menolaknya disumpah. Jika ia menemukan sebagian hartanya, maka ia berhak atas bagiannya dan ikut serta dengan para kreditur dalam sisa harta. Jika berupa rumah lalu dibangun, atau tanah lalu ditanami, maka ia diberi pilihan antara diberikan bangunannya dan itu menjadi miliknya, atau tanah menjadi miliknya sedangkan bangunan dijual untuk para kreditur, kecuali jika pihak yang bangkrut dan para kreditur menghendaki untuk mencabut (tanaman) dan menanggung berkurangnya nilai akibat pencabutan, maka itu menjadi milik mereka.

 

(وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ) : إنْ لَمْ يَأْخُذْ الْعِمَارَةَ وَأَبَى الْغُرَمَاءُ أَنْ يَقْلَعُوهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ إلَّا الثَّمَنُ يُحَاصُّ بِهِ الْغُرَمَاءَ.

 

 

(Dan dia berkata di tempat lain): “Jika dia tidak mengambil bangunan itu dan para kreditur menolak untuk mencabutnya, maka dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali harga yang dibagi dengan para kreditur.”

(قال المزني) قلت أنا: الأول عندي بقوله أشبه وأولى؛ لأنه يجعل الثوب إذا صبغ لبيعه يكون به شريكًا وكذلك الأرض تغرس لبيعها يكون بها شريكًا.

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Pendapat pertama menurutku lebih sesuai dan lebih utama; karena ia menjadikan pakaian jika dicelup untuk penjualnya maka ia menjadi sekutu dengannya, begitu pula tanah yang ditanami untuk penjualnya maka ia menjadi sekutu dengannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَانَا عَبْدَيْنِ بِمِائَةٍ فَقَبَضَ نِصْفَ الثَّمَنِ وَبَقِيَ أَحَدُ الْعَبْدَيْنِ وَهُمَا سَوَاءٌ كَانَ لَهُ نِصْفُ الثَّمَنِ وَنِصْفُ الَّذِي قَبَضَ ثَمَنُ الْهَالِكِ كَمَا لَوْ رَهَنَهُمَا بِمِائَةٍ فَقَبَضَ تِسْعِينَ وَهَلَكَ أَحَدُهُمَا كَانَ الْآخَرُ رَهْنًا بِالْعَشَرَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya ada dua budak seharga seratus, lalu separuh harga diterima dan satu budak tersisa sedangkan keduanya setara, maka ia berhak atas separuh harga dan separuh dari yang diterima sebagai harga budak yang musnah. Seperti halnya jika kedua budak itu digadaikan seharga seratus, lalu sembilan puluh diterima dan salah satunya musnah, maka budak yang lain menjadi gadai sepuluh.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: أَصْلُ قَوْلِهِ أَنْ لَيْسَ الرَّهْنُ مِنْ الْبَيْعِ بِسَبِيلٍ؛ لِأَنَّ الرَّهْنَ مَعْنًى وَاحِدٌ بِمَعْنًى وَاحِدٍ مَا بَقِيَ مِنْ الْحَقِّ شَيْءٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Pokok ucapannya adalah bahwa rahn (gadai) bukanlah bagian dari jual beli, karena rahn memiliki satu makna dengan satu tujuan selama masih ada sisa hak.

(قَالَ) : وَلَوْ بَقِيَ مِنْ ثَمَنِ السِّلْعَةِ فِي التَّفْلِيسِ دِرْهَمٌ لَمْ يَرْجِعْ فِي قَوْلِهِ مِنْ السِّلْعَةِ إلَّا بِقَدْرِ الدِّرْهَمِ.

 

Beliau berkata: “Seandainya tersisa dari harga barang dalam kepailitan satu dirham, maka tidak boleh mengambil kembali dari barang tersebut kecuali sebesar satu dirham.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَكْرَاهُ أَرْضًا فَفَلِسَ وَالزَّرْعُ بَقْلٌ فِي أَرْضِهِ كَانَ لِصَاحِبِ الْأَرْضِ أَنْ يُحَاصَّ الْغُرَمَاءَ بِقَدْرِ مَا أَقَامَتْ الْأَرْضُ فِي يَدَيْهِ إلَى أَنْ أَفْلَسَ وَيَقْلَعَ الزَّرْعَ؛ عَنْ أَرْضِهِ إلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ الْمُفْلِسُ وَالْغُرَمَاءُ بِأَنْ يَدْفَعُوا إلَيْهِ إجَارَةَ مِثْلِ الْأَرْضِ إلَى أَنْ يَسْتَحْصِدَ الزَّرْعَ؛ لِأَنَّ الزَّارِعَ كَانَ غَيْرَ مُتَعَدٍّ وَإِنْ كَانَ لَا يَسْتَغْنِي عَنْ السَّقْيِ قِيلَ لِلْغُرَمَاءِ إنْ تَطَوَّعْتُمْ بِأَنْ تُنْفِقُوا عَلَيْهِ حَتَّى يَسْتَحْصِدَ الزَّرْعَ فَتَأْخُذُوا نَفَقَتَكُمْ مَعَ مَالِكُمْ بِأَنْ يَرْضَاهُ صَاحِبُ الزَّرْعِ وَإِنْ لَمْ تَشَاءُوا وَشِئْتُمْ الْبَيْعَ فَبِيعُوهُ بِحَالِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang menyewa tanah lalu bangkrut, sementara tanaman sayuran masih ada di tanahnya, pemilik tanah berhak meminta bagian dari para kreditur sesuai lamanya tanah itu berada di tangan penyewa hingga ia bangkrut, dan mencabut tanaman dari tanahnya. Kecuali jika si bangkrut dan para kreditur rela memberikan sewa tanah yang semisal hingga tanaman itu dipanen, karena petani itu tidak melampaui batas meski tanaman itu perlu disiram. Dikatakan kepada para kreditur: ‘Jika kalian rela menanggung biayanya hingga tanaman dipanen, maka kalian boleh mengambil biaya itu bersama harta kalian asal pemilik tanaman rela. Jika tidak mau dan ingin menjual, maka juallah tanaman dalam keadaannya saat itu.'”

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ بَاعَهُ زَيْتًا فَخَلَطَهُ بِمِثْلِهِ أَوْ أَرْدَأَ مِنْهُ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَتَاعَهُ بِالْكَيْلِ أَوْ الْوَزْنِ وَإِنْ خَلَطَهُ بِأَجْوَدَ مِنْهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: لَا سَبِيلَ لَهُ إلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَصِلُ إلَى مَالِهِ فِيهِ إلَّا زَائِدًا بِمَالِ غَرِيمِهِ، وَهُوَ أَصَحُّ وَبِهِ أَقُولُ وَلَا يُشْبِهُ الثَّوْبَ يُصْبَغُ وَلَا السَّوِيقُ يُلَتُّ؛ لِأَنَّ هَذَا عَيْنُ مَالٍ فِيهِ زِيَادَةٌ وَالذَّائِبُ إذَا اخْتَلَطَ انْقَلَبَ حَتَّى لَا يُوجَدَ عَيْنُ مَالِهِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يُنْظَرَ إلَى قِيمَةِ زَيْتِهِ وَالْمَخْلُوطُ بِهِ مُتَمَيِّزَيْنِ ثُمَّ يَكُونُ شَرِيكًا بِقَدْرِ قِيمَةِ زَيْتِهِ أَوْ يَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِزَيْتِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang menjual minyak lalu mencampurnya dengan minyak yang sejenis atau lebih rendah kualitasnya, maka ia berhak mengambil barangnya kembali dengan takaran atau timbangan. Namun jika dicampur dengan minyak yang lebih bagus, maka ada dua pendapat. Pertama: ia tidak berhak atasnya karena tidak bisa mendapatkan hartanya kecuali dengan menambah harta orang yang berutang, dan ini pendapat yang lebih kuat yang aku pegang. Kasus ini tidak seperti kain yang dicelup atau tepung yang diaduk, karena ini adalah harta nyata yang ada tambahannya, sedangkan yang larut jika bercampur akan berubah hingga tidak bisa dikenali lagi hartanya. Pendapat kedua: dilihat nilai minyaknya dan minyak yang dicampur dalam keadaan terpisah, lalu ia menjadi mitra sesuai nilai minyaknya atau ikut membagi dengan para kreditur berdasarkan minyaknya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْتُ أَنَا: هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ جَعَلَ زَيْتَهُ إذَا خُلِطَ بِأَرْدَأَ وَهُوَ لَا يَتَمَيَّزُ عَيْنَ مَالِهِ كَمَا جَعَلَ الثَّوْبَ يُصْبَغُ وَلَا يُمْكِنُ فِيهِ التَّمْيِيزُ عَيْنَ مَالِهِ فَلَمَّا قَدَرَ عَلَى قَسْمِ الزَّيْتِ بِكَيْلٍ أَوْ وَزْنٍ بِلَا ظُلْمٍ قَسَمَهُ وَلَمَّا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى قَسْمِ الثَّوْبِ وَالصَّبْغِ أَشْرَكَهُمَا فِيهِ بِالْقِيمَةِ فَكَذَلِكَ لَا يُمْنَعُ خَلْطُ زَيْتِهِ بِأَجْوَدَ مِنْهُ مِنْ أَنْ يَكُونَ عَيْنَ مَالِهِ فِيهِ وَفِي قَسْمِهِ ظُلْمٌ وَهُمَا شَرِيكَانِ بِالْقِيمَةِ.

 

 

(Al-Muzanni berkata) Aku berkata: Ini lebih mirip dengan pendapatnya; karena ia menjadikan minyaknya ketika dicampur dengan yang lebih rendah dan tidak dapat dibedakan asetnya, sebagaimana ia menjadikan kain yang dicelup dan tidak mungkin dibedakan asetnya di dalamnya. Maka ketika ia mampu membagi minyak dengan takaran atau timbangan tanpa kezaliman, ia membaginya. Dan ketika ia tidak mampu membagi kain dan celupan, ia menjadikan keduanya berserikat di dalamnya berdasarkan nilai. Demikian pula, tidak terlarang mencampur minyaknya dengan yang lebih baik sehingga asetnya ada di dalamnya, dan dalam pembagiannya terdapat kezaliman, dan keduanya berserikat berdasarkan nilai.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ كَانَ حِنْطَةً فَطَحَنَهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: وَبِهِ أَقُولُ يَأْخُذُهَا وَيُعْطَى قِيمَةَ الطَّحْنِ؛ لِأَنَّهُ زَائِدٌ عَلَى مَالِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika itu gandum lalu digiling, maka ada dua pendapat. Salah satunya—dan ini pendapatku—dia boleh mengambilnya dan memberikan nilai penggilingannya, karena itu tambahan atas hartanya.

 

(قَالَ) : وَكَذَلِكَ الثَّوْبُ يَصْبُغُهُ أَوْ يُقَصِّرُهُ يَأْخُذُهُ، وَلِلْغُرَمَاءِ زِيَادَتُهُ فَإِنْ قَصَّرَهُ بِأُجْرَةِ دِرْهَمٍ فَزَادَ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ كَانَ الْقَصَّارُ شَرِيكًا فِيهِ بِدِرْهَمٍ، وَالْغُرَمَاءُ بِأَرْبَعَةِ دَرَاهِمَ شُرَكَاءُ بِهَا وَبِيعَ لَهُمْ فَإِنْ كَانَتْ أُجْرَتُهُ خَمْسَةَ دَرَاهِمَ وَزَادَ دِرْهَمًا كَانَ شَرِيكًا فِي الثَّوْبِ بِدِرْهَمٍ، وَضَرَبَ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأَرْبَعَةٍ وَبِهَذَا أَقُولُ. وَالْقَوْلُ الْآخَرُ: أَنَّ الْقَصَّارَ غَرِيمٌ بِأُجْرَةِ الْقِصَارَةِ؛ لِأَنَّهَا أَثَرٌ لَا عَيْنٌ.

 

 

(Dia berkata): “Demikian pula kain yang dia celup atau dia potong, dia mengambilnya, dan untuk para kreditur adalah tambahannya. Jika dia memotongnya dengan upah satu dirham lalu bertambah lima dirham, maka tukang potong menjadi mitra di dalamnya dengan satu dirham, dan para kreditur dengan empat dirham sebagai mitra, lalu dijual untuk mereka. Jika upahnya lima dirham dan bertambah satu dirham, maka dia menjadi mitra dalam kain dengan satu dirham, dan dia bersama para kreditur dengan empat dirham. Dan inilah pendapatku. Pendapat lain menyatakan bahwa tukang potong adalah kreditur dengan upah pemotongan, karena itu adalah bekas, bukan benda nyata.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ وَإِنَّمَا الْبَيَاضُ فِي الثَّوْبِ عَنْ الْقِصَارَةِ كَالسَّمْنِ عَنْ الطَّعَامِ، وَالْعَلَفِ وَكِبَرِ الْوَدِيِّ عَنْ السَّقْيِ وَهُوَ لَا يَجْعَلُ الزِّيَادَةَ لِلْبَائِعِ فِي ذَلِكَ عَيْنَ مَالِهِ فَكَذَلِكَ زِيَادَةُ الْقِصَارَةِ لَيْسَتْ عَيْنَ مَالِهِ، وَقَدْ قَالَ فِي الْأَجِيرِ يَبِيعُ فِي حَانُوتٍ أَوْ يَرْعَى غَنَمًا أَوْ يُرَوِّضُ دَوَابَّ فَالْأَجِيرُ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ، فَهَذِهِ الزِّيَادَاتُ عَنْ هَذِهِ الصِّنَاعَاتِ الَّتِي هِيَ آثَارٌ لَيْسَتْ بِأَعْيَانِ مَالٍ حُكْمُهَا عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ وَاحِدٌ إلَّا أَنْ تَخُصَّ السُّنَّةُ مِنْهَا شَيْئًا فَيُتْرَكُ لَهَا الْقِيَاسُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Ini lebih mirip dengan ucapannya, dan sesungguhnya warna putih pada pakaian akibat penyetrikaan seperti mentega dari makanan, pakan dan besarnya susu dari penyiraman. Dia tidak menjadikan tambahan itu sebagai bagian dari harta penjual dalam hal itu, begitu pula tambahan dari penyetrikaan bukanlah bagian dari hartanya. Dan dia telah berkata tentang pekerja yang berjualan di toko, menggembala kambing, atau melatih hewan, maka pekerja itu disamakan dengan para kreditur. Tambahan-tambahan dari pekerjaan-pekerjaan ini yang merupakan efek-efek dan bukan berupa harta, menurutku dalam qiyas hukumnya sama, kecuali jika sunnah mengkhususkan sesuatu darinya, maka qiyas ditinggalkan untuknya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ تَبَايَعَا بِالْخِيَارِ ثَلَاثًا فَفَلِسَا أَوْ أَحَدُهُمَا فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا إجَازَةُ الْبَيْعِ وَرَدُّهُ دُونَ الْغُرَمَاءِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِبَيْعٍ مُسْتَحْدَثٍ فَإِنْ أَخَذَهُ دُونَ صِفَتِهِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ إلَّا أَنْ يَرْضَى الْغُرَمَاءُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya dua orang melakukan transaksi jual beli dengan hak khiyar selama tiga hari, lalu mereka atau salah satunya bangkrut, maka masing-masing dari mereka berhak melanjutkan atau membatalkan transaksi tanpa melibatkan para kreditur, karena itu bukan transaksi baru. Namun jika ia mengambil barang tanpa memenuhi sifatnya (syarat), maka hal itu tidak boleh kecuali dengan keridhaan para kreditur.

 

 

وَلَوْ أَسْلَفَ فِضَّةً بِعَيْنِهَا فِي طَعَامٍ ثُمَّ فَلِسَ كَانَ أَحَقَّ بِفِضَّتِهِ.

 

 

Dan jika ia meminjamkan perak secara tunai untuk makanan, kemudian (peminjam) bangkrut, ia lebih berhak atas peraknya.

 

 

وَلَوْ أَكْرَى دَارًا ثُمَّ فَلِسَ الْمُكْرِي فَالْكِرَاءُ لِصَاحِبِهِ فَإِذَا تَمَّ سُكْنَاهُ بِيعَتْ لِلْغُرَمَاءِ، وَلَوْ أَكْرَاهُ سَنَةً، وَلَمْ يَقْبِضْ الْكِرَاءَ ثُمَّ فَلِسَ الْمُكْتَرِي كَانَ لِلْمُكْرِي فَسْخُ الْكِرَاءِ.

 

 

Jika seseorang menyewakan rumah, lalu pemiliknya bangkrut, maka sewa itu milik penyewa. Jika masa sewa selesai, rumah itu dijual untuk membayar hutang. Jika rumah disewakan selama setahun, tetapi uang sewa belum diterima lalu penyewa bangkrut, pemilik berhak membatalkan sewa.

 

 

وَلَوْ قَسَمَ الْحَاكِمُ مَالَهُ بَيْنَ غُرَمَائِهِ ثُمَّ قَدِمَ آخَرُونَ رَدَّهُ عَلَيْهِمْ بِالْحِصَصِ وَإِذَا أَرَادَ الْحَاكِمُ بَيْعَ مَتَاعِهِ أَوْ رَهْنَهُ أَحْضَرَهُ أَوْ وَكِيلَهُ لِيُحْصِيَ ثَمَنَ ذَلِكَ فَيَدْفَعَ مِنْهُ حَقَّ الرَّهْنِ مِنْ سَاعَتِهِ وَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ لِغُرَمَاءِ الْمُفْلِسِ ارْتَضَوْا بِمَنْ يَكُونُ عَلَى يَدَيْهِ الثَّمَنُ وَبِمَنْ يُنَادِي عَلَى مَتَاعِهِ فِيمَنْ يَزِيدُ وَلَا يَقْبَلُ الزِّيَادَةَ إلَّا مِنْ ثِقَةٍ وَأُحِبُّ أَنْ يُرْزَقَ مَنْ وَلِيَ هَذَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ، وَلَمْ يَعْمَلْ إلَّا بِجُعْلٍ شَارَكُوهُ فَإِنْ لَمْ يَتَّفِقُوا اجْتَهَدَ لَهُمْ وَلَمْ يُعْطَ شَيْئًا وَهُوَ يَجِدُ ثِقَةً يَعْمَلُ بِغَيْرِ جُعْلٍ، وَيُبَاعُ فِي مَوْضِعِ سُوقِهِ، وَمَا فِيهِ صَلَاحُ ثَمَنِ الْمَبِيعِ، وَلَا يَدْفَعُ إلَى مَنْ اشْتَرَى شَيْئًا حَتَّى يَقْبِضَ الثَّمَنَ، وَمَا ضَاعَ مِنْ الثَّمَنِ فَمِنْ مَالِ الْمُفْلِسِ، وَيَبْدَأُ فِي الْبَيْعِ بِالْحَيَوَانِ وَيَتَأَنَّى بِالْمَسَاكِنِ بِقَدْرِ مَا يَرَى أَهْلُ الْبَصَرِ بِهَا أَنَّهَا قَدْ بَلَغَتْ أَثْمَانَهَا، وَإِنْ وَجَدَ الْإِمَامُ ثِقَةً يُسَلِّفُهُ الْمَالَ حَالًّا لَمْ يَجْعَلْهُ أَمَانَةً، وَيَنْبَغِي إذَا رُفِعَ إلَيْهِ أَنْ يُشْهِدَ أَنَّهُ وَقَفَ مَالَهُ عَنْهُ فَإِذَا فَعَلَ ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَبِيعَ، وَلَا يَهَبَ، وَمَا فَعَلَ مِنْ هَذَا فَفِيهِ قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مَوْقُوفٌ فَإِنْ فَضَلَ جَازَ فِيهِ مَا فَعَلَ. وَالْآخَرُ: أَنَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ.

 

 

Jika hakim membagi harta orang yang bangkrut di antara para krediturnya, lalu datang kreditur lain, hakim harus mengembalikan pembagian sesuai porsi. Jika hakim hendak menjual atau menggadaikan barangnya, ia atau wakilnya harus hadir untuk menghitung harganya, lalu membayar hak gadai saat itu juga. Hakim sebaiknya meminta persetujuan para kreditur orang bangkrut mengenai siapa yang akan memegang uang hasil penjualan dan siapa yang akan menawarkan barangnya kepada penawar tertinggi. Ia tidak boleh menerima penawaran kecuali dari orang terpercaya. Aku lebih suka jika petugas yang menangani ini diberi upah dari baitulmal. Jika tidak ada, dan ia hanya mau bekerja dengan upah, biarkan kreditur membayarnya bersama-sama. Jika tidak sepakat, ia tetap wajib berusaha untuk mereka tanpa dibayar, selama ada orang terpercaya yang bersedia bekerja tanpa upah. Barang dijual di pasar yang sesuai dan tempat yang bisa memaksimalkan harga. Pembeli tidak boleh menerima barang sebelum membayar. Jika ada uang yang hilang, itu menjadi tanggungan orang bangkrut. Penjualan dimulai dari hewan, sedangkan properti ditunda sampai ahli menilai harganya telah maksimal. Jika imam menemukan orang terpercaya yang mau membayar tunai, ia tidak menjadikannya sebagai amanah. Ketika kasus diajukan, hakim harus mempersaksikan bahwa harta orang tersebut telah dihentikan. Setelah itu, ia tidak boleh menjual atau menghibahkannya. Ada dua pendapat mengenai tindakan yang dilakukannya setelah itu: Pertama, tindakannya tertahan; jika ada kelebihan, barulah dibolehkan. Kedua, tindakannya batal.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: قَدْ قَطَعَ فِي الْمُكَاتَبِ إنْ كَاتَبَهُ بَعْدَ الْوَقْفِ فَأَدَّى لَمْ يُعْتَقْ بِحَالٍ.

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Sungguh ia telah memutuskan mengenai mukatab bahwa jika ia mengadakannya setelah wakaf lalu ia melunasinya, maka ia tidak merdeka sama sekali.

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا أَقَرَّ بِدَيْنٍ زَعَمَ أَنَّهُ لَزِمَهُ قَبْلَ الْوَقْفِ فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَائِزٌ كَالْمَرِيضِ يَدْخُلُ مَعَ غُرَمَائِهِ وَبِهِ أَقُولُ. وَالثَّانِي: أَنَّ إقْرَارَهُ لَازِمٌ لَهُ فِي مَالٍ إنْ حَدَثَ لَهُ أَوْ يَفْضُلُ عَنْ غُرَمَائِهِ، وَقَدْ ذَهَبَ بَعْضُ الْمُفْتِينَ إلَى أَنَّ دُيُونَ الْمُفْلِسِ إلَى أَجَلٍ تَحِلُّ حُلُولُهَا عَلَى الْمَيِّتِ، وَقَدْ يَحْتَمِلُ أَنْ يُؤَخِّرَ الْمُؤَخَّرُ عَنْهُ؛ لِأَنَّ لَهُ ذِمَّةً، وَقَدْ يَمْلِكُ وَالْمَيِّتُ بَطَلَتْ ذِمَّتُهُ، وَلَا يَمْلِكُ بَعْدَ الْمَوْتِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang mengakui adanya utang yang ia klaim telah menjadi kewajibannya sebelum wakaf, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, itu diperbolehkan seperti orang sakit yang berurusan dengan para krediturnya, dan inilah pendapat yang aku pegang. Kedua, pengakuannya mengikat dirinya terhadap harta jika ia memperolehnya atau ada kelebihan setelah dibagikan kepada para kreditur. Sebagian mufti berpendapat bahwa utang-utang orang yang bangkrut dengan tenggat waktu menjadi jatuh tempo ketika ia meninggal. Namun, ada kemungkinan untuk menunda yang tertunda darinya karena ia masih memiliki tanggungan dan mungkin memiliki harta, sedangkan orang yang meninggal tanggungannya telah gugur dan tidak memiliki apa-apa setelah kematian.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) Aku berkata: Ini lebih sahih dan dalam Al-Imla’ dia berpendapat demikian.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ جَنَى عَلَيْهِ عَمْدًا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ أَخْذُ الْمَالِ إلَّا أَنْ يَشَاءَ.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya dia merusak dengan sengaja, maka tidak wajib baginya untuk mengambil harta kecuali jika dia menghendaki.”

 

 

(قَالَ) : وَلَيْسَ عَلَى الْمُفْلِسِ أَنْ يُؤَاجِرَ وَذُو الْعُسْرَةِ يُنْظَرُ إلَى مَيْسَرَةٍ، وَيُتْرَكُ لَهُ مِنْ مَالِهِ قَدْرَ مَا لَا غِنَى بِهِ عَنْهُ وَأَقَلُّ مَا يَكْفِيهِ وَأَهْلُهُ يَوْمَهُ مِنْ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، وَإِنْ كَانَ لِبَيْعِ مَالِهِ حُبِسَ أُنْفِقَ مِنْهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى أَهْلِهِ كُلَّ يَوْمٍ أَقَلَّ مَا يَكْفِيهِمْ مِنْ نَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ كَانَ ذَلِكَ فِي شِتَاءٍ أَوْ صَيْفٍ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ قَسْمِ مَالِهِ بَيْنَ غُرَمَائِهِ، وَإِنْ كَانَتْ ثِيَابُهُ كُلُّهَا عَوَالِيَ مُجَاوَزَةَ الْقَدْرِ اُشْتُرِيَ لَهُ مِنْ ثَمَنِهَا أَقُلُّ مَا يَلْبَسُ أَقْصِدُ مَا يَكْفِيهِ فِي مِثْلِ حَالِهِ، وَمَنْ تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Orang yang bangkrut tidak wajib menyewa, dan orang yang kesulitan (finansial) diberi tenggat hingga mampu. Sisakan untuknya dari hartanya sekadar yang ia butuhkan, yaitu minimal yang mencukupi untuk makan dan minum dirinya serta keluarganya sehari. Jika hartanya sedang dijual, ia ditahan namun tetap diberi nafkah darinya untuk dirinya dan keluarganya setiap hari, berupa kebutuhan pokok dan pakaian minimal yang mencukupi, baik di musim dingin atau panas, hingga pembagian hartanya selesai kepada para kreditur. Jika seluruh pakaiannya melebihi batas (kebutuhan), dibelikan untuknya dari hasil penjualannya pakaian yang sederhana, yaitu yang cukup untuk orang seperti keadaannya dan orang yang menjadi tanggungannya.”

 

 

وَإِنْ مَاتَ كُفِّنَ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ قِبَلَ الْغُرَمَاءِ وَحُفِرَ قَبْرُهُ، وَمُيِّزَ بِأَقَلَّ مَا يَكْفِيهِ وَكَذَلِكَ مَنْ يَلْزَمُهُ أَنْ يُكَفِّنَهُ ثُمَّ قُسِّمَ الْبَاقِي بَيْنَ غُرَمَائِهِ، وَيُبَاعُ عَلَيْهِ مَسْكَنُهُ وَخَادِمُهُ؛ لِأَنَّ مِنْ ذَلِكَ بُدًّا.

 

 

Dan jika dia meninggal, dia dikafani dari pokok hartanya sebelum diberikan kepada para kreditur, kuburnya digali, dan dibedakan dengan sekedar yang mencukupinya, begitu pula orang yang wajib mengafaninya. Kemudian sisa harta dibagi di antara para krediturnya, dan dijual atasnya tempat tinggal serta pelayannya karena hal itu harus dilakukan.

 

 

وَإِنْ أَقَامَ شَاهِدًا عَلَى رَجُلٍ بِحَقٍّ وَلَمْ يَحْلِفْ مَعَ شَاهِدِهِ فَلَيْسَ لِلْغُرَمَاءِ أَنْ يَحْلِفُوا لَيْسَ لَهُمْ إلَّا مَا تَمَّ مِلْكُهُ عَلَيْهِ دُونَهُمْ.

 

 

Dan jika seseorang mendatangkan seorang saksi terhadap seorang laki-laki dengan suatu hak, tetapi dia tidak bersumpah bersama saksinya, maka para kreditur tidak berhak bersumpah. Mereka tidak memiliki hak kecuali apa yang telah menjadi miliknya atas mereka, bukan milik mereka.

 

بَابُ الدَّيْنِ عَلَى الْمَيِّتِ

 

Bab tentang Hutang yang Ditanggung oleh Mayit

(Asy-Syafi’i berkata): “Barangsiapa yang dijual hartanya karena utang setelah kematiannya, atau semasa hidupnya, atau saat pailit, maka semua itu sama saja. Tanggungan pada harta orang yang meninggal sama seperti pada harta orang yang hidup, tidak ada perbedaan dalam hal itu menurutku. Seandainya rumahnya dijual seharga seribu dan wakil hakim menerima uangnya lalu uang itu hilang dari tangannya, kemudian rumah tersebut diklaim kembali, maka tidak ada tanggungan atas kreditur yang rumah itu dijual untuknya. Yang paling berhak menanggung adalah orang yang hartanya dijual (al-mabi’ alaih). Jika ditemukan hartanya, maka dijual lalu uangnya dikembalikan kepada pembeli, karena uang itu diambil darinya melalui penjualan namun barangnya tidak diserahkan kepadanya. Jika tidak ditemukan hartanya, maka tidak ada tanggungan atas hakim atau wakilnya. Dan dikatakan kepada pembeli: ‘Engkau adalah kreditur orang yang pailit atau yang meninggal, sama seperti kreditur-krediturnya yang lain.'”

بَابُ جَوَازِ حَبْسِ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ

 

Bab tentang bolehnya menahan orang yang berutang.

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika hutang telah dibuktikan kepadanya, maka dijual hartanya yang tampak dan dibayarkan, dan dia tidak dipenjara. Namun jika tidak ada harta yang tampak, dia dipenjara dan dijual hartanya yang bisa didapat. Jika dia mengaku kesulitan, maka diterima buktinya; berdasarkan firman Allah -Yang Maha Agung dan Perkasa- {‘Dan jika (orang berhutang) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.’} (QS. Al-Baqarah: 280). Dia juga disumpah atas nama Allah dan dibebaskan, sementara para penagih hutang dilarang mengejarnya sampai ada bukti bahwa dia telah memiliki harta. Jika mereka bersaksi bahwa mereka melihat harta di tangannya, aku akan menanyakannya. Jika dia menjawab bahwa itu adalah hasil mudharabah (bagi hasil), aku menerimanya beserta sumpahnya, dan tidak ada batas waktu penahanannya selain untuk mengungkap keadaannya. Jika hakim telah memastikan seperti yang kujelaskan, dia tidak boleh ditahan lagi, dan hakim tidak boleh lalai menanyainya. Jika dia memperoleh harta, maka apa yang dilakukannya terhadap harta itu diperbolehkan sampai penguasa menetapkan status baru, karena status sebelumnya tidak berlaku baginya sebab dia tidak dianggap cakap. Jika orang yang berhutang dengan tempo ingin bepergian, sementara penagih hutang ingin mencegahnya karena jauhnya perjalanan atau dekatnya tempo hutang, atau meminta jaminan, maka dia dilarang bepergian dan dikatakan kepadanya: ‘Hakmu ada pada tempat yang telah kamu sepakati dan kamu rela.'”

 

بَابُ الْحَجْرِ

 

Bab tentang Haji

(Asy-Syafi’i berkata): Allah -Azza wa Jalla- berfirman, “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa’: 6).

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْبُلُوغُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً إلَّا أَنْ يَحْتَلِمَ الْغُلَامُ أَوْ تَحِيضَ الْجَارِيَةُ قَبْلَ ذَلِكَ وَقَالَ اللَّهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} البقرة: 282 فَأَثْبَتَ الْوِلَايَةَ عَلَى السَّفِيهِ وَالضَّعِيفِ وَاَلَّذِي لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ وَأَمَرَ وَلِيَّهُ بِالْإِمْلَاءِ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ فِيمَا لَا غِنَى بِهِ عَنْهُ فِي مَالِهِ مَقَامَهُ، وَقِيلَ الَّذِي لَا يَسْتَطِيعُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ الْمَغْلُوبُ عَلَى عَقْلِهِ وَهُوَ أَشْبَهُ مَعَانِيهِ بِهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. فَإِذَا أَمَرَ اللَّهُ – جَلَّ وَعَزَّ – بِدَفْعِ أَمْوَالِ الْيَتَامَى إلَيْهِمْ بِأَمْرَيْنِ لَمْ يُدْفَعْ إلَيْهِمْ إلَّا بِهِمَا وَهُوَ الْبُلُوغُ وَالرُّشْدُ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Baligh itu pada usia lima belas tahun, kecuali jika seorang anak laki-laki sudah mimpi basah atau anak perempuan sudah haid sebelum itu.” Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: {“Jika orang yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mengimlakan sendiri, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur.”} (QS. Al-Baqarah: 282). Maka Allah menetapkan perwalian atas orang yang kurang akal, lemah, dan yang tidak mampu mengimlakan sendiri, serta memerintahkan walinya untuk mengimlakan atas namanya. Karena Allah menjadikan wali sebagai penggantinya dalam hal yang tidak bisa ditinggalkan terkait hartanya. Dikatakan bahwa “yang tidak mampu” bisa berarti orang yang tidak waras akalnya, dan ini makna yang paling dekat. Wallahu a’lam. Ketika Allah Jalla wa ‘Azza memerintahkan untuk menyerahkan harta anak yatim kepada mereka dengan dua syarat, maka harta itu tidak boleh diserahkan kecuali dengan keduanya, yaitu baligh dan rusyd (dewasa dan cakap).

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالرُّشْدُ – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – الصَّلَاحُ فِي الدِّينِ حَتَّى تَكُونَ الشَّهَادَةُ جَائِزَةً مَعَ إصْلَاحِ الْمَالِ، وَإِنَّمَا يُعْرَفُ إصْلَاحُ الْمَالِ بِأَنْ يُخْتَبَرَ الْيُتْمَانُ وَالِاخْتِبَارُ يَخْتَلِفُ بِقَدْرِ حَالِ الْمُخْتَبِرِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَبْتَذِلُ فَيُخَالِطُ النَّاسَ بِالشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ قَبْلَ الْبُلُوغِ وَبَعْدَهُ فَيَقْرُبُ اخْتِبَارُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Ar-rusyd – wallahu a’lam – adalah kebaikan dalam agama hingga kesaksian menjadi sah disertai perbaikan harta. Perbaikan harta hanya diketahui dengan menguji anak yatim, dan pengujian itu berbeda sesuai keadaan orang yang diuji. Di antara mereka ada yang biasa bergaul dengan orang lain dalam jual beli sebelum dan setelah baligh, maka pengujiannya menjadi mudah.”

 

وَمِنْهُمْ مَنْ يُصَانُ عَنْ الْأَسْوَاقِ فَاخْتِبَارُهُ أَبْعَدُ فَيُخْتَبَرُ فِي نَفَقَتِهِ فَإِنْ أَحْسَنَ إنْفَاقَهَا عَلَى نَفْسِهِ وَشِرَاءَ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ أَوْ يَدْفَعُ إلَيْهِ الشَّيْءَ الْيَسِيرَ فَإِذَا أَحْسَنَ تَدْبِيرَهُ وَتَوْفِيرَهُ، وَلَمْ يُخْدَعْ عَنْهُ دَفَعَ إلَيْهِ مَالَهُ، وَاخْتِبَارُ الْمَرْأَةِ مَعَ عِلْمِ صَلَاحِهَا لِقِلَّةِ مُخَالَطَتُهَا فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ أَبْعَدُ فَتَخْتَبِرُهَا النِّسَاءُ وَذَوُو الْمَحَارِمِ بِمِثْلِ مَا وَصَفْت فَإِذَا أُونِسَ مِنْهَا الرُّشْدُ دُفِعَ إلَيْهَا مَالُهَا تَزَوَّجَتْ أَمْ لَمْ تَتَزَوَّجْ كَمَا يُدْفَعُ إلَى الْغُلَامِ نَكَحَ أَوْ لَمْ يَنْكِحْ؛ لِأَنَّ اللَّهَ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – سَوَّى بَيْنَهُمَا فِي دَفْعِ أَمْوَالِهِمَا إلَيْهِمَا بِالْبُلُوغِ وَالرُّشْدِ، وَلَمْ يَذْكُرْ تَزْوِيجًا وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ فِي الْحَجْرِ بِعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَالزُّبَيْرِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ -.

 

 

Di antara mereka ada yang dijauhkan dari pasar, sehingga pengujiannya lebih lama. Maka, dia diuji dalam pengelolaan nafkahnya. Jika dia baik dalam membelanjakan nafkah untuk dirinya dan membeli apa yang dia butuhkan, atau diberikan sedikit harta kepadanya, lalu dia mampu mengelolanya dengan baik, menghematnya, dan tidak tertipu, maka hartanya diserahkan kepadanya. Pengujian terhadap perempuan, meskipun diketahui kesalehannya, lebih lama karena sedikitnya interaksinya dalam jual beli. Maka, para perempuan dan mahramnya mengujinya dengan cara yang telah dijelaskan. Jika terlihat tanda kedewasaannya, hartanya diserahkan kepadanya, baik dia sudah menikah atau belum, sebagaimana harta diserahkan kepada anak laki-laki, baik sudah menikah atau belum. Karena Allah—Tabaraka wa Ta’ala—menyamakan keduanya dalam penyerahan harta ketika telah baligh dan dewasa, tanpa menyebutkan pernikahan. Imam Syafi’i berargumen dalam masalah al-hajr (larangan mengelola harta) dengan merujuk pada Utsman, Ali, dan Zubair—radhiyallahu ‘anhum.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا كَانَ وَاجِبًا أَنْ يَحْجُرَ عَلَى مَنْ قَارَبَ الْبُلُوغَ، وَقَدْ عَقَلَ نَظَرًا لَهُ، وَإِبْقَاءً لِمَالِهِ فَكَانَ بَعْدَ الْبُلُوغِ أَشَدَّ تَضْيِيعًا لِمَالِهِ وَأَكْثَرَ إتْلَافًا لَهُ فَلِمَ لَا يَجِبُ الْحَجْرُ عَلَيْهِ وَالْمَعْنَى الَّذِي أُمِرَ بِالْحَجْرِ عَلَيْهِ بِهِ فِيهِ قَائِمٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan jika wajib untuk mencegah orang yang hampir baligh padahal ia telah berakal demi kepentingannya dan menjaga hartanya, lalu setelah baligh ia lebih banyak menyia-nyiakan hartanya dan lebih sering menghabiskannya, maka mengapa tidak wajib mencegahnya? Padahal alasan yang mengharuskan pencegahan terhadapnya masih tetap ada.

 

وَإِذَا حَجَرَ الْإِمَامُ عَلَيْهِ لِسَفَهِهِ، وَإِفْسَادِهِ مَالَهُ أَشْهَدَ عَلَى ذَلِكَ فَمَنْ بَايَعَهُ بَعْدَ الْحَجْرِ فَهُوَ الْمُتْلِفُ لِمَالِهِ، وَمَتَى أَطْلَقَ عَنْهُ الْحَجْرَ ثُمَّ عَادَ إلَى حَالِ الْحَجْرِ حَجَرَ عَلَيْهِ، وَمَتَى رَجَعَ بَعْدَ الْحَجْرِ إلَى حَالِ الْإِطْلَاقِ أَطْلَقَ عَنْهُ فَإِنْ قِيلَ فَلِمَ أَجَزْت إطْلَاقَهُ عَنْهُ وَهُوَ إتْلَافُ مَالٍ؟ قِيلَ لَيْسَ بِإِتْلَافِ مَالٍ. أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَمُوتُ فَلَا تُورَثُ عَنْهُ امْرَأَتُهُ، وَلَا تَحِلُّ لَهُ فِيهَا هِبَةٌ، وَلَا بَيْعُهُ، وَيُورَثُ عَنْهُ عَبْدُهُ، وَيُبَاعُ عَلَيْهِ، وَيَمْلِكُ ثَمَنَهُ فَالْعَبْدُ مَالٌ بِكُلِّ حَالٍ وَالْمَرْأَةُ لَيْسَتْ بِمَالٍ. أَلَا تَرَى أَنَّ الْعَبْدَ يُؤْذَنُ لَهُ فِي التِّجَارَةِ وَالنِّكَاحِ فَيَكُونُ لَهُ الطَّلَاقُ وَالْإِمْسَاكُ دُونَ سَيِّدِهِ وَلِمَالِكِهِ أَخْذُ مَالِهِ كُلِّهِ دُونَهُ.

 

 

Dan apabila imam menetapkan pengampuan atas seseorang karena kebodohannya dan merusak hartanya, serta telah disaksikan hal itu, maka siapa yang melakukan transaksi dengannya setelah pengampuan, dialah yang merusak hartanya. Ketika pengampuan dicabut darinya kemudian ia kembali ke keadaan yang mengharuskan pengampuan, maka ia diapungkan lagi. Dan ketika setelah pengampuan ia kembali ke keadaan yang membolehkan pencabutan pengampuan, maka pengampuan dicabut darinya. Jika ada yang bertanya, “Mengapa engkau membolehkan pencabutan pengampuan padahal itu merusak harta?” Dijawab, “Itu bukan merusak harta. Tidakkah engkau melihat bahwa jika ia meninggal, istrinya tidak diwarisi, tidak halal baginya memberikan hibah atau menjualnya, sedangkan budaknya diwarisi, dijual atasnya, dan harga budak itu menjadi miliknya? Jadi budak adalah harta dalam segala keadaan, sedangkan wanita bukan harta. Tidakkah engkau melihat bahwa budak diizinkan berdagang dan menikah, sehingga ia memiliki hak talak dan mempertahankan (istrinya) tanpa tuannya, sedangkan pemiliknya berhak mengambil seluruh hartanya tanpa budak itu?”

بَابُ الصُّلْحِ

Bab tentang Perdamaian

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): Diriwayatkan dari Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata, “Perdamaian itu diperbolehkan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَمَا جَازَ فِي الْبَيْعِ جَازَ فِي الصُّلْحِ، وَمَا بَطَلَ فِيهِ بَطَلَ فِي الصُّلْحِ فَإِنْ صَالَحَ رَجُلٌ أَخَاهُ مِنْ مُوَرِّثِهِ فَإِنْ عَرَفَا مَا صَالَحَهُ عَلَيْهِ بِشَيْءٍ يَجُوزُ فِي الْبَيْعِ جَازَ. وَلَوْ ادَّعَى رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ حَقًّا فَصَالَحَهُ مِنْ دَعْوَاهُ وَهُوَ مُنْكِرٌ فَالصُّلْحُ بَاطِلٌ، وَيَرْجِعُ الْمُدَّعِي عَلَى دَعْوَاهُ، وَيَأْخُذُ مِنْهُ صَاحِبُهُ مَا أَعْطَاهُ وَلَوْ صَالَحَ عَنْهُ رَجُلٌ يُقِرُّ عَنْهُ بِشَيْءٍ جَازَ الصُّلْحُ وَلَيْسَ لِلَّذِي أَعْطَى عَنْهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Apa yang sah dalam jual beli, maka sah pula dalam perdamaian. Dan apa yang batal di dalamnya, maka batal pula dalam perdamaian. Jika seseorang berdamai dengan saudaranya mengenai warisannya, lalu mereka mengetahui apa yang disepakati dengan sesuatu yang dibolehkan dalam jual beli, maka sah. Namun, jika seseorang menuntut hak kepada orang lain lalu berdamai atas tuntutannya sementara pihak tertuduh mengingkari, maka perdamaian itu batal. Pihak penuntut dapat kembali menuntut haknya, dan pihak lain berhak mengambil kembali apa yang telah diberikannya. Jika seseorang berdamai atas nama orang lain yang mengakui sesuatu, maka perdamaian itu sah, dan pihak yang memberi atas nama orang lain tidak boleh menuntut kembali; karena ia melakukannya secara sukarela.”

 

وَلَوْ أَشْرَعَ جُنَاحًا عَلَى طَرِيقٍ نَافِذَةٍ فَصَالَحَهُ السُّلْطَانُ أَوْ رَجُلٌ عَلَى ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ وَنُظِرَ فَإِنْ كَانَ لَا يَضُرُّ تُرِكَ، وَإِنْ ضَرَّ قُطِعَ.

 

Dan sekiranya seseorang membentangkan sayap (menghalangi) di jalan yang biasa dilalui, lalu penguasa atau seseorang berdamai dengannya, itu tidak diperbolehkan. Kemudian diperiksa, jika tidak membahayakan dibiarkan, tetapi jika membahayakan maka harus dipotong.

 

 

وَلَوْ أَنَّ رَجُلَيْنِ ادَّعَيَا دَارًا فِي يَدَى رَجُلٍ فَقَالَا وَرِثْنَاهَا عَنْ أَبِينَا فَأَقَرَّ لِأَحَدِهِمَا بِنِصْفِهَا فَصَالَحَهُ مِنْ ذَلِكَ الَّذِي أَقَرَّ لَهُ بِهِ عَلَى شَيْءٍ كَانَ لِأَخِيهِ أَنْ يَدْخُلَ مَعَهُ فِيهِ.

 

 

Dan jika dua orang laki-laki mengklaim sebuah rumah yang berada di tangan seseorang, lalu mereka berkata, “Kami mewarisinya dari ayah kami,” kemudian dia mengakui separuhnya untuk salah seorang dari mereka, lalu dia berdamai dengannya atas bagian yang diakuinya itu dengan sesuatu, maka saudaranya berhak untuk ikut serta dalam perdamaian tersebut.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: يَنْبَغِي فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ أَنْ يَبْطُلَ الصُّلْحُ فِي حَقِّ أَخِيهِ؛ لِأَنَّهُ صَارَ لِأَخِيهِ بِإِقْرَارِهِ قَبْلَ أَنْ يُصَالِحَ عَلَيْهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ صَالَحَ بِأَمْرِهِ فَيَجُوزُ عَلَيْهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Menurut qiyas dari perkataannya, perdamaian itu seharusnya batal terkait hak saudaranya, karena hak itu telah menjadi milik saudaranya melalui pengakuannya sebelum ia berdamai atasnya, kecuali jika ia berdamai dengan perintahnya, maka itu boleh baginya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَانَتْ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا وَادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَهَا فَأَقَرَّ لِأَحَدِهِمَا بِالنِّصْفِ وَجَحَدَ لِلْآخَرِ لَمْ يَكُنْ لِلْآخَرِ فِي ذَلِكَ حَقٌّ، وَكَانَ عَلَى خُصُومَتِهِ. وَلَوْ كَانَ أَقَرَّ لِأَحَدِهِمَا بِجَمِيعِ الدَّارِ فَإِنْ كَانَ لَمْ يُقِرَّ لِلْآخَرِ بِأَنَّ لَهُ النِّصْفَ فَلَهُ الْكُلُّ، وَإِنْ كَانَ أَقَرَّ بِأَنَّ لَهُ النِّصْفَ وَلِأَخِيهِ النِّصْفَ كَانَ لِأَخِيهِ أَنْ يَرْجِعَ بِالنِّصْفِ عَلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya permasalahan tetap seperti itu dan masing-masing dari keduanya mengklaim separuhnya, lalu dia mengakui separuh untuk salah satunya dan mengingkari yang lain, maka yang lain tidak memiliki hak atas itu, dan dia harus membantahnya. Dan seandainya dia mengakui seluruh rumah untuk salah satunya, jika dia tidak mengakui bahwa yang lain memiliki separuh, maka dia berhak atas seluruhnya. Namun jika dia mengakui bahwa separuh miliknya dan separuh milik saudaranya, maka saudaranya berhak menuntut separuhnya darinya.

 

 

وَإِنْ صَالَحَهُ عَلَى دَارٍ أَقَرَّ لَهُ بِهَا بِعَبْدٍ قَبَضَهُ فَاسْتَحَقَّ الْعَبْدَ رَجَعَ إلَى الدَّارِ فَأَخَذَهَا مِنْهُ. وَلَوْ صَالَحَهُ عَلَى أَنْ يَسْكُنَهَا الَّذِي هِيَ فِي يَدَيْهِ وَقْتًا فَهِيَ عَارِيَّةٌ إنْ شَاءَ أَخْرَجَهُ مِنْهَا أَوْ صَالَحَهُ مِنْهَا عَلَى خِدْمَةِ عَبْدٍ بِعَيْنِهِ سَنَةً فَبَاعَهُ الْمَوْلَى كَانَ لِلْمُشْتَرِي الْخِيَارُ فِي أَنْ يُجِيزَ الْبَيْعَ وَتَكُونَ الْخِدْمَةُ عَلَى الْعَبْدِ لِلْمُصَالِحِ أَوْ يَرُدَّ الْبَيْعَ. (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ مَاتَ الْعَبْدُ جَازَ مِنْ الصُّلْحِ بِقَدْرِ مَا اُسْتُخْدِمَ وَبَطَلَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ.

 

 

Dan jika dia berdamai dengannya atas sebuah rumah yang diakui untuknya dengan seorang budak yang dia pegang, lalu budak itu diklaim haknya, maka dia kembali ke rumah dan mengambilnya darinya. Jika dia berdamai dengannya agar orang yang memegang rumah itu menempatinya untuk sementara waktu, maka itu adalah pinjaman; jika dia mau, dia bisa mengeluarkannya darinya. Atau jika dia berdamai dengannya atas pelayanan seorang budak tertentu selama setahun, lalu pemilik budak menjualnya, maka pembeli memiliki hak pilih untuk melanjutkan penjualan dan pelayanan budak itu tetap untuk pihak yang berdamai, atau membatalkan penjualan. (Asy-Syafi’i berkata): Jika budak itu meninggal, maka perdamaian tetap berlaku sebatas pelayanan yang telah digunakan, dan batal untuk sisa yang belum digunakan.

 

 

وَإِذَا تَدَاعَى رَجُلَانِ جِدَارًا بَيْنَ دَارَيْهِمَا فَإِنْ كَانَ مُتَّصِلًا بِبِنَاءِ أَحَدِهِمَا اتِّصَالَ الْبُنْيَانِ الَّذِي لَا يَحْدُثُ مِثْلُهُ إلَّا مِنْ أَوَّلِ الْبُنْيَانِ جَعَلْته لَهُ دُونَ الْمُنْقَطِعِ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ يَحْدُثُ مِثْلُهُ بَعْدَ كَمَالِ بُنْيَانِهِ مِثْلَ نَزْعِ طُوبَةٍ، وَإِدْخَالِ أُخْرَى أَحَلَفْتهمَا بِاَللَّهِ وَجَعَلْته بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مَوْصُولٍ بِوَاحِدٍ مِنْ بِنَائِهِمَا أَوْ مُتَّصِلًا بِبِنَائِهِمَا جَمِيعًا جَعَلْته بَيْنَهُمَا بَعْدَ أَنْ أُحَلِّفَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا، وَلَا أَنْظُرَ إلَى مَنْ إلَيْهِ الْخَوَارِجُ، وَلَا الدَّوَاخِلُ، وَلَا أَنْصَافُ اللَّبِنِ، وَلَا مَعَاقِدُ الْقِمْطِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا دَلَالَةٌ وَلَوْ كَانَ لِأَحَدِهِمَا عَلَيْهِ جُذُوعٌ، وَلَا شَيْءَ لِلْآخَرِ عَلَيْهِ أَحَلَفْتَهُمَا وَأَقْرَرْتُ الْجُذُوعَ بِحَالِهَا وَجَعَلْت الْجِدَارَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ؛ لِأَنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَرْتَفِقُ بِجِدَارِ الرَّجُلِ بِالْجُذُوعِ بِأَمْرِهِ وَغَيْرِ أَمْرِهِ، وَلَمْ أَجْعَلْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَفْتَحَ فِيهِ كُوَّةً، وَلَا يَبْنِي عَلَيْهِ بِنَاءً إلَّا بِإِذْنِ صَاحِبِهِ وَقَسَمْته بَيْنَهُمَا إنْ شَاءَ إنْ كَانَ عَرْضُهُ ذِرَاعًا أُعْطِيهِ شِبْرًا فِي طُولِ الْجِدَارِ ثُمَّ قُلْت لَهُ إنْ شِئْت أَنْ تَزِيدَ مِنْ عَرْصَةِ دَارِك أَوْ بَيْتِك شِبْرًا آخَرَ لِيَكُونَ لَك جِدَارٌ خَالِصٌ فَذَلِكَ لَك. وَلَوْ هَدَمَاهُ ثُمَّ اصْطَلَحَا عَلَى أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا ثُلُثُهُ وَلِلْآخَرِ ثُلُثَاهُ عَلَى أَنْ يَحْمِلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا شَاءَ عَلَيْهِ إذَا بَنَاهُ فَالصُّلْحُ فَاسِدٌ، وَإِنْ شَاءَا أَوْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا قَسَمْت أَرْضَهُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.

 

 

Dan apabila dua orang laki-laki memperebutkan tembok di antara dua rumah mereka, jika tembok itu tersambung dengan bangunan salah seorang dari keduanya dengan sambungan bangunan yang tidak mungkin terjadi kecuali sejak awal pembangunan, maka aku memutuskan tembok itu untuknya, bukan untuk yang lainnya. Namun, jika sambungan itu bisa terjadi setelah bangunan selesai, seperti melepas satu bata dan memasang bata lainnya, maka aku akan menyumpah keduanya demi Allah dan membagi tembok itu antara mereka. Jika tembok itu tidak terhubung dengan bangunan salah satu dari mereka atau terhubung dengan bangunan keduanya, maka aku akan membaginya setelah menyumpah masing-masing dari mereka. Aku tidak melihat kepada sisi luar, sisi dalam, setengah bata, atau ikatan tali, karena tidak ada petunjuk dalam hal-hal tersebut. Bahkan jika salah satu dari mereka memiliki kayu penyangga di tembok itu sementara yang lain tidak, aku akan menyumpah keduanya, membiarkan kayu penyangga tetap ada, dan membagi tembok itu menjadi dua bagian, karena seseorang bisa memanfaatkan tembok orang lain dengan kayu penyangga, baik dengan izin maupun tanpa izin. Aku juga tidak memperbolehkan salah satu dari mereka membuka lubang atau membangun di atasnya tanpa izin pemilik lainnya. Jika mereka ingin membaginya, dan lebarnya satu hasta, aku akan memberinya satu jengkal sepanjang tembok, lalu aku katakan kepadanya, “Jika engkau ingin menambah satu jengkal lagi dari halaman rumahmu agar memiliki tembok khusus, maka itu hakmu.” Jika mereka merobohkannya lalu berdamai dengan ketentuan salah satu mendapat sepertiga dan yang lain dua pertiga, dengan syarat masing-masing boleh membangun sesuka hati, maka perdamian itu batal. Jika salah satu atau keduanya menghendaki, aku akan membagi tanahnya menjadi dua bagian sama rata.

 

 

وَإِنْ كَانَ الْبَيْتُ السُّفْلُ فِي يَدَيْ رَجُلٍ وَالْعُلُوُّ فِي يَدَيْ آخَرَ فَتَدَاعَيَا سَقْفَهُ فَهُوَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ؛ لِأَنَّ سَقْفَ السُّفْلِ تَابِعٌ لَهُ وَسَطْحَ الْعُلُوِّ أَرْضٌ لَهُ فَإِنْ سَقَطَ لَمْ يُجْبَرْ صَاحِبُ السُّفْلِ عَلَى بِنَائِهِ فَإِنْ تَطَوَّعَ صَاحِبُ الْعُلُوِّ بِأَنْ يَبْنِيَ السُّفْلَ كَمَا كَانَ ثُمَّ يَبْنِيَ عُلُوَّهُ كَمَا كَانَ فَذَلِكَ لَهُ وَلَيْسَ لَهُ مَنْعُ صَاحِبِ السُّفْلِ مِنْ سُكْنَاهُ وَنَقْضِ الْجُدْرَانِ لَهُ، وَمَتَى شَاءَ أَنْ يَهْدِمَهَا هَدَمَهَا وَكَذَلِكَ الشُّرَكَاءُ فِي نَهْرٍ أَوْ بِئْرٍ لَا يُجْبَرُ أَحَدُهُمْ عَلَى الْإِصْلَاحِ لِضَرَرٍ، وَلَا غَيْرِهِ، وَلَا يُمْنَعُ الْمَنْفَعَةَ فَإِنْ أَصْلَحَ غَيْرُهُ فَلَهُ عَيْنُ مَالِهِ مَتَى شَاءَ نَزَعَهُ، وَقَالَ فِي كِتَابِ الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ عَلَى كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ فَإِذَا أَفَادَ صَاحِبُ السُّفْلِ مَالًا أَخَذَ مِنْهُ قِيمَةَ مَا أَنْفَقَ فِي السُّفْلِ.

 

 

Jika rumah bagian bawah dimiliki oleh seseorang dan bagian atas dimiliki oleh orang lain, lalu keduanya berselisih tentang atapnya, maka atap itu dibagi dua antara mereka. Karena atap bagian bawah mengikuti pemilik bagian bawah, sedangkan permukaan bagian atas adalah milik pemilik bagian atas. Jika atap itu runtuh, pemilik bagian bawah tidak dipaksa untuk membangunnya kembali. Jika pemilik bagian atas secara sukarela membangun bagian bawah seperti semula, lalu membangun bagian atasnya seperti semula, maka itu boleh baginya. Namun, ia tidak boleh melarang pemilik bagian bawah untuk menempati atau merobohkan temboknya. Kapan pun ia ingin merobohkannya, ia boleh melakukannya. Demikian juga para pemilik bersama dalam sungai atau sumur, tidak ada seorang pun dari mereka yang dipaksa untuk memperbaiki kerusakan atau lainnya, dan tidak boleh dicegah dari mengambil manfaat. Jika orang lain yang memperbaikinya, maka ia berhak mengambil kembali hartanya kapan pun ia mau. Dan disebutkan dalam kitab Ad-Da’wa wal Bayyinat, berdasarkan kitab Ikhtilaf Abi Hanifah, bahwa jika pemilik bagian bawah memperoleh harta, ia boleh mengambil nilai dari apa yang telah ia keluarkan untuk bagian bawah.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْتُ أَنَا: الْأَوَّلُ أَوْلَى بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّ الثَّانِيَ مُتَطَوِّعٌ فَلَيْسَ لَهُ أَخْذُهُ مِنْ غَيْرِهِ إلَّا أَنْ يُرَاضِيَهُ عَلَيْهِ.

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Yang pertama lebih berhak dengan ucapannya; karena yang kedua adalah sukarela, sehingga dia tidak boleh mengambilnya dari orang lain kecuali dengan kerelaannya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا كَانَتْ لِرَجُلٍ نَخْلَةٌ أَوْ شَجَرَةٌ فَاسْتَعْلَتْ وَانْتَشَرَتْ أَغْصَانُهَا عَلَى دَارِ رَجُلٍ فَعَلَيْهِ قَطْعُ مَا شَرَعَ فِي دَارِ غَيْرِهِ فَإِنْ صَالَحَهُ عَلَى تَرْكِهِ فَلَيْسَ بِجَائِزٍ وَلَوْ صَالَحَهُ عَلَى دَرَاهِمَ بِدَنَانِيرَ أَوْ عَلَى دَنَانِيرَ بِدَرَاهِمَ لَمْ يَجُزْ إلَّا بِالْقَبْضِ فَإِنْ قَبَضَ بَعْضًا وَبَقِيَ بَعْضٌ جَازَ فِيمَا قَبَضَ وَانْتَقَضَ فِيمَا لَمْ يَقْبِضْ إذَا رَضِيَ بِذَلِكَ الْمُصَالِحُ الْقَابِضُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang memiliki pohon kurma atau pohon lain yang tumbuh tinggi dan ranting-rantingnya menjalar ke rumah orang lain, maka ia wajib memotong bagian yang masuk ke rumah tersebut. Jika ia berdamai untuk membiarkannya, itu tidak diperbolehkan. Sekalipun ia berdamai dengan memberikan dirham sebagai ganti dinar, atau dinar sebagai ganti dirham, perjanjian itu tidak sah kecuali dengan serah terima. Jika sebagian telah diterima dan sebagian lagi belum, maka perjanjian itu sah untuk bagian yang sudah diterima dan batal untuk bagian yang belum, asalkan pihak yang menerima damai menyetujuinya.”

 

 

وَإِذَا أَقَرَّ أَحَدُ الْوَرَثَةِ فِي دَارٍ فِي أَيْدِيهِمْ بِحَقٍّ لِرَجُلٍ ثُمَّ صَالَحَهُ مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ بِعَيْنِهِ فَالصُّلْحُ جَائِزٌ وَالْوَارِثُ الْمُقِرُّ مُتَطَوِّعٌ لَا يَرْجِعُ عَلَى إخْوَتِهِ بِشَيْءٍ. وَلَوْ ادَّعَى رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ بَيْتًا فِي يَدَيْهِ فَاصْطَلَحَا بَعْدَ الْإِقْرَارِ عَلَى أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا سَطْحُهُ وَالْبِنَاءُ عَلَى جُدْرَانِهِ بِنَاءً مَعْلُومًا فَجَائِزٌ.

 

 

Dan jika salah seorang ahli waris mengakui adanya hak seseorang pada sebuah rumah yang berada dalam penguasaan mereka, kemudian dia berdamai dengan orang tersebut atas sesuatu yang tertentu, maka perdamaian itu boleh dilakukan. Ahli waris yang mengakui itu bertindak secara sukarela dan tidak boleh menuntut kembali apa pun kepada saudara-saudaranya. Dan jika seseorang menuntut hak atas sebuah rumah yang berada dalam penguasaan orang lain, lalu keduanya berdamai setelah pengakuan bahwa atap rumah itu menjadi milik salah seorang dari mereka dan bangunan di atas temboknya dengan bangunan yang diketahui, maka perdamaian itu boleh dilakukan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْتُ أَنَا: لَا يَجُوزُ أَقِيسُ عَلَى قَوْلِهِ فِي إبْطَالِهِ أَنْ يُعْطِيَ رَجُلًا مَالًا عَلَى أَنْ يَشْرَعَ فِي بِنَائِهِ حَقًّا فَكَذَلِكَ لَا يَجُوزُ الصُّلْحُ عَلَى أَنْ يَبْنِيَ عَلَى جُدْرَانِهِ بِنَاءً.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Tidak boleh aku mengqiyaskan pada ucapannya dalam membatalkan pemberian seseorang harta kepada orang lain dengan syarat ia memulai membangun haknya. Demikian pula, tidak boleh berdamai dengan syarat membangun di atas temboknya suatu bangunan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ اشْتَرَى عُلُوَّ بَيْتٍ عَلَى أَنْ يَبْنِيَ عَلَى جُدْرَانِهِ، وَيَسْكُنَ عَلَى سَطْحِهِ أَجَزْت ذَلِكَ إذَا سَمَّيَا مُنْتَهَى الْبُنْيَانِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ كَالْأَرْضِ فِي احْتِمَالِ مَا يُبْنَى عَلَيْهَا.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): Seandainya seseorang membeli bagian atas rumah dengan syarat ia boleh membangun di atas temboknya dan tinggal di atapnya, aku membolehkan hal itu jika keduanya menetapkan batas ketinggian bangunan, karena bagian atas rumah tidak seperti tanah yang mampu menahan apa yang dibangun di atasnya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا عِنْدِي غَيْرُ مَنْعِهِ فِي كِتَابِ أَدَبِ الْقَاضِي أَنْ يَقْتَسِمَا دَارًا عَلَى أَنْ يَكُونَ لِأَحَدِهِمَا السُّفْلُ وَلِلْآخِرِ الْعُلُوُّ حَتَّى يَكُونَ السُّفْلُ وَالْعُلُوُّ لِوَاحِدٍ.

 

(Al-Muzani berkata): Menurutku, hal ini tidak dilarang dalam kitab Adab al-Qadhi, yaitu membagi sebuah rumah dengan ketentuan satu pihak memiliki bagian bawah dan pihak lain memiliki bagian atas, hingga akhirnya bagian bawah dan atas menjadi milik satu orang.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَانَتْ مَنَازِلُ سُفْلٍ فِي يَدَيْ رَجُلٍ وَالْعُلُوُّ فِي يَدَيْ آخَرَ فَتَدَاعَيَا الْعَرْصَةَ فَهِيَ بَيْنَهُمَا، وَلَوْ كَانَ فِيهَا دَرَجٌ إلَى عُلُوِّهَا فَهِيَ لِصَاحِبِ الْعُلُوِّ كَانَتْ مَعْقُودَةً أَوْ غَيْرَ مَعْقُودَةٍ؛ لِأَنَّهَا تُتَّخَذُ مَمَرًّا، وَإِنْ انْتَفَعَ بِمَا تَحْتَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika bangunan bawah berada di tangan seseorang dan bangunan atas di tangan orang lain, lalu keduanya berselisih tentang halaman, maka halaman itu milik keduanya. Namun jika ada tangga menuju bangunan atas, maka halaman itu milik pemilik bangunan atas, baik tangganya tetap atau tidak, karena halaman itu dijadikan jalan, meskipun pemilik bangunan bawah memanfaatkan bagian di bawahnya.”

 

 

وَلَوْ ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ زَرْعًا فِي أَرْضٍ فَصَالَحَهُ مِنْ ذَلِكَ عَلَى دَرَاهِمَ فَجَائِزٌ؛ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يَبِيعَ زَرْعَهُ أَخْضَرَ مِمَّنْ يَقْصِلُهُ وَلَوْ كَانَ الزَّرْعُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَصَالَحَهُ أَحَدُهُمَا عَلَى نِصْفِ الزَّرْعِ لَمْ يَجُزْ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَقْسِمَ الزَّرْعَ أَخْضَرَ، وَلَا يَجْبُرُ شَرِيكُهُ عَلَى أَنْ يَقْلَعَ مِنْهُ شَيْئًا.

 

 

Dan jika seseorang menuntut tanaman di tanah milik orang lain, lalu mereka berdamai dengan sejumlah dirham, maka itu diperbolehkan. Karena pemilik berhak menjual tanamannya yang masih hijau kepada siapa pun yang akan memotongnya. Namun, jika tanaman itu dimiliki bersama oleh dua orang, lalu salah satunya berdamai untuk separuh tanaman, maka itu tidak diperbolehkan. Sebab, tidak boleh membagi tanaman yang masih hijau, dan mitranya tidak bisa dipaksa untuk mencabut sebagian darinya.

 

بَابُ الْحَوَالَةِ

 

Bab tentang Pemindahan Hutang

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ» .

 

(Imam Syafi’i berkata): Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Az-Zinad dari Al-A’raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Menunda-nunda pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah kezaliman. Jika salah seorang dari kalian diarahkan kepada orang yang mampu (untuk menagih hutang), maka hendaklah ia mengikutinya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَفِي هَذَا دَلَالَةٌ أَنَّ الْحَقَّ يَتَحَوَّلُ عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ، وَيَبْرَأُ مِنْهُ الْمُحِيلُ فَلَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ أَبَدًا كَانَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا أَفْلَسَ أَوْ مَاتَ مُعْدِمًا غَرِمْته أَوْ لَمْ يَغْرَمْنَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa hak beralih kepada pihak yang dihadapkan kepadanya (al-muhal ‘alaih), dan pihak yang menghadapkan (al-muhil) terbebas darinya sehingga tidak bisa menuntutnya kembali selamanya, baik pihak yang dihadapkan itu kaya atau miskin, bangkrut atau meninggal dalam keadaan tidak punya, baik ia menanggung hutangnya atau tidak.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَانَ كَمَا قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ إذَا أَفْلَسَ أَوْ مَاتَ مُفْلِسًا رَجَعَ عَلَى الْمُحِيلِ لِمَا صَبَرَ الْمُحْتَالُ عَلَى مَنْ أُحِيلَ؛ لِأَنَّ حَقَّهُ ثَابِتٌ عَلَى الْمُحِيلِ، وَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ حَقُّهُ قَدْ تَحَوَّلَ عَنِّي فَصَارَ إلَى غَيْرَى فَلَمْ يَأْخُذْنِي بِمَا بَرِئْت مِنْهُ؛ لَأَنْ أُفْلِسَ غَيْرِي أَوْ لَا يَكُونُ حَقُّهُ تَحَوَّلَ عَنِّي فَلِمَ أَبْرَأَنِي مِنْهُ قَبْلَ أَنْ يُفْلِسَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ وَاحْتَجَّ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بِأَنَّ عُثْمَانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ فِي الْحَوَالَةِ أَوْ الْكَفَالَةِ يَرْجِعُ صَاحِبُهَا لَا تَوًى عَلَى مَالِ مُسْلِمٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seperti yang dikatakan Muhammad bin Al-Hasan, bahwa jika seseorang bangkrut atau meninggal dalam keadaan bangkrut, maka (kreditur) dapat menuntut pihak yang mengalihkan utang (al-muhil), karena pihak yang dialihkan utangnya (al-muhtal) telah bersabar terhadap pihak yang dialihkan utangnya (al-muhal ‘alaih). Sebab haknya tetap ada pada pihak yang mengalihkan utang (al-muhil). Tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah haknya telah beralih dariku sehingga berpindah kepada selainku, maka aku tidak dimintai tanggung jawab atas sesuatu yang telah aku bebas darinya karena kebangkrutan orang lain; atau haknya tidak beralih dariku, lalu mengapa aku dibebaskan darinya sebelum pihak yang dialihkan utangnya (al-muhal ‘alaih) bangkrut? Muhammad bin Al-Hasan berargumen dengan perkataan Utsman -radhiyallahu ‘anhu- mengenai pengalihan utang atau penjaminan, bahwa pemilik hak dapat menuntut tanpa ada beban terhadap harta seorang muslim.

(Asy-Syafi’i berkata): “Menurutku, hal itu batal dari dua sisi. Sekalipun sah, tidak ada bagian baginya dalam hal itu; karena dia tidak tahu apakah hal itu dikatakan dalam konteks pengalihan atau penjaminan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهُوَ عِنْدِي يَبْطُلُ مِنْ وَجْهَيْنِ وَلَوْ صَحَّ مَا كَانَ لَهُ فِيهِ شَيْءٌ؛ لِأَنَّهُ لَا يَدْرِي قَالَ ذَلِكَ فِي الْحَوَالَةِ أَوْ الْكَفَالَةِ.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذِهِ مَسَائِلُ تَحَرَّيْتُ فِيهَا مَعَانِي جَوَابَاتِ الشَّافِعِيِّ فِي الْحَوَالَةِ.

 

(Al-Muzani berkata): Ini adalah beberapa masalah yang aku teliti makna jawaban-jawaban Asy-Syafi’i di dalamnya mengenai al-hawalah.

Berikut adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا مِنْ ذَلِكَ: وَلَوْ اشْتَرَى عَبْدًا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَقَبَضَهُ ثُمَّ أَحَالَ الْبَائِعُ بِالْأَلْفِ عَلَى رَجُلٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَاحْتَالَ ثُمَّ إنَّ الْمُشْتَرِيَ وَجَدَ بِالْعَبْدِ عَيْبًا فَرَدَّهُ بَطَلَتْ الْحَوَالَةُ، وَإِنْ رَدَّ الْعَبْدَ بَعْدَ أَنْ قَبَضَ الْبَائِعُ مَا احْتَالَ بِهِ رَجَعَ بِهِ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ وَكَانَ الْمُحَالُ عَلَيْهِ مِنْهُ بَرِيئًا (قَالَ الْمُزَنِيّ) وَفِي إبْطَالِ الْحَوَالَةِ نَظَرٌ (قَالَ) : وَلَوْ كَانَ الْبَائِعُ أَحَالَ عَلَى الْمُشْتَرِي بِهَذِهِ الْأَلْفِ رَجُلًا لَهُ عَلَيْهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ ثُمَّ تَصَادَقَ الْبَائِعُ وَالْمُشْتَرِي أَنَّ الْعَبْدَ الَّذِي تَبَايَعَاهُ حُرُّ الْأَصْلِ فَإِنَّ الْحَوَالَةَ لَا تُنْتَقَضُ؛ لِأَنَّهُمَا يُبْطِلَانِ بِقَوْلِهِمَا حَقًّا لِغَيْرِهِمَا، فَإِنْ صَدَّقَهُمَا الْمُحْتَالُ أَوْ قَامَتْ بِذَلِكَ بَيِّنَةٌ انْتَقَضَتْ الْحَوَالَةُ.

 

(Al-Muzani berkata) Aku mengatakan tentang hal itu: Seandainya seseorang membeli budak seharga seribu dirham dan menerimanya, kemudian penjual mengalihkan pembayaran seribu dirham tersebut kepada seseorang yang memiliki utang seribu dirham, lalu terjadi pengalihan. Kemudian pembeli menemukan cacat pada budak tersebut dan mengembalikannya, maka pengalihan itu batal. Namun, jika ia mengembalikan budak setelah penjual menerima pembayaran yang dialihkan, pembeli dapat menuntut penjual, dan pihak yang dialihkan terbebas dari tanggungan. (Al-Muzani berkata) Ada pertimbangan dalam pembatalan pengalihan ini. (Dia berkata) Seandainya penjual mengalihkan pembayaran seribu dirham tersebut kepada pembeli karena ada seseorang yang berutang seribu dirham kepadanya, lalu penjual dan pembeli sepakat bahwa budak yang mereka transaksikan ternyata merdeka asalnya, maka pengalihan tidak batal. Sebab, mereka berdua membatalkan hak orang lain dengan pernyataan mereka. Namun, jika pihak yang dialihkan membenarkan mereka atau ada bukti yang menunjukkan hal itu, maka pengalihan menjadi batal.

 

وَلَوْ أَحَالَ رَجُلٌ عَلَى رَجُلٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَضَمِنَهَا ثُمَّ اخْتَلَفَا فَقَالَ الْمُحِيلُ: أَنْتَ وَكِيلِي فِيهَا وَقَالَ الْمُحْتَالُ: بَلْ أَنْتَ أَحَلْتنِي بِمَالِي عَلَيْك وَتَصَادَقَا عَلَى الْحَوَالَةِ وَالضَّمَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُحِيلِ وَالْمُحْتَالُ مُدَّعٍ وَلَوْ قَالَ الْمُحْتَالُ أَحَلْتنِي عَلَيْهِ لِأَقْبِضَهُ لَك، وَلَمْ تُحِلْنِي بِمَالِي عَلَيْك فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَالْمُحِيلُ مُدَّعٍ لِلْبَرَاءَةِ مِمَّا عَلَيْهِ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ. وَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى رَجُلٍ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَأَحَالَهُ الْمَطْلُوبُ بِهَا عَلَى رَجُلٍ لَهُ عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ ثُمَّ أَحَالَهُ بِهَا الْمُحْتَالُ عَلَيْهِ عَلَى ثَالِثٍ لَهُ عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ بَرِئَ الْأَوَّلَانِ، وَكَانَتْ لِلطَّالِبِ عَلَى الثَّالِثِ.

 

 

Jika seseorang mengalihkan utang seribu dirham kepada orang lain dan menjaminnya, lalu mereka berselisih—si pengalih berkata, “Engkau adalah wakilku dalam hal ini,” sedangkan si penerima alih berkata, “Bahkan engkau mengalihkanku dengan hartaku yang ada padamu”—dan mereka sepakat tentang pengalihan dan jaminan, maka perkataan si pengalih yang diterima, sedangkan si penerima alih dianggap sebagai pengklaim. Namun, jika si penerima alih berkata, “Engkau mengalihkanku kepadanya agar aku menerimanya untukmu, dan engkau tidak mengalihkanku dengan hartaku yang ada padamu,” maka perkataannya diterima disertai sumpah, sedangkan si pengalih dianggap sebagai pengklaim yang ingin dibebaskan dari kewajibannya, sehingga ia harus mendatangkan bukti. Jika seseorang memiliki utang seribu dirham dari orang lain, lalu orang yang diminta utang mengalihkannya kepada orang lain yang juga memiliki utang seribu dirham darinya, kemudian si penerima alih mengalihkannya lagi kepada pihak ketiga yang memiliki utang seribu dirham darinya, maka kedua pihak pertama terbebas, dan hak penagihan beralih kepada pihak ketiga.

 

بَابُ الْكَفَالَةِ

 

Bab tentang Penjaminan

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَالَ اللَّهُ – جَلَّ ثَنَاؤُهُ – {قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ} يوسف: 72 وَقَالَ – عَزَّ وَجَلَّ – {سَلْهُمْ أَيُّهُمْ بِذَلِكَ زَعِيمٌ} القلم: 40 وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «وَالزَّعِيمُ غَارِمٌ» وَالزَّعِيمُ فِي اللُّغَةِ هُوَ الْكَفِيلُ وَرُوِيَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ قَالَ «كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي جِنَازَةٍ فَلِمَا وُضِعَتْ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هَلْ عَلَى صَاحِبِكُمْ مِنْ دَيْنٍ فَقَالُوا نَعَمْ دِرْهَمَانِ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَقَالَ عَلِيٌّ – رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِ – هُمَا عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَنَا لَهُمَا ضَامِنٌ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَقَالَ جَزَاك اللَّهُ عَنْ الْإِسْلَامِ خَيْرًا وَفَكَّ رِهَانَك كَمَا فَكَكْتَ رِهَانَ أَخِيك» .

 

 

(Al-Muzani berkata): Allah – Yang Maha Tinggi pujian-Nya – berfirman, “Mereka berkata, ‘Kami kehilangan piala raja, dan bagi siapa yang dapat mengembalikannya akan mendapat (hadiah) seberat beban unta, dan aku menjaminnya.'” (Yusuf: 72). Dan Dia – Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia – berfirman, “Tanyakanlah kepada mereka, siapa di antara mereka yang menjamin hal itu?” (Al-Qalam: 40). Diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda, “Az-Za’im (penjamin) adalah yang menanggung hutang.” Az-Za’im dalam bahasa adalah al-Kafil (penjamin). Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam sebuah jenazah. Ketika jenazah diletakkan, beliau bersabda, ‘Apakah mayit ini memiliki hutang?’ Mereka menjawab, ‘Ya, dua dirham.’ Beliau bersabda, ‘Shalatilah saudara kalian.’ Maka Ali – ridhwanullahi ‘alaihi – berkata, ‘Aku yang menanggungnya, wahai Rasulullah, dan aku menjaminnya.’ Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – lalu berdiri dan menshalatkannya. Kemudian beliau menghadap Ali – radhiyallahu ‘anhu – dan bersabda, ‘Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas (jasa)mu terhadap Islam, dan semoga Dia membebaskan tanggunganmu sebagaimana engkau membebaskan tanggungan saudaramu.'”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ أَنَّ الدَّيْنَ الَّذِي كَانَ عَلَى الْمَيِّتِ لَزِمَ غَيْرَهُ بِأَنْ ضَمِنَهُ وَرَوَى الشَّافِعِيُّ فِي قَسْمِ الصَّدَقَاتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إلَّا لِثَلَاثَةٍ» ذَكَرَ مِنْهَا رَجُلًا تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ فَحَلَّتْ الصَّدَقَةُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Dan dalam hal itu terdapat dalil bahwa hutang yang menjadi tanggungan mayit beralih kepada orang lain karena ia menjaminnya. Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam bagian tentang sedekah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Sedekah tidak halal bagi orang kaya kecuali untuk tiga golongan,” di antaranya disebutkan seorang yang menanggung hutang, maka sedekah menjadi halal baginya.

(قُلْت أَنَا) : فَكَانَتْ الصَّدَقَةُ مُحَرَّمَةً قَبْلَ الْحَمَالَةِ فَلَمَّا تَحَمَّلَ لَزِمَهُ الْغُرْمُ بِالْحَمَالَةِ فَخَرَجَ مِنْ مَعْنَاهُ الْأَوَّلِ إلَى أَنْ حَلَّتْ لَهُ الصَّدَقَةُ.

 

(Aku berkata): Sedekah sebelumnya haram sebelum tanggungan, maka ketika ia menanggung, kewajiban membayar karena tanggungan itu melekat padanya, sehingga ia keluar dari makna awalnya hingga sedekah menjadi halal baginya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا ضَمِنَ رَجُلٌ عَنْ رَجُلٍ حَقًّا فَلِلْمَضْمُونِ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ أَيَّهمَا شَاءَ فَإِنْ ضَمِنَ بِأَمْرِهِ وَغَرِمَ رَجَعَ بِذَلِكَ عَلَيْهِ، وَإِنْ تَطَوَّعَ بِالضَّمَانِ لَمْ يَرْجِعْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menanggung hak orang lain, maka pihak yang ditanggung boleh menuntut salah satu dari mereka yang ia kehendaki. Jika penanggung melakukan itu atas perintahnya dan membayar, ia boleh menuntut kembali kepada yang diperintah. Namun jika ia melakukan penangguhan secara sukarela, ia tidak boleh menuntut kembali.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْتُ أَنَا: وَكَذَلِكَ كُلُّ ضَامِنٍ فِي دَيْنٍ وَكَفَالَةٍ بِدَيْنٍ وَأُجْرَةٍ، وَمَهْرٍ وَضَمَانِ عُهْدَةٍ وَأَرْشِ جُرْحٍ وَدِيَةِ نَفْسٍ فَإِنْ أَدَّى ذَلِكَ الضَّامِنُ عَنْ الْمَضْمُونِ عَنْهُ بِأَمْرِهِ رَجَعَ بِهِ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَدَّاهُ بِغَيْرِ أَمْرِهِ كَانَ مُتَطَوِّعًا لَا يَرْجِعُ بِهِ فَإِنْ أَخَذَ الضَّامِنُ بِالْحَقِّ وَكَانَ ضَمَانُهُ بِأَمْرِ الَّذِي هُوَ عَلَيْهِ فَلَهُ أَخْذُهُ بِخَلَاصِهِ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ أَمْرِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَخْذُهُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Demikian pula setiap penjamin dalam utang, penanggungan utang, upah, mahar, penjaminan barang titipan, denda luka, dan diyat jiwa. Jika penjamin melunasi hal itu atas nama yang dijamin dengan perintahnya, ia berhak menuntut kembali kepadanya. Namun jika melunasinya tanpa perintah, ia dianggap sukarela dan tidak berhak menuntut kembali. Jika penjamin mengambil haknya dan penjaminannya berdasarkan perintah pihak yang berutang, ia berhak mengambilnya sebagai pelunasan. Tetapi jika tanpa perintahnya, menurut qiyas pendapatnya, ia tidak berhak mengambilnya.

 

 

وَلَوْ ضَمِنَ عَنْ الْأَوَّلِ بِأَمْرِهِ ضَامِنٌ ثُمَّ ضَمِنَ عَنْ الضَّامِنِ ضَامِنٌ بِأَمْرِهِ فَجَائِزٌ فَإِنْ قَبَضَ الطَّالِبُ حَقَّهُ مِنْ الَّذِي عَلَيْهِ أَصْلُ الْمَالِ أَوْ أَحَالَهُ بِهِ بَرِئُوا جَمِيعًا وَلَوْ قَبَضَهُ مِنْ الضَّامِنِ الْأَوَّلِ رَجَعَ بِهِ عَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الْأَصْلُ وَبَرِئَ مِنْهُ الضَّامِنُ الْآخَرُ، وَإِنْ قَبَضَهُ مِنْ الضَّامِنِ الثَّانِي رَجَعَ بِهِ عَلَى الضَّامِنِ الْأَوَّلِ وَرَجَعَ بِهِ الْأَوَّلُ عَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الْأَصْلُ. وَلَوْ كَانَتْ الْمَسْأَلَةُ بِحَالِهَا فَأَبْرَأَ الطَّالِبُ الضَّامِنَيْنِ جَمِيعًا بَرِئَا، وَلَا يَبْرَأُ الَّذِي عَلَيْهِ الْأَصْلُ؛ لِأَنَّ الضَّمَانَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَيْسَ بِحَوَالَةٍ وَلَكِنَّ الْحَقَّ عَلَى أَصْلِهِ وَالضَّامِنُ مَأْخُوذٌ بِهِ.

 

 

Jika seorang penjamin menjamin atas perintah pihak pertama, kemudian penjamin lain menjamin atas perintah penjamin pertama, itu diperbolehkan. Jika penuntut hak menerima haknya dari pihak yang memiliki utang pokok atau dialihkan kepadanya, maka semua pihak terbebas. Jika penuntut menerima dari penjamin pertama, penjamin pertama dapat menuntut kembali kepada pemilik utang pokok, dan penjamin kedua terbebas. Jika penuntut menerima dari penjamin kedua, penjamin kedua dapat menuntut kembali kepada penjamin pertama, dan penjamin pertama dapat menuntut kembali kepada pemilik utang pokok. Jika kasusnya tetap dan penuntut membebaskan kedua penjamin, maka keduanya terbebas, tetapi pemilik utang pokok tidak terbebas, karena menurut Syafi’i, penjaminan bukanlah pengalihan utang, tetapi hak tetap pada pokoknya dan penjamin yang dituntut.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: وَلَوْ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلَيْنِ أَلْفُ دِرْهَمٍ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفِيلٌ ضَامِنٌ عَنْ صَاحِبِهِ بِأَمْرِهِ فَدَفَعَهَا أَحَدُهُمَا رَجَعَ نِصْفُهَا عَلَى صَاحِبِهِ، وَإِنْ أَبْرَأَ الطَّالِبُ أَحَدَهُمَا مِنْ الْأَلْفِ سَقَطَ عَنْهُ نِصْفُهَا الَّذِي عَلَيْهِ وَبَرِئَ مِنْ ضَمَانِ نِصْفِهَا الَّذِي عَلَى صَاحِبِهِ، وَلَمْ يَبْرَأْ صَاحِبُهَا مِنْ نِصْفِهَا الَّذِي عَلَيْهِ. وَلَوْ أَقَامَ الرَّجُلُ بَيِّنَةً أَنَّهُ بَاعَ مِنْ هَذَا الرَّجُلِ، وَمِنْ رَجُلٍ غَائِبٍ عَبْدًا وَقَبَضَاهُ مِنْهُ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَفِيلٌ ضَامِنٌ لِذَلِكَ عَلَى صَاحِبِهِ بِأَمْرِهِ قَضَى عَلَيْهِ وَعَلَى الْغَائِبِ بِذَلِكَ وَغَرِمَ الْحَاضِرُ جَمِيعَ الثَّمَنِ وَرَجَعَ بِالنِّصْفِ عَلَى الْغَائِبِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Seandainya ada dua orang yang berutang seribu dirham kepadanya, dan masing-masing dari mereka adalah penjamin yang menanggung utang rekannya atas perintahnya, lalu salah satunya melunasi utang itu, maka separuhnya dapat ditagih kembali kepada rekannya. Jika penagih membebaskan salah satu dari mereka dari utang seribu dirham, maka separuh utang yang menjadi tanggungannya gugur, dan ia terbebas dari penjaminan separuh utang yang menjadi tanggungan rekannya, tetapi rekannya tidak terbebas dari separuh utang yang menjadi tanggungannya. Dan jika seseorang mengajukan bukti bahwa ia telah menjual seorang budak kepada orang ini dan kepada seorang yang tidak hadir seharga seribu dirham, dan keduanya telah menerima budak itu darinya, serta masing-masing dari mereka adalah penjamin yang menanggung utang tersebut atas rekannya dengan perintahnya, maka hakim memutuskan agar ia dan orang yang tidak hadir itu membayar utang tersebut. Orang yang hadir menanggung seluruh harga, lalu ia dapat menagih separuhnya kembali kepada orang yang tidak hadir.

(المزني قال) Aku berkata: Dan ini termasuk hal yang disetujui oleh orang yang menolak keputusan atas orang yang tidak hadir.

 

 

وَلَوْ ضَمِنَ عَنْ رَجُلٍ بِأَمْرِهِ أَلْفَ دِرْهَمٍ عَلَيْهِ لِرَجُلٍ فَدَفَعَهَا بِمَحْضَرِهِ ثُمَّ أَنْكَرَ الطَّالِبُ أَنْ يَكُونَ قَبَضَ شَيْئًا حَلَفَ وَبَرِئَ وَقَضَى عَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الدَّيْنُ بِدَفْعِ الْأَلْفِ إلَى الطَّالِبِ، وَيَدْفَعُ أَلْفًا إلَى الضَّامِنِ؛ لِأَنَّهُ دَفَعَهَا بِأَمْرِهِ وَصَارَتْ لَهُ دَيْنًا عَلَيْهِ فَلَا يُذْهِبُ حَقَّهُ ظُلْمُ الطَّالِبِ لَهُ وَلَوْ أَنَّ الطَّالِبَ طَلَبَ الضَّامِنَ فَقَالَ لَمْ تَدْفَعْ إلَيَّ شَيْئًا قُضِيَ عَلَيْهِ بِدَفْعِهَا ثَانِيَةً، وَلَمْ يَرْجِعْ عَلَى الْآمِرِ إلَّا بِالْأَلْفِ الَّتِي ضَمِنَهَا عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ يُقِرُّ أَنَّ الثَّانِيَةَ ظُلْمٌ مِنْ الطَّالِبِ لَهُ فَلَا يَرْجِعُ عَلَى غَيْرِ مَنْ ظَلَمَهُ وَلَوْ ضَمِنَ لِرَجُلٍ مَا قَضَى بِهِ لَهُ عَلَى آخَرَ أَوْ مَا شَهِدَ بِهِ فُلَانٌ عَلَيْهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : لَا يَجُوزُ هَذَا، وَهَذِهِ مُخَاطَرَةٌ.

 

 

Jika seseorang menjamin atas perintah orang lain untuk membayar seribu dirham yang menjadi hutangnya kepada seseorang, lalu ia menyerahkannya di hadapannya, kemudian penagih mengaku tidak menerima apa pun, maka ia (penjamin) dapat bersumpah dan dibebaskan, serta dihukumlah orang yang berhutang untuk menyerahkan seribu dirham kepada penagih. Dan ia (yang berhutang) harus menyerahkan seribu dirham kepada penjamin, karena ia menyerahkannya atas perintahnya dan itu menjadi hutangnya. Maka kezaliman penagih tidak menghilangkan haknya. Jika penagih menuntut penjamin dan berkata, “Kamu tidak menyerahkan apa pun kepadaku,” maka penjamin dihukum untuk menyerahkannya lagi, dan ia tidak dapat menuntut balik kepada yang memerintah kecuali dengan seribu dirham yang dijaminkannya, karena ia mengakui bahwa penyerahan kedua adalah kezaliman penagih terhadapnya, sehingga ia tidak dapat menuntut selain orang yang menzaliminya. Jika seseorang menjamin untuk orang lain apa yang diputuskan atau apa yang disaksikan oleh si fulan terhadapnya (Asy-Syafi’i berkata), “Ini tidak boleh, dan ini merupakan spekulasi.”

 

 

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَوْ ضَمِنَ دَيْنَ مَيِّتٍ بَعْدَمَا يَعْرِفُهُ، وَيَعْرِفُ لِمَنْ هُوَ فَالضَّمَانُ لَازِمٌ تَرَكَ الْمَيِّتُ شَيْئًا أَوْ لَمْ يَتْرُكْهُ.

 

 

Imam Syafi’i berkata: “Seandainya seseorang menanggung utang orang yang telah meninggal setelah ia mengetahuinya dan mengetahui untuk siapa utang itu, maka penanggungan itu tetap berlaku, baik mayit itu meninggalkan harta atau tidak.”

 

 

وَلَا تَجُوزُ كَفَالَةُ الْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ بِالتِّجَارَةِ؛ لِأَنَّ هَذَا اسْتِهْلَاكٌ، وَلَوْ ضَمِنَ عَنْ مُكَاتَبٍ أَوْ مَالًا فِي يَدَيْ وَصِيٍّ أَوْ مُقَارِضٍ وَضَمِنَ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَنْ نَفْسِهِ فَالضَّمَانُ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ بَاطِلٌ وَضَمَانُ الْمَرْأَةِ كَالرَّجُلِ، وَلَا يَجُوزُ ضَمَانُ مَنْ لَمْ يَبْلُغْ، وَلَا مَجْنُونٌ، وَلَا مُبَرْسَمٌ يَهْذِي، وَلَا مُغْمًى عَلَيْهِ، وَلَا أَخْرَسُ لَا يَعْقِلُ، وَإِنْ كَانَ يَعْقِلُ الْإِشَارَةَ وَالْكِتَابَ فَضَمِنَ لَزِمَهُ وَضَعَّفَ الشَّافِعِيُّ كَفَالَةَ الْوَجْهِ فِي مَوْضِعٍ وَأَجَازَهَا فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إلَّا فِي الْحُدُودِ.

 

 

Tidak diperbolehkan penjaminan budak yang diizinkan berdagang, karena hal ini merupakan pemborosan. Jika seseorang menjamin mukatab atau harta yang berada di tangan wali atau muqaridh, lalu salah satu dari mereka menjamin atas nama dirinya sendiri, maka jaminan dalam semua itu batal. Jaminan wanita sama seperti laki-laki. Tidak diperbolehkan penjaminan dari orang yang belum baligh, orang gila, orang yang mengigau karena sakit, orang yang pingsan, atau orang bisu yang tidak berakal. Namun jika ia memahami isyarat dan tulisan lalu menjamin, maka jaminannya mengikat dan sah. Imam Syafi’i melemahkan kafalah wajah di satu tempat dan membolehkannya di tempat lain, kecuali dalam hudud.

 

بَابُ الشَّرِكَةِ

 

Bab Kemitraan

 

قَالَ الْمُزَنِيّ: الشَّرِكَةُ مِنْ وُجُوهٍ مِنْهَا الْغَنِيمَةُ أَزَالَ اللَّهُ – عَزَّ وَجَلَّ – مِلْكَ الْمُشْرِكِينَ عَنْ خَيْبَرَ فَمَلَكَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَالْمُؤْمِنُونَ وَكَانُوا فِيهِ شُرَكَاءَ فَقَسَمَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – خَمْسَةَ أَجْزَاءٍ ثُمَّ أَقْرَعَ بَيْنَهَا فَأَخْرَجَ مِنْهَا خُمُسَ اللَّهِ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – لِأَهْلِهِ وَأَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهَا لِأَهْلِهَا.

 

 

Al-Muzani berkata: “Kemitraan ada beberapa jenis, salah satunya adalah harta rampasan perang. Allah ‘azza wa jalla menghilangkan kepemilikan kaum musyrikin atas Khaibar, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang mukmin menguasainya serta menjadi mitra di dalamnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaginya menjadi lima bagian, mengundi di antara mereka, lalu mengeluarkan seperlima bagian untuk Allah tabaraka wa ta’ala (untuk keluarganya) dan empat perlima sisanya untuk para pemiliknya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى قَسْمِ الْأَمْوَالِ وَالضَّرْبِ عَلَيْهَا بِالسِّهَامِ، وَمِنْهَا الْمَوَارِيثُ، وَمِنْهَا الشَّرِكَةُ فِي الْهِبَاتِ وَالصَّدَقَاتِ فِي قَوْلِهِ، وَمِنْهَا التِّجَارَاتُ وَفِي ذَلِكَ كُلِّهِ الْقَسْمُ إذَا كَانَ مِمَّا يُقْسَمُ وَطَلَبَهُ الشَّرِيكُ، وَمِنْهَا الشَّرِكَةُ فِي الصَّدَقَاتِ الْمُحَرَّمَاتِ فِي قَوْلِهِ، وَهِيَ الْأَحْبَاسُ، وَلَا وَجْهَ لِقَسْمِهَا فِي رِقَابِهَا لِارْتِفَاعِ الْمِلْكِ عَنْهَا فَإِنْ تَرَاضَوْا مِنْ السُّكْنَى سَنَةً بِسَنَةٍ فَلَا بَأْسَ وَاَلَّذِي يُشْبِهُ قَوْلَ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا تَجُوزُ الشَّرِكَةُ فِي الْعَرَضِ، وَلَا فِيمَا يَرْجِعُ فِي حَالِ الْمُفَاضَلَةِ إلَى الْقِيمَةِ لِتَغَيُّرِ الْقِيَمِ، وَلَا أَنْ يُخْرِجَ أَحَدُهُمَا عَرَضًا وَالْآخَرُ دَنَانِيرَ، وَلَا تَجُوزُ إلَّا بِمَالٍ وَاحِدٍ بِالدَّنَانِيرِ أَوْ بِالدَّرَاهِمِ فَإِنْ أَرَادَا أَنْ يَشْتَرِكَا، وَلَمْ يُمْكِنْهُمَا إلَّا عَرَضٌ فَإِنَّ الْمَخْرَجَ فِي ذَلِكَ عِنْدِي أَنْ يَبِيعَ أَحَدُهُمَا نِصْفَ عَرَضِهِ بِنِصْفِ عَرَضِ صَاحِبِهِ، وَيَتَقَابَضَانِ فَيَصِيرُ جَمِيعُ الْعَرَضَيْنِ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، وَيَكُونَانِ فِيهِ شَرِيكَيْنِ إنْ بَاعَا أَوْ حَبَسَا أَوْ عَارَضَا لَا فَضْلَ فِي ذَلِكَ لِأَحَدٍ مِنْهُمَا.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dalam hal itu terdapat dalil tentang pembagian harta dan penetapan bagian-bagiannya, di antaranya adalah warisan, perkongsian dalam hibah dan sedekah menurut pendapatnya, serta perdagangan. Dalam semua itu berlaku pembagian jika termasuk harta yang bisa dibagi dan diminta oleh mitra. Termasuk juga perkongsian dalam sedekah yang diharamkan menurut pendapatnya, yaitu wakaf, yang tidak ada alasan untuk membaginya karena kepemilikan telah terlepas darinya. Jika mereka sepakat untuk menempatinya bergantian setiap tahun, maka tidak masalah. Pendapat yang mirip dengan Asy-Syafi’i adalah bahwa perkongsian tidak boleh dilakukan dalam barang (non-tunai), tidak juga pada hal yang dinilai berdasarkan harga saat pertukaran karena fluktuasi nilai, dan tidak boleh salah satu pihak mengeluarkan barang sedangkan yang lain mengeluarkan dinar. Perkongsian hanya boleh dilakukan dengan satu jenis harta, baik dinar maupun dirham. Jika keduanya ingin bermitra namun hanya memiliki barang, maka solusinya menurutku adalah salah satu menjual separuh barangnya dengan separuh barang mitranya, lalu saling menerima, sehingga seluruh barang menjadi milik bersama separuh-separuh. Mereka menjadi mitra dalam kepemilikan tersebut, baik jika dijual, ditahan, atau dipertukarkan, tanpa kelebihan bagi salah satu pihak.

 

 

(قَالَ) : وَشَرِكَةُ الْمُفَاوَضَةِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ لَا تَجُوزُ بِحَالٍ، وَالشَّرِكَةُ الصَّحِيحَةُ أَنْ يُخْرِجَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا دَنَانِيرَ مِثْلَ دَنَانِيرِ صَاحِبِهِ، وَيَخْلِطَاهُمَا فَيَكُونَانِ فِيهَا شَرِيكَيْنِ فَإِنْ اشْتَرَيَا فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَبِيعَهُ أَحَدُهُمَا دُونَ صَاحِبِهِ فَإِنْ جَعَلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ أَنْ يَتَّجِرَ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ بِمَا رَأَى مِنْ أَنْوَاعِ التِّجَارَاتِ قَامَ فِي ذَلِكَ مَقَامَ صَاحِبِهِ فَمَا رَبِحَا أَوْ خَسِرَا فَلَهُمَا وَعَلَيْهِمَا نِصْفَيْنِ، وَمَتَى فَسَخَ أَحَدُهُمَا الشَّرِكَةَ انْفَسَخَتْ، وَلَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِهِ أَنْ يَشْتَرِيَ، وَلَا يَبِيعَ حَتَّى يَقْسِمَا، وَإِنْ مَاتَ أَحَدُهُمَا انْفَسَخَتْ الشَّرِكَةُ، وَقَاسَمَ وَصِيُّ الْمَيِّتِ شَرِيكَهُ فَإِنْ كَانَ الْوَارِثُ بَالِغًا رَشِيدًا فَأُحِبُّ أَنْ يُقِيمَ عَلَى مِثْلِ شَرِكَتِهِ كَأَبِيهِ فَجَائِزٌ، وَلَوْ اشْتَرَيَا عَبْدًا وَقَبَضَاهُ فَأَصَابَا بِهِ عَيْبًا فَأَرَادَ أَحَدُهُمَا الرَّدَّ وَالْآخَرُ الْإِمْسَاكَ.

 

 

Beliau berkata: “Kerjasama al-mufawadhah menurut Syafi’i tidak diperbolehkan sama sekali. Kerjasama yang sah adalah ketika masing-masing pihak mengeluarkan dinar yang sama jumlahnya dengan dinar rekannya, lalu mencampurkannya sehingga mereka menjadi mitra dalam kepemilikan tersebut. Jika mereka membeli sesuatu, tidak boleh salah satu menjualnya tanpa persetujuan rekannya. Jika masing-masing memberikan hak kepada rekannya untuk berdagang dengan seluruh modal sesuai jenis perdagangan yang dipilih, maka ia berposisi sebagai wakil rekannya. Keuntungan atau kerugian dibagi rata antara mereka. Jika salah satu membatalkan kerjasama, maka kerjasama itu batal, dan rekannya tidak boleh membeli atau menjual hingga mereka membagi harta bersama. Jika salah satu meninggal, kerjasama batal, dan wali mayit membagi harta dengan mitranya. Jika ahli waris sudah baligh dan cakap, serta ingin melanjutkan kerjasama seperti ayahnya, itu diperbolehkan. Jika mereka membeli budak dan menerimanya, lalu menemukan cacat, sementara salah satu ingin mengembalikan dan yang lain ingin mempertahankan, (maka berlaku ketentuan hukum terkait).”

(Asy-Syafi’i berkata): “Hal itu diperbolehkan, karena dapat dipahami bahwa masing-masing dari mereka membeli separuhnya dengan separuh harga. Seandainya salah seorang dari mereka membeli dengan harga yang tidak biasa dilakukan orang, maka apa yang dibelinya menjadi miliknya tanpa hak bagi yang lain. Dan sekiranya rekannya mengizinkannya, tetap tidak boleh, karena pembeliannya dilakukan dengan cara yang tidak diperbolehkan.”

Berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:

 

 

وَأَيُّهُمَا ادَّعَى فِي يَدَيْ صَاحِبِهِ مِنْ شَرِكَتِهِمَا شَيْئًا فَهُوَ مُدَّعٍ وَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ وَعَلَى صَاحِبِهِ الْيَمِينُ وَأَيُّهُمَا ادَّعَى خِيَانَةَ صَاحِبِهِ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ وَأَيُّهُمَا زَعَمَ أَنَّ الْمَالَ قَدْ تَلِفَ فَهُوَ أَمِينٌ وَعَلَيْهِ الْيَمِينُ، وَإِذَا كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَأَمَرَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ بِبَيْعِهِ فَبَاعَهُ مِنْ رَجُلٍ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَأَقَرَّ الشَّرِيكُ الَّذِي لَمْ يَبِعْ أَنَّ الْبَائِعَ قَدْ قَبَضَ الثَّمَنَ وَأَنْكَرَ ذَلِكَ الْبَائِعُ وَادَّعَاهُ الْمُشْتَرِي فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ يَبْرَأُ مِنْ نِصْفِ الثَّمَنِ وَهُوَ حِصَّةُ الْمُقِرِّ، وَيَأْخُذُ الْبَائِعُ نِصْفَ الثَّمَنِ مِنْ الْمُشْتَرِي فَيُسَلِّمُ لَهُ، وَيَحْلِفُ لِشَرِيكِهِ مَا قَبَضَ مَا ادَّعَى فَإِنْ نَكَلَ حَلَفَ صَاحِبُهُ وَاسْتَحَقَّ الدَّعْوَى، وَلَوْ كَانَ الشَّرِيكُ الَّذِي بَاعَ هُوَ الَّذِي أَقَرَّ بِأَنَّ شَرِيكَهُ الَّذِي لَمْ يَبِعْ قَبَضَ مِنْ الْمُشْتَرِي جَمِيعَ الثَّمَنِ، وَأَنْكَرَ ذَلِكَ الَّذِي لَمْ يَبِعْ وَادَّعَى ذَلِكَ الْمُشْتَرِي فَإِنَّ الْمُشْتَرِيَ يَبْرَأُ مِنْ نِصْفِ الثَّمَنِ بِإِقْرَارِ الْبَائِعِ أَنَّ شَرِيكَهُ قَدْ قَبَضَ؛ لِأَنَّهُ فِي ذَلِكَ أَمِينٌ، وَيَرْجِعُ الْبَائِعُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِالنِّصْفِ الْبَاقِي فَيُشَارِكُهُ فِيهِ صَاحِبُهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُصَدَّقُ عَلَى حِصَّةٍ مِنْ الشَّرِكَةِ تُسَلَّمُ إلَيْهِ إنَّمَا يُصَدَّقُ فِي أَنْ لَا يَضْمَنَ شَيْئًا لِصَاحِبِهِ فَأَمَّا أَنَّهُ يَكُونُ فِي يَدَيْهِ بَعْضُ مَالٍ بَيْنَهُمَا فَيَدَّعِي عَلَى شَرِيكِهِ مُقَاسَمَةً يَمْلِكُ بِهَا هَذَا الْبَعْضَ خَاصَّةً فَلَا يَجُوزُ، وَيَحْلِفُ لِشَرِيكِهِ فَإِنْ نَكَلَ حَلَفَ شَرِيكُهُ وَاسْتَحَقَّ دَعْوَاهُ. وَإِذَا كَانَ الْعَبْدُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَغَصَبَ رَجُلٌ حِصَّةَ أَحَدِهِمَا ثُمَّ إنَّ الْغَاصِبَ وَالشَّرِيكَ الْآخَرَ بَاعَا الْعَبْدَ مِنْ رَجُلٍ فَالْبَيْعُ جَائِزٌ فِي نَصِيبِ الشَّرِيكِ الْبَائِعِ، وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ الْغَاصِبِ وَلَوْ أَجَازَهُ الْمَغْصُوبُ لَمْ يَجُزْ إلَّا بِتَجْدِيدِ بَيْعٍ فِي مَعْنَى الشَّافِعِيِّ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

Siapa saja di antara mereka yang mengklaim sesuatu milik persekutuannya berada di tangan rekannya, maka ia adalah pengklaim dan wajib mendatangkan bukti, sementara rekannya wajib bersumpah. Siapa saja yang menuduh rekannya berkhianat, maka ia wajib mendatangkan bukti. Siapa saja yang menyatakan bahwa harta telah rusak, maka ia adalah pemegang amanah dan wajib bersumpah. Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya meminta rekannya untuk menjualnya, kemudian ia menjualnya kepada seseorang seharga seribu dirham, lalu rekan yang tidak menjual mengakui bahwa penjual telah menerima harga penjualan, sementara penjual mengingkarinya dan pembeli mengklaimnya, maka pembeli terbebas dari setengah harga yang merupakan bagian pengakui. Penjual mengambil setengah harga dari pembeli dan menyerahkannya kepadanya, lalu bersumpah kepada rekannya bahwa ia tidak menerima apa yang diklaim. Jika ia enggan bersumpah, rekannya boleh bersumpah dan berhak atas klaimnya. Jika penjual adalah pihak yang mengakui bahwa rekannya yang tidak menjual telah menerima seluruh harga dari pembeli, sementara yang tidak menjual mengingkarinya dan pembeli mengklaimnya, maka pembeli terbebas dari setengah harga karena pengakuan penjual bahwa rekannya telah menerimanya, sebab ia dalam hal ini adalah pemegang amanah. Penjual menuntut sisa setengah harga dari pembeli, lalu rekannya ikut serta dalam bagian itu, karena ia tidak dipercaya atas bagian persekutuan yang diserahkan kepadanya. Ia hanya dipercaya untuk tidak menjamin sesuatu kepada rekannya. Adapun jika sebagian harta bersama berada di tangannya lalu ia menuntut rekannya untuk membagi sehingga ia memiliki bagian tertentu saja, maka itu tidak boleh. Ia harus bersumpah kepada rekannya. Jika enggan, rekannya boleh bersumpah dan berhak atas klaimnya. Jika seorang budak dimiliki dua orang, lalu seseorang merampas bagian salah satunya, kemudian perampas dan rekan lainnya menjual budak itu kepada seseorang, maka penjualan sah untuk bagian rekan penjual, tetapi penjualan oleh perampas tidak sah meski diizinkan oleh yang dirampas, kecuali dengan pembaruan penjualan menurut makna Syafi’i. Wallahu a’lam bisshawab.

كِتَابُ الْوَكَالَةِ

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قَالَ اللَّهُ – تَعَالَى – {وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا} النساء: 6 الْآيَةَ. فَأَمَرَ بِحِفْظِ أَمْوَالِهِمْ حَتَّى يُؤْنَسَ مِنْهُمْ الرُّشْدُ وَهُوَ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَنْ يَكُونَ بَعْدَ الْبُلُوغِ مُصْلِحًا لِمَالِهِ عَدْلًا فِي دِينِهِ وَقَالَ – تَعَالَى – {فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} البقرة: 282 وَوَلِيُّهُ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ هُوَ الْقَيِّمُ بِمَالِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian, jika kamu melihat tanda-tanda kedewasaan pada mereka, maka serahkanlah harta mereka.” (QS. An-Nisa’: 6). Maka Allah memerintahkan untuk menjaga harta mereka hingga terlihat tanda kedewasaan pada mereka. Menurut Asy-Syafi’i, kedewasaan itu adalah ketika setelah balig, seseorang mampu mengatur hartanya dengan baik dan adil dalam agamanya. Dan Allah Ta’ala berfirman, “Jika orang yang berutang itu bodoh, lemah, atau tidak mampu mengurusnya, maka hendaklah walinya yang menuliskan dengan adil.” (QS. Al-Baqarah: 282). Menurut Asy-Syafi’i, walinya adalah orang yang bertanggung jawab atas hartanya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَإِذَا جَازَ أَنْ يَقُومَ بِمَالِهِ بِتَوْصِيَةِ أَبِيهِ بِذَلِكَ إلَيْهِ وَأَبُوهُ غَيْرُ مَالِكٍ كَانَ أَنْ يَقُومَ فِيهِ بِتَوْكِيلِ مَالِكِهِ أَجْوَزُ. وَقَدْ وَكَّلَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَقِيلًا.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika diperbolehkan seseorang mengurus hartanya berdasarkan wasiat ayahnya kepadanya, padahal ayahnya bukan pemiliknya, maka lebih diperbolehkan lagi jika dia mengurusnya berdasarkan penunjukan dari pemiliknya yang sah. Dan sungguh Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – telah menunjuk Aqil (sebagai wakilnya).

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَذَكَرَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ هَذَا عَقِيلٌ مَا قَضَى عَلَيْهِ فَعَلَيَّ، وَمَا قَضَى لَهُ فَلِي.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dan dia menyebutkan darinya bahwa dia berkata, “Ini adalah Aqil. Apa yang diputuskan atasnya menjadi tanggunganku, dan apa yang diputuskan untuknya menjadi milikku.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Aku tidak mengira ia (Ali) pernah mewakilkannya kecuali di masa Umar bin Al-Khaththab, dan mungkin juga di masa Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhuma -. Dan Abdullah bin Ja’far juga pernah mewakili Ali di masa Utsman bin Affan – radhiyallahu ‘anhu -, sedangkan Ali saat itu hadir, lalu Utsman menerima hal itu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَلِلنَّاسِ أَنْ يُوَكِّلُوا فِي أَمْوَالِهِمْ وَطَلَبِ حُقُوقِهِمْ وَخُصُومَاتِهِمْ، وَيُوصُوا بِتَرِكَاتِهِمْ، وَلَا ضَمَانَ عَلَى الْوُكَلَاءِ، وَلَا عَلَى الْأَوْصِيَاءِ، وَلَا عَلَى الْمُودِعِينَ، وَلَا عَلَى الْمُقَارِضِينَ إلَّا أَنْ يَتَعَدَّوْا فَيَضْمَنُوا وَالتَّوْكِيلُ مِنْ كُلِّ مُوَكِّلٍ مِنْ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ تَخْرُجُ أَوْ لَا تَخْرُجُ بِعُذْرٍ أَوْ غَيْرِ عُذْرٍ حَضَرَ خَصْمٌ أَوْ لَمْ يَحْضُرْ جَائِزٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Setiap orang boleh menunjuk wakil dalam mengurus harta mereka, menuntut hak-hak mereka, dan perselisihan mereka, serta berwasiat untuk harta warisan mereka. Tidak ada tanggungan bagi para wakil, para pelaksana wasiat, para penerima titipan, atau para pemberi pinjaman, kecuali jika mereka melampaui batas sehingga mereka harus menanggung. Penunjukan wakil diperbolehkan dari setiap pemberi kuasa, baik laki-laki maupun perempuan, baik mereka keluar (rumah) atau tidak, dengan alasan atau tanpa alasan, baik lawan hadir atau tidak hadir.

(Asy-Syafi’i berkata): “Lawannya tidak termasuk dalam perwakilan, namun kadang hakim memutuskan untuk lawan terhadap yang mewakilkan, sehingga menjadi hak yang tetap baginya melalui perwakilan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : لَيْسَ الْخَصْمُ مِنْ الْوَكَالَةِ بِسَبِيلٍ، وَقَدْ يَقْضِي لِلْخَصْمِ عَلَى الْمُوَكِّلِ فَيَكُونُ حَقًّا يَثْبُتُ لَهُ بِالتَّوْكِيلِ.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَإِنْ وَكَّلَهُ بِخُصُومَةٍ فَإِنْ شَاءَ قَبِلَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ فَإِنْ قَبِلَ فَإِنْ شَاءَ فَسَخَ، وَإِنْ شَاءَ ثَبَتَ فَإِنْ ثَبَتَ وَأَقَرَّ عَلَى مَنْ وَكَّلَهُ لَمْ يَلْزَمْهُ إقْرَارُهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُوَكِّلْهُ بِالْإِقْرَارِ، وَلَا بِالصُّلْحِ، وَلَا بِالْإِبْرَاءِ وَكَذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِنْ وَكَّلَهُ بِطَلَبِ حَدٍّ لَهُ أَوْ قِصَاصٍ قُبِلَتْ الْوَكَالَةُ عَلَى تَثْبِيتِ الْبَيِّنَةِ فَإِذَا حَضَرَ الْحَدُّ أَوْ الْقِصَاصُ لَمْ أَحُدَّ، وَلَمْ أَقُصَّ حَتَّى يَحْضُرَ الْمَحْدُودُ لَهُ وَالْمُقَصُّ لَهُ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ قَدْ يُقِرُّ لَهُ، وَيُكَذِّبُ الْبَيِّنَةَ أَوْ يَعْفُو فَيَبْطُلُ الْحَدُّ وَالْقِصَاصُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika dia mewakilkannya untuk berperkara, maka jika dia mau boleh menerima, dan jika mau boleh meninggalkan. Jika dia menerima, maka jika mau boleh membatalkan, dan jika mau boleh menetapkan. Jika dia menetapkan dan mengakui atas nama yang mewakilkannya, maka pengakuannya tidak mengikat; karena dia tidak mewakilkannya untuk mengaku, berdamai, atau membebaskan. Demikian juga berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah-: Jika dia mewakilkannya untuk menuntut hudud atau qishash, maka perwakilan diterima untuk menetapkan bukti. Ketika had atau qishash akan dilaksanakan, aku tidak akan melaksanakan had atau qishash sampai yang berhak had atau qishash hadir, karena mungkin dia mengakui, mendustakan bukti, atau memaafkan, sehingga had dan qishash batal.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَيْسَ لِلْوَكِيلِ أَنْ يُوَكِّلَ إلَّا أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ إلَيْهِ الْمُوَكِّلُ، وَإِنْ وَكَّلَهُ بِبَيْعِ مَتَاعِهِ فَبَاعَهُ فَقَالَ الْوَكِيلُ: قَدْ دَفَعْتُ إلَيْك الثَّمَنَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ طَلَبَ مِنْهُ الثَّمَنَ فَمَنَعَهُ مِنْهُ فَقَدْ ضَمِنَهُ إلَّا فِي حَالٍ لَا يُمْكِنُهُ فِيهِ دَفْعُهُ فَإِنْ أَمْكَنَهُ فَمَنَعَهُ ثُمَّ جَاءَ لِيُوَصِّلَهُ إلَيْهِ فَتَلِفَ ضَمِنَهُ، وَلَوْ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ قَدْ دَفَعْته إلَيْك لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ وَلَوْ قَالَ صَاحِبٌ لَهُ قَدْ طَلَبْتُهُ مِنْك فَمَنَعْتنِي فَأَنْتَ ضَامِنٌ فَهُوَ مُدَّعٍ أَنَّ الْأَمَانَةَ تَحَوَّلَتْ مَضْمُونَةً وَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ وَعَلَى الْمُنْكِرِ الْيَمِينُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seorang wakil tidak boleh mewakilkan kecuali jika pemberi kuasa mengizinkannya. Jika dia diwakilkan untuk menjual barangnya lalu menjualnya, kemudian si wakil berkata, ‘Aku telah menyerahkan harganya kepadamu,’ maka perkataannya diterima dengan disertai sumpah. Jika pemberi kuasa meminta harga itu tetapi si wakil menahannya, maka dia menjaminnya kecuali dalam keadaan dia tidak mungkin menyerahkannya. Jika memungkinkan tetapi dia menahannya, lalu datang untuk menyerahkannya tetapi barang itu rusak, maka dia menjaminnya. Jika setelah itu dia berkata, ‘Aku telah menyerahkannya kepadamu,’ maka perkataannya tidak diterima. Jika seseorang berkata kepadanya, ‘Aku telah memintanya darimu tetapi engkau menahannya, maka engkau bertanggung jawab,’ maka dia adalah pengklaim bahwa amanah telah berubah menjadi tanggungan, dan dia harus membuktikannya, sedangkan yang mengingkari harus bersumpah.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَـالَ وَكَّلْتُك بِبَيْعِ مَتَاعِي وَقَبَضْتَهُ مِنِّي فَأَنْكَرَ ثُمَّ أَقَرَّ أَوْ قَامَتْ الْبَيِّنَةُ عَلَيْهِ بِذَلِكَ ضَمِنَ؛ لِأَنَّهُ خَرَجَ بِالْجُحُودِ مِنْ الْأَمَانَاتِ وَلَوْ قَالَ وَكَّلْتُك بِبَيْعِ مَتَاعِي فَبِعْته فَقَالَ: مَالَك عِنْدِي شَيْءٌ فَأَقَامَ الْبَيِّنَةَ عَلَيْهِ بِذَلِكَ فَقَالَ صَدَقُوا، وَقَدْ دَفَعْت إلَيْهِ ثَمَنَهُ فَهُوَ مُصَدِّقٌ؛ لِأَنَّ مَنْ دَفَعَ شَيْئًا إلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ هُوَ عِنْدَهُ، وَلَمْ يُكَذِّبْ نَفْسَهُ فَهُوَ عَلَى أَصْلِ أَمَانَتِهِ وَتَصْدِيقِهِ وَلَوْ أَمَرَ الْمُوَكِّلُ الْوَكِيلَ أَنْ يَدْفَعَ مَالًا إلَى رَجُلٍ فَادَّعَى أَنَّهُ دَفَعَهُ إلَيْهِ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ إلَّا بِبَيِّنَةٍ وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ فِي ذَلِكَ بِقَوْلِ اللَّهِ – تَعَالَى – {فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ} النساء: 6 وَبِأَنَّ الَّذِي زَعَمَ أَنَّهُ دَفَعَهُ إلَيْهِ لَيْسَ هُوَ الَّذِي ائْتَمَنَهُ عَلَى الْمَالِ كَمَا أَنَّ الْيَتَامَى لَيْسُوا الَّذِينَ ائْتَمَنُوهُ عَلَى الْمَالِ وَقَالَ اللَّهُ – جَلَّ ثَنَاؤُهُ – {فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} النساء: 6 الْآيَةَ وَبِهَذَا فَرَّقَ بَيْنَ قَوْلِهِ لِمَنْ ائْتَمَنَهُ: قَدْ دَفَعْته إلَيْك يُقْبَلُ؛ لِأَنَّهُ ائْتَمَنَهُ وَبَيْنَ قَوْلِهِ لِمَنْ لَمْ يَأْتَمِنْهُ عَلَيْهِ: قَدْ دَفَعْته إلَيْك فَلَا يُقْبَلُ؛ لِأَنَّهُ الَّذِي لَيْسَ ائْتَمَنَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang mengatakan, ‘Aku menunjukmu sebagai wakil untuk menjual barangku dan engkau telah menerimanya dariku,’ lalu dia mengingkari, kemudian mengakui atau ada bukti yang menunjukkan hal itu, maka dia bertanggung jawab (menanggung), karena dengan pengingkarannya dia keluar dari status amanah. Jika dia berkata, ‘Aku menunjukmu sebagai wakil untuk menjual barangku,’ lalu barang itu dijual, kemudian dia mengatakan, ‘Tidak ada sesuatu pun milikmu padaku,’ lalu dia mendatangkan bukti atas hal itu dan dia berkata, ‘Mereka benar, dan aku telah menyerahkan harganya kepadanya,’ maka dia dibenarkan, karena siapa pun yang menyerahkan sesuatu kepada pemiliknya, maka sesuatu itu tidak lagi berada di sisinya, dan dia tidak mendustakan dirinya sendiri, sehingga dia tetap pada status amanah dan pembenarannya. Jika sang pemberi kuasa memerintahkan wakil untuk menyerahkan harta kepada seseorang, lalu si wakil mengaku telah menyerahkannya, maka pengakuannya tidak diterima kecuali dengan bukti. Imam Syafi’i berargumen dalam hal ini dengan firman Allah Ta’ala, ‘Maka apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi’ (QS. An-Nisa’: 6), dan karena orang yang mengaku telah menyerahkan harta itu bukanlah orang yang diberi amanah atas harta tersebut, sebagaimana anak yatim bukanlah pihak yang memberi amanah atas harta itu. Allah Jalla Tsana’uhu berfirman, ‘Maka apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka’ (QS. An-Nisa’: 6). Dengan ini, dibedakan antara perkataannya kepada orang yang diberi amanah, ‘Aku telah menyerahkannya kepadamu,’ yang diterima karena dialah yang diberi amanah, dan perkataannya kepada orang yang tidak diberi amanah, ‘Aku telah menyerahkannya kepadamu,’ yang tidak diterima karena dialah yang tidak diberi amanah.”

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ جَعَلَ لِلْوَكِيلِ فِيمَا وَكَّلَهُ جُعْلًا فَقَالَ لِلْمُوَكِّلِ جُعْلِي قِبَلَك، وَقَدْ دَفَعْتُ إلَيْك مَالَك فَقَالَ بَلْ خُنْتنِي فَالْجُعْلُ مَضْمُونٌ لَا تُبَرِّئُهُ مِنْهُ دَعْوَاهُ الْخِيَانَةَ عَلَيْهِ وَلَوْ دَفَعَ إلَيْهِ مَالًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ طَعَامًا فَسَلَّفَهُ ثُمَّ اشْتَرَى لَهُ بِمِثْلِهِ طَعَامًا فَهُوَ ضَامِنٌ لِلْمَالِ وَالطَّعَامُ لَهُ؛ لِأَنَّهُ خَرَجَ مِنْ وَكَالَتِهِ بِالتَّعَدِّي وَاشْتَرَى بِغَيْرِ مَا أَمَرَهُ بِهِ، وَلَا يَجُوزُ لِلْوَكِيلِ، وَلَا الْمُوصَى أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ نَفْسِهِ، وَمَنْ بَاعَ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ فَبَيْعُهُ مَرْدُودٌ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ تَلَفٌ عَلَى صَاحِبِهِ فَهَذَا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، وَمَعْنَاهُ وَلَوْ قَالَ أَمَرْتُك أَنْ تَشْتَرِيَ لِي هَذِهِ الْجَارِيَةَ بِعَشَرَةٍ فَاشْتَرَيْتهَا بِعِشْرِينَ فَقَالَ الْوَكِيلُ بَلْ أَمَرْتنِي بِعِشْرِينَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْآمِرِ مَعَ يَمِينِهِ، وَتَكُونُ الْجَارِيَةُ فِي الْحُكْمِ لِلْوَكِيلِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya pemberi kuasa menentukan upah untuk wakil dalam tugas yang dikuasakan, lalu wakil berkata kepada pemberi kuasa, ‘Upahku menjadi tanggunganmu, dan aku telah menyerahkan hartamu kepadamu,’ tetapi pemberi kuasa menjawab, ‘Bahkan engkau telah berkhianat kepadaku,’ maka upah itu tetap dijamin dan klaim pengkhianatan terhadapnya tidak membebaskannya darinya. Jika seseorang memberikan uang kepada wakil untuk membelikan makanan, lalu wakil meminjamkannya, kemudian membelikan makanan dengan uang yang serupa, maka wakil bertanggung jawab atas uang tersebut, dan makanan itu menjadi miliknya, karena ia telah melampaui batas kuasanya dan membeli dengan cara yang tidak diperintahkan. Tidak diperbolehkan bagi wakil atau orang yang diberi wasiat untuk membeli dari dirinya sendiri. Barangsiapa menjual dengan harga yang tidak lazim di masyarakat, maka penjualannya ditolak karena itu merugikan pemiliknya. Ini adalah pendapat Syafi’i. Maksudnya, sekalipun pemberi kuasa berkata, ‘Aku memerintahkanmu untuk membelikan budak perempuan ini dengan harga sepuluh,’ tetapi wakil membelinya dengan harga dua puluh, lalu wakil berkata, ‘Bahkan engkau memerintahkanku dengan harga dua puluh,’ maka perkataan pemberi kuasa yang diikuti sumpahnya yang diutamakan, dan budak perempuan itu secara hukum menjadi milik wakil.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَالشَّافِعِيُّ يُحِبُّ فِي مِثْلِ هَذَا أَنْ يَرْفُقَ الْحَاكِمُ بِالْآمِرِ لِلْمَأْمُورِ فَيَقُولُ إنْ كُنْت أَمَرْته أَنْ يَشْتَرِيَهَا بِعِشْرِينَ فَقُلْ بِعْته إيَّاهَا بِعِشْرِينَ، وَيَقُولُ الْآخَرُ قَدْ قَبِلْتُ لِيَحِلَّ لَهُ الْفَرْجُ وَلِمَنْ يَبْتَاعُهُ مِنْهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Dan Asy-Syafi’i menyukai dalam hal seperti ini agar hakim bersikap lembut kepada yang memerintah terhadap yang diperintah. Maka hendaknya dia berkata, ‘Jika engkau memerintahkannya untuk membelinya dengan harga dua puluh, maka katakanlah, ‘Aku menjualnya kepadanya dengan harga dua puluh.’ Dan yang lain berkata, ‘Aku telah menerima,’ agar kemaluan (pernikahan) menjadi halal baginya dan bagi siapa yang membelinya darinya.”

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَلَوْ أَمَرَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهُ جَارِيَةً فَاشْتَرَى غَيْرَهَا أَوْ أَمَرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهُ جَارِيَةً فَزَوَّجَهُ غَيْرَهَا بَطَلَ النِّكَاحُ وَكَانَ الشِّرَاءُ لِلْمُشْتَرِي لَا لِلْآمِرِ وَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَكَّلَنِي فُلَانٌ بِقَبْضِهِ مِنْك فَصَدَّقَهُ وَدَفَعَهُ وَتَلِفَ وَأَنْكَرَ رَبُّ الْحَقِّ أَنْ يَكُونَ وَكَّلَهُ فَلَهُ الْخِيَارُ فَإِذَا أَغْرَمَ الدَّافِعَ لَمْ يَرْجِعْ الدَّافِعُ عَلَى الْقَابِضِ؛ لِأَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ وَكِيلٌ بَرِئَ، وَإِنْ أَغْرَمَ الْقَابِضَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ عَلَى الدَّافِعِ؛ لِأَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّهُ مَظْلُومٌ بَرِئَ. وَإِنْ وَكَّلَهُ بِبَيْعِ سِلْعَةٍ فَبَاعَهَا نَسِيئَةً كَانَ لَهُ نَقْضُ الْبَيْعِ بَعْدَ أَنْ يَحْلِفَ مَا وَكَّلَهُ إلَّا بِالنَّقْدِ وَلَوْ وَكَّلَهُ بِشِرَاءِ سِلْعَةٍ فَأَصَابَ بِهَا عَيْبًا كَانَ لَهُ الرَّدُّ بِالْعَيْبِ، وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَحْلِفَ مَا رَضِيَ بِهِ الْآمِرُ وَكَذَلِكَ الْمُقَارِضُ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، وَمَعْنَاهُ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika seseorang memerintahkannya untuk membelikan seorang budak perempuan, lalu dia membeli yang lain, atau memerintahkannya untuk menikahkannya dengan seorang budak perempuan, lalu dia menikahkannya dengan yang lain, maka nikahnya batal dan pembelian itu menjadi milik si pembeli bukan si pemerintah. Jika seseorang memiliki hak atas orang lain, lalu seseorang berkata kepadanya: “Si fulan telah mewakilkan aku untuk menerimanya darimu,” lalu dia mempercayainya dan menyerahkannya, kemudian harta itu rusak, dan pemilik hak mengaku tidak mewakilkannya, maka dia memiliki hak pilih. Jika si penyerang mengganti rugi, si penyerang tidak boleh menuntut balik si penerima, karena dia tahu bahwa dia adalah wakil yang bebas. Jika si penerima mengganti rugi, dia tidak boleh menuntut balik si penyerang, karena dia tahu bahwa dia adalah pihak yang dizalimi dan bebas. Jika dia mewakilkannya untuk menjual suatu barang, lalu dia menjualnya secara kredit, maka dia berhak membatalkan penjualan setelah bersumpah bahwa dia tidak mewakilkannya kecuali dengan tunai. Jika dia mewakilkannya untuk membeli suatu barang, lalu barang itu cacat, maka dia berhak mengembalikannya karena cacat, dan dia tidak wajib bersumpah bahwa si pemerintah rela. Demikian juga dengan muqaridh (pemberi pinjaman). Ini adalah pendapat Syafi’i, dan maknanya adalah “dan dengan Allah lah taufik.”

 

(قَالَ) : الْمُزَنِيّ: وَلَوْ قَالَ رَجُلٌ لِفُلَانٍ عَلَيَّ دَيْنٌ، وَقَدْ وَكَّلَ هَذَا بِقَبْضِهِ لَمْ يَقْضِ الشَّافِعِيُّ عَلَيْهِ بِدَفْعِهِ؛ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ بِتَوْكِيلِ غَيْرِهِ فِي مَالٍ لَا يَمْلِكُهُ، وَيَقُولُ لَهُ إنْ شِئْتَ فَادْفَعْ أَوْ دَعْ، وَلَا أُجْبِرُك عَلَى أَنْ تَدْفَعَ.

 

 

Al-Muzani berkata: Seandainya seseorang mengatakan kepada fulan, “Aku punya utang,” dan dia telah menunjuk orang ini untuk menerimanya, Asy-Syafi’i tidak akan memutuskan untuk membayarnya. Karena dia mengakui pemberian kuasa kepada orang lain atas harta yang tidak dia miliki, dan berkata kepadanya, “Jika kamu mau, bayarlah atau tinggalkan, aku tidak memaksamu untuk membayar.”

 

(قَالَ) : وَلِلْوَكِيلِ وَلِلْمُقَارِضِ أَنْ يَرُدَّا مَا اشْتَرَيَا بِالْعَيْبِ وَلَيْسَ لِلْبَائِعِ أَنْ يُحَلِّفَهُمَا مَا رَضِيَ رَبُّ الْمَالِ، وَقَالَ أَلَا تَرَى أَنَّهُمَا لَوْ تَعَدَّيَا لَمْ يُنْتَقَضْ الْبَيْعُ وَلَزِمَهُمَا الثَّمَنُ وَكَانَتْ التِّبَاعَةُ عَلَيْهِمَا لِرَبِّ الْمَالِ.

 

 

Beliau berkata: “Wakil dan orang yang diberi pinjaman (muqaridh) berhak mengembalikan barang yang mereka beli jika terdapat cacat, sedangkan penjual tidak boleh meminta mereka berdua bersumpah selama pemilik harta telah rela.” Dia juga berkata: “Tidakkah engkau melihat bahwa jika mereka berdua melampaui batas, jual beli tidak batal, harga tetap menjadi tanggungan mereka berdua, dan konsekuensinya menjadi tanggung jawab mereka berdua kepada pemilik harta.”

 

كِتَابُ الْإِقْرَارِ بَابُ الْإِقْرَارِ بِالْحُقُوقِ وَالْمَوَاهِبِ وَالْعَارِيَّةِ

 

 

Bab Pengakuan atas Hak-Hak, Pemberian, dan Pinjaman

 

بَابُ الْإِقْرَارِ بِالْحُقُوقِ وَالْمَوَاهِبِ وَالْعَارِيَّةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يَجُوزُ إلَّا إقْرَارُ بَالِغٍ حُرٍّ رَشِيدٍ، وَمَنْ لَمْ يَجُزْ بَيْعَهُ لَمْ يَجُزْ إقْرَارَهُ فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِفُلَانٍ عَلَيَّ شَيْءٌ ثُمَّ جَحَدَ قِيلَ لَهُ أَقْرِرْ بِمَا شِئْت مِمَّا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ شَيْءٍ مِنْ مَالٍ أَوْ تَمْرَةٍ أَوْ فَلْسٍ وَاحْلِفْ مَا لَهُ قِبَلَك غَيْرَهُ فَإِنْ أَبِي حَلَفَ الْمُدَّعَى عَلَى مَا ادَّعَى وَاسْتَحَقَّهُ مَعَ نُكُولِ صَاحِبِهِ، وَسَوَاءٌ قَالَ: لَهُ عَلَيَّ مَالٌ أَوْ مَالٌ كَثِيرٌ أَوْ عَظِيمٌ فَإِنَّمَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ مَالٍ فَأَمَّا مَنْ ذَهَبَ إلَى مَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ فَلَا أَعْلَمُهُ خَبَرًا، وَلَا قِيَاسًا أَرَأَيْت إذَا أَغْرَمْت مِسْكِينًا يَرَى الدِّرْهَمَ عَظِيمًا أَوْ خَلِيفَةً يَرَى أَلْفَ أَلْفٍ قَلِيلًا إذَا أَقَرَّ بِمَالٍ عَظِيمٍ مِائَتَيْ دِرْهَمٍ وَالْعَامَّةُ تَعْلَمُ أَنَّ مَا يَقَعُ فِي الْقَلْبِ مِنْ مَخْرَجِ قَوْلَيْهِمَا مُخْتَلِفٌ فَظَلَمْتُ الْمُقَرَّ لَهُ إذْ لَمْ تُعْطِهِ مِنْ خَلِيفَةٍ إلَّا التَّافِهَ وَظَلَمْتُ الْمِسْكِينَ إذْ أَغْرَمْتَهُ أَضْعَافَ الْعَظِيمِ إذْ لَيْسَ عِنْدَك فِي ذَلِكَ إلَّا مَحْمَلُ كَلَامِ النَّاسِ، وَسَوَاءٌ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دَرَاهِمُ كَثِيرَةٌ أَوْ عَظِيمَةٌ أَوْ لَمْ يَقُلْهَا فَهِيَ ثَلَاثَةٌ. وَإِذَا قَالَ لَهُ عَلَيَّ أَلْفٌ وَدِرْهَمٌ، وَلَمْ يُسَمِّ الْأَلْفَ قِيلَ لَهُ أَعْطِهِ أَيَّ أَلْفٍ شِئْتَ فُلُوسًا أَوْ غَيْرَهَا وَاحْلِفْ أَنَّ الْأَلْفَ الَّتِي أَقْرَرْت بِهَا هِيَ هَذِهِ.

 

 

BAB PENGAKUAN ATAS HAK-HAK, PEMBERIAN, DAN PINJAMAN (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – tidak sah kecuali pengakuan dari orang dewasa yang merdeka dan berakal sehat. Siapa yang tidak sah jual belinya, maka tidak sah pula pengakuannya. Jika seseorang berkata kepada fulan: “Ada sesuatu yang menjadi tanggunganku”, lalu ia mengingkari, maka dikatakan kepadanya: “Akui saja sekehendakmu dari sesuatu yang termasuk kategori harta, baik berupa kurma atau uang, dan bersumpahlah bahwa tidak ada hak lain baginya selain itu.” Jika ia menolak, maka pihak yang didakwa bersumpah atas apa yang didakwakan dan berhak mendapatkannya bersama pengingkaran lawannya. Sama saja apakah ia berkata: “Ia memiliki harta padaku”, atau “harta yang banyak”, atau “harta yang besar”, karena yang berlaku adalah sebutan “harta”. Adapun orang yang berpendapat bahwa zakat wajib pada harta tersebut, aku tidak mengetahui adanya dalil atau qiyas. Bagaimana pendapatmu jika engkau membebani orang miskin yang menganggap satu dirham besar, atau seorang khalifah yang menganggap seribu ribu sedikit? Jika ia mengaku memiliki harta besar sebanyak dua ratus dirham, sementara umumnya orang tahu bahwa yang terlintas dalam hati dari ucapan keduanya berbeda, maka aku telah menzalimi pihak yang diakui karena tidak memberinya dari khalifah kecuali yang remeh, dan menzalimi orang miskin karena membebaninya dengan kelipatan dari yang besar, padahal dalam hal ini engkau hanya berpegang pada pemahaman ucapan manusia. Sama saja apakah ia berkata: “Ia memiliki dirham yang banyak atau besar padaku”, atau tidak mengatakannya, maka tetap tiga. Jika ia berkata: “Ia memiliki seribu dan satu dirham padaku”, tanpa menyebut jenis seribu, maka dikatakan kepadanya: “Berikan kepadanya seribu apa saja yang engkau kehendaki, baik berupa uang atau lainnya, dan bersumpahlah bahwa seribu yang engkau akui adalah ini.”

 

وَكَذَلِكَ لَوْ أَقَرَّ بِأَلْفٍ وَعَبْدٍ أَوْ أَلْفٍ وَدَارٍ لَمْ يَجْعَلْ الْأَلْفَ الْأَوَّلَ عَبِيدًا أَوْ دُورًا، وَإِذَا قَالَ لَهُ عَلَيَّ أَلْفٌ إلَّا دِرْهَمًا قِيلَ لَهُ أَقِرَّ لَهُ بِأَيِّ أَلْفٍ شِئْت إذَا كَانَ الدِّرْهَمُ مُسْتَثْنًى مِنْهَا، وَيَبْقَى بَعْدَهُ شَيْءٌ قَلَّ أَوْ كَثُرَ. وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ أَلْفٌ إلَّا كُرَّ حِنْطَةٍ أَوْ إلَّا عَبْدًا أَجْبَرْتُهُ عَلَى أَنْ يُبْقِيَ بَعْدَ الِاسْتِثْنَاءِ شَيْئًا قَلَّ أَوْ كَثُرَ، وَإِنْ أَقَرَّ بِثَوْبٍ فِي مِنْدِيلٍ أَوْ تَمْرٍ فِي جِرَابٍ فَالْوِعَاءُ لِلْمُقِرِّ، وَإِنْ قَالَ لَهُ قِبَلِي كَذَا أَقَرَّ بِمَا شَاءَ وَاحِدًا، وَلَوْ قَالَ كَذَا وَكَذَا أَقَرَّ بِمَا شَاءَ اثْنَيْنِ، وَإِنْ قَالَ كَذَا وَكَذَا دِرْهَمًا قِيلَ لَهُ أَعْطِهِ دِرْهَمَيْنِ؛ لِأَنَّ كَذَا يَقَعُ عَلَى دِرْهَمٍ. ثُمَّ قَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: إنْ قَالَ كَذَا وَكَذَا دِرْهَمًا قِيلَ لَهُ أَعْطِهِ دِرْهَمًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ قِبَلِ أَنَّ كَذَا يَقَعُ عَلَى أَقَلَّ مِنْ دِرْهَمٍ.

 

 

Demikian pula, jika seseorang mengakui utang seribu dirham dan seorang budak, atau seribu dirham dan sebuah rumah, maka seribu dirham pertama tidak dianggap sebagai budak atau rumah. Jika dia berkata, “Aku berutang seribu dirham kecuali satu dirham,” maka dikatakan kepadanya, “Akui saja utang seribu dirham mana pun yang kamu mau, selama satu dirham itu dikecualikan, dan masih tersisa sesuatu setelahnya, sedikit atau banyak.” Begitu juga jika dia berkata, “Aku berutang seribu dirham kecuali satu kur gandum atau kecuali seorang budak,” maka dia dipaksa untuk menyisakan sesuatu setelah pengecualian, sedikit atau banyak. Jika dia mengakui sehelai baju dalam saputangan atau kurma dalam karung, maka wadahnya tetap milik pengakui. Jika dia berkata, “Di sisiku ada begini,” maka dia dianggap mengakui satu hal sesuai yang dia kehendaki. Jika dia berkata, “Beginilah dan beginilah,” maka dia dianggap mengakui dua hal sesuai yang dia kehendaki. Jika dia berkata, “Beginilah dan beginilah satu dirham,” maka dikatakan kepadanya, “Berikan dia dua dirham,” karena kata “begini” merujuk pada satu dirham. Kemudian, di tempat lain disebutkan: Jika dia berkata, “Beginilah dan beginilah satu dirham,” maka dikatakan kepadanya, “Berikan dia satu dirham atau lebih,” karena kata “begini” bisa merujuk pada kurang dari satu dirham.

(Al-Muzani) berkata: “Ini bertentangan dengan pendapat pertama dan lebih mirip dengan perkataannya; karena demikian terjadi pada kurang dari satu dirham, dan tidak diberikan kecuali yang pasti.”

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا خِلَافُ الْأَوَّلِ وَهُوَ أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّ كَذَا يَقَعُ عَلَى أَقَلَّ مِنْ دِرْهَمٍ، وَلَا يُعْطَى إلَّا الْيَقِينُ.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالْإِقْرَارُ فِي الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ سَوَاءٌ يَتَحَاصُّونَ مَعًا، وَلَوْ أَقَرَّ لِوَارِثٍ فَلَمْ يَمُتْ حَتَّى حَدَثَ لَهُ وَارِثٌ يَحْجُبُهُ فَالْإِقْرَارُ لَازِمٌ، وَإِنْ لَمْ يَحْدُثْ وَارِثٌ فَمَنْ أَجَزَ الْإِقْرَارَ لِوَارِثٍ أَجَازَهُ، وَمَنْ أَبَاهُ رَدَّهُ، وَلَوْ أَقَرَّ لِغَيْرِ وَارِثٍ فَصَارَ وَارِثًا بَطَلَ إقْرَارُهُ وَلَوْ أَقَرَّ أَنَّ ابْنَ هَذِهِ الْأَمَةِ وَلَدُهُ مِنْهَا، وَلَا مَالَ لَهُ غَيْرُهَا ثُمَّ مَاتَ فَهُوَ ابْنُهُ، وَهُمَا حُرَّانِ بِمَوْتِهِ، وَلَا يَبْطُلُ ذَلِكَ بِحَقِّ الْغُرَمَاءِ الَّذِي قَدْ يَكُونُ مُؤَجَّلًا، وَيَجُوزُ إبْطَالُهُ بَعْدَ ثُبُوتِهِ، وَلَا يَجُوزُ إبْطَالُ حُرِّيَّةٍ بَعْدَ ثُبُوتِهَا، وَإِذَا أَقَرَّ الرَّجُلُ لِحَمْلٍ بِدَيْنٍ كَانَ الْإِقْرَارُ بَاطِلًا حَتَّى يَقُولَ كَانَ لِأَبِي هَذَا الْحَمْلُ أَوْ لِجَدِّهِ عَلَيَّ مَالٌ وَهُوَ وَارِثُهُ فَيَكُونُ إقْرَارًا لَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Pengakuan dalam keadaan sehat maupun sakit adalah sama, mereka sama-sama berhak. Jika seseorang mengaku untuk ahli waris, lalu ia tidak meninggal hingga muncul ahli waris lain yang menghalanginya, maka pengakuannya tetap berlaku. Jika tidak muncul ahli waris lain, maka siapa yang membolehkan pengakuan untuk ahli waris, ia membolehkannya, dan siapa yang menolaknya, ia menolaknya. Jika ia mengaku untuk bukan ahli waris, lalu orang itu menjadi ahli waris, maka pengakuannya batal. Jika ia mengaku bahwa anak budak perempuan ini adalah anaknya darinya, dan ia tidak memiliki harta selainnya, lalu ia meninggal, maka anak itu adalah anaknya, dan keduanya merdeka karena kematiannya. Hal itu tidak batal karena hak para kreditur yang mungkin tertunda, dan boleh membatalkannya setelah tetap, tetapi tidak boleh membatalkan kemerdekaan setelah tetap. Jika seseorang mengaku untuk janin dengan hutang, maka pengakuannya batal hingga ia berkata, ‘Ayah janin ini atau kakeknya memiliki harta padaku, dan ia adalah ahli warisnya,’ maka itu menjadi pengakuan untuknya.”

(قال المزني) – رحمه الله – هذا عندي خلاف قوله في كتاب الوكالة في الرجل يقر أن فلانا وكيل لفلان في قبض ما عليه أنه لا يقضي عليه بدفعه؛ لأنه مقر بالتوكيل في مال لا يملكه، ويقول له إن شئت فادفع أو دع وكذلك هذا إذا أقر بمال لرجل وأقر عليه أنه مات وورثه غيره وهذا عندي بالحق أولى وهذا وذاك عندي سواء فيلزمه ما أقر به فيهما على نفسه فإن كان الذي ذكر أنه مات حيا وأنكر الذي له المال الوكالة رجعا عليه بما أتلف عليهما.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini menurutku bertentangan dengan pendapatnya dalam kitab Al-Wakalah tentang seseorang yang mengakui bahwa si Fulan adalah wakil dari si Fulan dalam menerima apa yang menjadi tanggungannya, bahwa ia tidak dihukum untuk membayarnya karena ia mengakui pemberian kuasa atas harta yang tidak ia miliki, dan dikatakan kepadanya, ‘Jika engkau mau, bayarlah atau tinggalkan.’ Demikian pula hal ini jika seseorang mengakui adanya harta milik seseorang dan mengakui bahwa orang tersebut telah meninggal serta harta itu diwarisi oleh orang lain. Menurutku, pendapat ini lebih benar, dan kedua kasus ini dalam pandanganku sama. Maka ia wajib menanggung apa yang ia akui dalam kedua kasus tersebut. Jika ternyata orang yang disebutkan telah meninggal masih hidup, dan pemilik harta tersebut mengingkari perwakilan itu, maka keduanya dapat menuntutnya atas kerugian yang ia timbulkan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ قَالَ هَذَا الرَّقِيقُ لَهُ إلَّا وَاحِدًا كَانَ لِلْمُقِرِّ أَنْ يَأْخُذَ أَيَّهُمَا شَاءَ وَلَوْ قَالَ غَصَبْت هَذِهِ الدَّارَ مِنْ فُلَانٍ، وَمِلْكُهَا لِفُلَانٍ فَهِيَ لِفُلَانٍ الَّذِي أَقَرَّ أَنَّهُ غَصَبَهَا مِنْهُ، وَلَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُ لِلثَّانِي؛ لِأَنَّهُ غَاصِبٌ، وَلَوْ قَالَ: غَصَبْتهَا مِنْ فُلَانٍ لَا بَلْ مِنْ فُلَانٍ كَانَتْ لِلْأَوَّلِ، وَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ لِلثَّانِي وَكَانَ الثَّانِي خَصْمًا لِلْأَوَّلِ، وَلَا يَجُوزُ إقْرَارُ الْعَبْدِ فِي الْمَالِ إلَّا بِأَنْ يَأْذَنَ لَهُ سَيِّدُهُ فِي التِّجَارَةِ فَإِنْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ سَيِّدُهُ فَمَتَى عَتَقَ، وَمَلَكَ غَرِمَ، وَيَجُوزُ إقْرَارُهُ فِي الْقَتْلِ وَالْقَطْعِ وَالْحَدِّ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya budak ini mengatakan bahwa hamba sahaya ini miliknya kecuali satu, maka orang yang mengakui boleh mengambil yang mana saja yang ia kehendaki. Dan jika ia mengatakan, “Aku merampas rumah ini dari si Fulan, dan kepemilikannya adalah milik si Fulan,” maka rumah itu adalah milik si Fulan yang dia akui telah merampasnya darinya. Kesaksiannya tidak sah untuk orang kedua karena dia adalah perampas. Jika dia berkata, “Aku merampasnya dari si Fulan, tidak, tapi dari si Fulan (lain),” maka rumah itu milik orang pertama, dan tidak ada ganti rugi baginya untuk orang kedua, dan orang kedua menjadi lawan bagi orang pertama. Pengakuan budak dalam hal harta tidak diperbolehkan kecuali jika tuannya mengizinkannya berdagang. Jika tuannya tidak mengizinkan, maka ketika dia merdeka dan memiliki harta, dia wajib menanggung kerugian. Namun, pengakuannya dalam hal pembunuhan, potong tangan, dan hudud diperbolehkan karena itu berkaitan dengan dirinya sendiri.

 

 

وَلَوْ قَالَ رَجُلٌ لِفُلَانٍ عَلَيَّ أَلْفٌ فَأَتَاهُ بِأَلْفٍ فَقَالَ هِيَ هَذِهِ الَّتِي أَقْرَرْت لَك بِهَا كَانَتْ لَك عِنْدِي وَدِيعَةٌ فَقَالَ بَلْ هَذِهِ وَدِيعَةٌ وَتِلْكَ أُخْرَى فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُقِرِّ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ مَنْ أَوْدَعَ شَيْئًا فَجَائِزٌ أَنْ يَقُولَ لِفُلَانٍ عِنْدِي وَلِفُلَانٍ عَلَيَّ؛ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُهْلِكْ، وَقَدْ يُودَعُ فَيَتَعَدَّى فَيَكُونُ عَلَيْهِ دَيْنًا فَلَا أُلْزِمُهُ إلَّا بِالْيَقِينِ. وَلَوْ قَالَ: لَهُ عِنْدِي أَلْفُ دِرْهَمٍ وَدِيعَةٌ أَوْ مُضَارَبَةٌ دَيْنًا كَانَتْ دَيْنًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَتَعَدَّى فِيهَا فَتَكُونُ مَضْمُونَةً عَلَيْهِ. وَلَوْ قَالَ دَفَعَهَا إلَيَّ أَمَانَةً عَلَى أَنِّي ضَامِنٌ لَهَا لَمْ يَكُنْ ضَامِنًا بِشَرْطِ ضَمَانِ مَا أَصْلُهُ أَمَانَةٌ، وَلَوْ قَالَ لَهُ فِي هَذَا الْعَبْدِ أَلْفُ دِرْهَمٍ سُئِلَ عَنْ قَوْلِهِ فَإِنْ قَالَ: نَفِدَ فِيهِ أَلْفًا قِيلَ كَمْ لَك مِنْهُ؟ فَمَا قَالَ إنَّهُ لَهُ مِنْهُ اشْتَرَاهُ بِهِ فَهُوَ كَمَا قَالَ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَا أَنْظُرُ إلَى قِيمَةِ الْعَبْدِ قَلَّتْ أَوْ كَثُرَتْ؛ لِأَنَّهُمَا قَدْ يُغْبَنَانِ، وَيَغْبِنَانِ، وَلَوْ قَالَ لَهُ فِي مِيرَاثِ أَبِي أَلْفُ دِرْهَمٍ كَانَ إقْرَارًا عَلَى أَبِيهِ بِدَيْنٍ وَلَوْ قَالَ فِي مِيرَاثِي مِنْ أَبَى كَانَتْ هِبَةً إلَّا أَنْ يُرِيدَ إقْرَارًا.

 

 

Jika seseorang berkata kepada si fulan, “Aku berutang seribu,” lalu ia membawa seribu dan berkata, “Ini adalah yang aku akui untukmu sebagai titipan yang ada padaku,” lalu si fulan menjawab, “Tidak, ini titipan dan itu (utang) lain,” maka perkataan yang diakui disertai sumpahnya yang berlaku. Karena orang yang menitipkan sesuatu boleh saja berkata kepada si fulan, “Padaku ada (titipan) dan untuk si fulan ada (utang).” Sebab ia bertanggung jawab selama tidak merusaknya. Bisa juga titipan itu disalahgunakan sehingga menjadi utang, maka ia tidak diwajibkan kecuali dengan keyakinan. Jika ia berkata, “Padaku ada seribu dirham titipan atau mudharabah sebagai utang,” maka itu dianggap utang, karena ia mungkin menyalahgunakannya sehingga menjadi tanggungannya. Jika ia berkata, “Ia menyerahkannya kepadaku sebagai amanah dengan syarat aku menjaminnya,” maka ia tidak menjadi penjamin karena syarat penjaminan pada sesuatu yang asalnya amanah. Jika ia berkata tentang budak ini, “Seribu dirham,” maka ia ditanya tentang ucapannya. Jika ia menjawab, “Aku telah membelanjakan seribu untuknya,” lalu ditanya, “Berapa bagianmu darinya?” Maka apa yang ia katakan bahwa itu adalah miliknya dari hasil pembelian, itulah yang berlaku disertai sumpahnya. Aku tidak melihat nilai budak itu, sedikit atau banyak, karena kedua belah pihak bisa saja tertipu atau menipu. Jika ia berkata, “Dalam warisan ayahku ada seribu dirham,” maka itu pengakuan utang atas ayahnya. Jika ia berkata, “Dalam warisanku dari ayahku,” maka itu dianggap hibah kecuali jika ia bermaksud sebagai pengakuan.

 

 

وَلَوْ قَالَ لَهُ عِنْدِي أَلْفُ دِرْهَمٍ عَارِيَّةٌ كَانَتْ مَضْمُونَةً، وَلَوْ أَقَرَّ فِي عَبْدٍ فِي يَدِهِ لِفُلَانٍ وَأَقَرَّ الْعَبْدُ لِغَيْرِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الَّذِي هُوَ فِي يَدِهِ، وَلَوْ أَقَرَّ أَنَّ الْعَبْدَ الَّذِي تَرَكَهُ أَبُوهُ لِفُلَانٍ ثُمَّ وَصَلَ أَوْ لَمْ يَصِلْ دَفَعَهُ أَوْ لَمْ يَدْفَعْهُ فَقَالَ بَلْ لِفُلَانٍ آخَرَ فَهُوَ لِلْأَوَّلِ، وَلَا غُرْمَ عَلَيْهِ لِلْآخَرِ، وَلَا يُصَدَّقُ عَلَى إبْطَالِ إقْرَارِهِ فِي مَالٍ قَدْ قَطَعَهُ لِلْأَوَّلِ، وَإِذَا شَهِدَا عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ أَعْتَقَ عَبْدَهُ فَرَدَّا ثُمَّ اشْتَرَيَاهُ فَإِنْ صَدَّقَهُمَا الْبَائِعُ رَدَّ الثَّمَنَ، وَكَانَ لَهُ الْوَلَاءُ، وَإِنْ كَذَّبَهُمَا عَتَقَ بِإِقْرَارِهِمَا، وَالْوَلَاءُ مَوْقُوفٌ فَإِنْ مَاتَ الْعَبْدُ وَتَرَكَ مَالًا كَانَ مَوْقُوفًا حَتَّى يُصَدِّقَهُمَا فَيَرُدَّ الثَّمَنَ إلَيْهِمَا وَالْوَلَاءُ لَهُ دُونَهُمَا.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Dan jika dia berkata kepadanya, “Aku meminjam seribu dirham,” maka itu menjadi tanggungan. Jika seseorang mengakui tentang budak yang ada di tangannya bahwa budak itu milik si fulan, sementara budak itu mengakui milik orang lain, maka perkataan yang dipegang adalah milik orang yang memegangnya. Jika dia mengakui bahwa budak yang ditinggalkan ayahnya adalah milik si fulan, kemudian dia menyambung atau tidak menyambung, menyerahkan atau tidak menyerahkan, lalu dia berkata, “Bahkan milik si fulan yang lain,” maka budak itu tetap milik yang pertama, dan tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya untuk yang lain. Dia juga tidak bisa dipercaya untuk membatalkan pengakuannya atas harta yang telah dia berikan kepada yang pertama. Jika dua orang bersaksi terhadap seseorang bahwa dia telah memerdekakan budaknya, lalu mereka membatalkannya dan kemudian membelinya, jika penjual membenarkan mereka, maka harga budak itu dikembalikan, dan hak perwalian menjadi miliknya. Jika penjual mendustakan mereka, maka budak itu merdeka berdasarkan pengakuan mereka, dan hak perwalian ditangguhkan. Jika budak itu meninggal dan meninggalkan harta, maka harta itu ditangguhkan sampai dia membenarkan mereka, sehingga harga budak itu dikembalikan kepada mereka, dan hak perwalian menjadi miliknya, bukan milik mereka.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَصْلُ قَوْلِهِ أَنَّ مَنْ لَهُ حَقٌّ مُنِعَهُ ثُمَّ قَدَرَ عَلَيْهِ أَخَذَهُ، وَلَا يَخْلُو الْمُشْتَرِيَانِ فِي قَوْلِهِمَا فِي الْعِتْقِ مِنْ صِدْقٍ أَوْ كَذِبٍ فَإِنْ كَانَ قَوْلُهُمَا صِدْقًا فَالثَّمَنُ دَيْنٌ لَهُمَا عَلَى الْجَاحِدِ؛ لِأَنَّهُ بَاعَ مَوْلًى لَهُ، وَمَا تَرَكَ فَهُوَ لِمَوْلَاهُ، وَلَهُمَا أَخْذُ الثَّمَنِ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ قَوْلُهُمَا كَذِبًا فَهُوَ عَبْدُهُمَا، وَمَا تَرَكَ فَهُوَ لَهُمَا، وَالْيَقِينُ أَنَّ لَهُمَا قَدْرَ الثَّمَنِ مِنْ مَالِ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرَ بَائِعِهِ وَتَرَكَ أَكْثَرَ مِنْ الثَّمَنِ، وَإِنْ كَانَ مَا تَرَكَ أَقَلَّ مِنْ الثَّمَنِ لَمْ يَكُنْ لَهُمَا غَيْرُهُ.

 

(Al-Muzanni) – rahimahullah – berkata: Pokok ucapannya adalah bahwa siapa yang memiliki hak lalu dihalangi, kemudian ia mampu mengambilnya, maka ia berhak mengambilnya. Dan tidak lepas dari dua orang pembeli dalam pernyataan mereka tentang pembebasan budak antara jujur atau dusta. Jika perkataan mereka jujur, maka harga (budak) menjadi hutang bagi mereka atas orang yang mengingkari, karena ia telah menjual budak miliknya, dan apa yang ditinggalkan (budak) itu adalah untuk tuannya. Mereka berdua berhak mengambil harganya darinya. Namun jika perkataan mereka dusta, maka budak itu adalah milik mereka, dan apa yang ditinggalkannya menjadi hak mereka. Yang pasti, mereka berhak mendapatkan sebesar harga (budak) dari harta mayit jika tidak ada ahli waris selain penjualnya dan mayit meninggalkan harta lebih dari harga tersebut. Namun jika yang ditinggalkan kurang dari harganya, maka mereka tidak mendapatkan lebih dari itu.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دَرَاهِمُ ثُمَّ قَالَ هِيَ نَقْصٌ أَوْ زَيْفٌ لَمْ يُصَدَّقْ، وَإِنْ قَالَ هِيَ مِنْ سِكَّةِ كَذَا وَكَذَا صُدِّقَ مَعَ يَمِينِهِ كَانَ أَدْنَى الدَّرَاهِمِ أَوْ أَوْسَطُهَا أَوْ جَائِزَةٌ بِغَيْرِ ذَلِكَ الْبَلَدِ أَوْ غَيْرِ جَائِزَةٍ كَمَا لَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ ثَوْبٌ أَعْطَاهُ أَيَّ ثَوْبٍ أَقَرَّ بِهِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَلْبَسُهُ أَهْلُ بَلَدِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang berkata, ‘Aku berutang dirham kepadamu,’ lalu dia mengatakan, ‘Dirham itu kurang timbangannya atau palsu,’ maka perkataannya tidak dapat dipercaya. Namun, jika dia mengatakan, ‘Dirham itu berasal dari mata uang tertentu,’ maka perkataannya dapat dipercaya disertai sumpah, baik itu dirham yang nilainya rendah, sedang, atau berlaku di luar negeri tersebut atau tidak berlaku. Hal ini sama seperti jika dia berkata, ‘Aku berutang pakaian kepadamu,’ lalu dia memberikan pakaian apa pun yang diakuinya, meskipun pakaian itu tidak biasa dipakai oleh penduduk negerinya.”

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي قَوْلِهِ إذَا قَالَ لَهُ عَلَيَّ دُرَيْهِمٌ أَوْ دُرَيْهِمَاتٌ فَهِيَ وَازِنَةٌ قَضَاءً عَلَى قَوْلِهِ إذَا قَالَ لَهُ عَلَيَّ دَرَاهِمُ فَهِيَ وَازِنَةٌ، وَلَا يُشْبِهُ الثَّوْبُ نَقْدَ الْبَلَدِ كَمَا لَوْ اشْتَرَى بِدِرْهَمٍ سِلْعَةً جَازَ لِمَعْرِفَتِهِمَا بِنَقْدِ الْبَلَدِ، وَإِنْ اشْتَرَاهَا بِثَوْبٍ لَمْ يَجُزْ؛ لِجَهْلِهِمَا بِالثَّوْبِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dalam ucapannya: Jika seseorang berkata “Aku berutang satu dirham atau beberapa dirham,” maka itu dianggap sah berdasarkan ucapannya “Aku berutang dirham,” karena pakaian tidak sama dengan mata uang negeri. Sebagaimana jika seseorang membeli barang dengan satu dirham, itu diperbolehkan karena keduanya mengetahui nilai mata uang negeri. Namun jika membelinya dengan pakaian, tidak diperbolehkan karena keduanya tidak mengetahui nilai pakaian tersebut.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ فِي دِينَارٍ فَإِنْ أَرَادَ دِرْهَمًا وَدِينَارًا، وَإِلَّا فَعَلَيْهِ دِرْهَمٌ، وَلَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ وَدِرْهَمٌ فَهُمَا دِرْهَمَانِ، وَإِنْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ فَدِرْهَمٌ قِيلَ إنْ أَرَدْت فَدِرْهَمٌ لَازِمٌ فَهُوَ دِرْهَمٌ، وَلَوْ قَالَ دِرْهَمٌ تَحْتَ دِرْهَمٍ أَوْ دِرْهَمٌ أَوْ فَوْقَ دِرْهَمٍ فَعَلَيْهِ دِرْهَمٌ لِجَوَازِ أَنْ يَقُولَ فَوْقَ دِرْهَمٍ فِي الْجَوْدَةِ أَوْ تَحْتَهُ فِي الرَّدَاءَةِ. وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ دِرْهَمٌ مَعَ دِرْهَمٍ أَوْ دِرْهَمٌ مَعَهُ دِينَارٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَقُولُ مَعَ دِينَارٍ لِي وَلَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دِرْهَمٌ قَبْلَهُ دِرْهَمٌ أَوْ بَعْدَهُ فَعَلَيْهِ دِرْهَمَانِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seseorang berkata, ‘Aku berutang satu dirham dalam satu dinar,’ maka jika ia bermaksud satu dirham dan satu dinar, itu yang berlaku. Jika tidak, ia hanya wajib membayar satu dirham. Jika ia berkata, ‘Aku berutang satu dirham dan satu dirham,’ maka itu berarti dua dirham. Jika ia berkata, ‘Aku berutang satu dirham lalu satu dirham,’ maka dikatakan, ‘Jika yang engkau maksud adalah satu dirham yang mengikat,’ maka itu berarti satu dirham. Jika ia berkata, ‘Satu dirham di bawah satu dirham,’ atau ‘Satu dirham di atas satu dirham,’ maka ia wajib membayar satu dirham, karena mungkin yang dimaksud adalah ‘di atas satu dirham’ dalam hal kualitas atau ‘di bawahnya’ dalam hal buruknya. Demikian pula jika ia berkata, ‘Satu dirham bersama satu dirham,’ atau ‘Satu dirham bersamanya satu dinar,’ karena bisa saja ia bermaksud ‘bersama satu dinar’ untukku. Dan jika ia berkata, ‘Aku berutang satu dirham sebelum satu dirham,’ atau ‘setelahnya,’ maka ia wajib membayar dua dirham.”

 

 

وَلَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ قَفِيزُ حِنْطَةٍ مَعَهُ دِينَارٌ كَانَ عَلَيْهِ قَفِيزٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَقُولُ مَعَ دِينَارٍ لِي، وَلَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ قَفِيرٌ لَا بَلْ قَفِيزَانِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ إلَّا قَفِيزَانِ وَلَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دِينَارٌ لَا بَلْ قَفِيزُ حِنْطَةٍ كَانَ مُقِرًّا بِهِمَا ثَابِتًا عَلَى الْقَفِيزِ رَاجِعًا عَنْ الدِّينَارِ فَلَا يُقْبَلُ رُجُوعُهُ، وَلَوْ قَالَ لَهُ عَلَيَّ دِينَارٌ فَقَفِيزُ حِنْطَةٍ لَزِمَهُ الدِّينَارُ، وَلَمْ تَلْزَمْهُ الْحِنْطَةُ وَلَوْ أَقَرَّ لَهُ يَوْمَ السَّبْتِ بِدِرْهَمٍ وَأَقَرَّ لَهُ يَوْمَ الْأَحَدِ بِدِرْهَمٍ فَهُوَ دِرْهَمٌ.

 

 

Dan jika dia berkata kepadanya, “Atasku satu qafiz gandum beserta satu dinar,” maka yang wajib atasnya hanyalah satu qafiz, karena dia mungkin bermaksud, “Beserta satu dinar milikku.” Dan jika dia berkata, “Atasku satu qafir, tidak, dua qafiz,” maka yang wajib atasnya hanyalah dua qafiz. Dan jika dia berkata, “Atasku satu dinar, tidak, satu qafiz gandum,” maka dia telah mengakui keduanya, tetap pada qafiz, dan menarik kembali pengakuan dinar, maka penarikannya tidak diterima. Dan jika dia berkata, “Atasku satu dinar atau satu qafiz gandum,” maka yang wajib atasnya adalah dinar, dan gandum tidak wajib. Dan jika dia mengakui untuknya pada hari Sabtu satu dirham, dan mengakui untuknya pada hari Ahad satu dirham, maka itu dihitung sebagai satu dirham.

 

 

وَإِذَا قَالَ: لَهُ عَلَيَّ أَلْفُ دِرْهَمٍ وَدِيعَةً فَكَمَا قَالَ؛ لِأَنَّهُ وَصَلَ فَلَوْ سَكَتَ عَنْهُ ثُمَّ قَالَ مِنْ بَعْدِهِ هِيَ وَدِيعَةٌ، وَقَدْ هَلَكَتْ لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ حِينَ أَقَرَّ ضَمِنَ ثُمَّ ادَّعَى الْخُرُوجَ فَلَا يُصَدَّقُ. وَلَوْ قَالَ: لَهُ مِنْ مَالِي أَلْفُ دِرْهَمٍ سُئِلَ فَإِنْ قَالَ هِبَةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ؛ لِأَنَّهُ أَضَافَهَا إلَى نَفْسِهِ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يَتَبَيَّنَ فَلَا يَلْزَمُهُ إلَّا أَنْ يُقِرَّ وَرَثَتُهُ. وَلَوْ قَالَ لَهُ مِنْ دَارِي هَذِهِ نِصْفُهَا فَإِنْ قَالَ هِبَةٌ، فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ؛ لِأَنَّهُ أَضَافَهَا إلَى نَفْسِهِ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يَتَبَيَّنَ لَمْ يَلْزَمْهُ إلَّا أَنْ يُقِرَّ وَرَثَتُهُ. وَلَوْ قَالَ: لَهُ مِنْ هَذِهِ الدَّارِ نِصْفُهَا لَزِمَهُ مَا أَقَرَّ بِهِ وَلَوْ قَالَ هَذِهِ الدَّارُ لَك هِبَةٌ عَارِيَّةٌ أَوْ هِبَةٌ سُكْنَى كَانَ لَهُ أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْهَا مَتَى شَاءَ. وَلَوْ أَقَرَّ لِلْمَيِّتِ بِحَقٍّ وَقَالَ هَذَا ابْنُهُ وَهَذِهِ امْرَأَتُهُ قُبِلَ مِنْهُ.

 

 

Dan jika ia berkata: “Ada seribu dirham titipan miliknya padaku,” maka seperti yang ia katakan; karena ia telah menyampaikannya. Jika ia diam kemudian setelah itu berkata: “Itu titipan dan telah hilang,” perkataannya tidak diterima; karena ketika ia mengakui, ia telah menjamin, lalu mengklaim keluarganya, maka tidak dipercaya. Dan jika ia berkata: “Ada seribu dirham dari hartaku miliknya,” ia akan ditanya. Jika ia mengatakan itu hibah, maka perkataannya diterima; karena ia mengaitkannya pada dirinya. Jika ia meninggal sebelum jelas, maka tidak wajib kecuali ahli warisnya mengakuinya. Dan jika ia berkata: “Setengah dari rumahku ini miliknya,” jika ia mengatakan itu hibah, maka perkataannya diterima; karena ia mengaitkannya pada dirinya. Jika ia meninggal sebelum jelas, maka tidak wajib kecuali ahli warisnya mengakuinya. Dan jika ia berkata: “Setengah dari rumah ini miliknya,” maka ia wajib menunaikan apa yang diakuinya. Dan jika ia berkata: “Rumah ini hibah pinjaman atau hibah tempat tinggal untukmu,” maka ia berhak mengeluarkannya kapan saja. Dan jika ia mengakui hak mayit dan berkata: “Ini anaknya dan ini istrinya,” maka diterima darinya.

 

(قُلْت الْمُزَنِيّ) : هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِيمَا مَضَى مِنْ الْإِقْرَارِ بِالْوَكَالَةِ فِي الْمَالِ وَهَذَا عِنْدِي أَصَحُّ.

 

 

(Aku (Al-Muzani) berkata): Ini bertentangan dengan pernyataannya sebelumnya tentang pengakuan perwakilan dalam harta, dan menurutku ini lebih benar.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ: بِعْتُك جَارِيَتِي هَذِهِ فَأَوْلَدْتهَا. فَقَالَ: بَلْ زَوَّجْتنِيهَا وَهِيَ أَمَتُك فَوَلَدُهَا حُرٌّ وَالْأَمَةُ أُمُّ وَلَدٍ بِإِقْرَارِ السَّيِّدِ، وَإِنَّمَا ظَلَمَهُ بِالثَّمَنِ، وَيَحْلِفُ، وَيَبْرَأُ فَإِنْ مَاتَ فَمِيرَاثُهُ لِوَلَدِهِ مِنْ الْأَمَةِ وَوَلَاؤُهَا مَوْقُوفٌ. وَلَوْ قَالَ لَا أُقِرُّ، وَلَا أُنْكِرُ فَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ حَلَفَ صَاحِبَهُ مَعَ نُكُولِهِ وَاسْتَحَقَّ. وَلَوْ قَالَ وَهَبْت لَك هَذِهِ الدَّارَ وَقَبَضْتهَا ثُمَّ قَالَ لَمْ تَكُنْ قَبَضْتهَا فَأَحْلِفُ أَحَلَفْته لَقَدْ قَبَضَهَا فَإِنْ نَكَلَ رَدَدْت الْيَمِينَ عَلَى صَاحِبِهِ وَرَدَدْتهَا إلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَا تَتِمُّ الْهِبَةُ إلَّا بِالْقَبْضِ عَنْ رِضَا الْوَاهِبِ. وَلَوْ أَقَرَّ أَنَّهُ بَاعَ عَبْدَهُ مِنْ نَفْسِهِ بِأَلْفٍ فَإِنْ صَدَّقَهُ الْعَبْدُ عَتَقَ وَالْأَلْفُ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَنْكَرَ فَهُوَ حُرٌّ وَالسَّيِّدُ مُدَّعِي الْأَلْفِ وَعَلَى الْمُنْكِرِ الْيَمِينُ. وَلَوْ أَقَرَّ لِرَجُلٍ بِذِكْرِ حَقٍّ مِنْ بَيْعٍ ثُمَّ قَالَ: لَمْ أَقْبِضْ الْمَبِيعَ أَحَلَفْته مَا قَبَضَ، وَلَا يَلْزَمُهُ الثَّمَنُ إلَّا بِالْقَبْضِ، وَلَوْ شَهِدَ شَاهِدٌ عَلَى إقْرَارِهِ بِأَلْفٍ وَآخَرُ بِأَلْفَيْنِ فَإِنْ زَعَمَ الَّذِي شَهِدَ بِالْأَلْفِ أَنَّهُ شَكَّ فِي الْأَلْفَيْنِ وَأَثْبَتَ أَلْفًا فَقَدْ ثَبَتَ لَهُ أَلْفٌ بِشَاهِدَيْنِ فَإِنْ أَرَادَ الْأَلْفَ الْأُخْرَى حَلَفَ مَعَ شَاهِدِهِ وَكَانَتْ لَهُ. وَلَوْ قَالَ أَحَدُ الشَّاهِدَيْنِ مِنْ ثَمَنِ عَبْدٍ وَقَالَ الْآخَرُ مِنْ ثَمَنِ ثِيَابٍ فَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّ الْأَلْفَيْنِ غَيْرُ الْأَلْفِ فَلَا يَأْخُذُ إلَّا بِيَمِينٍ مَعَ كُلِّ شَاهِدٍ مِنْهُمَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Seandainya seseorang mengatakan, ‘Aku menjual budak perempuanku ini kepadamu lalu engkau menghamilinya,’ lalu yang lain menjawab, ‘Tidak, engkau menikahkannya kepadaku saat dia masih budakmu, maka anaknya merdeka dan budak perempuan itu menjadi ummu walad karena pengakuan tuannya. Dia hanya menzaliminya dengan harga budak itu, lalu dia bersumpah dan bebas. Jika dia meninggal, warisannya menjadi milik anaknya dari budak perempuan itu, dan perwaliannya tertahan. Jika dia berkata, ‘Aku tidak mengakui dan tidak mengingkari,’ lalu tidak mau bersumpah, maka pihak lain dapat bersumpah meskipun dia menolak, dan berhak. Seandainya dia berkata, ‘Aku menghadiahkan rumah ini kepadamu dan engkau telah menerimanya,’ lalu dia berkata, ‘Aku belum menerimanya,’ maka aku akan memintanya bersumpah. Jika dia menolak bersumpah, aku kembalikan sumpah kepada pihak lain dan mengembalikannya kepadanya, karena hibah tidak sah kecuali dengan penerimaan atas kerelaan pemberi. Jika seseorang mengaku telah menjual budaknya sendiri seharga seribu, lalu budak itu membenarkannya, maka budak itu merdeka dan seribu itu menjadi tanggungannya. Jika budak itu mengingkari, dia merdeka dan tuannya menuntut seribu, sedangkan yang mengingkari harus bersumpah. Jika seseorang mengakui hak seseorang dari transaksi jual beli, lalu dia berkata, ‘Aku belum menerima barangnya,’ maka aku akan memintanya bersumpah bahwa dia tidak menerimanya, dan harga tidak wajib kecuali dengan penerimaan. Jika seorang saksi bersaksi atas pengakuannya sebesar seribu dan saksi lain sebesar dua ribu, lalu saksi yang bersaksi seribu menyatakan ragu tentang dua ribu dan menetapkan seribu, maka seribu itu tetap sah dengan dua saksi. Jika dia menginginkan seribu lainnya, dia harus bersumpah bersama saksinya dan berhak mendapatkannya. Jika salah satu dari dua saksi mengatakan itu dari harga budak dan yang lain mengatakan dari harga pakaian, maka kami telah menjelaskan bahwa dua ribu berbeda dengan seribu, sehingga dia tidak bisa mengambilnya kecuali dengan sumpah bersama masing-masing saksi.”

 

 

وَلَوْ أَقَرَّ أَنَّهُ تَكَفَّلَ لَهُ بِمَالٍ عَلَى أَنَّهُ بِالْخِيَارِ وَأَنْكَرَ الْكُفُولُ لَهُ الْخِيَارَ فَمَنْ جَعَلَ الْإِقْرَارَ وَاحِدًا أَحْلَفَهُ عَلَى الْخِيَارِ وَأَبْرَأَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ بِخِيَارٍ، وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يُبَعِّضُ إقْرَارَهُ أَلْزَمَهُ مَا يَضُرُّهُ وَأَسْقَطَ مَا ادَّعَى الْمُخْرِجَ بِهِ.

 

 

Dan jika dia mengakui bahwa dia menjamin harta untuknya dengan syarat memiliki hak khiyar (pilihan), sementara pihak penjamin mengingkari hak khiyar tersebut, maka siapa yang menganggap pengakuannya sebagai satu kesatuan, akan menyumpahnya tentang hak khiyar dan membebaskannya, karena itu tidak diperbolehkan dengan khiyar. Sedangkan siapa yang berpendapat bahwa pengakuannya terpisah, akan memberatkannya dengan apa yang merugikannya dan menggugurkan apa yang diklaim oleh pihak yang mengeluarkan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَوْلُهُ الَّذِي لَمْ يَخْتَلِفْ أَنَّ الْإِقْرَارَ وَاحِدٌ وَكَذَا قَالَ فِي الْمُتَبَايِعَيْنِ إذَا اخْتَلَفَا فِي الْخِيَارِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْبَائِعِ مَعَ يَمِينِهِ، وَقَدْ قَالَ إذَا أَقَرَّ بِشَيْءٍ فَوَصَفَهُ وَوَصَلَهُ قُبِلَ قَوْلُهُ، وَلَمْ أَجْعَلْ قَوْلًا وَاحِدًا إلَّا حُكْمًا وَاحِدًا، وَمَنْ قَالَ أَجْعَلُهُ فِي الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ مُقِرًّا وَفِي الْأَجَلِ مُدَّعِيًا لَزِمَهُ إذَا أَقَرَّ بِدِرْهَمٍ نَقْدُ الْبَلَدِ فَإِنْ وَصَلَ إقْرَارُهُ بِأَنْ يَقُولَ طَبَرِيٌّ جَعَلَهُ مُدَّعِيًا؛ لِأَنَّهُ ادَّعَى نَقْصًا مِنْ وَزْنِ الدِّرْهَمِ، وَمِنْ عَيْنِهِ وَلَزِمَهُ لَوْ قَالَ: لَهُ عَلَيَّ أَلْفٌ إلَّا عَشَرَةً أَنْ يَلْزَمَهُ أَلْفًا وَلَهُ أَقَاوِيلُ كَذَا.

 

 

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata: Pendapatnya yang tidak diperselisihkan adalah bahwa pengakuan itu satu. Demikian pula ia berkata mengenai dua orang yang berjual beli ketika berselisih tentang hak khiyar, bahwa perkataan adalah milik penjual disertai sumpahnya. Ia juga berkata, “Jika seseorang mengaku sesuatu lalu mendeskripsikan dan menyambungkannya, maka perkataannya diterima. Aku tidak menjadikan satu perkataan kecuali dengan satu hukum.” Barangsiapa berpendapat, “Aku menjadikannya sebagai pengakuan dalam hal dirham dan dinar, tetapi sebagai klaim dalam hal tempo,” maka ia terbebani jika mengakui satu dirham yang merupakan mata uang negeri itu. Jika ia menyambung pengakuannya dengan mengatakan, “Tabari menjadikannya sebagai klaim,” karena ia mengklaim kekurangan pada timbangan atau fisik dirham, maka ia tetap terbebani. Seandainya ia berkata, “Ia berhak atas seribu dariku kecuali sepuluh,” maka ia tetap wajib menanggung seribu. Dan ia memiliki beberapa pendapat seperti itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ ضَمِنَ لَهُ عُهْدَةَ دَارٍ اشْتَرَاهَا وَخَلَاصَهَا وَاسْتُحِقَّتْ رَجَعَ بِالثَّمَنِ عَلَى الضَّامِنِ إنْ شَاءَ وَلَوْ أَقَرَّ أَعْجَمِيٌّ بِأَعْجَمِيَّةٍ كَانَ كَالْإِقْرَارِ بِالْعَرَبِيَّةِ وَلَوْ شَهِدُوا عَلَى إقْرَارِهِ، وَلَمْ يَقُولُوا بِأَنَّهُ صَحِيحُ الْعَقْلِ فَهُوَ عَلَى الصِّحَّةِ حَتَّى يَعْلَمَ غَيْرَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang menjamin tanggungan sebuah rumah yang dibelinya dan pembebasannya, lalu rumah itu diklaim oleh pihak lain, maka ia boleh menuntut kembali harganya kepada penjamin jika ia menghendaki. Jika seorang non-Arab mengakui ke-non-Arab-annya, maka itu seperti pengakuan dalam bahasa Arab. Jika para saksi bersaksi atas pengakuannya, dan mereka tidak menyebutkan bahwa akalnya sehat, maka pengakuan itu dianggap sah sampai diketahui adanya hal yang menyelisihinya.”

 

بَابُ إقْرَارِ الْوَارِثِ بِوَارِثٍ

Bab Pengakuan Ahli Waris terhadap Ahli Waris Lainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الَّذِي أَحْفَظُ مِنْ قَوْلِ الْمَدَنِيِّينَ فِيمَنْ تَرَكَ ابْنَيْنِ فَأَقَرَّ أَحَدُهُمَا بِأَخٍ أَنَّ نَسَبَهُ لَا يُلْحَقُ، وَلَا يَأْخُذُ شَيْئًا؛ لِأَنَّهُ أَقَرَّ لَهُ بِمَعْنًى إذَا ثَبَتَ وَرِثَ وَوَرَّثَ فَلَمَّا لَمْ يَثْبُتْ بِذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى لَمْ يَثْبُتْ لَهُ وَهَذَا أَصَحُّ مَا قِيلَ عِنْدَنَا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. وَذَلِكَ مِثْلُ أَنْ يُقِرَّ أَنَّهُ بَاعَ دَارًا مِنْ رَجُلٍ بِأَلْفٍ فَجَحَدَ الْمُقَرُّ لَهُ الْبَيْعَ فَلَمْ نُعْطِهِ الدَّارَ، وَإِنْ أَقَرَّ صَاحِبُهَا لَهُ وَذَلِكَ أَنَّهُ لَمْ يَقُلْ إنَّهَا مِلْكٌ لَهُ إلَّا، وَمَمْلُوكٌ عَلَيْهِ بِهَا شَيْءٌ فَلَمَّا سَقَطَ أَنْ يَكُونَ مَمْلُوكًا عَلَيْهِ سَقَطَ الْإِقْرَارُ لَهُ فَإِنْ أَقَرَّ جَمِيعُ الْوَرَثَةِ ثَبَتَ نَسَبُهُ وَوَرِثَ وَوَرَّثَ وَاحْتَجَّ بِحَدِيثِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي ابْنِ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ وَقَوْلُهُ «هُوَ لَك يَا عَبْدَ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ» وَقَالَ فِي الْمَرْأَةِ تَقْدُمُ مِنْ أَرْضِ الرُّومِ، وَمَعَهَا وَلَدٌ فَيَدَّعِيهِ رَجُلٌ بِأَرْضِ الْإِسْلَامِ أَنَّهُ ابْنُهُ، وَلَمْ يَكُنْ يَعْرِفُ أَنَّهُ خَرَجَ إلَى أَرْضِ الرُّومِ فَإِنَّهُ يُلْحَقُ بِهِ، وَإِذَا كَانَتْ لَهُ أَمَتَانِ لَا زَوْجَ لِوَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فَوَلَدَتَا وَلَدَيْنِ فَأَقَرَّ السَّيِّدُ أَنَّ أَحَدَهُمَا ابْنُهُ، وَلَمْ يُبَيِّنْ فَمَاتَ أَرَيْتُهُمَا الْقَافَةَ فَأَيَّهُمَا أَلْحَقُوهُ بِهِ جَعَلْنَاهُ ابْنَهُ وَوَرَّثْنَاهُ مِنْهُ وَجَعَلْنَا أُمَّهُ أُمَّ وَلَدٍ وَأَوْقَفْنَا ابْنَهُ الْآخَرَ وَأُمَّهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ قَافَةٌ لَمْ نَجْعَلْ وَاحِدًا مِنْهُمَا ابْنَهُ وَأَقْرَعْنَا بَيْنَهُمَا فَأَيُّهُمَا خَرَجَ سَهْمُهُ أَعْتَقْنَاهُ وَأُمَّهُ وَأَوْقَفْنَا الْآخَرَ وَأُمَّهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Apa yang aku hafal dari pendapat penduduk Madinah tentang seseorang yang meninggalkan dua anak laki-laki, lalu salah satunya mengakui memiliki saudara (lain), maka pengakuan nasabnya tidak sah dan dia tidak berhak mendapatkan apa pun. Karena pengakuannya mengandung makna bahwa jika terbukti, dia bisa mewarisi dan diwarisi. Ketika hal itu tidak terbukti baginya, maka tidak ada hak baginya. Ini adalah pendapat paling sahih menurut kami, wallahu a’lam.

 

Ini seperti seseorang yang mengaku telah menjual rumah kepada seseorang seharga seribu, lalu yang diakui mengingkari penjualan tersebut, maka kami tidak memberinya rumah itu meskipun pemiliknya mengakuinya. Sebab, dia tidak menyatakan bahwa rumah itu miliknya kecuali ada sesuatu yang dimilikinya atas rumah itu. Ketika kepemilikan itu gugur, maka pengakuannya juga gugur.

 

Jika semua ahli waris mengakui, maka nasabnya sah, dia bisa mewarisi dan diwarisi, dengan berdalil pada hadis Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang anak budak perempuan Zam’ah dan sabdanya, ‘Anak itu untukmu, wahai Abd bin Zam’ah. Anak itu milik pemilik kasur (suami), sedangkan pezina hanya berhak batu.’

 

Beliau juga berkata tentang seorang wanita yang datang dari negeri Romawi bersama seorang anak, lalu seorang lelaki di negeri Islam mengakuinya sebagai anaknya, padahal dia tidak tahu bahwa anak itu pergi ke negeri Romawi, maka anak itu dinasabkan kepadanya.

 

Jika seseorang memiliki dua budak perempuan yang tidak memiliki suami, lalu keduanya melahirkan dua anak, kemudian tuannya mengakui salah satunya sebagai anaknya tanpa menjelaskan yang mana, lalu dia meninggal, maka kami akan menunjuk ahli qafah (pengenal nasab). Siapa pun yang mereka nasabkan kepadanya, kami anggap sebagai anaknya, kami beri hak waris, dan kami jadikan ibunya sebagai umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya), sedangkan anak lainnya dan ibunya kami tahan.

 

Jika tidak ada ahli qafah, kami tidak akan menganggap salah satunya sebagai anaknya, lalu kami mengundi di antara mereka. Siapa pun yang keluar undiannya, kami merdekakan dia dan ibunya, sedangkan yang lainnya dan ibunya kami tahan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَسَمِعْت الشَّافِعِيَّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَقُولُ: لَوْ قَالَ عِنْدَ وَفَاتِهِ لِثَلَاثَةِ أَوْلَادٍ لِأَمَتِهِ أَحَدُ هَؤُلَاءِ وَلَدِي، وَلَمْ يُبَيِّنْ وَلَهُ ابْنٌ مَعْرُوفٌ يُقْرَعُ بَيْنَهُمْ فَمَنْ خَرَجَ سَهْمُهُ عَتَقَ، وَلَمْ يَثْبُتْ لَهُ نَسَبٌ، وَلَا مِيرَاثٌ وَأُمُّ الْوَلَدِ تُعْتَقُ بِأَحَدِ الثَّلَاثَةِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Aku mendengar Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Seandainya seseorang saat menjelang wafatnya mengatakan kepada tiga anak budak perempuannya, ‘Salah seorang dari mereka adalah anakku,’ tanpa menjelaskan lebih rinci, sementara dia memiliki seorang anak yang diketahui (dari istri yang sah), maka diadakan undian di antara mereka. Siapa yang keluar undiannya, dia merdeka, tetapi tidak tetap nasabnya dan tidak mendapat warisan. Sedangkan ummul walad (ibu si anak) merdeka karena salah satu dari ketiganya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَلْزَمُهُ عَلَى أَصْلِهِ الْمَعْرُوفِ أَنْ يَجْعَلَ لِلِابْنِ الْمَجْهُولِ مُورِثًا مَوْقُوفًا يُمْنَعُ مِنْهُ الِابْنُ الْمَعْرُوفُ وَلَيْسَ جَهْلُنَا بِأَيُّهَا الِابْنُ جَهْلًا بِأَنَّ فِيهِمْ ابْنًا، وَإِذَا عَقَلْنَا أَنَّ فِيهِمْ ابْنًا فَقَدْ عَلِمْنَا أَنَّ لَهُ مَوْرِثَ ابْنٍ، وَلَوْ كَانَ جَهْلُنَا بِأَيِّهِمْ الِابْنُ جَهْلًا بِأَنَّ فِيهِمْ ابْنًا لَجَهِلْنَا بِذَلِكَ أَنَّ فِيهِمْ حُرًّا وَبِيعُوا جَمِيعًا وَأَصْلُ الشَّافِعِيِّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَوْ طَلَّقَ نِسَاءَهُ إلَّا وَاحِدَةً ثَلَاثًا ثَلَاثًا، وَلَمْ يُبَيِّنْ أَنَّهُ يُوقَفُ مُورِث وَاحِدَةٍ حَتَّى يَصْطَلِحْنَ، وَلَمْ يُجْعَلْ جَهْلُهُ بِهَا جَهْلًا بِمُورِثِهَا وَهَذَا وَذَاكَ عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ سَوَاءٌ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Berdasarkan prinsipnya yang dikenal, ia wajib menjadikan untuk anak yang tidak diketahui seorang pewaris yang ditahan, sehingga anak yang dikenal terhalang darinya. Ketidaktahuan kita tentang mana yang merupakan anak bukan berarti kita tidak tahu bahwa di antara mereka ada anak. Jika kita memahami bahwa di antara mereka ada anak, maka kita tahu bahwa ia memiliki pewaris anak. Seandainya ketidaktahuan kita tentang mana yang anak berarti kita tidak tahu bahwa di antara mereka ada anak, niscaya kita juga tidak tahu bahwa di antara mereka ada orang merdeka, sehingga mereka semua dijual. Prinsip Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – adalah jika seseorang menceraikan istrinya kecuali satu dengan tiga talak, dan tidak dijelaskan bahwa pewaris satu istri ditahan sampai mereka berdamai, serta ketidaktahuannya tentang istri tersebut tidak dianggap sebagai ketidaktahuan tentang pewarisnya. Menurutku, hal ini dan itu dalam qiyas adalah sama.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَأَقُولُ أَنَا فِي الثَّلَاثَةِ الْأَوْلَادِ: إنْ كَانَ الْأَكْبَرُ هُوَ الِابْنَ؛ فَهُوَ حُرٌّ وَالْأَصْغَرُ وَالْأَوْسَطُ حُرَّانِ بِأَنَّهُمَا ابْنَا أُمِّ وَلَدٍ، وَإِنْ كَانَ الْأَوْسَطُ هُوَ الِابْنَ فَهُوَ حُرٌّ، وَالْأَصْغَرُ حُرٌّ بِأَنَّهُ ابْنُ أُمِّ وَلَدٍ، وَإِنْ كَانَ الْأَصْغَرُ هُوَ الِابْنُ فَهُوَ حُرٌّ بِالْبُنُوَّةِ فَالْأَصْغَرُ عَلَى كُلِّ حَالٍ حُرٌّ لَا شَكَّ فِيهِ فَكَيْفَ يَرِقُّ إذَا وَقَعَتْ عَلَيْهِ الْقُرْعَةُ بِالرِّقِّ وَتُمْكِنُ حُرِّيَّةُ الْأَوْسَطِ فِي حَالَيْنِ، وَيَرِقُّ فِي حَالٍ وَتُمْكِنُ حُرِّيَّةُ الْأَكْبَرِ فِي حَالٍ، وَيَرِقُّ فِي حَالَيْنِ، وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَا رَقِيقَيْنِ لِلِابْنِ الْمَعْرُوفِ وَالِابْنِ الْمَجْهُولِ نِصْفَيْنِ، وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ الِابْنُ هُوَ الْأَكْبَرُ فَيَكُونَ الثَّلَاثَةُ أَحْرَارًا فَالْقِيَاسُ عِنْدِي عَلَى مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنْ أُعْطِيَ الْيَقِينَ وَأَقِفَ الشَّكَّ فَلِلِابْنِ الْمَعْرُوفِ نِصْفُ الْمِيرَاثِ؛ لِأَنَّهُ وَاَلَّذِي أَقَرَّ بِهِ ابْنَانِ فَلَهُ النِّصْفُ وَالنِّصْفُ الْآخَرُ مَوْقُوفٌ حَتَّى يَعْرِفَ أَوْ يَصْطَلِحُوا وَالْقِيَاسُ عَلَى مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيُّ الْوَقْفُ إذَا لَمْ أَدْرِ أَهُمَا عَبْدَانِ أَوْ حُرَّانِ أَمْ عَبْدٌ وَحُرٌّ أَنْ يُوقَفَا، وَمُورِث ابْنٍ حَتَّى يَصْطَلِحُوا.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata, dan aku berpendapat mengenai tiga anak: Jika yang tertua adalah anak (dari pemilik budak), maka dia merdeka, sedangkan yang termuda dan yang tengah merdeka karena keduanya adalah anak dari umm walad. Jika yang tengah adalah anak, maka dia merdeka, dan yang termuda merdeka karena dia anak dari umm walad. Jika yang termuda adalah anak, maka dia merdeka karena status sebagai anak. Jadi, yang termuda dalam segala kondisi merdeka tanpa keraguan. Bagaimana mungkin dia menjadi budak jika undian jatuh padanya untuk status perbudakan? Kebebasan yang tengah mungkin dalam dua kondisi, dan dia menjadi budak dalam satu kondisi. Kebebasan yang tertua mungkin dalam satu kondisi, dan dia menjadi budak dalam dua kondisi. Ada kemungkinan keduanya menjadi budak bagi anak yang dikenal dan anak yang tidak dikenal, masing-masing setengah. Ada juga kemungkinan anak adalah yang tertua, sehingga ketiganya merdeka. Menurut qiyas-ku berdasarkan makna perkataan Syafi’i, aku memberikan yang pasti dan menangguhkan yang meragukan. Untuk anak yang dikenal, setengah warisan karena dia dan dua anak yang diakui berhak mendapat setengah. Setengah lainnya ditangguhkan sampai diketahui atau mereka berdamai. Qiyas berdasarkan makna perkataan Syafi’i adalah menangguhkan jika aku tidak tahu apakah keduanya budak, merdeka, atau satu budak dan satu merdeka, hingga mereka berdamai. Pewaris anak ditangguhkan sampai mereka berdamai.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَتَجُوزُ الشَّهَادَةُ أَنَّهُمْ لَا يَعْرِفُونَ لَهُ وَارِثًا غَيْرَ فُلَانٍ إذَا كَانُوا مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ الْبَاطِنَةِ، وَإِنْ قَالُوا بَلَغْنَا أَنَّ لَهُ وَارِثًا غَيْرَهُ لَمْ يُقْسَمْ الْمِيرَاثُ حَتَّى يُعْلَمَ كَمْ هُوَ فَإِنْ تَطَاوَلَ ذَلِكَ دُعِيَ الْوَارِثُ بِكَفِيلٍ لِلْمِيرَاثِ، وَلَا تَجْبُرُهُ، وَإِنْ قَالُوا: لَا وَارِثَ غَيْرَهُ قُبِلَتْ عَلَى مَعْنًى لَا نَعْلَمُ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ مِنْهُمْ عَلَى الْإِحَاطَةِ كَانَ خَطَأً، وَلَمْ أُرِدْهُمْ بِهِ؛ لِأَنَّهُ يَؤُولُ بِهِمْ إلَى الْعِلْمِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dan diperbolehkan memberikan kesaksian bahwa mereka tidak mengetahui ahli waris selain si fulan jika mereka termasuk orang yang memiliki pengetahuan mendalam. Namun, jika mereka berkata, ‘Kami mendengar bahwa dia memiliki ahli waris selain itu,’ maka harta warisan tidak boleh dibagi hingga diketahui berapa jumlahnya. Jika hal itu berlarut-larut, ahli waris dipanggil dengan jaminan untuk harta warisan, dan itu tidak memaksanya. Jika mereka berkata, ‘Tidak ada ahli waris selain dia,’ maka kesaksian itu diterima dengan makna yang tidak kita ketahui. Jika hal itu dari mereka berdasarkan pengetahuan menyeluruh, maka itu salah, dan aku tidak memaksudkan mereka dengan itu, karena hal itu akan mengantarkan mereka kepada ilmu.”

كِتَابُ الْعَارِيَّةِ

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَكُلُّ عَارِيَّةٍ مَضْمُونَةٌ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ، وَإِنْ تَلِفَتْ مِنْ غَيْرِ فِعْلِهِ «اسْتَعَارَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ صَفْوَانَ سِلَاحَهُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَارِيَّةٌ مَضْمُونَةٌ مُؤَدَّاةٌ» وَقَالَ مَنْ لَا يَضْمَنُ الْعَارِيَّةَ فَإِنْ قُلْنَا إذَا اشْتَرَطَ الْمُسْتَعِيرُ الضَّمَانَ ضَمِنَ قُلْت إذًا تَتْرُكُ قَوْلَك قَالَ وَأَيْنَ؟ قُلْت مَا تَقُولُ فِي الْوَدِيعَةِ إذَا اشْتَرَطَ الْمُسْتَوْدِعُ أَوْ الْمُضَارِبُ الضَّمَانَ أَهُوَ ضَامِنٌ؟ قَالَ لَا يَكُونُ ضَامِنًا قُلْت فَإِنْ اشْتَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ أَنَّهُ غَيْرُ ضَامِنٍ أَيَبْرَأُ؟ قَالَ لَا قُلْت، وَيَرُدُّ مَا لَيْسَ بِمَضْمُونٍ إلَى أَصْلِهِ، وَمَا كَانَ مَضْمُونًا إلَى أَصْلِهِ، وَيَبْطُلُ الشَّرْطُ فِيهِمَا؟ قَالَ نَعَمْ. قُلْت: وَكَذَلِكَ يَنْبَغِي أَنْ تَقُولَ فِي الْعَارِيَّةِ وَكَذَلِكَ شَرَطَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَا يُشْتَرَطُ أَنَّهَا مَضْمُونَةٌ لِمَا لَا يُضْمَنُ قَالَ فَلِمَ شَرَطَ؟ قُلْت لِجَهَالَةِ صَفْوَانَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ كَانَ مُشْرِكًا لَا يَعْرِفُ الْحُكْمَ وَلَوْ عَرَفَهُ مَا ضَرَّهُ شَرْطُهُ لَهُ قَالَ: فَهَلْ قَالَ هَذَا أَحَدٌ؟ قُلْت: فِي هَذَا كِفَايَةٌ، وَقَدْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ إنَّ الْعَارِيَّةَ مَضْمُونَةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Setiap barang pinjaman menjadi tanggungan orang yang meminjam, meskipun rusak tanpa perbuatannya. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah meminjam senjata dari Shafwan, lalu beliau bersabda kepadanya: ‘Ini pinjaman yang dijamin dan akan dikembalikan.'” Orang yang berpendapat bahwa pinjaman tidak dijamin, jika kita katakan bahwa ketika peminjam mensyaratkan jaminan maka ia menanggung, maka engkau meninggalkan pendapatmu. Dia bertanya: “Di mana?” Aku menjawab: “Apa pendapatmu tentang titipan jika penerima titipan atau mudharib mensyaratkan jaminan, apakah ia menanggung?” Beliau berkata: “Tidak menanggung.” Aku bertanya: “Jika mensyaratkan kepada peminjam bahwa ia tidak menanggung, apakah ia terbebas?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Dan mengembalikan yang tidak dijamin kepada asalnya, serta yang dijamin kepada asalnya, dan syarat itu batal pada keduanya?” Dia menjawab: “Ya.” Aku berkata: “Demikian pula seharusnya engkau katakan dalam pinjaman. Dan demikian pula Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mensyaratkan, padahal tidak disyaratkan jaminan untuk sesuatu yang tidak dijamin.” Dia bertanya: “Lalu mengapa beliau mensyaratkan?” Aku menjawab: “Karena ketidaktahuan Shafwan tentang hal itu; sebab ia seorang musyrik yang tidak mengetahui hukum. Seandainya ia mengetahuinya, syarat itu tidak membahayakannya.” Dia bertanya: “Apakah ada yang mengatakan ini?” Aku menjawab: “Ini sudah cukup. Ibnu Abbas dan Abu Hurairah telah mengatakan bahwa pinjaman itu dijamin.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَالَ رَبُّ الدَّابَّةِ أَكْرَيْتُكَهَا إلَى مَوْضِعِ كَذَا وَكَذَا وَقَالَ الرَّاكِبُ بَلْ عَارِيَّةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الرَّاكِبِ مَعَ يَمِينِهِ وَلَوْ قَالَ أَعَرْتنِيهَا وَقَالَ رَبُّهَا غَصَبْتنِيهَا كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَ الْمُسْتَعِيرِ.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya pemilik hewan tunggangan berkata, ‘Aku menyewakannya kepadamu sampai tempat ini dan itu,’ sedangkan penunggangnya berkata, ‘Tidak, ini pinjaman,’ maka perkataan penunggang yang diterima disertai sumpahnya. Dan jika penunggang berkata, ‘Kamu meminjamkannya kepadaku,’ sementara pemiliknya berkata, ‘Kamu merampasnya dariku,’ maka perkataan peminjam yang diterima.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا عِنْدِي خِلَافُ أَصْلِهِ؛ لِأَنَّهُ يَجْعَلُ مَنْ سَكَنَ دَارَ رَجُلٍ كَمَنْ تَعَدَّى عَلَى سِلْعَتِهِ فَأَتْلَفَهَا فَلَهُ قِيمَةُ السُّكْنَى، وَقَوْلُهُ مَنْ أَتْلَفَ شَيْئًا ضَمِنَ، وَمَنْ ادَّعَى الْبَرَاءَةَ لَمْ يَبْرَأْ فَهَذَا مُقِرٌّ بِأَخْذِ سُكْنَى وَرُكُوبِ دَابَّةٍ، وَمُدَّعٍ الْبَرَاءَةَ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ وَعَلَى الْمُنْكِرِ رَبِّ الدَّابَّةِ وَالدَّارِ الْيَمِينُ، وَيَأْخُذُ الْقِيمَةَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini menurutku bertentangan dengan prinsip dasarnya; karena ia menyamakan orang yang menempati rumah seseorang dengan orang yang merusak barangnya lalu menghancurkannya, sehingga ia berhak mendapatkan nilai sewa. Ucapannya ‘barangsiapa merusak sesuatu, ia menanggungnya’, dan ‘barangsiapa mengklaim kebebasan (dari tanggungan), tidaklah ia terbebas’. Maka ini adalah pengakuan atas pengambilan tempat tinggal dan penggunaan hewan tunggangan, serta klaim kebebasan (dari tanggungan). Maka ia harus mendatangkan bukti, sedangkan pemilik hewan tunggangan dan rumah yang mengingkari harus bersumpah, lalu ia mengambil nilainya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَنْ تَعَدَّى فِي وَدِيعَةٍ ثُمَّ رَدَّهَا إلَى مَوْضِعِهَا الَّذِي كَانَتْ فِيهِ ضَمِنَ؛ لِأَنَّهُ خَرَجَ مِنْ الْأَمَانَةِ، وَلَمْ يُحْدِثْ لَهُ رَبُّ الْمَالِ اسْتِئْمَانًا فَلَا يَبْرَأُ حَتَّى يَدْفَعَهَا إلَيْهِ، وَإِذَا أَعَارَهُ بُقْعَةً يَبْنِي فِيهَا بِنَاءً لَمْ يَكُنْ لِصَاحِبِ الْبُقْعَةِ أَنْ يُخْرِجَهُ حَتَّى يُعْطِيَهُ قِيمَةَ بِنَائِهِ قَائِمًا يَوْمَ يُخْرِجُهُ، وَلَوْ وَقَّتَ لَهُ وَقْتًا وَكَذَلِكَ لَوْ أَذِنَ لَهُ فِي الْبِنَاءِ مُطْلَقًا وَلَكِنْ لَوْ قَالَ فَإِنْ انْقَضَى الْوَقْتُ كَانَ عَلَيْك أَنْ تَنْقُضَ بِنَاءَك كَانَ ذَلِكَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَغُرَّهُ إنَّمَا غَرَّ نَفْسَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Barangsiapa melampaui batas dalam titipan kemudian mengembalikannya ke tempat semula, maka ia tetap menanggung (bertanggung jawab); karena ia telah keluar dari amanah, dan pemilik harta tidak memberikan kepercayaan baru kepadanya, sehingga ia tidak terbebas sampai menyerahkannya kepada pemilik. Jika seseorang meminjamkan sebidang tanah untuk dibangun, pemilik tanah tidak boleh mengusirnya sampai memberikan nilai bangunan yang masih berdiri pada hari pengusiran, meskipun telah ditentukan waktu pinjamannya. Demikian pula jika diizinkan membangun tanpa batas waktu. Namun jika dikatakan ‘Jika waktu telah habis, kamu harus merobohkan bangunanmu’, maka itu menjadi tanggung jawabnya; karena ia tidak tertipu, melainkan menipu dirinya sendiri.”

كِتَابُ الْغَصْبِ

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا شَقَّ رَجُلٌ لِرَجُلٍ ثَوْبًا شَقًّا صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا يَأْخُذُ مَا بَيْنَ طَرَفَيْهِ طُولًا وَعَرْضًا أَوْ كَسَرَ لَهُ شَيْئًا كَسْرًا صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا أَوْ رَضَّضَهُ أَوْ جَنَى لَهُ عَلَى مَمْلُوكٍ فَأَعْمَاهُ أَوْ شَجَّهُ مُوضِحَةً فَذَلِكَ كُلُّهُ سَوَاءٌ، وَيُقَوَّمُ الْمَتَاعُ كُلُّهُ، وَالْحَيَوَانُ غَيْرُ الرَّقِيقِ صَحِيحًا، وَمَكْسُورًا أَوْ صَحِيحًا، وَمَجْرُوحًا قَدْ بَرِئَ مِنْ جُرْحِهِ ثُمَّ يُعْطِي مَالِكَ ذَلِكَ مَا بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ، وَيَكُونُ مَا بَقِيَ بَعْدَ الْجِنَايَةِ لِصَاحِبِهِ نَفَعَهُ أَوْ لَمْ يَنْفَعْهُ فَأَمَّا مَا جَنَى عَلَيْهِ مِنْ الْعَبْدِ فَيُقَوَّمُ صَحِيحًا قَبْلَ الْجِنَايَةِ ثُمَّ يُنْظَرُ إلَى الْجِنَايَةِ فَيُعْطَى أَرْشُهَا مِنْ قِيمَةِ الْعَبْدِ صَحِيحًا كَمَا يُعْطَى الْحُرُّ مِنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ مِنْ دِيَتِهِ بَالِغًا ذَلِكَ مَا بَلَغَ، وَلَوْ كَانَتْ قِيَمًا كَمَا يَأْخُذُ الْحُرُّ دِيَاتٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seseorang merobek pakaian orang lain, baik robekan kecil atau besar, ia harus mengambil ukuran panjang dan lebar antara kedua ujungnya. Atau jika ia memecahkan sesuatu milik orang lain, baik pecahan kecil atau besar, atau merusaknya, atau melakukan tindakan merugikan terhadap budak hingga membuatnya buta atau melukainya dengan luka yang jelas, maka semua itu sama. Barang tersebut dinilai seluruhnya, begitu pula hewan (selain budak) dalam keadaan sehat, rusak, atau terluka yang telah sembuh dari lukanya. Kemudian pemiliknya diberi selisih antara kedua nilai (sebelum dan sesudah kerusakan). Sisanya setelah kerusakan tetap menjadi milik pemiliknya, baik bermanfaat atau tidak. Adapun kerusakan yang dilakukan terhadap budak, maka budak dinilai dalam keadaan sehat sebelum kerusakan, lalu dilihat tingkat kerusakannya. Pemilik diberi kompensasi sesuai nilai budak dalam keadaan sehat, sebagaimana orang merdeka diberi kompensasi dari diyatnya, berapa pun jumlahnya, meskipun berupa nilai-nilai seperti halnya orang merdeka menerima diyat.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَكَيْفَ غَلِطَ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ إنْ جَنَى عَلَى عَبْدِي فَلَمْ يُفْسِدْهُ أَخَذْته وَقِيمَةَ مَا نَقَصَهُ، وَإِنْ زَادَ الْجَانِي مَعْصِيَةَ اللَّهِ – تَعَالَى – فَأَفْسَدَهُ سَقَطَ حَقِّي إلَّا أَنْ أُسْلِمَهُ يَمْلِكُهُ الْجَانِي فَيَسْقُطُ حَقِّي بِالْفَسَادِ حِينَ عَظُمَ، وَيَثْبُتُ حِينَ صَغُرَ، وَيَمْلِكُ عَلَيَّ حِينِ عَصَى فَأَفْسَدَ فَلَمْ يَمْلِكْ بَعْضًا بِبَعْضِ مَا أَفْسَدَ وَهَذَا الْقَوْلُ خِلَافٌ لِأَصْلِ حُكْمِ اللَّهِ – تَعَالَى – بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ فِي أَنَّ الْمَالِكِينَ عَلَى مِلْكِهِمْ لَا يَمْلِكُ عَلَيْهِمْ إلَّا بِرِضَاهُمْ وَخِلَافُ الْمَعْقُولِ وَالْقِيَاسِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Bagaimana mungkin salah orang yang mengira bahwa jika seseorang merusak budakku tanpa menghancurkannya, aku mengambilnya beserta nilai kerugiannya. Tetapi jika si perusak menambah maksiat kepada Allah—Ta’ala—hingga menghancurkannya, hakku gugur kecuali jika aku menyerahkannya sehingga si perusak memilikinya. Maka hakku gugur karena kerusakan ketika besar, tetapi tetap ada ketika kecil. Ia berkuasa atasku saat bermaksiat dan merusak, namun tidak memiliki sebagian dengan sebagian lainnya dari apa yang dirusaknya. Pendapat ini bertentangan dengan dasar hukum Allah—Ta’ala—di antara kaum Muslimin bahwa pemilik tetap pada kepemilikannya, dan tidak ada yang berkuasa atasnya kecuali dengan kerelaan mereka, serta bertentangan dengan akal dan qiyas.

 

(قَالَ) : وَلَوْ غَصَبَ جَارِيَةً تُسَاوِي مِائَةً فَزَادَتْ فِي يَدِهِ بِتَعْلِيمٍ مِنْهُ أَوْ لِسِمَنٍ وَاعْتِنَاءٍ مِنْ مَالِهِ حَتَّى صَارَتْ تُسَاوِي أَلْفًا ثُمَّ نَقَصَتْ حَتَّى صَارَتْ تُسَاوِي مِائَةً فَإِنَّهُ يَأْخُذُهَا وَتِسْعَمِائَةٍ مَعَهَا كَمَا تَكُونُ لَهُ لَوْ غَصَبَهُ إيَّاهَا وَهِيَ تُسَاوِي أَلْفًا فَنَقَصَتْ تِسْعَمِائَةٍ وَكَذَلِكَ هَذَا فِي الْبَيْعِ الْفَاسِدِ وَالْحُكْمُ فِي وَلَدِهَا الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الْغَصْبِ كَالْحُكْمِ فِي بَدَنِهَا، وَلَوْ بَاعَهَا الْغَاصِبُ فَأَوْلَدَهَا الْمُشْتَرِي ثُمَّ اسْتَحَقَّهَا الْمَغْصُوبُ أُخِذَ مِنْ الْمُشْتَرِي مَهْرَهَا وَقِيمَتَهَا إنْ كَانَتْ مَيْتَةً وَأَخَذَهَا إنْ كَانَتْ حَيَّةً وَأَخَذَ مِنْهُ قِيمَةَ أَوْلَادِهَا يَوْمَ سَقَطُوا أَحْيَاءَ، وَلَا يَرْجِعُ عَلَيْهِ بِقِيمَةِ مَنْ سَقَطَ مَيِّتًا، وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي عَلَى الْغَاصِبِ بِجَمِيعِ مَا ضَمِنَهُ مِنْ قِيمَةِ الْوَلَدِ؛ لِأَنَّهُ غَرَّهُ، وَلَا أَرُدُّهُ بِالْمَهْرِ؛ لِأَنَّهُ كَالشَّيْءِ يُتْلِفُهُ فَلَا يَرْجِعُ بِغُرْمِهِ عَلَى غَيْرِهِ، وَإِذَا كَانَ الْغَاصِبُ هُوَ الَّذِي أَوْلَدَهَا أَخَذَهَا، وَمَا نَقَصَهَا، وَمَهْرَ مِثْلِهَا وَجَمِيعَ وَلَدِهَا وَقِيمَةَ مَنْ كَانَ مِنْهُمْ مَيِّتًا وَعَلَيْهِ الْحَدُّ إنْ لَمْ يَأْتِ بِشُبْهَةٍ فَإِنْ كَانَ ثَوْبًا فَأَبْلَاهُ الْمُشْتَرِي أَخَذَهُ مِنْ الْمُشْتَرِي، وَمَا بَيْنَ قِيمَتِهِ صَحِيحًا يَوْمَ غَصْبِهِ وَبَيْنَ قِيمَتِهِ، وَقَدْ أَبْلَاهُ، وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي عَلَى الْغَاصِبِ بِالثَّمَنِ الَّذِي دَفَعَ وَلَسْت أَنْظُرُ فِي الْقِيمَةِ إلَى تَغَيُّرِ الْأَسْوَاقِ، وَإِنَّمَا أَنْظُرُ إلَى تَغَيُّرِ الْأَبْدَانِ، وَإِنْ كَانَ الْمَغْصُوبُ دَابَّةً فَشَغَلَهَا الْغَاصِبُ أَوْ لَمْ يَشْغَلْهَا أَوْ دَارًا فَسَكَنَهَا أَوْ أَكْرَاهَا أَوْ لَمْ يَسْكُنْهَا، وَلَمْ يُكْرِهَا فَعَلَيْهِ كِرَاءٌ مِثْلُ كِرَاءِ ذَلِكَ مِنْ حِينِ أَخَذَهُ حَتَّى يَرُدَّهُ وَلَيْسَ الْغَلَّةُ بِالضَّمَانِ إلَّا لِلْمَالِكِ الَّذِي قَضَى لَهُ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya seseorang merampas seorang budak perempuan yang bernilai seratus, lalu nilainya bertambah di tangannya karena diajari atau menjadi gemuk dan dirawat dengan hartanya hingga bernilai seribu, kemudian nilainya berkurang hingga kembali menjadi seratus, maka dia harus mengembalikan budak tersebut beserta sembilan ratus (sebagai kompensasi), sebagaimana jika dia merampasnya saat bernilai seribu lalu nilainya berkurang sembilan ratus. Hukum ini juga berlaku dalam jual beli yang fasid. Hukum terhadap anak-anaknya yang lahir selama masa perampasan sama seperti hukum terhadap tubuh budak tersebut. Jika si perampas menjual budak itu lalu pembelinya menghamili budak tersebut, kemudian pemilik aslinya berhasil merebut kembali haknya, maka diambil dari pembeli mahar dan nilainya jika budak itu sudah mati. Jika masih hidup, budak itu diambil, dan juga diambil darinya nilai anak-anaknya pada hari mereka dilahirkan hidup. Namun, tidak boleh menuntut nilai anak yang lahir mati. Pembeli boleh menuntut balik si perampas atas semua yang dia tanggung terkait nilai anak, karena si perampas telah menipunya. Pembeli tidak boleh menuntut balik mahar, karena itu seperti sesuatu yang dia rusak sehingga tidak boleh menuntut kerugiannya kepada orang lain. Jika si perampas sendiri yang menghamili budak itu, maka dia harus mengembalikan budak tersebut, selisih nilai yang berkurang, mahar budak sepadan, semua anaknya, dan nilai anak yang mati. Dia juga dikenai hukuman had jika tidak memiliki syubhat. Jika yang dirampas adalah pakaian lalu pembeli memakainya hingga rusak, maka diambil dari pembeli selisih antara nilai pakaian saat dirampas dalam kondisi baik dan nilai setelah rusak. Pembeli boleh menuntut balik si perampas atas harga yang dia bayar. Aku tidak mempertimbangkan perubahan harga pasar dalam penilaian, melainkan hanya perubahan kondisi fisik. Jika yang dirampas adalah hewan tunggangan, baik si perampas menggunakannya atau tidak, atau rumah yang dia tinggali atau sewakan atau tidak dia tinggali dan tidak dia sewakan, maka dia wajib membayar sewa yang setara sejak dia mengambilnya hingga mengembalikannya. Hasil (ghallah) tidak termasuk dalam tanggungan kecuali untuk pemilik yang telah diputuskan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -.”

 

وَأَدْخَلَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – عَلَى مَنْ قَالَ إنَّ الْغَاصِبَ إذَا ضَمِنَ سَقَطَ عَنْهُ الْكِرَاءُ قَوْلُهُ إذَا اكْتَرَى قَمِيصًا فائتزر بِهِ أَوْ بَيْتًا فَنَصَبَ فِيهِ رَحًى أَنَّهُ ضَامِنٌ وَعَلَيْهِ الْكِرَاءُ. قَالَ: وَلَوْ اسْتَكْرَهَ أَمَةً أَوْ حُرَّةً فَعَلَيْهِ الْحَدُّ وَالْمَهْرُ، وَلَا مَعْنَى لِلْجِمَاعِ إلَّا فِي مَنْزِلَتَيْنِ إحْدَاهُمَا: أَنْ تَكُونَ هِيَ زَانِيَةٌ مَحْدُودَةٌ فَلَا مَهْرَ لَهَا، وَمَنْزِلَةٌ تَكُونُ مُصَابَةً بِنِكَاحٍ فَلَهَا مَهْرُهَا، وَمَنْزِلَةٌ تَكُونُ شُبْهَةً بَيْنَ النِّكَاحِ الصَّحِيحِ وَالزِّنَا الصَّرِيحِ فَلَمَّا لَمْ يَخْتَلِفُوا أَنَّهَا إذَا أُصِيبَتْ بِنِكَاحٍ فَاسِدٍ أَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهَا وَلَهَا الْمَهْرُ عِوَضًا مِنْ الْجِمَاعِ انْبَغَى أَنْ يَحْكُمُوا لَهَا إذَا اُسْتُكْرِهَتْ بِمَهْرٍ عِوَضًا مِنْ الْجِمَاعِ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تُبِحْ نَفْسَهَا فَإِنَّهَا أَحْسَنُ حَالًا مِنْ الْعَاصِيَةِ بِنِكَاحٍ فَاسِدٍ إذَا كَانَتْ عَالِمَةً.

 

 

Imam Syafi’i—rahimahullah—menanggapi pendapat orang yang mengatakan bahwa jika seorang perampas telah menjamin (ganti rugi), maka sewa menjadi gugur darinya. Beliau berargumen: Jika seseorang menyewa baju lalu menggunakannya sebagai sarung, atau menyewa rumah lalu memasang penggilingan di dalamnya, maka ia tetap wajib mengganti dan membayar sewa. Beliau juga berkata: Jika seseorang memaksa seorang budak perempuan atau wanita merdeka untuk berhubungan, maka ia wajib menerima hukuman had dan membayar mahar. Hubungan intim hanya memiliki makna dalam dua kondisi: pertama, jika wanita itu pezina yang dihukum had, maka ia tidak berhak mendapat mahar; kedua, jika wanita itu dinikahi secara sah, maka ia berhak mendapat mahar. Ada pula kondisi ketiga, yaitu ketika berada di antara pernikahan sah dan zina yang jelas. Karena para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita dinikahi secara fasid (tidak sah), ia tidak dihukum had dan berhak mendapat mahar sebagai ganti dari hubungan intim, maka seharusnya mereka juga memutuskan bahwa jika seorang wanita dipaksa, ia berhak mendapat mahar sebagai ganti dari hubungan intim. Sebab, ia tidak menyerahkan dirinya secara sukarela, dan keadaannya lebih baik daripada wanita yang bermaksiat dengan nikah fasid jika ia mengetahui (ketidaksahan nikah tersebut).

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – tentang pencurian ada dua hukum: salah satunya adalah hak Allah – Azza wa Jalla – dan yang lainnya adalah hak manusia. Jika hukuman potong tangan dilaksanakan karena hak Allah – Ta’ala -, maka barang yang dicuri harus dikembalikan kepada pemiliknya. Jika barang tersebut tidak bisa dikembalikan, maka harus dibayar nilainya, karena aku tidak menemukan seorang pun yang menjamin harta tertentu yang diambil secara paksa atau zalim lalu hilang, kecuali dia harus menanggung nilainya. Dan aku tidak menemukan perbedaan dalam hal ini antara orang yang mampu dan yang tidak mampu.

 

Dalam kasus pemerkosaan: ada dua hukum. Salah satunya adalah hak Allah dan yang lainnya adalah hak perempuan yang diperkosa, dengan adanya sentuhan yang mengharuskan mahar sebagai gantinya. Maka hal itu ditetapkan, dan hukuman hadd bagi pemerkosa sebagaimana hukuman hadd dan denda ditetapkan bagi pencuri.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي السَّرِقَةِ حُكْمَانِ أَحَدُهُمَا لِلَّهِ – عَزَّ وَجَلَّ – وَالْآخَرُ لِلْآدَمِيِّينَ فَإِذَا قُطِعَ لِلَّهِ – تَعَالَى – أُخِذَ مِنْهُ مَا سَرَقَ لِلْآدَمِيِّينَ فَإِنْ لَمْ يُؤْخَذْ فَقِيمَتُهُ؛ لِأَنِّي لَمْ أَجِدْ أَحَدًا ضَمِنَ مَالًا بِعَيْنِهِ بِغَصْبٍ أَوْ عُدْوَانٍ فَيَفُوتُ إلَّا ضَمِنَ قِيمَتَهُ، وَلَا أَجِدُ فِي ذَلِكَ مُوسِرًا مُخَالِفًا لِمُعْسِرٍ. وَفِي الْمُغْتَصَبَةِ: حُكْمَانِ. أَحَدُهُمَا لِلَّهِ وَالْآخَرُ لِلْمُغْتَصَبَةِ بِالْمَسِيسِ الَّذِي الْعِوَضُ مِنْهُ الْمَهْرُ فَأَثْبَتَ ذَلِكَ وَالْحَدُّ عَلَى الْمُغْتَصِبِ كَمَا أَثْبَتَ الْحَدَّ وَالْغُرْمَ عَلَى السَّارِقِ.

 

 

وَلَوْ غَصَبَ أَرْضًا فَغَرَسَهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ» فَعَلَيْهِ أَنْ يَقْلَعَ غَرَسَهُ، وَيَرُدَّ مَا نَقَصَتْ الْأَرْضُ وَلَوْ حَفَرَ فِيهَا بِئْرًا فَأَرَادَ الْغَاصِبُ دَفْنَهَا فَلَهُ ذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يَنْفَعْهُ، وَكَذَلِكَ لَوْ زَوَّقَ دَارًا كَانَ لَهُ نَزْعُ التَّزْوِيقِ حَتَّى يَرُدَّ ذَلِكَ بِحَالِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ نَقَلَ عَنْهَا تُرَابًا كَانَ لَهُ أَنْ يَرُدَّ مَا نَقَلَ عَنْهَا حَتَّى يُوَفِّيَهُ إيَّاهَا بِالْحَالِ الَّتِي أَخَذَهَا.

 

 

Jika seseorang merampas tanah lalu menanaminya, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Tidak ada hak bagi akar yang zalim.” Maka ia wajib mencabut tanamannya dan mengembalikan tanah yang berkurang. Jika ia menggali sumur di tanah itu, lalu si perampas ingin menimbunnya, ia boleh melakukannya meski tidak bermanfaat baginya. Demikian pula jika ia menghiasi rumah, ia berhak mencabut hiasannya hingga mengembalikannya seperti semula. Begitu juga jika ia mengambil tanah dari situ, ia wajib mengembalikan tanah yang diambilnya hingga memenuhi tanah itu dalam keadaan seperti saat diambil.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : غَيْرَ هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ لَوْ غَصَبَ غَزْلًا فَنَسَجَهُ ثَوْبًا أَوْ نُقْرَةً فَطَبَعَهَا دَنَانِيرَ أَوْ طِينًا فَضَرَبَهُ لَبِنًا فَهَذَا أَثَرٌ لَا عَيْنٌ، وَمَنْفَعَةٌ لِلْمَغْصُوبِ، وَلَا حَقَّ فِي ذَلِكَ لِلْغَاصِبِ فَكَذَلِكَ نَقْلُ التُّرَابِ عَنْ الْأَرْضِ. وَالْبِئْرُ إذَا لَمْ تُبْنَ بِطُوبٍ أَثَرٌ لَا عَيْنٌ، وَمَنْفَعَةٌ لِلْمَغْصُوبِ، وَلَا حَقَّ فِي ذَلِكَ لِلْغَاصِبِ مَعَ أَنَّ هَذَا فَسَادٌ لِنَفَقَتِهِ، وَإِتْعَابُ بَدَنِهِ وَأَعْوَانِهِ بِمَا فِيهِ مَضَرَّةٌ عَلَى أَخِيهِ، وَلَا مَنْفَعَةَ لَهُ فِيهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Pendapat yang lain lebih mirip dengan perkataannya, karena ia mengatakan: Jika seseorang mengambil benang secara paksa lalu menenunnya menjadi pakaian, atau mengambil logam lalu mencetaknya menjadi dinar, atau mengambil tanah liat lalu membentuknya menjadi batu bata, maka ini adalah bekas (perubahan bentuk) bukan benda asli, dan manfaatnya untuk pemilik asal, sementara si perampas tidak memiliki hak atasnya. Demikian pula halnya dengan memindahkan tanah dari suatu tempat. Sumur jika tidak dibangun dengan batu bata, itu adalah bekas (perubahan) bukan benda asli, manfaatnya untuk pemilik asal, dan si perampas tidak memiliki hak atasnya, meskipun ini merusak biayanya, menyusahkan tubuhnya dan para pembantunya, serta mengandung mudarat bagi saudaranya, tanpa ada manfaat baginya dalam hal itu.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ غَصَبَ جَارِيَةً فَهَلَكَتْ فَقَالَ ثَمَنُهَا عَشَرَةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَوْ كَانَ لَهُ كَيْلٌ أَوْ وَزْنٌ فَعَلَيْهِ مِثْلُ كَيْلِهِ وَوَزْنِهِ وَلَوْ كَانَ ثَوْبًا فَصَبَغَهُ فَزَادَ فِي قِيمَتِهِ قِيلَ لِلْغَاصِبِ: إنْ شِئْت فَاسْتَخْرِجْ الصَّبْغَ عَلَى أَنَّك ضَامِنٌ لِمَا نَقَصَ، وَإِنْ شِئْت فَأَنْتَ شَرِيكٌ بِمَا زَادَ الصَّبْغُ فَإِنْ مَحَقَ الصَّبْغَ فَلَمْ تَكُنْ لَهُ قِيمَةٌ قِيلَ لَيْسَ لَك هَا هُنَا مَالٌ يَزِيدُ فَإِنْ شِئْت فَاسْتَخْرِجْهُ وَأَنْتَ ضَامِنٌ لِنُقْصَانِ الثَّوْبِ، وَإِنْ شِئْت فَدَعْهُ، وَإِنْ كَانَ يَنْقُصُ الثَّوْبَ ضَمِنَ النُّقْصَانَ، وَلَهُ أَنْ يُخْرِجَ الصَّبْغَ عَلَى أَنْ يَضْمَنَ مَا نَقَصَ الثَّوْبَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seseorang merampas seorang budak perempuan lalu budak itu meninggal, dan ia mengatakan harganya sepuluh, maka perkataannya diterima disertai sumpah. Jika yang dirampas itu berupa takaran atau timbangan, maka ia wajib mengganti dengan takaran atau timbangan yang sama. Jika yang dirampas adalah pakaian lalu ia mewarnainya sehingga nilai pakaian itu bertambah, maka dikatakan kepada perampas: ‘Jika engkau mau, keluarkanlah pewarna itu dengan ketentuan engkau menanggung berkurangnya nilai pakaian, atau jika engkau mau, engkau menjadi mitra dalam tambahan nilai karena pewarnaan.’ Jika pewarna itu dihapus sehingga tidak ada nilainya, dikatakan: ‘Engkau tidak memiliki tambahan harta di sini. Jika engkau mau, keluarkanlah pewarna itu dengan menanggung berkurangnya nilai pakaian, atau jika engkau mau, biarkanlah.’ Jika pewarnaan itu mengurangi nilai pakaian, ia menanggung pengurangan tersebut. Ia boleh mengeluarkan pewarna dengan menanggung berkurangnya nilai pakaian, atau jika ia mau, ia boleh membiarkannya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا نَظِيرُ مَا مَضَى فِي نَقْلِ التُّرَابِ وَنَحْوِهِ.

 

(Al-Muzani berkata): Ini serupa dengan apa yang telah disebutkan mengenai pemindahan tanah dan semisalnya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ كَانَ زَيْتًا فَخَلَطَهُ بِمِثْلِهِ أَوْ خَيْرٍ مِنْهُ فَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُ مِنْ هَذَا مَكِيلَتَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَعْطَاهُ مِثْلَ زَيْتِهِ، وَإِنْ خَلَطَهُ بِشَرٍّ مِنْهُ أَوْ صَبَّهُ فِي بَانٍ فَعَلَيْهِ مِثْلُ زَيْتِهِ وَلَوْ أَغْلَاهُ عَلَى النَّارِ أَخَذَهُ، وَمَا نَقَصَتْ مَكِيلَتُهُ أَوْ قِيمَتُهُ وَكَذَلِكَ لَوْ خَلَطَ دَقِيقًا بِدَقِيقٍ. فَكَالزَّيْتِ، وَإِنْ كَانَ قَمْحًا فَعَفِنَ عِنْدَهُ رَدَّهُ وَقِيمَةَ مَا نَقَصَ، وَإِنْ غَصَبَهُ ثَوْبًا وَزَعْفَرَانًا فَصَبَغَهُ بِهِ فَرَبُّهُ بِالْخِيَارِ إنْ شَاءَ أَخَذَهُ، وَإِنْ شَاءَ قَوَّمَهُ أَبْيَضَ وَزَعْفَرَانُهُ صَحِيحًا وَضَمَّنَهُ قِيمَةَ مَا نَقَصَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika itu adalah minyak lalu dicampur dengan yang semisal atau lebih baik, maka jika ia mau, ia boleh memberikan takaran minyak tersebut, atau jika mau ia boleh memberikan minyak yang semisal. Jika ia mencampurnya dengan yang lebih buruk atau menuangkannya ke wadah lain, maka ia wajib mengganti dengan minyak yang semisal, meskipun ia memanaskannya di atas api, ia harus mengambilnya dan mengganti kekurangan takaran atau nilainya. Demikian pula jika ia mencampur tepung dengan tepung, hukumnya seperti minyak. Jika itu gandum lalu busuk di sisinya, ia harus mengembalikannya beserta nilai yang berkurang. Jika ia merampas pakaian dan za’faran lalu mewarnainya, pemiliknya memiliki pilihan: jika mau ia boleh mengambilnya, atau jika mau ia boleh menilai pakaian tersebut dalam keadaan putih dan za’faran dalam keadaan utuh, lalu ia harus mengganti nilai yang berkurang.”

 

 

وَلَوْ كَانَ لَوْحًا فَأَدْخَلَهُ فِي سَفِينَةٍ أَوْ بَنَى عَلَيْهِ جِدَارًا أُخِذَ بِقَلْعِهِ أَوْ خَيْطًا خَاطَ بِهِ ثَوْبَهُ فَإِنْ خَاطَ بِهِ جُرْحَ إنْسَانٍ أَوْ حَيَوَانٍ ضَمِنَ الْخَيْطَ، وَلَمْ يُنْزَعْ.

 

 

Dan sekiranya itu adalah papan lalu dimasukkan ke dalam kapal atau dibangun menjadi tembok, maka diambil dengan mencabutnya. Atau benang yang digunakan untuk menjahit pakaiannya, jika digunakan untuk menjahit luka manusia atau hewan, maka dia menanggung benang tersebut dan tidak dicabut.

 

 

وَلَوْ غَصَبَ طَعَامًا فَأَطْعَمَهُ مَنْ أَكَلَهُ ثُمَّ اسْتَحَقَّ كَانَ لِلْمُسْتَحِقِّ أَخْذُ الْغَاصِبِ بِهِ فَإِنْ غَرِمَهُ فَلَا شَيْءَ لِلْوَاهِبِ عَلَى الْمَوْهُوبِ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَخَذَ الْمَوْهُوبَ لَهُ فَإِنْ غَرِمَهُ فَقَدْ قِيلَ يَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْوَاهِبِ وَقِيلَ لَا يَرْجِعُ بِهِ.

 

 

Dan jika seseorang merampas makanan lalu memberikannya kepada orang yang memakannya, kemudian makanan itu diklaim oleh pemiliknya, maka pemilik berhak menuntut si perampas. Jika si perampas menanggung ganti rugi, pemberi (yang merampas) tidak berhak menuntut balik kepada penerima. Jika penerima ingin mengambil kembali pemberian itu, lalu menanggung ganti rugi, ada pendapat bahwa ia boleh menuntut balik kepada pemberi, dan ada pula pendapat bahwa ia tidak boleh menuntut balik.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ: إنَّ هِبَةَ الْغَاصِبِ لَا مَعْنَى لَهَا، وَقَدْ أَتْلَفَ الْمَوْهُوبُ لَهُ مَا لَيْسَ لَهُ، وَلَا لِلْوَاهِبِ فَعَلَيْهِ غُرْمُهُ، وَلَا يَرْجِعُ بِهِ فَإِنْ غَرِمَهُ الْغَاصِبُ رَجَعَ بِهِ عَلَيْهِ هَذَا عِنْدِي أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – pendapat yang paling mirip dengan ucapannya: Sesungguhnya hibah dari perampas tidak memiliki makna, dan penerima hibah telah merusak sesuatu yang bukan miliknya maupun milik pemberi hibah, maka ia wajib menggantinya dan tidak boleh menuntut balik. Jika perampas yang mengganti, maka ia boleh menuntut balik kepadanya. Menurutku, ini yang paling sesuai dengan prinsip dasar.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ حَلَّ دَابَّةً أَوْ فَتَحَ قَفَصًا عَنْ طَائِرٍ فَوَقَفَا ثُمَّ ذَهَبَا لَمْ يَضْمَنْ؛ لِأَنَّهُمَا أَحْدَثَا الذَّهَابَ وَلَوْ حَلَّ زِقًّا أَوْ رَاوِيَةً فَانْدَفِقَا ضَمِنَ إلَّا أَنْ يَكُونَ الزِّقُّ ثَبَتَ مُسْتَنِدًا فَكَانَ الْحَلُّ لَا يَدْفَعُ مَا فِيهِ ثُمَّ سَقَطَ بِتَحْرِيكٍ أَوْ غَيْرِهِ فَلَا يَضْمَنُ؛ لِأَنَّ الْحَلَّ قَدْ كَانَ، وَلَا جِنَايَةَ فِيهِ، وَلَوْ غَصَبَهُ دَارًا فَقَالَ الْغَاصِبُ هِيَ بِالْكُوفَةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَلَوْ غَصَبَهُ دَابَّةً فَضَاعَتْ فَأَدَّى قِيمَتَهَا ثُمَّ ظَهَرَتْ رُدَّتْ عَلَيْهِ وَرُدَّ مَا قَبَضَ مِنْ قِيمَتِهَا؛ لِأَنَّهُ أَخَذَ قِيمَتَهَا عَلَى أَنَّهَا فَائِتَةٌ فَكَأَنَّ الْفَوْتَ قَدْ بَطَلَ لَمَّا وُجِدَتْ وَلَوْ كَانَ هَذَا بَيْعًا مَا جَازَ أَنْ تُبَاعَ دَابَّةٌ غَائِبَةٌ كَعَيْنٍ جَنَى عَلَيْهَا فَابْيَضَّتْ أَوْ عَلَى سِنِّ صَبِيٍّ فَانْقَلَعَتْ فَأَخَذَ أَرْشَهَا بَعْدَ أَنْ أَيِسَ مِنْهَا ثُمَّ ذَهَبَ الْبَيَاضُ وَنَبَتَتْ السِّنُّ فَلَمَّا عَادَا رَجَعَ حَقُّهُمَا وَبَطَلَ الْأَرْشُ بِذَلِكَ فِيهِمَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seseorang melepas tali hewan atau membuka sangkar burung lalu keduanya diam kemudian pergi, maka dia tidak menanggung (ganti rugi), karena keduanya yang menyebabkan perginya. Namun jika dia melepas kantong air atau wadah lalu isinya tumpah, maka dia menanggung (ganti rugi), kecuali jika kantong tersebut tetap tegak bersandar sehingga pelepasan tidak menyebabkan isinya keluar, kemudian jatuh karena digerakkan atau sebab lain, maka dia tidak menanggung, karena pelepasan sudah terjadi dan tidak ada kerusakan di dalamnya. Jika seseorang merampas rumah lalu si perampas berkata ‘rumah itu ada di Kufah’, maka perkataannya diterima dengan disertai sumpah. Jika dia merampas hewan lalu hewan itu hilang, kemudian dia membayar nilainya lalu hewan itu muncul kembali, maka hewan itu dikembalikan padanya dan nilai yang telah dibayarkan dikembalikan, karena dia mengambil nilainya dengan anggapan hewan itu telah lenyap, seolah-olah lenyapnya batal ketika hewan itu ditemukan. Jika ini adalah jual beli, tidak boleh menjual hewan yang tidak ada. Seperti mata yang dilukai lalu memutih, atau gigi anak yang tercabut lalu dia mengambil diyatnya setelah putus asa, kemudian putihnya hilang dan gigi tumbuh kembali. Ketika keduanya kembali normal, haknya pun kembali dan diyat menjadi batal dalam kedua kasus tersebut.”

(وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ) : وَلَوْ قَالَ الْغَاصِبُ أَنَا أَشْتَرَيْتهَا مِنْك وَهِيَ فِي يَدِي قَدْ عَرَفْتهَا فَبَاعَهُ إيَّاهَا فَالْبَيْعُ جَائِزٌ.

 

Dan dia berkata di tempat lain: “Seandainya si perampas berkata, ‘Aku membelinya darimu dan barang itu ada di tanganku, aku telah mengetahuinya,’ lalu dia menjualnya kepadanya, maka jual beli itu diperbolehkan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَنَعَ بَيْعَ الْغَائِبِ فِي إحْدَى الْمَسْأَلَتَيْنِ وَأَجَازَهُ فِي الْأُخْرَى.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dia melarang jual beli barang yang tidak ada di tempat dalam salah satu dari dua masalah dan membolehkannya dalam masalah yang lain.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ بَاعَهُ عَبْدًا وَقَبَضَهُ الْمُشْتَرِي ثُمَّ أَقَرَّ الْبَائِعُ أَنَّهُ غَصَبَهُ مِنْ رَجُلٍ فَإِنْ أَقَرَّ الْمُشْتَرِي نَقَضْنَا الْبَيْعَ وَرَدَدْنَاهُ إلَى رَبِّهِ، وَإِنْ لَمْ يُقِرَّ فَلَا يُصَدَّقُ عَلَى إبْطَالِ الْبَيْعِ، وَيُصَدَّقُ عَلَى نَفْسِهِ فَيَضْمَنُ قِيمَتَهُ، وَإِنْ رَدَّهُ الْمُشْتَرِي بِعَيْبٍ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُسَلِّمَهُ إلَى رَبِّهِ الْمُقَرِّ لَهُ بِهِ فَإِنْ كَانَ الْمُشْتَرِي أَعْتَقَهُ ثُمَّ أَقَرَّ الْبَائِعُ أَنَّهُ لِلْمَغْصُوبِ لَمْ يُقْبَلْ قَوْلُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي رَدِّ الْعِتْقِ وَلِلْمَغْصُوبِ الْقِيمَةُ إنْ شَاءَ أَخَذْنَاهَا لَهُ مِنْ الْمُشْتَرِي الْمُعْتِقِ، وَيَرْجِعُ الْمُشْتَرِي عَلَى الْغَاصِبِ بِمَا أَخَذَ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ أَقَرَّ أَنَّهُ بَاعَهُ مَا لَا يَمْلِكُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Seandainya seseorang menjual seorang budak dan pembeli telah menerimanya, kemudian penjual mengaku bahwa budak itu dirampas dari seseorang, maka jika pembeli juga mengakuinya, kami batalkan transaksi jual beli dan mengembalikan budak itu kepada pemilik aslinya. Namun jika pembeli tidak mengakuinya, pengakuan penjual tidak bisa diterima untuk membatalkan transaksi jual beli, tetapi pengakuannya terhadap dirinya sendiri diterima sehingga dia wajib menanggung nilai budak tersebut. Jika pembeli mengembalikan budak karena ada cacat, dia wajib menyerahkannya kepada pemilik asli yang diakui oleh penjual. Jika pembeli telah memerdekakan budak itu, kemudian penjual mengaku bahwa budak itu milik orang yang dirampas, maka pengakuan salah satu dari mereka tidak bisa diterima untuk membatalkan kemerdekaan budak tersebut. Bagi pemilik asli yang dirampas, dia berhak mendapatkan nilai budak itu jika dia menghendaki, kami akan mengambilnya dari pembeli yang memerdekakan, dan pembeli dapat menuntut ganti rugi dari penjual yang merampas karena dia telah mengaku menjual sesuatu yang bukan miliknya.”

 

 

وَإِنْ كَسَرَ لِنَصْرَانِيٍّ صَلِيبًا فَإِنْ كَانَ يَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ الْمَنَافِعِ مُفَصَّلًا فَعَلَيْهِ مَا بَيْنَ قِيمَتِهِ مُفَصَّلًا، وَمَكْسُورًا، وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ أَرَاقَ لَهُ خَمْرًا أَوْ قَتَلَ لَهُ خِنْزِيرًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَلَا قِيمَةَ لِمُحَرَّمٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجْرِي عَلَيْهِ مِلْكٌ وَاحْتَجَّ عَلَى مَنْ جَعَلَ لَهُ قِيمَةَ الْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ؛ لِأَنَّهُمَا مَالُهُ فَقَالَ أَرَأَيْت مَجُوسِيًّا اشْتَرَى بَيْنَ يَدَيْك غَنَمًا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ ثُمَّ وَقَذَهَا كُلَّهَا لِيَبِيعَهَا فَحَرَقَهَا مُسْلِمٌ أَوْ مَجُوسِيٌّ فَقَالَ لَك هَذَا مَالِي وَهَذِهِ ذَكَاتُهُ عِنْدِي وَحَلَالٌ فِي دِينِي وَفِيهِ رِبْحٌ كَثِيرٌ وَأَنْتَ تُقِرُّنِي عَلَى بَيْعِهِ وَأَكْلِهِ وَتَأْخُذُ مِنِّي الْجِزْيَةَ عَلَيْهِ فَخُذْ لِي قِيمَتَهُ فَقَالَ أَقُولُ لَيْسَ ذَلِكَ بِاَلَّذِي يُوجِبُ لَك أَنْ أَكُونَ شَرِيكًا لَك فِي الْحَرَامِ، وَلَا حَقَّ لَك قَالَ فَكَيْفَ حَكَمْت بِقِيمَةِ الْخِنْزِيرِ وَالْخَمْرِ وَهُمَا عِنْدَك حَرَامٌ

 

 

Dan jika seseorang memecahkan salib milik seorang Nasrani, jika salib itu masih bisa dimanfaatkan sebagian, maka dia wajib membayar selisih nilai antara salib yang utuh dan yang pecah. Jika tidak bisa dimanfaatkan sama sekali, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya. Jika dia menumpahkan khamr (minuman keras) miliknya atau membunuh babi miliknya, maka tidak ada kewajiban apa-apa atasnya, karena tidak ada nilai ganti rugi untuk sesuatu yang haram, sebab tidak berlaku kepemilikan atasnya. Dia berargumen terhadap orang yang menetapkan nilai ganti rugi untuk khamr dan babi dengan alasan keduanya adalah hartanya, seraya berkata: “Bagaimana pendapatmu jika seorang Majusi membeli domba di hadapanmu seharga seribu dirham, lalu dia menyembelihnya semua untuk dijual, kemudian seorang Muslim atau Majusi membakarnya? Lalu dia berkata kepadamu: ‘Ini adalah hartaku, dan ini penyembelihannya menurutku, halal dalam agamaku, dan ada keuntungan besar di dalamnya. Kamu mengizinkanku untuk menjual dan memakannya, serta mengambil jizyah dariku karenanya. Maka ambillah nilai ganti ruginya untukku.’ Aku akan menjawab: ‘Itu bukan alasan yang mewajibkan aku menjadi mitnamu dalam yang haram, dan kamu tidak berhak.’ Lalu Beliau berkata: ‘Lalu bagaimana kamu menetapkan nilai ganti rugi untuk babi dan khamr, padahal keduanya haram menurutmu?'”

 

مُخْتَصَرُ الشُّفْعَةِ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ ثَلَاثَةِ كُتُبٍ مُتَفَرِّقَةٍ

 

Ringkasan Hak Syuf’ah dari Al-Jami’ yang Diambil dari Tiga Kitab yang Terpisah

 

مِنْ بَيْنِ وَضْعٍ وَإِمْلَاءٍ عَلَى مُوَطَّإِ مَالِكٍ، وَمِنْ اخْتِلَافِ الْأَحَادِيثِ، وَمِمَّا أَوْجَبْت فِيهِ عَلَى قِيَاسِ قَوْلِهِ، وَاَللَّهُ الْمُوَفِّقُ لِلصَّوَابِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدٍ وَأَبِي سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «الشُّفْعَةُ فِيمَا لَمْ يُقْسَمْ فَإِذَا وَقَعَتْ الْحُدُودُ فَلَا شُفْعَةَ» وَوَصَلَهُ مِنْ غَيْرِ حَدِيثِ مَالِكٍ أَيُّوبُ وَأَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِثْلَ مَعْنَى حَدِيثِ مَالِكٍ وَاحْتَجَّ مُحْتَجٌّ بِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «الْجَارُ أَحَقُّ بِصَقَبِهِ» وَقَالَ فَأَقُولُ لَلشَّرِيك الَّذِي لَمْ يُقَاسِمْ وَلِلْمُقَاسِمِ شُفْعَةٌ كَانَ لَصِيقًا أَوْ غَيْرَ لَصِيقٍ إذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الدَّارِ طَرِيقٌ نَافِذَةٌ قُلْت لَهُ: فَلِمَ أَعْطَيْت بَعْضًا دُونَ بَعْضٍ وَاسْمُ الْجِوَارِ يَلْزَمُهُمْ فَمَنَعْت مَنْ بَيْنَك وَبَيْنَهُ ذِرَاعٌ إذَا كَانَ نَافِذًا وَأَعْطَيْت مَنْ بَيْنَك وَبَيْنَهُ رَحْبَةٌ أَكْثَرُ مِنْ أَلْفِ ذِرَاعٍ إذَا لَمْ تَكُنْ نَافِذَةً؟ فَقُلْت لَهُ فَالْجَارُ أَحَقُّ بِسَبْقِهِ لَا يَحْتَمِلُ إلَّا مَعْنَيَيْنِ لِكُلِّ جَارٍ أَوْ لِبَعْضِ الْجِيرَانِ دُونَ بَعْضٍ فَلَمَّا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا شُفْعَةَ فِيمَا قُسِمَ دَلَّ عَلَى أَنَّ الشُّفْعَةَ لِلْجَارِ الَّذِي لَمْ يُقَاسِمْ دُونَ الْجَارِ الَّذِي قَاسَمَ وَحَدِيثُك لَا يُخَالِفُ حَدِيثَنَا؛ لِأَنَّهُ مُجْمَلٌ وَحَدِيثُنَا مُفَسِّرٌ وَالْمُفَسِّرُ يُبَيِّنُ الْمُجْمَلَ قَالَ وَهَلْ يَقَعُ اسْمُ الْجِوَارِ عَلَى الشَّرِيكِ؟ قُلْت نَعَمْ امْرَأَتُك أَقْرَبُ إلَيْك أَمْ شَرِيكُك؟ قَالَ بَلْ امْرَأَتِي؛ لِأَنَّهَا ضَجِيعَتِي قُلْت فَالْعَرَبُ تَقُولُ امْرَأَةُ الرَّجُلِ جَارَتُهُ قَالَ وَأَيْنَ؟ قُلْت قَالَ الْأَعْشَى:

 

 

Dari antara penyusunan dan imla atas kitab Al-Muwaththa’ Malik, dari perbedaan hadis-hadis, dan dari apa yang aku wajibkan berdasarkan qiyas pendapatnya. Allah-lah yang memberi taufik kepada kebenaran. (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Malik mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Sa’id dan Abu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hak syuf’ah berlaku pada apa yang belum dibagi. Jika batas-batas telah ditetapkan, maka tidak ada syuf’ah lagi.” Hadis ini juga diriwayatkan melalui jalur selain Malik oleh Ayyub dan Abu Az-Zubair dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan makna serupa hadis Malik. Seorang yang berhujjah mengemukakan hadis yang diriwayatkan dari Abu Rafi’ bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tetangga lebih berhak atas tetangganya.” Beliau berkata: Maka aku katakan, baik bagi sekutu yang belum membagi maupun yang sudah membagi ada hak syuf’ah, baik bersebelahan atau tidak, selama tidak ada jalan umum di antara dia dan rumah. Aku berkata kepadanya: Mengapa engkau berikan hak itu kepada sebagian dan tidak kepada yang lain, padahal sebutan tetangga berlaku bagi mereka semua? Engkau menolak hak orang yang jaraknya hanya sehasta jika ada jalan umum, tapi memberikannya kepada orang yang jaraknya lebih dari seribu hasta jika tidak ada jalan umum? Aku berkata kepadanya: Maka sabda “Tetangga lebih berhak atas tetangganya” hanya mengandung dua makna: berlaku untuk setiap tetangga atau hanya sebagian tetangga. Ketika telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa tidak ada syuf’ah pada apa yang telah dibagi, ini menunjukkan bahwa syuf’ah adalah untuk tetangga yang belum membagi, bukan yang sudah membagi. Hadismu tidak bertentangan dengan hadis kami, karena hadismu mujmal (global) sedangkan hadis kami mufassar (terperinci), dan yang mufassar menjelaskan yang mujmal. Beliau berkata: Apakah sebutan tetangga berlaku untuk sekutu? Aku jawab: Ya. Istrimu lebih dekat kepadamu atau sekutumu? Beliau berkata: Bahkan istriku, karena dia teman tidurku. Aku berkata: Orang Arab mengatakan istri seseorang adalah tetangganya. Dia bertanya: Di mana? Aku berkata: Al-A’sya berkata:

 

أَجَارَتَنَا بِينِي فَإِنَّك طَالِقَةٌ … وَمَوْمُوقَةٌ مَا كُنْت فِينَا وَوَامِقَةٌ

 

 

Wahai yang melindungi kami, tinggallah bersamaku, karena engkau terceraikan… Dan terpisah, engkau tak lagi bersama kami, juga yang mencintai.

 

أَجَارَتَنَا بِينِي فَإِنَّك طَالِقَةٌ … كَذَاك أُمُورُ النَّاسِ تَغْدُو وَطَارِقَةٌ

 

 

Wahai pelindungku, berpisahlah dariku karena engkau terceraikan… Demikianlah urusan manusia, datang dan pergi silih berganti.

 

وَبِينِي فَإِنَّ الْبَيْنَ خَيْرٌ مِنْ الْعَصَا … وَأَنْ لَا تَزَالِي فَوْقَ رَأْسِك بَارِقَةٌ

 

 

Dan jauhlah dariku, karena perpisahan lebih baik daripada pukulan … dan semoga kilat senantiasa menyambar di atas kepalamu.

 

حَبَسْتُك حَتَّى لَامَنِي النَّاسُ كُلُّهُمْ … وَخِفْت بِأَنْ تَأْتِيَ لَدَيَّ بِبَائِقَةٍ

 

 

Aku telah memenjarakanmu hingga semua orang mencela diriku… Dan aku khawatir engkau akan mendatangiku dengan bencana.

وَذُوقِي فَتَى حَيٍّ فَإِنِّي … ذَائِقٌ فَتَاةٍ لِحَيٍّ مِثْلَ مَا أَنْتِ ذَائِقَةٌ

 

Dan rasakanlah seorang pemuda dari kaum yang hidup, karena aku pun akan merasakan seorang gadis dari kaum yang hidup, sebagaimana engkau merasakannya.

فَقَالَ عُرْوَةُ نَزَلَ الطَّلَاقُ مُوَافِقًا لِطَلَاقِ الْأَعْشَى.

 

Urwah berkata, “Ayat talak turun sesuai dengan talak yang diucapkan oleh Al-A’sya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَحَدِيثُنَا أَثْبَتُ إسْنَادًا مِمَّا رَوَى عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ وَأَشْبَهُهُمَا لَفْظًا وَأَعْرَفُهُمَا فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْمُقَاسِمِ وَبَيْنَ مَنْ لَمْ يُقَاسِمْ؛ لِأَنَّهُ إذَا بَاعَ مُشَاعًا بَاعَ غَيْرَ متجزي فَيَكُونُ شَرِيكُهُ أَحَقَّ بِهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُ شَائِعٌ فِيهِ وَعَلَيْهِ فِي الدَّاخِلِ سُوءُ مُشَارَكَةٍ، وَمُؤْنَةُ مُقَاسَمَةٍ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْمَقْسُومُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Hadis kami lebih kuat sanadnya dibandingkan yang diriwayatkan oleh Abdul Malik dari ‘Atha’ dari Jabir, lebih mirip lafaznya, dan lebih dikenal dalam membedakan antara orang yang membagi harta dan yang tidak membagi. Karena jika seseorang menjual harta syarikat, ia menjual bagian yang tidak terpisah, sehingga rekan syarikatnya lebih berhak atasnya. Sebab haknya masih tercampur di dalamnya, dan ia menanggung buruknya persyarikatan serta biaya pembagian. Berbeda dengan harta yang sudah dibagi.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا شُفْعَةَ إلَّا فِي مُشَاعٍ وَلِلشَّفِيعِ الشُّفْعَةُ بِالثَّمَنِ الَّذِي وَقَعَ بِهِ الْبَيْعُ فَإِنْ عَلِمَ فَطَلَبَ مَكَانَهُ فَهِيَ لَهُ، وَإِنْ أَمْكَنَهُ فَلَمْ يَطْلُبْ بَطَلَتْ شُفْعَتُهُ فَإِنْ عَلِمَ فَأَخَّرَ الطَّلَبَ فَإِنْ كَانَ لَهُ عُذْرٌ مِنْ حَبْسٍ أَوْ غَيْرِهِ فَهُوَ عَلَى شُفْعَتِهِ، وَإِلَّا فَلَا شُفْعَةَ لَهُ، وَلَا يَقْطَعُهَا طُولُ غَيْبَتِهِ، وَإِنَّمَا يَقْطَعُهَا أَنْ يَعْلَمَ فَيَتْرُكَ فَإِنْ اخْتَلَفَا فِي الثَّمَنِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُشْتَرِي مَعَ يَمِينِهِ، وَإِنْ اشْتَرَاهَا بِسِلْعَةٍ فَهِيَ لَهُ بِقِيمَةِ السِّلْعَةِ، وَإِنْ تَزَوَّجَ بِهَا فَهِيَ لِلشَّفِيعِ بِقِيمَةِ الْمَهْرِ فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ رَجَعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ قِيمَةِ الشِّقْصِ، وَإِنْ اشْتَرَاهَا بِثَمَنٍ إلَى أَجَلٍ قِيلَ لِلشَّفِيعِ إنْ شِئْت فَعَجِّلْ الثَّمَنَ وَتَعَجَّلْ الشُّفْعَةَ، وَإِنْ شِئْت فَدَعْ حَتَّى يَحِلَّ الْأَجَلُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Tidak ada syuf’ah kecuali dalam kepemilikan bersama, dan syuf’ah bagi syafi’ (pemilik hak syuf’ah) adalah dengan harga yang terjadi dalam transaksi jual beli. Jika ia mengetahui lalu menuntut haknya, maka syuf’ah menjadi miliknya. Namun jika ia mampu menuntut tetapi tidak melakukannya, maka syuf’ahnya gugur. Jika ia mengetahui tetapi menunda tuntutan, maka jika ada uzur seperti dipenjara atau lainnya, hak syuf’ahnya tetap ada. Jika tidak ada uzur, maka tidak ada syuf’ah baginya. Lamanya ketidakhadirannya tidak menggugurkan hak syuf’ah, yang menggugurkannya adalah jika ia mengetahui lalu meninggalkan haknya. Jika terjadi perselisihan tentang harga, maka perkataan pembeli yang diikuti sumpahnya yang diambil. Jika barang dibeli dengan barang lain, maka syuf’ah diberikan dengan nilai barang tersebut. Jika barang itu dijadikan maskawin, maka syuf’ah diberikan dengan nilai maskawin. Jika suami menceraikan istri sebelum berhubungan, ia berhak mendapatkan separuh nilai bagian. Jika barang dibeli dengan harga tempo, dikatakan kepada syafi’: Jika engkau mau, bayarlah harganya sekarang dan ambil syuf’ahnya, atau tunggulah sampai jatuh tempo.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ وَرِثَهُ رَجُلَانِ فَمَاتَ أَحَدُهُمَا وَلَهُ ابْنَانِ فَبَاعَ أَحَدُهُمَا نَصِيبَهُ فَأَرَادَ أَخُوهُ الشُّفْعَةَ دُونَ عَمِّهِ فَكِلَاهُمَا سَوَاءٌ؛ لِأَنَّهُمَا فِيهَا شَرِيكَانِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya dua orang mewarisi sesuatu, lalu salah satunya meninggal dan memiliki dua anak laki-laki, kemudian salah satu dari mereka menjual bagiannya, lalu saudaranya ingin menggunakan hak syuf’ah tanpa melibatkan paman mereka, maka keduanya memiliki hak yang sama karena mereka adalah mitra dalam kepemilikan tersebut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَصَحُّ مِنْ أَحَدِ قَوْلَيْهِ إنَّ أَخَاهُ أَحَقُّ بِنَصِيبِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini lebih sahih daripada salah satu dari dua pendapatnya, bahwa saudaranya lebih berhak atas bagiannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَفِي تَسْوِيَتِهِ بَيْنَ الشُّفْعَتَيْنِ عَلَى كَثْرَةِ مَا لِلْعَمِّ عَلَى الْأَخِ قَضَاءٌ لِأَحَدِ قَوْلَيْهِ عَلَى الْآخَرِ فِي أَخْذِ الشُّفَعَاءِ بِقَدْرِ الْأَنْصِبَاءِ، وَلَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُ فِي الْمُعْتِقَيْنِ نَصِيبَيْنِ مِنْ عَبْدٍ أَحَدُهُمَا أَكْثَرُ مِنْ الْآخَرِ فِي أَنْ جَعَلَ عَلَيْهِمَا قِيمَةَ الْبَاقِي مِنْهُ بَيْنَهُمَا سَوَاءٌ إذَا كَانَا مُوسِرَيْنِ قَضَى ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِ عَلَى مَا وَصَفْنَا.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dalam penyamarataannya antara dua hak syuf’ah meskipun hak paman lebih besar daripada saudara, terdapat keputusan salah satu dari dua pendapatnya terhadap yang lain dalam pengambilan syuf’ah sesuai dengan bagian masing-masing. Pendapatnya tidak berbeda dalam kasus dua orang yang memerdekakan dua bagian dari seorang budak, di mana salah satunya lebih besar dari yang lain, bahwa ia mewajibkan kepada keduanya nilai sisa budak tersebut secara merata jika keduanya mampu. Hal itu diputuskan berdasarkan pendapatnya seperti yang telah kami jelaskan.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلِوَرَثَةِ الشَّفِيعِ أَنْ يَأْخُذُوا مَا كَانَ يَأْخُذُهُ أَبُوهُمْ بَيْنَهُمْ عَلَى الْعَدَدِ امْرَأَتُهُ وَابْنُهُ فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan bagi ahli waris syuf’ah (pemilik hak beli) untuk mengambil apa yang dahulu diambil oleh bapak mereka di antara mereka berdasarkan jumlah, istrinya dan anaknya dalam hal ini adalah sama.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهَذَا يُؤَكِّدُ مَا قُلْت أَيْضًا، (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِنْ حَضَرَ أَحَدُ الشُّفَعَاءِ أَخَذَ الْكُلَّ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ فَإِنْ حَضَرَ ثَانٍ أَخَذَ مِنْهُ النِّصْفَ بِنِصْفِ الثَّمَنِ فَإِنْ حَضَرَ ثَالِثٌ أَخَذَ مِنْهُمَا الثُّلُثَ بِثُلُثِ الثَّمَنِ حَتَّى يَكُونُوا سَوَاءً فَإِنْ كَانَ الِاثْنَانِ اقْتَسَمَا كَانَ لِلثَّالِثِ نَقْضُ قِسْمَتِهِمَا فَإِنْ سَلَّمَ بَعْضُهُمْ مَا يَكُنْ لِبَعْضٍ إلَّا أَخْذُ الْكُلِّ أَوْ التَّرْكُ وَكَذَلِكَ لَوْ أَصَابَهَا هَدْمٌ مِنْ السَّمَاءِ إمَّا أَخَذَ الْكُلَّ بِالثَّمَنِ، وَإِمَّا تَرَكَ وَلَوْ قَاسَمَ وَبَنَى قِيلَ لِلشَّفِيعِ إنْ شِئْت فَخُذْ بِالثَّمَنِ وَقِيمَةِ الْبِنَاءِ الْيَوْمَ أَوْ دَعْ؛ لِأَنَّهُ بَنَى غَيْرَ مُتَعَدٍّ فَلَا يُهْدَمُ مَا بَنَى.

 

 

(Al-Muzani) berkata: “Ini menguatkan apa yang telah kukatakan juga.” (Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Jika salah satu syuf’ah hadir, ia berhak mengambil seluruh bagian dengan membayar seluruh harga. Jika yang kedua hadir, ia mengambil separuh dengan membayar separuh harga. Jika yang ketiga hadir, ia mengambil sepertiga dari keduanya dengan membayar sepertiga harga, hingga mereka setara. Jika dua orang telah membagi, yang ketiga berhak membatalkan pembagian mereka. Jika sebagian mereka menyerahkan haknya, tidak ada pilihan bagi yang lain kecuali mengambil seluruhnya atau meninggalkannya. Demikian pula jika terjadi kerusakan dari langit, ia boleh mengambil seluruhnya dengan membayar harganya atau meninggalkannya. Jika ia membagi dan membangun, dikatakan kepada syafi’: ‘Jika engkau mau, ambillah dengan harga dan nilai bangunan hari ini, atau tinggalkan.’ Karena ia membangun tanpa melampaui batas, maka bangunannya tidak boleh dihancurkan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا عِنْدِي غَلَطٌ وَكَيْفَ لَا يَكُونُ مُتَعَدِّيًا، وَقَدْ بَنَى فِيمَا لِلشَّفِيعِ فِيهِ شِرْكٌ مُشَاعٌ وَلَوْلَا أَنَّ لِلشَّفِيعِ فِيهِ شِرْكًا مَا كَانَ شَفِيعًا إذْ كَانَ الشَّرِيكُ إنَّمَا يَسْتَحِقُّ الشُّفْعَةَ؛ لِأَنَّهُ شَرِيكٌ فِي الدَّارِ وَالْعَرْصَةِ بِحَقٍّ مُشَاعٍ فَكَيْفَ يُقْسَمُ وَصَاحِبُ النَّصِيبِ وَهُوَ الشَّفِيعُ غَائِبٌ وَالْقَسْمُ فِي ذَلِكَ فَاسِدٌ وَبَنَى فِيمَا لَيْسَ لَهُ فَكَيْفَ يَبْنِي غَيْرَ مُتَعَدٍّ وَالْمُخْطِئُ فِي الْمَالِ وَالْعَامِدُ سَوَاءٌ عِنْدَ الشَّافِعِيُّ. أَلَا تَرَى لَوْ أَنَّ رَجُلًا اشْتَرَى عَرْصَةً بِأَمْرِ الْقَاضِي فَبَنَاهَا فَاسْتَحَقَّهَا رَجُلٌ أَنَّهُ يَأْخُذُ عَرْصَتَهُ، وَيَهْدِمُ الْبَانِي بِنَاءَهُ، وَيَقْلَعُهُ فِي قَوْلِ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَالْعَامِدُ وَالْمُخْطِئُ فِي بِنَاءِ مَا لَا يَمْلِكُ سَوَاءٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini menurutku adalah kesalahan, dan bagaimana mungkin tidak dianggap melampaui batas, padahal dia telah membangun di atas bagian yang dimiliki syafi’ (pemegang hak syuf’ah) secara bersama. Seandainya syafi’ tidak memiliki bagian di dalamnya, dia tidak akan menjadi syafi’, karena partner hanya berhak atas syuf’ah sebab dia adalah partner dalam rumah dan pekarangan dengan hak bersama. Lalu bagaimana bisa dilakukan pembagian sementara pemilik bagian, yaitu syafi’, tidak hadir? Pembagian dalam hal ini adalah rusak. Dia juga membangun di atas yang bukan haknya, lalu bagaimana bisa dikatakan tidak melampaui batas? Orang yang keliru dan yang sengaja dalam harta adalah sama menurut Asy-Syafi’i. Tidakkah engkau melihat, seandainya seseorang membeli pekarangan atas perintah hakim lalu membangun di atasnya, kemudian ada orang lain yang berhak atasnya, maka dia berhak mengambil pekarangannya dan meruntuhkan bangunan si pembangun serta mencabutnya menurut pendapat Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya. Maka orang yang sengaja dan yang keliru dalam membangun apa yang tidak dimilikinya adalah sama.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ كَانَ الشِّقْصُ فِي النَّخْلِ فَزَادَتْ كَانَ لَهُ أَخْذُ زَائِدِهِ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya ada bagian dalam pohon kurma lalu bertambah, maka dia berhak mengambil tambahannya.”

 

 

(قَالَ) : وَلَا شُفْعَةَ فِي بِئْرٍ لَا بَيَاضَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا لَا تَحْتَمِلُ الْقَسْمَ وَأَمَّا الطَّرِيقُ الَّتِي لَا تُمْلَكُ فَلَا شُفْعَةَ فِيهَا، وَلَا بِهَا وَأَمَّا عَرْصَةُ الدَّارِ تَكُونُ مُحْتَمِلَةً لِلْقَسْمِ وَلِلْقَوْمِ طَرِيقٌ إلَى مَنَازِلِهِمْ فَإِذَا بِيعَ مِنْهَا شَيْءٌ فَفِيهِ الشُّفْعَةُ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak ada hak syuf’ah pada sumur yang tidak memiliki bibir sumur, karena ia tidak bisa dibagi. Adapun jalan yang tidak dimiliki, maka tidak ada hak syuf’ah padanya atau terkait dengannya. Sedangkan halaman rumah yang dapat dibagi dan digunakan sebagai jalan oleh orang-orang menuju rumah mereka, jika sebagiannya dijual, maka berlaku hak syuf’ah.”

 

 

(قَالَ) : وَلِوَلِيِّ الْيَتِيمِ وَأَبِي الصَّبِيِّ أَنْ يَأْخُذَا بِالشُّفْعَةِ لِمَنْ يَلِيَانِ إذَا كَانَتْ غِبْطَةً فَإِنْ لَمْ يَفْعَلَا فَإِذَا وَلِيَا مَالَهُمَا أَخَذَاهَا فَإِنْ اشْتَرَى شِقْصًا عَلَى أَنَّهُمَا جَمِيعًا بِالْخِيَارِ فَلَا شُفْعَةَ حَتَّى يُسَلِّمَ الْبَائِعُ.

 

 

Beliau berkata: Wali anak yatim dan ayah dari anak kecil berhak mengambil hak syuf’ah bagi orang yang mereka asuh jika itu menguntungkan. Jika mereka tidak melakukannya, maka ketika mereka menguasai harta mereka berdua, mereka boleh mengambilnya. Jika ada yang membeli sebagian dengan syarat keduanya memiliki hak khiyar (memilih), maka tidak ada hak syuf’ah hingga penjual menyerahkannya.

 

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَ الْخِيَارُ لِلْمُشْتَرِي دُونَ الْبَائِعِ فَقَدْ خَرَجَ مِنْ مِلْكِ الْبَائِعِ وَفِيهِ الشُّفْعَةُ، وَلَوْ كَانَ مَعَ ` الشُّفْعَةِ عَرَضٌ وَالثَّمَنُ وَاحِدٌ فَإِنَّهُ يَأْخُذُ الشُّفْعَةَ بِحِصَّتِهَا مِنْ الثَّمَنِ، وَعُهْدَةُ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ وَعُهْدَةُ الشَّفِيعِ عَلَى الْمُشْتَرِي.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya hak khiyar (memilih) ada pada pembeli bukan penjual, maka barang itu telah keluar dari kepemilikan penjual dan berlaku syuf’ah (hak beli lebih dahulu). Jika bersama syuf’ah terdapat barang lain dengan harga yang sama, maka dia mengambil syuf’ah sesuai bagiannya dari harga itu. Tanggungan pembeli ada pada penjual, dan tanggungan syafi’ (pemegang hak syuf’ah) ada pada pembeli.”

(Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata): “Dan ini adalah beberapa masalah yang aku jawab di dalamnya berdasarkan makna perkataan Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya -.”

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَإِذَا تَبَرَّأَ الْبَائِعُ مِنْ عُيُوبِ الشُّفْعَةِ ثُمَّ أَخَذَهَا الشَّفِيعُ كَانَ لَهُ الرَّدُّ عَلَى الْمُشْتَرِي فَإِنْ اُسْتُحِقَّتْ مِنْ الشَّفِيعِ رَجَعَ بِالثَّمَنِ عَلَى الْمُشْتَرِي وَرَجَعَ الْمُشْتَرِي عَلَى الْبَائِعِ وَلَوْ كَانَ الْمُشْتَرِي اشْتَرَاهَا بِدَنَانِيرَ بِأَعْيَانِهَا ثُمَّ أَخَذَهَا الشَّفِيعُ بِوَزْنِهَا فَاسْتُحِقَّتْ الدَّنَانِيرُ الْأُولَى فَالشِّرَاءُ وَالشُّفْعَةُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ الدَّنَانِيرَ بِعَيْنِهَا تَقُومُ مَقَامَ الْعَرَضِ بِعَيْنِهِ فِي قَوْلِهِ، وَلَوْ اُسْتُحِقَّتْ الدَّنَانِيرُ الثَّانِيَةُ كَانَ عَلَى الشَّفِيعِ بَدَلُهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika penjual terbebas dari cacat syuf’ah kemudian syafi’ mengambilnya, maka ia berhak mengembalikan kepada pembeli. Jika syuf’ah diambil dari syafi’, maka ia dapat menuntut harga kepada pembeli, dan pembeli dapat menuntut kepada penjual. Seandainya pembeli membelinya dengan dinar tertentu, lalu syafi’ mengambilnya dengan timbangannya, kemudian dinar pertama diambil paksa, maka jual beli dan syuf’ah batal, karena dinar tertentu tersebut menempati posisi barang tertentu menurut pendapatnya. Jika dinar kedua yang diambil paksa, maka syafi’ wajib menggantinya.

(قَالَ) : وَلَوْ حَطَّ الْبَائِعُ لِلْمُشْتَرِي بَعْدَ التَّفَرُّقِ فَهِيَ هِبَةٌ لَهُ وَلَيْسَ لِلشَّفِيعِ أَنْ يَحُطَّ.

 

Beliau berkata: “Jika penjual mengurangi (harga) untuk pembeli setelah berpisah, maka itu adalah hibah baginya, dan sang syuf’ah tidak berhak mengurangi (harga).”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا ادَّعَى عَلَيْهِ أَنَّهُ اشْتَرَى شِقْصًا لَهُ فِيهِ شُفْعَةٌ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ، وَعَلَى الْمُنْكِرِ الْيَمِينُ فَإِنْ نَكَلَ وَحَلَفَ الشَّفِيعُ قَضَيْت لَهُ بِالشُّفْعَةِ وَلَوْ أَقَامَ الشَّفِيعُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ اشْتَرَاهَا مِنْ فُلَانٍ الْغَائِبِ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَأَقَامَ ذَلِكَ الَّذِي فِي يَدَيْهِ الْبَيِّنَةُ أَنَّ فُلَانًا أَوْدَعَهُ إيَّاهَا قَضَيْت لَهُ بِالشُّفْعَةِ، وَلَا يَمْنَعُ الشِّرَاءُ الْوَدِيعَةَ وَلَوْ أَنَّ رَجُلَيْنِ بَاعَا مِنْ رَجُلٍ شِقْصًا فَقَالَ الشَّفِيعُ: أَنَا آخُذُ مَا بَاعَ فُلَانٌ وَأَدَعُ حِصَّةَ فُلَانٍ فَذَلِكَ لَهُ فِي الْقِيَاسِ. قَوْلُهُ: وَكَذَلِكَ لَوْ اشْتَرَى رَجُلَانِ مِنْ رَجُلٍ شِقْصًا كَانَ لِلشَّفِيعِ أَنْ يَأْخُذَ حِصَّةَ أَيِّهِمَا شَاءَ وَلَوْ زَعَمَ الْمُشْتَرِي أَنَّهُ اشْتَرَاهَا بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَأَخَذَهَا الشَّفِيعُ بِأَلْفٍ ثُمَّ أَقَامَ الْبَائِعُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ بَاعَهُ إيَّاهَا بِأَلْفَيْنِ قَضَى لَهُ بِأَلْفَيْنِ عَلَى الْمُشْتَرِي، وَلَا يَرْجِعُ عَلَى الشَّفِيعِ؛ لِأَنَّهُ مُقِرٌّ أَنَّهُ اسْتَوْفَى جَمِيعَ حَقِّهِ.

 

Al-Muzanni – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika seseorang mengklaim bahwa ia membeli bagian yang ada hak syuf’ah-nya, maka ia harus mendatangkan bukti. Sedangkan pihak yang mengingkari harus bersumpah. Jika ia menolak bersumpah dan pihak syuf’ah bersumpah, maka hak syuf’ah diberikan kepadanya. Bahkan jika pihak syuf’ah mendatangkan bukti bahwa ia membelinya dari si fulan yang tidak hadir seharga seribu dirham, sementara pihak yang memegang barang mendatangkan bukti bahwa fulan menitipkannya kepadanya, hak syuf’ah tetap diberikan. Kepemilikan tidak menghalangi status titipan. Jika dua orang menjual suatu bagian kepada seseorang, lalu pihak syuf’ah berkata: ‘Aku mengambil bagian yang dijual si fulan dan meninggalkan bagian si fulan lainnya’, maka itu diperbolehkan menurut qiyas. Ia juga berkata: ‘Demikian pula jika dua orang membeli suatu bagian dari seseorang, pihak syuf’ah berhak mengambil bagian siapa saja yang ia kehendaki. Jika pembeli mengaku membelinya seharga seribu dirham lalu pihak syuf’ah mengambilnya dengan seribu dirham, kemudian penjual mendatangkan bukti bahwa ia menjualnya seharga dua ribu dirham, maka penjual berhak mendapatkan dua ribu dirham dari pembeli, tanpa bisa menuntut pihak syuf’ah karena ia telah mengakui bahwa semua haknya telah terpenuhi’.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks asli Arab:

 

وَلَوْ كَانَ الثَّمَنُ عَبْدًا فَأَخَذَهُ الشَّفِيعُ بِقِيمَةِ الْعَبْدِ ثُمَّ أَصَابَ الْبَائِعُ بِالْعَبْدِ عَيْبًا فَلَهُ رَدُّهُ، وَيَرْجِعُ الْبَائِعُ عَلَى الْمُشْتَرِي بِقِيمَةِ الشِّقْصِ، وَإِنْ اُسْتُحِقَّ الْعَبْدُ بَطَلَتْ الشُّفْعَةُ وَرَجَعَ الْبَائِعُ فَأَخَذَ شِقْصَهُ.

Dan jika harganya berupa seorang budak, lalu syafi’ mengambilnya dengan nilai budak tersebut, kemudian penjual menemukan cacat pada budak itu, maka ia berhak mengembalikannya. Penjual dapat menuntut pembeli untuk mengganti nilai bagiannya. Jika budak itu diklaim oleh orang lain (sehingga hak kepemilikan batal), maka syuf’ah menjadi batal, dan penjual mengambil kembali bagiannya.

 

وَلَوْ صَالَحَهُ مِنْ دَعْوَاهُ عَلَى شِقْصٍ لَمْ يَجُزْ فِي قَوْلِ الشَّافِعِيُّ إلَّا أَنْ يُقِرَّ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بِالدَّعْوَى فَيَجُوزُ، وَلِلشَّفِيعِ أَخْذُ الشُّفْعَةِ بِمِثْلِ الْحَقِّ الَّذِي وَقَعَ بِهِ الصُّلْحُ إنْ كَانَ لَهُ مِثْلٌ أَوْ قِيمَتُهُ إنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلٌ،

Jika ia berdamai dalam sengketa atas suatu bagian, menurut pendapat Syafi’i, hal itu tidak diperbolehkan kecuali jika pihak yang digugat mengakui gugatan tersebut, maka boleh. Syafi’ berhak mengambil syuf’ah dengan hak yang setara dengan kesepakatan damai jika ada yang serupa, atau nilainya jika tidak ada yang serupa.

 

وَلَوْ أَقَامَ رَجُلَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةً أَنَّهُ اشْتَرَى مِنْ هَذِهِ الدَّارِ شِقْصًا، وَأَرَادَ أَخْذَ شِقْصِ صَاحِبِهِ بِشُفْعَتِهِ فَإِنْ وَقَّتَتْ الْبَيِّنَةُ فَاَلَّذِي سَبَقَ بِالْوَقْتِ لَهُ الشُّفْعَةُ، وَإِنْ لَمْ تُؤَقِّتَ وَقْتًا بَطَلَتْ الشُّفْعَةُ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَا اشْتَرَيَا مَعًا وَحَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا لِصَاحِبِهِ عَلَى مَا ادَّعَاهُ.

Jika dua orang masing-masing menghadirkan bukti bahwa mereka membeli bagian dari rumah ini, dan salah satu ingin mengambil bagian yang lain dengan hak syuf’ah-nya, maka jika bukti tersebut menyebutkan waktu, yang lebih dahulu waktunya berhak syuf’ah. Jika tidak disebutkan waktunya, syuf’ah batal karena mungkin mereka membeli bersamaan, dan masing-masing bersumpah atas klaimnya.

 

وَلَوْ أَنَّ الْبَائِعَ قَالَ: قَدْ بِعْت مِنْ فُلَانٍ شِقْصِي بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَأَنَّهُ قَبَضَ الشِّقْصَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فُلَانٌ وَادَّعَاهُ الشَّفِيعُ فَإِنَّ الشَّفِيعَ يَدْفَعُ الْأَلْفَ إلَى الْبَائِعِ، وَيَأْخُذُ الشِّقْصَ.

Jika penjual berkata: “Aku telah menjual bagianku kepada si fulan seharga seribu dirham, dan ia telah menerima bagian itu,” lalu fulan mengingkarinya dan syafi’ mengklaimnya, maka syafi’ harus membayar seribu dirham kepada penjual dan mengambil bagian tersebut.

 

وَإِذَا كَانَ لِلشِّقْصِ ثَلَاثَةُ شُفَعَاءَ فَشَهِدَ اثْنَانِ عَلَى تَسْلِيمِ الثَّالِثِ فَإِنْ كَانَا سَلَّمَا جَازَتْ شَهَادَتُهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا لَا يَجُرَّانِ إلَى أَنْفُسِهِمَا، وَإِنْ لَمْ يَكُونَا سَلَّمَا لَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا يَجُرَّانِ إلَى أَنْفُسِهِمَا مَا سَلَّمَهُ صَاحِبُهُمَا، وَلَوْ ادَّعَى الشَّفِيعُ عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ اشْتَرَى الشِّقْصَ الَّذِي فِي يَدَيْهِ مِنْ صَاحِبِهِ الْغَائِبِ وَدَفَعَ إلَيْهِ ثَمَنَهُ، وَأَقَامَ عَدْلَيْنِ بِذَلِكَ عَلَيْهِ أَخَذَ بِشُفْعَتِهِ وَنَفَذَ الْحُكْمُ بِالْبَيْعِ عَلَى صَاحِبِهِ الْغَائِبِ.

 

 

Dan jika suatu bagian memiliki tiga orang syuf’ah (pemilik hak syuf’ah), lalu dua orang bersaksi atas penyerahan oleh yang ketiga, jika keduanya telah menyerahkan, maka kesaksian mereka diterima karena mereka tidak menarik keuntungan untuk diri mereka sendiri. Namun jika keduanya belum menyerahkan, kesaksian mereka tidak diterima karena mereka menarik untuk diri mereka sendiri apa yang telah diserahkan oleh rekan mereka. Dan jika seorang syuf’ah menuduh seseorang bahwa ia telah membeli bagian yang ada di tangannya dari pemiliknya yang tidak hadir dan telah membayar harganya, serta mendatangkan dua saksi adil atas hal itu, maka hak syuf’ahnya diterima dan keputusan jual beli dijalankan terhadap pemiliknya yang tidak hadir.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا قَوْلُ الْكُوفِيِّينَ وَهُوَ عِنْدِي تَرْكٌ لِأَصْلِهِمْ فِي أَنَّهُ لَا يَقْضِي عَلَى غَائِبٍ وَهَذَا غَائِبٌ قَضَى عَلَيْهِ بِأَنَّهُ بَاعَ وَقَبَضَ الثَّمَنَ وَأَبْرَأَ مِنْهُ إلَيْهِ الْمُشْتَرِي وَبِذَلِكَ أَوْجَبُوا الشُّفْعَةَ لِلشَّفِيعِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – ini adalah pendapat orang-orang Kufah, dan menurutku hal itu meninggalkan prinsip mereka bahwa tidak boleh memutuskan hukum atas orang yang tidak hadir. Padahal ini adalah orang yang tidak hadir, namun diputuskan hukum atasnya bahwa ia telah menjual, menerima harga, dan membebaskan pembeli darinya. Dengan itu, mereka mewajibkan hak syuf’ah bagi orang yang berhak.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ اشْتَرَى شِقْصًا وَهُوَ شَفِيعٌ فَجَاءَ شَفِيعٌ آخَرُ فَقَالَ لَهُ الْمُشْتَرِي خُذْهَا كُلَّهَا بِالثَّمَنِ أَوْ دَعْ وَقَالَ هُوَ: بَلْ آخُذُ نِصْفَهَا كَانَ ذَلِكَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مِثْلُهُ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُلْزِمَ شُفْعَتَهُ لِغَيْرِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya dia membeli sebagian (harta) sebagai syafii (pemegang hak syuf’ah), lalu datang syafii lain, maka pembeli berkata kepadanya: ‘Ambil seluruhnya dengan harga ini atau tinggalkan.’ Namun syafii itu berkata: ‘Aku hanya akan mengambil setengahnya.’ Maka itu diperbolehkan baginya, karena dia memiliki hak yang sama, dan dia tidak boleh memaksakan hak syuf’ahnya untuk orang lain.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَلَوْ شَجَّهُ مُوضِحَةً عَمْدًا فَصَالَحَهُ مِنْهَا عَلَى شِقْصٍ وَهُمَا يَعْلَمَانِ أَرْشَ الْمُوضِحَةِ كَانَ لِلشَّفِيعِ أَخْذُهُ بِالْأَرْشِ، وَلَوْ اشْتَرَى ذِمِّيٌّ مِنْ ذِمِّيٍّ شِقْصًا بِخَمْرٍ أَوْ خِنْزِيرٍ وَتَقَابَضَا ثُمَّ قَامَ الشَّفِيعُ وَكَانَ نَصْرَانِيًّا أَوْ نَصْرَانِيَّةً فَأَسْلَمَ، وَلَمْ يَزَلْ مُسْلِمًا فَسَوَاءٌ لَا شُفْعَةَ لَهُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ؛ لِأَنَّ الْخَمْرَ وَالْخِنْزِيرَ لَا قِيمَةَ لَهُمَا عِنْدَهُ بِحَالٍ، وَالْمُسْلِمُ وَالذِّمِّيُّ فِي الشُّفْعَةِ سَوَاءٌ، وَلَا شُفْعَةَ فِي عَبْدٍ، وَلَا أَمَةٍ، وَلَا دَابَّةٍ، وَلَا مَا لَا يَصْلُحُ فِيهِ الْقَسْمُ هَذَا كُلُّهُ قِيَاسُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ، وَمَعْنَاهُ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

Al-Muzanni berkata: “Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang jelas secara sengaja, lalu mereka berdamai dengan sebagian (harta), sedangkan mereka berdua mengetahui diyat luka tersebut, maka syafi’ (pemilik hak syuf’ah) berhak mengambilnya dengan membayar diyat. Jika seorang dzimmi membeli bagian (harta) dari dzimmi lainnya dengan anggur atau babi, lalu keduanya saling menerima (transaksi), kemudian syafi’ (yang sebelumnya Nasrani) masuk Islam dan tetap sebagai Muslim, maka menurut qiyas pendapatnya (Syafi’i), tidak ada hak syuf’ah baginya karena anggur dan babi tidak memiliki nilai sama sekali baginya. Muslim dan dzimmi dalam syuf’ah adalah sama. Tidak ada syuf’ah dalam budak laki-laki, budak perempuan, hewan ternak, atau sesuatu yang tidak bisa dibagi. Semua ini adalah qiyas dari pendapat Syafi’i dan maknanya. Wallahu a’lam bish-shawab.”

مُخْتَصَرُ الْقِرَاضِ إمْلَاءً

 

Ringkasan Al-Qiradh yang Didiktekan

 

، وَمَا دَخَلَ فِي ذَلِكَ مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَرُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ صَيَّرَ رِبْحَ ابْنَيْهِ فِي الْمَالِ الَّذِي تَسَلَّفَا بِالْعِرَاقِ فَرَبِحَا فِيهِ بِالْمَدِينَةِ فَجَعَلَهُ قِرَاضًا عِنْدَمَا قَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ لَوْ جَعَلْته قِرَاضًا فَفَعَلَ وَأَنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – دَفَعَ مَالًا قِرَاضًا عَلَى النِّصْفِ.

 

 

Dan apa yang termasuk dalam hal itu dari kitab Ikhtilaf Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila (Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab -radhiyallahu ‘anhu- bahwa ia menjadikan keuntungan kedua putranya dari harta yang mereka pinjam di Irak, lalu mereka berdua mendapat untung di Madinah, maka Umar menjadikannya sebagai qiradh ketika seorang sahabatnya berkata kepadanya, “Seandainya engkau menjadikannya qiradh,” maka ia pun melakukannya. Dan sesungguhnya Umar -radhiyallahu ‘anhu- menyerahkan harta secara qiradh dengan bagi hasil separuh.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَا يَجُوزُ الْقِرَاضُ إلَّا فِي الدَّنَانِيرِ وَالدَّرَاهِمِ الَّتِي هِيَ أَثْمَانٌ لِلْأَشْيَاءِ وَقِيَمِهَا. (قَالَ) : وَإِنْ قَارَضَهُ، وَجَعَلَ رَبُّ الْمَالِ مَعَهُ غُلَامَهُ وَشَرَطَ أَنَّ الرِّبْحَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْعَامِلِ وَالْغُلَامِ أَثْلَاثًا فَهُوَ جَائِزٌ، وَكَانَ لِرَبِّ الْمَالِ الثُّلُثَانِ وَلِلْعَامِلِ الثُّلُثُ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَارِضَهُ إلَى مُدَّةٍ مِنْ الْمُدَدِ، وَلَا يَشْتَرِطَ أَحَدُهُمَا دِرْهَمًا عَلَى صَاحِبِهِ، وَمَا بَقِيَ بَيْنَهُمَا أَوْ يَشْتَرِطَ أَنْ يُوَلِّيَهُ سِلْعَةً أَوْ عَلَى أَنْ يَرْتَفِقَ أَحَدُهُمَا فِي ذَلِكَ بِشَيْءٍ دُونَ صَاحِبِهِ أَوْ يَشْتَرِطَ أَنْ لَا يَشْتَرِيَ إلَّا مِنْ فُلَانٍ أَوْ لَا يَشْتَرِي إلَّا سِلْعَةً بِعَيْنِهَا وَاحِدَةً أَوْ نَخْلًا أَوْ دَوَابَّ يَطْلُبُ ثَمَرَ النَّخْلِ وَنِتَاجَ الدَّوَابِّ وَبِحَبْسِ رِقَابِهَا فَإِنْ فَعَلَ فَذَلِكَ كُلُّهُ فَاسِدٌ فَإِنْ عَمِلَ فِيهِ فَلَهُ أَجْرُ مِثْلِهِ وَالرِّبْحُ وَالْمَالُ لِرَبِّهِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Qirad (mudharabah) tidak boleh dilakukan kecuali dengan dinar dan dirham yang menjadi harga dan nilai barang.” (Beliau juga berkata): “Jika seseorang melakukan qirad, dan pemilik modal menyertakan budaknya serta mensyaratkan bahwa keuntungan dibagi antara dirinya, pekerja, dan budak menjadi tiga bagian, maka itu diperbolehkan. Pemilik modal mendapat dua pertiga, sedangkan pekerja mendapat sepertiga. Tidak boleh melakukan qirad dengan batasan waktu tertentu, atau salah satu pihak mensyaratkan dirham tertentu atas pihak lainnya, atau mensyaratkan untuk menjual barang tertentu, atau salah satu pihak mendapat keuntungan lebih dari yang lain, atau mensyaratkan hanya boleh membeli dari orang tertentu, atau hanya boleh membeli satu jenis barang tertentu, atau membeli pohon kurma atau hewan ternak dengan tujuan mengambil buah kurma atau anak hewan ternak sambil menahan induknya. Jika hal itu dilakukan, maka seluruhnya batal. Jika pekerja tetap bekerja, ia berhak mendapat upah sepadan, sedangkan keuntungan dan modal kembali kepada pemiliknya.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ اشْتَرَطَ أَنْ يَشْتَرِيَ صِنْفًا مَوْجُودًا فِي الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ فَجَائِزٌ، وَإِذَا سَافَرَ كَانَ لَهُ أَنْ يَكْتَرِيَ مِنْ الْمَالِ مَنْ يَكْفِيهِ بَعْضَ الْمُؤْنَةِ مِنْ الْأَعْمَالِ الَّتِي لَا يَعْمَلُهَا الْعَامِلُ وَلَهُ النَّفَقَةُ بِالْمَعْرُوفِ، وَإِنْ خَرَجَ بِمَالٍ لِنَفْسِهِ كَانَتْ النَّفَقَةُ عَلَى قَدْرِ الْمَالَيْنِ بِالْحِصَصِ، وَمَا اشْتَرَى فَلَهُ الرَّدُّ بِالْعَيْبِ وَكَذَلِكَ الْوَكِيلُ، وَإِنْ اشْتَرَى وَبَاعَ بِالدَّيْنِ فَضَامِنٌ إلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ وَهُوَ مُصَدَّقٌ فِي ذَهَابِ الْمَالِ مَعَ يَمِينِهِ، وَإِذَا اشْتَرَى مَنْ يُعْتَقُ عَلَى رَبِّ الْمَالِ بِإِذْنِهِ عَتَقَ، وَإِنْ كَانَ بِغَيْرِ إذْنِهِ فَالْمُضَارِبُ ضَامِنٌ وَالْعَبْدُ لَهُ وَالْمَالِكُ إنَّمَا أَمَرَهُ أَنْ يَشْتَرِيَ مَنْ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَرْبَحَ فِي بَيْعِهِ فَكَذَلِكَ الْعَبْدُ الْمَأْذُونُ لَهُ فِي التِّجَارَةِ يَشْتَرِي أَبَا سَيِّدِهِ فَالشِّرَاءُ مَفْسُوخٌ؛ لِأَنَّهُ مُخَالِفٌ، وَلَا مَالَ لَهُ.

 

 

(Dia berkata): “Jika dia mensyaratkan untuk membeli barang yang tersedia di musim dingin dan musim panas, maka itu diperbolehkan. Jika dia bepergian, dia boleh menyewa seseorang dari harta itu yang dapat mencukupi sebagian kebutuhannya dari pekerjaan yang tidak dilakukan oleh pekerja, dan dia berhak mendapatkan nafkah secara wajar. Jika dia keluar dengan membawa harta untuk dirinya sendiri, maka nafkah dibagi sesuai porsi kedua harta. Apa yang dia beli, dia berhak mengembalikannya karena cacat, begitu juga wakil. Jika dia membeli atau menjual dengan hutang, maka dia menanggung kecuali jika diizinkan, dan dia dipercaya atas hilangnya harta dengan sumpahnya. Jika dia membeli seseorang yang dimerdekakan atas nama pemilik harta dengan izinnya, maka dia merdeka. Jika tanpa izin, maka mudharib menanggung, dan budak itu miliknya. Pemilik hanya memerintahkannya untuk membeli orang yang halal baginya untuk mendapatkan keuntungan dalam penjualannya. Begitu juga budak yang diizinkan berdagang, jika dia membeli ayah tuannya, maka pembelian itu batal karena bertentangan dan dia tidak memiliki harta.”

 

(وَقَالَ) فِي كِتَابِ الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ فِي شِرَاءِ الْعَبْدِ مَنْ يُعْتَقُ عَلَى مَوْلَاهُ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا جَائِزٌ وَالْآخَرُ لَا يَجُوزُ.

 

 

(Dan dia berkata) dalam kitab Ad-Da’wa wal Bayyinat tentang pembelian budak yang dimerdekakan kepada tuannya, ada dua pendapat: salah satunya boleh dan yang lainnya tidak boleh.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : قِيَاسُ قَوْلِهِ الَّذِي قَطَعَ بِهِ أَنَّ الْبَيْعَ مَفْسُوخٌ؛ لِأَنَّهُ لَا ذِمَّةَ لَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Qiyas dari perkataannya yang ia putuskan bahwa jual beli itu batal, karena tidak ada tanggungan baginya.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika orang yang melakukan qiradh (mudharabah) membeli dirinya sendiri dengan harta pemilik modal, baik dalam harta tersebut terdapat kelebihan atau tidak, maka hukumnya sama. Dia tidak boleh memerdekakan dirinya, karena dia hanya berkedudukan sebagai wakil yang membeli untuk orang lain, sehingga jual belinya sah. Pekerja tidak mendapatkan keuntungan kecuali setelah pemilik modal menerima hartanya. Pemilik modal tidak akan menerima hartanya kecuali setelah dia menjual dirinya sendiri. Seandainya pekerja memiliki sebagian keuntungan sebelum harta tersebut sampai kepada pemiliknya, maka dia menjadi mitra bagi pemilik modal. Jika terjadi kerugian hingga tidak tersisa kecuali kurang dari modal awal, maka dia menjadi mitra dalam sisa harta yang ada. Karena siapa yang memiliki sesuatu yang berlebih, maka dia juga memilikinya ketika berkurang.

 

(قَالَ) : وَمَتَى شَاءَ رَبُّهُ أَخْذَ مَالِهِ قَبْلَ الْعَمَلِ وَبَعْدَهُ، وَمَتَى شَاءَ الْعَامِلُ أَنْ يَخْرُجَ مِنْ الْقِرَاضِ خَرَجَ مِنْهُ، وَإِنْ مَاتَ رَبُّ الْمَالِ صَارَ لِوَارِثِهِ فَإِنْ رَضِيَ تَرَكَ الْمُقَارِضَ عَلَى قِرَاضِهِ، وَإِلَّا فَقَدْ انْفَسَخَ قِرَاضُهُ، وَإِنْ مَاتَ الْعَامِلُ لَمْ يَكُنْ لِوَارِثِهِ أَنْ يَعْمَلَ مَكَانَهُ، وَيَبِيعَ مَا كَانَ فِي يَدَيْهِ مَعَ مَا كَانَ مِنْ ثِيَابٍ أَوْ أَدَاةِ السَّفَرِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا قَلَّ أَوْ كَثُرَ فَإِنْ كَانَ فِيهِ فَضْلٌ كَانَ لِوَارِثِهِ، وَإِنْ كَانَ خُسْرَانٌ كَانَ ذَلِكَ، وَإِنْ قَارَضَ الْعَامِلُ بِالْمَالِ آخَرَ بِغَيْرِ إذْنِ صَاحِبِهِ فَهُوَ ضَامِنٌ فَإِنْ رَبِحَ فَلِصَاحِبِ الْمَالِ شَطْرُ الرِّبْحِ ثُمَّ يَكُونُ لِلَّذِي عَمِلَ شَطْرُهُ فِيمَا يَبْقَى. (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا قَوْلُهُ قَدِيمًا وَأَصْلُ قَوْلِهِ الْجَدِيدِ الْمَعْرُوفِ أَنَّ كُلَّ عَقْدٍ فَاسِدٍ لَا يَجُوزُ، وَإِنْ جُوِّزَ حَتَّى يُبْتَدَأَ بِمَا يَصْلُحُ فَإِنْ كَانَ اشْتَرَى بِعَيْنِ الْمَالِ فَهُوَ فَاسِدٌ، وَإِنْ كَانَ اشْتَرَى بِغَيْرِ الْعَيْنِ فَالشِّرَاءُ جَائِزٌ وَالرِّبْحُ وَالْخُسْرَانُ لِلْمُقَارِضِ الْأَوَّلِ وَعَلَيْهِ الضَّمَانُ وَلِلْعَامِلِ الثَّانِي أَجْرُ مِثْلِهِ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Kapan saja pemilik modal menghendaki untuk mengambil hartanya, baik sebelum atau setelah pekerjaan, dan kapan saja pekerja ingin keluar dari qiradh (perjanjian bagi hasil), ia boleh keluar. Jika pemilik modal meninggal, harta itu menjadi milik ahli warisnya. Jika mereka setuju, mereka boleh membiarkan muqaridh (penerima modal) melanjutkan qiradh-nya; jika tidak, qiradh-nya batal. Jika pekerja meninggal, ahli warisnya tidak berhak menggantikan posisinya atau menjual apa yang ada di tangannya, termasuk pakaian, peralatan perjalanan, atau lainnya, baik sedikit maupun banyak. Jika ada kelebihan, itu menjadi milik ahli warisnya; jika ada kerugian, itu ditanggung. Jika pekerja mengadakan qiradh dengan orang lain tanpa izin pemilik modal, ia bertanggung jawab. Jika ada keuntungan, separuh untuk pemilik modal, separuh lagi untuk pekerja yang tersisa.” (Al-Muzani berkata): “Ini adalah pendapat lamanya, sedangkan dasar pendapat barunya yang terkenal adalah bahwa setiap akad yang rusak tidak boleh, meskipun diizinkan hingga dimulai dengan yang sah. Jika membeli dengan modal asli, itu rusak; jika membeli dengan selain modal asli, pembelian itu boleh, dan keuntungan atau kerugian untuk muqaridh pertama, dengan tanggung jawab padanya, sedangkan pekerja kedua mendapat upah sepadan menurut qiyas pendapatnya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ حَالَ عَلَى سِلْعَةٍ فِي الْقِرَاضِ حَوْلٌ وَفِيهَا رِبْحٌ فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّ الزَّكَاةَ عَلَى رَأْسِ الْمَالِ وَالرِّبْحَ وَحِصَّةَ رِبْحِ صَاحِبِهِ، وَلَا زَكَاةَ عَلَى الْعَامِلِ؛ لِأَنَّ رِبْحَهُ فَائِدَةٌ فَإِنْ حَالَ الْحَوْلُ مُنْذُ قُوِّمَ صَارَ لِلْمُقَارِضِ رِبْحُ زَكَاةٍ مَعَ الْمَالِ؛ لِأَنَّهُ خَلِيطٌ بِرِبْحِهِ، وَإِنْ رَجَعَتْ السِّلْعَةُ إلَى رَأْسِ الْمَالِ كَانَ لِرَبِّ الْمَالِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika telah berlalu haul (satu tahun) pada barang dalam qirad (perdagangan) dan terdapat keuntungan, maka ada dua pendapat. Salah satunya: bahwa zakat wajib atas modal, keuntungan, dan bagian keuntungan pemiliknya, dan tidak ada zakat bagi pekerja (amil) karena keuntungannya adalah hasil usaha. Jika haul telah berlalu sejak barang dinilai, maka keuntungan zakat menjadi milik pemberi modal bersama dengan modalnya karena ia bercampur dengan keuntungannya. Jika barang kembali ke modal asal, maka menjadi milik pemilik modal.

 

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهَا تُزَكَّى بِرِبْحِهَا لِحَوْلِهَا؛ لِأَنَّهَا لِرَبِّ الْمَالِ، وَلَا شَيْءَ لِلْعَامِلِ فِي الرِّبْحِ إلَّا بَعْدَ أَنْ يُسَلَّمَ إلَى رَبِّ الْمَالِ مَالُهُ.

 

 

Pendapat kedua menyatakan bahwa harta tersebut dizakati berdasarkan keuntungannya karena haulnya, karena keuntungan itu milik pemilik modal, dan pekerja tidak memiliki bagian dalam keuntungan kecuali setelah modal diserahkan kembali kepada pemiliknya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ لَوْ اشْتَرَى الْعَامِلُ أَبَاهُ وَفِي الْمَالِ رِبْحٌ كَانَ لَهُ بَيْعُهُ فَلَوْ مَلَكَ مِنْ أَبِيهِ شَيْئًا لَعَتَقَ عَلَيْهِ، وَهَذَا دَلِيلٌ مِنْ قَوْلِهِ عَلَى أَحَدِ قَوْلَيْهِ، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَوْ كَانَ لَهُ رِبْحٌ قَبْلَ دَفْعِ الْمَالِ إلَى رَبِّهِ لَكَانَ بِهِ شَرِيكًا وَلَوْ خَسِرَ حَتَّى لَا يَبْقَى إلَّا قَدْرَ رَأْسِ الْمَالِ كَانَ فِيمَا بَقِيَ شَرِيكًا؛ لِأَنَّ مَنْ مَلَكَ شَيْئًا زَائِدًا مَلَكَهُ نَاقِصًا.

 

 

(Al-Muzani berkata): Ini lebih mirip dengan pendapatnya; karena dia berkata, “Seandainya pekerja membeli ayahnya dan ada keuntungan dalam harta tersebut, maka dia berhak menjualnya. Jika dia memiliki sesuatu dari ayahnya, maka itu akan merdekakan baginya.” Ini adalah dalil dari perkataannya yang mendukung salah satu dari dua pendapatnya. Imam Syafi’i -rahimahullah- juga berkata, “Seandainya dia memiliki keuntungan sebelum menyerahkan harta kepada pemiliknya, maka dia menjadi mitra. Jika terjadi kerugian hingga hanya tersisa modal pokok, maka dia tetap menjadi mitra dalam sisa harta tersebut, karena siapa yang memiliki sesuatu yang berlebih, maka dia juga memilikinya saat berkurang.”

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan kapan saja pemilik harta menghendaki untuk mengambil hartanya, maka itu haknya. Dan kapan saja pekerja ingin keluar dari qiradh (perdagangan bagi hasil), maka itu juga haknya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهَذِهِ مَسَائِلُ أَجَبْتُ فِيهَا عَلَى قَوْلِهِ وَقِيَاسِهِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

(Al-Muzani) berkata: – semoga Allah merahmatinya – “Dan ini adalah beberapa masalah yang telah aku jawab berdasarkan perkataan dan qiyasnya. Hanya kepada Allah pertolongan.”

 

(Al-Muzani berkata): Di antaranya adalah jika seseorang memberikan seribu dirham kepadanya dan berkata, “Ambillah ini dan belikan untukku barang dari Herat atau Marw dengan separuhnya,” maka hal itu tidak sah karena tidak jelas. Jika dia membeli, maka itu boleh dan dia berhak mendapat upah sepadan. Namun jika dia menjual, maka itu batal karena penjualan tanpa perintahnya.

 

(قَالَ) : فَإِنْ قَالَ خُذْهَا قِرَاضًا أَوْ مُضَارَبَةً عَلَى مَا شَرَطَ فُلَانٌ مِنْ الرِّبْحِ لِفُلَانٍ فَإِنْ عَلِمَا ذَلِكَ فَجَائِزٌ، وَإِنْ جَهِلَاهُ أَوْ أَحَدُهُمَا فَفَاسِدٌ فَإِنْ قَارَضَهُ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ عَلَى أَنَّ ثُلُثَ رِبْحِهَا لِلْعَامِلِ، وَمَا بَقِيَ مِنْ الرِّبْحِ فَثُلُثُهُ لِرَبِّ الْمَالِ وَثُلُثَاهُ لِلْعَامِلِ فَجَائِزٌ؛ لِأَنَّ الْأَجْزَاءَ مَعْلُومَةٌ، وَإِنْ قَارَضَهُ عَلَى دَنَانِيرَ فَحَصَلَ فِي يَدَيْهِ دَرَاهِمُ أَوْ عَلَى دَرَاهِمَ فَحَصَلَ فِي يَدَيْهِ دَنَانِيرُ فَعَلَيْهِ بَيْعُ مَا حَصَلَ حَتَّى يَصِيرَ مِثْلَ مَا لِرَبِّ الْمَالِ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ وَإِذَا دَفَعَ مَالًا قِرَاضًا فِي مَرَضِهِ وَعَلَيْهِ دُيُونٌ ثُمَّ مَاتَ بَعْدَ أَنْ اشْتَرَى وَبَاعَ وَرَبِحَ أَخَذَ الْعَامِلُ رِبْحَهُ وَاقْتَسَمَ الْغُرَمَاءُ مَا بَقِيَ مِنْ مَالِهِ.

 

 

(Dia berkata): Jika dia mengatakan, “Ambillah ini sebagai qiradh atau mudharabah dengan syarat keuntungan yang telah ditetapkan si fulan untuk si fulan,” jika keduanya mengetahuinya maka boleh, dan jika keduanya atau salah satunya tidak mengetahuinya maka tidak sah. Jika dia mengadakan qiradh dengan seribu dirham dengan ketentuan sepertiga keuntungannya untuk pekerja, dan sisa keuntungannya sepertiga untuk pemilik modal dan dua pertiganya untuk pekerja, maka itu boleh karena bagian-bagiannya diketahui. Jika dia mengadakan qiradh dengan dinar lalu yang ada di tangannya adalah dirham, atau dengan dirham lalu yang ada di tangannya adalah dinar, maka dia harus menjual apa yang ada sampai menjadi seperti milik pemilik modal menurut qias perkataannya. Dan jika dia menyerahkan harta sebagai qiradh saat sakit sementara dia memiliki utang, lalu dia meninggal setelah membeli, menjual, dan mendapat untung, maka pekerja mengambil keuntungannya dan para kreditur membagi sisa hartanya.

 

 

وَإِنْ اشْتَرَى عَبْدًا وَقَالَ الْعَامِلُ: اشْتَرَيْته لِنَفْسِي بِمَالِي وَقَالَ رَبُّ الْمَالِ: بَلْ فِي الْقِرَاضِ بِمَالِي فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْعَامِلِ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّهُ فِي يَدِهِ وَالْآخَرُ مُدَّعٍ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ، وَإِنْ قَالَ الْعَامِلُ: اشْتَرَيْته مِنْ مَالِ الْقِرَاضِ فَقَالَ رَبُّ الْمَالِ: بَلْ لِنَفْسِك وَفِيهِ خُسْرَانٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْعَامِلِ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّهُ مُصَدَّقٌ فِيمَا فِي يَدَيْهِ وَلَوْ قَالَ الْعَامِلُ: اشْتَرَيْت هَذَا الْعَبْدَ بِجَمِيعِ الْأَلْفِ الْقِرَاضِ ثُمَّ اشْتَرَيْت الْعَبْدَ الثَّانِيَ بِتِلْكَ الْأَلْفِ قَبْلَ أَنْ أَنْقُدَ كَانَ الْأَوَّلُ فِي الْقِرَاضِ وَالثَّانِي لِلْعَامِلِ وَعَلَيْهِ الثَّمَنُ، وَإِنْ نَهَى رَبُّ الْمَالِ الْعَامِلَ أَنْ يَشْتَرِيَ، وَيَبِيعَ وَفِي يَدَيْهِ عَرَضٌ اشْتَرَاهُ فَلَهُ بَيْعُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي يَدَيْهِ عَيْنٌ فَاشْتَرَى فَهُوَ مُتَعَدٍّ وَالثَّمَنُ فِي ذِمَّتِهِ وَالرِّبْحُ لَهُ وَالْوَضِيعَةُ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ اشْتَرَى بِالْمَالِ بِعَيْنِهِ فَالشِّرَاءُ بَاطِلٌ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ، وَيَتَرَادَّانِ حَتَّى تَرْجِعَ السِّلْعَةُ إلَى الْأَوَّلِ فَإِنْ هَلَكَتْ فَلِصَاحِبِهَا قِيمَتُهَا عَلَى الْأَوَّلِ، وَيَرْجِعُ بِهَا الْأَوَّلُ عَلَى الثَّانِي، وَيَتَرَادَّانِ الثَّمَنَ الْمَدْفُوعَ وَلَوْ قَالَ الْعَامِلُ رَبِحْت أَلْفًا ثُمَّ قَالَ غَلِطْت أَوْ خِفْت نَزْعَ الْمَالِ مِنِّي فَكَذَبْت لَزِمَهُ إقْرَارُهُ، وَلَمْ يَنْفَعْهُ رُجُوعُهُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ. وَلَوْ اشْتَرَى الْعَامِلُ أَوْ بَاعَ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ فَبَاطِلٌ وَهُوَ لِلْمَالِ ضَامِنٌ.

 

 

Dan jika dia membeli seorang budak, lalu pekerja (amil) berkata: “Aku membelinya untuk diriku dengan hartaku,” sedangkan pemilik modal berkata: “Tidak, itu dengan modalku dalam qirad,” maka perkataan yang diterima adalah perkataan pekerja disertai sumpahnya, karena barang itu ada di tangannya, sedangkan pihak lain hanya mengklaim, maka dia harus mendatangkan bukti. Jika pekerja berkata: “Aku membelinya dari modal qirad,” lalu pemilik modal berkata: “Tidak, itu untuk dirimu sendiri dan ada kerugian di dalamnya,” maka perkataan yang diterima adalah perkataan pekerja disertai sumpahnya, karena dia dipercaya atas apa yang ada di tangannya. Jika pekerja berkata: “Aku membeli budak ini dengan seluruh seribu qirad, lalu aku membeli budak kedua dengan seribu itu sebelum aku menyerahkan uangnya,” maka budak pertama termasuk dalam qirad, sedangkan budak kedua milik pekerja, dan dia wajib membayar harganya. Jika pemilik modal melarang pekerja untuk membeli atau menjual, tetapi di tangan pekerja ada barang yang dia beli, maka dia boleh menjualnya. Jika di tangannya ada barang tertentu lalu dia membeli, maka dia telah melampaui batas, harga barang menjadi tanggungannya, keuntungan untuknya, dan kerugian ditanggungnya. Jika dia membeli dengan modal tertentu, maka pembelian itu batal menurut pendapat yang diqiyaskan, dan keduanya harus saling mengembalikan hingga barang kembali ke pemilik pertama. Jika barang itu rusak, maka pemiliknya berhak mendapatkan nilainya dari pembeli pertama, dan pembeli pertama dapat menuntut pembeli kedua, serta keduanya saling mengembalikan harga yang telah dibayarkan. Jika pekerja berkata: “Aku mendapat untung seribu,” lalu Beliau berkata: “Aku keliru atau takut modal akan diambil dariku, maka aku berbohong,” maka pengakuannya tetap berlaku, dan pembatalannya tidak bermanfaat menurut qiyas pendapat tersebut. Jika pekerja membeli atau menjual dengan harga yang tidak wajar menurut kebiasaan orang, maka transaksi itu batal, dan dia harus menanggung modal tersebut.

 

 

وَلَوْ اشْتَرَى فِي الْقِرَاضِ خَمْرًا أَوْ خِنْزِيرًا أَوْ أُمَّ وَلَدٍ دَفَعَ الثَّمَنَ فَالشِّرَاءُ بَاطِلٌ، وَهُوَ لِلْمَالِ ضَامِنٌ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ.

 

 

Jika dalam qirad (akad mudharabah) seseorang membeli khamr, babi, atau ummu walad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya) dengan membayar harganya, maka pembelian itu batal dan dia bertanggung jawab atas harta tersebut menurut qiyas pendapatnya.

 

الْمُسَاقَاةُ مَجْمُوعَةٌ مِنْ إمْلَاءٍ وَمَسَائِلَ شَتَّى

 

Musaqah adalah kumpulan dari imla’ dan berbagai masalah.

 

جَمَعْتهَا مِنْهُ لَفْظًا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: «سَاقَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَهْلَ خَيْبَرَ عَلَى أَنَّ نِصْفَ الثَّمَرِ لَهُمْ وَكَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ فَيُخَرَّصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ ثُمَّ يَقُولُ إنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ، وَإِنْ شِئْتُمْ فَلِي» .

 

 

Aku mengumpulkannya darinya secara lisan (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya –: “Rasulullah ﷺ pernah melakukan muzara’ah dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan separuh hasil buah untuk mereka. Beliau mengutus Abdullah bin Rawahah untuk menaksir (hasil panen) antara beliau dan mereka, kemudian beliau bersabda, ‘Jika kalian mau, (separuh) itu untuk kalian, dan jika kalian mau, (separuh) itu untukku.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَعْنَى قَوْلِهِ فِي الْخَرْصِ إنْ شِئْتُمْ فَلَكُمْ، وَإِنْ شِئْتُمْ فَلِي أَنْ يَخْرُصَ النَّخْلَ كُلَّهُ كَأَنَّهُ خَرَصَهَا مِائَةَ وَسْقٍ وَعَشَرَةَ أَوْسُقٍ رُطَبًا ثُمَّ قَدَّرَ أَنَّهَا إذَا صَارَتْ تَمْرًا نَقَصَتْ عَشَرَةَ أَوْسُقٍ فَصَحَّتْ مِنْهَا مِائَةُ وَسْقٍ تَمْرًا فَيَقُولُ: إنْ شِئْتُمْ دَفَعْت إلَيْكُمْ النِّصْفَ الَّذِي لَيْسَ لَكُمْ الَّذِي أَنَا فِيهِ قَيِّمٌ لِأَهْلِهِ عَلَى أَنْ تَضْمَنُوا لِي خَمْسِينَ وَسْقًا تَمْرًا مِنْ تَمْرٍ يُسَمِّيهِ، وَيَصِفُهُ وَلَكُمْ أَنْ تَأْكُلُوهَا وَتَبِيعُوهَا رُطَبًا كَيْفَ شِئْتُمْ، وَإِنْ شِئْتُمْ فَلِي أَنْ أَكُونَ هَكَذَا مِثْلُكُمْ وَتُسَلِّمُونَ إلَيَّ نِصْفَكُمْ وَأَضْمَنُ لَكُمْ هَذِهِ الْمَكِيلَةَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Makna perkataannya dalam khars (perkiraan buah kurma) adalah, “Jika kalian mau, maka untuk kalian. Dan jika kalian mau, maka aku berhak memperkirakan seluruh pohon kurma seolah-olah aku memperkirakannya seratus wasaq dan sepuluh wasaq sebagai ruthab (kurma basah).” Kemudian dia memperkirakan bahwa ketika menjadi tamr (kurma kering), berkurang sepuluh wasaq sehingga menjadi seratus wasaq tamr. Lalu dia berkata, “Jika kalian mau, aku serahkan kepada kalian bagian yang bukan hak kalian yang aku menjadi penjaganya untuk pemiliknya, dengan syarat kalian menjamin untukku lima puluh wasaq tamr dari kurma yang dia sebutkan dan sifatkan. Dan kalian berhak memakannya dan menjualnya sebagai ruthab sesuka kalian. Jika kalian mau, maka aku berhak seperti kalian dan kalian menyerahkan separuh bagian kalian kepadaku, dan aku menjamin untuk kalian takaran ini.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا سَاقَى عَلَى النَّخْلِ أَوْ الْعِنَبِ بِجُزْءٍ مَعْلُومٍ فَهِيَ الْمُسَاقَاةُ الَّتِي سَاقَى عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَإِذَا دَفَعَ إلَيْهِ أَرْضًا بَيْضَاءَ عَلَى أَنْ يَزْرَعَهَا الْمَدْفُوعَةُ إلَيْهِ فَمَا أَخْرَجَ اللَّهُ مِنْهَا مِنْ شَيْءٍ فَلَهُ جُزْءٌ مَعْلُومٌ فَهَذِهِ الْمُخَابَرَةُ الَّتِي نَهَى عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَمْ تَرِدْ إحْدَى السُّنَّتَيْنِ بِالْأُخْرَى فَالْمُسَاقَاةُ جَائِزَةٌ بِمَا وَصَفْت فِي النَّخْلِ وَالْكَرْمِ دُونَ غَيْرِهِمَا؛ لِأَنَّهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – أَخَذَ صَدَقَةَ ثَمَرَتِهِمَا بِالْخَرْصِ، وَثَمَرُهُمَا مُجْتَمِعٌ بَائِنٌ مِنْ شَجَرِهِ لَا حَائِلَ دُونَهُ يَمْنَعُ إحَاطَةَ النَّاظِرِ إلَيْهِ وَثَمَرُ غَيْرِهِمَا مُتَفَرِّقٌ بَيْنَ أَضْعَافِ وَرَقٍ لَا يُحَاطُ بِالنَّظَرِ إلَيْهِ فَلَا تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ إلَّا عَلَى النَّخْلِ وَالْكَرْمِ وَتَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ سِنِينَ. وَإِذَا سَاقَاهُ عَلَى نَخْلٍ وَكَانَ فِيهِ بَيَاضٌ لَا يُوَصِّلُ إلَى عَمَلِهِ إلَّا الدُّخُولُ عَلَى النَّخْلِ وَكَانَ لَا يُوَصِّلُ إلَى سَقْيِهِ إلَّا بِشِرْكِ النَّخْلِ فِي الْمَاءِ فَكَانَ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ جَازَ أَنْ يُسَاقِيَ عَلَيْهِ مَعَ النَّخْلِ لَا مُنْفَرِدًا وَحْدَهُ وَلَوْلَا الْخَبَرُ فِيهِ عَنْ «النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ دَفَعَ إلَى أَهْلِ خَيْبَرَ النَّخْلَ عَلَى أَنَّ لَهُمْ النِّصْفَ مِنْ النَّخْلِ وَالزَّرْعِ وَلَهُ النِّصْفُ» وَكَانَ الزَّرْعُ كَمَا وَصَفْت بَيْنَ ظَهْرَانَيْ النَّخْلِ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ وَلَيْسَ لِلْمُسَاقِي فِي النَّخْلِ أَنْ يَزْرَعَ الْبَيَاضَ إلَّا بِإِذْنِ رَبِّهِ فَإِنْ فَعَلَ فَكَمَنْ زَرَعَ أَرْضَ غَيْرِهِ، وَلَا تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ إلَّا عَلَى جُزْءٍ مَعْلُومٍ قَلَّ ذَلِكَ أَوْ كَثُرَ، وَإِنْ سَاقَاهُ عَلَى أَنَّ لَهُ ثَمَرَ نَخَلَاتٍ بِعَيْنِهَا مِنْ الْحَائِطِ لَمْ يَجُزْ، وَكَذَلِكَ لَوْ اشْتَرَطَ أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ لَمْ يَجُزْ وَكَانَ لَهُ أُجْرَةُ مِثْلِهِ فِيمَا عَمِلَ وَلَوْ دَخَلَ فِي النَّخْلِ عَلَى الْإِجَارَةِ بِأَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَعْمَلَ، وَيَحْفَظَ بِشَيْءٍ مِنْ التَّمْرِ قَبْلَ أَنْ يَبْدُوَ صَلَاحُهُ فَالْإِجَارَةُ فَاسِدَةٌ وَلَهُ أَجْرُ مِثْلِهِ فِيمَا عَمِلَ وَكُلُّ مَا كَانَ فِيهِ مُسْتَزَادٍ فِي الثَّمَرِ مِنْ إصْلَاحِ الْمَاءِ وَطَرِيقِهِ وَتَصْرِيفِ الْجَرِيدِ، وَإِبَارِ النَّخْلِ وَقَطْعِ الْحَشِيشِ الْمُضِرِّ بِالنَّخْلِ وَنَحْوِهِ جَازَ شَرْطُهُ عَلَى الْعَامِلِ فَأَمَّا شَدُّ الْحِظَارِ فَلَيْسَ فِيهِ مُسْتَزَادٌ، وَلَا صَلَاحٌ فِي الثَّمَرَةِ فَلَا يَجُوزُ شَرْطُهُ عَلَى الْعَامِلِ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seseorang mengadakan perjanjian musaqah pada pohon kurma atau anggur dengan bagian yang diketahui, maka itulah musaqah yang dilakukan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun jika seseorang menyerahkan tanah kosong kepada orang lain untuk ditanami, lalu hasilnya dibagi dengan bagian tertentu, maka ini adalah mukhabarah yang dilarang oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Kedua sunnah ini tidak saling membatalkan. Musaqah diperbolehkan pada pohon kurma dan anggur saja, bukan yang lain, karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengambil zakat hasil keduanya dengan cara mengira-ngira (kharash). Buah keduanya terkumpul dan terpisah dari pohonnya, tidak ada penghalang yang menghalangi pandangan. Sedangkan buah selain keduanya tersebar di antara dedaunan sehingga tidak bisa dipandang secara utuh. Musaqah hanya boleh dilakukan pada pohon kurma dan anggur, dan boleh dilakukan untuk beberapa tahun.

 

Jika seseorang mengadakan musaqah pada kebun kurma yang ada tanah kosongnya, dimana untuk menggarapnya harus melewati kebun kurma, dan untuk mengairinya harus bersama-sama dengan pohon kurma sehingga tidak bisa dibedakan, maka boleh dijadikan satu dengan musaqah kurma, tidak boleh sendiri. Seandainya tidak ada hadits dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau menyerahkan kebun kurma Khaibar kepada penduduknya dengan perjanjian separuh hasil kurma dan tanaman untuk mereka dan separuh untuk beliau, sedangkan tanaman itu berada di sela-sela pohon kurma seperti yang disebutkan, maka hal itu tidak boleh. Orang yang menggarap musaqah tidak boleh menanami tanah kosong kecuali dengan izin pemiliknya. Jika dia melakukannya, maka seperti orang yang menanami tanah orang lain.

 

Musaqah hanya boleh dilakukan dengan bagian yang diketahui, sedikit atau banyak. Jika musaqah dilakukan dengan ketentuan hasil tertentu dari pohon kurma tertentu dalam kebun, maka tidak boleh. Demikian juga jika salah satu pihak mensyaratkan satu sha’ kurma, maka tidak boleh dan dia berhak mendapat upah sepadan atas pekerjaannya. Jika seseorang masuk ke kebun kurma dengan akad ijarah (sewa) dengan kewajiban bekerja dan menjaga dengan imbalan sebagian kurma sebelum matang, maka akad ijarahnya batal dan dia berhak mendapat upah sepadan atas pekerjaannya.

 

Segala sesuatu yang menambah hasil buah seperti memperbaiki saluran air, mengatur pelepah, mengawinkan pohon kurma, memotong rumput yang mengganggu kurma dan semisalnya, boleh disyaratkan kepada pekerja. Adapun mengikat pagar, tidak ada tambahan hasil maupun perbaikan pada buah, sehingga tidak boleh disyaratkan kepada pekerja.”

كِتَابُ الشَّرْطِ فِي الرَّقِيقِ يَشْتَرِطُهُمْ الْمُسَاقِي

 

Kitab syarat mengenai budak, mereka dipersyaratkan oleh para pengair.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُسَاقِي عَلَى رَبِّ النَّخْلِ غِلْمَانًا يَعْمَلُونَ مَعَهُ، وَلَا يَسْتَعْمِلُهُمْ فِي غَيْرِهِ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan tidak mengapa seorang pengair (pengelola air) mensyaratkan kepada pemilik pohon kurma agar menyediakan pekerja yang akan bekerja bersamanya, namun ia tidak boleh mempekerjakan mereka untuk selainnya.”

 

(قَالَ) : وَنَفَقَةُ الرَّقِيقِ عَلَى مَا يَتَشَارَطَانِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ نَفَقَةُ الرَّقِيقِ بِأَكْثَرَ مِنْ أُجْرَتِهِمْ فَإِذَا جَازَ أَنْ يَعْمَلُوا لِلْمُسَاقِي بِغَيْرِ أُجْرَةٍ جَازَ أَنْ يَعْمَلُوا لَهُ بِغَيْرِ نَفَقَةٍ.

 

 

Beliau berkata: “Nafkah budak tergantung pada apa yang disyaratkan oleh kedua belah pihak, dan nafkah budak tidak boleh melebihi upah mereka. Jika diperbolehkan mereka bekerja tanpa upah dalam sistem musaqah, maka diperbolehkan pula mereka bekerja tanpa nafkah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهَذِهِ مَسَائِلُ أَجَبْت فِيهَا عَلَى مَعْنَى قَوْلِهِ وَقِيَاسِهِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ. فَمِنْ ذَلِكَ لَوْ سَاقَاهُ عَلَى نَخْلٍ سِنِينَ مَعْلُومَةً عَلَى أَنْ يَعْمَلَا فِيهَا جَمِيعًا لَمْ يَجُزْ فِي مَعْنَى قَوْلِهِ قِيَاسًا عَلَى شَرْطِ الْمُضَارَبَةِ يَعْمَلَانِ فِي الْمَالِ جَمِيعًا فَمَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ أَعَانَهُ مَعُونَةً مَجْهُولَ الْغَايَةِ بِأُجْرَةٍ مَجْهُولَةٍ. وَلَوْ سَاقَاهُ عَلَى النِّصْفِ عَلَى أَنْ يُسَاقِيَهُ فِي حَائِطٍ آخَرَ عَلَى الثُّلُثِ لَمْ يَجُزْ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ كَالْبَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ، وَلَهُ فِي الْفَاسِدِ أَجْرُ مِثْلِهِ فِي عَمَلِهِ فَإِنْ سَاقَاهُ أَحَدُهُمَا نَصِيبَهُ عَلَى النِّصْفِ وَالْآخَرُ نَصِيبَهُ عَلَى الثُّلُثِ جَازَ وَلَوْ سَاقَاهُ عَلَى حَائِطٍ فِيهِ أَصْنَافٌ مِنْ دَقَلٍ وَعَجْوَةٍ وَصَيْحَانِيٍّ عَلَى أَنَّ لَهُ مِنْ الدَّقَلِ النِّصْفَ، وَمِنْ الْعَجْوَةِ الثُّلُثَ، وَمِنْ الصَّيْحَانِيِّ الرُّبُعَ وَهُمَا يَعْرِفَانِ كُلَّ صِنْفٍ كَانَ كَثَلَاثَةِ حَوَائِطَ مَعْرُوفَةٍ، وَإِنْ جَهِلَا أَوْ أَحَدُهُمَا كُلَّ صِنْفٍ لَمْ يَجُزْ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Inilah beberapa masalah yang aku jawab berdasarkan makna perkataannya dan qiyasnya, dan hanya kepada Allah lah taufik. Di antaranya: Jika dua orang mengadakan muzara’ah (bagi hasil pertanian) pada kebun kurma selama beberapa tahun tertentu dengan syarat keduanya bekerja bersama-sama, maka hal itu tidak boleh menurut makna perkataannya berdasarkan qiyas dengan syarat mudharabah (bagi hasil usaha) di mana keduanya bekerja bersama-sama pada harta tersebut. Maknanya adalah bahwa salah satu pihak membantu pihak lain dengan bantuan yang tidak diketahui batas akhirnya dengan upah yang tidak diketahui. Jika mereka berdua mengadakan muzara’ah dengan bagi hasil separuh dengan syarat salah satunya mengadakan muzara’ah di kebun lain dengan bagi hasil sepertiga, maka hal itu tidak boleh menurut qiyas perkataannya, seperti dua akad jual beli dalam satu akad. Namun dalam akad yang fasid (rusak) ini, dia berhak mendapatkan upah seperti pekerjaannya. Jika salah satu dari mereka mengadakan muzara’ah dengan bagi hasil separuh pada bagiannya dan yang lain dengan bagi hasil sepertiga pada bagiannya, maka hal itu boleh. Jika mereka berdua mengadakan muzara’ah pada suatu kebun yang terdiri dari berbagai jenis kurma seperti daqal, ajwah, dan shayhani, dengan ketentuan dia mendapat separuh dari daqal, sepertiga dari ajwah, dan seperempat dari shayhani, dan mereka berdua mengetahui setiap jenisnya, maka hal itu dianggap seperti tiga kebun yang diketahui. Namun jika mereka berdua atau salah satunya tidak mengetahui setiap jenisnya, maka hal itu tidak boleh.”

 

 

وَلَوْ سَاقَاهُ عَلَى نَخْلٍ عَلَى أَنَّ لِلْعَامِلِ ثُلُثَ الثَّمَرَةِ، وَلَمْ يَقُولَا غَيْرَ ذَلِكَ كَانَ جَائِزًا، وَمَا بَعْدَ الثُّلُثِ فَهُوَ لِرَبِّ النَّخْلِ، وَإِنْ اشْتَرَطَا أَنَّ لِلرَّبِّ النَّخْلِ ثُلُثَ الثَّمَرَةِ، وَلَمْ يَقُولَا غَيْرَ ذَلِكَ كَانَ فَاسِدًا؛ لِأَنَّ الْعَامِلَ لَمْ يَعْلَمْ نَصِيبَهُ وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا أَنَّ ثَمَرَ النَّخْلِ لِرَبِّهَا إلَّا مَا شَرَطَ مِنْهَا لِلْعَامِلِ فَلَا حَاجَةَ بِنَا إلَى الْمَسْأَلَةِ بَعْدَ نَصِيبِ الْعَامِلِ لِمَنْ الْبَاقِي. وَإِذَا اشْتَرَطَ رَبُّ النَّخْلِ لِنَفْسِهِ الثُّلُثَ، وَلَمْ يُبَيِّنْ نَصِيبَ الْعَامِلِ مِنْ الْبَاقِي فَنَصِيبُ الْعَامِلِ مَجْهُولٌ، وَإِذَا جُهِلَ النَّصِيبُ فَسَدَتْ الْمُسَاقَاةُ وَلَوْ كَانَتْ النَّخْلُ بَيْنَ رَجُلَيْنِ فَسَاقَى أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ عَلَى أَنَّ لِلْعَامِلِ ثُلُثَيْ الثَّمَرَةِ مِنْ جَمِيعِ النَّخْلِ وَلِلْآخَرِ الثُّلُثَ كَانَ جَائِزًا؛ لِأَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّهُ سَاقَى شَرِيكَهُ فِي نِصْفِهِ عَلَى ثُلُثِ ثَمَرَتِهِ وَلَوْ سَاقَى شَرِيكَهُ عَلَى أَنَّ لِلْعَامِلِ الثُّلُثَ وَلِصَاحِبِهِ الثُّلُثَيْنِ لَمْ يَجُزْ كَرَجُلَيْنِ بَيْنَهُمَا أَلْفُ دِرْهَمٍ قَارَضَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فِي نِصْفِهِ فَمَا رَزَقَ اللَّهُ فِي الْأَلْفِ مِنْ رِبْحٍ فَالثُّلُثَانِ لِلْعَامِلِ وَلِصَاحِبِهِ الثُّلُثُ فَإِنَّمَا قَارَضَهُ فِي نِصْفِهِ عَلَى ثُلُثِ رِبْحِهِ فِي نِصْفِهِ.

 

 

Jika seseorang menyewakan pohon kurma dengan syarat pekerja mendapat sepertiga hasil, tanpa syarat lain, itu diperbolehkan. Sisanya setelah sepertiga adalah milik pemilik pohon. Namun jika disyaratkan pemilik pohon mendapat sepertiga hasil tanpa menyebut bagian pekerja, akad itu batal karena bagian pekerja tidak diketahui. Perbedaannya adalah buah kurma pada dasarnya milik pemilik kecuali yang disyaratkan untuk pekerja, sehingga tak perlu mempertanyakan sisa setelah bagian pekerja. Jika pemilik mensyaratkan sepertiga untuk dirinya tanpa menjelaskan bagian pekerja dari sisa, maka bagian pekerja tidak jelas dan akadnya batal. Jika dua orang memiliki pohon kurma bersama lalu salah satunya menggarap dengan syarat pekerja mendapat dua pertiga hasil seluruh pohon dan yang lain sepertiga, itu boleh karena berarti ia menyewakan bagiannya dengan sepertiga hasil. Tapi jika disyaratkan pekerja dapat sepertiga dan pemilik dua pertiga, itu tidak boleh, seperti dua orang yang memiliki seribu dirham lalu salah satunya mengelola separuhnya dengan syarat dua pertiga laba untuk pekerja dan sepertiga untuk pemilik – ini berarti ia hanya mengelola separuhnya dengan sepertiga laba dari bagiannya.

 

 

وَلَوْ قَارَضَهُ عَلَى أَنَّ لِلْعَامِلِ ثُلُثَ الرِّبْحِ وَالثُّلُثَيْنِ لِصَاحِبِهِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ مَعْنَى ذَلِكَ أَنْ عَقَدَ لَهُ الْعَامِلُ أَنْ يَخْدُمَهُ فِي نِصْفِهِ بِغَيْرِ بَدَلٍ وَسَلَّمَ لَهُ مَعَ خِدْمَتِهِ مِنْ رِبْحٍ نِصْفُهُ تَمَامُ ثُلُثَيْ الْجَمِيعِ بِغَيْرِ عِوَضٍ فَإِنْ عَمِلَ الْمُسَاقِي فِي هَذَا أَوْ الْمُقَارِضُ فَالرِّبْحُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، وَلَا أُجْرَةَ لِلْعَامِلِ؛ لِأَنَّهُ عَمَلٌ عَلَى غَيْرِ بَدَلٍ وَلَوْ سَاقَى أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ عَلَى نَخْلٍ بَيْنَهُمَا سَنَةً مَعْرُوفَةً عَلَى أَنْ يَعْمَلَا فِيهَا جَمِيعًا عَلَى أَنَّ لِأَحَدِهِمَا الثُّلُثَ وَلِلْآخَرِ الثُّلُثَيْنِ لَمْ يَكُنْ لِمُسَاقَاتِهِمَا مَعْنًى فَإِنْ عَمِلَا فَلِأَنْفُسِهِمَا عَمِلَا وَالثَّمَرُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.

 

 

Dan jika dia melakukan qirad (kerjasama bagi hasil) dengan syarat pekerja mendapat sepertiga keuntungan dan dua pertiga untuk pemilik modal, itu tidak diperbolehkan. Karena maknanya adalah pekerja mengikat perjanjian untuk melayani pemilik modal tanpa imbalan pada separuh bagiannya, dan menyerahkan separuh keuntungannya sebagai penyempurna dua pertiga dari total tanpa kompensasi. Jika musaqi (pekerja penggarap) atau muqaridh (pemberi modal) bekerja dalam hal ini, keuntungan dibagi rata antara keduanya, dan pekerja tidak mendapat upah karena kerjanya tanpa imbalan. Jika salah satu dari mereka melakukan musaqah (bagi hasil pertanian) dengan yang lain pada pohon kurma milik bersama selama satu tahun yang diketahui, dengan syarat keduanya bekerja bersama dimana satu mendapat sepertiga dan yang lain dua pertiga, maka musaqah mereka tidak memiliki makna. Jika mereka bekerja, berarti mereka bekerja untuk diri sendiri, dan buahnya dibagi rata antara mereka.

 

 

وَلَوْ سَاقَى رَجُلٌ رَجُلًا نَخْلًا مُسَاقَاةً صَحِيحَةً فَأَثْمَرَتْ ثُمَّ هَرَبَ الْعَامِلُ اكْتَرَى عَلَيْهِ الْحَاكِمُ فِي مَالِهِ مَنْ يَقُومُ فِي النَّخْلِ مَقَامَهُ، وَإِنْ عَلِمَ مِنْهُ سَرِقَةً فِي النَّخْلِ وَفَسَادًا مُنِعَ مِنْ ذَلِكَ وَتُكُورِيَ عَلَيْهِ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ، وَإِنْ مَاتَ قَامَتْ وَرَثَتُهُ مَقَامَهُ فَإِنْ أَنْفَقَ رَبُّ النَّخْلِ كَانَ مُتَطَوِّعًا بِهِ، وَيَسْتَوْفِي الْعَامِلُ شَرْطَهُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ وَلَوْ عَمِلَ فِيهَا الْعَامِلُ فَأَثْمَرَتْ ثُمَّ اسْتَحَقَّهَا رَبُّهَا أَخَذَهَا وَثَمَرَهَا، وَلَا حَقَّ عَلَيْهِ فِيمَا عَمِلَ فِيهَا الْعَامِلُ؛ لِأَنَّهَا آثَارٌ لَا عَيْنٌ وَرَجَعَ الْعَامِلُ عَلَى الدَّافِعِ بِقِيمَةِ مَا عَمِلَ فَإِنْ اقْتَسَمَا الثَّمَرَةَ فَأَكَلَاهَا ثُمَّ اسْتَحَقَّهَا رَبُّهَا رَجَعَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِمَكِيلَةِ الثَّمَرَةِ، وَإِنْ شَاءَ أَخَذَهَا مِنْ الدَّافِعِ لَهَا وَرَجَعَ الدَّافِعُ عَلَى الْعَامِلِ بِالْمَكِيلَةِ الَّتِي غَرِمَهَا وَرَجَعَ الْعَامِلُ عَلَى الَّذِي اسْتَعْمَلَهُ بِأَجْرِ مِثْلِهِ.

 

 

Jika seseorang mengadakan perjanjian musaqah (bagi hasil pengelolaan kebun kurma) dengan orang lain secara sah, lalu kebun itu berbuah, kemudian pekerja kabur, maka hakim berwenang menyewa penggantinya dengan biaya dari harta pekerja tersebut. Jika diketahui pekerja mencuri atau merusak kebun, ia dilarang dan diganti dengan orang lain. Jika pekerja meninggal, ahli warisnya menggantikan posisinya. Jika pemilik kebun mengeluarkan biaya, itu dianggap sukarela, dan pekerja berhak mendapatkan haknya sesuai perjanjian. Jika pekerja mengelola kebun hingga berbuah, lalu pemilik asli membuktikan haknya, ia berhak mengambil kebun beserta buahnya tanpa kewajiban membayar hasil kerja pekerja, karena itu adalah efek (bukan benda fisik). Pekerja dapat menuntut pihak yang mempekerjakannya atas nilai kerjanya. Jika mereka berdua membagi dan memakan buahnya, lalu pemilik asli membuktikan haknya, ia dapat menuntut masing-masing mereka sesuai takaran buah. Ia juga boleh menuntut pihak yang mempekerjakan, lalu pihak itu dapat menuntut pekerja sesuai takaran yang dibayarkan, dan pekerja dapat menuntut pihak yang mempekerjakannya dengan upah sepadan.

 

 

وَلَوْ سَاقَاهُ عَلَى أَنَّهُ إنْ سَقَاهَا بِمَاءِ سَمَاءٍ أَوْ نَهْرٍ فَلَهُ الثُّلُثُ، وَإِنْ سَقَاهَا بِالنَّضْحِ فَلَهُ النِّصْفُ كَانَ هَذَا فَاسِدًا؛ لِأَنَّ عَقْدَ الْمُسَاقَاةِ كَانَ وَالنَّصِيبُ مَجْهُولٌ وَالْعَمَلُ غَيْرُ مَعْلُومٍ كَمَا لَوْ قَارَضَهُ بِمَالٍ عَلَى أَنَّ مَا رَبِحَ فِي الْبَرِّ فَلَهُ الثُّلُثُ، وَمَا رَبِحَ فِي الْبَحْرِ فَلَهُ النِّصْفُ فَإِنْ عَمِلَ كَانَ لَهُ أَجْرُ مِثْلِهِ فَإِنْ اشْتَرَطَ الدَّاخِلُ أَنَّ أُجْرَةَ الْأُجَرَاءِ مِنْ الثَّمَرَةِ فَسَدَتْ الْمُسَاقَاةُ.

 

 

Dan seandainya dia mengadakan perjanjian musaqah dengan syarat jika dia menyirami (tanaman) dengan air hujan atau air sungai maka dia mendapatkan sepertiga, dan jika dia menyirami dengan air yang diangkat (dengan tenaga) maka dia mendapatkan separuh, maka ini batil karena akad musaqah tersebut terjadi sedangkan bagian (masing-masing) tidak diketahui dan pekerjaannya tidak jelas. Seperti halnya jika dia mengadakan qiradh dengan harta berdasarkan syarat bahwa keuntungan di darat dia mendapatkan sepertiga dan keuntungan di laut dia mendapatkan separuh. Jika dia bekerja maka dia mendapatkan upah semisalnya. Jika pihak yang masuk (dalam akad) mensyaratkan bahwa upah pekerja diambil dari buah, maka batillah musaqah tersebut.

 

 

وَلَوْ سَاقَاهُ عَلَى وَدْيٍ لِوَقْتٍ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُثْمِرُ إلَيْهِ لَمْ يَجُزْ لَوْ اخْتَلَفَا بَعْدَ أَنْ أَثْمَرَتْ النَّخْلُ عَلَى مُسَاقَاةٍ صَحِيحَةٍ فَقَالَ رَبُّ النَّخْلِ عَلَى الثُّلُثِ وَقَالَ الْعَامِلُ بَلْ عَلَى النِّصْفِ تَحَالَفَا وَكَانَ لَهُ أَجْرُ مِثْلِهِ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ كَانَ أَكْثَرَ مِمَّا أَقَرَّ لَهُ بِهِ رَبُّ النَّخْلِ أَوْ أَقَلَّ، وَإِنْ أَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْبَيِّنَةَ عَلَى مَا ادَّعَى سَقَطَتَا وَتَحَالَفَا كَذَلِكَ أَيْضًا.

 

 

Dan seandainya dia mengairinya dengan aliran air untuk sementara waktu, sementara dia tahu bahwa pohon itu tidak akan berbuah untuknya, maka tidak boleh. Jika mereka berselisih setelah pohon kurma berbuah dalam perjanjian pengairan yang sah, lalu pemilik pohon berkata, “(Bagianku) sepertiga,” dan pekerja berkata, “Tidak, setengah,” lalu mereka bersumpah, maka dia mendapat upah seperti itu menurut ukuran perkataannya—apakah lebih dari yang diakui pemilik pohon atau kurang. Dan jika masing-masing dari mereka mengajukan bukti atas apa yang diklaim, maka kedua bukti itu gugur, dan mereka juga bersumpah.

 

 

وَلَوْ دَفَعَا نَخْلًا إلَى رَجُلٍ مُسَاقَاةً فَلَمَّا أَثْمَرَتْ اخْتَلَفُوا فَقَالَ الْعَامِلُ: شَرَطْتُمَا لِي النِّصْفَ وَلَكُمَا النِّصْفُ فَصَدَّقَهُ أَحَدُهُمَا وَأَنْكَرَ الْآخَرُ كَانَ لَهُ مُقَاسَمَةُ الْمُقِرِّ فِي نِصْفِهِ عَلَى مَا أَقَرَّ بِهِ وَتَحَالَفَ هُوَ وَالْمُنْكِرُ وَلِلْعَامِلِ أَجْرُ مِثْلِهِ فِي نِصْفِهِ وَلَوْ شَرَطَ مِنْ نَصِيبِ أَحَدِهِمَا بِعَيْنِهِ النِّصْفَ، وَمِنْ نَصِيبِ الْآخَرِ بِعَيْنِهِ الثُّلُثَ جَازَ، وَإِنْ جَهِلَا ذَلِكَ لَمْ يَجُزْ وَفُسِخَ فَإِنْ عَمِلَ عَلَى ذَلِكَ فَلَهُ أَجْرُ مِثْلِهِ وَالثَّمَرُ لِرَبِّهِ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

Dan jika dua orang menyerahkan kebun kurma kepada seseorang dengan sistem muzara’ah (bagi hasil), lalu ketika berbuah mereka berselisih. Si pekerja berkata, “Kalian telah menetapkan untukku separuh dan untuk kalian separuh.” Salah seorang mengakuinya sementara yang lain mengingkari, maka pekerja berhak membagi hasil dengan yang mengakui sesuai pengakuannya. Sedangkan dengan yang mengingkari, mereka bersumpah, dan pekerja mendapat upah sepadan untuk bagian yang diingkari. Jika ditetapkan dari bagian salah seorang secara khusus separuh, dan dari bagian lainnya sepertiga, maka itu boleh. Namun jika keduanya tidak mengetahui ketentuan itu, akad tidak sah dan batal. Jika pekerja tetap bekerja, ia berhak mendapat upah sepadan, dan buahnya milik pemilik menurut pendapat yang dianalogikan. Dan hanya kepada Allah pertolongan.

 

مُخْتَصَرٌ مِنْ الْجَامِعِ فِي الْإِجَارَةِ

 

Ringkasan dari Al-Jami’ tentang Ijarah

 

مِنْ ثَلَاثِ كُتُبٍ فِي الْإِجَارَةِ، وَمَا دَخَلَ فِيهِ سِوَى ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ – تَعَالَى – {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} الطلاق: 6 ، وَقَدْ يَخْتَلِفُ الرَّضَاعُ فَلَمَّا لَمْ يُوجَدْ فِيهِ إلَّا هَذَا جَازَتْ فِيهِ الْإِجَارَةُ وَذَكَرَهَا اللَّهُ – تَعَالَى – فِي كِتَابِهِ وَعَمِلَ بِهَا بَعْضُ أَنْبِيَائِهِ فَذَكَرَ مُوسَى – عَلَيْهِ السَّلَامُ -، وَإِجَارَتَهُ نَفْسَهُ ثَمَانِيَ حِجَجٍ مَلَكَ بِهَا بُضْعَ امْرَأَتِهِ وَقِيلَ اسْتَأْجَرَهُ عَلَى أَنْ يَرْعَى لَهُ غَنَمًا فَدَلَّ بِذَلِكَ عَلَى تَجْوِيزِ الْإِجَارَةِ، وَمَضَتْ بِهَا السُّنَّةُ وَعَمِلَ بِهَا بَعْضُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ، وَلَا اخْتِلَافَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا وَعَوَامِّ أَهْلِ الْأَمْصَارِ.

 

 

Dari tiga kitab tentang sewa-menyewa, dan apa yang termasuk di dalamnya selain itu (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Allah Ta’ala berfirman: “Jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah upah mereka” (QS. At-Talaq: 6). Penyusuan bisa berbeda-beda, dan karena tidak ditemukan kecuali hal ini, maka sewa-menyewa diperbolehkan di dalamnya. Allah Ta’ala menyebutkannya dalam Kitab-Nya dan sebagian nabi-Nya pun mengamalkannya. Dia menyebutkan Musa -alaihissalam- yang menyewakan dirinya selama delapan tahun untuk meminang istrinya. Dikatakan juga bahwa dia disewa untuk menggembalakan kambing. Ini menunjukkan kebolehan sewa-menyewa. Sunnah pun telah berjalan dengannya, dan sebagian sahabat serta tabiin mengamalkannya. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini di antara ulama negeri kami dan masyarakat umum di berbagai kota.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَالْإِجَارَاتُ صِنْفٌ مِنْ الْبُيُوعِ؛ لِأَنَّهَا تَمْلِيكٌ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ صَاحِبِهِ وَلِذَلِكَ يَمْلِكُ الْمُسْتَأْجِرُ الْمَنْفَعَةَ الَّتِي فِي الْعَبْدِ وَالدَّارِ وَالدَّابَّةِ إلَى الْمُدَّةِ الَّتِي اشْتَرَطَهَا حَتَّى يَكُونَ أَحَقَّ بِهَا مِنْ مَالِكِهَا، وَيَمْلِكُ بِهَا صَاحِبُهَا الْعِوَضَ فَهِيَ مَنْفَعَةٌ مَعْقُولَةٌ مِنْ عَيْنٍ مَعْلُومَةٍ فَهِيَ كَالْعَيْنِ الْمَبِيعَةِ وَلَوْ كَانَ حُكْمُهَا بِخِلَافِ الْعَيْنِ كَانَتْ فِي حُكْمِ الدَّيْنِ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَكْتَرِيَ بِدَيْنٍ؛ لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ يَكُونُ دَيْنًا بِدَيْنٍ، وَقَدْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ. (قَالَ) : وَإِذَا دَفَعَ مَا أَكْرَى وَجَبَ لَهُ جَمِيعُ الْكِرَاءِ كَمَا إذَا دَفَعَ جَمِيعَ مَا بَاعَ وَجَبَ لَهُ جَمِيعُ الثَّمَنِ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ أَجَلًا فَإِذَا قَبَضَ الْعَبْدَ فَاسْتَخْدَمَهُ أَوْ الْمَسْكَنَ فَسَكَنَهُ ثُمَّ هَلَكَ الْعَبْدُ أَوْ انْهَدَمَ الْمَسْكَنُ حَسَبَ قَدْرَ مَا اسْتَخْدَمَ وَسَكَنَ فَكَانَ لَهُ وَرَدَّ بِقَدْرِ مَا بَقِيَ عَلَى الْمُكْتَرِي كَمَا لَوْ اشْتَرَى سَفِينَةَ طَعَامٍ كُلَّ قَفِيزٍ بِكَذَا فَاسْتَوْفَى بَعْضًا فَاسْتَهْلَكَهُ ثُمَّ هَلَكَ الْبَاقِي كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الثَّمَنِ بِقَدْرِ مَا قَبَضَ وَرَدَّ قَدْرَ مَا بَقِيَ، وَلَا تَنْفَسِخُ بِمَوْتِ أَحَدِهِمَا مَا كَانَتْ الدَّارُ قَائِمَةً، وَلَيْسَ الْوَارِثُ بِأَكْثَرَ مِنْ الْمَوْرُوثِ الَّذِي عَنْهُ وَرِثُوا فَإِنْ قِيلَ فَقَدْ انْتَفَعَ الْمُكْرِي بِالثَّمَنِ قِيلَ كَمَا لَوْ أَسْلَمَ فِي رُطَبٍ لِوَقْتٍ فَانْقَطَعَ رَجَعَ بِالثَّمَنِ، وَقَدْ انْتَفَعَ بِهِ الْبَائِعُ وَلَوْ بَاعَ مَتَاعًا غَائِبًا بِبَلَدٍ وَدَفَعَ الثَّمَنَ فَهَلَكَ الْمُبْتَاعُ رَجَعَ بِالثَّمَنِ، وَقَدْ انْتَفَعَ بِهِ الْبَائِعُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): “Sewa-menyewa adalah salah satu jenis jual-beli, karena ia merupakan kepemilikan bagi masing-masing dari keduanya atas pihak lainnya. Oleh karena itu, penyewa memiliki manfaat yang ada pada budak, rumah, atau hewan tunggangan hingga batas waktu yang disyaratkan, sehingga ia lebih berhak atasnya daripada pemilik aslinya. Sementara pemilik aslinya mendapatkan imbalan (upah). Jadi, sewa-menyewa adalah manfaat yang dapat dipahami dari suatu barang yang diketahui, sehingga statusnya seperti barang yang dijual. Seandainya hukumnya berbeda dengan barang, maka ia akan dianggap sebagai utang, dan tidak boleh menyewa dengan utang karena hal itu akan menjadi utang dengan utang, sedangkan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah melarang utang dengan utang.”

 

(Dia juga berkata): “Jika seseorang menyerahkan sesuatu yang disewakan, maka ia berhak menerima seluruh upah sewa, sebagaimana jika ia menyerahkan seluruh barang yang dijual, maka ia berhak menerima seluruh harga, kecuali jika ada syarat tempo. Jika penyewa telah menerima budak lalu menggunakannya, atau menerima tempat tinggal lalu menempatinya, kemudian budak itu mati atau tempat tinggal itu runtuh, maka penyewa hanya membayar sesuai pemanfaatan yang telah dilakukan dan mengembalikan sisa yang belum digunakan. Hal ini seperti seseorang yang membeli kapal berisi makanan dengan harga sekian per gantang, lalu ia mengambil sebagian dan menghabiskannya, kemudian sisanya rusak. Maka ia hanya wajib membayar sesuai yang telah diambil dan mengembalikan sisanya. Sewa-menyewa tidak batal dengan kematian salah satu pihak selama barang yang disewa masih ada, karena ahli waris tidak melebihi hak orang yang diwarisi. Jika ada yang berkata, ‘Pemilik sewa telah mengambil manfaat dari upahnya,’ maka jawabannya adalah seperti orang yang melakukan salam (pembelian dengan pembayaran di muka) pada kurma untuk waktu tertentu, lalu pasokannya terputus. Ia berhak mengambil kembali uangnya meskipun penjual telah memanfaatkannya. Begitu pula jika seseorang menjual barang yang tidak ada di tempatnya dan telah menerima pembayaran, lalu barang yang dibeli rusak, ia tetap harus mengembalikan uangnya meskipun penjual telah memanfaatkannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهَذَا تَجْوِيزُ بَيْعِ الْغَائِبِ وَنَفَاهُ فِي مَكَان آخَرَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini adalah pembolehan jual beli barang yang tidak terlihat (ghaib), sedangkan di tempat lain ia menafikannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ تَكَارَى دَابَّةً مِنْ مَكَّةَ إلَى بَطْنِ مَرٍّ فَتَعَدَّى بِهَا إلَى عُسْفَانَ فَعَلَيْهِ كِرَاؤُهَا إلَى مَرٍّ وَكِرَاءُ مِثْلِهَا إلَى عُسْفَانَ وَعَلَيْهِ الضَّمَانُ وَلَهُ أَنْ يُؤَاجِرَ دَارِهِ وَعَبْدَهُ ثَلَاثِينَ سَنَةً وَأَيُّ الْمُتَكَارِيَيْنِ هَلَكَ فَوَرَثَتُهُ تَقُومُ مَقَامَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika seseorang menyewa hewan tunggangan dari Mekkah ke Bathni Marr, lalu ia melampauinya hingga ke Usfan, maka ia wajib membayar sewa hingga Marr dan sewa yang semisal hingga Usfan, serta ia bertanggung jawab (atas kerusakan). Dan boleh baginya menyewakan rumah atau budaknya selama tiga puluh tahun. Jika salah satu dari dua pihak yang berakad meninggal, maka ahli warisnya menggantikan posisinya.”

 

بَابُ كِرَاءِ الْإِبِلِ وَغَيْرِهَا

 

Bab tentang menyewa unta dan lainnya

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَكِرَاءُ الْإِبِلِ جَائِزٌ لِلْمَحَامِلِ وَالزَّوَامِلِ وَالرِّجَالِ وَكَذَلِكَ الدَّوَابُّ لِلسُّرُوجِ وَالْأَكُفِّ وَالْحَمُولَةِ، وَلَا يَجُوزُ مِنْ ذَلِكَ مَغِيبٌ حَتَّى يَرَى الرَّاكِبِينَ وَظَرْفَ الْمَحْمِلِ وَالْوِطَاءِ وَالظِّلِّ إنْ شَرَطَهُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِفُ فَيَتَبَايَنُ وَالْحَمُولَةُ بِوَزْنٍ مَعْلُومٍ أَوْ كَيْلٍ مَعْلُومٍ فِي ظُرُوفٍ تُرَى أَوْ تَكُونُ إذَا شُرِطَتْ عُرِفَتْ مِثْلَ غَرَائِرَ جَبَلِيَّةٍ، وَمَا أَشْبَهَ هَذَا، وَإِنْ ذَكَرَ مَحْمِلًا أَوْ مَرْكَبًا أَوْ زَامِلَةً بِغَيْرِ رُؤْيَةٍ، وَلَا صِفَةٍ فَهُوَ مَفْسُوخٌ لِلْجَهْلِ بِذَلِكَ، وَإِنْ أَكْرَاهُ مَحْمِلًا وَأَرَاهُ إيَّاهُ وَقَالَ مَعَهُ مَعَالِيقُ أَوْ قَالَ مَا يُصْلِحُهُ فَالْقِيَاسُ أَنَّهُ فَاسِدٌ، وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ لَهُ بِقَدْرِ مَا يَرَاهُ النَّاسُ وَسَطًا، وَإِنْ أَكْرَاهُ إلَى مَكَّةَ فَشَرَطَ سَيْرًا مَعْلُومًا فَهُوَ أَصَحُّ، وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِطْ فَاَلَّذِي أَحْفَظُهُ أَنَّ السَّيْرَ مَعْلُومٌ عَلَى الْمَرَاحِلِ؛ لِأَنَّهَا الْأَغْلَبُ مِنْ سَيْرِ النَّاسِ كَمَا أَنَّ لَهُ مِنْ الْكِرَاءِ الْأَغْلَبَ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ وَأَيُّهُمَا أَرَادَ الْمُجَاوَزَةَ أَوْ التَّقْصِيرَ لَمْ يَكُنْ لَهُ فَإِنْ تَكَارَى إبِلًا بِأَعْيَانِهَا رَكِبَهَا، وَإِنْ ذَكَرَ حَمُولَةً مَضْمُونَةً، وَلَمْ تَكُنْ بِأَعْيَانِهَا رَكِبَ مَا يَحْمِلُهُ غَيْرَ مَضْرِبِهِ وَعَلَيْهِ أَنْ يُرْكِبَ الْمَرْأَةَ، وَيُنْزِلَهَا عَنْ الْبَعِيرِ بَارِكًا؛ لِأَنَّهُ رُكُوبُ النِّسَاءِ، وَيُنْزِلَ الرَّجُلَ لِلصَّلَاةِ، وَيَنْتَظِرَهُ حَتَّى يُصَلِّيَهَا غَيْرَ مُعَجِّلٍ لَهُ وَلِمَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ مِنْ الْوُضُوءِ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَكَارَى بَعِيرًا بِعَيْنِهِ إلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ إلَّا عِنْدَ خُرُوجِهِ، وَإِنْ مَاتَ الْبَعِيرُ رَدَّ الْجَمَّالُ مِنْ الْكِرَاءِ مِمَّا أَخَذَ بِحِسَابِ مَا بَقِيَ، وَإِنْ كَانَتْ الْحَمُولَةُ مَضْمُونَةً كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ بِإِبِلٍ غَيْرِهَا، وَإِنْ اخْتَلَفَا فِي الرِّحْلَةِ رَحَلَ لَا مَكْبُوبًا، وَلَا مُسْتَلْقِيًا وَالْقِيَاسُ أَنْ يُبَدِّلَ مَا يَبْقَى مِنْ الزَّادِ وَلَوْ قِيلَ إنَّ الْمَعْرُوفَ مِنْ الزَّادِ يَنْقُصُ فَلَا يُبَدَّلُ كَانَ مَذْهَبًا.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Menyewa unta dibolehkan untuk membawa pelana, barang-barang, dan penumpang. Begitu pula hewan tunggangan untuk pelana, kendali, dan muatan. Tidak diperbolehkan menyewa sesuatu yang tidak terlihat hingga penumpang melihat kondisi pelana, tempat duduk, dan naungan jika disyaratkan, karena hal itu bisa berbeda dan beragam. Muatan harus dengan takaran atau timbangan yang diketahui dalam wadah yang terlihat atau diketahui jika disyaratkan, seperti karung gunung atau sejenisnya. Jika disebutkan pelana, kendaraan, atau unta pengangkut tanpa dilihat atau dijelaskan sifatnya, akadnya batal karena ketidaktahuan. Jika disewa pelana dan diperlihatkan, lalu dikatakan ada tambahan perlengkapannya atau sesuatu yang memperbaikinya, menurut qiyas akad itu rusak. Sebagian orang berpendapat bahwa ia berhak mendapat sesuai kadar yang dianggap wajar. Jika disewa untuk pergi ke Makkah dengan syarat perjalanan tertentu, itu lebih sah. Jika tidak disyaratkan, yang saya hafal adalah bahwa perjalanan diketahui berdasarkan tahapan perjalanan, karena itu yang umum dilakukan, seperti harga sewa yang umum di daerah tersebut. Jika salah satu pihak ingin menambah atau mengurangi, tidak diperbolehkan. Jika menyewa unta tertentu, ia menaikinya. Jika disebutkan muatan yang dijamin tetapi tidak spesifik, ia menaiki yang mampu membawanya selain yang ditunjuk. Ia wajib menaikkan wanita dan menurunkannya saat unta berhenti, karena itu kebiasaan wanita. Ia juga wajib menurunkan laki-laki untuk shalat dan menunggunya tanpa tergesa-gesa, termasuk waktu wudhu. Tidak boleh menyewa unta tertentu untuk waktu tertentu kecuali saat berangkat. Jika unta mati, penyewa mengembalikan sebagian uang sewa sesuai sisa waktu. Jika muatan dijamin, penyewa wajib menyediakan unta pengganti. Jika terjadi perbedaan dalam perjalanan, ia berangkat tanpa dipaksa atau terlentang. Menurut qiyas, sisa bekal diganti, meskipun ada pendapat bahwa bekal yang biasa berkurang tidak perlu diganti, dan itu menjadi mazhab.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْأَوَّلُ أَقْيَسُهُمَا.

 

(Al-Muzani berkata) : Yang pertama lebih sesuai di antara keduanya.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِنْ هَرَبَ الْجَمَّالُ فَعَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَكْتَرِيَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika si pengembala unta kabur, maka menjadi kewajiban imam untuk menyewa penggantinya dengan menggunakan harta si pengembala.”

 

تَضْمِينُ الْأُجَرَاءِ مِنْ الْإِجَارَةِ مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى

 

Penjaminan upah dari sewa dalam kitab perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْأُجَرَاءُ كُلُّهُمْ سَوَاءٌ، وَمَا تَلِفَ فِي أَيْدِيهِمْ مِنْ غَيْرِ جِنَايَتِهِمْ فَفِيهِ وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ. أَحَدُهُمَا: الضَّمَانُ؛ لِأَنَّهُ أَخَذَ الْأَجْرَ. وَالْقَوْلُ الْآخَرُ لَا ضَمَانَ إلَّا بِالْعُدْوَانِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Semua pekerja upahan itu sama. Jika ada kerusakan pada barang yang ada di tangan mereka tanpa kesalahan mereka, maka ada dua pendapat. Pertama: ada tanggungan (dami) karena mereka telah mengambil upah. Pendapat kedua: tidak ada tanggungan kecuali karena tindakan melampaui batas.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا أَوْلَاهُمَا بِهِ؛ لِأَنَّهُ قَطَعَ بِأَنْ لَا ضَمَانَ عَلَى الْحَجَّامِ يَأْمُرُهُ الرَّجُلُ أَنْ يَحْجُمَهُ أَوْ يَخْتِنَ غُلَامَهُ أَوْ يُبَيْطِرَ دَابَّتَهُ، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: إذَا أَلْقَوْا عَنْ هَؤُلَاءِ الضَّمَانَ لَزِمَهُمْ إلْقَاؤُهُ عَنْ الصُّنَّاعِ، وَقَالَ: مَا عَلِمْتُ أَنَّى سَأَلْتُ وَاحِدًا مِنْهُمْ فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا. وَرَوَى عَنْ عَطَاءٍ أَنَّهُ قَالَ لَا ضَمَانَ عَلَى صَانِعٍ، وَلَا أَجِيرٍ.

 

 

(Al-Muzani) berkata: “Ini lebih utama dari keduanya, karena ia memastikan bahwa tidak ada tanggungan atas tukang bekam yang diperintahkan seseorang untuk membekamnya, mengkhitankan anaknya, atau mengobati hewan tunggangannya.” Asy-Syafi’i berkata: “Jika mereka membebaskan tanggungan dari orang-orang ini, maka wajib bagi mereka membebaskannya dari para pekerja.” Ia juga berkata: “Aku tidak tahu bahwa aku pernah bertanya kepada salah seorang dari mereka lalu mereka membedakan antara keduanya.” Diriwayatkan dari ‘Atha bahwa ia berkata: “Tidak ada tanggungan atas seorang pekerja atau buruh.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا أَعْرِفُ أَحَدًا مِنْ الْعُلَمَاءِ ضَمَّنَ الرَّاعِيَ الْمُنْفَرِدَ بِالْأُجْرَةِ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَهُ عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ وَبَيْنَ الْمُشْتَرَكِ، وَلَا أُضَمِّنُ الْأَجِيرَ فِي الْحَانُوتِ يَحْفَظُ مَا فِيهِ مِنْ الْبَزِّ، وَيَبِيعُهُ وَالصَّانِعُ بِالْأُجْرَةِ عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ مِثْلُهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Aku tidak mengetahui seorang pun dari ulama yang mewajibkan ganti rugi kepada penggembala yang bekerja sendirian dengan upah, dan menurutku dalam qiyas tidak ada perbedaan antara dia dan yang bekerja bersama. Aku juga tidak mewajibkan ganti rugi kepada pekerja di toko yang menjaga kain di dalamnya dan menjualnya, serta menurutku dalam qiyas pengrajin yang bekerja dengan upah sama seperti itu.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا اسْتَأْجَرَ مَنْ يَخْبِزُ لَهُ خُبْزًا مَعْلُومًا فِي تَنُّورٍ أَوْ فُرْنٍ فَاحْتَرَقَ فَإِنْ كَانَ خَبَزَهُ فِي حَالٍ لَا يُخْبَزُ فِي مِثْلِهَا؛ لِاسْتِعَارِ التَّنُّورِ؛ أَوْ شِدَّةِ حَمْوِهِ أَوْ تَرَكَهُ تَرْكًا لَا يَجُوزُ فِي مِثْلِهِ فَهُوَ ضَامِنٌ، وَإِنْ كَانَ مَا فَعَلَ صَلَاحًا لِمِثْلِهِ لَمْ يَضْمَنْ عِنْدَ مَنْ لَا يُضَمِّنُ الْأَجِيرَ، وَإِنْ اكْتَرَى دَابَّةً فَضَرَبَهَا أَوْ كَبَحَهَا بِاللِّجَامِ فَمَاتَتْ فَإِنْ كَانَ مَا فَعَلَ مِنْ ذَلِكَ مَا يَفْعَلُ الْعَامَّةُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ فَعَلَ مَا لَا يَفْعَلُ الْعَامَّةُ ضَمِنَ فَأَمَّا الرُّوَّاضُ فَإِنَّ شَأْنَهُمْ اسْتِصْلَاحُ الدَّوَابِّ وَحَمْلُهَا عَلَى السَّيْرِ وَالْحَمْلُ عَلَيْهَا بِالضَّرْبِ عَلَى أَكْثَرَ مِمَّا يَفْعَلُ الرَّاكِبُ غَيْرُهُمْ، فَإِنْ فَعَلَ مِنْ ذَلِكَ مَا يَرَاهُ الرُّوَّاضُ صَلَاحًا بِلَا إعْنَاتٍ بَيِّنٍ لَمْ يَضْمَنْ فَإِنْ فَعَلَ خِلَافَ ذَلِكَ فَهُوَ مُتَعَدٍّ وَضَمِنَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seseorang menyewa orang untuk membuatkan roti tertentu di dalam tanur atau oven, lalu roti itu hangus, maka jika ia memanggangnya dalam kondisi yang tidak lazim untuk memanggang, seperti karena meminjam tanur, atau suhunya terlalu panas, atau ia meninggalkannya dengan cara yang tidak wajar, maka ia bertanggung jawab (menanggung ganti rugi). Namun jika yang dilakukannya adalah hal yang lazim dilakukan dalam kondisi serupa, maka ia tidak bertanggung jawab menurut pendapat yang tidak mewajibkan ganti rugi bagi pekerja. Jika seseorang menyewa hewan lalu memukulnya atau menarik kendalinya dengan keras hingga hewan itu mati, maka jika yang dilakukannya adalah hal yang biasa dilakukan orang umum, ia tidak berkewajiban apa-apa. Tetapi jika ia melakukan hal yang tidak biasa dilakukan orang umum, maka ia bertanggung jawab. Adapun para pelatih hewan, kebiasaan mereka adalah melatih hewan dan memacu mereka untuk berjalan, serta lebih sering memukulnya dibanding penunggang biasa. Jika ia melakukan hal yang menurut para pelatih merupakan tindakan yang wajar tanpa penyiksaan yang jelas, maka ia tidak bertanggung jawab. Namun jika ia melakukan sebaliknya, maka ia dianggap melampaui batas dan wajib menanggung ganti rugi.”

 

(قَالَ) : وَالرَّاعِي إذَا فَعَلَ مَا لِلرُّعَاةِ فِعْلُهُ مِمَّا فِيهِ صَلَاحٌ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ فَعَلَ غَيْرَ ذَلِكَ ضَمِنَ.

 

 

Beliau berkata: “Seorang penggembala jika melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh penggembala, berupa tindakan yang mengandung kebaikan, maka ia tidak menanggung (kerugian). Namun, jika ia melakukan selain itu, maka ia menanggung (kerugian).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهَذَا يَقْضِي لِأَحَدِ قَوْلَيْهِ بِطَرْحِ الضَّمَانِ كَمَا وَصَفْت وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan ini memutuskan salah satu dari dua pendapatnya dengan menghilangkan dhaman (jaminan) sebagaimana yang telah kau jelaskan. Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ أَكْرَى حَمْلَ مَكِيلَةٍ، وَمَا زَادَ فَبِحِسَابِهِ فَهُوَ فِي الْمَكِيلَةِ جَائِزٌ وَفِي الزَّائِدِ فَاسِدٌ لَهُ أَجْرُ مِثْلِهِ وَلَوْ حَمَلَ لَهُ مَكِيلَةً فَوُجِدَتْ زَائِدَةً فَلَهُ أَجْرُ مَا حَمَلَ مِنْ الزِّيَادَةِ، وَإِنْ كَانَ الْحَمَّالُ هُوَ الْكَيَّالُ فَلَا كِرَاءَ لَهُ فِي الزِّيَادَةِ وَلِصَاحِبِهِ الْخِيَارُ فِي أَخْذِ الزِّيَادَةِ فِي مَوْضِعِهِ أَوْ يَضْمَنُ قَمْحَهُ بِبَلَدِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seseorang menyewa pengangkutan satu takaran, dan ada kelebihan maka dihitung sesuai takarannya, maka dalam hal takaran itu diperbolehkan sedangkan kelebihannya tidak sah. Dia berhak mendapat upah sepadan. Jika dia mengangkut satu takaran lalu ditemukan ada kelebihan, maka dia berhak mendapat upah atas kelebihan yang diangkutnya. Namun, jika pengangkut itu juga yang menakarkan, maka tidak ada upah baginya atas kelebihan tersebut. Pemilik barang berhak memilih untuk mengambil kelebihan di tempatnya atau menjamin gandumnya di negerinya.”

 

 

وَمُعَلِّمُ الْكُتَّابِ وَالْآدَمِيِّينَ مُخَالِفٌ لِرَاعِي الْبَهَائِمِ وَصُنَّاعِ الْأَعْمَالِ؛ لِأَنَّ الْآدَمِيِّينَ يُؤَدَّبُونَ بِالْكَلَامِ فَيَتَعَلَّمُونَ وَلَيْسَ هَكَذَا مُؤَدِّبُ الْبَهَائِمِ فَإِذَا ضَرَبَ أَحَدًا مِنْ الْآدَمِيِّينَ لِاسْتِصْلَاحِ الْمَضْرُوبِ أَوْ غَيْرِ اسْتِصْلَاحِهِ فَتَلِفَ كَانَتْ فِيهِ دِيَةٌ عَلَى عَاقِلَتِهِ وَالْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ وَالتَّعْزِيرُ لَيْسَ بِحَدٍّ يَجِبُ بِكُلِّ حَالٍ، وَقَدْ يَجُوزُ تَرْكُهُ، وَلَا يَأْثَمُ مَنْ تَرَكَهُ قَدْ فُعِلَ غَيْرُ شَيْءٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – غَيْرُ حَدٍّ فَلَمْ يَضْرِبْ فِيهِ مِنْ ذَلِكَ الْغُلُولُ وَغَيْرُهُ، وَلَمْ يُؤْتَ بِحَدٍّ قَطُّ فَعَفَاهُ وَبَعَثَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – إلَى امْرَأَةٍ فِي شَيْءٍ بَلَغَهُ عَنْهَا فَأَسْقَطَتْ فَقِيلَ لَهُ إنَّك مُؤَدِّبٌ فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – إنْ كَانَ اجْتَهَدَ فَقَدْ أَخْطَأَ، وَإِنْ كَانَ لَمْ يَجْتَهِدْ فَقَدْ غَشَّ، عَلَيْك الدِّيَةُ فَقَالَ عُمَرُ عَزَمْت عَلَيْك أَنْ لَا تَجْلِسَ حَتَّى تَضْرِبَهَا عَلَى قَوْمِك فَبِهَذَا قُلْنَا خَطَأُ الْإِمَامِ عَلَى عَاقِلَتِهِ دُونَ بَيْتِ الْمَالِ.

 

 

Pengajar kitab dan manusia berbeda dengan penggembala hewan dan pembuat karya, karena manusia dididik dengan perkataan sehingga mereka belajar, sedangkan pengurus hewan tidak demikian. Jika seseorang memukul manusia lain untuk memperbaiki atau tanpa maksud memperbaiki, lalu yang dipukul meninggal, maka diyat dibebankan pada keluarganya, kafarat dari hartanya, dan ta’zir bukanlah hukuman hudud yang wajib dalam setiap keadaan—bahkan boleh ditinggalkan tanpa dosa. Pada masa Rasulullah ﷺ, banyak perbuatan di luar hudud yang tidak dihukum, seperti ghulul (korupsi) dan lainnya. Beliau juga pernah tidak menegakkan hudud padahal pelanggaran hudud diajukan kepadanya.

 

Suatu ketika, Umar bin Khattab ra. mengutus seseorang kepada seorang wanita karena suatu kabar tentangnya, lalu wanita itu keguguran. Dikatakan padanya, “Engkau adalah pendidik.” Ali ra. berkata, “Jika ia berijtihad, ia telah salah; jika tidak berijtihad, ia telah lalai. Diyat menjadi tanggunganmu.” Umar lalu bersumpah, “Aku memaksamu untuk tidak duduk sampai engkau membayar diyat kepada kaumnya.” Dari sinilah kami berpendapat: kesalahan pemimpin ditanggung oleh keluarganya, bukan baitulmal.

 

(قَالَ) : وَلَوْ اخْتَلَفَا فِي ثَوْبٍ فَقَالَ رَبُّهُ أَمَرْتُك أَنْ تَقْطَعَهُ قَمِيصًا وَقَالَ الْخَيَّاطُ بَلْ قَبَاءً.

 

Dia berkata, “Seandainya mereka berselisih tentang pakaian, lalu pemiliknya berkata, ‘Aku memerintahkanmu untuk menjahitnya menjadi kemeja,’ sedangkan penjahit berkata, ‘Tidak, menjadi jubah.'”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – بَعْدَ أَنْ وَصَفَ قَوْلَ ابْنِ أَبِي لَيْلَى إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْخَيَّاطِ؛ لِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَى الْقَطْعِ. وَقَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ رَبِّ الثَّوْبِ كَمَا لَوْ دَفَعَهُ إلَى رَجُلٍ فَقَالَ رَهْنٌ وَقَالَ رَبُّهُ وَدِيعَةٌ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – setelah menjelaskan pendapat Ibn Abi Laila bahwa perkataan itu adalah perkataan penjahit karena keduanya sepakat pada pemotongan. Dan pendapat Abu Hanifah bahwa perkataan itu adalah perkataan pemilik pakaian, seperti jika dia menyerahkannya kepada seseorang lalu dia berkata “ini gadai” sedangkan pemiliknya berkata “ini titipan”.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَعَلَّ مِنْ حُجَّتِهِ أَنْ يَقُولَ، وَإِنْ اجْتَمَعَا عَلَى أَنَّهُ أَمَرَهُ بِالْقَطْعِ فَلَمْ يَعْمَلْ لَهُ عَمَلَهُ كَمَا لَوْ اسْتَأْجَرَهُ عَلَى حَمْلٍ بِإِجَارَةٍ فَقَالَ قَدْ حَمَلْته لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ إلَّا بِإِقْرَارِ صَاحِبِهِ وَهَذَا أَشْبَهُ الْقَوْلَيْنِ وَكِلَاهُمَا مَدْخُولٌ.

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Dan mungkin di antara argumennya adalah ia berkata, meskipun keduanya sepakat bahwa ia memerintahkannya untuk memotong, tetapi ia tidak melakukan pekerjaannya, seperti halnya jika ia menyewanya untuk mengangkut dengan upah, lalu ia berkata, “Aku telah mengangkutnya,” hal itu tidak sah kecuali dengan pengakuan pemiliknya. Dan ini lebih mirip dengan dua pendapat, namun keduanya memiliki kelemahan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْقَوْلُ مَا شَبَّهَ الشَّافِعِيُّ بِالْحَقِّ؛ لِأَنَّهُ لَا خِلَافَ أَعْلَمُهُ بَيْنَهُمْ أَنَّ مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا فِيمَا لَا يَمْلِكُهُ أَنَّهُ مَأْخُوذٌ بِحَدَثِهِ وَأَنَّ الدَّعْوَى لَا تَنْفَعُهُ فَالْخَيَّاطُ مُقِرٌّ بِأَنَّ الثَّوْبَ لِرَبِّهِ وَأَنَّهُ أَحْدَثَ فِيهِ حَدَثًا وَادَّعَى إذْنَهُ، وَإِجَارَةً عَلَيْهِ فَإِنْ أَقَامَ بَيِّنَةً عَلَى دَعْوَاهُ، وَإِلَّا حَلَفَ صَاحِبُهُ وَضَمَّنَهُ مَا أَحْدَثَ فِي ثَوْبِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – pendapat yang diserupakan oleh Asy-Syafi’i dengan kebenaran, karena tidak ada perselisihan yang aku ketahui di antara mereka bahwa siapa yang melakukan suatu perbuatan pada sesuatu yang tidak ia miliki, maka ia akan diambil tindakan atas perbuatannya dan klaim tidak akan membantunya. Maka penjahit mengakui bahwa kain itu milik pemiliknya dan ia telah melakukan suatu perbuatan padanya, lalu ia mengklaim izin dan upah atasnya. Jika ia mendatangkan bukti atas klaimnya, (maka diterima). Jika tidak, pemilik kain bersumpah dan menjamin apa yang telah dilakukan pada kainnya.

 

مُخْتَصَرٌ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الْمُزَارَعَةِ وَكِرَاءِ الْأَرْضِ وَالشَّرِكَةِ فِي الزَّرْعِ

 

Ringkasan dari Al-Jami’ dari Kitab Al-Muzara’ah, Kira’ Al-Ardh, dan Syirkah dalam Bercocok Tanam

، وَمَا دَخَلَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَمَسَائِلَ سَمِعْتُهَا مِنْهُ لَفْظًا.

 

dan apa yang termasuk di dalamnya dari kitab perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila, serta masalah-masalah yang kudengar langsung darinya secara lisan.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ اكْتَرَى دَابَّةً فَحَبَسَهَا قَدْرَ الْمَسِيرِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَإِنْ حَبَسَهَا أَكْثَرَ مِنْ قَدْرِ ذَلِكَ ضَمِنَ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seseorang menyewa hewan tunggangan lalu menahannya sebatas waktu perjalanan, maka tidak ada kewajiban atasnya. Namun jika ia menahannya lebih dari waktu tersebut, maka ia harus menanggung (ganti rugi).”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْت عَمْرَو بْنَ دِينَارٍ يَقُولُ سَمِعْت ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ «كُنَّا نُخَابِرُ، وَلَا نَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا حَتَّى أَخْبَرَنَا رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ الْمُخَابَرَةِ» فَتَرَكْنَاهَا لِقَوْلِ رَافِعٍ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar ‘Amr bin Dinar berkata: Aku mendengar Ibnu Umar berkata: “Dahulu kami melakukan mukhabarah (sewa tanah dengan bayaran hasil panen), dan kami tidak melihat masalah dengan hal itu hingga Rafi’ bin Khadij mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang mukhabarah.” Maka kami meninggalkannya karena perkataan Rafi’.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالْمُخَابَرَةُ اسْتِكْرَاءُ الْأَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَدَلَّتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي نَهْيِهِ عَنْ الْمُخَابَرَةِ عَلَى أَنْ لَا تَجُوزَ الْمُزَارَعَةُ عَلَى الثُّلُثِ، وَلَا عَلَى الرُّبُعِ، وَلَا جُزْءٍ مِنْ الْأَجْزَاءِ؛ لِأَنَّهُ مَجْهُولٌ، وَلَا يَجُوزُ الْكِرَاءُ إلَّا مَعْلُومًا، وَيَجُوزُ كِرَاءُ الْأَرْضِ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَالْعَرَضِ، وَمَا نَبَتَ مِنْ الْأَرْضِ أَوْ عَلَى صِفَةِ تَسْمِيَةٍ كَمَا يَجُوزُ كِرَاءُ الْمَنَازِلِ، وَإِجَارَةُ الْعَبِيدِ، وَلَا يَجُوزُ الْكِرَاءُ إلَّا عَلَى سَنَةٍ مَعْرُوفَةٍ، وَإِذَا تَكَارَى الرَّجُلُ الْأَرْضَ ذَاتَ الْمَاءِ مِنْ الْعَيْنِ أَوْ النَّهْرِ أَوْ النِّيلِ أَوْ عَثَرِيًّا أَوْ غَيْلًا أَوْ الْآبَارِ عَلَى أَنْ يَزْرَعَهَا غَلَّةَ شِتَاءٍ وَصَيْفٍ فَزَرَعَهَا إحْدَى الْغَلَّتَيْنِ وَالْمَاءُ قَائِمٌ ثُمَّ نَضَبَ الْمَاءُ فَذَهَبَ قَبْلَ الْغَلَّةِ الثَّانِيَةِ فَأَرَادَ رَدَّ الْأَرْضِ لِذَهَابِ الْمَاءِ عَنْهَا فَذَلِكَ لَهُ، وَيَكُونُ عَلَيْهِ مِنْ الْكِرَاءِ بِحِصَّةِ مَا زَرَعَ إنْ كَانَ الثُّلُثَ أَوْ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ وَسَقَطَتْ عَنْهُ حِصَّةُ مَا لَمْ يَزْرَعْ؛ لِأَنَّهُ لَا صَلَاحَ لِلزَّرْعِ إلَّا بِهِ وَلَوْ تَكَارَاهَا سَنَةً فَزَرَعَهَا فَانْقَضَتْ السَّنَةُ وَالزَّرْعُ فِيهَا لَمْ يَبْلُغْ أَنْ يُحْصَدَ فَإِنْ كَانَتْ السَّنَةُ يُمْكِنُهُ أَنْ يَزْرَعَ فِيهَا زَرْعًا يُحْصَدُ قَبْلَهَا فَالْكِرَاءُ جَائِزٌ وَلَيْسَ لِرَبِّ الزَّرْعِ أَنْ يُثْبِتَ زَرْعَهُ وَعَلَيْهِ أَنْ يَنْقُلَهُ عَنْ الْأَرْضِ إلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّ الْأَرْضِ تَرْكَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Mukhabarah adalah menyewakan tanah dengan sebagian hasil yang keluar darinya. Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam larangan beliau terhadap mukhabarah menunjukkan bahwa tidak boleh muzara’ah (bagi hasil pertanian) dengan sepertiga, seperempat, atau bagian tertentu lainnya, karena hal itu tidak diketahui (jumlah pastinya). Sewa-menyewa tidak boleh kecuali dengan sesuatu yang diketahui. Boleh menyewa tanah dengan emas, perak, barang, atau hasil tumbuhan dari tanah, atau dengan sifat yang disebutkan, sebagaimana boleh menyewa rumah atau mempekerjakan budak. Sewa-menyewa tidak boleh kecuali untuk jangka waktu yang diketahui. Jika seseorang menyewa tanah yang memiliki sumber air dari mata air, sungai, Nil, sumur, atau lainnya untuk ditanami tanaman musim dingin dan musim panas, lalu dia menanam salah satu dari dua musim tersebut sementara air masih ada, kemudian air surut sebelum musim kedua, dan dia ingin mengembalikan tanah karena airnya habis, maka itu boleh baginya. Dia hanya wajib membayar sewa sesuai bagian yang ditanam, baik sepertiga, lebih, atau kurang, dan bagian yang tidak ditanam gugur kewajibannya karena tanaman tidak bisa tumbuh tanpa air. Jika dia menyewa tanah selama setahun lalu menanamnya, kemudian tahun itu berakhir sementara tanaman belum bisa dipanen, jika dalam tahun tersebut masih memungkinkan menanam tanaman yang bisa dipanen sebelum akhir tahun, maka sewa itu boleh. Pemilik tanaman tidak berhak menetapkan tanamannya, dan dia harus memindahkannya dari tanah kecuali pemilik tanah mengizinkannya untuk tetap berada di sana.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا شَرَطَ أَنْ يَزْرَعَهَا صِنْفًا مِنْ الزَّرْعِ يَسْتَحْصِدُ أَوْ يَسْتَقْصِلُ قَبْلَ السَّنَةِ فَأَخَّرَهُ إلَى وَقْتٍ مِنْ السَّنَةِ وَانْقَضَتْ السَّنَةُ قَبْلَ بُلُوغِهِ فَكَذَلِكَ أَيْضًا، وَإِنْ تَكَارَاهَا لِمُدَّةٍ أَقَلَّ مِنْ سَنَةٍ وَشَرَطَ أَنْ يَزْرَعَهَا شَيْئًا بِعَيْنِهِ، وَيَتْرُكَهُ حَتَّى يَسْتَحْصِدَ وَكَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَسْتَحْصِدَ فِي مِثْلِ الْمُدَّةِ الَّتِي تَكَارَاهَا فَالْكِرَاءُ فِيهِ فَاسِدٌ مِنْ قِبَلِ أَنِّي إنْ أَثْبَتَ بَيْنَهُمَا شَرْطَهُمَا، وَلَمْ أُثْبِتْ عَلَى رَبِّ الْأَرْضِ أَنْ يَبْقَى زَرْعُهُ فِيهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْمُدَّةِ أَبْطَلْت شَرْطَ الزَّارِعِ أَنْ يَتْرُكَهُ حَتَّى يَسْتَحْصِدَ، وَإِنْ أَثْبَتُ لَهُ زَرْعَهُ حَتَّى يَسْتَحْصِدَ أَبْطَلْت شَرْطَ رَبِّ الْأَرْضِ فَكَانَ هَذَا كِرَاءً فَاسِدًا وَلِرَبِّ الْأَرْضِ كِرَاءُ مِثْلِ أَرْضِهِ إذَا زَرَعَهُ وَعَلَيْهِ تَرْكُهُ حَتَّى يَسْتَحْصِدَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan jika disyaratkan untuk menanam suatu jenis tanaman yang bisa dipanen atau diambil hasilnya sebelum satu tahun, lalu dia menundanya hingga suatu waktu dalam tahun tersebut dan tahun itu berakhir sebelum tanaman itu mencapai masa panen, maka hukumnya sama. Jika tanah itu disewa untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dengan syarat harus menanam tanaman tertentu dan membiarkannya hingga panen, padahal dia tahu bahwa tidak mungkin bisa dipanen dalam jangka waktu sewanya, maka sewa itu batal. Sebab jika aku menetapkan syarat mereka berdua tetapi tidak mewajibkan pemilik tanah untuk membiarkan tanamannya tetap ada setelah berakhirnya masa sewa, berarti aku membatalkan syarat penyewa untuk membiarkannya hingga panen. Dan jika aku menetapkan haknya untuk menanam hingga panen, berarti aku membatalkan syarat pemilik tanah. Maka ini adalah sewa yang batal. Bagi pemilik tanah berhak mendapatkan sewa senilai tanahnya jika ditanami, dan dia wajib membiarkannya hingga panen.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا تَكَارَى الْأَرْضَ الَّتِي لَا مَاءَ لَهَا إنَّمَا تُسْقَى بِنَطْفِ سَمَاءٍ أَوْ بِسَيْلٍ إنْ جَاءَ فَلَا يَصِحُّ كِرَاؤُهَا إلَّا عَلَى أَنْ يُكْرِيَهُ إيَّاهَا أَرْضًا بَيْضَاءَ لَا مَاءَ لَهَا يَصْنَعُ بِهَا الْمُسْتَكْرِي مَا شَاءَ فِي سَنَتِهِ إلَّا أَنَّهُ لَا يَبْنِي، وَلَا يَغْرِسُ فَإِذَا وَقَعَ عَلَى هَذَا صَحَّ الْكِرَاءُ وَلَزِمَهُ زَرَعَ أَوْ لَمْ يَزْرَعْ فَإِنْ أَكْرَاهُ إيَّاهَا عَلَى أَنْ يَزْرَعَهَا، وَلَمْ يَقُلْ أَرْضًا بَيْضَاءَ لَا مَاءَ لَهَا وَهُمَا يَعْلَمَانِ أَنَّهَا لَا تُزْرَعُ إلَّا بِمَطَرٍ أَوْ سَيْلٍ يَحْدُثُ فَالْكِرَاءُ فَاسِدٌ وَلَوْ كَانَتْ الْأَرْضُ ذَاتَ نَهْرٍ مِثْلِ النِّيلِ وَغَيْرِهِ مِمَّا يَعْلُو الْأَرْضَ عَلَى أَنْ يَزْرَعَهَا زَرْعًا لَا يَصْلُحُ إلَّا بِأَنْ يُرْوَى بِالنِّيلِ لَا بِئْرَ لَهَا، وَلَا مَشْرَبَ غَيْرُهُ فَالْكِرَاءُ فَاسِدٌ، وَإِذَا تَكَارَاهَا وَالْمَاءُ قَائِمٌ عَلَيْهَا، وَقَدْ يَنْحَسِرُ لَا مَحَالَةَ فِي وَقْتٍ يُمْكِنُ فِيهِ الزَّرْعُ فَالْكِرَاءُ جَائِزٌ، وَإِنْ كَانَ قَدْ يَنْحَسِرُ، وَلَا يَنْحَسِرُ كَرِهْت الْكِرَاءَ إلَّا بَعْدَ انْحِسَارِهِ، وَإِنْ غَرَّقَهَا بَعْدَ أَنْ صَحَّ كِرَاؤُهَا نِيلٌ أَوْ سَيْلٌ أَوْ شَيْءٌ يُذْهِبُ الْأَرْضَ أَوْ غُصِبَتْ انْتَقَضَ الْكِرَاءُ بَيْنَهُمَا مِنْ يَوْمِ تَلِفَتْ الْأَرْضُ فَإِنْ تَلِفَ بَعْضُهَا وَبَقِيَ بَعْضٌ، وَلَمْ يُزْرَعْ فَرَبُّ الزَّرْعِ بِالْخِيَارِ إنْ شَاءَ أَخَذَ مَا بَقِيَ بِحِصَّتِهِ مِنْ الْكِرَاءِ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا؛ لِأَنَّ الْأَرْضَ لَمْ تُسَلَّمْ لَهُ كُلُّهَا، وَإِنْ كَانَ زَرَعَ بَطَلَ عَنْهُ مَا تَلِفَ وَلَزِمَهُ حِصَّةُ مَا زَرَعَ مِنْ الْكِرَاءِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyewa tanah yang tidak memiliki air, yang hanya bisa diairi dengan tetesan hujan atau aliran sungai jika datang, maka sewa tanah tersebut tidak sah kecuali jika disewakan sebagai tanah kosong tanpa air, yang boleh digunakan oleh penyewa sesuai keinginannya selama satu tahun, namun ia tidak boleh membangun atau menanam. Jika akad sewa dilakukan sesuai ketentuan ini, maka sewa tersebut sah dan mengikat, baik ia menanam atau tidak. Namun jika tanah disewakan dengan syarat harus ditanami, tanpa menyebutkan sebagai tanah kosong tanpa air, sementara kedua pihak tahu bahwa tanah itu hanya bisa ditanami dengan hujan atau aliran sungai yang mungkin terjadi, maka sewa tersebut batal. Begitu pula jika tanah memiliki sungai seperti Nil atau lainnya yang mengairi tanah dengan syarat harus ditanami, sementara tanaman itu hanya bisa tumbuh dengan pengairan dari Nil, tanpa adanya sumur atau sumber air lain, maka sewa tersebut batal. Jika tanah disewa saat air masih ada, namun pasti akan surut pada waktu yang memungkinkan untuk bercocok tanam, maka sewa tersebut boleh dilakukan meskipun air mungkin surut atau tidak. Namun aku tidak menyukai penyewaan kecuali setelah air surut. Jika setelah sewa sah, tanah tergenang oleh Nil, banjir, atau sesuatu yang merusak tanah, atau tanah dirampas, maka sewa antara keduanya batal sejak hari tanah tersebut rusak. Jika sebagian tanah rusak dan sebagian lain tetap, sementara belum ditanami, maka pemilik tanaman boleh memilih: mengambil bagian yang tersisa dengan membayar sewa sesuai porsinya, atau mengembalikannya karena tanah tidak diserahkan seluruhnya. Jika sudah ditanami, maka bagian yang rusak dibatalkan dan ia tetap wajib membayar sewa sesuai bagian yang ditanami.

 

 

وَكَذَا إذَا جَمَعَتْ الصَّفْقَةُ مِائَةَ صَاعٍ بِثَمَنٍ مَعْلُومٍ فَتَلِفَ خَمْسُونَ صَاعًا فَالْمُشْتَرِي بِالْخِيَارِ فِي أَنْ يَأْخُذَ الْخَمْسِينَ بِحِصَّتِهَا مِنْ الثَّمَنِ أَوْ يَرُدَّ الْبَيْعَ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُسَلِّمْ لَهُ كُلَّ مَا اشْتَرَى وَكَذَلِكَ لَوْ اكْتَرَى دَارًا فَانْهَدَمَ بَعْضُهَا كَانَ لَهُ أَنْ يَحْبِسَ مِنْهَا مَا بَقِيَ بِحِصَّتِهِ مِنْ الْكِرَاءِ وَهَذَا بِخِلَافِ مَا لَا يَتَبَعَّضُ مِنْ عَبْدٍ اشْتَرَاهُ فَلَمْ يَقْبِضْهُ حَتَّى حَدَثَ بِهِ عَيْبٌ فَلَهُ الْخِيَارُ بَيْنَ أَخْذِهِ بِجَمِيعِ الثَّمَنِ أَوْ رَدِّهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُسَلَّمْ لَهُ مَا هُوَ غَيْرُ مَعِيبٍ وَالْمَسْكَنُ يَتَبَعَّضُ مِنْ الْمَسْكَنِ مِنْ الدَّارِ وَالْأَرْضُ كَذَلِكَ، وَإِنْ مَرَّ بِالْأَرْضِ مَاءٌ فَأَفْسَدَ زَرْعَهُ أَوْ أَصَابَهُ حَرِيقٌ أَوْ جَرَادٌ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ جَائِحَةٌ عَلَى الزَّرْعِ لَا عَلَى الْأَرْضِ كَمَا لَوْ اكْتَرَى مِنْهُ دَارًا لِلْبَزِّ فَاحْتَرَقَ الْبَزُّ وَلَوْ اكْتَرَاهَا؛ لِيَزْرَعَهَا قَمْحًا فَلَهُ أَنْ يَزْرَعَهَا مَا لَا يَضُرُّ بِالْأَرْضِ إلَّا إضْرَارَ الْقَمْحِ، وَإِنْ كَانَ يَضُرُّ بِهَا مِثْلُ عُرُوقٍ تَبْقَى فِيهَا فَلَيْسَ ذَلِكَ، فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ مُتَعَدٍّ وَرَبُّ الْأَرْضِ بِالْخِيَارِ إنْ شَاءَ أَخَذَ الْكِرَاءَ، وَمَا نَقَصَتْ الْأَرْضُ عَمَّا يُنْقِصُهَا زَرْعُ الْقَمْحِ أَوْ يَأْخُذُ مِنْهُ كِرَاءَ مِثْلِهَا.

 

 

Demikian pula jika suatu transaksi mencakup seratus sha’ dengan harga yang diketahui, lalu lima puluh sha’ rusak, maka pembeli memiliki hak pilih untuk mengambil lima puluh sha’ dengan bagian harganya atau membatalkan pembelian; karena tidak semua yang dibeli diserahkan kepadanya. Begitu pula jika seseorang menyewa rumah lalu sebagiannya runtuh, ia berhak menahan bagian yang tersisa sesuai porsi sewanya. Ini berbeda dengan budak yang dibeli secara utuh dan belum diterima hingga muncul cacat, maka ia berhak memilih antara menerimanya dengan seluruh harga atau mengembalikannya; karena yang diserahkan bukanlah barang yang sempurna. Tempat tinggal bisa dibagi dari rumah atau tanah. Jika air melintasi tanah dan merusak tanamannya, atau terkena kebakaran, serangan belalang, atau lainnya, semua itu merupakan musibah bagi tanaman bukan tanah. Seperti menyewa rumah untuk menyimpan kain lalu kain terbakar. Jika tanah disewa untuk menanam gandum, ia boleh menanam apa saja yang tidak merusak tanah kecuali kerusakan seperti gandum. Jika ada akar yang tertinggal dan merusak tanah, itu tidak diperbolehkan. Jika dilanggar, ia dianggap melampaui batas, dan pemilik tanah berhak memilih antara mengambil sewa sesuai kerugian tanah akibat penanaman gandum atau mengambil sewa tanah sejenis.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ الْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُ أَخَذَ مَا اكْتَرَى وَزَادَ عَلَى الْمُكْرِي ضَرَرًا كَرَجُلٍ اكْتَرَى مَنْزِلًا يُدْخِلُ فِيهِ مَا يَحْمِلُ سَقْفُهُ فَحَمَّلَ فِيهِ أَكْثَرَ فَأَضَرَّ ذَلِكَ بِالْمَنْزِلِ فَقَدْ اسْتَوْفَى سُكْنَاهُ وَعَلَيْهِ قِيمَةُ ضَرَرِهِ وَكَذَلِكَ لَوْ اكْتَرَى مَنْزِلًا سُفْلًا فَجَعَلَ فِيهِ الْقَصَّارِينَ أَوْ الْحَدَّادِينَ فَتَقَلَّعَ الْبِنَاءُ فَقَدْ اسْتَوْفَى مَا اكْتَرَاهُ وَعَلَيْهِ بِالتَّعَدِّي مَا نَقَصَ بِالْمَنْزِلِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Tampaknya pendapat pertama lebih utama, karena ia telah mengambil apa yang disewanya dan menambah kerusakan bagi pihak yang menyewakan. Seperti seseorang yang menyewa rumah untuk memuat barang yang mampu ditahan atapnya, lalu ia memuat lebih banyak sehingga merusak rumah tersebut. Ia telah menikmati sepenuhnya hak tinggalnya, namun wajib mengganti nilai kerusakannya. Demikian pula jika seseorang menyewa rumah bagian bawah, lalu ia menjadikannya tempat para penatu atau pandai besi sehingga bangunannya rusak. Ia telah memanfaatkan sepenuhnya apa yang disewanya, namun wajib mengganti kerugian akibat melampaui batas yang mengurangi nilai rumah.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ قَالَ لَهُ: ازْرَعْهَا مَا شِئْتَ فَلَا يُمْنَعُ مِنْ زَرْعِ مَا شَاءَ، وَلَوْ أَرَادَ الْغِرَاسَ فَهُوَ غَيْرُ الزَّرْعِ، وَإِنْ قَالَ ازْرَعْهَا أَوْ اغْرِسْهَا مَا شِئْت فَالْكِرَاءُ جَائِزٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika dikatakan kepadanya: ‘Tanamilah sesukamu’, maka dia tidak boleh dilarang menanam apa yang dia kehendaki. Namun jika dia ingin menanam pohon, itu berbeda dengan menanam (biasa). Tetapi jika dikatakan: ‘Tanamilah atau tanamlah pohon sesukamu’, maka sewa (lahan tersebut) diperbolehkan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : أَوْلَى بِقَوْلِهِ أَنْ لَا يَجُوزَ هَذَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَدْرِي يَغْرِسُ أَكْثَرَ الْأَرْضِ فَيَكْثُرُ الضَّرَرُ عَلَى صَاحِبِهَا أَوْ لَا يَغْرِسُ فَتَسْلَمُ أَرْضُهُ مِنْ النُّقْصَانِ بِالْغَرْسِ فَهَذَا فِي مَعْنَى الْمَجْهُولِ، وَمَا لَا يَجُوزُ فِي مَعْنَى قَوْلِهِ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Pendapat yang lebih tepat adalah bahwa hal ini tidak diperbolehkan, karena ia tidak mengetahui apakah ia akan menanami sebagian besar tanah sehingga menimbulkan banyak kerugian bagi pemiliknya, atau tidak menanami sehingga tanahnya selamat dari pengurangan akibat penanaman. Hal ini termasuk dalam makna yang tidak diketahui, dan apa yang tidak diperbolehkan dalam makna perkataannya. Dan hanya kepada Allah lah taufik.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika masa sewa tanah telah habis, pemilik tanah tidak boleh mencabut tanamannya sampai dia memberikan nilai tanamannya dan nilai buahnya jika ada pada hari dia mencabutnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلِرَبِّ الْغِرَاسِ إنْ شَاءَ أَنْ يَقْلَعَهُ عَلَى أَنَّ عَلَيْهِ مَا نَقَصَ الْأَرْضَ، وَالْغِرَاسُ كَالْبِنَاءِ إذَا كَانَ بِإِذْنِ مَالِكِ الْأَرْضِ مُطْلَقًا، وَمَا اكْتَرَى فَاسِدًا وَقَبَضَهَا، وَلَمْ يَزْرَعْ، وَلَمْ يَسْكُنْ حَتَّى انْقَضَتْ السَّنَةُ فَعَلَيْهِ كِرَاءُ الْمِثْلِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan bagi pemilik tanaman jika ia ingin mencabutnya dengan syarat ia harus mengganti kerusakan tanah. Tanaman itu seperti bangunan jika ditanam dengan izin pemilik tanah secara mutlak. Dan barang siapa yang menyewa tanah secara tidak sah lalu menerimanya, tidak menanam, dan tidak tinggal hingga tahun sewa berakhir, maka ia wajib membayar sewa yang semisal.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْقِيَاسُ عِنْدِي – وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ – أَنَّهُ إذَا أَجَّلَ لَهُ أَجَلًا يَغْرِسُ فِيهِ فَانْقَضَى الْأَجَلُ أَوْ أَذِنَ لَهُ بِبِنَاءٍ فِي عَرْصَةٍ لَهُ سِنِينَ وَانْقَضَى الْأَجَلُ أَنَّ الْأَرْضَ وَالْعَرْصَةَ مَرْدُودَتَانِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُعِرْهُ شَيْئًا فَعَلَيْهِ رَدُّ مَا لَيْسَ لَهُ فِيهِ حَقٌّ عَلَى أَهْلِهِ، وَلَا يُجْبَرُ صَاحِبُ الْأَرْضِ عَلَى شِرَاءِ غِرَاسٍ، وَلَا بِنَاءٍ إلَّا أَنْ يَشَاءَ وَاَللَّهُ – عَزَّ وَجَلَّ – يَقُولُ {إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ} النساء: 29 وَهَذَا قَدْ مَنَعَ مَالَهُ إلَّا أَنْ يَشْتَرِيَ مَا لَا يَرْضَى شِرَاءَهُ فَأَيْنَ التَّرَاضِي.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – menurut pendapatku – dan dengan pertolongan Allah – bahwa jika seseorang memberikan tenggat waktu untuk menanam, lalu tenggat itu habis, atau mengizinkan membangun di tanahnya selama beberapa tahun dan tenggatnya habis, maka tanah dan lahan tersebut harus dikembalikan; karena ia tidak meminjamkan sesuatu, sehingga wajib mengembalikan apa yang bukan haknya kepada pemiliknya. Pemilik tanah tidak boleh dipaksa untuk membeli tanaman atau bangunan kecuali jika ia menghendaki. Allah – Yang Maha Mulia dan Agung – berfirman: {Kecuali dengan cara perdagangan yang saling rela di antara kalian} An-Nisa’: 29. Dalam hal ini, ia telah menahan hartanya kecuali jika membeli sesuatu yang tidak ia sukai, maka di manakah kerelaan itu?

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا اكْتَرَى دَارًا سَنَةً فَغَصَبَهَا رَجُلٌ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ كِرَاءٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْلَمْ لَهُ مَا اكْتَرَى، وَإِذَا اكْتَرَى أَرْضًا مِنْ أَرْضِ الْعُشْرِ أَوْ الْخَرَاجِ فَعَلَيْهِ فِيمَا أَخْرَجَتْ الصَّدَقَةُ، خَاطَبَ اللَّهُ – تَعَالَى – الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ {وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ} الأنعام: 141 وَهَذَا مَالُ مُسْلِمٍ وَحَصَادُ مُسْلِمٍ فَالزَّكَاةُ فِيهِ وَاجِبَةٌ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seseorang menyewa sebuah rumah selama satu tahun, lalu rumah itu dirampas oleh orang lain, maka tidak ada kewajiban membayar sewa baginya karena apa yang dia sewa tidak diserahkan kepadanya. Dan jika seseorang menyewa tanah dari tanah ‘usyr atau kharaj, maka dia wajib mengeluarkan zakat dari hasil yang dihasilkan tanah tersebut. Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang beriman: ‘Dan berikanlah haknya (zakat) pada hari memanennya.’ (QS. Al-An’am: 141). Ini adalah harta seorang muslim dan panen seorang muslim, maka zakat di dalamnya adalah wajib.”

 

 

وَلَوْ اخْتَلَفَا فِي اكْتِرَاءِ دَابَّةٍ إلَى مَوْضِعٍ أَوْ فِي كِرَائِهَا أَوْ فِي إجَارَةِ الْأَرْضِ تَحَالَفَا فَإِنْ كَانَ قَبْلَ الرُّكُوبِ وَالزَّرْعِ تَحَالَفَا وَتَرَادَّا، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ كَانَ عَلَيْهِ كِرَاءُ الْمِثْلِ وَلَوْ قَالَ رَبُّ الْأَرْضِ بِكِرَاءٍ، وَقَالَ الْمُزَارِعُ عَارِيَّةٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ رَبِّ الْأَرْضِ مَعَ يَمِينِهِ، وَيَقْلَعُ الزَّارِعُ زَرْعَهُ وَعَلَى الزَّارِعِ كِرَاءُ مِثْلِهِ إلَى يَوْمِ قَلْعِ زَرْعِهِ وَسَوَاءٌ كَانَ فِي إبَّانِ الزَّرْعِ أَوْ غَيْرِهِ.

 

 

Dan jika mereka berselisih mengenai penyewaan hewan tunggangan ke suatu tempat, atau mengenai sewanya, atau mengenai penyewaan tanah, maka mereka harus saling bersumpah. Jika perselisihan terjadi sebelum menunggang atau menanam, mereka harus bersumpah dan transaksi dibatalkan. Namun, jika perselisihan terjadi setelah itu, maka penyewa wajib membayar sewa yang semisal. Jika pemilik tanah mengatakan bahwa tanah itu disewakan, sedangkan penggarap mengatakan bahwa itu dipinjamkan secara gratis, maka perkataan pemilik tanah yang diikuti sumpahnya yang diambil. Penggarap harus mencabut tanamannya, dan wajib membayar sewa yang semisal hingga hari pencabutan tanamannya, baik pada musim tanam maupun di luar musim tanam.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِي كِتَابِ الْعَارِيَّةِ فِي رَاكِبِ الدَّابَّةِ يَقُولُ أَعَرْتَنِيهَا، وَيَقُولُ بَلْ أَكْرَيْتُكَهَا إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الرَّاكِبِ مَعَ يَمِينِهِ وَخِلَافُ قَوْلِهِ فِي الْغَسَّالِ يَقُولُ صَاحِبُ الثَّوْبِ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ، وَيَقُولُ الْغَسَّالُ بِأُجْرَةٍ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ صَاحِبِ الثَّوْبِ، وَأَوْلَى بِقَوْلِهِ الَّذِي قَطَعَ بِهِ فِي كِتَابِ الْمُزَارَعَةِ، وَقَدْ بَيَّنْتُهُ فِي كِتَابِ الْعَارِيَّةِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – ini bertentangan dengan pendapatnya dalam kitab Al-‘Ariyah tentang orang yang menunggang hewan, ia berkata “Engkau meminjamkannya kepadaku”, sedangkan yang lain berkata “Bahkan aku menyewakannya kepadamu”. Sesungguhnya perkataan itu adalah perkataan penunggang beserta sumpahnya. Dan bertentangan pula dengan pendapatnya tentang tukang cuci, pemilik pakaian mengatakan tanpa upah, sedangkan tukang cuci mengatakan dengan upah, bahwa perkataan itu adalah perkataan pemilik pakaian. Lebih utama dengan pendapatnya yang ia putuskan dalam kitab Al-Muzara’ah, dan telah aku jelaskan dalam kitab Al-‘Ariyah.

 

إحْيَاءُ الْمَوَاتِ

Menghidupkan yang mati

Dari sebuah kitab yang ditulis dengan tangannya sendiri, aku tidak mengetahui apakah ia didengar darinya.

 

مِنْ كِتَابٍ وَضَعَهُ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – بِلَادُ الْمُسْلِمِينَ شَيْئَانِ عَامِرٌ، وَمَوَاتٌ فَالْعَامِرُ لِأَهْلِهِ وَكُلُّ مَا صَلَحَ بِهِ الْعَامِرُ مِنْ طَرِيقٍ وَفِنَاءٍ، وَمَسِيلِ مَاءٍ وَغَيْرِهِ فَهُوَ كَالْعَامِرِ فِي أَنْ لَا يُمْلَكَ عَلَى أَهْلِهِ إلَّا بِإِذْنِهِمْ وَالْمَوَاتُ شَيْئَانِ مَوَاتُ مَا قَدْ كَانَ عَامِرًا لِأَهْلِهِ مَعْرُوفًا فِي الْإِسْلَامِ ثُمَّ ذَهَبَتْ عِمَارَتُهُ فَصَارَ مَوَاتًا فَذَلِكَ كَالْعَامِرِ لِأَهْلِهِ لَا يُمْلَكُ إلَّا بِإِذْنِهِمْ، وَالْمَوَاتُ الثَّانِي مَا لَا يَمْلِكُهُ أَحَدٌ فِي الْإِسْلَامِ يُعْرَفُ، وَلَا عِمَارَةَ مِلْكٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ إذَا لَمْ يُمْلَكْ فَذَلِكَ الْمَوَاتُ الَّذِي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ أَحْيَا مَوَاتًا فَهُوَ لَهُ» وَعَطِيَّتُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَامَّةٌ لِمَنْ أَحْيَا الْمَوَاتَ أَثْبَتُ مِنْ عَطِيَّةِ مَنْ بَعْدَهُ مِنْ سُلْطَانٍ وَغَيْرِهِ سَوَاءٌ كَانَ إلَى جَنْبِ قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ أَوْ نَهْرٍ أَوْ حَيْثُ كَانَ، وَقَدْ «أَقْطَعَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الدُّورَ فَقَالَ حَيٌّ مِنْ بَنِي زُهْرَةَ يُقَالُ لَهُمْ بَنُو عَبْدِ بْنِ زُهْرَةَ نَكَبَ عَنَّا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَلِمَ ابْتَعَثَنِي اللَّهُ إذَنْ إنَّ اللَّهَ – عَزَّ وَجَلَّ – لَا يُقَدِّسُ أُمَّةً لَا يُؤْخَذُ فِيهِمْ لِلضَّعِيفِ حَقُّهُ» وَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ عَلَى «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَقْطَعَ بِالْمَدِينَةِ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ عِمَارَةِ الْأَنْصَارِ مِنْ الْمَنَازِلِ وَالنَّخْلِ، وَأَنَّ ذَلِكَ لِأَهْلِ الْعَامِرِ» وَدَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ مَا قَارَبَ الْعَامِرَ يَكُونُ مِنْهُ مَوَاتٌ وَالْمَوَاتُ الَّذِي لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُقْطِعَهُ مَنْ يَعْمُرُهُ خَاصَّةً وَأَنْ يَحْمِيَ مِنْهُ مَا يَرَى أَنْ يَحْمِيَهُ عَامًّا لِمَنَافِعِ الْمُسْلِمِينَ وَاَلَّذِي عَرَفْنَا نَصًّا وَدَلَالَةً فِيمَا حَمَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَنَّهُ حَمَى النَّقِيعَ» وَهُوَ بَلَدٌ لَيْسَ بِالْوَاسِعِ الَّذِي إذَا حَمَى ضَاقَتْ الْبِلَادُ عَلَى أَهْلِ الْمَوَاشِي حَوْلَهُ وَأَضَرَّ بِهِمْ وَكَانُوا يَجِدُونَ فِيمَا سِوَاهُ مِنْ الْبِلَادِ سَعَةً لِأَنْفُسِهِمْ وَمَوَاشِيهِمْ وَأَنَّهُ قَلِيلٌ مِنْ كَثِيرٍ مُجَاوِزٍ لِلْقَدْرِ وَفِيهِ صَلَاحٌ لِعَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ بِأَنْ تَكُونَ الْخَيْلُ الْمُعَدَّةُ لِسَبِيلِ اللَّهِ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – وَمَا فَضَلَ مِنْ سُهْمَانِ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ، وَمَا فَضَلَ مِنْ النَّعَمِ الَّتِي تُؤْخَذُ مِنْ الْجِزْيَةِ تَرْعَى جَمِيعُهَا فِيهِ فَأَمَّا الْخَيْلُ فَقُوَّةٌ لِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ، وَمَسْلَكُ سَبِيلِهَا أَنَّهَا لِأَهْلِ الْفَيْءِ وَالْمُجَاهِدِينَ، وَأَمَّا النَّعَمُ الَّتِي تَفْضُلُ عَنْ سُهْمَانِ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَيُعَادُ بِهَا عَلَى أَهْلِهَا، وَأَمَّا نَعَمُ الْجِزْيَةِ فَقُوَّةٌ لِأَهْلِ الْفَيْءِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يَبْقَى مُسْلِمٌ إلَّا دَخَلَ عَلَيْهِ مَنْ هَذَا خَصْلَةُ صَلَاحٍ فِي دِينِهِ أَوْ نَفْسِهِ أَوْ مَنْ يَلْزَمُهُ أَمْرُهُ مِنْ قَرِيبٍ أَوْ عَامَّةٍ مِنْ مُسْتَحِقِّي الْمُسْلِمِينَ فَكَانَ مَا حَمَى عَنْ خَاصَّتِهِمْ أَعْظَمَ مَنْفَعَةً لِعَامَّتِهِمْ مِنْ أَهْلِ دِينِهِمْ وَقُوَّةً عَلَى مَنْ خَالَفَ دَيْنَ اللَّهِ – عَزَّ وَجَلَّ – مِنْ عَدُوِّهِمْ. قَدْ حَمَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَلَى هَذَا الْمَعْنَى بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَوَلَّى عَلَيْهِ مَوْلًى لَهُ يُقَالُ لَهُ هُنَيُّ وَقَالَ لَهُ يَا هُنَيُّ ضُمَّ جَنَاحَك لِلنَّاسِ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ مُجَابَةٌ وَأَدْخِلْ رَبَّ الصُّرَيْمَةِ وَرَبَّ الْغُنَيْمَةِ، وَإِيَّاكَ وَنَعَمَ ابْنِ عَفَّانَ وَنَعَمَ ابْنِ عَوْفٍ فَإِنَّهُمَا إنْ تَهْلِكْ مَاشِيَتُهُمَا يَرْجِعَانِ إلَى نَخْلٍ وَزَرْعٍ، وَإِنَّ رَبَّ الْغُنَيْمَةِ يَأْتِينِي بِعِيَالِهِ فَيَقُولُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَفَتَارِكُهُمْ أَنَا لَا أَبَا لَك؟ وَالْكَلَأُ أَهْوَنُ مِنْ الدِّرْهَمِ وَالدِّينَارِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – negeri kaum muslimin terbagi menjadi dua: yang sudah dihuni (amir) dan yang mati (mawat). Yang sudah dihuni adalah milik penduduknya, dan segala yang terkait dengannya seperti jalan, halaman, aliran air, dan lainnya dianggap seperti wilayah hunian yang tidak boleh dimiliki kecuali dengan izin penduduknya. Adapun tanah mati terbagi dua: pertama, tanah yang dahulunya dihuni dan dikenal dalam Islam kemudian ditinggalkan, maka statusnya seperti tanah hunian yang tidak boleh dimiliki kecuali dengan izin penduduk aslinya. Kedua, tanah yang tidak dimiliki siapa pun dalam Islam, tidak ada bekas hunian sejak zaman jahiliyah, dan tidak dimiliki oleh siapa pun. Inilah tanah mati yang disebut Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam sabdanya: “Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka itu menjadi miliknya.” Pemberian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersifat umum bagi siapa saja yang menghidupkan tanah mati, lebih kuat daripada pemberian penguasa setelahnya, baik tanah itu berada di dekat perkampungan, sungai, atau di mana pun. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah membagi-bagikan rumah-rumah, lalu seorang dari Bani Zuhrah bernama Banu Abd bin Zuhrah berkata: “Kami telah kehilangan Ibnu Ummi Abd.” Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Lalu untuk apa Allah mengutusku? Sesungguhnya Allah tidak mensucikan umat yang tidak menegakkan hak orang lemah di antara mereka.” Ini menunjukkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah membagikan tanah di Madinah di antara permukiman Anshar berupa rumah-rumah dan kebun kurma, dan itu menjadi hak penduduk setempat. Juga menunjukkan bahwa tanah yang berdekatan dengan permukiman bisa termasuk tanah mati. Tanah mati yang menjadi wewenang penguasa adalah untuk diberikan kepada yang mampu mengelolanya atau dilindungi untuk kepentingan umum kaum muslimin. Contohnya adalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melindungi Naqi’, sebuah wilayah yang tidak terlalu luas sehingga tidak memberatkan penduduk sekitar. Di sana, kuda perang, hewan ternak zakat, dan hewan ternak dari jizyah digembalakan untuk kepentingan umum kaum muslimin. Kuda perang adalah kekuatan bagi semua muslim, hewan ternak zakat dikembalikan kepada mustahiknya, sedangkan hewan ternak jizyah adalah kekuatan bagi kaum muslimin. Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – juga melakukan hal serupa setelah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan menunjuk budaknya bernama Hunayya seraya berpesan: “Wahai Hunayya, rendahkanlah dirimu terhadap manusia, takutlah pada doa orang yang terzalimi, dan berikan hak kepada pemilik ternak sedikit maupun banyak. Hindari memberi prioritas kepada ternak Utsman dan Abdurrahman bin Auf karena jika ternak mereka binasa, mereka masih punya kebun kurma dan pertanian. Sedangkan pemilik ternak sedikit akan datang membawa keluarganya sambil berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, apakah Engkau akan membiarkan kami?’ Padahal rumput lebih ringan daripada dirham dan dinar.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يَحْمِيَ مِنَ الْأَرْضِ إِلَّا أَقَلَّهَا الَّذِي لَا يَتَبَيَّنُ ضَرَرُهُ عَلَى مَنْ حَمَاهُ عَلَيْهِ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا حِمًى إِلَّا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ» .

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Seorang pemimpin tidak boleh memagari tanah kecuali sedikit saja, yang tidak jelas mudaratnya bagi orang yang dipagari tanah tersebut. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: ‘Tidak ada hak memagari tanah kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya’.”

 

(قَالَ) : وَكَانَ الرَّجُلُ الْعَزِيزُ مِنْ الْعَرَبِ إذَا انْتَجَعَ بَلَدًا مُخْصِبًا أَوْفَى بِكَلْبٍ عَلَى جَبَلٍ إنْ كَانَ بِهِ أَوْ نَشْزٍ إنْ لَمْ يَكُنْ ثُمَّ اسْتَعْوَى كَلْبًا وَأَوْقَفَ لَهُ مَنْ يَسْمَعُ مُنْتَهَى صَوْتِهِ بِالْعُوَاءِ فَحَيْثُ انْتَهَى صَوْتُهُ حَمَاهُ مِنْ كُلِّ نَاحِيَةٍ لِنَفْسِهِ، وَيَرْعَى مَعَ الْعَامَّةِ فِيمَا سِوَاهُ، وَيَمْنَعُ هَذَا مِنْ غَيْرِهِ لِضَعْفِ مَاشِيَتِهِ، وَمَا أَرَادَ مَعَهَا فَنَرَى أَنَّ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا حِمًى إلَّا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ» : لَا حِمًى عَلَى هَذَا الْمَعْنَى الْخَاصِّ، وَأَنَّ قَوْلَهُ لِلَّهِ: فَلِلَّهِ كُلَّ مَحْمِيِّ وَغَيْرُهُ، وَرَسُولُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إنَّمَا يُحْمَى لِصَلَاحِ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ لَا لِمَا يَحْمِي لَهُ غَيْرُهُ مِنْ خَاصَّةِ نَفْسِهِ، وَذَلِكَ أَنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَمْلِكْ مَالًا إلَّا مَا لَا غِنَى بِهِ وَبِعِيَالِهِ عَنْهُ، وَمَصْلَحَتِهِمْ حَتَّى صَيَّرَ مَا مَلَّكَهُ اللَّهُ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ، وَمَالَهُ إذَا حَبَسَ قُوتَ سَنَتِهِ مَرْدُودًا فِي مَصْلَحَتِهِمْ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ عِدَّةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ؛ وَلِأَنَّ نَفْسَهُ، وَمَالَهُ كَانَ مُفَرَّغًا لِطَاعَةِ اللَّهِ – تَعَالَى – (قَالَ) : وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يُعْطِيَ، وَلَا يَأْخُذَ مِنْ الَّذِي حَمَاهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنْ أُعْطِيَهُ فَعَمَّرَهُ نُقِضَتْ عِمَارَتُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Dahulu seorang bangsawan Arab jika mencari negeri yang subur, ia akan menempatkan anjing di atas gunung jika ada, atau di dataran tinggi jika tidak ada gunung. Kemudian ia memanggil anjing itu dan menempatkan seseorang untuk mendengar sejauh mana suara anjing itu menggonggong. Di mana suara anjing itu terdengar, ia menjadikannya sebagai wilayah larangan (hima) untuk dirinya sendiri, sementara di luar itu ia menggembala bersama masyarakat umum. Ia melarang orang lain masuk ke wilayah larangannya karena hewan ternaknya lemah atau untuk tujuan tertentu. Maka kami memahami sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- ‘Tidak ada hima kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya’ sebagai larangan hima dalam makna khusus ini. Sabda beliau ‘untuk Allah’ berarti segala yang dilindungi adalah milik Allah, sedangkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- hanya menetapkan hima untuk kemaslahatan umum kaum muslimin, bukan untuk kepentingan pribadi seperti yang dilakukan orang lain. Hal itu karena beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak memiliki harta kecuali yang diperlukan untuk diri dan keluarganya, bahkan beliau mengalokasikan harta yang Allah berikan kepadanya dari seperlima rampasan perang (khumus) dan hartanya jika disimpan untuk kebutuhan setahun, dikembalikan untuk kemaslahatan umat dalam hal kuda perang, senjata, dan persiapan di jalan Allah. Karena diri dan hartanya benar-benar dikhususkan untuk ketaatan kepada Allah -Ta’ala-. Beliau berkata: Tidak boleh bagi siapa pun untuk memberikan atau mengambil dari wilayah yang dilindungi Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Jika diberikan kepada seseorang lalu ia mengelolanya, maka pengelolaannya dibatalkan.”

بَابُ مَا يَكُونُ إحْيَاءً

 

Bab tentang apa yang dianggap sebagai menghidupkan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالْإِحْيَاءُ مَا عَرَفَهُ النَّاسُ إحْيَاءً لِمِثْلِ الْمُحْيَا إنْ كَانَ مَسْكَنًا فَبِأَنْ يَبْنِيَ بِمِثْلِ مَا يَكُونُ مِثْلُهُ بِنَاءً، وَإِنْ كَانَ لِلدَّوَابِّ فَبِأَنْ يَبْنِيَ مُحْظِرَةً وَأَقْلُّ عِمَارَةِ الزَّرْعِ الَّتِي تُمْلَكُ بِهَا الْأَرْضُ أَنْ يَجْمَعَ تُرَابًا يُحِيطُ بِهَا تَتَبَيَّنُ بِهِ الْأَرْضُ مِنْ غَيْرِهَا، وَيَجْمَعُ حَرْثَهَا وَزَرْعَهَا، وَإِنْ كَانَ لَهُ عَيْنُ مَاءٍ أَوْ بِئْرٌ حَفَرَهَا أَوْ سَاقَهُ مِنْ نَهْرٍ إلَيْهَا فَقَدْ أَحْيَاهَا وَلَهُ مَرَافِقُهَا الَّتِي لَا يَكُونُ صَلَاحُهَا إلَّا بِهَا، وَمَنْ أَقْطَعَ أَرْضًا أَوْ تَحَجَّرَهَا فَلَمْ يُعَمِّرْهَا رَأَيْت لِلسُّلْطَانِ أَنْ يَقُولَ لَهُ إنْ أَحْيَيْتهَا، وَإِلَّا خَلَّيْنَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ مَنْ يُحْيِيهَا فَإِنْ تَأَجَّلَهُ رَأَيْت أَنْ يَفْعَلَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Menghidupkan tanah adalah sebagaimana yang dikenal oleh masyarakat sebagai penghidupan untuk tempat tinggal. Jika untuk tempat tinggal, maka dengan membangun bangunan yang semisal. Jika untuk hewan ternak, maka dengan membangun kandang. Sedangkan minimal pengolahan tanah pertanian yang dapat menjadikan kepemilikan atas tanah adalah dengan mengumpulkan tanah yang mengelilinginya sehingga tanah tersebut dapat dibedakan dari yang lain, serta mengumpulkan hasil pertanian dan tanamannya. Jika ada mata air atau sumur yang digali atau dialirkan dari sungai ke tanah tersebut, maka ia telah menghidupkannya dan berhak atas fasilitas pendukung yang diperlukan untuk kelayakannya. Barangsiapa yang diberikan tanah atau menguasainya tetapi tidak mengelolanya, aku berpendapat bahwa penguasa berhak mengatakan kepadanya: ‘Jika engkau menghidupkannya (mengelolanya), (silakan). Jika tidak, kami akan membiarkannya untuk orang yang mau menghidupkannya.’ Jika ia meminta tenggat waktu, aku berpendapat hendaknya diberi kesempatan.”

 

مَا يَجُوزُ أَنْ يُقْطَعَ وَمَا لَا يَجُوزُ

 

Apa yang boleh dipotong dan apa yang tidak boleh

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَا لَا يَمْلِكُهُ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ يُعْرَفُ صِنْفَانِ أَحَدُهُمَا مَا مَضَى، وَلَا يَمْلِكُهُ إلَّا بِمَا يَسْتَحْدِثُهُ فِيهِ وَالثَّانِي مَا لَا تُطْلَبُ الْمَنْفَعَةُ فِيهِ إلَّا بِشَيْءٍ يَجْعَلُ فِيهِ غَيْرَهُ وَذَلِكَ الْمَعَادِنُ الظَّاهِرَةُ وَالْبَاطِنَةُ مِنْ الذَّهَبِ وَالتِّبْرِ وَالْكُحْلِ وَالْكِبْرِيتِ وَالْمِلْحِ وَغَيْرِهِ، وَأَصْلُ الْمَعَادِنِ صِنْفَانِ مَا كَانَ ظَاهِرًا كَالْمِلْحِ فِي الْجِبَالِ تَنْتَابُهُ النَّاسُ فَهَذَا لَا يَصْلُحُ لِأَحَدٍ أَنْ يُقْطِعَهُ بِحَالٍ وَالنَّاسُ فِيهِ شَرَعٌ، وَهَكَذَا النَّهْرُ وَالْمَاءُ الظَّاهِرُ وَالنَّبَاتُ فِيمَا لَا يُمْلَكُ لِأَحَدٍ «، وَقَدْ سَأَلَ الْأَبْيَضُ بْنُ حَمَّالٍ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ يَقْطَعَهُ مِلْحَ مَأْرِبَ فَأَقْطَعَهُ إيَّاهُ أَوْ أَرَادَهُ فَقِيلَ لَهُ إنَّهُ كَالْمَاءِ الْعِدِّ فَقَالَ فَلَا إذَنْ» قَالَ، وَمِثْلُ هَذَا كُلُّ عَيْنٍ ظَاهِرَةٍ كَنِفْطٍ أَوْ قِيرٍ أَوْ كِبْرِيتٍ أَوْ مُومِيًا أَوْ حِجَارَةٍ ظَاهِرَةٍ فِي غَيْرِ مِلْكِ أَحَدٍ فَهُوَ كَالْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّاسُ فِيهِ سَوَاءٌ وَلَوْ كَانَتْ بُقْعَةٌ مِنْ السَّاحِلِ يَرَى أَنَّهُ إنْ حَفَرَ تُرَابًا مِنْ أَعْلَاهَا ثُمَّ دَخَلَ عَلَيْهَا مَاءٌ ظَهَرَ لَهَا مِلْحٌ كَانَ لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُقْطِعَهَا وَلِلرَّجُلِ أَنْ يُعَمِّرَهَا بِهَذِهِ الصِّفَةِ فَيَمْلِكَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Apa yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari manusia terbagi menjadi dua jenis. Pertama, sesuatu yang telah berlalu dan tidak bisa dimiliki kecuali dengan menciptakan sesuatu yang baru di dalamnya. Kedua, sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan menambahkan sesuatu lain padanya, seperti mineral yang tampak maupun tersembunyi, seperti emas, debu emas, celak, belerang, garam, dan lainnya. Asal-usul mineral terbagi dua: yang tampak seperti garam di gunung yang sering didatangi orang, maka ini tidak boleh dimiliki oleh siapa pun dalam keadaan apa pun, dan orang-orang memiliki hak yang sama atasnya. Demikian pula sungai, air yang tampak, dan tumbuhan yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Al-Abyadh bin Hammal pernah meminta Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk memberinya tambang garam di Ma’rib, lalu beliau memberikannya atau bermaksud memberikannya. Kemudian dikatakan kepada beliau bahwa itu seperti air yang mengalir, maka beliau bersabda: ‘Kalau begitu jangan.'” Beliau juga berkata: “Demikian pula segala sesuatu yang tampak seperti minyak bumi, ter, belerang, lilin, atau batu yang tampak di tempat yang tidak dimiliki oleh siapa pun, maka statusnya seperti air dan rumput, dan orang-orang memiliki hak yang sama atasnya. Jika ada sebidang tanah di pantai yang jika seseorang menggali tanah di permukaannya lalu air masuk ke dalamnya sehingga muncul garam, maka penguasa boleh memberikannya kepada seseorang, dan orang tersebut boleh mengelolanya dengan cara seperti itu sehingga ia memilikinya.”

 

بَابُ تَفْرِيعِ الْقَطَائِعِ وَغَيْرِهَا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالْقَطَائِعُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا مَا مَضَى: وَالثَّانِي إقْطَاعُ إرْفَاقٍ لَا تَمْلِيكٍ مِثْلَ الْمَقَاعِدِ بِالْأَسْوَاقِ الَّتِي هِيَ طَرِيقُ الْمُسْلِمِينَ فَمَنْ قَعَدَ فِي مَوْضِعٍ مِنْهَا لِلْبَيْعِ كَانَ بِقَدْرِ مَا يَصْلُحُ لَهُ مِنْهَا مَا كَانَ مُقِيمًا فِيهِ فَإِذَا فَارَقَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعُهُ مِنْ غَيْرِهِ كَأَفْنِيَةِ الْعَرَبِ وَفَسَاطِيطِهِمْ فَإِذَا انْتَجَعُوا لَمْ يَمْلِكُوا بِهَا حَيْثُ تَرَكُوا.

 

 

Bab tentang Pembagian Lahan dan Lainnya (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan lahan terbagi menjadi dua jenis: pertama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dan kedua adalah pemberian hak pakai tanpa kepemilikan, seperti tempat duduk di pasar yang merupakan jalan umum kaum muslimin. Siapa yang duduk di suatu tempat untuk berjualan, maka ia berhak atas seberapa yang ia butuhkan selama ia masih berada di tempat itu. Jika ia meninggalkannya, ia tidak boleh melarang orang lain memakainya, seperti halnya halaman-halaman orang Arab dan tenda-tenda mereka. Jika mereka berpindah, mereka tidak memiliki lagi tempat yang mereka tinggalkan.

 

إقْطَاعُ الْمَعَادِنِ وَغَيْرِهَا

 

Pemberian konsesi mineral dan lainnya

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَفِي إقْطَاعِ الْمَعَادِنِ قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُخَالِفُ إقْطَاعَ الْأَرْضِ؛ لِأَنَّ مَنْ أَقْطَعَ أَرْضًا فِيهَا مَعَادِنُ أَوْ عَمِلَهَا وَلَيْسَتْ لِأَحَدٍ سَوَاءٌ كَانَتْ ذَهَبًا أَوْ فِضَّةً أَوْ نُحَاسًا أَوْ مَا لَا يَخْلُصُ إلَّا بِمُؤْنَةٍ؛ لِأَنَّهُ بَاطِنٌ مُسْتَكِنٌّ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ تُرَابٍ أَوْ حِجَارَةٍ كَانَتْ هَذِهِ كَالْمَوَاتِ فِي أَنَّ لَهُ أَنْ يُقْطِعَهُ إيَّاهَا، وَمُخَالِفَةٌ لِلْمَوَاتِ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ فَإِنَّ الْمَوَاتَ إذَا أُحْيِيَتْ مَرَّةً ثَبَتَ إحْيَاؤُهَا وَهَذِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ يُبْتَدَأُ إحْيَاؤُهَا لِبُطُونِ مَا فِيهَا، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُقْطِعَهُ مِنْ الْمَعَادِنِ إلَّا قَدْرَ مَا يَحْتَمِلُ عَلَى أَنَّهُ إنْ عَطَّلَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَنْعٌ مِنْ أَخْذِهِ، وَمِنْ حُجَّتِهِ فِي ذَلِكَ أَنَّ لَهُ بَيْعَ الْأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ بَيْعُ الْمَعَادِنِ وَأَنَّهَا كَالْبِئْرِ تُحْفَرُ بِالْبَادِيَةِ فَتَكُونُ لِحَافِرِهَا، وَلَا يَكُونُ لَهُ مَنْعُ الْمَاشِيَةِ فَضْلَ مَائِهَا وَكَالْمَنْزِلِ بِالْبَادِيَةِ هُوَ أَحَقُّ بِهِ فَإِذَا تَرَكَهُ لَمْ يَمْنَعْ مِنْهُ مَنْ نَزَلَهُ. وَلَوْ أُقْطِعَ أَرْضًا فَأَحْيَاهَا ثُمَّ ظَهَرَ فِيهَا مَعْدِنٌ مَلَكَهُ مِلْكَ الْأَرْضِ فِي الْقَوْلَيْنِ مَعًا وَكُلُّ مَعْدِنٍ عَمِلَ فِيهِ جَاهِلِيٌّ ثُمَّ اسْتَقْطَعَهُ رَجُلٌ فَفِيهِ أَقَاوِيلُ. أَحَدُهَا: أَنَّهُ كَالْبِئْرِ الْجَاهِلِيِّ وَالْمَاءِ الْعِدِّ فَلَا يُمْنَعُ أَحَدٌ أَنْ يَعْمَلَ فِيهِ فَإِذَا اسْتَبَقُوا إلَيْهِ فَإِنْ وَسِعَهُمْ عَمِلُوا مَعًا، وَإِنْ ضَاقَ أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ أَيُّهُمْ يَبْدَأُ ثُمَّ يَتْبَعُ الْآخَرُ فَالْآخَرُ حَتَّى يَتَأَسَّوْا فِيهِ وَالثَّانِي لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُقْطِعَهُ عَلَى الْمَعْنَى الْأَوَّلِ يَعْمَلُ فِيهِ، وَلَا يَمْلِكُهُ إذَا تَرَكَهُ وَالثَّالِثُ يُقْطِعُهُ فَيَمْلِكُهُ مِلْكَ الْأَرْضِ إذَا أَحْدَثَ فِيهَا عِمَارَةً وَكُلُّ مَا وَصَفْت مِنْ إحْيَاءِ الْمَوَاتِ، وَإِقْطَاعِ الْمَعَادِنِ وَغَيْرِهَا فَإِنَّمَا عَنَيْته فِي عَفْوِ بِلَادِ الْعَرَبِ الَّذِي عَامِرُهُ عُشْرٌ وَعَفْوُهُ مَمْلُوكٌ وَكُلُّ مَا ظُهِرَ عَلَيْهِ عَنْوَةً مِنْ بِلَادِ الْعَجَمِ فَعَامِرُهُ كُلُّهُ لِمَنْ ظَهَرَ عَلَيْهِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ، وَمَا كَانَ فِي قِسْمِ أَحَدِهِمْ مِنْ مَعْدِنٍ ظَاهِرٍ فَهُوَ لَهُ كَمَا يَقَعُ فِي قِسْمَةِ الْعَامِرِ بِقِيمَتِهِ فَيَكُونَ لَهُ وَكُلُّ مَا كَانَ فِي بِلَادِ الْعَنْوَةِ مِمَّا عُمِرَ مَرَّةً ثُمَّ تُرِكَ فَهُوَ كَالْعَامِرِ الْقَائِمِ الْعِمَارَةِ مِثْلَ مَا ظَهَرَتْ عَلَيْهِ الْأَنْهَارُ وَعُمِرَ بِغَيْرِ ذَلِكَ عَلَى نَطْفِ السَّمَاءِ أَوْ بِالرِّشَاءِ وَكُلُّ مَا كَانَ لَمْ يُعْمَرْ قَطُّ مِنْ بِلَادِهِمْ فَهُوَ كَالْمَوَاتِ مِنْ بِلَادِ الْعَرَبِ، وَمَا كَانَ مِنْ بِلَادِ الْعَجَمِ صُلْحًا فَمَا كَانَ لَهُمْ فَلَا يُؤْخَذُ مِنْهُمْ غَيْرَ مَا صُولِحُوا عَلَيْهِ إلَّا بِإِذْنِهِمْ فَإِنْ صُولِحُوا عَلَى أَنَّ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَرْضَ، وَيَكُونُونَ أَحْرَارًا ثُمَّ عَامَلَهُمْ الْمُسْلِمُونَ بَعْدُ فَالْأَرْضُ كُلُّهَا صُلْحٌ وَخُمُسُهَا لِأَهْلِ الْخُمُسِ، وَأَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهَا لِجَمَاعَةِ أَهْلُ الْفَيْءِ، وَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ مَوَاتٍ فَهُوَ كَالْمَوَاتِ غَيْرِهِ فَإِنْ وَقَعَ الصُّلْحُ عَلَى عَامِرِهَا، وَمَوَاتِهَا كَانَ الْمَوَاتُ مَمْلُوكًا لِمَنْ مَلَكَ الْعَامِرَ كَمَا يَجُوزُ بَيْعُ الْمَوَاتِ مِنْ بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ إذَا حَازَهُ رَجُلٌ، وَمَنْ عَمِلَ فِي مَعْدِنٍ فِي أَرْضٍ مِلْكُهَا لِغَيْرِهِ فَمَا خَرَجَ مِنْهُ فَلِمَالِكِهَا وَهُوَ مُتَعَدٍّ بِالْعَمَلِ، وَإِنْ عَمِلَ بِإِذْنِهِ أَوْ عَلَى أَنَّ مَا خَرَجَ مِنْ عَمَلِهِ فَهُوَ لَهُ فَسَوَاءٌ وَأَكْثَرُ هَذَا أَنْ يَكُونَ هِبَةً لَا يَعْرِفُهَا الْوَاهِبُ، وَلَا الْمَوْهُوبُ لَهُ، وَلَمْ يُحَزْ، وَلَمْ يُقْبَضْ وَلِلْآذِنِ الْخِيَارُ فِي أَنْ يُتِمَّ ذَلِكَ أَوْ يَرُدَّ وَلَيْسَ كَالدَّابَّةِ يَأْذَنُ فِي رُكُوبِهَا؛ لِأَنَّهُ أَعْرَفُ بِمَا أَعْطَاهُ وَقَبَضَهُ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Dalam pemberian hak pengelolaan tambang, ada dua pendapat. Salah satunya, bahwa hal itu berbeda dengan pemberian hak atas tanah. Sebab, jika seseorang diberi tanah yang mengandung tambang atau dikerjakan, sementara tanah itu tidak dimiliki oleh siapa pun—baik mengandung emas, perak, tembaga, atau bahan lain yang hanya bisa didapat dengan biaya—karena bahan tambang itu tersembunyi di dalam tanah atau bebatuan, maka statusnya seperti tanah mati yang boleh diberikan hak pengelolaannya. Namun, dalam salah satu pendapat, ada perbedaan dengan tanah mati, karena tanah mati jika dihidupkan sekali, maka statusnya tetap dihidupkan, sedangkan tambang setiap hari harus dihidupkan kembali karena kandungan di dalamnya. Tidak sepatutnya diberikan hak pengelolaan tambang kecuali sebatas yang bisa dikelola, sebab jika dia mengabaikannya, tidak ada larangan bagi orang lain untuk mengambilnya. Di antara argumennya adalah bahwa seseorang boleh menjual tanah, tetapi tidak boleh menjual bahan tambang, dan statusnya seperti sumur yang digali di padang pasir, maka menjadi milik penggalinya, dan dia tidak boleh melarang hewan ternak memanfaatkan sisa airnya. Seperti juga tempat tinggal di padang pasir, dia lebih berhak atasnya, tetapi jika ditinggalkan, tidak boleh melarang orang lain yang menempatinya. Jika seseorang diberi tanah lalu dihidupkan, kemudian muncul tambang di sana, maka dia memilikinya seperti kepemilikan tanah menurut kedua pendapat. Setiap tambang yang pernah dikerjakan oleh orang Jahiliyah, lalu seseorang meminta hak pengelolaannya, maka ada beberapa pendapat. Pertama, statusnya seperti sumur atau air milik orang Jahiliyah, sehingga tidak boleh ada yang dilarang mengerjakannya. Jika banyak orang berebut, dan cukup, mereka boleh bekerja bersama. Jika sempit, diadakan undian siapa yang mulai pertama, lalu diikuti yang lain secara bergiliran sampai merata. Kedua, penguasa boleh memberikannya berdasarkan makna pertama, sehingga dia boleh mengerjakannya, tetapi tidak memilikinya jika ditinggalkan. Ketiga, penguasa memberikannya, lalu dia memilikinya seperti kepemilikan tanah jika dia membangun di sana. Semua yang aku jelaskan tentang menghidupkan tanah mati, pemberian hak tambang, dan lainnya, maksudku adalah di tanah Arab yang terlantar, yang sudah dihidupkan sepersepuluh dan yang terlantar adalah milik. Sedangkan semua yang didapat dengan peperangan di negeri non-Arab, maka yang sudah dihidupkan sepenuhnya menjadi milik kaum Muslimin yang menang, dibagi lima bagian. Jika ada tambang yang jelas di bagian salah seorang dari mereka, maka itu miliknya, seperti dalam pembagian tanah yang dihidupkan berdasarkan nilainya. Semua tanah di negeri yang ditaklukkan yang pernah dihidupkan lalu ditinggalkan, statusnya seperti tanah yang masih dihidupkan, seperti tanah yang dialiri sungai atau dihidupkan dengan air hujan atau timba. Semua tanah di negeri mereka yang belum pernah dihidupkan, statusnya seperti tanah mati di negeri Arab. Adapun negeri non-Arab yang diperoleh dengan perjanjian damai, maka apa yang menjadi hak mereka tidak boleh diambil kecuali sesuai perjanjian, kecuali dengan izin mereka. Jika mereka berdamai dengan syarat tanah menjadi milik Muslimin, sementara mereka merdeka, lalu kaum Muslimin mengelola tanah itu setelahnya, maka seluruh tanah itu statusnya damai, seperlima untuk ahli khumus, dan empat perlima untuk jamaah ahli fai’. Tanah mati di sana statusnya seperti tanah mati lainnya. Jika perjanjian damai mencakup tanah yang dihidupkan dan yang mati, maka tanah mati itu menjadi milik pemilik tanah yang dihidupkan, sebagaimana boleh menjual tanah mati di negeri Muslim jika seseorang menguasainya. Siapa yang mengerjakan tambang di tanah milik orang lain, maka hasilnya untuk pemilik tanah, dan dia dianggap melampaui batas dengan pekerjaannya. Jika dia mengerjakan dengan izin pemilik atau dengan syarat hasil kerjanya untuknya, maka sama saja. Kebanyakan hal ini seperti hibah yang tidak diketahui pemberi dan penerimanya, tidak dikuasai, dan tidak diserahkan. Pemberi izin berhak memilih untuk melanjutkan atau membatalkannya, tidak seperti hewan tunggangan yang diizinkan untuk dinaiki, karena dia lebih tahu apa yang diberikan dan diterimanya.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ مَنَعَ فَضْلَ مَاءٍ لِيَمْنَعَ بِهِ الْكَلَأَ مَنَعَهُ اللَّهُ فَضْلَ رَحْمَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» .

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Barangsiapa menahan kelebihan air untuk mencegah orang lain mendapatkan rumput (ternak), maka Allah akan menahan kelebihan rahmat-Nya darinya pada hari kiamat.”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan tidak boleh baginya melarang hewan ternak dari kelebihan airnya, tetapi dia boleh melarang air yang digunakan untuk menyiram tanaman atau pohon kecuali dengan izinnya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَيْسَ لَهُ مَنْعُ الْمَاشِيَةِ مِنْ فَضْلِ مَائِهِ وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَ مَا يُسْقَى بِهِ الزَّرْعُ أَوْ الشَّجَرُ إلَّا بِإِذْنِهِ.

كِتَابُ الْعَطَايَا وَالصَّدَقَاتِ وَالْحَبْسِ

 

، وَمَا دَخَلَ فِي ذَلِكَ مِنْ كِتَابِ السَّائِبَةِ.

 

dan apa yang termasuk dalam hal itu dari kitab as-saibah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَجْمَعُ مَا يُعْطَى النَّاسُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ثَلَاثَةُ وُجُوهٍ ثُمَّ يَتَشَعَّبُ كُلُّ وَجْهٍ مِنْهَا فَفِي الْحَيَاةِ مِنْهَا وَجْهَانِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ مِنْهَا وَجْهٌ فَمِمَّا فِي الْحَيَاةِ الصَّدَقَاتُ وَاحْتَجَّ فِيهَا بِأَنَّ «عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مَلَكَ مِائَةَ سَهْمٍ مِنْ خَيْبَرَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أُصِبْ مَالًا مِثْلَهُ قَطُّ، وَقَدْ أَرَدْت أَنْ أَتَقَرَّبَ بِهِ إلَى اللَّهِ – تَعَالَى – فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَبِّسْ الْأَصْلَ وَسَبِّلْ الثَّمَرَةَ» .

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Harta yang diberikan orang-orang dari kekayaan mereka terbagi menjadi tiga cara, kemudian setiap cara darinya bercabang. Dalam kehidupan ada dua cara, dan setelah kematian ada satu cara. Di antara yang dalam kehidupan adalah sedekah. Beliau berargumen dengan kisah bahwa ‘Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – memiliki seratus saham di Khaibar, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku belum pernah mendapatkan harta seperti ini sama sekali, dan aku ingin mendekatkan diri dengannya kepada Allah – Ta’ala.’ Maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Tahanlah pokoknya dan alirkanlah hasilnya.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَلَمَّا أَجَازَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ يُحَبِّسَ أَصْلَ الْمَالِ وَتُسَبَّلَ الثَّمَرَةُ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى إخْرَاجِهِ الْأَصْلَ مِنْ مِلْكِهِ إلَى أَنْ يَكُونَ مَحْبُوسًا لَا يَمْلِكُ مَنْ سَبَّلَ عَلَيْهِ ثَمَرَهُ بَيْعَ أَصْلِهِ فَصَارَ هَذَا الْمَالُ مُبَايِنًا لِمَا سِوَاهُ، وَمُجَامِعًا لَأَنْ يَخْرُجَ الْعَبْدُ مِنْ مِلْكِهِ بِالْعِتْقِ لِلَّهِ – عَزَّ وَجَلَّ – إلَى غَيْرِ مَالِكٍ فَمَلَّكَهُ بِذَلِكَ مَنْفَعَةَ نَفْسِهِ لَا رَقَبَتَهُ كَمَا يَمْلِكُ الْمُحَبَّسُ عَلَيْهِ مَنْفَعَةَ الْمَالِ لَا رَقَبَتَهُ، وَمُحَرَّمٌ عَلَى الْمُحَبِّسِ أَنْ يَمْلِكَ الْمَالَ كَمَا مُحَرَّمٌ عَلَى الْمُعْتِقِ أَنْ يَمْلِكَ الْعَبْدَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengizinkan untuk menahan pokok harta dan menyedekahkan hasilnya, hal itu menunjukkan pengeluaran pokok harta dari kepemilikannya hingga menjadi harta yang tertahan, di mana orang yang disedekahkan hasilnya tidak memiliki hak untuk menjual pokok hartanya. Maka harta ini menjadi terpisah dari yang lain, dan serupa dengan keluarnya budak dari kepemilikannya melalui pembebasan karena Allah – Azza wa Jalla – kepada bukan pemilik, sehingga ia memiliki manfaat dirinya sendiri bukan kepemilikannya, sebagaimana penerima sedekah memiliki manfaat harta bukan pokok hartanya. Dan haram bagi pemberi sedekah untuk memiliki kembali harta tersebut, sebagaimana haram bagi orang yang memerdekakan untuk memiliki kembali budaknya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَتِمُّ الْحَبْسُ، وَإِنْ لَمْ يُقْبَضْ؛ لِأَنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – هُوَ الْمُصَدِّقُ بِأَمْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَمْ يَزَلْ يَلِي صَدَقَتَهُ – فِيمَا بَلَغَنَا – حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ، وَلَمْ يَزَلْ عَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يَلِي صَدَقَتَهُ حَتَّى لَقِيَ اللَّهَ – تَعَالَى -، وَلَمْ تَزَلْ فَاطِمَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – تَلِي صَدَقَتَهَا حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ وَرَوَى الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – حَدِيثًا ذَكَرَ فِيهِ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ تَصَدَّقَتْ بِمَالِهَا عَلَى بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ وَأَنَّ عَلِيًّا – كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ – تَصَدَّقَ عَلَيْهِمْ وَأَدْخَلَ مَعَهُمْ غَيْرَهُمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Penahanan (harta wakaf) tetap sah meski belum diterima, karena Umar -radhiyallahu ‘anhu- yang membenarkan perintah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- terus mengelola sedekahnya -menurut berita yang sampai kepada kami- hingga Allah mewafatkannya. Ali -radhiyallahu ‘anhu- juga terus mengelola sedekahnya hingga bertemu Allah Ta’ala. Begitu pula Fatimah -radhiyallahu ‘anha- terus mengelola sedekahnya hingga bertemu Allah.” Imam Syafi’i -rahimahullah- juga meriwayatkan hadits yang menyebutkan bahwa Fatimah binti Rasulullah bersedekah dengan hartanya kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib, serta bahwa Ali -karramallahu wajhahu- bersedekah kepada mereka dan memasukkan orang lain bersama mereka.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَبَنُو هَاشِمٍ وَبَنُو الْمُطَّلِبِ مُحَرَّمٌ عَلَيْهِمْ الصَّدَقَاتُ الْمَفْرُوضَاتُ وَلَقَدْ حَفِظْنَا الصَّدَقَاتِ عَنْ عَدَدٍ كَثِيرٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَقَدْ حَكَى لِي عَدَدٌ مِنْ أَوْلَادِهِمْ وَأَهْلِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَوَلَّوْنَهَا حَتَّى مَاتُوا يَنْقُلُ ذَلِكَ الْعَامَّةُ مِنْهُمْ عَنْ الْعَامَّةِ لَا يَخْتَلِفُونَ فِيهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Bani Hasyim dan Bani Muththalib diharamkan bagi mereka menerima zakat wajib. Sungguh kami telah menjaga (larangan) zakat dari banyak kalangan Muhajirin dan Anshar. Sejumlah anak dan keluarga mereka telah menceritakan kepadaku bahwa mereka (Bani Hasyim & Bani Muththalib) tidak mengurus zakat hingga wafatnya. Hal ini diriwayatkan oleh orang-orang umum di antara mereka dari generasi ke generasi tanpa ada perbedaan pendapat.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنَّ أَكْثَرَ مَا عِنْدَنَا بِالمَدِينَةِ، وَمَكَّةَ مِنَ الصَّدَقَاتِ لَعَلَى مَا وَصَفْت لَمْ يَزَلْ مَن تَصَدَّقَ بِهَا مِنَ المُسلِمِينَ مِنَ السَّلَفِ يَلُونَهَا حَتَّى مَاتُوا، وَإِنَّ نَقلَ الحَدِيثِ فِيهَا كَالتَّكَلُّفِ.

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Sesungguhnya sebagian besar sedekah yang ada di Madinah dan Mekah sesuai dengan apa yang telah kujelaskan. Orang-orang Muslim dari generasi salaf yang bersedekah dengannya senantiasa mengurusnya hingga mereka meninggal, dan sungguh meriwayatkan hadits tentang hal itu seperti memaksakan diri.”

 

(قَالَ) : وَاحْتَجَّ مُحْتَجٌّ بِحَدِيثِ شُرَيْحٍ «أَنَّ مُحَمَّدًا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَاءَ بِإِطْلَاقِ الْحَبْسِ» فَقَالَ الشَّافِعِيُّ الْحَبْسُ الَّذِي جَاءَ بِإِطْلَاقِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَوْ كَانَ حَدِيثًا ثَابِتًا كَانَ عَلَى مَا كَانَتْ الْعَرَبُ تَحْبِسُ مِنْ الْبَحِيرَةِ وَالْوَصِيلَةِ وَالْحَامِ؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ أَحْبَاسَهُمْ، وَلَا نَعْلَمُ جَاهِلِيًّا حَبَسَ دَارًا عَلَى وَلَدٍ، وَلَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَلَا عَلَى مَسَاكِينَ «وَأَجَازَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِعُمَرَ الْحَبْسَ» عَلَى مَا رَوَيْنَا وَاَلَّذِي جَاءَ بِإِطْلَاقِهِ غَيْرُ الْحَبْسِ الَّذِي أَجَازَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Beliau berkata: Seorang yang berhujah menggunakan hadits Syuraih bahwa Muhammad – shallallahu ‘alaihi wasallam – datang dengan membebaskan al-habs (penahanan/pengikatan). Maka Asy-Syafi’i berkata: “Al-habs yang beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – datang untuk membebaskannya, seandainya itu adalah hadits yang sahih, maka itu berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan orang Arab dalam mengikat (hewan) seperti al-bahirah, al-washilah, dan al-hami, karena itulah bentuk pengikatan mereka. Kami tidak mengetahui ada seorang jahiliyah pun yang mengikat (mewakafkan) rumah untuk anaknya, atau di jalan Allah, atau untuk orang-orang miskin. Dan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah membolehkan Umar untuk melakukan al-habs (wakaf) sebagaimana yang kami riwayatkan. Sedangkan yang beliau datang untuk membebaskannya adalah berbeda dengan al-habs yang beliau perbolehkan – shallallahu ‘alaihi wasallam -.”

 

(قَالَ) : وَاحْتَجَّ مُحْتَجٌّ بِقَوْلِ شُرَيْحٍ لَا حَبْسَ عَنْ فَرَائِضِ اللَّهِ.

 

 

Beliau berkata: Seorang yang berhujah mengemukakan hujah dengan perkataan Syuraih, “Tidak ada penahanan terhadap kewajiban-kewajiban Allah.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَوْ جَعَلَ عَرْصَةً لَهُ مَسْجِدًا لَا تَكُونُ حَبْسًا عَنْ فَرَائِضِ اللَّهِ – تَعَالَى – فَكَذَلِكَ مَا أَخْرَجَ مِنْ مَالِهِ فَلَيْسَ بِحَبْسٍ عَنْ فَرَائِضِ اللَّهِ.

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Seandainya ia menjadikan halaman rumahnya sebagai masjid yang tidak menghalangi kewajiban-kewajiban kepada Allah – Ta’ala -, maka demikian pula harta yang ia keluarkan, itu bukanlah penghalang dari kewajiban-kewajiban kepada Allah.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَجُوزُ الْحَبْسُ فِي الرَّقِيقِ وَالْمَاشِيَةِ إذَا عُرِفَتْ بِعَيْنِهَا قِيَاسًا عَلَى النَّخْلِ وَالدُّورِ وَالْأَرَضِينَ فَإِذَا قَالَ تَصَدَّقْت بِدَارِي عَلَى قَوْمٍ أَوْ رَجُلٍ مَعْرُوفٍ حَيٍّ يَوْمَ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ، وَقَالَ صَدَقَةٌ مُحَرَّمَةٌ أَوْ قَالَ مَوْقُوفَةٌ أَوْ قَالَ صَدَقَةٌ مُسَبَّلَةٌ فَقَدْ خَرَجَتْ مِنْ مِلْكِهِ فَلَا تَعُودُ مِيرَاثًا أَبَدًا، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُخْرِجَهَا مِنْ مِلْكِهِ إلَّا إلَى مَالِكِ مَنْفَعَةٍ يَوْمَ يُخْرِجُهَا إلَيْهِ فَإِنْ لَمْ يُسَبِّلْهَا عَلَى مَنْ بَعْدَهُمْ كَانَتْ مُحَرَّمَةً أَبَدًا فَإِذَا انْقَرَضَ الْمُتَصَدَّقُ بِهَا عَلَيْهِ كَانَتْ مُحَرَّمَةً أَبَدًا وَرَدَدْنَاهَا عَلَى أَقْرَبِ النَّاسِ بِاَلَّذِي تَصَدَّقَ بِهَا يَوْمَ تَرْجِعُ، وَهِيَ عَلَى مَا شَرَطَ مِنْ الْأَثَرَةِ وَالتَّقْدِمَةَ وَالتَّسْوِيَةِ بَيْنَ أَهْلِ الْغِنَى وَالْحَاجَةِ، وَمِنْ إخْرَاجِ مَنْ أَخْرَجَ مِنْهَا بِصِفَةٍ وَرَدِّهِ إلَيْهَا بِصِفَةٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Boleh melakukan penahanan (al-habs) pada budak dan hewan ternak jika telah diketahui secara spesifik, dengan mengqiyaskan pada pohon kurma, rumah, dan tanah. Jika seseorang berkata, “Aku menyedekahkan rumahku kepada suatu kaum atau seorang laki-laki tertentu yang masih hidup saat disedekahkan,” lalu ia menyebutnya sebagai sedekah yang diharamkan (muharramah), atau ia katakan sebagai sedekah yang diwakafkan (mauqufah), atau ia sebut sebagai sedekah yang dialirkan (musabbalah), maka harta itu telah keluar dari kepemilikannya dan tidak akan kembali sebagai warisan selamanya. Tidak boleh mengeluarkannya dari kepemilikannya kecuali kepada pemilik manfaat pada saat ia memberikannya. Jika ia tidak mengalirkannya kepada generasi setelah mereka, maka harta itu tetap terlarang selamanya. Jika penerima sedekah tersebut telah punah, maka harta itu tetap terlarang selamanya, dan kami mengembalikannya kepada kerabat terdekat dari orang yang bersedekah pada saat harta itu dikembalikan. Harta itu tetap sesuai dengan syarat yang ditetapkan, seperti prioritas, pendahuluan, pemerataan antara orang kaya dan yang membutuhkan, serta mengeluarkan orang yang dikeluarkan darinya dengan sifat tertentu dan mengembalikannya dengan sifat tertentu pula.

 

(وَمِنْهَا) : فِي الْحَيَاةِ الْهِبَاتُ وَالصَّدَقَاتُ غَيْرُ الْمُحَرَّمَاتِ وَلَهُ إبْطَالُ ذَلِكَ مَا لَمْ يَقْبِضْهَا الْمُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَالْمَوْهُوبُ لَهُ فَإِنْ قَبَضَهَا أَوْ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ بِأَمْرِهِ فَهِيَ لَهُ، وَيَقْبِضُ لِلطِّفْلِ أَبُوهُ. نَحَلَ أَبُو بَكْرٍ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – جِدَادَ عِشْرِينَ وَسْقًا فَلَمَّا مَرِضَ قَالَ: وَدِدْتُ أَنَّك كُنْتِ قَبَضْتِيهِ وَهُوَ الْيَوْمَ مَالُ الْوَارِثِ.

 

 

(Di antaranya): Dalam kehidupan, hibah dan sedekah yang tidak haram boleh dibatalkan selama penerima sedekah atau hibah belum menerimanya. Jika ia atau wakilnya yang diberi kuasa telah menerimanya, maka itu menjadi miliknya. Untuk anak kecil, ayahnya yang menerimakan. Abu Bakar pernah menghadiahkan kepada Aisyah – semoga Allah meridhai mereka – dua puluh wasaq kurma. Ketika ia sakit, ia berkata: “Aku berharap engkau telah menerimanya, karena sekarang itu menjadi harta warisan.”

(وَمِنْهَا) : بَعْدَ الْوَفَاةِ الْوَصَايَا وَلَهُ إبْطَالُهَا مَا لَمْ يَمُتْ.

 

Dan di antaranya: wasiat berlaku setelah kematian, dan seseorang berhak membatalkannya selama belum meninggal.

 

بَابُ الْعُمْرَى مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِهِ وَمَالِكٍ

 

Bab tentang Umra dari Kitab Perbedaan Pendapatnya dan Malik

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ حُجْرٍ الْمَدَرِيِّ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ «عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ جَعَلَ الْعُمْرَى لِلْوَارِثِ» ، وَمِنْ حَدِيثِ جَابِرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا تُعْمِرُوا، وَلَا تُرْقِبُوا فَمَنْ أُعْمِرَ شَيْئًا أَوْ أُرْقِبَهُ فَهُوَ سَبِيلُ الْمِيرَاثِ» .

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Amr bin Dinar dari Thawus dari Hujr Al-Madari dari Zaid bin Tsabit «dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau menjadikan umra (hadiah seumur hidup) untuk ahli waris», dan dari hadits Jabir – radhiyallahu ‘anhu – bahwa ia berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: «Janganlah kalian memberikan umra atau ruqba (hadiah selama hidup), barangsiapa diberi umra atau ruqba maka itu menjadi bagian warisan».

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهُوَ قَوْلُ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَابْنِ عُمَرَ وَسُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ وَعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – وَبِهِ أَقُولُ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan itu adalah pendapat Zaid bin Tsabit, Jabir bin Abdullah, Ibnu Umar, Sulaiman bin Yasar, dan Urwah bin Zubair – semoga Allah meridhai mereka – dan dengan pendapat itulah aku berpendapat.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ عِنْدِي فِي الْعُمْرَى أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ قَدْ جَعَلْت دَارِي هَذِهِ لَك عُمُرَك أَوْ حَيَاتَك أَوْ جَعَلْتهَا لَك عُمْرَى أَوْ رُقْبَى، وَيَدْفَعُهَا إلَيْهِ فَهِيَ مِلْكٌ لِلْمُعَمِّرِ تُورَثُ عَنْهُ إنْ مَاتَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – makna perkataan Asy-Syafi’i menurutku tentang ‘umra adalah seseorang mengatakan, “Aku menjadikan rumahku ini untukmu seumur hidupmu,” atau “Aku memberikannya kepadamu sebagai ‘umra atau ruqba,” lalu menyerahkannya kepadanya. Maka itu menjadi milik penerima ‘umra dan dapat diwarisi jika ia meninggal.

 

بَابُ عَطِيَّةِ الرَّجُلِ وَلَدَهُ

 

Bab tentang pemberian seorang ayah kepada anaknya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَعَنْ مُحَمَّدِ بْنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ يُحَدِّثَانِهِ «عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ إلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ: إنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَكُلَّ وَلَدِك نَحَلْتَ مِثْلَ هَذَا، قَالَ لَا فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَارْجِعْهُ» .

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Humaid bin Abdurrahman dan dari Muhammad bin An-Nu’man bin Basyir, keduanya menceritakan kepadanya dari An-Nu’man bin Basyir -radhiyallahu ‘anhu- bahwa ayahnya membawanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah memberikan budak milikku ini kepada anakku.” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Apakah semua anakmu telah engkau beri seperti ini?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Kembalikanlah.”

(Asy-Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Dan aku mendengar dalam hadis ini bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bersabda: “Tidakkah engkau senang jika mereka dalam kebaikan sama sepertimu?” Maka dia menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Kembalikanlah.”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan dengan ini kami mengambil, serta di dalamnya terdapat petunjuk atas beberapa hal, di antaranya: baiknya adab dalam tidak memprioritaskan seseorang sehingga menimbulkan sesuatu dalam hati yang diprioritaskan yang menghalanginya dari berbuat baik, karena sesungguhnya kerabat bisa saling dengki dengan sesuatu yang tidak didengki oleh musuh. Di antaranya juga bahwa memberikan sebagian kepada mereka diperbolehkan, dan jika tidak demikian, tentu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak akan bersabda “kembalikanlah”. Di antaranya juga bahwa orang tua boleh menarik kembali apa yang telah diberikan kepada anaknya. Abu Bakar pernah mengutamakan Aisyah – radhiyallahu ‘anhuma – dengan memberikan kebun kurma, Umar mengutamakan Ashim – radhiyallahu ‘anhuma – dengan sesuatu yang diberikan kepadanya, dan Abdurrahman bin Auf mengutamakan anak Ummu Kultsum. Seandainya hadits Thawus bersambung “Tidak halal bagi pemberi untuk menarik kembali apa yang telah diberikannya kecuali orang tua terhadap apa yang diberikan kepada anaknya”, tentu aku akan berpendapat dengannya. Dan aku tidak bermaksud pemberi selain itu, baik yang memberi kepada orang yang layak menerima balasan serupa atau tidak.

 

(قَالَ) : وَتَجُوزُ صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ إلَّا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ لَا يَأْخُذُهَا لِمَا رَفَعَ اللَّهُ مِنْ قَدْرِهِ وَأَبَانَهُ مِنْ خَلْقِهِ إمَّا تَحْرِيمًا، وَإِمَّا لِئَلَّا يَكُونَ لِأَحَدٍ عَلَيْهِ يَدٌ؛ لِأَنَّ مَعْنَى الصَّدَقَةِ لَا يُرَادُ ثَوَابُهَا، وَمَعْنَى الْهَدِيَّةِ يُرَادُ ثَوَابُهَا، وَكَانَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ «وَرَأَى لَحْمًا تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ فَقَالَ هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ» .

 

 

Beliau berkata: “Sedekah sunnah boleh diberikan kepada siapa pun kecuali Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – karena beliau tidak mengambilnya disebabkan Allah telah mengangkat derajatnya dan memuliakannya dari makhluk lainnya, baik sebagai larangan maupun agar tidak ada seorang pun yang memiliki hak atas beliau. Sebab makna sedekah tidak dimaksudkan untuk pahalanya, sedangkan makna hadiah dimaksudkan untuk pahalanya. Dan beliau menerima hadiah. Beliau pernah melihat daging yang disedekahkan kepada Barirah, lalu bersabda: ‘Itu baginya sedekah, dan bagi kami hadiah.'”

كِتَابُ اللُّقَطَةِ

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَن رَبِيعَةَ عَن يَزِيدَ مَولَى المُنبَعِثِ عَن زَيدِ بنِ خَالِدٍ الجُهَنِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ – قَالَ «جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – فَسَأَلَهُ عَن اللُّقَطَةِ فَقَالَ اعرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً فَإِن جَاءَ صَاحِبُهَا، وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا» وَعَن عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ – نَحوُ ذَلِكَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Rabi’ah dari Yazid, budak Al-Munba’its, dari Zaid bin Khalid Al-Juhani – radhiyallahu ‘anhu – ia berkata: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan bertanya tentang barang temuan. Beliau bersabda: ‘Kenali tali pengikatnya dan wadahnya, kemudian umumkan selama setahun. Jika pemiliknya datang (mengambilnya), jika tidak, maka terserah kamu (untuk memanfaatkannya).'” Dan dari Umar – radhiyallahu ‘anhu – juga meriwayatkan hal yang serupa.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَبِهَذَا أَقُولُ وَالْبَقَرُ كَالْإِبِلِ؛ لِأَنَّهُمَا يَرِدَانِ الْمِيَاهَ، وَإِنْ تَبَاعَدَتْ، وَيَعِيشَانِ أَكْثَرَ عَيْشِهِمَا بِلَا رَاعٍ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَعْرِضَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا وَالْمَالُ وَالشَّاةُ لَا يَدْفَعَانِ عَنْ أَنْفُسِهِمَا فَإِنْ وَجَدَهُمَا فِي مَهْلَكَةٍ فَلَهُ أَكْلُهُمَا وَغُرْمُهُمَا إذَا جَاءَ صَاحِبُهُمَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Dan dengan ini aku berpendapat, sapi itu seperti unta; karena keduanya mendatangi air meskipun jauh, dan hidup sebagian besar waktu tanpa penggembala. Maka tidak boleh bagi seseorang untuk mengganggu salah satunya. Adapun harta dan kambing tidak bisa melindungi diri mereka sendiri. Jika ia menemukan keduanya dalam keadaan terancam bahaya, maka ia boleh memakannya dan menggantinya jika pemiliknya datang.”

 

(وَقَالَ) : فِيمَا وَضَعَهُ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ وَالْخَيْلُ وَالْبِغَالُ وَالْحَمِيرُ كَالْبَعِيرِ؛ لِأَنَّ كُلَّهَا قَوِيٌّ مُمْتِنِعٌ مِنْ صِغَارِ السِّبَاعِ بَعِيدُ الْأَثَرِ فِي الْأَرْضِ، وَمِثْلُهَا الظَّبْيُ لِلرَّجُلِ وَالْأَرْنَبُ وَالطَّائِرُ لِبُعْدِهِ فِي الْأَرْضِ وَامْتِنَاعِهِ فِي السُّرْعَةِ.

 

 

(Dia berkata) dalam apa yang dia tulis dengan tangannya sendiri: Aku tidak mengetahui hal itu didengar darinya. Kuda, bagal, dan keledai seperti unta; karena semuanya kuat, sulit ditaklukkan oleh binatang buas kecil, dan meninggalkan jejak yang dalam di tanah. Begitu pula rusa bagi laki-laki, serta kelinci dan burung karena jaraknya yang jauh di tanah dan ketangkasannya dalam berlari.

 

 

(قَالَ) : وَيَأْكُلُ اللُّقَطَةَ الْغَنِيُّ وَالْفَقِيرُ، وَمَنْ تَحِلُّ لَهُ الصَّدَقَةُ وَتَحْرُمُ عَلَيْهِ قَدْ «أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَهُوَ مِنْ أَيْسَرِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ أَوْ كَأَيْسَرِهِمْ وَجَدَ صُرَّةً فِيهَا ثَمَانُونَ دِينَارًا أَنْ يَأْكُلَهَا» «وَأَنَّ عَلِيًّا – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – ذَكَرَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ وَجَدَ دِينَارًا فَأَمَرَهُ أَنْ يُعَرِّفَهُ فَلَمْ يُعْرَفْ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ بِأَكْلِهِ فَلَمَّا جَاءَ صَاحِبُهُ أَمَرَهُ بِدَفْعِهِ إلَيْهِ» وَعَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مِمَّنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ الصَّدَقَةُ؛ لِأَنَّهُ مِنْ صُلْبِيَّةِ بَنِي هَاشِمٍ.

 

 

Beliau berkata: “Barang temuan boleh dimakan oleh orang kaya maupun miskin, serta orang yang halal atau haram menerima sedekah. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memerintahkan Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu- (yang termasuk orang terkaya di Madinah atau setara dengan mereka) ketika menemukan kantong berisi delapan puluh dinar untuk memakannya.” “Dan Ali -radhiyallahu ‘anhu- pernah menyampaikan kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa ia menemukan satu dinar, lalu beliau memerintahkannya untuk mengumumkannya. Ketika tidak ada yang mengaku, Nabi memerintahkannya untuk memakannya. Namun ketika pemiliknya datang, beliau memerintahkan Ali untuk menyerahkannya.” Sedangkan Ali -radhiyallahu ‘anhu- termasuk orang yang haram menerima sedekah karena ia termasuk keturunan Bani Hasyim.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَا أُحِبُّ لِأَحَدٍ تَرْكَ لُقَطَةٍ وَجَدَهَا إذَا كَانَ أَمِينًا عَلَيْهَا فَعَرَّفَهَا سَنَةً عَلَى أَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ وَالْأَسْوَاقِ، وَمَوَاضِعِ الْعَامَّةِ، وَيَكُونُ أَكْثَرُ تَعْرِيفِهِ فِي الْجُمُعَةِ الَّتِي أَصَابَهَا فِيهَا فَيَعْرِفُ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا وَعَدَدَهَا وَوَزْنَهَا وَحِلْيَتَهَا، وَيَكْتُبُهَا، وَيُشْهِدُ عَلَيْهَا فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا، وَإِلَّا فَهِيَ لَهُ بَعْدَ سَنَةٍ عَلَى أَنَّهُ مَتَى جَاءَ صَاحِبُهَا فِي حَيَاتِهِ أَوْ بَعْدَ مَوْتِهِ فَهُوَ غَرِيمٌ إنْ كَانَ اسْتَهْلَكَهَا. وَسَوَاءٌ قَلِيلُ اللُّقَطَةِ وَكَثِيرُهَا فَيَقُولُ مَنْ ذَهَبَتْ لَهُ دَنَانِيرُ إنْ كَانَتْ دَنَانِيرَ، وَمَنْ ذَهَبَتْ لَهُ دَرَاهِمُ إنْ كَانَتْ دَرَاهِمَ، وَمَنْ ذَهَبَ لَهُ كَذَا، وَلَا يَصِفُهَا فَيُنَازَعَ فِي صِفَتِهَا أَوْ يَقُولُ جُمْلَةً إنَّ فِي يَدِي لُقَطَةٌ فَإِنْ كَانَ مَوْلِيًّا عَلَيْهِ لِسَفَهٍ أَوْ صِغَرٍ ضَمَّهَا الْقَاضِي إلَى وَلِيِّهِ وَفَعَلَ فِيهَا مَا يَفْعَلُ الْمُلْتَقِطُ فَإِنْ كَانَ عَبْدًا أُمِرَ بِضَمِّهَا إلَى سَيِّدِهِ فَإِنْ عَلِمَ بِهَا السَّيِّدُ فَأَقَرَّهَا فِي يَدَيْهِ فَهُوَ ضَامِنٌ لَهَا فِي رَقَبَةِ عَبْدِهِ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Aku tidak suka jika seseorang meninggalkan barang temuan yang ia dapatkan selama ia mampu menjaganya. Hendaknya ia mengumumkannya selama setahun di pintu-pintu masjid, pasar, dan tempat-tempat umum. Sebagian besar pengumumannya dilakukan pada hari Jumat saat ia menemukannya. Ia menjelaskan wadahnya, ikatannya, jumlahnya, timbangannya, dan perhiasannya, lalu mencatatnya dan mempersaksikannya. Jika pemiliknya datang (dalam masa setahun), maka barang itu dikembalikan. Jika tidak, maka barang itu menjadi miliknya setelah setahun dengan ketentuan bahwa jika pemiliknya datang – baik selama hidupnya atau setelah kematiannya – maka ia berutang jika telah menghabiskannya. Baik sedikit maupun banyaknya barang temuan itu sama saja. Ia boleh mengatakan ‘Siapa yang kehilangan dinar?’ jika itu adalah dinar, atau ‘Siapa yang kehilangan dirham?’ jika itu adalah dirham, atau ‘Siapa yang kehilangan ini?’ tanpa mendeskripsikannya secara detail agar tidak diperselisihkan tentang sifatnya. Atau ia boleh mengatakan secara umum ‘Aku memiliki barang temuan’. Jika orang yang menemukannya berada di bawah perwalian karena kebodohan atau kecil, maka hakim menyerahkannya kepada walinya, dan walinya melakukan seperti yang dilakukan oleh orang yang menemukan. Jika yang menemukan adalah budak, ia diperintahkan untuk menyerahkannya kepada tuannya. Jika tuannya mengetahuinya lalu membiarkannya tetap di tangan budak itu, maka tuannya menanggungnya sebagai hutang atas budak tersebut.”

 

(قَالَ) : فَمَا وَضَعَ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ: لَا غُرْمَ عَلَى الْعَبْدِ حَتَّى يُعْتَقَ مِنْ قِبَلِ أَنَّ لَهُ أَخْذَهَا.

 

 

Beliau berkata: “Apa yang dia tulis dengan tangannya sendiri—aku tidak tahu apakah itu didengar darinya—’Tidak ada tanggungan bagi budak hingga dia dimerdekakan, karena dia berhak mengambilnya.'”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْأَوَّلُ أَقْيَسُ إذَا كَانَتْ فِي الذِّمَّةِ وَالْعَبْدُ عِنْدِي لَيْسَ بِذِي ذِمَّةٍ.

 

(Al-Muzani berkata): Pendapat pertama lebih tepat jika utang itu dalam tanggungan, sedangkan budak menurutku tidak memiliki tanggungan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ بِهَا السَّيِّدُ فَهِيَ فِي رَقَبَتِهِ إنْ اسْتَهْلَكَهَا قَبْلَ السَّنَةِ وَبَعْدَهَا دُونَ مَالِ السَّيِّدِ؛ لِأَنَّ أَخْذَهُ اللُّقَطَةَ عُدْوَانٌ إنَّمَا يَأْخُذُ اللُّقَطَةَ مَنْ لَهُ ذِمَّةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika tuannya tidak mengetahuinya, maka barang temuan itu menjadi tanggungannya jika dia menghabiskannya sebelum atau setelah satu tahun, bukan dari harta tuannya. Karena mengambil barang temuan adalah suatu pelanggaran, dan hanya orang yang memiliki tanggung jawab yang boleh mengambil barang temuan.”

(Al-Muzani berkata): Ini lebih mirip dengan asalnya, dan tuannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah dia mengetahuinya, maka persetujuannya terhadap hal itu berada di tangannya dan itu merupakan pelanggaran, maka bagaimana mungkin dia tidak menanggungnya dalam seluruh hartanya? Atau dia tidak mengetahuinya, maka itu tidak melampaui leher budaknya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ كَانَ حُرًّا غَيْرَ مَأْمُونٍ فِي دِينِهِ فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنْ يَأْمُرَ بِضَمِّهَا إلَى مَأْمُونٍ، وَيَأْمُرَ الْمَأْمُونَ وَالْمُلْتَقِطَ بِالْإِنْشَادِ بِهَا. وَالْقَوْلُ الْآخَرُ: لَا يَنْزِعُهَا مِنْ يَدَيْهِ، وَإِنَّمَا مَنَعْنَا مِنْ هَذَا الْقَوْلِ؛ لِأَنَّ صَاحِبَهَا لَمْ يَرْضَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika dia adalah orang merdeka yang tidak terpercaya dalam agamanya, maka ada dua pendapat. Pertama: memerintahkan untuk menggabungkannya dengan orang yang terpercaya, dan memerintahkan orang yang terpercaya serta yang menemukan untuk mengumumkannya. Pendapat kedua: tidak mengambilnya dari tangannya, dan kami mencegah pendapat ini karena pemiliknya tidak meridhainya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : فَإِذَا امْتَنَعَ مِنْ هَذَا الْقَوْلِ لِهَذِهِ الْعِلَّةِ فَلَا قَوْلَ لَهُ إلَّا الْأَوَّلُ وَهُوَ أَوْلَى بِالْحَقِّ عِنْدِي وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Jika dia menolak pendapat ini karena alasan tersebut, maka tidak ada pendapat baginya kecuali pendapat pertama, dan itu lebih dekat kepada kebenaran menurutku. Hanya kepada Allah pertolongan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -، وَقَدْ قَطَعَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ بِأَنَّ عَلَى الْإِمَامِ إخْرَاجَهَا مِنْ يَدِهِ لَا يَجُوزُ فِيهَا غَيْرُهُ وَهَذَا أَوْلَى بِهِ عِنْدِي.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan dia telah menegaskan di tempat lain bahwa kewajiban imam adalah mengeluarkannya dari tangannya, tidak boleh dilakukan oleh selainnya, dan menurutku pendapat ini lebih utama.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْمُكَاتَبُ فِي اللُّقَطَةِ كَالْحُرِّ؛ لِأَنَّ مَالَهُ يَسْلَمُ لَهُ وَالْعَبْدُ نِصْفُهُ حُرٌّ وَنِصْفُهُ عَبْدٌ فَإِنْ الْتَقَطَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يَكُونُ فِيهِ مُخَلًّى لِنَفْسِهِ أُقِرَّتْ فِي يَدِهِ وَكَانَتْ بَعْدَ السَّنَةِ لَهُ كَمَا لَوْ كَسَبَ فِيهِ مَالًا كَانَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ فِي الْيَوْمِ الَّذِي لِسَيِّدِهِ أَخَذَهَا مِنْهُ؛ لِأَنَّ كَسْبَهُ فِيهِ لِسَيِّدِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seorang mukatab dalam masalah barang temuan statusnya seperti orang merdeka, karena hartanya tetap menjadi miliknya. Sebab, seorang budak mukatab separuhnya merdeka dan separuhnya masih budak. Jika ia menemukan barang pada hari yang menjadi haknya, maka barang itu diakui sebagai miliknya dan setelah setahun menjadi haknya sepenuhnya, sebagaimana jika ia memperoleh harta pada hari itu maka harta itu menjadi miliknya. Namun jika ia menemukan barang pada hari yang menjadi hak tuannya, maka tuannya berhak mengambilnya, karena hasil usahanya pada hari itu adalah milik tuannya.”

 

(قَالَ) : وَيُفْتَى الْمُلْتَقَطُ إذَا عَرَّفَ الرَّجُلُ الْعِفَاصَ وَالْوِكَاءَ وَالْعَدَدَ وَالْوَزْنَ وَوَقَعَ فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ صَادِقٌ أَنْ يُعْطِيَهُ، وَلَا أَجْبُرُهُ عَلَيْهِ إلَّا بِبَيِّنَةٍ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُصِيبُ الصِّفَةَ بِأَنْ يَسْمَعَ الْمُلْتَقِطَ يَصِفُهَا، وَمَعْنَى قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «اعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا» وَاَللَّهُ أَعْلَمُ لَأَنْ يُؤَدِّيَ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا مَعَهَا وَلِيَعْلَمَ إذَا وَضَعَهَا فِي مَالِهِ أَنَّهَا لُقَطَةٌ، وَقَدْ يَكُونُ لِيَسْتَدِلَّ عَلَى صِدْقِ الْمُعَرِّفِ أَرَأَيْت لَوْ وَصَفَهَا عَشْرَةٌ أَيُعْطُونَهَا وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ كُلَّهُمْ كَاذِبٌ إلَّا وَاحِدًا بِغَيْرِ عَيْنِهِ فَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ صَادِقًا، وَإِنْ كَانَتْ اللُّقَطَةُ طَعَامًا رَطْبًا لَا يَبْقَى فَلَهُ أَنْ يَأْكُلَهُ إذَا خَافَ فَسَادَهُ، وَيَغْرَمَهُ لِرَبِّهِ.

 

 

Beliau berkata: “Dan barang temuan boleh diberikan jika seseorang mengenali wadah, ikatan, jumlah, dan timbangan, serta hatinya meyakini kejujurannya. Aku tidak memaksanya kecuali dengan bukti, karena bisa saja dia menebak sifatnya dengan mendengar penemu menyebutkannya. Makna sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ‘Kenalilah wadah dan ikatannya’ -wallahu a’lam- adalah agar dia mengembalikan wadah dan ikatannya bersamanya, serta agar dia tahu saat meletakkannya di hartanya bahwa itu barang temuan. Bisa juga untuk mengetahui kejujuran pengaku. Bagaimana pendapatmu jika sepuluh orang mendeskripsikannya, apakah diberikan padahal kita tahu hanya satu yang jujur tanpa tahu siapa? Mungkin saja dia yang jujur. Jika barang temuan itu makanan basah yang tidak tahan lama, dia boleh memakannya jika khawatir rusak, lalu menggantinya untuk pemiliknya.”

(وَقَالَ) : فِيمَا وَضَعَهُ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ: إذَا خَافَ فَسَادَهُ أَحْبَبْتُ أَنْ يَبِيعَهُ، وَيُقِيمَ عَلَى تَعْرِيفِهِ.

 

Dan dia berkata dalam apa yang ditulisnya dengan tangannya sendiri (aku tidak mengetahui apakah hal itu didengar darinya): “Jika ia khawatir akan kerusakannya, aku lebih suka jika ia menjualnya dan tetap melakukan pengenalan (tentang barang tersebut).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا أَوْلَى الْقَوْلَيْنِ بِهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَقُلْ لِلْمُلْتَقِطِ شَأْنُك بِهَا إلَّا بَعْدَ سَنَةٍ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي مَوْضِعِ مَهْلَكَةٍ كَالشَّاةِ فَيَكُونُ لَهُ أَكْلُهُ، وَيَغْرَمُهُ إذَا جَاءَ صَاحِبُهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Ini lebih utama dari dua pendapat tentangnya; karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak mengatakan kepada orang yang menemukan barang, ‘Uruslah barang itu,’ kecuali setelah satu tahun, kecuali jika berada di tempat yang membahayakan seperti kambing, maka dia boleh memakannya, dan harus menggantinya jika pemiliknya datang.”

 

(وَقَالَ) : فِيمَا وَضَعَ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ: إذَا وَجَدَ الشَّاةَ أَوْ الْبَعِيرَ أَوْ الدَّابَّةَ أَوْ مَا كَانَتْ بِالْمِصْرِ أَوْ فِي قَرْيَةٍ فَهِيَ لُقَطَةٌ يُعَرِّفُهَا سَنَةً، وَإِذْ حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ضَوَالَّ الْإِبِلِ فَمَنْ أَخَذَهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا ضَمِنَ.

 

 

(Dan dia berkata) dalam apa yang ditulis dengan tangannya sendiri – aku tidak mengetahui hal itu didengar darinya: “Jika menemukan kambing, unta, hewan tunggangan, atau apa pun yang ada di kota atau desa, maka itu termasuk barang temuan yang harus diumumkan selama setahun. Dan ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang mengambil unta yang tersesat, maka barangsiapa mengambilnya lalu melepaskannya, dia menanggung (risiko)nya.”

 

 

(قَالَ) : وَلَا جُعْلَ لِمَنْ جَاءَ بِآبِقٍ، وَلَا ضَالَّةٍ إلَّا أَنْ يُجْعَلَ لَهُ وَسَوَاءٌ مَنْ عُرِفَ بِطَلَبِ الضَّوَالِّ، وَمَنْ لَا يُعْرَفُ بِهِ. وَلَوْ قَالَ لِرَجُلٍ إنْ جِئْتنِي بِعَبْدٍ فَلَكَ كَذَا وَلِآخَرَ مِثْلُ ذَلِكَ وَلِثَالِثٍ مِثْلُ ذَلِكَ فَجَاءُوا بِهِ جَمِيعًا فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ ثُلُثُ مَا جَعَلَهُ لَهُ اتَّفَقَتْ الْأَجْعَالِ أَوْ اخْتَلَفَتْ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak ada imbalan bagi orang yang membawa budak yang melarikan diri atau barang hilang, kecuali jika imbalan itu ditetapkan untuknya. Sama saja, baik orang itu dikenal sebagai pencari barang hilang maupun tidak. Seandainya seseorang berkata kepada seorang lelaki, ‘Jika kamu membawa budakku kepadaku, maka untukmu imbalan sekian,’ dan kepada lelaki lain serta ketiga hal yang sama, lalu mereka semua membawa budak itu bersama-sama, maka masing-masing dari mereka berhak mendapatkan sepertiga dari imbalan yang ditetapkan untuknya, baik imbalan-imbalan itu sama maupun berbeda.”

 

بَابُ الْتِقَاطِ الْمَنْبُوذِ

Bab tentang mengambil anak yang dibuang

 

يُوجَدُ مَعَهُ الشَّيْءُ بِمَا وَضَعَ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ، وَمِنْ مَسَائِلَ شَتَّى سَمِعْتهَا مِنْهُ لَفْظًا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِيمَا وَضَعَ بِخَطِّهِ -: مَا وُجِدَ تَحْتَ الْمَنْبُوذِ مِنْ شَيْءٍ مَدْفُونٍ مِنْ ضَرْبِ الْإِسْلَامِ أَوْ كَانَ قَرِيبًا مِنْهُ فَهُوَ لُقَطَةٌ أَوْ كَانَتْ دَابَّةً فَهِيَ ضَالَّةٌ فَإِنْ وُجِدَ عَلَى دَابَّتِهِ أَوْ عَلَى فِرَاشِهِ أَوْ عَلَى ثَوْبِهِ مَالٌ فَهُوَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ مُلْتَقِطُهُ غَيْرَ ثِقَةٍ نَزَعَهُ الْحَاكِمُ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ ثِقَةً وَجَبَ أَنْ يُشْهِدَ بِمَا وَجَدَ لَهُ، وَأَنَّهُ مَنْبُوذٌ، وَيَأْمُرُهُ بِالْإِنْفَاقِ مِنْهُ عَلَيْهِ بِالْمَعْرُوفِ، وَمَا أَخَذَ ثَمَنَهُ الْمُلْتَقِطُ وَأَنْفَقَ مِنْهُ عَلَيْهِ بِغَيْرِ أَمْرِ الْحَاكِمِ فَهُوَ ضَامِنٌ فَإِنْ لَمْ يُوجَدْ لَهُ مَالٌ وَجَبَ عَلَى الْحَاكِمِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِ مِنْ مَالِ اللَّهِ – تَعَالَى – فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ حَرُمَ تَضْيِيعُهُ عَلَى مَنْ عَرَّفَهُ حَتَّى يُقَامَ بِكَفَالَتِهِ فَيُخْرِجَ مَنْ بَقِيَ مِنْ الْمَأْثَمِ، وَلَوْ أَمَرَهُ الْحَاكِمُ أَنْ يَسْتَسْلِفَ مَا أَنْفَقَ عَلَيْهِ يَكُونُ عَلَيْهِ دَيْنًا فَمَا ادَّعَى قُبِلَ مِنْهُ إذَا كَانَ مِثْلُهُ قَصْدًا.

 

 

Bersamanya terdapat sesuatu yang ditulis dengan tangannya sendiri, aku tidak tahu apakah itu didengar darinya. Dan dari berbagai masalah yang kudengar langsung darinya, (Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata) dalam tulisannya: “Apa saja yang ditemukan di bawah orang yang dibuang (terlantar) berupa barang terpendam dari jenis Islam atau yang serupa dengannya, maka itu dianggap sebagai barang temuan. Jika berupa hewan, maka itu dianggap hewan yang tersesat. Jika ditemukan harta pada hewannya, tempat tidurnya, atau pakaiannya, maka itu miliknya. Jika yang menemukannya bukan orang yang terpercaya, hakim harus mencabutnya darinya. Jika yang menemukannya orang terpercaya, wajib baginya untuk memberikan kesaksian atas apa yang ditemukannya dan bahwa itu milik orang yang dibuang (terlantar), serta diperintahkan untuk menafkahkannya secara wajar. Jika si penemu mengambil harganya dan menafkahkannya tanpa perintah hakim, maka ia bertanggung jawab. Jika tidak ditemukan harta untuknya, wajib bagi hakim untuk menafkahinya dari harta Allah – Ta’ala. Jika tidak dilakukan, haram untuk menyia-nyiakannya bagi siapa saja yang mengetahuinya hingga diadakan penjaminan untuknya sehingga terbebas dari dosa yang tersisa. Sekiranya hakim memerintahkannya untuk meminjam apa yang telah dinafkahkannya, itu menjadi hutang atasnya. Apa yang ia klaim akan diterima jika klaim tersebut sesuai dengan tujuannya.”

(المزني) قال: لا يجوز قول أحد فيما يتملكه على أحد؛ لأنه دعوى وليس كالأمين يقول فيبرأ.

 

(Al-Muzani) berkata: Tidak boleh seseorang mengatakan tentang apa yang dia miliki atas orang lain; karena itu adalah klaim dan tidak seperti orang yang terpercaya yang berbicara lalu dibebaskan.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ وَجَدَهُ رَجُلَانِ فَتَشَاحَّاهُ أَقْرَعْتُ بَيْنَهُمَا فَمَنْ خَرَجَ سَهْمُهُ دَفَعْته إلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ الْآخَرُ خَيْرًا لَهُ إذَا لَمْ يَكُنْ مُقَصِّرًا عَمَّا فِيهِ مَصْلَحَتُهُ، وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمَا مُقِيمًا بِالْمِصْرِ وَالْآخَرُ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِ دُفِعَ إلَى الْمُقِيمِ، وَإِنْ كَانَ قَرَوِيًّا وَبَدْوِيًّا دُفِعَ إلَى الْقَرَوِيِّ؛ لِأَنَّ الْقَرْيَةَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ الْبَادِيَةِ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا وَحُرًّا دُفِعَ إلَى الْحُرِّ، وَإِنْ كَانَ مُسْلِمًا وَنَصْرَانِيًّا فِي مِصْرٍ بِهِ أَحَدٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ، وَإِنْ كَانَ الْأَقَلَّ دُفِعَ إلَى الْمُسْلِمِ وَجَعَلْته مُسْلِمًا وَأَعْطَيْته مِنْ سُهْمَانِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى يُعْرِبَ عَنْ نَفْسِهِ فَإِذَا أَعْرَبَ عَنْ نَفْسِهِ فَامْتَنَعَ مِنْ الْإِسْلَامِ لَمْ يَبِنْ لِي أَنْ أَقْتُلَهُ، وَلَا أُجْبِرَهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، وَإِنْ وُجِدَ فِي مَدِينَةِ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَا مُسْلِمَ فِيهِمْ فَهُوَ ذِمِّيٌّ فِي الظَّاهِرِ حَتَّى يَصِفَ الْإِسْلَامَ بَعْدَ الْبُلُوغِ وَلَوْ أَرَادَ الَّذِي الْتَقَطَهُ الظَّعْنَ بِهِ فَإِنْ كَانَ يُؤْمَنُ أَنْ يَسْتَرِقَّهُ فَذَلِكَ لَهُ وَإِلَّا مُنِعَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika dua orang menemukannya dan berselisih, aku akan mengundi di antara mereka. Siapa yang keluar undiannya, aku akan menyerahkannya kepadanya, meskipun yang lain lebih baik untuknya selama tidak lalai dalam hal yang bermanfaat baginya. Jika salah satunya menetap di kota dan yang lain bukan penduduk aslinya, diserahkan kepada yang menetap. Jika yang satu penduduk desa dan yang lain badui, diserahkan kepada penduduk desa karena desa lebih baik baginya daripada gurun. Jika yang satu budak dan yang lain merdeka, diserahkan kepada yang merdeka. Jika yang satu Muslim dan yang lain Nasrani di kota yang ada Muslimnya, meskipun minoritas, diserahkan kepada Muslim dan aku anggap dia Muslim serta memberinya bagian dari jatah Muslim hingga dia menyatakan diri. Jika setelah menyatakan diri dia menolak Islam, tidak jelas bagiku untuk membunuhnya atau memaksanya masuk Islam. Jika ditemukan di kota ahli dzimah tanpa ada Muslim, dia dianggap dzimmi secara lahir hingga menyatakan Islam setelah baligh. Jika yang menemukannya ingin membawanya bepergian, jika aman dari kemungkinan diperbudak, itu boleh; jika tidak, dilarang.

 

 

وَجِنَايَتُهُ خَطَأً عَلَى جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ وَالْجِنَايَةُ عَلَيْهِ: عَلَى عَاقِلَةِ الْجَانِي فَإِنْ قَتَلَ عَمْدًا فَلِلْإِمَامِ الْقَوَدُ أَوْ الْعَقْلُ، وَإِنْ كَانَ جُرْحًا حُبِسَ لَهُ الْجَارِحُ حَتَّى يَبْلُغَ فَيَخْتَارَ الْقَوَدَ أَوْ الْأَرْشَ فَإِنْ كَانَ مَعْتُوهًا فَقِيرًا أَحْبَبْتُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْخُذَ لَهُ الْأَرْشَ، وَيُنْفِقَهُ عَلَيْهِ وَهُوَ فِي مَعْنَى الْحُرِّ حَتَّى يَبْلُغَ فَيُقِرَّ فَإِنْ أَقَرَّ بِالرِّقِّ قَبِلْته وَرَجَعْت عَلَيْهِ بِمَا أَخَذَهُ وَجَعَلْت جِنَايَتَهُ فِي عُنُقِهِ وَلَوْ قَذَفَهُ قَاذِفٌ لَمْ أَحِدَّ لَهُ حَتَّى أَسْأَلْهُ فَإِنْ قَالَ أَنَا حُرٌّ حَدَدْت قَاذِفَهُ، وَإِنْ قَذَفَ حُرًّا حُدَّ. (قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَسَمِعْته يَقُولُ اللَّقِيطُ حُرٌّ؛ لِأَنَّ أَصْلَ الْآدَمِيِّينَ الْحُرِّيَّةُ إلَّا مَنْ ثَبَتَتْ عَلَيْهِ الْعُبُودِيَّةُ، وَلَا وَلَاءَ عَلَيْهِ كَمَا لَا أَبَ لَهُ فَإِنْ مَاتَ فَمِيرَاثُهُ لِجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ.

 

 

Dan kesalahannya adalah keliru atas jamaah kaum muslimin, dan pelanggaran terhadapnya: menjadi tanggungan keluarga pelaku. Jika pembunuhan disengaja, maka imam berhak memilih qishash atau diyat. Jika berupa luka, pelaku ditahan hingga korban dewasa dan memilih antara qishash atau arsy (ganti rugi). Jika korban gila dan miskin, aku lebih suka imam mengambil arsy untuknya dan membelanjakannya demi kebaikannya. Ia dianggap merdeka hingga dewasa dan mengakui statusnya. Jika mengaku sebagai budak, aku terima dan menuntut pengembalian apa yang telah diambil, serta menjadikan kesalahannya sebagai tanggungannya. Jika ada yang menuduhnya (sebagai budak), aku tidak menjatuhkan hukuman hingga mempertanyakannya. Jika ia berkata, “Aku merdeka,” maka penuduhnya dihukum. Jika ia menuduh orang merdeka, maka dihukum. (Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan aku mendengarnya mengatakan: bayi terlantar statusnya merdeka, karena asal manusia adalah merdeka kecuali yang terbukti sebagai budak. Tidak ada perwalian atasnya sebagaimana tidak ada ayahnya. Jika ia meninggal, warisannya menjadi milik jamaah kaum muslimin.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا كُلُّهُ يُوجِبُ أَنَّهُ حُرٌّ.

 

(Al-Muzani berkata) : Semua ini mengharuskan bahwa dia adalah orang yang merdeka.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَوْلُهُ الْمَعْرُوفُ أَنَّهُ لَا يُحَدُّ الْقَاذِفُ إلَّا أَنْ تَقُومَ بَيِّنَةٌ لِلْمَقْذُوفِ أَنَّهُ حُرٌّ؛ لِأَنَّ الْحُدُودَ تُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan perkataannya yang masyhur bahwa seorang penuduh zina tidak dihukum had kecuali jika ada bukti jelas bahwa yang dituduh adalah orang merdeka; karena hukuman had dapat dicegah dengan adanya keraguan.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ ادَّعَاهُ الَّذِي وَجَدَهُ: أَلْحَقْته بِهِ فَإِنْ ادَّعَاهُ آخَرُ أَرَيْته الْقَافَةَ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالْآخَرِ أَرَيْتَهُمْ الْأَوَّلَ فَإِنْ قَالُوا إنَّهُ ابْنُهُمَا لَمْ نَنْسُبْهُ إلَى أَحَدِهِمَا حَتَّى يَبْلُغَ فَيَنْتَسِبَ إلَى مَنْ شَاءَ مِنْهُمَا، وَإِنْ لَمْ يُلْحَقْ بِالْآخَرِ فَهُوَ ابْنُ الْأَوَّلِ قَالَ: وَلَوْ ادَّعَى اللَّقِيطَ رَجُلَانِ فَأَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةً أَنَّهُ كَانَ فِي يَدِهِ جَعَلْته لِلَّذِي كَانَ فِي يَدِهِ أَوَّلًا، وَلَيْسَ هَذَا كَمِثْلِ الْمَالِ وَدَعْوَةُ الْمُسْلِمِ وَالْعَبْدِ وَالذِّمِّيِّ سَوَاءٌ غَيْرَ أَنَّ الذِّمِّيَّ إذَا ادَّعَاهُ وَوُجِدَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ فَأَلْحَقْته بِهِ أَحْبَبْتُ أَنْ أَجْعَلَهُ مُسْلِمًا فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ، وَأَنْ آمُرَهُ إذَا بَلَغَ بِالْإِسْلَامِ مِنْ غَيْرِ إجْبَارٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika orang yang menemukannya mengakuinya, aku akan menghubungkannya dengannya. Jika orang lain mengakuinya, aku akan menunjukkan bukti fisik. Jika mereka menghubungkannya dengan yang lain, aku akan menunjukkan yang pertama. Jika mereka berkata, ‘Ini adalah anak kami berdua,’ kami tidak akan menisbatkannya kepada salah satu dari mereka hingga ia dewasa dan memilih untuk dinisbatkan kepada siapa pun yang ia kehendaki dari keduanya. Jika tidak terbukti hubungan dengan yang lain, maka ia adalah anak dari yang pertama.” Dia berkata, “Jika dua orang mengklaim anak temuan, dan masing-masing mengajukan bukti bahwa anak itu pernah berada di bawah penguasaannya, aku akan memberikannya kepada yang pertama kali memegangnya. Ini tidak seperti masalah harta. Klaim seorang Muslim, budak, atau dzimmi adalah sama. Namun, jika seorang dzimmi mengakuinya dan anak itu ditemukan di darul Islam, lalu aku menghubungkannya dengannya, aku lebih suka menjadikannya Muslim dalam hal shalat atasnya, dan memerintahkannya untuk memeluk Islam ketika dewasa tanpa paksaan.”

(وَقَالَ) : فِي كِتَابِ الدَّعْوَى إنَّا نَجْعَلُهُ مُسْلِمًا؛ لِأَنَّا لَا نَعْلَمُهُ كَمَا قَالَ.

 

Dan Beliau berkata: Dalam kitab ad-da’wa, sesungguhnya kami menjadikannya seorang muslim karena kami tidak mengetahuinya sebagaimana yang dia katakan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : عِنْدِي هَذَا أَوْلَى بِالْحَقِّ؛ لِأَنَّ مَنْ ثَبَتَ لَهُ حَقٌّ لَمْ يَزُلْ حَقُّهُ بِالدَّعْوَى فَقَدْ ثَبَتَ لِلْإِسْلَامِ أَنَّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَجَرَى حُكْمُهُ عَلَيْهِ بِالدَّارِ فَلَا يَزُولُ حَقُّ الْإِسْلَامِ بِدَعْوَى مُشْرِكٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Menurutku, ini lebih dekat kepada kebenaran; karena siapa yang telah tetap haknya, maka haknya tidak hilang dengan pengakuan (palsu). Sungguh telah tetap bagi Islam bahwa ia termasuk ahlinya dan berlaku hukum atasnya di negeri (Islam), maka hak Islam tidak hilang dengan pengakuan seorang musyrik.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِنْ أَقَامَ بَيِّنَةً أَنَّهُ ابْنُهُ بَعْدَ أَنْ عَقَلَ وَوَصَفَ الْإِسْلَامَ أَلْحَقْنَاهُ بِهِ، وَمَنَعْنَاهُ أَنْ يُنَصِّرَهُ فَإِذَا بَلَغَ فَامْتَنَعَ مِنْ الْإِسْلَامِ لَمْ يَكُنْ مُرْتَدًّا نَقْتُلُهُ وَأَحْبِسُهُ وَأُخِيفُهُ رَجَاءَ رُجُوعِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika dia (seorang anak) mengajukan bukti bahwa dia adalah anaknya setelah dia berakal dan menjelaskan Islam, kami menggabungkannya dengannya (ayahnya yang Muslim) dan kami mencegahnya (ayahnya) untuk menjadikannya Nasrani. Jika dia telah baligh lalu menolak Islam, dia tidak dianggap murtad yang kami bunuh, tetapi kami tahan dan kami takuti dengan harapan dia kembali (ke Islam).”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قِيَاسُ: مَنْ جَعَلَهُ مُسْلِمًا أَنْ لَا يَرُدَّهُ إلَى النَّصْرَانِيَّةِ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Menurut qiyas, barangsiapa yang menjadikannya sebagai Muslim, maka tidak boleh mengembalikannya kepada kekristenan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا دَعْوَةَ لِلْمَرْأَةِ إلَّا بِبَيِّنَةٍ فَإِنْ أَقَامَتْ امْرَأَتَانِ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَيِّنَةً أَنَّهُ ابْنُهَا لَمْ أَجْعَلْهُ ابْنَ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا حَتَّى أُرِيَهُ الْقَافَةَ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِوَاحِدَةٍ لَحِقَ بِزَوْجِهَا، وَلَا يَنْفِيهِ إلَّا بِاللِّعَانِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Tidak ada klaim bagi seorang wanita kecuali dengan bukti. Jika dua wanita masing-masing mengajukan bukti bahwa anak itu adalah anaknya, aku tidak akan menetapkannya sebagai anak salah satunya hingga aku menunjukkannya kepada ahli qafah (pengenal garis keturunan). Jika mereka menghubungkannya dengan salah satu wanita, maka anak itu dihubungkan dengan suaminya, dan tidak bisa diingkari kecuali dengan li’an.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَخْرَجُ قَوْلِ الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا أَنَّ الْوَلَدَ لِلْفِرَاشِ وَهُوَ الزَّوْجُ فَلَمَّا أَلْحَقَتْهُ الْقَافَةُ بِالْمَرْأَةِ كَانَ زَوْجُهَا فِرَاشًا يَلْحَقُهُ وَلَدُهَا، وَلَا يَنْفِيهِ إلَّا بِلِعَانٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – inti pendapat Syafi’i dalam hal ini adalah bahwa anak itu milik pemilik kasur (suami), dan ketika qafah menghubungkannya dengan wanita, maka suaminya adalah pemilik kasur yang anaknya dinisbatkan kepadanya, dan tidak bisa menolaknya kecuali dengan li’an.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا ادَّعَى الرَّجُلُ اللَّقِيطَ أَنَّهُ عَبْدُهُ لَمْ أَقْبَلْ الْبَيِّنَةَ حَتَّى تَشْهَدَ أَنَّهَا رَأَتْ أَمَةَ فُلَانٍ وَلَدْته وَأَقْبَلُ أَرْبَعَ نِسْوَةٍ، وَإِنَّمَا مَنَعَنِي أَنْ أَقْبَلَ شُهُودَهُ أَنَّهُ عَبْدُهُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُرَى فِي يَدِهِ فَيَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan jika seseorang mengklaim bahwa anak temuan adalah budaknya, aku tidak akan menerima bukti sampai saksi bersaksi bahwa mereka melihat budak wanita si fulan melahirkannya. Aku menerima kesaksian empat perempuan. Alasan aku menolak kesaksian bahwa dia adalah budaknya adalah karena dia mungkin terlihat di bawah kekuasaannya, lalu mereka bersaksi bahwa dia adalah budaknya.”

(وَقَالَ) : فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إنْ أَقَامَ بَيِّنَةً أَنَّهُ كَانَ فِي يَدِهِ قَبْلَ الْتِقَاطِ الْمُلْتَقِطِ أَرَفْقُتُهُ لَهُ.

 

Dan Beliau berkata: Di tempat lain, jika dia mendatangkan bukti bahwa barang itu berada di tangannya sebelum diambil oleh si pengambil, maka aku akan mengembalikannya kepadanya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ الْأَوَّلِ وَأَوْلَى بِالْحَقِّ عِنْدِي مِنْ الْأَوَّلِ.

 

(Al-Muzani berkata): Ini bertentangan dengan pernyataannya yang pertama dan lebih dekat kepada kebenaran menurutku daripada yang pertama.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا بَلَغَ اللَّقِيطُ فَاشْتَرَى وَبَاعَ وَنَكَحَ وَأَصْدَقَ ثُمَّ أَقَرَّ بِالرِّقِّ لِرَجُلٍ أَلْزَمْته مَا يَلْزَمُهُ قَبْلَ إقْرَارِهِ، وَفِي إلْزَامِهِ الرِّقَّ قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا: أَنَّ إقْرَارَهُ يَلْزَمُهُ فِي نَفْسِهِ وَفِي الْفَضْلِ مِنْ مَالٍ عَمَّا لَزِمَهُ، وَلَا يُصَدَّقُ فِي حَقِّ غَيْرِهِ، وَمَنْ قَالَ أُصَدِّقُهُ فِي الْكُلِّ قَالَ؛ لِأَنَّهُ مَجْهُولُ الْأَصْلِ، وَمَنْ قَالَ الْقَوْلَ الْأَوَّلَ قَالَهُ فِي امْرَأَةٍ نُكِحَتْ ثُمَّ أَقَرَّتْ بِمِلْكٍ لِرَجُلٍ لَا أُصَدِّقُهَا عَلَى إفْسَادِ النِّكَاحِ، وَلَا مَا يَجِبُ عَلَيْهَا لِلزَّوْجِ وَأَجْعَلُ طَلَاقَهُ إيَّاهَا ثَلَاثًا وَعِدَّتَهَا ثَلَاثَ حِيَضً وَفِي الْوَفَاةِ عِدَّةَ أَمَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهَا فِي الْوَفَاةِ حَقٌّ يَلْزَمُهَا لَهُ وَأَجْعَلُ وَلَدَهُ قَبْلَ الْإِقْرَارِ وَلَدَ حُرَّةٍ وَلَهُ الْخِيَارُ فَإِنْ أَقَامَ عَلَى النِّكَاحِ كَانَ وَلَدُهُ رَقِيقًا وَأَجْعَلُ مِلْكَهَا لِمَنْ أَقَرَّتْ لَهُ بِأَنَّهَا أَمَتُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seorang anak punggung telah dewasa lalu membeli, menjual, menikah, dan memberikan mahar, kemudian mengakui status budak kepada seseorang, aku tetap memberlakukan kewajiban-kewajiban yang berlaku sebelum pengakuannya. Ada dua pendapat mengenai pengenaan status budak padanya. Pertama: pengakuannya mengikat dirinya sendiri dan kelebihan harta dari apa yang menjadi kewajibannya, namun tidak diterima terkait hak orang lain. Sedangkan yang berpendapat untuk menerima pengakuannya secara keseluruhan beralasan karena asal-usulnya tidak diketahui. Yang berpendapat dengan pendapat pertama juga menerapkannya pada seorang wanita yang dinikahi lalu mengakui sebagai budak milik seseorang – aku tidak menerima pengakuannya untuk membatalkan pernikahan atau kewajibannya terhadap suami. Aku menetapkan talaknya sebagai talak tiga, masa iddahnya tiga haid, dan dalam kasus kematian, iddahnya seperti budak karena tidak ada hak suami yang mengikatnya setelah kematian. Anak yang lahir sebelum pengakuan kujadikan sebagai anak wanita merdeka, dan suami memiliki hak pilih. Jika ia mempertahankan pernikahan, anaknya menjadi budak. Aku menetapkan kepemilikan wanita itu bagi orang yang diakuinya sebagai tuannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَجْمَعَتْ الْعُلَمَاءُ أَنَّ مَنْ أَقَرَّ بِحَقٍّ لَزِمَهُ، وَمَنْ ادَّعَاهُ لَمْ يَجِبْ لَهُ بِدَعْوَاهُ، وَقَدْ لَزِمَتْهَا حُقُوقٌ بِإِقْرَارِهَا فَلَيْسَ لَهَا إبْطَالُهَا بِدَعْوَاهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – para ulama telah sepakat bahwa siapa yang mengakui suatu hak, maka hak itu wajib baginya, dan siapa yang mengklaimnya, maka klaimnya tidak cukup untuk menjadikan hak itu wajib baginya. Dan hak-hak itu telah menjadi kewajibannya karena pengakuannya, maka tidak boleh baginya membatalkannya hanya dengan klaimnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا أُقِرُّ اللَّقِيطَ بِأَنَّهُ عَبْدٌ لِفُلَانٍ وَقَالَ لِفُلَانٍ مَا مَلَكْته قَطُّ ثُمَّ أَقَرَّ لِغَيْرِهِ بِالرِّقِّ بَعْدُ لَمْ أَقْبَلْ إقْرَارَهُ وَكَانَ حُرًّا فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan aku tidak mengakui anak pungut sebagai budak milik si fulan. Jika si fulan berkata, ‘Aku tidak pernah memilikinya,’ kemudian dia mengakui perbudakan kepada orang lain setelahnya, aku tidak menerima pengakuannya, dan dia tetap merdeka dalam segala keadaannya.”

 

اخْتِصَارُ الْفَرَائِضِ

 

Ringkasan Faraidh

بَابُ مَنْ لَا يَرِثُ

 

Bab Orang-Orang yang Tidak Mewarisi

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

 

اخْتِصَارُ الْفَرَائِضِ مِمَّا سَمِعْته مِنْ (الشَّافِعِيِّ) : وَمِنْ الرِّسَالَةِ، وَمِمَّا وَضَعْته عَلَى نَحْوِ مَذْهَبِهِ؛ لِأَنَّ مَذْهَبَهُ فِي الْفَرَائِضِ نَحْوَ قَوْلِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ بَابُ مَنْ لَا يَرِثُ.

 

 

Ringkasan faraid dari apa yang kudengar dari (Asy-Syafi’i): baik dari Ar-Risalah maupun dari apa yang kususun sesuai dengan metode mazhabnya; karena mazhabnya dalam faraid mirip dengan pendapat Zaid bin Tsabit, bab tentang orang yang tidak mendapat warisan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَهُوَ مِنْ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ لَا تَرِثُ الْعَمَّةُ وَالْخَالَةُ وَبِنْتُ الْأَخِ وَبِنْتُ الْعَمِّ وَالْجَدَّةُ أُمُّ أَبِ الْأُمِّ وَالْخَالُ وَابْنُ الْأَخِ لِلْأُمِّ، وَالْعَمُّ أَخُو الْأَبِ لِلْأُمِّ وَالْجَدُّ أَبُو الْأُمِّ وَوَلَدُ الْبِنْتِ وَوَلَدُ الْأُخْتِ، وَمَنْ هُوَ أَبْعَدُ مِنْهُمْ وَالْكَافِرُونَ وَالْمَمْلُوكُونَ وَالْقَاتِلُونَ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، وَمَنْ عُمِّيَ مَوْتُهُ كُلُّ هَؤُلَاءِ لَا يَرِثُونَ، وَلَا يُحْجَبُونَ، وَلَا تَرِثُ الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ مَعَ الْجَدِّ، وَإِنْ عَلَا، وَلَا مَعَ الْوَلَدِ، وَلَا مَعَ وَلَدِ الِابْنِ، وَإِنْ سَفَلَ، وَلَا تَرِثُ الْإِخْوَةُ، وَلَا الْأَخَوَاتُ مَنْ كَانُوا مَعَ الْأَبِ، وَلَا مَعَ الِابْنِ، وَلَا مَعَ ابْنِ الِابْنِ، وَإِنْ سَفَلَ، وَلَا يَرِثُ مَعَ الْأَبِ أَبَوَاهُ، وَلَا مَعَ الْأُمِّ جَدَّةٌ وَهَذَا كُلُّهُ قَوْلُ الشَّافِعِيُّ وَمَعْنَاهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Ini termasuk pendapat Asy-Syafi’i bahwa bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan sepupu laki-laki, nenek dari ibu kakek, paman dari pihak ibu, anak saudara laki-laki dari pihak ibu, paman sebagai saudara laki-laki ayah dari pihak ibu, kakek dari pihak ibu, anak perempuan, anak saudara perempuan, serta orang yang lebih jauh hubungannya, orang kafir, budak, pembunuh baik sengaja maupun tidak, dan orang yang tidak diketahui kematiannya—semua ini tidak mewarisi dan tidak terhalang. Saudara laki-laki dan perempuan dari pihak ibu tidak mewarisi bersama kakek meskipun lebih tinggi derajatnya, tidak bersama anak, tidak bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki meskipun lebih rendah derajatnya. Saudara laki-laki dan perempuan tidak mewarisi jika bersama ayah, tidak bersama anak laki-laki, tidak bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki meskipun lebih rendah derajatnya. Kedua orang tua tidak mewarisi bersama ayah, dan tidak ada nenek yang mewarisi bersama ibu. Ini semua adalah pendapat Asy-Syafi’i dan maknanya.

 

بَابُ الْمَوَارِيثِ

 

Pasal tentang Warisan

 

(قَالَ الْمُزَنِيِّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلِلزَّوْجِ النِّصْفُ فَإِنْ كَانَ لِلْمَيِّتِ وَلَدٌ أَوْ وَلَدُ وَلَدٍ، وَإِنْ سَفَلَ فَلَهُ الرُّبُعُ وَلِلْمَرْأَةِ الرُّبُعُ فَإِنْ كَانَ لِلْمَيِّتِ وَلَدٌ أَوْ وَلَدُ وَلَدٍ، وَإِنْ سَفَلَ فَلَهَا الثُّمُنُ وَالْمَرْأَتَانِ وَالثَّلَاثُ وَالْأَرْبَعُ شُرَكَاءُ فِي الرُّبُعِ إذَا لَمْ يَكُنْ وَلَدٌ وَفِي الثُّمُنِ إذَا كَانَ وَلَدٌ وَلِلْأُمِّ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لِلْمَيِّتِ وَلَدٌ أَوْ وَلَدُ وَلَدٍ أَوْ اثْنَانِ مِنْ الْإِخْوَةِ أَوْ الْأَخَوَاتِ فَصَاعِدًا فَلَهَا السُّدُسُ إلَّا فِي فَرِيضَتَيْنِ إحْدَاهُمَا زَوْجٌ وَأَبَوَانِ وَالْأُخْرَى امْرَأَةٌ وَأَبَوَانِ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي هَاتَيْنِ الْفَرِيضَتَيْنِ لِلْأُمِّ ثُلُثُ مَا يَبْقَى بَعْدَ نَصِيبِ الزَّوْجِ أَوْ الزَّوْجَةِ، وَمَا بَقِيَ فَلِلْأَبِ وَلِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلِلِابْنَتَيْنِ فَصَاعِدًا الثُّلُثَانِ فَإِذَا اسْتَكْمَلَ الْبَنَاتُ الثُّلُثَيْنِ فَلَا شَيْءَ لِبَنَاتِ الِابْنِ إلَّا أَنْ يَكُونَ لِلْمَيِّتِ ابْنُ ابْنٍ فَيَكُونَ مَا بَقِيَ لَهُ وَلِمَنْ فِي دَرَجَتِهِ أَوْ أَقْرَبَ إلَى الْمَيِّتِ مِنْهُ مِنْ بَنَاتِ الِابْنِ مَا بَقِيَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِلْمَيِّتِ إلَّا ابْنَةٌ وَاحِدَةٌ وَبِنْتُ ابْنٍ أَوْ بَنَاتُ ابْنٍ فَلِلِابْنَةِ النِّصْفُ وَلِبِنْتِ الِابْنِ أَوْ بَنَاتِ الِابْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَتَسْقُطُ بَنَاتُ ابْنِ الِابْنِ إذَا كُنَّ أَسْفَلَ مِنْهُنَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهُنَّ ابْنُ ابْنٍ فِي دَرَجَتِهِنَّ أَوْ أَبْعَدَ مِنْهُنَّ فَيَكُونَ مَا بَقِيَ لَهُ وَلِمَنْ فِي دَرَجَتِهِ أَوْ أَقْرَبَ إلَى الْمَيِّتِ مِنْهُ مِنْ بَنَاتِ الِابْنِ مِمَّنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ الثُّلُثَيْنِ شَيْئًا لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya –: “Suami mendapat separuh jika mayit tidak memiliki anak atau cucu, namun jika mayit memiliki anak atau cucu, suami mendapat seperempat. Istri mendapat seperempat jika mayit tidak memiliki anak atau cucu, namun jika mayit memiliki anak atau cucu, istri mendapat seperdelapan. Dua, tiga, atau empat istri bersekutu dalam seperempat jika tidak ada anak, dan dalam seperdelapan jika ada anak. Ibu mendapat sepertiga, namun jika mayit memiliki anak, cucu, atau dua orang saudara (laki-laki atau perempuan) atau lebih, maka ibu mendapat seperenam, kecuali dalam dua kasus: (1) suami dan kedua orang tua, serta (2) istri dan kedua orang tua. Dalam kedua kasus ini, ibu mendapat sepertiga dari sisa setelah bagian suami atau istri, dan sisanya untuk ayah. Anak perempuan mendapat separuh, dua anak perempuan atau lebih mendapat dua pertiga. Jika bagian dua pertiga telah terpenuhi oleh anak perempuan, maka anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) tidak mendapat bagian, kecuali jika mayit memiliki cucu laki-laki, maka sisa bagian menjadi miliknya dan orang yang setingkat atau lebih dekat kepada mayit dari cucu perempuan yang belum mendapat bagian dari dua pertiga, dengan ketentuan bagian laki-laki sama dengan dua bagian perempuan. Jika mayit hanya memiliki satu anak perempuan dan satu cucu perempuan atau lebih, maka anak perempuan mendapat separuh dan cucu perempuan mendapat seperenam sebagai penyempurna dua pertiga. Cucu perempuan dari anak laki-laki (cicit perempuan) gugur haknya jika mereka lebih rendah tingkatnya, kecuali jika ada cucu laki-laki setingkat atau lebih jauh tingkatnya, maka sisa bagian menjadi miliknya dan orang yang setingkat atau lebih dekat kepada mayit dari cucu perempuan yang belum mendapat bagian dari dua pertiga, dengan ketentuan bagian laki-laki sama dengan dua bagian perempuan.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

وَيَسْقُطُ مَنْ أَسْفَلَ مِنْ الذَّكَرِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إلَّا ابْنَةٌ وَاحِدَةٌ وَكَانَ مَعَ بِنْتِ الِابْنِ أَوْ بَنَاتِ الِابْنِ ابْنُ ابْنٍ فِي دَرَجَتِهِنَّ فَلَا سُدُسَ لَهُنَّ وَلَكِنْ مَا بَقِيَ لَهُ وَلَهُنَّ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. وَإِنْ كَانَ مَعَ الْبِنْتِ أَوْ الْبَنَاتِ لِلصُّلْبِ ابْنٌ فَلَا نِصْفَ، وَلَا ثُلُثَيْنِ وَلَكِنَّ الْمَالَ بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَيَسْقُطُ جَمِيعُ وَلَدِ الِابْنِ وَوَلَدُ الِابْنِ بِمَنْزِلَةِ وَلَدِ الصُّلْبِ فِي كُلٍّ إذَا لَمْ يَكُنْ وَلَدَ صُلْبٍ وَبَنُو الْإِخْوَةِ لَا يَحْجُبُونَ الْأُمَّ عَنْ الثُّلُثِ، وَلَا يَرِثُونَ مَعَ الْجَدِّ وَلِوَاحِدِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلِاثْنَيْنِ فَصَاعِدًا الثُّلُثُ ذَكَرُهُمْ وَأُنْثَاهُمْ فِيهِ سَوَاءٌ وَلِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتَيْنِ فَصَاعِدًا الثُّلُثَانِ فَإِذَا اسْتَوْفَى الْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ الثُّلُثَيْنِ فَلَا شَيْءَ لِلْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ إلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهُنَّ أَخٌ فَيَكُونَ لَهُ وَلَهُنَّ مَا بَقِيَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إلَّا أُخْتٌ وَاحِدَةٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ وَأُخْتٍ أَوْ أَخَوَاتٍ لِأَبٍ فَلِلْأُخْتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ النِّصْفُ وَلِلْأُخْتِ أَوْ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ، وَإِنْ كَانَ مَعَ الْأُخْتِ أَوْ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ أَخٌ لِأَبٍ فَلَا سُدُسَ لَهُنَّ وَلَهُنَّ وَلَهُ مَا بَقِيَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. وَإِنْ كَانَ مَعَ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ أَخٌ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَلَا نِصْفَ، وَلَا ثُلُثَيْنِ وَلَكِنَّ الْمَالَ بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَتَسْقُطُ الْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ وَالْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ بِمَنْزِلَةِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ إذَا لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ إلَّا فِي فَرِيضَةٍ وَهِيَ زَوْجٌ وَأُمٌّ، وَإِخْوَةٌ لِأُمٍّ، وَإِخْوَةٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَيَكُونُ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْإِخْوَةِ مِنْ الْأُمِّ الثُّلُثُ، وَيُشَارِكُهُمْ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فِي ثُلُثِهِمْ ذَكَرُهُمْ وَأُنْثَاهُمْ سَوَاءٌ. فَإِنْ كَانَ مَعَهُمْ إخْوَةٌ لِأَبٍ لَمْ يَرِثُوا وَلِلْأَخَوَاتِ مَعَ الْبَنَاتِ مَا بَقِيَ إنْ بَقِيَ شَيْءٌ، وَإِلَّا فَلَا شَيْءَ لَهُنَّ، وَيُسَمَّيْنَ بِذَلِكَ عَصَبَةَ الْبَنَاتِ وَلِلْأَبِ: مَعَ الْوَلَدِ وَوَلَدِ الِابْنِ السُّدُسُ فَرِيضَةً، وَمَا بَقِيَ بَعْدَ أَهْلِ الْفَرِيضَةِ فَلَهُ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ وَلَدٌ، وَلَا وَلَدُ ابْنٍ فَإِنَّمَا هُوَ عَصَبَةٌ لَهُ الْمَالُ، وَلِلْجَدَّةِ وَالْجَدَّتَيْنِ السُّدُسُ.

 

Dan gugurlah yang lebih rendah dari laki-laki. Jika hanya ada satu anak perempuan dan bersama anak perempuan dari anak laki-laki atau anak-anak perempuan dari anak laki-laki ada cucu laki-laki setingkat dengan mereka, maka tidak ada seperenam untuk mereka, tetapi sisa harta untuknya dan mereka, dengan bagian laki-laki seperti dua bagian perempuan. Jika bersama anak perempuan atau anak-anak perempuan kandung ada anak laki-laki, maka tidak ada setengah atau dua pertiga, tetapi harta dibagi di antara mereka dengan bagian laki-laki seperti dua bagian perempuan. Gugurlah seluruh anak dari anak laki-laki, dan anak dari anak laki-laki kedudukannya seperti anak kandung dalam segala hal jika tidak ada anak kandung. Anak-anak laki-laki saudara tidak menghalangi ibu dari sepertiga, dan tidak mewarisi bersama kakek. Untuk satu saudara laki-laki atau perempuan dari pihak ibu ada seperenam, dan untuk dua atau lebih ada sepertiga, baik laki-laki maupun perempuan sama. Untuk saudara perempuan seayah-seibu ada setengah, dan untuk dua saudara perempuan atau lebih ada dua pertiga. Jika saudara-saudara perempuan seayah-seibu telah mengambil dua pertiga, maka tidak ada bagian untuk saudara-saudara perempuan seayah kecuali jika ada saudara laki-laki bersama mereka, maka sisa harta untuknya dan mereka dengan bagian laki-laki seperti dua bagian perempuan. Jika hanya ada satu saudara perempuan seayah-seibu dan satu atau lebih saudara perempuan seayah, maka saudara perempuan seayah-seibu mendapat setengah, dan saudara perempuan seayah mendapat seperenam sebagai penyempurna dua pertiga. Jika bersama saudara perempuan atau saudara-saudara perempuan seayah ada saudara laki-laki seayah, maka tidak ada seperenam untuk mereka, tetapi sisa harta untuknya dan mereka dengan bagian laki-laki seperti dua bagian perempuan. Jika bersama saudara-saudara perempuan seayah-seibu ada saudara laki-laki seayah-seibu, maka tidak ada setengah atau dua pertiga, tetapi harta dibagi di antara mereka dengan bagian laki-laki seperti dua bagian perempuan. Gugurlah saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah, dan kedudukan saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah seperti saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah-seibu jika tidak ada seorang pun dari saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah-seibu, kecuali dalam pembagian tertentu, yaitu suami, ibu, saudara-saudara seibu, dan saudara-saudara seayah-seibu. Maka suami mendapat setengah, ibu mendapat seperenam, saudara-saudara seibu mendapat sepertiga, dan saudara-saudara seayah-seibu ikut serta dalam sepertiga mereka, baik laki-laki maupun perempuan sama. Jika bersama mereka ada saudara-saudara seayah, mereka tidak mewarisi. Untuk saudara-saudara perempuan bersama anak-anak perempuan, mereka mendapat sisa jika ada, jika tidak maka tidak ada bagian untuk mereka, dan mereka disebut sebagai ‘ashabah bersama anak-anak perempuan. Untuk ayah: bersama anak dan cucu laki-laki ada seperenam sebagai bagian pasti, dan sisa setelah ahli waris yang mendapat bagian pasti adalah untuknya. Jika tidak ada anak atau cucu laki-laki, maka ayah sebagai ‘ashabah mengambil seluruh harta. Untuk nenek dan dua nenek ada seperenam.

 

(قَالَ) : وَإِنْ قَرُبَ بَعْضُهُنَّ دُونَ بَعْضٍ فَكَانَتْ الْأَقْرَبَ مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ فَهِيَ أَوْلَى، وَإِنْ كَانَتْ الْأَبْعَدَ شَارَكَتْ فِي السُّدُسِ وَأَقْرَبُ اللَّائِي قِبَلَ الْأَبِ تَحْجُبُ بُعْدَاهُنَّ وَكَذَلِكَ تَحْجُبُ أَقْرَبُ اللَّائِي مِنْ قِبَلِ الْأُمِّ بُعْدَاهُنَّ.

 

 

Beliau berkata: “Jika sebagian mereka lebih dekat (hubungannya) daripada yang lain, dan yang terdekat dari pihak ibu, maka dia lebih berhak. Jika yang lebih jauh, mereka berbagi dalam seperenam. Yang terdekat dari pihak ayah menghalangi yang lebih jauh, dan begitu pula yang terdekat dari pihak ibu menghalangi yang lebih jauh.”

 

بَابُ أَقْرَبِ الْعَصَبَةِ

 

Bab tentang kerabat laki-laki terdekat

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَأَقْرَبُ الْعَصَبَةِ الْبَنُونَ ثُمَّ بَنُو الْبَنِينَ ثُمَّ الْأَبُ ثُمَّ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ إنْ لَمْ يَكُنْ جَدٌّ فَإِنْ كَانَ جَدٌّ شَارَكَهُمْ فِي بَابِ الْجَدِّ ثُمَّ الْإِخْوَةُ لِلْأَبِ ثُمَّ بَنُو الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ بَنُو الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ الْإِخْوَةِ، وَلَا مِنْ بَنِيهِمْ، وَلَا بَنَى بَنِيهِمْ، وَإِنْ سَفَلُوا فَالْعَمُّ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ الْعَمُّ لِلْأَبِ ثُمَّ بَنُو الْعَمِّ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ بَنُو الْعَمِّ لِلْأَبِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ الْعُمُومَةِ، وَلَا بَنِيهِمْ، وَلَا بَنِي بَنِيهِمْ، وَإِنْ سَفَلُوا فَعَمُّ الْأَبِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَعَمُّ الْأَبِ لِلْأَبِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَبَنُوهُمْ وَبَنُو بَنِيهِمْ عَلَى مَا وَصَفْت مِنْ الْعُمُومَةِ وَبَنِيهِمْ وَبَنِي بَنِيهِمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا فَعَمُّ الْجَدِّ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَعَمُّ الْجَدِّ لِلْأَبِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَبَنُوهُمْ وَبَنُو بَنِيهِمْ عَلَى مَا وَصَفْت فِي عُمُومَةِ الْأَبِ فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا فَأَرْفَعُهُمْ بَطْنًا وَكَذَلِكَ نَفْعَلُ فِي الْعَصَبَةِ إذَا وُجِدَ أَحَدٌ مِنْ وَلَدِ الْمَيِّتِ، وَإِنْ سَفَلَ لَمْ يُورَثْ أَحَدٌ مِنْ وَلَدِ ابْنِهِ، وَإِنْ قَرُبَ، وَإِنْ وُجِدَ أَحَدٌ مِنْ وَلَدِ ابْنِهِ، وَإِنْ سَفَلَ لَمْ يُورَثْ أَحَدٌ مِنْ وَلَدِ جَدِّهِ، وَإِنْ قَرُبَ، وَإِنْ وُجِدَ أَحَدٌ مِنْ وَلَدِ جَدِّهِ، وَإِنْ سَفَلَ لَمْ يُورَثْ أَحَدٌ مِنْ وَلَدِ أَبِي جَدِّهِ، وَإِنْ قَرُبَ، وَإِنْ كَانَ بَعْضُ الْعَصَبَةِ أَقْرَبَ بِأَبٍ فَهُوَ أَوْلَى لِأَبٍ كَانَ أَوْ لِأَبٍ وَأُمٍّ، وَإِنْ كَانُوا فِي دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ إلَّا أَنْ يَكُونَ بَعْضُهُمْ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَاَلَّذِي لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْلَى فَإِذَا اسْتَوَتْ قَرَابَتُهُمْ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الْمِيرَاثِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ عَصَبَةٌ بِرَحِمٍ يَرِثُ فَالْمَوْلَى الْمُعْتَقُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَأَقْرَبُ عَصَبَةِ مَوْلَاهُ الذُّكُورِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَبَيْتُ الْمَالِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya –: “Kerabat terdekat adalah anak laki-laki, kemudian cucu laki-laki dari anak laki-laki, kemudian ayah, kemudian saudara laki-laki seayah dan seibu jika tidak ada kakek. Jika ada kakek, maka mereka berbagi dalam bagian kakek. Kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah. Jika tidak ada saudara laki-laki, anak mereka, atau cucu mereka meskipun jauh, maka paman seayah dan seibu, kemudian paman seayah, kemudian anak laki-laki paman seayah dan seibu, kemudian anak laki-laki paman seayah. Jika tidak ada paman, anak mereka, atau cucu mereka meskipun jauh, maka paman dari ayah (seayah dan seibu). Jika tidak ada, maka paman dari ayah (seayah). Jika tidak ada, maka anak mereka dan cucu mereka sesuai urutan yang telah dijelaskan tentang paman dan keturunannya. Jika tidak ada, maka paman dari kakek (seayah dan seibu). Jika tidak ada, maka paman dari kakek (seayah). Jika tidak ada, maka anak mereka dan cucu mereka sesuai penjelasan sebelumnya tentang paman dari ayah. Jika tidak ada, maka diambil yang lebih tinggi nasabnya. Demikian juga berlaku untuk ‘ashabah. Jika ada keturunan mayit, meskipun jauh, maka tidak ada yang mewarisi dari keturunan anak laki-lakinya meskipun dekat. Jika ada keturunan anak laki-lakinya, meskipun jauh, maka tidak ada yang mewarisi dari keturunan kakeknya meskipun dekat. Jika ada keturunan kakeknya, meskipun jauh, maka tidak ada yang mewarisi dari keturunan ayah kakeknya meskipun dekat. Jika sebagian ‘ashabah lebih dekat karena jalur ayah, maka ia lebih berhak, baik jalur ayah saja atau ayah dan ibu. Jika mereka setingkat, kecuali sebagian dari mereka adalah jalur ayah dan ibu, maka yang jalur ayah dan ibu lebih berhak. Jika kekerabatan mereka setara, maka mereka berbagi warisan. Jika tidak ada ‘ashabah melalui kekerabatan yang berhak mewarisi, maka maula (mantan budak yang dimerdekakan) yang mewarisi. Jika tidak ada, maka kerabat laki-laki terdekat dari maula-nya. Jika tidak ada, maka baitulmal.”

بَابُ مِيرَاثِ الْجَدِّ

Bab Warisan Kakek

 

(قَالَ) : وَالْجَدُّ لَا يَرِثُ مَعَ الْأَبِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَبٌ فَالْجَدُّ بِمَنْزِلَةِ الْأَبِ إنْ لَمْ يَكُنْ الْمَيِّتُ تَرَكَ أَحَدًا مِنْ وَلَدِ أَبِيهِ الْأَدْنِينَ أَوْ أَحَدًا مِنْ أُمَّهَاتِ أَبِيهِ، وَإِنْ عَالَتْ الْفَرِيضَةُ إلَّا فِي فَرِيضَتَيْنِ زَوْجٍ وَأَبَوَيْنِ أَوْ امْرَأَةٍ وَأَبَوَيْنِ فَإِنَّهُ إذَا كَانَ فِيهِمَا مَكَانَ الْأَبِ جَدٌّ صَارَ لِلْأُمِّ الثُّلُثُ كَامِلًا، وَمَا بَقِيَ فَلِلْجَدِّ بَعْدَ نَصِيبِ الزَّوْجِ أَوْ الزَّوْجَةِ، وَأُمَّهَاتُ الْأَبِ لَا يَرِثْنَ مَعَ الْأَبِ، وَيَرِثْنَ مَعَ الْجَدِّ وَكُلُّ جَدٍّ، وَإِنْ عَلَا فَكَالْجَدِّ إذَا لَمْ يَكُنْ جَدٌّ دُونَهُ فِي كُلِّ حَالٍ إلَّا فِي حَجْبِ أُمَّهَاتِ الْجَدِّ، وَإِنْ بَعُدْنَ فَالْجَدُّ يَحْجُبُ أُمَّهَاتِهِ، وَإِنْ بَعُدْنَ، وَلَا يَحْجُبُ أُمَّهَاتِ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُ اللَّائِي لَمْ يَلِدْنَهُ، وَإِذَا كَانَ مَعَ الْجَدِّ أَحَدٌ مِنْ الْإِخْوَةِ أَوْ الْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ وَلَيْسَ مَعَهُنَّ مَنْ لَهُ فَرْضٌ مُسَمًّى قَاسَمَ أَخًا أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ أَخًا وَأُخْتًا فَإِنْ زَادُوا كَانَ لِلْجَدِّ ثُلُثُ الْمَالِ، وَمَا بَقِيَ لَهُمْ، وَإِنْ كَانَ مَعَهُنَّ مَنْ لَهُ فَرْضٌ مُسَمًّى زَوْجٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ أُمٌّ أَوْ جَدَّةٌ أَوْ بَنَاتُ ابْنٍ، وَكَانَ ذَلِكَ الْفَرْضُ الْمُسَمَّى النِّصْفَ أَوْ أَقَلَّ مِنْ النِّصْفِ بَدَأْت بِأَهْلِ الْفَرَائِضِ ثُمَّ قَاسَمَ الْجَدُّ مَا يَبْقَى أُخْتًا أَوْ أُخْتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا أَوْ أَخًا وَأُخْتًا، وَإِنْ زَادُوا كَانَ لِلْجَدِّ ثُلُثُ مَا يَبْقَى، وَمَا بَقِيَ فَلِلْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ، وَإِنْ كَثُرَ الْفَرْضُ الْمُسَمَّى بِأَكْثَرَ مِنْ النِّصْفِ، وَلَمْ يُجَاوِزْ الثُّلُثَيْنِ قَاسَمَ أُخْتًا أَوْ أُخْتَيْنِ فَإِنْ زَادُوا فَلِلْجَدِّ السُّدُسُ، وَإِنْ زَادَتْ الْفَرَائِضُ عَلَى الثُّلُثَيْنِ لَمْ يُقَاسِمْ الْجَدُّ أَخًا، وَلَا أُخْتًا، وَكَانَ لَهُ السُّدُسُ، وَمَا بَقِيَ فَلِلْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ عَالَتْ الْفَرِيضَةُ فَالسُّدُسُ لِلْجَدِّ.

 

 

Beliau berkata: “Kakek tidak mewarisi bersama ayah. Jika tidak ada ayah, maka kakek menempati posisi ayah, selama mayit tidak meninggalkan anak dari ayahnya yang lebih dekat atau salah satu dari ibu-ibu ayahnya. Kecuali dalam dua kasus: suami dan kedua orang tua, atau istri dan kedua orang tua. Jika dalam kedua kasus tersebut kakek menggantikan posisi ayah, maka ibu mendapat sepertiga penuh, dan sisanya untuk kakek setelah bagian suami atau istri. Ibu-ibu ayah tidak mewarisi bersama ayah, tetapi mewarisi bersama kakek. Setiap kakek, meskipun lebih tinggi (silsilahnya), dianggap seperti kakek jika tidak ada kakek di bawahnya dalam semua kondisi, kecuali dalam hal menghalangi ibu-ibu kakek. Meskipun jauh, kakek tetap menghalangi ibu-ibunya, meskipun jauh, tetapi tidak menghalangi ibu-ibu orang yang lebih dekat darinya yang tidak melahirkannya.

 

Jika bersama kakek ada saudara laki-laki atau perempuan seayah-seibu, dan tidak ada ahli waris yang memiliki bagian pasti, maka kakek membagi warisan dengan satu saudara laki-laki, dua saudara perempuan, tiga, atau satu saudara laki-laki dan satu perempuan. Jika jumlah mereka lebih banyak, kakek mendapat sepertiga harta, dan sisanya untuk mereka. Jika bersama mereka ada ahli waris yang memiliki bagian pasti seperti suami, istri, ibu, nenek, atau anak perempuan dari anak laki-laki, dan bagian pasti itu setengah atau kurang, maka dimulai dengan ahli faraid, lalu kakek membagi sisa dengan satu saudara perempuan, dua, tiga, atau satu laki-laki dan satu perempuan. Jika jumlah mereka lebih banyak, kakek mendapat sepertiga dari sisa, dan sisanya untuk saudara laki-laki dan perempuan dengan perbandingan satu laki-laki sama dengan dua perempuan.

 

Jika bagian pasti lebih dari setengah tetapi tidak melebihi dua pertiga, maka kakek membagi dengan satu atau dua saudara perempuan. Jika lebih dari itu, kakek mendapat seperenam. Jika bagian faraid melebihi dua pertiga, kakek tidak membagi dengan saudara laki-laki atau perempuan, dan mendapat seperenam, sementara sisanya untuk saudara laki-laki dan perempuan dengan perbandingan satu laki-laki sama dengan dua perempuan. Jika warisan tidak cukup, maka seperenam untuk kakek.”

 

وَالْعَوْلُ يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنْهُ مَا يَدْخُلُ عَلَى غَيْرِهِ وَلَيْسَ يُعَالُ لِأَحَدٍ مِنْ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ مَعَ الْجَدِّ إلَّا فِي الْأَكْدَرِيَّةِ وَهِيَ زَوْجٌ وَأُمٌّ وَأُخْتٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ وَجَدٍّ فَلِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ الثُّلُثُ وَلِلْجَدِّ السُّدُسُ وَلِلْأُخْتِ النِّصْفُ يُعَالُ بِهِ ثُمَّ يَضُمُّ الْجَدُّ سُدُسَهُ إلَى نِصْفِ الْأُخْتِ فَيَقْسِمَانِ ذَلِكَ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ أَصْلُهَا مِنْ سِتَّةٍ وَتَعُولُ بِنِصْفِهَا وَتَصِحُّ مِنْ سَبْعَةٍ وَعِشْرِينَ لِلزَّوْجِ تِسْعَةٌ وَلِلْأُمِّ سِتَّةٌ وَلِلْجَدِّ ثَمَانِيَةٌ وَلِلْأُخْتِ أَرْبَعَةٌ وَالْإِخْوَةُ وَالْأَخَوَاتُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ يُعَادُّونَ الْجَدَّ بِالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ، وَلَا يَصِيرُ فِي أَيْدِي الَّذِينَ لِلْأَبِ شَيْءٌ إلَّا أَنْ تَكُونَ أُخْتٌ وَاحِدَةٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ فَيُصِيبُهَا بَعْدَ الْمُقَاسَمَةِ أَكْثَرُ مِنْ النِّصْفِ فَزِدْ مَا زَادَ عَلَى الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ بِمَنْزِلَةِ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ مَعَ الْجَدِّ إذَا لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ الْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ، وَأَكْثَرُ مَا تَعُولُ بِهِ الْفَرِيضَةُ ثُلُثَاهَا.

 

 

Al-‘aul berlaku padanya sebagaimana berlaku pada lainnya, dan tidak ada ‘aul bagi salah satu dari saudara laki-laki atau perempuan bersama kakek kecuali dalam kasus Al-Akdariyah, yaitu ketika ahli waris terdiri dari suami, ibu, dan saudara perempuan seayah-seibu atau seayah bersama kakek. Suami mendapat separuh, ibu mendapat sepertiga, kakek mendapat seperenam, dan saudara perempuan mendapat separuh yang kemudian di-‘aul-kan. Kemudian kakek menggabungkan seperenamnya dengan separuh bagian saudara perempuan, lalu mereka berdua membaginya dengan ketentuan bagian laki-laki sama dengan dua bagian perempuan. Asal masalahnya dari enam, lalu menjadi tujuh karena ‘aul. Pembagian yang benar adalah dari dua puluh tujuh: suami mendapat sembilan, ibu mendapat enam, kakek mendapat delapan, dan saudara perempuan mendapat empat. Saudara laki-laki dan perempuan seayah-seibu diperlakukan seperti saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam menghadapi kakek, dan mereka yang seayah tidak mendapatkan apa pun kecuali jika ada satu saudara perempuan seayah-seibu yang setelah pembagian mendapat lebih dari separuh, maka kelebihan itu diberikan kepada saudara laki-laki seayah. Saudara laki-laki dan perempuan seayah memiliki kedudukan seperti saudara laki-laki dan perempuan seayah-seibu bersama kakek jika tidak ada saudara laki-laki atau perempuan seayah-seibu. Batas maksimal ‘aul dalam pembagian warisan adalah dua pertiganya.

 

بَابُ مِيرَاثِ الْمُرْتَدِّ

 

Bab tentang warisan bagi orang yang murtad

 

(قَالَ) : وَمِيرَاثُ الْمُرْتَدِّ لِبَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ، وَلَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ فِي الْمُرْتَدِّ بِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ» وَاحْتَجَّ عَلَى مَنْ وَرَّثَ وَرَثَتَهُ الْمُسْلِمِينَ مَالَهُ، وَلَمْ يُوَرِّثْهُ مِنْهُمْ فَقَالَ هَلْ رَأَيْت أَحَدًا لَا يَرِثُ وَلَدَهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ قَاتِلًا، وَيَرِثُهُ وَلَدُهُ، وَإِنَّمَا أَثْبَتَ اللَّهُ الْمَوَارِيثَ لِلْأَبْنَاءِ مِنْ الْآبَاءِ حَيْثُ أُتِيَتْ الْمَوَارِيثُ لِلْآبَاءِ مِنْ الْأَبْنَاءِ.

 

 

Beliau berkata: “Harta warisan orang murtad menjadi milik baitul mal kaum muslimin, dan seorang muslim tidak mewarisi orang kafir.” Imam Syafi’i berargumen tentang orang murtad dengan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – : “Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi muslim.” Dia juga berargumen terhadap orang yang memberikan warisan kepada ahli warisnya yang muslim namun tidak mewariskan kepada mereka dengan berkata: “Pernahkah kamu melihat seseorang yang tidak mewarisi anaknya kecuali jika si anak adalah pembunuh, sedangkan anaknya mewarisinya? Sesungguhnya Allah menetapkan warisan untuk anak-anak dari bapak-bapak mereka sebagaimana warisan diberikan kepada bapak-bapak dari anak-anak mereka.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) : قَدْ زَعَمَ الشَّافِعِيُّ أَنَّ نِصْفَ الْعَبْدِ إذَا كَانَ حُرًّا يَرِثُهُ أَبُوهُ إذَا مَاتَ، وَلَا يَرِثُ هَذَا النِّصْفَ مِنْ أَبِيهِ إذَا مَاتَ أَبُوهُ فَلَمْ يُوَرِّثْهُ مِنْ حَيْثُ وَرِثَ مِنْهُ، وَالْقِيَاسُ عَلَى قَوْلِهِ أَنَّهُ يَرِثُ مِنْ حَيْثُ يُورَثُ.

 

 

(Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata): “Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika separuh budak merdeka, ayahnya dapat mewarisinya ketika ia meninggal, namun separuh ini tidak mewarisi dari ayahnya jika ayahnya meninggal, sehingga ia tidak mewarisi dari bagian yang ia warisi. Qiyas berdasarkan pendapatnya adalah bahwa ia mewarisi dari bagian yang diwariskan.”

 

 

(وَقَالَ) : فِي الْمَرْأَةِ إذَا طَلَّقَهَا زَوْجُهَا ثَلَاثًا مَرِيضًا فِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا تَرِثُهُ وَالْآخَرُ لَا تَرِثُهُ وَاَلَّذِي يَلْزَمُهُ أَنْ لَا يُورِثَهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يَرِثُهَا بِإِجْمَاعٍ لِانْقِطَاعِ النِّكَاحِ الَّذِي بِهِ يَتَوَارَثَانِ فَكَذَلِكَ لَا تَرِثُهُ كَمَا لَا يَرِثُهَا؛ لِأَنَّ النَّاسَ عِنْدَهُ يَرِثُونَ مِنْ حَيْثُ يُورَثُونَ، وَلَا يَرِثُونَ مِنْ حَيْثُ لَا يُورَثُونَ.

 

 

(Dan dia berkata): “Tentang seorang wanita yang diceraikan suaminya dengan talak tiga saat dia sakit, ada dua pendapat. Salah satunya menyatakan bahwa dia berhak mewarisinya, sedangkan yang lain menyatakan tidak. Pendapat yang lebih tepat adalah bahwa suami tidak mewariskannya, karena dengan kesepakatan ulama, suami tidak mewarisi istri akibat terputusnya pernikahan yang menjadi sebab saling mewarisi. Demikian pula istri tidak mewarisi suami, sebagaimana suami tidak mewarisinya. Sebab, orang-orang pada dasarnya mewarisi dari jalur yang membuat mereka bisa mewarisi, dan tidak mewarisi dari jalur yang tidak membuat mereka bisa mewarisi.”

 

بَابُ مِيرَاثِ الْمُشْتَرَكَةِ

Bab tentang warisan bersama

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قُلْنَا فِي الْمُشْتَرَكَةِ زَوْجٌ وَأُمٌّ وَأَخَوَيْنِ لِأُمٍّ وَأَخَوَيْنِ لِأَبٍ وَأُمٍّ لِلزَّوْجِ النِّصْفُ وَلِلْأُمِّ السُّدُسُ وَلِلْأَخَوَيْنِ لِلْأُمِّ الثُّلُثُ، وَيُشْرِكُهُمْ بَنُو الْأَبِ وَالْأُمِّ؛ لِأَنَّ الْأَبَ لَمَّا سَقَطَ سَقَطَ حُكْمُهُ وَصَارَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ وَصَارُوا بَنِي أُمٍّ مَعًا. (قَالَ) : وَقَالَ لِي مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ هَلْ وَجَدْت الرَّجُلَ مُسْتَعْمَلًا فِي حَالٍ ثُمَّ تَأْتِي حَالَةٌ أُخْرَى فَلَا يَكُونُ مُسْتَعْمَلًا؟ .

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – kami berpendapat dalam kasus harta warisan bersama yang melibatkan suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu, dua saudara laki-laki seayah dan seibu: suami mendapat setengah, ibu mendapat seperenam, dua saudara laki-laki seibu mendapat sepertiga, dan mereka (saudara seayah-seibu) bergabung dengan saudara seibu karena ketika ayah gugur maka gugur pula hukumnya, seolah-olah tidak pernah ada, sehingga mereka menjadi saudara seibu bersama. (Dia berkata): Dan Muhammad bin Al-Hasan berkata kepadaku: “Pernahkah engkau menemukan seseorang yang berlaku dalam suatu keadaan, lalu datang keadaan lain sehingga ia tidak berlaku lagi?”

 

(قُلْت) : نَعَمْ مَا قُلْنَا نَحْنُ وَأَنْتَ وَخَالَفْنَا فِيهِ صَاحِبَك مِنْ أَنَّ الزَّوْجَ يَنْكِحُ الْمَرْأَةَ بَعْدَ ثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا فَتَحِلُّ لِلزَّوْجِ قَبْلَهُ، وَيَكُونُ مُبْتَدِئًا لِنِكَاحِهَا وَتَكُونُ عِنْدَهُ عَلَى ثَلَاثٍ وَلَوْ نَكَحَهَا بَعْدَ طَلْقَةٍ لَمْ تَنْهَدِمْ كَمَا تَنْهَدِمُ الثَّلَاثُ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا كَانَ لَهُ مَعْنًى فِي إحْلَالِ الْمَرْأَةِ هَدَمَ الطَّلَاقِ الَّذِي تَقَدَّمَهُ إذَا كَانَتْ لَا تَحِلُّ إلَّا بِهِ، وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ لَهُ مَعْنًى فِي الْوَاحِدَةِ وَالثِّنْتَيْنِ وَكَانَتْ تَحِلُّ لِزَوْجِهَا بِنِكَاحٍ قَبْلَ زَوْجٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَعْنًى فَنَسْتَعْمِلُهُ.

 

 

Aku berkata: “Ya, kami dan engkau telah menyatakan, dan kami berbeda pendapat dengan sahabatmu, bahwa suami boleh menikahi istrinya setelah tiga talak, kemudian mentalaknya lagi sehingga dia halal untuk suami sebelumnya. Dia dianggap memulai pernikahan baru dengannya, dan talaknya dianggap tiga. Seandainya dia menikahinya setelah satu talak, talak itu tidak runtuh seperti halnya tiga talak. Karena ketika ada makna dalam menghalalkan sang istri, maka talak sebelumnya runtuh jika istri tidak halal kecuali dengan itu. Sedangkan dalam talak satu atau dua, karena tidak ada makna di dalamnya dan istri bisa halal untuk suaminya dengan pernikahan sebelum suami lain, maka hal itu tidak bermakna, sehingga kami menerapkannya.”

 

(قَالَ) : إنَّا لَنَقُولُ بِهَذَا فَهَلْ تَجِدُ مِثْلَهُ فِي الْفَرَائِضِ؟

 

 

Beliau berkata: “Sungguh, kami mengatakan hal ini. Apakah kamu menemukan yang serupa dalam hukum waris?”

 

(قُلْت) : نَعَمْ الْأَبُ يَمُوتُ ابْنُهُ وَلِلِابْنِ إخْوَةٌ فَلَا يَرِثُونَ مَعَ الْأَبِ فَإِنْ كَانَ الْأَبُ قَاتِلًا وَرِثُوا، وَلَمْ يَرِثْ الْأَبُ مِنْ قِبَلِ أَنَّ حُكْمَ الْأَبِ قَدْ زَالَ، وَمَنْ زَالَ حُكْمُهُ فَكَمَنْ لَمْ يَكُنْ.

 

 

Aku berkata: “Ya, jika seorang ayah meninggal dan anaknya memiliki saudara, mereka tidak mewarisi bersama ayah. Namun jika ayah tersebut adalah pembunuh, maka mereka (saudara-saudara) mewarisi sedangkan ayah tidak mewarisi, karena status ayah telah gugur. Barangsiapa yang statusnya gugur, maka ia dianggap tidak pernah ada.”

 

بَابُ مِيرَاثِ وَلَدِ الْمُلَاعَنَةِ

Bab tentang warisan anak hasil li’an

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقُلْنَا إذَا مَاتَ وَلَدُ الْمُلَاعَنَةِ وَوَلَدُ الزِّنَا وَرِثَتْ أُمُّهُ حَقَّهَا، وَإِخْوَتُهُ لِأُمِّهِ حُقُوقَهُمْ وَنَظَرْنَا مَا بَقِيَ فَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ مَوْلَاةً، وَلَاءَ عَتَاقَةٍ كَانَ مَا بَقِيَ مِيرَاثًا لِمَوَالِي أُمِّهِ، وَإِنْ كَانَتْ عَرَبِيَّةً أَوْ لَا وَلَاءَ لَهَا كَانَ مَا بَقِيَ لِجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ فِيهَا بِقَوْلِنَا إلَّا فِي خَصْلَةٍ إذَا كَانَتْ عَرَبِيَّةً أَوْ لَا وَلَاءَ لَهَا فَعَصَبَتُهُ عَصَبَةُ أُمِّهِ وَاحْتَجُّوا بِرِوَايَةٍ لَا تَثْبُتُ وَقَالُوا كَيْفَ لَمْ تَجْعَلُوا عَصَبَتَهُ عَصَبَةَ أُمِّهِ كَمَا جَعَلْتُمْ مَوَالِيَهُ مَوَالِيَ أُمِّهِ؟ .

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan kami berpendapat apabila anak hasil li’an atau anak zina meninggal, ibunya mewarisi haknya, saudara-saudara seibunya mendapatkan hak mereka, lalu kami melihat sisa harta. Jika ibunya adalah mantan budak yang telah merdeka, sisa harta itu menjadi warisan untuk maula (tuan yang memerdekakan) ibunya. Namun, jika ibunya adalah orang Arab atau tidak memiliki maula, sisa harta itu menjadi milik jamaah kaum muslimin. Sebagian orang sependapat dengan kami kecuali dalam satu hal: jika ibunya orang Arab atau tidak memiliki maula, maka ashabah (ahli waris pengganti) adalah ashabah ibunya. Mereka berargumen dengan sebuah riwayat yang tidak kuat dan berkata, “Mengapa kalian tidak menjadikan ashabahnya sebagai ashabah ibunya, sebagaimana kalian menjadikan maulanya sebagai maula ibunya?”

 

(قُلْنَا) : بِالْأَمْرِ الَّذِي لَمْ نَخْتَلِفْ فِيهِ نَحْنُ، وَلَا أَنْتُمْ ثُمَّ تَرَكْتُمْ فِيهِ قَوْلَكُمْ أَلَيْسَ الْمَوْلَاةِ الْمُعْتَقَةُ تَلِدُ مِمَّنْ هُوَ مَمْلُوكٌ؟ أَلَيْسَ وَلَدُهَا تَبَعًا لِوَلَائِهَا كَأَنَّهُمْ أَعْتَقُوهُمْ، وَيَعْقِلُ عَنْهُمْ مُوَالَى أُمِّهِمْ، وَيَكُونُونَ أَوْلِيَاءَ فِي التَّزْوِيجِ لَهُمْ؟ قَالُوا نَعَمْ قُلْنَا فَإِنْ كَانَتْ عَرَبِيَّةً أَتَكُونُ عَصَبَتُهَا عَصَبَةَ وَلَدِهَا يَعْقِلُونَ عَنْهُمْ أَوْ يُزَوِّجُونَ الْبَنَاتِ مِنْهُمْ؟ . قَالُوا: لَا. قُلْنَا: فَإِذَا كَانَ مُوَالِي الْأُمِّ يَقُومُونَ مَقَامَ الْعَصَبَةِ فِي وَلَدِ مَوَالِيهِمْ وَكَانَ الْأَخْوَالُ لَا يَقُومُونَ ذَلِكَ الْمَقَامَ فِي بَنِي أُخْتِهِمْ فَكَيْفَ أَنْكَرْت مَا قُلْنَا، وَالْأَصْلُ الَّذِي ذَهَبْنَا إلَيْهِ وَاحِدٌ؟ .

 

 

(Kami berkata): “Dalam perkara yang tidak kami perselisihkan dan tidak pula kalian perselisihkan, kemudian kalian meninggalkan pendapat kalian. Bukankah budak wanita yang dimerdekakan melahirkan dari seorang yang masih budak? Bukankah anaknya mengikuti kewaliannya seakan-akan mereka memerdekakannya, dan walinya dari pihak ibu mereka menanggung diyat untuk mereka, serta menjadi wali dalam pernikahan mereka?” Mereka menjawab, “Ya.” Kami berkata, “Jika dia seorang Arabiyah, apakah ‘ashabahnya menjadi ‘ashabah anaknya? Apakah mereka menanggung diyat untuk mereka atau menikahkan anak-anak perempuan dari mereka?” Mereka menjawab, “Tidak.” Kami berkata, “Jika wali dari pihak ibu dapat menggantikan kedudukan ‘ashabah pada anak-anak yang mereka merdekakan, sedangkan paman dari pihak ibu tidak dapat menggantikan kedudukan tersebut pada anak-anak saudara perempuan mereka, maka bagaimana kalian mengingkari apa yang kami katakan, padahal prinsip yang kami pegang adalah satu?”

 

بَابُ مِيرَاثِ الْمَجُوسِيِّ

Bab tentang warisan orang Majusi

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا مَاتَ الْمَجُوسِيُّ وَبِنْتُهُ امْرَأَتُهُ أَوْ أُخْتُهُ أُمُّهُ نَظَرْنَا إلَى أَعْظَمِ السَّبَبَيْنِ فَوَرَّثْنَاهَا بِهِ وَأَلْقَيْنَا الْآخَرَ وَأَعْظَمُهُمَا أَثْبَتُهُمَا بِكُلِّ حَالٍ فَإِذَا كَانَتْ أُمٌّ أُخْتًا وَرَّثْنَاهَا بِأَنَّهَا أُمٌّ وَذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْأُمَّ تَثْبُتُ فِي كُلِّ حَالٍ وَالْأُخْتُ قَدْ تَزُولُ وَهَكَذَا جَمِيعُ فَرَائِضِهِمْ عَلَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seorang Majusi meninggal dan putrinya adalah istrinya atau saudara perempuannya adalah ibunya, kita melihat kepada sebab yang lebih kuat, lalu kita memberinya warisan berdasarkan itu dan mengabaikan yang lain. Yang lebih kuat adalah yang lebih pasti dalam segala hal. Jika seorang ibu adalah juga saudara perempuan, kita memberinya warisan karena statusnya sebagai ibu, karena status ibu tetap dalam segala keadaan sedangkan status saudara perempuan bisa hilang. Demikianlah seluruh pembagian warisan mereka berdasarkan masalah ini.”

(وَقَالَ) : بَعْضُ النَّاسِ أُوَرِّثُهَا مِنْ الْوَجْهَيْنِ مَعًا قُلْنَا فَإِذَا كَانَ مَعَهَا أُخْتٌ وَهِيَ أُمٌّ؟ قَالَ أَحْجُبُهَا مِنْ الثُّلُثِ بِأَنَّ مَعَهَا أُخْتَيْنِ وَأُوَرِّثُهَا مِنْ وَجْهٍ آخَرَ بِأَنَّهَا أُخْتٌ.

 

Dan Beliau berkata: “Sebagian orang mengatakan, ‘Aku akan memberinya warisan dari dua sisi sekaligus.’ Kami bertanya, ‘Bagaimana jika bersamanya ada seorang saudara perempuan yang juga seorang ibu?’ Dia menjawab, ‘Aku akan menghalanginya dari sepertiga karena bersamanya ada dua saudara perempuan, dan aku akan memberinya warisan dari sisi lain karena dia adalah saudara perempuan.'”

 

(قُلْنَا) : أَوْ لَيْسَ إنَّمَا حَجَبَهَا اللَّهُ – تَعَالَى – بِغَيْرِهَا لَا بِنَفْسِهَا؟

 

 

(Kami berkata): “Atau bukankah Allah – Yang Maha Tinggi – menutupinya dengan selainnya, bukan dengan dirinya sendiri?”

 

(قَالَ) : بَلَى قُلْنَا وَغَيْرُهَا خِلَافُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْنَا فَإِذَا نَقَصْتهَا بِنَفْسِهَا فَهَذَا خِلَافُ مَا نَقَصَهَا اللَّهُ – تَعَالَى – بِهِ أَوَرَأَيْتَ مَا إذَا كَانَتْ أُمًّا عَلَى الْكَمَالِ كَيْفَ يَجُوزُ أَنْ تُعْطِيَهَا بِبَعْضِهَا دُونَ الْكَمَالِ؟ تُعْطِيهَا أُمًّا كَامِلَةً وَأُخْتًا كَامِلَةً وَهُمَا بَدَنَانِ وَهَذَا بَدَنٌ وَاحِدٌ؟ . قَالَ: فَقَدْ عَطَّلْتَ أَحَدَ الْحَقَّيْنِ. قُلْنَا: لَمَّا لَمْ يَكُنْ سَبِيلٌ إلَى اسْتِعْمَالِهِمَا مَعًا إلَّا بِخِلَافِ الْكِتَابِ وَالْمَعْقُولِ، لَمْ يَجُزْ إلَّا تَعْطِيلُ أَصْغَرِهِمَا لِأَكْبَرِهِمَا.

 

 

Beliau berkata: “Benar, kami katakan dan selainnya bertentangan dengannya?” Dia menjawab: “Ya.” Kami berkata: “Jika engkau mengurangi bagiannya sendiri, maka ini bertentangan dengan apa yang Allah – Ta’ala – kurangi dengannya. Atau bagaimana pendapatmu jika ia adalah ibu yang sempurna, bagaimana mungkin engkau memberinya sebagian tanpa kesempurnaan? Engkau memberinya sebagai ibu yang sempurna dan saudara perempuan yang sempurna, padahal keduanya dua badan, sedangkan ini satu badan?” Beliau berkata: “Engkau telah mengabaikan salah satu dari dua hak.” Kami berkata: “Karena tidak ada cara untuk menerapkan keduanya bersama-sama kecuali dengan menyalahi Kitab dan akal, maka tidak boleh kecuali mengabaikan yang lebih kecil demi yang lebih besar.”

 

بَابُ ذَوِي الْأَرْحَامِ

 

Bab tentang kerabat

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: احْتِجَاجُ الشَّافِعِيِّ فِيمَنْ يُؤَوِّلُ الْآيَةَ فِي ذَوِي الْأَرْحَامِ قَالَ لَهُمْ الشَّافِعِيُّ لَوْ كَانَ تَأْوِيلُهَا كَمَا زَعَمْتُمْ كُنْتُمْ قَدْ خَالَفْتُمُوهَا.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Argumentasi Asy-Syafi’i mengenai orang yang menafsirkan ayat tentang dzawil arham. Asy-Syafi’i berkata kepada mereka: “Seandainya penafsirannya seperti yang kalian klaim, niscaya kalian telah menyelisihinya.”

 

قَالُوا فَمَا مَعْنَاهَا؟ . قُلْنَا: تَوَارَثَ النَّاسُ بِالْحِلْفِ وَالنُّصْرَةِ ثُمَّ تَوَارَثُوا بِالْإِسْلَامِ وَالْهِجْرَةِ ثُمَّ نَسَخَ اللَّهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – ذَلِكَ بِقَوْلِهِ {وَأُولُو الأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ} الأحزاب: 6 عَلَى مَا فَرَضَ اللَّهُ لَا مُطْلَقًا أَلَا تَرَى أَنَّ الزَّوْجَ يَأْخُذُ أَكْثَرَ مِمَّا يَأْخُذُ ذَوُو الْأَرْحَامِ، وَلَا رَحِمَ لَهُ أَوْ لَا تَرَى أَنَّكُمْ تُعْطُونِ ابْنَ الْعَمِّ الْمَالَ كُلَّهُ دُونَ الْخَالِ وَأَعْطَيْتُمْ مَوَالِيَهُ جَمِيعَ الْمَالِ دُونَ الْأَخْوَالِ فَتَرَكْتُمْ الْأَرْحَامَ وَأَعْطَيْتُمْ مَنْ لَا رَحِمَ لَهُ؟ .

 

 

Mereka berkata, “Lalu apa maknanya?” Kami menjawab, “Manusia saling mewarisi karena perjanjian dan pertolongan, kemudian mereka saling mewarisi karena Islam dan hijrah. Lalu Allah – Maha Suci dan Maha Tinggi – menghapus hal itu dengan firman-Nya {Dan orang-orang yang memiliki hubungan kerabat, sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya menurut Kitab Allah} (QS. Al-Ahzab: 6) berdasarkan ketetapan Allah, bukan secara mutlak. Tidakkah kamu melihat bahwa suami mengambil bagian lebih banyak daripada kerabat, padahal ia tidak memiliki hubungan kekerabatan? Atau tidakkah kamu melihat bahwa kamu memberikan seluruh harta kepada anak paman (sepupu) dan tidak kepada paman (dari pihak ibu), serta kamu memberikan seluruh harta kepada maula (budak yang dimerdekakan) dan tidak kepada paman (dari pihak ibu)? Maka kamu meninggalkan hubungan kekerabatan dan memberikan kepada orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan?”

 

بَابُ الْجَدِّ يُقَاسِمُ الْإِخْوَةَ

 

Bab tentang kakek yang membagi warisan bersama saudara-saudara

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika kakek mewarisi bersama saudara-saudara dari pihak ayah dan ibu atau hanya dari pihak ayah, maka ia membagi warisan bersama mereka selama pembagian tersebut lebih menguntungkannya daripada sepertiga. Namun jika sepertiga lebih baik baginya daripada pembagian, maka ia diberi sepertiga. Ini adalah pendapat Zaid, dan darinyalah kami menerima sebagian besar hukum waris. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali, dan Ibnu Mas’ud – semoga Allah meridhai mereka – bahwa mereka berpendapat seperti pendapat Zaid bin Tsabit, dan ini adalah pendapat mayoritas ahli fikih dari berbagai negeri.

 

Jika ada yang berkata: “Kami berpendapat bahwa kakek adalah ayah dalam beberapa sifat. Di antaranya, Allah – Yang Maha Suci dan Maha Tinggi – berfirman: ‘Millata abīkum Ibrāhīm’ (agama ayahmu Ibrahim) QS. Al-Hajj: 78, di mana Allah menyebut kakek dalam nasab sebagai ayah. Kaum Muslimin juga tidak mengurangi haknya dari seperenam, dan ini adalah hukum mereka untuk ayah. Mereka juga menghalangi saudara seibu dengan keberadaan kakek, sebagaimana hukum mereka terhadap ayah. Lalu, bagaimana bisa kalian membedakan antara hukum kakek dan hukum ayah dalam hal lain?”

 

Kami menjawab: “Mereka tidak menyamakan hukum keduanya dalam hal ini sebagai hasil qiyas kakek terhadap ayah. Sebab, jika kakek mewarisi hanya karena nama keayahan, maka ia akan mewarisi meskipun di bawahnya ada ayah, atau jika ia seorang pembunuh, budak, atau kafir—padahal keayahan tetap melekat padanya meski ia tidak mewarisi. Kami mewariskan kakek berdasarkan riwayat dalam beberapa kasus, bukan karena nama keayahan. Kami juga tidak mengurangi hak nenek dari seperenam. Apakah menurutmu itu qiyas terhadap ayah? Apakah mereka menghalangi saudara seibu dengan keberadaan kakek, padahal kalian menghalangi saudara seibu dengan cucu perempuan yang lebih rendah? Apakah kalian memberinya hukum seperti ayah? Ini menunjukkan bahwa hukum waris terkumpul dalam sebagian hal, bukan semuanya.”

 

Kami juga berkata: “Bukankah kakek mengklaim hubungan kekerabatan melalui ayah si mayit dengan mengatakan, ‘Aku adalah ayah dari ayah mayit,’ sedangkan saudara mengatakan, ‘Aku adalah anak dari ayah mayit’? Jadi, keduanya mengklaim hubungan kekerabatan melalui ayah mayit.”

 

Kami bertanya: “Bagaimana pendapatmu jika ayah mayit masih hidup saat itu, siapa yang lebih berhak atas warisannya?” Mereka menjawab: “Saudaranya mendapat lima perenam, dan kakeknya mendapat seperenam.” Kami berkata: “Jika saudara lebih berhak atas bagian warisan yang lebih besar dibandingkan orang yang sama-sama mengklaim hubungan kekerabatan melalui ayah mayit, bagaimana mungkin yang lebih dekat dengan ayah (saudara) justru terhalang oleh yang lebih jauh (kakek)? Seandainya bukan karena riwayat, qiyas yang benar adalah memberi saudara lima bagian dan kakek satu bagian, sebagaimana kami mewariskan keduanya ketika anak kakek dan ayah saudara meninggal.”

كِتَابُ الْوَصَايَا

 

مِمَّا وَضَعَ الشَّافِعِيُّ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِيمَا يُرْوَى عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ قَوْلِهِ «مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ» يَحْتَمِلُ مَا الْحَزْمُ لِامْرِئٍ مُسْلِمٍ «يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ» ، وَيَحْتَمِلُ مَا الْمَعْرُوفُ فِي الْأَخْلَاقِ إلَّا هَذَا لَا مِنْ جِهَةِ الْفَرْضِ.

 

 

Diantara apa yang ditulis oleh Asy-Syafi’i dengan tangannya sendiri -aku tidak mengetahui apakah hal ini didengar darinya- (Asy-Syafi’i berkata) -semoga Allah merahmatinya- mengenai apa yang diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dari sabdanya: “Tidak pantas bagi seorang muslim” bisa bermakna apa yang menjadi keharusan bagi seorang muslim “untuk melewati dua malam kecuali wasiatnya telah tertulis di sisinya”, dan bisa juga bermakna apa yang dikenal dalam akhlak kecuali ini bukan dari sisi kewajiban.

 

(قَالَ) : فَإِذَا أَوْصَى الرَّجُلُ بِمِثْلِ نَصِيبِ ابْنِهِ، وَلَا ابْنَ لَهُ غَيْرَهُ فَلَهُ النِّصْفُ فَإِنْ لَمْ يُجِزْ الِابْنُ فَلَهُ الثُّلُثُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang berwasiat sebesar bagian anaknya, dan dia tidak memiliki anak selainnya, maka baginya separuh. Jika anak itu tidak mengizinkan, maka baginya sepertiga.”

 

(وَلَوْ قَالَ) : بِمِثْلِ نَصِيبِ أَحَدِ وَلَدِي فَلَهُ مَعَ الِاثْنَيْنِ الثُّلُثُ، وَمَعَ الثَّلَاثَةِ الرُّبُعُ حَتَّى يَكُونَ كَأَحَدِهِمْ وَلَوْ كَانَ وَلَدُهُ رِجَالًا وَنِسَاءً أَعْطَيْته نَصِيبَ امْرَأَةٍ وَلَوْ كَانَتْ لَهُ ابْنَةٌ وَابْنَةُ ابْنٍ أَعْطَيْته سُدُسًا.

 

 

(Dan sekiranya dia berkata): “Seperti bagian salah seorang anakku,” maka dia mendapat sepertiga bersama dua anak, dan seperempat bersama tiga anak, hingga seperti bagian salah seorang dari mereka. Jika anak-anaknya laki-laki dan perempuan, dia diberi bagian seorang perempuan. Jika dia memiliki seorang anak perempuan dan anak perempuan dari anak laki-laki, dia diberi seperenam.

(وَلَوْ قَالَ) : مِثْلَ نَصِيبِ أَحَدِ وَرَثَتِي: أَعْطَيْتُهُ مِثْلَ أَقَلِّهِمْ نَصِيبًا (وَلَوْ قَالَ) : ضِعْفَ مَا يُصِيبُ أَحَدُ وَلَدِي أَعْطَيْتُهُ مِثْلَهُ مَرَّتَيْنِ.

 

(Dan jika dia berkata): “Seperti bagian salah satu ahli warisku,” aku memberinya seperti bagian yang paling sedikit di antara mereka. (Dan jika dia berkata): “Dua kali lipat dari apa yang didapat oleh salah satu anakku,” aku memberinya seperti itu dua kali.

(وَإِنْ قَالَ) : ضِعْفَيْنِ فَإِنْ كَانَ نَصِيبُهُ مِائَةً أَعْطَيْته ثَلَاثَمِائَةٍ فَكُنْت قَدْ أَضْعَفْت الْمِائَةَ الَّتِي تُصِيبُهُ بِمَنْزِلَةِ مَرَّةٍ بَعْدَ مَرَّةٍ.

 

Dan jika ia berkata: “Dua kali lipat”, maka jika bagiannya seratus, engkau memberinya tiga ratus, sehingga engkau telah melipatgandakan seratus yang menjadi haknya seperti berulang kali.

 

(وَلَوْ قَالَ) : لِفُلَانٍ نَصِيبٌ أَوْ حَظٌّ أَوْ قَلِيلٌ أَوْ كَثِيرٌ مِنْ مَالِي مَا عَرَفْت لِكَثِيرٍ حَدًّا وَوَجَدْت رُبُعَ دِينَارٍ قَلِيلًا تُقْطَعُ فِيهِ الْيَدُ، وَمِائَتَيْ دِرْهَمٍ كَثِيرًا فِيهَا زَكَاةٌ وَكُلُّ مَا وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمٌ قَلِيلٍ وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمٌ كَثِيرٍ، وَقِيلَ لِلْوَرَثَةِ أَعْطُوهُ مَا شِئْتُمْ مِمَّا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ مَا قَالَ الْمَيِّتُ.

 

 

(Dan seandainya ia berkata): “Untuk si fulan bagian atau jatah atau sedikit atau banyak dari hartaku” – aku tidak mengetahui batasan untuk “banyak” dan aku dapati seperempat dinar dianggap sedikit yang bisa menyebabkan potong tangan, sedangkan dua ratus dirham dianggap banyak yang wajib zakat. Segala sesuatu yang bisa disebut “sedikit” juga bisa disebut “banyak”. Dan dikatakan kepada ahli waris: “Berikanlah kepadanya sesuai kehendak kalian dari harta yang termasuk dalam kategori apa yang disebutkan oleh mayit.”

 

 

(وَلَوْ) : أَوْصَى لِرَجُلٍ بِثُلُثِ مَالِهِ وَلِآخَرَ بِنِصْفِهِ وَلِآخَرَ بِرُبُعِهِ فَلَمْ تُجِزْ الْوَرَثَةُ قَسْمَ الثُّلُثِ عَلَى الْحِصَصِ، وَإِنْ أَجَازُوا قُسِمَ الْمَالُ عَلَى ثَلَاثَةَ عَشَرَ جُزْءًا لِصَاحِبِ النِّصْفِ سِتَّةٌ وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ أَرْبَعَةٌ وَلِصَاحِبِ الرُّبُعِ ثَلَاثَةٌ حَتَّى يَكُونُوا سَوَاءً فِي الْعَوْلِ. وَلَوْ أَوْصَى بِغُلَامِهِ لِرَجُلٍ وَهُوَ يُسَاوِي خَمْسَمِائَةٍ وَبِدَارِهِ لِآخَرَ وَهِيَ تُسَاوِي أَلْفًا وَبِخَمْسِمِائَةٍ لِآخَرَ وَالثُّلُثُ أَلْفٌ دَخَلَ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَوْلُ نِصْفٍ وَكَانَ لِلَّذِي لَهُ الْغُلَامُ نِصْفُهُ وَلِلَّذِي لَهُ الدَّارُ نِصْفُهَا وَلِلَّذِي لَهُ خَمْسُمِائَةٍ نِصْفُهَا.

 

 

(وَلَوْ) : Jika seseorang mewasiatkan sepertiga hartanya untuk seorang lelaki, setengah untuk yang lain, dan seperempat untuk yang lain lagi, namun ahli waris tidak menyetujui pembagian sepertiga berdasarkan bagian-bagian tersebut, dan jika mereka menyetujui, harta itu dibagi menjadi tiga belas bagian: enam untuk pemilik setengah, empat untuk pemilik sepertiga, dan tiga untuk pemilik seperempat, sehingga mereka sama dalam pengurangan (aul). Dan jika dia mewasiatkan budaknya yang bernilai lima ratus untuk seorang lelaki, rumahnya yang bernilai seribu untuk yang lain, dan lima ratus untuk yang lain lagi, sementara sepertiga (harta) adalah seribu, maka setiap dari mereka terkena pengurangan setengah. Maka, bagi yang mendapat budak setengah nilainya, yang mendapat rumah setengah nilainya, dan yang mendapat lima ratus setengah nilainya.

 

(وَلَوْ) : أَوْصَى لِوَارِثٍ وَأَجْنَبِيٍّ فَلَمْ يُجِيزُوا فَلِلْأَجْنَبِيِّ النِّصْفُ، وَيَسْقُطُ الْوَارِثُ.

 

(Dan jika) seseorang berwasiat untuk ahli waris dan orang luar, lalu mereka tidak menyetujuinya, maka orang luar mendapat separuh, dan ahli waris gugur.

 

 

وَتَجُوزُ الْوَصِيَّةُ لِمَا فِي الْبَطْنِ وَبِمَا فِي الْبَطْنِ إذَا كَانَ يَخْرُجُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ خَرَجُوا عَدَدًا ذُكْرَانًا، وَإِنَاثًا فَالْوَصِيَّةُ بَيْنَهُمْ سَوَاءٌ، وَهُمْ لِمَنْ أَوْصَى بِهِمْ لَهُ.

 

 

Wasiat diperbolehkan untuk janin dalam kandungan dan dengan harta yang ada di dalam kandungan jika janin tersebut akan lahir dalam waktu kurang dari enam bulan. Jika mereka lahir dalam jumlah banyak, baik laki-laki maupun perempuan, maka wasiat dibagi secara merata di antara mereka, dan mereka menjadi milik orang yang diberi wasiat untuk mereka.

 

 

(وَلَوْ) أَوْصَى بِخِدْمَةِ عَبْدِهِ أَوْ بِغَلَّةِ دَارِهِ أَوْ بِثَمَرِ بُسْتَانِهِ وَالثُّلُثُ يَحْتَمِلُهُ جَازَ ذَلِكَ. وَلَوْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ الثُّلُثِ فَأَجَازَ الْوَرَثَةُ فِي حَيَاتِهِ لَمْ يَجُزْ ذَلِكَ إلَّا أَنْ يُجِيزُوهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.

 

 

(Walaupun) dia mewasiatkan pelayanan hambanya, hasil dari rumahnya, atau buah dari kebunnya, dan sepertiga harta mencukupi untuk itu, maka hal itu diperbolehkan. Namun jika wasiat itu lebih dari sepertiga harta dan para ahli waris menyetujuinya selama dia masih hidup, hal itu tidak diperbolehkan kecuali mereka menyetujuinya setelah kematiannya.

 

(وَلَوْ قَالَ) : أَعْطُوهُ رَأْسًا مِنْ رَقِيقِي أُعْطِيَ مَا شَاءَ الْوَارِثُ مَعِيبًا كَانَ أَوْ غَيْرَ مَعِيبٍ وَلَوْ هَلَكَتْ إلَّا رَأْسًا كَانَ لَهُ إذَا حَمَلَهُ الثُّلُثُ.

 

(Dan jika dia berkata): “Berikan kepadanya satu orang dari budak-budakku”, maka harus diberikan sesuai keinginan ahli waris, baik yang cacat maupun tidak. Dan jika semuanya musnah kecuali satu orang, maka itu menjadi miliknya jika memenuhi sepertiga.

 

(وَلَوْ) : أَوْصَى لَهُ بِشَاةٍ مِنْ مَالِهِ قِيلَ لِلْوَرَثَةِ أَعْطُوهُ أَوْ اشْتَرُوهَا لَهُ صَغِيرَةً كَانَتْ أَوْ كَبِيرَةً ضَائِنَةٌ أَوْ مَاعِزَةً.

 

(Dan sekiranya) seseorang mewasiatkan seekor kambing dari hartanya, maka dikatakan kepada ahli waris: “Berikanlah kepadanya atau belikanlah untuknya, baik kecil maupun besar, baik domba maupun kambing biasa.”

 

(وَلَوْ قَالَ) : بَعِيرًا أَوْ ثَوْرًا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يُعْطُوهُ نَاقَةً، وَلَا بَقَرَةً وَلَوْ قَالَ عَشْرُ أَيْنُقُ أَوْ عَشْرُ بَقَرَاتٍ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يُعْطُوهُ ذَكَرًا.

 

 

(Dan jika dia berkata): “Unta atau sapi,” mereka tidak boleh memberinya seekor unta betina atau seekor sapi betina. Dan jika dia berkata “sepuluh unta betina atau sepuluh sapi betina,” mereka tidak boleh memberinya yang jantan.

(وَلَوْ قَالَ) : عَشَرَةُ أَجْمَالٍ أَوْ أَثْوَارٍ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يُعْطُوهُ أُنْثَى (فَإِنْ قَالَ) : عَشَرَةٌ مِنْ إبِلِي أَعْطُوهُ مَا شَاءُوا.

 

(Dan jika dia berkata): “Sepuluh unta atau beberapa ekor,” mereka tidak boleh memberinya yang betina. (Jika dia berkata): “Sepuluh dari untaku,” berikanlah apa yang dia kehendaki.

(فَإِنْ قَالَ) : أَعْطُوهُ دَابَّةً مِنْ مَالِي فَمِنْ الْخَيْلِ أَوْ الْبِغَالِ أَوْ الْحَمِيرِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا أَعْجَفَ أَوْ سَمِينًا.

 

(Jika dia berkata): “Berikanlah dia seekor hewan dari hartaku, baik dari kuda, bagal, atau keledai, jantan maupun betina, kecil atau besar, kurus atau gemuk.”

 

(وَلَوْ قَالَ) : أَعْطُوهُ كَلْبًا مِنْ كِلَابِي أَعْطَاهُ الْوَارِثُ أَيَّهَا شَاءَ.

 

(Dan jika dia berkata): “Berikanlah dia seekor anjing dari anjing-anjingku,” maka ahli waris boleh memberikannya yang mana saja yang dia kehendaki.

 

 

(وَلَوْ قَالَ) : أَعْطُوهُ طَبْلًا مِنْ طُبُولِي وَلَهُ طَبْلَانِ لِلْحَرْبِ وَاللَّهْوِ أَعْطَاهُ أَيَّهُمَا شَاءَ فَإِنْ لَمْ يَصْلُحْ الَّذِي لِلَّهْوِ إلَّا لِلضَّرْبِ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَنْ يُعْطُوهُ إلَّا الَّذِي لِلْحَرْبِ.

 

 

(Dan jika dia berkata): “Berikanlah dia sebuah genderang dari genderang-genderangku,” sedangkan dia memiliki dua genderang untuk perang dan hiburan, maka berikanlah yang mana saja yang dia kehendaki. Namun jika genderang untuk hiburan tidak layak kecuali untuk dipukul, maka mereka tidak boleh memberikannya kecuali genderang untuk perang.

 

(وَلَوْ قَالَ) : عُودًا مِنْ عِيدَانِي وَلَهُ عِيدَانٌ يُضْرَبُ بِهَا وَعِيدَانُ قَسِّيٍّ وَعَصَى فَالْعُودُ الَّذِي يُوَاجَهُ بِهِ الْمُتَكَلِّمُ هُوَ الَّذِي يُضْرَبُ بِهِ فَإِنْ صَلُحَ لِغَيْرِ الضَّرْبِ جَازَ بِلَا وَتَرٍ وَهَكَذَا الْمَزَامِيرُ.

 

 

(Dan seandainya dia berkata): “Sebatang kayu dari kayu-kayuku”, sedangkan dia memiliki kayu-kayu yang dipukul dengannya, kayu-kayu qaswi, dan tongkat, maka kayu yang dihadapi oleh si pembicara itulah yang dipukul dengannya. Jika kayu itu layak untuk selain memukul, maka boleh tanpa senar, dan demikian pula seruling-seruling.

 

 

(وَلَوْ قَالَ) : عُودًا مِنْ الْقَسِّيِّ لَمْ يُعْطَ قَوْسَ نَدَّافٍ، وَلَا جلاهق وَأُعْطِيَ مَعْمُولَةً أَيْ قَوْسَ نَبْلٍ أَوْ نُشَّابٍ أَوْ حُسْبَانٍ وَتُجْعَلُ وَصِيَّتُهُ فِي الرِّقَابِ فِي الْمُكَاتِبِينَ، وَلَا يُبْتَدَأُ مِنْهُ عِتْقٌ، وَلَا يَجُوزُ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثِ رِقَابٍ فَإِنْ نَقَصَ ضَمِنَ حِصَّةَ مَنْ تَرَكَ فَإِنْ لَمْ يَبْلُغْ ثَلَاثَ رِقَابٍ وَبَلَغَ أَقَلَّ رَقَبَتَيْنِ يَجِدُهُمَا ثَمَنًا، وَفَضَلَ فَضْلٌ جَعَلَ الرَّقَبَتَيْنِ أَكْثَرَ ثَمَنًا حَتَّى يُعْتِقَ رَقَبَتَيْنِ، وَلَا يُفَضِّلُ شَيْئًا لَا يَبْلُغُ قِيمَةَ رَقَبَةٍ وَيُجْزِئُ صَغِيرُهَا وَكَبِيرُهَا.

 

 

(Dan jika dia berkata): “Sebatang kayu dari qasii,” maka tidak diberikan busur yang kuat, tidak pula jalahiq, tetapi diberikan ma’mulah, yaitu busur panah, anak panah, atau hisban. Wasiatnya diarahkan untuk memerdekakan budak mukatab, tidak dimulai dengan memerdekakan budak biasa, dan tidak sah jika kurang dari tiga budak. Jika kurang, dia menanggung bagian yang ditinggalkan. Jika tidak mencapai tiga budak tetapi mencapai minimal dua budak, dia harus menemukan dua budak yang bernilai, dan jika ada kelebihan, kelebihan itu digunakan untuk memilih dua budak yang lebih mahal hingga dua budak dimerdekakan. Tidak boleh memprioritaskan sesuatu yang tidak mencapai nilai satu budak, dan sah memerdekakan budak kecil maupun besar.

 

(وَلَوْ أَوْصَى) : أَنْ يَحُجَّ عَنْهُ، وَلَمْ يَكُنْ حَجَّ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ فَإِنْ بَلَغَ ثُلُثُهُ حَجَّةً مِنْ بَلَدِهِ أَحَجَّ عَنْهُ مِنْ بَلَدِهِ، وَإِنْ لَمْ يَبْلُغْ أَحَجَّ عَنْهُ مِنْ حَيْثُ بَلَغَ.

 

(Dan jika dia berwasiat) untuk menghajikan dirinya, sedangkan dia belum menunaikan haji Islam, maka jika sepertiga hartanya cukup untuk haji dari negerinya, dihajikan dari negerinya. Jika tidak cukup, dihajikan dari tempat yang mencukupi.

(المزني) -رحمه الله- قال: “والذي يشبه قوله أن يحج عنه من رأس ماله؛ لأنه في قوله دين عليه.”

 

 

(Al-Muzani) -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Yang mirip dengan pendapatnya adalah menunaikan haji untuknya dari hartanya; karena menurut pendapatnya itu adalah hutang atasnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ أَحِجُّوا عَنِّي رَجُلًا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَأَعْطُوا مَا بَقِيَ مِنْ ثُلُثِي فُلَانًا وَأَوْصَى بِثُلُثِ مَالِهِ لِرَجُلٍ بِعَيْنِهِ فَلِلْمُوصَى لَهُ بِالثُّلُثِ نِصْفُ الثُّلُثِ وَلِلْحَاجِّ وَالْمُوصَى لَهُ بِمَا بَقِيَ مِنْ الثُّلُثِ نِصْفُ الثُّلُثِ، وَيَحُجُّ عَنْهُ رَجُلٌ بِمِائَةٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang berkata, ‘Hajikanlah seorang untukku dengan seratus dirham, dan berikan sisa dari sepertiga hartaku kepada si fulan,’ serta ia mewasiatkan sepertiga hartanya kepada seorang tertentu, maka orang yang diwasiati sepertiga itu mendapat separuh dari sepertiga, sedangkan untuk pelaksana haji dan orang yang diwasiati sisa sepertiga mendapat separuh dari sepertiga, serta seorang akan menghajikannya dengan seratus dirham.”

 

 

وَلَوْ أَوْصَى بِأَمَةٍ لِزَوْجِهَا وَهُوَ حُرٌّ فَلَمْ يَعْلَمْ حَتَّى وَضَعَتْ لَهُ بَعْدَ مَوْتِ سَيِّدِهَا أَوْلَادًا فَإِنْ قَبِلَ عَتَقُوا، وَلَمْ تَكُنْ أُمُّهُمْ أُمَّ وَلَدٍ حَتَّى تَلِدَ مِنْهُ بَعْدَ قَبُولِهِ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ فَأَكْثَرَ؛ لِأَنَّ الْوَطْءَ قَبْلَ الْقَبُولِ وَطْءُ نِكَاحٍ، وَوَطْءُ الْقَبُولِ وَطْءُ مِلْكٍ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يَقْبَلَ أَوْ يَرُدَّ قَامَ وَرَثَتُهُ مَقَامَهُ فَإِنْ قَبِلُوا فَإِنَّمَا مَلَكُوا أَمَةً لِأَبِيهِمْ، وَأَوْلَادُ أَبِيهِمْ الَّذِينَ وَلَدَتْ بَعْدَ مَوْتِ سَيِّدِهَا أَحْرَارٌ وَأُمُّهُمْ مَمْلُوكَةٌ، وَإِنْ رُدُّوا كَانُوا مَمَالِيكَ وَكَرِهْتُ مَا فَعَلُوا.

 

 

Dan jika seseorang mewasiatkan seorang budak perempuan untuk suaminya yang merdeka, namun suaminya tidak mengetahui hingga budak tersebut melahirkan anak setelah kematian tuannya, maka jika suami menerima, anak-anak itu merdeka. Namun ibu mereka tidak menjadi ummu walad hingga melahirkan darinya setelah penerimaan dalam waktu enam bulan atau lebih. Sebab hubungan intim sebelum penerimaan adalah hubungan nikah, sedangkan hubungan intim setelah penerimaan adalah hubungan kepemilikan. Jika suami meninggal sebelum menerima atau menolak, ahli warisnya menggantikan posisinya. Jika mereka menerima, maka mereka hanya memiliki budak milik ayah mereka, dan anak-anak ayah mereka yang dilahirkan setelah kematian tuannya adalah merdeka sedangkan ibu mereka tetap budak. Jika mereka menolak, maka anak-anak itu tetap budak, dan aku tidak menyukai apa yang mereka lakukan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : لَوْ مَاتَ أَبُوهُمْ قَبْلَ الْمِلْكِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَمْلِكُوا عَنْهُ مَا لَمْ يَمْلِكْ، وَمِنْ قَوْلِهِ أَهَلَّ شَوَّالٌ ثُمَّ قَبِلَ كَانَتْ الزَّكَاةُ عَلَيْهِ وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمِلْكَ مُتَقَدِّمٌ وَلَوْلَا ذَلِكَ مَا كَانَتْ عَلَيْهِ زَكَاةُ مَا لَا يَمْلِكُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Seandainya ayah mereka meninggal sebelum memiliki, tidak boleh mereka mewarisi darinya apa yang tidak dimilikinya. Dan dari ucapannya “bulan Syawal telah tiba kemudian ia menerima”, maka zakat menjadi kewajibannya. Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa kepemilikan itu didahulukan. Seandainya tidak demikian, tidaklah zakat menjadi kewajibannya atas apa yang tidak dimilikinya.

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَوْصَى بِجَارِيَةٍ، وَمَاتَ ثُمَّ وَهَبَ لِلْجَارِيَةِ مِائَةَ دِينَارٍ وَهِيَ تَسْوَى مِائَةَ دِينَارٍ وَهِيَ ثُلُثُ مَالِ الْمَيِّتِ وَوَلَدَتْ ثُمَّ قَبِلَ الْوَصِيَّةَ فَالْجَارِيَةُ لَهُ، وَلَا يَجُوزُ فِيمَا وَهَبَ لَهَا وَوَلَدُهَا إلَّا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ الْأَوَّلُ أَنْ يَكُونَ وَلَدُهَا، وَمَا وَهَبَ لَهَا مِنْ مِلْكِ الْمُوصَى لَهُ، وَإِنْ رَدَّهَا فَإِنَّمَا أَخْرَجَهَا مِنْ مِلْكِهِ إلَى الْمَيِّتِ وَلَدُ وَلَدِهَا، وَمَا وُهِبَ لَهَا؛ لِأَنَّهُ حَدَثَ فِي مِلْكِهِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ ذَلِكَ مِمَّا يَمْلِكُهُ حَادِثًا بِقَبُولِ الْوَصِيَّةِ.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya seseorang mewasiatkan seorang budak perempuan, lalu dia meninggal, kemudian dia memberikan kepada budak perempuan itu seratus dinar—sementara budak itu bernilai seratus dinar dan merupakan sepertiga harta mayit—lalu budak itu melahirkan, kemudian penerima wasiat menerima wasiat tersebut, maka budak itu menjadi miliknya. Namun, tidak diperbolehkan dalam hal apa yang dihibahkan untuk budak itu dan anaknya kecuali salah satu dari dua pendapat. Pertama, anak budak itu dan apa yang dihibahkan untuknya menjadi milik penerima wasiat. Jika dia menolaknya, maka dia hanya mengeluarkannya dari kepemilikannya kepada mayit, termasuk anak dari anak budak itu dan apa yang dihibahkan untuknya, karena itu terjadi dalam kepemilikannya. Pendapat kedua, bahwa hal tersebut termasuk yang dia miliki secara baru karena menerima wasiat.”

 

وَهَذَا قَوْلٌ مُنْكَرٌ لَا نَقُولُ بِهِ؛ لِأَنَّ الْقَبُولَ إنَّمَا هُوَ عَلَى مِلْكٍ مُتَقَدِّمٍ وَلَيْسَ بِمِلْكٍ حَادِثٍ، وَقَدْ قِيلَ تَكُونُ لَهُ الْجَارِيَةُ وَثُلُثُ وَلَدِهَا وَثُلُثُ مَا وُهِبَ لَهَا قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا قَوْلُ بَعْضِ الْكُوفِيِّينَ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ تَكُونُ لَهُ الْجَارِيَةُ وَثُلُثُ وَلَدِهَا، وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ يَكُونُ لَهُ ثُلُثَا الْجَارِيَةِ وَثُلُثَا وَلَدِهَا.

 

 

Ini adalah pendapat yang mungkar, kami tidak berpendapat demikian; karena penerimaan itu hanya berlaku atas kepemilikan yang telah ada sebelumnya, bukan kepemilikan yang baru terjadi. Dan telah dikatakan bahwa budak perempuan itu menjadi miliknya beserta sepertiga anaknya dan sepertiga dari apa yang dihadiahkan untuknya. Al-Muzani -rahimahullah- berkata: Ini adalah pendapat sebagian ulama Kufah. Abu Hanifah berkata: Budak perempuan itu menjadi miliknya beserta sepertiga anaknya. Sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan berkata: Dia mendapatkan dua pertiga dari budak perempuan itu dan dua pertiga dari anaknya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَأَحَبُّ إلَيَّ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ؛ لِأَنَّهَا وَوَلَدُهَا عَلَى قَبُولِ مِلْكٍ مُتَقَدِّمٍ.

 

(Al-Muzani berkata): Dan pendapat Asy-Syafi’i lebih aku sukai karena dia dan anaknya menerima kepemilikan yang telah ada sebelumnya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ قَطَعَ بِالْقَوْلِ الثَّانِي إذْ الْمِلْكُ مُتَقَدِّمٌ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَقَامَ الْوَارِثُ فِي الْقَبُولِ مَقَامَ أَبِيهِ فَالْجَارِيَةُ لَهُ بِمِلْكٍ مُتَقَدِّمٍ وَوَلَدُهَا، وَمَا وُهِبَ لَهَا مِلْكٌ حَادِثٌ بِسَبَبٍ مُتَقَدِّمٍ.

 

(Al-Muzani) berkata: Dan sungguh ia telah memutuskan dengan pendapat kedua karena kepemilikan itu terdahulu. Jika demikian halnya dan ahli waris menggantikan posisi ayahnya dalam menerima, maka budak perempuan itu menjadi miliknya dengan kepemilikan yang terdahulu beserta anaknya, sedangkan apa yang dihibahkan untuknya adalah kepemilikan baru yang disebabkan oleh sesuatu yang terdahulu.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَيَنْبَغِي فِي الْمَسْأَلَةِ الْأُولَى أَنْ تَكُونَ امْرَأَتُهُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَكَيْفَ تَكُونُ أَوْلَادُهَا بِقَبُولِ الْوَارِثِ أَحْرَارًا عَلَى أَبِيهِمْ، وَلَا تَكُونُ أُمُّهُمْ أُمَّ وَلَدٍ لِأَبِيهِمْ وَهُوَ يُجِيزُ أَنْ يَمْلِكَ الْأَخُ أَخَاهُ وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنْ لَوْ كَانَ مِلْكًا حَادِثًا لِوَلَدِ الْمَيِّتِ لَكَانُوا لَهُ مَمَالِيكَ، وَقَدْ قَطَعَ بِهَذَا الْمَعْنَى الَّذِي قُلْت فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ فَتَفَهَّمْهُ كَذَلِكَ تَجِدْهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ – تَعَالَى -.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dalam masalah pertama, seharusnya istrinya adalah ummu walad baginya. Bagaimana mungkin anak-anaknya menjadi merdeka atas ayah mereka dengan penerimaan ahli waris, sementara ibu mereka bukan ummu walad bagi ayah mereka? Dia juga membolehkan seorang saudara memiliki saudaranya. Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa seandainya kepemilikan itu baru terjadi bagi anak orang yang meninggal, niscaya mereka akan menjadi budaknya. Aku telah menegaskan makna ini dalam kitab Zakat, maka pahamilah demikian, niscaya engkau akan menemukannya insya Allah Ta’ala.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِثُلُثِ شَيْءٍ بِعَيْنِهِ فَاسْتَحَقَّ ثُلُثَاهُ كَانَ لَهُ الثُّلُثُ الْبَاقِي إنْ احْتَمَلَهُ ثُلُثُهُ وَلَوْ أَوْصَى بِثُلُثِهِ لِلْمَسَاكِينِ نُظِرَ إلَى مَالِهِ فَقُسِمَ ثُلُثُهُ فِي ذَلِكَ الْبَلَدِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mewasiatkan sepertiga dari sesuatu yang spesifik untuknya, lalu dua pertiganya menjadi haknya, maka dia berhak atas sepertiga sisanya jika sepertiganya mencukupi. Dan jika dia mewasiatkan sepertiga hartanya untuk orang-orang miskin, maka dilihat hartanya dan sepertiganya dibagikan di negeri tersebut.

 

وَكَذَلِكَ لَوْ أَوْصَى لِغَازِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُمْ الَّذِينَ مِنْ الْبَلَدِ الَّذِي بِهِ مَالُهُ.

 

Demikian pula, jika dia mewasiatkan untuk para pejuang di jalan Allah, maka mereka adalah orang-orang dari negeri tempat hartanya berada.

 

 

وَلَوْ أَوْصَى لَهُ فَقَبِلَ أَوْ رَدَّ قَبْلَ مَوْتِ الْمُوصِي كَانَ لَهُ قَبُولُهُ وَرَدُّهُ بَعْدَ مَوْتِهِ وَسَوَاءٌ أَوْصَى لَهُ بِأَبِيهِ أَوْ غَيْرِهِ وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِدَارٍ كَانَتْ لَهُ، وَمَا ثَبَتَ فِيهَا مِنْ أَبْوَابِهَا وَغَيْرِهَا دُونَ مَا فِيهَا، وَلَوْ انْهَدَمَتْ فِي حَيَاةِ الْمُوصِي كَانَتْ لَهُ إلَّا مَا انْهَدَمَ مِنْهَا فَصَارَ غَيْرَ ثَابِتٍ فِيهَا.

 

 

Dan jika dia mewasiatkan untuknya lalu dia menerima atau menolak sebelum kematian pemberi wasiat, maka baginya (hak) menerima atau menolaknya setelah kematiannya. Sama saja apakah dia mewasiatkan untuknya dengan ayahnya atau selainnya. Dan jika dia mewasiatkan untuknya dengan sebuah rumah, maka rumah itu menjadi miliknya, termasuk apa yang tetap ada di dalamnya seperti pintu-pintunya dan selainnya, kecuali apa yang ada di dalamnya. Dan jika rumah itu runtuh selama hidup pemberi wasiat, maka rumah itu tetap menjadi miliknya kecuali bagian yang runtuh sehingga tidak lagi tetap ada di dalamnya.

(قَالَ) : وَيَجُوزُ نِكَاحُ الْمَرِيضِ.

 

Beliau berkata: Dan diperbolehkan menikahi orang yang sakit.

 

(وَقَالَ) : فِي الْإِمْلَاءِ يَلْحَقُ الْمَيِّتَ مِنْ فِعْلِ غَيْرِهِ ثَلَاثٌ حَجٌّ يُؤَدَّى، وَمَالٌ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَنْهُ أَوْ دَيْنٌ يُقْضَى، وَدُعَاءٌ أَجَازَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْحَجَّ عَنْ الْمَيِّتِ وَنَدَبَ اللَّهُ – تَعَالَى – إلَى الدُّعَاءِ وَأَمَرَ بِهِ رَسُولَهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – فَإِذَا جَازَ لَهُ الْحَجُّ حَيًّا جَازَ لَهُ مَيِّتًا وَكَذَلِكَ مَا تُطَوِّعَ بِهِ عَنْهُ مِنْ صَدَقَةٍ.

 

 

(Dan dia berkata): Dalam imla’ (dikte), ada tiga hal dari perbuatan orang lain yang dapat sampai kepada mayit: haji yang ditunaikan, harta yang disedekahkan atas namanya atau utang yang dilunasi, dan doa. Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah membolehkan haji untuk mayit, dan Allah Ta’ala menganjurkan doa serta memerintahkan Rasul-Nya – ‘alaihis shalatu wassalam – untuk melakukannya. Jika haji boleh dilakukan untuknya saat hidup, maka boleh juga saat sudah meninggal. Demikian pula sedekah yang dilakukan secara sukarela untuknya.

 

(وَقَالَ) : فِي كِتَابٍ آخَرَ وَلَوْ أَوْصَى لَهُ وَلِمَنْ لَا يُحْصَى بِثُلُثِهِ فَالْقِيَاسُ أَنَّهُ كَأَحَدِهِمْ.

 

 

(Dan dia berkata): Dalam kitab lain, sekalipun dia mewasiatkan untuknya dan untuk orang yang tidak terhitung dengan sepertiga hartanya, maka menurut qiyas dia dianggap seperti salah seorang dari mereka.

الْوَصِيَّةُ لِلْقَرَابَةِ مِنْ ذَوِي الْأَرْحَامِ

 

Wasiat untuk kerabat dari kalangan keluarga dekat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ ثُلُثِي لِقَرَابَتِي أَوْ لِذَوِي أَرْحَامِي أَوْ لِأَرْحَامِي فَسَوَاءٌ مِنْ قِبَلِ الْأَبِ وَالْأُمِّ، وَأَقْرَبُهُمْ وَأَبْعَدُهُمْ وَأَغْنَاهُمْ وَأَفْقَرُهُمْ سَوَاءٌ لِأَنَّهُمْ أُعْطُوا بِاسْمِ الْقَرَابَةِ كَمَا أُعْطِيَ مَنْ شَهِدَ الْقِتَالَ بِاسْمِ الْحُضُورِ، وَإِنْ كَانَ مِنْ قَبِيلَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أُعْطِيَ بِقَرَابَتِهِ الْمَعْرُوفَةِ عِنْدَ الْعَامَّةِ فَيُنْظَرُ إلَى الْقَبِيلَةِ الَّتِي يُنْسَبُ إلَيْهَا فَيُقَالُ مِنْ بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ ثُمَّ يُقَالُ، وَقَدْ تَفْتَرِقُ بَنُو عَبْدِ مَنَافٍ فَمِنْ أَيِّهِمْ؟ قِيلَ مِنْ بَنِي عَبْدِ يَزِيدَ بْنِ هَاشِمِ بْنِ الْمُطَّلِبِ فَإِنْ قِيلَ أَفَيَتَمَيَّزُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ نَعَمْ هُمْ قَبَائِلُ فَإِنْ قِيلَ فَمِنْ أَيِّهِمْ؟ قِيلَ مِنْ بَنِي عُبَيْدِ بْنِ عَبْدِ يَزِيدَ فَإِنْ قِيلَ أَفَيَتَمَيَّزُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ نَعَمْ بَنُو السَّائِبِ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ عَبْدِ يَزِيدَ فَإِنْ قِيلَ أَفَيَتَمَيَّزُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ نَعَمْ بَنُو شَافِعٍ وَبَنُو عَلِيٍّ وَبَنُو عَبَّاسٍ أَوْ عَيَّاشٌ شَكَّ الْمُزَنِيّ وَكُلُّ هَؤُلَاءِ بَنُو السَّائِبِ فَإِنْ قِيلَ أَيَتَمَيَّزُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ نَعَمْ كُلُّ بَطْنٍ مِنْ هَؤُلَاءِ يَتَمَيَّزُ عَنْ صَاحِبِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ آلِ شَافِعٍ قِيلَ لِقَرَابَتِهِ هُمْ آلُ شَافِعٍ دُونَ آلِ عَلِيٍّ وَالْعَبَّاسِ؛ لِأَنَّ كُلَّ هَؤُلَاءِ مُتَمَيِّزٌ ظَاهِرٌ وَلَوْ قَالَ لِأَقْرَبِهِمْ بِي رَحِمًا أُعْطِيَ أَقْرَبُهُمْ بِأَبِيهِ وَأُمِّهِ سَوَاءٌ وَأَيُّهُمْ جَمَعَ قَرَابَةَ الْأَبِ وَالْأُمِّ كَانَ أَقْرَبَ مِمَّنْ انْفَرَدَ بِأَبٍ أَوْ أُمٍّ فَإِنْ كَانَ أَخٌ وَجَدٌّ كَانَ لِلْأَخِ فِي قَوْلِ مَنْ جَعَلَهُ أَوْلَى بِوَلَاءِ الْمُوَالَى.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Seandainya seseorang mengatakan, ‘Sepertiga hartaku untuk kerabatku’ atau ‘untuk dzawil arham-ku’ atau ‘untuk arham-ku’, maka sama saja dari pihak ayah maupun ibu. Yang paling dekat maupun yang paling jauh, yang kaya maupun yang miskin, semuanya sama karena mereka diberi berdasarkan nama kekerabatan, sebagaimana orang yang ikut perang diberi berdasarkan kehadirannya. Jika dia berasal dari suatu kabilah Quraisy, maka dia diberi berdasarkan kekerabatannya yang dikenal umum. Maka dilihatlah kabilah yang dia dinisbatkan kepadanya, lalu dikatakan, ‘Dari Bani Abdi Manaf.’ Kemudian dikatakan lagi, ‘Bani Abdi Manaf terpecah-pecah, dari kelompok mana dia?’ Dijawab, ‘Dari Bani Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib.’ Jika ditanya, ‘Apakah mereka terpisah-pisah?’ Dijawab, ‘Ya, mereka adalah kabilah-kabilah.’ Jika ditanya lagi, ‘Dari kelompok mana?’ Dijawab, ‘Dari Bani Ubaid bin Abdi Yazid.’ Jika ditanya, ‘Apakah mereka terpisah-pisah?’ Dijawab, ‘Ya, Bani As-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid.’ Jika ditanya, ‘Apakah mereka terpisah-pisah?’ Dijawab, ‘Ya, Bani Syafi’i, Bani Ali, dan Bani Abbas – atau ‘Ayyasy’ – Al-Muzani ragu – dan semua ini adalah Bani As-Saib.’ Jika ditanya, ‘Apakah mereka terpisah-pisah?’ Dijawab, ‘Ya, setiap cabang dari mereka terpisah dari yang lain.’ Jika dia dari keluarga Syafi’i, maka dikatakan untuk kerabatnya, ‘Mereka adalah keluarga Syafi’i, bukan keluarga Ali atau Abbas,’ karena semua ini jelas terpisah. Jika dia mengatakan, ‘Untuk yang paling dekat kekerabatannya denganku,’ maka yang paling dekat dari pihak ayah dan ibunya diberi secara sama. Siapa pun yang menggabungkan kekerabatan ayah dan ibu lebih dekat daripada yang hanya dari ayah atau ibu saja. Jika ada saudara dan kakek, maka saudara lebih berhak menurut pendapat yang menganggapnya lebih utama dalam perwalian maula.”

 

بَابُ مَا يَكُونُ رُجُوعًا فِي الْوَصِيَّةِ

 

Bab tentang apa yang dianggap sebagai pembatalan dalam wasiat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَوْصَى لِرَجُلٍ بِعَبْدٍ بِعَيْنِهِ ثُمَّ أَوْصَى بِهِ لِآخَرَ فَهُوَ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ وَلَوْ قَالَ الْعَبْدُ الَّذِي أَوْصَيْتُ بِهِ لِفُلَانٍ أَوْ قَدْ أَوْصَيْت بِاَلَّذِي أَوْصَيْت بِهِ لِفُلَانٍ لِفُلَانٍ كَانَ هَذَا رُجُوعًا عَنْ الْأَوَّلِ إلَى الْآخَرِ. وَلَوْ أَوْصَى أَنْ يُبَاعَ أَوْ دَبَّرَهُ أَوْ وَهَبَهُ كَانَ هَذَا رُجُوعًا وَلَوْ أَجَّرَهُ أَوْ عَلَّمَهُ أَوْ زَوَّجَهُ لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا وَلَوْ كَانَ الْمُوصَى بِهِ قَمْحًا فَخَلَطَهُ بِقَمْحٍ أَوْ طَحَنَهُ دَقِيقًا أَوْ دَقِيقًا فَصَيَّرَهُ عَجِينًا كَانَ أَيْضًا رُجُوعًا وَلَوْ أَوْصَى لَهُ بِمَكِيلَةِ حِنْطَةٍ مِمَّا فِي بَيْتِهِ ثُمَّ خَلَطَهَا بِمِثْلِهَا لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا، وَكَانَتْ لَهُ الْمَكِيلَةُ بِحَالِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang berwasiat untuk seorang lelaki dengan seorang budak tertentu, kemudian berwasiat lagi untuk orang lain dengan budak yang sama, maka budak itu dibagi dua antara mereka. Jika dia berkata, ‘Budak yang kuwasiyatkan untuk si fulan,’ atau ‘Aku telah mewasiatkan apa yang kuwasiyatkan untuk si fulan kepada si fulan,’ maka ini dianggap sebagai pencabutan wasiat pertama untuk beralih ke wasiat kedua. Jika dia berwasiat agar budak itu dijual, atau memerdekakannya, atau menghadiahkannya, maka ini juga dianggap sebagai pencabutan. Namun, jika dia menyewakannya, mengajarinya, atau menikahkannya, itu tidak dianggap sebagai pencabutan. Jika yang diwasiatkan adalah gandum, lalu dicampur dengan gandum lain, atau digiling menjadi tepung, atau tepung dijadikan adonan, maka itu juga dianggap sebagai pencabutan. Tetapi jika dia berwasiat untuk seseorang dengan satu takar gandum dari gandum di rumahnya, lalu mencampurnya dengan takaran yang sama, itu tidak dianggap sebagai pencabutan, dan satu takar itu tetap menjadi haknya dalam keadaan semula.”

 

بَابُ الْمَرَضِ الَّذِي تَجُوزُ فِيهِ الْعَطِيَّةُ

Bab tentang penyakit yang diperbolehkan memberikan hadiah di dalamnya

، وَلَا تَجُوزُ وَالْمَخُوفُ غَيْرُ الْمَرَضِ.

 

Dan tidak diperbolehkan ketika rasa takut itu bukan karena sakit.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – كُلُّ مَرَضٍ كَانَ الْأَغْلَبُ فِيهِ أَنَّ الْمَوْتَ مَخُوفٌ عَلَيْهِ فَعَطِيَّتُهُ إنْ مَاتَ فِي حُكْمِ الْوَصَايَا، وَإِلَّا فَهُوَ كَالصَّحِيحِ، وَمِنْ الْمَخُوفِ مِنْهُ إذَا كَانَتْ حُمَّى بَدَأَتْ بِصَاحِبِهَا ثُمَّ إذَا تَطَاوَلَتْ فَهُوَ مَخُوفٌ إلَّا الرِّبْعَ فَإِنَّهَا إذَا اسْتَمَرَّتْ بِصَاحِبِهَا رِبْعًا فَغَيْرُ مَخُوفَةٍ، وَإِنْ كَانَ مَعَهَا وَجَعٌ كَانَ مَخُوفًا، وَذَلِكَ مِثْلُ الْبِرْسَامِ أَوْ الرُّعَافِ الدَّائِمِ أَوْ ذَاتُ الْجَنْبِ أَوْ الْخَاصِرَةِ أَوْ الْقُولَنْجِ وَنَحْوِهِ فَهُوَ مَخُوفٌ، وَإِنْ سَهُلَ بَطْنُهُ يَوْمًا أَوْ اثْنَيْنِ وَتَأْتِي مِنْهُ الدَّمُ عِنْدَ الْخَلَاءِ لَمْ يَكُنْ مَخُوفًا فَإِنْ اسْتَمَرَّ بِهِ بَعْدَ يَوْمَيْنِ حَتَّى يُعَجِّلَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ النَّوْمَ أَوْ يَكُونَ الْبَطْنُ مُتَحَرِّقًا فَهُوَ مَخُوفٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُتَحَرِّقًا، وَمَعَهُ زَحِيرٌ أَوْ تَقْطِيعٌ فَهُوَ مَخُوفٌ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Setiap penyakit yang kebanyakan dikhawatirkan dapat menyebabkan kematian, maka pemberiannya jika si sakit meninggal dihukumi seperti wasiat. Jika tidak, maka statusnya seperti orang sehat. Di antara penyakit yang dikhawatirkan adalah demam yang baru menimpa seseorang, lalu berlanjut lama, maka itu dikhawatirkan kecuali demam quartan (malaria), karena jika demam quartan berlangsung selama seperempat masa (tertentu) pada penderitanya, maka tidak dikhawatirkan. Namun jika disertai rasa sakit, maka dikhawatirkan. Contohnya seperti radang selaput otak, mimisan terus-menerus, pleuritis, sakit pinggang, kolik, atau semisalnya – itu dikhawatirkan. Jika seseorang mengalami diare sehari atau dua hari dengan keluar darah saat buang air, itu tidak dikhawatirkan. Tetapi jika berlanjut setelah dua hari hingga membuatnya lemah, sulit tidur, atau perut terasa panas, maka dikhawatirkan. Jika tidak panas tetapi disertai tenesmus (rasa ingin terus buang air) atau buang air terputus-putus, maka dikhawatirkan.”

 

وَإِذَا أَشْكَلَ سُئِلَ عَنْهُ أَهْلُ الْبَصَرِ، وَمَنْ سَاوَرَهُ الدَّمُ حَتَّى تَغَيَّرَ عَقْلُهُ أَوْ الْمِرَارُ أَوْ الْبَلْغَمُ كَانَ مَخُوفًا فَإِنْ اسْتَمَرَّ بِهِ فَالِجٌ فَالْأَغْلَبُ إذَا تَطَاوَلَ بِهِ أَنَّهُ غَيْرُ مَخُوفٍ، وَالسُّلُّ غَيْرُ مَخُوفٍ، وَالطَّاعُونُ مَخُوفٌ حَتَّى يَذْهَبَ، وَمَنْ أَنْفَدَتْهُ الْجِرَاحُ فَمَخُوفٌ فَإِنْ لَمْ تَصِلْ إلَى مَقْتَلٍ، وَلَمْ تَكُنْ فِي مَوْضِعِ لَحْمٍ، وَلَمْ يَغْلِبْهُ لَهَا وَجَعٌ، وَلَا ضَرَبَانٌ، وَلَمْ يَأْتَكِلْ، وَيَرْمِ فَغَيْرُ مَخُوفٍ، وَإِذَا الْتَحَمَتْ الْحَرْبُ فَمَخُوفٌ فَإِنْ كَانَ فِي أَيْدِي مُشْرِكِينَ يَقْتُلُونَ الْأَسْرَى فَمَخُوفٌ.

 

 

Dan apabila sesuatu membingungkan, tanyalah kepada orang yang berpengalaman. Siapa yang darahnya menguasainya hingga akalnya berubah, atau dipengaruhi empedu atau dahak, maka itu berbahaya. Jika kondisi itu menetap, maka itu adalah kelumpuhan. Namun, jika berlangsung lama, biasanya tidak berbahaya. Penyakit tuberkulosis tidak berbahaya, sedangkan wabah penyakit berbahaya hingga hilang. Orang yang terluka parah berbahaya, kecuali jika lukanya tidak sampai mematikan, tidak berada di bagian daging, tidak disertai rasa sakit yang hebat, tidak berdenyut-denyut, tidak bernanah, dan masih bisa melempar, maka tidak berbahaya. Jika perang telah berkecamuk, maka itu berbahaya. Jika berada di tangan orang-orang musyrik yang membunuh tawanan, maka itu berbahaya.

(وَقَالَ) : فِي الْإِمْلَاءِ إذَا قَدِمَ مَنْ عَلَيْهِ قِصَاصٌ غَيْرُ مَخُوفٍ مَا لَمْ يَجْرَحُوا؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُتْرَكُوا فَيَحْيَوْا.

 

Dan dia berkata dalam imla’: Jika datang orang yang terkena qishas tetapi tidak dikhawatirkan (bahayanya) selama mereka tidak terluka, karena mereka bisa dibiarkan sehingga tetap hidup.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : الْأَوَّلُ أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ، وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَسْلَمَ مِنْ الْتِحَامِ الْحَرْبِ، وَمِنْ كُلِّ مَرَضٍ مَخُوفٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Yang pertama lebih mirip dengan ucapannya, dan mungkin saja selamat dari pertempuran perang, serta dari segala penyakit yang berbahaya.

 

(قَالَ) : وَإِذَا ضَرَبَ الْحَامِلَ الطَّلْقُ فَهُوَ مَخُوفٌ؛ لِأَنَّهُ كَالتَّلَفِ وَأَشَدُّ وَجَعًا، وَاَللَّهُ – تَعَالَى – أَعْلَمُ.

 

 

Beliau berkata: “Ketika seorang wanita hamil terkena kontraksi, itu menakutkan karena seperti kematian dan sangat menyakitkan. Dan Allah Ta’ala lebih mengetahui.”

 

بَابُ الْأَوْصِيَاءِ

 

Bab Para Wali

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا تَجُوزُ الْوَصِيَّةُ إلَّا إلَى بَالِغٍ مُسْلِمٍ حُرٍّ عَدْلٍ أَوْ امْرَأَةٍ كَذَلِكَ فَإِنْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ أُخْرِجَتْ الْوَصِيَّةُ مِنْ يَدِهِ وَضُمَّ إلَيْهِ إذَا كَانَ ضَعِيفًا أَمِينٌ مَعَهُ فَإِنْ أَوْصَى إلَى غَيْرِ ثِقَةٍ فَقَدْ أَخْطَأَ عَلَى غَيْرِهِ فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ. وَلَوْ أَوْصَى إلَى رَجُلَيْنِ فَمَاتَ أَحَدُهُمَا أَوْ تَغَيَّرَ أُبْدِلَ مَكَانُهُ آخَرَ فَإِنْ اخْتَلَفَا قُسِمَ بَيْنَهُمَا مَا كَانَ يَنْقَسِمُ وَجُعِلَ فِي أَيْدِيهِمَا نِصْفَيْنِ وَأُمِرَا بِالِاحْتِفَاظِ بِمَا لَا يَنْقَسِمُ وَلَيْسَ لِلْوَصِيِّ أَنْ يُوصِيَ بِمَا أَوْصَى بِهِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْمَيِّتَ لَمْ يَرْضَ الْمُوصَى إلَيْهِ الْآخَرَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Wasiat tidak sah kecuali diberikan kepada orang yang sudah baligh, muslim, merdeka, adil, atau perempuan dengan kriteria yang sama. Jika keadaannya berubah, wasiat dicabut dari tangannya dan jika dia lemah, ditambahkan seorang yang amanah bersamanya. Jika seseorang berwasiat kepada yang tidak terpercaya, maka dia telah berbuat salah terhadap orang lain, dan itu tidak diperbolehkan. Jika wasiat diberikan kepada dua orang lalu salah satunya meninggal atau berubah keadaannya, digantikan oleh orang lain. Jika mereka berselisih, harta yang bisa dibagi dibagi antara mereka berdua menjadi dua bagian dan diperintahkan untuk menjaga harta yang tidak bisa dibagi. Wasii tidak boleh mewasiatkan apa yang diwasiatkan kepadanya karena mayit tidak meridhai penerima wasiat yang lain.”

(وَلَوْ قَالَ) : فَإِنْ حَدَثَ بِوَصِيٍّ حَدَثٌ فَقَدْ أَوْصَيْتُ إلَى مَنْ أَوْصَى إلَيْهِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا أَوْصَى بِمَالِ غَيْرِهِ.

 

(Dan jika dia berkata): “Jika terjadi sesuatu pada wasit, maka sungguh aku telah mewasiatkan kepada orang yang dia wasiatkan kepadanya,” tidak diperbolehkan; karena dia hanya mewasiatkan harta orang lain.

(وَقَالَ) : فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى: إنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ إذَا قَالَ قَدْ أَوْصَيْت إلَيْك بِتَرِكَةِ فُلَانٍ.

 

Dan dia berkata dalam kitab “Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila”: Sesungguhnya hal itu diperbolehkan jika dia mengatakan, “Sungguh aku telah mewasiatkan kepadamu harta peninggalan si fulan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَوْلُ هَذَا يُوَافِقُ قَوْلَ الْكُوفِيِّينَ وَالْمَدَنِيِّينَ وَاَلَّذِي قَبْلَهُ أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan pendapat ini sesuai dengan pendapat orang-orang Kufah dan Madinah, sedangkan pendapat sebelumnya lebih mirip dengan pendapatnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا وِلَايَةَ لِلْوَصِيِّ فِي إنْكَاحِ بَنَاتِ الْمَيِّتِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Wali wasiat tidak memiliki hak perwalian dalam menikahkan anak-anak perempuan dari orang yang telah meninggal.”

 

مَا يَجُوزُ لِلْوَصِيِّ أَنْ يَصْنَعَهُ فِي أَمْوَالِ الْيَتَامَى

 

Apa yang boleh dilakukan wali terhadap harta anak yatim

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَيُخْرِجُ الْوَصِيُّ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ كُلُّ مَا لَزِمَهُ مِنْ زَكَاةِ مَالِهِ وَجِنَايَتِهِ، وَمَا لَا غَنَاءَ بِهِ عَنْهُ مِنْ نَفَقَتِهِ وَكِسْوَتِهِ بِالْمَعْرُوفِ، وَإِذَا بَلَغَ الْحُلُمَ، وَلَمْ يَرْشُدْ زَوَّجَهُ، وَإِنْ احْتَاجَ إلَى خَادِمٍ، وَمِثْلُهُ يُخْدَمُ اشْتَرَى لَهُ، وَلَا يَجْمَعُ لَهُ امْرَأَتَيْنِ، وَلَا جَارِيَتَيْنِ لِلْوَطْءِ، وَإِنْ اتَّسَعَ مَالُهُ؛ لِأَنَّهُ لَا ضِيقَ فِي جَارِيَةٍ لِلْوَطْءِ فَإِنْ أَكْثَرَ الطَّلَاقَ لَمْ يُزَوَّجْ وَسَرَّى وَالْعِتْقُ مَرْدُودٌ عَلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Wali harus mengeluarkan dari harta anak yatim segala yang wajib baginya, seperti zakat hartanya dan denda kejahatannya, serta apa yang ia butuhkan seperti nafkah dan pakaiannya secara wajar. Jika ia telah baligh tetapi belum dewasa (rusyd), walinya boleh menikahkannya. Jika ia membutuhkan pelayan, dan orang seperti dia biasanya dilayani, maka walinya boleh membelikannya pelayan. Namun, walinya tidak boleh menikahkannya dengan dua wanita sekaligus atau memberinya dua budak perempuan untuk disetubuhi, meskipun hartanya banyak, karena satu budak perempuan untuk disetubuhi sudah cukup. Jika ia sering menjatuhkan talak, maka tidak dinikahkan lagi tetapi boleh menggauli budaknya, dan memerdekakan budak itu dikembalikan kepadanya.”

(Al-Muzani) berkata: -semoga Allah merahmatinya- “Ini adalah akhir dari apa yang aku jelaskan mengenai kitab ini, bahwa ia menulisnya dengan tangannya sendiri. Aku tidak mengetahui seorang pun yang mendengarnya darinya, dan aku mendengarnya berkata: ‘Jika ia mengatakan berikanlah ini dan itu dari dinar-dinarku, maka diberikan dua dinar. Namun jika ia tidak mengatakan dari dinar-dinarku, berikanlah apa yang mereka kehendaki, yaitu dua dinar.'”

كِتَابُ الْوَدِيعَةِ

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَاذَا أَوْدَعَ رَجُلٌ وَدِيعَةً فَأَرَادَ سَفَرًا فَلَمْ يَثِقْ بِأَحَدٍ يَجْعَلُهَا عِنْدَهُ فَسَافَرَ بِهَا بَرًّا أَوْ بَحْرًا ضَمِنَ، وَإِنْ دَفَنَهَا فِي مَنْزِلِهِ، وَلَمْ يُعْلِمْ بِهَا أَحَدًا يَأْتَمِنُهُ عَلَى مَالِهِ فَهَلَكَتْ ضَمِنَ، وَإِذَا أَوْدَعَهَا غَيْرَهُ وَصَاحِبُهَا حَاضِرٌ عِنْدَ سَفَرِهِ ضَمِنَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَاضِرًا فَأَوْدَعَهَا أَمِينًا يُودِعُهُ مَالَهُ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ تَعَدَّى فِيهَا ثُمَّ رَدَّهَا فِي مَوْضِعِهَا فَهَلَكَتْ ضَمِنَ لِخُرُوجِهِ بِالتَّعَدِّي مِنْ الْأَمَانَةِ، وَلَوْ أَوْدَعَ عَشَرَةَ دَرَاهِمَ فَأَنْفَقَ مِنْهَا دِرْهَمًا ثُمَّ رَدَّهُ فِيهَا وَلَوْ ضَمِنَ الدِّرْهَمَ أَوْدَعَهُ وَأَمَرَهُ بِعَلَفِهَا وَسَقْيِهَا فَأَمَرَ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِهَا فِي دَارِهِ كَمَا يَفْعَلُ بِدَوَابِّهِ لَمْ يَضْمَنْ، وَإِنْ بَعَثَهَا إلَى غَيْرِ دَارِهِ وَهِيَ تُسْقَى فِي دَارِهِ ضَمِنَ. وَإِنْ لَمْ يَأْمُرْهُ بِعَلَفِهَا، وَلَا بِسَقْيِهَا، وَلَمْ يَنْهَهُ فَحَبَسَهَا مُدَّةً إذَا أَتَتْ عَلَى مِثْلِهَا لَمْ تَأْكُلْ، وَلَمْ تَشْرَبْ هَلَكَتْ ضَمِنَ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ كَذَلِكَ فَتَلِفَتْ لَمْ يَضْمَنْ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَأْتِيَ الْحَاكِمُ حَتَّى يُوَكِّلَ مَنْ يَقْبِضُ مِنْهُ النَّفَقَةَ عَلَيْهَا، وَيَكُونَ دَيْنًا عَلَى رَبِّهَا أَوْ يَبِيعَهَا فَإِنْ أَنْفَقَ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ مُتَطَوِّعٌ وَلَوْ أَوْصَى الْمُودِعُ إلَى أَمِينٍ لَمْ يَضْمَنْ فَإِنْ كَانَ غَيْرَ أَمِينٍ ضَمِنَ فَإِنْ انْتَقَلَ مِنْ قَرْيَةٍ آهِلَةٍ إلَى غَيْرِ آهِلَة ضَمِنَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seseorang menitipkan barang titipan lalu ingin bepergian namun tidak menemukan orang yang dipercaya untuk menyimpannya, lalu ia membawanya dalam perjalanan darat atau laut, maka ia menanggung (jika hilang). Jika ia menguburnya di rumahnya tanpa memberitahu siapa pun yang ia percaya untuk menjaga hartanya lalu barang itu rusak, ia menanggung. Jika ia menitipkannya kepada orang lain sementara pemiliknya hadir saat ia bepergian, maka ia menanggung. Jika pemiliknya tidak hadir lalu ia menitipkannya kepada orang yang amanah yang biasa ia titipi hartanya, ia tidak menanggung. Jika ia melampaui batas dalam penggunaan barang titipan lalu mengembalikannya ke tempat semula lalu barang itu rusak, ia menanggung karena telah keluar dari status amanah. Seandainya ia menitipkan sepuluh dirham lalu menggunakan satu dirham kemudian mengembalikannya, ia tetap menanggung dirham tersebut. Jika ia menitipkan hewan dan memerintahkan untuk memberi makan dan minum, lalu ia menyuruh orang yang melakukannya di rumahnya sebagaimana kebiasaannya dengan hewan-hewannya, ia tidak menanggung. Namun jika ia mengirim hewan itu ke luar rumahnya sementara hewan itu biasa diberi minum di rumahnya, ia menanggung. Jika ia tidak memerintahkan untuk memberi makan atau minum, juga tidak melarang, lalu hewan itu ditahan selama waktu yang biasanya hewan itu bisa bertahan tanpa makan dan minum lalu mati, ia menanggung. Jika tidak demikian lalu hewan itu mati, ia tidak menanggung. Hendaknya ia mendatangi hakim agar menunjuk seseorang yang menerima biaya perawatan hewan itu sebagai utang pemiliknya atau menjualnya. Jika ia mengeluarkan biaya selain itu, itu dianggap sukarela. Jika pemberi titipan berwasiat kepada orang yang amanah, ia tidak menanggung. Jika orang itu tidak amanah, ia menanggung. Jika hewan itu dipindahkan dari desa berpenghuni ke yang tidak berpenghuni, ia menanggung.”

 

وَإِنْ شَرَطَ أَنْ لَا يُخْرِجَهَا مِنْ هَذَا الْمَوْضِعِ فَأَخْرَجَهَا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ ضَمِنَ فَإِنْ كَانَ ضَرُورَةً وَأَخْرَجَهَا إلَى حِرْزٍ لَمْ يَضْمَنْ، وَلَوْ قَالَ الْمُودَعُ أَخْرَجْتُهَا لَمَّا غَشِيَتْنِي النَّارُ فَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ قَدْ كَانَ فِي تِلْكَ النَّاحِيَةِ نَارٌ أَوْ أَثَرٌ يَدُلُّ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ. وَلَوْ قَالَ دَفَعْتهَا إلَى فُلَانٍ بِأَمْرِك: فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُودَعِ، وَلَوْ قَالَ دَفَعْتهَا إلَيْك فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُودَعِ وَلَوْ حَوَّلَهَا مِنْ خَرِيطَةٍ إلَى أَحْرَزَ أَوْ مِثْلِ حِرْزِهَا لَمْ يَضْمَنْ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حِرْزًا لَهَا ضَمِنَ، وَلَوْ أَكْرَهَهُ رَجُلٌ عَلَى أَخْذِهَا: لَمْ يَضْمَنْ، وَلَوْ شَرَطَ أَنْ لَا يَرْقُدَ عَلَى صُنْدُوقٍ هِيَ فِيهِ فَرَقَدَ عَلَيْهِ كَانَ قَدْ زَادَهُ حِرْزًا. وَلَوْ قَالَ لَمْ تُودِعْنِي شَيْئًا ثُمَّ قَالَ قَدْ كُنْت اسْتَوْدَعْتَنِيهِ فَهَلَكَ ضَمِنَ، وَإِنْ شَرَطَ أَنْ يَرْبِطَهَا فِي كُمِّهِ فَأَمْسَكَهَا بِيَدِهِ فَتَلِفَتْ لَمْ يَضْمَنْ، وَيَدُهُ أَحْرَزُ، وَإِذَا هَلَكَ وَعِنْدَهُ وَدِيعَةٌ بِعَيْنِهَا فَهِيَ لِرَبِّهَا، وَإِنْ كَانَتْ بِغَيْرِ عَيْنِهَا مِثْلَ دَنَانِيرَ أَوْ مَا لَا يُعْرَفُ بِعَيْنِهِ حَاصَّ رَبُّ الْوَدِيعَةِ الْغُرَمَاءَ وَلَوْ ادَّعَى رَجُلَانِ الْوَدِيعَةَ مِثْلَ عَبْدٍ أَوْ بَعِيرٍ فَقَالَ هِيَ لِأَحَدِكُمَا، وَلَا أَدْرِي أَيَّكُمَا هُوَ قِيلَ لَهُمَا هَلْ تَدَّعِيَانِ شَيْئًا غَيْرَ هَذَا بِعَيْنِهِ؟ فَإِنْ قَالَا لَا أُحْلِفَ الْمُودَعُ بِاَللَّهِ مَا يَدْرِي أَيَّهُمَا هُوَ، وَوَقَفَ ذَلِكَ لَهُمَا جَمِيعًا حَتَّى يَصْطَلِحَا فِيهِ أَوْ يُقِيمَ أَحَدُهُمَا بَيِّنَةً وَأَيُّهُمَا حَلَفَ مَعَ نُكُولِ صَاحِبِهِ كَانَ لَهُ.

 

 

Dan jika disyaratkan untuk tidak mengeluarkannya dari tempat ini lalu dia mengeluarkannya tanpa kebutuhan, maka dia menanggung. Jika ada kebutuhan dan dia mengeluarkannya ke tempat penyimpanan, dia tidak menanggung. Jika penerima titipan berkata, “Aku mengeluarkannya ketika api mengepungku,” dan diketahui ada api atau bekas yang menunjukkan di area tersebut, maka perkataannya diterima dengan sumpah. Jika dia berkata, “Aku menyerahkannya kepada si fulan atas perintahmu,” maka perkataan penerima titipan yang diakui. Jika dia memindahkannya dari karung ke tempat penyimpanan yang setara, dia tidak menanggung. Jika bukan tempat penyimpanan, dia menanggung. Jika seseorang memaksanya untuk mengambilnya, dia tidak menanggung. Jika disyaratkan untuk tidak tidur di atas peti tempat barang itu, lalu dia tidur di atasnya, itu justru menambah keamanan. Jika dia berkata, “Kamu tidak menitipkan apa pun,” lalu mengakui, “Aku pernah menerima titipan darimu lalu hilang,” maka dia menanggung. Jika disyaratkan untuk mengikatnya di lengan baju lalu dia memegangnya dengan tangan dan rusak, dia tidak menanggung karena tangannya adalah tempat penyimpanan. Jika penerima titipan meninggal dan barang titipan masih utuh, itu milik pemiliknya. Jika berupa dinar atau barang yang tidak dikenali secara spesifik, pemilik titipan bergabung dengan kreditor. Jika dua orang mengklaim titipan seperti budak atau unta, dan penerima titipan berkata, “Ini milik salah satu dari kalian, tapi aku tidak tahu siapa,” maka mereka ditanya, “Apakah kalian mengklaim selain ini?” Jika mereka menjawab tidak, penerima titipan bersumpah bahwa dia tidak tahu, dan barang itu ditahan untuk keduanya sampai mereka berdamai atau salah satunya mengajukan bukti. Siapa yang bersumpah sementara yang lain menolak, maka itu miliknya.

 

مُخْتَصَرٌ مِنْ كِتَابِ قَسْمِ الْفَيْءِ وَقَسْمِ الْغَنَائِمِ

 

Ringkasan dari Kitab Pembagian Fai’ dan Ghanimah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَصْلُ مَا يَقُومُ بِهِ الْوُلَاةُ مِنْ جُمَلِ الْمَالِ ثَلَاثَةُ وُجُوهٍ أَحَدُهَا مَا أُخِذَ مِنْ مَالِ مُسْلِمٍ تَطْهِيرًا لَهُ فَذَلِكَ لِأَهْلِ الصَّدَقَاتِ لَا لِأَهْلِ الْفَيْءِ وَالْوَجْهَانِ الْآخَرَانِ مَا أُخِذَ مِنْ مَالِ مُشْرِكٍ كِلَاهُمَا مُبَيَّنٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ – تَعَالَى – وَسُنَّةِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَفِعْلِهِ. فَأَحَدُهُمَا الْغَنِيمَةُ قَالَ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ} الأنفال: 41 الْآيَةَ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: هُوَ الْفَيْءُ قَالَ اللَّهُ – تَعَالَى – {مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى} الحشر: 7 الْآيَةَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Sumber harta yang dikelola oleh para pemimpin terdiri dari tiga jenis. Pertama, harta yang diambil dari seorang Muslim sebagai penyucian dirinya, maka itu diperuntukkan bagi penerima zakat, bukan bagi penerima fai’. Dua jenis lainnya adalah harta yang diambil dari orang Musyrik, keduanya telah dijelaskan dalam Kitab Allah – Ta’ala – dan Sunnah Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – serta perbuatan beliau. Salah satunya adalah ghanimah (harta rampasan perang), sebagaimana firman Allah – Tabaraka wa Ta’ala – ‘Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul…’ (QS. Al-Anfal: 41). Jenis kedua adalah fai’, sebagaimana firman Allah – Ta’ala – ‘Apa saja harta fai’ yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk negeri…’ (QS. Al-Hasyr: 7).”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: فَالْغَنِيمَةُ وَالْفَيْءُ يَجْتَمِعَانِ فِي أَنَّ فِيهِمَا مَعًا الْخُمُسَ مِنْ جَمِيعِهِمَا لِمَنْ سَمَّاهُ اللَّهُ – تَعَالَى – لَهُ فِي الْآيَتَيْنِ مَعًا سَوَاءٌ ثُمَّ تَفْتَرِقُ الْأَحْكَامُ فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَخْمَاسِ بِمَا بَيَّنَ اللَّهُ – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَفِي فِعْلِهِ فَإِنَّهُ قَسَمَ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ الْغَنِيمَةِ عَلَى مَا وَصَفْت مِنْ قَسْمِ الْغَنِيمَةِ وَهِيَ الْمُوجَفُ عَلَيْهَا بِالْخَيْلِ وَالرِّكَابِ لِمَنْ حَضَرَ مِنْ غَنِيٍّ وَفَقِيرٍ، وَالْفَيْءُ هُوَ مَا لَمْ يُوجَفْ عَلَيْهِ بِخَيْلٍ، وَلَا رِكَابٍ فَكَانَتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي قُرًى عَرَبِيَّةٍ أَفَاءَهَا اللَّهُ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهَا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – خَاصَّةً دُونَ الْمُسْلِمِينَ يَضَعُهُ حَيْثُ أَرَاهُ اللَّهُ – تَعَالَى – قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – حَيْثُ اخْتَصَمَ إلَيْهِ الْعَبَّاسُ وَعَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – فِي أَمْوَالِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَتْ أَمْوَالُ بَنِي النَّضِيرِ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِمَّا لَمْ يُوجِفْ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ بِخَيْلٍ، وَلَا رِكَابٍ فَكَانَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – خَاصَّةً دُونَ الْمُسْلِمِينَ فَكَانَ يُنْفِقُ مِنْهَا عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةَ سَنَةٍ فَمَا فَضَلَ جَعَلَهُ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ عِدَّةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَوَلِيَهَا أَبُو بَكْرٍ بِمِثْلِ مَا وَلِيَهَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ وَلِيَهَا عُمَرُ بِمِثْلِ مَا وَلِيَهَا بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبُو بَكْرٍ فَوَلَّيْتكُمَاهَا عَلَى أَنْ تَعْمَلَا فِيهَا بِمِثْلِ ذَلِكَ فَإِنْ عَجَزْتُمَا عَنْهَا فَادْفَعَاهَا إلَيَّ أَكْفِيكُمَاهَا.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Ghanimah dan fai’ bersamaan dalam hal keduanya memiliki seperlima dari seluruhnya untuk orang-orang yang Allah sebutkan dalam dua ayat tersebut secara setara. Kemudian hukum-hukumnya berbeda dalam empat perlima sisanya sesuai yang Allah jelaskan melalui lisan Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan perbuatannya. Beliau membagi empat perlima ghanimah sesuai yang aku jelaskan tentang pembagian ghanimah, yaitu harta yang diperoleh dengan mengerahkan kuda dan tunggangan, diberikan kepada yang hadir baik kaya maupun miskin. Sedangkan fai’ adalah harta yang tidak diperoleh dengan mengerahkan kuda atau tunggangan. Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap desa-desa Arab yang Allah berikan sebagai fai’ adalah empat perlimanya khusus untuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- saja, bukan untuk kaum muslimin, beliau menempatkannya sesuai yang Allah tunjukkan. Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- berkata ketika Abbas dan Ali -radhiyallahu ‘anhuma- berselisih kepadanya tentang harta Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: ‘Harta Bani Nadhir termasuk fai’ yang Allah berikan kepada Rasul-Nya tanpa kaum muslimin mengerahkan kuda atau tunggangan, maka itu khusus untuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- saja, bukan untuk kaum muslimin. Beliau menggunakannya untuk nafkah keluarganya selama setahun, sisanya digunakan untuk persiapan perang di jalan Allah. Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar mengelolanya seperti Rasulullah, kemudian Umar mengelolanya seperti Rasulullah dan Abu Bakar. Aku serahkan pengelolaannya kepada kalian berdua dengan syarat kalian mengelolanya seperti itu. Jika tidak mampu, serahkan padaku, aku yang akan menanggungnya.'”

(Asy-Syafi’i berkata): Dalam hal itu terdapat petunjuk bahwa Umar -radhiyallahu ‘anhu- menceritakan bahwa Abu Bakar dan dia (Umar) telah membagikan sisa harta yang berada di tangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- sesuai dengan apa yang mereka lihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- lakukan terhadap harta tersebut. Dan bahwa mereka berdua tidak memiliki hak atas fai’ yang tidak diperoleh dengan peperangan sebagaimana yang dimiliki Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, serta bahwa mereka berdua dalam hal ini sama seperti kaum muslimin lainnya. Demikian pula kebijakan mereka berdua dan kebijakan para pemimpin setelah mereka. Telah berlalu masa orang-orang yang dahulu diberi nafkah oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan aku tidak mengetahui seorang pun dari kalangan ulama yang mengatakan bahwa harta itu menjadi hak waris mereka. Tidak ada pula yang menyelisihi pendapat bahwa nafkah-nafkah itu harus dialokasikan sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengalokasikan kelebihan hasil harta-harta tersebut untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Janganlah para pewarisku membagi satu dinar pun dari hartaku. Apa yang kutinggalkan setelah nafkah untuk keluargaku dan biaya untuk pekerjaku adalah sedekah.”

 

Maka, harta fai’ yang diperoleh kaum muslimin tanpa peperangan, seperlimanya dialokasikan sebagaimana Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- membagikannya, dan empat perlimanya dialokasikan sesuai dengan penjelasanku nanti. Demikian pula harta yang diambil dari orang musyrik berupa jizyah, perjanjian damai atas tanah mereka, atau harta mereka yang diambil ketika mereka berselisih di negeri kaum muslimin, atau ketika ada di antara mereka yang meninggal tanpa ahli waris, atau hal-hal serupa yang diambil oleh para penguasa dari orang-orang musyrik. Seperlima dari harta tersebut tetap dialokasikan untuk pihak-pihak yang berhak menerima seperlima harta rampasan perang. Inilah yang disebut dalam Kitab Allah -Tabaraka wa Ta’ala- sebagai fai’.

 

Pada masa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, telah dibuka beberapa negeri Arab yang telah Allah janjikan kepada Rasul-Nya sebelum penaklukannya. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyerahkan negeri-negeri itu kepada orang-orang yang Allah tentukan, dan tidak menahan sebagaimana beliau menahan beberapa desa yang menjadi miliknya -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Maksud perkataan Umar bahwa harta itu khusus untuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah harta yang menjadi hak para pejuang, yaitu empat perlima bagian. Dari sini kami menyimpulkan bahwa seperlima dari harta fai’ tersebut dialokasikan seperti seperlima harta rampasan perang untuk ahli waris. Secara umum, fai’ adalah harta yang Allah kembalikan kepada pemeluk agama-Nya dari harta orang-orang yang menentang agama-Nya.

 

بَابُ الْأَنْفَالِ

Bab tentang Harta Rampasan Perang

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يَخْرُجُ مِنْ رَأْسِ الْغَنِيمَةِ قَبْلَ الْخُمُسِ شَيْءٌ غَيْرُ السَّلَبِ لِلْقَاتِلِ. «قَالَ أَبُو قَتَادَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَامَ حُنَيْنٍ قَالَ فَلَمَّا الْتَقَيْنَا كَانَتْ لِلْمُسْلِمِينَ جَوْلَةٌ فَرَأَيْت رَجُلًا مِنْ الْمُشْرِكِينَ قَدْ عَلَا رَجُلًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ قَالَ فَاسْتَدَرْت لَهُ حَتَّى أَتَيْته مِنْ وَرَائِهِ فَضَرَبْته عَلَى حَبْلِ عَاتِقِهِ ضَرْبَةً فَأَقْبَلَ عَلَيَّ فَضَمَّنِي ضَمَّةً وَجَدْت مِنْهَا رِيحَ الْمَوْتِ ثُمَّ أَدْرَكَهُ الْمَوْتُ فَأَرْسَلَنِي فَلَحِقْت عُمَرَ فَقَالَ مَا بَالُ النَّاسِ؟ قُلْت أَمْرُ اللَّهِ ثُمَّ إنَّ النَّاسَ رَجَعُوا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ فَقُمْت فَقُلْت مَنْ يَشْهَدُ لِي؟ ثُمَّ جَلَسْت يَقُولُ وَأَقُولُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَالَك يَا أَبَا قَتَادَةَ؟ فَاقْتَصَصْت عَلَيْهِ الْقِصَّةَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ صَدَقَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَلَبُ ذَلِكَ الْقَتِيلِ عِنْدِي فَأَرْضِهِ مِنْهُ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَاهَا اللَّهِ إذًا لَا يَعْمِدُ إلَى أَسَدٍ مِنْ أُسْدِ اللَّهِ – تَعَالَى – يُقَاتِلُ عَنْ اللَّهِ وَعَنْ رَسُولِهِ فَيُعْطِيك سَلَبَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَدَقَ فَأَعْطِهِ إيَّاهُ فَأَعْطَانِيهِ فَبِعْت الدِّرْعَ وَابْتَعْت بِهِ مَخْرَقًا فِي بَنِي سَلِمَةَ فَإِنَّهُ لَأَوَّلُ مَالٍ تَأَثَّلْتُهُ فِي الْإِسْلَامِ» وَرُوِيَ أَنَّ شِبْرَ بْنَ عَلْقَمَةَ قَالَ بَارَزْت رَجُلًا يَوْمَ الْقَادِسِيَّةِ فَبَلَغَ سَلَبُهُ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا فَنَفَّلَنِيهِ سَعْدٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Tidak ada yang dikeluarkan dari harta rampasan sebelum diambil seperlimanya kecuali salab (harta musuh yang dibunuh) untuk sang pembunuh.” (Abu Qatadah – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Kami pernah keluar bersama Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pada tahun Hunain. Ketika kami bertemu musuh, kaum muslimin sempat kocar-kacir. Lalu aku melihat seorang musyrik menyerang seorang muslim, maka aku berputar hingga bisa mendatanginya dari belakang, lalu memukul lehernya hingga ia menoleh dan memelukku erat hingga aku merasakan bayang-bayang kematian. Namun akhirnya ia mati dan melepaskanku. Aku lalu menyusul Umar yang bertanya: ‘Ada apa dengan orang-orang?’ Kujawab: ‘Itu ketetapan Allah.’ Kemudian pasukan muslimin kembali berkumpul. Rasulullah bersabda: ‘Siapa yang membunuh musuh dan memiliki bukti, maka salabnya untuknya.’ Aku berdiri dan bertanya: ‘Siapa yang mau bersaksi untukku?’ Tak ada yang menjawab hingga aku ulangi tiga kali. Nabi bertanya: ‘Ada apa wahai Abu Qatadah?’ Kuceritakan kejadiannya. Seorang sahabat berkata: ‘Ia benar wahai Rasulullah, salab musuh itu ada padaku, tapi aku telah memberikannya.’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah, tidak boleh! Kau mengambil salab singa Allah yang berperang untuk Allah dan Rasul-Nya, lalu kau berikan?’ Rasulullah membenarkannya: ‘Benar, berikan salab itu padanya.’ Akhirnya ia memberikannya padaku. Aku jual baju perang itu dan membeli kebun di Bani Salimah. Itulah harta pertama yang kuperoleh dalam Islam.”) Diriwayatkan pula bahwa Syibr bin ‘Alqamah berkata: “Aku pernah berduel dengan seorang musuh di Qadisiyah, salabnya mencapai 12.000 (dirham), lalu Sa’ad memberikannya padaku.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الَّذِي لَا أَشُكُّ فِيهِ أَنْ يُعْطَى السَّلَبَ مَنْ قَتَلَ مُشْرِكًا مُقْبِلًا مُقَاتِلًا مِنْ أَيِّ جِهَةٍ قَتَلَهُ مُبَارِزًا أَوْ غَيْرَ مُبَارِزٍ، وَقَدْ «أَعْطَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَلَبَ مَرْحَبٍ مَنْ قَتَلَهُ مُبَارِزًا» وَأَبُو قَتَادَةَ غَيْرُ مُبَارِزٍ وَلَكِنَّ الْمَقْتُولِينَ مُقْبِلَانِ وَلِقَتْلِهِمَا مُقْبِلِينَ وَالْحَرْبُ قَائِمَةٌ مُؤْنَةٌ لَيْسَتْ لَهُ إذَا انْهَزَمُوا أَوْ انْهَزَمَ الْمَقْتُولُ وَفِي حَدِيثِ أَبِي قَتَادَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مَا دَلَّ عَلَى أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ» يَوْمَ حُنَيْنٍ بَعْدَ مَا قَتَلَ أَبُو قَتَادَةَ الرَّجُلَ فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ذَلِكَ حُكْمٌ عِنْدَنَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Aku tidak ragu bahwa orang yang membunuh seorang musyrik yang datang untuk berperang, dari arah mana pun ia membunuhnya, baik secara terbuka maupun tidak, berhak mendapatkan harta rampasan (salab). Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah memberikan harta rampasan Marhab kepada orang yang membunuhnya secara terbuka. Sedangkan Abu Qatadah membunuhnya tidak secara terbuka, tetapi kedua orang yang terbunuh itu datang untuk berperang. Dan karena mereka terbunuh dalam keadaan datang berperang serta peperangan masih berkecamuk, maka itu menjadi beban (tanggung jawab) bagi pembunuhnya jika mereka (musuh) kalah atau orang yang terbunuh itu kalah. Dalam hadits Abu Qatadah – radhiyallahu ‘anhu – terdapat petunjuk bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Barangsiapa membunuh seorang musuh dan memiliki bukti atasnya,’ pada perang Hunain setelah Abu Qatadah membunuh seseorang, lalu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberikannya (harta rampasan). Itulah hukum menurut kami.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ ضَرَبَهُ ضَرْبَةً فَقَدَّ يَدَيْهِ أَوْ رِجْلَيْهِ ثُمَّ قَتَلَهُ آخَرُ فَإِنَّ سَلَبَهُ لِلْأَوَّلِ، وَإِنْ ضَرَبَهُ ضَرْبَةً وَهُوَ مُمْتِنِعٌ فَقَتَلَهُ آخَرُ كَانَ سَلَبُهُ لِلْآخَرِ وَلَوْ قَتَلَهُ اثْنَانِ كَانَ سَلَبُهُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ وَالسَّلَبُ الَّذِي يَكُونُ لِلْقَاتِلِ كُلُّ ثَوْبٍ يَكُونُ عَلَيْهِ وَسِلَاحُهُ، وَمِنْطَقَتُهُ وَفَرَسُهُ إنْ كَانَ رَاكِبَهُ أَوْ مُمْسِكَهُ وَكُلُّ مَا أُخِذَ مِنْ يَدِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memukulnya hingga memotong kedua tangan atau kakinya, lalu orang lain membunuhnya, maka harta rampasan (salab) milik yang pertama. Namun jika dia memukulnya saat dia masih melawan, lalu orang lain membunuhnya, maka harta rampasan menjadi milik yang terakhir. Jika dua orang bersama-sama membunuhnya, maka harta rampasan dibagi dua di antara mereka. Harta rampasan yang menjadi hak pembunuh meliputi semua pakaian yang dikenakannya, senjatanya, ikat pinggangnya, kudanya jika dia menunggang atau memegangnya, serta segala sesuatu yang diambil dari tangannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالنَّفَلُ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ «نَفْلُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ غَنِيمَةٍ قِبَلَ نَجْدٍ بَعِيرًا بَعِيرًا» وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ كَانُوا يُعْطَوْنَ النَّفَلَ مِنْ الْخُمُسِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan nafaqah dari sisi lain adalah nafaqah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dari harta rampasan perang di daerah Najd, seekor unta demi seekor unta.” Dan Sa’id bin Musayyab berkata, “Mereka dahulu diberikan nafaqah dari seperlima (harta rampasan).”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – نَفَّلَهُمْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ خُمُسِهِ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ بِسَائِرِ مَالِهِ فِيمَا فِيهِ صَلَاحُ الْمُسْلِمِينَ، وَمَا سِوَى سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ جَمِيعِ الْخُمُسِ لِمَنْ سَمَّاهُ اللَّهُ – تَعَالَى – فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَجْتَهِدَ إذَا كَثُرَ الْعَدُوُّ وَاشْتَدَّتْ شَوْكَتُهُ وَقَلَّ مَنْ بِإِزَائِهِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيُنَفِّلُ مِنْهُ اتِّبَاعًا لِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَإِلَّا لَمْ يَفْعَلْ. وَقَدْ رُوِيَ فِي النَّفْلِ فِي الْبُدَاءَةِ وَالرَّجْعَةِ الثُّلُثُ فِي وَاحِدَةٍ وَالرُّبُعُ فِي الْأُخْرَى وَرَوَى ابْنُ عُمَرَ «أَنَّهُ نَفَّلَ نِصْفَ السُّدُسِ» وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِلنَّفْلِ حَدٌّ لَا يُجَاوِزُهُ الْإِمَامُ وَلَكِنْ عَلَى الِاجْتِهَادِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tambahan (nafal) kepada mereka dari seperlima bagiannya, sebagaimana beliau biasa melakukan dengan seluruh hartanya dalam hal yang mengandung kemaslahatan umat Islam. Adapun selain bagian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari seluruh seperlima itu adalah untuk orang-orang yang telah disebutkan oleh Allah Ta’ala. Maka sebaiknya seorang imam berijtihad ketika musuh banyak, kekuatannya menguat, dan jumlah kaum muslimin yang menghadapi mereka sedikit, lalu memberikan nafal darinya sebagai bentuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika tidak demikian, maka tidak perlu dilakukan. Telah diriwayatkan mengenai nafal pada permulaan dan kepulangan, yaitu sepertiga pada satu keadaan dan seperempat pada keadaan lain. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa “beliau memberikan nafal setengah dari seperenam.” Ini menunjukkan bahwa nafal tidak memiliki batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui oleh imam, melainkan berdasarkan ijtihad.

 

بَابُ تَفْرِيقِ الْقَسْمِ فِي الْغَنِيمَة

Bab tentang pembagian harta rampasan perang

بَابُ تَفْرِيقِ الْقَسْمِ.

 

Bab tentang pembagian bagian.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – كُلُّ مَا حَصَلَ مِمَّا غُنِمَ مِنْ أَهْلِ دَارِ الْحَرْبِ مِنْ شَيْءٍ قَلَّ أَوْ كَثُرَ مِنْ دَارٍ أَوْ أَرْضٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ قُسِّمَ إلَّا الرِّجَالَ الْبَالِغِينَ، فَالْإِمَامُ فِيهِمْ مُخَيَّرٌ بَيْنَ أَنْ يَمُنَّ أَوْ يَقْتُلَ أَوْ يُفَادِيَ أَوْ يَسْبِيَ وَسَبِيلُ مَا سُبِيَ أَوْ أُخِذَ مِنْهُمْ مِنْ شَيْءٍ عَلَى إطْلَاقِهِمْ سَبِيلَ الْغَنِيمَةِ «وَفَادَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجُلًا بِرَجُلَيْنِ» ، وَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَعْزِلَ خُمُسَ مَا حَصَلَ بَعْدَمَا وَصَفْنَا كَامِلًا، وَيُقِرَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ لِأَهْلِهَا ثُمَّ يَحْسِبَ مَنْ حَضَرَ الْقِتَالَ مِنْ الرِّجَالِ الْمُسْلِمِينَ الْبَالِغِينَ، وَيَرْضَخَ مِنْ ذَلِكَ لِمَنْ حَضَرَ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَغَيْرِ الْبَالِغِينَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَالنِّسَاءِ فَيُنَفِّلَهُمْ شَيْئًا لِحُضُورِهِمْ، وَيَرْضَخَ لِمَنْ قَاتَلَ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِهِ. وَقَدْ قِيلَ يَرْضَخُ لَهُمْ مِنْ الْجَمِيعِ ثُمَّ يَعْرِفُ عَدَدَ الْفَرَسَانِ وَالرَّجَّالَةِ الَّذِينَ حَضَرُوا الْقِتَالَ فَيَضْرِبُ كَمَا «ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِلْفَرَسِ سَهْمَيْنِ وَلِلْفَارِسِ سَهْمًا وَلِلرَّاجِلِ سَهْمًا» وَلَيْسَ يَمْلِكُ الْفَرَسُ شَيْئًا إنَّمَا يَمْلِكُهُ صَاحِبُهُ؛ لِمَا تَكَلَّفَ مِنْ اتِّخَاذِهِ؛ وَاحْتَمَلَ مِنْ مُؤْنَتِهِ وَنَدَبَ اللَّهُ – تَعَالَى – إلَى اتِّخَاذِهِ لِعَدُوِّهِ، وَمَنْ حَضَرَ بِفَرَسَيْنِ فَأَكْثَرَ لَمْ يُعْطَ إلَّا لِوَاحِدٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْقَى إلَّا بِوَاحِدٍ وَلَوْ أَسْهَمَ لِاثْنَيْنِ لَأَسْهَمَ لِأَكْثَرَ، وَلَا يُسْهِمُ لِرَاكِبِ دَابَّةٍ غَيْرِ دَابَّةِ الْخَيْلِ، وَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَتَعَاهَدَ الْخَيْلَ فَلَا يُدْخِلُ إلَّا شَدِيدًا، وَلَا يُدْخِلُ حَطِمًا، وَلَا قَمْحًا ضَعِيفًا، وَلَا ضَرْعًا.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Segala sesuatu yang diperoleh dari harta rampasan perang dari penduduk darul harb, baik sedikit maupun banyak, seperti rumah, tanah, atau selainnya, harus dibagikan kecuali laki-laki dewasa. Imam memiliki pilihan terhadap mereka: boleh memaafkan, membunuh, menebus, atau menjadikan sebagai tawanan. Status harta yang diambil dari mereka sama dengan harta rampasan perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menebus satu orang dengan dua orang. Imam hendaknya menyisihkan seperlima dari harta yang diperoleh secara utuh setelah pembagian seperti yang telah kami jelaskan, lalu membagikan empat perlimanya kepada yang berhak. Kemudian, ia menghitung jumlah laki-laki Muslim dewasa yang ikut berperang, memberikan bagian kecil kepada ahli dzimmah, anak-anak Muslim, dan wanita yang hadir sebagai penghargaan atas kehadiran mereka, serta memberi lebih kepada yang lebih banyak berperang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka diberi bagian dari keseluruhan harta. Selanjutnya, imam menghitung jumlah pasukan berkuda dan pejalan kaki yang ikut berperang, lalu membaginya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membagi: dua bagian untuk kuda, satu bagian untuk penunggangnya, dan satu bagian untuk pejalan kaki. Kuda tidak memiliki hak, yang berhak adalah pemiliknya karena ia telah menanggung biaya pemeliharaannya. Allah Ta’ala menganjurkan untuk mempersiapkannya melawan musuh. Siapa yang hadir dengan dua kuda atau lebih, hanya diberi bagian untuk satu kuda karena ia hanya bisa menunggang satu kuda. Jika diberi untuk dua, maka akan diberi untuk lebih banyak lagi. Tidak ada bagian untuk penunggang hewan selain kuda perang. Imam juga hendaknya memperhatikan kuda perang, hanya memasukkan kuda yang kuat, tidak memasukkan kuda yang pincang, lemah, atau kurus.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْقَحْمُ الْكَبِيرُ وَالضَّرْعُ الصَّغِيرُ، وَلَا أَعْجَفَ رَازِحًا، وَإِنْ أُغْفِلَ فَدَخَلَ رَجُلٌ عَلَى وَاحِدَةٍ مِنْهَا فَقَدْ قِيلَ لَا يُسْهِمُ لَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُغْنِي غَنَاءَ الْخَيْلِ الَّتِي يُسْهَمُ لَهَا، وَلَا أَعْلَمُهُ أَسْهَمَ فِيمَا مَضَى عَلَى مِثْلِ هَذِهِ، وَإِنَّمَا يُسْهِمُ لِلْفَرَسِ إذَا حَضَرَ صَاحِبُهُ شَيْئًا مِنْ الْحَرْبِ فَارِسًا فَأَمَّا إذَا كَانَ فَارِسًا إذَا دَخَلَ بِلَادَ الْعَدُوِّ ثُمَّ مَاتَ فَرَسُهُ أَوْ كَانَ فَارِسًا بَعْدَ انْقِطَاعِ الْحَرْبِ وَجَمْعِ الْغَنِيمَةِ فَلَا يُضْرَبُ لَهُ. وَلَوْ جَازَ أَنْ يُسْهَمَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ ثُبِتَ فِي الدِّيوَانِ حِينَ دَخَلَ لَكَانَ صَاحِبُهُ إذَا دَخَلَ ثُبِتَ فِي الدِّيوَانِ ثُمَّ مَاتَ قَبْلَ الْغَنِيمَةِ أَحَقَّ أَنْ يُسْهَمَ لَهُ. وَلَوْ دَخَلَ يُرِيدُ الْجِهَادَ فَمَرِضَ، وَلَمْ يُقَاتِلْ أَسْهَمَ لَهُ وَلَوْ كَانَ لِرَجُلٍ أَجِيرٌ يُرِيدُ الْجِهَادَ فَقَدْ قِيلَ يُسْهَمُ لَهُ، وَقِيلَ يُخَيَّرُ بَيْنَ أَنْ يُسْهِمَ لَهُ وَتُطْرَحَ الْإِجَارَةُ، وَلَا يُسْهَمُ لَهُ وَقِيلَ يُرْضَخُ لَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Kuda yang gemuk dan payudara yang kecil, dan tidak ada yang kurus yang terbaring. Jika diabaikan lalu seseorang masuk ke salah satunya, dikatakan tidak diberi bagian untuknya karena ia tidak memberikan manfaat seperti kuda yang diberi bagian. Aku tidak mengetahui ada yang diberi bagian di masa lalu untuk hal seperti ini. Bagian hanya diberikan untuk kuda jika pemiliknya hadir dalam peperangan sebagai penunggang. Adapun jika ia menjadi penunggang ketika memasuki negeri musuh, lalu kudanya mati, atau ia menjadi penunggang setelah peperangan usai dan rampasan dikumpulkan, maka tidak diberi bagian untuknya. Seandainya boleh memberinya bagian karena ia tercatat di diwan ketika masuk, maka pemiliknya jika masuk dan tercatat di diwan lalu meninggal sebelum rampasan, lebih berhak untuk diberi bagian. Jika ia masuk dengan niat berjihad lalu sakit dan tidak berperang, ia tetap diberi bagian. Jika seseorang memiliki pekerja upahan yang berniat berjihad, dikatakan ia diberi bagian, dan dikatakan ia boleh memilih antara diberi bagian dan upahnya dibatalkan, atau tidak diberi bagian, dan dikatakan ia diberi sedekah.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَفْلَتَ إلَيْهِمْ أَسِيرٌ قَبْلَ تَحَرُّزِ الْغَنِيمَةِ فَقَدْ قِيلَ يُسْهَمُ لَهُ وَقِيلَ لَا يُسْهَمُ لَهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ قِتَالٌ فَيُقَاتِلَ فَأَرَى أَنْ يُسْهَمَ لَهُ. وَلَوْ دَخَلَ تُجَّارٌ فَقَاتَلُوا لَمْ أَرَ بَأْسًا أَنْ يُسْهَمَ لَهُمْ وَقِيلَ لَا يُسْهَمُ لَهُمْ، وَلَوْ جَاءَهُمْ مَدَدٌ قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ الْحَرْبُ فَحَضَرُوا مِنْهَا شَيْئًا قَلَّ أَوْ كَثُرَ شَرَكُوهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ فَإِنْ انْقَضَتْ الْحَرْبُ، وَلَمْ يَكُنْ لِلْغَنِيمَةِ مَانِعٌ لَمْ يُشْرِكُوهُمْ وَلَوْ أَنَّ قَائِدًا فَرَّقَ جُنْدَهُ فِي وَجْهَيْنِ فَغَنِمَتْ إحْدَى الْفِرْقَتَيْنِ أَوْ غَنِمَ الْعَسْكَرُ، وَلَمْ تَغْنَمْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا شَرَكُوهُمْ؛ لَأَنَّهُمْ جَيْشٌ وَاحِدٌ وَكُلُّهُمْ رِدْءٌ لِصَاحِبِهِ «قَدْ مَضَتْ خَيْلُ الْمُسْلِمِينَ فَغَنِمُوا بِأَوْطَاسٍ غَنَائِمَ كَثِيرَةً وَأَكْثَرُ الْعَسَاكِرِ بِحُنَيْنٍ فَشَرِكُوهُمْ وَهُمْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» وَلَكِنْ لَوْ كَانَ قَوْمٌ مُقِيمِينَ بِبِلَادِهِمْ فَخَرَجَتْ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ فَغَنِمُوا لَمْ يُشْرِكُوهُمْ، وَإِنْ كَانُوا مِنْهُمْ قَرِيبًا؛ لِأَنَّ السَّرَايَا كَانَتْ تَخْرُجُ مِنْ الْمَدِينَةِ فَتَغْنَمُ فَلَا يُشْرِكُهُمْ أَهْلُ الْمَدِينَةِ. وَلَوْ أَنَّ إمَامًا بَعَثَ جَيْشَيْنِ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا قَائِدٌ وَأَمَرَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَتَوَجَّهَ نَاحِيَةً غَيْرَ نَاحِيَةِ صَاحِبِهِ مِنْ بِلَادِ عَدُوِّهِمْ فَغَنِمَ أَحَدُ الْجَيْشَيْنِ لَمْ يُشْرِكْهُمْ الْآخَرُونَ فَإِذَا اجْتَمَعُوا فَغَنِمُوا مُجْتَمِعِينَ فَهُمْ كَجَيْشٍ وَاحِدٍ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang tawanan lolos kepada mereka sebelum harta rampasan diamankan, ada pendapat bahwa ia diberi bagian dan ada pula yang mengatakan tidak, kecuali jika ia ikut berperang. Maka aku berpendapat ia diberi bagian. Jika para pedagang masuk lalu ikut berperang, aku tidak melihat masalah untuk memberi mereka bagian, meski ada yang berpendapat sebaliknya. Jika bala bantuan datang sebelum perang usai dan mereka ikut serta sedikit atau banyak, mereka berhak atas rampasan. Namun jika perang telah selesai dan tidak ada penghalang untuk mengambil rampasan, mereka tidak diberi bagian. Jika seorang komandan membagi pasukannya menjadi dua kelompok, lalu salah satunya mendapatkan rampasan atau seluruh pasukan mendapatkannya sementara kelompok lain tidak, mereka tetap berbagi karena mereka satu kesatuan dan saling mendukung. ‘Pasukan Muslim pernah pergi dan mendapatkan banyak rampasan di Authas, sementara sebagian besar pasukan berada di Hunain, namun mereka tetap diberi bagian meski bersama Rasulullah SAW.’ Namun, jika sekelompok orang tetap di negeri mereka lalu sebagian pergi dan mendapatkan rampasan, yang lain tidak berhak, sekalipun dekat, karena dahulu pasukan kecil sering pergi dari Madinah dan mendapatkan rampasan tanpa membagi dengan penduduk Madinah. Jika seorang pemimpin mengirim dua pasukan, masing-masing dengan komandan berbeda dan diperintahkan menuju wilayah musuh yang berbeda, lalu salah satu pasukan mendapatkan rampasan, pasukan lain tidak berhak. Tetapi jika mereka bersatu dan mendapatkan rampasan bersama, mereka dianggap sebagai satu pasukan.”

 

بَابُ تَفْرِيقِ الْخُمُسِ

Bab tentang Pembagian Seperlima

(Asy-Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Allah Ta’ala berfirman, “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang,” (QS. Al-Anfal: 41) dan seterusnya. Diriwayatkan bahwa Jubair bin Muth’im berkata, “Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – membagikan bagian kerabat (dzawil qurba) antara Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib, aku dan Utsman bin Affan – radhiyallahu ‘anhu – mendatangi beliau. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, mereka adalah saudara-saudara kami dari Bani Hasyim, kami tidak mengingkari keutamaan mereka karena kedudukanmu yang Allah letakkan di antara mereka. Tetapi bagaimana dengan saudara-saudara kami dari Bani Al-Muththalib, engkau berikan kepada mereka dan meninggalkan kami? Padahal hubungan kekerabatan kami dan mereka sama.’ Maka Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Al-Muththalib adalah satu kesatuan,’ sambil menjalinkan jari-jemarinya.” Jubair bin Muth’im juga meriwayatkan, “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak memberikan bagian itu sedikit pun kepada Bani Abdu Syams maupun Bani Naufal.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَيُعْطِي سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى فِي ذِي الْقُرْبَى حَيْثُ كَانُوا، وَلَا يُفَضَّلُ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ حَضَرَ الْقِتَالَ أَوْ لَمْ يَحْضُرْ إلَّا سَهْمُهُ فِي الْغَنِيمَةِ كَسَهْمِ الْعَامَّةِ وَلَا فَقِيرٌ عَلَى غَنِيٍّ وَيُعْطِي الرَّجُلَ سَهْمَيْنِ وَالْمَرْأَةَ سَهْمًا؛ لِأَنَّهُمْ أُعْطُوا بِاسْمِ الْقَرَابَةِ فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ أَعْطَى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَعْضَهُمْ مِائَةَ وَسْقٍ وَبَعْضَهُمْ أَقَلَّ قِيلَ: لِأَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ ذَا وَلَدٍ فَإِذَا أَعْطَاهُ حَظَّهُ وَحَظَّ غَيْرِهِ فَقَطْ أَعْطَاهُ أَكْثَرَ مِنْ غَيْرِهِ، وَالدَّلَالَةُ عَلَى صِحَّةِ مَا حَكَيْت مِنْ التَّسْوِيَةِ أَنَّ كُلَّ مَنْ لَقِيت مِنْ عُلَمَاءِ أَصْحَابِنَا لَمْ يَخْتَلِفُوا فِي ذَلِكَ، وَإِنْ بِاسْمِ الْقَرَابَةِ أُعْطُوا وَإِنَّ حَدِيثَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَسَّمَ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى بَيْنَ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Maka diberikanlah bagian kerabat kepada kerabat di mana pun mereka berada, dan tidak ada seorang pun yang diutamakan atas yang lain, baik yang ikut perang maupun tidak, kecuali bagiannya dalam harta rampasan seperti bagian umum. Tidak pula orang miskin diutamakan atas orang kaya. Laki-laki diberikan dua bagian dan perempuan satu bagian, karena mereka diberi atas nama kekerabatan. Jika ada yang bertanya, ‘Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan kepada sebagian mereka seratus wasaq dan kepada sebagian yang lain lebih sedikit,’ maka dijawab, ‘Karena sebagian mereka memiliki anak. Jika diberi bagiannya dan bagian orang lain, maka dia diberi lebih banyak daripada yang lain.’ Bukti kebenaran apa yang aku sampaikan tentang persamaan adalah bahwa semua ulama dari kalangan sahabat kami yang aku temui tidak berselisih pendapat dalam hal itu, meskipun mereka diberi atas nama kekerabatan. Dan hadits Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membagi bagian kerabat antara Bani Hasyim dan Bani Muththalib.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَيُفَرِّقُ ثَلَاثَةَ أَخْمَاسِ الْخُمُسِ عَلَى مَنْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَى الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ يُحْصُونَ ثُمَّ يُوَزَّعُ بَيْنَهُمْ لِكُلِّ صِنْفٍ مِنْهُمْ سَهْمُهُ لَا يُعْطَى لِأَحَدٍ مِنْهُمْ سَهْمُ صَاحِبِهِ فَقَدْ مَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِأَبِي هُوَ وَأُمِّي – فَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ عِنْدَنَا فِي سَهْمِهِ فَمِنْهُمْ مِنْ قَالَ: يُرَدُّ عَلَى أَهْلِ السُّهْمَانِ الَّذِينَ ذَكَرَهُمْ اللَّهُ تَعَالَى مَعَهُ؛ لِأَنِّي رَأَيْت الْمُسْلِمِينَ قَالُوا فِيمَنْ سُمِّيَ لَهُ سَهْمٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ فَلَمْ يُوجَدْ رُدَّ عَلَى مَنْ سُمِّيَ مَعَهُ وَهَذَا مَذْهَبٌ يَحْسُنُ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَضَعُهُ الْإِمَامُ حَيْثُ رَأَى عَلَى الِاجْتِهَادِ لِلْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يَضَعُهُ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ وَاَلَّذِي أَخْتَارُ أَنْ يَضَعَهُ الْإِمَامُ فِي كُلِّ أَمْرٍ حَصُنَ بِهِ الْإِسْلَامُ وَأَهْلُهُ مِنْ سَدِّ ثَغْرٍ أَوْ إعْدَادِ كُرَاعٍ أَوْ سِلَاحٍ أَوْ إعْطَاءِ أَهْلِ الْبَلَاءِ فِي الْإِسْلَامِ نَفْلًا عِنْدَ الْحَرْبِ وَغَيْرِ الْحَرْبِ إعْدَادًا لِلزِّيَادَةِ فِي تَعْزِيرِ الْإِسْلَامِ وَأَهْلِهِ عَلَى مَا صَنَعَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنَّهُ أَعْطَى الْمُؤَلَّفَةَ وَنَفَلَ فِي الْحَرْبِ وَأَعْطَى عَامَ حُنَيْنٍ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِهِ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ أَهْلُ حَاجَةٍ وَفَضْلٍ وَأَكْثَرُهُمْ أَهْلُ حَاجَةٍ وَنَرَى ذَلِكَ كُلَّهُ مِنْ سَهْمِهِ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Dan dibagikan tiga perlima dari seperlima (khumus) kepada orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala, yaitu anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil di negeri-negeri Islam. Mereka dihitung, kemudian dibagikan di antara mereka, setiap golongan mendapatkan bagiannya. Tidak boleh diberikan bagian satu golongan kepada golongan lainnya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah berlalu (wafat) – demi ayah dan ibuku sebagai tebusannya – maka para ulama di kalangan kami berbeda pendapat mengenai bagian beliau. Sebagian mereka berkata: ‘Dikembalikan kepada para pemilik saham yang disebutkan oleh Allah Ta’ala bersamanya, karena aku melihat kaum muslimin berkata tentang orang yang telah ditetapkan baginya bagian dari zakat namun tidak ditemukan, maka dikembalikan kepada orang yang disebutkan bersamanya.’ Ini adalah pendapat yang baik. Sebagian mereka berkata: ‘Imam menempatkannya sesuai dengan ijtihadnya untuk kepentingan Islam dan kaum muslimin.’ Sebagian lagi berkata: ‘Imam menempatkannya untuk kuda perang dan senjata.’ Pendapat yang aku pilih adalah imam menempatkannya untuk segala hal yang dapat memperkuat Islam dan kaum muslimin, seperti menutup celah pertahanan, menyiapkan kuda perang atau senjata, memberikan tambahan (nafal) kepada orang-orang yang berjasa dalam Islam baik saat perang maupun bukan perang, sebagai persiapan untuk memperkuat Islam dan kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – karena beliau memberikan kepada muallaf, memberikan nafal saat perang, dan pada tahun Hunain beliau memberikan kepada sekelompok sahabatnya dari Muhajirin dan Anshar yang membutuhkan dan memiliki keutamaan, kebanyakan mereka adalah orang-orang yang membutuhkan. Dan kami memandang semua itu termasuk dari bagian beliau. Wallahu a’lam.”

 

وَمِمَّا احْتَجَّ بِهِ الشَّافِعِيُّ فِي ذَوِي الْقُرْبَى أَنْ رَوَى حَدِيثًا عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى قَالَ: لَقِيت عَلِيًّا – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَقُلْت لَهُ: بِأَبِي وَأُمِّي مَا فَعَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فِي حَقِّكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ مِنْ الْخُمُسِ؟ فَقَالَ عَلِيٌّ أَمَّا أَبُو بَكْرٍ – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَلَمْ يَكُنْ فِي زَمَانِهِ أَخْمَاسٌ وَمَا كَانَ فَقَدْ أَوْفَانَاهُ، وَأَمَّا عُمَرُ فَلَمْ يَزَلْ يُعْطِينَاهُ حَتَّى جَاءَهُ مَالُ السُّوسِ وَالْأَهْوَازِ أَوْ قَالَ: مَالُ فَارِسَ.

 

 

Di antara dalil yang digunakan oleh Asy-Syafi’i mengenai hak kerabat adalah sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Laila, ia berkata: Aku bertemu dengan Ali -radhiyallahu ‘anhu- lalu aku bertanya kepadanya: “Demi ayah dan ibuku, apa yang dilakukan Abu Bakar dan Umar terhadap hak kalian, ahlul bait, dari seperlima (khumus)?” Ali menjawab: “Adapun Abu Bakar -rahimahullah- pada zamannya tidak ada khumus, dan apa yang ada telah diberikan kepada kami. Sedangkan Umar, ia selalu memberikannya kepada kami sampai datang harta dari Sus dan Ahwaz, atau ia berkata: harta dari Persia.”

 

(الشَّافِعِيُّ يَشُكُّ) . وَقَالَ عُمَرُ فِي حَدِيثِ مَطَرٍ أَوْ حَدِيثٍ آخَرَ: إنَّ فِي الْمُسْلِمِينَ خَلَّةً فَإِنْ أَحْبَبْتُمْ تَرَكْتُمْ حَقَّكُمْ فَجَعَلْنَاهُ فِي خَلَّةِ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى يَأْتِيَنَا مَالٌ فَأُوفِيَكُمْ حَقَّكُمْ مِنْهُ، فَقَالَ الْعَبَّاسُ لَا تُطْمِعْهُ فِي حَقِّنَا، فَقُلْت: يَا أَبَا الْفَضْلِ أَلَسْنَا مِنْ أَحَقِّ مَنْ أَجَابَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ وَرَفَعَ خَلَّةَ الْمُسْلِمِينَ فَتَوَفَّى عُمَرُ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُ مَالٌ فيقضيناه.

 

 

(Asy-Syafi’i ragu). Dan Umar berkata dalam sebuah hadits tentang hujan atau hadits lainnya: “Sesungguhnya di kalangan muslimin ada kekurangan. Jika kalian mau, tinggalkan hak kalian, lalu kami jadikan itu untuk menutupi kekurangan kaum muslimin sampai datang harta kepada kami, maka kami akan penuhi hak kalian darinya.” Abbas berkata, “Jangan berikan harapan tentang hak kami.” Aku berkata, “Wahai Aba Al-Fadl, bukankah kami termasuk yang paling berhak memenuhi ajakan Amirul Mukminin dan mengangkat kekurangan kaum muslimin?” Namun Umar wafat sebelum datang harta untuk melunasinya.

 

وَقَالَ الْحَكَمُ فِي حَدِيثِ مَطَرٍ أَوْ الْآخَرِ: إنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ لَكُمْ حَقًّا وَلَا يَبْلُغُ عِلْمِي إذْ كَثُرَ أَنْ يَكُونَ لَكُمْ كُلُّهُ فَإِنْ شِئْتُمْ أَعْطَيْتُكُمْ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا أَرَى لَكُمْ فَأَبَيْنَا عَلَيْهِ إلَّا كُلُّهُ فَأَبَى أَنْ يُعْطِيَنَا كُلَّهُ.

 

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Al-Hakam berkata dalam hadis Mathar atau yang lain: Sesungguhnya Umar – radhiyallahu ‘anhu – berkata, “Kalian memang berhak, tetapi pengetahuanku tidak sampai bahwa seluruhnya adalah milik kalian. Jika kalian mau, aku akan memberikan sebagian menurut apa yang aku pandang layak untuk kalian.” Namun kami menolaknya kecuali jika diberikan seluruhnya, maka dia pun menolak untuk memberikan seluruhnya kepada kami.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لِلْمُنَازِعِ فِي سَهْمِ ذِي الْقُرْبَى: أَلَيْسَ مَذْهَبُ الْعُلَمَاءِ فِي الْقَدِيمِ وَالْحَدِيثِ أَنَّ الشَّيْءَ إذَا كَانَ مَنْصُوصًا فِي كِتَابِ اللَّهِ مُبَيَّنًا عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَوْ فَعَلَهُ أَنَّ عَلَيْهِمْ قَبُولَهُ، وَقَدْ ثَبَتَ سَهْمُهُمْ فِي آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَفِي فِعْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِخَبَرِ الثِّقَةِ لَا مُعَارِضَ لَهُ فِي إعْطَاءِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – غَنِيًّا لَا دِينَ عَلَيْهِ فِي إعْطَائِهِ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَهُوَ فِي كَثْرَةِ مَالِهِ يَعُولُ عَامَّةَ بَنِي الْمُطَّلِبِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُمْ اسْتَحَقُّوا بِالْقَرَابَةِ لَا بِالْحَاجَةِ كَمَا أَعْطَى الْغَنِيمَةَ مَنْ حَضَرَهَا لَا بِالْحَاجَةِ وَكَذَلِكَ مَنْ اسْتَحَقَّ الْمِيرَاثَ بِالْقَرَابَةِ لَا بِالْحَاجَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata kepada orang yang memperdebatkan bagian kerabat (dzil qurba): “Bukankah pendapat ulama dahulu dan sekarang bahwa jika sesuatu telah disebutkan dalam Kitab Allah dan dijelaskan melalui lisan Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – atau diamalkannya, maka wajib bagi mereka untuk menerimanya? Sungguh, bagian mereka telah ditetapkan dalam dua ayat Kitab Allah Ta’ala serta dalam perbuatan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melalui riwayat yang terpercaya tanpa ada yang mengingkarinya, yaitu ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberikan kepada orang kaya yang tidak memiliki hutang dengan memberikannya kepada Abbas bin Abdul Muththalib, padahal dalam kekayaannya yang melimpah ia menanggung kebutuhan umum Bani Muththalib. Ini menjadi bukti bahwa mereka berhak karena kekerabatan, bukan karena kebutuhan, sebagaimana harta rampasan diberikan kepada yang hadir bukan karena kebutuhan, dan seperti halnya orang yang berhak waris karena kekerabatan bukan karena kebutuhan.”

 

وَكَيْفَ جَازَ لَك أَنْ تُرِيدَ إبْطَالَ الْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ بِأَنْ تَقُولَ: هِيَ بِخِلَافِ ظَاهِرِ الْقُرْآنِ وَلَيْسَتْ مُخَالِفَةً لَهُ ثُمَّ تَجِدُ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى مَنْصُوصًا فِي آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَعَهُمَا سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَتَرُدُّهُ؟ أَرَأَيْت لَوْ عَارَضَك مُعَارِضٌ فَأَثْبَتَ سَهْمَ ذِي الْقُرْبَى وَأَسْقَطَ الْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ مَا حُجَّتُك عَلَيْهِ إلَّا كَهِيَ عَلَيْك.

 

 

Bagaimana bisa engkau menganggap boleh membatalkan sumpah bersama saksi dengan alasan bahwa hal itu bertentangan dengan zahir Al-Qur’an, padahal sebenarnya tidak bertentangan? Kemudian engkau mendapati bagian kerabat disebutkan secara jelas dalam dua ayat Kitab Allah Ta’ala beserta sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu engkau menolaknya? Bagaimana pendapatmu jika ada penentang yang menetapkan bagian kerabat dan menghapus bagian anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, apa argumenmu terhadapnya kecuali seperti argumennya terhadapmu?

 

تَفْرِيقُ مَا أَخَذَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَخْمَاسِ الْفَيْءِ غَيْرِ الْمُوجَفِ عَلَيْهِ

 

Pembagian apa yang diambil dari empat perlima harta rampasan perang (fai’) yang tidak diperjuangkan dengan kuda dan unta

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَيَنْبَغِي لِلْوَالِي أَنْ يُحْصِيَ جَمِيعَ مَنْ فِي الْبُلْدَانِ مِنْ الْمُقَاتِلَةِ وَهُمْ مَنْ قَدْ احْتَلَمَ أَوْ اسْتَكْمَلَ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً مِنْ الرِّجَالِ وَيُحْصِيَ الذُّرِّيَّةَ وَهُمْ مَنْ دُونَ الْمُحْتَلِمِ وَدُونَ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً وَالنِّسَاءُ صَغِيرُهُمْ وَكَبِيرُهُمْ وَيَعْرِفُ قَدْرَ نَفَقَاتِهِمْ وَمَا يَحْتَاجُونَ إلَيْهِ مِنْ مُؤْنَاتِهِمْ بِقَدْرِ مَعَاشِ مِثْلِهِمْ فِي بُلْدَانِهِمْ، ثُمَّ يُعْطِي الْمُقَاتِلَةَ فِي كُلِّ عَامٍ عَطَاءَهُمْ وَالذُّرِّيَّةَ وَالنِّسَاءَ مَا يَكْفِيهِمْ لِسَنَتِهِمْ فِي كُسْوَتِهِمْ وَنَفَقَاتِهِمْ طَعَامًا أَوْ قِيمَتَهُ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيرَ يُعْطِي الْمَنْفُوسَ شَيْئًا ثُمَّ يُزَادُ كُلَّمَا كَبِرَ عَلَى قَدْرِ مُؤْنَتِهِ وَهَذَا يَسْتَوِي؛ لِأَنَّهُمْ يُعْطُونَ الْكِفَايَةَ وَيُخْتَلَفُ فِي مَبْلَغِ الْعَطَاءِ بِاخْتِلَافِ أَسْعَارِ الْبُلْدَانِ وَحَالَاتِ النَّاسِ فِيهَا، فَإِنَّ الْمُؤْنَةَ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ أَثْقَلُ مِنْهَا فِي بَعْضٍ وَلَا أَعْلَمُ أَصْحَابَنَا اخْتَلَفُوا فِي أََنَّ الْعَطَاءَ لِلْمُقَاتِلَةِ حَيْثُ كَانَتْ إنَّمَا يَكُونُ مِنْ الْفَيْءِ وَقَالُوا: لَا بَأْسَ أَنْ يُعْطِيَ الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ أَكْثَرَ مِنْ كِفَايَتِهِ وَذَلِكَ أَنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بَلَغَ فِي الْعَطَاءِ خَمْسَةَ آلَافٍ وَهِيَ أَكْثَرُ مِنْ كِفَايَةِ الرَّجُلِ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: خَمْسَةُ آلَافٍ بِالْمَدِينَةِ وَيَغْزُو إذَا غُزِيَ وَلَسْت بِأَكْثَرَ مِنْ الْكِفَايَةِ إذَا غَزَا عَلَيْهَا لِبُعْدِ الْمَغْزَى.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seyogyanya seorang pemimpin mencatat semua orang di berbagai negeri yang termasuk golongan pejuang (mujahidin), yaitu mereka yang sudah bermimpi basah (baligh) atau telah genap berusia lima belas tahun dari kalangan laki-laki. Juga mencatat keturunan (anak-anak), yaitu mereka yang belum bermimpi basah dan belum mencapai lima belas tahun, serta perempuan baik kecil maupun dewasa. Pemimpin hendaknya mengetahui kadar nafkah mereka dan apa yang mereka butuhkan dari biaya hidup sesuai standar penghidupan orang-orang semisal mereka di negeri-negeri mereka. Kemudian memberikan kepada para pejuang setiap tahun bagian mereka, serta kepada anak-anak dan perempuan apa yang mencukupi kebutuhan mereka selama setahun dalam hal pakaian dan nafkah berupa makanan atau nilainya dalam dirham atau dinar. Bayi yang baru lahir diberi sesuatu, lalu ditambah setiap kali bertambah besar sesuai kebutuhannya. Ini berlaku merata karena mereka diberikan kecukupan. Besaran pemberian berbeda sesuai perbedaan harga di berbagai negeri dan kondisi masyarakat di dalamnya, karena biaya hidup di sebagian negeri lebih berat dibanding negeri lain. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara sahabat-sahabat kami bahwa pemberian untuk para pejuang di mana pun berasal dari fa’i (harta rampasan perang). Mereka berkata: ‘Tidak mengapa seseorang diberi lebih dari kecukupan untuk dirinya sendiri.’ Hal itu karena Umar – radhiyallahu ‘anhu – pernah memberikan bagian sebesar lima ribu, yang itu lebih dari kecukupan seseorang untuk dirinya sendiri. Sebagian mereka berkata: ‘Lima ribu di Madinah, dan ia akan berperang jika diserang.’ Namun jika berperang ke medan yang jauh, lima ribu itu tidak lebih dari kecukupan.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهَذَا كَالْكِفَايَةِ عَلَى أَنَّهُ يَغْزُو، وَإِنْ لَمْ يَغْزُ فِي كُلِّ سَنَةٍ.)

 

(Imam Syafi’i berkata): “Ini seperti kifayah bahwa dia boleh berperang, meskipun tidak berperang setiap tahun.”

(Dia berkata): “Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang yang aku temui bahwa budak-budak tidak memiliki hak dalam pemberian (harta), begitu juga dengan orang-orang Badui yang merupakan penerima zakat. Namun mereka berbeda pendapat mengenai keutamaan berdasarkan keikutsertaan terdahulu dan keturunan. Di antara mereka ada yang berkata: ‘Aku akan menyamakan antara semua orang, karena Abu Bakar – semoga Allah meridhainya – ketika Umar berkata kepadanya: ‘Apakah engkau menyamakan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka serta meninggalkan kampung halaman mereka dengan orang yang masuk Islam karena terpaksa?’ Maka Abu Bakar menjawab: ‘Sesungguhnya mereka beramal karena Allah, dan pahala mereka ada di sisi Allah. Dunia ini hanyalah sarana.’ Ali bin Abi Thalib – semoga Allah meridhainya – juga menyamakan antara semua orang dan tidak memberikan keutamaan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَهَذَا الَّذِي أَخْتَارُهُ وَأَسْأَلُ اللَّهَ التَّوْفِيقَ وَذَلِكَ أَنِّي رَأَيْت اللَّهَ تَعَالَى قَسَّمَ الْمَوَارِيثَ عَلَى الْعَدَدِ فَسَوَّى فَقَدْ تَكُونُ الْإِخْوَةُ مُتَفَاضِلِي الْغَنَاءِ عَنْ الْمَيِّتِ فِي الصِّلَةِ فِي الْحَيَاةِ وَالْحِفْظِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَرَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَسَّمَ لِمَنْ حَضَرَ الْوَقْعَةَ مِنْ الْأَرْبَعَةِ الْأَخْمَاسِ عَلَى الْعَدَدِ فَسَوَّى وَمِنْهُمْ مَنْ يُغْنِي غَايَةَ الْغَنَاءِ وَيَكُونُ الْفُتُوحُ عَلَى يَدَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ مَحْضَرُهُ إمَّا غَيْرَ نَافِعٍ وَإِمَّا ضَارًّا بِالْجُبْنِ وَالْهَزِيمَةِ فَلَمَّا وَجَدْت الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ عَلَى التَّسْوِيَةِ كَمَا وَصَفْت كَانَتْ التَّسْوِيَةُ أَوْلَى مِنْ التَّفْضِيلِ عَلَى النَّسَبِ أَوْ السَّابِقَةِ، وَلَوْ وُجِدَتْ الدَّلَالَةُ عَلَى التَّفْضِيلِ أَرْجَحَ بِكِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ كُنْت إلَى التَّفْضِيلِ بِالدَّلَالَةِ مَعَ الْهَوَى أَسْرَعَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Inilah yang aku pilih dan aku memohon kepada Allah pertolongan. Aku melihat Allah Ta’ala membagi warisan berdasarkan jumlah lalu menyamakan, padahal saudara-saudara bisa berbeda dalam kontribusinya kepada mayit saat hidup dan penjagaannya setelah mati. Aku juga melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – membagi empat perlima harta rampasan perang kepada yang hadir dalam peperangan berdasarkan jumlah lalu menyamakan, padahal di antara mereka ada yang sangat berjasa hingga kemenangan diraih melalui tangannya, dan ada yang kehadirannya tidak bermanfaat atau bahkan merugikan karena pengecut dan kekalahan. Ketika aku mendapati Al-Qur’an dan Sunnah menerapkan persamaan seperti yang kusebutkan, maka persamaan lebih utama daripada pengutamaan berdasarkan nasab atau senioritas. Seandainya ada dalil yang menunjukkan pengutamaan yang lebih kuat melalui Kitab atau Sunnah, niscaya aku akan lebih cepat memilih pengutamaan dengan dalil disertai kecenderungan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا قَرِبَ الْقَوْمُ مِنْ الْجِهَادِ وَرَخُصَتْ أَسْعَارُهُمْ أُعْطُوا أَقَلَّ مَا يُعْطَى مَنْ بَعُدَتْ دَارُهُ وَغَلَا سِعْرُهُ وَهَذَا، وَإِنْ تَفَاضَلَ عَدَدُ الْعَطِيَّةِ تَسْوِيَةً عَلَى مَعْنَى مَا يَلْزَمُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ الْفَرِيقَيْنِ فِي الْجِهَادِ إذَا أَرَادَهُ وَعَلَيْهِمْ أَنْ يَغْزُوا إذَا غَزَوْا وَيَرَى الْإِمَامُ فِي إغْزَائِهِمْ رَأْيَهُ، فَإِنْ اسْتَغْنَى مُجَاهِدُهُ بِعَدَدٍ وَكَثْرَةٍ مِنْ قُرْبِهِ أَغْزَاهُمْ إلَى أَقْرَبِ الْمَوَاضِعِ مِنْ مُجَاهِدِهِمْ، وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي إعْطَاءِ الذُّرِّيَّةِ وَنِسَاءِ أَهْلِ الْفَيْءِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: يُعْطُونَ وَأَحْسَبُ مِنْ حُجَّتِهِمْ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَمُؤْنَتُهُمْ تَلْزَمُ رِجَالَهُمْ فَلَمْ يُعْطِهِمْ الْكِفَايَةَ فَيُعْطِيهِمْ كَمَالَ الْكِفَايَةِ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إذَا أُعْطُوا وَلَمْ يُقَاتِلُوا فَلَيْسُوا بِذَلِكَ أَوْلَى مِنْ ذُرِّيَّةِ الْأَعْرَابِ وَنِسَائِهِمْ وَرِجَالِهِمْ الَّذِينَ لَا يُعْطُونَ مِنْ الْفَيْءِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika suatu kaum dekat dengan medan jihad dan harga mereka murah, mereka diberi lebih sedikit dibandingkan mereka yang rumahnya jauh dan harganya mahal. Meskipun jumlah pemberian berbeda, hal itu disamakan berdasarkan makna kewajiban setiap pihak dalam jihad jika mereka menghendakinya. Mereka wajib berperang jika diperintahkan, dan imam berhak memutuskan kebijakan dalam mengirim mereka. Jika pasukan jihad sudah cukup dengan jumlah yang banyak dari wilayah dekat, imam boleh mengirim mereka ke tempat terdekat dari medan jihad mereka. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang pemberian kepada anak-anak dan istri ahli fai’. Sebagian berpendapat mereka berhak diberi, dan aku menganggap argumen mereka lebih kuat. Jika tidak diberikan, nafkah mereka menjadi tanggungan para lelaki mereka. Jika mereka tidak diberi cukup, maka harus diberi secukupnya. Sebagian lain berpendapat, jika mereka diberi tetapi tidak ikut berperang, mereka tidak lebih berhak daripada anak-anak dan istri-istri badui serta lelaki mereka yang tidak mendapat bagian dari fai’.”

(Asy-Syafi’i berkata) Sufyan bin ‘Uyainah menceritakan kepadaku dari ‘Amr bin Dinar dari Az-Zuhri dari Malik dari Aus bin Al-Hadatsan bahwa Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Tidak ada seorang pun melainkan dia memiliki hak dalam harta ini, kecuali budak yang kalian miliki, baik dia diberi atau tidak.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) حَدَّثَنِي سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَوْسِ بْنِ الْحَدَثَانِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: مَا أَحَدٌ إلَّا وَلَهُ فِي هَذَا الْمَالِ حَقٌّ إلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ أُعْطِيَهُ أَوْ مُنِعَهُ.

(Asy-Syafi’i berkata): “Hadis ini mengandung beberapa makna, di antaranya adalah bahwa tidak ada seorang pun yang membutuhkan sedekah atau termasuk ahli fai’ (harta rampasan perang) yang berperang, kecuali ia memiliki hak dalam harta fai’ atau sedekah. Dan ini adalah makna yang paling tepat. Jika ada yang bertanya: ‘Apa dalilnya?’ Dijawab: ‘Sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang sedekah, “Tidak ada bagian bagi orang kaya maupun orang yang kuat lagi mampu bekerja.”‘ Dan yang aku hafal dari para ulama adalah bahwa orang-orang Badui tidak diberi bagian dari harta fai’.”

 

(قَالَ) : وَقَدْ رَوَيْنَا عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّ أَهْلَ الْفَيْءِ كَانُوا فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِمَعْزِلٍ عَنْ الصَّدَقَةِ وَأَهْلَ الصَّدَقَةِ بِمَعْزِلٍ عَنْ أَهْلِ الْفَيْءِ.

 

 

(Dia berkata): Dan telah kami riwayatkan dari Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – bahwa ahli fai’ pada zaman Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – terpisah dari sedekah, dan ahli sedekah terpisah dari ahli fai’.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْعَطَاءُ الْوَاجِبُ فِي الْفَيْءِ لَا يَكُونُ إلَّا لِبَالِغٍ يُطِيقُ مِثْلُهُ الْقِتَالَ.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Dan pemberian yang wajib dalam harta fai’ tidak diberikan kecuali kepada orang yang sudah baligh dan mampu untuk berperang.”

 

(قَالَ) : «ابْنُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – عُرِضْت عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَامَ أُحُدٍ وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشَرَةَ سَنَةً فَرَدَّنِي وَعُرِضْت عَلَيْهِ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَةً فَأَجَازَنِي» وَقَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ هَذَا فَرْقٌ بَيْنَ الْمُقَاتِلَةِ وَالذُّرِّيَّةِ.

 

 

Ibnu Umar – radhiyallahu ‘anhuma – berkata: “Aku diajukan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – pada tahun Perang Uhud saat usiaku empat belas tahun, namun beliau menolakku. Kemudian aku diajukan lagi kepada beliau pada hari Perang Khandaq saat usiaku lima belas tahun, dan beliau mengizinkanku.” Umar bin Abdul Aziz berkata: “Inilah perbedaan antara yang boleh berperang dan anak-anak.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ كَمَّلَهَا أَعْمَى لَا يَقْدِرُ عَلَى الْقِتَالِ أَبَدًا أَوْ مَنْقُوصُ الْخَلْقِ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْقِتَالِ أَبَدًا لَمْ يُفْرَضْ لَهُ فَرْضُ الْمُقَاتَلَةِ وَأُعْطِيَ عَلَى كِفَايَةِ الْمَقَامِ وَهُوَ شَبِيهٌ بِالذُّرِّيَّةِ، فَإِنْ فُرِضَ لِصَحِيحٍ ثُمَّ زَمِنَ خَرَجَ مِنْ الْمُقَاتِلَةِ، وَإِنْ مَرِضَ طَوِيلًا يُرْجَى أُعْطِيَ كَالْمُقَاتِلَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menyempurnakannya dalam keadaan buta yang tidak mampu berperang selamanya, atau cacat fisik yang tidak mampu berperang selamanya, maka tidak diwajibkan baginya kewajiban berperang, dan dia diberi sesuai dengan kebutuhan tempat tinggalnya, yang serupa dengan anak-anak. Jika kewajiban itu ditetapkan untuk orang yang sehat kemudian dia menjadi lemah (tidak mampu berperang), maka dia keluar dari kelompok yang wajib berperang. Jika dia sakit dalam waktu lama tetapi masih ada harapan sembuh, maka dia diberi seperti orang yang wajib berperang.

 

(قَالَ) : وَيَخْرُجُ الْعَطَاءُ لِلْمُقَاتِلَةِ كُلَّ عَامٍ فِي وَقْتٍ مِنْ الْأَوْقَاتِ وَالذُّرِّيَّةِ عَلَى ذَلِكَ الْوَقْتِ، وَإِذَا صَارَ مَالُ الْفَيْءِ إلَى الْوَالِي ثُمَّ مَاتَ مَيِّتٌ قَبْلَ أَنْ يَأْخُذَ عَطَاءَهُ أُعْطِيَهُ وَرَثَتُهُ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يَصِيرَ إلَيْهِ مَالُ ذَلِكَ الْعَامِ لَمْ يُعْطَهُ وَرَثَتُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Pemberian (harta) untuk para pejuang dikeluarkan setiap tahun pada waktu tertentu, begitu pula untuk keturunan mereka pada waktu itu. Jika harta fai’ telah sampai ke penguasa, lalu seseorang meninggal sebelum mengambil bagiannya, maka ahli warisnya berhak menerimanya. Namun, jika ia meninggal sebelum harta tahunan itu sampai kepadanya, maka ahli warisnya tidak diberi bagian.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ فَضَلَ مِنْ الْفَيْءِ شَيْءٌ بَعْدَمَا وَصَفْت مِنْ إعْطَاءِ الْعَطَايَا وَضَعَهُ الْإِمَامُ فِي إصْلَاحِ الْحُصُونِ وَالِازْدِيَادِ فِي السِّلَاحِ وَالْكُرَاعِ وَكُلُّ مَا قَوِيَ بِهِ الْمُسْلِمُونَ، فَإِنْ اسْتَغْنَوْا عَنْهُ وَكَمُلَتْ كُلُّ مَصْلَحَةٍ لَهُمْ فَرَّقَ مَا يَبْقَى مِنْهُ بَيْنَهُمْ عَلَى قَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّونَ فِي ذَلِكَ الْمَالِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika masih ada sisa dari harta fai’ setelah pembagian yang telah dijelaskan berupa pemberian-pemberian, maka imam menempatkannya untuk perbaikan benteng, penambahan persenjataan, kuda perang, dan segala yang memperkuat kaum muslimin. Jika mereka sudah tidak membutuhkannya dan segala kepentingan mereka telah terpenuhi, maka ia membagikan sisanya kepada mereka sesuai dengan hak masing-masing dalam harta tersebut.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika pemberian itu sedikit dan tidak mencukupi, maka bagikanlah di antara mereka sesuai dengan apa yang ada, dan janganlah menahan sedikit pun dari mereka.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ ضَاقَ عَنْ مَبْلَغِ الْعَطَاءِ فَرَّقَهُ بَيْنَهُمْ بَالِغًا مَا بَلَغَ لَمْ يَحْبِسْ عَنْهُمْ مِنْهُ شَيْءٌ.

 

(قَالَ) : وَيُعْطِي مِنْ الْفَيْءِ رِزْقَ الْحُكَّامِ وَوُلَاةَ الْأَحْدَاثِ وَالصَّلَاةِ لِأَهْلِ الْفَيْءِ وَكُلَّ مَنْ قَامَ بِأَمْرِ أَهْلِ الْفَيْءِ مِنْ وَالٍ وَكَاتِبٍ وَجُنْدِيٍّ مِمَّنْ لَا غَنَاءَ لِأَهْلِ الْفَيْءِ عَنْهُ رُزِقَ مِثْلَهُ فَإِنْ وُجِدَ مَنْ يُغْنِي غَنَاءَهُ وَكَانَ أَمِينًا بِأَقَلَّ لَمْ يَزِدْ أَحَدًا عَلَى أَقَلَّ مَا يَجِدُ؛ لِأَنَّ مَنْزِلَةَ الْوَالِي مِنْ رَعِيَّتِهِ مَنْزِلَةُ وَالِي الْيَتِيمِ مِنْ مَالِهِ لَا يُعْطَى مِنْهُ عَنْ الْغَنَاءِ لِلْيَتِيمِ إلَّا أَقَلَّ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ وَمَنْ وُلِّيَ عَلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ كَانَ رِزْقُهُ مِمَّا يُؤْخَذُ مِنْهَا لَا يُعْطَى مِنْ الْفَيْءِ عَلَيْهَا كَمَا لَا يُعْطَى مِنْ الصَّدَقَاتِ عَلَى الْفَيْءِ.

 

 

Beliau berkata: “Dan dari fai’ diberikan rezeki para hakim, pengurus urusan, dan shalat untuk ahli fai’, serta setiap orang yang menangani urusan ahli fai’ seperti gubernur, sekretaris, dan tentara yang ahli fai’ tidak bisa lepas darinya, maka diberi rezeki serupa. Jika ditemukan orang yang bisa menggantikan perannya dengan amanah dan upah lebih rendah, maka tidak boleh memberi lebih dari upah minimal yang ditemukan. Karena kedudukan pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan wali yatim terhadap hartanya—tidak boleh memberi dari harta itu kecuali sekadar yang dibutuhkan untuk kepentingan yatim. Siapa yang diangkat mengurus zakat, rezekinya diambil dari zakat itu, bukan dari fai’, sebagaimana zakat tidak boleh diberikan untuk urusan fai’.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ فِي قَسْمِ الْفَيْءِ وَذَهَبُوا مَذَاهِبَ لَا أَحْفَظُ عَنْهُمْ تَفْسِيرَهَا وَلَا أَحْفَظُ أَيَّهُمْ قَالَ مَا أَحْكِي مِنْ الْقَوْلِ دُونَ مَنْ خَالَفَهُ وَسَأَحْكِي مَا حَضَرَنِي مِنْ مَعَانِي كُلِّ مَنْ قَالَ فِي الْفَيْءِ شَيْئًا، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ هَذَا الْمَالُ لِلَّهِ تَعَالَى دَلَّ عَلَى مَنْ يُعْطَاهُ فَإِذَا اجْتَهَدَ الْوَالِي فَفَرَّقَهُ فِي جَمِيعِ مَنْ سُمِّيَ لَهُ عَلَى قَدْرِ مَا يَرَى مِنْ اسْتِحْقَاقِهِمْ بِالْحَاجَةِ إلَيْهِ، وَإِنْ فَضُلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْعَطَاءِ فَذَلِكَ تَسْوِيَةٌ إذَا كَانَ مَا يُعْطَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سَدَّ خَلَّتَهُ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَ صِنْفًا مِنْهُمْ وَيُحْرِمَ صِنْفًا وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: إذَا اجْتَمَعَ الْمَالُ نَظَرَ فِي مَصْلَحَةِ الْمُسْلِمِينَ فَرَأَى أَنْ يَصْرِفَ الْمَالَ إلَى بَعْضِ الْأَصْنَافِ دُونَ بَعْضٍ فَإِنْ كَانَ الصِّنْفُ الَّذِي يَصْرِفُهُ إلَيْهِ لَا يَسْتَغْنِي عَنْ شَيْءٍ مِمَّا يَصْرِفُهُ إلَيْهِ وَكَانَ أَرْفَقَ بِجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ صَرَفَهُ وَحَرَمَ غَيْرَهُ وَيُشْبِهُ قَوْلَ الَّذِي يَقُولُ هَذَا أَنَّهُ إنَّ طَلَبَ الْمَالِ صِنْفَانِ وَكَانَ إذَا حَرَمَهُ أَحَدَ الصِّنْفَيْنِ تَمَاسَكَ وَلَمْ يُدْخِلْ عَلَيْهِ خَلَّةً مُضِرَّةً، وَإِنْ سَاوَى بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصِّنْفِ الْآخَرِ كَانَتْ عَلَى الصِّنْفِ الْآخَرِ خَلَّةٌ مُضِرَّةٌ أَعْطَاهُ الَّذِينَ فِيهِمْ الْخَلَّةُ الْمُضِرَّةُ كُلَّهُ.

 

Beliau berkata: “Para sahabat kami dan lainnya berselisih pendapat mengenai pembagian fai’. Mereka memiliki berbagai pandangan yang aku tidak hafal penjelasannya dari mereka, dan aku juga tidak hafal siapa yang mengatakan pendapat yang aku sampaikan tanpa menyebut yang menyelisihinya. Aku akan menyampaikan apa yang sampai kepadaku dari makna-makna yang dikatakan oleh setiap orang tentang fai’. Di antara mereka ada yang berkata: ‘Harta ini milik Allah Ta’ala, Dia menunjukkan kepada siapa harta itu diberikan. Jika penguasa berijtihad lalu membagikannya kepada semua orang yang disebutkan sesuai dengan kadar yang dia lihat dari hak mereka berdasarkan kebutuhan, dan jika sebagian mereka lebih banyak daripada yang lain dalam pemberian, maka itu adalah bentuk pemerataan selama apa yang diberikan kepada masing-masing mencukupi kebutuhannya. Tidak boleh memberikan kepada satu golongan dan menghalangi golongan lainnya.’ Di antara mereka ada juga yang berkata: ‘Jika harta telah terkumpul, dia melihat kemaslahatan kaum muslimin lalu memutuskan untuk menyalurkan harta kepada sebagian golongan dan tidak kepada yang lain. Jika golongan yang diberi tidak bisa lepas dari sesuatu yang disalurkan kepada mereka dan itu lebih menguntungkan bagi jamaah kaum muslimin, maka dia menyalurkannya dan menghalangi yang lain.’ Pendapat ini mirip dengan orang yang berkata: ‘Jika dua golongan meminta harta, dan jika dia menghalangi salah satu golongan, golongan itu tetap stabil tanpa mengalami kekurangan yang merugikan. Namun jika dia menyamakan antara satu golongan dengan yang lain, maka golongan yang lain akan mengalami kekurangan yang merugikan, maka dia memberikan seluruhnya kepada golongan yang mengalami kekurangan yang merugikan.'”

 

(قَالَ) : ثُمَّ قَالَ بَعْضُ مَنْ قَالَ: إذَا صَرَفَ مَالَ الْفَيْءِ إلَى نَاحِيَةٍ فَسَدَّهَا وَحَرَمَ الْأُخْرَى ثُمَّ جَاءَهُ مَالٌ آخَرُ أَعْطَاهَا إيَّاهُ دُونَ النَّاحِيَةِ الَّتِي سَدَّهَا فَكَأَنَّهُ ذَهَبَ إلَى أَنَّهُ إنَّمَا عَجَّلَ أَهْلَ الْخَلَّةِ وَأَخَّرَ غَيْرَهُمْ حَتَّى أَوْفَاهُمْ بَعْدُ.

 

 

Beliau berkata: Kemudian sebagian orang berpendapat: Jika seseorang mengalokasikan harta fai’ ke satu wilayah lalu menutupnya dan menghalangi wilayah lainnya, kemudian datang harta lain, lalu dia memberikannya kepada wilayah itu tanpa wilayah yang ditutupnya, maka seolah-olah dia mendahulukan orang yang membutuhkan dan mengakhirkan yang lain hingga kemudian memenuhi hak mereka.

 

(قَالَ) : وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْهُمْ قَالَ: يُعْطِي مَنْ يُعْطَى مِنْ الصَّدَقَاتِ وَلَا مُجَاهِدًا مِنْ الْفَيْءِ وَقَالَ بَعْضُ مَنْ أَحْفَظُ عَنْهُ: وَإِنْ أَصَابَتْ أَهْلَ الصَّدَقَاتِ سَنَةٌ فَهَلَكَتْ أَمْوَالُهُمْ أَنْفَقَ عَلَيْهِمْ مِنْ الْفَيْءِ فَإِذَا اسْتَغْنَوْا عَنْهُ مُنِعُوا الْفَيْءَ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ فِي مَالِ الصَّدَقَاتِ هَذَا الْقَوْلُ يَرُدُّ بَعْضَ مَالِ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ.

 

 

Beliau berkata: “Aku tidak mengetahui seorang pun dari mereka yang mengatakan: ‘Memberikan kepada orang yang diberi dari zakat, juga tidak kepada mujahid dari fai’. Sebagian orang yang aku hafal darinya berkata: ‘Jika tahun yang sulit menimpa para penerima zakat dan harta mereka binasa, maka dibelanjakan untuk mereka dari fai. Jika mereka sudah tidak membutuhkannya lagi, fai itu dihentikan.’ Ada juga di antara mereka yang berpendapat tentang harta zakat dengan perkataan ini: ‘Sebagian harta para penerima zakat dikembalikan.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَاَلَّذِي أَقُولُ بِهِ وَأَحْفَظُ عَمَّنْ أَرْضَى مِمَّنْ سَمِعْت أَنْ لَا يُؤَخِّرَ الْمَالَ إذَا اجْتَمَعَ وَلَكِنْ يُقَسِّمُ فَإِنْ كَانَتْ نَازِلَةً مِنْ عَدُوٍّ وَجَبَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ الْقِيَامُ بِهَا، وَإِنْ غَشِيَهُمْ عَدُوٌّ فِي دَارِهِمْ وَجَبَ النَّفِيرُ عَلَى جَمِيعِ مَنْ غَشِيَهُ أَهْلِ الْفَيْءِ وَغَيْرِهِمْ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Pendapat yang aku pegang dan aku hafal dari orang-orang yang aku ridhai di antara yang aku dengar adalah bahwa harta tidak boleh ditunda pembagiannya jika telah terkumpul, melainkan harus segera dibagikan. Jika ada serangan musuh, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menghadapinya. Dan jika musuh menyerang negeri mereka, maka wajib bagi semua orang yang diserang, baik ahli fai’ maupun lainnya, untuk berangkat (berperang).”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّهُ لَمَّا قَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مَالٌ أُصِيبَ بِالْعِرَاقِ فَقَالَ لَهُ صَاحِبُ بَيْتِ الْمَالِ: أَلَا نُدْخِلُهُ بَيْتَ الْمَالِ؟ قَالَ: لَا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ لَا يُؤْوَى تَحْتَ سَقْفِ بَيْتٍ حَتَّى أُقَسِّمَهُ فَأَمَرَ بِهِ فَوُضِعَ فِي الْمَسْجِدِ وَوُضِعَتْ عَلَيْهِ الْأَنْطَاعُ وَحَرَسَهُ رِجَالٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فَلَمَّا أَصْبَحَ غَدَا مَعَهُ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ آخِذًا بِيَدِ أَحَدِهِمَا أَوْ أَحَدُهُمَا آخِذٌ بِيَدِهِ فَلَمَّا رَأَوْهُ كَشَفُوا الْأَنْطَاعَ عَنْ الْأَمْوَالِ فَرَأَى مَنْظَرًا لَمْ يَرَ مِثْلَهُ الذَّهَبُ فِيهِ وَالْيَاقُوتُ وَالزَّبَرْجَدُ وَاللُّؤْلُؤُ يَتَلَأْلَأُ فَبَكَى فَقَالَ لَهُ أَحَدُهُمَا: إنَّهُ وَاَللَّهِ مَا هُوَ بِيَوْمِ بُكَاءٍ لَكِنَّهُ وَاَللَّهِ يَوْمُ شُكْرٍ وَسُرُورٍ فَقَالَ: إنِّي وَاَللَّهِ مَا ذَهَبْت حَيْثُ ذَهَبْت وَلَكِنْ وَاَللَّهِ مَا كَثُرَ هَذَا فِي قَوْمٍ قَطُّ إلَّا وَقَعَ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى الْقِبْلَةِ وَرَفَعَ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ وَقَالَ: اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِك أَنْ أَكُونَ مُسْتَدْرَجًا فَإِنِّي أَسْمَعُك تَقُولُ: {سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لا يَعْلَمُونَ} الأعراف: 182 ثُمَّ قَالَ أَيْنَ سُرَاقَةُ بْنُ جُعْشُمَ؟ فَإِنِّي بِهِ أَشْعَرُ الذِّرَاعَيْنِ دَقِيقُهُمَا فَأَعْطَاهُ سِوَارَيْ كِسْرَى وَقَالَ: الْبِسْهُمَا فَفَعَلَ فَقَالَ: قُلْ اللَّهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ، قَالَ: فَقُلْ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي سَلَبَهُمَا كِسْرَى بْنَ هُرْمُزَ وَأَلْبَسَهُمَا سُرَاقَةَ بْنَ جُعْشُمَ أَعْرَابِيًّا مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ وَإِنَّمَا أَلْبَسَهُ إيَّاهُمَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِسُرَاقَةَ وَنَظَرَ إلَى ذِرَاعِهِ كَأَنَّ بِك وَقَدْ لَبِسْت سِوَارَيْ كِسْرَى وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ إلَّا سِوَارَيْهِ وَجَعَلَ يُقَلِّبُ بَعْضَ ذَلِكَ بَعْضًا ثُمَّ قَالَ: إنَّ الَّذِي أَدَّى هَذَا لَأَمِينٌ فَقَالَ قَائِلٌ: أَنَا أُخْبِرُك أَنَّك أَمِينُ اللَّهِ وَهُمْ يُؤَدُّونَ إلَيْك مَا أَدَّيْت إلَى اللَّهِ فَإِذَا رَتَعْت رَتَعُوا قَالَ: صَدَقْت ثُمَّ فَرَّقَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – mengabarkan kepada kami dari beberapa ulama bahwa ketika harta rampasan dari Irak tiba kepada Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – penjaga baitul mal berkata: “Maukah kita masukkan ke baitul mal?” Umar menjawab: “Tidak, demi Tuhan Ka’bah! Ini tidak akan berlindung di bawah atap rumah sampai aku bagikan.” Lalu ia memerintahkan agar harta itu diletakkan di masjid dan ditutupi dengan tikar, dijaga oleh para Muhajirin dan Anshar.

 

Ketika pagi tiba, Umar datang bersama Abbas bin Abdul Muthalib dan Abdurrahman bin Auf sambil memegang tangan salah seorang dari mereka. Ketika mereka melihat harta itu, mereka membuka tikarnya. Umar melihat pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya: emas, permata, zamrud, dan mutiara yang berkilauan. Ia pun menangis. Salah seorang dari mereka berkata: “Demi Allah, hari ini bukan hari untuk menangis, tapi hari syukur dan kegembiraan.”

 

Umar menjawab: “Demi Allah, bukan itu yang kumaksud. Tapi demi Allah, tidaklah harta sebanyak ini dimiliki suatu kaum melainkan akan timbul permusuhan di antara mereka.” Kemudian ia menghadap kiblat, mengangkat tangan ke langit dan berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari istidraj, karena aku mendengar firman-Mu: ‘Kelak Kami akan menarik mereka sedikit demi sedikit dari arah yang tidak mereka ketahui.’ (QS. Al-A’raf: 182)”

 

Lalu ia bertanya: “Di mana Suraqah bin Ju’syum? Aku melihatnya memiliki lengan yang berbulu dan ramping.” Ia memberikan dua gelang Kisra kepada Suraqah dan berkata: “Pakailah ini!” Suraqah pun memakainya. Umar berkata: “Ucapkan Allahu Akbar!” Suraqah mengucapkannya. Umar berkata lagi: “Katakan: Segala puji bagi Allah yang telah mencabut kedua gelang ini dari Kisra bin Hurmuz dan memberikannya kepada Suraqah bin Ju’syum, seorang badui dari Bani Mudlij.”

 

Umar memberikannya gelang itu karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah berkata kepada Suraqah sambil melihat lengannya: “Sepertinya engkau akan memakai dua gelang Kisra.” Umar hanya memberinya dua gelang itu.

 

Ia kemudian memeriksa sebagian harta itu dan berkata: “Sungguh, orang yang menyerahkan ini adalah orang yang amanah.” Seorang berkata: “Aku kabarkan bahwa engkau adalah amanah Allah, dan mereka menyerahkan kepadamu apa yang engkau serahkan kepada Allah. Jika engkau hidup mewah, mereka pun akan hidup mewah.” Umar berkata: “Engkau benar.” Kemudian ia membagikan harta itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَأَخْبَرَنَا الثِّقَةُ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ أَنْفَقَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَلَى أَهْلِ الرَّمَادَةِ فِي مُقَامِهِمْ حَتَّى وَقَعَ مَطَرٌ فَتُرَحَّلُوا فَخَرَجَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – رَاكِبًا إلَيْهِمْ فَرَسًا يَنْظُرُ إلَيْهِمْ كَيْفَ يَتَرَحَّلُونَ فَدَمَعَتْ عَيْنَاهُ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ مُحَارِبٍ حِصْفَةٍ أَشْهَدُ أَنَّهَا انْحَسَرَتْ عَنْك وَلَسْت بِابْنِ أُمَيَّةَ فَقَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: وَيْلُك ذَاكَ لَوْ كُنْت أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ مِنْ مَالِي أَوْ مَالِ الْخَطَّابِ إنَّمَا أُنْفِقُ عَلَيْهِمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata) Seorang yang terpercaya dari penduduk Madinah mengabarkan kepada kami, ia berkata: “Umar -radhiyallahu ‘anhu- memberikan nafkah kepada penduduk Ramadah selama mereka menetap, hingga turun hujan dan mereka pun bersiap berpindah. Umar -radhiyallahu ‘anhu- keluar menunggang kuda untuk melihat keadaan mereka saat bersiap berpindah, lalu matanya berlinang air mata. Seorang laki-laki dari Muharib Hishfah berkata, ‘Aku bersaksi bahwa engkau telah terlepas dari cela, dan engkau bukanlah anak Umayyah.’ Umar -radhiyallahu ‘anhu- menjawab, ‘Celaka engkau! Jika saja aku memberi nafkah kepada mereka dari hartaku atau harta Al-Khaththab, tetapi aku memberi nafkah kepada mereka dari harta Allah Azza wa Jalla.'”

 

مَا لَمْ يُوجَفْ عَلَيْهِ مِنْ الْأَرْضِينَ بِخَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ

 

(harta benda) yang tidak kamu peroleh dengan susah payah (dengan mengerahkan) kuda dan unta.

(Asy-Syafi’i berkata) -semoga Allah merahmatinya-: “Segala sesuatu yang diperoleh dari orang-orang musyrik tanpa peperangan, baik berupa kuda maupun kendaraan lainnya, maka hukumnya seperti fai’ yang dibagikan. Sedangkan jika berupa tanah atau rumah, maka itu menjadi wakaf untuk kaum Muslimin, dimanfaatkan dan dibagikan hasilnya kepada mereka setiap tahun, begitu seterusnya selamanya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: كُلُّ مَا صُولِحَ عَلَيْهِ الْمُشْرِكُونَ بِغَيْرِ قِتَالٍ خَيْلٌ وَلَا رِكَابٌ فَسَبِيلُهُ سَبِيلُ الْفَيْءِ عَلَى قَسْمِهِ وَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ مِنْ أَرْضِينَ وَدُورٍ فَهِيَ وَقْفٌ لِلْمُسْلِمِينَ يُسْتَغَلُّ وَيُقَسَّمُ عَلَيْهِمْ فِي كُلِّ عَامٍ كَذَلِكَ أَبَدًا.

 

(قَالَ) : وَأَحْسَبُ مَا تَرَكَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بِلَادَ أَهْلِ الشِّرْكِ هَكَذَا أَوْ شَيْئًا اسْتَطَابَ أَنْفُسَ مَنْ ظَهَرَ عَلَيْهِ بِخَيْلٍ وَرِكَابٍ فَتَرَكُوهُ، كَمَا اسْتَطَابَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْفُسَ أَهْلِ سَبْيِ هَوَازِنَ فَتَرَكُوا حُقُوقَهُمْ وَفِي حَدِيثِ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عُمَرَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَنَّهُ عَوَّضَهُ مِنْ حَقِّهِ وَعَوَّضَ امْرَأَتَهُ مِنْ حَقِّهَا بِمِيرَاثِهَا كَالدَّلِيلِ عَلَى مَا قُلْت.

 

 

Beliau berkata: “Aku mengira Umar – radhiyallahu ‘anhu – meninggalkan negeri kaum musyrik seperti ini atau sesuatu yang membuat jiwa orang yang menguasainya dengan kuda dan kendaraan merasa senang lalu mereka meninggalkannya, sebagaimana Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – membuat jiwa tawanan Hawazin merasa senang lalu mereka meninggalkan hak-hak mereka. Dan dalam hadits Jarir bin Abdullah dari Umar – rahimahullah – bahwa dia menggantikan haknya dan menggantikan hak istrinya dengan warisannya sebagai bukti atas apa yang kukatakan.”

(Asy-Syafi’i berkata): Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa.” (QS. Al-Hujurat: 13) ayat.

(قَالَ) : وَرَوَى الزُّهْرِيُّ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَرَّفَ عَامَ حُنَيْنٍ عَلَى كُلِّ عَشْرَةٍ عَرِيفًا» .

 

Beliau berkata: Az-Zuhri meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun Hunain menunjuk seorang ‘arif (pemimpin) untuk setiap sepuluh orang.

 

(قَالَ) : وَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِلْمُهَاجِرِينَ شِعَارًا وَلِلْأَوْسِ شِعَارًا وَلِلْخَزْرَجِ شِعَارًا.

 

 

Dia (perawi) berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menjadikan untuk kaum Muhajirin syi’ar (tanda pengenal), untuk suku Aus syi’ar, dan untuk suku Khazraj syi’ar.

 

(قَالَ) : وَعَقَدَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْأَلْوِيَةَ فَعَقَدَ لِلْقَبَائِلِ قَبِيلَةً فَقَبِيلَةً حَتَّى جَعَلَ فِي الْقَبِيلَةِ أَلْوِيَةً كُلُّ لِوَاءٍ لِأَهْلِهِ وَكُلُّ هَذَا لِيَتَعَارَفَ النَّاسُ فِي الْحَرْبِ وَغَيْرِهَا فَتَخِفَّ الْمُؤْنَةُ عَلَيْهِمْ بِاجْتِمَاعِهِمْ وَعَلَى الْوَالِي كَذَلِكَ؛ لِأَنَّ فِي تَفَرُّقِهِمْ إذَا أُرِيدُوا مُؤْنَةً عَلَيْهِمْ وَعَلَى وَالِيهِمْ، فَهَكَذَا أُحِبُّ لِلْوَالِي أَنْ يَضَعَ دِيوَانَهُ عَلَى الْقَبَائِلِ وَيَسْتَظْهِرَ مَنْ غَابَ عَنْهُ وَمَنْ جَهِلَ مِمَّنْ حَضَرَهُ مِنْ أَهْلِ الْفَضْلِ مِنْ قَبَائِلِهِمْ.

 

 

Beliau berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengikat bendera-bendera, lalu mengikat untuk setiap kabilah satu bendera demi satu bendera, hingga setiap kabilah memiliki bendera-bendera, setiap bendera untuk kaumnya. Semua ini agar manusia saling mengenal dalam perang dan selainnya, sehingga beban mereka menjadi ringan dengan berkumpulnya mereka, begitu pula bagi penguasa. Karena jika mereka terpecah-belah saat dibutuhkan, itu akan menjadi beban bagi mereka dan penguasanya. Maka demikianlah aku suka jika seorang penguasa mendasarkan diwan (administrasi)nya pada kabilah-kabilah, serta memanfaatkan orang yang tidak hadir dan yang tidak dikenal dari orang-orang yang hadir dari kalangan ahli keutamaan dari kabilah mereka.

(Asy-Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Telah mengabarkan kepadaku lebih dari satu orang yang terpercaya dan berilmu dari penduduk Madinah dan Makkah, dari berbagai kabilah Quraisy. Sebagian dari mereka lebih baik dalam meriwayatkan hadis daripada yang lain, dan sebagian menambahkan riwayat yang lain, bahwa Umar – radhiyallahu ‘anhu – ketika mencatat diwan (daftar pembagian gaji), beliau berkata: ‘Aku akan memulai dengan Bani Hasyim.’ Kemudian beliau berkata: ‘Aku pernah hadir ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberikan (pembagian) kepada mereka dan Bani Al-Muththalib. Jika usia (senioritas) ada pada orang Hasyimi, beliau mendahulukannya atas orang Muththalibi. Jika usia ada pada orang Muththalibi, beliau mendahulukannya atas orang Hasyimi.’ Maka Umar menetapkan diwan berdasarkan hal itu dan memberikan mereka pembagian seperti satu kabilah.

 

Kemudian, di hadapannya, Bani Abdu Syams dan Naufal setara dalam kedudukan nasab. Beliau berkata: ‘Abdu Syams adalah saudara Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dari pihak ayah dan ibu, tidak seperti Naufal.’ Maka beliau mendahulukan mereka, kemudian memanggil Bani Naufal setelah mereka.

 

Kemudian, di hadapannya, Abdu Al-‘Uzza dan Abdu Ad-Dar setara. Beliau berkata tentang Bani Asad bin Abdi Al-‘Uzza: ‘Mereka adalah besan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan termasuk orang-orang yang dimuliakan.’ Sebagian perawi berkata: ‘Mereka adalah bagian dari Hilful Fudhul.’ Dan di antara merekalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berada. Dikatakan juga bahwa beliau menyebutkan keutamaan mereka, lalu mendahulukannya atas Bani Abdi Ad-Dar. Kemudian beliau memanggil Bani Abdi Ad-Dar setelah mereka.

 

Setelah itu, tersisalah Zuhrah, maka beliau memanggil mereka setelah Abdi Ad-Dar. Kemudian, di hadapannya, Taim dan Makhzum setara. Beliau berkata tentang Taim: ‘Mereka termasuk dalam Hilful Fudhul dan orang-orang yang dimuliakan, dan di antara merekalah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berada.’ Dikatakan juga bahwa beliau menyebutkan keutamaan mereka, atau disebutkan bahwa beliau menyebutkan hubungan besan, lalu mendahulukan mereka atas Makhzum. Kemudian beliau memanggil Makhzum setelah mereka.

 

Kemudian, di hadapannya, Sahrn, Jumah, dan ‘Adi bin Ka’ab setara. Dikatakan kepadanya: ‘Mulailah dengan ‘Adi.’ Beliau menjawab: ‘Tidak, aku akan menempatkan diriku di posisiku dahulu. Sesungguhnya Islam masuk, dan urusan kami dengan Bani Sahm adalah satu. Namun, lihatlah antara Jumah dan Sahm.’ Dikatakan: ‘Beliau mendahulukan Bani Jumah, kemudian memanggil Bani Sahm.’ Diwan ‘Adi dan Sahm awalnya tercampur seperti satu kelompok. Ketika gilirannya tiba, beliau bertakbir dengan suara keras, lalu berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyampaikan bagianku dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian beliau memanggil ‘Amir bin Lu’ay.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) فَقَالَ بَعْضُهُمْ: إنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْجَرَّاحِ الْفِهْرِيَّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَمَّا رَأَى مَنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ قَالَ: أَكُلُّ هَؤُلَاءِ يُدْعَى أَمَامِي؟ فَقَالَ: يَا أَبَا عُبَيْدَةَ اصْبِرْ كَمَا صَبَرْت أَوْ كَلِّمْ قَوْمَك فَمَنْ قَدَّمَك مِنْهُمْ عَلَى نَفْسِهِ لَمْ أَمْنَعْهُ فَأَمَّا أَنَا وَبَنُو عَدِيٍّ فَنُقَدِّمُك إنْ أَحْبَبْت عَلَى أَنْفُسِنَا قَالَ: فَقَدِمَ مُعَاوِيَةُ بَعْدَ بَنِي الْحَارِثِ بْنِ فِهْرٍ فَفَصَلَ بِهِمْ بَيْنَ بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ وَأَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى وَشَجَرَ بَيْنَ بَنِي سَهْمٍ وَعَدِيٍّ شَيْءٌ فِي زَمَانِ الْمَهْدِيِّ فَافْتَرَقُوا فَأَمَرَ الْمَهْدِيُّ بِبَنِي عَدِيٍّ فَقُدِّمُوا عَلَى سَهْمٍ وَجَمَحَ لِسَابِقَةٍ فِيهِمْ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata) Sebagian dari mereka berkata: Sesungguhnya Abu Ubaidah bin Abdullah bin Al-Jarrah Al-Fihri – radhiyallahu ‘anhu – ketika melihat orang yang didahulukan darinya, berkata: “Apakah semua orang ini dipanggil di depanku?” Maka dikatakan kepadanya: “Wahai Abu Ubaidah, bersabarlah sebagaimana engkau telah bersabar, atau bicaralah dengan kaummu. Barangsiapa di antara mereka yang mendahulukanmu atas dirinya sendiri, aku tidak akan melarangnya. Adapun aku dan Bani Adi, kami akan mendahulukanmu jika engkau mau atas diri kami.” Beliau berkata: Kemudian Mu’awiyah datang setelah Bani Al-Harits bin Fihr dan memisahkan mereka antara Bani Abdi Manaf dan Asad bin Abdul Uzza. Dan terjadi perselisihan antara Bani Sahim dan Adi pada zaman Al-Mahdi, lalu mereka berpisah. Maka Al-Mahdi memerintahkan agar Bani Adi didahulukan atas Sahim dan mereka melompat karena keutamaan yang ada pada mereka.

 

(قَالَ) : فَإِذَا فُرِغَ مِنْ قُرَيْشٍ بُدِئَتْ الْأَنْصَارُ عَلَى الْعَرَبِ لِمَكَانِهِمْ مِنْ الْإِسْلَامِ.

 

 

Beliau berkata: “Apabila urusan Quraisy telah selesai, maka akan dimulailah (urusan) Anshar terhadap bangsa Arab karena kedudukan mereka dalam Islam.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Manusia adalah hamba-hamba Allah, maka yang paling berhak untuk didahulukan adalah yang paling dekat dengan kebaikan Allah Ta’ala dalam menyampaikan risalah-Nya, yang dipercaya dengan amanat-Nya, penutup para nabi, dan sebaik-baik ciptaan Tuhan semesta alam, yaitu Muhammad – shallallahu ‘alaihi wasallam -.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : النَّاسُ عِبَادُ اللَّهِ فَأَوْلَاهُمْ أَنْ يَكُونَ مُقَدَّمًا أَقْرَبُهُمْ بِخَيْرَةِ اللَّهِ تَعَالَى لِرِسَالَتِهِ وَمُسْتَوْدَعُ أَمَانَتِهِ وَخَاتَمُ النَّبِيِّينَ وَخَيْرُ خَلْقِ رَبِّ الْعَالَمِينَ مُحَمَّدٌ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ فَرَضَ لَهُ الْوَالِي مِنْ قَبَائِلِ الْعَرَبِ رَأَيْت أَنْ يُقَدَّمَ الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ مِنْهُمْ بِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِذَا اسْتَوَوْا قُدِّمَ أَهْلُ السَّابِقَةِ عَلَى غَيْرِ أَهْلِ السَّابِقَةِ مِمَّنْ هُوَ مِثْلُهُمْ فِي الْقَرَابَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Barangsiapa yang diberi tunjangan oleh penguasa dari kabilah-kabilah Arab, aku berpendapat agar didahulukan yang lebih dekat lalu yang lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika derajat mereka setara, maka didahulukan orang yang lebih dahulu masuk Islam daripada yang bukan termasuk orang yang lebih dahulu masuk Islam, dari kalangan yang memiliki kedekatan nasab yang sama.”

 

مُخْتَصَرُ كِتَابِ الصَّدَقَاتِ مِنْ كِتَابَيْنِ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ

 

Ringkasan Kitab Sedekah dari Dua Kitab Lama dan Baru

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَرَضَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى أَهْلِ دِينِهِ الْمُسْلِمِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقًّا لِغَيْرِهِمْ مِنْ أَهْلِ دِينِهِ الْمُسْلِمِينَ الْمُحْتَاجِينَ إلَيْهِ لَا يَسَعُهُمْ حَبْسُهُ عَمَّنْ أُمِرُوا بِدَفْعِهِ إلَيْهِ أَوْ وُلَاتِهِ وَلَا يَسَعُ الْوُلَاةَ تَرْكُهُ لِأَهْلِ الْأَمْوَالِ؛ لِأَنَّهُمْ أُمَنَاءُ عَلَى أَخْذِهِ لِأَهْلِهِ وَلَمْ نَعْلَمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَخَّرَهُ عَامًا لَا يَأْخُذُهَا فِيهِ وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا مِمَّا أَعْطَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَقَاتَلْتهمْ عَلَيْهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mewajibkan atas pemeluk agama-Nya, kaum Muslimin, dalam harta mereka suatu hak bagi orang lain dari kalangan pemeluk agama-Nya, kaum Muslimin yang membutuhkannya. Tidak boleh bagi mereka menahan hak itu dari orang yang diperintahkan untuk memberikannya atau dari para pemimpin. Dan tidak boleh bagi para pemimpin meninggalkan kewajiban itu bagi pemilik harta, karena mereka adalah penanggung jawab dalam mengambilnya untuk yang berhak. Kami tidak mengetahui bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pernah menundanya setahun tanpa mengambilnya. Abu Bakar ash-Shiddiq – radhiyallahu ‘anhu – berkata: ‘Seandainya mereka menolak memberikan seekor anak kambing betina dari apa yang mereka berikan kepada Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – niscaya aku akan memerangi mereka karenanya.'”

 

(قَالَ) : فَإِذَا أُخِذَتْ صَدَقَةُ مُسْلِمٍ دُعِيَ لَهُ بِالْأَجْرِ وَالْبَرَكَةِ كَمَا قَالَ تَعَالَى {وَصَلِّ عَلَيْهِمْ} التوبة: 103 أَيْ اُدْعُ لَهُمْ.

 

 

Beliau berkata: “Ketika zakat seorang Muslim diambil, maka didoakan untuknya agar mendapat pahala dan keberkahan, sebagaimana firman Allah Ta’ala {وَصَلِّ عَلَيْهِمْ} QS. At-Taubah: 103 yang artinya ‘berdoalah untuk mereka’.”

 

(قَالَ) : وَالصَّدَقَةُ هِيَ الزَّكَاةُ وَالْأَغْلَبُ عَلَى أَفْوَاهِ الْعَامَّةِ أَنَّ لِلثَّمَرِ عُشْرًا وَلِلْمَاشِيَةِ صَدَقَةً وَلِلْوَرِقِ زَكَاةً وَقَدْ سَمَّى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هَذَا كُلَّهُ صَدَقَةً فَمَا أُخِذَ مِنْ مُسْلِمٍ مِنْ زَكَاةِ مَالٍ نَاضٍّ أَوْ مَاشِيَةٍ أَوْ زَرْعٍ أَوْ زَكَاةِ فِطْرٍ أَوْ خُمُسِ رِكَازٍ أَوْ صَدَقَةِ مَعْدِنٍ أَوْ غَيْرِهِ مِمَّا وَجَبَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ بِكِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ أَوْ إجْمَاعِ عَوَامِّ الْمُسْلِمِينَ فَمَعْنَاهُ وَاحِدٌ وَقَسْمُهُ وَاحِدٌ وَقَسْمُ الْفَيْءِ خِلَافُ هَذَا فَالْفَيْءُ مَا أُخِذَ مِنْ مُشْرِكٍ تَقْوِيَةً لِأَهْلِ دِينِ اللَّهِ وَلَهُ مَوْضِعٌ غَيْرُ هَذَا الْمَوْضِعِ، وَقَسْمُ الصَّدَقَاتِ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ} التوبة: 60 ثُمَّ أَكَّدَهَا وَشَدَّدَهَا فَقَالَ {فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ} التوبة: 60 الْآيَةَ وَهِيَ سَهْمَانِ ثَمَانِيَةٌ لَا يُصْرَفُ مِنْهَا سَهْمٌ وَلَا شَيْءٌ مِنْهُ عَنْ أَهْلِهِ مَا كَانَ مِنْ أَهْلِهِ أَحَدٌ يَسْتَحِقُّهُ وَلَا يَخْرُجُ عَنْ بَلَدٍ وَفِيهِ أَهْلُهُ، «وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – حِينَ بَعَثَهُ فَإِنْ أَجَابُوك فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ» .

 

 

Beliau berkata: “Sedekah adalah zakat. Kebanyakan orang awam menyebut sepersepuluh untuk buah-buahan, sedekah untuk hewan ternak, dan zakat untuk perak. Namun, Rasulullah ﷺ menyebut semua ini sebagai sedekah. Apa pun yang diambil dari seorang Muslim, baik zakat harta yang berkembang, hewan ternak, tanaman, zakat fitrah, seperlima harta karun, sedekah tambang, atau kewajiban lain dalam hartanya berdasarkan Kitab, Sunnah, atau kesepakatan umat Islam, makna dan pembagiannya sama. Adapun fa’i berbeda dengan ini. Fa’i adalah harta yang diambil dari orang musyrik untuk memperkuat penganut agama Allah, dan pembagiannya berbeda. Pembagian sedekah sebagaimana firman Allah Ta’ala: ‘Sesungguhnya sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil, muallaf, memerdekakan budak, orang yang berutang, di jalan Allah, dan ibnu sabil’ (QS. At-Taubah: 60). Kemudian Allah menguatkannya dengan firman-Nya: ‘Sebagai kewajiban dari Allah’ (QS. At-Taubah: 60). Sedekah terbagi menjadi delapan bagian; tidak boleh dialihkan dari penerimanya selama ada yang berhak, dan tidak boleh dikeluarkan dari negeri tempat penerimanya berada. Rasulullah ﷺ bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ra ketika mengutusnya: ‘Jika mereka menerimamu, beritahukan bahwa mereka wajib mengeluarkan sedekah yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang fakir mereka.'”

(Asy-Syafi’i berkata): “Bagian orang yang tidak ditemukan dari ahli suhman (orang-orang yang berhak menerima zakat) dikembalikan kepada mereka yang ditemukan dari kalangan mereka. Ahli suhman sepakat bahwa mereka adalah orang-orang yang membutuhkan harta mereka darinya (zakat), dan sebab-sebab kebutuhan mereka berbeda-beda. Demikian pula sebab-sebab hak mereka memiliki makna yang berbeda. Jika mereka berkumpul, maka yang didahulukan adalah orang-orang fakir yang lemah, tidak memiliki pekerjaan, dan orang-orang yang memiliki pekerjaan lemah yang tidak mencukupi kebutuhan mereka serta tidak meminta-minta kepada orang lain.” (Dan dia berkata): “Dalam pendapat baru, baik yang lemah maupun yang lebih berhak, baik yang meminta-minta maupun yang menjaga diri (tidak meminta).”

(Asy-Syafi’i berkata): “Orang-orang miskin adalah mereka yang meminta-minta dan mereka yang tidak meminta-minta dari orang yang memiliki pekerjaan namun tidak mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya.” Dan dalam pendapat barunya (al-Jadid), beliau berkata: “Baik yang meminta-minta maupun yang tidak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَشْبَهَ بِقَوْلِهِ مَا قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: لِأَنَّ أَهْلَ هَذَيْنِ السَّهْمَيْنِ يَسْتَحِقُّونَهُمَا بِمَعْنَى الْعَدَمِ وَقَدْ يَكُونُ السَّائِلُ بَيْنَ مَنْ يَقِلُّ مُعْطِيهِمْ وَصَالِحٌ مُتَعَفِّفٌ بَيْنَ مَنْ يُبْدُونَهُ بِعَطِيَّتِهِمْ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapatnya lebih mirip dengan apa yang ia katakan dalam Al-Jadid; karena ia berkata: “Sesungguhnya ahli dua bagian ini berhak menerimanya karena makna ketiadaan, dan bisa jadi peminta-minta berada di antara orang-orang yang sedikit pemberian mereka, serta orang shaleh yang menahan diri berada di antara orang-orang yang menampakkannya dengan pemberian mereka.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – إنْ كَانَ رَجُلٌ جَلْدٌ يَعْلَمُ الْوَالِي أَنَّهُ صَحِيحٌ مُكْتَسِبٌ يُغْنِي عِيَالَهُ أَوْ لَا عِيَالَ لَهُ يُغْنِي نَفْسَهُ بِكَسْبِهِ لَمْ يُعْطِهِ، فَإِنْ قَالَ الْجَلْدُ: لَسْت مُكْتَسِبًا لِمَا يُغْنِينِي وَلَا يُغْنِي عِيَالِي، وَلَهُ عِيَالٌ وَلَيْسَ عِنْدَ الْوَالِي يَقِينُ مَا قَالَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ؛ وَاحْتُجَّ بِأَنَّ «رَجُلَيْنِ أَتَيَا النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَسَأَلَاهُ مِنْ الصَّدَقَةِ فَقَالَ إنْ شِئْتُمَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مَرَّةٍ مُكْتَسِبٍ» .

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika ada seorang laki-laki yang kuat, dan penguasa mengetahui bahwa dia sehat dan mampu bekerja sehingga dapat mencukupi keluarganya, atau dia tidak memiliki keluarga tetapi dapat mencukupi dirinya sendiri dengan usahanya, maka tidak boleh memberinya zakat. Namun, jika orang yang kuat itu berkata: ‘Aku tidak memiliki pekerjaan yang dapat mencukupiku atau keluargaku,’ sementara dia memiliki keluarga dan penguasa tidak memiliki keyakinan tentang kebenaran ucapannya, maka perkataannya dapat diterima. Dan beliau berargumen dengan hadis: ‘Dua orang laki-laki datang kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – meminta sedekah, lalu beliau bersabda: “Jika kalian berdua mau, tapi tidak ada bagian dalam sedekah bagi orang kaya maupun orang kuat yang mampu bekerja.”‘”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : رَأَى – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – صِحَّةً وَجَلَدًا يُشْبِهُ الِاكْتِسَابَ فَأَعْلَمَهُمَا أَنَّهُ لَا يَصْلُحُ لَهُمَا مَعَ الِاكْتِسَابِ وَلَمْ يَعْلَمْ أَمُكْتَسِبَانِ أَمْ لَا فَقَالَ ” إنْ شِئْتُمَا ” بَعْدَ أَنْ أَعْلَمْتُكُمَا أَنْ لَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِمُكْتَسِبٍ فَعَلْت.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Nabi saw. melihat keduanya dalam keadaan sehat dan kuat yang menyerupai orang yang bekerja, lalu beliau memberitahu mereka bahwa zakat tidak layak bagi mereka jika mereka bekerja. Namun beliau tidak mengetahui apakah mereka bekerja atau tidak, maka beliau bersabda, “Jika kalian berdua menghendaki,” setelah aku memberitahu kalian bahwa tidak ada bagian di dalamnya (zakat) bagi orang kaya maupun orang yang bekerja, maka lakukanlah.

 

(قَالَ) : وَالْعَامِلُونَ عَلَيْهَا مَنْ وَلَّاهُ الْوَالِي قَبْضَهَا وَمَنْ لَا غِنَى لِلْوَالِي عَنْ مَعُونَتِهِ عَلَيْهَا، وَأَمَّا الْخَلِيفَةُ وَوَالِي الْإِقْلِيمِ الْعَظِيمِ الَّذِي لَا يَلِي قَبْضَ الصَّدَقَةِ، وَإِنْ كَانَا مِنَ الْقَائِمِينَ بِالْأَمْرِ بِأَخْذِهَا فَلَيْسَا عِنْدَنَا مِمَّنْ لَهُ فِيهَا حَقٌّ؛ لِأَنَّهُمَا لَا يَلِيَانِ أَخْذَهَا وَشَرِبَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَبَنًا فَأَعْجَبَهُ فَأُخْبِرَ أَنَّهُ مِنْ نِعَمِ الصَّدَقَةِ فَأَدْخَلَ أُصْبُعُهُ فَاسْتَقَاءَ.

 

 

Beliau berkata: “Para petugas zakat adalah orang yang ditunjuk oleh penguasa untuk memungutnya dan orang yang tidak bisa diabaikan oleh penguasa dalam membantunya memungut zakat. Adapun khalifah dan gubernur wilayah besar yang tidak terlibat langsung dalam pemungutan zakat, meskipun mereka termasuk yang memerintahkan pengambilannya, menurut kami mereka tidak termasuk yang berhak menerimanya karena mereka tidak terlibat langsung dalam pengambilannya. Dan Umar radhiyallahu ‘anhu pernah meminum susu yang sangat ia sukai, lalu diberitahu bahwa itu termasuk harta zakat, maka ia memasukkan jarinya ke mulut dan memuntahkannya.”

(قَالَ) : وَيُعْطَى الْعَامِلُ بِقَدْرِ غَنَائِهِ مِنْ الصَّدَقَةِ، وَإِنْ كَانَ مُوسِرًا؛ لِأَنَّهُ يَأْخُذُهُ عَلَى مَعْنَى الْإِجَارَةِ.

 

Beliau berkata: “Pekerja (pengelola zakat) diberi upah sesuai dengan jerih payahnya dalam mengurus zakat, meskipun dia orang kaya, karena ia menerimanya sebagai bentuk upah (ijarah).”

 

(قَالَ) : وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ فِي مُتَقَدِّمِ الْأَخْبَارِ ضَرْبَانِ ضَرْبٌ مُسْلِمُونَ أَشْرَافٌ مُطَاعُونَ يُجَاهِدُونَ مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَيَقْوَى الْمُسْلِمُونَ بِهِمْ وَلَا يَرَوْنَ مِنْ نِيَّاتِهِمْ مَا يَرَوْنَ مِنْ نِيَّاتِ غَيْرِهِمْ فَإِذَا كَانُوا هَكَذَا فَأَرَى أَنْ يُعْطُوا مِنْ سَهْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُوَ خُمُسُ الْخُمُسِ مَا يَتَأَلَّفُونَ بِهِ سِوَى سِهَامِهِمْ مَعَ الْمُسْلِمِينَ وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ هَذَا السَّهْمَ خَالِصًا لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَرَدَّهُ فِي مَصْلَحَةِ الْمُسْلِمِينَ (وَاحْتُجَّ) بِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَعْطَى الْمُؤَلَّفَةَ يَوْمَ حُنَيْنٍ مِنْ الْخُمُسِ مِثْلَ عُيَيْنَةَ وَالْأَقْرَعِ وَأَصْحَابِهَا وَلَمْ يُعْطِ عَبَّادَ بْنَ مِرْدَاسٍ وَكَانَ شَرِيفًا عَظِيمَ الْغَنَاءِ حَتَّى اسْتَعْتَبَ فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» .

 

 

Beliau berkata: “Orang-orang yang dilunakkan hatinya (mu’allafatu qulubuhum) dalam riwayat sebelumnya terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah orang-orang Muslim yang terhormat dan ditaati, mereka berjihad bersama kaum Muslimin sehingga kaum Muslimin menjadi kuat karena mereka, dan tidak terlihat dari niat mereka apa yang terlihat dari niat selain mereka. Jika mereka seperti itu, maka aku berpendapat bahwa mereka boleh diberi dari bagian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yaitu seperlima dari seperlima (khumus al-khumus) sebagai sarana melunakkan hati mereka, selain bagian mereka bersama kaum Muslimin. Hal itu karena Allah Ta’ala menjadikan bagian ini khusus untuk Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – lalu beliau mengembalikannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin.” (Dan dijadikan hujjah) bahwa “Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pernah memberi para mu’allaf pada perang Hunain dari khumus, seperti Uyainah, Al-Aqra’, dan para sahabat mereka, tetapi tidak memberi ‘Abbad bin Mirdas yang merupakan orang terhormat dan sangat berjasa, sampai dia meminta lalu Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memberinya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَمَّا أَرَادَ مَا أَرَادَ الْقَوْمُ اُحْتُمِلَ أَنْ يَكُونَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْهُ شَيْءٌ حِينَ رَغِبَ عَمَّا صُنِعَ بِالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فَأَعْطَاهُ عَلَى مَعْنَى مَا أَعْطَاهُمْ وَاحْتُمِلَ أَنْ يَكُونَ رَأَى أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْ مَالِهِ حَيْثُ رَأَى أَنْ يُعْطِيَهُ؛ لِأَنَّهُ لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – خَالِصًا لِلتَّقْوِيَةِ بِالْعَطِيَّةِ وَلَا نَرَى أَنْ قَدْ وُضِعَ مِنْ شَرَفِهِ فَإِنَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَدْ أَعْطَى مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ النَّفْلِ، وَغَيْرِ النَّفْلِ؛ لِأَنَّهُ لَهُ وَأَعْطَى صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ وَلَمْ يُسْلِمْ وَلَكِنَّهُ أَعَارَهُ أَدَاةً فَقَالَ فِيهِ عِنْدَ الْهَزِيمَةِ أَحْسَنُ مِمَّا قَالَ بَعْضُ مَنْ أَسْلَمَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ عَامَ الْفَتْحِ وَذَلِكَ أَنَّ الْهَزِيمَةَ كَانَتْ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَوْمَ حُنَيْنٍ أَوَّلَ النَّهَارِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ غَلَبَتْ هَوَازِنُ وَقُتِلَ مُحَمَّدٌ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ صَفْوَانُ بْنُ أُمَيَّةَ بِفِيك الْحَجَرُ فَوَاَللَّهِ لَرَبٌّ مِنْ قُرَيْشٍ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ رَبٍّ مِنْ هَوَازِنَ ثُمَّ أَسْلَمَ قَوْمُهُ مِنْ قُرَيْشٍ وَكَانَ كَأَنَّهُ لَا يَشُكُّ فِي إسْلَامِهِ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Ketika kaum menginginkan apa yang mereka inginkan, mungkin ada sesuatu yang mempengaruhi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – saat beliau enggan terhadap apa yang dilakukan kepada Muhajirin dan Anshar, lalu beliau memberinya dengan makna seperti yang diberikan kepada mereka. Dan mungkin pula beliau memutuskan untuk memberinya dari hartanya sendiri saat beliau melihat perlu memberinya, karena itu murni milik beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk penguatan dengan pemberian. Kami tidak berpendapat bahwa hal itu mengurangi kemuliaannya, karena beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah memberi dari seperlima ghanimah (nafal) dan selain nafal, karena itu adalah hak beliau. Beliau juga pernah memberi Safwan bin Umayyah padahal ia belum masuk Islam, tetapi ia meminjamkan peralatan kepada beliau. Saat kekalahan terjadi, Safwan mengatakan sesuatu yang lebih baik daripada yang diucapkan sebagian orang Mekah yang masuk Islam pada tahun Fathu Mekah. Ketika itu, kekalahan menimpa para sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pada awal hari di Perang Hunain. Seorang laki-laki berkata kepadanya, “Hawazin telah menang dan Muhammad – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah terbunuh.” Maka Safwan bin Umayyah menjawab, “Batu di mulutmu! Demi Allah, Tuhan dari Quraisy lebih aku cintai daripada Tuhan dari Hawazin.” Kemudian kaumnya dari Quraisy masuk Islam, dan seolah-olah ia tidak ragu akan keislamannya. Wallahu a’lam.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا كَانَ مِثْلُ هَذَا رَأَيْت أَنْ يُعْطَى مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهَذَا أَحَبُّ إلَيَّ لِلِاقْتِدَاءِ بِأَمْرِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (وَلَوْ قَالَ) قَائِلٌ كَانَ هَذَا السَّهْمُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَكَانَ لَهُ أَنْ يَضَعَ سَهْمَهُ حَيْثُ يَرَى فَقَدْ فَعَلَ هَذَا مَرَّةً وَأَعْطَى مِنْ سَهْمِهِ بِخَيْبَرَ رِجَالًا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ؛ لِأَنَّهُ مَالُهُ يَضَعُهُ حَيْثُ رَأَى وَلَا يُعْطِي أَحَدًا الْيَوْمَ عَلَى هَذَا الْمَعْنَى مِنْ الْغَنِيمَةِ وَلَمْ يَبْلُغْنَا أَنَّ أَحَدًا مِنْ خُلَفَائِهِ أَعْطَى أَحَدًا بَعْدَهُ، وَلَوْ قِيلَ: لَيْسَ لِلْمُؤَلَّفَةِ فِي قَسْمِ الْغَنِيمَةِ سَهْمٌ مَعَ أَهْلِ السَّهْمَيْنِ كَانَ مَذْهَبًا، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika terjadi seperti ini, aku berpendapat agar diberikan dari bagian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, dan ini lebih aku sukai untuk mengikuti perintahnya – shallallahu ‘alaihi wasallam -. (Seandainya ada) yang berkata bahwa bagian ini adalah untuk Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, maka beliau berhak menempatkan bagiannya sesuai yang beliau pandang. Beliau pernah melakukan hal ini dan memberikan dari bagiannya di Khaibar kepada beberapa orang Muhajirin dan Anshar, karena itu adalah hartanya yang beliau tempatkan sesuai kehendaknya. Namun hari ini tidak ada seorang pun yang diberi dari harta rampasan perang dengan makna seperti ini, dan tidak sampai kepada kami bahwa ada seorang pun dari para khalifah setelahnya yang memberikan seperti itu. Seandainya dikatakan bahwa mu’allaf tidak mendapat bagian dalam pembagian harta rampasan perang bersama ashhab as-sahmain, maka itu adalah satu pendapat. Wallahu a’lam.”

 

(قَالَ) : وَلِلْمُؤَلَّفَةِ فِي قَسْمِ الصَّدَقَاتِ سَهْمٌ وَاَلَّذِي أَحْفَظُ فِيهِ مِنْ مُتَقَدِّمِ الْخَبَرِ أَنَّ عَدِيَّ بْنَ حَاتِمٍ جَاءَ إلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَحْسَبُهُ بِثَلَاثِمِائَةٍ مِنْ الْإِبِلِ مِنْ صَدَقَاتِ قَوْمِهِ فَأَعْطَاهُ أَبُو بَكْرٍ مِنْهَا ثَلَاثِينَ بَعِيرًا وَأَمَرَهُ أَنْ يَلْحَقَ بِخَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ بِمَنْ أَطَاعَهُ مِنْ قَوْمِهِ فَجَاءَهُ بِزُهَاءِ أَلْفِ رَجُلٍ وَأَبْلَى بَلَاءً حَسَنًا وَاَلَّذِي يَكَادُ يَعْرِفُ الْقَلْبُ بِالِاسْتِدْلَالِ بِالْأَخْبَارِ أَنَّهُ أَعْطَاهُ إيَّاهَا مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ، فَإِمَّا زَادَهُ تَرْغِيبًا فِيمَا صَنَعَ وَإِمَّا لِيَتَأَلَّفَ بِهِ غَيْرُهُ مِنْ قَوْمِهِ مِمَّنْ لَمْ يَثِقْ مِنْهُ بِمِثْلِ مَا يَثِقُ بِهِ مِنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ.

 

 

Beliau berkata: “Orang-orang yang hendak dilembutkan hatinya (mu’allaf) memiliki bagian dalam pembagian zakat. Apa yang aku ingat dari kisah terdahulu adalah bahwa Adi bin Hatim datang kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan membawa sekitar tiga ratus unta dari zakat kaumnya. Abu Bakar memberinya tiga puluh unta darinya dan memerintahkannya untuk bergabung dengan Khalid bin Al-Walid bersama orang-orang dari kaumnya yang menaatinya. Lalu Adi datang kepadanya dengan sekitar seribu orang dan menunjukkan prestasi yang baik. Hampir dapat dipastikan berdasarkan petunjuk dari berbagai riwayat bahwa Abu Bakar memberinya bagian dari jatah mu’allaf. Bisa jadi itu sebagai dorongan atas apa yang telah dilakukannya, atau untuk melembutkan hati orang lain dari kaumnya yang belum dipercaya sebagaimana kepercayaan kepada Adi bin Hatim.”

 

(قَالَ) : فَأَرَى أَنْ يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَعْنَى إنْ نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ – وَلَنْ تَنْزِلَ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى – وَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ الْعَدُوُّ بِمَوْضِعِ مُنْتَاطٍ لَا يَنَالُهُ الْجَيْشُ إلَّا بِمُؤْنَةٍ وَيَكُونَ بِإِزَاءِ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ فَأَعَانَ عَلَيْهِمْ أَهْلُ الصَّدَقَاتِ إمَّا بَلِيَّةً فَأَرَى أَنْ يَقْوَوْا بِسَهْمِ سَبِيلِ اللَّهِ مِنْ الصَّدَقَاتِ، وَإِمَّا أَنْ لَا يُقَاتِلُوا إلَّا بِأَنْ يُعْطُوا سَهْمَ الْمُؤَلَّفَةِ أَوْ مَا يَكْفِيهِمْ مِنْهُ، وَكَذَا إذَا انْتَاطَ الْعَدُوُّ وَكَانُوا أَقْوَى عَلَيْهِ مِنْ قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ يُوَجَّهُونَ إلَيْهِ بِبُعْدِ دِيَارِهِمْ وَثِقَلِ مُؤْنَاتِهِمْ وَيَضْعُفُونَ عَنْهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِثْلُ مَا وَصَفْت مِمَّا كَانَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مِنْ امْتِنَاعِ أَكْثَرِ الْعَرَبِ بِالصَّدَقَةِ عَلَى الرِّدَّةِ وَغَيْرِهَا لَمْ أَرَ أَنْ يُعْطَى أَحَدٌ مِنْ سَهْمِ الْمُؤَلَّفَةِ وَلَمْ يَبْلُغْنِي أَنَّ عُمَرَ وَلَا عُثْمَانَ وَلَا عَلِيًّا – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – أَعْطَوْا أَحَدًا تَأَلُّفًا عَلَى الْإِسْلَامِ وَقَدْ أَغْنَى اللَّهُ – فَلَهُ الْحَمْدُ – الْإِسْلَامَ عَنْ أَنْ يَتَأَلَّفَ عَلَيْهِ رِجَالٌ.

 

 

Beliau berkata: “Aku berpendapat agar diberikan bagian dari saham muallaf (orang yang dilunakkan hatinya) dalam konteks seperti ini – jika kaum muslimin tertimpa musibah (yang semoga Allah Ta’ala tidak menakdirkannya) – yaitu ketika musuh berada di posisi strategis yang sulit dijangkau pasukan kecuali dengan kesulitan, dan berhadapan dengan sekelompok penerima zakat. Lalu para penerima zakat membantu melawan mereka, baik karena bencana maka aku berpendapat mereka diperkuat dengan saham fi sabilillah dari zakat, atau mereka tidak mau berperang kecuali jika diberi saham muallaf atau bagian yang mencukupi untuk mereka. Demikian pula jika musuh menguasai posisi strategis dan mereka lebih kuat menghadapinya daripada sekelompok penerima fai’, karena jauhnya wilayah mereka dan beratnya logistik, sehingga mereka lemah menghadapinya. Jika tidak ada kondisi seperti yang kusebutkan – sebagaimana terjadi di masa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika sebagian besar Arab menolak membayar zakat karena riddah (kemurtadan) dan lainnya – maka aku tidak berpendapat untuk memberikan saham muallaf kepada siapa pun. Juga tidak sampai kepadaku bahwa Umar, Utsman, atau Ali radhiyallahu ‘anhum pernah memberikan sesuatu kepada seseorang untuk melunakkan hatinya terhadap Islam. Sungguh Allah – segala puji bagi-Nya – telah mencukupkan Islam sehingga tidak perlu melunakkan hati seseorang untuk memeluknya.”

 

(وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ) لَا يُعْطَى مُشْرِكٌ يَتَأَلَّفُ عَلَى الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ أَمْوَالَ الْمُشْرِكِينَ لَا الْمُشْرِكِينَ أَمْوَالَ الْمُسْلِمِينَ وَجَعَلَ صَدَقَاتِ الْمُسْلِمِينَ مَرْدُودَةً فِيهِمْ.

 

 

(Dan dia berkata dalam Al-Jadid) Tidak boleh memberikan harta kepada orang musyrik yang ingin dilunakkan hatinya untuk masuk Islam, karena Allah Ta’ala telah memberikan harta orang-orang musyrik kepada kaum muslimin, bukan harta kaum muslimin kepada orang-orang musyrik. Dan Dia menjadikan sedekah-sedekah kaum muslimin dikembalikan kepada mereka sendiri.

 

(قَالَ) : وَالرِّقَابُ الْمُكَاتَبُونَ مِنْ حَيِّزٍ إنَّمَا الصَّدَقَاتُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. وَلَا يُعْتَقُ عَبْدٌ يُبْتَدَأُ عِتْقُهُ فَيُشْتَرَى وَيُعْتَقُ (وَالْغَارِمُونَ) صِنْفَانِ صِنْفٌ دَانُوا فِي مَصْلَحَتِهِمْ أَوْ مَعْرُوفٍ وَغَيْرِ مَعْصِيَةٍ ثُمَّ عَجَزُوا عَنْ أَدَاءِ ذَلِكَ فِي الْعَرْضِ وَالنَّقْدِ فَيُعْطُونَ فِي غُرْمِهِمْ لِعَجْزِهِمْ فَإِنْ كَانَتْ لَهُمْ عُرُوضٌ يَقْضُونَ مِنْهَا دُيُونَهُمْ فَهُمْ أَغْنِيَاءٌ لَا يُعْطُونَ حَتَّى يَبْرَءُوا مِنْ الدَّيْنِ ثُمَّ لَا يَبْقَى لَهُمْ مَا يَكُونُونَ بِهِ أَغْنِيَاءً، وَصِنْفٌ دَانُوا فِي صَلَاحِ ذَاتِ بَيْنٍ وَمَعْرُوفٍ وَلَهُمْ عُرُوضٌ تَحْمِلُ حَمَّالَاتهمْ أَوْ عَامَّتَهَا، وَإِنْ بِيعَتْ أَضَرَّ ذَلِكَ بِهِمْ، وَإِنْ لَمْ يَفْتَقِرُوا فَيُعْطَى هَؤُلَاءِ وَتُوَفَّرُ عُرُوضُهُمْ كَمَا يُعْطَى أَهْلُ الْحَاجَةِ مِنْ الْغَارِمِينَ حَتَّى يَقْضُوا سَهْمَهُمْ (وَاحْتُجَّ) بِأَنَّ «قَبِيصَةَ بْنَ الْمُخَارِقِ قَالَ: تَحَمَّلْت بِحَمَالَةٍ فَأَتَيْت رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَسَأَلْته فَقَالَ نُؤَدِّيهَا عَنْك أَوْ نُخْرِجُهَا عَنْك إذَا قَدِمَ نَعَمُ الصَّدَقَةِ يَا قَبِيصَةُ الْمَسْأَلَةُ حَرُمَتْ إلَّا فِي ثَلَاثٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ أَوْ حَاجَةٌ حَتَّى شَهِدَ أَوْ تَكَلَّمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ أَنَّ بِهِ فَاقَةً أَوْ حَاجَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ ثُمَّ يُمْسِكَ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَاجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الصَّدَقَةُ حَتَّى يُصِيبَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ ثُمَّ يُمْسِكَ وَمَا سِوَى ذَلِكَ مِنْ الْمَسْأَلَةِ فَهُوَ سُحْتٌ» .

 

 

(Dia berkata): “Dan budak-budak yang sedang dalam proses pembebasan termasuk golongan yang berhak menerima zakat, dan Allah lebih mengetahui. Tidak boleh memerdekakan budak yang baru dimulai proses pembebasannya lalu dibeli dan dimerdekakan.” (Dan orang-orang yang berutang) ada dua jenis: Pertama, orang yang berutang untuk kemaslahatan mereka atau kebaikan dan bukan untuk maksiat, kemudian mereka tidak mampu melunasi utang tersebut baik dalam bentuk barang maupun uang, maka mereka diberi bantuan untuk melunasi utang karena ketidakmampuan mereka. Jika mereka memiliki barang yang bisa digunakan untuk melunasi utang, maka mereka dianggap mampu dan tidak diberi bantuan sampai mereka bebas dari utang, kemudian tidak lagi memiliki harta yang membuat mereka dianggap mampu. Kedua, orang yang berutang untuk mendamaikan perselisihan atau kebaikan, dan mereka memiliki barang yang bisa menanggung utang mereka atau sebagian besarnya, namun jika dijual akan merugikan mereka, meskipun mereka tidak miskin, maka mereka diberi bantuan dan barang-barang mereka dilindungi, sebagaimana orang-orang yang membutuhkan dari golongan yang berutang diberi bantuan sampai mereka mendapatkan bagian mereka.” (Dan dia berargumen) dengan hadis: “Qabishah bin Mukhariq berkata: ‘Aku menanggung utang, lalu aku mendatangi Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan meminta bantuan. Beliau bersabda: ‘Kami akan melunasinya untukmu atau mengeluarkannya untukmu ketika zakat datang.’ Ya Qabishah, meminta-minta itu haram kecuali dalam tiga keadaan: (1) Seseorang yang menanggung utang, maka halal baginya meminta-minta sampai melunasinya, kemudian berhenti. (2) Seseorang yang ditimpa kefakiran atau kebutuhan sampai tiga orang yang bijak dari kaumnya bersaksi bahwa dia benar-benar dalam kefakiran atau kebutuhan, maka halal baginya meminta-minta sampai mendapatkan kecukupan hidup atau penghidupan yang layak, kemudian berhenti. (3) Seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka halal baginya menerima zakat sampai mendapatkan kecukupan hidup atau penghidupan yang layak, kemudian berhenti. Selain itu, meminta-minta adalah haram.'”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – بِهَذَا قُلْت فِي الْغَارِمِينَ وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «تَحِلُّ لَهُ الْمَسْأَلَةُ فِي الْفَاقَةِ وَالْحَاجَةِ» يَعْنِي – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ لَا الْغَارِمِينَ وَقَوْلُهُ «حَتَّى يُصِيبَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ» يَعْنِي – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – أَقَلَّ اسْمِ الْغَنَاءِ وَلِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إلَّا لِخَمْسَةٍ: لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتَصَدَّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَى الْمِسْكِينُ لِلْغَنِيِّ» فَبِهَذَا قُلْت: يُعْطَى الْغَازِي وَالْعَامِلُ، وَإِنْ كَانَا غَنِيَّيْنِ وَالْغَارِمُ فِي الْحَمَالَةِ عَلَى مَا أَبَانَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – لَا عَامًّا، وَيُقْبَلُ قَوْلُ ابْنِ السَّبِيلِ إنَّهُ عَاجِزٌ عَنْ الْبَلَدِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ قَوِيٍّ حَتَّى تَعْلَمَ قُوَّتَهُ بِالْمَالِ، وَمَنْ طَلَبَ بِأَنَّهُ يَغْزُو أُعْطِيَ وَمَنْ طَلَبَ بِأَنَّهُ غَارِمٌ أَوْ عَبْدٌ بِأَنَّهُ مُكَاتَبٌ لَمْ يُعْطَ إلَّا بِبَيِّنَةٍ؛ لِأَنَّ أَصْلَ النَّاسِ أَنَّهُ غَيْرُ غَارِمِينَ حَتَّى يُعْلَمَ غُرْمُهُمْ وَالْعَبِيدُ غَيْرُ مُكَاتَبِينَ حَتَّى تَعْلَمَ كِتَابَتَهُمْ وَمَنْ طَلَبَ بِأَنَّهُ مِنْ الْمُؤَلَّفَةِ لَمْ يُعْطَ إلَّا بِأَنْ يُعْلَمَ ذَلِكَ، وَمَا وَصَفْت أَنَّهُ يَسْتَحِقُّهُ بِهِ وَسَهْمُ سَبِيلِ اللَّهِ كَمَا وَصَفْت يُعْطَى مِنْهُ مَنْ أَرَادَ الْغَزْوَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ فَقِيرًا كَانَ أَوْ غَنِيًّا وَلَا يُعْطَى مِنْهُ غَيْرُهُمْ إلَّا أَنْ يَحْتَاجَ إلَى الدَّفْعِ عَنْهُمْ فَيُعْطَاهُ مَنْ دَفَعَ عَنْهُمْ الْمُشْرِكِينَ؛ لِأَنَّهُ يَدْفَعُ عَنْ جَمَاعَةِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ، وَابْنُ السَّبِيلِ عِنْدِي ابْنُ السَّبِيلِ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ الَّذِي يُرِيدُ الْبَلَدَ غَيْرَ بَلَدِهِ لِأَمْرٍ يَلْزَمُهُ.

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dengan ini aku katakan tentang orang-orang yang berutang, dan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Dihalalkan baginya meminta-minta dalam keadaan fakir dan membutuhkan” maksudnya – wallahu a’lam – dari bagian fakir miskin, bukan orang yang berutang. Sabdanya “hingga ia mendapatkan kecukupan dalam hidup” maksudnya – wallahu a’lam – minimal sebutan kaya. Dan berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Tidak halal sedekah bagi orang kaya kecuali untuk lima: orang yang berperang di jalan Allah, petugas zakat, orang yang berutang, orang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin lalu ia bersedekah kepada si miskin kemudian si miskin menghadiahkannya kepada si kaya.” Maka dengan ini aku katakan: diberikan kepada pejuang dan petugas zakat meskipun mereka kaya, dan orang yang berutang dalam tanggungan sebagaimana dijelaskan – ‘alaihis salam – bukan secara umum. Dan diterima perkataan ibnu sabil bahwa ia tidak mampu untuk ke negerinya karena ia tidak kuat sampai diketahui kekuatannya dengan harta. Barangsiapa mengaku akan berperang maka diberi, dan barangsiapa mengaku sebagai orang berutang atau budak yang sedang mukatab tidak diberi kecuali dengan bukti, karena asal manusia adalah tidak berutang sampai diketahui utangnya, dan budak tidak dalam keadaan mukatab sampai diketahui kemukatabannya. Barangsiapa mengaku sebagai muallaf tidak diberi kecuali setelah diketahui hal itu. Dan apa yang aku jelaskan bahwa ia berhak mendapatkannya, serta bagian sabilillah sebagaimana aku jelaskan, diberikan darinya kepada orang yang ingin berperang dari kalangan penerima sedekah baik fakir maupun kaya, dan tidak diberikan kepada selain mereka kecuali jika diperlukan untuk membela mereka maka diberikan kepada yang membela mereka dari orang-orang musyrik karena ia membela sekelompok kaum muslimin. Dan ibnu sabil menurutku adalah ibnu sabil dari kalangan penerima sedekah yang ingin ke negeri selain negerinya untuk suatu keperluan yang penting.

 

بَابُ كَيْفَ تَفْرِيقُ قَسْمِ الصَّدَقَاتِ

 

Bab tentang cara pembagian zakat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: يَنْبَغِي لِلسَّاعِي أَنْ يَأْمُرَ بِإِحْصَاءِ أَهْلِ السُّهْمَانِ فِي عَمَلِهِ حَتَّى يَكُونَ فَرَاغُهُ مِنْ قَبْضِ الصَّدَقَاتِ بَعْدَ تَنَاهِي أَسْمَائِهِمْ وَأَنْسَابِهِمْ وَحَالَاتِهِمْ وَمَا يَحْتَاجُونَ إلَيْهِ وَيُحْصِي مَا صَارَ فِي يَدَيْهِ مِنْ الصَّدَقَاتِ فَيَعْزِلُ مِنْ سَهْمِ الْعَامِلِينَ بِقَدْرِ مَا يَسْتَحِقُّونَ بِأَعْمَالِهِمْ فَإِنْ جَاوَزَ سَهْمَ الْعَامِلِينَ رَأَيْت أَنْ يُعْطِيَهُمْ سَهْمَ الْعَامِلِينَ، وَيَزِيدُهُمْ قَدْرَ أُجُورِ أَعْمَالِهِمْ مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ الْفَيْءِ وَالْغَنِيمَةِ، وَلَوْ أَعْطَاهُمْ ذَلِكَ مِنْ السُّهْمَانِ مَا رَأَيْت ذَلِكَ ضَيِّقًا أَلَا تَرَى أَنَّ مَالَ الْيُتْمِ يَكُونُ بِالْمَوْضِعِ فَيَسْتَأْجِرُ عَلَيْهِ إذَا خِيفَ ضَيْعَتُهُ مَنْ يَحُوطُهُ، وَإِنْ أَتَى ذَلِكَ عَلَى كَثِيرٍ مِنْهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Seorang petugas zakat seharusnya memerintahkan untuk mendata para penerima bagian (mustahik) dalam tugasnya, sehingga penyelesaian pengumpulan zakat dilakukan setelah mengetahui nama-nama, nasab, kondisi, dan kebutuhan mereka. Ia juga menghitung zakat yang terkumpul, lalu menyisihkan bagian amil sesuai hak yang pantas berdasarkan pekerjaan mereka. Jika bagian amil melebihi, aku berpendapat agar mereka diberi bagian amil dan ditambah upah pekerjaan mereka dari bagian Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dari fa’i dan ghanimah. Sekalipun diberikan dari bagian mustahik lainnya, aku tidak menganggapnya masalah. Tidakkah engkau lihat bahwa harta anak yatim yang berada di suatu tempat boleh disewa pengelolanya jika dikhawatirkan rusak, meskipun biayanya memakan banyak dari harta tersebut?”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ لِمَا اُحْتُجَّ بِهِ مِنْ مَالِ الْيَتِيمِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini lebih utama sesuai dengan perkataannya karena yang dijadikan hujjah adalah harta anak yatim.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَتُفْضَ جَمِيعُ السُّهْمَانِ عَلَى أَهْلِهَا كَمَا أَصِفُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى كَانَ الْفُقَرَاءُ عَشْرَةً وَالْمَسَاكِينُ عِشْرِينَ وَالْغَارِمُونَ خَمْسَةً وَهَؤُلَاءِ ثَلَاثَةُ أَصْنَافٍ وَكَانَ سُهْمَانُهُمْ الثَّلَاثَةُ مِنْ جَمِيعِ الْمَالِ ثَلَاثَةَ آلَافٍ فَلِكُلِّ صِنْفٍ أَلْفٌ فَإِنْ كَانَ الْفُقَرَاءُ يَغْتَرِقُونَ سَهْمَهُمْ كَفَافًا يَخْرُجُونَ بِهِ مِنْ حَدِّ الْفَقْرِ إلَى أَدْنَى الْغِنَى أُعْطُوهُ، وَإِنْ كَانَ يُخْرِجُهُمْ مِنْ حَدِّ الْفُقَرَاءِ إلَى أَدْنَى الْغِنَى أَقَلَّ وَقَفَ الْوَالِي مَا بَقِيَ مِنْهُ ثُمَّ يُقَسِّمُ عَلَى الْمَسَاكِينِ سَهْمَهُمْ هَكَذَا وَعَلَى الْغَارِمِينَ سَهْمَهُمْ هَكَذَا وَإِذَا خَرَجُوا مِنْ اسْمِ الْفَقْرِ وَالْمَسْكَنَةِ فَصَارُوا إلَى أَدْنَى اسْمِ الْغِنَى وَمِنْ الْغُرْمِ فَبَرِئَتْ ذِمَمُهُمْ وَصَارُوا غَيْرَ غَارِمِينَ فَلَيْسُوا مِنْ أَهْلِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dan semua bagian (zakat) dibagikan kepada para mustahiknya sebagaimana yang akan aku jelaskan, insya Allah Ta’ala. Misalnya, ada sepuluh orang fakir, dua puluh orang miskin, dan lima orang gharimin. Mereka adalah tiga golongan, dan bagian mereka dari seluruh harta adalah tiga ribu. Maka setiap golongan mendapat seribu. Jika bagian itu cukup untuk mengeluarkan fakir dari batas kemiskinan ke tingkat paling rendah dari kecukupan, maka berikanlah. Namun jika itu hanya mengeluarkan mereka dari batas kemiskinan ke tingkat paling rendah dari kecukupan dengan jumlah yang lebih sedikit, maka wali (penguasa) menahan sisanya, lalu membagikan bagian untuk miskin seperti ini, dan bagian untuk gharimin seperti ini. Jika mereka telah keluar dari status fakir dan miskin, mencapai tingkat paling rendah dari kecukupan, serta terbebas dari hutang, maka tanggungan mereka telah selesai dan mereka tidak lagi termasuk gharimin, sehingga bukan lagi mustahik zakat.”

 

(قَالَ) : وَلَا وَقْتَ فِيمَا يُعْطَى الْفَقِيرُ إلَّا مَا يُخْرِجُهُ مِنْ حَدِّ الْفَقْرِ إلَى الْغِنَى أَقَلَّ ذَلِكَ أَوْ كَثُرَ مِمَّا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ أَوْ لَا تَجِبُ؛ لِأَنَّهُ يَوْمَ يُعْطَاهُ لَا زَكَاةَ فِيهِ عَلَيْهِ وَقَدْ يَكُونُ غَنِيًّا وَلَا مَالَ لَهُ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ وَفَقِيرًا بِكَثْرَةِ الْعِيَالِ وَلَهُ مَالٌ تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَإِنَّمَا الْغِنَى وَالْفَقْرُ مَا يَعْرِفُ النَّاسُ بِقَدْرِ حَالِ الرِّجَالِ وَيَأْخُذُ الْعَامِلُونَ عَلَيْهَا بِقَدْرِ أُجُورِهِمْ فِي مِثْلِ كِفَايَتِهِمْ وَقِيَامِهِمْ وَأَمَانَتِهِمْ وَالْمُؤْنَةِ عَلَيْهِمْ فَيَأْخُذُ لِنَفْسِهِ بِهَذَا الْمَعْنَى وَيُعْطِي الْعَرِيفَ وَمَنْ يُجْمِعُ النَّاسُ عَلَيْهِ بِقَدْرِ كِفَايَتِهِ وَكُلْفَتِهِ وَذَلِكَ خَفِيفٌ؛ لِأَنَّهُ فِي بِلَادِهِ وَكَذَلِكَ الْمُؤَلَّفَةُ إذَا اُحْتِيجَ إلَيْهِمْ وَالْمُكَاتَبُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَنْ يُعْتَقَ، وَإِنْ دُفِعَ إلَى سَيِّدِهِ كَانَ أَحَبُّ إلَيَّ وَيُعْطَى الْغَازِي الْحُمُولَةَ وَالسِّلَاحَ وَالنَّفَقَةَ وَالْكُسْوَةَ، وَإِنْ اتَّسَعَ الْمَالُ زِيدُوا الْخَيْلَ وَيُعْطَى ابْنُ السَّبِيلِ قَدْرَ مَا يُبْلِغُهُ الْبَلَدَ الَّذِي يُرِيدُ مِنْ نَفَقَتِهِ وَحُمُولَتِهِ إنْ كَانَ الْبَلَدُ بَعِيدًا أَوْ كَانَ ضَعِيفًا، وَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ قَرِيبًا وَكَانَ جَلْدًا الْأَغْلَبُ مِنْ مِثْلِهِ لَوْ كَانَ غَنِيًّا الْمَشْيُ إلَيْهَا أُعْطِيَ مُؤْنَتَهُ وَنَفَقَتَهُ بِلَا حُمُولَةٍ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ وَيَرْجِعَ أُعْطِيَ مَا يَكْفِيهِ فِي ذَهَابِهِ وَرُجُوعِهِ مِنْ النَّفَقَةِ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يَأْتِي عَلَى السَّهْمِ كُلِّهِ أُعْطِيَهُ كُلَّهُ إنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ ابْنُ سَبِيلٍ غَيْرُهُ، وَإِنْ كَانَ لَا يَأْتِي إلَّا عَلَى سَهْمٍ، سَهْمٌ مِنْ مِائَةِ سَهْمٍ مِنْ سَهْمِ ابْنِ السَّبِيلِ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak ada batasan waktu dalam memberikan kepada orang fakir kecuali apa yang mengeluarkannya dari batas kemiskinan kepada kecukupan, sedikit atau banyak, baik harta itu wajib zakat atau tidak. Sebab pada hari ia diberi, tidak ada kewajiban zakat atasnya. Bisa saja seseorang kaya tetapi tidak memiliki harta yang wajib dizakati, atau fakir karena banyak tanggungan meski memiliki harta yang wajib dizakati. Hakikat kaya dan miskin adalah apa yang dikenal masyarakat sesuai kondisi seseorang. Para petugas zakat mengambil upah mereka sesuai kadar kecukupan, tanggung jawab, amanah, dan beban mereka. Maka ia mengambil untuk dirinya dengan makna ini, dan memberikan kepada tokoh masyarakat atau orang yang disepakati masyarakat sesuai kadar kecukupan dan kebutuhannya. Hal ini ringan karena ia berada di negerinya sendiri. Demikian pula muallaf jika diperlukan, dan budak mukatab yang sedang dalam proses merdeka. Jika diberikan kepada tuannya, itu lebih aku sukai. Pejuang diberi bekal, senjata, nafkah, dan pakaian. Jika harta melimpah, mereka ditambah kuda. Ibnu sabil diberi sesuai yang bisa mengantarkannya ke negeri yang ia tuju, termasuk nafkah dan bekal jika negeri itu jauh atau ia lemah. Jika negeri dekat dan ia kuat—kebanyakan orang seperti itu jika kaya akan berjalan kaki—ia diberi nafkah tanpa bekal. Jika ia ingin pergi-pulang, diberi cukup untuk pergi dan pulang. Jika itu menghabiskan seluruh bagian, ia diberi semuanya jika tidak ada ibnu sabil lain. Jika hanya memakan sebagian, seperti satu dari seratus bagian ibnu sabil, tidak boleh lebih dari itu.”

 

(قَالَ) : وَيُقْسَمُ لِلْعَامِلِ بِمَعْنَى الْكِفَايَةِ وَابْنِ السَّبِيلِ بِمَعْنَى الْبَلَاغِ؛ لِأَنَّى لَوْ أَعْطَيْت الْعَامِلَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالْغَازِيَ بِالِاسْمِ لَمْ يَسْقُطْ عَنْ الْعَامِلِ اسْمُ الْعَامِلِ مَا لَمْ يُعْزَلْ وَلَا عَنْ ابْنِ السَّبِيلِ اسْمُ ابْنِ السَّبِيلِ مَا دَامَ مُجْتَازًا أَوْ يُرِيدُ الِاجْتِيَازَ وَلَا عَنْ الْغَازِي مَا كَانَ عَلَى الشُّخُوصِ لِلْغَزْوِ، وَأَيُّ السُّهْمَانِ فَضَلَ عَنْ أَهْلِهِ رُدَّ عَلَى عَدَدٍ مِنْ عَدَدِ مَنْ بَقِيَ السُّهْمَانُ كَانَ بَقِيَ فُقَرَاءُ وَمَسَاكِينُ لَمْ يَسْتَغْنُوا وَغَارِمُونَ لَمْ تُقْضَ كُلُّ دُيُونِهِمْ فَيُقْسَمْ مَا بَقِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَسْهُمٍ فَإِنْ اسْتَغْنَى الْغَارِمُونَ رُدَّ بَاقِي سَهْمِهِمْ عَلَى هَذَيْنِ السَّهْمَيْنِ نِصْفَيْنِ حَتَّى تَنْفَدَ السُّهْمَانُ، وَإِنَّمَا رَدَى ذَلِكَ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا جَعَلَ هَذَا الْمَالَ لَا مَالِكَ لَهُ مِنْ الْآدَمِيِّينَ بِعَيْنِهِ يُرَدُّ إلَيْهِ كَمَا تُرَدُّ عَطَايَا الْآدَمِيِّينَ وَوَصَايَاهُمْ لَوْ أُوصِيَ بِهَا لِرَجُلٍ فَمَاتَ الْمُوصَى لَهُ قَبْلَ الْمُوصِي كَانَتْ وَصِيَّتُهُ رَاجِعَةً إلَى وَرَثَةِ الْمُوصِي فَلَمَّا كَانَ هَذَا الْمَالُ مُخَالِفًا لِلْمَالِ يُورَثُ هَا هُنَا لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَوْلَى بِهِ عِنْدَنَا فِي قَسْمِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَقْرَبَ مِمَّنْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى لَهُ هَذَا الْمَالَ، وَهَؤُلَاءِ مِنْ جُمْلَةِ مَنْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى لَهُ هَذَا الْمَالَ وَلَمْ يَبْقَ مُسْلِمٌ مُحْتَاجٌ إلَّا وَلَهُ حَقٌّ سِوَاهُ أَمَّا أَهْلُ الْفَيْءِ فَلَا يَدْخُلُونَ عَلَى أَهْلِ الصَّدَقَةِ، وَأَمَّا أَهْلُ الصَّدَقَةِ الْأُخْرَى فَهُوَ مَقْسُومٌ لَهُمْ صَدَقَتُهُمْ فَلَوْ كَثُرَتْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ غَيْرُهُمْ وَوَاحِدٌ مِنْهُمْ يَسْتَحِقُّهَا فَكَمَا كَانُوا لَا يُدْخَلُ عَلَيْهِمْ غَيْرُهُمْ فَكَذَلِكَ لَا يَدْخُلُونَ عَلَى غَيْرِهِمْ مَا كَانَ مِنْ غَيْرِهِمْ مَنْ يَسْتَحِقُّ مِنْهَا شَيْئًا.

 

 

(Dia berkata): “Dan dibagikan untuk amil dengan makna kecukupan, dan ibnu sabil dengan makna sampai tujuan; karena jika aku memberi amil, ibnu sabil, dan ghazi dengan sebutan (saja), tidaklah gugur dari amil sebutan amil selama ia belum dicabut (jabatannya), tidak pula dari ibnu sabil sebutan ibnu sabil selama ia masih dalam perjalanan atau berniat untuk bepergian, dan tidak pula dari ghazi selama ia masih bersiap untuk berperang. Sisa bagian mana pun yang masih ada dari penerimanya dikembalikan kepada sejumlah orang yang masih tersisa bagiannya. Jika yang tersisa adalah fuqara dan masakin yang belum berkecukupan serta gharimin yang belum terlunasi semua hutangnya, maka sisa itu dibagi menjadi tiga bagian. Jika gharimin sudah berkecukupan, sisa bagian mereka dikembalikan kepada dua bagian ini (fuqara dan masakin) secara merata hingga habis. Hal ini dikembalikan karena Allah Ta’ala menjadikan harta ini tidak memiliki pemilik tertentu dari manusia yang harus dikembalikan kepadanya, sebagaimana hadiah dan wasiat manusia jika diwasiatkan kepada seseorang lalu penerima wasiat meninggal sebelum pemberi wasiat, wasiatnya kembali kepada ahli waris pemberi wasiat. Karena harta ini berbeda dengan harta warisan, maka menurut kami dalam pembagian Allah Ta’ala, tidak ada seorang pun yang lebih berhak dan lebih dekat daripada orang yang Allah Ta’ala sebut sebagai penerima harta ini. Mereka termasuk golongan yang Allah Ta’ala sebut sebagai penerima harta ini, dan tidak ada seorang muslim yang membutuhkan kecuali ia memiliki hak selain mereka. Adapun ahli fa’i tidak masuk ke dalam ahli sedekah, sedangkan ahli sedekah lainnya sudah ditetapkan sedekah untuk mereka. Jika sedekah itu banyak, orang lain tidak masuk ke dalam mereka, dan jika hanya satu orang yang berhak menerimanya, maka sebagaimana orang lain tidak masuk ke dalam mereka, demikian pula mereka tidak masuk ke dalam orang lain selama ada dari orang lain yang berhak menerima sebagian darinya.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ اسْتَغْنَى أَهْلُ عَمَلٍ بِبَعْضِ مَا قُسِمَ لَهُمْ وَفَضَلَ عَنْهُمْ فَضْلٌ رَأَيْت أَنْ يُنْقَلَ الْفَضْلُ مِنْهُمْ إلَى أَقْرَبِ النَّاسِ بِهِمْ فِي الْجِوَارِ، وَلَوْ ضَاقَتْ السُّهْمَانُ قُسِمَتْ عَلَى الْجِوَارِ دُونَ النَّسَبِ وَكَذَلِكَ إنْ خَالَطَهُمْ عَجَمٌ غَيْرُهُمْ فَهُمْ مَعَهُمْ فِي الْقَسْمِ عَلَى الْجِوَارِ فَإِنْ كَانُوا أَهْلَ بَادِيَةٍ عِنْدَ النُّجْعَةِ يَتَفَرَّقُونَ مَرَّةً وَيَخْتَلِطُونَ أُخْرَى فَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ قَسَمَهَا عَلَى النَّسَبِ إذَا اسْتَوَتْ الْحَالَاتُ، وَإِذَا اخْتَلَفَتْ الْحَالَاتُ فَالْجِوَارُ أَوْلَى مِنْ النَّسَبِ، وَإِنْ قَالَ مَنْ تَصَدَّقَ: إنَّ لَنَا فُقَرَاءَ عَلَى غَيْرِ هَذَا الْمَاءِ وَهُمْ كَمَا وَصَفْت يَخْتَلِطُونَ فِي النُّجْعَةِ قَسَمَ بَيْنَ الْغَائِبِ وَالْحَاضِرِ، وَلَوْ كَانُوا بِالطَّرَفِ مِنْ بَادِيَتِهِمْ فَكَانُوا أَلْزَمَ لَهُ قَسَمَ بَيْنَهُمْ وَكَانَتْ كَالدَّارِ لَهُمْ وَهَذَا إذَا كَانُوا مَعًا أَهْلَ نُجْعَةٍ لَا دَارَ لَهُمْ يُقِرُّونَ بِهَا فَأَمَّا إنْ كَانَتْ لَهُمْ دَارٌ يَكُونُونَ لَهَا أَلْزَمَ فَإِنِّي أُقْسِمُهَا عَلَى الْجِوَارِ بِالدَّارِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika suatu kelompok merasa cukup dengan sebagian yang telah dibagikan untuk mereka dan masih ada kelebihan, aku berpendapat agar kelebihan itu dialihkan kepada orang terdekat mereka dalam hal bertetangga. Sekalipun bagian-bagian itu sempit, tetap dibagikan berdasarkan tetangga, bukan nasab. Demikian pula jika ada non-Arab yang bergabung dengan mereka, mereka juga berhak mendapat bagian berdasarkan tetangga. Jika mereka adalah penduduk badui yang berpencar saat mencari padang rumput dan terkadang berkumpul, aku lebih suka membaginya berdasarkan nasab jika kondisi mereka setara. Namun jika kondisinya berbeda, tetangga lebih utama daripada nasab. Jika orang yang bersedekah berkata: ‘Kami memiliki fakir miskin di luar sumber air ini, dan mereka seperti yang kau gambarkan, berpencar saat mencari padang rumput,’ maka bagikanlah antara yang tidak hadir dan yang hadir. Sekalipun mereka berada di ujung wilayah badui mereka, jika mereka lebih membutuhkan, bagikanlah kepada mereka, dan itu seperti rumah bagi mereka. Ini berlaku jika mereka bersama-sama sebagai pencari padang rumput tanpa rumah tetap. Namun jika mereka memiliki rumah yang lebih mereka butuhkan, maka aku akan membaginya berdasarkan tetangga di sekitar rumah.”

 

(وَقَالَ فِي الْجَدِيدِ) إذَا اسْتَوَى فِي الْقُرْبِ أَهْلُ نَسَبِهِمْ وَعِدًى قَسَمْت عَلَى أَهْلِ نَسَبِهِمْ دُونَ الْعِدَى، وَإِنْ كَانَ الْعِدَى أَقْرَبَ مِنْهُمْ دَارًا وَكَانَ أَهْلُ نَسَبِهِمْ مِنْهُمْ عَلَى سَفَرٍ تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ قَسَمْت عَلَى الْعِدَى إذَا كَانَتْ دُونَ مَا تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ؛ لِأَنَّهُمْ أَوْلَى بِاسْمِ حَضْرَتِهِمْ، وَإِنْ كَانَ أَهْلُ نَسَبِهِمْ دُونَ مَا تُقْصَرُ فِيهِ الصَّلَاةُ وَالْعِدَى أَقْرَبُ مِنْهُمْ قَسَمْت عَلَى أَهْلِ نَسَبِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ بِالْبَادِيَةِ غَيْرَ خَارِجِينَ مِنْ اسْمِ الْجِوَارِ وَكَذَلِكَ هُمْ فِي الْمَنَعَةِ حَاضِرُو الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.

 

 

(Dan dia berkata dalam Al-Jadid) Jika kedekatan keluarga dan tetangga setara, bagikanlah kepada keluarga mereka, bukan tetangga. Namun, jika tetangga lebih dekat tempat tinggalnya sedangkan keluarga mereka dalam perjalanan yang memperbolehkan qashar shalat, bagikanlah kepada tetangga selama jaraknya masih dalam batas yang memperbolehkan qashar, karena mereka lebih berhak atas status kedekatan tempat. Sebaliknya, jika keluarga mereka berada dalam jarak yang tidak memperbolehkan qashar shalat sementara tetangga lebih dekat, bagikanlah kepada keluarga mereka, sebab mereka di pedalaman masih termasuk dalam kategori bertetangga. Demikian pula, mereka yang berada di sekitar Masjidil Haram dianggap sebagai penduduk setempat dalam hal perlindungan.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا وَلِيَ الرَّجُلُ إخْرَاجَ زَكَاةِ مَالِهِ قَسَمَهَا عَلَى قَرَابَتِهِ وَجِيرَانِهِ مَعًا، فَإِنْ ضَاقَتْ فَآثَرَ قَرَابَتَهُ فَحَسَنٌ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُوَلِّيَهَا غَيْرَهُ؛ لِأَنَّهُ الْمُحَاسَبُ عَلَيْهَا وَالْمَسْئُولُ عَنْهَا وَأَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنْ نَفْسِهِ وَفِي شَكٍّ مِنْ فِعْلِ غَيْرِهِ وَأَقُلُّ مَنْ يُعْطَى مِنْ أَهْلِ السَّهْمِ ثَلَاثَةٌ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى ذَكَرَ كُلَّ صِنْفٍ جَمَاعَةً فَإِنْ أَعْطَى اثْنَيْنِ وَهُوَ يَجِدُ الثَّالِثَ ضَمِنَ ثُلُثَ سَهْمٍ، وَإِنْ أَخْرَجَهُ إلَى غَيْرِ بَلَدِهِ لَمْ يَبِنْ لِي أَنَّ عَلَيْهِ إعَادَةً؛ لِأَنَّهُ أَعْطَى أَهْلَهُ بِالِاسْمِ، وَإِنْ تَرَكَ الْجِوَارَ، وَإِنْ أَعْطَى قَرَابَتَهُ مِنْ السُّهْمَانِ مِمَّنْ لَا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ كَانَ أَحَقَّ بِهَا مِنْ الْبَعِيدِ مِنْهُ، وَذَلِكَ أَنَّهُ يَعْلَمُ مِنْ قَرَابَتِهِ أَكْثَرَ مِمَّا يَعْلَمُ مِنْ غَيْرِهِمْ وَكَذَلِكَ خَاصَّتُهُ وَمَنْ لَا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ مِنْ قَرَابَتِهِ مَا عَدَا وَلَدَهُ وَوَالِدَهُ وَلَا يُعْطِي وَلَدَ الْوَلَدِ صَغِيرًا وَلَا كَبِيرًا زَمِنًا وَلَا أَخًا وَلَا جَدًّا وَلَا جِدَّةً زَمِنَيْنِ وَيُعْطِيهِمْ غَيْرَ زَمْنَى؛ لِأَنَّهُ لَا تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُمْ إلَّا زَمْنَى وَلَا يُعْطِي زَوْجَتَهُ؛ لِأَنَّ نَفَقَتَهَا تَلْزَمُهُ فَإِنْ ادَّانُوا أَعْطَاهُمْ مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ وَكَذَلِكَ مِنْ سَهْمِ ابْنِ السَّبِيلِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ قَضَاءُ الدَّيْنِ عَنْهُمْ وَلَا حَمْلُهُمْ إلَى بَلَدٍ أَرَادُوهُ فَلَا يَكُونُونَ أَغْنِيَاءَ عَنْ هَذَا بِهِ كَمَا كَانُوا بِهِ أَغْنِيَاءَ عَنْ الْفَقْرِ وَالْمَسْكَنَةِ، فَأَمَّا آلُ مُحَمَّدٍ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الَّذِينَ جُعِلَ لَهُمْ الْخُمُسُ عِوَضًا مِنْ الصَّدَقَةِ فَلَا يُعْطُونَ مِنْ الصَّدَقَاتِ الْمَفْرُوضَاتِ، وَإِنْ كَانُوا مُحْتَاجِينَ وَغَارِمِينَ وَهُمْ أَهْلُ الشُّعَبِ وَهُمْ صُلْبِيَّةُ بَنِي هَاشِمٍ وَبَنِي الْمُطَّلِبِ وَلَا تَحْرُمُ عَلَيْهِمْ صَدَقَةُ التَّطَوُّعِ وَرُوِيَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ كَانَ يَشْرَبُ مِنْ سِقَايَاتٍ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَقُلْت لَهُ: أَتَشْرَبُ مِنْ الصَّدَقَةِ؟ فَقَالَ: إنَّمَا حَرُمَتْ عَلَيْنَا الصَّدَقَةُ الْمَفْرُوضَةُ «وَقَبِلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْهَدِيَّةَ مِنْ صَدَقَةٍ تُصُدِّقَ بِهَا عَلَى بَرِيرَةَ» وَذَلِكَ أَنَّهَا مِنْ بَرِيرَةَ تَطَوُّعٌ لَا صَدَقَةٌ وَإِذَا كَانَ فِيهِمْ غَارِمُونَ لَا أَمْوَالَ لَهُمْ فَقَالُوا: أَعْطِنَا بِالْغُرْمِ وَالْفَقْرِ قِيلَ: لَا، إنَّمَا نُعْطِيكُمْ بِأَيِّ الْمَعْنَيَيْنِ شِئْتُمْ فَإِذَا أَعْطَيْنَاهُ بِاسْمِ الْفَقْرِ فَلِغُرَمَائِهِ أَنْ يَأْخُذُوا مِمَّا فِي يَدَيْهِ حُقُوقَهُمْ وَإِذَا أَعْطَيْنَاهُ بِمَعْنَى الْغُرْمِ أَحْبَبْت أَنْ يَتَوَلَّى دَفْعَهُ عَنْهُ وَإِلَّا فَجَائِزٌ كَمَا يُعْطَى الْمُكَاتَبُ فَإِنْ قِيلَ: وَلِمَ لَا يُعْطَى بِمَعْنَيَيْنِ؟ قِيلَ: الْفَقِيرُ مِسْكِينٌ وَالْمِسْكِينُ فَقِيرٌ يَجْمَعُهُمَا اسْمٌ وَيَتَفَرَّقُ بِهِمَا اسْمٌ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطَى إلَّا بِأَحَدِ الْمَعْنَيَيْنِ، وَلَوْ جَازَ ذَلِكَ جَازَ أَنْ يُعْطَى رَجُلٌ بِفَقْرٍ وَغُرْمٍ وَبِأَنَّهُ ابْنُ سَبِيلٍ وَغَازٍ وَمُؤَلَّفٌ فَيُعْطَى بِهَذِهِ الْمَعَانِي كُلِّهَا فَالْفَقِيرُ هُوَ الْمِسْكِينُ وَمَعْنَاهُ أَنْ لَا يَكُونَ غَنِيًّا بِحِرْفَةٍ وَلَا مَالٍ فَإِذَا جُمِعَا مَعًا فَقُسِمَ لِصِنْفَيْنِ بِهِمَا لَمْ يَجُزْ إلَّا أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ حَالَيْهِمَا بِأَنْ يَكُونَ الْفَقِيرُ الَّذِي بُدِئَ بِهِ أَشُدَّهُمَا فَقْرًا، وَكَذَلِكَ هُوَ فِي اللِّسَانِ، فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ ضُرِبَ عَلَيْهِ الْبَعْثُ فِي الْغَزْوِ وَلَمْ يُعْطَ فَإِنْ قَالَ: لَا أَغْزُو وَاحْتَاجَ أُعْطِيَ فَإِنْ هَاجَرَ بَدْوِيٌّ وَاقْتَرَضَ وَغَزَا صَارَ مِنْ أَهْلِ الْفَيْءِ وَأَخَذَ فِيهِ، وَلَوْ احْتَاجَ وَهُوَ فِي الْفَيْءِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ الصَّدَقَاتِ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْ الْفَيْءِ وَيَعُودَ إلَى الصَّدَقَاتِ فَيَكُونَ ذَلِكَ لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ رِقَابٌ وَلَا مُؤَلَّفَةٌ وَلَا غَارِمُونَ اُبْتُدِئَ الْقَسْمُ عَلَى خَمْسَةِ أَسْهُمٍ أَخْمَاسًا عَلَى مَا وَصَفْت، فَإِنْ ضَاقَتْ الصَّدَقَةُ قُسِمَتْ عَلَى عَدَدِ السُّهْمَانِ وَيُقْسَمُ بَيْنَ كُلِّ صِنْفٍ عَلَى قَدْرِ اسْتِحْقَاقِهِمْ وَلَا يُعْطَى أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ سَهْمٍ، وَإِنْ اشْتَدَّتْ حَاجَتُهُ وَقَلَّ مَا يُصِيبُهُ مِنْ سَهْمِ غَيْرِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ ثُمَّ يُرَدُّ فَضْلٌ إنْ كَانَ عَنْهُ وَيُقْسَمُ فَإِنْ اجْتَمَعَ حَقُّ أَهْلِ السُّهْمَانِ فِي بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ أَوْ شَاةٍ أَوْ دِينَارٍ أَوْ دِرْهَمٍ أَوْ اجْتَمَعَ فِيهِ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ أَوْ أَكْثَرُ أُعْطُوهُ، وَيُشْرَكُ بَيْنَهُمْ فِيهِ وَلَمْ يُبَدَّلْ بِغَيْرِهِ كَمَا يُعْطَاهُ مَنْ أَوْصَى لَهُمْ بِهِ وَكَذَلِكَ مَا يُوزَنُ أَوْ يُكَالُ، وَإِذَا أَعْطَى الْوَالِي مَنْ وَصَفْنَا أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُعْطِيَهُ ثُمَّ عَلِمَ أَنَّهُ غَيْرُ مُسْتَحِقٍّ نَزَعَ ذَلِكَ مِنْهُ إلَى أَهْلِهِ فَإِنْ فَاتَ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ أَمِينٌ لِمَنْ يُعْطِيهِ وَيَأْخُذُ مِنْهُ لَا لِبَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ؛ لِأَنَّهُ كُلِّفَ فِيهِ الظَّاهِرُ، وَإِنْ تَوَلَّى ذَلِكَ رَبُّ الْمَالِ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ يَضْمَنُ وَالْآخَرُ كَالْوَالِي لَا يَضْمَنُ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Apabila seseorang mengurus pengeluaran zakat hartanya, hendaknya ia membagikannya kepada kerabat dan tetangganya secara bersamaan. Jika terbatas, lalu ia prioritaskan kerabatnya, itu baik. Namun, aku lebih suka jika ia menyerahkan pengurusannya kepada orang lain, karena dialah yang akan dimintai pertanggungjawaban dan ditanya tentangnya. Ia lebih yakin pada dirinya sendiri namun ragu terhadap tindakan orang lain. Minimal penerima zakat dari ashnaf (golongan penerima) adalah tiga orang, karena Allah Ta’ala menyebut setiap golongan secara kolektif. Jika ia memberi dua orang padahal ia menemukan yang ketiga, ia menanggung sepertiga bagian. Jika ia mengeluarkannya ke luar negerinya, tidak jelas bagiku bahwa ia wajib mengulanginya, karena ia telah memberi kepada ahlinya secara nominal meski meninggalkan tetangga. Jika ia memberi kerabatnya dari bagian ashnaf yang tidak wajib ia nafkahi, mereka lebih berhak daripada orang jauh darinya, sebab ia lebih mengetahui kondisi kerabatnya dibanding orang lain. Demikian pula orang khususnya dan kerabat yang tidak wajib ia nafkahi selain anak dan orang tuanya. Ia tidak boleh memberi cucu, baik kecil maupun besar, yang lemah, saudara, kakek, atau nenek yang lemah, tetapi boleh memberi mereka jika tidak lemah, karena ia tidak wajib menafkahi mereka kecuali jika mereka lemah. Ia juga tidak boleh memberi zakat kepada istrinya, karena nafkahnya wajib ditanggungnya. Jika mereka berutang, ia boleh memberi mereka dari bagian gharimin (orang yang berutang), atau dari bagian ibn sabil (musafir), karena ia tidak wajib melunasi utang mereka atau membawa mereka ke negeri yang mereka tuju. Mereka tidak menjadi kaya karena ini, sebagaimana mereka tidak kaya dari kemiskinan dan kefakiran. Adapun keluarga Muhammad ﷺ yang diberi seperlima (ghanimah) sebagai pengganti zakat, mereka tidak boleh diberi zakat wajib meski membutuhkan atau berutang. Mereka adalah ahli syu’ub (keluarga besar) dari Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Namun, sedekah sunah tidak haram bagi mereka. Diriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa ia minum dari tempat minum antara Mekah dan Madinah. Aku bertanya, “Apakah engkau minum dari sedekah?” Ia menjawab, “Yang haram bagi kami hanyalah sedekah wajib.” Nabi ﷺ juga menerima hadiah dari sedekah yang diberikan kepada Barrah, karena itu dari Barrah sebagai sedekah sunah, bukan zakat wajib. Jika di antara mereka ada gharimin yang tidak memiliki harta lalu mereka meminta, “Berilah kami karena utang dan kemiskinan,” dikatakan, “Tidak, kami hanya memberimu dengan salah satu dari dua makna yang kamu pilih.” Jika kami memberinya dengan nama kemiskinan, para penagih utang berhak mengambil hak mereka dari apa yang ada di tangannya. Jika kami memberinya dengan makna utang, aku lebih suka ia menyerahkan pelunasannya. Jika tidak, itu boleh, sebagaimana mukatab (budak yang sedang menebus diri) diberi. Jika ditanya, “Mengapa tidak diberi dengan dua makna sekaligus?” Dijawab, “Fakir adalah miskin, dan miskin adalah fakir. Nama menyatukan mereka, tetapi makna memisahkan mereka. Jadi, tidak boleh memberi kecuali dengan salah satu makna. Jika itu diperbolehkan, berarti boleh memberi seseorang karena fakir, berutang, ibn sabil, berperang, dan mu’allaf, sehingga ia diberi dengan semua makna ini. Fakir adalah miskin, maknanya tidak kaya dengan pekerjaan atau harta. Jika keduanya digabung lalu dibagi untuk dua golongan dengan keduanya, itu tidak boleh kecuali dipisahkan keadaan mereka, yaitu fakir yang didahulukan adalah yang lebih parah kemiskinannya. Demikian pula dalam bahasa. Jika di antara mereka ada seorang ahli fai’ yang diwajibkan berperang tetapi tidak diberi (bagian), lalu ia berkata, “Aku tidak akan berperang,” dan membutuhkan, ia boleh diberi. Jika seorang badui berhijrah, berutang, lalu berperang, ia menjadi ahli fai’ dan berhak mengambil bagiannya. Jika ia membutuhkan saat masih menerima fai’, ia tidak boleh mengambil zakat sampai keluar dari fai’ dan kembali ke zakat, barulah itu boleh baginya. Jika tidak ada budak, mu’allaf, atau gharimin, pembagian dimulai dengan lima bagian secara merata seperti yang kujelaskan. Jika zakat terbatas, dibagi sesuai jumlah ashnaf, dan setiap golongan diberi sesuai haknya. Seseorang dari satu ashnaf tidak boleh diberi, meski kebutuhannya mendesak dan bagian dari ashnaf lain sedikit, sampai ia cukup. Kelebihan (jika ada) dikembalikan lalu dibagi. Jika hak ashnaf terkumpul pada satu unta, sapi, kambing, dinar, atau dirham, atau dua orang atau lebih dari ashnaf berkumpul padanya, mereka diberi dan berserikat di dalamnya tanpa ditukar, sebagaimana wasiat diberikan kepada mereka. Demikian pula yang ditimbang atau ditakar. Jika pengurus zakat memberi orang yang kami sebutkan wajib diberi, lalu ia tahu orang itu tidak berhak, ia harus menariknya kembali untuk ahlinya. Jika sudah habis, ia tidak menanggung, karena ia adalah amanat bagi yang diberi dan yang mengambil, bukan untuk sebagian mereka saja, sebab ia hanya dibebani dengan yang tampak.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَلَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُ فِي الزَّكَاةِ أَنَّ رَبَّ الْمَالِ يَضْمَنُ.

 

(Al-Muzani berkata) dan tidak berbeda pendapatnya mengenai zakat bahwa pemilik harta wajib menanggung.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُعْطَى الْوُلَاةُ زَكَاةَ الْأَمْوَالِ الظَّاهِرَةِ الثَّمَرَةُ وَالزَّرْعُ وَالْمَعْدِنُ وَالْمَاشِيَةُ فَإِنْ لَمْ يَأْتِ الْوُلَاةُ لَمْ يَسَعْ أَهْلَهَا إلَّا قَسْمُهَا فَإِنْ جَاءَ الْوُلَاةُ بَعْدَ ذَلِكَ لَمْ يَأْخُذُوهُمْ بِهَا، وَإِنْ ارْتَابُوا بِأَحَدٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُحْلِفُوهُ بِاَللَّهِ لَقَدْ قَسَمَهَا فِي أَهْلِهَا، وَإِنْ أَعْطَوْهُمْ زَكَاةَ التِّجَارَاتِ وَالْفِطْرَةِ وَالرِّكَازِ أَجْزَأَهُمْ إنْ شَاءَ اللَّهُ وَإِنَّمَا يَسْتَحِقُّ أَهْلُ السُّهْمَانِ سِوَى الْعَامِلِينَ حَقَّهُمْ يَوْمَ يَكُونُ الْقَسْمُ

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Pemerintah berhak menerima zakat harta yang tampak seperti buah-buahan, tanaman, tambang, dan hewan ternak. Jika pemerintah tidak datang, maka pemilik harta tidak ada pilihan selain membagikannya sendiri. Jika pemerintah datang setelahnya, mereka tidak boleh menuntutnya kembali. Jika mereka meragukan seseorang, tidak mengapa untuk menyumpahnya demi Allah bahwa ia telah membagikannya kepada yang berhak. Jika mereka memberikan zakat perdagangan, fitrah, atau rikaz (harta terpendam) kepada pemerintah, itu sudah mencukupi insya Allah. Orang-orang yang berhak menerima zakat selain amil baru berhak menerima bagian mereka pada hari pembagian dilakukan.”

بَابُ مِيسَمِ الصَّدَقَاتِ

Bab Tanda-Tanda Zakat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَنْبَغِي لِوَالِي الصَّدَقَاتِ أَنْ يَسِمَ كُلَّ مَا أُخِذَ مِنْهَا مِنْ بَقَرٍ أَوْ إبِلٍ فِي أَفْخَاذِهَا وَيَسِمَ الْغَنَمَ فِي أُصُولِ آذَانِهَا وَمِيسَمُ الْغَنَمِ أَلْطَفُ مِنْ مِيسَمِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَيَجْعَلَ الْمِيسَمَ مَكْتُوبًا لِلَّهِ؛ لِأَنَّ مَالِكَهَا أَدَّاهَا لِلَّهِ تَعَالَى فَكُتِبَ لِلَّهِ وَمِيسَمُ الْجِزْيَةِ مُخَالِفٌ لِمِيسَمِ الصَّدَقَةِ؛ لِأَنَّهَا أُدِّيَتْ صِغَارًا لَا أَجْرَ لِصَاحِبِهَا فِيهَا وَكَذَلِكَ بَلَغَنَا عَنْ عُمَّالِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُمْ كَانُوا يَسِمُونَ وَقَالَ أَسْلَمُ لِعِمْرَانَ فِي الظَّهْرِ نَاقَةٌ عَمْيَاءُ فَقَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – نَدْفَعُهَا إلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَنْتَفِعُونَ بِهَا يَقْطُرُونَهَا بِالْإِبِلِ. قَالَ: قُلْت: كَيْفَ تَأْكُلُ مِنْ الْأَرْضِ؟ قَالَ عُمَرُ: أَمِنْ نَعَمِ الْجِزْيَةِ أَوْ مِنْ نَعَمِ الصَّدَقَةِ؟ قُلْت: لَا بَلْ مِنْ نَعَمِ الْجِزْيَةِ. فَقَالَ عُمَرُ أَرَدْتُمْ وَاَللَّهِ أَكْلَهَا فَقُلْت: إنَّ عَلَيْهَا مِيسَمَ الْجِزْيَةِ قَالَ: فَأَمَرَ بِهَا عُمَرُ فَنُحِرَتْ قَالَ: فَكَانَتْ عِنْدَهُ صِحَافٌ تَسَعُ فَلَا تَكُونُ فَاكِهَةً وَلَا طَرِيفَةً إلَّا وَجُعِلَ مِنْهَا فِي تِلْكَ الصِّحَافِ فَيُبْعَثُ بِهَا إلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَيَكُونُ الَّذِي يُبْعَثُ بِهِ إلَى حَفْصَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – مِنْ آخِرِ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ فِيهِ نُقْصَانٌ كَانَ فِي حَظِّهَا قَالَ: فَجُعِلَ فِي تِلْكَ الصِّحَافِ مِنْ لَحْمِ تِلْكَ الْجَزُورِ فَبُعِثَ بِهِ إلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَمَرَ بِمَا بَقِيَ مِنْ اللَّحْمِ فَصُنِعَ فَدَعَا عَلَيْهِ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارَ.

 

 

(Imam Syafi’i) — semoga Allah merahmatinya — berkata: “Hendaknya petugas zakat memberi tanda pada setiap hewan zakat yang diambil, baik sapi atau unta di pahanya, dan memberi tanda pada kambing di pangkal telinganya. Tanda pada kambing lebih halus daripada tanda pada unta dan sapi. Tanda tersebut dituliskan ‘Milik Allah’, karena pemiliknya telah menyerahkannya kepada Allah Ta’ala, sehingga dicatat sebagai milik Allah. Tanda jizyah berbeda dengan tanda zakat, karena jizyah diberikan sebagai bentuk ketundukan tanpa pahala bagi pemiliknya.

 

Demikian juga telah sampai kepada kami dari para petugas Umar — semoga Allah meridhainya — bahwa mereka memberi tanda. Aslam berkata kepada Imran tentang seekor unta buta di punggungnya. Umar — semoga Allah meridhainya — berkata: “Kita serahkan kepada sebuah keluarga agar mereka memanfaatkannya dengan mengawinkannya kepada unta lain.” Aslam bertanya: “Bagaimana ia bisa makan dari tanah?” Umar balik bertanya: “Apakah ini dari hewan jizyah atau hewan zakat?” Aslam menjawab: “Bukan, tapi dari hewan jizyah.” Umar berkata: “Demi Allah, kalian ingin memakannya!” Aslam menjawab: “Ia memiliki tanda jizyah.” Umar lalu memerintahkan untuk menyembelihnya.

 

Aslam berkata: “Umar memiliki piring-piring besar. Tidak ada buah atau hidangan lezat kecuali dimasukkan ke piring-piring itu, lalu dikirim kepada istri-istri Nabi — shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagian yang dikirim kepada Hafshah — semoga Allah meridhainya — selalu diberikan terakhir. Jika ada kekurangan, itu menjadi bagiannya.”

 

Daging unta itu pun dimasukkan ke piring-piring tersebut dan dikirim kepada istri-istri Nabi — shallallahu ‘alaihi wasallam. Umar memerintahkan agar sisa daging diolah, lalu dihidangkan untuk para Muhajirin dan Anshar.

 

(قَالَ) : وَلَا أَعْلَمُ فِي الْمِيسَمِ عِلَّةً إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَا أُخِذَ مِنَ الصَّدَقَةِ مَعْلُومًا فَلَا يَشْتَرِيهِ الَّذِي أَعْطَاهُ؛ لِأَنَّهُ خَرَجَ مِنْهُ لِلَّهِ، كَمَا «أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي فَرَسٍ حُمِلَ عَلَيْهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَرَآهُ يُبَاعُ أَنْ لَا يَشْتَرِيَهُ» وَكَمَا تَرَكَ الْمُهَاجِرُونَ نُزُولَ مَنَازِلِهِمْ بِمَكَّةَ؛ لِأَنَّهُمْ تَرَكُوهَا لِلَّهِ تَعَالَى.

 

 

Beliau berkata: “Aku tidak mengetahui alasan dalam tanda (pada hewan zakat) kecuali agar apa yang diambil dari zakat itu diketahui, sehingga orang yang memberikannya tidak membelinya kembali. Karena itu telah keluar darinya untuk Allah, sebagaimana Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan Umar – radhiyallahu ‘anhu – mengenai kuda yang digunakan di jalan Allah lalu ia melihatnya dijual untuk tidak membelinya. Dan sebagaimana para Muhajirin tidak kembali menempati rumah-rumah mereka di Mekah, karena mereka telah meninggalkannya untuk Allah Ta’ala.”

 

بَابُ الِاخْتِلَافِ فِي الْمُؤَلَّفَةِ

 

Bab tentang perbedaan pendapat mengenai muallaf

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ بَعْضُ النَّاسِ: لَا مُؤَلَّفَةَ فَيُجْعَلُ سَهْمُهُمْ وَسَهْمُ سَبِيلِ اللَّهِ فِي الْكُرَاعِ وَالسِّلَاحِ فِي ثُغُورِ الْمُسْلِمِينَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ ابْنُ السَّبِيلِ مَنْ مَرَّ يُقَاسِمُ فِي الْبَلَدِ الَّذِي بِهِ الصَّدَقَاتُ وَقَالَ أَيْضًا حَيْثُ كَانَتْ الْحَاجَةُ أَكْثَرَ فَهِيَ وَاسِعَةٌ كَأَنَّهُ يَذْهَبُ إلَى أَنَّهُ فَوْضَى بَيْنَهُمْ يَقْسِمُونَهُ عَلَى الْعَدَدِ وَالْحَاجَةِ؛ لِأَنَّ لِكُلِّ أَهْلِ صِنْفٍ مِنْهُمْ سَهْمًا وَمِنْ أَصْحَابِنَا مَنْ قَالَ: إذَا تَمَاسَكَ أَهْلُ الصَّدَقَةِ وَأَجْدَبَ آخَرُونَ نُقِلَتْ إلَى الْمُجْدِبِينَ إذَا كَانُوا يُخَافُ عَلَيْهِمْ الْمَوْتُ كَأَنَّهُ يَذْهَبُ إلَى أَنَّ هَذَا مَالٌ مِنْ مَالِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَسَمَهُ لِأَهْلِ السُّهْمَانِ لِمَعْنَى صَلَاحِ عِبَادِ اللَّهِ عَلَى اجْتِهَادِ الْإِمَامِ وَأَحْسَبُهُ يَقُولُ: وَتُنْقَلُ سُهْمَانُ أَهْلِ الصَّدَقَاتِ إلَى أَهْلِ الْفَيْءِ إنْ جَهَدُوا وَضَاقَ الْفَيْءُ إلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ إنْ جَهَدُوا وَضَاقَتْ الصَّدَقَاتُ عَلَى مَعْنَى إرَادَةِ صَلَاحِ عِبَادِ اللَّهِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Sebagian orang berpendapat tidak ada lagi muallaf, sehingga bagian mereka dan bagian sabilillah dialokasikan untuk kuda perang dan senjata di perbatasan kaum muslimin. Sebagian lain berpendapat bahwa ibn sabil adalah orang yang singgah lalu ikut membagi di negeri tempat zakat dikumpulkan. Beliau juga berkata: “Di mana kebutuhan lebih besar, maka di situlah bagian itu diberikan.” Seolah beliau berpendapat bahwa pembagiannya diserahkan kepada mereka berdasarkan jumlah dan kebutuhan, karena setiap golongan berhak mendapat bagian. Di antara sahabat kami ada yang berpendapat: “Jika penerima zakat sudah mampu sementara daerah lain mengalami kekeringan, maka zakat dialihkan kepada mereka yang kekeringan jika dikhawatirkan akan mati.” Seolah beliau berpendapat bahwa harta ini adalah harta Allah yang dibagikan kepada para penerima hak demi kemaslahatan hamba-hamba Allah berdasarkan ijtihad imam. Aku kira beliau juga berkata: “Bagian penerima zakat bisa dialihkan kepada penerima fai jika mereka kesulitan dan fai terbatas, atau bagian fai dialihkan kepada penerima zakat jika mereka kesulitan dan zakat terbatas, dengan maksud untuk kemaslahatan hamba-hamba Allah.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنَّمَا قُلْت بِخِلَافِ هَذَا الْقَوْلِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ جَلَّ وَعَزَّ جَعَلَ الْمَالَ قِسْمَيْنِ: أَحَدَهُمَا فِي قِسْمِ الصَّدَقَاتِ الَّتِي هِيَ طَهِرَةٌ فَسَمَّاهَا اللَّهُ الثَّمَانِيَةَ أَصْنَافَ وَوَكَّدَهَا، وَجَاءَتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِأَنْ يُؤْخَذَ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ لَا فُقَرَاءِ غَيْرِهِمْ وَلِغَيْرِهِمْ فُقَرَاءُ فَلَا يَجُوزُ فِيهَا عِنْدِي – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – أَنْ يَكُونَ فِيهَا غَيْرُ مَا قُلْت مِنْ أَنْ لَا تُنْقَلَ عَنْ قَوْمٍ وَفِيهِمْ مَنْ يَسْتَحِقُّهَا، وَلَا يَخْرُجُ سَهْمُ ذِي سَهْمٍ مِنْهُمْ إلَى غَيْرِهِ وَهُوَ يَسْتَحِقُّهُ وَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يُسَمِّيَ اللَّهُ تَعَالَى أَصْنَافًا فَيَكُونُونَ مَوْجُودِينَ مَعًا فَيُعْطَى أَحَدٌ سَهْمَهُ وَسَهْمَ غَيْرِهِ، وَلَوْ جَازَ هَذَا عِنْدِي جَازَ أَنْ يُجْعَلَ فِي سَهْمِ وَاحِدٍ جَمِيعُ سِهَامِ سَبْعَةٍ مَا فُرِضَ لَهُمْ وَيُعْطَى وَاحِدٌ مَا لَمْ يُفْرَضْ لَهُ وَاَلَّذِي يُخَالِفُنَا يَقُولُ: لَوْ أَوْصَى بِثُلُثِهِ لِفُقَرَاءِ بَنِي فُلَانٍ وَغَارِمِي بَنِي فُلَانٍ رَجُلٌ آخَرُ وَبَنِي سَبِيلٍ بَنِي فُلَانٍ رَجُلٌ آخَرُ إنَّ كُلَّ صِنْفٍ مِنْ هَؤُلَاءِ يُعْطَوْنَ مِنْ ثُلُثِهِ وَأَنْ لَيْسَ لِوَصِيٍّ وَلَا وَالٍ أَنْ يُعْطِيَ الثُّلُثَ صِنْفًا دُونَ صِنْفٍ، وَإِنْ كَانَ أَحْوَجَ وَأَفْقَرَ مِنْ صِنْفٍ؛ لِأَنَّ كُلًّا ذُو حَقٍّ بِمَا سُمِّيَ لَهُ، وَإِذَا كَانَ هَذَا عِنْدَنَا وَعِنْدَ قَائِلٍ هَذَا الْقَوْلَ فِيمَا أَعْطَى الْآدَمِيُّونَ أَنْ لَا يَجُوزَ أَنْ يَمْضِيَ إلَّا عَلَى مَا أَعْطَوْا فَعَطَاءُ اللَّهِ أَوْلَى أَنْ لَا يَجُوزَ أَنْ يَمْضِيَ إلَّا عَلَى مَا أَعْطَى.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku mengatakan pendapat yang berbeda dengan pendapat ini karena Allah SWT telah membagi harta menjadi dua bagian: satu bagian termasuk dalam sedekah yang menyucikan, yang Allah sebutkan delapan golongan dan menguatkannya. Sunnah Rasulullah SAW juga menyatakan bahwa harta itu diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang miskin mereka, bukan orang miskin selain mereka. Menurutku—dan Allah lebih tahu—tidak boleh dalam sedekah itu ada hal selain yang kusebutkan, yaitu tidak boleh dipindahkan dari suatu kaum sementara di antara mereka ada yang berhak menerimanya, dan tidak boleh bagian seseorang yang berhak diberikan kepada orang lain yang juga berhak. Bagaimana mungkin Allah menyebutkan golongan-golongan tertentu yang ada bersamaan, lalu seseorang diberikan bagiannya dan bagian orang lain? Jika ini boleh menurutku, maka boleh pula menggabungkan seluruh bagian tujuh golongan ke dalam satu bagian dan diberikan kepada satu orang yang tidak ditetapkan untuknya. Orang yang berbeda pendapat dengan kami mengatakan: ‘Jika seseorang mewasiatkan sepertiga hartanya untuk fakir miskin Bani Fulan, orang yang berutang Bani Fulan, dan musafir Bani Fulan, maka setiap golongan ini harus diberi dari sepertiga itu. Tidak boleh bagi wasit atau penguasa untuk memberikan sepertiga itu hanya kepada satu golongan dan mengabaikan yang lain, meskipun lebih membutuhkan dan lebih miskin, karena setiap golongan berhak atas apa yang disebutkan untuknya.’ Jika menurut kami dan orang yang berpendapat demikian dalam pemberian manusia saja tidak boleh kecuali sesuai dengan yang mereka tetapkan, maka pemberian Allah lebih utama untuk tidak boleh kecuali sesuai dengan yang Dia tetapkan.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا قَسَمَ اللَّهُ الْفَيْءَ وَسَنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّ أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِهِ لِمَنْ أَوْجَفَ عَلَى الْغَنِيمَةِ لِلْفَارِسِ ثَلَاثَةُ أَسْهُمٍ وَلِلرَّاجِلِ سَهْمٌ وَلَمْ نَعْلَمْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَضَّلَ ذَا غَنَاءٍ عَلَى مَنْ دُونَهُ وَلَمْ يُفَضِّلْ الْمُسْلِمُونَ الْفَارِسَ أَعْظَمَ النَّاسِ غَنَاءً عَلَى جَبَانٍ فِي الْقَسْمِ وَكَيْفَ جَازَ لِمُخَالِفِنَا فِي قَسْمِ الصَّدَقَاتِ وَقَدْ قَسَمَهَا اللَّهُ تَعَالَى أَبْيَنَ الْقَسْمِ فَيُعْطِي بَعْضًا دُونَ بَعْضٍ وَيَنْقُلُهَا عَنْ أَهْلِهَا الْمُحْتَاجِينَ إلَيْهَا إلَى غَيْرِهِمْ؛ لَأَنْ كَانُوا أَحْوَجَ مِنْهُمْ أَوْ يُشْرِكُهُمْ مَعَهُمْ أَوْ يَنْقُلُهَا عَنْ صِنْفٍ مِنْهُمْ إلَى صِنْفٍ غَيْرِهِ (أَرَأَيْت) لَوْ قَالَ قَائِلٌ لِقَوْمِ أَهْلِ غَزْوٍ كَثِيرٍ: أَوْجَفُوا عَلَى عَدُوٍّ أَنْتُمْ أَغْنِيَاءٌ فَآخُذُ مَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ فَأَقْسِمُهُ عَلَى أَهْلِ الصَّدَقَاتِ الْمُحْتَاجِينَ إذَا كَانَ عَامُ سَنَةٍ؛ لِأَنَّهُمْ مِنْ عِيَالِ اللَّهِ تَعَالَى هَلْ الْحُجَّةُ عَلَيْهِ إلَّا أَنَّ مَنْ قَسَمَ اللَّهُ لَهُ بِحَقٍّ فَهُوَ أَوْلَى بِهِ، وَإِنْ كَانَ مَنْ لَمْ يُقْسَمْ لَهُ أَحْوَجَ مِنْهُ وَهَكَذَا يَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ فِي أَهْلِ الصَّدَقَاتِ وَهَكَذَا لِأَهْلِ الْمَوَارِيثِ لَا يُعْطَى أَحَدٌ مِنْهُمْ سَهْمَ غَيْرِهِ وَلَا يُمْنَعُ مِنْ سَهْمِهِ لِفَقْرٍ وَلَا لِغِنًى.

 

 

Beliau berkata: “Ketika Allah membagi fai’ dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menetapkan bahwa empat perlimanya untuk orang yang berjuang meraih rampasan perang, dengan tiga bagian untuk penunggang kuda dan satu bagian untuk pejalan kaki. Kami tidak mengetahui Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pernah mengutamakan orang yang lebih berjasa atas yang kurang, dan kaum muslimin tidak pernah mengutamakan penunggang kuda yang paling besar jasanya atas orang yang penakut dalam pembagian. Bagaimana mungkin lawan kami membolehkan pembagian sedekah, padahal Allah Ta’ala telah membaginya dengan pembagian yang paling jelas, lalu mereka memberi sebagian tanpa sebagian lain, dan memindahkannya dari orang-orang yang berhak membutuhkannya kepada selain mereka? Jika alasannya karena mereka lebih membutuhkan, atau menggabungkan mereka bersama, atau memindahkannya dari satu golongan ke golongan lain. Bagaimana pendapatmu jika ada orang berkata kepada sekelompok pasukan perang yang banyak: ‘Berperanglah melawan musuh, kalian adalah orang kaya, maka aku akan mengambil apa yang kalian perjuangkan lalu membagikannya kepada orang-orang yang berhak menerima sedekah jika terjadi tahun paceklik, karena mereka adalah tanggungan Allah Ta’ala.’ Bukankah argumen terhadapnya hanyalah bahwa orang yang telah Allah tetapkan hak baginya lebih berhak atasnya, meskipun orang yang tidak mendapat bagian lebih membutuhkan? Demikian pula seharusnya dikatakan tentang penerima sedekah, dan demikian pula ahli waris. Tidak boleh seorang pun diberi bagian orang lain, dan tidak boleh dicegah dari bagiannya karena miskin atau kaya.”

وَقَضَى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَيُّمَا رَجُلٌ انْتَقَلَ مِنْ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ إلَى غَيْرِ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ فَعُشْرُهُ وَصَدَقَتُهُ إلَى مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ.

 

Muadz bin Jabal – radhiyallahu ‘anhu – menetapkan bahwa siapa saja yang berpindah dari wilayah sukunya ke wilayah suku lain, maka sepersepuluh dan sedekahnya tetap untuk wilayah sukunya.

 

فَفِي هَذَا مَعْنَيَانِ أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَعَلَ صَدَقَتَهُ وَعُشْرَهُ لِأَهْلِ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ لَمْ يَقُلْ لِقَرَابَتِهِ دُونَ أَهْلِ الْمِخْلَافِ، وَالْآخَرُ أَنَّهُ رَأَى أَنَّ الصَّدَقَةَ إذَا ثَبَتَتْ لِأَهْلِ مِخْلَافِ عَشِيرَتِهِ لَمْ تُحَوَّلْ عَنْهُمْ صَدَقَتُهُ وَعُشْرُهُ بِتَحَوُّلِهِ عَنْهُمْ وَكَانَتْ كَمَا يَثْبُتُ بَدَأَ فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ جَاءَ عَدِيُّ بْنُ حَاتِمٍ أَبَا بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بِصَدَقَاتِ وَالزِّبْرِقَانَ بْنَ بَدْرٍ فَهُمَا، وَإِنْ جَاءَا بِهَا فَقَدْ تَكُونُ فَضْلًا عَنْ أَهْلِهَا، وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ بِالْمَدِينَةِ أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِمْ نَسَبًا وَدَارًا مِمَّنْ يَحْتَاجُ إلَى سَعَةٍ مِنْ مُضَرَ وَطِيء مِنْ الْيَمَنِ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ مَنْ حَوْلَهُمْ ارْتَدُّوا فَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِيهَا حَقٌّ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يُؤْتَى بِهَا أَبُو بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – ثُمَّ يَرُدَّهَا إلَى غَيْرِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَلَيْسَ فِي ذَلِكَ خَبَرٌ عَنْ أَبِي بَكْرٍ نَصِيرُ إلَيْهِ.

 

 

Dalam hal ini terdapat dua makna. Pertama, bahwa ia menjadikan sedekah dan sepersepuluhnya untuk penduduk wilayah sukunya, bukan untuk kerabatnya selain penduduk wilayah tersebut. Kedua, bahwa ia berpendapat jika sedekah telah ditetapkan untuk penduduk wilayah sukunya, maka sedekah dan sepersepuluhnya tidak dialihkan dari mereka meskipun ia berpindah dari mereka, dan tetap seperti semula. Jika ada yang berkata: Sungguh ‘Adi bin Hatim dan Az-Zibriqan bin Badr telah datang kepada Abu Bakar -radhiyallahu ‘anhu- membawa sedekah, meskipun mereka membawanya, bisa jadi itu kelebihan dari hak mereka. Bisa juga karena di Madinah ada orang yang lebih dekat nasab dan tempat tinggalnya dibanding orang yang membutuhkan dari Mudhar atau Thayyi’ di Yaman. Bisa juga karena orang-orang di sekitar mereka telah murtad sehingga mereka tidak berhak atasnya. Bisa juga sedekah itu dibawa kepada Abu Bakar -radhiyallahu ‘anhu- lalu ia mengembalikannya kepada selain penduduk Madinah. Namun tidak ada riwayat dari Abu Bakar yang bisa dijadikan rujukan dalam hal ini.

 

فَإِنْ قِيلَ: فَإِنَّهُ بَلَغَنَا أَنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – كَانَ يُؤْتَى بِنَعَمٍ مِنْ الصَّدَقَةِ فَبِالْمَدِينَةِ صَدَقَاتُ النَّخْلِ وَالزَّرْعِ وَالنَّاضِّ وَالْمَاشِيَةِ وَلِلْمَدِينَةِ سَاكِنٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَحُلَفَاءَ لَهُمْ وَأَشْجَعُ وَجُهَيْنَةُ وَمُزَيِّنَة بِهَا وَبِأَطْرَافِهَا وَغَيْرِهِمْ مِنْ قَبَائِلِ الْعَرَبِ فَعِيَالُ سَاكِنِ الْمَدِينَةِ بِالْمَدِينَةِ وَعِيَالُ عَشَائِرِهِمْ وَجِيرَانِهِمْ وَقَدْ يَكُونُ عِيَالُ سَاكِنِي أَطْرَافِهَا بِهَا وَعِيَالُ جِيرَانِهِمْ وَعَشَائِرِهِمْ فَيُؤْتَوْنَ بِهَا وَتَكُونُ مَجْمَعًا لِأَهْلِ السُّهْمَانِ كَمَا تَكُونُ الْمِيَاهُ وَالْقُرَى مَجْمَعًا لِأَهْلِ السُّهْمَانِ مِنْ الْعَرَبِ وَلَعَلَّهُمْ اسْتَغْنَوْا فَنَقَلَهَا إلَى أَقْرَبِ النَّاسِ بِهِمْ، وَكَانُوا بِالْمَدِينَةِ (فَإِنْ قِيلَ) فَإِنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – كَانَ يَحْمِلُ عَلَى إبِلٍ كَثِيرَةٍ إلَى الشَّامِ وَالْعِرَاقِ فَإِنَّمَا هِيَ – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – مِنْ نَعَمِ الْجِزْيَةِ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا يَحْمِلُ عَلَى مَا يَحْتَمِلُ مِنْ الْإِبِلِ وَأَكْثَرُ فَرَائِضِ الْإِبِلِ لَا تَحْمِلُ أَحَدًا وَقَدْ كَانَ يُبْعَثُ إلَى عُمَرَ بِنَعَمِ الْجِزْيَةِ فَيَبْعَثُ فَيَبْتَاعُ بِهَا إبِلًا جُلَّةً فَيَحْمِلُ عَلَيْهَا (وَقَالَ) بَعْضُ النَّاسِ مِثْلَ قَوْلِنَا فِي أَنَّ مَا أُخِذَ مِنْ مُسْلِمٍ فَسَبِيلُهُ سَبِيلُ الصَّدَقَاتِ وَقَالُوا: وَالرِّكَازُ سَبِيلُ الصَّدَقَاتِ وَرَوَوْا مَا رَوَيْنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ» وَقَالَ «الْمَعَادِنُ مِنْ الرِّكَازِ وَكُلُّ مَا أُصِيبَ مِنْ دِفْنِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ رِكَازٌ» ثُمَّ عَادَ لِمَا شَدَّدَ فِيهِ فَأَبْطَلَهُ فَزَعَمَ أَنَّهُ إذَا وَجَدَ رِكَازًا فَوَاسِعٌ لَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى أَنْ يَكْتُمَهُ، وَلِلْوَالِي أَنْ يَرُدَّهُ عَلَيْهِ بَعْدَ مَا يَأْخُذُهُ مِنْهُ أَوْ يَدَعَهُ لَهُ فَقَدْ أُبْطِلَ بِهَذَا الْقَوْلِ السُّنَّةُ فِي أَخْذِهِ، وَحَقُّ اللَّهِ فِي قَسْمِهِ لِمَنْ جَعَلَهُ اللَّهُ لَهُ، وَلَوْ جَازَ ذَلِكَ جَازَ فِي جَمِيعِ مَا أَوْجَبَهُ اللَّهُ لِمَنْ جَعَلَهُ لَهُ (قَالَ) : فَإِنَّا رَوَيْنَا عَنْ الشَّعْبِيِّ أَنَّ رَجُلًا وَجَدَ أَرْبَعَةَ أَوْ خَمْسَةَ آلَافِ دِرْهَمٍ فَقَالَ عَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَأَقْضِيَنَّ فِيهَا قَضَاءً بَيِّنًا أَمَّا أَرْبَعَةُ أَخْمَاسٍ فَلَكَ، وَخُمُسٌ لِلْمُسْلِمِينَ ثُمَّ قَالَ: وَالْخُمُسُ مَرْدُودٌ عَلَيْك.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Jika dikatakan: Sesungguhnya telah sampai kepada kami bahwa Umar – radhiyallahu ‘anhu – didatangkan hewan ternak dari zakat. Di Madinah terdapat zakat kurma, tanaman, ternak yang digembalakan, dan hewan ternak lainnya. Madinah dihuni oleh kaum Muhajirin, Anshar, sekutu mereka, Asyja’, Juhainah, Muzainah, serta suku-suku Arab lainnya di sekitar Madinah. Keluarga penduduk Madinah berada di Madinah, begitu pula keluarga kerabat dan tetangga mereka. Kadang keluarga penduduk sekitar Madinah juga berada di sana bersama keluarga tetangga dan kerabat mereka. Mereka didatangkan hewan ternak tersebut, dan itu menjadi tempat berkumpulnya para penerima hak, sebagaimana air dan desa menjadi tempat berkumpulnya penerima hak dari kalangan Arab. Mungkin mereka sudah cukup sehingga Umar memindahkannya kepada orang terdekat yang membutuhkan, dan mereka berada di Madinah.

 

Jika dikatakan: Sesungguhnya Umar – radhiyallahu ‘anhu – pernah mengirimkan banyak unta ke Syam dan Irak. Maka itu – wallahu a’lam – berasal dari hewan ternak jizyah, karena beliau hanya mengirimkan unta yang mampu mengangkut, sedangkan kebanyakan unta zakat tidak mampu mengangkut seseorang. Pernah dikirimkan kepada Umar hewan ternak jizyah, lalu beliau membeli banyak unta untuk mengangkutnya.

 

Sebagian orang berpendapat seperti pendapat kami bahwa apa yang diambil dari seorang Muslim maka jalannya adalah jalan zakat. Mereka berkata: “Rikaz (harta karun) jalannya seperti zakat.” Mereka meriwayatkan sebagaimana kami riwayatkan bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Pada rikaz ada seperlimanya,” dan beliau bersabda: “Barang tambang termasuk rikaz, dan segala sesuatu yang ditemukan dari peninggalan zaman jahiliyah adalah rikaz.” Kemudian beliau kembali kepada pendapat yang keras dan membatalkannya, dengan mengira bahwa jika seseorang menemukan rikaz, maka luas baginya antara dirinya dan Allah ta’ala untuk menyembunyikannya, dan bagi penguasa untuk mengembalikannya setelah mengambilnya atau membiarkannya. Dengan pendapat ini, sunnah dalam mengambil rikaz dan hak Allah dalam membagikannya kepada yang berhak telah dibatalkan. Seandainya itu boleh, maka boleh pula untuk semua yang Allah wajibkan bagi yang berhak.

 

Beliau berkata: Kami meriwayatkan dari Asy-Sya’bi bahwa seorang laki-laki menemukan empat atau lima ribu dirham. Maka Ali – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Aku akan memutuskan dengan keputusan yang jelas. Empat perlima untukmu, dan seperlima untuk kaum Muslimin.” Kemudian beliau berkata: “Seperlimanya dikembalikan kepadamu.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَهَذَا الْحَدِيثُ يَنْقُضُ بَعْضُهُ بَعْضًا إذَا زُعِمَ أَنَّ عَلِيًّا قَالَ: وَالْخُمُسُ لِلْمُسْلِمِينَ فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يَرَى لِلْمُسْلِمِينَ فِي مَالِ رَجُلٍ شَيْئًا ثُمَّ يَرُدَّهُ عَلَيْهِ أَوْ يَدَعَهُ لَهُ وَهَذَا عَنْ عَلِيٍّ مُسْتَنْكَرٌ، وَقَدْ رَوَوْا عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بِإِسْنَادٍ مَوْصُولٍ أَنَّهُ قَالَ: أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ لَك وَاقْسِمْ الْخُمُسَ فِي فُقَرَاءِ أَهْلِك فَهَذَا الْحَدِيثُ أَشْبَهُ بِحَدِيثِ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَعَلَّ عَلِيًّا عَلِمَهُ أَمِينًا وَعَلِمَ فِي أَهْلِهِ فُقَرَاءَ مِنْ أَهْلِ السُّهْمَانِ فَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَهُ فِيهِمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Hadis ini saling bertentangan sebagian dengan sebagian lainnya jika diklaim bahwa Ali berkata: ‘Seperlima adalah untuk kaum Muslimin.’ Bagaimana mungkin ia menganggap ada hak kaum Muslimin dalam harta seseorang, lalu mengembalikannya kepadanya atau membiarkannya untuknya? Ini adalah riwayat yang diingkari dari Ali. Mereka telah meriwayatkan dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – dengan sanad yang bersambung bahwa ia berkata: ‘Empat perlimanya untukmu, dan bagikanlah seperlima kepada fakir miskin keluargamu.’ Hadis ini lebih mirip dengan hadis Ali – radhiyallahu ‘anhu -. Mungkin Ali mengetahui orang itu amanah dan mengetahui ada fakir miskin di keluarganya yang termasuk ahli saham, lalu memerintahkannya untuk membagikannya kepada mereka.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهُمْ يُخَالِفُونَ مَا رَوَوْا عَنْ الشَّعْبِيِّ مِنْ وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنَّ مَنْ كَانَتْ لَهُ مِائَتَا دِرْهَمٍ فَلَيْسَ لِلْوَالِي أَنْ يُعْطِيَهُ وَلَا لَهُ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا مِنْ السُّهْمَانِ الْمَقْسُومَةِ بَيْنَ مَنْ سَمَّى اللَّهُ تَعَالَى وَلَا مِنْ الصَّدَقَاتِ تَطَوُّعًا، وَاَلَّذِي يَزْعُمُونَ أَنَّ عَلِيًّا تَرَكَ لَهُ خُمُسَ رِكَازِهِ رَجُلٌ لَهُ أَرْبَعَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ وَلَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ مَالٌ سِوَاهَا وَيَزْعُمُونَ أَنَّهُ إذَا أَخَذَ الْوَالِي مِنْهُ وَاجِبًا فِي مَالٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَعُودَ عَلَيْهِ وَلَا عَلَى أَحَدٍ يَعُولُهُ وَيَزْعُمُونَ أَنْ لَوْ وَلِيَهَا هُوَ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَبْسُهَا وَلَا دَفْعُهَا إلَى أَحَدٍ يَعُولُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan mereka menyelisihi apa yang diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dari dua sisi: Pertama, mereka mengklaim bahwa siapa yang memiliki dua ratus dirham, maka penguasa tidak boleh memberinya dan dia juga tidak boleh mengambil sesuatu dari bagian-bagian yang dibagi antara orang-orang yang disebutkan oleh Allah Ta’ala, maupun dari sedekah sunnah. Mereka juga mengklaim bahwa Ali meninggalkan seperlima dari harta karunnya untuk seorang lelaki yang memiliki empat ribu dirham, dan mungkin dia memiliki harta selain itu. Mereka mengklaim bahwa jika penguasa mengambil kewajiban dari hartanya, maka dia tidak boleh kembali mengambil darinya atau dari orang yang dia tanggung. Dan mereka mengklaim bahwa jika dia yang menguasainya, dia tidak boleh menahannya atau memberikannya kepada orang yang dia tanggung.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan jika dia boleh menyembunyikannya dan penguasa berhak mengambilnya darinya, maka itu tidak wajib baginya. Meninggalkannya atau mengambilnya adalah sama. Mereka telah membatalkan dengan perkataan ini sunnah tentang adanya seperlima dalam rikaz (harta terpendam), dan mereka telah membatalkan hak orang-orang yang Allah tentukan bagiannya dari delapan golongan yang berhak menerima zakat. Jika ada yang berkata: ‘Ini hanya berlaku untuk rikaz,’ maka dijawab: ‘Jika dikatakan padamu: Ini tidak berlaku untuk rikaz tetapi berlaku untuk selainnya seperti zakat, hewan ternak, sepersepuluh hasil pertanian, dan perak, maka apa argumenmu terhadapnya kecuali seperti argumennya terhadapmu?’ Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.”

 

مُخْتَصَرٌ فِي النِّكَاحِ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ وَمَا جَاءَ فِي أَمْرِ النَّبِيِّ وَأَزْوَاجِهِ

 

Ringkasan tentang Pernikahan yang Lengkap dari Kitab Nikah dan Apa yang Terkait dengan Urusan Nabi serta Istri-Istrinya

مُخْتَصَرٌ فِي النِّكَاحِ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ وَمَا جَاءَ فِي أَمْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَزْوَاجِهِ.

 

Ringkasan tentang pernikahan yang mencakup dari kitab pernikahan dan apa yang disebutkan mengenai urusan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – serta istri-istrinya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – إنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِمَا خَصَّ بِهِ رَسُولَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ وَحْيِهِ وَأَبَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ بِمَا فَرَضَ عَلَيْهِمْ مِنْ طَاعَتِهِ افْتَرَضَ عَلَيْهِ أَشْيَاءَ خَفَّفَهَا عَنْ خَلْقِهِ لِيَزِيدَهُ بِهَا إنْ شَاءَ اللَّهُ قُرْبَةً وَأَبَاحَ لَهُ أَشْيَاءَ حَظَرَهَا عَلَى خَلْقِهِ زِيَادَةً فِي كَرَامَتِهِ وَتَبْيِينًا لِفَضِيلَتِهِ فَمِنْ ذَلِكَ أَنَّ كُلَّ مَنْ مَلَكَ زَوْجَةً فَلَيْسَ عَلَيْهِ تَخْيِيرُهَا، وَأُمِرَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – أَنْ يُخَيِّرَ نِسَاءَهُ فَاخْتَرْنَهُ فَقَالَ تَعَالَى {لا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاءُ مِنْ بَعْدُ} الأحزاب: 52 «قَالَتْ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَتَّى أُحِلَّ لَهُ النِّسَاءُ» قَالَ: كَأَنَّهَا تَعْنِي اللَّاتِي حَظَرَهُنَّ عَلَيْهِ قَالَ تَعَالَى {وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ} الأحزاب: 50 الْآيَةَ، وَقَالَ تَعَالَى {يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ} الأحزاب: 32 فَأَبَانَهُنَّ بِهِ مِنْ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ وَخَصَّهُ بِأَنْ جَعَلَهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجَهُ أُمَّهَاتِهِمْ قَالَ: أُمَّهَاتُهُمْ فِي مَعْنًى دُونَ مَعْنًى وَذَلِكَ أَنَّهُ لَا يَحِلُّ نِكَاحُهُنَّ بِحَالٍ وَلَمْ تَحْرُمْ بَنَاتٌ لَوْ كُنَّ لَهُنَّ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَدْ زَوَّجَ بَنَاتَه وَهُنَّ أَخَوَاتُ الْمُؤْمِنِينَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala, karena mengkhususkan Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan wahyu-Nya dan membedakan antara beliau dengan makhluk-Nya melalui kewajiban taat kepada beliau, maka Allah mewajibkan beberapa hal kepada beliau yang Dia ringankan bagi makhluk-Nya, agar dengan itu Allah menambah kedekatan beliau jika Allah menghendaki. Dan Allah menghalalkan bagi beliau beberapa hal yang diharamkan bagi makhluk-Nya, sebagai tambahan kemuliaan dan penjelasan keutamaan beliau. Di antaranya adalah bahwa setiap orang yang memiliki istri tidak wajib memberikan pilihan kepadanya, sedangkan beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – diperintahkan untuk memberikan pilihan kepada istri-istrinya, lalu mereka memilih beliau. Maka Allah berfirman: ‘Tidak halal bagimu (menikahi) wanita-wanita setelah ini.’ (QS. Al-Ahzab: 52). Aisyah – radhiyallahu ‘anha – berkata: ‘Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak wafat hingga wanita-wanita dihalalkan bagi beliau.’ Imam Syafi’i berkata: ‘Sepertinya yang dia maksud adalah wanita-wanita yang sebelumnya diharamkan bagi beliau.’ Allah berfirman: ‘Dan seorang wanita mukminah jika dia menghibahkan dirinya kepada Nabi.’ (QS. Al-Ahzab: 50). Dan Allah berfirman: ‘Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak seperti wanita mana pun jika kalian bertakwa.’ (QS. Al-Ahzab: 32). Maka Allah membedakan mereka dari wanita-wanita lainnya. Dan Allah mengkhususkan beliau dengan menjadikannya – shallallahu ‘alaihi wasallam – lebih berhak atas orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, dan istri-istrinya sebagai ibu-ibu mereka. Imam Syafi’i berkata: ‘Ibu-ibu mereka dalam satu makna, bukan makna yang lain, yaitu bahwa tidak halal menikahi mereka dalam keadaan apa pun, dan anak-anak perempuan mereka (jika ada) tidak menjadi haram, karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah menikahkan putri-putrinya, padahal mereka adalah saudara-saudara perempuan orang-orang mukmin.'”

 

التَّرْغِيبُ فِي النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ

Anjuran untuk Menikah dan Lainnya

 

مِنْ الْجَامِعِ وَمِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ جَدِيدٍ وَقَدِيمٍ، وَمِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ.

 

 

Dari Al-Jami’, dari kitab nikah yang baru dan lama, serta dari imla’ (dikte) atas masalah-masalah Malik.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan aku menyukai bagi seorang laki-laki dan perempuan untuk menikah apabila jiwa mereka cenderung kepadanya, karena Allah Ta’ala telah memerintahkannya, meridhainya, dan menganjurkannya. Telah sampai kepada kami bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: ‘Nikahlah, niscaya kalian akan memperbanyak keturunan, karena sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di hadapan umat-umat lain sampai dengan bayi yang keguguran.’ Dan beliau juga bersabda: ‘Barangsiapa yang mencintai fitrahku, maka hendaklah ia mengikuti sunnahku, dan di antara sunnahku adalah menikah.’ Dan dikatakan: ‘Sesungguhnya seorang laki-laki akan diangkat derajatnya karena doa anaknya setelah kematiannya.'”

(قَالَ) : وَمَنْ لَمْ تَتُقْ نَفْسُهُ إلَى ذَلِكَ فَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَتَخَلَّى لِعِبَادَةِ اللَّهِ تَعَالَى.

 

Dia berkata, “Barangsiapa yang jiwanya belum mampu mencapai hal itu, maka lebih aku sukai jika dia menyendiri untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.”

(قَالَ) : Dan Allah Ta’ala telah menyebutkan {وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ} An-Nur: 60 (wanita-wanita yang tidak haid lagi), dan Dia menyebutkan seorang hamba yang Dia muliakan dengan firman-Nya {وَسَيِّدًا وَحَصُورًا} Ali ‘Imran: 39 (seorang yang terhormat dan menahan diri). Al-Hashur adalah orang yang tidak mendatangi wanita dan tidak menyeru mereka untuk menikah, maka ini menunjukkan bahwa yang diseru untuk menikah adalah orang yang membutuhkannya.

 

(قَالَ) : وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةَ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْظُرَ إلَيْهَا حَاسِرَةً وَيَنْظُرَ إلَى وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا وَهِيَ مُتَغَطِّيَةٌ بِإِذْنِهَا وَبِغَيْرِ إذْنِهَا قَالَ اللَّه تَعَالَى {وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} النور: 31 قَالَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang ingin menikahi seorang wanita, tidak boleh baginya melihatnya dalam keadaan terbuka (tanpa hijab), tetapi boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya, baik wanita itu menutup diri dengan izinnya atau tanpa izinnya.” Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak darinya.” (QS. An-Nur: 31). Dia (mufassir) berkata: “Yang dimaksud adalah wajah dan kedua telapak tangan.”

 

بَابُ مَا عَلَى الْأَوْلِيَاءِ وَإِنْكَاحُ الْأَبِ الْبِكْرَ بِغَيْرِ إذْنِهَا وَوَجْهُ النِّكَاحِ

Bab tentang kewajiban para wali, dan pernikahan yang dilakukan ayah bagi gadis tanpa izinnya, serta hakikat pernikahan.

وَالرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ أَمَتَهُ وَيَجْعَلُ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا مِنْ جَامِعِ كِتَابِ النِّكَاحِ وَأَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَكِتَابُ النِّكَاحِ إمْلَاءٌ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ، وَاخْتِلَافُ الْحَدِيثِ وَالرِّسَالَةِ.

 

Dan seorang laki-laki boleh menikahi budak perempuannya dan menjadikan pembebasannya sebagai maharnya, dari kitab جامع كتاب النكاح وأحكام القرآن. Kitab النكاح merupakan catatan atas masalah-masalah Malik, perbedaan hadis, dan risalah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَدَلَّ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَسُنَّةُ نَبِيِّهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – عَلَى أَنَّ حَقًّا عَلَى الْأَوْلِيَاءِ أَنْ يُزَوِّجُوا الْحَرَائِرَ البوالغ إذَا أَرَدْنَ النِّكَاحَ وَدَعَوْنَ إلَى رِضًا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ} البقرة: 232 .

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Kitab Allah Azza wa Jalla dan Sunnah Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – menunjukkan bahwa menjadi kewajiban para wali untuk menikahkan wanita merdeka yang telah baligh jika mereka ingin menikah dan mengajak kepada kerelaan. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka untuk menikah (lagi) dengan calon suaminya apabila telah ada kerelaan di antara mereka secara patut.” (QS. Al-Baqarah: 232).

 

(قَالَ) : وَهَذِهِ أَبْيَنُ آيَةً فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى دَلَالَةً عَلَى أَنْ لَيْسَ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَتَزَوَّجَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ.

 

 

Beliau berkata: “Ini adalah ayat yang paling jelas dalam Kitab Allah Ta’ala yang menunjukkan bahwa seorang wanita tidak boleh menikah tanpa wali.”

(قَالَ) : وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ: نَزَلَتْ فِي مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَذَلِكَ أَنَّهُ زَوَّجَ أُخْتَهُ رَجُلًا فَطَلَّقَهَا فَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا ثُمَّ طَلَبَ نِكَاحَهَا وَطَلَبَتْهُ فَقَالَ: زَوَّجْتُك أُخْتِي دُونَ غَيْرِك ثُمَّ طَلَّقْتهَا لَا أُنْكِحُكهَا أَبَدًا فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ.

 

(Dia berkata) : Dan sebagian ahli ilmu berkata: Ayat ini turun berkenaan dengan Ma’qil bin Yasar – radhiyallahu ‘anhu – yaitu bahwa dia menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu menceraikannya hingga habis masa iddahnya. Kemudian laki-laki itu meminta untuk menikahinya lagi dan saudara perempuannya juga menginginkannya. Maka Ma’qil berkata: “Aku telah menikahkan saudara perempuanku hanya kepadamu, lalu kamu menceraikannya. Aku tidak akan menikahkannya denganmu selamanya!” Maka turunlah ayat ini.

 

وَرَوَتْ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثًا فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا أَوْ قَالَ اخْتَلَفُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ» .

 

 

Aisyah – radhiyallahu ‘anha – meriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Wanita mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, diucapkan tiga kali. Jika dia (suami) telah menyentuhnya (berhubungan), maka wanita itu berhak mendapatkan mahar sebagai ganti farji yang telah dihalalkan. Jika mereka berselisih atau terjadi perbedaan pendapat, maka sultan (penguasa) menjadi wali bagi yang tidak memiliki wali.”

(قَالَ) : وَفِي ذَلِكَ دَلَالَاتٌ.

 

Beliau berkata: “Dan pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda.”

 

مِنْهَا أَنَّ لِلْوَلِيِّ شِرْكًا فِي بُضْعِهَا لَا يَتِمُّ النِّكَاحُ إلَّا بِهِ مَا لَمْ يُعْضِلْهَا وَلَا نَجِدُ لِشِرْكِهِ فِي بُضْعِهَا مَعْنًى إلَّا فَضْلَ نَظَرِهِ لِحِيَاطَةِ الْمَوْضِعِ أَنْ يَنَالَهَا مَنْ لَا يُكَافِئُهَا نَسَبُهُ وَفِي ذَلِكَ عَارٌ عَلَيْهِ وَأَنَّ الْعَقْدَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ بَاطِلٌ لَا يَجُوزُ بِإِجَازَتِهِ وَأَنَّ الْإِصَابَةَ إذَا كَانَتْ بِشُبْهَةٍ فَفِيهَا الْمَهْرُ وَدُرِئَ الْحَدُّ.

 

 

Di antaranya adalah bahwa wali memiliki bagian dalam kehormatannya, pernikahan tidak sah kecuali dengan persetujuannya selama dia tidak menghalanginya. Kami tidak menemukan makna bagi bagiannya dalam kehormatannya kecuali kelebihan pertimbangannya untuk menjaga posisinya agar tidak dinikahi oleh orang yang tidak setara nasabnya, dan dalam hal itu ada aib baginya. Juga, akad nikah tanpa wali adalah batal dan tidak sah meskipun diizinkan. Dan jika persetubuhan terjadi karena syubhat, maka wajib membayar mahar dan hukuman had dihindarkan.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَلَا وِلَايَةَ لِوَصِيٍّ؛ لِأَنَّ عَارَهَا لَا يَلْحَقُهُ وَجَمَعَتْ الطَّرِيقُ رُفْقَةً فِيهِمْ امْرَأَةٌ ثَيِّبٌ فَوَلَّتْ أَمْرَهَا رَجُلًا مِنْهُمْ فَتَزَوَّجْهَا فَجَلَدَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – النَّاكِحَ وَالْمُنْكِحَ وَرَدَّ نِكَاحَهُمَا وَفِي قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا» دَلَالَةً عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الثَّيِّبِ وَالْبِكْرِ فِي أَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا أَنَّ إذْنَ الْبِكْرِ الصَّمْتُ وَاَلَّتِي تُخَالِفُهَا الْكَلَامُ. وَالْآخَرُ: أَنَّ أَمْرَهُمَا فِي وِلَايَةِ أَنْفُسِهِمَا مُخْتَلِفٌ، فَوِلَايَةُ الثَّيِّبِ أَنَّهَا أَحَقُّ مِنْ الْوَلِيِّ وَالْوَلِيُّ هَا هُنَا الْأَبُ – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – دُونَ الْأَوْلِيَاءِ. وَمِثْلُ هَذَا حَدِيثُ «خَنْسَاءَ زَوَّجَهَا أَبُوهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَرَدَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نِكَاحَهُ وَفِي تَرْكِهِ أَنْ يَقُولَ لِخَنْسَاءَ إلَّا أَنْ تَشَائِي أَنْ تُجِيزِي مَا فَعَلَ أَبُوك» دَلَالَةً عَلَى أَنَّهَا لَوْ أَجَازَتْهُ مَا جَازَ وَالْبِكْرُ مُخَالِفَةٌ لَهَا لِاخْتِلَافِهِمَا فِي لَفْظِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَوْ كَانَا سَوَاءً كَانَ لَفْظُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُمَا أَحَقُّ بِأَنْفُسِهِمَا، «وَقَالَتْ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَنَا ابْنَةُ سَبْعِ سِنِينَ وَدَخَلَ بِي وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ» وَهِيَ لَا أَمْرَ لَهَا وَكَذَلِكَ إذَا بَلَغَتْ، وَلَوْ كَانَتْ أَحَقَّ بِنَفْسِهَا أَشْبَهَ أَنْ لَا يَجُوزَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَبْلَ بُلُوغِهَا كَمَا قُلْنَا فِي الْمَوْلُودِ يُقْتَلُ أَبُوهُ يُحْبَسُ قَاتِلُهُ حَتَّى يَبْلُغَ فَيَقْتُلَ أَوْ يَعْفُوَ.

 

Beliau berkata: “Tidak ada hak perwalian bagi seorang wali, karena aibnya tidak akan menimpanya. Sebuah perjalanan mengumpulkan sekelompok orang, di antara mereka ada seorang janda. Ia menyerahkan urusannya kepada seorang laki-laki dari mereka, lalu ia menikahinya. Maka Umar bin Al-Khaththab -radhiyallahu ‘anhu- mencambuk orang yang menikahi dan yang menikahkan, serta membatalkan pernikahan mereka. Dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-: ‘Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan gadis dimintai izin tentang dirinya dan izinnya adalah diamnya,’ terdapat petunjuk tentang perbedaan antara janda dan gadis dalam dua hal: Pertama, izin gadis adalah diam, sedangkan yang menyelisihinya adalah berbicara. Kedua, urusan keduanya dalam hak perwalian atas diri mereka berbeda. Hak perwalian janda adalah bahwa ia lebih berhak daripada wali, dan wali di sini adalah ayah -wallahu a’lam- bukan wali lainnya. Seperti ini juga hadits Khansa’, ayahnya menikahkannya padahal ia seorang janda, lalu ia tidak suka. Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- membatalkan pernikahannya. Dalam sikap beliau yang tidak mengatakan kepada Khansa’ kecuali, ‘Kecuali jika engkau mau menyetujui apa yang dilakukan ayahmu,’ terdapat petunjuk bahwa jika ia menyetujuinya, maka itu boleh. Sedangkan gadis berbeda dengannya karena perbedaan keduanya dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Seandainya keduanya sama, tentu sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- akan menyatakan bahwa keduanya lebih berhak atas diri mereka. Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata: ‘Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menikahiku saat aku berusia tujuh tahun, dan beliau menggauliku saat aku berusia sembilan tahun,’ padahal ia tidak memiliki hak memutuskan. Demikian juga jika ia telah baligh. Seandainya ia lebih berhak atas dirinya, tentu hal itu tidak boleh dilakukan sebelum ia baligh, sebagaimana kami katakan dalam kasus anak yang ayahnya dibunuh, pembunuhnya ditahan sampai ia baligh, lalu ia boleh membunuh atau memaafkan.”

 

(قَالَ) : وَالِاسْتِئْمَارُ لِلْبِكْرِ عَلَى اسْتِطَابَةِ النَّفْسِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – {وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ} آل عمران: 159 لَا عَلَى أَنَّ لِأَحَدٍ رَدَّ مَا رَأَى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَكِنْ لِاسْتِطَابَةِ أَنْفُسِهِمْ وَلِيُقْتَدَى بِسُنَّتِهِ فِيهِمْ، وَقَدْ أَمَرَ نُعَيْمًا أَنْ يُؤَامِرَ أُمَّ بِنْتِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Meminta pendapat bagi seorang gadis adalah untuk menenangkan hatinya. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam -: ‘Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ (QS. Ali Imran: 159), bukan karena seseorang berhak menolak apa yang diputuskan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, tetapi untuk menenangkan hati mereka dan agar mereka mengikuti sunnahnya dalam hal ini. Dan beliau pernah memerintahkan Nu’aim untuk meminta pendapat ibu dari putrinya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَرَوَى الشَّافِعِيُّ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ» وَرَوَاهُ غَيْرُ الشَّافِعِيِّ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ) بِابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَأَنَّ عُمَرَ ” رَدَّ نِكَاحًا لَمْ يَشْهَدْ عَلَيْهِ إلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ، وَلَوْ تَقَدَّمْت فِيهِ لَرَجَمْتُ ” وَقَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – ” لَا تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ إلَّا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا أَوْ ذِي الرَّأْيِ مِنْ أَهْلِهَا أَوْ السُّلْطَانِ “.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata, dan Asy-Syafi’i meriwayatkan dari Al-Hasan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” Dan selain Asy-Syafi’i juga meriwayatkannya dari Al-Hasan dari Imran bin Hushain dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -. (Asy-Syafi’i berhujjah) dengan Ibnu Abbas bahwa dia berkata, “Tidak ada nikah kecuali dengan wali yang bijak dan dua saksi yang adil,” dan bahwa Umar “membatalkan nikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu dia berkata, ‘Ini adalah nikah sirri (rahasia) dan aku tidak membolehkannya. Seandainya aku mendahuluinya, niscaya aku akan merajam.'” Dan Umar – radhiyallahu ‘anhu – berkata, “Seorang wanita tidak boleh menikah kecuali dengan izin walinya, atau orang yang berakal dari keluarganya, atau penguasa.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan wanita adalah yang diharamkan kemaluannya, maka tidak halal kecuali dengan apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, yaitu: wali, saksi, persetujuan wanita yang pernah menikah (tsayyib), dan diamnya wanita perawan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالنِّسَاءُ مُحَرَّمَاتُ الْفُرُوجِ فَلَا يَحْلِلْنَ إلَّا بِمَا بَيَّنَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَبَيَّنَ «وَلِيًّا وَشُهُودًا، وَإِقْرَارَ الْمَنْكُوحَةِ الثَّيِّبِ وَصَمْتَ الْبِكْرِ» .

 

(قَالَ) : وَالشُّهُودُ عَلَى الْعَدْلِ حَتَّى يُعْلَمَ الْجَرْحُ يَوْمَ وَقَعَ النِّكَاحُ.

 

 

Beliau berkata: “Dan para saksi haruslah orang-orang yang adil hingga diketahui adanya cacat (dalam pernikahan) pada hari dilangsungkannya akad nikah.”

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَتْ صَغِيرَةٌ ثَيِّبٌ أُصِيبَتْ بِنِكَاحٍ أَوْ غَيْرِهِ فَلَا تُزَوَّجُ إلَّا بِإِذْنِهَا وَلَا يُزَوِّجُ الْبِكْرَ بِغَيْرِ إذْنِهَا وَلَا يُزَوِّجُ الصَّغِيرَةَ إلَّا أَبُوهَا أَوْ جَدُّهَا بَعْدَ مَوْتِ أَبِيهَا.

 

Beliau berkata: “Meskipun seorang perempuan kecil yang sudah pernah menikah (tsayyib) yang telah mengalami pernikahan atau selainnya, tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya. Dan tidak boleh menikahkan seorang perawan tanpa izinnya. Dan tidak boleh menikahkan perempuan kecil kecuali oleh ayahnya atau kakeknya setelah kematian ayahnya.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَ الْمُولَى عَلَيْهِ يَحْتَاجُ إلَى النِّكَاحِ زَوَّجَهُ وَلِيُّهُ فَإِنْ أَذِنَ لَهُ فَجَاوَزَ مَهْرَ مِثْلِهَا رَدَّ الْفَضْلَ، وَلَوْ أَذِنَ لِعَبْدِهِ فَتَزَوَّجَ كَانَ لَهَا الْفَضْلُ مَتَى عَتَقَ وَفِي إذْنِهِ لِعَبْدِهِ إذْنٌ بِاكْتِسَابِ الْمَهْرِ وَالنَّفَقَةِ إذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ مَأْذُونًا لَهُ فِي التِّجَارَةِ أَعْطَى مِمَّا فِي يَدَيْهِ، وَلَوْ ضَمِنَ لَهَا السَّيِّدُ مَهْرَهَا وَهُوَ أَلْفٌ عَنْ الْعَبْدِ لَزِمَهُ فَإِنْ بَاعَهَا زَوْجُهَا قَبْلَ الدُّخُولِ بِتِلْكَ الْأَلْفِ بِعَيْنِهَا فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ مِنْ قِبَلِ أَنَّ عُقْدَةَ الْبَيْعِ وَالْفَسْخِ وَقَعَا مَعًا، وَلَوْ بَاعَهَا إيَّاهُ بِأَلْفٍ لَا بِعَيْنِهَا كَانَ الْبَيْعُ جَائِزًا وَعَلَيْهَا الثَّمَنُ وَالنِّكَاحُ مَفْسُوخٌ مِنْ قِبَلِهَا وَقِبَلِ السَّيِّدِ وَلَهُ أَنْ يُسَافِرَ بِعَبْدِهِ وَيَمْنَعَهُ مِنْ الْخُرُوجِ مِنْ بَيْتِهِ إلَى امْرَأَتِهِ وَفِي مِصْرِهِ إلَّا فِي الْحِينِ الَّذِي لَا خِدْمَةَ لَهُ فِيهِ، وَلَوْ قَالَتْ لَهُ أَمَتُهُ: أَعْتِقْنِي عَلَى أَنْ أَنْكِحَك وَصَدَاقِي عِتْقِي فَأَعْتَقَهَا عَلَى ذَلِكَ فَلَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَنْكِحَ أَوْ تَدَعَ وَيُرْجَعَ عَلَيْهَا بِقِيمَتِهَا فَإِنْ نَكَحَتْهُ وَرَضِيَ بِالْقِيمَةِ الَّتِي عَلَيْهَا فَلَا بَأْسَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika orang yang berada di bawah perwalian membutuhkan pernikahan, walinya boleh menikahkannya. Jika walinya mengizinkannya tetapi maharnya melebihi mahar perempuan yang setara, kelebihan itu harus dikembalikan. Jika seorang tuan mengizinkan budaknya untuk menikah, maka budak itu berhak atas kelebihan mahar setelah merdeka. Izin tuan kepada budaknya juga berarti izin untuk mencari mahar dan nafkah jika itu menjadi kewajibannya. Jika budak itu diizinkan berdagang, ia boleh membayar dari hartanya. Jika tuannya menjamin mahar istrinya sebesar serupa untuk budak itu, maka itu menjadi tanggungannya. Jika suaminya menjualnya sebelum hubungan intim dengan serupa itu secara spesifik, maka penjualan itu batal karena akad jual-beli dan pembatalan terjadi bersamaan. Namun, jika dijual dengan serupa yang tidak spesifik, penjualan itu sah, dan ia wajib membayar harganya sementara pernikahan dibatalkan olehnya dan tuannya. Tuannya boleh membawa budaknya bepergian dan melarangnya keluar rumah untuk menemui istrinya di kotanya, kecuali di waktu ketika tidak ada tugas baginya. Jika budak perempuannya berkata, ‘Bebaskan aku dengan syarat aku menikahimu, dan maharku adalah kebebasanku,’ lalu tuannya membebaskannya dengan syarat itu, maka ia berhak memilih untuk menikah atau tidak. Jika ia memilih tidak, tuannya boleh menuntut kembali nilai budaknya. Jika ia menikah dan tuannya rela dengan nilai yang ditetapkan, maka itu tidak masalah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) يَنْبَغِي فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ أَنْ لَا يُجِيزَ هَذَا الْمَهْرَ حَتَّى يَعْرِفَ قِيمَةَ الْأَمَةِ حِينَ أَعْتَقَهَا فَيَكُونُ الْمَهْرُ مَعْلُومًا؛ لِأَنَّهُ لَا يُجِيزُ الْمَهْرَ غَيْرَ مَعْلُومٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dalam qiyas pendapatnya, seharusnya tidak membolehkan mahar ini sampai mengetahui nilai budak perempuan ketika dia memerdekakannya, sehingga maharnya menjadi diketahui. Karena dia tidak membolehkan mahar yang tidak diketahui.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) سَأَلْت الشَّافِعِيَّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – عَنْ حَدِيثِ «صَفِيَّةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَعْتَقَهَا وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي النِّكَاحِ أَشْيَاءُ لَيْسَتْ لِغَيْرِهِ» .

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – tentang hadits Shafiyyah – radhiyallahu ‘anha – bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – membebaskannya dan menjadikan pembebasannya sebagai maharnya. Maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Dalam pernikahan terdapat hal-hal yang tidak ada pada selainnya.”

 

اجْتِمَاعُ الْوُلَاةِ وَأَوْلَاهُمْ وَتَفَرُّقُهُمْ

 

Berkumpulnya para penguasa dan yang paling utama di antara mereka, serta perpecahan mereka

وَتَزْوِيجُ الْمَغْلُوبِينَ عَلَى عُقُولِهِمْ وَالصِّبْيَانِ مِنَ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ مَا يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُ مِنَ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ، وَإِنْكَاحُ أَمَةِ الْمَأْذُونِ لَهُ، وَغَيْرُ ذَلِكَ.

 

Dan pernikahan orang-orang yang lemah akalnya dan anak-anak dari kitab “Apa yang Haram Dikumpulkan dalam Pernikahan” menurut kitab pernikahan lama, serta pernikahan budak perempuan yang diizinkan untuknya, dan selain itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا وِلَايَةَ لِأَحَدٍ مَعَ الْأَبِ فَإِنْ مَاتَ فَالْجَدُّ ثُمَّ أَبُو الْجَدِّ ثُمَّ أَبُو أَبِي الْجَدِّ كَذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ كُلَّهُمْ أَبٌ فِي الثَّيِّبِ وَالْبِكْرِ سَوَاءٌ وَلَا وِلَايَةَ بَعْدَهُمْ لِأَحَدٍ مَعَ الْإِخْوَةِ ثُمَّ الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ مِنْ الْعَصَبَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada hak perwalian bagi siapa pun selain ayah. Jika ayah telah meninggal, maka kakek (ayahnya ayah), kemudian ayahnya kakek, kemudian ayahnya ayah kakek, dan seterusnya. Karena mereka semua adalah ayah (dalam garis keturunan), baik untuk wanita yang sudah pernah menikah maupun yang masih perawan, hukumnya sama. Tidak ada hak perwalian setelah mereka bagi siapa pun selain saudara-saudara (laki-laki), kemudian yang lebih dekat dan seterusnya dari kalangan ‘ashabah.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي الْإِخْوَةِ (فَقَالَ) فِي الْجَدِيدِ: مَنْ انْفَرَدَ فِي دَرَجَةٍ بِأُمٍّ كَانَ أَوْلَى (وَقَالَ) فِي الْقَدِيمِ هُمَا سَوَاءٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) dan pendapatnya berbeda mengenai saudara (lalu ia berkata) dalam kitab baru: siapa yang sendirian dalam derajat karena ibu lebih berhak (dan ia berkata) dalam kitab lama keduanya sama.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ جَعَلَ الْأَخَ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ أَوْلَى مِنْ الْأَخِ لِلْأَبِ وَجَعَلَهُ فِي الْمِيرَاثِ أَوْلَى مِنْ الْأَخِ لِلْأَبِ وَجَعَلَهُ فِي كِتَابِ الْوَصَايَا الَّذِي وَضَعَهُ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ إذَا أَوْصَى لِأَقْرَبِهِمْ بِهِ رَحِمًا، أَنَّهُ أَوْلَى مِنْ الْأَخِ لِلْأَبِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Beliau telah menetapkan bahwa saudara seayah dan seibu lebih berhak dalam menshalati jenazah daripada saudara seayah, dan menjadikannya lebih utama dalam warisan daripada saudara seayah. Dalam kitab wasiat yang beliau tulis dengan tangannya sendiri—aku tidak tahu apakah hal itu didengar langsung darinya—jika seseorang berwasiat untuk kerabat terdekatnya, maka saudara seayah dan seibu lebih berhak daripada saudara seayah.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقِيَاسُ قَوْلِهِ أَنَّهُ أَوْلَى بِإِنْكَاحِ الْأُخْتِ مِنْ الْأَخِ لِلْأَبِ.

 

(Al-Muzani berkata) Dan menurut qiyas perkataannya, bahwa dia lebih berhak menikahi saudara perempuan daripada saudara laki-laki seayah.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan tidak boleh seorang anak laki-laki menikahkan ibunya kecuali jika dia adalah ‘ashabah (wali nasab terdekat) bagi ibunya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يُزَوِّجُ الْمَرْأَةَ ابْنُهَا إلَّا أَنْ يَكُونَ عَصَبَةً لَهَا.

 

(قَالَ) : وَلَا وِلَايَةَ بَعْدَ النَّسَبِ إلَّا لِلْمُعْتِقِ ثُمَّ أَقْرَبِ النَّاسِ بِعَصَبَةِ مُعْتِقِهَا فَإِنْ اسْتَوَتْ الْوُلَاةُ فَزَوَّجَهَا بِإِذْنِهَا دُونَ أَسَنِّهِمْ وَأَفْضَلِهِمْ كُفُؤًا جَازَ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ كُفُؤٍ لَمْ يَثْبُتْ إلَّا بِاجْتِمَاعِهِمْ قَبْلَ إنْكَاحِهِ فَيَكُونُ حَقًّا لَهُمْ تَرَكُوهُ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak ada hak perwalian setelah hubungan nasab kecuali bagi orang yang memerdekakan (budak), kemudian kerabat terdekat dari pihak yang memerdekakannya. Jika para wali setara (derajatnya), lalu seseorang menikahkannya dengan izinnya (perempuan) bukan yang paling tua atau yang paling utama dalam kesetaraan, maka itu boleh. Jika (calon suami) tidak setara, pernikahan tidak sah kecuali dengan kesepakatan mereka (para wali) sebelum akad nikah. Maka itu menjadi hak mereka yang mereka tinggalkan.”

 

(قَالَ) : وَلَيْسَ نِكَاحُ غَيْرِ الْكُفُؤِ بِمُحَرَّمٍ فَأَرُدُّهُ بِكُلِّ حَالٍ إنَّمَا هُوَ تَقْصِيرٌ عَنْ الْمُزَوَّجَةِ وَالْوُلَاةِ وَلَيْسَ نَقْصُ الْمَهْرِ نَقْصًا فِي النَّسَبِ وَالْمَهْرُ لَهَا دُونَهُمْ فَهِيَ أَوْلَى بِهِ مِنْهُمْ وَلَا وِلَايَةَ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ وَثَمَّ أَوْلَى مِنْهُ فَإِنْ كَانَ أَوْلَاهُمْ بِهَا مَفْقُودًا أَوْ غَائِبًا بَعِيدَةً كَانَتْ غَيْبَتُهُ أَمْ قَرِيبَةً زَوَّجَهَا السُّلْطَانُ بَعْدَ أَنْ يَرْضَى الْخَاطِبُ وَيَحْضُرَ أَقْرَبُ وُلَاتِهَا وَأَهْلُ الْحَزْمِ مِنْ أَهْلِهَا وَيَقُولُ: هَلْ تَنْقِمُونَ شَيْئًا؟ فَإِنْ ذَكَّرُوهُ نَظَرَ فِيهِ، وَلَوْ عَضَلهَا الْوَلِيُّ زَوَّجَهَا السُّلْطَانُ وَالْعَضْلُ أَنْ تَدْعُوَ إلَى مِثْلِهَا فَيَمْتَنِعُ.

 

 

Beliau berkata: “Pernikahan dengan yang tidak sekufu bukanlah haram sehingga harus selalu ditolak. Itu hanyalah kekurangan dari pihak wanita dan walinya. Kurangnya mahar bukanlah kekurangan dalam nasab, dan mahar adalah hak wanita, bukan mereka (wali), sehingga dia lebih berhak atasnya daripada mereka. Tidak ada hak perwalian bagi seorang pun dari mereka jika ada yang lebih berhak. Jika yang paling berhak atasnya hilang atau jauh keberadaannya—baik jauh atau dekat—penguasa boleh menikahkannya setelah memastikan kerelaan calon suami, dengan kehadiran wali terdekatnya serta orang-orang bijak dari keluarganya, lalu bertanya: ‘Apakah kalian memiliki keberatan?’ Jika mereka mengingatkan sesuatu, penguasa akan mempertimbangkannya. Jika wali menghalanginya, penguasa boleh menikahkannya. Penghalangan adalah ketika dia (wanita) mengajak menikah dengan yang sekufu, tetapi wali menolak.”

 

(قَالَ) : وَوَكِيلُ الْوَلِيِّ يَقُومُ مَقَامَهُ فَإِنْ زَوَّجَهَا غَيْرُ كُفُؤٍ لَمْ يَجُزْ وَوَلِيُّ الْكَافِرَةِ كَافِرٌ وَلَا يَكُونُ الْمُسْلِمُ وَلِيًّا لِكَافِرَةٍ لِقَطْعِ اللَّهِ الْوِلَايَةَ بَيْنَهُمَا بِالدِّينِ إلَّا عَلَى أَمَتِهِ وَإِنَّمَا صَارَ ذَلِكَ لَهُ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ لَهُ تَزَوَّجَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أُمَّ حَبِيبَةَ وَوَلِيَ عُقْدَةَ نِكَاحِهَا ابْنُ سَعِيدِ بْنُ الْعَاصِ وَهُوَ مُسْلِمٌ وَأَبُو سُفْيَانَ حَيٌّ وَكَانَ وَكِيلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيَّ.

 

 

Beliau berkata: “Wakil dari wali dapat menempati posisinya. Jika dia menikahkan perempuan dengan yang tidak sekufu, maka tidak sah. Wali perempuan kafir adalah orang kafir, dan seorang muslim tidak boleh menjadi wali bagi perempuan kafir karena Allah memutuskan hubungan kewalian di antara mereka berdasarkan agama, kecuali terhadap budaknya. Hal itu menjadi haknya karena pernikahan adalah miliknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Ummu Habibah, dan yang menjadi wali akad nikahnya adalah Ibnu Sa’id bin Al-‘Ash, seorang muslim, sedangkan Abu Sufyan masih hidup. Wakil Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamri.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) لَيْسَ هَذَا حُجَّةً فِي إنْكَاحِ الْأَمَةِ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ أَنْ لَا مَعْنَى لِكَافِرٍ فِي مُسْلِمَةٍ، فَكَانَ ابْنُ سَعِيدٍ وَوَكِيلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مُسْلِمَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ لِأَبِيهَا مَعْنًى فِي وِلَايَةِ مُسْلِمَةٍ إذَا كَانَ كَافِرًا

(Al-Muzanni berkata) Ini bukanlah hujah dalam pernikahan budak perempuan. Sepertinya ia bermaksud bahwa orang kafir tidak memiliki hak perwalian atas muslimah. Maka, anak Sa’id dan wakilnya – shallallahu ‘alaihi wasallam – adalah muslim, sedangkan ayahnya tidak memiliki hak perwalian atas muslimah jika ia kafir.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ كَانَ الْوَلِيُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا غَيْرَ عَالِمٍ بِمَوْضِعِ الْحَظِّ أَوْ سَقِيمًا مُؤْلَمًا أَوْ بِهِ عِلَّةٌ تُخْرِجُهُ مِنْ الْوِلَايَةِ فَهُوَ كَمَنْ مَاتَ فَإِذَا صَلُحَ صَارَ وَلِيًّا، وَلَوْ قَالَتْ: قَدْ أَذِنْت فِي فُلَانٍ فَأَيُّ وُلَاتِي زَوَّجَنِي فَهُوَ جَائِزٌ فَأَيُّهُمْ زَوَّجَهَا جَازَ، وَإِنْ تَشَاحُّوا أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ السُّلْطَانُ، وَلَوْ أَذِنَتْ لِكُلِّ وَاحِدٍ أَنْ يُزَوِّجَهَا لَا فِي رَجُلٍ بِعَيْنِهِ فَزَوَّجَهَا كُلُّ وَاحِدٍ رَجُلًا فَقَدْ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «إذَا أَنْكَحَ الْوَلِيَّانِ فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ» فَإِنْ لَمْ تُثْبِتْ الشُّهُودُ أَيُّهُمَا أَوَّلٌ فَالنِّكَاحُ مَفْسُوخٌ وَلَا شَيْءَ لَهَا، وَإِنْ دَخَلَ بِهَا أَحَدُهُمَا عَلَى هَذَا كَانَ لَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَهُمَا يُقِرَّانِ أَنَّهَا لَا تَعْلَمُ مِثْلَ أَنْ تَكُونَ غَائِبَةً عَنْ النِّكَاحِ، وَلَوْ ادَّعَيَا عَلَيْهَا أَنَّهَا تَعْلَمُ أُحْلِفَتْ مَا تَعْلَمُ، وَإِنْ أَقَرَّتْ لِأَحَدِهِمَا لَزِمَهَا، وَلَوْ زَوَّجَهَا الْوَلِيُّ بِأَمْرِهَا مِنْ نَفْسِهِ لَمْ يَجُزْ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ نَفْسِهِ.

(Imam Syafi’i berkata) Jika wali itu bodoh, lemah, tidak memahami hak-hak pernikahan, sakit parah, atau memiliki cacat yang menghilangkan hak perwaliannya, maka statusnya seperti orang yang telah meninggal. Jika ia kembali layak, ia kembali menjadi wali. Jika perempuan itu berkata, “Aku telah mengizinkan untuk dinikahkan dengan si fulan, maka siapapun waliku yang menikahkanku, itu boleh,” maka siapapun yang menikahkannya, nikah itu sah. Jika para wali berselisih, penguasa mengundi di antara mereka. Jika ia mengizinkan setiap wali untuk menikahkannya, tanpa menyebut lelaki tertentu, lalu setiap wali menikahkannya dengan lelaki berbeda, maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Jika dua wali menikahkan, yang pertama lebih berhak.” Jika saksi tidak dapat membuktikan siapa yang pertama, maka nikah itu batal dan ia tidak mendapat apa-apa. Jika salah satunya telah menggaulinya dalam kondisi ini, ia berhak mendapat mahar seperti wanita sepadannya, dan kedua lelaki itu mengakui bahwa ia tidak tahu, misalnya karena tidak hadir saat akad. Jika keduanya menuduhnya tahu, ia disumpah bahwa ia tidak tahu. Jika ia mengakui salah satunya, maka itu mengikatnya. Jika wali menikahkannya atas perintahnya sendiri, itu tidak sah, sebagaimana tidak sah seorang membeli dari dirinya sendiri.

 

(قَالَ) : وَيُزَوِّجُ الْأَبُ أَوْ الْجَدُّ الِابْنَةَ الَّتِي يُؤَيَّسُ مِنْ عَقْلِهَا؛ لِأَنَّ لَهَا فِيهِ عَفَافًا وَغِنًى وَرُبَّمَا كَانَ شِفَاءً، وَسَوَاءٌ كَانَتْ بِكْرًا أَوْ ثَيِّبًا وَيُزَوِّجُ الْمَغْلُوبَ عَلَى عَقْلِهِ أَبُوهُ إذَا كَانَتْ بِهِ إلَى ذَلِكَ حَاجَةٌ وَابْنَهُ الصَّغِيرَ فَإِنْ كَانَ مَجْنُونًا أَوْ مَخْبُولًا كَانَ النِّكَاحُ مَرْدُودًا؛ لِأَنَّهُ لَا حَاجَةَ بِهِ إلَيْهِ وَلَيْسَ لِأَب الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ أَنْ يُخَالِعَ عَنْهُ وَلَا يَضْرِبَ لِامْرَأَتِهِ أَجَلَ الْعِنِّينِ؛ لِأَنَّهَا إنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ أَوْ بِكْرًا لَمْ يُعْقَلْ أَنْ يَدْفَعَهَا عَنْ نَفْسِهِ بِالْقَوْلِ أَنَّهَا تَمْتَنِعُ مِنْهُ وَلَا يُخَالِعُ عَنْ الْمَعْتُوهَةِ وَلَا يُبْرِئُ زَوْجَهَا مِنْ دِرْهَمٍ مِنْ مَالِهَا، فَإِنْ هَرَبَتْ وَامْتَنَعَتْ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا إيلَاءَ عَلَيْهِ فِيهَا وَقِيلَ لَهُ: اتَّقِ اللَّهَ فِيهَا فَيْء أَوْ طَلِّقْ فَإِنْ قَذَفَهَا أَوْ انْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا قِيلَ لَهُ: إنْ أَرَدْت أَنْ تَنْفِيَ وَلَدَهَا فَالْتَعِنْ فَإِذَا الْتَعَنَ وَقَعَتْ الْفُرْقَةُ وَنُفِيَ عَنْهُ الْوَلَدُ فَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَلَمْ يُعَزَّرْ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَ ابْنَتَهُ الصَّبِيَّةَ عَبْدًا وَلَا غَيْرَ كُفْءٍ وَلَا مَجْنُونًا وَلَا مَخْبُولًا وَلَا مَجْذُومًا وَلَا أَبْرَصَ وَلَا مَجْبُوبًا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُكْرِهَ أَمَتَهُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ بِنِكَاحٍ وَلَا يُزَوِّجُ أَحَدٌ أَحَدًا مِمَّنْ بِهِ إحْدَى هَذِهِ الْعِلَلِ وَلَا مَنْ لَا يُطَاقُ جِمَاعُهَا وَلَا أَمَةً؛ لِأَنَّهُ مِمَّنْ لَا يَخَافُ الْعَنَتَ وَيُنْكِحُ أَمَةَ الْمَرْأَةِ وَلِيُّهَا بِإِذْنِهَا وَأَمَةُ الْعَبْدِ الْمَأْذُونِ لَهُ فِي التِّجَارَةِ مَمْنُوعَةٌ مِنْ السَّيِّدِ حَتَّى يَقْضِيَ دَيْنًا إنْ كَانَ عَلَيْهِ وَيُحْدِثَ لَهُ حَجْرًا ثُمَّ هِيَ أَمَتُهُ، وَلَوْ أَرَادَ السَّيِّدُ أَنْ يُزَوِّجَهَا دُونَ الْعَبْدِ أَوْ الْعَبْدَ دُونَ السَّيِّدِ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَا وِلَايَةَ لِلْعَبْدِ بِحَالٍ، وَلَوْ اجْتَمَعَا عَلَى تَزْوِيجِهَا لَمْ يَجُزْ (وَقَالَ) فِي بَابِ الْخِيَارِ مِنْ قِبَلِ النَّسَبِ: لَوْ انْتَسَبَ الْعَبْدُ لَهَا أَنَّهُ حُرٌّ فَنَكَحَتْهُ وَقَدْ أَذِنَ لَهُ سَيِّدُهُ ثُمَّ عَلِمَتْ أَنَّهُ عَبْدٌ أَوْ انْتَسَبَ إلَى نَسَبٍ وُجِدَ دُونَهُ وَهِيَ فَوْقَهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ لَهَا الْخِيَارَ؛ لِأَنَّهُ مَنْكُوحٌ بِعَيْنِهِ وَغَرَّرَ بِشَيْءٍ وُجِدَ دُونَهُ. وَالثَّانِي: أَنَّ النِّكَاحَ مَفْسُوخٌ كَمَا لَوْ أَذِنَتْ فِي رَجُلٍ بِعَيْنِهِ فَزُوِّجَتْ غَيْرَهُ.

 

 

(Dia berkata): Seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak perempuan yang dianggap tidak waras akalnya karena pernikahan itu dapat menjaga kesucian dan kemandiriannya, bahkan mungkin menjadi penyembuh, baik ia masih perawan atau janda. Seorang ayah juga boleh menikahkan anak laki-lakinya yang tidak waras akalnya jika ada kebutuhan, begitu pula anak kecilnya. Namun, jika anak itu gila atau idiot, pernikahannya batal karena tidak ada kebutuhan untuk itu. Seorang ayah dari anak yang tidak waras akalnya tidak boleh menceraikannya dengan khulu‘ atau menetapkan batas waktu untuk istrinya jika suaminya impoten, karena jika istrinya janda, perkataannya (suami) yang dianggap, dan jika perawan, tidak logis menolaknya dengan alasan ia menolak suaminya. Dia juga tidak boleh menceraikan wanita yang tidak waras dengan khulu‘ atau membebaskan suaminya dari kewajiban membayar sedikit pun dari hartanya. Jika istrinya lari dan menolak, dia tidak berhak mendapat nafkah, dan suaminya tidak boleh melakukan ila’. Dia diperintahkan: “Bertakwalah kepada Allah dalam hal ini, rujukilah atau ceraikanlah.” Jika dia menuduh istrinya berzina atau mengingkari anaknya, dia diperintahkan: “Jika ingin mengingkari anaknya, lakukanlah li‘an.” Jika li‘an dilakukan, perceraian terjadi dan anaknya diingkari. Jika dia mendustakan dirinya sendiri, anak tetap dinisbatkan kepadanya dan dia tidak dihukum. Dia tidak boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil kepada budak, orang yang tidak sekufu, orang gila, idiot, penderita kusta, lepra, atau orang yang dikebiri. Dia juga tidak boleh memaksa budak perempuannya menikah dengan salah satu dari mereka. Tidak boleh seseorang menikahkan orang lain yang memiliki salah satu cacat ini, atau yang tidak mampu berjima‘, atau budak perempuan, karena dia termasuk orang yang tidak perlu khawatir kesulitan. Wali seorang wanita boleh menikahkan budak perempuannya dengan izinnya. Budak perempuan seorang budak yang diizinkan berdagang tidak boleh dinikahkan oleh tuannya sampai budak itu melunasi utangnya (jika ada) dan di bawah pengampuan, kemudian budak perempuan itu tetap miliknya. Jika tuannya ingin menikahkannya tanpa persetujuan budak itu, atau budak itu ingin menikahkannya tanpa persetujuan tuannya, hal itu tidak diperbolehkan bagi keduanya. Seorang budak sama sekali tidak memiliki hak perwalian. Jika keduanya sepakat menikahkannya, itu juga tidak boleh. (Dia juga berkata) dalam bab khiyar karena nasab: Jika seorang budak mengaku sebagai orang merdeka dan menikahinya dengan izin tuannya, lalu diketahui bahwa dia budak, atau mengaku memiliki nasab yang ternyata lebih rendah sedangkan wanita itu lebih tinggi, ada dua pendapat: Pertama, wanita itu berhak khiyar karena dia menikahi orang tertentu yang menipu dengan sesuatu yang lebih rendah. Kedua, pernikahan itu batal, seperti jika dia mengizinkan menikahi seorang lelaki tertentu tetapi dinikahkan dengan orang lain.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ قُطِعَ أَنَّهُ لَوْ وُجِدَ دُونَ مَا انْتَسَبَ إلَيْهِ وَهُوَ كُفُؤٌ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَا لِوَلِيِّهَا الْخِيَارُ وَفِي ذَلِكَ إبْطَالُ أَنْ يَكُونَ فِي مَعْنَى مَنْ أَذِنَتْ لَهُ فِي رَجُلٍ بِعَيْنِهِ فَزُوِّجَتْ غَيْرَهُ فَقَدْ بَطَلَ الْفَسْخُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ وَثَبَتَ لَهَا الْخِيَارُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Telah dipastikan bahwa jika ditemukan laki-laki yang lebih rendah dari yang ia sebutkan namun sekufu, maka tidak ada hak pilih baginya maupun walinya. Dalam hal ini, gugurlah pendapat bahwa hal itu sama maknanya dengan seorang wanita yang diizinkan memilih seorang laki-laki tertentu lalu dinikahkan dengan selainnya. Maka batal-lah pembatalan nikah menurut qiyas pendapatnya, dan tetap baginya hak memilih.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika wanita itu yang menipunya dengan nasab lalu ia mendapatinya tidak seperti yang dikatakan, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: Jika suami ingin, ia dapat membatalkan pernikahan tanpa mahar dan mut’ah. Jika setelah terjadi hubungan intim, maka wanita berhak mendapatkan mahar seperti wanita sepadannya dan tidak ada nafkah baginya selama masa iddah, meskipun ia sedang hamil.”

وَالثَّانِي: لَا خِيَارَ لَهُ إنْ كَانَتْ حُرَّةً؛ لِأَنَّ بِيَدِهِ طَلَاقَهَا وَلَا يَلْزَمُهُ مِنْ الْعَارِ مَا يَلْزَمُهَا.

 

Kedua: tidak ada hak pilih baginya jika istrinya seorang wanita merdeka; karena di tangannya ada hak untuk menceraikannya dan dia tidak menanggung aib sebagaimana yang ditanggung oleh istrinya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ جَعَلَ لَهُ الْخِيَارَ إذَا غَرَّتْهُ فَوَجَدَهَا أَمَةً كَمَا جَعَلَ لَهَا الْخِيَارَ إذَا غَرَّهَا فَوَجَدَتْهُ عَبْدًا فَجَعَلَ مَعْنَاهُمَا فِي الْخِيَارِ بِالْغَرُورِ وَاحِدًا وَلَمْ يَلْتَفِتْ إلَى أَنَّ الطَّلَاقَ إلَيْهِ وَلَا إلَى أَنْ لَا عَارَ فِيهَا عَلَيْهِ وَكَمَا جَعَلَ لَهَا الْخِيَارَ بِالْغَرُورِ فِي نَقْصِ النَّسَبِ عَنْهَا وَجَعَلَهُ لَهَا فِي الْعَبْدِ فَقِيَاسُهُ أَنْ يَجْعَلَ لَهُ الْخِيَارَ بِالْغَرُورِ فِي نَقْصِ النَّسَبِ عَنْهُ كَمَا جَعَلَهُ لَهُ فِي الْأَمَةِ.

 

 

Al-Muzanni – semoga Allah merahmatinya – telah memberikan hak pilih kepadanya (suami) jika ditipu lalu mendapatinya sebagai budak perempuan, sebagaimana memberikan hak pilih kepadanya (istri) jika ditipu lalu mendapatinya sebagai budak laki-laki. Maka dia menyamakan makna keduanya dalam hak pilih akibat penipuan, tanpa memperhatikan bahwa talak ada di tangan suami dan tidak ada aib baginya dalam hal ini. Sebagaimana dia memberikan hak pilih kepada istri akibat penipuan dalam kekurangan nasab darinya, dan memberikannya pula dalam kasus budak laki-laki. Maka qiyasnya adalah memberikan hak pilih kepada suami akibat penipuan dalam kekurangan nasab darinya, sebagaimana diberikan kepadanya dalam kasus budak perempuan.

 

الْمَرْأَةُ لَا تَلِي عُقْدَةَ النِّكَاحِ

 

Wanita tidak boleh menangani akad nikah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : قَالَ بَعْضُ النَّاسِ زَوَّجَتْ عَائِشَةُ ابْنَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ وَهُوَ غَائِبٌ بِالشَّامِ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: أَمِثْلِي يُفْتَاتُ عَلَيْهِ فِي بَنَاتِهِ؟ .

 

 

(Imam Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata): Sebagian orang mengatakan bahwa Aisyah menikahkan putri Abdurrahman bin Abu Bakar saat dia tidak ada di Syam. Maka Abdurrahman berkata: “Apakah orang seperti aku didahului (dalam urusan) anak perempuannya?”

 

(قَالَ) : فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا زَوَّجَتْهَا بِغَيْرِ أَمْرِهِ قِيلَ: فَكَيْفَ يَكُونُ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَكَّلَ عَائِشَةَ لِفَضْلِ نَظَرِهَا إنْ حَدَثَ حَدَثٌ أَوْ رَأَتْ فِي مَغِيبِهِ لِابْنَتِهِ حَظًّا أَنْ تُزَوِّجَهَا احْتِيَاطًا وَلَمْ يَرَ أَنَّهَا تَأْمُرُ بِتَزْوِيجِهَا إلَّا بَعْدَ مُؤَامَرَتِهِ وَلَكِنْ تُوَاطِئُ وَتَكْتُبُ إلَيْهِ فَلَمَّا فَعَلَتْ قَالَ هَذَا، وَإِنْ كُنْت قَدْ فَوَّضْت إلَيْك فَقَدْ كَانَ يَنْبَغِي أَنْ لَا تَفْتَاتِي عَلَيَّ وَقَدْ يَجُوزُ أَنْ يَقُولَ زَوِّجِي أَيْ وَكِّلِي مَنْ يُزَوِّجُ فَوَكَّلَتْ قَالَ: فَلَيْسَ لَهَا هَذَا فِي الْخَيْرِ قِيلَ: لَا وَلَكِنْ لَا يُشْبِهُ غَيْرَهُ؛ لِأَنَّهَا رَوَتْ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَعَلَ النِّكَاحَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ بَاطِلًا» أَوَكَانَ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تُزَوِّجَ بِكْرًا وَأَبُوهَا غَائِبٌ دُونَ إخْوَتِهَا أَوْ السُّلْطَانِ.

 

 

(Dia berkata): “Ini menunjukkan bahwa dia (Aisyah) menikahkannya tanpa perintahnya.” Ditanyakan: “Bagaimana mungkin Abdurrahman mewakilkan Aisyah karena kelebihan pandangannya, jika terjadi sesuatu atau dia melihat kemaslahatan untuk anak perempuannya dalam ketidakhadirannya untuk menikahkannya sebagai tindakan hati-hati, dan dia tidak menganggap bahwa dia memerintahkan untuk menikahkannya kecuali setelah bermusyawarah dengannya, tetapi hanya menyetujui dan menulis surat kepadanya. Ketika dia melakukannya, dia mengatakan ini: ‘Jika aku telah memberikan wewenang kepadamu, seharusnya engkau tidak mengambil keputusan tanpa sepengetahuanku.’ Dan boleh saja Beliau berkata: ‘Nikahkanlah,’ maksudnya, ‘berikan wewenang kepada orang yang akan menikahkan,’ lalu dia mewakilkannya.” Beliau berkata: “Dia tidak memiliki hak ini dalam kebaikan.” Dijawab: “Tidak, tetapi hal ini tidak sama dengan lainnya, karena dia meriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menetapkan pernikahan tanpa wali sebagai batal. Apakah boleh baginya untuk menikahkan seorang gadis sementara ayahnya tidak hadir tanpa melibatkan saudara-saudaranya atau penguasa?”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) مَعْنَى تَأْوِيلِهِ فِيمَا رَوَتْ عَائِشَةُ عِنْدِي غَلَطٌ وَذَلِكَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ عِنْدَهُ إنْكَاحُ الْمَرْأَةِ وَوَكِيلُهَا مِثْلُهَا فَكَيْفَ يُعْقَلُ بِأَنْ تُوَكَّلَ وَهِيَ عِنْدَهُ لَا يَجُوزُ إنْكَاحُهَا، وَلَوْ قَالَ: إنَّهُ أَمَرَ مَنْ يُنَفِّذُ رَأْيَ عَائِشَةَ فَأَمَرَتْهُ فَأَنْكَحَ خَرَجَ كَلَامُهُ صَحِيحًا؛ لِأَنَّ التَّوْكِيلَ لِلْأَبِ حِينَئِذٍ وَالطَّاعَةُ لِعَائِشَةَ فَيَصِحُّ وَجْهُ الْخَبَرِ عَلَى تَأْوِيلِهِ الَّذِي يَجُوزُ عِنْدِي لَا أَنَّ الْوَكِيلَ وَكِيلٌ لِعَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – وَلَكِنَّهُ وَكِيلٌ لَهُ فَهَذَا تَأْوِيلُهُ.

 

 

(Al-Muzani – rahimahullah – berkata) Makna takwilnya menurut apa yang diriwayatkan Aisyah menurutku adalah keliru, karena menurutnya tidak boleh menikahkan wanita dan wakilnya yang seperti dia. Bagaimana mungkin bisa diterima akal bahwa dia diwakilkan sedangkan menurutnya tidak boleh menikahkannya? Seandainya Beliau berkata: Sesungguhnya dia memerintahkan orang yang melaksanakan pendapat Aisyah, lalu Aisyah memerintahkannya sehingga dia menikahkan, maka perkataannya akan benar. Karena ketika itu perwakilan adalah untuk ayah dan ketaatan adalah untuk Aisyah, sehingga sisi riwayat itu sahih menurut takwil yang boleh menurutku. Bukan bahwa wakil itu adalah wakil Aisyah – radhiyallahu ‘anha – tetapi dia adalah wakilnya. Inilah takwilnya.

 

الْكَلَامُ الَّذِي يَنْعَقِدُ بِهِ النِّكَاحُ وَالْخِطْبَةُ قَبْلَ الْعَقْدِ

 

Perkataan yang dengannya akad nikah dilangsungkan dan khitbah sebelum akad.

 

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ، وَمِنْ كِتَابِ مَا يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُ.

 

 

Dari kitab Al-Jami’, dari kitab At-Ta’ridh bil Khithbah, dan dari kitab apa yang diharamkan untuk dikumpulkan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَسْمَى اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى النِّكَاحَ فِي كِتَابِهِ بِاسْمَيْنِ النِّكَاحِ وَالتَّزْوِيجِ وَدَلَّتْ السُّنَّةُ عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ بِمَا يُشْبِهُ الطَّلَاقَ وَلَمْ نَجِدْ فِي كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ إحْلَالَ نِكَاحٍ إلَّا بِنِكَاحٍ أَوْ تَزْوِيجٍ، وَالْهِبَةُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مُجَمَعٌ أَنْ يَنْعَقِدَ لَهُ بِهَا النِّكَاحُ بِأَنْ تَهَبَ نَفْسَهَا لَهُ بِلَا مَهْرٍ وَفِي هَذَا دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ النِّكَاحُ إلَّا بِاسْمِ التَّزْوِيجِ أَوْ النِّكَاحِ وَالْفَرْجُ مُحَرَّمٌ قَبْلَ الْعَقْدِ فَلَا يَحِلُّ أَبَدًا إلَّا بِأَنْ يَقُولَ الْوَلِيُّ: قَدْ زَوَّجْتُكهَا أَوْ أَنْكَحْتُكهَا وَيَقُولَ الْخَاطِبُ: قَدْ قَبِلْت تَزْوِيجَهَا أَوْ نِكَاحَهَا أَوْ يَقُولَ الْخَاطِبُ زَوِّجْنِيهَا وَيَقُولَ الْوَلِيُّ: قَدْ زَوَّجْتُكهَا فَلَا يُحْتَاجُ فِي هَذَا إلَى أَنْ يَقُولَ الزَّوْجُ قَدْ قَبِلْت، وَلَوْ قَالَ: قَدْ مَلَّكْتُك نِكَاحَهَا أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ فَقَبِلَ لَمْ يَكُنْ نِكَاحًا وَإِذَا كَانَتْ الْهِبَةُ أَوْ الصَّدَقَةُ تُمْلَكُ بِهَا الْأَبْدَانُ وَالْحُرَّةُ لَا تَمْلِكُ فَكَيْفَ تَجُوزُ الْهِبَةُ فِي النِّكَاحِ؟ فَإِنْ قِيلَ مَعْنَاهَا زَوَّجْتُك قِيلَ: فَقَوْلُهُ قَدْ أَحْلَلْتهَا لَك أَقْرَبُ إلَى زَوَّجْتُكهَا وَهُوَ لَا يُجِيزُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Allah Tabaraka wa Ta’ala menyebut pernikahan dalam Kitab-Nya dengan dua nama: nikah dan tazwij (perkawinan). Sunnah juga menunjukkan bahwa talak terjadi dengan sesuatu yang menyerupai talak. Kami tidak menemukan dalam Kitab maupun Sunnah penghalalan nikah kecuali dengan nikah atau tazwij. Hadiah (hibah) untuk Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah disepakati sebagai cara sahnya pernikahan, yaitu ketika seorang wanita menghibahkan dirinya kepada beliau tanpa mahar. Ini menunjukkan bahwa nikah tidak sah kecuali dengan sebutan tazwij atau nikah. Kemaluan haram sebelum akad, sehingga tidak halal selain dengan ucapan wali: ‘Aku telah menikahkan/mengawinkan engkau dengannya’, dan calon suami mengatakan: ‘Aku menerima pernikahan/perkawinannya’. Atau calon suami mengatakan: ‘Nikahkan aku dengannya’, lalu wali menjawab: ‘Aku telah menikahkan engkau dengannya’. Dalam hal ini tidak perlu suami mengatakan ‘aku menerima’. Seandainya wali berkata: ‘Aku telah mempersilakan engkau menikahinya’ atau semisalnya, lalu diterima, itu bukanlah nikah. Jika hibah atau sedekah bisa memiliki tubuh (orang), sedangkan wanita merdeka tidak bisa dimiliki, bagaimana hibah dalam nikah dibolehkan? Jika dikatakan maksudnya adalah ‘aku menikahkan engkau’, maka jawabannya: Ucapan ‘aku telah menghalalkannya untukmu’ lebih dekat maknanya dengan ‘aku menikahkan engkau’, namun itu tidak diperbolehkan.”

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يُقَدِّمَ بَيْنَ يَدَيْ خِطْبَتِهِ وَكُلِّ أَمْرٍ طَلَبَهُ سِوَى الْخِطْبَةِ حَمْدَ اللَّهِ تَعَالَى وَالثَّنَاءَ عَلَيْهِ وَالصَّلَاةَ عَلَى رَسُولِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – وَالْوَصِيَّةَ بِتَقْوَى اللَّهِ ثُمَّ يَخْطُبَ وَأُحِبُّ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَفْعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ وَأَنْ يَقُولَ مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ: أَنْكَحْتُك عَلَى مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ مِنْ إمْسَاكٍ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٍ بِإِحْسَانٍ.

 

 

Beliau berkata: “Aku suka jika sebelum khutbahnya dan setiap urusan yang dia minta selain khutbah, dia memulai dengan memuji Allah Ta’ala, memuji-Nya, bershalawat kepada Rasul-Nya – semoga shalawat dan salam tercurah kepadanya – serta wasiat untuk bertakwa kepada Allah, kemudian berkhutbah. Dan aku suka jika wali juga melakukan hal yang sama serta mengucapkan apa yang dikatakan oleh Ibnu Umar: ‘Aku menikahkanmu sesuai dengan perintah Allah, yaitu mempertahankan dengan baik atau melepaskan dengan cara yang baik.'”

 

مَا يَحِلُّ مِنْ الْحَرَائِرِ وَلَا يَتَسَرَّى الْعَبْدُ

 

Tidak halal dari wanita merdeka dan budak tidak boleh mengawini wanita merdeka.

 

وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ وَكِتَابِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، وَالرَّجُلُ يَقْتُلُ أَمَتَهُ وَلَهَا زَوْجٌ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : انْتَهَى اللَّهُ تَعَالَى بِالْحَرَائِرِ إلَى أَرْبَعٍ تَحْرِيمًا لَأَنْ يَجْمَعَ أَحَدٌ غَيْرُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعٍ وَالْآيَةُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا عَلَى الْأَحْرَارِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} النساء: 3 وَمِلْكُ الْيَمِينِ لَا يَكُونُ إلَّا لِلْأَحْرَارِ الَّذِينَ يَمْلِكُونَ الْمَالَ وَالْعَبْدُ لَا يَمْلِكُ الْمَالَ.

 

 

Dan selain itu dari kitab pernikahan dan kitab Ibnu Abi Laila, serta seorang laki-laki yang membunuh budak perempuannya yang memiliki suami (Asy-Syafi’i berkata): Allah Ta’ala telah membatasi wanita merdeka hingga empat sebagai larangan agar tidak ada seorang pun selain Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yang menghimpun lebih dari empat. Ayat tersebut menunjukkan bahwa hal itu berlaku untuk orang merdeka dengan firman-Nya {atau budak yang kamu miliki} An-Nisa’: 3. Kepemilikan budak hanya berlaku bagi orang merdeka yang memiliki harta, sedangkan budak tidak memiliki harta.

Gagal diterjemahkan (قَالَ) : فَإِذَا فَارَقَ الْأَرْبَعُ ثَلَاثًا ثَلَاثًا تَزَوَّجَ مَكَانَهُنَّ فِي عِدَّتِهِنَّ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّ لِمَنْ لَا امْرَأَةَ لَهُ أَرْبَعًا وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ لَا يَنْكِحُ أَرْبَعًا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّةُ الْأَرْبَعِ؛ لِأَنِّي لَا أُجِيزُ أَنْ يَجْتَمِعَ مَاؤُهُ فِي خَمْسٍ أَوْ فِي أُخْتَيْنِ (قُلْت) فَأَنْتَ تَزْعُمُ لَوْ خَلَا بِهِنَّ وَلَمْ يُصِبْهُنَّ أَنَّ عَلَيْهِنَّ الْعِدَّةَ فَلَمْ يَجْتَمِعْ فِيهِنَّ مَاؤُهُ فَأُبِحْ لَهُ النِّكَاحَ وَقَدْ فَرَّقَ اللَّهُ تَعَالَى بَيْنَ حُكْمِ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فَجَعَلَ إلَيْهِ الطَّلَاقَ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ فَجَعَلْته يَعْتَدُّ مَعَهَا ثُمَّ نَاقَضْت فِي الْعِدَّةِ.

 

(قَالَ) : وَأَيْنَ؟ قُلْت: إذْ جَعَلْت عَلَيْهِ الْعِدَّةَ كَمَا جَعَلْتهَا عَلَيْهَا أَفَيَجْتَنِبُ مَا تَجْتَنِبُ الْمُعْتَدَّةُ مِنْ الطِّيبِ وَالْخُرُوجِ مِنْ الْمَنْزِلِ؟ قَالَ: لَا قُلْت: فَلَا جَعَلْته فِي الْعِدَّةِ بِمَعْنَاهَا وَلَا فَرَّقْت بِمَا فَرَّقَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا وَقَدْ جَعَلَهُنَّ اللَّهُ مِنْهُ أَبْعَدَ مِنْ الْأَجْنَبِيَّاتِ؛ لِأَنَّهُنَّ لَا يَحْلِلْنَ لَهُ إلَّا بَعْدَ نِكَاحِ زَوْجٍ وَطَلَاقِهِ أَوْ مَوْتِهِ وَعِدَّةٍ تَكُونُ بَعْدَهُ وَالْأَجْنَبِيَّات يَحْلِلْنَ لَهُ مِنْ سَاعَتِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Di mana (letak kesamaannya)?” Aku menjawab: “Ketika engkau memberlakukannya masa iddah atasnya sebagaimana engkau memberlakukannya atas perempuan, apakah dia juga harus menghindari apa yang dihindari oleh perempuan yang sedang beriddah, seperti wewangian dan keluar dari rumah?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Maka engkau tidak menjadikannya dalam iddah dengan makna sebenarnya, dan tidak membedakan sebagaimana Allah Ta’ala membedakan antara dia (suami) dan perempuan (istri). Padahal Allah menjadikan mereka (istri yang telah dicerai) lebih jauh darinya daripada perempuan asing, karena mereka tidak halal baginya kecuali setelah menikah dengan suami lain, lalu diceraikan atau ditinggal mati, dan menjalani iddah setelahnya. Sedangkan perempuan asing halal baginya seketika itu juga.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَتَلَ الْمَوْلَى أَمَتَهُ أَوْ قَتَلَتْ نَفْسَهَا فَلَا مَهْرَ لَهَا، وَإِنْ بَاعَهَا حَيْثُ لَا يَقْدِرُ عَلَيْهَا فَلَا مَهْرَ لَهَا حَتَّى يَدْفَعَهَا إلَيْهِ، وَإِنْ طَلَبَ أَنْ يُبَوِّئَهَا مَعَهُ بَيْتًا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عَلَى السَّيِّدِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika tuan membunuh budak perempuannya atau budak itu bunuh diri, maka tidak ada mahar baginya. Jika dia menjualnya di tempat yang tidak bisa dijangkau, maka tidak ada mahar baginya sampai dia menyerahkannya. Dan jika dia meminta agar disediakan rumah untuk tinggal bersamanya, maka itu bukan kewajiban tuan.”

(قَالَ) : وَلَوْ وَطِئَ رَجُلٌ جَارِيَةَ ابْنِهِ فَأَوْلَدَهَا كَانَ عَلَيْهِ مَهْرُهَا وَقِيمَتُهَا.

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang laki-laki menyetubuhi budak perempuan anaknya lalu menghamilkannya, maka dia wajib membayar mahar dan nilai budak tersebut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قِيَاسُ قَوْلِهِ أَنْ لَا تَكُونَ مِلْكًا لِأَبِيهِ وَلَا أُمَّ وَلَدٍ بِذَلِكَ وَقَدْ أَجَازَ أَنْ يُزَوِّجَهُ أَمَتَهُ فَيُولِدَهَا فَإِذَا لَمْ تَكُنْ لَهُ بِأَنْ يُولِدَهَا مِنْ حَلَالٍ أُمَّ وَلَدٍ بِقِيمَةٍ فَكَيْفَ بِوَطْءٍ حَرَامٍ وَلَيْسَ بِشَرِيكٍ فِيهَا فَيَكُونُ فِي مَعْنَى مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي أَمَةٍ وَهُوَ لَا يَجْعَلُهَا أُمَّ وَلَدٍ لِلشَّرِيكِ إذَا أَحْبَلَهَا وَهُوَ مُعْسِرٌ وَهَذَا مِنْ ذَلِكَ أَبْعَدُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Qiyas dari ucapannya adalah bahwa dia (budak perempuan itu) bukan milik ayahnya dan bukan pula ummu walad karenanya. Dan dia telah membolehkan untuk menikahkan budak perempuannya lalu memiliki anak darinya. Jika dia tidak menjadi ummu walad baginya dengan melahirkannya secara halal dengan harga tertentu, maka bagaimana dengan hubungan yang haram, sementara dia bukan mitra dalam kepemilikan budak itu? Maka dia berada dalam posisi orang yang memerdekakan bagiannya dalam kepemilikan seorang budak perempuan, dan dia tidak menjadikannya ummu walad bagi mitranya jika dia menghamili budak itu sementara dia dalam keadaan kesulitan (tidak mampu membayar). Dan ini lebih jauh dari itu.

(قَالَ) : وَإِنْ لَمْ يُحْبِلْهَا فَعَلَيْهِ عُقْرُهَا وَحَرُمَتْ عَلَى الِابْنِ وَلَا قِيمَةَ لَهُ بِأَنْ حَرُمَتْ عَلَيْهِ وَقَدْ تَرْضِعُ امْرَأَةُ الرَّجُلِ بِلَبَنِهِ جَارِيَتَهُ الصَّغِيرَةَ فَتَحْرُمُ عَلَيْهِ وَلَا قِيمَةَ لَهُ.

 

Beliau berkata: “Jika dia tidak menghamilkannya, maka dia wajib membayar uqur (denda) untuknya, dan (budak perempuan itu) menjadi haram bagi anaknya tanpa ada nilai kompensasi karena keharaman tersebut. Dan terkadang istri seseorang menyusui budak perempuannya yang kecil dengan air susunya, sehingga budak itu haram baginya tanpa ada nilai kompensasi.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ} المؤمنون: 5 الْآيَةَ، وَفِي ذَلِكَ دَلِيلُ أَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَرَادَ الْأَحْرَارَ؛ لِأَنَّ الْعَبِيدَ لَا يَمْلِكُونَ، وَقَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – «مَنْ بَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلْبَائِعِ إلَّا أَنْ يَشْتَرِطَهُ الْمُبْتَاعُ» فَدَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ أَنَّ الْعَبِدَ لَا يَمْلِكُ مَالًا بِحَالٍ وَإِنَّمَا يُضَافُ إلَيْهِ مَالُهُ كَمَا يُضَافُ إلَى الْفَرَسِ سَرْجُهُ وَإِلَى الرَّاعِي غَنَمُهُ (فَإِنْ قِيلَ) فَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ الْعَبْدَ يَتَسَرَّى.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya” (QS. Al-Mu’minun: 5). Dalam hal ini terdapat dalil bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala menghendaki orang-orang merdeka, karena budak tidak memiliki kepemilikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menjual budak yang memiliki harta, maka hartanya milik penjual kecuali jika pembeli mensyaratkannya.” Maka Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa budak sama sekali tidak memiliki harta. Harta yang dikaitkan dengannya hanyalah seperti pelana yang dikaitkan pada kuda atau domba yang dikaitkan pada penggembala. (Jika ada yang bertanya), telah diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa budak boleh memiliki istri.

 

(قِيلَ) وَقَدْ رُوِيَ خِلَافُهُ قَالَ ابْنُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – لَا يَطَأُ الرَّجُلُ إلَّا وَلِيدَةً إنْ شَاءَ بَاعَهَا، وَإِنْ شَاءَ وَهَبَهَا، وَإِنْ شَاءَ صَنَعَ بِهَا مَا شَاءَ قَالَ: وَلَا يَحِلُّ أَنْ يَتَسَرَّى الْعَبْدُ وَلَا مَنْ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ بِحَالٍ وَلَا يُفْسَخُ نِكَاحُ حَامِلٍ مِنْ زِنًا، وَأُحِبُّ أَنْ تُمْسَكَ حَتَّى تَضَعَ «وَقَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إنَّ امْرَأَتِي لَا تَرُدُّ يَدَ لَامِسٍ؛ قَالَ طَلِّقْهَا قَالَ: إنِّي أُحِبُّهَا قَالَ فَأَمْسِكْهَا» وَضَرَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – رَجُلًا وَامْرَأَةً فِي زِنًا وَحَرَصَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَأَبَى الْغُلَامُ.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

(Dikatakan) dan telah diriwayatkan sebaliknya, Ibnu Umar – radhiyallahu ‘anhuma – berkata: “Seorang laki-laki tidak boleh menggauli kecuali budak perempuan. Jika ia mau, ia boleh menjualnya, atau menghadiahkannya, atau melakukan apa saja yang ia kehendaki.” Beliau berkata: “Tidak halal bagi seorang budak atau orang yang belum merdeka sepenuhnya untuk memiliki budak perempuan dalam keadaan apa pun. Pernikahan seorang wanita hamil akibat zina tidak boleh dibatalkan, dan aku lebih suka agar dia ditahan sampai melahirkan.” Seorang laki-laki berkata kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Sesungguhnya istriku tidak menolak tangan yang menyentuhnya.” Beliau bersabda: “Ceraikan dia.” Laki-laki itu berkata: “Aku mencintainya.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, pertahankanlah.” Dan Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – pernah mencambuk seorang laki-laki dan perempuan karena berzina, dan berusaha menyatukan mereka, tetapi pemuda itu menolak.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

نِكَاحُ الْعَبْدِ وَطَلَاقُهُ

Pernikahan budak dan perceraiannya

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابٍ قَدِيمٍ وَكِتَابٍ جَدِيدٍ، وَكِتَابِ التَّعْرِيضِ.

 

Dari yang menghimpun dari kitab lama dan kitab baru, serta kitab at-ta’riidh.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَيَنْكِحُ الْعَبْدُ اثْنَتَيْنِ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – وَقَالَ عُمَرُ: يُطَلِّقُ تَطْلِيقَتَيْنِ وَتَعْتَدُّ الْأَمَةُ حَيْضَتَيْنِ وَاَلَّتِي لَا تَحِيضُ شَهْرَيْنِ أَوْ شَهْرًا وَنِصْفًا، وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: إذَا طَلَّقَ الْعَبْدُ امْرَأَتَهُ اثْنَتَيْنِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ وَعِدَّةُ الْحُرَّةِ ثَلَاثُ حِيَضٍ وَالْأَمَةِ حَيْضَتَانِ وَسَأَلَ نُفَيْعٌ عُثْمَانَ وَزَيْدًا فَقَالَ: طَلَّقْت امْرَأَةً لِي حُرَّةً تَطْلِيقَتَيْنِ فَقَالَا: حَرُمَتْ عَلَيْك حَرُمَتْ عَلَيْك.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seorang budak boleh menikahi dua wanita.” Beliau berargumen dalam hal ini dengan pendapat Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhuma -. Umar berkata: “Budak itu menceraikan dengan dua talak, dan budak wanita menjalani iddah selama dua haid, sedangkan yang tidak haid selama dua bulan atau satu setengah bulan.” Ibnu Umar berkata: “Jika seorang budak menceraikan istrinya dua kali, maka haram baginya sampai dia menikah dengan suami lain. Iddah wanita merdeka adalah tiga haid, sedangkan budak wanita dua haid.” Nufail bertanya kepada Utsman dan Zaid, Beliau berkata: “Aku menceraikan istriku yang merdeka dengan dua talak.” Mereka berdua berkata: “Dia haram bagimu, dia haram bagimu.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبِهَذَا كُلِّهِ أَقُولُ: وَإِنْ تَزَوَّجَ عَبْدٌ بِغَيْرِ إذْنِ سَيِّدِهِ فَالنِّكَاحُ فَاسِدٌ وَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا إذَا عَتَقَ فَإِنْ أَذِنَ لَهُ فَنَكَحَ نِكَاحًا فَاسِدًا فَفِيهَا قَوْلَانِ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan dengan semua ini aku berpendapat: Jika seorang budak menikah tanpa izin tuannya, maka nikahnya batal dan dia wajib membayar mahar yang setara jika dia merdeka. Jika tuannya mengizinkannya lalu dia menikah dengan nikah yang batal, maka dalam hal ini ada dua pendapat.

 

أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَإِذْنِهِ لَهُ بِالتِّجَارَةِ فَيُعْطَى مِنْ مَالٍ إنْ كَانَ لَهُ وَإِلَّا فَمَتَى عَتَقَ وَالْآخَرُ كَالضَّمَانِ عَنْهُ فَيَلْزَمُهُ أَنْ يَبِيعَهُ فِيهِ إلَّا أَنْ يَفْدِيَ.

 

 

Salah satunya adalah bahwa hal itu seperti izin baginya untuk berdagang, maka ia diberi dari harta jika ia memilikinya. Jika tidak, maka ketika ia merdeka. Yang lain seperti jaminan darinya, maka ia wajib menjualnya kecuali jika ia menebusnya.

 

بَابُ مَا يَحْرُمُ وَمَا يَحِلُّ مِنْ نِكَاحِ الْحَرَائِرِ وَمِنْ الْإِمَاءِ

 

Bab tentang apa yang diharamkan dan apa yang dihalalkan dalam pernikahan wanita merdeka dan budak perempuan

 

وَالْجَمْعِ بَيْنَهُنَّ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ مَا يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُ وَمِنْ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ وَمِنْ الْإِمْلَاءِ وَمِنْ الرَّضَاعِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَصْلُ مَا يَحْرُمُ بِهِ النِّسَاءُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا بِأَنْسَابٍ، وَالْآخَرُ بِأَسْبَابٍ مِنْ حَادِثِ نِكَاحٍ أَوْ رَضَاعٍ وَمَا حَرُمَ مِنْ النَّسَبِ حَرُمَ مِنْ الرَّضَاعِ، وَحَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى الْجَمْعَ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ «وَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا» وَنَهَى عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنْ الْأُمِّ وَابْنَتِهَا مِنْ مِلْكِ الْيَمِينِ، وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ وَدِدْت أَنَّ عُمَرَ كَانَ فِي ذَلِكَ أَشَدَّ مِمَّا هُوَ وَنَهَتْ عَنْ ذَلِكَ عَائِشَةُ وَقَالَ عُثْمَانُ فِي جَمْعِ الْأُخْتَيْنِ: أَمَّا أَنَا فَلَا أُحِبُّ أَنْ أَصْنَعَ ذَلِكَ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: لَوْ كَانَ إلَيَّ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ ثُمَّ وَجَدْت رَجُلًا يَفْعَلُ ذَلِكَ لَجَعَلْته نَكَالًا، قَالَ الزُّهْرِيُّ أَرَاهُ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ.

 

 

Dan penggabungan antara mereka serta hal-hal lain yang termasuk dalam pembahasan tentang apa yang diharamkan untuk digabungkan, baik dari pernikahan lama, imla’, atau persusuan. (Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Asal pengharaman terhadap perempuan ada dua macam: pertama karena nasab, dan kedua karena sebab-sebab yang muncul dari pernikahan atau persusuan. Apa yang diharamkan karena nasab, maka diharamkan pula karena persusuan. Allah Ta’ala mengharamkan mengumpulkan dua saudara perempuan (dalam pernikahan), dan Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—melarang seorang perempuan dinikahi bersama bibinya (dari pihak ayah atau ibu). Umar—radhiyallahu ‘anhu—juga melarang mengumpulkan seorang ibu dan anak perempuannya dari budak yang dimiliki. Ibnu Umar berkata, “Aku berandai-andai Umar lebih keras dalam hal itu.” Aisyah juga melarang hal tersebut. Utsman berkata tentang mengumpulkan dua saudara perempuan, “Aku sendiri tidak suka melakukannya.” Seorang sahabat Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—berkata, “Seandainya aku memiliki wewenang, lalu menemukan seseorang melakukannya, niscaya akan kujadikan ia sebagai pelajaran.” Az-Zuhri berkata, “Aku menduga dia adalah Ali bin Abi Thalib.”

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang menikahi seorang wanita, kemudian menikahi saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, atau bibi dari pihak ibu wanita tersebut—meskipun hubungannya jauh—pernikahan yang kedua itu batal, baik sudah terjadi hubungan intim maupun belum. Pernikahan yang pertama tetap sah, dan masing-masing wanita tersebut halal dinikahi secara terpisah. Namun, jika ia menikahi keduanya secara bersamaan, maka pernikahan itu batal.

 

Jika seseorang menikahi seorang wanita, lalu menceraikannya sebelum berhubungan intim, ibu dari wanita itu tidak haram baginya karena statusnya masih samar, tetapi anak perempuannya halal baginya karena termasuk dalam kategori anak tiri. Jika ia sudah berhubungan intim dengan wanita itu, maka ibu dan anak perempuannya haram baginya selamanya.

 

Jika seseorang berhubungan dengan budak perempuannya, maka ibu dan anak perempuan budak itu haram baginya selamanya, dan ia tidak boleh berhubungan dengan saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, atau bibi dari pihak ibu budak tersebut hingga ia mengharamkannya (dengan memerdekakannya). Jika ia berhubungan dengan saudara perempuan budak itu sebelumnya, maka hindarilah yang terakhir ia gauli, dan sebaiknya ia menahan diri hingga masa iddah yang terakhir selesai.

 

Jika pernikahan dan kepemilikan budak terjadi pada dua saudara perempuan, atau seorang budak beserta bibinya (dari pihak ayah atau ibu), maka pernikahan tetap sah dan tidak dibatalkan oleh kepemilikan budak—baik sebelum atau sesudahnya. Namun, hubungan intim dengan budak tersebut menjadi haram karena pernikahan menetapkan hak dan kewajiban.

 

Jika seseorang menikahi dua wanita (yang haram digabungkan) secara bersamaan, pernikahannya batal. Namun, jika ia membeli dua budak (yang memiliki hubungan mahram) secara bersamaan, kepemilikannya tetap sah.

 

Seseorang tidak boleh menikahi saudara perempuan istrinya sambil membeli budak (yang merupakan saudara istrinya), dan tidak boleh memerdekakan istrinya untuk orang lain sambil mempertahankan budaknya. Ini adalah perbedaan hukum antara istri dan budak.

 

Tidak masalah seorang laki-laki mengumpulkan (dalam pernikahan) antara seorang wanita dan istri ayahnya, atau antara istri seorang laki-laki dan anak perempuan dari istrinya (asal bukan anak kandungnya), karena tidak ada hubungan nasab di antara mereka.

 

مَا جَاءَ فِي الزِّنَا لَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ

 

Apa yang datang mengenai zina tidak mengharamkan yang halal.

مِنْ الْجَامِعِ وَمِنْ الْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ.

 

Dari masjid dan dari kanan bersama saksi.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Zina tidak mengharamkan yang halal,” dan Ibnu Abbas juga berkata demikian.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) :؛ لِأَنَّ الْحَرَامَ ضِدُّ الْحَلَالِ فَلَا يُقَاسُ شَيْءٌ عَلَى ضِدِّهِ قَالَ لِي قَائِلٌ يَقُولُ لَوْ قَبَّلَتْ امْرَأَتُهُ ابْنَهُ بِشَهْوَةٍ حَرُمَتْ عَلَى زَوْجِهَا أَبَدًا لِمَ قُلْت لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ؟ قُلْت: مِنْ قِبَلِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى إنَّمَا حَرَّمَ أُمَّهَاتِ نِسَائِكُمْ وَنَحْوَهَا بِالنِّكَاحِ فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَاسَ الْحَرَامُ بِالْحَلَالِ فَقَالَ: أَجِدُ جِمَاعًا وَجِمَاعًا قُلْت جِمَاعًا حُمِدْتَ بِهِ وَجِمَاعًا رُجِمْتَ بِهِ وَأَحَدُهُمَا نِعْمَةٌ وَجَعَلَهُ اللَّهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَأَوْجَبَ حُقُوقًا وَجَعَلَك مَحْرَمًا بِهِ لِأُمِّ امْرَأَتِك وَلِابْنَتِهَا تُسَافِرُ بِهِمَا وَجُعِلَ الزِّنَا نِقْمَةً فِي الدُّنْيَا بِالْحَدِّ وَفِي الْآخِرَةِ بِالنَّارِ إلَّا أَنْ يَعْفُوَا فَتَقِيسُ الْحَرَامَ الَّذِي هُوَ نِقْمَةٌ عَلَى الْحَلَالِ الَّذِي هُوَ نِعْمَةٌ؟ وَقُلْت لَهُ: فَلَوْ قَالَ لَك قَائِلٌ وَجَدْت الْمُطَلَّقَةَ ثَلَاثًا تَحِلُّ بِجِمَاعِ زَوْجٍ فَأَحَلَّهَا بِالزِّنَا؛ لِأَنَّهُ جِمَاعٌ كَجِمَاعٍ كَمَا حَرَّمْت بِهِ الْحَلَالَ؛ لِأَنَّهُ جِمَاعٌ وَجِمَاعٌ قَالَ: إذًا نُخْطِئُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّهَا بِإِصَابَةِ زَوْجٍ قِيلَ وَكَذَلِكَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ بِنِكَاحِ زَوْجٍ وَإِصَابَةِ زَوْجٍ قَالَ: أَفَيَكُونُ شَيْءٌ يُحَرِّمُهُ الْحَلَالُ وَلَا يُحَرِّمُهُ الْحَرَامُ فَأَقُولُ بِهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ يَنْكِحُ أَرْبَعًا فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يَنْكِحَ مِنْ النِّسَاءِ خَامِسَةً أَفَيَحْرُمُ عَلَيْهِ إذَا زَنَى بِأَرْبَعٍ شَيْءٌ مِنْ النِّسَاءِ قَالَ: لَا يَمْنَعُهُ الْحَرَامُ مِمَّا يَمْنَعُهُ الْحَلَالُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Karena yang haram adalah lawan dari yang halal, maka sesuatu tidak boleh diqiyaskan dengan lawannya. Seseorang berkata kepadaku: “Jika seorang istri mencium anaknya dengan syahwat, haramkan ia selamanya bagi suaminya? Mengapa engkau katakan bahwa yang haram tidak mengharamkan yang halal?” Aku menjawab: “Karena Allah Ta’ala hanya mengharamkan ibu-istri kalian dan semisalnya melalui pernikahan, sehingga tidak boleh mengqiyaskan yang haram dengan yang halal.” Beliau berkata: “Aku menemukan persetubuhan dan persetubuhan.” Aku menjawab: “Persetubuhan yang engkau dipuji karenanya dan persetubuhan yang engkau dirajam karenanya. Salah satunya adalah nikmat, Allah menjadikannya sebagai nasab dan hubungan kekeluargaan, mewajibkan hak-hak, dan menjadikanmu mahram bagi ibu istrimu dan anak perempuannya sehingga engkau boleh bepergian dengan mereka. Sedangkan zina dijadikan sebagai bencana di dunia dengan hukuman had dan di akhirat dengan neraka, kecuali jika diampuni. Apakah engkau mengqiyaskan yang haram yang merupakan bencana dengan yang halal yang merupakan nikmat?” Aku berkata kepadanya: “Jika seseorang berkata kepadamu: ‘Aku menemukan bahwa wanita yang ditalak tiga kali menjadi halal dengan persetubuhan suami, lalu aku menghalalkannya dengan zina karena itu adalah persetubuhan seperti persetubuhan, sebagaimana engkau mengharamkan yang halal karena itu adalah persetubuhan dan persetubuhan.'” Beliau berkata: “Kalau begitu kita salah, karena Allah Ta’ala menghalalkannya dengan persetubuhan suami.” Dikatakan: “Demikian juga apa yang diharamkan Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya melalui pernikahan dan persetubuhan suami.” Beliau berkata: “Apakah ada sesuatu yang diharamkan oleh yang halal tapi tidak diharamkan oleh yang haram, lalu aku berpendapat dengannya?” Aku berkata: “Ya. Seseorang menikahi empat wanita, lalu haram baginya menikahi wanita kelima. Apakah jika dia berzina dengan empat wanita, sesuatu dari wanita itu haram baginya?” Beliau berkata: “Yang haram tidak menghalanginya dari apa yang dihalangi oleh yang halal.”

 

(قَالَ) : وَقَدْ تَرْتَدُّ فَتَحْرُمُ عَلَى زَوْجِهَا؟ قُلْت: نَعَمْ وَعَلَى جَمِيعِ الْخَلْقِ وَأَقْتُلُهَا وَأَجْعَلُ مَالَهَا فَيْئًا.

 

 

Beliau berkata: “Apakah jika dia murtad, dia menjadi haram bagi suaminya?” Aku menjawab: “Ya, dan bagi seluruh makhluk. Aku akan membunuhnya dan menjadikan hartanya sebagai fa’i (harta rampasan perang).”

 

(قَالَ) : فَقَدْ أَوْجَدْتُك الْحَرَامَ يُحَرِّمُ الْحَلَالَ قُلْت: أَمَّا فِي مِثْلِ مَا اخْتَلَفْنَا فِيهِ مِنْ أَمْرِ النِّسَاءِ فَلَا.

 

 

Beliau berkata: “Sungguh aku mendapati yang haram bisa mengharamkan yang halal.” Aku menjawab: “Tidak, dalam hal seperti perselisihan kita tentang urusan perempuan.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – تَرَكْت ذَلِكَ لِكَثْرَتِهِ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِشَيْءٍ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Aku meninggalkan hal itu karena banyaknya dan karena itu bukanlah sesuatu.”

 

نِكَاحُ حَرَائِرِ أَهْلِ الْكِتَابِ إمَائِهِمْ وَإِمَاءِ الْمُسْلِمِينَ

 

Pernikahan wanita merdeka dari ahli kitab, budak perempuan mereka, dan budak perempuan muslimah.

 

مِنْ الْجَامِعِ وَمِنْ كِتَابِ مَا يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُ، وَغَيْرُ ذَلِكَ.

 

 

Dari Al-Jami’ dan dari kitab tentang hal-hal yang haram dikumpulkan antara keduanya, dan selain itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَأَهْلُ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى دُونَ الْمَجُوسِ وَالصَّابِئُونَ وَالسَّامِرَةِ مِنْ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى إلَّا أَنْ يُعْلَمَ أَنَّهُمْ يُخَالِفُونَهُمْ فِي أَصْلِ مَا يُحِلُّونَ مِنْ الْكِتَابِ وَيُحَرِّمُونَ فَيَحْرُمُونَ كَالْمَجُوسِ، وَإِنْ كَانُوا يُجَامِعُونَهُمْ عَلَيْهِ وَيَتَأَوَّلُونَ فَيَخْتَلِفُونَ فَلَا يُحَرَّمُونَ، فَإِذَا نَكَحَهَا فَهِيَ كَالْمُسْلِمَةِ فِيمَا لَهَا وَعَلَيْهَا إلَّا أَنَّهُمَا لَا يَتَوَارَثَانِ وَالْحَدُّ فِي قَذْفِهَا التَّعْزِيرُ وَيُجْبِرُهَا عَلَى الْغُسْلِ مِنْ الْحَيْضِ وَالْجَنَابَةِ وَالتَّنَظُّفِ بِالِاسْتِحْدَادِ وَأَخْذِ الْأَظْفَارِ وَيَمْنَعُهَا مِنْ الْكَنِيسَةِ وَالْخُرُوجِ إلَى الْأَعْيَادِ كَمَا يَمْنَعُ الْمُسْلِمَةَ مِنْ إتْيَانِ الْمَسَاجِدِ وَيَمْنَعُهَا مِنْ شُرْبِ الْخَمْرِ وَأَكْلِ الْخِنْزِيرِ إذَا كَانَ يَتَقَذَّرُ بِهِ وَمِنْ أَكْلِ مَا يَحِلُّ إذَا تَأَذَّى بِرِيحِهِ، وَإِنْ ارْتَدَّتْ إلَى مَجُوسِيَّةٍ أَوْ إلَى غَيْرِ دِينِ أَهْلِ الْكِتَابِ فَإِنْ رَجَعَتْ إلَى الْإِسْلَامِ أَوْ إلَى دِينِ أَهْلِ الْكِتَابِ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ انْقَضَتْ قَبْلَ أَنْ تَرْجِعَ فَقَدْ انْقَطَعَتْ الْعِصْمَةُ؛ لِأَنَّهُ يَصْلُحُ أَنْ يَبْتَدِئَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Ahli Kitab yang diperbolehkan menikahi perempuan merdeka mereka adalah Yahudi dan Nasrani, bukan Majusi maupun Shabi’in. Termasuk Samirah dari kalangan Yahudi dan Nasrani, kecuali jika diketahui mereka menyelisihi dalam prinsip halal-haram menurut Kitab mereka, maka statusnya seperti Majusi (haram). Jika mereka sepakat dalam pokok ajaran meski berbeda penafsiran, maka tidak diharamkan. Jika seorang muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, statusnya seperti muslimah dalam hak dan kewajiban, kecuali: (1) tidak saling mewarisi, (2) hukuman bagi yang menuduhnya berzina adalah ta’zir, (3) suami boleh memaksanya untuk mandi haid/junub, merapikan bulu kemaluan, memotong kuku, (4) melarangnya ke gereja atau merayakan hari raya mereka sebagaimana melarang muslimah ke masjid, (5) melarangnya minum khamr dan makan babi jika ia merasa jijik, atau makan makanan halal yang baunya mengganggu. Jika ia murtad menjadi Majusi atau keluar dari agama Ahli Kitab, lalu kembali kepada Islam atau agama Ahli Kitab sebelum masa iddah habis, pernikahan tetap berlaku. Jika iddah habis sebelum ia kembali, maka ikatan pernikahan terputus karena suami berhak memulai pernikahan baru.”

بَابُ الِاسْتِطَاعَةِ لِلْحَرَائِرِ وَغَيْرِ الِاسْتِطَاعَةِ

 

Bab tentang kemampuan bagi orang merdeka dan ketidakmampuan

 

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ} النساء: 25 وَفِي ذَلِكَ دَلِيلُ أَنَّهُ أَرَادَ الْأَحْرَارَ؛ لِأَنَّ الْمِلْكَ لَهُمْ وَلَا يَحِلُّ مِنْ الْإِمَاءِ إلَّا مُسْلِمَةً وَلَا تَحِلُّ حَتَّى يَجْتَمِعَ شَرْطَانِ أَنْ لَا يَجِدَ طَوْلَ حُرَّةٍ وَيَخَافُ الْعَنَتَ إنْ لَمْ يَنْكِحْهَا وَالْعَنَتُ، الزِّنَا وَاحْتُجَّ بِأَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: مَنْ وَجَدَ صَدَاقَ امْرَأَةٍ فَلَا يَتَزَوَّجُ أَمَةً قَالَ طَاوُسٌ: لَا يَحِلُّ نِكَاحُ الْحُرِّ الْأَمَةَ وَهُوَ يَجِدُ صَدَاقَ الْحُرَّةِ وَقَالَ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ: لَا يَحِلُّ نِكَاحُ الْإِمَاءِ الْيَوْمَ؛ لِأَنَّهُ يَجِدُ طَوْلًا إلَى الْحُرَّةِ.

 

 

Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa di antara kamu yang tidak mampu untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (boleh menikahi) hamba sahaya perempuan yang beriman yang dimiliki oleh tangan kananmu.” (QS. An-Nisa: 25). Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud adalah orang merdeka, karena kepemilikan ada pada mereka. Tidak halal (menikahi) budak perempuan kecuali yang muslimah, dan tidak halal hingga terpenuhi dua syarat: (1) tidak mampu menikahi perempuan merdeka, dan (2) khawatir terjatuh dalam ‘anat (zina) jika tidak menikahinya. Jabir bin Abdullah berkata: “Barangsiapa mampu membayar mahar perempuan merdeka, maka jangan menikahi budak perempuan.” Thawus berkata: “Tidak halal seorang merdeka menikahi budak perempuan jika ia mampu membayar mahar perempuan merdeka.” Amr bin Dinar berkata: “Tidak halal menikahi budak perempuan hari ini karena seseorang telah memiliki kemampuan untuk menikahi perempuan merdeka.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ عَقَدَ نِكَاحَ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ مَعًا قِيلَ: يَثْبُتُ نِكَاحُ الْحُرَّةِ وَيَنْفَسِخُ نِكَاحُ الْأَمَةِ وَقِيلَ: يَنْفَسِخَانِ مَعًا وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ نِكَاحُ الْحُرَّةِ جَائِزٌ، وَكَذَلِكَ لَوْ تَزَوَّجَ مَعَهَا أُخْتَهُ مِنْ الرَّضَاعِ كَأَنَّهَا لَمْ تَكُنْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menikahi seorang wanita merdeka dan budak perempuan secara bersamaan, dikatakan: pernikahan dengan wanita merdeka tetap sah sedangkan pernikahan dengan budak perempuan batal. Ada pula pendapat yang mengatakan keduanya batal. Dalam pendapat lamanya, pernikahan dengan wanita merdeka diperbolehkan. Demikian pula jika dia menikahi saudara perempuan sesusu bersamanya, seolah-olah saudara sesusu tersebut tidak ada.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا أَقْيَسُ وَأَصَحُّ فِي أَصْلِ قَوْلِهِ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ يَقُومُ بِنَفْسِهِ وَلَا يُفْسَدُ بِغَيْرِهِ فَهِيَ فِي مَعْنَى مَنْ تَزَوَّجَهَا وَقِسْطًا مَعَهَا مِنْ خَمْرٍ بِدِينَارٍ فَالنِّكَاحُ وَحْدَهُ ثَابِتٌ وَالْقِسْطُ الْخَمْرُ وَالْمَهْرُ فَاسِدَانِ، وَلَوْ تَزَوَّجَهَا ثُمَّ أَيْسَرَ لَمْ يُفْسِدْهُ مَا بَعْدَهُ وَحَاجَّنِي مَنْ لَا يَفْسَخُ نِكَاحَ إمَاءِ غَيْرِ الْمُسْلِمَاتِ فَقَالَ كَمَا أَحَلَّ اللَّهُ بَيْنَهُمَا وَلَا نَفَقَةَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا مَانِعَةٌ لَهُ نَفْسَهَا بِالرِّدَّةِ، وَإِنْ ارْتَدَّتْ مِنْ نَصْرَانِيَّةٍ إلَى يَهُودِيَّةٍ أَوْ مِنْ يَهُودِيَّةٍ إلَى نَصْرَانِيَّةٍ لَمْ تَحْرُمْ تَعَالَى نِكَاحُ الْحُرَّةِ الْمُسْلِمَةِ دَلَّ عَلَى نِكَاحِ الْأَمَةِ قُلْت: قَدْ حَرَّمَ اللَّهُ تَعَالَى الْمَيْتَةَ وَاسْتَثْنَى إحْلَالَهَا لِلْمُضْطَرِّ فَهَلْ تَحِلُّ لِغَيْرِ مُضْطَرٍّ وَاسْتَثْنَى مِنْ تَحْرِيمِ الْمُشْرِكَاتِ إحْلَالَ حَرَائِرِ أَهْلِ الْكِتَابِ فَهَلْ يَجُوزُ حَرَائِرُ غَيْرُ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلَا تَحِلُّ إمَاؤُهُمْ وَإِمَاؤُهُمْ غَيْرُ حَرَائِرِهِمْ وَاشْتُرِطَ فِي إمَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يَجُوزُ لَهُ إلَّا بِالشَّرْطِ وَقُلْت لَهُ: لِمَ لَا أَحْلَلْت الْأُمَّ كَالرَّبِيبَةِ وَحَرَّمْتهَا بِالدُّخُولِ كَالرَّبِيبَةِ؟

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Ini lebih tepat dan lebih sahih berdasarkan prinsip perkataannya, karena pernikahan berdiri sendiri dan tidak rusak oleh hal lain. Ini serupa dengan orang yang menikahinya beserta sejumlah khamr dengan satu dinar, maka pernikahannya saja yang sah sedangkan bagian khamr dan maharnya rusak. Seandainya dia menikahinya kemudian menjadi kaya, hal itu tidak merusak pernikahannya. Dan ada yang berdebat denganku bahwa pernikahan budak non-Muslimah tidak batal, maka dia berkata sebagaimana Allah halalkan antara mereka dan tidak ada nafkah baginya karena dia menghalangi dirinya sendiri dengan riddah. Jika dia murtad dari Nasrani ke Yahudi atau dari Yahudi ke Nasrani, pernikahannya tidak haram. Maha Tinggi pernikahan wanita merdeka Muslimah yang menunjukkan kebolehan nikah budak. Aku berkata: ‘Allah telah mengharamkan bangkai dan mengecualikan kebolehannya bagi orang yang terpaksa, apakah boleh bagi yang tidak terpaksa? Dan dikecualikan dari pengharaman wanita musyrik kebolehan menikahi wanita merdeka ahli kitab, apakah boleh wanita merdeka non-ahli kitab? Maka budak mereka tidak halal, dan budak mereka bukan wanita merdeka mereka. Dan disyaratkan pada budak Muslim, maka tidak boleh kecuali dengan syarat.’ Dan aku berkata kepadanya: ‘Mengapa engkau tidak menghalalkan ibu seperti anak tiri dan mengharamkannya setelah disetubuhi seperti anak tiri?'”

 

Catatan: Terjemahan ini berusaha mempertahankan makna asli teks dengan gaya bahasa formal yang sesuai untuk teks keagamaan klasik, termasuk istilah-istilah fikih seperti “riddah” (murtad), “khamr” (minuman memabukkan), dan “mahram” yang tidak dialihbahasakan. Struktur kalimat disesuaikan dengan kaidah Bahasa Indonesia tanpa menghilangkan nuansa keilmuan teks sumber.

(قَالَ) : لِأَنَّ الْأُمَّ مُبْهَمَةٌ وَالشَّرْطَ فِي الرَّبِيبَةِ (قُلْت) فَهَكَذَا قُلْنَا فِي التَّحْرِيمِ فِي الْمُشْرِكَاتِ وَالشَّرْطُ فِي التَّحْلِيلِ فِي الْحَرَائِرِ وَإِمَاءِ الْمُؤْمِنَاتِ.

 

(Dia berkata): “Karena ‘ibu’ adalah istilah yang umum, sedangkan syarat ada pada anak tiri.” (Aku berkata): “Maka demikianlah kami katakan tentang pengharaman pada wanita musyrik, dan syarat tentang penghalalan pada wanita merdeka dan budak perempuan yang beriman.”

 

(قَالَ) : وَالْعَبْدُ كَالْحُرِّ فِي أَنْ لَا يَحِلَّ لَهُ نِكَاحُ أَمَةٍ كِتَابِيَّةٍ وَأَيُّ صِنْفٍ حَلَّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ حَلَّ وَطْءُ إمَائِهِمْ بِالْمِلْكِ وَمَا حَرُمَ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ حَرُمَ وَطْءُ إمَائِهِمْ بِالْمِلْكِ وَلَا أَكْرَهُ نِكَاحَ نِسَاءِ أَهْلِ الْحَرْبِ إلَّا لِئَلَّا يُفْتَنَ عَنْ دِينِهِ أَوْ يُسْتَرَقَّ وَلَدُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Seorang budak sama seperti orang merdeka dalam hal tidak boleh menikahi budak perempuan ahli kitab. Golongan mana pun yang diperbolehkan menikahi perempuan merdeka mereka, maka diperbolehkan pula menggauli budak perempuan mereka melalui kepemilikan. Dan apa yang diharamkan untuk menikahi perempuan merdeka mereka, maka diharamkan pula menggauli budak perempuan mereka melalui kepemilikan. Aku tidak memaksa pernikahan dengan perempuan ahli perang kecuali untuk mencegahnya tergoda meninggalkan agamanya atau anaknya diperbudak.”

 

بَابُ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ

 

Bab tentang sindiran dalam meminang

 

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – كِتَابُ اللَّهِ تَعَالَى يَدُلُّ عَلَى أَنَّ التَّعْرِيضَ فِي الْعِدَّةِ جَائِزٌ بِمَا وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمُ التَّعْرِيضِ وَقَدْ ذَكَرَ الْقَسَمُ بَعْضَهُ وَالتَّعْرِيضُ كَثِيرٌ وَهُوَ خِلَافُ التَّصْرِيحِ وَهُوَ تَعْرِيضُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ بِمَا يَدُلُّهَا بِهِ عَلَى إرَادَةِ خِطْبَتِهَا بِغَيْرِ تَصْرِيحٍ وَتُجِيبُهُ بِمِثْلِ ذَلِكَ وَالْقُرْآنُ كَالدَّلِيلِ إذْ أَبَاحَ التَّعْرِيضَ وَالتَّعْرِيضُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ جَائِزٌ سِرًّا وَعَلَانِيَةً عَلَى أَنَّ السِّرَّ الَّذِي نُهِيَ عَنْهُ هُوَ الْجِمَاعُ قَالَ امْرُؤُ الْقَيْسِ:

 

 

Dari kitab Al-Jami’ tentang kitab At-Ta’ridh bil Khithbah dan lainnya (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Kitab Allah Ta’ala menunjukkan bahwa ta’ridh (sindiran) saat masa iddah diperbolehkan selama termasuk dalam makna ta’ridh. Sebagian jenisnya telah disebutkan, dan ta’ridh itu banyak macamnya, berlawanan dengan tashrih (terang-terangan). Ta’ridh adalah ketika seorang laki-laki menyampaikan sindiran kepada wanita yang mengisyaratkan keinginannya untuk meminangnya tanpa terang-terangan, dan wanita itu boleh membalas dengan cara serupa. Al-Qur’an menjadi dalil karena membolehkan ta’ridh. Menurut para ulama, ta’ridh diperbolehkan baik secara rahasia maupun terang-terangan, karena yang dilarang secara rahasia adalah jimak. Berkata Imru’ul Qais:

أَلَا زَعَمْت بَسْبَاسَةُ الْقَوْمِ أَنَّنِي … كَبِرْت وَأَنْ لَا يُحْسِنَ السِّرَّ أَمْثَالِي

 

Bukankah engkau, wahai Basbasah kaum, menyangka bahwa aku telah tua dan bahwa tiada yang mampu menyimpan rahasia sepertiku?

 

كَذَبْت لَقَدْ أَصْبَى عَنْ الْمَرْءِ عُرْسُهُ … وَأَمْنَعُ عُرْسِي أَنْ يَزْنِيَ بِهَا الْخَالِي.

 

 

Engkau dusta! Sungguh, pengantin seseorang telah berpaling darinya,

dan pengantinku kutahan agar tak dinodai oleh paman.

بَابُ النَّهْيِ أَنْ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ

 

Bab larangan seorang laki-laki meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ» «وَقَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ إذَا حَلَلْت فَآذِنِينِي قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْت أَخْبَرْته أَنَّ مُعَاوِيَةَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ انْكِحِي أُسَامَةَ» فَدَلَّتْ خِطْبَتُهُ عَلَى خِطْبَتِهِمَا أَنَّهَا خِلَافُ الَّذِي نَهَى عَنْهُ أَنْ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إذَا كَانَتْ قَدْ أَذِنَتْ فِيهِ فَكَانَ هَذَا فَسَادًا عَلَيْهِ وَفِي الْفَسَادِ مَا يُشْبِهُ الْإِضْرَارَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ، وَفَاطِمَةُ لَمْ تَكُنْ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا أَذِنَتْ فِي أَحَدِهِمَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Malik bin Anas mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian meminang di atas pinangan saudaranya.” Dan beliau – ‘alaihish shalatu wassalam – berkata kepada Fatimah binti Qais, “Jika masa iddahmu telah selesai, beritahulah aku.” Fatimah berkata: Ketika masa iddahku selesai, aku memberitahukan beliau bahwa Mu’awiyah dan Abu Jahm telah meminangku. Maka beliau bersabda, “Adapun Mu’awiyah, dia adalah orang miskin yang tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul). Nikahlah dengan Usamah.” Pinangan beliau (untuk Usamah) menunjukkan bahwa pinangan keduanya bertentangan dengan larangan beliau tentang meminang di atas pinangan saudaranya jika wanita tersebut telah menyetujui pinangan sebelumnya. Maka hal ini merupakan kerusakan, dan dalam kerusakan terdapat sesuatu yang menyerupai mudharat. Wallahu a’lam. Fatimah tidak memberitahukan bahwa dia telah menyetujui salah satu dari mereka.

 

بَابُ نِكَاحِ الْمُشْرِكِ وَمَنْ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ أَكْثَرُ مِنْ أَرْبَعٍ

 

Bab tentang pernikahan orang musyrik dan orang yang masuk Islam sementara ia memiliki lebih dari empat istri

 

مِنْ هَذَا، وَمِنْ كِتَابِ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ أَحْسَبُهُ إسْمَاعِيلَ بْنَ إبْرَاهِيم عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ «أَسْلَمَ غَيْلَانُ بْنُ سَلَمَةَ وَعِنْدَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ» وَرُوِيَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِرَجُلٍ يُقَالُ لَهُ الدَّيْلَمِيُّ أَوْ ابْنُ الدَّيْلَمِيِّ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ أُخْتَانِ اخْتَرْ أَيَّتَهمَا شِئْت وَفَارِقْ الْأُخْرَى» «وَقَالَ لِنَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ وَعِنْدَهُ خَمْسٌ فَارِقْ وَاحِدَةً وَأَمْسِكْ أَرْبَعًا» قَالَ فَعَمَدْت إلَى أَقْدَمِهِنَّ فَفَارَقْتهَا.

 

 

Dari ini, dan dari kitab At-Ta’riidh bil Khithbah (Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang tsiqah, aku mengira dia adalah Ismail bin Ibrahim, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, “Ghailan bin Salamah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Pertahankan empat orang dan ceraikan yang lainnya.'” Diriwayatkan juga, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada seorang laki-laki yang disebut Ad-Dailami atau Ibnu Ad-Dailami yang masuk Islam dan memiliki dua saudara perempuan (istri), ‘Pilih salah satu dari mereka yang kamu kehendaki dan ceraikan yang lainnya.'” Dan beliau bersabda kepada Naufal bin Mu’awiyah yang memiliki lima istri, “Ceraikan satu dan pertahankan empat.” Ia berkata, “Lalu aku memilih yang paling tua dan menceraikannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – بِهَذَا أَقُولُ وَلَا أُبَالِي أَكُنَّ فِي عُقْدَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ فِي عُقَدٍ مُتَفَرِّقَةٍ إذَا كَانَ مَنْ يَمْسِكُ مِنْهُنَّ يَجُوزُ أَنْ يَبْتَدِئَ نِكَاحَهَا فِي الْإِسْلَامِ مَا لَمْ تَنْقَضِ الْعِدَّةُ قَبْلَ اجْتِمَاعِ إسْلَامِهِمَا؛ لِأَنَّ أَبَا سُفْيَانَ وَحَكِيمَ بْنَ حِزَامٍ أَسْلَمَا قَبْلُ ثُمَّ أَسْلَمَتْ امْرَأَتَاهُمَا فَاسْتَقَرَّتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عِنْدَ زَوْجِهَا بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ، وَأَسْلَمَتْ امْرَأَةُ صَفْوَانَ وَامْرَأَةُ عِكْرِمَةَ ثُمَّ أَسْلَمَا فَاسْتَقَرَّتَا بِالنِّكَاحِ الْأَوَّلِ وَذَلِكَ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Inilah pendapatku dan aku tidak peduli apakah mereka dalam satu ikatan atau beberapa ikatan yang terpisah, selama orang yang mempertahankan mereka boleh memulai pernikahannya dalam Islam selama masa iddah belum berakhir sebelum keduanya bersamaan masuk Islam. Karena Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam telah masuk Islam lebih dahulu, kemudian istri-istri mereka masuk Islam, lalu masing-masing tetap menjadi istri suaminya dengan pernikahan pertama. Juga istri Shafwan dan istri Ikrimah masuk Islam terlebih dahulu, kemudian suami mereka masuk Islam, lalu mereka tetap menjadi istri dengan pernikahan pertama, dan itu terjadi sebelum masa iddah berakhir.”

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seseorang masuk Islam dan dia telah menikahi seorang ibu dan anak perempuannya secara bersamaan, lalu dia telah menggauli keduanya, maka tidak halal baginya salah satu dari keduanya selamanya. Namun jika dia belum menggauli keduanya, kami katakan: “Pilihlah salah satu yang kamu kehendaki dan ceraikan yang lainnya.” Dalam riwayat lain, beliau berkata: “Dia boleh mempertahankan anak perempuan itu dan menceraikan ibunya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ أَسْلَمَ وَقَدْ نَكَحَ أُمًّا وَابْنَتَهَا مَعًا فَدَخَلَ بِهِمَا لَمْ تَحِلَّ لَهُ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا أَبَدًا، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهِمَا قُلْنَا: أَمْسِكْ أَيَّتَهمَا شِئْت وَفَارِقْ الْأُخْرَى، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: يُمْسِكُ الِابْنَةَ وَيُفَارِقُ الْأُمَّ.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ عِنْدِي وَكَذَا قَالَ فِي كِتَابِ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ وَقَالَ أَوَّلًا كَانَتْ الْأُمُّ أَوْ آخِرًا.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini lebih utama menurut pendapatnya menurutku, dan demikian pula yang ia katakan dalam kitab At-Ta’riidh bil Khithbah. Ia juga berkata, apakah ibu disebutkan pertama atau terakhir.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ أَرْبَعُ زَوْجَاتٍ إمَاءٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُعْسِرًا يَخَافُ الْعَنَتَ أَوْ فِيهِنَّ حُرَّةٌ انْفَسَخَ نِكَاحُ الْإِمَاءِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَجِدُ مَا يَتَزَوَّجُ بِهِ حُرَّةً وَيَخَافُ الْعَنَتَ وَلَا حُرَّةَ فِيهِنَّ اخْتَارَ وَاحِدَةً وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْبَوَاقِي، وَلَوْ أَسْلَمَ بَعْضُهُنَّ بَعْدَهُ فَسَوَاءٌ وَيَنْتَظِرُ إسْلَامَ الْبَوَاقِي فَمَنْ اجْتَمَعَ إسْلَامُهُ وَإِسْلَامُ الزَّوْجِ قَبْلَ مُضِيِّ الْعِدَّةِ كَانَ لَهُ الْخِيَارُ فِيهِنَّ، وَلَوْ أَسْلَمَ الْإِمَاءُ مَعَهُ وَعَتَقْنَ وَتَخَلَّفَتْ حُرَّةٌ وُقِفَ نِكَاحُ الْإِمَاءِ فَإِنْ أَسْلَمَتْ الْحُرَّةُ انْفَسَخَ نِكَاحُ الْإِمَاءِ، وَلَوْ اخْتَارَ مِنْهُنَّ وَاحِدَةً وَلَمْ تُسْلِمْ الْحُرَّةُ ثَبَتَتْ، وَلَوْ عَتَقْنَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمْنَ كُنَّ كَمَنْ اُبْتُدِئَ نِكَاحُهُ وَهُنَّ حَرَائِرُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang masuk Islam dan memiliki empat istri budak, maka jika dia tidak dalam kesulitan finansial yang dikhawatirkan memberatkan atau di antara mereka ada yang merdeka, pernikahan dengan budak tersebut batal. Jika dia tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka dan khawatir akan kesulitan serta tidak ada yang merdeka di antara mereka, dia boleh memilih satu dan pernikahan dengan yang lain batal. Jika sebagian dari mereka masuk Islam setelahnya, maka sama saja dan dia menunggu yang lain masuk Islam. Siapa yang masuk Islam bersamaan dengan suaminya sebelum masa iddah berakhir, maka dia berhak memilih di antara mereka. Jika budak-budak itu masuk Islam bersamanya dan merdeka, sementara yang merdeka tertinggal, pernikahan dengan budak ditangguhkan. Jika yang merdeka masuk Islam, pernikahan dengan budak batal. Jika dia memilih salah satu dari mereka dan yang merdeka belum masuk Islam, pernikahan itu tetap sah. Jika mereka merdeka sebelum masuk Islam, statusnya seperti pernikahan baru dengan wanita merdeka.

 

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَ عَبْدٌ عِنْدَهُ إمَاءٌ وَحَرَائِرُ مُسْلِمَاتٌ أَوْ كِتَابِيَّاتٌ وَلَمْ يَخْتَرْنَ فِرَاقَهُ أَمْسَكَ اثْنَتَيْنِ، وَلَوْ عَتَقْنَ قَبْلَ إسْلَامِهِ فَاخْتَرْنَ فِرَاقَهُ كَانَ ذَلِكَ لَهُنَّ؛ لِأَنَّهُ لَهُنَّ بَعْدَ إسْلَامِهِ وَعَدَدُهُنَّ عَدَدُ الْحَرَائِرِ فَيُحْصَيْنَ مِنْ حِينِ اخْتَرْنَ فِرَاقَهُ فَإِنْ اجْتَمَعَ إسْلَامُهُ وَإِسْلَامُهُنَّ فِي الْعِدَّةِ فَعَدَدُهُنَّ عَدَدُ حَرَائِرَ مِنْ يَوْمِ اخْتَرْنَ فِرَاقَهُ وَإِلَّا فَعَدَدُهُنَّ عَدَدُ حَرَائِرَ مِنْ يَوْمِ أَسْلَمَ مُتَقَدِّمُ الْإِسْلَامِ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّ الْفَسْخَ مِنْ يَوْمِئِذٍ، وَإِنْ لَمْ يَخْتَرْنَ فِرَاقَهُ وَلَا الْمُقَامَ مَعَهُ خُيِّرْنَ إذَا اجْتَمَعَ إسْلَامُهُ وَإِسْلَامُهُنَّ مَعًا، وَإِنْ لَمْ يَتَقَدَّمْ إسْلَامُهُنَّ قَبْلَ إسْلَامِهِ فَاخْتَرْنَ فِرَاقَهُ أَوْ الْمُقَامَ مَعَهُ ثُمَّ أَسْلَمْنَ خُيِّرْنَ حِينَ يُسْلِمْنَ؛ لِأَنَّهُنَّ اخْتَرْنَ وَلَا خِيَارَ لَهُنَّ، وَلَوْ اجْتَمَعَ إسْلَامُهُنَّ وَإِسْلَامُهُ وَهُنَّ إمَاءٌ ثُمَّ أُعْتِقْنَ مِنْ سَاعَتِهِنَّ ثُمَّ اخْتَرْنَ فِرَاقَهُ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُنَّ إذَا أَتَى عَلَيْهِنَّ أَقُلُّ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا وَإِسْلَامُهُنَّ وَإِسْلَامُهُ مُجْتَمِعٌ وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عِتْقُهُ وَهُنَّ مَعًا.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang budak memiliki hamba sahaya perempuan dan wanita merdeka yang muslimah atau ahli kitab, dan mereka tidak memilih untuk berpisah darinya, maka ia boleh menahan dua orang. Jika mereka merdeka sebelum keislamannya lalu memilih berpisah, maka itu adalah hak mereka karena hak itu berlaku setelah keislamannya, dan jumlah mereka dihitung seperti wanita merdeka sejak mereka memilih berpisah. Jika keislamannya dan keislaman mereka terjadi dalam masa iddah, maka jumlah mereka dihitung seperti wanita merdeka sejak hari mereka memilih berpisah. Jika tidak, maka jumlah mereka dihitung seperti wanita merdeka sejak hari salah satu dari keduanya lebih dahulu masuk Islam, karena perpisahan terjadi sejak saat itu. Jika mereka tidak memilih berpisah atau tetap bersamanya, mereka diberi pilihan ketika keislamannya dan keislaman mereka terjadi bersamaan. Jika keislaman mereka tidak mendahului keislamannya lalu mereka memilih berpisah atau tetap bersamanya, kemudian mereka masuk Islam, mereka diberi pilihan saat masuk Islam karena sebelumnya mereka telah memilih tanpa memiliki hak pilihan. Seandainya keislaman mereka dan keislamannya terjadi bersamaan saat mereka masih hamba sahaya, lalu mereka dimerdekakan seketika itu juga dan memilih berpisah, maka itu tidak berlaku bagi mereka meskipun hanya sesaat di dunia selama keislaman mereka dan keislamannya bersamaan. Demikian pula jika kemerdekaannya dan mereka terjadi bersamaan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بِشَيْءٍ قَدْ قَطَعَ فِي كِتَابَيْنِ بِأَنَّ لَهَا الْخِيَارَ لَوْ أَصَابَهَا فَادَّعَتْ الْجَهَالَةَ، وَقَدْ قَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: إنَّ عَلَى السُّلْطَانِ أَنْ يُؤَجِّلَهَا أَكْثَرَ مُقَامِهَا فَكَمْ يَمُرُّ بِهَا مِنْ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا مِنْ حِينِ أُعْتِقَتْ إلَى أَنْ جَاءَتْ إلَى السُّلْطَانِ وَقَدْ يَبْعُدُ ذَلِكَ وَيَقْرَبُ إلَى أَنْ يَفْهَمَ عَنْهَا مَا تَقُولُ ثُمَّ إلَى انْقِضَاءِ أَجَلِ مُقَامِهَا ذَلِكَ عَلَى قَدْرِ مَا يَرَى فَكَيْفَ يَبْطُلُ خِيَارُ إمَاءٍ يُعْتَقْنَ إذَا أَتَى عَلَيْهِنَّ أَقَلُّ أَوْقَاتِ الدُّنْيَا وَإِسْلَامُهُنَّ وَإِسْلَامُ الزَّوْجِ مُجْتَمِعٌ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini bukanlah suatu masalah menurutku. Ia telah menegaskan dalam dua kitabnya bahwa wanita budak yang dimerdekakan memiliki hak khiyar (memilih) jika suaminya menyetubuhinya lalu ia mengaku tidak mengetahui hukumnya.” Ia juga berkata di tempat lain: “Sultan wajib menangguhkan masa iddahnya lebih lama dari biasanya. Betapa banyak waktu duniawi yang telah dilaluinya sejak dimerdekakan hingga datang kepada sultan. Jarak itu bisa jauh atau dekat sampai sultan memahami apa yang ia katakan, kemudian sampai habisnya masa iddah tersebut sesuai pertimbangannya. Bagaimana mungkin hak khiyar budak perempuan yang dimerdekakan bisa gugur hanya karena berlalunya waktu duniawi yang singkat, sementara keislaman mereka dan keislaman suami terjadi bersamaan?”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَلَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَمَا قَدَرْنَ إذَا أُعْتِقْنَ تَحْتَ عَبْدٍ أَنْ يَخْتَرْنَ بِحَالٍ؛ لِأَنَّهُنَّ لَا يَقْدِرْنَ يَخْتَرْنَ إلَّا بِحُرُوفٍ وَكُلُّ حَرْفٍ مِنْهَا فِي وَقْتٍ غَيْرِ وَقْتِ الْآخَرِ وَفِي ذَلِكَ إبْطَالُ الْخِيَارِ.

 

 

(Al-Muzani berkata): “Seandainya begitu, mereka (budak wanita) tidak akan mampu memilih sama sekali ketika dimerdekakan di bawah seorang budak; karena mereka hanya bisa memilih dengan huruf-huruf, dan setiap huruf ada pada waktu yang berbeda dengan yang lain, sehingga hal itu membatalkan pilihan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ اجْتَمَعَ إسْلَامُهُ وَإِسْلَامُ حُرَّتَيْنِ فِي الْعِدَّةِ ثُمَّ عَتَقَ ثُمَّ أَسْلَمَتْ اثْنَتَانِ فِي الْعِدَّةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُمْسِكَ إلَّا اثْنَتَيْنِ مِنْ أَيِّ الْأَرْبَعِ شَاءَ لَا يَثْبُتُ لَهُ بِعَقْدِ الْعُبُودِيَّةِ إلَّا اثْنَتَانِ وَيَنْكِحُ تَمَامَ أَرْبَعٍ إنْ شَاءَ، وَلَوْ أَسْلَمَ وَأَسْلَمَ مَعَهُ أَرْبَعٌ فَقَالَ: قَدْ فَسَخْت نِكَاحَهُنَّ سُئِلَ فَإِنْ أَرَادَ طَلَاقًا فَهُوَ مَا أَرَادَ، وَإِنْ أَرَادَ حِلَّهُ بِلَا طَلَاقٍ لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا وَأُحْلِفَ، وَلَوْ كُنَّ خَمْسًا فَأَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ فِي الْعُقْدَةِ فَقَالَ: قَدْ اخْتَرْت حَبْسَهَا حَتَّى قَالَ ذَلِكَ لِأَرْبَعٍ ثَبَتَ نِكَاحُهُنَّ بِاخْتِيَارِهِ وَانْفَسَخَ نِكَاحُ الْبَوَاقِي، وَلَوْ قَالَ: كُلَّمَا أَسْلَمَتْ وَاحِدَةٌ مِنْكُنَّ فَقَدْ اخْتَرْت فَسْخَ نِكَاحِهَا لَمْ يَكُنْ هَذَا شَيْئًا إلَّا أَنْ يُرِيدَ طَلَاقًا فَإِنْ اخْتَارَ إمْسَاكَ أَرْبَعٍ فَقَدْ انْفَسَخَ نِكَاحُ مَنْ زَادَ عَلَيْهِنَّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya keislamannya dan keislaman dua wanita merdeka terjadi dalam masa iddah, kemudian dia merdeka, lalu dua wanita masuk Islam dalam masa iddah, maka dia tidak boleh menahan kecuali dua wanita dari empat yang dia kehendaki. Tidak sah baginya dengan akad perbudakan kecuali dua wanita, dan dia boleh menikahi hingga sempurna empat wanita jika dia mau. Jika dia masuk Islam bersama empat istrinya, lalu dia berkata, “Aku telah membatalkan pernikahan mereka,” maka dia akan ditanya. Jika yang dia maksud adalah talak, maka itulah yang dia kehendaki. Namun jika yang dia maksud adalah melepas mereka tanpa talak, maka itu bukan talak dan dia harus bersumpah. Seandainya istrinya lima orang, lalu satu orang masuk Islam dalam ikatan pernikahan, kemudian dia berkata, “Aku telah memilih untuk menahannya,” hingga dia mengucapkan itu untuk empat orang, maka pernikahan mereka tetap dengan pilihannya dan pernikahan sisanya batal. Jika dia berkata, “Setiap kali salah seorang dari kalian masuk Islam, maka aku telah memilih untuk membatalkan pernikahannya,” maka ini tidak dianggap apa-apa kecuali jika dia bermaksud talak. Jika dia memilih untuk menahan empat orang, maka pernikahan yang lebih dari itu telah batal.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْقِيَاسُ عِنْدِي عَلَى قَوْلِهِ أَنَّهُ إذَا أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ أَكْثَرُ مِنْ أَرْبَعٍ وَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَقَذَفَ وَاحِدَةً مِنْهُنَّ أَوْ ظَاهَرَ أَوْ آلَى كَانَ ذَلِكَ مَوْقُوفًا فَإِنْ اخْتَارَهَا كَانَ عَلَيْهِ فِيهَا مَا عَلَيْهِ فِي الزَّوْجَاتِ، وَإِنْ فَسَخَ نِكَاحَهَا سَقَطَ عَنْهُ الظِّهَارُ وَالْإِيلَاءُ وَجُلِدَ بِقَذْفِهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – menurut pendapatku qiyas berdasarkan ucapannya adalah jika seseorang masuk Islam dan memiliki lebih dari empat istri, lalu para istri tersebut masuk Islam bersamanya, kemudian dia menuduh zina salah satu dari mereka, atau melakukan zhihar, atau ila’, maka hal itu ditangguhkan. Jika dia memilih istri tersebut, maka dia wajib menanggung konsekuensi seperti dalam pernikahan biasa. Namun jika dia membatalkan pernikahannya, maka gugurlah zhihar dan ila’ tersebut, dan dia dihukum cambuk karena tuduhan zinanya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ أَسْلَمْنَ مَعَهُ فَقَالَ: لَا أَخْتَارُ حُبِسَ حَتَّى يَخْتَارَ وَأَنْفَقَ عَلَيْهِنَّ مِنْ مَالِهِ؛ لِأَنَّهُ مَانِعٌ لَهُنَّ بِعَقْدٍ مُتَقَدِّمٍ وَلَا يُطَلِّقُ عَلَيْهِ السُّلْطَانُ كَمَا يُطَلِّقُ عَلَى الْمَوْلَى فَإِنْ امْتَنَعَ مَعَ الْحَبْسِ عُزِّرَ وَحُبِسَ حَتَّى يَخْتَارَ، وَإِنْ مَاتَ أَمَرْنَاهُنَّ أَنْ يَعْتَدِدْنَ الْآخَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ أَوْ مِنْ ثَلَاثِ حِيَضٍ وَيُوقَفُ لَهُنَّ الْمِيرَاثُ حَتَّى يَصْطَلِحْنَ فِيهِ، وَلَوْ أَسْلَمَ وَعِنْدَهُ وَثَنِيَّةٌ ثُمَّ تَزَوَّجَ أُخْتَهَا أَوْ أَرْبَعًا سِوَاهَا فِي عِدَّتِهَا فَالنِّكَاحُ مَفْسُوخٌ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Seandainya mereka (istri-istri kafir) masuk Islam bersamanya lalu dia (suami) berkata: ‘Aku tidak memilih (untuk menceraikan atau mempertahankan)’, maka dia harus ditahan sampai memilih dan menafkahi mereka dari hartanya. Karena dia menghalangi mereka dengan akad yang terdahulu, dan penguasa tidak bisa menceraikannya sebagaimana memerdekakan budak. Jika dia tetap menolak meski sudah ditahan, dia harus dihukum dan ditahan sampai memilih. Jika dia meninggal, kami perintahkan mereka (istri-istri) untuk menjalani iddah lainnya selama empat bulan sepuluh hari atau tiga kali haid, dan harta warisan ditahan untuk mereka sampai ada kesepakatan. Seandainya dia masuk Islam sementara memiliki istri musyrik, lalu menikahi saudara perempuannya atau empat wanita lain selainnya selama masa iddah, maka pernikahan itu batal.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَشْبَهَ بِقَوْلِهِ: إنَّ النِّكَاحَ مَوْقُوفٌ كَمَا جَعَلَ نِكَاحَ مَنْ لَمْ تُسْلِمْ مَوْقُوفًا فَإِنْ أَسْلَمَتْ فِي الْعِدَّةِ عَلِمَ أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ امْرَأَتَهُ، وَإِنْ انْقَضَتْ قَبْلَ أَنْ تُسْلِمَ عَلِمَ أَنَّهُ لَا امْرَأَةَ لَهُ فَيَصِحُّ نِكَاحُ الْأَرْبَعِ؛ لِأَنَّهُ عَقَدَهُنَّ وَلَا امْرَأَةَ لَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat ini mirip dengan ucapannya: Sesungguhnya pernikahan itu tertahan sebagaimana ia menjadikan pernikahan dengan wanita yang belum masuk Islam sebagai tertahan. Jika wanita itu masuk Islam selama masa iddah, maka diketahui bahwa ia tetap menjadi istrinya. Namun jika masa iddah berakhir sebelum ia masuk Islam, maka diketahui bahwa ia tidak memiliki istri, sehingga pernikahan dengan empat wanita itu sah karena ia telah menikahi mereka dalam keadaan tidak memiliki istri.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Seandainya dia (istri) masuk Islam sebelum suaminya, kemudian suaminya masuk Islam selama masa iddah atau tidak masuk Islam hingga masa iddah berakhir, maka dia berhak mendapatkan nafkah iddah dalam kedua keadaan tersebut. Karena dia terikat untuk suaminya, kapan pun suaminya masuk Islam, pernikahan mereka tetap berlaku. Namun, jika suami yang masuk Islam terlebih dahulu, istri tidak berhak mendapatkan nafkah selama masa kekafirannya, karena dialah yang menghalangi dirinya dari suaminya. Jika terjadi perselisihan, maka perkataannya (suami) yang diterima disertai sumpah. Jika suami masuk Islam sebelum berhubungan intim, istri berhak mendapat separuh mahar jika maharnya halal, atau separuh mahar yang semisal jika maharnya haram, serta mut’ah jika mahar belum ditentukan. Karena pembatalan pernikahan berasal dari pihak suami. Namun, jika istri yang masuk Islam terlebih dahulu, maka dia tidak berhak mendapatkan mahar atau apa pun, karena pembatalan pernikahan berasal dari pihak istri.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَسْلَمَا مَعًا فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ، وَإِنْ قَالَ: أَسْلَمَ أَحَدُنَا قَبْلَ صَاحِبِهِ فَالنِّكَاحُ مَفْسُوخٌ وَلَا نِصْفَ مَهْرٍ حَتَّى يُعْلَمَ فَإِنْ تَدَاعَيَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ ثَابِتٌ فَلَا يَبْطُلُ نِصْفُ الْمَهْرِ إلَّا بِأَنْ تُسْلِمَ قَبْلَهُ، وَإِنْ قَالَتْ: أَسْلَمَ أَحَدُنَا قَبْلَ الْآخَرِ وَقَالَ هُوَ مَعًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَلَا تُصَدِّقُ عَلَى فَسْخِ النِّكَاحِ وَفِيهَا قَوْلٌ آخَرُ أَنَّ النِّكَاحَ مَفْسُوخٌ حَتَّى يَتَصَادَقَا.

 

 

Beliau berkata: “Jika keduanya masuk Islam bersamaan, maka pernikahan tetap berlaku. Namun jika dia berkata, ‘Salah satu dari kami masuk Islam sebelum yang lain,’ maka pernikahan batal dan tidak ada separuh mahar sampai diketahui. Jika mereka berselisih, maka perkataan wanita yang diterima disertai sumpahnya, karena akad itu tetap sah sehingga separuh mahar tidak batal kecuali jika dia masuk Islam sebelum suaminya. Jika wanita berkata, ‘Salah satu dari kami masuk Islam sebelum yang lain,’ sedangkan suami berkata, ‘Kami masuk Islam bersamaan,’ maka perkataan suami yang diterima disertai sumpahnya, dan wanita tidak diyakini dalam pembatalan pernikahan. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pernikahan batal sampai keduanya sepakat.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَشْبَهَ بِقَوْلِهِ أَنْ لَا يَنْفَسِخَ النِّكَاحُ بِقَوْلِهَا كَمَا لَمْ يَنْفَسِخْ نِصْفُ الْمَهْرِ بِقَوْلِهِ.

 

(Al-Muzani berkata) Pendapatnya yang paling mirip adalah bahwa pernikahan tidak batal dengan ucapannya, sebagaimana separuh mahar tidak batal dengan ucapannya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ قَالَ: لَوْ كَانَ دَخَلَ بِهَا فَقَالَتْ: انْقَضَتْ عِدَّتِي قَبْلَ إسْلَامِك وَقَالَ: بَلْ بَعْدُ فَلَا تُصَدِّقُ عَلَى فَسْخِ مَا ثَبَتَ لَهُ مِنْ النِّكَاحِ.

 

(Al-Muzani berkata) dan dia telah mengatakan: Seandainya dia telah menggaulinya, lalu dia (istri) berkata: “Masa iddahku telah berakhir sebelum keislamanmu,” dan dia (suami) berkata: “Bahkan setelahnya,” maka perkataannya (istri) tidak dapat dipercaya untuk membatalkan pernikahan yang telah tetap baginya.

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَتْ عِنْدَهُ امْرَأَةٌ نَكَحَهَا فِي الشِّرْكِ بِمُتْعَةٍ أَوْ عَلَى خِيَارٍ انْفَسَخَ نِكَاحُهَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَنْكِحْهَا عَلَى الْأَبَدِ.

 

Beliau berkata: “Seandainya dia memiliki seorang wanita yang dinikahinya dalam keadaan syirik dengan nikah mut’ah atau dengan pilihan, maka nikahnya batal; karena dia tidak menikahinya untuk selamanya.”

 

بَابُ الْخِلَافِ فِي إمْسَاكِ الْأَوَاخِرِ

 

Bab perbedaan pendapat mengenai menahan (membaca) ayat-ayat terakhir.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَاحْتَجَجْت عَلَى مَنْ يُبْطِلُ الْأَوَاخِرَ «بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِابْنِ الدَّيْلَمِيِّ وَعِنْدَهُ أُخْتَانِ اخْتَرْ أَيَّتَهمَا شِئْتَ وَفَارِقْ الْأُخْرَى» وَبِمَا قَالَ لِنَوْفَلِ بْنِ مُعَاوِيَةَ وَتَخْيِيرِهِ غَيْلَانُ فَلَوْ كَانَ الْأَوَاخِرُ حَرَامًا مَا خَيَّرَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَقُلْتَ لَهُ أَحْسَنُ حَالَةً أَنْ يَعْقِدُوهُ بِشَهَادَةِ أَهْلِ الْأَوْثَانِ قُلْت: وَيُرْوَى أَنَّهُمْ كَانُوا يَنْكِحُونَ فِي الْعِدَّةِ وَبِغَيْرِ شُهُودٍ قَالَ: أَجَلْ، قُلْت: وَهَذَا كُلُّهُ فَاسِدٌ فِي الْإِسْلَامِ قَالَ: أَجَلْ قُلْت: فَلَمَّا لَمْ يَسْأَلْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ الْعَقْدِ كَانَ عَفْوًا لِفَوْتِهِ كَمَا حَكَمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؟ بِعَفْوِ الرِّبَا إذَا فَاتَ بِقَبْضِهِ وَرَدَّ مَا بَقِيَ؛ لِأَنَّ الْإِسْلَامَ أَدْرَكَهُ كَمَا رَدَّ مَا جَاوَزَ أَرْبَعًا؛ لِأَنَّ الْإِسْلَامَ أَدْرَكَهُنَّ مَعَهُ وَالْعُقَدُ كُلُّهَا لَوْ ابْتَدَأَتْ فِي الْإِسْلَامِ فَاسِدَةً فَكَيْفَ نَظَرْت إلَى فَسَادِهَا مَرَّةً وَلَمْ تَنْظُرْ أُخْرَى فَرَجَعَ بَعْضُ أَصْحَابِهِمْ، وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ: مَا عَلِمْتُ أَحَدًا احْتَجَّ بِأَحْسَنَ مِمَّا احْتَجَجْتَ بِهِ وَلَقَدْ خَالَفْتُ أَصْحَابِي فِيهِ مُنْذُ زَمَانٍ وَمَا يَنْبَغِي أَنْ يَدْخُلَ عَلَى حَدِيثِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْقِيَاسُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Aku berhujah kepada orang yang membatalkan pernikahan yang terakhir dengan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – kepada Ibnud Dailami yang memiliki dua saudara perempuan (untuk dinikahi), ‘Pilihlah salah satu dari keduanya yang engkau kehendaki dan ceraikan yang lain,’ serta dengan apa yang beliau katakan kepada Naufal bin Mu’awiyah dan pilihan yang beliau berikan kepada Ghailan. Seandainya pernikahan yang terakhir itu haram, tentu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak akan memberinya pilihan.” Dan engkau berkata kepadanya: “Sebaik-baik keadaan adalah mereka mengadakan akad dengan persaksian para penyembah berhala.” Aku berkata: “Diriwayatkan bahwa mereka dahulu menikahi wanita yang masih dalam masa ‘iddah dan tanpa saksi.” Beliau berkata: “Benar.” Aku berkata: “Semua ini adalah fasid (rusak) dalam Islam.” Beliau berkata: “Benar.” Aku berkata: “Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak menanyakan tentang akad tersebut, itu merupakan pengampunan karena telah terlewat, sebagaimana Allah dan Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – memutuskan pengampunan riba jika telah terlanjur diterima dan mengembalikan sisanya, karena Islam menjumpainya. Sebagaimana beliau mengembalikan wanita yang melebihi empat, karena Islam menjumpai mereka bersamanya. Dan semua akad, seandainya dimulai dalam Islam, pasti fasid. Lalu bagaimana engkau melihat kerusakannya pada satu sisi dan tidak melihat sisi lainnya?” Maka sebagian sahabat mereka menarik pendapatnya, dan Muhammad bin Al-Hasan berkata: “Aku tidak mengetahui seorang pun yang berhujah dengan hujah yang lebih baik daripada hujahmu. Sungguh, aku telah menyelisihi sahabat-sahabatku dalam hal ini sejak lama, dan tidak sepatutnya qiyas dimasukkan dalam hadits Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -.”

 

بَابُ ارْتِدَادِ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ أَوْ هُمَا وَمِنْ شِرْكٍ إلَى شِرْكٍ

Bab tentang kemurtadan salah satu atau kedua pasangan dan dari satu kesyirikan kepada kesyirikan lainnya.

 

مِنْ كِتَابِ جَامِعِ الْخُطْبَةِ وَمِنْ كِتَابِ الْمُرْتَدِّ وَمِنْ كِتَابِ مَا يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا ارْتَدَّا أَوْ أَحَدُهُمَا مُنِعَا الْوَطْءَ فَإِنْ انْقَضَتْ الْعِدَّةُ قَبْلَ اجْتِمَاعِ إسْلَامِهِمَا انْفَسَخَ النِّكَاحُ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا إنْ أَصَابَهَا فِي الرِّدَّةِ، فَإِنْ اجْتَمَعَ إسْلَامُهُمَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ، وَلَوْ هَرَبَ مُرْتَدًّا ثُمَّ رَجَعَ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ مُسْلِمًا وَادَّعَى أَنَّهُ أَسْلَمَ قَبْلَهَا فَأَنْكَرَتْ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا.

 

 

Dari kitab Jami’ al-Khutbah, dari kitab al-Murtadd, dan dari kitab Ma Yahrumu al-Jam’u Bainahu (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika keduanya murtad atau salah satunya murtad, maka hubungan intim dilarang. Jika masa iddah berakhir sebelum keduanya kembali masuk Islam, maka pernikahan batal dan wanita berhak mendapatkan mahar seperti dirinya jika dia telah digauli selama masa riddah. Jika keduanya kembali masuk Islam sebelum berakhirnya masa iddah, maka pernikahan tetap berlaku. Jika seorang murtad melarikan diri kemudian kembali setelah masa iddah berakhir dalam keadaan muslim dan mengaku bahwa dia telah masuk Islam sebelum masa iddah berakhir, sementara wanita itu mengingkarinya, maka perkataan wanita itu yang diterima disertai sumpahnya.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَارْتَدَّتْ فَلَا مَهْرَ لَهَا؛ لِأَنَّ الْفَسْخَ مِنْ قِبَلِهَا، وَإِنْ ارْتَدَّ فَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ؛ لِأَنَّ الْفَسْخَ مِنْ قِبَلِهِ، وَلَوْ كَانَتْ تَحْتَهُ نَصْرَانِيَّةٌ فَتَمَجَّسَتْ أَوْ تَزَنْدَقَتْ فَكَالْمُسْلِمَةِ تُرِيدُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika suami belum berhubungan dengannya lalu sang istri murtad, maka tidak ada mahar baginya karena pembatalan berasal darinya. Namun, jika suami yang murtad, istri berhak mendapat separuh mahar karena pembatalan berasal darinya. Jika istri seorang Nasrani yang berada di bawah pernikahannya lalu ia memeluk Majusi atau Zindiq, maka hukumnya seperti perempuan Muslim yang murtad.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan mempertahankan teks aslinya:

 

(وَقَالَ) فِي كِتَابِ الْمُرْتَدِّ حَتَّى تَرْجِعَ إلَى الَّذِي حَلَّتْ بِهِ مِنْ يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ، وَمَنْ دَانَ دِينَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى مِنْ الْعَرَبِ أَوْ الْعَجَمِ غَيْرَ بَنِي إسْرَائِيلَ فِي فَسْخِ النِّكَاحِ وَمَا يَحْرُمُ مِنْهُ أَوْ يَحِلُّ كَأَهْلِ الْأَوْثَانِ

(Dan dia berkata) dalam kitab tentang murtad, hingga ia kembali kepada agama yang sebelumnya ia anut, baik Yahudi maupun Nasrani. Dan siapa saja yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani dari kalangan Arab atau non-Arab selain Bani Israil, dalam hal pembatalan pernikahan dan apa yang diharamkan atau dihalalkan, statusnya seperti penyembah berhala.

 

(وَقَالَ) فِي كِتَابِ مَا يَحْرُمُ الْجَمْعُ بَيْنَهُ مَنْ ارْتَدَّ مِنْ يَهُودِيَّةٍ إلَى نَصْرَانِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ إلَى يَهُودِيَّةٍ حَلَّ نِكَاحُهَا؛ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ مِنْ أَهْلِ الدِّينِ الَّذِي خَرَجَتْ إلَيْهِ حَلَّ نِكَاحُهَا

(Dan dia berkata) dalam kitab tentang apa yang diharamkan untuk dikumpulkan, siapa yang murtad dari Yahudi ke Nasrani atau dari Nasrani ke Yahudi, pernikahannya tetap halal. Karena jika ia berasal dari agama yang ia tinggalkan, pernikahannya tetap halal.

 

(وَقَالَ) فِي كِتَابِ الْجِزْيَةِ لَا يُنْكَحُ مَنْ ارْتَدَّ عَنْ أَصْلِ دِينِ آبَائِهِ؛ لِأَنَّهُمْ بَدَّلُوا بِغَيْرِهِ الْإِسْلَامَ فَخَالَفُوا حَالَهُمْ عَمَّا أُذِنَ بِأَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ عَلَيْهِ وَأُبِيحَ مِنْ طَعَامِهِمْ وَنِسَائِهِمْ.

(Dan dia berkata) dalam kitab tentang jizyah, tidak boleh menikahi orang yang murtad dari agama asli nenek moyangnya. Karena mereka mengganti Islam dengan yang lain, sehingga status mereka berbeda dari yang diizinkan untuk mengambil jizyah dari mereka, serta dihalalkannya makanan dan wanita mereka.

بَابُ طَلَاقِ الشِّرْكِ

Bab tentang perceraian karena persekutuan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذْ أَثْبَتَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نِكَاحَ الشِّرْكِ وَأَقَرَّ أَهْلَهُ عَلَيْهِ فِي الْإِسْلَامِ لَمْ يَجُزْ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ إلَّا أَنْ يَثْبُتَ طَلَاقُ الشِّرْكِ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ يَثْبُتُ بِثُبُوتِ النِّكَاحِ وَيَسْقُطُ بِسُقُوطِهِ فَإِنْ أَسْلَمَا وَقَدْ طَلَّقَهَا فِي الشِّرْكِ ثَلَاثًا لَمْ تَحِلَّ لَهُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ، وَلَوْ تَزَوَّجَهَا غَيْرُهُ فِي الشِّرْكِ حَلَّتْ لَهُ وَلِمُسْلِمٍ لَوْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menetapkan keabsahan pernikahan syirik dan membiarkan keluarganya tetap dalam Islam, tidak diperbolehkan – wallahu a’lam – kecuali jika talak syirik itu terbukti. Karena talak itu sah jika pernikahannya sah, dan gugur jika pernikahannya gugur. Jika keduanya masuk Islam dan dia telah menceraikannya tiga kali dalam masa syirik, maka wanita itu tidak halal baginya sampai menikah dengan suami lain. Seandainya wanita itu dinikahi oleh laki-lain dalam masa syirik, maka dia halal baginya dan bagi muslim jika dia menceraikannya tiga kali.”

 

بَابُ عَقْدِ نِكَاحِ أَهْلِ الذِّمَّةِ

Bab tentang akad nikah ahli dzimmah

 

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ ثَلَاثَةِ كُتُبٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَعُقْدَةُ نِكَاحِ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَمُهُورِهِمْ كَأَهْلِ الْحَرْبِ فَإِنْ نَكَحَ نَصْرَانِيٌّ وَثَنِيَّةً أَوْ مَجُوسِيَّةً أَوْ نَكَحَ وَثَنِيٌّ نَصْرَانِيَّةً أَوْ مَجُوسِيَّةً لَمْ أَفْسَخْ مِنْهُ شَيْئًا إذَا أَسْلَمُوا.

 

 

Dari Al-Jami’ dari tiga kitab (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Ikatan pernikahan ahli dzimmah dan mahar mereka seperti ahli harb. Jika seorang Nasrani menikahi wanita penyembah berhala atau Majusi, atau seorang penyembah berhala menikahi wanita Nasrani atau Majusi, aku tidak membatalkan sedikit pun dari pernikahan tersebut jika mereka masuk Islam.”

 

(قَالَ) : وَلَا تَحِلُّ ذَبِيحَةُ مَنْ وُلِدَ مِنْ وَثَنِيٍّ وَنَصْرَانِيَّةٍ وَلَا مِنْ نَصْرَانِيٍّ وَوَثَنِيَّةٍ وَلَا يَحِلُّ نِكَاحُ ابْنَتِهِمَا؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ كِتَابِيَّةً خَالِصَةً (وَقَالَ) وَفِي كِتَابٍ آخَرَ إنْ كَانَ أَبُوهَا نَصْرَانِيًّا حَلَّتْ، وَإِنْ كَانَ وَثَنِيًّا لَمْ تَحِلَّ؛ لِأَنَّهَا تَرْجِعُ إلَى النَّسَبِ وَلَيْسَتْ كَالصَّغِيرَةِ يُسْلِمُ أَحَدُ أَبَوَيْهَا؛ لِأَنَّ الْإِسْلَامَ لَا يُشْرِكُهُ الشِّرْكُ وَالشِّرْكُ يُشْرِكُهُ الشِّرْكُ.

 

 

(Dia berkata): “Tidak halal sembelihan orang yang dilahirkan dari penyembah berhala dan perempuan Nasrani, atau dari laki-laki Nasrani dan perempuan penyembah berhala, dan tidak halal menikahi anak perempuan mereka karena ia bukan ahli kitab yang murni.” (Dan dia berkata): “Dalam kitab lain disebutkan, jika ayahnya Nasrani maka halal, tetapi jika ayahnya penyembah berhala maka tidak halal, karena statusnya mengikuti keturunan dan tidak seperti anak kecil yang salah satu orang tuanya masuk Islam. Sebab, Islam tidak bercampur dengan syirik, sedangkan syirik bisa bercampur dengan syirik.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ تَحَاكَمُوا إلَيْنَا وَجَبَ أَنْ نَحْكُمَ بَيْنَهُمْ كَانَ الزَّوْجُ الْجَانِيَ أَوْ الزَّوْجَةُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حُكْمٌ مَضَى لَمْ نُزَوِّجْهُمْ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشُهُودٍ مُسْلِمِينَ فَلَوْ لَمْ يَكُنْ لَهَا قَرِيبٌ زَوَّجَهَا الْحَاكِمُ؛ لِأَنَّ تَزْوِيجَهُ حُكْمٌ عَلَيْهَا فَإِذَا تَحَاكَمُوا إلَيْنَا بَعْدَ النِّكَاحِ فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَجُوزُ ابْتِدَاؤُهُ فِي الْإِسْلَامِ أَجَزْنَاهُ؛ لِأَنَّ عَقْدَهُ قَدْ مَضَى فِي الشِّرْكِ وَكَذَلِكَ مَا قَبَضَتْ مِنْ مَهْرٍ حَرَامٍ، وَلَوْ قَبَضَتْ نِصْفَهُ فِي الشِّرْكِ حَرَامًا ثُمَّ أَسْلَمَا فَعَلَيْهِ نِصْفُ مَهْرِ مِثْلِهَا وَالنَّصْرَانِيُّ فِي إنْكَاحِ ابْنَتِهِ وَابْنِهِ الصَّغِيرَيْنِ كَالْمُسْلِمِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya mereka meminta keputusan kepada kami, wajib bagi kami untuk memutuskan di antara mereka, baik suami yang bersalah atau istri. Jika tidak ada hukum yang berlaku sebelumnya, kami tidak akan menikahkan mereka kecuali dengan wali dan saksi-saksi yang Muslim. Jika wanita itu tidak memiliki kerabat, maka hakim yang menikahkannya, karena pernikahannya adalah keputusan atasnya. Jika mereka meminta keputusan kepada kami setelah pernikahan, dan pernikahan itu termasuk yang diperbolehkan dalam Islam, kami membolehkannya karena akadnya telah terjadi dalam masa syirik. Demikian juga dengan mahar haram yang telah diterimanya. Jika dia menerima setengahnya dalam masa syirik secara haram, kemudian keduanya masuk Islam, maka suami wajib membayar setengah mahar yang semisal. Orang Nasrani dalam menikahkan anak perempuannya atau anak laki-lakinya yang masih kecil sama seperti orang Muslim.”

 

بَابُ إتْيَانِ الْحَائِضِ وَوَطْءِ اثْنَتَيْنِ قَبْلَ الْغُسْلِ

 

Bab tentang mendatangi wanita haid dan menyetubuhi dua wanita sebelum mandi

 

بَابُ إتْيَانِ الْحَائِضِ وَوَطْءِ اثْنَيْنِ قَبْلَ الْغُسْلِ مِنْ هَذَا وَمِنْ كِتَابِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَمَرَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِاعْتِزَالِ الْحُيَّضِ فَاسْتَدْلَلْنَا بِالسُّنَّةِ عَلَى مَا أَرَادَ فَقُلْنَا: تَشُدُّ إزَارَهَا عَلَى أَسْفَلِهَا وَيُبَاشِرُهَا فَوْقَ إزَارِهَا حَتَّى يَطْهُرْنَ حَتَّى يَنْقَطِعَ الدَّمُ وَتَرَى الطُّهْرَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ يَعْنِي – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – الطَّهَارَةَ الَّتِي تَحِلُّ بِهَا الصَّلَاةُ الْغُسْلُ أَوْ التَّيَمُّمُ.

 

 

Bab tentang mendatangi wanita haid dan bersetubuh dengan dua istri sebelum mandi dari bab ini dan dari kitab ‘Isyratun Nisa’. (Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi wanita haid, maka kami berdalil dengan Sunnah tentang apa yang dimaksud. Kami berkata: ‘Dia (suami) mengencangkan sarungnya di bagian bawahnya dan boleh bercumbu di atas sarungnya hingga mereka suci, hingga darah terputus dan melihat tanda kesucian. Jika mereka telah bersuci – wallahu a’lam – yaitu kesucian yang menghalalkan shalat, baik dengan mandi atau tayammum.'”

 

(قَالَ) : وَفِي تَحْرِيمِهَا لِأَذَى الْمَحِيضِ كَالدَّلَالَةِ عَلَى تَحْرِيمِ الدُّبُرِ؛ لِأَنَّ أَذَاهُ لَا يَنْقَطِعُ، وَإِنْ وَطِئَ فِي الدَّمِ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ تَعَالَى وَلَا يَعُودُ، وَإِنْ كَانَ لَهُ إمَاءٌ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَأْتِيَهُنَّ مَعًا قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ، وَلَوْ تَوَضَّأَ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ وَأُحِبُّ لَوْ غَسَلَ فَرْجَهُ قَبْلَ إتْيَانِ الَّتِي بَعْدَهَا، وَلَوْ كُنَّ حَرَائِرَ فَحَلَلْنَهُ فَكَذَلِكَ.

 

 

(Dia berkata): Dalam pengharaman hubungan saat haid karena kotorannya, terdapat indikasi pengharaman hubungan melalui dubur, sebab kotorannya tidak terputus. Jika seseorang berhubungan saat darah haid masih ada, hendaknya memohon ampun kepada Allah Ta’ala dan tidak mengulanginya. Jika dia memiliki budak perempuan, tidak mengapa baginya untuk menggauli mereka bersama sebelum mandi. Namun jika dia berwudhu, itu lebih aku sukai, dan aku lebih suka jika dia membersihkan kemaluannya sebelum menggauli budak berikutnya. Jika mereka adalah wanita merdeka yang mengizinkannya, maka hukumnya sama.

إتْيَانُ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ

 

Mendatangi wanita di bagian belakang mereka

مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ كِتَابِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ.

 

Di antara hukum-hukum Al-Qur’an dan dari kitab pergaulan dengan wanita.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: ذَهَبَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا فِي إتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ إلَى إحْلَالِهِ وَآخَرُونَ إلَى تَحْرِيمِهِ، وَرُوِيَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ مِنْ حَدِيثِ ثَابِتٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانَتْ تَقُولُ: مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي قُبُلِهَا مِنْ دُبُرِهَا جَاءَ وَلَدُهُ أَحْوَلَ؛ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} البقرة: 223 وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي أَيِّ الْخُرْبَتَيْنِ أَوْ فِي أَيِّ الْخُرْزَتَيْنِ أَوْ فِي أَيِّ الْخُصْفَتَيْنِ أَمِنْ دُبُرِهَا فِي قُبُلِهَا فَنَعَمْ أَمْ مِنْ دُبُرِهَا فِي دُبُرِهَا فَلَا إنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِ مِنْ الْحَقِّ لَا تَأْتُوا النِّسَاءَ فِي أَدْبَارِهِنَّ» .

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Sebagian sahabat kami berpendapat tentang hubungan intim dengan wanita di bagian belakang mereka (anus) ada yang membolehkan dan ada yang mengharamkannya. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah melalui hadits Tsabit bahwa orang Yahudi berkata: “Barangsiapa yang mendatangi istrinya dari arah belakang (anus) menuju kemaluannya, maka anaknya akan lahir juling.” Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat: “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu dari mana saja kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223). Dan diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa seorang laki-laki bertanya kepada beliau tentang hal itu, maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Di lubang yang mana? Atau di belahan yang mana? Atau di jahitan yang mana? Apakah dari arah belakangnya menuju kemaluannya? Maka boleh. Atau dari arah belakangnya menuju belakangnya (anus)? Maka tidak. Sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Janganlah kalian mendatangi wanita di bagian belakang mereka (anus).”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَلَسْت أُرَخِّصُ فِيهِ بَلْ أَنْهَى عَنْهُ فَأَمَّا التَّلَذُّذُ بِغَيْرِ إيلَاجٍ بَيْنَ الْأَلْيَتَيْنِ فَلَا بَأْسَ، وَإِنْ أَصَابَهَا فِي الدُّبُرِ لَمْ يُحْصِنْهَا وَيَنْهَاهُ الْإِمَامُ فَإِنْ عَادَ عَزَّرَهُ فَإِنْ كَانَ فِي زِنًا حَدَّهُ، وَإِنْ كَانَ غَاصِبًا أَغْرَمَهُ الْمَهْرَ وَأَفْسَدَ حَجَّهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Aku tidak memberikan keringanan dalam hal itu, bahkan melarangnya. Adapun bersenang-senang tanpa penetrasi di antara kedua pantat, maka tidak mengapa. Jika dia menyentuh duburnya, itu tidak menjadikannya muhshan (orang yang telah menikah), dan imam harus melarangnya. Jika dia mengulangi, imam harus menghukumnya. Jika itu dalam perzinaan, had (hukuman) harus diterapkan. Jika dia memaksanya, dia harus membayar mahar dan hajinya batal.

 

الشِّغَارُ وَمَا دَخَلَ فِيهِ

 

Asy-Syighar dan apa yang termasuk di dalamnya

مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ.

 

Di antara hukum-hukum Al-Qur’an.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا أَنْكَحَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ أَوْ الْمَرْأَةَ تَلِي أَمْرَهَا الرَّجُلَ عَلَى أَنْ يُنْكِحَهُ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ أَوْ الْمَرْأَةَ تَلِي أَمْرَهَا عَلَى أَنَّ صَدَاقَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بُضْعُ الْأُخْرَى وَلَمْ يُسَمِّ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا صَدَاقًا فَهَذَا الشِّغَارُ الَّذِي نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُوَ مَفْسُوخٌ، وَلَوْ سَمَّى لَهُمَا أَوْ لِأَحَدِهِمَا صَدَاقًا فَلَيْسَ بِالشِّغَارِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَالنِّكَاحُ ثَابِتٌ وَالْمَهْرُ فَاسِدٌ وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَنِصْفُ مَهْرٍ إنْ طَلُقَتْ قَبْلَ الدُّخُولِ فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ ثَبَتَ النِّكَاحُ بِلَا مَهْرٍ قِيلَ: لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَجَازَهُ فِي كِتَابِهِ فَأَجَزْنَاهُ وَالنِّسَاءُ مُحَرَّمَاتُ الْفُرُوجِ إلَّا بِمَا أَحَلَّهُنَّ اللَّهُ بِهِ فَلَمَّا نَهَى – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – عَنْ نِكَاحِ الشِّغَارِ لَمْ أُحِلَّ مُحَرَّمًا بِمُحَرَّمٍ وَبِهَذَا قُلْنَا فِي نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَالْمُحَرَّمِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika seorang menikahkan putrinya atau wanita yang berada di bawah perwaliannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki itu menikahkan putrinya atau wanita yang berada di bawah perwaliannya kepadanya, dengan mahar masing-masing dari mereka adalah hubungan intim dengan yang lain, tanpa menentukan mahar untuk masing-masing, maka ini adalah syighar yang dilarang oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan pernikahan tersebut batal. Namun, jika mahar ditentukan untuk keduanya atau salah satunya, maka itu bukan syighar yang terlarang, pernikahan tetap sah meski maharnya rusak. Masing-masing berhak mendapatkan mahar yang semisal (mahar mitsl), atau setengahnya jika diceraikan sebelum berhubungan. Jika ada yang bertanya: ‘Bagaimana mungkin pernikahan sah tanpa mahar?’ Dijawab: ‘Karena Allah telah membolehkannya dalam Kitab-Nya, maka kami membolehkannya. Wanita diharamkan (untuk dinikahi) kecuali dengan apa yang dihalalkan oleh Allah. Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang nikah syighar, berarti tidak menghalalkan yang haram dengan yang haram.’ Dengan dasar ini pula kami berpendapat tentang nikah mut’ah dan nikah yang haram.”

 

(قَالَ) : وَقُلْت لِبَعْضِ النَّاسِ: أَجَزْت نِكَاحَ الشِّغَارِ وَلَمْ يُخْتَلَفْ فِيهِ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَرَدَدْت نِكَاحَ الْمُتْعَةِ وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِيهَا عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهَذَا تَحَكُّمٌ أَرَأَيْت إنْ عُورِضْت فَقِيلَ لَك «نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى خَالَتِهَا أَوْ عَلَى عَمَّتِهَا» وَهَذَا اخْتِيَارٌ فَأُجِزْهُ فَقَالَ: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ عَقْدَهُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ قِيلَ: وَكَذَلِكَ عَقْدُ الشِّغَارِ مَنْهِيٌّ عَنْهُ.

 

 

Beliau berkata: “Aku pernah berkata kepada sebagian orang: ‘Engkau membolehkan nikah syighar yang tidak ada perbedaan pendapat tentangnya dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, namun engkau menolak nikah mut’ah yang justru diperselisihkan tentangnya dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Ini adalah tindakan sewenang-wenang. Bagaimana pendapatmu jika engkau ditentang dengan dikatakan: ‘Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang seorang wanita dinikahkan bersama bibinya (dari pihak ibu atau bapak)?’ Padahal ini adalah pilihan, lalu engkau membolehkannya?’ Dia menjawab: ‘Tidak boleh, karena akadnya dilarang.’ Dikatakan kepadanya: ‘Demikian pula akad syighar dilarang.'”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ الشِّغَارِ إنَّمَا نَهَى عَنْ النِّكَاحِ نَفْسِهِ لَا عَنْ الصَّدَاقِ، وَلَوْ كَانَ عَنْ الصَّدَاقِ لَكَانَ النِّكَاحُ ثَابِتًا وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Makna perkataan Asy-Syafi’i bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang syighar adalah larangan terhadap pernikahan itu sendiri, bukan terhadap mahar. Seandainya larangan itu terkait mahar, maka pernikahan tetap sah dan wanita berhak mendapatkan mahar yang semisal.”

 

نِكَاحُ الْمُتْعَةِ وَالْمُحَلِّلِ

 

Nikah mut’ah dan nikah tahlik

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ وَمِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَمِنْ اخْتِلَافِ الْحَدِيثِ.

 

Dari Al-Jami’ dari kitab nikah dan talak, dan dari Al-Imla’ atas masalah-masalah Malik, serta dari perbedaan hadis.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَأَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ» .

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah ta’ala – berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Al-Hasan, kedua putra Muhammad bin Ali, dari ayah mereka, dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang pada hari Khaibar dari nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak.

 

(قَالَ) : وَإِنْ كَانَ حَدِيثُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ عُمَرَ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ سَبْرَةَ ثَابِتًا فَهُوَ مُبَيِّنٌ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَحَلَّ نِكَاحَ الْمُتْعَةِ ثُمَّ قَالَ هِيَ حَرَامٌ إلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ» .

 

 

(Dia berkata): “Jika hadits Abdul Aziz bin Umar dari Ar-Rabi’ bin Sabrah itu sahih, maka itu menjelaskan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah membolehkan nikah mut’ah kemudian beliau bersabda: ‘Itu haram sampai hari kiamat’.”

 

(قَالَ) : وَفِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ الْمُتْعَةِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ} الأحزاب: 49 فَلَمْ يُحَرِّمْهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْأَزْوَاجِ إلَّا بِالطَّلَاقِ وَقَالَ تَعَالَى {فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ} البقرة: 229 وَقَالَ تَعَالَى {وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ} النساء: 20 فَجَعَلَ إلَى الْأَزْوَاجِ فُرْقَةَ مَنْ عَقَدُوا عَلَيْهِ النِّكَاحَ مَعَ أَحْكَامِ مَا بَيْنَ الْأَزْوَاجِ فَكَانَ بَيِّنًا – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ نِكَاحَ الْمُتْعَةِ مَنْسُوخٌ بِالْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ؛ لِأَنَّهُ إلَى مُدَّةٍ ثُمَّ نَجِدُهُ يَنْفَسِخُ بِلَا إحْدَاثِ طَلَاقٍ فِيهِ وَلَا فِيهِ أَحْكَامُ الْأَزْوَاجِ.

 

 

Beliau berkata: “Dalam Al-Qur’an dan Sunnah terdapat dalil yang mengharamkan nikah mut’ah. Allah Ta’ala berfirman: ‘Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan beriman, kemudian kalian menceraikan mereka’ (QS. Al-Ahzab: 49). Allah tidak mengharamkan mereka bagi suami-suaminya kecuali dengan talak. Dan Dia berfirman: ‘Maka pertahankanlah dengan cara yang baik atau lepaskanlah dengan cara yang baik’ (QS. Al-Baqarah: 229). Dan Dia berfirman: ‘Dan jika kalian ingin mengganti istri dengan istri yang lain’ (QS. An-Nisa’: 20). Maka Allah memberikan hak perpisahan kepada suami-suami terhadap orang yang mereka akadkan nikahnya, beserta hukum-hukum yang berlaku antara suami-istri. Maka menjadi jelas – wallahu a’lam – bahwa nikah mut’ah telah dihapus oleh Al-Qur’an dan Sunnah, karena nikah mut’ah itu dibatasi waktu, kemudian kita dapati ia bubar tanpa adanya talak di dalamnya, dan tidak ada pula hukum-hukum suami-istri di dalamnya.”

 

بَابُ نِكَاحِ الْمُحْرِمِ

Bab tentang pernikahan orang yang sedang berihram

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ نُبَيْهِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ» وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ رَوَيْنَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَكَحَ مَيْمُونَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – وَهُوَ مُحْرِمٌ قُلْت: رِوَايَةُ عُثْمَانَ ثَابِتَةٌ وَيَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ ابْنُ أُخْتِهَا وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ عَتِيقُهَا أَوْ ابْنُ عَتِيقِهَا يَقُولَانِ: نَكَحَهَا وَهُوَ حَلَالٌ وَثَالِثٌ وَهُوَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَيَنْفَرِدُ عَلَيْك حَدِيثُ عُثْمَانَ الثَّابِتُ وَقُلْت: أَلَيْسَ أَعْطَيْتنِي أَنَّهُ إذَا اخْتَلَفَتْ الرِّوَايَةُ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَظَرْت فِيمَا فَعَلَ أَصْحَابُهُ مِنْ بَعْدِهِ فَأَخَذْت بِهِ وَتَرَكْت الَّذِي يُخَالِفُهُ؟ قَالَ: بَلَى، قُلْت فَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَيَزِيدُ بْنُ ثَابِتٍ يَرُدَّانِ نِكَاحَ الْمُحْرِمِ، وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا أَعْلَمُ لَهُمَا مُخَالِفًا فَلِمَ لَا قُلْت بِهِ؟ .

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah ta’ala – berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Nubaih bin Wahb dari Aban bin Utsman dari Utsman bin Affan – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan.” Sebagian orang berkata, “Kami meriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menikahi Maimunah – radhiyallahu ‘anha – saat beliau sedang berihram.” Aku (Imam Syafi’i) berkata, “Riwayat Utsman itu tsabit (kuat), sedangkan Yazid bin Al-Asham (keponakan Maimunah) dan Sulaiman bin Yasar (mantan budaknya atau anak mantan budaknya) mengatakan bahwa Nabi menikahinya dalam keadaan halal. Yang ketiga adalah Sa’id bin Al-Musayyib. Riwayat Utsman yang tsabit itu menyendiri. Bukankah engkau telah memberiku kaidah bahwa jika ada perbedaan riwayat dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, maka aku melihat apa yang dilakukan para sahabat setelahnya, lalu aku mengambilnya dan meninggalkan yang menyelisihinya?” Dia menjawab, “Benar.” Aku berkata, “Umar bin Khattab dan Yazid bin Tsabit membatalkan pernikahan orang yang sedang berihram. Ibnu Umar juga berkata, ‘Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan,’ dan aku tidak mengetahui ada yang menyelisihi mereka. Mengapa engkau tidak berpendapat seperti itu?”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ كَانَ الْمُحْرِمُ حَاجًّا فَحَتَّى يَرْمِيَ وَيَحْلِقَ وَيَطُوفَ بِالْبَيْتِ يَوْمَ النَّحْرِ أَوْ بَعْدَهُ، وَإِنْ كَانَ مُعْتَمِرًا فَحَتَّى يَطُوفَ بِالْبَيْتِ وَيَسْعَى وَيَحْلِقَ فَإِنْ نَكَحَ قَبْلَ ذَلِكَ فَمَفْسُوخٌ وَالرَّجْعَةُ وَالشَّهَادَةُ عَلَى النِّكَاحِ لَيْسَا بِنِكَاحٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang muhrim adalah haji, maka hingga ia melempar jumrah, mencukur rambut, dan tawaf di Ka’bah pada hari nahar atau setelahnya. Jika ia berumrah, maka hingga ia tawaf di Ka’bah, sa’i, dan mencukur rambut. Jika ia menikah sebelum itu, maka nikahnya batal. Rujuk dan kesaksian atas nikah tersebut bukanlah nikah.

 

الْعَيْبُ فِي الْمَنْكُوحَةِ

 

Cacat pada wanita yang dinikahi

مِنْ كِتَابِ نِكَاحِ الْجَدِيدِ وَمِنْ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ وَمِنْ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ إمْلَاءٌ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ، وَغَيْرُ ذَلِكَ.

 

Dari kitab pernikahan baru, dari pernikahan lama, dari pernikahan dan perceraian, merupakan catatan atas masalah-masalah Malik, dan selain itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَبِهَا جُنُونٌ أَوْ جُذَامٌ أَوْ بَرَصٌ فَمَسَّهَا فَلَهَا صَدَاقُهَا وَذَلِكَ لِزَوْجِهَا غُرْمٌ عَلَى وَلِيِّهَا وَقَالَ أَبُو الشَّعْثَاءِ: أَرْبَعٌ لَا يَجُزْنَ فِي النِّكَاحِ إلَّا أَنْ تُسَمَّى: الْجُنُونُ، وَالْجُذَامُ، وَالْبَرَصُ، وَالْقَرْنُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah ta’ala – berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dari Sa’id bin Musayyab bahwa Beliau berkata: Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Siapa saja laki-laki yang menikahi seorang wanita yang memiliki penyakit gila, kusta, atau lepra, lalu dia menyentuhnya, maka wanita itu berhak mendapatkan maharnya, dan itu menjadi kerugian bagi suaminya yang harus ditanggung oleh walinya.” Dan Abu Sya’tsa’ berkata: “Ada empat hal yang tidak boleh dalam pernikahan kecuali disebutkan: gila, kusta, lepra, dan ‘qarn’.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Horn (qarn) yang menghalangi hubungan intim karena ia tidak termasuk dalam makna perempuan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الْقَرْنُ الْمَانِعُ لِلْجِمَاعِ؛ لِأَنَّهَا فِي غَيْرِ مَعْنَى النِّسَاءِ.

 

(قَالَ) : فَإِنْ اخْتَارَ فِرَاقَهَا قَبْلَ الْمَسِيسِ فَلَا نِصْفَ مَهْرٍ وَلَا مُتْعَةَ، وَإِنْ اخْتَارَ فِرَاقَهَا بَعْدَ الْمَسِيسِ فَصَدَّقَتْهُ أَنَّهُ لَمْ يَعْلَمْ فَلَهُ ذَلِكَ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا بِالْمَسِيسِ وَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ فِي عِدَّتِهَا وَلَا سُكْنَى وَلَا يَرْجِعُ بِالْمَهْرِ عَلَيْهَا وَلَا عَلَى وَلِيِّهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ فِي الَّتِي نَكَحَتْ بِغَيْرِ إذْنِ وَلِيِّهَا: فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ مَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا وَلَمْ يَرُدَّهُ بِهِ عَلَيْهَا وَهِيَ الَّتِي غَرَّتْهُ فَهُوَ فِي النِّكَاحِ الصَّحِيحِ الَّذِي لِلزَّوْجِ فِيهِ الْخِيَارُ أَوْلَى أَنْ يَكُونَ لِلْمَرْأَةِ وَإِذَا كَانَ لَهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَغْرَمَهُ وَلِيُّهَا، وَقَضَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي الَّتِي نَكَحَتْ فِي عِدَّتِهَا أَنَّ لَهَا الْمَهْرَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika dia memilih untuk menceraikannya sebelum bersetubuh, maka tidak ada separuh mahar maupun mut’ah. Jika dia memilih menceraikannya setelah bersetubuh dan istrinya membenarkan bahwa dia tidak tahu, maka itu haknya (suami) dan istri berhak mendapatkan mahar semisal karena persetubuhan. Tidak ada nafkah yang wajib baginya selama masa iddah, tidak pula tempat tinggal. Dia tidak bisa menuntut kembali mahar darinya atau walinya. Karena Nabi ﷺ bersabda tentang wanita yang menikah tanpa izin walinya: ‘Nikahnya batal. Jika dia telah menyetubuhinya, maka wanita itu berhak mendapat mahar karena dia telah menghalalkan kemaluannya, dan mahar itu tidak dikembalikan kepadanya. Wanita itulah yang menipunya.’ Maka dalam pernikahan sah yang suami memiliki hak khiyar (pilihan), lebih utama jika hak itu diberikan kepada wanita. Jika hak itu ada padanya, walinya tidak boleh menanggungnya. Umar bin Khattab رضي الله عنه memutuskan bahwa wanita yang menikah dalam masa iddahnya berhak mendapatkan mahar.”

 

(قَالَ) : وَمَا جَعَلْتُ لَهُ فِيهِ الْخِيَارَ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ ثُمَّ حَدَثَ بِهَا فَلَهُ الْخِيَارُ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ الْمَعْنَى قَائِمٌ فِيهَا لِحَقِّهِ فِي ذَلِكَ وَحَقِّ الْوَلَدِ.

 

 

Beliau berkata: “Dan Aku tidak memberikan hak pilih baginya dalam akad nikah, kemudian terjadi sesuatu padanya, maka dia berhak memilih; karena makna itu tetap ada padanya untuk haknya dalam hal itu dan hak anak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَكَذَلِكَ مَا فَسَخَ عَقْدَ نِكَاحِ الْأَمَةِ مِنْ الطُّولِ إذَا حَدَثَ بَعْدَ النِّكَاحِ فَسْخُهُ؛ لِأَنَّهُ الْمَعْنَى الَّذِي يُفْسَخُ بِهِ النِّكَاحُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Demikian pula, apa yang membatalkan akad nikah budak perempuan karena terlalu panjang (masa iddah) jika pembatalannya terjadi setelah nikah, karena itulah makna yang dapat membatalkan nikah.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَكَذَلِكَ هِيَ فِيهِ فَإِنْ اخْتَارَتْ فِرَاقَهُ قَبْلَ الْمَسِيسِ فَلَا مَهْرَ وَلَا مُتْعَةَ، فَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ حَتَّى أَصَابَهَا فَاخْتَارَتْ فِرَاقَهُ فَلَهَا الْمَهْرُ مَعَ الْفِرَاقِ وَاَلَّذِي يَكُونُ بِهِ مِثْلُ الرَّتْقِ بِهَا أَنْ يَكُونَ مَجْبُوبًا فَأُخَيِّرُهَا مَكَانَهَا وَأَيُّهُمَا تَرَكَهُ أَوْ وَطِئَ بَعْدَ الْعِلْمِ فَلَا خِيَارَ لَهُ (وَقَالَ) فِي الْقَدِيمِ: إنْ حَدَثَ بِهِ فَلَهَا الْفَسْخُ وَلَيْسَ لَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula halnya dalam hal ini. Jika ia memilih untuk berpisah sebelum terjadi hubungan suami-istri, maka tidak ada mahar maupun mut’ah. Jika ia tidak mengetahui hingga suami menggaulinya lalu ia memilih untuk berpisah, maka ia berhak mendapatkan mahar beserta perpisahan. Adapun yang menyebabkan seperti cacat pada dirinya adalah jika suami kebiri, maka aku berikan pilihan kepadanya di tempatnya. Siapa pun di antara mereka yang meninggalkannya atau menggaulinya setelah mengetahui, maka tidak ada hak pilih baginya. (Dan beliau berkata) dalam pendapat lamanya: Jika terjadi cacat padanya, maka ia berhak membatalkan akad nikah, sedangkan suami tidak.

(Al-Muzanni berkata) Lebih tepat dengan ucapannya: “Keduanya sama dalam hadits sebagaimana keduanya sama sebelum hadits.”

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَوْلَى بِقَوْلِهِ: إنَّهُمَا سَوَاءٌ فِي الْحَدِيثِ كَمَا كَانَا فِيهِ سَوَاءً قَبْلَ الْحَدِيثِ.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَالْجُذَامُ وَالْبَرَصُ فِيمَا زَعَمَ أَهْلُ الْعِلْمِ بِالطِّبِّ يُعْدِي وَلَا تَكَادُ نَفْسُ أَحَدٍ تَطِيبُ أَنْ يُجَامِعَ مَنْ هُوَ بِهِ وَلَا نَفْسُ امْرَأَةٍ بِذَلِكَ مِنْهُ وَأَمَّا الْوَلَدُ فَقَلَّمَا يَسْلَمُ فَإِنْ سَلِمَ أَدْرَكَ ذَلِكَ نَسْلَهُ نَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى الْعَافِيَةَ، وَالْجُنُونُ وَالْخَبَلُ لَا يَكُونُ مَعَهُمَا تَأْدِيَةٌ لِحَقِّ زَوْجٍ وَلَا زَوْجَةٍ بِعَقْلٍ وَلَا امْتِنَاعٌ مِنْ مُحَرَّمٍ وَقَدْ يَكُونُ مِنْ مِثْلِهِ الْقَتْلُ وَلِوَلِيِّهَا مَنْعُهَا مِنْ نِكَاحِ الْمَجْنُونِ كَمَا يَمْنَعُهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ فَإِنْ قِيلَ فَهَلْ مِنْ حَكَمٍ بَيْنَهُمَا فِيهِ الْخِيَارُ أَوْ الْفُرْقَةُ؟ قِيلَ: نَعَمْ الْمَوْلَى يَمْتَنِعُ مِنْ الْجِمَاعِ بِيَمِينٍ لَوْ كَانَتْ عَلَى غَيْرَ مَأْثَمٍ كَانَتْ طَاعَةُ اللَّهِ أَنْ لَا يَحْنَثَ فَأُرَخِّصُ لَهُ فِي الْحِنْثِ بِكَفَّارَةِ الْيَمِينِ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ وَجَبَ عَلَيْهِ الطَّلَاقُ وَالْعِلْمُ مُحِيطٌ بِأَنَّ الضَّرَرَ بِمُبَاشَرَةِ الْأَجْذَمِ وَالْأَبْرَصِ وَالْمَجْنُونِ وَالْمَخْبُولِ أَكْثَرُ مِنْهَا بِتَرْكِ مُبَاشَرَةِ الْمَوْلَى مَا لَمْ يَحْنَثْ، وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا مُسْلِمَةٌ فَإِذَا هِيَ كِتَابِيَّةٌ كَانَ لَهُ فَسْخُ النِّكَاحِ بِلَا نِصْفِ مَهْرٍ، وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا كِتَابِيَّةٌ فَإِذَا هِيَ مُسْلِمَةٌ لَمْ يَكُنْ لَهُ فَسْخُ النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهَا خَيْرٌ مِنْ كِتَابِيَّةٍ.

 

(Dia berkata): “Kusta dan lepra menurut ahli ilmu kedokteran adalah menular. Hampir tidak ada seorang pun yang merasa nyaman untuk berhubungan intim dengan penderitanya, begitu pula wanita tidak nyaman dengan hal itu darinya. Adapun anak, jarang yang selamat. Jika pun selamat, keturunannya akan terkena dampaknya. Kita memohon keselamatan kepada Allah Ta’ala. Orang gila dan lemah akal tidak dapat menunaikan hak pasangan secara rasional, juga tidak bisa menahan diri dari yang haram, bahkan bisa berujung pembunuhan. Wali berhak mencegahnya menikah dengan orang gila, sebagaimana mencegahnya menikah dengan yang tidak sekufu. Jika ditanya: ‘Apakah ada keputusan antara keduanya, berupa pilihan atau perceraian?’ Dijawab: ‘Ya. Suami boleh menolak berhubungan dengan sumpah. Seandainya sumpah itu tidak berdosa, taat kepada Allah adalah tidak melanggarnya. Namun, aku memberi keringanan untuk melanggar dengan membayar kafarat sumpah. Jika tidak dilakukan, wajib baginya menceraikan. Ilmu telah mencakup bahwa bahaya berinteraksi dengan penderita kusta, lepra, gila, atau lemah akal lebih besar daripada meninggalkan hubungan dengan suami selama tidak melanggar sumpah. Jika menikahinya dengan anggapan dia muslimah, ternyata ahli kitab, suami boleh membatalkan nikah tanpa membayar setengah mahar. Jika menikahinya dengan anggapan ahli kitab, ternyata muslimah, suami tidak boleh membatalkan nikah karena dia lebih baik daripada ahli kitab.'”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ اشْتَرَى أَمَةً عَلَى أَنَّهَا نَصْرَانِيَّةٌ فَأَصَابَهَا مُسْلِمَةً فَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي أَنْ يَرُدَّهَا وَإِذَا اشْتَرَاهَا عَلَى أَنَّهَا مُسْلِمَةٌ فَوَجَدَهَا نَصْرَانِيَّةً فَلَهُ أَنْ يَرُدَّهَا.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Ini menunjukkan bahwa siapa yang membeli seorang budak perempuan dengan anggapan bahwa dia beragama Nasrani, lalu ternyata dia Muslimah, maka pembeli tidak berhak mengembalikannya. Dan jika dia membelinya dengan anggapan bahwa dia Muslimah, lalu ternyata dia beragama Nasrani, maka dia berhak mengembalikannya.

 

بَابُ الْأَمَةِ تَغُرُّ مِنْ نَفْسِهَا

 

Bab tentang budak perempuan yang menipu dengan dirinya sendiri

 

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ الْجَدِيدِ وَمِنْ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ وَمِنْ نِكَاحِ الْقَدِيمِ وَمِنْ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ، إمْلَاءٌ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا وَكَّلَ بِتَزْوِيجِ أَمَتِهِ فَذَكَرَتْ وَالْوَكِيلُ أَوْ أَحَدُهُمَا أَنَّهَا حُرَّةٌ فَزَوَّجَهَا ثُمَّ عَلِمَ فَلَهُ الْخِيَارُ فَإِنْ اخْتَارَ فِرَاقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا نِصْفَ مَهْرٍ وَلَا مُتْعَةَ، وَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا كَانَ أَكْثَرَ مِمَّا سُمِّيَ أَوْ أَقَلَّ؛ لِأَنَّ فِرَاقَهَا فَسْخٌ وَلَا يُرْجَعُ بِهِ فَإِنْ كَانَتْ وَلَدَتْ فَهُمْ أَحْرَارٌ وَعَلَيْهِ قِيمَتُهُمْ يَوْمَ سَقَطُوا وَذَلِكَ أَوَّلُ مَا كَانَ حُكْمُهُمْ حُكْمَ أَنْفُسِهِمْ لِسَيِّدِ الْأَمَةِ وَلَا يَرْجِعُ بِهَا عَلَى الَّذِي غَرَّهُ إلَّا بَعْدَ أَنْ يَغْرَمَهَا فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ عَبْدًا فَوَلَدُهُ أَحْرَارٌ؛ لِأَنَّهُ تَزَوَّجَ عَلَى أَنَّهُمْ أَحْرَارٌ وَلَا مَهْرَ لَهَا عَلَيْهِ حَتَّى يُعْتَقَ.

 

 

Dari kitab pernikahan baru, dari sindiran dalam khitbah, dari pernikahan lama, serta dari pernikahan dan perceraian, merupakan catatan atas masalah-masalah Malik (Asy-Syafi’i -rahimahullah ta’ala- berkata): Jika seseorang mewakilkan untuk menikahkan budak perempuannya, lalu budak atau wakil atau salah satunya menyatakan bahwa dia merdeka kemudian dinikahkan, lalu diketahui kebenarannya, maka dia memiliki hak pilih. Jika memilih untuk menceraikannya sebelum berhubungan, maka tidak ada separuh mahar maupun mut’ah. Jika telah berhubungan, maka dia berhak mendapatkan mahar semisalnya, baik lebih banyak atau lebih sedikit dari yang disebutkan, karena perceraiannya adalah pembatalan dan tidak bisa dikembalikan. Jika dia telah melahirkan, maka anak-anaknya merdeka dan dia wajib membayar nilai mereka pada hari kelahiran, dan itulah awal status mereka sebagai merdeka bagi pemilik budak perempuan. Dia tidak bisa menuntut orang yang menipunya kecuali setelah membayar kerugiannya. Jika suaminya adalah budak, maka anak-anaknya merdeka karena dia menikah dengan anggapan mereka merdeka, dan tidak ada mahar baginya sampai dia dimerdekakan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقِيمَةُ الْوَلَدِ فِي مَعْنَاهُ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنْ لَا غُرْمَ عَلَى مَنْ شَهِدَ عَلَى رَجُلٍ بِقَتْلٍ خَطَأٍ أَوْ بِعِتْقٍ حَتَّى يَغْرَمَ لِلْمَشْهُودِ لَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Nilai anak dalam maknanya, dan ini menunjukkan bahwa tidak ada denda atas orang yang bersaksi terhadap seseorang karena pembunuhan tidak sengaja atau memerdekakan budak hingga dia membayar denda untuk yang disaksikan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ كَانَتْ هِيَ الْغَارَّةُ رَجَعَ عَلَيْهَا بِهِ إذَا أُعْتِقَتْ إلَّا أَنْ تَكُونَ مُكَاتَبَةً فَيَرْجِعَ عَلَيْهَا فِي كِتَابَتِهَا؛ لِأَنَّهَا كَالْجِنَايَةِ فَإِنْ عَجَزَتْ فَحَتَّى تُعْتَقَ فَإِنْ ضَرَبَهَا أَحَدٌ فَأَلْقَتْ جَنِينًا فَفِيهِ مَا فِي جَنِينِ الْحُرَّةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan jika dia (budak perempuan) yang menyebabkan keguguran, maka dia dapat dimintai pertanggungjawaban setelah dimerdekakan, kecuali jika dia adalah budak mukatab (yang sedang dalam proses merdeka), maka penuntutan dilakukan dalam proses kitabahnya, karena hal itu seperti tindak pidana. Jika dia tidak mampu (membayar), maka sampai dia merdeka. Jika seseorang memukulnya lalu dia keguguran, maka hukumnya sama seperti keguguran anak perempuan merdeka.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ جَعَلَ الشَّافِعِيُّ جَنِين الْمُكَاتَبَةَ كَجَنِينِ الْحُرَّةِ إذَا تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنَّهَا حُرَّةٌ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Imam Syafi’i menyamakan janin seorang mukatabah (budak yang sedang dalam proses merdeka) seperti janin seorang wanita merdeka, jika dia menikahinya dengan anggapan bahwa wanita itu merdeka.”

الْأَمَةُ تُعْتَقُ وَزَوْجُهَا عَبْدٌ

 

Budak perempuan dimerdekakan sementara suaminya tetap budak

مِنْ كِتَابٍ قَدِيمٍ وَمِنْ إمْلَاءٍ وَكِتَابِ نِكَاحٍ وَطَلَاقٍ إمْلَاءٌ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ.

 

Dari sebuah kitab kuno, dari sebuah imla’ (dikte), dan kitab nikah serta talak, sebuah imla’ mengenai masalah-masalah Malik.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ رَبِيعَةَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – «أَنَّ بَرِيرَةَ أُعْتِقَتْ فَخَيَّرَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» (قَالَ) : وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ لَيْسَ بَيْعُهَا طَلَاقَهَا إذْ خَيِّرْهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَعْدَ بَيْعِهَا فِي زَوْجِهَا وَرُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ عَبْدًا «وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا يُقَالُ لَهُ مُغِيثٌ كَأَنِّي أَنْظُرُ إلَيْهِ يَطُوفُ خَلْفَهَا يَبْكِي وَدُمُوعُهُ تَسِيلُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِلْعَبَّاسِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: يَا عَبَّاسُ أَلَا تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيثٍ بَرِيرَةَ وَمِنْ بُغْضِ بَرِيرَةَ مُغِيثًا؟ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَوْ رَاجَعْته فَإِنَّمَا هُوَ أَبُو وَلَدِك فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَمْرِك؟ قَالَ: إنَّمَا أَنَا شَفِيعٌ قَالَتْ: فَلَا حَاجَةَ لِي فِيهِ» وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّهُ قَالَ: كَانَ عَبْدًا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Malik mengabarkan kepada kami dari Rabi’ah dari Al-Qasim bin Muhammad dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – bahwa Barirah dimerdekakan, lalu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberinya pilihan. (Imam Syafi’i) berkata: Dalam hal ini terdapat dalil bahwa penjualannya tidak otomatis menceraikannya, karena Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memberinya pilihan setelah penjualannya terkait suaminya. Diriwayatkan dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – bahwa Beliau berkata: “Dulu dia adalah seorang budak.” Dan dari Ibnu Abbas bahwa dia adalah seorang budak bernama Mughits, seolah-olah aku melihatnya berkeliling di belakangnya sambil menangis, air matanya mengalir di jenggotnya. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepada Abbas – radhiyallahu ‘anhu -: “Wahai Abbas, tidakkah engkau heran dengan cinta Mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits?” Kemudian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepadanya: “Bagaimana jika engkau rujuk dengannya? Dia adalah ayah anakmu.” Barirah berkata: “Wahai Rasulullah, apakah ini perintahmu?” Beliau menjawab: “Aku hanya menjadi penengah.” Beliau berkata: “Aku tidak membutuhkannya.” Dan dari Ibnu Umar – radhiyallahu ‘anhuma – bahwa Beliau berkata: “Dia dulu adalah seorang budak.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يُشْبِهُ الْعَبْدُ الْحُرَّ؛ لِأَنَّ الْعَبْدَ لَا يَمْلِكُ نَفْسَهُ وَلِأَنَّ لِلسَّيِّدِ إخْرَاجَهُ عَنْهَا وَمَنْعَهُ مِنْهَا وَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ لِوَلَدِهَا وَلَا وِلَايَةَ وَلَا مِيرَاثَ بَيْنَهُمَا فَلِهَذَا – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – كَانَ لَهَا الْخِيَارُ إذَا أُعْتِقَتْ مَا لَمْ يُصِبْهَا زَوْجُهَا بَعْدَ الْعِتْقِ وَلَا أَعْلَمُ فِي تَأْقِيتِ الْخِيَارِ شَيْئًا يُتْبَعُ إلَّا قَوْلَ حَفْصَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَا لَمْ يَمَسَّهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan seorang budak tidaklah sama dengan orang merdeka, karena budak tidak memiliki dirinya sendiri, dan karena tuannya dapat mengeluarkannya dari pernikahan atau melarangnya. Juga tidak ada kewajiban nafkah atasnya untuk anak istrinya, tidak ada hak perwalian, dan tidak ada warisan di antara mereka. Oleh karena itu – wallahu a’lam – istri budak memiliki hak khiyar (memilih) jika ia dimerdekakan, selama suaminya belum menyetubuhinya setelah kemerdekaan. Dan aku tidak mengetahui batasan waktu khiyar yang dapat diikuti kecuali perkataan Hafshah, istri Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – yaitu selama suaminya belum menyentuhnya.”

 

(قَالَ) : فَإِنْ أَصَابَهَا فَادَّعَتْ الْجَهَالَةَ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا خِيَارَ لَهَا. وَالْآخَرُ: لَهَا الْخِيَارُ وَهَذَا أَحَبُّ إلَيْنَا (قُلْت أَنَا) وَقَدْ قُطِعَ بِأَنَّ لَهَا الْخِيَارَ فِي كِتَابَيْنِ وَلَا مَعْنَى فِيهَا لِقَوْلَيْنِ.

 

 

(Dia berkata): “Jika dia (suami) telah menyetubuhinya lalu si istri mengklaim ketidaktahuan (tentang cacat), maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa dia (istri) tidak memiliki hak khiyar (memilih). Pendapat lainnya adalah bahwa dia memiliki hak khiyar, dan ini lebih kami sukai.” (Aku berkata): “Dan telah dipastikan bahwa dia memiliki hak khiyar dalam dua kitab, dan tidak ada makna untuk dua pendapat dalam hal ini.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ اخْتَارَتْ فِرَاقَهُ وَلَمْ يَمَسَّهَا فَلَا صَدَاقَ لَهَا فَإِنْ أَقَامَتْ مَعَهُ فَالصَّدَاقُ لِلسَّيِّدِ؛ لِأَنَّهُ وَجَبَ بِالْعَقْدِ، وَلَوْ كَانَتْ فِي عِدَّةِ طَلْقَةٍ فَلَهَا الْفَسْخُ، وَإِنْ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهِيَ عَلَى وَاحِدَةٍ وَعَلَى السُّلْطَانِ أَنْ يُؤَجِّلَهَا أَكْثَرَ مِنْ مُقَامِهَا فَإِنْ كَانَتْ صَبِيَّةً فَحَتَّى تَبْلُغَ وَلَا خِيَارَ لِأَمَةٍ حَتَّى تَكْمُلَ فِيهَا الْحُرِّيَّةُ، وَلَوْ أُعْتِقَ قَبْلَ الْخِيَارِ فَلَا خِيَارَ لَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia (budak wanita) memilih untuk berpisah dengannya (suaminya) dan belum disentuh, maka tidak ada mahar baginya. Jika dia tetap bersamanya, maka mahar itu untuk tuannya karena mahar itu wajib dengan akad. Jika dia dalam masa iddah talak, maka dia berhak membatalkan (pernikahan). Jika setelah itu dia menikahinya lagi, maka dia tetap pada satu talak. Wajib bagi penguasa untuk menundanya lebih lama dari masa tinggalnya. Jika dia masih kecil, maka sampai dia baligh. Seorang budak wanita tidak memiliki hak khiyar (memilih) sampai kebebasan sempurna padanya. Jika dia dimerdekakan sebelum khiyar, maka tidak ada hak khiyar baginya.

 

أَجَلُ الْعِنِّينِ وَالْخَصِيِّ غَيْرِ الْمَجْبُوبِ وَالْخُنْثَى

 

Masa iddah bagi laki-laki impoten dan yang dikebiri bukan karena dipotong kemaluannya, serta banci

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابٍ قَدِيمٍ وَمِنْ كِتَابِ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ.

 

Dari kitab Al-Jami’, dari sebuah kitab kuno, dan dari kitab At-Ta’ridh bil Khithbah.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ أَجَّلَ الْعِنِّينَ سَنَةً.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah ta’ala – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Ma’mar dari Az-Zuhri dari Ibnul Musayyab dari Umar – radhiyallahu ‘anhu – bahwa ia memberikan tenggang waktu satu tahun kepada laki-laki yang impotent.

 

(قَالَ) : وَلَا أَحْفَظُ عَمَّنْ لَقِيته خِلَافًا فِي ذَلِكَ فَإِنْ جَامَعَ وَإِلَّا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ قُطِعَ مِنْ ذَكَرِهِ فَبَقِيَ مِنْهُ مَا يَقَعُ مَوْقِعَ الْجِمَاعِ أَوْ كَانَ خُنْثَى يَبُولُ مِنْ حَيْثُ يَبُولُ الرِّجَالُ أَوْ كَانَ يُصِيبُ غَيْرَهَا وَلَا يُصِيبُهَا فَسَأَلَتْ فِرْقَتَهُ أَجَّلْته سَنَةً مِنْ يَوْمِ تَرَافَعَا إلَيْنَا.

 

 

Beliau berkata: “Aku tidak menemukan perbedaan pendapat dari orang yang kujumpai mengenai hal itu. Jika terjadi hubungan intim, maka tidak dipisahkan. Namun jika tidak, maka mereka dipisahkan. Jika sebagian kemaluannya terpotong tetapi masih tersisa bagian yang memungkinkan hubungan intim, atau jika dia seorang khuntsa yang buang air dari tempat buang airnya laki-laki, atau jika dia bisa menggauli selain istrinya tetapi tidak bisa menggauli istrinya, maka pasangannya meminta perpisahan. Aku memberinya tenggang waktu satu tahun sejak hari mereka mengadukan perkaranya kepadaku.”

 

(قَالَ) : فَإِنْ أَصَابَهَا مَرَّةً وَاحِدَةً فَهِيَ امْرَأَتُهُ وَلَا تَكُونُ إصَابَتُهَا إلَّا بِأَنْ يُغَيِّبَ الْحَشَفَةَ أَوْ مَا بَقِيَ مِنْ الذَّكَرِ فِي الْفَرْجِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا خَيَّرَهَا السُّلْطَانُ فَإِنْ شَاءَتْ فِرَاقَهُ فُسِخَ نِكَاحُهَا بِغَيْرِ طَلَاقٍ؛ لِأَنَّهُ إلَيْهَا دُونَهُ فَإِنْ أَقَامَتْ مَعَهُ فَهُوَ تَرْكٌ لِحَقِّهَا فَإِنْ فَارَقَهَا بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ رَاجَعَهَا فِي الْعِدَّةِ ثُمَّ سَأَلَتْ أَنْ يُؤَجَّلَ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهَا.

 

 

Beliau berkata: “Jika dia (suami) telah menyetubuhinya sekali saja, maka dia adalah istrinya. Dan persetubuhan itu tidak terjadi kecuali dengan memasukkan hasyafah (kepala kemaluan) atau sisa zakar ke dalam farji. Jika dia (suami) tidak menyetubuhinya, maka penguasa akan memberikan pilihan kepadanya (istri). Jika dia (istri) memilih untuk berpisah, maka nikahnya dibatalkan tanpa talak, karena hak itu ada padanya (istri), bukan pada suami. Jika dia (istri) tetap bersamanya, maka itu berarti dia melepaskan haknya. Jika setelah itu dia (suami) menceraikannya, lalu merujuknya dalam masa iddah, kemudian dia (istri) meminta penundaan, maka hal itu tidak diperbolehkan baginya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَكَيْفَ يَكُونُ عَلَيْهَا عِدَّةٌ وَلَمْ تَكُنْ إصَابَةٌ وَأَصْلُ قَوْلِهِ لَوْ اسْتَمْتَعَ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَقَالَتْ: لَمْ يُصِبْنِي وَطَلَّقَ فَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ وَلَا عِدَّةَ عَلَيْهَا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ قَالَتْ: لَمْ يُصِبْنِي، وَقَالَ: قَدْ أَصَبْتهَا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ؛ لِأَنَّهَا تُرِيدُ فَسْخَ نِكَاحِهَا وَعَلَيْهِ الْيَمِينُ فَإِنْ نَكَلَ وَحَلَفَتْ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا أُرِيَهَا أَرْبَعًا مِنْ النِّسَاءِ عُدُولًا وَذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى صِدْقِهَا فَإِنْ شَاءَ أَحْلَفَهَا ثُمَّ فُرِّقَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ نَكَلَتْ وَحَلَفَ أَقَامَ مَعَهَا وَذَلِكَ أَنَّ الْعُذْرَةَ قَدْ تَعُودُ فِيمَا يَزْعُمُ أَهْلُ الْخِبْرَةِ بِهَا إذَا لَمْ يُبَالِغْ فِي الْإِصَابَةِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Bagaimana mungkin ada iddah baginya sementara tidak terjadi persetubuhan? Asal pendapatnya adalah: Jika seorang laki-laki bersenang-senang dengan seorang perempuan lalu dia berkata, “Dia tidak menyentuhku,” lalu menceraikannya, maka perempuan itu berhak mendapat separuh mahar dan tidak ada iddah baginya. (Asy-Syafi’i berkata) Jika dia berkata, “Dia tidak menyentuhku,” sedangkan laki-laki itu berkata, “Aku telah menyentuhnya,” maka perkataan laki-laki yang diterima karena perempuan ingin membatalkan pernikahannya, dan laki-laki itu harus bersumpah. Jika dia menolak bersumpah dan perempuan itu bersumpah, maka mereka harus dipisahkan. Jika dia seorang perawan, diperlihatkan kepadanya empat perempuan yang adil sebagai bukti kebenarannya. Jika dia mau, dia bisa menyuruh perempuan itu bersumpah lalu mereka dipisahkan. Jika perempuan itu menolak bersumpah dan laki-laki itu bersumpah, maka dia tetap bersama istrinya. Hal itu karena keperawanan bisa kembali menurut orang yang ahli dalam hal itu jika persetubuhan tidak dilakukan secara sempurna.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلِلْمَرْأَةِ الْخِيَارُ فِي الْمَجْبُوبِ وَغَيْرِ الْمَجْبُوبِ مِنْ سَاعَتِهَا؛ لِأَنَّ الْمَجْبُوبَ لَا يُجَامِعُ أَبَدًا وَالْخَصِيُّ نَاقِصٌ عَنْ الرِّجَالِ، وَإِنْ كَانَ لَهُ ذَكَرٌ إلَّا أَنْ تَكُونَ عَلِمَتْ فَلَا خِيَارَ لَهَا، وَإِنْ لَمْ يُجَامِعْهَا الصَّبِيُّ أُجِّلَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang wanita memiliki hak pilih (untuk membatalkan pernikahan) dalam kasus suami yang kebiri atau tidak kebiri sejak saat itu, karena seorang yang kebiri tidak akan mampu berhubungan badan selamanya, dan seorang yang dikebiri adalah kurang (tidak sempurna) sebagai laki-laki meskipun memiliki kemaluan, kecuali jika wanita itu telah mengetahuinya maka tidak ada hak pilih baginya. Dan jika anak kecil (suami) belum menggaulinya, maka ditangguhkan (hak pilihnya).

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) مَعْنَاهُ عِنْدِي صَبِيٌّ قَدْ بَلَغَ أَنْ يُجَامَعَ مِثْلُهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Maknanya menurutku adalah seorang anak laki-laki yang telah mencapai usia layak untuk disetubuhi sepertinya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ كَانَ خُنَثِي يَبُولُ مِنْ حَيْثُ يَبُولُ الرَّجُلُ فَهُوَ رَجُلٌ يَتَزَوَّجُ امْرَأَةً، وَإِنْ كَانَتْ هِيَ تَبُولُ مِنْ حَيْثُ تَبُولُ الْمَرْأَةُ فَهِيَ امْرَأَةٌ تَتَزَوَّجُ رَجُلًا، وَإِنْ كَانَ مُشْكِلًا لَمْ يُزَوَّجْ، وَقِيلَ لَهُ: أَنْتَ أَعْلَمُ بِنَفْسِك فَأَيُّهُمَا شِئْت أَنْكَحْنَاك عَلَيْهِ ثُمَّ لَا يَكُونُ لَك غَيْرُهُ أَبَدًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang khuntsa kencing dari tempat laki-laki kencing, maka ia adalah laki-laki yang boleh menikahi perempuan. Jika ia kencing dari tempat perempuan kencing, maka ia adalah perempuan yang boleh menikahi laki-laki. Jika masih meragukan, maka tidak dinikahkan. Dan dikatakan kepadanya: “Engkau lebih tahu tentang dirimu sendiri, pilihlah salah satu jenis kelamin yang kau inginkan lalu kami akan menikahkanmu berdasarkan itu, kemudian tidak boleh bagimu untuk mengubahnya selamanya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَبِأَيِّهِمَا تَزَوَّجَ وَهُوَ مُشْكِلٌ كَانَ لِصَاحِبِهِ الْخِيَارُ لِنَقْصِهِ قِيَاسًا عَلَى قَوْلٍ فِي الْخَصِيِّ لَهُ الذَّكَرُ إنَّ لَهَا فِيهِ الْخِيَارَ لِنَقْصِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Maka manapun dari keduanya yang dia nikahi dalam keadaan bermasalah, pihak lain memiliki hak khiyar karena kekurangannya, berdasarkan pendapat tentang orang yang dikebiri yang memiliki zakar, sesungguhnya dia memiliki hak khiyar padanya karena kekurangannya.

 

الْإِحْصَانُ الَّذِي بِهِ يُرْجَمُ مَنْ زَنَى

 

Al-ihshan yang karenanya pezina dirajam

مِنْ كِتَابِ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.

 

Dari kitab tentang sindiran dalam meminang dan hal-hal lainnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا أَصَابَ الْحُرُّ الْبَالِغُ أَوْ أُصِيبَتْ الْحُرَّةُ الْبَالِغَةُ فَهُوَ إحْصَانٌ فِي الشِّرْكِ وَغَيْرِهِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا فَلَوْ كَانَ الْمُشْرِكُ لَا يَكُونُ مُحْصَنًا كَمَا قَالَ بَعْضُ النَّاسِ لَمَّا رَجَمَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – غَيْرَ مُحْصَنٍ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seorang laki-laki merdeka yang sudah baligh melakukan zina atau perempuan merdeka yang sudah baligh dizinai, maka itu termasuk ihshan (perzinaan yang dihukum rajam) baik dalam keadaan syirik maupun selainnya. Karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina. Seandainya orang musyrik tidak termasuk muhshan (yang dihukum rajam) sebagaimana pendapat sebagian orang, tentu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak akan merajam orang yang bukan muhshan.”

 

الصَّدَاقُ

 

mahar

 

مُخْتَصَرٌ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ وَمِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ وَمِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : ذَكَرَ اللَّهُ الصَّدَاقَ وَالْأَجْرَ فِي كِتَابِهِ وَهُوَ الْمَهْرُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً} البقرة: 236 فَدَلَّ أَنَّ عُقْدَةَ النِّكَاحِ بِالْكَلَامِ وَأَنَّ تَرْكَ الصَّدَاقِ لَا يُفْسِدُهَا فَلَوْ عُقِدَ بِمَجْهُولٍ أَوْ بِحَرَامٍ ثَبَتَ النِّكَاحُ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَفِي قَوْله تَعَالَى {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا} النساء: 20 دَلِيلٌ عَلَى أَنْ لَا وَقْتَ لِلصَّدَاقِ يَحْرُمُ بِهِ لِتَرْكِهِ النَّهْيَ عَنْ التَّكْثِيرِ وَتَرْكِهِ حَدَّ الْقَلِيلِ، وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَدُّوا الْعَلَائِقَ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْعَلَائِقُ؟ قَالَ مَا تَرَاضَى بِهِ الْأَهْلُونَ» .

 

 

Ringkasan dari Al-Jami’ dari Kitab Ash-Shadaq, Kitab An-Nikah, dan Kitab Ikhtilaf Malik wa Asy-Syafi’i (Asy-Syafi’i -rahimahullah ta’ala- berkata): Allah menyebutkan ash-shadaq dan al-ajr dalam Kitab-Nya, yaitu mahar. Allah ta’ala berfirman, “Tidak ada dosa atasmu jika kamu menceraikan istri-istrimu yang belum kamu sentuh atau belum kamu tentukan maharnya.” (QS. Al-Baqarah: 236). Ini menunjukkan bahwa akad nikah terjadi dengan perkataan, dan tidak adanya mahar tidak merusaknya. Jika akad dilakukan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau haram, nikah tetap sah dan wanita berhak mendapatkan mahar yang semisal. Dalam firman-Nya, “Dan kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 20) terdapat dalil bahwa tidak ada batasan mahar yang diharamkan karena tidak adanya larangan untuk memperbanyak atau batasan minimal. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Tunaikanlah al-‘ala’iq.” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, apa itu al-‘ala’iq?” Beliau menjawab, “Apa yang disepakati oleh keluarga.”

 

(قَالَ) : وَلَا يَقَعُ اسْمُ عَلَقٍ إلَّا عَلَى مَا لَهُ قِيمَةٌ، وَإِنْ قَلَّتْ مِثْلَ الْفَلْسِ وَمَا أَشْبَهَهُ «وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِرَجُلٍ الْتَمِسْ، وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا فَقَالَ هَلْ مَعَك شَيْءٌ مِنْ الْقُرْآنِ؟ قَالَ: نَعَمْ سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا فَقَالَ قَدْ زَوَّجْتُكهَا بِمَا مَعَك مِنْ الْقُرْآنِ» وَبَلَغَنَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «مَنْ اسْتَحَلَّ بِدِرْهَمٍ فَقَدْ اسْتَحَلَّ» وَأَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ فِي ثَلَاثِ قَبَضَاتِ زَبِيبٍ مَهْرٌ وَقَالَ ابْنُ الْمُسَيِّبِ لَوْ أَصْدَقَهَا سَوْطًا جَازَ، وَقَالَ رَبِيعَةُ: دِرْهَمٌ، قَالَ: قُلْت: وَأَقَلُّ؟ قَالَ: وَنِصْفُ دِرْهَمٍ قَالَ: قُلْت: لَهُ فَأَقَلُّ؟ قَالَ: نَعَمْ وَحَبَّةُ حِنْطَةٍ أَوْ قَبْضَةُ حِنْطَةٍ.

 

 

Beliau berkata: “Nama ‘alaq (maskawin) tidak diberikan kecuali pada sesuatu yang memiliki nilai, meskipun sedikit seperti fulus (uang tembaga) atau yang semisalnya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada seorang lelaki: “Carilah (maskawin), meskipun hanya cincin dari besi.” Lalu lelaki itu mencari tetapi tidak menemukan sesuatu pun. Nabi bertanya: “Apakah engkau memiliki sesuatu dari Al-Qur’an?” Lelaki itu menjawab: “Ya, surah ini dan surah itu.” Maka Nabi bersabda: “Aku nikahkan engkau dengannya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Qur’an.” Telah sampai kepada kami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menghalalkan (pernikahan) dengan satu dirham, maka sungguh ia telah menghalalkannya.” Dan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata tentang tiga genggam zabib (kismis) sebagai maskawin. Ibnu al-Musayyib berkata: “Seandainya ia memberinya cambuk sebagai maskawin, itu diperbolehkan.” Rabi’ah berkata: “Satu dirham.” Dia (perawi) berkata: Aku bertanya: “Boleh kurang dari itu?” Dia menjawab: “Setengah dirham.” Aku bertanya lagi: “Boleh kurang lagi?” Dia menjawab: “Ya, bahkan sebutir gandum atau segenggam gandum.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَمَا جَازَ أَنْ يَكُونَ ثَمَنًا لِشَيْءٍ أَوْ مَبِيعًا بِشَيْءٍ أَوْ أُجْرَةً لِشَيْءٍ جَازَ إذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ مَالِكَةً لِأَمْرِهَا.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Apa saja yang boleh dijadikan harga untuk sesuatu, atau dijual dengan sesuatu, atau upah untuk sesuatu, maka itu diperbolehkan jika wanita tersebut menguasai urusannya sendiri.”

الْجُعَلُ وَالْإِجَارَةُ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ

 

Al-Ju’lu dan al-Ijarah dari Al-Jami’ dari Kitab ash-Shadaq.

وَكِتَابِ النِّكَاحِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ.

 

Dan kitab nikah termasuk dari hukum-hukum Al-Qur’an dan dari kitab nikah yang lama.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا أَنْكَحَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِالْقُرْآنِ فَلَوْ نَكَحَهَا عَلَى أَنْ يُعَلِّمَهَا قُرْآنًا أَوْ يَأْتِيَهَا بِعَبْدِهَا الْآبِقِ فَعَلَّمَهَا أَوْ جَاءَهَا بِالْآبِقِ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ رُجِعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ أَجْرِ التَّعْلِيمِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seorang menikahi wanita dengan mahar berupa Al-Qur’an, misalnya ia menikahinya dengan syarat mengajarkannya Al-Qur’an atau mengembalikan budaknya yang melarikan diri, lalu ia mengajarkannya atau mengembalikan budak tersebut, kemudian menceraikannya sebelum berhubungan, maka dia boleh mengambil kembali separuh dari nilai upah pengajaran.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَبِنِصْفِ أَجْرِ الْمَجِيءِ بِالْآبِقِ فَإِنْ لَمْ يُعَلِّمْهَا أَوْ لَمْ يَأْتِهَا بِالْآبِقِ رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَخْلُوَ بِهَا يُعَلِّمُهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata) “Dan dengan separuh upah membawa budak yang melarikan diri. Jika dia tidak mengajarinya atau tidak membawakan budak yang melarikan diri, maka dia harus mengganti separuh mahar perempuan yang setara dengannya; karena dia tidak boleh menyendiri dengannya untuk mengajarinya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَكَذَا لَوْ قَالَ: نَكَحْت عَلَى خِيَاطَةِ ثَوْبٍ بِعَيْنِهِ فَهَلَكَ الثَّوْبُ فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَهَذَا أَصَحُّ مِنْ قَوْلِهِ لَوْ مَاتَ رَجَعَتْ فِي مَالِهِ بِأَجْرِ مِثْلِهِ فِي تَعْلِيمِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Begitu pula jika dia mengatakan: “Aku menikahi dengan imbalan menjahit pakaian tertentu,” lalu pakaian itu rusak, maka dia berhak mendapatkan mahar semisalnya. Dan ini lebih tepat daripada perkataannya: “Jika dia meninggal, dia boleh mengambil dari hartanya upah semisal dalam pengajaran itu.”

 

صَدَاقُ مَا يَزِيدُ بِبَدَنِهِ وَيَنْقُصُ

 

Mahar sesuatu yang bertambah dengan tubuhnya dan berkurang.

مِنْ الْجَامِعِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ وَنِكَاحِ الْقَدِيمِ وَمِنْ اخْتِلَافِ الْحَدِيثِ وَمِنْ مَسَائِلَ شَتَّى.

 

Dari Al-Jami’ dan selain itu dari kitab tentang mahar dan pernikahan kuno, dari perbedaan hadis, dan dari berbagai masalah.

(Asy-Syafi’i berkata) -semoga Allah merahmatinya-: “Dan segala sesuatu yang dia berikan sebagai mahar lalu dimiliki oleh wanita karena akad dan dia menjaminnya dengan penyerahan, maka wanita berhak atas tambahannya dan wajib menanggung berkurangnya. Jika dia memberikan mahar berupa budak perempuan atau budak laki-laki yang masih kecil lalu mereka besar, atau buta lalu bisa melihat, kemudian dia menceraikannya sebelum berhubungan, maka wanita wajib menyerahkan separuh nilai mereka pada hari dia menerimanya, kecuali jika dia ingin menyerahkan mereka dalam keadaan bertambah, maka suami hanya berhak menerima itu. Kecuali jika pertambahan itu mengubah keadaan mereka, seperti kecil menjadi besar yang jauh berbeda sehingga yang kecil bisa untuk sesuatu yang tidak cocok untuk yang besar, maka suami berhak mendapat separuh nilai mereka. Jika mereka berkurang nilainya, maka suami berhak separuh nilainya, kecuali jika dia ingin mengambil mereka dalam keadaan berkurang, maka wanita tidak boleh menghalanginya, kecuali jika mereka cocok untuk sesuatu yang tidak cocok untuk yang kecil dalam hal serupa. Ini semua berlaku selama qadhi belum memutuskan separuh untuk suami, maka saat itu wanita menjamin apa yang terjadi pada mahar di tangannya. Jika dia menceraikannya saat pohon kurma sedang berbuah dan suami ingin mengambil separuhnya dengan buahnya, maka dia tidak berhak. Ini seperti budak perempuan yang hamil atau kambing yang sedang bunting, tetapi berbeda karena berbuah tidak mengubah keadaan pohon kurma. Jika wanita ingin menyerahkan separuh pohonnya, maka suami hanya berhak itu. Demikian juga semua pohon, kecuali jika pohon dicabut lalu menjadi kering, maka tidak wajib dan wanita tidak boleh meninggalkan buah untuk dipetik lalu menyerahkan separuh pohonnya. Hak suami tidak bisa ditunda kecuali jika dia mengizinkan. Jika dia ingin menunda sampai buahnya ada, maka itu tidak wajib bagi wanita, karena pohon kurma dan pohon lainnya bertambah sampai dipanen. Ketika dia menceraikannya sementara pohon sedang bertambah, maka pertambahan itu terhalang darinya dan wanita yang memilikinya, sedangkan hak suami adalah pada nilainya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ يُجِيزُ بَيْعَ النَّخْلِ قَدْ أُبِّرَتْ فَيَكُونُ ثَمَرُهَا لِلْبَائِعِ حَتَّى يَسْتَجْنِيَهَا وَالنَّخْلُ لِلْمُشْتَرِي مُعَجَّلَةٌ، وَلَوْ كَانَتْ مُؤَخَّرَةً مَا جَازَ بَيْعُ عَيْنٍ مُؤَخَّرَةٍ فَلَمَّا جَازَتْ مُعَجَّلَةً وَالثَّمَرُ فِيهَا جَازَ رَدُّ نِصْفِهَا لِلزَّوْجِ مُعَجَّلًا وَالثَّمَرُ فِيهَا وَكَانَ رَدُّ النِّصْفِ فِي ذَلِكَ أَحَقَّ بِالْجَوَازِ مِنْ الشِّرَاءِ فَإِذَا جَازَ ذَلِكَ فِي الشِّرَاءِ جَازَ فِي الرَّدِّ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini tidak berarti apa-apa menurutku, karena ia membolehkan penjualan pohon kurma yang telah diserbuki, sehingga buahnya menjadi milik penjual hingga dipanen, sedangkan pohonnya menjadi milik pembeli secara langsung. Seandainya penyerahannya ditunda, maka tidak boleh menjual aset yang penyerahannya ditunda. Ketika penyerahan langsung diperbolehkan sementara buahnya masih ada, maka boleh juga mengembalikan separuhnya kepada suami secara langsung sementara buahnya masih ada. Pengembalian separuh dalam hal ini lebih layak untuk diperbolehkan daripada pembelian. Jika hal itu diperbolehkan dalam pembelian, maka juga diperbolehkan dalam pengembalian.

(Asy-Syafi’i berkata): “Demikian pula tanah yang kamu tanami, kamu tanami pohon, atau kamu bajak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الزَّرْعُ مُضِرٌّ بِالْأَرْضِ مُنْقِصٌ لَهَا، وَإِنْ كَانَ لِحَصَادِهِ غَايَةٌ فَلَهُ الْخِيَارُ فِي قَبُولِ نِصْفِ الْأَرْضِ مُنْتَقِصَةً أَوْ الْقِيمَةُ وَالزَّرْعُ لَهَا وَلَيْسَ ثَمَرُ النَّخْلِ مُضِرًّا بِهَا فَلَهُ نِصْفُ النَّخْلِ وَالثَّمَرُ لَهَا وَأَمَّا الْغِرَاسُ فَلَيْسَ بِشَبِيهٍ لَهُمَا؛ لِأَنَّ لَهُمَا غَايَةً يُفَارِقَانِ فِيهَا مَكَانَهُمَا مِنْ جِذَاذٍ وَحَصَادٍ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْغِرَاسُ؛ لِأَنَّهُ ثَابِتٌ فِي الْأَرْضِ فَلَهُ نِصْفُ قِيمَتِهَا وَأَمَّا الْحَرْثُ فَزِيَادَةٌ لَهَا فَلَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تُعْطِيَهُ نِصْفَ مَا زَادَ فِي مِلْكِهَا إلَّا أَنْ تَشَاءَ وَهَذَا عِنْدِي أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Tanaman merusak tanah dan mengurangi nilainya. Meskipun panennya memiliki tujuan, dia berhak memilih antara menerima separuh tanah yang berkurang nilainya atau menerima nilainya beserta tanamannya. Adapun buah kurma tidak merusak tanah, maka dia berhak separuh pohon kurma, sedangkan buahnya milik pemilik tanah. Sedangkan tanaman yang ditanam (ghiras) tidak serupa dengan keduanya, karena keduanya memiliki tujuan yang membuatnya meninggalkan tempatnya, yaitu dipanen atau dituai, tidak seperti ghiras yang tetap menetap di tanah. Maka dia berhak separuh nilai tanahnya. Adapun membajak adalah tambahan bagi tanah, sehingga pemilik tanah tidak wajib memberinya separuh dari tambahan yang ada di miliknya kecuali jika dia menghendaki. Menurutku, ini lebih mendekati pendapatnya. Dan hanya kepada Allah pertolongan.

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya budak perempuan melahirkan dalam penguasaannya atau hewan ternak beranak lalu berkurang nilainya, maka anak tersebut adalah miliknya (suami) bukan miliknya (istri); karena anak itu terjadi dalam kepemilikannya (suami). Jika dia (istri) menghendaki, dia boleh mengambil separuh dari nilai yang berkurang, atau jika dia menghendaki, dia boleh mengambil separuh dari nilai pada hari dia diberi mahar.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ وُلِدَتْ الْأَمَةُ فِي يَدَيْهِ أَوْ نَتَجَتْ الْمَاشِيَةُ فَنَقَصَتْ عَنْ حَالِهَا كَانَ الْوَلَدُ لَهَا دُونَهُ؛ لِأَنَّهُ حَدَثَ فِي مِلْكِهَا فَإِنْ شَاءَتْ أَخَذَتْ أَنْصَافَهَا نَاقِصَةً، وَإِنْ شَاءَتْ أَخَذَتْ أَنْصَافَ قِيمَتِهَا يَوْمَ أَصْدَقَهَا.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا قِيَاسُ قَوْلِهِ فِي أَوَّلِ بَابِ مَا جَاءَ فِي الصَّدَاقِ فِي كِتَابِ الْأُمِّ وَهُوَ قَوْلُهُ وَهَذَا خَطَأٌ عَلَى أَصْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini adalah qiyas dari perkataannya di awal bab tentang mahar dalam kitab Al-Umm, yaitu ucapannya, dan ini adalah kesalahan berdasarkan prinsipnya.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ أَصْدَقَهَا عَرَضًا بِعَيْنِهِ أَوْ عَبْدًا فَهَلَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْفَعَهُ فَلَهَا قِيمَتُهُ يَوْمَ وَقَعَ النِّكَاحُ فَإِنْ طَلَبَتْهُ فَمَنَعَهَا فَهُوَ غَاصِبٌ وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ مَا كَانَ قِيمَةً.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika dia memberikan mahar berupa barang tertentu atau budak, lalu barang itu rusak sebelum diserahkan, maka wanita berhak mendapatkan nilainya pada hari pernikahan terjadi. Jika dia memintanya namun dihalangi, maka dia dianggap merampas dan wajib membayar nilai tertinggi yang pernah dimilikinya.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَالَ فِي كِتَابِ الْخُلْعِ: لَوْ أَصْدَقَهَا دَارًا فَاحْتَرَقَتْ قَبْلَ أَنْ تَقْبِضَهَا كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَرْجِعَ بِمَهْرِ مِثْلِهَا أَوْ تَكُونَ لَهَا الْعَرْصَةُ بِحِصَّتِهَا مِنْ الْمَهْرِ، وَقَالَ فِيهِ أَيْضًا: لَوْ خَلَعَهَا عَلَى عَبْدٍ بِعَيْنِهِ فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَهُ رَجَعَ عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا يَرْجِعُ لَوْ اشْتَرَاهُ مِنْهَا فَمَاتَ رَجَعَ بِالثَّمَنِ الَّذِي قَبَضَتْ.

 

(Al-Muzani berkata) Dia telah menyebutkan dalam kitab Al-Khulu’: Jika seorang suami memberikan mahar berupa rumah kepada istrinya, lalu rumah itu terbakar sebelum ia menerimanya, maka sang istri berhak memilih antara mengambil mahar yang senilai atau menerima sisa tanah sesuai bagiannya dari mahar tersebut. Dia juga berkata dalam kitab itu: Jika suami menceraikan istri dengan tebusan berupa seorang budak tertentu, lalu budak itu meninggal sebelum diserahkan, maka suami berhak menuntut kembali mahar yang senilai, sebagaimana jika dia membeli budak itu dari istri lalu budak itu meninggal, dia berhak mengambil kembali harga yang telah dibayarkan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ؛ لِأَنَّهُ يَجْعَلُ بَدَلَ النِّكَاحِ وَبَدَلَ الْخُلْعِ فِي مَعْنَى بَدَلِ الْبَيْعِ الْمُسْتَهْلَكِ فَإِذَا بَطَلَ الْبَيْعُ قَبْلَ أَنْ يَقْبِضَ وَقَدْ قَبَضَ الْبَدَلَ وَاسْتُهْلِكَ رَجَعَ بِقِيمَةِ الْمُسْتَهْلَكِ وَكَذَلِكَ النِّكَاحُ وَالْخُلْعُ إذَا بَطَلَ بَدَلُهُمَا رَجَعَ بِقِيمَتِهِمَا وَهُوَ مَهْرُ الْمِثْلِ كَالْبَيْعِ الْمُسْتَهْلَكِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini lebih mirip dengan prinsip dasarnya; karena ia menjadikan pengganti nikah dan pengganti khulu’ dalam makna pengganti jual beli yang telah dihabiskan. Jika jual beli batal sebelum menerima barang, sementara penggantinya telah diterima dan dihabiskan, maka ia berhak mendapatkan nilai yang telah dihabiskan. Demikian pula nikah dan khulu’, jika penggantinya batal, maka ia berhak mendapatkan nilainya, yaitu mahar yang semisal, seperti jual beli yang telah dihabiskan.

 

(قَالَ) : وَلَوْ جَعَلَ ثَمَرَ النَّخْلِ فِي قَوَارِيرَ وَجَعَلَ عَلَيْهَا صَقْرًا مِنْ صَقْرِ نَخْلِهَا كَانَ لَهَا أَخْذُهُ وَنَزْعُهُ مِنْ الْقَوَارِيرِ فَإِذَا كَانَ إذَا نَزَعَ فَسَدَ وَلَمْ يَبْقَ مِنْهُ شَيْءٌ يُنْتَفَعُ بِهِ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَأْخُذَهُ أَوْ تَأْخُذَ مِنْهُ مِثْلَهُ وَمِثْلَ صَقْرِهِ إنْ كَانَ لَهُ مِثْلٌ أَوْ قِيمَتُهُ إنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلٌ، وَلَوْ رَبَّهُ بِرُبٍّ مِنْ عِنْدَهُ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَأْخُذَهُ وَتَنْزِعَ مَا عَلَيْهِ مِنْ الرُّبِّ أَوْ تَأْخُذَ مِثْلَ التَّمْرِ إذَا كَانَ إذَا خَرَجَ مِنْ الرُّبِّ لَا يَبْقَى يَابِسًا بَقَاءَ التَّمْرِ الَّذِي لَمْ يُصِبْهُ الرُّبُّ أَوْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya buah kurma dimasukkan ke dalam botol lalu diberi sari dari pohon kurmanya, maka dia berhak mengambil dan mencabutnya dari botol. Jika ketika dicabut menjadi rusak dan tidak tersisa sesuatu yang bisa dimanfaatkan, maka dia berhak memilih antara mengambilnya atau mengambil yang semisal beserta sarinya jika ada yang serupa, atau nilainya jika tidak ada yang serupa. Dan jika dia mengolahnya menjadi selai dari selainya sendiri, maka dia berhak memilih antara mengambilnya dan membuang selai yang ada padanya, atau mengambil kurma yang semisal jika ketika dikeluarkan dari selai tidak lagi kering seperti kurma yang tidak terkena selai atau rasanya berubah.”

 

(قَالَ) : وَكُلُّ مَا أُصِيبَ فِي يَدَيْهِ بِفِعْلِهِ أَوْ غَيْرِهِ فَهُوَ كَالْغَاصِبِ فِيهِ إلَّا أَنْ تَكُونَ أَمَةٌ فَيَطَأهَا فَتَلِدُ مِنْهُ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَيَقُولُ: كُنْت أَرَاهَا لَا تَمْلِكُ إلَّا نِصْفَهَا حَتَّى أَدْخُلَ فَيَقُومُ الْوَلَدُ عَلَيْهِ يَوْمَ سَقَطَ وَيَلْحَقُ بِهِ وَلَهَا مَهْرُهَا، وَإِنْ شَاءَتْ أَنْ تَسْتَرِقَّهَا فَهِيَ لَهَا، وَإِنْ شَاءَتْ أَخَذَتْ قِيمَتَهَا مِنْهُ أَكْثَرَ مَا كَانَتْ قِيمَةً وَلَا تَكُونُ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَإِنَّمَا جُعِلَتْ لَهَا الْخِيَارُ؛ لِأَنَّ الْوِلَادَةَ تُغَيِّرُهَا عَنْ حَالِهَا يَوْمَ أَصْدَقَهَا.

 

 

Beliau berkata: “Segala sesuatu yang diperoleh melalui tangannya, baik karena perbuatannya atau selainnya, maka statusnya seperti orang yang mengambil secara paksa, kecuali jika itu adalah budak perempuan yang dia setubuhi lalu melahirkan darinya sebelum masuk (masa iddah). Beliau berkata: ‘Aku mengira dia tidak memiliki hak kecuali separuhnya sampai aku masuk.’ Maka anak itu menjadi tanggungannya pada hari kelahirannya dan dinasabkan kepadanya, sementara sang budak berhak mendapatkan maharnya. Jika dia (budak) ingin memerdekakan dirinya, maka dia merdeka. Jika dia ingin mengambil nilainya, maka dia berhak mengambil nilai tertinggi yang pernah dimilikinya, dan dia tidak menjadi ummu walad baginya. Pilihan itu diberikan kepadanya karena kelahiran mengubah statusnya dari kondisi saat dia diberi mahar.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ قَالَ: وَلَوْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا فَأَصَابَتْ بِهِ عَيْبًا فَرَدَّتْهُ أَنَّ لَهَا مَهْرَ مِثْلِهَا وَهَذَا بِقَوْلِهِ أَوْلَى.

 

(Al-Muzani berkata) dan dia telah mengatakan: “Seandainya dia memberinya mahar seorang budak, lalu dia menemukan cacat padanya dan mengembalikannya, maka dia berhak mendapatkan mahar yang semisal, dan pendapat ini lebih utama.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَإِذَا لَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُ أَنَّ لَهَا الرَّدَّ كَالرَّدِّ فِي الْبَيْعِ بِالْعَيْبِ فَلَا يَجُوزُ أَخْذُ قِيمَةِ مَا رَدَّتْ فِي الْبَيْعِ، وَإِنَّمَا تَرْجِعُ إلَى مَا دَفَعَتْ فَإِنْ كَانَ فَائِتًا فَقِيمَتُهُ وَكَذَلِكَ الْبُضْعُ عِنْدَهُ كَالْمَبِيعِ الْفَائِتِ، وَمِمَّا يُؤَكِّدُ ذَلِكَ أَيْضًا قَوْلُهُ فِي الْخُلْعِ لَوْ خَلَعَهَا بِعَبْدٍ فَأَصَابَ بِهِ عَيْبًا أَنَّهُ يَرُدُّهُ وَيَرْجِعُ بِمَهْرِ مِثْلِهَا فَسَوَّى فِي ذَلِكَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا وَهَذَا بِقَوْلِهِ أَوْلَى.

 

 

(Al-Muzani berkata) Jika tidak ada perbedaan pendapat bahwa wanita berhak mengembalikan seperti pengembalian dalam jual beli karena cacat, maka tidak boleh mengambil nilai apa yang dikembalikan dalam jual beli. Wanita hanya berhak kembali kepada apa yang telah ia berikan. Jika barang tersebut telah hilang, maka dengan nilai harganya. Demikian pula persetubuhan menurutnya seperti barang yang hilang dalam jual beli. Yang menguatkan hal ini juga adalah ucapannya tentang khulu’, seandainya suami menceraikannya dengan (tebusan) seorang budak lalu budak itu ternyata cacat, maka ia boleh mengembalikannya dan mengambil mahar semisalnya. Dalam hal ini, ia menyamakan antara suami dan istri. Pendapat ini lebih utama.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَصْدَقَهَا شِقْصًا مِنْ دَارٍ فَفِيهِ الشُّفْعَةُ بِمَهْرِ مِثْلِهَا؛ لِأَنَّ التَّزْوِيجَ فِي عَامَّةِ حُكْمِهِ كَالْبَيْعِ، وَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي الرَّجُلِ يَتَزَوَّجُهَا بِعَبْدٍ يُسَاوِي أَلْفًا عَلَى أَنْ زَادَتْهُ أَلْفًا وَمَهْرُ مِثْلِهَا يَبْلُغُ أَلْفًا فَأَبْطَلَهُ فِي أَحَدِ الْقَوْلَيْنِ وَأَجَازَهُ فِي الْآخَرِ وَجَعَلَ مَا أَصَابَ قَدْرَ الْمَهْرِ مِنْ الْعَبْدِ مَهْرًا وَمَا أَصَابَ قَدْرَ الْأَلْفِ مِنْ الْعَبْدِ مَبِيعًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seorang suami memberikan mahar berupa sebagian dari rumah, maka berlaku hak syuf’ah dengan nilai mahar yang sepadan. Sebab, pernikahan dalam banyak hukumnya sama seperti jual beli.” Pendapat beliau berbeda mengenai kasus seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan mahar seorang budak senilai seribu, dengan syarat perempuan itu menambahkan seribu (kepadanya), sementara mahar yang sepadan untuk perempuan itu mencapai seribu. Dalam satu pendapat, beliau membatalkannya, sedangkan dalam pendapat lain membolehkannya, dengan menganggap bagian budak yang senilai mahar sebagai mahar, dan bagian yang senilai seribu sebagai barang yang dijual.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَشْبَهَ عِنْدِي بِقَوْلِهِ أَنْ لَا يُجِيزَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُجِيزُ الْبَيْعَ إذَا كَانَ فِي عَقْدِهِ كِرَاءٌ وَلَا الْكِتَابَةَ إذَا كَانَ فِي عَقْدِهَا بَيْعٌ، وَلَوْ أَصْدَقَهَا عَبْدًا فَدَبَّرَتْهُ ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ لَمْ يَرْجِعْ فِي نِصْفِهِ؛ لِأَنَّ الرُّجُوعَ لَا يَكُونُ إلَّا بِإِخْرَاجِهَا إيَّاهُ مِنْ مِلْكِهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata) Menurutku, pendapatnya yang paling mirip adalah tidak membolehkannya; karena ia tidak membolehkan jual beli jika dalam akadnya terdapat sewa, dan tidak membolehkan kitabah (perjanjian pembebasan budak) jika dalam akadnya terdapat jual beli. Seandainya ia memberikan mahar berupa seorang budak, lalu budak itu dibebaskan (oleh istrinya), kemudian ia menceraikannya sebelum berhubungan, maka ia tidak berhak mengambil kembali separuh mahar; karena pengambilan kembali hanya terjadi jika budak itu dikeluarkan dari kepemilikannya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ أَجَازَ الرُّجُوعَ فِي كِتَابِ التَّدْبِيرِ بِغَيْرِ إخْرَاجٍ لَهُ مِنْ مِلْكِهِ وَهُوَ بِقَوْلِهِ أَوْلَى.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dia telah membolehkan pembatalan dalam kitab at-Tadbir tanpa mengeluarkannya dari kepemilikannya, dan pendapatnya lebih utama.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) إذَا كَانَ التَّدْبِيرُ وَصِيَّةً لَهُ بِرَقَبَتِهِ فَهُوَ كَمَا لَوْ أَوْصَى لِغَيْرِهِ بِرَقَبَتِهِ مَعَ أَنَّ رَدَّ نِصْفِهِ إلَيْهِ إخْرَاجٌ مِنْ الْمِلْكِ.

 

(Al-Muzanni berkata) Jika pengaturan (tadbir) itu merupakan wasiat untuk dirinya sendiri dengan membebaskan dirinya, maka itu seperti jika ia mewasiatkan kepada orang lain untuk membebaskannya, meskipun mengembalikan setengahnya kepadanya merupakan pengeluaran dari kepemilikan.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى عَبْدٍ فَوُجِدَ حُرًّا فَعَلَيْهِ قِيمَتُهُ.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Seandainya dia menikahinya dengan mahar seorang budak, lalu ternyata budak itu merdeka, maka dia wajib membayar harganya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا غَلَطٌ وَهُوَ يَقُولُ: لَوْ تَزَوَّجَهَا بِشَيْءٍ فَاسْتُحِقَّ رَجَعَتْ إلَى مَهْرِ مِثْلِهَا وَلَمْ تَكُنْ لَهَا قِيمَتُهُ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَمْلِكْهُ فَهِيَ مِنْ مِلْكِ قِيمَةِ الْحُرِّ أَبْعَدُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini adalah kesalahan, dan dia mengatakan: Seandainya dia menikahinya dengan sesuatu lalu maharnya dianggap batal, maka dia kembali kepada mahar yang semisal dengannya dan tidak memiliki nilainya; karena dia tidak memilikinya, sehingga dia lebih jauh dari kepemilikan nilai seorang yang merdeka.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا شَاهَدَ الزَّوْجُ الْوَلِيَّ وَالْمَرْأَةَ أَنَّ الْمَهْرَ كَذَا وَيُعْلِنُ أَكْثَرَ مِنْهُ فَاخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ فِي مَوْضِعِ السِّرِّ، وَقَالَ فِي غَيْرِهِ الْعَلَانِيَةُ وَهَذَا أَوْلَى عِنْدِي؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا يُنْظَرُ إلَى الْعُقُودِ وَمَا قَبْلَهَا وَعْدٌ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika suami menyaksikan wali dan wanita bahwa maharnya sekian, tetapi dia mengumumkan lebih dari itu, maka perkataannya dalam hal itu berbeda. Di satu tempat ia menyebutkan secara rahasia, dan di tempat lain secara terang-terangan. Yang terakhir ini lebih utama menurutku, karena yang diperhatikan adalah akad-akad, sedangkan sebelumnya hanyalah janji.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ عَقَدَ عَلَيْهِ النِّكَاحَ بِعِشْرِينَ يَوْمَ الْخَمِيسِ ثُمَّ عَقَدَ عَلَيْهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِثَلَاثِينَ وَطَلَبَتْهُمَا مَعًا فَهُمَا لَهَا؛ لِأَنَّهُمَا نِكَاحَانِ.

 

(Imam Syafi’i berkata) : Dan jika seseorang menikahkannya dengan mahar dua puluh pada hari Kamis, kemudian menikahkannya lagi dengan mahar tiga puluh pada hari Jumat, lalu dia (perempuan) menuntut kedua mahar tersebut sekaligus, maka keduanya adalah haknya; karena kedua akad tersebut adalah dua pernikahan yang terpisah.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لِلزَّوْجِ أَنْ يَقُولَ: كَانَ الْفِرَاقُ فِي النِّكَاحِ الثَّانِي قَبْلَ الدُّخُولِ فَلَا يَلْزَمُهُ إلَّا مَهْرٌ وَنِصْفٌ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata kepada suami untuk mengatakan: “Perceraian dalam pernikahan kedua terjadi sebelum hubungan intim, maka dia hanya wajib membayar mahar dan setengahnya menurut qiyas pendapatnya.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَصْدَقَ أَرْبَعَ نِسْوَةٍ أَلْفًا قُسِمَتْ عَلَى قَدْرِ مُهُورِهِنَّ كَمَا لَوْ اشْتَرَى أَرْبَعَةَ أَعْبُدٍ فِي صَفْقَةٍ فَيَكُونُ الثَّمَنُ مَقْسُومًا عَلَى قَدْرِ قِيمَتِهِمْ.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): Seandainya seseorang memberikan mahar kepada empat wanita sebesar seribu, maka dibagi sesuai kadar mahar masing-masing, sebagaimana jika seseorang membeli empat budak dalam satu transaksi, maka harga dibagi sesuai nilai mereka.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – نَظِيرُهُنَّ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ أَرْبَعِ نِسْوَةٍ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ عَبْدًا بِثَمَنٍ وَاحِدٍ فَتَجْهَلَ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ ثَمَنَ عَبْدِهَا كَمَا جَهِلَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ مَهْرَ نَفْسِهَا وَفَسَادُ الْمَهْرِ بِقَوْلِهِ أَوْلَى.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Perumpamaan mereka adalah seperti seseorang yang membeli dari empat wanita, masing-masing satu budak dengan harga yang sama, lalu setiap wanita tidak mengetahui harga budaknya, sebagaimana setiap wanita tidak mengetahui mahar dirinya sendiri. Dan kerusakan mahar dengan ucapannya lebih utama.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ أَصْدَقَ عَنْ ابْنِهِ وَدَفَعَ الصَّدَاقَ مِنْ مَالِهِ ثُمَّ طَلَّقَ فَلِلِابْنِ النِّصْفُ كَمَا لَوْ وَهَبَهُ لَهُ فَقَبَضَهُ، وَلَوْ تَزَوَّجَ الْمُولَى عَلَيْهِ بِغَيْرِ أَمْرِ وَلِيِّهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُجِيزَ النِّكَاحَ، وَإِنْ أَصَابَهَا فَلَا صَدَاقَ لَهَا وَلَا شَيْءَ تَسْتَحِلُّ بِهِ إذَا كُنْت لَا أَجْعَلُ عَلَيْهِ فِي سِلْعَةٍ يَشْتَرِيهَا فَيُتْلِفُهَا شَيْئًا لَمْ أَجْعَلْ عَلَيْهِ بِالْإِصَابَةِ شَيْئًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang membayar mahar untuk anaknya dari hartanya sendiri lalu menceraikan istrinya, maka sang anak berhak mendapatkan separuh mahar, sebagaimana jika mahar itu dihibahkan kepadanya dan ia menerimanya. Jika seorang budak menikah tanpa izin walinya, maka ia tidak berhak merestui pernikahan tersebut. Jika ia menyetubuhi istrinya, maka sang istri tidak berhak mendapat mahar atau apa pun yang menghalalkannya. Sebagaimana jika aku tidak membebankan tanggungan atasnya ketika ia membeli suatu barang lalu merusaknya, maka aku juga tidak membebankan tanggungan atasnya karena persetubuhan.”

 

بَابُ التَّفْوِيضِ مِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ

Bab tentang penyerahan dalam kitab mahar

بَابُ التَّفْوِيضِ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ وَمِنْ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ، وَمِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ.

 

Bab tentang penyerahan (tafwidh) dari Al-Jami’ dalam kitab mahar dan pernikahan lama, serta dari imla’ (dikte) atas masalah-masalah Malik.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : التَّفْوِيضُ الَّذِي مَنْ تَزَوَّجَ بِهِ عُرِفَ أَنَّهُ تَفْوِيضٌ أَنْ يَتَزَوَّجَ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ الثَّيِّبَ الْمَالِكَةَ لِأَمْرِهَا بِرِضَاهَا وَيَقُولُ لَهَا: أَتَزَوَّجُك بِغَيْرِ مَهْرٍ فَالنِّكَاحُ فِي هَذَا ثَابِتٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا، وَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا حَتَّى طَلَّقَهَا فَلَهَا الْمُتْعَةُ، وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ بَدَلًا مِنْ الْعُقْدَةِ وَلَا وَقْتَ فِيهَا وَاسْتُحْسِنَ بِقَدْرِ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا أَوْ مَا رَأَى الْوَالِي بِقَدْرِ الزَّوْجَيْنِ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُسَمِّيَ مَهْرًا أَوْ مَاتَتْ فَسَوَاءٌ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Tafwid (penyerahan) yang jika seseorang menikah dengannya diketahui sebagai tafwid adalah ketika seorang laki-laki menikahi seorang janda yang berkuasa atas urusannya dengan kerelaannya dan berkata kepadanya: ‘Aku menikahimu tanpa mahar.’ Maka nikah dalam hal ini sah. Jika dia (suami) menyetubuhinya, maka dia (istri) berhak mendapatkan mahar mitsil (mahar yang semisal). Jika dia belum menyetubuhinya hingga menceraikannya, maka dia berhak mendapatkan mut’ah. Dalam pendapat lamanya, beliau menyebutkan sebagai pengganti dari akad tanpa batasan waktu, dan disunahkan sekitar tiga puluh dirham atau sesuai keputusan wali berdasarkan kondisi kedua mempelai. Jika suami meninggal sebelum menentukan mahar atau istri yang meninggal, maka hukumnya sama.”

 

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِأَبِي هُوَ وَأُمِّي «أَنَّهُ قَضَى فِي بِرْوَعَ بِنْتِ وَاشِقٍ وَنُكِحَتْ بِغَيْرِ مَهْرٍ فَمَاتَ زَوْجُهَا فَقَضَى لَهَا بِمَهْرِ نِسَائِهَا وَبِالْمِيرَاثِ» فَإِنْ كَانَ يَثْبُتُ فَلَا حُجَّةَ فِي قَوْلِ أَحَدٍ دُونَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُقَالُ مَرَّةً عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ وَمَرَّةً عَنْ مَعْقِلِ بْنِ سِنَانٍ وَمَرَّةً عَنْ بَعْضِ بَنِي أَشْجَعَ، وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ فَلَا مَهْرَ وَلَهَا الْمِيرَاثُ وَهُوَ قَوْلُ عَلِيٍّ وَزَيْدٍ وَابْنِ عُمَرَ.

 

 

Dan telah diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan ayah dan ibuku sebagai tebusannya – bahwa beliau memutuskan dalam kasus Birwa’ binti Wasyiq yang dinikahkan tanpa mahar, lalu suaminya meninggal, maka beliau menetapkan untuknya mahar seperti wanita sepadannya dan hak waris. Jika riwayat ini sahih, maka tidak ada hujjah dalam pendapat siapa pun selain Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – terkadang disebutkan dari Ma’qil bin Yasar, terkadang dari Ma’qil bin Sinan, dan terkadang dari sebagian Bani Asyja’. Jika riwayat itu tidak sahih, maka tidak ada mahar tetapi dia tetap mendapat warisan, dan ini adalah pendapat Ali, Zaid, dan Ibnu Umar.

 

(قَالَ) : وَمَتَى طَلَبَتْ الْمَهْرَ فَلَا يَلْزَمُهُ إلَّا أَنْ يَفْرِضَهُ السُّلْطَانُ لَهَا أَوْ يَفْرِضَهُ هُوَ لَهَا بَعْدَ عِلْمِهَا بِصَدَاقِ مِثْلِهَا فَإِنْ فَرَضَهُ فَلَمْ تَرْضَهُ حَتَّى فَارَقَهَا لَمْ يَكُنْ إلَّا مَا اجْتَمَعَا عَلَيْهِ فَيَكُونُ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الْعُقْدَةِ وَقَدْ يَدْخُلُ فِي التَّفْرِيضِ وَلَيْسَ بِالتَّفْوِيضِ الْمَعْرُوفِ وَهُوَ مُخَالِفٌ لِمَا قَبْلَهُ وَهُوَ أَنْ تَقُولَ لَهُ: أَتَزَوَّجُك عَلَى أَنْ تَفْرِضَ لِي مَا شِئْت أَنْتَ أَوْ شِئْت أَنَا فَهَذَا كَالصَّدَاقِ الْفَاسِدِ فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا.

 

 

Beliau berkata: “Jika dia (istri) menuntut mahar, maka suami tidak wajib memberikannya kecuali jika mahar itu ditetapkan oleh penguasa untuknya atau dia sendiri menetapkannya setelah mengetahui mahar yang semisal untuknya. Jika dia menetapkannya tetapi istri tidak menerimanya hingga mereka berpisah, maka tidak ada yang berlaku kecuali apa yang telah mereka sepakati bersama, sebagaimana jika hal itu disebutkan dalam akad nikah. Hal ini bisa termasuk dalam kategori penentuan (tafrīḍ), bukan pendelegasian (tafwīḍ) yang dikenal, dan ini bertentangan dengan kondisi sebelumnya, yaitu ketika istri berkata kepada suami: ‘Aku menikah denganmu dengan syarat engkau menetapkan untukku apa yang engkau kehendaki atau apa yang aku kehendaki.’ Ini seperti mahar yang rusak, maka dia berhak mendapatkan mahar yang semisal untuknya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا بِالتَّفْوِيضِ أَشْبَهُ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Ini lebih mirip dengan tafwid.”

 

تَفْسِيرُ مَهْرِ مِثْلِهَا

Penafsiran mahar yang semisal dengannya

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ وَكِتَابِ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ.

 

Dari Al-Jami’ dari Kitab Ash-Shadaq dan Kitab Al-Imla’ atas Masail Malik.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَتَى قُلْت: لَهَا مَهْرُ نِسَائِهَا فَإِنَّمَا أَعْنِي نِسَاءَ عَصَبَتِهَا وَلَيْسَ أُمُّهَا مِنْ نِسَائِهَا وَأَعْنِي نِسَاءَ بَلَدِهَا وَمَهْرَ مَنْ هُوَ فِي مِثْلِ سِنِّهَا وَعَقْلِهَا وَحُمْقِهَا وَجَمَالِهَا وَقُبْحِهَا وَيُسْرِهَا وَعُسْرِهَا وَأَدَبِهَا وَصَرَاحَتِهَا وَبِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا؛ لِأَنَّ الْمُهُورَ بِذَلِكَ تَخْتَلِفُ وَأَجْعَلُهُ نَقْدًا كُلَّهُ؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ بِالْقِيمَةِ لَا يَكُونُ بِدَيْنٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا نَسَبٌ فَمَهْرُ أَقْرَبِ النَّاسِ مِنْهَا شَبَهًا فِيمَا وَصَفْت، وَإِنْ كَانَ نِسَاؤُهَا إذَا نَكَحْنَ فِي عَشَائِرِهِنَّ خَفَّفْنَ خَفَّفَتْ فِي عَشِيرَتِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Ketika aku mengatakan ‘dia memiliki mahar seperti wanita-wanitanya’, yang aku maksud adalah wanita dari keluarganya (ashabah), dan ibunya tidak termasuk dalam ‘wanita-wanitanya’. Yang aku maksud adalah wanita dari negerinya, dan mahar orang yang seusia dengannya, baik dalam akal, kebodohan, kecantikan, ketampanan, kemudahan, kesulitan, adab, kejujuran, baik perawan atau janda. Karena mahar berbeda-beda berdasarkan hal-hal tersebut. Dan aku menjadikannya tunai seluruhnya, karena keputusan berdasarkan nilai tidak boleh dengan utang. Jika dia tidak memiliki nasab, maka maharnya seperti orang yang paling mirip dengannya dalam hal-hal yang telah disebutkan. Dan jika wanita-wanitanya ketika menikah di lingkungan keluarganya memberikan mahar yang ringan, maka dia juga ringan maharnya di lingkungan keluarganya.”

 

الِاخْتِلَافُ فِي الْمَهْرِ

 

Perbedaan dalam mahar

مِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ.

 

Dari kitab tentang mahar.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا اخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فِي الْمَهْرِ قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ تَحَالَفَا وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَبَدَأْت بِالرَّجُلِ وَهَكَذَا الزَّوْجُ وَأَبُو الصَّبِيَّةِ الْبِكْرِ وَوَرَثَةُ الزَّوْجَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا وَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَرْأَةِ مَا قَبَضَتْ مَهْرَهَا؛ لِأَنَّهُ حَقٌّ مِنْ الْحُقُوقِ فَلَا يَزُولُ إلَّا بِإِقْرَارِ الَّذِي لَهُ الْحَقُّ وَمَنْ إلَيْهِ الْحَقُّ فَإِنْ قَالَتْ الْمَرْأَةُ الَّذِي قَبَضْت هَدِيَّةٌ وَقَالَ: بَلْ هُوَ مَهْرٌ فَقَدْ أَقَرَّتْ بِمَالٍ وَادَّعَتْ مِلْكَهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika suami istri berselisih tentang mahar sebelum atau setelah berhubungan, maka keduanya bersumpah dan wanita berhak mendapat mahar yang semisal. Aku memulai (pembahasan) dengan laki-laki, begitu juga suami, ayak dari anak perawan, ahli waris kedua suami istri atau salah satunya. Perkataan yang dianggap adalah perkataan wanita tentang apa yang telah dia terima sebagai maharnya, karena itu adalah hak dari berbagai hak yang tidak hilang kecuali dengan pengakuan pemilik hak. Jika wanita mengatakan yang dia terima adalah hadiah, sedangkan suami mengatakan itu mahar, maka wanita telah mengakui kepemilikan harta dan mengklaimnya, maka perkataan yang dianggap adalah perkataan suami.”

 

(قَالَ) : وَيَبْرَأُ بِدَفْعِ الْمَهْرِ إلَى أَبِي الْبِكْرِ صَغِيرَةً كَانَتْ أَوْ كَبِيرَةً الَّتِي يَلِي أَبُوهَا بُضْعَهَا وَمَالَهَا

 

 

Beliau berkata: “Dan dia terbebas dengan menyerahkan mahar kepada Abu Bakar, baik perempuan itu masih kecil atau dewasa, yang ayahnya mengurus keperawanan dan hartanya.”

 

الشَّرْطُ فِي الْمَهْرِ

 

Syarat dalam mahar

 

مِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ وَمِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ، وَمِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا عَقَدَ النِّكَاحَ بِأَلْفٍ عَلَى أَنَّ لِأَبِيهَا أَلْفًا فَالْمَهْرُ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الْأَلْفَ لَيْسَ بِمَهْرٍ لَهَا وَلَا بِحَقٍّ لَهُ بِاشْتِرَاطِهِ إيَّاهُ، وَلَوْ نَكَحَ امْرَأَةً عَلَى أَلْفٍ وَعَلَى أَنْ يُعْطِيَ أَبَاهَا أَلْفًا كَانَ جَائِزًا وَلَهَا مَنْعُهُ وَأَخْذُهَا مِنْهُ؛ لِأَنَّهَا هِبَةٌ لَمْ تُقْبَضْ أَوْ وَكَالَةٌ، وَلَوْ أَصْدَقَهَا أَلْفًا عَلَى أَنَّ لَهَا أَنْ تَخْرُجَ أَوْ عَلَى أَنْ لَا يُخْرِجَهَا مِنْ بَلَدِهَا أَوْ عَلَى أَنْ لَا يَنْكِحَ عَلَيْهَا أَوْ لَا يَتَسَرَّى أَوْ شَرَطَتْ عَلَيْهِ مَنْعَ مَا لَهُ أَنْ يَفْعَلَهُ فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا فِي ذَلِكَ كُلِّهِ فَإِنْ كَانَ قَدْ زَادَهَا عَلَى مَهْرِ مِثْلِهَا وَزَادَهَا الشَّرْطَ أَبْطَلْتَ الشَّرْطَ وَلَمْ أَجْعَلْ لَهَا الزِّيَادَةَ لِفَسَادِ عَقْدِ الْمَهْرِ بِالشَّرْطِ، أَلَا تَرَى لَوْ اشْتَرَى عَبْدًا بِمِائَةِ دِينَارٍ وَزِقِّ خَمْرٍ فَمَاتَ الْعَبْدُ فِي يَدِ الْمُشْتَرِي وَرَضِيَ الْبَائِعُ أَنْ يَأْخُذَ الْمِائَةَ وَيُبْطِلَ الزِّقَّ الْخَمْرَ لَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الثَّمَنَ انْعَقَدَ بِمَا لَا يَجُوزُ فَبَطَلَ وَكَانَتْ لَهُ قِيمَةُ الْعَبْدِ، وَلَوْ أَصْدَقَهَا دَارًا وَاشْتَرَطَ لَهُ أَوْ لَهُمَا الْخِيَارَ فِيهَا كَانَ الْمَهْرُ فَاسِدًا.

 

 

Dari kitab tentang mahar dan kitab tentang talak, serta dari imla’ (dikte) mengenai masalah-masalah Malik (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Jika seseorang menikahi wanita dengan mahar seribu dengan syarat ayahnya mendapat seribu, maka maharnya batal karena seribu itu bukan mahar untuknya (wanita) dan bukan hak ayahnya dengan mensyaratkannya. Namun jika menikahi wanita dengan mahar seribu dan memberikan seribu kepada ayahnya, itu boleh, dan si wanita boleh menahan atau mengambilnya karena itu adalah hibah yang belum diterima atau wakalah. Jika dia menetapkan mahar seribu dengan syarat si wanita boleh keluar (dari rumah), atau dia tidak boleh mengeluarkannya dari negerinya, atau tidak boleh menikahi wanita lain, atau tidak boleh memiliki budak perempuan, atau si wanita mensyaratkan untuk mencegah hal yang boleh dia lakukan, maka si wanita berhak mendapat mahar semisalnya dalam semua itu. Jika dia menambah mahar melebihi mahar semisalnya dan menambah syarat, maka syaratnya batal dan tambahan tidak berlaku karena rusaknya akad mahar dengan syarat tersebut. Tidakkah engkau melihat, jika seseorang membeli budak dengan seratus dinar dan segeriba khamr, lalu budak itu mati di tangan pembeli, dan penjual rela mengambil seratus dinar dan membatalkan segeriba khamr, itu tidak boleh karena harga telah disepakati dengan sesuatu yang tidak diperbolehkan sehingga batal, dan dia hanya berhak mendapat nilai budak. Jika dia menetapkan mahar berupa rumah dan mensyaratkan hak khiyar (pilih) untuknya atau keduanya, maka maharnya batal.

 

(قَالَ) : وَلَوْ ضَمِنَ نَفَقَتَهَا أَبُو الزَّوْجِ عَشْرَ سِنِينَ فِي كُلِّ سِنَةٍ كَذَا لَمْ يَجُزْ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ وَأَنَّهُ مَرَّةً أَقَلُّ وَمَرَّةً أَكْثَرُ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: ضَمِنْت لَك مَا دَايَنْت بِهِ فُلَانًا أَوْ مَا وَجَبَ لَك عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ ضَمِنَ مَا لَمْ يَكُنْ وَمَا يَجْهَلُ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya ayah suami menanggung nafkahnya selama sepuluh tahun, setiap tahun sekian, tetap tidak boleh menanggung sesuatu yang belum wajib, karena kadang lebih sedikit dan kadang lebih banyak. Demikian pula jika Beliau berkata: ‘Aku menanggung untukmu apa yang engkau pinjamkan kepada si fulan atau apa yang wajib bagimu atasnya,’ karena dia menanggung sesuatu yang belum ada dan tidak diketahui.”

 

عَفْوُ الْمَهْرِ

 

pengampunan mahar

وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ الْجَامِعِ وَمِنْ كِتَابِ الصَّدَاقِ، وَمِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ.

 

Dan selain itu dari Al-Jami’, dari Kitab Ash-Shadaq, dan dari Al-Imla’ atas masalah-masalah Malik.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Allah Ta’ala berfirman, {Maka bayarlah separuh dari apa yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika mereka (isteri-isteri) memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah} Al-Baqarah: 237.

 

(قَالَ) : وَاَلَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ الزَّوْجُ، وَذَلِكَ أَنَّهُ إنَّمَا يَعْفُو مِنْ مِلْكٍ فَجَعَلَ لَهَا مِمَّا وَجَبَ لَهَا مِنْ نِصْفِ الْمَهْرِ أَنْ تَعْفُوَ وَجَعَلَ لَهُ أَنْ يَعْفُوَ بِأَنْ يُتِمَّ لَهَا الصَّدَاقَ وَبَلَغَنَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ الزَّوْجُ وَهُوَ قَوْلُ شُرَيْحٍ وَسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ وَهُوَ قَوْلُ مُجَاهِدٍ.

 

 

Beliau berkata: “Yang memegang ikatan pernikahan adalah suami. Hal itu karena pengampunan hanya dilakukan dari hak milik. Maka, dia (suami) diberikan hak untuk mengampuni dengan menyempurnakan mahar untuknya (istri). Telah sampai kepada kami dari Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – bahwa yang memegang ikatan pernikahan adalah suami. Ini juga pendapat Syuraih, Sa’id bin Jubair, diriwayatkan dari Ibnul Musayyib, dan merupakan pendapat Mujahid.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: فَأَمَّا أَبُو الْبِكْرِ وَأَبُو الْمَحْجُورِ عَلَيْهِ فَلَا يَجُوزُ عَفْوُهُمَا كَمَا لَا تَجُوزُ لَهَا هِبَةُ أَمْوَالِهِمَا، وَأَيُّ الزَّوْجَيْنِ عَفَا عَمَّا فِي يَدَيْهِ فَلَهُ الرُّجُوعُ قَبْلَ الدَّفْعِ أَوْ الرَّدُّ وَالتَّمَامُ أَفْضَلُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Adapun Abu Bakar dan Abu Mahjur, tidak boleh bagi mereka berdua untuk memaafkan (utang) sebagaimana tidak boleh bagi mereka untuk menghibahkan harta mereka. Dan siapa saja dari pasangan yang memaafkan apa yang ada di tangannya, maka dia boleh menarik kembali sebelum pembayaran atau pengembalian, dan menyempurnakan (pembayaran) itu lebih utama.”

(قَالَ) : وَلَوْ وَهَبَتْ لَهُ صَدَاقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِنِصْفِهِ وَالْآخَرُ لَا يَرْجِعُ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ مَلَكَهُ.

 

Beliau berkata: “Seandainya dia memberikan maharnya kepadanya sebelum dia menyentuhnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya, dia boleh mengambil kembali separuhnya, dan yang lain, dia tidak boleh mengambil kembali sesuatu yang telah dimilikinya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَقَالَ فِي كِتَابِ الْقَدِيمِ: لَا يَرْجِعُ إذَا قَبَضَتْهُ فَوَهَبَتْهُ لَهُ أَوْ لَمْ تَقْبِضْهُ؛ لِأَنَّ هِبَتَهَا لَهُ إبْرَاءٌ لَيْسَ كَاسْتِهْلَاكِهَا إيَّاهُ لَوْ وَهَبَتْهُ لِغَيْرِهِ فَبِأَيِّ شَيْءٍ يَرْجِعُ عَلَيْهَا فَمَا صَارَ إلَيْهِ؟

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Dan dalam kitab Al-Qadim disebutkan: Dia tidak boleh menarik kembali jika perempuan itu telah menerimanya lalu menghadiahkannya kepadanya atau tidak menerimanya; karena pemberiannya kepadanya adalah pembebasan yang tidak seperti penghabisan jika dia memberikannya kepada orang lain. Lalu dengan apa dia bisa menuntutnya kembali? Apa yang telah sampai kepadanya?

 

(قَالَ) : وَكَذَلِكَ إنْ أَعْطَاهَا نِصْفَهُ ثُمَّ وَهَبَتْ لَهُ النِّصْفَ الْآخَرَ ثُمَّ طَلَّقَهَا لَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ وَلَا أَعْلَمُ قَوْلًا غَيْرَ هَذَا إلَّا أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ: هِبَتُهَا لَهُ كَهِبَتِهَا لِغَيْرِهِ وَالْأَوَّلُ عِنْدَنَا أَحْسَنُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ وَلِكُلِّ وَجْهٍ.

 

 

Beliau berkata: “Demikian pula jika dia memberinya separuhnya, lalu dia menghadiahkan separuh lainnya kepadanya, kemudian dia menceraikannya, maka dia tidak mendapatkan kembali sesuatu pun. Aku tidak mengetahui pendapat lain selain ini, kecuali jika ada yang berpendapat: ‘Pemberiannya kepadanya seperti pemberiannya kepada orang lain.’ Namun, pendapat pertama menurut kami lebih baik. Wallahu a’lam, dan setiap pendapat ada alasannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَالْأَحْسَنُ أَوْلَى بِهِ مِنْ الَّذِي لَيْسَ بِأَحْسَنَ وَالْقِيَاسُ عِنْدِي عَلَى قَوْلِهِ مَا قَالَ فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ إذَا وَهَبَتْ لَهُ النِّصْفَ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهَا بِنِصْفِ مَا بَقِيَ.

 

 

(Al-Muzanni berkata) “Yang lebih baik lebih berhak atasnya daripada yang tidak lebih baik. Menurut qiyas saya berdasarkan ucapannya adalah seperti yang dikatakannya dalam kitab Al-Imla’, yaitu jika wanita menghadiahkan separuh (hartanya) untuknya, maka dia boleh mengambil kembali separuh dari sisa yang ada darinya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ خَالَعَتْهُ بِشَيْءٍ مِمَّا عَلَيْهِ مِنْ الْمَهْرِ فَمَا بَقِيَ فَعَلَيْهِ نِصْفُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan jika dia (istri) menebus dirinya dengan sebagian dari mahar yang menjadi tanggungannya, maka sisanya menjadi tanggungan suami separuhnya.”

(Al-Muzani berkata) Ini lebih mirip dengan perkataannya; karena separuh adalah milik bersama dalam apa yang telah diambil dan yang tersisa.

(قَالَ) : فَأَمَّا فِي الصَّدَاقِ غَيْرِ الْمُسَمَّى أَوْ الْفَاسِدِ فَالْبَرَاءَةُ فِي ذَلِكَ بَاطِلَةٌ؛ لِأَنَّهَا أَبْرَأَتْهُ مِمَّا لَا تَعْلَمُ.

 

Beliau berkata: “Adapun mengenai mahar yang tidak disebutkan atau yang rusak, maka pelepasan hak (barā’ah) dalam hal itu adalah batal, karena dia melepaskan haknya atas sesuatu yang tidak diketahuinya.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَبَضَتْ الْفَاسِدَ ثُمَّ رَدَّتْهُ عَلَيْهِ كَانَتْ الْبَرَاءَةُ بَاطِلَةً وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا إلَّا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَهْرِ أَوْ يُعْطِيَهَا مَا تَسْتَيْقِنُ أَنَّهُ أَقَلُّ وَتُحَلِّلُهُ مِمَّا بَيْنَ كَذَا إلَى كَذَا أَوْ يُعْطِيهَا أَكْثَرَ وَيُحَلِّلُهَا مِمَّا بَيْنَ كَذَا إلَى كَذَا.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia (istri) menerima sesuatu yang rusak kemudian mengembalikannya kepada suami, maka pembebasan (dari kewajiban mahar) menjadi batal dan dia berhak mendapatkan mahar yang semisal, kecuali jika hal itu terjadi setelah mengetahui (nilai) mahar, atau suami memberinya sesuatu yang dia yakini lebih sedikit dan dia membebaskannya dari kewajiban antara sekian sampai sekian, atau suami memberinya lebih banyak dan dia membebaskannya dari kewajiban antara sekian sampai sekian.”

 

بَابُ الْحُكْمِ فِي الدُّخُولِ وَإِغْلَاقِ الْبَابِ وَإِرْخَاءِ السِّتْرِ

Bab tentang hukum masuk, menutup pintu, dan menurunkan tirai

مِنْ الْجَامِعِ وَمِنْ كِتَابِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ وَمِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ الْقَدِيمِ.

 

Dari Al-Jami’, dari kitab ‘Isyratin Nisa’, dan dari kitab Ath-Thalaq Al-Qadim.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَيْسَ لَهُ الدُّخُولُ بِهَا حَتَّى يُعْطِيَهَا الْمَالَ فَإِنْ كَانَ كُلُّهُ دَيْنًا فَلَهُ الدُّخُولُ بِهَا وَتُؤَخِّرُ يَوْمًا وَنَحْوَهُ لِتُصْلِحَ أَمْرَهَا وَلَا يُجَاوِزُ بِهَا ثَلَاثًا إلَّا أَنْ تَكُونَ صَغِيرَةً لَا تَحْتَمِلُ الْجِمَاعَ فَيَمْنَعُهُ أَهْلُهَا حَتَّى تَحْتَمِلَ وَالصَّدَاقُ كَالدَّيْنِ سَوَاءٌ وَلَيْسَ عَلَيْهِ دَفْعُ صَدَاقِهَا وَلَا نَفَقَتِهَا حَتَّى تَكُونَ فِي الْحَالِ الَّتِي يُجَامَعُ مِثْلُهَا وَيُخَلَّى بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ، وَإِنْ كَانَتْ بَالِغَةً فَقَالَ: لَا أَدْفَعُ حَتَّى تُدْخِلُوهَا وَقَالُوا: لَا نُدْخِلُهَا حَتَّى تَدْفَعَ فَأَيُّهُمَا تَطَوَّعَ أَجْبَرْت الْآخَرَ، فَإِنْ امْتَنَعُوا مَعًا أَجْبَرْت أَهْلَهَا عَلَى وَقْتٍ يُدْخِلُونَهَا فِيهِ وَأَخَذْت الصَّدَاقَ مِنْ زَوْجِهَا فَإِذَا دَخَلَتْ دَفَعْته إلَيْهَا وَجَعَلْت لَهَا النَّفَقَةَ إذَا قَالُوا: نَدْفَعُهَا إلَيْهِ إذَا دَفَعَ الصَّدَاقَ إلَيْنَا، وَإِنْ كَانَتْ نِضْوًا أُجْبِرَتْ عَلَى الدُّخُولِ إلَّا أَنْ يَكُونَ مِنْ مَرَضٍ لَا يُجَامَعُ فِيهِ مِثْلُهَا فَتُمْهَلُ، وَإِنْ أَفْضَاهَا فَلَمْ تَلْتَئِمْ فَعَلَيْهِ دِيَتُهَا وَلَهَا الْمَهْرُ كَامِلًا وَلَهَا مَنْعُهُ أَنْ يُصِيبَهَا حَتَّى تَبْرَأَ الْبُرْءَ الَّذِي إنْ عَادَ لَمْ يَنْكَأْهَا وَلَمْ يَزِدْ فِي جَرْحِهَا وَالْقَوْلُ فِي ذَلِكَ قَوْلُهَا، فَإِنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ فَلَمْ يَمَسَّهَا حَتَّى طَلَّقَهَا فَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} البقرة: 237 فَإِنْ احْتَجَّ مُحْتَجٌّ بِالْأَثَرِ عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي إغْلَاقِ الْبَابِ وَإِرْخَاءِ السِّتْرِ أَنَّهُ يُوجِبُ الْمَهْرَ فَمِنْ قَوْلِ عُمَرَ مَا ذَنْبُهُنَّ لَوْ جَاءَ بِالْعَجْزِ مِنْ قَبْلِكُمْ؟ فَأَخْبَرَ أَنَّهُ يَجِبُ إذَا خَلَّتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ نَفْسِهَا كَوُجُوبِ الثَّمَنِ بِالْقَبْضِ، وَإِنْ لَمْ يُغْلِقْ بَابًا وَلَمْ يُرْخِ سِتْرًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Dan tidak boleh baginya (suami) untuk masuk (menjimak) sampai dia memberikan harta (mahar) kepadanya. Jika seluruh maharnya berupa utang, maka dia boleh masuk (menjimak) dengannya, dan dia (istri) boleh menunda sehari atau semisalnya untuk mengurus urusannya, dan tidak boleh melebihi tiga hari kecuali jika dia masih kecil yang belum mampu untuk jimak, maka keluarganya boleh melarangnya sampai dia mampu. Mahar itu seperti utang, sama saja. Dan dia (suami) tidak wajib membayar mahar atau nafkahnya sampai dia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk dijimak seperti wanita lain dan dibiarkan antara dia dengan suaminya. Jika dia sudah baligh, lalu suami berkata: ‘Aku tidak akan membayar sampai kalian memasukkan dia (istri),’ dan mereka (keluarga istri) berkata: ‘Kami tidak akan memasukkannya sampai engkau membayar,’ maka siapa pun yang lebih dulu bersedia, pihak yang lain dipaksa. Jika keduanya sama-sama menolak, maka keluarga istri dipaksa untuk memasukkannya dalam waktu tertentu, dan mahar diambil dari suaminya. Jika dia sudah masuk (ke rumah suami), mahar diserahkan kepadanya dan dia berhak atas nafkah jika mereka berkata: ‘Kami akan menyerahkannya kepadanya jika dia membayar mahar kepada kami.’ Jika dia sudah dewasa, dia dipaksa untuk masuk (ke rumah suami) kecuali jika ada penyakit yang menghalangi jimak seperti wanita lain, maka dia diberi tenggat waktu. Jika dia melukainya (hingga merusak selaput dara) dan lukanya belum sembuh, maka dia wajib membayar diyat, dan dia (istri) berhak atas mahar penuh, serta berhak melarangnya untuk menyentuhnya sampai sembuh total, yaitu sembuh yang jika dia kembali (menjimak) tidak akan melukainya atau menambah lukanya. Dan keputusan dalam hal ini ada pada perkataannya (istri). Jika dia sudah masuk ke rumah suami dan belum disentuh sampai dicerai, maka dia berhak separuh mahar berdasarkan firman Allah Ta’ala: ‘Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, padahal kalian sudah menentukan maharnya, maka separuh dari apa yang kalian tentukan.’ (QS. Al-Baqarah: 237). Jika ada yang berargumen dengan atsar dari Umar – semoga Allah meridhainya – tentang menutup pintu dan menurunkan tirai bahwa itu mewajibkan mahar, maka dari perkataan Umar: ‘Apa dosa mereka jika kemandulan datang dari kalian?’ Dia mengabarkan bahwa mahar wajib jika dia (istri) membiarkan antara dirinya dengan suaminya, seperti kewajiban harga dengan penerimaan barang, meskipun tidak menutup pintu atau menurunkan tirai.”

(قَالَ) : وَسَوَاءٌ طَالَ مُقَامُهُ مَعَهَا أَوْ قَصُرَ لَا يَجِبُ الْمَهْرُ وَالْعِدَّةُ إلَّا بِالْمَسِيسِ نَفْسِهِ.

 

Beliau berkata: “Baik lama atau singkatnya dia tinggal bersamanya, mahar dan iddah tidak wajib kecuali dengan bersentuhan kulit.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ جَاءَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ مَعْنَى مَا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ ظَاهِرُ الْقُرْآنِ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Telah datang dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas makna yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Asy-Syafi’i, dan itu adalah makna zahir Al-Qur’an.”

بَابُ الْمُتْعَةِ

Bab tentang Nikah Mut’ah

مِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ.

 

Dari kitab talak yang lama dan baru.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: جَعَلَ اللَّهُ الْمُتْعَةَ لِلْمُطَلَّقَاتِ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ لِكُلِّ مُطَلَّقَةٍ مُتْعَةٌ إلَّا الَّتِي فَرَضَ لَهَا وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَحَسْبُهَا نِصْفُ الْمَهْرِ.

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Allah menjadikan mut’ah untuk wanita-wanita yang dicerai.” Dan Ibnu Umar berkata: “Setiap wanita yang dicerai berhak mendapat mut’ah, kecuali yang telah ditetapkan maharnya tetapi belum disetubuhi, maka cukup baginya separuh mahar.”

 

(قَالَ) : فَالْمُتْعَةُ عَلَى كُلِّ زَوْجٍ طَلَّقَ وَلِكُلِّ زَوْجَةٍ إذَا كَانَ الْفِرَاقُ مِنْ قِبَلِهِ أَوْ يَتِمُّ بِهِ مِثْلَ أَنْ يُطَلِّقَ أَوْ يُخَالِعَ أَوْ يَمْلِكَ أَوْ يُفَارِقَ وَإِذَا كَانَ الْفِرَاقُ مِنْ قِبَلِهِ فَلَا مُتْعَةَ لَهَا وَلَا مَهْرَ أَيْضًا؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِمُطَلَّقَةٍ وَكَذَلِكَ إذَا كَانَتْ أَمَةً فَبَاعَهَا سَيِّدُهَا مِنْ زَوْجِهَا فَهُوَ أَفْسَدَ النِّكَاحَ بِبَيْعِهِ إيَّاهَا مِنْهُ فَأَمَّا الْمُلَاعَنَةُ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْهُ وَمِنْهَا وَلِأَنَّهُ إنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا فَهِيَ كَالْمُطَلَّقَةِ وَأَمَّا امْرَأَةُ الْعِنِّينِ فَلَوْ شَاءَتْ أَقَامَتْ مَعَهُ وَلَهَا عِنْدِي مُتْعَةٌ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

 

(Dia berkata): Maka mut’ah wajib bagi setiap suami yang mencerai dan bagi setiap istri jika perpisahan berasal darinya atau disempurnakan olehnya, seperti jika dia menalak, atau mengkhulu’, atau memerdekakan, atau berpisah. Jika perpisahan berasal darinya (istri), maka tidak ada mut’ah baginya dan juga tidak ada mahar, karena dia bukan yang ditalak. Demikian pula jika dia seorang budak, lalu tuannya menjualnya kepada suaminya, maka dia telah merusak pernikahan dengan menjualnya kepadanya. Adapun li’an, maka itu berasal darinya (suami) dan darinya (istri), karena jika dia (suami) mau, dia bisa menahannya, maka dia seperti yang ditalak. Sedangkan istri seorang impoten, jika dia mau, dia bisa tetap bersamanya, dan menurutku dia berhak mendapat mut’ah. Wallahu a’lam.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا عِنْدِي غَلَطٌ عَلَيْهِ وَقِيَاسُ قَوْلِهِ لَا حَقَّ لَهَا؛ لِأَنَّ الْفِرَاقَ مِنْ قِبَلِهَا دُونَهُ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini menurutku adalah kesalahan padanya, dan analogi ucapannya bahwa dia tidak berhak, karena perceraian berasal darinya, bukan darinya.”

 

الْوَلِيمَةُ وَالنَّثْرُ

 

Walimah dan penaburan

مِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ إمْلَاءٌ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ.

 

Dari kitab perceraian, dikte atas masalah-masalah Malik.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْوَلِيمَةُ الَّتِي تُعْرَفُ وَلِيمَةُ الْعُرْسِ وَكُلُّ دَعْوَةٍ عَلَى إمْلَاكٍ أَوْ نِفَاسٍ أَوْ خِتَانٍ أَوْ حَادِثِ سُرُورٍ فَدَعَا إلَيْهَا رَجُلٌ فَاسْمُ الْوَلِيمَةِ يَقَعُ عَلَيْهَا وَلَا أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا وَمَنْ تَرَكَهَا لَمْ يَبِنْ لِي أَنَّهُ عَاصٍ كَمَا يَبِينُ لِي فِي وَلِيمَةِ الْعُرْسِ؛ لِأَنِّي لَا أَعْلَمُ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَرَكَ الْوَلِيمَةَ عَلَى عُرْسٍ وَلَا أَعْلَمُهُ أَوْلَمَ عَلَى غَيْرِهِ، «وَأَوْلَمَ عَلَى صَفِيَّةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – فِي سَفَرٍ بِسَوِيقٍ وَتَمْرٍ وَقَالَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ أَوْلِمْ، وَلَوْ بِشَاةٍ» (قَالَ) : وَإِنْ كَانَ الْمَدْعُوُّ صَائِمًا أَجَابَ الدَّعْوَةَ وَبَرَكَ وَانْصَرَفَ وَلَيْسَ بِحَتْمٍ أَنْ يَأْكُلَ وَأُحِبُّ لَوْ فَعَلَ وَقَدْ دُعِيَ ابْنُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – فَجَلَسَ وَوُضِعَ الطَّعَامُ فَمَدَّ يَدُهُ وَقَالَ: خُذُوا بِسْمِ اللَّهِ ثُمَّ قَبَضَ يَدَهُ، وَقَالَ: إنِّي صَائِمٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Walimah yang dikenal adalah walimah pernikahan, dan setiap undangan atas kepemilikan, kelahiran, khitan, atau peristiwa kebahagiaan yang seseorang undang untuk hadir, maka nama walimah berlaku padanya. Aku tidak memberikan keringanan untuk meninggalkannya, dan siapa yang meninggalkannya, tidak jelas bagiku bahwa dia bermaksiat sebagaimana jelas bagiku dalam walimah pernikahan. Karena aku tidak mengetahui Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – meninggalkan walimah pada pernikahan, dan aku tidak mengetahui beliau mengadakan walimah untuk selain itu. Beliau mengadakan walimah untuk Shafiyyah – radhiyallahu ‘anha – dalam perjalanan dengan sawiq dan kurma, dan berkata kepada Abdurrahman: ‘Adakan walimah, walau hanya dengan seekor kambing.'” (Imam Syafi’i berkata): “Jika yang diundang sedang berpuasa, dia tetap memenuhi undangan, mendoakan keberkahan, lalu pergi. Tidak wajib baginya untuk makan, tapi aku suka jika dia melakukannya. Ibnu Umar – radhiyallahu ‘anhuma – pernah diundang, lalu duduk dan makanan dihidangkan. Dia mengulurkan tangannya dan berkata: ‘Ambillah, dengan nama Allah,’ kemudian menarik tangannya dan berkata: ‘Aku sedang berpuasa.'”

(Dia) berkata: “Jika di dalamnya terdapat kemaksiatan seperti kemungkaran, khamr (minuman keras), atau semisalnya dari kemaksiatan yang jelas, maka ia harus melarang mereka. Jika mereka menghilangkannya, (maka tidak masalah). Jika tidak, aku tidak suka jika ia duduk (di situ). Jika ia mengetahui hal itu ada pada mereka, aku tidak suka jika ia memenuhi undangan. Jika ia melihat gambar-gambar makhluk bernyawa, janganlah ia masuk jika gambar itu dipajang. Namun jika gambar itu diinjak (seperti karpet), maka tidak mengapa. Jika gambar itu berupa pohon, maka tidak mengapa. Dan aku suka jika ia memenuhi undangan saudaranya. Telah sampai kepada kami bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: ‘Seandainya aku dihadiahkan lengan (hewan), niscaya aku terima. Dan seandainya aku diundang untuk makan kaki (hewan), niscaya aku penuhi.'”

 

(قَالَ) : فِي نَثْرِ الْجَوْزِ وَاللَّوْزِ وَالسُّكْرِ فِي الْعُرْسِ لَوْ تُرِكَ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ؛ لِأَنَّهُ يُؤْخَذُ بِخِلْسَةٍ وَنُهْبَةٍ وَلَا يَبِينُ أَنَّهُ حَرَامٌ إلَّا أَنَّهُ قَدْ يَغْلِبُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَيَأْخُذُ مِنْ غَيْرِهِ أَحَبَّ إلَى صَاحِبِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Mengenai kebiasaan menaburkan kenari, almond, dan gula dalam pernikahan, seandainya hal itu ditinggalkan tentu lebih aku sukai. Sebab, biasanya barang-barang itu diambil secara diam-diam atau direbut, dan tidak jelas bahwa itu haram. Hanya saja, terkadang sebagian orang mengalahkan yang lain, lalu mengambil dari orang lain yang lebih disukai pemiliknya.”

 

مُخْتَصَرُ الْقَسْمِ وَنُشُوزِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ

 

Ringkasan Pembagian dan Pembangkangan Suami terhadap Istri

مِنْ الْجَامِعِ وَمِنْ كِتَابِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ وَمِنْ كِتَابِ نُشُوزِ الْمَرْأَةِ عَلَى الرَّجُلِ وَمِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ الْإِمْلَاءِ.

 

Dari Al-Jami’, dari Kitab ‘Isyratin Nisa’, dari Kitab Nusyuz Al-Mar’ah ‘ala Ar-Rajul, dari Kitab At-Talaq min Ahkam Al-Qur’an, dan dari Al-Imla’.

(Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 228).

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَجِمَاعُ الْمَعْرُوفِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ كَفُّ الْمَكْرُوهِ وَإِعْفَاءُ صَاحِبِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْنَةِ فِي طَلَبِهِ لَا بِإِظْهَارِ الْكَرَاهِيَةِ فِي تَأْدِيَتِهِ فَأَيُّهُمَا مَطَلَ بِتَأْخِيرِهِ فَمَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَتُوُفِّيَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ تِسْعٍ وَكَانَ يَقْسِمُ لِثَمَانٍ وَوَهَبَتْ سَوْدَةُ يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُنَّ -.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Inti kebaikan antara suami istri adalah menahan diri dari hal yang dibenci dan membebaskan pemilik hak dari kesulitan dalam menuntutnya, bukan dengan menunjukkan kebencian dalam memenuhinya. Siapa pun yang menunda kewajibannya, maka penundaan oleh orang yang mampu adalah kezaliman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat dengan meninggalkan sembilan istri, beliau biasa membagi waktu untuk delapan istri, sedangkan Saudah memberikan harinya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhunna.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan dengan ini kami berpendapat, ia (suami) dapat dipaksa untuk melakukan pembagian (giliran). Adapun berhubungan intim, itu adalah tempat kenikmatan dan tidak ada seorang pun yang dipaksa untuk melakukannya. Allah Ta’ala berfirman: ‘Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.’ (QS. An-Nisa’: 129).”

 

(قَالَ) : بَعْضُ أَهْلِ التَّفْسِيرِ لَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بِمَا فِي الْقُلُوبِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُجَاوِزُهُ {فَلا تَمِيلُوا} النساء: 129 لَا تُتْبِعُوا أَهْوَاءَكُمْ أَفْعَالَكُمْ فَإِذَا كَانَ الْفِعْلُ وَالْقَوْلُ مَعَ الْهَوَاءِ فَذَلِكَ كُلُّ الْمَيْلِ وَبَلَغَنَا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يَقْسِمُ فَيَقُولُ «اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ وَأَنْتَ أَعْلَمُ فِيمَا لَا أَمْلِكُ» يَعْنِي – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – فِيمَا لَا أَمْلِكُ؛ قَلْبَهُ (قَالَ) : وَبَلَغَنَا أَنَّهُ كَانَ يُطَافُ بِهِ مَحْمُولًا فِي مَرَضِهِ عَلَى نِسَائِهِ حَتَّى حَلَّلَتْهُ.

 

 

Dia (Ibnu Abbas) berkata: Sebagian ahli tafsir mengatakan, “Kalian tidak akan mampu berbuat adil dalam hal yang ada di dalam hati, karena Allah Ta’ala memaafkannya. {Maka janganlah kamu cenderung} An-Nisa’: 129, janganlah kalian ikuti hawa nafsu dalam perbuatan kalian. Jika perbuatan dan ucapan mengikuti hawa nafsu, maka itulah kecenderungan (yang tercela).” Dan telah sampai kepada kami bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- ketika membagi (giliran di antara istri-istrinya), beliau berdoa, “Ya Allah, ini adalah pembagianku dalam hal yang aku kuasai, sedangkan Engkau lebih mengetahui dalam hal yang tidak aku kuasai.” Maksudnya -wallahu a’lam- adalah dalam hal yang tidak beliau kuasai, yaitu hati (istri-istrinya). Dia (Ibnu Abbas) berkata: Dan telah sampai kepada kami bahwa beliau diusung berkeliling di antara istri-istrinya ketika sakit, hingga mereka menurunkan beliau.

 

(قَالَ) : وَعِمَادُ الْقَسْمِ اللَّيْلُ؛ لِأَنَّهُ سَكَنٌ فَقَالَ {أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا} الروم: 21 فَإِنْ كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ حَرَائِرُ مُسْلِمَاتٌ وَذِمِّيَّاتٌ فَهُنَّ فِي الْقَسْمِ سَوَاءٌ.

 

 

Beliau berkata: “Pilar pembagian adalah malam, karena ia adalah ketenangan, sebagaimana firman-Nya: ‘Pasangan-pasangan agar kamu merasa tenang kepadanya’ (QS. Ar-Rum: 21). Jika seorang laki-laki memiliki istri-istri yang merdeka, baik muslimah maupun dzimmiyah, maka mereka memiliki hak yang sama dalam pembagian.”

 

(قَالَ) : وَيَقْسِمُ لِلْحُرَّةِ لَيْلَتَيْنِ وَلِلْأَمَةِ لَيْلَةً إذَا خَلَّى الْمَوْلَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فِي لَيْلَتِهَا وَيَوْمِهَا وَلِلْأَمَةِ أَنْ تُحَلِّلَهُ مِنْ قَسْمِهَا دُونَ الْمَوْلَى وَلَا يُجَامِعُ الْمَرْأَةَ فِي غَيْرِ يَوْمِهَا وَلَا يَدْخُلُ فِي اللَّيْلِ عَلَى الَّتِي لَمْ يُقْسَمْ لَهَا (قَالَ) : وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا بِالنَّهَارِ فِي حَاجَةٍ وَيَعُودَهَا فِي مَرَضِهَا فِي لَيْلَةِ غَيْرِهَا فَإِذَا ثَقُلَتْ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَهَا حَتَّى تَخِفَّ أَوْ تَمُوتَ ثُمَّ يُوفِيَ مَنْ بَقِيَ مِنْ نِسَائِهِ مِثْلَ مَا أَقَامَ عِنْدَهَا، وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يَقْسِمَ لَيْلَتَيْنِ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثَلَاثًا كَانَ ذَلِكَ لَهُ وَأَكْرَهُ مُجَاوَزَةَ الثَّلَاثِ وَيَقْسِمُ لِلْمَرِيضَةِ وَالرَّتْقَاءِ وَالْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ وَلِلَّتِي آلَى أَوْ ظَاهَرَ مِنْهَا وَلَا يَقْرَبُهَا حَتَّى يُكَفِّرَ؛ لِأَنَّ فِي مَبِيتِهِ سُكْنَى وَإِلْفًا، وَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَلْزَمَ مَنْزِلًا يَأْتِينَهُ فِيهِ كَانَ ذَلِكَ لَهُ عَلَيْهِنَّ فَأَيَّتُهُنَّ امْتَنَعَتْ سَقَطَ حَقُّهَا وَكَذَلِكَ الْمُمْتَنِعَةُ بِالْجُنُونِ.

 

 

(Dia berkata): “Dan dia membagi untuk wanita merdeka dua malam dan untuk budak perempuan satu malam, jika sang suami menyendiri dengannya pada malam dan siang hari yang menjadi haknya. Budak perempuan boleh membebaskan suami dari jatahnya tanpa perlu izin tuannya. Janganlah seorang suami menggauli istri di luar hari jatahnya, dan jangan masuk di malam hari kepada istri yang tidak mendapat jatah.” (Dia berkata): “Tidak mengapa jika dia menemuinya di siang hari untuk suatu keperluan atau menjenguknya saat sakit di malam hari yang bukan haknya. Jika sakitnya parah, tidak mengapa dia tinggal bersamanya sampai membaik atau meninggal, kemudian mengganti hak istri-istri yang lain sesuai lama dia tinggal. Jika dia ingin membagi dua malam untuk dua malam atau tiga untuk tiga, itu boleh, tapi aku tidak suka melebihi tiga. Dia juga wajib membagi jatah untuk istri yang sakit, yang dirajam, yang haid, yang nifas, dan yang dia bersumpah untuk tidak mendekatinya atau menzhiharnya, sampai dia menebus kafarat. Karena bermalam di rumahnya adalah hak tempat tinggal dan keakraban. Jika dia ingin menetap di satu rumah agar mereka mendatanginya, itu adalah haknya atas mereka. Siapa yang menolak, gugur haknya. Demikian juga yang menolak karena gila.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ سَافَرَتْ بِإِذْنِهِ فَلَا قَسْمَ لَهَا وَلَا نَفَقَةَ إلَّا أَنْ يَكُونَ هُوَ أَشْخَصَهَا فَيَلْزَمَهُ كُلُّ ذَلِكَ لَهَا وَعَلَى وَلِيِّ الْمَجْنُونِ أَنْ يَطُوفَ بِهِ عَلَى نِسَائِهِ أَوْ يَأْتِيَهُ بِهِنَّ، وَإِنْ عَمَدَ أَنْ يَجُوزَ بِهِ أَثِمَ فَإِنْ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ وَاحِدَةٍ فِي اللَّيْلِ أَوْ أَخْرَجَهُ سُلْطَانٌ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُوفِيَهَا مَا بَقِيَ مِنْ لَيْلَتِهَا وَلَيْسَ لِلْإِمَاءِ قَسْمٌ وَلَا يُعَطَّلْنَ، وَإِذَا ظَهَرَ الْإِضْرَارُ مِنْهُ بِامْرَأَتِهِ أَسْكَنَاهَا إلَى جَنْبِ مَنْ نَثِقُ بِهِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُسْكِنَ امْرَأَتَيْنِ فِي بَيْتٍ إلَّا أَنْ تَشَاءَا وَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ شُهُودِ جِنَازَةِ أُمِّهَا وَأَبِيهَا وَوَلَدِهَا وَمَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seorang istri bepergian dengan izin suaminya, maka dia tidak berhak atas pembagian waktu maupun nafkah, kecuali jika suami yang memanggilnya, maka suami wajib memberikan semua itu untuknya. Wali orang gila wajib menggilirkannya di antara istri-istrinya atau mendatangkan mereka kepadanya. Jika dia sengaja melewatkan gilirannya, maka dia berdosa. Jika dia keluar dari salah satu istri di malam hari atau dipaksa keluar oleh penguasa, maka dia wajib memenuhi sisa malam untuk istri tersebut. Budak perempuan tidak memiliki hak pembagian waktu tetapi tidak boleh diabaikan. Jika terbukti suami menzalimi istrinya, kami akan menempatkannya di sebelah orang yang kami percayai. Suami tidak boleh menempatkan dua istri dalam satu rumah kecuali mereka berdua menghendakinya. Suami berhak melarang istrinya menghadiri pemakaman ibu, ayah, atau anaknya, meskipun aku tidak menyukai hal itu baginya.”

 

بَابُ الْحَالِ الَّتِي يَخْتَلِفُ فِيهَا حَالُ النِّسَاءِ

 

Bab tentang keadaan yang berbeda dalam kondisi wanita.

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ وَمِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ نُشُوزِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ.

 

Dari kitab Al-Jami’, dari kitab tentang perceraian, dari hukum-hukum Al-Qur’an, dan dari pembangkangan suami terhadap istri.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فِي «قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِأُمِّ سَلَمَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – إنْ شِئْت سَبَّعْتُ عِنْدَكِ وَسَبَّعْتُ عِنْدَهُنَّ، وَإِنْ شِئْتِ ثَلَّثْت عِنْدَك وَدُرْت» دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الرَّجُلَ إذَا تَزَوَّجَ الْبِكْرَ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَهَا سَبْعًا وَالثَّيِّبَ ثَلَاثًا وَلَا يَحْتَسِبُ عَلَيْهِ بِهَا نِسَاؤُهُ اللَّاتِي عِنْدَهُ قَبْلَهَا وَقَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ لِلْبِكْرِ سَبْعٌ وَلِلثَّيِّبِ ثَلَاثٌ، قَالَ: وَلَا أُحِبُّ أَنْ يَتَخَلَّفَ عَنْ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ وَلَا شُهُودِ جِنَازَةٍ وَلَا بِرٍّ كَانَ يَفْعَلُهُ وَلَا إجَابَةِ دَعْوَةٍ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Dalam sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – kepada Ummu Salamah – radhiyallahu ‘anha -, “Jika engkau mau, aku akan tinggal bersamamu selama tujuh hari dan juga tujuh hari bersama mereka (istri-istri lainnya). Atau jika engkau mau, aku akan tinggal bersamamu tiga hari lalu bergilir,” terdapat petunjuk bahwa seorang laki-laki yang menikahi gadis wajib tinggal bersamanya selama tujuh hari, sedangkan jika menikahi janda tiga hari, tanpa dihitung sebagai bagian dari giliran istri-istrinya yang sudah ada sebelumnya. Anas bin Malik berkata, “Untuk gadis tujuh hari, untuk janda tiga hari.” Imam Syafi’i juga mengatakan, “Aku tidak suka jika seseorang meninggalkan shalat wajib, menghadiri jenazah, kebajikan yang biasa dilakukannya, atau memenuhi undangan.”

الْقَسْمُ لِلنِّسَاءِ إذَا حَضَرَ سَفَرٌ

 

Pembagian giliran untuk istri-istri ketika akan bepergian.

 

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ وَمِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ نُشُوزِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ.

 

 

Dari Al-Jami’ dari kitab tentang talak, dari hukum-hukum Al-Qur’an, dan dari pembangkangan suami terhadap istri.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا عَمِّي مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ شَافِعٍ أَحْسَبُهُ عَنْ الزُّهْرِيِّ ” شَكَّ الْمُزَنِيّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – أَنَّهَا قَالَتْ: «كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا» .

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Pamanku, Muhammad bin Ali bin Syafi’, mengabarkan kepadaku – aku mengira dari Az-Zuhri – Al-Muzanni ragu – dari Ubaidullah – dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – bahwa Beliau berkata: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – jika hendak bepergian, beliau mengundi di antara istri-istrinya. Istri yang keluar undiannya, beliau pergi bersamanya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَكَذَلِكَ إذَا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ بِاثْنَتَيْنِ أَوْ أَكْثَرَ أَقْرَعَ، وَإِنْ خَرَجَ بِوَاحِدَةٍ بِغَيْرِ قُرْعَةٍ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَقْسِمَ لِمَنْ بَقِيَ بِقَدْرِ مَغِيبِهِ مَعَ الَّتِي خَرَجَ بِهَا، وَلَوْ أَرَادَ السَّفَرَ لِنَقْلَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْتَقِلَ بِوَاحِدَةٍ إلَّا أَوْفَى الْبَوَاقِيَ مِثْلَ مُقَامِهِ مَعَهَا، وَلَوْ خَرَجَ بِهَا مُسَافِرًا بِقُرْعَةٍ ثُمَّ أَزْمَعَ الْمُقَامَ لِنَقْلَةٍ احْتَسَبَ عَلَيْهَا مُقَامَهُ بَعْدَ الْإِزْمَاعِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Demikian pula jika seseorang ingin pergi dengan dua istri atau lebih, ia harus mengundi. Jika ia pergi dengan satu istri tanpa undian, ia wajib membagi giliran untuk istri yang ditinggalkan sesuai dengan lamanya ketidakhadirannya bersama istri yang dibawa. Jika ia ingin bepergian untuk pindah tempat, ia tidak boleh membawa satu istri kecuali memenuhi hak istri-istri yang ditinggalkan seperti masa tinggalnya bersama mereka. Jika ia pergi dengan satu istri berdasarkan undian kemudian berniat menetap untuk pindah tempat, maka masa tinggalnya setelah niat tersebut dihitung sebagai hak istri yang dibawa.”

 

بَابُ نُشُوزِ الْمَرْأَةِ عَلَى الرَّجُلِ

 

Bab tentang pembangkangan istri terhadap suami

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ نُشُوزِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ وَمِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ وَمِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ.

 

Dari kitab Al-Jami’, dari kitab Nusyuz Suami terhadap Istri, dari kitab Thalaq, dan dari kitab Ahkam Al-Quran.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Dan perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya…” (QS. An-Nisa’: 34) ayat.

 

(قَالَ) : وَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ عَلَى اخْتِلَافِ حَالِ الْمَرْأَةِ فِيمَا تُعَاتَبُ فِيهِ وَتُعَاقَبُ عَلَيْهِ فَإِذَا رَأَى مِنْهَا دَلَالَةً عَلَى الْخَوْفِ مِنْ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ وَعَظَهَا فَإِنْ أَبْدَتْ نُشُوزًا هَجَرَهَا فَإِنْ أَقَامَتْ عَلَيْهِ ضَرَبَهَا وَقَدْ يُحْتَمَلُ {تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ} النساء: 34 إذَا نَشَزْنَ فَخِفْتُمْ لَجَاجَتِهِنَّ فِي النُّشُوزِ أَنْ يَكُونَ لَكُمْ جَمْعُ الْعِظَةِ وَالْهَجْرِ وَالضَّرْبِ، وَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – «لَا تَضْرِبُوا إمَاءَ اللَّهِ قَالَ فَأَتَاهُ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَئِرَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَأْذَنْ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ كُلُّهُنَّ يَشْتَكِينَ أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَقَدْ أَطَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ سَبْعُونَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ يَشْتَكِينَ أَزْوَاجَهُنَّ فَلَا تَجِدُونَ أُولَئِكَ خِيَارَكُمْ» وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ قَوْلُهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – قَبْلَ نُزُولِ الْآيَةِ بِضَرْبِهِنَّ ثُمَّ أَذِنَ فَجَعَلَ لَهُمْ الضَّرْبَ فَأَخْبَرَ أَنَّ الِاخْتِيَارَ تَرْكُ الضَّرْبِ.

 

 

Beliau berkata: “Dalam hal itu terdapat petunjuk tentang perbedaan kondisi wanita dalam hal yang ia ditegur dan dihukum karenanya. Jika suami melihat tanda ketakutan darinya terhadap suatu perbuatan atau ucapan, maka ia dinasihati. Jika ia menunjukkan pembangkangan (nusyuz), suami boleh menjauhinya. Jika ia tetap dalam pembangkangan, suami boleh memukulnya. Dan mungkin (makna) ‘kalian khawatir akan pembangkangan mereka’ (QS. An-Nisa: 34) adalah jika mereka membangkang dan kalian khawatir akan keras kepala mereka dalam pembangkangan, maka bagi kalian terkumpul nasihat, menjauhi, dan memukul.”

 

Dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.” Lalu Umar -radhiyallahu ‘anhu- datang dan berkata: “Wahai Rasulullah, para wanita telah berani kepada suami-suami mereka, izinkanlah untuk memukul mereka.” Maka banyak wanita mengelilingi keluarga Muhammad, semuanya mengeluhkan suami mereka. Beliau bersabda: “Sungguh, tujuh puluh wanita telah mengelilingi keluarga Muhammad, semuanya mengeluhkan suami mereka. Kalian tidak akan menemukan mereka termasuk orang-orang terbaik di antara kalian.”

 

Dan mungkin sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- (untuk tidak memukul) itu sebelum turunnya ayat tentang memukul, kemudian beliau mengizinkan dan menjadikan memukul sebagai hak mereka (suami), lalu beliau mengabarkan bahwa pilihan terbaik adalah meninggalkan memukul.

 

بَابُ الْحُكْمِ فِي الشِّقَاقِ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ

 

Bab tentang hukum dalam perselisihan antara suami istri.

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الطَّلَاقِ وَمِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ نُشُوزِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ.

 

Dari kitab Al-Jami’, dari kitab Talak, dari hukum-hukum Al-Quran, dan dari pembangkangan suami terhadap istri.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَلَمَّا أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا خِفْنَا الشِّقَاقَ بَيْنَهُمَا بِالْحَكَمَيْنِ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ حُكْمَهُمَا غَيْرُ حُكْمِ الْأَزْوَاجِ فَإِذَا اشْتَبَهَ حَالَاهُمَا فَلَمْ يَفْعَلْ الرَّجُلُ الصُّلْحَ وَلَا الْفُرْقَةَ وَلَا الْمَرْأَةُ تَأْدِيَةَ الْحَقِّ وَلَا الْفِدْيَةَ وَصَارَا مِنْ الْقَوْلِ وَالْفِعْلِ إلَى مَا لَا يَحِلُّ لَهُمَا وَلَا يَحْسُنُ وَتَمَادَيَا بَعَثَ الْإِمَامُ حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا مَأْمُونَيْنِ بِرِضَا الزَّوْجَيْنِ وَتَوْكِيلِهِمَا إيَّاهُمَا بِأَنْ يَجْمَعَا أَوْ يُفَرِّقَا إذَا رَأَيَا ذَلِكَ، وَاحْتُجَّ بِقَوْلِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – ابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا، ثُمَّ قَالَ لِلْحَكَمَيْنِ: هَلْ تَدْرِيَانِ مَا عَلَيْكُمَا؟ عَلَيْكُمَا أَنْ تَجْمَعَا إنْ رَأَيْتُمَا أَنْ تَجْمَعَا وَأَنْ تُفَرِّقَا إنْ رَأَيْتُمَا أَنْ تُفَرِّقَا فَقَالَتْ الْمَرْأَةُ: رَضِيت بِكِتَابِ اللَّهِ بِمَا عَلَيَّ فِيهِ وَلِي فَقَالَ الرَّجُلُ: أَمَّا الْفُرْقَةُ فَلَا فَقَالَ عَلِيٌّ: كَذَبْت وَاَللَّهِ حَتَّى تُقِرَّ بِمِثْلِ الَّذِي أَقَرَّتْ بِهِ فَدَلَّ أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ لِلْحَاكِمِ إلَّا بِرِضَا الزَّوْجَيْنِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ لَبَعَثَ بِغَيْرِ رِضَاهُمَا.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : Ketika Allah Ta’ala memerintahkan dalam hal yang kami khawatirkan terjadi perselisihan antara keduanya dengan dua hakam (juru damai), hal itu menunjukkan bahwa keputusan mereka berbeda dengan keputusan suami-istri. Jika keadaan keduanya samar, sang laki-laki tidak melakukan perdamaian atau perceraian, dan sang perempuan tidak menunaikan hak atau tebusan, lalu keduanya dalam ucapan dan perbuatan sampai pada hal yang tidak halal dan tidak baik bagi mereka, serta terus-menerus dalam hal itu, maka imam mengutus seorang hakam dari keluarganya dan seorang hakam dari keluarga perempuan, yang terpercaya dengan keridhaan dan penunjukan kedua pasangan, untuk memutuskan apakah mereka akan menyatukan atau memisahkan jika melihat hal itu. Dan dijadikan hujah perkataan Ali bin Abi Thalib – semoga Allah meridhainya – : “Utuslah seorang hakam dari keluarganya dan seorang hakam dari keluarganya.” Kemudian Ali berkata kepada kedua hakam: “Apakah kalian tahu apa yang menjadi kewajiban kalian? Kewajiban kalian adalah menyatukan jika kalian melihat untuk menyatukan, dan memisahkan jika kalian melihat untuk memisahkan.” Lalu perempuan itu berkata: “Aku ridha dengan kitab Allah atas apa yang menjadi kewajibanku dan hakku.” Laki-laki itu berkata: “Adapun perceraian, tidak.” Ali berkata: “Engkau dusta, demi Allah, sampai engkau mengakui seperti yang dia akui.” Hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak boleh bagi hakim kecuali dengan keridhaan kedua pasangan. Seandainya boleh, tentu dia akan mengutus tanpa keridhaan keduanya.

 

(قَالَ) : وَلَوْ فَوَّضَا مَعَ الْخُلْعِ وَالْفُرْقَةِ إلَى الْحَكَمَيْنِ الْأَخْذَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ صَاحِبِهِ كَانَ عَلَى الْحَكَمَيْنِ الِاجْتِهَادُ فِيمَا يَرَيَانِهِ أَنَّهُ صَلَاحٌ لَهُمَا بَعْدَ مَعْرِفَةِ اخْتِلَافِهِمَا، وَلَوْ غَابَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ وَلَمْ يَفْسَخْ الْوَكَالَةَ أَمْضَى الْحَكَمَانِ رَأْيَهُمَا، وَأَيُّهُمَا غُلِبَ عَلَى عَقْلِهِ لَمْ يُمْضِ الْحَكَمَانِ بَيْنَهُمَا شَيْئًا حَتَّى يُفِيقَ ثُمَّ يُحْدِثَ الْوَكَالَةَ وَعَلَى السُّلْطَانِ إنْ لَمْ يَرْضَيَا حَكَمَيْنِ أَنْ يَأْخُذَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِنْ صَاحِبِهِ مَا يَلْزَمُ وَيُؤَدِّبُ أَيَّهُمَا رَأَى أَدَبَهُ إنْ امْتَنَعَ بِقَدْرِ مَا يَجِبُ عَلَيْهِ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ: وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ نُجْبِرُهُمَا عَلَى الْحَكَمَيْنِ كَانَ مَذْهَبًا.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya keduanya menyerahkan bersama khulu’ dan perceraian kepada dua hakam (juru damai) untuk mengambil hak masing-masing dari pasangannya, maka wajib bagi kedua hakam untuk berijtihad dalam apa yang mereka pandang sebagai kebaikan bagi keduanya setelah mengetahui perselisihan mereka. Jika salah satu pasangan tidak hadir dan tidak membatalkan perwakilan, kedua hakam dapat melaksanakan pendapat mereka. Jika salah satu dari mereka tidak waras, kedua hakam tidak boleh memutuskan apa pun hingga ia sadar, kemudian memperbarui perwakilan. Wajib bagi penguasa jika keduanya tidak menerima dua hakam untuk mengambil hak masing-masing dari pasangannya sesuai yang wajib dan menghukum siapa pun yang dianggap perlu dihukum jika menolak sesuai kadar kewajibannya.” (Dia juga berkata) dalam kitab Thalaq dari Ahkamul Quran: “Seandainya ada yang berkata, ‘Kami memaksa mereka untuk menerima dua hakam,’ maka itu bisa menjadi satu pendapat mazhab.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا ظَاهِرُ الْآيَةِ وَالْقِيَاسُ مَا قَالَ عَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ الطَّلَاقَ لِلْأَزْوَاجِ فَلَا يَكُونُ إلَّا لَهُمْ.

 

 

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Ini adalah makna zahir ayat, dan qiyas (analogi) sesuai dengan apa yang dikatakan Ali—semoga Allah meridhainya—karena Allah Ta’ala menjadikan talak itu hak suami, sehingga tidak boleh kecuali bagi mereka.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ اسْتَكْرَهَهَا عَلَى شَيْءٍ أَخَذَهُ مِنْهَا عَلَى أَنْ طَلَّقَهَا وَأَقَامَتْ عَلَى ذَلِكَ بَيِّنَةً رَدَّ مَا أَخَذَهُ وَلَزِمَهُ مَا طَلَّقَ وَكَانَتْ لَهُ الرَّجْعَةُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika dia memaksanya untuk memberikan sesuatu dengan ancaman menceraikannya, lalu dia (istri) mendatangkan bukti atas hal itu, maka dia (suami) harus mengembalikan apa yang diambilnya, talaknya tetap berlaku, dan dia berhak merujuknya.”

كِتَابُ الْخُلْعِ

بَابُ الْوَجْهِ الَّذِي تَحِلُّ بِهِ الْفِدْيَةُ

Bab Cara yang Sah untuk Membayar Fidyah

بَابُ الْوَجْهِ الَّذِي تَحِلُّ بِهِ الْفِدْيَةُ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ.

 

Bab tentang cara yang membolehkan fidyah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan selainnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : قَالَ اللَّهُ {وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا} البقرة: 229 الْآيَةَ «وَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إلَى صَلَاةِ الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فَقَالَ: مَنْ هَذِهِ؟ فَقَالَتْ: أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ لَا أَنَا وَلَا ثَابِتٌ لِزَوْجِهَا فَلَمَّا جَاءَ ثَابِتٌ قَالَ لَهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: هَذِهِ حَبِيبَةُ تَذْكُرُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ فَقَالَتْ حَبِيبَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ مَا أَعْطَانِي عِنْدِي، فَقَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – خُذْ مِنْهَا فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِي أَهْلِهَا» .

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Allah berfirman, “Dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 229). Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – keluar untuk shalat Subuh, lalu menemukan Habibah binti Sahl di depan pintunya. Beliau bertanya, “Siapa ini?” Dia menjawab, “Aku Habibah binti Sahl, aku tidak bisa lagi bersama Tsabit, suamiku.” Ketika Tsabit datang, Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda kepadanya, “Ini Habibah, dia menyampaikan apa yang Allah kehendaki.” Habibah berkata, “Wahai Rasulullah, semua yang dia berikan kepadaku ada padaku.” Beliau bersabda, “Ambillah darinya.” Maka Tsabit mengambilnya, dan Habibah pun kembali ke keluarganya.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Secara ringkas, jika seorang wanita yang menolak (berhubungan suami istri) padahal suaminya menginginkannya, maka dia boleh menebus diri (dengan membayar fidiah) agar terbebas dari kewajiban memenuhi hak suami atau karena tidak menyukainya. Fidiah itu halal bagi suami. Ini berbeda dengan keadaan dimana hubungan suami istri dikhawatirkan menimbulkan perselisihan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنْ تَكُونَ الْمَرْأَةُ الْمَانِعَةُ مَا يَجِبُ عَلَيْهَا لَهُ الْمُفْتَدِيَةُ تَخْرُجُ مِنْ أَنْ لَا يُؤَدِّيَ حَقَّهُ أَوْ كَرَاهِيَةً لَهُ فَتَحِلُّ الْفِدْيَةُ لِلزَّوْجِ وَهَذِهِ مُخَالَفَةٌ لِلْحَالِ الَّتِي تَشْتَبِهُ فِيهَا حَالُ الزَّوْجَيْنِ خَوْفَ الشِّقَاقِ.

 

(قَالَ) : وَلَوْ خَرَجَ فِي بَعْضِ مَا تَمْنَعُهُ مِنْ الْحَقِّ إلَى أَدَبِهَا بِالضَّرْبِ أَجَزْت ذَلِكَ لَهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَدْ أَذِنَ لِثَابِتٍ بِأَخْذِ الْفِدْيَةِ مِنْ حَبِيبَةَ وَقَدْ نَالَهَا بِضَرْبٍ، وَلَمْ يَقُلْ: لَا يَأْخُذُ مِنْهَا إلَّا فِي قُبُلِ عِدَّتِهَا كَمَا أَمَرَ الْمُطَلِّقَ غَيْرَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia keluar (melakukan) sebagian hal yang engkau larang sebagai haknya untuk mendidiknya dengan pukulan, aku membolehkan hal itu baginya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengizinkan Tsabit untuk mengambil tebusan dari Habibah setelah memukulnya, dan beliau tidak mengatakan: ‘Jangan mengambil darinya kecuali dalam masa iddahnya’, sebagaimana beliau memerintahkan kepada orang yang menceraikan selainnya.”

 

وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ الْخُلْعَ لَيْسَ بِطَلَاقٍ وَعَنْ عُثْمَانَ قَالَ: هِيَ تَطْلِيقَةٌ إلَّا أَنْ تَكُونَ سَمَّيْتَ شَيْئًا.

 

 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa khuluk bukanlah talak, dan dari Utsman ia berkata: “Itu adalah satu talak kecuali jika engkau telah menyebutkan sesuatu (sebagai gantinya).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقُطِعَ فِي بَابِ الْكَلَامِ الَّذِي يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ أَنَّ الْخُلْعَ طَلَاقٌ فَلَا يَقَعُ إلَّا بِمَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ أَوْ مَا يُشْبِهُهُ مِنْ إرَادَةِ الطَّلَاقِ فَإِنْ سَمَّى عَدَدًا أَوْ نَوَى عَدَدًا فَهُوَ مَا نَوَى.

 

 

Al-Muzanni – semoga Allah merahmatinya – berkata, dan telah diputuskan dalam bab ucapan yang menyebabkan talak bahwa khulu’ itu adalah talak. Maka tidak terjadi kecuali dengan apa yang menyebabkan talak atau yang serupa dengannya berupa keinginan untuk talak. Jika dia menyebutkan jumlah atau berniat jumlah, maka itulah yang dia niatkan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا كَانَ الْفِرَاقُ عَنْ تَرَاضٍ، وَلَا يَكُونُ إلَّا بِالزَّوَاجِ وَالْعَقْدُ صَحِيحٌ لَيْسَ فِي أَصْلِهِ عِلَّةٌ فَالْقِيَاسُ عِنْدِي أَنَّهُ طَلَاقٌ، وَمِمَّا يُؤَكِّدُ ذَلِكَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -: فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ طَلَاقًا فَاجْعَلْ لَهُ الرَّجْعَةَ قِيلَ لَهُ: لَمَّا أَخَذَ مِنْ الْمُطَلَّقَةِ عِوَضًا وَكَانَ مَنْ مَلَكَ عِوَضِ شَيْءٍ خَرَجَ مِنْ مِلْكِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ رَجْعَةٌ فِيمَا مَلَكَ عَلَيْهِ فَكَذَلِكَ الْمُخَلَّعَةُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika perpisahan terjadi atas dasar kerelaan bersama, dan itu hanya terjadi melalui pernikahan dengan akad yang sah tanpa cacat pada dasarnya, maka menurut qiyas saya itu adalah talak. Salah satu yang menguatkan hal ini adalah perkataan Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya -: ‘Jika dikatakan: Jika itu adalah talak, maka berikanlah hak rujuk padanya.’ Dijawab: ‘Karena dia telah mengambil kompensasi dari wanita yang ditalak, dan siapa yang menguasai kompensasi sesuatu yang keluar dari kepemilikannya, maka dia tidak memiliki hak rujuk atas apa yang pernah dimilikinya. Demikian pula halnya dengan khulu’.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا حَلَّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسًا عَلَى غَيْرِ فِرَاقٍ حَلَّ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ مَا طَابَتْ بِهِ نَفْسًا وَيَأْخُذَ مَا الْفِرَاقُ بِهِ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ، وَلَوْ خَلَعَهَا تَطْلِيقَةً بِدِينَارٍ عَلَى أَنَّ لَهُ الرَّجْعَةَ فَالطَّلَاقُ لَازِمٌ لَهُ، وَلَهُ الرَّجْعَةُ وَالدِّينَارُ مَرْدُودٌ وَلَا يَمْلِكُهُ وَالرَّجْعَةَ مَعًا وَلَا أُجِيزُ عَلَيْهِ مِنْ الطَّلَاقِ إلَّا مَا أَوْقَعَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika seseorang diperbolehkan memakan apa yang menyenangkan hatinya tanpa perpisahan, maka dia juga boleh memakan apa yang menyenangkan hatinya dan mengambil apa yang menyebabkan perpisahan.” (Dia juga berkata) dalam kitab Al-Imla’ atas masalah-masalah Malik: “Seandainya dia menceraikan istrinya dengan satu talak (dengan imbalan) satu dinar dengan syarat dia berhak rujuk, maka talak itu tetap berlaku baginya, dan dia berhak rujuk, sedangkan dinar tersebut harus dikembalikan. Dia tidak boleh memiliki dinar dan hak rujuk sekaligus. Dan aku tidak membenarkan talak yang dikenakan padanya kecuali talak yang benar-benar dia jatuhkan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: لَيْسَ هَذَا قِيَاسُ أَصْلِهِ؛ لِأَنَّهُ يَجْعَلُ النِّكَاحَ وَالْخُلْعَ بِالْبَدَلِ الْمَجْهُولِ وَالشَّرْطِ الْفَاسِدِ سَوَاءً وَيَجْعَلُ لَهَا فِي النِّكَاحِ مَهْرَ مِثْلِهَا وَلَهُ عَلَيْهَا فِي الْخُلْعِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَمِنْ قَوْلِهِ: لَوْ خَلَعَهَا بِمِائَةٍ عَلَى أَنَّهَا مَتَى طَلَبَتْهَا فَهِيَ لَهَا وَلَهُ الرَّجْعَةُ عَلَيْهَا أَنَّ الْخُلْعَ ثَابِتٌ وَالشَّرْطَ وَالْمَالَ بَاطِلٌ وَعَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini bukan qiyas dari dasar hukumnya, karena ia menyamakan nikah dan khul’ dengan pengganti yang tidak jelas serta syarat yang rusak. Ia juga memberikan mahar seperti wanita seusianya dalam nikah, dan membebankan mahar seperti itu pula dalam khul’. Di antara ucapannya: ‘Seandainya ia menceraikannya dengan seratus (dirham) dengan syarat bahwa jika ia memintanya maka itu menjadi miliknya, sementara suami berhak rujuk, maka khul’ tetap sah, sedangkan syarat dan harta itu batal, dan wanita itu wajib membayar mahar seperti wanita seusianya.'”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَمِنْ قَوْلِهِ: لَوْ خَلَعَ مَحْجُورًا عَلَيْهَا بِمَالٍ إنَّ الْمَالَ يَبْطُلُ وَلَهُ الرَّجْعَةُ، وَإِنْ أَرَادَ يَكُونُ بَائِنًا كَمَا لَوْ طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً بَائِنًا لَمْ تَكُنْ بَائِنًا وَكَانَ لَهُ الرَّجْعَةُ.

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Dan di antara pendapatnya adalah: Jika seorang yang dipaksa (mahjur) melakukan khuluk dengan membayar sejumlah harta, maka harta itu batal dan dia berhak rujuk. Jika dia bermaksud agar khuluk itu bersifat bain (final), sebagaimana jika dia menceraikannya dengan talak bain, maka khuluk itu tidak menjadi bain dan dia tetap berhak rujuk.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -: وَكَذَلِكَ إذَا طَلَّقَهَا بِدِينَارٍ عَلَى أَنَّ لَهُ الرَّجْعَةَ لَا يُبْطِلُهُ الشَّرْطُ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “Demikian pula jika dia menceraikannya dengan (menerima) satu dinar dengan syarat dia memiliki hak rujuk, syarat tersebut tidak membatalkannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يَلْحَقُ الْمُخْتَلِعَةَ طَلَاقٌ، وَإِنْ كَانَتْ فِي الْعِدَّةِ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: يَلْحَقُهَا الطَّلَاقُ فِي الْعِدَّةِ وَاحْتُجَّ بِبَعْضِ التَّابِعِينَ وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ عَلَيْهِ مِنْ الْقُرْآنِ وَالْإِجْمَاعِ بِمَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَلْحَقُهَا بِمَا ذَكَرَ اللَّهُ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ مِنْ اللِّعَانِ وَالظِّهَارِ وَالْإِيلَاءِ وَالْمِيرَاثِ وَالْعِدَّةِ بِوَفَاةِ الزَّوْجِ فَدَلَّتْ خَمْسُ آيَاتٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى أَنَّهَا لَيْسَتْ بِزَوْجَةٍ، وَإِنَّمَا جَعَلَ اللَّهُ الطَّلَاقَ يَقَعُ عَلَى الزَّوْجَةِ فَخَالَفَ الْقُرْآنَ وَالْأَثَرَ وَالْقِيَاسَ ثُمَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ مُتَنَاقِضٌ فَزَعَمَ إنْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ خَلِيَّةٌ أَوْ بَرِيَّةٌ أَوْ بَتَّةٌ يَنْوِي الطَّلَاقَ أَنَّهُ لَا يَلْحَقُهَا طَلَاقٌ، فَإِنْ قَالَ: كُلُّ امْرَأَةٍ لِي طَالِقٌ لَا يَنْوِيهَا وَلَا غَيْرَهَا طُلِّقَ نِسَاؤُهُ دُونَهَا، وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ طَلُقَتْ فَكَيْفَ يُطَلِّقُ غَيْرَ امْرَأَتِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Talak tidak berlaku bagi wanita yang khulu’, meskipun ia masih dalam masa iddah. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair. Sebagian orang berpendapat: talak berlaku baginya selama masa iddah, dengan berargumen berdasarkan sebagian tabi’in. Imam Syafi’i membantahnya dengan Al-Qur’an dan ijma’, menunjukkan bahwa talak tidak berlaku baginya berdasarkan apa yang Allah sebutkan antara suami-istri seperti li’an, zhihar, ila’, warisan, dan iddah karena kematian suami. Lima ayat dalam Kitabullah menunjukkan bahwa dia bukan lagi istri, karena Allah menjadikan talak hanya berlaku bagi istri. Pendapat itu bertentangan dengan Al-Qur’an, atsar, dan qiyas. Kemudian, perkataannya dalam hal ini kontradiktif: jika suami berkata kepadanya ‘engkau bebas’, atau ‘engkau lepas’, atau ‘engkau terputus’ dengan niat talak, maka talak tidak berlaku baginya. Tetapi jika dia berkata ‘semua istriku tertalak’ tanpa meniatkannya atau lainnya, maka istri-istrinya tertalak kecuali dia. Namun jika dia berkata ‘engkau tertalak’, maka dia pun tertalak. Bagaimana mungkin dia menalak selain istrinya?”

 

بَابُ مَا يَقَعُ وَمَا لَا يَقَعُ عَلَى امْرَأَتِهِ مِنْ الطَّلَاقِ وَمِنْ إبَاحَةِ الطَّلَاقِ

 

Bab tentang talak yang sah dan tidak sah terhadap istri serta kebolehan talak.

 

وَمِمَّا سَمِعَتْ مِنْهُ لَفْظًا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا فِي كُلِّ سَنَةٍ وَاحِدَةً فَوَقَعَتْ عَلَيْهَا تَطْلِيقَةٌ ثُمَّ نَكَحَهَا بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ فَجَاءَتْ سَنَةٌ وَهِيَ تَحْتَهُ لَمْ يَقَعْ بِهَا طَلَاقٌ؛ لِأَنَّهَا قَدْ خَلَتْ مِنْهُ وَصَارَتْ فِي حَالٍ لَوْ أَوْقَعَ عَلَيْهَا الطَّلَاقَ لَمْ يَقَعْ وَإِنَّمَا صَارَتْ عِنْدَهُ بِنِكَاحٍ جَدِيدٍ فَلَا يَقَعُ فِيهِ طَلَاقُ نِكَاحٍ غَيْرِهِ.

 

 

Dan di antara apa yang didengarnya secara langsung (Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya seorang suami berkata kepada istrinya, ‘Kamu tertalak tiga, dengan satu talak setiap tahun,’ lalu jatuh satu talak kepadanya, kemudian ia menikahinya lagi setelah masa iddah berakhir, lalu datang tahun berikutnya sementara ia masih menjadi istrinya, maka talak itu tidak berlaku. Sebab, ia telah terlepas darinya (talak sebelumnya) dan berada dalam keadaan di mana jika talak dijatuhkan, talak itu tidak berlaku. Ia kini berada dalam pernikahan baru, sehingga talak dari pernikahan sebelumnya tidak berlaku.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ مِنْ قَوْلِهِ تَطْلُقُ كُلَّمَا جَاءَتْ سَنَةٌ وَهِيَ تَحْتَهُ طَلُقَتْ حَتَّى يَنْقَضِيَ طَلَاقُ ذَلِكَ الْمِلْكِ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih dekat dengan prinsipnya daripada ucapannya ‘dia dicerai setiap kali datang satu tahun sementara dia masih berada di bawah pernikahannya, hingga selesailah talak dari kepemilikan itu’.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يَخْلُو قَوْلُهُ: أَنْتِ طَالِقٌ فِي كُلِّ سَنَةٍ مِنْ أَحَدِ ثَلَاثَةِ مَعَانٍ إمَّا أَنْ يُرِيدَ فِي هَذَا النِّكَاحِ الَّذِي عَقَدْت فِيهِ الطَّلَاقَ فَقَدْ بَطَلَ وَحَدَثَ غَيْرُهُ فَكَيْفَ يَلْزَمُهُ؟ وَإِمَّا أَنْ يُرِيدَ فِي غَيْرِ مِلْكِي فَهَذَا لَا يَذْهَبُ إلَيْهِ أَحَدٌ يَعْقِلُ وَلَيْسَ بِشَيْءٍ، وَإِمَّا أَنْ يُرِيدَ فِي نِكَاحٍ يَحْدُثُ فَقَوْلُهُ لَا طَلَاقَ قَبْلَ النِّكَاحِ فَهَذَا طَلَاقٌ قَبْلَ النِّكَاحِ. فَتَفَهَّمْ يَرْحَمُك اللَّهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan tidak lepas ucapannya “Engkau tertalak setiap tahun” dari salah satu dari tiga makna: mungkin yang dimaksud adalah dalam pernikahan ini yang di dalamnya engkau mengikat talak, maka itu telah batal dan terjadi yang lain, maka bagaimana itu bisa berlaku? Atau mungkin yang dimaksud adalah di luar kepemilikanku, ini tidak akan diyakini oleh siapa pun yang berakal dan tidak berarti apa-apa. Atau mungkin yang dimaksud adalah dalam pernikahan yang akan terjadi, maka ucapannya “tidak ada talak sebelum pernikahan” berarti ini adalah talak sebelum pernikahan. Maka pahamilah, semoga Allah merahmatimu.

 

بَابُ الطَّلَاقِ قَبْلَ النِّكَاحِ

Teks Bab Talak Sebelum Pernikahan

مِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ ابْنِ الْقَاسِمِ وَمِنْ مَسَائِلَ شَتِّي سَمِعْتهَا لَفْظًا.

 

Dari imla’ (dikte) mengenai masalah-masalah Ibnu al-Qasim, dan dari berbagai masalah yang kudengar secara lisan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ: كُلُّ امْرَأَةٍ أَتَزَوَّجُهَا طَالِقٌ أَوْ امْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا أَوْ لِعَبْدٍ إنْ مَلَكْتُك حُرٌّ فَتَزَوَّجَ أَوْ مَلَكَ لَمْ يَلْزَمْهُ شَيْءٌ؛ لِأَنَّ الْكَلَامَ الَّذِي لَهُ الْحُكْمُ كَانَ وَهُوَ غَيْرُ مَالِكٍ فَبَطَلَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang mengatakan: ‘Setiap wanita yang aku nikahi adalah talak,’ atau wanita tertentu, atau kepada budak, ‘Jika aku memilikimu, maka engkau merdeka,’ lalu ia menikah atau memiliki budak tersebut, tidak ada kewajiban apa pun baginya. Karena ucapan yang memiliki hukum terjadi saat ia belum memiliki, sehingga menjadi batal.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَةٍ لَا يَمْلِكُهَا: أَنْتِ طَالِقٌ السَّاعَةَ لَمْ تَطْلُقْ فَهِيَ بَعْدَ مُدَّةٍ أَبْعَدُ فَإِذَا لَمْ يَعْمَلْ الْقَوِيُّ فَالضَّعِيفُ أَوْلَى أَنْ لَا يَعْمَلَ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Seandainya seseorang mengatakan kepada seorang wanita yang bukan istrinya, ‘Kamu tertalak sekarang,’ maka talak tidak terjadi. Bahkan setelah beberapa waktu pun, talak tetap tidak sah. Jika yang kuat saja tidak berlaku, apalagi yang lemah, tentu lebih tidak berlaku.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَأَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا سَبِيلَ إلَى طَلَاقِ مَنْ لَمْ يَمْلِكْ لِلسُّنَّةِ الْمُجْمَعِ عَلَيْهَا فَهِيَ مِنْ أَنْ تَطْلُقَ بِبِدْعَةٍ أَوْ عَلَى صِفَةٍ أَبْعَدُ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Dan mereka telah sepakat bahwa tidak ada jalan untuk menceraikan orang yang tidak memiliki hak untuk menalak menurut Sunnah yang telah disepakati, maka hal itu lebih jauh dari pada talak dengan bid’ah atau dengan sifat yang menyimpang.

 

بَابُ مُخَاطَبَةِ الْمَرْأَةِ بِمَا يَلْزَمُهَا مِنْ الْخُلْعِ وَمَا لَا يَلْزَمُهَا

Bab tentang penjelasan kepada wanita mengenai hal-hal yang wajib baginya dalam khulu’ dan yang tidak wajib

 

مِنْ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ وَإِمْلَاءٌ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَابْنِ الْقَاسِمِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَتْ لَهُ امْرَأَتُهُ: إنْ طَلَّقْتنِي ثَلَاثًا فَلَكَ عَلَيَّ مِائَةُ دِرْهَمٍ فَهُوَ كَقَوْلِ الرَّجُلِ يَعْنِي ثَوْبَك هَذَا بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَإِنْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَلَهُ الْمِائَةُ، وَلَوْ قَالَتْ لَهُ: اخْلَعْنِي أَوْ بِتِّنِي أَوْ أَبِنِّي أَوْ ابْرَأْ مِنِّي أَوْ بَارِئْنِي وَلَك عَلَيَّ أَلْفُ دِرْهَمٍ وَهِيَ تُرِيدُ الطَّلَاقَ وَطَلَّقَهَا فَلَهُ مَا سَمَّتْ لَهُ، وَلَوْ قَالَتْ: اخْلَعْنِي عَلَى أَلْفٍ كَانَتْ لَهُ أَلْفٌ مَا لَمْ يَتَنَاكَرَا فَإِنْ قَالَتْ: عَلَيَّ أَلْفٌ ضَمِنَهَا لَك غَيْرِي أَوْ عَلَيَّ أَلْفُ فَلْسٍ وَأَنْكَرَ تَحَالَفَا وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا، وَلَوْ قَالَتْ لَهُ: طَلِّقْنِي وَلَك عَلَيَّ أَلْفُ دِرْهَمٍ، فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ عَلَى الْأَلْفِ إنْ شِئْتِ فَلَهَا الْمَشِيئَةُ وَقْتَ الْخِيَارِ، وَإِنْ أَعْطَتْهُ إيَّاهَا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ وَسَوَاءٌ هَرَبَ الزَّوْجُ أَوْ غَابَ حَتَّى مَضَى وَقْتُ الْخِيَارِ أَوْ أَبْطَأَتْ هِيَ بِالْأَلْفِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إنْ أَعْطَيْتنِي أَلْفَ دِرْهَمٍ فَأَعْطَتْهُ إيَّاهَا زَائِدَةً فَعَلَيْهِ طَلْقَةٌ؛ لِأَنَّهَا أَعْطَتْهُ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَزِيَادَةً، وَلَوْ أَعْطَتْهُ إيَّاهَا رَدِيئَةً فَإِنْ كَانَتْ فِضَّةً يَقَعُ عَلَيْهَا اسْمُ دَرَاهِمَ طَلُقَتْ وَكَانَ عَلَيْهَا بَدَلُهَا فَإِنْ لَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا اسْمُ دَرَاهِمَ لَمْ تَطْلُقْ، وَلَوْ قَالَ: مَتَى مَا أَعْطَيْتنِي أَلْفًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَذَلِكَ لَهَا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ أَخْذِهَا وَلَا لَهَا إذَا أَعْطَتْهُ أَنْ تَرْجِعَ فِيهَا، وَلَوْ قَالَتْ لَهُ: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا وَلَك أَلْفُ دِرْهَمٍ فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً فَلَهُ ثُلُثُ الْأَلْفِ، وَإِنْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَلَهُ الْأَلْفُ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ بَقِيَ عَلَيْهَا إلَّا طَلْقَةٌ فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً كَانَتْ لَهُ الْأَلْفُ؛ لِأَنَّهَا قَامَتْ مَقَامَ الثَّلَاثِ فِي أَنَّهَا تُحَرِّمُهَا حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ.

 

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Dari pernikahan dan perceraian serta dikte atas masalah-masalah Malik dan Ibnu Al-Qasim (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Jika istrinya berkata kepadanya, “Jika engkau menceraikanku tiga kali, maka engkau berhak atas seratus dirham dariku,” maka itu seperti perkataan seorang laki-laki, “Pakaianmu ini dengan seratus dirham.” Jika dia menceraikannya tiga kali, maka dia berhak atas seratus dirham. Jika istrinya berkata, “Ceraikan aku, atau putuskan aku, atau lepaskan aku, atau berlepas dirilah dariku, atau tinggalkan aku, dan engkau berhak atas seribu dirham dariku,” dan dia bermaksud cerai, lalu suami menceraikannya, maka dia berhak atas apa yang disebutkan. Jika istrinya berkata, “Ceraikan aku dengan seribu dirham,” maka dia berhak atas seribu dirham selama tidak saling mengingkari. Jika istrinya berkata, “Atasku seribu dirham yang dijamin oleh orang lain untukmu,” atau “Atasku seribu fulus,” lalu suami mengingkari, maka keduanya bersumpah, dan suami berhak atas mahar seperti istrinya. Jika istrinya berkata, “Ceraikan aku, dan engkau berhak atas seribu dirham dariku,” lalu suami berkata, “Engkau dicerai dengan seribu dirham jika engkau mau,” maka istri memiliki hak memilih saat masa khiyar. Jika istri memberikannya dalam masa khiyar, maka perceraian itu mengikat suami, baik suami melarikan diri atau pergi hingga masa khiyar habis, atau istri menunda seribu dirham. Jika suami berkata, “Engkau dicerai jika engkau memberiku seribu dirham,” lalu istri memberikannya lebih, maka suami wajib menceraikannya sekali karena istri memberinya seribu dirham lebih. Jika istri memberikannya dalam kondisi buruk, jika itu perak yang masih disebut dirham, maka cerai terjadi dan istri wajib menggantinya. Jika tidak disebut dirham, maka cerai tidak terjadi. Jika suami berkata, “Kapan pun engkau memberiku seribu dirham, maka engkau dicerai,” maka itu hak istri, dan suami tidak boleh menolak menerimanya, juga istri tidak boleh menarik kembali setelah memberikannya. Jika istrinya berkata, “Ceraikan aku tiga kali, dan engkau berhak atas seribu dirham,” lalu suami menceraikannya sekali, maka dia berhak sepertiga seribu. Jika menceraikannya tiga kali, maka dia berhak seribu. Jika hanya tersisa satu talak lalu suami menceraikannya sekali, maka dia berhak seribu karena talak itu setara dengan tiga talak dalam mengharamkannya hingga menikah dengan suami lain.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقِيَاسُ قَوْلِهِ مَا حَرَّمَهَا إلَّا الْأَوَّلِيَّانِ مَعَ الثَّلَاثَةِ كَمَا لَمْ يُسْكِرْهُ فِي قَوْلِهِ إلَّا الْقَدَحَانِ مَعَ الثَّالِثِ وَكَمَا لَمْ يَعْمِ الْأَعْوَرَ الْمَفْقُوءَةَ عَيْنُهُ الْبَاقِيَةُ إلَّا الْفَقْءُ الْأَوَّلُ مَعَ الْفَقْءِ الْآخَرِ وَأَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْفَاقِئِ الْأَخِيرِ عِنْدَهُ إلَّا نِصْفُ الدِّيَةِ فَكَذَلِكَ يَلْزَمُهُ أَنْ يَقُولَ: لَمْ يُحَرِّمْهَا عَلَيْهِ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ إلَّا الْأَوَّلِيَّانِ مَعَ الثَّالِثَةِ فَلَيْسَ عَلَيْهَا إلَّا ثُلُثُ الْأَلْفِ بِالطَّلْقَةِ الثَّالِثَةِ فِي مَعْنَى قَوْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Qiyas dari ucapannya ‘tidak mengharamkannya kecuali dua yang pertama bersama yang ketiga’ adalah sebagaimana dalam sabdanya ‘tidak memabukkannya kecuali dua gelas bersama yang ketiga’, dan sebagaimana tidak buta orang yang bercacat satu mata yang tersisa kecuali karena pencukilan pertama bersama pencukilan berikutnya, dan bahwa tidak ada kewajiban bagi pencukil terakhir kecuali setengah diyat. Maka demikian pula seharusnya Beliau berkata: ‘Tidak mengharamkannya sampai dia menikah dengan suami lain kecuali dua yang pertama bersama yang ketiga’, maka tidak ada kewajiban baginya kecuali sepertiga dari seribu dengan talak ketiga dalam makna ucapannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَالَتْ لَهُ: طَلِّقْنِي وَاحِدَةً بِأَلْفٍ فَطَلَّقَهَا ثَلَاثًا كَانَ لَهُ الْأَلْفُ وَكَانَ مُتَطَوِّعًا بِالِاثْنَتَيْنِ، وَلَوْ بَقِيَتْ لَهُ عَلَيْهَا طَلْقَةٌ فَقَالَتْ: طَلِّقْنِي ثَلَاثًا بِأَلْفٍ وَاحِدَةً أُحَرَّمُ بِهَا عَلَيْك وَاثْنَتَيْنِ إنْ نَكَحْتنِي بَعْدَ زَوْجٍ؛ فَلَهُ مَهْرُ مِثْلِهَا إذَا طَلَّقَهَا كَمَا قَالَتْ، وَلَوْ خَلَعَهَا عَلَى أَنْ تَكْفُلَ وَلَدَهُ عَشْرَ سِنِينَ فَجَائِزَانِ اشْتِرَاطًا إذَا مَضَى الْحَوْلَانِ نَفَقَتُهُ بَعْدَهُمَا فِي كُلِّ شَهْرٍ كَذَا قَمْحًا وَكَذَا زَيْتًا فَإِنْ كُفِيَ وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ بِمَا يَكْفِيهِ، وَإِنْ مَاتَ رُجِعَ عَلَيْهِ بِمَا بَقِيَ، وَلَوْ قَالَ: أَمْرُك بِيَدِك فَطَلِّقِي نَفْسَك إنْ ضَمِنْت لِي أَلْفَ دِرْهَمٍ فَضَمِنَتْهَا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ لَزِمَهَا وَلَا يَلْزَمُهَا فِي غَيْرِ وَقْتِ الْخِيَارِ، كَمَا لَوْ جَعَلَ أَمْرَهَا إلَيْهَا لَمْ يَجُزْ إلَّا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ، وَلَوْ قَالَ: إنْ أَعْطَيْتنِي عَبْدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَأَعْطَتْهُ أَيَّ عَبْدٍ مَا كَانَ فَهِيَ طَالِقٌ وَلَا يَمْلِكُ الْعَبْدَ وَإِنَّمَا يَقَعُ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ بِمَا يَقَعُ بِهِ الْحِنْثُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika seorang istri berkata kepada suaminya, ‘Talaklah aku sekali dengan seribu (dirham),’ lalu suami menalaknya tiga kali, maka suami berhak menerima seribu (dirham) itu dan dianggap bersedekah dengan dua talak sisanya. Jika suami masih memiliki satu talak tersisa, lalu istri berkata, ‘Talaklah aku tiga kali dengan seribu (dirham), satu talak yang mengharamkanku bagimu dan dua talak jika engkau menikahiku setelah (aku menikah dengan) suami lain,’ maka suami berhak mendapatkan mahar seperti maharnya jika dia menalaknya sesuai permintaan istri. Jika suami menceraikannya dengan syarat istri harus menanggung anaknya selama sepuluh tahun, maka syarat itu sah. Jika dua tahun telah berlalu, nafkah anak setelah itu setiap bulan adalah sekian gandum dan sekian minyak. Jika nafkah itu terpenuhi, (istri tidak perlu membayar), jika tidak, istri harus membayar nafkah yang cukup untuk anak itu. Jika anak itu meninggal, istri harus membayar sisa nafkah yang belum terpenuhi. Jika suami berkata, ‘Hak talak ada di tanganmu, maka talaklah dirimu sendiri jika engkau menjamin seribu dirham untukku,’ lalu istri menjaminnya dalam masa khiyar (hak pilih), maka jaminan itu mengikat istri, tetapi tidak mengikat jika di luar masa khiyar, sebagaimana jika suami memberikan hak talak kepada istri, itu hanya sah dalam masa khiyar. Jika suami berkata, ‘Jika engkau memberikanku seorang budak, maka engkau tertalak,’ lalu istri memberikannya budak apa pun, maka istri tertalak, tetapi suami tidak memiliki hak atas budak itu. Dalam hal ini, talak terjadi sebagaimana sumpah dilanggar.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَيْسَ هَذَا قِيَاسَ قَوْلِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا فِي مَعْنَى الْعِوَضِ وَقَدْ قَالَ فِي هَذَا الْبَابِ: مَتَى أَوْ مَتَى مَا أَعْطَيْتنِي أَلْفَ دِرْهَمٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَذَلِكَ لَهَا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَمْتَنِعَ مِنْ أَخْذِهَا وَلَا لَهَا أَنْ تَرْجِعَ إنْ أَعْطَتْهُ فِيهَا وَالْعَبْدُ وَالدِّرْهَمُ عِنْدِي سَوَاءٌ غَيْرَ أَنَّ الْعَبْدَ مَجْهُولٌ فَيَكُونُ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَقَدْ قَالَ لَوْ قَالَ لَهَا إنْ أعطيتيني شَاةً مَيِّتَةً أَوْ خِنْزِيرًا أَوْ زِقَّ خَمْرٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ فَفَعَلَتْ طَلُقَتْ وَيَرْجِعُ عَلَيْهَا بِمَهْرِ مِثْلِهَا، وَلَوْ خَلَعَهَا بِعَبْدٍ بِعَيْنِهِ ثُمَّ أَصَابَ بِهِ عَيْبًا رَدَّهُ وَكَانَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَعَلَيْك أَلْفُ دِرْهَمٍ فَهِيَ طَالِقٌ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا وَهَذَا مِثْلُ قَوْلِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ وَعَلَيْك حَجَّةٌ، وَلَوْ تَصَادَقَا أَنَّهَا سَأَلَتْهُ الطَّلَاقَ فَطَلَّقَهَا عَلَى ذَلِكَ كَانَ الطَّلَاقُ بَائِنًا، وَلَوْ خَلَعَهَا عَلَى ثَوْبٍ عَلَى أَنَّهُ مَرْوِيٌّ فَإِذَا هُوَ هَرَوِيٌّ فَرَدَّهُ كَانَ لَهُ عَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَالْخُلْعُ فَمَا وَصَفْت كَالْبَيْعِ الْمُسْتَهْلَكِ، وَلَوْ خَلَعَهَا عَلَى أَنْ تُرْضِعَ وَلَدَهُ وَقْتًا مَعْلُومًا فَمَاتَ الْمَوْلُودُ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِمَهْرِ مِثْلِهَا؛ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ تَدِرُّ عَلَى الْمَوْلُودِ وَلَا تَدِرُّ عَلَى غَيْرِهِ وَيَقْبَلُ ثَدْيَهَا وَلَا يَقْبَلُ غَيْرَهُ وَيَتَرَأَّمُهَا فتستمريه وَلَا يستمري غَيْرَهَا وَلَا يَتَرَأَّمْهُ وَلَا تَطِيبُ نَفْسًا لَهُ، وَلَوْ قَالَ لَهُ أَبُو امْرَأَتِهِ: طَلِّقْهَا وَأَنْتَ بَرِيءٌ مِنْ صَدَاقِهَا، فَطَلَّقَهَا طَلُقَتْ وَمَهْرُهَا عَلَيْهِ وَلَا يَرْجِعُ عَلَى الْأَبِ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَضْمَنْ لَهُ شَيْئًا وَلَهُ عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ، وَلَوْ أَخَذَ مِنْهَا أَلْفًا عَلَى أَنْ يُطَلِّقَهَا إلَى شَهْرٍ فَطَلَّقَهَا فَالطَّلَاقُ ثَابِتٌ وَلَهَا الْأَلْفُ وَعَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا، وَلَوْ قَالَتَا: طَلِّقْنَا بِأَلْفٍ، ثُمَّ ارْتَدَّتَا فَطَلَّقَهُمَا بَعْدَ الرِّدَّةِ وُقِفَ الطَّلَاقُ فَإِنْ رَجَعَتَا فِي الْعِدَّةِ لَزِمَهُمَا وَالْعِدَّةُ مِنْ يَوْمِ الطَّلَاقِ، وَإِنْ لَمْ يَرْجِعَا حَتَّى انْقَضَتْ الْعِدَّةُ لَمْ يَلْزَمْهُمَا شَيْءٌ، وَلَوْ قَالَ لَهُمَا: أَنْتُمَا طَالِقَانِ إنْ شِئْتُمَا بِأَلْفٍ لَمْ يُطَلَّقَا وَلَا وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا حَتَّى يَشَاءَا مَعًا فِي وَقْتِ الْخِيَارِ، وَلَوْ كَانَتْ إحْدَاهُمَا مَحْجُورًا عَلَيْهَا وَقَعَ الطَّلَاقُ عَلَيْهِمَا وَطَلَاقُ غَيْرِ الْمَحْجُورِ عَلَيْهَا بَائِنٌ وَعَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا وَلَا شَيْءَ عَلَى الْأُخْرَى وَيَمْلِكُ رَجْعَتَهَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – هَذَا عِنْدِي يَقْضِي عَلَى فَسَادِ تَجْوِيزِهِ مَهْرَ أَرْبَعٍ فِي عُقْدَةٍ بِأَلْفٍ؛ لِأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ مَهْرِ أَرْبَعٍ فِي عُقْدَةٍ بِأَلْفٍ وَخُلْعِ أَرْبَعٍ فِي عُقْدَةٍ بِأَلْفٍ فَإِذَا أَفْسَدَهُ فِي إحْدَاهُمَا لِلْجَهْلِ بِمَا يُصِيبُ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَسَدَ فِي الْأُخْرَى، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ وَعَلَيْهَا مَهْرُ مِثْلِهَا.

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Ini bukanlah qiyas dari perkataannya, karena ini termasuk dalam makna kompensasi. Dan dia telah berkata dalam bab ini: ‘Kapan atau kapan pun engkau memberiku seribu dirham, maka engkau tertalak.’ Maka itu untuknya (suami), dan dia tidak boleh menolak untuk menerimanya, dan dia (istri) tidak boleh menarik kembali jika telah memberikannya. Budak dan dirham bagiku sama, hanya saja budak itu majhul (tidak diketahui), maka dia berhak atas mahar seperti budak tersebut. Dan Beliau berkata: ‘Jika dia berkata kepadanya: Jika engkau memberiku kambing yang mati, babi, atau kantong khamr, maka engkau tertalak,’ lalu dia melakukannya, maka dia tertalak, dan dia (suami) dapat menuntut mahar semisalnya. Jika dia menceraikannya dengan seorang budak tertentu, lalu budak itu cacat, maka dia boleh mengembalikannya dan berhak atas mahar semisalnya. Jika Beliau berkata: ‘Engkau tertalak dan engkau wajib membayar seribu dirham,’ maka dia tertalak dan tidak wajib membayar apa pun. Ini seperti perkataannya: ‘Engkau tertalak dan engkau wajib haji.’ Jika mereka berdua sepakat bahwa dia (istri) meminta cerai, lalu dia (suami) menceraikannya atas permintaan itu, maka talaknya adalah bain. Jika dia menceraikannya dengan pakaian yang dikatakan sebagai pakaian Marwi, ternyata Harawi, lalu dia mengembalikannya, maka dia berhak atas mahar semisalnya. Khul’ seperti yang aku jelaskan seperti jual beli yang rusak. Jika dia menceraikannya dengan syarat menyusui anaknya dalam waktu tertentu, lalu anak itu meninggal, maka dia berhak menuntut mahar semisalnya; karena wanita itu hanya bisa menyusui anaknya, tidak untuk yang lain, dan anak itu hanya menerima susunya, tidak dari yang lain, dan anak itu hanya merasa tenang dengannya, tidak dengan yang lain, dan dia tidak rela hati untuk yang lain. Jika ayah istrinya berkata kepadanya: ‘Ceraikan dia dan engkau bebas dari maharnya,’ lalu dia menceraikannya, maka dia tertalak dan maharnya tetap menjadi tanggungannya, dan dia tidak bisa menuntut ayahnya apa pun, karena ayahnya tidak menjamin apa pun, dan dia berhak rujuk. Jika dia mengambil seribu darinya dengan syarat akan menceraikannya dalam waktu sebulan, lalu dia menceraikannya, maka talaknya sah, dan dia (istri) berhak atas seribu itu, tetapi wajib membayar mahar semisalnya. Jika kedua istrinya berkata: ‘Ceraikan kami dengan seribu,’ lalu mereka murtad, lalu dia menceraikan mereka setelah murtad, maka talak ditangguhkan. Jika mereka kembali dalam masa iddah, maka seribu itu wajib bagi mereka, dan iddah dihitung sejak hari talak. Jika mereka tidak kembali hingga masa iddah selesai, maka tidak ada kewajiban bagi mereka. Jika dia berkata kepada mereka: ‘Kalian berdua tertalak jika kalian menghendaki dengan seribu,’ maka mereka tidak tertalak, dan tidak satu pun dari mereka tertalak hingga mereka berdua sepakat dalam waktu khiyar. Jika salah satu dari mereka berada di bawah perwalian, maka talak berlaku bagi mereka, talak yang tidak berada di bawah perwalian adalah bain, dan dia wajib membayar mahar semisalnya, dan tidak ada kewajiban bagi yang lain, dan dia berhak rujuk.” (Al-Muzani) – rahimahullah ta’ala – berkata: “Ini menurutku menunjukkan kebatilan membolehkan mahar empat wanita dalam satu akad dengan seribu; karena tidak ada beda antara mahar empat wanita dalam satu akad dengan seribu dan khul’ empat wanita dalam satu akad dengan seribu. Jika dia membatalkannya pada salah satunya karena ketidaktahuan tentang bagian masing-masing, maka batallah pada yang lain, dan setiap dari mereka berhak dan wajib membayar mahar semisalnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَالَ لَهُ أَجْنَبِيٌّ طَلِّقْ فُلَانَةَ عَلَى أَنَّ لَك عَلَيَّ أَلْفَ دِرْهَمٍ فَفَعَلَ فَالْأَلْفُ لَهُ لَازِمَةٌ وَلَا يَجُوزُ مَا اخْتَلَعَتْ بِهِ الْأَمَةُ إلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهَا وَلَا الْمُكَاتَبَةُ، وَلَوْ أَذِنَ لَهَا سَيِّدُهَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَالٍ لِلسَّيِّدِ فَيَجُوزُ إذْنُهُ فِيهِ وَلَا لَهَا فَيَجُوزُ مَا صَنَعَتْ فِي مَالِهَا وَطَلَاقُهُمَا بِذَلِكَ بَائِنٌ فَإِذَا أُعْتِقَتَا اتَّبَعَ كُلَّ وَاحِدَةٍ بِمَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا لَا أَحْكُمُ عَلَى الْمُفْلِسِ حَتَّى يُوسِرَ وَإِذَا أَجَزْت طَلَاقَ السَّفِيهِ بِلَا شَيْءٍ كَانَ مَا أَخَذَ عَلَيْهِ جُعْلًا أَوْلَى وَلِوَلِيِّهِ أَنْ يَلِيَ عَلَى مَا أَخَذَ بِالْخُلْعِ؛ لِأَنَّهُ مَالُهُ وَمَا أَخَذَ الْعَبْدُ بِالْخُلْعِ فَهُوَ لِسَيِّدِهِ فَإِنْ اسْتَهْلَكَا مَا أَخَذَا رَجَعَ الْوَلِيُّ وَالسَّيِّدُ عَلَى الْمُخْتَلِعَةِ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ حَقٌّ لَزِمَهَا فَدَفَعَتْهُ إلَى مَنْ لَا يَجُوزُ لَهَا دَفْعُهُ إلَيْهِ، وَلَوْ اخْتَلَفَا فَهُوَ كَاخْتِلَافِ الْمُتَبَايِعِينَ فَإِنْ قَالَتْ: خَلَعْتنِي بِأَلْفٍ وَقَالَ: بِأَلْفَيْنِ أَوْ قَالَتْ: عَلَى أَنْ تُطَلِّقَنِي ثَلَاثًا فَطَلَّقْتنِي وَاحِدَةً تَحَالَفَا وَلَهُ صَدَاقُ مِثْلِهَا وَلَا يَرُدُّ الطَّلَاقَ وَلَا يَلْزَمُهُ مِنْهُ إلَّا مَا أَقَرَّ بِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika seorang asing berkata kepadanya: ‘Ceraikan si fulanah dengan imbalan seribu dirham untukmu,’ lalu dia melakukannya, maka seribu dirham itu wajib baginya. Tidak sah khulu’ yang dilakukan oleh budak perempuan kecuali dengan izin tuannya, begitu juga mukatabah. Meskipun tuannya mengizinkannya, karena itu bukan harta milik tuan yang boleh diizinkan, dan bukan pula milik budak sehingga bisa melakukan apa saja dengan hartanya. Perceraian keduanya dengan cara itu adalah bain. Jika mereka dimerdekakan, masing-masing berhak mendapatkan mahar seperti wanita merdeka. Sebagaimana aku tidak memutuskan terhadap orang yang bangkrut sampai dia mampu. Jika aku membolehkan talak orang yang bodoh tanpa imbalan, maka apa yang dia terima sebagai upah lebih utama. Wali berhak mengurus apa yang diterima dari khulu’, karena itu adalah hartanya. Apa yang diterima budak dari khulu’ adalah milik tuannya. Jika keduanya menghabiskan apa yang mereka terima, wali dan tuan bisa menuntut wanita yang berkhulu’ karena itu adalah hak yang wajib baginya, lalu dia memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Jika mereka berselisih, maka seperti perselisihan antara penjual dan pembeli. Jika wanita berkata: ‘Engkau menceraikanku dengan seribu dirham,’ sedangkan suami berkata: ‘Dengan dua ribu,’ atau wanita berkata: ‘Dengan syarat engkau menceraikanku tiga kali,’ tapi suami hanya menceraikannya sekali, maka keduanya bersumpah. Suami berhak mendapatkan mahar wanita semisalnya, talak tidak dibatalkan, dan dia hanya wajib membayar apa yang diakuinya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَالَ: طَلَّقْتُك بِأَلْفٍ وَقَالَتْ: بَلْ عَلَى غَيْرِ شَيْءٍ فَهُوَ مُقِرٌّ بِطَلَاقٍ لَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ فَيَلْزَمُهُ وَهُوَ مُدَّعِي مَا لَا يَمْلِكُهُ بِدَعْوَاهُ وَيَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي الْخُلْعِ حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا أَوْ مَحْجُورًا عَلَيْهِ أَوْ ذِمِّيًّا فَإِنْ خَلَعَ عَنْهَا بِمَا لَا يَجُوزُ فَالطَّلَاقُ لَا يُرَدُّ وَهُوَ كَشَيْءٍ اشْتَرَاهُ لَهَا فَقَبَضَتْهُ وَاسْتَهْلَكَتْهُ فَعَلَيْهَا قِيمَتُهُ وَلَا شَيْءَ عَلَى الْوَكِيلِ إلَّا أَنْ يَكُونَ ضَمِنَ ذَلِكَ لَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya suami mengatakan, ‘Aku menceraikanmu dengan (imbalan) seribu,’ lalu istri menjawab, ‘Bahkan tanpa imbalan apa pun,’ maka suami tersebut telah mengakui talak yang tidak memungkinkan baginya untuk rujuk, sehingga talak itu tetap berlaku. Dia hanyalah mengklaim sesuatu yang tidak ia miliki melalui pengakuannya. Diperbolehkan untuk mewakilkan dalam khulu’, baik dia merdeka, budak, orang yang berada di bawah pengampuan, atau dzimmi. Jika dia melakukan khulu’ dengan sesuatu yang tidak diperbolehkan, maka talaknya tidak bisa dibatalkan. Hal itu seperti sesuatu yang dia belikan untuknya, lalu dia menerima dan menghabiskannya, maka dia wajib membayar nilainya, dan tidak ada kewajiban bagi wakil kecuali jika dia menjamin hal tersebut untuknya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بِشَيْءٍ وَالْخُلْعُ عِنْدَهُ كَالْبَيْعِ فِي أَكْثَرِ مَعَانِيهِ، وَإِذَا بَاعَ الْوَكِيلُ مَا وَكَّلَهُ بِهِ صَاحِبُهُ بِمَا لَا يَجُوزُ مِنْ الثَّمَنِ بَطَلَ الْبَيْعُ فَكَذَلِكَ لَمَّا طَلَّقَهَا عَلَيْهِ بِمَا لَا يَجُوزُ مِنْ الْبَدَلِ بَطَلَ الطَّلَاقُ عَنْهُ كَمَا بَطَلَ الْبَيْعُ عَنْهُ.

 

 

Al-Muzani – rahimahullah – berkata: “Ini menurutku tidak ada nilainya. Khul’ di sisinya seperti jual-beli dalam kebanyakan maknanya. Jika seorang wakil menjual sesuatu yang diamanahkan kepadanya oleh pemiliknya dengan harga yang tidak diperbolehkan, maka jual belinya batal. Demikian pula, ketika dia menceraikan istrinya dengan imbalan yang tidak diperbolehkan, maka talaknya batal, sebagaimana batalnya jual beli.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ وَكَّلَ مَنْ يُخَالِعُهَا بِمِائَةٍ فَخَالَعَهَا بِخَمْسِينَ فَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ كَمَا لَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ بِمِائَةٍ فَأَعْطَتْهُ خَمْسِينَ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Seandainya seseorang mewakilkan orang lain untuk menceraikan istrinya dengan mahar seratus, lalu si wakil menceraikannya dengan mahar lima puluh, maka tidak ada talak baginya. Sebagaimana jika suami berkata, ‘Kamu tertalak dengan mahar seratus,’ lalu istri memberinya lima puluh.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَهَذَا بَيَانٌ لِمَا قُلْت فِي الْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini adalah penjelasan atas apa yang telah aku katakan mengenai masalah sebelumnya.”

 

بَابُ الْخُلْعِ فِي الْمَرَضِ

 

Bab Khulu’ (Perceraian atas Permintaan Istri) saat Sakit

 

مِنْ كِتَابِ نُشُوزِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَيَجُوزُ الْخُلْعُ فِي الْمَرَضِ كَمَا يَجُوزُ الْبَيْعُ فَإِنْ كَانَ الزَّوْجُ هُوَ الْمَرِيضُ فَخَالَعَهَا بِأَقَلَّ مِنْ مَهْرِهَا ثُمَّ مَاتَ فَجَائِزٌ؛ لِأَنَّ لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ، فَإِنْ كَانَتْ هِيَ الْمَرِيضَةَ فَخَالَعَتْهُ بِأَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ مِثْلِهَا ثُمَّ مَاتَتْ مِنْ مَرَضِهَا جَازَ لَهُ مَهْرُ مِثْلِهَا وَكَانَ الْفَضْلُ وَصِيَّةً يُحَاصُّ أَهْلُ الْوَصَايَا بِهَا فِي ثُلُثِهَا، وَلَوْ كَانَ خَلَعَهَا بِعَبْدٍ يُسَاوِي مِائَةً وَمَهْرُ مِثْلِهَا خَمْسُونَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إنْ شَاءَ أَخَذَ نِصْفَ الْعَبْدِ وَنِصْفَ مَهْرِ مِثْلِهَا أَوْ يَرُدُّ وَيَرْجِعُ بِمَهْرِ مِثْلِهَا كَمَا لَوْ اشْتَرَاهُ فَاسْتُحِقَّ نِصْفُهُ.

 

 

Dari kitab Nusyuz Suami terhadap Istri (Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Khulu’ diperbolehkan dalam keadaan sakit sebagaimana jual beli diperbolehkan. Jika suami yang sakit lalu melakukan khulu’ dengan memberikan kurang dari maharnya kemudian meninggal, maka itu diperbolehkan karena suami berhak menceraikannya tanpa memberikan sesuatu. Jika istri yang sakit lalu melakukan khulu’ dengan memberikan lebih dari mahar semisalnya kemudian meninggal karena sakitnya, maka suami berhak mendapatkan mahar semisalnya, dan kelebihannya dianggap sebagai wasiat yang dibagi bersama ahli wasiat dalam sepertiga hartanya. Seandainya suami menceraikannya dengan seorang budak yang bernilai seratus sedangkan mahar semisalnya lima puluh, maka suami memiliki pilihan: jika mau, ia dapat mengambil separuh budak dan separuh mahar semisalnya, atau mengembalikan dan mengambil kembali mahar semisalnya, sebagaimana jika ia membelinya lalu separuhnya diminta kembali.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بِشَيْءٍ وَلَكِنْ لَهُ مِنْ الْعَبْدِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَمَا بَقِيَ مِنْ الْعَبْدِ بَعْدَ مَهْرِ مِثْلِهَا وَصِيَّةٌ لَهُ إنْ خَرَجَ مِنْ الثُّلُثِ فَإِنْ لَمْ يَخْرُجْ مَا بَقِيَ مِنْ الْعَبْدِ مِنْ الثُّلُثِ وَلَمْ يَكُنْ لَهَا غَيْرُهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إنْ شَاءَ قَبِلَ وَصِيَّتَهُ وَهُوَ الثُّلُثُ مِنْ نِصْفِ الْعَبْدِ، وَكَانَ مَا بَقِيَ لِلْوَرَثَةِ، وَإِنْ شَاءَ رَدَّ الْعَبْدَ وَأَخَذَ مَهْرَ مِثْلِهَا؛ لِأَنَّهُ إذَا صَارَ فِي الْعَبْدِ شِرْكٌ لِغَيْرِهِ فَهُوَ عَيْبٌ يَكُونُ فِيهِ الْخِيَارُ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini bukanlah sesuatu menurutku. Namun, budak itu memiliki mahar semisalnya, dan sisanya setelah mahar semisal itu adalah wasiat untuknya jika keluar dari sepertiga. Jika sisa budak itu tidak keluar dari sepertiga dan tidak ada selainnya, maka dia memiliki pilihan: jika mau, dia bisa menerima wasiatnya yaitu sepertiga dari separuh budak, dan sisanya untuk ahli waris. Jika mau, dia bisa mengembalikan budak itu dan mengambil mahar semisalnya. Karena jika ada kepemilikan bersama orang lain pada budak itu, itu merupakan cacat yang memberikan pilihan.”

بَابُ خُلْعِ الْمُشْرِكِينَ

Bab tentang pemutusan hubungan dengan orang-orang musyrik

 

مِنْ كِتَابِ نُشُوزِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَرْأَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – إنْ اخْتَلَعَتْ الذِّمِّيَّةُ بِخَمْرٍ أَوْ بِخِنْزِيرٍ فَدَفَعَتْهُ ثُمَّ تَرَافَعَا إلَيْنَا أَجَزْنَا الْخُلْعَ وَالْقَبْضَ، وَلَوْ لَمْ تَكُنْ دَفَعَتْهُ جَعَلْنَا لَهُ عَلَيْهَا مَهْرَ مِثْلِهَا وَهَكَذَا أَهْلُ الْحَرْبِ إلَّا أَنَّا لَا نَحْكُمُ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عَلَى الرِّضَا وَنَحْكُمُ عَلَى الذِّمِّيَّيْنِ إذَا جَاءَانَا أَوْ أَحَدُهُمَا. وَاَللَّهُ الْمُوَفِّقُ.

 

 

Dari kitab Nusyuz Suami terhadap Istri (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Jika seorang wanita dzimmi melakukan khulu’ dengan (membayar) khamr atau babi lalu ia menyerahkannya, kemudian mereka berdua mengadukan persoalannya kepada kami, maka kami membolehkan khulu’ dan penerimaannya. Namun jika ia belum menyerahkannya, kami mewajibkan mahar semisal untuknya. Demikian pula hukumnya bagi ahli harbi, hanya saja kami tidak memutuskan hukum atas mereka hingga mereka sepakat atas kerelaan. Sedangkan bagi dua orang dzimmi, kami memutuskan hukum atas mereka jika keduanya atau salah satunya datang kepada kami. Allah-lah yang memberi taufik.

 

كِتَابُ الطَّلَاقِ

بَابُ إبَاحَةِ الطَّلَاقِ وَوَجْهُهُ وَتَفْرِيعُهُ

Bab Kebolehan Talak, Alasan, dan Cabang-cabangnya

 

بَابُ إبَاحَةِ الطَّلَاقِ وَوَجْهُهُ وَتَفْرِيعُهُ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ إبَاحَةِ الطَّلَاقِ وَمِنْ جِمَاعِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} الطلاق: 1 وَقَدْ قُرِئَتْ لِقَبْلِ عِدَّتِهِنَّ (قَالَ) : وَالْمَعْنَى وَاحِدٌ «وَطَلَّقَ ابْنُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فِي زَمَانِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ عُمَرُ فَسَأَلْت النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ مَرَّةً فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ» (قَالَ) : وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَيُونُسُ بْنُ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ يُخَالِفُونَ نَافِعًا فِي شَيْءٍ مِنْهُ قَالُوا كُلُّهُمْ عَنْ ابْنِ عُمَرَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ مَرَّةً فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إنْ شَاءَ أَمْسَكَ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ» وَلَمْ يَقُولُوا: ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ (قَالَ) : وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ عَلَى الْحَائِضِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَأْمُرْ بِالْمُرَاجَعَةِ إلَّا مَنْ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ.

 

 

Bab tentang kebolehan talak, bentuknya, dan cabang-cabangnya dari kitab Ahkamul Quran, serta tentang kebolehan talak, pergaulan dengan istri, dan lainnya. (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kalian menceraikan istri, maka ceraikanlah mereka pada waktu iddah mereka.” (QS. At-Talaq: 1). Dan telah dibaca juga: “sebelum iddah mereka.” (Imam Syafi’i) berkata: Maknanya sama. “Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- pernah menceraikan istrinya saat sedang haid di zaman Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Umar berkata: Aku bertanya kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang hal itu, maka beliau bersabda: ‘Hendaknya dia rujuk, lalu menahannya sampai suci, kemudian haid lagi, lalu suci lagi. Setelah itu jika mau dia boleh menahannya atau menalaknya. Itulah iddah yang diperintahkan Allah untuk menalak wanita.'” (Imam Syafi’i) berkata: Hadis ini juga diriwayatkan oleh Salim bin Abdullah dan Yunus bin Jubair dari Ibnu Umar, yang menyelisihi Nafi’ dalam sebagian isinya. Mereka semua meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Hendaknya dia rujuk, lalu menahannya sampai haid, kemudian suci. Setelah itu jika mau dia boleh menahannya atau menalaknya.” Mereka tidak menyebutkan: “kemudian haid lagi, lalu suci lagi.” (Imam Syafi’i) berkata: Ini menunjukkan bahwa talak berlaku bagi wanita haid, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak memerintahkan rujuk kecuali bagi yang talaknya sudah sah.

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يُطَلِّقَ وَاحِدَةً لِتَكُونَ لَهُ الرَّجْعَةُ لِلْمَدْخُولِ بِهَا وَخَاطِبًا لِغَيْرِ الْمَدْخُولِ بِهَا وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يُطَلِّقَهَا ثَلَاثًا؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ الطَّلَاقَ فَلَيْسَ بِمَحْظُورٍ وَعَلَّمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ابْنَ عُمَرَ مَوْضِعَ الطَّلَاقِ فَلَوْ كَانَ فِي عَدَدِهِ مَحْظُورٌ وَمُبَاحٌ لِعِلْمِهِ إيَّاهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إنْ شَاءَ اللَّهُ. «وَطَلَّقَ الْعَجْلَانِيُّ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثَلَاثًا فَلَمْ يُنْكِرْهُ عَلَيْهِ» «وَسَأَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رُكَانَةَ لَمَّا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ أَلْبَتَّةَ مَا أَرَدْت» ؟ وَلَمْ يَنْهَهُ أَنْ يَزِيدَ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ.

 

 

Beliau berkata: “Aku lebih suka jika dia menceraikan (istrinya) dengan satu talak agar dia memiliki hak rujuk bagi istri yang telah disetubuhi, dan (menjadi pengantin) bagi yang belum disetubuhi. Tidak haram baginya untuk menceraikan dengan tiga talak, karena Allah Ta’ala telah menghalalkan talak, sehingga tidak terlarang. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengajari Ibnu Umar tentang tata cara talak. Seandainya dalam jumlah talak terdapat yang terlarang dan yang dibolehkan, tentu beliau akan mengajarkannya -shallallahu ‘alaihi wasallam-, insya Allah. ‘Al-Ajlani pernah mentalak istrinya tiga talak di hadapan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan beliau tidak mengingkarinya.’ ‘Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada Rukanah ketika dia mentalak istrinya dengan talak ba’in (tegas), ‘Apa yang kamu inginkan?’ Dan beliau tidak melarangnya untuk menambah lebih dari satu talak.'”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ طَلَّقَهَا طَاهِرًا بَعْدَ جِمَاعٍ أَحْبَبْت أَنْ يَرْتَجِعَهَا ثُمَّ يُمْهِلَ لِيُطَلِّقَ كَمَا أُمِرَ وَإِنْ كَانَتْ فِي طُهْرٍ بَعْدَ جِمَاعٍ فَإِنَّهَا تَعْتَدُّ بِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan suci setelah berhubungan intim, aku lebih menyukai agar dia merujuknya terlebih dahulu, kemudian menunggu untuk menceraikannya sebagaimana yang diperintahkan. Namun, jika dia menceraikannya dalam keadaan suci setelah berhubungan, maka istri tetap menjalani masa iddah dengan talak tersebut.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا أَوْ دَخَلَ بِهَا وَكَانَتْ حَامِلًا أَوْ لَا تَحِيضُ مِنْ صِغَرٍ أَوْ كِبَرٍ فَقَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ أَوْ الْبِدْعَةِ طَلُقَتْ مَكَانَهَا؛ لِأَنَّهَا لَا سُنَّةَ فِي طَلَاقِهَا وَلَا بِدْعَةَ وَإِنْ كَانَتْ تَحِيضُ فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ فَإِنْ كَانَتْ طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ طَلُقَتْ ثَلَاثًا مَعًا وَإِنْ كَانَتْ مُجَامَعَةً أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاءَ وَقَعَ عَلَيْهَا الطَّلَاقُ حِينَ تَطْهُرُ مِنْ الْحَيْضِ أَوْ النِّفَاسِ وَحِينَ تَطْهُرُ الْمُجَامَعَةُ مِنْ أَوَّلِ حَيْضٍ بَعْدَ قَوْلِهِ وَقَبْلَ الْغُسْلِ، وَإِنْ قَالَ: نَوَيْت أَنْ تَقَعَ فِي كُلِّ طُهْرٍ طَلْقَةً وَقَعْنَ مَعًا فِي الْحُكْمِ وَعَلَى مَا نَوَى فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ، وَلَوْ كَانَ قَالَ فِي كُلِّ قُرْءٍ وَاحِدَةً فَإِنْ كَانَتْ طَاهِرًا حُبْلَى وَقَعَتْ الْأُولَى وَلَمْ تَقَعْ الثِّنْتَانِ إنْ كَانَتْ تَحِيضُ عَلَى الْحَبَلِ أَوْ لَا تَحِيضُ حَتَّى تَلِدَ ثُمَّ تَطْهُرَ فَإِنْ لَمْ يُحْدِثْ لَهَا رَجْعَةً حَتَّى تَلِدَ بَانَتْ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَلَمْ يَقَعْ عَلَيْهَا غَيْرُ الْأُولَى.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika suami belum menggauli istrinya atau telah menggaulinya dan istri sedang hamil, atau tidak haid karena masih kecil atau sudah tua, lalu suami berkata: ‘Kamu tertalak tiga, baik secara sunnah atau bid’ah,’ maka talak itu jatuh saat itu juga. Sebab tidak ada sunnah atau bid’ah dalam talak terhadapnya. Jika istri masih haid dan suami berkata: ‘Kamu tertalak tiga secara sunnah,’ maka: (1) Jika istri dalam keadaan suci tanpa disetubuhi, talak tiga jatuh sekaligus. (2) Jika istri dalam keadaan disetubuhi, haid, atau nifas, talak baru berlaku ketika ia suci dari haid atau nifas, atau ketika istri yang disetubuhi suci dari haid pertama setelah ucapan talak (sebelum mandi). Jika suami berkata: ‘Aku berniat setiap talak jatuh pada setiap masa suci,’ maka talak tetap jatuh sekaligus secara hukum, tetapi niatnya berlaku antara dia dan Allah. Jika suami berkata: ‘Setiap satu quru’ (masa suci) satu talak,’ maka: (a) Jika istri dalam keadaan suci dan hamil, talak pertama jatuh sedangkan dua talak lainnya tidak, baik ia masih haid selama hamil atau tidak haid sampai melahirkan kemudian suci. (b) Jika suami tidak melakukan rujuk sampai istri melahirkan, maka istri bebas setelah habis masa iddah dan hanya talak pertama yang berlaku.”

 

 

وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا بَعْضُهُنَّ لِلسُّنَّةِ وَبَعْضُهُنَّ لِلْبِدْعَةِ وَقَعَتْ اثْنَتَانِ فِي أَيِّ الْحَالَيْنِ كَانَتْ وَالْأُخْرَى إذَا صَارَتْ فِي الْحَالِ الْأُخْرَى (قُلْت) أَنَا أَشْبَهُ بِمَذْهَبِهِ عِنْدِي أَنَّ قَوْلَ بَعْضِهِنَّ يَحْتَمِلُ وَاحِدَةً فَلَا يَقَعُ غَيْرُهَا أَوْ اثْنَتَيْنِ فَلَا يَقَعُ غَيْرُهُمَا أَوْ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ بَعْضُهَا فَيَقَعُ بِذَلِكَ ثَلَاثٌ فَلَمَّا كَانَ الشَّكُّ كَانَ الْقَوْلُ قَوْلَهُ مَعَ يَمِينِهِ مَا أَرَادَ بِبَعْضِهِنَّ فِي الْحَالِ الْأُولَى إلَّا وَاحِدَةً وَبَعْضُهُنَّ الْبَاقِي فِي الْحَالِ الثَّانِيَةِ فَالْأَقَلُّ يَقِينٌ وَمَا زَادَ شَكٌّ وَهُوَ لَا يَسْتَعْمِلُ الْحُكْمَ بِالشَّكِّ فِي الطَّلَاقِ.

 

 

Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak tiga, sebagian talak tersebut sesuai sunnah dan sebagian lainnya bid’ah,” maka dua talak jatuh dalam keadaan apa pun, dan talak ketiga jatuh ketika keadaan berubah. (Aku berkata) Pendapat yang lebih mendekati mazhabnya menurutku adalah bahwa perkataan “sebagian” bisa berarti satu talak sehingga tidak jatuh selain itu, atau dua talak sehingga tidak jatuh selain keduanya, atau sebagian dari setiap talak sehingga tiga talak jatuh. Karena ada keraguan, maka yang dipegang adalah perkataannya disertai sumpah tentang apa yang ia maksud dengan “sebagian” pada keadaan pertama hanya satu talak dan sisanya pada keadaan kedua. Yang sedikit adalah keyakinan, sedangkan yang lebih adalah keraguan, dan ia tidak menggunakan hukum berdasarkan keraguan dalam talak.

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَعْدَلُ أَوْ أَحْسَنُ أَوْ أَكْمَلُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ سَأَلْته عَنْ نِيَّتِهِ فَإِنْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا وَقَعَ الطَّلَاقُ لِلسُّنَّةِ، وَلَوْ قَالَ: أَقْبَحُ أَوْ أَسْمَجُ أَوْ أَفْحَشُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ سَأَلْته عَنْ نِيَّتِهِ فَإِنْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا وَقَعَ لِلْبِدْعَةِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً حَسَنَةً قَبِيحَةً أَوْ جَمِيلَةً فَاحِشَةً طَلُقَتْ حِينَ تَكَلَّمَ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إذَا قَدِمَ فُلَانٌ لِلسُّنَّةِ فَقَدِمَ فُلَانٌ فَهِيَ طَالِقٌ لِلسُّنَّةِ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ لِفُلَانٍ أَوْ لِرِضَا فُلَانٍ طَلُقَتْ مَكَانَهُ، وَلَوْ قَالَ: إنْ لَمْ تَكُونِي حَامِلًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَقَفَ عَنْهَا حَتَّى تَمُرَّ لَهَا دَلَالَةٌ عَلَى الْبَرَاءَةِ مِنْ الْحَمْلِ، وَلَوْ قَالَتْ لَهُ: طَلَّقَنِي فَقَالَ: كُلُّ امْرَأَةٍ لِي طَالِقٌ طَلُقَتْ امْرَأَتُهُ الَّتِي سَأَلَتْهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ عَزَلَهَا بِنِيَّتِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang mengatakan, ‘Kamu talak yang paling adil, paling baik, paling sempurna, atau semisalnya,’ maka aku akan menanyakan niatnya. Jika tidak ada niat, talak itu jatuh secara sunnah. Jika dia mengatakan, ‘Kamu talak yang paling buruk, paling hina, paling keji, atau semisalnya,’ aku akan menanyakan niatnya. Jika tidak ada niat, talak itu jatuh secara bid’ah. Jika dia mengatakan, ‘Kamu talak satu kali yang baik-buruk atau indah-keji,’ talak itu langsung jatuh saat diucapkan. Jika dia mengatakan, ‘Kamu talak secara sunnah jika si fulan datang,’ lalu si fulan datang, maka talak itu jatuh secara sunnah. Jika dia mengatakan, ‘Kamu talak karena si fulan atau untuk keridhaan si fulan,’ talak itu langsung jatuh saat itu juga. Jika dia mengatakan, ‘Jika kamu tidak hamil, maka kamu talak,’ talak itu ditangguhkan sampai ada tanda bahwa dia tidak hamil. Jika istrinya berkata, ‘Talakkah aku,’ lalu dia menjawab, ‘Setiap istriku talak,’ maka istri yang memintanya itu tertalak, kecuali jika dia bermaksud mengecualikannya.”

 

بَابُ مَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ مِنْ الْكَلَامِ وَمَا لَا يَقَعُ إلَّا بِالنِّيَّةِ

 

Bab tentang ucapan yang dapat menyebabkan talak dan yang tidak terjadi kecuali dengan niat.

 

وَالطَّلَاقُ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الرَّجْعَةِ وَمِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ وَمِنْ إمْلَاءِ مَسَائِلِ مَالِكٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الطَّلَاقَ فِي كِتَابِهِ بِثَلَاثَةِ أَسْمَاءٍ الطَّلَاقُ وَالْفِرَاقُ وَالسَّرَاحُ فَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ أَوْ قَدْ طَلَّقْتُكِ أَوْ فَارَقْتُكِ أَوْ سَرَّحْتُكِ لَزِمَهُ وَلَمْ يَنْوِ فِي الْحُكْمِ وَيَنْوِي فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُرِيدُ طَلَاقًا مِنْ وِثَاقٍ كَمَا لَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ: أَنْتَ حُرٌّ يُرِيدُ حُرَّ النَّفْسِ وَلَا يَسْعَ امْرَأَتَهُ وَعَبْدَهُ أَنْ قَبِلَا مِنْهُ وَسَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عِنْدَ غَضَبٍ أَوْ مَسْأَلَةِ طَلَاقٍ أَوْ رِضًا، وَقَدْ يَكُونُ السَّبَبُ وَيَحْدُثُ كَلَامٌ عَلَى غَيْرِ السَّبَبِ فَإِنْ قَالَ: قَدْ فَارَقْتُك سَائِرًا إلَى الْمَسْجِدِ أَوْ سَرَّحْتُك إلَى أَهْلِك أَوْ قَدْ طَلَّقْتُك مِنْ وِثَاقِك أَوْ مَا أَشْبَهَ هَذَا لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا.

 

 

Dan perceraian termasuk dari kumpulan dari kitab rujuk dan dari kitab nikah serta dari imla’ (dikte) masalah-malik dan selain itu. (Berkata Asy-Syafi’i) -semoga Allah merahmatinya- Allah Ta’ala menyebutkan perceraian dalam kitab-Nya dengan tiga nama: ath-thalaq, al-firaq, dan as-sarahu. Jika Beliau berkata: “Engkau tertalak” atau “Aku telah menceraikanmu” atau “Aku telah berpisah denganmu” atau “Aku telah melepaskanmu”, maka itu mengikatnya dan tidak perlu niat dalam hukum, tetapi niat antara dia dan Allah Ta’ala. Karena terkadang dia menginginkan talak dari ikatan, seperti jika dia berkata kepada budaknya: “Engkau merdeka”, dia menginginkan kemerdekaan jiwa. Dan tidak boleh bagi istrinya dan budaknya untuk menerima darinya. Sama saja apakah itu dalam keadaan marah, meminta talak, atau rela. Terkadang ada sebab dan terjadi perkataan di luar sebab. Jika Beliau berkata: “Aku telah berpisah denganmu dalam perjalanan ke masjid” atau “Aku telah melepaskanmu kepada keluargamu” atau “Aku telah membebaskanmu dari ikatanmu” atau yang semisal ini, maka itu bukan talak.

 

فَإِنْ قِيلَ: قَدْ يَكُونُ هَذَا طَلَاقًا تَقَدَّمَ فَأَتْبَعَهُ كَلَامًا يَخْرُجُ بِهِ مِنْهُ قِيلَ: قَدْ يَقُولُ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ فَيَكُونُ مُؤْمِنًا يُبَيِّنُ آخِرَ الْكَلَامِ عَنْ أَوَّلِهِ، وَلَوْ أَفْرَدَ ” لَا إلَهَ ” كَانَ كَافِرًا.

 

 

Jika dikatakan: “Bisa jadi ini adalah talak yang telah terjadi sebelumnya, lalu diikuti dengan ucapan yang membuatnya keluar darinya,” maka dijawab: “Seseorang bisa mengucapkan ‘La ilaha illallah’ sehingga menjadi beriman, di mana akhir ucapan menjelaskan awalnya. Namun, jika hanya mengucapkan ‘La ilaha’ saja, maka ia menjadi kafir.”

 

 

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ خَلِيَّةٌ أَوْ بَائِنٌ أَوْ بَرِيئَةٌ أَوْ بَتَّةٌ أَوْ حَرَامٌ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ فَإِنْ قَالَ قُلْته وَلَمْ أَنْوِ طَلَاقًا وَأَنْوِي بِهِ السَّاعَةَ طَلَاقًا لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا حَتَّى يَبْتَدِئَهُ وَنِيَّتُهُ الطَّلَاقُ وَمَا أَرَادَ مِنْ عَدَدٍ (قَالَ) : وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ حُرَّةٌ يُرِيدُ الطَّلَاقَ وَلِأَمَتِهِ أَنْتِ طَالِقٌ يُرِيدُ الْعِتْقَ لَزِمَهُ ذَلِكَ.

 

 

Dan jika Beliau berkata: “Kamu adalah khaliyah (bebas), atau ba’in (terpisah), atau bari’ah (lepas), atau battah (putus), atau haram (terlarang), atau semisalnya,” lalu dia mengatakan: “Aku mengucapkannya tanpa niat talak, dan aku berniat dengannya saat itu untuk talak,” maka itu tidak dianggap talak hingga dia memulainya dengan niat talak dan jumlah yang dia kehendaki. (Dia berkata): Dan jika dia berkata kepada istrinya: “Kamu merdeka” dengan maksud talak, atau kepada budak perempuannya: “Kamu talak” dengan maksud memerdekakan, maka hal itu tetap berlaku baginya.

 

 

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً بَائِنًا كَانَتْ وَاحِدَةً يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَكَمَ فِي الْوَاحِدَةِ وَالثِّنْتَيْنِ بِالرَّجْعَةِ، كَمَا لَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ: أَنْتَ حُرٌّ وَلَا وَلَاءَ لِي عَلَيْك، كَانَ حُرًّا وَالْوَلَاءُ لَهُ جَعَلَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – «الْوَلَاءَ لِمَنْ أَعْتَقَ» كَمَا جَعَلَ اللَّهُ الرَّجْعَةَ لِمَنْ طَلَّقَ وَاحِدَةً أَوْ اثْنَتَيْنِ «وَطَلَّقَ رُكَانَةُ امْرَأَتَهُ أَلْبَتَّةَ فَأَحْلَفَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَا أَرَادَ إلَّا وَاحِدَةً وَرَدَّهَا عَلَيْهِ» وَطَلَّقَ الْمُطَّلِبُ بْنُ حَنْطَبٍ امْرَأَتَهُ أَلْبَتَّةَ فَقَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: أَمْسِكْ عَلَيْك امْرَأَتَك فَإِنَّ الْوَاحِدَةَ تَبُتُّ.

 

 

Dan jika dia berkata kepadanya: “Kamu tertalak satu kali secara bain,” maka itu dihitung satu talak dan dia berhak rujuk; karena Allah Ta’ala telah menetapkan hak rujuk pada talak satu dan dua. Seperti halnya jika dia berkata kepada hambanya: “Kamu merdeka dan tidak ada hak perwalian bagiku atasmu,” maka dia merdeka dan hak perwalian menjadi miliknya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Hak perwalian adalah bagi yang memerdekakan,” sebagaimana Allah menetapkan hak rujuk bagi yang menalak satu atau dua kali. “Rukanah pernah menalak istrinya dengan talak al-battah, lalu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menyumpahinya bahwa dia hanya bermaksud satu talak, kemudian mengembalikannya kepadanya.” Dan Al-Muththalib bin Hanthab pernah menalak istrinya dengan talak al-battah, lalu Umar -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Pertahankanlah istrimu, karena talak satu itu bersifat bain.”

 

وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لِرَجُلٍ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: حَبْلُك عَلَى غَارِبِك مَا أَرَدْت؟ وَقَالَ شُرَيْحٌ: أَمَّا الطَّلَاقُ فَسُنَّةٌ فَأَمْضُوهُ وَأَمَّا أَلْبَتَّةَ فَبِدْعَةٌ فَدَيِّنُوهُ.

 

 

Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – berkata kepada seorang lelaki yang mengatakan kepada istrinya, “Tali kekangmu ada di pundakmu, apa yang kau inginkan?” Syuraih berkata, “Adapun talak itu sunnah, maka laksanakanlah. Sedangkan talak sekaligus (al-battah) adalah bid’ah, maka tinggalkanlah.”

 

(قَالَ) : وَيَحْتَمِلُ طَلَاقَ الْبَتَّةِ يَقِينًا وَيَحْتَمِلُ الْإِبْتَاتَ الَّذِي لَيْسَ بَعْدَهُ شَيْءٌ وَيَحْتَمِلُ وَاحِدَةً مُبَيَّنَةً مِنْهُ حَتَّى يَرْتَجِعَهَا فَلَمَّا احْتَمَلَتْ مَعَانِيَ جُعِلَتْ إلَى قَائِلِهَا.

 

 

Beliau berkata: “Dan (lafaz itu) mengandung makna talak yang pasti, mengandung makna pemutusan yang tidak ada sesuatu setelahnya, dan mengandung makna satu talak yang jelas darinya hingga dia merujuknya. Maka ketika lafaz itu mengandung berbagai makna, dikembalikan kepada orang yang mengucapkannya.”

 

 

وَلَوْ كَتَبَ بِطَلَاقِهَا فَلَا يَكُونُ طَلَاقًا إلَّا بِأَنْ يَنْوِيَهُ كَمَا لَا يَكُونُ مَا خَالَفَ الصَّرِيحَ طَلَاقًا إلَّا بِأَنْ يَنْوِيَهُ فَإِذَا كَتَبَ إذَا جَاءَك كِتَابِي فَحَتَّى يَأْتِيَهَا فَإِنْ كَتَبَ أَمَّا بَعْدُ فَأَنْتِ طَالِقٌ طَلُقَتْ مِنْ حِينِ كَتَبَ وَإِنْ شَهِدَ عَلَيْهِ أَنَّ هَذَا خَطُّهُ لَمْ يَلْزَمْهُ حَتَّى يُقِرَّ بِهِ.

 

 

Dan jika dia menulis tentang talaknya, maka itu tidak dianggap talak kecuali jika dia berniat, sebagaimana sesuatu yang bertentangan dengan pernyataan jelas juga tidak dianggap talak kecuali jika dia berniat. Jika dia menulis, “Jika suratku sampai kepadamu,” maka hingga surat itu sampai kepadanya. Namun jika dia menulis, “Amma ba’du, maka engkau tertalak,” maka dia tertalak sejak saat penulisan. Dan jika ada yang bersaksi bahwa itu adalah tulisannya, dia tidak terikat hingga mengakuinya.

 

 

وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: اخْتَارِي أَوْ أَمْرُك بِيَدِك فَطَلَّقَتْ نَفْسَهَا فَقَالَ: مَا أَرَدْت طَلَاقًا – لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا إلَّا بِأَنْ يُرِيدَهُ وَلَوْ أَرَادَ طَلَاقًا فَقَالَتْ: قَدْ اخْتَرْت نَفْسِي، سُئِلَتْ فَإِنْ أَرَادَتْ طَلَاقًا فَهُوَ طَلَاقٌ وَإِنْ لَمْ تُرِدْهُ فَلَيْسَ بِطَلَاقٍ وَلَا أَعْلَمُ خِلَافًا أَنَّهَا إنْ طَلَّقَتْ نَفْسَهَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا مِنْ الْمَجْلِسِ وَتُحْدِثُ قَطْعًا لِذَلِكَ أَنَّ الطَّلَاقَ يَقَعُ عَلَيْهَا فَيَجُوزُ أَنْ يُقَالَ لِهَذَا الْمَوْضِعِ إجْمَاعٌ وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ: وَإِنْ مَلَكَ أَمْرَهَا غَيْرُهَا فَهَذِهِ وَكَالَةٌ مَتَى أَوْقَعَ الطَّلَاقَ وَقَعَ وَمَتَى شَاءَ الزَّوْجُ رَجَعَ وَقَالَ فِيهِ وَسَوَاءٌ قَالَتْ: طَلَّقْتُك أَوْ طَلَّقْت نَفْسِي إذَا أَرَادَتْ طَلَاقًا، وَلَوْ جَعَلَ لَهَا أَنْ تُطَلِّقَ نَفْسَهَا ثَلَاثًا فَطَلَّقَتْ وَاحِدَةً فَإِنَّ لَهَا ذَلِكَ.

 

 

Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Pilihlah atau urusanmu ada di tanganmu,” lalu sang istri menceraikan dirinya sendiri, kemudian suami berkata, “Aku tidak bermaksud menceraikan,” maka itu bukan talak kecuali jika dia memang menghendakinya. Jika suami bermaksud talak lalu istri berkata, “Aku telah memilih diriku,” maka istri ditanya. Jika dia menghendaki talak, maka itu talak. Jika tidak menghendaki, maka bukan talak. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa jika istri menceraikan dirinya sebelum mereka berpisah dari majelis dan terjadi pemutusan yang jelas, maka talak itu berlaku atasnya. Oleh karena itu, boleh dikatakan bahwa hal ini telah disepakati. Dalam Al-Imla’ ‘ala Masail Malik, dikatakan: “Jika hak talak dipegang oleh orang lain, maka ini adalah perwakilan. Kapan dia menjatuhkan talak, talak itu berlaku, dan kapan suami menghendaki, dia bisa menariknya kembali.” Juga dikatakan di dalamnya: “Sama saja apakah istri berkata, ‘Aku menceraikanmu’ atau ‘Aku menceraikan diriku,’ selama dia bermaksud talak. Jika suami memberikan hak kepada istri untuk menceraikan dirinya tiga kali, lalu istri menceraikan sekali, maka itu sah baginya.”

 

وَلَوْ طَلَّقَ بِلِسَانِهِ وَاسْتَثْنَى بِقَلْبِهِ لَزِمَهُ الطَّلَاقُ وَلَمْ يَكُنْ الِاسْتِثْنَاءُ إلَّا بِلِسَانِهِ.

 

Jika seseorang menceraikan dengan lisannya dan mengucapkan pengecualian dalam hatinya, maka talak itu tetap berlaku, dan pengecualian tidak dianggap kecuali jika diucapkan dengan lisan.

 

 

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ يُرِيدُ تَحْرِيمَهَا بِلَا طَلَاقٍ فَعَلَيْهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَرَّمَ جَارِيَتَهُ فَأَمَرَ بِكَفَّارَةِ يَمِينٍ.

 

 

Dan jika dia berkata, “Engkau haram bagiku,” dengan maksud mengharamkannya tanpa talak, maka wajib atasnya kafarat sumpah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengharamkan budak perempuannya, lalu beliau memerintahkan untuk membayar kafarat sumpah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -؛ لِأَنَّهُمَا تَحْرِيمُ فَرْجَيْنِ حِلَّيْنِ بِمَا لَمْ يُحَرَّمَا بِهِ، وَقَالَ: كُلُّ مَا أَمْلِكُ عَلَيَّ حَرَامٌ يَعْنِي امْرَأَتَهُ وَجَوَارِيَهُ وَمَالَهُ كَفَّرَ عَنْ الْمَرْأَةِ وَالْجَوَارِي كَفَّارَةً وَاحِدَةً وَلَمْ يُكَفِّرْ عَنْ مَالِهِ وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ: وَإِنْ نَوَى إصَابَةً قُلْنَا: أَصِبْ وَكَفِّرْ، وَلَوْ قَالَ: كَالْمَيْتَةِ وَالدَّمِ فَهُوَ كَالْحَرَامِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Karena keduanya adalah pengharaman dua kemaluan yang halal dengan sesuatu yang tidak mengharamkannya.” Dan Beliau berkata: “Segala yang aku miliki adalah haram,” maksudnya istrinya, budak perempuannya, dan hartanya. Dia menebus untuk istri dan budak perempuan dengan satu tebusan, dan tidak menebus untuk hartanya. Dalam Al-Imla’, Beliau berkata: “Jika dia berniat bersetubuh, kami katakan: ‘Bersetubuhlah dan bayarlah tebusan.’ Dan jika Beliau berkata: ‘Seperti bangkai dan darah,’ maka itu seperti sesuatu yang haram.”

 

 

فَأَمَّا مَا لَا يُشْبِهُ الطَّلَاقَ مِثْلَ قَوْلِهِ: بَارَكَ اللَّهُ فِيك أَوْ اسْقِينِي أَوْ أَطْعِمِينِي أَوْ أَرْوِينِي أَوْ زَوِّدِينِي وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ فَلَيْسَ بِطَلَاقٍ وَإِنْ نَوَاهُ وَلَوْ أَجَزْت النِّيَّةَ بِمَا لَا يُشْبِهُ الطَّلَاقَ أَجَزْت أَنْ يُطَلِّقَ فِي نَفْسِهِ.

 

 

Adapun perkataan yang tidak menyerupai talak seperti ucapan: “Semoga Allah memberkahimu”, atau “Berilah aku minum”, atau “Berilah aku makan”, atau “Berilah aku minum”, atau “Berilah aku bekal”, dan semisalnya, maka itu bukanlah talak meskipun diniatkan sebagai talak. Seandainya engkau membolehkan niat pada perkataan yang tidak menyerupai talak, berarti engkau juga membolehkan seseorang menalak dalam hatinya.

 

 

وَلَوْ قَالَ لِلَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بِهَا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا لِلسُّنَّةِ وَقَعْنَ مَعًا وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ، وَقَعَتْ الْأُولَى وَبَانَتْ بِلَا عِدَّةٍ. وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.

 

 

Dan jika dia berkata kepada wanita yang belum disetubuhi, “Kamu tertalak tiga kali,” menurut sunnah, talak itu jatuh sekaligus. Namun jika dia berkata, “Kamu tertalak, kamu tertalak, kamu tertalak,” maka talak pertama jatuh dan dia langsung berpisah tanpa masa iddah. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mengetahui.

 

 

الطَّلَاقُ بِالْوَقْتِ وَطَلَاقُ الْمُكْرَهِ وَغَيْرِهِ

 

 

Talak berdasarkan waktu, talak karena paksaan, dan lainnya

 

مِنْ كِتَابِ إبَاحَةِ الطَّلَاقِ وَالْإِمْلَاءِ وَغَيْرِهِمَا (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : عَلَيْهِ وَأَيُّ أَجَلٍ طَلَّقَ إلَيْهِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبْلَ وَقْتِهِ، وَلَوْ قَالَ فِي شَهْرِ كَذَا أَوْ فِي غُرَّةِ هِلَالِ كَذَا طَلُقَتْ فِي الْمَغِيبِ مِنْ اللَّيْلَةِ الَّتِي يَرَى فِيهَا هِلَالَ ذَلِكَ الشَّهْرِ، وَلَوْ قَالَ: إذَا رَأَيْت هِلَالَ شَهْرِ كَذَا حَنِثَ إذَا رَآهُ غَيْرُهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ أَرَادَ رُؤْيَةَ نَفْسِهِ، وَلَوْ قَالَ: إذَا مَضَتْ سَنَةٌ وَقَدْ مَضَى مِنْ الْهِلَالِ خَمْسٌ لَمْ تَطْلُقْ حَتَّى تَمْضِيَ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةٍ مِنْ يَوْمِ تَكَلَّمَ وَأَحَدَ عَشَرَ شَهْرًا بِالْأَهِلَّةِ وَخَمْسٌ بَعْدَهَا، وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ الشَّهْرَ الْمَاضِي طَلُقَتْ مَكَانَهَا وَإِيقَاعُهُ الطَّلَاقَ الْآنَ فِي وَقْتٍ مَضَى مُحَالٌ، وَلَوْ قَالَ: عَنَيْت أَنَّهَا مُطَلَّقَةً مِنْ غَيْرِي لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ إلَّا أَنْ يَعْلَمَ أَنَّهَا كَانَتْ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ مُطَلَّقَةً مِنْ غَيْرِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ فِي نُحُولِ ذَلِكَ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إذَا طَلَّقْتُك فَإِذَا طَلَّقَهَا وَقَعَتْ عَلَيْهَا وَاحِدَةٌ بِابْتِدَائِهِ الطَّلَاقَ وَالْأُخْرَى بِالْحِنْثِ.

 

 

Dari kitab Ibāḥat at-Ṭalāq wa al-Imlā’ wa Ghairihimā (Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh ta‘ālā berkata):

“Wajib baginya, dan waktu apa pun yang ia tetapkan untuk talak, talak itu tidak berlaku sebelum waktunya. Jika ia berkata, ‘Pada bulan ini’ atau ‘pada awal hilal bulan ini,’ talak terjadi pada waktu magrib di malam terlihatnya hilal bulan tersebut. Jika ia berkata, ‘Jika aku melihat hilal bulan ini,’ ia melanggar sumpah jika orang lain melihatnya, kecuali jika ia maksudkan melihatnya sendiri. Jika ia berkata, ‘Jika telah lewat satu tahun,’ sementara sudah lewat lima hari dari hilal, talak tidak terjadi sampai berlalu 25 malam dari hari ia berbicara, 11 bulan berdasarkan hilal, dan lima hari setelahnya. Jika ia berkata kepada istrinya, ‘Kamu tertalak bulan yang lalu,’ talak berlaku saat itu juga, karena menjatuhkan talak sekarang untuk waktu yang sudah lewat adalah mustahil. Jika ia berkata, ‘Aku maksudkan bahwa dia sudah ditalak oleh selainku,’ perkataannya tidak diterima kecuali jika diketahui bahwa pada waktu itu dia memang sudah ditalak oleh orang lain. Maka, ucapannya diterima dengan disertai sumpah atas kebenarannya. Jika ia berkata, ‘Kamu tertalak jika aku menalakmu,’ maka ketika ia menalaknya, berlaku satu talak karena permulaan talak dan talak lainnya karena pelanggaran sumpah.”

(Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Seandainya dia mengatakan: ‘Kamu tertalak setiap kali talakku jatuh padamu’, lalu dia menalaknya sekali, maka jatuhlah talak tiga. Namun jika wanita tersebut belum pernah digauli, maka talak hanya jatuh sekali dengan ucapan pertama saja.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَوْ كَانَ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ كُلَّمَا وَقَعَ عَلَيْك طَلَاقِي وَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً طَلُقَتْ ثَلَاثًا وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا طَلُقَتْ بِالْأُولَى وَحْدَهَا.

(Asy-Syafi’i berkata): Demikian pula jika dia menceraikannya dengan satu talak yang telah dia campuri.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – أَلْطَفَ الشَّافِعِيُّ فِي وَقْتِ إيقَاعِ الطَّلَاقِ فَلَمْ يُوقِعْ إلَّا وَاحِدَةً، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إذَا لَمْ أُطَلِّقْكِ أَوْ مَتَى مَا لَمْ أُطَلِّقْك فَسَكَتَ مُدَّةً يُمْكِنُهُ فِيهَا الطَّلَاقُ طَلُقَتْ، وَلَوْ كَانَ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ إنْ لَمْ أُطَلِّقْك لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى نَعْلَمَ أَنَّهُ لَا يُطَلِّقُهَا بِمَوْتِهِ أَوْ بِمَوْتِهَا

(Imam Al-Muzani) – rahimahullah ta’ala – berkata: “Imam Syafi’i bersikap lembut dalam waktu pelaksanaan talak, sehingga hanya memberlakukan satu talak. Seandainya suami berkata: ‘Kamu tertalak jika aku tidak menalakmu’ atau ‘kapan saja aku tidak menalakmu’, lalu diam selama masa yang memungkinkan untuk menalak, maka istri tertalak. Namun jika ia mengatakan: ‘Kamu tertalak bila aku tidak menalakmu’, ia tidak melanggar sumpah sampai diketahui bahwa ia tidak akan menalaknya karena kematiannya atau kematian sang istri.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – فَرَّقَ الشَّافِعِيُّ بَيْنَ ” إذَا ” وَ ” إنْ ” فَأَلْزَمَ فِي ” إذَا ” إذَا لَمْ يَفْعَلْهُ مِنْ سَاعَتِهِ وَلَمْ يُلْزِمْهُ فِي ” إنْ ” إلَّا بِمَوْتِهِ أَوْ بِمَوْتِهَا

(Imam Al-Muzani) – rahimahullah ta’ala – berkata: “Imam Syafi’i membedakan antara ‘idza’ (jika) dan ‘in’ (bila). Beliau memberlakukan talak pada ‘idza’ jika tidak dilakukan seketika itu juga, sedangkan pada ‘in’ tidak memberlakukan kecuali dengan kematian suami atau kematian istri.”

 

 

وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ إذَا قَدِمَ فُلَانٌ فَقَدِمَ بِهِ مَيِّتًا أَوْ مُكْرَهًا لَمْ تَطْلُقْ، وَلَوْ قَالَ: إذَا رَأَيْته فَرَآهُ فِي تِلْكَ الْحَالِ حَنِثَ، وَلَوْ حَلَفَ لَا تَأْخُذْ مَا لَك عَلَيَّ فَأَجْبَرَهُ السُّلْطَانُ فَأَخَذَ مِنْهُ الْمَالَ حَنِثَ، وَلَوْ قَالَ: لَا أُعْطِيك لَمْ يَحْنَثْ، وَلَوْ قَالَ: إنْ كَلَّمْته فَأَنْتِ طَالِقٌ، فَكَلَّمَتْهُ حَيْثُ يَسْمَعُ حَنِثَ وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ لَمْ يَحْنَثْ وَإِنْ كَلَّمَتْهُ مَيِّتًا أَوْ حَيْثُ لَا يَسْمَعُ لَمْ يَحْنَثْ وَإِنْ كَلَّمَتْهُ مُكْرَهَةً لَمْ يَحْنَثْ وَإِنْ كَلَّمَتْهُ سَكْرَانَةً حَنِثَ.

 

 

Dan jika dia berkata kepada istrinya, “Kamu tertalak jika si fulan datang,” lalu fulan datang dalam keadaan mati atau dipaksa, maka talak tidak jatuh. Jika dia berkata, “Jika aku melihatnya,” lalu dia melihatnya dalam keadaan seperti itu, maka dia melanggar sumpah. Jika dia bersumpah, “Janganlah kamu mengambil hakmu dariku,” lalu penguasa memaksanya sehingga dia mengambil harta tersebut, maka dia melanggar sumpah. Jika dia berkata, “Aku tidak akan memberimu,” maka dia tidak melanggar sumpah. Jika dia berkata, “Jika kamu berbicara dengannya, maka kamu tertalak,” lalu istrinya berbicara dengannya dalam keadaan dia bisa mendengar, maka dia melanggar sumpah. Jika dia tidak mendengar, maka tidak melanggar. Jika istrinya berbicara dengannya dalam keadaan mati atau tidak bisa mendengar, maka tidak melanggar. Jika istrinya berbicara dalam keadaan dipaksa, maka tidak melanggar. Jika istrinya berbicara dalam keadaan mabuk, maka dia melanggar sumpah.

 

 

وَلَوْ قَالَ لِمَدْخُولٍ بِهَا: أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ وَقَعَتْ الْأُولَى وَسُئِلَ مَا نَوَى فِي الثِّنْتَيْنِ بَعْدَهَا؟ فَإِنْ أَرَادَ تَبْيِينَ الْأُولَى فَهِيَ وَاحِدَةٌ وَمَا أَرَادَ. وَإِنْ قَالَ: لَمْ أُرِدْ طَلَاقًا لَمْ يُدَنْ فِي الْأُولَى وَدُيِّنَ فِي الثِّنْتَيْنِ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَطَالِقٌ وَطَالِقٌ وَقَعَتْ الْأُولَى وَالثَّانِيَةُ بِالْوَاوِ؛ لِأَنَّهَا اسْتِئْنَافٌ لِكَلَامٍ فِي الظَّاهِرِ وَدُيِّنَ فِي الثَّالِثَةِ فَإِنْ أَرَادَ بِهَا طَلَاقًا فَهُوَ طَلَاقٌ وَإِنْ أَرَادَ بِهَا تَكْرِيرًا فَلَيْسَ بِطَلَاقٍ وَكَذَلِكَ أَنْتِ طَالِقٌ ثُمَّ طَالِقٌ ثُمَّ طَالِقٌ وَكَذَلِكَ طَالِقٌ بَلْ طَالِقٌ بَلْ طَالِقٌ.

 

 

Dan jika seseorang mengatakan kepada istrinya yang telah disetubuhi: “Kamu talak, kamu talak, kamu talak,” maka talak pertama jatuh, dan ditanyakan apa niatnya pada dua ucapan setelahnya. Jika ia bermaksud menjelaskan yang pertama, maka itu dihitung satu talak sesuai yang ia maksud. Jika ia berkata, “Aku tidak bermaksud talak,” maka talak pertama tidak dianggap, dan ditinjau pada dua ucapan berikutnya.

 

Dan jika ia mengatakan kepadanya: “Kamu talak dan talak dan talak,” maka talak pertama dan kedua jatuh karena kata “dan” menunjukkan pengulangan kalimat yang terpisah secara lahiriah, dan ditinjau pada talak ketiga. Jika ia bermaksud talak, maka itu dihitung talak. Jika ia bermaksud pengulangan, maka tidak dianggap talak.

 

Demikian pula jika ia mengatakan: “Kamu talak, kemudian talak, kemudian talak,” atau “Talak, bahkan talak, bahkan talak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَفِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ وَإِنْ أَدْخَلَ ” ثُمَّ ” أَوْ وَاوًا فِي كَلِمَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ فَظَاهِرُهَا اسْتِئْنَافٌ وَهِيَ ثَلَاثٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan dalam kitab Al-Imla’, jika ia memasukkan “tsumma” (kemudian) atau huruf waw (dan) di antara dua kalimat, namun tidak ada niat tertentu, maka zahirnya adalah isti’naf (kalimat baru) dan ada tiga jenis.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالظَّاهِرُ فِي الْحُكْمِ أَوْلَى وَالْبَاطِنُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Yang lahiriah lebih utama dalam hukum, sedangkan yang batiniah adalah antara dirinya dan Allah Ta’ala.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ طَلَاقًا فَهِيَ وَاحِدَةٌ كَقَوْلِهِ طَلَاقًا حَسَنًا.

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dan jika dia mengatakan, ‘Kamu tertalak dengan talak,’ maka itu dihitung satu talak, seperti perkataannya ‘dengan talak yang baik’.”

 

 

وَكُلُّ مُكْرَهٍ وَمَغْلُوبٍ عَلَى عَقْلِهِ فَلَا يَلْحَقُهُ الطَّلَاقُ خَلَا السَّكْرَانَ مِنْ خَمْرٍ أَوْ نَبِيذٍ فَإِنَّ الْمَعْصِيَةَ بِشُرْبِ الْخَمْرِ لَا تَسْقُطُ عَنْهُ فَرْضًا وَلَا طَلَاقًا وَالْمَغْلُوبُ عَلَى عَقْلِهِ مِنْ غَيْرِ مَعْصِيَةٍ مُثَابٌ فَكَيْفَ يُقَاسُ مَنْ عَلَيْهِ الْعِقَابُ عَلَى مَنْ لَهُ الثَّوَابُ، وَقَدْ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْحِجَازِ: لَا يَلْزَمُهُ طَلَاقٌ فَيَلْزَمُهُ إذَا لَمْ يَجُزْ عَلَيْهِ تَحْرِيمُ الطَّلَاقِ أَنْ يَقُولَ وَلَا عَلَيْهِ قَضَاءُ الصَّلَاةِ كَمَا لَا يَكُونُ عَلَى الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ قَضَاءُ صَلَاةٍ.

 

 

Setiap orang yang dipaksa atau tidak sadarkan diri, maka talak tidak berlaku baginya, kecuali orang yang mabuk karena khamr atau nabidz. Sesungguhnya maksiat karena meminum khamr tidak menggugurkan kewajiban atau talak darinya. Sedangkan orang yang tidak sadarkan diri tanpa maksiat justru diberi pahala, maka bagaimana mungkin orang yang pantas dihukum disamakan dengan orang yang pantas diberi pahala? Sebagian ahli Hijaz berkata, “Talak tidak berlaku baginya.” Namun, jika larangan talak tidak dianggap sah baginya, maka dia juga tidak wajib mengqadha shalat, sebagaimana orang yang tidak sadarkan diri tidak wajib mengqadha shalat.

 

بَابُ الطَّلَاقِ بِالْحِسَابِ وَالِاسْتِثْنَاءُ

 

Bab Talak dengan Perhitungan dan Pengecualian

مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابَيْنِ.

 

Dari yang menghimpun dari dua kitab.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فِي اثْنَتَيْنِ فَإِنْ نَوَى مَقْرُونَةً بِاثْنَتَيْنِ فَهِيَ ثَلَاثٌ وَإِنْ نَوَى الْحِسَابَ فَهِيَ اثْنَتَانِ وَإِنْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا فَوَاحِدَةٌ، وَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً لَا تَقَعُ عَلَيْك فَهِيَ وَاحِدَةٌ وَإِنْ قَالَ وَاحِدَةً قَبْلَهَا وَاحِدَةٌ كَانَتْ تَطْلِيقَتَيْنِ، وَإِنْ قَالَ: رَأْسُك أَوْ شَعْرُك أَوْ يَدُك أَوْ رِجْلُك أَوْ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَائِك طَالِقٌ فَهِيَ طَالِقٌ لَا يَقَعُ عَلَى بَعْضِهَا دُونَ بَعْضٍ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ بَعْضَ تَطْلِيقَةٍ كَانَتْ تَطْلِيقَةً وَالطَّلَاقُ لَا يَتَبَعَّضُ، وَلَوْ قَالَ: نِصْفَيْ تَطْلِيقَةٍ فَهِيَ وَاحِدَةٌ، وَلَوْ قَالَ لِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ: قَدْ أَوْقَعْت بَيْنَكُنَّ تَطْلِيقَةً كَانَتْ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ طَالِقًا وَاحِدَةً وَكَذَلِكَ تَطْلِيقَتَيْنِ وَثَلَاثًا وَأَرْبَعًا إلَّا أَنْ يُرِيدَ قَسَمَ كُلِّ وَاحِدَةٍ فَيُطَلِّقْنَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seseorang berkata kepada istrinya, ‘Kamu tertalak satu dalam dua,’ maka jika ia berniat menggabungkannya dengan dua talak, itu dihitung tiga talak. Jika ia berniat perhitungan, maka dihitung dua talak. Jika tidak berniat apa-apa, maka dihitung satu talak. Jika ia berkata, ‘Kamu tertalak satu yang tidak jatuh kepadamu,’ maka itu dihitung satu talak. Jika ia berkata, ‘Satu sebelum satu,’ maka itu dihitung dua talak. Jika ia berkata, ‘Kepalamu, rambutmu, tanganmu, kakimu, atau sebagian anggota tubuhmu tertalak,’ maka istri itu tertalak secara keseluruhan, tidak hanya sebagian. Jika ia berkata, ‘Kamu tertalak sebagian talak,’ maka itu dihitung satu talak, karena talak tidak terbagi. Jika ia berkata, ‘Setengah dari talak,’ maka itu dihitung satu talak. Jika ia berkata kepada empat istri, ‘Aku telah menjatuhkan satu talak di antara kalian,’ maka masing-masing dari mereka tertalak satu. Begitu juga untuk dua, tiga, atau empat talak, kecuali jika ia bermaksud membagi setiap istri, maka masing-masing bisa tertalak tiga talak.”

 

 

وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إلَّا اثْنَتَيْنِ فَهِيَ وَاحِدَةٌ، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إلَّا ثَلَاثًا فَهِيَ ثَلَاثٌ إنَّمَا يَجُوزُ الِاسْتِثْنَاءُ إذَا بَقِيَ شَيْئًا فَإِذَا لَمْ يُبْقِ شَيْئًا فَمُحَالٌ، وَلَوْ قَالَ: كُلَّمَا وَلَدْت وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ وَاحِدَةً فَوَلَدَتْ ثَلَاثًا فِي بَطْنٍ طَلُقَتْ بِالْأَوَّلِ وَاحِدَةً وَبِالثَّانِي أُخْرَى وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِالثَّالِثِ، وَلَوْ قَالَ: إنْ شَاءَ اللَّهُ، لَمْ يَقَعْ وَالِاسْتِثْنَاءُ فِي الطَّلَاقِ وَالْعِتْقِ وَالنُّذُورِ كَهُوَ فِي الْأَيْمَانِ.

 

 

Jika dia berkata, “Kamu tertalak tiga kali kecuali dua,” maka itu dihitung satu talak. Jika dia berkata, “Kamu tertalak tiga kali kecuali tiga,” maka itu dihitung tiga talak. Pengecualian hanya berlaku jika masih tersisa sesuatu. Jika tidak tersisa apa-apa, maka itu mustahil. Jika dia berkata, “Setiap kali kamu melahirkan anak, maka kamu tertalak satu kali,” lalu dia melahirkan tiga anak dalam satu kandungan, maka talak berlaku pada anak pertama (satu talak), pada anak kedua (talak lagi), dan masa iddahnya selesai pada anak ketiga. Jika dia berkata, “Insya Allah,” maka talak tidak terjadi. Pengecualian dalam talak, pembebasan budak, dan nazar berlaku seperti halnya dalam sumpah.

 

بَابُ طَلَاقِ الْمَرِيضِ

Bab tentang talak orang yang sakit

 

مِنْ كِتَابِ الرَّجْعَةِ وَمِنْ الْعِدَّةِ وَمِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَاخْتِلَافِ الْحَدِيثِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَطَلَاقُ الْمَرِيضِ وَالصَّحِيحِ سَوَاءٌ، فَإِنْ طَلَّقَ مَرِيضٌ ثَلَاثًا فَلَمْ يَصِحَّ حَتَّى مَاتَ فَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) فَذَكَرَ حُكْمَ عُثْمَانَ بِتَوْرِيثِهَا مِنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِي مَرَضِهِ وَقَوْلَ ابْنِ الزُّبَيْرِ لَوْ كُنْت أَنَا لَمْ أَرَ أَنْ تَرِثَ الْمَبْتُوتَةُ.

 

 

Dari kitab ar-Raj’ah, dari al-‘Iddah, dan dari al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik wa Ikhtilaf al-Hadits (Asy-Syafi’i -rahimahullah ta’ala- berkata): “Talaknya orang sakit dan orang sehat adalah sama. Jika seorang yang sakit mentalak tiga lalu tidak sembuh hingga meninggal, maka para sahabat kami berselisih pendapat.” (Al-Muzani berkata): Lalu disebutkan keputusan Utsman untuk memberikan warisan kepadanya dari Abdurrahman saat sakitnya, serta perkataan Ibnu Zubair: “Seandainya aku, aku tidak berpendapat bahwa wanita yang ditalak tiga boleh mewarisi.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – فِي كِتَابِ الْعِدَّةِ: إنَّ الْقَوْلَ بِأَنْ لَا تَرِثَ الْمَبْتُوتَةُ قَوْلٌ يَصِحُّ وَقَدْ ذَهَبَ إلَيْهِ بَعْضُ أَهْلِ الْآثَارِ، وَقَالَ: كَيْفَ تَرِثُهُ امْرَأَةٌ لَا يَرِثُهَا وَلَيْسَتْ لَهُ بِزَوْجَةٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) فَقُلْت أَنَا هَذَا أَصَحُّ وَأَقْيَسُ لِقَوْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan sungguh Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – telah berkata dalam kitab Al-‘Iddah: “Pendapat bahwa wanita yang diceraikan tanpa hubungan suami-istri tidak mewarisi adalah pendapat yang sahih, dan sebagian ahli atsar telah berpendapat demikian.” Beliau juga berkata: “Bagaimana mungkin seorang wanita mewarisinya, sedangkan dia tidak diwarisi olehnya dan bukan lagi istrinya?” (Al-Muzani berkata) Maka aku katakan, ini lebih sahih dan lebih sesuai dengan qiyas menurut pendapatnya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ إمْلَاءً عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ إنَّ مَذْهَبَ ابْنِ الزُّبَيْرِ أَصَحُّهُمَا وَقَالَ فِيهِ: لَوْ أَقَرَّ فِي مَرَضِهِ أَنَّهُ طَلَّقَهَا فِي صِحَّتِهِ ثَلَاثًا لَمْ تَرِثْهُ وَحُكْمُ الطَّلَاقِ فِي الْإِيقَاعِ وَالْإِقْرَارِ فِي الْقِيَاسِ عِنْدِي سَوَاءٌ. وَقَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى: لَا تَرِثُ الْمَبْتُوتَةُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dia juga berkata dalam kitab Nikah dan Talak yang dikarang berdasarkan masalah-masalah Malik: Sesungguhnya pendapat Ibnu Zubair adalah yang paling sahih di antara keduanya. Dia berkata di dalamnya: Seandainya seseorang mengaku saat sakit bahwa dia telah menceraikan istrinya tiga kali saat sehat, maka istri tidak mewarisinya. Hukum talak dalam pelaksanaan dan pengakuan menurut qiyas menurutku adalah sama. Dan dia berkata dalam kitab perbedaan pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila: Perempuan yang diceraikan tidak mewarisi.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ احْتَجَّ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – عَلَى مَنْ قَالَ: إذَا ادَّعَيَا وَلَدًا فَمَاتَ وَرِثَهُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَ ابْنٍ وَإِنْ مَاتَا وَرِثَهُمَا كَمَالِ أَبٍ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ: النَّاسُ يَرِثُونَ مَنْ يُوَرَّثُونَ فَأَلْزَمَهُمْ تَنَاقُضَ قَوْلِهِمْ: إذَا لَمْ يَجْعَلُوا الِابْنَ مِنْهُمَا كَهُمَا مِنْهُ فِي الْمِيرَاثِ فَكَذَلِكَ إنَّمَا تَرِثُ الزَّوْجَةُ الزَّوْجَ مِنْ حَيْثُ يَرِثُهَا فَإِذَا ارْتَفَعَ الْمَعْنَى الَّذِي يَرِثُهَا بِهِ لَمْ تَرِثْهُ وَهَذَا أَصَحُّ فِي الْقِيَاسِ وَكَذَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ مَا قَرَّرْت مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَلَا مِنْ سُنَّةِ رَسُولِهِ وَتَبِعْهُ ابْنُ الزُّبَيْرِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Imam Syafi’i -rahimahullah- berhujah terhadap orang yang berkata: “Jika dua orang mengakui seorang anak lalu anak itu meninggal, maka masing-masing mewarisi separuh anak. Namun jika keduanya meninggal, anak itu mewarisi mereka seperti warisan seorang ayah.” Imam Syafi’i berkata: “Orang-orang mewarisi dari yang mewarisi mereka. Maka beliau menunjukkan kontradiksi pendapat mereka: jika mereka tidak menjadikan anak itu dari keduanya sebagaimana keduanya darinya dalam hal warisan, maka demikian pula istri hanya mewarisi suami dari sisi suami mewarisinya. Jika hilang makna yang membuat suami mewarisinya, istri tidak mewarisinya. Ini lebih tepat menurut qiyas. Demikian pula Abdurrahman bin Auf, aku tidak menemukan hal ini dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya, dan Ibnu Zubair mengikutinya.”

 

بَابُ الشَّكِّ فِي الطَّلَاقِ

 

Bab Keraguan dalam Talak

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : لَمَّا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «إنَّ الشَّيْطَانَ لَعَنَهُ اللَّهُ يَأْتِي أَحَدَكُمْ فَيَنْفُخُ بَيْنَ أَلْيَتَيْهِ فَلَا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَشُمَّ رِيحًا» عَلِمْنَا أَنَّهُ لَمْ يَزُلْ يَقِينُ طَهَارَةٍ إلَّا بِيَقِينِ حَدَثٍ فَكَذَلِكَ مَنْ اسْتَيْقَنَ نِكَاحًا ثُمَّ شَكَّ فِي الطَّلَاقِ لَمْ يَزُلْ الْيَقِينُ إلَّا بِالْيَقِينِ (قَالَ) : وَلَوْ قَالَ: حَنِثْت بِالطَّلَاقِ أَوْ فِي الْعِتْقِ وَقَفَ عَنْ نِسَائِهِ وَرَقِيقِهِ حَتَّى يُبَيِّنَ وَيَحْلِفَ لِلَّذِي يَدَّعِي، فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ ذَلِكَ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَإِنْ خَرَجَ السَّهْمُ عَلَى الرَّقِيقِ عَتَقُوا مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَإِنْ وَقَعَتْ عَلَى النِّسَاءِ لَمْ يُطَلَّقْنَ وَلَمْ يُعْتَقْ الرَّقِيقُ وَالْوَرَعُ أَنْ يَدَعْنَ مِيرَاثَهُ، وَلَوْ قَالَ: إحْدَاكُمَا طَالِقٌ ثَلَاثًا مُنِعَ مِنْهُمَا وَأُخِذَ بِنَفَقَتِهِمَا حَتَّى يُبَيِّنَ فَإِنْ قَالَ: لَمْ أُرِدْ هَذِهِ بِالطَّلَاقِ كَانَ إقْرَارًا مِنْهُ لِلْأُخْرَى، وَلَوْ قَالَ: أَخْطَأْت بَلْ هِيَ هَذِهِ طَلُقَتَا مَعًا بِإِقْرَارِهِ فَإِنْ مَاتَتَا أَوْ إحْدَاهُمَا قَبْلَ أَنْ يُبَيِّنَ وَقَفْنَا لَهُ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مِيرَاثَ زَوْجٍ. وَإِذَا قَالَ لِإِحْدَاهُمَا هَذِهِ الَّتِي طَلَّقْت رَدَدْنَا عَلَى أَهْلِهَا مَا وَقَفْنَا لَهُ وأحلفناه لِوَرَثَةِ الْأُخْرَى، وَلَوْ كَانَ هُوَ الْمَيِّتُ وَقَفْنَا لَهُمَا مِيرَاثَ امْرَأَةٍ حَتَّى يَصْطَلِحَا، فَإِنْ مَاتَتْ وَاحِدَةٌ قَبْلَهُ ثُمَّ مَاتَ بَعْدَهَا فَقَالَ وَارِثُهُ طَلَّقَ الْأُولَى وَرِثَتْ الْأُخْرَى بِلَا يَمِينٍ، وَإِنْ قَالَ: طَلَّقَ الْحَيَّةَ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

 

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Sesungguhnya setan -laknat Allah atasnya- mendatangi salah seorang dari kalian lalu meniup di antara kedua pantatnya. Ia tidak akan pergi hingga mendengar suara atau mencium bau,” kami pun mengetahui bahwa keyakinan akan kesucian tidak hilang kecuali dengan keyakinan akan hadats. Demikian pula, orang yang yakin telah menikah lalu ragu tentang talak, keyakinannya tidak hilang kecuali dengan keyakinan (yang baru). (Imam Syafi’i) berkata: Jika seseorang mengatakan, “Aku melanggar sumpah dengan talak atau pembebasan budak,” ia harus menjauhi istrinya dan budaknya hingga menjelaskan dan bersumpah kepada yang mengklaim. Jika ia meninggal sebelum itu, diadakan undian antara mereka. Jika undian jatuh pada budak, mereka merdeka dari harta pokok. Jika jatuh pada istri, mereka tidak dicerai dan budak tidak merdeka. Sikap wara’ adalah meninggalkan warisannya. Jika ia mengatakan, “Salah seorang dari kalian berdua aku talak tiga,” ia dilarang dari keduanya dan wajib menafkahi mereka hingga menjelaskan. Jika ia berkata, “Aku tidak bermaksud menalak yang ini,” itu menjadi pengakuan untuk yang lain. Jika ia mengatakan, “Aku keliru, sebenarnya yang ini,” maka keduanya dicerai bersamaan karena pengakuannya. Jika keduanya atau salah satunya meninggal sebelum penjelasan, kami tahan untuknya warisan suami dari masing-masing. Jika ia mengatakan kepada salah satunya, “Ini yang aku talak,” kami kembalikan kepada keluarganya apa yang kami tahan dan kami minta ia bersumpah untuk ahli waris yang lain. Jika ia yang meninggal, kami tahan untuk keduanya warisan seorang istri hingga mereka berdamai. Jika salah satu meninggal sebelum dia lalu ia meninggal setelahnya, ahli warisnya mengatakan, “Ia menalak yang pertama,” maka yang lain mewarisi tanpa sumpah. Jika ia mengatakan, “Ia menalak yang masih hidup,” maka ada dua pendapat.

 

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يَقُومُ مَقَامَ الْمَيِّتِ فَيَحْلِفُ أَنَّ الْحَيَّةَ هِيَ الَّتِي طَلَّقَ ثَلَاثًا وَيَأْخُذُ مِيرَاثَهُ مِنْ الْمَيِّتَةِ قَبْلَهُ وَقَدْ يَعْلَمُ ذَلِكَ بِخَبَرِهِ أَوْ بِخَبَرِ غَيْرِهِ مِمَّنْ يُصَدِّقُهُ.

 

 

Salah satunya adalah bahwa ia menggantikan posisi orang yang meninggal, lalu bersumpah bahwa sang istri lah yang telah menceraikannya tiga kali, dan ia mengambil warisannya dari almarhumah sebelumnya. Ia mungkin mengetahui hal itu melalui kabarnya sendiri atau kabar orang lain yang ia percayai.

 

وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّهُ يُوقَفُ لَهُ مِيرَاثُ زَوْجٍ مِنْ الْمَيِّتَةِ قَبْلَهُ وَلِلْحَيَّةِ مِيرَاثُ امْرَأَةٍ مِنْهُ حَتَّى يَصْطَلِحَا.

 

 

Pendapat kedua menyatakan bahwa harta warisan seorang suami dari wanita yang meninggal sebelum dia ditahan untuknya, dan untuk wanita yang masih hidup ditahan bagian warisan seorang istri darinya hingga mereka berdamai.

 

بَابُ مَا يَهْدِمُ الرَّجُلُ مِنْ الطَّلَاقِ مِنْ كِتَابَيْنِ

 

Bab tentang apa yang membatalkan talak seorang laki-laki dari dua kitab

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: لَمَّا كَانَتْ الطَّلْقَةُ الثَّالِثَةُ تُوجِبُ التَّحْرِيمَ كَانَتْ إصَابَةُ زَوْجِ غَيْرِهِ تُوجِبُ التَّحْلِيلَ وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ فِي الطَّلْقَةِ وَلَا فِي الطَّلْقَتَيْنِ مَا يُوجِبُ التَّحْرِيمَ لَمْ يَكُنْ لِإِصَابَةِ زَوْجِ غَيْرِهِ مَعْنًى يُوجِبُ التَّحْلِيلَ فَنِكَاحُهُ وَتَرْكُهُ سَوَاءٌ وَرَجَعَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ إلَى هَذَا وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ عَمَّنْ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ اثْنَتَيْنِ فَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا فَتَزَوَّجَتْ غَيْرَهُ فَطَلَّقَهَا أَوْ مَاتَ عَنْهَا وَتَزَوَّجَهَا الْأَوَّلُ قَالَ عُمَرُ: هِيَ عِنْدَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ الطَّلَاقِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Karena talak yang ketiga mengharuskan pengharaman, maka hubungan suami istri dengan suami lain mengharuskan penghalalan. Dan karena pada talak pertama maupun kedua tidak ada yang mengharuskan pengharaman, maka hubungan dengan suami lain tidak memiliki makna yang mengharuskan penghalalan. Oleh karena itu, menikahinya atau tidak adalah sama.” Kemudian Muhammad bin Al-Hasan kembali kepada pendapat ini. Imam Syafi’i – rahimahullah – berhujjah dengan Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – bahwa seorang laki-laki bertanya kepadanya tentang seseorang yang menceraikan istrinya dua kali, lalu habis masa iddahnya, kemudian wanita itu menikah dengan laki-laki lain, lalu diceraikan atau ditinggal mati, lalu dinikahi lagi oleh suami pertama. Umar berkata: “Dia (istri) berada pada suami pertama sesuai sisa talak yang ada.”

مُخْتَصَرٌ مِنْ الرَّجْعَةِ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الرَّجْعَةِ مِنْ الطَّلَاقِ وَمِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ

 

Ringkasan dari bab rujuk dalam kitab Al-Jami’ dari kitab Rujuk dalam perceraian dan dari hukum-hukum Al-Quran

 

وَمِنْ كِتَابِ الْعِدَدِ وَمِنْ الْقَدِيمِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْمُطَلَّقَاتِ {فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} البقرة: 231 وَقَالَ تَعَالَى {فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ} البقرة: 232 فَدَلَّ سِيَاقُ الْكَلَامِ عَلَى افْتِرَاقِ البلوغين فَأَحَدُهُمَا مُقَارَبَةُ بُلُوغِ الْأَجَلِ فَلَهُ إمْسَاكُهَا أَوْ تَرْكُهَا فَتُسَرَّحُ بِالطَّلَاقِ الْمُتَقَدِّمِ، وَالْعَرَبُ تَقُولُ: إذَا قَارَبْت الْبَلَدَ تُرِيدُهُ قَدْ بَلَغْت كَمَا تَقُولُ: إذَا بَلَغْته وَالْبُلُوغُ الْآخَرُ انْقِضَاءُ الْأَجَلِ.

 

 

Dan dari kitab Al-‘Idad dan dari Al-Qadim (Asy-Syafi’i berkata): Allah Ta’ala berfirman mengenai wanita-wanita yang ditalak, “Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 231). Dan Dia berfirman, “Maka apabila mereka telah sampai (mengakhiri) idahnya, janganlah kalian halangi mereka untuk menikah dengan suami mereka.” (QS. Al-Baqarah: 232). Maka konteks kalimat menunjukkan perbedaan dua makna “mencapai”. Yang pertama adalah mendekati masa akhir idah, maka suami berhak merujuk atau membiarkannya sehingga ia dilepas dengan talak yang telah diberikan. Orang Arab berkata, “Jika engkau mendekati negeri yang engkau tuju, berarti engkau telah sampai,” sebagaimana mereka berkata, “Jika engkau telah mencapainya.” Sedangkan makna “mencapai” yang kedua adalah berakhirnya masa idah.

 

(قَالَ) : وَلِلْعَبْدِ مِنْ الرَّجْعَةِ بَعْدَ الْوَاحِدَةِ مَا لِلْحُرِّ بَعْدَ الثِّنْتَيْنِ كَانَتْ تَحْتَهُ حُرَّةً أَوْ أَمَةً، وَالْقَوْلُ فِيمَا يُمْكِنُ فِيهِ انْقِضَاءُ الْعِدَّةِ قَوْلُهَا وَهِيَ مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ تَحْرِيمَ الْمَبْتُوتَةِ حَتَّى تُرَاجَعَ وَطَلَّقَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَكَانَتْ طَرِيقُهُ إلَى الْمَسْجِدِ عَلَى مَسْكَنِهَا فَكَانَ يَسْلُكُ الطَّرِيقَ الْأُخْرَى كَرَاهِيَةَ أَنْ يَسْتَأْذِنَ عَلَيْهَا حَتَّى رَاجَعَهَا وَقَالَ عَطَاءٌ: لَا يَحِلُّ لَهُ مِنْهَا شَيْءٌ أَرَادَ ارْتِجَاعَهَا أَوْ لَمْ يُرِدْهُ مَا لَمْ يُرَاجِعْهَا، وَقَالَ عَطَاءٌ وَعَبْدُ الْكَرِيمِ: لَا يَرَاهَا فَضْلًا.

 

 

Dia (Ibnu Umar) berkata: “Seorang budak memiliki hak rujuk setelah talak pertama seperti halnya orang merdeka setelah talak kedua, baik istrinya merdeka atau budak. Pendapat mengenai kemungkinan berakhirnya masa iddah adalah perkataan sang istri, dan dia (istri) haram baginya seperti haramnya seorang yang telah ditalak ba’in sampai dia dirujuk. Abdullah bin Umar pernah menceraikan istrinya, dan jalan menuju masjidnya melewati tempat tinggal istrinya. Namun, dia mengambil jalan lain karena tidak ingin meminta izin untuk menemuinya sampai dia merujuknya.” Atha’ berkata: “Tidak halal baginya sesuatu pun darinya, baik dia ingin rujuk atau tidak, selama belum merujuknya.” Atha’ dan Abdul Karim berkata: “Dia tidak boleh melihatnya, apalagi lebih dari itu.”

 

 

(قَالَ) : وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ نِكَاحٌ وَلَا طَلَاقٌ إلَّا بِكَلَامٍ فَلَا تَكُونُ الرَّجْعَةُ إلَّا بِكَلَامٍ وَالْكَلَامُ بِهَا أَنْ يَقُولَ: قَدْ رَاجَعْتهَا أَوْ ارْتَجَعْتهَا أَوْ رَدَدْتهَا إلَيَّ فَإِنْ جَامَعَهَا يَنْوِي الرَّجْعَةَ أَوْ لَا يَنْوِيهَا فَهُوَ جِمَاعُ شُبْهَةٍ وَيُعَزَّرَانِ إنْ كَانَا عَالِمَيْنِ وَلَهَا صَدَاقُ مِثْلِهَا وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ، وَلَوْ كَانَتْ اعْتَدَّتْ بِحَيْضَتَيْنِ ثُمَّ أَصَابَهَا ثُمَّ تَكَلَّمَ بِالرَّجْعَةِ قَبْلَ أَنْ تَحِيضَ الثَّالِثَةَ فَهِيَ رَجْعَةٌ وَإِنْ كَانَتْ بَعْدَهَا فَلَيْسَتْ بِرَجْعَةٍ، وَقَدْ انْقَضَتْ مِنْ يَوْمِ طَلَّقَهَا الْعِدَّةُ وَلَا تَحِلُّ لِغَيْرِهِ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا مِنْ يَوْمِ مَسَّهَا.

 

 

Beliau berkata: “Karena nikah dan talak hanya terjadi dengan ucapan, maka rujuk pun hanya terjadi dengan ucapan. Ucapan rujuk adalah dengan mengatakan: ‘Aku telah merujuknya’ atau ‘Aku mengambilnya kembali’ atau ‘Aku mengembalikannya kepadaku’. Jika dia menyetubuhinya dengan niat rujuk atau tanpa niat, maka itu adalah persetubuhan syubhat. Keduanya diberi hukuman ta’zir jika mengetahui. Dia (istri) berhak mendapatkan mahar seperti dirinya dan wajib menjalani iddah. Jika dia telah menjalani iddah dengan dua haid, lalu disetubuhi, kemudian suami mengucapkan rujuk sebelum haid ketiga, maka itu adalah rujuk. Jika setelah haid ketiga, maka bukan rujuk. Iddahnya telah selesai sejak hari dia ditalak, dan dia tidak halal untuk orang lain hingga iddahnya selesai sejak hari disetubuhi.”

 

 

وَلَوْ أَشْهَدَ عَلَى رَجْعَتِهَا وَلَمْ تَعْلَمْ بِذَلِكَ وَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَتَزَوَّجَتْ فَنِكَاحُهَا مَفْسُوخٌ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا إنْ كَانَ مَسَّهَا الْآخَرُ وَهِيَ زَوْجَةُ الْأَوَّلِ قَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – «إذَا أَنْكَحَ الْوَلِيَّانِ فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ» وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ: هِيَ امْرَأَةُ الْأَوَّلِ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ.

 

 

Dan jika dia (suami pertama) menyaksikan pengambilannya kembali (rujuk) tetapi sang istri tidak mengetahuinya, lalu masa iddahnya telah selesai dan dia menikah (dengan laki-laki lain), maka pernikahannya batal dan dia berhak mendapatkan mahar seperti dirinya jika dia telah disentuh oleh suami kedua sementara dia masih menjadi istri suami pertama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika dua wali menikahkan (seorang wanita), maka (pernikahan) yang pertama lebih berhak.” Dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata tentang masalah ini, “Dia tetap istri suami pertama, baik sudah dicampuri maupun belum.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً لَمْ يُفْسَخْ نِكَاحُ الْآخَرِ، وَلَوْ ارْتَجَعَ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ وَأَقَرَّتْ بِذَلِكَ فَهِيَ رَجْعَةٌ وَكَانَ يَنْبَغِي أَنْ يُشْهِدَ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika dia tidak mendatangkan bukti, pernikahan yang lain tidak dibatalkan. Sekiranya dia rujuk tanpa bukti dan istrinya mengakuinya, maka itu dianggap rujuk dan seharusnya dia menyaksikannya.”

 

 

وَلَوْ قَالَ: قَدْ رَاجَعْتُك قَبْلَ انْقِضَاءِ عِدَّتِك وَقَالَتْ بَعْدُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا، وَلَوْ خَلَا بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا، وَقَالَ قَدْ: أَصَبْتُك وَقَالَتْ: لَمْ يُصِبْنِي فَلَا رَجْعَةَ، وَلَوْ قَالَتْ: أَصَابَنِي وَأَنْكَرَ فَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ بِإِقْرَارِهَا وَلَا رَجْعَةَ لَهُ عَلَيْهَا بِإِقْرَارِهِ، وَسَوَاءٌ طَالَ مَقَامُهُ أَوْ لَمْ يُطِلْ لَا تَجِبُ الْعِدَّةُ وَكَمَالُ الْمَهْرِ إلَّا بِالْمَسِيسِ نَفْسِهِ، وَلَوْ قَالَ: ارْتَجَعْتُك الْيَوْمَ، وَقَالَتْ: انْقَضَتْ عِدَّتِي قَبْلَ رَجْعَتِك صَدَّقْتهَا إلَّا أَنْ تُقِرَّ بَعْدَ ذَلِكَ فَتَكُونُ كَمَنْ جَحَدَ حَقًّا ثُمَّ أَقَرَّ بِهِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – إنْ لَمْ يُقِرَّا جَمِيعًا وَلَا أَحَدُهُمَا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ حَتَّى ارْتَجَعَ الزَّوْجُ وَصَارَتْ امْرَأَتَهُ فَلَيْسَ لَهَا عِنْدِي نَقْضُ مَا ثَبَتَ عَلَيْهَا لَهُ.

 

 

Dan jika dia (suami) berkata: “Aku telah merujukimu sebelum habisnya iddahmu,” lalu istrinya berkata setelah itu, maka perkataan istri yang diterima dengan disertai sumpahnya. Jika dia (suami) menyendiri dengannya lalu menceraikannya, dan Beliau berkata: “Aku telah menyetubuhimu,” sementara istri berkata: “Dia tidak menyetubuhiku,” maka tidak ada rujuk. Jika istri berkata: “Dia telah menyetubuhiku,” sementara suami mengingkari, maka istri wajib menjalani iddah karena pengakuannya, dan suami tidak berhak rujuk karena pengakuannya. Sama saja apakah dia (suami) tinggal lama atau tidak, iddah dan sempurnanya mahar tidak wajib kecuali dengan persetubuhan yang sebenarnya. Jika suami berkata: “Aku merujukmu hari ini,” sementara istri berkata: “Iddahku telah habis sebelum rujukmu,” maka perkataan istri dibenarkan kecuali jika dia mengaku setelah itu, maka dia seperti orang yang mengingkari hak lalu mengakuinya. (Al-Muzani berkata) -rahimahullah- jika keduanya atau salah satunya tidak mengakui habisnya iddah hingga suami merujuk dan istrinya kembali menjadi istrinya, maka menurutku istri tidak boleh membatalkan apa yang telah tetap baginya (suami).

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ ارْتَدَّتْ بَعْدَ طَلَاقِهِ فَارْتَجَعَهَا مُرْتَدَّةً فِي الْعِدَّةِ لَمْ تَكُنْ رَجْعَةً؛ لِأَنَّهَا تَحْلِيلٌ فِي حَالِ التَّحْرِيمِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seorang wanita murtad setelah ditalak, lalu suaminya merujuknya dalam keadaan murtad selama masa iddah, maka itu tidak dianggap sebagai rujuk. Karena hal itu merupakan upaya menghalalkan sesuatu dalam keadaan terlarang.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِيهَا نَظَرٌ وَأَشْبَهُ بِقَوْلِهِ عِنْدِي أَنْ تَكُونَ رَجْعَةً مَوْقُوفَةً فَإِنْ جَمَعَهُمَا الْإِسْلَامُ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلِمْنَا أَنَّهُ رَجْعَةٌ وَإِنْ لَمْ يَجْمَعْهُمَا الْإِسْلَامُ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلِمْنَا أَنَّهُ لَا رَجْعَةَ؛ لِأَنَّ الْفَسْخَ مِنْ حِينِ ارْتَدَّتْ كَمَا نَقُولُ فِي الطَّلَاقِ إذَا طَلَّقَهَا مُرْتَدَّةً أَوْ وَثَنِيَّةً فَجَمَعَهُمَا الْإِسْلَامُ قَبْلَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلِمْنَا أَنَّ الطَّلَاقَ كَانَ وَاقِعًا وَكَانَتْ الْعِدَّةُ مِنْ حِينِ وَقَعَ الطَّلَاقُ وَإِنْ لَمْ يَجْمَعْهُمَا الْإِسْلَامُ فِي الْعِدَّةِ بَطَلَ الطَّلَاقُ وَكَانَتْ الْعِدَّةُ مِنْ حِينِ أَسْلَمَ مُتَقَدِّمَ الْإِسْلَامِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dalam hal ini perlu diteliti, dan pendapat yang lebih mendekati menurutku adalah bahwa itu merupakan rujuk yang ditangguhkan. Jika Islam menyatukan mereka sebelum habisnya iddah, kita tahu bahwa itu adalah rujuk. Namun jika Islam tidak menyatukan mereka sebelum habisnya iddah, kita tahu bahwa itu bukan rujuk. Karena pernikahan telah batal sejak murtad, sebagaimana pendapat kami dalam kasus talak: jika seorang suami mentalak istrinya yang murtad atau penyembah berhala, lalu Islam menyatukan mereka sebelum habisnya iddah, kita tahu bahwa talak itu terjadi dan iddah dihitung sejak talak terjadi. Namun jika Islam tidak menyatukan mereka selama masa iddah, talak itu batal dan iddah dihitung sejak yang lebih dahulu masuk Islam.”

بَابُ الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا

 

Bab tentang wanita yang ditalak tiga kali

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الْمُطَلَّقَةِ الطَّلْقَةَ الثَّالِثَةَ {فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ} البقرة: 230 «وَشَكَتْ الْمَرْأَةُ الَّتِي طَلَّقَهَا رِفَاعَةُ ثَلَاثًا زَوْجَهَا بَعْدَهُ إلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَتْ: إنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إلَى رِفَاعَةَ؟ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَك» .

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman tentang wanita yang ditalak tiga kali, {Maka tidak halal baginya setelah itu hingga ia menikah dengan suami yang lain} QS. Al-Baqarah: 230. “Seorang wanita yang ditalak tiga oleh Rifa’ah mengadukan suaminya setelahnya kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – seraya berkata, ‘Dia (suami baruku) hanya memiliki (kemampuan) seperti ujung kain.’ Maka beliau bersabda, ‘Apakah engkau ingin kembali kepada Rifa’ah? Tidak, hingga engkau merasakan madunya (hubungan intim) dan dia pun merasakan madumu.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا أَصَابَهَا بِنِكَاحٍ صَحِيحٍ فَغَيَّبَ الْحَشَفَةَ فِي فَرْجِهَا فَقَدْ ذَاقَا الْعُسَيْلَةَ وَسَوَاءٌ قَوِيُّ الْجِمَاعِ وَضَعِيفُهُ لَا يُدْخِلُهُ إلَّا بِيَدِهِ أَوْ بِيَدِهَا أَوْ كَانَ ذَلِكَ مِنْ صَبِيٍّ مُرَاهِقٍ أَوْ مَجْبُوبٍ بَقِيَ لَهُ قَدْرُ مَا يُغَيِّبُهُ تَغْيِيبَ غَيْرِ الْخَصِيِّ وَسَوَاءٌ كُلُّ زَوْجٍ وَزَوْجَةٍ، وَلَوْ أَصَابَهَا صَائِمَةً أَوْ مُحْرِمَةً أَسَاءَ وَقَدْ أَحَلَّهَا، وَلَوْ أَصَابَ الذِّمِّيَّةَ زَوْجٌ ذِمِّيٌّ بِنِكَاحٍ صَحِيحٍ أَحَلَّهَا لِلْمُسْلِمِ؛ لِأَنَّهُ زَوْجٌ «وَرَجَمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا» وَلَا يَرْجُمُ إلَّا مُحْصَنًا قَالَ: وَلَوْ كَانَتْ الْإِصَابَةُ بَعْدَ رِدَّةِ أَحَدِهِمَا ثُمَّ رَجَعَ الْمُرْتَدُّ مِنْهُمَا لَمْ تُحِلَّهَا الْإِصَابَةُ؛ لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةٌ فِي تِلْكَ الْحَالِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seorang suami mencampuri istrinya dengan pernikahan yang sah dan menyelipkan hasyafah (kepala kemaluan) ke dalam farjinya, maka keduanya telah merasakan ‘usailah’ (kenikmatan hubungan suami-istri). Sama saja apakah hubungan itu kuat atau lemah, tidak memasukkannya kecuali dengan tangannya atau tangan istrinya, atau jika itu dilakukan oleh anak yang hampir baligh atau orang yang dikebiri tetapi masih memiliki sisa kemampuan untuk menyelipkan seperti orang yang tidak dikebiri. Hal ini berlaku sama untuk semua suami dan istri. Jika dia mencampurinya dalam keadaan berpuasa atau ihram, maka dia telah berbuat buruk tetapi telah menghalalkannya. Jika seorang suami dzimmi mencampuri istrinya yang dzimmiyah dengan pernikahan yang sah, maka itu menghalalkannya bagi muslim, karena dia adalah suami. ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina,’ dan tidak dirajam kecuali muhshan (yang sudah menikah).” Beliau berkata: “Jika persetubuhan terjadi setelah salah satunya murtad, kemudian yang murtad itu kembali (islam), maka persetubuhan itu tidak menghalalkannya, karena saat itu statusnya haram.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) لَا مَعْنَى لِرُجُوعِ الْمُرْتَدِّ مِنْهُمَا عِنْدَهُ فَيَصِحُّ النِّكَاحُ بَيْنَهُمَا إلَّا فِي الَّتِي قَدْ أَحَلَّتْهَا إصَابَتُهُ إيَّاهَا لِلزَّوْجِ قَبْلَهُ فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ مَدْخُولٍ بِهَا فَقَدْ انْفَسَخَ النِّكَاحُ فِي قَوْلِهِ وَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا بِالْإِصَابَةِ وَإِنْ كَانَتْ مَدْخُولًا فَقَدْ أَحَلَّهَا إصَابَتُهُ إيَّاهَا قَبْلَ الرِّدَّةِ فَكَيْفَ لَا يُحِلُّهَا؟ فَتَفَهَّمْ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Tidak ada makna kembalinya murtad dari keduanya menurutnya, sehingga pernikahan antara keduanya sah kecuali pada wanita yang telah dihalalkan oleh persetubuhannya untuk suami sebelumnya. Jika wanita itu belum disetubuhi, maka pernikahan telah batal menurut pendapatnya, dan ia berhak mendapatkan mahar seperti dirinya karena persetubuhan. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka persetubuhannya sebelumnya telah menghalalkannya sebelum kemurtadan, maka bagaimana mungkin tidak menghalalkannya? Pahamilah.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – “Dan seandainya engkau menyebutkan bahwa dia dinikahi dengan pernikahan yang sah dan telah digauli, namun kita tidak tahu apakah dia telah halal baginya, meskipun dalam hatinya terbersit bahwa dia (wanita itu) berdusta, maka sikap wara’ adalah dengan tidak melakukannya.”

 

 

بَابُ الْإِيلَاءِ مُخْتَصَرٌ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الْإِيلَاءِ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ وَالْإِمْلَاءِ وَمَا دَخَلَ فِيهِ مِنْ الْأَمَالِي عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَمِنْ مَسَائِلِ ابْنِ الْقَاسِمِ مِنْ إبَاحَةِ الطَّلَاقِ وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ} البقرة: 226 الْآيَةَ فَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ عَلَى أَنْ لَا سَبِيلَ عَلَى الْمُولِي لِامْرَأَتِهِ حَتَّى يَمْضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ كَمَا لَوْ ابْتَاعَ بَيْعًا أَوْ ضَمِنَ شَيْئًا إلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَبِيلٌ حَتَّى يَمْضِيَ الْأَجَلُ، وَقَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ أَدْرَكْت بِضْعَةَ عَشَرَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كُلُّهُمْ يُوقِفُ الْمُولِيَ وَكَانَ عَلِيٌّ وَعُثْمَانُ وَعَائِشَةُ وَابْنُ عُمَرَ وَسُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ يُوقَفُونَ الْمُولِيَ.

 

 

Bab Ila’ (Sumpah Tidak Menjima’i Istri) yang diringkas dari Al-Jami’ dari kitab Ila’ lama dan baru, serta Al-Imla’ dan apa yang tercakup di dalamnya berupa Al-Amali atas masalah-masalah Malik dan dari masalah-masalah Ibnu Al-Qasim tentang kebolehan talak dan lainnya. (Asy-Syafi’i berkata) -semoga Allah merahmatinya-: Allah Ta’ala berfirman, “Bagi orang-orang yang mengila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya, diberi tenggang waktu empat bulan.” (QS. Al-Baqarah: 226). Dalam hal itu terdapat petunjuk -dan Allah lebih mengetahui- bahwa tidak ada jalan untuk menuntut orang yang bersumpah (ila’) terhadap istrinya hingga berlalu empat bulan, sebagaimana jika seseorang membeli sesuatu atau menjamin sesuatu hingga empat bulan, tidak ada jalan untuk menuntutnya hingga masa tersebut berlalu. Sulaiman bin Yasar berkata, “Aku menjumpai lebih dari sepuluh sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- yang semuanya menahan orang yang bersumpah (ila’). Ali, Utsman, Aisyah, Ibnu Umar, dan Sulaiman bin Yasar juga menahan orang yang bersumpah (ila’).”

 

 

(قَالَ) : وَلِيَ الْمُولِي مَنْ حَلَفَ بِيَمِينٍ يَلْزَمُهُ بِهَا كَفَّارَةٌ وَمَنْ أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ شَيْئًا يَجِبُ عَلَيْهِ إذَا أَوْجَبَهُ فَأَوْجَبَهُ عَلَى نَفْسِهِ إنْ جَامَعَ امْرَأَتَهُ فَهُوَ فِي مَعْنَى الْمُولِي وَلَا يَلْزَمُهُ الْإِيلَاءُ حَتَّى يُصَرِّحَ بِأَحَدِ أَسْمَاءِ الْجِمَاعِ الَّتِي هِيَ صَرِيحَةٌ وَذَلِكَ قَوْلُهُ وَاَللَّهِ لَا أَنِيكُك وَلَا أُغَيِّبُ ذَكَرِي فِي فَرْجِك أَوْ لَا أُدْخِلُهُ فِي فَرْجِك أَوْ لَا أُجَامِعُك أَوْ يَقُولُ: إنْ كَانَتْ عَذْرَاءَ وَاَللَّهِ لَا أَفْتَضُّك أَوْ مَا فِي مِثْلِ هَذَا الْمَعْنَى فَهُوَ مُولٍ فِي الْحُكْمِ (وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ) لَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا أَطَؤُك أَوْ لَا أَمَسُّك أَوْ لَا أُجَامِعُك فَهَذَا كُلُّهُ بَابٌ وَاحِدٌ كُلَّمَا كَانَ لِلْجِمَاعِ اسْمٌ كَنَّى بِهِ عَنْ نَفْسِ الْجِمَاعِ فَهُوَ وَاحِدٌ وَهُوَ مُولٍ فِي الْحُكْمِ قُلْنَا: مَا لَمْ يَنْوِهِ فِي لَا أَمَسُّك فِي الْحُكْمِ فِي الْقَدِيمِ وَنَوَاهُ فِي الْجَدِيدِ وَأَجْمَعَ قَوْلَهُ فِيهِمَا بِحَلِفِهِ لَا أُجَامِعُك أَنَّهُ مُولٍ وَإِنْ احْتَمَلَ أُجَامِعُك بِبَدَنِي وَهَذَا أَشْبَهُ بِمَعَانِي الْعِلْمِ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

 

(Dia berkata): “Yang dianggap sebagai orang yang bersumpah (mūlī) adalah orang yang bersumpah dengan sumpah yang mewajibkannya untuk membayar kafarat, atau orang yang mewajibkan sesuatu atas dirinya, maka ia wajib menunaikannya jika ia telah mewajibkannya. Jika ia bersumpah untuk tidak menggauli istrinya, maka ia termasuk dalam makna mūlī, tetapi sumpah ilā’ tidak berlaku baginya kecuali jika ia menyebutkan secara jelas salah satu nama persetubuhan yang eksplisit, seperti ucapannya: ‘Demi Allah, aku tidak akan menyetubuhimu, tidak akan memasukkan kemaluanku ke dalam vaginamu, atau tidak akan menggaulimu.’ Atau jika ia berkata (kepada istrinya yang masih perawan): ‘Demi Allah, aku tidak akan menidurimu,’ atau ungkapan lain yang semakna, maka ia dihukumi sebagai mūlī. (Dalam pendapat lama disebutkan) jika seseorang berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu, tidak akan menyentuhmu, atau tidak akan mencampurimu,’ maka semua ini termasuk dalam satu kategori. Setiap nama yang digunakan sebagai kinayah (kiasan) untuk persetubuhan, maka maknanya satu dan ia dihukumi sebagai mūlī. Kami berpendapat: selama tidak ada niat dalam ucapan ‘tidak akan menyentuhmu’ menurut pendapat lama, tetapi ia berniat demikian dalam pendapat baru, dan kesepakatan pendapat mengenai kedua hal tersebut dengan sumpahnya ‘aku tidak akan menggaulimu’ bahwa ia adalah mūlī, meskipun ‘menggaulimu’ bisa dimaknai dengan seluruh tubuh. Ini lebih sesuai dengan makna ilmiah. Wallahu a’lam.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا أُبَاشِرُك أَوْ لَا أُبَاضِعُكِ أَوْ لَا أَمَسُّك أَوْ مَا أَشْبَهَ هَذَا فَإِنْ أَرَادَ جِمَاعًا فَهُوَ مُولٍ وَإِنْ لَمْ يُرِدْهُ فَغَيْرُ مُولٍ فِي الْحُكْمِ، وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا أُجَامِعُك فِي دُبُرِك فَهُوَ مُحْسِنٌ، وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا يَجْمَعُ رَأْسِي وَرَأْسَك شَيْءٌ أَوْ لَأَسُوءَنَّكِ أَوْ لَتَطُولَن غَيْبَتِي عَنْك أَوْ مَا أَشْبَهَ هَذَا فَلَا يَكُونُ بِذَلِكَ مُولِيًا إلَّا أَنْ يُرِيدَ جِمَاعًا، وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهُ لَيَطُولَن تَرْكِي لِجِمَاعِك فَإِنْ عَنِيَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ مُولٍ، وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا أَقْرَبُك خَمْسَةَ أَشْهُرٍ، ثُمَّ قَالَ: إذَا مَضَتْ خَمْسَةُ أَشْهُرٍ فَوَاَللَّهِ لَا أَقْرَبُك سَنَةً فَوَقَفَ فِي الْأُولَى فَطَلَّقَ ثُمَّ ارْتَجَعَ فَإِذَا مَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ بَعْدَ رَجْعَتِهِ وَبَعْدَ خَمْسَةِ أَشْهُرٍ وَقَفَ فَإِنْ كَانَتْ رَجْعَتُهُ فِي وَقْتٍ لَمْ يَبْقَ عَلَيْهِ فِيهِ مِنْ السَّنَةِ إلَّا أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ أَوْ أَقَلُّ لَمْ يُوقَفْ؛ لِأَنِّي أَجْعَلُ لَهُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ يَحِلُّ لَهُ الْفَرْجُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya seseorang berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menyentuhmu,’ atau ‘Aku tidak akan berjimak denganmu,’ atau ‘Aku tidak akan memegangmu,’ atau ucapan semacam ini, jika yang dimaksud adalah jimak, maka dia termasuk mulî (menjauhi istri secara sengaja). Namun jika tidak bermaksud demikian, maka tidak dihukumi sebagai mulî. Jika dia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menyetubuhimu di duburmu,’ maka dia dianggap berbuat baik. Jika dia berkata, ‘Demi Allah, tidak ada sesuatu yang menyatukan kepalaku dan kepalamu,’ atau ‘Aku akan menyusahkanmu,’ atau ‘Aku akan lama meninggalkanmu,’ atau ucapan semacam ini, maka dia tidak dianggap mulî kecuali jika bermaksud menjauhi jimak. Jika dia berkata, ‘Demi Allah, aku akan lama meninggalkan jimak denganmu,’ dan yang dimaksud lebih dari empat bulan, maka dia termasuk mulî. Jika dia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu selama lima bulan,’ lalu berkata lagi, ‘Jika lima bulan telah berlalu, maka demi Allah, aku tidak akan mendekatimu selama setahun,’ maka dia dihentikan pada ucapan pertama, lalu menceraikan, kemudian rujuk. Jika setelah rujuk dan setelah lima bulan berlalu, lalu empat bulan telah lewat, dia dihentikan. Namun jika rujuknya terjadi pada waktu yang tersisa dari setahun itu hanya empat bulan atau kurang, maka tidak dihentikan, karena aku memberinya waktu empat bulan sejak hari dihalalkannya farji (istri) baginya.”

 

وَإِنْ قَالَ: إنْ قَرُبْتُك فَعَلَيَّ صَوْمُ هَذَا الشَّهْرِ كُلِّهِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا كَمَا لَوْ قَالَ: فَعَلَيَّ صَوْمُ يَوْمِ أَمْسِ وَلَوْ أَصَابَهَا وَقَدْ بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ الشَّهْرِ شَيْءٌ كَانَتْ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ أَوْ صَوْمُ مَا بَقِيَ، وَلَوْ قَالَ: إنْ قَرُبْتُك فَأَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا وَقَفَ فَإِنْ فَاءَ وَغَابَتْ الْحَشَفَةُ طَلُقَتْ ثَلَاثًا فَإِذَا أَخْرَجَهُ ثُمَّ أَدْخَلَهُ بَعْدُ فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا، وَإِنْ أَبَى أَنْ يَفِيءَ طُلِّقَ عَلَيْهِ وَاحِدَةٌ فَإِنْ رَاجَعَ فَلَهُ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ رَاجَعَ ثُمَّ هَكَذَا حَتَّى يَنْقَضِيَ طَلَاقُ ذَلِكَ الْمِلْكِ ثَلَاثًا، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ عَلَيَّ حَرَامٌ يُرِيدُ تَحْرِيمَهَا بِلَا طَلَاقٍ أَوْ الْيَمِينَ بِتَحْرِيمِهَا فَلَيْسَ بِمُولٍ؛ لِأَنَّ التَّحْرِيمَ شَيْءٌ حُكِمَ فِيهِ بِكَفَّارَةٍ إذَا لَمْ يَقَعْ بِهِ طَلَاقٌ كَمَا لَا يَكُونُ الْإِيلَاءُ وَالظِّهَارُ طَلَاقًا وَإِنْ أُرِيدَ بِهِمَا طَلَاقٌ؛ لِأَنَّهُ حُكِمَ فِيهِمَا بِكَفَّارَةٍ.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Dan jika dia berkata, “Jika aku mendekatimu, maka aku wajib berpuasa sebulan penuh,” dia tidak dianggap melakukan ila’ (sumpah tidak menggauli istri), sebagaimana jika dia berkata, “Maka aku wajib berpuasa sehari kemarin.” Jika dia melanggarnya dan masih tersisa sebagian dari bulan itu, maka dia wajib membayar kafarat atau berpuasa untuk sisa hari tersebut. Jika dia berkata, “Jika aku mendekatimu, maka engkau tertalak tiga,” maka dia menunggu. Jika dia kembali (menggauli) dan kepala penis telah masuk, maka jatuhlah talak tiga. Jika dia menariknya keluar kemudian memasukkannya lagi, maka dia wajib membayar mahar seperti biasanya. Jika dia menolak untuk kembali (menggauli), maka jatuhlah talak satu. Jika dia rujuk, maka dia memiliki masa empat bulan sejak hari rujuk, dan begitu seterusnya hingga talak dalam kepemilikan itu mencapai tiga. Jika dia berkata, “Engkau haram bagiku,” dengan maksud mengharamkannya tanpa talak atau bersumpah untuk mengharamkannya, maka itu tidak dianggap ila’, karena pengharaman adalah sesuatu yang dihukum dengan kafarat jika tidak disertai talak, sebagaimana ila’ dan zhihar tidak dianggap talak meskipun dimaksudkan untuk talak, karena keduanya dihukum dengan kafarat.

 

وَلَوْ قَالَ: إنْ قَرُبْتُك فَغُلَامِي حُرٌّ عَنْ ظِهَارِي إنْ تَظَاهَرْت لَمْ يَكُنْ مُولِيًا حَتَّى يُظَاهِرَ، وَلَوْ قَالَ: إنْ قَرُبْتُك فَلِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أُعْتِقَ فُلَانًا عَنْ ظِهَارِي وَهُوَ مُتَظَاهِرٌ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ فُلَانًا عَنْ ظِهَارِهِ وَعَلَيْهِ فِيهِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ.

 

 

Dan jika Beliau berkata: “Jika aku mendekatimu, maka budakku merdeka karena zhiharku jika aku melakukan zhihar,” maka dia tidak dianggap memerdekakan sampai dia benar-benar melakukan zhihar. Dan jika Beliau berkata: “Jika aku mendekatimu, maka demi Allah aku wajib memerdekakan si Fulan karena zhiharku,” sedangkan dia dalam keadaan melakukan zhihar, maka dia tidak dianggap memerdekakan dan tidak wajib memerdekakan si Fulan karena zhiharnya, tetapi dia wajib membayar kafarat sumpah.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ أَنْ لَا يَكُونَ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَقُولُ: لَوْ قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَصُومَ يَوْمَ الْخَمِيسِ عَنْ الْيَوْمِ الَّذِي عَلَيَّ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ صَوْمُ يَوْمِ الْخَمِيسِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُنْذِرْ فِيهِ بِشَيْءٍ يَلْزَمُهُ وَإِنَّ صَوْمَ يَوْمٍ لَازِمٌ فَأَيُّ يَوْمٍ صَامَهُ أَجْزَأَ عَنْهُ وَلَمْ يَجْعَلْ لِلنَّذْرِ فِي ذَلِكَ مَعْنًى يَلْزَمُهُ بِهِ كَفَّارَةٌ فَتَفَهَّمْ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Pendapat yang lebih mendekati ucapannya adalah bahwa tidak ada kafarat atasnya. Tidakkah engkau melihat bahwa Beliau berkata: ‘Seandainya seseorang mengatakan: ‘Atas nama Allah, aku wajib berpuasa pada hari Kamis untuk menggantikan hari yang menjadi kewajibanku,’ maka puasa di hari Kamis tidak wajib baginya. Karena dia tidak bernazar dengan sesuatu yang mengikatnya. Padahal puasa satu hari itu mengikat, maka hari mana pun dia berpuasa, itu sudah mencukupi. Dan nazar dalam hal ini tidak memiliki makna yang mewajibkan kafarat. Maka pahamilah.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyebutkan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Asy-Syafi’i berkata: “Seandainya seseorang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (ila’), lalu ia berkata kepada istri lain, ‘Aku menyertakanmu dalam sumpah ila’ itu,’ maka istri kedua tidak ikut terikat karena sumpah ila’ hanya berlaku untuk istri pertama, dan sumpah tidak bisa dibagi. Jika ia berkata, ‘Jika aku mendekatimu, maka engkau pezina,’ itu bukan ila’. Jika ia mendekatinya, ia tidak dianggap menuduh zina kecuali dengan tuduhan yang jelas. Jika ia berkata, ‘Aku tidak akan menggaulimu selama setahun kecuali sekali,’ itu bukan ila’. Namun jika ia menggaulinya sisa tahun itu lebih dari empat bulan, maka itu ila’. Jika kurang dari itu, bukan ila’. Jika ia berkata, ‘Jika aku menggaulimu, maka demi Allah aku tidak akan menggaulimu,’ itu bukan ila’ sampai ia benar-benar menggaulinya, barulah dianggap ila’. Jika ia bersumpah, ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu sampai Hari Kiamat, atau sampai Dajjal muncul, atau sampai Isa putra Maryam turun, atau sampai si fulan datang, atau sampai mati, atau sampai engkau mati, atau sampai engkau menyapih anakmu,’ lalu empat bulan berlalu sebelum hal yang ia sebutkan terjadi, maka itu ila’. Dalam pendapat lain, ia berkata, ‘Sampai engkau menyapih anakmu,’ itu bukan ila’ karena bisa saja ia menyapih sebelum empat bulan, kecuali jika maksudnya lebih dari empat bulan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ لِأَنَّ أَصْلَهُ أَنَّ كُلَّ يَمِينٍ مَنَعَتْ الْجِمَاعَ بِكُلِّ حَالٍ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ إلَّا بِأَنْ يَحْنَثَ فَهُوَ مُولٍ وَقَوْلُهُ حَتَّى يَشَاءَ فُلَانٌ فَلَيْسَ بِمُولٍ حَتَّى يَمُوتَ فُلَانٌ.

 

 

(Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata) Ini lebih sesuai dengan pendapatnya karena dasarnya adalah setiap sumpah yang mencegah hubungan suami istri dalam segala kondisi lebih dari empat bulan, kecuali jika dilanggar, maka itu termasuk ila’. Sedangkan ucapannya “sampai si fulan berkehendak” bukanlah ila’ sampai si fulan meninggal.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَهَذَا مِثْلُ قَوْلِهِ حَتَّى يَقْدَمَ فُلَانٌ أَوْ يَمُوتَ سَوَاءٌ فِي الْقِيَاسِ وَكَذَلِكَ حَتَّى تَفْطِمِي وَلَدَك إذَا أَمْكَنَ الْفِطَامُ فِي أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، وَلَوْ قَالَ: حَتَّى تَحْبَلِي فَلَيْسَ بِمُولٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini seperti ucapannya “sampai si fulan datang atau meninggal” adalah sama dalam qiyas. Demikian pula “sampai engkau menyapih anakmu” jika memungkinkan penyapihan dalam empat bulan. Namun jika dia berkata “sampai engkau hamil” maka itu tidak termasuk mul (tidak mengikat).

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا مِثْلُ قَوْلِهِ حَتَّى يَقْدَمَ فُلَانٌ أَوْ يَشَاءَ فُلَانٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَقْدَمُ وَيَشَاءُ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَلَا يَكُونُ مُولِيًا.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini seperti ucapannya ‘sampai si fulan datang atau si fulan berkehendak,’ karena bisa saja ia datang atau berkehendak sebelum empat bulan, sehingga tidak termasuk orang yang melarikan diri (dari perang).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ حَتَّى تَمُوتِي فَهُوَ مُولٍ بِكُلِّ حَالٍ كَقَوْلِهِ حَتَّى أَمُوتَ أَنَا وَهُوَ كَقَوْلِهِ وَاَللَّهِ لَا أَطَؤُك أَبَدًا فَهُوَ مُولٍ مِنْ حِينِ حَلَفَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) rahmat Allah atasnya, adapun ucapannya “hingga engkau mati” maka itu adalah talak dalam segala hal seperti ucapannya “hingga aku mati” dan itu seperti ucapannya “Demi Allah aku tidak akan mencampurimu selamanya” maka itu adalah talak sejak saat ia bersumpah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا أَقْرَبك إنْ شِئْت فَشَاءَتْ فِي الْمَجْلِسِ فَهُوَ مُولٍ، قَالَ: وَالْإِيلَاءُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا سَوَاءٌ لِمَا تَكُونُ الْيَمِينُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا سَوَاءً وَقَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى الْإِيلَاءَ مُطْلَقًا، وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا أَقْرَبُك حَتَّى أُخْرِجَك مِنْ هَذَا الْبَلَدِ لَمْ يَكُنْ مُولِيًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يُخْرِجَهَا قَبْلَ انْقِضَاءِ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ وَلَا يُجْبَرُ عَلَى إخْرَاجِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): “Seandainya seseorang berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu jika engkau menghendaki,’ lalu sang istri menghendakinya saat itu juga, maka ia termasuk melakukan ila’. Beliau berkata: ‘Ila’ dalam keadaan marah atau ridha adalah sama, sebagaimana sumpah dalam keadaan marah atau ridha juga sama. Allah Ta’ala telah menurunkan hukum ila’ secara mutlak. Namun, jika seseorang berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekatimu sampai aku mengeluarkanmu dari negeri ini,’ maka itu bukan ila’, karena ia mungkin mampu mengeluarkannya sebelum habis masa empat bulan dan tidak dipaksa untuk mengeluarkannya.”

بَابُ الْإِيلَاءِ مِنْ نِسْوَةٍ

Bab tentang sumpah untuk tidak menggauli istri

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَوْ قَالَ لِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ لَهُ: وَاَللَّهِ لَا أَقْرَبُكُنَّ فَهُوَ مُولٍ مِنْهُنَّ كُلِّهِنَّ يُوقِفُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ فَإِذَا أَصَابَ وَاحِدَةً أَوْ ثِنْتَيْنِ خَرَجَتَا مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَيُوقِفُ لِلْبَاقِيَتَيْنِ حَتَّى يَفِيءَ أَوْ يُطَلِّقَ وَلَا حِنْثَ عَلَيْهِ حَتَّى يُصِيبَ الْأَرْبَعَ اللَّائِي حَلَفَ عَلَيْهِنَّ كُلِّهِنَّ، وَلَوْ طَلَّقَ مِنْهُنَّ ثَلَاثًا كَانَ مُولِيًا مِنْ الْبَاقِيَةِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ جَامَعَهَا وَاَللَّائِي طَلَّقَ حَنِثَ، وَلَوْ مَاتَتْ إحْدَاهُنَّ سَقَطَ عَنْهُ الْإِيلَاءُ؛ لِأَنَّهُ يُجَامِعُ الْبَوَاقِيَ وَلَا يَحْنَثُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Seandainya seorang suami bersumpah kepada empat istrinya: ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekati kalian,’ maka dia dianggap melakukan ila’ terhadap semua istrinya. Dia harus menahan diri dari masing-masing istri. Jika dia berhubungan dengan satu atau dua istri, maka keduanya keluar dari hukum ila’, dan dia tetap harus menahan diri dari istri-istri yang tersisa sampai dia kembali (mencabut sumpah) atau menceraikan. Tidak ada pelanggaran sumpah sampai dia berhubungan dengan keempat istri yang dia sumpahi. Jika dia menceraikan tiga istri, dia tetap dianggap melakukan ila’ terhadap istri yang tersisa, karena jika dia berhubungan dengannya sementara yang sudah dicerai, maka dia melanggar sumpah. Jika salah satu istri meninggal, maka ila’ gugur darinya karena dia boleh berhubungan dengan istri-istri yang masih hidup tanpa melanggar sumpah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَصْلُ قَوْلِهِ أَنَّ كُلَّ يَمِينٍ مَنَعَتْ الْجِمَاعَ بِكُلِّ حَالٍ فَهُوَ بِهَا مُولٍ، وَقَدْ زَعَمَ أَنَّهُ مُولٍ مِنْ الرَّابِعَةِ الْبَاقِيَةِ، وَلَوْ وَطِئَهَا وَحْدَهَا مَا حَنِثَ فَكَيْفَ يَكُونُ مِنْهَا مُولِيًا؟ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ: لَوْ مَاتَتْ إحْدَاهُنَّ سَقَطَ عَنْهُ الْإِيلَاءُ وَالْقِيَاسُ أَنَّهُ لَا إيلَاءَ عَلَيْهِ حَتَّى يَطَأَ ثَلَاثًا يَكُونُ مُولِيًا مِنْ الرَّابِعَةِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَقْدِرُ أَنْ يَطَأَهَا إلَّا حَنِثَ وَهَذَا بِقَوْلِهِ أَوْلَى.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pokok ucapannya adalah bahwa setiap sumpah yang mutlak menghalangi hubungan intim, maka ia dianggap melakukan ila’ (bersumpah tidak mencampuri istri). Dia mengklaim bahwa ila’ itu terjadi dari istri keempat yang tersisa. Seandainya dia mencampuri istri keempat saja, tidak dianggap melanggar sumpah, lalu bagaimana mungkin ila’ terjadi darinya? Kemudian dia menjelaskan dengan ucapannya: Jika salah satu dari mereka (istri) meninggal, gugurlah ila’ darinya. Menurut qiyas, tidak ada ila’ atasnya sampai dia mencampuri tiga istri, lalu dianggap melakukan ila’ dari istri keempat, karena dia tidak mampu mencampurinya kecuali melanggar sumpah. Dan pendapat ini lebih utama.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَوْ كَانَ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا أَقْرَبُ وَاحِدَةً مِنْكُنَّ وَهُوَ يُرِيدُهُنَّ كُلَّهُنَّ فَهُوَ مُولٍ يُوقِفُ لَهُنَّ فَأَيُّ وَاحِدَةٍ مَا أَصَابَ مِنْهُنَّ خَرَجَ مِنْ الْإِيلَاءِ فِي الْبَوَاقِي؛ لِأَنَّهُ حَنِثَ بِإِصَابَةِ الْوَاحِدَةِ فَإِذَا حَنِثَ مَرَّةً لَمْ يَعُدْ الْحِنْثُ بِإِيلَاءِ ثَانِيَةٍ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Seandainya seseorang bersumpah: ‘Demi Allah, aku tidak akan mendekati seorang pun dari kalian (istri-istriku),’ padahal ia bermaksud semua istri, maka ia dianggap melakukan ila’ (sumpah untuk tidak menggauli istri) terhadap mereka semua. Maka istri mana pun yang digaulinya, ia terbebas dari ila’ terhadap istri-istri yang tersisa. Karena ia telah melanggar sumpah dengan menggauli salah seorang istri. Jika ia sudah melanggar sekali, maka tidak dianggap melanggar lagi dengan ila’ yang kedua.”

 

بَابُ عَلَى مَنْ يَجِبُ التَّأْقِيتِ فِي الْإِيلَاءِ وَمَنْ يَسْقُطُ عَنْهُ

Bab tentang siapa yang wajib menentukan batas dalam ila’ dan siapa yang tidak diwajibkan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَا تَعْرِضُ لِلْمُولِي وَلَا لِامْرَأَتِهِ حَتَّى تَطْلُبَ الْوَقْفَ بَعْدَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِمَّا أَنْ يَفِيءَ وَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَ، وَلَوْ عَفَتْ ذَلِكَ ثُمَّ طَلَبَتْهُ كَانَ ذَلِكَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا تَرَكَتْ مَا لَمْ يَجِبْ لَهَا فِي حَالٍ دُونَ حَالٍ وَلَيْسَ ذَلِكَ لِسَيِّدِ الْأَمَةِ وَلَا لِوَلِيِّ مَعْتُوهَةٍ، وَمَنْ حَلَفَ عَلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَلَا إيلَاءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهَا تَنْقَضِي وَهُوَ خَارِجٌ مِنْ الْيَمِينِ، وَلَوْ حَلَفَ بِطَلَاقِ امْرَأَتِهِ لَا يَقْرَبُ امْرَأَةً لَهُ أُخْرَى ثُمَّ بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ نَكَحَهَا فَهُوَ مُولٍ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Jangan mencampuri urusan orang yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (mulia) atau istrinya hingga dia meminta penetapan (hukum) setelah empat bulan. Maka dia harus kembali (menggauli) atau menceraikan. Jika istrinya memaafkan hal itu lalu kemudian menuntutnya, maka itu haknya; karena dia telah meninggalkan sesuatu yang tidak wajib baginya dalam satu keadaan dibanding keadaan lain. Hal ini tidak berlaku bagi pemilik budak perempuan atau wali wanita yang tidak waras. Barangsiapa bersumpah untuk (tidak menggauli) selama empat bulan, maka tidak dianggap mulia baginya; karena masa itu akan berakhir sementara dia sudah keluar dari sumpahnya. Jika seseorang bersumpah untuk menceraikan istrinya jika dia mendekati istri lainnya, lalu dia menceraikannya kemudian menikahinya lagi, maka dia termasuk mulia.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ لَوْ آلَى مِنْهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا فَانْقَضَتْ عِدَّتُهَا ثُمَّ نَكَحَهَا نِكَاحًا جَدِيدًا وَسَقَطَ عَنْهُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ وَإِنَّمَا يَسْقُطُ عَنْهُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ فِي حَالٍ لَوْ طَلَّقَهَا لَمْ يَقَعْ طَلَاقُهُ عَلَيْهَا، وَلَوْ جَازَ أَنْ تَبِينَ امْرَأَةُ الْمُولِي حَتَّى تَصِيرَ أَمَلَكَ لِنَفْسِهَا مِنْهُ ثُمَّ يَنْكِحُهَا فَيَعُودُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ جَازَ هَذَا بَعْدَ ثَلَاثٍ وَزَوْجٍ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ الْيَمِينَ قَائِمَةٌ بِعَيْنِهَا فِي امْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا يُكَفِّرُ إنْ أَصَابَهَا كَمَا كَانَتْ قَائِمَةً قَبْلَ التَّزْوِيجِ وَهَكَذَا الظِّهَارُ مِثْلُ الْإِيلَاءِ، وَلَوْ آلَى مِنْ امْرَأَتِهِ الْأَمَةِ ثُمَّ اشْتَرَاهَا فَخَرَجَتْ مِنْ مِلْكِهِ ثُمَّ تَزَوَّجَهَا أَوْ الْعَبْدُ مِنْ حُرَّةٍ ثُمَّ اشْتَرَتْهُ فَتَزَوَّجَتْهُ لَمْ يَعُدْ الْإِيلَاءُ لِانْفِسَاخِ النِّكَاحِ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata di tempat lain: “Seandainya dia bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya (ila’), lalu menceraikannya, kemudian masa iddahnya selesai, lalu menikahinya lagi dengan akad baru, maka hukum ila’ gugur darinya. Hukum ila’ gugur karena istri berada dalam keadaan di mana jika dia menceraikannya, talak itu tidak berlaku atasnya. Seandainya boleh bagi istri yang di-ila’ untuk benar-benar terpisah sampai dia memiliki hak penuh atas dirinya, lalu sang suami menikahinya kembali sehingga hukum ila’ kembali berlaku, maka hal ini juga boleh terjadi setelah tiga kali talak dan setelah menikah dengan suami lain. Karena sumpah itu tetap terkait dengan istri tertentu, dan dia bisa membayar kafarat jika mencampurinya, sebagaimana sumpah itu berlaku sebelum pernikahan. Demikian pula zhihar, sama seperti ila’. Seandainya seseorang melakukan ila’ terhadap istrinya yang budak, lalu dia membelinya sehingga dia keluar dari kepemilikannya, kemudian menikahinya lagi, atau seorang budak melakukan ila’ terhadap wanita merdeka, lalu wanita itu membelinya dan menikahinya, maka ila’ tidak kembali berlaku karena pernikahan sebelumnya telah batal.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا كُلُّهُ أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ؛ لِأَنَّ كُلَّ نِكَاحٍ أَوْ مِلْكٍ حَدَثَ لَمْ يُعْمَلْ فِيهِ إلَّا قَوْلٌ وَإِيلَاءٌ وَظِهَارٌ يَحْدُثُ، فَالْقِيَاسُ أَنَّ كُلَّ حُكْمٍ يَكُونُ فِي مِلْكٍ إذَا زَالَ ذَلِكَ الْمِلْكُ زَالَ مَا فِيهِ مِنْ الْحُكْمِ فَإِذَا زَالَ نِكَاحُهُ فَبَانَتْ مِنْهُ امْرَأَتُهُ زَالَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ عَنْهُ فِي مَعْنَاهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – semua ini lebih mirip dengan asalnya; karena setiap pernikahan atau kepemilikan yang terjadi tidak dilakukan kecuali dengan perkataan, ila’, dan zhihar yang terjadi. Maka qiyasnya adalah bahwa setiap hukum yang ada dalam kepemilikan, jika kepemilikan itu hilang, maka hilang pula hukum yang ada di dalamnya. Jika pernikahannya hilang dan istrinya berpisah darinya, maka hukum ila’ pun hilang darinya dalam maknanya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْإِيلَاءُ يَمِينٌ لِوَقْتٍ فَالْحُرُّ وَالْعَبْدُ فِيهَا سَوَاءٌ أَلَا تَرَى أَنَّ أَجَلَ الْعَبْدِ وَأَجَلَ الْحُرِّ الْعِنِّينِ سَنَةٌ، وَلَوْ قَالَتْ: قَدْ انْقَضَتْ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرُ، وَقَالَ: لَمْ تَنْقَضِ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَعَلَيْهَا الْبَيِّنَةُ، وَلَوْ آلَى مِنْ مُطَلَّقَةٍ يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا كَانَ مُولِيًا مِنْ حِينِ يَرْتَجِعُهَا وَلَوْ لَمْ يَمْلِكْ رَجْعَتَهَا لَمْ يَكُنْ مُولِيًا وَالْإِيلَاءُ مِنْ كُلِّ زَوْجَةٍ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ وَمُسْلِمَةٍ وَذِمِّيَّةٍ سَوَاءٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Ila’ adalah sumpah untuk waktu tertentu, baik oleh orang merdeka maupun budak adalah sama. Tidakkah kamu lihat bahwa batas waktu bagi budak dan orang merdeka yang impoten adalah satu tahun? Jika istri berkata, “Empat bulan telah berlalu,” dan suami berkata, “Belum berlalu,” maka perkataan suami yang diterima disertai sumpahnya, sedangkan istri harus mendatangkan bukti. Jika seseorang melakukan ila’ terhadap istrinya yang telah ditalak tapi masih memiliki hak rujuk, maka ila’-nya berlaku sejak dia merujuknya. Jika dia tidak memiliki hak rujuk, maka ila’-nya tidak berlaku. Ila’ berlaku sama untuk setiap istri, baik merdeka, budak, muslimah, maupun dzimmi.

الْوَقْفُ مِنْ كِتَابِ الْإِيلَاءِ

 

Wakaf dari Kitab Al-Ila’

 

وَمِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ ابْنِ الْقَاسِمِ وَالْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : إذَا مَضَتْ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرُ لِلْمُولِي وَقَفَ وَقِيلَ لَهُ: إنْ فِئْت وَإِلَّا فَطَلِّقْ وَالْفَيْئَةُ الْجِمَاعُ إلَّا مِنْ عُذْرٍ فَيَفِيءُ بِاللِّسَانِ مَا كَانَ الْعُذْرُ قَائِمًا فَيَخْرُجُ بِذَلِكَ مِنْ الضِّرَارِ، وَلَوْ جَامَعَ فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ خَرَجَ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَكَفَّرَ عَنْ يَمِينِهِ، وَلَوْ قَالَ: أَجِّلْنِي فِي الْجِمَاعِ لَمْ أُؤَجِّلُهُ أَكْثَرَ مِنْ يَوْمٍ فَإِنْ جَامَعَ خَرَجَ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ وَعَلَيْهِ الْحِنْثُ فِي يَمِينِهِ وَلَا يَبِينُ أَنْ أُؤَجِّلَهُ ثَلَاثًا، وَلَوْ قَالَهُ قَائِلٌ كَانَ مَذْهَبًا فَإِنْ طَلَّقَ وَإِلَّا طَلَّقَ عَلَيْهِ السُّلْطَانُ وَاحِدَةً.

 

 

Dan dari imla’ (dikte) tentang masalah-masalah Ibnu Al-Qasim dan imla’ tentang masalah-masalah Malik (Asy-Syafi’i -rahimahullah ta’ala- berkata): Jika telah berlalu empat bulan bagi orang yang melakukan ila’ (sumpah tidak menggauli istri), maka dia dihentikan dan dikatakan kepadanya: Jika kamu kembali (menggauli) maka (lakukanlah), jika tidak maka cerailah. Kembali (al-fai’ah) itu adalah menggauli kecuali karena uzur, maka dia kembali dengan lisan selama uzur itu masih ada, sehingga dia terlepas dari bahaya. Jika dia menggauli dalam empat bulan, maka dia keluar dari hukum ila’ dan menebus sumpahnya. Jika Beliau berkata: “Berilah aku tenggang waktu untuk menggauli,” aku tidak memberinya tenggang waktu lebih dari sehari. Jika dia menggauli, maka dia keluar dari hukum ila’ dan dia berdosa atas sumpahnya, dan tidak jelas untuk memberinya tenggang waktu tiga hari. Jika ada yang mengatakan hal itu, maka itu menjadi mazhab. Jika dia menceraikan (istrinya), maka (itu sah), jika tidak, maka penguasa akan menceraikannya sekali.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – قَدْ قَطَعَ بِأَنَّهُ يُجْبَرُ مَكَانَهُ فَإِمَّا أَنْ يَفِيءَ وَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَ وَهَذَا بِالْقِيَاسِ أَوْلَى، وَالتَّأْقِيتُ لَا يَجِبُ إلَّا بِخَبَرٍ لَازِمٍ وَكَذَا قَالَ فِي اسْتِتَابَةِ الْمُرْتَدِّ مَكَانَهُ فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ فَكَانَ أَصَحَّ مِنْ قَوْلِهِ ثَلَاثًا.

 

 

Al-Muzanni – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – telah menegaskan bahwa seseorang dipaksa di tempatnya, maka dia harus kembali (bertaubat) atau menceraikan, dan ini lebih utama menurut qiyas. Penetapan waktu tidak wajib kecuali dengan dalil yang pasti. Demikian pula pendapatnya mengenai pentobatan murtad di tempatnya: jika dia bertaubat (diterima), jika tidak maka dia dibunuh. Pendapat ini lebih sahih daripada pendapatnya yang memberi waktu tiga kali.

 

(قَالَ) : وَإِنَّمَا قُلْت لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُطَلِّقَ عَلَيْهِ وَاحِدَةً؛ لِأَنَّهُ كَانَ عَلَى الْمُولِي أَنْ يَفِيءَ أَوْ يُطَلِّقَ إذَا كَانَ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْفَيْئَةِ إلَّا بِهِ فَإِذَا امْتَنَعَ قَدَرَ عَلَى الطَّلَاقِ عَنْهُ وَلَزِمَهُ حُكْمُ الطَّلَاقِ كَمَا يَأْخُذُ مِنْهُ كُلَّ شَيْءٍ وَجَبَ عَلَيْهِ إذَا امْتَنَعَ مِنْ أَنْ يُعْطِيَهُ (وَقَالَ فِي الْقَدِيم) فِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا وَهُوَ أَحَبُّهُمَا إلَيْهِ وَالثَّانِي يُضَيِّقُ عَلَيْهِ بِالْحَبْسِ حَتَّى يَفِيءَ أَوْ يُطَلِّقَ؛ لِأَنَّ الطَّلَاقَ لَا يَكُونُ إلَّا مِنْهُ.

 

 

Beliau berkata: “Aku memerintahkan penguasa untuk menjatuhkan talak satu kepadanya, karena kewajiban orang yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya adalah kembali (menggauli) atau menalak jika dia tidak mampu kembali kecuali dengan talak. Jika dia menolak, penguasa berkuasa untuk menalak atas namanya, dan hukum talak berlaku baginya, sebagaimana penguasa mengambil segala sesuatu yang wajib atasnya jika dia menolak untuk memberikannya.” Dalam pendapat lama, ada dua pendapat: salah satunya—dan ini yang paling dia sukai—dan kedua, penguasa boleh mempersempitnya dengan penjara sampai dia kembali (menggauli) atau menalak, karena talak hanya sah jika berasal darinya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – لَيْسَ الثَّانِي بِشَيْءٍ وَمَا عَلِمْت أَحَدًا قَالَهُ.

 

Al-Muzani – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “Yang kedua itu tidak ada artinya, dan aku tidak mengetahui seorang pun yang mengatakannya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَيُقَالُ لِلَّذِي فَاءَ بِلِسَانِهِ مِنْ عُذْرٍ إذَا أَمْكَنَك أَنْ تُصِيبَهَا وَقَفْنَاك فَإِنْ أَصَبْتهَا وَإِلَّا فَرَّقْنَا بَيْنَك وَبَيْنَهَا، وَلَوْ كَانَتْ حَائِضًا أَوْ أَحْرَمْت مَكَانَهَا بِإِذْنِهِ أَوْ بِغَيْرِ إذْنِهِ فَلَمْ يَأْمُرْهَا بِإِحْلَالٍ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَبِيلٌ حَتَّى يُمَكَّنَ جِمَاعَهَا أَوْ تُحِلَّ إصَابَتَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan dikatakan kepada orang yang kembali dengan lisannya dari uzur: “Jika engkau mampu mencampurinya, kami akan menahannya untukmu. Jika engkau berhasil mencampurinya (maka sah), jika tidak, kami akan memisahkan antara engkau dan dia. Sekalipun dia sedang haid atau engkau berihram di tempatnya dengan izinnya atau tanpa izinnya, lalu dia tidak memerintahkannya untuk menghalalkan, maka tidak ada jalan baginya hingga memungkinkan untuk menyetubuhinya atau menghalalkan mencampurinya.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ الْمَنْعُ مِنْ قِبَلِهِ كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَفِيءَ فِي جِمَاعٍ أَوْ فَيْءٍ مَعْذُورٍ وَفَيْءُ الْحَبْسِ بِاللِّسَانِ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إذَا آلَى فَحَبَسَ اسْتَوْقَفَتْ بِهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ مُتَتَابِعَةً.

 

 

(Dia berkata): “Dan jika penghalangan berasal darinya, maka dia wajib kembali kepada hubungan suami istri atau alasan yang dapat dimaafkan. Kembalinya penahanan adalah dengan ucapan.” Dan dia berkata di tempat lain: “Jika dia bersumpah lalu menahan (hubungan), maka dia diberi tenggat waktu empat bulan berturut-turut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) الْحَبْسُ وَالْمَرَضُ عِنْدِي سَوَاءٌ؛ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ بِهِمَا فَإِذَا حُبِسَتْ عَلَيْهِ فِي الْمَرَضِ وَكَانَ يَعْجِزُ عَنْ الْجِمَاعِ بِكُلِّ حَالٍ أُجِّلَ الْمُولِي كَانَ الْمَحْبُوسُ الَّذِي يُمْكِنُهُ أَنْ تَأْتِيَهُ فِي حَبْسِهِ فَيُصِيبُهَا بِذَلِكَ أَوْلَى (وَقَالَ) فِي مَوْضِعَيْنِ، وَلَوْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا مَسِيرَةُ أَشْهُرٍ وَطَلَبَهُ وَكِيلُهَا بِمَا يَلْزَمُهُ لَهَا أَمَرْنَاهُ أَنْ يَفِيءَ بِلِسَانِهِ وَالْمَسِيرُ إلَيْهَا كَمَا يُمْكِنُهُ فَإِنْ فَعَلَ وَإِلَّا طَلَّقَ عَلَيْهِ.

 

 

(Al-Muzani – rahimahullah – berkata) “Menurutku, penjara dan sakit itu sama karena keduanya menghalangi. Jika istri ditahan karena suaminya sakit dan dia sama sekali tidak mampu berhubungan, maka orang yang melakukan ila’ diberi penangguhan. Sedangkan orang yang dipenjara, jika istrinya bisa mendatanginya di penjara lalu dia bisa menunaikan kewajibannya, maka itu lebih utama.” (Dia juga berkata) dalam dua tempat, “Seandainya antara dia dan istrinya berjarak perjalanan berbulan-bulan, lalu wakil istrinya menuntut apa yang menjadi kewajibannya, kami akan memerintahkannya untuk kembali dengan ucapannya dan berusaha melakukan perjalanan kepadanya sesuai kemampuannya. Jika dia melakukannya (baik), jika tidak, maka dia diceraikan.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ غَلَبَ عَلَى عَقْلِهِ لَمْ يُوقِفْ حَتَّى يَرْجِعَ إلَيْهِ عَقْلُهُ فَإِنْ عَقَلَ بَعْدَ الْأَرْبَعَةِ وَقَفَ مَكَانَهُ فَإِمَّا أَنْ يَفِيءَ وَإِمَّا أَنْ يُطَلِّقَ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya akalnya dikalahkan (oleh emosi), maka tidak dianggap sah (talaknya) hingga akalnya kembali. Jika ia sadar setelah empat kali (ucapan talak), maka talak itu berlaku pada posisinya. Maka ada dua kemungkinan: ia bisa rujuk atau melanjutkan talak.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) هَذَا يُؤَكِّدُ أَنْ يَحْسِبَ عَلَيْهِ مُدَّةَ حَبْسِهِ وَمَنْعَ تَأَخُّرِهِ يَوْمًا أَوْ ثَلَاثًا.

 

(Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata) Ini menegaskan agar diperhitungkan padanya masa penahanannya dan dicegah penundaannya sehari atau tiga hari.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ أَحْرَمَ قِيلَ لَهُ: إنْ وَطِئْتَ فَسَدَ إحْرَامُكَ وَإِنْ لَمْ تَفِئْ طُلِّقَ عَلَيْكَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan jika seseorang berihram, dikatakan kepadanya: ‘Jika kamu bersetubuh, maka ihrammu batal. Dan jika kamu tidak membayar kafarat, maka talak akan dijatuhkan atasmu.'”

 

 

وَلَوْ آلَى ثُمَّ تَظَاهَرَ أَوْ تَظَاهَرَ ثُمَّ آلَى وَهُوَ يَجِدُ الْكَفَّارَةَ قِيلَ: أَنْتَ أَدْخَلْت الْمَنْعَ عَلَى نَفْسِك فَإِنْ فِئْت فَأَنْتَ عَاصٍ وَإِنْ لَمْ تَفِئْ طُلِّقَ عَلَيْك.

 

 

Jika seseorang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (ila’), lalu melakukan zhihar (menyamakan istri dengan punggung ibunya), atau melakukan zhihar terlebih dahulu kemudian ila’, sementara ia mampu membayar kafarat, dikatakan kepadanya: “Engkau sendiri yang memaksakan larangan ini atas dirimu. Jika engkau kembali (menggauli istrimu), maka engkau berdosa. Jika tidak kembali, talak akan jatuh atasmu.”

 

 

وَلَوْ قَالَتْ: لَمْ يُصِبْنِي، وَقَالَ: أَصَبْتهَا فَإِنْ كَانَتْ ثَيِّبًا فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّهَا تَدَّعِي مَا بِهِ الْفُرْقَةُ الَّتِي هِيَ إلَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا أُرِيهَا النِّسَاءُ فَإِنْ قُلْنَ: هِيَ بِكْرٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا مَعَ يَمِينِهَا.

 

 

Dan jika dia (istri) berkata, “Dia tidak menyetubuhiku,” sedangkan dia (suami) berkata, “Aku telah menyetubuhinya,” maka jika dia (istri) adalah seorang tsayyib (pernah menikah sebelumnya), maka perkataan suami yang diterima disertai sumpahnya, karena istri mengklaim sesuatu yang menyebabkan perpisahan yang menjadi hak suami. Namun, jika dia (istri) adalah seorang bikr (perawan), maka diperlihatkan kepada para wanita (untuk memeriksanya). Jika mereka (para wanita) berkata, “Dia masih perawan,” maka perkataan istri yang diterima disertai sumpahnya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – إنَّمَا أُحَلِّفُهَا؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ لَمْ يُبَالِغْ فَرَجَعْت الْعُذْرَةُ بِحَالِهَا.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – “Aku menyumpahnya hanya karena mungkin dia tidak berlebihan, sehingga udzur itu kembali seperti semula.”

 

 

قَالَ: وَلَوْ ارْتَدَّا أَوْ أَحَدُهُمَا فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ أَوْ خَالَعَهَا ثُمَّ رَاجَعَهَا أَوْ رَجَعَ مَنْ ارْتَدَّ مِنْهُمَا فِي الْعِدَّةِ اسْتَأْنَفَ فِي هَذِهِ الْحَالَاتِ كُلِّهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ حَلَّ لَهُ الْفَرْجُ وَلَا يُشْبِهُ هَذَا الْبَابُ الْأَوَّلَ؛ لِأَنَّهَا فِي هَذَا الْبَابِ كَانَتْ مُحَرَّمَةً كَالْأَجْنَبِيَّةِ الشَّعْرِ وَالنَّظَرِ وَالْحِسِّ وَفِي تِلْكَ الْأَحْوَالِ لَمْ تَكُنْ مُحَرَّمَةً بِشَيْءٍ غَيْرِ الْجِمَاعِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika keduanya atau salah satunya murtad dalam masa empat bulan, atau dia menceraikannya lalu merujuknya, atau orang yang murtad di antara mereka kembali dalam masa iddah, maka dalam semua keadaan ini dimulai kembali hitungan empat bulan dari hari dihalalkan kemaluan (bagi suami). Bab ini tidak serupa dengan bab pertama, karena pada bab ini istri diharamkan seperti perempuan asing (bukan mahram) dalam hal melihat rambut, pandangan, dan sentuhan. Sedangkan pada keadaan sebelumnya, istri tidak diharamkan kecuali hanya dalam hal berhubungan intim.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْقِيَاسُ عِنْدِي أَنَّ مَا حَلَّ لَهُ بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ امْرَأَتِهِ وَالْإِيلَاءُ يَلْزَمُهُ بِمَعْنَاهُ، وَأَمَّا مَنْ لَمْ تَحِلَّ لَهُ بِعَقْدِهِ الْأَوَّلِ حَتَّى يُحْدِثَ نِكَاحًا جَدِيدًا فَحُكْمُهُ مِثْلُ الْأَيِّمِ تَزَوَّجُ فَلَا حُكْمَ لِلْإِيلَاءِ فِي مَعْنَاهُ الْمُشَبَّهِ لِأَصْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Menurut qiyasku, apa yang halal baginya melalui akad pertama maka hukumnya seperti hukum istrinya, dan ila’ berlaku padanya sesuai maknanya. Adapun wanita yang tidak halal baginya melalui akad pertamanya hingga ia melakukan pernikahan baru, maka hukumnya seperti perempuan merdeka yang menikah, sehingga tidak ada hukum ila’ dalam makna yang menyerupai asalnya.

 

 

(قَالَ) : وَأَقَلُّ مَا يَكُونُ بِهِ الْمُولِي فَائِتًا فِي الثَّيِّبِ أَنْ يُغَيِّبَ الْحَشَفَةَ وَفِي الْبِكْرِ ذَهَابُ الْعُذْرَةِ فَإِنْ قَالَ: لَا أَقْدِرُ عَلَى افْتِضَاضِهَا أُجِّلَ أَجَلَ الْعِنِّينِ، وَلَوْ جَامَعَهَا مُحَرَّمَةً أَوْ حَائِضًا أَوْ هُوَ مُحَرَّمٌ أَوْ صَائِمٌ خَرَجَ مِنْ حُكْمِ الْإِيلَاءِ.

 

 

Beliau berkata: “Minimal yang menjadikan seorang yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (muwālī) dianggap melanggar pada wanita yang sudah pernah menikah (tsayyib) adalah jika dia menyembunyikan kepala zakar (tidak melakukan penetrasi penuh), sedangkan pada wanita perawan (bikr) adalah hilangnya selaput dara. Jika dia berkata, ‘Aku tidak mampu membuka selaput daranya,’ maka diberi tenggat waktu seperti orang yang impoten. Dan jika dia menggaulinya dalam keadaan istri yang haram (misalnya saat ihram), atau istri sedang haid, atau dia sendiri dalam keadaan haram (ihram) atau sedang berpuasa, maka dia keluar dari hukum ila’ (sumpah tidak menggauli istri).”

 

 

وَلَوْ آلَى ثُمَّ جُنَّ فَأَصَابَهَا فِي جُنُونِهِ أَوْ جُنُونِهَا خَرَجَ مِنْ الْإِيلَاءِ وَكَفَّرَ إذَا أَصَابَهَا وَهُوَ صَحِيحٌ وَلَمْ يُكَفِّرْ إذَا أَصَابَهَا وَهُوَ مَجْنُونٌ؛ لِأَنَّ الْقَلَمَ عَنْهُ مَرْفُوعٌ فِي تِلْكَ الْحَالِ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya, lalu ia menjadi gila kemudian menggaulinya dalam keadaan gilanya atau gilanya istri, maka ia terbebas dari sumpah ila’ dan wajib membayar kafarat jika menggaulinya dalam keadaan sehat. Namun, tidak wajib membayar kafarat jika menggaulinya dalam keadaan gila, karena pena (catatan amal) diangkat darinya dalam keadaan tersebut.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – جَعَلَ فِعْلَ الْمَجْنُونِ فِي جُنُونِهِ كَالصَّحِيحِ فِي خُرُوجِهِ مِنْ الْإِيلَاءِ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – menyamakan perbuatan orang gila dalam keadaan gilanya seperti orang sehat dalam hal keluar dari ila’.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا خَرَجَ مِنْ الْإِيلَاءِ فِي جُنُونِهِ بِالْإِصَابَةِ فَكَيْفَ لَا يُلْزِمُهُ الْكَفَّارَةَ، وَلَوْ لَمْ يُلْزِمْهُ الْكَفَّارَةَ مَا كَانَ حَانِثًا وَإِذَا لَمْ يَكُنْ حَانِثًا لَمْ يَخْرُجْ مِنْ الْإِيلَاءِ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Jika dia keluar dari ila’ dalam keadaan gila dengan melakukan hubungan, maka bagaimana dia tidak diwajibkan membayar kafarat? Seandainya tidak diwajibkan membayar kafarat, berarti dia tidak melanggar sumpah. Dan jika dia tidak melanggar sumpah, berarti dia tidak keluar dari ila’.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَالذِّمِّيُّ كَالْمُسْلِمِ فِيمَا يَلْزَمُهُ مِنْ الْإِيلَاءِ إذَا حَاكَمَ إلَيْنَا وَحُكْمُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْعِبَادِ وَاحِدٌ (قَالَ) : فِي كِتَابِ الْجِزْيَةِ لَوْ جَاءَتْ امْرَأَةٌ تَسْتَعْدِي بِأَنَّ زَوْجَهَا طَلَّقَهَا أَوْ آلَى مِنْهَا أَوْ تَظَاهَرَ حَكَمْت عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ حُكْمِي عَلَى الْمُسْلِمِينَ، وَلَوْ جَاءَ رَجُلٌ مِنْهُمْ يَطْلُبُ حَقًّا كَانَ عَلَى الْإِمَامِ أَنْ يَحْكُمَ عَلَى الْمَطْلُوبِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِحُكْمِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Seorang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam) sama seperti Muslim dalam hal kewajiban ila’ (sumpah untuk tidak mencampuri istri) jika ia mengajukan perkara kepada kita. Hukum Allah ta’ala atas hamba-Nya adalah satu.” (Beliau) berkata dalam kitab Al-Jizyah: “Seandainya seorang wanita datang mengadukan bahwa suaminya telah menceraikannya, atau melakukan ila’ terhadapnya, atau zhihar, niscaya aku akan memutuskan hukum atasnya seperti hukum yang aku terapkan pada Muslim. Dan jika seorang laki-laki dari mereka datang menuntut hak, maka wajib bagi imam untuk memutuskan hukum atas pihak yang dituntut meskipun ia tidak menerima keputusan tersebut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَشْبَهُ الْقَوْلَيْنِ بِهِ؛ لِأَنَّ تَأْوِيلَ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَهُ {حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ} التوبة: 29 أَنْ تَجْرِيَ عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ.

 

 

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata, “Ini lebih mirip dengan kedua pendapat tersebut karena menurutnya, tafsir firman Allah ‘azza wa jalla, ‘Hingga mereka membayar jizyah dengan patuh dalam keadaan tunduk’ (QS. At-Taubah: 29) adalah bahwa hukum-hukum Islam berlaku atas mereka.”

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ الْعَرَبِيُّ يَتَكَلَّمُ بِأَلْسِنَةِ الْعَجَمِ وَآلَى بِأَيِّ لِسَانٍ كَانَ مِنْهَا فَهُوَ مُولٍ فِي الْحُكْمِ وَإِنْ كَانَ يَتَكَلَّمُ بِأَعْجَمِيَّةٍ فَقَالَ: مَا عَرَفْت مَا قُلْت وَمَا أَرَدْت إيلَاءً فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seorang Arab berbicara dengan bahasa non-Arab dan bersumpah dengan bahasa apa pun darinya, maka sumpahnya sah secara hukum. Namun, jika dia berbicara dengan bahasa asing lalu berkata, ‘Aku tidak mengerti apa yang kukatakan dan yang kumaksud sebagai sumpah,’ maka perkataannya diterima disertai sumpahnya.”

 

 

وَلَوْ آلَى ثُمَّ آلَى فَإِنْ حَنِثَ فِي الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ لَمْ يَعُدْ عَلَيْهِ الْإِيلَاءُ وَإِنْ أَرَادَ بِالْيَمِينِ الثَّانِيَةِ الْأُولَى فَكَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ، وَإِنْ أَرَادَ غَيْرَهَا فَأُحِبُّ كَفَّارَتَيْنِ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah lalu bersumpah lagi, kemudian melanggar sumpah pertama dan kedua, maka tidak dianggap sebagai ila’ (sumpah untuk tidak mencampuri istri). Jika ia bermaksud dengan sumpah kedua untuk menguatkan sumpah pertama, maka cukup satu kafarat. Namun jika ia bermaksud selain itu, maka aku lebih menyukai dua kafarat.

 

 

وَقَدْ زَعَمَ مَنْ خَالَفَنَا فِي الْوَقْفِ أَنَّ الْفَيْئَةَ فِعْلٌ يُحْدِثُهُ بَعْدَ الْيَمِينِ فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ إمَّا بِجِمَاعٍ أَوْ فَيْءٍ مَعْذُورٍ بِلِسَانِهِ وَزَعَمَ أَنَّ عَزِيمَةَ الطَّلَاقِ انْقِضَاءُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ بِغَيْرِ فِعْلٍ يُحْدِثُهُ وَقَدْ ذَكَرَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى بِلَا فَصْلٍ بَيْنَهُمَا فَقُلْت لَهُ: أَرَأَيْت أَنْ لَوْ عَزَمَ أَنْ لَا يَفِيءَ فِي الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ أَيَكُونُ طَلَاقًا؟ قَالَ: لَا حَتَّى يُطَلِّقَ قُلْت فَكَيْفَ يَكُونُ انْقِضَاءُ الْأَرْبَعَةِ الْأَشْهُرِ طَلَاقًا بِغَيْرِ عَزْمٍ وَلَا إحْدَاثِ شَيْءٍ لَمْ يَكُنْ

 

 

Dan orang yang berbeda pendapat dengan kami mengenai al-waqf berpendapat bahwa al-fai’ah adalah perbuatan yang dilakukan setelah sumpah dalam empat bulan, baik dengan jimak atau al-fai’ yang dimaafkan dengan lisannya. Dia juga berpendapat bahwa azimah talak adalah berakhirnya empat bulan tanpa perbuatan yang dilakukan. Padahal Allah Ta’ala menyebutkan keduanya tanpa pemisah di antara keduanya. Lalu aku berkata kepadanya: “Bagaimana pendapatmu jika seseorang berazam untuk tidak melakukan al-fai’ dalam empat bulan, apakah itu menjadi talak?” Dia menjawab: “Tidak, sampai dia menalak.” Aku berkata: “Lalu bagaimana mungkin berakhirnya empat bulan menjadi talak tanpa azam dan tanpa melakukan sesuatu yang belum ada?”

 

بَابُ إيلَاءِ الْخَصِيِّ غَيْرِ الْمَجْبُوبِ وَالْمَجْبُوبِ

 

Bab tentang sumpah tidak menggauli istri bagi laki-laki yang dikebiri namun tidak terpotong zakarnya dan yang terpotong zakarnya.

 

مِنْ كِتَابِ الْإِيلَاءِ وَكِتَابِ النِّكَاحِ وَإِمْلَاءً عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا آلَى الْخَصِيُّ مِنْ امْرَأَتِهِ فَهُوَ كَغَيْرِ الْخَصِيِّ إذَا بَقِيَ مِنْ ذَكَرِهِ مَا يَنَالُ بِهِ مِنْ الْمَرْأَةِ مَا يَبْلُغُ الرَّجُلُ حَتَّى يُغَيِّبَ الْحَشَفَةَ وَإِنْ كَانَ مَجْبُوبًا قِيلَ لَهُ: فِئْ بِلِسَانِك لَا شَيْءَ عَلَيْك غَيْرُهُ؛ لِأَنَّهُ مِمَّنْ لَا يُجَامِعُ مِثْلُهُ (وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ) وَلَا إيلَاءَ عَلَى الْمَجْبُوبِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُطِيقُ الْجِمَاعَ أَبَدًا.

 

 

Dari kitab al-Iila’ dan kitab an-Nikah serta imla’ atas masalah-masalah Malik (Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala berkata): Jika seorang khasi (orang yang dikebiri) bersumpah untuk tidak menggauli istrinya, maka hukumnya seperti orang yang tidak dikebiri jika masih tersisa dari kemaluannya sesuatu yang dapat mencapai wanita hingga menyembunyikan hasyafah (kepala kemaluan). Jika dia adalah majbub (orang yang terpotong kemaluannya), dikatakan kepadanya: “Batalkanlah dengan lisanmu, tidak ada kewajiban atasmu selain itu, karena dia termasuk orang yang tidak bisa bersetubuh.” (Dan beliau berkata dalam al-Imla’) Tidak ada ila’ (sumpah tidak menggauli) bagi majbub, karena dia tidak akan mampu bersetubuh selamanya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – إذَا لَمْ تُجْعَلْ لِيَمِينِهِ مَعْنًى يُمْكِنُ أَنْ يَحْنَثَ بِهِ سَقَطَ الْإِيلَاءُ فَهَذَا بِقَوْلِهِ أَوْلَى عِنْدِي.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “Jika sumpahnya tidak memiliki makna yang memungkinkan pelanggaran, maka ila’ (sumpah untuk tidak mencampuri istri) menjadi gugur. Pendapat ini lebih utama menurutku.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : “Dan seandainya seorang yang sehat bersumpah untuk tidak menggauli istrinya, kemudian kemaluannya dipotong, maka istrinya berhak memilih antara tetap bersamanya atau berpisah.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَوْ آلَى صَحِيحًا ثُمَّ جُبَّ ذَكَرُهُ كَانَ لَهَا الْخِيَارُ مَكَانَهَا فِي الْمَقَامِ مَعَهُ أَوْ فِرَاقِهِ.

كِتَابُ الظِّهَارِ

Kitab Zhihar

بَابُ مَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ الظِّهَارُ وَمَنْ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ

Bab Orang yang Wajib Zhihar dan yang Tidak Wajib Zhihar

 

بَابُ مَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ الظِّهَارُ وَمَنْ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَيْ ظِهَارٍ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ} المجادلة: 3 الْآيَةَ.

 

 

Bab tentang orang yang wajib atasnya zhihar dan yang tidak wajib atasnya dari dua kitab zhihar lama dan baru (Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang menzhihar isteri-isteri mereka” QS. Al-Mujadilah: 3 ayat.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَكُلُّ زَوْجٍ جَازَ طَلَاقُهُ وَجَرَى عَلَيْهِ الْحُكْمُ مِنْ بَالِغٍ جَرَى عَلَيْهِ الظِّهَارُ حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا أَوْ ذِمِّيًّا وَفِي امْرَأَتِهِ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ يَقْدِرُ عَلَى جِمَاعِهَا أَوْ لَا يَقْدِرُ بِأَنْ تَكُونَ حَائِضًا أَوْ مُحَرَّمَةً أَوْ رَتْقَاءَ أَوْ صَغِيرَةً أَوْ فِي عِدَّةٍ يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا فَذَلِكَ كُلُّهُ سَوَاءٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Setiap suami yang sah untuk ditalak dan berlaku hukum atasnya, baik dia sudah baligh, berlaku atasnya zhihar, merdeka atau budak, atau kafir dzimmi, baik sudah menggauli istrinya atau belum, mampu bersetubuh atau tidak karena istri sedang haid, ihram, tertutup (rajm), masih kecil, atau dalam masa iddah yang suami masih memiliki hak rujuk, maka semua itu sama hukumnya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ مَعْنَى قَوْلِهِ فِي الَّتِي يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا أَنَّ ذَلِكَ يَلْزَمُهُ إنْ رَاجَعَهَا؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ: لَوْ تَظَاهَرَ مِنْهَا ثُمَّ اتَّبَعَ التَّظْهِيرَ طَلَاقًا مَلَكَ فِيهِ الرَّجْعَةَ فَلَا حُكْمَ لِلْإِيلَاءِ حَتَّى يَرْتَجِعَ فَإِذَا ارْتَجَعَ رَجَعَ حُكْمُ الْإِيلَاءِ، وَقَدْ جَمَعَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – بَيْنَهُمَا حَيْثُ يَلْزَمَانِ وَحَيْثُ يَسْقُطَانِ وَفِي هَذَا لِمَا وَصَفْت بَيَانٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – sepatutnya makna ucapannya tentang wanita yang suaminya memiliki hak rujuk adalah bahwa hal itu wajib baginya jika dia merujuknya; karena Beliau berkata: Seandainya dia menzhiharnya kemudian mengikuti zhihar dengan talak yang di dalamnya ada hak rujuk, maka tidak ada hukum ila’ sampai dia merujuk. Jika dia merujuk, maka hukum ila’ kembali. Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – telah menggabungkan keduanya dalam hal kewajiban dan gugurnya, dan dalam hal ini terdapat penjelasan seperti yang telah aku sebutkan.

 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Seandainya seorang suami men-zhihar istrinya yang seorang budak, kemudian ia membelinya, maka pernikahannya batal sedangkan zhihar tetap berlaku. Ia tidak boleh mendekatinya sampai ia menunaikan kaffarah, karena zhihar tersebut mengikatnya saat ia masih sebagai istri.”

 

 

وَلَا يَلْزَمُ الْمَغْلُوبَ عَلَى عَقْلِهِ إلَّا مِنْ سُكْرٍ (وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ) فِي ظِهَارِ السَّكْرَانِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا يَلْزَمُهُ. وَالْآخَرُ لَا يَلْزَمُهُ.

 

 

Tidak diwajibkan bagi orang yang hilang akalnya kecuali karena mabuk. (Dan dalam pendapat lama) mengenai zhihar orang yang mabuk, ada dua pendapat: salah satunya mewajibkannya, dan yang lainnya tidak mewajibkannya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – يَلْزَمُهُ أَوْلَى وَأَشْبَهُ بِأَقَاوِيلِهِ وَلَا يَلْزَمُهُ أَشْبَهُ بِالْحَقِّ عِنْدِي إذَا كَانَ لَا يُمَيِّزُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “Yang lebih utama dan lebih sesuai dengan pendapat-pendapatnya wajib baginya, sedangkan yang lebih dekat dengan kebenaran menurutku tidak wajib baginya jika ia tidak mampu membedakan.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَعِلَّة جَوَازِ الطَّلَاقِ عِنْدَهُ إرَادَةُ الْمُطَلِّقِ وَلَا طَلَاقَ عِنْدَهُ عَلَى مُكْرَهٍ لِارْتِفَاعِ إرَادَتِهِ وَالسَّكْرَانُ الَّذِي لَا يَعْقِلُ مَعْنَى مَا يَقُولُ لَا إرَادَةَ لَهُ كَالنَّائِمِ، فَإِنْ قِيلَ: لِأَنَّهُ أَدْخَلَ ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ قِيلَ: أَوْ لَيْسَ وَإِنْ أَدْخَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ فَهُوَ فِي مَعْنَى مَا أَدْخَلَهُ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ ذَهَابِ عَقْلِهِ وَارْتِفَاعِ إرَادَته، وَلَوْ افْتَرَقَ حُكْمُهُمَا فِي الْمَعْنَى الْوَاحِدِ لِاخْتِلَافِ نِسْبَتِهِ مِنْ نَفْسِهِ وَمِنْ غَيْرِهِ لَاخْتَلَفَ حُكْمُ مَنْ جُنَّ بِسَبَبِ نَفْسِهِ وَحُكْمُ مَنْ جُنَّ بِسَبَبٍ غَيْرِهِ فَيَجُوزُ بِذَلِكَ طَلَاقُ بَعْضِ الْمَجَانِين فَإِنْ قِيلَ: فَفَرْضُ الصَّلَاةِ يَلْزَمُ السَّكْرَانَ وَلَا يَلْزَمُ الْمَجْنُونَ قِيلَ: وَكَذَلِكَ فَرْضُ الصَّلَاةِ يَلْزَمُ النَّائِمَ وَلَا يَلْزَمُ الْمَجْنُونَ فَهَلْ يُجِيزُ طَلَاقَ النَّوْمِ لِوُجُوبِ فَرْضِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِمْ فَإِنْ قِيلَ: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْقِلُ قِيلَ: وَكَذَلِكَ طَلَاقُ السَّكْرَانِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْقِلُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ} النساء: 43 فَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَلَاةٌ حَتَّى يَعْلَمَهَا وَيُرِيدَهَا وَكَذَلِكَ لَا طَلَاقَ لَهُ وَلَا ظِهَارَ حَتَّى يَعْلَمَهُ وَيُرِيدَهُ وَهُوَ قَوْلُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَيَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ وَاللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ وَغَيْرِهِمْ، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -: إذَا ارْتَدَّ سَكْرَانُ لَمْ يُسْتَتَبْ فِي سُكْرِهِ وَلَمْ يُقْتَلْ فِيهِ.

 

Al-Muzanni—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Syarat sahnya talak menurutnya adalah kehendak orang yang menceraikan. Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa, karena hilangnya kehendaknya. Orang yang mabuk hingga tidak memahami makna ucapannya juga tidak memiliki kehendak, seperti orang yang tidur. Jika ada yang berargumen: ‘Itu karena ia sendiri yang menyebabkan mabuknya,’ maka dijawab: ‘Tidak juga. Meski ia sendiri yang menyebabkan mabuk, statusnya sama seperti orang yang dipaksa mabuk oleh orang lain—yaitu hilang akal dan kehendaknya. Jika hukum keduanya berbeda dalam makna yang sama hanya karena perbedaan penyebab (diri sendiri atau orang lain), maka hukum orang yang gila karena sebab dirinya dan orang yang gila karena sebab lain juga akan berbeda, sehingga talak sebagian orang gila bisa sah.’ Jika ada yang bertanya: ‘Shalat tetap wajib bagi orang mabuk, tapi tidak bagi orang gila,’ dijawab: ‘Begitu pula shalat tetap wajib bagi orang tidur, tapi tidak bagi orang gila. Apakah talak orang tidur dianggap sah karena kewajiban shalat masih berlaku bagi mereka?’ Jika dijawab: ‘Tidak sah, karena ia tidak sadar,’ maka demikian pula talak orang mabuk—karena ia tidak sadar. Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah mendekati shalat ketika kalian dalam keadaan mabuk, hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan.’ (QS. An-Nisa: 43). Maka shalatnya tidak sah hingga ia sadar dan berniat. Demikian pula talak dan zhihar tidak sah hingga ia sadar dan berniat. Ini adalah pendapat Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Umar bin Abdul Aziz, Yahya bin Sa’id, Al-Laits bin Sa’d, dan lainnya. Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—juga berkata: ‘Jika orang mabuk murtad, ia tidak diminta bertobat selama mabuk, dan tidak dihukum mati dalam keadaan itu.'”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَفِي ذَلِكَ دَلِيلُ أَنْ لَا حُكْمَ لِقَوْلِهِ لَا أَتُوبُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْقِلُ مَا يَقُولُ فَكَذَلِكَ هُوَ فِي الطَّلَاقِ وَالظِّهَارِ لَا يَعْقِلُ مَا يَقُولُ فَهُوَ أَحَدُ قَوْلَيْهِ فِي الْقَدِيمِ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dalam hal ini terdapat dalil bahwa tidak ada hukum bagi ucapannya ‘Aku tidak akan bertobat,’ karena ia tidak memahami apa yang ia ucapkan. Demikian pula dalam talak dan zhihar, ia tidak memahami apa yang ia ucapkan. Ini merupakan salah satu dari dua pendapatnya dalam kitab Al-Qadim.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ تَظَاهَرَ مِنْهَا ثُمَّ تَرَكَهَا أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ مُتَظَاهِرٌ وَلَا إيلَاءَ عَلَيْهِ يُوقِفُ لَهُ لَا يَكُونُ الْمُتَظَاهِرُ بِهِ مُولِيًا وَلَا الْمُولِي بِالْإِيلَاءِ مُتَظَاهِرًا وَهُوَ مُطِيعٌ لِلَّهِ تَعَالَى بِتَرْكِ الْجِمَاعِ فِي الظِّهَارِ عَاصٍ لَهُ لَوْ جَامَعَ قَبْلَ أَنْ يُكَفِّرَ وَعَاصٍ بِالْإِيلَاءِ، وَسَوَاءٌ كَانَ مُضَارًّا بِتَرْكِ الْكَفَّارَةِ أَوْ غَيْرَ مُضَارٍّ إلَّا أَنَّهُ يَأْثَمُ بِالضِّرَارِ كَمَا يَأْثَمُ لَوْ آلَى أَقَلَّ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ يُرِيدُ ضِرَارًا وَلَا يُحْكَمُ عَلَيْهِ بِحُكْمِ الْإِيلَاءِ وَلَا بِحَالِ حُكْمِ اللَّهِ عَمَّا أَنْزَلَ فِيهِ، وَلَوْ تَظَاهَرَ يُرِيدُ طَلَاقًا كَانَ طَلَاقًا أَوْ طَلَّقَ يُرِيدُ ظِهَارًا كَانَ طَلَاقًا وَهَذِهِ أُصُولٌ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang melakukan zhihar terhadap istrinya kemudian meninggalkannya lebih dari empat bulan, maka ia dianggap melakukan zhihar dan tidak terkena hukum ila’. Tidaklah orang yang melakukan zhihar dianggap sebagai orang yang melakukan ila’, dan tidak pula orang yang melakukan ila’ dianggap sebagai orang yang melakukan zhihar. Ia taat kepada Allah Ta’ala dengan tidak berhubungan intim dalam zhihar, tetapi bermaksiat jika berhubungan sebelum membayar kafarat, dan bermaksiat dengan ila’. Sama saja apakah ia berniat merugikan dengan tidak membayar kafarat atau tidak, kecuali bahwa ia berdosa jika berniat merugikan, sebagaimana ia berdosa jika bersumpah ila’ kurang dari empat bulan dengan niat merugikan, namun tidak dihukum dengan hukum ila’ dan tidak pula dengan hukum Allah tentang apa yang diturunkan-Nya. Jika seseorang melakukan zhihar dengan niat talak, maka itu dianggap talak, atau jika ia menalak dengan niat zhihar, maka itu dianggap talak. Ini adalah prinsip-prinsip dasar.”

 

 

وَلَا ظِهَارَ مِنْ أَمَةٍ وَلَا أُمِّ وَلَدٍ؛ لِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ {وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ} المجادلة: 3 كَمَا قَالَ {يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ} البقرة: 226 {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} النور: 6 فَعَقَلْنَا عَنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ نِسَائِنَا وَإِنَّمَا نِسَاؤُنَا أَزْوَاجُنَا وَلَوْ لَزِمَهَا وَاحِدٌ مِنْ هَذِهِ الْأَحْكَامِ لَزِمَهَا كُلُّهَا.

 

 

Tidak ada zhihar dari budak perempuan atau ummu walad, karena Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan orang-orang yang menzhihar isteri-isteri mereka” (Al-Mujadilah: 3), sebagaimana Dia berfirman: “Orang-orang yang bersumpah tidak akan mencampuri isteri-isteri mereka” (Al-Baqarah: 226), “Dan orang-orang yang menuduh isteri-isteri mereka” (An-Nur: 6). Maka kami memahami dari Allah Azza wa Jalla bahwa mereka (budak perempuan) bukan termasuk isteri-isteri kami, karena isteri-isteri kami adalah pasangan kami. Seandainya salah satu hukum ini berlaku padanya, maka semua hukum akan berlaku padanya.

 

بَابُ مَا يَكُونُ ظِهَارًا وَمَا لَا يَكُونُ ظِهَارًا

 

Bab tentang apa yang dianggap zhihar dan apa yang tidak dianggap zhihar

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الظِّهَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي فَإِنْ قَالَ: أَنْتِ مِنِّي أَوْ أَنْتِ مَعِي كَظَهْرِ أُمِّي وَمَا أَشْبَهَهُ فَهُوَ ظِهَارٌ، وَإِنْ قَالَ: فَرْجُك أَوْ رَأْسُك أَوْ ظَهْرُك أَوْ جِلْدُك أَوْ يَدُك أَوْ رِجْلُك عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي كَانَ هَذَا ظِهَارًا، وَلَوْ قَالَ: كَبَدَنِ أُمِّي أَوْ كَرَأْسِ أُمِّي أَوْ كَيَدِهَا كَانَ هَذَا ظِهَارًا؛ لِأَنَّ التَّلَذُّذَ بِكُلِّ أُمِّهِ مُحَرَّمٌ، وَلَوْ قَالَ: كَأُمِّي أَوْ مِثْلِ أُمِّي وَأَرَادَ الْكَرَامَةَ فَلَا ظِهَارَ وَإِنْ أَرَادَ الظِّهَارَ فَهُوَ ظِهَارٌ، وَإِنْ قَالَ: لَا نِيَّةَ لِي فَلَيْسَ بِظِهَارٍ، وَإِنْ قَالَ: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ امْرَأَةٍ مُحَرَّمَةٍ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ قَامَتْ فِي ذَلِكَ مَقَامَ الْأُمِّ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Zhihar adalah ketika seorang suami berkata kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku.” Jika dia berkata, “Kamu dariku atau kamu bersamaku seperti punggung ibuku,” atau ungkapan serupa, maka itu termasuk zhihar. Jika dia berkata, “Kemaluanmu, kepalamu, punggungmu, kulitmu, tanganmu, atau kakimu bagiku seperti punggung ibuku,” maka ini juga zhihar. Begitu pula jika dia berkata, “Seperti perut ibuku, kepala ibuku, atau tangannya,” ini tetap zhihar karena menikmati seluruh bagian tubuh ibunya adalah haram. Jika dia berkata, “Seperti ibuku” atau “Semisal ibuku” dan bermaksud memuliakan, maka bukan zhihar. Namun jika dia bermaksud zhihar, maka itu zhihar. Jika dia berkata, “Aku tidak berniat (zhihar),” maka itu bukan zhihar. Jika dia berkata, “Kamu bagiku seperti punggung wanita yang haram karena nasab atau persusuan,” maka wanita tersebut menempati posisi ibu karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Apa yang haram karena nasab, haram pula karena persusuan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – تَعَالَى وَحِفْظِي وَغَيْرِي عَنْهُ لَا يَكُونُ مُتَظَاهِرًا بِمَنْ كَانَتْ حَلَالًا فِي حَالٍ ثُمَّ حَرُمَتْ بِسَبَبٍ كَمَا حَرُمَتْ نِسَاءُ الْآبَاءِ وَحَلَائِلُ الْأَبْنَاءِ بِسَبَبٍ وَهُوَ لَا يَجْعَلُ هَذَا ظِهَارًا وَلَا فِي قَوْلِهِ كَظَهْرِ أَبِي (قَالَ) : وَيَلْزَمُ الْحِنْثُ بِالظِّهَارِ كَمَا يَلْزَمُ بِالطَّلَاقِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dan penjagaan diriku serta orang lain darinya tidak akan menjadi zhihar terhadap seseorang yang sebelumnya halal kemudian haram karena suatu sebab, sebagaimana haramnya istri-istri bapak dan menantu-menantu anak karena sebab tertentu. Dan hal ini tidak dianggap sebagai zhihar, juga tidak dalam ucapannya seperti ‘seperti punggung ayahku’.” Beliau berkata: “Konsekuensi sumpah dengan zhihar mengikat sebagaimana mengikatnya talak.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ: إذَا نَكَحْتُك فَأَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي فَنَكَحَهَا لَمْ يَكُنْ مُتَظَاهِرًا؛ لِأَنَّ التَّحْرِيمَ إنَّمَا يَقَعُ مِنْ النِّسَاءِ عَلَى مَنْ حَلَّ لَهُ وَلَا مَعْنَى لِلتَّحْرِيمِ فِي الْمُحَرَّمِ وَيُرْوَى مِثْلُ مَا قُلْت عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِمْ وَهُوَ الْقِيَاسُ (وَلَوْ) قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ كَظَهْرِ أُمِّي يُرِيدُ الظِّهَارَ فَهِيَ طَالِقٌ؛ لِأَنَّهُ صَرَّحَ بِالطَّلَاقِ فَلَا مَعْنَى لِقَوْلِهِ كَظَهْرِ أُمِّي إلَّا أَنَّك حَرَامٌ بِالطَّلَاقِ كَظَهْرِ أُمِّي، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي يُرِيدُ الطَّلَاقَ فَهُوَ ظِهَارٌ، وَلَوْ قَالَ لِأُخْرَى: قَدْ أَشْرَكْتُك مَعَهَا أَوْ أَنْتِ شَرِيكَتُهَا أَوْ أَنْتِ كَهِيَ وَلَمْ يَنْوِ ظِهَارًا لَمْ يَلْزَمْهُ؛ لِأَنَّهَا تَكُونُ شَرِيكَتُهَا فِي أَنَّهَا زَوْجَةٌ لَهُ أَوْ عَاصِيَةٌ أَوْ مُطِيعَةٌ لَهُ كَهِيَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang mengatakan, ‘Jika aku menikahimu, engkau bagiku seperti punggung ibuku,’ lalu ia menikahinya, itu tidak dianggap zhihar karena pengharaman hanya berlaku terhadap wanita yang halal baginya, dan tidak ada makna pengharaman terhadap yang sudah haram. Riwayat serupa dengan apa yang kukatakan juga dinukil dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, kemudian dari Ali, Ibnu Abbas, dan lainnya, dan ini adalah qiyas. (Dan seandainya) ia mengatakan, ‘Engkau tertalak seperti punggung ibuku,’ dengan maksud zhihar, maka itu adalah talak karena ia jelas menyebut talak. Tidak ada makna dari ucapannya ‘seperti punggung ibuku’ kecuali bahwa engkau haram bagiku karena talak seperti punggung ibuku. Jika ia mengatakan, ‘Engkau bagiku seperti punggung ibuku,’ dengan maksud talak, maka itu dianggap zhihar. Dan jika ia mengatakan kepada wanita lain, ‘Aku menyamakanmu dengannya,’ atau ‘Engkau sekutunya,’ atau ‘Engkau seperti dia,’ tanpa bermaksud zhihar, maka tidak berlaku zhihar baginya karena ia hanya menyamakannya dalam status sebagai istrinya, baik yang durhaka maupun yang taat, seperti wanita tersebut.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ ظَاهَرَ مِنْ أَرْبَعِ نِسْوَةٍ لَهُ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ فَقَالَ فِي كِتَابِ الظِّهَارِ الْجَدِيدِ وَفِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ أَنَّ عَلَيْهِ فِي كُلِّ وَاحِدَةٍ كَفَّارَةً كَمَا يُطَلِّقُهُنَّ مَعًا بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ وَقَالَ فِي الْكِتَابِ الْقَدِيمِ: لَيْسَ عَلَيْهِ إلَّا كَفَّارَةٌ وَاحِدَةٌ؛ لِأَنَّهَا يَمِينٌ ثُمَّ رَجَعَ إلَى الْكَفَّارَاتِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang suami menzhihar empat istrinya dengan satu kalimat, maka dalam kitab Azh-Zhihar Al-Jadid dan dalam Al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik disebutkan bahwa dia wajib membayar kafarah untuk setiap istri, sebagaimana jika dia menceraikan mereka sekaligus dengan satu kalimat. Namun dalam kitab yang lama, dia berpendapat bahwa cukup satu kafarah saja, karena zhihar itu termasuk sumpah. Kemudian beliau rujuk kembali kepada pendapat yang mewajibkan banyak kafarah.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَهَذَا بِقَوْلِهِ أَوْلَى.

 

(Al-Muzani berkata) Dan ini lebih utama dengan perkataannya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ تَظَاهَرَ مِنْهَا مِرَارًا يُرِيدُ بِكُلِّ وَاحِدَةٍ ظِهَارًا غَيْرَ الْآخَرِ قَبْلَ يُكَفِّرُ فَعَلَيْهِ بِكُلِّ تَظَاهُرٍ كَفَّارَةٌ كَمَا يَكُونُ عَلَيْهِ فِي كُلِّ تَطْلِيقَةٍ تَطْلِيقَةٌ، وَلَوْ قَالَهَا مُتَتَابِعًا فَقَالَ: أَرَدْت ظِهَارًا وَاحِدًا فَهُوَ وَاحِدٌ كَمَا لَوْ تَابَعَ بِالطَّلَاقِ كَانَ كَطَلْقَةٍ وَاحِدَةٍ، وَلَوْ قَالَ: إذَا تَظَاهَرْت مِنْ فُلَانَةَ الْأَجْنَبِيَّةِ فَأَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي فَتَظَاهَرَ مِنْ الْأَجْنَبِيَّةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ ظِهَارٌ كَمَا لَوْ طَلَّقَ أَجْنَبِيَّةً لَمْ يَكُنْ طَلَاقًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seseorang melakukan zhihar terhadap istrinya berulang kali dengan setiap kali bermaksud zhihar yang berbeda sebelum menunaikan kaffarah, maka wajib baginya kaffarah untuk setiap zhihar sebagaimana setiap talak dalam perceraian. Namun jika ia mengucapkannya secara berturut-turut dan menyatakan ‘Aku bermaksud satu zhihar’, maka dihitung satu zhihar, seperti halnya jika talak diucapkan berturut-turut maka dihitung satu talak. Dan jika seseorang berkata ‘Jika aku melakukan zhihar terhadap wanita asing fulanah, maka kamu (istri) seperti punggung ibuku’, lalu ia melakukan zhihar terhadap wanita asing tersebut, maka tidak dianggap zhihar, sebagaimana jika menalak wanita asing maka tidak dianggap talak.”

بَابُ مَا يُوجِبُ عَلَى الْمُتَظَاهِرِ الْكَفَّارَةَ

 

Bab tentang hal-hal yang mewajibkan kafarat bagi orang yang melakukan zhihar

 

مِنْ كِتَابَيْ الظِّهَارِ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ وَمَا دَخَلَهُ مِنْ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى وَالشَّافِعِيِّ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ} المجادلة: 3 الْآيَةَ قَالَ: وَاَلَّذِي عَقَلْت مِمَّا سَمِعْت فِي {يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا} المجادلة: 3 الْآيَةَ أَنَّهُ إذَا أَتَتْ عَلَى الْمُتَظَاهِرِ مُدَّةٌ بَعْدَ الْقَوْلِ بِالظِّهَارِ لَمْ يُحَرِّمْهَا بِالطَّلَاقِ الَّذِي تَحْرُمُ بِهِ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ كَأَنَّهُمْ يَذْهَبُونَ إلَى أَنَّهُ إذَا أَمْسَكَ مَا حَرَّمَ عَلَى نَفْسِهِ فَقَدْ عَادَ لِمَا قَالَ فَخَالَفَهُ فَأَحَلَّ مَا حَرَّمَ وَلَا أَعْلَمُ مَعْنًى أَوْلَى بِهِ مِنْ هَذَا.

 

 

Dari dua kitab Zhihar yang lama dan baru, serta perbedaan pendapat yang terdapat di dalamnya antara Abu Hanifah, Ibnu Abi Laila, dan Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmati mereka – (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: {Kemudian mereka kembali kepada apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak} QS. Al-Mujadilah: 3. Beliau berkata: “Yang aku pahami dari apa yang aku dengar mengenai {mereka kembali kepada apa yang mereka ucapkan} QS. Al-Mujadilah: 3 adalah bahwa jika telah berlalu suatu masa setelah pengucapan zhihar bagi orang yang melakukan zhihar, dan dia tidak mengharamkannya dengan talak yang menyebabkan keharaman, maka wajib atasnya kafarah. Seakan-akan mereka berpendapat bahwa jika dia menahan apa yang diharamkan atas dirinya, maka dia telah kembali kepada apa yang dia ucapkan, sehingga dia menyelisihinya dan menghalalkan apa yang diharamkan. Dan aku tidak mengetahui makna yang lebih tepat dari ini.”

(قَالَ) : وَلَوْ أَمْكَنَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلَمْ يَفْعَلْ لَزِمَتْهُ الْكَفَّارَةُ، وَكَذَلِكَ لَوْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ.

 

Beliau berkata: “Seandainya dia mampu menceraikannya tetapi tidak melakukannya, maka wajib atasnya kafarat. Demikian pula jika dia meninggal atau istrinya meninggal.”

 

 

وَمَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا} المجادلة: 3 وَقْتٌ؛ لَأَنْ يُؤَدِّيَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمُمَاسَّةِ حَتَّى يُكَفِّرَ وَكَانَ هَذَا – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – عُقُوبَةً مُكَفِّرَةً لِقَوْلِ الزُّورِ فَإِذَا مَنَعَ الْجِمَاعَ أَحْبَبْت أَنْ يَمْنَعَ الْقُبَلَ وَالتَّلَذُّذَ احْتِيَاطًا حَتَّى يُكَفِّرَ فَإِنْ مَسَّ لَمْ تَبْطُلْ الْكَفَّارَةُ كَمَا يُقَالُ لَهُ: أَدِّ الصَّلَاةَ فِي وَقْتِ كَذَا وَقَبْلَ وَقْتِ كَذَا فَيَذْهَبُ الْوَقْتُ فَيُؤَدِّيهَا بَعْدَ الْوَقْتِ؛ لِأَنَّهَا فَرْضٌ، وَلَوْ أَصَابَهَا وَقَدْ كَفَّرَ بِالصَّوْمِ فِي لَيْلِ الصَّوْمِ لَمْ يُنْتَقَضْ صَوْمُهُ وَمَضَى عَلَى الْكَفَّارَةِ، وَلَوْ كَانَ صَوْمُهُ يُنْتَقَضُ بِالْجِمَاعِ لَمْ تُجْزِئْهُ الْكَفَّارَةُ بَعْدَ الْجِمَاعِ.

 

 

Makna firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala {min qabli an yatamaassaa} (sebelum mereka bersentuhan) QS. Al-Mujadilah: 3 adalah waktu; agar menunaikan kewajiban sebelum bersentuhan hingga menunaikan kaffarah. Ini -wallahu a’lam- merupakan hukuman penghapus dosa dusta. Jika dicegah berjima’, lebih baik dicegah pula ciuman dan bersenang-senang sebagai kehati-hatian hingga menunaikan kaffarah. Jika bersentuhan, kaffarah tidak batal, sebagaimana dikatakan: “Tunaikan shalat pada waktu ini dan sebelum waktu itu.” Jika waktu habis, dia tunaikan setelah waktu karena itu wajib. Jika bersetubuh setelah menunaikan kaffarah dengan puasa di malam puasa, puasanya tidak batal dan kaffarah tetap sah. Seandainya puasanya batal karena jima’, maka kaffarah tidak sah setelah jima’.

 

 

وَلَوْ تَظَاهَرَ وَأَتْبَعَ الظِّهَارَ طَلَاقًا تَحِلُّ فِيهِ قَبْلَ زَوْجٍ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ أَوْ لَا يَمْلِكُهَا ثُمَّ رَاجَعَهَا فَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ، وَلَوْ طَلَّقَهَا سَاعَةَ نَكَحَهَا؛ لِأَنَّ مُرَاجَعَتَهُ إيَّاهَا بَعْدَ الطَّلَاقِ أَكْثَرُ مِنْ حَبْسِهَا بَعْدَ الظِّهَارِ.

 

 

Dan jika dia melakukan zhihar lalu mengikutinya dengan talak yang menghalalkannya sebelum suami yang memiliki hak rujuk atau tidak memilikinya, kemudian dia merujuknya, maka wajib atasnya kafarah. Sekalipun dia menalaknya saat menikahinya, karena rujuknya setelah talak lebih banyak daripada menahannya setelah zhihar.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا خِلَافُ أَصْلِهِ كُلُّ نِكَاحٍ جَدِيدٍ لَمْ يُعْمَلْ فِيهِ طَلَاقٌ وَلَا ظِهَارٌ إلَّا جَدِيدٌ (وَقَدْ قَالَ) فِي هَذَا الْكِتَابِ لَوْ تَظَاهَرَ مِنْهَا ثُمَّ أَتْبَعَهَا طَلَاقًا لَا يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ ثُمَّ نَكَحَهَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ؛ لِأَنَّ هَذَا مِلْكٌ غَيْرُ الْأَوَّلِ الَّذِي كَانَ فِيهِ الظِّهَارُ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يُظَاهِرَ مِنْهَا فَيَعُودُ عَلَيْهِ الظِّهَارُ إذَا نَكَحَهَا جَازَ ذَلِكَ بَعْدَ ثَلَاثٍ وَزَوْجٍ غَيْرِهِ وَهَكَذَا الْإِيلَاءُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Ini bertentangan dengan prinsip dasarnya. Setiap pernikahan baru yang tidak dilakukan talak atau zhihar di dalamnya adalah baru. (Dan dia telah berkata) dalam kitab ini: Seandainya dia melakukan zhihar terhadapnya, kemudian diikuti dengan talak yang tidak memiliki hak rujuk, lalu menikahinya lagi, maka tidak ada kafarat baginya; karena ini adalah kepemilikan yang berbeda dari yang pertama di mana zhihar terjadi. Seandainya boleh baginya untuk melakukan zhihar terhadapnya sehingga zhihar itu kembali kepadanya jika menikahinya, maka hal itu juga boleh setelah tiga kali talak dan setelah dinikahi oleh suami lain. Demikian pula dengan ila’.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ وَأَوْلَى بِقَوْلِهِ وَالْقِيَاسُ أَنَّ كُلَّ حُكْمٍ كَانَ فِي مِلْكٍ فَإِذَا زَالَ ذَلِكَ زَالَ مَا فِيهِ مِنْ الْحُكْمِ فَلَمَّا زَالَ ذَلِكَ النِّكَاحُ زَالَ مَا فِيهِ مِنْ الظِّهَارِ وَالْإِيلَاءِ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih mirip dengan asalnya dan lebih utama menurut pendapatnya. Secara qiyas, setiap hukum yang berlaku dalam kepemilikan, apabila kepemilikan itu hilang, maka hilang pula hukum yang ada di dalamnya. Ketika pernikahan itu batal, maka hilang pula zhihar dan ila’ yang ada di dalamnya.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ تَظَاهَرَ مِنْهَا ثُمَّ لَاعَنَهَا مَكَانَهُ بِلَا فَصْلٍ سَقَطَ الظِّهَارُ، وَلَوْ كَانَ حَبَسَهَا قَدْرَ مَا يُمْكِنُهُ اللِّعَانُ فَلَمْ يُلَاعِنْ كَانَتْ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia men-zhihar istrinya, lalu langsung melaknatnya di tempat itu tanpa jeda, maka zhihar-nya gugur. Namun, jika dia menahannya selama waktu yang memungkinkan untuk melaknat, tetapi tidak melaknatnya, maka dia wajib membayar kafarat.”

 

 

(وَقَالَ) فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى لَوْ تَظَاهَرَ مِنْهَا يَوْمًا فَلَمْ يُصِبْهَا حَتَّى انْقَضَى لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ كَمَا لَوْ آلَى فَسَقَطَتْ الْيَمِينُ سَقَطَ عَنْهُ حُكْمُ الْيَمِينِ.

 

 

(Dan dia berkata) dalam kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila: Seandainya dia menjauhi istrinya selama sehari dan tidak menggaulinya sampai waktu itu berlalu, maka tidak ada kafarat baginya, sebagaimana jika seseorang bersumpah lalu sumpahnya gugur, maka hukum sumpah itu pun gugur darinya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَصْلُ قَوْلِهِ: إنَّ الْمُتَظَاهِرَ إذَا حَبَسَ امْرَأَتَهُ مُدَّةً يُمْكِنُهُ الطَّلَاقُ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا فِيهَا فَقَدْ عَادَ وَوَجَبَ عَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ وَقَدْ حَبَسَهَا هَذَا بَعْدَ التَّظَاهُرِ يَوْمًا يُمْكِنُهُ الطَّلَاقُ فِيهِ فَتَرَكَهُ فَعَادَ إلَى اسْتِحْلَالِ مَا حَرَّمَ فَالْكَفَّارَةُ لَازِمَةٌ لَهُ فِي مَعْنَى قَوْلِهِ، وَكَذَا قَالَ لَوْ مَاتَ أَوْ مَاتَتْ بَعْدَ الظِّهَارِ وَأَمْكَنَ الطَّلَاقُ فَلَمْ يُطَلِّقْ فَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Pada dasarnya, jika seorang yang melakukan zhihar menahan istrinya selama periode di mana dia bisa menceraikannya tetapi tidak melakukannya, maka dia telah kembali (melanggar) dan wajib atasnya kafarah. Jika setelah zhihar dia menahan istrinya selama satu hari di mana dia bisa menceraikannya tetapi tidak melakukannya, maka dia kembali menghalalkan apa yang diharamkan, sehingga kafarah wajib baginya sesuai makna perkataannya. Demikian pula Beliau berkata: Jika dia (suami) atau istrinya meninggal setelah zhihar sementara talak masih mungkin dilakukan tetapi tidak dilaksanakan, maka wajib atasnya kafarah.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ تَظَاهَرَ وَآلَى قِيلَ: إنْ وَطِئْت قَبْلَ الْكَفَّارَةِ خَرَجْت مِنْ الْإِيلَاءِ وَأَثِمْت، وَإِنْ انْقَضَتْ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَقَفْت فَإِنْ قُلْت: أَنَا أُعْتِقُ أَوْ أُطْعِمُ لَمْ نُمْهِلْك أَكْثَرَ مِمَّا يُمْكِنُك الْيَوْمَ وَمَا أَشْبَهَهُ وَإِنْ قُلْت: أَصُومُ، قِيلَ: إنَّمَا أُمِرْت بَعْدَ الْأَرْبَعَةِ بِأَنْ تَفِيءَ أَوْ تُطَلِّقَ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ لَك سَنَةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang melakukan zhihar dan ila’, dikatakan kepadanya: ‘Jika engkau menyetubuhi sebelum membayar kafarat, maka engkau keluar dari ila’ tetapi berdosa. Jika empat bulan telah berlalu, engkau dihentikan. Jika engkau berkata: ‘Aku akan memerdekakan budak atau memberi makan’, kami tidak memberimu tenggang waktu lebih dari apa yang bisa engkau lakukan hari ini atau semisalnya. Jika engkau berkata: ‘Aku akan berpuasa’, dikatakan: ‘Engkau hanya diperintahkan setelah empat bulan untuk kembali (kepada istrimu) atau menceraikan, maka tidak boleh diberikan waktu satu tahun untukmu.'”

بَابُ مَا يُجْزِئُ مِنْ الرِّقَابِ وَمَا لَا يُجْزِئُ وَمَا يُجْزِئُ مِنْ الصَّوْمِ وَمَا لَا يُجْزِئُ

 

Pembahasan tentang budak yang mencukupi dan yang tidak mencukupi, serta puasa yang mencukupi dan yang tidak mencukupi

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Allah Ta’ala berfirman tentang zhihar {“maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak”} QS. Al-Mujadilah: 3.

 

(قَالَ) : فَإِذَا كَانَ وَاجِدًا لَهَا أَوْ لِثَمَنِهَا لَمْ يُجْزِئْ غَيْرُهَا وَشَرَطَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي رَقَبَةِ الْقَتْلِ مُؤْمِنَةً كَمَا شَرَطَ الْعَدْلَ فِي الشَّهَادَةِ وَأَطْلَقَ الشُّهُودَ فِي مَوَاضِعَ فَاسْتَدْلَلْنَا عَلَى أَنَّ مَا أَطْلَقَ عَلَى مَعْنَى مَا شَرَطَ وَإِنَّمَا رَدَّ اللَّهُ تَعَالَى أَمْوَالَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ لَا عَلَى الْمُشْرِكِينَ وَفَرَضَ اللَّهُ تَعَالَى الصَّدَقَاتِ فَلَمْ تَجُزْ إلَّا لِلْمُؤْمِنِينَ فَكَذَلِكَ مَا فَرَضَ اللَّهُ مِنْ الرِّقَابِ فَلَا يَجُوزُ إلَّا مِنْ الْمُؤْمِنِينَ، وَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً وَصَفَتْ الْإِسْلَامَ فَإِنْ أَعْتَقَ صَبِيَّةً أَحَدُ أَبَوَيْهَا مُؤْمِنٌ أَوْ خَرْسَاءَ جَبَلِيَّةً تَعْقِلُ الْإِشَارَةَ بِالْإِيمَانِ أَجْزَأَتْهُ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ لَا يُعْتِقَهَا إلَّا أَنْ تَتَكَلَّمَ بِالْإِيمَانِ، وَلَوْ سُبِيَتْ صَبِيَّةٌ مَعَ أَبَوَيْهَا كَافِرَيْنِ فَعَقَلَتْ وَوَصَفْت الْإِسْلَامَ وَصَلَّتْ إلَّا أَنَّهَا لَمْ تَبْلُغْ لَمْ تُجْزِئْهُ حَتَّى تَصِفَ الْإِسْلَامَ بَعْدَ الْبُلُوغِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang mampu menemukannya (budak yang memenuhi syarat) atau membayar harganya, maka tidak boleh diganti dengan yang lain. Allah ‘azza wa jalla mensyaratkan budak yang dibebaskan untuk kasus pembunuhan harus beriman, sebagaimana Dia mensyaratkan keadilan dalam kesaksian. Dalam beberapa tempat, Allah menyebut saksi secara mutlak, sehingga kami menyimpulkan bahwa yang dimutlakkan itu mengandung makna yang disyaratkan. Sesungguhnya Allah mengembalikan harta kaum Muslimin kepada kaum Muslimin, bukan kepada orang-orang musyrik. Allah mewajibkan zakat, yang hanya boleh diberikan kepada orang-orang beriman. Demikian pula budak yang diwajibkan oleh Allah untuk dibebaskan, tidak sah kecuali dari kalangan orang beriman, meskipun dia seorang non-Arab yang mengaku Islam. Jika seseorang membebaskan anak kecil yang salah satu orang tuanya beriman, atau budak bisu dari pegunungan yang memahami isyarat keimanan, maka itu sah. Namun, aku lebih menyukai agar dia tidak membebaskannya kecuali jika dia mampu mengucapkan keimanan. Seandainya seorang anak kecil ditawan bersama kedua orang tuanya yang kafir, lalu dia memahami Islam, mengakuinya, dan shalat, tetapi belum baligh, maka pembebasannya tidak sah sampai dia mengaku Islam setelah baligh.”

 

(قَالَ) : وَوَصْفُهَا الْإِسْلَامَ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتَبْرَأَ مِنْ كُلِّ دِينٍ خَالَفَ الْإِسْلَامَ وَأُحِبُّ لَوْ امْتَحَنَهَا بِالْإِقْرَارِ بِالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ وَمَا أَشْبَهَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Dan penjelasannya tentang Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, serta berlepas diri dari semua agama yang bertentangan dengan Islam. Aku juga ingin mengujinya dengan pengakuan tentang kebangkitan setelah kematian dan hal-hal yang serupa.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَا يُجْزِئُ فِي رَقَبَةٍ وَاجِبَةٍ رَقَبَةٌ تُشْتَرَى بِشَرْطِ أَنْ تُعْتَقَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يَضَعُ مِنْ ثَمَنِهَا وَلَا يُجْزِئُ فِيهَا مُكَاتَبٌ أَدَّى مِنْ نُجُومِهِ شَيْئًا أَوْ لَمْ يُؤَدِّهِ؛ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ بَيْعِهِ وَلَا يُجْزِئُ أُمُّ وَلَدٍ فِي قَوْلِ مَنْ لَا يَبِيعُهَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Tidak sah dalam pembebasan budak yang wajib, budak yang dibeli dengan syarat harus dimerdekakan, karena hal itu mengurangi harganya. Juga tidak sah budak mukatab yang telah membayar sebagian pembebasannya atau belum, karena dia dilarang untuk dijual. Demikian pula tidak sah ummu walad (budak perempuan yang melahirkan anak tuannya) menurut pendapat orang yang melarang menjualnya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – هُوَ لَا يُجِيزُ بَيْعَهَا وَلَهُ بِذَلِكَ كِتَابٌ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – dia tidak membolehkan penjualannya dan memiliki kitab tentang hal itu.

 

(قَالَ) : وَإِنْ أَعْتَقَ عَبْدًا لَهُ غَائِبًا فَهُوَ عَلَى غَيْرِ يَقِينٍ أَنَّهُ أَعْتَقَ وَلَوْ اشْتَرَى مَنْ يُعْتِقُ عَلَيْهِ لَمْ يُجْزِئْهُ؛ لِأَنَّهُ عَتَقَ بِمِلْكِهِ، وَلَوْ أَعْتَقَ عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ آخَرَ عَنْ ظِهَارِهِ وَهُوَ مُوسِرٌ أَجْزَأَ عَنْهُ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِشَرِيكِهِ أَنْ يُعْتِقَ وَلَا يَرُدَّ عِتْقَهُ، وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا عَتَقَ نِصْفَهُ فَإِنْ أَفَادَ وَاشْتَرَى النِّصْفَ الثَّانِيَ وَأَعْتَقَهُ أَجْزَأَهُ، وَلَوْ أَعْتَقَهُ عَلَى أَنْ جَعَلَ لَهُ رَجُلٌ عَشْرَةَ دَنَانِيرَ لَمْ يُجْزِئْهُ، وَلَوْ أَعْتَقَ عَنْهُ رَجُلٌ عَبْدًا بِغَيْرِ أَمْرِهِ لَمْ يُجْزِئْهُ وَالْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَهُ وَلَوْ أَعْتَقَهُ بِأَمْرِهِ بِجُعْلٍ أَوْ غَيْرِهِ أَجْزَأَهُ وَالْوَلَاءُ لَهُ وَهَذَا مِثْلُ شِرَاءِ مَقْبُوضٍ أَوْ هِبَةٍ مَقْبُوضَةٍ.

 

 

Beliau berkata: Jika seseorang memerdekakan budaknya yang tidak hadir, maka ia tidak yakin apakah budak itu benar-benar merdeka. Sekalipun ia membeli orang yang akan dimerdekakan atas namanya, itu tidak sah karena budak itu merdeka dengan kepemilikannya. Jika ia memerdekakan budak yang dimiliki bersama orang lain sebagai tebusan zhihar sementara ia mampu, maka itu sah karena mitranya tidak berhak memerdekakan atau membatalkan kemerdekaannya. Jika ia tidak mampu, maka separuh budak itu merdeka. Jika kemudian ia memiliki harta dan membeli separuh lainnya lalu memerdekakannya, itu sah. Jika ia memerdekakan budak dengan syarat seseorang memberinya sepuluh dinar, itu tidak sah. Jika seseorang memerdekakan budak atas namanya tanpa perintahnya, itu tidak sah, dan perwaliannya menjadi milik orang yang memerdekakannya. Jika ia memerdekakan budak atas perintahnya dengan imbalan atau tanpa imbalan, itu sah, dan perwaliannya menjadi miliknya. Ini seperti membeli sesuatu yang sudah diterima atau menerima hibah yang sudah dipegang.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) مَعْنَاهُ عِنْدِي أَنْ يُعْتِقَهُ عَنْهُ بِجُعْلٍ، وَلَوْ أَعْتَقَ عَبْدَيْنِ عَنْ ظِهَارَيْنِ أَوْ ظِهَارٍ وَقَتَلَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَنْ الْكَفَّارَتَيْنِ أَجْزَآهُ؛ لِأَنَّهُ أَعْتَقَ عَنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ عَبْدًا تَامًّا نِصْفًا عَنْ وَاحِدَةٍ وَنِصْفًا عَنْ وَاحِدَةٍ ثُمَّ أُخْرَى نِصْفًا عَنْ وَاحِدَةٍ وَنِصْفًا عَنْ وَاحِدَةٍ فَكَمَّلَ فِيهَا الْعِتْقَ، وَلَوْ كَانَ مِمَّنْ عَلَيْهِ الصَّوْمُ فَصَامَ شَهْرَيْنِ عَنْ إحْدَاهُمَا كَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَنْ أَيِّهِمَا شَاءَ وَكَذَلِكَ لَوْ صَامَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ عَنْهُمَا أَجْزَأَهُ، وَلَوْ كَانَ عَلَيْهِ ثَلَاثُ كَفَّارَاتٍ فَأَعْتَقَ رَقَبَةً لَيْسَ لَهُ غَيْرُهَا وَصَامَ شَهْرَيْنِ ثُمَّ مَرِضَ فَأَطْعَمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا يَنْوِي بِجَمِيعِ هَذِهِ الْكَفَّارَاتِ الظِّهَارَ، وَإِنْ لَمْ يَنْوِ وَاحِدَةً بِعَيْنِهَا أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّ نِيَّتَهُ فِي كُلِّ كَفَّارَةٍ بِأَنَّهَا لَزِمَتْهُ، وَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ فَشَكَّ أَنْ تَكُونَ مِنْ ظِهَارٍ أَوْ قَتْلٍ أَوْ نَذْرٍ فَأَعْتَقَ رَقَبَةً عَنْ أَيُّهَا كَانَ أَجْزَأَهُ، وَلَوْ أَعْتَقَهَا لَا يَنْوِي وَاحِدَةً مِنْهَا لَمْ يُجْزِئْهُ، وَلَوْ ارْتَدَّ قَبْلَ أَنْ يُكَفِّرَ فَأَعْتَقَ عَبْدًا عَنْ ظِهَارِهِ فَإِنْ رَجَعَ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى دَيْنٍ أَدَّاهُ أَوْ قِصَاصٍ أُخِذَ مِنْهُ أَوْ عُقُوبَةٍ عَلَى بَدَنِهِ لِمَنْ وَجَبَتْ لَهُ، وَلَوْ صَامَ فِي رِدَّتِهِ لَمْ يُجْزِئْهُ؛ لِأَنَّ الصَّوْمَ عَمَلُ الْبَدَنِ وَعَمَلُ الْبَدَنِ لَا يُجْزِئُ إلَّا مَنْ يَكْتُبُ لَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Maknanya menurutku adalah membebaskan budak sebagai tebusan dengan upah. Sekiranya seseorang membebaskan dua budak untuk dua kafarah zhihar atau satu zhihar dan satu pembunuhan, lalu setiap budak menebus dua kafarah, itu sah karena setiap budak dibebaskan secara sempurna untuk masing-masing kafarah—setengah untuk satu dan setengah untuk lainnya, lalu setengah lagi untuk satu dan setengah untuk lainnya, sehingga sempurnalah pembebasannya. Jika ia termasuk orang yang wajib berpuasa, lalu berpuasa dua bulan untuk salah satu kafarah, ia boleh memilih untuk meniatkannya pada kafarah mana saja yang ia kehendaki. Demikian pula jika ia berpuasa empat bulan untuk kedua kafarah, itu sah.

 

Jika seseorang memiliki tiga kafarah, lalu membebaskan satu budak (satu-satunya yang ia miliki), berpuasa dua bulan, kemudian sakit dan memberi makan enam puluh orang miskin dengan meniatkan semua kafarah ini untuk zhihar—meskipun tidak meniatkan satu pun secara spesifik—itu sah karena niatnya dalam setiap kafarah adalah bahwa kafarah itu wajib baginya. Jika ia wajib menunaikan satu kafarah tetapi ragu apakah itu dari zhihar, pembunuhan, atau nadzar, lalu membebaskan satu budak untuk salah satunya, itu sah. Namun, jika ia membebaskan budak tanpa meniatkan satu pun dari kafarah tersebut, itu tidak sah.

 

Jika ia murtad sebelum menunaikan kafarah, lalu membebaskan budak untuk kafarah zhihar-nya, kemudian kembali (bertaubat), itu sah karena statusnya seperti hutang yang dibayar, qishash yang diambil darinya, atau hukuman badan bagi yang berhak menerimanya. Namun, jika ia berpuasa saat murtad, itu tidak sah karena puasa adalah amalan badan, dan amalan badan tidak sah kecuali dari orang yang dicatat amalnya.

 

بَابُ مَا يُجْزِئُ مِنْ الْعُيُوبِ فِي الرِّقَابِ الْوَاجِبَةِ

 

 

Pasal tentang cacat yang diperbolehkan pada budak yang wajib dibebaskan

مِنْ كِتَابَيْ الظِّهَارِ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ.

 

Dari dua kitab tentang zhihar, yang lama dan yang baru.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَمْ أَعْلَمْ أَحَدًا مِمَّنْ مَضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَلَا ذُكِرَ لِي عَنْهُ وَلَا يَبْقَى مُخَالِفٌ فِي أَنَّ مِنْ ذَوَاتِ النَّقْصِ مِنْ الرِّقَابِ مَا لَا يُجْزِئُ وَمِنْهَا مَا يُجْزِئُ فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بَعْضُهَا دُونَ بَعْضٍ فَلَمْ أَجِدْ فِي مَعَانِي مَا ذَهَبُوا إلَيْهِ إلَّا مَا أَقُولُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ وَجِمَاعُهُ أَنَّ الْأَغْلَبَ فِيمَا يُتَّخَذُ لَهُ الرَّقِيقُ الْعَمَلُ وَلَا يَكُونُ الْعَمَلُ تَامًّا حَتَّى تَكُونَ يَدُ الْمَمْلُوكِ بَاطِشَتَيْنِ وَرِجْلَاهُ مَاشِيَتَيْنِ وَلَهُ بَصَرٌ، وَإِنْ كَانَ عَيْنًا وَاحِدَةً وَيَكُونُ يَعْقِلُ، وَإِنْ كَانَ أَبْكَمَ أَوْ أَصَمَّ يَعْقِلُ أَوْ أَحْمَقَ أَوْ ضَعِيفَ الْبَطْشِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Aku tidak mengetahui seorang pun dari ulama terdahulu, tidak pula disebutkan kepadaku, dan tidak ada yang menyelisihi bahwa di antara budak yang memiliki kekurangan ada yang tidak memadai (untuk membayar kafarat) dan ada yang memadai. Hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sebagiannya, bukan seluruhnya. Aku tidak menemukan dalam makna pendapat mereka kecuali apa yang aku katakan, dan Allah lebih mengetahui. Kesimpulannya, yang umum dijadikan patokan dalam memilih budak adalah kemampuannya bekerja. Namun, pekerjaan tidak sempurna kecuali jika budak itu memiliki dua tangan yang bisa menggenggam, dua kaki yang bisa berjalan, penglihatan (meski hanya satu mata), dan akal – sekalipun dia bisu, tuli, bodoh, atau lemah genggamannya.”

(قَالَ) : فِي الْقَدِيمِ الْأَخْرَسُ لَا يُجْزِئُ.

 

Beliau berkata: “Pada masa dahulu, orang bisu tidak dianggap sah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَوْلَى بِقَوْلِهِ أَنَّهُ يُجْزِئُ؛ لِأَنَّ أَصْلَهُ أَنَّ مَا أَضَرَّ بِالْعَمَلِ ضَرَرًا بَيِّنًا لَمْ يَجُزْ، وَإِنْ لَمْ يَضُرَّ كَذَلِكَ أَجْزَأَ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata bahwa pendapat yang lebih utama adalah hal itu sudah mencukupi; karena dasarnya adalah segala sesuatu yang jelas-jelas merusak suatu amalan tidak diperbolehkan, sedangkan jika tidak merusak seperti itu maka sudah mencukupi.

 

(قَالَ) : وَاَلَّذِي يُجَنُّ وَيُفِيقُ يُجْزِئُ، وَإِنْ كَانَ مُطْبَقًا لَمْ يُجْزِئْ وَيَجُوزُ الْمَرِيضُ لِأَنَّهُ يُرْجَى وَالصَّغِيرُ كَذَلِكَ.

 

 

Beliau berkata: “Orang yang gila lalu sadar, itu cukup (diterima). Jika ia terus-menerus gila, tidak cukup. Orang sakit diperbolehkan karena diharapkan kesembuhannya, begitu pula anak kecil.”

 

مَنْ لَهُ الْكَفَّارَةُ بِالصِّيَامِ مِنْ كِتَابَيْنِ

 

Siapa yang memiliki kafarat dengan puasa dari dua kitab?

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَنْ كَانَ لَهُ مَسْكَنٌ وَخَادِمٌ لَا يَمْلِكُ غَيْرَهُمَا وَلَا مَا يَشْتَرِي بِهِ مَمْلُوكًا كَانَ لَهُ أَنْ يَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، وَإِنْ أَفْطَرَ مِنْ عُذْرٍ أَوْ غَيْرِهِ أَوْ صَامَ تَطَوُّعًا أَوْ مِنْ الْأَيَّامِ الَّتِي نُهِيَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ صِيَامِهَا اسْتَأْنَفَهُمَا مُتَتَابِعَيْنِ، وَقَالَ فِي كِتَابِ الْقَدِيمِ: إنْ أَفْطَرَ الْمَرِيضُ بَنَى وَاحْتَجَّ فِي الْقَاتِلَةِ الَّتِي عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إذَا حَاضَتْ أَفْطَرَتْ فَإِذَا ذَهَبَ الْحَيْضُ بَنَتْ وَكَذَلِكَ الْمَرِيضُ إذَا ذَهَبَ الْمَرَضُ بَنَى.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Barangsiapa memiliki tempat tinggal dan pembantu, tidak memiliki selain keduanya, dan tidak memiliki harta untuk membeli budak, maka ia boleh berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika ia berbuka karena uzur atau lainnya, atau berpuasa sunnah atau pada hari-hari yang dilarang berpuasa – shallallahu ‘alaihi wasallam – maka ia harus mengulangi puasa dua bulan itu secara berturut-turut.” Dalam kitab Al-Qadim, beliau berkata: “Jika orang yang sakit berbuka, ia boleh melanjutkan (tidak perlu mengulang).” Beliau juga berargumen tentang wanita yang membunuh (secara tidak sengaja) yang wajib berpuasa dua bulan berturut-turut: jika ia haid, ia boleh berbuka, dan ketika haidnya selesai, ia boleh melanjutkan. Demikian pula orang yang sakit, ketika sakitnya sembuh, ia boleh melanjutkan.

 

(قَالَ) : الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَسَمِعْت الشَّافِعِيَّ مُنْذُ دَهْرٍ يَقُولُ: إنْ أَفْطَرَ بَنَى.

 

 

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata: Aku mendengar Asy-Syafi’i sejak dahulu berkata, “Jika ia berbuka (tidak berpuasa), maka ia membangun (mengqadha).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِنَّ هَذَا لَشَبِيهٌ؛ لِأَنَّ الْمَرَضَ عُذْرٌ وَضَرُورَةٌ وَالْحَيْضُ عُذْرٌ وَضَرُورَةٌ مِنْ قِبَلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُفْطِرُ بِهِمَا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

Al-Muzani – rahimahullah – berkata: “Ini memang serupa, karena sakit adalah uzur dan darurat, begitu pula haid merupakan uzur dan darurat dari Allah Azza wa Jalla. Dengan keduanya, boleh berbuka di bulan Ramadan. Hanya kepada Allah pertolongan.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا صَامَ بِالْأَهِلَّةِ صَامَ هِلَالَيْنِ، وَإِنْ كَانَ تِسْعَةً أَوْ ثَمَانِيَةً وَخَمْسِينَ وَلَا يُجْزِئُهُ حَتَّى يُقَدِّمَ نِيَّةَ الصَّوْمِ قَبْلَ الدُّخُولِ، وَلَوْ نَوَى صَوْمَ يَوْمٍ فَأُغْمِيَ عَلَيْهِ فِيهِ ثُمَّ أَفَاقَ قَبْلَ اللَّيْلِ أَوْ بَعْدَهُ وَلَمْ يُطْعِمْ أَجْزَأَهُ إذَا دَخَلَ فِيهِ قَبْلَ الْفَجْرِ وَهُوَ يَعْقِلُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ قَبْلَ الْفَجْرِ لَمْ يُجْزِئْهُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ فِي الصَّوْمِ وَهُوَ يَعْقِلُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang berpuasa berdasarkan hilal, maka ia berpuasa selama dua hilal. Meskipun jumlah harinya sembilan atau lima puluh delapan, puasanya tidak sah kecuali jika ia telah berniat sebelum memulai puasa. Jika ia berniat berpuasa pada suatu hari, lalu pingsan di siang hari, kemudian sadar sebelum atau setelah malam tanpa makan, puasanya sah asalkan ia memasuki puasa sebelum fajar dalam keadaan sadar. Namun, jika ia pingsan sebelum fajar, puasanya tidak sah karena ia tidak memulai puasa dalam keadaan sadar.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: كُلُّ مَنْ أَصْبَحَ نَائِمًا فِي شَهْرِ رَمَضَانَ صَامَ، وَإِنْ لَمْ يَعْقِلْهُ إذَا تَقَدَّمَتْ نِيَّتُهُ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Setiap orang yang memasuki waktu subuh dalam keadaan tidur di bulan Ramadan, maka ia dianggap berpuasa, meskipun tidak menyadarinya, jika niatnya telah dilakukan sebelumnya.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ فِيهِ وَفِي يَوْمٍ بَعْدَهُ وَلَمْ يُطْعِمْ اسْتَأْنَفَ الصَّوْمَ؛ لِأَنَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي أُغْمِيَ عَلَيْهِ فِيهِ كُلِّهِ غَيْرُ صَائِمٍ وَلَا يُجْزِئْهُ إلَّا أَنْ يَنْوِيَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْهُ عَلَى حِدَتِهِ قَبْلَ الْفَجْرِ؛ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ مِنْهُ غَيْرُ صَاحِبِهِ، وَلَوْ صَامَ شَهْرَ رَمَضَانَ فِي الشَّهْرَيْنِ أَعَادَ شَهْرَ رَمَضَانَ وَاسْتَأْنَفَ شَهْرَيْنِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seseorang pingsan di dalam bulan Ramadan dan pada hari berikutnya, serta tidak memberi makan (mengganti puasa), maka ia harus memulai puasa kembali. Karena pada hari ia pingsan, ia tidak dianggap berpuasa sama sekali, dan tidak sah kecuali jika ia berniat untuk setiap harinya secara terpisah sebelum fajar. Sebab setiap hari dalam puasa adalah ibadah tersendiri. Dan jika seseorang berpuasa bulan Ramadan dalam dua bulan, maka ia harus mengulangi puasa Ramadan dan memulai dua bulan tersebut.”

 

(قَالَ) : وَأَقَلُّ مَا يَلْزَمُ مَنْ قَالَ: إنَّ الْجِمَاعَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ الصَّوْمِ يُفْسِدُ الصَّوْمَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا} المجادلة: 3 أَنْ يَزْعُمَ أَنَّ الْكَفَّارَةَ بِالصَّوْمِ وَالْعِتْقِ لَا يُجْزِئَانِ بَعْدَ أَنْ يَتَمَاسَّا.

 

 

Beliau berkata: “Minimal konsekuensi bagi orang yang berpendapat bahwa hubungan intim di siang hari bulan puasa membatalkan puasa berdasarkan firman-Nya {sebelum mereka bercampur} Al-Mujadilah: 3 adalah ia harus meyakini bahwa kafarat dengan puasa dan memerdekakan budak tidak cukup setelah mereka bercampur.”

 

(قَالَ) : وَاَلَّذِي صَامَ شَهْرًا قَبْلَ الْتِمَاسٍ وَشَهْرًا بَعْدَهُ أَطَاعَ اللَّهَ فِي شَهْرٍ وَعَصَاهُ بِالْجِمَاعِ قَبْلَ شَهْرٍ يَصُومُهُ، وَأَنَّ مَنْ جَامَعَ قَبْلَ الشَّهْرِ الْآخَرِ مِنْهُمَا أَوْلَى أَنْ يَجُوزَ مِنْ الَّذِي عَصَى اللَّهَ بِالْجِمَاعِ قَبْلَ الشَّهْرَيْنِ مَعًا.

 

 

Beliau berkata: “Barangsiapa berpuasa satu bulan sebelum bertemu (istri) dan satu bulan setelahnya, maka dia telah taat kepada Allah pada satu bulan dan bermaksiat dengan berjima’ sebelum bulan yang dia puasai. Dan sesungguhnya orang yang berjima’ sebelum bulan yang lain dari keduanya lebih pantas untuk diperbolehkan daripada orang yang bermaksiat kepada Allah dengan berjima’ sebelum kedua bulan tersebut sekaligus.”

(Asy-Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata): “Sesungguhnya hukumnya dalam kafarat (tebusan) ketika dia mengkafarahi adalah seperti hukumnya dalam shalat ketika dia shalat.”

(قَالَ) : وَلَوْ دَخَلَ فِي الصَّوْمِ ثُمَّ أَيْسَرَ كَانَ لَهُ أَنْ يَمْضِيَ عَلَى الصِّيَامِ وَالِاخْتِيَارُ لَهُ أَنْ يَدَعَ الصَّوْمَ وَيُعْتِقَ.

 

Beliau berkata: “Seandainya dia telah memulai puasa kemudian mendapatkan kemudahan (harta), maka dia boleh melanjutkan puasanya. Namun, dia juga boleh memilih untuk membatalkan puasa dan membebaskan budak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ كَانَ الصَّوْمُ فَرْضَهُ مَا جَازَ اخْتِيَارُ إبْطَالِ الْفَرْضِ وَالرَّقَبَةُ فَرْضٌ، وَإِنْ وَجَدَهَا لَا غَيْرَهَا كَمَا إنَّ الْوُضُوءَ بِالْمَاءِ فَرْضٌ إذَا وَجَدَهُ لَا غَيْرَهُ وَلَا خِيَارَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ فَلَا يَخْلُو الدَّاخِلُ فِي الصَّوْمِ إذَا وَجَدَ الرَّقَبَةَ مِنْ أَنْ يَكُونَ بِمَعْنَاهُ الْمُتَقَدِّمِ فَلَا فَرْضَ عَلَيْهِ إلَّا الصَّوْمَ فَكَيْفَ يُجْزِئُهُ الْعِتْقُ وَهُوَ غَيْرُ فَرْضِهِ أَوْ يَكُونَ صَوْمُهُ قَدْ بَطَلَ لِوُجُودِ الرَّقَبَةِ فَلَا فَرْضَ إلَّا الْعِتْقَ فَكَيْفَ يُتِمُّ الصَّوْمَ فَيُجْزِئُهُ وَهُوَ غَيْرُ فَرْضِهِ فَلَمَّا لَمْ يَخْتَلِفُوا أَنَّهُ إذَا أَعْتَقَ أَدَّى فَرْضَهُ ثَبَتَ أَنْ لَا فَرْضَ عَلَيْهِ غَيْرَهُ وَفِي ذَلِكَ إبْطَالُ صَوْمِهِ كَمُعْتَدَّةٍ بِالشُّهُورِ فَإِذَا حَدَثَ الْحَيْضُ بَطَلَتْ الشُّهُورُ وَثَبَتَ حُكْمُ الْحَيْضِ عَلَيْهَا وَلَمَّا كَانَ وُجُودُ الرَّقَبَةِ يُبْطِلُ صَوْمَ الشَّهْرَيْنِ كَانَ وُجُودُهَا بَعْدَ الدُّخُولِ فِي الشُّهُورِ يُبْطِلُ مَا بَقِيَ مِنْ الشُّهُورِ، وَفِي ذَلِكَ دَلِيلُ أَنَّهُ إذَا وَجَدَ الرَّقَبَةَ بَعْدَ الدُّخُولِ بَطَلَ مَا بَقِيَ مِنْ الشَّهْرَيْنِ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Seandainya puasa adalah kewajibannya, tidak boleh memilih membatalkan kewajiban. Sedangkan memerdekakan budak adalah kewajiban, jika ia menemukannya dan tidak ada selain itu, sebagaimana wudhu dengan air adalah kewajiban jika air ada, tidak ada pilihan lain dalam hal ini antara dua perkara. Maka, orang yang telah memulai puasa jika menemukan budak tidak lepas dari dua kemungkinan: (1) sesuai makna sebelumnya, sehingga tidak ada kewajiban baginya selain puasa. Lalu bagaimana memerdekakan budak bisa mencukupinya padahal itu bukan kewajibannya? Atau (2) puasanya batal karena adanya budak, sehingga tidak ada kewajiban selain memerdekakan budak. Lalu bagaimana ia menyempurnakan puasa sehingga mencukupinya padahal itu bukan kewajibannya? Ketika para ulama tidak berselisih bahwa jika ia memerdekakan budak, ia telah menunaikan kewajibannya, maka terbukti tidak ada kewajiban lain baginya. Dalam hal ini, puasanya batal seperti wanita yang beriddah dengan bulan-bulan, lalu ketika haid terjadi, hitungan bulan itu batal dan hukum haid berlaku baginya. Karena keberadaan budak membatalkan puasa dua bulan, maka keberadaannya setelah memasuki hitungan bulan membatalkan sisa bulan-bulan tersebut. Dalam hal ini terdapat dalil bahwa jika ia menemukan budak setelah memulai puasa, sisa dua bulan itu batal.”

 

وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – بِهَذَا الْمَعْنَى زَعَمَ فِي الْأَمَةِ تُعْتَقُ وَقَدْ دَخَلَتْ فِي الْعِدَّةِ أَنَّهَا لَا تَكُونُ فِي عِدَّتِهَا حُرَّةً وَتَعْتَدُّ عِدَّةَ أَمَةٍ، وَفِي الْمُسَافِرِ يَدْخُلُ فِي الصَّلَاةِ ثُمَّ يُقِيمُ لَا يَكُونُ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ مُقِيمًا وَيَقْصُرُ ثُمَّ قَالَ: وَهَذَا أَشْبَهُ بِالْقِيَاسِ.

 

 

Imam Syafi’i -rahimahullah- telah berkata dalam makna ini: Ia berpendapat bahwa seorang budak perempuan yang dimerdekakan saat sedang menjalani masa iddah, tidak dianggap merdeka selama masa iddahnya dan tetap menjalani iddah sebagai budak. Begitu pula musafir yang memulai shalat dalam keadaan safar lalu menetap, tidak dianggap sebagai muqim di sebagian shalatnya dan tetap mengqashar. Kemudian beliau berkata: “Ini lebih sesuai dengan qiyas.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَهَذَا مَعْنَى مَا قُلْت وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

(Al-Muzani berkata) Inilah makna dari apa yang aku katakan, dan dengan pertolongan Allah lah kesuksesan.

 

وَلَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ: أَنْتَ حُرٌّ السَّاعَةَ عَنْ ظِهَارِي إنْ تظهرته كَانَ حُرًّا لِسَاعَتِهِ وَلَمْ يُجْزِئُهُ إنْ يتظهر؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ ظِهَارٌ وَلَمْ يَكُنْ سَبَبٌ مِنْهُ

 

 

Dan jika dia berkata kepada hambanya, “Kamu merdeka saat ini dari zhiharku jika kamu melakukan zhihar,” maka dia merdeka saat itu juga dan zhihar itu tidak sah baginya karena tidak ada zhihar yang terjadi dan tidak ada sebab darinya.

 

بَابُ الْكَفَّارَةُ بِالطَّعَامِ مِنْ كِتَابَيْ ظِهَارٍ

 

Bab Kafarat dengan Makanan dari Kitab Zihar.

 

قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فِيمَنْ تَظَهَّرَ وَلَمْ يَجِدْ رَقَبَةً وَلَمْ يَسْتَطِعْ حِينَ يُرِيدُ الْكَفَّارَةَ صَوْمَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ بِمَرَضٍ أَوْ عِلَّةٍ مَا كَانَتْ أَجْزَأَهُ أَنْ يُطْعِمَ وَلَا يُجْزِئُهُ أَقَلُّ مِنْ سِتِّينَ مِسْكِينًا كُلُّ مِسْكِينٍ مُدًّا مِنْ طَعَامِ بَلَدِهِ الَّذِي يُقْتَاتُ حِنْطَةً أَوْ شَعِيرًا أَوْ أُرْزًا أَوْ سَلْتًا أَوْ تَمْرًا أَوْ زَبِيبًا أَوْ أَقِطًا وَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يُعْطِيَهُمْ جُمْلَةً سِتِّينَ مُدًّا أَوْ أَكْثَرَ؛ لِأَنَّ أَخْذَهُمْ الطَّعَامَ يَخْتَلِفُ فَلَا أَدْرِي لَعَلَّ أَحَدَهُمْ يَأْخُذُ أَقَلَّ وَغَيْرُهُ أَكْثَرَ مَعَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إنَّمَا سَنَّ مَكِيلَةَ طَعَامٍ فِي كُلِّ مَا أُمِرَ بِهِ مِنْ كَفَّارَةٍ وَلَا يُجْزِئُهُ أَنْ يُعْطِيَهُمْ دَقِيقًا وَلَا سَوِيقًا وَلَا خُبْزًا حَتَّى يُعْطِيَهُمُوهُ حَبًّا وَسَوَاءً مِنْهُمْ الصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ، وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَلَا عَبْدًا وَلَا مُكَاتَبًا وَلَا أَحَدًا عَلَى غَيْرِ دِينِ الْإِسْلَامِ (وَقَالَ) فِي الْقَدِيمِ لَوْ عَلِمَ بَعْدَ إعْطَائِهِ أَنَّهُ غَنِيٌّ أَجْزَأَهُ ثُمَّ رَجَعَ إلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئُهُ.

 

 

Dalam perkara lama dan baru (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Barangsiapa yang jelas (melakukan pelanggaran) dan tidak menemukan budak (untuk dimerdekakan) serta tidak mampu ketika ingin menunaikan kafarat untuk berpuasa dua bulan berturut-turut karena sakit atau uzur apapun, maka cukup baginya untuk memberi makan. Namun tidak sah jika kurang dari enam puluh orang miskin, setiap orang miskin mendapat satu mud makanan negerinya yang biasa dimakan seperti gandum, sya’ir, beras, salt, kurma, kismis, atau aqith. Tidak sah pula jika memberikannya sekaligus enam puluh mud atau lebih, karena pembagian makanan mereka berbeda-beda. Aku tidak tahu, mungkin ada yang mengambil sedikit dan lainnya lebih banyak, padahal Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- hanya menetapkan takaran makanan dalam setiap kafarat yang diperintahkan. Tidak sah pula jika memberikannya dalam bentuk tepung, sawiq, atau roti, hingga diberikan dalam bentuk biji-bijian. Sama saja antara yang kecil dan besar (dari penerima). Tidak boleh memberikannya kepada orang yang wajib dinafkahinya, tidak kepada budak, mukatab, atau seorang pun yang bukan beragama Islam.” (Imam Syafi’i) juga berkata dalam pendapat lamanya: “Jika setelah memberikannya ia mengetahui bahwa penerimanya adalah orang kaya, maka sah kafaratnya.” Kemudian beliau rujuk bahwa hal itu tidak sah.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهَذَا أَقْيَسُ لِأَنَّهُ أَعْطَى مَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بَلْ حَرَّمَهُ عَلَيْهِ وَالْخَطَأُ عِنْدَهُ فِي الْأَمْوَالِ فِي حُكْمِ الْعَمْدِ إلَّا فِي الْمَأْثَمِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini lebih tepat karena ia memberikan kepada orang yang tidak ditetapkan oleh Allah Ta’ala untuknya, bahkan diharamkan baginya. Kesalahan dalam harta menurutnya dihukumi seperti kesengajaan, kecuali dalam hal dosa.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَيُكَفِّرُ بِالطَّعَامِ قَبْلَ الْمَسِيسِ؛ لِأَنَّهَا فِي مَعْنَى الْكَفَّارَةِ قَبْلَهَا، وَلَوْ أَعْطَى مِسْكِينًا مُدَّيْنِ مُدًّا عَنْ ظِهَارِهِ وَمُدًّا عَنْ الْيَمِينِ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُمَا كَفَّارَتَانِ مُخْتَلِفَتَانِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُكَفِّرَ إلَّا كَفَّارَةً كَامِلَةً مِنْ أَيِّ الْكَفَّارَاتِ كَفَّرَ، وَكُلُّ الْكَفَّارَاتِ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا تَخْتَلِفُ، وَفِي فَرْضِ اللَّهِ عَلَى لِسَانِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَكَيْفَ يَكُونُ بِمُدِّ مَنْ لَمْ يُولَدْ فِي عَهْدِهِ أَوْ مُدًّا أُحْدِثَ بَعْدَهُ وَإِنَّمَا قُلْت: مُدًّا لِكُلِّ مِسْكِينٍ لِحَدِيثِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْمُكَفِّرِ فِي رَمَضَانَ فَإِنَّهُ «أَتَى – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِعِرْقٍ فِيهِ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا فَقَالَ لِمُكَفِّرٍ: كَفِّرْ بِهِ» وَقَدْ أَعْلَمَهُ أَنَّ عَلَيْهِ إطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا فَهَذَا مَدْخَلُهُ وَكَانَتْ الْكَفَّارَةُ بِالْكَفَّارَةِ أَشْبَهَ فِي الْقِيَاسِ مِنْ أَنْ نَقِيسَهَا عَلَى فِدْيَةٍ فِي الْحَجِّ، وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ الْمُدُّ رَطْلَانِ بِالْحِجَازِيِّ وَقَدْ احْتَجَجْنَا فِيهِ مَعَ أَنَّ الْآثَارَ عَلَى مَا قُلْنَا فِيهِ وَأَمْرِ النَّاسِ بِدَارِ الْهِجْرَةِ وَمَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يَكُونَ أَعْلَمَ بِهَذَا مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): “Dan kaffarah (tebusan) bisa dilakukan dengan memberikan makanan sebelum bersetubuh, karena hal itu memiliki makna kaffarah sebelumnya. Jika seseorang memberi dua mud kepada seorang miskin, satu mud untuk kaffarah zhihar dan satu mud untuk kaffarah sumpah, itu sudah mencukupi karena keduanya adalah kaffarah yang berbeda. Tidak boleh melakukan kaffarah kecuali dengan kaffarah yang sempurna dari jenis kaffarah apapun yang dia lakukan. Semua kaffarah harus dengan mud Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan tidak berbeda. Dalam kewajiban Allah melalui lisan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan sunnah Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – terdapat petunjuk bahwa kaffarah harus dengan mud Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana mungkin menggunakan mud orang yang belum lahir di zamannya atau mud yang dibuat setelahnya? Aku mengatakan satu mud untuk setiap miskin berdasarkan hadits Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang orang yang melakukan kaffarah di bulan Ramadhan, dimana beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – membawakan satu wadah berisi lima belas sha’ lalu berkata kepada orang yang berkaffarah: ‘Tebuslah dengannya’, padahal beliau telah mengetahui bahwa orang itu wajib memberi makan enam puluh orang miskin. Inilah dasarnya. Kaffarah dengan kaffarah lebih sesuai dalam qiyas daripada mengqiyaskannya dengan fidyah dalam haji. Sebagian orang mengatakan satu mud sama dengan dua rithl Hijazi, dan kami telah berhujjah tentang hal itu meskipun banyak atsar yang mendukung pendapat kami. Perintah untuk mengikuti penduduk Darul Hijrah (Madinah), dan tidak sepatutnya ada orang yang lebih mengetahui hal ini daripada penduduk Madinah.”

 

وَقَالُوا أَيْضًا: لَوْ أَعْطَى مِسْكِينًا وَاحِدًا طَعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا فِي سِتِّينَ يَوْمًا أَجْزَأَهُ.

 

Dan mereka juga berkata: “Seandainya seseorang memberi makan seorang miskin dengan makanan yang cukup untuk enam puluh orang miskin dalam enam puluh hari, itu sudah mencukupi.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: لَئِنْ أَجْزَأَهُ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَهُوَ وَاحِدٌ لَيُجْزِئهُ فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ، فَقِيلَ لَهُ: أَرَأَيْت لَوْ قَالَ قَائِلٌ قَالَ اللَّهُ {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} الطلاق: 2 شَرْطَانِ عَدَدٌ وَشَهَادَةٌ فَأَنَا أُجِيزُ الشَّهَادَةَ دُونَ الْعَدَدِ، فَإِنْ شَهِدَ الْيَوْمَ شَاهِدٌ ثُمَّ عَادَ لِشَهَادَتِهِ فَهِيَ شَهَادَتَانِ فَإِنْ قَالَ: لَا حَتَّى يَكُونَا شَاهِدَيْنِ فَكَذَلِكَ لَا حَتَّى يَكُونُوا سِتِّينَ مِسْكِينًا، وَقَالَ أَيْضًا: لَوْ أَطْعَمَهُ أَهْلَ الذِّمَّةِ أَجْزَأَهُ فَإِنْ أَجْزَأَهُ فِي غَيْرِ الْمُسْلِمِينَ وَقَدْ أَوْصَى اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِالْأَسِيرِ فَلِمَ لَا يُجْزِئُ أَسِيرَ الْمُسْلِمِينَ الْحَرْبِيُّ وَالْمُسْتَأْمَنُونَ إلَيْهِمْ، وَقَالَ: لَوْ غَدَّاهُمْ أَوْ عَشَّاهُمْ، وَإِنْ تَفَاوَتَ أَكْلُهُمْ فَأَشْبَعَهُمْ أَجْزَأَ، وَإِنْ أَعْطَاهُمْ قِيمَةَ الطَّعَامِ عَرَضًا أَجْزَأَ فَإِنَّهُ أَتْرَكَ مَا نَصَتَ السُّنَّةُ مِنْ الْمَكِيلَةِ فَأَطْعَمَ سِتِّينَ صَبِيًّا أَوْ رِجَالًا مَرْضَى أَوْ مَنْ لَا يُشْبِعُهُمْ إلَّا إضْعَافُ الْكَفَّارَةِ فَمَا يَقُولُ إذَا أَعْطَى عَرَضًا مَكَانَ الْمَكِيلَةِ لَوْ كَانَ مُوسِرًا يُعْتِقُ رَقَبَةً فَتَصَدَّقَ بِقِيمَتِهَا فَإِنْ أَجَازَ هَذَا فَقَدْ أَجَازَ الْإِطْعَامَ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى الرَّقَبَةِ، وَإِنْ زَعَمَ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ إلَّا رَقَبَةً فَلِمَ جَوَّزَ الْعَرَضَ وَإِنَّمَا السُّنَّةُ مَكِيلَةُ طَعَامٍ مَعْرُوفَةٌ وَإِنَّمَا يَلْزَمُهُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ هَذَا أَنْ يُحِيلَ الصَّوْمَ وَهُوَ مُطِيقٌ لَهُ إلَى الضِّدِّ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Jika satu orang cukup dalam setiap hari, maka itu juga cukup dalam satu kesempatan.” Lalu dikatakan kepadanya: “Bagaimana pendapatmu jika seseorang berkata bahwa Allah berfirman {Dan persaksikanlah dua orang yang adil di antara kamu} At-Talaq: 2, syaratnya adalah jumlah dan kesaksian. Aku membolehkan kesaksian tanpa jumlah. Jika seorang saksi bersaksi hari ini, lalu kembali untuk kesaksiannya, maka itu dihitung dua kesaksian. Jika dikatakan: ‘Tidak, sampai ada dua saksi,’ maka demikian pula tidak sampai ada enam puluh orang miskin.”

 

Dia juga berkata: “Jika dia memberi makan kepada ahli dzimah, itu sudah mencukupinya. Jika itu mencukupi untuk non-Muslim, sedangkan Allah telah memerintahkan untuk memberi makan tawanan, mengapa tidak cukup jika tawanan Muslim diberi makan oleh orang kafir harbi atau musta’man?”

 

Dia juga berkata: “Jika dia memberi mereka makan pagi atau sore, meskipun jumlah makannya berbeda, asal mengenyangkan, itu sudah cukup. Jika dia memberi mereka nilai makanan dalam bentuk barang, itu juga cukup. Dia meninggalkan apa yang ditetapkan Sunnah tentang takaran, lalu memberi makan enam puluh anak kecil, atau orang sakit, atau orang yang tidak bisa dikenyangkan kecuali dengan melipatgandakan kafarah. Apa pendapatnya jika dia memberi barang sebagai pengganti takaran? Seandainya dia mampu memerdekakan budak, lalu bersedekah dengan nilainya, jika ini dibolehkan, maka memberi makan juga dibolehkan meskipun dia mampu memerdekakan budak. Jika dia berpendapat bahwa hanya budak yang boleh, mengapa dia membolehkan barang? Padahal Sunnahnya adalah takaran makanan yang diketahui. Menurut qiyas pendapatnya ini, dia harus mengubah puasa—yang dia mampu—menjadi sebaliknya.”

 

كِتَاب اللِّعَانِ

 

مُخْتَصَرٌ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابَيْ لِعَانٍ جَدِيدٍ وَقَدِيمٍ، وَمَا دَخَلَ فِيهِمَا مِنْ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ اخْتِلَافِ الْحَدِيثِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ} النور: 6 إلَى قَوْلِهِ {أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ} النور: 9 قَالَ: فَكَانَ بَيِّنًا – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – فِي كِتَابِهِ أَنَّهُ أَخْرَجَ الزَّوْجَ مِنْ قَذْفِ الْمَرْأَةِ بِالْتِعَانِهِ كَمَا أَخْرَجَ قَاذِفَ الْمُحْصَنَةِ غَيْرَ الزَّوْجَةِ بِأَرْبَعَةِ شُهُودٍ مِمَّا قَذَفَهَا بِهِ، وَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ أَنْ لَيْسَ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَلْتَعِنَ حَتَّى تَطْلُبَ الْمَقْذُوفَةُ كَمَا لَيْسَ عَلَى قَاذِفِ الْأَجْنَبِيَّةِ حَدٌّ حَتَّى تَطْلُبَ حَدَّهَا قَالَ: وَلَمَّا لَمْ يَخُصَّ اللَّهُ أَحَدًا مِنْ الْأَزْوَاجِ دُونَ غَيْرِهِ وَلَمْ يَدُلَّ عَلَى ذَلِكَ سُنَّةٌ وَلَا إجْمَاعٌ كَانَ عَلَى كُلِّ زَوْجٍ جَازَ طَلَاقُهُ وَلَزِمَهُ الْفَرْضُ، وَكَذَلِكَ كُلُّ زَوْجَةٍ لَزِمَهَا الْفَرْضُ وَلِعَانُهُمْ كُلِّهِمْ سَوَاءٌ لَا يَخْتَلِفُ الْقَوْلُ فِيهِ وَالْفُرْقَةُ وَنَفْيُ الْوَلَدِ.

 

 

Ringkasan dari Al-Jami’ dari dua kitab Li’an (baru dan lama), serta apa yang termasuk di dalamnya mengenai perceraian dari hukum-hukum Al-Qur’an dan perbedaan hadis. (Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri…” (QS. An-Nur: 6) hingga firman-Nya: “…bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar.” (QS. An-Nur: 9). Beliau berkata: Maka telah jelas – wallahu a’lam – dalam Kitab-Nya bahwa Allah mengeluarkan suami dari tuduhan terhadap istri dengan li’an, sebagaimana Dia mengeluarkan penuduh wanita merdeka selain istri dengan empat saksi dari apa yang dituduhkannya. Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa tidak wajib bagi suami untuk melakukan li’an sampai wanita yang dituduh memintanya, sebagaimana tidak ada hukuman bagi penuduh wanita asing sampai dia menuntut hukumannya. Beliau berkata: Ketika Allah tidak mengkhususkan seorang suami pun di atas yang lain, dan tidak ada sunnah atau ijma’ yang menunjukkan hal itu, maka setiap suami yang sah perceraiannya wajib melakukan li’an. Demikian pula setiap istri wajib melakukan li’an, dan li’an mereka semua sama, tidak berbeda pendapat mengenai hal itu, serta perceraian dan penafian anak.

 

 

وَتَخْتَلِفُ الْحُدُودُ لِمَنْ وَقَعَتْ لَهُ وَعَلَيْهِ وَسَوَاءٌ قَالَ: زَنَتْ، أَوْ رَأَيْتهَا تَزْنِي أَوْ يَا زَانِيَةُ كَمَا يَكُونُ ذَلِكَ سَوَاءً إذَا قَذَفَ أَجْنَبِيَّةً، وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ إمْلَاءً عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ، وَلَوْ جَاءَتْ بِحَمْلٍ وَزَوْجُهَا صَبِيٌّ دُونَ الْعَشْرِ لَمْ يَلْزَمْهُ؛ لِأَنَّ الْعِلْمَ يُحِيطُ أَنَّهُ لَا يُولَدُ لِمِثْلِهِ، وَإِنْ كَانَ ابْنَ عَشْرِ سِنِينَ وَأَكْثَرَ، وَكَانَ يُمْكِنُ أَنْ يُولَدَ لَهُ كَانَ لَهُ حَتَّى يَبْلُغَ فَيَنْفِيَهُ بِلِعَانٍ أَوْ يَمُوتَ قَبْلَ الْبُلُوغِ فَيَكُونَ وَلَدُهُ، وَلَوْ كَانَ بَالِغًا مَجْبُوبًا كَانَ لَهُ إلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِلِعَانٍ؛ لِأَنَّ الْعِلْمَ لَا يُحِيطُ أَنَّهُ لَا يُحْمَلُ لَهُ، وَلَوْ قَالَ: قَذَفْتُك وَعَقْلِي ذَاهِبٌ فَهُوَ قَاذِفٌ إلَّا إنْ عُلِمَ أَنَّ ذَلِكَ يُصِيبُهُ فَيُصَدَّقُ.

 

 

Hukuman had berbeda bagi orang yang menerima atau menjalankannya, baik ia mengatakan, “Dia berzina,” atau “Aku melihatnya berzina,” atau “Wahai pezina!” sebagaimana hal itu sama jika ia menuduh perempuan asing berzina. Dia juga berkata dalam kitab nikah dan talak sebagai dikte atas masalah-masalah Malik. Jika seorang istri datang membawa kandungan sementara suaminya masih anak-anak di bawah sepuluh tahun, maka anak itu tidak dianggap sebagai anaknya, karena pengetahuan umum menyatakan bahwa anak seperti itu tidak mungkin lahir darinya. Namun, jika suaminya berusia sepuluh tahun atau lebih dan memungkinkan baginya untuk memiliki anak, maka anak itu dianggap sebagai anaknya sampai ia baligh dan menafikannya dengan li’an atau ia meninggal sebelum baligh sehingga anak itu tetap dianggap sebagai anaknya. Jika suaminya sudah baligh tetapi impoten, anak itu tetap dianggap sebagai anaknya kecuali jika ia menafikannya dengan li’an, karena pengetahuan umum tidak memastikan bahwa kehamilan tidak mungkin terjadi darinya. Jika seseorang mengatakan, “Aku menuduhmu (berzina) sedang akalku hilang,” maka ia tetap dianggap sebagai penuduh, kecuali jika diketahui bahwa ia memang mengalami gangguan akal, maka perkataannya dipercaya.

 

 

وَيُلَاعِنُ الْأَخْرَسُ إذَا كَانَ يَعْقِلُ الْإِشَارَةَ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: لَا يُلَاعِنُ، وَإِنْ طَلَّقَ وَبَاعَ بِإِيمَاءٍ أَوْ بِكِتَابٍ يُفْهَمُ جَازَ قَالَ: وَأَصْمَتَتْ أُمَامَةُ بِنْتُ أَبِي الْعَاصِ فَقِيلَ لَهَا: لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا؛ فَأَشَارَتْ أَنْ نَعَمْ فَرُفِعَ ذَلِكَ فَرَأَيْت أَنَّهَا وَصِيَّةٌ.

 

 

Orang bisu boleh melaknat (li’an) jika ia memahami isyarat. Sebagian orang berpendapat tidak boleh melaknat. Namun, jika ia menceraikan atau menjual dengan isyarat atau tulisan yang dipahami, itu diperbolehkan. Dikisahkan bahwa Umamah binti Abi Al-Ash diam, lalu dikatakan padanya, “Untuk si fulan begini, untuk si fulan begitu.” Ia pun mengangguk tanda setuju. Hal itu kemudian diajukan, dan aku berpendapat itu adalah wasiat.

 

 

قَالَ: وَلَوْ كَانَتْ مَغْلُوبَةً عَلَى عَقْلِهَا فَالْتَعَنَ وَقَعَتْ الْفُرْقَةُ وَنَفْيُ الْوَلَدِ إنْ انْتَفَى مِنْهُ وَلَا تُحَدُّ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِمَّنْ عَلَيْهِ الْحُدُودُ، وَلَوْ طَلَبَهُ وَلِيُّهَا أَوْ كَانَتْ امْرَأَتُهُ أَمَةً فَطَلَبَهُ سَيِّدُهَا لَمْ يَكُنْ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا فَإِنْ مَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَعْفُوَ عَنْهُ فَطَلَبَهُ وَلِيُّهَا كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يَلْتَعْنَ أَوْ يُحَدَّ لِلْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ وَيُعَزَّرَ لِغَيْرِهَا، وَلَوْ الْتَعَنَ وَأَبَيْنَ اللِّعَانَ فَعَلَى الْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ الْحَدُّ وَالْمَمْلُوكَةِ نِصْفُ الْحَدِّ وَنَفْيُ نِصْفِ سَنَةٍ وَلَا لِعَانَ عَلَى الصَّبِيَّةِ؛ لِأَنَّهُ لَا حَدَّ عَلَيْهَا.

 

 

Beliau berkata: “Jika wanita itu tidak waras akalnya lalu terjadi li’an, maka terjadilah perceraian dan penafian anak jika dinafikan darinya, dan dia tidak dihukum had karena dia bukan termasuk orang yang terkena had. Jika walinya menuntut li’an atau istrinya seorang budak lalu tuannya menuntut li’an, maka tidak ada li’an bagi salah satu dari mereka. Jika wanita itu meninggal sebelum memaafkannya lalu walinya menuntut li’an, maka suami harus melakukan li’an atau dihukum had untuk wanita merdeka yang sudah balig, dan dita’zir untuk selainnya. Jika suami melakukan li’an tetapi wanita itu menolak li’an, maka wanita merdeka yang balig dihukum had, budak mendapat separuh had dan diasingkan selama setengah tahun, serta tidak ada li’an bagi anak kecil karena tidak ada had atasnya.”

 

 

وَلَا أَجْبُرُ الذِّمِّيَّةَ عَلَى اللِّعَانِ إلَّا أَنْ تَرْغَبَ فِي حُكْمِنَا فَتَلْتَعِنْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ حَدَدْنَاهَا إنْ ثَبَتَتْ عَلَى الرِّضَا بِحُكْمِنَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – أَوْلَى بِهِ أَنْ يَحُدَّهَا لِأَنَّهَا رَضِيَتْ وَلَزِمَهَا حُكْمُنَا، وَلَوْ كَانَ الْحُكْمُ إذَا بُتَّ عَلَيْهَا فَأَبَتْ الرِّضَا بِهِ سَقَطَ عَنْهَا لَمْ يَجْرِ عَلَيْهَا حُكْمُنَا أَبَدًا؛ لِأَنَّهَا تَقْدِرُ إذَا لَزِمَهَا بِالْحُكْمِ مَا تَكْرَهُ أَنْ لَا تُقِيمَ عَلَى الرِّضَا، وَلَوْ قَدَرَ اللَّذَانِ حَكَمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَيْهِمَا بِالرَّجْمِ مِنْ الْيَهُودِ عَلَى أَنْ لَا يَرْجُمَهُمَا بِتَرْكِ الرِّضَا لَفَعَلَا إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى (وَقَالَ) فِي الْإِمْلَاءِ فِي النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ إنْ أَبَتْ أَنْ تُلَاعِنَ حَدَدْنَاهَا.

 

 

Dan aku tidak memaksa ahli dzimmi untuk melakukan li’an kecuali mereka menghendaki hukum kami, maka mereka boleh melakukan li’an. Jika tidak melakukannya, kami akan memberikan hukuman had jika mereka tetap menerima hukum kami. (Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata) lebih utama untuk memberikan had karena dia telah menerima dan terikat dengan hukum kami. Seandainya hukum itu ketika diputuskan atasnya lalu dia menolak menerimanya, maka gugur darinya dan hukum kami tidak akan berlaku atasnya selamanya. Karena dia bisa, ketika terikat dengan hukum yang tidak disukainya, untuk tidak tetap menerimanya. Seandainya dua orang Yahudi yang dihukum rajam oleh Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mampu untuk tidak dirajam dengan cara menolak menerima hukum, tentu mereka akan melakukannya insya Allah. (Dan dia berkata) dalam imla’ tentang nikah dan talak menurut masalah-masalah Malik: jika dia menolak untuk melakukan li’an, kami akan memberinya hukuman had.

 

 

وَلَوْ كَانَتْ امْرَأَتُهُ مَحْدُودَةً فِي زِنًا فَقَذَفَهَا بِذَلِكَ الزِّنَا أَوْ بِزِنًا كَانَ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ عُزِّرَ إنْ طَلَبَتْ ذَلِكَ وَلَمْ يَلْتَعِنْ، وَإِنْ أَنْكَرَ أَنْ يَكُونَ قَذَفَهَا فَجَاءَتْ بِشَاهِدَيْنِ لَاعَنَ وَلَيْسَ جُحُودُهُ الْقَذْفَ إكْذَابًا لِنَفْسِهِ، وَلَوْ قَذَفَهَا ثُمَّ بَلَغَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَدٌّ وَلَا لِعَانٌ وَلَوْ قَذَفَهَا فِي عِدَّةٍ يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا فِيهَا فَعَلَيْهِ اللِّعَانُ، وَلَوْ بَانَتْ فَقَذَفَهَا بِزِنًا نَسَبَهُ إلَى أَنَّهُ كَانَ وَهِيَ زَوْجَتُهُ حُدَّ وَلَا لِعَانَ إلَّا أَنْ يَنْفِيَ بِهِ وَلَدًا أَوْ حَمْلًا فَيَلْتَعِنْ، فَإِنْ قِيلَ: فَلِمَ لَاعَنْت بَيْنَهُمَا وَهِيَ بَائِنٌ إذَا ظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ؟ قِيلَ: كَمَا أَلْحَقْت الْوَلَدَ؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ زَوْجَتَهُ فَكَذَلِكَ لَاعَنْت بَيْنَهُمَا؛ لِأَنَّهَا كَانَتْ زَوْجَتَهُ أَلَا تَرَى أَنَّهَا إنْ وَلَدَتْ بَعْدَ بَيْنُونَتِهَا كَهِيَ وَهِيَ تَحْتَهُ وَإِذَا نَفَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْوَلَدَ وَهِيَ زَوْجَةٌ فَإِذَا زَالَ الْفِرَاشُ كَانَ الْوَلَدُ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ أَوْلَى أَنْ يُنْفَى أَوْ فِي مِثْلِ حَالِهِ قَبْلَ أَنْ تَبَيَّنَ.

 

 

Jika istrinya telah dihukum karena zina, lalu dia menuduhnya dengan zina tersebut atau dengan zina yang terjadi di luar kepemilikannya, maka dia dihukum ta’zir jika istri menuntutnya dan tidak melakukan li’an. Jika dia mengingkari tuduhannya, lalu istri mendatangkan dua saksi, maka dilakukan li’an, dan pengingkarannya terhadap tuduhan bukan berarti mendustakan dirinya. Jika dia menuduhnya kemudian rujuk, maka tidak ada had atau li’an atasnya. Jika dia menuduhnya dalam masa iddah yang masih memungkinkan rujuk, maka wajib li’an. Jika dia telah berpisah lalu menuduhnya dengan zina yang dinisbatkan saat masih menjadi istrinya, maka dia dihukum had tanpa li’an, kecuali jika dia ingin menafikan anak atau kandungan, maka dilakukan li’an. Jika ditanya: Mengapa engkau melakukan li’an antara keduanya padahal dia sudah berpisah ketika muncul kandungan? Dijawab: Sebagaimana engkau menghubungkan anak, karena dia pernah menjadi istrinya, begitu pula li’an dilakukan antara mereka karena dia pernah menjadi istrinya. Tidakkah engkau melihat bahwa jika dia melahirkan setelah perpisahan, statusnya sama seperti saat masih menjadi istrinya? Dan ketika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menafikan anak padahal dia masih istri, maka ketika hilang tempat tidur (pernikahan), anak setelah perpisahan lebih pantas untuk dinafikan atau dalam keadaan serupa sebelumnya.

 

 

وَلَوْ قَالَ: أَصَابَكِ رَجُلٌ فِي دُبُرِكِ حُدَّ أَوْ لَاعَنَ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: يَا زَانِيَةُ بِنْتُ الزَّانِيَةِ وَأُمُّهَا حُرَّةٌ مُسْلِمَةٌ فَطَلَبَتْ حَدَّ أُمِّهَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهَا وَحُدَّ لِأُمِّهَا إذَا طَلَبَتْهُ أَوْ وَكِيلُهَا وَالْتَعَنَ لِامْرَأَتِهِ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ حُبِسَ حَتَّى يَبْرَأَ جِلْدُهُ فَإِذَا بَرِئَ حُدَّ إلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ وَمَتَى أَبَى اللِّعَانَ فَحَدَدْته إلَّا سَوْطًا ثُمَّ قَالَ: أَنَا أَلْتَعِنُ قَبِلْت رُجُوعَهُ وَلَا شَيْءَ لَهُ فِيمَا مَضَى مِنَ الضَّرْبِ كَمَا يَقْذِفُ الْأَجْنَبِيَّةَ وَيَقُولُ: لَا آتِي بِشُهُودٍ فَيُضْرَبُ بَعْضَ الْحَدِّ ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا آتِي بِهِمْ فَيَكُونُ ذَلِكَ لَهُ وَكَذَلِكَ الْمَرْأَةُ إذَا لَمْ تَلْتَعِنْ فَضُرِبَتْ بَعْضَ الْحَدِّ ثُمَّ تَقُولُ: أَنَا أَلْتَعِنُ قَبِلْنَا.

 

 

Dan jika dia berkata, “Seorang laki-laki mencampurimu di duburmu,” maka dia dihukum had atau dilaknat. Dan jika dia berkata kepadanya, “Wahai pezina, anak pezina,” sementara ibunya adalah seorang muslimah merdeka, lalu dia menuntut had untuk ibunya, maka hal itu tidak berlaku baginya, tetapi had dijatuhkan kepada ibunya jika dia menuntutnya atau walinya. Dan dia (suami) harus melaknat istrinya. Jika dia tidak melaknat, dia dipenjara hingga kulitnya sembuh. Jika sudah sembuh, dia dihukum had kecuali jika dia melaknat. Dan jika dia menolak laknat, maka dia dihukum had kecuali dengan cambuk. Kemudian jika dia berkata, “Aku akan melaknat,” maka kami menerima pembatalannya, dan tidak ada konsekuensi atas pukulan yang sudah dilakukan sebelumnya. Sebagaimana jika dia menuduh perempuan asing berzina dan berkata, “Aku tidak akan mendatangkan saksi,” lalu dia dipukul sebagian had, kemudian dia berkata, “Aku akan mendatangkan mereka,” maka hal itu diperbolehkan baginya. Begitu pula jika perempuan tidak melaknat, lalu dipukul sebagian had, kemudian dia berkata, “Aku akan melaknat,” maka kami menerimanya.

 

 

وَقَالَ قَائِلٌ: كَيْفَ لَاعَنْت بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْكُوحَةٍ نِكَاحًا فَاسِدًا بِوَلَدٍ وَاَللَّهُ يَقُولُ {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} النور: 6 فَقُلْت لَهُ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ» فَلَمْ يَخْتَلِفْ الْمُسْلِمُونَ أَنَّهُ مَالِكُ الْإِصَابَةِ بِالنِّكَاحِ الصَّحِيحِ أَوْ مِلْكِ الْيَمِينِ قَالَ: نَعَمْ هَذَا الْفِرَاشُ قُلْت: وَالزِّنَا لَا يَلْحَقُ بِهِ النَّسَبُ وَلَا يَكُونُ بِهِ مَهْرٌ وَلَا يُدْرَأُ فِيهِ حَدٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْت: فَإِذَا حَدَثَتْ نَازِلَةٌ لَيْسَتْ بِالْفِرَاشِ الصَّحِيحِ وَلَا الزِّنَا الصَّرِيحِ وَهُوَ النِّكَاحُ الْفَاسِدُ أَلَيْسَ سَبِيلُهَا أَنْ نَقِيسَهَا بِأَقْرَبِ الْأَشْيَاءِ بِهَا شَبَهًا؟ قَالَ: نَعَمْ قُلْت: فَقَدْ أَشْبَهَ الْوَلَدُ عَنْ وَطْءٍ بِشُبْهَةٍ الْوَلَدَ عَنْ نِكَاحٍ صَحِيحٍ فِي إثْبَاتِ الْوَلَدِ وَإِلْزَامِ الْمَهْرِ وَإِيجَابِ الْعِدَّةِ فَكَذَلِكَ يَشْتَبِهَانِ فِي النَّفْيِ بِاللِّعَانِ.

 

 

Dan seseorang berkata: “Bagaimana engkau melakukan li’an antara dia dan seorang wanita yang dinikahi dengan nikah yang fasid (tidak sah) dengan adanya anak, padahal Allah berfirman {Dan orang-orang yang menuduh istrinya} (QS. An-Nur: 6)?” Maka aku berkata kepadanya: Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Anak itu milik pemilik kasur (suami), dan bagi pezina hanya mendapat batu.” Kaum Muslimin tidak berselisih bahwa anak itu milik suami dalam pernikahan yang sah atau budak yang dimiliki. Beliau berkata: “Ya, ini adalah kasur (pernikahan sah).” Aku berkata: “Dan zina tidak menyebabkan nasab, tidak ada mahar, dan tidak menghilangkan hukuman had?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Jika terjadi peristiwa yang bukan termasuk kasur yang sah maupun zina yang jelas, yaitu nikah yang fasid, bukankah solusinya adalah kita mengqiyaskannya dengan hal yang paling mirip?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Maka anak yang lahir dari hubungan syubhat menyerupai anak dari nikah sah dalam penetapan nasab, kewajiban mahar, dan wajibnya iddah, begitu pula keduanya serupa dalam penafian nasab melalui li’an.”

 

 

وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: لَا يُلَاعِنُ إلَّا حُرَّانِ مُسْلِمَانِ لَيْسَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا مَحْدُودًا فِي قَذْفٍ وَتَرْكِ ظَاهِرِ الْقُرْآنِ، وَاعْتَلَّ بِأَنَّ اللِّعَانَ شَهَادَةٌ وَإِنَّمَا هُوَ يَمِينٌ، وَلَوْ كَانَ شَهَادَةً مَا جَازَ أَنْ يَشْهَدَ أَحَدٌ لِنَفْسِهِ وَلَكَانَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى النِّصْفِ مِنْ شَهَادَةِ الرَّجُلِ وَلَا كَانَ عَلَى شَاهِدِ يَمِينٍ وَلَمَا جَازَ الْتِعَانُ الْفَاسِقِينَ؛ لِأَنَّ شَهَادَتَهُمَا لَا تَجُوزُ فَإِنْ قِيلَ: قَدْ يَتُوبَانِ فَيَجُوزَانِ قِيلَ: فَكَذَلِكَ الْعَبْدَانِ الصَّالِحَانِ قَدْ يُعْتَقَانِ فَيَجُوزَانِ مَكَانَهُمَا وَالْفَاسِقَانِ لَوْ تَابَا لَمْ يُقْبَلَا إلَّا بَعْدَ طُولِ مُدَّةٍ يُخْتَبَرَانِ فِيهَا فَلَزِمَهُمْ أَنْ يُجِيزُوا لِعَانَ الأعميين النَّحِيفَيْنِ؛ لِأَنَّ شَهَادَتَهُمَا عِنْدَهُمْ لَا تَجُوزُ أَبَدًا كَمَا لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ الْمَحْدُودَيْنِ

 

 

Sebagian orang berkata: “Li’an (sumpah kutuk) hanya berlaku antara dua orang merdeka yang muslim, di mana tidak satu pun dari keduanya terkena hukuman had dalam kasus qadzaf (menuduh zina) dan tidak meninggalkan zhahir Al-Qur’an.” Mereka beralasan bahwa li’an adalah bentuk kesaksian, padahal ia adalah sumpah. Seandainya ia berupa kesaksian, tidak boleh seseorang bersaksi untuk dirinya sendiri, dan kesaksian wanita harus setengah dari kesaksian laki-laki, serta tidak ada saksi dalam sumpah. Juga, li’an tidak boleh dilakukan oleh orang fasik karena kesaksian mereka tidak sah. Jika dikatakan: “Mereka mungkin bertaubat sehingga diperbolehkan,” maka dijawab: “Demikian pula dua budak yang shaleh, jika dimerdekakan, mereka boleh berada di posisi tersebut. Sedangkan orang fasik meski bertaubat, tidak diterima kecuali setelah masa panjang untuk diuji.” Maka konsekuensinya, mereka harus membolehkan li’an dua orang buta yang kurus, karena menurut mereka kesaksian kedua orang buta tidak sah selamanya sebagaimana kesaksian orang yang terkena had.

 

بَابُ أَيْنَ يَكُونُ اللِّعَانُ

 

Bab Di Mana Terjadi Li’an

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : رُوِيَ «عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ لَاعَنَ بَيْنَ الزَّوْجَيْنِ عَلَى الْمِنْبَرِ» قَالَ: فَإِذَا لَاعَنَ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا فِي مَكَّةَ فَبَيْنَ الْمَقَامِ وَالْبَيْتِ أَوْ بِالْمَدِينَةِ فَعَلَى الْمِنْبَرِ أَوْ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ فَفِي مَسْجِدِهِ وَكَذَا كُلِّ بَلَدٍ قَالَ: وَيَبْدَأُ فَيُقِيمُ الرَّجُلَ قَائِمًا وَالْمَرْأَةُ جَالِسَةً فَيَلْتَعِنُ ثُمَّ يُقِيمُ الْمَرْأَةَ قَائِمَةً فَتَلْتَعِنُ إلَّا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا فَعَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ أَوْ كَانَتْ مُشْرِكَةً الْتَعَنَتْ فِي الْكَنِيسَةِ وَحَيْثُ تُعَظِّمُ، وَإِنْ شَاءَتْ الْمُشْرِكَةُ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسَاجِدِ كُلِّهَا حَضَرَتْهُ إلَّا أَنَّهَا لَا تَدْخُلُ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا} التوبة: 28 .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau melaksanakan li’an antara suami istri di atas mimbar. Beliau berkata: Jika hakim melaksanakan li’an antara keduanya di Makkah, maka dilakukan antara Maqam Ibrahim dan Ka’bah. Jika di Madinah, maka di atas mimbar. Jika di Baitul Maqdis, maka di masjidnya. Demikian pula di setiap negeri. Beliau berkata: Dimulai dengan memposisikan suami berdiri dan istri duduk, lalu suami melaknat. Kemudian istri diposisikan berdiri lalu melaknat, kecuali jika ia sedang haid maka dilakukan di pintu masjid. Jika istri musyrik, maka li’an dilakukan di gereja atau tempat yang ia agungkan. Jika wanita musyrik ingin menghadiri li’an di semua masjid, ia boleh hadir kecuali Masjidil Haram, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.” (QS. At-Taubah: 28).

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا جَعَلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَعَسَى بِهَا مَعَ شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتْ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika diperbolehkan bagi wanita musyrik untuk hadir di masjid, sementara bisa saja dalam keadaan musyrik ia sedang haid, maka wanita muslimah lebih berhak untuk itu.”

(قَالَ) : وَإِنْ كَانَا مُشْرِكَيْنِ وَلَا دِينَ لَهُمَا تَحَاكَمَا إلَيْنَا لَاعَنَ بَيْنَهُمَا فِي مَجْلِسِ الْحُكْمِ

 

Beliau berkata: “Meskipun keduanya musyrik dan tidak memiliki agama, lalu mereka berhukum kepada kami, maka lakukanlah li’an antara keduanya di majelis hukum.”

 

Teks Asli بَابُ سُنَّةُ اللِّعَانِ وَنَفْيُ الْوَلَدِ وَإِلْحَاقُهُ بِالْأُمِّ وَغَيْرُ ذَلِكَ

Terjemahan Bab tentang sunnah li’an, penafian anak, dan penyandarannya kepada ibu serta hal-hal lainnya.

 

مِنْ كِتَابَيْ لِعَانٍ جَدِيدٍ وَقَدِيمٍ وَمِنْ اخْتِلَافِ الْحَدِيثِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – «أَنَّ رَجُلًا لَاعَنَ امْرَأَتَهُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فَفَرَّقَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَهُمَا وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالْمَرَأَةِ» وَقَالَ سَهْلٌ وَابْنُ شِهَابٍ: فَكَانَتْ تِلْكَ سُنَّةَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ.

 

 

Dari dua kitab li’an yang baru dan lama, serta dari perbedaan hadis (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – Malik mengabarkan kepada kami dari Nafi’ dari Ibnu Umar – radhiyallahu ‘anhuma – “bahwa seorang menuduh istrinya berzina di zaman Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan mengingkari anaknya, maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memisahkan antara keduanya dan menetapkan anak tersebut sebagai anak sang wanita.” Sahl dan Ibnu Syihab berkata: “Maka itulah sunnah bagi dua orang yang saling melaknat (berli’an).”

(Asy-Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata): “Makna perkataan keduanya adalah perpisahan tanpa talak dari suami.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَمَعْنَى قَوْلِهِمَا: فُرْقَةٌ بِلَا طَلَاقِ الزَّوْجِ.

 

(قَالَ) : وَتَفْرِيقُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – غَيْرُ فُرْقَةِ الزَّوْجِ إنَّمَا هُوَ تَفْرِيقُ حُكْمٍ.

 

 

Beliau berkata: “Pemisahan yang dilakukan oleh Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bukanlah perceraian suami-istri, melainkan pemisahan berdasarkan keputusan hukum.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «اللَّهُ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ؟» فَحَكَمَ عَلَى الصَّادِقِ وَالْكَاذِبِ حُكْمًا وَاحِدًا وَأَخْرَجَهُمَا مِنْ الْحَدِّ وَقَالَ «وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أُدَيْعِجَ فَلَا أُرَاهُ إلَّا قَدْ صَدَقَ عَلَيْهَا فَجَاءَتْ بِهِ عَلَى النَّعْتِ الْمَكْرُوهِ فَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – إنَّ أَمْرَهُ لَبَيِّنٌ لَوْلَا مَا حَكَمَ اللَّهُ» فَأَخْبَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ لَمْ يَسْتَعْمِلْ دَلَالَةَ صِدْقِهِ عَلَيْهَا وَحَكَمَ بِالظَّاهِرِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَمَنْ بَعْدَهُ مِنْ الْوُلَاةِ أَوْلَى أَنْ لَا يَسْتَعْمِلَ دَلَالَةً فِي مِثْلِ هَذَا الْمَعْنَى وَلَا يَقْضِيَ إلَّا بِالظَّاهِرِ أَبَدًا.

 

 

Dia (Nabi) berkata: Dan ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Allah tahu bahwa salah satu dari kalian berdua berdusta, maka adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Lalu beliau memberikan keputusan yang sama terhadap yang jujur dan yang dusta, serta membebaskan keduanya dari hukuman. Beliau juga bersabda, “Jika dia (wanita itu) melahirkan anak yang berkulit hitam legam, maka aku tidak melihat kecuali bahwa dia telah benar.” Maka wanita itu pun melahirkan anak dengan ciri yang tidak diinginkan (hitam). Lalu Nabi -‘alaihis salam- bersabda, “Sungguh perkaranya jelas, seandainya bukan karena ketetapan Allah.” Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberitahukan bahwa beliau tidak menggunakan indikasi kebenaran suaminya terhadapnya, dan memutuskan berdasarkan yang zahir antara suami dan istri. Maka para pemimpin setelahnya lebih pantas untuk tidak menggunakan indikasi dalam makna seperti ini, dan tidak memutuskan kecuali berdasarkan yang zahir selamanya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فِي حَدِيثٍ ذَكَرَهُ أَنَّهُ لَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الْمُتَلَاعِنَيْنِ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنْ اللَّهِ فِي شَيْءٍ وَلَنْ يُدْخِلَهَا اللَّهُ جَنَّتَهُ وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إلَيْهِ احْتَجَبَ اللَّهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُءُوسِ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ».

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Dalam sebuah hadis yang ia sebutkan, bahwa ketika turun ayat tentang orang-orang yang saling melaknat (li’an), Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Wanita mana saja yang memasukkan kepada suatu kaum orang yang bukan dari mereka, maka dia tidak memiliki bagian dari Allah sedikitpun dan Allah tidak akan memasukkannya ke dalam surga-Nya. Dan laki-laki mana saja yang mengingkari anaknya padahal dia melihat (kemiripan) pada anak tersebut, maka Allah akan menghijab (rahmat)-Nya darinya dan akan mempermalukannya di hadapan orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian.”

 

بَابُ كَيْفَ اللِّعَانُ

Bab tentang bagaimana cara li’an

مِنْ كِتَابِ اللِّعَانِ وَالطَّلَاقِ وَأَحْكَامِ الْقُرْآنِ.

 

Dari kitab li’an, talak, dan hukum-hukum Al-Qur’an.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan ketika Sahl menceritakan kesaksian dua orang yang saling melaknat (mutala’inain) di masa mudanya, serta Ibnu Umar – semoga Allah meridhai keduanya – juga menceritakannya, kami berdalil bahwa li’an tidak dilakukan kecuali di hadapan sekelompok orang beriman. Sebab, tidaklah seseorang menghadiri suatu urusan yang Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – ingin menutupinya, kecuali ada orang lain yang juga hadir. Demikian pula semua hukuman zina disaksikan oleh sekelompok orang beriman, minimal empat orang, karena dalam persaksian zina tidak boleh kurang dari itu. Hal ini serupa dengan firman Allah Ta’ala tentang dua pezina: “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekelompok orang beriman.” (QS. An-Nur: 2).

 

Dalam riwayat orang yang menceritakan li’an dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – secara global tanpa penjelasan rinci, terdapat dalil bahwa ketika Allah menetapkan li’an dalam Kitab-Nya, Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melaksanakan li’an antara dua orang yang saling melaknat dengan apa yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an.

 

Li’an adalah ketika imam berkata kepada suami: “Katakan: Aku bersaksi demi Allah bahwa aku termasuk orang yang benar dalam tuduhan zina yang kualamatkan kepada istriku, Fulanah binti Fulan.” – sambil menunjuknya jika ia hadir. Kemudian ia mengulanginya hingga empat kali. Setelah itu, imam menghentikannya dan mengingatkannya tentang Allah Ta’ala seraya berkata: “Aku khawatir jika engkau tidak jujur, engkau akan mendapat laknat Allah.” Jika imam melihatnya bersikeras, ia memerintahkan seseorang untuk meletakkan tangan di mulutnya dan berkata: “Ucapanmu ‘Dan aku menerima laknat Allah jika aku berdusta’ adalah mengikat.” Jika suami menolak, imam membiarkannya dan berkata: “Katakan: ‘Dan aku menerima laknat Allah jika aku berdusta dalam tuduhan zina terhadap Fulanah.'”

 

Jika suami menuduhnya dengan menyebut nama satu, dua, atau lebih, maka dalam setiap kesaksian ia mengatakan: “Aku termasuk orang yang benar dalam tuduhan zina terhadapnya dengan si Fulan, si Fulan, dan si Fulan.” Dan saat melaknat, ia mengucapkan: “Dan aku menerima laknat Allah jika aku berdusta dalam tuduhan zina terhadapnya dengan si Fulan atau si Fulan dan si Fulan.”

 

قَالَ وَإِنْ كَانَ مَعَهَا وَلَدٌ فَنَفَاهُ أَوْ بِهَا حَمْلٌ فَانْتَفَى مِنْهُ قَالَ مَعَ كُلِّ شَهَادَةٍ أَشْهَدُ بِاَللَّهِ إنِّي لِمَنْ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَيْتهَا بِهِ مِنْ الزِّنَا وَإِنَّ هَذَا الْوَلَدَ وَلَدُ زِنًا مَا هُوَ مِنِّي وَإِنْ كَانَ حَمْلًا قَالَ وَإِنَّ هَذَا الْحَمْلَ إنْ كَانَ بِهَا حَمْلٌ لِحَمْلٍ مِنْ زِنًا مَا هُوَ مِنِّي فَإِنْ قَالَ هَذَا فَقَدْ فَرَغَ مِنْ الِالْتِعَانِ فَإِنْ أَخْطَأَ الْإِمَامُ فَلَمْ يَذْكُرْ نَفْيَ الْوَلَدِ أَوْ الْحَمْلِ فِي اللِّعَانِ قَالَ لِلزَّوْجِ إنْ أَرَدْت نَفْيَهُ أَعَدْت اللِّعَانَ وَلَا تُعِيدُ الْمَرْأَةُ بَعْدَ إعَادَةِ الزَّوْجِ اللِّعَانَ إنْ كَانَتْ فَرَغَتْ مِنْهُ بَعْدَ الْتِعَانِ الزَّوْجِ وَإِنْ أَخْطَأَ وَقَدْ قَذَفَهَا بِرَجُلٍ وَلَمْ يَلْتَعِنْ بِقَذْفِهِ فَأَرَادَ الرَّجُلُ حَدَّهُ أَعَادَ عَلَيْهِ اللِّعَانَ وَإِلَّا حَدَّ لَهُ إنْ لَمْ يَلْتَعِنْ وَقَالَ فِي كِتَابِ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَفِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَلَمَّا حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَى الزَّوْجِ يَرْمِي الْمَرْأَةَ بِالْقَذْفِ وَلَمْ يَسْتَثْنِ أَنْ يُسَمِّيَ مَنْ يَرْمِيهَا بِهِ أَوْ لَمْ يُسَمِّهِ «وَرَمَى الْعَجْلَانِيُّ امْرَأَتَهُ بِابْنِ عَمِّهِ أَوْ بِابْنِ عَمِّهَا شَرِيكِ ابْنِ السَّحْمَاءِ وَذَكَرَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ رَآهُ عَلَيْهَا» وَقَالَ فِي الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ فَالْتَعَنَ وَلَمْ يُحْضِرْ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْمَرْمِيَّ بِالْمَرْأَةِ فَاسْتَدْلَلْنَا عَلَى أَنَّ الزَّوْجَ إذَا الْتَعَنَ لَمْ يَكُنْ عَلَى الزَّوْجِ لِلَّذِي قَذَفَهُ بِامْرَأَتِهِ حَدُّ وَلَوْ كَانَ لَهُ لَأَخَذَهُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَبَعَثَ إلَى الْمَرْمِيَّ فَسَأَلَهُ فَإِنْ أَقَرَّ حُدَّ وَإِنْ أَنْكَرَ حُدَّ لَهُ الزَّوْجُ وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ وَسَأَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – شَرِيكًا فَأَنْكَرَ فَلَمْ يُحَلِّفْهُ وَلَمْ يَحُدَّهُ بِالْتِعَانِ غَيْرِهِ وَلَمْ يَحُدَّ الْعَجْلَانِيُّ الْقَاذِفَ لَهُ بِاسْمِهِ وَقَالَ فِي اللِّعَانِ لَيْسَ لِلْإِمَامِ إذَا رُمِيَ رَجُلٌ بِزِنًا أَنْ يَبْعَثَ إلَيْهِ فَيَسْأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ {وَلا تَجَسَّسُوا} الحجرات: 12 فَإِنْ شُبِّهَ عَلَى أَحَدٍ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَعَثَ أُنَيْسًا إلَى امْرَأَةِ رَجُلٍ فَقَالَ إنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا» فَتِلْكَ امْرَأَةٌ ذَكَرَ أَبُو الزَّانِي بِهَا أَنَّهَا زَنَتْ فَكَانَ يَلْزَمُهُ أَنْ يَسْأَلَ فَإِنْ أَقَرَّتْ حُدَّتْ وَسَقَطَ الْحَدُّ عَمَّنْ قَذَفَهَا وَإِنْ أَنْكَرَتْ حُدَّ قَاذِفُهَا وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ قَاذِفُهَا زَوْجَهَا.

 

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Dia berkata, “Jika istri memiliki anak, maka suami boleh menafikannya, atau jika istri sedang hamil, maka suami boleh menafikan janin tersebut.” Dia bersaksi dengan setiap kesaksian, “Aku bersaksi demi Allah bahwa aku termasuk orang yang benar dalam menuduhnya berzina, dan anak ini adalah anak zina, bukan anakku,” atau jika istri hamil, dia berkata, “Jika dia hamil, maka janin ini adalah hasil zina, bukan dariku.” Jika dia mengucapkan ini, maka selesailah proses li’an. Jika imam keliru dan tidak menyebutkan penafian anak atau janin dalam li’an, maka dia berkata kepada suami, “Jika engkau ingin menafikannya, ulangi li’an.” Istri tidak perlu mengulangi li’an setelah suami mengulanginya jika dia telah menyelesaikannya setelah li’an suami. Jika suami keliru dan telah menuduh istri berzina dengan seorang lelaki tetapi tidak melakukan li’an atas tuduhannya, lalu lelaki tersebut menuntut hukuman had, maka suami diminta mengulangi li’an. Jika tidak, suami dihukum had jika tidak melakukan li’an.

 

Dalam kitab “At-Talaq” dari “Ahkam Al-Quran” dan dalam “Al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik,” disebutkan bahwa ketika Allah memerintahkan suami menuduh istri berzina, tidak ada pengecualian apakah dia menyebut nama lelaki yang dituduh atau tidak. Al-‘Ajlani menuduh istrinya berzina dengan sepupunya atau sepupunya sendiri, Syarik bin As-Sahma’, dan dia memberitahu Nabi ﷺ bahwa dia melihatnya bersama istrinya. Dalam “At-Talaq” dari “Ahkam Al-Quran,” disebutkan bahwa Nabi ﷺ tidak memanggil lelaki yang dituduh, sehingga kami menyimpulkan bahwa jika suami melakukan li’an, tidak ada hukuman had bagi lelaki yang dituduh berzina dengan istrinya. Seandainya ada, Rasulullah ﷺ pasti akan menegakkannya dan memanggil lelaki tersebut untuk dimintai keterangan. Jika dia mengaku, dia dihukum had; jika dia mengingkari, suamilah yang dihukum had.

 

Dalam “Al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik,” disebutkan bahwa Nabi ﷺ bertanya kepada Syarik, tetapi dia mengingkari, sehingga Nabi tidak meminta sumpahnya, tidak menghukumnya selain li’an, dan Al-‘Ajlani tidak menghukum lelaki yang dituduhnya dengan menyebut namanya. Dalam li’an, imam tidak boleh mengutus seseorang untuk bertanya kepada lelaki yang dituduh berzina karena Allah berfirman, “Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” Jika ada yang bingung karena Nabi ﷺ pernah mengutus Unais kepada istri seorang lelaki dan berkata, “Jika dia mengaku, rajamlah,” maka itu adalah kasus di mana ayah si pezina menyebutkan bahwa wanita itu berzina, sehingga wajib baginya untuk bertanya. Jika wanita itu mengaku, dia dihukum had, dan hukuman bagi penuduhnya gugur. Jika dia mengingkari, penuduhnya yang dihukum had. Hal yang sama berlaku jika penuduhnya adalah suaminya.

 

قَالَ وَلَمَّا كَانَ الْقَاذِفُ لِامْرَأَتِهِ إذَا الْتَعَنَ لَوْ جَاءَ الْمَقْذُوفُ بِعَيْنِهِ لَمْ يُؤْخَذْ لَهُ الْحَدُّ لَمْ يَكُنْ لِمَسْأَلَةِ الْمَقْذُوفِ مَعْنًى إلَّا أَنْ يُسْأَلَ لِيَحُدَّ وَلَمْ يَسْأَلْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَإِنَّمَا سَأَلَ الْمَقْذُوفَةَ وَاَللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَعْلَمُ لِلْحَدِّ الَّذِي يَقَعُ لَهَا إنْ لَمْ تُقِرَّ بِالزِّنَا وَلَمْ يَلْتَعِنْ الزَّوْجُ وَأَيُّ الزَّوْجَيْنِ كَانَ أَعْجَمِيًّا الْتَعَنَ بِلِسَانِهِ بِشَهَادَةِ عَدْلَيْنِ يَعْرِفَانِ لِسَانَهُ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ لَوْ كَانُوا أَرْبَعَةً وَإِنْ كَانَ أَخْرَسَ يَفْهَمُ الْإِشَارَةَ الْتَعَنَ بِالْإِشَارَةِ وَإِنْ انْطَلَقَ لِسَانُهُ بَعْدَ الْخَرَسِ لَمْ يُعِدْ ثُمَّ تُقَامُ الْمَرْأَةُ فَتَقُولُ أَشْهَدُ بِاَللَّهِ أَنَّ زَوْجِي فُلَانًا وَتُشِيرُ إلَيْهِ إنْ كَانَ حَاضِرًا لَمِنْ الْكَاذِبِينَ فِيمَا رَمَانِي بِهِ مِنْ الزِّنَا ثُمَّ تَعُودُ حَتَّى تَقُولَ ذَلِكَ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَإِذَا فَرَغَتْ وَقَّفَهَا الْإِمَامُ وَذَكَّرَهَا اللَّهَ تَعَالَى وَقَالَ احْذَرِي أَنْ تَبُوئِي بِغَضَبٍ مِنْ اللَّهِ إنْ لَمْ تَكُونِي صَادِقَةً فِي أَيْمَانِك فَإِنْ رَآهَا تَمْضِي وَحَضَرَتْهَا امْرَأَةٌ أَمَرَهَا أَنْ تَضَعَ يَدَهَا عَلَى فِيهَا وَإِنْ لَمْ تَحْضُرْهَا وَرَآهَا تَمْضِي قَالَ لَهَا قُولِي وَعَلَيَّ غَضَبُ اللَّهِ إنْ كَانَ مِنْ الصَّادِقِينَ فِيمَا رَمَانِي بِهِ مِنْ الزِّنَا فَإِذَا قَالَتْ ذَلِكَ فَقَدْ فَرَغَتْ قَالَ وَإِنَّمَا أَمَرْت بِوَقْفِهِمَا وَتَذْكِيرِهِمَا اللَّهَ لِأَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – حَكَى «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ رَجُلًا حِينَ لَاعَنَ بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فِيهِ فِي الْخَامِسَةِ وَقَالَ إنَّهَا مُوجِبَةٌ» وَلِمَا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الشَّهَادَاتِ أَرْبَعًا ثُمَّ فَصَلَ بَيْنَهُنَّ بِاللَّعْنَةِ فِي الرَّجُلِ وَالْغَضَبِ فِي الْمَرْأَةِ دَلَّ عَلَى حَالِ افْتِرَاقِ اللِّعَانِ وَالشَّهَادَاتِ وَأَنَّ اللَّعْنَةَ وَالْغَضَبَ بَعْدَ الشَّهَادَةِ مُوجِبَانِ عَلَى مَنْ أَوْجَبَا عَلَيْهِ بِأَنْ يَجْتَرِئَ عَلَى الْقَوْلِ أَوْ الْفِعْلِ ثُمَّ عَلَى الشَّهَادَةِ بِاَللَّهِ بَاطِلًا ثُمَّ يَزِيدُ فَيَجْتَرِئُ عَلَى أَنْ يَلْتَعِنَ وَعَلَى أَنْ يَدْعُوَ بِلَعْنَةِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ إذَا عَرَفَ مِنْ ذَلِكَ مَا جَهِلَا أَنْ يَقِفَهُمَا نَظَرًا لَهُمَا بِدَلَالَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

 

 

Dia berkata, “Ketika seorang suami menuduh istrinya berzina dan melakukan li’an, jika yang dituduh datang dengan bukti nyata, hukuman tidak dijatuhkan padanya. Pertanyaan kepada yang dituduh tidak ada artinya kecuali untuk menetapkan hukuman, namun Nabi ﷺ tidak menanyainya. Beliau hanya bertanya kepada wanita yang dituduh, dan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia lebih mengetahui hukuman yang akan menimpanya jika ia tidak mengakui perzinaan dan suaminya tidak melakukan li’an. Jika salah satu dari pasangan itu adalah orang asing, li’an dilakukan dalam bahasanya dengan kesaksian dua saksi adil yang memahami bahasanya, dan lebih aku sukai jika saksi itu empat orang. Jika suami itu bisu tetapi memahami isyarat, li’an dilakukan dengan isyarat. Jika setelah bisu ia bisa berbicara lagi, ia tidak perlu mengulanginya. Kemudian wanita itu dibawa untuk bersumpah, ‘Aku bersaksi demi Allah bahwa suamiku si fulan—sambil menunjuknya jika hadir—termasuk pendusta dalam tuduhan zina yang ia lontarkan padaku.’ Ia mengulanginya empat kali. Setelah selesai, imam menghentikannya dan mengingatkannya akan Allah seraya berkata, ‘Waspadalah, jangan sampai kau mendapat murka Allah jika sumpahmu tidak benar.’ Jika imam melihatnya terus melanjutkan dan ada wanita lain yang hadir, ia memerintahkannya untuk meletakkan tangan di mulutnya. Jika tidak ada wanita lain dan ia tetap melanjutkan, imam berkata, ‘Katakanlah, “Dan aku akan mendapat murka Allah jika ia termasuk orang yang benar dalam tuduhan zina yang ia lontarkan padaku.”‘ Jika ia telah mengatakannya, maka selesailah li’an. Imam diperintahkan untuk menghentikan keduanya dan mengingatkan mereka akan Allah karena Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan seorang lelaki saat melaksanakan li’an antara dua pihak yang saling melaknat untuk meletakkan tangan di mulutnya pada sumpah kelima seraya bersabda, ‘Ini adalah yang mewajibkan.’ Karena Allah Ta’ala menyebutkan empat kesaksian, kemudian memisahkannya dengan laknat untuk suami dan murka untuk istri, hal ini menunjukkan perbedaan keadaan li’an dan kesaksian, serta bahwa laknat dan murka setelah kesaksian mewajibkan hukuman bagi yang berhak menerimanya karena berani berkata atau berbuat, kemudian bersaksi atas nama Allah dengan dusta, lalu berani lagi untuk melaknat dan memohon laknat Allah. Maka sebaiknya imam, jika mengetahui hal yang tidak mereka ketahui, menghentikan keduanya demi kebaikan mereka berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah.”

بَابُ مَا يَكُونُ بَعْدَ الْتِعَانِ الزَّوْجِ مِنْ الْفُرْقَةِ وَنَفْيِ الْوَلَدِ وَحَدِّ الْمَرْأَةِ

 

Bab tentang apa yang terjadi setelah suami menuduh zina, berupa perceraian, pengingkaran anak, dan hukuman bagi perempuan

 

مِنْ كِتَابَيْنِ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَإِذَا أَكْمَلَ الزَّوْجُ الشَّهَادَةَ وَالِالْتِعَانَ فَقَدْ زَالَ فِرَاشُ امْرَأَتِهِ وَلَا تَحِلُّ لَهُ أَبَدًا بِحَالٍ، وَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ الْتَعَنَتْ أَوْ لَمْ تَلْتَعِنْ وَإِنَّمَا قُلْت هَذَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا سَبِيلَ لَك عَلَيْهَا» وَلَمْ يَقُلْ حَتَّى تُكَذِّبَ نَفْسَك وَقَالَ فِي الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا «حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ» .

 

 

Dari dua kitab, yang lama dan yang baru (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Jika suami telah menyempurnakan persaksian dan li’an, maka hilanglah hak atas istrinya, dan istri itu tidak halal baginya selamanya dalam keadaan apa pun. Meskipun dia mendustakan dirinya sendiri dengan li’an atau sang istri tidak melakukan li’an. Aku mengatakan ini karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‘Tidak ada jalan bagimu (untuk rujuk) atasnya,’ dan beliau tidak mengatakan, ‘Hingga engkau mendustakan dirimu sendiri.’ Dan beliau bersabda tentang wanita yang ditalak tiga kali, ‘Hingga dia menikah dengan suami yang lain.'”

 

 

وَلَمَّا قَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – «الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ» وَكَانَتْ فِرَاشًا لَمْ يَجُزْ أَنْ يَنْفِيَ الْوَلَدَ عَنْ الْفِرَاشِ إلَّا بِأَنْ يَزُولَ الْفِرَاشُ وَكَانَ مَعْقُولًا فِي حُكْمِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إذْ أَلْحَقَ الْوَلَدَ بِأُمِّهِ أَنَّهُ نَفَاهُ عَنْ أَبِيهِ وَإِنَّ نَفْيَهُ عَنْهُ بِيَمِينِهِ بِالْتِعَانِهِ لَا بِيَمِينِ الْمَرْأَةِ عَلَى تَكْذِيبِهِ بِنَفْيِهِ وَمَعْقُولٌ فِي إجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ أَنَّ الزَّوْجَ إذْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ وَجُلِدَ الْحَدَّ إذْ لَا مَعْنَى لِلْمَرْأَةِ فِي نَفْسِهِ، وَأَنَّ الْمَعْنَى لِلزَّوْجِ فِيمَا وَصَفْت مِنْ نَفْيِهِ وَكَيْفَ يَكُونُ لَهَا مَعْنًى فِي يَمِينِ الزَّوْجِ وَنَفْيِ الْوَلَدِ وَإِلْحَاقِهِ. وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ مَا لَا يَخْتَلِفُ فِيهِ أَهْلُ الْعِلْمِ مِنْ أَنَّ الْأُمَّ لَوْ قَالَتْ: لَيْسَ هُوَ مِنْك إنَّمَا اسْتَعَرْته لَمْ يَكُنْ قَوْلُهَا شَيْئًا إذَا عَرَفَ أَنَّهَا وَلَدَتْهُ عَلَى فِرَاشِهِ إلَّا بِلِعَانٍ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ حَقٌّ لِلْوَلَدِ دُونَ الْأُمِّ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: هُوَ ابْنِي، وَقَالَتْ: بَلْ زَنَيْت فَهُوَ مِنْ زِنًا كَانَ ابْنَهُ أَلَا تَرَى أَنَّ حُكْمَ الْوَلَدِ فِي النَّفْيِ وَالْإِثْبَاتِ إلَيْهِ دُونَ أُمِّهِ فَكَذَلِكَ نَفْيُهُ بِالْتِعَانِهِ دُونَ أُمِّهِ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: إذَا الْتَعَنَ ثُمَّ قَالَتْ: صَدَقَ إنِّي زَنَيْت فَالْوَلَدُ لَاحِقٌ وَلَا حَدَّ عَلَيْهَا وَلَا لِعَانَ وَكَذَلِكَ إنْ كَانَتْ مَحْدُودَةً فَدَخَلَ عَلَيْهِ أَنْ لَوْ كَانَ فَاسِقًا قَذَفَ عَفِيفَةً مُسْلِمَةً وَالْتَعَنَا نَفْيَ الْوَلَدِ وَهِيَ عِنْدَ الْمُسْلِمِينَ أَصْدَقُ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَتْ فَاسِقَةً فَصَدَّقَتْهُ لَمْ يَنْفِ الْوَلَدَ فَجَعَلَ وَلَدَ الْعَفِيفَةِ لَا أَبَ لَهُ وَأَلْزَمَهَا عَارَهُ وَوَلَدُ الْفَاسِقَةِ لَهُ أَبٌ لَا يُنْفَى عَنْهُ قَالَ: وَأَيُّهُمَا مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُكْمِلَ الزَّوْجُ اللِّعَانَ وَرِثَ صَاحِبُهُ وَالْوَلَدُ غَيْرُ مَنْفِيٍّ حَتَّى يُكْمِلَ ذَلِكَ كُلَّهُ فَإِنْ امْتَنَعَ أَنْ يُكْمِلَ اللِّعَانَ حُدَّ لَهَا، وَإِنْ طَلَبَ الْحَدَّ الَّذِي قَذَفَهَا بِهِ لَمْ يُحَدَّ؛ لِأَنَّهُ قَذْفٌ وَاحِدٌ حُدَّ فِيهِ مَرَّةً وَالْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ – فَلَا يَنْفِي إلَّا عَلَى مَا نَفَى بِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَذَلِكَ أَنَّ الْعَجْلَانِيَّ قَذَفَ امْرَأَتَهُ وَنَفَى حَمْلَهَا لِمَا اسْتَبَانَهُ فَنَفَاهُ عَنْهُ بِاللِّعَانِ.

 

 

Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Anak itu milik pemilik tempat tidur (suami)”, dan istri adalah bagian dari tempat tidur tersebut, maka tidak boleh menafikan anak dari pemilik tempat tidur kecuali jika ikatan pernikahan telah sirna. Hal ini logis dalam hukum Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- ketika beliau menghubungkan anak kepada ibunya, artinya beliau menafikannya dari ayahnya. Penafian anak dari ayahnya dilakukan melalui sumpah li’an suami, bukan sumpah istri untuk mendustakan penafiannya. Dalam ijma’ kaum muslimin juga dipahami bahwa jika suami mendustakan dirinya sendiri, maka anak tetap dinisbatkan kepadanya dan ia dihukum had, karena istri tidak memiliki hak penafian terhadap dirinya sendiri. Hak penafian itu hanya ada pada suami sebagaimana telah dijelaskan. Bagaimana mungkin istri memiliki hak dalam sumpah suami dan penafian anak serta penisbatannya?

 

Bukti atas hal ini adalah kesepakatan ulama bahwa jika seorang ibu berkata, “Anak ini bukan darimu, aku hanya meminjam benih”, perkataannya tidak dianggap selama diketahui bahwa anak itu dilahirkan dalam ikatan pernikahan yang sah, kecuali melalui li’an. Karena hak itu adalah hak anak, bukan hak ibu. Demikian pula jika suami berkata, “Ini anakku”, lalu istri berkata, “Tidak, aku berzina dan ini anak hasil zina”, maka anak tetap dinisbatkan kepadanya. Tidakkah engkau melihat bahwa keputusan tentang penafian atau penetapan nasab anak ada di tangan suami, bukan ibu? Begitu pula penafian melalui li’an hanya bisa dilakukan suami, bukan ibu.

 

Sebagian orang berkata: Jika suami telah melakukan li’an, lalu istri berkata, “Dia benar, aku memang berzina”, maka anak tetap dinisbatkan kepada suami, tidak ada had atau li’an atasnya. Demikian pula jika istri pernah dihukum had sebelumnya. Jika suami adalah orang fasik yang menuduh istri muslimah yang suci, lalu mereka melakukan li’an untuk menafikan anak, maka menurut kaum muslimin istri lebih dipercaya. Namun jika istri adalah wanita fasik lalu membenarkan tuduhan suami, anak tidak bisa dinafikan. Dengan demikian, anak dari wanita suci dianggap tidak memiliki ayah dan ia menanggung aibnya, sedangkan anak dari wanita fasik tetap memiliki ayah yang tidak bisa dinafikkan.

 

Dia (ulama) juga berkata: Jika salah satu dari mereka meninggal sebelum suami menyelesaikan li’an, maka pasangannya tetap mewarisi dan anak belum dinafikan sampai li’an diselesaikan sepenuhnya. Jika suami menolak menyelesaikan li’an, istri dihukum had. Jika suami meminta had atas tuduhannya, ia tidak dihukum karena itu adalah satu tuduhan yang sudah dihukum sekali. Anak tetap milik pemilik tempat tidur (suami) dan tidak bisa dinafikan kecuali dengan cara yang diajarkan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Contohnya adalah kasus Al-‘Ajlani yang menuduh istrinya dan menafikan kandungannya karena melihat bukti jelas, lalu beliau menafikannya melalui li’an.

 

 

وَلَوْ أَكْمَلَ اللِّعَانَ وَامْتَنَعَتْ مِنْ اللِّعَانِ وَهِيَ مَرِيضَةٌ أَوْ فِي بَرْدٍ أَوْ حَرٍّ وَكَانَتْ ثَيِّبًا رُجِمَتْ، وَإِنْ كَانَتْ بِكْرًا لَمْ تُحَدَّ حَتَّى تَصِحَّ وَيَنْقَضِيَ الْحَرُّ وَالْبَرْدُ ثُمَّ تُحَدُّ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ} النور: 8 الْآيَةَ وَالْعَذَابُ الْحَدُّ فَلَا يُدْرَأُ عَنْهَا إلَّا بِاللِّعَانِ وَزَعَمَ بَعْضُ النَّاسِ لَا يُلَاعَنُ بِحَمْلٍ لَعَلَّهُ رِيحٌ فَقِيلَ لَهُ: أَرَأَيْت لَوْ أَحَاطَ الْعِلْمَ بِأَنْ لَيْسَ حَمْلٌ أَمَا تُلَاعِنُ بِالْقَذْفِ؟ قَالَ: بَلَى، قِيلَ: فَلِمَ لَا يُلَاعِنُ مَكَانَهُ؟ وَزَعَمَ لَوْ جَامَعَهَا وَهُوَ يَعْلَمُ بِحَمْلِهَا فَلَمَّا وَضَعَتْ تَرَكَهَا تِسْعًا وَثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَهِيَ فِي الدَّمِ مَعَهُ فِي مَنْزِلِهِ ثُمَّ نَفَى الْوَلَدَ مَعَهُ كَانَ ذَلِكَ لَهُ فَيَتْرُكُ مَا حَكَمَ بِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِلْعَجْلَانِيّ وَامْرَأَتِهِ وَهِيَ حَامِلٌ مِنْ اللِّعَانِ وَنَفْيِ الْوَلَدِ عَنْهُ كَمَا قُلْنَا، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ مَا قُلْنَا سُنَّةً كَانَ يَجْعَلُ السُّكَاتَ فِي مَعْرِفَةِ الشَّيْءِ فِي مَعْنَى الْإِقْرَارِ فَزَعَمَ فِي الشُّفْعَةِ إذَا عَلِمَ فَسَكَتَ فَهُوَ إقْرَارٌ بِالتَّسْلِيمِ.

 

 

Jika suami telah menyempurnakan li’an (sumpah kutuk) sementara istri menolak melakukan li’an dalam keadaan sakit, kedinginan, atau kepanasan, dan ia adalah wanita yang pernah menikah (tsayyib), maka ia dirajam. Namun jika ia masih perawan, hukuman had tidak dijatuhkan sampai ia sembuh dan cuaca dingin atau panas telah berlalu, kemudian hukuman had dilaksanakan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan dia (istri) dapat menghindarkan hukuman darinya” (QS. An-Nur: 8). Hukuman yang dimaksud adalah had, dan tidak bisa dihindarkan kecuali dengan li’an. Sebagian orang berpendapat bahwa li’an tidak berlaku jika ada kemungkinan kehamilan, mungkin itu hanya angin. Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana jika diketahui pasti tidak ada kehamilan, apakah engkau tidak akan melakukan li’an atas tuduhan zina?” Ia menjawab: “Tentu akan dilakukan.” Ditanyakan lagi: “Lalu mengapa tidak melakukan li’an dalam situasi itu?” Ia juga berpendapat bahwa jika seseorang berhubungan dengan istrinya sementara ia tahu istrinya hamil, lalu setelah melahirkan ia meninggalkannya selama 39 malam dalam keadaan nifas di rumahnya, kemudian ia menafikan anak itu sebagai miliknya, maka itu diperbolehkan. Dengan demikian, ia meninggalkan keputusan Nabi ﷺ dalam kasus Al-Ajlani dan istrinya yang hamil terkait li’an dan penafian anak, sebagaimana pendapat kami. Seandainya pendapat kami bukan sunnah, maka diam dalam mengetahui sesuatu dianggap sebagai pengakuan. Ia berpendapat dalam syuf’ah (hak beli preferen), jika seseorang mengetahui lalu diam, maka itu dianggap sebagai pengakuan untuk menyerahkan hak.

 

وَفِي الْعَبْدِ يَشْتَرِيهِ إذَا اسْتَخْدَمَهُ رَضِيَ بِالْعَيْبِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ فَحَيْثُ شَاءَ جَعَلَهُ رِضًا ثُمَّ جَاءَ إلَى الْأَشْبَهِ بِالرِّضَا وَالْإِقْرَارِ فَلَمْ يَجْعَلْهُ رِضًا وَجَعَلَ صَمْتَهُ عَنْ إنْكَارِهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً كَالْإِقْرَارِ وَأَبَاهُ فِي تِسْعٍ وَثَلَاثِينَ فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَ الصَّمْتَيْنِ؟ وَزَعَمَ بِأَنَّهُ اسْتَدَلَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا أَوْجَبَ عَلَى الزَّوْجِ الشَّهَادَةَ لِيَخْرُجَ بِهَا مِنْ الْحَدِّ فَإِذَا لَمْ يَخْرُجْ مِنْ مَعْنَى الْقَذْفِ لَزِمَهُ الْحَدُّ قِيلَ لَهُ وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ أَحَلَفَتْهُ لِيَخْرُجَ مِنْ شَيْءٍ وَكَذَلِكَ قُلْت: إنْ نَكَلَ عَنْ الْيَمِينِ فِي مَالٍ أَوْ غَصْبٍ أَوْ جُرْحٍ عَمْدٍ حَكَمْت عَلَيْهِ بِذَلِكَ كُلِّهِ قَالَ: نَعَمْ، قُلْت: فَلِمَ لَا تَقُولُ فِي الْمَرْأَةِ: إنَّك تُحَلِّفُهَا لِتَخْرُجَ مِنْ الْحَدِّ وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهَا تَدْرَأُ بِذَلِكَ عَنْ نَفْسِهَا الْعَذَابَ فَإِذَا لَمْ تَخْرُجْ مِنْ ذَلِكَ فَلِمَ لَمْ تُوجِبْ عَلَيْهَا الْحَدَّ كَمَا قُلْت فِي الزَّوْجِ وَفِيمَنْ نَكَلَ عَنْ الْيَمِينِ، وَلَيْسَ فِي التَّنْزِيلِ أَنَّ الزَّوْجَ يَدْرَأُ بِالشَّهَادَةِ حَدًّا وَفِي التَّنْزِيلِ أَنَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَدْرَأَ بِالشَّهَادَةِ الْعَذَابَ وَهُوَ الْحَدُّ عِنْدَنَا وَعِنْدَك وَهُوَ الْمَعْقُولُ وَالْقِيَاسُ وَقُلْت لَهُ: لَوْ قَالَتْ لَك: لِمَ حَبَسْتَنِي وَأَنْتَ لَا تَحْبِسُ إلَّا بِحَقٍّ؟ قَالَ: أَقُولُ حَبَسْتُك لِتَحْلِفِي فَتَخْرُجِي بِهِ مِنْ الْحَدِّ فَقَالَتْ: فَإِذَا لَمْ أَفْعَلْ فَأَقِمْ الْحَدَّ عَلَيَّ، قَالَ: لَا، قَالَتْ: فَالْحَبْسُ حَدٌّ، قَالَ: لَا، فَقَالَ: قَالَتْ: فَالْحَبْسُ ظُلْمٌ لَا أَنْتَ أَقَمْت عَلَيَّ الْحَدَّ وَلَا مَنَعْت عَنِّي حَبْسًا وَلَنْ تَجِدَ حَبْسِي فِي كِتَابٍ وَلَا سُنَّةٍ وَلَا إجْمَاعٍ وَلَا قِيَاسٍ عَلَى أَحَدِهَا قَالَ: فَإِنْ قُلْت: فَالْعَذَابُ الْحَبْسُ فَهَذَا خَطَأٌ فَكَمُّ ذَلِكَ مِائَةُ يَوْمٍ أَوْ حَتَّى تَمُوتَ، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ} النور: 2 أَفَتَرَاهُ عَنَى الْحَدَّ أَمْ الْحَبْسَ؟ قَالَ: بَلْ الْحَدَّ وَمَا السَّجْنُ بِحَدٍّ وَالْعَذَابُ فِي الزِّنَا الْحُدُودُ وَلَكِنَّ السَّجْنَ قَدْ يَلْزَمُهُ اسْمُ عَذَابٍ قُلْت: وَالسَّفَرُ وَالدَّهَقُ وَالتَّعْلِيقُ كُلُّ ذَلِكَ يَلْزَمُهُ اسْمُ عَذَابٍ قَالَ: وَاَلَّذِينَ يُخَالِفُونَنَا فِي أَنْ لَا يَجْتَمِعَا أَبَدًا، وَرَوَى فِيهِ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ – رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ – لَا يَجْتَمِعُ الْمُتَلَاعِنَانِ أَبَدًا رَجَعَ بَعْضُهُمْ إلَى مَا قُلْنَا وَأَبَى بَعْضُهُمْ

 

 

Dan mengenai seorang hamba yang dibeli, jika majikannya mempekerjakannya lalu menerima cacatnya tanpa mengeluh, maka ia dianggap rela. Namun, ketika datang situasi yang lebih mirip dengan kerelaan dan pengakuan, ia tidak dianggap rela. Diamnya selama empat puluh malam dianggap seperti pengakuan, tetapi jika hanya tiga puluh sembilan malam, tidak. Lalu, apa bedanya antara dua jenis diam ini? Ia mengklaim bahwa Allah mewajibkan suami untuk bersaksi agar terhindar dari hukuman. Jika ia tidak terlepas dari tuduhan, hukuman tetap berlaku. Dikatakan padanya: “Begitu pula siapa pun yang engkau suruh bersumpah untuk membebaskan diri dari sesuatu.” Aku berkata: “Jika ia menolak bersumpah dalam masalah harta, perampasan, atau luka sengaja, engkau akan menghukumnya.” Ia menjawab: “Ya.” Aku bertanya: “Mengapa engkau tidak berkata pada wanita: ‘Engkau kusuruh bersumpah agar terhindar dari hukuman,’ padahal Allah menyebutkan bahwa ia bisa menolak azab dari dirinya sendiri? Jika ia tidak terlepas dari itu, mengapa engkau tidak memberinya hukuman seperti yang kaukatakan pada suami atau orang yang menolak bersumpah? Dalam Al-Qur’an tidak disebutkan bahwa suami menolak hukuman dengan kesaksian, sedangkan bagi wanita disebutkan ia bisa menolak azab dengan kesaksian. Azab itu adalah hukuman menurut kami dan menurutmu, secara logika dan qiyas.”

 

Aku berkata padanya: “Jika wanita itu bertanya: ‘Mengapa engkau memenjarakanku, padahal engkau hanya memenjarakan dengan hak?'” Ia menjawab: “Aku akan katakan, ‘Aku memenjarakanmu agar engkau bersumpah dan terhindar dari hukuman.'” Wanita itu berkata: “Jika aku tidak melakukannya, jatuhkanlah hukuman padaku.” Ia menjawab: “Tidak.” Wanita itu berkata: “Berarti penjara itu hukuman.” Ia menjawab: “Tidak.” Wanita itu berkata: “Maka penjara itu kezaliman. Engkau tidak menghukumku, juga tidak membebaskanku dari penjara. Kau tak akan menemukan hukum penjaraku dalam Kitab, Sunnah, ijma’, atau qiyas.”

 

Ia berkata: “Jika kaukatakan azab adalah penjara, itu salah. Penjara bisa seratus hari atau sampai mati. Allah berfirman: ‘Dan hendaklah disaksikan azab mereka oleh sekelompok orang beriman.’ (QS. An-Nur: 2). Menurutmu, apakah yang dimaksud azab itu hukuman atau penjara?” Ia menjawab: “Hukuman. Penjara bukan hukuman, azab dalam zina adalah hudud. Namun, penjara bisa disebut azab.” Aku berkata: “Perjalanan, kelelahan, dan gantung juga bisa disebut azab.” Ia berkata: “Orang-orang yang berselisih dengan kami bahwa dua pelaku li’an tidak akan berkumpul selamanya—dan diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud (semoga Allah meridhai mereka)—beberapa kembali pada pendapat kami, sedangkan yang lain menolak.”

 

بَابُ مَا يَكُونُ قَذْفًا وَلَا يَكُونُ وَنَفْيُ الْوَلَدِ بِلَا قَذْفٍ

 

Bab tentang apa yang termasuk qadzaf dan yang tidak, serta penafian anak tanpa qadzaf

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

 

وَقَذْفُ ابْنِ الْمُلَاعِنَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ وَلَدَتْ امْرَأَتُهُ وَلَدًا فَقَالَ: لَيْسَ مِنِّي فَلَا حَدَّ وَلَا لِعَانَ حَتَّى يَقِفَهُ فَإِنْ قَالَ: لَمْ أَقْذِفْهَا وَلَمْ تَلِدْهُ أَوْ وَلَدَتْهُ مِنْ زَوْجٍ قَبْلِي وَقَدْ عُرِفَ نِكَاحُهَا قَبْلَهُ فَلَا يَلْحَقُهُ إلَّا بِأَرْبَعِ نِسْوَةٍ تَشْهَدُ أَنَّهَا وَلَدَتْهُ وَهِيَ زَوْجَةٌ لَهُ لِوَقْتٍ يُمْكِنُ أَنْ تَلِدَ مِنْهُ فِيهِ لِأَقَلِّ الْحَمْلِ، وَإِنْ سَأَلَتْ يَمِينَهُ أَحَلَفْنَاهُ وَبَرِئَ، وَإِنْ نَكَلَ أَحَلَفْنَاهَا وَلَحِقَهُ فَإِنْ لَمْ تَحْلِفْ لَمْ يَلْحَقْهُ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ الطَّلَاقِ مِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ لَوْ قَالَ لَهَا: مَا هَذَا الْحَمْلُ مِنِّي وَلَيْسَتْ بِزَانِيَةٍ وَلَمْ أُصِبْهَا قِيلَ: قَدْ تُخْطِئُ فَلَا يَكُونُ حَمْلًا فَيَكُونُ صَادِقًا وَهِيَ غَيْرُ زَانِيَةٍ فَلَا حَدَّ وَلَا لِعَانَ، فَمَتَى اسْتَيْقَنَّا أَنَّهُ حَمْلٌ قُلْنَا: قَدْ يَحْتَمِلُ أَنْ تَأْخُذَ نُطْفَتَك فَتُدْخِلَهَا فَتَحْمِلَ مِنْك فَتَكُونَ صَادِقًا بِأَنَّك لَمْ تُصِبْهَا وَهِيَ صَادِقَةٌ بِأَنَّهُ وَلَدُك فَإِنْ قَذَفْت لَاعَنْت فَإِنْ نَفَى وَلَدَهَا وَقَالَ: لَا أُلَاعِنُهَا وَلَا أَقْذِفُهَا لَمْ يُلَاعِنْهَا وَلَزِمَهُ الْوَلَدُ، وَإِنْ قَذَفَهَا لَاعَنَهَا؛ لِأَنَّهُ إذَا لَاعَنَهَا بِغَيْرِ قَذْفٍ فَإِنَّمَا يَدَّعِي أَنَّهَا لَمْ تَلِدْهُ وَقَدْ حَكَتْ أَنَّهَا وَلَدَتْهُ وَإِنَّمَا أَوْجَبَ اللَّهُ اللِّعَانَ بِالْقَذْفِ فَلَا يَجِبُ بِغَيْرِهِ، وَلَوْ قَالَ: لَمْ تَزْنِ بِهِ وَلَكِنَّهَا عَصَتْ لَمْ يُنْفَ عَنْهُ إلَّا بِلِعَانٍ وَوَقَعَتْ الْفُرْقَةُ.

 

 

Dan tuduhan terhadap anak hasil li’an serta lainnya. (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika istrinya melahirkan anak lalu dia berkata, ‘Ini bukan anakku,’ maka tidak ada had atau li’an sampai dia memastikannya. Jika dia berkata, ‘Aku tidak menuduhnya berzina dan dia tidak melahirkan anak ini,’ atau ‘Dia melahirkannya dari suami sebelumku’ – sementara pernikahannya sebelum itu telah diketahui – maka anak itu tidak dinisbatkan kepadanya kecuali dengan kesaksian empat wanita yang bersaksi bahwa dia melahirkannya sebagai istrinya pada waktu yang memungkinkan dia melahirkan darinya sesuai masa kehamilan terpendek. Jika dia meminta sumpahnya, kami akan menyumpahnya lalu dia terbebas. Jika dia enggan, kami akan menyumpah istrinya dan anak itu dinisbatkan kepadanya. Jika istri tidak bersumpah, anak tidak dinisbatkan kepadanya.” (Dia juga berkata) dalam kitab “At-Thalaq” dari “Ahkam Al-Qur’an”: “Jika suami berkata kepada istrinya, ‘Kandungan ini bukan dariku, tapi dia bukan pezina dan aku tidak menyetubuhinya,’ maka dikatakan, ‘Bisa jadi dia keliru sehingga ini bukan kehamilan,’ maka suami benar dan istri bukan pezina, sehingga tidak ada had atau li’an. Ketika kami yakin itu kehamilan, kami katakan, ‘Bisa saja dia mengambil sperma lalu memasukkannya sehingga hamil darimu.’ Maka suami benar bahwa dia tidak menyetubuhinya, dan istri benar bahwa itu anakmu. Jika engkau menuduhnya, lakukan li’an. Jika dia mengingkari anaknya dan berkata, ‘Aku tidak akan meli’annya atau menuduhnya,’ maka li’an tidak dilakukan dan anak tetap dinisbatkan kepadanya. Jika dia menuduhnya, maka li’an dilakukan, karena jika meli’an tanpa tuduhan, dia hanya mengklaim bahwa istri tidak melahirkan anak itu padahal dia mengaku telah melahirkannya. Allah hanya mewajibkan li’an dengan tuduhan, sehingga tidak wajib tanpa tuduhan. Jika dia berkata, ‘Dia tidak berzina dengannya tapi dia durhaka,’ maka anak tidak terlepas darinya kecuali dengan li’an, dan perceraian terjadi.”

 

 

وَلَوْ قَالَ لِابْنِ مُلَاعَنَةٍ: لَسْت ابْنَ فُلَانٍ أُحْلِفَ مَا أَرَادَ قَذْفَ أُمِّهِ وَلَا حُدَّ فَإِنْ أَرَادَ قَذْفَ أُمِّهِ حَدَدْنَاهُ، وَلَوْ قَالَ ذَلِكَ بَعْدَ أَنْ يُقِرَّ بِهِ الَّذِي نَفَاهُ حُدَّ إنْ كَانَتْ أُمُّهُ حُرَّةً إنْ طَلَبَتْ الْحَدَّ وَالتَّعْزِيرَ إنْ كَانَتْ نَصْرَانِيَّةً أَوْ أَمَةً.

 

 

Dan jika seseorang berkata kepada anak hasil li’an: “Kamu bukan anak si Fulan,” maka dia harus bersumpah bahwa dia tidak bermaksud menuduh zina ibunya, dan tidak dihukum had. Namun jika dia bermaksud menuduh zina ibunya, maka kami akan menghukumnya dengan had. Jika dia mengucapkan itu setelah orang yang diingkari itu mengakuinya, maka dihukum had jika ibunya merdeka dan menuntut had, atau dihukum ta’zir jika ibunya seorang Nashrani atau budak.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ قَالَ فِي الرَّجُلِ يَقُولُ لِابْنِهِ: لَسْت بِابْنِي إنَّهُ لَيْسَ بِقَاذِفٍ لِأُمِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَعْزِيَهُ إلَى حَلَالٍ وَهَذَا بِقَوْلِهِ أَشْبَهُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata tentang seorang lelaki yang mengatakan kepada anaknya, “Engkau bukan anakku,” bahwa dia tidak dianggap menuduh ibunya (berzina) sampai dia ditanyai (maksudnya), karena bisa saja dia menganggap anak itu berasal dari hubungan yang halal, dan ini lebih sesuai dengan ucapannya.

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا نَفَيْنَا عَنْهُ وَلَدَهَا بِاللِّعَانِ ثُمَّ جَاءَتْ بَعْدَهُ لِوَلَدٍ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ أَوْ أَكْثَرَ مَا يَلْزَمُهُ لَهُ نَسَبُ وَلَدِ الْمَبْتُوتَةِ فَهُوَ وَلَدُهُ إلَّا أَنْ يَنْفِيَهُ بِلِعَانٍ وَإِذَا وَلَدَتْ وَلَدَيْنِ فِي بَطْنٍ فَأَقَرَّ بِأَحَدِهِمَا وَنَفَى الْآخَرَ فَهُمَا ابْنَاهُ وَلَا يَكُونُ حَمْلٌ وَاحِدٌ بِوَلَدَيْنِ إلَّا مِنْ وَاحِدٍ.

 

 

Beliau berkata: “Dan jika kita menafikan anak darinya melalui li’an, kemudian dia (istri) melahirkan anak setelah itu dalam waktu kurang dari enam bulan atau lebih, maka anak tersebut dinisbatkan kepadanya sebagaimana anak dari wanita yang diceraikan, sehingga anak itu adalah anaknya kecuali jika dia menafikannya melalui li’an. Dan jika dia melahirkan dua anak dalam satu kandungan, lalu dia (suami) mengakui salah satunya dan menafikan yang lain, maka keduanya adalah anaknya, karena tidak mungkin satu kandungan mengandung dua anak kecuali dari satu ayah.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ كَانَ نَفْيُهُ بِقَذْفِهِ لِأُمِّهِ فَعَلَيْهِ لَهَا الْحَدُّ، وَلَوْ مَاتَ أَحَدُهُمَا ثُمَّ الْتَعَنَ نُفِيَ عَنْهُ الْحَيُّ وَالْمَيِّتُ، وَلَوْ نَفَى وَلَدَهَا بِلِعَانٍ ثُمَّ وَلَدَتْ آخَرَ بَعْدَهُ بِيَوْمٍ فَأَقَرَّ بِهِ لَزِمَاهُ جَمِيعًا؛ لِأَنَّهُ حَمْلٌ وَاحِدٌ وَحُدَّ لَهَا إنْ كَانَ قَذَفَهَا، وَلَوْ لَمْ يَنْفِهِ وَقَفَ فَإِنْ نَفَاهُ وَقَالَ: الْتِعَانِي الْأَوَّلُ يَكْفِينِي؛ لِأَنَّهُ حَمْلٌ وَاحِدٌ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ حَتَّى يَلْتَعِنَ مِنْ الْآخَرِ (وَقَالَ) بَعْضُ النَّاسِ لَوْ مَاتَ أَحَدُهُمَا قَبْلَ اللِّعَانِ لَاعَنَ وَلَزِمَهُ الْوَلَدَانِ وَهُمَا عِنْدَنَا وَعِنْدَهُ حَمْلٌ وَاحِدٌ فَكَيْفَ يُلَاعِنُ وَيَلْزَمُهُ الْوَلَدُ؟ قَالَ: مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ وَرِثَ الْمَيِّتَ قُلْت لَهُ: وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ يَرِثُهُ؟ .

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seseorang menafikan anak dengan menuduh ibunya berzina, maka dia wajib dihukum had. Jika salah satu dari mereka (suami atau istri) meninggal lalu yang hidup melakukan li’an, maka anak tersebut dinafikan dari yang hidup dan yang mati. Jika dia menafikan anaknya dengan li’an, lalu sang istri melahirkan anak lain setelahnya dalam sehari dan dia mengakuinya, maka kedua anak itu tetap menjadi tanggungannya karena itu adalah satu kehamilan. Dan sang istri dihukum had jika dia menuduhnya berzina. Jika dia tidak menafikan anak itu, maka statusnya tertahan. Jika dia menafikannya dan berkata: ‘Li’an pertama sudah cukup bagiku karena itu satu kehamilan,’ maka itu tidak boleh baginya sampai dia melakukan li’an untuk anak yang lain.” (Sebagian orang berkata): “Jika salah satu dari mereka meninggal sebelum li’an, lalu dia melakukan li’an, maka kedua anak menjadi tanggungannya. Padahal menurut kami dan menurut dia itu adalah satu kehamilan, lalu bagaimana dia bisa melakukan li’an sementara anak itu tetap menjadi tanggungannya?” Dia menjawab: “Karena dia mewarisi mayit.” Aku berkata kepadanya: “Siapa yang mengira bahwa dia mewarisinya?”

 

 

(وَقَالَ) أَيْضًا لَوْ نَفَاهُ بِلِعَانٍ وَمَاتَ الْوَلَدُ فَادَّعَاهُ الْأَبُ ضُرِبَ الْحَدَّ وَلَمْ يَثْبُتْ النَّسَبُ وَلَمْ يَرِثْهُ فَإِنْ كَانَ الِابْنُ الْمَنْفِيُّ تَرَكَ وَلَدًا حُدَّ أَبُوهُ وَثَبَتَ نَسَبُهُ مِنْهُ وَوَرِثَهُ.

 

 

(Dia juga berkata) Jika seorang ayah menafikan anaknya melalui li’an lalu anak itu meninggal, kemudian sang ayah mengakuinya, maka dia dihukum had namun nasab tidak tetap dan dia tidak mewarisinya. Namun jika anak yang dinafikan itu meninggalkan keturunan, maka ayahnya dihukum had, nasabnya tetap darinya, dan dia mewarisinya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا فَرْقَ بَيْنَهُ تَرَكَ وَلَدًا أَوْ لَمْ يَتْرُكْهُ؛ لِأَنَّ هَذَا الْوَلَدَ الْمَنْفِيَّ إذَا مَاتَ مَنْفِيَّ النَّسَبِ ثُمَّ أَقَرَّ بِهِ لَمْ يَعُدْ إلَى النَّسَبِ؛ لِأَنَّهُ فَارَقَ الْحَيَاةَ بِحَالٍ فَلَا يَنْتَقِلُ عَنْهَا، وَكَذَلِكَ ابْنُ الْمَنْفِيِّ فِي مَعْنَى الْمَنْفِيِّ وَهُوَ لَا يَكُونُ ابْنًا بِنَفْسِهِ فَكَيْفَ يَكُونُ ابْنُهُ بِالْوَلَدِ الْمَنْفِيِّ الَّذِي قَدْ انْقَطَعَ نَسَبُ الْحَيِّ مِنْهُ وَاَلَّذِي يَنْقَطِعُ بِهِ نَسَبُ الْحَيِّ يَنْقَطِعُ بِهِ نَسَبُ الْمَيِّتِ؛ لِأَنَّ حُكْمَهُمَا وَاحِدٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan tidak ada perbedaan apakah dia meninggalkan anak atau tidak; karena anak yang diingkari ini jika mati dalam keadaan pengingkaran nasab, kemudian diakui, tidak kembali kepada nasab; sebab dia telah meninggal dalam suatu keadaan sehingga tidak berpindah darinya. Demikian pula anak orang yang diingkari berada dalam makna orang yang diingkari, dan dia sendiri bukan anak, maka bagaimana anaknya menjadi anak melalui anak yang diingkari yang nasab orang hidup telah terputus darinya. Yang menyebabkan terputusnya nasab orang hidup, maka terputus pula nasab orang mati; karena hukum keduanya sama.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قُتِلَ وَقُسِّمَتْ دِيَتُهُ ثُمَّ أَقَرَّ بِهِ لَحِقَهُ وَأَخَذَ حِصَّتَهُ مِنْ دَيْنِهِ وَمِنْ مَالِهِ؛ لِأَنَّ أَصْلَ أَمْرِهِ أَنَّ نَسَبَهُ ثَابِتٌ وَإِنَّمَا هُوَ مَنْفِيٌّ مَا كَانَ أَبُوهُ مُلَاعِنًا مُقِيمًا عَلَى نَفْيِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya dia dibunuh dan diyatnya dibagikan, kemudian dia diakui (sebagai anak), maka dia berhak mendapatkan bagiannya dari utang dan hartanya. Karena pada dasarnya, nasabnya tetap sah, hanya saja dia diingkari selama ayahnya tetap melaknat dan bersikukuh dalam pengingkarannya.”

 

 

وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: يَا زَانِيَةُ فَقَالَتْ: زَنَيْت بِك وَطَلَبَا جَمِيعًا مَا لَهُمَا سَأَلْنَا فَإِنْ قَالَتْ: عَنَيْت أَنَّهُ أَصَابَنِي وَهُوَ زَوْجِي أُحْلِفَتْ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا وَيَلْتَعِنُ أَوْ يُحَدُّ، وَإِنْ قَالَتْ: زَنَيْت بِهِ قَبْلَ أَنْ يَنْكِحَنِي فَهِيَ قَاذِفَةٌ لَهُ وَعَلَيْهَا الْحَدُّ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهَا مُقِرَّةٌ لَهُ بِالزِّنَا، وَلَوْ قَالَ: أَنْتِ أَزْنَى مِنِّي كَانَتْ قَالَتْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِالْقَذْفِ إذَا لَمْ تُرِدْ بِهِ قَذْفًا وَعَلَيْهِ الْحَدُّ أَوْ اللِّعَانُ، وَلَوْ قَالَ لَهَا: أَنْتِ أَزْنَى مِنْ فُلَانَةَ أَوْ أَزْنَى النَّاسِ لَمْ يَكُنْ هَذَا قَذْفًا إلَّا أَنْ يُرِيدَ بِهِ قَذْفًا، وَلَوْ قَالَ لَهَا: يَا زَانٍ كَانَ قَذْفًا وَهَذَا تَرْخِيمٌ كَمَا يُقَالُ لِمَالِكٍ يَا مَالٍ وَلِحَارِثٍ يَا حَارٍ، وَلَوْ قَالَتْ: يَا زَانِيَةُ أَكْمَلَتْ الْقَذْفَ وَزَادَتْهُ حَرْفًا أَوْ اثْنَيْنِ (وَقَالَ) بَعْضُ النَّاسِ إذَا قَالَ لَهَا يَا: زَانٍ لَاعَنَ أَوْ حُدَّ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ {وَقَالَ نِسْوَةٌ} يوسف: 30 وَقَالَ: وَلَوْ قَالَتْ لَهُ: يَا زَانِيَةُ لَمْ تُحَدَّ.

 

 

Dan jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Wahai pezina!” lalu sang istri menjawab, “Aku berzina denganmu,” dan keduanya saling menuntut hak mereka, maka kami akan meminta penjelasan. Jika istri berkata, “Maksudku adalah dia (suamiku) mencampuriku sebagai suami,” maka dia harus bersumpah dan tidak ada hukuman baginya, sedangkan suami harus melakukan li’an atau dihukum. Namun, jika istri berkata, “Aku berzina dengannya sebelum dia menikahiku,” maka dia telah menuduhnya berzina, dan hukuman had berlaku baginya, sementara suami tidak terkena hukuman karena istri mengakui perzinaannya.

 

Jika suami berkata, “Kamu lebih pezina dariku,” dan istri membalas demikian, maka tidak ada hukuman baginya karena ucapan itu bukan tuduhan jika tidak dimaksudkan sebagai tuduhan, tetapi suami harus dihukum had atau li’an. Jika suami berkata, “Kamu lebih pezina daripada si Fulanah atau paling pezina di antara manusia,” ini tidak dianggap tuduhan kecuali jika dimaksudkan sebagai tuduhan.

 

Jika suami berkata, “Wahai pezina (dengan bentuk pendek: يَا زَانٍ),” ini dianggap tuduhan, karena bentuk ini seperti memanggil Malik dengan “Ya Mal” atau Harits dengan “Ya Har.” Jika istri berkata, “Wahai pezina (يَا زَانِيَةُ),” dia telah sempurna dalam menuduh dan menambah satu atau dua huruf. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika suami berkata “Ya Zanin,” dia harus melakukan li’an atau dihukum, karena Allah berfirman, “Dan berkatalah perempuan-perempuan…” (QS. Yusuf: 30). Namun, jika istri berkata kepada suaminya, “Wahai pezina,” dia tidak dihukum.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَهَذَا جَهْلٌ بِلِسَانِ الْعَرَبِ إذَا تَقَدَّمَ فِعْلُ الْجَمَاعَةِ مِنْ النِّسَاءِ كَانَ الْفِعْلُ مُذَكَّرًا مِثْلَ قَالَ نِسْوَةٌ وَخَرَجَ النِّسْوَةُ وَإِذَا كَانَتْ وَاحِدَةً فَالْفِعْلُ مُؤَنَّثٌ مِثْلَ قَالَتْ وَجَلَسَتْ وَقَائِلُ هَذَا الْقَوْلِ يَقُولُ: لَوْ قَالَ رَجُلٌ: زَنَأْت فِي الْجَبَلِ حُدَّ لَهُ، وَإِنْ كَانَ مَعْرُوفًا عِنْدَ الْعَرَبِ أَنَّهُ صَعِدَتْ فِي الْجَبَلِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Ini adalah kebodohan terhadap bahasa Arab. Jika kata kerja mendahului sekelompok perempuan, maka kata kerjanya berbentuk maskulin, seperti ‘qāla niswatun’ (sekumpulan wanita berkata) dan ‘kharaja an-niswatu’ (para wanita keluar). Sedangkan jika subjeknya tunggal, maka kata kerjanya berbentuk feminin, seperti ‘qālat’ (dia perempuan berkata) dan ‘jalasat’ (dia perempuan duduk). Orang yang mengatakan pendapat ini berkata: ‘Seandainya seorang laki-laki mengatakan ‘zanatu fil jabali’ (aku mendaki gunung), niscaya dia dihukum had, meskipun dalam bahasa Arab dikenal ungkapan ‘sha’idat fil jabali’ (dia mendaki gunung).”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : يَحْلِفُ مَا أَرَادَ إلَّا الرُّقِيَّ فِي الْجَبَلِ وَلَا حُدَّ فَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ حُدَّ إذَا حَلَفَ الْمَقْذُوفُ لَقَدْ أَرَادَ الْقَذْفَ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Dia bersumpah bahwa yang dia maksud hanyalah memanjat gunung dan tidak ada hukuman had. Namun jika dia tidak bersumpah, maka dihukum had apabila orang yang dituduh bersumpah bahwa dia benar-benar bermaksud menuduh zina.”

 

 

وَلَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: زَنَيْت وَأَنْتِ صَغِيرَةٌ، أَوْ قَالَ: وَأَنْتِ نَصْرَانِيَّةٌ أَوْ أَمَةٌ وَقَدْ كَانَتْ نَصْرَانِيَّةً أَوْ أَمَةً أَوْ قَالَ مُسْتَكْرَهَةً أَوْ زَنَى بِك صَبِيٌّ لَا يُجَامِعُ مِثْلُهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ حَدٌّ وَيُعَزَّرُ لِلْأَذَى إلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ، وَلَوْ قَالَ: زَنَيْت قَبْلَ أَنْ أَتَزَوَّجَك حُدَّ وَلَا لِعَانَ؛ لِأَنِّي أَنْظُرُ إلَى يَوْمِ تَكَلَّمَ بِهِ وَيَوْمِ تُوقِعُهُ.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Dan jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Engkau telah berzina ketika engkau masih kecil,” atau mengatakan, “Ketika engkau masih Nasrani atau budak,” padahal dia memang pernah menjadi Nasrani atau budak, atau mengatakan, “Engkau dipaksa,” atau “Engkau dizinai oleh anak kecil yang belum mampu melakukan hubungan seperti itu,” maka tidak ada hukuman had baginya, tetapi dia dihukum ta’zir karena menyakiti kecuali jika dia melakukan li’an. Namun, jika dia mengatakan, “Engkau berzina sebelum aku menikahimu,” maka dia dihukum had dan tidak ada li’an, karena aku melihat pada hari dia mengucapkannya dan hari dia menerapkan hukuman.

 

 

وَلَوْ قَذَفَهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا ثُمَّ قَذَفَهَا وَلَاعَنَهَا وَطَلَبَتْهُ بِحَدِّ الْقَذْفِ قَبْلَ النِّكَاحِ حُدَّ لَهَا، وَلَوْ لَمْ يَلْتَعِنْ حَتَّى حَدَّهُ الْإِمَامُ بِالْقَذْفِ الْأَوَّلِ ثُمَّ طَلَبَتْهُ بِالْقَذْفِ بَعْدَ النِّكَاحِ لَاعَنَ؛ لِأَنَّ حُكْمَهُ قَاذِفًا غَيْرَ زَوْجَتِهِ الْحَدُّ وَحُكْمَهُ قَاذِفًا زَوْجَتَهُ الْحَدُّ أَوْ اللِّعَانُ

 

 

Jika dia menuduhnya (berzina), lalu menikahinya, kemudian menuduhnya lagi dan melaknatnya, serta dia (perempuan) menuntutnya dengan hukuman tuduhan sebelum nikah, maka dia dihukum. Jika dia tidak melaknat hingga imam menghukumnya karena tuduhan pertama, lalu dia (perempuan) menuntutnya karena tuduhan setelah nikah, maka dia (laki-laki) melaknat. Karena hukum bagi orang yang menuduh selain istrinya adalah hukuman had, sedangkan hukum bagi orang yang menuduh istrinya adalah hukuman had atau laknat.

 

 

وَلَوْ قَالَ لَهَا: يَا زَانِيَةُ فَقَالَتْ لَهُ: بَلْ أَنْتَ زَانٍ لَاعَنَهَا وَحُدَّتْ لَهُ وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ لَا حَدَّ وَلَا لِعَانَ فَأَبْطَلَ الْحُكْمَيْنِ جَمِيعًا وَكَانَتْ حُجَّتُهُ أَنْ قَالَ: أَسْتَقْبِحُ أَنْ أُلَاعِنَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ أَحُدَّهَا وَمَا قَبُحَ فَأَقْبَحُ مِنْهُ تَعْطِيلُ حُكْمِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِمَا.

 

 

Dan jika dia (suami) berkata kepadanya (istri), “Wahai pezina!” lalu si istri menjawab, “Bahkan engkaulah pezina,” maka dilakukan li’an terhadapnya dan dihukum had bagi suami. Sebagian orang berpendapat tidak ada had maupun li’an, sehingga membatalkan kedua hukum tersebut. Alasannya adalah, “Aku merasa tidak pantas untuk melakukan li’an antara mereka kemudian menghukum had si istri.” Namun, yang lebih tidak pantas daripada itu adalah meniadakan hukum Allah Ta’ala yang berlaku bagi mereka berdua.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَذَفَهَا وَأَجْنَبِيَّةً بِكَلِمَةٍ لَاعَنَ وَحُدَّ لِلْأَجْنَبِيَّةِ، وَلَوْ قَذَفَ أَرْبَعَ نِسْوَةٍ لَهُ بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ لَاعَنَ كُلَّ وَاحِدَةٍ، وَإِنْ تَشَاحَحْنَ أَيَّتُهُنَّ تَبْدَأُ أُقْرِعَ بَيْنَهُنَّ وَأَيَّتُهُنَّ بَدَأَ الْإِمَامُ بِهَا رَجَوْت أَنْ لَا يَأْثَمَ؛ لِأَنَّهُ لَا يُمْكِنُهُ إلَّا وَاحِدًا وَاحِدًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang menuduh istrinya dan seorang wanita asing dengan satu kalimat, maka dia harus melakukan li’an dan dihukum had untuk wanita asing tersebut. Jika dia menuduh empat istrinya dengan satu kalimat, maka dia harus melakukan li’an untuk masing-masing istri. Jika mereka berselisih tentang siapa yang didahulukan, diadakan undian di antara mereka. Imam yang memulai dengan salah satu dari mereka, aku harap tidak berdosa, karena tidak mungkin melakukannya kecuali satu per satu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ فِي الْحُدُودِ: وَلَوْ قَذَفَ جَمَاعَةً كَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ حَدٌّ فَكَذَلِكَ لَوْ لَمْ يَلْتَعِنْ كَانَ لِكُلِّ امْرَأَةٍ حَدٌّ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata tentang hukum hudud: “Jika seseorang menuduh sekelompok orang (berzina), maka setiap orang berhak mendapatkan hukuman had. Demikian pula, jika dia tidak bersumpah (li’an), maka setiap wanita berhak mendapatkan hukuman had menurut qiyas dari perkataannya.”

 

 

وَلَوْ أَقَرَّ أَنَّهُ أَصَابَهَا فِي الطُّهْرِ الَّذِي رَمَاهَا فِيهِ فَلَهُ أَنْ يُلَاعِنَ وَالْوَلَدُ لَهَا وَذَكَرَ أَنَّهُ قَوْلُ عَطَاءٍ قَالَ: وَذَهَبَ بَعْضُ مَنْ يُنْسَبُ إلَى الْعِلْمِ أَنَّهُ إنَّمَا يُنْفَى الْوَلَدُ إذَا قَالَ: اسْتَبْرَأْتهَا كَأَنَّهُ ذَهَبَ إلَى نَفْيِ وَلَدِ الْعَجْلَانِيِّ إذَا قَالَ: لَمْ أُقِرَّ بِهَا مُنْذُ كَذَا وَكَذَا قِيلَ فَالْعَجْلَانِي سَمَّى الَّذِي رَأَى بِعَيْنِهِ يَزْنِي وَذَكَرَ أَنَّهُ لَمْ يُصِبْهَا فِيهِ أَشْهُرًا وَرَأَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَامَةً تُثْبِتُ صِدْقَ الزَّوْجِ فِي الْوَلَدِ فَلَا يُلَاعِنُ وَيُنْفَى عَنْهُ الْوَلَدُ إذًا إلَّا بِاجْتِمَاعِ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَإِنْ قِيلَ: فَمَا حُجَّتُك فِي أَنَّهُ يُلَاعِنُ وَيَنْفِي الْوَلَدَ، وَإِنْ لَمْ يَدَّعِ الِاسْتِبْرَاءَ؟ .

 

 

Dan jika dia mengakui bahwa dia telah menyetubuhinya pada masa suci di mana dia menuduhnya, maka dia boleh melakukan li’an dan anak tersebut adalah miliknya. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Atha’. Beliau berkata: Sebagian orang yang dianggap berilmu berpendapat bahwa anak hanya dapat ditolak jika dia mengatakan: “Aku telah membersihkannya,” seolah-olah mereka merujuk pada penolakan anak Al-Ajlani jika Beliau berkata: “Aku tidak mengakuinya sejak sekian dan sekian.” Dikatakan bahwa Al-Ajlani menyebutkan orang yang melihat dengan matanya sendiri berzina dan menyatakan bahwa dia tidak menyetubuhinya selama berbulan-bulan. Nabi saw melihat tanda yang membuktikan kebenaran suami mengenai anak, maka li’an tidak dilakukan dan anak tidak ditolak darinya kecuali dengan terkumpulnya semua aspek ini. Jika ada yang bertanya: Apa argumenmu bahwa dia boleh melakukan li’an dan menolak anak meskipun tidak mengklaim pembersihan?

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قُلْت: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ} النور: 4 الْآيَةَ فَكَانَتْ الْآيَةُ عَلَى كُلِّ رَامٍ لِمُحْصَنَةٍ قَالَ الرَّامِي لَهَا: رَأَيْتهَا تَزْنِي أَوْ لَمْ يَقُلْ رَأَيْتهَا تَزْنِي؛ لِأَنَّهُ يَلْزَمُهُ اسْمُ الرَّامِي، وَقَالَ {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} النور: 6 فَكَانَ الزَّوْجُ رَامِيًا قَالَ: رَأَيْت أَوْ عَلِمْت بِغَيْرِ رُؤْيَةٍ وَقَدْ يَكُونُ الِاسْتِبْرَاءُ وَتَلِدُ مِنْهُ فَلَا مَعْنَى لَهُ مَا كَانَ الْفِرَاشُ قَائِمًا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Aku berkata, Allah Ta’ala berfirman {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ} An-Nur: 4 ayat ini berlaku bagi setiap orang yang menuduh wanita yang terjaga kehormatannya. Orang yang menuduhnya bisa mengatakan “Aku melihatnya berzina” atau tidak mengatakannya, karena ia tetap terkena sebutan sebagai penuduh. Dan firman-Nya {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ} An-Nur: 6 maka suami termasuk sebagai penuduh. Ia bisa mengatakan “Aku melihat” atau “Aku mengetahui tanpa melihat”. Bisa juga ada proses istibra’ (masa tunggu) dan ia melahirkan darinya, maka tidak ada artinya selama hubungan suami-istri masih berlangsung.

 

 

قَالَ: وَلَوْ زَنَتْ بَعْدَ الْقَذْفِ أَوْ وُطِئَتْ وَطْئًا حَرَامًا فَلَا حَدَّ عَلَيْهِ وَلَا لِعَانَ إلَّا أَنْ يَنْفِيَ وَلَدًا فَيَلْتَعِنَ؛ لِأَنَّ زِنَاهَا دَلِيلٌ عَلَى صِدْقِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia (istri) berzina setelah dituduh (qadzaf) atau disetubuhi secara haram, maka tidak ada hukuman had atau li’an atasnya, kecuali jika suami ingin menafikan anak, maka dia boleh melakukan li’an. Karena perzinaannya adalah bukti kebenaran tuduhannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – كَيْفَ يَكُونُ دَلِيلًا عَلَى صِدْقِهِ وَالْوَقْتُ الَّذِي رَمَاهَا فِيهِ كَانَتْ فِي الْحُكْمِ غَيْرَ زَانِيَةٍ؟ وَأَصْلُ قَوْلِهِ: إنَّمَا يُنْظَرُ فِي حَالِ مَنْ تَكَلَّمَ بِالرَّمْيِ وَهُوَ فِي ذَلِكَ فِي حُكْمِ مَنْ لَمْ يَزْنِ قَطُّ قَالَ: وَلَوْ لَاعَنَهَا ثُمَّ قَذَفَهَا فَلَا حَدَّ لَهَا كَمَا لَوْ حُدَّ لَهَا ثُمَّ قَذَفَهَا لَمْ يُحَدَّ ثَانِيَةً وَيُنْهَى فَإِنْ عَادَ عُزِّرَ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Bagaimana tuduhan itu bisa menjadi bukti kebenarannya, sementara saat ia menuduh, wanita tersebut secara hukum tidak dianggap berzina?” Pokok ucapannya adalah bahwa yang diperhatikan adalah keadaan orang yang melontarkan tuduhan, sedangkan saat itu ia sendiri dihukumi seperti orang yang tidak pernah berzina. Ia juga berkata: “Seandainya ia melaknat istrinya (li’an), lalu menuduhnya berzina, maka tidak ada hukuman had baginya. Sebagaimana jika ia telah dihukum had lalu menuduhnya lagi, ia tidak dihukum had untuk kedua kalinya, tetapi diperingatkan. Jika mengulangi, ia dihukum ta’zir.”

 

 

وَلَوْ قَذَفَهَا بِرَجُلٍ بِعَيْنِهِ وَطَلَبَا الْحَدَّ فَإِنْ الْتَعَنَ فَلَا حَدَّ لَهُ إذَا بَطَلَ الْحَدُّ لَهَا بَطَلَ لَهُ، وَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ حُدَّ لَهُمَا أَوْ لِأَيِّهِمَا طَلَبَ؛ لِأَنَّهُ قَذْفٌ وَاحِدٌ فَحُكْمُهُ حُكْمُ الْحَدِّ الْوَاحِدِ إذَا كَانَ لِعَانٌ وَاحِدٌ أَوْ حَدٌّ وَاحِدٌ، وَقَدْ رَمَى الْعَجْلَانِيُّ امْرَأَتَهُ بِرَجُلٍ سَمَّاهُ وَهُوَ ابْنُ السَّحْمَاءِ رَجُلٌ مُسْلِمٌ فَلَاعَنَ بَيْنَهُمَا وَلَمْ يَحُدَّهُ لَهُ، وَلَوْ قَذَفَهَا غَيْرُ الزَّوْجِ حُدَّ؛ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ حِينَ لَزِمَهَا الْحُكْمُ بِالْفُرْقَةِ وَنَفْيِ الْوَلَدِ زَانِيَةً حُدَّتْ وَلَزِمَهَا اسْمُ الزِّنَا وَلَكِنَّ حُكْمَ اللَّهِ تَعَالَى ثُمَّ حُكْمَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِيهِمَا هَكَذَا، وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهِ أَنَّهُ قَذَفَهَا حُبِسَ حَتَّى يَعْدِلُوا.

 

 

Dan jika dia (suami) menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki tertentu dan keduanya menuntut had, lalu mereka saling melaknat (li’an), maka tidak ada had baginya. Jika had bagi istri batal, maka had bagi suami juga batal. Namun jika tidak saling melaknat, had dijatuhkan kepada keduanya atau kepada siapa pun yang menuntutnya, karena itu adalah satu tuduhan sehingga hukumnya seperti hukum satu had jika terjadi satu li’an atau satu had. Al-Ajlani pernah menuduh istrinya berzina dengan seorang laki-laki yang dia sebut namanya, yaitu Ibn Al-Sahma’, seorang muslim. Maka dilakukan li’an antara keduanya, dan dia tidak dijatuhi had. Seandainya yang menuduh bukan suami, maka had dijatuhkan, karena jika istri saat itu terkena hukum perceraian dan penafian anak adalah pezina, maka dia dijatuhi had dan terkena sebutan zina. Tetapi hukum Allah Ta’ala dan kemudian hukum Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bagi keduanya adalah seperti ini. Dan jika ada saksi yang bersaksi bahwa dia menuduh istrinya, maka dia ditahan sampai mereka (saksi) menarik kembali kesaksiannya.

 

 

وَلَا يُكَفَّلُ رَجُلٌ فِي حَدٍّ وَلَا لِعَانٍ وَلَا يُحْبَسُ بِوَاحِدٍ.

 

 

Dan tidak boleh seseorang ditahan dalam hukuman had atau li’an, dan tidak boleh dipenjara karena satu hal.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا دَلِيلٌ عَلَى إثْبَاتِهِ كَفَالَةَ الْوَجْهِ فِي غَيْرِ الْحَدِّ، وَلَوْ قَالَ: زَنَى فَرْجُك أَوْ يَدُك أَوْ رِجْلُك فَهُوَ قَذْفٌ وَكُلُّ مَا قَالَهُ وَكَانَ يُشْبِهُ الْقَذْفَ إذَا احْتَمَلَ غَيْرَهُ لَمْ يَكُنْ قَذْفًا، وَقَدْ «أَتَى رَجُلٌ مِنْ فَزَارَةَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ: إنَّ امْرَأَتِي وَلَدَتْ غُلَامًا أَسْوَدَ فَلَمْ يَجْعَلْهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَذْفًا» وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ} البقرة: 235 فَكَانَ خِلَافًا لِلتَّصْرِيحِ وَلَا يَكُونُ اللِّعَانُ إلَّا عِنْدَ سُلْطَانٍ أَوْ عُدُولٍ يَبْعَثُهُمْ السُّلْطَانُ

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Ini adalah dalil yang menetapkan jaminan wajah selain dalam hudud. Seandainya seseorang berkata, “Kemaluanmu, tanganmu, atau kakimu berzina,” itu termasuk qadzaf. Namun, segala perkataan yang menyerupai qadzaf tetapi memiliki kemungkinan makna lain, maka bukanlah qadzaf. Telah diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari suku Fazarah datang kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan berkata, “Istriku melahirkan anak berkulit hitam,” namun Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak menganggapnya sebagai qadzaf. Allah Ta’ala berfirman, {Dan tidak ada dosa bagimu dalam apa yang kamu sindirkan tentang lamaran kepada wanita} Al-Baqarah: 235. Ini berbeda dengan pernyataan tegas. Dan li’an hanya dilakukan di hadapan penguasa atau orang-orang adil yang diutus oleh penguasa.

 

بَابٌ فِي الشَّهَادَةِ فِي اللِّعَانِ

Bab tentang Kesaksian dalam Li’an

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا جَاءَ الزَّوْجُ وَثَلَاثَةٌ يَشْهَدُونَ عَلَى امْرَأَتِهِ مَعًا بِالزِّنَا لَاعَنَ الزَّوْجُ فَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ حُدَّ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الزَّوْجِ غَيْرُ حُكْمِ الشُّهُودِ؛ لِأَنَّ الشُّهُودَ لَا يُلَاعِنُونَ وَيَكُونُونَ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ قَذَفَةً يُحَدُّونَ إذَا لَمْ يُتِمُّوا أَرْبَعَةً، وَإِذَا عَلِمَ بِأَنَّهَا قَدْ وَتَّرَتْهُ فِي نَفْسِهِ بِأَعْظَمَ مِنْ أَنْ تَأْخُذَ كَثِيرَ مَالِهِ أَوْ تَشْتُمَ عِرْضَهُ أَوْ تَنَالَهُ بِشَدِيدٍ مِنْ الضَّرْبِ بِمَا يُبْقِي عَلَيْهِ مِنْ الْعَارِ فِي نَفْسِهِ بِزِنَاهَا تَحْتَهُ وَعَلَى وَلَدِهِ فَلَا عَدَاوَةَ تَصِيرُ إلَيْهِمَا فِيمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ تَكَادُ تَبْلُغُ هَذَا وَنَحْنُ لَا نُجِيزُ شَهَادَةَ عَدُوٍّ عَلَى عَدُوِّهِ، وَلَوْ قَذَفَهَا وَانْتَفَى مِنْ حَمْلِهَا فَجَاءَ بِأَرْبَعَةٍ فَشَهِدُوا أَنَّهَا زَنَتْ لَمْ يُلَاعِنْ حَتَّى تَلِدَ فَيَلْتَعِنَ إذَا أَرَادَ نَفْيَ الْوَلَدِ فَإِنْ لَمْ يَلْتَعِنْ لَحِقَهُ الْوَلَدُ وَلَمْ تُحَدَّ حَتَّى تَضَعَ ثُمَّ تُحَدُّ قَالَ: وَلَوْ جَاءَ بِشَاهِدَيْنِ عَلَى إقْرَارِهَا بِالزِّنَا لَمْ يُلَاعِنْ وَلَمْ يُحَدَّ وَلَا حَدَّ عَلَيْهَا، وَلَوْ قَذَفَهَا وَقَالَ: كَانَتْ أَمَةً أَوْ مُشْرِكَةً فَعَلَيْهَا الْبَيِّنَةُ أَنَّهَا يَوْمَ قَذَفَهَا حُرَّةٌ مُسْلِمَةٌ؛ لِأَنَّهَا مُدَّعِيَةٌ الْحَدَّ وَعَلَيْهِ الْيَمِينُ وَيُعَزَّرُ إلَّا أَنْ يَلْتَعِنَ، وَلَوْ كَانَتْ حُرَّةً مُسْلِمَةً وَادَّعَى أَنَّهَا مُرْتَدَّةٌ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ، وَلَوْ ادَّعَى أَنَّ لَهُ الْبَيِّنَةَ عَلَى إقْرَارِهَا بِالزِّنَا فَسَأَلَ الْأَجَلَ لَمْ أُؤَجِّلْهُ إلَّا يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ فَإِنْ جَاءَ بِهَا وَإِلَّا حُدَّ أَوْ لَاعَنَ، وَلَوْ أَقَامَتْ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ قَذَفَهَا كَبِيرَةً وَأَقَامَ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ قَذَفَهَا صَغِيرَةً فَهَذَانِ قَذْفَانِ مُفْتَرَقَانِ، وَلَوْ اجْتَمَعَ شُهُودُهَا عَلَى وَقْتٍ وَاحِدٍ فَهِيَ مُتَصَادِمَةٌ وَلَا حَدَّ وَلَا لِعَانَ، وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهِ شَاهِدَانِ أَنَّهُ قَذَفَهُمَا وَقَذَفَ امْرَأَتَهُ لَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهَا إلَّا أَنْ يَعْفُوَا قَبْلَ أَنْ يَشْهَدَا وَيَرَى مَا بَيْنَهُمَا وَبَيْنَهُ حَسُنَ فَيَجُوزَا، وَلَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَذَفَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ وَالْآخَرُ أَنَّهُ قَذَفَهَا بِالْفَارِسِيَّةِ لَمْ يَجُوزَا؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ الْكَلَامَيْنِ غَيْرُ الْآخَرِ وَيُقْبَلُ كِتَابُ الْقَاضِي بِقَذْفِهَا وَتُقْبَلُ الْوَكَالَةُ فِي تَثْبِيتِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْحُدُودِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ الْحَدَّ أَوْ يَأْخُذَ اللِّعَانَ أَحْضَرَ الْمَأْخُوذَ لَهُ الْحَدُّ وَاللِّعَانُ وَأَمَّا حُدُودُ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَتُدْرَأُ بِالشُّبُهَاتِ.

 

 

(Imam Syafi’i—rahimahullah Ta’ala—berkata): Jika seorang suami datang bersama tiga orang saksi yang bersama-sama bersaksi atas istrinya berzina, maka suami harus melakukan li’an. Jika tidak melakukan li’an, ia dihukum had karena hukum bagi suami berbeda dengan hukum bagi saksi. Para saksi tidak melakukan li’an, dan menurut mayoritas ulama, mereka dianggap sebagai penuduh zina yang wajib dihukum had jika tidak memenuhi empat saksi.

 

Jika suami mengetahui bahwa istrinya telah menyakitinya dengan sesuatu yang lebih besar daripada mengambil hartanya, menodai kehormatannya, atau menyiksanya dengan pukulan yang parah sehingga menimbulkan aib baginya karena perzinaan istrinya yang melibatkan dirinya dan anaknya, maka tidak ada permusuhan yang terjadi antara suami dan istri yang mencapai tingkat ini. Kami tidak menerima kesaksian musuh terhadap musuhnya.

 

Jika suami menuduh istrinya berzina dan istri tidak hamil, lalu suami mendatangkan empat saksi yang bersaksi bahwa istrinya berzina, maka li’an tidak dilakukan sampai istri melahirkan. Jika suami ingin menolak anak tersebut, ia harus melakukan li’an. Jika tidak melakukan li’an, anak tetap dinisbatkan kepadanya, dan istri tidak dihukum had sampai melahirkan, baru kemudian dihukum had.

 

Dia (Imam Syafi’i) berkata: Jika suami mendatangkan dua saksi atas pengakuan istri berzina, maka tidak ada li’an atau hukuman had baginya maupun istrinya. Jika suami menuduhnya dan berkata, “Dia dulu seorang budak atau musyrik,” maka istri harus mendatangkan bukti bahwa pada saat dituduh, ia adalah seorang merdeka dan muslimah karena dialah yang menuntut had. Suami harus bersumpah dan dihukum ta’zir kecuali jika melakukan li’an.

 

Jika istri seorang merdeka dan muslimah, lalu suami mengklaim bahwa ia murtad, maka suami harus mendatangkan bukti. Jika suami mengaku memiliki bukti atas pengakuan istri berzina dan meminta penundaan, aku tidak akan menundanya kecuali satu atau dua hari. Jika ia tidak mendatangkan bukti, ia dihukum had atau melakukan li’an.

 

Jika istri mendatangkan bukti bahwa suami menuduhnya (zina) saat ia sudah baligh, dan suami mendatangkan bukti bahwa ia menuduhnya saat masih kecil, maka kedua tuduhan ini terpisah. Jika para saksi berkumpul pada waktu yang sama, maka kesaksiannya saling bertentangan, tidak ada had atau li’an.

 

Jika dua orang saksi bersaksi bahwa suami menuduh mereka dan istrinya berzina, kesaksian mereka tidak diterima kecuali jika mereka memaafkan sebelum bersaksi dan hubungan mereka dengan suami baik sehingga kesaksiannya sah. Jika salah satu saksi bersaksi bahwa suami menuduh istrinya dalam bahasa Arab dan yang lain dalam bahasa Persia, kesaksian tidak sah karena kedua ucapan itu berbeda.

 

Surat dari qadhi tentang tuduhan zina dapat diterima, dan perwakilan dalam menetapkan bukti untuk hudud juga diterima. Ketika hendak menetapkan had atau melakukan li’an, orang yang dikenai had atau li’an harus dihadirkan. Adapun hudud Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat ditolak dengan adanya syubhat.

 

الْوَقْتُ فِي نَفْيِ الْوَلَدِ وَمَنْ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْفِيَهُ وَنَفْيِ وَلَدِ الْأَمَةِ

 

Waktu dalam menafikan anak dan orang yang tidak berhak menafikannya serta penafian anak dari budak perempuan.

مِنْ كِتَابَيْ لِعَانٍ قَدِيمٍ وَجَدِيدٍ.

 

dari dua kitab la’nat yang lama dan baru.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا عَلِمَ الزَّوْجُ بِالْوَلَدِ فَأَمْكَنَهُ الْحَاكِمُ أَوْ مَنْ يَلْقَاهُ لَهُ إمْكَانًا بَيِّنًا فَتَرَكَ اللِّعَانَ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَنْفِيَهُ كَمَا يَكُونُ بَيْعُ الشِّقْصِ فِيهِ الشُّفْعَةُ، وَإِنْ تَرَكَ الشَّفِيعُ فِي تِلْكَ الْمُدَّةِ لَمْ تَكُنْ الشُّفْعَةُ لَهُ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يَعْلَمَ بِالْوَلَدِ فَيَكُونُ لَهُ نَفْيُهُ حَتَّى يُقِرَّ بِهِ جَازَ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ الْوَلَدُ شَيْخًا وَهُوَ مُخْتَلِفٌ مَعَهُ اخْتِلَافَ الْوَلَدِ، وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ يَكُونُ لَهُ نَفْيُهُ ثَلَاثًا، وَإِنْ كَانَ حَاضِرًا كَانَ مَذْهَبًا وَقَدْ مَنَعَ اللَّهُ مَنْ قَضَى بِعَذَابِهِ ثَلَاثًا وَأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَذِنَ لِلْمُهَاجِرِ بَعْد قَضَاءَ نُسُكِهِ فِي مَقَامِ ثَلَاثٍ بِمَكَّةَ» وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ: إنْ لَمْ يُشْهِدْ مَنْ حَضَرَهُ بِذَلِكَ فِي يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ لَمْ يَكُنْ لَهُ نَفْيُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seorang suami mengetahui (kelahiran) anak, lalu hakim atau orang yang ditemuinya memberinya kesempatan yang jelas untuk melakukan li’an, namun ia meninggalkan li’an, maka ia tidak berhak menafikan anak tersebut. Sebagaimana dalam jual beli bagian yang mengandung hak syuf’ah, jika pemilik hak syuf’ah meninggalkannya dalam waktu yang ditentukan, maka hak syuf’ah tidak lagi menjadi miliknya. Seandainya boleh baginya mengetahui anak lalu menafikannya hingga ia mengakuinya, maka hal itu bisa terjadi bahkan setelah anak menjadi tua dan berselisih dengannya seperti perselisihan anak dengan orang tua. Seandainya ada yang berkata bahwa ia boleh menafikannya tiga kali, meskipun hadir, itu adalah pendapat (yang lemah). Allah telah melarang orang yang memutuskan siksanya tiga kali, dan bahwa ‘Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengizinkan seorang Muhajir setelah menyelesaikan manasiknya untuk tinggal di Makkah selama tiga hari.’ Dalam pendapat lamanya, beliau juga berkata: ‘Jika ia tidak mempersaksikan kepada orang yang hadir dalam waktu satu atau dua hari, maka ia tidak berhak menafikannya.'”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) لَوْ جَازَ فِي يَوْمَيْنِ جَازَ فِي ثَلَاثَةٍ وَأَرْبَعَةٍ فِي مَعْنَى ثَلَاثَةٍ وَقَدْ قَالَ لِمَنْ جَعَلَ لَهُ نَفْيَهُ فِي تِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَأَبَاهُ فِي أَرْبَعِينَ: مَا الْفَرْقُ بَيْنَ الصَّمْتَيْنِ؟ فَقَوْلُهُ فِي أَوَّلِ الثَّانِيَةِ أَشْبَهُ عِنْدِي بِمَعْنَاهُ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Seandainya boleh dalam dua hari, maka boleh pula dalam tiga dan empat hari dengan makna tiga. Dan sungguh dia telah berkata kepada orang yang menetapkan penafiannya pada tiga puluh sembilan dan menolaknya pada empat puluh: “Apa perbedaan antara dua diam itu?” Maka ucapannya di awal yang kedua lebih mirip menurutku dengan maknanya, dan hanya kepada Allah pertolongan.

 

(قَالَ) : وَأَيُّ مُدَّةٍ؟ قُلْت لَهُ: نَفْيُهُ فِيهَا فَأَشْهَدَ عَلَى نَفْيِهِ وَهُوَ مَشْغُولٌ بِمَا يَخَافُ قُوَّتَهُ أَوْ بِمَرَضٍ لَمْ يَنْقَطِعْ نَفْيُهُ، وَإِنْ كَانَ غَائِبًا فَبَلَغَهُ فَأَقَامَ لَمْ يَكُنْ لَهُ نَفْيُهُ إلَّا بِأَنْ يُشْهِدَ عَلَى نَفْيِهِ ثُمَّ يَقْدَمُ فَإِنْ قَالَ: لَمْ أُصَدِّقْ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ، وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فَقَالَ: لَمْ أَعْلَمْ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ، وَلَوْ رَآهَا حُبْلَى فَلَمَّا وَلَدَتْ نَفَاهُ فَإِنْ قَالَ: لَمْ أَدْرِ لَعَلَّهُ لَيْسَ بِحَمْلٍ لَاعَنَ، وَإِنْ قَالَ: قُلْت: لَعَلَّهُ بِمَوْتٍ فَأَسْتُرُ عَلَيَّ وَعَلَيْهَا لَزِمَهُ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ نَفْيُهُ، وَلَوْ هُنِّئَ بِهِ فَرَدَّ خَيْرًا وَلَمْ يُقِرَّ بِهِ لَمْ يَكُنْ هَذَا إقْرَارًا؛ لِأَنَّهُ يُكَافِئُ الدُّعَاءَ بِالدُّعَاءِ.

 

 

Beliau berkata: “Berapa lama?” Aku menjawab: “Penafiannya dalam hal itu, lalu dia mempersaksikan penafiannya sementara dia sibuk dengan sesuatu yang dikhawatirkan kekuatannya atau karena sakit yang tidak terputus penafiannya. Jika dia tidak hadir lalu kabar itu sampai kepadanya dan dia menetap, maka penafiannya tidak sah kecuali dengan mempersaksikan penafiannya terlebih dahulu kemudian dia datang. Jika Beliau berkata: ‘Aku tidak membenarkan,’ maka perkataannya yang dipegang. Jika dia hadir lalu berkata: ‘Aku tidak tahu,’ maka perkataannya yang dipegang. Jika dia melihatnya hamil lalu setelah melahirkan dia menafikannya, jika Beliau berkata: ‘Aku tidak tahu, mungkin itu bukan kehamilan,’ maka dia boleh melakukan li’an. Jika Beliau berkata: ‘Aku katakan mungkin karena kematian, lalu aku menutupi untukku dan untuknya,’ maka itu mengikatnya dan penafiannya tidak sah. Jika dia diberi ucapan selamat lalu membalas dengan kebaikan dan tidak mengakuinya, maka ini bukan pengakuan, karena itu hanya membalas doa dengan doa.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

 

وَأَمَّا وَلَدُ الْأَمَةِ «فَإِنَّ سَعْدًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةُ قَدْ كَانَ عَهِدَ إلَيَّ فِيهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي وُلِدَ عَلَى فِرَاشِهِ، فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هُوَ لَك يَا عَبْدَ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ» فَأَعْلَمَ أَنَّ الْأَمَةَ تَكُون فِرَاشًا مَعَ أَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: لَا تَأْتِينِي وَلِيدَةٌ تَعْتَرِفُ لِسَيِّدِهَا أَنَّهُ أَلَمَّ بِهَا إلَّا أَلْحَقْت بِهِ وَلَدَهَا فَأَرْسِلُوهُنَّ بَعْدُ أَوْ أَمْسِكُوهُنَّ وَإِنَّمَا أَنْكَرَ عُمَرُ حَمْلَ جَارِيَةٍ لَهُ فَسَأَلَهَا فَأَخْبَرَتْهُ أَنَّهُ مِنْ غَيْرِهِ، وَأَنْكَرَ زَيْدٌ حَمْلَ جَارِيَةٍ لَهُ وَهَذَا إنْ حَمَلَتْ وَكَانَ عَلَى إحَاطَةٍ مِنْ أَنَّهَا مَنْ تَحْمِلُ مِنْهُ فَوَاسِعٌ لَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي امْرَأَتِهِ الْحُرَّةِ أَوْ الْأَمَةِ أَنْ يَنْفِيَ وَلَدَهَا قَالَ: وَلَوْ قَالَ: كُنْت أَعْزِلُ عَنْهَا أَلْحَقْت الْوَلَدَ بِهِ إلَّا أَنْ يَدَّعِيَ اسْتِبْرَاءً بَعْدَ الْوَطْءِ فَيَكُونُ دَلِيلًا لَهُ، وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: لَوْ وَلَدَتْ جَارِيَةٌ يَطَؤُهَا فَلَيْسَ هُوَ وَلَدَهُ إلَّا أَنْ يُقِرَّ بِهِ فَإِنْ أَقَرَّ بِوَاحِدٍ ثُمَّ جَاءَتْ بَعْدَهُ بِآخَرَ فَلَهُ نَفْيُهُ؛ لِأَنَّ إقْرَارَهُ بِالْأَوَّلِ لَيْسَ بِإِقْرَارٍ بِالثَّانِي وَلَهُ عَبْدُهُ أَنْ يُقِرَّ بِوَاحِدٍ وَيَنْفِيَ ثَانِيًا وَبِثَالِثٍ وَيَنْفِيَ رَابِعًا ثُمَّ قَالُوا: لَوْ أَقَرَّ بِوَاحِدٍ ثُمَّ جَاءَتْ بَعْدَهُ بِوَلَدٍ فَلَمْ يَنْفِهِ حَتَّى مَاتَ فَهُوَ ابْنُهُ وَلَمْ يَدَّعِهِ قَطُّ ثُمَّ قَالُوا: لَوْ أَنَّ قَاضِيًا زَوَّجَ امْرَأَةً رَجُلًا فِي مَجْلِسِ الْقَضَاءِ فَفَارَقَهَا سَاعَةَ مَلَكَ عُقْدَةَ نِكَاحِهَا ثَلَاثًا ثُمَّ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ لَزِمَ الزَّوْجَ قَالُوا: هَذَا فِرَاشٌ قِيلَ: وَهَلْ كَانَ فِرَاشًا قَطُّ يُمْكِنُ فِيهِ الْجِمَاعُ.

 

 

Adapun anak dari budak perempuan, Sa’d berkata: “Wahai Rasulullah, anak saudaraku Utbah telah berwasiat kepadaku tentangnya.” Abdullah bin Zam’ah berkata: “Dia adalah saudaraku dan anak dari budak perempuan ayahku yang dilahirkan di tempat tidurnya.” Maka Nabi � bersabda: “Anak itu milikmu, wahai Abdullah bin Zam’ah. Anak itu untuk pemilik tempat tidur, sedangkan pezina hanya berhak mendapatkan batu.” Hal ini menunjukkan bahwa budak perempuan bisa menjadi tempat tidur (menjadi sebab nasab), meskipun diriwayatkan dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: “Jangan sampai ada budak perempuan yang mengakui kepada tuannya bahwa tuannya telah menyetubuhinya, kecuali aku akan menghubungkan anaknya kepada tuannya. Setelah itu, mereka boleh membebaskan atau menahannya.” Umar pernah mengingkari kehamilan budak perempuannya, lalu ia bertanya kepadanya, dan budak itu memberitahunya bahwa anak itu bukan darinya. Zaid juga pernah mengingkari kehamilan budaknya. Jika budak itu hamil dan tuannya yakin bahwa dia tidak mungkin hamil darinya, maka dia boleh menafikan anak itu dalam urusannya dengan Allah Ta’ala, baik istrinya itu perempuan merdeka atau budak. Beliau berkata: “Seandainya Beliau berkata: ‘Aku pernah mengeluarkan mani di luar (azl) darinya,’ aku tetap akan menghubungkan anak itu kepadanya, kecuali jika dia mengklaim melakukan istibra’ (menunggu satu kali haid) setelah berhubungan, maka itu menjadi bukti baginya.” Sebagian orang berkata: “Jika budak perempuan yang disetubuhi melahirkan, anak itu bukan anaknya kecuali jika dia mengakuinya. Jika dia mengakui satu anak, kemudian budak itu melahirkan anak lain setelahnya, dia boleh menafikannya, karena pengakuan terhadap anak pertama bukanlah pengakuan terhadap anak kedua. Seorang budak boleh mengakui satu anak dan menafikan anak kedua, ketiga, dan keempat.” Mereka juga berkata: “Jika dia mengakui satu anak, kemudian budak itu melahirkan anak lain setelahnya dan dia tidak menafikannya sampai dia meninggal, maka anak itu adalah anaknya, meskipun dia tidak pernah mengakuinya.” Mereka juga berkata: “Jika seorang qadhi menikahkan seorang wanita dengan seorang laki-laki di majelis peradilan, lalu suaminya menceraikannya seketika setelah akad nikahnya sempurna, kemudian wanita itu melahirkan anak setelah enam bulan, maka anak itu tetap dihubungkan kepada suaminya.” Mereka berkata: “Ini adalah tempat tidur (menjadi sebab nasab).” Ditanyakan: “Apakah pernah ada tempat tidur yang memungkinkan terjadinya hubungan intim?”

(قَالَ الشَّافِعِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا أَحَاطَ الْعِلْمَ أَنَّ الْوَلَدَ لَيْسَ مِنْ الزَّوْجِ فَالْوَلَدُ مَنْفِيٌّ عَنْهُ بِلَا لِعَانٍ

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika telah diketahui dengan pasti bahwa anak itu bukan dari suami, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya tanpa perlu li’an.”

كِتَابُ الْعِدَدِ

 

عِدَّةُ الْمَدْخُولِ بِهَا

 

Masa Iddah bagi Perempuan yang Telah Disetubuhi

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

 

عِدَّةُ الْمَدْخُولِ بِهَا مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الْعِدَدِ وَمِنْ كِتَابِ الرَّجْعَةِ وَالرِّسَالَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} البقرة: 228 قَالَ: وَالْأَقْرَاءُ عِنْدَهُ الْأَطْهَارُ – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – بِدَلَالَتَيْنِ أُولَاهُمَا: الْكِتَابُ الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ السُّنَّةُ وَالْأُخْرَى اللِّسَانُ.

 

 

Masa iddah wanita yang telah digauli (dari kitab Al-‘Iddah, kitab Ar-Raj’ah, dan Ar-Risalah). Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata: Allah Ta’ala berfirman {Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’} QS. Al-Baqarah: 228. Beliau berkata: “Al-Aqra’ menurut beliau adalah masa suci -wallahu a’lam- berdasarkan dua petunjuk: pertama Kitabullah yang ditunjukkan oleh Sunnah, dan kedua bahasa (Arab).”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ} الطلاق: 1

Allah Ta’ala berfirman: “Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.” (QS. At-Talaq: 1)

 

وَقَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – فِي غَيْرِ حَدِيثٍ «لَمَّا طَلَّقَ ابْنُ عُمَرَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ يَرْتَجِعُهَا فَإِذَا طَهُرَتْ فَلْيُطَلِّقْ أَوْ لِيُمْسِك»

Dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda dalam beberapa hadis: “Ketika Ibnu Umar menceraikan istrinya saat haid, ia diperintahkan untuk merujuknya. Jika istrinya telah suci, maka ia boleh menceraikannya atau tetap mempertahankannya.”

 

وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «إذَا طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِقِبَلِ عِدَّتِهِنَّ أَوْ فِي قِبَلِ عِدَّتِهِنَّ»

Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika kalian menceraikan wanita, maka ceraikanlah mereka di awal iddah mereka atau pada saat iddah mereka.”

 

الشَّافِعِيُّ شَكَّ فَأَخْبَرَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ اللَّهِ تَعَالَى أَنَّ الْعِدَّةَ الْأَطْهَارُ دُونَ الْحَيْضِ

Imam Syafi’i ragu, lalu Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memberitahukan dari Allah Ta’ala bahwa iddah itu dihitung berdasarkan masa suci, bukan haid.

 

وَقَرَأَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِقِبَلِ عِدَّتِهِنَّ وَهُوَ أَنْ يُطَلِّقَهَا طَاهِرًا؛ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ تَسْتَقْبِلُ عِدَّتَهَا، وَلَوْ طَلُقَتْ حَائِضًا لَمْ تَكُنْ مُسْتَقْبِلَةً عِدَّتَهَا إلَّا مِنْ بَعْدِ الْحَيْضِ

Dan beliau membaca: “Maka ceraikanlah mereka di awal iddah mereka,” yaitu menceraikannya dalam keadaan suci, karena saat itu ia memasuki iddahnya. Jika dicerai saat haid, ia tidak memasuki iddahnya kecuali setelah haid selesai.

 

وَالْقُرْءُ اسْمٌ وُضِعَ لِمَعْنًى فَلَمَّا كَانَ الْحَيْضُ دَمًا يُرْخِيهِ الرَّحِمُ فَيَخْرُجُ وَالطُّهْرُ دَمًا يُحْتَبَسُ فَلَا يَخْرُجُ كَانَ مَعْرُوفًا مِنْ لِسَانِ الْعَرَبِ أَنَّ الْقُرْءَ الْحَبْسُ

Kata “quru'” adalah istilah yang memiliki makna. Karena haid adalah darah yang dikeluarkan rahim, sedangkan suci adalah darah yang tertahan dan tidak keluar, maka dalam bahasa Arab diketahui bahwa “quru'” berarti menahan.

 

تَقُولُ الْعَرَبُ: هُوَ يُقْرِي الْمَاءَ فِي حَوْضِهِ وَفِي سِقَائِهِ وَتَقُولُ هُوَ يُقْرِي الطَّعَامَ فِي شِدْقِهِ

Orang Arab berkata: “Ia menahan air di kolamnya atau di kantong airnya,” dan mereka juga berkata: “Ia menahan makanan di mulutnya.”

 

وَقَالَتْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – هَلْ تَدْرُونَ مَا الْأَقْرَاءُ الْأَقْرَاءُ الْأَطْهَارُ

Aisyah -radhiyallahu ‘anha- berkata: “Tahukah kalian apa itu aqra’? Aqra’ adalah masa suci.”

 

وَقَالَتْ إذَا طَعَنَتْ الْمُطَلَّقَةُ فِي الدَّمِ مِنْ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ

Dan Beliau berkata: “Jika wanita yang dicerai telah memasuki darah haid ketiga, maka ia telah bebas dari iddahnya.”

 

وَالنِّسَاءُ بِهَذَا أَعْلَمُ

Dan para wanita lebih mengetahui hal ini.

 

وَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَابْنُ عُمَرَ إذَا دَخَلَتْ فِي الدَّمِ مِنْ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ فَقَدْ بَرِئَتْ وَبَرِئَ مِنْهَا وَلَا تَرِثُهُ وَلَا يَرِثُهَا.

Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar berkata: “Jika wanita telah memasuki darah haid ketiga, maka ia telah bebas dari iddahnya, dan suaminya juga bebas darinya. Dia tidak mewarisinya, dan suaminya juga tidak mewarisinya.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْأَقْرَاءُ الْأَطْهَارُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Al-aqra’ adalah masa suci, dan Allah lebih mengetahui.”

 

وَلَا يُمْكِنُ أَنْ يُطَلِّقَهَا طَاهِرًا إلَّا وَقَدْ مَضَى بَعْضُ الطُّهْرِ، وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى {الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ} البقرة: 197 وَكَانَ شَوَّالُ وَذُو الْقَعْدَةِ كَامِلَيْنِ وَبَعْضُ ذِي الْحِجَّةِ كَذَلِكَ الْأَقْرَاءُ طُهْرَانِ كَامِلَانِ وَبَعْضُ طُهْرٍ وَلَيْسَ فِي الْكِتَابِ وَلَا فِي السُّنَّةِ لِلْغُسْلِ بَعْدَ الْحَيْضَةِ الثَّالِثَةِ مَعْنًى تَنْقَضِي بِهِ الْعِدَّةُ.

 

 

Dan tidak mungkin dia menceraikannya dalam keadaan suci kecuali telah berlalu sebagian masa suci. Allah Ta’ala berfirman, “Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah: 197). Bulan Syawal dan Dzulqa’dah adalah dua bulan penuh, dan sebagian Dzulhijjah juga demikian. Masa iddah adalah dua masa suci penuh dan sebagian masa suci. Tidak ada dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah makna mandi setelah haid ketiga yang mengakhiri masa iddah.

 

 

وَلَوْ طَلَّقَهَا طَاهِرًا قَبْلَ جِمَاعٍ أَوْ بَعْدَهُ ثُمَّ حَاضَتْ بَعْدَهُ بِطَرْفَةٍ فَذَلِكَ قُرْءٌ وَتُصَدَّقُ عَلَى ثَلَاثَةِ قُرُوءٍ فِي أَقَلَّ مَا يُمْكِنُ وَأَقَلُّ مَا عَلِمْنَاهُ مِنْ الْحَيْضِ يَوْمٌ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ.

 

 

Dan jika dia menceraikannya dalam keadaan suci sebelum berhubungan atau sesudahnya, kemudian dia haid setelahnya dalam sekejap, maka itu adalah satu quru’. Dan diyakini tiga quru’ dalam waktu sesingkat mungkin. Dan sesingkat-singkatnya haid yang kami ketahui adalah sehari. Dan dia berkata di tempat lain: sehari semalam.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهَذَا أَوْلَى؛ لِأَنَّهُ زِيَادَةٌ فِي الْخَبَرِ وَالْعِلْمِ وَقَدْ يَحْتَمِلُ قَوْلُهُ يَوْمًا بِلَيْلَةٍ فَيَكُونُ الْمُفَسَّرُ مِنْ قَوْلٍ يَقْضِي عَلَى الْمُجْمَلِ وَهَكَذَا أَصْلُهُ فِي الْعِلْمِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih utama, karena ia merupakan tambahan dalam kabar dan ilmu. Dan mungkin saja perkataannya ‘sehari dengan semalam’ mengandung makna yang dijelaskan dari suatu perkataan yang menghukumi yang global, dan demikianlah asalnya dalam ilmu.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ عَلِمْنَا أَنَّ طُهْرَ امْرَأَةٍ أَقَلُّ مِنْ خَمْسَةَ عَشَرَ جَعَلْنَا الْقَوْلَ فِيهِ قَوْلَهَا وَكَذَلِكَ تُصَدَّقُ عَلَى الصِّدْقِ، وَلَوْ رَأَتْ الدَّمَ فِي الثَّلَاثَةِ دَفْعَةً ثُمَّ ارْتَفَعَ يَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً أَوْ أَكْثَرَ فَإِنْ كَانَ الْوَقْتُ الَّذِي رَأَتْ فِيهِ الدَّفْعَةَ فِي أَيَّامِ حَيْضِهَا وَرَأَتْ صُفْرَةً أَوْ كُدْرَةً أَوْ لَمْ تَرَ طُهْرًا حَتَّى يُكْمِلَ يَوْمًا وَلَيْلَةً فَهُوَ حَيْضٌ، وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِ أَيَّامِ الْحَيْضِ فَكَذَلِكَ إذَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ بَيْنَ رُؤْيَتِهَا الدَّمَ وَالْحَيْضَ قَبْلَهُ قَدْرُ طُهْرٍ، وَإِنْ رَأَتْ الدَّمَ أَقَلَّ مِنْ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَمْ يَكُنْ حَيْضًا، وَلَوْ طَبَقَ عَلَيْهَا فَإِنْ كَانَ دَمُهَا يَنْفَصِلُ فَيَكُونُ فِي أَيَّامٍ أَحْمَرَ قَانِيًا مُحْتَدِمًا كَثِيرًا وَفِي أَيَّامٍ بَعْدَهُ رَقِيقًا إلَى الصُّفْرَةِ فَحَيْضُهَا أَيَّامُ الْمُحْتَدِمِ الْكَثِيرِ وَطُهْرُهَا أَيَّامُ الرَّقِيقِ الْقَلِيلِ إلَى الصُّفْرَةِ، وَإِنْ كَانَ مُشْتَبِهًا كَانَ حَيْضُهَا بِقَدْرِ أَيَّامِ حَيْضِهَا فِيمَا مَضَى قَبْلَ الِاسْتِحَاضَةِ، وَإِنْ ابْتَدَأَتْ مُسْتَحَاضَةً أَوْ نَسِيَتْ أَيَّامَ حَيْضِهَا تَرَكَتْ الصَّلَاةَ يَوْمًا وَلَيْلَةً وَاسْتَقْبَلْنَا بِهَا الْحَيْضَ مِنْ أَوَّلِ هِلَالٍ يَأْتِي عَلَيْهَا بَعْدَ وُقُوعِ الطَّلَاقِ فَإِذَا هَلَّ هِلَالُ الرَّابِعِ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَلَوْ كَانَتْ تَحِيضُ يَوْمًا وَتَطْهُرُ يَوْمًا وَنَحْوَ ذَلِكَ جَعَلَتْ عِدَّتَهَا تَنْقَضِي بِثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ وَذَلِكَ الْمَعْرُوفُ مِنْ أَمْرِ النِّسَاءِ أَنَّهُنَّ يَحِضْنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ حَيْضَةً فَلَا أَجِدُ مَعْنًى أَوْلَى بِعِدَّتِهَا مِنْ الشُّهُورِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika kita mengetahui bahwa masa suci seorang wanita kurang dari lima belas hari, maka kita menerima perkataannya dalam hal itu, dan demikian pula ia dipercaya dalam kejujurannya. Jika ia melihat darah dalam tiga kali keluaran, kemudian darah itu berhenti selama dua atau tiga hari atau lebih, maka jika waktu ia melihat keluaran darah itu terjadi pada hari-hari haidnya, dan ia melihat warna kuning atau keruh, atau tidak melihat suci hingga sempurna sehari semalam, maka itu dianggap haid. Namun jika terjadi di luar hari-hari haid, maka demikian pula jika memungkinkan bahwa antara waktu ia melihat darah dan haid sebelumnya terdapat masa suci. Jika ia melihat darah kurang dari sehari semalam, maka itu bukan haid, meskipun darah itu terus mengalir. Jika darahnya terpisah, sehingga pada hari-hari tertentu berwarna merah pekat, deras, dan banyak, kemudian pada hari-hari berikutnya cair hingga kekuningan, maka haidnya adalah pada hari-hari darah yang deras dan banyak, sedangkan masa sucinya adalah pada hari-hari darah yang cair dan sedikit hingga kekuningan. Jika darahnya samar, maka haidnya dihitung berdasarkan hari-hari haidnya sebelum mengalami istihadhah. Jika ia memulai sebagai mustahadhah atau lupa hari-hari haidnya, maka ia meninggalkan shalat selama sehari semalam, dan kita menghitung haidnya dari awal hilal yang datang setelah terjadinya talak. Jika hilal keempat telah terlihat, maka selesailah masa iddahnya. Jika ia biasa haid sehari dan suci sehari atau semisalnya, maka masa iddahnya dianggap selesai setelah tiga bulan. Dan yang diketahui tentang kebiasaan wanita adalah bahwa mereka haid setiap bulan sekali, maka aku tidak menemukan makna yang lebih tepat untuk iddahnya selain bulan-bulan.”

 

 

وَلَوْ تَبَاعَدَ حَيْضُهَا فَهِيَ مِنْ أَهْلِ الْحَيْضِ حَتَّى تَبْلُغَ السِّنَّ الَّتِي مَنْ بَلَغَهَا لَمْ تَحِضْ بَعْدَهَا مِنْ الْمُؤَيِّسَاتِ اللَّاتِي جَعَلَ اللَّهُ عِدَّتَهُنَّ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ فَاسْتَقْبَلَتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ. وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَغَيْرِهِ مِثْلُ هَذَا وَهُوَ يُشْبِهُ ظَاهِرَ الْقُرْآنِ وَقَالَ عُثْمَانُ لِعَلِيٍّ وَزَيْدٍ فِي امْرَأَةِ حِبَّانَ بْنِ مُنْقِذٍ طَلَّقَهَا وَهُوَ صَحِيحٌ وَهِيَ تُرْضِعُ فَأَقَامَتْ تِسْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا لَا تَحِيضُ ثُمَّ مَرِضَ: مَا تَرَيَانِ؟ قَالَا: نَرَى أَنَّهَا تَرِثُهُ إنْ مَاتَ وَيَرِثُهَا إنْ مَاتَتْ فَإِنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ الْقَوَاعِدِ اللَّائِي يَئِسْنَ مِنْ الْحَيْضِ وَلَيْسَتْ مِنْ الْأَبْكَارِ اللَّاتِي لَمْ يَبْلُغْنَ الْمَحِيضَ ثُمَّ هِيَ عَلَى عِدَّةِ حَيْضِهَا مَا كَانَ مِنْ قَلِيلٍ وَكَثِيرٍ فَرَجَعَ حِبَّانُ إلَى أَهْلِهِ فَأَخَذَ ابْنَتَهُ فَلَمَّا فَقَدَتْ الرَّضَاعَ حَاضَتْ حَيْضَتَيْنِ ثُمَّ تُوُفِّيَ حِبَّانُ قَبْلَ الثَّالِثَةِ فَاعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا وَوَرِثَتْهُ. وَقَالَ عَطَاءٌ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى إذَا يَئِسَتْ اعْتَدَّتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ.

 

 

Dan jika haidnya menjadi jarang, ia tetap termasuk wanita yang masih haid sampai mencapai usia di mana wanita yang mencapainya tidak lagi haid setelahnya (yaitu wanita-wanita yang telah putus haid), yang Allah tetapkan masa iddah mereka tiga bulan, maka ia menjalani iddah tiga bulan. Telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan lainnya pendapat seperti ini, dan ini sesuai dengan zahir Al-Qur’an. Utsman bertanya kepada Ali dan Zaid tentang istri Hibban bin Munqidz yang dicerainya saat ia sehat dan istrinya sedang menyusui. Ia tinggal selama sembilan belas bulan tanpa haid, kemudian ia sakit. Utsman bertanya, “Apa pendapat kalian berdua?” Mereka menjawab, “Kami berpendapat bahwa ia bisa mewarisinya jika ia (suaminya) meninggal, dan suaminya bisa mewarisinya jika ia meninggal, karena ia bukan wanita yang telah putus haid (qawa’id) dan bukan pula gadis yang belum mencapai usia haid. Ia tetap dalam masa iddah haidnya, baik sedikit maupun banyak.” Hibban pun kembali kepada istrinya dan mengambil anak perempuannya. Ketika ia berhenti menyusui, ia haid dua kali, kemudian Hibban meninggal sebelum haid ketiga. Istrinya menjalani iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dan mewarisinya. Atha’ berkata, “Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ‘Jika ia telah putus haid, maka iddahnya tiga bulan.’”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: فِي قَوْلِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي الَّتِي رَفَعَتْهَا حَيْضَتُهَا تَنْتَظِرُ تِسْعَةَ أَشْهُرٍ فَإِنْ بَانَ بِهَا حَمْلٌ فَذَلِكَ وَإِلَّا اعْتَدَّتْ بَعْدَ التِّسْعَةِ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ ثُمَّ حَلَّتْ يَحْتَمِلُ قَوْلُهُ فِي امْرَأَةٍ قَدْ بَلَغَتْ السِّنَّ الَّتِي مَنْ بَلَغَهَا مِنْ نِسَائِهَا يَئِسْنَ فَلَا يَكُونُ مُخَالِفًا لِقَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَذَلِكَ وَجْهٌ عِنْدَنَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – tentang perkataan Umar – radhiyallahu ‘anhu – mengenai wanita yang terhenti haidnya: ia menunggu sembilan bulan. Jika terlihat kehamilan, maka itu (yang berlaku). Jika tidak, ia menjalani iddah tiga bulan setelah sembilan bulan itu, kemudian ia halal (untuk menikah). Perkataannya ini bisa berlaku pada wanita yang telah mencapai usia di mana wanita seusianya sudah menopause, sehingga tidak bertentangan dengan pendapat Ibnu Mas’ud – radhiyallahu ‘anhu -. Dan ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab kami.

 

 

(قَالَ) : وَإِنْ مَاتَ صَبِيٌّ لَا يُجَامِعُ مِثْلُهُ فَوَضَعَتْ امْرَأَتُهُ قَبْلَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَعَشْرٍ أَتَمَّتْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا؛ لِأَنَّ الْوَلَدَ لَيْسَ مِنْهُ فَإِنْ مَضَتْ قَبْلَ أَنْ تَضَعَ حَلَّتْ مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ بَقِيَ لَهُ شَيْءٌ يَغِيبُ فِي الْفَرْجِ أَوْ لَمْ يَبْقَ لَهُ وَكَانَ وَالْخَصِيُّ يُنْزِلَانِ لَحِقَهُمَا الْوَلَدُ وَاعْتَدَّتْ زَوْجَتَاهُمَا كَمَا تَعْتَدُّ زَوْجَةُ الْفَحْلِ، وَإِنْ أَرَادَتْ الْخُرُوجَ كَانَ لَهُ مَنْعُهَا حَيًّا وَلِوَرَثَتِهِ مَيِّتًا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا.

 

 

Beliau berkata: “Jika seorang anak kecil yang belum mampu bersenggama meninggal, lalu istrinya melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka ia tetap menyempurnakan masa empat bulan sepuluh hari, karena anak itu bukan darinya. Jika masa itu berlalu sebelum ia melahirkan, maka ia halal (boleh menikah). Jika masih tersisa sedikit bagian yang masuk ke vagina atau tidak tersisa sama sekali, dan keduanya (anak kecil dan orang yang dikebiri) bisa mengeluarkan mani, maka anak itu dinisbatkan kepada mereka, dan kedua istrinya menjalani iddah seperti istri laki-laki normal. Jika mereka ingin keluar (menikah lagi), maka suami yang masih hidup berhak mencegahnya, atau ahli warisnya jika suami sudah meninggal, sampai masa iddahnya selesai.”

 

 

وَإِنْ طَلَّقَ مَنْ لَا تَحِيضُ مِنْ صِغَرٍ أَوْ كِبَرٍ فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ آخِرِهِ اعْتَدَّتْ شَهْرَيْنِ بِالْأَهِلَّةِ، وَإِنْ كَانَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ وَشَهْرًا ثَلَاثِينَ لَيْلَةً حَتَّى يَأْتِيَ عَلَيْهَا تِلْكَ السَّاعَةُ الَّتِي طَلَّقَهَا فِيهَا مِنْ الشَّهْرِ.

 

 

Dan jika dia menceraikan wanita yang tidak haid karena masih kecil atau sudah tua, baik di awal atau akhir bulan, maka dia menjalani iddah dua bulan dengan melihat hilal. Meskipun bulan itu ada yang 29 hari atau 30 hari, sampai tiba waktu saat dia diceraikan pada bulan tersebut.

 

 

وَلَوْ حَاضَتْ الصَّغِيرَةُ بَعْدَ انْقِضَاءِ الثَّلَاثَةِ الْأَشْهُرِ فَقَدْ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا، وَلَوْ حَاضَتْ قَبْلَ انْقِضَائِهَا بِطَرْفَةٍ خَرَجَتْ مِنَ اللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَاسْتَقْبَلَتِ الْأَقْرَاءَ.

 

 

Jika gadis kecil itu telah haid setelah berlalunya tiga bulan, maka telah selesai iddahnya. Namun jika ia haid sebelum berakhirnya masa tiga bulan walau hanya sebentar, maka ia keluar dari kelompok perempuan yang belum haid dan mulai menghitung masa iddah dengan quru’.

 

(قَالَ) : وَأَعْجَبُ مَنْ سَمِعْت بِهِ مِنْ النِّسَاءِ يَحِضْنَ نِسَاءُ تِهَامَةَ يَحِضْنَ لِتِسْعِ سِنِينَ فَتَعْتَدُّ إذَا حَاضَتْ مِنْ هَذِهِ السِّنِّ بِالْأَقْرَاءِ فَإِنْ بَلَغَتْ عِشْرِينَ سَنَةً أَوْ أَكْثَرَ لَمْ تَحِضْ قَطُّ اعْتَدَّتْ بِالشُّهُورِ، وَلَوْ طَرَحَتْ مَا تَعْلَمُ أَنَّهُ وَلَدٌ مُضْغَةً أَوْ غَيْرَهَا حَلَّتْ.

 

 

Beliau berkata: “Dan yang paling menakjubkan dari apa yang kudengar tentang wanita adalah wanita Tihamah yang mengalami haid pada usia sembilan tahun. Maka, jika dia haid pada usia itu, dia menjalani iddah dengan quru’. Jika dia mencapai usia dua puluh tahun atau lebih dan belum pernah haid sama sekali, dia menjalani iddah dengan bulan. Dan jika dia mengeluarkan apa yang diketahuinya sebagai anak, baik berupa segumpal darah atau lainnya, maka dia halal (boleh menikah).”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَالَ فِي كِتَابَيْنِ: لَا تَكُونُ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ حَتَّى يُبَيَّنَ فِيهِ مِنْ خَلْقِ الْإِنْسَانِ شَيْءٌ وَهَذَا أَقْيَسُ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata dalam dua kitabnya: “Dia tidak menjadi ummu walad sampai terlihat pada janin tersebut sesuatu dari ciri manusia.” Dan ini lebih tepat.

 

 

قَالَ: وَلَوْ كَانَتْ تَحِيضُ عَلَى الْحَمْلِ تَرَكَتْ الصَّلَاةَ وَاجْتَنَبَهَا زَوْجُهَا وَلَمْ تَنْقَضِ بِالْحَيْضِ عِدَّتُهَا؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مُعْتَدَّةً بِهِ وَعِدَّتُهَا أَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا وَلَا تَنْكِحُ الْمُرْتَابَةُ، وَإِنْ أَوْفَتْ عِدَّتَهَا؛ لِأَنَّهَا لَا تَدْرِي مَا عِدَّتُهَا فَإِنْ نَكَحَتْ لَمْ يُفْسَخْ وَوَقَفْنَاهُ فَإِنْ بَرِئَتْ مِنْ الْحَمْلِ فَهُوَ ثَابِتٌ وَقَدْ أَسَاءَتْ، وَإِنْ وَضَعَتْ بَطَلَ النِّكَاحُ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia haid saat hamil, dia boleh meninggalkan shalat dan suaminya menjauhinya, serta masa iddahnya tidak berakhir dengan haid karena dia tidak sedang dalam iddah. Iddahnya adalah ketika dia melahirkan kandungannya. Wanita yang diragukan (kehamilannya) tidak boleh dinikahi meskipun telah menyelesaikan iddahnya, karena dia tidak tahu berapa lama iddahnya. Jika dia dinikahi, pernikahan itu tidak dibatalkan dan kami menangguhkannya. Jika ternyata dia tidak hamil, pernikahan itu tetap sah meskipun dia telah berbuat salah. Namun jika dia melahirkan, pernikahan itu batal.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – جَعَلَ الْحَامِلَ تَحِيضُ وَلَمْ يَجْعَلْ لِحَيْضِهَا مَعْنًى يَعْتَدُّ بِهِ كَمَا تَكُونُ الَّتِي لَمْ تَحِضْ تَعْتَدُّ بِالشُّهُورِ فَإِذَا حَدَثَ الْحَيْضُ كَانَتْ الْعِدَّةُ بِالْحَيْضِ وَالشُّهُورِ كَمَا كَانَتْ تَمُرُّ عَلَيْهَا وَلَيْسَتْ بِعِدَّةٍ، وَكَذَلِكَ الْحَيْضُ يَمُرُّ عَلَيْهَا وَلَيْسَ كُلُّ حَيْضٍ عِدَّةً كَمَا لَيْسَ كُلُّ شُهُورٍ عِدَّةً.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dia menjadikan wanita hamil mengalami haid, tetapi tidak menjadikan haidnya memiliki makna yang dianggap (sebagai iddah), sebagaimana wanita yang tidak haid beriddah dengan bulan. Jika haid terjadi, maka iddahnya adalah dengan haid dan bulan sebagaimana yang dilaluinya, namun itu bukan iddah. Demikian pula haid yang dilaluinya, tidak setiap haid dianggap sebagai iddah, sebagaimana tidak setiap bulan dianggap sebagai iddah.”

 

 

وَلَوْ كَانَتْ حَامِلًا بِوَلَدَيْنِ فَوَضَعَتْ الْأَوَّلَ فَلَهُ الرَّجْعَةُ، وَلَوْ ارْتَجَعَهَا وَخَرَجَ بَعْضُ وَلَدِهَا وَبَقِيَ بَعْضُهُ كَانَتْ رَجْعَةً وَلَا تَخْلُو حَتَّى يُفَارِقَهَا كُلُّهُ، وَلَوْ أَوْقَعَ الطَّلَاقَ فَلَمْ يَدْرِ أَقَبْلَ أَوْلَادِهَا أَمْ بَعْدَهُ فَقَالَ وَقَعَ بَعْدَمَا وَلَدَتْ فَلِي الرَّجْعَةُ وَكَذَّبَتْهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ؛ لِأَنَّ الرَّجْعَةَ حَقٌّ لَهُ وَالْخُلُوُّ مِنْ الْعِدَّةِ حَقٌّ لَهَا وَلَمْ يَدْرِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا كَانَتْ الْعِدَّةُ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهَا وَجَبَتْ وَلَا نُزِيلُهَا إلَّا بِيَقِينٍ وَالْوَرَعُ أَنْ لَا يَرْتَجِعَهَا.

 

 

Jika istri sedang hamil dua anak lalu melahirkan yang pertama, suami berhak merujukinya. Jika ia merujukinya sementara sebagian anaknya telah lahir dan sebagian lagi masih dalam kandungan, rujuk itu sah selama ia belum bersih dari seluruh kandungan. Jika suami menjatuhkan talak tetapi tidak tahu apakah sebelum atau setelah anak-anaknya lahir, lalu ia berkata, “Talak itu terjadi setelah ia melahirkan, jadi aku berhak merujukinya,” sementara istri mendustakannya, maka perkataan suami yang diterima karena rujuk adalah haknya, sedangkan bersih dari iddah adalah hak istri. Jika keduanya tidak tahu kapan iddah itu berlaku bagi istri, maka iddah tetap wajib dan tidak dihilangkan kecuali dengan keyakinan. Sikap wara’ adalah dengan tidak merujukinya.

 

 

وَلَوْ طَلَّقَهَا فَلَمْ يُحْدِثْ لَهَا رَجْعَةً وَلَا نِكَاحًا حَتَّى وَلَدَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ فَأَنْكَرَهُ الزَّوْجُ فَهُوَ مَنْفِيٌّ بِاللِّعَانِ؛ لِأَنَّهَا وَلَدَتْهُ بَعْدَ الطَّلَاقِ لِمَا لَا يَلِدُ لَهُ النِّسَاءُ.

 

 

Dan jika dia menceraikannya lalu tidak melakukan rujuk atau nikah hingga dia melahirkan setelah lebih dari empat tahun, lalu suami mengingkarinya, maka anak itu tertolak dengan li’an; karena dia melahirkannya setelah perceraian dalam masa yang tidak mungkin bagi wanita untuk melahirkan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا كَانَ الْوَلَدُ عِنْدَهُ لَا يُمْكِنُ أَنْ تَلِدَهُ مِنْهُ فَلَا مَعْنَى لِلِّعَانِ بِهِ وَيُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ هَذَا غَلَطًا مِنْ غَيْرِ الشَّافِعِيِّ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: لَوْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: كُلَّمَا وَلَدَتْ وَلَدًا فَأَنْتِ طَالِقٌ فَوَلَدَتْ وَلَدَيْنِ بَيْنَهُمَا سَنَةٌ طَلُقَتْ بِالْأَوَّلِ وَحَلَّتْ لِلْأَزْوَاجِ بِالْآخَرِ وَلَمْ نُلْحِقْ بِهِ الْآخَرَ؛ لِأَنَّ طَلَاقَهُ وَقَعَ بِوِلَادَتِهَا ثُمَّ لَمْ يُحْدِثْ لَهَا نِكَاحًا وَلَا رَجْعَةً، وَلَمْ يُقِرَّ بِهِ فَيَلْزَمُهُ إقْرَارُهُ فَكَانَ الْوَلَدُ مُنْتَفِيًا عَنْهُ بِلَا لِعَانٍ وَغَيْرُ مُمْكِنٍ أَنْ يَكُونَ فِي الظَّاهِرِ مِنْهُ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Jika menurutnya anak itu tidak mungkin dilahirkan darinya, maka tidak ada makna untuk melakukan li’an dengannya. Ini tampaknya merupakan kesalahan dari selain Asy-Syafi’i. Dia juga berkata di tempat lain: Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Setiap kali engkau melahirkan anak, engkau tertalak,” lalu sang istri melahirkan dua anak dengan selisih satu tahun, maka dia tertalak dengan anak pertama dan halal untuk suami lain dengan anak kedua. Kami tidak menggabungkan anak kedua karena talaknya terjadi setelah kelahiran anak pertama, dan dia tidak melakukan nikah baru atau rujuk, juga tidak mengakui anak itu sehingga pengakuannya menjadi wajib. Maka, anak itu dianggap bukan darinya tanpa perlu li’an, dan secara lahir juga tidak mungkin berasal darinya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَوَضْعُهَا لِمَا لَا يَلِدُ لَهُ النِّسَاءُ مِنْ ذَلِكَ أَبْعَدُ وَبِأَنْ لَا يَحْتَاجَ إلَى لِعَانٍ بِهِ أَحَقُّ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Meletakkannya (li’an) untuk apa yang tidak melahirkan perempuan dari hal itu lebih jauh, dan dengan tidak membutuhkan li’an lebih berhak.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ ادَّعَتْ الْمَرْأَةُ أَنَّهُ رَاجَعَهَا فِي الْعِدَّةِ أَوْ نَكَحَهَا إنْ كَانَتْ بَائِنًا أَوْ أَصَابَهَا وَهِيَ تَرَى أَنَّ لَهُ عَلَيْهَا الرَّجْعَةَ لَمْ يَلْزَمْهُ الْوَلَدُ وَكَانَتْ الْيَمِينُ عَلَيْهِ إنْ كَانَ حَيًّا وَعَلَى وَرَثَتِهِ عَلَى عِلْمِهِمْ إنْ كَانَ مَيِّتًا، وَلَوْ نَكَحَ فِي الْعِدَّةِ وَأُصِيبَتْ فَوَضَعَتْ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ نِكَاحِ الْآخَرِ وَتَمَامِ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ فِرَاقِ الْأَوَّلِ فَهُوَ لِلْأَوَّلِ، وَلَوْ كَانَ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ فِرَاقِ الْأَوَّلِ لَمْ يَكُنْ ابْنٌ وَاحِدٌ مِنْهُمَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُمْكِنْ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا.

 

 

(Dia berkata): Sekalipun seorang wanita mengklaim bahwa suaminya merujuknya selama masa iddah atau menikahinya jika dia telah berpisah, atau menggaulinya sementara dia mengira bahwa suaminya masih memiliki hak rujuk, anak tersebut tidak dianggap sebagai anak suaminya. Sumpah dibebankan kepada suami jika dia masih hidup, atau kepada ahli warisnya berdasarkan pengetahuan mereka jika dia telah meninggal. Jika seorang suami menikahinya selama masa iddah dan menggaulinya, lalu si wanita melahirkan kurang dari enam bulan sejak pernikahan dengan suami kedua dan genap empat tahun sejak perceraian dengan suami pertama, maka anak itu adalah anak suami pertama. Namun, jika lebih dari empat tahun sejak perceraian dengan suami pertama, anak itu tidak dianggap sebagai anak dari salah satu dari mereka, karena tidak mungkin berasal dari salah satunya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَهَذَا قَدْ نَفَاهُ بِلَا لِعَانٍ فَهَذَا وَاَلَّذِي قَبْلَهُ سَوَاءٌ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini telah dia ingkari tanpa li’an, maka ini dan yang sebelumnya adalah sama.”

 

(قَالَ) : فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ لَمْ يَنْفِ الْوَلَدَ إذَا أَقَرَّتْ أُمُّهُ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ ثُمَّ وَلَدَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ بَعْدَ إقْرَارِهَا؟ قِيلَ: لِمَا أَمْكَنَ أَنْ تَحِيضَ وَهِيَ حَامِلٌ فَتُقِرُّ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ عَلَى الظَّاهِرِ وَالْحَمْلُ قَائِمٌ لَمْ يَنْقَطِعْ حَقُّ الْوَلَدِ بِإِقْرَارِهَا بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَأَلْزَمْنَاهُ الْأَبَ مَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ حَمْلًا مِنْهُ وَكَانَ الَّذِي يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ وَلَا يَمْلِكُهَا فِي ذَلِكَ سَوَاءٌ؛ لِأَنَّ كِلْتَيْهِمَا تَحِلَّانِ بِانْقِضَاءٍ لِلْأَزْوَاجِ، وَقَالَ فِي بَابِ اجْتِمَاعِ الْعِدَّتَيْنِ: وَالْقَافَّةُ إنْ جَاءَتْ بِوَلَدٍ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ يَوْمِ طَلَّقَهَا الْأَوَّلُ إنْ كَانَ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ دَعَا لَهُ الْقَافَّةَ، وَإِنْ كَانَ لَا يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ فَهُوَ لِلثَّانِي.

 

 

(Dia berkata): Jika ditanya, “Mengapa anak tidak diingkari ketika ibunya mengakui telah selesai masa iddah, lalu melahirkan setelah lebih dari enam bulan sejak pengakuannya?” Dijawab, “Karena mungkin saja ia haid saat hamil, lalu mengakui selesainya iddah secara zahir, sementara kehamilan tetap berlangsung. Hak anak tidak terputus oleh pengakuannya tentang berakhirnya iddah. Kami tetap menetapkannya sebagai anak sang ayah selama memungkinkan sebagai kandungan darinya. Baik suami yang memiliki hak rujuk maupun yang tidak, dalam hal ini sama, karena keduanya halal bagi suami setelah berakhirnya iddah.” Dalam bab berkumpulnya dua iddah, beliau berkata, “Jika qā’ifah (ahli nasab) mendatangkan anak yang usianya lebih dari empat tahun sejak talak pertama, maka jika suami pertama memiliki hak rujuk, qā’ifah menyerukan anak itu untuknya. Jika tidak memiliki hak rujuk, maka anak itu untuk suami kedua.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَجَمَعَ بَيْنَ مَنْ لَهُ الرَّجْعَةُ عَلَيْهَا وَمَنْ لَا رَجْعَةَ لَهُ عَلَيْهَا فِي بَابِ الْمَدْخُولِ بِهَا وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا بِأَنْ تَحِلَّ فِي بَابِ اجْتِمَاعِ الْعِدَّتَيْنِ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Maka beliau menggabungkan antara orang yang memiliki hak rujuk dan yang tidak memiliki hak rujuk dalam bab wanita yang telah disetubuhi, dan memisahkan keduanya dengan dibolehkannya dalam bab berkumpulnya dua idah. Wallahu a’lam.”

 

عِدَّةُ الَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بِهَا زَوْجُهَا

 

masa iddah wanita yang belum disetubuhi oleh suaminya

لَا عِدَّةَ عَلَى الَّتِي لَمْ يَدْخُلْ بِهَا زَوْجُهَا.

 

Tidak ada iddah bagi wanita yang belum disetubuhi oleh suaminya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ} البقرة: 237 الْآيَةَ قَالَ وَالْمَسِيسُ الْإِصَابَةُ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَشُرَيْحٌ وَغَيْرُهُمَا: لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا إلَّا بِالْإِصَابَةِ بِعَيْنِهَا؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ هَكَذَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Allah Ta’ala berfirman {Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka} QS. Al-Baqarah: 237. Beliau berkata: “Al-massu (menyentuh) maksudnya adalah bersetubuh.” Ibnu Abbas, Syuraih, dan lainnya berkata: “Tidak ada iddah baginya kecuali dengan bersetubuh secara langsung, karena Allah Ta’ala telah berfirman demikian.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهَذَا ظَاهِرُ الْقُرْآنِ فَإِنْ وَلَدَتْ الَّتِي قَالَ زَوْجُهَا: لَمْ أَدْخُلْ بِهَا لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ، أَوْ لِأَكْثَرَ مَا يَلِدُ لَهُ النِّسَاءُ مِنْ يَوْمِ عَقَدَ نِكَاحَهَا لَحِقَ نَسَبُهُ وَعَلَيْهِ الْمَهْرُ إذَا أَلْزَمْنَاهُ الْوَلَدَ حَكَمْنَا عَلَيْهِ بِأَنَّهُ مُصِيبٌ مَا لَمْ تَنْكِحْ زَوْجًا غَيْرَهُ وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ مِنْهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Ini adalah makna zahir Al-Qur’an. Jika seorang wanita melahirkan anak, sementara suaminya berkata, ‘Aku belum mencampurinya selama enam bulan,’ atau lebih dari masa minimal wanita melahirkan sejak akad nikahnya, maka anak itu dinasabkan kepadanya dan dia wajib membayar mahar. Jika kita mewajibkan anak itu kepadanya, kita memutuskan bahwa dia benar selama wanita itu tidak menikah dengan suami lain dan memungkinkan anak itu darinya.”

(قَالَ) : وَلَوْ خَلَا بِهَا فَقَالَ: لَمْ أُصِبْهَا وَقَالَتْ: قَدْ أَصَابَنِي وَلَا وَلَدَ فَهِيَ مُدَّعِيَةٌ وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ، وَإِنْ جَاءَتْ بِشَاهِدٍ بِإِقْرَارِهِ أَحَلَفْتهَا مَعَ شَاهِدِهَا وَأَعْطَيْتهَا الصَّدَاقَ

 

Beliau berkata: “Seandainya dia menyendiri dengannya, lalu dia (suami) berkata: ‘Aku tidak menyetubuhinya,’ sedangkan dia (istri) berkata: ‘Dia telah menyetubuhiku,’ dan tidak ada anak, maka dia (istri) adalah pihak yang menuntut. Dan perkataan adalah perkataannya (suami) beserta sumpahnya. Jika dia (istri) datang dengan saksi atas pengakuannya, maka aku akan menyumpahnya bersama saksinya dan memberikannya mahar.”

بَابُ الْعِدَّةُ مِنْ الْمَوْتِ وَالطَّلَاقِ وَزَوْجٍ غَائِبٍ

 

Bab tentang masa iddah karena kematian, perceraian, dan suami yang hilang

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا عَلِمَتْ الْمَرْأَةُ يَقِينَ مَوْتِ زَوْجِهَا أَوْ طَلَاقِهِ بِبَيِّنَةٍ أَوْ أَيِّ عِلْمٍ اعْتَدَّتْ مِنْ يَوْمِ كَانَتْ فِيهِ الْوَفَاةُ وَالطَّلَاقُ، وَإِنْ لَمْ تَعْتَدَّ حَتَّى تَمْضِيَ الْعِدَّةُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا غَيْرُهَا؛ لِأَنَّهَا مُدَّةٌ وَقَدْ مَرَّتْ عَلَيْهَا وَقَدْ رُوِيَ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: تَعْتَدُّ مِنْ يَوْمِ تَكُونُ الْوَفَاةُ أَوْ الطَّلَاقُ وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ وَابْنِ الْمُسَيِّبِ وَالزُّهْرِيِّ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seorang wanita mengetahui dengan pasti kematian suaminya atau perceraiannya melalui bukti atau pengetahuan apa pun, maka masa iddahnya dihitung sejak hari terjadinya kematian atau perceraian. Jika dia tidak menjalani iddah sampai masa iddah itu berlalu, maka tidak ada kewajiban lain baginya karena itu adalah masa yang telah dilewatinya. Diriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda: ‘Hendaknya dia menjalani iddah sejak hari terjadinya kematian atau perceraian.’ Ini juga merupakan pendapat ‘Atha, Ibnul Musayyib, dan Az-Zuhri.”

 

بَابٌ فِي عِدَّةِ الْأَمَةِ

 

Bab tentang masa iddah budak perempuan

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – : “Allah membedakan antara orang merdeka dan budak dalam hukum zina. Dia berfirman tentang budak perempuan, ‘Jika mereka telah menikah lalu melakukan perbuatan keji…’ (QS. An-Nisa’: 25), dan berfirman, ‘Persaksikanlah oleh dua orang yang adil di antara kamu…’ (QS. At-Talaq: 2). Dia juga menyebutkan tentang warisan, dan tidak ada seorang pun yang aku temui berselisih bahwa hal itu berlaku untuk orang merdeka, bukan budak. Allah menetapkan iddah tiga bulan, dan dalam kematian empat bulan sepuluh hari. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menetapkan bahwa budak perempuan harus beristibra’ dengan satu kali haid. Iddah bagi wanita merdeka adalah istibra’ dan ibadah, sedangkan haid bagi budak perempuan adalah istibra’ dan ibadah. Aku tidak mengetahui ada yang menyelisihi dari ulama yang aku hafal pendapatnya bahwa iddah budak perempuan adalah separuh iddah wanita merdeka dalam hal yang memiliki hitungan separuh. Maka tidak boleh, jika kami menemukan dalil-dalil yang menunjukkan perbedaan dalam hal yang kami sebutkan dan lainnya, kecuali kami menjadikan iddah budak perempuan separuh iddah wanita merdeka dalam hal yang memiliki hitungan separuh. Adapun haid, tidak dikenal separuhnya, maka iddahnya dalam hal itu adalah yang paling mendekati separuh jika tidak ada yang dikurangi dari separuh, yaitu dua kali haid. Sedangkan kehamilan, tidak ada separuhnya, sebagaimana tidak ada separuh dalam potong tangan, maka budak dan orang merdeka dipotong (tangan).”

 

قَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: يُطَلِّقُ الْعَبْدُ تَطْلِيقَتَيْنِ وَتَعْتَدُّ الْأَمَةُ حَيْضَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ تَحِضْ فَشَهْرَيْنِ أَوْ شَهْرًا وَنِصْفًا قَالَ: وَلَوْ أُعْتِقَتْ الْأَمَةُ قَبْلَ مُضِيِّ الْعِدَّةِ أَكْمَلَتْ عِدَّةَ حُرَّةٍ؛ لِأَنَّ الْعِتْقَ وَقَعَ وَهِيَ فِي مَعَانِي الْأَزْوَاجِ فِي عَامَّةِ أَمْرِهَا وَيَتَوَارَثَانِ فِي عِدَّتِهَا بِالْحُرِّيَّةِ، وَلَوْ كَانَتْ تَحْتَ عَبْدٍ فَاخْتَارَتْ فِرَاقَهُ كَانَ ذَلِكَ فَسْخًا بِغَيْرِ طَلَاقٍ وَتُكْمِلُ مِنْهُ الْعِدَّةَ مِنْ الطَّلَاقِ الْأَوَّلِ، وَلَوْ أَحْدَثَ لَهَا رَجْعَةً ثُمَّ طَلَّقَهَا وَلَمْ يُصِبْهَا بَنَتْ عَلَى الْعِدَّةِ الْأُولَى؛ لِأَنَّهَا مُطَلَّقَةٌ لَمْ تُمْسَسْ.

 

 

Umar – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Seorang budak laki-laki menceraikan dengan dua talak, dan budak perempuan menjalani iddah selama dua haid. Jika tidak haid, maka dua bulan atau satu setengah bulan.” Beliau berkata: “Jika budak perempuan dimerdekakan sebelum masa iddah selesai, dia menyempurnakan iddah sebagai wanita merdeka, karena kemerdekaan terjadi saat dia masih dalam status sebagai istri dalam segala urusannya, dan mereka saling mewarisi selama iddahnya dalam status merdeka. Jika dia menikah dengan budak laki-laki lalu memilih untuk berpisah, itu merupakan pembatalan tanpa talak, dan dia menyempurnakan iddah dari talak pertama. Jika suami merujuknya kemudian menalaknya tanpa menyetubuhi, dia melanjutkan iddah yang pertama, karena dia adalah wanita yang ditalak tanpa disentuh.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا عِنْدِي غَلَطٌ بَلْ عِدَّتُهَا مِنْ الطَّلَاقِ الثَّانِي؛ لِأَنَّهُ لَمَّا رَاجَعَهَا بَطَلَتْ عِدَّتُهَا وَصَارَتْ فِي مَعْنَاهَا الْمُتَقَدِّمِ بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ لَا بِنِكَاحٍ مُسْتَقْبِلٍ فَهُوَ فِي مَعْنَى مَنْ ابْتَدَأَ طَلَاقَهَا مَدْخُولًا بِهَا، وَلَوْ كَانَ طَلَاقًا لَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ ثُمَّ عَتَقَتْ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ تَبْنِيَ عَلَى الْعِدَّةِ الْأُولَى وَلَا خِيَارَ لَهَا وَلَا تَسْتَأْنِفُ عِدَّةً؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ فِي مَعَانِي الْأَزْوَاجِ وَالثَّانِي أَنْ تُكْمِلَ عِدَّةَ حُرَّةٍ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Ini menurutku adalah keliru. Sebenarnya, iddahnya adalah dari talak kedua, karena ketika dia rujuk, iddahnya batal dan kembali pada makna sebelumnya dengan akad pertama, bukan pernikahan yang baru. Jadi, statusnya seperti orang yang memulai talaknya setelah menggaulinya. Jika talaknya adalah talak yang tidak memiliki hak rujuk, kemudian dia merdeka, maka ada dua pendapat: Pertama, dia melanjutkan iddah pertama tanpa hak memilih dan tidak mengulang iddah, karena dia tidak termasuk dalam status istri. Kedua, dia menyempurnakan iddah sebagai wanita merdeka.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ وَمِمَّا يَدُلُّك عَلَى ذَلِكَ قَوْلُهُ فِي الْمَرْأَةِ تَعْتَدُّ بِالشُّهُورِ ثُمَّ تَحِيضُ: إنَّهَا تَسْتَقْبِلُ الْحَيْضَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ فِي بَعْضِ عِدَّتِهَا حُرَّةً وَهِيَ تَعْتَدُّ عِدَّةَ أَمَةٍ وَكَذَلِكَ قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ فِي بَعْضِ صَلَاتِهِ مُقِيمًا وَيُصَلِّيَ صَلَاةَ مُسَافِرٍ، وَقَالَ هَذَا أَشْبَهُ الْقَوْلَيْنِ بِالْقِيَاسِ.

 

 

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Ini lebih sesuai dengan pendapatnya. Di antara yang menunjukkan hal itu adalah ucapannya tentang wanita yang menjalani iddah dengan bulan kemudian haid: ‘Sesungguhnya ia harus menunggu haid, dan tidak boleh sebagian iddahnya ia dalam status merdeka sedangkan ia menjalani iddah budak.’ Demikian pula ia berkata: ‘Tidak boleh sebagian shalatnya dilakukan sebagai orang mukim lalu shalat sebagai musafir.’ Dan ia mengatakan, ‘Ini lebih mirip dengan dua pendapat berdasarkan qiyas.'”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَا احْتَجَّ بِهِ مِنْ هَذَا يَقْضِي عَلَى أَنْ لَا يَجُوزَ لِمَنْ دَخَلَ فِي صَوْمِ ظِهَارٍ ثُمَّ وَجَدَ رَقَبَةً أَنْ يَصُومَ وَهُوَ مِمَّنْ يَجِدُ رَقَبَةً وَيُكَفِّرُ بِالصِّيَامِ وَلَا لِمَنْ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ بِالتَّيَمُّمِ أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ يَجِدُ الْمَاءَ وَيُصَلِّي بِالتَّيَمُّمِ كَمَا قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ فِي عِدَّتِهَا مِمَّنْ تَحِيضُ وَتَعْتَدُّ بِالشُّهُورِ فِي نَحْوِ ذَلِكَ مِنْ أَقَاوِيلِهِ، وَقَدْ سَوَّى الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي ذَلِكَ بَيْنَ مَا يَدْخُلُ فِيهِ الْمَرْءُ وَمَا بَيْنَ مَا لَمْ يَدْخُلْ فِيهِ فَجَعَلَ الْمُسْتَقْبِلَ فِيهِ كَالْمُسْتَدْبِرِ.

 

 

Al-Muzanni – rahimahullah – berkata, dan apa yang dia jadikan sebagai hujjah dari hal ini mengharuskan bahwa tidak boleh bagi orang yang telah memulai puasa zhihar lalu menemukan budak untuk tetap berpuasa padahal dia termasuk orang yang mampu menemukan budak dan menebus dengan puasa. Demikian pula tidak boleh bagi orang yang memulai shalat dengan tayammum untuk termasuk orang yang menemukan air namun tetap shalat dengan tayammum, sebagaimana Beliau berkata: “Tidak boleh dia berada dalam masa iddah sebagai wanita yang haid lalu beriddah dengan bulan-bulan.” Demikian pula pendapat-pendapatnya yang semisal. Imam Syafi’i – rahimahullah – telah menyamakan dalam hal ini antara apa yang telah dimasuki seseorang dengan apa yang belum dimasukinya, sehingga menjadikan yang akan datang di dalamnya seperti yang telah berlalu.

 

(قَالَ) : وَالطَّلَاقُ إلَى الرِّجَالِ وَالْعِدَّةُ بِالنِّسَاءِ وَهُوَ أَشْبَهُ بِمَعْنَى الْقُرْآنِ مَعَ مَا ذَكَرْنَاهُ مِنْ الْأَثَرِ وَمَا عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ فِيمَا سِوَى هَذَا مِنْ أَنَّ الْأَحْكَامَ تُقَامُ عَلَيْهِمَا أَلَا تَرَى أَنَّ الْحُرَّ الْمُحْصَنَ يَزْنِي بِالْأَمَةِ فَيُرْجَمُ وَتُجْلَدُ الْأَمَةُ خَمْسِينَ وَالزِّنَا مَعْنًى وَاحِدٌ فَاخْتَلَفَ حُكْمُهُ لِاخْتِلَافِ حَالِ فَاعِلِيهِ فَكَذَلِكَ يُحْكَمُ لِلْحُرِّ حُكْمُ نَفْسِهِ فِي الطَّلَاقِ ثَلَاثًا، وَإِنْ كَانَتْ امْرَأَتُهُ أَمَةً وَعَلَى الْأَمَةِ عِدَّةُ أَمَةٍ، وَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا حُرًّا.

 

 

Beliau berkata: “Talak itu di tangan laki-laki dan iddah bagi perempuan. Ini lebih sesuai dengan makna Al-Qur’an, bersama dengan apa yang kami sebutkan dari atsar dan apa yang dipegang oleh kaum muslimin dalam hal lain, yaitu bahwa hukum-hukum ditegakkan atas keduanya. Tidakkah engkau melihat bahwa seorang merdeka yang muhshan berzina dengan budak perempuan, maka dia dirajam sementara budak perempuan itu dicambuk lima puluh kali? Padahal zina itu maknanya satu, tetapi hukumnya berbeda karena perbedaan keadaan pelakunya. Demikian pula, seorang merdeka diberlakukan hukum dirinya dalam talak tiga kali, meskipun istrinya seorang budak. Dan bagi budak perempuan berlaku iddah budak perempuan, meskipun suaminya seorang merdeka.”

 

عِدَّةُ الْوَفَاةِ

 

masa tunggu kematian

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ} البقرة: 234 الْآيَةَ، فَدَلَّتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهَا عَلَى الْحُرَّةِ غَيْرِ ذَاتِ الْحَمْلِ «لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لسبيعة الْأَسْلَمِيَّةِ وَوَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِنِصْفِ شَهْرٍ قَدْ حَلَلْت فَانْكِحِي مَنْ شِئْت» قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: لَوْ وَضَعَتْ وَزَوْجُهَا عَلَى سَرِيرِهِ لَمْ يُدْفَنْ لَحَلَّتْ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ إذَا وَضَعَتْ حَلَّتْ قَالَ: فَتَحِلُّ إذَا وَضَعَتْ قَبْلَ أَنْ تَطْهُرَ مِنْ نِكَاحٍ صَحِيحٍ وَمَفْسُوخٍ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Allah Ta’ala berfirman {Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah mereka menahan diri (ber’iddah)…”} QS. Al-Baqarah: 234. Sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menunjukkan bahwa hal itu berlaku untuk wanita merdeka yang tidak hamil, berdasarkan sabda beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – kepada Saba’ah Al-Aslamiyah yang melahirkan setelah kematian suaminya dalam waktu setengah bulan: “Kamu telah halal, menikahlah dengan siapa yang kamu kehendaki.” Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Seandainya dia melahirkan sementara suaminya masih terbaring di tempat tidur sebelum dikubur, dia telah halal.” Ibnu Umar berkata: “Jika dia telah melahirkan, dia telah halal.” Imam Syafi’i berkata: “Maka dia menjadi halal jika telah melahirkan sebelum suci, baik dari pernikahan yang sah maupun yang dibatalkan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَيْسَ لِلْحَامِلِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا نَفَقَةٌ قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ: لَا نَفَقَةَ لَهَا حَسْبُهَا الْمِيرَاثُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Wanita hamil yang ditinggal mati suaminya tidak berhak mendapat nafkah.” Jabir bin Abdullah berkata: “Tidak ada nafkah baginya, warisan sudah cukup untuknya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: لِأَنَّ مَالِكَهُ قَدْ انْقَطَعَ بِالْمَوْتِ وَإِذَا لَمْ تَكُنْ حَامِلًا فَإِنْ مَاتَ نِصْفَ النَّهَارِ وَقَدْ مَضَى مِنْ الْهِلَالِ عَشْرُ لَيَالٍ أَحْصَتْ مَا بَقِيَ مِنْ الْهِلَالِ فَإِنْ كَانَ عِشْرِينَ حَفِظْتهَا ثُمَّ اعْتَدَّتْ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ بِالْأَهِلَّةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْ الشَّهْرَ الرَّابِعَ فَأَحْصَتْ عِدَّةَ أَيَّامِهِ فَإِذْ كَمُلَ لَهَا ثَلَاثُونَ يَوْمًا بِلَيَالِيِهَا فَقَدْ أَوْفَتْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَاسْتَقْبَلَتْ عَشْرًا بِلَيَالِيِهَا فَإِذَا أَوْفَتْ لَهَا عَشْرًا إلَى السَّاعَةِ الَّتِي مَاتَ فِيهَا فَقَدْ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا وَلَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَأْتِيَ فِيهَا بِحَيْضٍ كَمَا لَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَأْتِيَ فِي الْحَيْضِ بِشُهُورٍ وَلِأَنَّ كُلَّ عِدَّةٍ حَيْضٍ جَعَلَهَا اللَّهُ إلَّا أَنَّهَا إنْ ارْتَابَتْ اسْتَبْرَأَتْ نَفْسَهَا مِنْ الرِّيبَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Karena kepemilikannya telah terputus dengan kematian. Jika ia tidak hamil, lalu suaminya meninggal di tengah hari sementara telah berlalu sepuluh malam dari hilal, maka ia menghitung sisa hilal. Jika mencapai dua puluh malam, ia menyelesaikannya, kemudian menjalani masa iddah tiga bulan dengan melihat hilal. Lalu ia memasuki bulan keempat dan menghitung hari-harinya. Jika genap tiga puluh hari beserta malam-malamnya, maka ia telah menyelesaikan empat bulan. Kemudian ia menghitung sepuluh malam lagi hingga waktu suaminya meninggal, maka selesailah masa iddahnya. Ia tidak diwajibkan mengalami haid dalam masa iddah ini, sebagaimana ia tidak diwajibkan menghitung bulan dalam masa haid. Karena setiap masa iddah adalah sebagaimana yang Allah tetapkan, kecuali jika ia ragu, maka ia membersihkan dirinya dari keraguan.”

 

 

وَلَوْ طَلَّقَهَا مَرِيضًا ثَلَاثًا فَمَاتَ مِنْ مَرَضِهِ وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ فَقَدْ قِيلَ: لَا تَرِثُ مَبْتُوتَةً وَهَذَا مِمَّا أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِيهِ.

 

 

Dan jika dia menceraikannya dalam keadaan sakit sebanyak tiga kali, lalu dia meninggal karena sakitnya sementara sang wanita masih dalam masa iddah, maka telah dikatakan: dia tidak mewarisi sebagai wanita yang telah diputuskan (pernikahannya). Dan ini termasuk perkara yang aku memohon petunjuk kepada Allah tentangnya.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: وَهَذَا قَوْلٌ يَصِحُّ لِمَنْ قَالَ بِهِ قُلْت: فَالِاسْتِخَارَةُ شَكٌّ، وَقَوْلُهُ: يَصِحُّ، إبْطَالٌ لِلشَّكِّ (وَقَالَ) فِي اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى: إنَّ الْمَبْتُوتَةَ لَا تَرِثُ وَهَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ وَبِمَعْنَى ظَاهِرِ الْقُرْآنِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَرَّثَ الزَّوْجَةَ مِنْ زَوْجٍ يَرِثُهَا لَوْ مَاتَتْ قَبْلَهُ فَلَمَّا كَانَتْ إنْ مَاتَتْ لَمْ يَرِثْهَا، وَإِنْ مَاتَ لَمْ تَعْتَدَّ مِنْهُ عِدَّةً مِنْ وَفَاتِهِ خَرَجَتْ مِنْ مَعْنَى حُكْمِ الزَّوْجَةِ مِنَ الْقُرْآنِ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata di tempat lain: “Ini adalah pendapat yang sah bagi yang berpendapat demikian.” Aku (penulis) berkata: “Istikharah itu keraguan, sedangkan perkataannya ‘sah’ justru menghilangkan keraguan.” Dia juga berkata mengenai perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila: “Sesungguhnya wanita yang telah diceraikan dengan talak ba’in tidak mewarisi, dan ini lebih sesuai dengan pendapatnya serta makna zahir Al-Qur’an. Karena Allah Ta’ala mewariskan istri dari suami yang akan mewarisinya jika ia meninggal sebelum suaminya. Ketika istri itu jika meninggal tidak diwarisi suami, dan jika suami meninggal ia tidak menjalani iddah kematian suaminya, maka ia telah keluar dari makna hukum istri dalam Al-Qur’an.”

 

وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – عَلَى مَنْ وَرِثَ رَجُلَيْنِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا النِّصْفُ مِنْ ابْنٍ ادَّعَيَاهُ وَوَرِثَ الِابْنُ إنْ مَاتَا قَبْلَهُ الْجَمِيعَ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -: إنَّمَا يَرِثُ النَّاسُ مِنْ حَيْثُ يُوَرِّثُونَ يَقُولُ الشَّافِعِيُّ: فَإِنْ كَانَا يَرِثَانِهِ نِصْفَيْنِ بِالْبُنُوَّةِ فَكَذَلِكَ يَرِثُهُمَا نِصْفَيْنِ بِالْأُبُوَّةِ.

 

 

Imam Syafi’i – rahimahullah – berhujah terhadap orang yang mewarisi dua orang lelaki, di mana masing-masing dari keduanya mewarisi separuh dari seorang anak yang mereka klaim, dan anak tersebut mewarisi seluruh harta jika keduanya meninggal sebelum dia. Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata: “Sesungguhnya manusia mewarisi berdasarkan cara mereka mewariskan.” Imam Syafi’i mengatakan: “Jika keduanya mewarisinya dua bagian separuh karena status sebagai anak, maka demikian pula dia mewarisi keduanya dua bagian separuh karena status sebagai bapak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَكَذَلِكَ إنَّمَا تَرِثُ الْمَرْأَةُ الزَّوْجَ مِنْ حَيْثُ يَرِثُ الزَّوْجُ الْمَرْأَةَ بِمَعْنَى النِّكَاحِ، فَإِذَا ارْتَفَعَ النِّكَاحُ بِإِجْمَاعٍ ارْتَفَعَ حُكْمُهُ والموارثة بِهِ وَلِمَا أَجْمَعُوا أَنَّهُ لَا يَرِثُهَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِزَوْجٍ كَانَ كَذَلِكَ أَيْضًا لَا تَرِثُهُ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِزَوْجَةٍ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata: Demikian pula, seorang wanita mewarisi suami dari sisi yang sama ketika suami mewarisi istri berdasarkan makna pernikahan. Jika pernikahan telah batal dengan kesepakatan, maka hukum dan hak waris karenanya juga batal. Sebagaimana mereka sepakat bahwa suami tidak mewarisinya karena ia bukan suami, maka istri juga tidak mewarisinya karena ia bukan istri. Dan hanya kepada Allah pertolongan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِنْ قِيلَ: قَدْ وَرَّثَهَا عُثْمَانُ قِيلَ: وَقَدْ أَنْكَرَ ذَلِكَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي حَيَاتِهِ عَلَى عُثْمَانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – إنْ مَاتَ أَنْ يُوَرِّثَهَا مِنْهُ وَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: لَوْ كُنْت أَنَا لَمْ أَرَ أَنْ تَرِثَ مَبْتُوتَةٌ وَهَذَا اخْتِلَافٌ وَسَبِيلُهُ الْقِيَاسُ وَهُوَ مَا قُلْنَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika ada yang mengatakan: ‘Utsman telah memberinya warisan,’ maka dijawab: ‘Abdurrahman bin Auf telah mengingkari hal itu saat hidupnya kepada Utsman – semoga Allah meridhai mereka berdua – jika dia meninggal, bahwa dia memberinya warisan darinya.’ Dan Ibnu Zubair berkata: ‘Seandainya aku, aku tidak melihat bahwa seorang wanita yang diceraikan dapat mewarisi.’ Ini adalah perbedaan pendapat, dan jalannya adalah qiyas, yaitu seperti yang kami katakan.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang menceraikan salah satu dari dua istrinya dengan talak tiga, kemudian dia meninggal dan tidak diketahui mana yang diceraikan, maka keduanya menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, dan masing-masing harus menyempurnakan tiga kali haid dalam masa tersebut.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ طَلَّقَ إحْدَى امْرَأَتَيْهِ ثَلَاثًا فَمَاتَ وَلَا تُعْرَفُ اعْتَدَّتَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا تُكْمِلُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا فِيهَا ثَلَاثَ حِيَضٍ.

بَابٌ مَقَامُ الْمُطَلَّقَةِ فِي بَيْتِهَا وَالْمُتَوَفَّى عَنْهَا

 

Bab tentang tempat tinggal wanita yang diceraikan di rumahnya dan wanita yang ditinggal mati suaminya

مِنْ كِتَابِ الْعِدَدِ وَغَيْرِهِ.

 

Dari kitab Al-‘Idad dan lainnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْمُطَلَّقَاتِ {لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} الطلاق: 1 «وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِفُرَيْعَةَ بِنْتِ مَالِكٍ حِين أَخْبَرَتْهُ أَنَّ زَوْجَهَا قُتِلَ وَأَنَّهُ لَمْ يَتْرُكْهَا فِي مَسْكَنٍ يَمْلِكُهُ اُمْكُثِي فِي بَيْتِك حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ» وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ الْفَاحِشَةُ الْمُبَيِّنَةُ أَنْ تَبْدُوَ عَلَى أَهْلِ زَوْجِهَا فَإِذَا بَدَتْ فَقَدْ حَلَّ إخْرَاجُهَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Allah Ta’ala berfirman mengenai wanita-wanita yang ditalak, “Janganlah kamu mengusir mereka dari rumah-rumah mereka, dan janganlah mereka keluar kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (QS. At-Talaq: 1). Dan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda kepada Furai’ah binti Malik ketika dia mengabarkan bahwa suaminya terbunuh dan tidak meninggalkannya di tempat tinggal yang dimilikinya, “Tinggallah di rumahmu sampai masa iddahmu selesai.” Ibnu Abbas berkata, “Perbuatan keji yang nyata adalah jika dia (istri) berbuat tidak sopan terhadap keluarga suaminya. Jika dia melakukannya, maka boleh mengusirnya.”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – itu adalah makna sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam perintahnya kepada Fatimah binti Qais untuk beriddah di rumah Ibnu Ummi Maktum, meskipun ada riwayat dari Aisyah – radhiyallahu ‘anha – bahwa ia mengirim pesan kepada Marwan tentang seorang wanita yang dicerai agar dia bertakwa kepada Allah dan mengembalikan wanita itu ke rumahnya. Marwan berkata, “Tidakkah engkau tahu kisah Fatimah?” Aisyah menjawab, “Jangan engkau mempersoalkan Fatimah.” Marwan berkata, “Jika ada keburukan padamu, cukuplah keburukan antara kedua hal ini.” Dan dari Ibnul Musayyab, bahwa wanita yang dicerai (ba’in) beriddah di rumahnya. Lalu ditanyakan kepadanya, “Lalu bagaimana dengan hadis Fatimah binti Qais?” Dia menjawab, “Fatimah telah membuat fitnah bagi orang-orang. Dia memiliki lisan yang tajam dan berlaku sombong terhadap ipar-iparnya, maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkannya untuk beriddah di rumah Ibnu Ummi Maktum.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَعَائِشَةُ وَمَرْوَانُ وَابْنُ الْمُسَيِّبِ يَعْرِفُونَ حَدِيثَ فَاطِمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ كَمَا حَدَّثَتْ وَيَذْهَبُونَ إلَى أَنَّ ذَلِكَ إنَّمَا كَانَ لِلشَّرِّ وَكَرِهَ لَهَا ابْنُ الْمُسَيِّبِ وَغَيْرُهُ أَنَّهَا كَتَمَتْ السَّبَبَ الَّذِي بِهِ أَمَرَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ غَيْرِ زَوْجِهَا خَوْفًا أَنْ يَسْمَعَ ذَلِكَ سَامِعٌ فَيَرَى أَنَّ لِلْمَبْتُوتَةِ أَنْ تَعْتَدَّ حَيْثُ شَاءَتْ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Aisyah, Marwan, dan Ibnul Musayyib mengetahui hadis Fatimah bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkannya untuk ber’iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum sebagaimana yang dia riwayatkan. Namun mereka berpendapat bahwa hal itu hanya karena ada keburukan (tujuan tertentu). Ibnul Musayyib dan yang lain tidak menyukai kenyataan bahwa Fatimah menyembunyikan alasan mengapa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memerintahkannya ber’iddah di rumah selain suaminya, karena khawatir ada orang yang mendengarnya lalu mengira bahwa wanita yang diceraikan boleh ber’iddah di mana saja yang dia kehendaki.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فَلَمْ يَقُلْ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اعْتَدِّي حَيْثُ شِئْت بَلْ خَصَّهَا إذْ كَانَ زَوْجُهَا غَائِبًا فَبِهَذَا كُلِّهِ أَقُولُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَهَا السُّكْنَى فِي مَنْزِلِهِ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ أَوْ لَا يَمْلِكُهَا فَإِنْ كَانَ بِكِرَاءٍ فَهُوَ عَلَى الْمُطَلِّقِ وَفِي مَالِ الزَّوْجِ الْمَيِّتِ وَلِزَوْجِهَا إذَا تَرَكَهَا فِيمَا يَسَعُهَا مِنْ الْمَسْكَنِ وَتَسْتُرُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا أَنْ يَسْكُنَ فِي سِوَى مَا يَسَعُهَا، وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ: لَا يُغْلِقُ عَلَيْهِ وَعَلَيْهَا حُجْرَةً إلَّا أَنْ يَكُونَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ بَالِغٍ مِنْ الرِّجَالِ، وَإِنْ كَانَ عَلَى زَوْجِهَا دَيْنٌ لَمْ يَبِعْ مَسْكَنَهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا وَذَلِكَ أَنَّهَا مَلَكَتْ عَلَيْهِ سُكْنَى مَا يَكْفِيهَا حِينَ طَلَّقَهَا كَمَا يَمْلِكُ مَنْ يَكْتَرِي، وَإِنْ كَانَ فِي مَنْزِلٍ لَا يَمْلِكُهُ وَلَمْ يَكْتَرِهِ فَلِأَهْلِهِ إخْرَاجُهَا وَعَلَيْهِ غَيْرُهُ إلَّا أَنْ يُفْلِسَ فَتَضْرِبُ مَعَ الْغُرَمَاءِ بِأَقْلِّ قِيمَةِ سُكْنَاهَا وَتَتْبَعُهُ بِفَضْلِهِ مَتَى أَيْسَرَ، وَإِنْ كَانَتْ هَذِهِ الْمَسَائِلُ فِي مَوْتِهِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا وَصَفْت وَمَنْ قَالَهُ احْتَجَّ «بِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِفُرَيْعَةَ اُمْكُثِي فِي بَيْتِك حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ» وَالثَّانِي أَنَّ الِاخْتِيَارَ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يَسْكُنُوهَا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَقَدْ مَلَكُوا دُونَهُ فَلَا سُكْنَى لَهَا كَمَا لَا نَفَقَةَ لَهَا، وَمَنْ قَالَهُ قَالَ: إنَّ «قَوْلَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِفُرَيْعَةَ اُمْكُثِي فِي بَيْتِك مَا لَمْ يُخْرِجْك مِنْهُ أَهْلُك» ؛ لِأَنَّهَا وَصَفَتْ أَنَّ الْمَنْزِلَ لَيْسَ لِزَوْجِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak mengatakan kepadanya, ‘Beriddahlah di mana saja kamu mau,’ tetapi mengkhususkan baginya karena suaminya sedang pergi. Maka, dengan semua ini aku berpendapat: jika seorang suami menceraikan istrinya, maka sang istri berhak tinggal di rumahnya hingga masa iddahnya selesai, baik suami memiliki hak rujuk maupun tidak. Jika rumah itu disewa, maka biayanya ditanggung oleh sang suami yang menceraikan. Dalam hal harta suami yang meninggal, dan bagi suaminya jika meninggalkannya, ia berhak menempati bagian rumah yang layak baginya, serta harus ada penghalang antara dia dan suaminya jika suami tinggal di bagian lain yang tidak layak baginya.”

 

Dalam kitab Nikah dan Talak, beliau juga berkata: “Tidak boleh mengurungnya dalam satu kamar kecuali jika ada mahram dewasa yang menemaninya. Jika suaminya memiliki hutang, rumahnya tidak boleh dijual hingga masa iddahnya selesai, karena sang istri berhak atas tempat tinggal yang layak saat diceraikan, sebagaimana hak penyewa. Jika rumah itu bukan milik suami dan tidak disewa, maka keluarganya boleh mengusirnya, dan suami wajib menyediakan tempat lain kecuali jika dia bangkrut, maka sang istri bisa menuntut haknya bersama para kreditur dengan nilai sewa termurah, dan menagih sisanya ketika suami sudah mampu.”

 

“Jika masalah ini terjadi karena kematian suami, maka ada dua pendapat: Pertama, seperti yang telah dijelaskan, dan yang berpendapat demikian berargumen dengan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Furai’ah, ‘Tinggallah di rumahmu hingga masa iddah selesai.’ Kedua, ahli waris boleh memilih untuk menempatinya. Jika mereka tidak melakukannya, maka mereka memiliki hak atas rumah itu, sehingga sang istri tidak berhak tinggal di sana sebagaimana tidak berhak mendapatkan nafkah. Yang berpendapat ini mengatakan, ‘Sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Furai’ah, ‘Tinggallah di rumahmu selama keluargamu tidak mengusirmu,’ karena Furai’ah menyebutkan bahwa rumah itu bukan milik suaminya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا نَفَقَةَ لَهَا حَامِلًا وَغَيْرَ حَامِلٍ وَقَدْ احْتَجَّ بِأَنَّ الْمِلْكَ قَدْ انْقَطَعَ عَنْهُ بِالْمَوْتِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini lebih sesuai dengan pendapatnya; karena tidak ada nafkah baginya baik dalam keadaan hamil maupun tidak, dan ia berargumen bahwa kepemilikan telah terputus darinya karena kematian.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَكَذَلِكَ قَدْ انْقَطَعَ عَنْهُ السُّكْنَى بِالْمَوْتِ، وَقَدْ أَجْمَعُوا أَنَّ مَنْ وَجَبَتْ لَهُ نَفَقَةٌ وَسُكْنَى مِنْ وَلَدٍ وَوَالِدٍ عَلَى رَجُلٍ فَمَاتَ انْقَطَعَتْ النَّفَقَةُ لَهُمْ وَالسُّكْنَى؛ لِأَنَّ مَالَهُ صَارَ مِيرَاثًا لَهُمْ فَكَذَلِكَ امْرَأَتُهُ وَوَلَدُهُ وَسَائِرُ وَرَثَتِهِ يَرِثُونَ جَمِيعَ مَالِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Demikian pula, hak tempat tinggal telah terputus darinya karena kematian. Para ulama telah sepakat bahwa siapa pun yang berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari anak atau orang tua terhadap seorang laki-laki, lalu ia meninggal, maka terputuslah nafkah dan tempat tinggal bagi mereka. Karena hartanya telah menjadi warisan bagi mereka. Begitu pula istrinya, anaknya, dan seluruh ahli warisnya mewarisi seluruh hartanya.

 

(قَالَ) : وَلِوَرَثَتِهِ أَنْ يُسَكِّنُوهَا حَيْثُ شَاءُوا إذَا كَانَ مَوْضِعُهَا حِرْزًا وَلَيْسَ لَهَا أَنْ تَمْتَنِعَ وَلِلسُّلْطَانِ أَنْ يَخُصَّهَا حَيْثُ تَرْضَى لِئَلَّا يَلْحَقَ بِالزَّوْجِ مَنْ لَيْسَ لَهُ، وَلَوْ أَذِنَ لَهَا أَنْ تَنْتَقِلَ فَنَقَلَ مَتَاعَهَا وَخَدَمَهَا وَلَمْ تَنْتَقِلْ بِبَدَنِهَا حَتَّى مَاتَ أَوْ طَلَّقَ اعْتَدَّتْ فِي بَيْتِهَا الَّذِي كَانَتْ فِيهِ، وَلَوْ خَرَجَ مُسَافِرًا بِهَا أَوْ أَذِنَ لَهَا فِي الْحَجِّ فَزَايَلَتْ مَنْزِلَهُ فَمَاتَ أَوْ طَلَّقَهَا ثَلَاثًا فَسَوَاءٌ لَهَا الْخِيَارُ فِي أَنْ تَمْضِيَ لِسَفَرِهَا ذَاهِبَةً وَجَائِيَةً وَلَيْسَ عَلَيْهَا أَنْ تَرْجِعَ إلَى بَيْتِهِ قَبْلَ أَنْ تَقْضِيَ سَفَرَهَا وَلَا تُقِيمَ فِي الْمِصْرِ الَّذِي أَذِنَ لَهَا فِي السَّفَرِ إلَيْهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ أَذِنَ لَهَا فِي الْمَقَامِ فِيهِ أَوْ النَّقْلَةِ إلَيْهِ فَيَكُونُ ذَلِكَ عَلَيْهَا إذَا بَلَغَتْ ذَلِكَ الْمِصْرَ فَإِنْ كَانَ أَخْرَجَهَا مُسَافِرَةً أَقَامَتْ مَا يُقِيمُ الْمُسَافِرُ مِثْلَهَا ثُمَّ رَجَعَتْ وَأَكْمَلَتْ عِدَّتَهَا، وَلَوْ أَذِنَ لَهَا فِي زِيَارَةٍ أَوْ نُزْهَةٍ فَعَلَيْهَا أَنْ تَرْجِعَ؛ لِأَنَّ الزِّيَارَةَ لَيْسَتْ مَقَامًا وَلَا تَخْرُجُ إلَى الْحَجِّ بَعْدَ انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ وَلَا إلَى مَسِيرَةِ يَوْمٍ إلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ إلَّا أَنْ يَكُونَ حَجَّةَ الْإِسْلَامِ وَتَكُونَ مَعَ نِسَاءٍ ثِقَاتٍ، وَلَوْ صَارَتْ إلَى بَلَدٍ أَوْ مَنْزِلٍ بِإِذْنِهِ وَلَمْ يَقُلْ لَهَا: أَقِيمِي وَلَا تُقِيمِي ثُمَّ طَلَّقَهَا فَقَالَ: لَمْ أَنْقُلْك وَقَالَتْ: نَقَلَتْنِي فَالْقَوْلُ قَوْلُهَا إلَّا أَنْ تُقِرَّ هِيَ أَنَّهُ كَانَ لِلزِّيَارَةِ أَوْ مُدَّةً تُقِيمُهَا فَيَكُونُ عَلَيْهَا أَنْ تَرْجِعَ وَتَعْتَدَّ فِي بَيْتِهِ وَفِي مَقَامِهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ تُقِيمَ إلَى الْمُدَّةِ كَمَا جَعَلَ لَهَا أَنْ تُقِيمَ فِي سَفَرِهَا إلَى غَايَةٍ.

 

 

Beliau berkata: Para ahli warisnya berhak menempatkannya di mana saja mereka kehendaki selama tempat tersebut aman, dan dia tidak boleh menolak. Penguasa juga berhak menetapkan tempat tinggalnya sesuai keridhaannya agar tidak ada orang yang tidak berhak bergabung dengan suaminya. Jika suaminya mengizinkannya untuk pindah lalu memindahkan perabotan dan pelayannya, tetapi dia sendiri tidak pindah hingga suaminya meninggal atau menceraikannya, maka dia menjalani iddah di rumahnya yang biasa dia tinggali. Jika suaminya membawanya dalam perjalanan atau mengizinkannya untuk haji sehingga dia meninggalkan rumahnya, lalu suaminya meninggal atau menceraikannya tiga kali, maka dia boleh memilih untuk melanjutkan perjalanannya, pergi dan pulang, tanpa wajib kembali ke rumah suaminya sebelum menyelesaikan perjalanannya. Dia juga tidak boleh menetap di kota yang diizinkan untuk dikunjungi kecuali jika diizinkan untuk menetap atau pindah ke sana, maka kewajiban itu berlaku setelah dia sampai di kota tersebut. Jika suaminya membawanya dalam perjalanan, dia menetap sesuai kebiasaan musafir sepertinya, kemudian kembali dan menyempurnakan iddahnya. Jika diizinkan untuk kunjungan atau rekreasi, dia wajib kembali karena kunjungan bukanlah tempat menetap. Setelah masa iddah berakhir, dia tidak boleh pergi haji atau melakukan perjalanan sehari kecuali bersama mahram, kecuali untuk haji Islam dan bersama wanita terpercaya. Jika dia pergi ke suatu kota atau rumah dengan izin suaminya tanpa ada perintah untuk menetap atau tidak, lalu suaminya menceraikannya dan berkata, “Aku tidak memindahkanmu,” sementara dia berkata, “Engkau memindahkanku,” maka perkataannya yang diterima kecuali jika dia mengakui bahwa itu hanya untuk kunjungan atau waktu tertentu, maka dia wajib kembali dan menjalani iddah di rumah suaminya. Ada dua pendapat tentang tempat tinggalnya: salah satunya adalah dia boleh menetap sesuai waktu yang ditentukan, sebagaimana dia diizinkan menetap dalam perjalanannya hingga batas tertentu.

 

(قَالَ) : وَتَنْتَوِيَ الْبَدْوِيَّةُ حَيْثُ يَنْتَوِي أَهْلُهَا؛ لِأَنَّ سَكَنَ أَهْلِ الْبَادِيَةِ إنَّمَا هُوَ سُكْنَى مَقَامِ غِبْطَةٍ وَظَعْنِ غِبْطَةٍ وَإِذَا دَلَّتْ السُّنَّةُ عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ تَخْرُجُ مِنْ الْبَذَاءِ عَلَى أَهْلِ زَوْجِهَا كَانَ الْعُذْرُ فِي ذَلِكَ الْمَعْنَى أَوْ أَكْثَرَ.

 

 

Beliau berkata: “Kebadwian itu mengikuti ke mana pun pemeluknya pergi, karena tempat tinggal orang badui hanyalah tempat tinggal yang membawa kebahagiaan dan perpindahan yang membawa kebahagiaan. Jika sunnah menunjukkan bahwa seorang wanita boleh keluar dari kekejian terhadap keluarga suaminya, maka udzur dalam makna itu atau lebih.”

 

(قَالَ) : وَيُخْرِجُهَا السُّلْطَانُ فِيمَا يَلْزَمُهَا فَإِذَا فَرَغَتْ رَدَّهَا وَيَكْتَرِي عَلَيْهِ إذَا غَابَ وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا بِالْمَدِينَةِ فِيمَا مَضَى أَكْرَى مَنْزِلًا إنَّمَا كَانُوا يَتَطَوَّعُونَ بِإِنْزَالِ مَنَازِلِهِمْ وَبِأَمْوَالِهِمْ مَعَ مَنَازِلِهِمْ، وَلَوْ تَكَارَتْ فَإِنْ طَلَبَتْ الْكِرَاءَ كَانَ لَهَا مِنْ يَوْمِ تَطْلُبُهُ وَمَا مَضَى حَقُّ تَرِكَتِهِ فَأَمَّا امْرَأَةُ صَاحِبِ السَّفِينَةِ إذَا كَانَتْ مُسَافِرَةً مَعَهُ فَكَالْمَرْأَةِ الْمُسَافِرَةِ إنْ شَاءَتْ مَضَتْ، وَإِنْ شَاءَتْ رَجَعَتْ إلَى مَنْزِلِهِ فَاعْتَدَّتْ بِهِ

 

 

Beliau berkata: “Penguasa dapat mengeluarkannya (dari rumah) jika ada kewajiban yang harus dia penuhi. Setelah selesai, dia mengembalikannya. Jika suaminya pergi, dia boleh menyewakan rumahnya. Kami tidak mengetahui ada seorang pun di Madinah di masa lalu yang menyewakan rumahnya. Mereka biasanya sukarela menempatkan rumah dan harta mereka bersama dengan rumah-rumah mereka. Jika dia menyewakannya, maka sewanya menjadi haknya sejak dia memintanya, sedangkan masa sebelumnya adalah hak warisnya. Adapun istri pemilik kapal jika bepergian bersamanya, maka statusnya seperti perempuan yang bepergian. Jika dia mau, dia boleh melanjutkan perjalanan, atau jika mau, dia boleh kembali ke rumahnya dan menjalani iddah di sana.”

 

بَابُ الْإِحْدَادِ

Bab tentang Masa Berkabung

 

مِنْ كِتَابَيْ الْعِدَدِ الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَمَّا قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ إلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا» وَكَانَتْ هِيَ وَالْمُطَلَّقَةُ الَّتِي لَا يَمْلِكُ زَوْجُهَا رَجْعَتَهَا مَعًا فِي عِدَّةٍ وَكَانَتَا غَيْرَ ذَوَاتَيْ زَوْجَيْنِ أَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ عَلَى الْمُطَلَّقَةِ إحْدَادٌ كَهُوَ عَلَى الْمُتَوَفَّى عَنْهَا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ فَأُحِبُّ ذَلِكَ لَهَا وَلَا يَبِينُ أَنْ أُوجِبَهُ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّهُمَا قَدْ تَخْتَلِفَانِ فِي حَالٍ، وَإِنْ اجْتَمَعَتَا فِي غَيْرِهِ، وَلَوْ لَمْ يَلْزَمْ الْقِيَاسُ إلَّا بِاجْتِمَاعِ كُلِّ الْوُجُوهِ بَطَلَ، الْقِيَاسُ.

 

 

Dari dua kitab Al-‘Iddah lama dan baru (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suami yaitu empat bulan sepuluh hari.” Dan wanita yang ditalak yang suaminya tidak memiliki hak rujuk berada dalam masa ‘iddah bersama-sama, dan keduanya bukanlah wanita yang memiliki dua suami. Lebih mirip jika wanita yang ditalak itu juga wajib berkabung seperti wanita yang ditinggal mati suaminya. Wallahu a’lam. Aku lebih menyukai hal itu untuknya, namun tidak jelas bagiku untuk mewajibkannya karena keduanya mungkin berbeda dalam satu keadaan meskipun sama dalam keadaan lainnya. Seandainya qiyas hanya berlaku jika semua aspek terpenuhi, maka qiyas akan batal.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ جَعَلَهُمَا فِي الْكِتَابِ الْقَدِيمِ فِي ذَلِكَ سَوَاءً، وَقَالَ فِيهِ وَلَا تَجْتَنِبْ الْمُعْتَدَّةُ فِي النِّكَاحِ الْفَاسِدِ وَأُمُّ الْوَلَدِ مَا تَجْتَنِبُ الْمُعْتَدَّةُ وَيَسْكُنَّ حَيْثُ شِئْنَ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – telah menyamakan keduanya dalam kitab lama mengenai hal itu, dan beliau berkata di dalamnya: “Wanita yang sedang dalam masa iddah dari pernikahan yang rusak dan ummul walad tidak perlu menghindari apa yang dihindari oleh wanita dalam iddah, dan mereka boleh tinggal di mana saja yang mereka kehendaki.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنَّمَا الْإِحْدَادُ فِي الْبَدَنِ وَتَرْكِ زِينَةِ الْبَدَنِ وَهُوَ أَنْ تُدْخِلَ عَلَى الْبَدَنِ شَيْئًا مِنْ غَيْرِهِ زِينَةً أَوْ طِيبًا يَظْهَرُ عَلَيْهَا فَيَدْعُوَ إلَى شَهْوَتِهَا فَمِنْ ذَلِكَ الدُّهْنُ كُلُّهُ فِي الرَّأْسِ وَذَلِكَ أَنَّ كُلَّ الْأَدْهَانِ فِي تَرْجِيلِ الشَّعْرِ وَإِذْهَابِ الشَّعَثِ سَوَاءٌ، وَهَكَذَا الْمُحْرِمُ يَفْتَدِي بِأَنْ يُدْهِنَ رَأْسَهُ أَوْ لِحْيَتَهُ بِزَيْتٍ لِمَا وَصَفْت، وَأَمَّا مَدُّ يَدَيْهَا فَلَا بَأْسَ إلَّا الطِّيبَ كَمَا لَا يَكُونُ بِذَلِكَ بَأْسٌ لِلْمُحْرِمِ، وَإِنْ خَالَفَتْ الْمُحْرِمَ فِي بَعْضِ أَمْرِهَا وَكُلُّ كُحْلٍ كَانَ زِينَةً فَلَا خَيْرَ فِيهِ لَهَا، فَأَمَّا الْفَارِسِيُّ وَمَا أَشْبَهَهُ إذْ احْتَاجَتْ إلَيْهِ فَلَا بَأْسَ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِزِينَةٍ بَلْ يَزِيدُ الْعَيْنَ مَرَهًا وَقُبْحًا وَمَا اُضْطُرَّتْ إلَيْهِ مِمَّا فِيهِ زِينَةٌ مِنْ الْكُحْلِ اكْتَحَلَتْ بِهِ لَيْلًا وَتَمْسَحُهُ نَهَارًا وَكَذَلِكَ الدِّمَامُ «دَخَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ وَهِيَ حَادُّ عَلَى أَبِي سَلَمَةَ فَقَالَ مَا هَذَا يَا أُمَّ سَلَمَةَ؟ فَقَالَتْ: إنَّمَا هُوَ صَبْرٌ، فَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – اجْعَلِيهِ بِاللَّيْلِ وَامْسَحِيهِ بِالنَّهَارِ» .

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Sesungguhnya ihdad (masa berkabung bagi wanita) itu berkaitan dengan tubuh dan meninggalkan perhiasan tubuh. Maksudnya adalah memasukkan sesuatu pada tubuh yang bersifat perhiasan atau wewangian yang terlihat, sehingga dapat membangkitkan syahwat. Di antaranya adalah semua jenis minyak pada kepala, karena semua minyak untuk menyisir rambut dan menghilangkan kusut adalah sama. Demikian pula orang yang berihram denda jika meminyaki kepala atau jenggotnya dengan minyak karena alasan yang telah dijelaskan. Adapun mengoleskan pada tangannya tidak mengapa kecuali wewangian, sebagaimana hal itu juga tidak mengapa bagi orang yang berihram. Meskipun ada perbedaan dalam beberapa hal antara wanita yang berihdad dengan orang yang berihram. Semua celak yang bersifat perhiasan tidak baik baginya. Adapun celak Persia atau sejenisnya jika diperlukan, maka tidak mengapa karena bukan termasuk perhiasan, bahkan justru menambah mata menjadi lebih tajam dan buruk rupa. Jika terpaksa menggunakan celak yang mengandung perhiasan, maka boleh dipakai malam hari dan dihapus siang hari. Demikian pula dengan dam (obat).” (Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – pernah menemui Ummu Salamah yang sedang berkabung atas kematian Abu Salamah. Beliau bertanya: “Apa ini wahai Ummu Salamah?” Dia menjawab: “Ini hanya obat (shabr).” Maka Nabi – ‘alaihis salam – bersabda: “Pakailah di malam hari dan hapuslah di siang hari.”)

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الصَّبْرُ يُصَفِّرُ فَيَكُونُ زِينَةً وَلَيْسَ بِطِيبٍ فَأَذِنَ لَهَا فِيهِ بِاللَّيْلِ حَيْثُ لَا يُرَى وَتَمْسَحُهُ بِالنَّهَارِ حَيْثُ يُرَى وَكَذَلِكَ مَا أَشْبَهَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Pacar itu menguning sehingga menjadi hiasan dan bukan wewangian. Maka, dia membolehkannya (menggunakan pacar) di malam hari ketika tidak terlihat dan menghapusnya di siang hari ketika terlihat. Demikian pula hal yang serupa.

 

(قَالَ) : وَفِي الثِّيَابِ زِينَتَانِ إحْدَاهُمَا جَمَالُ اللَّابِسِينَ وَتَسْتُرُ الْعَوْرَةَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ} الأعراف: 31 فَالثِّيَابُ زِينَةٌ لِمَنْ لَبِسَهَا، فَإِذَا أَفْرَدَتْ الْعَرَبُ التَّزَيُّنَ عَلَى بَعْضِ اللَّابِسِينَ دُونَ بَعْضٍ فَإِنَّمَا مِنْ الصَّبْغِ خَاصَّةً وَلَا بَأْسَ أَنْ تَلْبَسَ الْحَادُّ كُلَّ ثَوْبٍ مِنْ الْبَيَاضِ؛ لِأَنَّ الْبَيَاضَ لَيْسَ بِمُزَيِّنٍ وَكَذَلِكَ الصُّوفُ وَالْوَبَرُ وَكُلُّ مَا نُسِجَ عَلَى وَجْهِهِ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِ صَبْغٌ مِنْ خَزٍّ أَوْ غَيْرِهِ وَكَذَلِكَ كُلُّ صَبْغٍ لَمْ يُرَدْ بِهِ تَزْيِينُ الثَّوْبِ مِثْلَ السَّوَادِ وَمَا صُبِغَ لِيَقْبُحَ لِحُزْنٍ أَوْ لِنَفْيِ الْوَسَخِ عَنْهُ وَصِبَاغُ الْغَزْلِ بِالْخَضِرَةِ يُقَارِبُ السَّوَادَ لَا الْخَضِرَةَ الصَّافِيَةَ وَمَا فِي مَعْنَاهُ. فَأَمَّا مَا كَانَ مِنْ زِينَةٍ أَوْ وَشْيٍ فِي ثَوْبٍ وَغَيْرِهِ فَلَا تَلْبَسُهُ الْحَادُّ وَكَذَلِكَ كُلُّ حُرَّةٍ وَأَمَةٍ كَبِيرَةٍ أَوْ صَغِيرَةٍ مُسْلِمَةٍ أَوْ ذِمِّيَّةٍ، وَلَوْ تَزَوَّجَتْ نَصْرَانِيَّةٌ نَصْرَانِيًّا فَأَصَابَهَا أَحَلَّهَا لِزَوْجِهَا الْمُسْلِمِ وَيُحْصِنُهَا؛ لِأَنَّهُ زَوْجٌ أَلَا تَرَى «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا» وَلَا يُرْجَمُ إلَّا مُحْصَنًا.

 

 

(Dia berkata): “Dalam pakaian terdapat dua perhiasan: pertama, keindahan bagi yang mengenakannya, dan kedua, menutup aurat. Allah Ta’ala berfirman, ‘Ambillah perhiasanmu saat mendatangi setiap masjid.’ (QS. Al-A’raf: 31). Pakaian adalah perhiasan bagi yang mengenakannya. Jika orang Arab mengkhususkan perhiasan pada sebagian pemakainya saja, maka itu hanya dari sisi pewarnaan khusus. Tidak mengapa jika orang yang sedang berkabung mengenakan pakaian putih, karena putih bukanlah perhiasan. Demikian pula wol, bulu, atau apa pun yang ditenun asli tanpa dicelup dengan sutera atau lainnya. Begitu juga setiap pewarnaan yang tidak dimaksudkan untuk memperindah pakaian, seperti warna hitam atau yang dicelup untuk terlihat buruk karena berkabung atau menghilangkan kotoran. Pewarnaan benang dengan warna hijau yang mendekati hitam, bukan hijau yang cerah, dan semisalnya. Adapun pakaian yang memiliki perhiasan atau sulaman, maka orang yang berkabung tidak boleh mengenakannya. Hal ini juga berlaku bagi setiap wanita merdeka atau budak, tua atau muda, muslimah atau dzimmiyah. Jika seorang wanita Nasrani menikah dengan lelaki Nasrani lalu suaminya meninggal, maka halal baginya untuk menikah dengan lelaki muslim dan dia akan menjadi mahramnya, karena dia adalah suami. Tidakkah kamu melihat bahwa Nabi ﷺ merajam dua orang Yahudi yang berzina? Dan rajam hanya dilakukan pada muhshan (orang yang sudah menikah).”

 

اجْتِمَاعُ الْعِدَّتَيْنِ وَالْقَافَّةِ

 

Berkumpulnya dua kelompok dan qaffah

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا تَزَوَّجَتْ فِي الْعِدَّةِ وَدَخَلَ بِهَا الثَّانِي فَإِنَّهَا تَعْتَدُّ بِنِيَّةِ عِدَّتِهَا مِنَ الْأَوَّلِ ثُمَّ تَعْتَدُّ مِنَ الثَّانِي وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِقَوْلِ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seorang wanita menikah selama masa iddah dan suami kedua telah berhubungan dengannya, maka ia harus menyelesaikan iddahnya dari suami pertama dengan niat, kemudian menjalani iddah dari suami kedua.” Ia berargumen dalam hal ini dengan perkataan Umar, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz – semoga rahmat Allah atas mereka.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) :؛ لِأَنَّ عَلَيْهَا حَقَّيْنِ بِسَبَبِ الزَّوْجَيْنِ وَكَذَلِكَ كُلُّ حَقَّيْنِ لَزِمَا مِنْ وَجْهَيْنِ. قَالَ: وَلَوْ اعْتَدَّتْ بِحَيْضَةٍ ثُمَّ أَصَابَهَا الثَّانِي وَحَمَلَتْ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا اعْتَدَّتْ بِالْحَمْلِ فَإِذَا وَضَعَتْهُ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ نَكَحَهَا الْآخَرُ فَهُوَ مِنْ الْأَوَّلِ، وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ لِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ يَوْمِ فَارَقَهَا الْأَوَّلُ وَكَانَ طَلَاقُهُ لَا يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ فَهُوَ لِلْآخَرِ، وَإِنْ كَانَ يَمْلِكُ فِيهِ الرَّجْعَةَ وَتَدَاعَيَاهُ أَوْ لَمْ يَتَدَاعَيَاهُ وَلَمْ يُنْكِرَاهُ وَلَا وَاحِدًا مِنْهُمَا أُرِيهِ الْقَافَّةُ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالْأَوَّلِ فَقَدْ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مِنْهُ وَتَبْتَدِئُ عِدَّةً مِنْ الثَّانِي، وَلَهُ خِطْبَتُهَا فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِالثَّانِي فَقَدْ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا مِنْهُ وَتَبْتَدِئُ فَتُكْمِلُ عَلَى مَا مَضَى مِنْ عِدَّةِ الْأَوَّلِ وَلِلْأَوَّلِ عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ، وَلَوْ لَمْ يُلْحِقُوهُ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَوْ أَلْحَقُوهُ بِهِمَا أَوْ لَمْ تَكُنْ قَافَّةٌ أَوْ مَاتَ قَبْلَ يَرَاهُ الْقَافَّةُ أَوْ أَلْقَتْهُ مَيِّتًا فَلَا يَكُونُ ابْنٌ وَاحِدٌ مِنْهُمَا، وَإِنْ كَانَ أَوْصَى لَهُ بِشَيْءٍ وَقَفَ حَتَّى يَصْطَلِحَا فِيهِ وَالنَّفَقَةُ عَلَى الزَّوْجِ الصَّحِيحِ النِّكَاحِ وَلَا آخُذُهُ بِنَفَقَتِهَا حَتَّى تَلِدَهُ، فَإِنْ أُلْحِقَ بِهِ الْوَلَدُ أَعْطَيْتهَا نَفَقَةَ الْحَمْلِ مِنْ يَوْمِ طَلَّقَهَا، وَإِنْ أَشْكَلَ أَمْرُهُ لَمْ آخُذْهُ بِنَفَقَتِهِ حَتَّى يُنْتَسَبَ إلَيْهِ فَإِنْ أُلْحِقَ بِصَاحِبِهِ فَلَا نَفَقَةَ لَهَا؛ لِأَنَّهَا حُبْلَى مِنْ غَيْرِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Karena ada dua hak yang melekat padanya akibat dua suami, dan begitu pula setiap dua hak yang wajib dari dua sisi. Beliau berkata: Jika dia menjalani iddah dengan satu haid, lalu suami kedua mencampurinya dan dia hamil, lalu keduanya berpisah, maka dia menjalani iddah dengan kehamilan. Jika dia melahirkan kurang dari enam bulan sejak dinikahi oleh suami kedua, maka anak itu dari suami pertama. Jika dia melahirkan lebih dari empat tahun sejak berpisah dengan suami pertama, dan talaknya tidak memiliki hak rujuk, maka anak itu untuk suami kedua. Jika talaknya masih memiliki hak rujuk, dan keduanya memperdebatkan anak itu atau tidak memperdebatkannya serta tidak mengingkarinya, dan tidak ada satupun dari mereka yang bisa menunjukkan bukti, maka jika mereka mengakui anak itu sebagai milik suami pertama, iddahnya dari suami pertama telah selesai dan dia memulai iddah baru dari suami kedua, serta suami kedua berhak melamarnya. Jika mereka mengakui anak itu sebagai milik suami kedua, maka iddahnya dari suami kedua telah selesai dan dia melanjutkan sisa iddah dari suami pertama, serta suami pertama berhak rujuk. Jika mereka tidak mengakui anak itu sebagai milik salah satunya, atau mengakui sebagai milik keduanya, atau tidak ada bukti, atau anak itu meninggal sebelum dilihat buktinya, atau dia melahirkan dalam keadaan meninggal, maka anak itu tidak menjadi anak salah satunya. Jika ada wasiat untuk anak itu, maka ditahan sampai keduanya berdamai. Nafkah menjadi tanggungan suami yang sah pernikahannya, dan aku tidak memaksanya menafkahi sampai dia melahirkan. Jika anak itu diakui sebagai miliknya, maka aku memberinya nafkah kehamilan sejak hari dia menceraikannya. Jika statusnya meragukan, aku tidak memaksanya menafkahi sampai anak itu dinisbatkan padanya. Jika anak itu dinisbatkan pada suami yang lain, maka tidak ada nafkah baginya karena dia hamil dari selainnya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – خَالَفَ الشَّافِعِيُّ فِي إلْحَاقِ الْوَلَدِ فِي أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِ سِنِينَ بِأَنْ يَكُونَ لَهُ الرَّجْعَةُ

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Asy-Syafi’i berbeda pendapat dalam hal mengaitkan anak yang berusia lebih dari empat tahun dengan hak rujuk.”

 

عِدَّةُ الْمُطَلَّقَةِ يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا زَوْجُهَا ثُمَّ يَمُوتُ أَوْ يُطَلِّقُ

 

Masa iddah wanita yang ditalak, suaminya memiliki hak rujuk, kemudian suami meninggal atau menalaknya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِنْ طَلَّقَهَا طَلْقَةً يَمْلِكُ رَجْعَتَهَا ثُمَّ مَاتَ اعْتَدَّتْ عِدَّةَ الْوَفَاةِ وَوَرِثَتْ، وَلَوْ رَاجَعَهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا تَعْتَدُّ مِنْ الطَّلَاقِ الْأَخِيرِ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ جُرَيْجٍ وَعَبْدِ الْكَرِيمِ وَطَاوُسٍ وَالْحَسَنِ بْنِ مُسْلِمٍ وَمَنْ قَالَ هَذَا انْبَغَى أَنْ يَقُولَ: رَجْعَتُهُ مُخَالِفَةٌ لِنِكَاحِهِ إيَّاهَا ثُمَّ يُطَلِّقُهَا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا لَمْ تَعْتَدَّ فَكَذَلِكَ لَا تَعْتَدُّ مِنْ طَلَاقٍ أَحْدَثَهُ، وَإِنْ كَانَتْ رَجْعَةً إذَا لَمْ يَمَسَّهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seorang suami menceraikan istrinya dengan talak yang masih memungkinkan rujuk, lalu suami tersebut meninggal, maka sang istri menjalani iddah karena kematian dan berhak mewarisi. Namun, jika suami merujuknya kemudian menalaknya lagi sebelum menyentuhnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, sang istri menjalani iddah dari talak terakhir. Ini adalah pendapat Ibnu Juraij, Abdul Karim, Thawus, dan Hasan bin Muslim. Orang yang berpendapat demikian seharusnya juga mengatakan: ‘Rujuknya berbeda dengan nikahnya, lalu jika dia menalaknya sebelum menyentuhnya, maka sang istri tidak menjalani iddah.’ Demikian pula, dia tidak menjalani iddah dari talak yang dia lakukan, meskipun itu adalah rujuk jika dia belum menyentuhnya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْمَعْنَى الْأَوَّلُ أَوْلَى بِالْحَقِّ عِنْدِي؛ لِأَنَّهُ إذَا ارْتَجَعَهَا سَقَطَتْ عِدَّتُهَا وَصَارَتْ فِي مَعْنَاهَا الْقَدِيمِ بِالْعَقْدِ الْأَوَّلِ لَا بِنِكَاحٍ مُسْتَقْبِلٍ فَإِنَّمَا طَلَّقَ امْرَأَةً مَدْخُولًا بِهَا فِي غَيْرِ عِدَّةٍ فَهُوَ فِي مَعْنَى مَنْ ابْتَدَأَ طَلَاقَهُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Makna pertama lebih dekat kepada kebenaran menurutku, karena jika dia merujuknya, maka gugurlah masa iddahnya dan ia kembali pada makna lamanya dengan akad pertama, bukan pernikahan yang akan datang. Maka sesungguhnya dia mencerai seorang wanita yang telah disetubuhi tanpa masa iddah, sehingga statusnya seperti orang yang memulai talak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ لَمْ يَرْتَجِعْهَا حَتَّى طَلَّقَهَا فَإِنَّهَا تَبْنِي عَلَى عِدَّتِهَا مِنْ أَوَّلِ طَلَاقِهَا؛ لِأَنَّ تِلْكَ الْعِدَّةَ لَمْ تَبْطُلْ حَتَّى طَلَّقَ وَإِنَّمَا زَادَهَا طَلَاقًا وَهِيَ مُعْتَدَّةٌ بِإِجْمَاعٍ فَلَا نُبْطِلُ مَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ مِنْ عِدَّةٍ قَائِمَةٍ إلَّا بِإِجْمَاعٍ مِثْلِهِ أَوْ قِيَاسٍ عَلَى نَظِيرِهِ.

 

 

Al-Muzani -rahimahullah- berkata: “Seandainya dia tidak merujuknya hingga menceraikannya, maka sang istri tetap melanjutkan iddahnya sejak talak pertama. Karena iddah tersebut tidak batal hingga dia menceraikan, dan dia hanya menambahkan talak sedangkan sang istri sedang dalam iddah berdasarkan kesepakatan ulama. Maka kita tidak membatalkan sesuatu yang telah disepakati (yaitu iddah yang sedang berjalan) kecuali dengan kesepakatan serupa atau qiyas yang sepadan.”

 

امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ وَعِدَّتُهَا إذَا نَكَحَتْ غَيْرَهُ

 

Istri orang yang hilang dan masa iddahnya jika menikah dengan orang lain

وَغَيْرُ ذَلِكَ.

 

dan selain itu.

(Asy-Syafi’i) – rahimahullah – berkata tentang istri orang yang hilang (ghaib), apa pun jenis keghaibannya: “Dia tidak boleh menjalani iddah dan tidak boleh menikah selamanya sampai datang kepadanya kepastian kematian suaminya, lalu dia mewarisinya. Tidak boleh baginya menjalani iddah dari kematian suaminya, dan orang seperti dia tidak mewarisi kecuali jika dia mewarisi suaminya yang dia jalani iddah dari kematiannya.” Dan Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – berkata tentang istri orang yang hilang (mafqud): “Sesungguhnya dia tidak boleh menikah.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ طَلَّقَهَا وَهُوَ خَفِيُّ الْغَيْبَةِ أَوْ آلَى مِنْهَا أَوْ تَظَاهَرَ أَوْ قَذَفَهَا لَزِمَهُ مَا يَلْزَمُ الزَّوْجَ الْحَاضِرَ، وَلَوْ اعْتَدَّتْ بِأَمْرِ حَاكِمٍ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا أَوْ نَكَحَتْ وَدَخَلَ بِهَا الزَّوْجُ كَانَ حُكْمُ الزَّوْجِيَّةِ بَيْنَهَا وَبَيْنَ زَوْجِهَا الْأَوَّلِ بِحَالِهِ غَيْرَ أَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ فَرْجِهَا بِوَطْءِ شُبْهَةٍ، وَلَا نَفَقَةَ لَهَا مِنْ حِينِ نَكَحَتْ وَلَا فِي حِينِ عِدَّتِهَا مِنْ الْوَطْءِ الْفَاسِدِ؛ لِأَنَّهَا مُخْرِجَةٌ نَفْسَهَا مِنْ يَدَيْهِ وَغَيْرِ وَاقِفَةٍ عَلَيْهِ وَمُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِ بِالْمَعْنَى الَّذِي دَخَلَتْ فِيهِ وَلَمْ أُلْزِمْ الْوَاطِئَ بِنَفَقَتِهَا؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُمَا شَيْءٌ مِنْ أَحْكَامِ الزَّوْجَيْنِ إلَّا لُحُوقَ الْوَلَدِ فَإِنَّهُ فِرَاشٌ بِالشُّبْهَةِ وَإِذَا وَضَعَتْ فَلِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ رَضَاعِ وَلَدِهَا إلَّا اللِّبَأَ وَمَا إنْ تَرَكَتْهُ لَمْ يَتَعَدَّ غَيْرَهَا وَلَا يُنْفِقُ عَلَيْهَا فِي رَضَاعِهَا وَلَدَ غَيْرِهِ، وَلَوْ ادَّعَاهُ الْأَوَّلُ أَرَيْته الْقَافَّةَ، وَلَوْ مَاتَ الزَّوْجُ الْأَوَّلُ وَالْآخَرُ وَلَا يَعْلَمُ أَيَّهُمَا مَاتَ أَوَّلًا بَدَأَتْ فَاعْتَدَّتْ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا؛ لِأَنَّهُ النِّكَاحُ الصَّحِيحُ الْأَوَّلُ ثُمَّ اعْتَدَّتْ بِثَلَاثَةِ قُرُوءٍ

 

 

(Dia berkata): “Jika dia menceraikannya dalam keadaan ghaib tersembunyi, atau bersumpah untuk tidak mencampurinya, atau melakukan zhihar, atau menuduhnya berzina, maka dia tetap terkena kewajiban seperti suami yang hadir. Jika dia menjalani iddah berdasarkan keputusan hakim selama empat tahun, lalu empat bulan sepuluh hari, atau menikah lagi dan disetubuhi oleh suami baru, maka status pernikahan antara dia dan suami pertamanya tetap berlaku, hanya saja suami pertama dilarang menggaulinya karena termasuk persetubuhan syubhat. Dia tidak berhak mendapat nafkah sejak menikah lagi atau selama iddah dari persetubuhan yang batil, karena dia telah melepaskan diri dari suami pertama dan tidak lagi berada di bawah tanggungannya, serta haram baginya dalam makna yang telah dia masuki. Aku tidak mewajibkan orang yang menyetubuhinya untuk memberinya nafkah, karena tidak ada hukum pernikahan di antara mereka kecuali dalam hal nasab anak, sebab tempat tidur (farj) itu dinisbatkan karena syubhat. Jika dia melahirkan, suami pertama berhak melarangnya menyusui anaknya kecuali kolostrum, dan jika dia meninggalkannya, dia tidak boleh menyusui anak orang lain, juga tidak wajib menafkahinya selama menyusui anak orang lain. Jika suami pertama mengaku anak itu miliknya, aku akan menunjukkan bukti melalui kesaksian ahli waris. Jika suami pertama dan suami kedua meninggal tanpa diketahui siapa yang lebih dulu, maka dia memulai iddah selama empat bulan sepuluh hari karena itu adalah pernikahan sah yang pertama, lalu menjalani iddah dengan tiga kali suci.”

 

بَابُ اسْتِبْرَاءِ أُمِّ الْوَلَدِ

Bab tentang menunggu kesucian ummul walad

 

مِنْ كِتَابَيْنِ: امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ وَعِدَّتُهَا إذَا نَكَحَتْ غَيْرَهُ وَغَيْرُ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّهُ قَالَ فِي أُمِّ الْوَلَدِ يُتَوَفَّى عَنْهَا سَيِّدُهَا تَعْتَدُّ بِحَيْضَةٍ.

 

 

Dari dua kitab: wanita yang ditinggalkan (suaminya hilang) dan masa iddahnya jika menikah dengan selainnya, serta lainnya. (Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma- bahwa ia berkata mengenai ummul walad yang ditinggal mati tuannya, ia beriddah dengan satu kali haid.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا تَحِلُّ أُمُّ الْوَلَدِ لِلْأَزْوَاجِ حَتَّى تَرَى الطُّهْرَ مِنْ الْحَيْضَةِ وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ إمْلَاءً عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا تَحِيضُ فَشَهْرٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan seorang ummul walad tidak halal untuk suaminya hingga ia melihat suci dari haid.” Beliau juga berkata dalam kitab Nikah dan Talak yang didiktekan sebagai jawaban atas masalah-masalah Malik, “Jika ia termasuk wanita yang tidak haid, maka (iddahnya) satu bulan.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ مَاتَ سَيِّدُهَا أَوْ أَعْتَقَهَا وَهِيَ حَائِضٌ لَمْ تَعْتَدَّ بِتِلْكَ الْحَيْضَةِ، وَإِنْ كَانَتْ حَامِلًا فَإِنْ تَضَعْ حَمْلَهَا، وَإِنْ اسْتَبْرَأَتْ فَهِيَ كَالْحُرَّةِ الْمُسْتَبْرَأَةِ، وَإِنْ مَاتَ سَيِّدُهَا وَهِيَ تَحْتَ زَوْجٍ أَوْ فِي عِدَّةِ زَوْجٍ فَلَا اسْتِبْرَاءَ عَلَيْهَا؛ لِأَنَّ فَرْجَهَا مَمْنُوعٌ مِنْهُ بِشَيْءٍ أَبَاحَهُ لِزَوْجِهَا فَإِنْ مَاتَا فَعُلِمَ أَنَّ أَحَدَهُمَا مَاتَ قَبْلَ الْآخَرِ بِيَوْمٍ أَوْ بِشَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ أَوْ أَكْثَرَ وَلَا نَعْلَمُ أَيَّهُمَا أَوَّلًا اعْتَدَّتْ مِنْ يَوْمِ مَاتَ الْآخَرُ مِنْهُمَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فِيهَا حَيْضَةٌ وَإِنَّمَا لَزِمَهَا إحْدَاهُمَا فَإِذَا جَاءَتْ بِهِمَا فَذَلِكَ أَكْمَلُ مَا عَلَيْهَا.

 

 

Beliau berkata: “Jika tuannya meninggal atau memerdekakannya saat ia sedang haid, maka haid itu tidak dihitung sebagai masa iddah. Jika ia hamil, maka iddahnya berakhir setelah melahirkan. Jika ia telah menjalani istibra’, maka statusnya seperti wanita merdeka yang telah menyelesaikan istibra’. Jika tuannya meninggal sementara ia dalam pernikahan atau sedang menjalani iddah dari suami, maka tidak ada kewajiban istibra’ baginya karena kemaluannya terlindungi oleh hak suaminya. Jika keduanya (tuan dan suami) meninggal dan diketahui salah satunya meninggal sehari, dua bulan lima malam, atau lebih sebelum yang lain, namun tidak diketahui siapa yang lebih dulu, maka ia menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari sejak kematian yang terakhir, termasuk satu kali haid. Ia hanya terikat pada salah satunya. Jika ia memenuhi kedua ketentuan, itu lebih sempurna.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا عِنْدِي غَلَطٌ؛ لِأَنَّهُ إذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ مَوْتِهِمَا إلَّا أَقَلُّ مِنْ شَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ فَلَا مَعْنَى لِلْحَيْضَةِ؛ لِأَنَّ السَّيِّدَ إذَا كَانَ مَاتَ أَوَّلًا فَهِيَ تَحْتَ زَوْجٍ مَشْغُولَةٌ بِهِ عَنْ الْحَيْضَةِ، وَإِنْ كَانَ مَوْتُ الزَّوْجِ أَوَّلًا فَلَمْ يَنْقَضِ شَهْرَانِ وَخَمْسُ لَيَالٍ حَتَّى مَاتَ السَّيِّدُ فَهِيَ مَشْغُولَةٌ بِعِدَّةِ الزَّوْجِ عَنْ الْحَيْضَةِ، وَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا أَكْثَرُ مِنْ شَهْرَيْنِ وَخَمْسِ لَيَالٍ فَقَدْ أَمْكَنَتْ الْحَيْضَةُ فَكَمَا قَالَ الشَّافِعِيُّ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Ini menurutku adalah keliru; karena jika antara kematian keduanya tidak lebih dari dua bulan lima malam, maka tidak ada makna untuk haid. Sebab, jika tuannya meninggal lebih dulu, maka ia berada di bawah suami yang sibuk dengannya sehingga tidak ada haid. Dan jika suaminya meninggal lebih dulu, lalu belum genap dua bulan lima malam hingga tuannya meninggal, maka ia sibuk dengan masa iddah suami sehingga tidak ada haid. Namun jika antara keduanya lebih dari dua bulan lima malam, maka haid mungkin terjadi, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syafi’i.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا تَرِثُ زَوْجَهَا حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّ سَيِّدَهَا مَاتَ قَبْلَ زَوْجِهَا فَتَرِثُهُ وَتَعْتَدُّ عِدَّةَ الْوَفَاةِ كَالْحُرَّةِ وَالْأَمَةِ يَطَؤُهَا تَسْتَبْرِئُ بِحَيْضَةٍ فَإِنْ نَكَحَتْ قَبْلَهَا فَمَفْسُوخٌ، وَلَوْ وَطِئَ الْمُكَاتَبُ أَمَتَهُ فَوَلَدَتْ أَلْحَقَتْهُ بِهِ وَمَنَعَتْهُ الْوَطْءَ وَفِيهَا قَوْلَانِ:

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan istri tidak mewarisi suaminya sampai dia benar-benar yakin bahwa tuannya meninggal sebelum suaminya, maka dia mewarisinya dan menjalani masa iddah kematian seperti wanita merdeka. Dan budak perempuan yang disetubuhi harus menunggu satu kali haid. Jika dia menikah sebelum itu, maka pernikahannya batal. Dan jika seorang mukatib (budak yang sedang dalam proses pembebasan) menyetubuhi budak perempuannya lalu melahirkan, anak itu dinasabkan kepadanya dan dia dilarang menyetubuhinya. Dalam hal ini ada dua pendapat.

 

أَحَدُهُمَا: لَا يَبِيعُهَا بِحَالٍ؛ لِأَنِّي حَكَمْت لِوَلَدِهَا بِحُكْمِ الْحُرِّيَّةِ إنْ عَتَقَ أَبُوهُ.

 

 

Salah satunya: tidak boleh menjualnya dalam keadaan apa pun, karena aku telah memutuskan untuk anaknya dengan ketetapan kebebasan jika ayahnya merdeka.

وَالثَّانِي: أَنَّ لَهُ بَيْعَهَا خَافَ الْعَجْزَ أَوْ لَمْ يَخَفْهُ.

 

Dan yang kedua: bahwa dia berhak menjualnya, baik dia khawatir tidak mampu (menunaikannya) atau tidak khawatir.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الْقِيَاسُ عَلَى قَوْلِهِ أَنْ لَا يَبِيعَهَا كَمَا لَا يَبِيعُ وَلَدَهَا.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Qiyas berdasarkan ucapannya adalah bahwa dia tidak boleh menjualnya sebagaimana dia tidak boleh menjual anaknya.”

 

بَابُ الِاسْتِبْرَاءِ

Bab tentang Istibra’

 

مِنْ كِتَابِ الِاسْتِبْرَاءِ وَالْإِمْلَاءِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَامَ سَبْيِ أَوْطَاسَ أَنْ تُوطَأَ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ أَوْ حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ» وَلَا يُشَكُّ أَنَّ فِيهِنَّ أَبْكَارًا وَحَرَائِرَ كُنَّ قَبْلَ أَنْ يستأمين وَإِمَاءً وَوَضِيعَاتٍ وَشَرِيفَاتٍ وَكَانَ الْأَمْرُ فِيهِنَّ وَاحِدًا.

 

 

Dari kitab Al-Istibra’ wal Imla’ (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – melarang pada tahun penawanan Authas untuk menggauli wanita hamil hingga ia melahirkan atau wanita yang tidak hamil hingga ia haid.” Dan tidak diragukan bahwa di antara mereka ada gadis-gadis perawan dan wanita merdeka sebelum menjadi tawanan, juga budak-budak wanita, wanita rendahan, dan wanita bangsawan. Namun hukum yang berlaku bagi mereka semua adalah sama.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَكُلُّ مِلْكٍ يَحْدُثُ مِنْ مَالِكٍ لَمْ يَجُزْ فِيهِ الْوَطْءُ إلَّا بَعْدَ الِاسْتِبْرَاءِ؛ لِأَنَّ الْفَرْجَ كَانَ مَمْنُوعًا قَبْلَ الْمِلْكِ ثُمَّ حَلَّ بِالْمِلْكِ فَلَوْ بَاعَ جَارِيَةً مِنْ امْرَأَةٍ ثِقَةٍ وَقَبَضَتْهَا وَتَفَرَّقَا بَعْدَ الْبَيْعِ ثُمَّ اسْتَقَالَهَا فَأَقَالَتْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَطَأَهَا حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا مِنْ قِبَلِ أَنَّ الْفَرْجَ حُرِّمَ عَلَيْهِ ثُمَّ حَلَّ لَهُ بِالْمِلْكِ الثَّانِي.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Setiap kepemilikan baru yang terjadi dari pemilik sebelumnya, tidak boleh melakukan hubungan intim kecuali setelah melakukan istibra’ (menunggu masa suci). Karena kemaluan (budak wanita) sebelumnya terlarang sebelum dimiliki, kemudian menjadi halal dengan kepemilikan. Seandainya seseorang menjual budak wanita dari seorang perempuan yang terpercaya, lalu pembeli menerimanya dan mereka berpisah setelah transaksi, kemudian pembeli meminta pembatalan dan penjual menyetujuinya, maka pembeli tidak boleh menyetubuhinya sampai melakukan istibra’, karena kemaluan tersebut sebelumnya haram baginya kemudian menjadi halal dengan kepemilikan yang kedua.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَالِاسْتِبْرَاءُ أَنْ تَمْكُثَ عِنْدَ الْمُشْتَرِي طَاهِرًا بَعْدَ مِلْكِهَا ثُمَّ تَحِيضُ حَيْضَةً مَعْرُوفَةً فَإِذَا طَهُرَتْ مِنْهَا فَهُوَ الِاسْتِبْرَاءُ، وَإِنْ اسْتَبْرَأَتْ أَمْسَكَتْ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ تِلْكَ الرِّيبَةَ لَمْ تَكُنْ حَمْلًا، وَلَا أَعْلَمُ مُخَالِفًا فِي أَنَّ الْمُطَلَّقَةَ لَوْ حَاضَتْ ثَلَاثَ حِيَضٍ وَهِيَ تَرَى أَنَّهَا حَامِلٌ لَمْ تَحِلَّ إلَّا بِوَضْعِ الْحَمْلِ أَوْ الْبَرَاءَةِ مِنْ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ حَمْلًا فَلَا يَحِلُّ لَهُ قَبْلَ الِاسْتِبْرَاءِ التَّلَذُّذُ بِمُبَاشَرَتِهَا وَلَا نَظَرٌ بِشَهْوَةٍ إلَيْهَا وَقَدْ تَكُونُ أُمَّ وَلَدٍ لِغَيْرِهِ، وَلَوْ لَمْ يَفْتَرِقَا حَتَّى وَضَعَتْ حَمْلًا لَمْ تَحِلَّ لَهُ حَتَّى تَطْهُرَ مِنْ نِفَاسِهَا ثُمَّ تَحِيضَ حَيْضَةً مُسْتَقْبِلَةً مِنْ قِبَلِ أَنَّ الْبَيْعَ إنَّمَا تَمَّ حِينَ تَفَرَّقَا عَنْ مَكَانِهِمَا الَّذِي تَبَايَعَا فِيهِ، وَلَوْ كَانَتْ أَمَةً مُكَاتَبَةً فَعَجَزَتْ لَمْ يَطَأْهَا حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا؛ لِأَنَّهَا مَمْنُوعَةُ الْفَرْجِ مِنْهُ ثُمَّ أُبِيحَ بِالْعَجْزِ وَلَا يُشْبِهُ صَوْمُهَا الْوَاجِبَ عَلَيْهَا وَحَيْضَتَهَا ثُمَّ تَخْرُجُ مِنْ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ يَحِلُّ لَهُ فِي ذَلِكَ أَنْ يَمَسَّهَا وَيُقَبِّلَهَا وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ ذَلِكَ فِي الْكِتَابَةِ كَمَا يَحْرُمُ إذَا زُوِّجَهَا وَإِنَّمَا قُلْت: طُهْرٌ ثُمَّ حَيْضَةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ مِنْهَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – دَلَّ عَلَى أَنَّ الْأَقْرَاءَ الْأَطْهَارُ بِقَوْلِهِ فِي ابْنِ عُمَرَ يُطَلِّقُهَا طَاهِرًا مِنْ غَيْرِ جِمَاعٍ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ وَأَمَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْإِمَاءِ أَنْ يَسْتَبْرِئْنَ بِحَيْضَةٍ فَكَانَتْ الْحَيْضَةُ الْأُولَى أَمَامَهَا طُهْرٌ كَمَا كَانَ الطُّهْرُ أَمَامَهُ الْحَيْضُ فَكَانَ قَصْدُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الِاسْتِبْرَاءِ إلَى الْحَيْضِ وَفِي الْعِدَّةِ إلَى الْأَطْهَارِ.

 

Beliau berkata: “Istibra’ adalah ketika seorang budak wanita tinggal di sisi pembeli dalam keadaan suci setelah dimiliki, kemudian mengalami haid yang dikenal. Jika ia suci dari haid tersebut, itulah istibra’. Jika ia beristibra’, ia menahan diri hingga mengetahui bahwa keraguan itu bukanlah kehamilan. Aku tidak mengetahui ada yang menyelisihi pendapat bahwa jika seorang wanita yang ditalak mengalami haid tiga kali sementara ia mengira dirinya hamil, ia tidak halal kecuali setelah melahirkan atau terbebas dari kemungkinan kehamilan. Sebelum istibra’, tidak halal baginya untuk bersenang-senang dengan menyentuhnya atau memandangnya dengan syahwat, meskipun ia adalah ummu walad bagi selainnya. Jika mereka tidak berpisah hingga ia melahirkan, ia tidak halal baginya hingga suci dari nifas kemudian mengalami haid yang akan datang, karena akad jual beli hanya sempurna ketika mereka berpisah dari tempat transaksi. Jika ia seorang budak mukatab yang gagal memenuhi syarat, jangan mencampurinya hingga beristibra’, karena sebelumnya farjinya terlarang baginya lalu dihalalkan setelah kegagalan. Puasa dan haid wajibnya tidak serupa, lalu ia keluar dari status itu karena saat itu ia boleh disentuh dan dicium, sementara dalam masa kitabah hal itu haram seperti haramnya jika ia dinikahkan. Aku berkata: ‘Suci kemudian haid hingga mandi darinya,’ karena Nabi ﷺ menunjukkan bahwa aqra’ adalah masa suci dengan sabdanya tentang Ibnu Umar yang menalak istrinya dalam keadaan suci tanpa jimak, itulah iddah yang Allah perintahkan untuk menalak wanita. Nabi ﷺ memerintahkan budak wanita untuk beristibra’ dengan satu haid, sehingga haid pertama didahului suci sebagaimana suci didahului haid. Maksud Nabi ﷺ dalam istibra’ adalah haid, sedangkan dalam iddah adalah masa suci.”

كِتَابِ الرَّضَاعِ

 

مُخْتَصَرُ مَا يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مِنْ كِتَابِ الرَّضَاعِ وَمِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ وَمِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فِيمَنْ حُرِّمَ مَعَ الْقَرَابَةِ {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ} النساء: 23 وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ الْوِلَادَةِ» .

 

 

Ringkasan tentang yang diharamkan karena persusuan dari kitab Ar-Radha’ (Persusuan), kitab An-Nikah (Pernikahan), dan hukum-hukum Al-Qur’an (Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Tentang orang-orang yang diharamkan karena kekerabatan: ‘Dan ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudara-saudara perempuan kalian dari persusuan’ (QS. An-Nisa’: 23). Dan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Apa yang diharamkan karena nasab, diharamkan pula karena persusuan’.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَبَيَّنَتْ السُّنَّةُ أَنَّ لَبَنَ الْفَحْلِ يَحْرُمُ كَمَا تَحْرُمُ وِلَادَةُ الْأَبِ وَسَأَلَ ابْنُ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – عَنْ رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَأَرْضَعَتْ إحْدَاهُمَا غُلَامًا وَالْأُخْرَى جَارِيَةً هَلْ يَتَزَوَّجُ الْغُلَامُ الْجَارِيَةَ؟ فَقَالَ: لَا، اللِّقَاحُ وَاحِدٌ وَقَالَ مِثْلَهُ عَطَاءٌ وَطَاوُسٌ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Sunnah telah menjelaskan bahwa air susu pejantan (yang menyebabkan penyusuan) itu haram sebagaimana haramnya kelahiran dari ayah.” Dan Ibnu Abbas – radhiyallahu ‘anhuma – pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang memiliki dua istri, lalu salah satunya menyusui seorang anak laki-laki dan yang lain menyusui seorang anak perempuan. Bolehkah anak laki-laki itu menikahi anak perempuan tersebut? Beliau menjawab: “Tidak boleh, karena air susunya berasal dari sumber yang sama (satu pejantan).” Pendapat yang sama juga dikatakan oleh ‘Atha’ dan Thawus.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَبِهَذَا كُلِّهِ نَقُولُ فَكُلُّ مَا حُرِّمَ بِالْوِلَادَةِ وَبِسَبَبِهَا حُرِّمَ بِالرَّضَاعِ وَكَانَ بِهِ مِنْ ذَوِي الْمَحَارِمِ وَالرَّضَاعُ اسْمٌ جَامِعٌ يَقَعُ عَلَى الْمَصَّةِ وَأَكْثَرَ إلَى كَمَالِ الْحَوْلَيْنِ، وَعَلَى كُلِّ رَضَاعٍ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ فَوَجَبَ طَلَبُ الدَّلَالَةِ فِي ذَلِكَ وَقَالَتْ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -: كَانَ فِيمَا أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ” ثُمَّ نُسِخْنَ ” بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ ” فَتُوُفِّيَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنْ الْقُرْآنِ فَكَانَ لَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا إلَّا مَنْ اسْتَكْمَلَ خَمْسَ رَضَعَاتٍ وَعَنْ ابْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَلَا الْمَصَّتَانِ وَلَا الرَّضْعَةُ وَلَا الرَّضْعَتَانِ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dengan semua ini kami berpendapat bahwa segala yang diharamkan karena kelahiran dan sebabnya, maka diharamkan pula karena persusuan. Persusuan adalah istilah umum yang mencakup satu kali hisapan hingga lebih, sampai sempurna dua tahun. Setiap persusuan setelah dua tahun wajib dicari dalilnya.” Aisyah – radhiyallahu ‘anha – berkata: “Dahulu dalam ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah Ta’ala disebutkan sepuluh kali persusuan yang diketahui dapat mengharamkan, kemudian dihapus menjadi lima kali yang diketahui. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – wafat sementara ayat itu masih termasuk yang dibaca dalam Al-Qur’an. Maka tidak boleh masuk menemuinya kecuali orang yang telah menyempurnakan lima kali persusuan.” Dari Ibnu Zubair, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Satu kali hisapan tidak mengharamkan, dua kali hisapan tidak mengharamkan, satu kali persusuan tidak mengharamkan, dan dua kali persusuan tidak mengharamkan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قُلْت لِلشَّافِعِيِّ: أَفَسَمِعَ ابْنُ الزُّبَيْرِ مِنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؟ قَالَ: نَعَمْ وَحَفِظَ عَنْهُ وَكَانَ يَوْمَ سَمِعَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ابْنَ تِسْعِ سِنِينَ، وَعَنْ عُرْوَةَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ امْرَأَةَ أَبِي حُذَيْفَةَ أَنْ تُرْضِعَ سَالِمًا خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَتَحْرُمُ بِهِنَّ» .

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i: “Apakah Ibnu Zubair mendengar (hadis) dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -?” Dia menjawab: “Ya, dan dia menghafal darinya. Saat itu, ketika dia mendengar dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, usianya sembilan tahun.” Dan dari Urwah: “Sesungguhnya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkan istri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim lima kali susuan, sehingga dia menjadi mahram karenanya.”

 

(قَالَ) : فَدَلَّ مَا وَصَفْت أَنَّ الَّذِي يُحَرِّمُ مِنْ الرَّضَاعِ خَمْسُ رَضَعَاتٍ كَمَا جَاءَ الْقُرْآنُ بِقَطْعِ السَّارِقِ فَدَلَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ أَرَادَ بَعْضَ السَّارِقِينَ دُونَ بَعْضٍ، وَكَذَلِكَ أَبَانَ أَنَّ الْمُرَادَ بِمِائَةِ جَلْدَةٍ بَعْضُ الزُّنَاةِ دُونَ بَعْضٍ لَا مَنْ لَزِمَهُ اسْمُ سَرِقَةٍ وَزِنًا وَكَذَلِكَ أَبَانَ أَنَّ الْمُرَادَ بِتَحْرِيمِ الرَّضَاعِ بَعْضُ الْمُرْضِعِينَ دُونَ بَعْضٍ وَاحْتَجَّ فِيمَا «قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِسَهْلَةَ بِنْتِ سَهْلٍ لَمَّا قَالَتْ لَهُ: كُنَّا نَرَى سَالِمًا وَلَدًا وَكَانَ يَدْخُلُ عَلَيَّ وَأَنَا فَضْلٌ وَلَيْسَ لَنَا إلَّا بَيْتٌ وَاحِدٌ فَمَاذَا تَأْمُرُنِي؟ فَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – فِيمَا بَلَغَنَا أَرْضِعِيهِ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَيَحْرُمُ بِلَبَنِهَا فَفَعَلَتْ فَكَانَتْ تَرَاهُ ابْنًا مِنْ الرَّضَاعَةِ» فَأَخَذَتْ بِذَلِكَ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – فِيمَنْ أَحَبَّتْ أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهَا مِنْ الرِّجَالِ وَأَبَى سَائِرُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ يَدْخُلَ عَلَيْهِنَّ بِتِلْكَ الرَّضَاعَةِ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ وَقُلْنَ: مَا نَرَى الَّذِي أَمَرَ بِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إلَّا رُخْصَةً فِي سَالِمٍ وَحْدَهُ، وَرَوَى الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ قَالَتْ فِي الْحَدِيثِ: هُوَ لِسَالِمٍ خَاصَّةً.

 

 

Beliau berkata: “Penjelasan yang kusampaikan menunjukkan bahwa yang mengharamkan karena persusuan adalah lima kali susuan, sebagaimana Al-Qur’an menyebutkan potong tangan bagi pencuri. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah sebagian pencuri, bukan semua. Demikian pula beliau menjelaskan bahwa hukuman seratus cambuk ditujukan kepada sebagian pezina, bukan semua yang termasuk nama pencurian dan zina. Begitu juga beliau menjelaskan bahwa yang diharamkan karena persusuan adalah sebagian wanita yang menyusui, bukan semua.”

 

Beliau berargumen dengan hadis: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Sahlah binti Suhail ketika dia bertanya: ‘Kami menganggap Salim seperti anak sendiri, dan dia biasa masuk menemuiku sementara aku sedang tidak berpakaian lengkap, sedangkan kami hanya memiliki satu rumah. Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Maka beliau -‘alaihis salam- bersabda sebagaimana yang sampai kepada kami: ‘Susuilah dia lima kali susuan, maka dia akan menjadi mahram dengan air susumu.’ Sahlah pun melakukannya, lalu Salim dianggap sebagai anak susuannya.”

 

Aisyah radhiyallahu ‘anha kemudian menerapkan hal ini kepada siapa saja yang dia kehendaki dari kalangan lelaki untuk masuk menemuinya. Namun istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lain menolak menerima seseorang masuk menemui mereka dengan sebab persusuan tersebut. Mereka berkata: “Kami memandang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu hanya sebagai keringanan khusus untuk Salim saja.”

 

Imam Syafi’i rahimahullah meriwayatkan bahwa Ummu Salamah berkata tentang hadis tersebut: “Itu khusus untuk Salim saja.”

(Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika bersifat khusus, maka yang khusus dikeluarkan dari yang umum. Dalil atas hal itu adalah firman Allah Jalla tsana’uhu: ‘(Yaitu) dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.’ (QS. Al-Baqarah: 233). Maka Allah menjadikan dua tahun sebagai batas akhir, dan apa yang dijadikan batas akhir, maka hukum setelah berlalunya batas tersebut berbeda dengan hukum sebelum batas tersebut. Seperti firman-Nya ta’ala: ‘Dan para istri yang diceraikan hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’.’ (QS. Al-Baqarah: 228). Maka apabila telah berlalu masa quru’, maka hukum mereka setelah berlalunya masa itu berbeda dengan hukum mereka selama masa tersebut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ عِنْدِي عَلَى نَفْيِ الْوَلَدِ لِأَكْثَرَ مِنْ سَنَتَيْنِ بِتَأْقِيتِ حَمْلِهِ وَفِصَالِهِ ثَلَاثِينَ شَهْرًا كَمَا نَفَى تَوْقِيتُ الْحَوْلَيْنِ الرَّضَاعَ لِأَكْثَرَ مِنْ حَوْلَيْنِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan dalam hal itu terdapat indikasi menurutku tentang penafian anak lebih dari dua tahun dengan pembatasan masa hamil dan menyusuinya selama tiga puluh bulan, sebagaimana pembatasan dua tahun menafikan penyusuan lebih dari dua tahun.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَكَانَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَا يَرَى رَضَاعَ الْكَبِيرِ يُحَرِّمُ وَابْنُ مَسْعُودٍ وَابْنُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – وَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: لَا يُحَرِّمُ مِنْ الرَّضَاعِ إلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ، قَالَ: وَلَا يُحَرِّمُ مِنْ الرَّضَاعِ إلَّا خَمْسُ رَضَعَاتٍ مُتَفَرِّقَاتٍ كُلُّهُنَّ فِي الْحَوْلَيْنِ قَالَ: وَتَفْرِيقُ الرَّضَعَاتِ أَنْ تُرْضِعَ الْمَوْلُودَ ثُمَّ تَقْطَعَ الرَّضَاعَ ثُمَّ تُرْضِعَ ثُمَّ تَقْطَعَ كَذَلِكَ فَإِذَا رَضَعَ فِي مَرَّةٍ مِنْهُنَّ مَا يُعْلَمُ أَنَّهُ وَصَلَ إلَى جَوْفِهِ مَا قَلَّ مِنْهُ وَمَا كَثُرَ فَهِيَ رَضْعَةٌ، وَإِنْ الْتَقَمَ الثَّدْيَ فَلَهَا قَلِيلًا وَأَرْسَلَهُ ثُمَّ عَادَ إلَيْهِ كَانَتْ رَضْعَةً وَاحِدَةً كَمَا يَكُونُ الْحَالِفُ لَا يَأْكُلُ بِالنَّهَارِ إلَّا مَرَّةً فَيَكُونُ يَأْكُلُ وَيَتَنَفَّسُ بَعْدَ الِازْدِرَادِ وَيَعُودُ يَأْكُلُ فَذَلِكَ أَكْلُ مَرَّةٍ، وَإِنْ طَالَ، وَإِنْ قَطَعَ ذَلِكَ قَطْعًا بَيِّنًا بَعْدَ قَلِيلٍ أَوْ كَثِيرٍ ثُمَّ أَكَلَ حَنِثَ وَكَانَ هَذَا أَكْلَتَيْنِ، وَلَوْ أَنْفَدَ مَا فِي إحْدَى الثَّدْيَيْنِ ثُمَّ تَحَوَّلَ إلَى الْأُخْرَى فَأَنْفَدَ مَا فِيهَا كَانَتْ رَضْعَةً وَاحِدَةً.

 

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): “Umar -radhiyallahu ‘anhu- tidak berpendapat bahwa menyusui orang dewasa dapat menimbulkan hukum haram, begitu pula pendapat Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar -radhiyallahu ‘anhuma-. Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata: ‘Tidak ada yang mengharamkan dari persusuan kecuali apa yang membuka usus.’ Beliau berkata: ‘Tidak mengharamkan dari persusuan kecuali lima kali susuan yang terpisah-pisah, semuanya dalam masa dua tahun.’ Beliau berkata: ‘Pemisahan susuan adalah dengan menyusui bayi kemudian menghentikan susuan, lalu menyusui lagi kemudian menghentikannya lagi seperti itu. Jika dalam salah satu kali susuan tersebut dia menyusu dengan sesuatu yang diketahui telah masuk ke dalam perutnya, baik sedikit maupun banyak, maka itu dihitung satu kali susuan. Jika dia menghisap payudara lalu melepasnya sebentar kemudian kembali menghisapnya, maka itu dihitung satu kali susuan, sebagaimana orang yang bersumpah untuk tidak makan di siang hari kecuali sekali, lalu dia makan sambil bernafas setelah menelan dan kembali makan, maka itu dihitung satu kali makan meskipun lama. Namun jika dia memutusnya dengan jelas, baik sebentar atau lama, kemudian makan lagi, maka dia melanggar sumpah dan itu dihitung dua kali makan. Jika dia menghabiskan susu dari satu payudara lalu pindah ke payudara lainnya dan menghabiskannya, maka itu dihitung satu kali susuan.'”

 

 

وَالْوُجُورُ كَالرَّضَاعِ وَكَذَلِكَ السُّعُوطُ؛ لِأَنَّ الرَّأْسَ جَوْفٌ، وَلَوْ حُقِنَ بِهِ كَانَ فِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَوْفٌ وَذَلِكَ أَنَّهَا تُفَطِّرُ الصَّائِمَ وَالْآخَرُ أَنَّ مَا وَصَلَ إلَى الدِّمَاغِ كَمَا وَصَلَ إلَى الْمَعِدَةِ؛ لِأَنَّهُ يَغْتَذِي مِنْ الْمَعِدَةِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْحُقْنَةُ.

 

 

Dan memasukkan sesuatu ke dalam mulut seperti menyusui, begitu juga menghirup sesuatu ke dalam hidung, karena kepala adalah rongga. Jika sesuatu disuntikkan ke dalamnya, ada dua pendapat: pertama, bahwa itu adalah rongga dan dapat membatalkan puasa; kedua, bahwa yang sampai ke otak seperti yang sampai ke perut, karena otak mendapatkan nutrisi dari perut, berbeda dengan suntikan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ جَعَلَ الْحُقْنَةَ فِي مَعْنَى مَنْ شَرِبَ الْمَاءَ فَأَفْطَرَ فَكَذَلِكَ هُوَ فِي الْقِيَاسِ فِي مَعْنَى مَنْ شَرِبَ اللَّبَنَ وَإِذْ جَعَلَ السُّعُوطُ كَالْوُجُورِ؛ لِأَنَّ الرَّأْسَ عِنْدَهُ جَوْفٌ فَالْحُقْنَةُ إذَا وَصَلَتْ إلَى الْجَوْفِ عِنْدِي أَوْلَى، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – telah menyamakan injeksi (hujnah) dengan makna orang yang minum air sehingga batal puasanya. Demikian pula menurut qiyas, ia juga serupa dengan makna orang yang minum susu. Dan ketika beliau menyamakan suntikan hidung (su’uth) seperti berkumur, karena menurutnya kepala termasuk rongga. Maka, injeksi jika sampai ke rongga menurutku lebih utama. Dan hanya kepada Allah pertolongan.

 

وَأَدْخَلَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – عَلَى مَنْ قَالَ: إنْ كَانَ مَا خُلِطَ بِاللَّبَنِ أَغْلَبَ لَمْ يُحَرِّمْ، وَإِنْ كَانَ اللَّبَنُ الْأَغْلَبَ حَرَّمَ فَقَالَ: أَرَأَيْت لَوْ خَلَطَ حَرَامًا بِطَعَامٍ وَكَانَ مُسْتَهْلِكًا فِي الطَّعَامِ أَمَا يُحَرِّمُ؟ فَكَذَلِكَ اللَّبَنُ.

 

 

Imam Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – menanggapi orang yang berkata: “Jika yang dicampurkan ke dalam susu lebih dominan, maka tidak haram, namun jika susu yang lebih dominan maka haram.” Beliau berkata: “Bagaimana pendapatmu jika sesuatu yang haram dicampurkan ke dalam makanan dan menyatu dengan makanan tersebut, bukankah itu mengharamkannya? Demikian pula dengan susu.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ جَبُنَ اللَّبَنُ فَأَطْعَمَهُ كَانَ كَالرَّضَاعِ.)

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seandainya susu itu menjadi keju lalu diberikan sebagai makanan, maka hukumnya seperti penyusuan.”

 

 

وَلَا يُحَرِّمُ لَبَنُ الْبَهِيمَةِ إنَّمَا يُحَرِّمُ لَبَنُ الْآدَمِيَّاتِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى جَلَّ ثَنَاؤُهُ {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ} النساء: 23 وَقَالَ {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} الطلاق: 6 .

 

 

Susu hewan tidak diharamkan, yang diharamkan hanyalah susu manusia. Allah Ta’ala berfirman, “Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu” (QS. An-Nisa’: 23). Dan Dia juga berfirman, “Jika mereka menyusukan anak untukmu, maka berikanlah upahnya kepada mereka” (QS. Ath-Thalaq: 6).

 

 

قَالَ: وَلَوْ حَلَبَ مِنْهَا رَضْعَةً خَامِسَةً ثُمَّ مَاتَتْ فَأُوجِرَهُ صَبِيٌّ كَانَ ابْنَهَا، وَلَوْ رَضَعَ مِنْهَا بَعْدَ مَوْتِهَا لَمْ يُحَرِّمْ؛ لِأَنَّهُ لَا يُحِلُّ لَبَنُ الْمَيِّتَةِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia memerah susu darinya sebanyak lima kali hisapan kemudian dia mati, lalu seorang anak kecil meminumnya, maka anak itu adalah anaknya. Namun, jika dia menyusu darinya setelah kematiannya, itu tidak mengharamkan (pernikahan), karena susu bangkai tidak dihalalkan.”

 

 

وَلَوْ حُلِبَ مِنْ امْرَأَةٍ لَبَنٌ كَثِيرٌ فَفَرَّقَ ثُمَّ أُوجِرَ مِنْهُ صَبِيٌّ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً لَمْ يَكُنْ إلَّا رَضْعَةً وَاحِدَةً وَلَيْسَ كَاللَّبَنِ يَحْدُثُ فِي الثَّدْيِ كُلَّمَا خَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ حَدَثَ غَيْرُهُ.

 

 

Seandainya banyak susu diperah dari seorang wanita, lalu dipisahkan, kemudian seorang anak kecil meminumnya dua atau tiga kali, itu tetap dihitung sebagai satu kali penyusuan. Dan tidak seperti susu yang terus dihasilkan oleh payudara, setiap kali sebagian keluar, bagian lain akan muncul.

 

 

وَلَوْ تَزَوَّجَ صَغِيرَةً ثُمَّ أَرْضَعَتْهَا أُمُّهُ أَوْ ابْنَتُهُ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ أَوْ امْرَأَةُ ابْنِهِ مِنْ نَسَبٍ أَوْ رَضَاعٍ بِلَبَنِ ابْنِهِ حَرُمَتْ عَلَيْهِ الصَّغِيرَةُ أَبَدًا وَكَانَ لَهَا عَلَيْهِ نِصْفُ الْمَهْرِ وَرَجَعَ عَلَى الَّتِي أَرْضَعَتْهَا بِنِصْفِ صَدَاقِ مِثْلِهَا؛ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ أَفْسَدَ شَيْئًا لَزِمَهُ قِيمَةُ مَا أَفْسَدَ بِخَطَأٍ أَوْ عَمْدٍ، وَلَوْ أَرْضَعَتْهَا امْرَأَةٌ لَهُ كَبِيرَةٌ لَمْ يُصِبْهَا حَرُمَتْ الْأُمُّ لِأَنَّهَا مِنْ أُمَّهَاتِ نِسَائِهِ وَلَا نِصْفَ مَهْرٍ لَهَا وَلَا مُتْعَةَ؛ لِأَنَّهَا الْمُفْسِدَةُ وَفَسَدَ نِكَاحُ الْمُرْضِعَةِ بِلَا طَلَاقٍ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ وَأُمُّهَا فِي مِلْكِهِ فِي حَالٍ وَلَهَا نِصْفُ الْمَهْرِ وَيَرْجِعُ عَلَى الَّتِي أَرْضَعَتْهَا بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا.

 

 

Jika seseorang menikahi seorang gadis kecil, kemudian ibunya, putrinya (baik karena nasab maupun persusuan), atau istri anaknya (baik karena nasab maupun persusuan) menyusuinya dengan air susu anaknya, maka gadis kecil itu haram baginya selamanya. Gadis itu berhak mendapatkan separuh mahar, dan dia boleh menuntut separuh mahar yang sepadan dari wanita yang menyusuinya. Karena siapa pun yang merusak sesuatu wajib menanggung nilai kerusakan tersebut, baik karena kesalahan atau sengaja. Jika wanita yang menyusuinya adalah istri besarnya yang belum digaulinya, maka sang ibu menjadi haram karena termasuk ibu dari istrinya, tanpa hak separuh mahar atau mut’ah, karena dialah yang merusak. Pernikahan wanita yang menyusui itu batal tanpa talak, karena dia dan ibunya menjadi miliknya dalam satu keadaan. Gadis itu berhak separuh mahar, dan dia boleh menuntut separuh mahar yang sepadan dari wanita yang menyusuinya.

 

 

وَلَوْ تَزَوَّجَ ثَلَاثًا صِغَارًا فَأَرْضَعَتْ امْرَأَةٌ اثْنَيْنِ مِنْهُنَّ الرَّضْعَةَ الْخَامِسَةَ مَعًا فَسَدَ نِكَاحُ الْأُمِّ وَنِكَاحُ الصَّبِيَّتَيْنِ مَعًا وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفُ الْمَهْرِ الْمُسَمَّى وَيَرْجِعُ عَلَى امْرَأَتِهِ بِمِثْلِ نِصْفِ مَهْرِ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا وَتَحِلُّ لَهُ كُلُّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا عَلَى الِانْفِرَادِ؛ لِأَنَّهُمَا ابْنَتَا امْرَأَةٍ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا فَإِنْ أَرْضَعَتْ الثَّالِثَةَ بَعْدَ ذَلِكَ لَمْ تَحْرُمْ؛ لِأَنَّهَا مُنْفَرِدَةٌ قَالَ: وَلَوْ أَرْضَعَتْ إحْدَاهُنَّ الرَّضْعَةَ الْخَامِسَةَ ثُمَّ الْأُخْرَيَيْنِ الْخَامِسَةَ مَعًا حَرُمَتْ عَلَيْهِ وَاَلَّتِي أَرْضَعَتْهَا أَوَّلًا؛ لِأَنَّهُمَا صَارَتَا أُمًّا وَبِنْتًا فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ مَعًا وَحَرُمَتْ الْأُخْرَيَانِ؛ لِأَنَّهُمَا صَارَتَا أُخْتَيْنِ فِي وَقْتٍ مَعًا، وَلَوْ أَرْضَعَتْهُمَا مُتَفَرِّقَتَيْنِ لَمْ يَحْرُمَا مَعًا؛ لِأَنَّهَا لَمْ تُرْضِعْ وَاحِدَةً مِنْهُمَا إلَّا بَعْدَمَا بَانَتْ مِنْهُ هِيَ وَالْأُولَى فَيَثْبُتُ نِكَاحُ الَّتِي أَرْضَعَتْهُمَا بَعْدَمَا بَانَتْ الْأُولَى وَيَفْسُدُ نِكَاحُ الَّتِي أَرْضَعَتْهَا بَعْدَهَا؛ لِأَنَّهَا أُخْتُ امْرَأَتِهِ فَكَانَتْ كَامْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَى أُخْتِهَا.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Jika seseorang menikahi tiga gadis kecil, lalu seorang wanita menyusui dua dari mereka dengan lima kali susuan secara bersamaan, maka nikah ibu dan nikah kedua anak kecil itu menjadi batal. Masing-masing dari kedua anak itu berhak mendapat separuh mahar yang disebutkan, dan suami dapat menuntut kembali separuh mahar dari istrinya untuk setiap anak. Kedua anak itu halal dinikahi secara terpisah karena mereka adalah anak dari istri yang belum disetubuhi. Jika wanita itu menyusui anak ketiga setelahnya, anak ketiga tidak haram karena penyusuannya terpisah. Jika salah satu dari mereka disusui lima kali terlebih dahulu, lalu dua lainnya disusui lima kali secara bersamaan, maka kedua anak itu haram dinikahi beserta ibu yang pertama kali menyusui, karena mereka menjadi ibu dan anak dalam waktu bersamaan. Dua anak itu juga haram karena menjadi saudara dalam waktu bersamaan. Jika penyusuan dilakukan terpisah, mereka tidak haram secara bersamaan karena penyusuan terjadi setelah hubungan pertama terputus. Nikah dengan anak yang disusui setelah hubungan pertama terputus tetap sah, sedangkan nikah dengan anak yang disusui setelahnya batal karena dia menjadi saudara istri, seperti menikahi seorang wanita yang dinikahi bersama saudaranya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: لَيْسَ يَنْظُرُ الشَّافِعِيُّ فِي ذَلِكَ إلَّا إلَى وَقْتِ الرَّضَاعِ فَقَدْ صَارَتَا أُخْتَيْنِ فِي وَقْتٍ مَعًا بِرَضَاعِ الْآخِرَةِ مِنْهُمَا.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Imam Syafi’i hanya mempertimbangkan waktu penyusuan dalam hal itu, sehingga keduanya menjadi saudara perempuan dalam waktu yang bersamaan karena penyusuan terakhir dari salah satu dari mereka.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَا فَرْقَ بَيْنَ امْرَأَةٍ لَهُ كَبِيرَةٍ أَرْضَعَتْ امْرَأَةً لَهُ صَغِيرَةً فَصَارَتَا أُمًّا وَبِنْتًا فِي وَقْتٍ مَعًا وَبَيْنَ أَجْنَبِيَّةٍ أَرْضَعَتْ لَهُ امْرَأَتَيْنِ صَغِيرَتَيْنِ فَصَارَتَا أُخْتَيْنِ فِي وَقْتٍ مَعًا، وَلَوْ جَازَ أَنْ تَكُونَ إذَا أَرْضَعَتْ صَغِيرَةً ثُمَّ صَغِيرَةً كَامْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَى أُخْتِهَا لَزِمَ إذَا نَكَحَ كَبِيرَةً ثُمَّ صَغِيرَةً فَأَرْضَعَتْهَا أَنْ تَكُونَ كَامْرَأَةٍ نُكِحَتْ عَلَى أُمِّهَا وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى مَا قُلْت أَنَا وَقَدْ قَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ: لَوْ تَزَوَّجَ صَبِيَّتَيْنِ فَأَرْضَعَتْهُمَا امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ بَعْدَ وَاحِدَةٍ انْفَسَخَ نِكَاحُهُمَا.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Tidak ada perbedaan antara seorang istri yang sudah dewasa menyusui istri kecilnya sehingga keduanya menjadi ibu dan anak dalam waktu yang bersamaan, dengan seorang wanita asing yang menyusui dua istri kecilnya sehingga keduanya menjadi saudara perempuan dalam waktu yang bersamaan. Seandainya diperbolehkan jika seorang wanita menyusui anak kecil kemudian anak kecil lagi seperti seorang wanita yang dinikahi bersama saudara perempuannya, maka akan berimplikasi jika seseorang menikahi wanita dewasa kemudian wanita kecil lalu disusui, maka itu seperti menikahi wanita bersama ibunya. Dalam hal ini terdapat bukti atas apa yang aku katakan. Dan dalam kitab Nikah lama disebutkan: Seandainya seseorang menikahi dua anak kecil lalu seorang wanita menyusui mereka satu per satu, maka nikahnya batal.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهَذَا وَذَاكَ سَوَاءٌ وَهُوَ بِقَوْلِهِ أَوْلَى.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini dan itu sama saja, dan pendapatnya lebih utama.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ كَانَ لِلْكَبِيرَةِ بَنَاتُ مَرَاضِعَ أَوْ مِنْ رَضَاعٍ فَأَرْضَعْنَ الصِّغَارَ كُلَّهُنَّ انْفَسَخَ نِكَاحُهُنَّ مَعًا وَرَجَعَ عَلَى كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ بِنِصْفِ مَهْرِ الَّتِي أَرْضَعَتْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya si wanita besar memiliki anak-anak perempuan yang menyusuinya, baik dari susuan yang sama atau berbeda, lalu mereka semua menyusui anak-anak kecil, maka nikah mereka semua batal secara bersamaan, dan dia berhak mendapatkan separuh mahar dari setiap wanita yang menyusui.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَيَرْجِعُ عَلَيْهِنَّ بِنِصْفِ مَهْرِ امْرَأَتِهِ الْكَبِيرَةِ إنْ لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهَا؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ جَدَّةً مَعَ بَنَاتِ بَنَاتِهَا مَعًا وَتَحْرُمُ الْكَبِيرَةُ أَبَدًا وَيَتَزَوَّجُ الصِّغَارَ عَلَى الِانْفِرَادِ، وَلَوْ كَانَ دَخَلَ بِالْكَبِيرَةِ حَرُمْنَ جَمِيعًا أَبَدًا، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهَا فَأَرْضَعَتْهُنَّ أُمُّ امْرَأَتِهِ الْكَبِيرَةِ أَوْ جَدَّتُهَا أَوْ أُخْتُهَا أَوْ بِنْتُ أُخْتِهَا كَانَ الْقَوْلُ فِيهَا كَالْقَوْلِ فِي بَنَاتِهَا فِي الْمَسْأَلَةِ قَبْلَهَا، وَلَوْ أَنَّ امْرَأَةً أَرْضَعَتْ مَوْلُودًا فَلَا بَأْسَ أَنْ تَتَزَوَّجَ الْمَرْأَةُ الْمُ

 

بَابُ لَبَنِ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ

 

Bab tentang susu laki-laki dan perempuan

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَاللَّبَنُ لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ كَمَا الْوَلَدُ لَهُمَا، وَالْمُرْضَعُ بِذَلِكَ اللَّبَنِ وَلَدُهُمَا.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan susu (hasil penyusuan) itu milik laki-laki dan perempuan sebagaimana anak itu milik keduanya, dan anak yang disusui dengan susu tersebut adalah anak mereka berdua.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ وَلَدَتْ ابْنًا مِنْ زِنًا فَأَرْضَعَتْ مَوْلُودًا فَهُوَ ابْنُهَا وَلَا يَكُونُ ابْنَ الَّذِي زَنَى بِهَا وَأَكْرَهُ لَهُ فِي الْوَرَعِ أَنْ يَنْكِحَ بَنَاتِ الَّذِي وَلَدُهُ مِنْ زِنًا فَإِنْ نَكَحَ لَمْ أَفْسَخْهُ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ ابْنَهُ فِي حُكْمِ «النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى بِابْنِ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ لِزَمْعَةَ وَأَمَرَ سَوْدَةُ أَنْ تَحْتَجِبَ مِنْهُ لَمَّا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ بِعُتْبَةَ فَلَمْ يَرَهَا وَقَدْ حَكَمَ أَنَّهُ أَخُوهَا» ؛ لِأَنَّ تَرْكَ رُؤْيَتِهَا مُبَاحٌ وَإِنْ كَانَ أَخَاهَا.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang wanita melahirkan anak dari perzinaan, lalu menyusui bayi tersebut, maka anak itu adalah anaknya dan bukan anak lelaki yang berzina dengannya. Namun, sebagai bentuk kehati-hatian, aku tidak menyukai jika dia menikahi anak-anak perempuan dari lelaki yang melahirkan anak hasil zina. Jika dia tetap menikahinya, aku tidak akan membatalkannya, karena anak itu bukan anaknya menurut hukum. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memutuskan bahwa anak budak wanita Zam’ah adalah milik Zam’ah, dan memerintahkan Saudah untuk berhijab darinya ketika melihat kemiripannya dengan ‘Utbah, sehingga dia tidak melihatnya. Padahal Nabi telah menetapkan bahwa dia adalah saudaranya, karena tidak melihatnya diperbolehkan meskipun dia adalah saudaranya.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ كَانَ أَنْكَرَ عَلَى مَنْ قَالَ: يَتَزَوَّجُ ابْنَتَهُ مِنْ زِنًا وَيَحْتَجُّ بِهَذَا الْمَعْنَى وَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رُؤْيَةَ ابْنِ زَمْعَةَ لِسَوْدَةِ مُبَاحٌ، وَإِنْ كَرِهَهُ فَكَذَلِكَ فِي الْقِيَاسِ لَا يَفْسَخُ نِكَاحَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ وَلَمْ يَفْسَخْ نِكَاحَ ابْنِهِ مِنْ زِنَا بَنَاتِهِ مِنْ حَلَالٍ لِقَطْعِ الْأُخُوَّةِ فَكَذَلِكَ فِي الْقِيَاسِ لَوْ تَزَوَّجَ ابْنَتَهُ مِنْ زِنًا لَمْ يُفْسَخْ وَإِنْ كَرِهَهُ لِقَطْعِ الْأُبُوَّةِ وَتَحْرِيمِ الْأُخُوَّةِ كَتَحْرِيمِ الْأُبُوَّةِ وَلَا حُكْمَ عِنْدَهُ لِلزِّنَا لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ» فَهُوَ فِي مَعْنَى الْأَجْنَبِيِّ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—pernah mengingkari orang yang berpendapat bolehnya menikahi anak perempuan hasil zina dan berargumen dengan makna ini. Ia berpendapat bahwa melihat anak laki-laki Zam’ah terhadap Saudah adalah boleh, meski hal itu dibenci. Demikian pula dalam qiyas, pernikahannya tidak batal meski dibenci. Dan pernikahan anak laki-laki hasil zina dengan anak perempuan yang halal tidak batal karena terputusnya hubungan persaudaraan. Maka demikian pula dalam qiyas, seandainya seseorang menikahi anak perempuannya hasil zina, pernikahan itu tidak batal meski dibenci, karena terputusnya hubungan kebapakan dan terlarangnya hubungan persaudaraan seperti terlarangnya hubungan kebapakan. Menurutnya, zina tidak memiliki pengaruh hukum berdasarkan sabda Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—, “Bagi pezina hanya ada batu (tidak ada hak waris atau nasab).” Maka statusnya seperti orang asing. Dan hanya kepada Allah tempat memohon taufik.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً فِي عِدَّتِهَا فَأَصَابَهَا فَجَاءَتْ بِوَلَدٍ فَأَرْضَعَتْ مَوْلُودًا كَانَ ابْنَهَا وَأَرَى الْمَوْلُودَ الْقَافَّةَ فَبِأَيِّهِمَا أُلْحِقَ لَحِقَ وَكَانَ الْمُرْضِعُ ابْنَهُ وَسَقَطَتْ أُبُوَّةُ الْآخَرِ، وَلَوْ مَاتَ فَالْوَرَعُ أَنْ لَا يَنْكِحَ ابْنَةَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَا يَكُونُ مُحَرِّمًا لَهَا، وَلَوْ قَالُوا: الْمَوْلُودُ هُوَ ابْنُهُمَا جُبِرَ إذَا بَلَغَ عَلَى الِانْتِسَابِ إلَى أَحَدِهِمَا وَتَنْقَطِعُ أُبُوَّةُ الْآخَرِ، وَلَوْ كَانَ مَعْتُوهًا لَمْ يَلْحَقْ بِوَاحِدٍ مِنْهُمَا حَتَّى يَمُوتَ وَلَهُ وَلَدٌ فَيَقُومُونَ مَقَامَهُ فِي الِانْتِسَابِ إلَى أَحَدِهِمَا أَوْ لَا يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ فَيَكُونُ مِيرَاثُهُ مَوْقُوفًا، وَلَوْ أَرْضَعَتْ بِلَبَنِ مَوْلُودٍ نَفَاهُ أَبُوهُ بِاللِّعَانِ لَمْ يَكُنْ أَبًا لِلْمُرْضَعِ فَإِنْ رَجَعَ لَحِقَهُ وَصَارَ أَبًا لِلْمُرْضَعِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seorang laki-laki menikahi wanita yang masih dalam masa iddah lalu menggaulinya, kemudian wanita itu melahirkan anak dan menyusui bayi tersebut, maka bayi itu adalah anaknya. Jika bayi itu memiliki kemiripan dengan salah satu dari keduanya (ayah atau ibu), maka ia dihubungkan dengan yang mirip dan status sebagai anak tetap berlaku, sementara kebapaan pihak lain gugur. Jika salah satu meninggal, sikap wara’ adalah tidak menikahi anak perempuan dari salah satunya, dan dia tidak menjadi mahram baginya. Jika mereka berkata, “Bayi ini adalah anak kami berdua,” maka ketika dewasa dia dipaksa memilih untuk dinisbatkan kepada salah satunya, dan kebapaan pihak lain terputus. Jika bayi itu gila, dia tidak dinisbatkan kepada salah satunya hingga meninggal. Jika dia memiliki anak, maka anak-anak itu akan menggantikan posisinya dalam memilih nisbat kepada salah satunya. Jika tidak memiliki anak, maka warisannya ditangguhkan. Jika wanita itu menyusui dengan air susu dari anak yang telah diingkari bapaknya melalui li’an, maka bapak itu tidak dianggap sebagai bapak bagi anak yang disusui. Namun jika dia menarik kembali pengingkarannya, maka status kebapaan itu kembali berlaku dan dia menjadi bapak bagi anak yang disusui.

 

 

وَلَوْ انْقَضَتْ عِدَّتُهَا بِثَلَاثِ حِيَضٍ وَثَبَتَ لَبَنُهَا أَوْ انْقَطَعَ ثُمَّ تَزَوَّجَتْ زَوْجًا فَأَصَابَهَا فَثَابَ لَهَا لَبَنٌ وَلَمْ يَظْهَرْ بِهَا حَمْلٌ فَهُوَ مِنْ الْأَوَّلِ، وَلَوْ كَانَ لَبَنُهَا ثَبَتَ فَحَمَلَتْ مِنْ الثَّانِي فَنَزَلَ بِهَا لَبَنٌ فِي الْوَقْتِ الَّذِي يَكُونُ لَهَا فِيهِ لَبَنٌ مِنْ الْحَمْلِ الْآخَرِ كَانَ اللَّبَنُ مِنْ الْأَوْلِ بِكُلِّ حَالٍ؛ لِأَنَّا عَلَى عِلْمٍ مِنْ لَبَنِ الْأَوْلِ وَفِي شَكٍّ مِنْ أَنْ يَكُونَ خَلَطَهُ لَبَنُ الْآخَرِ فَلَا أُحَرِّمُ بِالشَّكِّ وَأُحِبُّ لِلْمُرْضِعِ لَوْ تَوَقَّى بَنَاتِ الزَّوْجِ الْآخَرِ.

 

 

Jika masa iddahnya telah selesai dengan tiga kali haid dan susunya tetap (keluar) atau terputus, kemudian dia menikah dengan suami lain lalu berhubungan dengannya sehingga susunya kembali keluar tanpa ada tanda kehamilan, maka susu itu berasal dari suami pertama. Jika susunya tetap keluar lalu dia hamil dari suami kedua, kemudian susu turun pada waktu yang biasanya susu keluar dari kehamilan lainnya, maka susu itu tetap berasal dari suami pertama dalam segala kondisi. Karena kita mengetahui pasti susu dari suami pertama, sedangkan ada keraguan apakah bercampur dengan susu dari suami kedua. Maka aku tidak mengharamkan karena keraguan, dan aku menyarankan agar yang menyusui menghindari anak-anak perempuan dari suami yang lain.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ: هَذَا عِنْدِي أَشْبَهُ.

 

(Al-Muzani) rahimahullah berkata: “Ini menurutku lebih mirip.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ انْقَطَعَ فَلَمْ يَثِبْ حَتَّى كَانَ الْحَمْلُ الْآخَرُ فِي وَقْتٍ يُمْكِنُ مِنْ الْأَوَّلِ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya terputus dan tidak berlanjut hingga kehamilan berikutnya terjadi dalam waktu yang memungkinkan dari yang pertama, maka dalam hal ini ada dua pendapat:”

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ مِنْ الْأَوَّلِ بِكُلِّ حَالٍ كَمَا يَثُوبُ بِأَنْ تَرْحَمَ الْمَوْلُودَ أَوْ تَشْرَبَ دَوَاءً فَتُدِرَّ عَلَيْهِ.

 

Salah satunya adalah bahwa hal itu dari yang pertama dalam segala hal, sebagaimana ia kembali dengan mengasihani anak yang baru lahir atau meminum obat sehingga mengalir padanya.

 

وَالثَّانِي: أَنَّهُ إذَا انْقَطَعَ انْقِطَاعًا بَيِّنًا فَهُوَ مِنْ الْآخَرِ، وَإِنْ كَانَ لَا يَكُونُ مِنْ الْآخَرِ لَبَنٌ تُرْضِعُ بِهِ حَتَّى تَلِدَ فَهُوَ مِنْ الْأَوَّلِ فِي جَمِيعِ هَذِهِ الْأَقَاوِيلِ، وَإِنْ كَانَ يَثُوبُ شَيْءٌ تُرْضِعُ بِهِ، وَإِنْ قَلَّ فَهُوَ مِنْهُمَا جَمِيعًا وَمَنْ لَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اللَّبَنِ وَالْوَلَدِ قَالَ: هُوَ لِلْأَوَّلِ وَمَنْ فَرَّقَ قَالَ: هُوَ مِنْهُمَا مَعًا، وَلَوْ لَمْ يَنْقَطِعْ اللَّبَنُ حَتَّى وَلَدَتْ مِنْ الْآخَرِ فَالْوِلَادَةُ قَطْعٌ لَلَبَنِ الْأَوَّلِ فَمَنْ أَرْضَعَتْ فَهُوَ ابْنُهَا وَابْنُ الزَّوْجِ الْآخَرِ.

 

 

Yang kedua: Jika air susu terputus dengan jelas, maka anak tersebut berasal dari suami kedua. Namun jika tidak ada air susu dari suami kedua yang dapat digunakan untuk menyusui hingga melahirkan, maka anak tersebut dianggap berasal dari suami pertama menurut semua pendapat ini. Jika masih ada sedikit air susu yang dapat digunakan untuk menyusui, maka anak tersebut dianggap berasal dari keduanya. Siapa yang tidak membedakan antara air susu dan anak, akan berkata: anak itu milik suami pertama. Sedangkan yang membedakan akan berkata: anak itu berasal dari keduanya. Jika air susu tidak terputus hingga melahirkan dari suami kedua, maka kelahiran itu memutus air susu dari suami pertama. Maka, anak yang disusuinya adalah anaknya dan anak dari suami kedua.

 

الشَّهَادَاتُ فِي الرَّضَاعِ وَالْإِقْرَارُ

Kesaksian dalam penyusuan dan pengakuan

 

مِنْ كِتَابِ الرَّضَاعِ وَمِنْ كِتَابِ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَشَهَادَةُ النِّسَاءِ جَائِزَةٌ فِيمَا لَا يَحِلُّ لِلرِّجَالِ مِنْ غَيْرِ ذَوِي الْمَحَارِمِ أَنْ يَتَعَمَّدُوا النَّظَرَ إلَيْهِ لِغَيْرِ شَهَادَةٍ مِنْ وِلَادَةِ الْمَرْأَةِ وَعُيُوبِهَا الَّتِي تَحْتَ ثِيَابِهَا وَالرَّضَاعُ عِنْدِي مِثْلُهُ لَا يَحِلُّ لِغَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ أَوْ زَوْجٍ أَنْ يَتَعَمَّدَ أَنْ يَنْظُرَ إلَى ثَدْيِهَا وَلَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَشْهَدَ عَلَى رَضَاعِهَا بِغَيْرِ رُؤْيَةِ ثَدْيَيْهَا وَلَا يَجُوزُ مِنْ النِّسَاءِ عَلَى الرَّضَاعِ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعِ حَرَائِرَ بَوَالِغ عُدُولٍ، وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا أَجَازَ شَهَادَتِهِنَّ فِي الدَّيْنِ جَعَلَ امْرَأَتَيْنِ يَقُومَانِ مَقَامَ رَجُلٍ، وَإِنْ كَانَتْ الْمَرْأَةُ تُنْكِرُ الرَّضَاعَ فَكَانَتْ فِيهِنَّ أُمُّهَا أَوْ ابْنَتُهَا جُزْنَ عَلَيْهَا، وَإِنْ كَانَتْ تَدَّعِي الرَّضَاعَ لَمْ يَجُزْ فِيهَا أُمُّهَا وَلَا أُمَّهَاتُهَا وَلَا ابْنَتُهَا وَلَا بَنَاتُهَا وَيَجُوزُ فِي ذَلِكَ شَهَادَتُهَا الَّتِي أَرْضَعَتْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهَا فِي ذَلِكَ وَلَا عَلَيْهَا مَا تَرُدُّ بِهِ شَهَادَتَهَا.

 

 

Dari Kitab Ar-Radha’ (Persusuan) dan Kitab An-Nikah Al-Qadim (Pernikahan Lama), Asy-Syafi’i—rahimahullah ta’ala—berkata: “Kesaksian perempuan diperbolehkan dalam hal-hal yang tidak boleh bagi laki-laki non-mahram untuk sengaja melihatnya selain untuk kesaksian, seperti kelahiran perempuan atau aibnya yang tertutup pakaian. Menurutku, persusuan serupa—tidak halal bagi non-mahram atau suami untuk sengaja melihat payudaranya, dan tidak mungkin baginya bersaksi tentang persusuannya tanpa melihat kedua payudaranya. Dalam persusuan, tidak boleh kurang dari empat saksi perempuan merdeka, dewasa, dan adil. Ini pendapat ‘Atha’ bin Abi Rabah, karena ketika Allah ta’ala membolehkan kesaksian mereka dalam utang, Dia menjadikan dua perempuan setara dengan satu laki-laki. Jika perempuan mengingkari persusuan dan di antara saksi ada ibunya atau anak perempuannya, itu diterima. Namun, jika dia mengaku persusuan, tidak boleh saksi dari ibunya, neneknya, anak perempuannya, atau cucu perempuannya. Tetapi boleh kesaksian perempuan yang menyusuinya, karena tidak ada kepentingan atau kerugian yang membatalkan kesaksiannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَكَيْفَ تَجُوزُ شَهَادَتُهَا عَلَى فِعْلِهَا وَلَا تَجُوزُ شَهَادَةُ أُمِّهَا وَأُمَّهَاتِهَا وَبَنَاتِهَا فَهُنَّ فِي شَهَادَتِهِنَّ عَلَى فِعْلِهَا أَجْوَزُ فِي الْقِيَاسِ مِنْ شَهَادَتِهَا عَلَى فِعْلِ نَفْسِهَا.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Bagaimana mungkin kesaksiannya terhadap perbuatannya sendiri diperbolehkan, sementara kesaksian ibunya, nenek-neneknya, dan anak-anak perempuannya tidak diperbolehkan? Padahal menurut qiyas, kesaksian mereka terhadap perbuatannya lebih layak diterima daripada kesaksiannya terhadap perbuatan dirinya sendiri.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَيُوقَفْنَ حَتَّى يَشْهَدْنَ أَنْ قَدْ رَضَعَ الْمَوْلُودُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ يَخْلُصْنَ كُلُّهُنَّ إلَى جَوْفِهِ وَتَسَعُهُنَّ الشَّهَادَةُ عَلَى هَذَا؛ لِأَنَّهُ ظَاهِرُ عِلْمِهِنَّ «وَذَكَرَتْ السَّوْدَاءُ أَنَّهَا أَرْضَعَتْ رَجُلًا وَامْرَأَةً تَنَاكَحَا فَسَأَلَ الرَّجُلُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ذَلِكَ فَأَعْرَضَ فَقَالَ وَكَيْفَ وَقَدْ زَعَمْت السَّوْدَاءُ أَنَّهَا قَدْ أَرْضَعَتْكُمَا؟» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan mereka (para wanita) harus ditahan hingga bersaksi bahwa bayi tersebut telah menyusu lima kali yang semuanya masuk ke dalam perutnya, dan kesaksian mereka mencukupi untuk hal ini karena itu adalah pengetahuan yang jelas bagi mereka.” Dan seorang wanita hitam pernah menyebutkan bahwa dia pernah menyusui seorang laki-laki dan perempuan yang kemudian menikah. Lalu laki-laki itu bertanya kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang hal itu, namun beliau berpaling seraya berkata, “Bagaimana bisa (kalian menikah), padahal wanita hitam itu telah mengaku bahwa dia pernah menyusui kalian berdua?”

(Asy-Syafi’i berkata): Sikap beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang berpaling menunjukkan bahwa beliau tidak menganggap hal ini sebagai persaksian yang mengikat. Dan sabda beliau, “Bagaimana mungkin, padahal budak hitam itu telah mengaku bahwa dia pernah menyusui kalian berdua?” menunjukkan bahwa beliau tidak suka tinggal bersamanya. Dan telah dikatakan bahwa wanita itu adalah saudara sesusnya, dan itulah makna dari perkataan kami bahwa beliau meninggalkannya karena sikap wara’ (kehati-hatian), bukan karena hukum.

 

 

وَلَوْ قَالَ رَجُلٌ: هَذِهِ أُخْتِي مِنْ الرَّضَاعَةِ أَوْ قَالَتْ: هَذَا أَخِي مِنْ الرَّضَاعَةِ وَكَذَّبَتْهُ أَوْ كَذَّبَهَا فَلَا يَحِلُّ لِوَاحِدٍ مِنْهَا أَنْ يَنْكِحَ الْآخَرَ، وَلَوْ أَقَرَّ بِذَلِكَ بَعْدَ عَقْدِ نِكَاحِهَا فُرِّقَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ كَذَّبَتْهُ أَخَذَتْ نِصْفَ مَا سَمَّى لَهَا، وَلَوْ كَانَتْ هِيَ الْمُدَّعِيَةَ أَفْتَيْته أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ وَيَدَعَ نِكَاحَهَا بِطَلْقَةٍ لِتَحِلَّ بِهَا لِغَيْرِهِ إنْ كَادَتْ كَاذِبَةً وَأُحَلِّفُهُ لَهَا فَإِنْ نَكَلَ حَلَفَتْ وَفَرَّقْت بَيْنَهُمَا.

 

 

Jika seorang laki-laki berkata, “Ini adalah saudara perempuanku karena sepersusuan,” atau seorang perempuan berkata, “Ini adalah saudara laki-lakiku karena sepersusuan,” lalu salah satunya mendustakan yang lain, maka tidak halal bagi salah satu dari mereka untuk menikahi yang lain. Jika pengakuan itu terjadi setelah akad nikah, maka mereka harus dipisahkan. Jika perempuan itu mendustakannya, ia berhak mendapatkan separuh dari mahar yang telah ditetapkan untuknya. Jika perempuan itu yang mengklaim, aku akan memberinya nasihat untuk bertakwa kepada Allah dan meninggalkan pernikahan dengan talak satu agar ia halal untuk orang lain jika ia berdusta. Aku juga akan menyuruhnya bersumpah. Jika ia menolak, maka perempuan itu dapat bersumpah dan mereka harus dipisahkan.

 

بَابٌ رَضَاعُ الْخُنْثَى

Bab tentang penyusuan khuntsa

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: إنْ كَانَ الْأَغْلَبُ مِنْ الْخُنْثَى أَنَّهُ رَجُلٌ نَكَحَ امْرَأَةً وَلَمْ يُنْزِلْ فَنَكَحَهُ رَجُلٌ فَإِذَا نَزَلَ لَهُ لَبَنٌ فَأَرْضَعَ بِهِ صَبِيًّا لَمْ يَكُنْ رَضَاعًا يُحَرِّمُ، وَإِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ أَنَّهُ امْرَأَةٌ فَنَزَلَ لَهُ لَبَنٌ مِنْ نِكَاحٍ أَوْ غَيْرِهِ فَأَرْضَعَ صَبِيًّا حَرُمَ، وَإِنْ كَانَ مُشْكَلًا فَلَهُ أَنْ يَنْكِحَ بِأَيِّهِمَا شَاءَ وَبِأَيِّهِمَا نَكَحَ بِهِ أَوَّلًا؛ أَجَزْته وَلَمْ أَجْعَلْ لَهُ يَنْكِحُ الْآخَرَ

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika kebanyakan dari khuntsa (hermafrodit) adalah laki-laki, lalu ia menikahi seorang wanita dan tidak mengeluarkan air mani, kemudian seorang laki-laki menikahinya, lalu keluar air susu darinya dan menyusui seorang anak, maka itu bukan susuan yang mengharamkan. Namun jika kebanyakan dari khuntsa adalah wanita, lalu keluar air susu darinya baik dari pernikahan atau lainnya dan ia menyusui seorang anak, maka itu mengharamkan. Jika masih meragukan, maka ia boleh menikah dengan jenis kelamin mana saja yang ia kehendaki, dan pernikahan pertama yang ia lakukan dengan salah satu jenis kelamin itu aku anggap sah, dan aku tidak membolehkannya untuk menikah dengan jenis kelamin yang lain.”

كِتَابِ النَّفَقَةِ

 

وُجُوبُ النَّفَقَةِ لِلزَّوْجَةِ مِنْ كِتَابِ النَّفَقَةِ وَمِنْ كِتَابِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ وَمِنْ الطَّلَاقِ وَمِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ النِّكَاحِ إمْلَاءً عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ.

 

 

Kewajiban nafkah untuk istri dari kitab nafkah, dari kitab pergaulan dengan wanita, dari perceraian, dari hukum-hukum Al-Qur’an, dan dari pernikahan yang didiktekan berdasarkan masalah-masalah Malik.

(Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Allah ‘azza wa jalla berfirman {ذلك أدنى ألا تعولوا} An-Nisa’: 3 yang artinya: “Yang demikian itu lebih dekat agar kalian tidak banyak menanggung (keluarga).”

 

(قَالَ) : وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ عَلَى الزَّوْجِ نَفَقَةَ امْرَأَتِهِ فَأُحِبُّ أَنْ يَقْتَصِرَ الرَّجُلُ عَلَى وَاحِدَةٍ، وَإِنْ أُبِيحَ لَهُ أَكْثَرُ «وَجَاءَتْ هِنْدُ إلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَإِنَّهُ لَا يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إلَّا مَا أَخَذْت مِنْهُ سِرًّا وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – خُذِي مَا يَكْفِيك وَوَلَدَك بِالْمَعْرُوفِ» «وَجَاءَ رَجُلٌ إلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى نَفْسِك قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى وَلَدِك قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، فَقَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى أَهْلِك قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ أَنْفِقْهُ عَلَى خَادِمِك قَالَ: عِنْدِي آخَرُ، قَالَ أَنْتَ أَعْلَمُ» قَالَ سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ إذَا حَدَّثَ بِهَذَا الْحَدِيثِ يَقُولُ وَلَدُك: أَنْفِقْ عَلَيَّ إلَى مَنْ تَكِلُنِي؟ وَتَقُولُ: زَوْجَتُك أَنْفِقْ عَلَيَّ أَوْ طَلِّقْنِي وَيَقُولُ خَادِمُك: أَنْفِقْ عَلَيَّ أَوْ بِعْنِي.

 

 

(Dia berkata): “Di dalamnya terdapat dalil bahwa suami wajib menafkahi istrinya. Aku lebih suka jika seorang laki-laki mencukupkan diri dengan satu istri, meskipun diperbolehkan lebih.”

 

“Seorang wanita bernama Hindun datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah seorang yang kikir. Dia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa yang kuambil darinya secara diam-diam tanpa pengetahuannya. Apakah aku berdosa dalam hal ini?’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah secukupnya untukmu dan anakmu dengan cara yang baik.'”

 

“Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki satu dinar.’ Beliau bersabda, ‘Gunakanlah untuk dirimu sendiri.’ Dia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Gunakanlah untuk anakmu.’ Dia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Gunakanlah untuk keluargamu.’ Dia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Gunakanlah untuk pelayanmu.’ Dia berkata, ‘Aku memiliki yang lain.’ Beliau bersabda, ‘Kamu lebih tahu.'”

 

Sa’id Al-Maqburi berkata, kemudian Abu Hurairah ketika meriwayatkan hadis ini, dia berkata, “Anakmu akan berkata, ‘Berilah nafkah kepadaku, kepada siapa engkau menyerahkanku?’ Istrimu akan berkata, ‘Berilah nafkah kepadaku atau ceraikan aku.’ Pelayanmu akan berkata, ‘Berilah nafkah kepadaku atau juallah aku.'”

(Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Dalam Al-Qur’an dan Sunnah terdapat penjelasan bahwa seorang suami wajib menafkahi istrinya dengan apa yang tidak dapat ditinggalkan oleh sang istri, berupa nafkah, pakaian, dan pelayanan pada saat dia tidak mampu mengurus dirinya sendiri karena uzur atau sakit kecuali dengan bantuan suaminya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : فِي الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ بَيَانُ أَنَّ عَلَى الرَّجُلِ مَا لَا غِنَى بِامْرَأَتِهِ عَنْهُ مِنْ نَفَقَةٍ وَكِسْوَةٍ وَخِدْمَةٍ فِي الْحَالِ الَّتِي لَا تَقْدِرُ عَلَى مَا لَا صَلَاحَ لِبَدَنِهَا مِنْ زَمَانَةٍ وَمَرَضٍ إلَّا بِهِ.

 

(وَقَالَ) فِي كِتَابِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ لِخَادِمِهَا نَفَقَةً إذَا كَانَتْ مِمَّنْ لَا تَخْدُمُ نَفْسَهَا، وَقَالَ فِيهِ أَيْضًا: إذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا خَادِمٌ فَلَا يَبِينُ أَنْ يُعْطِيَهَا خَادِمًا وَلَكِنْ يُجْبَرُ عَلَى مَنْ يَصْنَعُ لَهَا الطَّعَامَ الَّذِي لَا تَصْنَعُهُ هِيَ وَيُدْخِلُ عَلَيْهَا مَا لَا تَخْرُجُ لِإِدْخَالِهِ مِنْ مَاءٍ وَمَا يُصْلِحُهَا وَلَا يُجَاوِزُ بِهِ ذَلِكَ.

 

 

(Dan dia berkata) dalam kitab ‘Isyratun Nisa’, mungkin saja dia (suami) wajib menanggung nafkah pembantunya jika istri termasuk orang yang tidak melayani dirinya sendiri. Dia juga berkata dalam kitab itu: Jika istri tidak memiliki pembantu, tidak jelas apakah dia (suami) harus memberikannya pembantu, tetapi dia bisa dipaksa untuk menyediakan orang yang memasakkan makanan yang tidak bisa dia (istri) buat sendiri, serta memasukkan apa yang tidak bisa dia ambil sendiri seperti air dan hal-hal yang dibutuhkannya, tanpa melebihi batas itu.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ أَوْجَبَ لَهَا فِي مَوْضِعٍ مِنْ هَذَا نَفَقَةَ خَادِمٍ وَقَالَهُ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ إمْلَاءً عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ الْمَجْمُوعَةِ، وَقَالَهُ فِي كِتَابِ النَّفَقَةِ وَهُوَ بِقَوْلِهِ أَوْلَى أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُ أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يُزَكِّيَ عَنْ خَادِمِهَا فَكَذَلِكَ يُنْفِقُ عَلَيْهَا.

 

 

(Al-Muzani) berkata: “Sungguh ia telah mewajibkan nafkah pelayan untuknya dalam salah satu bagian dari kitab ini, dan ia juga menyatakannya dalam kitab nikah sebagai dikte atas masalah-masalah Malik yang terkumpul, serta mengatakannya dalam kitab nafkah. Pendapatnya lebih utama karena tidak ada perbedaan ucapannya bahwa ia wajib menzakati pelayannya, maka demikian pula ia wajib menafkahinya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَمِمَّا يُؤَكِّدُ ذَلِكَ قَوْلُهُ لَوْ أَرَادَ أَنْ يُخْرِجَ عَنْهَا أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ أَخْرَجَهُنَّ.

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Di antara yang menguatkan hal itu adalah ucapannya: ‘Seandainya Dia hendak mengeluarkan darinya lebih dari satu, niscaya Dia akan mengeluarkannya.'”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُنْفِقُ الْمُكَاتِبُ عَلَى وَلَدِهِ مِنْ أَمَتِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ: وَلَوْ كَانَتْ امْرَأَتُهُ مُكَاتَبَةً وَلَيْسَتْ كِتَابَتُهُمَا وَاحِدَةً وَلَا مَوْلَاهُمَا وَاحِدًا وَوُلِدَ لَهُ فِي الْكِتَابَةِ أَوْلَادٌ فَنَفَقَتُهُمْ عَلَى الْأُمِّ؛ لِأَنَّهَا أَحَقُّ بِهِمْ وَيُعْتَقُونَ بِعِتْقِهَا وَلَيْسَ عَلَى الْعَبْدِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَى وَلَدِهِ مِنْ امْرَأَةٍ حُرَّةٍ وَلَا أَمَةٍ

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang mukatab wajib menafkahi anaknya dari budak perempuannya. Dalam kitab Nikah, beliau juga berkata: Jika istrinya seorang mukatabah, sedangkan akad kitabah keduanya tidak sama dan tuannya juga berbeda, lalu dia memiliki anak selama masa kitabah, maka nafkah anak-anak tersebut menjadi tanggungan ibu karena ibu lebih berhak atas mereka. Mereka akan merdeka ketika ibu mereka merdeka. Seorang budak tidak wajib menafkahi anaknya dari perempuan merdeka maupun budak.

 

قَدْرُ النَّفَقَةِ

 

jumlah pengeluaran

مِنْ ثَلَاثَةِ كُتُبٍ.

 

dari tiga buku.

(Asy-Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Nafkah ada dua jenis: nafkah orang yang berkecukupan dan nafkah orang yang kesulitan. Allah Ta’ala berfirman: ‘Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.’ (QS. At-Talaq: 7).

 

Adapun kewajiban nafkah bagi orang yang kesulitan kepada istrinya, jika kebiasaan di negerinya bahwa seorang istri harus dilayani, maka ia wajib memberikan seorang pelayan dengan ukuran minimal yang diperlukan, yaitu satu mud (takaran) sesuai mud Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – setiap hari dari makanan pokok yang biasa dikonsumsi di negeri tersebut, baik untuk istri maupun pelayannya. Juga satu takaran lauk khas negerinya, baik berupa minyak atau samin, secukupnya.

 

Ia juga wajib memberinya minyak rambut dan sisir secukupnya, namun tidak wajib bagi pelayannya karena itu bukan kebiasaan untuk pelayan. Dikatakan juga setiap pekan wajib memberikan satu ritl daging, sesuai kebiasaan wanita seusianya.

 

Untuk pakaian, ia wajib memberikan pakaian yang biasa dipakai wanita seusianya di negeri tersebut bagi orang yang kesulitan, seperti katun Kufah, Bashrah, atau sejenisnya. Untuk pelayannya, cukup dengan pakaian kasar atau sejenisnya.

 

Di negeri yang dingin, wajib memberikan jaket berlapis, selimut tebal, atau kain penutup yang cukup untuk dua tahun, serta baju, celana, kerudung, atau penutup kepala. Untuk pelayannya, cukup jaket wol, selimut penghangat, baju, penutup kepala, sepatu, dan kebutuhan pokok lainnya.

 

Di musim panas, wajib memberikan baju, selendang, dan penutup kepala. Jika istri menginginkan lebih, ia boleh menambahkannya dari harga lauk, daging, atau biji-bijian sesuai keinginannya. Jika istri sederhana, ia boleh menambahkannya dari kelebihan takaran makanan yang tidak mengenyangkan.”

 

وَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا مُوسِعًا فُرِضَ لَهَا مُدَّانِ وَمِنْ الْأُدُمِ وَاللَّحْمِ ضِعْفُ مَا وَصَفْت لِامْرَأَةِ الْمُقْتِرِ وَكَذَلِكَ فِي الدُّهْنِ وَالْمُشْطِ وَمِنْ الْكِسْوَةِ وَسَطُ الْبَغْدَادِيِّ وَالْهَرَوِيِّ وَلَيِّنِ الْبَصْرَةِ وَمَا أَشْبَهَهُ، وَيُحْشَى لَهَا إنْ كَانَتْ بِبِلَادٍ يَحْتَاجُ أَهْلُهَا إلَيْهِ وَقَطِيفَةٌ وَسَطٌ وَلَا أُعْطِيهَا فِي الْقُوتِ دَرَاهِمَ، فَإِنْ شَاءَتْ أَنْ تَبِيعَهُ فَتَصْرِفَهُ فِيمَا شَاءَتْ صَرَفَتْهُ وَأَجْعَلُ لِخَادِمِهَا مُدًّا وَثُلُثًا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ سَعَةً لِمِثْلِهَا وَفِي كِسْوَتِهَا الْكِرْبَاسُ وَغَلِيظُ الْبَصْرِيِّ وَالْوَاسِطِيِّ وَمَا أَشْبَهَهُ وَلَا أُجَاوِزُهُ بِمُوسِعٍ مَنْ كَانَ، وَمَنْ كَانَتْ امْرَأَتُهُ وَلِامْرَأَتِهِ فِرَاشٌ وَوِسَادَةٌ مِنْ غَلِيظِ مَتَاعِ الْبَصْرَةِ وَمَا أَشْبَهَهُ وَلِخَادِمِهَا فَرْوَةٌ وَوِسَادَةٌ وَمَا أَشْبَهَهُ مِنْ عَبَاءَةٍ أَوْ كِسَاءٍ غَلِيظٍ فَإِذَا بَلِيَ أَخْلَفَهُ، وَإِنَّمَا جَعَلْت أَقَلَّ الْفَرْضِ فِي هَذَا بِالدَّلَالَةِ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي دَفْعِهِ إلَى الَّذِي أَصَابَ أَهْلَهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عِرْقًا فِيهِ خَمْسَةَ عَشَرً صَاعًا لِسِتِّينَ مِسْكِينًا، وَإِنَّمَا جَعَلْت أَكْثَرَ مَا فَرَضْت مُدَّيْنِ؛ لِأَنَّ أَكْثَرَ مَا أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «فِي فِدْيَةِ الْأَذَى مُدَّانِ لِكُلِّ مِسْكِينٍ» فَلَمْ أُقَصِّرْ عَنْ هَذَا وَلَمْ أُجَاوِزْ هَذَا مَعَ أَنَّ مَعْلُومًا أَنَّ الْأَغْلَبَ أَنَّ أَقَلَّ الْقُوتِ مُدٌّ وَأَنَّ أَوْسَعَهُ مُدَّانِ وَالْفَرْضُ الَّذِي عَلَى الْوَسَطِ الَّذِي لَيْسَ بِالْمُوسِعِ وَلَا الْمُقْتِرِ بَيْنَهُمَا مُدٌّ وَنِصْفٌ لِلْخَادِمَةِ مُدٌّ، وَإِنْ كَانَتْ بَدْوِيَّةً فَمَا يَأْكُلُ أَهْلُ الْبَادِيَةِ وَمِنْ الْكِسْوَةِ بِقَدْرِ مَا يَلْبَسُونَ لَا وَقْتَ فِي ذَلِكَ إلَّا قَدْرَ مَا يَرَى بِالْمَعْرُوفِ وَلَيْسَ عَلَى رَجُلٍ أَنْ يُضَحِّيَ لِامْرَأَتِهِ وَلَا يُؤَدِّيَ عَنْهَا أَجْرَ طَبِيبٍ وَلَا حَجَّامٍ

 

 

Dan jika suaminya berkecukupan, diwajibkan baginya dua mudd, serta dari lauk dan daging dua kali lipat dari yang telah dijelaskan untuk istri yang kekurangan. Demikian pula dalam hal minyak dan sisir. Dari pakaian, diberikan yang pertengahan seperti pakaian orang Baghdad, Herat, atau yang lembut dari Basrah dan sejenisnya. Jika ia tinggal di daerah yang penduduknya membutuhkan, diberikan juga bantal dan selimut yang pertengahan. Aku tidak memberinya uang dirham untuk makanan. Jika ia ingin menjualnya dan membelanjakan sesuai keinginannya, ia boleh melakukannya. Aku memberikan untuk pelayannya satu mudd dan sepertiga, karena itu adalah kelapangan bagi yang semisalnya. Untuk pakaiannya diberikan kain karbas, yang tebal dari Basrah atau Wasith dan sejenisnya, dan aku tidak melebihkannya sekalipun suaminya kaya. Barangsiapa yang istrinya memiliki tempat tidur dan bantal dari perabotan tebal Basrah dan sejenisnya, maka untuk pelayannya diberikan bulu domba, bantal, atau sejenisnya seperti aba atau selimut tebal. Jika usang, diganti. Aku menjadikan ketentuan minimal dalam hal ini berdasarkan petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memberikan kepada orang yang keluarganya terkena musibah di bulan Ramadhan berupa satu ikat yang berisi lima belas sha’ untuk enam puluh orang miskin. Aku menjadikan ketentuan maksimal yang kuwajibkan dua mudd, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan dalam fidyah gangguan dua mudd untuk setiap orang miskin. Aku tidak mengurangi dari ini dan tidak melebihkannya, meskipun diketahui bahwa umumnya kebutuhan minimal adalah satu mudd dan yang paling lapang adalah dua mudd. Kewajiban bagi yang pertengahan, tidak kaya juga tidak miskin, adalah satu setengah mudd. Untuk pelayan perempuan satu mudd. Jika ia baduiyah, maka diberikan makanan seperti yang dimakan orang badui. Dari pakaian diberikan sesuai yang mereka pakai, tidak ada ketentuan waktu kecuali berdasarkan kebiasaan yang baik. Seorang suami tidak wajib berkurban untuk istrinya, membayar upah dokter, atau tukang bekam untuknya.

 

الْحَالُ الَّتِي يَجِبُ فِيهَا النَّفَقَةُ وَمَا لَا يَجِبُ

 

Keadaan yang mengharuskan nafkah dan yang tidak mengharuskannya

 

مِنْ كِتَابِ عِشْرَةِ النِّسَاءِ وَكِتَابِ التَّعْرِيضِ بِالْخِطْبَةِ وَمِنْ الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا كَانَتْ الْمَرْأَةُ يُجَامَعُ مِثْلُهَا فَخَلَّتْ أَوْ أَهْلُهَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الدُّخُولِ بِهَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا وَإِنْ كَانَ صَغِيرًا؛ لِأَنَّ الْحَبْسَ مِنْ قِبَلِهِ وَقَالَ فِي كِتَابَيْنِ.

 

 

Dari kitab ‘Isyratun Nisa’ dan kitab At-Ta’ridh bil Khithbah, serta dari Al-Imla’ ‘ala Masa’il Malik (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika seorang wanita yang semisalnya biasa disetubuhi, lalu ia atau keluarganya memberikan kesempatan kepadanya untuk menggaulinya, maka wajib baginya memberikan nafkah kepadanya meskipun masih kecil, karena penahanan itu berasal darinya.” Dan beliau menyebutkan dalam dua kitab.

 

وَقَدْ قِيلَ: إذَا كَانَ الْحَبْسُ مِنْ قِبَلِهِ فَعَلَيْهِ وَإِذَا كَانَ مِنْ قِبَلِهَا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا، وَلَوْ قَالَ قَائِلٌ: يُنْفِقُ؛ لِأَنَّهَا مَمْنُوعَةٌ مِنْ غَيْرِهِ كَانَ مَذْهَبًا.

 

 

Dan telah dikatakan: Jika penahanan berasal darinya (suami), maka dia wajib memberikan nafkah. Namun jika penahanan berasal darinya (istri), maka tidak ada nafkah baginya. Seandainya ada yang berpendapat: Dia (suami) tetap wajib memberi nafkah karena istri terhalang oleh selainnya (suami), maka itu merupakan salah satu mazhab.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ قَطَعَ بِأَنَّهَا إذَا لَمْ تُخِلَّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا حَتَّى قَالَ: فَإِنْ ادَّعَتْ التَّخْلِيَةَ فَهِيَ غَيْرُ مَخْلِيَّةٍ حَتَّى يُعْلَمَ ذَلِكَ مِنْهَا.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – telah menegaskan bahwa jika istri tidak menghalangi suami dari dirinya, maka tidak ada nafkah baginya. Bahkan beliau berkata: Jika istri mengklaim telah menghalangi, maka ia dianggap tidak menghalangi sampai diketahui kebenarannya darinya.

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika dia (istri) sedang sakit, maka wajib baginya (suami) untuk memberikan nafkahnya, dan dia tidak seperti anak kecil.”

 

 

وَلَوْ كَانَ فِي جِمَاعِهَا شِدَّةُ ضَرَرٍ مُنِعَ وَأُخِذَ بِنَفَقَتِهَا، وَلَوْ ارْتَتَقَتْ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى جِمَاعِهَا فَهَذَا عَارِضٌ لَا مَنْعَ بِهِ مِنْهَا وَقَدْ جُومِعَتْ.

 

 

Dan jika dalam hubungan intim terdapat bahaya yang parah, maka dilarang dan diambil nafkahnya. Namun jika (vagina) tertutup sehingga tidak mampu melakukan hubungan intim, maka ini adalah penghalang sementara yang tidak melarang (pernikahan), dan (wanita) tetap boleh digauli.

 

 

وَلَوْ أَذِنَ لَهَا فَأَحْرَمَتْ أَوْ اعْتَكَفَتْ أَوْ لَزِمَهَا نَذْرُ كَفَّارَةٍ كَانَ عَلَيْهِ نَفَقَتُهَا.

 

 

Dan jika dia mengizinkannya lalu si wanita berihram, beri’tikaf, atau terikat nadzar kafarat, maka nafkahnya menjadi tanggungannya.

 

 

وَلَوْ هَرَبَتْ أَوْ امْتَنَعَتْ أَوْ كَانَتْ أَمَةً فَمَنَعَهَا سَيِّدُهَا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا يُبْرِئُهُ مِمَّا وَجَبَ لَهَا مِنْ نَفَقَتِهَا، وَإِنْ كَانَ حَاضِرًا مَعَهَا إلَّا إقْرَارَهَا أَوْ بَيِّنَةً تَقُومُ عَلَيْهَا.

 

 

Jika dia (istri) melarikan diri, menolak, atau seorang budak yang dihalangi oleh tuannya, maka tidak ada nafkah baginya, namun suami tidak terbebas dari kewajiban nafkah yang telah menjadi haknya, kecuali jika suami bersamanya dan dia (istri) mengakuinya atau ada bukti yang sah.

 

 

وَلَوْ أَسْلَمَتْ وَثَنِيَّةٌ وَأَسْلَمَ زَوْجُهَا فِي الْعِدَّةِ أَوْ بَعْدَهَا فَلَهَا النَّفَقَةُ؛ لِأَنَّهَا مَحْبُوسَةٌ عَلَيْهِ مَتَى شَاءَ أَسْلَمَ وَكَانَتْ امْرَأَتَهُ، وَلَوْ كَانَ هُوَ الْمُسْلِمُ لَمْ يَكُنْ لَهَا نَفَقَةٌ فِي أَيَّامِ كُفْرِهَا، وَإِنْ دَفَعَهَا إلَيْهَا فَلَمْ يُسْلِمْ حَتَّى انْقَضَتْ عِدَّتُهَا فَلَا حَقَّ لَهُ؛ لِأَنَّهُ تَطَوَّعَ بِهَا، وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ: فَإِنْ أَسْلَمَ ثُمَّ أَسْلَمَتْ فَهُمَا عَلَى النِّكَاحِ وَلَهَا النَّفَقَةُ فِي حَالِ الْوَقْفِ؛ لِأَنَّ الْعَقْدَ لَمْ يَنْفَسِخْ.

 

 

Jika seorang wanita musyrik masuk Islam dan suaminya masuk Islam selama atau setelah masa iddah, maka ia berhak mendapat nafkah karena ia terikat dengannya kapan pun ia masuk Islam dan ia tetap menjadi istrinya. Namun, jika suami yang masuk Islam terlebih dahulu, maka istri tidak berhak mendapat nafkah selama masa kekafirannya. Jika suami memberikan nafkah kepadanya tetapi tidak masuk Islam hingga masa iddahnya habis, maka ia tidak berhak atasnya karena itu adalah pemberian sukarela. Dalam kitab Nikah yang lama disebutkan: Jika suami masuk Islam kemudian istri masuk Islam, maka pernikahan mereka tetap berlaku dan istri berhak mendapat nafkah selama masa tunggu karena akad nikah belum batal.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الْأَوَّلُ أَوْلَى بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ تَمْنَعُ الْمُسْلِمَةَ النَّفَقَةَ بِامْتِنَاعِهَا فَكَيْفَ لَا تَمْنَعُ الْوَثَنِيَّةَ بِامْتِنَاعِهَا.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Pendapat pertama lebih utama karena seorang wanita muslimah bisa menolak memberikan nafkah dengan menolak (berhubungan suami istri), maka bagaimana mungkin dia tidak bisa menolak penyembahan berhala dengan penolakannya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَعَلَى الْعَبْدِ نَفَقَةُ امْرَأَتِهِ الْحُرَّةِ وَالْكِتَابِيَّةِ وَالْأَمَةِ إذَا بُوِّئَتْ مَعَهُ بَيْتًا وَإِذَا احْتَاجَ سَيِّدُهَا إلَى خِدْمَتِهَا فَذَلِكَ لَهُ وَلَا نَفَقَةَ لَهَا قَالَ: وَنَفَقَتُهُ نَفَقَةُ الْمُقْتِرِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ إلَّا وَهُوَ فَقِيرٌ؛ لِأَنَّ مَا بِيَدِهِ، وَإِنْ اتَّسَعَ لِسَيِّدٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seorang budak wajib menafkahi istrinya yang merdeka, ahli kitab, atau budak perempuan jika ia ditempatkan bersama di sebuah rumah. Namun jika tuannya membutuhkan pelayanannya, maka hak itu bagi tuannya dan tidak ada nafkah untuknya.” Beliau juga berkata: “Nafkahnya adalah nafkah orang yang kesulitan, karena tidak ada seorang budak pun kecuali ia dalam keadaan fakir, sebab apa yang ada di tangannya (hakikatnya) milik tuannya meskipun terlihat banyak.”

 

وَمَنْ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ فَكَالْمَمْلُوكِ.

 

Dan siapa yang tidak sempurna kebebasannya, maka ia seperti budak.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا كَانَتْ تِسْعَةُ أَعْشَارِهِ حُرًّا فَهُوَ يَجْعَلُ لَهُ تِسْعَةَ أَعْشَارِ مَا يَمْلِكُ وَيَرِثُهُ مَوْلَاهُ الَّذِي أَعْتَقَ تِسْعَةَ أَعْشَارِهِ فَكَيْفَ لَا يُنْفِقُ عَلَى قَدْرِ سَعَتِهِ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Jika sembilan persepuluh bagiannya merdeka, maka ia memberikan sembilan persepuluh dari apa yang dimilikinya, dan tuannya yang memerdekakan sembilan persepuluh bagiannya mewarisinya. Maka bagaimana mungkin ia tidak menafkahkan sesuai kemampuannya?”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ جَعَلَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَنْ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ كَالْمَمْلُوكِ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْأَيْمَانِ: إذَا كَانَ نِصْفُهُ حُرًّا وَنِصْفُهُ عَبْدًا كَفَّرَ بِالْإِطْعَامِ فَجَعَلَهُ كَالْحُرِّ بِبَعْضِ الْحُرِّيَّةِ، وَلَمْ يَجْعَلْهُ بِبَعْضِ الْحُرِّيَّةِ هَا هُنَا كَالْحُرِّ بَلْ جَعَلَهُ كَالْعَبْدِ فَالْقِيَاسُ عَلَى أَصْلِهِ مَا قُلْنَا مِنْ أَنَّ الْحُرَّ مِنْهُ يُنْفِقُ بِقَدْرِ سَعَتِهِ وَالْعَبْدَ مِنْهُ بِقَدْرِهِ، وَكَذَا قَالَ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ أَنَّ عَلَى الْحُرِّ مِنْهُ بِقَدْرِهِ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ وَعَلَى سَيِّدِ الْعَبْدِ بِقَدْرِ الرِّقِّ مِنْهُ فَالْقِيَاسُ مَا قُلْنَا فَتَفَهَّمُوهُ تَجِدُوهُ كَذَلِكَ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

 

 

Al-Muzani -rahimahullah- berkata: “Imam Syafi’i -rahimahullah- menganggap orang yang kebebasannya tidak sempurna seperti budak. Dalam kitab al-Aiman beliau berkata: ‘Jika separuhnya merdeka dan separuhnya budak, maka kafarahnya dengan memberi makan, lalu dianggap seperti orang merdeka dengan sebagian kebebasan.’ Namun di sini beliau tidak menganggapnya seperti orang merdeka dengan sebagian kebebasan, melainkan menganggapnya seperti budak. Maka qiyas menurut prinsipnya adalah seperti yang kami katakan, bahwa bagian merdeka darinya menafkahkan sesuai kemampuannya, dan bagian budak darinya sesuai kadarnya. Demikian pula beliau berkata dalam kitab az-Zakat bahwa bagian merdeka darinya wajib membayar zakat fitrah sesuai kadarnya, dan tuannya membayar sesuai kadar perbudakannya. Maka qiyasnya adalah seperti yang kami katakan. Pahamilah hal ini, niscaya kalian akan mendapatinya demikian insya Allah Ta’ala.”

 

الرَّجُلُ لَا يَجِدُ نَفَقَةً

 

Seorang laki-laki tidak menemukan nafkah

مِنْ كِتَابَيْنِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَا تَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مَقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ.

 

Dari dua kitab (Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Ketika Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa hak istri atas suami adalah untuk diberi nafkah, maka mengandung kemungkinan bahwa suami tidak boleh menikmati dirinya sambil menghalangi haknya, dan tidak membiarkannya menikah dengan orang yang mampu memberinya nafkah, serta bahwa dia boleh memilih antara tetap bersamanya atau berpisah.

 

وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – إلَى أُمَرَاءِ الْأَجْنَادِ فِي رِجَالٍ غَابُوا عَنْ نِسَائِهِمْ يَأْمُرهُمْ أَنْ يَأْخُذُوهُمْ بِأَنْ يُنْفِقُوا أَوْ يُطَلِّقُوا فَإِنْ طَلَّقُوا بَعَثُوا بِنَفَقَةِ مَا حَبَسُوا. وَهَذَا يُشْبِهُ مَا وَصَفْت.

 

 

Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – menulis kepada para pemimpin pasukan tentang para lelaki yang meninggalkan istri-istri mereka. Beliau memerintahkan agar mereka dipaksa untuk menafkahi atau menceraikan. Jika mereka menceraikan, maka harus mengirimkan nafkah selama masa mereka menahan (tidak memberi nafkah). Dan ini mirip dengan apa yang engkau jelaskan.

 

وَسَأَلَ ابْنُ الْمُسَيِّبِ عَنْ الرَّجُلِ لَا يَجِدُ مَا يُنْفِقُ عَلَى امْرَأَتِهِ قَالَ: يُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا قِيلَ لَهُ: فَسُنَّةٌ؟ قَالَ: سُنَّةٌ وَاَلَّذِي يُشْبِهُ قَوْلَ ابْنِ الْمُسَيِّبِ سُنَّةٌ أَنْ يَكُونَ سَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَإِذَا وَجَدَ نَفَقَتَهَا يَوْمًا بِيَوْمٍ لَمْ يُفَرَّقْ بَيْنَهُمَا، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ لَمْ يُؤَجَّلْ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ وَلَا تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ فِي ثَلَاثٍ مِنْ أَنْ تَخْرُجَ فَتَعْمَلَ أَوْ تَسْأَلَ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ نَفَقَتَهَا خُيِّرَتْ كَمَا وَصَفْت فِي هَذَا الْقَوْلِ، وَإِنْ وَجَدَ نَفَقَتَهَا وَلَمْ يَجِدْ نَفَقَةَ خَادِمِهَا لَمْ تُخَيَّرْ؛ لِأَنَّهَا تُمَاسِك بِنَفَقَتِهَا وَكَانَتْ نَفَقَةُ خَادِمِهَا دَيْنًا عَلَيْهِ مَتَى أَيْسَرَ أَخَذَتْهُ بِهِ وَمَنْ قَالَ هَذَا لَزِمَهُ عِنْدِي إذَا لَمْ يَجِدْ صَدَاقَهَا أَنْ يُخَيِّرَهَا؛ لِأَنَّهُ شَبِيهٌ بِنَفَقَتِهَا (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ قَالَ: وَلَوْ أُعْسِرَ بِالصَّدَاقِ وَلَمْ يُعْسَرْ بِالنَّفَقَةِ فَاخْتَارَتْ الْمَقَامَ مَعَهُ لَمْ يَكُنْ لَهَا فِرَاقُهُ؛ لِأَنَّهُ لَا ضَرَرَ عَلَى بَدَنِهَا إذَا أَنْفَقَ عَلَيْهَا فِي اسْتِئْخَارِ صَدَاقِهَا.

 

 

Ibnu al-Musayyib ditanya tentang seorang laki-laki yang tidak memiliki harta untuk menafkahi istrinya. Dia menjawab: “Mereka harus dipisahkan.” Ditanyakan kepadanya: “Apakah itu sunnah?” Dia menjawab: “Sunnah.” Pendapat yang mirip dengan perkataan Ibnu al-Musayyib adalah sunnah yang berasal dari Rasulullah ﷺ. Jika suami mampu menafkahi istri sehari demi sehari, mereka tidak dipisahkan. Namun jika tidak mampu, penundaan tidak boleh lebih dari tiga hari. Istri tidak boleh dilarang selama tiga hari tersebut untuk keluar bekerja atau meminta-minta. Jika suami tetap tidak mampu menafkahinya, istri diberi pilihan (untuk tetap bersama atau berpisah) sebagaimana dijelaskan dalam pendapat ini. Jika suami mampu menafkahi istri tetapi tidak mampu menafkahi pembantunya, istri tidak diberi pilihan karena ia tetap mendapat nafkah, sementara nafkah pembantunya menjadi hutang suami yang harus dibayar ketika mampu. Barangsiapa berpendapat demikian, menurutku ia juga harus memberi pilihan kepada istri jika suami tidak mampu membayar mahar, karena mahar serupa dengan nafkah. (Al-Muzani) rahimahullah berkata: “Jika suami tidak mampu membayar mahar tetapi masih mampu menafkahi, lalu istri memilih tetap bersamanya, maka tidak ada hak baginya untuk berpisah, karena tidak ada bahaya bagi dirinya selama ia masih dinafkahi meski maharnya ditunda.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنْ لَا خِيَارَ لَهَا فِيهِ كَالنَّفَقَةِ.

 

(Al-Muzani berkata) maka ini adalah dalil bahwa dia tidak memiliki pilihan dalam hal itu seperti nafkah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ اخْتَارَتْ الْمَقَامَ مَعَهُ فَمَتَى شَاءَتْ أُجِّلَ أَيْضًا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ عَفْوٌ عَمَّا مَضَى، وَلَوْ عَلِمَتْ عُسْرَتَهُ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يُوسِرَ وَيَتَطَوَّعَ عَنْهُ بِالْغُرْمِ وَلَهَا أَنْ لَا تَدْخُلَ عَلَيْهِ إذَا أَعْسَرَ بِصَدَاقِهَا حَتَّى تَقْبِضَهُ وَاحْتَجَّ عَلَى مُخَالِفِهِ فَقَالَ: إذَا خَيَّرْتهَا فِي الْعِنِّينِ يُؤَجَّلُ سَنَةً وَرَضِيَتْ مِنْهُ بِجِمَاعٍ مَرَّةً فَإِنَّمَا هُوَ فَقْدُ لَذَّةٍ وَلَا صَبْرَ لَهَا عَلَى فَقْدِ النَّفَقَةِ فَكَيْفَ أَقْرَرْتهَا مَعَهُ فِي أَعْظَمِ الضَّرَرَيْنِ وَفَرَّقْت بَيْنَهُمَا فِي أَصْغَرِ الضَّرَرَيْنِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika dia (istri) memilih untuk tetap bersamanya, maka kapan pun dia mau, penundaan juga diperbolehkan. Karena itu merupakan pemaafan atas apa yang telah berlalu, meskipun dia mengetahui kesulitannya (suami). Sebab, bisa saja suami kemudian memiliki kemampuan dan bersedia menanggung kerugiannya. Dan istri berhak untuk tidak masuk ke rumahnya jika suami tidak mampu membayar maharnya hingga dia menerimanya.” Dia berargumen terhadap pihak yang berbeda pendapat dengannya dengan mengatakan: “Jika engkau memberikan pilihan kepada istri dalam kasus impotensi yang ditunda selama setahun, lalu dia rela dengan sekali hubungan, maka itu hanyalah kehilangan kenikmatan. Namun, dia tidak bisa bersabar kehilangan nafkah. Lalu bagaimana engkau membiarkannya tetap bersama suami dalam kerugian yang lebih besar, sedangkan engkau memisahkan mereka dalam kerugian yang lebih kecil?”

 

نَفَقَةُ الَّتِي لَا يَمْلِكُ زَوْجُهَا رَجْعَتَهَا

 

Nafkah perempuan yang suaminya tidak memiliki hak untuk menariknya kembali.

 

وَغَيْرُ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ} الطلاق: 6 وَقَالَ تَعَالَى {وَإِنْ كُنَّ أُولاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} الطلاق: 6 فَلَمَّا أَوْجَبَ اللَّهُ لَهَا نَفَقَةً بِالْحَمْلِ دَلَّ عَلَى أَنْ لَا نَفَقَةَ لَهَا بِخِلَافِ الْحَمْلِ وَلَا أَعْلَمُ خِلَافًا أَنَّ الَّتِي يُمْلَكُ رَجْعَتُهَا فِي مَعَانِي الْأَزْوَاجِ فِي أَنَّ عَلَيْهِ نَفَقَتَهَا وَسُكْنَاهَا وَأَنَّ طَلَاقَهُ وَإِيلَاءَهُ وَظِهَارَهُ وَلِعَانَهُ يَقَعُ عَلَيْهَا وَأَنَّهَا تَرِثُهُ وَيَرِثُهَا فَكَانَتْ الْآيَةُ عَلَى غَيْرِهَا مِنْ الْمُطَلَّقَاتِ وَهِيَ الَّتِي لَا يُمْلَكُ رَجْعَتُهَا وَبِذَلِكَ جَاءَتْ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي «فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ بَتَّ زَوْجُهَا طَلَاقَهَا فَذَكَرَتْ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ لَيْسَ لَك عَلَيْهِ نَفَقَةٌ» وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّهُ قَالَ ” نَفَقَةُ الْمُطَلَّقَةِ مَا لَمْ تَحْرُمْ ” وَعَنْ عَطَاءٍ لَيْسَتْ الْمَبْتُوتَةُ الْحُبْلَى مِنْهُ فِي شَيْءٍ إلَّا أَنَّهُ يُنْفِقُ عَلَيْهَا مِنْ أَجْلِ الْحَبَلِ فَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ حُبْلَى فَلَا نَفَقَةَ لَهَا.

 

 

Dan selain itu (Asy-Syafi’i -rahimahullah Ta’ala- berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (QS. At-Talaq: 6). Dan Dia berfirman, “Jika mereka sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan” (QS. At-Talaq: 6). Ketika Allah mewajibkan nafkah karena kehamilan, itu menunjukkan tidak ada nafkah selain karena kehamilan. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa wanita yang masih bisa dirujuk statusnya seperti istri dalam hal kewajiban nafkah dan tempat tinggal, serta bahwa talak, ila’, zhihar, dan li’an suaminya berlaku padanya, dan bahwa dia bisa mewarisi serta diwarisi. Maka ayat ini berlaku bagi wanita yang diceraikan selainnya, yaitu yang tidak bisa dirujuk. Demikianlah sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam kisah Fatimah binti Qais, yang diceraikan talak ba’in oleh suaminya. Dia mengadukan hal itu kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu beliau bersabda, “Kamu tidak berhak mendapat nafkah darinya.” Dari Jabir bin Abdullah -radhiyallahu ‘anhuma-, dia berkata, “Nafkah untuk wanita yang diceraikan berlaku selama dia belum haram (bisa dirujuk).” Dari ‘Atha’, wanita yang diceraikan talak ba’in yang sedang hamil tidak berhak atas apa pun kecuali nafkah karena kehamilan. Jika dia tidak hamil, maka tidak ada nafkah baginya.

 

(قَالَ) : وَكُلُّ مَا وَصَفْت مِنْ مُتْعَةٍ أَوْ نَفَقَةٍ أَوْ سُكْنَى فَلَيْسَتْ إلَّا فِي نِكَاحٍ صَحِيحٍ، فَأَمَّا كُلُّ نِكَاحٍ كَانَ مَفْسُخًا فَلَا نَفَقَةَ حَامِلًا أَوْ غَيْرَ حَامِلٍ فَإِنْ ادَّعَتْ الْحَمْلَ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَعْلَمُ بِيَقِينٍ حَتَّى تَلِدَ فَتُعْطَى نَفَقَةُ مَا مَضَى لَهَا، وَهَكَذَا لَوْ أَوْصَى لِحَمْلٍ أَوْ كَانَ الْوَارِثُ أَوْ الْمُوصَى لَهُ غَائِبًا فَلَا يُعْطَى إلَّا بِيَقِينٍ أَرَأَيْت لَوْ أَعْطَيْنَاهَا بِقَوْلِ النِّسَاءِ ثُمَّ أَنْفَسَ أَلَيْسَ قَدْ أَعْطَيْنَا مِنْ مَالِهِ مَا لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنْ تُحْصِيَ مِنْ يَوْمِ فَارَقَهَا فَإِذَا قَالَ النِّسَاءُ: بِهَا حَمْلٌ، أَنْفَقَ عَلَيْهَا حَتَّى تَضَعَ وَلِمَا مَضَى.

 

 

Beliau berkata: “Semua yang engkau sebutkan berupa mut’ah, nafkah, atau tempat tinggal hanya berlaku dalam pernikahan yang sah. Adapun pernikahan yang dibatalkan, tidak ada nafkah baik bagi yang hamil maupun tidak. Jika dia mengklaim hamil, dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, tidak diketahui dengan pasti hingga dia melahirkan, lalu diberi nafkah untuk masa yang telah berlalu. Demikian pula jika wasiat untuk janin atau ahli waris atau penerima wasiat tidak hadir, tidak diberikan kecuali dengan kepastian. Bagaimana pendapatmu jika kami memberikannya berdasarkan perkataan para wanita, lalu ternyata tidak hamil, bukankah kami telah memberikan dari hartanya apa yang tidak wajib baginya? Pendapat kedua, dihitung sejak hari dia berpisah. Jika para wanita mengatakan dia hamil, maka dia diberi nafkah hingga melahirkan dan untuk masa yang telah berlalu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا عِنْدِي أَوْلَى بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَوْجَبَ بِالْحَمْلِ النَّفَقَةَ وَحَمْلُهَا قَبْلَ أَنْ تَضَعَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini menurutku lebih utama dengan pendapatnya; karena Allah ‘azza wa jalla mewajibkan nafkah dengan sebab kehamilan, dan kehamilannya sebelum ia melahirkan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ ظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ فَنَفَاهُ وَقَذَفَهَا لَاعَنَهَا، وَلَا نَفَقَةَ عَلَيْهِ فَإِنْ أَكْذَبَ نَفْسَهُ حُدَّ وَلَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ ثُمَّ أَخَذَتْ مِنْهُ النَّفَقَةَ الَّتِي بَطَلَتْ عَنْهُ، وَلَوْ أَعْطَاهَا بِقَوْلِ الْقَوَابِلِ أَنَّ بِهَا حَمْلًا ثُمَّ عَلِمَ أَنْ لَمْ يَكُنْ بِهَا حَمْلٌ أَوْ أَنْفَقَ عَلَيْهَا فَجَاوَزَتْ أَرْبَعَ سِنِينَ رَجَعَ عَلَيْهَا بِمَا أَخَذَتْ، وَلَوْ كَانَ يَمْلِكُ الرَّجْعَةَ فَلَمْ تُقِرَّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ أَوْ كَانَ حَيْضُهَا يَخْتَلِفُ فَيَطُولُ وَيَقْصُرُ لَمْ أَجْعَلْ لَهَا إلَّا الْأَقْصَرَ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ الْيَقِينُ وَأَطْرَحُ الشَّكَّ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika tampak tanda kehamilan pada istrinya lalu ia mengingkarinya dan menuduhnya berzina, maka dia boleh melakukan li’an, dan tidak ada kewajiban nafkah baginya. Jika dia mendustakan dirinya sendiri, maka dia dihukum had dan anak itu dinasabkan kepadanya, kemudian istri boleh mengambil nafkah yang sebelumnya gugur darinya. Jika dia memberinya nafkah berdasarkan perkataan bidan bahwa istrinya hamil, kemudian diketahui bahwa istrinya tidak hamil atau dia memberi nafkah hingga melebihi empat tahun, maka dia boleh menuntut kembali apa yang telah diberikan. Jika dia masih memiliki hak rujuk tetapi istri tidak mengakui tiga kali haid atau siklus haidnya berubah-ubah (kadang panjang kadang pendek), maka aku hanya menetapkan yang terpendek karena itu yang yakin dan aku meninggalkan yang meragukan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا حَكَمَ بِأَنَّ الْعِدَّةَ قَائِمَةٌ فَكَذَلِكَ النَّفَقَةُ فِي الْقِيَاسِ لَهَا بِالْعِدَّةِ قَائِمَةٌ، وَلَوْ جَازَ قَطْعُ النَّفَقَةِ بِالشَّكِّ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ لَجَازَ انْقِطَاعُ الرَّجْعَةِ بِالشَّكِّ فِي انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Jika diputuskan bahwa masa iddah masih berlangsung, maka demikian pula nafkah berdasarkan qiyas dengannya juga tetap wajib. Seandainya boleh menghentikan nafkah karena keraguan tentang berakhirnya iddah, maka boleh pula menghentikan hak rujuk karena keraguan tentang berakhirnya iddah.

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Dan aku tidak mengetahui adanya dalil yang menyatakan bahwa tidak wajib memberikan nafkah kepada budak perempuan yang hamil. Seandainya kita berpendapat bahwa nafkah itu karena kehamilan, maka nafkah karena kehamilan tidak mencapai sebagian nafkah untuk seorang budak perempuan. Tetapi itulah hukum Allah yang Maha Tinggi pujian-Nya.” (Dan dia berkata) dalam kitab Al-Imla’: “Nafkah itu menjadi tanggungan tuannya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الْأَوَّلُ أَحَقُّ بِهِ؛ لِأَنَّهُ شَهِدَ أَنَّهُ حُكْمُ اللَّهِ وَحُكْمُ اللَّهِ أَوْلَى مِمَّا خَالَفَهُ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Yang pertama lebih berhak atasnya karena ia bersaksi bahwa itu adalah hukum Allah, dan hukum Allah lebih utama daripada yang menyelisihinya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَأَمَّا كُلُّ نِكَاحٍ كَانَ مَفْسُوخًا فَلَا نَفَقَةَ لَهَا وَلَا سُكْنَى حَامِلًا أَوْ غَيْرَ حَامِلٍ (وَقَالَ) فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إلَّا أَنْ يَتَطَوَّعَ الْمُصِيبُ لَهَا بِذَلِكَ لِيُحْصِنَهَا فَيَكُونُ ذَلِكَ لَهَا بِتَطَوُّعِهِ وَلَهُ تَحْصِينُهَا، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Adapun setiap pernikahan yang dibatalkan, maka tidak ada nafkah maupun tempat tinggal baginya, baik dalam keadaan hamil maupun tidak.” (Beliau juga berkata) di tempat lain: “Kecuali jika pihak suami secara sukarela memberikannya untuk memelihara kehormatannya, maka hal itu menjadi haknya karena kesukarelaannya, dan baginya (pahala) karena memelihara kehormatannya. Dan hanya kepada Allah lah tempat memohon pertolongan.”

 

بَابٌ النَّفَقَةُ عَلَى الْأَقَارِبِ

Bab tentang Memberi Nafkah kepada Kerabat

مِنْ كِتَابِ النَّفَقَةِ وَمِنْ ثَلَاثَةِ كُتُبٍ.

 

Dari kitab an-nafaqah dan dari tiga kitab.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Dalam kitab Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – terdapat penjelasan bahwa kewajiban ayah adalah menanggung nafkah untuk memperbaiki keadaan anak-anaknya yang masih kecil, baik dalam hal penyusuan, nafkah, pakaian, maupun pelayanan, bukan kewajiban ibu. Di dalamnya juga terdapat petunjuk bahwa nafkah tidak berdasarkan warisan.”

 

Dan Ibnu Abbas – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – berkata mengenai firman Allah Ta’ala {وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ} Al-Baqarah: 233, bahwa maksudnya adalah agar seorang ibu tidak disakiti karena anaknya, bukan bahwa ia wajib menanggung nafkah.”

 

(قَالَ) : فَيُنْفِقُ الرَّجُلُ عَلَى وَلَدِهِ حَتَّى يَبْلُغُوا الْحُلُمَ أَوْ الْمَحِيضَ ثُمَّ لَا نَفَقَةَ لَهُمْ إلَّا أَنْ يَكُونُوا زَمْنَى فَيُنْفِقُ عَلَيْهِمْ إذَا كَانُوا لَا يُغْنُونَ أَنْفُسَهُمْ وَكَذَلِكَ وَلَدُ وَلَدِهِ، وَإِنْ سَفُلُوا مَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ أَبٌ دُونَهُ يَقْدِرُ عَلَى أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ كَانَتْ لَهُمْ أَمْوَالٌ فَنَفَقَتُهُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ وَإِذَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُضَيِّعَ شَيْئًا مِنْهُ فَكَذَلِكَ هُوَ ابْنُهُ إذَا كَانَ الْوَالِدُ زَمِنًا لَا يُغْنِي نَفْسَهُ وَلَا عِيَالَهُ وَلَا حِرْفَةَ لَهُ فَيُنْفِقُ عَلَيْهِ وَلَدُهُ وَوَلَدُ وَلَدِهِ، وَإِنْ سَفَلُوا؛ لِأَنَّهُمْ وَلَدٌ وَحَقُّ الْوَالِدِ عَلَى الْوَلَدِ أَعْظَمُ وَمَنْ أَجْبَرْنَاهُ عَلَى النَّفَقَةِ بِعْنَا فِيهَا الْعَقَارَ وَلَا تُجْبَرُ امْرَأَةٌ عَلَى رَضَاعِ وَلَدِهَا شَرِيفَةً كَانَتْ أَوْ دَنِيئَةً مُوسِرَةً كَانَتْ أَوْ فَقِيرَةً وَأَحْكَامُ اللَّهِ فِيهِمَا وَاحِدَةٌ، وَإِذَا طَلَبَتْ رَضَاعَ وَلَدِهَا وَقَدْ فَارَقَهَا زَوْجُهَا فَهِيَ أَحَقُّ بِمَا وَجَدَ الْأَبُ أَنْ يُرْضِعَ بِهِ فَإِنْ وَجَدَ بِغَيْرِ شَيْءٍ فَلَيْسَ لِلْأُمِّ أُجْرَةٌ وَالْقَوْلُ قَوْلُ الْأَبِ مَعَ يَمِينِهِ (وَقَالَ) فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: إنْ أَرْضَعَتْ أَعْطَاهَا أَجْرَ مِثْلِهَا.

 

 

Beliau berkata: “Seorang laki-laki wajib menafkahi anaknya hingga mereka mencapai baligh (mimpi basah) atau haid, kemudian tidak ada lagi nafkah bagi mereka kecuali jika mereka sakit sehingga tidak mampu mencukupi diri sendiri. Demikian pula anak dari anaknya (cucu), meskipun tingkatannya lebih rendah, selama tidak ada ayah di bawahnya yang mampu menafkahi mereka. Jika mereka memiliki harta, maka nafkah mereka diambil dari harta mereka sendiri. Dan jika tidak boleh menyia-nyiakan sedikit pun darinya, maka demikian pula anaknya ketika sang ayah sakit sehingga tidak mampu mencukupi diri sendiri, keluarganya, dan tidak memiliki pekerjaan—maka anaknya serta anak dari anaknya (cucu) wajib menafkahinya, meskipun tingkatannya lebih rendah, karena mereka adalah anak dan hak orang tua atas anak lebih besar. Siapa pun yang kami paksa untuk memberikan nafkah, kami boleh menjual propertinya untuk itu. Seorang perempuan tidak boleh dipaksa untuk menyusui anaknya, baik dia mulia atau rendah, kaya atau miskin, karena hukum Allah bagi mereka sama. Jika dia (ibu) meminta untuk menyusui anaknya setelah berpisah dari suaminya, maka dia lebih berhak atas apa yang ditemukan ayah untuk menyusuinya. Jika tidak ditemukan sesuatu pun, maka ibu tidak berhak upah, dan keputusan ada pada ayah dengan disertai sumpahnya.” Dia juga berkata di tempat lain: “Jika dia (ibu) menyusui, maka berikanlah upah yang setara.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا أَحَبُّ إلَيَّ لِقَوْلِ اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} الطلاق: 6

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih aku sukai karena firman Allah Yang Maha Tinggi pujian-Nya: ‘Jika mereka (para ibu) menyusui (anak-anak) untukmu, maka berikanlah upah kepada mereka.'” (QS. At-Talaq: 6)

 

بَابٌ أَيُّ الْوَالِدَيْنِ أَحَقُّ بِالْوَلَدِ مِنْ كُتُبٍ عِدَّةٍ

 

Bab: Orang tua mana yang lebih berhak atas anak dari beberapa kitab

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «خَيَّرَ غُلَامًا بَيْنَ أَبِيهِ وَأُمِّهِ» وَمَا جَاءَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ خَيَّرَ غُلَامًا بَيْنَ أَبَوَيْهِ وَعَنْ عُمَارَةَ الْجَرْمِيِّ قَالَ: خَيَّرَنِي عَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بَيْنَ أُمِّي وَعَمِّي ثُمَّ قَالَ لِأَخٍ لِي أَصْغَرَ مِنِّي وَهَذَا أَيْضًا لَوْ قَدْ بَلَغَ مَبْلَغَ هَذَا خَيَّرْته وَقَالَ فِي الْحَدِيثِ: وَكُنْت ابْنَ سَبْعِ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari Ziyad bin Sa’d dari Hilal bin Abi Maimunah dari Abu Maimunah dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “memberi pilihan kepada seorang anak antara ayah dan ibunya.” Dan apa yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau memberi pilihan kepada seorang anak antara kedua orang tuanya. Dan dari ‘Umarah al-Jarmi, ia berkata: “Ali – radhiyallahu ‘anhu – memberiku pilihan antara ibuku dan pamanku.” Kemudian beliau berkata kepada saudaraku yang lebih muda dariku: “Dan anak ini juga, jika telah mencapai usia seperti ini, akan kuberi pilihan.” Dan dalam hadits disebutkan: “Aku berusia tujuh atau delapan tahun.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika anak telah genap berusia tujuh tahun, baik laki-laki maupun perempuan, dan ia telah memiliki akal seperti anak seusianya, maka ia boleh memilih (tinggal dengan ayah atau ibunya). Dalam kitab Nikah yang lama, beliau berkata: Jika anak telah mencapai usia tujuh atau delapan tahun, ia boleh memilih selama kedua orang tuanya tinggal di satu tempat yang sama dan keduanya dapat dipercaya dalam mengasuh anak. Jika salah satunya tidak dapat dipercaya, maka anak berada di bawah pengawasan orang tua yang dapat dipercaya hingga ia dewasa. Jika kedua orang tua berpisah namun masih tinggal di satu desa, maka ibu lebih berhak atas anak selama ia belum menikah lagi, sedangkan nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayahnya. Ayah tidak boleh melarang ibu untuk mendidik anaknya. Anak laki-laki boleh pergi ke sekolah atau tempat kerja jika ia sudah mampu, dan ia boleh kembali ke ibunya. Jika ia memilih ayahnya, ayah tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi ibunya, dan ibu boleh mengunjunginya pada hari-hari tertentu. Jika anak tersebut perempuan, ibunya tidak boleh dilarang untuk mengunjunginya, kecuali jika anak tersebut sakit, maka ayahnya diperintahkan untuk mengizinkan ibunya menjenguk. Jika anak perempuan meninggal, ibunya tidak boleh dilarang untuk mengurus jenazahnya hingga dikuburkan, dan tidak boleh dilarang merawatnya saat sakit di rumah ayahnya. Jika anak itu gila, ia diperlakukan seperti anak kecil, dan ibu lebih berhak atasnya, tanpa diberi pilihan. Jika anak sudah memilih salah satu orang tua lalu ingin berpindah, ia boleh melakukannya. Jika ibu dilarang mengasuh anak karena menikah lagi, lalu suaminya menceraikannya (baik talak raj’i atau ba’in), haknya atas anak kembali seperti semula karena larangan itu disebabkan oleh pernikahan yang kini telah berakhir. Jika ada yang bertanya: “Bagaimana hak itu bisa kembali padahal sudah batal karena pernikahan?” Jawabannya: Jika hak ibu batal, maka seharusnya hak nenek (dari ibu) juga batal karena haknya berasal dari hak ibu. Namun, Abu Bakr pernah memutuskan bahwa Umar (radhiyallahu ‘anhuma) harus menyerahkan cucunya kepada neneknya karena nenek lebih berhak daripada ayahnya. Jika ditanya: “Apa hak ibu terhadap anak?” Jawabannya: Seperti hak ayah, karena keduanya adalah orang tua yang memiliki ikatan dengan anak. Karena anak belum berakal, ibu lebih berhak, tetapi hak itu sebenarnya untuk kepentingan anak, bukan orang tua, karena ibu lebih penyayang dan lembut daripada ayah. Jika anak laki-laki sudah baligh dan dewasa, ia boleh mengurus dirinya sendiri dan tidak boleh dipaksa tinggal dengan salah satu orang tua. Ia disarankan untuk berbuat baik kepada keduanya dan tidak memisahkan diri dari mereka. Jika anak perempuan sudah baligh, ia boleh tinggal dengan salah satu orang tua hingga menikah, lalu tinggal bersama suaminya. Jika ia menolak dan dapat dipercaya, ia boleh tinggal di mana pun asalkan tidak menimbulkan kecurigaan. Dianjurkan agar ia tidak berpisah dari orang tuanya. (Asy-Syafi’i berkata): Jika para kerabat perempuan berebut pengasuhan anak, maka ibu lebih berhak, lalu nenek dari ibu, lalu nenek buyut dari ibu, meskipun jauh. Kemudian nenek dari ayah, lalu nenek buyut dari ayah, lalu saudara perempuan seayah-seibu, lalu saudara perempuan seayah, lalu saudara perempuan seibu, lalu bibi dari ibu, lalu bibi dari ayah. Ibu dari kakek (dari pihak ibu) tidak memiliki hak asuh karena kekerabatannya melalui ayah, bukan ibu. Kerabat perempuan lebih berhak mengasuh anak. Tidak ada yang berhak atas anak selain ibu dan nenek-neneknya. Saudara perempuan dan kerabat lainnya tidak memiliki hak asuh selama ayah masih ada. Kakek (ayah dari ayah) bisa menggantikan posisi ayah jika ayah tidak ada, pergi, atau tidak cakap. Demikian pula kakek buyut dan para ‘ashabah (kerabat laki-laki) bisa menggantikan ayah jika tidak ada kerabat yang lebih dekat selain ibu dan nenek-neneknya. Jika ayah ingin pindah dari tempat ia menikah (baik itu kampung halamannya atau kampung halaman istrinya), pendapatnya yang diutamakan jika ia menyatakan niat untuk pindah. Ayah lebih berhak membawa anaknya, baik masih menyusu atau sudah besar, begitu pula para ‘ashabah, kecuali jika ibu juga pindah ke tempat yang sama, maka ibu lebih berhak. Orang yang belum merdeka sepenuhnya tidak berhak mengasuh anak orang merdeka. Jika anak orang merdeka menjadi budak, tuannyalah yang lebih berhak. Jika anak itu dari wanita merdeka dan ayahnya budak, ibulah yang lebih berhak, dan mereka tidak diberi pilihan saat waktu memilih tiba.

 

بَابٌ نَفَقَةُ الْمَمَالِيكِ

 

Bab Nafkah untuk Budak

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ بَكْرٍ أَوْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيّ شَكَّ ” عَنْ عَجْلَانَ أَبِي مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا يُكَلَّفُ مِنْ الْعَمَلِ مَا لَا يُطِيقُ» (قَالَ) : فَعَلَى مَالِكِ الْمَمْلُوكِ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى الْبَالِغَيْنِ إذَا شَغَّلَهُمَا فِي عَمَلٍ لَهُ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهِمَا وَيَكْسُوَهُمَا بِالْمَعْرُوفِ وَذَلِكَ نَفَقَةُ رَقِيقِ بَلَدِهِمَا الشِّبَعَ لِأَوْسَاطِ النَّاسِ الَّذِي تَقُومُ بِهِ أَبْدَانُهُمْ مِنْ أَيِّ الطَّعَامِ كَانَ قَمْحًا أَوْ شَعِيرًا أَوْ ذُرَةً أَوْ تَمْرًا وَكِسْوَتُهُمْ كَذَلِكَ مِمَّا يَعْرِفُ أَهْلُ ذَلِكَ الْبَلَدِ أَنَّهُ مَعْرُوفٌ صُوفٌ أَوْ قُطْنٌ أَوْ كَتَّانٌ أَيُّ ذَلِكَ كَانَ الْأَغْلَبَ بِذَلِكَ الْبَلَدِ وَكَانَ لَا يُسَمَّى مِثْلُهُ ضِيقًا بِمَوْضِعِهِ وَالْجَوَارِي إذَا كَانَتْ لَهُنَّ فَرَاهَةٌ وَجَمَالٌ فَالْمَعْرُوفُ أَنَّهُنَّ يُكْسَيْنَ أَحْسَنَ مِنْ كِسْوَةِ اللَّائِي دُونَهُنَّ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي الْمَمْلُوكِينَ: أَطْعِمُوهُمْ مِمَّا تَأْكُلُونَ وَاكْسُوهُمْ مِمَّا تَلْبَسُونَ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Sufyan mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin ‘Ajlan dari Bakr atau Bukair bin Abdullah Al-Muzani -dia ragu- dari ‘Ajlan Abu Muhammad dari Abu Hurairah bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada budak: “Makanan dan pakaiannya adalah dengan cara yang ma’ruf, dan jangan dibebani pekerjaan yang tidak mampu dilakukannya.” (Imam Syafi’i) berkata: Maka wajib bagi pemilik budak laki-laki atau perempuan yang sudah baligh jika mempekerjakan mereka untuk menafkahi dan memberi pakaian kepada mereka dengan cara yang ma’ruf. Yaitu nafkah untuk budak di negeri mereka berupa makanan yang mengenyangkan seperti kebanyakan orang, yang dapat menopang tubuh mereka, baik berupa gandum, jelai, jagung, atau kurma. Begitu pula pakaian mereka dari bahan yang dianggap ma’ruf oleh penduduk negeri tersebut, baik wol, katun, atau linen, mana yang lebih dominan di negeri itu, dan tidak dianggap sebagai pakaian yang sempit di tempat tersebut. Sedangkan budak perempuan jika memiliki kecantikan dan keindahan, maka yang ma’ruf adalah mereka diberi pakaian yang lebih baik daripada pakaian budak yang di bawah mereka. Ibnu Abbas berkata tentang budak: “Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan pakaikanlah mereka dari apa yang kalian pakai.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: Ini adalah perkataan yang global, bisa jadi sebagai jawaban ketika seseorang bertanya tentang budaknya, sedangkan dia sendiri hanya memakan kurma atau gandum dan mengenakan pakaian wol. Maka Nabi bersabda: “Berilah mereka makan dari apa yang kalian makan dan pakaikanlah mereka dari apa yang kalian kenakan.” Para penanya adalah orang Arab yang pakaian dan makanan mereka kasar, sehingga kehidupan mereka dan budak mereka hampir sama. Adapun orang yang kehidupannya berbeda dengan generasi salaf, memakan makanan lezat dan mengenakan pakaian bagus, maka jika dia menyamakan kehidupan budaknya itu lebih baik. Jika tidak, maka dia boleh mengikuti sabda Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: “Nafkah dan pakaiannya sesuai dengan kebiasaan yang baik.” Namun bagi orang yang mengenakan pakaian sutra, bulu halus, atau khazz (jenis kain mewah), memakan makanan pilihan, dan berbagai jenis daging ayam, maka ini tidak termasuk kebiasaan baik untuk budak.

 

Nabi -عَلَيْهِ السَّلَامُ- juga bersabda: “Jika salah seorang dari kalian telah mencukupi makanan dan minuman pembantunya, maka hendaknya dia mempersilakannya duduk bersamanya. Jika tidak mau, maka berilah dia sesuap makanan.” Atau kalimat semakna ini. Ketika Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda: “Berilah dia sesuap makanan,” menurut kami -وَاَللَّهُ أَعْلَمُ- ada dua penafsiran. Yang lebih sesuai dengan maknanya adalah bahwa mendudukkannya bersama lebih utama, namun jika tidak dilakukan juga tidak wajib, karena Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda: “Jika tidak, berilah dia sesuap makanan.” Seandainya mendudukkan budak itu wajib, tentu Nabi tidak akan memberikan pilihan untuk sekedar memberinya sesuap makanan tanpa mendudukkannya. Atau mungkin ini adalah perintah pilihan, bukan keharusan.

 

Hal ini menunjukkan penjelasan tentang makanan budak dan tuannya. Budak yang terlibat dalam penyiapan makanan tuannya, menurutku, berbeda dengan budak yang tidak terlibat. Seyogyanya tuannya memberinya sebagian dari makanan yang dihidangkan, walau hanya sesuap, karena kebiasaan yang baik adalah tidak membiarkan budak yang terlibat dalam penyiapan makanan lalu tidak mendapat bagian sama sekali. Sedangkan budak lain yang tidak terlibat tidak melihat makanan itu. Sunnah mengkhususkan budak jenis ini, berbeda dengan yang lain.

 

Dalam Al-Qur’an juga ada yang sesuai dengan makna ini, Allah -جَلَّ ثَنَاؤُهُ- berfirman: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu.” (QS. An-Nisa: 8). Allah tidak mengatakan bahwa orang yang tidak hadir juga harus diberi. Ini berlaku dalam warisan, ghanimah, dan lainnya. Pendapat ini lebih luas dan lebih kusukai. Mereka diberi sesuai kerelaan pemberi tanpa batasan tertentu, dan tidak boleh dihalangi.

 

Makna “tidak dibebani kecuali sesuai kemampuannya” -وَاَللَّهُ أَعْلَمُ- adalah kemampuan yang bisa dijalani secara terus-menerus, bukan hanya sanggup sehari atau dua hari lalu tidak mampu. Intinya adalah pekerjaan yang tidak membahayakan tubuhnya secara nyata. Jika budak itu buta atau lumpuh, tuannya wajib menafkahinya.

 

Tuannya tidak boleh menyusukan budak perempuan kepada anak selain anaknya sendiri sehingga menghalangi anaknya, kecuali jika ada kelebihan susu atau anaknya sudah bisa makan makanan lain sehingga tubuhnya tetap sehat. Tuannya juga wajib menafkahi anak dari umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya).

 

Penguasa harus mencegah seseorang membebankan kharaj (pajak) kepada budak perempuannya kecuali untuk pekerjaan yang wajib. Demikian juga budak yang tidak mampu bekerja. Utsman bin Affan -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- berkata dalam khutbahnya: “Jangan membebani anak kecil untuk bekerja sehingga dia mencuri, atau budak perempuan yang tidak memiliki keterampilan sehingga dia bekerja dengan kemaluannya.”

 

صِفَةُ نَفَقَةِ الدَّوَابِّ

Sifat nafkah untuk hewan ternak

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ كَانَتْ لِرَجُلٍ دَابَّةٌ فِي الْمِصْرِ أَوْ شَاةٌ أَوْ بَعِيرٌ عَلَفَهُ بِمَا يُقِيمُهُ فَإِنْ امْتَنَعَ أَخَذَهُ السُّلْطَانُ بِعَلَفِهِ أَوْ بَيْعِهِ فَإِنْ كَانَ بِبَادِيَةٍ غَنَمٌ أَوْ إبِلٌ أَوْ بَقَرٌ أُخِذَتْ عَلَى الْمَرْعَى خَلَاهَا وَالرَّعْيُ فَإِنْ أَجْدَبَتْ الْأَرْضُ عَلَفَهَا أَوْ ذَبَحَهَا أَوْ بَاعَهَا وَلَا يَحْبِسُهَا فَتَمُوتُ هَزَلًا إنْ لَمْ يَكُنْ فِي الْأَرْضِ مُتَعَلِّقٌ وَأُجْبِرَ عَلَى ذَلِكَ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهَا مُتَعَلِّقٌ؛ لِأَنَّهَا عَلَى مَا فِي الْأَرْضِ تُتَّخَذُ وَلَيْسَتْ كَالدَّوَابِّ الَّتِي لَا تَرْعَى وَالْأَرْضُ مُخْصِبَةٌ إلَّا رَعْيًا ضَعِيفًا وَلَا تَقُومُ لِلْجَدْبِ قِيَامَ الرَّوَاعِي.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika seseorang memiliki hewan ternak di perkotaan, seperti kambing atau unta, dan ia memberinya pakan untuk menopang hidupnya, lalu ia enggan (memberi makan), maka penguasa boleh mengambil hewan itu untuk diberi pakan atau dijual. Jika hewan-hewan seperti domba, unta, atau sapi berada di pedalaman, mereka dibiarkan merumput di padang. Namun, jika tanah menjadi gersang, hewan-hewan itu harus diberi pakan, disembelih, atau dijual. Jangan membiarkannya terkurung hingga mati kelaparan jika tidak ada sumber makanan di tanah itu, dan pemiliknya dipaksa untuk melakukan hal tersebut, kecuali jika masih ada sumber makanan tersisa. Sebab, hewan-hewan itu bergantung pada apa yang ada di tanah dan tidak seperti hewan tunggangan yang tidak merumput. Tanah yang subur hanya menyediakan rumput yang lemah, dan tidak mampu bertahan menghadapi kekeringan seperti yang dilakukan oleh para penggembala.”

(قَالَ) : وَلَا تُحْلَبُ أُمَّهَاتُ النَّسْلِ إلَّا فَضْلًا عَمَّا يُقِيمُ أَوْلَادَهُنَّ لَا يَحْلُبْهُنَّ فَيَمُتْنَ هَزَلًا

 

Dia berkata, “Dan janganlah memerah susu induk-induk ternak kecuali selebih dari apa yang mencukupi anak-anaknya. Janganlah memerahnya hingga mereka mati dalam keadaan kurus.”

كِتَابُ الْقَتْلِ

 

بَابُ تَحْرِيمِ الْقَتْلِ وَمَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ وَمَنْ لَا يَجِبُ

 

Bab Larangan Pembunuhan dan Orang yang Wajib Dikenai Qishas serta yang Tidak Wajib

 

بَابُ تَحْرِيمِ الْقَتْلِ وَمَنْ يَجِبُ عَلَيْهِ الْقِصَاصُ وَمَنْ لَا يَجِبُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ} النساء: 93 الْآيَةَ وَقَالَ تَعَالَى {وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ} الأنعام: 151 وَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – «لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ كُفْرٌ بَعْدَ إيمَانٍ أَوْ زِنًا بَعْدَ إحْصَانٍ أَوْ قَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ» .

 

 

Bab tentang haramnya pembunuhan, orang yang wajib diqishash, dan orang yang tidak wajib diqishash. (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam.” (QS. An-Nisa: 93). Dan Dia berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Al-An’am: 151). Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: murtad setelah beriman, berzina setelah menikah, atau membunuh jiwa tanpa alasan yang dibenarkan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا تَكَافَأَ الدَّمَانِ مِنْ الْأَحْرَارِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ الْعَبِيدِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ الْأَحْرَارِ مِنْ الْمُعَاهَدِينَ أَوْ الْعَبِيدِ مِنْهُمْ قُتِلَ مِنْ كُلِّ صِنْفٍ مُكَافِئٍ دَمُهُ مِنْهُمْ الذَّكَرُ إذَا قَتَلَ بِالذَّكَرِ وَبِالْأُنْثَى، وَالْأُنْثَى إذَا قَتَلَتْ بِالْأُنْثَى وَبِالذَّكَرِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): “Apabila dua nyawa setara, baik dari kalangan orang merdeka Muslim, budak Muslim, orang merdeka dari kalangan kafir mu’ahad (yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin), atau budak dari mereka, maka dibunuh dari setiap jenis yang setara dengan nyawanya. Laki-laki dibunuh jika membunuh laki-laki atau perempuan, dan perempuan dibunuh jika membunuh perempuan atau laki-laki.”

 

 

وَلَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ وَإِنَّهُ لَا خِلَافَ أَنَّهُ لَا يُقْتَلُ بِالْمُسْتَأْمَنِ وَهُوَ فِي التَّحْرِيمِ مِثْلُ الْمُعَاهَدِ.

 

 

Seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena (membunuh) seorang kafir, berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena (membunuh) seorang kafir.” Dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa seorang musta’man (orang kafir yang mendapat jaminan keamanan) tidak boleh dibunuh, karena statusnya dalam larangan (dibunuh) sama seperti mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin).

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا لَمْ يُقْتَلْ بِأَحَدِ الْكَافِرِينَ الْمُحَرَّمِينَ لَمْ يُقْتَلْ بِالْآخَرِ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika tidak dibunuh karena salah satu dari orang kafir yang diharamkan, maka tidak dibunuh karena yang lainnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ قَائِلٌ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ حَرْبِيٍّ، فَهَلْ مِنْ بَيَانٍ فِي مِثْلِ هَذَا يَثْبُتُ؟ قُلْت: نَعَمْ قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يَرِثُ الْمُؤْمِنُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُؤْمِنَ» فَهَلْ تَزْعُمُ أَنَّهُ أَرَادَ أَهْلَ الْحَرْبِ؛ لِأَنَّ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ حَلَالٌ؟ قَالَ: لَا وَلَكِنَّهَا عَلَى جَمِيعِ الْكَافِرِينَ؛ لِأَنَّ اسْمَ الْكُفْرِ يَلْزَمُهُمْ. قُلْنَا: وَكَذَلِكَ لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ؛ لِأَنَّ اسْمَ الْكُفْرِ يَلْزَمُهُمْ فَمَا الْفَرْقُ؟ قَالَ قَائِلٌ: رَوَيْنَا حَدِيثَ ابْنِ السَّلْمَانِيِّ قُلْنَا: مُنْقَطِعٌ وَخَطَأٌ إنَّمَا رُوِيَ فِيمَا بَلَغَنَا «أَنَّ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ قَتَلَ كَافِرًا كَانَ لَهُ عَهْدٌ إلَى مُدَّةٍ وَكَانَ الْمَقْتُولُ رَسُولًا فَقَتَلَهُ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِهِ» فَلَوْ كَانَ ثَابِتًا كُنْت قَدْ خَالَفْته وَكَانَ مَنْسُوخًا؛ لِأَنَّهُ قُتِلَ قَبْلَ الْفَتْحِ بِزَمَانٍ، وَخُطْبَةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ» عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ خَطَأٌ؛ لِأَنَّ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ عَاشَ بَعْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – دَهْرًا وَأَنْتَ تَأْخُذُ الْعِلْمَ مِمَّنْ بَعْدُ لَيْسَ لَك بِهِ مَعْرِفَةُ أَصْحَابِنَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – seseorang berkata tentang Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Seorang mukmin tidak boleh dibunuh karena membunuh kafir harbi, apakah ada penjelasan tentang hal ini yang sahih?” Aku menjawab: “Ya, sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – ‘Seorang mukmin tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi mukmin.’ Apakah kamu mengira bahwa yang dimaksud adalah ahli harb (kafir harbi), karena darah dan harta mereka halal?” Dia menjawab: “Tidak, tetapi itu berlaku untuk semua orang kafir, karena nama kekafiran melekat pada mereka.” Kami berkata: “Demikian pula, seorang mukmin tidak dibunuh karena membunuh kafir, karena nama kekafiran melekat pada mereka, lalu apa bedanya?” Seorang berkata: “Kami meriwayatkan hadits Ibn As-Salmaniy.” Kami berkata: “Sanadnya terputus dan salah. Yang sampai kepada kami adalah bahwa Amr bin Umayyah membunuh seorang kafir yang memiliki perjanjian sampai waktu tertentu, dan yang terbunuh adalah seorang utusan, lalu Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – membunuhnya sebagai qishash.” Seandainya riwayat itu sahih, tentu aku telah menyelisihinya dan itu sudah dihapus (mansukh), karena pembunuhan itu terjadi sebelum Fathu Makkah. Sedangkan khutbah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – ‘Seorang mukmin tidak dibunuh karena membunuh kafir’ terjadi pada tahun Fathu Makkah. Riwayat itu salah, karena Amr bin Umayyah hidup lama setelah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, dan kamu mengambil ilmu dari orang setelahnya yang tidak dikenal oleh para sahabat kami.”

 

 

(قَالَ) : وَلَا يُقْتَلُ حُرٌّ بِعَبْدٍ وَفِيهِ قِيمَتُهُ، وَإِنْ بَلَغَتْ دِيَاتٍ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – وَفِي إجْمَاعِهِمْ أَنَّ يَدَهُ لَا تُقْطَعُ بِيَدِ الْعَبْدِ قَضَاءً عَلَى أَنَّ الْحُرَّ لَا يُقْتَلُ بِالْعَبْدِ فَإِذَا مَنَعَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ يَدِهِ وَهِيَ أَقْلُّ لِفَضْلِ الْحُرِّيَّةِ عَلَى الْعُبُودِيَّةِ كَانَتْ النَّفْسُ أَعْظَمَ وَهِيَ أَنْ تُقَصَّ بِنَفْسِ الْعَبْدِ أَبْعَدُ.

 

 

Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Orang merdeka tidak boleh dibunuh sebagai balasan atas budak, meskipun nilai (budak) itu setara dengan diyat.” Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Dalam kesepakatan ulama, tangan orang merdeka tidak boleh dipotong sebagai qishash atas tangan budak, karena orang merdeka tidak dibunuh sebagai balasan atas budak. Jika qishash pada tangan—yang lebih ringan—saja dilarang karena keutamaan kemerdekaan atas perbudakan, maka qishash pada nyawa—yang lebih besar—tentu lebih terlarang untuk dibalas dengan nyawa budak.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدٍ؛ لِأَنَّهُ إجْمَاعٌ وَلَا جَدُّ مِنْ قِبَلِ أُمٍّ وَلَا أَبٌ بِوَلَدِ وَلَدٍ، وَإِنْ بَعُدَ؛ لِأَنَّهُ وَالِدٌ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan seorang ayah tidak boleh dihukum qishas karena membunuh anaknya, karena hal itu telah menjadi ijma’. Begitu pula kakek dari pihak ibu, atau ayah dari anak keturunan (cucu dan seterusnya), meskipun jauh, karena ia adalah orang tua.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا يُؤَكِّدُ مِيرَاثَ الْجَدِّ؛ لِأَنَّ الْأَخَ يُقْتَلُ بِأَخِيهِ وَلَا يُقْتَلُ الْجَدُّ بِابْنِ ابْنِهِ وَيَمْلِكُ الْأَخُ أَخَاهُ فِي قَوْلِهِ وَلَا يَمْلِكُ جَدَّهُ وَفِي هَذَا دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْجَدَّ كَالْأَبِ فِي حَجْبِ الْإِخْوَةِ وَلَيْسَ كَالْأَخِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Ini menguatkan hak waris kakek; karena saudara laki-laki dapat dibunuh karena saudaranya, sedangkan kakek tidak dapat dibunuh karena cucunya. Saudara laki-laki dapat memiliki saudaranya menurut pendapatnya, namun kakek tidak dapat memilikinya. Dalam hal ini terdapat bukti bahwa kakek seperti ayah dalam menghalangi saudara-saudara, dan tidak seperti saudara laki-laki.

 

(قَالَ) : وَيُقْتَلُ الْعَبْدُ وَالْكَافِرُ بِالْحُرِّ الْمُسْلِمِ وَالْوَلَدُ بِالْوَالِدِ وَمَنْ جَرَى عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ جَرَى عَلَيْهِ الْقِصَاصُ فِي الْجِرَاحِ.

 

 

Beliau berkata: “Budak dan orang kafir dibunuh sebagai balasan atas orang merdeka yang muslim, anak dibunuh sebagai balasan atas orang tua, dan siapa saja yang berlaku qishash dalam pembunuhan, maka berlaku pula qishash dalam luka-luka.”

 

 

وَيُقْتَلُ الْعَدَدُ بِالْوَاحِدِ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَتَلَ خَمْسَةً أَوْ سَبْعَةً بِرَجُلٍ قَتَلُوهُ غِيلَةً، وَقَالَ: لَوْ تَمَالَأَ عَلَيْهِ أَهْلُ صَنْعَاءَ لَقَتَلْتُهُمْ جَمِيعًا.

 

 

Dan sejumlah orang boleh dibunuh sebagai balasan atas satu orang. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa Umar – semoga Allah meridhainya – pernah membunuh lima atau tujuh orang sebagai balasan atas seorang laki-laki yang mereka bunuh secara khianat. Dia berkata, “Seandainya seluruh penduduk Shan’a bersekutu untuk membunuhnya, niscaya aku akan membunuh mereka semua.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Dan sekiranya salah seorang dari mereka melukainya dengan seratus luka, sedangkan yang lain melukainya dengan satu luka, lalu ia meninggal, maka mereka dalam qishas adalah sama. Dan mereka dilukai dengan satu luka jika melukainya secara bersama-sama yang tidak terbagi.”

 

 

وَلَا يُقْتَصُّ إلَّا مِنْ بَالِغٍ وَهُوَ مَنْ احْتَلَمَ مِنْ الذُّكُورِ أَوْ حَاضَ مِنْ النِّسَاءِ أَوْ بَلَغَ أَيُّهُمَا كَانَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً

 

 

Dan qisas tidak dilaksanakan kecuali terhadap orang yang sudah baligh, yaitu laki-laki yang sudah bermimpi (ihtilam) atau perempuan yang sudah haid, atau salah satu dari mereka yang telah mencapai usia lima belas tahun.

صِفَةُ الْقَتْلِ الْعَمْدِ وَجِرَاحُ الْعَمْدِ الَّتِي فِيهَا قِصَاصٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ

 

Sifat pembunuhan dengan sengaja dan luka-luka yang disengaja yang ada qishash padanya dan selain itu

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا عَمَدَ رَجُلٌ بِسَيْفٍ أَوْ خِنْجَرٍ أَوْ سِنَانِ رُمْحٍ أَوْ مَا يَشُقُّ بِحَدِّهِ إذَا ضَرَبَ أَوْ رَمَى بِهِ الْجِلْدَ وَاللَّحْمَ دُونَ الْمَقْتَلِ فَجَرَحَهُ جُرْحًا كَبِيرًا أَوْ صَغِيرًا فَمَاتَ مِنْهُ فَعَلَيْهِ الْقَوْدُ، وَإِنْ شَدَخَهُ بِحَجَرٍ أَوْ تَابَعَ عَلَيْهِ الْخَنْقَ أَوْ وَالَى عَلَيْهِ بِالسَّوْطِ حَتَّى يَمُوتَ أَوْ طَيَّنَ عَلَيْهِ بَيْتًا بِغَيْرِ طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ مُدَّةً الْأَغْلَبُ أَنَّهُ يَمُوتُ مِنْ مِثْلِهِ أَوْ ضَرَبَهُ بِسَوْطٍ فِي شِدَّةِ بَرْدٍ أَوْ حَرٍّ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا الْأَغْلَبُ أَنَّهُ يَمُوتُ مِنْهُ فَمَاتَ فَعَلَيْهِ الْقَوْدُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seseorang sengaja menyerang dengan pedang, pisau belati, mata tombak, atau benda tajam lainnya yang dapat melukai kulit dan daging (bukan bagian vital), lalu menyebabkan luka besar atau kecil yang berujung kematian, maka wajib dijatuhkan qishas. Begitu pula jika ia menghantam dengan batu, mencekik terus-menerus, mencambuk berulang hingga korban tewas, mengurung dalam ruangan tanpa makanan/minuman dalam durasi yang biasanya mematikan, atau mencambut dalam cuaca ekstrem (panas/dingin) dan tindakan sejenis yang umumnya berakibat kematian – lalu korban meninggal – maka wajib qishas.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَطَعَ مَرِيئَهُ وَحُلْقُومَهُ أَوْ قَطَعَ حَشْوَتَهُ فَأَبَانَهَا مِنْ جَوْفِهِ أَوْ صَيَّرَهُ فِي حَالِ الْمَذْبُوحِ ثُمَّ ضَرَبَ عُنُقَهُ آخَرُ فَالْأَوَّلُ قَاتِلٌ دُونَ الْآخَرِ، وَلَوْ أَجَافَهُ أَوْ خَرَقَ أَمْعَاءَهُ مَا لَمْ يَقْطَعْ حَشْوَتَهُ فَيُبَيِّنُهَا مِنْهُ ثُمَّ ضَرَبَ آخَرُ عُنُقَهُ فَالْأَوَّلُ جَارِحٌ وَالْآخَرُ قَاتِلٌ قَدْ جُرِحَ مِعَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي مَوْضِعَيْنِ وَعَاشَ ثَلَاثًا فَلَوْ قَتَلَهُ أَحَدٌ فِي تِلْكَ الْحَالِ كَانَ قَاتِلًا وَبَرِئَ الَّذِي جَرَحَهُ مِنْ الْقَتْلِ، وَلَوْ جَرَحَهُ جِرَاحَاتٍ فَلَمْ يَمُتْ حَتَّى عَادَ إلَيْهِ فَذَبَحَهُ صَارَ وَالْجِرَاحُ نَفْسًا، وَلَوْ بَرَأَتْ الْجِرَاحَاتُ ثُمَّ عَادَ فَقَتَلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مَا عَلَى الْجَارِحِ مُنْفَرِدًا وَمَا عَلَى الْقَاتِلِ مُنْفَرِدًا.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seseorang memotong kerongkongan dan tenggorokannya, atau memotong isi perutnya hingga terpisah dari dalam tubuhnya, atau menjadikannya dalam keadaan seperti hewan yang disembelih, lalu orang lain memenggal lehernya, maka yang pertama adalah pembunuh, bukan yang terakhir. Jika seseorang melukai perutnya atau merusak ususnya tanpa memotong isi perut hingga terpisah, lalu orang lain memenggal lehernya, maka yang pertama adalah peluka dan yang terakhir adalah pembunuh. Usia Umar bin Khattab – semoga Allah meridhainya – pernah terluka di dua tempat dan hidup selama tiga hari. Jika seseorang membunuhnya dalam keadaan seperti itu, dialah pembunuhnya, sedangkan yang melukainya terbebas dari tuduhan pembunuhan. Jika seseorang melukainya dengan beberapa luka, lalu sebelum meninggal, pelaku kembali dan menyembelihnya, maka luka-luka itu menjadi penyebab kematian. Jika lukanya sembuh, lalu pelaku kembali dan membunuhnya, maka dia terkena hukum sebagai peluka dan pembunuh secara terpisah.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ تَدَاوَى الْمَجْرُوحُ بِسُمٍّ فَمَاتَ أَوْ خَاطَ الْجُرْحَ فِي لَحْمٍ حَيٍّ فَمَاتَ فَعَلَى الْجَانِي نِصْفُ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ فِعْلَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ الْخِيَاطَةُ فِي لَحْمِ مَيِّتٍ فَالدِّيَةُ عَلَى الْجَانِي.

 

 

Beliau berkata: “Jika orang yang terluka diobati dengan racun lalu meninggal, atau lukanya dijahit pada daging yang masih hidup lalu meninggal, maka pelaku wajib membayar setengah diyat karena kematian itu disebabkan oleh dua perbuatan. Namun jika jahitan dilakukan pada daging yang sudah mati, maka diyat penuh wajib dibayar oleh pelaku.”

 

 

وَلَوْ قَطَعَ يَدَ نَصْرَانِيٍّ فَأَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ لَمْ يَكُنْ قَوَدٌ؛ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ كَانَتْ وَهُوَ مِمَّنْ لَا قَوَدَ فِيهِ وَعَلَيْهِ دِيَةُ مُسْلِمٍ وَلَا يُشْبِهُ الْمُرْتَدَّ؛ لِأَنَّ قَطْعَهُ مُبَاحٌ كَالْحَدِّ وَالنَّصْرَانِيُّ يَدُهُ مَمْنُوعَةٌ، وَلَوْ أَرْسَلَ سَهْمًا فَلَمْ يَقَعْ عَلَى نَصْرَانِيٍّ حَتَّى أَسْلَمَ أَوْ عَلَى عَبْدٍ فَلَمْ يَقَعْ حَتَّى أُعْتِقَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قِصَاصٌ؛ لِأَنَّ تَخْلِيَةَ السَّهْمِ كَانَتْ وَلَا قِصَاصَ وَفِيهِ دِيَةُ حُرٍّ مُسْلِمٍ وَالْكَفَّارَةُ، وَكَذَلِكَ الْمُرْتَدُّ يُسْلِمُ قَبْلَ وُقُوعِ السَّهْمِ لِتَحَوُّلِ الْحَالِ قَبْلَ وُقُوعِ الرَّمْيَةِ، وَلَوْ جَرَحَهُ مُسْلِمًا فَارْتَدَّ ثُمَّ أَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ فَالدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ وَلَا قَوْدَ لِلْحَالِ الْحَادِثَةِ، وَلَوْ مَاتَ مُرْتَدًّا كَانَ لِوَلِيِّهِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَقْتَصَّ بِالْجُرْحِ.

 

 

Jika seseorang memotong tangan seorang Nasrani lalu Nasrani itu masuk Islam kemudian meninggal, maka tidak ada qishas (hukum balas) karena kejahatan itu terjadi ketika ia masih termasuk orang yang tidak berlaku qishas atasnya, dan wajib membayar diyat (denda) seorang Muslim. Kasus ini tidak mirip dengan murtad, karena memotong tangan murtad diperbolehkan seperti hukuman had, sedangkan tangan Nasrani dilindungi. Jika seseorang melepaskan anak panah namun belum mengenai seorang Nasrani hingga ia masuk Islam, atau belum mengenai seorang budak hingga ia dimerdekakan, maka tidak ada qishas karena pelepasan anak panah terjadi ketika belum ada qishas, tetapi wajib membayar diyat seorang Muslim merdeka dan kafarat. Demikian pula jika seorang murtad masuk Islam sebelum anak panah mengenainya karena perubahan status sebelum panah itu mengenai. Jika seorang Muslim melukainya lalu ia murtad kemudian masuk Islam lalu meninggal, maka wajib diyat dan kafarat tanpa qishas karena status yang baru. Namun jika ia meninggal dalam keadaan murtad, maka wali Muslimnya boleh menuntut qishas atas luka tersebut.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْقِيَاسُ عِنْدِي عَلَى أَصْلِ قَوْلِهِ أَنْ لَا وِلَايَةَ لِمُسْلِمٍ عَلَى مُرْتَدٍّ كَمَا لَا وِرَاثَةَ لَهُ مِنْهُ وَكَمَا أَنَّ مَالَهُ لِلْمُسْلِمِينَ فَكَذَلِكَ الْوَلِيُّ فِي الْقِصَاصِ مَنْ جَرَحَهُ وَلِيُّ الْمُسْلِمِينَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Qiyas menurutku berdasarkan prinsip perkataannya adalah bahwa tidak ada kekuasaan seorang muslim atas murtad, sebagaimana tidak ada warisan baginya darinya, dan sebagaimana hartanya menjadi milik kaum muslimin, maka demikian pula wali dalam qisas adalah orang yang melukainya, wali kaum muslimin.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ فَقَأَ عَيْنَيْ عَبْدٍ قِيمَتُهُ مِائَتَانِ مِنْ الْإِبِلِ فَأُعْتِقَ فَمَاتَ لَمْ يَكُنْ فِيهِ إلَّا دِيَةٌ؛ لِأَنَّ الْجِنَايَةَ تَنْقُصُ بِمَوْتِهِ حُرًّا وَكَانَتْ الدِّيَةُ لِسَيِّدِهِ دُونَ وَرَثَتِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya seseorang mencongkel mata seorang budak yang nilainya dua ratus unta, lalu budak itu dimerdekakan kemudian meninggal, maka tidak ada yang dikenakan kecuali diyat (denda), karena tindak kriminal itu berkurang akibat kematiannya dalam keadaan merdeka, dan diyat itu menjadi hak tuannya, bukan ahli warisnya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْقِيَاسُ عِنْدِي أَنَّ السَّيِّدَ قَدْ مَلَكَ قِيمَةَ الْعَبْدِ وَهُوَ عَبْدٌ فَلَا يَنْقُصُ مَا وَجَبَ لَهُ بِالْعِتْقِ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – menurut pendapatku melalui qiyas, bahwa seorang tuan telah memiliki nilai budak selagi ia masih menjadi budak, maka pembebasan tidak mengurangi apa yang menjadi haknya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Seandainya seseorang memotong tangan seorang budak, kemudian budak itu dimerdekakan lalu meninggal, maka tidak ada qishas jika pelakunya adalah seorang muslim yang merdeka, atau seorang Nasrani yang merdeka, atau musta’man yang merdeka. Namun, orang merdeka tersebut wajib membayar diyat penuh dari hartanya kepada mantan tuannya, di mana tuannya berhak mendapat separuh dari nilai budak pada hari tangan itu dipotong, sedangkan sisanya untuk ahli waris budak tersebut. Jika setelah dimerdekakan, orang kedua memotong kakinya, lalu orang ketiga memotong tangannya, kemudian budak itu meninggal, maka mereka wajib membayar diyat seorang merdeka. Ada dua pendapat mengenai bagian mantan tuan dari diyat tersebut.”

Salah satunya: bahwa dia memiliki paling sedikit sepertiga dari diyat dan setengah nilainya sebagai budak, dan tidak menjadikan baginya lebih dari setengah nilainya sebagai budak, meskipun nilainya hanya mencapai satu unta karena tidak ada pelanggaran lain dalam kepemilikannya, dan tidak melebihi sepertiga diyat orang merdeka, meskipun setengah nilainya adalah seratus unta karena nilai itu berkurang akibat kematian.

 

 

أَحَدُهُمَا: أَنَّ لَهُ الْأَقَلَّ مِنْ ثُلُثِ الدِّيَةِ وَنِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا وَلَا يَجْعَلُ لَهُ أَكْثَرَ مِنْ نِصْفِ قِيمَتِهِ عَبْدًا وَلَوْ كَانَ لَا يَبْلُغُ إلَّا بَعِيرًا لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي مِلْكِهِ جِنَايَةٌ غَيْرَهَا وَلَا يُجَاوِزُ بِهِ ثُلُثَ دِيَةِ حُرٍّ، وَلَوْ كَانَ نِصْفُ قِيمَتِهِ مِائَةَ بَعِيرٍ مِنْ أَجْلِ أَنَّهَا تَنْقُصُ بِالْمَوْتِ.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ لِسَيِّدِهِ الْأَقَلَّ مِنْ ثُلُثِ قِيمَتِهِ عَبْدًا أَوْ ثُلُثِ دِيَتِهِ حُرًّا؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ جِنَايَةٍ ثَالِثَةٍ.

 

Pendapat kedua: bahwa tuannya berhak mendapatkan yang lebih sedikit antara sepertiga nilai budaknya atau sepertiga diyatnya jika ia merdeka; karena ia meninggal akibat tindak pidana ketiga.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ قَطَعَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَنَّهُ لَوْ جَرَحَهُ مَا الْحُكُومَةُ فِيهِ بَعِيرٌ وَلَزِمَهُ بِالْحُرِّيَّةِ وَمَنْ شَرِكَهُ عَشْرٌ مِنْ الْإِبِلِ لَمْ يَأْخُذْ السَّيِّدُ إلَّا الْبَعِيرَ الَّذِي وَجَبَ بِالْجُرْحِ وَهُوَ عَبْدُهُ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – telah menegaskan di tempat lain bahwa jika seseorang melukai budaknya, maka hukumannya adalah seekor unta dan dia wajib membayarnya dalam keadaan merdeka. Jika ada sepuluh orang yang bersekutu dalam kepemilikan unta-unta tersebut, maka tuannya hanya berhak mengambil unta yang wajib dibayar karena luka itu, yaitu budaknya sendiri.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَهَذَا أَقْيَسُ بِقَوْلِهِ وَأَوْلَى عِنْدِي بِأَصْلِهِ، وَإِنْ لَمْ يُزِدْهُ عَلَى بَعِيرٍ؛ لِأَنَّهُ وَجَبَ بِالْجُرْحِ وَهُوَ عَبْدُهُ فَفِي الْقِيَاسِ أَنْ لَا يَنْقُصَهُ، وَإِنْ جَاوَزَ عَقْلَ حُرٍّ؛ لِأَنَّهُ وَجَبَ لَهُ بِالْجُرْحِ وَهُوَ عَبْدٌ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih sesuai dengan perkataannya dan lebih utama menurutku berdasarkan prinsipnya, meskipun tidak melebihi seekor unta; karena diyat itu wajib akibat luka dan dia adalah hambanya, maka menurut qiyas tidak boleh dikurangi, sekalipun melebihi diyat orang merdeka; karena diyat itu wajib baginya akibat luka sedangkan dia adalah seorang hamba.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَعَلَى الْمُتَغَلِّبِ بِاللُّصُوصِيَّةِ وَالْمَأْمُورِ الْقَوْدُ إذَا كَانَ قَاهِرًا لِلْمَأْمُورِ وَعَلَى السَّيِّدِ الْقَوْدُ إذَا أَمَرَ عَبْدَهُ صَبِيًّا أَوْ أَعْجَمِيًّا لَا يَعْقِلُ بِقَتْلِ رَجُلٍ فَقَتَلَهُ فَإِنْ كَانَ الْعَبْدُ يَعْقِلُ فَعَلَى الْعَبْدِ الْقَوْدُ، وَلَوْ كَانَا لِغَيْرِهِ فَكَانَا يُمَيِّزَانِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَيِّدِهِمَا فَهُمَا قَاتِلَانِ، وَإِنْ كَانَا لَا يُمَيِّزَانِ فَالْآمِرُ الْقَاتِلُ وَعَلَيْهِ الْقَوَدُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Dan bagi penguasa yang menindas dengan tindakan perampokan serta orang yang diperintahkan (untuk membunuh) wajib diqisas jika dia memaksa orang yang diperintahkan. Begitu pula tuan wajib diqisas jika dia memerintahkan budaknya yang masih kecil atau orang asing yang tidak berakal untuk membunuh seseorang lalu budak itu melakukannya. Namun, jika budak itu berakal, maka qisas dibebankan kepada budak tersebut. Jika kedua budak itu milik orang lain dan mereka bisa membedakan antara dirinya dan tuannya, maka keduanya dianggap sebagai pembunuh. Tetapi jika mereka tidak bisa membedakan, maka yang memerintahkan adalah pembunuhnya dan wajib diqisas.”

 

 

وَلَوْ قَتَلَ مُرْتَدٌّ نَصْرَانِيًّا ثُمَّ رَجَعَ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِ الْقَوَدَ وَهُوَ أَوْلَاهُمَا؛ لِأَنَّهُ قَتْلٌ وَلَيْسَ بِمُسْلِمٍ.

 

 

Jika seorang murtad membunuh seorang Nasrani kemudian kembali (ke Islam), maka dalam hal ini ada dua pendapat: Salah satunya adalah bahwa dia wajib diqisas, dan ini pendapat yang lebih utama, karena itu adalah pembunuhan dan dia bukan seorang Muslim.

وَالثَّانِي: أَنْ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَقَرُّ عَلَى دِينِهِ.

 

Kedua, tidak ada qishas baginya karena dia tidak berpegang pada agamanya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ أَبَانَ أَنَّ الْأَوَّلَ أَوْلَاهُمَا فَالْأَوْلَى أَحَقُّ بِالصَّوَابِ وَقَدْ دَلَّ قَوْلُهُ فِي رَفْعِ الْقَوَدِ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ عَلَى أَنَّهُ لَوْ كَانَ الْقَاتِلُ نَصْرَانِيًّا يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ لَكَانَ الْقَوَدُ عَلَيْهِ وَإِنْ أَسْلَمَ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – telah menjelaskan bahwa yang pertama lebih utama dari keduanya, maka yang lebih utama lebih berhak atas kebenaran. Ucapannya tentang pengguguran qishas darinya menunjukkan bahwa ia tidak boleh tetap dalam agamanya. Seandainya si pembunuh adalah seorang Nasrani yang boleh tetap dalam agamanya, maka qishas akan dijatuhkan atasnya meskipun ia masuk Islam.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا كَانَ النَّصْرَانِيُّ الَّذِي يُقَرُّ عَلَى دِينِهِ الْحَرَامُ الدَّمِ إذَا أَسْلَمَ يُقْتَلُ بِالنَّصْرَانِيِّ فَالْمُبَاحُ الدَّمُ بِالرِّدَّةِ أَحَقُّ أَنْ يُقَادَ بِالنَّصْرَانِيِّ، وَإِنْ أَسْلَمَ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika seorang Nasrani yang diakui agamanya (dilindungi darahnya), lalu dia masuk Islam kemudian dibunuh oleh seorang Nasrani, maka orang yang halal darahnya karena murtad lebih berhak untuk diqisas (dibalas) dengan (hukuman mati) seorang Nasrani, meskipun dia masuk Islam menurut qiyas pendapatnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – “Dan penyembelih (hewan tanpa izin) boleh dibunuh tanpa perlu menahan (pelaku) terlebih dahulu, sebagaimana pezina dihukum tanpa perlu ditahan terlebih dahulu. Dan jika seseorang memukul dengan sesuatu yang biasanya dapat memotong anggota badan atau melukai kepala, maka wajib diqishas.”

 

 

وَلَوْ عَمَدَ عَيْنَهُ بِأُصْبُعِهِ فَفَقَأَهَا اُقْتُصَّ مِنْهُ لِأَنَّ الْأُصْبُعَ يَأْتِي مِنْهَا عَلَى مَا يَأْتِي بِهِ السِّلَاحُ مِنْ النَّفْسِ، وَإِنْ لَمْ تَنْفَقِئْ وَاعْتَلَّتْ حَتَّى ذَهَبَ بَصَرُهَا أَوْ اُنْتُجِفَتْ فَفِيهَا الْقِصَاصُ، وَإِنْ كَانَ الْجَانِي مَغْلُوبًا عَلَى عَقْلِهِ فَلَا قِصَاصَ عَلَيْهِ إلَّا السَّكْرَانَ فَإِنَّهُ كَالصَّحِيحِ.

 

 

Dan jika seseorang sengaja menusuk matanya dengan jarinya hingga mencongkelnya, maka diqishashlah dia karena jari dapat menyebabkan bahaya seperti senjata pada nyawa. Jika mata tidak tercongkel tetapi terluka hingga hilang penglihatannya atau mengering, maka berlaku qishash. Jika pelaku tidak waras, tidak ada qishash atasnya kecuali orang mabuk, karena dia dianggap seperti orang yang sehat.

 

 

وَلَوْ قَطَعَ رَجُلٌ ذَكَرَ خُنْثَى مُشْكِلٍ وَأُنْثَيَيْهِ وَشَفْرَيْهِ عَمْدًا قِيلَ: إنْ شِئْت وَقَفْنَاك فَإِنْ بِنْت ذَكَرًا أَقَدْنَاك فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ وَجَعَلْنَا لَك حُكُومَةً فِي الشَّفْرَيْنِ، وَإِنْ بِنْت أُنْثَى فَلَا قَوَدَ لَك وَجَعَلْنَا لَك دِيَةَ امْرَأَةٍ فِي الشَّفْرَيْنِ وَحُكُومَةً فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – بَقِيَّةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي مَعْنَاهُ أَنْ يُقَالَ لَهُ، وَإِنْ لَمْ تَشَأْ أَنْ تَقِفَ حَتَّى يَتَبَيَّنَ أَمْرُك وَعَفَوْت عَنْ الْقِصَاصِ وَبَرَأَتْ فَلَكَ دِيَةُ شَفْرَيْ امْرَأَةٍ وَحُكُومَةٌ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَيَيْنِ؛ لِأَنَّهُ الْأَقَلُّ، وَإِنْ قُلْت: لَا أَعْفُو وَلَا أَقِفُ قِيلَ: لَا يَجُوزُ أَنْ يُقَصَّ مِمَّا لَا يُدْرَى أَيُّ الْقِصَاصِ لَك فَلَا بُدَّ لَك مِنْ أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ عَلَى مَا وَصَفْنَا.

 

 

Jika seorang laki-laki dengan sengaja memotong kemaluan khuntsa musykil (hermafrodit yang tidak jelas jenis kelaminnya), kedua testisnya, dan kedua bibir kemaluannya, maka dikatakan: “Jika engkau mau, kami akan menangguhkan (hukumannya) hingga jelas jenis kelaminmu. Jika ternyata engkau laki-laki, kami akan memberimu qishash (balasan setimpal) pada kemaluan dan kedua testis, serta memberimu ganti rugi (hukuman) pada kedua bibir kemaluan. Jika ternyata engkau perempuan, maka tidak ada qishash bagimu, dan kami memberimu diyat (tebusan) perempuan pada kedua bibir kemaluan serta ganti rugi pada kemaluan dan kedua testis.” (Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – melanjutkan) sisa masalah ini dengan makna yang sama, yaitu dikatakan kepadanya: “Jika engkau tidak mau menunggu hingga jelas keadaanmu, dan engkau memaafkan qishash serta sembuh, maka bagimu diyat dua bibir kemaluan perempuan dan ganti rugi pada kemaluan serta kedua testis, karena itu yang lebih ringan. Jika engkau berkata: ‘Aku tidak memaafkan dan tidak menunggu,’ maka dikatakan: ‘Tidak boleh melakukan qishash pada sesuatu yang tidak diketahui jenis qishash apa yang menjadi hakmu, sehingga engkau harus memilih salah satu dari dua opsi seperti yang telah kami jelaskan.'”

 

بَابُ الْخِيَارِ فِي الْقِصَاصِ

Bab tentang pilihan dalam qisas

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْكَعْبِيِّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «ثُمَّ أَنْتُمْ يَا بَنِي خُزَاعَةَ قَدْ قَتَلْتُمْ هَذَا الْقَتِيلَ مِنْ هُذَيْلٍ وَأَنَا وَاَللَّهِ عَاقِلُهُ فَمَنْ قَتَلَ قَتِيلًا بَعْدَهُ فَأَهْلُهُ بَيْنَ خِيرَتَيْنِ إنْ أَحَبُّوا قَتَلُوا وَإِنْ أَحَبُّوا أَخَذُوا الْعَقْلَ»

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَمْ يَخْتَلِفُوا فِي أَنَّ الْعَقْلَ يُوَرَّثُ كَالْمَالِ وَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَكُلُّ وَارِثٍ وَلِيَ زَوْجَةً أَوْ ابْنَةً لَا يَخْرُجُ أَحَدٌ مِنْهُمْ مِنْ وِلَايَةِ الدَّمِ وَلَا يُقْتَلُ إلَّا بِاجْتِمَاعِهِمْ وَحُبِسَ الْقَاتِلُ حَتَّى يَحْضُرَ الْغَائِبُ وَيَبْلُغَ الطِّفْلُ، وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَعْتُوهٌ فَحَتَّى يُفِيقَ أَوْ يَمُوتَ فَيَقُومَ وَارِثُهُ مَقَامَهُ وَأَيُّهُمْ عَفَا عَنْ الْقِصَاصِ كَانَ عَلَى حَقِّهِ مِنْ الدِّيَةِ، وَإِنْ عَفَا عَلَى غَيْرِ مَالٍ كَانَ الْبَاقُونَ عَلَى حُقُوقِهِمْ مِنْ الدِّيَةِ فَإِنْ عَفَوْا جَمِيعًا وَعَفَا الْمُفْلِسُ يُجْنَى عَلَيْهِ أَوْ عَلَى عَبْدِهِ الْقِصَاصُ جَازَ ذَلِكَ لَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لِأَهْلِ الدَّيْنِ وَالْوَصَايَا مَنْعُهُمْ؛ لِأَنَّ الْمَالَ لَا يُمْلَكُ بِالْعَمْدِ إلَّا بِمَشِيئَةِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ إنْ كَانَ حَيًّا وَبِمَشِيئَةِ الْوَرَثَةِ إنْ كَانَ مَيِّتًا.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – mengabarkan kepada kami dari Ibnu Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi’b dari Sa’id bin Abi Sa’id Al-Maqburi dari Abu Syuraih Al-Ka’bi – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Kemudian kalian wahai Bani Khuza’ah, telah membunuh orang yang terbunuh dari Hudzail, dan demi Allah, aku yang akan menanggung diyatnya. Barangsiapa membunuh setelah itu, maka keluarganya memiliki dua pilihan: jika mereka mau, mereka boleh membunuh (qishash), atau jika mereka mau, mereka boleh mengambil diyat.”

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Dan mereka tidak berselisih bahwa diyat itu diwariskan seperti harta. Jika demikian, maka setiap ahli waris, baik ia wali atas istri atau anak perempuan, tidak ada seorang pun dari mereka yang keluar dari hak perwalian darah, dan tidak boleh diqishash kecuali dengan kesepakatan mereka. Pembunuh ditahan sampai yang tidak hadir datang, dan anak kecil mencapai baligh. Jika di antara mereka ada yang gila, maka ditunggu sampai ia sadar atau meninggal, lalu ahli warisnya menggantikan posisinya. Siapa pun yang memaafkan qishash, maka ia berhak atas bagian diyat. Jika ia memaafkan tanpa mengambil harta, maka yang lain tetap berhak atas bagian diyat mereka. Jika mereka semua memaafkan, termasuk orang yang bangkrut, atau qishash dilakukan atas dirinya atau budaknya, maka itu diperbolehkan bagi mereka. Ahli waris hutang dan wasiat tidak boleh menghalangi mereka, karena harta tidak dimiliki secara paksa kecuali dengan kerelaan korban jika ia masih hidup, atau dengan kerelaan ahli waris jika ia telah meninggal.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَيْسَ يُشْبِهُ هَذَا الِاعْتِلَالُ أَصْلَهُ؛ لِأَنَّهُ احْتَجَّ فِي أَنَّ الْعَفْوَ يُوجِبُ الدِّيَةَ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَمَّا قَالَ {فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ} البقرة: 178 لَمْ يَجُزْ أَنْ يُقَالَ: عَفَا إنْ صُولِحَ عَلَى مَالٍ؛ لِأَنَّ الْعَفْوَ تَرْكٌ بِلَا عِوَضٍ فَلَمْ يَجُزْ إذَا عَفَا عَنْ الْقَتْلِ الَّذِي هُوَ أَعْظَمُ الْأَمْرَيْنِ إلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ مَالٌ فِي مَالِ الْقَاتِلِ أَحَبَّ أَوْ كَرِهَ، وَلَوْ كَانَ إذَا عَفَا لَمْ يَكُنْ لَهُ شَيْءٌ لَمْ يَكُنْ لِلْعَافِي مَا يَتْبَعُهُ بِمَعْرُوفٍ وَلَا عَلَى الْقَاتِلِ مَا يُؤَدِّيهِ بِإِحْسَانٍ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Alasan ini tidak sesuai dengan dasarnya, karena ia berargumen bahwa pemaafan mewajibkan diyat (denda) dengan dasar firman Allah Ta’ala: ‘Barangsiapa yang mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.’ (QS. Al-Baqarah: 178). Tidak boleh dikatakan bahwa seseorang telah memaafkan jika berdamai dengan harta, karena pemaafan adalah meninggalkan (hak) tanpa ganti rugi. Maka tidak boleh jika seseorang memaafkan pembunuhan – yang merupakan perkara lebih besar – kecuali ada harta (diyat) pada harta pembunuh, baik ia suka atau tidak. Seandainya jika memaafkan tidak mendapatkan apa-apa, maka tidak ada yang bisa diikuti dengan baik oleh yang memaafkan, dan tidak ada yang harus dibayarkan dengan baik oleh si pembunuh.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَهَذَا مَالٌ بِلَا مَشِيئَةٍ أَوَلَا تَرَاهُ يَقُولُ: إنَّ عَفْوَ الْمَحْجُورِ جَائِزٌ؛ لِأَنَّهُ زِيَادَةٌ فِي مَالِهِ وَعَفْوِهِ الْمَالَ لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّهُ نَقْصٌ فِي مَالِهِ وَهَذَا مَالٌ بِغَيْرِ مَشِيئَةٍ فَأَقْرَبُ إلَى وَجْهِ مَا قَالَ عِنْدِي فِي الْعَفْوِ الَّذِي لَيْسَ لِأَهْلِ الدَّيْنِ مَنْعُهُ مِنْهُ هُوَ أَنْ يُبْرِئَهُ مِنْ الْقِصَاصِ وَيَقُولَ بِغَيْرِ مَالٍ فَيَسْقُطَانِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini adalah harta tanpa kehendak. Tidakkah engkau melihat Beliau berkata: ‘Sesungguhnya memaafkan orang yang berada di bawah pengampuan itu boleh, karena itu merupakan tambahan pada hartanya. Sedangkan memaafkan harta tidak boleh, karena itu mengurangi hartanya. Dan ini adalah harta tanpa kehendak, maka lebih dekat pada kebenaran menurut pendapatku tentang memaafkan yang tidak bisa dihalangi oleh para pemilik piutang adalah membebaskannya dari qishas dan mengatakannya tanpa harta, maka keduanya gugur. Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

بَابُ الْقِصَاصِ بِالسَّيْفِ

 

Bab tentang qishas dengan pedang

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا} الإسراء: 33 قَالَ: وَإِذَا خَلَّى الْحَاكِمُ الْوَلِيَّ وَقَتْلَ الْقَاتِلِ فَيَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَأْمُرَ مَنْ يَنْظُرَ إلَى سَيْفِهِ فَإِنْ كَانَ صَارِمًا وَإِلَّا أَمَرَهُ بِصَارِمٍ؛ لِئَلَّا يُعَذِّبَهُ ثُمَّ يَدَعُهُ وَضَرْبَ عُنُقِهِ وَإِنْ ضَرَبَهُ بِمَا لَا يُخْطِئُ بِمِثْلِهِ مِنْ قَطْعِ رِجْلٍ أَوْ وَسَطٍ عُزِّرَ وَإِنْ كَانَ مِمَّا يَلِي الْعُنُقَ مِنْ رَأْسِهِ أَوْ كَتِفِهِ فَلَا عُقُوبَةَ عَلَيْهِ وَأَجْبَرَهُ الْحَاكِمُ عَلَى أَنْ يَأْمُرَ مَنْ يُحْسِنُ ضَرْبَ الْعُنُقِ لِيُوجِئَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya.” (QS. Al-Isra’: 33). Beliau berkata: “Jika hakim memberikan wewenang kepada wali untuk membunuh si pembunuh, maka sepatutnya wali itu memerintahkan seseorang untuk memeriksa pedangnya. Jika pedang itu tajam, maka gunakanlah. Jika tidak, hendaknya dia memerintahkan untuk menggunakan pedang yang tajam, agar tidak menyiksanya lalu membiarkannya. Kemudian dia memenggal lehernya. Jika dia memukulnya dengan sesuatu yang tidak seharusnya, seperti memotong kaki atau bagian tengah tubuh, maka dia harus dihukum. Namun jika mengenai bagian yang dekat dengan leher, seperti kepala atau bahu, maka tidak ada hukuman baginya. Hakim juga wajib memaksanya untuk memerintahkan seseorang yang ahli dalam memenggal leher agar melakukannya dengan cepat.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَذِنَ لِرَجُلٍ فَتَنَحَّى بِهِ فَعَفَاهُ الْوَلِيُّ فَقَتَلَهُ قَبْلَ أَنْ يَعْلَمَ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ لَيْسَ لَهُ عَلَى الْقَاتِلِ شَيْءٌ إلَّا أَنْ يَحْلِفَ بِاَللَّهِ مَا عَلِمَهُ عَفَا وَلَا عَلَى الْعَافِي، وَالثَّانِي أَنْ لَيْسَ عَلَى الْقَاتِلِ قَوَدٌ؛ لِأَنَّهُ قَتَلَهُ عَلَى أَنَّهُ مُبَاحٌ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ وَالْكَفَّارَةُ وَلَا يَرْجِعُ بِهَا عَلَى الْوَلِيِّ؛ لِأَنَّهُ مُتَطَوِّعٌ وَهَذَا أَشْبَهُهُمَا.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seseorang diizinkan (untuk membunuh), lalu ia menyendiri dengannya, kemudian wali (korban) memaafkannya, tetapi si pembunuh telah membunuhnya sebelum mengetahui (pemaafan itu), maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: tidak ada hak baginya (wali) atas si pembunuh kecuali ia bersumpah demi Allah bahwa ia tidak tahu bahwa ia telah dimaafkan, dan tidak ada (tuntutan) atas yang memaafkan. Kedua: tidak ada qishas atas si pembunuh karena ia membunuhnya dalam keadaan halal, tetapi ia wajib membayar diyat dan kafarah, serta tidak boleh menuntut balik kepada wali karena ia (pembunuh) bertindak sukarela. Pendapat kedua ini lebih mendekati kebenaran.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَالْأَشْبَهُ أَوْلَى بِهِ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Maka yang lebih miris lebih berhak terhadapnya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا تُقْتَلُ الْحَامِلُ حَتَّى تَضَعَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِوَلَدِهَا مُرْضِعٌ فَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ لَوْ تُرِكَتْ بِطِيبِ نَفْسِ الْوَلِيِّ حَتَّى يُوجَدَ لَهُ مُرْضِعٌ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ قُتِلَتْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Wanita hamil tidak boleh dibunuh hingga melahirkan. Jika anaknya tidak mendapatkan penyusu, aku lebih menyukai jika dia dibiarkan hidup dengan kerelaan walinya hingga ditemukan penyusu untuk anaknya. Jika tidak dilakukan, maka dia boleh dibunuh.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) إذَا لَمْ يُوجَدْ لِلْمَوْلُودِ مَا يَحْيَا بِهِ لَمْ يَحِلَّ عِنْدِي قَتْلُهُ بِقَتْلِ أُمِّهِ حَتَّى يُوجَدَ مَا يَحْيَا بِهِ فَتُقْتَلَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Jika tidak ditemukan sesuatu yang dapat menghidupi bayi, maka menurutku tidak halal membunuhnya dengan membunuh ibunya hingga ditemukan sesuatu yang dapat menghidupinya, barulah sang ibu boleh dibunuh.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ عَجَّلَ الْإِمَامُ فَاقْتَصَّ مِنْهَا حَامِلًا فَعَلَيْهِ الْمَأْثَمُ فَإِنْ أَلْقَتْ جَنِينًا ضَمِنَهُ الْإِمَامُ عَلَى عَاقِلَتِهِ دُونَ الْمُقْتَصِّ.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seorang pemimpin (imam) tergesa-gesa dalam melaksanakan qishas terhadap seorang wanita hamil, maka dia berdosa. Jika wanita itu kemudian keguguran, maka imam wajib menanggung diyat (ganti rugi) janin tersebut melalui ‘aqilah (keluarganya yang bertanggung jawab), bukan orang yang melakukan qishas.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – بَلْ عَلَى الْوَلِيِّ؛ لِأَنَّهُ اقْتَصَّ لِنَفْسِهِ مُخْتَارًا فَجَنَى عَلَى مَنْ لَا قِصَاصَ لَهُ عَلَيْهِ، فَهُوَ يَغْرَمُ مَا أَتْلَفَ أَوْلَى مِنْ إمَامٍ حَكَمَ لَهُ بِحَقِّهِ فَأَخَذَهُ وَمَا لَيْسَ لَهُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Bahkan kewajiban itu ada pada wali, karena dia telah mengambil haknya sendiri dengan pilihannya sendiri, lalu dia berbuat zalim kepada orang yang tidak memiliki hak qishash atasnya. Maka dia lebih pantas menanggung ganti rugi atas apa yang dia rusak daripada seorang imam yang memutuskan haknya lalu dia mengambilnya, atau mengambil apa yang bukan haknya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَتَلَ نَفَرًا قُتِلَ لِلْأَوَّلِ وَكَانَتْ الدِّيَاتُ لِمَنْ بَقِيَ فِي مَالِهِ فَإِنْ خَفِيَ الْأَوَّلُ مِنْهُمْ أُقْرِعَ بَيْنَهُمْ فَأَيُّهُمْ قُتِلَ أَوَّلًا قُتِلَ بِهِ وَأُعْطِيَ الْبَاقُونَ الدِّيَاتِ مِنْ مَالِهِ، وَلَوْ قَطَعَ يَدَ رَجُلٍ وَقَتَلَ آخَرَ قُطِعَتْ يَدُهُ بِالْيَدِ وَقُتِلَ بِالنَّفْسِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang membunuh beberapa orang, maka dia dihukum qishas untuk korban pertama dan membayar diyat untuk korban lainnya dari hartanya. Jika korban pertama tidak diketahui, diadakan undian di antara mereka. Siapa pun yang terpilih sebagai korban pertama, pelaku dihukum qishas untuknya, sedangkan korban lainnya menerima diyat dari harta pelaku. Dan jika seseorang memotong tangan seorang laki-laki dan membunuh orang lain, maka tangannya dipotong sebagai qishas untuk tangan dan dia dihukum mati sebagai qishas untuk nyawa.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: فَإِنْ مَاتَ الْمَقْطُوعَةُ يَدُهُ الْأَوَّلُ بَعْدَ أَنْ اُقْتُصَّ مِنْ الْيَدِ فَقِيَاسُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ عِنْدِي أَنَّ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَرْجِعَ بِنِصْفِ الدِّيَةِ فِي مَالِ قَاطِعِهِ؛ لِأَنَّ الْمَقْطُوعَ قَدْ اسْتَوْفَى قَبْلَ مَوْتِهِ مَا فِيهِ نِصْفُ الدِّيَةِ بِاقْتِصَاصِهِ بِهِ قَاطِعَهُ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Jika orang yang tangannya dipotong pertama kali meninggal setelah dilakukan qishash terhadap tangan, maka menurut qiyas pendapat Asy-Syafi’i menurutku, walinya boleh menuntut kembali setengah diyat dari harta pemotong tangannya; karena orang yang dipotong tangannya telah menerima sebelum kematiannya setengah diyat melalui qishash yang dilakukannya terhadap pemotong tangannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَتَلَهُ عَمْدًا وَمَعَهُ صَبِيٌّ أَوْ مَعْتُوهٌ أَوْ كَانَ حُرٌّ وَعَبْدٌ قَتَلَا عَبْدًا، أَوْ مُسْلِمٌ وَنَصْرَانِيٌّ قَتَلَا نَصْرَانِيًّا، أَوْ قَتَلَ ابْنَهُ وَمَعَهُ أَجْنَبِيٌّ فَعَلَى الَّذِي عَلَيْهِ الْقِصَاصُ الْقِصَاصُ وَعَلَى الْآخَرِ نِصْفُ الدِّيَةِ فِي مَالِهِ وَعُقُوبَةٌ إنْ كَانَ الضَّرْبُ عَمْدًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang membunuh dengan sengaja dan bersamanya ada anak kecil atau orang gila, atau seorang merdeka dan budak membunuh seorang budak, atau seorang muslim dan nasrani membunuh seorang nasrani, atau seseorang membunuh anaknya sendiri dan bersamanya ada orang lain, maka qisas diwajibkan bagi yang berhak menerimanya, sedangkan yang lain membayar setengah diyat dari hartanya dan mendapat hukuman jika pukulannya disengaja.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَشَبَّهَ الشَّافِعِيُّ أَخْذَ الْقَوَدِ مِنْ الْبَالِغِ دُونَ الصَّبِيِّ بِالْقَاتِلَيْنِ عَمْدًا يَعْفُو الْوَلِيُّ عَنْ أَحَدِهِمَا أَنَّ لَهُ قَتْلَ الْآخَرِ، فَإِنْ قِيلَ: وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْقَوَدُ فَزَالَ عَنْ أَحَدِهِمَا بِإِزَالَةِ الْوَلِيِّ، قِيلَ: فَإِذَا أَزَالَهُ الْوَلِيُّ عَنْهُ أَزَالَهُ عَنْ الْآخَرِ فَإِنْ قَالَ: لَا، قِيلَ: فِعْلُهُمَا وَاحِدٌ فَقَدْ حَكَمْت لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِحُكْمِ نَفْسِهِ لَا بِحُكْمِ غَيْرِهِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Imam Syafi’i mengumpamakan pengambilan qishas dari orang dewasa bukan anak kecil seperti dua pembunuh sengaja dimana wali memaafkan salah satunya, bahwa ia berhak membunuh yang lain. Jika dikatakan: qishas wajib atas keduanya lalu gugur dari salah satunya karena dihapus oleh wali, dijawab: jika wali menghapusnya dari yang satu maka ia menghapusnya dari yang lain. Jika ia berkata: tidak, dijawab: perbuatan keduanya satu, sungguh engkau telah menetapkan hukum bagi masing-masing berdasarkan dirinya sendiri bukan berdasarkan yang lain.

 

(قَالَ) : فَإِنْ شَرِكَهُ قَاتِلُ خَطَأٍ فَعَلَى الْعَامِدِ نِصْفُ الدِّيَةِ فِي مَالِهِ وَجِنَايَةُ الْمُخْطِئِ عَلَى عَاقِلَتِهِ. وَاحْتُجَّ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ فِي مَنْعِ الْقَوَدِ مِنْ الْعَامِدِ إذَا شَارَكَهُ صَبِيٌّ أَوْ مَجْنُونٌ فَقَالَ: إنْ كُنْت رَفَعْت عَنْهُ الْقَوَدَ؛ لِأَنَّ الْقَلَمَ عَنْهُمَا مَرْفُوعٌ وَأَنَّ عَمْدَهُمَا خَطَأٌ عَلَى عَاقِلَتِهِمَا فَهَلَّا أَقَدْت مِنْ الْأَجْنَبِيِّ إذَا قَتَلَ عَمْدًا مَعَ الْأَبِ؛ لِأَنَّ الْقَلَمَ عَنْ الْأَبِ لَيْسَ بِمَرْفُوعٍ وَهَذَا تَرْكُ أَصْلِك.

 

 

Beliau berkata: “Jika pelaku pembunuhan tidak sengaja bersekutu dengannya (pelaku sengaja), maka pelaku sengaja wajib membayar setengah diyat dari hartanya, sedangkan pelaku tidak sengaja ditanggung oleh keluarganya.” Dan dia berargumen terhadap Muhammad bin Al-Hasan tentang larangan qisas bagi pelaku sengaja jika yang bersekutu adalah anak kecil atau orang gila, seraya berkata: “Jika engkau menggugurkan qisas darinya karena pena (catatan amal) diangkat dari keduanya dan kesengajaan keduanya dianggap tidak sengaja yang ditanggung oleh keluarga mereka, maka mengapa engkau tidak menetapkan qisas bagi orang asing jika membunuh dengan sengaja bersama ayah? Karena pena (catatan amal) tidak diangkat dari ayah. Ini berarti meninggalkan prinsipmu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) قَدْ شَرِكَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – مُحَمَّدَ بْنَ الْحَسَنِ فِيمَا أَنْكَرَ عَلَيْهِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ؛ لِأَنَّ رَفْعَ الْقِصَاصِ عَنْ الْخَاطِئِ وَالْمَجْنُونِ وَالصَّبِيِّ وَاحِدٌ، فَكَذَلِكَ حُكْمُ مَنْ شَارَكَهُمْ بِالْعَمْدِ وَاحِدٌ.

 

 

(Al-Muzani – rahimahullah – berkata) Sesungguhnya Asy-Syafi’i – rahimahullah – telah menyetujui Muhammad bin Al-Hasan dalam hal yang ia ingkari padanya dalam masalah ini; karena penghapusan qishas dari orang yang keliru, orang gila, dan anak kecil adalah satu (ketentuan), maka demikian pula hukum bagi orang yang menyertai mereka dengan sengaja adalah satu.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَتَلَ أَحَدُ الْوَلِيَّيْنِ الْقَاتِلَ بِغَيْرِ أَمْرِ صَاحِبِهِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ لَا قِصَاصَ بِحَالٍ لِلشُّبْهَةِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا} الإسراء: 33 يَحْتَمِلُ أَيَّ وَلِيٍّ قَتَلَ كَانَ أَحَقَّ بِالْقَتْلِ وَهُوَ مَذْهَبُ أَكْثَرِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ يُنْزِلُونَهُ مَنْزِلَةَ الْحَدِّ لَهُمْ عَنْ أَبِيهِمْ إنْ عَفَوْا إلَّا وَاحِدًا كَانَ لَهُ أَنْ يَحُدَّهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika salah satu dari dua wali membunuh si pembunuh tanpa perintah rekannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya: tidak ada qishas sama sekali karena adanya syubhat. Allah Ta’ala berfirman {Sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada walinya} Al-Isra’: 33, yang mencakup siapa pun wali yang membunuh lebih berhak untuk membunuh. Ini adalah pendapat mayoritas penduduk Madinah yang menempatkannya seperti hukuman hudud bagi mereka terhadap ayah mereka jika mereka memaafkan, kecuali satu orang yang berhak untuk menghukumnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ لَا يَجْهَلُ عُزِّرَ وَقِيلَ لِلْوُلَاةِ مَعَهُ: لَكُمْ حِصَصُكُمْ، وَالْقَوْلُ مِنْ أَيْنَ يَأْخُذُونَهَا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهَا لَهُمْ مِنْ مَالِ الْقَاتِلِ يَرْجِعُ بِهَا وَرَثَةُ الْقَاتِلِ فِي مَالِ قَاتِلِهِ. وَمَنْ قَالَ هَذَا – قَالَ: فَإِنْ عَفَوْا عَنْ الْقَاتِلِ الدِّيَةَ رَجَعَ وَرَثَةُ قَاتِلِ الْمَقْتُولِ عَلَى قَاتِلِ صَاحِبِهِمْ بِحِصَّةِ الْوَرَثَةِ مَعَهُ مِنْ الدِّيَةِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي فِي حِصَصِهِمْ أَنَّهَا لَهُمْ فِي مَالِ أَخِيهِمْ الْقَاتِلِ قَاتِلَ أَبِيهِمْ؛ لِأَنَّ الدِّيَةَ إنَّمَا كَانَتْ تَلْزَمُهُ لَوْ كَانَ لَمْ يَقْتُلْهُ وَلِيٌّ، فَإِذَا قَتَلَهُ وَلِيٌّ فَلَا يَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الْقَتْلُ وَالْغُرْمُ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّ عَلَى مَنْ قَتَلَ مِنْ الْأَوْلِيَاءِ قَاتِلَ أَبِيهِ الْقِصَاصَ حَتَّى يَجْتَمِعُوا عَلَى الْقَتْلِ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Jika ia termasuk orang yang tidak bodoh, maka ia dihukum ta’zir dan dikatakan kepada para wali bersamanya: ‘Kalian berhak atas bagian kalian.’ Ada dua pendapat mengenai dari mana mereka mengambil bagian tersebut. Pertama: bagian itu diambil dari harta pembunuh, lalu ahli waris pembunuh menuntutnya dari harta orang yang membunuh pembunuh tersebut. Barangsiapa berpendapat demikian mengatakan: ‘Jika mereka memaafkan pembunuh dari diyat, maka ahli waris pembunuh korban dapat menuntut pembunuh saudara mereka sesuai bagian warisan mereka dari diyat.’ Pendapat kedua tentang bagian mereka adalah bahwa bagian itu diambil dari harta saudara mereka, yaitu si pembunuh yang membunuh ayah mereka, karena diyat hanya menjadi kewajibannya jika ia tidak dibunuh oleh wali. Jika ia dibunuh oleh wali, maka tidak boleh menggabungkan hukuman mati dan denda atasnya. Pendapat kedua juga menyatakan bahwa wali yang membunuh pembunuh ayahnya wajib diqishash hingga mereka sepakat untuk membunuhnya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَأَصْلُ قَوْلِهِ أَنَّ الْقَاتِلَ لَوْ مَاتَ كَانَتْ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata, dan dasar perkataannya adalah bahwa jika si pembunuh meninggal, maka diyat (denda) dibebankan pada hartanya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَيْسَ تَعَدِّي أَخِيهِ بِمُبْطِلٍ حَقَّهُ وَلَا بِمُزِيلِهِ عَمَّنْ هُوَ عَلَيْهِ وَلَا قَوَدَ لِلشُّبْهَةِ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Pelanggaran yang dilakukan saudaranya tidak menghilangkan haknya, tidak mencabutnya dari pemiliknya, dan tidak ada qishas dalam perkara syubhat.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَطَعَ يَدَهُ مِنْ مَفْصِلِ الْكُوعِ فَلَمْ يَبْرَأْ حَتَّى قَطَعَهَا آخَرُ مِنْ الْمَرْفِقِ ثُمَّ مَاتَ فَعَلَيْهِمَا الْقَوَدُ يُقْطَعُ قَاطِعُ الْكَفِّ مِنْ الْكُوعِ وَيَدُ الْآخَرِ مِنْ الْمَرْفِقِ ثُمَّ يَقْتُلَانِ؛ لِأَنَّ أَلَمَ الْقَطْعِ الْأَوَّلِ وَاصِلٌ إلَى الْجَسَدِ كُلِّهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang memotong tangannya dari pergelangan tangan lalu lukanya belum sembuh hingga orang lain memotongnya lagi dari siku, kemudian korban meninggal, maka keduanya wajib diqishas. Pemotong pertama dipotong tangannya dari pergelangan, dan pemotong kedua dipotong tangannya dari siku, lalu keduanya dihukum mati. Karena rasa sakit dari pemotongan pertama tetap menyebar ke seluruh tubuh.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا تَشَاحَّ الْوُلَاةُ قِيلَ لَهُمْ: لَا يَقْتُلُهُ إلَّا وَاحِدٌ مِنْكُمْ فَإِنْ سَلَّمْتُمْ لِوَاحِدٍ أَوْ لِأَجْنَبِيٍّ جَازَ وَقَتَلَهُ وَإِنْ تَشَاحَحْتُمْ أَقْرَعْنَا بَيْنَكُمْ فَأَيُّكُمْ خَرَجَتْ قُرْعَتُهُ خَلَّيْنَاهُ وَقَتْلَهُ، وَيَضْرِبُ بِأَصْرَمِ سَيْفٍ وَأَشَدِّ ضَرْبٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika para penguasa berselisih, dikatakan kepada mereka: ‘Tidak boleh membunuhnya kecuali salah satu dari kalian. Jika kalian menyerahkan kepada satu orang atau orang asing, maka itu diperbolehkan dan dia boleh membunuhnya. Jika kalian tetap berselisih, kami akan mengundi di antara kalian, dan siapa pun yang keluar undiannya, kami biarkan dia yang membunuhnya. Dia harus memukul dengan pedang yang paling tajam dan pukulan yang paling keras.'”

 

بَابُ الْقِصَاصِ بِغَيْرِ السَّيْفِ

 

Bab tentang qishas dengan selain pedang

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِنْ طَرَحَهُ فِي نَارٍ حَتَّى يَمُوتَ طُرِحَ فِي النَّارِ حَتَّى يَمُوتَ، وَإِنْ ضَرَبَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يُقْلِعْ عَنْهُ حَتَّى مَاتَ أُعْطِيَ وَلِيُّهُ حَجَرًا مِثْلَهُ فَقَتَلَهُ بِهِ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إنْ لَمْ يَمُتْ مِنْ عَدَدِ الضَّرْبِ قُتِلَ بِالسَّيْفِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika ia melemparkannya ke dalam api hingga mati, maka ia harus dilemparkan ke dalam api hingga mati. Jika ia memukulnya dengan batu dan tidak berhenti hingga korban meninggal, maka walinya diberikan batu serupa untuk membunuhnya dengannya.” Sebagian sahabat kami berkata: “Jika korban tidak mati akibat jumlah pukulan, maka ia dibunuh dengan pedang.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَكَذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي الْمَحْبُوسِ بِلَا طَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ حَتَّى مَاتَ: إنَّهُ يُحْبَسُ فَإِنْ لَمْ يَمُتْ فِي تِلْكَ الْمُدَّةِ قُتِلَ بِالسَّيْفِ، وَكَذَا قَالَ: لَوْ غَرَّقَهُ فِي الْمَاءِ وَكَذَلِكَ يُلْقِيهِ فِي مَهْوَاةٍ فِي الْبُعْدِ أَوْ مِثْلِ سُدَّةِ الْأَرْضِ وَكَذَا عَدَدُ الضَّرْبِ بِالصَّخْرَةِ فَإِنْ مَاتَ وَإِلَّا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ فَالْقِيَاسُ عَلَى مَا مَضَى فِي أَوَّلِ الْبَابِ أَنْ يَمْنَعَهُ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ حَتَّى يَمُوتَ كَمَا قَالَ فِي النَّارِ وَالْحَجَرِ وَالْخَنْقِ بِالْحَبْلِ حَتَّى يَمُوتَ إذَا كَانَ مَا صَنَعَ بِهِ مِنْ الْمُتْلِفِ الْحَيَّ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Demikianlah Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata tentang orang yang dipenjara tanpa makanan dan minuman hingga mati: Sesungguhnya ia harus dipenjara, jika tidak mati dalam masa itu maka ia dibunuh dengan pedang. Demikian pula beliau berkata: Seandainya ia menenggelamkannya dalam air atau melemparkannya ke jurang yang dalam atau seperti lubang bumi, atau memukulnya dengan batu berkali-kali, jika mati (maka selesai), jika tidak maka dipenggal lehernya. Qiyas berdasarkan yang telah disebutkan di awal bab adalah melarangnya makanan dan minuman hingga mati, sebagaimana yang dikatakan tentang api, batu, dan dicekik dengan tali hingga mati, jika yang dilakukan terhadapnya termasuk pembunuhan terhadap makhluk hidup.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ قَطَعَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ فَمَاتَ فَعَلَ بِهِ الْوَلِيُّ مَا فَعَلَ بِصَاحِبِهِ فَإِنْ مَاتَ وَإِلَّا قُتِلَ بِالسَّيْفِ وَلَوْ كَانَ أَجَافَهُ أَوْ قَطَعَ ذِرَاعَهُ فَمَاتَ كَانَ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَفْعَلَ ذَلِكَ بِهِ عَلَى أَنْ يَقْتُلَهُ، فَأَمَّا عَلَى أَنْ لَا يَقْتُلَهُ فَلَا يُتْرَكُ وَإِيَّاهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya ia memotong kedua tangan dan kedua kakinya lalu korban meninggal, maka wali (keluarga korban) boleh melakukan hal yang sama terhadapnya. Jika pelaku meninggal (akibat pembalasan itu), maka selesai. Jika tidak, ia dibunuh dengan pedang. Jika pelaku melukai perut atau memotong lengan korban hingga meninggal, wali korban boleh melakukan hal serupa dengan syarat harus membunuhnya. Namun jika tidak sampai membunuhnya, maka tidak dibiarkan (pelaku harus tetap dihukum).”

 

(وَقَالَ) فِي مَوْضِعٍ آخَرَ فِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: هَذَا، وَالْآخَرُ: لَا نَقُصُّهُ مِنْ ذَلِكَ بِحَالٍ لَعَلَّهُ إذَا فَعَلَ ذَلِكَ بِهِ أَنْ يَدَعَ قَتْلَهُ فَيَكُونَ قَدْ عَذَّبَهُ بِمَا لَيْسَ فِي مِثْلِهِ قِصَاصٌ.

 

 

Dan dia berkata dalam tempat lain mengenai hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah ini, dan yang lainnya adalah kita tidak akan mengurangi hal itu sama sekali, barangkali jika dia melakukan itu kepadanya, dia akan menghentikan pembunuhannya, sehingga dia telah menyiksanya dengan sesuatu yang tidak ada qishash dalam hal serupa.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ أَبَى أَنْ يُوَالِيَ عَلَيْهِ بِالْجَوَائِفِ كَمَا وَالَى عَلَيْهِ بِالنَّارِ وَالْحَجَرِ وَالْخَنْقِ بِمِثْلِ ذَلِكَ الْحَبْلِ حَتَّى يَمُوتَ فَفَرَّقَ بَيْنَ ذَلِكَ وَالْقِيَاسُ عِنْدِي عَلَى مَعْنَاهُ أَنْ يُوَالِيَ عَلَيْهِ بِالْجَوَائِفِ إذَا وَالَى بِهَا عَلَيْهِ، حَتَّى يَمُوتَ كَمَا يُوَالِي عَلَيْهِ بِالْحَجَرِ وَالنَّارِ وَالْخَنْقِ حَتَّى يَمُوتَ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Sesungguhnya dia menolak untuk terus-menerus melukai dengan tusukan sebagaimana dia terus-menerus menyiksa dengan api, batu, dan tali untuk mencekik dengan sejenis tali itu sampai mati. Maka dia membedakan antara hal itu, sedangkan qiyas menurutku pada maknanya adalah terus-menerus melukai dengan tusukan jika dia terus melakukannya sampai mati, sebagaimana dia terus menyiksa dengan batu, api, dan cekikan sampai mati.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَوْلَاهُمَا بِالْحَقِّ عِنْدِي فِيمَا كَانَ فِي ذَلِكَ مِنْ جِرَاحٍ أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ فِيهِ الْقِصَاصُ لَوْ بَرِئَ أَقَصَصْته مِنْهُ فَإِنْ مَاتَ وَإِلَّا قَتَلْته بِالسَّيْفِ وَمَا لَا قِصَاصَ فِي مِثْلِهِ لَمْ أَقُصّهُ مِنْهُ، وَقَتَلْته بِالسَّيْفِ قِيَاسًا عَلَى مَا قَالَ فِي أَحَدِ قَوْلَيْهِ فِي الْجَائِفَةِ وَقَطْعِ الذِّرَاعِ أَنَّهُ لَا يُقِصُّهُ مِنْهُمَا بِحَالٍ وَيَقْتُلُهُ بِالسَّيْفِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) “Yang lebih benar menurutku dalam kasus luka-luka tersebut adalah: setiap luka yang ada qisas-nya, jika korban sembuh, aku akan melakukan qisas terhadap pelakunya. Jika korban meninggal, maka aku akan membunuhnya dengan pedang. Sedangkan luka yang tidak ada qisas-nya, aku tidak akan melakukan qisas, tetapi akan membunuhnya dengan pedang, berdasarkan pendapatnya dalam salah satu dari dua pendapatnya mengenai luka tembus dan pemotongan lengan, bahwa tidak ada qisas dalam kedua kasus tersebut dan pelaku harus dibunuh dengan pedang.”

 

بَابُ الْقِصَاصِ فِي الشِّجَاجِ وَالْجِرَاحِ وَالْأَسْنَانِ وَمَنْ بِهِ نَقْصٌ أَوْ شَلَلٌ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ

 

Bab Qishas dalam Luka, Cedera, Gigi, dan Orang yang Mengalami Kekurangan, Kelumpuhan, atau Hal Lainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَالْقِصَاصُ دُونَ النَّفْسِ شَيْئَانِ جُرْحٌ يُشَقُّ وَطَرَفٌ يُقْطَعُ فَإِذَا شَجَّهُ مُوضِحَةً فَبَرِئَ حُلِقَ مَوْضِعُهَا مِنْ رَأْسِ الشَّاجِّ ثُمَّ شُقَّ بِحَدِيدَةٍ قَدْرُ عَرْضِهَا وَطُولِهَا فَإِنْ أُخِذَتْ رَأْسُ الشَّاجِّ كُلِّهِ وَبَقِيَ شَيْءٌ مِنْهُ أُخِذَ مِنْهُ أَرْشُهُ، وَكَذَا كُلُّ جُرْحٍ يُقْتَصُّ مِنْهُ. وَلَوْ جَرَحَهُ فَلَمْ يُوضِحْهُ أُقِصَّ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا شُقَّ مِنْ الْمُوضِحَةِ فَإِنْ أَشْكَلَ لَمْ أُقِدْ إلَّا مِمَّا اسْتُيْقِنَ وَتُقْطَعُ الْيَدُ بِالْيَدِ وَالرِّجْلُ بِالرِّجْلِ مِنْ الْمَفَاصِلِ، وَالْأَنْفُ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنُ بِالْأُذُنِ وَالسِّنُّ بِالسِّنِّ كَانَ الْقَاطِعُ أَفْضَلَ طَرَفًا أَوْ أَدْنَى مَا لَمْ يَكُنْ نَقْصٌ أَوْ شَلَلٌ، فَإِنْ كَانَ قَاطِعُ الْيَدِ نَاقِصًا أُصْبُعًا قُطِعَتْ يَدُهُ وَأُخِذَ مِنْهُ أَرْشُ أُصْبُعٍ وَإِنْ كَانَتْ شَلَّاءَ فَلَهُ الْخِيَارُ إنْ شَاءَ اُقْتُصَّ بِأَنْ يَأْخُذَ أَقَلَّ مِنْ حَقِّهِ وَإِنْ شَاءَ أَخَذَ دِيَةَ الْيَدِ وَإِنْ كَانَ الْمَقْطُوعُ أَشَلَّ لَمْ يَكُنْ لَهُ الْقَوَدُ فَيَأْخُذَ أَكْثَرَ وَلَهُ حُكُومَةُ يَدٍ شَلَّاءَ، وَإِنْ قَطَعَ أُصْبُعَهُ فَتَآكَلَتْ فَذَهَبَتْ كَفُّهُ أُقِيدَ مِنْ الْأُصْبُعِ وَأَخَذَ أَرْشَ يَدِهِ إلَّا أُصْبُعًا وَلَمْ يَنْتَظِرْ بِهِ أَنْ يراقى إلَى مِثْلِ جِنَايَتِهِ أَوْ لَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Qisas selain nyawa ada dua jenis: luka yang dibelah dan anggota tubuh yang dipotong. Jika seseorang melukai kepala hingga tulangnya terlihat (muwaddhah) dan lukanya sembuh, maka bagian kepala pelaku yang sesuai dengan luka tersebut dicukur, lalu dibelah dengan besi sesuai panjang dan lebarnya. Jika seluruh kepala pelaku diambil (sebagai qisas) dan masih tersisa sebagian, maka diambil diyatnya. Demikian pula setiap luka yang diqisas. Jika pelaku melukai tetapi tidak sampai tulang terlihat, maka diqisas sesuai ukuran luka yang mencapai tulang. Jika ada keraguan, qisas hanya dilakukan pada bagian yang pasti. Tangan dibalas dengan tangan, kaki dengan kaki dari persendian, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, dan gigi dengan gigi, baik pelaku memiliki anggota tubuh yang lebih baik atau lebih rendah selama tidak ada cacat atau kelumpuhan. Jika tangan pelaku cacat (kurang satu jari), maka tangannya dipotong dan diambil diyat untuk satu jarinya. Jika tangan pelaku lumpuh, korban boleh memilih: mengambil qisas dengan menerima kurang dari haknya atau mengambil diyat tangan. Jika anggota tubuh korban yang dipotong lumpuh, maka tidak ada qisas, tetapi ia berhak mengambil lebih (diyat) dan mendapat kompensasi untuk tangan yang lumpuh. Jika pelaku memotong jari korban lalu jarinya membusuk hingga telapak tangannya hilang, maka diqisas untuk jarinya dan diambil diyat tangannya kecuali untuk satu jari, tanpa menunggu kesembuhan hingga setara dengan kejahatannya atau tidak.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ سَأَلَ الْقَوَدَ سَاعَةَ قُطِعَ أُصْبُعُهُ أَقَدْته فَإِنْ ذَهَبَتْ كَفُّ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ جَعَلْت عَلَى الْجَانِي أَرْبَعَةَ أَخْمَاسِ دِيَتِهَا، وَلَوْ كَانَ مَاتَ مِنْهَا قَتَلْته بِهِ؛ لِأَنَّ الْجَانِيَ ضَامِنٌ لِمَا حَدَثَ مِنْ جِنَايَتِهِ وَالْمُسْتَقَادَ مِنْهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ لَهُ مَا حَدَثَ مِنْ الْقَوَدِ بِسَبَبِ الْحَقِّ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya ia meminta qishash saat jarinya dipotong, aku pasti membalasnya. Jika tangan korban menjadi cacat, aku akan membebankan empat perlima diyatnya kepada pelaku. Dan jika korban meninggal karenanya, aku akan membunuh pelaku sebagai balasan, karena pelaku bertanggung jawab atas akibat perbuatannya, sedangkan yang diqishash tidak dijamin atas apa yang terjadi akibat qishash yang dilakukan demi menegakkan kebenaran.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَسَمِعْت الشَّافِعِيَّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَقُولُ: لَوْ شَجَّهُ مُوضِحَةً فَذَهَبَتْ مِنْهَا عَيْنَاهُ وَشَعْرُهُ فَلَمْ يَنْبُتْ ثُمَّ بَرِئَ أُقِصَّ مِنْ الْمُوضِحَةِ فَإِنْ ذَهَبَتْ عَيْنَاهُ وَلَمْ يَنْبُتْ شَعْرُهُ فَقَدْ اسْتَوْفَى حَقَّهُ وَإِنْ لَمْ تَذْهَبْ عَيْنَاهُ وَنَبَتَ شَعْرُهُ زِدْنَا عَلَيْهِ الدِّيَةَ وَفِي الشَّعْرِ حُكُومَةٌ وَلَا أُبْلِغُ بِشَعْرِ رَأْسِهِ وَلَا بِشَعْرِ لِحْيَتِهِ دِيَةً.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku mendengar Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika seseorang melukai orang lain dengan luka yang dalam (muwadhahah) hingga menyebabkan kedua matanya buta dan rambutnya rontok tidak tumbuh lagi, lalu sembuh, maka diqishas dari pelaku luka tersebut. Jika kedua matanya buta tetapi rambutnya tidak tumbuh, maka haknya telah terpenuhi. Jika matanya tidak buta dan rambutnya tumbuh, kami menambah diyat atasnya. Pada rambut berlaku hukumah (kompensasi), tetapi aku tidak menjadikan rambut kepala atau rambut jenggot mencapai kadar diyat.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ عِنْدِي قِيَاسًا عَلَى قَوْلِهِ: إذَا قَطَعَ يَدَهُ فَمَاتَ عَنْهَا أَنَّهُ يُقْطَعُ فَإِنْ مَاتَ مِنْهَا فَقَدْ اسْتَوْفَى حَقَّهُ، فَكَذَلِكَ إذَا شَجَّهُ مُقْتَصًّا فَذَهَبَتْ مِنْهَا عَيْنَاهُ وَشَعْرُهُ فَقَدْ أَخَذَ حَقَّهُ، غَيْرَ أَنِّي أَقُولُ: إنْ لَمْ يَنْبُتْ شَعْرُهُ فَعَلَيْهِ حُكُومَةُ الشَّعْرِ مَا خَلَا مَوْضِعَ الْمُوضِحَةِ فَإِنَّهُ دَاخِلٌ فِي الْمُوضِحَةِ فَلَا نُغَرِّمُهُ مَرَّتَيْنِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Ini lebih mirip dengan pendapatnya menurutku, berdasarkan qiyas dari ucapannya: Jika seseorang memotong tangannya lalu mati karenanya, maka tangan itu tetap dipotong. Jika dia mati karenanya, maka haknya telah terpenuhi. Demikian pula jika dia membalas dengan melukai kepala hingga menyebabkan hilangnya kedua mata dan rambutnya, maka haknya telah diambil. Namun aku berpendapat: Jika rambutnya tidak tumbuh kembali, maka dia wajib membayar diyat untuk rambut kecuali bagian yang terkena luka dalam (muwadhahah), karena itu sudah termasuk dalam diyat muwadhahah sehingga tidak dikenakan dua kali.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَصَابَتْهُ مِنْ جُرْحِ يَدِهِ أَكَلَةٌ فَقُطِعَتْ الْكَفُّ لِئَلَّا تَمْشِيَ الْأَكَلَةُ فِي جَسَدِهِ لَمْ يَضْمَنْ الْجَانِي مِنْ قَطْعِ الْكَفِّ شَيْئًا فَإِنْ مَاتَ مِنْ ذَلِكَ فَنِصْفُ الدِّيَةِ عَلَى الْجَانِي وَيَسْقُطُ نِصْفُهَا؛ لِأَنَّهُ جَنَى عَلَى نَفْسِهِ وَلَوْ كَانَ فِي يَدِ الْمَقْطُوعِ أُصْبُعَانِ شُلَّا وَإِنْ لَمْ تُقْطَعْ يَدُ الْجَانِي وَلَوْ رَضِيَ، فَإِنْ سَأَلَ الْمَقْطُوعُ أَنْ يُقْطَعَ لَهُ أُصْبُعُ الْقَاطِعِ الثَّالِثُ وَيُؤْخَذَ لَهُ أَرْشُ الْأُصْبُعَيْنِ وَالْحُكُومَةُ فِي الْكَفِّ كَانَ ذَلِكَ لَهُ وَلَا أُبْلِغُ بِحُكُومَةِ كَفِّهِ دِيَةَ أُصْبُعٍ؛ لِأَنَّهَا تَبَعٌ لِلْأَصَابِعِ وَكُلُّهَا مُسْتَوِيَةٌ وَلَا يَكُونُ أَرْشُهَا كَوَاحِدَةٍ مِنْهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya luka di tangannya mengalami infeksi lalu telapak tangannya dipotong agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuhnya, maka pelaku tidak menanggung apa pun dari pemotongan telapak tangan tersebut. Jika korban meninggal karena hal itu, maka setengah diyat menjadi tanggungan pelaku dan setengahnya gugur karena korban telah membahayakan dirinya sendiri. Sekiranya pada tangan yang dipototng terdapat dua jari yang lumpuh meskipun tangan pelaku tidak dipotong—walaupun ia rela—lalu korban meminta agar jari ketiga pelaku dipotong dan diambil arsy (ganti rugi) untuk dua jari serta hukuman atas telapak tangan, maka permintaan itu boleh dikabulkan. Namun, aku tidak menetapkan hukuman potong telapak tangan dengan diyat satu jari, karena telapak tangan mengikuti jari-jari dan semuanya setara, serta arsy-nya tidak sama dengan arsy salah satu jari.

 

وَلَوْ كَانَ الْقَاطِعُ مَقْطُوعَ الْأُصْبُعَيْنِ قَطَعْت لَهُ كَفَّهُ وَأَخَذْت لِلْمَقْطُوعَةِ يَدُهُ أَرْشَ أُصْبُعَيْنِ تَامَّتَيْنِ، وَلَوْ كَانَ لِلْقَاطِعِ سِتُّ أَصَابِعَ لَمْ تُقْطَعْ لِزِيَادَةِ الْأُصْبُعِ، وَلَوْ كَانَ الَّذِي لَهُ خَمْسُ أَصَابِعَ هُوَ الْقَاطِعُ كَانَ لِلْمَقْطُوعِ قَطْعُ يَدِهِ وَحُكُومَةُ الْأُصْبُعِ الزَّائِدَةِ وَلَا أُبْلِغُ بِهَا أَرْشَ أُصْبُعٍ، وَلَوْ قَطَعَ لَهُ أُنْمُلَةً لَهَا طَرَفَانِ فَلَهُ الْقَوَدُ مِنْ أُصْبُعِهِ وَزِيَادَةُ حُكُومَةٍ وَإِنْ كَانَ لِلْقَاطِعِ مِثْلُهَا أُقِيدَ بِهَا وَلَا حُكُومَةَ، فَإِنْ كَانَ لِلْقَاطِعِ طَرَفَانِ وَلِلْمَقْطُوعِ وَاحِدٌ فَلَا قَوَدَ؛ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ.

 

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

Dan jika pemotong itu telah kehilangan dua jarinya, potonglah tangannya dan ambillah untuk yang dipotong tangannya diyat dua jari yang sempurna. Jika pemotong memiliki enam jari, tidak dipotong karena kelebihan jari. Jika yang memiliki lima jari adalah pemotong, maka yang dipotong berhak memotong tangannya dan diyat untuk jari tambahan, tetapi tidak sampai mencapai diyat satu jari. Jika dia memotong ujung jari yang memiliki dua ruas, maka dia berhak qishas dari jarinya dan tambahan diyat. Jika pemotong memiliki yang serupa, maka diqishas dengannya tanpa diyat. Jika pemotong memiliki dua ruas dan yang dipotong satu ruas, maka tidak ada qishas karena lebih banyak.

(قَالَ) : وَلَوْ قَطَعَ أُنْمُلَةَ طَرَفٍ وَمِنْ آخَرَ الْوُسْطَى مِنْ أُصْبُعٍ وَاحِدٍ فَإِنْ جَاءَ الْأَوَّلُ قَبْلُ اُقْتُصَّ لَهُ ثُمَّ الْوُسْطَى، وَإِنْ جَاءَ صَاحِبُ الْوُسْطَى قِيلَ: لَا قِصَاصَ لَك إلَّا بَعْدَ الطَّرَفِ وَلَك الدِّيَةُ.

 

Beliau berkata: “Seandainya seseorang memotong ujung jari (ruas terluar) dan ruas tengah dari satu jari yang sama, jika pemilik ujung jari datang lebih dulu, maka qishas dilakukan untuknya terlebih dahulu, baru kemudian untuk ruas tengah. Namun jika pemilik ruas tengah yang datang, maka dikatakan: ‘Tidak ada qishas bagimu kecuali setelah (qishas) ujung jari, dan bagimu adalah diyat (ganti rugi).'”

(قَالَ) : وَلَا أُقِيدَ بِيُمْنَى يُسْرَى وَلَا بِيُسْرَى يُمْنَى.

 

Beliau berkata: “Dan janganlah aku dibalas dengan tangan kanan atas tangan kiri, atau dengan tangan kiri atas tangan kanan.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَلَعَ سِنَّهُ أَوْ قَطَعَ أُذُنَهُ ثُمَّ إنَّ الْمَقْطُوعَ ذَلِكَ مِنْهُ أَلْصَقَهُ بِدَمِهِ وَسَأَلَ الْقَوَدَ فَلَهُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ وَجَبَ لَهُ بِإِبَانَتِهِ وَكَذَلِكَ الْجَانِي لَا يُقْطَعُ ثَانِيَةً إذَا أُقِيدَ مِنْهُ مَرَّةً إلَّا بِأَنْ يَقْطَعَ لِأَنَّهَا مَيِّتَةٌ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya ia mencabut giginya atau memotong telinganya, kemudian bagian yang terpotong itu ditempelkannya kembali dengan darahnya dan menuntut qishash, maka itu adalah haknya. Karena qishash menjadi haknya dengan jelas. Demikian pula, pelaku tidak boleh dipotong untuk kedua kalinya jika sudah diqishash sekali, kecuali jika ia memotong lagi karena bagian itu sudah mati.”

 

(قَالَ) : وَيُقَادُ بِذَكَرِ رَجُلٍ شَيْخٍ وَخَصِيٍّ وَصَبِيٍّ وَاَلَّذِي لَا يَأْتِي النِّسَاءَ كَانَ الذَّكَرُ يَنْتَشِرُ أَوْ لَا يَنْتَشِرُ مَا لَمْ يَكُنْ بِهِ شَلَلٌ يَمْنَعُهُ مِنْ أَنْ يَنْقَبِضَ أَوْ يَنْبَسِطَ وَبِأُنْثَيَيْ الْخَصِيِّ؛ لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ طَرَفٌ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى أَنْ يُقَادَ مِنْ إحْدَى أُنْثَيَيْ رَجُلٍ بِلَا ذَهَابِ الْأُخْرَى أُقِيدَ مِنْهُ وَإِنْ قَطَعَهُمَا فَفِيهِمَا الْقِصَاصُ أَوْ الدِّيَةُ تَامَّةً، فَإِنْ قَالَ الْجَانِي جَنَيْت عَلَيْهِ وَهُوَ مَوْجُوءٌ، وَقَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ: بَلْ صَحِيحٌ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّ هَذَا يَغِيبُ عَنْ أَبْصَارِ النَّاسِ وَلَا يَجُوزُ كَشْفُهُ لَهُمْ.

 

 

Beliau berkata: “Dan qisas dilaksanakan pada kemaluan laki-laki yang sudah tua, yang dikebiri, anak kecil, dan yang tidak mendatangi perempuan, apakah kemaluannya bisa ereksi atau tidak selama tidak ada kelumpuhan yang menghalanginya untuk mengerut atau mengembang, serta pada dua testis orang yang dikebiri, karena semua itu adalah anggota tubuh. Jika memungkinkan untuk diqisas salah satu testis laki-laki tanpa menghilangkan yang lain, maka qisas dilaksanakan padanya. Jika keduanya terpotong, maka berlaku qisas atau diyat penuh. Jika pelaku berkata, ‘Aku melukainya saat kemaluannya bengkak,’ sedangkan korban berkata, ‘Tidak, saat sehat,’ maka perkataan korban yang diterima disertai sumpahnya, karena hal ini tersembunyi dari pandangan orang dan tidak boleh dibuka (diperlihatkan) kepada mereka.”

 

(قَالَ) : وَيُقَادُ أَنْفُ الصَّحِيحِ بِأَنْفِ الْأَخْرَمِ مَا لَمْ يَسْقُطْ أَنْفُهُ أَوْ شَيْءٌ مِنْهُ وَأُذُنُ الصَّحِيحِ بِأُذُنِ الْأَصَمِّ وَإِنْ قَلَعَ سِنَّ مَنْ قَدْ أَثْغَرَ قُلِعَ سِنُّهُ فَإِنْ كَانَ الْمَقْلُوعُ سِنُّهُ لَمْ يُثْغِرْ فَلَا قَوَدَ حَتَّى يُثْغِرَ فيتتام طَرْحُهُ أَسْنَانَهُ وَنَبَاتُهَا، فَإِنْ لَمْ يَنْبُتْ سِنُّهُ وَقَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ بِهِ: لَا يَنْبُتُ؛ أَقَدْنَاهُ وَلَوْ قَلَعَ لَهُ سِنًّا زَائِدَةً فَفِيهَا حُكُومَةٌ إلَّا أَنْ يَكُونَ لِلْقَالِعِ مِثْلُهَا فَيُقَادُ مِنْهُ وَمَنْ اقْتَصَّ حَقَّهُ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ عُزِّرَ وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، وَلَوْ قَالَ الْمُقْتَصُّ: أَخْرِجْ يَمِينَك فَأَخْرَجَ يَسَارَهُ فَقَطَعَهَا، وَقَالَ: عَمَدْت وَأَنَا عَالِمٌ فَلَا عَقْلَ وَلَا قِصَاصَ فَإِذَا بَرِئَ اقْتَصَّ مِنْ يَمِينِهِ وَإِنْ قَالَ: لَمْ أَسْمَعْ أَوْ رَأَيْت أَنَّ الْقِصَاصَ بِهَا يَسْقُطُ عَنْ يَمِينِي لَزِمَ الْمُقْتَصَّ دِيَةُ الْيَدِ، وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ فِي سَرِقَةٍ لَمْ يَقْطَعْ يَمِينَهُ وَلَا يُشْبِهُ الْحَدُّ حُقُوقَ الْعِبَادِ، وَلَوْ قَالَ الْجَانِي: مَاتَ مِنْ قَطْعِ الْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَقَالَ الْوَلِيُّ: مَاتَ مِنْ غَيْرِهِمَا فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَلِيِّ.

 

 

Beliau berkata: “Hidung orang yang sehat akan dibalas dengan hidung orang yang cacat, selama hidungnya atau sebagiannya belum terpotong. Telinga orang yang sehat dibalas dengan telinga orang yang tuli. Jika seseorang mencabut gigi orang yang sudah tumbuh giginya, maka giginya juga harus dicabut. Namun jika gigi yang dicabut belum tumbuh sempurna, maka tidak ada qishash sampai giginya tumbuh sempurna dan lengkap. Jika giginya tidak tumbuh dan para ahli menyatakan bahwa gigi itu tidak akan tumbuh, maka kami lakukan qishash. Jika dia mencabut gigi tambahan, maka ada kompensasi (hukuman), kecuali jika pencabut juga memiliki gigi serupa, maka qishash dilakukan. Barangsiapa yang menuntut haknya tanpa izin penguasa, dia dihukum ta’zir dan tidak ada kewajiban apa pun atasnya. Jika orang yang menuntut balas berkata, ‘Keluarkan tangan kananmu,’ tetapi yang dikeluarkan adalah tangan kirinya lalu dipotong, dan dia berkata, ‘Aku sengaja melakukannya dan aku tahu, sehingga tidak ada diyat atau qishash,’ maka setelah sembuh, qishash dilakukan pada tangan kanannya. Jika dia berkata, ‘Aku tidak mendengar atau mengira bahwa qishash dengan tangan kiri menggugurkan hak atas tangan kananku,’ maka orang yang menuntut balas wajib membayar diyat tangan. Jika hal itu terjadi dalam kasus pencurian, maka tangan kanannya tidak dipotong, karena hukum hudud tidak sama dengan hak-hak manusia. Jika pelaku berkata, ‘Dia meninggal karena pemotongan kedua tangan dan kakinya,’ sedangkan wali berkata, ‘Dia meninggal karena sebab lain,’ maka perkataan wali yang diikuti.”

 

(قَالَ) : وَيُحْضِرُ الْإِمَامُ الْقِصَاصَ عَدْلَيْنِ عَاقِلَيْنِ حَتَّى لَا يُقَادَ إلَّا بِحَدِيدَةٍ حَادَّةٍ مُسْقَاةٍ وَيَتَفَقَّدُ حَدِيدَهُ لِئَلَّا يُسَمَّ فَيَقْتُلَ فَيَقْطَعَ مِنْ حَيْثُ قُطِعَ بِأَيْسَرِ مَا يَكُونُ بِهِ الْقَطْعُ وَيُرْزَقُ مَنْ يُقِيمُ الْحُدُودَ وَيَأْخُذُ الْقِصَاصَ مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ الْخُمُسِ كَمَا يُرْزَقُ الْحُكَّامُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَعَلَى الْمُقْتَصِّ مِنْهُ الْأَجْرُ كَمَا عَلَيْهِ أَجْرُ الْكَيَّالِ وَالْوَزَّانِ فِيمَا يَلْزَمُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Imam harus menghadirkan dua saksi yang adil dan bijaksana dalam pelaksanaan qisas, agar qisas hanya dilakukan dengan alat yang tajam dan bersih. Imam juga harus memeriksa alat tersebut agar tidak beracun yang dapat menyebabkan kematian. Pemotongan harus dilakukan pada tempat yang sama dengan cara yang paling mudah untuk dipotong. Orang yang melaksanakan hudud dan mengambil qisas diberi rezeki dari bagian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dari seperlima (khumus), sebagaimana para hakim diberi rezeki. Jika tidak dilakukan demikian, maka orang yang diqisas wajib membayar upah, sebagaimana ia wajib membayar upah penakar dan penimbang dalam hal yang menjadi kewajibannya.”

 

بَابُ عَفْوِ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ ثَوْمَ يَمُوتُ وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

Bab tentang pengampunan dari korban pemerkosaan kemudian meninggal dan selain itu

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَالَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ عَمْدًا: قَدْ عَفَوْت عَنْ جِنَايَتِهِ مِنْ قَوَدٍ وَعَقْلٍ ثُمَّ صَحَّ جَازَ فِيمَا لَزِمَهُ بِالْجِنَايَةِ، وَلَمْ يَجُزْ فِيمَا لَزِمَهُ مِنْ الزِّيَادَةِ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تَكُنْ وَجَبَتْ حِينَ عَفَا، وَلَوْ قَالَ: قَدْ عَفَوْت عَنْهَا وَمَا يَحْدُثُ مِنْهَا مِنْ عَقْلٍ وَقَوَدٍ ثُمَّ مَاتَ مِنْهَا فَلَا سَبِيلَ إلَى الْقَوَدِ لِلْعَفْوِ وَنُظِرَ إلَى أَرْشِ الْجِنَايَةِ فَكَانَ فِيهَا قَوْلَانِ:

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya korban kejahatan yang disengaja berkata, ‘Aku telah memaafkan pelaku dari pembalasan (qishash) dan denda (diyat) atas kejahatannya,’ lalu ia sembuh, maka pengampunan itu sah untuk kewajiban yang timbul dari kejahatan tersebut, tetapi tidak sah untuk tambahan kewajiban yang muncul setelahnya, karena tambahan itu belum wajib ketika ia memaafkan. Dan jika ia berkata, ‘Aku telah memaafkan kejahatan ini beserta segala konsekuensi diyat atau qishash yang mungkin timbul darinya,’ lalu ia meninggal karena kejahatan itu, maka tidak ada jalan untuk menuntut qishash karena pengampunan tersebut, dan dilihat pada nilai diyat kejahatan itu. Dalam hal ini terdapat dua pendapat.”

 

أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ جَائِزٌ الْعَفْوُ عَنْهُ مِنْ ثُلُثِ مَالِ الْعَافِي كَأَنَّهَا مُوضِحَةٌ فَهِيَ نِصْفُ الْعَشْرِ وَيُؤْخَذُ بِبَاقِي الدِّيَةِ.

 

 

Salah satunya adalah bahwa boleh memaafkannya dari sepertiga harta orang yang memaafkan, seakan-akan itu adalah muḍiḥah, maka itu setengah dari sepersepuluh, dan diambil dari sisa diyat.

 

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنْ يُؤْخَذَ بِجَمِيعِ الْجِنَايَةِ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ نَفْسًا وَهَذَا قَاتِلٌ لَا يَجُوزُ لَهُ وَصِيَّةٌ بِحَالٍ.

 

 

Pendapat kedua: bahwa dia dikenai seluruh tindak pidana karena itu telah menjadi pembunuhan, dan si pembunuh sama sekali tidak diperbolehkan membuat wasiat.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّ كُلَّ ذَلِكَ وَصِيَّةٌ لِقَاتِلٍ فَلَمَّا بَطَلَ بَعْضُهَا بَطَلَ جَمِيعُهَا وَلِأَنَّهُ قَطَعَ بِأَنَّهُ لَوْ عَفَا وَالْقَاتِلُ عَبْدٌ جَازَ الْعَفْوُ مِنْ ثُلُثِ الْمَيِّتِ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih sesuai dengan pendapatnya; karena semua itu adalah wasiat untuk pembunuh, maka ketika sebagiannya batal, seluruhnya pun batal. Dan karena ia menegaskan bahwa jika ia memaafkan sedangkan si pembunuh adalah seorang budak, maka pemaafan itu diperbolehkan dari sepertiga harta mayit.”

 

(قَالَ) : وَإِنَّمَا أَجَزْنَا ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ وَصِيَّةٌ لِسَيِّدِ الْعَبْدِ مَعَ أَهْلِ الْوَصَايَا وَلِأَنَّهُ قَالَ فِي قَتْلِ الْخَطَأِ: لَوْ عَفَا عَنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ جَازَ عَفْوُهُ؛ لِأَنَّهَا وَصِيَّةٌ لِغَيْرِ قَاتِلٍ.

 

 

Beliau berkata: “Kami membolehkan hal itu karena itu adalah wasiat untuk tuan hamba bersama ahli wasiat, dan karena dia berkata tentang pembunuhan tidak sengaja: ‘Seandainya dia memaafkan diyat (denda) kejahatan, maka maafnya diperbolehkan,’ karena itu adalah wasiat untuk selain pembunuh.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ كَانَ الْقَاتِلُ خَطَأً ذِمِّيًّا لَا يَجْرِي عَلَى عَاقِلَتِهِ الْحُكْمُ أَوْ مُسْلِمًا أَقَرَّ بِجِنَايَةِ خَطَأٍ فَالدِّيَةُ فِي أَمْوَالِهِمَا وَالْعَفْوُ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّهُ وَصِيَّةٌ لِلْقَاتِلِ، وَلَوْ كَانَ لَهُمَا عَاقِلَةٌ لَمْ يَكُنْ عَفْوًا عَنْ الْعَاقِلَةِ إلَّا أَنْ يُرِيدَ بِقَوْلِهِ عَفَوْت عَنْهُ أَرْشَ الْجِنَايَةِ أَوْ مَا يَلْزَمُ مِنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ قَدْ عَفَوْت ذَلِكَ عَنْ عَاقِلَتِهِ فَيَجُوزُ ذَلِكَ لَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seandainya pelaku pembunuhan tidak sengaja adalah seorang kafir dzimmi yang tidak berlaku hukum atas keluarganya, atau seorang muslim yang mengakui kesalahan tidak sengaja, maka diyat diambil dari harta mereka berdua dan pengampunan itu batal karena itu merupakan wasiat untuk si pembunuh. Jika mereka memiliki keluarga (yang menanggung diyat), maka itu bukan pengampunan bagi keluarga kecuali jika maksud ucapannya ‘aku memaafkannya’ adalah memaafkan arsy (denda) jinayah atau apa yang wajib dari arsy jinayah, maka pengampunan itu boleh bagi keluarganya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ أَثْبَتَ أَنَّهَا وَصِيَّةٌ وَأَنَّهَا بَاطِلَةٌ لِقَاتِلٍ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – telah menetapkan bahwa itu adalah wasiat dan bahwa wasiat itu batal bagi si pembunuh.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ جَنَى عَبْدٌ عَلَى حُرٍّ فَابْتَاعَهُ بِأَرْشِ الْجُرْحِ فَهُوَ عَفْوٌ وَلَمْ يَجُزْ الْبَيْعُ إلَّا أَنْ يَعْلَمَا أَرْشَ الْجُرْحِ؛ لِأَنَّ الْأَثْمَانَ لَا تَجُوزُ إلَّا مَعْلُومَةً فَإِنْ أَصَابَ بِهِ عَيْبًا رَدَّهُ وَكَانَ لَهُ فِي عُنُقِهِ أَرْشُ جِنَايَتِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seandainya seorang budak menzalimi orang merdeka lalu si merdeka membeli budak tersebut dengan diyat luka, maka itu dimaafkan dan jual beli tidak sah kecuali jika keduanya mengetahui nilai diyat luka tersebut, karena harga tidak boleh kecuali harus diketahui. Jika terdapat cacat pada budak itu, ia boleh mengembalikannya dan diyat kejahatannya tetap menjadi tanggungan budak tersebut.”

 

بَابُ أَسْنَانِ الْإِبِلِ الْمُغَلَّظَةِ وَالْعَمْدِ وَكَيْفَ يُشْبِهُ الْعَمْدُ الْخَطَأَ

 

Bab tentang gigi unta yang diperberat, kesengajaan, dan bagaimana kesengajaan menyerupai ketidaksengajaan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «أَلَا إنَّ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ الْخَطَأِ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةً مِنْ الْإِبِلِ مُغَلَّظَةً مِنْهَا أَرْبَعُونَ خَلِفَةً فِي بُطُونِهَا أَوْلَادُهَا»

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Ali bin Zaid bin Jud’an dari Al-Qasim bin Rabi’ah dari Ibnu Umar bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Ketahuilah, dalam pembunuhan yang disengaja namun seperti tidak disengaja dengan cambuk atau tongkat, diyatnya adalah seratus unta yang dipertanggungkan, di antaranya empat puluh unta yang sedang hamil.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَهَذَا خَطَأٌ فِي الْقَتْلِ وَإِنْ كَانَ عَمْدًا فِي الضَّرْبِ وَاحْتَجَّ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَطَاءٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَنَّهُمَا قَالَا: فِي تَغْلِيظِ الْإِبِلِ أَرْبَعُونَ خَلِفَةً وَثَلَاثُونَ حِقَّةً وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Ini adalah kesalahan dalam pembunuhan, meskipun sengaja dalam pemukulan.” Dan beliau berargumen dengan Umar bin Khattab dan Atha’ – radhiyallahu ‘anhuma – bahwa keduanya berkata: “Dalam denda unta yang diperberat adalah empat puluh unta betina yang telah beranak, tiga puluh unta betina berumur tiga tahun, dan tiga puluh unta betina berumur empat tahun.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَالْخَلِفَةُ الْحَامِلُ وَقَلَّ مَا تَحْمِلُ الثَّنِيَّةُ فَصَاعِدًا فَأَيَّةُ نَاقَةٍ مِنْ إبِلِ الْعَاقِلَةِ حَمَلَتْ فَهِيَ خَلِفَةٌ تُجْزِئُ فِي الدِّيَةِ مَا لَمْ تَكُنْ مَعِيبَةً، وَكَذَلِكَ لَوْ ضَرَبَهُ بِعَمُودٍ خَفِيفٍ أَوْ بِحَجَرٍ لَا يَشْدَخُ أَوْ بِحَدِّ سَيْفٍ لَمْ يَجْرَحْ أَوْ أَلْقَاهُ فِي بَحْرٍ قُرْبَ الْبَرِّ وَهُوَ يُحْسِنُ الْعَوْمَ أَوْ مَاءٍ الْأَغْلَبُ أَنَّهُ لَا يَمُوتُ مِنْ مِثْلِهِ فَمَاتَ فَلَا قَوَدَ وَفِيهِ الدِّيَةُ عَلَى الْعَاقِلَةِ، وَكَذَلِكَ الْجِرَاحُ وَكَذَلِكَ التَّغْلِيظُ فِي النَّفْسِ وَالْجِرَاحُ فِي الشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْبَلَدِ الْحَرَامِ وَذِي الرَّحِمِ، وَرُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ عَفَّانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَضَى فِي دِيَةِ امْرَأَةٍ وُطِئَتْ بِمَكَّةَ بِدِيَةٍ وَثُلُثٍ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Khilfah adalah unta yang hamil, dan jarang sekali unta yang berusia dua tahun ke atas hamil. Maka, unta mana pun dari unta-unta aqilah yang hamil, ia adalah khilfah yang sah digunakan untuk diat selama tidak cacat. Demikian pula, jika seseorang memukul dengan tongkat ringan, batu yang tidak mematikan, atau sisi pedang yang tidak melukai, atau melemparkannya ke laut dekat darat sementara ia pandai berenang, atau ke air yang umumnya tidak menyebabkan kematian, lalu korban meninggal, maka tidak ada qisas, tetapi diat dibebankan kepada aqilah. Begitu juga dengan luka-luka. Demikian pula pemberatan dalam kasus jiwa dan luka-luka di bulan haram, tanah haram, dan terhadap kerabat. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan – radhiyallahu ‘anhu – bahwa ia memutuskan diat seorang wanita yang dizinai di Mekkah dengan diat dan sepertiga tambahan.”

(قَالَ) : وَهَكَذَا أَسْنَانُ دِيَةِ الْعَمْدِ حَالَّةٌ فِي مَالِهِ إذَا زَالَ عَنْهُ الْقِصَاصُ.

 

Beliau berkata: “Demikian pula diyat pembunuhan sengaja menjadi tanggungan dalam hartanya apabila qishas telah gugur darinya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: إذَا كَانَتْ الْمُغَلَّظَةُ أَعْلَى سِنًّا مِنْ سَنِّ الْخَطَأِ لِلتَّغْلِيظِ فَالْعَامِدُ أَحَقُّ بِالتَّغْلِيظِ إذَا صَارَتْ عَلَيْهِ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Jika hukuman yang diperberat (al-mughallazhah) umurnya lebih tinggi daripada usia kesalahan yang diperberat, maka pelaku yang sengaja lebih berhak mendapat hukuman berat jika hal itu berlaku padanya. Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

بَابُ أَسْنَانِ الْخَطَأِ وَتَقْوِيمِهَا وَدِيَاتِ النُّفُوسِ وَالْجِرَاحِ وَغَيْرِهِمَا

 

Bab tentang kesalahan yang tidak disengaja, perbaikannya, diyat untuk jiwa, luka-luka, dan lainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ} النساء: 92 فَأَبَانَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّ الدِّيَةَ مِائَةٌ مِنْ الْإِبِلِ. وَرُوِيَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ: إنَّهُمْ كَانُوا يَقُولُونَ: دِيَةُ الْخَطَأِ مِائَةٌ مِنْ الْإِبِلِ عِشْرُونَ ابْنَةَ مَخَاضٍ وَعِشْرُونَ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ ابْنَ لَبُونٍ وَعِشْرُونَ حِقَّةً وَعِشْرُونَ جَذَعَةً.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Allah Ta’ala berfirman {Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, maka hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya} An-Nisa: 92. Maka Allah menjelaskan melalui lisan Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa diat itu seratus unta. Dan diriwayatkan dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata: Dahulu mereka mengatakan: Diat karena kesalahan adalah seratus unta, yaitu dua puluh bintu makhad, dua puluh bintu labun, dua puluh ibnu labun, dua puluh hiqqah, dan dua puluh jadza’ah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: فَبِهَذَا نَأْخُذُ وَلَا يُكَلَّفُ أَحَدٌ مِنْ الْعَاقِلَةِ غَيْرَ إبِلِهِ وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ دُونَهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لِبَلَدِهِ إبِلٌ كُلِّفَ إلَى أَقْرَبِ الْبُلْدَانِ إلَيْهِ، فَإِنْ كَانَتْ إبِلُ الْعَاقِلَةِ مُخْتَلِفَةً أَدَّى كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ مِنْ إبِلِهِ فَإِنْ كَانَتْ عِجَافًا أَوْ جُرْبًا قِيلَ: إنْ أَدَّيْت صِحَاحًا جُبِرَ عَلَى قَبُولِهَا، فَإِنْ أَعْوَزَتْ الْإِبِلُ فَقِيمَتُهَا دَنَانِيرَ أَوْ دَرَاهِمَ كَمَا قَوَّمَهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Dengan ini kami mengambil (pendapat), dan tidak seorang pun dari ‘aqilah (keluarga pelaku) dibebani selain untanya, serta tidak diterima darinya selain itu. Jika di negerinya tidak ada unta, maka dibebankan hingga negeri terdekat yang memiliki unta. Jika unta-unta ‘aqilah berbeda-beda, maka setiap laki-laki dari mereka menunaikan dari untanya. Jika untanya kurus atau berpenyakit kulit, dikatakan: ‘Jika engkau menunaikan yang sehat, penerima dipaksa untuk menerimanya.’ Jika unta tidak mencukupi, maka nilainya dalam dinar atau dirham sebagaimana yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu-.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَالْعِلْمُ مُحِيطٌ بِأَنَّهُ لَمْ يُقَوِّمْهَا إلَّا قِيمَةَ يَوْمِهَا فَإِذَا قَوَّمَهَا كَذَلِكَ فَاتِّبَاعُهُ أَنْ تُقَوَّمَ مَتَى وَجَبَتْ وَلَعَلَّهُ أَنْ لَا يَكُونَ قَوَّمَهَا إلَّا فِي حِينٍ وَبَلَدٌ أَعْوَزَتْ فِيهِ أَوْ يَتَرَاضَى الْجَانِي وَالْوَلِيُّ فَيَدُلُّ عَلَى تَقْوِيمِهِ لِلْإِعْوَازِ قَوْلُهُ: لَا يُكَلَّفُ أَعْرَابِيٌّ الذَّهَبَ وَلَا الْوَرِقَ؛ لِأَنَّهُ يَجِدُ الْإِبِلَ وَأَخْذُهُ ذَلِكَ مِنْ الْقَرَوِيِّ لِإِعْوَازِ الْإِبِلِ فِيمَا أَرَى. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): Ilmu telah meliputi bahwa dia tidak menilai kecuali dengan nilai pada harinya. Jika dia menilainya demikian, maka mengikutinya adalah dengan menilai ketika diwajibkan. Bisa jadi dia tidak menilainya kecuali pada waktu dan tempat di mana unta langka, atau pelaku dan wali saling meridhai. Hal ini menunjukkan penilaiannya karena kelangkaan, seperti perkataannya: “Orang badui tidak dibebani emas atau perak, karena dia memiliki unta, dan mengambilnya dari orang desa karena kelangkaan unta menurut pandanganku.” Wallahu a’lam.

 

وَلَوْ جَازَ أَنْ يُقَوَّمَ بِغَيْرِ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ جَعَلْنَا عَلَى أَهْلِ الْخَيْلِ الْخَيْلَ وَعَلَى أَهْلِ الطَّعَامِ الطَّعَامَ.

 

 

Seandainya boleh menilai dengan selain dirham dan dinar, niscaya kami akan membebankan kuda kepada pemilik kuda dan makanan kepada pemilik makanan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَوْلُهُ الْقَدِيمُ عَلَى أَهْلِ الذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ اثْنَا عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَرُجُوعُهُ عَنْ الْقَدِيمِ رَغْبَةٌ عَنْهُ إلَى الْجَدِيدِ وَهُوَ بِالسُّنَّةِ أَشْبَهُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Pendapat lamanya adalah bagi pemilik emas (zakatnya) seribu dinar, dan bagi pemilik perak dua belas ribu dirham. Kemudian ia menarik kembali pendapat lamanya karena lebih condong kepada pendapat baru, yang lebih mirip dengan Sunnah.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَفِي الْمُوضِحَةِ خَمْسٌ مِنَ الْإِبِلِ وَهِيَ الَّتِي تُبْرِزُ الْعَظْمَ حَتَّى يُقْرَعَ بِالْمِرْوَدِ؛ لِأَنَّهَا عَلَى الْأَسْمَاءِ صَغُرَتْ أَوْ كَبُرَتْ شَانَتْ أَوْ لَمْ تَشِنْ وَلَوْ كَانَ وَسَطُهَا مَا لَمْ يَنْخَرِقْ فَهِيَ مُوضِحَتَانِ، فَإِنْ قَالَ: شَقَقْتهَا مِنْ رَأْسِي وَقَالَ الْجَانِي: بَلْ تَآكَلَتْ مِنْ جِنَايَتِي فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ مَعَ يَمِينِهِ؛ لِأَنَّهُمَا وَجَبَتَا لَهُ فَلَا يُبْطِلُهُمَا إلَّا إقْرَارُهُ أَوْ بَيِّنَةٌ عَلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan dalam luka mudhihah (yang menampakkan tulang) diwajibkan lima ekor unta, yaitu luka yang menampakkan tulang hingga dapat dipukul dengan tongkat kecil. Karena baik luka itu kecil atau besar, parah atau tidak, selama bagian tengahnya belum berlubang, maka itu dihitung sebagai dua luka mudhihah. Jika korban berkata, ‘Aku membelahnya dari kepalaku,’ sedangkan pelaku berkata, ‘Bahkan itu terjadi karena perbuatanku,’ maka perkataan korban yang diterima disertai sumpahnya. Karena kedua luka itu wajib baginya, sehingga tidak bisa dibatalkan kecuali dengan pengakuannya atau bukti yang jelas.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(وَقَالَ) فِي الْهَاشِمَةِ عَشْرٌ مِنْ الْإِبِلِ وَهِيَ الَّتِي تُوضِحُ وَتُهَشِّمُ وَفِي الْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنْ الْإِبِلِ وَهِيَ الَّتِي تَكْسِرُ عَظْمَ الرَّأْسِ حَتَّى يَتَشَظَّى فَيُنْقَلُ مِنْ عِظَامِهِ لِيَلْتَئِمَ وَذَلِكَ كُلُّهُ فِي الرَّأْسِ وَالْوَجْهِ وَاللَّحْيِ الْأَسْفَلِ وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ النَّفْسِ وَهِيَ الَّتِي تَخْرِقُ إلَى جِلْدِ الدِّمَاغِ وَلَمْ أَعْلَمْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَكَمَ فِيمَا دُونَ الْمُوضِحَةِ بِشَيْءٍ فَفِيمَا دُونَهَا حُكُومَةٌ لَا يُبْلَغُ بِهَا قَدْرُ مُوضِحَةٍ، وَإِنْ كَانَ الشَّيْنُ أَكْثَرَ وَفِي كُلِّ جُرْحٍ مَا عَدَا الرَّأْسَ وَالْوَجْهَ حُكُومَةٌ إلَّا الْجَائِفَةَ فَفِيهَا ثُلُثُ النَّفْسِ وَهِيَ الَّتِي تَخْرِقُ إلَى الْجَوْفِ مِنْ بَطْنٍ أَوْ ظَهْرِ صَدْرٍ أَوْ ثُغْرَةِ نَحْرٍ فَهِيَ جَائِفَةٌ وَفِي الْأُذُنَيْنِ الدِّيَةُ وَفِي السَّمْعِ الدِّيَةُ وَيُتَغَفَّلُ، وَيُصَاحُ بِهِ فَإِنْ أَجَابَ عُرِفَ أَنَّهُ يَسْمَعُ وَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ قَوْلُهُ، وَإِنْ لَمْ يُجِبْ عِنْدَ غفلانه وَلَمْ يَفْزَعْ إذَا صِيحَ بِهِ حَلَفَ لَقَدْ ذَهَبَ سَمْعُهُ وَأَخَذَ الدِّيَةَ وَفِي ذَهَابِ الْعَقْلِ الدِّيَةُ وَفِي الْعَيْنَيْنِ الدِّيَةُ وَفِي ذَهَابِ بَصَرِهِمَا الدِّيَةُ فَإِنْ نَقَصَتْ إحْدَاهُمَا عَنْ الْأُخْرَى اخْتَبَرْته بِأَنْ أَعْصَبَ عَيْنَهُ الْعَلِيلَةَ وَأُطْلَقَ الصَّحِيحَةَ وَأَنْصِبَ لَهُ شَخْصًا عَلَى رَبْوَةٍ أَوْ مُسْتَوًى فَإِذَا أَثْبَتَهُ بِعِدَّتِهِ حَتَّى يَنْتَهِيَ بَصَرُهَا ثُمَّ أَذْرَعَ بَيْنَهُمَا وَأُعْطِيَهُ عَلَى قَدْرِ مَا نَقَصَتْ عَنْ الصَّحِيحَةِ، وَلَوْ قَالَ: جَنَيْت عَلَيْهِ وَهُوَ ذَاهِبُ الْبَصَرِ فَعَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ أَنَّهُ كَانَ يُبْصِرُ وَيَسَعُهَا أَنْ تَشْهَدَ إذَا رَأَتْهُ يُتْبِعُ الشَّخْصَ بَصَرَهُ وَيَطْرِفُ عَنْهُ وَيَتَوَقَّاهُ وَكَذَلِكَ الْمَعْرِفَةُ بِانْبِسَاطِ الْيَدِ وَالذَّكَرِ وَانْقِبَاضِهِمَا، وَكَذَلِكَ الْمَعْتُوهُ وَالصَّبِيُّ وَمَتَى عُلِمَ أَنَّهُ صَحِيحٌ فَهُوَ عَلَى الصِّحَّةِ حَتَّى يُعْلَمَ غَيْرُهَا.

 

(Dan dia berkata) tentang luka hasymah diwajibkan sepuluh unta, yaitu luka yang menembus dan menghancurkan tulang. Pada munqilah diwajibkan lima belas unta, yaitu luka yang mematahkan tulang kepala hingga pecah sehingga sebagian tulangnya harus dipindahkan untuk menyambungnya. Semua itu berlaku pada kepala, wajah, dan rahang bawah. Pada luka ma’mumah diwajibkan sepertiga diyat, yaitu luka yang menembus hingga selaput otak. Aku tidak mengetahui Rasulullah ﷺ menetapkan hukum pada luka yang kurang dari muwaddhah, maka pada luka di bawahnya berlaku hukumah (kompensasi) yang tidak mencapai kadar muwaddhah, meskipun cacatnya lebih banyak. Pada setiap luka selain kepala dan wajah berlaku hukumah, kecuali jaifah, padanya diwajibkan sepertiga diyat, yaitu luka yang menembus hingga rongga tubuh, baik dari perut, punggung, dada, atau leher, maka itu jaifah.

 

Pada kedua telinga diwajibkan diyat penuh, begitu pula pada pendengaran. Caranya, orang tersebut dibuat lalai lalu diteriaki. Jika dia menjawab, diketahui bahwa dia mendengar dan perkataannya tidak diterima. Jika dia tidak menjawab saat lalai dan tidak kaget ketika diteriaki, dia bersumpah bahwa pendengarannya benar-benar hilang dan mengambil diyat. Pada hilangnya akal diwajibkan diyat penuh. Pada kedua mata diwajibkan diyat penuh, begitu pula pada hilangnya penglihatan keduanya. Jika salah satu mata berkurang penglihatannya dibanding yang lain, diuji dengan membalut mata yang sakit dan membiarkan yang sehat, lalu diletakkan seseorang di tempat tinggi atau datar. Jika dia bisa mengenalinya dengan jumlah tertentu hingga penglihatannya mencapai batas, kemudian diukur perbedaan antara keduanya dan diberi kompensasi sesuai kadar pengurangan dari mata yang sehat.

 

Jika pelaku berkata, “Aku melukainya padahal penglihatannya sudah hilang,” maka korban harus mendatangkan bukti bahwa dia sebelumnya bisa melihat. Bukti itu cukup dengan kesaksian bahwa mereka melihatnya mengikuti objek dengan pandangan, berkedip, atau menghindar. Demikian pula pengetahuan tentang gerakan tangan dan kemaluan (mengembang dan mengkerut). Begitu pula pada orang gila dan anak kecil. Jika diketahui bahwa dia sehat, maka statusnya sehat hingga diketahui sebaliknya.

 

(قَالَ) : وَفِي الْجُفُونِ إذَا اُسْتُؤْصِلَتْ الدِّيَةُ وَفِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا رُبُعُ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ تَمَامِ خِلْقَتِهِ وَمَا يَأْلَمُ بِقَطْعِهِ وَفِي الْأَنْفِ إذَا أُوعِبَ مَارِنُهُ جَدْعًا الدِّيَةُ وَفِي ذَهَابِ الشَّمِّ الدِّيَةُ.

 

 

Beliau berkata: “Pada kelopak mata jika dicabut, diyat berlaku, dan pada masing-masing dari keduanya seperempat diyat; karena hal itu merupakan bagian dari kesempurnaan penciptaannya dan menimbulkan rasa sakit jika dipotong. Pada hidung jika dipotong seluruh ujungnya, diyat berlaku. Dan pada hilangnya penciuman, diyat juga berlaku.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَفِي الشَّفَتَيْنِ الدِّيَةُ إذَا اُسْتُوْعِبَتَا وَفِي كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا نِصْفُ الدِّيَةِ وَفِي اللِّسَانِ الدِّيَةُ وَإِنْ خَرِسَ فَفِيهِ الدِّيَةُ وَإِنْ ذَهَبَ بَعْضُ كَلَامِهِ اُعْتُبِرَ عَلَيْهِ بِحُرُوفِ الْمُعْجَمِ ثُمَّ كَانَ مَا ذَهَبَ مِنْ عَدَدِ الْحُرُوفِ بِحِسَابِهِ، وَإِنْ قَطَعَ رُبُعَ اللِّسَانِ فَذَهَبَ بِأَقَلَّ مِنْ رُبُعِ الْكَلَامِ فَرُبُعُ الدِّيَةِ وَإِنْ ذَهَبَ نِصْفُ الْكَلَامِ فَنِصْفُ الدِّيَةِ، وَفِي لِسَانِ الصَّبِيِّ إذَا حَرَّكَهُ بِبُكَاءٍ أَوْ بِشَيْءٍ يُغَيِّرُ اللِّسَانَ الدِّيَةُ وَفِي لِسَانِ الْأَخْرَسِ حُكُومَةٌ، فَإِنْ قَالَ: لَمْ أَكُنْ أَبْكَمَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي مَعَ يَمِينِهِ فَإِنْ عُلِمَ أَنَّهُ نَاطِقٌ فَهُوَ نَاطِقٌ حَتَّى يُعْلَمَ خِلَافُ ذَلِكَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Pada kedua bibir diyat penuh jika keduanya terpotong seluruhnya, dan pada masing-masingnya setengah diyat. Pada lidah diyat penuh, jika menjadi bisu maka diyat penuh. Jika sebagian kemampuannya berbicara hilang, maka dihitung berdasarkan huruf-huruf hijaiyah, lalu dihitung jumlah huruf yang hilang. Jika seperempat lidah terpotong dan menyebabkan hilangnya kurang dari seperempat kemampuan bicara, maka seperempat diyat. Jika hilang separuh kemampuan bicara, maka separuh diyat. Pada lidah anak kecil yang bisa digerakkan untuk menangis atau sesuatu yang mengubah lidah, diyat penuh. Pada lidah orang bisu terdapat hukumah (kompensasi yang ditetapkan hakim). Jika Beliau berkata: ‘Aku dulunya tidak bisu’, maka perkataan pelaku disertai sumpah yang diterima. Jika diketahui bahwa dia bisa berbicara, maka dianggap bisa bicara sampai diketahui kebalikannya.”

(قَالَ) : وَفِي السِّنِّ خَمْسٌ مِنْ الْإِبِلِ إذَا كَانَ قَدْ أَثْغَرَ فَإِنْ لَمْ يُثْغِرْ اُنْتُظِرَ بِهِ فَإِنْ لَمْ تَنْبُتْ تَمَّ عَقْلُهَا وَإِنْ نَبَتَتْ فَلَا عَقْلَ لَهَا وَالضِّرْسُ سِنٌّ وَإِنْ سُمِّيَ ضِرْسًا كَمَا أَنَّ الثَّنِيَّةَ سِنٌّ وَإِنْ سُمِّيَتْ ثَنِيَّةً وَكَمَا أَنَّ اسْمَ الْإِبْهَامِ غَيْرُ اسْمِ الْخِنْصَرِ وَكِلَاهُمَا أُصْبُعٌ وَعَقْلُ كُلِّ أُصْبُعٍ سَوَاءٌ، فَإِنْ نَبَتَتْ سِنُّ رَجُلٍ قُلِعَتْ بَعْدَ أَخْذِهِ أَرْشَهَا، قَالَ فِي مَوْضِعٍ: يَرُدُّ مَا أَخَذَ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: لَا يَرُدُّ شَيْئًا.

 

Beliau berkata: “Pada gigi (yang patah) diyatnya adalah lima ekor unta jika gigi tersebut telah tanggal (gigi susu). Jika belum tanggal, maka ditunggu hingga tanggal. Jika tidak tumbuh lagi, maka diyatnya wajib dibayar penuh. Jika tumbuh lagi, maka tidak ada diyatnya. Geraham adalah gigi meskipun disebut geraham, sebagaimana gigi seri adalah gigi meskipun disebut gigi seri. Sebagaimana pula nama ibu jari berbeda dengan nama kelingking, namun keduanya adalah jari dan diyat setiap jari adalah sama. Jika gigi seseorang tumbuh kembali setelah dicabut, maka setelah dia mengambil diyatnya, gigi tersebut dicabut. Di satu tempat Beliau berkata: ‘Dia harus mengembalikan apa yang telah diambil.’ Di tempat lain Beliau berkata: ‘Dia tidak perlu mengembalikan apa pun.'”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا أَقْيَسُ فِي مَعْنَاهُ عِنْدِي؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَنْتَظِرْ بِسِنِّ الرَّجُلِ كَمَا انْتَظَرَ بِسِنِّ مَنْ لَمْ يُثْغِرْ هَلْ تَنْبُتُ أَمْ لَا؟ فَدَلَّ ذَلِكَ عِنْدِي مِنْ قَوْلِهِ: إنَّ عَقْلَهَا أَوْ الْقَوَدَ مِنْهَا قَدْ تَمَّ، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَانْتَظَرَ كَمَا انْتَظَرَ بِسِنِّ مَنْ لَمْ يُثْغِرْ، وَقِيَاسًا عَلَى قَوْلِهِ وَلَوْ قُطِعَ لِسَانُهُ فَأَخَذَ أَرْشَهُ ثُمَّ نَبَتَ صَحِيحًا لَمْ يَرُدَّ شَيْئًا، وَلَوْ قَطَعَهُ آخَرُ فَفِيهِ الْأَرْشُ تَامًّا وَمِنْ أَصْلِ قَوْلِهِ أَنَّ الْحُكْمَ عَلَى الْأَسْمَاءِ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Ini lebih tepat menurut maknanya menurutku, karena ia tidak menunggu usia laki-laki sebagaimana ia menunggu usia orang yang giginya belum tumbuh, apakah akan tumbuh atau tidak. Hal itu menunjukkan menurutku dari perkataannya bahwa diyat atau qisas darinya telah sempurna. Seandainya bukan karena itu, tentu ia akan menunggu sebagaimana ia menunggu usia orang yang giginya belum tumbuh. Dan sebagai qiyas atas perkataannya: ‘Seandainya lidahnya dipotong lalu ia mengambil arsy-nya kemudian tumbuh dengan sehat, ia tidak mengembalikan apa pun. Dan jika orang lain memotongnya, maka padanya ada arsy yang sempurna.’ Dan dari dasar perkataannya bahwa hukum itu berdasarkan nama-nama.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَكَذَلِكَ السِّنُّ فِي الْقِيَاسِ نَبَتَتْ أَوْ لَمْ تَنْبُتْ سَوَاءٌ إلَّا أَنْ تَكُونَ فِي الصَّغِيرِ إذَا نَبَتَتْ لَمْ يَكُنْ لَهَا عَقْلٌ أَصْلًا فَيُتْرَكُ لَهُ الْقِيَاسُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Demikian pula gigi dalam qiyas, baik telah tumbuh atau belum, sama saja kecuali jika pada anak kecil. Jika telah tumbuh tetapi belum memiliki akal sama sekali, maka qiyas ditinggalkan untuknya.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Dan gigi-gigi atas berada pada tulang kepala, sedangkan gigi-gigi bawah berada pada dua tulang rahang yang menyatu. Maka diyat berlaku pada dua tulang rahang, dan untuk setiap gigi dari gigi-gigi bawah adalah lima unta. Jika seseorang memukulnya hingga menghitam, maka berlaku hukumah (ganti rugi yang ditentukan oleh ahli).”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَالْأَسْنَانُ الْعُلْيَا فِي عَظْمِ الرَّأْسِ وَالسُّفْلَى فِي اللَّحْيَيْنِ مُلْتَصِقَتَيْنِ فَفِي اللَّحْيَيْنِ الدِّيَةُ وَفِي كُلِّ سِنٍّ مِنْ أَسْنَانِهَا خَمْسٌ مِنْ الْإِبِلِ، وَلَوْ ضَرَبَهَا فَاسْوَدَّتْ فَفِيهَا حُكُومَةٌ.

(وَقَالَ) فِي كِتَابِ عُقُولِهَا تَمَّ عَقْلُهَا.

 

Dan Dia berfirman dalam kitab-Nya tentang akal mereka, “Sempurnalah akal mereka.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الْحُكُومَةُ أَوْلَى؛ لِأَنَّ مَنْفَعَتَهَا بِالْقَطْعِ وَالْمَضْغِ وَرَدِّ الرِّيقِ وَسَدِّ مَوْضِعِهَا قَائِمَةً كَمَا لَوْ اسْوَدَّ بَيَاضُ الْعَيْنِ لَمْ يَكُنْ فِيهَا إلَّا حُكُومَةٌ؛ لِأَنَّ مَنْفَعَتَهَا بِالنَّظَرِ قَائِمَةٌ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Hukuman lebih utama; karena manfaatnya dalam memotong, mengunyah, menahan air liur, dan menutup tempatnya tetap ada, sebagaimana seandainya putih mata menjadi hitam, tidak ada padanya kecuali hukuman; karena manfaatnya dalam melihat tetap ada.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَفِي الْيَدَيْنِ الدِّيَةُ وَفِي الرِّجْلَيْنِ الدِّيَةُ وَفِي كُلِّ أُصْبُعٍ مِمَّا هُنَالِكَ عَشْرٌ مِنْ الْإِبِلِ وَفِي كُلِّ أُنْمُلَةٍ ثُلُثُ عَقْلِ أُصْبُعٍ إلَّا أُنْمُلَةَ الْإِبْهَامِ فَإِنَّهَا مَفْصِلَانِ فَفِي أُنْمُلَةِ الْإِبْهَامِ نِصْفُ عَقْلِ الْأُصْبُعِ وَأَيُّهَا شُلَّ تَمَّ عَقْلُهَا، وَإِنْ قُطِعَتْ مِنْ الذِّرَاعِ فَفِي الْكَفِّ نِصْفُ الدِّيَةِ وَفِيمَا زَادَ حُكُومَةٌ وَمَا زَادَ عَلَى الْقَدَمِ حُكُومَةٌ وَفِي قَدَمِ الْأَعْرَجِ وَيَدِ الْأَعْسَمِ إذَا كَانَتَا سَالِمَتَيْنِ الدِّيَةُ، وَلَوْ خُلِقَتْ لِرَجُلٍ كَفَّانِ فِي ذِرَاعٍ إحْدَاهُمَا فَوْقَ الْأُخْرَى فَكَانَ يَبْطِشُ بِالسُّفْلَى وَلَا يَبْطِشُ بِالْعُلْيَا فَالسُّفْلَى هِيَ الْكَفُّ الَّتِي فِيهَا الْقَوَدُ وَالْعُلْيَا زَائِدَةٌ وَفِيهَا حُكُومَةٌ وَكَذَلِكَ قَدَمَانِ فِي سَاقٍ فَإِنْ اسْتَوَتَا فَهُمَا نَاقِصَتَانِ، فَإِنْ قُطِعَتْ إحْدَاهُمَا فَفِيهَا حُكُومَةٌ لَا تُجَاوِزُ نِصْفَ دِيَةِ قَدَمٍ وَإِنْ قُطِعَتَا مَعًا فَفِيهِمَا دِيَةُ قَدَمٍ وَيُجَاوَزُ بِهَا دِيَةُ قَدَمٍ، وَإِنْ قُطِعَتْ إحْدَاهُمَا فَفِيهَا حُكُومَةٌ فَإِنْ عَمِلَتْ الْأُخْرَى لَمَّا انْفَرَدَتْ ثُمَّ عَادَ فَقَطَعَهَا وَهِيَ سَالِمَةٌ يَمْشِي عَلَيْهَا فَفِيهَا الْقِصَاصُ مَعَ حُكُومَةِ الْأُولَى.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Pada kedua tangan ada diyat, pada kedua kaki ada diyat, dan pada setiap jari dari bagian itu ada sepuluh unta. Pada setiap ruas jari ada sepertiga diyat jari, kecuali ruas ibu jari karena ia terdiri dari dua ruas, maka pada ruas ibu jari ada setengah diyat jari. Jika salah satunya lumpuh, diyatnya tetap utuh. Jika dipotong dari lengan, maka pada telapak tangan ada setengah diyat, dan pada bagian yang lebih dari itu ada hukumah (kompensasi yang ditentukan). Pada kaki yang lebih dari batas normal juga ada hukumah. Pada kaki yang pincang dan tangan yang kidal, jika keduanya sehat, maka diyatnya utuh. Seandainya seseorang terlahir dengan dua telapak tangan pada satu lengan, satu di atas yang lain, dan ia menggunakan yang bawah tetapi tidak menggunakan yang atas, maka yang bawah adalah telapak tangan yang berlaku qishash, sedangkan yang atas dianggap tambahan dan padanya ada hukumah. Demikian pula dua kaki pada satu betis. Jika keduanya seimbang, maka keduanya dianggap kurang sempurna. Jika salah satunya dipotong, maka ada hukumah yang tidak melebihi setengah diyat kaki. Jika keduanya dipotong bersamaan, maka diyatnya satu kaki, tetapi boleh melebihinya. Jika salah satunya dipotong, maka ada hukumah. Jika yang lain berfungsi ketika sendirian, lalu dipotong lagi dalam keadaan sehat dan digunakan untuk berjalan, maka berlaku qishash beserta hukumah untuk yang pertama.”

 

وَفِي الْأَلْيَتَيْنِ الدِّيَةُ وَهُمَا مَا أَشْرَفَ عَلَى الظَّهْرِ مِنْ الْمَأْكَمَتَيْنِ إلَى مَا أَشْرَفَ عَلَى اسْتِوَاءِ الْفَخِذَيْنِ وَسَوَاءٌ قُطِعَتَا مِنْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ وَكُلُّ مَا قُلْت فِيهِمَا الدِّيَةُ فَفِي إحْدَاهُمَا نِصْفُ الدِّيَةِ، وَلَا تُفَضَّلُ يُمْنَى عَلَى يُسْرَى وَلَا عَيْنُ أَعْوَرَ عَلَى عَيْنِ لَيْسَ بِأَعْوَرَ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: فِيهَا دِيَةٌ تَامَّةٌ وَإِنَّمَا «قَضَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْعَيْنَيْنِ الدِّيَةَ» ، وَعَيْنُ الْأَعْوَرِ كَيَدِ الْأَقْطَعِ فَإِنْ كُسِرَ صُلْبُهُ فَلَمْ يُطِقْ الْمَشْيَ فَفِيهِ الدِّيَةُ.

 

 

Pada kedua pantat diyat, yaitu bagian yang menghadap ke punggung dari dua tulang duduk hingga bagian yang menghadap ke rata-rata kedua paha. Sama saja apakah dipotong dari laki-laki atau perempuan. Setiap yang aku sebutkan diyat pada keduanya, maka pada salah satunya setengah diyat. Tidak boleh mengutamakan yang kanan atas yang kiri, atau mata yang buta atas mata yang tidak buta. Tidak boleh dikatakan padanya diyat penuh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan diyat pada kedua mata. Mata orang yang buta seperti tangan orang yang terpotong. Jika tulang punggungnya patah sehingga tidak mampu berjalan, maka padanya diyat.

 

 

(قَالَ) : وَدِيَةُ الْمَرْأَةِ وَجِرَاحُهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ فِيمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ وَفِي ثَدْيَيْهَا دِيَتُهَا وَفِي حَلَمَتَيْهَا دِيَتُهَا؛ لِأَنَّ فِيهِمَا مَنْفَعَةَ الرَّضَاعِ وَلَيْسَ ذَلِكَ فِي الرَّجُلِ فَفِيهِمَا مِنْ الرَّجُلِ حُكُومَةٌ وَفِي إسْكَتَيْهَا وَهُمَا شُفْرَاهَا إذَا أُوعِبَتَا دِيَتُهَا وَالرَّتْقَاءُ الَّتِي لَا تُؤْتَى وَغَيْرُهَا سَوَاءٌ، وَلَوْ أَفْضَى ثَيِّبًا كَانَ عَلَيْهِ دِيَتُهَا وَمَهْرُ مِثْلِهَا بِوَطْئِهِ إيَّاهَا، وَفِي الْعَيْنِ الْقَائِمَةِ وَالْيَدِ وَالرِّجْلِ الشَّلَّاءِ وَلِسَانِ الْأَخْرَسِ وَذَكَرِ الْأَشَلِّ فَيَكُونُ مُنْبَسِطًا لَا يَنْقَبِضُ أَوْ مُنْقَبِضًا لَا يَنْبَسِطُ وَفِي الْأُذُنَيْنِ الْمُسْتَحْشِفَتَيْنِ بِهِمَا مِنْ الِاسْتِحْشَافِ مَا بِالْيَدِ مِنْ الشَّلَلِ وَذَلِكَ أَنْ تُحَرَّكَا فَلَا تَتَحَرَّكَا أَوْ تُغْمَزَا بِمَا يُؤْلِمُ فَلَا تَأَلَّمَا، وَكُلُّ جُرْحٍ لَيْسَ فِيهِ أَرْشٌ مَعْلُومٌ وَفِي شَعْرِ الرَّأْسِ وَالْحَاجِبَيْنِ وَاللِّحْيَةِ وَأَهْدَابِ الْعَيْنَيْنِ – فِي كُلِّ ذَلِكَ حُكُومَةٌ، وَمَعْنَى الْحُكُومَةِ أَنْ يُقَوَّمَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ كَمْ يَسْوَى أَنْ لَوْ كَانَ عَبْدًا غَيْرَ مَجْنِيٍّ عَلَيْهِ ثُمَّ يُقَوَّمَ مَجْنِيًّا عَلَيْهِ فَيُنْظَرُ كَمْ بَيْنَ الْقِيمَتَيْنِ فَإِنْ كَانَ الْعُشْرَ فَفِيهِ عُشْرُ الدِّيَةِ أَوْ الْخُمُسَ فَعَلَيْهِ خُمُسُ الدِّيَةِ وَمَا كُسِرَ مِنْ سِنٍّ أَوْ قُطِعَ مِنْ شَيْءٍ لَهُ أَرْشٌ مَعْلُومٌ فَعَلَى حِسَابِ مَا ذَهَبَ مِنْهُ.

 

 

Beliau berkata: Diyat (tebusan) wanita dan luka-lukanya adalah setengah dari diyat laki-laki, baik sedikit maupun banyak. Pada kedua payudaranya ada diyatnya, dan pada kedua putingnya ada diyatnya karena keduanya memiliki manfaat menyusui yang tidak dimiliki laki-laki. Pada bagian ini dari laki-laki berlaku hukumah (penilaian kerusakan). Pada kedua iskat (bibir kemaluan)-nya, yaitu kedua bibir vaginanya jika dihilangkan, ada diyatnya. Perempuan yang tertutup (ratqā’) yang tidak bisa disetubuhi dan lainnya sama saja. Jika seseorang menyetubuhi seorang janda, maka dia wajib membayar diyatnya dan mahar seperti wanita tersebut karena persetubuhannya. Pada mata yang buta, tangan yang lumpuh, kaki yang lumpuh, lidah orang bisu, kemaluan laki-laki yang lumpuh (baik dalam keadaan terentang tidak bisa mengkerut atau mengkerut tidak bisa mengembang), dan kedua telinga yang tidak berfungsi (karena kerusakan yang setara dengan kelumpuhan pada tangan, yaitu ketika digerakkan tidak bisa bergerak atau ditekan dengan sesuatu yang menyakitkan tetapi tidak merasakan sakit). Setiap luka yang tidak memiliki arsy (kompensasi) yang pasti, pada rambut kepala, kedua alis, jenggot, dan bulu mata—pada semua itu berlaku hukumah. Makna hukumah adalah menilai korban seberapa nilainya seandainya dia adalah budak yang tidak mengalami kerusakan, kemudian dinilai setelah mengalami kerusakan, lalu dilihat selisih antara kedua nilai tersebut. Jika sepersepuluh, maka dikenakan sepersepuluh diyat, atau jika seperlima maka dikenakan seperlima diyat. Gigi yang patah atau bagian tubuh yang terpotong yang memiliki arsy yang pasti, maka dihitung berdasarkan bagian yang hilang.

 

(وَقَالَ) فِي التَّرْقُوَةِ جَمَلٌ وَفِي الضِّلْعِ حَمَلٌ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ يُشْبِهُ مَا حُكِيَ عَنْ عُمَرَ فِيمَا وَصَفْت حُكُومَةٌ لَا تَوْقِيتٌ.

 

 

Dan dia berkata, “Pada tulang selangka ada unta, dan pada tulang rusuk ada kambing.” Dia juga berkata di tempat lain, serupa dengan apa yang diriwayatkan dari Umar dalam apa yang engkau sebutkan, “Keputusan (yang adil), bukan batasan waktu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ كَمَا يُؤَوَّلُ قَوْلُ زَيْدٍ فِي الْعَيْنِ الْقَائِمَةِ مِائَةُ دِينَارٍ أَنَّ ذَلِكَ عَلَى مَعْنَى الْحُكُومَةِ لَا تَوْقِيتٌ، وَقَدْ قَطَعَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – بِهَذَا الْمَعْنَى فَقَالَ: فِي كُلِّ عَظْمٍ كُسِرَ سِوَى السِّنِّ حُكُومَةٌ فَإِذَا جُبِرَ مُسْتَقِيمًا فَفِيهِ حُكُومَةٌ بِقَدْرِ الْأَلَمِ وَالشَّيْنِ وَإِنْ جُبِرَ مَعِيبًا بِعَجْزٍ أَوْ عَرَجٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ زِيدَ فِي حُكُومَتِهِ بِقَدْرِ شَيْنِهِ وَضُرِّهِ وَأَلَمِهِ لَا يُبْلِغُ بِهِ دِيَةَ الْعَظْمِ لَوْ قُطِعَ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Ini lebih mirip dengan perkataannya sebagaimana ditafsirkan ucapan Zaid tentang mata yang masih utuh seharga seratus dinar, bahwa hal itu bermakna hukumah (kompensasi) bukan taqit (penetapan nilai pasti). Imam Syafi’i – rahimahullah – telah menegaskan makna ini dengan berkata: “Pada setiap tulang yang patah selain gigi ada hukumah. Jika tulang itu sembuh lurus, maka ada hukumah sesuai kadar rasa sakit dan cacatnya. Jika sembuh dalam keadaan cacat seperti lumpuh, pincang, atau lainnya, maka ditambah hukumahnya sesuai kadar cacat, bahaya, dan rasa sakitnya, namun tidak sampai mencapai diyat tulang jika dipotong.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ جَرَحَهُ فَشَانَ وَجْهَهُ أَوْ رَأْسَهُ شَيْئًا يَبْقَى فَإِنْ كَانَ الشَّيْنُ أَكْثَرَ مِنْ الْجُرْحِ أَخَذَ بِالشَّيْنِ، وَإِنْ كَانَ الْجُرْحُ أَكْثَرَ مِنْ الشَّيْنِ أَخَذَ بِالْجُرْحِ وَلَمْ يَزِدْ لِلشَّيْنِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya ia melukainya sehingga mencederai wajah atau kepalanya dengan sesuatu yang permanen, maka jika cedera itu lebih besar daripada lukanya, ia dikenai (denda) atas cederanya. Namun jika lukanya lebih besar daripada cederanya, ia dikenai (denda) atas lukanya tanpa tambahan untuk cederanya.”

 

(قَالَ) : فَإِنْ كَانَ الشَّيْنُ أَكْثَرَ مِنْ مُوضِحَةٍ نَقَصْت مِنْ الْمُوضِحَةِ شَيْئًا مَا كَانَ الشَّيْنُ؛ لِأَنَّهَا لَوْ كَانَتْ مُوضِحَةً مَعَهَا شَيْنٌ لَمْ أَزِدْ عَلَى مُوضِحَةٍ، فَإِذَا كَانَ الشَّيْنُ مَعَهَا وَهُوَ أَقَلُّ مِنْ مُوضِحَةٍ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ مُوضِحَةً وَفِي الْجِرَاحِ عَلَى قَدْرِ دِيَاتِهِمْ وَالْمَرْأَةُ مِنْهُمْ وَجِرَاحُهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ فِيمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika cacat lebih banyak daripada luka yang jelas (muwadhhah), maka kurangi sedikit dari nilai muwadhhah sesuai kadar cacatnya. Sebab, jika itu adalah muwadhhah yang disertai cacat, aku tidak akan menambah lebih dari satu muwadhhah. Jika cacat menyertainya tetapi lebih sedikit dari muwadhhah, tidak boleh digabungkan hingga mencapai satu muwadhhah. Dalam luka-luka, (diyat) dihitung sesuai kadar diyat mereka. Wanita di antara mereka, luka-lukanya setengah dari diyat laki-laki, baik sedikit maupun banyak.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَفِي الْجِرَاحِ فِي غَيْرِ الْوَجْهِ وَالرَّأْسِ بِقَدْرِ الشَّيْنِ الْبَاقِي بَعْدَ الْتِئَامِهِ لَا يَبْلُغُ بِهَا الدِّيَةَ إنْ كَانَ حُرًّا وَلَا ثَمَنَهُ إنْ كَانَ عَبْدًا وَلِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْجَسَدِ قَدْرٌ مَعْلُومٌ سِوَى الْجَائِفَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Dan pada luka di selain wajah dan kepala, diukur berdasarkan aib yang tersisa setelah sembuhnya, yang tidak mencapai diyat jika korban adalah orang merdeka, atau harganya jika dia adalah budak. Karena tidak ada ukuran tertentu pada tubuh selain luka yang menembus rongga.”

 

 

وَدِيَةُ النَّصْرَانِيِّ وَالْيَهُودِيِّ ثُلُثُ الدِّيَةِ وَاحْتُجَّ فِي ذَلِكَ بِعُمَرَ وَعُثْمَانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – وَدِيَةُ الْمَجُوسِيِّ ثَمَانُمِائَةِ دِرْهَمٍ، وَاحْتُجَّ فِي ذَلِكَ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَجِرَاحُهُمْ عَلَى قَدْرِ دِيَاتِهِمْ وَالْمَرْأَةُ مِنْهُمْ وَجِرَاحُهَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ فِيمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ، وَاحْتُجَّ فِي دِيَاتِ أَهْلِ الْكُفْرِ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى فَرَّقَ ثُمَّ رَسُولُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْكَافِرِينَ فَجَعَلَ الْكُفَّارَ مَتَى قَدَرَ عَلَيْهِمْ الْمُؤْمِنُونَ صِنْفًا مِنْهُمْ يَعْبُدُونَ وَتُؤْخَذُ أَمْوَالُهُمْ لَا يُقْبَلُ مِنْهُمْ غَيْرُ ذَلِكَ وَصِنْفًا يُصْنَعُ ذَلِكَ بِهِمْ إلَّا أَنْ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ، فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُجْعَلَ مَنْ كَانَ خَوَلًا لِلْمُسْلِمِينَ فِي حَالٍ أَوْ خَوَلًا بِكُلِّ حَالٍ إلَّا أَنْ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ كَالْعَبْدِ الْمُخَارَجِ فِي بَعْضِ حَالَاتِهِ كَفِيئًا لِمُسْلِمٍ فِي دَمٍ وَلَا دِيَةٍ وَلَا يَبْلُغُ بِدِيَةِ كَافِرٍ دِيَةَ مُؤْمِنٍ إلَّا مَا لَا خِلَافَ فِيهِ.

 

 

Diyat (tebusan darah) seorang Nasrani dan Yahudi adalah sepertiga diyat (orang Muslim), dan hal ini didasarkan pada pendapat Umar dan Utsman – radhiyallahu ‘anhuma -. Diyat orang Majusi adalah delapan ratus dirham, dan hal ini didasarkan pada pendapat Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu -. Luka-luka mereka (orang kafir) dinilai sesuai dengan kadar diyat mereka, dan wanita di antara mereka serta luka-lukanya dinilai setengah dari diyat laki-laki dalam hal yang sedikit maupun banyak. Dalam masalah diyat ahli kufur, dijelaskan bahwa Allah Ta’ala dan Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – membedakan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir. Orang-orang kafir, ketika kaum Muslimin mampu menguasai mereka, terbagi menjadi dua golongan: (1) golongan yang menyembah (berhala) dan harta mereka diambil, tidak diterima selain itu, dan (2) golongan yang diperlakukan demikian kecuali jika mereka memberikan jizyah dengan patuh dan dalam keadaan tunduk. Maka tidak boleh menjadikan orang yang menjadi budak kaum Muslimin dalam suatu keadaan atau budak dalam segala keadaan—kecuali jika mereka membayar jizyah—sebanding dengan seorang Muslim dalam hal nyawa, diyat, atau mencapai diyat orang kafir setara dengan diyat orang beriman, kecuali dalam hal yang tidak ada perselisihan di dalamnya.

 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Dan dengan perkataan Sa’id bin Al-Musayyab aku berkata: Luka-luka budak diambil dari harganya sebagaimana luka-luka orang merdeka diambil dari diyatnya, dalam setiap yang sedikit maupun banyak, dan nilainya sesuai dengan apa adanya. Ini diriwayatkan dari Umar dan Ali – radhiyallahu ‘anhuma -.”

 

(قَالَ) : وَتَحْمِلُ ثَمَنَهُ الْعَاقِلَةُ إذَا قُتِلَ خَطَأً وَفِي ذَكَرِهِ ثَمَنُهُ وَلَوْ زَادَ الْقَطْعُ فِي ثَمَنِهِ أَضْعَافًا.

 

 

(Dia berkata): “Dan yang menanggung harganya adalah keluarga dekat jika terbunuh secara tidak sengaja, dan dalam penyebutannya adalah harganya, meskipun pemotongan (anggota tubuh) menambah harga tersebut berlipat ganda.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِنْ قِيلَ: فَإِذَا كُنْت تَزْعُمُ أَنَّ ثَمَنَهُ كَثَمَنِ الْبَعِيرِ إذَا قُتِلَ فَلِمَ لَمْ يُحْكَمْ فِي جُرْحِهِ كَجُرْحِ الْبَعِيرِ وَبَعْضِهِ؟ قُلْت: قَدْ يُجَامِعُ الْحُرُّ الْبَعِيرَ يُقْتَلُ فَيَكُونُ ثَمَنُهُ مِثْلَ دِيَةِ الْحُرِّ فَهُوَ فِي الْحُرِّ دِيَةٌ وَفِي الْبَعِيرِ قِيمَةٌ وَالْقِيمَةُ دِيَةُ الْعَبْدِ وَقِسْته بِالْحُرِّ دُونَ الْبَهِيمَةِ بِدَلِيلٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فِي قَتْلِ النَّفْسِ الدِّيَةُ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ، وَحَكَمْت وَحَكَمْنَا فِي الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ وَالْعَبْدِ بِدِيَاتٍ مُخْتَلِفَاتٍ وَجَعَلْنَا فِي كُلِّ نَفْسٍ مِنْهُمْ دِيَةً وَرَقَبَةً وَإِنَّمَا جَعَلَ اللَّهُ فِي النَّفْسِ الرَّقَبَةَ حَيْثُ جَعَلَ الدِّيَةَ وَبَدَلُ الْبَعِيرِ وَالْمَتَاعِ قِيمَةٌ لَا رَقَبَةَ مَعَهَا فَجَامَعَ الْعَبْدُ الْأَحْرَارَ فِي أَنَّ فِيهِ كَفَّارَةٌ وَفِي أَنَّهُ إذَا قَتَلَ قُتِلَ وَإِذَا جَرَحَ جُرِحَ فِي قَوْلِنَا، وَفِي أَنَّ عَلَيْهِ حَدَّ الْحُرِّ فِي بَعْضِ الْحُدُودِ وَنِصْفَ حَدِّ الْحُرِّ فِي بَعْضِ الْحُدُودِ وَأَنَّ عَلَيْهِ الْفَرَائِضَ مِنْ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالتَّعَبُّدِ وَكَانَ آدَمِيًّا كَالْأَحْرَارِ فَكَانَ بِالْآدَمِيِّينَ أَشْبَهَ فَقِسْته عَلَيْهِمْ دُونَ الْبَهَائِمِ وَالْمَتَاعِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika ada yang bertanya: ‘Jika engkau berpendapat bahwa harga budak seperti harga unta ketika dibunuh, mengapa luka pada budak tidak dihukum seperti luka pada unta atau bagiannya?’ Aku jawab: Terkadang seorang merdeka dan unta sama-sama dibunuh, maka harga unta disamakan dengan diyat orang merdeka. Jadi, bagi orang merdeka ada diyat, sedangkan bagi unta ada nilai (qimah), dan nilai itu adalah diyat budak. Aku mengqiyaskan budak dengan orang merdeka, bukan dengan hewan, berdasarkan dalil dari Kitabullah tentang pembunuhan: diyat dan memerdekakan budak. Kami juga menetapkan diyat yang berbeda bagi laki-laki, perempuan, dan budak, serta menetapkan diyat dan memerdekakan budak untuk setiap nyawa. Allah hanya mewajibkan memerdekakan budak ketika mewajibkan diyat. Sedangkan ganti unta dan harta adalah nilai (qimah), tanpa kewajiban memerdekakan budak.

 

Budak memiliki kesamaan dengan orang merdeka dalam beberapa hal: adanya kafarat, jika membunuh maka dibunuh (qisas), jika melukai maka dilukai menurut pendapat kami, terkena hukuman had seperti orang merdeka dalam sebagian hukuman dan setengahnya dalam sebagian lain, serta wajib menjalankan kewajiban seperti shalat, puasa, dan ibadah. Ia adalah keturunan Adam seperti orang merdeka, sehingga lebih mirip dengan manusia merdeka. Karena itu, aku mengqiyaskannya dengan mereka, bukan dengan hewan atau harta.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَالَ فِي كِتَابِ الدِّيَاتِ وَالْجِنَايَاتِ لَا نُحَمِّلُهُ الْعَاقِلَةَ كَمَا لَا تَغْرَمُ قِيمَةَ مَا اسْتَهْلَكَ مِنْ مَالٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan dia berkata dalam kitab Diyat dan Jinayat: “Kami tidak membebankannya kepada aqilah, sebagaimana tidak diwajibkan membayar nilai harta yang telah dihabiskan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْأَوَّلُ بِقَوْلِهِ أَشْبَهُ؛ لِأَنَّهُ شَبَّهَهُ بِالْحُرِّ فِي أَنَّ جِرَاحَهُ مِنْ ثَمَنِهِ كَجِرَاحِ الْحُرِّ مِنْ دِيَتِهِ لَمْ يَخْتَلِفْ ذَلِكَ عِنْدِي مِنْ قَوْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat pertama lebih sesuai dengan perkataannya; karena ia menyamakannya dengan orang merdeka dalam hal luka-lukanya diambil dari harganya sebagaimana luka orang merdeka diambil dari diyatnya. Hal itu tidak berbeda menurutku dari perkataannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَكُلُّ جِنَايَةِ عَمْدٍ لَا قِصَاصَ فِيهَا فَالْأَرْشُ فِي مَالِ الْجَانِي، وَقِيلَ: جِنَايَةُ الصَّبِيِّ وَالْمَعْتُوهِ عَمْدًا وَخَطَأً يَحْمِلُهَا الْعَاقِلَةُ، وَقِيلَ: لَا؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى أَنْ تَحْمِلَ الْعَاقِلَةُ الْخَطَأَ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ فَلَوْ قَضَيْنَا بِهَا إلَى ثَلَاثِ سِنِينَ خَالَفْنَا دِيَةَ الْعَمْدِ لِأَنَّهَا حَالَّةٌ فَلَمْ يَقْضِ عَلَى الْعَاقِلَةِ بِدِيَةِ عَمْدٍ بِحَالٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Setiap kejahatan sengaja yang tidak ada qishash padanya, maka dendanya dibayar dari harta pelaku.” Ada yang berpendapat: “Kesalahan anak kecil dan orang gila, baik sengaja maupun tidak, ditanggung oleh ‘aqilah (keluarga).” Ada juga yang berpendapat: “Tidak, karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memutuskan bahwa ‘aqilah menanggung kesalahan tidak sengaja dalam tiga tahun. Jika kita memutuskan hal itu hingga tiga tahun, kita menyelisihi diyat kesengajaan karena diyat kesengajaan harus segera dibayar, sedangkan Nabi tidak pernah memerintahkan ‘aqilah untuk membayar diyat kesengajaan dalam keadaan apapun.”

(Al-Muzani berkata) Ini adalah pendapatnya yang terkenal.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ صَاحَ بِرَجُلٍ فَسَقَطَ عَنْ حَائِطٍ لَمْ أَرَ عَلَيْهِ شَيْئًا، وَلَوْ كَانَ صَبِيًّا أَوْ مَعْتُوهًا فَسَقَطَ مِنْ صَيْحَتِهِ ضَمِنَ، وَلَوْ طَلَبَ رَجُلًا بِسَيْفٍ فَأَلْقَى بِنَفْسِهِ عَنْ ظَهْرِ بَيْتٍ فَمَاتَ لَمْ يَضْمَنْ وَإِنْ كَانَ أَعْمَى فَوَقَعَ فِي حُفْرَةٍ ضَمِنَتْ عَاقِلَةُ الطَّالِبِ دِيَتَهُ؛ لِأَنَّهُ اضْطَرَّهُ إلَى ذَلِكَ وَلَوْ عَرَضَ لَهُ فِي طَلَبِهِ سَبُعٌ فَأَكَلَهُ لَمْ يَضْمَنْ لِأَنَّ الْجَانِيَ غَيْرُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berteriak kepada seorang laki-laki lalu ia jatuh dari tembok, aku tidak melihat tanggung jawab atasnya. Namun jika yang jatuh itu anak kecil atau orang gila karena teriakannya, maka ia menanggung (diyat). Jika seseorang mengejar orang lain dengan pedang lalu yang dikejar melompat dari atap rumah hingga mati, pengejar tidak menanggung (diyat). Tetapi jika yang dikejar itu orang buta lalu jatuh ke dalam lubang, maka keluarga pengejar wajib membayar diyatnya karena ia memaksanya. Jika dalam pengejarannya muncul binatang buas lalu memangsanya, pengejar tidak menanggung karena pelakunya adalah pihak lain.

(قال) : ويقال لسيد أم الولد إذا جنيت افدها بالأقل من قيمتها أو جنايتها ثم هكذا كلما جنيت.

 

(Dia berkata) : Dan dikatakan kepada pemilik umm al-walad jika dia melakukan kesalahan, tebuslah dia dengan nilai yang lebih rendah dari harganya atau dari kesalahannya, dan begitu seterusnya setiap kali dia melakukan kesalahan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ مِنْ أَحَدِ قَوْلَيْهِ وَهُوَ أَنَّ السَّيِّدَ إذَا غَرِمَ قِيمَتَهَا ثُمَّ جَنَتْ شَرِكَ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ الثَّانِي الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ الْأَوَّلَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini lebih sesuai dengan pendapatnya daripada salah satu dari dua pendapatnya, yaitu bahwa jika seorang tuan menanggung nilai (budaknya), kemudian budak itu melakukan pelanggaran, maka korban kedua bersekutu dengan korban pertama.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَهَذَا عِنْدِي لَيْسَ بِشَيْءٍ؛ لِأَنَّ الْمَجْنِيَّ عَلَيْهِ الْأَوَّلَ قَدْ مَلَكَ الْأَرْشَ بِالْجِنَايَةِ فَكَيْفَ تَجْنِي أَمَةُ غَيْرِهِ وَيَكُونُ بَعْضُ الْغُرْمِ عَلَيْهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Menurutku ini tidak ada artinya; karena korban pertama telah memiliki hak diyat karena kejahatan tersebut, maka bagaimana mungkin budak milik orang lain melakukan kejahatan dan sebagian tanggungannya menjadi bebannya.

 

الْتِقَاءُ الْفَارِسَيْنِ وَالسَّفِينَتَيْنِ

 

Pertemuan dua penunggang kuda dan dua kapal

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا اصْطَدَمَ الرَّاكِبَانِ عَلَى أَيِّ دَابَّةٍ كَانَتَا فَمَاتَا مَعًا فَعَلَى عَاقِلَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ دِيَةِ صَاحِبِهِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ صَدْمَتِهِ وَصَدْمَةِ صَاحِبِهِ كَمَا لَوْ جَرَحَ نَفْسَهُ وَجَرَحَهُ صَاحِبُهُ فَمَاتَ وَإِنْ مَاتَتْ الدَّابَّتَانِ فَفِي مَالِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفُ قِيمَةِ دَابَّةِ صَاحِبِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ رَمَوْا بِالْمَنْجَنِيقِ مَعًا فَرَجَعَ الْحَجَرُ عَلَيْهِمْ فَقَتَلَ أَحَدَهُمْ فَتُرْفَعُ حِصَّتُهُ مِنْ جِنَايَتِهِ وَيَغْرَمُ عَاقِلَةُ الْبَاقِينَ بَاقِيَ دِيَتِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika dua penunggang yang mengendarai hewan apa pun bertabrakan lalu keduanya mati bersama, maka keluarga masing-masing menanggung setengah diyat rekannya. Sebab, kematiannya terjadi akibat tabrakan dari dirinya dan rekannya, seperti halnya jika seseorang melukai dirinya sendiri dan rekannya juga melukainya lalu mati. Jika kedua hewan itu mati, maka harta masing-masing penunggang menanggung setengah nilai hewan rekannya. Demikian pula jika mereka bersama-sama melemparkan batu dengan manjaniq lalu batu itu mengenai mereka dan membunuh salah seorang dari mereka, maka bagiannya dihapus dari tanggungannya, dan keluarga yang tersisa menanggung sisa diyatnya.

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ أَحَدُهُمَا وَاقِفًا فَصَدَمَهُ الْآخَرُ فَمَاتَا فَالصَّادِمُ هَدَرٌ وَدِيَةُ صَاحِبِهِ عَلَى عَاقِلَةِ الصَّادِمِ.

 

 

(Dia berkata): Dan jika salah seorang dari keduanya sedang berdiri lalu ditabrak oleh yang lain sehingga keduanya meninggal, maka penabrak itu tidak ada diyatnya, sedangkan diyat orang yang ditabrak dibayarkan oleh keluarga penabrak.

 

(قَالَ) : وَإِذَا اصْطَدَمَتْ السَّفِينَتَانِ وَتَكَسَّرَتَا أَوْ إحْدَاهُمَا فَمَاتَ مَنْ فِيهِمَا فَلَا يَجُوزُ فِيهَا إلَّا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَضْمَنَ الْقَائِمُ بِهِمَا فِي تِلْكَ الْحَالِ نِصْفَ كُلِّ مَا أَصَابَتْ سَفِينَتُهُ لِغَيْرِهِ أَوْ لَا يَضْمَنُ بِحَالٍ إلَّا أَنْ يَقْدِرَ عَلَى تَصْرِيفِهَا بِنَفْسِهِ وَبِمَنْ يُطِيعُهُ فَأَمَّا إذَا غَلَبَتْهُ فَلَا يَضْمَنُ فِي قَوْلِ مَنْ قَالَ بِهَذَا الْقَوْلِ وَالْقَوْلُ قَوْلُ الَّذِي يَصْرِفُهَا أَنَّهَا غَلَبَتْهُ بِرِيحٍ أَوْ مَوْجٍ، وَإِذَا ضَمِنَ غَيْرَ النُّفُوسِ فِي مَالِهِ ضَمِنَتْ النُّفُوسَ عَاقِلَتُهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ عَبْدًا فَيَكُونَ ذَلِكَ فِي عُنُقِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika dua kapal bertabrakan dan hancur (keduanya atau salah satunya), lalu penumpangnya meninggal, maka dalam hal ini hanya ada dua pendapat. Pertama: orang yang mengoperasikan keduanya saat itu menanggung separuh dari segala kerusakan yang disebabkan kapalnya kepada kapal lain, atau sama sekali tidak menanggung kecuali jika ia mampu mengendalikan kapalnya sendiri atau dengan bantuan orang yang patuh. Namun, jika ia dikalahkan (oleh keadaan), maka menurut pendapat ini ia tidak menanggung. Pendapat yang berlaku adalah bahwa kapal itu mengalahkannya karena angin atau ombak. Jika ia menanggung kerusakan selain nyawa dengan hartanya, maka keluarga penanggung (aqilah) yang menanggung nyawa, kecuali jika itu adalah budak, maka tanggungannya ada pada dirinya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ قَالَ فِي كِتَابِ الْإِجَارَاتِ لَا ضَمَانَ إلَّا أَنْ يُمْكِنَ صَرْفُهَا.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan ia telah mengatakan dalam kitab Al-Ijarat: “Tidak ada jaminan kecuali jika memungkinkan untuk dialihkan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا صَدَمَتْ سَفِينَتُهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعْهَدَ بِهَا الصَّدْمُ لَمْ يَضْمَنْ شَيْئًا مِمَّا فِي سَفِينَتِهِ بِحَالٍ؛ لِأَنَّ الَّذِينَ دَخَلُوا غَيْرُ مُتَعَدًّى عَلَيْهِمْ وَلَا عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَإِذَا عَرَضَ لَهُمْ مَا يَخَافُونَ بِهِ التَّلَفَ عَلَيْهَا وَعَلَى مَنْ فِيهَا فَأَلْقَى أَحَدُهُمْ بَعْضَ مَا فِيهَا رَجَاءَ أَنْ تَخِفَّ فَتَسْلَمَ، فَإِنْ كَانَ مَالَهُ فَلَا شَيْءَ عَلَى غَيْرِهِ، وَكَذَلِكَ لَوْ قَالُوا لَهُ: أَلْقِ مَتَاعَك فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهِ ضَمِنَ، وَلَوْ قَالَ لِصَاحِبِهِ: أَلْقِهِ عَلَى أَنْ أَضْمَنَهُ أَنَا وَرُكْبَانُ السَّفِينَةِ ضَمِنَهُ دُونَهُمْ إلَّا أَنْ يَتَطَوَّعُوا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika kapalnya menabrak tanpa ada indikasi sebelumnya bahwa kapal itu suka menabrak, maka dia tidak menanggung apa pun yang ada di kapalnya dalam keadaan apa pun. Sebab, orang-orang yang berada di kapal tidak dizalimi, begitu pula harta mereka. Jika muncul situasi yang membuat mereka khawatir akan kerusakan pada kapal dan orang-orang di dalamnya, lalu salah seorang melemparkan sebagian muatan dengan harapan kapal menjadi ringan dan selamat, maka jika itu adalah hartanya sendiri, orang lain tidak berkewajiban apa pun. Demikian pula, jika mereka berkata kepadanya, “Lemparkan barangmu,” dan jika itu milik orang lain, maka dia menanggungnya. Jika dia berkata kepada temannya, “Lemparkan saja, aku dan penumpang kapal yang menanggungnya,” maka dia sendirilah yang menanggung, bukan mereka, kecuali jika mereka rela membantu.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا عِنْدِي غَلَطٌ غَيْرُ مُشْكِلٍ وَقِيَاسُ مَعْنَاهُ أَنْ يَكُونَ عَلَيْهِ بِحِصَّتِهِ فَلَا يَلْزَمُهُ مَا لَمْ يَضْمَنْ وَلَا يَضْمَنُ أَصْحَابُهُ مَا أَرَادَ أَنْ يُضَمِّنَهُمْ إيَّاهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Menurutku ini adalah kesalahan yang tidak masalah, dan maknanya seharusnya adalah dia hanya bertanggung jawab atas bagiannya. Maka, dia tidak wajib menanggung apa yang tidak dijaminnya, dan rekan-rekannya juga tidak wajib menanggung apa yang ingin dia bebankan kepada mereka.

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang melubangi kapal sehingga penumpangnya tenggelam, maka dia harus menanggung ganti rugi atas isi kapal dan diyat para penumpangnya yang dibayarkan oleh keluarganya, baik yang melubangi itu dari kalangan mereka atau bukan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ خَرَقَ السَّفِينَةَ فَغَرِقَ أَهْلُهَا ضَمِنَ مَا فِيهَا وَضَمِنَ دِيَاتِ رُكْبَانِهَا عَاقِلَتُهُ وَسَوَاءٌ مَنْ خَرَقَ ذَلِكَ مِنْهَا.

 

Teks Asli

بَابُ مَنْ الْعَاقِلَةُ الَّتِي تَغْرَمُ

 

Terjemahan

Bab tentang siapa yang termasuk ‘aqilah (keluarga dekat) yang menanggung diyat (denda).

(Asy-Syafi’i berkata): Aku tidak mengetahui ada yang berselisih “bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan diyat dibebankan kepada ‘aqilah.” Dan tidak ada perselisihan di antara orang yang aku ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan diyat tersebut dalam tempo tiga tahun. Juga tidak ada yang berselisih bahwa ‘aqilah adalah ‘ashabah (kerabat laki-laki dari pihak ayah). Dan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu memutuskan kepada Ali bin Abi Thalib untuk membayar diyat atas budak-budak Shafiyyah binti Abdul Muththalib, serta memutuskan warisan mereka kepada Az-Zubair karena dia adalah anaknya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَعْرِفَةُ الْعَاقِلَةِ أَنْ يَنْظُرَ إلَى إخْوَتِهِ لِأَبِيهِ فَيُحَمِّلَهُمْ مَا يُحَمِّلُ الْعَاقِلَةَ فَإِنْ لَمْ يَحْتَمِلُوهَا دَفَعْت إلَى بَنِي جَدِّهِ فَإِنْ لَمْ يَحْتَمِلُوهَا دَفَعْت إلَى بَنِي جَدِّ أَبِيهِ ثُمَّ هَكَذَا لَا يُدْفَعُ إلَى بَنِي أَبٍ حَتَّى يَعْجِزَ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ مِنْهُمْ وَمَنْ فِي الدِّيوَانِ وَمَنْ لَيْسَ فِيهِ مِنْهُمْ سَوَاءٌ قَضَى رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى الْعَاقِلَةِ وَلَا دِيوَانَ فِي حَيَاتِهِ وَلَا فِي حَيَاةِ أَبِي بَكْرٍ وَلَا صَدْرٍ مِنْ وِلَايَةِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَلَا أَعْلَمُ مُخَالِفًا أَنَّ الصَّبِيَّ وَالْمَرْأَةَ لَا يَحْمِلَانِ مِنْهَا شَيْئًا وَإِنْ كَانَا مُوسِرَيْنِ وَكَذَلِكَ الْمَعْتُوهُ عِنْدِي وَيُؤَدِّي الْعَاقِلَةُ الدِّيَةَ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ مِنْ حِينِ يَمُوتُ الْقَتِيلُ وَلَا يُقَوَّمُ نَجْمٌ مِنْ الدِّيَةِ إلَّا بَعْدَ حُلُولِهِ فَإِنْ أَعْسَرَ بِهِ أَوْ مَطَلَ حَتَّى يَجِدَ الْإِبِلَ بَطَلَتْ الْقِيمَةُ وَكَانَتْ عَلَيْهِ الْإِبِلُ وَلَا يَحْمِلُهَا فَقِيرٌ، وَإِنْ قَضَى بِهَا فَأَيْسَرَ الْفَقِيرُ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ نَجْمٌ مِنْهَا أَوْ افْتَقَرَ غَنِيُّ فَإِنَّمَا أَنْظُرُ إلَى الْمُوسِرِ يَوْمَ يَحِلُّ نَجْمٌ مِنْهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Mengetahui ‘aqilah (kelompok yang menanggung diyat) adalah dengan melihat saudara-saudara laki-laki dari pihak ayah, lalu membebankan kepada mereka apa yang dibebankan kepada ‘aqilah. Jika mereka tidak mampu menanggungnya, maka diserahkan kepada anak-anak kakeknya. Jika mereka juga tidak mampu, maka diserahkan kepada anak-anak kakek dari pihak ayahnya. Demikian seterusnya, tidak diserahkan kepada anak-anak paman sampai yang lebih dekat darinya tidak mampu. Baik yang tercatat di diwan (daftar gaji) maupun yang tidak, sama saja. Rasulullah SAW pernah memutuskan atas ‘aqilah, padahal tidak ada diwan pada masa hidup beliau, masa Abu Bakar, maupun awal pemerintahan Umar RA. Aku tidak mengetahui ada yang berbeda pendapat bahwa anak kecil dan wanita tidak menanggung bagian diyat sedikit pun, meskipun mereka kaya. Demikian pula orang gila menurutku. ‘Aqilah membayar diyat dalam tiga tahun sejak terbunuhnya korban. Tidak boleh dinilai satu bagian diyat kecuali setelah jatuh tempo. Jika seseorang tidak mampu atau menunda sampai mendapatkan unta, maka nilai (uang) menjadi batal dan kewajibannya adalah unta. Orang fakir tidak menanggungnya. Jika telah diputuskan demikian lalu si fakir menjadi mampu sebelum jatuh tempo satu bagian diyat, atau si kaya menjadi miskin, maka aku melihat kepada orang yang mampu pada hari jatuh tempo bagian diyat tersebut.”

 

وَمَنْ غَرِمَ فِي نَجْمٍ ثُمَّ أَعْسَرَ فِي النَّجْمِ الْآخَرِ تُرِكَ فَإِنْ مَاتَ بَعْدَ حُلُولِ النَّجْمِ مُوسِرًا أُخِذَ مِنْ مَالِهِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ وَلَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا فِي أَنْ لَا يَحْمِلَ أَحَدٌ مِنْهُمْ إلَّا قَلِيلًا وَأَرَى عَلَى مَذَاهِبِهِمْ أَنْ يَحْمِلَ مَنْ كَثُرَ مَالُهُ نِصْفَ دِينَارٍ وَمَنْ كَانَ دُونَهُ رُبُعَ دِينَارٍ لَا يُزَادُ عَلَى هَذَا وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ وَعَلَى قَدْرِ ذَلِكَ مِنْ الْإِبِلِ حَتَّى يَشْتَرِكَ النَّفَرُ فِي الْبَعِيرِ وَيَحْمِلَ كُلٌّ مَا كَثُرَ وَقَلَّ مِنْ قَتْلٍ أَوْ جُرْحٍ مِنْ حُرٍّ وَعَبْدٍ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا حَمَّلَهَا الْأَكْثَرَ دَلَّ عَلَى تَحْمِيلِهَا الْأَيْسَرَ، فَإِنْ كَانَ الْأَرْشُ ثُلُثَ الدِّيَةِ أَدَّتْهُ فِي مُضِيِّ سَنَةٍ مِنْ يَوْمِ جُرِحَ الْمَجْرُوحُ فَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْ الثُّلُثِ فَالزِّيَادَةُ فِي مُضِيِّ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ فَإِنْ زَادَ عَلَى الثُّلُثَيْنِ فَفِي مُضِيِّ السَّنَةِ الثَّالِثَةِ وَهَذَا مَعْنَى السُّنَّةِ وَلَا تَحْمِلُ الْعَاقِلَةُ مَا جَنَى الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ.

 

 

Barangsiapa yang berutang pada satu waktu pembayaran kemudian mengalami kesulitan pada waktu pembayaran berikutnya, maka diberi kelonggaran. Jika ia meninggal setelah jatuh tempo dalam keadaan mampu, maka diambil dari hartanya apa yang menjadi kewajibannya. Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang menanggung kecuali sedikit. Menurut pendapat mazhab mereka, orang yang banyak hartanya menanggung setengah dinar, sedangkan yang kurang dari itu seperempat dinar, tidak lebih dari ini dan tidak dikurangi. Begitu pula dengan unta, hingga sekelompok orang berserikat dalam seekor unta, dan masing-masing menanggung sesuai banyak atau sedikitnya pembunuhan atau luka, baik terhadap orang merdeka maupun budak. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika membebankan lebih banyak, menunjukkan pembebanan yang lebih ringan. Jika diyat adalah sepertiga, maka dibayar dalam tempo satu tahun sejak hari terlukanya orang yang terluka. Jika lebih dari sepertiga, maka kelebihannya dibayar dalam tempo tahun kedua. Jika lebih dari dua pertiga, maka dibayar dalam tempo tahun ketiga. Ini adalah makna sunnah. Keluarga tidak menanggung apa yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri.

 

بَابُ عَقْلِ الْمَوَالِي

 

Bab tentang akal budi para budak yang dimerdekakan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَا يَعْقِلُ الْمَوَالِي الْمُعْتَقُونَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ الْمَوَالِي الْمُعْتَقِينَ وَلَهُ قَرَابَةٌ تَحْمِلُ الْعَقْلَ فَإِنْ عَجَزَتْ عَنْ بَعْضٍ حَمَلَ الْمَوَالِي الْمُعْتَقُونَ الْبَاقِيَ وَإِنْ عَجَزُوا عَنْ بَعْضٍ وَلَهُمْ عَوَاقِلُ عَقَلَتْهُ عَوَاقِلُهُمْ فَإِنْ عَجَزُوا وَلَا عَوَاقِلَ لَهُمْ عَقَلَ مَا بَقِيَ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِينَ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): “Para maula (budak yang dimerdekakan) tidak menanggung diyat untuk seorang pun dari maula yang dimerdekakan jika dia memiliki kerabat yang mampu menanggung diyat. Jika kerabat itu tidak mampu menanggung sebagian diyat, maka maula yang dimerdekakan menanggung sisanya. Jika mereka (maula) juga tidak mampu menanggung sebagian dan mereka memiliki ‘aqilah (kelompok penanggung diyat), maka ‘aqilah mereka yang menanggungnya. Jika mereka tidak mampu dan tidak memiliki ‘aqilah, maka sisa diyat ditanggung oleh jamaah kaum muslimin.”

(قَالَ) : وَلَا أُحَمِّلُ الْمَوَالِيَ مِنْ أَسْفَلَ عَقْلًا حَتَّى لَا أَجِدَ نَسَبًا وَلَا مَوَالِيَ مِنْ أَعْلَى ثُمَّ يَحْمِلُونَهُ لَا أَنَّهُمْ وَرَثَتُهُ وَلَكِنْ يَعْقِلُونَ عَنْهُ كَمَا يَعْقِلُ عَنْهُمْ.

 

Beliau berkata: “Dan aku tidak membebankan kewajiban denda (diyat) kepada kerabat jauh dari bawah hingga aku tidak menemukan nasab atau kerabat dekat dari atas. Kemudian mereka menanggungnya, bukan karena mereka ahli warisnya, tetapi karena mereka membayar denda untuknya sebagaimana dia juga membayar denda untuk mereka.”

 

بَابُ أَيْنَ تَكُونُ الْعَاقِلَةُ

Bab Di Mana Letak Akal

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : إذَا جَنَى رَجُلٌ جِنَايَةً بِمَكَّةَ وَعَاقِلَتُهُ بِالشَّامِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَبَرٌ مَضَى يَلْزَمُ بِهِ خِلَافُ الْقِيَاسِ فَالْقِيَاسُ أَنْ يَكْتُبَ حَاكِمُ مَكَّةَ إلَى حَاكِمِ الشَّامِ يَأْخُذُ عَاقِلَتَهُ بِالْعَقْلِ، وَقَدْ قِيلَ: يُحَمِّلُهُ عَاقِلَةَ الرَّجُلِ بِبَلَدِهِ ثُمَّ أَقْرَبَ الْعَوَاقِلِ بِهِمْ وَلَا يُنْتَظَرُ بِالْعَقْلِ غَائِبٌ وَإِنْ احْتَمَلَ بَعْضُهُمْ الْعَقْلَ وَهُمْ حُضُورٌ فَقَدْ قِيلَ: يَأْخُذُ الْوَالِي مِنْ بَعْضِهِمْ دُونَ بَعْضٍ؛ لِأَنَّ الْعَقْلَ لَزِمَ الْكُلُّ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seseorang melakukan pelanggaran di Mekkah sementara keluarganya (yang bertanggung jawab atas diyat) berada di Syam, dan tidak ada ketetapan sebelumnya yang berlawanan dengan qiyas, maka menurut qiyas, hakim Mekkah harus menulis surat kepada hakim Syam untuk meminta keluarganya membayar diyat. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa diyat dibebankan kepada keluarga terdekat di tempat tinggal pelaku, kemudian kepada keluarga terdekat berikutnya, dan tidak perlu menunggu keluarga yang tidak hadir. Jika sebagian keluarga hadir dan mampu membayar diyat, ada pendapat yang menyatakan bahwa penguasa boleh mengambil diyat dari sebagian mereka saja, karena kewajiban diyat berlaku untuk seluruh keluarga.”

(قَالَ) : وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَقْضِيَ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَسْتَوُوا فِيهِ.

 

Dia berkata, “Dan lebih aku sukai jika keputusan dijatuhkan kepada mereka hingga mereka setara dalam hal itu.”

 

بَابُ عَقْلِ الْحُلَفَاءِ

 

Bab tentang tanggungan darah sekutu

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَعْقِلُ الْحَلِيفُ إلَّا أَنْ يَكُونَ مَضَى بِذَلِكَ خَبَرٌ وَلَا الْعَدِيدُ وَلَا يُعْقَلُ عَنْهُ وَلَا يَرِثُ وَلَا يُورَثُ إنَّمَا يُعْقَلُ بِالنَّسَبِ أَوْ الْوَلَاءِ الَّذِي كَالنَّسَبِ وَمِيرَاثُ الْحَلِيفِ وَالْعَقْلُ عَنْهُ مَنْسُوخٌ وَإِنَّمَا يَثْبُتُ مِنْ الْحِلْفِ أَنْ تَكُونَ الدَّعْوَةُ وَالْيَدُ وَاحِدَةً لَا غَيْرَ ذَلِكَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Sekutu (al-halif) tidak membayar diyat kecuali jika ada berita yang telah lalu tentang hal itu, begitu pula kelompok (al-‘adid). Tidak ada diyat yang dibayarkan untuknya, dia tidak mewarisi, dan tidak diwarisi. Diyat hanya dibayarkan karena hubungan nasab atau kewalian yang seperti nasab. Warisan sekutu dan diyat untuknya telah dihapus. Yang tetap berlaku dari perjanjian sekutu hanyalah kesatuan seruan dan kekuasaan, tidak lebih dari itu.”

بَابُ عَقْلِ مَنْ لَا يُعْرَفُ نَسَبُهُ وَعَقْلِ أَهْلِ الذِّمَّةِ

 

Bab tentang diyat (uang tebusan) bagi orang yang tidak diketahui nasabnya dan diyat bagi ahli dzimmah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إذَا كَانَ الْجَانِي نُوبِيًا فَلَا عَقْلَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ النُّوبَةِ حَتَّى يَكُونُوا يُثْبِتُونَ أَنْسَابَهُمْ إثْبَاتَ أَهْلِ الْإِسْلَامِ وَكَذَلِكَ كُلُّ رَجُلٍ مِنْ قَبِيلَةٍ أَعْجَمِيَّةٍ أَوْ الْقِبْطِ أَوْ غَيْرِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَاءٌ يُعْلَمُ فَعَلَى الْمُسْلِمِينَ لِمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ مِنْ وِلَايَةِ الدِّينِ، وَإِنَّهُمْ يَأْخُذُونَ مَالَهُ إذَا مَاتَ وَمَنْ انْتَسَبَ إلَى نَسَبٍ فَهُوَ مِنْهُ إلَّا أَنْ تَثْبُتَ بَيِّنَةٌ بِخِلَافِ ذَلِكَ وَلَا يُدْفَعُ نَسَبٌ بِالسَّمَاعِ وَإِذَا حَكَمْنَا عَلَى أَهْلِ الْعَهْدِ أَلْزَمْنَا عَوَاقِلَهُمْ الَّذِينَ تَجْرِي أَحْكَامُنَا عَلَيْهِمْ فَإِنْ كَانُوا أَهْلَ حَرْبٍ لَا يَجْرِي حُكْمُنَا عَلَيْهِمْ أَلْزَمْنَا الْجَانِيَ ذَلِكَ وَلَا يُقْضَى عَلَى أَهْلِ دِينِهِ إذَا لَمْ يَكُونُوا عَصَبَةً؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَرِثُونَهُ وَلَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ لِقَطْعِ الْوِلَايَةِ بَيْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَا يَأْخُذُونَ مَالَهُ عَلَى الْمِيرَاثِ إنَّمَا يَأْخُذُونَهُ فَيْئًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika pelaku kejahatan berasal dari Nubia, maka tidak ada diyat yang dibebankan kepada siapa pun dari Nubia hingga mereka dapat membuktikan nasab mereka sebagaimana pembuktian nasab oleh kaum Muslim. Demikian pula setiap orang dari suku asing, Koptik, atau lainnya. Jika tidak ada ketaatan (wala’) yang diketahui, maka diyat menjadi tanggungan kaum Muslim karena hubungan agama antara dia dan mereka. Kaum Muslim juga berhak mengambil hartanya jika dia meninggal. Siapa yang mengaku berasal dari suatu nasab, maka dia termasuk dalam nasab itu kecuali ada bukti yang menyangkalnya. Nasab tidak dapat dibantah hanya dengan kabar angin. Jika kita memutuskan hukum atas ahli dzimmah, kita bebankan diyat kepada kerabat mereka yang tunduk pada hukum kita. Jika mereka adalah ahli harbi yang tidak tunduk pada hukum kita, maka kita bebankan diyat kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Tidak ada tuntutan diyat kepada pemeluk agamanya jika mereka bukan ‘ashabah, karena mereka tidak mewarisinya. Juga tidak kepada kaum Muslim karena terputusnya hubungan kewalian antara mereka, dan kaum Muslim tidak mengambil hartanya sebagai warisan, melainkan sebagai fai’.

 

بَابُ وَضْعِ الْحَجَرِ حَيْثُ لَا يَجُوزُ وَضْعُهُ وَمَيْلِ الْحَائِطِ

 

Bab tentang meletakkan batu di tempat yang tidak boleh diletakkan dan miringnya tembok

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ وَضَعَ حَجَرًا فِي أَرْضٍ لَا يَمْلِكُهَا وَآخَرُ حَدِيدَةً فَتَعَلَّقَ رَجُلٌ بِالْحَجَرِ فَوَقَعَ عَلَى الْحَدِيدَةِ فَمَاتَ فَعَلَى وَاضِعِ الْحَجَرِ؛ لِأَنَّهُ كَالدَّافِعِ، وَلَوْ حَفَرَ فِي صَحْرَاءَ أَوْ طَرِيقٍ وَاسِعٍ مُحْتَمَلٍ فَمَاتَ بِهِ إنْسَانٌ أَوْ مَالَ حَائِطٌ مِنْ دَارِهِ فَوَقَعَ عَلَى إنْسَانٍ فَمَاتَ فَلَا شَيْءَ فِيهِ وَإِنْ أَشْهَدَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ وَضَعَهُ فِي مِلْكِهِ وَالْمَيْلُ حَادِثٌ مِنْ غَيْرِ فِعْلِهِ وَقَدْ أَسَاءَ بِتَرْكِهِ وَمَا وَضَعَهُ فِي مِلْكِهِ فَمَاتَ بِهِ إنْسَانٌ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seseorang meletakkan batu di tanah yang bukan miliknya, dan orang lain meletakkan besi, lalu seseorang memegang batu itu kemudian jatuh ke besi hingga meninggal, maka tanggung jawab ada pada peletak batu, karena ia seperti yang mendorong. Namun, jika seseorang menggali di padang pasir atau jalan yang luas dan memungkinkan, lalu ada orang yang meninggal karenanya, atau tembok rumahnya roboh dan menimpa seseorang hingga meninggal, maka tidak ada tanggung jawab padanya meskipun ada saksi, karena ia meletakkannya di tanah miliknya dan kemiringan terjadi tanpa perbuatannya. Ia hanya bersalah karena kelalaiannya. Dan apa yang diletakkannya di tanah miliknya lalu menyebabkan kematian seseorang, maka tidak ada tanggung jawab padanya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَإِنْ تَقَدَّمَ إلَيْهِ الْوَالِي فِيهِ أَوْ غَيْرُهُ فَلَمْ يَهْدِمْهُ حَتَّى وَقَعَ عَلَى إنْسَانٍ فَقَتَلَهُ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ عِنْدِي فِي قِيَاسِ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ.

 

(Al-Muzani berkata) Dan jika penguasa atau orang lain telah memerintahkannya untuk merobohkannya, tetapi dia tidak merobohkannya hingga bangunan itu runtuh menimpa seseorang dan membunuhnya, maka menurutku tidak ada kewajiban apa pun atasnya berdasarkan qiyas dari pendapat Asy-Syafi’i.

 

بَابُ دِيَةِ الْجَنِينِ

Bab tentang diyat janin

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فِي الْجَنِينِ الْمُسْلِمِ بِأَبَوَيْهِ أَوْ بِأَحَدِهِمَا غُرَّةٌ وَأَقُلُّ مَا يَكُونُ بِهِ جَنِينًا أَنْ يُفَارِقَ الْمُضْغَةَ وَالْعَلَقَةَ حَتَّى يَتَبَيَّنَ مِنْهُ شَيْءٌ مِنْ خَلْقٍ آدَمِيٍّ أُصْبُعٌ أَوْ ظُفُرٌ أَوْ عَيْنٌ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ فَإِذَا أَلْقَتْهُ مَيِّتًا فَسَوَاءٌ كَانَ ذَكَرًا أَوْ أُنْثَى.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Pada janin muslim yang kedua orang tuanya atau salah satunya muslim, terdapat kewajiban membayar ghurrah (denda). Batas minimal suatu janin dianggap sebagai janin adalah ketika ia telah terpisah dari fase mudghah (segumpal daging) dan ‘alaqah (segumpal darah), hingga tampak pada janin tersebut sebagian dari ciri-ciri manusia, seperti jari, kuku, mata, atau yang semisalnya. Jika janin tersebut gugur dalam keadaan meninggal, maka sama saja apakah ia laki-laki atau perempuan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ أَمَتَهُ إذَا أَلْقَتْ مِنْهُ دَمًا أَنْ لَا تَكُونَ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَجْعَلْهُ هَهُنَا وَلَدًا وَقَدْ جَعَلَهُ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَكَانِ وَلَدًا وَهَذَا عِنْدِي أَوْلَى مِنْ ذَلِكَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini menunjukkan bahwa jika budak perempuannya mengeluarkan darah darinya, maka dia tidak menjadi umm walad (ibu anak), karena di sini dia tidak menganggapnya sebagai anak, sedangkan di tempat lain dia menganggapnya sebagai anak. Dan menurutku, pendapat ini lebih utama daripada yang itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَكَذَلِكَ إنْ أَلْقَتْهُ مِنْ الضَّرْبِ بَعْدَ مَوْتِهَا فَفِيهِ غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ أَمَةٌ تُوَرَّثُ كَمَا لَوْ خَرَجَ حَيًّا فَمَاتَ؛ لِأَنَّهُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ دُونَ أُمِّهِ وَعَلَيْهِ عِتْقُ رَقَبَةٍ وَلَا شَيْءَ لَهَا فِي الْأُمِّ وَلِمَنْ وَجَبَتْ لَهُ الْغُرَّةُ أَنْ لَا يَقْبَلَهَا دُونَ سَبْعِ سِنِينَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ؛ لِأَنَّهَا لَا تَسْتَغْنِي بِنَفْسِهَا دُونَ هَذَيْنِ السِّنَّيْنِ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ أُمِّهَا فِي الْبَيْعِ إلَّا فِي هَذَيْنِ السِّنَّيْنِ فَأَعْلَى وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَقْبَلَهَا مَعِيبَةً وَلَا خَصِيًّا؛ لِأَنَّهُ نَاقِصٌ عَنْ الْغُرَّةِ وَإِنْ زَادَ ثَمَنُهَا بِالْخِصَاءِ وَقِيمَتُهَا إذَا كَانَ الْجَنِينُ حُرًّا مُسْلِمًا نِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ مُسْلِمٍ وَإِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا أَوْ مَجُوسِيًّا فَنِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ نَصْرَانِيٍّ أَوْ مَجُوسِيٍّ، وَإِنْ كَانَتْ أُمُّهُ مَجُوسِيَّةً وَأَبُوهُ نَصْرَانِيًّا أَوْ أُمُّهُ نَصْرَانِيَّةً وَأَبُوهُ مَجُوسِيًّا فَدِيَةُ الْجَنِينِ فِي أَكْثَرِ أَبْوَابِهِ نِصْفُ عُشْرِ دِيَةِ نَصْرَانِيٍّ، وَلَوْ جَنَى عَلَى أَمَةٍ حَامِلٍ فَلَمْ تُلْقِ جَنِينَهَا حَتَّى عَتَقَتْ أَوْ عَلَى ذِمِّيَّةٍ فَلَمْ تُلْقِ جَنِينَهَا حَتَّى أَسْلَمَتْ فَفِيهِ غُرَّةٌ؛ لِأَنَّهُ جَنَى عَلَيْهَا وَهِيَ مَمْنُوعَةٌ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ الدِّيَاتِ وَالْجِنَايَاتِ: وَلَا أَعْرِفُ أَنْ يُدْفَعَ لِلْغُرَّةِ قِيمَةٌ إلَّا أَنْ يَكُونَ بِمَوْضِعٍ لَا تُوجَدُ فِيهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Demikian pula jika janin dikeluarkan karena pukulan setelah kematian ibunya, maka diwajibkan ghurrah (tebusan) berupa budak laki-laki atau perempuan yang diwariskan, sebagaimana jika janin keluar dalam keadaan hidup kemudian mati. Karena janin itulah yang menjadi korban kejahatan, bukan ibunya. Dan pelaku wajib memerdekakan budak. Ibu tidak mendapatkan bagian apa pun. Orang yang berhak menerima ghurrah boleh menolak menerima budak yang berusia di bawah tujuh atau delapan tahun, karena pada usia itu budak belum mandiri. Juga tidak boleh memisahkan antara budak dengan ibunya dalam penjualan kecuali jika sudah mencapai usia tersebut atau lebih. Pelaku tidak wajib menerima budak yang cacat atau yang dikebiri, karena itu mengurangi nilai ghurrah, meskipun harga budak bisa lebih mahal karena dikebiri. Nilai ghurrah jika janin itu merdeka dan muslim adalah sepersepuluh dari diyat muslim. Jika janin itu Nasrani atau Majusi, maka nilainya setengah sepersepuluh dari diyat Nasrani atau Majusi. Jika ibunya Majusi dan ayahnya Nasrani, atau ibunya Nasrani dan ayahnya Majusi, maka diyat janin dalam kebanyakan pendapat adalah setengah sepersepuluh dari diyat Nasrani. Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap budak perempuan yang hamil, lalu ia tidak melahirkan sampai merdeka, atau terhadap wanita dzimmiyah lalu ia tidak melahirkan sampai masuk Islam, maka tetap diwajibkan ghurrah, karena kejahatan itu terjadi ketika janin masih terlindungi. (Imam Syafi’i juga berkata) dalam kitab Diyat dan Jinayat: Aku tidak mengetahui bolehnya membayar nilai ghurrah dengan uang, kecuali jika di tempat itu tidak ditemukan budak.

Gagal diterjemahkan (قَالَ الْمُزَنِيّ) : هَذَا مَعْنَى أَصْلِهِ فِي الدِّيَةِ أَنَّهَا الْإِبِلُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى بِهَا فَإِنْ لَمْ تُوجَدْ فَقِيمَتُهَا فَكَذَلِكَ الْغُرَّةُ إنْ لَمْ تُوجَدْ فَقِيمَتُهَا.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَغْرَمُهَا مَنْ يَغْرَمُ دِيَةَ الْخَطَأِ.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dan yang menanggungnya adalah orang yang menanggung diyat kesalahan.”

(قَالَ) : فَإِنْ قَامَتْ الْبَيِّنَةُ أَنَّهَا لَمْ تَزَلْ ضَمَّنَهُ مِنْ الضَّرْبَةِ حَتَّى طَرَحَتْهُ لَزِمَهُ وَإِنْ لَمْ تَقُمْ بَيِّنَةٌ حَلَفَ الْجَانِي وَبَرِئَ.

 

Beliau berkata: “Jika ada bukti yang menunjukkan bahwa pukulan itu terus-menerus menyebabkan kematian, maka dia wajib menanggungnya. Namun jika tidak ada bukti, maka pelaku dapat bersumpah dan dibebaskan.”

 

(قَالَ) : وَإِنْ صَرَخَ الْجَنِينُ أَوْ تَحَرَّكَ وَلَمْ يَصْرُخْ ثُمَّ مَاتَ مَكَانَهُ فَدِيَتُهُ تَامَّةٌ وَإِنْ لَمْ يَمُتْ مَكَانَهُ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْجَانِي وَعَاقِلَتِهِ أَنَّهُ مَاتَ مِنْ غَيْرِ جِنَايَةٍ وَلَوْ خَرَجَ حَيًّا لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَكَانَ فِي حَالٍ لَمْ يَتِمَّ لِمِثْلِهِ حَيَاةٌ قَطُّ فَفِيهِ الدِّيَةُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ فِي حَالٍ تَتِمُّ فِيهِ لِأَحَدٍ مِنْ الْأَجِنَّةِ حَيَاةٌ فَفِيهِ الدِّيَةُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika janin menangis atau bergerak meski tidak menangis, kemudian mati di tempatnya, maka diyatnya penuh. Jika tidak mati di tempatnya, maka perkataan pelaku dan keluarganya yang dianggap bahwa janin itu mati bukan karena kejahatan. Jika janin keluar hidup sebelum enam bulan dalam kondisi yang tidak mungkin bertahan hidup sama sekali, maka diyatnya penuh. Namun jika dalam kondisi di mana ada janin lain yang bisa bertahan hidup, maka diyatnya tetap berlaku.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا سَقَطٌ مِنْ الْكَاتِبِ عِنْدِي إذَا أَوْجَبَ الدِّيَةَ؛ لِأَنَّهُ بِحَالٍ تَتِمُّ لِمِثْلِهِ الْحَيَاةُ فَيَنْبَغِي أَنْ تَسْقُطَ إذَا كَانَ بِحَالٍ لَا تَتِمُّ لِمِثْلِهِ حَيَاةٌ.

 

(Al-Muzani berkata) “Ini adalah gugur menurutku jika dia mewajibkan diyat; karena dia dalam keadaan di mana kehidupan sempurna bagi yang semisalnya, maka seharusnya gugur jika dia dalam keadaan di mana kehidupan tidak sempurna bagi yang semisalnya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ قَالَ: لَوْ كَانَ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَقَتَلَهُ رَجُلٌ عَمْدًا فَأَرَادَ وَرَثَتُهُ الْقَوَدَ فَإِنْ كَانَ مِثْلُهُ يَعِيشُ الْيَوْمَ أَوْ الْيَوْمَيْنِ فَفِيهِ الْقَوَدُ ثُمَّ سَكَتَ.

 

(Al-Muzani) berkata: “Jika ada janin yang berusia kurang dari enam bulan, lalu seseorang membunuhnya dengan sengaja, dan ahli warisnya menuntut qisas, maka jika janin semisalnya dapat hidup selama sehari atau dua hari, maka qisas berlaku.” Kemudian dia diam.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) كَأَنَّهُ يَقُولُ: إنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَهُوَ فِي مَعْنَى الْمَذْبُوحِ يُقْطَعُ بِاثْنَيْنِ أَوْ الْمَجْرُوحِ تَخْرُجُ مِنْهُ حُشْوَتُهُ فَنَضْرِبُ عُنُقَهُ فَلَا قَوَدَ عَلَى الثَّانِي وَلَا دِيَةَ وَفِي هَذَا عِنْدِي دَلِيلٌ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Seolah-olah ia mengatakan: Jika tidak demikian, maka ia berada dalam makna hewan yang disembelih yang dipotong menjadi dua, atau yang terluka hingga keluar isi perutnya, lalu kita penggal lehernya, maka tidak ada qishas bagi yang kedua dan tidak ada diyat. Dalam hal ini, menurutku ada dalil. Dan hanya kepada Allah pertolongan.

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika seseorang memukul perempuan (hamil) lalu ia keguguran dan meninggal, maka dia harus menanggung (diyat) untuk ibu dan janin; karena aku mengetahui bahwa dia telah melakukan kejahatan terhadap janin.”

 

بَابُ جَنِينِ الْأَمَةِ

 

Pasal tentang janin budak perempuan

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan pada janin budak perempuan (yang keguguran) adalah sepersepuluh dari nilai seorang budak perempuan pada hari terjadinya keguguran, baik janin itu laki-laki maupun perempuan, dan ini adalah pendapat penduduk Madinah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْقِيَاسُ عَلَى أَصْلِهِ عُشْرُ قِيمَةِ أَمَةٍ يَوْمَ تُلْقِيهِ؛ لِأَنَّهُ قَالَ: لَوْ ضَرَبَهَا أَمَةً فَأَلْقَتْ جَنِينًا مَيِّتًا ثُمَّ أُعْتِقَتْ فَأَلْقَتْ جَنِينًا آخَرَ فَعَلَيْهِ عُشْرُ قِيمَةِ أَمَةٍ لِسَيِّدِهَا وَفِي الْآخَرِ مَا فِي جَنِينِ حُرَّةٍ لِأُمِّهِ وَلِوَرَثَتِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Qiyas berdasarkan asalnya adalah sepersepuluh nilai seorang budak perempuan pada hari dia melahirkan; karena Beliau berkata: Seandainya dia memukul seorang budak perempuan lalu dia melahirkan janin yang mati, kemudian dia dimerdekakan lalu melahirkan janin lain, maka dia wajib membayar sepersepuluh nilai budak perempuan itu kepada tuannya, dan pada janin yang lain berlaku ketentuan seperti janin perempuan merdeka untuk ibunya dan ahli warisnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ لِلْمَدَنِيِّينَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ كَانَ حَيًّا أَلَيْسَ فِيهِ قِيمَتُهُ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْ عُشْرِ ثُمُنِ أَمَةٍ وَلَوْ كَانَ مَيِّتًا فَعُشْرُ أَمَةٍ فَقَدْ أَغْرَمْتُمْ فِيهِ مَيِّتًا أَكْثَرَ مِمَّا أَغْرَمْتُمْ فِيهِ حَيًّا.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata) Muhammad bin Al-Hasan berkata kepada penduduk Madinah, “Bagaimana pendapatmu jika ia hidup, bukankah ada nilainya meskipun kurang dari sepersepuluh nilai budak perempuan? Dan jika ia mati, maka (denda)nya sepersepuluh budak perempuan. Sungguh, kalian telah membayar denda untuk yang mati lebih besar daripada yang kalian bayarkan untuk yang hidup.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَقُلْت لَهُ: أَلَيْسَ أَصْلُك جَنِينَ الْحُرَّةِ الَّتِي قَضَى فِيهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَمْ يُذْكَرْ عَنْهُ أَنَّهُ سَأَلَ أَذَكَرٌ هُوَ أَمْ أُنْثَى؟ قَالَ: بَلَى، قُلْت: فَجَعَلْت وَجَعَلْنَا فِيهِ خَمْسًا مِنْ الْإِبِلِ أَوْ خَمْسِينَ دِينَارًا إذَا لَمْ يَكُنْ غُرَّةً قَالَ: بَلَى، قُلْت: فَلَوْ خَرَجَا حَيَّيْنِ ذَكَرًا وَأُنْثَى فَمَاتَا؟ قَالَ: فِي الذَّكَرِ مِائَةٌ وَفِي الْأُنْثَى خَمْسُونَ، قُلْت: فَإِذَا زَعَمْت أَنَّ حُكْمَهُمَا فِي أَنْفُسِهِمَا مُخْتَلِفَانِ فَلِمَ سَوَّيْت بَيْنَ حُكْمِهِمَا مَيِّتَيْنِ، أَمَا يَدُلُّك هَذَا أَنَّ حُكْمَهُمَا مَيِّتَيْنِ حُكْمُ غَيْرِهِمَا ثُمَّ قِسْت عَلَى ذَلِكَ جَنِينَ الْأَمَةِ فَقُلْت: إنْ كَانَ ذَكَرًا فَنِصْفُ عُشْرِ قِيمَتِهِ لَوْ كَانَ حَيًّا وَإِنْ كَانَ أُنْثَى فَعُشْرُ قِيمَتِهَا لَوْ كَانَتْ حَيَّةً أَلَيْسَ قَدْ جَعَلْت عَقْلَ الْأُنْثَى مِنْ أَصْلِ عَقْلِهَا فِي الْحَيَاةِ وَضِعْفَ عَقْلِ الرَّجُلِ مِنْ أَصْلِ عَقْلِهِ فِي الْحَيَاةِ لَا أَعْلَمُك إلَّا نَكَسْت الْقِيَاسَ، قَالَ: فَأَنْتَ قَدْ سَوَّيْت بَيْنَهُمَا قُلْت: مِنْ أَجْلِ أَنِّي زَعَمْت أَنَّ أَصْلَ حُكْمِهِمَا حُكْمُ غَيْرِهِمَا لَا حُكْمُ أَنْفُسِهِمَا كَمَا سَوَّيْت بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى مِنْ جَنِينِ الْحُرَّةِ فَكَانَ مَخْرَجُ قَوْلِي مُعْتَدِلًا فَكَيْفَ يَكُونُ الْحُكْمُ لِمَنْ لَمْ يَخْرُجْ حَيًّا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – maka aku bertanya kepadanya: “Bukankah dasar pendapatmu adalah janin perempuan merdeka yang diputuskan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan tidak disebutkan bahwa beliau bertanya apakah janin itu laki-laki atau perempuan?” Dia menjawab: “Benar.” Aku berkata: “Lalu engkau dan kami menetapkan diyatnya lima ekor unta atau lima puluh dinar jika bukan ghurrah.” Dia menjawab: “Benar.” Aku berkata: “Jika keduanya lahir hidup, laki-laki dan perempuan, lalu meninggal?” Dia menjawab: “Untuk laki-laki seratus (dinar) dan perempuan lima puluh.” Aku berkata: “Jika engkau berpendapat bahwa hukum keduanya dalam diri mereka berbeda, mengapa engkau menyamakan hukum keduanya ketika mati? Tidakkah ini menunjukkan bahwa hukum keduanya ketika mati adalah hukum orang lain? Kemudian engkau mengqiyaskan janin budak perempuan dengan itu dan berkata: ‘Jika laki-laki maka setengah sepersepuluh harganya jika hidup, dan jika perempuan maka sepersepuluh harganya jika hidup.’ Bukankah engkau telah menjadikan diyat perempuan berdasarkan asal diyatnya ketika hidup, dan diyat laki-laki dua kali lipat asal diyatnya ketika hidup? Aku tidak melihatmu kecuali telah membalik qiyas.” Beliau berkata: “Engkau sendiri telah menyamakan keduanya.” Aku menjawab: “Karena aku berpendapat bahwa asal hukum keduanya adalah hukum orang lain, bukan hukum diri mereka sendiri, sebagaimana engkau menyamakan antara laki-laki dan perempuan dari janin perempuan merdeka. Maka keluaran pendapatku seimbang. Lalu bagaimana hukum bagi yang tidak lahir hidup?”

كِتَابُ الْقَسَامَةِ

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي لَيْلَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رِجَالٌ مِنْ كُبَرَاءِ قَوْمِهِ «أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ وَمُحَيِّصَةَ خَرَجَا إلَى خَيْبَرَ فَتَفَرَّقَا فِي حَوَائِجِهِمَا فَأُخْبِرَ مُحَيِّصَةُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ قُتِلَ وَطُرِحَ فِي فَقِيرٍ أَوْ عَيْنٍ فَأَتَى يَهُودَ فَقَالَ: أَنْتُمْ قَتَلْتُمُوهُ؟ قَالُوا: مَا قَتَلْنَاهُ، فَقَدِمَ عَلَى قَوْمِهِ فَأَخْبَرَهُمْ فَأَقْبَلَ هُوَ وَأَخُوهُ حُوَيِّصَةُ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَهْلٍ أَخُو الْمَقْتُولِ إلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَذَهَبَ مُحَيِّصَةُ يَتَكَلَّمُ فَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – كَبِّرْ كَبِّرْ يُرِيدُ السِّنَّ فَتَكَلَّمَ حُوَيِّصَةُ ثُمَّ مُحَيِّصَةُ فَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – إمَّا أَنْ يَدُوا صَاحِبَكُمْ وَإِمَّا أَنْ يُؤْذَنُوا بِحَرْبٍ فَكَتَبَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – إلَيْهِمْ فِي ذَلِكَ فَكَتَبُوا إنَّا وَاَللَّهِ مَا قَتَلْنَاهُ، فَقَالَ لِحُوَيِّصَةَ وَمُحَيِّصَةَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ أَتَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ؟ قَالُوا: لَا قَالَ: فَتَحْلِفُ يَهُودُ قَالُوا: لَيْسُوا بِمُسْلِمِينَ فَوَدَاهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ عِنْدِهِ فَبَعَثَ إلَيْهِمْ مِائَةَ نَاقَةٍ، قَالَ سَهْلٌ: لَقَدْ رَكَضَتْنِي مِنْهَا نَاقَةٌ حَمْرَاءُ» .

 

(Asy-Syafi’i berkata) Malik mengabarkan kepada kami dari Abu Laila bin Abdullah bin Abdurrahman dari Sahl bin Abi Hatsmah bahwa ia mengabarkan kepadanya beberapa tokoh terkemuka dari kaumnya: “Abdullah dan Muhayyishah pergi ke Khaibar, lalu mereka berpisah untuk urusan masing-masing. Muhayyishah kemudian diberitahu bahwa Abdullah telah dibunuh dan dilemparkan ke sebuah lubang atau mata air. Ia pun mendatangi orang-orang Yahudi dan berkata, ‘Kalian yang membunuhnya?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak membunuhnya.’ Kemudian ia kembali kepada kaumnya dan mengabarkan hal tersebut. Lalu ia bersama saudaranya Huwayyishah dan Abdurrahman bin Sahl (saudara korban) menemui Rasulullah ﷺ. Muhayyishah hendak berbicara, namun Nabi ﷺ bersabda, ‘Yang lebih tua dulu, yang lebih tua!’ Maka Huwayyishah berbicara terlebih dahulu, kemudian Muhayyishah. Nabi ﷺ bersabda, ‘Mereka harus membayar diyat untuk saudara kalian, atau mereka akan diperangi.’ Beliau ﷺ menulis surat kepada mereka tentang hal itu. Mereka membalas, ‘Demi Allah, kami tidak membunuhnya.’ Beliau ﷺ bertanya kepada Huwayyishah, Muhayyishah, dan Abdurrahman, ‘Bersediakah kalian bersumpah dan menuntut hak darah saudara kalian?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bertanya, ‘Maukah orang Yahudi bersumpah?’ Mereka menjawab, ‘Mereka bukan Muslim.’ Maka Rasulullah ﷺ membayar diyat untuknya dari hartanya sendiri dengan mengirimkan seratus unta. Sahl berkata, ‘Salah satu unta merah itu pernah menendangku.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ قَالَ لِلْوَلِيِّ وَغَيْرِهِ تَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ وَأَنْتَ لَا تُحَلِّفُ إلَّا الْأَوْلِيَاءَ قِيلَ: يَكُونُ قَدْ قَالَ ذَلِكَ لِأَخِي الْمَقْتُولِ الْوَارِثِ وَيَجُوزُ أَنْ يَقُولَ: تَحْلِفُونَ لِوَاحِدٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ حُكْمُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَحُكْمُ رَسُولِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – أَنَّ الْيَمِينَ لَا تَكُونُ إلَّا فِيمَا يَدْفَعُ بِهَا الْمَرْءُ عَنْ نَفْسِهِ أَوْ يَأْخُذُ بِهَا مَعَ شَاهِدِهِ وَلَا يَجُوزُ لِحَالِفِ يَمِينٍ يَأْخُذُ بِهَا غَيْرُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika ada yang bertanya: ‘Sungguh dia telah berkata kepada wali dan selainnya, ‘Kalian bersumpah dan berhak,’ sedangkan engkau hanya meminta sumpah dari para wali?’ Dijawab: ‘Bisa jadi dia mengatakan itu kepada saudara korban yang merupakan ahli waris, dan boleh juga dia berkata, ‘Kalian bersumpah untuk satu orang.’ Dalil atas hal itu adalah hukum Allah ‘azza wa jalla dan hukum Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – bahwa sumpah hanya berlaku untuk apa yang seseorang gunakan untuk membela diri atau menuntut hak bersama saksi, dan tidak boleh bagi orang yang bersumpah untuk mengambil hak orang lain.”

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ada sebab yang serupa dengan kasus yang diputuskan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- dengan qasamah, maka aku akan memutuskan dengan qasamah dan mewajibkan diyat atas pihak yang didakwa.” Jika ada yang bertanya: “Apa sebab yang diputuskan oleh Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-?” Dijawab: “Khaibar adalah wilayah murni Yahudi, tidak ada yang tinggal bersama mereka selain mereka sendiri. Permusuhan antara kaum Anshar dan mereka sangat jelas. Abdullah keluar setelah Asar dan ditemukan terbunuh sebelum malam. Hampir dapat dipastikan bagi siapa pun yang mendengar hal ini bahwa tidak ada yang membunuhnya kecuali sebagian Yahudi. Jika suatu wilayah murni dihuni oleh suatu kaum atau suku, dan mereka adalah musuh orang yang terbunuh di antara mereka—dalam kitab Ar-Rabi’ disebutkan: musuh orang yang terbunuh atau sukunya—dan mayat ditemukan di antara mereka, lalu keluarganya menuduh mereka membunuhnya, maka mereka berhak menuntut qasamah. Demikian pula jika sekelompok orang memasuki sebuah rumah atau tempat terpencil sendirian, atau dua kelompok dalam peperangan atau kerumunan, lalu mereka tidak berpisah kecuali ada mayat di antara mereka atau di suatu tempat yang tidak ada saksi atau bekas kecuali satu orang yang berlumuran darah di tempat itu. Atau jika ada bukti-bukti terpisah dari kaum Muslimin dari berbagai tempat yang tidak mungkin mereka bersekongkol, di mana setiap orang secara terpisah bersaksi bahwa seseorang telah membunuhnya, sehingga kesaksian mereka saling mendukung meskipun sebagian tidak mendengar kesaksian sebagian yang lain.”

 

فَإِنْ لَمْ يَكُونُوا مِمَّنْ لَمْ يَعْدِلُوا أَوْ يَشْهَدُ عَدْلٌ عَلَى رَجُلٍ أَنَّهُ قَتَلَهُ؛ لِأَنَّ كُلَّ سَبَبٍ مِنْ هَذَا يَغْلِبُ عَلَى عَقْلِ الْحَاكِمِ أَنَّهُ كَمَا ادَّعَى وَلِيُّهُ وَلِلْوَلِيِّ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى الْوَاحِدِ وَالْجَمَاعَةِ مَنْ أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ فِي جُمْلَتِهِمْ وَسَوَاءٌ كَانَ بِهِ جُرْحٌ أَوْ غَيْرُهُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُقْتَلُ بِمَا لَا أَثَرَ لَهُ فَإِنْ أَنْكَرَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَنْ يَكُونَ فِيهِمْ لَمْ يُسْمَعْ الْوَلِيُّ إلَّا بِبَيِّنَةٍ أَوْ إقْرَارٍ أَنَّهُ كَانَ فِيهِمْ وَلَا أَنْظُرُ إلَى دَعْوَى الْمَيِّتِ وَلِوَرَثَةِ الْقَتِيلِ أَنْ يُقْسِمُوا وَإِنْ كَانُوا غُيَّبًا عَنْ مَوْضِعِ الْقَتِيلِ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَعْلَمُوا ذَلِكَ بِاعْتِرَافِ الْقَاتِلِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ لَا يَعْلَمُهُمْ الْحَاكِمُ مِنْ أَهْلِ الصِّدْقِ عِنْدَهُمْ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهِ مَا يَعْلَمُ بِهِ الْغَائِبُ وَيَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَقُولَ لَهُمْ: اتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تَحْلِفُوا إلَّا بَعْدَ الِاسْتِثْبَاتِ وَتُقْبَلُ أَيْمَانُهُمْ مَتَى حَلَفُوا مُسْلِمِينَ كَانُوا عَلَى مُشْرِكِينَ أَوْ مُشْرِكِينَ عَلَى مُسْلِمِينَ؛ لِأَنَّ كُلًّا وَلِيُّ دَمِهِ وَوَارِثُ دِيَتِهِ وَلِسَيِّدِ الْعَبْدِ الْقَسَامَةُ فِي عَبْدِهِ عَلَى الْأَحْرَارِ وَالْعَبِيدِ.

 

 

Jika mereka bukan termasuk orang yang tidak adil atau tidak ada saksi adil yang bersaksi bahwa seseorang telah membunuhnya, karena setiap alasan seperti ini akan mempengaruhi pikiran hakim bahwa tuduhan walinya benar. Wali berhak bersumpah atas satu orang atau sekelompok orang yang mungkin terlibat, baik ada luka atau tidak, karena pembunuhan bisa terjadi tanpa meninggalkan bekas. Jika tertuduh mengingkari kehadirannya dalam kelompok tersebut, wali tidak akan didengar kecuali dengan bukti atau pengakuan bahwa ia memang ada di antara mereka. Aku tidak memperhatikan klaim mayit, dan ahli waris korban boleh bersumpah meskipun mereka tidak hadir di tempat kejadian, karena mereka bisa mengetahuinya melalui pengakuan pembunuh atau bukti dari orang-orang terpercaya menurut mereka yang tidak diketahui hakim, atau cara lain yang memungkinkan orang yang tidak hadir mengetahuinya. Hakim sebaiknya berkata kepada mereka, “Bertakwalah kepada Allah dan jangan bersumpah kecuali setelah memastikan kebenaran.” Sumpah mereka diterima ketika mereka bersumpah, baik Muslim terhadap Musyrik atau Musyrik terhadap Muslim, karena masing-masing adalah wali darah dan ahli waris diyatnya. Pemilik budak juga berhak melakukan qasamah atas budaknya terhadap orang merdeka atau budak lainnya.

 

(قَالَ) : وَيُقْسِمُ الْمُكَاتَبُ فِي عَبْدِهِ لِأَنَّهُ مَالُهُ فَإِنْ لَمْ يُقْسِمْ حَتَّى عَجَزَ كَانَ لِلسَّيِّدِ أَنْ يُقْسِمَ.

 

 

Beliau berkata: “Seorang mukatab boleh membagi harta dalam budaknya karena itu adalah miliknya. Jika dia tidak membagi sampai tidak mampu, maka tuannya berhak untuk membagi.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ قُتِلَ عَبْدٌ لِأُمِّ وَلَدٍ فَلَمْ يُقْسِمْ سَيِّدُهَا حَتَّى مَاتَ وَأَوْصَى لَهَا بِثَمَنِ الْعَبْدِ لَمْ تُقْسِمْ وَأَقْسَمَ وَرَثَتُهُ وَكَانَ لَهَا ثَمَنُ الْعَبْدِ وَإِنْ لَمْ يُقْسِمْ الْوَرَثَةُ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ وَلَا لَهَا شَيْءٌ إلَّا أَيْمَانُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang budak milik umm walad dibunuh, lalu tuannya tidak bersumpah hingga dia meninggal dan mewasiatkan untuknya (umm walad) harga budak tersebut, maka dia (umm walad) tidak bersumpah. Jika ahli warisnya bersumpah, maka harga budak itu menjadi haknya (umm walad). Namun, jika ahli waris tidak bersumpah, maka mereka dan umm walad tidak mendapatkan apa pun kecuali sumpah dari pihak yang didakwa.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ جُرِحَ رَجُلٌ فَمَاتَ أُبْطِلَتْ الْقَسَامَةُ؛ لِأَنَّ مَالَهُ فَيْءٌ، وَلَوْ كَانَ رَجَعَ إلَى الْإِسْلَامِ كَانَتْ فِيهِ الْقَسَامَةُ لِلْوَارِثِ، وَلَوْ جُرِحَ وَهُوَ عَبْدٌ فَعَتَقَ ثُمَّ مَاتَ حُرًّا وَجَبَتْ فِيهِ الْقَسَامَةُ لِوَرَثَتِهِ الْأَحْرَارِ وَلِسَيِّدِهِ الْمُعْتِقِ بِقَدْرِ مَا يَمْلِكُ فِي جِرَاحِهِ وَلَا تَجِبُ الْقَسَامَةُ فِي دُونِ النَّفْسِ وَلَوْ لَمْ يُقْسِمْ الْوَلِيُّ حَتَّى ارْتَدَّ فَأَقْسَمَ وُقِفَتْ الدِّيَةُ فَإِنْ رَجَعَ أَخَذَهَا وَإِنْ قُتِلَ كَانَتْ فَيْئًا وَالْأَيْمَانُ فِي الدِّمَاءِ مُخَالِفَةٌ لَهَا فِي الْحُقُوقِ وَهِيَ فِي جَمِيعِ الْحُقُوقِ يَمِينٌ وَفِي الدِّمَاءِ خَمْسُونَ يَمِينًا، وَقَالَ فِي كِتَابِ الْعَمْدِ: وَلَوْ ادَّعَى أَنَّهُ قَتَلَ أَبَاهُ عَمْدًا فَقَالَ: بَلْ خَطَأً فَالدِّيَةُ عَلَيْهِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ بَعْدَ أَنْ يَحْلِفَ مَا قَتَلَهُ إلَّا خَطَأً فَإِنْ نَكَلَ حَلَفَ الْمُدَّعِي لِقَتْلِهِ عَمْدًا وَكَانَ لَهُ الْقَوَدُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seorang laki-laki terluka lalu meninggal, qasamah (sumpah untuk menetapkan diyat) menjadi batal karena hartanya menjadi fa’i (harta yang diserahkan kepada baitulmal). Namun, jika dia kembali memeluk Islam sebelum meninggal, qasamah tetap berlaku bagi ahli warisnya. Jika seorang budak terluka lalu merdeka dan meninggal sebagai orang merdeka, qasamah wajib bagi ahli warisnya yang merdeka dan bagi mantan tuannya sesuai bagian yang dia miliki dari luka tersebut. Qasamah tidak wajib untuk selain pembunuhan. Jika wali korban tidak bersumpah hingga si pelaku murtad lalu wali itu bersumpah, diyat ditahan; jika pelaku kembali (ke Islam), dia menerimanya, tetapi jika dia dibunuh, diyat menjadi fa’i. Sumpah dalam kasus darah berbeda dengan sumpah dalam hak-hak lainnya. Dalam semua hak, sumpah hanya sekali, sedangkan dalam kasus darah, sumpah dilakukan lima puluh kali.” Dalam kitab Al-‘Amd, Beliau berkata: “Jika seseorang mengaku membunuh ayahnya dengan sengaja, lalu terdakwa mengatakan itu tidak sengaja, diyat wajib dibayar dalam tiga tahun setelah dia bersumpah bahwa dia tidak membunuh kecuali tidak sengaja. Jika dia menolak bersumpah, penggugat dapat bersumpah bahwa pembunuhan itu sengaja dan berhak menuntut qishash.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا الْقِيَاسُ عَلَى أَقَاوِيلِهِ فِي الطَّلَاقِ وَالْعَتَاقِ وَغَيْرِهِمَا فِي النُّكُولِ وَرَدِّ الْيَمِينِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini adalah analogi berdasarkan pendapat-pendapatnya dalam masalah talak, memerdekakan budak, dan selain keduanya, mengenai enggan bersumpah dan mengembalikan sumpah.

(Asy-Syafi’i berkata): “Sama saja dalam penolakan sumpah, baik orang yang berada di bawah pengampuan maupun yang tidak. Dia tetap diwajibkan dari sumpah tersebut pada hartanya sebagaimana orang yang tidak berada di bawah pengampuan. Sedangkan dalam masalah jinayah (tindak pidana) berbeda dengan jual beli. Jika ada yang bertanya: ‘Bagaimana mungkin mereka disumpah atas sesuatu yang tidak mereka ketahui?’ Dijawab: ‘Bukankah kalian sendiri berpendapat bahwa jika seorang pemuda berusia dua puluh tahun terlihat di timur membeli budak berusia seratus tahun yang terlihat di barat, lalu dia menjualnya seketika itu juga, kemudian pembeli menemukan cacat pada budak tersebut, maka penjual harus bersumpah dengan tegas bahwa dia telah menjual budak itu tanpa cacat seperti itu, padahal dia tidak mengetahuinya? Sedangkan apa yang kami katakan (tentang sumpah dalam jinayah) mungkin saja didasari pengetahuan seperti yang kami jelaskan.'”

 

بَابُ مَا يَنْبَغِي لِلْحَاكِمِ أَنْ يَعْلَمَهُ مِنْ الَّذِي لَهُ الْقَسَامَةُ وَكَيْفَ يُقْسِمُ

 

Bab tentang apa yang sepatutnya diketahui oleh hakim mengenai orang yang berhak melakukan qasamah (sumpah bersama) dan bagaimana cara melakukannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَنْبَغِي أَنْ يَقُولَ لَهُ مَنْ قَتَلَ صَاحِبَك؟ فَإِنْ قَالَ: فُلَانٌ، قَالَ: وَحْدَهُ؟ فَإِنْ قَالَ: نَعَمْ؛ قَالَ: عَمْدًا أَوْ خَطَأً؟ فَإِنْ قَالَ: عَمْدًا، سَأَلَهُ: وَمَا الْعَمْدُ؟ فَإِنْ وَصَفَ مَا فِي مِثْلِهِ الْقِصَاصُ أُحْلِفَ عَلَى ذَلِكَ وَإِنْ وَصَفَ مِنْ الْعَمْدِ مَا لَا يَجِبُ فِيهِ الْقِصَاصُ لَمْ يُحَلِّفْهُ عَلَيْهِ وَالْعَمْدُ فِي مَالِهِ وَالْخَطَأُ عَلَى عَاقِلَتِهِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ، فَإِنْ قَالَ: قَتَلَهُ فُلَانٌ وَنَفَرٌ مَعَهُ لَمْ يُحَلِّفْهُ حَتَّى يُسَمِّيَ النَّفَرَ أَوْ عَدَدَهُمْ إنْ لَمْ يَعْرِفْهُمْ، وَلَوْ أَحْلَفَهُ قَبْلَ أَنْ يَسْأَلَهُ عَنْ هَذَا وَلَمْ يَقُلْ لَهُ عَمْدًا وَلَا خَطَأً أَعَادَ عَلَيْهِ عَدَدَ الْأَيْمَانِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seyogyanya dia ditanya: ‘Siapa yang membunuh temanmu?’ Jika dia menjawab: ‘Si fulan,’ maka ditanya lagi: ‘Sendirian?’ Jika dia menjawab: ‘Ya,’ maka ditanya: ‘Sengaja atau tidak sengaja?’ Jika dia menjawab: ‘Sengaja,’ maka ditanya: ‘Apa yang dimaksud sengaja?’ Jika dia menjelaskan bentuk kesengajaan yang mengharuskan qisas, maka dia disumpah atas hal itu. Namun jika dia menjelaskan bentuk kesengajaan yang tidak mengharuskan qisas, maka dia tidak disumpah. Pembunuhan sengaja ditanggung oleh hartanya sendiri, sedangkan pembunuhan tidak sengaja ditanggung oleh keluarganya dalam tiga tahun. Jika dia mengatakan: ‘Si fulan dan beberapa orang bersamanya yang membunuhnya,’ maka dia tidak disumpah sampai menyebutkan nama-nama mereka atau jumlah mereka jika tidak mengenal mereka. Jika dia disumpah sebelum ditanya tentang hal ini dan tidak disebutkan apakah sengaja atau tidak sengaja, maka sumpahnya diulang sesuai jumlah sumpah yang diperlukan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : يُحَلَّفُ وَارِثُ الْقَتِيلِ عَلَى قَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى زَوْجًا أَوْ زَوْجَةً فَإِنْ تَرَكَ ابْنَيْنِ كَبِيرًا وَصَغِيرًا أَوْ غَائِبًا وَحَاضِرًا أَكْذَبَ أَخَاهُ وَأَرَادَ الْآخَرُ الْيَمِينَ قِيلَ لَهُ: لَا تَسْتَوْجِبُ شَيْئًا مِنْ الدِّيَةِ إلَّا بِخَمْسِينَ يَمِينًا فَإِنْ شِئْت فَاحْلِفْ خَمْسِينَ يَمِينًا وَخُذْ مِنْ الدِّيَةِ مُورَثَك وَإِنْ امْتَنَعْت فَدَعْ حَتَّى يَحْضُرَ مَعَك وَارِثٌ تُقْبَلُ يَمِينُهُ فَيَحْلِفَانِ خَمْسِينَ يَمِينًا، فَإِنْ تَرَكَ ثَلَاثَةَ بَنِينَ حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سَبْعَ عَشْرَةَ يَمِينًا يُجْبَرُ عَلَيْهِمْ كَسْرُ الْيَمِينِ فَإِنْ تَرَكَ أَكْثَرَ مِنْ خَمْسِينَ ابْنًا حَلَفَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَمِينًا يُجْبِرُ الْكَسْرَ مِنْ الْأَيْمَانِ، وَمَنْ مَاتَ مِنْ الْوَرَثَةِ قَبْلَ أَنْ يُقْسِمَ قَامَ وَرَثَتُهُ مَقَامَهُ بِقَدْرِ مَوَارِيثِهِمْ وَلَوْ لَمْ يَتِمَّ الْقَسَامَةُ حَتَّى مَاتَ ابْتَدَأَ وَارِثُهُ الْقَسَامَةَ وَلَوْ غُلِبَ عَلَى عَقْلِهِ ثُمَّ أَفَاقَ بَنَى؛ لِأَنَّهُ حَلَفَ لِجَمِيعِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Ahli waris korban pembunuhan harus bersumpah sesuai dengan bagian warisan mereka, baik laki-laki atau perempuan, suami atau istri. Jika yang meninggalkan adalah dua anak, baik yang besar dan kecil, atau yang tidak hadir dan yang hadir, lalu salah satu menyangkal saudaranya dan yang lain ingin bersumpah, maka dikatakan kepadanya: “Kamu tidak berhak mendapatkan bagian dari diyat kecuali dengan lima puluh sumpah. Jika kamu mau, bersumpahlah lima puluh kali dan ambillah bagian warisanmu dari diyat. Jika kamu menolak, tunggulah hingga ada ahli waris lain yang hadir bersamamu yang sumpahnya diterima, lalu keduanya bersumpah lima puluh kali. Jika yang meninggalkan adalah tiga anak, maka masing-masing harus bersumpah tujuh belas kali, dan pecahan sumpah dibulatkan. Jika yang meninggalkan lebih dari lima puluh anak, maka masing-masing bersumpah sekali dengan membulatkan pecahan sumpah. Jika ada ahli waris yang meninggal sebelum pembagian, maka ahli warisnya menggantikan posisinya sesuai dengan bagian warisan mereka. Jika pembagian belum selesai hingga ahli waris meninggal, maka ahli warisnya memulai kembali pembagian. Jika seseorang kehilangan akalnya kemudian sadar, maka sumpahnya tetap berlaku karena ia telah bersumpah untuk seluruhnya.

 

بَابُ مَا يُسْقِطُ الْقَسَامَةَ مِنْ الِاخْتِلَافِ أَوْ لَا يُسْقِطُهَا

 

Bab tentang hal-hal yang membatalkan qasamah karena perselisihan atau tidak membatalkannya

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Dan seandainya salah satu dari dua anak menuduh seorang lelaki dari penduduk kawasan ini bahwa dia telah membunuh ayahnya sendirian, sedangkan anak yang lain—yang merupakan orang yang adil—berkata: ‘Dia tidak membunuhnya, karena pada waktu pembunuhan terjadi, dia berada di suatu negeri yang tidak mungkin baginya untuk sampai ke tempat kejadian pada waktu itu,’ maka dalam hal ini ada dua pendapat.”

 

أَحَدُهُمَا أَنَّ لِلْمُدَّعِي أَنْ يُقْسِمَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَيَسْتَحِقَّ نِصْفَ الدِّيَةِ.

 

 

Salah satunya adalah bahwa pihak penggugat dapat bersumpah lima puluh sumpah dan berhak mendapatkan setengah diyat.

وَالثَّانِي: أَنْ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُقْسِمَ عَلَى رَجُلٍ يُبَرِّئُهُ وَارِثُهُ.

 

Dan yang kedua: bahwa dia tidak boleh bersumpah atas seseorang yang ahli warisnya telah membebaskannya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قِيَاسُ قَوْلِهِ أَنَّ مَنْ أَثْبَتَ السَّبَبَ الَّذِي بِهِ الْقَسَامَةُ حَلَفَ وَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ ذَلِكَ إنْكَارُ الْآخَرِ كَمَا لَوْ أَقَامَ أَحَدُهُمَا شَاهِدًا لِأَبِيهِمَا بِدَيْنٍ وَأَنْكَرَ الْآخَرُ مَا ادَّعَاهُ أَخُوهُ وَأَكْذَبَهُ أَنَّ لِلْمُدَّعِي مَعَ الشَّاهِدِ الْيَمِينَ وَيَسْتَحِقُّ كَذَلِكَ لِلْمُدَّعِي مَعَ السَّبَبِ الْقَسَامَةُ وَيَسْتَحِقُّ فَالسَّبَبُ وَالشَّاهِدُ بِمَعْنًى وَاحِدٍ فِي قَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ يُوجِبُ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ الْيَمِينَ وَالِاسْتِحْقَاقَ إلَّا أَنَّ فِي الدَّمِ خَمْسِينَ يَمِينًا وَفِي غَيْرِهِ يَمِينٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Qiyas dari perkataannya bahwa siapa yang menetapkan sebab yang dengannya qasamah dilakukan, maka ia bersumpah dan pengingkaran orang lain tidak menghalanginya, sebagaimana jika salah satu dari keduanya mendatangkan saksi atas ayah mereka tentang hutang, sementara yang lain mengingkari apa yang diklaim saudaranya dan mendustakannya, maka bagi pengklaim bersama saksi ada sumpah dan ia berhak. Demikian pula bagi pengklaim bersama sebab ada qasamah dan ia berhak. Sebab dan saksi memiliki makna yang sama dalam perkataannya, karena keduanya mewajibkan sumpah dan hak, hanya saja dalam kasus darah ada lima puluh sumpah, sedangkan dalam selainnya hanya satu sumpah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَكِنْ لَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا: قَتَلَ أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَالِدٍ وَرَجُلٌ لَا أَعْرِفُهُ، وَقَالَ الْآخَرُ قَتَلَ أَبِي زَيْدُ بْنُ عَامِرٍ وَرَجُلٌ لَا أَعْرِفُهُ فَهَذَا خِلَافٌ لِمَا مَضَى؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الَّذِي جَهِلَهُ أَحَدُهُمَا هُوَ الَّذِي عَرَفَهُ الْآخَرُ فَلَا يَسْقُطُ حَقُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْقَسَامَةِ، وَلَوْ قَالَ الْأَوَّلُ: قَدْ عَرَفْت زَيْدًا وَلَيْسَ بِاَلَّذِي قَتَلَ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ: قَدْ عَرَفْت عَبْدَ اللَّهِ وَلَيْسَ بِاَلَّذِي قَتَلَ مَعَ زَيْدٍ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنْ يَكُونَ لِكُلِّ وَاحِدٍ الْقَسَامَةُ عَلَى الَّذِي ادَّعَى عَلَيْهِ وَيَأْخُذَ حِصَّتَهُ مِنْ الدِّيَةِ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Namun, jika salah satu dari mereka berkata, “Abdullah bin Khalid dan seorang yang tidak aku kenal telah membunuh ayahku,” dan yang lain berkata, “Zaid bin Amir dan seorang yang tidak aku kenal telah membunuh ayahku,” maka ini berbeda dengan kasus sebelumnya. Sebab, bisa jadi orang yang tidak dikenal oleh salah satu dari mereka adalah orang yang dikenal oleh yang lain, sehingga hak salah satu dari mereka dalam qasamah tidak gugur. Jika yang pertama berkata, “Aku telah mengenal Zaid dan dia bukan orang yang membunuh bersama Abdullah,” dan yang lain berkata, “Aku telah mengenal Abdullah dan dia bukan orang yang membunuh bersama Zaid,” maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa masing-masing memiliki hak qasamah terhadap orang yang dituduhnya dan menerima bagiannya dari diyat.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: أَنَّهُ لَيْسَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يُقْسِمَ حَتَّى تَجْتَمِعَ دَعْوَاهُمَا عَلَى وَاحِدٍ.

 

Pendapat kedua: bahwa tidak seorang pun dari keduanya boleh bersumpah hingga klaim mereka bersatu pada satu pihak.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَطَعَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ فِي الْبَابِ الَّذِي قَبْلَ هَذَا وَهُوَ أَقْيَسُ عَلَى أَصْلِهِ؛ لِأَنَّ الشَّرِيكَيْنِ عِنْدَهُ فِي الدَّمِ يَحْلِفَانِ مَعَ السَّبَبِ كَالشَّرِيكَيْنِ عِنْدَهُ فِي الْمَالِ يَحْلِفَانِ مَعَ الشَّاهِدِ فَإِذَا أَكْذَبَ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ صَاحِبَهُ فِي الْحَقِّ حَلَفَ صَاحِبُهُ مَعَ الشَّاهِدِ وَاسْتَحَقَّ، وَكَذَلِكَ إذَا أَكْذَبَ أَحَدُ الشَّرِيكَيْنِ صَاحِبَهُ فِي الدَّمِ حَلَفَ صَاحِبُهُ مَعَ السَّبَبِ وَاسْتَحَقَّ.

 

(Al-Muzani berkata) Dia telah memutuskan dengan pendapat pertama dalam bab sebelum ini, dan itu lebih sesuai dengan dasar pemikirannya. Karena dua mitra dalam masalah darah menurutnya harus bersumpah bersama sebab, seperti dua mitra dalam harta harus bersumpah bersama saksi. Jika salah satu mitra mendustakan mitranya dalam hak, maka mitranya bersumpah bersama saksi dan berhak. Demikian pula, jika salah satu mitra mendustakan mitranya dalam masalah darah, maka mitranya bersumpah bersama sebab dan berhak.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَتَى قَامَتْ الْبَيِّنَةُ بِمَا يَمْنَعُ إمْكَانَ السَّبَبِ أَوْ بِإِقْرَارٍ وَقَدْ أُخِذَتْ الدِّيَةُ بِالْقَسَامَةِ رُدَّتْ الدِّيَةُ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan apabila telah ada bukti yang menghalangi kemungkinan sebab atau dengan pengakuan, sementara diyat telah diambil melalui qasamah, maka diyat itu harus dikembalikan.

 

بَابُ كَيْفَ يَمِينُ مُدَّعِي الدَّمِ وَالْمُدَّعَى عَلَيْهِ

Teks Bab tentang bagaimana sumpah bagi penuntut darah dan yang dituntut

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا وَجَبَتْ لِرَجُلٍ قَسَامَةٌ حَلَفَ بِاَللَّهِ الَّذِي لَا إلَهَ إلَّا هُوَ عَالِمُ خَائِنَةِ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ لَقَدْ قَتَلَ فُلَانٌ فُلَانًا مُنْفَرِدًا بِقَتْلِهِ مَا شَارَكَهُ فِي قَتْلِهِ غَيْرُهُ، وَإِنْ ادَّعَى عَلَى آخَرَ مَعَهُ حَلَفَ لَقَتَلَ فُلَانٌ وَآخَرُ مَعَهُ فُلَانًا مُنْفَرِدَيْنِ بِقَتْلِهِ مَا شَارَكَهُمَا فِيهِ غَيْرُهُمَا، وَإِنْ ادَّعَى الْجَانِي أَنَّهُ بَرَأَ مِنْ الْجِرَاحِ زَادَ وَمَا بَرَأَ مِنْ جِرَاحَةِ فُلَانٍ حَتَّى مَاتَ مِنْهَا وَإِذَا حَلَفَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ حَلَفَ كَذَلِكَ مَا قَتَلَ فُلَانًا وَلَا أَعَانَ عَلَى قَتْلِهِ وَلَا نَالَهُ مِنْ فِعْلِهِ وَلَا بِسَبَبِ فِعْلِهِ شَيْءٌ جَرَحَهُ وَلَا وَصَلَ إلَى شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَرْمِي فَيُصِيبُ شَيْئًا فَيَطِيرُ الَّذِي أَصَابَهُ فَيَقْتُلُهُ وَلَا أَحْدَثَ شَيْئًا مَاتَ مِنْهُ فُلَانٌ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَحْفِرُ الْبِئْرَ وَيَضَعُ الْحَجَرَ فَيَمُوتُ مِنْهُ وَلَوْ لَمْ يَزِدْهُ السُّلْطَانُ عَلَى حَلِفِهِ بِاَللَّهِ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى جَعَلَ بَيْنَ الْمُتَلَاعِنَيْنِ الْأَيْمَانَ بِاَللَّهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan apabila qasamah diwajibkan atas seseorang, ia bersumpah dengan nama Allah yang tiada tuhan selain Dia, Yang Mengetahui pengkhianatan mata dan apa yang disembunyikan dalam dada, “Sungguh, si Fulan telah membunuh si Fulan seorang diri dalam pembunuhannya, tidak ada orang lain yang bersekutu dengannya dalam pembunuhan itu.” Jika ia menuduh orang lain bersamanya, ia bersumpah, “Sungguh, si Fulan dan orang lain bersamanya telah membunuh si Fulan seorang diri dalam pembunuhannya, tidak ada orang lain yang bersekutu dengan mereka dalam hal itu.” Jika pelaku kejahatan mengklaim bahwa korban sembuh dari lukanya, ia menambahkan, “Dan ia tidak sembuh dari luka si Fulan hingga ia mati karenanya.”

 

Dan apabila tergugat bersumpah, ia bersumpah dengan cara yang sama, “Aku tidak membunuh si Fulan, tidak membantu pembunuhannya, tidak melakukan sesuatu yang melukainya, tidak ada sesuatu pun dari perbuatanku atau akibat perbuatanku yang melukainya atau mengenai tubuhnya.” Karena bisa saja seseorang melempar sesuatu, lalu mengenai korban dan membunuhnya. “Dan aku tidak melakukan sesuatu yang menyebabkan kematian si Fulan.” Karena bisa saja seseorang menggali sumur dan meletakkan batu, lalu korban mati karenanya.

 

Jika penguasa tidak menambahkan sumpahnya dengan nama Allah, itu sudah cukup. Karena Allah Ta’ala telah menjadikan sumpah dengan nama Allah sebagai penyelesaian antara dua pihak yang saling menuduh.

 

بَابُ دَعْوَى الدَّمِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي فِيهِ قَسَامَةٌ

 

Bab tentang klaim darah di tempat yang terdapat qasamah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا وُجِدَ قَتِيلٌ فِي مَحَلَّةِ قَوْمٍ يُخَالِطُهُمْ غَيْرُهُمْ أَوْ فِي صَحْرَاءَ أَوْ مَسْجِدٍ أَوْ سُوقٍ فَلَا قَسَامَةَ وَإِنْ ادَّعَى وَلِيُّهُ عَلَى أَهْلِ الْمَحَلَّةِ لَمْ يَحْلِفْ إلَّا مَنْ أَثْبَتُوهُ بِعَيْنِهِ وَإِنْ كَانُوا أَلْفًا فَيَحْلِفُونَ يَمِينًا يَمِينًا؛ لِأَنَّهُمْ يَزِيدُونَ عَلَى خَمْسِينَ فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إلَّا وَاحِدٌ حَلَفَ خَمْسِينَ يَمِينًا وَبَرِئَ فَإِنْ نَكَلُوا حَلَفَ وُلَاةُ الدَّمِ خَمْسِينَ يَمِينًا وَاسْتَحَقُّوا الدِّيَةَ فِي أَمْوَالِهِمْ إنْ كَانَ عَمْدًا وَعَلَى عَوَاقِلِهِمْ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ إنْ كَانَ خَطَأً (قَالَ) : وَفِي دِيَاتِ الْعَمْدِ عَلَى قَدْرِ حِصَصِهِمْ وَالْمَحْجُورُ عَلَيْهِ وَغَيْرُهُ سَوَاءٌ؛ لِأَنَّ إقْرَارَهُ بِالْجِنَايَةِ يَلْزَمُهُ فِي مَالِهِ وَالْجِنَايَةُ خِلَافُ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ وَكَذَلِكَ الْعَبْدُ إلَّا فِي إقْرَارِهِ بِجِنَايَةٍ لَا قِصَاصَ فِيهَا فَإِنَّهُ لَا يُبَاعُ فِيهَا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ فِي مَالِ غَيْرِهِ فَمَتَى عَتَقَ لَزِمَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ditemukan mayat terbunuh di perkampungan suatu kaum yang bercampur dengan orang lain, atau di padang pasir, masjid, atau pasar, maka tidak ada qasamah. Jika walinya menuduh penduduk kampung tersebut, hanya orang yang ditetapkan secara langsung yang bersumpah, meskipun mereka seribu orang. Mereka bersumpah satu per satu karena jumlahnya melebihi lima puluh. Jika hanya tersisa satu orang, ia bersumpah lima puluh kali dan dibebaskan. Jika mereka menolak, wali darah bersumpah lima puluh kali dan berhak menerima diyat dari harta mereka jika pembunuhan itu sengaja, atau dari aqilah mereka dalam tiga tahun jika tidak sengaja. (Beliau berkata): Dalam diyat pembunuhan sengaja, dibebankan sesuai bagian mereka. Orang yang berada di bawah pengampuan dan lainnya sama, karena pengakuannya atas kejahatan mengikat hartanya. Kejahatan berbeda dengan jual beli. Begitu pula budak, kecuali dalam pengakuannya atas kejahatan yang tidak ada qisas, maka ia tidak dijual untuk itu karena itu terkait harta orang lain. Jika ia merdeka, kewajiban itu tetap berlaku padanya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَكَمَا لَمْ يَضُرَّ سَيِّدَهُ إِقرَارُهُ بِمَا يُوجِبُ المَالَ فَكَذَلِكَ لَا يَضُرُّ عَاقِلَةَ الحُرِّ قَولُهُ بِمَا يُوجِبُ عَلَيهِم المَالَ.

 

(Al-Muzani berkata) Sebagaimana pengakuan budak tidak merugikan tuannya dalam hal yang mewajibkan harta, begitu pula perkataan orang merdeka tidak merugikan keluarganya dalam hal yang mewajibkan harta atas mereka.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ سَكْرَانَ لَمْ يَحْلِفْ حَتَّى يَصْحُوَ.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): “Barangsiapa di antara mereka yang mabuk, maka tidak boleh bersumpah hingga ia sadar.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا يَدُلُّ عَلَى إبْطَالِ طَلَاقِ السَّكْرَانِ الَّذِي لَا يَعْقِلُ وَلَا يُمَيِّزُ وَقَدْ قِيلَ: لَا يَبْرَأُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ إلَّا بِخَمْسِينَ يَمِينًا كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ وَلَا يُحْتَسَبُ لَهُمْ يَمِينٌ غَيْرُهُ، وَهَكَذَا الدَّعْوَى فِيمَا دُونَ النَّفْسِ وَقِيلَ: يَلْزَمُهُ مِنْ الْأَيْمَانِ عَلَى قَدْرِ الدِّيَةِ فِي الْيَدِ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ وَفِي الْمُوضِحَةِ ثَلَاثَةُ أَيْمَانَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini menunjukkan batalnya talak orang mabuk yang tidak berakal dan tidak bisa membedakan. Telah dikatakan: “Tidak terbebas orang yang didakwa kecuali dengan lima puluh sumpah dari setiap mereka, dan tidak dihitung sumpah selain itu.” Begitu pula dakwaan dalam selain nyawa. Dikatakan juga: “Dia wajib melakukan sumpah sesuai kadar diyat, yaitu dua puluh lima sumpah untuk luka di tangan dan tiga sumpah untuk luka di kepala.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ قَالَ فِي أَوَّلِ بَابٍ مِنْ الْقَسَامَةِ وَلَا تَجِبُ الْقَسَامَةُ فِي دُونِ النَّفْسِ وَهَذَا عِنْدِي أَوْلَى بِقَوْلِ الْعُلَمَاءِ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata dalam awal bab Qasamah: “Qasamah tidak wajib dilakukan selain untuk pembunuhan, dan menurutku pendapat ini lebih sesuai dengan perkataan para ulama.”

 

بَابُ كَفَّارَةِ الْقَتْلِ

Bab tentang penebusan pembunuhan

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja), maka (wajib atasnya) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS. An-Nisa’: 92). Dan Dia berfirman: “Jika dia (yang terbunuh) dari kaum yang memusuhimu padahal dia mukmin, maka (wajib) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (QS. An-Nisa’: 92). Maksudnya, (hukum ini berlaku) khusus bagi orang dari kaum yang berada di darul harbi (wilayah perang). Allah tidak menetapkan qisas atau diat baginya jika dia membunuhnya tanpa mengetahui bahwa dia seorang muslim. Hal itu seperti ketika dia menyerbu, membunuh dalam pasukan kecil, atau menjumpainya sendirian dengan rupa orang musyrik di negeri mereka atau semacamnya.

 

(قَالَ) : {وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ} النساء: 92 .

 

 

(Dia berkata): “Dan jika dia (yang terbunuh) dari kaum yang ada perjanjian antara kamu dengan mereka, maka hendaklah dibayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan hamba sahaya yang beriman.” An-Nisa’: 92.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا وَجَبَتْ عَلَيْهِ كَفَّارَةُ الْقَتْلِ فِي الْخَطَأِ وَفِي قَتْلِ الْمُؤْمِنِ فِي دَارِ الْحَرْبِ كَانَتْ الْكَفَّارَةُ فِي الْعَمْدِ أَوْلَى.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dan jika kafarat pembunuhan karena kesalahan atau pembunuhan seorang mukmin di darul harb telah diwajibkan, maka kafarat dalam pembunuhan sengaja lebih utama.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَاحْتُجَّ بِأَنَّ الْكَفَّارَةَ فِي قَتْلِ الصَّيْدِ فِي الْإِحْرَامِ وَالْحَرَمِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً سَوَاءٌ إلَّا فِي الْمَأْثَمِ فَكَذَلِكَ كَفَّارَةُ الْقَتْلِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً سَوَاءٌ إلَّا فِي الْمَأْثَمِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berargumen bahwa kafarah (denda) atas membunuh hewan buruan saat ihram dan di tanah haram, baik sengaja atau tidak, adalah sama kecuali dalam hal dosa. Demikian pula, kafarah pembunuhan, baik sengaja atau tidak, adalah sama kecuali dalam hal dosa.

 

بَابُ لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَهْلِ الْمَدِينَةِ

 

Bab tentang pembunuh tidak mewarisi dari kitab perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan penduduk Madinah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يَرِثُ قَاتِلٌ خَطَأً وَلَا عَمْدًا إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَجْنُونًا أَوْ صَبِيًّا فَلَا يَحْرُمُ الْمِيرَاثُ؛ لِأَنَّ الْقَلَمَ عَنْهُمَا مَرْفُوعٌ، وَقَالَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ: لَا يَرِثُ قَاتِلُ عَمْدٍ وَلَا يَرِثُ قَاتِلُ خَطَأٍ مِنْ الدِّيَةِ وَيَرِثُ مِنْ سَائِرِ مَالِهِ، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ: هَلْ رَأَيْتُمْ وَارِثًا يَرِثُ بَعْضَ مَالِ رَجُلٍ دُونَ بَعْضٍ إِمَّا أَنْ يَرِثَ الْكُلَّ أَوْ لَا يَرِثَ شَيْئًا.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Abu Hanifah berkata: “Pembunuh tidak mewarisi, baik karena kesalahan maupun sengaja, kecuali jika dia gila atau anak kecil, maka warisan tidak terhalang karena pena (catatan amal) diangkat dari mereka.” Penduduk Madinah berkata: “Pembunuh dengan sengaja tidak mewarisi, dan pembunuh karena kesalahan tidak mewarisi dari diyat (denda), tetapi mewarisi dari harta lainnya.” Muhammad bin Al-Hasan berkata: “Pernahkah kalian melihat ahli waris yang mewarisi sebagian harta seseorang dan tidak mewarisi sebagian lainnya? Dia harus mewarisi seluruhnya atau tidak mewarisi sama sekali.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَدْخُلُ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ يُسَوِّي بَيْنَ الْمَجْنُونِ وَالصَّبِيِّ وَبَيْنَ الْبَالِغِ الْخَاطِئِ فِي قَتْلِ الْخَطَأِ وَيَجْعَلُ عَلَى عَوَاقِلِهِمْ الدِّيَةَ وَيَرْفَعُ عَنْهُمْ الْمَأْثَمَ فَكَيْفَ وَرِثَ بَعْضُهُمْ دُونَ بَعْضٍ وَهُمْ سَوَاءٌ فِي الْمَعْنَى.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – mengkritik Muhammad bin Al-Hasan karena ia menyamakan antara orang gila dan anak kecil dengan orang dewasa yang melakukan kesalahan dalam pembunuhan tidak sengaja, mewajibkan diyat atas keluarga mereka, dan menghapus dosa dari mereka. Lalu bagaimana mungkin sebagian mereka mewarisi sedangkan sebagian lain tidak, padahal mereka sama dalam makna.

 

(قَالَ) : وَيَدْخُلُ عَلَى أَصْحَابِنَا مَا دَخَلَ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ وَلَيْسَ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ قَاتِلِ خَطَأٍ لَا يَرِثُ وَقَاتِلِ عَمْدٍ خَبَرٌ يَلْزَمُ وَلَوْ كَانَ ثَابِتًا كَانَتْ فِيهِ الْحُجَّةُ.

 

 

(Dia berkata): “Akan menimpa sahabat-sahabat kami apa yang menimpa Muhammad bin Al-Hasan, dan tidak ada dalam perbedaan antara pembunuh tidak sengaja yang tidak mewarisi dengan pembunuh sengaja suatu hadits yang mengikat. Seandainya hal itu tetap, niscaya terdapat hujjah di dalamnya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَمَعْنَى تَأْوِيلِهِ إذَا لَمْ يَثْبُتْ فَرْقٌ أَنَّهُمَا سَوَاءٌ فِي أَنَّهُمَا لَا يَرِثَانِ وَقَدْ قَطَعَ بِهَذَا الْمَعْنَى فِي كِتَابِ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَقَالَ: إذَا قَتَلَ الْعَادِلُ الْبَاغِيَ، أَوْ الْبَاغِي الْعَادِلَ لَا يَتَوَارَثَانِ؛ لِأَنَّهُمَا قَاتِلَانِ قَالَ وَهَذَا أَشْبَهُ بِمَعْنَى الْحَدِيثِ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Makna penafsirannya, jika tidak ada perbedaan yang jelas, adalah bahwa keduanya sama dalam hal tidak saling mewarisi.” Dia menegaskan makna ini dalam kitab “Qital Ahlil Baghyi” dengan mengatakan: “Jika orang yang adil membunuh pemberontak, atau pemberontak membunuh orang yang adil, mereka tidak saling mewarisi karena keduanya adalah pembunuh.” Beliau berkata: “Ini lebih sesuai dengan makna hadis.”

بَابُ الشَّهَادَةِ عَلَى الْجِنَايَةِ

 

Bab Kesaksian atas Kejahatan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يُقْبَلُ فِي الْقَتْلِ وَجِرَاحِ الْعَمْدِ وَالْحُدُودِ سِوَى الزِّنَا إلَّا عَدْلَانِ وَيُقْبَلُ شَاهِدٌ وَامْرَأَتَانِ وَيَمِينٌ وَشَاهِدٌ فِيمَا لَا قِصَاصَ فِيهِ مِثْلُ الْجَائِفَةِ وَجِنَايَةِ مَنْ لَا قَوَدَ عَلَيْهِ مِنْ مَعْتُوهٍ وَصَبِيٍّ وَمُسْلِمٍ عَلَى كَافِرٍ وَحُرٍّ عَلَى عَبْدٍ وَأَبٍ عَلَى ابْنٍ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مَالٌ فَإِنْ كَانَ الْجِرَاحُ هَاشِمَةً أَوْ مَأْمُومَةً لَمْ أَقْبَلْ أَقَلَّ مِنْ شَاهِدَيْنِ؛ لِأَنَّ الَّذِي شُجَّ إنْ أَرَادَ أَنْ آخُذَ لَهُ الْقِصَاصَ مِنْ مُوضِحَةٍ فَعَلْت؛ لِأَنَّهَا مُوضِحَةٌ وَزِيَادَةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Tidak diterima dalam kasus pembunuhan, luka sengaja, dan hudud selain zina kecuali dengan dua saksi yang adil. Diterima satu saksi laki-laki dan dua perempuan serta sumpah dan satu saksi dalam hal yang tidak ada qishash seperti luka dalam (al-jaifah) dan kejahatan orang yang tidak dikenai qishash seperti orang gila, anak kecil, muslim terhadap kafir, orang merdeka terhadap budak, dan ayah terhadap anak; karena itu adalah masalah harta. Jika lukanya adalah hasyimah atau ma’mumah, aku tidak menerima kurang dari dua saksi; karena orang yang terluka jika ingin aku mengambil qishash untuknya dari muwadhihah, aku lakukan; karena itu adalah muwadhihah dan tambahan.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ شَهِدَا أَنَّهُ ضَرَبَهُ بِسَيْفٍ وَقَفْتهمَا فَإِنْ قَالَا: فَأَنْهَرَ دَمَهُ وَمَاتَ مَكَانَهُ قَبِلْتُهُمَا وَجَعَلْته قَاتِلًا، وَإِنْ قَالَا: لَا نَدْرِي أَنْهَرَ دَمَهُ أَمْ لَا بَلْ رَأَيْنَاهُ سَائِلًا لَمْ أَجْعَلْهُ جَارِحًا حَتَّى يَقُولَا: أَوْضَحَهُ هَذِهِ الْمُوضِحَةَ بِعَيْنِهَا، وَلَوْ شَهِدَا عَلَى رَجُلَيْنِ أَنَّهُمَا قَتَلَاهُ وَشَهِدَ الْآخَرَانِ عَلَى الشَّاهِدَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ أَنَّهُمَا قَتَلَاهُ وَكَانَتْ شَهَادَتُهُمَا فِي مَقَامٍ وَاحِدٍ فَإِنْ صَدَّقَهُمَا وَلِيُّ الدَّمِ مَعًا أَبْطَلْت الشَّهَادَةَ وَإِنْ صَدَّقَ اللَّذَيْنِ شَهِدَا أَوَّلًا قَبِلْت شَهَادَتَهُمَا وَجَعَلْت الْآخَرَيْنِ دَافِعَيْنِ بِشَهَادَتِهِمَا، وَإِنْ صَدَّقَ اللَّذَيْنِ شَهِدَا آخِرًا أَبْطَلْت شَهَادَتَهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا يَدْفَعَانِ بِشَهَادَتِهِمَا مَا شَهِدَ بِهِ عَلَيْهِمَا، وَلَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا عَلَى إقْرَارِهِ أَنَّهُ قَتَلَهُ عَمْدًا وَالْآخَرُ عَلَى إقْرَارِهِ وَلَمْ يَقُلْ: خَطَأً وَلَا عَمْدًا جَعَلْته قَاتِلًا وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ.

 

 

(Dia berkata): “Jika dua saksi bersaksi bahwa seseorang memukul korban dengan pedang, aku akan menahan mereka. Jika mereka berkata, ‘Dia melukai hingga darah mengucur dan korban meninggal di tempat,’ aku terima kesaksian mereka dan menetapkannya sebagai pembunuh. Namun jika mereka berkata, ‘Kami tidak tahu apakah darahnya mengucur atau tidak, kami hanya melihatnya mengalir,’ aku tidak menetapkannya sebagai pelaku kecuali jika mereka mengatakan, ‘Dia melukai dengan luka yang jelas ini.’

 

Jika dua saksi bersaksi bahwa dua orang membunuh korban, lalu dua saksi lain bersaksi terhadap dua saksi pertama bahwa merekalah yang membunuh, dan kesaksian mereka diberikan dalam waktu bersamaan:

– Jika wali darah membenarkan kedua pasang saksi sekaligus, aku batalkan kesaksian itu.

– Jika dia membenarkan dua saksi pertama, aku terima kesaksian mereka dan menjadikan dua saksi terakhir sebagai pihak yang menolak dengan kesaksian mereka.

– Jika dia membenarkan dua saksi terakhir, aku batalkan kesaksian mereka karena mereka berusaha menolak kesaksian yang diberikan terhadap mereka.

 

Jika salah satu saksi bersaksi atas pengakuan terdakwa bahwa dia membunuh dengan sengaja, sedangkan saksi lain hanya bersaksi atas pengakuannya tanpa menyebut ‘tidak sengaja’ atau ‘sengaja’, aku tetapkan dia sebagai pembunuh dan perkataannya (terdakwa) yang dianggap.”

 

فَإِنْ قَالَ: عَمْدًا، فَعَلَيْهِ الْقِصَاصُ وَإِنْ قَالَ: خَطَأً أُحْلِفَ مَا قَتَلَهُ عَمْدًا وَكَانَتْ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ فِي مُضِيِّ ثَلَاثِ سِنِينَ، وَلَوْ قَالَ: أَحَدُهُمَا قَتَلَهُ غُدْوَةً وَقَالَ الْآخَرُ: عَشِيَّةً، أَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا بِسَيْفٍ وَالْآخَرُ بِعَصًا فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مُكَذِّبٌ لِصَاحِبِهِ وَمِثْلُ هَذَا يُوجِبُ الْقَسَامَةَ.

 

 

Jika ia berkata: “Dengan sengaja,” maka wajib atasnya qisas. Dan jika ia berkata: “Tidak sengaja,” ia harus bersumpah bahwa ia tidak membunuhnya dengan sengaja, dan diyat dibayarkan dari hartanya dalam jangka tiga tahun. Seandainya salah satu dari mereka berkata: “Ia membunuhnya di pagi hari,” sedangkan yang lain berkata: “Di sore hari,” atau salah satu berkata: “Dengan pedang,” dan yang lain berkata: “Dengan tongkat,” maka masing-masing dari mereka mendustakan yang lain, dan hal seperti ini mewajibkan qasamah.

 

وَلَوْ شَهِدَ أَحَدُهُمَا أَنَّهُ قَتَلَهُ وَالْآخَرُ أَنَّهُ أَقَرَّ بِقَتْلِهِ لَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهُمَا؛ لِأَنَّ الْإِقْرَارَ مُخَالِفٌ لِلْفِعْلِ وَلَوْ شَهِدَ أَنَّهُ ضَرَبَهُ مُلَفَّفًا فَقَطَعَهُ بِاثْنَيْنِ وَلَمْ يُبَيِّنَا أَنَّهُ كَانَ حَيًّا لَمْ أَجْعَلْهُ قَاتِلًا وَأَحْلَفْتُهُ مَا ضَرَبَهُ حَيًّا.

 

 

Jika salah satu dari keduanya bersaksi bahwa dia membunuhnya, sedangkan yang lain bersaksi bahwa dia mengakui pembunuhannya, maka kesaksian mereka tidak diterima karena pengakuan bertentangan dengan perbuatan. Dan jika dia bersaksi bahwa dia memukulnya dalam keadaan terikat lalu memotongnya menjadi dua, namun tidak dijelaskan bahwa korban masih hidup, maka aku tidak menganggapnya sebagai pembunuh dan akan menyumpahinya bahwa dia tidak memukulnya saat masih hidup.

 

وَلَوْ شَهِدَ أَحَدُ الْوَرَثَةِ أَنَّ أَحَدَهُمْ عَفَا الْقَوَدَ وَالْمَالَ فَلَا سَبِيلَ إلَى الْقَوَدِ وَإِنْ لَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهُ وَأُحْلِفَ الْمَشْهُودُ عَلَيْهِ مَا عَفَا الْمَالَ وَيَأْخُذُ حِصَّتَهُ مِنْ الدِّيَةِ وَإِنْ كَانَ مِمَّنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ حَلَفَ الْقَاتِلُ مَعَ شَهَادَتِهِ لَقَدْ عَفَا عَنْهُ الْقِصَاصَ وَالْمَالَ وَبَرِئَ مِنْ حِصَّتِهِ مِنْ الدِّيَةِ.

 

 

Dan jika salah seorang ahli waris bersaksi bahwa salah seorang dari mereka telah memaafkan qisas dan harta, maka tidak ada jalan untuk qisas meskipun kesaksiannya tidak diterima, dan orang yang disaksikan tersebut harus bersumpah bahwa dia tidak memaafkan harta, lalu dia mengambil bagiannya dari diyat. Jika dia termasuk orang yang kesaksiannya diterima, maka si pembunuh harus bersumpah bersama kesaksiannya bahwa dia telah memaafkan qisas dan harta, dan dia dibebaskan dari bagiannya dalam diyat.

 

وَلَوْ شَهِدَ وَارِثٌ أَنَّهُ جَرَحَهُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً لَمْ أَقْبَلْ؛ لِأَنَّ الْجُرْحَ قَدْ يَكُونُ نَفْسًا فَيَسْتَوْجِبُ بِشَهَادَتِهِ الدِّيَةَ فَإِنْ شَهِدَ وَلَهُ مَنْ يَحْجُبُهُ قَبِلْتُهُ فَإِنْ لَمْ أَحْكُمْ حَتَّى صَارَ وَارِثًا طَرَحْته وَلَوْ كُنْت حَكَمْت ثُمَّ مَاتَ مَنْ يَحْجُبُهُ وَرَّثْتُهُ؛ لِأَنَّهَا مَضَتْ فِي حِينٍ لَا يَجُرُّ بِهَا إلَى نَفْسِهِ، وَلَوْ شَهِدَ مِنْ عَاقِلَتِهِ بِالْجُرْحِ لَمْ أَقْبَلْ وَإِنْ كَانَ فَقِيرًا؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَكُونُ لَهُ مَالٌ فِي وَقْتِ الْعَقْلِ فَيَكُونُ دَافِعًا عَنْ نَفْسِهِ بِشَهَادَتِهِ مَا يَلْزَمُهُ.

 

 

Dan jika seorang ahli waris bersaksi bahwa dia melukainya dengan sengaja atau tidak sengaja, aku tidak akan menerimanya; karena luka itu bisa berupa jiwa sehingga dia berhak mendapatkan diyat dengan kesaksiannya. Jika dia bersaksi dan ada yang menghalanginya, aku akan menerimanya. Jika aku belum memutuskan hingga dia menjadi ahli waris, aku akan menolaknya. Seandainya aku sudah memutuskan kemudian orang yang menghalanginya meninggal, aku akan memberinya warisan; karena hal itu terjadi pada saat yang tidak menguntungkannya. Dan jika seseorang dari keluarganya bersaksi tentang luka tersebut, aku tidak akan menerimanya meskipun dia miskin; karena dia mungkin memiliki harta pada saat pembayaran diyat sehingga dia bisa membebaskan dirinya dari kewajiban dengan kesaksiannya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَأَجَازَهُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ إذَا كَانَ مِنْ عَاقِلَتِهِ فِي قُرْبِ النَّسَبِ مَنْ يَحْمِلُ الْعَقْلَ حَتَّى لَا يَخْلُصَ إلَيْهِ الْغُرْمُ إلَّا بَعْدَ مَوْتِ الَّذِي هُوَ أَقْرَبُ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – juga membolehkannya dalam tempat lain, yaitu jika di antara kerabat dekatnya ada yang menanggung diyat, sehingga kewajiban membayar tidak jatuh kepadanya kecuali setelah kematian orang yang lebih dekat.

 

(قَالَ) : وَتَجُوزُ الْوَكَالَةُ فِي تَثْبِيتِ الْبَيِّنَةِ عَلَى الْقَتْلِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فَإِذَا كَانَ الْقَوَدُ لَمْ يُدْفَعْ إلَيْهِ حَتَّى يَحْضُرَ الْوَلِيُّ أَوْ يُوَكِّلَهُ بِقَتْلِهِ فَيَكُونَ لَهُ قَتْلُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Boleh mewakilkan dalam menetapkan bukti atas pembunuhan sengaja atau tidak sengaja. Jika qisas belum diserahkan kepadanya hingga wali hadir atau mewakilkannya untuk membunuh, maka dia berhak membunuhnya.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا أَمَرَ السُّلْطَانُ بِقَتْلِ رَجُلٍ أَوْ قَطْعِهِ اُقْتُصَّ مِنْ السُّلْطَانِ؛ لِأَنَّهُ هَكَذَا يُفْعَلُ وَيُعَزَّرُ الْمَأْمُورُ.

 

 

Beliau berkata: “Dan apabila penguasa memerintahkan untuk membunuh seseorang atau memotong (anggota tubuhnya), maka hukuman qishas diambil dari penguasa tersebut; karena demikianlah yang dilakukan, dan orang yang diperintah (pelaksana) diberi hukuman ta’zir.”

 

بَابُ الْحُكْمِ فِي السَّاحِرِ إذَا قَتَلَ بِسِحْرِهِ

 

Bab tentang hukum bagi penyihir yang membunuh dengan sihirnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَإِذَا سَحَرَ رَجُلًا فَمَاتَ سُئِلَ عَنْ سِحْرِهِ؛ فَإِنْ قَالَ: أَنَا أَعْمَلُ هَذَا لِأَقْتُلَ فَأُخْطِئَ الْقَتْلَ وَأُصِيبَ وَقَدْ مَاتَ مِنْ عَمَلِي؛ فَفِيهِ الدِّيَةُ، وَإِنْ قَالَ: مَرِضَ مِنْهُ وَلَمْ يَمُتْ أَقْسَمَ أَوْلِيَاؤُهُ لَمَاتَ مِنْ ذَلِكَ الْعَمَلِ وَكَانَتْ الدِّيَةُ، وَإِنْ قَالَ: عَمَلِي يَقْتُلُ الْمَعْمُولَ بِهِ وَقَدْ عَمَدْت قَتْلَهُ بِهِ قُتِلَ بِهِ قَوَدًا.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Jika seseorang menyihir orang lain lalu korban meninggal, ia akan ditanya tentang sihirnya. Jika ia berkata: ‘Aku melakukan ini untuk membunuh, namun gagal membunuh dan hanya melukai, tetapi korban meninggal karena perbuatanku,’ maka wajib membayar diyat. Jika ia berkata: ‘Korban sakit karenanya tapi tidak meninggal,’ lalu keluarganya bersumpah bahwa korban meninggal karena perbuatan itu, maka diyat tetap wajib. Jika ia berkata: ‘Sihirku memang mematikan dan aku sengaja membunuhnya dengan sihir itu,’ maka ia dihukum qishas (dibunuh balik).”

 

قِتَالُ أَهْلِ الْبَغْيِ بَابُ مَنْ يَجِبُ قِتَالُهُ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَالسِّيرَةِ فِيهِمْ

 

 

Perang Melawan Pemberontak Bab Tentang Orang-Orang yang Wajib Diperangi dari Kalangan Pemberontak dan Kebijakan Terhadap Mereka

 

بَابُ مَنْ يَجِبُ قِتَالُهُ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَالسِّيرَةِ فِيهِمْ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} الحجرات: 9 فَأَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى جَدُّهُ أَنْ يُصْلَحَ بَيْنَهُمْ بِالْعَدْلِ وَلَمْ يَذْكُرْ تِبَاعَةً فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ، وَإِنَّمَا ذَكَرَ الصُّلْحَ آخِرًا كَمَا ذَكَرَ الْإِصْلَاحَ بَيْنَهُمْ أَوَّلًا قَبْلَ الْإِذْنِ بِقِتَالِهِمْ؛ فَأَشْبَهَ هَذَا أَنْ تَكُونَ التَّبِعَاتُ فِي الدِّمَاءِ وَالْجِرَاحِ وَمَا تَلِفَ مِنْ الْأَمْوَالِ سَاقِطَةً بَيْنَهُمْ، وَكَمَا قَالَ ابْنُ شِهَابٍ عِنْدَنَا قَدْ كَانَتْ فِي تِلْكَ الْفِتْنَةِ دِمَاءٌ يُعْرَفُ فِي بَعْضِهَا الْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ وَأُتْلِفَتْ فِيهَا أَمْوَالٌ ثُمَّ صَارَ النَّاسُ إلَى أَنْ سَكَنَتْ الْحَرْبُ بَيْنَهُمْ وَجَرَى الْحُكْمُ عَلَيْهِمْ فَمَا عَلِمْته اُقْتُصَّ مِنْ أَحَدٍ وَلَا أُغْرِمَ مَالًا أَتْلَفَهُ.

 

 

Bab tentang orang-orang yang wajib diperangi dari kalangan pemberontak dan kebiasaan terhadap mereka (Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika dua kelompok dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari mereka melampaui batas terhadap yang lain, perangilah kelompok yang melampaui batas itu hingga mereka kembali kepada perintah Allah. Jika mereka telah kembali, damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat: 9).

 

Allah Ta’ala memerintahkan untuk mendamaikan mereka dengan adil dan tidak menyebutkan tuntutan darah atau harta. Dia hanya menyebutkan perdamaian di akhir, sebagaimana menyebutkan perdamaian di awal sebelum diizinkannya memerangi mereka. Ini menunjukkan bahwa tuntutan darah, luka, dan harta yang rusak di antara mereka gugur.

 

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Syihab, “Menurut kami, dalam fitnah itu ada darah yang diketahui pelaku dan korbannya, serta harta yang dihancurkan. Namun, setelah perang antara mereka mereda dan hukum berlaku, tidak ada yang kuketahui ada qishas diambil atau harta yang dirampas sebagai ganti rugi.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَمَا عَلِمْت النَّاسَ اخْتَلَفُوا فِي أَنَّ مَا حَوَوْا فِي الْبَغْيِ مِنْ مَالٍ فَوُجِدَ بِعَيْنِهِ أَنَّ صَاحِبَهُ أَحَقُّ بِهِ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara manusia bahwa harta yang dirampas secara zalim, jika masih ditemukan dalam bentuk aslinya, maka pemiliknya lebih berhak atasnya.”

 

(قَالَ) : وَأَهْلُ الرِّدَّةِ بَعْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ضَرْبَانِ فَمِنْهُمْ قَوْمٌ كَفَرُوا بَعْدَ إسْلَامِهِمْ مِثْلُ طُلَيْحَةَ وَمُسَيْلِمَةَ وَالْعَنْسِيِّ وَأَصْحَابِهِمْ وَمِنْهُمْ قَوْمٌ تَمَسَّكُوا بِالْإِسْلَامِ وَمَنَعُوا الصَّدَقَاتِ وَلَهُمْ لِسَانٌ عَرَبِيٌّ وَالرِّدَّةُ ارْتِدَادٌ عَمَّا كَانُوا عَلَيْهِ بِالْكُفْرِ وَارْتِدَادٌ بِمَنْعِ حَقٍّ كَانُوا عَلَيْهِ، وَقَوْلُ عُمَرَ لِأَبِي بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – أَلَيْسَ قَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أُمِرْت أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوهَا فَقَدْ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ؟» وَقَوْلُ أَبِي بَكْرٍ هَذَا مِنْ حَقِّهَا لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا مِمَّا أَعْطَوْهُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَقَاتَلْتهمْ عَلَيْهَا مَعْرِفَةٌ مِنْهُمَا مَعًا أَنَّ مِمَّنْ قَاتَلُوا مَنْ تَمَسَّكَ بِالْإِسْلَامِ وَلَوْلَا ذَلِكَ لَمَا شَكَّ عُمَرُ فِي قِتَالِهِمْ وَلَقَالَ أَبُو بَكْرٍ قَدْ تَرَكُوا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ فَصَارُوا مُشْرِكِينَ وَذَلِكَ بَيِّنٌ فِي مُخَاطَبَتِهِمْ جُيُوشَ أَبِي بَكْرٍ وَأَشْعَارِ مَنْ قَالَ الشِّعْرَ مِنْهُمْ فَقَالَ شَاعِرُهُمْ:

 

 

(Dia berkata): “Kaum murtad setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbagi dua. Ada yang kufur setelah masuk Islam seperti Tulaihah, Musailamah, Al-Ansi dan pengikut mereka. Ada pula yang tetap berpegang pada Islam namun menolak membayar zakat, sementara mereka berbahasa Arab. Kemurtadan adalah berpaling dari apa yang mereka yakini menuju kekufuran, atau menolak kewajiban yang telah ditetapkan bagi mereka.” Umar berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma: “Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah. Jika telah mengucapkannya, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan haknya, sedangkan hisab mereka ada pada Allah?'” Abu Bakar menjawab: “Menolak zakat termasuk haknya. Seandainya mereka menolak membayar seekor anak kambing betina yang biasa mereka berikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, niscaya akan kuperangi mereka karenanya.” Keduanya sama-sama mengetahui bahwa di antara yang mereka perangi ada yang masih berpegang pada Islam. Seandainya tidak demikian, niscaya Umar tidak ragu memerangi mereka, dan Abu Bakar akan berkata: “Mereka telah meninggalkan Laa ilaaha illallah sehingga menjadi musyrik.” Hal ini jelas terlihat dalam dialog mereka dengan pasukan Abu Bakar dan syair-syair yang dilantunkan penyair mereka. Seorang penyair mereka berkata:

 

أَلَا أَصْبِحِينَا قَبْلَ نَائِرَةِ الْفَجْرِ … لَعَلَّ مَنَايَانَا قَرِيبٌ وَمَا نَدْرِي

 

 

Tidakkah kita berada di pagi hari sebelum terbitnya fajar… Barangkali ajal kita dekat, namun kita tidak tahu.

أَطَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَانَ بَيْنَنَا … فَيَا عَجَبًا مَا بَالُ مِلْكِ أَبِي بَكْرٍ

 

Kami taat kepada Rasulullah selama dia berada di antara kami… maka alangkah anehnya kekuasaan Abu Bakar

 

فَإِنَّ الَّذِي سَأَلُوكُمْ فَمَنَعْتُمْ … لَكَالتَّمْرِ أَوْ أَحْلَى إلَيْهِمْ مِنْ التَّمْرِ

 

 

Sesungguhnya apa yang mereka minta kepadamu lalu kamu menolaknya… bagaikan kurma atau lebih manis bagi mereka daripada kurma.

 

سَنَمْنَعُهُمْ مَا كَانَ فِينَا بَقِيَّةٌ … كِرَامٌ عَلَى الْعَزَاءِ فِي سَاعَةِ الْعُسْرِ

 

 

Kami akan menghalangi mereka selama masih ada sisa dalam diri kami… orang-orang mulia yang siap membantu di saat kesulitan.

 

وَقَالُوا لِأَبِي بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – بَعْدَ الْإِسَارِ: مَا كَفَرْنَا بَعْدَ إيمَانِنَا وَلَكِنَّا شَحَحْنَا عَلَى أَمْوَالِنَا فَسَارَ إلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ بِنَفْسِهِ حَتَّى لَقِيَ أَخَا بَنِي بَدْرٍ الْفَزَارِيّ فَقَاتَلَهُ وَمَعَهُ عُمَرُ وَعَامَّةُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ أَمْضَى أَبُو بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – خَالِدًا فِي قِتَالِ مَنْ ارْتَدَّ وَمَنَعَ الزَّكَاةَ فَقَاتَلَهُمْ بِعَوَامَّ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Mereka berkata kepada Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu – setelah ditawan: “Kami tidak kafir setelah beriman, tetapi kami kikir dengan harta kami.” Maka Abu Bakar pergi sendiri menemui mereka hingga bertemu dengan saudara Bani Badr Al-Fazari, lalu memeranginya bersama Umar dan kebanyakan sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Abu Bakar – radhiyallahu ‘anhu – mengutus Khalid untuk memerangi orang-orang yang murtad dan menolak zakat, lalu Khalid memerangi mereka bersama para sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang lain.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَفِي هَذَا دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ مَنْ مَنَعَ حَقًّا مِمَّا فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَقْدِرْ الْإِمَامُ عَلَى أَخْذِهِ بِامْتِنَاعِهِ قَاتَلَهُ، وَإِنْ أَتَى الْقِتَالُ عَلَى نَفْسِهِ وَفِي هَذَا الْمَعْنَى كُلُّ حَقٍّ لِرَجُلٍ عَلَى رَجُلٍ فَمَنَعَهُ بِجَمَاعَةٍ وَقَالَ: لَا أُؤَدِّي وَلَا أَبْدَؤُكُمْ بِقِتَالٍ قُوتِلَ، وَكَذَا قَالَ: مَنْ مَنَعَ الصَّدَقَةَ مِمَّنْ نُسِبَ إلَى الرِّدَّةِ فَإِذَا لَمْ يَخْتَلِفْ أَصْحَابُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي قِتَالِهِمْ بِمَنْعِ الزَّكَاةِ فَالْبَاغِي الَّذِي يُقَاتِلُ الْإِمَامَ الْعَادِلَ فِي مِثْلِ مَعْنَاهُمْ فِي أَنَّهُ لَا يُعْطِي الْإِمَامَ الْعَادِلَ حَقًّا يَجِبُ عَلَيْهِ وَيَمْتَنِعُ مِنْ حُكْمِهِ وَيَزِيدُ عَلَى مَانِعِ الصَّدَقَةِ أَنْ يُرِيدَ أَنْ يَحْكُمَ هُوَ عَلَى الْإِمَامَ الْعَادِلِ، وَلَوْ أَنَّ نَفَرًا يَسِيرًا قَلِيلِي الْعَدَدِ وَيُعْرَفُ أَنَّ مِثْلَهُمْ لَا يَمْتَنِعُ إذَا أُرِيدُوا فَأَظْهَرُوا آرَاءَهُمْ وَنَابَذُوا الْإِمَامَ الْعَادِلَ وَقَالُوا: نَمْتَنِعُ مِنْ الْحُكْمِ فَأَصَابُوا أَمْوَالًا وَدِمَاءً وَحَدَّدُوا فِي هَذِهِ الْحَالِ مُتَأَوِّلِينَ ثُمَّ ظُهِرَ عَلَيْهِمْ أُقِيمَتْ عَلَيْهِمْ الْحُدُودُ وَأُخِذَتْ مِنْهُمْ الْحُقُوقُ كَمَا تُؤْخَذُ مِنْ غَيْرِ الْمُتَأَوِّلِينَ وَإِذَا كَانَتْ لِأَهْلِ الْبَغْيِ جَمَاعَةٌ تَكْبُرُ وَيَمْتَنِعُ مِثْلُهَا بِمَوْضِعِهَا الَّذِي هِيَ بِهِ بَعْضَ الِامْتِنَاعِ حَتَّى يُعْرَفَ أَنَّ مِثْلَهَا لَا يُنَالُ إلَّا حَتَّى تَكْثُرَ نِكَايَتُهُ وَاعْتَقَدَتْ وَنَصَبَتْ إمَامًا وَأَظْهَرَتْ حُكْمًا وَامْتَنَعَتْ مِنْ حُكْمِ الْإِمَامِ الْعَادِلِ فَهَذِهِ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ الَّتِي تُفَارِقُ حُكْمَ مَنْ ذَكَرْنَا قَبْلَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa siapa saja yang menahan hak yang telah Allah wajibkan atasnya, lalu Imam tidak mampu mengambilnya karena penolakannya, maka Imam boleh memeranginya, meskipun peperangan itu mengancam nyawanya. Dalam makna ini, setiap hak seseorang atas orang lain yang ditolak dengan berkelompok dan ia berkata, ‘Aku tidak akan menunaikannya dan tidak akan memulai perang dengan kalian,’ maka ia boleh diperangi. Demikian juga, beliau berkata, ‘Siapa yang menahan zakat dari orang yang dituduh murtad.’ Jika para sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak berselisih dalam memerangi mereka karena penolakan zakat, maka pemberontak yang memerangi Imam yang adil memiliki makna yang serupa, yaitu ia tidak memberikan hak yang wajib atasnya kepada Imam yang adil, menolak keputusannya, dan bahkan lebih dari penahan zakat karena ia ingin memerintah atas Imam yang adil. Seandainya ada sekelompok kecil yang jumlahnya sedikit dan diketahui bahwa kelompok seperti mereka tidak akan mampu melawan jika ditindak, lalu mereka menampakkan pendapatnya, memusuhi Imam yang adil, dan berkata, ‘Kami menolak keputusan (Imam),’ lalu mereka merampas harta dan menumpahkan darah serta bersikukuh dalam keadaan ini dengan takwil, kemudian mereka dikalahkan, maka hukum had diterapkan atas mereka dan hak-hak diambil dari mereka sebagaimana diambil dari orang yang tidak beralasan. Namun, jika para pemberontak memiliki kelompok yang besar dan mampu melawan di tempat mereka sehingga diketahui bahwa kelompok seperti mereka tidak bisa dikalahkan kecuali setelah banyak kerusakan yang mereka timbulkan, serta mereka meyakini (keyakinan tertentu), mengangkat pemimpin, menampakkan hukum (sendiri), dan menolak keputusan Imam yang adil, maka inilah kelompok pemberontak yang berbeda hukumnya dengan yang kami sebutkan sebelumnya.”

 

فَإِنْ فَعَلُوا مِثْلَ هَذَا فَيَنْبَغِي أَنْ يُسْأَلُوا مَا نَقَمُوا فَإِنْ ذَكَرُوا مَظْلِمَةً بَيِّنَةً رُدَّتْ وَإِنْ لَمْ يَذْكُرُوهَا بَيِّنَةً قِيلَ: عُودُوا لِمَا فَارَقْتُمْ مِنْ طَاعَةِ الْإِمَامِ الْعَادِلِ وَأَنْ تَكُونَ كَلِمَتُكُمْ وَكَلِمَةُ أَهْلِ دِينِ اللَّهِ عَلَى الْمُشْرِكِينَ وَاحِدَةً وَأَنْ لَا تَمْتَنِعُوا مِنْ الْحُكْمِ فَإِنْ فَعَلُوا قُبِلَ مِنْهُمْ وَإِنْ امْتَنَعُوا قِيلَ: إنَّا مُؤْذِنُوكُمْ بِحَرْبٍ، فَإِنْ لَمْ يُجِيبُوا قُوتِلُوا وَلَا يُقَاتَلُوا حَتَّى يُدْعَوْا وَيُنَاظَرُوا إلَّا أَنْ يَمْتَنِعُوا مِنْ الْمُنَاظَرَةِ فَيُقَاتَلُوا حَتَّى يَفِيئُوا إلَى أَمْرِ اللَّهِ.

 

 

Jika mereka melakukan hal seperti ini, hendaknya mereka ditanya tentang apa yang mereka perselisihkan. Jika mereka menyebutkan kezaliman yang jelas, maka itu harus dibatalkan. Namun jika mereka tidak menyebutkannya dengan jelas, katakanlah: “Kembalilah kepada ketaatan terhadap pemimpin yang adil yang telah kalian tinggalkan, dan hendaknya perkataan kalian serta perkataan penganut agama Allah terhadap orang-orang musyrik adalah satu, serta janganlah kalian menolak keputusan hukum.” Jika mereka melakukannya, maka diterima dari mereka. Namun jika mereka menolak, katakanlah: “Sesungguhnya kami menyatakan perang terhadap kalian.” Jika mereka tidak memenuhi, maka mereka boleh diperangi. Mereka tidak boleh diperangi hingga diajak berunding dan didialogkan, kecuali jika mereka menolak dialog, maka mereka boleh diperangi hingga kembali kepada perintah Allah.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Al-Fai’ah adalah mundur dari peperangan karena kekalahan atau meninggalkan peperangan, yaitu keadaan di mana mereka meninggalkan peperangan, maka sungguh mereka telah mundur dan haram memerangi mereka; karena diperintahkan untuk memerangi hanya orang yang memerangi. Jika mereka tidak memerangi, maka haram memerangi mereka karena Islam. Adapun orang yang tidak memerangi, maka yang dikatakan adalah ‘bunuhlah mereka’, bukan ‘perangilah mereka’.”

 

نَادَى مُنَادِي عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يَوْمَ الْجَمَلِ أَلَا لَا يُتْبَعُ مُدَبَّرٌ وَلَا يُذَفَّفُ عَلَى جَرِيحٍ وَأَتَى عَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يَوْمَ صِفِّينَ بِأَسِيرٍ فَقَالَ لَهُ عَلِيٌّ لَا أَقْتُلُك صَبْرًا إنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ فَخَلَّى سَبِيلَهُ وَالْحَرْبُ يَوْمَ صِفِّينَ قَائِمَةٌ وَمُعَاوِيَةُ يُقَاتِلُ جَادًّا فِي أَيَّامِهِ كُلِّهَا مُنْتَصِفًا أَوْ مُسْتَعْلِيًا فَبِهَذَا كُلِّهِ أَقُولُ، وَأَمَّا إذَا لَمْ تَكُنْ جَمَاعَةً مُمْتَنِعَةً فَحُكْمُهُ الْقِصَاصُ قَتَلَ ابْنُ مُلْجِمٍ عَلِيًّا مُتَأَوِّلًا فَأَمَرَ بِحَبْسِهِ، وَقَالَ لِوَلَدِهِ: إنْ قَتَلْتُمْ فَلَا تُمَثِّلُوا وَرَأَى عَلَيْهِ الْقَتْلَ وَقَتَلَهُ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَفِي النَّاسِ بَقِيَّةٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَمَا أَنْكَرَ قَتْلَهُ وَلَا عَابَهُ أَحَدٌ وَلَمْ يُقَدْ عَلِيٌّ – وَقَدْ وَلِيَ قِتَالَ الْمُتَأَوِّلِينَ – وَلَا أَبُو بَكْرٍ مِنْ قَتْلِهِ الْجَمَاعَةَ الْمُمْتَنِعَ مِثْلُهَا عَلَى التَّأْوِيلِ عَلَى مَا وَصَفْنَا وَلَا عَلَى الْكُفْرِ وَإِنْ كَانَ بِارْتِدَادٍ إذَا تَابُوا قَدْ قَتَلَ طُلَيْحَةُ عُكَاشَةَ بْنَ مُحْصِنٍ وَثَابِتَ بْنَ أَقْرَمَ ثُمَّ أَسْلَمَ فَلَمْ يَضْمَنْ عَقْلًا وَلَا قَوَدًا فَأَمَّا جَمَاعَةٌ مُمْتَنِعَةٌ غَيْرُ مُتَأَوِّلِينَ قَتَلَتْ وَأَخَذَتْ الْمَالَ فَحُكْمُهُمْ حُكْمُ قُطَّاعِ الطَّرِيقِ.

 

 

Pada hari Perang Jamal, penyeru Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – mengumumkan: “Ketahuilah, jangan mengejar orang yang mundur dan jangan menyiksa orang yang terluka.” Ketika di hari Shiffin, Ali membawa seorang tawanan lalu berkata: “Aku tidak akan membunuhmu dengan sengaja, sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam.” Lalu ia membebaskannya, padahal perang Shiffin masih berkecamuk dan Mu’awiyah sedang berperang dengan gigih. Sepanjang hari-harinya, ia selalu berada dalam posisi seimbang atau unggul. Dengan semua ini aku berpendapat. Adapun jika bukan kelompok yang memberontak, maka hukumnya qisas. Ibnu Muljam membunuh Ali dengan takwil, lalu Ali memerintahkan untuk memenjarakannya dan berkata kepada anaknya: “Jika kalian membunuh, jangan mencincang.” Hasan bin Ali – radhiyallahu ‘anhu – melihat hukum bunuh atasnya dan melaksanakannya. Saat itu masih ada sisa sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – namun tidak ada yang mengingkari atau mencela pembunuhan itu. Ali tidak diqisas – padahal ia memimpin perang melawan ahli takwil – begitu pula Abu Bakar tidak diqisas atas pembunuhan kelompok pemberontak semisal itu berdasarkan takwil seperti yang kami jelaskan, atau karena kekufuran meski dengan kemurtadan jika mereka bertaubat. Thalhah telah membunuh Ukasyah bin Muhshan dan Tsabit bin Aqram, kemudian ia masuk Islam sehingga tidak dikenakan denda atau qisas. Adapun kelompok pemberontak non-takwil yang membunuh dan merampas harta, maka hukum mereka seperti perampok jalanan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِي قِتَالِ أَهْلِ الرِّدَّةِ؛ لِأَنَّهُ أَلْزَمَهُمْ هُنَاكَ مَا وُضِعَ عَنْهُمْ هَهُنَا وَهَذَا أَشْبَهُ عِنْدِي بِالْقِيَاسِ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Ini bertentangan dengan pernyataannya mengenai perang melawan orang-orang murtad, karena di sana ia mewajibkan mereka apa yang di sini dibebaskan dari mereka. Menurutku, pendapat ini lebih dekat kepada qiyas.”

(Asy-Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Seandainya suatu kaum menampakkan pendapat Khawarij, menjauhi jamaah, dan mengkafirkan mereka (umat Islam), tidak halal memerangi mereka karena hal itu. Telah sampai kepada kami bahwa Ali -radhiyallahu ‘anhu- mendengar seorang laki-laki berkata, ‘Tidak ada hukum kecuali milik Allah’ di sudut masjid. Maka Ali -radhiyallahu ‘anhu- berkata, ‘Kalimat benar yang dimaksudkan untuk kebatilan. Bagi kalian atas kami tiga hal: kami tidak melarang kalian memasuki masjid-masjid Allah untuk berdzikir kepada-Nya, kami tidak melarang kalian mendapatkan bagian selama tangan kalian bersama tangan kami, dan kami tidak memulai memerangi kalian.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَتَلُوا وَالِيَهُمْ أَوْ غَيْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَنْصِبُوا إمَامًا أَوْ يُظْهِرُوا حُكْمًا مُخَالِفًا لِحُكْمِ الْإِمَامِ كَانَ عَلَيْهِمْ فِي ذَلِكَ الْقِصَاصُ قَدْ سَلَّمُوا وَأَطَاعُوا وَالِيًا عَلَيْهِمْ مِنْ قِبَلِ عَلِيٍّ ثُمَّ قَتَلُوهُ فَأَرْسَلَ إلَيْهِمْ عَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنْ ادْفَعُوا إلَيْنَا قَاتِلَهُ نَقْتُلُهُ بِهِ، قَالُوا: كُلُّنَا قَتَلَهُ، قَالَ: فَاسْتَسْلِمُوا نَحْكُمُ عَلَيْكُمْ قَالُوا: لَا، فَسَارَ إلَيْهِمْ فَقَاتَلَهُمْ فَأَصَابَ أَكْثَرَهُمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya mereka membunuh pemimpin mereka atau selainnya sebelum mengangkat seorang imam atau menampakkan hukum yang bertentangan dengan hukum imam, maka mereka berhak mendapatkan qishas atas hal itu. Mereka telah menyerah dan taat kepada seorang pemimpin yang diangkat oleh Ali, kemudian mereka membunuhnya. Maka Ali – semoga Allah meridhainya – mengutus kepada mereka, ‘Serahkanlah kepada kami pembunuhnya, kami akan membunuhnya sebagai balasan.’ Mereka berkata, ‘Kami semua yang membunuhnya.’ Ali berkata, ‘Berserah dirilah, kami akan memutuskan hukum atas kalian.’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Maka Ali pergi kepada mereka dan memerangi mereka, sehingga sebagian besar dari mereka terbunuh.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا قَاتَلَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُمْ أَوْ عَبْدٌ أَوْ غُلَامٌ مُرَاهِقٌ قُوتِلُوا مُقْبِلِينَ وَتُرِكُوا مُوَلِّينَ؛ لِأَنَّهُمْ مِنْهُمْ وَيَخْتَلِفُونَ فِي الْإِسَارِ، وَلَوْ أُسِرَ بَالِغٌ مِنْ الرِّجَالِ الْأَحْرَارِ فَحُبِسَ لِيُبَايِعَ رَجَوْت أَنْ يَسَعَ وَلَا يَسَعُ أَنْ يُحْبَسَ مَمْلُوكٌ وَلَا غَيْرُ بَالِغٍ مِنْ الْأَحْرَارِ وَلَا امْرَأَةٌ لِتُبَايِعَ، وَإِنَّمَا يُبَايَعُ النِّسَاءُ عَلَى الْإِسْلَامِ فَأَمَّا عَلَى الطَّاعَةِ فَهُنَّ لَا جِهَادَ عَلَيْهِنَّ فَأَمَّا إذَا انْقَضَتْ الْحَرْبُ فَلَا يُحْبَسُ أَسِيرُهُمْ وَإِنْ سَأَلُوا أَنْ يُنْظَرُوا لَمْ أَرَ بَأْسًا عَلَى مَا يَرْجُو الْإِمَامُ مِنْهُمْ وَإِنْ خَافَ عَلَى الْفِئَةِ الْعَادِلَةِ الضَّعْفَ عَنْهُمْ رَأَيْت تَأْخِيرَهُمْ إلَى أَنْ تُمَكِّنَهُ الْقُوَّةُ عَلَيْهِمْ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seorang wanita dari mereka (musuh) berperang, atau seorang budak, atau anak laki-laki yang sudah baligh, mereka boleh diperangi jika menyerang dan dibiarkan jika mundur, karena mereka bagian dari mereka (musuh) dan status tawanan mereka berbeda. Jika seorang laki-laki merdeka yang sudah baligh ditawan dan ditahan untuk dibaiat, aku berharap itu diperbolehkan. Namun tidak diperbolehkan menahan seorang budak, orang yang belum baligh dari kalangan merdeka, atau wanita untuk dibaiat. Wanita hanya dibaiat atas keislaman, sedangkan untuk ketaatan (berperang), mereka tidak diwajibkan berjihad. Jika perang telah usai, tawanan mereka tidak boleh ditahan. Jika mereka meminta penangguhan, aku tidak melihat masalah selama imam masih berharap dari mereka. Namun jika imam khawatir kelompok yang adil akan lemah menghadapi mereka, aku berpendapat untuk menunda mereka sampai kekuatan memungkinkan untuk menguasai mereka.”

 

 

وَلَوْ اسْتَعَانَ أَهْلُ الْبَغْيِ بِأَهْلِ الْحَرْبِ عَلَى قِتَالِ أَهْلِ الْعَدْلِ قُتِلَ أَهْلُ الْحَرْبِ، وَسُبُوا وَلَا يَكُونُ هَذَا أَمَانًا إلَّا عَلَى الْكَفِّ فَأَمَّا عَلَى قِتَالِ أَهْلِ الْعَدْلِ فَلَوْ كَانَ لَهُمْ أَمَانٌ فَقَاتَلُوا أَهْلَ الْعَدْلِ كَانَ نَقْضًا لِأَمَانِهِمْ، وَإِنْ كَانُوا أَهْلَ ذِمَّةٍ فَقَدْ قِيلَ: لَيْسَ هَذَا نَقْضًا لِلْعَهْدِ قَالَ: وَأَرَى إنْ كَانُوا مُكْرَهِينَ أَوْ ذَكَرُوا جَهَالَةً فَقَالُوا: كُنَّا نَرَى إذَا حَمَلَتْنَا طَائِفَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى أُخْرَى أَنَّ دَمَهَا يَحِلُّ كَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ أَوْ لَمْ نَعْلَمْ أَنَّ مَنْ حَمَلُونَا عَلَى قِتَالِهِ مُسْلِمٌ لَمْ يَكُنْ هَذَا نَقْضًا لِلْعَهْدِ وَأُخِذُوا بِكُلِّ مَا أَصَابُوا مِنْ دَمٍ وَمَالٍ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ لَيْسُوا بِمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ أَمَرَ اللَّهُ بِالْإِصْلَاحِ بَيْنَهُمْ وَإِنْ أَتَى أَحَدُهُمْ تَائِبًا لَمْ يُقَصَّ مِنْهُ؛ لِأَنَّهُ مُسْلِمٌ مُحَرَّمُ الدَّمِ.

 

 

Jika para pemberontak meminta bantuan kepada ahli perang untuk memerangi ahli keadilan, maka ahli perang itu boleh dibunuh dan dijadikan tawanan. Ini tidak dianggap sebagai pelanggaran jaminan keamanan kecuali jika mereka menahan diri. Namun, jika mereka memiliki jaminan keamanan lalu memerangi ahli keadilan, maka itu dianggap melanggar jaminan mereka. Jika mereka termasuk ahli dzimmah, ada yang berpendapat bahwa hal ini tidak membatalkan perjanjian. Dikatakan pula: Aku berpendapat jika mereka dipaksa atau karena kebodohan mereka berkata, “Kami mengira ketika suatu kelompok Muslim memerangi kelompok Muslim lain, darah mereka halal seperti perampok jalanan,” atau mereka tidak tahu bahwa orang yang mereka perangi adalah Muslim, maka ini tidak membatalkan perjanjian. Namun, mereka tetap harus bertanggung jawab atas semua darah dan harta yang mereka rusak, karena mereka bukan termasuk orang-orang beriman yang diperintahkan Allah untuk berdamai. Jika salah satu dari mereka datang dengan taubat, tidak boleh diqishash karena dia adalah Muslim yang darahnya haram.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَقَالَ لِي قَائِلٌ: مَا تَقُولُ فِيمَنْ أَرَادَ دَمَ رَجُلٍ أَوْ مَالَهُ أَوْ حَرِيمَهُ؟ قُلْت: يُقَاتِلُهُ وَإِنْ أَتَى الْقَتْلُ عَلَى نَفْسِهِ إذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى دَفْعِهِ إلَّا بِذَلِكَ، وَرُوِيَ حَدِيثُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: كُفْرٌ بَعْدَ إيمَانٍ، وَزِنًا بَعْدَ إحْصَانٍ، وَقَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ» قُلْت: هُوَ كَلَامٌ عَرَبِيٌّ وَمَعْنَاهُ إذَا أَتَى وَاحِدَةً مِنْ الثَّلَاثِ حَلَّ دَمُهُ فَمَعْنَاهُ كَانَ رَجُلًا زَنَى مُحْصَنًا ثُمَّ تَرَكَ الزِّنَا وَتَابَ مِنْهُ وَهَرَبَ فَقُدِرَ عَلَيْهِ قُتِلَ رَجْمًا أَوْ قَتَلَ عَمْدًا وَتَرَكَ الْقَتْلَ وَتَابَ مِنْهُ وَهَرَبَ ثُمَّ قُدِرَ عَلَيْهِ قُتِلَ قَوَدًا، وَإِذَا كَفَرَ ثُمَّ تَابَ فَارَقَهُ اسْمُ الْكُفْرِ وَهَذَانِ لَا يُفَارِقُهُمَا اسْمُ الزِّنَا وَالْقَتْلِ وَلَوْ تَابَا وَهَرَبَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seseorang bertanya kepadaku, “Apa pendapatmu tentang orang yang mengincar nyawa seseorang, hartanya, atau kehormatannya?” Aku menjawab, “Ia boleh memeranginya meskipun harus berujung pada kematiannya sendiri jika tidak ada cara lain untuk menghalanginya.” Dan diriwayatkan hadis Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – “Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: murtad setelah beriman, berzina setelah menikah, dan membunuh jiwa tanpa alasan yang benar.” Aku berkata, “Ini adalah perkataan dalam bahasa Arab yang maknanya adalah jika seseorang melakukan salah satu dari tiga hal tersebut, maka halal darahnya. Maksudnya, jika ada seorang lelaki berzina setelah menikah lalu meninggalkan zina dan bertaubat darinya kemudian melarikan diri, lalu ia ditangkap, maka ia dihukum rajam. Atau jika ia membunuh dengan sengaja lalu meninggalkan pembunuhan dan bertaubat darinya kemudian melarikan diri, lalu ia ditangkap, maka ia dihukum qishash. Sedangkan jika ia kafir lalu bertaubat, maka gelar kekafiran itu hilang darinya. Namun, dua hal (zina dan pembunuhan) itu tidak akan lepas darinya meskipun ia bertaubat dan melarikan diri.”

 

(قَالَ) : وَلَا يُسْتَعَانُ عَلَيْهِمْ بِمَنْ يُرَى قَتْلُهُمْ مُدْبِرِينَ وَلَا بَأْسَ إذَا كَانَ حُكْمُ الْإِسْلَامِ الظَّاهِرُ أَنْ يُسْتَعَانَ بِالْمُشْرِكِينَ عَلَى قِتَالِ الْمُشْرِكِينَ وَذَلِكَ أَنَّهُ تَحِلُّ دِمَاؤُهُمْ مُقْبِلِينَ وَمُدْبِرِينَ وَلَا يُعِينُ الْعَادِلُ إحْدَى الطَّائِفَتَيْنِ الْبَاغِيَتَيْنِ وَإِنْ اسْتَعَانَتْهُ عَلَى الْأُخْرَى حَتَّى تَرْجِعَ إلَيْهِ وَلَا يُرْمَوْنَ بِالْمَنْجَنِيقِ وَلَا نَارٍ إلَّا أَنْ تَكُونَ ضَرُورَةً بِأَنْ يُحَاطَ بِهِمْ فَيَخَافُوا الِاصْطِدَامَ أَوْ يَرْمُونَ بِالْمَنْجَنِيقِ فَيَسَعُهُمْ ذَلِكَ دَفْعًا عَنْ أَنْفُسِهِمْ وَإِنْ غَلَبُوا عَلَى بِلَادٍ فَأَخَذُوا صَدَقَاتِ أَهْلِهَا وَأَقَامُوا عَلَيْهِمْ الْحُدُودَ لَمْ تُعَدَّ عَلَيْهِمْ وَلَا يُرَدُّ مِنْ قَضَاءِ قَاضِيهِمْ إلَّا مَا يُرَدُّ مِنْ قَضَاءِ قَاضِي غَيْرِهِمْ.

 

 

(Dia berkata): “Tidak boleh meminta bantuan untuk melawan mereka (kaum pemberontak) dengan orang-orang yang boleh dibunuh saat mereka melarikan diri. Namun, tidak mengapa jika hukum Islam yang berlaku memungkinkan untuk meminta bantuan dari orang-orang musyrik untuk memerangi kaum musyrik lainnya, karena darah mereka halal baik saat menyerang maupun melarikan diri. Orang yang adil tidak boleh membantu salah satu dari dua kelompok yang memberontak, meskipun salah satunya meminta bantuannya untuk melawan yang lain, hingga mereka kembali kepada kebenaran. Mereka (kaum pemberontak) tidak boleh dilempari dengan manjaniq (pelontar batu) atau dibakar kecuali dalam keadaan darurat, seperti ketika mereka dikepung dan dikhawatirkan akan menyerang, atau jika mereka menggunakan manjaniq, maka boleh membalas untuk mempertahankan diri. Jika mereka menguasai suatu wilayah, mengambil zakat penduduknya, dan menegakkan hukum had atas mereka, maka hal itu tidak dianggap sebagai kesalahan. Keputusan hakim mereka tidak boleh dibatalkan kecuali seperti keputusan hakim lainnya yang boleh dibatalkan.”

(وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ) إذَا كَانَ غَيْرَ مَأْمُونٍ بِرَأْيِهِ عَلَى اسْتِحْلَالِ دَمٍ وَمَالٍ لَمْ يَنْفُذْ حُكْمُهُ وَلَمْ يُقْبَلْ كِتَابُهُ.

 

(Dan dia berkata di tempat lain) Jika seseorang tidak dapat dipercaya dalam pendapatnya untuk menghalalkan darah dan harta, maka keputusannya tidak berlaku dan tulisannya tidak diterima.

 

(قَالَ) : وَلَوْ شَهِدَ مِنْهُمْ عَدْلٌ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ مَا لَمْ يَكُنْ يُرَى أَنْ يَشْهَدَ لِمُوَافِقِهِ بِتَصْدِيقِهِ، فَإِنْ قُتِلَ بَاغٍ فِي الْمُعْتَرَكِ غُسِّلَ وَصُلِّيَ عَلَيْهِ وَدُفِنَ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْعَدْلِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَالشَّهِيدِ وَالْآخَرُ أَنَّهُ كَالْمَوْتَى إلَّا مَنْ قَتَلَهُ الْمُشْرِكُونَ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya ada seorang yang adil di antara mereka yang bersaksi, maka kesaksiannya diterima selama tidak terlihat bahwa dia bersaksi untuk mendukung kelompoknya dengan membenarkannya. Jika seorang pemberontak terbunuh dalam pertempuran, maka dia dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan. Namun jika dia termasuk golongan yang adil, maka ada dua pendapat: pertama, dia dianggap seperti syahid; kedua, dia seperti orang mati biasa kecuali jika dia dibunuh oleh orang-orang musyrik.”

 

(قَالَ) : وَأَكْرَهُ لِلْعَدْلِ أَنْ يَعْمِدَ قَتْلَ ذِي رَحِمٍ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَفَّ أَبَا حُذَيْفَةَ بْنَ عُتْبَةَ عَنْ قَتْلِ أَبِيهِ وَأَبَا بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يَوْمَ أُحُدٍ عَنْ قَتْلِ ابْنِهِ، وَأَيُّهُمَا قَتَلَ أَبَاهُ أَوْ ابْنَهُ فَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: إنْ قَتَلَ الْعَادِلُ أَبَاهُ وَرِثَهُ، وَإِنْ قَتَلَهُ الْبَاغِي لَمْ يَرِثْهُ وَخَالَفَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: يَتَوَارَثَانِ؛ لِأَنَّهُمَا مُتَأَوِّلَانِ وَخَالَفَ آخَرُ فَقَالَ: لَا يَتَوَارَثَانِ؛ لِأَنَّهُمَا قَاتِلَانِ.

 

 

Beliau berkata: “Aku tidak menyukai jika seorang yang adil sengaja membunuh kerabat dekat dari kalangan pemberontak, karena Nabi ﷺ pernah mencegah Abu Hudzaifah bin Utbah dari membunuh ayahnya, dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pada perang Uhud dari membunuh anaknya. Jika salah satu dari mereka membunuh ayah atau anaknya, sebagian orang berpendapat: ‘Jika yang adil membunuh ayahnya, ia tetap mewarisinya, tetapi jika si pemberontak yang membunuh, ia tidak mewarisi.’ Sebagian sahabatnya berbeda pendapat, mengatakan: ‘Mereka saling mewarisi karena keduanya berpegang pada takwil.’ Yang lain lagi menyelisihi dengan berkata: ‘Mereka tidak saling mewarisi karena keduanya adalah pembunuh.'”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Dan ini lebih sesuai dengan makna hadis, maka yang mewarisi keduanya adalah selain mereka dari ahli waris mereka. Dan barangsiapa yang diancam nyawanya, hartanya, atau kehormatannya, maka ia boleh membela diri, meskipun hal itu mengakibatkan kematian orang yang mengancamnya.” (قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Rasulullah – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bersabda, ‘Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia syahid.'”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Hadis dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menunjukkan kebolehan memberikan jaminan keamanan oleh setiap muslim, baik laki-laki merdeka, perempuan, maupun budak, baik yang ikut berperang atau tidak, kepada ahli baghyi (pemberontak) atau ahli harbi (orang kafir yang memerangi).”

 

بَابُ الْخِلَافِ فِي قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ

 

Bab tentang perbedaan pendapat dalam memerangi kaum pemberontak

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَالَ بَعْضُ النَّاسِ: إذَا كَانَتْ الْحَرْبُ قَائِمَةً اُسْتُمْتِعَ بِدَوَابِّهِمْ وَسِلَاحِهِمْ، وَإِذَا انْقَضَتْ الْحَرْبُ فَذَلِكَ رَدٌّ قُلْت: أَرَأَيْت إنْ عَارَضَك وَإِيَّانَا مُعَارِضٌ يَسْتَحِلُّ مَالَ مَنْ يَسْتَحِلُّ دَمَهُ فَقَالَ: الدَّمُ أَعْظَمُ فَإِذَا حَلَّ الدَّمُ حَلَّ الْمَالُ هَلْ لَك مِنْ حُجَّةٍ إلَّا أَنَّ هَذَا فِي أَهْلِ الْحَرْبِ الَّذِينَ تُرَقُّ أَحْرَارُهُمْ وَتُسْبَى نِسَاؤُهُمْ وَذَرَارِيُّهُمْ وَالْحُكْمُ فِي أَهْلِ الْقِبْلَةِ خِلَافُهُمْ، وَقَدْ يَحِلُّ دَمُ الزَّانِي الْمُحْصَنِ وَالْقَاتِلِ وَلَا تَحِلُّ أَمْوَالُهُمَا بِجِنَايَتِهِمَا وَالْبَاغِي أَخَفُّ حَالًا مِنْهُمَا وَيُقَالُ لَهُمَا مُبَاحَا الدَّمِ مُطْلَقًا، وَلَا يُقَالُ لِلْبَاغِي: مُبَاحُ الدَّمِ، وَإِنَّمَا يُقَالُ: يُمْنَعُ مِنْ الْبَغْيِ إنْ قُدِرَ عَلَى مَنْعِهِ بِالْكَلَامِ أَوْ كَانَ غَيْرَ مُمْتِنِعٍ لَا يُقَاتِلُ لَمْ يَحِلَّ قِتَالُهُ قَالَ: إنِّي إنَّمَا آخُذُ سِلَاحَهُمْ؛ لِأَنَّهُ أَقْوَى لِي وَأَوْهَنُ لَهُمْ مَا كَانُوا مُقَاتِلِينَ فَقُلْت لَهُ: فَإِذَا أَخَذْت مَالَهُ وَقُتِلَ فَقَدْ صَارَ مِلْكُهُ كَطِفْلٍ أَوْ كَبِيرٍ لَمْ يُقَاتِلْك قَطُّ أَفَتَقْوَى بِمَالِ غَائِبٍ غَيْرِ بَاغٍ عَلَى بَاغٍ؟ فَقُلْت لَهُ: أَرَأَيْت لَوْ وَجَدْت لَهُمْ دَنَانِيرَ أَوْ دَرَاهِمَ تُقَوِّيك عَلَيْهِمْ أَتَأْخُذُهَا؟ قَالَ: لَا، قُلْت: فَقَدْ تَرَكْت مَا هُوَ أَقْوَى لَك عَلَيْهِمْ مِنْ السِّلَاحِ فِي بَعْضِ الْحَالَاتِ، قَالَ: فَإِنَّ صَاحِبَنَا يَزْعُمُ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَى قَتْلَى أَهْلِ الْبَغْيِ قُلْت: وَلِمَ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى مَنْ قَتَلَهُ فِي حَدٍّ يَجِبُ عَلَيْهِ قَتْلُهُ وَلَا يَحِلُّ لَهُ تَرْكُهُ؟ وَالْبَاغِي مُحَرَّمٌ قَتْلُهُ مُوَلِّيًا وَرَاجِعًا عَنْ الْبَغْيِ وَلَوْ تَرَكَ الصَّلَاةَ عَلَى أَحَدِهِمَا دُونَ الْآخَرِ كَانَ مَنْ لَا يَحِلُّ إلَّا قَتْلُهُ بِتَرْكِ الصَّلَاةِ أَوْلَى.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Sebagian orang mengatakan, “Jika perang sedang berlangsung, boleh dimanfaatkan hewan tunggangan dan senjata mereka. Namun, jika perang telah usai, maka itu harus dikembalikan.” Aku (Syafi’i) berkata: Bagaimana pendapatmu jika ada penentang yang menghalalkan harta orang yang darahnya dihalalkan, lalu ia berkata, “Darah lebih besar (dosanya), sehingga jika darah telah halal, maka harta pun halal”? Apakah kamu memiliki argumen selain bahwa ini berlaku untuk ahli perang yang merdeka mereka dijadikan budak, wanita dan anak-anak mereka ditawan, sedangkan hukum terhadap ahli kiblat berbeda dengan mereka? Padahal, darah pezina muhshan dan pembunuh itu halal, tetapi harta mereka tidak halal karena kejahatan mereka. Sementara pemberontak lebih ringan keadaannya daripada mereka. Keduanya disebut sebagai orang yang darahnya halal secara mutlak, sedangkan pemberontak tidak disebut seperti itu. Yang dikatakan hanyalah, “Ia harus dicegah dari pemberontakan jika bisa dicegah dengan ucapan atau jika ia tidak melawan, maka tidak halal memeranginya.” Ia berkata, “Aku mengambil senjata mereka hanya karena itu menguatkanku dan melemahkan mereka selama mereka masih memerangi.” Aku berkata kepadanya, “Jika kamu mengambil hartanya lalu ia terbunuh, maka kepemilikannya menjadi seperti anak kecil atau orang tua yang tidak pernah memerangimu. Apakah kamu menguatkan dirimu dengan harta orang yang tidak memberontak terhadap pemberontak?” Aku berkata lagi, “Bagaimana jika kamu menemukan dinar atau dirham milik mereka yang bisa menguatkanmu melawan mereka, apakah kamu akan mengambilnya?” Ia menjawab, “Tidak.” Aku berkata, “Berarti kamu meninggalkan sesuatu yang lebih menguatkanmu daripada senjata dalam beberapa kondisi.” Ia berkata, “Sesungguhnya guru kami berpendapat bahwa ia tidak menshalati orang-orang yang terbunuh dari kalangan pemberontak.” Aku berkata, “Mengapa? Padahal ia menshalati orang yang dibunuh dalam hudud yang wajib ia bunuh dan tidak halal baginya untuk meninggalkannya. Sedangkan pemberontak, haram dibunuh jika ia melarikan diri atau kembali dari pemberontakan. Jika ia meninggalkan shalat atas salah satu dari keduanya, maka orang yang tidak halal kecuali dibunuh lebih pantas untuk tidak dishalati.”

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : كَأَنَّهُ ذَهَبَ إلَى أَنَّ ذَلِكَ عُقُوبَةٌ لِيُنَكَّلَ بِهَا غَيْرُهُ قُلْت: وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ جَائِزًا فَاصْلُبْهُ أَوْ حَرِّقْهُ أَوْ حُزَّ رَأْسَهُ وَابْعَثْ بِهِ فَهُوَ أَشَدُّ فِي الْعُقُوبَةِ قَالَ: لَا أَفْعَلُ بِهِ شَيْئًا مِنْ هَذَا قُلْت لَهُ: هَلْ يُبَالِي مَنْ يُقَاتِلُك عَلَى أَنَّك كَافِرٌ لَا يُصَلِّي عَلَيْك وَصَلَاتُك لَا تُقَرِّبُهُ إلَى رَبِّهِ؟ وَقُلْت لَهُ: أَيُمْنَعُ الْبَاغِي أَنْ تَجُوزَ شَهَادَتُهُ أَوْ يُنَاكَحَ أَوْ شَيْئًا مِمَّا يَجْرِي لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ؟ قَالَ: لَا، قُلْت: فَكَيْفَ مَنَعْته الصَّلَاةَ وَحْدَهَا؟

 

(Dia) berkata: “Sepertinya ia berpendapat bahwa itu adalah hukuman agar orang lain jera.” Aku berkata: “Jika itu diperbolehkan, saliblah dia, bakar, atau penggal kepalanya lalu kirimkan, karena itu lebih keras hukumannya.” Dia menjawab: “Aku tidak akan melakukan hal itu.” Aku bertanya kepadanya: “Apakah orang yang memerangimu karena menganggapmu kafir peduli bahwa ia tidak mensalati jenazahmu atau salatmu tidak mendekatkannya kepada Tuhannya?” Dan aku bertanya lagi: “Apakah pemberontak dilarang kesaksiannya, dinikahi, atau hal-hal lain yang berlaku bagi kaum muslim?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Lalu mengapa hanya salat yang kau larang?”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَجُوزُ أَمَانُ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَيْنِ لِأَهْلِ الْحَرْبِ وَالْبَغْيِ فَأَمَّا الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ فَإِنْ كَانَ يُقَاتِلُ جَازَ أَمَانُهُ وَإِلَّا لَمْ يَجُزْ، قُلْت: فَمَا الْفَرْقُ بَيْنَهُ يُقَاتِلُ أَوْ لَا يُقَاتِلُ؟ قَالَ: قَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الْمُسْلِمُونَ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ» قُلْت: فَإِنْ قُلْت ذَلِكَ عَلَى الْأَحْرَارِ فَقَدْ أَجَزْت أَمَانَ عَبْدٍ وَإِنْ كَانَ عَلَى الْإِسْلَامِ فَقَدْ رَدَدْت أَمَانَ عَبْدٍ مُسْلِمٍ لَا يُقَاتِلُ، قَالَ: فَإِنْ كَانَ الْقَتْلُ يَدُلُّ عَلَى هَذَا؟ قُلْت: وَيَلْزَمُك فِي أَصْلِ مَذْهَبِك أَنْ لَا تُجِيزَ أَمَانَ امْرَأَةٍ وَلَا زَمِنٍ؛ لِأَنَّهُمَا لَا يُقَاتِلَانِ وَأَنْتَ تُجِيزُ أَمَانَهُمَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Diperbolehkan jaminan keamanan dari seorang laki-laki dan perempuan muslim kepada ahli harb (orang kafir yang memerangi Islam) dan bughat (pemberontak). Adapun budak muslim, jika ia ikut berperang maka jaminannya sah, jika tidak maka tidak sah.” Aku bertanya: “Apa perbedaan antara budak yang berperang atau tidak?” Beliau menjawab: “Sabda Nabi ﷺ, ‘Kaum muslimin bagaikan satu tangan terhadap selain mereka, darah mereka setara, dan jaminan keamanan dari yang paling rendah (statusnya) pun berlaku.'” Aku berkata: “Jika engkau menerapkan hal itu pada orang merdeka, maka engkau telah membolehkan jaminan budak. Namun jika engkau menerapkannya dalam konteks Islam, maka engkau telah menolak jaminan budak muslim yang tidak berperang.” Beliau berkata: “Apakah pembunuhan menunjukkan hal ini?” Aku menjawab: “Konsistensi dalam prinsip mazhabmu mengharuskanmu tidak membolehkan jaminan keamanan dari wanita atau orang lemah, karena mereka tidak berperang, sedangkan engkau membolehkan jaminan mereka.”

(قَالَ) : فَأَذْهَبُ إلَى الدِّيَةِ فَأَقُولُ دِيَةُ الْعَبْدِ لَا تُكَافِئُ دِيَةَ الْحُرِّ قُلْت: فَهَذَا أَبْعَدُ لَك مِنْ الصَّوَابِ.

 

Beliau berkata: “Maka aku pergi ke masalah diyat dan aku katakan bahwa diyat budak tidak setara dengan diyat orang merdeka.” Aku berkata: “Ini lebih jauh bagimu dari kebenaran.”

 

(قَالَ) : وَمِنْ أَيْنَ؟ قُلْت: دِيَةُ الْمَرْأَةِ نِصْفُ دِيَةِ الْحُرِّ وَأَنْتَ تُجِيزُ أَمَانَهَا وَدِيَةُ بَعْضِ الْعَبِيدِ أَكْثَرُ مِنْ دِيَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا تُجِيزُ أَمَانَهُ وَقَدْ تَكُونُ دِيَةُ عَبْدٍ لَا يُقَاتِلُ أَكْثَرَ مِنْ دِيَةِ عَبْدٍ يُقَاتِلُ فَلَا تُجِيزُ أَمَانَهُ فَقَدْ تَرَكْت أَصْلَ مَذْهَبِك.

 

 

Beliau berkata: “Dari mana (kamu berpendapat demikian)?” Aku menjawab: “Diyat perempuan setengah diyat orang merdeka, namun engkau membolehkan perlindungannya. Sementara diyat sebagian budak lebih besar daripada diyat perempuan, tetapi engkau tidak membolehkan perlindungannya. Bahkan terkadang diyat budak yang tidak berperang lebih besar daripada diyat budak yang berperang, tetapi engkau tidak membolehkan perlindungannya. Sungguh, engkau telah meninggalkan prinsip mazhabmu.”

 

(قَالَ) : فَإِنْ قُلْت: إنَّمَا عَنَى مُكَافَأَةَ الدِّمَاءِ فِي الْقَوَدِ، قُلْت: فَأَنْتَ تُقِيدُ بِالْعَبْدِ الَّذِي لَا يَسْوَى عَشَرَةَ دَنَانِيرَ الْحُرَّ الَّذِي دِيَتُهُ أَلْفُ دِينَارٍ كَانَ الْعَبْدُ يُحْسِنُ قِتَالًا أَوْ لَا يُحْسِنُهُ قَالَ: إنِّي لَأَفْعَلُ وَمَا هُوَ عَلَى الْقَوَدِ، قُلْت: وَلَا عَلَى الدِّيَةِ وَلَا عَلَى الْقِتَالِ قَالَ: فَعَلَامَ هُوَ؟ قُلْت: عَلَى اسْمِ الْإِسْلَامِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika engkau berkata, ‘Itu hanya tentang pembalasan nyawa dalam qisas,’ maka aku katakan: ‘Apakah engkau akan membalas dengan budak yang tidak bernilai sepuluh dinar kepada orang merdeka yang diyatnya seribu dinar, baik budak itu pandai berperang atau tidak?’ Dia menjawab: ‘Aku akan melakukannya, dan itu bukan berdasarkan qisas.’ Aku berkata: ‘Juga bukan berdasarkan diyat atau kemampuan berperang.’ Dia bertanya: ‘Lalu berdasarkan apa?’ Aku menjawab: ‘Berdasarkan nama Islam.'”

 

 

وَقَالَ بَعْضُ النَّاسِ: إذَا امْتَنَعَ أَهْلُ الْبَغْيِ بِدَارِهِمْ مِنْ أَنْ يُجْرَى الْحُكْمُ عَلَيْهِمْ فَمَا أَصَابَهُ الْمُسْلِمُونَ مِنْ التُّجَّارِ وَالْأَسْرَى فِي دَارِهِمْ مِنْ حُدُودِ النَّاسِ بَيْنَهُمْ أَوْ لِلَّهِ لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُمْ وَلَا الْحُقُوقُ بِالْحُكْمِ وَعَلَيْهِمْ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اللَّهِ تَعَالَى تَأْدِيَتُهَا إلَى أَهْلِهَا قُلْت: فَلِمَ قَتَلْته؟ قَالَ: قِيَاسًا عَلَى دَارِ الْمُحَارَبِينَ يَقْتُلُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ثُمَّ يُظْهَرُ عَلَيْهِمْ فَلَا يُقَادُ مِنْهُمْ، قُلْت: هُمْ مُخَالِفُونَ لِلتُّجَّارِ وَالْأَسْرَى فِي الْمَعْنَى الَّذِي ذَهَبْت إلَيْهِ خِلَافًا بَيِّنًا، أَرَأَيْت لَوْ سَبَى الْمُحَارَبُونَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا ثُمَّ أَسْلَمُوا أَنَدَعُ السَّابِيَ يَتَخَوَّلُ الْمَسْبِيَّ مَرْقُوقًا لَهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْت: أَفَتُجِيزُ هَذَا فِي التُّجَّارِ وَالْأَسْرَى فِي دَارِ أَهْلِ الْبَغْيِ؟ قَالَ: لَا، قُلْت: فَلَوْ غَزَانَا أَهْلُ الْحَرْبِ فَقَتَلُوا مِنَّا ثُمَّ رَجَعُوا مُسْلِمِينَ أَيَكُونُ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ قَوَدٌ؟ قَالَ: لَا، قُلْت: فَلَوْ فَعَلَ ذَلِكَ التُّجَّارُ وَالْأَسْرَى بِبِلَادِ الْحَرْبِ غَيْرَ مُكْرَهِينَ وَلَا شُبَهَ عَلَيْهِمْ؟ قَالَ: يُقْتَلُونَ قُلْت: أَيَسَعُ قَصْدُ قَتْلِ التُّجَّارِ وَالْأَسْرَى بِبِلَادِ الْحَرْبِ فَيُقْتَلُونَ؟ قَالَ: بَلْ يَحْرُمُ، قُلْت: أَرَأَيْت التُّجَّارَ وَالْأَسْرَى لَوْ تَرَكُوا الصَّلَاةَ وَالزَّكَاةَ فِي دَارِ الْحَرْبِ ثُمَّ خَرَجُوا إلَى دَارِ الْإِسْلَامِ أَيَكُونُ عَلَيْهِمْ قَضَاءُ ذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْت: وَلَا يَحِلُّ لَهُمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ إلَّا مَا يَحِلُّ لَهُمْ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ؟ قَالَ: لَا، قُلْت: فَإِذَا كَانَتْ الدَّارُ لَا تُغَيِّرُ مَا أُحِلَّ لَهُمْ وَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ فَكَيْفَ أَسْقَطْت عَنْهُمْ حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ الْآدَمِيِّينَ الَّذِي أَوْجَبَهُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ؟ ثُمَّ أَنْتَ لَا تُحِلُّ لَهُمْ حَبْسَ حَقٍّ قِبَلَهُمْ فِي دَمٍ وَلَا غَيْرِهِ وَمَا كَانَ لَا يَحِلُّ لَهُمْ حَبْسُهُ فَإِنَّ عَلَى الْإِمَامِ اسْتِخْرَاجَهُ عِنْدَك فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ؟ قَالَ فَأَقْيَسهمْ بِأَهْلِ الرِّدَّةِ الَّذِينَ أُبْطِلُ مَا أَصَابُوا قُلْت: فَأَنْتَ تَزْعُمُ أَنَّ أَهْلَ الْبَغْيِ يُقَادُ مِنْهُمْ مَا لَمْ يَنْصِبُوا إمَامًا وَيُظْهِرُوا حُكْمًا وَالتُّجَّارُ وَالْأُسَارَى لَا إمَامَ لَهُمْ وَلَا امْتِنَاعَ وَنَزْعُمُ لَوْ قَتَلَ أَهْلُ الْبَغْيِ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِلَا شُبْهَةٍ أَقَدْت مِنْهُمْ قَالَ: وَلَكِنَّ الدَّارَ مَمْنُوعَةٌ مِنْ أَنْ يُجْرَى عَلَيْهِمْ الْحُكْمُ، قُلْت: أَرَأَيْت لَوْ أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ مُحَارَبِينَ امْتَنَعُوا فِي مَدِينَةٍ حَتَّى لَا يُجْرَى عَلَيْهِمْ حُكْمٌ فَقَطَعُوا الطَّرِيقَ وَسَفَكُوا الدِّمَاءَ وَأَخَذُوا الْأَمْوَالَ وَأَتَوْا الْحُدُودَ؟ قَالَ: يُقَامُ هَذَا كُلُّهُ عَلَيْهِمْ، قُلْت: فَهَذَا تَرْكُ مَعْنَاك وَقُلْت لَهُ: أَيَكُونُ عَلَى الْمَدَنِيِّينَ قَوْلُهُمْ: لَا يَرِثُ قَاتِلُ عَمْدٍ وَيَرِثُ قَاتِلُ خَطَأٍ إلَّا مِنْ الدِّيَةِ؟ فَقُلْت: لَا يَرِثُ الْقَاتِلُ فِي الْوَجْهَيْنِ؛ لِأَنَّهُ يَلْزَمُهُ اسْمُ قَاتِلٍ فَكَيْفَ لَمْ تَقُلْ بِهَذَا فِي الْقَاتِلِ مِنْ أَهْلِ الْبَغْيِ وَالْعَدْلِ؛ لِأَنَّ كُلًّا يَلْزَمُهُ اسْمُ قَاتِلٍ وَأَنْتَ تُسَوِّي بَيْنَهُمَا فَلَا تُقِيدُ أَحَدًا بِصَاحِبِهِ؟ .

 

 

Sebagian orang berkata: “Jika para pemberontak di negeri mereka menolak untuk dijatuhi hukum, maka hukuman yang seharusnya diterapkan oleh Muslimin terhadap para pedagang dan tawanan di negeri mereka—baik hak antarmanusia maupun hak Allah—tidak diambil dari mereka, dan hak-hak tersebut tidak diputuskan dengan hukum. Namun, mereka tetap wajib menunaikan hak-hak tersebut antara mereka dan Allah Ta’ala.” Aku bertanya: “Lalu mengapa engkau membunuhnya?” Dia menjawab: “Berdasarkan qiyas terhadap negeri para pelaku perang, di mana sebagian mereka membunuh sebagian yang lain, kemudian mereka dikalahkan, maka tidak ada qisas yang diambil dari mereka.” Aku berkata: “Mereka (para pemberontak) jelas berbeda dengan para pedagang dan tawanan dalam makna yang engkau maksud. Bagaimana pendapatmu jika para pelaku perang menawan sebagian mereka, lalu mereka masuk Islam, apakah kita membiarkan penawan itu menguasai tawanannya sebagai budak?” Dia menjawab: “Ya.” Aku bertanya: “Apakah engkau membolehkan hal ini untuk para pedagang dan tawanan di negeri para pemberontak?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya: “Jika kaum harbi menyerang kita, membunuh sebagian dari kita, lalu mereka kembali sebagai Muslim, apakah qisas diwajibkan atas salah satu dari mereka?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku bertanya: “Jika para pedagang dan tawanan melakukan hal itu di negeri kafir tanpa paksaan atau syubhat, apakah mereka dibunuh?” Dia menjawab: “Ya, mereka dibunuh.” Aku bertanya: “Apakah boleh berniat membunuh para pedagang dan tawanan di negeri kafir sehingga mereka dibunuh?” Dia menjawab: “Tidak, itu haram.” Aku bertanya: “Bagaimana pendapatmu jika para pedagang dan tawanan meninggalkan shalat dan zakat di negeri kafir, lalu mereka keluar ke negeri Islam, apakah mereka wajib mengqadhanya?” Dia menjawab: “Ya.” Aku bertanya: “Dan tidak halal bagi mereka di negeri kafir kecuali apa yang halal bagi mereka di negeri Islam?” Dia menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Jika negeri tidak mengubah apa yang dihalalkan dan diharamkan bagi mereka, lalu bagaimana engkau menggugurkan hak Allah dan hak manusia yang Allah wajibkan atas mereka? Padahal engkau tidak membolehkan mereka menahan hak yang ada pada mereka, baik dalam darah maupun lainnya. Sedangkan apa yang tidak halal bagi mereka untuk ditahan, maka menurutmu dalam konteks lain, imam wajib mengambilnya.” Beliau berkata: “Aku mengqiyaskan mereka dengan para murtad yang gugur hak mereka.” Aku berkata: “Engkau mengklaim bahwa para pemberontak diqisas selama mereka tidak mengangkat imam dan menegakkan hukum, sedangkan para pedagang dan tawanan tidak memiliki imam dan tidak menolak (hukum). Kami juga berpendapat bahwa jika para pemberontak saling membunuh tanpa syubhat, kami akan mengqisas mereka.” Beliau berkata: “Tetapi negeri itu terhalang untuk menerapkan hukum atas mereka.” Aku berkata: “Bagaimana pendapatmu jika sekelompok ahli kiblah yang memerangi (kita) berlindung di sebuah kota hingga tidak bisa dijatuhi hukum, lalu mereka merampok, menumpahkan darah, mengambil harta, dan melanggar hudud?” Dia menjawab: “Semua itu tetap dijatuhkan atas mereka.” Aku berkata: “Ini bertentangan dengan pendapatmu.” Dan aku berkata kepadanya: “Apakah pendapat penduduk Madinah bahwa pembunuh sengaja tidak mewarisi, sedangkan pembunuh tidak sengaja mewarisi kecuali dari diyah, berlaku?” Aku berkata: “Pembunuh tidak mewarisi dalam kedua kasus, karena dia tetap disebut pembunuh. Lalu mengapa engkau tidak berpendapat demikian untuk pembunuh dari kalangan pemberontak dan yang adil? Karena keduanya sama-sama disebut pembunuh, sedangkan engkau menyamakan keduanya sehingga tidak mengqisas salah satunya terhadap yang lain?”

 

بَابُ حُكْمِ الْمُرْتَدِّ

 

Bab tentang hukum orang yang murtad

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَمَنْ ارْتَدَّ عَنْ الْإِسْلَامِ إلَى أَيِّ كُفْرٍ كَانَ مَوْلُودًا عَلَى الْإِسْلَامِ أَوْ أَسْلَمَ ثُمَّ ارْتَدَّ قُتِلَ وَأَيُّ كُفْرٍ ارْتَدَّ إلَيْهِ مِمَّا يُظْهِرُ أَوْ يُسِرُّ مِنْ الزَّنْدَقَةِ ثُمَّ تَابَ لَمْ يُقْتَلْ فَإِنْ لَمْ يَتُبْ قُتِلَ امْرَأَةً كَانَتْ أَوْ رَجُلًا عَبْدًا كَانَ أَوْ حُرًّا (وَقَالَ فِي الثَّانِي) فِي اسْتِتَابَتِهِ ثَلَاثًا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا حَدِيثُ عُمَرَ يُتَأَنَّى بِهِ ثَلَاثًا وَالْآخَرُ لَا يُؤَخَّرُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَأْمُرْ فِيهِ بِأَنَاةٍ وَهُوَ لَوْ تَأَنَّى بِهِ بَعْدَ ثَلَاثٍ كَهَيْئَتِهِ قَبْلَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Siapa pun yang murtad dari Islam kepada kekafiran apa pun, baik ia dilahirkan dalam Islam atau masuk Islam kemudian murtad, ia harus dibunuh. Apapun jenis kekafiran yang ia murtad kepadanya, baik yang terang-terangan atau tersembunyi seperti zindiq, lalu ia bertaubat, ia tidak dibunuh. Namun jika tidak bertaubat, ia harus dibunuh, baik perempuan atau laki-laki, budak atau merdeka.” (Dalam pendapat kedua) tentang pemberian kesempatan bertaubat selama tiga hari, ada dua pendapat: Pertama, berdasarkan hadits Umar, ia diberi tenggang waktu tiga hari. Kedua, tidak ditunda, karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak memerintahkan penundaan dalam hal ini. Dan jika ia menunda setelah tiga hari, hukumnya sama seperti sebelum tiga hari.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَهَذَا ظَاهِرُ الْخَبَرِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) وَأَصْلُهُ الظَّاهِرُ وَهُوَ أَقْيَسُ عَلَى أَصْلِهِ.)

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Dan ini adalah zhahirnya khabar.” (Imam Al-Muzani) berkata: “Asalnya adalah zhahir, dan itu lebih sesuai dengan asalnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُوقَفُ مَالُهُ وَإِذَا قُتِلَ فَمَالُهُ بَعْدَ قَضَاءِ دَيْنِهِ وَجِنَايَتِهِ وَنَفَقَةِ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ فَيْءٌ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ وَكَمَا لَا يَرِثُ مُسْلِمًا لَا يَرِثُهُ مُسْلِمٌ وَيُقْتَلُ السَّاحِرُ إنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كُفْرًا إنْ لَمْ يَتُبْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Hartanya ditahan, dan jika dia dibunuh, maka hartanya setelah melunasi utangnya, denda kriminalnya, serta nafkah orang yang menjadi tanggungannya menjadi fa’i. Seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi muslim. Sebagaimana seorang muslim tidak mewarisi (orang kafir), maka seorang muslim pun tidak mewarisinya (orang kafir). Penyihir dibunuh jika sihir yang dilakukannya mengandung kekufuran selama dia tidak bertaubat.

 

(قَالَ) : وَيُقَالُ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ وَقَالَ: أَنَا أُطِيقُهَا وَلَا أُصَلِّيهَا لَا يَعْمَلُهَا غَيْرُك فَإِنْ فَعَلْت وَإِلَّا قَتَلْنَاك كَمَا تَتْرُكُ الْإِيمَانَ وَلَا يَعْمَلُهُ غَيْرُك فَإِنْ آمَنْت وَإِلَّا قَتَلْنَاك وَمَنْ قَتَلَ مُرْتَدًّا قَبْلَ أَنْ يُسْتَتَابَ أَوْ جَرَحَهُ فَأَسْلَمَ ثُمَّ مَاتَ مِنْ الْجُرْحِ فَلَا قَوَدَ وَلَا دِيَةَ وَيُعَزَّرُ الْقَاتِلُ؛ لِأَنَّ الْمُتَوَلِّيَ لِقَتْلِهِ بَعْدَ اسْتِتَابَتِهِ الْحَاكِمُ.

 

 

Dikatakan kepada orang yang meninggalkan shalat dan berkata, “Aku mampu melakukannya tapi tidak mau shalat,” bahwa tidak ada yang akan mengerjakannya selain dirimu. Jika engkau melakukannya (kembali), (baiklah). Jika tidak, kami akan membunuhmu sebagaimana engkau meninggalkan iman dan tidak ada yang akan mengerjakannya selain dirimu. Jika engkau beriman (kembali), (baiklah). Jika tidak, kami akan membunuhmu. Barangsiapa membunuh seorang murtad sebelum diminta untuk bertobat atau melukainya lalu ia masuk Islam kemudian mati karena lukanya, maka tidak ada qisas atau diyat. Pelaku pembunuhan akan dihukum ta’zir, karena yang berwenang mengeksekusinya setelah diminta bertobat adalah penguasa.

 

(قَالَ) : وَلَا يُسْبَى لِلْمُرْتَدِّينَ ذُرِّيَّةٌ وَإِنْ لَحِقُوا بِدَارِ الْحَرْبِ؛ لِأَنَّ حُرْمَةَ الْإِسْلَامِ قَدْ ثَبَتَتْ لَهُمْ وَلَا ذَنْبَ لَهُمْ فِي تَبْدِيلِ آبَائِهِمْ وَمَنْ بَلَغَ مِنْهُمْ إنْ لَمْ يَتُبْ قُتِلَ وَمَنْ وُلِدَ لِلْمُرْتَدِّينَ فِي الرِّدَّةِ لَمْ يُسْبَ؛ لِأَنَّ آبَاءَهُمْ لَمْ يُسْبَوْا وَإِنْ ارْتَدَّ مُعَاهَدُونَ وَلَحِقُوا بِدَارِ الْحَرْبِ وَعِنْدَنَا لَهُمْ ذَرَارِيُّ لَمْ نَسْبِهِمْ، وَقُلْنَا: إذَا بَلَغُوا لَكُمْ الْعَهْدُ إنْ شِئْتُمْ وَإِلَّا نَبَذْنَا إلَيْكُمْ ثُمَّ أَنْتُمْ حَرْبٌ. وَإِنْ ارْتَدَّ سَكْرَانُ فَمَاتَ كَانَ مَالُهُ فَيْئًا وَلَا يُقْتَلُ إنْ لَمْ يَتُبْ حَتَّى يَمْتَنِعَ مُفِيقًا.

 

 

Beliau berkata: “Keturunan orang murtad tidak boleh ditawan, meskipun mereka bergabung dengan darul harbi, karena hak perlindungan Islam telah tetap bagi mereka dan mereka tidak berdosa atas kemurtadan orang tua mereka. Siapa saja di antara mereka yang telah baligh dan tidak bertaubat, maka dibunuh. Anak yang lahir dari orang murtad selama masa kemurtadan tidak ditawan, karena orang tua mereka tidak ditawan. Jika orang-orang yang terikat perjanjian murtad dan bergabung dengan darul harbi, sementara di sisi kami ada anak-anak mereka yang belum kami tawan, kami katakan: ‘Jika mereka telah baligh, perjanjian berlaku bagi kalian jika kalian mau. Jika tidak, kami kembalikan mereka kepada kalian, lalu kalian dianggap sebagai musuh.’ Jika seseorang murtad dalam keadaan mabuk lalu meninggal, hartanya menjadi fa’i, dan tidak dibunuh jika tidak bertaubat sampai ia sadar dan menolak (untuk bertaubat).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت: إنَّ هَذَا دَلِيلٌ عَلَى طَلَاقِ السَّكْرَانِ الَّذِي لَا يُمَيِّزُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهِ شَاهِدَانِ بِالرِّدَّةِ فَأَنْكَرَهُ قِيلَ: إنْ أَقْرَرْت بِأَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتَبْرَأُ مِنْ كُلِّ دِينٍ خَالَفَ دِينَ الْإِسْلَامِ لَمْ يُكْشَفْ عَنْ غَيْرِهِ وَمَا جَرَحَ أَوْ أَفْسَدَ فِي رِدَّتِهِ أُخِذَ بِهِ وَإِنْ جَرَحَ مُرْتَدًّا ثُمَّ جَرَحَ مُسْلِمًا فَمَاتَ فَعَلَى مَنْ جَرَحَهُ مُسْلِمًا نِصْفُ الدِّيَةِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Sesungguhnya ini adalah dalil bahwa talak dari orang mabuk yang tidak sadar tidak sah, meskipun ada dua saksi yang bersaksi atas kemurtadannya lalu dia mengingkarinya. Dikatakan: Jika engkau mengakui bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, serta berlepas diri dari semua agama yang bertentangan dengan agama Islam, maka tidak perlu diperiksa lebih lanjut. Apa yang dia rusak atau lukai selama masa kemurtadannya akan dipertanggungjawabkan. Jika dia melukai seorang murtad, kemudian melukai seorang muslim hingga meninggal, maka atas orang yang melukainya (sebagai muslim) dikenakan setengah diyat.

 

كِتَابُ الْحُدُودِ

 

 

بَابُ حَدِّ الزِّنَا وَالشَّهَادَةِ عَلَيْهِ

 

Bab tentang Hukuman Zina dan Kesaksian atasnya

 

بَابُ حَدِّ الزِّنَا وَالشَّهَادَةِ عَلَيْهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: رَجَمَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مُحْصَنَيْنِ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا، وَرَجَمَ عُمَرُ مُحْصَنَةً وَجَلَدَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – بِكْرًا مِائَةً وَغَرَّبَهُ عَامًا وَبِذَلِكَ أَقُولُ، فَإِذَا أَصَابَ الْحُرُّ أَوْ أُصِيبَتْ الْحُرَّةُ بَعْدَ الْبُلُوغِ بِنِكَاحٍ صَحِيحٍ فَقَدْ أَحْصَنَا فَمَنْ زَنَى مِنْهُمَا فَحَدُّهُ الرَّجْمُ حَتَّى يَمُوتَ ثُمَّ يُغَسَّلُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْفَنُ وَيَجُوزُ لِلْإِمَامِ أَنْ يَحْضُرَ رَجْمَهُ وَيَتْرُكَ، فَإِنْ لَمْ يُحْصِنْ جُلِدَ مِائَةً وَغُرِّبَ عَامًا عَنْ بَلَدِهِ بِالسُّنَّةِ، وَلَوْ أَقَرَّ مَرَّةً حُدَّ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ أُنَيْسًا أَنْ يَغْدُوَ عَلَى امْرَأَةٍ فَإِنْ اعْتَرَفَتْ رَجَمَهَا. وَأَمَرَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَبَا وَاقِدٍ اللَّيْثِيَّ بِمِثْلِ ذَلِكَ وَلَمْ يَأْمُرَا بِعَدَدِ إقْرَارِهِ وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يُقِيمَ الْإِمَامُ الْحُدُودَ وَإِنْ لَمْ يَحْضُرْهُ وَمَتَى رَجَعَ تَرَكَ وَقَعَ بِهِ بَعْضُ الْحَدِّ أَوْ لَمْ يَقَعْ.

 

 

Bab Hukum Zina dan Kesaksian atasnya (Berkata Asy-Syafi’i -rahimahullah-): Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- merajam dua orang Yahudi yang telah menikah karena berzina, dan Umar merajam seorang wanita yang telah menikah serta mencambuk seorang bujangan seratus kali dan mengasingkannya selama satu tahun. Demikianlah pendapatku. Jika seorang yang merdeka (laki-laki atau perempuan) telah baligh dan menikah dengan pernikahan yang sah, maka ia telah menikah (muhshan). Barangsiapa di antara mereka berzina, maka hukumannya adalah rajam hingga mati, kemudian dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan. Seorang pemimpin boleh menghadiri rajam tersebut atau meninggalkannya. Jika tidak muhshan, maka dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun dari negerinya menurut sunnah. Jika ia mengaku sekali saja, maka hukumannya tetap dilaksanakan, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan Unais untuk mendatangi seorang wanita, dan jika ia mengaku, maka ia dirajam. Umar -radhiyallahu ‘anhu- juga memerintahkan Abu Waqid Al-Laitsi dengan hal yang serupa, dan keduanya tidak memerintahkan jumlah pengakuan tertentu. Dalam hal ini terdapat dalil bahwa seorang pemimpin boleh menegakkan hudud meskipun tidak menghadirinya, dan jika ia kembali, ia boleh menghentikannya baik sebagian hukuman telah dilaksanakan atau belum.

 

(قَالَ) : وَلَا يُقَامُ حَدُّ الْجَلْدِ عَلَى حُبْلَى وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ الْمُدْنِفِ وَلَا فِي يَوْمٍ حَرُّهُ أَوْ بَرْدُهُ مُفْرِطٌ وَلَا فِي أَسْبَابِ التَّلَفِ، وَيُرْجَمُ الْمُحْصَنُ فِي كُلِّ ذَلِكَ إلَّا أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً حُبْلَى فَتُتْرَكَ حَتَّى تَضَعَ وَيُكْفَلَ وَلَدُهَا، وَإِنْ كَانَ الْبِكْرُ نِضْوَ الْخَلْقِ إنْ ضُرِبَ بِالسَّيْفِ تَلِفَ ضُرِبَ بِإِثْكَالِ النَّخْلِ اتِّبَاعًا لِفِعْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ذَلِكَ فِي مِثْلِهِ وَلَا يَجُوزُ عَلَى الزِّنَا وَاللِّوَاطِ وَإِتْيَانِ الْبَهَائِمِ إلَّا أَرْبَعَةٌ يَقُولُونَ: رَأَيْنَا ذَلِكَ مِنْهُ يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ مِنْهَا دُخُولَ الْمِرْوَدِ فِي الْمُكْحُلَةِ.

 

 

Beliau berkata: “Hukuman cambuk tidak dilaksanakan terhadap wanita hamil, orang sakit yang parah, pada hari yang panas atau dingin yang berlebihan, atau dalam kondisi yang membahayakan. Namun, hukuman rajam tetap berlaku bagi muhshan (orang yang sudah menikah) dalam semua kondisi tersebut, kecuali jika wanita hamil, maka ditunda hingga melahirkan dan anaknya dijamin. Jika seorang bujang yang fisiknya lemah, jika dipukul dengan pedang bisa meninggal, maka dipukul dengan pelepah kurma, mengikuti perbuatan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam kasus serupa. Hukuman ini tidak berlaku untuk zina, liwath (homoseksual), dan bersetubuh dengan hewan, kecuali ada empat saksi yang mengatakan: ‘Kami melihatnya masuk ke dalamnya seperti jarum celak masuk ke dalam tempat celak’.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قُلْت: أَنَا وَلَمْ يَجْعَلْ فِي كِتَابِ الشَّهَادَاتِ إتْيَانَ الْبَهِيمَةِ زِنًا وَلَا فِي كِتَابِ الطَّهَارَةِ فِي مَسِّ فَرْجِ الْبَهِيمَةِ وُضُوءًا.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Aku berkata, dan dia tidak menjadikan persetubuhan dengan hewan sebagai zina dalam kitab kesaksian, juga tidak menjadikan menyentuh kemaluan hewan sebagai alasan wudu dalam kitab bersuci.

 

(قَالَ) : وَإِنْ شَهِدُوا مُتَفَرِّقِينَ قَبِلْتهمْ إذَا كَانَ الزِّنَا وَاحِدًا وَمَنْ رَجَعَ بَعْدَ تَمَامِ الشَّهَادَةِ لَمْ يُحَدَّ غَيْرُهُ وَإِنْ لَمْ تَتِمَّ شُهُودُ الزِّنَا أَرْبَعَةً فَهُمْ قَذَفَةٌ يُحَدُّونَ فَإِنْ رُجِمَ بِشَهَادَةِ أَرْبَعَةٍ ثُمَّ رَجَعَ أَحَدُهُمْ سَأَلْته فَإِنْ قَالَ: عَمَدْت أَنْ أَشْهَدَ بِزُورٍ مَعَ غَيْرِي لِيَقْتُلَ فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ، وَإِنْ قَالَ: شَهِدْت وَلَا أَعْلَمُ عَلَيْهِ الْقَتْلَ أَوْ غَيْرَهُ أُحْلِفَ وَكَانَ عَلَيْهِ رُبُعُ الدِّيَةِ وَالْحَدُّ وَكَذَلِكَ إنْ رَجَعَ الْبَاقُونَ، وَلَوْ شَهِدَ عَلَيْهَا بِالزِّنَا أَرْبَعَةٌ وَشَهِدَ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ عُدُولٍ أَنَّهَا عَذْرَاءُ فَلَا حَدَّ وَإِنْ أَكْرَهَهَا عَلَى الزِّنَا فَعَلَيْهِ الْحَدُّ دُونَهَا وَمَهْرُ مِثْلِهَا وَحَدُّ الْعَبْدِ وَالْأَمَةِ – أَحْصَنَا بِالزَّوَاجِ أَوْ لَمْ يُحْصِنَا – نِصْفُ حَدِّ الْحُرِّ وَالْجَلْدُ خَمْسُونَ جَلْدَةً (وَقَالَ) فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَسْتَخِيرُ اللَّهَ فِي نَفْيِهِ نِصْفَ سَنَةٍ وَقَطَعَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ بِأَنْ يُنْفَى نِصْفَ سَنَةٍ.

 

 

(Dia berkata): “Jika mereka memberikan kesaksian secara terpisah, aku menerimanya selama perzinahan itu satu. Siapa yang menarik kesaksian setelah kesaksian sempurna, maka hukuman tidak dijatuhkan selainnya. Jika saksi perzinahan tidak mencapai empat orang, maka mereka adalah penuduh yang harus dihukum. Jika seseorang dirajam berdasarkan kesaksian empat orang, lalu salah satu saksi menarik kesaksiannya, aku akan mempertanyakannya. Jika dia berkata, ‘Aku sengaja bersaksi palsu bersama orang lain untuk membunuhnya,’ maka dia wajib diqisas. Jika dia berkata, ‘Aku bersaksi tanpa mengetahui bahwa itu akan menyebabkan hukuman mati atau lainnya,’ maka dia harus bersumpah dan wajib membayar seperempat diyat serta dihukum. Hal yang sama berlaku jika saksi lainnya menarik kesaksian. Jika empat orang bersaksi bahwa seorang wanita berzina, sementara empat wanita yang adil bersaksi bahwa dia masih perawan, maka tidak ada hukuman. Jika dia memaksanya berzina, maka hukuman hanya berlaku untuknya (pelaku pemaksaan), bukan wanita itu, dan dia wajib membayar mahar semisalnya. Hukuman budak laki-laki atau perempuan—baik sudah menikah atau belum—adalah setengah hukuman orang merdeka, yaitu lima puluh cambukan.” (Dia juga berkata) di tempat lain: “Aku memohon petunjuk Allah mengenai pengasingannya selama setengah tahun.” Dan di tempat lain, dia memutuskan bahwa pelaku harus diasingkan selama setengah tahun.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قُلْت: أَنَا وَهَذَا بِقَوْلِهِ أَوْلَى قِيَاسًا عَلَى نِصْفِ مَا يَجِبُ عَلَى الْحُرِّ مِنْ عُقُوبَةِ الزِّنَا.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Aku lebih cenderung pada pendapat ini dengan mengqiyaskannya pada separuh hukuman zina yang wajib atas orang merdeka.”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seorang laki-laki harus menghukum budak perempuannya jika berzina, berdasarkan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -: ‘Jika budak perempuan salah seorang dari kalian berzina dan perbuatan zinanya telah jelas, maka hendaklah dia mencambuknya.'”

 

بَابُ مَا جَاءَ فِي حَدِّ الذِّمِّيِّينَ

 

Bab tentang apa yang datang mengenai hukum terhadap orang-orang dzimmi

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي كِتَابِ الْحُدُودِ وَإِنْ تَحَاكَمُوا إلَيْنَا فَلَنَا أَنْ نَحْكُمَ أَوْ نَدَعَ فَإِنْ حَكَمْنَا حَدَدْنَا الْمُحْصَنَ بِالرَّجْمِ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَجَمَ يَهُودِيَّيْنِ زَنَيَا وَجَلَدْنَا الْبِكْرَ مِائَةً وَغَرَّبْنَاهُ عَامًا (وَقَالَ) فِي كِتَابِ الْجِزْيَةِ: إنَّهُ لَا خِيَارَ لَهُ إذَا جَاءُوهُ فِي حَدِّ اللَّهِ فَعَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَهُ لِمَا وَصَفْت مِنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَهُمْ صَاغِرُونَ} التوبة: 29 .

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata dalam kitab Al-Hudud: “Jika mereka meminta keputusan kepada kami, kami berhak memutuskan atau tidak. Jika kami memutuskan, kami akan merajam orang yang sudah menikah (muhshan) karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah merajam dua orang Yahudi yang berzina, dan kami mencambuk orang yang belum menikah (ghairu muhshan) seratus kali serta mengasingkannya selama setahun.” Dia juga berkata dalam kitab Al-Jizyah: “Tidak ada pilihan baginya jika mereka datang dalam perkara hudud Allah, maka wajib baginya untuk menegakkannya berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: {dan mereka dalam keadaan terhina} (QS. At-Taubah: 29).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَوْلَى قَوْلَيْهِ بِهِ إذْ زَعَمَ أَنَّ مَعْنَى قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَهُمْ صَاغِرُونَ} التوبة: 29 أَنْ تُجْرَى عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ مَا لَمْ يَكُنْ أَمْرُ حُكْمِ الْإِسْلَامِ فِيهِ تَرْكَهُمْ وَإِيَّاهُ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Inilah pendapatnya yang lebih utama, karena ia berpendapat bahwa makna firman Allah Ta’ala {dan mereka dalam keadaan terhina} QS. At-Taubah: 29 adalah diterapkannya hukum-hukum Islam atas mereka, selama tidak ada ketentuan hukum Islam yang membiarkan mereka dan urusan itu.”

بَابُ حَدِّ الْقَذْفِ

Bab Hukuman bagi Tuduhan Zina

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا قَذَفَ الْبَالِغُ حُرًّا بَالِغًا مُسْلِمًا أَوْ حُرَّةً بَالِغَةً مُسْلِمَةً حُدَّ ثَمَانِينَ فَإِنْ قَذَفَ نَفَرًا بِكَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ كَانَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حَدُّهُ فَإِنْ قَالَ: يَا ابْنَ الزَّانِيَيْنِ، وَكَانَ أَبَوَاهُ حُرَّيْنِ مُسْلِمَيْنِ مَيِّتَيْنِ فَعَلَيْهِ حَدَّانِ وَيَأْخُذُ حَدَّ الْمَيِّتِ وَلَدُهُ وَعَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا، وَلَوْ قَالَ الْقَاذِفُ لِلْمَقْذُوفِ: إنَّهُ عَبْدٌ فَعَلَى الْمَقْذُوفِ الْبَيِّنَةُ؛ لِأَنَّهُ يَدَّعِي الْحَدَّ وَعَلَى الْقَاذِفِ الْيَمِينُ؛ لِأَنَّهُ يُنْكِرُ الْحَدَّ، وَلَوْ قَالَ لِعَرَبِيٍّ: يَا نَبَطِيُّ، فَإِنْ قَالَ: عَنَيْت نَبَطِيَّ الدَّارِ أَوْ اللِّسَانِ؛ أَحَلَفْته مَا أَرَادَ أَنْ يَنْسُبَهُ إلَى النَّبَطِ وَنَهَيْته أَنْ يَعُودَ وَأَدَّبْته عَلَى الْأَذَى فَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ حَلَفَ الْمَقْذُوفُ لَقَدْ أَرَادَ نَفْيَهُ وَحُدَّ لَهُ فَإِنْ عَفَا فَلَا حَدَّ لَهُ. وَإِنْ قَالَ: عَنَيْت بِالْقَذْفِ الْأَبَ الْجَاهِلِيَّ حَلَفَ وَعُزِّرَ عَلَى الْأَذَى. وَلَوْ قَذَفَ امْرَأَةً وُطِئَتْ وَطْئًا حَرَامًا دُرِئَ عَنْهُ فِي هَذَا الْحَدُّ وَعُزِّرَ وَلَا يُحَدُّ مَنْ لَمْ تَكْمُلْ فِيهِ الْحُرِّيَّةُ إلَّا حَدَّ الْعَبْدِ وَلَا حَدَّ فِي التَّعْرِيضِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ التَّعْرِيضَ فِيمَا حُرِّمَ عَقْدُهُ فَقَالَ {وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ} البقرة: 235 وَقَالَ تَعَالَى {وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ} البقرة: 235 فَجَعَلَ التَّعْرِيضَ مُخَالِفًا لِلتَّصْرِيحِ فَلَا يُحَدُّ إلَّا بِقَذْفٍ صَرِيحٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Jika seorang yang baligh menuduh zina seorang merdeka, baligh, dan muslim atau seorang wanita merdeka, baligh, dan muslimah, maka ia dihukum delapan puluh kali cambuk. Jika ia menuduh sekelompok orang dengan satu kalimat, maka setiap orang dari mereka berhak mendapatkan hukumannya. Jika ia berkata, “Wahai anak dua pezina,” dan kedua orang tuanya merdeka, muslim, serta telah meninggal, maka ia dikenai dua hukuman. Hak hukuman untuk yang telah meninggal diambil oleh anak atau kerabatnya. Jika penuduh berkata kepada yang dituduh, “Engkau budak,” maka yang dituduh harus membuktikannya karena ia menuntut hukuman, sedangkan penuduh harus bersumpah karena ia mengingkari hukuman. Jika ia berkata kepada seorang Arab, “Wahai Nabath,” lalu ia berkata, “Maksudku Nabath dari segi tempat atau bahasa,” maka aku menyuruhnya bersumpah bahwa ia tidak bermaksud menisbatkannya kepada suku Nabath, melarangnya mengulangi, dan memberinya hukuman atas gangguan. Jika ia tidak bersumpah, maka yang dituduh bersumpah bahwa ia bermaksud menafikannya, lalu dihukum. Jika ia memaafkan, maka tidak ada hukuman. Jika ia berkata, “Maksudku dengan tuduhan adalah ayahnya di masa jahiliyah,” maka ia bersumpah dan dihukum ta’zir atas gangguan. Jika ia menuduh seorang wanita yang telah disetubuhi secara haram, maka hukuman had dihindarkan darinya, tetapi ia dihukum ta’zir. Tidak ada hukuman had bagi yang belum sempurna kemerdekaannya, kecuali hukuman budak. Tidak ada hukuman dalam sindiran karena Allah Ta’ala membolehkan sindiran dalam hal yang diharamkan ikatannya, sebagaimana firman-Nya, “Dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis iddahnya,” (QS. Al-Baqarah: 235) dan firman-Nya, “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu sindirkan kepada mereka (untuk menimbulkan minat) untuk meminang wanita,” (QS. Al-Baqarah: 235). Maka, Allah menjadikan sindiran berbeda dengan pernyataan jelas, sehingga tidak ada hukuman kecuali dengan tuduhan yang jelas.

كِتَابُ السَّرِقَةِ

 

 

Kitab Pencurian

بَابُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ

 

Bab Tentang Hukuman Potong Tangan

 

بَابُ مَا يَجِبُ فِيهِ الْقَطْعُ مِنْ كِتَابِ الْحُدُودِ وَغَيْرِهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – الْقَطْعُ فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا لِثُبُوتِ الْخَبَرِ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِذَلِكَ وَأَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَطَعَ سَارِقًا فِي أُتْرُجَّةٍ قُوِّمَتْ بِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ مِنْ صِرْفِ اثْنَيْ عَشَرَ دِرْهَمًا بِدِينَارٍ قَالَ مَالِكٌ: هِيَ الْأُتْرُجَّةُ الَّتِي تُؤْكَلُ.

 

 

Bab tentang hal-hal yang mengharuskan potong tangan dalam kitab hudud dan lainnya. (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Hukuman potong tangan berlaku untuk pencurian senilai seperempat dinar atau lebih, berdasarkan hadis yang sahih dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang hal itu, dan bahwa Utsman bin Affan -radhiyallahu ‘anhu- pernah memotong tangan seorang pencuri karena mencuri buah utrujjah yang dinilai sebesar tiga dirham dari nilai tukar dua belas dirham per satu dinar.” Malik berkata: “Itu adalah buah utrujjah yang biasa dimakan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَفِي ذَلِكَ دَلَالَةٌ عَلَى قَطْعِ مَنْ سَرَقَ الرُّطَبَ مِنْ طَعَامٍ وَغَيْرِهِ إذَا بَلَغَتْ سَرِقَتُهُ رُبُعَ دِينَارٍ وَأَخْرَجَهَا مِنْ حِرْزِهَا، وَالدِّينَارُ هُوَ الْمِثْقَالُ الَّذِي كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَا يُقْطَعُ إلَّا مَنْ بَلَغَ الِاحْتِلَامَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْحَيْضَ مِنْ النِّسَاءِ أَوْ أَيُّهُمَا اسْتَكْمَلَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً وَإِنْ لَمْ يَحْتَلِمْ أَوْ لَمْ تَحِضْ، وَجُمْلَةُ الْحِرْزِ أَنْ يُنْظَرَ إلَى الْمَسْرُوقِ فَإِنْ كَانَ الْمَوْضِعُ الَّذِي سُرِقَ مِنْهُ يَنْسُبُهُ الْعَامَّةُ إلَى أَنَّهُ حِرْزٌ فِي مِثْلِ ذَلِكَ الْمَوْضِعِ قُطِعَ إذَا أَخْرَجَهَا مِنْ الْحِرْزِ وَإِنْ لَمْ يَنْسُبْهُ الْعَامَّةُ إلَى أَنَّهُ حِرْزٌ لَمْ يُقْطَعْ وَرِدَاءُ صَفْوَانَ كَانَ مُحْرَزًا بِاضْطِجَاعِهِ عَلَيْهِ فَقَطَعَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – سَارِقَ رِدَائِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam hal itu terdapat petunjuk tentang potong tangan bagi pencuri kurma atau makanan lainnya jika nilai curian mencapai seperempat dinar dan dia mengeluarkannya dari tempat penyimpanannya. Dinar adalah timbangan yang berlaku pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukuman potong tangan hanya berlaku bagi laki-laki yang sudah baligh (mimpi basah) atau perempuan yang sudah haid, atau siapa saja yang sudah genap berusia lima belas tahun meskipun belum mimpi basah atau haid. Secara umum, konsep hirz (tempat penyimpanan) adalah dengan melihat barang yang dicuri. Jika tempat pencurian tersebut oleh masyarakat umum dianggap sebagai hirz untuk barang semacam itu, maka tangan pencuri dipotong jika dia mengeluarkannya dari hirz. Jika masyarakat umum tidak menganggapnya sebagai hirz, maka tidak dipotong. Jubah Shafwan dianggap sebagai hirz karena dia tidur di atasnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memotong tangan pencuri jubahnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – إذَا ضُمَّ مَتَاعُ السُّوقِ إلَى بَعْضٍ فِي مَوْضِعِ تَبَايَعَاهُ وَرُبِطَ بِحَبْلٍ أَوْ جُعِلَ الطَّعَامُ فِي حَبْسٍ وَخِيطَ عَلَيْهِ قُطِعَ وَهَكَذَا يُحْرَزُ، وَإِذَا كَانَ يَقُودُ قِطَارَ إبِلٍ أَوْ يَسُوقُهَا وَقَطَرَ بَعْضَهَا إلَى بَعْضٍ فَسَرَقَ مِنْهَا أَوْ مِمَّا عَلَيْهَا شَيْئًا قُطِعَ وَإِنْ أَنَاخَهَا حَيْثُ يَنْظُرُ إلَيْهَا فِي صَحْرَاءَ أَوْ كَانَتْ غَنَمًا فَآوَاهَا إلَى مُرَاحٍ فَاضْطَجَعَ حَيْثُ يَنْظُرُ إلَيْهَا فَهَذَا حِرْزُهَا، وَلَوْ ضَرَبَ فُسْطَاطًا وَآوَى فِيهِ مَتَاعَهُ فَاضْطَجَعَ فَسَرَقَ الْفُسْطَاطَ وَالْمَتَاعَ مِنْ جَوْفِهِ قُطِعَ؛ لِأَنَّ اضْطِجَاعَهُ حِرْزٌ لَهُ وَلِمَا فِيهِ إلَّا أَنَّ الْأَحْرَازَ تَخْتَلِفُ فَيُحْرَزُ كُلٌّ بِمَا تَكُونُ الْعَامَّةُ تُحْرِزُ مِثْلَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Jika barang-barang pasar dikumpulkan bersama di tempat transaksi dan diikat dengan tali, atau makanan disimpan dalam wadah dan dijahit, lalu dicuri, maka pencurinya dipotong tangan. Begitulah cara menjaganya. Jika seseorang memimpin unta atau menggiringnya dengan diikat sebagian ke sebagian lainnya, lalu ada yang mencuri unta atau barang yang dibawanya, maka pencurinya dipotong tangan. Namun jika dia menambatkan unta di padang pasir sambil mengawasinya, atau menggiring kambing ke kandang lalu berbaring sambil menjaganya, maka itu sudah dianggap sebagai penjagaan. Jika dia mendirikan tenda dan menyimpan barang di dalamnya lalu berbaring, lalu ada yang mencuri tenda beserta isinya, maka pencurinya dipotong tangan, karena berbaringnya itu merupakan penjagaan bagi dirinya dan barangnya. Hanya saja, bentuk penjagaan itu berbeda-beda, setiap barang dijaga sesuai kebiasaan umum dalam menjaganya.

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

وَلَوْ اضْطَجَعَ فِي صَحْرَاءَ وَوَضَعَ ثَوْبَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ أَوْ تَرَكَ أَهْلُ الْأَسْوَاقِ مَتَاعَهُمْ فِي مَقَاعِدَ لَيْسَ عَلَيْهَا حِرْزٌ لَمْ يُضَمَّ وَلَمْ يُرْبَطْ أَوْ أَرْسَلَ رَجُلٌ إبِلَهُ تَرْعَى أَوْ تَمْضِي عَلَى الطَّرِيقِ غَيْرَ مَقْطُورَةٍ أَوْ أَبَاتَهَا بِصَحْرَاءَ وَلَمْ يَضْطَجِعْ عِنْدَهَا أَوْ ضَرَبَ فُسْطَاطًا فَلَمْ يَضْطَجِعْ فِيهِ فَسُرِقَ مِنْ هَذَا شَيْءٌ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّ الْعَامَّةَ لَا تَرَى هَذَا حِرْزًا وَالْبُيُوتُ الْمُغْلَقَةُ حِرْزٌ لِمَا فِيهَا، وَإِنْ سُرِقَ مِنْهَا شَيْءٌ فَأُخْرِجَ بِنَقْبٍ أَوْ فَتْحِ بَابٍ أَوْ قَلْعَةٍ قُطِعَ وَإِنْ كَانَ الْبَيْتُ مَفْتُوحًا لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ أَخْرَجَهُ مِنْ الْبَيْتِ وَالْحُجْرَةِ إلَى الدَّارِ وَالدَّارُ لِلْمَسْرُوقِ مِنْهُ وَحْدَهُ لَمْ يُقْطَعْ حَتَّى يُخْرِجَهُ مِنْ جَمِيعِ الدَّارِ؛ لِأَنَّهَا حِرْزٌ لِمَا فِيهَا، وَإِنْ كَانَتْ مُشْتَرَكَةً وَأَخْرَجَهُ مِنْ الْحُجْرَةِ إلَى الدَّارِ فَلَيْسَتْ الدَّارُ بِحِرْزٍ لِأَحَدٍ مِنْ السُّكَّانِ فَيُقْطَعَ وَلَوْ أَخْرَجَ السَّرِقَةَ فَوَضَعَهَا فِي بَعْضِ النَّقْبِ وَأَخَذَهَا رَجُلٌ مِنْ خَارِجٍ لَمْ يُقْطَعْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا وَإِنْ رَمَى بِهَا فَأَخْرَجَهَا مِنْ الْحِرْزِ قُطِعَ، وَإِنْ كَانُوا ثَلَاثَةً فَحَمَلُوا مَتَاعًا فَأَخْرَجُوهُ مَعًا يَبْلُغُ ثَلَاثَةَ أَرْبَاعِ دِينَارٍ قُطِعُوا وَإِنْ نَقَصَ شَيْئًا لَمْ يُقْطَعُوا وَإِنْ أَخْرَجُوهُ مُتَفَرِّقًا فَمَنْ أَخْرَجَ مَا يُسَاوِي رُبُعَ دِينَارٍ قُطِعَ وَإِنْ لَمْ يَسْوَ رُبُعَ دِينَارٍ لَمْ يُقْطَعْ. وَلَوْ نَقَبُوا مَعًا ثُمَّ أَخْرَجَ بَعْضُهُمْ وَلَمْ يُخْرِجْ بَعْضٌ قُطِعَ الْمُخْرِجُ خَاصَّةً.

 

Dan jika seseorang berbaring di padang pasir dan meletakkan pakaiannya di hadapannya, atau para pedagang meninggalkan barang dagangan mereka di tempat duduk tanpa penjagaan, tidak diikat atau dijaga, atau seseorang melepas untanya untuk merumput atau berjalan di jalan tanpa ikatan, atau bermalam di padang pasir tanpa berbaring di dekatnya, atau mendirikan tenda tetapi tidak berbaring di dalamnya, lalu sesuatu dicuri dari situ, maka pencuri tidak dipotong tangannya, karena masyarakat umum tidak menganggap hal itu sebagai penjagaan. Sedangkan rumah yang terkunci adalah penjagaan bagi isinya. Jika sesuatu dicuri dari dalamnya dengan cara melubangi, membuka pintu, atau mencungkil, maka pencuri dipotong tangannya. Jika rumah itu terbuka, pencuri tidak dipotong. Jika pencuri mengeluarkan barang dari rumah atau kamar ke halaman, dan halaman itu milik korban pencurian sendiri, pencuri tidak dipotong sampai mengeluarkannya dari seluruh halaman, karena halaman itu adalah penjagaan bagi isinya. Jika halaman itu milik bersama dan pencuri mengeluarkan barang dari kamar ke halaman, maka halaman bukan penjagaan bagi penghuninya, sehingga pencuri dipotong tangannya. Jika pencuri mengeluarkan barang curian dan meletakkannya di sebagian lubang, lalu seseorang mengambilnya dari luar, maka keduanya tidak dipotong. Tetapi jika pencuri melemparkannya hingga keluar dari penjagaan, maka ia dipotong. Jika tiga orang bersama-sama membawa barang dan mengeluarkannya secara kolektif senilai tiga perempat dinar, mereka dipotong. Jika kurang dari itu, mereka tidak dipotong. Jika mereka mengeluarkannya secara terpisah, maka siapa yang mengeluarkan senilai seperempat dinar dipotong, dan jika tidak mencapai seperempat dinar tidak dipotong. Jika mereka melubangi bersama, lalu sebagian mengeluarkan dan sebagian tidak, maka hanya yang mengeluarkan saja yang dipotong.

 

وَإِنْ سَرَقَ سَارِقٌ ثَوْبًا فَشَقَّهُ أَوْ شَاةً فَذَبَحَهَا فِي حِرْزِهَا ثُمَّ أَخْرَجَ مَا سَرَقَ فَإِنْ بَلَغَ رُبُعَ دِينَارٍ قُطِعَ وَإِلَّا لَمْ يُقْطَعْ، وَلَوْ كَانَتْ قِيمَةُ مَا سَرَقَ رُبُعَ دِينَارٍ ثُمَّ نَقَصَتْ الْقِيمَةُ فَصَارَتْ أَقَلَّ مِنْ رُبُعِ دِينَارٍ ثُمَّ زَادَتْ الْقِيمَةُ فَإِنَّمَا أَنْظُرُ إلَى الْحَالِ الَّتِي خَرَجَ بِهَا مِنْ الْحِرْزِ وَلَوْ وُهِبَتْ لَهُ لَمْ أَدْرَأْ بِذَلِكَ عَنْهُ الْحَدَّ.

 

 

Dan jika seorang pencuri mencuri pakaian lalu merobeknya, atau mencuri kambing lalu menyembelihnya di tempat penyimpanannya, kemudian mengeluarkan apa yang dicurinya, maka jika nilainya mencapai seperempat dinar, tangannya dipotong. Jika tidak mencapai, maka tidak dipotong. Sekiranya nilai barang curian awalnya seperempat dinar, lalu nilainya berkurang menjadi kurang dari seperempat dinar, kemudian nilainya bertambah lagi, maka yang diperhatikan adalah keadaan saat barang itu dikeluarkan dari tempat penyimpanan. Dan sekalipun barang itu dihibahkan kepadanya, hal itu tidak menghalangi pelaksanaan hukuman had atasnya.

 

وَإِنْ سَرَقَ عَبْدًا صَغِيرًا لَا يَعْقِلُ أَوْ أَعْجَمِيًّا مِنْ حِرْزٍ قُطِعَ وَإِنْ كَانَ يَعْقِلُ لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ سَرَقَ مُصْحَفًا أَوْ سَيْفًا أَوْ شَيْئًا مِمَّا يَحِلُّ ثَمَنُهُ قُطِعَ، وَإِنْ أَعَارَ رَجُلًا بَيْتًا فَكَانَ يُغْلِقُهُ دُونَهُ فَسَرَقَ مِنْهُ رَبُّ الْبَيْتِ قُطِعَ وَيُقْطَعُ الْعَبْدُ آبِقًا وَغَيْرَ آبِقٍ وَيُقْطَعُ النَّبَّاشُ إذَا أَخْرَجَ الْكَفَنَ مِنْ جَمِيعِ الْقَبْرِ؛ لِأَنَّ هَذَا حِرْزُ مِثْلِهِ.

 

 

Dan jika dia mencuri seorang budak kecil yang belum berakal atau seorang asing dari tempat penyimpanan, maka tangannya dipotong. Namun jika budak itu sudah berakal, tangannya tidak dipotong. Jika dia mencuri mushaf, pedang, atau sesuatu yang harganya halal, tangannya dipotong. Jika seseorang meminjamkan rumah kepada orang lain dan pemilik rumah menguncinya, lalu pemilik rumah mencuri dari rumah itu, tangannya dipotong. Budak yang kabur atau tidak kabur juga dipotong tangannya. Penggali kubur yang mengeluarkan kain kafan dari seluruh bagian kubur juga dipotong tangannya, karena ini termasuk pencurian dari tempat penyimpanan yang sejenis.

بَابُ قَطْعِ الْيَدِ وَالرِّجْلِ فِي السَّرِقَةِ

 

Bab tentang Potong Tangan dan Kaki dalam Kasus Pencurian

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا بَعْضُ أَصْحَابِنَا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ فِي السَّارِقِ إنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا يَدَهُ ثُمَّ إنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوا رِجْلَهُ» وَاحْتَجَّ بِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَطَعَ يَدَ السَّارِقِ الْيُسْرَى، وَقَدْ كَانَ أَقْطَعَ الْيَدِ وَالرِّجْلِ.

 

 

Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata: Sebagian sahabat kami mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Abdurrahman, dari Al-Harits bin Abdurrahman, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah – radhiyallahu ‘anhu – bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda tentang pencuri, “Jika dia mencuri, potonglah tangannya. Kemudian jika dia mencuri lagi, potonglah kakinya.” Dan beliau berargumen bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq – radhiyallahu ‘anhu – pernah memotong tangan kiri pencuri, dan pernah juga memotong tangan dan kaki.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا سَرَقَ قُطِعَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى مِنْ مَفْصِلِ الْكَفِّ وَحُسِمَتْ بِالنَّارِ فَإِذَا سَرَقَ الثَّانِيَةَ قُطِعَتْ رِجْلُهُ الْيُسْرَى مِنْ مَفْصِلِ الْكَعْبِ ثُمَّ حُسِمَتْ بِالنَّارِ فَإِذَا سَرَقَ الثَّالِثَةَ قُطِعَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى مِنْ مَفْصِلِ الْكَفِّ ثُمَّ حُسِمَتْ بِالنَّارِ فَإِذَا سَرَقَ الرَّابِعَةَ قُطِعَتْ رِجْلُهُ الْيُمْنَى مِنْ مَفْصِلِ الْكَعْبِ ثُمَّ حُسِمَتْ بِالنَّارِ وَيَقْطَعُ بِأَخَفِّ مُؤْنَةٍ وَأَقْرَبِ سَلَامَةٍ وَإِنْ سَرَقَ الْخَامِسَةَ عُزِّرَ وَحُبِسَ وَلَا يُقْطَعُ الْحَرْبِيُّ إذَا دَخَلَ إلَيْنَا بِأَمَانٍ وَيَضْمَنُ السَّرِقَةَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seseorang mencuri, maka tangan kanannya dipotong dari pergelangan tangan dan dilukai dengan api. Jika ia mencuri untuk kedua kalinya, kaki kirinya dipotong dari pergelangan kaki kemudian dilukai dengan api. Jika ia mencuri untuk ketiga kalinya, tangan kirinya dipotong dari pergelangan tangan kemudian dilukai dengan api. Jika ia mencuri untuk keempat kalinya, kaki kanannya dipotong dari pergelangan kaki kemudian dilukai dengan api. Pemotongan dilakukan dengan cara yang paling ringan dan paling aman. Jika ia mencuri untuk kelima kalinya, ia dihukum dan dipenjara, dan tidak dipotong lagi. Orang kafir harbi yang masuk ke wilayah kami dengan jaminan keamanan tidak dipotong tangannya, tetapi ia wajib mengganti barang curian.”

 

بَابُ الْإِقْرَارِ بِالسَّرِقَةِ وَالشَّهَادَةِ عَلَيْهَا

 

Bab tentang pengakuan pencurian dan kesaksian atasnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَا يُقَامُ عَلَى سَارِقٍ حَدٌّ إلَّا بِأَنْ يَثْبُتَ عَلَى إقْرَارِهِ حَتَّى يُقَامَ عَلَيْهِ الْحَدُّ أَوْ بِعَدْلَيْنِ يَقُولَانِ: إنَّ هَذَا بِعَيْنِهِ سَرَقَ مَتَاعًا لِهَذَا مِنْ حِرْزِهِ بِصِفَاتِهِ يُسَاوِي رُبُعَ دِينَارٍ وَيَحْضُرُ الْمَسْرُوقُ مِنْهُ وَيَدَّعِي شَهَادَتَهُمَا فَإِنْ ادَّعَى أَنَّ هَذَا مَتَاعُهُ غَلَبَهُ عَلَيْهِ وَابْتَاعَهُ مِنْهُ أَوْ أَذِنَ لَهُ فِي أَخْذِهِ لَمْ أَقْطَعْهُ؛ لِأَنِّي أَجْعَلُهُ لَهُ خَصْمًا لَوْ نَكَلَ صَاحِبُهُ أَحَلَفْت الْمَشْهُودَ عَلَيْهِ وَدَفَعْته إلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَحْضُرْ رَبُّ الْمَتَاعِ حُبِسَ السَّارِقُ حَتَّى يَحْضُرَ.

 

 

(Imam Syafi’i – semoga Allah Ta’ala merahmatinya -) berkata: “Tidak dijatuhkan hukuman had atas pencuri kecuali dengan pengakuannya sendiri hingga hukuman had dilaksanakan, atau dengan kesaksian dua orang saksi adil yang menyatakan: ‘Sesungguhnya orang ini secara langsung mencuri barang milik si fulan dari tempat penyimpanannya dengan sifat-sifat yang setara dengan seperempat dinar, dan pemilik barang yang dicuri hadir serta membenarkan kesaksian mereka.’ Jika si tertuduh mengaku bahwa barang itu miliknya, dia merebutnya, atau membelinya darinya, atau diizinkan mengambilnya, maka aku tidak memotong tangannya. Karena aku menjadikannya sebagai pihak yang berhak mengajukan gugatan. Jika penggugat menarik diri, aku akan meminta tertuduh bersumpah dan menyerahkan barang kepadanya. Jika pemilik barang tidak hadir, pencuri ditahan hingga dia hadir.”

 

وَلَوْ شَهِدَ رَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ أَوْ شَاهِدٌ وَيَمِينٌ عَلَى سَرِقَةٍ أَوْجَبْت الْغُرْمَ فِي الْمَالِ وَلَمْ أُوجِبْهُ فِي الْحَدِّ، وَفِي إقْرَارِ الْعَبْدِ بِالسَّرِقَةِ شَيْئَانِ أَحَدُهُمَا لِلَّهِ فِي بَدَنِهِ فَأَقْطَعُهُ وَالْآخَرُ فِي مَالِهِ وَهُوَ لَا يَمْلِكُ مَالًا فَإِذَا أُعْتِقَ وَمَلَكَ أَغْرَمْته.

 

 

Jika seorang laki-laki dan dua perempuan bersaksi, atau satu saksi dan sumpah atas pencurian, aku wajibkan ganti rugi pada harta tetapi tidak pada hudud. Dalam pengakuan budak tentang pencurian, ada dua hal: satu untuk Allah pada tubuhnya maka aku potong tangannya, dan lainnya pada hartanya sedangkan dia tidak memiliki harta. Jika dia dimerdekakan dan memiliki harta, aku akan mewajibkan ganti rugi padanya.

 

بَابُ غُرْمِ السَّارِقِ مَا سَرَقَ

 

Bab tentang pencuri yang wajib mengganti barang curiannya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أُغْرِمُ السَّارِقَ مَا سَرَقَ قُطِعَ أَوْ لَمْ يُقْطَعْ، وَكَذَلِكَ قَاطِعُ الطَّرِيقِ وَالْحَدُّ لِلَّهِ فَلَا يُسْقِطُ حَدُّ اللَّهِ غُرْمَ مَا أَتْلَفَ لِلْعِبَادِ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Pencuri wajib mengganti apa yang dicurinya, baik tangannya dipotong maupun tidak. Demikian pula perampok. Hukuman had adalah hak Allah, sehingga pelaksanaan had tidak menghilangkan kewajiban mengganti kerusakan yang ditimbulkan terhadap hamba.”

 

مَا لَا قَطْعَ فِيهِ مِنْ السَّرِقَة

 

Pencurian yang tidak dikenakan hukum potong tangan

مَا لَا قَطْعَ فِيهِ.

 

Yang tidak ada kepastian di dalamnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا قَطْعَ عَلَى مَنْ سَرَقَ مِنْ غَيْرِ حِرْزٍ وَلَا فِي خِلْسَةٍ وَلَا عَلَى عَبْدٍ سَرَقَ مِنْ مَتَاعِ سَيِّدِهِ وَلَا عَلَى زَوْجٍ سَرَقَ مِنْ مَتَاعِ زَوْجَتِهِ وَلَا عَلَى امْرَأَةٍ سَرَقَتْ مِنْ مَتَاعِ زَوْجِهَا وَلَا عَلَى عَبْدٍ وَاحِدٍ مِنْهُمَا سَرَقَ مِنْ مَتَاعِ صَاحِبِهِ لِلْأَثَرِ وَالشُّبْهَةِ وَلِخُلْطَةِ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِصَاحِبِهِ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْأَوْزَاعِيِّ: إذَا سَرَقَتْ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا الَّذِي لَمْ يَأْتَمِنْهَا عَلَيْهِ وَفِي حِرْزٍ مِنْهَا قُطِعَتْ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا أَقْيَسُ عِنْدِي.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Tidak ada potong tangan bagi orang yang mencuri dari tempat yang tidak terjaga, atau dalam bentuk khilsah (curi sembunyi), tidak pula pada budak yang mencuri harta tuannya, tidak pada suami yang mencuri harta istrinya, tidak pada istri yang mencuri harta suaminya, dan tidak pada salah satu budak dari keduanya yang mencuri harta pasangannya karena adanya bekas (kepemilikan), syubhat, serta percampuran hak antara mereka.” (Dia juga berkata) dalam kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wal Auza’i: “Jika seorang istri mencuri harta suaminya yang tidak dipercayakan padanya dan berada dalam penjagaannya, maka tangan dipotong.” (Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini lebih tepat menurutku.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يُقْطَعْ مَنْ سَرَقَ مِنْ مَالِ وَلَدِهِ وَوَلَدِ وَلَدِهِ أَوْ أَبِيهِ أَوْ أُمِّهِ أَوْ أَجْدَادِهِ مِنْ قِبَلِ أَيِّهِمَا كَانَ وَلَا يُقْطَعُ فِي طُنْبُورٍ وَلَا مِزْمَارٍ وَلَا خَمْرٍ وَلَا خِنْزِيرٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Tidak dipotong tangan orang yang mencuri harta anaknya, cucunya, ayahnya, ibunya, atau kakek-neneknya dari pihak mana pun. Juga tidak dipotong tangan karena mencuri rebana, seruling, khamr, atau babi.”

بَابُ قُطَّاعِ الطَّرِيقِ

 

Bab tentang Perampok Jalanan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قُطَّاعِ الطَّرِيقِ إذَا قَتَلُوا وَأَخَذُوا الْمَالَ قُتِلُوا وَصُلِّبُوا وَإِذَا قَتَلُوا وَلَمْ يَأْخُذُوا الْمَالَ قُتِلُوا وَلَمْ يُصَلَّبُوا وَإِذَا أَخَذُوا الْمَالَ وَلَمْ يَقْتُلُوا قُطِعَتْ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ وَنَفْيُهُمْ إذَا هَرَبُوا أَنْ يُطْلَبُوا حَتَّى يُؤْخَذُوا فَيُقَامَ عَلَيْهِمْ الْحَدُّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) : Dari Ibnu Abbas mengenai perampok jalanan: Jika mereka membunuh dan mengambil harta, mereka dibunuh dan disalib. Jika mereka membunuh tetapi tidak mengambil harta, mereka dibunuh tanpa disalib. Jika mereka mengambil harta tetapi tidak membunuh, tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang. Jika mereka melarikan diri, mereka harus dikejar hingga tertangkap, lalu hukuman had dilaksanakan atas mereka.

(Asy-Syafi’i berkata): “Inilah pendapatku. Para perampok adalah mereka yang menghadang orang dengan senjata hingga merampas harta di padang pasir secara terang-terangan. Menurutku, jika mereka melakukan hal yang sama di kota, meski dosanya tidak lebih besar, hukumannya tetap sama. Tidak ada yang dipotong tangannya kecuali yang mengambil seperempat dinar atau lebih, sebagai qiyas berdasarkan sunnah dalam kasus pencurian. Setiap orang dihukum sesuai perbuatannya. Bagi yang wajib dibunuh dan disalib, ia dibunuh sebelum disalib untuk menghindari penyiksaan. Dalam kitab pembunuhan sengaja, ia disalib selama tiga hari kemudian dibiarkan.”

 

(قَالَ) : وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَتْلُ دُونَ الصَّلْبِ قُتِلَ وَدُفِعَ إلَى أَهْلِهِ يُكَفِّنُونَهُ وَمَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَطْعُ دُونَ الْقَتْلِ قُطِعَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى ثُمَّ حُسِمَتْ بِالنَّارِ ثُمَّ رِجْلُهُ الْيُسْرَى ثُمَّ حُسِمَتْ فِي مَكَان وَاحِدٍ ثُمَّ خُلِّيَ، وَمَنْ حَضَرَ مِنْهُمْ وَكَثُرَ أَوْ هِيبَ أَوْ كَانَ رِدْءًا عُزِّرَ وَحُبِسَ، وَمَنْ قَتَلَ وَجَرَحَ أُقِصَّ لِصَاحِبِ الْجُرْحِ ثُمَّ قُطِعَ لَا يَمْنَعُ حَقُّ اللَّهِ حَقَّ الْآدَمِيِّينَ فِي الْجِرَاحِ وَغَيْرِهَا، وَمَنْ عَفَا الْجِرْاحَ كَانَ لَهُ وَمَنْ عَفَا النَّفْسَ لَمْ يُحْقَنْ بِذَلِكَ دَمُهُ وَكَانَ عَلَى الْإِمَامِ قَتْلُهُ إذَا بَلَغَتْ جِنَايَتُهُ الْقَتْلَ وَمَنْ تَابَ مِنْهُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْدَرَ عَلَيْهِ سَقَطَ عَنْهُ الْحَدُّ وَلَا تَسْقُطُ حُقُوقُ الْآدَمِيِّينَ وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَسْقُطَ كُلُّ حَقٍّ لِلَّهِ بِالتَّوْبَةِ، وَقَالَ فِي كِتَابِ الْحُدُودِ وَبِهِ أَقُولُ.

 

 

Beliau berkata: “Barangsiapa yang wajib atasnya hukuman mati tanpa penyaliban, maka dia dibunuh dan diserahkan kepada keluarganya untuk dikafani. Barangsiapa yang wajib atasnya potong tangan tanpa hukuman mati, maka tangan kanannya dipotong lalu dibakar dengan api, kemudian kaki kirinya dipotong dan dibakar di tempat yang sama, lalu dibiarkan. Barangsiapa di antara mereka yang hadir (dalam kelompok perusak) dan jumlahnya banyak atau ditakuti atau sebagai pendukung, maka dia dihukum ta‘zir dan dipenjara. Barangsiapa yang membunuh dan melukai, maka diqisas untuk korban luka, kemudian dipotong tangannya. Hak Allah tidak menghalangi hak manusia dalam masalah luka-luka maupun lainnya. Barangsiapa yang memaafkan luka, maka itu haknya. Barangsiapa yang memaafkan nyawa, darahnya tidak menjadi halal dengan itu, dan menjadi kewajiban imam untuk membunuhnya jika kejahatannya mencapai hukuman mati. Barangsiapa yang bertaubat dari mereka sebelum ditangkap, maka hudud gugur darinya, tetapi hak-hak manusia tidak gugur. Ada kemungkinan semua hak Allah gugur dengan taubat.” Dia juga berkata dalam kitab Al-Hudud, dan itu yang aku pegang.

 

(قَالَ) : وَلَوْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مِنْ الرُّفْقَةِ أَنَّ هَؤُلَاءِ عَرَضُوا لَنَا فَنَالُونَا وَأَخَذُوا مَتَاعَنَا لَمْ تَجُزْ شَهَادَتُهُمَا؛ لِأَنَّهُمَا خَصْمَانِ وَيَسَعُهُمَا أَنْ يَشْهَدَا أَنَّ هَؤُلَاءِ عَرَضُوا لِهَؤُلَاءِ فَفَعَلُوا بِهِمْ كَذَا وَكَذَا وَأَخَذُوا مِنْهُمْ كَذَا وَكَذَا وَنَحْنُ نَنْظُرُ وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يَكْشِفَهُمَا عَنْ غَيْرِ ذَلِكَ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dua saksi dari rombongan bersaksi bahwa kelompok ini menghadang kami, menyakiti kami, dan merampas harta kami, kesaksian mereka tidak boleh diterima karena mereka adalah pihak yang bersengketa. Mereka hanya boleh bersaksi bahwa kelompok ini menghadang kelompok lain, melakukan perbuatan tertentu terhadap mereka, merampas harta tertentu dari mereka, sedangkan kami menyaksikan. Imam (penguasa) tidak berhak memaksa mereka mengungkap lebih dari itu.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا اجْتَمَعَتْ عَلَى رَجُلٍ حُدُودٌ وَقَذْفٌ بُدِئَ بِحَدِّ الْقَذْفِ ثَمَانِينَ جَلْدَةً ثُمَّ حُبِسَ فَإِذَا بَرَأَ حُدَّ فِي الزِّنَا مِائَةَ جَلْدَةٍ فَإِذَا بَرَأَ قُطِعَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى وَرِجْلُهُ الْيُسْرَى مِنْ خِلَافٍ لِقَطْعِ الطَّرِيقِ، وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُمْنَى لِلسَّرِقَةِ وَقَطْعِ الطَّرِيقِ مَعًا وَرِجْلُهُ لِقَطْعِ الطَّرِيقِ مَعَ يَدِهِ ثُمَّ قُتِلَ قَوَدًا، فَإِنْ مَاتَ فِي الْحَدِّ الْأَوَّلِ سَقَطَتْ عَنْهُ الْحُدُودُ كُلُّهَا وَفِي مَالِهِ دِيَةُ النَّفْسِ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seorang lelaki dikenai beberapa hukuman had dan qadzf (menuduh zina), maka dimulai dengan had qadzf sebanyak 80 cambukan, lalu dipenjara. Jika ia sembuh, dihukum had zina 100 cambukan. Jika sembuh lagi, dipotong tangan kanan dan kaki kirinya secara bersilang karena merampok, di mana tangan kanannya untuk pencurian dan perampokan sekaligus, sedangkan kakinya untuk perampokan bersamaan dengan tangannya. Kemudian ia dibunuh sebagai qishash. Jika ia mati dalam hukuman pertama, gugurlah semua hukuman had atasnya, dan pada hartanya dibayarkan diyat nyawa.”

 

بَابُ الْأَشْرِبَةِ وَالْحَدِّ فِيهَا

 

Bab tentang Minuman dan Batasannya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ وَفِيهِ الْحَدُّ قِيَاسًا عَلَى الْخَمْرِ وَلَا يُحَدُّ إلَّا بِأَنْ يَقُولَ: شَرِبْت الْخَمْرَ أَوْ يُشْهَدَ عَلَيْهِ بِهِ أَوْ يَقُولَ: شَرِبْت مَا يُسْكِرُ أَوْ يَشْرَبَ مِنْ إنَاءٍ هُوَ وَنَفَرٌ فَيَسْكَرَ بَعْضُهُمْ فَيَدُلُّ عَلَى أَنَّ الشَّرَابَ مُسْكِرٌ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: لَا أُوتِيَ بِأَحَدٍ شَرِبَ خَمْرًا أَوْ نَبِيذًا مُسْكِرًا إلَّا جَلَدْته الْحَدَّ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Setiap minuman yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun haram dan dikenakan hukuman had, berdasarkan qiyas terhadap khamr. Hukuman had tidak dijatuhkan kecuali jika seseorang mengaku, ‘Aku minum khamr,’ atau ada saksi yang menyaksikannya, atau ia berkata, ‘Aku minum sesuatu yang memabukkan,’ atau ia minum dari wadah bersama sekelompok orang lalu sebagian mereka mabuk, sehingga menunjukkan bahwa minuman tersebut memabukkan.” Beliau berargumen dengan perkataan Ali bin Abi Thalib: “Tidaklah seseorang dibawa kepadaku karena minum khamr atau nabidz yang memabukkan, kecuali aku cambuk ia dengan hukuman had.”

 

بَابُ عَدَدِ حَدِّ الْخَمْرِ وَمَنْ يَمُوتُ مِنْ ضَرْبِ الْإِمَامِ وَخَطَأِ السُّلْطَانِ

 

Bab tentang jumlah hukuman bagi peminum khamr dan orang yang meninggal karena pukulan imam atau kesalahan penguasa

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَزْهَرَ قَالَ: «أُتِيَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِشَارِبٍ فَقَالَ اضْرِبُوهُ فَضَرَبُوهُ بِالْأَيْدِي وَالنِّعَالِ وَأَطْرَافِ الثِّيَابِ وَحَثَوْا عَلَيْهِ التُّرَابَ ثُمَّ قَالَ نَكِّبُوهُ فَنَكَّبُوهُ ثُمَّ أَرْسَلَهُ» قَالَ: فَلَمَّا كَانَ أَبُو بَكْرٍ سَأَلَ مَنْ حَضَرَ ذَلِكَ الضَّرْبَ فَقَوَّمَهُ أَرْبَعِينَ فَضَرَبَ أَبُو بَكْرٍ فِي الْخَمْرِ أَرْبَعِينَ حَيَاتَهُ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فِي الْخَمْرِ فَاسْتَشَارَ فَضَرَبَ ثَمَانِينَ وَرُوِيَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – اسْتَشَارَ فَقَالَ عَلِيٌّ نَرَى أَنْ يُجْلَدَ ثَمَانِينَ؛ لِأَنَّهُ إذَا شَرِبَ سَكِرَ وَإِذَا سَكِرَ هَذَى وَإِذَا هَذَى افْتَرَى أَوْ كَمَا قَالَ؛ فَجَلَدَهُ عُمَرُ ثَمَانِينَ فِي الْخَمْرِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – mengabarkan kepada kami dari seorang yang terpercaya, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Abdurrahman bin Azhar, ia berkata: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – didatangkan seorang peminum khamr, lalu beliau bersabda: ‘Pukullah dia!’ Maka mereka memukulnya dengan tangan, sandal, ujung-ujung pakaian, dan melemparkan tanah kepadanya. Kemudian beliau bersabda: ‘Palingkanlah dia!’ Lalu mereka memalingkannya, setelah itu beliau melepaskannya.”

 

Dikatakan: Ketika masa Abu Bakar, ia bertanya kepada orang yang hadir saat pemukulan tersebut, lalu menetapkannya sebanyak empat puluh kali. Maka Abu Bakar menghukum peminum khamr dengan empat puluh kali cambuk selama hidupnya. Kemudian Umar (melanjutkannya), lalu orang-orang mengikuti hukuman untuk khamr. Umar kemudian bermusyawarah dan menetapkan hukuman delapan puluh kali.

 

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – bermusyawarah, lalu Ali berkata: “Kami berpendapat agar dia dicambuk delapan puluh kali, karena jika seseorang minum khamr, ia akan mabuk. Jika mabuk, ia akan mengigau. Jika mengigau, ia akan membuat kedustaan.” Atau sebagaimana yang ia katakan. Maka Umar mencambuknya delapan puluh kali untuk kasus khamr.

 

وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ قَالَ: لَيْسَ أَحَدٌ نُقِيمُ عَلَيْهِ حَدًّا فَيَمُوتُ فَأَجِدُ فِي نَفْسِي شَيْئًا الْحَقُّ قَتَلَهُ إلَّا حَدَّ الْخَمْرِ فَإِنَّهُ شَيْءٌ رَأَيْنَاهُ بَعْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَمَنْ مَاتَ مِنْهُ فَدَيْته، إمَّا قَالَ فِي بَيْتِ الْمَالِ وَإِمَّا قَالَ عَلَى عَاقِلَةِ الْإِمَامِ ” الشَّكُّ مِنْ الشَّافِعِيِّ “.

 

 

Diriwayatkan dari Ali – radhiyallahu ‘anhu – bahwa ia berkata: “Tidak ada seorang pun yang kami jatuhkan hukuman had atasnya lalu ia meninggal, sehingga aku merasa tidak tenang karena kebenaran telah membunuhnya, kecuali dalam hukuman had karena minum khamr. Sesungguhnya itu adalah sesuatu yang kami lihat setelah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka barangsiapa meninggal karenanya, diyatnya dibayar, mungkin dia (perawi) berkata dari baitul mal atau mungkin dia berkata dari keluarga imam.” (Keraguan ini berasal dari Asy-Syafi’i).

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا ضَرَبَ الْإِمَامُ فِي خَمْرٍ أَوْ مَا يُسْكِرُ مِنْ شَرَابٍ بِنَعْلَيْنِ أَوْ طَرَفِ ثَوْبٍ أَوْ رِدَاءٍ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ ضَرْبًا يُحِيطُ الْعِلْمُ أَنَّهُ لَمْ يُجَاوِزْ أَرْبَعِينَ فَمَاتَ مِنْ ذَلِكَ فَالْحَقُّ قَتَلَهُ، وَإِنْ ضَرَبَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ بِالنِّعَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَمَاتَ فَدِيَتُهُ عَلَى عَاقِلَةِ الْإِمَامِ دُونَ بَيْتِ الْمَالِ؛ لِأَنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إلَى امْرَأَةٍ فَفَزِعَتْ فَأَجْهَضَتْ ذَا بَطْنَهَا فَاسْتَشَارَ عَلِيًّا فَأَشَارَ عَلَيْهِ أَنْ يَدِيَهُ فَأَمَرَ عُمَرُ عَلِيًّا فَقَالَ عُمَرُ؛ عَزَمْت عَلَيْك لَتَقْسِمَنَّهَا عَلَى قَوْمِك.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang pemimpin menghukum seseorang karena minum khamar atau minuman memabukkan lainnya dengan dua sandal, ujung kain, selendang, atau sejenisnya, dengan pukulan yang diketahui tidak melebihi empat puluh kali, lalu orang itu meninggal karenanya, maka pemimpin itu wajib dihukum qisas. Namun jika pukulan itu lebih dari empat puluh kali, baik dengan sandal atau lainnya, lalu orang itu meninggal, maka diyatnya dibebankan kepada keluarga pemimpin, bukan dari baitul mal. Karena dahulu Umar mengutus seseorang kepada seorang wanita, lalu wanita itu ketakutan hingga keguguran. Umar kemudian meminta pendapat Ali, dan Ali menyarankan agar membayar diyat. Lalu Umar memerintahkan Ali, dan Umar berkata, “Aku memerintahkanmu untuk membagi diyat itu kepada kaummu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا غَلَطٌ فِي قَوْلِهِ: إذَا ضَرَبَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ فَمَاتَ فَلَمْ يَمُتْ مِنْ الزِّيَادَةِ وَحْدَهَا وَإِنَّمَا مَاتَ مِنْ الْأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا فَكَيْفَ تَكُونُ الدِّيَةُ عَلَى الْإِمَامِ كُلُّهَا وَإِنَّمَا مَاتَ الْمَضْرُوبُ مِنْ مُبَاحٍ وَغَيْرِ مُبَاحٍ، أَلَا تَرَى أَنَّ الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: لَوْ ضَرَبَ الْإِمَامُ رَجُلًا فِي الْقَذْفِ إحْدَى وَثَمَانِينَ فَمَاتَ إنَّ فِيهَا قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِ نِصْفَ الدِّيَةِ. وَالْآخَرُ: أَنَّ عَلَيْهِ جُزْءًا مِنْ أَحَدٍ وَثَمَانِينَ جُزْءًا مِنْ الدِّيَةِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Ini adalah kesalahan dalam ucapannya: Jika seseorang dipukul lebih dari empat puluh kali lalu meninggal, ia tidak meninggal karena tambahan pukulan saja, melainkan karena empat puluh pukulan dan lainnya. Jadi, bagaimana mungkin diyat seluruhnya menjadi tanggungan imam? Padahal yang dipukul meninggal karena pukulan yang dibolehkan dan yang tidak. Tidakkah engkau melihat bahwa Asy-Syafi’i berkata: Seandainya imam memukul seseorang karena tuduhan zina delapan puluh satu kali lalu meninggal, dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, ia wajib membayar setengah diyat. Kedua, ia wajib membayar satu bagian dari delapan puluh satu bagian diyat.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَقُولُ: لَوْ جَرَحَ رَجُلًا جُرْحًا فَخَاطَهُ الْمَجْرُوحُ فَمَاتَ فَإِنْ كَانَ خَاطَهُ فِي لَحْمٍ حَيٍّ فَعَلَى الْجَارِحِ نِصْفُ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ جُرْحِهِ وَالْجُرْحِ الَّذِي أَحْدَثَهُ فِي نَفْسِهِ – فَكُلُّ هَذَا يَدُلُّك إذَا مَاتَ الْمَضْرُوبُ مِنْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ فَمَاتَ أَنَّهُ بِهِمَا مَاتَ فَلَا تَكُونُ الدِّيَةُ كُلُّهَا عَلَى الْإِمَامِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقْتُلْهُ بِالزِّيَادَةِ وَحْدَهَا حَتَّى كَانَ مَعَهَا مُبَاحٌ، أَلَا تَرَى أَنَّهُ يَقُولُ فِيمَنْ جَرَحَ مُرْتَدًّا ثُمَّ أَسْلَمَ ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا آخَرَ فَمَاتَ أَنَّ عَلَيْهِ نِصْفَ الدِّيَةِ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ مِنْ مُبَاحٍ وَغَيْرِ مُبَاحٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Tidakkah engkau melihat bahwa ia berkata: Jika seseorang melukai orang lain, lalu yang terluka menjahit lukanya sendiri kemudian meninggal, maka jika ia menjahitnya pada daging yang masih hidup, pelaku luka wajib membayar setengah diyat; karena kematiannya disebabkan oleh lukanya sendiri dan luka yang ia buat pada dirinya. Semua ini menunjukkan bahwa jika yang dipukul meninggal setelah lebih dari empat puluh hari, maka kematiannya disebabkan oleh keduanya, sehingga diyat tidak seluruhnya dibebankan kepada imam; karena ia tidak membunuhnya hanya dengan tambahan (luka) saja hingga ada unsur yang diperbolehkan bersamanya. Tidakkah engkau melihat bahwa ia juga berkata tentang seseorang yang melukai seorang murtad, lalu ia masuk Islam, kemudian terluka lagi dan meninggal, maka wajib atasnya setengah diyat; karena ia meninggal akibat sebab yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَكَذَلِكَ إنْ مَاتَ الْمَضْرُوبُ بِأَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ مِنْ مُبَاحٍ وَغَيْرِ مُبَاحٍ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Demikian pula jika orang yang dipukul meninggal karena pukulan lebih dari empat puluh, baik yang diperbolehkan maupun yang tidak diperbolehkan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ ضَرَبَ امْرَأَةً حَدًّا فَأُجْهِضَتْ لَمْ يَضْمَنْهَا وَضَمِنَ مَا فِي بَطْنِهَا؛ لِأَنَّهُ قَتَلَهُ وَلَوْ حَدَّهُ بِشَهَادَةِ عَبْدَيْنِ أَوْ غَيْرِ عَدْلَيْنِ فِي أَنْفُسِهِمَا فَمَاتَ ضَمِنَتْهُ عَاقِلَتُهُ؛ لِأَنَّ كُلَّ هَذَا خَطَأٌ مِنْهُ فِي الْحُكْمِ وَلَيْسَ عَلَى الْجَانِي شَيْءٌ. وَلَوْ قَالَ الْإِمَامُ لِلْجَالِدِ: إنَّمَا أَضْرِبُ هَذَا ظُلْمًا ضَمِنَ الْجَالِدُ وَالْإِمَامُ مَعًا، وَلَوْ قَالَ الْجَالِدُ: قَدْ ضَرَبْتُهُ وَأَنَا أَرَى الْإِمَامَ مُخْطِئًا وَعَلِمْت أَنَّ ذَلِكَ رَأْيُ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ ضَمِنَ إلَّا مَا غَابَ عَنْهُ بِسَبَبِ ضَرْبِهِ، وَلَوْ قَالَ: اضْرِبْهُ ثَمَانِينَ فَزَادَ سَوْطًا فَمَاتَ فَلَا يَجُوزُ فِيهِ إلَّا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِمَا نِصْفَيْنِ، كَمَا لَوْ جَنَى رَجُلَانِ عَلَيْهِ أَحَدُهُمَا بِضَرْبَةٍ وَالْآخَرُ بِثَمَانِينَ ضَمِنَا الدِّيَةَ نِصْفَيْنِ أَوْ سَهْمًا مِنْ وَاحِدٍ وَثَمَانِينَ سَهْمًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang memukul seorang wanita sebagai hukuman had lalu menyebabkan keguguran, ia tidak menanggung (denda) untuk wanita tersebut tetapi menanggung (denda) untuk janin dalam kandungannya, karena ia telah membunuhnya. Jika ia menghukum had berdasarkan kesaksian dua budak atau dua orang yang tidak adil terhadap diri mereka sendiri lalu yang dihukum mati, maka keluarganya (aqilah) yang menanggung (denda), karena semua ini merupakan kesalahan dalam hukum dan pelaku tidak menanggung apa-apa. Jika pemimpin (imam) berkata kepada algojo: “Aku memukul orang ini secara zalim,” maka algojo dan pemimpin bersama-sama menanggung (denda). Jika algojo berkata: “Aku telah memukulnya sementara aku melihat pemimpin dalam kesalahan dan aku tahu bahwa itu adalah pendapat sebagian fuqaha,” maka ia menanggung (denda) kecuali apa yang luput darinya akibat pukulannya. Jika pemimpin berkata: “Pukullah dia delapan puluh kali,” lalu algojo menambah satu cambukan dan yang dihukum mati, maka dalam hal ini hanya ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa keduanya menanggung setengah-setengah, seperti jika dua orang melakukan kejahatan terhadap seseorang, satu orang dengan satu pukulan dan yang lain dengan delapan puluh pukulan, maka keduanya menanggung diyat setengah-setengah atau satu bagian dari delapan puluh satu bagian.

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا خَافَ رَجُلٌ نُشُوزَ امْرَأَتِهِ فَضَرَبَهَا فَمَاتَتْ فَالْعَقْلُ عَلَى الْعَاقِلَةِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ إبَاحَةٌ وَلَيْسَ بِفَرْضٍ وَلَوْ عَزَّرَ الْإِمَامُ رَجُلًا فَمَاتَ فَالدِّيَةُ عَلَى عَاقِلَتِهِ وَالْكَفَّارَةُ فِي مَالِهِ.

 

 

(Dia berkata): “Jika seorang laki-laki khawatir akan pembangkangan istrinya lalu memukulnya hingga meninggal, maka diyat (denda) dibebankan kepada ‘aqilah (keluarga pihak laki-laki); karena hal itu adalah kebolehan bukan kewajiban. Dan jika seorang imam menghukum seseorang lalu orang itu meninggal, maka diyat dibebankan kepada ‘aqilah-nya dan kafarat (tebusan) diambil dari hartanya.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَتْ بِرَجُلٍ سِلْعَةٌ فَأَمَرَ السُّلْطَانُ بِقَطْعِهَا أَوْ أَكَلَةٌ فَأَمَرَ بِقَطْعِ عُضْوٍ مِنْهُ فَمَاتَ فَعَلَى السُّلْطَانِ الْقَوَدُ فِي الْمُكْرَهِ وَقَدْ قِيلَ: عَلَيْهِ الْقَوَدُ فِي الَّذِي لَا يَقْتُلُ، وَقِيلَ: لَا قَوَدَ عَلَيْهِ فِي الَّذِي لَا يَقْتُلُ وَعَلَيْهِ الدِّيَةُ فِي مَالِهِ، وَأَمَّا غَيْرُ السُّلْطَانِ يَفْعَلُ هَذَا فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ. وَلَوْ كَانَ رَجُلٌ أَغْلَفُ أَوْ امْرَأَةٌ لَمْ تَخْفِضْ فَأَمَرَ السُّلْطَانُ فَعُزِّرَا فَمَاتَا لَمْ يَضْمَنْ السُّلْطَانُ؛ لِأَنَّهُ كَانَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَفْعَلَا إلَّا أَنْ يُعَزِّرَهُمَا فِي حَرٍّ شَدِيدٍ أَوْ بَرْدٍ مُفْرِطٍ الْأَغْلَبُ أَنَّهُ لَا يَسْلَمُ مِنْ عُذْرٍ فِي مِثْلِهِ فَيَضْمَنُ عَاقِلَتُهُ الدِّيَةَ.

 

 

(Dia berkata): Jika seseorang memiliki tumor lalu penguasa memerintahkan untuk memotongnya, atau ada luka lalu penguasa memerintahkan untuk memotong salah satu anggota tubuhnya kemudian ia meninggal, maka penguasa wajib diqishas dalam kasus pemaksaan. Ada yang berpendapat: penguasa wajib diqishas untuk tindakan yang tidak membunuh, dan ada yang berpendapat: tidak ada qishas baginya untuk tindakan yang tidak membunuh, tetapi dia wajib membayar diyat dari hartanya. Adapun jika selain penguasa melakukan hal ini, maka dia wajib diqishas. Jika ada seorang laki-laki yang belum dikhitan atau perempuan yang belum disunat lalu penguasa memerintahkan untuk memberikan hukuman ta’zir kemudian mereka meninggal, penguasa tidak menanggung; karena seharusnya mereka melakukannya, kecuali jika hukuman ta’zir diberikan dalam panas yang sangat atau dingin yang berlebihan—kemungkinan besar tidak lepas dari uzur dalam hal seperti ini, maka keluarganya wajib membayar diyat.

بَابُ صِفَةِ السَّوْطِ

 

Bab tentang Sifat Cambuk

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – يُضْرَبُ الْمَحْدُودُ بِسَوْطٍ بَيْنَ السَّوْطَيْنِ لَا جَدِيدٍ وَلَا خَلِقٍ وَيُضْرَبُ الرَّجُلُ فِي الْحَدِّ وَالتَّعْزِيرِ قَائِمًا وَتُتْرَكُ لَهُ يَدُهُ يَتَّقِي بِهَا وَلَا يُرْبَطُ، وَالْمَرْأَةُ جَالِسَةً وَتُضَمُّ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا وَتُرْبَطُ لِئَلَّا تَنْكَشِفَ وَيَلِي ذَلِكَ مِنْهَا امْرَأَةٌ وَلَا يَبْلُغُ فِي الْحَدِّ أَنْ يُنْهَرَ الدَّمُ؛ لِأَنَّهُ سَبَبُ التَّلَفِ وَإِنَّمَا يُرَادُ بِالْحَدِّ النَّكَالُ أَوْ الْكَفَّارَةُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Orang yang dihukum cambuk dipukul dengan cambuk yang pertengahan, tidak terlalu baru maupun terlalu usang. Laki-laki dipukul dalam hukuman had dan ta’zir dalam keadaan berdiri, dan tangannya dibiarkan bebas untuk melindungi diri tanpa diikat. Sedangkan perempuan dalam keadaan duduk, pakaiannya dirapatkan dan diikat agar tidak terbuka, dan yang melaksanakan cambukan adalah perempuan. Dalam hukuman had, tidak boleh sampai mengalirkan darah karena itu bisa menyebabkan kematian. Hukuman had dimaksudkan sebagai pelajaran atau penebus dosa.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَيَتَّقِي الْجَلَّادُ الْوَجْهَ وَالْفَرْجَ وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan algojo menghindari (memukul) wajah dan kemaluan.” Hal itu juga diriwayatkan dari Ali – radhiyallahu ‘anhu -.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يُبْلَغُ بِعُقُوبَةٍ أَرْبَعِينَ تَقْصِيرًا عَنْ مُسَاوَاةِ عُقُوبَةِ اللَّهِ تَعَالَى فِي حُدُودِهِ وَلَا تُقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Tidaklah hukuman empat puluh itu mencapai kesetaraan dengan hukuman Allah Ta’ala dalam batasan-batasan-Nya, dan hudud tidak dilaksanakan di masjid-masjid.”

 

 

بَابُ قِتَالِ أَهْلِ الرِّدَّةِ وَمَا أُصِيبَ فِي أَيْدِيهِمْ مِنْ مَتَاعِ الْمُسْلِمِينَ

 

 

Pembahasan tentang memerangi orang-orang murtad dan harta kaum muslimin yang berada di tangan mereka

 

مِنْ كِتَابِ قَتْلِ الْخَطَأِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا أَسْلَمَ الْقَوْمُ ثُمَّ ارْتَدُّوا عَنْ الْإِسْلَامِ إلَى أَيِّ كُفْرٍ كَانَ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ أَوْ دَارِ الْحَرْبِ وَهُمْ مَقْهُورُونَ أَوْ قَاهِرُونَ فِي مَوْضِعِهِمْ الَّذِي ارْتَدُّوا فِيهِ، فَعَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَبْدَءُوا بِجِهَادِهِمْ قَبْلَ جِهَادِ أَهْلِ الْحَرْبِ الَّذِينَ لَمْ يُسْلِمُوا قَطُّ فَإِذَا ظَفِرُوا بِهِمْ اسْتَتَابُوهُمْ فَمَنْ تَابَ حُقِنَ دَمُهُ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ قُتِلَ بِالرِّدَّةِ، وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَمَا أَصَابَ أَهْلُ الرِّدَّةِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فِي حَالِ الرِّدَّةِ وَبَعْدَ إظْهَارِ التَّوْبَةِ فِي قِتَالٍ وَهُمْ مُمْتَنِعُونَ أَوْ غَيْرِ قِتَالٍ أَوْ عَلَى نَائِرَةٍ أَوْ غَيْرِهَا سَوَاءٌ وَالْحُكْمُ عَلَيْهِمْ كَالْحُكْمِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ لَا يَخْتَلِفُ فِي الْقَوَدِ وَالْعَقْلِ وَضَمَانِ مَا يُصِيبُونَ.

 

 

Dari Kitab Pembunuhan Tidak Disengaja (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika suatu kaum masuk Islam kemudian murtad dari Islam kepada kekafiran apa pun, baik di Darul Islam maupun Darul Harb, baik mereka dalam keadaan tertindas atau menguasai di tempat mereka murtad, maka kaum Muslim wajib memulai jihad melawan mereka sebelum memerangi ahli harb yang sama sekali belum masuk Islam. Jika kaum Muslim berhasil mengalahkan mereka, mereka harus diminta bertobat. Siapa yang bertobat, darahnya dilindungi. Siapa yang tidak bertobat, dibunuh karena kemurtadannya. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan sama. Apa yang dilakukan ahli riddah terhadap kaum Muslim, baik saat masih murtad maupun setelah menunjukkan tobat, baik dalam peperangan saat mereka melawan atau di luar peperangan, atau karena suatu sebab tertentu, semuanya sama. Hukum terhadap mereka seperti hukum terhadap kaum Muslim, tidak berbeda dalam qishash, diyat, dan tanggungan atas kerusakan yang mereka timbulkan.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ فِي بَابِ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ.

 

(Al-Muzani berkata) Ini bertentangan dengan ucapannya dalam bab memerangi pemberontak.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ قِيلَ: فَمَا صَنَعَ أَبُو بَكْرٍ فِي أَهْلِ الرِّدَّةِ؟ قِيلَ قَالَ لِقَوْمٍ جَاءُوهُ تَائِبِينَ تَدُونُ قَتْلَانَا وَلَا نَدِي قَتْلَاكُمْ فَقَالَ عُمَرُ: لَا نَأْخُذُ لِقَتْلَانَا دِيَةً، فَإِنْ قِيلَ: فَمَا قَوْلُهُ: تَدُونُ؟ قِيلَ: إنْ كَانُوا يُصِيبُونَ غَيْرَ مُتَعَمِّدِينَ وَدَوْا وَإِذَا ضَمِنُوا الدِّيَةَ فِي قَتْلِ غَيْرِ عَمْدٍ كَانَ عَلَيْهِمْ الْقِصَاصُ فِي قَتْلِهِمْ مُتَعَمِّدِينَ وَهَذَا خِلَافُ حُكْمِ أَهْلِ الْحَرْبِ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فَإِنْ قِيلَ: فَلَا نَعْلَمُ مِنْهُمْ أَحَدًا أُقِيدَ بِأَحَدٍ قِيلَ: وَلَا يَثْبُتُ عَلَيْهِ قَتْلُ أَحَدٍ بِشَهَادَةٍ وَلَوْ ثَبَتَ لَمْ نَعْلَمْ حَاكِمًا أَبْطَلَ لِوَلِيٍّ دَمًا طَلَبَهُ وَالرِّدَّةُ لَا تَدْفَعُ عَنْهُمْ قَوَدًا وَلَا عَقْلًا وَلَا تَزِيدُهُمْ خَيْرًا إنْ لَمْ تَزِيدْهُمْ شَرًّا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang bertanya, “Apa yang dilakukan Abu Bakar terhadap kaum murtad?” Dijawab, “Beliau berkata kepada suatu kaum yang datang kepadanya dalam keadaan bertobat, ‘Kalian membayar diyat untuk korban kami, sedangkan kami tidak membayar diyat untuk korban kalian.’ Lalu Umar berkata, ‘Kami tidak mengambil diyat untuk korban kami.'” Jika ditanya, “Apa maksud perkataan ‘membayar diyat’?” Dijawab, “Jika mereka membunuh tanpa sengaja, mereka wajib membayar diyat. Namun jika mereka membayar diyat untuk pembunuhan tidak sengaja, maka mereka tetap terkena qisas jika membunuh dengan sengaja. Ini berbeda dengan hukum ahli perang menurut Abu Bakar ash-Shiddiq—semoga Allah meridhainya.” Jika ditanya, “Kami tidak mengetahui ada di antara mereka yang diqisas,” dijawab, “Tidak ada bukti kuat bahwa mereka membunuh seseorang berdasarkan kesaksian. Sekalipun ada, kami tidak mengetahui ada hakim yang menolak permintaan qisas dari wali darah. Kemurtadan tidak menghalangi qisas atau diyat dari mereka, dan tidak menambah kebaikan bagi mereka, bahkan mungkin menambah keburukan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا عِنْدِي أَقْيَسُ مِنْ قَوْلِهِ فِي كِتَابِ قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ يُطْرَحُ ذَلِكَ كُلُّهُ؛ لِأَنَّ حُكْمَ أَهْلِ الرِّدَّةِ أَنْ نَرُدَّهُمْ إلَى حُكْمِ الْإِسْلَامِ وَلَا يُرَقُّونَ وَلَا يُغْنَمُونَ كَأَهْلِ الْحَرْبِ فَكَذَلِكَ يُقَادُ مِنْهُمْ وَيَضْمَنُونَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Menurutku ini lebih tepat dibandingkan pendapatnya dalam kitab tentang memerangi pemberontak, yang menolak semua itu. Sebab hukum bagi orang murtad adalah kita kembalikan mereka kepada hukum Islam, mereka tidak dijadikan budak, tidak pula dirampas hartanya seperti musuh perang. Demikian pula, qisas diambil dari mereka dan mereka bertanggung jawab.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan jika ada saksi yang jelas bahwa seorang murtad telah menampakkan perkataan iman, kemudian ada orang yang membunuhnya baik ia mengetahui taubatnya atau tidak, maka ia wajib diqishash.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا قَامَتْ لِمُرْتَدٍّ بَيِّنَةٌ أَنَّهُ أَظْهَرَ الْقَوْلَ بِالْإِيمَانِ ثُمَّ قَتَلَهُ رَجُلٌ يَعْلَمُ تَوْبَتَهُ أَوْ لَا يَعْلَمُهَا فَعَلَيْهِ الْقَوْدُ.

كِتَابُ صَوْلِ الْفَحْلِ

بَابُ دَفْعِ الرَّجُلِ عَنْ نَفْسِهِ وَحَرِيمِهِ وَمَنْ يَتَطَلَّعُ فِي بَيْتِهِ

 

Bab tentang Pembelaan Diri, Keluarga, dan Orang yang Mengintai Rumah

 

بَابُ دَفْعِ الرَّجُلِ عَنْ نَفْسِهِ وَحَرِيمِهِ وَمَنْ يَتَطَلَّعُ فِي بَيْتِهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: إذَا طَلَبَ الْفَحْلُ رَجُلًا وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى دَفْعِهِ إلَّا بِقَتْلِهِ فَقَتَلَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ غُرْمٌ، كَمَا لَوْ حَمَلَ عَلَيْهِ مُسْلِمٌ بِالسَّيْفِ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى دَفْعِهِ إلَّا بِضَرْبِهِ فَقَتَلَهُ بِالضَّرْبِ أَنَّهُ هَدْرٌ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ» فَإِذَا سَقَطَ عَنْهُ الْأَكْثَرُ؛ لِأَنَّهُ دَفَعَهُ عَنْ نَفْسِهِ بِمَا يَجُوزُ لَهُ كَانَ الْأَقَلُّ أَسْقَطَ.

 

 

Bab tentang pembelaan diri, kehormatan, dan orang yang mengintip ke dalam rumah. (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Jika seorang penjahat menyerang seseorang dan ia tidak mampu menghentikannya kecuali dengan membunuhnya, lalu ia membunuh penjahat itu, maka tidak ada denda baginya. Sebagaimana jika seorang muslim menyerangnya dengan pedang dan ia tidak bisa menghentikannya kecuali dengan memukulnya hingga membunuhnya, maka itu dianggap sia-sia. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Barangsiapa terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia syahid.” Jika yang lebih besar (dosa) dihapus darinya karena ia membela diri dengan cara yang dibolehkan, maka yang lebih kecil (dosa) lebih pantas dihapus.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang menggigit tangan orang lain, lalu orang itu menarik tangannya sehingga gigi si penggigit tanggal, maka hal itu tidak ada ganti ruginya.” Dia berargumen dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah dia harus membiarkan tangannya berada di mulutmu, lalu kamu menggigitnya seperti seekor unta jantan?” Dan Nabi pun menghalalkan giginya (tidak ada ganti rugi).

 

(قَالَ) : وَلَوْ عَضَّهُ كَانَ لَهُ فَكُّ لَحْيَيْهِ بِيَدِهِ الْأُخْرَى، فَإِنْ عَضَّ قَفَاهُ فَلَمْ تَنَلْهُ يَدَاهُ كَانَ لَهُ أَنْ يَنْزِعَ رَأْسَهُ مِنْ فِيهِ فَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ فَلَهُ التَّحَامُلُ عَلَيْهِ بِرَأْسِهِ إلَى وَرَائِهِ وَمُصَعِّدًا وَمُنْحَدِرًا وَإِنْ غَلَبَهُ ضَبْطًا بِفِيهِ كَانَ لَهُ ضَرْبُ فِيهِ بِيَدِهِ حَتَّى يُرْسِلَهُ فَإِنْ بَعَجَ بَطْنَهُ بِسِكِّينٍ أَوْ فَقَأَ عَيْنَهُ بِيَدِهِ أَوْ ضَرَبَهُ فِي بَعْضِ جَسَدِهِ ضَمِنَ وَرُفِعَ إلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – جَارِيَةٌ كَانَتْ تَحْتَطِبُ فَاتَّبَعَهَا رَجُلٌ فَرَاوَدَهَا عَنْ نَفْسِهَا فَرَمَتْهُ بِفِهْرٍ أَوْ صَخْرٍ فَقَتَلَتْهُ فَقَالَ عُمَرُ هَذَا قَتِيلُ اللَّهِ وَاَللَّهُ لَا يُودَى أَبَدًا.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang menggigitnya, ia boleh membuka rahang si penggigit dengan tangan satunya. Jika yang digigit adalah tengkuk hingga tangannya tak bisa mencapainya, ia boleh menarik kepala si penggigit dari mulutnya. Jika tak mampu, ia boleh mendorong dengan kepalanya ke belakang, ke atas, atau ke bawah. Jika si penggigit menguasainya dengan gigitannya, ia boleh memukul mulutnya dengan tangan hingga melepaskannya. Jika si penggigit merobek perutnya dengan pisau, mencongkel matanya dengan tangan, atau memukul bagian tubuhnya, maka si penggigit wajib menanggung (denda) dan dilaporkan.”

 

Dilaporkan kepada Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – tentang seorang gadis pengumpul kayu yang diikuti seorang lelaki. Lelaki itu ingin memperkosanya, lalu gadis itu melemparkannya dengan batu hingga tewas. Umar berkata: “Ini adalah korban (yang halal dibunuh) karena Allah. Demi Allah, tidak perlu dibayar diyat sama sekali.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَتَلَ رَجُلٌ رَجُلًا فَقَالَ: وَجَدْته عَلَى امْرَأَتِي فَقَدْ أَقَرَّ بِالْقَوَدِ وَادَّعَى فَإِنْ لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً قُتِلَ «قَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إنْ وَجَدْتَ مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أُمْهِلُهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ؟ فَقَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – نَعَمْ» وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – إنْ لَمْ يَأْتِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَلْيُعْطَ بِرُمَّتِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang laki-laki membunuh laki-laki lain seraya berkata, ‘Aku menemukannya bersama istriku,’ maka dia telah mengakui pembunuhan dan menuduh. Jika dia tidak bisa mendatangkan bukti, dia harus dihukum mati.” Sa’ad bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menemukan seorang laki-laki bersama istriku? Apakah aku harus menunggu sampai mendatangkan empat saksi?” Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab: “Ya.” Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Jika dia tidak bisa mendatangkan empat saksi, maka dia harus menerima hukuman cambuk.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ تَطَلَّعَ إلَيْهِ رَجُلٌ مِنْ نَقْبٍ فَطَعَنَهُ بِعُودٍ أَوْ رَمَاهُ بِحَصَاةٍ أَوْ مَا أَشْبَهَهَا فَذَهَبَتْ عَيْنُهُ فَهِيَ هَدْرٌ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَظَرَ إلَى رَجُلٍ يَنْظُرُ إلَى بَيْتِهِ مِنْ حَجَرٍ وَبِيَدِهِ مِدْرًى يَحُكُّ بِهِ رَأْسَهُ فَقَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – لَوْ أَعْلَمُ أَنَّك تَنْظُرُ لِي أَوْ تَنْظُرُنِي لَطَعَنْت بِهِ فِي عَيْنِك إنَّمَا جُعِلَ الِاسْتِئْذَانُ مِنْ أَجْلِ الْبَصَرِ» .

 

 

Beliau berkata: “Seandainya ada seorang laki-laki mengintip melalui lubang, lalu dia ditusuk dengan kayu atau dilempari kerikil atau semisalnya sehingga matanya buta, maka itu sia-sia (tidak ada ganti rugi).” Dia berargumen dengan sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – ketika melihat seorang laki-laki mengintip ke dalam rumahnya dari celah batu sambil memegang sisir yang digunakannya untuk menggaruk kepalanya. Beliau bersabda: “Seandainya aku tahu engkau melihatku atau mengintipku, niscaya akan kutusuk sisir ini ke matamu. Sesungguhnya diwajibkan meminta izin karena pandangan mata.”

 

وَلَوْ دَخَلَ بَيْتَهُ فَأَمَرَهُ بِالْخُرُوجِ فَلَمْ يَخْرُجْ فَلَهُ ضَرْبُهُ وَإِنْ أَتَى عَلَى نَفْسِهِ.

 

Dan jika ia memasuki rumahnya lalu diperintahkan untuk keluar tetapi tidak mau keluar, maka boleh memukulnya meskipun sampai menyebabkan kematiannya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – الَّذِي عُضَّ رَأْسُهُ فَلَمْ يَقْدِرْ أَنْ يَتَخَلَّصَ مِنْ الْعَاضِّ أَوْلَى بِضَرْبِهِ وَدَفْعِهِ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنْ أَتَى ذَلِكَ عَلَى نَفْسِهِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Orang yang kepalanya digigit dan tidak mampu melepaskan diri dari yang menggigit, lebih berhak memukul dan menolaknya dari dirinya, meskipun hal itu menyebabkan kematiannya.”

 

بَابُ الضَّمَانِ عَلَى الْبَهَائِمِ

 

Bab tentang Tanggungan atas Hewan Ternak

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia beserta teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ حَرَامِ بْنِ سَعْدِ بْنِ مُحَيِّصَةُ «أَنَّ نَاقَةً لِلْبَرَاءِ دَخَلَتْ حَائِطًا فَأَفْسَدَتْ فِيهِ فَقَضَى – عَلَيْهِ السَّلَامُ – أَنَّ عَلَى أَهْلِ الْأَمْوَالِ حِفْظَهَا بِالنَّهَارِ وَمَا أَفْسَدَتْ الْمَوَاشِي بِاللَّيْلِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى أَهْلِهَا» .

 

(Imam Syafi’i berkata) Malik mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Haram bin Sa’ad bin Muhayyishah: “Seekor unta milik Al-Bara’ masuk ke sebuah kebun dan merusaknya. Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- memutuskan bahwa pemilik harta wajib menjaganya di siang hari, dan kerusakan yang disebabkan hewan ternak di malam hari menjadi tanggungan pemiliknya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالضَّمَانُ عَلَى الْبَهَائِمِ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا أَفْسَدَتْ مِنْ الزَّرْعِ بِاللَّيْلِ ضَمِنَهُ أَهْلُهَا وَمَا أَفْسَدَتْ بِالنَّهَارِ لَمْ يَضْمَنُوهُ. وَالْوَجْهُ الثَّانِي: إنْ كَانَ الرَّجُلُ رَاكِبًا فَمَا أَصَابَتْ بِيَدِهَا أَوْ رِجْلِهَا أَوْ فِيهَا أَوْ ذَنَبِهَا مِنْ نَفْسٍ أَوْ جُرْحٍ فَهُوَ ضَامِنٌ لَهُ؛ لِأَنَّ عَلَيْهِ مَنْعَهَا فِي تِلْكَ الْحَالِ مِنْ كُلِّ مَا أَتْلَفَتْ بِهِ أَحَدًا وَكَذَلِكَ إنْ كَانَ سَائِقًا أَوْ قَائِدًا وَكَذَلِكَ الْإِبِلُ الْمَقْطُورَةُ بِالْبَعِيرِ الَّذِي هُوَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ قَائِدٌ لَهَا، وَكَذَلِكَ الْإِبِلُ يَسُوقُهَا وَلَا يَجُوزُ إلَّا ضَمَانُ مَا أَصَابَتْ الدَّابَّةُ تَحْتَ الرِّجْلِ وَلَا يَضْمَنُ إلَّا مَا حَمَلَهَا عَلَيْهِ فَوَطِئَتْهُ فَأَمَّا مَنْ ضَمِنَ عَنْ يَدِهَا وَلَمْ يَضْمَنْ عَنْ رِجْلِهَا فَهَذَا تَحَكُّمٌ. وَأَمَّا مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ أَنَّ الرِّجْلَ جُبَارٌ فَهُوَ خَطَأٌ؛ لِأَنَّ الْحُفَّاظَ لَمْ يَحْفَظُوهُ هَكَذَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – tentang tanggungan (dhaman) pada hewan ada dua pendapat: Pertama, jika hewan merusak tanaman di malam hari, pemiliknya menanggungnya, tetapi jika merusak di siang hari, mereka tidak menanggungnya. Pendapat kedua: Jika seseorang sedang menunggangi hewan, lalu hewan itu mencelakai orang lain dengan tangan, kaki, mulut, atau ekornya, baik menyebabkan kematian atau luka, maka penunggang itu wajib menanggungnya karena ia harus mencegah hewan itu dari segala kerusakan yang ditimbulkannya. Hal yang sama berlaku jika ia menggiring atau memimpin hewan tersebut, termasuk unta yang diikat dengan tali pada unta yang ditungganginya karena ia adalah pemimpinnya. Begitu pula unta yang digiringnya. Namun, yang wajib ditanggung hanyalah kerusakan yang disebabkan oleh hewan di bawah kakinya, dan hanya yang dipaksakan hingga terinjak. Adapun orang yang menanggung kerusakan akibat tangan hewan tetapi tidak menanggung akibat kakinya, ini adalah pendapat yang dipaksakan. Sedangkan riwayat dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa “kaki itu tidak menanggung” adalah keliru karena para penghafal hadis tidak meriwayatkannya seperti itu.

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَنَّهُ أَوْقَفَهَا فِي مَوْضِعٍ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَقِفَهَا فِيهِ ضَمِنَ وَلَوْ وَقَفَهَا فِي مِلْكِهِ لَمْ يَضْمَنْ، وَلَوْ جَعَلَ فِي دَارِهِ كَلْبًا عَقُورًا أَوْ حِبَالَةً فَدَخَلَ إنْسَانٌ فَقَتَلَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ شَيْءٌ (قَالَ الْمُزَنِيّ) وَسَوَاءٌ عِنْدِي أَذِنَ لَهُ فِي الدُّخُولِ أَوْ لَمْ يَأْذَنْ لَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang meletakkannya di tempat yang tidak seharusnya untuk diletakkan, maka dia bertanggung jawab. Namun jika dia meletakkannya di miliknya sendiri, dia tidak bertanggung jawab. Dan jika dia menaruh anjing galak atau perangkap di rumahnya, lalu seseorang masuk dan terbunuh, maka tidak ada tanggung jawab atasnya.” Al-Muzani berkata: “Menurutku sama saja, baik dia mengizinkan masuk atau tidak.”

 

كِتَابُ السِّيَرِ

 

مِنْ خَمْسَةِ كُتُبٍ الْجِزْيَةِ، وَالْحُكْمِ فِي أَهْلِ الْكِتَابِ، وَإِمْلَاءٍ عَلَى كِتَابِ الْوَاقِدِيِّ وَإِمْلَاءٍ عَلَى غَزْوَةِ بَدْرٍ، وَإِمْلَاءٍ عَلَى كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَالْأَوْزَاعِيِّ أَصْلُ فَرْضِ الْجِهَادِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَمَّا مَضَتْ بِالنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مُدَّةٌ مِنْ هِجْرَتِهِ أَنْعَمَ اللَّهُ فِيهَا عَلَى جَمَاعَاتٍ بِاتِّبَاعِهِ حَدَثَتْ لَهَا مَعَ عَوْنِ اللَّهِ قُوَّةٌ بِالْعَدَدِ لَمْ تَكُنْ قَبْلَهَا فَفَرَضَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْجِهَادَ فَقَالَ تَعَالَى {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ} البقرة: 216 وَقَالَ تَعَالَى {وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ} البقرة: 190 مَعَ مَا ذَكَرْته فُرِضَ الْجِهَادُ وَدَلَّ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ لَمْ يَفْرِضْ الْجِهَادَ عَلَى مَمْلُوكٍ وَلَا أُنْثَى وَلَا عَلَى مَنْ لَمْ يَبْلُغْ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ} التوبة: 41 فَحَكَمَ أَنْ لَا مَالَ لِلْمَمْلُوكِ وَقَالَ {حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ} الأنفال: 65 فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُمْ الذُّكُورُ «وَعُرِضَ ابْنُ عُمَرَ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَوْمَ أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَرَدَّهُ وَعُرِضَ عَلَيْهِ عَامَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَهُ» وَحَضَرَ مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي غَزْوِهِ عَبِيدٌ وَنِسَاءٌ غَيْرُ بَالِغِينَ فَرَضَخَ لَهُمْ وَأَسْهَمَ لِضُعَفَاءَ أَحْرَارٍ وَجَرْحَى بَالِغِينَ فَدَلَّ أَنَّ السُّهْمَانَ إنَّمَا تَكُونُ لِمَنْ شَهِدَ الْقِتَالَ مِنْ الرِّجَالِ الْأَحْرَارِ فَدَلَّ بِذَلِكَ أَنْ لَا فَرْضَ عَلَى غَيْرِهِمْ فِي الْجِهَادِ.

 

 

Dari lima kitab: Al-Jizyah, Hukum terhadap Ahli Kitab, imla’ (dikte) atas kitab Al-Waqidi, imla’ atas Perang Badar, dan imla’ atas kitab perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Al-Auza’i tentang asal kewajiban jihad. (Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Setelah berlalu masa tertentu sejak hijrah Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—di mana Allah menganugerahkan kepada beberapa kelompok untuk mengikutinya, lalu mereka memiliki kekuatan dalam jumlah yang sebelumnya tidak ada, maka Allah mewajibkan jihad atas mereka. Allah berfirman, “Diwajibkan atas kalian berperang, padahal itu sesuatu yang kalian benci.” (QS. Al-Baqarah: 216). Dan firman-Nya, “Dan berperanglah di jalan Allah.” (QS. Al-Baqarah: 190). Bersamaan dengan apa yang telah disebutkan, jihad diwajibkan. Kitab Allah—‘azza wa jalla—dan sabda Nabi-Nya—shallallahu ‘alaihi wasallam—menunjukkan bahwa jihad tidak diwajibkan atas budak, perempuan, atau anak yang belum baligh, berdasarkan firman Allah, “Dan berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Allah.” (QS. At-Taubah: 41). Maka, diputuskan bahwa budak tidak memiliki harta. Dan firman-Nya, “Giatkanlah orang-orang mukmin untuk berperang.” (QS. Al-Anfal: 65) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah laki-laki. “Ibnu Umar pernah dihadapkan kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—pada Perang Uhud saat usianya 14 tahun, lalu beliau menolaknya. Kemudian, ia dihadapkan lagi pada tahun Perang Khandaq saat usianya 15 tahun, dan beliau mengizinkannya.” Dalam peperangan Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—juga hadir budak, perempuan, dan anak-anak yang belum baligh. Beliau memberikan bagian (faidah) untuk mereka dan memberikan saham kepada orang-orang lemah dari kalangan merdeka serta orang dewasa yang terluka. Ini menunjukkan bahwa saham hanya diberikan kepada laki-laki merdeka yang ikut berperang, sehingga menjadi dalil bahwa tidak ada kewajiban jihad bagi selain mereka.

 

 

بَابُ مَنْ لَهُ عُذْرٌ بِالضَّعْفِ وَالضَّرَرِ وَالزَّمَانَةِ وَالْعُذْرِ بِتَرْكِ الْجِهَادِ

 

 

BAB ORANG YANG MEMPUNYAI UZUR KARENA KELEMAHAN, KERUSAKAN, KECACATAN, DAN UZUR KARENA TIDAK IKUT BERJIHAD

مِنْ كِتَابِ الْجِزْيَةِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى} التوبة: 91 الْآيَةَ وَقَالَ {إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ وَهُمْ أَغْنِيَاءُ} التوبة: 93 وَقَالَ {لَيْسَ عَلَى الأَعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ} الفتح: 17 فَقِيلَ: الْأَعْرَجُ الْمُقْعَدُ وَالْأَغْلَبُ أَنَّهُ عَرَجُ الرِّجْلِ الْوَاحِدَةِ، وَقِيلَ: نَزَلَتْ فِي وَضْعِ الْجِهَادِ عَنْهُمْ.

 

Dari Kitab Jizyah (Berkata Asy-Syafi’i): Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada kewajiban atas orang-orang yang lemah dan orang-orang yang sakit.” (QS. At-Taubah: 91). Dan Dia berfirman, “Sesungguhnya kewajiban hanya atas orang-orang yang meminta izin kepadamu padahal mereka orang-orang kaya.” (QS. At-Taubah: 93). Dan Dia berfirman, “Tidak ada dosa atas orang buta, tidak (pula) atas orang pincang, dan tidak (pula) atas orang sakit.” (QS. Al-Fath: 17). Dikatakan: Al-A’raj (orang pincang) adalah orang yang lumpuh, namun yang lebih umum adalah pincang pada satu kaki. Dikatakan pula: Ayat ini turun tentang keringanan jihad bagi mereka.

(Dia berkata): “Dan tidak ada kemungkinan lain. Jika seseorang sehat jasmani dan kuat, tetapi tidak memiliki bekal untuk pergi serta nafkah bagi orang yang wajib dia nafkahi selama perkiraan waktu perangnya, maka dia termasuk orang yang tidak memiliki apa yang bisa dibelanjakan. Maka, dia tidak boleh sukarela pergi (berjihad) dan meninggalkan kewajiban (menafkahi). Dia juga tidak boleh berjihad kecuali dengan izin pemilik piutang dan izin kedua orang tuanya karena rasa sayang dan kelembutan mereka kepadanya jika keduanya Muslim. Jika keduanya tidak seagama, maka dia hanya boleh memerangi penganut agama mereka. Tidak ada kewajiban taat kepada keduanya. Ibnu ‘Utbah bin Rabi’ah pernah berjihad bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku tidak ragu bahwa ayahnya tidak menyukai jihadnya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pula Abdullah bin Abdullah bin Ubay berjihad bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ayahnya menahan diri dari perang Uhud dan menghalangi orang-orang yang taat kepada Nabi.”

 

(قَالَ) : وَمَنْ غَزَا مِمَّنْ لَهُ عُذْرٌ أَوْ حَدَثَ لَهُ بَعْدَ الْخُرُوجِ عُذْرٌ كَانَ عَلَيْهِ الرُّجُوعُ مَا لَمْ يَلْتَقِ الزَّحْفَانِ أَوْ يَكُونُ فِي مَوْضِعٍ يَخَافُ إنْ رَجَعَ أَنْ يُتْلَفَ.

 

 

Beliau berkata: “Barangsiapa yang berperang dari orang yang memiliki uzur atau terjadi uzur setelah keluar, maka wajib baginya untuk kembali selama belum bertemu dua pasukan atau berada di tempat yang dikhawatirkan jika kembali akan binasa.”

 

(قَالَ) : وَيَتَوَقَّى فِي الْحَرْبِ قَتْلَ أَبِيهِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَغْزُوَ بِجُعْلٍ مِنْ مَالِ رَجُلٍ وَيَرُدُّهُ إنْ غَزَا بِهِ وَإِنَّمَا أُجْرَتُهُ مِنْ السُّلْطَانِ؛ لِأَنَّهُ يَغْزُو بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّهِ.

 

 

(Dia berkata): “Dan dia harus berhati-hati dalam perang untuk tidak membunuh ayahnya. Tidak diperbolehkan baginya untuk berperang dengan upah dari harta seseorang lalu mengembalikannya jika dia berperang dengannya. Sesungguhnya upahnya hanya dari penguasa, karena dia berperang dengan sesuatu yang menjadi haknya.”

(قَالَ) : وَمَنْ ظَهَرَ مِنْهُ تَخْذِيلٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَإِرْجَافٌ بِهِمْ أَوْ عَوْنٌ عَلَيْهِمْ مَنَعَهُ الْإِمَامُ الْغَزْوَ مَعَهُمْ؛ لِأَنَّهُ ضَرَرٌ عَلَيْهِمْ وَإِنْ غَزَا لَمْ يُسْهِمْ لَهُ.

 

Beliau berkata: “Siapa saja yang terlihat darinya sikap melemahkan semangat orang-orang beriman, menyebarkan ketakutan di antara mereka, atau membantu (musuh) terhadap mereka, maka imam boleh melarangnya ikut berperang bersama mereka karena hal itu membahayakan mereka. Dan jika dia tetap ikut berperang, maka dia tidak berhak mendapatkan bagian (harta rampasan perang).”

 

 

وَوَاسِعٌ لِلْإِمَامِ أَنْ يَأْذَنَ لِلْمُشْرِكِ أَنْ يَغْزُوَ مَعَهُ إذَا كَانَتْ فِيهِ لِلْمُسْلِمِينَ مَنْفَعَةٌ وَقَدْ غَزَا – عَلَيْهِ السَّلَامُ – بِيَهُودِ مِنْ بَنِي قَيْنُقَاعِ بَعْدَ بَدْرٍ وَشَهِدَ مَعَهُ صَفْوَانُ حُنَيْنًا بَعْدَ الْفَتْحِ وَصَفْوَانُ مُشْرِكٌ.

 

 

Dan diperbolehkan bagi seorang pemimpin untuk mengizinkan orang musyrik berperang bersamanya jika terdapat manfaat bagi kaum Muslimin. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah berperang bersama orang Yahudi dari Bani Qainuqa’ setelah Perang Badar. Shafwan juga pernah ikut bersamanya dalam Perang Hunain setelah Fathu Makkah, padahal Shafwan adalah seorang musyrik.

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُعْطَى الْمُشْرِكُ مِنْ الْفَيْءِ شَيْئًا وَيُسْتَأْجَرَ إجَارَةً مِنْ مَالٍ لَا مَالِكَ لَهُ بِعَيْنِهِ وَهُوَ سَهْمُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَإِنْ أَغْفَلَ ذَلِكَ الْإِمَامُ أُعْطِيَ مِنْ سَهْمِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَيَبْدَأُ الْإِمَامُ بِقِتَالِ مَنْ يَلِيهِ مِنْ الْكُفَّارِ وَبِالْأَخْوَفِ، فَإِنْ كَانَ الْأَبْعَدُ الْأَخْوَفَ فَلَا بَأْسَ أَنْ يَبْدَأَ بِهِ عَلَى مَعْنَى الضَّرُورَةِ الَّتِي يَجُوزُ فِيهَا مَا لَا يَجُوزُ فِي غَيْرِهَا، وَأَقُلُّ مَا عَلَى الْإِمَامِ أَنْ لَا يَأْتِيَ عَامٌ إلَّا وَلَهُ فِيهِ غَزْوٌ بِنَفْسِهِ أَوْ بِسَرَايَاهُ عَلَى حُسْنِ النَّظَرِ لِلْمُسْلِمِينَ حَتَّى لَا يَكُونَ الْجِهَادُ مُعَطَّلًا فِي عَامٍ إلَّا مِنْ عُذْرٍ وَيُغْزِي أَهْلُ الْفَيْءِ كُلَّ قَوْمٍ إلَى مَنْ يَلِيهِمْ.

 

 

Beliau berkata: “Aku berpendapat bahwa orang musyrik tidak boleh diberi bagian dari fa’i sedikit pun, dan (harta fa’i) disewakan dari harta yang tidak memiliki pemilik tertentu, yaitu bagian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika imam mengabaikan hal itu, maka (orang musyrik) boleh diberi dari bagian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang imam hendaknya memulai memerangi orang kafir yang terdekat dan yang paling berbahaya. Jika yang paling jauh lebih berbahaya, maka tidak mengapa memulai dengannya berdasarkan darurat yang membolehkan apa yang tidak boleh dalam kondisi lain. Kewajiban minimal bagi imam adalah tidak boleh ada satu tahun pun berlalu kecuali ia melakukan peperangan sendiri atau mengirim pasukan, dengan pertimbangan yang baik bagi kaum muslimin, agar jihad tidak terhenti dalam satu tahun kecuali karena uzur. Penduduk daerah fa’i hendaknya memerangi setiap kaum yang berbatasan dengan mereka.”

 

بَابُ النَّفِيرِ مِنْ كِتَابِ الْجِزْيَةِ وَالرِّسَالَةِ

 

Bab tentang Pengerahan Pasukan dari Kitab Jizyah dan Risalah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {إِلا تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا} التوبة: 39 وَقَالَ {لا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ} النساء: 95 إلَى قَوْلِهِ {وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى} النساء: 95 فَلَمَّا وَعَدَ الْقَاعِدِينَ الْحُسْنَى دَلَّ أَنَّ فَرْضَ النَّفِيرِ عَلَى الْكِفَايَةِ فَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِالنَّفِيرِ كِفَايَةٌ حُرِّجَ مَنْ تَخَلَّفَ وَاسْتَوْجَبُوا مَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى، وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ كِفَايَةٌ حَتَّى لَا يَكُونَ النَّفِيرُ مُعَطَّلًا لَمْ يَأْثَمْ مَنْ تَخَلَّفَ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَعَدَ جَمِيعَهُمْ الْحُسْنَى، وَكَذَلِكَ رَدُّ السَّلَامِ وَدَفْنُ الْمَوْتَى وَالْقِيَامُ بِالْعِلْمِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَإِذَا قَامَ بِذَلِكَ مَنْ فِيهِ الْكِفَايَةُ لَمْ يُحَرَّجْ الْبَاقُونَ وَإِلَّا حُرِّجُوا أَجْمَعُونَ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Allah Ta’ala berfirman, “Jika kalian tidak berangkat (berjihad), niscaya Allah akan mengazab kalian dengan azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 39). Dan firman-Nya, “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak berjihad) yang tidak mempunyai uzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah.” (QS. An-Nisa: 95) hingga firman-Nya, “Dan kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik.” (QS. An-Nisa: 95). Ketika Allah menjanjikan pahala yang baik bagi orang yang duduk (tidak berjihad), hal itu menunjukkan bahwa kewajiban berangkat (berjihad) adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada yang memenuhi kewajiban berangkat (berjihad) secara cukup, maka orang yang tidak berangkat berdosa dan berhak mendapatkan ancaman Allah Ta’ala. Namun jika sudah ada yang memenuhi secara cukup sehingga kewajiban berangkat tidak terbengkalai, maka orang yang tidak berangkat tidak berdosa, karena Allah Ta’ala telah menjanjikan pahala yang baik bagi semuanya. Demikian pula halnya dengan menjawab salam, menguburkan jenazah, menuntut ilmu, dan semisalnya. Jika sudah ada yang melakukannya secara cukup, maka yang lain tidak berdosa. Namun jika tidak ada yang melakukannya, maka semuanya berdosa.

 

جَامِعُ السِّيَرِ

 

Kumpulan Biografi

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الْحُكْمُ فِي الْمُشْرِكِينَ حُكْمَانِ فَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ أَهْلَ أَوْثَانٍ أَوْ مَنْ عَبَدَ مَا اسْتَحْسَنَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمْ تُؤْخَذْ مِنْهُمْ الْجِزْيَةُ وَقُوتِلُوا حَتَّى يُقْتَلُوا أَوْ يُسْلِمُوا لِقَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} التوبة: 5 وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أُمِرْت أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ» وَمَنْ كَانَ مِنْهُمْ أَهْلَ كِتَابٍ قُوتِلُوا حَتَّى يُسْلِمُوا أَوْ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ فَإِنْ لَمْ يُعْطُوا قُوتِلُوا وَقُتِلُوا وَسُبِيَتْ ذَرَارِيُّهُمْ وَنِسَاؤُهُمْ وَأَمْوَالُهُمْ وَدِيَارُهُمْ وَكَانَ ذَلِكَ كُلُّهُ فَيْئًا بَعْدَ السَّلَبِ لِلْقَاتِلِ فِي الْأَنْفَالِ قَالَ ذَلِكَ الْإِمَامُ أَوْ لَمْ يَقُلْهُ؛ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَفَّلَ أَبَا قَتَادَةَ يَوْمَ حُنَيْنٍ سَلَبَ قَتِيلِهِ وَمَا نَفَّلَهُ إيَّاهُ إلَّا بَعْدَ تَقَضِّي الْحَرْبِ وَنَفَّلَ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ سَلَبَ مَرْحَبٍ يَوْمَ خَيْبَرَ وَنَفَّلَ يَوْمَ بَدْرٍ عَدَدًا وَيَوْمَ أُحُدٍ رَجُلًا أَوْ رَجُلَيْنِ أَسْلَابَ قَتْلَاهُمْ وَمَا عَلِمْته – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَضَرَ مَحْضَرًا قَطُّ فَقَتَلَ رَجُلٌ قَتِيلًا فِي الْأَقْتَالِ إلَّا نَفَّلَهُ سَلَبَهُ وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ بَعْدَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Hukum terhadap orang-orang musyrik ada dua. Siapa saja dari mereka yang penyembah berhala atau menyembah sesuatu yang dianggap baik selain ahli kitab, maka tidak diterima jizyah dari mereka, dan mereka diperangi sampai terbunuh atau masuk Islam, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui mereka” (QS. At-Taubah: 5). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah”. Sedangkan ahli kitah dari mereka, diperangi sampai masuk Islam atau membayar jizyah dengan patuh dan tunduk. Jika tidak membayar, mereka diperangi dan dibunuh, anak-anak dan wanita mereka ditawan, harta dan rumah mereka dirampas, dan semuanya menjadi fai’ setelah diambil ghanimah untuk yang membunuh dalam bagian anfal. Hal ini berlaku baik imam mengatakannya atau tidak, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan harta rampasan perang Abu Qatadah pada perang Hunain setelah perang usai, memberikan rampasan perang Marhab kepada Muhammad bin Maslamah pada perang Khaibar, serta memberikan beberapa rampasan perang pada perang Badar dan satu atau dua rampasan perang pada perang Uhud. Tidak pernah diketahui beliau menghadiri suatu peperangan lalu seseorang membunuh musuh kecuali beliau memberinya rampasan perangnya. Hal ini juga dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

 

(قَالَ) : ثُمَّ يُرْفَعُ بَعْدَ السَّلَبِ خُمُسُهُ لِأَهْلِهِ وَتُقْسَمُ أَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهِ بَيْنَ مَنْ حَضَرَ الْوَقْعَةَ دُونَ مَنْ بَعْدَهَا وَاحْتَجَّ بِأَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَا ” الْغَنِيمَةُ لِمَنْ شَهِدَ الْوَقْعَةَ “.

 

 

Beliau berkata: “Kemudian setelah diambil salab (harta pribadi musuh yang tewas), seperlimanya diserahkan kepada keluarganya (baitul mal), dan empat perlima sisanya dibagikan kepada mereka yang hadir dalam pertempuran, bukan yang datang setelahnya. Dia berargumen dengan perkataan Abu Bakar dan Umar – radhiyallahu ‘anhuma -: ‘Ghanimah (harta rampasan perang) adalah bagi mereka yang menyaksikan pertempuran’.”

 

(قَالَ) : وَيُسْهَمُ لِلْبِرْذَوْنِ كَمَا يُسْهَمُ لِلْفَرَسِ سَهْمَانِ وَلِلْفَارِسِ سَهْمٌ وَلَا يُعْطَى إلَّا لِفَرَسٍ وَاحِدٍ وَيُرْضَخُ لِمَنْ لَمْ يَبْلُغْ وَالْمَرْأَةِ وَالْعَبْدِ وَالْمُشْرِكِ إذَا قَاتَلَ وَلِمَنْ اُسْتُعِينَ بِهِ مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَيُسْهَمُ لِلتَّاجِرِ إذَا قَاتَلَ وَتُقْسَمُ الْغَنِيمَةُ فِي دَارِ الْحَرْبِ قَسَمَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَيْثُ غَنِمَهَا وَهِيَ دَارُ حَرْبِ بَنِي الْمُصْطَلِقِ وَحُنَيْنٍ.

 

 

Beliau berkata: “Dan diberikan bagian untuk kuda tunggangan (bighal) sebagaimana diberikan dua bagian untuk kuda perang, dan satu bagian untuk penunggangnya. Tidak diberikan kecuali untuk satu kuda saja. Diberikan juga bagian kecil untuk anak yang belum baligh, wanita, budak, dan musyrik jika ikut berperang, serta untuk musyrik yang diminta bantuannya. Pedagang juga diberi bagian jika ikut berperang. Harta rampasan perang dibagi di negeri perang, sebagaimana Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – membaginya di tempat beliau memperolehnya, yaitu di negeri perang Bani Musthaliq dan Hunain.”

 

وَأَمَّا مَا احْتَجَّ بِهِ أَبُو يُوسُفَ بِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَسَمَ غَنَائِمَ بَدْرٍ بَعْدَ قُدُومِهِ الْمَدِينَةَ وَقَوْلُهُ الدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّهُ أَسْهَمَ لِعُثْمَانَ وَطَلْحَةَ وَلَمْ يَشْهَدَا بَدْرًا فَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ فَقَدْ خَالَفَ سُنَّةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يُعْطِي أَحَدًا لَمْ يَشْهَدْ الْوَقْعَةَ وَلَمْ يَقْدُمْ مَدَدًا عَلَيْهِمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَيْسَ كَمَا قَالَ.

 

 

Adapun apa yang dijadikan argumen oleh Abu Yusuf bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – membagi harta rampasan Perang Badar setelah tiba di Madinah, dan ucapannya bahwa dalil atas hal itu adalah beliau memberikan bagian untuk Utsman dan Thalhah padahal mereka tidak hadir dalam Perang Badar, maka jika memang seperti yang dikatakannya, itu telah menyelisihi sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – yang tidak memberikan bagian kepada siapa pun yang tidak hadir dalam peperangan dan tidak datang memberikan bantuan kepada mereka di medan perang. Dan (sebenarnya) tidak seperti yang dia katakan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مَا قَسَمَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – غَنَائِمَ بَدْرٍ إلَّا بِسَيْرِ شِعْبٍ مِنْ شِعَابِ الصَّفْرَاءِ قَرِيبٍ مِنْ بَدْرٍ فَلَمَّا تَشَاحَّ أَصْحَابُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي غَنِيمَتِهَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَنْفَالِ قُلِ الأَنْفَالُ لِلَّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ} الأنفال: 1 فَقَسَمَهَا بَيْنَهُمْ وَهِيَ لَهُ تَفَضُّلًا وَأَدْخَلَ مَعَهُمْ ثَمَانِيَةَ نَفَرٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ وَإِنَّمَا نَزَلَتْ {وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ} الأنفال: 41 بَعْدَ بَدْرٍ وَلَمْ نَعْلَمْهُ أَسْهَمَ لِأَحَدٍ لَمْ يَشْهَدْ الْوَقْعَةَ بَعْدَ نُزُولِ الْآيَةِ وَمَنْ أَعْطَى مِنْ الْمُؤَلَّفَةِ وَغَيْرِهِمْ فَمِنْ مَالِهِ أَعْطَاهُمْ لَا مِنْ الْأَرْبَعَةِ الْأَخْمَاسِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak membagi harta rampasan perang Badr kecuali setelah melewati sebuah lembah kecil dari lembah-lembah Shafra yang dekat dengan Badr. Ketika para sahabat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- berselisih tentang pembagian rampasan perang itu, Allah -azza wa jalla- menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: ‘Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.'” (QS. Al-Anfal: 1). Maka beliau membagikannya kepada mereka sebagai bentuk kemurahan hati beliau, dan beliau memasukkan bersama mereka delapan orang dari Muhajirin dan Anshar di Madinah. Ayat “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul…” (QS. Al-Anfal: 41) turun setelah perang Badr. Kami tidak mengetahui beliau memberikan bagian kepada seseorang yang tidak ikut dalam peperangan setelah turunnya ayat ini. Barangsiapa yang memberikan sesuatu kepada muallaf dan selain mereka, maka itu dari hartanya sendiri, bukan dari empat perlima bagian.

 

وَأَمَّا مَا اُحْتُجَّ بِهِ مِنْ وَقْعَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ وَابْنِ الْحَضْرَمِيِّ فَذَلِكَ قَبْلَ بَدْرٍ وَلِذَلِكَ كَانَتْ وَقْعَتُهُمْ فِي آخِرِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ فَتَوَقَّفُوا فِيمَا صَنَعُوا حَتَّى نَزَلَتْ {يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ} البقرة: 217 وَلَيْسَ مِمَّا خَالَفَ فِيهِ الْأَوْزَاعِيُّ فِي شَيْءٍ.

 

 

Adapun yang dijadikan alasan dari peristiwa Abdullah bin Jahsy dan Ibnul Hadhrami, itu terjadi sebelum Perang Badar. Oleh karena itu, peristiwa mereka terjadi di akhir bulan haram. Maka mereka menahan diri terhadap apa yang telah mereka lakukan hingga turun ayat, “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram…” (QS. Al-Baqarah: 217). Dan hal ini bukan termasuk perkara yang diperselisihkan oleh Al-Auza’i sedikit pun.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَهُمْ أَنْ يَأْكُلُوا وَيَعْلِفُوا دَوَابَّهُمْ فِي دَارِ الْحَرْبِ فَإِنْ خَرَجَ أَحَدٌ مِنْهُمْ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ وَفِي يَدِهِ شَيْءٌ صَيَّرَهُ إلَى الْإِمَامِ وَمَا كَانَ مِنْ كُتُبِهِمْ فِيهِ طِبٌّ أَوْ مَا لَا مَكْرُوهَ فِيهِ بِيعَ وَمَا كَانَ فِيهِ شِرْكٌ أُبْطِلَ وَانْتُفِعَ بِأَوْعِيَتِهِ وَمَا كَانَ مِثْلُهُ مُبَاحًا فِي بِلَادِ الْإِسْلَامِ مِنْ شَجَرٍ أَوْ حَجَرٍ أَوْ صَيْدٍ فِي بَرٍّ أَوْ بَحْرٍ فَهُوَ لِمَنْ أَخَذَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Mereka boleh makan dan memberi makan hewan tunggangannya di darul harbi. Jika seseorang keluar dari darul harbi dengan membawa sesuatu, maka ia harus menyerahkannya kepada imam. Kitab-kitab mereka yang berisi pengobatan atau hal-hal yang tidak tercela boleh dijual. Sedangkan yang mengandung kesyirikan harus dimusnahkan, namun wadahnya boleh dimanfaatkan. Adapun barang seperti pepohonan, batu, atau hasil buruan di darat maupun laut yang halal di negeri Islam, maka itu menjadi milik orang yang mengambilnya.”

 

 

وَمَنْ أَسَرَ مِنْهُمْ فَإِنْ أَشْكَلَ بُلُوغُهُمْ فَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ فَحُكْمُهُ حُكْمُ طِفْلٍ وَمَنْ أَنْبَتَ فَهُوَ بَالِغٌ وَالْإِمَامُ فِي الْبَالِغِينَ بِالْخِيَارِ بَيْنَ أَنْ يَقْتُلَهُمْ بِلَا قَطْعِ يَدٍ وَلَا عُضْوٍ أَوْ يُسْلِمَ أَهْلُ الْأَوْثَانِ وَيُؤَدِّيَ الْجِزْيَةَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَوْ يَمُنَّ عَلَيْهِمْ أَوْ يُفَادِيَهُمْ بِمَالٍ أَوْ بِأَسْرَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ أَوْ يَسْتَرِقَّهُمْ فَإِنْ اسْتَرَقَّهُمْ أَوْ أَخَذَ مِنْهُمْ مَالًا فَسَبِيلُهُ سَبِيلُ الْغَنِيمَةِ أَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَهْلَ بَدْرٍ فَقَتَلَ عُقْبَةَ بْنَ أَبِي مُعَيْطٍ وَالنَّضْرَ بْنَ الْحَارِثِ وَمَنَّ عَلَى أَبِي عَزَّةَ الْجُمَحِيِّ عَلَى أَنْ لَا يُقَاتِلَهُ فَأَخْفَرَهُ وَقَاتَلَهُ يَوْمَ أُحُدٍ فَدَعَا عَلَيْهِ أَنْ لَا يَفْلِتَ فَمَا أُسِرَ غَيْرُهُ ثُمَّ أُسِرَ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ الْحَنَفِيُّ فَمَنَّ عَلَيْهِ ثُمَّ أَسْلَمَ وَحَسُنَ إسْلَامُهُ وَفَدَى النَّبِيُّ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – رَجُلًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ بِرَجُلَيْنِ مِنْ الْمُشْرِكِينَ.

 

 

Dan siapa yang ditawan dari mereka, jika kedewasaan mereka meragukan, maka yang belum tumbuh bulu (kemaluannya) hukumnya seperti anak kecil, sedangkan yang sudah tumbuh bulu maka dia telah balig. Imam memiliki pilihan terhadap tawanan yang sudah balig antara membunuh mereka tanpa memotong tangan atau anggota tubuh, atau penyembah berhala masuk Islam sementara ahli kitab membayar jizyah, atau memberikan pengampunan kepada mereka, atau menebus mereka dengan harta atau tawanan Muslim, atau menjadikan mereka sebagai budak. Jika mereka dijadikan budak atau diambil harta mereka, maka hukumnya seperti harta rampasan perang. Rasulullah ﷺ menawan penduduk Badar, lalu membunuh ‘Uqbah bin Abi Mu’aith dan An-Nadhr bin Al-Harits, serta memberikan pengampunan kepada Abu ‘Azzah Al-Jumahi dengan syarat tidak memeranginya. Namun dia melanggar janji dan memerangi Nabi pada Perang Uhud, lalu Nabi mendoakan agar dia tidak selamat, dan tidak ada tawanan lain selain dia. Kemudian Tsumamah bin Utsal Al-Hanafi ditawan dan diberi pengampunan, lalu dia masuk Islam dengan keislaman yang baik. Nabi ﷺ juga menebus seorang Muslim dengan dua orang musyrik.

 

(قَالَ) : وَإِنْ أَسْلَمُوا بَعْدَ الْأَسْرِ رُقُّوا وَإِنْ أَسْلَمُوا قَبْلَ الْأَسْرِ فَهُمْ أَحْرَارٌ وَإِذَا الْتَقَوْا وَالْعَدُوُّ فَلَا يُوَلُّوهُمْ الْأَدْبَارَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ” مَنْ فَرَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَلَمْ يَفِرَّ وَمَنْ فَرَّ مِنْ اثْنَيْنِ فَقَدْ فَرَّ “.

 

 

Beliau berkata: “Jika mereka masuk Islam setelah ditawan, maka mereka menjadi budak. Jika mereka masuk Islam sebelum ditawan, maka mereka merdeka. Dan apabila mereka bertemu dengan musuh, janganlah mereka lari membelakangi musuh.” Ibnu Abbas berkata: “Barangsiapa lari dari tiga orang, maka dia tidak dianggap lari. Tetapi barangsiapa lari dari dua orang, maka dia benar-benar lari.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Ini berdasarkan makna penurunan (ayat). Jika seorang lari dari dua orang musuh, kecuali untuk strategi perang atau bergabung dengan kelompok kaum muslimin – baik kelompok itu sedikit atau banyak, baik di hadapannya atau jauh darinya – maka hukumnya sama. Niatnya dalam melakukan strategi dan bergabung itu adalah untuk kembali berperang, yang merupakan pengecualian yang menghindarkannya dari murka Allah. Jika pelariannya bukan dalam makna ini, aku khawatirkan atasnya – kecuali jika Allah mengampuninya – bahwa dia mungkin kembali dengan membawa murka dari Allah.”

 

(قَالَ) : وَنَصَبَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى أَهْلِ الطَّائِفِ مَنْجَنِيقًا أَوْ عَرَّادَةً وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ فِيهِمْ النِّسَاءَ وَالْوِلْدَانَ وَقَطَعَ أَمْوَالَ بَنِي النَّضِيرِ وَحَرَّقَهَا وَشَنَّ الْغَارَةَ عَلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ غَارِينَ وَأَمَرَ بِالْبَيَاتِ وَالتَّحْرِيقِ وَقَطَعَ بِخَيْبَرَ وَهِيَ بَعْدَ النَّضِيرِ وَبِالطَّائِفِ وَهِيَ آخِرُ غَزْوَةٍ غَزَاهَا قَطُّ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – لَقِيَ فِيهَا قِتَالًا فَبِهَذَا كُلِّهِ أَقُولُ وَمَا أُصِيبَ بِذَلِكَ مِنْ النِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ فَلَا بَأْسَ؛ لِأَنَّهُ عَلَى غَيْرِ عَمْدٍ فَإِنْ كَانَ فِي دَارِهِمْ أُسَارَى مُسْلِمُونَ أَوْ مُسْتَأْمَنُونَ كَرِهْتُ النَّصْبَ عَلَيْهِمْ بِمَا يَعُمُّ مِنْ التَّحْرِيقِ وَالتَّغْرِيقِ احْتِيَاطًا غَيْرَ مُحَرِّمٍ لَهُ تَحْرِيمًا بَيِّنًا وَذَلِكَ أَنَّ الدَّارَ إذَا كَانَتْ مُبَاحَةً فَلَا يَبِينُ أَنْ يُحَرَّمَ بِأَنْ يَكُونَ فِيهَا مُسْلِمٌ يُحَرَّمُ دَمُهُ وَلَكِنْ لَوْ الْتَحَمُوا فَكَانَ يتكامن الْتِحَامُهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ رَأَيْت لَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا وَكَانُوا مَأْجُورِينَ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: الدَّفْعُ عَنْ أَنْفُسِهِمْ. وَالْآخَرُ: نِكَايَةُ عَدُوِّهِمْ.

 

 

Beliau berkata: Rasulullah ﷺ memasang manjanik (ketapel perang) atau ‘arradah (alat pelempar batu) terhadap penduduk Thaif, padahal kami tahu di antara mereka ada wanita dan anak-anak. Beliau juga memotong (menghancurkan) harta Bani Nadhir dan membakarnya, serta melancarkan serangan mendadak terhadap Bani Musthaliq dalam keadaan mereka sedang lengah. Beliau memerintahkan pengepungan dan pembakaran, serta memotong (sumber kehidupan) di Khaibar -yang terjadi setelah peristiwa Nadhir- dan di Thaif -yang merupakan peperangan terakhir yang beliau ikuti-. Beliau mengalami pertempuran di sana. Dengan semua ini aku berpendapat: Korban di antara wanita dan anak-anak dalam keadaan seperti itu tidak mengapa, karena terjadi tanpa sengaja. Namun jika di wilayah musuh terdapat tawanan muslim atau orang yang dilindungi, aku tidak menyukai pemasangan alat (penghancur) yang berdampak umum seperti pembakaran atau penenggelaman sebagai bentuk kehati-hatian -bukan karena keharaman yang jelas-. Sebab jika suatu wilayah halal (untuk diperangi), tidak jelas keharamannya hanya karena ada seorang muslim yang darahnya haram di dalamnya. Tetapi jika mereka (muslim) bercampur dengan musuh sedemikian rupa sehingga tindakan tersebut harus dilakukan, aku berpendapat mereka boleh melakukannya dan akan mendapat pahala karena dua hal: Pertama: Membela diri. Kedua: Melemahkan musuh mereka.

 

وَلَوْ كَانُوا غَيْرَ مُلْتَحِمِينَ فَتَتَرَّسُوا بِأَطْفَالِهِمْ فَقَدْ قِيلَ: يُضْرَبُ الْمُتَتَرِّسُ مِنْهُمْ وَلَا يُعْمَدُ الطِّفْلُ وَقَدْ قِيلَ: يَكُفُّ، وَلَوْ تَتَرَّسُوا بِمُسْلِمٍ رَأَيْت أَنْ يُكَفَّ إلَّا أَنْ يَكُونُوا مُلْتَحِمِينَ فَيُضْرَبَ الْمُشْرِكُ وَيُتَوَقَّى الْمُسْلِمُ جَهْدَهُ فَإِنْ أَصَابَ فِي هَذِهِ الْحَالِ مُسْلِمًا قَالَ فِي كِتَابِ حُكْمِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَعْتَقَ رَقَبَةً وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ: إنْ كَانَ عَلِمَهُ مُسْلِمًا فَالدِّيَةُ مَعَ الرَّقَبَةِ.

 

 

Dan jika mereka tidak dalam keadaan berdesakan lalu menggunakan anak-anak mereka sebagai perisai, telah dikatakan: “Orang yang menggunakan perisai dari mereka boleh dipukul, tetapi anak tidak boleh disengaja.” Dan telah dikatakan: “Hendaknya dihentikan.” Dan jika mereka menggunakan seorang Muslim sebagai perisai, aku berpendapat untuk menghentikan kecuali jika mereka dalam keadaan berdesakan, maka orang musyrik boleh dipukul dan Muslim dihindari semampunya. Jika dalam keadaan seperti ini seorang Muslim terkena, dalam kitab hukum Ahli Kitab dikatakan: “Hendaknya memerdekakan seorang budak.” Dan dalam bagian lain dari kitab ini dikatakan: “Jika dia mengetahui bahwa itu seorang Muslim, maka diyat bersama dengan memerdekakan budak.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَيْسَ هَذَا عِنْدِي بِمُخْتَلِفٍ وَلَكِنَّهُ يَقُولُ: إنْ كَانَ قَتَلَهُ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّهُ مُحَرَّمُ الدَّمِ فَالدِّيَةُ مَعَ الرَّقَبَةِ، فَإِذَا ارْتَفَعَ الْعِلْمُ فَالرَّقَبَةُ دُونَ الدِّيَةِ وَلِذَلِكَ قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَوْ رَمَى فِي دَارِ الْحَرْبِ فَأَصَابَ مُسْتَأْمَنًا وَلَمْ يَقْصِدْهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إلَّا رَقَبَةٌ، وَلَوْ كَانَ عَلِمَ بِمَكَانِهِ ثُمَّ رَمَاهُ غَيْرَ مُضْطَرٍّ إلَى الرَّمْيِ فَعَلَيْهِ رَقَبَةٌ وَدِيَةٌ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini tidak diperselisihkan menurutku, tetapi dia mengatakan: Jika seseorang membunuh dengan mengetahui bahwa darahnya haram, maka diyat disertai dengan membebaskan budak. Namun, jika tidak ada pengetahuan, maka cukup membebaskan budak tanpa diyat. Oleh karena itu, Asy-Syafi’i berkata: ‘Jika seseorang melempar di negeri perang lalu mengenai musta’man (orang yang dilindungi) tanpa sengaja, maka ia hanya wajib membebaskan budak. Tetapi jika ia tahu keberadaannya lalu melemparnya tanpa terpaksa, maka wajib membebaskan budak dan membayar diyat.'”

 

وَلَوْ أَدْرَكُونَا وَفِي أَيْدِينَا خَيْلُهُمْ أَوْ مَاشِيَتُهُمْ لَمْ يَحِلَّ قَتْلُ شَيْءٍ مِنْهَا وَلَا عَقْرُهُ إلَّا أَنْ يَذْبَحَ لِمَأْكَلِهِ وَلَوْ جَازَ ذَلِكَ لِغَيْظِهِمْ بِقَتْلِهِمْ طَلَبْنَا غَيْظَهُمْ بِقَتْلِ أَطْفَالِهِمْ، وَلَكِنْ لَوْ قَاتَلُونَا عَلَى خَيْلِهِمْ فَوَجَدْنَا السَّبِيلَ إلَى قَتْلِهِمْ بِأَنْ نَعْقِرَ بِهِمْ فَعَلْنَا؛ لِأَنَّهَا تَحْتَهُمْ أَدَاةٌ لِقَتْلِنَا وَقَدْ عَقَرَ حَنْظَلَةُ بْنُ الرَّاهِبِ بِأَبِي سُفْيَانَ بْنِ حَرْبٍ يَوْمَ أُحُدٍ فانكسعت بِهِ فَرَسُهُ فَسَقَطَ عَنْهَا فَجَلَسَ عَلَى صَدْرِهِ لِيَقْتُلَهُ فَرَآهُ ابْنُ شُعُوبٍ فَرَجَعَ إلَيْهِ فَقَتَلَهُ وَاسْتَنْقَذَ أَبَا سُفْيَانَ مِنْ تَحْتِهِ.

 

 

Seandainya mereka mengejar kami sementara kuda atau ternak mereka ada di tangan kami, tidak halal membunuh atau melukai hewan tersebut kecuali untuk disembelih sebagai makanan. Jika hal itu diperbolehkan karena kemarahan mereka dengan membunuh mereka, niscaya kami akan melampiaskan kemarahan dengan membunuh anak-anak mereka. Tetapi jika mereka memerangi kami dengan mengendarai kuda mereka, dan kami menemukan cara untuk membunuh mereka dengan melukai kuda tersebut, maka kami lakukan. Karena kuda itu menjadi alat bagi mereka untuk membunuh kami. Sungguh, Hanzhalah bin Ar-Rahib pernah melukai kuda Abu Sufyan bin Harb pada Perang Uhud, sehingga kuda itu pincang dan Abu Sufyan terjatuh. Hanzhalah lalu duduk di dadanya untuk membunuhnya, namun Ibnu Syu’ub melihatnya dan kembali menyerang Hanzhalah hingga membunuhnya dan menyelamatkan Abu Sufyan dari bawahnya.

 

وَقَالَ فِي كِتَابِ حُكْمِ أَهْلِ الْكِتَابِ: وَإِنَّمَا تَرَكْنَا قَتْلَ الرُّهْبَانِ اتِّبَاعًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – وَقَالَ فِي كِتَابِ السِّيَرِ وَيُقْتَلُ الشُّيُوخُ وَالْأُجَرَاءُ وَالرُّهْبَانُ قُتِّلَ دُرَيْدُ بْنُ الصِّمَّةِ ابْنَ خَمْسِينَ وَمِائَةِ سَنَةٍ فِي شِجَارٍ لَا يَسْتَطِيعُ الْجُلُوسَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَلَمْ يُنْكِرْ قَتْلَهُ.

 

 

Dan dia berkata dalam kitab hukum Ahli Kitab: “Sesungguhnya kami tidak membunuh para rahib karena mengikuti Abu Bakar Ash-Shiddiq – semoga Allah meridhainya -“. Dan dia berkata dalam kitab As-Siyar: “Orang-orang tua, pekerja, dan rahib boleh dibunuh. Duraid bin Ash-Shimmah yang berusia seratus lima puluh tahun dibunuh dalam sebuah pertengkaran padahal dia tidak mampu duduk. Hal itu disebutkan kepada Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan beliau tidak mengingkari pembunuhannya.”

 

(قَالَ) : وَرُهْبَانُ الدِّيَاتِ وَالصَّوَامِعِ وَالْمَسَاكِنِ سَوَاءٌ وَلَوْ ثَبَتَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – خِلَافُ هَذَا لَأَشْبَهَ أَنْ يَكُونَ أَمَرَهُمْ بِالْجِدِّ عَلَى قِتَالِ مَنْ يُقَاتِلُهُمْ وَلَا يَتَشَاغَلُونَ بِالْمُقَامِ عَلَى الصَّوَامِعِ عَنْ الْحَرْبِ كَالْحُصُونِ لَا يُشْغَلُونَ بِالْمُقَامِ بِهَا عَمَّا يَسْتَحِقُّ النِّكَايَةَ بِالْعَدُوِّ وَلَيْسَ أَنَّ قِتَالَ أَهْلِ الْحُصُونِ حَرَامٌ، وَكَمَا رُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ نَهَى عَنْ قَطْعِ الشَّجَرِ الْمُثْمِرِ وَلَعَلَّهُ لِأَنَّهُ قَدْ حَضَرَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقْطَعُ عَلَى بَنِي النَّضِيرِ وَحَضَرَهُ يَتْرُكُ وَعَلِمَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَعَدَهُمْ بِفَتْحِ الشَّامِ فَتَرَكَ قَطْعَهُ لِتَبْقَى لَهُمْ مَنْفَعَتُهُ إذَا كَانَ وَاسِعًا لَهُمْ تَرْكُ قَطْعِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Para rahib yang tinggal di biara-biara dan tempat-tempat ibadah adalah sama (dalam perlindungan). Seandainya ada riwayat yang sahih dari Abu Bakar Ash-Shiddiq – radhiyallahu ‘anhu – yang bertentangan dengan ini, niscaya lebih mirip bahwa beliau memerintahkan mereka untuk bersungguh-sungguh memerangi orang yang memerangi mereka, dan tidak sibuk berdiam di biara-biara sehingga lalai dari peperangan, seperti benteng-benteng yang tidak membuat sibuk dengan berdiam di dalamnya dari apa yang berhak dilakukan untuk menyakiti musuh. Bukanlah memerangi penghuni benteng itu haram. Dan sebagaimana diriwayatkan darinya bahwa beliau melarang menebang pohon yang berbuah, barangkali karena beliau pernah menyaksikan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – menebang (pohon) di Bani Nadhir dan juga menyaksikan beliau meninggalkannya, serta mengetahui bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah menjanjikan mereka dengan penaklukan Syam, maka beliau meninggalkan penebangannya agar manfaatnya tetap ada bagi mereka, jika memang memungkinkan untuk tidak menebangnya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا أَوْلَى الْقَوْلَيْنِ عِنْدِي بِالْحَقِّ؛ لِأَنَّ كُفْرَ جَمِيعِهِمْ وَاحِدٌ وَكَذَلِكَ حِلُّ سَفْكِ دِمَائِهِمْ بِالْكُفْرِ فِي الْقِيَاسِ وَاحِدٌ، قَالَ: وَإِذَا أَمَّنَهُمْ مُسْلِمٌ حُرٌّ بَالِغٌ أَوْ عَبْدٌ يُقَاتِلُ أَوْ لَا يُقَاتِلُ أَوْ امْرَأَةٌ فَالْأَمَانُ جَائِزٌ قَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الْمُسْلِمُونَ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ» وَلَوْ خَرَجُوا إلَيْنَا بِأَمَانِ صَبِيٍّ أَوْ مَعْتُوهٍ كَانَ عَلَيْنَا رَدُّهُمْ إلَى مَأْمَنِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَعْرِفُونَ مَنْ يَجُوزُ أَمَانُهُ لَهُمْ وَمَنْ لَا يَجُوزُ، وَلَوْ أَنَّ عِلْجًا دَلَّ مُسْلِمِينَ عَلَى قَلْعَةٍ عَلَى أَنَّ لَهُ جَارِيَةً سَمَّاهَا فَلَمَّا انْتَهَوْا إلَيْهَا صَالَحَ صَاحِبُ الْقَلْعَةِ عَلَى أَنْ يَفْتَحَهَا لَهُمْ وَيُخَلُّوا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَهْلِهِ فَفَعَلَ فَإِذَا أَهْلُهُ تِلْكَ الْجَارِيَةُ. فَأَرَى أَنْ يُقَالَ لِلدَّلِيلِ: إنْ رَضِيت الْعِوَضَ عَوَّضْنَاك بِقِيمَتِهَا وَإِنْ أَبَيْت قِيلَ لِصَاحِبِ الْقَلْعَةِ: أَعْطَيْنَاك مَا صَالَحْنَا عَلَيْهِ غَيْرَك بِجَهَالَةٍ فَإِنْ سَلَّمَتْهَا عَوَّضْنَاك وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ نَبَذْنَا إلَيْك وَقَاتَلْنَاك فَإِنْ كَانَتْ أَسْلَمَتْ قَبْلَ الظَّفَرِ أَوْ مَاتَتْ عُوِّضَ وَلَا يَبِينُ ذَلِكَ فِي الْمَوْتِ كَمَا يَبِينُ إذَا أَسْلَمَتْ.

 

 

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata: “Ini adalah pendapat yang lebih benar menurutku di antara dua pendapat, karena kekafiran mereka semua sama, dan begitu pula halalnya menumpahkan darah mereka disebabkan kekafiran menurut qiyas adalah satu.” Beliau berkata: “Jika seorang Muslim yang merdeka, dewasa, atau budak—baik yang ikut berperang atau tidak—atau perempuan memberikan jaminan keamanan kepada mereka, maka jaminan itu diperbolehkan.” Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—bersabda: “Kaum Muslimin adalah satu tangan terhadap selain mereka; perjanjian mereka dijalankan oleh yang paling rendah di antara mereka.” Seandainya mereka keluar kepada kami dengan jaminan keamanan dari anak kecil atau orang gila, maka kami wajib mengembalikan mereka ke tempat aman mereka, karena mereka tidak mengetahui siapa yang boleh memberikan jaminan keamanan dan siapa yang tidak.

 

Dan seandainya seorang kafir dzimmi menunjukkan Muslimin ke sebuah benteng dengan alasan dia memiliki seorang budak perempuan yang dia sebut namanya, lalu ketika mereka sampai ke sana, pemilik benteng berdamai dengan syarat mereka membuka benteng untuk Muslimin dan membiarkannya bersama keluarganya. Ketika dilakukan, ternyata keluarganya adalah budak perempuan itu. Maka menurutku, sang penunjuk jalan harus diberi tahu: “Jika kamu rela dengan ganti rugi, kami akan memberimu nilai budak itu. Jika kamu menolak, maka pemilik benteng harus diberi tahu: ‘Kami memberimu apa yang kami sepakati dengan orang lain dalam keadaan tidak tahu. Jika kamu menyerahkannya, kami akan memberimu ganti rugi. Jika tidak, kami akan membatalkan perjanjian dan memerangimu.’ Jika budak itu masuk Islam sebelum kemenangan atau meninggal, dia tetap diberi ganti rugi, meski kematian tidak sejelas jika dia masuk Islam.”

 

 

وَإِنْ غَزَتْ طَائِفَةٌ بِغَيْرِ أَمْرِ الْإِمَامِ كَرِهْتُهُ لِمَا فِي إذْنِ الْإِمَامِ مِنْ مَعْرِفَتِهِ بِغَزْوِهِمْ وَمَعْرِفَتِهِمْ وَيَأْتِيهِ الْخَبَرُ عَنْهُمْ فَيُعِينُهُمْ حَيْثُ يُخَافُ هَلَاكُهُمْ فَيُقْتَلُونَ ضِيعَةً.

 

 

Dan jika suatu kelompok berperang tanpa izin pemimpin, aku tidak menyukainya karena izin pemimpin mengandung pengetahuannya tentang peperangan mereka dan pengetahuan mereka. Berita tentang mereka akan sampai kepadanya, lalu ia membantu mereka ketika dikhawatirkan kebinasaan mereka, sehingga mereka terbunuh sia-sia.

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan aku tidak mengetahui hal itu diharamkan bagi mereka, yaitu bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menyebutkan surga, lalu seorang laki-laki dari Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, jika aku terbunuh dalam keadaan sabar dan mengharap pahala?” Beliau menjawab, “Maka bagimu surga.” Lalu orang itu menerjang musuh dan mereka membunuhnya. Kemudian seorang laki-laki Anshar lainnya melepas baju besi yang ia kenakan saat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menyebutkan surga, lalu ia menerjang musuh dan mereka membunuhnya di hadapan Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.” Asy-Syafi’i berkata, “Jika boleh bagi seorang yang sendirian untuk maju (ke medan perang) padahal kemungkinan besar mereka akan membunuhnya, maka ini lebih besar (pahalanya) daripada seorang atau beberapa orang yang pergi tanpa izin pemimpin. Rasulullah juga pernah mengutus Amr bin Umayyah adh-Dhamri dan seorang laki-laki dari Anshar sebagai pasukan kecil berdua saja, serta mengutus Abdullah bin Unais sebagai pasukan kecil sendirian. Jika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menetapkan untuk mengutus seseorang secara sendirian untuk melakukan serangan mendadak dan selamat dengan tipu daya atau terbunuh di jalan Allah, maka hukum Allah Ta’ala menyatakan bahwa apa yang diperoleh kaum muslimin adalah ghanimah (harta rampasan perang).”

 

 

قَالَ وَمَنْ سَرَقَ مِنْ الْغَنِيمَةِ مِنْ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ حَضَرَ الْغَنِيمَةَ لَمْ يُقْطَعْ؛ لِأَنَّ لِلْحُرِّ سَهْمًا وَيُرْضَخُ لِلْعَبْدِ.

 

 

Dia berkata, “Barangsiapa mencuri dari harta rampasan perang, baik orang merdeka maupun budak yang hadir dalam pembagian harta rampasan, tangannya tidak dipotong karena orang merdeka memiliki bagian dan budak diberi bagian kecil.”

 

وَمَنْ سَرَقَ مِنْ الْغَنِيمَةِ وَفِي أَهْلِهَا أَبُوهُ أَوْ ابْنُهُ لَمْ يُقْطَعْ وَإِنْ كَانَ أَخُوهُ أَوْ امْرَأَتُهُ قُطِعَ.

 

Barangsiapa mencuri dari rampasan perang sementara di antara keluarganya terdapat ayah atau anaknya, maka tangannya tidak dipotong. Namun, jika yang ada adalah saudaranya atau istrinya, maka tangannya dipotong.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَفِي كِتَابِ السَّرِقَةِ إنْ سَرَقَ مِنْ امْرَأَتِهِ لَمْ يُقْطَعْ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan dalam kitab pencurian, jika seseorang mencuri dari istrinya, tangannya tidak dipotong.

 

 

قَالَ: وَمَا اُفْتُتِحَ مِنْ أَرْضٍ مَوَاتٍ فَهِيَ لِمَنْ أَحْيَاهَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ.

 

 

Beliau berkata: “Dan tanah mati yang dibuka (dikelola), maka itu menjadi milik orang yang menghidupkannya dari kalangan Muslim.”

 

 

وَمَا فَعَلَ الْمُسْلِمُونَ بَعْضُهُمْ بِبَعْضٍ فِي دَارِ الْحَرْبِ لَزِمَهُمْ حُكْمُهُ حَيْثُ كَانُوا إذَا جُعِلَ ذَلِكَ لِإِمَامِهِمْ لَا تَضَعُ الدَّارُ عَنْهُمْ حَدَّ اللَّهِ وَلَا حَقًّا لِمُسْلِمٍ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ السِّيَرِ وَيُؤَخَّرُ الْحُكْمُ عَلَيْهِمْ حَتَّى يَرْجِعُوا مِنْ دَارِ الْحَرْبِ قَالَ: وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ الْمُشْرِكِينَ لَمْ تَبْلُغْهُ الدَّعْوَةُ إلَّا أَنْ يَكُون خَلَّفَ الَّذِينَ يُقَاتَلُونَ أُمَّةً مِنْ الْمُشْرِكِينَ خَلْفَ التَّرْكِ وَالْخَزَرِ لَمْ تَبْلُغْهُمْ الدَّعْوَةُ فَلَا يُقَاتَلُونَ حَتَّى يُدْعَوْا إلَى الْإِيمَانِ فَإِنْ قُتِلَ مِنْهُمْ أَحَدٌ قَبْلَ ذَلِكَ فَعَلَى مَنْ قَتَلَهُ الدِّيَةُ.

 

 

Apa yang dilakukan kaum Muslimin terhadap sesama mereka di darul harbi, maka hukumnya tetap berlaku di mana pun mereka berada jika hal itu diserahkan kepada pemimpin mereka. Negeri (kafir) tidak menggugurkan hukum Allah atas mereka maupun hak seorang Muslim. (Dia berkata) dalam kitab As-Siyar: “Hukum atas mereka ditunda hingga mereka kembali dari darul harbi.” Beliau berkata: “Aku tidak mengetahui seorang pun dari kaum musyrikin yang belum sampai dakwah kepadanya, kecuali mereka yang berada di belakang orang-orang yang diperangi, yaitu sekelompok musyrikin di belakang bangsa Turk dan Khazar yang belum sampai dakwah kepada mereka. Mereka tidak diperangi hingga diajak beriman. Jika ada di antara mereka yang terbunuh sebelum itu, maka diyat dibebankan kepada pembunuhnya.”

 

بَابُ مَا أَحْرَزَهُ الْمُشْرِكُونَ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

 

Bab tentang apa yang dirampas oleh orang-orang musyrik dari kaum Muslimin

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَا يَمْلِكُ الْمُشْرِكُونَ مَا أَحْرَزُوهُ عَلَى الْمُسْلِمِينَ بِحَالٍ أَبَاحَ اللَّهُ لِأَهْلِ دِينِهِ مِلْكَ أَحْرَارِهِمْ وَنِسَائِهِمْ وَذَرَارِيِّهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ فَلَا يُسَاوُونَ الْمُسْلِمِينَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ أَبَدًا قَدْ أَحْرَزُوا نَاقَةَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَحْرَزَتْهَا مِنْهُمْ الْأَنْصَارِيَّةُ فَلَمْ يَجْعَلْ لَهَا النَّبِيُّ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – شَيْئًا وَجَعَلَهَا عَلَى أَصْلِ مِلْكِهِ فِيهَا، وَأَبَقَ لِابْنِ عُمَرَ عَبْدٌ وَعَازَ لَهُ فَرَسٌ فَأَحْرَزَهُمَا الْمُشْرِكُونَ ثُمَّ أَحْرَزَهُمَا عَلَيْهِمْ الْمُسْلِمُونَ فَرُدَّا عَلَيْهِ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: مَالِكُهُ أَحَقُّ بِهِ قَبْلَ الْقَسْمِ وَبَعْدَهُ وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا خَالَفَ فِي أَنَّ الْمُشْرِكِينَ إذَا أَحْرَزُوا عَبْدًا لِمُسْلِمٍ فَأَدْرَكَهُ وَقَدْ أَوْجَفَ عَلَيْهِ قَبْلَ الْقَسْمِ أَنَّهُ لِمَالِكِهِ بِلَا قِيمَةٍ ثُمَّ اخْتَلَفُوا بَعْدَ مَا وَقَعَ فِي الْمَقَاسِمِ فَقَالَ مِنْهُمْ قَائِلٌ بِقَوْلِنَا وَعَلَى الْإِمَامِ أَنْ يُعَوِّضَ مَنْ صَارَ فِي سَهْمِهِ مِثْلَ سَهْمِهِ مِنْ خُمُسِ الْخُمُسِ وَهُوَ سَهْمُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهَذَا يُوَافِقُ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَالْإِجْمَاعَ، وَقَالَ غَيْرُنَا: هُوَ أَحَقُّ بِهِ بِالْقِيمَةِ إنْ شَاءَ وَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ يَكُونَ مَالَ مُسْلِمٍ فَلَا يُغْنَمَ أَوْ مَالَ مُشْرِكٍ فَيُغْنَمَ فَلَا يَكُونُ لِرَبِّهِ فِيهِ حَقٌّ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُمْ لَا يَمْلِكُونَ الْحُرَّ وَلَا الْمُكَاتَبَ وَلَا أُمَّ الْوَلَدِ وَلَا الْمُدَبَّرَ وَيَمْلِكُونَ مَا سِوَاهُمْ فَإِنَّمَا يَتَحَكَّمُ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Orang-orang musyrik tidak memiliki hak atas apa yang mereka rampas dari kaum Muslimin dalam keadaan apa pun. Allah telah mengizinkan pemeluk agama-Nya untuk memiliki harta, wanita, anak-anak, dan harta benda mereka. Mereka tidak pernah disamakan dengan Muslim dalam hal itu. Mereka pernah merampas unta Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, lalu seorang wanita Anshar merebutnya kembali dari mereka, namun Nabi – ‘alaihis shalatu wassalam – tidak memberinya bagian apa pun dan mengembalikannya sebagai hak miliknya. Juga, seorang budak melarikan diri dari Ibnu Umar dan seekor kudanya hilang, lalu orang-orang musyrik merampas keduanya. Kemudian kaum Muslimin merebutnya kembali dari mereka, lalu keduanya dikembalikan kepada Ibnu Umar. Abu Bakar Ash-Shiddiq – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “Pemiliknya lebih berhak atas hartanya, baik sebelum maupun setelah pembagian.” Aku tidak mengetahui ada seorang pun yang menyelisihi pendapat bahwa jika orang-orang musyrik merampas seorang budak milik Muslim, lalu si Muslim berhasil merebutnya kembali sebelum pembagian harta rampasan, maka budak itu dikembalikan kepada pemiliknya tanpa perlu membayar tebusan. Kemudian mereka berselisih pendapat setelah harta itu masuk dalam bagian rampasan. Sebagian berpendapat seperti pendapat kami, bahwa kewajiban imam adalah mengganti orang yang mendapatkan bagiannya dengan bagian serupa dari seperlima khumus, yaitu bagian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Ini sesuai dengan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’. Sedangkan yang lain berpendapat: “Dia lebih berhak atasnya dengan membayar tebusan jika dia mau.” Namun, tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah itu harta Muslim sehingga tidak boleh dirampas, atau harta musyrik sehingga boleh dirampas dan pemiliknya tidak memiliki hak atasnya lagi. Barangsiapa mengklaim bahwa orang-orang musyrik tidak boleh memiliki orang merdeka, budak mukatab, ummul walad, atau budak mudabbar, tetapi boleh memiliki selain mereka, maka dia hanya berprasangka tanpa dasar.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا دَخَلَ الْحَرْبِيُّ إلَيْنَا بِأَمَانٍ فَأَوْدَعَ وَبَاعَ وَتَرَكَ مَالًا ثُمَّ قُتِلَ بِدَارِ الْحَرْبِ فَجَمِيعُ مَالِهِ مَغْنُومٌ (وَقَالَ) فِي كِتَابِ الْمُكَاتَبِ مَرْدُودٌ إلَى وَرَثَتِهِ؛ لِأَنَّهُ مَالٌ لَهُ أَمَانٌ.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Apabila seorang harbi masuk ke wilayah kami dengan jaminan keamanan, lalu ia menitipkan, menjual, dan meninggalkan harta, kemudian ia dibunuh di darul harbi, maka seluruh hartanya menjadi ghanimah.” (Dan ia berkata) dalam kitab al-mukatab: “Harta itu dikembalikan kepada ahli warisnya karena itu adalah harta yang memiliki jaminan keamanan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا عِنْدِي أَصَحُّ؛ لِأَنَّهُ إذَا كَانَ حَيًّا لَا يُغْنَمُ مَالُهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ؛ لِأَنَّهُ مَالٌ لَهُ أَمَانٌ فَوَارِثُهُ فِيهِ بِمَثَابَتِهِ، قَالَ: وَمَنْ خَرَجَ إلَيْنَا مِنْهُمْ مُسْلِمًا أُحْرِزَ مَالُهُ وَصِغَارُ وَلَدِهِ حَصَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَسْلَمَ ابْنَا شُعْبَةَ فَأَحْرَزَ لَهُمَا إسْلَامُهُمَا أَمْوَالَهُمَا وَأَوْلَادَهُمَا الصِّغَارَ وَسَوَاءٌ الْأَرْضُ وَغَيْرُهَا.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini menurutku lebih sahih; karena jika seseorang masih hidup, hartanya tidak boleh dirampas di darul Islam, sebab hartanya terlindungi sehingga ahli warisnya memiliki kedudukan yang sama dengannya.” Beliau berkata: “Barangsiapa dari mereka yang keluar kepada kami dalam keadaan muslim, maka hartanya dan anak-anaknya yang kecil akan dilindungi. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah mengepung Bani Quraizhah, lalu dua anak Syu’bah masuk Islam, maka keislaman mereka melindungi harta dan anak-anak kecil mereka, baik tanah maupun selainnya.”

 

وَلَوْ دَخَلَ مُسْلِمٌ فَاشْتَرَى مِنْهُمْ دَارًا أَوْ أَرْضًا أَوْ غَيْرَهَا ثُمَّ ظَهَرَ عَلَى الدَّارِ كَانَ لِلْمُشْتَرِي، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو يُوسُفَ الْأَرْضُ وَالدَّارُ فَيْءٌ وَالرَّقِيقُ وَالْمَتَاعُ لِلْمُشْتَرِي، وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ: فَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَكَّةَ عَنْوَةً فَخَلَّى بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَأَرَاضِيهِمْ وَدِيَارِهِمْ وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ: لِأَنَّهُ عَفَا عَنْهُمْ وَدَخَلَهَا عَنْوَةً وَلَيْسَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي هَذَا كَغَيْرِهِ.

 

 

Jika seorang muslim masuk dan membeli dari mereka sebuah rumah, tanah, atau lainnya, kemudian menguasai rumah tersebut, maka itu menjadi milik pembeli. Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata: “Tanah dan rumah adalah fai’, sedangkan budak dan harta benda menjadi milik pembeli.” Al-Auza’i berkata: “Rasulullah ﷺ menaklukkan Makkah dengan paksa, lalu membiarkan para Muhajirin dengan tanah dan rumah mereka.” Abu Yusuf berkata: “Karena beliau memaafkan mereka dan memasukinya dengan paksa, dan Nabi ﷺ dalam hal ini tidak seperti yang lain.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مَا دَخَلَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْوَةً وَمَا دَخَلَهَا إلَّا صُلْحًا، وَاَلَّذِينَ قَاتَلُوا وَأَذِنَ فِي قَتْلِهِمْ بَنُو نُفَاثَةَ قَتَلَةُ خُزَاعَةَ وَلَيْسَ لَهُمْ بِمَكَّةَ دَارٌ إنَّمَا هَرَبُوا إلَيْهَا وَأَمَّا غَيْرُهُمْ مِمَّنْ دَفَعَ فَادَّعَوْا أَنَّ خَالِدًا بَدَأَهُمْ بِالْقِتَالِ وَلَمْ يُنْفِذْ لَهُمْ الْأَمَانَ وَادَّعَى خَالِدٌ أَنَّهُمْ بَدَءُوهُ ثُمَّ أَسْلَمُوا قَبْلَ أَنْ يَظْهَرَ لَهُمْ عَلَى شَيْءٍ وَمَنْ لَمْ يُسْلِمْ صَارَ إلَى قَبُولِ الْأَمَانِ بِمَا تَقَدَّمَ مِنْ قَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ «مَنْ أَلْقَى سِلَاحَهُ فَهُوَ آمِنٌ وَمَنْ دَخَلَ دَارِهِ فَهُوَ آمِنٌ» فَمَالُ مَنْ يُغْنَمُ وَلَا يُقْتَدَى إلَّا بِمَا صَنَعَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -، وَمَا كَانَ لَهُ خَاصَّةً فَمُبَيَّنٌ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَكَيْفَ يَجُوزُ قَوْلُهُمَا بِجَعْلِ بَعْضِ مَالِ الْمُسْلِمِ فَيْئًا وَبَعْضِهِ غَيْرَ فَيْءٍ أَمْ كَيْفَ يُغْنَمُ مَالُ مُسْلِمٍ بِحَالٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Rasulullah ﷺ tidak memasuki Makkah dengan paksa, melainkan melalui perjanjian damai. Adapun mereka yang diperangi dan diizinkan untuk dibunuh adalah Bani Nufathah, pembunuh Khuza’ah, yang tidak memiliki rumah di Makkah—mereka hanya berlindung ke sana. Sedangkan selain mereka yang melawan, mereka mengklaim bahwa Khalid memulai peperangan dan tidak menepati jaminan keamanan. Khalid pun menyatakan bahwa merekalah yang memulai, lalu mereka masuk Islam sebelum sempat dikalahkan. Siapa yang tidak masuk Islam, maka menerima jaminan keamanan sesuai sabda Nabi ﷺ: “Siapa yang meletakkan senjatanya, ia aman. Dan siapa yang masuk ke rumahnya, ia aman.” Harta rampasan perang tidak boleh diambil kecuali mengikuti apa yang dilakukan Nabi ﷺ. Apa yang menjadi hak khusus beliau telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Bagaimana mungkin pendapat mereka membolehkan sebagian harta kaum muslimin dianggap sebagai fai’ dan sebagian lain bukan? Atau bagaimana mungkin harta seorang muslim dijadikan rampasan perang?

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) قَدْ أَحْسَنَ – وَاَللَّهِ – الشَّافِعِيُّ فِي هَذَا وَجَوَّدَ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Demi Allah, Syafi’i telah berbuat baik dan menyempurnakan dalam hal ini.”

بَابُ وُقُوعِ الرَّجُلِ عَلَى الْجَارِيَةِ قَبْلَ الْقَسْمِ أَوْ يَكُونُ لَهُ فِيهِمْ أَبٌ أَوْ ابْنٌ وَحُكْمِ السَّبْيِ

 

Bab tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi budak perempuan sebelum pembagian, atau memiliki ayah atau anak di antara mereka, serta hukum mengenai tawanan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – إنْ وَقَعَ عَلَى جَارِيَةٍ مِنْ الْمَغْنَمِ قَبْلَ الْقَسْمِ فَعَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا يُؤَدِّيهِ فِي الْمَغْنَمِ وَيُنْهَى إنْ جَهِلَ وَيُعَزَّرُ إنْ عَلِمَ وَلَا حَدَّ لِلشُّبْهَةِ؛ لِأَنَّ لَهُ فِيهَا شَيْئًا قَالَ: وَإِنْ أَحْصَوْا الْمَغْنَمَ فَعَلِمَ كَمْ حَقُّهُ فِيهَا مَعَ جَمَاعَةِ أَهْلِ الْمَغْنَمِ سَقَطَ عَنْهُ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ مِنْهَا، وَإِنْ حَمَلَتْ فَهَكَذَا وَتُقَوَّمُ عَلَيْهِ إنْ كَانَ بِهَا حَمْلٌ وَكَانَتْ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ، وَإِنْ كَانَ فِي السَّبْيِ ابْنٌ وَأَبٌ لِرَجُلٍ لَمْ يَعْتِقْ عَلَيْهِ حَتَّى يَقْسِمَهُ وَإِنَّمَا يَعْتِقُ عَلَيْهِ مَنْ اجْتَلَبَهُ بِشِرَاءٍ أَوْ هِبَةٍ، وَهُوَ لَوْ تَرَكَ حَقَّهُ مِنْ مَغْنَمِهِ لَمْ يَعْتِقْ عَلَيْهِ حَتَّى يُقْسَمَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Jika seseorang berhubungan dengan budak perempuan dari harta rampasan perang sebelum pembagian, maka ia wajib membayar mahar seperti budak tersebut yang disetorkan ke harta rampasan. Ia ditegur jika tidak tahu dan dihukum jika tahu, dan tidak ada had untuk syubhat karena ia memiliki bagian darinya. Ia juga berkata: Jika harta rampasan dihitung dan ia tahu berapa bagiannya bersama para pemilik harta rampasan lainnya, maka kewajibannya gugur sesuai bagiannya. Jika budak tersebut hamil, maka berlaku ketentuan yang sama, dan ia wajib membayar nilai budak tersebut jika mengandung dan menjadi umm walad. Jika dalam tawanan ada anak dan ayah dari seseorang, mereka tidak merdeka sampai dibagikan. Yang merdeka atasnya hanyalah yang diperoleh melalui pembelian atau hibah. Jika ia melepas haknya dari harta rampasan, budak tersebut tidak merdeka sampai dibagikan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) وَإِذَا كَانَ فِيهِمْ ابْنُهُ فَلَمْ يَعْتِقْ مِنْهُ عَلَيْهِ نَصِيبُهُ قَبْلَ الْقَسْمِ كَانَتْ الْأَمَةُ تَحْمِلُ مِنْهُ مِنْ أَنْ تَكُونَ لَهُ أُمَّ وَلَدٍ أَبْعَدُ قَالَ: وَمَنْ سُبِيَ مِنْهُمْ مِنْ الْحَرَائِرِ فَقَدْ رُقَّتْ وَبَانَتْ مِنْ الزَّوْجِ كَانَ مَعَهَا أَوْ لَمْ يَكُنْ سَبَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نِسَاءَ أَوْطَاسٍ وَبَنِي الْمُصْطَلِقِ وَرِجَالَهُمْ جَمِيعًا فَقَسَمَ السَّبْيَ وَأَمَرَ أَنْ لَا تُوطَأَ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا حَائِلٌ حَتَّى تَحِيضَ وَلَمْ يَسْأَلْ عَنْ ذَاتِ زَوْجٍ وَلَا غَيْرِهَا وَلَيْسَ قَطْعُ الْعِصْمَةِ بَيْنَهُنَّ وَبَيْنَ أَزْوَاجِهِنَّ بِأَكْثَرَ مِنْ اسْتِبَائِهِنَّ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ وَلَدِهَا حَتَّى يَبْلُغَ سَبْعَ أَوْ ثَمَانِ سِنِينَ وَهُوَ عِنْدَنَا اسْتِغْنَاءُ الْوَلَدِ عَنْهَا، وَكَذَلِكَ وَلَدُ الْوَلَدِ فَأَمَّا الْأَخَوَانِ فَيُفَرَّقُ بَيْنَهُمَا وَإِنَّمَا نَبِيعُ أَوْلَادَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ بَعْدَ مَوْتِ أُمَّهَاتِهِمْ إلَّا أَنْ يَبْلُغُوا فَيَصِفُوا الْإِسْلَامَ.

 

 

(Al-Muzani – rahimahullah – berkata) Dan jika di antara mereka ada anaknya, namun bagiannya belum merdeka sebelum pembagian, maka budak perempuan itu lebih jauh kemungkinannya untuk menjadi umm walad baginya. Beliau berkata: Dan siapa saja yang ditawan dari kalangan wanita merdeka, maka statusnya menjadi budak dan terpisah dari suaminya, baik suaminya ikut ditawan atau tidak. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah menawan wanita Awthas dan Bani Al-Musthaliq beserta laki-laki mereka semua, lalu membagikan tawanan tersebut. Beliau memerintahkan agar tidak menggauli wanita hamil sampai melahirkan, dan wanita tidak hamil sampai haid. Beliau tidak menanyakan apakah wanita itu memiliki suami atau tidak. Pemutusan ikatan antara mereka dengan suami-suami mereka tidak lebih dari status mereka sebagai tawanan. Dan tidak dipisahkan antara seorang ibu dengan anaknya sampai anak itu berusia tujuh atau delapan tahun, yang menurut kami itu adalah saat anak sudah tidak membutuhkannya. Demikian juga dengan cucu. Adapun dua saudara, maka dipisahkan antara mereka. Kami hanya menjual anak-anak orang musyrik dari kalangan musyrik setelah kematian ibu mereka, kecuali jika mereka sudah baligh dan menyatakan keislaman.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ – رَحِمَهُ اللَّهُ -) وَمِنْ قَوْلِهِ: إذَا سُبِيَ الطِّفْلُ وَلَيْسَ مَعَهُ أَبَوَاهُ وَلَا أَحَدُهُمَا إنَّهُ مُسْلِمٌ وَإِذَا سُبِيَ وَمَعَهُ أَحَدُهُمَا فَعَلَى دِينِهِمَا فَمَعْنَى هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ فِي قَوْلِهِ أَنْ يَكُونَ سَبْيُ الْأَطْفَالِ مَعَ أُمَّهَاتِهِمْ فَيَثْبُتُ فِي الْإِسْلَامِ حُكْمُ أُمَّهَاتِهِمْ وَلَا يُوجِبُ إسْلَامُهُمْ مَوْتَ أُمَّهَاتِهِمْ.

 

 

(Al-Muzani – rahimahullah – berkata) Dan di antara perkataannya: “Jika seorang anak kecil ditawan sedangkan kedua orang tuanya atau salah satunya tidak bersamanya, maka ia dihukumi muslim. Namun jika ia ditawan bersama salah satu dari keduanya, maka ia mengikuti agama orang tuanya.” Maksud masalah ini dalam perkataannya adalah bahwa tawanan anak-anak bersama ibu-ibu mereka, sehingga hukum Islam berlaku bagi ibu-ibu mereka, dan keislaman mereka (anak-anak) tidak mengharuskan kematian ibu-ibu mereka.

 

(قَالَ) : وَمَنْ أُعْتِقَ مِنْهُمْ فَلَا يُوَرَّثُ كَمِثْلِ أَنْ لَا تَقُومَ بِنَسَبِهِ بَيِّنَةٌ.

 

 

Beliau berkata: “Dan siapa saja yang dimerdekakan dari mereka (budak), maka tidak boleh mewarisi, sebagaimana tidak ada bukti yang menetapkan nasabnya.”

 

بَابُ الْمُبَارَزَةِ

 

Bab Pertarungan Satu Lawan Satu

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا بَأْسَ بِالْمُبَارَزَةِ وَقَدْ بَارَزَ يَوْمَ بَدْرٍ عُبَيْدَةُ بْنُ الْحَارِثِ وَحَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ بِإِذْنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَبَارَزَ مُحَمَّدَ بْنَ مَسْلَمَةَ مَرْحَبًا يَوْمَ خَيْبَرَ بِأَمْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَبَارَزَ يَوْمَئِذٍ الزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ يَاسِرًا وَعَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يَوْمَ الْخَنْدَقِ عَمْرَو بْنَ عَبْدِ وُدٍّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Tidak mengapa dengan pertarungan satu lawan satu. Pada Perang Badar, Ubaydah bin Al-Harits, Hamzah bin Abdul Muthalib, dan Ali bin Abi Thalib telah bertarung satu lawan satu dengan izin Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Pada Perang Khaibar, Muhammad bin Maslamah juga bertarung melawan Marhab atas perintah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Saat itu, Az-Zubair bin Al-Awwam bertarung melawan Yasir, dan Ali bin Abi Thalib – radhiyallahu ‘anhu – bertarung melawan Amr bin Abd Wudd pada Perang Khandaq.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَإِذَا بَارَزَ مُسْلِمٌ مُشْرِكًا أَوْ مُشْرِكٌ مُسْلِمًا عَلَى أَنْ لَا يُقَاتِلَهُ غَيْرُهُ وَفَّى بِذَلِكَ لَهُ فَإِنْ وَلَّى عَنْهُ الْمُسْلِمُ أَوْ جَرَحَهُ فَأَثْخَنَهُ فَلَهُمْ أَنْ يَحْمِلُوا عَلَيْهِ وَيَقْتُلُوهُ؛ لِأَنَّ قِتَالَهُمَا قَدْ انْقَضَى وَلَا أَمَانَ لَهُ عَلَيْهِمْ إلَّا أَنْ يَكُونَ شَرَطَ أَنَّهُ آمِنٌ حَتَّى يَرْجِعَ إلَى مَخْرَجِهِ مِنْ الصَّفِّ فَلَا يَكُونَ لَهُمْ قَتْلُهُ وَلَهُمْ دَفْعُهُ وَاسْتِنْقَاذُ الْمُسْلِمِ مِنْهُ فَإِنْ امْتَنَعَ وَعَرَضَ دُونَهُ لِيُقَاتِلَهُمْ قَاتَلُوهُ؛ لِأَنَّهُ نَقَضَ أَمَانَ نَفْسِهِ أَعَانَ حَمْزَةُ عَلِيًّا عَلَى عُتْبَةَ بَعْدَ أَنْ لَمْ يَكُنْ فِي عُبَيْدَةَ قِتَالٌ وَلَمْ يَكُنْ لِعُتْبَةَ أَمَانٌ يَكُفُّونَ بِهِ عَنْهُ، وَلَوْ أَعَانَ الْمُشْرِكُونَ صَاحِبَهُمْ كَانَ حَقًّا عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يُعِينُوا صَاحِبَهُمْ وَيَقْتُلُوا مَنْ أَعَانَ عَلَيْهِ وَلَا يَقْتُلُونَ الْمُبَارِزَ مَا لَمْ يَكُنْ اسْتَنْجَدَهُمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seorang muslim berduel dengan seorang musyrik atau seorang musyrik berduel dengan seorang muslim dengan syarat tidak ada pihak lain yang ikut memerangi mereka, maka syarat itu harus dipenuhi. Namun, jika muslim itu mundur atau melukainya hingga parah, maka mereka (pasukan muslim) boleh menyerang dan membunuhnya, karena duel mereka telah berakhir dan tidak ada jaminan keamanan baginya kecuali jika ada syarat bahwa dia aman sampai kembali ke posisinya di barisan. Dalam hal ini, mereka tidak boleh membunuhnya tetapi boleh menghalaunya dan menyelamatkan muslim darinya. Jika dia menolak dan menghalangi untuk memerangi mereka, maka mereka boleh memeranginya karena dia telah melanggar jaminan keamanannya sendiri. Hamzah pernah membantu Ali melawan Utbah setelah tidak ada lagi perlawanan dari Ubaidah dan Utbah tidak memiliki jaminan keamanan yang bisa menghentikan mereka. Seandainya orang-orang musyrik membantu teman mereka, maka wajib bagi kaum muslimin untuk membantu teman mereka dan membunuh siapa saja yang membantu musuh, tetapi mereka tidak boleh membunuh orang yang berduel selama dia tidak meminta bantuan.”

بَابُ فَتْحِ السَّوَادِ وَحُكْمِ مَا يُوقِفُهُ الْإِمَامُ مِنْ الْأَرْضِ لِلْمُسْلِمِينَ

 

Bab tentang penaklukan Sawad dan hukum tanah yang diwakafkan oleh imam untuk kaum Muslimin

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا أَعْرِفُ مَا أَقُولُ فِي أَرْضِ السَّوَادِ إلَّا بِظَنٍّ مَقْرُونٍ إلَى عِلْمٍ وَذَلِكَ أَنِّي وَجَدْت أَصَحَّ حَدِيثٍ يَرْوِيهِ الْكُوفِيُّونَ عِنْدَهُمْ فِي السَّوَادِ لَيْسَ فِيهِ بَيَانٌ وَوَجَدْت أَحَادِيثَ مِنْ أَحَادِيثِهِمْ تُخَالِفُهُ مِنْهَا أَنَّهُمْ يَقُولُونَ: إنَّ السَّوَادَ صُلْحٌ، وَيَقُولُونَ: إنَّ السَّوَادَ عَنْوَةٌ، وَيَقُولُونَ: بَعْضُ السَّوَادِ صُلْحٌ وَبَعْضُهُ عَنْوَةٌ، وَيَقُولُونَ: إنَّ جَرِيرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيَّ رَوَاهُ وَهَذَا أَثْبَتُ حَدِيثٍ عِنْدَهُمْ فِيهِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Aku tidak mengetahui pendapatku tentang tanah Sawad kecuali dengan dugaan yang disertai ilmu. Hal itu karena aku menemukan hadis paling sahih yang diriwayatkan oleh penduduk Kufah tentang Sawad, namun tidak ada penjelasan di dalamnya. Aku juga menemukan beberapa hadis dari mereka yang bertentangan dengannya. Di antaranya mereka mengatakan: ‘Sawad adalah hasil perundingan damai,’ ada yang mengatakan: ‘Sawad adalah hasil penaklukan,’ ada pula yang mengatakan: ‘Sebagian Sawad hasil perundingan damai dan sebagiannya hasil penaklukan.’ Mereka juga mengatakan bahwa Jarir bin Abdillah Al-Bajali meriwayatkannya, dan ini adalah hadis paling kuat menurut mereka tentang hal ini.”

(Asy-Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami seorang yang terpercaya dari Ismail bin Abu Khalid dari Qais bin Abu Hazim dari Jarir, ia berkata: “Di Jabalah terdapat seperempat penduduk, lalu dibagikan untuk mereka seperempat dari Sawad. Mereka memanfaatkannya selama tiga atau empat tahun—Asy-Syafi’i ragu—kemudian aku datang menemui Umar bin Khattab—semoga Allah meridhainya—dan bersamaku ada Fulanah binti Fulan, seorang wanita dari mereka yang telah disebutkan namanya, tetapi aku tidak ingat namanya. Umar berkata: ‘Seandainya aku bukan seorang pembagi yang akan dimintai pertanggungjawaban, niscaya aku biarkan kalian dengan apa yang telah dibagikan untuk kalian. Tetapi aku memandang agar kalian mengembalikannya kepada orang-orang.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَكَانَ فِي حَدِيثِهِ وعاضني مِنْ حَقِّي فِيهِ نَيِّفًا وَثَمَانِينَ دِينَارًا وَكَانَ فِي حَدِيثِهِ فَقَالَتْ فُلَانَةُ: قَدْ شَهِدَ أَبِي الْقَادِسِيَّةَ وَثَبَتَ سَهْمُهُ وَلَا أُسْلِمُ حَتَّى تُعْطِيَنِي كَذَا وَكَذَا فَأَعْطَاهَا إيَّاهُ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata) Dan dalam kisahnya, dia mengambil sebagian hakku sebanyak lebih dari delapan puluh dinar. Dalam kisahnya, si Fulanah berkata: “Ayahku telah ikut perang Al-Qadisiyah dan bagiannya tetap. Aku tidak akan menyerah sampai engkau memberiku ini dan itu.” Maka dia memberikannya kepadanya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ -) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ إذْ أَعْطَى جَرِيرًا عِوَضًا مِنْ سَهْمِهِ وَالْمَرْأَةَ عِوَضًا مِنْ سَهْمِ أَبِيهَا عَلَى أَنَّهُ اسْتَطَابَ أَنْفُسَ الَّذِينَ أَوْجَفُوا عَلَيْهِ فَتَرَكُوا حُقُوقَهُمْ مِنْهُ فَجَعَلَهُ وَقْفًا لِلْمُسْلِمِينَ.

 

 

(Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – berkata:) “Dalam hadis ini terdapat petunjuk, yaitu ketika Nabi memberikan kepada Jarir pengganti dari bagiannya, dan kepada wanita itu pengganti dari bagian ayahnya. Hal ini menunjukkan bahwa beliau telah membuat lega hati orang-orang yang berjuang bersamanya, sehingga mereka rela melepas hak mereka darinya, lalu beliau menjadikannya sebagai wakaf untuk kaum Muslimin.”

 

وَقَدْ «سَبَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هَوَازِنَ وَقَسَمَ الْأَرْبَعَةَ الْأَخْمَاسَ بَيْنَ الْمُوجِفِينَ ثُمَّ جَاءَتْهُ وُفُودُ هَوَازِنَ مُسْلِمِينَ فَسَأَلُوهُ أَنْ يَمُنَّ عَلَيْهِمْ وَأَنْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ مَا أَخَذَ مِنْهُمْ فَخَيَّرَهُمْ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَ الْأَمْوَالِ وَالسَّبْيِ، فَقَالُوا: خَيَّرْتنَا بَيْنَ أَحْسَابِنَا وَأَمْوَالِنَا فَنَخْتَارُ أَحْسَابَنَا، فَتَرَكَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَقَّهُ وَحَقَّ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَسَمِعَ بِذَلِكَ الْمُهَاجِرُونَ فَتَرَكُوا لَهُ حُقُوقَهُمْ وَسَمِعَ بِذَلِكَ الْأَنْصَارُ فَتَرَكُوا لَهُ حُقُوقَهُمْ، ثُمَّ بَقِيَ قَوْمٌ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ فَأَمَرَ فَعَرَّفَ عَلَى كُلِّ عَشَرَةٍ وَاحِدًا ثُمَّ قَالَ: ائْتُونِي بِطِيبِ أَنْفُسِ مَنْ بَقِيَ فَمَنْ كَرِهَ فَلَهُ عَلَيَّ كَذَا وَكَذَا مِنْ الْإِبِلِ إلَى وَقْتٍ ذَكَرَهُ قَالَ: فَجَاءُوهُ بِطِيبِ أَنْفُسِهِمْ إلَّا الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ وَعُتَيْبَةَ بْنَ بَدْرٍ فَإِنَّهُمَا أَتَيَا لِيُعَيِّرَا هَوَازِنَ فَلَمْ يُكْرِهْهُمَا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى ذَلِكَ حَتَّى كَأَنَّاهُمَا تُرِكَا بَعْدُ بِأَنْ خَدَعَ عُتْبَةَ عَنْ حَقِّهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – حَقَّ مَنْ طَابَ نَفْسًا عَنْ حَقِّهِ» قَالَ: وَهَذَا أَوْلَى الْأَمْرَيْنِ بِعُمَرَ عِنْدَنَا فِي السَّوَادِ وَفُتُوحِهِ إنْ كَانَ عَنْوَةً لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ قَسْمٌ إلَّا عَنْ أَمْرِ عُمَرَ لِكِبَرِ قَدْرِهِ، وَلَوْ يَفُوتُ عَلَيْهِ مَا انْبَغَى أَنْ يَغِيبَ عَنْهُ قَسْمُهُ ثَلَاثَ سِنِينَ وَلَوْ كَانَ الْقَسْمُ لَيْسَ لِمَنْ قُسِمَ لَهُ مَا كَانَ لَهُ مِنْهُ عِوَضٌ وَلَكَانَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَرُدُّوا الْغَلَّةَ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ كَيْفَ كَانَ، وَهَكَذَا صَنَعَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي خَيْبَرَ وَبَنِي قُرَيْظَةَ لِمَنْ أَوْجَفَ عَلَيْهَا أَرْبَعَةُ أَخْمَاسٍ وَالْخُمْسُ لِأَهْلِهِ فَمَنْ طَابَ نَفْسًا عَنْ حَقِّهِ فَجَائِزٌ لِلْإِمَامِ نَظَرًا لِلْمُسْلِمِينَ أَنْ يَجْعَلَهَا وَقْفًا عَلَيْهِمْ تُقْسَمُ غَلَّتُهُ فِيهِمْ عَلَى أَهْلِ الْفَيْءِ وَالصَّدَقَةِ وَحَيْثُ يَرَى الْإِمَامُ. وَمَنْ لَمْ يَطِبْ نَفْسًا فَهُوَ أَحَقُّ بِمَالِهِ.

 

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menawan orang-orang Hawazin dan membagikan empat perlima harta rampasan kepada para pejuang. Kemudian datanglah utusan Hawazin dalam keadaan muslim dan meminta beliau berkenan mengembalikan harta yang diambil dari mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka pilihan antara harta atau tawanan. Mereka berkata, “Engkau memberi kami pilihan antara harga diri kami atau harta kami, maka kami memilih harga diri kami.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan hak beliau dan hak keluarganya. Mendengar itu, kaum Muhajirin pun melepaskan hak mereka, begitu pula kaum Anshar. Namun masih tersisa sebagian dari Muhajirin dan Anshar. Beliau lalu memerintahkan agar setiap sepuluh orang diwakili satu orang, kemudian bersabda, “Bawakan kepadaku persetujuan dari yang tersisa. Barangsiapa tidak rela, maka baginya hak sekian dan sekian unta hingga waktu tertentu.” Mereka pun datang dengan kerelaan hati kecuali Al-Aqra’ bin Habis dan ‘Utbah bin Badr yang datang untuk mencela Hawazin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksa mereka hingga seolah mereka dibiarkan setelah itu, dengan cara ‘Utbah dikelabui agar melepaskan haknya dan beliau menerima hak dari yang rela melepasnya. Ini adalah pendapat yang lebih kuat menurut kami terkait kebijakan Umar tentang Sawad dan futuhnya. Jika diperoleh dengan peperangan, pembagiannya harus melalui perintah Umar karena kedudukannya yang tinggi. Seandainya pembagian itu tidak untuk yang berhak, maka mereka harus mengembalikan hasilnya. Wallahu a’lam. Begitu pula yang beliau lakukan di Khaibar dan Bani Quraizhah, di mana empat perlima untuk pejuang dan seperlima untuk keluarga beliau. Barangsiapa rela melepas haknya, maka Imam boleh menjadikannya wakaf untuk kaum muslimin dengan membagi hasilnya kepada ahli fa’i dan sedekah sesuai kebijakan Imam. Barangsiapa tidak rela, maka dia lebih berhak atas hartanya.

 

وَأَيُّ أَرْضٍ فُتِحَتْ صُلْحًا عَلَى أَنَّ أَرْضَهَا لِأَهْلِهَا يُؤَدُّونَ فِيهَا خَرَاجًا فَلَيسَ لِأَحَدٍ أَخْذُهَا مِنْ أَيدِيهِمْ وَمَا أُخِذَ مِنْ خَرَاجِهَا فَهُوَ لِأَهلِ الفَيْءِ دُونَ أَهلِ الصَّدَقَاتِ؛ لِأَنَّهُ فَيْءٌ مِنْ مَالِ مُشرِكٍ وَإِنَّمَا فَرَّقَ بَينَ هَذِهِ المَسْأَلَةِ وَالمَسْأَلَةِ قَبلَهَا أَنَّ ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ مِنْ مُشرِكٍ فَقَدْ مَلَكَ المُسلِمُونَ رَقَبَةَ الأَرضِ أَفَلَيسَ بِحَرَامٍ أَن يَأخُذَ مِنهُ صَاحِبُ صَدَقَةٍ وَلَا صَاحِبُ فَيْءٍ وَلَا غَنِيٌّ وَلَا فَقِيرٌ؛ لِأَنَّهُ كَالصَّدَقَةِ المَوقُوفَةِ يَأخُذُهَا مَن وُقِفَتْ عَلَيهِ وَلَا بَأْسَ أَن يَكتَرِيَ المُسلِمُ مِنْ أَرضِ الصُّلحِ كَمَا يَكتَرِي دَوَابَّهُم، وَالحَدِيثُ الَّذِي جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – لَا يَنبَغِي لِمُسلِمٍ أَن يُؤَدِّيَ الخَرَاجَ وَلَا لِمُشرِكٍ أَن يَدخُلَ المَسجِدَ الحَرَامَ إِنَّمَا هُوَ خَرَاجُ الجِزيَةِ وَهَذَا كِرَاءٌ.

 

 

Dan tanah mana pun yang dibuka melalui perjanjian damai dengan syarat tanah itu tetap milik penduduknya, dan mereka membayar kharaj (pajak tanah) di atasnya, maka tidak ada seorang pun yang berhak mengambilnya dari tangan mereka. Apa yang diambil dari kharajnya menjadi hak ahli fai’ (harta rampasan dari non-Muslim tanpa peperangan), bukan ahli zakat, karena itu termasuk fai’ dari harta orang musyrik. Perbedaan antara masalah ini dan masalah sebelumnya adalah bahwa meskipun berasal dari orang musyrik, kaum Muslim telah memiliki kepemilikan tanahnya. Bukankah haram bagi pemilik zakat, pemilik fai’, orang kaya, atau orang miskin untuk mengambilnya? Karena itu seperti sedekah yang diwakafkan, yang hanya diambil oleh pihak yang diwakafkan untuknya. Tidak mengapa seorang Muslim menyewa tanah perjanjian damai sebagaimana mereka menyewa hewan tunggangan mereka. Adapun hadis yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ, “Tidak pantas bagi seorang Muslim membayar kharaj atau seorang musyrik memasuki Masjidil Haram,” itu merujuk pada kharaj jizyah (pajak perlindungan), sedangkan ini adalah sewa.

بَابُ الْأَسِيرِ يُؤْخَذُ عَلَيْهِ الْعَهْدُ أَنْ لَا يَهْرُبَ أَوْ عَلَى الْفِدَاءِ

 

Bab tentang tawanan yang diambil janjinya untuk tidak melarikan diri atau untuk tebusan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا أُسِرَ الْمُسْلِمُ فَأَحْلَفَهُ الْمُشْرِكُونَ عَلَى أَنْ لَا يَخْرُجَ مِنْ بِلَادِهِمْ إلَّا أَنْ يُخَلُّوهُ فَلَهُ أَنْ يَخْرُجَ لَا يَسَعُهُ أَنْ يُقِيمَ وَيَمِينُهُ يَمِينُ مُكْرَهٍ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَغْتَالَهُمْ فِي أَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ؛ لِأَنَّهُمْ إذَا أَمَّنُوهُ فَهُمْ فِي أَمَانٍ مِنْهُ، وَلَوْ حَلَفَ وَهُوَ مُطْلَقٌ كَفَّرَ وَلَوْ خَلَّوْهُ عَلَى فِدَاءٍ إلَى وَقْتٍ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ عَادَ إلَى أَسْرِهِمْ فَلَا يَعُودُ وَلَا يَدَعُهُ الْإِمَامُ أَنْ يَعُودَ، وَلَوْ امْتَنَعُوا مِنْ تَخْلِيَتِهِ إلَّا عَلَى مَالٍ يُعْطِيهُمُوهُ فَلَا يُعْطِيهِمْ مِنْهُ شَيْئًا؛ لِأَنَّهُ مَالٌ أَكْرَهُوهُ عَلَى دَفْعِهِ بِغَيْرِ حَقٍّ، وَلَوْ أَعْطَاهُمُوهُ عَلَى شَيْءٍ أَخَذَهُ مِنْهُمْ لَمْ يَحِلَّ لَهُ إلَّا أَدَاؤُهُ إلَيْهِمْ إنَّمَا أُطْرِحَ عَنْهُ مَا اُسْتُكْرِهَ عَلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seorang Muslim ditawan lalu kaum musyrik membuatnya bersumpah untuk tidak meninggalkan negeri mereka kecuali mereka membebaskannya, maka ia boleh pergi dan tidak boleh tinggal. Sumpahnya adalah sumpah yang dipaksakan. Ia tidak boleh membunuh atau merampas harta mereka, karena jika mereka memberinya keamanan, mereka juga berhak mendapat keamanan darinya. Jika ia bersumpah dalam keadaan bebas, ia wajib membayar kafarat. Jika mereka membebaskannya dengan tebusan hingga waktu tertentu, lalu ia tidak memenuhinya, ia harus kembali ke tawanan mereka. Ia tidak boleh kembali, dan imam harus mencegahnya. Jika mereka menolak membebaskannya kecuali dengan harta yang harus diberikan, ia tidak boleh memberi mereka apa pun, karena harta itu diambil secara paksa tanpa hak. Jika ia memberi mereka harta sebagai ganti sesuatu yang diambil dari mereka, ia wajib mengembalikannya. Hanya yang dipaksakanlah yang dibebaskan darinya.”

(قَالَ) : وَإِذَا قَدِمَ لِيُقْتَلَ لَمْ يَجُزْ لَهُ مِنْ مَالِهِ إلَّا الثُّلُثُ.

 

Beliau berkata: “Dan jika dia datang untuk dibunuh, tidak boleh baginya dari hartanya kecuali sepertiga.”

 

بَابُ إظْهَارِ دِينِ النَّبِيِّ عَلَى الْأَدْيَانِ كُلِّهَا مِنْ كِتَابِ الْجِزْيَةِ

 

Bab tentang menampakkan agama Nabi atas semua agama dari kitab jizyah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ} التوبة: 33 وَرُوِيَ مُسْنَدًا أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «إذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلَا كِسْرَى بَعْدَهُ وَإِذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ، وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتُنْفَقَنَّ كُنُوزُهُمَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ» (قَالَ) : «وَلَمَّا أَتَى كِتَابُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إلَى كِسْرَى مَزَّقَهُ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُمَزَّقُ مُلْكُهُ» قَالَ: وَحَفِظْنَا أَنَّ قَيْصَرَ أَكْرَمَ كِتَابَهُ وَوَضَعَهُ فِي مِسْكٍ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: يَثْبُتُ مُلْكُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullahu ta’ala – berkata: Allah Ta’ala berfirman, “Agar Dia memenangkannya (Islam) atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membenci.” (QS. At-Taubah: 33). Diriwayatkan secara musnad bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Jika Kisra binasa, tidak akan ada Kisra setelahnya. Jika Kaisar binasa, tidak akan ada Kaisar setelahnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh harta kekayaan mereka berdua akan diinfakkan di jalan Allah.” Beliau juga bersabda, “Ketika surat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – sampai kepada Kisra, dia merobeknya. Maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Kerajaannya akan dirobek-robek.'” Imam Syafi’i berkata: Kami juga menghafal bahwa Kaisar memuliakan surat beliau dan meletakkannya dalam wangi-wangian (misk), maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Kerajaannya akan tetap kokoh.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَوَعَدَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – النَّاسَ فَتْحَ فَارِسَ وَالشَّامِ فَأَغْزَى أَبُو بَكْرٍ الشَّامَ عَلَى ثِقَةٍ مِنْ فَتْحِهَا لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَفَتَحَ بَعْضَهَا وَتَمَّ فَتْحُهَا فِي زَمَنِ عُمَرَ، وَفَتَحَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – الْعِرَاقَ وَفَارِسَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – Rasulullah � telah menjanjikan kepada manusia penaklukan Persia dan Syam. Maka Abu Bakar mengirim pasukan ke Syam dengan keyakinan akan penaklukannya berdasarkan sabda Nabi �. Sebagiannya berhasil ditaklukkan, lalu penaklukan sempurna terjadi di masa Umar. Umar – radhiyallahu ‘anhu – juga menaklukkan Irak dan Persia.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى – فَقَدْ أَظْهَرَ اللَّهُ دِينَ نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى سَائِرِ الْأَدْيَانِ بِأَنْ أَبَانَ لِكُلِّ مَنْ تَبِعَهُ أَنَّهُ الْحَقُّ وَمَا خَالَفَهُ مِنْ الْأَدْيَانِ فَبَاطِلٌ وَأَظْهَرَهُ بِأَنَّ جِمَاعَ الشِّرْكِ دِينَانِ دِينُ أَهْلِ الْكِتَابِ وَدِينُ أُمِّيِّينَ فَقَهَرَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْأُمِّيِّينَ حَتَّى دَانُوا بِالْإِسْلَامِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَقَتَلَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَسَبَى حَتَّى دَانَ بَعْضُهُمْ بِالْإِسْلَامِ وَأَعْطَى بَعْضٌ الْجِزْيَةَ صَاغِرِينَ وَجَرَى عَلَيْهِمْ حُكْمُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ فَهَذَا ظُهُورُهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ قَالَ وَيُقَالُ وَيُظْهَرُ دِينُهُ عَلَى سَائِرِ الْأَدْيَانِ حَتَّى لَا يُدَانَ لِلَّهِ إلَّا بِهِ وَذَلِكَ مَتَى شَاءَ اللَّهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah ta’ala – berkata: “Sungguh Allah telah menampakkan agama Nabi-Nya – shallallahu ‘alaihi wasallam – di atas semua agama dengan menjelaskan kepada setiap pengikutnya bahwa itulah kebenaran, dan agama-agama yang menyelisihinya adalah batil. Allah menampakkannya dengan menjelaskan bahwa kesyirikan terbagi menjadi dua agama: agama Ahli Kitab dan agama kaum ummiyin. Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengalahkan kaum ummiyin hingga mereka memeluk Islam, baik secara sukarela maupun terpaksa. Beliau memerangi Ahli Kitab dan menawan mereka hingga sebagian mereka memeluk Islam, sedangkan sebagian lain membayar jizyah dalam keadaan hina, dan hukum beliau berlaku atas mereka. Inilah bukti kemenangannya atas semua agama.” Beliau juga berkata: “Dikatakan bahwa agamanya akan tampak di atas semua agama hingga tidak ada yang beribadah kepada Allah kecuali dengan agama ini, dan itu terjadi ketika Allah menghendakinya.”

 

(قَالَ) : وَكَانَتْ قُرَيْشٌ تَنْتَابُ الشَّامَ انْتِيَابًا كَثِيرًا وَكَانَ كَثِيرٌ مِنْ مَعَاشِهِمْ مِنْهُ وَتَأْتِي الْعِرَاقَ فَلَمَّا دَخَلَتْ فِي الْإِسْلَامِ ذَكَرَتْ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – خَوْفَهَا مِنْ انْقِطَاعِ مَعَاشِهَا بِالتِّجَارَةِ مِنْ الشَّامِ وَالْعِرَاقِ إذَا فَارَقَتْ الْكُفْرَ وَدَخَلَتْ فِي الْإِسْلَامِ مَعَ خِلَافِ مُلْكِ الشَّامِ وَالْعِرَاقِ لِأَهْلِ الْإِسْلَامِ فَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «إذَا هَلَكَ كِسْرَى فَلَا كِسْرَى بَعْدَهُ» فَلَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ الْعِرَاقِ كِسْرَى ثَبَتَ لَهُ أَمْرٌ بَعْدَهُ، وَقَالَ «إذَا هَلَكَ قَيْصَرُ فَلَا قَيْصَرَ بَعْدَهُ» فَلَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ الشَّامِ قَيْصَرُ بَعْدَهُ، وَأَجَابَهُمْ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَحْوِ مَا قَالُوا وَكَانَ كَمَا قَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – وَقَطَعَ اللَّهُ الْأَكَاسِرَةَ عَنْ الْعِرَاقِ وَفَارِسَ وَقَيْصَرَ وَمَنْ قَامَ بَعْدَهُ بِالشَّامِ وَقَالَ فِي قَيْصَرَ يَثْبُتُ مُلْكُهُ فَثَبَتَ لَهُ مُلْكُهُ بِبِلَادِ الرُّومِ إلَى الْيَوْمِ وَتَنَحَّى مُلْكُهُ عَنْ الشَّامِ وَكُلُّ هَذَا مُتَّفَقٌ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضًا.

 

 

Beliau berkata: “Dahulu suku Quraisy sering pergi ke Syam untuk berdagang, dan sebagian besar penghidupan mereka berasal dari sana. Mereka juga pergi ke Irak. Ketika mereka masuk Islam, mereka menyampaikan kekhawatiran kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang terputusnya penghidupan mereka melalui perdagangan dari Syam dan Irak jika mereka meninggalkan kekufuran dan masuk Islam, sementara kekuasaan Syam dan Irak masih di tangan orang-orang kafir. Maka Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Jika Kisra binasa, maka tidak akan ada Kisra setelahnya.’ Maka tidak ada lagi Kisra di tanah Irak yang kekuasaannya tetap setelahnya. Beliau juga bersabda: ‘Jika Kaisar binasa, maka tidak akan ada Kaisar setelahnya.’ Maka tidak ada lagi Kaisar di tanah Syam setelahnya. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menjawab mereka sesuai dengan apa yang mereka katakan, dan terjadilah seperti yang beliau sabdakan. Allah memutuskan kekuasaan para Kisra dari Irak dan Persia, serta Kaisar dan penggantinya dari Syam. Tentang Kaisar, beliau bersabda bahwa kerajaannya akan tetap berdiri, maka kekuasaannya tetap ada di negeri Romawi hingga hari ini, sementara kekuasaannya di Syam telah lenyap. Semua ini saling bersesuaian dan membenarkan satu sama lain.”

كِتَابُ مُخْتَصَرِ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الْجِزْيَةِ

بَابُ مَنْ يُلْحَقُ بِأَهْلِ الْكِتَابِ

 

Bab Orang-Orang yang Dikategorikan Sebagai Ahli Kitab

 

وَمَا دَخَلَ فِيهِ مِنْ اخْتِلَافِ الْأَحَادِيثِ وَمِنْ كِتَابِ الْوَاقِدِيِّ وَاخْتِلَافِ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ بَابُ مَنْ يُلْحَقُ بِأَهْلِ الْكِتَابِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : انْتَوَتْ قَبَائِلُ مِنْ الْعَرَبِ قَبْلَ أَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ مُحَمَّدًا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَيُنَزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ فَدَانَتْ دِينَ أَهْلِ الْكِتَابِ فَأَخَذَ – عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – الْجِزْيَةَ مِنْ أُكَيْدِرَ دُومَةَ، وَهُوَ رَجُلٌ يُقَالُ: إنَّهُ مِنْ غَسَّانَ أَوْ مِنْ كِنْدَةَ وَمِنْ أَهْلِ ذِمَّةِ الْيَمَنِ وَعَامَّتُهُمْ عَرَبٌ وَمِنْ أَهْلِ نَجْرَانَ وَفِيهِمْ عَرَبٌ، فَدَلَّ مَا وَصَفْت أَنَّ الْجِزْيَةَ لَيْسَتْ عَلَى الْأَحْسَابِ وَإِنَّمَا هِيَ عَلَى الْأَدْيَانِ وَكَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ الْمَشْهُورُ عِنْدَ الْعَامَّةِ أَهْلَ التَّوْرَاةِ مِنْ الْيَهُودِ وَالْإِنْجِيلِ مِنْ النَّصَارَى وَكَانُوا مِنْ بَنِي إسْرَائِيلَ وَأُحِطْنَا بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَنْزَلَ كُتُبًا غَيْرَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْفُرْقَانِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى {أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى – وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى} النجم: 36 – 37 وَقَالَ تَعَالَى {وَإِنَّهُ لَفِي زُبُرِ الأَوَّلِينَ} الشعراء: 196 فَأَخْبَرَ أَنَّ لَهُ كِتَابًا سِوَى هَذَا الْمَشْهُورِ قَالَ فَأَمَّا قَوْلُ أَبِي يُوسُفَ لَا تُؤْخَذُ الْجِزْيَةُ مِنْ الْعَرَبِ فَنَحْنُ كُنَّا عَلَى هَذَا أَحْرَصَ، وَلَوْلَا أَنْ نَأْثَمَ بِتَمَنِّي بَاطِلٍ لَوَدِدْنَاهُ كَمَا قَالَ وَأَنْ لَا يُجْرَى عَلَى عَرَبِيٍّ صَغَارٌ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَجَلُّ فِي أَعْيُنِنَا مِنْ أَنْ نُحِبَّ غَيْرَ مَا حَكَمَ اللَّهُ بِهِ تَعَالَى.

 

 

Dan apa yang termasuk di dalamnya dari perbedaan hadis, dari kitab Al-Waqidi, serta perbedaan pendapat Al-Auza’i dan Abu Hanifah—semoga Allah merahmati mereka—Bab tentang orang yang digolongkan sebagai Ahli Kitab. (Imam Syafi’i—semoga Allah Ta’ala merahmatinya—berkata:) Beberapa kabilah dari Arab sebelum Allah mengutus Muhammad—shallallahu ‘alaihi wa sallam—dan menurunkan Al-Qur’an kepadanya, telah menganut agama Ahli Kitab. Maka beliau—’alaihimas shalatu was salam—mengambil jizyah dari Ukaydir Dumah, seorang lelaki yang dikatakan berasal dari Ghassan atau Kindah, termasuk ahli dzimmah Yaman, dan kebanyakan mereka adalah orang Arab, juga dari penduduk Najran yang di antara mereka ada orang Arab. Hal ini menunjukkan bahwa jizyah tidak berdasarkan keturunan, melainkan berdasarkan agama. Ahli Kitab yang dikenal umum adalah penganut Taurat dari kalangan Yahudi dan Injil dari kalangan Nasrani, dan mereka berasal dari Bani Israil. Kami juga mengetahui bahwa Allah Ta’ala menurunkan kitab-kitab selain Taurat, Injil, dan Al-Furqan, sebagaimana firman-Nya: “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam shuhuf Musa dan Ibrahim yang selalu menepati janji?” (QS. An-Najm: 36-37). Dan firman-Nya: “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar terdapat dalam kitab-kitab terdahulu.” (QS. Asy-Syu’ara: 196). Ini menunjukkan adanya kitab selain yang terkenal. Adapun perkataan Abu Yusuf bahwa jizyah tidak diambil dari orang Arab, kami lebih menginginkan hal itu. Seandainya tidak berdosa karena mengharapkan yang batil, tentu kami menginginkannya seperti yang ia katakan, dan agar tidak ada penghinaan terhadap orang Arab. Tetapi Allah lebih agung dalam pandangan kami daripada kami mencintai sesuatu yang tidak ditetapkan oleh-Nya.

 

(قَالَ) : وَالْمَجُوسُ أَهْلُ كِتَابٍ دَانُوا بِغَيْرِ دِينِ أَهْلِ الْأَوْثَانِ وَخَالَفُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى فِي بَعْضِ دِينِهِمْ كَمَا خَالَفَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فِي بَعْضِ دِينِهِمْ، وَكَانَتْ الْمَجُوسُ فِي طَرَفٍ مِنْ الْأَرْضِ لَا يَعْرِفُ السَّلَفُ مِنْ أَهْلِ الْحِجَازِ مِنْ دِينِهِمْ مَا يَعْرِفُونَ مِنْ دِينِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى حَتَّى عَرَفُوهُ وَأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – هُمْ أَهْلُ كِتَابٍ بَدَّلُوا فَأَصْبَحُوا وَقَدْ أُسْرِيَ بِكِتَابِهِمْ وَأَخَذَهَا مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -.

 

 

Beliau berkata: “Kaum Majusi adalah Ahli Kitab yang beragama selain agama penyembah berhala, dan mereka berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dalam sebagian ajaran agama mereka, sebagaimana Yahudi dan Nasrani juga berbeda dalam sebagian ajaran agama mereka. Dahulu, kaum Majusi berada di ujung bumi, sehingga para pendahulu dari penduduk Hijaz tidak mengenal agama mereka sebagaimana mereka mengenal agama Yahudi dan Nasrani, hingga akhirnya mereka mengetahuinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil jizyah dari Majusi Hajar. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Mereka adalah Ahli Kitab yang telah mengubah (agama mereka), sehingga kitab mereka diangkat (dilenyapkan), lalu Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma mengambil jizyah dari mereka.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالصَّابِئُونَ وَالسَّامِرَةُ مِثْلُهُمْ يُؤْخَذُ مِنْ جَمِيعِهِمْ الْجِزْيَةُ وَلَا تُؤْخَذُ الْجِزْيَةُ مِنْ أَهْلِ الْأَوْثَانِ وَلَا مِمَّنْ عَبَدَ مَا اسْتَحْسَنَ مِنْ غَيْرِ أَهْلِ الْكِتَابِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Dan kaum Sabi’in serta Samirah sama seperti mereka (Ahli Kitab), jizyah diambil dari semua mereka. Jizyah tidak diambil dari penyembah berhala, juga tidak dari orang yang menyembah apa yang dianggap baik selain Ahli Kitab.”

 

بَابُ الْجِزْيَةِ عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ وَالضِّيَافَةِ وَمَا لَهُمْ وَعَلَيْهِمْ

 

Bab tentang Jizyah dari Ahli Kitab, Jamuan, serta Hak dan Kewajiban Mereka

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِقِتَالِ الْمُشْرِكِينَ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ قَالَ: وَالصَّغَارُ أَنْ تُؤْخَذَ مِنْهُمْ الْجِزْيَةُ وَتُجْرَى عَلَيْهِمْ أَحْكَامُ الْإِسْلَامِ وَلَا نَعْلَمُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَالَحَ أَحَدًا عَلَى أَقَلَّ مِنْ دِينَارٍ فَمَنْ أَعْطَى مِنْهُمْ دِينَارًا غَنِيًّا كَانَ أَوْ فَقِيرًا فِي كُلِّ سَنَةٍ قَبِلَ مِنْهُ وَلَمْ يَزِدْ عَلَيْهِ وَلَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ أَقَلَّ مِنْ دِينَارٍ مِنْ غَنِيٍّ وَلَا فَقِيرٍ فَإِنْ زَادُوا قُبِلَ مِنْهُمْ وَقَالَ فِي كُتُبِ السِّيَرِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا جِزْيَةَ عَلَى فَقِيرٍ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah Ta’ala – berkata): Allah Ta’ala memerintahkan untuk memerangi kaum musyrik dari Ahli Kitab hingga mereka membayar jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan tunduk. Beliau berkata: “Ketundukan itu adalah dengan diambilnya jizyah dari mereka dan diterapkannya hukum-hukum Islam atas mereka. Kami tidak mengetahui Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah berdamai dengan seseorang dengan jizyah kurang dari satu dinar. Barangsiapa dari mereka yang memberikan satu dinar, baik ia kaya atau miskin, setiap tahun, maka diterima darinya. Tidak boleh lebih dari itu, dan tidak diterima kurang dari satu dinar, baik dari orang kaya maupun miskin. Jika mereka menambah, maka diterima dari mereka.” Beliau juga berkata dalam kitab-kitab sirah yang menunjukkan bahwa tidak ada jizyah atas orang miskin hingga ia menjadi mampu.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَالْأَوَّلُ أَصَحُّ عِنْدِي فِي أَصْلِهِ وَأَوْلَى عِنْدِي بِقَوْلِهِ وَإِنْ صَالَحُوا عَلَى ضِيَافَةِ مَا وُظِّفَتْ ثَلَاثًا قَالَ: وَيُضَيِّفُ الْمُوسِرُ كَذَا وَالْوَسَطُ كَذَا وَيُسَمَّى مَا يُطْعِمُونَهُمْ خُبْزَ كَذَا وَأُدُمَ كَذَا وَيَعْلِفُونَ دَوَابَّهُمْ مِنْ التِّبْنِ وَالشَّعِيرِ كَذَا وَيُضَيِّفُ مَنْ مَرَّ بِهِ مِنْ وَاحِدٍ إلَى كَذَا وَأَيْنَ يُنْزِلُونَهُمْ مِنْ فُضُولِ مَنَازِلِهِمْ أَوْ فِي كَنَائِسِهِمْ أَوْ فِيمَا يَكُنْ مِنْ حَرٍّ وَبَرْدٍ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْ امْرَأَةٍ وَلَا مَجْنُونٍ حَتَّى يُفِيقَ وَلَا مَمْلُوكٍ حَتَّى يَعْتِقَ وَلَا صَبِيٍّ حَتَّى يَنْبُتَ الشَّعْرُ تَحْتَ ثِيَابِهِ أَوْ يَحْتَلِمَ أَوْ يَبْلُغَ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَيَلْزَمَهُ الْجِزْيَةُ كَأَصْحَابِهِ وَتُؤْخَذُ مِنْ الشَّيْخِ الْفَانِي وَالزَّمِنِ وَمَنْ بَلَغَ وَأُمُّهُ نَصْرَانِيَّةٌ وَأَبُوهُ مَجُوسِيٌّ أَوْ أُمُّهُ مَجُوسِيَّةٌ وَأَبُوهُ نَصْرَانِيٌّ فَجِزْيَتُهُ جِزْيَةُ أَبِيهِ؛ لِأَنَّ الْأَبَ هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ الْجِزْيَةُ لَسْت أَنْظُرُ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَأَيُّهُمْ أَفْلَسَ أَوْ مَاتَ فَالْإِمَامُ غَرِيمٌ يَضْرِبُ مَعَ غُرَمَائِهِ وَإِنْ أَسْلَمَ وَقَدْ مَضَى بَعْضُ السَّنَةِ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَا مَضَى مِنْهَا وَيُشْتَرَطُ عَلَيْهِمْ أَنَّ مَنْ ذَكَرَ كِتَابَ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ مُحَمَّدًا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَوْ دِينَ اللَّهِ بِمَا لَا يَنْبَغِي أَوْ زَنَى بِمُسْلِمَةٍ أَوْ أَصَابَهَا بِاسْمِ نِكَاحٍ أَوْ فَتَنَ مُسْلِمًا عَنْ دِينِهِ أَوْ قَطَعَ عَلَيْهِ الطَّرِيقَ أَوْ أَعَانَ أَهْلَ الْحَرْبِ بِدَلَالَةٍ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَوْ آوَى عَيْنًا لَهُمْ فَقَدْ نَقَضَ عَهْدَهُ وَأُحِلَّ دَمُهُ وَبَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ تَعَالَى وَذِمَّةُ رَسُولِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -.

 

 

(Al-Muzani berkata) “Pendapat pertama lebih sahih menurutku dalam dasar hukumnya dan lebih utama menurutku berdasarkan ucapannya. Jika mereka berdamai dengan ketentuan menjamu selama tiga hari, ia berkata: ‘Orang kaya wajib menjamu sebanyak ini, orang menengah sebanyak itu, dan disebutkan apa yang mereka berikan berupa roti seperti ini dan lauk seperti itu. Mereka juga wajib memberi makan hewan tunggangannya dari jerami dan gandum sebanyak itu. Mereka harus menjamu orang yang lewat mulai dari satu orang hingga sekian, dan di mana mereka menempatkannya—apakah di sisa rumah mereka, gereja-gereja mereka, atau tempat yang melindungi dari panas dan dingin.’ Jizyah tidak diambil dari wanita, orang gila sampai sadar, budak sampai merdeka, atau anak kecil sampai tumbuh rambut di bawah pakaiannya, bermimpi basah, atau mencapai usia lima belas tahun sehingga ia wajib membayar jizyah seperti lainnya. Jizyah diambil dari orang tua yang lemah, orang sakit kronis, serta orang yang sudah balig meski ibunya Nasrani dan ayahnya Majusi, atau ibunya Majusi dan ayahnya Nasrani—jizyahnya mengikuti ayahnya karena ayahlah yang bertanggung jawab atas jizyah. Aku tidak mempertimbangkan selain itu. Jika ada yang bangkrut atau meninggal, imam berperan sebagai kreditur yang membagi bersama kreditur lainnya. Jika ia masuk Islam setelah sebagian tahun berlalu, ia tetap wajib membayar sesuai masa yang telah lewat. Disyaratkan atas mereka bahwa siapa pun yang menghina Kitabullah, Muhammad ﷺ, atau agama Allah dengan cara yang tidak pantas, berzina dengan wanita Muslimah, menyetubuhinya atas nama nikah, mengajak Muslim meninggalkan agamanya, merampok di jalan, membantu musuh dengan memberi informasi tentang Muslim, atau melindungi mata-mata musuh—maka ia telah melanggar perjanjian, darahnya halal, dan ia terbebas dari perlindungan Allah dan Rasul-Nya ﷺ.”

 

وَيُشْتَرَطُ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يُسْمِعُوا الْمُسْلِمِينَ شِرْكَهُمْ وَقَوْلَهُمْ فِي عُزَيْرٍ وَالْمَسِيحِ وَلَا يُسْمِعُونَهُمْ ضَرْبَ نَاقُوسٍ وَإِنْ فَعَلُوا عُزِّرُوا وَلَا يَبْلُغُ بِهِمْ الْحَدَّ وَلَا يُحْدِثُوا فِي أَمْصَارِ الْإِسْلَامِ كَنِيسَةً وَلَا مَجْمَعًا لِصَلَاتِهِمْ وَلَا يُظْهِرُوا فِيهَا حَمْلَ خَمْرٍ وَلَا إدْخَالَ خِنْزِيرٍ وَلَا يُحْدِثُونَ بِنَاءً يَتَطَوَّلُونَ بِهِ بِنَاءَ الْمُسْلِمِينَ وَأَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ هَيْئَتِهِمْ فِي الْمَلْبَسِ وَالْمَرْكَبِ وَبَيْنَ هَيْئَاتِ الْمُسْلِمِينَ وَأَنْ يَعْقِدُوا الزَّنَانِيرَ عَلَى أَوْسَاطِهِمْ وَلَا يَدْخُلُوا مَسْجِدًا وَلَا يَسْقُوا مُسْلِمًا خَمْرًا وَلَا يُطْعِمُوهُ خِنْزِيرًا فَإِنْ كَانُوا فِي قَرْيَةٍ يَمْلِكُونَهَا مُنْفَرِدِينَ لَمْ نَتَعَرَّضْ لَهُمْ فِي خَمْرِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ وَرَفْعِ بُنْيَانِهِمْ وَإِنْ كَانَ لَهُمْ بِمِصْرَ الْمُسْلِمِينَ كَنِيسَةٌ أَوْ بِنَاءٌ طَائِلٌ لِبِنَاءِ الْمُسْلِمِينَ لَمْ يَكُنْ لِلْمُسْلِمِينَ هَدْمُ ذَلِكَ وَتُرِكُوا عَلَى مَا وُجِدُوا وَمُنِعُوا إحْدَاثَ مِثْلِهِ وَهَذَا إذَا كَانَ الْمِصْرُ لِلْمُسْلِمِينَ أَحْيَوْهُ أَوْ فَتَحُوهُ عَنْوَةً وَشُرِطَ هَذَا عَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ وَإِنْ كَانُوا فَتَحُوا بِلَادَهُمْ عَلَى صُلْحٍ مِنْهُمْ عَلَى تَرْكِهِمْ ذَلِكَ خُلُّوا وَإِيَّاهُ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُصَالَحُوا عَلَى أَنْ يَنْزِلُوا بِلَادَ الْإِسْلَامِ يُحْدِثُوا فِيهَا ذَلِكَ وَيَكْتُبُ الْإِمَامُ أَسْمَاءَهُمْ وَحِلَاهُمْ فِي دِيوَانٍ وَيُعَرِّفُ عَلَيْهِمْ عُرَفَاءَ لَا يَبْلُغُ مِنْهُمْ مَوْلُودٌ وَلَا يَدْخُلُ فِيهِمْ أَحَدٌ مِنْ غَيْرِهِمْ إلَّا رَفَعَهُ إلَيْهِ.

 

 

Dan diwajibkan atas mereka untuk tidak memperdengarkan kepada kaum Muslimin kemusyrikan mereka dan ucapan mereka tentang Uzair dan Al-Masih, serta tidak memperdengarkan bunyi lonceng. Jika mereka melanggar, mereka akan dihukum tanpa sampai pada hukuman had. Mereka juga dilarang mendirikan gereja atau tempat berkumpul untuk ibadah di wilayah Islam, menampakkan pembawa khamr, memasukkan babi, atau membangun bangunan yang melebihi tinggi bangunan Muslim. Mereka harus membedakan penampilan mereka dalam pakaian dan kendaraan dari penampilan Muslim, serta memakai ikat pinggang (zunnar). Mereka tidak boleh memasuki masjid, memberi minum khamr kepada Muslim, atau memberinya makan babi. Jika mereka berada di desa yang mereka kuasai sendiri, kami tidak akan mengganggu khamr, babi, atau bangunan tinggi mereka. Jika di wilayah Muslim ada gereja atau bangunan tinggi milik mereka yang sudah ada sebelum Islam, kaum Muslim tidak boleh merobohkannya dan mereka dilarang membangun yang serupa. Ini berlaku jika wilayah itu dihidupkan atau ditaklukkan dengan paksa oleh Muslim, dan syarat ini dibebankan kepada ahli dzimah. Jika mereka menyerahkan negeri mereka dengan perjanjian damai yang membolehkan praktik tersebut, mereka dibiarkan. Namun, tidak boleh ada perjanjian yang mengizinkan mereka tinggal di negeri Islam lalu melakukan hal-hal itu. Imam harus mencatat nama dan ciri-ciri mereka di diwan, serta menunjuk petugas yang memantau agar tidak ada anak yang lahir atau orang asing yang masuk ke dalam kelompok mereka tanpa dilaporkan.

 

وَإِذَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ صُلْحُهُمْ بَعَثَ فِي كُلِّ بِلَادٍ فَجُمِعَ الْبَالِغُونَ مِنْهُمْ ثُمَّ يُسْأَلُونَ عَنْ صُلْحِهِمْ فَمَنْ أَقَرَّ بِأَقَلِّ الْجِزْيَةِ قُبِلَ مِنْهُ وَمَنْ أَقَرَّ بِزِيَادَةٍ لَمْ يَلْزَمْهُ غَيْرُهَا وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ أَنْ يُصَالِحَ أَحَدًا مِنْهُمْ عَلَى أَنْ يَسْكُنَ الْحِجَازَ بِحَالٍ وَلَا يَبِينُ أَنْ يُحَرَّمَ أَنْ يَمُرَّ ذِمِّيٌّ بِالْحِجَازِ مَارًّا لَا يُقِيمُ بِهَا أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِ لَيَالٍ وَذَلِكَ مُقَامُ مُسَافِرٍ لِاحْتِمَالِ أَمْرِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِإِجْلَائِهِمْ عَنْهَا أَنْ لَا يَسْكُنُوهَا وَلَا بَأْسَ أَنْ يَدْخُلَهَا الرُّسُلُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ} التوبة: 6 الْآيَةَ وَلَوْلَا أَنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَجَّلَ مَنْ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْهُمْ تَاجِرًا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ لَا يُقِيمُ فِيهَا بَعْدَ ثَلَاثٍ لَرَأَيْتُ أَنْ لَا يُصَالَحُوا عَلَى أَنْ لَا يَدْخُلُوهَا بِحَالٍ وَلَا يُتْرَكُوا يَدْخُلُونَهَا إلَّا بِصُلْحٍ كَمَا كَانَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يَأْخُذُ مِنْ أَمْوَالِهِمْ إذَا دَخَلُوا الْمَدِينَةَ وَلَا يَتْرُكُ أَهْلَ الْحَرْبِ يَدْخُلُونَ بِلَادَ الْإِسْلَامِ تُجَّارًا فَإِنْ دَخَلُوا بِغَيْرِ أَمَانٍ وَلَا رِسَالَةٍ غَنِمُوا فَإِنْ دَخَلُوا بِأَمَانٍ وَشُرِطَ عَلَيْهِمْ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهُمْ عُشْرٌ أَوْ أَقَلُّ أَوْ أَكْثَرُ أُخِذَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ شُرِطَ عَلَيْهِمْ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُمْ شَيْءٌ، وَسَوَاءٌ كَانُوا يُعَشِّرُونَ الْمُسْلِمِينَ إذَا دَخَلُوا بِلَادَهُمْ أَوْ يَخْمِسُونَهُمْ أَوْ لَا يَعْرِضُونَ لَهُمْ وَإِذَا اتَّجَرُوا فِي بِلَادِ الْمُسْلِمِينَ إلَى أُفُقٍ مِنْ الْآفَاقِ لَمْ يُؤْخَذْ مِنْهُمْ فِي السَّنَةِ إلَّا مَرَّةً كَالْجِزْيَةِ.

 

 

Dan jika perjanjian damai mereka membingungkan, dia mengutus ke setiap negeri lalu dikumpulkan orang-orang dewasa dari mereka, kemudian mereka ditanya tentang perjanjian damai mereka. Barangsiapa mengakui dengan membayar jizyah paling rendah, diterima darinya. Dan barangsiapa mengakui dengan tambahan, tidak diwajibkan selain itu. Seorang imam tidak boleh berdamai dengan seorang pun dari mereka untuk tinggal di Hijaz dalam keadaan apa pun. Juga tidak jelas diharamkan seorang dzimmi melewati Hijaz sekadar lewat tanpa tinggal lebih dari tiga malam, karena itu adalah tempat singgah musafir, mengingat kemungkinan perintah Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk mengusir mereka darinya agar tidak tinggal di sana. Tidak masalah jika utusan masuk ke sana berdasarkan firman-Nya, “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu…” (QS. At-Taubah: 6). Seandainya bukan karena Umar – radhiyallahu ‘anhu – memberi tenggat waktu tiga hari bagi pedagang mereka yang datang ke Madinah tanpa tinggal setelah tiga hari, niscaya aku berpendapat agar mereka tidak boleh berdamai untuk masuk ke sana sama sekali, dan tidak dibiarkan masuk kecuali dengan perjanjian damai, sebagaimana Umar – radhiyallahu ‘anhu – mengambil dari harta mereka jika masuk ke Madinah. Dia juga tidak membiarkan ahli harbi masuk ke negeri Islam sebagai pedagang. Jika mereka masuk tanpa jaminan keamanan atau utusan, mereka dianggap sebagai ghanimah. Jika mereka masuk dengan jaminan keamanan dan disyaratkan untuk mengambil sepersepuluh, kurang, atau lebih dari mereka, maka diambil. Jika tidak disyaratkan, tidak diambil apa pun dari mereka. Sama saja apakah mereka memungut sepersepuluh dari Muslim jika masuk ke negeri mereka, atau seperlima, atau tidak mengganggu mereka. Jika mereka berdagang di negeri Muslim hingga ke suatu ufuk, tidak diambil dari mereka dalam setahun kecuali sekali seperti jizyah.

 

وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ أَنَّهُ كَتَبَ أَنْ يُؤْخَذَ مِمَّا ظَهَرَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَأَمْوَالِ الْمُسْلِمِينَ وَأَنْ يُكْتَبَ لَهُمْ بَرَاءَةٌ إلَى مِثْلِهِ مِنْ الْحَوْلِ وَلَوْلَا أَنَّ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَخَذَهُ مِنْهُمْ مَا أَخَذْنَاهُ وَلَمْ يَبْلُغْنَا أَنَّهُ أَخَذَ مِنْ أَحَدٍ فِي سَنَةٍ إلَّا مَرَّةً.

 

 

Dan telah disebutkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa ia menulis agar diambil dari harta yang tampak dari harta mereka dan harta kaum muslimin, serta dituliskan untuk mereka kebebasan (dari kewajiban) hingga waktu yang sama pada tahun berikutnya. Seandainya bukan karena Umar – radhiyallahu ‘anhu – mengambilnya dari mereka, niscaya kami tidak akan mengambilnya. Dan tidak sampai kepada kami bahwa beliau mengambil dari seseorang dalam setahun kecuali sekali.

 

(قَالَ) : وَيُؤْخَذُ مِنْهُمْ مَا أَخَذَ عُمَرُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ رُبُعُ الْعُشْرِ وَمِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ نِصْفُ الْعُشْرِ وَمِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ الْعُشْرُ اتِّبَاعًا لَهُ عَلَى مَا أَخَذَ.

 

 

Beliau berkata: “Diambil dari mereka sebagaimana yang diambil oleh Umar dari kaum Muslimin seperempat sepersepuluh, dari ahli dzimmi setengah sepersepuluh, dan dari ahli harbi sepersepuluh, sebagai bentuk mengikuti kebijakannya dalam pengambilan tersebut.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَدْ رَوَى الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مِنْ حَدِيثٍ صَحِيحِ الْإِسْنَادِ أَنَّهُ أَخَذَ مِنْ النَّبَطِ مِنْ الْحِنْطَةِ وَالزَّيْتِ نِصْفَ الْعُشْرِ يُرِيدُ بِذَلِكَ أَنْ يُكْثِرَ الْحَمْلَ إلَى الْمَدِينَةِ وَمِنْ الْقُطْنِيَّةِ الْعُشْرَ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Sungguh, Asy-Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – telah meriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – melalui hadits dengan sanad yang sahih, bahwa beliau mengambil dari orang-orang Nabath setengah sepersepuluh (5%) dari gandum dan minyak, dengan tujuan untuk memperbanyak pengiriman ke Madinah, dan sepersepuluh (10%) dari biji-bijian.”

(Asy-Syafi’i berkata) Dan aku tidak mengira dia mengambil itu dari mereka kecuali dengan suatu syarat.

 

(قَالَ) : وَيُحَدِّدُ الْإِمَامُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ فِي تِجَارَاتِهِمْ مَا يَبِينُ لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْعَامَّةِ لِيَأْخُذَهُمْ بِهِ الْوُلَاةُ وَأَمَّا الْحَرَمُ فَلَا يَدْخُلُهُ مِنْهُمْ أَحَدٌ بِحَالٍ كَانَ لَهُ بِهَا مَالٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ وَيَخْرُجُ الْإِمَامُ مِنْهُ إلَى الرُّسُلِ وَمَنْ كَانَ بِهَا مِنْهُمْ مَرِيضًا أَوْ مَاتَ أُخْرِجَ مَيِّتًا وَلَمْ يُدْفَنْ بِهَا. وَرُوِيَ أَنَّهُ سَمِعَ عَدَدًا مِنْ أَهْلِ الْمَغَازِي يَرْوُونَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا يَجْتَمِعُ مُسْلِمٌ وَمُشْرِكٌ فِي الْحَرَمِ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا» .

 

 

Beliau berkata: “Imam menetapkan batasan antara dirinya dan mereka dalam urusan perdagangan mereka sesuai dengan apa yang jelas baginya, bagi mereka, dan bagi masyarakat umum, agar para penguasa dapat menindak mereka. Adapun Tanah Haram, tidak seorang pun dari mereka boleh memasukinya dalam keadaan apa pun, baik memiliki harta di sana maupun tidak. Imam akan mengeluarkan mereka melalui utusan-utusan. Jika ada di antara mereka yang sakit atau meninggal di sana, mayatnya harus dikeluarkan dan tidak dikuburkan di sana.” Diriwayatkan bahwa dia mendengar sejumlah ahli peperangan meriwayatkan bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Tidak boleh seorang muslim dan musyrik berkumpul di Tanah Haram setelah tahun mereka ini.”

 

بَابٌ فِي نَصَارَى الْعَرَبِ تُضَعَّفُ عَلَيْهِمْ الصَّدَقَةُ وَمَسْلَكُ الْجِزْيَةِ

 

Bab tentang Nasrani Arab yang zakatnya dilipatgandakan atas mereka dan cara pembayaran jizyah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: اخْتَلَفَتْ الْأَخْبَارُ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي نَصَارَى الْعَرَبِ مِنْ تَنُوخِ وَبَهْرَاءَ وَبَنِي تَغْلِبَ فَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ صَالَحَهُمْ عَلَى أَنْ يُضَعِّفَ عَلَيْهِمْ الْجِزْيَةَ وَلَا يُكْرَهُوا عَلَى غَيْرِ دِينِهِمْ، وَهَكَذَا حَفِظَ أَهْلُ الْمَغَازِي قَالُوا رَامَهُمْ عُمَرُ عَلَى الْجِزْيَةِ فَقَالُوا: نَحْنُ عَرَبٌ لَا نُؤَدِّي مَا يُؤَدِّي الْعَجَمُ وَلَكِنْ خُذْ مِنَّا كَمَا يَأْخُذُ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ يَعْنُونَ الصَّدَقَةَ؛ فَقَالَ عُمَرُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -: لَا، هَذَا فَرْضٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَقَالُوا: فَزِدْ مَا شِئْت بِهَذَا الِاسْمِ لَا بِاسْمِ الْجِزْيَةِ فَرَاضَاهُمْ عَلَى أَنْ يُضَعِّفَ عَلَيْهِمْ الصَّدَقَةَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Terdapat perbedaan riwayat tentang Umar bin Khattab – radhiyallahu ‘anhu – terkait Nasrani Arab dari suku Tanukh, Bahra’, dan Bani Taghlib. Diriwayatkan bahwa beliau berdamai dengan mereka dengan syarat menggandakan jizyah bagi mereka dan tidak memaksa mereka meninggalkan agama mereka. Demikianlah yang dihafal oleh ahli sejarah peperangan. Mereka berkata, ‘Umar meminta mereka membayar jizyah, tetapi mereka menjawab, ‘Kami adalah orang Arab, tidak mau membayar seperti yang dibayar orang non-Arab. Ambillah dari kami seperti sebagian kalian mengambil dari sebagian yang lain,’ maksudnya zakat. Umar – radhiyallahu ‘anhu – berkata, ‘Tidak, itu kewajiban bagi Muslim.’ Mereka berkata, ‘Kalau begitu, tambahkanlah sekehendakmu dengan nama ini, bukan nama jizyah.’ Akhirnya, Umar menyetujui untuk menggandakan zakat bagi mereka.”

 

(قَالَ) : فَإِذَا ضَعَّفَهَا عَلَيْهِمْ فَانْظُرْ إلَى مَوَاشِيهِمْ وَذَهَبِهِمْ وَوَرِقِهِمْ وَأَطْعِمَتِهِمْ وَمَا أَصَابُوا مِنْ مَعَادِنِ بِلَادِهِمْ وَرِكَازِهَا وَكُلِّ أَمْرٍ أُخِذَ فِيهِ مِنْ مُسْلِمٍ خُمُسٌ فَخُذْ خُمُسَيْنِ أَوْ عُشْرٌ فَخُذْ عُشْرَيْنِ أَوْ نِصْفُ عُشْرٍ فَخُذْ عُشْرًا أَوْ رُبُعُ عُشْرٍ فَخُذْ نِصْفَ عُشْرٍ، وَكَذَلِكَ مَاشِيَتُهُمْ خُذْ الضِّعْفَ مِنْهَا وَكُلُّ مَا أُخِذَ مِنْ ذِمِّيٍّ عَرَبِيٍّ فَمَسْلَكُهُ مَسْلَكُ الْفَيْءِ وَمَا اتَّجَرَ بِهِ نَصَارَى الْعَرَبِ وَأَهْلُ دِينِهِمْ وَإِنْ كَانُوا يَهُودًا تُضَاعَفُ عَلَيْهِمْ فِيهِ الصَّدَقَةُ.

 

 

(Dia berkata): “Jika engkau melipatgandakan kewajiban atas mereka, maka perhatikanlah hewan ternak mereka, emas, perak, makanan mereka, serta apa yang mereka peroleh dari tambang negeri mereka dan kekayaannya. Setiap perkara yang diambil dari seorang Muslim seperlima, ambillah dua perlima. Jika sepersepuluh, ambillah dua persepuluh. Jika setengah sepersepuluh, ambillah sepersepuluh. Jika seperempat sepersepuluh, ambillah setengah sepersepuluh. Begitu pula hewan ternak mereka, ambillah dua kali lipat darinya. Segala yang diambil dari dzimmi Arab, maka jalannya seperti fai’. Dan apa yang diperdagangkan oleh Nasrani Arab serta penganut agama mereka, meskipun mereka Yahudi, zakat atas mereka dilipatgandakan.”

 

بَابُ الْمُهَادَنَةِ عَلَى النَّظَرِ لِلْمُسْلِمِينَ

 

Bab tentang gencatan senjata untuk kepentingan umat Islam.

وَنَقْضِ مَا لَا يَجُوزُ مِنْ الصُّلْحِ.

 

dan pembatalan perdamaian yang tidak diperbolehkan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: إنْ نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ بِقُوَّةِ عَدُوٍّ عَلَيْهِمْ – وَأَرْجُو أَنْ لَا يُنْزِلَهَا اللَّهُ بِهِمْ – هَادَنَهُمْ الْإِمَامُ عَلَى النَّظَرِ لِلْمُسْلِمِينَ إلَى مُدَّةٍ يَرْجُو إلَيْهَا الْقُوَّةَ عَلَيْهِمْ لَا تُجَاوِزُ مُدَّةَ أَهْلِ الْحُدَيْبِيَةِ الَّتِي هَادَنَهُمْ عَلَيْهَا عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَهِيَ عَشْرُ سِنِينَ فَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُهَادِنَ إلَى غَيْرِ مُدَّةٍ عَلَى أَنَّهُ مَتَى بَدَا لَهُ نَقَضَ الْهُدْنَةَ فَجَائِزٌ وَإِنْ كَانَ قَوِيًّا عَلَى الْعَدُوِّ لَمْ يُهَادِنْهُمْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى لَمَّا قَوِيَ الْإِسْلَامُ {بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ} التوبة: 1 الْآيَةَ وَجَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِصَفْوَان بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ بِسِنِينَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ لَا أَعْلَمُهُ زَادَ أَحَدٌ بَعْدَ قُوَّةِ الْإِسْلَامِ عَلَيْهَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُؤَمِّنَ الرَّسُولَ وَالْمُسْتَأْمَنَ إلَّا بِقَدْرِ مَا يَبْلُغَانِ حَاجَتَهُمَا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُقِيمَ بِهَا سَنَةً بِغَيْرِ جِزْيَةٍ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُهَادِنَهُمْ عَلَى أَنْ يُعْطِيَهُمْ الْمُسْلِمُونَ شَيْئًا بِحَالٍ؛ لِأَنَّ الْقَتْلَ لِلْمُسْلِمِينَ شَهَادَةٌ وَأَنَّ الْإِسْلَامَ أَعَزُّ مِنْ أَنْ يُعْطَى مُشْرِكٌ عَلَى أَنْ يَكُفَّ عَنْ أَهْلِهِ؛ لِأَنَّ أَهْلَهُ قَاتِلِينَ وَمَقْتُولِينَ ظَاهِرُونَ عَلَى الْحَقِّ إلَّا فِي حَالٍ يَخَافُونَ الِاصْطِدَامَ فَيُعْطُونَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ أَوْ يَفْتَدِي مَأْسُورًا فَلَا بَأْسَ؛ لِأَنَّ هَذَا مَوْضِعُ ضَرُورَةٍ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Jika kaum muslimin ditimpa musibah karena kuatnya musuh – dan aku berharap Allah tidak menimpakan hal itu pada mereka – maka seorang imam boleh berdamai dengan musuh demi kepentingan kaum muslimin untuk suatu masa yang diharapkan dapat menguatkan mereka, dengan syarat tidak melebihi masa perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – yaitu sepuluh tahun. Jika imam ingin berdamai tanpa batas waktu dengan syarat bisa membatalkan perjanjian kapan saja ia mau, itu juga boleh. Namun, jika kaum muslimin sudah kuat, imam tidak boleh berdamai lebih dari empat bulan, berdasarkan firman Allah Ta’ala ketika Islam sudah kuat: ‘Inilah pernyataan pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang musyrik yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).’ (QS. At-Taubah: 1). Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – juga memberi waktu empat bulan kepada Safwan setelah Fathu Makkah, dan tidak ada yang menambah masa itu setelah Islam kuat. Tidak boleh memberikan jaminan keamanan kepada utusan atau orang yang meminta perlindungan kecuali sekadar cukup untuk kebutuhan mereka. Tidak boleh juga membiarkan mereka tinggal setahun tanpa membayar jizyah. Tidak boleh berdamai dengan syarat kaum muslimin harus memberikan sesuatu kepada musuh, karena terbunuhnya kaum muslimin adalah syahadah, dan Islam lebih mulia daripada harus memberi sesuatu kepada musyrik agar mereka menahan diri dari kaum muslimin. Sebab, kaum muslimin adalah pembela kebenaran yang siap berperang atau terbunuh, kecuali dalam keadaan takut bentrok, maka boleh memberikan harta mereka atau menebus tawanan, karena ini termasuk kondisi darurat.”

 

وَإِنْ صَالَحَهُمْ الْإِمَامُ عَلَى مَا لَا يَجُوزُ فَالطَّاعَةُ نَقْضُهُ كَمَا صَنَعَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي النِّسَاءِ وَقَدْ أَعْطَى الْمُشْرِكِينَ فِيهِنَّ مَا أَعْطَاهُمْ فِي الرِّجَالِ وَلَمْ يَسْتَثْنِ فَجَاءَتْهُ أُمُّ كُلْثُوم بِنْتُ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ مُسْلِمَةً مُهَاجِرَةً فَجَاءَ أَخَوَاهَا يَطْلُبَانِهَا فَمَنَعَهَا مِنْهُمَا وَأَخْبَرَ أَنَّ اللَّهَ مَنَعَ الصُّلْحَ فِي النِّسَاءِ وَحَكَمَ فِيهِنَّ غَيْرَ حُكْمِهِ فِي الرِّجَالِ وَبِهَذَا قُلْنَا: لَوْ أَعْطَى الْإِمَامُ قَوْمًا مِنْ الْمُشْرِكِينَ الْأَمَانَ عَلَى أَسِيرٍ فِي أَيْدِيهِمْ مِنْ الْمُسْلِمِينَ أَوْ مَالٍ ثُمَّ جَاءُوهُ لَمْ يَحِلَّ لَهُ إلَّا نَزْعُهُ مِنْهُمْ بِلَا عِوَضٍ وَإِنْ ذَهَبَ ذَاهِبٌ إلَى أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رَدَّ أَبَا جَنْدَلِ بْنَ سُهَيْلٍ إلَى أَبِيهِ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ إلَى أَهْلِهِ قِيلَ لَهُ أَهْلُوهُمْ أَشْفَقُ النَّاسِ عَلَيْهِمْ وَأَحْرَصُهُمْ عَلَى سَلَامَتِهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَقُونَهُمْ بِأَنْفُسِهِمْ مِمَّا يُؤْذِيهِمْ فَضْلًا عَنْ أَنْ يَكُونُوا مُتَّهَمِينَ عَلَى أَنْ يَنَالُوهُمْ بِتَلَفٍ أَوْ عَذَابٍ وَإِنَّمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ دِينَهُمْ فَكَانُوا يُشَدِّدُونَ عَلَيْهِمْ بِتَرْكِ دِينِهِمْ كُرْهًا وَقَدْ وَضَعَ اللَّهُ الْمَأْثَمَ فِي إكْرَاهِهِمْ أَوَلَا تَرَى أَنَّ النِّسَاءَ إذَا أُرِيدَ بِهِنَّ الْفِتْنَةُ ضَعُفْنَ وَلَمْ يَفْهَمْنَ فَهْمَ الرِّجَالِ وَكَانَ التَّقِيَّةُ تَسَعُهُنَّ وَكَانَ فِيهِنَّ أَنْ يُصِيبَهُنَّ أَزْوَاجُهُنَّ وَهُنَّ حَرَامٌ عَلَيْهِمْ قَالَ: وَإِنْ جَاءَتْنَا امْرَأَةٌ مُهَادَنَةٌ أَوْ مُسْلِمَةٌ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إلَى مَوْضِعِ الْإِمَامِ فَجَاءَ سِوَى زَوْجِهَا فِي طَلَبِهَا مُنِعَ مِنْهَا بِلَا عِوَضٍ. وَإِنْ جَاءَ زَوْجُهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ. أَحَدُهُمَا يُعْطَى مَا أَنْفَقَ وَهُوَ مَا دَفَعَ إلَيْهَا مِنْ الْمَهْرِ.

 

 

Jika seorang imam membuat perjanjian dengan mereka (orang musyrik) atas sesuatu yang tidak diperbolehkan, maka ketaatan adalah membatalkannya, sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kasus para wanita. Beliau telah memberikan kepada orang-orang musyrik hak yang sama terhadap wanita sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki tanpa pengecualian. Kemudian datanglah Ummu Kultsum binti Uqbah bin Abi Mu’ait sebagai seorang muslimah yang hijrah, lalu kedua saudara laki-lakinya datang mencarinya. Namun Nabi melarang mereka mengambilnya dan memberitahukan bahwa Allah melarang perjanjian damai dalam hal wanita, serta menetapkan hukum yang berbeda untuk mereka dibanding laki-laki. Berdasarkan ini, kami berpendapat: Seandainya imam memberikan jaminan keamanan kepada sekelompok orang musyrik atas tawanan Muslim atau harta yang mereka kuasai, kemudian tawanan atau harta itu datang (kepada imam), maka tidak halal baginya kecuali mengambilnya tanpa kompensasi. Meskipun ada yang berpendapat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengembalikan Abu Jandal bin Suhail kepada ayahnya dan ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah kepada keluarganya, maka dijawab: Keluarga mereka adalah orang yang paling penyayang dan paling menjaga keselamatan mereka. Bahkan mungkin mereka melindunginya dengan jiwa mereka dari segala yang menyakiti, apalagi jika mereka dituduh akan mencelakakan atau menyiksa. Sesungguhnya mereka hanya mencela agama mereka (para tawanan), sehingga mereka memaksa untuk meninggalkan agama dengan terpaksa, padahal Allah telah menghilangkan dosa akibat paksaan tersebut. Tidakkah engkau melihat bahwa jika wanita diuji dengan fitnah, mereka lebih lemah dan tidak memahami seperti pemahaman laki-laki? Taqiyyah pun bisa berlaku bagi mereka, dan ada kemungkinan suami mereka (yang musyrik) mencampurinya padahal haram bagi mereka. Dikatakan: Jika seorang wanita yang memiliki perjanjian damai atau muslimah dari darul harbi datang ke tempat imam, lalu selain suaminya datang mencarinya, maka dia dilarang mengambilnya tanpa kompensasi. Namun jika suaminya yang datang, maka ada dua pendapat: Salah satunya adalah memberikannya apa yang telah dia nafkahkan, yaitu mahar yang telah diberikan kepada wanita tersebut.

 

وَالْآخَرُ لَا يُعْطَى وَقَالَ فِي آخِرِ الْجَوَابِ وَأَشْبَهُهُمَا أَنْ لَا يُعْطَوْا عِوَضًا.

 

 

Dan yang lain tidak diberikan, dan dia berkata di akhir jawaban, “Yang lebih mirip dari keduanya adalah mereka tidak diberi ganti rugi.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَشْبَهُ بِالْحَقِّ عِنْدِي وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْقِدَ هَذَا الْعَقْدَ إلَّا الْخَلِيفَةُ أَوْ رَجُلٌ بِأَمْرِهِ؛ لِأَنَّهُ يَلِي الْأَمْوَالَ كُلَّهَا وَعَلَى مَنْ بَعْدَهُ مِنْ الْخُلَفَاءِ إنْفَاذُهُ وَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَالِحَهُمْ عَلَى خَرْجٍ عَلَى أَرَاضِيِهِمْ يَكُونُ فِي أَرْضِهِمْ مَضْمُونًا كَالْجِزْيَةِ وَلَا يَجُوزُ عُشُورُ مَا زَرَعُوا؛ لِأَنَّهُ مَجْهُولٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat ini lebih mendekati kebenaran menurutku. Tidak ada seorang pun yang boleh membuat perjanjian ini kecuali Khalifah atau seseorang atas perintahnya, karena dialah yang mengurus seluruh harta. Para Khalifah setelahnya wajib melaksanakannya. Tidak mengapa membuat perjanjian damai dengan mereka (ahlu dzimmah) dengan membayar kharaj atas tanah mereka yang dijamin seperti jizyah. Namun tidak boleh mengambil sepersepuluh dari hasil tanaman mereka karena itu tidak diketahui (besarnya).

 

بَابُ تَبْدِيلِ أَهْلِ الذِّمَّةِ دِينَهُمْ

Bab tentang penggantian agama oleh ahli dzimmah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَصْلُ مَا أَبْنِي عَلَيْهِ أَنَّ الْجِزْيَةَ لَا تُقْبَلُ مِنْ أَحَدٍ دَانَ دِينَ كِتَابِيٍّ إلَّا أَنْ يَكُونَ آبَاؤُهُ دَانُوا بِهِ قَبْلَ نُزُولِ الْفُرْقَانِ فَلَا تُقْبَلُ مِمَّنْ بَدَّلَ يَهُودِيَّةً بِنَصْرَانِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةً بِمَجُوسِيَّةٍ أَوْ مَجُوسِيَّةً بِنَصْرَانِيَّةٍ أَوْ بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ وَإِنَّمَا أَذِنَ اللَّهُ بِأَخْذِ الْجِزْيَةِ مِنْهُمْ عَلَى مَا دَانُوا بِهِ قَبْلَ مُحَمَّدٍ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – وَذَلِكَ خِلَافُ مَا أَحْدَثُوا مِنْ الدِّينِ بَعْدَهُ فَإِنْ أَقَامَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ وَإِلَّا نُبِذَ إلَيْهِ عَهْدُهُ وَأُخْرِجَ مِنْ بِلَادِ الْإِسْلَامِ بِمَا لَهُ وَصَارَ حَرْبًا وَمَنْ بَدَّلَ دِينَهُ مِنْ كِتَابِيَّةٍ لَمْ يَحِلَّ نِكَاحُهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) Dasar yang aku pegang adalah bahwa jizyah tidak diterima dari seorang pun yang menganut agama ahli kitab kecuali jika nenek moyangnya telah menganutnya sebelum turunnya Al-Furqan. Maka, jizyah tidak diterima dari orang yang mengganti Yahudi dengan Nasrani, Nasrani dengan Majusi, Majusi dengan Nasrani, atau dengan selain Islam. Allah hanya mengizinkan pengambilan jizyah dari mereka berdasarkan agama yang mereka anut sebelum masa Muhammad – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan itu bertentangan dengan agama baru yang mereka buat setelahnya. Jika ia tetap pada agama sebelumnya, (jizyah diterima); jika tidak, perjanjiannya dibatalkan, ia diusir dari negeri Islam dengan membawa hartanya, dan menjadi musuh. Dan wanita ahli kitab yang mengganti agamanya, tidak halal dinikahi.

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Dia telah mengatakan dalam kitab pernikahan dan dalam kitab perburuan dan sembelihan, jika diganti dengan agama yang menghalalkan pernikahan dengan pemeluknya, maka itu adalah halal. Dan ini menurutku lebih mirip. Dan Ibnu Abbas berkata: Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَدْ قَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ وَقَالَ فِي كِتَابِ الصَّيْدِ وَالذَّبَائِحِ إذَا بَدَّلَتْ بِدِينٍ يَحِلُّ نِكَاحُ أَهْلِهِ فَهِيَ حَلَالٌ وَهَذَا عِنْدِي أَشْبَهُ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَمَنْ دَانَ مِنْهُمْ دِينَ أَهْلِ الْكِتَابِ قَبْلَ نُزُولِ الْفُرْقَانِ وَبَعْدَهُ سَوَاءٌ عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Barangsiapa di antara mereka yang menganut agama Ahli Kitab sebelum atau setelah turunnya Al-Furqan, maka sama saja menurutku dalam qiyas. Dan hanya kepada Allah pertolongan dimohon.

 

بَابُ نَقْضِ الْعَهْدِ

Bab tentang pelanggaran perjanjian

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا نَقَضَ الَّذِينَ عَقَدُوا الصُّلْحَ عَلَيْهِمْ أَوْ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ فَلَمْ يُخَالِفُوا النَّاقِضَ بِقَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ ظَاهِرٍ أَوْ اعْتِزَالِ بِلَادِهِمْ أَوْ يُرْسِلُونَ إلَى الْإِمَامِ أَنَّهُمْ عَلَى صُلْحِهِمْ فَلِلْإِمَامِ غَزْوُهُمْ وَقَتْلُ مُقَاتِلِيهِمْ وَسَبْيُ ذَرَارِيِّهِمْ وَغَنِيمَةُ أَمْوَالِهِمْ وَهَكَذَا فَعَلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِبَنِي قُرَيْظَةَ عَقَدَ عَلَيْهِمْ صَاحِبُهُمْ فَنَقَضَ وَلَمْ يُفَارِقُوهُ وَلَيْسَ كُلُّهُمْ أَشْرَكَ فِي الْمَعُونَةِ عَلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَصْحَابِهِ، وَلَكِنْ كُلُّهُمْ لَزِمَ حِصْنَهُ فَلَمْ يُفَارِقْ النَّاقِضَ إلَّا نَفَرٌ مِنْهُمْ، وَأَعَانَ عَلَى خُزَاعَةَ وَهُمْ فِي عَقْدِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثَلَاثَةُ نَفَرٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَشَهِدُوا قِتَالَهُمْ فَغَزَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قُرَيْشًا عَامَ الْفَتْحِ بِغَدْرِ ثَلَاثَةِ نَفَرٍ مِنْهُمْ وَتَرْكِهِمْ مَعُونَةَ خُزَاعَةَ وَإِيوَائِهِمْ مَنْ قَاتَلَهَا قَالَ: وَمَتَى ظَهَرَ مِنْ مُهَادِنِينَ مَا يَدُلُّ عَلَى خِيَانَتِهِمْ نُبِذَ إلَيْهِمْ عَهْدُهُمْ وَأَبْلَغَهُمْ مَأْمَنَهُمْ ثُمَّ هُمْ حَرْبٌ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً} الأنفال: 58 الْآيَةَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika orang-orang yang telah mengikat perjanjian damai melanggar perjanjian tersebut, atau sebagian dari mereka melanggarnya, sementara yang lain tidak menentang pelanggaran itu baik dengan ucapan, perbuatan yang jelas, meninggalkan negeri mereka, atau mengirim kabar kepada pemimpin bahwa mereka tetap berpegang pada perjanjian, maka pemimpin berhak memerangi mereka, membunuh para pejuang mereka, menawan anak-anak mereka, dan mengambil harta rampasan perang mereka. Sebagaimana yang dilakukan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – terhadap Bani Quraizhah. Pemimpin mereka telah mengikat perjanjian, lalu melanggarnya, sementara mereka tidak memisahkan diri darinya. Tidak semua mereka terlibat dalam membantu (musuh) terhadap Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan para sahabatnya, tetapi mereka semua tetap berada di benteng mereka dan tidak memisahkan diri dari pelanggar perjanjian kecuali sebagian kecil dari mereka. Tiga orang Quraisy yang berada dalam perjanjian Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – membantu (memerangi) Khuza’ah dan menyaksikan peperangan terhadap mereka. Maka Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerangi Quraisy pada tahun Fathu Makkah karena pengkhianatan tiga orang dari mereka dan karena mereka tidak membantu Khuza’ah serta melindungi orang-orang yang memerangi Khuza’ah.” Beliau juga berkata: “Jika terlihat tanda-tanda pengkhianatan dari pihak yang berdamai, maka perjanjian dengan mereka dibatalkan dan mereka diberi tahu agar waspada, setelah itu mereka dianggap sebagai musuh. Allah Ta’ala berfirman: ‘Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan…’ (QS. Al-Anfal: 58).”

بَابُ الْحُكْمِ فِي الْمُهَادِنِينَ وَالْمُعَاهِدِينَ

 

Bab tentang hukum bagi orang-orang yang melakukan gencatan senjata dan orang-orang yang memiliki perjanjian

 

وَمَا أُتْلِفَ مِنْ خَمْرِهِمْ وَخَنَازِيرِهِمْ وَمَا يَحِلُّ مِنْهُ وَمَا يُرَدُّ (قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : لَمْ أَعْلَمْ مُخَالِفًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسِّيَرِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا نَزَلَ الْمَدِينَةَ وَادَعَ يَهُودَ كَافَّةً عَلَى غَيْرِ جِزْيَةٍ وَأَنَّ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ} المائدة: 42 إنَّمَا نَزَلَتْ فِيهِمْ وَلَمْ يُقَرُّوا أَنْ يُجْرَى عَلَيْهِمْ الْحُكْمُ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: نَزَلَتْ فِي الْيَهُودِيَّيْنِ اللَّذَيْنِ زَنَيَا وَهَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَكَيْفَ يُحَكِّمُونَكَ وَعِنْدَهُمُ التَّوْرَاةُ} المائدة: 43 الْآيَةَ.

 

 

Dan apa yang dihancurkan dari minuman keras dan babi mereka, serta apa yang halal dan apa yang ditolak. (Imam Syafi’i—rahimahullāh ta‘ālā—berkata:) Aku tidak mengetahui adanya ulama ahli sejarah yang berselisih bahwa Nabi—ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam—ketika tiba di Madinah, beliau membuat perjanjian dengan seluruh Yahudi tanpa memungut jizyah. Dan firman Allah ‘azza wa jalla, “Jika mereka datang kepadamu, berilah keputusan antara mereka atau berpalinglah dari mereka” (QS. Al-Mā’idah: 42) turun mengenai mereka, namun mereka tidak mengakui untuk dijalankan hukum atas mereka. Sebagian ulama berkata: Ayat itu turun mengenai dua orang Yahudi yang berzina, dan ini lebih sesuai dengan firman Allah ‘azza wa jalla, “Bagaimana mereka meminta keputusan kepadamu, padahal mereka mempunyai Taurat?” (QS. Al-Mā’idah: 43) dan ayat setelahnya.

 

(قَالَ) : وَلَيْسَ لِلْإِمَامِ الْخِيَارُ فِي أَحَدٍ مِنْ الْمُعَاهِدِينَ الَّذِينَ يُجْرَى عَلَيْهِمْ الْحُكْمُ إذَا جَاءُوهُ فِي حَدِّ اللَّهِ تَعَالَى وَعَلَيْهِ أَنْ يُقِيمَهُ لِمَا وَصَفْت مِنْ قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَهُمْ صَاغِرُونَ} التوبة: 29 .

 

 

Beliau berkata: “Seorang pemimpin tidak memiliki pilihan terhadap siapa pun dari kalangan orang-orang yang terikat perjanjian (mu’ahidin) yang tunduk pada hukum jika mereka datang kepadanya terkait hudud Allah Ta’ala. Wajib baginya untuk menegakkan hukuman tersebut, sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang telah aku sebutkan: {dan mereka dalam keadaan terhina} (QS. At-Taubah: 29).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَشْبَهُ مِنْ قَوْلِهِ فِي كِتَابِ الْحُدُودِ لَا يُحَدُّونَ وَأَرْفَعُهُمْ إلَى أَهْلِ دِينِهِمْ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih mirip dengan ucapannya dalam kitab Al-Hudud bahwa mereka tidak dihukum had, dan mengembalikan mereka kepada pemeluk agama mereka.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَمَا كَانُوا يَدِينُونَ بِهِ فَلَا يَجُوزُ حُكْمُنَا عَلَيْهِمْ بِإِبْطَالِهِ وَمَا أَحْدَثُوا مِمَّا لَيْسَ بِجَائِزٍ فِي دِينِهِمْ وَلَهُ حُكْمٌ عِنْدَنَا أُمْضِيَ عَلَيْهِمْ، قَالَ: وَلَا يَكْشِفُونَ عَنْ شَيْءٍ مِمَّا اسْتَحَلُّوهُ مِمَّا لَمْ يَكُنْ ضَرَرًا عَلَى مُسْلِمٍ أَوْ مُعَاهَدٍ أَوْ مُسْتَأْمَنٍ غَيْرِهِمْ وَإِنْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رَجُلٍ مِنْهُمْ تَسْتَعْدِي بِأَنَّهُ طَلَّقَهَا أَوْ آلَى مِنْهَا حَكَمْت عَلَيْهِ حُكْمِي عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرْته فِي الظِّهَارِ أَنْ لَا يُقَرَّ بِهَا حَتَّى يُكَفِّرَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً كَمَا يُؤَدِّي الْوَاجِبَ مِنْ حَدٍّ وَجُرْحٍ وَأَرْشٍ وَإِنْ لَمْ يُكَفِّرْ عَنْهُ وَأَنْفَذَ عِتْقَهُ وَلَا أَفْسَخُ نِكَاحَهُ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَفَا عَنْ عَقْدِ مَا يَجُوزُ أَنْ يُسْتَأْنَفَ وَرَدَّ مَا جَاوَزَ الْعَدَدَ إلَّا أَنْ يَتَحَاكَمُوا وَهِيَ فِي عِدَّةٍ فَنَفْسَخُهُ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا قَبَضَ مِنْ رِبًا أَوْ ثَمَنِ خَمْرٍ أَوْ خِنْزِيرٍ ثُمَّ أَسْلَمَا أَوْ أَحَدُهُمَا عُفِيَ عَنْهُ وَمَنْ أَرَاقَ لَهُمْ خَمْرًا أَوْ قَتَلَ لَهُمْ خِنْزِيرًا لَمْ يَضْمَنْ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ حَرَامٌ وَلَا ثَمَنَ لِمُحَرَّمٍ فَإِنْ قِيلَ: فَأَنْتَ تُقِرُّهُمْ عَلَى ذَلِكَ؟ قِيلَ: نَعَمْ وَعَلَى الشِّرْكِ بِاَللَّهِ وَقَدْ أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُمْ لَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَهُوَ حَرَامٌ لَا ثَمَنَ لَهُ وَإِنْ اسْتَحَلُّوهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Apa yang mereka yakini dalam agama mereka, maka tidak boleh bagi kita untuk membatalkannya. Sedangkan perkara baru yang mereka lakukan yang tidak diizinkan dalam agama mereka, namun memiliki hukum dalam agama kita, maka itu tetap diberlakukan bagi mereka.” Beliau berkata: “Mereka tidak diharuskan membongkar sesuatu yang mereka halalkan selama tidak membahayakan seorang muslim, mu’ahad (orang yang terikat perjanjian), atau musta’man (orang yang dilindungi) selain mereka. Jika istri salah seorang dari mereka mengadukan bahwa suaminya menceraikannya atau melakukan ila’ (sumpah tidak mencampuri istri), aku akan memutuskan hukum baginya seperti hukumku terhadap kaum muslimin. Dalam kasus zhihar (menyamakan istri dengan mahram), aku akan memerintahkannya untuk tidak boleh mendekati istrinya hingga membebaskan seorang budak yang beriman, sebagaimana kewajiban dalam hadd, luka, atau diyat. Meskipun dia tidak menebusnya, aku tetap memberlakukan pembebasan budaknya dan tidak membatalkan pernikahannya. Karena Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memaafkan akad yang boleh diperbarui dan membatalkan yang melebihi batas, kecuali jika mereka berperkara sedangkan wanita tersebut masih dalam masa iddah, maka aku akan membatalkannya. Demikian pula segala bentuk riba, harga khamr, atau babi yang mereka terima, kemudian mereka atau salah satunya masuk Islam, maka itu dimaafkan. Barangsiapa yang menumpahkan khamr atau membunuh babi milik mereka, tidak diharuskan mengganti, karena itu haram dan tidak ada harga untuk yang haram.” Jika ada yang bertanya: “Apakah engkau membiarkan mereka melakukan itu?” Jawabnya: “Ya, bahkan membiarkan mereka menyekutukan Allah. Allah Ta’ala telah memberitahu bahwa mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Maka itu haram, tidak ada harganya, meskipun mereka menghalalkannya.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا كُسِرَ لَهُمْ صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ لَمْ يَكُنْ فِيهِ غُرْمٌ وَإِنْ كَانَ مِنْ عُودٍ وَكَانَ إذَا فُرِّقَ صَلَحَ لِغَيْرِ الصَّلِيبِ فَمَا نَقَصَ الْكَسْرُ الْعُودَ، وَكَذَلِكَ الطُّنْبُورُ وَالْمِزْمَارُ وَيَجُوزُ لِلنَّصْرَانِيِّ أَنْ يُقَارِضَ الْمُسْلِمَ وَأَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُقَارِضَ النَّصْرَانِيَّ أَوْ يُشَارِكَهُ وَأَكْرَهُ أَنْ يُكْرِيَ نَفْسَهُ مِنْ نَصْرَانِيٍّ وَلَا أَفْسَخُهُ، وَإِذَا اشْتَرَى النَّصْرَانِيُّ مُصْحَفًا أَوْ دَفْتَرًا فِيهِ أَحَادِيثُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَسَخْته، وَلَوْ أَوْصَى بِبِنَاءِ كَنِيسَةٍ لِصَلَاةِ النَّصَارَى فَمَفْسُوخٌ، وَلَوْ قَالَ: يَنْزِلُهَا الْمَارَّةُ أَجَزْته وَلَيْسَ فِي بِنَائِهَا مَعْصِيَةٌ إلَّا بِأَنْ تُبْنَى لِصَلَاةِ النَّصَارَى وَلَوْ قَالَ: اُكْتُبُوا بِثُلُثَيَّ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ فَسَخْته لِتَبْدِيلِهِمْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ} البقرة: 79 الْآيَةَ.

 

 

(Dia berkata): “Jika salib emas mereka dihancurkan, tidak ada kerugian, meskipun terbuat dari kayu, dan jika dipisahkan bisa digunakan selain untuk salib, maka penghancuran tidak mengurangi nilai kayu. Begitu juga dengan rebab dan seruling. Seorang Nasrani boleh meminjamkan kepada Muslim, tetapi aku tidak suka jika Muslim meminjamkan kepada Nasrani atau berserikat dengannya, dan aku tidak suka Muslim menyewakan dirinya kepada Nasrani, meskipun aku tidak membatalkannya. Jika seorang Nasrani membeli mushaf atau kitab yang berisi hadis Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-, aku membatalkannya. Jika dia berwasiat untuk membangun gereja untuk shalat orang Nasrani, maka wasiat itu batal. Tetapi jika dia berkata, ‘Tempat ini untuk singgah para musafir,’ aku memperbolehkannya karena tidak ada maksiat dalam pembangunannya kecuali jika dibangun untuk shalat orang Nasrani. Jika dia berkata, ‘Tulislah dua pertiga hartaku untuk Taurat dan Injil,’ aku membatalkannya karena mereka telah mengubahnya. Allah Ta’ala berfirman, ‘Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri’ (QS. Al-Baqarah: 79).”

 

كِتَابُ الصَّيْدِ وَالذَّبَائِحِ

 

بَابُ صِفَةِ الصَّائِدِ مِنْ كَلْبٍ وَغَيْرِهِ وَمَا يَحِلُّ مِنْ الصَّيْدِ وَمَا يُحَرَّمُ

 

Bab tentang sifat pemburu dari anjing dan selainnya, serta apa yang halal dari hasil buruan dan apa yang diharamkan.

 

كِتَابُ الصَّيْدِ وَالذَّبَائِحِ إمْلَاءً مِنْ كِتَابِ أَشْهَبَ وَمِنْ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَهْلِ الْمَدِينَةِ بَابُ صِفَةِ الصَّائِدِ مِنْ كَلْبٍ وَغَيْرِهِ وَمَا يَحِلُّ مِنْ الصَّيْدِ وَمَا يُحَرَّمُ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: كُلُّ مُعَلَّمٍ مِنْ كَلْبٍ وَفَهْدٍ وَنَمِرٍ وَغَيْرِهَا مِنْ الْوَحْشِ وَكَانَ إذَا أُشْلِيَ اُسْتُشْلِيَ وَإِذَا أَخَذَ حَبَسَ وَلَمْ يَأْكُلْ فَإِنَّهُ إذَا فَعَلَ هَذَا مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ فَهُوَ مُعَلَّمٌ وَإِذَا قَتَلَ فَكُلْ مَا لَمْ يَأْكُلْ فَإِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّمَا أَمْسَكَ عَلَى نَفْسِهِ وَذَكَرَ الشَّعْبِيُّ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَقُولُ «فَإِنْ أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ» .

 

 

Kitab Berburu dan Penyembelihan, dikutip dari kitab Asyhab dan perbedaan pendapat Abu Hanifah dengan penduduk Madinah. Bab Sifat Pemburu dari Anjing dan Lainnya, serta Hewan Buruan yang Halal dan Haram. (Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): “Setiap hewan yang terlatih, baik anjing, macan tutul, harimau, atau hewan buas lainnya, jika dilepas ia akan mengejar, jika menangkap ia akan menahan (mangsanya) dan tidak memakannya. Jika hewan tersebut melakukan hal ini berulang kali, maka ia dianggap terlatih. Jika ia membunuh (mangsa), maka makanlah selama ia tidak memakannya. Jika ia memakannya, maka janganlah kamu memakannya, karena ia menangkap untuk dirinya sendiri.” Asy-Sya’bi meriwayatkan dari Adi bin Hatim -radhiyallahu ‘anhu- bahwa ia mendengar Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Jika ia memakannya, maka janganlah kamu memakannya.”

 

(قَالَ) : وَإِذَا جَمَعَ الْبَازِي أَوْ الصَّقْرَ أَوْ الْعُقَابَ أَوْ غَيْرَهَا مِمَّا يَصِيدُ أَنْ يُدْعَى فَيُجِيبَ وَيُشْلَى فَيَطِيرَ وَيَأْخُذَ فَيَحْبِسَ مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ فَهُوَ مُعَلَّمٌ فَإِنْ قَتَلَ فَكُلْ وَإِذَا أَكَلَ فَفِي الْقِيَاسِ أَنَّهُ كَالْكَلْبِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَيْسَ الْبَازِي كَالْكَلْبِ؛ لِأَنَّ الْبَازِيَ وَصْفُهُ إنَّمَا يُعَلَّمُ بِالطُّعْمِ وَبِهِ يَأْخُذُ الصَّيْدَ وَالْكَلْبُ يُؤَدَّبُ عَلَى تَرْكِ الطُّعْمِ وَالْكَلْبُ يُضْرَبُ أَدَبًا وَلَا يُمْكِنُ ذَلِكَ فِي الطَّيْرِ فَهُمَا مُخْتَلِفَانِ فَيُؤْكَلُ مَا قَتَلَ الْبَازِي وَإِنْ أَكَلَ وَلَا يُؤْكَلُ مَا قَتَلَ الْكَلْبُ إذَا أَكَلَ لِنَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ذَلِكَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika burung elang, falcon, rajawali, atau hewan pemburu lainnya telah terlatih sehingga ketika dipanggil ia datang, ketika dibebaskan ia terbang, dan ketika menangkap mangsa ia menahannya berulang kali, maka ia dianggap terlatih. Jika ia membunuh (mangsa), maka boleh dimakan. Namun jika ia memakannya, menurut qiyas ia dianggap seperti anjing.” Al-Muzani—rahimahullah—berkata: “Burung elang tidak seperti anjing, karena elang dilatih dengan umpan dan dengan itu ia menangkap mangsa. Sedangkan anjing dididik untuk meninggalkan umpan, bahkan dipukul sebagai bentuk didikan, yang tidak mungkin dilakukan pada burung. Keduanya berbeda. Oleh karena itu, hasil buruan elang boleh dimakan meski ia memakannya, sedangkan hasil buruan anjing tidak boleh dimakan jika ia memakannya, sesuai larangan Nabi—shallallahu ‘alaihi wasallam—terhadap hal itu.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Dan jika dia mengirim (hewan kurban), aku suka jika dia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika dia lupa, maka tidak apa-apa, karena seorang muslim menyembelih dengan nama Allah.”

 

وَلَوْ أَرْسَلَ مُسْلِمٌ وَمَجُوسِيٌّ كَلْبَيْنِ مُتَفَرِّقَيْنِ أَوْ طَائِرَيْنِ أَوْ سَهْمَيْنِ فَقَتَلَا فَلَا يُؤْكَلُ.

 

Dan jika seorang muslim dan seorang majusi melepaskan dua anjing yang terpisah, atau dua burung, atau dua anak panah, lalu keduanya membunuh (hewan buruan), maka (hewan itu) tidak boleh dimakan.

 

 

وَإِذَا رَمَى أَوْ أَرْسَلَ كَلْبَهُ عَلَى الصَّيْدِ فَوَجَدَهُ قَتِيلًا فَالْخَبَرُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْقِيَاسُ أَنْ لَا يَأْكُلَهُ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ قَتَلَهُ غَيْرُهُ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُلْ مَا أَصْمَيْت وَدَعْ مَا أَنْمَيْت وَمَا أَصْمَيْت هُوَ مَا قَتَلَهُ وَأَنْتَ تَرَاهُ وَمَا أَنْمَيْت مَا غَابَ عَنْك فَقَتَلَهُ إلَّا أَنْ يَبْلُغَ مِنْهُ مَبْلَغَ الذَّبْحِ فَلَا يَضُرُّهُ مَا حَدَثَ بَعْدَهُ.

 

 

Dan apabila dia melempar atau melepas anjingnya untuk berburu, lalu menemukan buruannya sudah mati, maka menurut riwayat dari Ibnu Abbas dan qiyas, dia tidak boleh memakannya karena mungkin saja yang membunuhnya adalah selainnya. Ibnu Abbas berkata, “Makanlah apa yang kamu pastikan (membunuhnya), dan tinggalkan apa yang kamu ragukan. Yang kamu pastikan adalah apa yang kamu bunuh dan kamu lihat langsung, sedangkan yang kamu ragukan adalah apa yang tidak kamu lihat lalu dibunuh (oleh anjing), kecuali jika hewan itu sudah mencapai tahap penyembelihan (hampir mati), maka apa yang terjadi setelahnya tidak masalah.”

 

 

وَإِذَا أَدْرَكَ الصَّيْدَ وَلَمْ يَبْلُغْ سِلَاحُهُ أَوْ مُعَلَّمُهُ مَا يَبْلُغُ الذَّبْحُ فَأَمْكَنَهُ أَنْ يَذْبَحَهُ فَلَمْ يَفْعَلْ فَلَا يَأْكُلُ كَانَ مَعَهُ مَا يَذْبَحُ بِهِ أَوْ لَمْ يَكُنْ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْك أَنْ تَذْبَحَهُ وَمَعَك مَا تُذَكِّيهِ بِهِ وَلَمْ تُفَرِّطْ حَتَّى مَاتَ فَكُلْ.

 

 

Dan jika dia mendapatkan buruan, sedangkan senjatanya atau hewan pemburunya tidak sampai pada tempat penyembelihan, lalu dia mampu menyembelihnya tetapi tidak melakukannya, maka jangan dimakan—baik dia memiliki alat untuk menyembelih atau tidak. Namun jika kamu tidak mampu menyembelihnya, sementara kamu memiliki alat untuk menyembelihnya, dan kamu tidak lalai hingga hewan itu mati, maka makanlah.

 

 

وَلَوْ أَرْسَلَ كَلْبَهُ أَوْ سَهْمَهُ وَسَمَّى اللَّهَ تَعَالَى وَهُوَ يَرَى صَيْدًا فَأَصَابَ غَيْرَهُ فَلَا بَأْسَ بِأَكْلِهِ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ رَأَى صَيْدًا وَنَوَاهُ، وَإِنْ أَصَابَ غَيْرَهُ وَإِنْ أَرْسَلَهُ وَلَا يَرَى صَيْدًا وَنَوَى فَلَا يَأْكُلُ وَلَا تَعْمَلُ النِّيَّةُ إلَّا مَعَ عَيْنٍ تَرَى وَلَوْ كَانَ لَا يَجُوزُ إلَّا مَا نَوَاهُ بِعَيْنِهِ لَكَانَ الْعِلْمُ يُحِيطُ أَنْ لَوْ أَرْسَلَ سَهْمًا عَلَى مِائَةِ ظَبْيٍ أَوْ كَلْبًا فَأَصَابَ وَاحِدًا فَالْوَاحِدُ الْمُصَابُ غَيْرُ مَنْوِيٍّ بِعَيْنِهِ.

 

 

Dan jika dia melepas anjing atau panahnya sambil menyebut nama Allah Ta’ala saat melihat buruan, lalu mengenai selainnya, maka tidak mengapa memakannya karena dia telah melihat buruan dan berniat. Namun jika dia melepasnya tanpa melihat buruan dan hanya berniat, maka tidak boleh dimakan. Niat hanya berlaku bersama objek yang dilihat. Seandainya yang halal hanya yang diniatkan secara spesifik, maka akan diketahui bahwa jika seseorang melepas panah ke arah seratus kijang atau anjing, lalu mengenai satu, maka yang terkena itu bukan yang diniatkan secara spesifik.

 

 

وَلَوْ خَرَجَ الْكَلْبُ إلَى الصَّيْدِ مِنْ غَيْرِ إرْسَالِ صَاحِبِهِ فَزَجَرَهُ فَانْزَجَرَ وَأَشْلَاهُ فَاسْتُشْلِيَ فَأَخَذَ وَقَتَلَ أَكَلَ وَإِنْ لَمْ يَحْدُثْ غَيْرُ الْأَمْرِ الْأَوَّلِ فَلَا يَأْكُلُ وَسَوَاءٌ اسْتَشْلَاهُ صَاحِبُهُ أَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ تَجُوزُ ذَكَاتُهُ.

 

 

Jika anjing pergi berburu tanpa diperintah pemiliknya, lalu pemiliknya melarangnya dan anjing itu berhenti, kemudian dia mengirimnya dan anjing itu dikirim, lalu menangkap dan membunuh buruan, maka boleh dimakan. Namun jika tidak ada perintah selain yang pertama, maka tidak boleh dimakan. Sama saja apakah yang mengirimnya adalah pemiliknya atau orang lain yang penyembelihannya sah.

 

 

وَإِذَا ضَرَبَ الصَّيْدَ فَقَطَعَهُ قِطْعَتَيْنِ أَكَلَ وَإِنْ كَانَتْ إحْدَى الْقِطْعَتَيْنِ أَقَلَّ مِنْ الْأُخْرَى، وَلَوْ قَطَعَ مِنْهُ يَدًا أَوْ رِجْلًا أَوْ أُذُنًا أَوْ شَيْئًا يُمْكِنُ لَوْ لَمْ يَزِدْ عَلَى ذَلِكَ أَنْ يَعِيشَ بَعْدُ سَاعَةً أَوْ مُدَّةً أَكْثَرَ مِنْهَا ثُمَّ قَتَلَهُ بَعْدُ بِرَمْيَتِهِ أَكَلَ كُلَّ مَا كَانَ ثَابِتًا فِيهِ مِنْ أَعْضَائِهِ وَلَمْ يَأْكُلْ الْعُضْوَ الَّذِي بَانَ وَفِيهِ الْحَيَاةُ؛ لِأَنَّهُ عُضْوٌ مَقْطُوعٌ مِنْ حَيٍّ وَحَيِيَ بَعْدَ قَطْعِهِ، وَلَوْ مَاتَ مِنْ قَطْعِ الْأَوَّلِ أَكَلَهُمَا مَعًا؛ لِأَنَّ ذَكَاةَ بَعْضِهِ ذَكَاةٌ لِكُلِّهِ.

 

 

Dan jika ia memukul buruan lalu memotongnya menjadi dua bagian, ia boleh memakannya meskipun salah satu bagian lebih kecil dari yang lain. Jika ia memotong tangan, kaki, telinga, atau bagian lainnya yang memungkinkan hewan itu tetap hidup untuk sementara waktu atau lebih lama, kemudian membunuhnya dengan pukulan berikutnya, ia boleh memakan semua anggota tubuh yang masih melekat padanya dan tidak boleh memakan anggota tubuh yang terpisah dan masih memiliki kehidupan, karena itu adalah anggota tubuh yang terpotong dari hewan hidup dan masih hidup setelah terpotong. Jika hewan itu mati karena potongan pertama, ia boleh memakan keduanya, karena penyembelihan sebagiannya dianggap sebagai penyembelihan untuk seluruhnya.

 

 

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَصِيدَ الْمُسْلِمُ بِكَلْبِ الْمَجُوسِيِّ وَلَا يَجُوزُ أَكْلُ مَا صَادَ الْمَجُوسِيُّ بِكَلْبِ مُسْلِمٍ؛ لِأَنَّ الْحُكْمَ حُكْمُ الْمُرْسِلِ وَإِنَّمَا الْكَلْبُ أَدَاةٌ وَأَيُّ أَبَوَيْهِ كَانَ مَجُوسِيًّا فَلَا أَرَى تُؤْكَلُ ذَبِيحَتُهُ، وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ: وَلَا يَنْكِحُ إنْ كَانَتْ جَارِيَةً وَلَيْسَتْ كَالصَّغِيرَةِ يُسْلِمُ أَحَدُ أَبَوَيْهَا لِأَنَّ الْإِسْلَامَ لَا يُشْرِكُهُ الشِّرْكُ وَالشِّرْكُ يُشْرِكُهُ الشِّرْكُ.

 

 

Tidak mengapa seorang Muslim berburu dengan anjing milik orang Majusi, namun tidak boleh memakan hasil buruan orang Majusi yang menggunakan anjing seorang Muslim. Karena hukumnya mengikuti pemiliknya, sedangkan anjing hanyalah alat. Jika salah satu dari kedua orang tuanya adalah Majusi, maka aku berpendatang sembelihannya tidak halal dimakan. Dalam kitab pernikahan disebutkan: Tidak boleh menikah jika dia adalah budak perempuan dan tidak seperti anak kecil yang salah satu orang tuanya masuk Islam, karena Islam tidak bercampur dengan syirik, sedangkan syirik bisa bercampur dengan syirik.

 

 

وَلَا يُؤْكَلُ مَا قَتَلْتهَا لِأُحْبُولَةٍ كَانَ فِيهَا سِلَاحٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ؛ لِأَنَّهَا ذَكَاةٌ بِغَيْرِ فِعْلِ أَحَدٍ. وَالذَّكَاةُ وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: مَا كَانَ مَقْدُورًا عَلَيْهِ مِنْ إنْسِيٍّ أَوْ وَحْشِيٍّ لَمْ يَحِلَّ إلَّا بِأَنْ يُذَكَّى وَمَا كَانَ مُمْتَنِعًا مِنْ وَحْشِيٍّ أَوْ إنْسِيٍّ فَمَا قَدَرْت بِهِ عَلَيْهِ مِنْ الرَّمْيِ أَوْ السِّلَاحِ فَهُوَ بِهِ ذُكِّيَ وَقَالَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ إلَّا مَا كَانَ مِنْ سِنٍّ أَوْ ظُفُرٍ» ؛ لِأَنَّ السِّنَّ عَظْمٌ مِنْ الْإِنْسَانِ وَالظُّفُرَ مَدَى الْحَبَشِ، وَثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ جَعَلَ ذَكَاةَ الْإِنْسِيِّ مِثْلَ ذَكَاةِ الْوَحْشِيِّ إذَا امْتَنَعَ قَالَ: وَلَمَّا كَانَ الْوَحْشِيُّ يَحِلُّ بِالْعَقْرِ مَا كَانَ مُمْتَنِعًا فَإِذَا قُدِرَ عَلَيْهِ لَمْ يَحِلَّ إلَّا بِمَا يَحِلُّ بِهِ الْإِنْسِيُّ كَانَ كَذَلِكَ الْإِنْسِيُّ إذَا صَارَ كَالْوَحْشِيِّ مُمْتَنِعًا حَلَّ بِمَا يَحِلُّ بِهِ الْوَحْشِيُّ.

 

 

Tidak boleh dimakan hewan yang terbunuh oleh jerat, baik di dalamnya terdapat senjata atau tidak, karena itu merupakan penyembelihan tanpa perbuatan seseorang. Penyembelihan ada dua macam: Pertama, hewan yang bisa dikuasai, baik jinak maupun liar, tidak halal kecuali dengan disembelih. Kedua, hewan liar atau jinak yang sulit ditangkap, maka apa saja yang bisa digunakan untuk memburunya, baik dengan panah atau senjata, itu sudah dianggap sebagai penyembelihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apa yang mengalirkan darah dan disebut nama Allah atasnya, maka makanlah, kecuali yang menggunakan gigi atau kuku.” Karena gigi adalah tulang manusia, sedangkan kuku adalah pisau orang Habasyah. Telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau menyamakan penyembelihan manusia dengan penyembelihan hewan liar jika sulit ditangkap. Beliau berkata, “Karena hewan liar halal dengan cara dilukai jika sulit ditangkap, maka jika bisa dikuasai, tidak halal kecuali dengan cara yang halal untuk hewan jinak. Begitu pula manusia jika menjadi seperti hewan liar yang sulit ditangkap, maka halal dengan cara yang halal untuk hewan liar.”

 

قَالَ: وَلَوْ وَقَعَ بَعِيرٌ فِي بِئْرٍ وَطُعِنَ فَهُوَ كَالصَّيْدِ.

 

Beliau berkata: “Seandainya seekor unta jatuh ke dalam sumur lalu ditusuk, maka hukumnya seperti hewan buruan.”

 

 

وَلَوْ رَمَى صَيْدًا فَكَسَرَهُ أَوْ قَطَعَ جَنَاحَهُ وَرَمَاهُ آخَرُ فَقَتَلَهُ كَانَ حَرَامًا وَكَانَ عَلَى الرَّامِي الْآخَرِ قِيمَتُهُ بِالْحَالِ الَّتِي رَمَاهُ بِهَا مَكْسُورًا أَوْ مَقْطُوعًا.

 

 

Dan jika seseorang memanah buruan lalu mematahkannya atau memotong sayapnya, kemudian orang lain memanahnya hingga membunuhnya, maka (buruan itu) haram (dimakan), dan orang yang memanah terakhir wajib membayar nilainya sesuai kondisi buruan saat dipanah dalam keadaan patah atau terpotong.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَعْنَى قَوْلِ الشَّافِعِيِّ عِنْدِي فِي ذَلِكَ أَنَّهُ إنَّمَا يَغْرَمُ قِيمَتَهُ مَقْطُوعًا؛ لِأَنَّهُ رَمَاهُ فَقَطَعَ رَأْسَهُ أَوْ بَلَغَ مِنْ مَقَاتِلِهِ مَا يُعْلَمُ أَنَّهُ قَتَلَهُ دُونَ جُرْحِ الْجَنَاحِ، وَلَوْ كَانَ جُرْحًا كَالْجُرْحِ الْأَوَّلِ ثُمَّ أَخَذَهُ رَبُّهُ فَمَاتَ فِي يَدَيْهِ فَقَدْ مَاتَ مِنْ جُرْحَيْنِ فَعَلَى الثَّانِي قِيمَةُ جُرْحِهِ مَقْطُوعَ الْجَنَاحِ الْأَوَّلِ وَنِصْفُ قِيمَتِهِ مَجْرُوحًا جُرْحَيْنِ؛ لِأَنَّ قَتْلَهُ مَقْطُوعَ الْجَنَاحَيْنِ مِنْ فِعْلِهِ وَفِعْلِ مَالِكِهِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Makna perkataan Asy-Syafi’i menurutku dalam hal ini adalah bahwa dia hanya membayar nilainya dalam keadaan terpotong; karena dia melemparnya hingga memenggal kepalanya atau mencapai titik vital yang diketahui bahwa itu membunuhnya tanpa luka pada sayap. Seandainya lukanya seperti luka pertama, kemudian pemiliknya mengambilnya lalu mati di tangannya, maka dia mati karena dua luka. Maka pada luka kedua, dia membayar nilai lukanya dalam keadaan sayap pertama terpotong dan setengah nilainya jika terluka dua kali; karena pembunuhan dengan kedua sayap terpotong adalah akibat perbuatannya dan perbuatan pemiliknya.”

 

(قَالَ) : وَلَوْ كَانَ مُمْتِنِعًا بَعْدَ رَمْيَةِ الْأَوَّلِ يَطِيرُ إنْ كَانَ طَائِرًا أَوْ يَعْدُو إنْ كَانَ دَابَّةً ثُمَّ رَمَاهُ الثَّانِي فَأَثْبَتَهُ كَانَ لِلثَّانِي، وَلَوْ رَمَاهُ الْأَوَّلُ بِهَذِهِ الْحَالِ فَقَتَلَهُ ضَمِنَ قِيمَتَهُ لِلثَّانِي؛ لِأَنَّهُ صَارَ لَهُ دُونَهُ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya hewan itu menghindar setelah lemparan pertama, seperti terbang jika burung atau lari jika hewan darat, lalu orang kedua melempar dan berhasil menjatuhkannya, maka hewan itu menjadi milik orang kedua. Namun, jika orang pertama melemparnya dalam keadaan seperti itu dan membunuhnya, dia wajib mengganti nilainya kepada orang kedua, karena hewan itu telah menjadi milik orang kedua.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ قِيمَتُهُ مَجْرُوحًا الْجُرْحَيْنِ الْأَوَّلَيْنِ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ، وَلَوْ رَمَيَاهُ مَعًا فَقَتَلَاهُ كَانَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ، وَلَوْ رَمَاهُ الْأَوَّلُ وَرَمَاهُ الثَّانِي وَلَمْ يَدْرِ أَبَلَغَ بِهِ الْأَوَّلُ أَنْ يَكُونَ مُمْتَنِعًا أَوْ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ جَعَلْنَاهُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Nilai diatnya seharusnya dihitung berdasarkan dua luka pertama menurut ukuran ucapannya. Jika dua orang melemparkan (sesuatu) bersama-sama lalu membunuhnya, maka diat dibagi setengah-setengah di antara mereka. Jika orang pertama melemparkan dan orang kedua melemparkan, sementara tidak diketahui apakah lemparan pertama sudah cukup mematikan atau belum, maka kami membaginya setengah-setengah di antara mereka.”

 

 

وَلَوْ رَمَى طَائِرًا فَجَرَحَهُ ثُمَّ سَقَطَ إلَى الْأَرْضِ فَأَصَبْنَاهُ مَيِّتًا لَمْ نَدْرِ أَمَاتَ فِي الْهَوَاءِ أَمْ بَعْدَ مَا صَارَ إلَى الْأَرْضِ أُكِلَ؛ لِأَنَّهُ لَا يُوصَلُ إلَى أَنْ يَكُونَ مَأْخُوذًا إلَّا بِالْوُقُوعِ وَلَوْ حُرِّمَ هَذَا حُرِّمَ كُلُّ طَائِرٍ رُمِيَ فَوَقَعَ فَمَاتَ وَلَكِنَّهُ لَوْ وَقَعَ عَلَى جَبَلٍ فَتَرَدَّى عَنْهُ كَانَ مُتَرَدِّيًا لَا يُؤْكَلُ إلَّا أَنْ تَكُونَ الرَّمْيَةُ قَدْ قَطَعَتْ رَأْسَهُ أَوْ ذَبَحَتْهُ أَوْ قَطَعَتْهُ بِاثْنَتَيْنِ فَيُعْلَمَ أَنَّهُ لَمْ يَتَرَدَّ إلَّا مُذَكًّى وَلَا يُؤْكَلُ مَا قَتَلَهُ الرَّمْيُ إلَّا مَا خَرَقَ بِرِقَّتِهِ أَوْ قَطَعَ بِحَدِّهِ فَأَمَّا مَا جَرَحَ بِثِقَلِهِ فَهُوَ وَقِيذَةٌ.

 

 

Dan jika seseorang memanah burung lalu melukainya, kemudian burung itu jatuh ke tanah dan kami dapati ia telah mati, kami tidak tahu apakah ia mati di udara atau setelah sampai di tanah, maka ia halal dimakan. Karena tidak mungkin mengetahui kecuali setelah jatuh. Jika ini diharamkan, maka semua burung yang dipanah lalu jatuh dan mati akan menjadi haram. Namun, jika burung itu jatuh di gunung lalu terpelanting darinya, maka ia dihukumi sebagai bangkai yang tidak halal dimakan, kecuali jika panahan tersebut telah memutus kepalanya, menyembelihnya, atau memotongnya menjadi dua bagian, sehingga diketahui bahwa ia tidak terpelanting kecuali dalam keadaan telah disembelih. Tidak halal dimakan apa yang dibunuh oleh panahan kecuali yang tertusuk karena ketajamannya atau terpotong karena tajamnya mata panah. Adapun yang terluka karena beratnya panah, maka itu termasuk bangkai.

 

وَمَا نَالَتْهُ الْجَوَارِحُ فَقَتَلَتْهُ وَلَمْ تُدْمِهِ احْتَمَلَ مَعْنَيَيْنِ.

 

Dan apa yang dicapai oleh anggota tubuh lalu membunuhnya tanpa melukainya mengandung dua makna.

أَحَدُهُمَا أَنْ لَا يُؤْكَلَ حَتَّى يُجْرَحَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى {مِنَ الْجَوَارِحِ} المائدة: 4 وَالْآخَرُ أَنَّهُ حِلٌّ.

 

Salah satunya adalah tidak boleh dimakan sampai terluka, Allah Ta’ala berfirman {dari binatang buas} Al-Ma’idah: 4, dan yang lainnya adalah halal.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْأَوَّلُ أَوْلَاهُمَا بِهِ قِيَاسًا عَلَى رَامِي الصَّيْدِ أَوْ ضَارِبِهِ لَا يُؤْكَلُ إلَّا أَنْ يَجْرَحَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Yang pertama lebih berhak memilikinya berdasarkan qiyas kepada orang yang memanah atau memukul buruan, tidak boleh dimakan kecuali jika melukainya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَوْ رَمَى شَخْصًا يَحْسِبُهُ حَجَرًا فَأَصَابَ صَيْدًا فَلَوْ أَكَلَهُ مَا رَأَيْته مُحَرَّمًا كَمَا لَوْ أَخْطَأَ شَاةً فَذَبَحَهَا لَا يُرِيدُهَا وَكَمَا لَوْ ذَبَحَهَا وَهُوَ يَرَاهَا خَشَبَةً لَيِّنَةً.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Jika seseorang melempar sesuatu yang dikiranya batu, lalu mengenai buruan, lalu ia memakannya, aku tidak melihatnya haram, sebagaimana jika ia tidak sengaja menyembelih kambing yang tidak ia maksudkan, atau seperti jika ia menyembelihnya sementara ia mengira itu adalah kayu lunak.”

 

 

وَمَنْ أَحْرَزَ صَيْدًا فَأَفْلَتَ مِنْهُ فَصَادَهُ غَيْرُهُ فَهُوَ لِلْأَوَّلِ وَكُلُّ مَا أَصَابَهُ حَلَالٌ فِي غَيْرِ حَرَمٍ مِمَّا يَكُونُ بِمَكَّةَ مِنْ حَمَامِهَا وَغَيْرِهِ فَلَا بَأْسَ إنَّمَا نَمْنَعُ بِحَرَمِهِ بِغَيْرِهِ مِنْ حَرَمٍ أَوْ إحْرَامٍ وَلَوْ تَحَوَّلَ مِنْ بُرْجٍ إلَى بُرْجٍ فَأَخَذَهُ كَانَ عَلَيْهِ رَدُّهُ وَلَوْ أَصَابَ ظَبْيًا مُقَرَّطًا فَهُوَ لِغَيْرِهِ.

 

 

Barangsiapa yang menangkap buruan lalu buruan itu lepas darinya, kemudian ditangkap oleh orang lain, maka buruan itu milik yang pertama. Segala yang ditangkapnya adalah halal di luar tanah haram, termasuk burung merpati dan lainnya di Mekkah, maka tidak mengapa. Kita hanya melarang di tanah haram selainnya, baik karena keharaman tanah atau ihram. Jika burung berpindah dari satu menara ke menara lain lalu ditangkap, wajib dikembalikan. Jika menangkap kijang yang bertelinga tergantung (milik orang lain), maka itu milik orang lain.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ شَقَّ السَّبُعُ بَطْنَ شَاةٍ فَوَصَلَ إلَى مَعَاهَا مَا يُسْتَيْقَنُ أَنَّهَا لَمْ تُذَكَّ مَاتَتْ فَذُكِّيَتْ فَلَا بَأْسَ بِأَكْلِهَا لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ} المائدة: 3 وَالذَّكَاةُ جَائِزَةٌ بِالْقُرْآنِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seekor binatang buas membelah perut kambing hingga mencapai ususnya, dan dipastikan bahwa kambing itu mati sebelum disembelih, lalu kemudian disembelih, maka tidak mengapa memakannya berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla: ‘Dan (diharamkan juga) yang mati tercekik, yang mati dipukul, yang mati jatuh, yang mati ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.’ (QS. Al-Maidah: 3). Penyembelihan diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَأَعْرِفُ مِنْ قَوْلِهِ أَنَّهَا لَا تُؤْكَلُ إذَا بَلَغَ بِهَا مَا لَا بَقَاءَ لِحَيَاتِهَا إلَّا حَيَاةِ الْمُذَكَّى وَهُوَ قَوْلُ الْمَدَنِيِّينَ وَهُوَ عِنْدِي أَقْيَسُ؛ لِأَنِّي وَجَدْت الشَّاةَ تَمُوتُ عَنْ ذَكَاةٍ فَتَحِلُّ وَعَنْ عَقْرٍ فَتُحَرَّمُ فَلَمَّا وَجَدْت الَّذِي أَوْجَبَ الذَّبْحُ مَوْتَهَا وَتَحْلِيلَهَا لَا يُبَدِّلُهَا أَكْلُ السَّبُعِ لَهَا وَلَا يُرَدُّ بِهَا كَانَ ذَلِكَ فِي الْقِيَاسِ إذَا أَوْجَبَ السَّبُعُ مَوْتَهَا وَتَحْرِيمَهَا لَمْ يُبَدِّلْهَا الذَّبْحُ لَهَا وَلَا أَعْلَمُ خِلَافًا أَنَّ سَبُعًا لَوْ قَطَعَ مَا يُقْطَعُ الْمُذَكِّي مِنْ أَسْفَلِ حَلْقِهَا أَوْ أَعْلَاهُ ثُمَّ ذُبِحَتْ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَقْطَعْ السَّبُعُ مِنْ حَلْقِهَا أَنَّهَا مَيْتَةٌ وَلَوْ سَبَقَ الذَّابِحُ ثُمَّ قَطَعَ السَّبُعُ حَيْثُ لَمْ يَقْطَعْ الذَّابِحُ مِنْ حَلْقِهَا أَنَّهَا ذَكِيَّةٌ وَفِي هَذَا عَلَى مَا قُلْت دَلِيلٌ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Aku memahami dari perkataannya bahwa hewan itu tidak boleh dimakan jika telah mencapai kondisi di mana tidak ada lagi kelangsungan hidupnya kecuali seperti kehidupan hewan yang disembelih. Ini adalah pendapat penduduk Madinah dan menurutku lebih tepat dengan qiyas. Karena aku menemukan bahwa kambing yang mati karena disembah halal, sedangkan yang mati karena diterkam haram. Ketika aku melihat bahwa penyembelihan yang menyebabkan kematiannya dan menghalalkannya tidak berubah meskipun ada bagian yang dimakan binatang buas, dan tidak bisa dikembalikan, maka demikian pula dalam qiyas: jika binatang buas yang menyebabkan kematiannya dan keharamannya, maka penyembelihan tidak mengubah statusnya. Aku juga tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa jika binatang buas memotong bagian yang biasa dipotong penyembelih – baik di bawah atau atas tenggorokannya – lalu disembelih di bagian yang belum dipotong binatang buas, maka statusnya bangkai. Namun jika penyembelih lebih dulu memotong, lalu binatang buas memotong bagian yang belum dipotong penyembelih, maka statusnya halal. Dalam hal ini terdapat dalil sesuai dengan apa yang kukatakan.”

 

 

وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَلَوْ أَدْرَكَ الصَّيْدَ وَلَمْ يَبْلُغْ سِلَاحُهُ أَوْ مُعَلَّمُهُ مَا يَبْلُغُ الذَّابِحُ فَأَمْكَنَهُ أَنْ يَذْبَحَهُ فَلَمْ يَفْعَلْ فَلَا يَأْكُلُ.

 

 

Imam Syafi’i berkata: “Jika dia (pemburu) menemukan buruan, namun senjatanya atau anjing pemburunya tidak sampai pada jarak penyembelihan, lalu dia mampu menyembelihnya tetapi tidak melakukannya, maka dia tidak boleh memakannya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَفِي هَذَا دَلِيلٌ أَنَّهُ لَوْ بَلَغَ مَا يَبْلُغُ الذَّابِحُ أَكَلَ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dalam hal ini terdapat dalil bahwa jika (hewan) mencapai apa yang dicapai oleh hewan yang disembelih, maka boleh dimakan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَدَلِيلٌ آخَرُ مِنْ قَوْلِهِ قَالَ فِي كِتَابِ الدِّيَاتِ لَوْ قَطَعَ حُلْقُومَ رَجُلٍ وَمَرِيئَهُ أَوْ قَطَعَ حَشْوَتَهُ فَأَبَانَهَا مِنْ جَوْفِهِ أَوْ صَيَّرَهُ فِي حَالِ الْمَذْبُوحِ ثُمَّ ضَرَبَ آخَرُ عُنُقَهُ فَالْأَوَّلُ قَاتِلٌ دُونَ الْآخَرِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dan dalil lain dari perkataannya, ia menyebutkan dalam kitab Ad-Diyat: ‘Seandainya seseorang memotong tenggorokan dan kerongkongan orang lain, atau memotong isi perutnya sehingga terpisah dari rongganya, atau menjadikannya dalam keadaan seperti hewan yang disembelih, kemudian orang lain memukul lehernya (hingga mati), maka yang pertama adalah pembunuh, bukan yang lain.'”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَهَذِهِ أَدِلَّةٌ عَلَى مَا وَصَفْت مِنْ قَوْلِهِ الَّذِي هُوَ أَصَحُّ فِي الْقِيَاسِ مِنْ قَوْلِهِ الْآخَرِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Inilah bukti-bukti atas apa yang telah aku jelaskan dari pendapatnya yang lebih sahih menurut qiyas daripada pendapatnya yang lain, dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

(Asy-Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Segala sesuatu yang hidup di air, baik ikan maupun selainnya, lalu diambil dari tempatnya meskipun sesuatu itu bisa hidup lama kemudian disembelih untuk mempercepat kematiannya, aku tidak memakruhkannya. Sama saja apakah yang mengambilnya dari orang Majusi atau penyembah berhala yang tidak memiliki penyembelihan yang sah. Juga sama saja apakah ikan itu terdampar oleh laut dan mengapung sebagai bangkai atau diambil dalam keadaan hidup. Abu Ayyub pernah memakan ikan yang mengapung dan berkata: Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah.’ Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah – aku kira beliau berkata – hati dan limpa. Dan beliau – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, ‘Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.’ Allah – Jalla tsana’uhu – berfirman, ‘Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai kesenangan bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.’ (QS. Al-Ma’idah: 96). Ini adalah ketentuan umum. Barangsiapa mengkhususkan sebagian darinya, maka pengkhususan itu tidak boleh menurut para ulama kecuali berdasarkan sunnah atau ijma’ orang-orang yang tidak mengabaikan apa yang dikehendaki Allah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ جَازَ أَنْ يُحَرَّمَ الْحُوتُ وَهُوَ ذَكِيٌّ؛ لِأَنَّهُ طَفَا لَجَازَ أَنْ يُحَرَّمَ الْمُذَكَّى مِنْ الْغَنَمِ إذَا طَفَا وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya boleh mengharamkan ikan yang telah disembelih secara syar’i karena ia mengapung, maka boleh juga mengharamkan kambing yang telah disembelih secara syar’i jika mengapung. Dalam hal ini terdapat dalil. Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

كِتَابُ الضَّحَايَا

 

مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ الْأَحَادِيثِ وَمِنْ إمْلَاءٍ عَلَى كِتَابِ أَشْهَبَ وَمِنْ كِتَابِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَأَبِي حَنِيفَةَ.

 

Dari kitab Ikhtilaf al-Ahadits, dari imla’ (dikte) atas kitab Asyhab, dan dari kitab Ahl al-Madinah serta Abu Hanifah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَخْبَرَنَا إسْمَاعِيلُ بْنُ إبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ» وَقَالَ أَنَسٌ: وَأَنَا أُضَحِّي أَيْضًا بِكَبْشَيْنِ وَقَالَ أَنَسٌ فِي غَيْرِ هَذَا الْحَدِيثِ: «ضَحَّى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ وَذَبَحَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ قَبْلَ أَنْ يَذْبَحَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَوْمَ الْأَضْحَى فَزَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَهُ أَنْ يَعُودَ لِضَحِيَّةٍ أُخْرَى فَقَالَ أَبُو بُرْدَةَ: لَا أَجِدُ إلَّا جَذَعًا فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إنْ لَمْ تَجِدْ إلَّا جَذَعًا فَاذْبَحْهُ» (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَاحْتَمَلَ أَمْرُهُ بِالْإِعَادَةِ أَنَّهَا وَاجِبَةٌ وَاحْتَمَلَ عَلَى مَعْنَى أَنَّهُ إنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَمَّا قَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – «إذَا دَخَلَ الْعَشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا» دَلَّ عَلَى أَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَبَلَغَنَا أَنَّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – كَانَا لَا يُضَحِّيَانِ كَرَاهِيَةَ أَنْ يُرَى أَنَّهَا وَاجِبَةٌ وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ اشْتَرَى بِدِرْهَمَيْنِ لَحْمًا فَقَالَ: هَذِهِ أُضْحِيَّةُ ابْنِ عَبَّاسٍ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – telah mengabarkan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Abdul Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik: “Sesungguhnya Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – biasa berkurban dengan dua ekor domba jantan.” Anas berkata: “Aku juga berkurban dengan dua ekor domba jantan.” Dalam riwayat lain, Anas berkata: “Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkurban dengan dua ekor domba jantan yang putih kehitaman. Abu Burdah bin Niyar menyembelih sebelum Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – menyembelih pada hari Idul Adha. Dia mengira bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memerintahkannya untuk mengulangi kurban lain. Abu Burdah berkata: ‘Aku tidak menemukan kecuali domba muda.’ Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: ‘Jika engkau tidak menemukan kecuali domba muda, sembelihlah.'” (Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – perintah untuk mengulangi mengandung kemungkinan bahwa hal itu wajib, dan juga mengandung makna bahwa jika seseorang ingin berkurban. Ketika Nabi – ‘alaihis salam – bersabda: “Jika sepuluh hari (Dzulhijjah) telah masuk dan salah seorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah ia menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun,” menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib. Telah sampai kepada kami bahwa Abu Bakar dan Umar – radhiyallahu ‘anhuma – tidak berkurban karena khawatir dianggap wajib. Dari Ibnu Abbas, bahwa dia membeli daging dengan dua dirham lalu berkata: “Ini adalah kurban Ibnu Abbas.”

 

(قَالَ) : وَأَمَرَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ أَنْ لَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ شَيْئًا اتِّبَاعًا وَاخْتِيَارًا بِدَلَالَةِ السُّنَّةِ، وَرَوَتْ «عَائِشَةُ أَنَّهَا كَانَتْ تَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ثُمَّ يُقَلِّدُهَا هُوَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَّى نَحَرَ الْهَدْيَ» .

 

 

Beliau berkata: “Dan beliau memerintahkan siapa saja yang ingin berkurban agar tidak memotong sedikitpun rambutnya, sebagai bentuk ittiba’ dan pilihan berdasarkan petunjuk Sunnah. Aisyah meriwayatkan bahwa dahulu ia menganyam kalung-kalung hewan kurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau sendiri yang mengalungkannya dengan tangannya, lalu mengirimkannya. Tidak ada sesuatu yang dihalalkan Allah bagi beliau menjadi haram sampai beliau menyembelih hewan kurbannya.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَالْأُضْحِيَّةُ سُنَّةُ تَطَوُّعٍ لَا نُحِبُّ تَرْكَهَا، وَإِذْ كَانَتْ غَيْرَ فَرْضٍ فَإِذَا ضَحَّى الرَّجُلُ فِي بَيْتِهِ فَقَدْ وَقَعَ ثَمَّ اسْمُ أُضْحِيَّةٍ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Dan kurban adalah sunnah tathawwu’ (sunnah yang dianjurkan), kami tidak suka meninggalkannya. Meskipun bukan wajib, jika seseorang berkurban di rumahnya, maka telah terpenuhi nama kurban di sana.”

 

 

(قَالَ) : وَيَجُوزُ فِي الضَّحَايَا الْجَذَعُ مِنْ الضَّأْنِ وَالثَّنِيُّ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْمَعَزِ وَلَا يَجُوزُ دُونَ هَذَا مِنْ السِّنِّ وَالْإِبِلُ أَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُضَحِّيَ بِهَا مِنْ الْبَقَرِ وَالْبَقَرُ مِنْ الْغَنَمِ وَالضَّأْنُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ الْمَعَزِ وَالْعَفْرَاءُ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ السَّوْدَاءِ. وَزَعَمَ بَعْضُ الْمُفَسِّرِينَ أَنَّ قَوْلَ اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ} الحج: 32 اسْتِسْمَانُ الْهَدْيِ وَاسْتِحْسَانُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Dalam hewan kurban, boleh menggunakan domba yang sudah berumur satu tahun (jadza’) dan unta, sapi, serta kambing yang sudah berumur dua tahun (tsaniyy). Tidak diperbolehkan hewan yang usianya di bawah itu. Unta lebih aku sukai untuk dikurbankan daripada sapi, dan sapi lebih aku sukai daripada kambing. Domba lebih aku sukai daripada kambing biasa, dan yang berwarna putih kemerahan lebih aku sukai daripada yang hitam.” Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa firman Allah Ta’ala, “Demikianlah, dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah” (QS. Al-Hajj: 32) adalah memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.

 

(قَالَ) : وَلَا يَجُوزُ فِي الضَّحَايَا الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَلَا الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا وَلَا الْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَلَا الْعَجْفَاءُ الَّتِي لَا تُنْقِي وَلَيْسَ فِي الْقَرْنِ نَقْصٌ فَيُضَحَّى بِالْجَلْحَاءِ وَالْمَكْسُورَةُ الْقَرْنُ أَكْبَرُ مِنْهَا دَمِيَ قَرْنُهَا أَوْ لَمْ يَدْمَ وَلَا تُجْزِئُ الْجَرْبَاءُ؛ لِأَنَّهُ مَرَضٌ يُفْسِدُ لَحْمَهَا.

 

 

Beliau berkata: “Tidak boleh dijadikan hewan kurban: yang buta sebelah matanya dan jelas kebutaannya, yang pincang dan jelas kepincangannya, yang sakit dan jelas sakitnya, serta yang kurus dan tidak berlemak. Tidak ada cacat pada tanduk, maka boleh berkurban dengan hewan yang tidak bertanduk atau yang tanduknya patah, baik luka pada tanduknya atau tidak. Tidak sah juga hewan yang berkudis karena itu adalah penyakit yang merusak dagingnya.”

 

 

وَلَا وَقْتَ لِلذَّبْحِ يَوْمَ الْأَضْحَى إلَّا فِي قُدْرَةِ صَلَاةِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَذَلِكَ حِينَ حَلَّتْ الصَّلَاةُ وَقَدْرِ خُطْبَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ، وَإِذَا كَانَ هَذَا الْقَدْرُ فَقَدْ حَلَّ الذَّبْحُ لِكُلِّ أَحَدٍ حَيْثُ كَانَ فَأَمَّا صَلَاةُ مَنْ بَعْدَهُ فَلَيْسَ فِيهَا وَقْتٌ.

 

 

Tidak ada waktu untuk menyembelih pada hari Idul Adha kecuali seukuran shalat Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – yaitu ketika shalat telah tiba dan seukuran dua khutbah yang ringan. Jika ukuran ini telah terpenuhi, maka penyembelihan telah halal bagi setiap orang di mana pun ia berada. Adapun shalat orang setelah beliau, maka tidak ada waktu (khusus) di dalamnya.

 

 

(قَالَ) : وَالذَّكَاةُ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ وَهِيَ مَا لَا حَيَاةَ بَعْدَهُ إذَا قُطِعَ وَكَمَالُهَا بِأَرْبَعٍ الْحُلْقُومِ وَالْمَرِيءِ وَالْوَدَجَيْنِ وَأَقَلُّ مَا يُجْزِئُ مِنْ الذَّكَاةِ أَنْ يُبِينَ الْحُلْقُومَ وَالْمَرِيءَ وَإِنَّمَا أُرِيدَ بِفَرْيِ الْأَوْدَاجِ؛ لِأَنَّهَا لَا تُفْرَى إلَّا بَعْدَ قَطْعِ الْحُلْقُومِ وَالْمَرِيءِ، وَالْوَدَجَانِ عِرْقَانِ قَدْ يَنْسَلَّانِ مِنْ الْإِنْسَانِ وَالْبَهِيمَةِ ثُمَّ يَحْيَا وَمَوْضِعُ النَّحْرِ فِي الِاخْتِيَارِ فِي السُّنَّةِ فِي اللَّبَّةِ وَمَوْضِعُ الذَّبْحِ فِي الِاخْتِيَارِ فِي السُّنَّةِ أَسْفَلُ مَجَامِعِ اللَّحْيَيْنِ فَإِذَا نُحِرَتْ بَقَرَةٌ أَوْ ذُبِحَ بَعِيرٌ فَجَائِزٌ، قَالَ عُمَرُ وَابْنُ عَبَّاسٍ الذَّكَاةُ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ وَزَادَ عُمَرُ وَلَا تَعَجَّلُوا الْأَنْفُسَ أَنْ تُزْهَقَ وَنَهَى عَنْ النَّخْعِ.

 

 

(Dia berkata): “Penyembelihan yang sah adalah pada tenggorokan dan leher, yaitu bagian yang jika dipotong tidak ada kehidupan setelahnya. Kesempurnaannya dengan memotong empat bagian: tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Minimal yang mencukupi dalam penyembelihan adalah memutus tenggorokan dan kerongkongan. Tujuan memotong dua urat leher adalah karena keduanya tidak terpotong kecuali setelah terputusnya tenggorokan dan kerongkongan. Dua urat leher adalah dua pembuluh yang jika terputus pada manusia atau hewan, mereka masih bisa hidup. Tempat penyembelihan unta secara sunnah adalah di leher, sedangkan tempat penyembelihan hewan lainnya secara sunnah adalah di bawah pangkal rahang. Jika sapi disembelih dengan cara unta (dengan menikam leher) atau unta disembelih dengan cara biasa, itu diperbolehkan.” Umar dan Ibnu Abbas berkata: “Penyembelihan yang sah adalah pada tenggorokan dan leher.” Umar menambahkan: “Jangan tergesa-gesa mencabut nyawa,” dan dia melarang penyembelihan dengan cara yang menyiksa (nakh’).

 

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ لَا يَذْبَحَ الْمَنَاسِكَ الَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إلَّا مُسْلِمٌ فَإِنْ ذَبَحَ مُشْرِكٌ تَحِلُّ ذَبِيحَتُهُ أَجْزَأَ عَلَى كَرَاهِيَتِي لِمَا وَصَفْت، وَذَبْحُ مَنْ أَطَاقَ الذَّبْحَ مِنْ امْرَأَةٍ حَائِضٍ وَصَبِيٍّ مِنْ الْمُسْلِمِينَ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ ذَبْحِ النَّصْرَانِيِّ وَالْيَهُودِيِّ وَلَا بَأْسَ بِذَبِيحَةِ الْأَخْرَسِ وَأَكْرَهُ ذَبِيحَةَ السَّكْرَانِ وَالْمَجْنُونِ فِي حَالِ جُنُونِهِ وَلَا يَتَبَيَّنُ أَنَّهَا حَرَامٌ وَلَا تَحِلُّ ذَبِيحَةُ نَصَارَى الْعَرَبِ وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ.

 

 

Beliau berkata: “Aku lebih suka jika yang menyembelih hewan kurban yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah hanyalah seorang muslim. Jika seorang musyrik menyembelih, sembelihannya halal dan sah meskipun aku tidak menyukainya karena alasan yang telah kujelaskan. Penyembelihan oleh seorang wanita haid atau anak kecil dari kalangan muslim lebih aku sukai daripada penyembelihan oleh seorang Nasrani atau Yahudi. Tidak masalah dengan sembelihan orang bisu, namun aku tidak menyukai sembelihan orang yang mabuk atau orang gila saat dalam keadaan gilanya, meski tidak jelas keharamannya. Sembelihan Nasrani Arab tidak halal, dan ini adalah pendapat Umar.”

 

 

(قَالَ) : وَأُحِبُّ أَنْ يُوَجِّهَ الذَّبِيحَةَ إلَى الْقِبْلَةِ وَيَقُولَ الرَّجُلُ عَلَى ذَبِيحَتِهِ: بِاسْمِ اللَّهِ، وَلَا أَكْرَهُ الصَّلَاةَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؛ لِأَنَّهَا إيمَانٌ بِاَللَّهِ قَالَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – أَخْبَرَنِي جِبْرِيلُ عَنْ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ أَنَّهُ قَالَ: مَنْ صَلَّى عَلَيْك صَلَّيْت عَلَيْهِ.

 

 

Beliau berkata: “Aku suka jika hewan sembelihan diarahkan ke kiblat dan orang yang menyembelih mengucapkan ‘Bismillah’. Aku tidak membenci shalawat atas Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- karena itu merupakan keimanan kepada Allah. Beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: ‘Jibril mengabarkan kepadaku dari Allah -Yang Maha Tinggi sebutan-Nya- bahwa Dia berfirman: Barangsiapa yang bershalawat kepadamu, Aku akan bershalawat kepadanya.'”

 

(قَالَ) : فَإِنْ قَالَ: اللَّهُمَّ مِنْك وَإِلَيْك فَتَقَبَّلْ مِنِّي فَلَا بَأْسَ هَذَا دُعَاءٌ فَلَا أَكْرَهُهُ وَرُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ وَجْهٍ لَا يَثْبُتُ «أَنَّهُ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ فَقَالَ فِي أَحَدِهِمَا بَعْدَ ذِكْرِ اللَّهِ اللَّهُمَّ عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَفِي الْآخَرِ اللَّهُمَّ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ» .

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang mengucapkan, ‘Ya Allah, dari-Mu dan kepada-Mu, terimalah (kurban) dariku,’ maka tidak mengapa. Ini adalah doa, dan aku tidak memakruhkannya. Diriwayatkan dari Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – melalui jalur yang tidak kuat, ‘Bahwa beliau berkurban dengan dua domba jantan. Pada salah satunya, setelah menyebut nama Allah, beliau mengucapkan, ‘Ya Allah, (kurban ini) dari Muhammad dan keluarga Muhammad.’ Dan pada yang lain, beliau mengucapkan, ‘Ya Allah, (kurban ini) dari Muhammad dan umat Muhammad.'”

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika ia menyembelihnya dengan memotong kepalanya, maka itu adalah sembelihan yang sah.”

 

 

وَلَوْ ذَبَحَهَا مِنْ قَفَاهَا فَإِنْ تَحَرَّكَتْ بَعْدَ قَطْعِ الرَّأْسِ أُكِلَتْ وَإِلَّا لَمْ تُؤْكَلْ وَإِذَا أَوْجَبَهَا أُضْحِيَّةً وَهُوَ أَنْ يَقُولَ: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ، وَلَيْسَ شِرَاؤُهَا وَالنِّيَّةُ أَنْ يُضَحِّيَ بِهَا إيجَابًا لَهَا فَإِذَا أَوْجَبَهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُبَدِّلَهَا بِحَالٍ وَإِنْ بَاعَهَا فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ وَإِنْ فَاتَتْ بِالْبَيْعِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَشْتَرِيَ بِجَمِيعِ قِيمَتِهَا مَكَانَهَا فَإِنْ بَلَغَ أُضْحِيَّتَيْنِ اشْتَرَاهُمَا؛ لِأَنَّ ثَمَنَهَا بَدَلٌ مِنْهَا وَإِنْ بَلَغَ أُضْحِيَّةً وَزَادَ شَيْئًا لَا يَبْلُغْ أُخْرَى ضَحَّى بِأُضْحِيَّةٍ وَأَسْلَكَ الْفَضْلَ مَسْلَكَ الْأُضْحِيَّةِ وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ تَصَدَّقَ بِهِ، وَإِنْ نَقَصَ عَنْ أُضْحِيَّةٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَزِيدَ حَتَّى يُوفِيَهُ أُضْحِيَّةً؛ لِأَنَّهُ مُسْتَهْلِكٌ لِلضَّحِيَّةِ فَأَقَلُّ مَا يَلْزَمُهُ أُضْحِيَّةٌ مِثْلُهَا فَإِنْ وَلَدَتْ الْأُضْحِيَّةُ ذُبِحَ مَعَهَا وَلَا يَشْرَبُ مِنْ لَبَنِهَا إلَّا الْفَضْلَ عَنْ وَلَدِهَا وَلَا مَا يُنْهِكُ لَحْمَهَا وَلَوْ تَصَدَّقَ بِهِ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ وَلَا يَجُزُّ صُوفَهَا وَإِنْ أَوْجَبَهَا هَدْيًا وَهُوَ تَامٌّ ثُمَّ عَرَضَ لَهُ نَقْصٌ وَبَلَغَ الْمَنْسَكَ أَجْزَأَ، إنَّمَا أَنْظُرُ فِي هَذَا كُلِّهِ إلَى يَوْمِ يُوجِبُهُ وَيَخْرُجُ مِنْ مَالِهِ إلَى مَا جَعَلَهُ لَهُ، وَإِنْ أَوْجَبَهُ نَاقِصًا ذَبَحَهُ وَلَمْ يَجُزَّهُ.

 

 

Dan jika ia menyembelihnya dari belakang lehernya, lalu hewan itu bergerak setelah kepalanya terputus, maka boleh dimakan. Jika tidak, maka tidak boleh dimakan. Apabila ia menetapkannya sebagai hewan kurban, yaitu dengan mengatakan, “Ini adalah hewan kurban,” bukan sekadar membelinya atau berniat untuk berkurban dengannya, maka jika sudah ditetapkan, ia tidak boleh menggantinya dalam keadaan apa pun. Jika ia menjualnya, maka penjualannya batal. Jika hewan itu hilang karena dijual, ia wajib membeli pengganti dengan seluruh nilai harganya. Jika uangnya cukup untuk dua hewan kurban, belilah keduanya, karena harganya adalah pengganti darinya. Jika cukup untuk satu hewan kurban dan ada sisa yang tidak cukup untuk hewan lain, maka berkurbanlah dengan satu hewan dan perlakukan kelebihannya seperti hewan kurban. Namun, lebih aku sukai jika kelebihannya disedekahkan. Jika harganya kurang dari satu hewan kurban, ia wajib menambah hingga cukup untuk satu hewan kurban, karena ia telah menggunakan hewan kurban tersebut. Minimal yang wajib baginya adalah satu hewan kurban yang sepadan. Jika hewan kurban melahirkan, anaknya juga disembelih bersamanya. Ia tidak boleh meminum susunya kecuali sisanya setelah anaknya, dan tidak boleh mengambil sesuatu yang mengurangi dagingnya. Jika disedekahkan, itu lebih aku sukai. Bulunya juga tidak boleh diambil. Jika ia menetapkannya sebagai hewan hadyu (kurban haji) dalam keadaan sempurna, lalu terjadi cacat yang masih memenuhi syarat, maka sah. Dalam semua ini, aku melihat pada hari ia menetapkannya dan mengeluarkannya dari hartanya untuk tujuan yang ia tetapkan. Jika ia menetapkannya dalam keadaan cacat, sembelihlah dan tidak sah.

وَلَوْ ضَلَّتْ بَعْدَ مَا أَوْجَبَهَا فَلَا بَدَلَ وَلَيْسَتْ بِأَكْثَرَ مِنْ هَدْيِ التَّطَوُّعِ يُوجِبُهُ صَاحِبُهُ فَيَمُوتُ وَلَا يَكُونُ عَلَيْهِ بَدَلٌ.

 

Dan sekiranya hewan itu hilang setelah diwajibkan, maka tidak ada gantinya, dan ia tidak lebih dari hewan kurunan sunnah yang diwajibkan pemiliknya, lalu mati, maka tidak ada kewajiban ganti atasnya.

 

وَلَوْ وَجَدَهَا وَقَدْ مَضَتْ أَيَّامُ النَّحْرِ كُلُّهَا صَنَعَ بِهَا كَمَا يَصْنَعُ فِي النَّحْرِ كَمَا لَوْ أَوْجَبَ هَدْيَهَا الْعَامَ وَأَخَّرَهَا إلَى قَابِلٍ وَمَا أَوْجَبَهُ عَلَى نَفْسِهِ لِوَقْتٍ فَفَاتَ الْوَقْتُ وَلَمْ يَبْطُلْ الْإِيجَابُ.

 

 

Dan sekiranya ia menemukannya setelah seluruh hari penyembelihan berlalu, ia tetap melakukan sebagaimana yang dilakukan pada hari penyembelihan, seperti halnya jika ia mewajibkan hewan kurbannya pada tahun itu tetapi menundanya hingga tahun depan. Demikian pula apa yang ia wajibkan atas dirinya untuk waktu tertentu, lalu waktu itu terlewat, kewajiban itu tidaklah batal.

 

 

وَلَوْ أَنَّ مُضَحِّيَيْنِ ذَبَحَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أُضْحِيَّةَ صَاحِبِهِ ضَمِنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا بَيْنَ قِيمَةِ مَا ذَبَحَ حَيًّا وَمَذْبُوحًا وَأَجْزَأَ عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ضَحِيَّتُهُ وَهَدْيُهُ فَإِذَا ذَبَحَ لَيْلًا أَجْزَأَهُ وَالضَّحِيَّةُ نُسُكٌ مَأْذُونٌ فِي أَكْلِهِ وَإِطْعَامِهِ وَادِّخَارِهِ وَأَكْرَهُ بَيْعَ شَيْءٍ مِنْهُ وَالْمُبَادَلَةَ بِهِ وَمَعْقُولُ مَا أَخْرَجَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يَعُودَ إلَى مَالِكِهِ إلَّا مَا أَذِنَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيهِ ثُمَّ رَسُولُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَاقْتَصَرْنَا عَلَى مَا أَذِنَ اللَّهُ فِيهِ ثُمَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَمَنَعْنَا الْبَيْعَ عَلَى أَصْلِ النُّسُكِ أَنَّهُ لِلَّهِ.

 

 

Seandainya dua orang yang berkurban menyembelih hewan kurban masing-masing milik temannya, maka setiap dari mereka menanggung selisih nilai antara hewan yang disembelih dalam keadaan hidup dan setelah disembelih. Kurban dan hadyu masing-masing telah sah. Jika menyembelih di malam hari, itu sudah mencukupi. Kurban adalah ibadah yang diizinkan untuk dimakan, diberikan sebagai sedekah, dan disimpan. Aku tidak menyukai menjual sebagian darinya atau menukarnya. Makna dari apa yang dikeluarkan Allah ‘azza wa jalla adalah bahwa itu tidak kembali kepada pemiliknya kecuali apa yang diizinkan oleh Allah ‘azza wa jalla, kemudian Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka kami membatasi pada apa yang diizinkan oleh Allah kemudian Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kami melarang penjualan karena pada dasarnya ibadah kurban itu milik Allah.

 

وَلَا تَجُوزُ الْأُضْحِيَّةُ لِعَبْدٍ وَلَا كَمُدَبَّرٍ وَلَا أُمِّ وَلَدٍ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَمْلِكُونَ.

 

Tidak sah berkurban bagi seorang hamba sahaya, mudabbar (budak yang akan merdeka setelah tuannya meninggal), maupun ummu walad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya); karena mereka tidak memiliki hak kepemilikan.

 

 

وَإِذَا نَحَرَ سَبْعَةٌ بَدَنَةً أَوْ بَقَرَةً فِي الضَّحَايَا أَوْ الْهَدْيِ كَانُوا مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ وَاحِدٍ أَوْ شَتَّى فَسَوَاءٌ وَذَلِكَ يُجْزِي وَإِنْ كَانَ بَعْضُهُمْ مُضَحِّيًا وَبَعْضُهُمْ مُهْدِيًا أَوْ مُفْتَدِيًا أَجْزَأَ؛ لِأَنَّ سُبُعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَقُومُ مَقَامَ شَاةٍ مُنْفَرِدَةٍ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ يُرِيدُ بِنَصِيبِهِ لَحْمًا لَا أُضْحِيَّةً وَلَا هَدْيًا وَقَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ «نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ»

 

 

Dan apabila tujuh orang menyembelih unta atau sapi untuk kurban atau hadyu, baik mereka berasal dari satu keluarga atau berbeda, hukumnya sama dan itu mencukupi. Meskipun sebagian dari mereka berniat berkurban, sebagian lain berniat hadyu atau fidyah, itu tetap sah. Karena sepertujuh bagian masing-masing orang setara dengan seekor kambing tersendiri. Begitu pula jika sebagian dari mereka berniat mengambil bagiannya hanya untuk daging, bukan untuk kurban atau hadyu. Jabir bin Abdullah berkata, “Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah ﷺ pada hari Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَهُمْ شَتَّى.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Dan mereka (berbeda-beda).”

(قَالَ) : وَالْأَضْحَى جَائِزٌ يَوْمَ النَّحْرِ وَأَيَّامَ مِنًى كُلَّهَا إلَى الْمَغِيبِ؛ لِأَنَّهَا أَيَّامُ نُسُكٍ.

 

Beliau berkata: “Dan penyembelihan hewan kurban diperbolehkan pada hari nahar (10 Dzulhijjah) dan seluruh hari-hari Mina sampai maghrib, karena itu adalah hari-hari ibadah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَهُوَ قَوْلُ عَطَاءٍ وَالْحَسَنِ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ عَنْ هُشَيْمٍ عَنْ يُونُسَ عَنْ الْحَسَنِ أَنَّهُ قَالَ: يُضَحِّي أَيَّامَ التَّشْرِيقِ كُلَّهَا. وَحَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ عَنْ هُشَيْمٍ عَنْ الْحَجَّاجِ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: يُضَحِّي فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – dan itu adalah pendapat Atha’ dan Al-Hasan. Ali bin Ma’bad mengabarkan kepada kami dari Husyaim dari Yunus dari Al-Hasan bahwa ia berkata: “Berkurban boleh dilakukan pada seluruh hari Tasyriq.” Dan Ali bin Ma’bad menceritakan kepada kami dari Husyaim dari Al-Hajjaj dari Atha’ bahwa ia biasa mengatakan: “Berkurban boleh dilakukan pada hari-hari Tasyriq.”

 

بَابُ الْعَقِيقَةِ

 

Bab Aqiqah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) أَخْبَرَنَا إسْمَاعِيلُ بْنُ إبْرَاهِيمَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ عَنْ سِبَاعِ بْنِ وَهْبٍ عَنْ «أُمِّ كُرْزٍ قَالَتْ: أَتَيْت النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَسْأَلُهُ عَنْ لُحُومِ الْهَدْيِ فَسَمِعْته يَقُولُ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ أَوْ إنَاثًا وَسَمِعْته يَقُولُ: أَقِرُّوا الطَّيْرَ عَلَى مَكِنَاتِهَا» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata) Ismail bin Ibrahim mengabarkan kepada kami dari Ubaidullah bin Abu Yazid dari Siba’ bin Wahb dari Ummu Kurz, ia berkata: “Aku mendatangi Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – untuk bertanya tentang daging hewan kurban. Aku mendengar beliau bersabda: ‘Untuk anak laki-laki dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor kambing. Tidak masalah bagi kalian apakah hewan itu jantan atau betina.’ Dan aku mendengar beliau bersabda: ‘Biarkan burung tetap di sarangnya.'”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Disembelihkan aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan sebagaimana sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَيُعَقُّ عَنْ الْغُلَامِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

بَابُ مَا يَحْرُمُ مِنْ جِهَةِ مَا لَا تَأْكُلُ الْعَرَبُ

 

Bab tentang apa yang diharamkan karena tidak dimakan oleh orang Arab

 

مِنْ مَعَانِي الرِّسَالَةِ وَمَعَانٍ أَعْرَفَ لَهُ وَغَيْرِ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ} المائدة: 4 وَقَالَ فِي النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – {وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} الأعراف: 157 وَإِنَّمَا خُوطِبَ بِذَلِكَ الْعَرَبُ الَّذِينَ يَسْأَلُونَ عَنْ هَذَا وَنَزَلَتْ فِيهِمْ الْأَحْكَامُ وَكَانُوا يَتْرُكُونَ مِنْ خَبِيثِ الْمَآكِلِ مَا لَا يَتْرُكُ غَيْرُهُمْ.

 

 

Di antara makna risalah dan makna yang lebih dikenal serta lainnya, Asy-Syafi’i—rahimahullah—berkata: Allah Jalla Tsanā’uhu berfirman, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah, ‘Yang dihalalkan bagimu adalah yang baik-baik.’” (QS. Al-Mā’idah: 4). Dan Dia berfirman tentang Nabi—ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam—“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan yang buruk.” (QS. Al-A‘rāf: 157). Yang diajak bicara dalam hal ini adalah orang-orang Arab yang bertanya tentang ini, dan hukum-hukum turun terkait mereka. Mereka meninggalkan makanan yang buruk yang tidak ditinggalkan oleh orang lain.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَسَمِعْت أَهْلَ الْعِلْمِ يَقُولُونَ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ} الأنعام: 145 الْآيَةَ، يَعْنِي مِمَّا كُنْتُمْ تَأْكُلُونَ وَلَمْ يَكُنْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِيُحَرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ صَيْدِ الْبَرِّ فِي الْإِحْرَامِ إلَّا مَا كَانَ حَلَالًا لَهُمْ فِي الْإِحْلَالِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ، فَلَمَّا أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِقَتْلِ الْغُرَابِ وَالْحِدَأَةِ وَالْعَقْرَبِ وَالْحَيَّةِ وَالْفَأْرَةِ وَالْكَلْبِ الْعَقُورِ دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ هَذَا مَخْرَجُهُ وَدَلَّ عَلَى مَعْنًى آخَرَ أَنَّ الْعَرَبَ كَانَتْ لَا تَأْكُلُ مِمَّا أَبَاحَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَتْلَهُ فِي الْإِحْرَامِ شَيْئًا وَنَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَأَحَلَّ الضُّبُوعَ وَلَهَا نَابٌ وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَأْكُلُهَا وَتَدَعُ الْأَسَدَ وَالنَّمِرَ وَالذِّئْبَ تَحْرِيمًا لَهُ بِالتَّقَذُّرِ، وَكَانَ الْفَرْقُ بَيْنَ ذَوَاتِ الْأَنْيَابِ أَنَّ مَا عَدَا مِنْهَا عَلَى النَّاسِ لِقُوَّتِهِ بِنَابِهِ حَرَامٌ وَمَا لَمْ يَعْدُ عَلَيْهِمْ بِنَابِهِ الضَّبُعُ وَالثَّعْلَبُ وَمَا أَشْبَهَهُمَا حَلَالٌ وَكَذَلِكَ تَتْرُكُ أَكْلَ النَّسْرِ وَالْبَازِي وَالصَّقْرِ وَالشَّاهَيْنِ وَهِيَ مِمَّا يَعْدُو عَلَى حَمَامِ النَّاسِ وَطَائِرِهِمْ، وَكَانَتْ تَتْرُكُ مِمَّا لَا يَعْدُو مِنْ الطَّائِرِ الْغُرَابِ وَالْحِدَأَةِ وَالرَّخَمَةِ وَالْبُغَاثَةِ، وَكَذَلِكَ تَتْرُكُ اللُّحَكَاءَ وَالْعَظَاءَ وَالْخَنَافِسَ فَكَانَتْ دَاخِلَةً فِي مَعْنَى الْخَبَائِثِ وَخَارِجَةً مِنْ مَعْنَى الطَّيِّبَاتِ فَوَافَقَتْ السُّنَّةَ فِيمَا أَحَلُّوا وَحَرَّمُوا مَعَ الْكِتَابِ مَا وَصَفْت فَانْظُرْ مَا لَيْسَ فِيهِ نَصُّ تَحْرِيمٍ وَلَا تَحْلِيلٍ، فَإِنْ كَانَتْ الْعَرَبُ تَأْكُلُهُ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي جُمْلَةِ الْحَلَالِ وَالطَّيِّبَاتِ عِنْدَهُمْ؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا يُحَلِّلُونَ مَا يَسْتَطِيبُونَ وَمَا لَمْ يَكُونُوا يَأْكُلُونَهُ بِاسْتِقْذَارِهِ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي مَعْنَى الْخَبَائِثِ وَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ الضَّبِّ وُضِعَ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَعَافَهُ فَقِيلَ: أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ ” لَا وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِي ” فَأُكِلَ مِنْهُ بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُوَ يَنْظُرُ إلَيْهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا تَرَكَهُ وَأَكَلَهُ

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Aku mendengar para ulama mengatakan tentang firman Allah Azza wa Jalla, “Katakanlah: ‘Tidak kudapati dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya…'” (QS. Al-An’am: 145), maksudnya adalah dari apa yang biasa kalian makan. Allah Azza wa Jalla tidak mengharamkan bagi mereka dari hasil buruan darat saat ihram kecuali yang halal bagi mereka saat tidak ihram. Wallahu a’lam. Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk membunuh burung gagak, elang, kalajengking, ular, tikus, dan anjing buas, hal itu menunjukkan bahwa ini adalah pengecualiannya dan menunjukkan makna lain bahwa orang Arab tidak memakan apa pun yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- perbolehkan untuk dibunuh saat ihram. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- juga melarang memakan semua binatang buas yang bertaring dan menghalalkan dubaa’ (sejenis musang) yang memiliki taring, sedangkan orang Arab memakannya dan meninggalkan singa, macan, dan serigala karena menganggapnya najis. Perbedaan antara binatang bertaring adalah yang menyerang manusia dengan kekuatan taringnya adalah haram, sedangkan yang tidak menyerang seperti dubaa’ (musang) dan rubah serta sejenisnya adalah halal. Demikian pula mereka tidak memakan burung nasar, elang, rajawali, dan burung pemangsa lainnya yang menyerang merpati dan unggas manusia. Mereka juga tidak memakan burung yang tidak menyerang seperti gagak, elang kecil, dan sejenisnya. Begitu pula mereka meninggalkan kadal, biawak, dan kumbang karena termasuk dalam kategori khabaits (yang buruk) dan keluar dari kategori thayyibat (yang baik). Sunnah sesuai dengan apa yang mereka halalkan dan haramkan bersama Al-Qur’an seperti yang kujelaskan. Lihatlah apa yang tidak ada nash pengharamannya atau penghalalannya. Jika orang Arab memakannya, maka itu termasuk dalam kategori halal dan thayyibat menurut mereka, karena mereka menghalalkan apa yang mereka anggap baik. Sedangkan apa yang tidak mereka makan karena dianggap kotor, maka itu termasuk dalam kategori khabaits. Tidak masalah memakan dhab (biawak gurun). Dhab pernah dihidangkan di hadapan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tetapi beliau tidak menyukainya. Lalu ada yang bertanya, “Apakah ini haram, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi ini tidak ada di negeri kaumku.” Lalu ada yang memakannya di hadapan beliau sementara beliau melihatnya. Seandainya haram, tentu beliau tidak akan membiarkannya dan memakannya.

بَابُ كَسْبِ الْحَجَّامِ

 

Bab tentang penghasilan tukang bekam

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَا بَأْسَ بِكَسْبِ الْحَجَّامِ فَإِنْ قِيلَ: فَمَا مَعْنَى نَهْيِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – السَّائِلَ عَنْ كَسْبِهِ وَإِرْخَاصِهِ فِي أَنْ يُطْعِمَهُ رَقِيقَهُ وَنَاضِحَهُ؟ قِيلَ: لَا مَعْنَى لَهُ إلَّا وَاحِدٌ وَهُوَ أَنَّ الْمَكَاسِبَ حَسَنٌ وَدَنِيءٌ فَكَانَ كَسْبُ الْحَجَّامِ دَنِيئًا فَأُحِبُّ لَهُ تَنْزِيهَ نَفْسِهِ عَنْ الدَّنَاءَةِ لِكَثْرَةِ الْمَكَاسِبِ الَّتِي هِيَ أَجْمَلُ مِنْهُ فَلَمَّا زَادَهُ فِيهِ أَمَرَهُ أَنْ يَعْلِفَهُ نَاضِحَهُ وَيُطْعِمَهُ رَقِيقَهُ تَنْزِيهًا لَهُ لَا تَحْرِيمًا عَلَيْهِ، وَقَدْ حَجَمَ أَبُو طَيْبَةَ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعٍ مِنْ تَمْرٍ وَأَمَرَ أَهْلَهُ أَنْ يُخَفِّفُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَلَوْ كَانَ حَرَامًا لَمْ يُعْطِهِ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -؛ لِأَنَّهُ لَا يُعْطِي إلَّا مَا يَحِلُّ إعْطَاؤُهُ وَلِآخِذِهِ مِلْكُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Tidak mengapa dengan penghasilan tukang bekam.” Jika ada yang bertanya: “Apa makna larangan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – kepada orang yang bertanya tentang penghasilannya dan keringanan baginya untuk memberikannya kepada budak dan hewan tunggangannya?” Dijawab: “Tidak ada makna lain kecuali satu, yaitu bahwa penghasilan ada yang baik dan ada yang rendah. Penghasilan tukang bekam termasuk rendah, sehingga dianjurkan baginya untuk menyucikan diri dari hal yang rendah karena banyaknya penghasilan yang lebih baik darinya. Ketika beliau memberinya tambahan, beliau memerintahkannya untuk memberikannya kepada hewan tunggangannya dan budaknya sebagai penyucian dirinya, bukan pengharaman baginya. Abu Thaybah pernah membekam Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -, lalu beliau memerintahkan untuk memberinya satu sha’ kurma dan memerintahkan keluarganya untuk meringankan kharajnya. Seandainya penghasilan itu haram, Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tidak akan memberikannya, karena beliau tidak memberi kecuali apa yang halal untuk diberikan dan agar penerimanya memiliki hak miliknya.”

وَقَدْ رُوِيَ أَنْ رَجُلًا ذَا قَرَابَةٍ لِعُثْمَانَ قَدِمَ عَلَيْهِ فَسَأَلَهُ عَنْ مَعَاشِهِ فَذَكَرَ لَهُ غَلَّةَ حَجَّامٍ أَوْ حَجَّامِينَ فَقَالَ: إنَّ كَسْبَكُمْ لَوَسَخٌ، أَوْ قَالَ: لَدَنَسٌ أَوْ لَدَنِيءٌ أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا.

 

Diriwayatkan bahwa seorang kerabat Utsman datang menemuinya, lalu Utsman menanyakan tentang mata pencahariannya. Orang itu menyebutkan penghasilan dari pekerjaan bekam atau beberapa tukang bekam. Utsman berkata, “Sesungguhnya penghasilan kalian kotor,” atau dia mengatakan, “Najis,” atau “Rendah,” atau kata-kata yang semakna dengannya.

 

بَابُ مَا لَا يَحِلُّ أَكْلُهُ وَمَا يَجُوزُ لِلْمُضْطَرِّ مِنْ الْمَيْتَةِ مِنْ غَيْرِ كِتَابٍ

 

Bab tentang apa yang tidak halal dimakan dan apa yang diperbolehkan bagi orang yang terpaksa dari bangkai tanpa penyembelihan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -) : وَلَا يَحِلُّ أَكْلُ زَيْتٍ مَاتَتْ فِيهِ فَأْرَةٌ وَلَا بَيْعُهُ وَيُسْتَصْبَحُ بِهِ فَإِنْ قِيلَ: كَيْفَ يَنْتَفِعُ بِهِ وَلَا يَبِيعُهُ؟ قِيلَ: قَدْ يَنْتَفِعُ الْمُضْطَرُّ بِالْمَيْتَةِ وَلَا يَبِيعُهَا وَيَنْتَفِعُ بِالطَّعَامِ فِي دَارِ الْحَرْبِ وَلَا يَبِيعُهُ فِي تِلْكَ الْحَالِ، قَالَ: وَقَدْ نَهَى النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَأَبَاحَ الِانْتِفَاعَ بِهِ فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ فَغَيْرُ مُسْتَنْكَرٍ أَنْ يَنْتَفِعَ الرَّجُلُ بِالزَّيْتِ وَلَا يَبِيعَهُ فِي هَذِهِ الْحَالِ

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah ta’ala – berkata): “Tidak halal memakan minyak yang di dalamnya mati seekor tikus, juga tidak halal menjualnya, tetapi boleh digunakan untuk penerangan. Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana boleh memanfaatkannya tapi tidak boleh menjualnya?’ Dijawab, ‘Orang yang terpaksa boleh memanfaatkan bangkai tapi tidak boleh menjualnya, dan boleh memanfaatkan makanan di negeri perang tapi tidak boleh menjualnya dalam keadaan itu.’ Beliau juga berkata, ‘Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – telah melarang harga (hasil penjualan) anjing, tapi membolehkan pemanfaatannya dalam beberapa kondisi. Maka tidak aneh jika seseorang boleh memanfaatkan minyak (yang terkena najis) tapi tidak boleh menjualnya dalam kondisi ini.'”

 

 

قَالَ وَلَا يَحِلُّ مِنْ الْمَيْتَةِ إلَّا إهَابُهَا بِالدِّبَاغِ وَيُبَاعُ وَلَا يَأْكُلُ الْمُضْطَرُّ مِنْ الْمَيْتَةِ إلَّا مَا يَرُدُّ نَفْسَهُ فَيَخْرُجُ بِهِ مِنْ الِاضْطِرَارِ.

 

 

Dia berkata, “Tidak halal dari bangkai kecuali kulitnya yang disamak, lalu dijual. Orang yang terpaksa tidak boleh memakan bangkai kecuali sekadar mengembalikan nyawanya sehingga ia terbebas dari keadaan darurat.”

 

(قَالَ) : فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَهْلِ الْمَدِينَةِ بِهَذَا أَقُولُ (وَقَالَ) فِيهِ وَمَا هُوَ بِالْبَيِّنِ مِنْ قِبَلِ أَنَّ الشَّيْءَ حَلَالٌ وَحَرَامٌ، فَإِذَا كَانَ حَرَامًا لَمْ يَحِلَّ مِنْهُ شَيْءٌ وَإِذَا كَانَ حَلَالًا فَقَدْ يَحْتَمِلُ أَنْ لَا يُحَرَّمَ مِنْهُ شِبَعٌ وَلَا غَيْرُهُ؛ لِأَنَّهُ مَأْذُونٌ لَهُ فِيهِ.

 

 

(Dia berkata): Dalam kitab “Perbedaan Pendapat Abu Hanifah dan Penduduk Madinah”, dengan ini aku berkata (dan dia berkata) di dalamnya: Dan hal itu tidaklah jelas dari sisi bahwa sesuatu itu halal dan haram. Jika sesuatu itu haram, maka tidak ada sedikit pun yang halal darinya. Dan jika sesuatu itu halal, maka mungkin saja tidak diharamkan darinya baik kenyang maupun selainnya, karena hal itu diizinkan baginya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَوْلُهُ الْأَوَّلُ أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ: إذَا حَرَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا فَهُوَ مُحَرَّمٌ إلَّا مَا أَبَاحَ مِنْهُ بِصِفَةٍ فَإِذَا زَالَتْ الصِّفَةُ زَالَتْ الْإِبَاحَةُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat pertamanya lebih sesuai dengan dasar hukumnya; karena ia mengatakan: Jika Allah ‘azza wa jalla mengharamkan sesuatu, maka ia tetap haram kecuali yang dihalalkan dengan sifat tertentu. Jika sifat itu hilang, maka hilang pula kehalalannya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَلَا خِلَافَ أَعْلَمُهُ أَنْ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ الْمَيْتَةِ وَهُوَ بَادِي الشِّبَعِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمُضْطَرٍّ، فَإِذَا كَانَ خَائِفًا عَلَى نَفْسِهِ فَمُضْطَرٌّ فَإِذَا أَكَلَ مِنْهَا مَا يُذْهِبُ الْخَوْفَ فَقَدْ أَمِنَ فَارْتَفَعَ الِاضْطِرَارُ الَّذِي هُوَ عِلَّةُ الْإِبَاحَةِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Tidak ada perbedaan pendapat yang aku ketahui bahwa seseorang yang masih kenyang tidak boleh memakan bangkai karena ia tidak dalam keadaan terpaksa. Jika ia khawatir terhadap dirinya (kelaparan), maka ia dianggap terpaksa. Ketika ia memakan bangkai sekedar untuk menghilangkan rasa khawatir (lapar), maka ia telah merasa aman dan hilanglah keadaan darurat yang menjadi alasan dibolehkannya (makan bangkai).

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا ارْتَفَعَتْ الْعِلَّةُ ارْتَفَعَ حُكْمُهَا وَرَجَعَ الْحُكْمُ كَمَا كَانَ قَبْلَ الِاضْطِرَارِ وَهُوَ تَحْرِيمُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْمَيْتَةَ عَلَى مَنْ لَيْسَ بِمُضْطَرٍّ. وَلَوْ جَازَ أَنْ يَرْتَفِعَ الِاضْطِرَارُ وَلَا يَرْتَفِعُ حُكْمُهُ جَازَ أَنْ يَحْدُثَ الْإِضْرَارُ وَلَا يَحْدُثُ حُكْمُهُ وَهَذَا خِلَافُ الْقُرْآنِ

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Jika sebab (illah) telah hilang, maka hukumnya juga hilang, dan hukum kembali seperti sebelum keadaan darurat, yaitu pengharaman bangkai oleh Allah Azza wa Jalla bagi orang yang tidak dalam keadaan darurat. Seandainya boleh keadaan darurat hilang tetapi hukumnya tidak hilang, maka boleh pula bahaya terjadi tetapi hukumnya tidak terjadi, dan ini bertentangan dengan Al-Qur’an.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فِيمَا وَضَعَهُ بِخَطِّهِ لَا أَعْلَمُهُ سُمِعَ مِنْهُ إنْ مَرَّ الْمُضْطَرُّ بِتَمْرٍ أَوْ زَرْعٍ لَمْ أَرَ بَأْسًا أَنْ يَأْكُلَ مَا يَرُدُّ بِهِ جُوعَهُ وَيَرُدُّ قِيمَتَهُ وَلَا أَرَى لِصَاحِبِهِ مَنْعَهُ فَضْلًا عَنْهُ وَخِفْت أَنْ يَكُونَ أَعَانَ عَلَى قَتْلِهِ إذَا خَافَ عَلَيْهِ بِالْمَنْعِ الْمَوْتَ.

 

 

Asy-Syafi’i berkata dalam tulisan tangannya: “Aku tidak mengetahui hal ini didengar darinya. Jika orang yang dalam keadaan darurat melewati kurma atau tanaman, aku tidak melihat masalah baginya untuk memakan apa yang dapat menahan laparnya dan mengganti nilainya. Aku juga tidak melihat pemiliknya boleh melarangnya, apalagi menahannya. Aku khawatir ia membantu pembunuhannya jika ia takut kematian akan menimpanya karena dicegah.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ وَجَدَ الْمُضْطَرُّ مَيْتَةً وَصَيْدًا وَهُوَ مُحْرِمٌ أَكَلَ الْمَيْتَةَ وَلَوْ قِيلَ: يَأْكُلُ الصَّيْدَ وَيَفْتَدِي كَانَ مَذْهَبًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya orang yang terpaksa menemukan bangkai dan hasil buruan sedangkan dia dalam keadaan ihram, maka dia boleh memakan bangkai. Sekiranya ada yang berpendapat bahwa dia boleh memakan hasil buruan kemudian membayar fidyah, maka itu juga merupakan salah satu pendapat mazhab.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – الصَّيْدُ مُحَرَّمٌ لِغَيْرِهِ وَهُوَ الْإِحْرَامُ وَمُبَاحٌ لِغَيْرِ مُحْرِمٍ وَالْمَيْتَةُ مُحَرَّمَةٌ لِعَيْنِهَا لَا لِغَيْرِهَا عَلَى كُلِّ حَلَالٍ وَحَرَامٍ فَهِيَ أَغْلَظُ تَحْرِيمًا فَإِحْيَاءُ نَفْسِهِ بِتَرْكِ الْأَغْلَظِ وَتَنَاوُلِ الْأَيْسَرِ أَوْلَى بِهِ مِنْ رُكُوبِ الْأَغْلَظِ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Berburu haram bagi orang yang sedang ihram, tetapi halal bagi yang tidak ihram. Bangkai haram karena zatnya sendiri, bukan karena sebab lain, dalam segala hal yang halal dan haram. Oleh karena itu, bangkai lebih keras keharamannya. Menyelamatkan nyawa dengan meninggalkan yang lebih keras (haram) dan mengonsumsi yang lebih ringan (halal) lebih utama daripada melakukan yang lebih keras (haram). Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

وَخَالَفَ الشَّافِعِيُّ الْمَدَنِيّ وَالْكُوفِيَّ فِي الِانْتِفَاعِ بِشَعَرِ الْخِنْزِيرِ وَفِي صُوفِ الْمَيْتَةِ وَشَعَرِهَا فَقَالَ: لَا يُنْتَفَعُ بِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ.

 

Asy-Syafi’i berbeda pendapat dengan ulama Madinah dan Kufah mengenai pemanfaatan bulu babi, serta bulu dan wol bangkai. Ia berkata, “Tidak boleh memanfaatkan sesuatu pun dari hal-hal tersebut.”

كِتَابُ السَّبْقِ وَالرَّمْيِ

 

Kitab tentang Perlombaan dan Memanah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ عَنْ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ نَافِعِ بْنِ أَبِي نَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «لَا سَبَقَ إلَّا فِي نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ» .

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Fudaik dari Ibnu Abi Dzi’b dari Nafi’ bin Abi Nafi’ dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Tidak ada hadiah perlombaan kecuali dalam perlombaan panah, unta, atau kuda.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الْخُفُّ الْإِبِلُ وَالْحَافِرُ الْخَيْلُ وَالنَّصْلُ كُلُّ نَصْلٍ مِنْ سَهْمٍ أَوْ نُشَّابَةٍ وَالْأَسْبَاقُ ثَلَاثَةٌ سَبَقٌ يُعْطِيهِ الْوَالِي أَوْ غَيْرُ الْوَالِي مِنْ مَالِهِ وَذَلِكَ أَنْ يُسَبِّقَ بَيْنَ الْخَيْلِ إلَى غَايَةٍ فَيَجْعَلَ لِلسَّابِقِ شَيْئًا مَعْلُومًا وَإِنْ شَاءَ جَعَلَ لِلْمُصَلِّي وَالثَّالِثِ وَالرَّابِعِ فَهَذَا حَلَالٌ لِمَنْ جُعِلَ لَهُ لَيْسَتْ فِيهِ عِلَّةٌ، وَالثَّانِي يَجْمَعُ وَجْهَيْنِ وَذَلِكَ مِثْلُ الرَّجُلَيْنِ يُرِيدَانِ أَنْ يَسْتَبِقَا بِفَرَسَيْهِمَا وَلَا يُرِيدُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنْ يَسْبِقَ صَاحِبَهُ وَيُخْرِجَانِ سَبَقَيْنِ فَلَا يَجُوزُ إلَّا بِالْمُحَلِّلِ وَهُوَ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَهُمَا فَرَسًا وَلَا يَجُوزُ حَتَّى يَكُونَ فَرَسًا كُفْئًا لِلْفَرَسَيْنِ لَا يَأْمَنَانِ أَنْ يَسْبِقَهُمَا وَيُخْرِجُ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا تَرَاضَيَا عَلَيْهِ يَتَوَاضَعَانِهِ عَلَى يَدَيْ رَجُلٍ يَثِقَانِ بِهِ أَوْ يَضْمَنَانِهِ وَيَجْرِي بَيْنَهُمَا الْمُحَلِّلُ فَإِنْ سَبَقَهُمَا كَانَ السَّبَقَانِ لَهُ، وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا الْمُحَلِّلَ أَحْرَزَ السَّابِقُ مَالَهُ وَأَخَذَ سَبَقَ صَاحِبِهِ وَإِنْ أَتَيَا مُسْتَوِيَيْنِ لَمْ يَأْخُذْ أَحَدُهُمَا مِنْ صَاحِبِهِ شَيْئًا وَالسَّبَقُ أَنْ يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ وَأَقَلُّ السَّبَقِ أَنْ يَسْبِقَ بِالْهَادِي أَوْ بَعْضِهِ أَوْ الْكَتِدِ أَوْ بَعْضِهِ وَسَوَاءٌ لَوْ كَانُوا مِائَةً وَأَدْخَلُوا بَيْنَهُمْ مُحَلِّلًا فَكَذَلِكَ وَالثَّالِثُ أَنْ يَسْبِقَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِنْ سَبَقَهُ صَاحِبُهُ أَخَذَ السَّبَقَ وَإِنْ سَبَقَ صَاحِبَهُ أَحْرَزَ سَبَقَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Khuff adalah unta, kuku adalah kuda, dan mata panah adalah setiap mata panah dari anak panah atau tombak. Ada tiga jenis perlombaan: pertama, hadiah yang diberikan oleh penguasa atau selain penguasa dari hartanya, yaitu dengan mengadakan perlombaan antara kuda hingga suatu tujuan, lalu memberikan sesuatu yang diketahui bagi yang menang. Jika dia mau, dia juga bisa memberi hadiah untuk yang kedua, ketiga, dan keempat. Ini halal bagi yang diberi, tidak ada masalah di dalamnya. Kedua, menggabungkan dua tujuan, seperti dua orang yang ingin berlomba dengan kuda mereka, tetapi masing-masing tidak ingin mengalahkan yang lain, lalu mereka mengeluarkan dua hadiah. Ini tidak boleh kecuali dengan adanya ‘penghalang’ (muḥallil), yaitu dengan menempatkan seekor kuda di antara mereka. Tidak boleh kecuali kuda itu sebanding dengan kedua kuda mereka, sehingga mereka tidak merasa aman dari kekalahannya. Masing-masing mengeluarkan apa yang mereka sepakati, diserahkan kepada orang yang mereka percayai atau dijamin, lalu ‘penghalang’ itu berlari di antara mereka. Jika ‘penghalang’ mengalahkan mereka, maka dua hadiah itu menjadi miliknya. Jika salah satu dari mereka mengalahkan ‘penghalang’, maka yang menang itu mengambil hartanya sendiri dan hadiah dari temannya. Jika mereka datang bersamaan, tidak ada yang mengambil apa pun dari yang lain. Perlombaan adalah ketika salah satu dari mereka mengalahkan yang lain, dan minimal perlombaan adalah dengan mengalahkan sebagian kepala atau sebagian leher. Sama saja jika mereka seratus orang dan memasukkan ‘penghalang’ di antara mereka, maka seperti itu juga. Ketiga, ketika salah satu dari mereka mengalahkan yang lain. Jika temannya mengalahkannya, dia mengambil hadiahnya, dan jika dia mengalahkan temannya, dia mendapatkan hadiahnya.”

 

 

وَلَا يَجُوزُ السَّبَقُ إلَّا أَنْ تَكُونَ الْغَايَةُ الَّتِي يَخْرُجَانِ مِنْهَا وَيَنْتَهِيَانِ إلَيْهَا وَاحِدَةً وَالنِّضَالُ فِيمَا بَيْنَ الرُّمَاةِ كَذَلِكَ فِي السَّبَقِ وَالْعِلَلِ يَجُوزُ فِي كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَا يَجُوزُ فِي الْآخَرِ ثُمَّ يَتَفَرَّعَانِ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ عِلَلُهُمَا، وَاخْتَلَفَا فَإِذَا سَبَقَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ وَجَعَلَا بَيْنَهَا قَرَعًا مَعْلُومًا فَجَائِزٌ أَنْ يَشْتَرِطَا مُحَاطَّةٌ أَوْ مُبَادَرَةً فَإِنْ اشْتَرَطَا مُحَاطَّةٌ فَكُلَّمَا أَصَابَ أَحَدُهُمَا وَأَصَابَ الْآخَرُ بِمِثْلِهِ أَسْقَطَا الْعَدَدَيْنِ وَلَا شَيْءَ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا وَيَسْتَأْنِفَانِ.

 

 

Tidak diperbolehkan perlombaan kecuali tujuan yang mereka berangkat darinya dan berakhir padanya adalah satu. Dan pertandingan di antara para pemanah juga demikian dalam perlombaan dan alasan-alasannya. Diperbolehkan pada masing-masing dari keduanya apa yang diperbolehkan pada yang lain, kemudian keduanya bercabang. Jika alasan-alasan keduanya berbeda, dan keduanya berbeda, maka jika salah satu mendahului yang lain dan mereka menjadikan di antara mereka undian yang diketahui, maka boleh bagi mereka untuk mensyaratkan pengelilingan atau pendahuluan. Jika mereka mensyaratkan pengelilingan, maka setiap kali salah satu dari mereka berhasil dan yang lain berhasil dengan yang sama, mereka menggugurkan kedua hitungan dan tidak ada sesuatu pun bagi salah satu dari mereka, dan mereka memulai kembali.

 

وَإِنْ أَصَابَ أَقَلَّ مِنْ صَاحِبِهِ حَطَّ مِثْلَهُ حَتَّى يَخْلُصَ لَهُ فَضْلُ الْعَدَدِ الَّذِي شَرَطَ فَيَنْضُلَهُ بِهِ وَيَسْتَحِقَّ سَبَقَهُ يَكُونُ مِلْكًا لَهُ يُقْضَى بِهِ عَلَيْهِ كَالدَّيْنِ يَلْزَمُهُ إنْ شَاءَ أَطْعَمَ أَصْحَابَهُ وَإِنْ شَاءَ تَمَوَّلَهُ، وَإِنْ أَخَذَ بِهِ رَهْنًا أَوْ ضَمِينًا فَجَائِزٌ وَلَا يَجُوزُ السَّبَقُ إلَّا مَعْلُومًا كَمَا لَا يَجُوزُ فِي الْبُيُوعِ.

 

 

Dan jika dia mendapatkan lebih sedikit daripada temannya, maka dikurangi jumlah yang sama hingga tersisa kelebihan jumlah yang disyaratkan, lalu dia menyerahkannya dan berhak mendapatkan hadiahnya. Itu menjadi miliknya yang diputuskan atasnya seperti hutang yang wajib dia penuhi. Jika dia mau, dia boleh memberi makan teman-temannya, atau jika mau, dia boleh memilikinya sebagai harta. Jika dia mengambil jaminan atau penjamin dengannya, maka itu boleh. Hadiah tidak boleh diberikan kecuali dengan ketentuan yang jelas, sebagaimana tidak boleh dalam jual beli.

 

وَلَوْ اشْتَرَطَ أَنْ يُطْعِمَ أَصْحَابَهُ كَانَ فَاسِدًا وَقَدْ رَأَيْت مِنْ الرُّمَاةِ مَنْ يَقُولُ: صَاحِبُ السَّبَقِ أَوْلَى أَنْ يَبْدَأَ وَالْمُسَبِّقُ لَهُمَا يُبْدِئُ أَيَّهُمَا شَاءَ وَلَا يَجُوزُ فِي الْقِيَاسِ عِنْدِي إلَّا أَنْ يَتَشَارَطَا وَأَيُّهُمَا بَدَأَ مِنْ وَجْهٍ بَدَأَ صَاحِبُهُ مِنْ الْآخَرِ وَيَرْمِي الْبَادِئُ بِسَهْمٍ ثُمَّ الْآخَرُ بِسَهْمٍ حَتَّى يُنْفِدَا نَبْلَهُمَا، وَإِذَا عَرِقَ أَحَدُهُمَا وَخَرَجَ السَّهْمُ مِنْ يَدَيْهِ فَلَمْ يَبْلُغْ الْغَرَضَ كَانَ لَهُ أَنْ يَعُودَ بِهِ مِنْ قِبَلِ الْعَارِضِ.

 

 

Seandainya dia mensyaratkan untuk memberi makan teman-temannya, itu batil. Aku pernah melihat sebagian pemanah yang berkata, “Pemilik hak memulai lebih berhak untuk memulai, dan yang memberi hak memulai kepada keduanya boleh memilih siapa yang dia kehendaki.” Menurutku, dalam qiyas, hal itu tidak boleh kecuali jika keduanya saling menyepakati syarat. Siapa pun yang memulai dari satu sisi, pasangannya memulai dari sisi lain. Yang memulai melepas satu anak panah, lalu yang lain melepas satu anak panah, hingga keduanya menghabiskan anak panah mereka. Jika salah satu dari mereka berkeringat dan anak panah keluar dari tangannya tanpa mencapai target, dia boleh mengulanginya karena faktor penghalang.

 

وَكَذَلِكَ لَوْ انْقَطَعَ وَتَرُهُ أَوْ انْكَسَرَتْ قَوْسُهُ فَلَمْ يَبْلُغْ الْغَرَضَ أَوْ عَرَضَ دُونَهُ دَابَّةٌ أَوْ إنْسَانٌ فَأَصَابَهُ أَوْ عَرَضَ لَهُ فِي يَدَيْهِ مَا لَا يَمُرُّ السَّهْمُ مَعَهُ كَانَ لَهُ أَنْ يَعُودَ فَأَمَّا إنْ جَازَ السَّهْمُ أَوْ أَجَازَ مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ فَهَذَا سُوءُ رَمْيٍ لَيْسَ بِعَارِضٍ غُلِبَ عَلَيْهِ فَلَا يُرَدُّ إلَيْهِ، وَإِذَا كَانَ رَمْيُهُمَا مُبَادَرَةً فَبَلَغَ تِسْعَةَ عَشَرَ مِنْ عِشْرِينَ رَمَى صَاحِبُهُ بِالسَّهْمِ الَّذِي يُرَاسِلُهُ ثُمَّ رَمَى الْبَادِئُ فَإِنْ أَصَابَ سَهْمَهُ ذَلِكَ فَلَجَّ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَرْمِ الْآخَرُ بِالسَّهْمِ؛ لِأَنَّ الْمُبَادَرَةَ أَنْ يُفَوِّتَ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ وَلَيْسَ كَالْمُحَاطَةِ.

 

 

Demikian pula, jika talinya putus atau busurnya patah sehingga tidak mencapai sasaran, atau ada hewan atau manusia yang menghalangi lalu terkena panahnya, atau ada sesuatu di tangannya yang menghalangi panah untuk melaju, maka ia boleh mengulang. Namun, jika panah itu melesat jauh atau melewati orang-orang, itu adalah lemparan yang buruk dan bukan halangan yang tak teratasi, sehingga tidak boleh diulang. Jika keduanya berlomba memanah dan mencapai sembilan belas dari dua puluh, rekannya memanah dengan panah yang menyertainya, lalu yang pertama memanah. Jika panahnya mengenai sasaran, ia menang meskipun yang lain tidak memanah, karena perlombaan adalah salah satu dari mereka mendahului yang lain, tidak seperti pengepungan.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا عِنْدِي غَلَطٌ لَا يَنْضُلُهُ حَتَّى يَرْمِيَ صَاحِبُهُ بِمِثْلِهِ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini menurutku adalah kesalahan yang tidak akan ia lepaskan sampai ia membalas orang yang melakukannya dengan hal yang serupa.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا تَشَارَطَا الخواسق لَمْ يُحْسَبْ خَاسِقًا حَتَّى يَخْزِقَ الْجِلْدَ بِنَصْلِهِ وَلَوْ تَشَارَطَا الْمُصِيبَ فَمَنْ أَصَابَ الشَّنَّ وَلَمْ يَخْرِقْهُ حُسِبَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مُصِيبٌ وَإِذَا اشْتَرَطَا الخواسق وَالشَّنُّ مُلْصَقٌ بِالْهَدَفِ فَأَصَابَ ثُمَّ رَجَعَ فَزَعَمَ الرَّامِي أَنَّهُ خَسَقَ ثُمَّ رَجَعَ لِغِلَظٍ لَقِيَهُ مِنْ حَصَاةٍ وَغَيْرِهَا وَزَعَمَ الْمُصَابُ عَلَيْهِ أَنَّهُ لَمْ يَخْسِقْ وَأَنَّهُ إنَّمَا قَرَعَ ثُمَّ رَجَعَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ إلَّا أَنْ تَقُومَ بَيِّنَةٌ فَيُؤْخَذَ بِهَا وَإِنْ كَانَ الشَّنُّ بَالِيًا فَأَصَابَ مَوْضِعَ الْخَرْقِ فَغَابَ فِي الْهَدَفِ فَهُوَ مُصِيبٌ وَإِنْ أَصَابَ طَرَفَ الشَّنِّ فَخَرَقَهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يُحْسَبُ لَهُ خَاسِقًا إلَّا أَنْ يَكُونَ بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ الشَّنِّ طَعْنَةٌ أَوْ خَيْطٌ أَوْ جِلْدٌ أَوْ شَيْءٌ مِنْ الشَّنِّ يُحِيطُ بِالسَّهْمِ وَيُسَمَّى بِذَلِكَ خَاسِقًا وَقَلِيلُ ثُبُوتِهِ وَكَثِيرُهُ سَوَاءٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika dua orang bersyarat untuk al-khawasiq (tembusan), tidak dianggap sebagai khasiq (tembusan) hingga mata panah melubangi kulit. Jika mereka bersyarat untuk al-mushib (mengenai sasaran), maka siapa yang mengenai al-syann (perisai) tanpa melubanginya, tetap dianggap sah karena dia telah mengenai. Jika mereka mensyaratkan al-khawasiq dan al-syann menempel pada target, lalu panah mengenai kemudian kembali, si pemanah mengklaim bahwa panah telah menembus lalu kembali karena menghadapi ketebalan batu atau lainnya, sedangkan pihak yang terkena panah menyangkal bahwa tidak ada tembusan dan panah hanya menyentuh lalu kembali, maka perkataannya (pihak terkena) yang diterima disertai sumpah, kecuali ada bukti yang dapat diterima. Jika al-syann sudah usang lalu panah mengenai bekas lubang dan masuk ke dalam target, itu dianggap sebagai mushih (mengenai). Jika panah mengenai ujung al-syann dan melubanginya, ada dua pendapat: pertama, tidak dianggap sebagai khasiq kecuali jika masih tersisa bagian dari al-syann seperti sobekan, benang, kulit, atau sesuatu yang melingkupi panah sehingga disebut khasiq, dan sedikit atau banyaknya sisa tersebut sama saja.”

 

(قَالَ) : وَلَا يَعْرِفُ النَّاسُ إذَا وَجَّهُوا بِأَنْ يُقَالَ خَاسِقٌ إلَّا مَا أَحَاطَ بِهِ الْمَخْسُوقُ فِيهِ وَيُقَالُ لِلْآخَرِ خَارِمٌ لَا خَاسِقٌ، وَالْقَوْلُ الْآخَرُ أَنْ يَكُونَ الْخَاسِقُ قَدْ يَقَعُ بِالِاسْمِ عَلَى مَا أَوْهَنَ الصَّحِيحَ فَخَرَقَهُ فَإِذَا خَرَقَ مِنْهُ شَيْئًا قَلَّ أَوْ كَثُرَ بِبَعْضِ النَّصْلِ سُمِّيَ خَاسِقًا؛ لِأَنَّ الْخَسْقَ الثَّقْبُ وَهَذَا قَدْ ثَقَبَ وَإِنْ خَرَقَ قَالَ: وَإِذَا وَقَعَ فِي خَرْقٍ وَثَبَتَ فِي الْهَدَفِ كَانَ خَاسِقًا وَالشَّنُّ أَضْعَفُ مِنْ الْهَدَفِ.

 

 

Beliau berkata: “Orang-orang tidak mengenal ketika mereka menyebut ‘khasik’ kecuali apa yang dikelilingi oleh yang tertusuk di dalamnya, dan yang lain disebut ‘kharim’ bukan ‘khasik’. Pendapat lain menyatakan bahwa ‘khasik’ bisa merujuk pada sesuatu yang melemahkan yang sehat lalu melubanginya. Jika ia melubangi sedikit atau banyak dengan sebagian mata panah, maka disebut ‘khasik’, karena ‘khasq’ berarti melubangi, dan ini telah melubangi meskipun merobek. Beliau berkata: Jika ia masuk ke dalam lubang dan menancap di sasaran, maka itu disebut ‘khasik’, sedangkan ‘syann’ lebih lemah daripada sasaran.”

 

وَلَوْ كَانَ الشَّنُّ مَنْصُوبًا فَمَرَقَ مِنْهُ كَانَ عِنْدِي خَاسِقًا وَمِنْ الرُّمَاةِ مَنْ لَا يَحْسُبُهُ إذَا لَمْ يَثْبُتْ فِيهِ قَالَ: فَإِنْ أَصَابَ بِالْقِدْحِ لَمْ يُحْسَبْ إلَّا مَا أَصَابَ بِالنَّصْلِ، وَلَوْ أَرْسَلَهُ مُفَارِقًا لِلشَّنِّ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَصَرَفَتْهُ أَوْ مُقَصِّرًا فَأَسْرَعَتْ بِهِ فَأَصَابَ حُسِبَ مُصِيبًا وَلَا حُكْمَ لِلرِّيحِ، وَلَوْ كَانَ دُونَ الشَّنِّ شَيْءٌ فَهَتَكَهُ السَّهْمُ ثُمَّ مَرَّ بِحَمْوَتِهِ حَتَّى يُصِيبَ كَانَ مُصِيبًا، وَلَوْ أَصَابَ الشَّنَّ ثُمَّ سَقَطَ بَعْدَ ثُبُوتِهِ حُسِبَ وَهَذَا كَنَزْعِ إنْسَانٍ إيَّاهُ.

 

 

Dan jika sasaran itu terpasang lalu anak panah melesat darinya, maka menurutku itu dianggap meleset. Di antara para pemanah ada yang tidak menghitungnya jika tidak menancap. Beliau berkata: “Jika mengenai dengan batang panah, tidak dihitung kecuali yang mengenai dengan mata panah. Jika dia melepaskannya terlepas dari sasaran lalu angin bertiup dan mengarahkannya, atau kurang kuat lalu dipercepat hingga mengenai, maka dianggap kena dan angin tidak berpengaruh. Jika di depan sasaran ada sesuatu yang dirobek panah lalu meluncur dengan kekuatannya hingga mengenai, maka dianggap kena. Jika mengenai sasaran lalu jatuh setelah menancap, tetap dihitung, dan ini seperti seseorang yang mencabutnya.”

 

 

وَلَا بَأْسَ أَنْ يُنَاضِلَ أَهْلُ النُّشَّابِ أَهْلَ الْعَرَبِيَّةِ وَأَهْلَ الْحُسْبَانِ؛ لِأَنَّ كُلَّهَا نَصْلٌ، وَكَذَلِكَ الْقِسِيُّ الدُّودانِيَّةُ وَالْهِنْدِيَّةُ وَكُلُّ قَوْسٍ يُرْمَى عَنْهَا بِسَهْمٍ ذِي نَصْلٍ.

 

 

Tidak mengapa jika para pemanah bertanding dengan ahli panah Arab dan ahli hisab, karena semuanya adalah mata panah. Demikian pula busur Dudani, India, dan setiap busur yang digunakan untuk meluncurkan anak panah bermata.

 

 

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَنْتَضِلَ رَجُلَانِ وَفِي يَدَيْ أَحَدِهِمَا مِنْ النَّبْلِ أَكْثَرُ مِمَّا فِي يَدَيْ الْآخَرِ وَلَا عَلَى أَنْ يُحْسَبَ خَاسِقُهُ خَاسِقَيْنِ وَالْآخَرُ خَاسِقٌ وَلَا عَلَى أَنَّ لِأَحَدِهِمَا خَاسِقًا ثَابِتًا لَمْ يَرْمِ بِهِ، وَيُحْسَبُ لَهُ مَعَ خواسقه وَلَا عَلَى أَنْ يَطْرَحَ مِنْ خواسقه خَاسِقًا وَلَا عَلَى أَنَّ خَاسِقَ أَحَدِهِمَا خَاسِقَانِ وَلَا أَنَّ أَحَدَهُمَا يَرْمِي مِنْ عَرْضٍ، وَالْآخَرَ مِنْ أَقْرَبَ مِنْهُ إلَّا فِي عَرْضٍ وَاحِدٍ وَعَدَدٍ وَاحِدٍ وَلَا عَلَى أَنْ يَرْمِيَ بِقَوْسٍ أَوْ نَبْلٍ بِأَعْيَانِهَا إنْ تَغَيَّرَتْ لَمْ يُبَدِّلْهَا وَمِنْ الرُّمَاةِ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُمَا إذَا سَمَّيَا قَرَعًا يَسْتَبِقَانِ إلَيْهِ فَصَارَا عَلَى السَّوَاءِ أَوْ بَيْنَهُمَا زِيَادَةُ سَهْمٍ كَانَ لِلْمُسَبِّقِ أَنْ يَزِيدَ فِي عَدَدِ الْقَرَعِ مَا شَاءَ وَمِنْهُمْ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَزِيدَ فِي عَدَدِ الْقَرَعِ مَا لَمْ يَكُونَا سَوَاءً وَمِنْهُمْ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ أَنْ يَزِيدَ بِغَيْرِ رِضَا الْمُسَبِّقِ.

 

 

Tidak diperbolehkan dua orang berlomba memanah jika salah satu dari mereka memiliki anak panah lebih banyak daripada yang lain. Juga tidak boleh menghitung satu anak panahnya sebagai dua, sementara lawannya hanya satu. Tidak boleh pula salah satu dari mereka memiliki anak panah tetap yang belum dilepas, lalu dihitung bersamaan dengan anak panah lainnya. Tidak boleh mengurangi anak panahnya, atau menghitung satu anak panahnya sebagai dua. Tidak boleh salah satu memanah dari jarak jauh sementara lawannya dari jarak lebih dekat, kecuali dalam jarak dan jumlah yang sama. Tidak boleh memanah dengan busur atau anak panah tertentu jika sudah berubah tanpa menggantinya.

 

Di antara para pemanah, ada yang berpendapat bahwa jika mereka menyebutkan target (qara’), mereka boleh berlomba mencapainya sehingga seimbang. Jika ada kelebihan satu anak panah, yang lebih dulu boleh menambah jumlah target sesuai keinginannya. Sebagian lain berpendapat bahwa ia tidak boleh menambah jumlah target selama belum seimbang. Ada pula yang berpendapat bahwa ia tidak boleh menambah tanpa persetujuan pihak yang lebih dulu.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَهَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ كَمَا لَمْ يَكُنْ سَبَقُهُمَا فِي الْخَيْلِ وَلَا فِي الرَّمْيِ وَلَا فِي الِابْتِدَاءِ إلَّا بِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَى غَايَةٍ وَاحِدَةٍ فَكَذَلِكَ فِي الْقِيَاسِ لَا يَجُوزُ لِأَحَدِهِمَا أَنْ يَزِيدَ إلَّا بِاجْتِمَاعِهِمَا عَلَى زِيَادَةِ وَاحِدٍ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih mirip dengan ucapannya, sebagaimana tidak ada yang mendahului mereka dalam hal kuda, memanah, atau permulaan kecuali dengan kesepakatan mereka pada satu tujuan. Demikian pula dalam qiyas, tidak boleh bagi salah satu dari mereka untuk menambah kecuali dengan kesepakatan mereka pada satu tambahan. Dan dengan Allah lah taufik.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: إنْ أَصَبْت بِهَذَا السَّهْمِ فَقَدْ نَضَلْتُك إلَّا أَنْ يَجْعَلَ رَجُلٌ لَهُ سَبَقًا إنْ أَصَابَ بِهِ وَإِنْ قَالَ: ارْمِ عَشْرَةَ أَرْشَاقٍ فَإِنْ كَانَ صَوَابُك أَكْثَرَ فَلَكَ كَذَا لَمْ يَجُزْ أَنْ يُنَاضِلَ نَفْسَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh salah seorang dari mereka berkata kepada temannya, “Jika aku mengenai dengan panah ini, maka aku telah memberimu hadiah,” kecuali jika seseorang menjadikan hadiah bagi yang berhasil mengenainya. Dan jika dia berkata, “Lemparkanlah sepuluh anak panah, jika sasaranmu lebih banyak maka bagimu hadiah ini,” maka tidak boleh dia bertaruh dengan dirinya sendiri.

 

 

وَإِذَا رَمَى بِسَهْمٍ فَانْكَسَرَ فَإِنْ أَصَابَ بِالنَّصْلِ كَانَ لَهُ خَاسِقًا وَإِنْ أَصَابَ بِالْقِدْحِ لَمْ يَكُنْ خَاسِقًا. وَلَوْ انْقَطَعَ بِاثْنَيْنِ فَأَصَابَ بِهِمَا جَمِيعًا حُسِبَ الَّذِي فِيهِ النَّصْلُ وَإِنْ كَانَ فِي الشَّنِّ نَبْلٌ فَأَصَابَ سَهْمُهُ فَوْقَ سَهْمٍ فِي الشَّنِّ لَمْ يُحْسَبْ وَرُدَّ عَلَيْهِ وَرَمَى بِهِ؛ لِأَنَّهُ عَارِضٌ دُونَ الشَّنِّ.

 

 

Dan jika dia melemparkan anak panah lalu patah, jika mengenai dengan mata panah maka dihitung sebagai tembakan yang sah, tetapi jika mengenai dengan batang panah maka tidak dihitung sah. Jika panah terputus menjadi dua bagian lalu mengenai dengan keduanya, maka yang dihitung adalah bagian yang memiliki mata panah. Jika di dalam wadah terdapat anak panah lain lalu panahnya mengenai di atas panah yang ada di wadah, maka tidak dihitung dan dikembalikan kepadanya untuk dilemparkan lagi, karena hal itu merupakan gangguan di luar wadah.

 

 

وَإِذَا أَرَادَ الْمُسْتَبِقُ أَنْ يَجْلِسَ وَلَا يَرْمِيَ وَلِلْمُسَبِّقِ فَضْلٌ أَوْ لَا فَضْلَ لَهُ فَسَوَاءٌ وَقَدْ يَكُونُ لَهُ الْفَضْلُ فَيَنْضُلُ وَيَكُونُ عَلَيْهِ الْفَضْلُ وَيَنْضُلُ وَالرُّمَاةُ يَخْتَلِفُونَ فِي ذَلِكَ فَمِنْهُمْ مَنْ يَجْعَلُ لَهُ أَنْ يَجْلِسَ مَا لَمْ يَنْضُلْ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: لَيْسَ لَهُ أَنْ يَجْلِسَ إلَّا مِنْ عُذْرٍ وَأَحْسِبُهُ إنْ مَرِضَ مَرَضًا يَضُرُّ بِالرَّمْيِ أَوْ يُصِيبُ إحْدَى يَدَيْهِ عِلَّةٌ تَمْنَعُهُ مِنْ ذَلِكَ كَانَ لَهُ أَنْ يَجْلِسَ وَيَلْزَمُهُمْ أَنْ يَقُولُوا: إذَا تَرَاضَيَا عَلَى أَصْلِ الرَّمْيِ الْأَوَّلِ قَالَ: وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَسْبِقَهُ عَلَى أَنْ يُعِيدَ عَلَيْهِ وَإِنْ سَبَقَهُ عَلَى أَنْ يَرْمِيَ بِالْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَرْمِيَ بِالْفَارِسِيَّةِ؛ لِأَنَّ مَعْرُوفًا أَنَّ الصَّوَابَ عَنْ الْفَارِسِيَّةِ أَكْثَرُ مِنْهُ عَنْ الْعَرَبِيَّةِ، قَالَ: وَإِنْ سَبَقَهُ وَلَمْ يُسَمِّ الْغَرَضَ كَرِهْته فَإِنْ سَمَّيَاهُ كَرِهْت أَنْ يَرْفَعَهُ أَوْ يَخْفِضَهُ وَقَدْ أَجَازَ الرُّمَاةُ لِلْمُسَبِّقِ أَنْ يُرَامِيَهُ رَشْقًا وَأَكْثَرَ فِي الْمِائَتَيْنِ وَمَنْ أَجَازَ هَذَا أَجَازَهُ فِي الرُّقْعَةِ وَفِي أَكْثَرَ مِنْ ثَلَثِمِائَةٍ.

 

 

Dan apabila orang yang berlomba ingin duduk dan tidak melemparkan (panah), sedangkan orang yang dilombai memiliki kelebihan atau tidak memiliki kelebihan, maka sama saja. Terkadang ia memiliki kelebihan lalu membatalkan, atau kelebihan ada padanya lalu ia membatalkan. Para pemanah berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian dari mereka membolehkannya duduk selama belum membatalkan, sedangkan sebagian lain berpendapat, “Ia tidak boleh duduk kecuali karena uzur.” Aku mengira jika ia sakit yang mengganggu lemparan atau salah satu tangannya mengalami gangguan yang menghalanginya, maka ia boleh duduk. Mereka wajib mengatakan, “Jika kedua belah pihak sepakat pada ketentuan lemparan pertama.” Dia berkata, “Tidak boleh bagi yang dilombai untuk mengulanginya, meskipun ia menyepakati untuk melempar dengan gaya Arab, ia tidak boleh melempar dengan gaya Persia, karena diketahui bahwa ketepatan dalam gaya Persia lebih banyak daripada gaya Arab.” Dia berkata, “Jika ia menyepakati tanpa menyebutkan target, aku tidak menyukainya. Jika mereka menyebutkan target, aku tidak suka jika ia mengangkat atau menurunkannya.” Para pemanah telah membolehkan bagi yang dilombai untuk melemparnya dengan lemparan cepat dan memperbanyak hingga dua ratus. Siapa yang membolehkan ini, maka ia juga membolehkannya pada lembaran target dan lebih dari tiga ratus.

 

 

قَالَ: وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِطَا أَنْ يَرْمِيَا أَرْشَاقًا مَعْلُومَةً كُلَّ يَوْمٍ مِنْ أَوَّلِهِ إلَى آخِرِهِ فَلَا يَفْتَرِقَا حَتَّى يَفْرُغَا مِنْهَا إلَّا مِنْ عُذْرِ مَرَضٍ أَوْ عَاصِفٍ مِنْ الرِّيحِ وَمَنْ اعْتَلَّتْ أَدَاتُهُ أَبْدَلَ مَكَانَ قَوْسِهِ وَنَبْلِهِ وَوَتَرِهِ وَإِنْ طَوَّلَ أَحَدُهُمَا بِالْإِرْسَالِ الْتِمَاسَ أَنْ تَبْرُدَ يَدُ الرَّامِي أَوْ يَنْسَى حُسْنَ صَنِيعِهِ فِي السَّهْمِ الَّذِي رَمَاهُ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ فَلْيُسْتَعْتَبْ مِنْ طَرِيقِ الْخَطَأِ فَقَالَ: لَمْ أَنْوِ هَذَا – لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لَهُ، وَقِيلَ لَهُ: ارْمِ كَمَا تَرْمِي النَّاسُ لَا مُعَجِّلًا عَنْ التَّثَبُّتِ فِي مُقَامِك وَنَزْعِك وَإِرْسَالِك وَلَا مُبْطِئًا لِإِدْخَالِ الضَّرَرِ بِالْحَبْسِ عَلَى صَاحِبِك قَالَ: وَلَوْ كَانَ الرَّامِي يُطِيلُ الْكَلَامَ وَالْحَبْسَ قِيلَ لَهُ: لَا تُطِلْ وَلَا تُعَجِّلْ عَمَّا يُفْهَمُ وَلِلْمُبْدِئِ أَنْ يَقِفَ فِي أَيِّ مُقَامٍ شَاءَ ثُمَّ لِلْآخَرِ مِنْ الْغَرَضِ الْآخَرِ أَيُّ مُقَامٍ شَاءَ وَإِذَا اقْتَسَمُوا ثَلَاثَةً وَثَلَاثَةً فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقْتَرِعُوا وَلْيَقْتَسِمُوا قَسْمًا مَعْرُوفًا وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَقُولَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أَخْتَارُ عَلَى أَنْ أَسْبِقَ وَلَا عَلَى أَنْ أُسْبَقَ وَلَا عَلَى أَنْ يَقْتَرِعَا، فَأَيُّهُمَا خَرَجَتْ قُرْعَتُهُ سَبَقَهُ صَاحِبُهُ؛ لِأَنَّ هَذَا مُخَاطَرَةٌ وَإِذَا حَضَرَ الْغَرِيبُ أَهْلَ الْغَرَضِ فَقَسَمُوهُ فَقَالَ مَنْ مَعَهُ: كُنَّا نَرَاهُ رَامِيًا أَوْ مَنْ يَرْمِي عَلَيْهِ كُنَّا نَرَاهُ غَيْرَ رَامٍ وَهُوَ مِنْ الرُّمَاةِ فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَنْ عَرَفُوهُ، وَإِذَا قَالَ لِصَاحِبِهِ: اطْرَحْ فَضْلَك عَلَى أَنِّي أُعْطِيَك بِهِ شَيْئًا لَمْ يَجُزْ إلَّا بِأَنْ يَتَفَاسَخَا ثُمَّ يَسْتَأْنِفَا سَبَقًا جَدِيدًا قَالَ: وَلَوْ شَرَطُوا أَنْ يَكُونَ فُلَانٌ مُقَدَّمًا وَفُلَانٌ مَعَهُ وَفُلَانٌ ثَانٍ كَانَ السَّبْقُ مَفْسُوخًا وَلِكُلِّ حِزْبٍ أَنْ يُقَدِّمُوا مَنْ شَاءُوا وَيُقَدِّمُ الْآخَرُونَ كَذَلِكَ، وَإِذَا كَانَ الْبَدْءُ لِأَحَدِ الْمُتَنَاضِلِينَ فَبَدَأَ الْمُبْدَأُ عَلَيْهِ فَأَصَابَ أَوْ أَخْطَأَ رُدَّ ذَلِكَ السَّهْمُ عَلَيْهِ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak mengapa jika keduanya membuat syarat untuk memanah sejumlah anak panah tertentu setiap hari dari awal hingga akhir, dan mereka tidak boleh berpisah hingga menyelesaikannya kecuali karena uzur sakit atau angin kencang. Barangsiapa alatnya rusak, boleh mengganti tempat busur, anak panah, atau talinya. Jika salah seorang memperlambat lemparan karena menunggu tangan pemanah dingin atau lupa akan keindahan bidikannya pada anak panah yang dilepas—entah tepat atau meleset—maka hendaknya dimaafkan atas kesalahan tersebut.” Beliau berkata: “Aku tidak bermaksud demikian,” maka itu tidak dianggap. Dikatakan padanya: “Panahlah sebagaimana orang lain memanah, tidak terburu-buru dalam memastikan posisi, tarikan, dan lemparanmu, juga tidak terlalu lambat hingga merugikan temanmu dengan menahannya.” Beliau berkata: “Jika pemanah memperpanjang bicara atau menahan, katakan padanya: ‘Jangan berlama-lama atau terburu-buru dari yang dimengerti.’ Pemanah pertama boleh berdiri di posisi mana pun yang dia mau, lalu pemanah berikutnya dari target lain juga boleh memilih posisi sesuai keinginan. Jika mereka berbagi tiga dan tiga, tidak boleh mengundi tetapi harus membagi dengan pembagian yang diketahui. Tidak boleh salah seorang mengatakan: ‘Aku memilih untuk duluan atau didahulukan, atau kita mengundi,’ lalu yang keluar undiannya didahului temannya, karena ini termasuk spekulasi. Jika orang asing datang ke kelompok panahan dan mereka membaginya, lalu rekan-rekannya berkata: ‘Kami mengira dia pemanah,’ atau ‘Orang yang memanahnya kami kira bukan pemanah padahal dia termasuk pemanah,’ maka hukumnya seperti orang yang mereka kenal. Jika seseorang berkata kepada temannya: ‘Berikan kelebihanmu dengan imbalan sesuatu dariku,’ tidak boleh kecuali dengan membatalkan perjanjian lalu memulai perlombaan baru.” Beliau berkata: “Jika mereka mensyaratkan si fulan didahulukan, si fulan bersamanya, dan si fulan berikutnya, maka perlombaan batal. Setiap kelompok boleh mendahulukan siapa pun yang mereka mau, dan kelompok lain juga demikian. Jika giliran pertama adalah salah seorang yang bertanding, lalu lawannya memulai lebih dulu dan tepat atau meleset, anak panah itu dikembalikan padanya.”

 

 

وَالصَّلَاةُ جَائِزَةٌ فِي الْمُضْرِبَةِ وَالْأَصَابِعِ إذَا كَانَ جِلْدُهُمَا ذَكِيًّا مِمَّا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ أَوْ مَدْبُوغًا مِنْ جِلْدِ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ مَا عَدَا كَلْبًا أَوْ خِنْزِيرًا فَإِنَّ ذَلِكَ لَا يُطَهَّرُ بِالدِّبَاغِ، غَيْرُ أَنِّي أَكْرَهُهُ لِمَعْنًى وَاحِدٍ وَإِنِّي آمُرُهُ أَنْ يُفْضِيَ بِبُطُونِ كَفَّيْهِ إلَى الْأَرْضِ وَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ مُتَنَكِّبَ الْقَوْسِ وَالْقَرْنِ إلَّا أَنْ يَتَحَرَّكَا عَلَيْهِ حَرَكَةً تَشْغَلُهُ فَأَكْرَهُهُ وَتُجْزِئُهُ.

 

 

Shalat diperbolehkan dilakukan di atas alas yang terbuat dari kulit (al-mudhribah) dan sarung tangan (al-ashabi’) jika kulitnya suci dari hewan yang halal dimakan atau telah disamak dari hewan yang tidak halal dimakan, kecuali anjing dan babi karena kulitnya tidak bisa disucikan dengan penyamakan. Namun, aku memakruhkannya karena satu alasan. Aku memerintahkannya untuk menempelkan bagian dalam telapak tangannya ke tanah. Tidak mengapa shalat sambil membawa busur dan tanduk kecuali jika keduanya bergerak dan mengganggunya, maka aku memakruhkannya, tetapi shalatnya tetap sah.

 

مُخْتَصَرُ الْأَيْمَانِ وَالنُّذُورِ

 

Ringkasan Sumpah dan Nazar

 

وَمَا دَخَلَ فِيهِمَا مِنْ الْجَامِعِ مِنْ كِتَابِ الصِّيَامِ وَمِنْ الْإِمْلَاءِ وَمِنْ مَسَائِلَ شَتَّى سَمِعْتهَا لَفْظًا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: مَنْ حَلَفَ بِاَللَّهِ أَوْ بِاسْمٍ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ فَحَنِثَ فَعَلَيْهِ الْكَفَّارَةُ وَمَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَهِيَ يَمِينٌ مَكْرُوهَةٌ وَأَخْشَى أَنْ تَكُونَ مَعْصِيَةً؛ لِأَنَّ «النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَمِعَ عُمَرَ يَحْلِفُ بِأَبِيهِ فَقَالَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – أَلَا إنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ فَقَالَ عُمَرُ: وَاَللَّهِ مَا حَلَفْت بِهَا بَعْدُ ذَاكِرًا وَلَا آثِرًا» .

 

 

Dan apa yang termasuk dalam keduanya dari Al-Jāmi’, dari Kitāb Aṣ-Ṣiyām, dari Al-Imā’, dan dari berbagai masalah yang kudengar secara lisan. (Imam Asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata): “Barangsiapa bersumpah dengan nama Allah atau salah satu nama-Nya lalu melanggar, maka wajib baginya membayar kafarah. Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, itu adalah sumpah yang makruh, dan aku khawatir itu termasuk maksiat. Karena Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar ‘Umar bersumpah dengan nama ayahnya, lalu beliau bersabda: ‘Ketahuilah, Allah melarang kalian bersumpah dengan nama nenek moyang kalian.’ Maka ‘Umar berkata: ‘Demi Allah, sejak itu aku tidak lagi bersumpah dengan nama ayahku, baik sengaja maupun tidak.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَأَكْرَهُ الْأَيْمَانَ عَلَى كُلِّ حَالٍ إلَّا فِيمَا كَانَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ طَاعَةٌ وَمَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَالِاخْتِيَارُ أَنْ يَأْتِيَ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَيُكَفِّرَ لِأَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِذَلِكَ، وَمَنْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَقَدْ كَانَ كَذَا وَلَمْ يَكُنْ أَثِمَ وَكَفَّرَ وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى {وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى} النور: 22 نَزَلَتْ فِي رَجُلٍ حَلَفَ لَا يَنْفَعُ رَجُلًا فَأَمَرَهُ اللَّهُ أَنْ يَنْفَعَهُ وَبِقَوْلِ اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ فِي الظِّهَارِ {وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا} المجادلة: 2 ثُمَّ جَعَلَ فِيهِ الْكَفَّارَةَ وَبِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ» فَقَدْ أَمَرَهُ بِالْحِنْثِ عَامِدًا وَبِالتَّكْفِيرِ وَدَلَّ إجْمَاعُهُمْ أَنَّ مَنْ حَلَقَ فِي الْإِحْرَامِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً أَوْ قَتَلَ صَيْدًا عَمْدًا أَوْ خَطَأً فِي الْكَفَّارَةِ سَوَاءٌ عَلَى أَنَّ الْحَلِفَ بِاَللَّهِ وَقَتْلَ الْمُؤْمِنِ عَمْدًا أَوْ خَطَأً فِي الْكَفَّارَةِ سَوَاءٌ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Aku tidak menyukai sumpah dalam segala keadaan kecuali dalam hal yang merupakan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa bersumpah lalu melihat ada yang lebih baik darinya, maka pilihannya adalah melakukan yang lebih baik dan membayar kafarat, sesuai perintah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – tentang hal itu. Barangsiapa berkata: ‘Demi Allah, sungguh telah terjadi demikian’ padahal tidak terjadi, lalu dia berdosa dan membayar kafarat, serta berargumen dengan firman Allah Ta’ala {Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kerabat} An-Nur: 22 yang turun tentang seorang lelaki yang bersumpah tidak akan memberi manfaat kepada seseorang, lalu Allah memerintahkannya untuk memberinya manfaat. Dan dengan firman Allah Jalla tsana’uhu tentang zhihar {Dan sesungguhnya mereka mengucapkan perkataan mungkar dan dusta} Al-Mujadilah: 2 kemudian Allah menetapkan kafarat padanya. Serta dengan sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – ‘Hendaknya dia melakukan yang lebih baik dan membayar kafarat atas sumpahnya’, maka sungguh beliau memerintahkannya untuk melanggar sumpah dengan sengaja dan membayar kafarat. Dan ijma’ mereka menunjukkan bahwa orang yang mencukur rambut dalam ihram dengan sengaja atau tidak, atau membunuh binatang buruan dengan sengaja atau tidak, dalam hal kafarat adalah sama. Demikian pula bersumpah dengan nama Allah dan membunuh seorang mukmin dengan sengaja atau tidak, dalam hal kafarat adalah sama.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ قَالَ: أَقْسَمْت بِاَللَّهِ فَإِنْ كَانَ يَعْنِي حَلَفْت قَدِيمًا فَلَيْسَتْ بِيَمِينٍ حَادِثَةٍ وَإِنْ أَرَادَ بِهَا يَمِينًا فَهِيَ يَمِينٌ وَإِنْ قَالَ: أُقْسِمُ بِاَللَّهِ فَلَيْسَ بِيَمِينٍ فَإِنْ قَالَ: أُقْسِمُ بِاَللَّهِ فَإِنْ أَرَادَ بِهَا يَمِينًا فَهِيَ يَمِينٌ وَإِنْ أَرَادَ بِهَا مَوْعِدًا فَلَيْسَتْ بِيَمِينٍ كَقَوْلِهِ سَأَحْلِفُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mengatakan, “Aku telah bersumpah demi Allah,” jika yang ia maksud adalah sumpah yang telah lalu, maka itu bukanlah sumpah yang baru. Namun jika ia bermaksud sumpah, maka itu dianggap sumpah. Jika ia mengatakan, “Aku bersumpah demi Allah,” maka itu bukanlah sumpah. Tetapi jika ia mengatakan, “Aku bersumpah demi Allah,” dan ia bermaksud sumpah, maka itu dianggap sumpah. Jika ia bermaksud janji, maka itu bukan sumpah, seperti perkataannya, “Aku akan bersumpah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَفِي الْإِمْلَاءِ هِيَ يَمِينٌ، وَإِنْ قَالَ: لَعَمْرُ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يُرِدْ بِهَا يَمِينًا فَلَيْسَتْ بِيَمِينٍ، وَلَوْ قَالَ: وَحَقِّ اللَّهِ أَوْ وَعَظَمَتِهِ أَوْ وَجَلَالِ اللَّهِ أَوْ وَقُدْرَةِ اللَّهِ فَذَلِكَ كُلُّهُ يَمِينٌ نَوَى بِهَا يَمِينًا أَوْ لَا نِيَّةَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُرِدْ يَمِينًا فَلَيْسَتْ بِيَمِينٍ؛ لِأَنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَقُولَ: وَحَقُّ اللَّهِ وَاجِبٌ وَقُدْرَةُ اللَّهِ مَاضِيَةٌ لَا أَنَّهُ يَمِينٌ، وَلَوْ قَالَ بِاَللَّهِ أَوْ تَاللَّهِ فَهِيَ يَمِينٌ نَوَى أَوْ لَمْ يَنْوِ. وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ: تَاللَّهِ يَمِينٌ وَقَالَ فِي الْقَسَامَةِ لَيْسَتْ بِيَمِينٍ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata dalam Al-Imla’: Itu adalah sumpah. Jika seseorang mengatakan, “Demi umur Allah,” namun tidak bermaksud bersumpah, maka itu bukan sumpah. Jika ia mengatakan, “Demi hak Allah,” “Demi keagungan-Nya,” “Demi kemuliaan Allah,” atau “Demi kekuasaan Allah,” maka semua itu adalah sumpah, baik ia berniat bersumpah atau tidak. Namun jika ia tidak bermaksud bersumpah, maka itu bukan sumpah, karena bisa saja ia bermaksud mengatakan, “Hak Allah adalah wajib,” atau “Kekuasaan Allah pasti berlaku,” bukan untuk bersumpah. Jika ia mengatakan, “Demi Allah” atau “Demi Allah,” maka itu adalah sumpah, baik ia berniat atau tidak. Dalam Al-Imla’, ia menyatakan, “Tallaahu (Demi Allah) adalah sumpah,” sedangkan dalam Al-Qasamah, ia menyatakan itu bukan sumpah.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : وَقَدْ حَكَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَمِينَ إبْرَاهِيمَ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – {وَتَاللَّهِ لأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ} الأنبياء: 57 (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: فَإِنْ قَالَ: اللَّهِ لَأَفْعَلَنَّ فَهَذَا ابْتِدَاءُ كَلَامٍ لَا يَمِينَ إلَّا أَنْ يَنْوِيَ بِهَا، فَإِنْ قَالَ: أَشْهَدُ بِاَللَّهِ فَإِنْ نَوَى الْيَمِينَ فَهِيَ يَمِينٌ، وَإِنْ لَمْ يَنْوِ يَمِينًا فَلَيْسَتْ بِيَمِينٍ؛ لِأَنَّهَا تَحْتَمِلُ أَشْهَدُ بِأَمْرِ اللَّهِ وَلَوْ قَالَ: أَشْهَدُ يَنْوِيهِ يَمِينًا لَمْ يَكُنْ يَمِينًا وَلَوْ قَالَ: أَعْزِمُ بِاَللَّهِ وَلَا نِيَّةَ لَهُ لَمْ يَكُنْ يَمِينًا؛ لِأَنَّ مَعْنَاهَا أَعْزِمُ بِقُدْرَةِ اللَّهِ أَوْ بِعَوْنِ اللَّهِ عَلَى كَذَا وَإِنْ أَرَادَ يَمِينًا فَهِيَ يَمِينٌ، وَلَوْ قَالَ: أَسْأَلُك بِاَللَّهِ أَوْ أَعْزِمُ عَلَيْك بِاَللَّهِ لَتَفْعَلَنَّ فَإِنْ أَرَادَ الْمُسْتَحْلِفُ بِهَا يَمِينًا فَهِيَ يَمِينٌ وَإِنْ لَمْ يُرِدْ بِهَا شَيْئًا فَلَيْسَتْ بِيَمِينٍ، وَلَوْ قَالَ: عَلَيَّ عَهْدُ اللَّهِ وَمِيثَاقُهُ فَلَيْسَتْ بِيَمِينٍ إلَّا أَنْ يَنْوِيَ يَمِينًا؛ لِأَنَّ لِلَّهِ عَلَيْهِ عَهْدًا أَنْ يُؤَدِّيَ فَرَائِضَهُ وَكَذَلِكَ مِيثَاقُ اللَّهِ بِذَلِكَ وَأَمَانَتُهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah menceritakan sumpah Ibrahim ‘alaihis salam, {Demi Allah, aku pasti akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu setelah kalian pergi meninggalkannya.} (QS. Al-Anbiya: 57). (Al-Muzani—rahimahullah—berkata): Jika seseorang mengatakan, “Demi Allah, aku pasti akan melakukan,” maka ini adalah permulaan ucapan dan bukan sumpah, kecuali jika dia meniatkannya sebagai sumpah. Jika dia mengatakan, “Aku bersaksi demi Allah,” lalu dia meniatkannya sebagai sumpah, maka itu adalah sumpah. Namun jika tidak berniat sumpah, maka itu bukan sumpah, karena ungkapan itu bisa bermakna “Aku bersaksi atas perintah Allah.” Seandainya dia mengatakan, “Aku bersaksi,” dengan niat sumpah, itu tidak dianggap sumpah. Begitu pula jika dia mengatakan, “Aku bertekad demi Allah,” tanpa niat, itu bukan sumpah, karena maknanya adalah “Aku bertekad dengan kekuatan Allah” atau “dengan pertolongan Allah untuk melakukan sesuatu.” Namun jika dia bermaksud sumpah, maka itu adalah sumpah. Jika dia mengatakan, “Aku meminta kepadamu demi Allah,” atau “Aku bertekad kepadamu demi Allah agar engkau melakukan,” maka jika orang yang disumpah menginginkannya sebagai sumpah, itu adalah sumpah. Tetapi jika tidak bermaksud apa-apa, maka itu bukan sumpah. Jika dia mengatakan, “Atasku janji Allah dan ikatan-Nya,” itu bukan sumpah kecuali jika dia meniatkannya sebagai sumpah, karena Allah telah mewajibkan janji atasnya untuk menunaikan kewajiban-kewajiban-Nya, begitu pula ikatan dan amanah Allah dalam hal itu.

 

بَابُ الِاسْتِثْنَاءِ فِي الْأَيْمَانِ

 

Bab tentang pengecualian dalam sumpah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَمَنْ حَلَفَ بِأَيِّ يَمِينٍ كَانَتْ ثُمَّ قَالَ: إنْ شَاءَ اللَّهُ مَوْصُولًا بِكَلَامِهِ فَقَدْ اسْتَثْنَى وَالْوَصْلُ أَنْ يَكُونَ الْكَلَامُ نَسَقًا وَإِنْ كَانَتْ بَيْنَهُ سَكْتَةٌ كَسَكْتَةِ الرَّجُلِ لِلتَّذَكُّرِ أَوْ الْعَيِّ أَوْ التَّنَفُّسِ أَوْ انْقِطَاعِ الصَّوْتِ فَهُوَ اسْتِثْنَاءٌ وَالْقَطْعُ أَنْ يَأْخُذَ فِي كَلَامٍ لَيْسَ مِنْ الْيَمِينِ مِنْ أَمْرٍ أَوْ نَهْيٍ أَوْ غَيْرِهِ أَوْ يَسْكُتَ السُّكُوتَ الَّذِي يُبَيِّنُ أَنَّهُ قَطَعَ وَقَالَ: لَوْ قَالَ فِي يَمِينِهِ: لَأَفْعَلَنَّ كَذَا لِوَقْتٍ إلَّا أَنْ يَشَاءَ فُلَانٌ فَإِنْ شَاءَ فَإِنْ لَمْ يَحْنَثْ وَإِنْ مَاتَ أَوْ غَابَ عَنَّا حَتَّى مَضَى الْوَقْتُ حَنِثَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) قَالَ بِخِلَافِهِ فِي بَابِ جَامِعِ الْأَيْمَانِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَالَ فِي يَمِينِهِ: لَا أَفْعَلُ كَذَا إنْ شَاءَ فُلَانٌ فَفَعَلَ وَلَمْ يَعْرِفْ شَاءَ أَوْ لَمْ يَشَأْ لَمْ يَحْنَثْ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Barangsiapa bersumpah dengan sumpah apa pun kemudian mengatakan ‘Insya Allah’ yang tersambung dengan ucapannya, maka ia telah melakukan istitsna’ (pengecualian). Penyambungan itu adalah jika ucapan tersebut berurutan, meskipun ada jeda sejenak seperti jeda seseorang untuk mengingat, gagap, bernapas, atau terputusnya suara, itu tetap dianggap istitsna’. Sedangkan pemutusan adalah jika ia memulai pembicaraan lain yang tidak terkait sumpah, seperti perintah, larangan, atau hal lainnya, atau diam dengan diam yang menunjukkan bahwa ia telah memutus. Beliau juga berkata: ‘Jika seseorang dalam sumpahnya mengatakan, ‘Aku pasti akan melakukan ini pada waktu tertentu, kecuali jika si fulan menghendaki,’ lalu si fulan menghendaki, maka ia tidak melanggar sumpah. Tetapi jika si fulan meninggal atau tidak ada sampai waktu itu berlalu, maka ia melanggar sumpah.’ (Al-Muzani) berkata: ‘Beliau menyelisihi pendapat ini dalam bab kumpulan sumpah.’ (Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: ‘Jika seseorang dalam sumpahnya mengatakan, ‘Aku tidak akan melakukan ini jika si fulan menghendaki,’ lalu ia melakukannya tanpa mengetahui apakah si fulan menghendaki atau tidak, maka ia tidak melanggar sumpah.’

 

بَابُ لَغْوِ الْيَمِينِ مِنْ هَذَا وَمِنْ اخْتِلَافِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ

 

Bab tentang sumpah yang sia-sia dalam hal ini dan perbedaan pendapat antara Malik dan Syafi’i

(Asy-Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Malik mengabarkan kepada kami dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah bahwa dia berkata, ‘Laghwul yamin (sumpah yang tidak dianggap) adalah ucapan seseorang, ‘Tidak, demi Allah,’ dan ‘Ya, demi Allah.'”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Dan al-laghwu dalam bahasa Arab adalah perkataan yang tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh, dan inti dari al-laghwu adalah kesalahan. Al-laghwu sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah – dan Allah lebih mengetahui.”

 

وَذَلِكَ إذَا كَانَ عَلَى اللَّجَاجِ وَالْغَضَبِ وَالْعَجَلَةِ وَعَقْدُ الْيَمِينِ أَنْ يُثْبِتَهَا عَلَى الشَّيْءِ بِعَيْنِهِ

 

 

Dan hal itu apabila terjadi karena keras kepala, marah, tergesa-gesa, dan sumpah itu bermaksud menetapkan sesuatu secara khusus.

 

بَابُ الْكَفَّارَةِ قَبْلَ الْحِنْثِ وَبَعْدَهُ

 

Bab tentang kafarat sebelum dan setelah melanggar sumpah.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَمَنْ حَلَفَ عَلَى شَيْءٍ وَأَرَادَ أَنْ يَحْنَثَ فَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ لَمْ يُكَفِّرْ حَتَّى يَحْنَثَ فَإِنْ كَفَّرَ قَبْلَ الْحِنْثِ بِغَيْرِ الصِّيَامِ أَجْزَأَهُ وَإِنْ صَامَ لَمْ يُجِزْهُ لِأَنَّا نَزْعُمُ أَنَّ لِلَّهِ عَلَى الْعِبَادِ حَقًّا فِي أَمْوَالِهِمْ «وَتَسَلَّفَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْ الْعَبَّاسِ صَدَقَةَ عَامٍ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ» وَأَنَّ الْمُسْلِمِينَ قَدَّمُوا صَدَقَةَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَكُونَ الْفِطْرُ فَجَعَلْنَا الْحُقُوقَ فِي الْأَمْوَالِ قِيَاسًا عَلَى هَذَا، فَأَمَّا الْأَعْمَالُ الَّتِي عَلَى الْأَبْدَانِ فَلَا تُجْزِئُ إلَّا بَعْدَ مَوَاقِيتِهَا كَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Barangsiapa bersumpah atas sesuatu dan berniat untuk melanggarnya, maka lebih aku sukai jika ia tidak menebus sumpah hingga benar-benar melanggarnya. Jika ia menebus sebelum melanggar dengan selain puasa, itu sah. Namun jika ia berpuasa sebelum melanggar, tidak sah. Karena kami berpendapat bahwa Allah memiliki hak atas harta hamba-Nya. ‘Nabi -shallallahu alaihi wasallam- pernah meminjam zakat Abbas setahun sebelum jatuh tempo.’ Dan kaum muslimin pernah menyerahkan zakat fitri sebelum hari fitri. Maka kami mengqiyaskan hak-hak harta berdasarkan hal ini. Adapun amal badan seperti shalat dan puasa, tidak sah kecuali setelah masuk waktunya.”

بَابُ مَنْ حَلَفَ بِطَلَاقِ امْرَأَتِهِ أَنْ يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا

 

Bab tentang orang yang bersumpah untuk menceraikan istrinya jika ia menikah lagi di atasnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَنْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إنْ تَزَوَّجْت عَلَيْك فَطَلَّقَهَا وَاحِدَةً تَمْلِكُ الرَّجْعَةَ ثُمَّ تَزَوَّجَ عَلَيْهَا فِي الْعِدَّةِ طَلُقَتْ بِالْحِنْثِ وَإِنْ كَانَتْ بَائِنًا لَمْ يَحْنَثْ فَإِنْ قَالَ: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إنْ لَمْ أَتَزَوَّجْ عَلَيْك وَلَمْ يُوَقِّتْ فَهُوَ عَلَى الْأَبَدِ لَا يَحْنَثُ حَتَّى يَمُوتَ أَوْ تَمُوتَ هِيَ قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا، وَإِنْ تَزَوَّجَ عَلَيْهَا مَنْ يُشْبِهُهَا أَوْ لَا يُشْبِهُهَا خَرَجَ مِنْ الْحِنْثِ دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا وَإِنْ مَاتَتْ لَمْ يَرِثْهَا وَإِنْ مَاتَ وَرِثَتْهُ فِي قَوْلِ مَنْ يُوَرِّثُ الْمَبْتُوتَةَ إذَا وَقَعَ الطَّلَاقُ فِي الْمَرَضِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Barangsiapa berkata kepada istrinya: ‘Kamu tertalak jika aku menikahi wanita lain atasmu,’ lalu dia menalaknya sekali talak yang masih bisa dirujuk, kemudian dia menikahi wanita lain selama masa iddah, maka talak terjadi karena melanggar sumpah. Jika talak itu ba’in (tidak bisa dirujuk), maka tidak dianggap melanggar sumpah. Jika Beliau berkata: ‘Kamu tertalak tiga kali jika aku tidak menikahi wanita lain atasmu,’ tanpa menentukan waktu, maka sumpah itu berlaku selamanya. Dia tidak melanggar sumpah sampai dia meninggal atau istrinya meninggal sebelum dia menikahi wanita lain. Jika dia menikahi wanita lain yang mirip atau tidak mirip dengannya, maka dia terbebas dari sumpah, baik sudah bercampur atau belum. Jika istrinya meninggal, dia tidak mewarisinya. Jika dia meninggal, istrinya mewarisinya menurut pendapat yang membolehkan wanita yang ditalak ba’in untuk mewarisi jika talak terjadi saat sakit.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَطَعَ فِي غَيْرِ هَذَا الْكِتَابِ أَنَّهَا لَا تَرِثُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) وَهُوَ بِالْحَقِّ أَوْلَى؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَرَّثَهَا مِنْهُ بِالْمَعْنَى الَّذِي وَرَّثَهُ بِهِ مِنْهَا فَلَمَّا ارْتَفَعَ ذَلِكَ الْمَعْنَى فَلَمْ يَرِثْهَا لَمْ يَجُزْ أَنْ تَرِثَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dia telah menegaskan dalam kitab selain ini bahwa perempuan itu tidak mewarisi. (Al-Muzani berkata) Pendapat itu lebih benar, karena Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan warisan kepadanya dari suami berdasarkan makna yang sama dengan warisan suami darinya. Ketika makna itu hilang sehingga suami tidak mewarisinya, maka tidak boleh dia mewarisi suami.

 

بَابُ الْإِطْعَامِ فِي الْكَفَّارَةِ فِي الْبُلْدَانِ كُلِّهَا وَمَنْ لَهُ أَنْ يُطْعِمَ وَغَيْرُهُ

 

Bab tentang memberi makan dalam kafarat di semua negeri, dan siapa yang berhak memberi makan serta selainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُجْزِئُ فِي كَفَّارَةِ الْيَمِينِ مُدٌّ بِمُدِّ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَإِنَّمَا قُلْنَا: يُجْزِي هَذَا «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَتَى بِعِرْقٍ فِيهِ تَمْرٌ فَدَفَعَهُ إلَى رَجُلٍ وَأَمَرَهُ أَنْ يُطْعِمَهُ سِتِّينَ مِسْكِينًا» وَالْعِرْقُ فِيمَا يُقَدَّرُ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا وَذَلِكَ سِتُّونَ مُدًّا فَلِكُلِّ مِسْكِينٍ مُدٌّ فِي كُلِّ بِلَادٍ سَوَاءٌ وَلَا أَرَى أَنْ يُجْزِيَ دَرَاهِمُ وَإِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ مِنْ قِيمَةِ الْأَمْدَادِ وَمَا اقْتَاتَ أَهْلُ الْبُلْدَانِ مِنْ شَيْءٍ أَجْزَأَهُمْ مِنْهُ مُدٌّ وَيُجْزِي أَهْلُ الْبَادِيَةِ مُدُّ أَقِطٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Cukup dalam kafarat sumpah satu mud dengan ukuran mud Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Kami mengatakan hal ini karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberi satu ‘irq (karung) berisi kurma lalu beliau memberikannya kepada seorang lelaki dan memerintahkannya untuk memberikannya kepada enam puluh orang miskin.” Satu ‘irq diperkirakan lima belas sha’, yaitu enam puluh mud. Maka setiap orang miskin mendapat satu mud di semua negeri, sama saja. Aku berpendapat bahwa dirham tidak cukup (untuk kafarat), meskipun nilainya lebih banyak dari nilai mud. Apa saja yang menjadi makanan pokok penduduk suatu negeri, maka satu mud darinya sudah mencukupi. Bagi penduduk badui, cukup dengan satu mud aqith (keju kering).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَجَازَ الْأَقِطَ هَا هُنَا وَلَمْ يُجِزْهُ فِي الْفِطْرَةِ وَإِذَا لَمْ يَكُنْ لِأَهْلِ بِلَادٍ قُوتٌ مِنْ طَعَامٍ سِوَى اللَّحْمَ أَدَّوْا مُدًّا مِمَّا يَقْتَاتُ أَقْرَبُ الْبُلْدَانِ إلَيْهِمْ وَيُعْطِي الرَّجُلُ الْكَفَّارَةَ وَالزَّكَاةَ مَنْ لَا تَلْزَمُهُ النَّفَقَةُ عَلَيْهِ مِنْ قَرَابَتِهِ وَهُمْ مَنْ عَدَا الْوَلَدَ وَالْوَالِدَ وَالزَّوْجَةَ إذَا كَانُوا أَهْلَ حَاجَةٍ فَهُمْ أَحَقُّ بِهَا مِنْ غَيْرِهِمْ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Dia membolehkan aqith di sini tetapi tidak membolehkannya dalam zakat fitrah. Jika penduduk suatu negeri tidak memiliki makanan pokok selain daging, mereka boleh membayar satu mud dari makanan pokok negeri terdekat dengan mereka. Seseorang boleh memberikan kafarat dan zakat kepada kerabat yang tidak wajib dinafkahinya, yaitu selain anak, orang tua, dan istri, jika mereka termasuk orang yang membutuhkan. Maka mereka lebih berhak menerimanya daripada orang lain.”

 

وَإِنْ كَانَ يُنْفِقُ عَلَيْهِمْ تَطَوُّعًا وَلَا يُجْزِئُهُ إلَّا أَنْ يُعْطِيَ حُرًّا مُسْلِمًا مُحْتَاجًا وَلَوْ عَلِمَ أَنَّهُ أَعْطَى غَيْرَهُمْ فَعَلَيْهِ عِنْدِي أَنْ يُعِيدَ وَلَا يُطْعِمَ أَقَلَّ مِنْ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ وَاحْتَجَّ عَلَى مَنْ قَالَ: إنْ أَطْعَمَ مِسْكِينًا وَاحِدًا مِائَةً وَعِشْرِينَ مُدًّا فِي سِتِّينَ يَوْمًا أَجْزَأَهُ وَإِنْ كَانَ فِي أَقَلَّ مِنْ سِتِّينَ لَمْ يُجِزْهُ فَقَالَ: أَرَاك جَعَلْت وَاحِدًا سِتِّينَ مِسْكِينًا فَقَدْ قَالَ اللَّهُ {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} الطلاق: 2 فَإِنْ شَهِدَ الْيَوْمَ شَاهِدٌ بِحَقٍّ ثُمَّ عَادَ مِنْ الْغَدِ فَشَهِدَ بِهِ فَقَدْ شَهِدَ بِهَا مَرَّتَيْنِ فَهُوَ كَشَاهِدَيْنِ فَإِنْ قَالَ: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ذَكَرَ الْعَدَدَ قِيلَ: وَكَذَلِكَ ذَكَرَ اللَّهُ لِلْمَسَاكِينِ الْعَدَدَ.

 

 

Dan jika dia memberi nafkah kepada mereka secara sukarela, itu tidak cukup kecuali jika dia memberi kepada orang merdeka, Muslim, dan yang membutuhkan. Sekiranya dia tahu bahwa dia memberi kepada selain mereka, maka menurutku dia harus mengulangi dan tidak boleh memberi makan kurang dari sepuluh orang miskin. Dia berargumen terhadap orang yang berkata: “Jika dia memberi makan satu orang miskin seratus dua puluh mud dalam enam puluh hari, itu cukup. Tetapi jika kurang dari enam puluh hari, itu tidak cukup.” Beliau berkata: “Aku melihat kamu menjadikan satu orang sebagai enam puluh orang miskin. Padahal Allah berfirman, ‘Dan persaksikanlah dua orang yang adil di antara kamu.’ (QS. At-Talaq: 2). Jika seorang saksi bersaksi hari ini dengan kebenaran, kemudian besok dia kembali dan bersaksi lagi, maka dia telah bersaksi dua kali, itu seperti dua saksi.” Jika ada yang berkata: “Itu tidak boleh, karena Allah ‘azza wa jalla menyebutkan jumlahnya,” maka dijawab: “Demikian pula Allah menyebutkan jumlah untuk orang-orang miskin.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ أَطْعَمَ تِسْعَةً وَكَسَا وَاحِدًا لَمْ يُجِزْهُ حَتَّى يُطْعِمَ عَشَرَةً كَمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {أَوْ كِسْوَتُهُمْ} المائدة: 89 قَالَ: وَلَوْ كَانَتْ عَلَيْهِ كَفَّارَةُ ثَلَاثَةِ أَيْمَانٍ مُخْتَلِفَةٍ فَأَعْتَقَ وَأَطْعَمَ وَكَسَا يَنْوِي الْكَفَّارَةَ وَلَا يَنْوِي عَنْ أَيُّهَا الْعِتْقَ وَلَا الْإِطْعَامَ وَلَا الْكِسْوَةَ أَجْزَأَهُ وَأَيُّهَا شَاءَ أَنْ يَكُونَ عِتْقًا أَوْ طَعَامًا أَوْ كِسْوَةً كَانَ وَإِنْ لَمْ يَشَأْ فَالنِّيَّةُ الْأُولَى تُجْزِئُهُ قَالَ: وَلَا يُجْزِي كَفَّارَةٌ حَتَّى يُقَدِّمَ النِّيَّةَ قَبْلَهَا أَوْ مَعَهَا، وَلَوْ كَفَّرَ عَنْهُ رَجُلٌ بِأَمْرِهِ أَجْزَأَهُ وَهَذِهِ كَهِبَتِهِ إيَّاهَا مِنْ مَالِهِ وَدَفْعِهِ إيَّاهَا بِأَمْرِهِ كَقَبْضِ وَكِيلِهِ لِهِبَتِهِ لَوْ وَهَبَهَا لَهُ وَكَذَلِكَ إنْ قَالَ: أَعْتِقْ عَنِّي فَوَلَاؤُهُ لِلْمُعْتِقِ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ قَدْ مَلَكَهُ قَبْلَ الْعِتْقِ وَكَانَ عِتْقُهُ مِثْلَ الْقَبْضِ كَمَا لَوْ اشْتَرَاهُ فَلَمْ يَقْبِضْهُ حَتَّى أَعْتَقَهُ كَانَ الْعِتْقُ كَالْقَبْضِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya seseorang memberi makan sembilan orang dan memberi pakaian satu orang, itu tidak cukup sampai ia memberi makan sepuluh orang, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla: {atau memberi pakaian kepada mereka} (QS. Al-Maidah: 89).” Beliau berkata: “Jika seseorang memiliki kafarat tiga sumpah yang berbeda, lalu ia memerdekakan budak, memberi makan, dan memberi pakaian dengan niat untuk kafarat tanpa menentukan mana yang untuk memerdekakan, memberi makan, atau memberi pakaian, maka itu sudah cukup. Ia boleh memilih mana yang dianggap sebagai memerdekakan, memberi makan, atau memberi pakaian. Jika tidak memilih, maka niat pertama sudah mencukupi.” Beliau berkata: “Kafarat tidak sah kecuali dengan mendahulukan niat sebelum atau bersamaan dengan pelaksanaannya. Jika seseorang menunaikan kafarat atas perintahnya, itu sudah mencukupi, seperti menghibahkan hartanya dan menyerahkannya atas perintahnya, sebagaimana penerimaan wakil untuk hibahnya jika dihibahkan kepadanya. Demikian juga jika ia berkata: ‘Merdekakan budak untukku,’ maka perwalian budak itu menjadi milik orang yang memerdekakannya, karena ia telah memilikinya sebelum memerdekakan, dan memerdekakannya dianggap seperti menerima, sebagaimana jika ia membeli budak tetapi belum menerimanya lalu memerdekakan, maka memerdekakan dianggap seperti menerima.”

 

 

وَلَوْ أَنَّ رَجُلًا كَفَّرَ عَنْ رَجُلٍ بِغَيْرِ أَمْرِهِ فَأَطْعَمَ أَوْ أَعْتَقَ لَمْ يُجِزْهُ وَكَانَ هُوَ الْمُعْتِقُ لِعَبْدِهِ فَوَلَاؤُهُ لَهُ وَكَذَلِكَ لَوْ أَعْتَقَ عَنْ أَبَوَيْهِ بَعْدَ الْمَوْتِ إذَا لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ بِوَصِيَّةٍ مِنْهُمَا.

 

 

Seandainya seseorang menebus dosa orang lain tanpa perintah darinya, baik dengan memberi makan atau memerdekakan budak, itu tidak sah. Dan dialah yang memerdekakan budaknya, maka perwaliannya menjadi miliknya. Demikian pula jika dia memerdekakan budak untuk kedua orang tuanya setelah kematian mereka, jika hal itu tidak berdasarkan wasiat dari keduanya.

 

وَلَوْ صَامَ رَجُلٌ عَنْ رَجُلٍ بِأَمْرِهِ لَمْ يُجِزْهُ؛ لِأَنَّ الْأَبْدَانَ تَعَبَّدَتْ بِعَمَلٍ فَلَا يُجْزِي أَنْ يَعْمَلَهُ غَيْرُهَا إلَّا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلْخَبَرِ الَّذِي جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَبِأَنَّ فِيهِمَا نَفَقَةً وَلِأَنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إنَّمَا فَرَضَهُمَا عَلَى مَنْ وَجَدَ السَّبِيلَ إلَيْهِمَا وَالسَّبِيلُ بِالْمَالِ.

 

 

Seandainya seseorang berpuasa untuk orang lain atas perintahnya, puasa itu tidak sah. Karena ibadah badan harus dilakukan sendiri, tidak boleh diwakilkan kecuali haji dan umrah berdasarkan hadis yang datang dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan karena keduanya memerlukan biaya. Allah tabaraka wa ta’ala hanya mewajibkan haji dan umrah bagi orang yang mampu mencapainya, dan kemampuan itu dengan harta.

 

 

وَمَنْ اشْتَرَى مِمَّا أَطْعَمَ أَوْ كَسَا أَجْزَتْهُ وَلَوْ تَنَزَّهَ عَنْ ذَلِكَ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ وَمَنْ كَانَ لَهُ مَسْكَنٌ لَا يَسْتَغْنِي عَنْهُ هُوَ وَأَهْلُهُ وَخَادِمٌ أَعْطَى مِنْ الْكَفَّارَةِ وَالزَّكَاةِ، وَإِنْ كَانَ فِي مَسْكَنِهِ فَضْلٌ عَنْ خَادِمِهِ وَأَهْلِهِ، الْفَضْلُ الَّذِي يَكُونُ بِهِ غَنِيًّا لَمْ يُعْطِ، وَإِذَا حَنِثَ مُوسِرًا ثُمَّ أَعْسَرَ لَمْ أَرَ الصَّوْمَ يُجْزِي عَنْهُ وَآمُرُهُ احْتِيَاطًا أَنْ يَصُومَ فَإِذَا أَيْسَرَ كَفَّرَ وَإِنَّمَا أَنْظُرُ فِي هَذَا إلَى الْوَقْتِ الَّذِي يَحْنَثُ فِيهِ. وَلَوْ حَنِثَ مُعْسِرًا فَأَيْسَرَ أَحْبَبْت لَهُ أَنْ يُكَفِّرَ وَلَا يَصُومَ وَإِنْ صَامَ أَجْزَأَ عَنْهُ؛ لِأَنَّ حُكْمَهُ حِينَ حَنِثَ حُكْمُ الصِّيَامِ.

 

 

Dan barangsiapa membeli dari apa yang dia berikan sebagai makanan atau pakaian, maka itu telah mencukupinya, meskipun jika dia menjauh dari hal itu lebih aku sukai. Barangsiapa memiliki tempat tinggal yang tidak bisa dia dan keluarganya serta pelayannya tinggalkan, maka dia boleh memberikan dari kafarat dan zakat. Jika di tempat tinggalnya ada kelebihan setelah kebutuhan pelayan dan keluarganya terpenuhi, yaitu kelebihan yang membuatnya menjadi kaya, maka dia tidak diberi. Jika seseorang melanggar sumpah dalam keadaan mampu kemudian menjadi tidak mampu, aku tidak melihat puasa bisa mencukupinya, dan aku memerintahkannya untuk berhati-hati dengan berpuasa. Ketika dia mampu lagi, maka dia membayar kafarat. Dalam hal ini, aku melihat pada waktu dia melanggar sumpah. Jika dia melanggar sumpah dalam keadaan tidak mampu kemudian menjadi mampu, aku lebih suka dia membayar kafarat dan tidak berpuasa. Namun jika dia berpuasa, itu sudah mencukupinya, karena hukumnya saat melanggar sumpah adalah hukum puasa.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ قَالَ فِي الظِّهَارِ إنَّ حُكْمَهُ حِينَ يُكَفِّرُ وَقَدْ قَالَ فِي جَمَاعَةِ الْعُلَمَاءِ: إنْ تَظَاهَرَ فَلَمْ يَجِدْ رَقَبَةً أَوْ أَحْدَثَ فَلَمْ يَجِدْ مَاءً فَلَمْ يَصُمْ وَلَمْ يَدْخُلْ فِي الصَّلَاةِ بِالتَّيَمُّمِ حَتَّى وَجَدَ الرَّقَبَةَ وَالْمَاءَ إنَّ فَرْضَهُ الْعِتْقُ وَالْوُضُوءُ وَقَوْلُهُ فِي جَمَاعَةِ الْعُلَمَاءِ أَوْلَى بِهِ مِنْ انْفِرَادِهِ عَنْهَا قَالَ: وَمَنْ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ الْكَفَّارَةِ وَالزَّكَاةِ فَلَهُ أَنْ يَصُومَ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ وَلَا يُعْتِقَ فَإِنْ فَعَلَ أَجْزَأَهُ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا وَمَالُهُ غَائِبٌ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يُكَفِّرَ حَتَّى يُحْضِرَ مَالَهُ إلَّا بِالْإِطْعَامِ أَوْ الْكِسْوَةِ أَوْ الْعِتْقِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan dia telah menyebutkan tentang zhihar bahwa hukumnya ketika menunaikan kafarat. Dia juga berkata dalam kelompok ulama: Jika seseorang melakukan zhihar lalu tidak menemukan budak, atau berhadats lalu tidak menemukan air sehingga tidak berpuasa dan tidak masuk shalat dengan tayammum hingga menemukan budak dan air, maka kewajibannya adalah memerdekakan budak dan berwudhu. Pendapatnya dalam kelompok ulama lebih utama daripada pendapatnya yang menyendiri. Beliau berkata: Barangsiapa yang boleh mengambil dari kafarat dan zakat, maka dia boleh berpuasa dan tidak wajib bersedekah atau memerdekakan budak. Jika dia melakukannya, itu sudah mencukupi. Jika dia kaya namun hartanya tidak ada di tempat, dia tidak boleh menunaikan kafarat sampai menghadirkan hartanya, kecuali dengan memberi makan, pakaian, atau memerdekakan budak.

 

بَابُ مَا يُجْزِي مِنْ الْكِسْوَةِ فِي الْكَفَّارَةِ

 

Bab tentang pakaian apa saja yang mencukupi untuk kafarat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَأَقَلُّ مَا يُجْزِي مِنْ الْكِسْوَةِ كُلُّ مَا وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمُ كِسْوَةٍ مِنْ عِمَامَةٍ أَوْ سَرَاوِيلَ أَوْ إزَارٍ أَوْ مُقَنَّعَةٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ لِرَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ أَوْ صَبِيٍّ، وَلَوْ اسْتَدَلَّ بِمَا يَجُوزُ فِيهِ الصَّلَاةُ مِنْ الْكِسْوَةِ عَلَى كِسْوَةِ الْمَسَاكِينِ لَجَازَ أَنْ يَسْتَدِلَّ بِمَا يَكْفِيهِ فِي الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ أَوْ فِي السَّفَرِ مِنْ الْكِسْوَةِ، وَقَدْ أَطْلَقَهُ اللَّهُ فَهُوَ مُطْلَقٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Minimal pakaian yang mencukupi adalah segala sesuatu yang termasuk kategori pakaian, baik itu sorban, celana, sarung, kerudung, atau lainnya, baik untuk laki-laki, perempuan, atau anak kecil. Seandainya seseorang berdalil dengan pakaian yang sah digunakan untuk shalat sebagai patokan pakaian untuk orang miskin, maka boleh juga berdalil dengan pakaian yang mencukupi di musim dingin dan panas atau dalam perjalanan. Allah telah menyebutkannya secara mutlak, maka ia bersifat mutlak.”

 

بَابُ مَا يَجُوزُ فِي عِتْقِ الْكَفَّارَاتِ وَمَا لَا يَجُوزُ

 

Bab tentang apa yang diperbolehkan dalam pembebasan kafarat dan apa yang tidak diperbolehkan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يُجْزِئُ رَقَبَةٌ فِي كَفَّارَةٍ وَلَا وَاجِبٍ إلَّا مُؤْمِنَةٌ وَأَقُلُّ مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْإِيمَانِ عَلَى الْأَعْجَمِيِّ أَنْ يَصِفَ الْإِيمَانَ إذَا أُمِرَ بِصِفَتِهِ ثُمَّ يَكُونَ بِهِ مُؤْمِنًا وَيُجْزِي فِيهِ الصَّغِيرُ إذَا كَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا وَوَلَدُ الزِّنَا وَكُلُّ ذِي نَقْصٍ بِعَيْبٍ لَا يَضُرُّ بِالْعَمَلِ إضْرَارًا بَيِّنًا مِثْلَ الْعَرَجِ الْخَفِيفِ وَالْعَوَرِ وَالشَّلَلِ فِي الْخِنْصَرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ وَلَا يُجْزِئُ الْمُقْعَدُ وَلَا الْأَعْمَى وَلَا الْأَشَلُّ الرِّجْلَ وَيُجْزِئُ الْأَصَمُّ وَالْخَصِيُّ وَالْمَرِيضُ الَّذِي لَيْسَ بِهِ مَرَضُ زَمَانَةٍ مِثْلُ الْفَالِجِ وَالسُّلِّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Tidak sah budak yang dibebaskan dalam kafarat atau kewajiban kecuali yang beriman. Minimal kadar iman bagi orang non-Arab adalah ketika ia mampu menjelaskan sifat iman jika diminta untuk menjelaskannya, kemudian ia menjadi beriman. Anak kecil sah (dibebaskan) jika kedua orang tuanya beriman atau salah satunya, begitu pula anak zina dan setiap orang yang memiliki kekurangan dengan cacat yang tidak mengganggu pekerjaan secara signifikan seperti pincang ringan, buta sebelah mata, atau lumpuh pada jari kelingking dan semisalnya. Tidak sah orang yang lumpuh total, buta, atau yang lumpuh kakinya. Namun, sah (dibebaskan) orang yang tuli, orang yang dikebiri, dan orang sakit yang tidak menderita penyakit kronis seperti stroke atau TBC.”

 

وَلَوْ اشْتَرَى مَنْ يُعْتِقُ عَلَيْهِ لَمْ يُجِزْهُ وَلَا يُعْتِقُ عَلَيْهِ إلَّا الْوَالِدُونَ وَالْمَوْلُودُونَ، وَلَوْ اشْتَرَى رَقَبَةً بِشَرْطِ أَنْ يُعْتِقَهَا لَمْ تُجْزِ عَنْهُ وَيُجْزِئُ الْمُدَبَّرُ وَلَا يَجُوزُ الْمُكَاتَبُ حَتَّى يَعْجِزَ فَيُعْتِقَ بَعْدَ الْعَجْزِ وَيُجْزِئُ الْمُعْتَقُ إلَى سِنِينَ وَاحْتَجَّ فِي كِتَابِ الْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ عَلَى مَنْ أَجَازَ عِتْقَ الذِّمِّيِّ فِي الْكَفَّارَةِ بِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا ذَكَرَ رَقَبَةً فِي كَفَّارَةٍ فَقَالَ: مُؤْمِنَةً ثُمَّ ذَكَرَ رَقَبَةً أُخْرَى فِي كَفَّارَةٍ كَانَتْ مُؤْمِنَةً؛ لِأَنَّهُمَا يَجْتَمِعَانِ فِي أَنَّهُمَا كَفَّارَتَانِ وَلَمَّا رَأَيْنَا مَا فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ مَنْقُولًا إلَى الْمُسْلِمِينَ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ مَالِهِ فَرْضًا عَلَيْهِ فَيُعْتِقَ بِهِ ذِمِّيًّا وَيَدَعَ مُؤْمِنًا.

 

 

Jika seseorang membeli budak untuk dimerdekakan, itu tidak sah kecuali oleh orang tua atau anak. Jika ia membeli budak dengan syarat memerdekakannya, itu tidak cukup baginya. Budak mudabbar (yang akan dimerdekakan setelah tuannya meninggal) sudah sah, sedangkan mukatab (budak yang sedang dalam proses pembebasan) tidak sah hingga gagal membayar lalu dimerdekakan setelah kegagalan itu. Memerdekakan budak untuk beberapa tahun juga sah. Dalam kitab sumpah, ia berargumen terhadap yang membolehkan memerdekakan dzimmi sebagai kafarat, bahwa ketika Allah menyebut “budak” dalam kafarat, Dia menyebut “yang beriman”. Ketika melihat kewajiban harta yang Allah tetapkan untuk Muslim harus diberikan kepada Muslim, tidak boleh mengeluarkan kewajiban hartanya untuk memerdekakan dzimmi sementara meninggalkan yang beriman.

بَابُ الصِّيَامِ فِي كَفَّارَةِ الْأَيْمَانِ الْمُتَتَابِعِ وَغَيْرِهِ

 

Bab tentang puasa dalam kafarat sumpah yang berturut-turut dan selainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – كُلُّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ صَوْمٌ لَيْسَ بِمَشْرُوطٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ أَنْ يَكُونَ مُتَتَابِعًا أَجْزَأَهُ مُتَفَرِّقًا قِيَاسًا عَلَى قَوْلِ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} البقرة: 184 وَالْعِدَّةُ أَنْ يَأْتِيَ بِعَدَدِ صَوْمٍ لَا وَلَاءٍ وَقَالَ فِي كِتَابِ الصِّيَامِ: إنَّ صِيَامَ كَفَّارَةِ الْيَمِينِ مُتَتَابِعٌ. وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Setiap orang yang wajib berpuasa yang tidak disyaratkan dalam Kitabullah untuk dilakukan secara berturut-turut, maka sah dilakukan secara terpisah, berdasarkan qiyas pada firman Allah Jalla Dzikruhu {maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain} QS. Al-Baqarah: 184. Yang dimaksud ‘sebanyak’ adalah memenuhi jumlah puasa, bukan berurutan.” Dan beliau berkata dalam kitab Ash-Shiyam: “Puasa kafarat sumpah harus dilakukan secara berturut-turut.” Wallahu a’lam.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا أَلْزَمُ لَهُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ شَرَطَ صَوْمَ كَفَّارَةِ الْمُتَظَاهِرِ مُتَتَابِعًا وَهَذَا صَوْمُ كَفَّارَةِ مِثْلِهِ كَمَا احْتَجَّ الشَّافِعِيُّ بِشَرْطِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ رَقَبَةَ الْقَتْلِ مُؤْمِنَةً.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih wajib baginya, karena Allah ‘azza wa jalla mensyaratkan puasa kafarat bagi yang menzihar istrinya harus berturut-turut, dan ini adalah puasa kafarat yang serupa, sebagaimana Imam Syafi’i berargumen dengan syarat Allah ‘azza wa jalla bahwa budak yang dibebaskan untuk kafarat pembunuhan harus beriman.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَجَعَلَ الشَّافِعِيُّ رَقَبَةَ الظِّهَارِ مِثْلَهَا مُؤْمِنَةً؛ لِأَنَّهَا كَفَّارَةٌ شَبِيهَةٌ بِكَفَّارَةٍ فَكَذَلِكَ الْكَفَّارَةُ عَنْ ذَنْبٍ بِالْكَفَّارَةِ عَنْ ذَنْبٍ أَشْبَهَ مِنْهَا بِقَضَاءِ رَمَضَانَ الَّذِي لَيْسَ بِكَفَّارَةٍ عَنْ ذَنْبٍ فَتَفَهَّمْ، قَالَ: وَإِذَا كَانَ الصَّوْمُ مُتَتَابِعًا فَأَفْطَرَ فِيهِ الصَّائِمُ أَوْ الصَّائِمَةُ مِنْ عُذْرٍ وَغَيْرِ عُذْرٍ اسْتَأْنَفَا الصِّيَامَ إلَّا الْحَائِضَ فَإِنَّهَا لَا تَسْتَأْنِفُ وَقَالَ فِي الْقَدِيمِ الْمَرَضُ كَالْحَيْضِ وَقَدْ يَرْتَفِعُ الْحَيْضُ بِالْحَمْلِ وَغَيْرِهِ كَمَا يَرْتَفِعُ الْمَرَضُ قَالَ: وَلَا صَوْمَ فِيمَا لَا يَجُوزُ صَوْمُهُ تَطَوُّعًا مِثْلَ يَوْمِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Maka Asy-Syafi’i menjadikan budak dalam zhihar seperti budak yang beriman; karena ia merupakan kafarah yang serupa dengan kafarah lainnya. Demikian pula kafarah atas dosa dengan kafarah atas dosa lebih mirip daripada mengqadha Ramadan yang bukan kafarah atas dosa, maka pahamilah. Beliau berkata: Jika puasa itu berturut-turut lalu orang yang berpuasa (laki-laki atau perempuan) berbuka di tengahnya karena uzur atau tanpa uzur, maka mereka harus memulai puasa dari awal kecuali wanita haid, karena ia tidak perlu memulai dari awal. Dalam pendapat lamanya, dia menyatakan bahwa sakit seperti haid, dan haid bisa terhenti karena hamil atau sebab lain sebagaimana sakit juga bisa terhenti. Beliau berkata: Tidak ada puasa pada hari-hari yang tidak boleh berpuasa sunnah, seperti hari Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari Tasyriq.

 

بَابُ الْوَصِيَّةِ بِكَفَّارَةِ الْأَيْمَانِ وَالزَّكَاةِ

 

Bab Wasiat tentang Kafarat Sumpah dan Zakat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَنْ لَزِمَهُ حَقُّ الْمَسَاكِينِ فِي زَكَاةٍ أَوْ كَفَّارَةِ يَمِينٍ أَوْ حَجٍّ فَذَلِكَ كُلُّهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ يُحَاصُّ بِهِ الْغُرَمَاءَ، فَإِنْ أَوْصَى بِأَنْ يُعْتِقَ عَنْهُ فِي كَفَّارَةٍ فَإِنْ حَمَلَ ثُلُثُهُ الْعِتْقَ أَعْتَقَ عَنْهُ، فَإِنْ لَمْ يَحْمِلْهُ الثُّلُثَ أَطْعَمَ عَنْهُ مِنْ رَأْسِ مَالِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Barangsiapa memiliki kewajiban hak orang miskin dalam zakat, kafarat sumpah, atau haji, maka semuanya diambil dari pokok hartanya dan digunakan untuk melunasi hutang. Jika ia berwasiat untuk membebaskan budak sebagai kafarat, dan sepertiga hartanya mencukupi untuk pembebasan tersebut, maka budak itu dibebaskan atas namanya. Namun jika sepertiga hartanya tidak mencukupi, maka diberikan makanan (sebagai ganti) dari pokok hartanya.”

 

Teks Asli

بَابُ كَفَّارَةِ يَمِينِ الْعَبْدِ بَعْدَ أَنْ يُعْتَقَ

 

Terjemahan

Bab tentang kafarat sumpah seorang budak setelah ia dimerdekakan.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : لَا يُجْزِئُ الْعَبْدَ فِي الْكَفَّارَةِ إلَّا الصَّوْمُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ مَالًا وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَصُومَ إلَّا بِإِذْنِ مَوْلَاهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ مَا لَزِمَهُ بِإِذْنِهِ وَلَوْ صَامَ فِي أَيِّ حَالٍ أَجْزَأَهُ، وَلَوْ حَنِثَ ثُمَّ أَعْتَقَ وَكَفَّرَ كَفَّارَةَ حُرٍّ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُ حِينَئِذٍ مَالِكٌ وَلَوْ صَامَ أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّ حُكْمَهُ يَوْمَ حَنِثَ حُكْمُ الصِّيَامِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ مَضَتْ الْحُجَّةُ أَنَّ الْحُكْمَ يَوْمَ يُكَفِّرُ لَا يَوْمَ يَحْنَثُ كَمَا قَالَ: إنَّ حُكْمَهُ فِي الصَّلَاةِ حِينَ يُصَلِّي كَمَا يُمْكِنُهُ لَا حِينَ وَجَبَتْ عَلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak cukup bagi seorang hamba dalam kafarat kecuali dengan puasa, karena dia tidak memiliki harta dan tidak boleh berpuasa kecuali dengan izin tuannya, kecuali jika kewajiban itu datang dengan izin tuannya. Jika dia berpuasa dalam keadaan apa pun, itu sudah mencukupinya. Jika dia melanggar sumpah lalu dimerdekakan dan menunaikan kafarat seperti orang merdeka, itu sudah mencukupinya karena saat itu dia sudah memiliki hak milik. Jika dia berpuasa, itu sudah mencukupinya karena hukumnya pada saat melanggar adalah hukum puasa. (Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – telah berlalu argumen bahwa hukum itu pada saat dia menunaikan kafarat, bukan pada saat melanggar, sebagaimana dikatakan: Sesungguhnya hukumnya dalam shalat adalah ketika dia shalat sesuai kemampuannya, bukan ketika kewajiban itu dibebankan kepadanya.

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ) : وَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَنِصْفُهُ عَبْدٌ وَنِصْفُهُ حُرٌّ وَكَانَ فِي يَدَيْهِ مَالٌ لِنَفْسِهِ لَمْ يُجْزِئْهُ الصَّوْمُ وَكَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُكَفِّرَ مِمَّا فِي يَدَيْهِ لِنَفْسِهِ

(Dia berkata): “Seandainya kewajiban itu berlaku padanya, sementara separuhnya adalah budak dan separuhnya merdeka, serta di tangannya ada harta miliknya sendiri, maka puasa tidak cukup baginya. Ia wajib membayar kafarah dari harta yang ada di tangannya untuk dirinya sendiri.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – إنَّمَا الْمَالُ لِنِصْفِهِ الْحُرِّ لَا يَمْلِكُ مِنْهُ النِّصْفَ الْعَبْدُ شَيْئًا فَكَيْفَ يُكَفِّرُ بِالْمَالِ نِصْفُ عَبْدٍ لَا يَمْلِكُ مِنْهُ شَيْئًا فَأَحَقَّ بِقَوْلِهِ أَنَّهُ كَرَجُلٍ مُوسِرٍ بِنِصْفِ الْكَفَّارَةِ فَلَيْسَ عَلَيْهِ إلَّا الصَّوْمُ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Harta itu hanya milik separuhnya yang merdeka, separuh budak tidak memiliki apa pun darinya. Bagaimana mungkin separuh budak yang tidak memiliki apa pun bisa membayar kafarah dengan harta? Pendapat yang lebih tepat adalah ia seperti orang yang mampu membayar separuh kafarah, maka ia hanya wajib berpuasa. Dan dengan Allah lah taufik.”

 

بَابُ جَامِعِ الْأَيْمَانِ

 

Bab tentang Sumpah-sumpah yang Meliputi

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا كَانَ فِي دَارٍ فَحَلَفَ أَنْ لَا يَسْكُنَهَا أَخَذَ فِي الْخُرُوجِ مَكَانَهُ وَإِنْ تَخَلَّفَ سَاعَةً يُمْكِنُهُ الْخُرُوجُ مِنْهَا فَلَمْ يَفْعَلْ حَنِثَ فَيَخْرُجُ بِبَدَنِهِ مُتَحَوِّلًا وَلَا يَضُرُّهُ أَنْ يَتَرَدَّدَ عَلَى حَمْلِ مَتَاعِهِ وَإِخْرَاجِ أَهْلِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِسُكْنَى، وَلَوْ حَلَفَ أَنْ لَا يُسَاكِنَهُ وَهُوَ سَاكِنٌ فَإِنْ أَقَامَا جَمِيعًا سَاعَةً يُمْكِنُهُ التَّحْوِيلُ عَنْهُ حَنِثَ وَلَوْ كَانَا فِي بَيْتَيْنِ فَجَعَلَ بَيْنَهُمَا حَدًّا وَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الْحُجْرَتَيْنِ بَابٌ فَلَيْسَتْ هَذِهِ بِمُسَاكَنَةٍ وَإِنْ كَانَا فِي دَارٍ وَاحِدَةٍ وَالْمُسَاكَنَةُ أَنْ يَكُونَا فِي بَيْتٍ أَوْ بَيْتَيْنِ حُجْرَتُهُمَا وَاحِدَةٌ وَمَدْخَلُهُمَا وَاحِدٌ، وَإِذَا افْتَرَقَ الْبَيْتَانِ أَوْ الْحُجْرَتَانِ فَلَيْسَتْ بِمُسَاكَنَةٍ إلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ نِيَّةٌ فَهُوَ عَلَى مَا نَوَى، فَإِنْ قِيلَ: مَا الْحُجَّةُ فِي أَنَّ النُّقْلَةَ بِبَدَنِهِ دُونَ مَتَاعِهِ وَأَهْلِهِ وَمَالِهِ؟ قِيلَ: أَرَأَيْت إذَا سَافَرَ أَيَكُونُ مِنْ أَهْلِ السَّفَرِ فَيَقْصُرُ؟ أَوْ رَأَيْت لَوْ انْقَطَعَ إلَى مَكَّةَ بِبَدَنِهِ أَيَكُونُ مِنْ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِينَ إنْ تَمَتَّعُوا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمْ دَمٌ؟ فَإِذَا قَالَ: نَعَمْ فَإِنَّمَا النُّقْلَةُ وَالْحُكْمُ عَلَى الْبَدَنِ لَا عَلَى مَالٍ وَأَهْلٍ وَعِيَالٍ، وَلَوْ حَلَفَ لَا يَدْخُلُهَا فَرَقَى فَوْقَهَا لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى يَدْخُلَ بَيْتًا مِنْهَا أَوْ عَرْصَتَهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya –: “Jika seseorang berada di sebuah rumah lalu bersumpah untuk tidak tinggal di dalamnya, ia harus segera keluar dari tempat itu. Jika ia menunda keluar padahal memungkinkan baginya untuk pergi dalam waktu satu jam namun tidak melakukannya, maka ia melanggar sumpah. Ia harus keluar dengan tubuhnya berpindah, dan tidak masalah jika ia bolak-balik untuk membawa barangnya atau mengeluarkan keluarganya, karena hal itu tidak dianggap sebagai tinggal. Jika ia bersumpah untuk tidak tinggal bersama seseorang sedangkan ia sedang tinggal bersamanya, lalu keduanya tetap tinggal bersama dalam waktu satu jam padahal ia bisa berpindah, maka ia melanggar sumpah. Namun, jika keduanya berada di dua rumah yang dipisahkan oleh batas dan masing-masing kamar memiliki pintu sendiri, ini tidak dianggap sebagai tinggal bersama, meskipun berada dalam satu rumah. Tinggal bersama berarti berada di satu rumah atau dua rumah yang kamarnya satu dan pintu masuknya sama. Jika dua rumah atau dua kamar terpisah, itu tidak dianggap tinggal bersama kecuali jika ia berniat demikian, maka hukumnya sesuai niatnya. Jika ada yang bertanya: ‘Apa dalil bahwa perpindahan itu dengan tubuhnya, bukan barang, keluarga, atau hartanya?’ Dijawab: ‘Bagaimana pendapatmu jika seseorang bepergian, apakah ia termasuk musafir sehingga boleh mengqashar shalat? Atau bagaimana jika ia pergi ke Mekkah hanya dengan tubuhnya, apakah ia termasuk penduduk Masjidil Haram yang jika melakukan tamattu’ tidak wajib menyembelih dam?’ Jika ia menjawab ‘Ya,’ maka perpindahan dan hukum itu berlaku pada tubuh, bukan pada harta, keluarga, atau tanggungan. Jika seseorang bersumpah tidak akan memasuki suatu tempat lalu ia naik di atasnya, ia tidak melanggar sumpah sampai ia memasuki rumah atau halamannya.”

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَلْبَسُ ثَوْبًا وَهُوَ لَابِسُهُ وَلَا يَرْكَبُ دَابَّةً وَهُوَ رَاكِبُهَا فَإِنْ نَزَعَ أَوْ نَزَلَ مَكَانَهُ، وَإِلَّا حَنِثَ وَكَذَلِكَ مَا أَشْبَهَهُ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak mengenakan pakaian yang sedang dipakainya atau tidak menunggang hewan tunggangannya yang sedang ditunggangi, maka jika ia melepasnya atau turun di tempat itu (seketika), (tidak melanggar sumpah). Jika tidak, ia melanggar sumpah. Demikian pula hal-hal yang serupa.

 

 

وَإِنْ حَلَفَ لَا يَسْكُنُ بَيْتًا وَهُوَ بَدْوِيٌّ أَوْ قَرَوِيٌّ وَلَا نِيَّةَ لَهُ فَأَيُّ بَيْتٍ مِنْ شِعْرٍ أَوْ أُدْمٍ أَوْ خَيْمَةٍ أَوْ بَيْتٍ مِنْ حِجَارَةٍ أَوْ مَدَرٍ أَوْ مَا وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمُ بَيْتٍ سَكَنَهُ حَنِثَ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak menempati sebuah rumah—baik dia seorang Badui atau penduduk desa—tanpa menyebutkan niat tertentu, maka jika dia tinggal di rumah apa pun, baik terbuat dari bulu, kulit, tenda, batu, tanah, atau apa saja yang disebut sebagai rumah, dia telah melanggar sumpahnya.

 

 

وَإِنْ حَلَفَ أَنْ لَا يَأْكُلَ طَعَامًا اشْتَرَاهُ فُلَانٌ فَاشْتَرَاهُ فُلَانٌ وَآخَرُ مَعَهُ طَعَامًا وَلَا نِيَّةَ لَهُ فَأَكَلَ مِنْهُ لَمْ يَحْنَثْ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak memakan makanan yang dibeli oleh si fulan, lalu si fulan dan orang lain bersama-sama membeli makanan tanpa ada niat (dari yang bersumpah), kemudian dia memakannya, maka dia tidak melanggar sumpah.

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَسْكُنُ دَارَ فُلَانٍ هَذِهِ بِعَيْنِهَا فَبَاعَهَا فُلَانٌ حَنِثَ بِأَيِّ وَجْهٍ سَكَنَهَا إنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ فَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ مَا كَانَتْ لِفُلَانٍ لَمْ يَحْنَثْ إذَا خَرَجَتْ مِنْ مِلْكِهِ، وَلَوْ حَلَفَ لَا يَدْخُلُهَا فَانْهَدَمَتْ حَتَّى صَارَتْ طَرِيقًا لَمْ يَحْنَثْ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِدَارٍ.

 

 

Dan jika dia bersumpah untuk tidak tinggal di rumah si Fulan yang khusus ini, lalu si Fulan menjualnya, maka dia melanggar sumpah dengan cara apa pun dia menempatinya jika tidak ada niat tertentu. Jika niatnya adalah selama rumah itu milik si Fulan, maka dia tidak melanggar sumpah ketika rumah itu keluar dari kepemilikannya. Dan jika dia bersumpah untuk tidak memasukinya, lalu rumah itu runtuh hingga menjadi jalan, dia tidak melanggar sumpah karena itu bukan lagi rumah.

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَدْخُلُ مِنْ بَابِ الدَّارِ فِي مَوْضِعٍ فَحَوَّلَ لَمْ يَحْنَثْ إلَّا أَنْ يَنْوِيَ أَنْ يَدْخُلَهَا فَيَحْنَثَ.

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk melalui pintu rumah di suatu tempat, lalu pintu itu dipindahkan, maka dia tidak melanggar sumpah kecuali jika dia berniat masuk melalui pintu itu, maka dia melanggar sumpah.

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَلْبَسُ ثَوْبًا وَهُوَ رِدَاءٌ فَقَطَعَهُ قَمِيصًا أَوْ ائْتَزَرَ بِهِ أَوْ حَلَفَ لَا يَلْبَسُ سَرَاوِيلَ فائتزر بِهِ أَوْ قَمِيصًا فَارْتَدَى بِهِ فَهَذَا كُلُّهُ لُبْسٌ يَحْنَثُ بِهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ لَهُ نِيَّةٌ فَلَا يَحْنَثُ إلَّا عَلَى نِيَّتِهِ.

 

 

Jika seseorang bersumpah untuk tidak mengenakan pakaian yang awalnya berupa selendang, lalu ia memotongnya menjadi kemeja atau menggunakannya sebagai sarung, atau ia bersumpah untuk tidak memakai celana tetapi menggunakannya sebagai sarung atau kemeja lalu memakainya sebagai selendang, maka semua ini dianggap sebagai pelanggaran sumpah kecuali jika ia memiliki niat tertentu, maka ia hanya melanggar sesuai niatnya.

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَلْبَسُ ثَوْبَ رَجُلٍ مِنْ عَلَيْهِ فَوَهَبَهُ لَهُ فَبَاعَهُ وَاشْتَرَى بِثَمَنِهِ ثَوْبًا لَبِسَهُ لَمْ يَحْنَثْ إلَّا أَنْ يَلْبَسَ الَّذِي حَلَفَ عَلَيْهِ بِعَيْنِهِ وَإِنَّمَا أَنْظُرُ إلَى مَخْرَجِ الْيَمِينِ ثُمَّ أُحْنِثُ صَاحِبَهَا أَوْ أَبَرُّهُ وَذَلِكَ أَنَّ الْأَسْبَابَ مُتَقَدِّمَةٌ وَالْأَيْمَانَ بَعْدَهَا مُحْدَثَةٌ قَدْ يَخْرُجُ عَلَى مِثَالِهَا وَعَلَى خِلَافِهَا فَأُحْنِثُهُ عَلَى مَخْرَجِ يَمِينِهِ، أَرَأَيْت رَجُلًا لَوْ كَانَ قَالَ: وَهَبْت لَهُ مَالِي فَحَلَفَ لَيَضْرِبَنَّهُ أَمَا يَحْنَثُ إنْ لَمْ يَضْرِبْهُ؟ وَلَيْسَ يُشْبِهُ سَبَبَ مَا قَالَ؟ قَالَ: وَلَوْ حَلَفَ أَنْ لَا يَدْخُلَ بَيْتَ فُلَانٍ فَدَخَلَ بَيْتًا يَسْكُنُهُ فُلَانٌ بِكِرَاءٍ لَمْ يَحْنَثْ إلَّا بِأَنْ يَكُونَ نَوَى مَسْكَنَ فُلَانٍ فَيَحْنَثُ وَلَوْ حُمِلَ فَأُدْخِلَ فِيهِ لَمْ يَحْنَثْ إلَّا أَنْ يَكُونَ هُوَ أَمَرَهُمْ بِذَلِكَ تَرَاخَى أَوْ لَمْ يَتَرَاخَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ قَالَ: نَوَيْت شَهْرًا لَمْ يُقْبَلْ مِنْهُ فِي الْحُكْمِ إنْ حَلَفَ بِالطَّلَاقِ وَدِينَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak memakai baju seorang laki-laki yang diambil darinya, lalu ia menghadiahkan baju itu kepadanya, kemudian menjualnya dan membeli baju lain dengan harganya lalu memakainya, maka ia tidak melanggar sumpah kecuali jika memakai baju yang ia bersumpah atasnya secara spesifik. Sesungguhnya aku melihat kepada maksud sumpah, kemudian aku menyatakan pelanggaran atau pembebasan sumpah bagi pemiliknya. Hal itu karena sebab-sebab telah ada sebelumnya, sedangkan sumpah-sumpah setelahnya adalah hal baru yang mungkin sesuai atau bertentangan dengannya. Maka aku menyatakan pelanggaran berdasarkan maksud sumpahnya. Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang berkata: “Aku telah menghadiahkan hartaku kepadanya,” lalu ia bersumpah akan memukulnya, bukankah ia melanggar sumpah jika tidak memukulnya? Padahal itu tidak mirip dengan sebab yang ia sebutkan? Dikatakan: Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke rumah si Fulan, lalu ia masuk ke sebuah rumah yang disewa oleh si Fulan, maka ia tidak melanggar sumpah kecuali jika ia berniat memasuki tempat tinggal si Fulan, maka ia melanggar. Dan jika ia diangkat lalu dimasukkan ke dalamnya, ia tidak melanggar kecuali jika ia memerintahkan hal itu, baik dengan penundaan atau tanpa penundaan. (Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata): Dan jika ia berkata: “Aku berniat sebulan,” maka tidak diterima dalam hukum jika ia bersumpah dengan talak dan agama dalam urusan antara dirinya dan Allah ‘Azza wa Jalla.

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَدْخُلُ عَلَى فُلَانٍ بَيْتًا فَدَخَلَ عَلَى رَجُلٍ غَيْرِهِ بَيْتًا فَوَجَدَ الْمَحْلُوفَ عَلَيْهِ فِيهِ لَمْ يَحْنَثْ لِأَنَّهُ لَمْ يَدْخُلْ عَلَى ذَلِكَ وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ فِي الْبَيْتِ فَدَخَلَ عَلَيْهِ حَنِثَ فِي قَوْلِ مَنْ يَحْنَثُ عَلَى غَيْرِ النِّيَّةِ وَلَا يَرْفَعُ الْخَطَأَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَدْ سَوَّى الشَّافِعِيُّ فِي الْحِنْثِ بَيْنَ مَنْ حَلَفَ فَفَعَلَ عَمْدًا أَوْ خَطَأً.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak memasuki rumah si fulan, lalu ia memasuki rumah orang lain dan menemukan orang yang disebut dalam sumpah di dalamnya, maka ia tidak melanggar sumpah karena ia tidak memasuki rumah orang tersebut. Namun, jika ia tahu bahwa orang itu ada di dalam rumah lalu memasukinya, maka ia melanggar sumpah menurut pendapat yang menyatakan pelanggaran sumpah berlaku tanpa memandang niat dan tidak mengangkat kesalahan (Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata): “Imam Syafi’i menyamakan dalam pelanggaran sumpah antara orang yang bersumpah lalu melakukan dengan sengaja atau tidak sengaja.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ حَلَفَ لَيَأْكُلَن هَذَا الطَّعَامَ غَدًا فَهَلَكَ قَبْلَ غَدٍ لَمْ يَحْنَثْ لِلْإِكْرَاهِ، قَالَ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ {مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ} النحل: 106 فَعَقَلْنَا أَنَّ قَوْلَ الْمُكْرَهِ كَمَا لَمْ يَكُنْ فِي الْحُكْمِ وَعَقَلْنَا أَنَّ الْإِكْرَاهَ هُوَ أَنْ يَغْلِبَ بِغَيْرِ فِعْلٍ مِنْهُ فَإِذَا تَلِفَ مَا حَلَفَ عَلَيْهِ لَيَفْعَلَنَّ فِيهِ شَيْئًا بِغَيْرِ فِعْلٍ مِنْهُ فَهُوَ فِي أَكْثَرَ مِنْ الْإِكْرَاهِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seandainya seseorang bersumpah bahwa dia akan memakan makanan ini besok, lalu makanan itu rusak sebelum besok, maka dia tidak dianggap melanggar sumpah karena unsur paksaan. Allah Jalla wa ‘Azza berfirman: ‘Barangsiapa yang kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman’ (QS. An-Nahl: 106). Maka kami memahami bahwa perkataan orang yang dipaksa itu seperti tidak ada dalam hukum, dan kami memahami bahwa paksaan itu adalah ketika dia dikalahkan tanpa ada tindakan darinya. Jika sesuatu yang dia bersumpah untuk melakukan suatu tindakan terhadapnya rusak tanpa ada tindakan darinya, maka itu lebih dari sekadar paksaan.”

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَيَقْضِيَنَّهُ حَقَّهُ لِوَقْتٍ إلَّا أَنْ يَشَاءَ أَنْ يُؤَخِّرَهُ فَمَاتَ قَبْلَ يَشَاءُ أَنْ يُؤَخِّرَهُ أَنَّهُ لَا حِنْثَ عَلَيْهِ وَكَذَلِكَ لَوْ قَالَ: إلَّا أَنْ يَشَاءَ فُلَانٌ فَمَاتَ فُلَانٌ الَّذِي جَعَلَ الْمَشِيئَةَ إلَيْهِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا غَلَطٌ لَيْسَ فِي مَوْتِهِ مَا يَمْنَعُ إمْكَانَ بِرِّهِ وَأَصْلُ قَوْلِهِ: إنْ أَمْكَنَهُ الْبِرُّ فَلَمْ يَفْعَلْ حَتَّى فَاتَهُ الْإِمْكَانُ أَنَّهُ يَحْنَثُ وَقَدْ قَالَ: لَوْ حَلَفَ لَا يَدْخُلُ الدَّارَ إلَّا بِإِذْنِ فُلَانٍ فَمَاتَ الَّذِي جَعَلَ الْإِذْنَ إلَيْهِ أَنَّهُ إنْ دَخَلَهَا حَنِثَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) وَهَذَا وَذَاكَ سَوَاءٌ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk menunaikan haknya pada waktu tertentu kecuali jika ia berkehendak untuk menundanya, lalu ia meninggal sebelum berkehendak menundanya, maka tidak ada pelanggaran sumpah atasnya. Demikian pula jika ia berkata: “Kecuali jika si fulan berkehendak,” lalu si fulan yang dijadikan pemegang kehendak itu meninggal. (Al-Muzanni berkata): Ini keliru, karena kematiannya tidak menghalangi kemungkinan menunaikan kebaikan. Asal perkataannya adalah: Jika memungkinkan untuk berbuat baik tetapi tidak dilakukan hingga kesempatan itu hilang, maka ia melanggar sumpah. Dan ia juga berkata: Jika seseorang bersumpah tidak akan masuk ke rumah kecuali dengan izin si fulan, lalu orang yang dijadikan pemberi izin itu meninggal, maka jika ia masuk ke rumah itu, ia melanggar sumpah. (Al-Muzanni berkata): Ini dan itu sama saja.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ حَلَفَ لَيَقْضِيَنَّهُ عِنْدَ رَأْسِ الْهِلَالِ أَوْ إلَى رَأْسِ الْهِلَالِ فَرَأَى فِي اللَّيْلَةِ الَّتِي يُهِلُّ فِيهَا الْهِلَالُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ قَالَ فِي الَّذِي حَلَفَ لَيَقْضِيَنَّهُ إلَى رَمَضَانَ فَهَلْ إنَّهُ حَانِثٌ؛ لِأَنَّهُ حَدٌّ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا أَصَحُّ كَقَوْلِهِ: إلَى اللَّيْلِ، فَإِذَا جَاءَ اللَّيْلُ حَنِثَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seandainya seseorang bersumpah untuk melunasi hutangnya saat munculnya hilal atau hingga munculnya hilal, lalu ia melihat hilal pada malam pertama kemunculannya.” (Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Dan beliau juga berpendapat tentang orang yang bersumpah untuk melunasi hutangnya hingga Ramadhan, apakah ia telah melanggar sumpah? Karena itu adalah batas waktu.” (Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Ini lebih tepat, seperti perkataannya: ‘Hingga malam tiba,’ maka ketika malam tiba, ia telah melanggar sumpah.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ قَالَ إلَى حِينٍ فَلَيْسَ بِمَعْلُومٍ؛ لِأَنَّهُ يَقَعُ عَلَى مُدَّةِ الدُّنْيَا وَيَوْمٍ، وَالْفُتْيَا أَنْ يُقَالَ لَهُ: الْوَرَعُ لَك أَنْ تَقْضِيَهُ قَبْلَ انْقِضَاءِ يَوْمٍ؛ لِأَنَّ الْحِينَ يَقَعُ عَلَيْهِ مِنْ حِينِ حَلَفْت وَلَا نُحْنِثُك أَبَدًا لِأَنَّا لَا نَعْلَمُ لِلْحِينِ غَايَةً، وَكَذَلِكَ زَمَانٌ وَدَهْرٌ وَأَحْقَابٌ وَكُلُّ كَلِمَةٍ مُفْرَدَةٍ لَيْسَ لَهَا ظَاهِرٌ يَدُلُّ عَلَيْهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang mengatakan ‘sampai suatu ketika,’ maka itu tidaklah jelas karena bisa mencakup masa dunia atau sehari. Fatwanya adalah dikatakan kepadanya: ‘Sikap wara’ bagimu adalah menunaikannya sebelum berakhirnya sehari,’ karena ‘suatu ketika’ dihitung sejak saat engkau bersumpah. Dan kami tidak akan membatalkan sumpahmu selamanya karena kami tidak mengetahui batasan ‘suatu ketika.’ Demikian pula kata ‘zaman,’ ‘masa,’ ‘abad,’ dan setiap kata tunggal yang tidak memiliki makna jelas yang menunjukkannya.”

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَشْتَرِي فَأَمَرَ غَيْرَهُ أَوْ لَا يُطَلِّقُ فَجَعَلَ طَلَاقَهَا إلَيْهَا فَطَلُقَتْ أَوْ لَا يَضْرِبُ عَبْدَهُ فَأَمَرَ غَيْرَهُ فَضَرَبَهُ لَا يَحْنَثُ إلَّا أَنْ يَكُونَ نَوَى ذَلِكَ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak membeli, lalu menyuruh orang lain melakukannya, atau bersumpah tidak akan menceraikan istrinya, lalu menyerahkan talaknya kepadanya sehingga ia menceraikan dirinya, atau bersumpah tidak akan memukul budaknya, lalu menyuruh orang lain memukulnya, maka ia tidak melanggar sumpah kecuali jika berniat demikian.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَنْ حَلَفَ لَا يَفْعَلُ فِعْلَيْنِ أَوْ لَا يَكُونُ أَمْرَانِ، لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى يَكُونَا جَمِيعًا وَحَتَّى يَأْكُلَ كُلَّ الَّذِي حَلَفَ أَنْ لَا يَأْكُلَهُ، وَلَوْ قَالَ: وَاَللَّهِ لَا أَشْرَبُ مَاءَ هَذِهِ الْإِدَاوَةِ أَوْ مَاءَ هَذَا النَّهْرِ لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى يَشْرَبَ مَاءَ الْإِدَاوَةِ كُلَّهُ وَلَا سَبِيلَ لَهُ إلَى شُرْبِ مَاءِ النَّهْرِ كُلِّهِ، وَلَوْ قَالَ مِنْ مَاءِ هَذِهِ الْإِدَاوَةِ أَوْ مِنْ مَاءِ هَذَا النَّهْرِ حَنِثَ إنْ شَرِبَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa bersumpah untuk tidak melakukan dua perbuatan atau tidak ada dua hal, maka ia tidak melanggar sumpah sampai keduanya terjadi dan sampai ia memakan semua yang ia sumpah untuk tidak memakannya. Seandainya ia berkata: “Demi Allah, aku tidak akan minum air dari bejana ini atau air sungai ini,” ia tidak melanggar sumpah sampai ia meminum seluruh air bejana tersebut, padahal tidak mungkin baginya untuk meminum seluruh air sungai. Namun, jika ia berkata: “Dari air bejana ini atau dari air sungai ini,” maka ia melanggar sumpah jika minum sedikit pun dari itu.

 

بَابُ مَنْ حَلَفَ عَلَى غَرِيمِهِ لَا يُفَارِقُهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ حَقَّهُ

 

Bab tentang orang yang bersumpah kepada orang yang berutang kepadanya bahwa dia tidak akan meninggalkannya sampai haknya dipenuhi

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: مَنْ حَلَفَ عَلَى غَرِيمِهِ لَا يُفَارِقُهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَ حَقَّهُ فَفَرَّ مِنْهُ لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُفَارِقْهُ وَلَوْ قَالَ: لَا أَفْتَرِقُ أَنَا وَأَنْتَ حَنِثَ، وَلَوْ أَفْلَسَ قَبْلَ أَنْ يُفَارِقَهُ أَوْ اسْتَوْفَى حَقَّهُ فِيمَا يَرَى فَوَجَدَ فِي دَنَانِيرِهِ زُجَاجًا أَوْ نُحَاسًا حَنِثَ فِي قَوْلِ مَنْ لَا يَطْرَحُ الْغَلَبَةَ وَالْخَطَأَ عَنْ النَّاسِ؛ لِأَنَّ هَذَا لَمْ يَعْمِدْهُ (قَالَ) : وَلَوْ أَخَذَ بِحَقِّهِ عَرَضًا فَإِنْ كَانَ قِيمَةَ حَقِّهِ لَمْ يَحْنَثْ وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ حَنِثَ إلَّا أَنْ يَنْوِيَ حَتَّى لَا يَبْقَى عَلَيْك مِنْ حَقِّي شَيْءٌ فَلَا يَحْنَثُ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Barangsiapa bersumpah atas debitur bahwa ia tidak akan berpisah darinya sampai haknya terpenuhi, lalu si debitur melarikan diri, maka ia tidak melanggar sumpah karena ia tidak berpisah darinya. Namun jika ia berkata, ‘Aku tidak akan berpisah darimu,’ lalu ia berpisah, maka ia melanggar sumpah. Jika si debitur bangkrut sebelum berpisah atau sebelum haknya terpenuhi menurut pandangannya, lalu ia menemukan kaca atau tembaga dalam dinar-dinarnya, maka ia melanggar sumpah menurut pendapat yang tidak mengecualikan kekeliruan dan kesalahan manusia, karena hal ini tidak disengaja.” (Imam Syafi’i) juga berkata: “Jika ia mengambil barang sebagai haknya, jika nilainya setara dengan haknya, ia tidak melanggar sumpah. Jika nilainya kurang, ia melanggar sumpah, kecuali jika ia berniat ‘sampai tidak ada lagi hakku padamu,’ maka ia tidak melanggar sumpah.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: لَيْسَ لِلْقِيمَةِ مَعْنًى؛ لِأَنَّ يَمِينَهُ إنْ كَانَتْ عَلَى عَيْنِ الْحَقِّ لَمْ يَبَرَّ إلَّا بِعَيْنِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى الْبَرَاءَةِ فَقَدْ بَرِئَ وَالْعَرْضُ غَيْرُ الْحَقِّ سَوَّى أَوْ لَمْ يُسَوِّ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Nilai tidak memiliki makna, karena jika sumpahnya berkaitan dengan hak yang spesifik, dia tidak akan terbebaskan kecuali dengan hak itu sendiri. Dan jika sumpahnya berkaitan dengan kebebasan (dari tuntutan), maka dia telah terbebas. Sedangkan tawaran selain hak, baik disetarakan atau tidak, tetap tidak sah.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: حَدُّ الْفِرَاقِ أَنْ يَتَفَرَّقَا عَنْ مَقَامِهِمَا الَّذِي كَانَا فِيهِ أَوْ مَجْلِسِهِمَا.

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Batas perpisahan adalah ketika keduanya berpisah dari tempat mereka berada atau majelis mereka.

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ حَلَفَ لَيَقْضِيَنَّهُ حَقَّهُ غَدًا فَقَضَاهُ الْيَوْمَ حَنِثَ؛ لِأَنَّ قَضَاءَهُ غَدًا غَيْرُ قَضَائِهِ الْيَوْمَ فَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ أَنْ لَا يَخْرُجَ غَدًا حَتَّى أَقْضِيَك حَقَّك فَقَدْ بَرَّ وَهَكَذَا لَوْ وَهَبَهُ لَهُ رَبُّ الْحَقِّ حَنِثَ إلَّا أَنْ يَكُونَ نَوَى أَنْ لَا يَبْقَى عَلَيَّ غَدًا مِنْ حَقِّك شَيْءٌ فَيَبَرُّ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seseorang bersumpah untuk membayar haknya besok, lalu ia membayarnya hari ini, maka ia telah melanggar sumpah. Karena membayar besok berbeda dengan membayar hari ini. Namun, jika niatnya adalah tidak akan meninggalkan hari esok sebelum membayar hakmu, maka ia telah memenuhi sumpahnya. Demikian pula, jika pemilik hak memberikannya sebagai hadiah, ia tetap melanggar sumpah, kecuali jika ia berniat bahwa tidak akan tersisa sedikit pun hakmu yang menjadi tanggunganku besok, maka ia telah memenuhi sumpahnya.”

 

بَابُ مَنْ حَلَفَ عَلَى امْرَأَتِهِ لَا تَخْرُجُ إلَّا بِإِذْنِهِ

 

Bab tentang orang yang bersumpah kepada istrinya untuk tidak keluar kecuali dengan izinnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مَنْ قَالَ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إنْ خَرَجْتِ إلَّا بِإِذْنِي أَوْ حَتَّى آذَنَ لَك فَهَذَا عَلَى مَرَّةٍ وَاحِدَةٍ وَإِذَا خَرَجَتْ بِإِذْنِهِ فَقَدْ بَرَّ وَلَا يَحْنَثُ ثَانِيَةً إلَّا أَنْ يَقُولَ: كُلَّمَا خَرَجْتِ إلَّا بِإِذْنِي فَهَذَا عَلَى كُلِّ مَرَّةٍ وَلَوْ أَذِنَ لَهَا وَأَشْهَدَ عَلَى ذَلِكَ فَخَرَجَتْ لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّهُ قَدْ أَذِنَ لَهَا، وَإِنْ لَمْ تَعْلَمْ كَمَا لَوْ كَانَ عَلَيْهِ حَقٌّ لِرَجُلٍ فَغَابَ أَوْ مَاتَ فَجَعَلَهُ صَاحِبُ الْحَقِّ فِي حِلٍّ بَرِئَ غَيْرَ أَنِّي أُحِبُّ لَهُ فِي الْوَرَعِ لَوْ أَحْنَثَ نَفْسَهُ؛ لِأَنَّهَا خَرَجَتْ عَاصِيَةً لَهُ عِنْدَ نَفْسِهَا وَإِنْ كَانَ قَدْ أَذِنَ لَهَا

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa berkata kepada istrinya, “Engkau tertalak jika keluar tanpa seizinku atau sampai aku mengizinkanmu,” maka ini berlaku untuk satu kali. Jika dia keluar dengan izinnya, maka dia telah memenuhi janji dan tidak melanggar sumpah kecuali jika dia berkata, “Setiap kali engkau keluar tanpa seizinku,” maka ini berlaku setiap kali. Sekalipun dia mengizinkannya dan menyaksikan hal itu, lalu sang istri keluar, dia tidak melanggar sumpah karena dia telah mengizinkannya, meskipun sang istri tidak tahu. Sebagaimana jika ada hak seseorang yang harus ditunaikan, lalu orang itu pergi atau meninggal, dan pemilik hak membebaskannya, maka dia terbebas. Namun, aku lebih suka jika dia menjaga kehati-hatian dengan menganggap dirinya melanggar sumpah, karena sang istri keluar dalam keadaan bermaksiat menurut persepsinya sendiri, meskipun dia telah mengizinkannya.

بَابُ مَنْ يُعْتَقُ مِنْ مَمَالِيكِهِ إذَا حَنِثَ

 

Bab tentang siapa yang harus dibebaskan dari budaknya jika melanggar sumpah

 

أَوْ حَلَفَ بِعِتْقِ عَبْدٍ فَبَاعَهُ ثُمَّ اشْتَرَاهُ وَغَيْرُ ذَلِكَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: مَنْ حَلَفَ بِعِتْقِ مَا يَمْلِكُ وَلَهُ أُمَّهَاتُ أَوْلَادٍ وَمُدَبَّرُونَ وَأَشْقَاصٌ مِنْ عَبِيدٍ عَتَقُوا عَلَيْهِ إلَّا الْمُكَاتَبَ إلَّا أَنْ يَنْوِيَهُ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّ الْمُكَاتَبَ خَارِجٌ مِنْ مِلْكِهِ بِمَعْنًى وَدَاخِلٌ فِيهِ بِمَعْنًى وَهُوَ مَحُولٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخْذِ مَالِهِ وَاسْتِخْدَامِهِ وَأَرْشِ الْجِنَايَةِ عَلَيْهِ وَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ فِي مَالِهِ وَلَا زَكَاةِ الْفِطْرِ فِي رَقِيقِهِ وَلَيْسَ كَذَا أُمُّ وَلَدِهِ وَلَا مُدَبَّرُهُ.

 

 

Atau jika seseorang bersumpah untuk memerdekakan budak lalu menjualnya kemudian membelinya kembali, dan selain itu (Asy-Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Barangsiapa bersumpah untuk memerdekakan apa yang dia miliki, dan dia memiliki ummahat aulad (budak wanita yang melahirkan anak tuannya), mudabbar (budak yang akan dimerdekakan setelah tuannya meninggal), atau bagian dari budak-budak yang dimerdekakan atasnya, kecuali mukatab (budak yang melakukan perjanjian pembebasan dengan tuannya), kecuali jika dia meniatkannya. Karena secara zahir, mukatab keluar dari kepemilikannya dalam satu makna dan masuk dalam kepemilikannya dalam makna lain. Dia berada di antara mengambil hartanya dan menggunakannya, serta diyat (denda) atas kejahatan yang dilakukannya. Tidak ada zakat atas hartanya, tidak pula zakat fitrah atas budaknya. Berbeda halnya dengan umm walad dan mudabbar.

 

 

وَلَوْ حَلَفَ بِعِتْقِ عَبْدِهِ لَيَضْرِبَنَّهُ غَدًا فَبَاعَهُ الْيَوْمَ فَلَمَّا مَضَى غَدٌ اشْتَرَاهُ فَلَا يَحْنَثُ؛ لِأَنَّ الْحِنْثَ إذَا وَقَعَ مَرَّةً لَمْ يَحْنَثْ ثَانِيَةً، وَلَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ: أَنْتَ حُرٌّ إنْ بِعْتُك فَبَاعَهُ بَيْعًا لَيْسَ بِبَيْعِ خِيَارٍ فَهُوَ حُرٌّ حِينَ عَقَدَ الْبَيْعَ وَإِنَّمَا زَعَمْته مِنْ قِبَلِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَعَلَ الْمُتَبَايِعَيْنِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، قَالَ وَتَفَرُّقُهُمَا بِالْأَبْدَانِ فَقَالَ: فَكَانَ لَوْ أَعْتَقَهُ عَتَقَ فَيُعْتَقُ بِالْحِنْثِ وَلَوْ قَالَ: إنْ زَوَّجْتُك أَوْ بِعْتُك فَأَنْتَ حُرٌّ، فَزَوَّجَهُ أَوْ بَاعَهُ بَيْعًا فَاسِدًا لَمْ يَحْنَثْ.

 

 

Dan seandainya dia bersumpah untuk memerdekakan budaknya jika dia memukulnya besok, lalu dia menjual budak itu hari ini, kemudian setelah besok harinya berlalu dia membelinya kembali, maka dia tidak melanggar sumpah. Karena pelanggaran sumpah jika terjadi sekali, tidak dianggap pelanggaran kedua kalinya. Dan seandainya dia berkata kepada budaknya, “Kamu merdeka jika aku menjualmu,” lalu dia menjualnya dengan jual beli yang bukan jual beli khiyar, maka budak itu merdeka saat akad jual beli dilakukan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan bahwa dua pihak yang berjual beli masih memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah. Dikatakan bahwa perpisahan mereka adalah dengan pisahnya badan. Maka dikatakan, seandainya dia memerdekakannya, maka budak itu merdeka, sehingga dia merdeka karena pelanggaran sumpah. Dan seandainya dia berkata, “Jika aku menikahkanmu atau menjualmu, maka kamu merdeka,” lalu dia menikahkannya atau menjualnya dengan jual beli yang fasid, maka dia tidak melanggar sumpah.

 

بَابُ جَامِعِ الْأَيْمَانِ الثَّانِي

Bab Kumpulan Sumpah yang Kedua

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَإِذَا حَلَفَ لَا يَأْكُلُ الرُّءُوسَ فَأَكَلَ رُءُوسَ الْحِيتَانِ أَوْ رُءُوسَ الطَّيْرِ أَوْ رُءُوسَ شَيْءٍ يُخَالِفُ رُءُوسَ الْغَنَمِ وَالْإِبِلِ وَالْبَقَرِ لَمْ يَحْنَثْ مِنْ قِبَلِ أَنَّ الَّذِي يَعْرِفُ النَّاسُ إذَا خُوطِبُوا بِأَكْلِ الرُّءُوسِ إنَّمَا هِيَ مَا وَصَفْنَا إلَّا أَنْ يَكُونَ بِلَادٌ لَهَا صَيْدٌ يَكْثُرُ كَمَا يَكْثُرُ لَحْمُ الْأَنْعَامِ فِي السُّوقِ وَتُمَيَّزُ رُءُوسُهَا فَيَحْنَثُ فِي رُءُوسِهَا، وَكَذَلِكَ الْبَيْضُ وَهُوَ بَيْضُ الدَّجَاجِ وَالْإِوَزِّ وَالنَّعَامِ الَّذِي يُزَايِلُ بَائِضَهُ حَيًّا فَأَمَّا بَيْضُ الْحِيتَانِ فَلَا يَكُونُ هَكَذَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seseorang bersumpah untuk tidak memakan kepala, lalu ia memakan kepala ikan, kepala burung, atau kepala sesuatu yang berbeda dengan kepala kambing, unta, atau sapi, maka sumpahnya tidak dilanggar. Hal ini karena yang dikenal masyarakat ketika dimaksudkan dengan ‘memakan kepala’ hanyalah yang telah kami sebutkan. Kecuali jika ada daerah yang memiliki hasil buruan yang banyak seperti daging ternak di pasar dan kepala-kepalanya dibedakan, maka sumpahnya dilanggar jika memakan kepala tersebut. Demikian pula dengan telur, yaitu telur ayam, bebek, dan burung unta yang induknya masih hidup. Adapun telur ikan, tidak termasuk dalam kategori ini.”

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَأْكُلُ لَحْمًا حَنِثَ بِلَحْمِ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالْوَحْشِ وَالطَّيْرِ؛ لِأَنَّهُ كُلُّهُ لَحْمٌ وَلَا يَحْنَثُ فِي لَحْمِ الْحِيتَانِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِالْأَغْلَبِ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak memakan daging, maka ia melanggar sumpahnya dengan memakan daging unta, sapi, kambing, hewan buruan, dan burung; karena semuanya adalah daging. Namun, ia tidak melanggar sumpah jika memakan daging ikan, karena ikan tidak termasuk yang dominan (dalam pengertian daging).

 

 

وَلَوْ حَلَفَ أَنْ لَا يَشْرَبَ سَوِيقًا فَأَكَلَهُ أَوْ لَا يَأْكُلَ خُبْزًا فَمَاثَّهُ فَشَرِبَهُ أَوْ لَا يَشْرَبَ شَيْئًا فَذَاقَهُ فَدَخَلَ بَطْنَهُ لَمْ يَحْنَثْ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak meminum sawiq lalu memakannya, atau tidak memakan roti lalu melarutkannya dan meminumnya, atau tidak meminum sesuatu lalu mencicipinya hingga masuk ke perutnya, maka ia tidak melanggar sumpah.

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَأْكُلُ سَمْنًا فَأَكَلَهُ بِالْخُبْزِ أَوْ بِالْعَصِيدَةِ أَوْ بِالسَّوِيقِ حَنِثَ؛ لِأَنَّ السَّمْنَ لَا يَكُونُ مَأْكُولًا إلَّا بِغَيْرِهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ جَامِدًا فَيَقْدِرُ عَلَى أَنْ يَأْكُلَهُ جَامِدًا مُفْرَدًا.

 

 

Jika seseorang bersumpah untuk tidak makan samin (lemak hewan), lalu ia memakannya dengan roti, bubur, atau sawiq (makanan dari gandum), maka ia melanggar sumpah. Karena samin tidak dimakan kecuali bersama makanan lain, kecuali jika ia keras dan bisa dimakan langsung dalam keadaan keras sendiri.

 

 

وَإِذَا حَلَفَ لَا يَأْكُلُ هَذِهِ التَّمْرَةَ فَوَقَعَتْ فِي تَمْرٍ فَإِنْ أَكَلَهُ إلَّا تَمْرَةً أَوْ هَلَكَتْ مِنْهُ تَمْرَةٌ لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ أَنَّهُ أَكَلَهَا وَالْوَرَعُ أَنْ يُحْنِثَ نَفْسَهُ.

 

 

Dan apabila seseorang bersumpah untuk tidak memakan kurma ini, lalu kurma itu tercampur dengan kurma lainnya, kemudian ia memakannya kecuali satu kurma atau ada kurma yang hilang darinya, ia tidak dianggap melanggar sumpah sampai ia benar-benar yakin bahwa ia telah memakannya. Namun, sikap wara’ adalah dengan menganggap dirinya telah melanggar sumpah.

 

 

وَإِذَا حَلَفَ أَنْ لَا يَأْكُلَ هَذِهِ الْحِنْطَةَ فَطَحَنَهَا أَوْ خَبَزَهَا أَوْ قَلَاهَا فَجَعَلَهَا سَوِيقًا لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْكُلْ مَا وَقَعَ عَلَيْهِ اسْمُ قَمْحٍ.

 

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak memakan gandum ini, lalu ia menggilingnya, membakarnya, atau memanggangnya, kemudian menjadikannya sawiq (tepung yang disangrai), maka ia tidak melanggar sumpah; karena ia tidak memakan sesuatu yang masih disebut sebagai gandum.

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَأْكُلُ لَحْمًا فَأَكَلَ شَحْمًا وَلَا شَحْمًا فَأَكَلَ لَحْمًا أَوْ رُطَبًا فَأَكَلَ تَمْرًا أَوْ تَمْرًا فَأَكَلَ رُطَبًا أَوْ زُبْدًا فَأَكَلَ لَبَنًا لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهَا غَيْرُ صَاحِبِهِ.

 

 

Jika seseorang bersumpah untuk tidak makan daging, lalu ia makan lemak, atau bersumpah tidak makan lemak lalu makan daging, atau bersumpah tidak makan kurma basah lalu makan kurma kering, atau bersumpah tidak makan kurma kering lalu makan kurma basah, atau bersumpah tidak makan mentega lalu makan susu, maka sumpahnya tidak dilanggar, karena masing-masing dari hal tersebut berbeda dengan yang lain.

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يُكَلِّمُ رَجُلًا ثُمَّ سَلَّمَ عَلَى قَوْمٍ وَالْمَحْلُوفُ عَلَيْهِ فِيهِمْ لَمْ يَحْنَثْ إلَّا أَنْ يَنْوِيَهُ، وَلَوْ كَتَبَ إلَيْهِ كِتَابًا أَوْ أَرْسَلَ إلَيْهِ رَسُولًا فَالْوَرَعُ أَنْ يَحْنَثَ وَلَا يُبَيِّنَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الرَّسُولَ وَالْكِتَابَ غَيْرُ الْكَلَامِ.

 

 

Seandainya seseorang bersumpah untuk tidak berbicara dengan seorang laki-laki, kemudian dia mengucapkan salam kepada sekelompok orang yang di dalamnya terdapat orang yang dimaksud dalam sumpah, maka dia tidak melanggar sumpah kecuali jika berniat demikian. Dan jika dia menulis surat kepadanya atau mengirim utusan, maka sikap wara’ adalah dia dianggap melanggar sumpah meskipun tidak menjelaskannya, karena utusan dan surat bukanlah berbicara secara langsung.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا عِنْدِي بِهِ وَبِالْحَقِّ أَوْلَى قَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {آيَتُكَ أَلا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا} مريم: 10 إلَى قَوْلِهِ {بُكْرَةً وَعَشِيًّا} مريم: 11 فَأَفْهَمَهُمْ مَا يَقُومُ مَقَامَ الْكَلَامِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ وَقَدْ احْتَجَّ الشَّافِعِيُّ بِأَنَّ الْهِجْرَةَ مُحَرَّمَةٌ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَلَوْ كَتَبَ أَوْ أَرْسَلَ إلَيْهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَى كَلَامِهِ لَمْ يُخْرِجْهُ هَذَا مِنْ الْهِجْرَةِ الَّتِي يَأْثَمُ بِهَا.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini menurutku lebih utama dengan kebenaran. Allah Jalla Tsanā’uhu berfirman: ‘Tandanya ialah bahwa engkau tidak akan berbicara dengan manusia selama tiga malam dengan sempurna’ (QS. Maryam: 10) hingga firman-Nya: ‘pagi dan petang’ (QS. Maryam: 11). Maka, Dia membuat mereka memahami sesuatu yang menggantikan ucapan, meskipun tidak berbicara. Asy-Syafi’i berargumen bahwa memboikot lebih dari tiga hari adalah haram. Seandainya ia menulis atau mengirim pesan kepadanya, sementara ia mampu berbicara, hal itu tidak mengeluarkannya dari boikot yang membuatnya berdosa.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَلَوْ كَانَ الْكِتَابُ كَلَامًا لَخَرَجَ بِهِ مِنْ الْهِجْرَةِ فَتَفَهَّمْ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Seandainya Al-Qur’an itu adalah ucapan (makhluk), niscaya ia akan keluar dari hijrah (status sebagai wahyu), maka pahamilah.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ حَلَفَ لَا يَرَى كَذَا إلَّا رَفَعَهُ إلَى قَاضٍ فَرَآهُ فَلَمْ يُمْكِنْهُ رَفْعُهُ إلَيْهِ حَتَّى مَاتَ ذَلِكَ الْقَاضِي لَمْ يَحْنَثْ حَتَّى يُمْكِنَهُ فَيُفَرِّطَ وَإِنْ عُزِلَ فَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ أَنْ يَرْفَعَهُ إلَيْهِ إنْ كَانَ قَاضِيًا فَلَا يَجِبُ رَفْعُهُ إلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ خَشِيت أَنْ يَحْنَثَ إنْ لَمْ يَرْفَعْهُ إلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang bersumpah untuk tidak melihat sesuatu kecuali mengajukannya kepada seorang hakim, lalu ia melihatnya tetapi tidak memungkinkan baginya untuk mengajukannya hingga hakim tersebut meninggal, maka ia tidak melanggar sumpah sampai memungkinkan baginya dan ia lalai. Jika hakim itu diberhentikan, maka jika niatnya adalah mengajukannya selama hakim itu masih menjabat, ia tidak wajib mengajukannya. Namun, jika tidak ada niat, aku khawatir ia melanggar sumpah jika tidak mengajukannya.”

 

وَلَوْ حَلَفَ مَالَهُ مَالٌ وَلَهُ عَرَضٌ أَوْ دَيْنٌ حَنِثَ إلَّا أَنْ يَكُونَ نَوَى غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَحْنَثُ.

 

Dan jika ia bersumpah bahwa hartanya adalah harta, padahal ia memiliki barang dagangan atau utang, maka ia melanggar sumpah, kecuali jika ia berniat selain itu, maka ia tidak melanggar sumpah.

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ حَلَفَ لَيَضْرِبَنَّ عَبْدَهُ مِائَةَ سَوْطٍ فَجَمَعَهَا فَضَرَبَهُ بِهَا فَإِنْ كَانَ يُحِيطُ الْعِلْمُ أَنَّهَا مَاسَّتْهُ كُلُّهَا بَرَّ وَإِنْ أَحَاطَ أَنَّهَا لَمْ تَمَاسَّهُ كُلُّهَا لَمْ يَبَرَّ وَإِنْ شَكَّ لَمْ يَحْنَثْ فِي الْحُكْمِ وَيَحْنَثُ فِي الْوَرَعِ، وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلا تَحْنَثْ} ص: 44 «وَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بأثكال النَّخْلِ فِي الزِّنَا» وَهَذَا شَيْءٌ مَجْمُوعٌ غَيْرَ أَنَّهُ إذَا ضَرَبَهُ بِهَا مَاسَّتْهُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ لَوْ حَلَفَ لَيَفْعَلَنَّ كَذَا لِوَقْتٍ إلَّا أَنْ يَشَاءَ فُلَانٌ فَإِنْ مَاتَ أَوْ غُيِّبَ عَنَّا حَتَّى مَضَى الْوَقْتُ حَنِثَ.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya seseorang bersumpah akan memukul budaknya seratus cambukan, lalu ia mengumpulkan cambuk itu dan memukulnya dengannya. Jika diketahui pasti bahwa semua cambukan mengenai budak tersebut, maka sumpahnya telah terpenuhi. Jika diketahui bahwa tidak semua cambukan mengenainya, maka sumpahnya tidak terpenuhi. Jika ragu, ia tidak dianggap melanggar sumpah secara hukum, tetapi dianggap melanggar dalam hal kehati-hatian.” Asy-Syafi’i berargumen dengan firman Allah Azza wa Jalla: “Ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah.” (QS. Shad: 44). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memukul dengan pelepah kurma dalam kasus zina. Ini adalah sesuatu yang dikumpulkan, namun jika ia memukulnya dan cambukan itu mengenai budak tersebut. (Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Ini bertentangan dengan pendapatnya bahwa jika seseorang bersumpah akan melakukan sesuatu pada waktu tertentu kecuali jika si fulan menghendaki, lalu si fulan meninggal atau hilang dari kita hingga waktu itu berlalu, maka ia dianggap melanggar sumpah.”

T

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya dia tidak menyebutkan ‘pukulan yang keras’, maka pukulan apa pun yang dia lakukan terhadapnya tidak dianggap melanggar sumpah, karena dia adalah orang yang memukulnya.”

 

 

وَلَوْ حَلَفَ لَا يَهَبُ لَهُ هِبَةً فَتَصَدَّقَ عَلَيْهِ أَوْ نَحَلَهُ أَوْ أَعْمَرَهُ فَهُوَ هِبَةٌ فَإِنْ أَسْكَنَهُ فَإِنَّمَا هِيَ عَارِيَّةٌ لَمْ يُمَلِّكْهُ إيَّاهَا فَمَتَى شَاءَ رَجَعَ فِيهَا وَكَذَلِكَ إنْ حَبَسَ عَلَيْهِ.

 

 

Dan jika ia bersumpah untuk tidak memberikan hibah kepadanya, lalu ia bersedekah kepadanya, atau memberikannya, atau memberinya hak pakai, maka itu dianggap hibah. Jika ia memberinya tempat tinggal, maka itu hanya pinjaman (ariyah) dan tidak memilikikannya, sehingga kapan saja ia bisa mengambilnya kembali. Demikian pula jika ia memberikannya sebagai hadiah.

 

وَلَوْ حَلَفَ أَنْ لَا يَرْكَبَ دَابَّةَ الْعَبْدِ فَرَكِبَ دَابَّةَ الْعَبْدِ لَمْ يَحْنَثْ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ لَهُ إنَّمَا اسْمُهَا مُضَافٌ إلَيْهِ.

 

Dan jika seseorang bersumpah untuk tidak menunggang hewan tunggangan budaknya, lalu dia menunggang hewan tunggangan budak tersebut, maka dia tidak melanggar sumpah; karena hewan itu bukan miliknya, melainkan namanya hanya disandarkan kepadanya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ: مَالِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ صَدَقَةٌ عَلَى مَعَانِي الْأَيْمَانِ فَمَذْهَبُ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – وَعِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَعَطَاءٍ وَالْقِيَاسُ أَنَّ عَلَيْهِ كَفَّارَةَ يَمِينٍ، وَقَالَ: مَنْ حَنِثَ فِي الْمَشْيِ إلَى بَيْتِ اللَّهِ فَفِيهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: قَوْلُ عَطَاءٍ كَفَّارَةُ يَمِينٍ وَمَذْهَبُهُ أَنَّ أَعْمَالَ الْبِرِّ لَا تَكُونُ إلَّا مَا فَرَضَ اللَّهُ أَوْ تَبَرُّرًا يُرَادُ بِهِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang berkata: ‘Hartaku di jalan Allah’ atau ‘Sedekah dengan makna sumpah’, maka menurut pendapat Aisyah – radhiyallahu ‘anha -, beberapa sahabat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam -, Atha’, dan qiyas, dia wajib membayar kafarat sumpah.” Dia juga berkata: “Barangsiapa yang melanggar sumpah dalam perjalanan ke Baitullah, maka ada dua pendapat: Pertama, pendapat Atha’ bahwa itu kafarat sumpah, dan mazhabnya menyatakan bahwa amal kebaikan tidaklah sah kecuali apa yang diwajibkan Allah atau bentuk ketaatan yang dimaksudkan untuk Allah azza wa jalla.”

(Asy-Syafi’i berkata): “At-tabarrur adalah apabila seseorang mengatakan, ‘Demi Allah, jika Dia menyembuhkanku, aku akan berhaji sebagai nadzar.’ Namun jika dia mengatakan, ‘Jika aku tidak menunaikan hakmu, maka aku wajib berjalan ke Baitullah,’ maka ini termasuk makna sumpah, bukan makna nadzar.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ قُطِعَ بِأَنَّهُ قَوْلُ عَدَدٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَالْقِيَاسُ وَقَدْ قَالَ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – telah dipastikan bahwa itu adalah pendapat sejumlah sahabat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dan qiyas. Dan dia telah menyebutkan dalam selain tempat ini.

 

 

لَوْ قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ نَذْرُ حَجٍّ إنْ شَاءَ فُلَانٌ فَشَاءَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ شَيْءٌ إنَّمَا النَّذْرُ مَا أُرِيدَ بِهِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ عَلَى مَعَانِي الْمُعَلَّقِ وَالشَّائِي غَيْرُ النَّاذِرِ.

 

 

Jika seseorang berkata, “Aku bernazar haji untuk Allah jika si fulan menghendaki,” lalu si fulan menghendaki, maka tidak ada kewajiban baginya. Sesungguhnya nazar itu adalah apa yang dimaksudkan untuk Allah Azza wa Jalla, bukan berdasarkan makna yang digantungkan atau kehendak selain orang yang bernazar.

 

بَابُ النُّذُورِ

 

Bab tentang Nadzar

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَنْ نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ إلَى بَيْتِ اللَّهِ لَزِمَهُ إنْ قَدَرَ عَلَى الْمَشْيِ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ رَكِبَ وَأَهْرَاقَ دَمًا احْتِيَاطًا مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ إذَا لَمْ يُطِقْ شَيْئًا سَقَطَ عَنْهُ وَلَا يَمْشِي أَحَدٌ إلَى بَيْتِ اللَّهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا، وَإِذَا نَذَرَ الْحَجَّ مَاشِيًا مَشَى حَتَّى يَحِلَّ لَهُ النِّسَاءُ ثُمَّ يَرْكَبَ وَإِذَا نَذَرَ أَنْ يَعْتَمِرَ مَاشِيًا مَشَى حَتَّى يَطُوفَ بِالْبَيْتِ وَيَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَيَحْلِقَ أَوْ يُقَصِّرَ وَلَوْ فَاتَهُ الْحَجُّ حَلَّ مَاشِيًا وَعَلَيْهِ حَجٌّ قَابِلٌ مَاشِيًا، وَلَوْ قَالَ: عَلَيَّ أَنْ أَمْشِيَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ الْمَشْيُ حَتَّى يَكُونَ بِرًّا فَإِنْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِي الْمَشْيِ إلَى غَيْرِ مَوَاضِعِ التَّبَرُّرِ بِرٌّ وَذَلِكَ مِثْلُ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَأُحِبُّ لَوْ نَذَرَ إلَى مَسْجِدِ الْمَدِينَةِ أَوْ إلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ أَنْ يَمْشِيَ وَاحْتَجَّ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إلَّا إلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى» وَلَا يَبِينُ لِي أَنْ يَجِبَ كَمَا يَبِينُ لِي أَنَّ وَاجِبًا الْمَشْيُ إلَى بَيْتِ اللَّهِ وَذَلِكَ أَنَّ الْبِرَّ بِإِتْيَانِ بَيْتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرْضٌ وَالْبِرُّ بِإِتْيَانِ هَذَيْنِ نَافِلَةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Barangsiapa bernazar untuk berjalan ke Baitullah, maka wajib baginya melakukannya jika mampu berjalan. Jika tidak mampu, ia boleh berkendaraan dan menyembelih hewan sebagai bentuk kehati-hatian, karena jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu, kewajiban itu gugur darinya. Tidak ada yang berjalan ke Baitullah kecuali jika ia sedang haji atau umrah. Jika seseorang bernazar untuk haji dengan berjalan kaki, maka ia harus berjalan sampai dihalalkan baginya berhubungan dengan istri, kemudian ia boleh berkendaraan. Jika bernazar untuk umrah dengan berjalan kaki, ia harus berjalan sampai thawaf di Baitullah, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta mencukur atau memendekkan rambut. Jika ia terlewat dari haji, ia boleh bertahallul dengan berjalan kaki, namun wajib baginya menunaikan haji pada tahun berikutnya dengan berjalan kaki. Jika seseorang berkata, “Aku wajib berjalan,” maka tidak ada kewajiban berjalan kecuali jika itu merupakan bentuk ketaatan. Jika tidak berniat sesuatu, maka tidak ada kewajiban baginya, karena berjalan ke selain tempat-tempat ibadah bukanlah bentuk ketaatan, seperti Masjidil Haram. Aku menyukai jika seseorang bernazar untuk berjalan ke Masjid Madinah atau Baitul Maqdis, dan berdalil dengan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-: “Tidak boleh melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsa.” Namun, tidak jelas bagiku bahwa itu wajib sebagaimana jelas bagiku bahwa berjalan ke Baitullah adalah wajib, karena ketaatan dengan mendatangi Baitullah adalah wajib, sedangkan ketaatan dengan mendatangi kedua masjid tersebut adalah sunnah.

 

وَلَوْ نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ إلَى مَسْجِدِ مِصْرَ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ.

 

Dan seandainya dia bernazar untuk berjalan ke masjid Mesir, tidak wajib baginya.

 

 

وَلَوْ نَذَرَ أَنْ يَنْحَرَ بِمَكَّةَ لَمْ يُجْزِئْهُ بِغَيْرِهَا وَلَوْ نَذَرَ أَنْ يَنْحَرَهُ بِغَيْرِهَا لَمْ يُجْزِئْهُ إلَّا حَيْثُ نَذَرَ؛ لِأَنَّهُ وَجَبَ لِمَسَاكِينِ ذَلِكَ الْبَلَدِ.

 

 

Jika seseorang bernazar untuk menyembelih di Makkah, maka tidak sah dilakukan di tempat lain. Dan jika ia bernazar untuk menyembelih di selain Makkah, maka tidak sah kecuali di tempat yang dinazarkannya, karena (hewan sembelihan itu) wajib diberikan kepada fakir miskin di daerah tersebut.

 

 

وَإِذَا نَذَرَ أَنْ يَأْتِيَ إلَى مَوْضِعٍ مِنْ الْحَرَمِ مَاشِيًا أَوْ رَاكِبًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَأْتِيَ الْحَرَمَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا.

 

 

Dan apabila seseorang bernazar untuk datang ke suatu tempat di Haram dengan berjalan kaki atau berkendaraan, maka wajib baginya datang ke Haram sebagai haji atau umrah.

 

 

وَلَوْ نَذَرَ أَنْ يَأْتِيَ عَرَفَةَ أَوْ مَرًّا أَوْ مِنًى أَوْ قَرِيبًا مِنْ الْحَرَمِ لَمْ يَلْزَمْهُ.

 

 

Dan jika ia bernazar untuk datang ke Arafah, atau Marwa, atau Mina, atau dekat dengan tanah haram, maka tidak wajib baginya.

 

 

وَلَوْ نَذَرَ أَنْ يُهْدِيَ مَتَاعًا لَمْ يُجْزِئْهُ إلَّا أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهِ عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ فَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ أَنْ يُعَلِّقَهُ سِتْرًا عَلَى الْبَيْتِ أَوْ يَجْعَلَهُ فِي طِيبِ الْبَيْتِ جَعَلَهُ حَيْثُ نَوَاهُ إذَا نَذَرَ أَنْ يُهْدِيَ مَا لَا يُحْمَلُ مِنْ الْأَرَضِينَ وَالدُّورِ بَاعَ ذَلِكَ وَأَهْدَى ثَمَنَهُ.

 

 

Dan jika seseorang bernazar untuk menghadiahkan suatu barang, itu tidak cukup baginya kecuali ia menyedekahkannya kepada fakir miskin Haram. Jika niatnya adalah menggantungkannya sebagai tirai di Ka’bah atau menjadikannya sebagai wewangian Ka’bah, maka ia boleh meletakkannya sesuai niatnya. Jika ia bernazar menghadiahkan sesuatu yang tidak dapat dibawa, seperti tanah atau rumah, ia boleh menjualnya dan menghadiahkan harganya.

 

 

وَمَنْ نَذَرَ بَدَنَةً لَمْ يُجْزِئْهُ إلَّا ثَنِيٌّ أَوْ ثَنِيَّةٌ، وَالْخَصِيُّ يُجْزِي وَإِذَا لَمْ يَجِدْ بَدَنَةً فَبَقَرَةً ثَنِيَّةً، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَسَبْعٌ مِنْ الْغَنَمِ تُجْزِي ضَحَايَا وَإِنْ كَانَتْ نِيَّتُهُ عَلَى بَدَنَةٍ مِنْ الْإِبِلِ لَمْ يُجْزِئْهُ مِنْ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ إلَّا بِقِيمَتِهَا.

 

 

Barangsiapa bernazar untuk menyembelih unta, maka tidak sah kecuali dengan unta yang sudah berumur lima tahun (tsaniyy) atau enam tahun (tsaniyyah), dan yang dikebiri juga sah. Jika tidak menemukan unta, maka dengan sapi betina yang sudah berumur dua tahun. Jika tidak menemukan sapi, maka tujuh ekor kambing yang sah untuk kurban. Jika niatnya adalah untuk unta, maka tidak sah dengan sapi atau kambing kecuali dengan nilai yang setara.

 

 

وَلَوْ نَذَرَ عَدَدَ صَوْمٍ صَامَهُ مُتَفَرِّقًا أَوْ مُتَتَابِعًا، وَلَوْ نَذَرَ صِيَامَ سَنَةٍ بِعَيْنِهَا صَامَهَا إلَّا رَمَضَانَ فَإِنَّهُ يَصُومُهُ لِرَمَضَانَ وَيَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَأَيَّامَ التَّشْرِيقِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ فِيهَا، وَإِنْ نَذَرَ سَنَةً بِغَيْرِ عَيْنِهَا قَضَى هَذِهِ الْأَيَّامَ كُلَّهَا.

 

 

Dan jika seseorang bernazar untuk berpuasa sejumlah hari tertentu, baik secara terpisah maupun berturut-turut, atau bernazar berpuasa selama satu tahun tertentu, maka ia harus berpuasa kecuali pada bulan Ramadan. Ia harus berpuasa Ramadan karena Ramadan, juga pada hari Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari Tasyriq, tanpa kewajiban mengqadanya. Namun jika ia bernazar berpuasa selama satu tahun tanpa menentukan tahun tertentu, maka ia harus mengqada semua hari-hari tersebut.

 

 

وَإِنْ قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَحُجَّ عَامِي هَذَا فَحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ عَدُوٌّ أَوْ سُلْطَانٌ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَإِنْ حَدَثَ بِهِ مَرَضٌ أَوْ خَطَأُ عَدَدٍ أَوْ نِسْيَانٌ أَوْ تَوَانٍ قَضَاهُ.

 

 

Dan jika seseorang berkata, “Aku wajib berhaji untuk Allah tahun ini,” lalu terhalang oleh musuh atau penguasa, maka tidak ada kewajiban menggantinya. Namun jika ia terhalang karena sakit, kesalahan hitung, lupa, atau kelalaian, ia wajib mengqadhanya.

 

 

وَلَوْ قَالَ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَصُومَ الْيَوْمَ الَّذِي يَقْدَمُ فِيهِ فُلَانٌ فَقَدِمَ لَيْلًا فَلَا صَوْمَ عَلَيْهِ وَأُحِبُّ لَوْ صَامَ صَبِيحَتَهُ، وَلَوْ قَدِمَ نَهَارًا هُوَ فِيهِ صَائِمٌ تَطَوُّعًا كَانَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهُ؛ لِأَنَّهُ نَذْرٌ وَقَدْ يَحْتَمِلُ الْقِيَاسُ أَنْ لَا يَكُونَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ لَا يَصْلُحُ بِأَنْ يَكُونَ فِيهِ صَائِمًا عَنْ نَذْرِهِ.

 

 

Dan jika seseorang berkata, “Aku bernazar kepada Allah untuk berpuasa pada hari ketika si fulan datang,” lalu fulan tersebut datang pada malam hari, maka tidak ada kewajiban puasa baginya. Namun, aku lebih suka jika ia berpuasa pada keesokan harinya. Jika fulan datang pada siang hari sementara ia sedang berpuasa sunnah, maka ia wajib mengqadhanya karena itu adalah nazar. Namun, menurut qiyas, mungkin ia tidak wajib mengqadha karena hari itu tidak sah untuk berpuasa nazarnya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) يَعْنِي أَنَّهُ لَا صَوْمَ لِنَذْرِهِ إلَّا بِنِيَّةٍ قَبْلَ الْفَجْرِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ سَبِيلٌ إلَى أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ عَلَيْهِ صَوْمًا إلَّا بَعْدَ مَقْدِمِهِ (قَالَ الْمُزَنِيّ) قَضَاؤُهُ عِنْدِي أَوْلَى بِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) maksudnya bahwa tidak ada puasa untuk nadzarnya kecuali dengan niat sebelum fajar, dan dia tidak memiliki cara untuk mengetahui bahwa dia memiliki kewajiban puasa kecuali setelah kedatangannya. (Al-Muzani berkata) menurutku, mengqadhanya lebih utama baginya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَكَذَلِكَ الْحَجُّ إذَا أَمْكَنَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعَيْنِهِ فَلَمْ يَسْقُطْ بِعَجْزِهِ عَنْهُ بِمَرَضِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Demikian pula haji, jika memungkinkan baginya sebelum kematiannya. Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan puasa bulan Ramadhan secara spesifik, maka tidak gugur karena ketidakmampuannya untuk berpuasa akibat sakitnya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ اللَّهُ {فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ} البقرة: 184 وَأَجْمَعُوا أَنَّهُ لَوْ أُغْمِيَ عَلَيْهِ الشَّهْرَ كُلَّهُ فَلَمْ يَعْقِلْ فِيهِ أَنَّ عَلَيْهِ قَضَاءَهُ، وَالنَّذْرُ عِنْدَهُ وَاجِبٌ فَقَضَاؤُهُ إذَا أَمْكَنَهُ وَإِنْ ذَهَبَ وَقْتُهُ وَاجِبٌ وَقَدْ قَطَعَ بِهَذَا الْقَوْلِ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Allah berfirman {maka (wajib mengganti) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain} QS. Al-Baqarah: 184. Mereka telah sepakat bahwa jika seseorang pingsan sebulan penuh sehingga tidak sadar, maka ia wajib mengqadhanya. Dan nazar menurutnya adalah wajib, maka menunaikannya ketika memungkinkan meski waktunya telah lewat adalah wajib. Ia telah menegaskan pendapat ini di tempat lain.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَصْبَحَ فِيهِ صَائِمًا مِنْ نَذْرٍ غَيْرِ هَذَا أَحْبَبْت أَنْ يَعُودَ لِصَوْمِهِ لِنَذْرِهِ وَيَعُودَ لِصَوْمِهِ لِقُدُومِ فُلَانٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya dia memasuki pagi hari dalam keadaan berpuasa karena nazar selain ini, aku lebih suka agar dia kembali melanjutkan puasanya untuk nazarnya dan kembali melanjutkan puasanya untuk kedatangan si fulan.”

 

 

وَلَوْ نَذَرَ أَنْ يَصُومَ الْيَوْمَ الَّذِي يَقْدَمُ فِيهِ فُلَانٌ أَبَدًا فَقَدِمَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ فَعَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ كُلَّ اثْنَيْنِ يَسْتَقْبِلَهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى أَوْ تَشْرِيقٍ فَلَا يَصُومُهُ وَلَا يَقْضِيهِ، وَقَالَ فِي كِتَابِ الصَّوْمِ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ.

 

 

Dan jika seseorang bernazar untuk berpuasa pada hari tertentu ketika si fulan datang selamanya, lalu si fulan datang pada hari Senin, maka ia wajib berpuasa setiap Senin yang ia temui kecuali jika hari itu adalah hari raya Idul Fitri, Idul Adha, atau hari Tasyriq, maka ia tidak berpuasa dan tidak perlu mengqadhanya. Dan dalam kitab puasa disebutkan bahwa ia wajib mengqadha puasanya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَا قَضَاءَ أَشْبَهَ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِوَقْتٍ لِصَوْمٍ عِنْدَهُ لِفَرْضٍ وَلَا لِغَيْرِهِ وَإِنْ نَذَرَ صَوْمَهَا نَذْرَ مَعْصِيَةٍ، وَكَذَلِكَ لَا يَقْضِي نَذْرَ مَعْصِيَةٍ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Tidak ada qadha yang lebih mirip dengan pendapatnya; karena hari itu bukan waktu untuk puasa menurutnya, baik puasa wajib maupun lainnya. Jika seseorang bernazar untuk berpuasa pada hari itu sebagai nazar maksiat, maka demikian pula nazar maksiat tidak perlu diqadha.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ وَجَبَ عَلَيْهِ صَوْمُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ صَامَهُمَا وَقَضَى كُلَّ اثْنَيْنِ فِيهِمَا وَلَا يُشْبِهُ شَهْرَ رَمَضَانَ؛ لِأَنَّ هَذَا شَيْءٌ أَدْخَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ بَعْدَمَا وَجَبَ عَلَيْهِ صَوْمُ الِاثْنَيْنِ وَشَهْرُ رَمَضَانَ أَوْجَبَ اللَّهُ عَلَيْهِ لَا بِشَيْءٍ أَدْخَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ، وَلَوْ كَانَ النَّاذِرُ امْرَأَةً فَهِيَ كَالرَّجُلِ وَتَقْضِي كُلَّ مَا مَرَّ عَلَيْهَا مِنْ حَيْضِهَا وَلَوْ قَالَتْ: لِلَّهِ عَلَيَّ أَنْ أَصُومَ أَيَّامَ حَيْضِي فَلَا يَلْزَمُهَا شَيْءٌ؛ لِأَنَّهَا نَذَرَتْ مَعْصِيَةً.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seseorang diwajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut, ia harus menunaikannya dan mengqadha setiap dua hari di dalamnya, dan ini tidak sama dengan bulan Ramadan. Karena ini adalah sesuatu yang ia bebankan pada dirinya sendiri setelah kewajiban puasa dua hari (tertentu) padanya, sedangkan bulan Ramadan adalah kewajiban dari Allah tanpa sesuatu yang ia bebankan pada dirinya sendiri. Jika yang bernazar adalah seorang wanita, maka hukumnya sama seperti laki-laki, dan ia harus mengqadha setiap hari yang ia lewati selama haidnya. Namun jika ia berkata: ‘Aku bernazar untuk berpuasa pada hari-hari haidku,’ maka tidak ada kewajiban baginya, karena ia telah bernazar untuk melakukan maksiat.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنْ لَا يَقْضِيَ نَذْرَ مَعْصِيَةٍ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – ini menunjukkan bahwa tidak boleh memenuhi nazar maksiat.

 

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Jika seseorang bernazar untuk puasa atau shalat tanpa menentukan jumlahnya, maka minimal yang wajib baginya adalah dua rakaat untuk shalat dan satu hari untuk puasa.”

 

وَلَوْ نَذَرَ عِتْقَ رَقَبَةٍ فَأَيُّ رَقَبَةٍ أَعْتَقَ أَجْزَأَهُ.

 

Dan jika dia bernazar untuk memerdekakan seorang budak, maka budak mana pun yang dimerdekakannya, itu sudah mencukupinya.

 

وَلَوْ قَالَ رَجُلٌ لِآخَرَ: يَمِينِي فِي يَمِينِك، فَحَلَفَ فَالْيَمِينُ عَلَى الْحَالِفِ دُونَ صَاحِبِهِ.

 

Dan jika seseorang berkata kepada orang lain, “Sumpahku ada dalam sumpahmu,” lalu dia bersumpah, maka sumpah itu berlaku bagi yang bersumpah, bukan bagi temannya.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدٍ فِي الْمَشْيِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ عَنْ زَيْدٍ وَابْنِ عُمَرَ وَحَفْصَةَ وَمَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ وَالْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ وَالْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ الْجَوْزِيِّ وَرِوَايَةٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ وَالْحَسَنِ وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ: لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ أَصْلًا وَعَطَاءٌ وَشَرِيكٌ وَسَمِعْته يَقُولُ: ذَلِكَ وَذَكَرَ عَنْ اللَّيْثِ كَفَّارَةَ يَمِينٍ فِي ذَلِكَ كُلِّهِ إلَّا سَعِيدًا فَإِنَّهُ قَالَ: لَا كَفَّارَةَ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: Ali bin Ma’bad mengatakan kepadaku bahwa berjalan sebagai kafarat sumpah diriwayatkan dari Zaid, Ibnu Umar, Hafshah, Maimun bin Mihran, Al-Qasim bin Muhammad, Al-Hasan, Abdullah bin Umar Al-Jauzi, dan sebuah riwayat dari Muhammad bin Al-Hasan serta Al-Hasan. Said bin Al-Musayyab berkata: “Tidak ada kafarat sama sekali.” Sementara Atha’ dan Syarik berpendapat demikian. Aku juga mendengar dia (Al-Muzani) menyebutkan dari Al-Laits tentang kafarat sumpah dalam semua hal tersebut kecuali Said, karena ia berpendapat: “Tidak ada kafarat.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحَجَبِيِّ عَنْ أُمِّهِ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ أَنَّ ابْنَ عَمٍّ لَهَا جَعَلَ مَالَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ فِي رِتَاجِ الْكَعْبَةِ فَقَالَتْ: قَالَتْ عَائِشَةُ هِيَ يَمِينٌ يُكَفِّرُهَا مَا يُكَفِّرُ الْيَمِينَ وَحَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ الْمُثَنَّى بْنِ الصَّبَّاحِ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ فِيمَنْ جَعَلَ مَالَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَمِينٌ يُكَفِّرُهَا مَا يُكَفِّرُ الْيَمِينَ قَالَ الْحُمَيْدِيُّ وَسَمِعْت الشَّافِعِيَّ وَسُفْيَانَ يُفْتِيَانِ بِهِ. قَالَ الْحُمَيْدِيُّ وَهُوَ قَوْلِي.

 

 

(Al-Muzani berkata) Al-Humaidi menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami dari Manshur bin Abdurrahman Al-Hajabi dari ibunya, Shafiyyah binti Syaibah, bahwa sepupunya menjadikan hartanya di jalan Allah atau untuk pintu Ka’bah. Lalu Shafiyyah berkata: Aisyah berkata, “Itu adalah sumpah yang bisa ditebus dengan apa yang menebus sumpah.” Dan Al-Humaidi menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Rawwad menceritakan kepada kami dari Al-Mutsanna bin Ash-Shabbah dari Amr bin Syu’aib dari Sa’id bin Al-Musayyib bahwa Umar bin Al-Khaththab berkata tentang orang yang menjadikan hartanya di jalan Allah, “Itu adalah sumpah yang bisa ditebus dengan apa yang menebus sumpah.” Al-Humaidi berkata, “Aku juga mendengar Asy-Syafi’i dan Sufyan memberikan fatwa seperti itu.” Al-Humaidi berkata, “Itu juga pendapatku.”

كِتَابُ أَدَبِ الْقَاضِي

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أُحِبُّ أَنْ يَقْضِيَ الْقَاضِي فِي مَوْضِعٍ بَارِزٍ لِلنَّاسِ لَا يَكُونُ دُونَهُ حِجَابٌ وَأَنْ يَكُونَ فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ لِكَثْرَةِ الْغَاشِيَةِ وَالْمُشَاتَمَةِ بَيْنَ الْخُصُومِ فِي أَرْفَقِ الْأَمَاكِنِ بِهِ وَأَحْرَاهَا أَنْ لَا تُسْرِعَ مَلَالَتُهُ فِيهِ وَأَنَا لِإِقَامَةِ الْحَدِّ فِي الْمَسْجِدِ أَكْرَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Aku suka jika seorang hakim memutuskan perkara di tempat yang terbuka bagi orang-orang, tanpa ada tabir yang menghalanginya, dan hendaknya dilakukan di luar masjid karena banyaknya keramaian dan pertengkaran antara para pihak yang bersengketa. Tempat yang paling layak baginya adalah yang paling nyaman dan paling memungkinkan untuk tidak cepat membuatnya bosan. Dan aku tidak suka pelaksanaan hukuman had di dalam masjid.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَمَعْقُولٌ فِي قَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يَحْكُمُ الْحَاكِمُ وَلَا يَقْضِي الْقَاضِي بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ» أَنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَكُونَ الْقَاضِي حِينَ يَحْكُمُ فِي حَالٍ لَا يَتَغَيَّرُ فِيهَا خُلُقُهُ وَلَا عَقْلُهُ، وَالْحَاكِمُ أَعْلَمُ بِنَفْسِهِ فَأَيُّ حَالٍ أَتَتْ عَلَيْهِ تَغَيَّرَ فِيهَا عَقْلُهُ أَوْ خُلُقُهُ انْبَغَى لَهُ أَنْ لَا يَقْضِيَ حَتَّى يَذْهَبَ وَأَيُّ حَالٍ صَارَ إلَيْهِ فِيهَا سُكُونُ الطَّبِيعَةِ وَاجْتِمَاعُ الْعَقْلِ حَكَمَ، وَإِنْ غَيَّرَهُ مَرَضٌ أَوْ حُزْنٌ أَوْ فَرَحٌ أَوْ جُوعٌ أَوْ نُعَاسٌ أَوْ مَلَالَةٌ تَرَكَ وَأَكْرَهُ لَهُ الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ خَوْفَ الْمُحَابَاةِ بِالزِّيَادَةِ وَيَتَوَلَّاهُ لَهُ غَيْرُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dapat dipahami dari sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – “Janganlah seorang hakim memutuskan atau mengadili antara dua orang dalam keadaan marah”, bahwa beliau menghendaki agar seorang qadhi (hakim) ketika memutuskan hukum berada dalam keadaan di mana akhlak dan akalnya tidak berubah. Seorang hakim lebih mengetahui keadaan dirinya sendiri. Maka dalam keadaan apa pun yang mengubah akal atau akhlaknya, hendaknya ia tidak memutuskan hingga hal itu hilang. Sedangkan dalam keadaan di mana ia tenang dan akalnya terkumpul, barulah ia boleh memutuskan. Jika ia berubah karena sakit, sedih, gembira, lapar, mengantuk, atau bosan, hendaknya ia menahan diri. Aku juga tidak menyukainya untuk melakukan jual beli karena khawatir akan adanya pilih kasih dalam penambahan (harga), dan hendaknya orang lain yang menanganinya untuknya.

 

(قَالَ) : وَلَا أُحِبُّ أَنْ يَتَخَلَّفَ عَنْ الْوَلِيمَةِ إمَّا أَنْ يُجِيبَ كُلًّا وَإِمَّا أَنْ يَتْرُكَ كُلًّا وَيَعْتَذِرَ وَيَسْأَلَهُمْ التَّحْلِيلَ وَيَعُودَ الْمَرْضَى وَيَشْهَدَ الْجَنَائِزَ وَيَأْتِيَ مَقْدَمَ الْغَائِبِ، وَإِذَا بَانَ لَهُ مِنْ أَحَدِ الْخَصْمَيْنِ لَدَدٌ نَهَاهُ فَإِنْ عَادَ زَجَرَهُ وَلَا يَحْبِسُهُ وَلَا يَضْرِبُهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي ذَلِكَ مَا يَسْتَوْجِبُهُ وَيُشَاوِرُ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ} الشورى: 38 وَقَالَ لِنَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – {وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ} آل عمران: 159 قَالَ الْحَسَنُ إنْ كَانَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنْ مُشَاوَرَتِهِمْ لَغَنِيًّا وَلَكِنَّهُ أَرَادَ أَنْ يَسْتَنَّ بِذَلِكَ الْحُكَّامُ بَعْدَهُ وَلَا يُشَاوِرُ إذَا نَزَلَ بِهِ الْمُشْكِلُ إلَّا عَالِمًا بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَالْآثَارِ وَأَقَاوِيلِ النَّاسِ وَالْقِيَاسِ وَلِسَانِ الْعَرَبِ وَلَا يَقْبَلُ وَإِنْ كَانَ أَعْلَمَ مِنْهُ حَتَّى يَعْلَمَ كَعِلْمِهِ أَنَّ ذَلِكَ لَازِمٌ لَهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ تَخْتَلِفْ الرِّوَايَةُ فِيهِ أَوْ بِدَلَالَةٍ عَلَيْهِ أَوْ أَنَّهُ لَا يَحْتَمِلُ وَجْهًا أَظْهَرَ مِنْهُ.

 

 

Beliau berkata: “Aku tidak suka jika seseorang absen dari walimah; hendaknya dia memenuhi semua undangan atau meninggalkan semuanya sambil meminta maaf dan meminta mereka menghalalkannya. Dia juga sebaiknya menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah, dan menyambut kedatangan orang yang pulang dari bepergian. Jika terlihat salah satu dari dua pihak yang bersengketa bersikap keras, dia harus melarangnya. Jika dia mengulangi, dia boleh ditegur, tetapi tidak boleh ditahan atau dipukul kecuali jika perbuatannya memang pantas mendapat hukuman itu. Dia juga harus bermusyawarah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka’ (QS. Asy-Syura: 38). Dan Dia berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ: ‘Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’ (QS. Ali Imran: 159). Al-Hasan berkata: ‘Meskipun Nabi ﷺ tidak membutuhkan musyawarah mereka, tetapi beliau ingin hal itu menjadi teladan bagi para pemimpin setelahnya.’ Seseorang tidak boleh bermusyawarah ketika menghadapi masalah kecuali dengan orang yang berilmu tentang Kitab, Sunnah, atsar, pendapat ulama, qiyas, dan bahasa Arab. Dia juga tidak boleh menerima pendapat meskipun dari orang yang lebih berilmu darinya, sampai dia benar-benar yakin—seperti keyakinan orang itu—bahwa pendapat itu wajib baginya, baik karena tidak ada perbedaan riwayat tentangnya, ada dalil yang mendukung, atau karena tidak ada penafsiran lain yang lebih jelas.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: فَأَمَّا أَنْ يُقَلِّدَهُ فَلَمْ يَجْعَلْ اللَّهُ ذَلِكَ لِأَحَدٍ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ وَيَجْمَعُ الْمُخْتَلِفِينَ؛ لِأَنَّهُ أَشَدُّ لِتَقَصِّيهِ وَلِيَكْشِفَ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي عَقْلِهِ مَا إذَا عَقَلَ الْقِيَاسَ عَقْلُهُ وَإِذَا سَمِعَ الِاخْتِلَافَ مَيَّزَهُ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَقْضِيَ وَلَا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْتَقْضِيَهُ وَلَا يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَسْتَحْسِنَ بِغَيْرِ قِيَاسٍ، وَلَوْ جَازَ ذَلِكَ لَجَازَ أَنْ يُشَرِّعَ فِي الدِّينِ وَالْقِيَاسُ قِيَاسَانِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَكُونَ فِي مَعْنَى الْأَصْلِ فَذَلِكَ الَّذِي لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ خِلَافُهُ وَالْآخَرُ أَنْ يُشْبِهَ الشَّيْءُ الشَّيْءَ مِنْ أَصْلٍ وَيُشْبِهَ الشَّيْءَ مِنْ أَصْلٍ غَيْرِهِ فَيُشْبِهُهُ هَذَا بِهَذَا الْأَصْلِ وَيُشْبِهُهُ الْآخَرُ بِأَصْلِ غَيْرِهِ وَمَوْضِعُ الصَّوَابِ فِي ذَلِكَ عِنْدَنَا أَنْ يَنْظُرَ فَإِنْ أَشْبَهَهُ أَحَدُهُمَا فِي خَصْلَتَيْنِ وَالْآخَرُ فِي خَصْلَةٍ أَلْحَقَهُ بِاَلَّذِي أَشْبَهَهُ فِي الْخَصْلَتَيْنِ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي دَاوُد وَسُلَيْمَانَ {فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا} الأنبياء: 79 قَالَ الْحَسَنُ: لَوْلَا هَذِهِ الْآيَةِ لَرَأَيْت أَنَّ الْحُكَّامَ قَدْ هَلَكُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ حَمِدَ هَذَا لِصَوَابِهِ وَأَثْنَى عَلَى هَذَا بِاجْتِهَادِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Adapun meniru (taqlid buta), Allah tidak menjadikan hal itu bagi siapa pun setelah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam.” Dia juga berkata: “Dan (Allah) mengumpulkan orang-orang yang berselisih karena hal itu lebih keras dalam meneliti dan agar sebagian mereka mengungkapkan (kesalahan) sebagian yang lain. Jika seseorang tidak memiliki akal yang mampu memahami qiyas atau membedakan (kebenaran) saat mendengar perbedaan pendapat, maka tidak pantas baginya menjadi hakim, dan tidak boleh bagi siapa pun mengangkatnya sebagai hakim. Juga tidak boleh baginya berpendapat berdasarkan istihsan tanpa qiyas. Seandainya hal itu diperbolehkan, niscaya boleh pula membuat syariat baru dalam agama. Qiyas ada dua jenis: Pertama, jika sesuatu berada dalam makna yang sama dengan asalnya, maka tidak halal bagi siapa pun menyelisihinya. Kedua, jika sesuatu menyerupai hal lain dari satu asal, atau menyerupai hal lain dari asal yang berbeda, maka ia diserupakan dengan asal yang lebih dominan. Menurut kami, kebenaran dalam hal ini adalah dengan melihat: jika salah satunya lebih mirip dalam dua sifat, sedangkan yang lain hanya mirip dalam satu sifat, maka ia diserupakan dengan yang lebih mirip dalam dua sifat. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang Dawud dan Sulaiman: ‘Kami memberikan pemahaman kepada Sulaiman, dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.’ (QS. Al-Anbiya: 79). Al-Hasan berkata: ‘Seandainya bukan karena ayat ini, niscaya aku menganggap para hakim telah binasa. Tetapi Allah memuji yang satu karena kebenarannya dan memuji yang lain karena ijtihadnya.'”

 

وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «إذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ» .

 

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala. Dan jika ia berijtihad lalu keliru, maka baginya satu pahala.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُثَابُ عَلَى أَحَدِهِمَا أَكْثَرَ مِمَّا يُثَابُ عَلَى الْآخَرِ فَلَا يَكُونُ الثَّوَابُ فِيمَا لَا يَسَعُ وَلَا فِي الْخَطَأِ الْمَوْضُوعِ

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : أَنَا أَعْرِفُ أَنَّ الشَّافِعِيَّ قَالَ: لَا يُؤْجَرُ عَلَى الْخَطَأِ وَإِنَّمَا يُؤْجَرُ عَلَى قَصْدِ الثَّوَابِ وَهَذَا عِنْدِي هُوَ الْحَقُّ

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: مَنْ اجْتَهَدَ مِنْ الْحُكَّامِ فَقَضَى بِاجْتِهَادِهِ ثُمَّ رَأَى أَنَّ اجْتِهَادَهُ خَطَأٌ أَوْ وَرَدَ عَلَى قَاضٍ غَيْرِهِ فَسَوَاءٌ فَمَا خَالَفَ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إجْمَاعًا أَوْ مَا فِي مَعْنَى هَذَا رَدَّهُ، وَإِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ مَا ذَهَبَ إلَيْهِ وَيَحْتَمِلُ غَيْرَهُ لَمْ يَرُدَّهُ وَحَكَمَ فِيمَا اسْتَأْنَفَ بِاَلَّذِي هُوَ الصَّوَابُ عِنْدَهُ وَلَيْسَ عَلَى الْقَاضِي أَنْ يَتَعَقَّبَ حُكْمَ مَنْ قَبْلَهُ وَإِنْ تَظَلَّمَ مَحْكُومٌ عَلَيْهِ مِمَّنْ قَبْلَهُ نَظَرَ فِيهِ فَرَدَّهُ أَوْ أَنْفَذَهُ عَلَى مَا وَصَفْت.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Maka dia mengabarkan bahwa pahala atas salah satunya lebih besar daripada yang lain, sehingga pahala tidak berlaku pada hal yang tidak dimungkinkan atau pada kesalahan yang telah ditetapkan.

 

(Al-Muzani berkata): Aku mengetahui bahwa Imam Syafi’i berkata: Tidak diberi pahala atas kesalahan, melainkan pahala diberikan atas niat untuk mendapatkannya, dan menurutku inilah yang benar.

 

(Imam Syafi’i -rahimahullah- berkata): Barangsiapa dari para hakim yang berijtihad lalu memutuskan berdasarkan ijtihadnya, kemudian dia menyadari bahwa ijtihadnya salah atau ada keputusan hakim lain yang berbeda, maka sama saja. Jika bertentangan dengan Al-Kitab, Sunnah, ijma’, atau makna yang serupa, maka keputusan itu ditolak. Namun jika masih mengandung kemungkinan sesuai dengan pendapatnya atau pendapat lain, maka tidak ditolak. Dia boleh memutuskan pada perkara baru menurut apa yang benar menurutnya. Seorang hakim tidak wajib mengoreksi keputusan hakim sebelumnya, kecuali jika ada yang merasa dirugikan oleh keputusan sebelumnya, maka dia boleh meninjau lalu menolak atau menegakkannya sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan.

 

وَإِذَا تَحَاكَمَ إلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ لَا يَعْرِفُ لِسَانَهُ لَمْ تُقْبَلْ التَّرْجَمَةُ عَنْهُ إلَّا بِعَدْلَيْنِ يَعْرِفَانِ لِسَانَهُ، وَإِذَا شَهِدَ الشُّهُودُ عِنْدَ الْقَاضِي كَتَبَ حَلَبَةَ كُلِّ رَجُلٍ وَرَفَعَ فِي نَسَبِهِ إنْ كَانَ لَهُ أَوْ وِلَايَةٌ إنْ كَانَتْ لَهُ وَسَأَلَهُ عَنْ صِنَاعَتِهِ وَكُنْيَتِهِ إنْ كَانَتْ لَهُ وَعَنْ مَسْكَنِهِ وَعَنْ مَوْضِعِ بِيَاعَتِهِ وَمُصَلَّاهُ.

 

 

Dan apabila seorang asing yang tidak memahami bahasanya mengajukan perkara kepadanya, maka terjemahannya tidak diterima kecuali melalui dua orang yang adil yang memahami bahasanya. Dan apabila para saksi memberikan kesaksian di hadapan hakim, maka ia mencatat ciri-ciri setiap orang, meneliti nasabnya jika ada, atau wilayahnya jika ada, serta menanyakan tentang pekerjaannya, kunyahnya jika ada, tempat tinggalnya, tempat berjualannya, dan tempat salatnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَأُحِبُّ إذَا لَمْ يَكُنْ لَهُمْ سُدَّةُ عُقُولٍ أَنْ يُفَرِّقَهُمْ ثُمَّ يَسْأَلَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ عَلَى حِدَتِهِ عَنْ شَهَادَتِهِ وَالْيَوْمِ الَّذِي شَهِدَ فِيهِ وَالْمَوْضِعِ وَمَنْ فِيهِ لِيَسْتَدِلَّ عَلَى عَوْرَةٍ إنْ كَانَتْ فِي شَهَادَتِهِ، وَإِنْ جَمَعُوا الْحَالَ الْحَسَنَةَ وَالْعَقْلَ لَمْ يَفْعَلْ بِهِمْ ذَلِكَ وَأُحِبُّ أَنْ يَكُونَ أَصْحَابُ مَسَائِلِهِ جَامِعِينَ لِلْعَفَافِ فِي الطُّعْمَةِ وَالْأَنْفُسِ وَافِرِي الْعُقُولِ بُرَآءَ مِنْ الشَّحْنَاءِ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ النَّاسِ أَوْ الْحَيْفِ عَلَيْهِمْ أَوْ الْحَيْفِ عَلَى أَحَدٍ بِأَنْ يَكُونُوا مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ وَالْعَصَبِيَّةِ أَوْ الْمُمَاطَلَةِ لِلنَّاسِ، وَأَنْ يَكُونُوا جَامِعِينَ لِلْأَمَانَةِ فِي أَدْيَانِهِمْ لَا يتغفلون بِأَنْ يَسْأَلُوا الرَّجُلَ عَنْ عَدُوِّهِ فَيُخْفِيَ حَسَنًا وَيَقُولَ قَبِيحًا فَيَكُونَ جَرْحًا وَيَسْأَلُوهُ عَنْ صَدِيقِهِ فَيُخْفِيَ قَبِيحًا وَيَقُولَ حَسَنًا فَيَكُونَ تَعْدِيلًا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Dan aku suka jika mereka tidak memiliki keteguhan akal, untuk memisahkan mereka kemudian menanyai setiap orang secara terpisah tentang kesaksiannya, hari ketika dia memberikan kesaksian, tempat, dan siapa saja yang ada di sana, agar bisa mengetahui celah jika ada dalam kesaksiannya. Jika mereka memiliki akhlak yang baik dan akal yang sempurna, hal itu tidak perlu dilakukan. Dan aku suka jika orang-orang yang terlibat dalam permasalahan memiliki sifat menjaga diri dalam hal makanan dan jiwa, berakal sempurna, terbebas dari permusuhan antara mereka dan orang lain, atau kezaliman terhadap mereka atau kezaliman terhadap orang lain karena mereka termasuk orang yang berhawa nafsu, fanatik, atau suka menunda-nunda hak orang. Dan hendaknya mereka memiliki sifat amanah dalam agama mereka, tidak lalai dengan cara bertanya kepada seseorang tentang musuhnya lalu dia menyembunyikan yang baik dan mengatakan yang buruk sehingga menjadi jarh (kritikan), atau bertanya tentang temannya lalu dia menyembunyikan yang buruk dan mengatakan yang baik sehingga menjadi ta’dil (pujian).”

 

وَيَحْرِصَ عَلَى أَنْ لَا يُعَرَّفَ لَهُ صَاحِبُ مَسْأَلَةٍ فَيَحْتَالَ لَهُ وَأَنْ يَكْتُبَ لِأَصْحَابِ الْمَسَائِلِ صِفَاتِ الشُّهُودِ عَلَى مَا وَصَفْنَا وَأَسْمَاءَ مَنْ شَهِدَ لَهُ وَشَهِدَ عَلَيْهِ وَمَبْلَغَ مَا شَهِدُوا فِيهِ ثُمَّ لَا يَسْأَلُونَ أَحَدًا حَتَّى يُخْبِرُوهُ بِمَنْ شَهِدُوا لَهُ وَعَلَيْهِ وَبِقَدْرِ مَا شَهِدُوا فِيهِ فَإِنَّ الْمَسْئُولَ قَدْ يَعْرِفُ مَا لَا يَعْرِفُ الْحَاكِمُ مِنْ أَنْ يَكُونَ الشَّاهِدُ عَدُوًّا لِلْمَشْهُودِ عَلَيْهِ أَوْ شَرِيكًا فِيمَا شَهِدَ فِيهِ وَتَطِيبُ نَفْسُهُ عَلَى تَعْدِيلِهِ فِي الْيَسِيرِ وَيَقِفُ فِي الْكَثِيرِ، وَلَا يَقْبَلُ الْمَسْأَلَةَ عَنْهُ وَلَا تَعْدِيلَهُ وَلَا تَجْرِيحَهُ إلَّا مِنْ اثْنَيْنِ وَيُخْفِي عَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَسْمَاءَ مَنْ دَفَعَ إلَى الْآخَرِ لِتَتَّفِقَ مَسْأَلَتُهُمَا أَوْ تَخْتَلِفَ فَإِنْ اتَّفَقَتْ بِالتَّعْدِيلِ أَوْ التَّجْرِيحِ قَبِلَهُمَا، وَإِنْ اخْتَلَفَتْ أَعَادَهَا مَعَ غَيْرِهِمَا وَإِنْ عُدِلَ رَجُلٌ بِشَاهِدَيْنِ وَجَرَّحَ بِآخَرَيْنِ كَانَ الْجَرْحُ أَوْلَى؛ لِأَنَّ التَّعْدِيلَ عَلَى الظَّاهِرِ وَالْجَرْحَ عَلَى الْبَاطِنِ وَلَا يَقْبَلُ الْجَرْحَ إلَّا بِالْمُعَايَنَةِ أَوْ بِالسَّمَاعِ وَلَا يَقْبَلُهُ مِنْ فَقِيهِ دِينٍ عَاقِلٍ إلَّا بِأَنْ يَقِفَهُ عَلَى مَا يَجْرَحُهُ بِهِ، فَإِنَّ النَّاسَ يَتَبَايَنُونَ فِي الْأَهْوَاءِ فَيَشْهَدُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْكُفْرِ وَالْفِسْقِ وَبِالتَّأْوِيلِ وَهُوَ بِالْجَرْحِ عِنْدَهُمْ أَوْلَى وَأَكْثَرُ مَنْ يُنْسَبُ إلَى أَنْ تَجُوزَ شَهَادَتُهُ بَغْيًا حَتَّى يَعُدَّ الْيَسِيرَ الَّذِي لَا يَكُونُ جَرْحًا وَلَا يَقْبَلُ التَّعْدِيلَ إلَّا بِأَنْ يَقُولَ: عَدَلَ عَلَيَّ وَلِيٌّ ثُمَّ لَا يَقْبَلُ حَتَّى يَسْأَلَهُ عَنْ مَعْرِفَتِهِ بِهِ فَإِنْ كَانَتْ بَاطِنَةً مُتَقَادِمَةً وَإِلَّا لَمْ يَقْبَلْ ذَلِكَ مِنْهُ وَيَسْأَلُ عَمَّنْ جَهِلَ عَدْلَهُ سِرًّا فَإِذَا عَدَلَ سَأَلَ عَنْ تَعْدِيلِهِ عَلَانِيَةً لِيَعْلَمَ أَنَّ الْمُعَدِّلَ سِرًّا هُوَ هَذَا لَا يُوَافِقُ اسْمٌ اسْمًا وَلَا نَسَبٌ نَسَبًا.

 

 

Dan hendaknya ia berusaha agar tidak dikenalkan kepadanya pemilik pertanyaan sehingga ia berbuat tipu muslihat untuknya, serta mencatat bagi pemilik-pemilik pertanyaan sifat-sifat saksi sebagaimana yang kami jelaskan, nama-nama orang yang bersaksi untuknya dan terhadapnya, serta jumlah apa yang mereka persaksikan. Kemudian mereka tidak bertanya kepada seorang pun sampai mengabarkan kepadanya tentang siapa yang mereka persaksikan untuk atau terhadapnya, dan seberapa banyak yang mereka persaksikan. Sebab, orang yang ditanyai mungkin mengetahui apa yang tidak diketahui hakim, seperti jika saksi adalah musuh orang yang dipersaksikan atau sekutu dalam hal yang dipersaksikan. Hatinya merasa tenang dengan menilai adil dalam hal kecil, namun ragu dalam hal besar. Ia tidak menerima pertanyaan tentangnya, penilaian adil, atau kecacatannya kecuali dari dua orang. Ia merahasiakan dari masing-masing mereka nama-nama orang yang diserahkan kepada yang lain agar pertanyaan mereka bisa sama atau berbeda. Jika sama dalam penilaian adil atau kecacatan, ia menerimanya. Jika berbeda, ia mengulanginya dengan dua orang lain. Jika seseorang dinilai adil oleh dua saksi dan dicacat oleh dua lainnya, maka cacat lebih diutamakan karena penilaian adil bersifat lahiriah sedangkan cacat bersifat batin. Ia tidak menerima cacat kecuali berdasarkan penglihatan atau pendengaran, dan tidak menerimanya dari ahli agama yang bijak kecuali setelah dijelaskan alasan pencacatannya. Sebab, manusia berbeda dalam hawa nafsu sehingga sebagian mereka bersaksi atas sebagian lain dengan kekafiran, kefasikan, atau takwil, yang menurut mereka lebih layak dicacat. Kebanyakan orang yang dianggap sah kesaksiannya karena kebencian hingga menganggap remeh hal kecil yang sebenarnya bukan cacat. Ia tidak menerima penilaian adil kecuali jika dikatakan, “Seorang wali menilai adil atas saya,” kemudian tidak menerimanya sampai menanyakan tentang pengetahuannya terhadapnya. Jika pengetahuan itu bersifat batin dan lama, ia menerimanya; jika tidak, ia menolak. Ia bertanya secara rahasia tentang orang yang tidak diketahui keadilannya. Jika dinyatakan adil, ia menanyakan penilaian adilnya secara terbuka untuk memastikan bahwa yang menilai adil secara rahasia adalah orang ini, tanpa ada kesamaan nama atau nasab.

 

وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَتَّخِذَ كَاتِبًا حَتَّى يَجْمَعَ أَنْ يَكُونَ عَدْلًا عَاقِلًا وَيَحْرِصَ أَنْ يَكُونَ فَقِيهًا لَا يُؤْتَى مِنْ جَهَالَةٍ نَزِهًا بَعِيدًا مِنْ الطَّبْعِ. وَالْقَاسِمُ فِي صِفَةِ الْكَاتِبِ عَالِمٌ بِالْحِسَابِ لَا يُخْدَعُ.

 

 

Dan tidak sepatutnya seseorang mengambil seorang penulis kecuali jika ia memenuhi syarat sebagai orang yang adil, bijaksana, berusaha menjadi faqih (ahli fikih) yang tidak mudah tertipu karena kebodohan, bersih, dan jauh dari sifat buruk. Sedangkan Al-Qasim dalam menggambarkan sifat penulis adalah orang yang pandai berhitung dan tidak mudah ditipu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَتَوَلَّى الْقَاضِي ضَمَّ الشَّهَادَاتِ وَرَفْعَهَا وَلَا يَغِيبُ ذَلِكَ عَنْهُ وَيَرْفَعُهَا فِي قِمْطَرٍ وَيَضُمُّ الشَّهَادَاتِ وَحِجَجِ الرَّجُلَيْنِ فِي مَكَان وَاحِدٍ مُتَرْجَمَةٍ بِأَسْمَائِهِمَا وَالشَّهْرِ الَّذِي كَانَتْ فِيهِ لِيَكُونَ أَعْرَفَ لَهُ إذَا طَلَبَهَا فَإِذَا مَضَتْ سَنَةٌ عَزَلَهَا وَكَتَبَ خُصُومَ سَنَةِ كَذَا حَتَّى تَكُونَ كُلُّ سَنَةٍ مَفْرُوزَةً وَكُلُّ شَهْرٍ مَفْرُوزًا وَلَا يَفْتَحُ الْمَوَاضِعَ الَّتِي فِيهَا تِلْكَ الشَّهَادَاتِ إلَّا بَعْدَ نَظَرِهِ إلَى خَاتَمِهِ أَوْ عَلَامَتِهِ وَأَنْ يَتْرُكَ فِي يَدَيْ الْمَشْهُودِ لَهُ نُسْخَةً بِتِلْكَ الشَّهَادَاتِ وَلَا يَخْتِمَهَا وَلَا يَقْبَلَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا مِمَّا وَجَدَ فِي دِيوَانِهِ إلَّا مَا حَفِظَ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يُطْرَحُ فِي الدِّيوَانِ وَيُشْبِهُ الْخَطُّ الْخَطَّ وَلَوْ شَهِدَ عِنْدَهُ شُهُودٌ أَنَّهُ حَكَمَ بِحُكْمِ فَلَا يُبْطِلُهُ وَلَا يُحِقُّهُ إذَا لَمْ يَذْكُرْهُ وَإِنْ شَهِدُوا عِنْدَ غَيْرِهِ أَجَازَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْرِفُ مِنْهُ مَا يَعْرِفُ مِنْ نَفْسِهِ فَإِنْ عَلِمَ غَيْرُهُ أَنَّهُ أَنْكَرَهُ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَقْبَلَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Hakim bertugas mengumpulkan dan menyimpan kesaksian-kesaksian, dan hal itu tidak boleh luput darinya. Ia menyimpannya dalam sebuah kotak, menggabungkan kesaksian dan dokumen dua orang dalam satu tempat yang diberi label dengan nama mereka dan bulan terjadinya, agar lebih mudah dikenali ketika diperlukan. Setiap tahun, ia memisahkan arsip tersebut dan mencatat para pihak yang berperkara pada tahun tertentu, sehingga setiap tahun dan setiap bulan memiliki arsip terpisah. Ia tidak boleh membuka tempat penyimpanan kesaksian kecuali setelah memeriksa cap atau tanda pengenalannya. Ia harus memberikan salinan kesaksian tersebut kepada pihak yang bersangkutan tanpa mencapainya, dan tidak menerima kesaksian atau dokumen yang ditemukan di kantornya kecuali yang ia ingat, karena mungkin ada yang sengaja dimasukkan ke kantornya dengan tulisan yang mirip. Jika ada saksi yang bersaksi di hadapannya bahwa ia telah memutuskan suatu perkara, ia tidak boleh membatalkan atau mengukuhkannya jika ia tidak ingat. Namun jika kesaksian itu diberikan di hadapan hakim lain, ia boleh menerimanya karena hakim lain tidak mengetahui apa yang ia ketahui tentang dirinya sendiri. Jika diketahui bahwa ia telah mengingkari keputusan tersebut, maka tidak sepatutnya menerimanya.”

كِتَابُ قَاضٍ إلَى قَاضٍ

Surat dari seorang hakim kepada hakim lainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَيَقْبَلُ كُلُّ كِتَابٍ لِقَاضٍ عَدْلٍ وَلَا يَقْبَلُهُ إلَّا بِعَدْلَيْنِ وَحَتَّى يَفْتَحَهُ وَيَقْرَأَهُ عَلَيْهِمَا فَيَشْهَدَا أَنَّ الْقَاضِيَ أَشْهَدَهُمَا عَلَى مَا فِيهِ وَأَنَّهُ قَرَأَهُ بِحَضْرَتِهِمَا أَوْ قُرِئَ عَلَيْهِمَا، وَقَالَ: اشْهَدَا أَنَّ هَذَا كِتَابِي إلَى فُلَانٍ (قَالَ) : وَيَنْبَغِي أَنْ يَأْمُرَهُمْ بِنَسْخِهِ كِتَابَةً فِي أَيْدِيهِمْ وَيُوقِعُوا شَهَادَاتِهِمْ فِيهِ فَإِنْ انْكَسَرَ خَاتَمُهُ أَوْ انمحى كِتَابَهُ شَهِدُوا بِعِلْمِهِمْ عَلَيْهِ فَإِنْ مَاتَ الْكَاتِبُ أَوْ عُزِلَ لَمْ يَمْنَعْ ذَلِكَ قَبُولُهُ وَنَقْبَلُهُ كَمَا نَقْبَلُ حُكْمَهُ، وَلَوْ تَرَكَ أَنْ يَكْتُبَ اسْمَهُ فِي الْعِنْوَانِ وَقَطَعَ الشُّهُودُ بِأَنَّهُ كِتَابُهُ قَبِلَهُ، وَإِنْ أَنْكَرَ الْمَكْتُوبُ عَلَيْهِ لَمْ يَأْخُذْهُ بِهِ حَتَّى تَقُومَ بَيِّنَةٌ بِأَنَّهُ هُوَ فَإِذَا رَفَعَ فِي نَسَبِهِ فَقَامَتْ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ بِهَذَا الِاسْمِ وَالنَّسَبِ وَالْقَبِيلَةِ وَالصِّنَاعَةِ أَخَذَ بِذَلِكَ الْحَقَّ، وَإِنْ وَافَقَ الِاسْمَ وَالْقَبِيلَةَ وَالنَّسَبَ وَالصِّنَاعَةَ فَأَنْكَرَ الْمَكْتُوبُ عَلَيْهِ لَمْ يَقْضِ عَلَيْهِ حَتَّى يُبَانَ بِشَيْءٍ لَا يُوَافِقُهُ فِيهِ غَيْرُهُ وَكِتَابُ الْقَاضِي إلَى الْخَلِيفَةِ وَالْخَلِيفَةِ إلَى الْقَاضِي وَالْقَاضِي إلَى الْأَمِيرِ وَالْأَمِيرِ إلَى الْقَاضِي سَوَاءٌ لَا يُقْبَلُ إلَّا كَمَا وَصَفْت مِنْ كِتَابِ الْقَاضِي إلَى الْقَاضِي.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Setiap surat dari qadhi yang adil diterima, tetapi tidak diterima kecuali dengan dua saksi yang adil, hingga ia membukanya dan membacakannya di hadapan mereka berdua. Lalu mereka berdua bersaksi bahwa qadhi tersebut telah mempersaksikan isi surat itu kepada mereka dan bahwa ia membacakannya di hadapan mereka atau dibacakan untuk mereka. Ia juga berkata: ‘Saksikanlah bahwa ini adalah suratku untuk si fulan.'”

 

Dia (Imam Syafi’i) juga berkata: “Sebaiknya ia memerintahkan mereka untuk menyalinnya secara tertulis di tangan mereka dan mencantumkan kesaksian mereka di dalamnya. Jika segelnya rusak atau tulisannya terhapus, mereka bersaksi berdasarkan pengetahuan mereka. Jika penulisnya meninggal atau diberhentikan, hal itu tidak menghalangi penerimaannya, dan kami menerimanya sebagaimana kami menerima keputusannya.

 

Jika ia lupa menulis namanya di alamat surat, tetapi para saksi memastikan bahwa itu adalah suratnya, maka surat itu diterima. Jika pihak yang dituju mengingkarinya, ia tidak dihukum sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa itu memang dia. Jika ia mengklaim tentang nasabnya dan ada bukti yang menunjukkan nama, nasab, suku, dan profesinya, maka hak itu ditetapkan. Jika nama, suku, nasab, dan profesinya cocok, tetapi pihak yang dituju mengingkarinya, maka tidak dihukum sampai ada bukti yang jelas bahwa itu bukan dia.

 

Surat dari qadhi kepada khalifah, dari khalifah kepada qadhi, dari qadhi kepada amir, dan dari amir kepada qadhi sama saja, tidak diterima kecuali seperti yang telah dijelaskan tentang surat dari qadhi kepada qadhi.”

 

بَابُ الْقَسَّامِ

 

Bab tentang Pembagi Harta Warisan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَيَنْبَغِي أَنْ يُعْطِيَ أَجْرَ الْقَسَّامِ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ؛ لِأَنَّهُمْ حُكَّامٌ وَإِنْ لَمْ يُعْطُوا خَلَّى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ مَنْ طَلَبَ الْقَسَمَ وَاسْتَأْجَرَهُمْ طَالِبُ الْقَسَمِ بِمَا شَاءَ قَلَّ أَوْ كَثُرَ فَإِنْ سَمَّوْا عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ فِي نَصِيبِهِ شَيْئًا مَعْلُومًا فَجَائِزٌ وَإِنْ سَمَّوْهُ عَلَى الْكُلِّ فَعَلَى قَدْرِ الْأَنْصِبَاءِ، وَإِذَا تَدَاعَوْا إلَى الْقَسَمِ وَأَبَى شُرَكَاؤُهُمْ فَإِنْ كَانَ يَنْتَفِعُ وَاحِدٌ مِنْهُمْ بِمَا يَصِيرُ لَهُ مَقْسُومًا أَجْبَرْتهمْ عَلَى الْقَسَمِ فَإِنْ لَمْ يَنْتَفِعْ الْبَاقُونَ بِمَا يَصِيرُ إلَيْهِمْ فَأَقُولُ لِمَنْ كَرِهَ: إنْ شِئْتُمْ جَمَعْتُمْ حَقَّكُمْ فَكَانَتْ مُشَاعَةً بَيْنَكُمْ لِتَنْتَفِعُوا بِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Sepatutnya upah para pembagi (harta warisan) diberikan dari baitul mal, karena mereka adalah hakim. Jika tidak diberikan, maka dibiarkan antara mereka dan orang yang meminta pembagian, dan peminta pembagian boleh mempekerjakan mereka dengan upah sesuai keinginannya, sedikit atau banyak. Jika mereka menetapkan bagian tertentu untuk setiap orang, itu boleh. Jika menetapkan untuk keseluruhan, maka sesuai proporsi bagian. Jika mereka berselisih tentang pembagian dan rekan-rekannya menolak, jika salah satu di antara mereka bisa mengambil manfaat dari bagiannya, maka mereka dipaksa untuk membagi. Jika yang lain tidak mendapat manfaat dari bagian mereka, maka aku katakan kepada yang menolak: ‘Jika kalian mau, gabungkan hak kalian sehingga menjadi kepemilikan bersama agar bisa dimanfaatkan.'”

 

وَيَنْبَغِي لِلْقَاسِمِ أَنْ يُحْصِيَ أَهْلَ الْقَسَمِ وَمَبْلَغَ حُقُوقِهِمْ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ لَهُ سُدُسٌ وَثُلُثٌ وَنِصْفٌ قَسَمَهُ عَلَى أَقَلِّ السَّهْمَانِ وَهُوَ السُّدُسُ فِيهَا فَيَجْعَلُ لِصَاحِبِ السُّدُسِ سَهْمًا وَلِصَاحِبِ الثُّلُثِ سَهْمَيْنِ وَلِصَاحِبِ النِّصْفِ ثَلَاثَةً ثُمَّ يَقْسِمُ الدَّارَ عَلَى سِتَّةِ أَجْزَاءٍ ثُمَّ يَكْتُبُ أَسْمَاءَ أَهْلِ السَّهْمَانِ فِي رِقَاعِ قَرَاطِيسَ صِغَارٍ ثُمَّ يُدْرِجُهَا فِي بُنْدُقِ طِينٍ يَدُورُ وَإِذَا اسْتَوَتْ أَلْقَاهَا فِي حِجْرِ مَنْ لَمْ يُحْضِرْ الْبُنْدُقَةَ وَلَا الْكِتَابَ ثُمَّ سَمَّى السَّهْمَيْنِ أَوَّلًا وَثَانِيًا وَثَالِثًا ثُمَّ قَالَ: أَخْرِجْ عَلَى الْأَوَّلِ بُنْدُقَةً وَاحِدَةً فَإِذَا أَخْرَجَهَا فَضَّهَا فَإِذَا خَرَجَ اسْمُ صَاحِبِهَا جَعَلَ لَهُ السَّهْمَ الْأَوَّلَ فَإِنْ كَانَ صَاحِبُ السُّدُسِ فَهُوَ لَهُ وَلَا شَيْءَ لَهُ غَيْرُهُ، وَإِنْ كَانَ صَاحِبُ الثُّلُثِ فَهُوَ لَهُ وَالسَّهْمُ الَّذِي يَلِيهِ وَإِنْ كَانَ صَاحِبُ النِّصْفِ فَهُوَ لَهُ وَالسَّهْمَانِ اللَّذَانِ يَلِيَانِهِ ثُمَّ قِيلَ لَهُ: أَخْرِجْ بُنْدُقَةً عَلَى السَّهْمِ الَّذِي يَلِي مَا خَرَجَ فَإِذَا خَرَجَ فِيهَا اسْمُ رَجُلٍ فَهُوَ لَهُ كَمَا وَصَفْت حَتَّى تَنْفُذَ السَّهْمَانِ، فَإِذَا كَانَ فِي الْقَسَمِ رَدٌّ لَمْ يَجُزْ حَتَّى يَعْلَمَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَوْضِعَ سَهْمِهِ وَمَا يَلْزَمُهُ وَيَسْقُطُ عَنْهُ، وَإِذَا عَلِمَهُ كَمَا يَعْلَمُ الْبُيُوعَ الَّتِي تَجُوزُ أَجَزْته لَا بِالْقُرْعَةِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَجْعَلَ لِأَحَدِهِمَا سُفْلًا وَلِلْآخَرِ عُلُوَّهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ سُفْلُهُ وَعُلُوُّهُ لِوَاحِدٍ.

 

 

Dan sepatutnya bagi pembagi (al-Qasim) untuk menghitung ahli pembagian dan besaran hak-hak mereka. Jika di antara mereka ada yang berhak mendapatkan seperenam, sepertiga, dan setengah, maka ia membaginya berdasarkan bagian terkecil, yaitu seperenam. Maka ia memberikan satu bagian untuk pemilik seperenam, dua bagian untuk pemilik sepertiga, dan tiga bagian untuk pemilik setengah. Kemudian ia membagi rumah menjadi enam bagian. Lalu ia menulis nama-nama ahli bagian di potongan kertas kecil, memasukkannya ke dalam bola tanah liat yang diputar. Ketika sudah rata, ia melemparkannya ke pangkuan orang yang tidak membawa bola atau tulisan. Kemudian ia menyebut bagian-bagian tersebut sebagai pertama, kedua, dan ketiga. Lalu ia berkata: “Keluarkan satu bola untuk yang pertama.” Jika dikeluarkan, ia membukanya. Jika keluar nama pemiliknya, ia memberikan bagian pertama kepadanya. Jika itu pemilik seperenam, maka itu untuknya dan tidak ada lagi haknya. Jika pemilik sepertiga, maka itu untuknya beserta bagian berikutnya. Jika pemilik setengah, maka itu untuknya beserta dua bagian setelahnya. Kemudian dikatakan kepadanya: “Keluarkan bola untuk bagian yang mengikuti yang sudah keluar.” Jika keluar nama seseorang, maka itu untuknya seperti yang dijelaskan hingga bagian-bagian habis. Jika ada pengembalian dalam pembagian, tidak boleh sampai setiap orang mengetahui posisi bagiannya, kewajiban, dan yang gugur darinya. Jika sudah mengetahuinya seperti mengetahui jual beli yang sah, maka aku membolehkannya tanpa undian. Tidak boleh memberikan bagian bawah untuk satu dan bagian atas untuk yang lain, kecuali jika bawah dan atasnya untuk satu orang.

 

وَإِذَا ادَّعَى بَعْضُهُمْ غَلَطًا كُلِّفَ الْبَيِّنَةَ فَإِنْ جَاءَ بِهَا رَدَّ الْقَسَمَ عَنْهُ وَإِذَا اُسْتُحِقَّ بَعْضُ الْمَقْسُومِ أَوْ لَحِقَ الْمَيِّتَ دَيْنٌ فَبِيعَ بَعْضُهَا انْتَقَضَ الْقَسَمُ وَيُقَالُ لَهُمْ فِي الدَّيْنِ وَالْوَصِيَّةِ: إنْ تَطَوَّعْتُمْ أَنْ تُعْطُوا أَهْلَ الدَّيْنِ وَالْوَصِيَّةِ أَنْفَذْنَا الْقَسَمَ بَيْنَكُمْ وَالِانْقِضَاءَ عَلَيْكُمْ وَلَا يُقْسَمُ صِنْفٌ مِنْ الْمَالِ مَعَ غَيْرِهِ وَلَا عِنَبٌ مَعَ نَخْلٍ وَلَا يَصِحُّ بَعْلٌ مَضْمُومٌ إلَى عَيْنٍ وَلَا عَيْنٌ مَضْمُومَةٌ إلَى بَعْلٍ وَلَا بَعْلٌ إلَى نَخْلٍ يُشْرَبُ بِنَهْرٍ مَأْمُونِ الِانْقِطَاعِ وَتُقْسَمُ الْأَرْضُونَ وَالثِّيَابُ وَالطَّعَامُ وَكُلُّ مَا احْتَمَلَ الْقَسَمَ.

 

 

Dan apabila salah seorang dari mereka mengklaim adanya kesalahan, dia diwajibkan mendatangkan bukti. Jika dia datang dengan bukti tersebut, maka sumpah dibebaskan darinya. Dan apabila sebagian dari harta yang dibagi diambil haknya atau mayit meninggalkan hutang lalu sebagiannya dijual, maka pembagian itu batal. Dan dikatakan kepada mereka mengenai hutang dan wasiat: “Jika kalian rela memberikan kepada pemilik hutang dan wasiat, kami akan laksanakan pembagian di antara kalian dan pembatalan atas kalian.” Tidak boleh dibagi satu jenis harta dengan jenis lainnya, tidak pula anggur dengan kurma. Tidak sah menggabungkan tanaman yang diairi dengan aset tetap, atau aset tetap dengan tanaman yang diairi, atau tanaman yang diairi dengan kebun kurma yang disirami sungai yang terjamin alirannya. Tanah, pakaian, makanan, dan segala yang memungkinkan untuk dibagi, harus dibagi.

 

وَإِذَا طَلَبُوا أَنْ يَقْسِمَ دَارًا فِي أَيْدِيهِمْ قُلْت: ثَبِّتُوا عَلَى أُصُولِ حُقُوقِكُمْ لِأَنِّي لَوْ قَسَمْتهَا بِقَوْلِكُمْ ثُمَّ رَفَعْت إلَى حَاكِمٍ كَانَ شَبِيمًا أَنْ يَجْعَلَهَا لَكُمْ وَلَعَلَّهَا لِغَيْرِكُمْ، وَقَدْ قِيلَ: يَقْسِمُ وَيَشْهَدُ أَنَّهُ قَسَمَهَا عَلَى إقْرَارِهِمْ وَلَا يُعْجِبُنِي لِمَا وَصَفْت.

 

 

Dan apabila mereka meminta untuk membagi sebuah rumah yang ada di tangan mereka, aku berkata: “Peganglah prinsip-prinsip hak kalian karena jika aku membaginya menurut perkataan kalian kemudian diajukan kepada hakim, kemungkinan ia akan memberikannya kepada kalian atau mungkin juga kepada selain kalian.” Dan telah dikatakan: “Ia membagi dan bersaksi bahwa ia telah membaginya berdasarkan pengakuan mereka,” namun hal itu tidak aku sukai karena alasan yang telah kusebutkan.

 

بَابُ مَا عَلَى الْقَاضِي فِي الْخُصُومِ وَالشُّهُودِ

 

Bab tentang kewajiban hakim dalam perselisihan dan kesaksian

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَنْبَغِي لِلْقَاضِي أَنْ يُنْصِفَ الْخَصْمَيْنِ فِي الْمُدْخَلِ عَلَيْهِ لِلْحُكْمِ وَالِاسْتِمَاعِ وَالْإِنْصَاتِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا حَتَّى تَنْفُذَ حُجَّتُهُ وَلَا يَنْهَرَهُمَا وَلَا يَتَعَنَّتَ شَاهِدًا وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُلَقِّنَ وَاحِدًا مِنْهُمَا حُجَّةً وَلَا شَاهِدًا شَهَادَةً وَلَا بَأْسَ إذَا جَلَسَ أَنْ يَقُولَ: تَكَلَّمَا أَوْ يَسْكُتَ حَتَّى يَبْتَدِئَ أَحَدُهُمَا وَيَنْبَغِي أَنْ يَبْتَدِئَ الطَّالِبُ فَإِذَا أَنْفَذَ حُجَّتَهُ تَكَلَّمَ الْمَطْلُوبُ وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُضَيِّفَ الْخَصْمَ دُونَ خَصْمِهِ وَلَا يَقْبَلَ مِنْهُ هَدِيَّةً، وَإِنْ كَانَ يُهْدِي إلَيْهِ قَبْلَ ذَلِكَ حَتَّى تَنْفَدَ خُصُومَتُهُ وَإِذَا حَضَرَ مُسَافِرُونَ وَمُقِيمُونَ فَإِنْ كَانَ الْمُسَافِرُونَ قَلِيلًا فَلَا بَأْسَ أَنْ يَبْدَأَ بِهِمْ وَأَنْ يَجْعَلَ لَهُمْ يَوْمًا بِقَدْرِ مَا لَا يَضُرُّ بِأَهْلِ الْبَلَدِ فَإِنْ كَثُرُوا حَتَّى سَاوَوْا أَهْلَ الْبَلَدِ أَسَّاهُمْ بِهِمْ وَلِكُلٍّ حَقٌّ وَلَا يُقَدِّمَ رَجُلًا جَاءَ قَبْلَهُ رَجُلٌ، وَلَا يَسْمَعَ بَيِّنَةً فِي مَجْلِسٍ إلَّا فِي حُكْمٍ وَاحِدٍ فَإِذَا فَرَغَ أَقَامَهُ وَدَعَا الَّذِي بَعْدَهُ وَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَجْعَلَ مَعَ رِزْقِ الْقَاضِي شَيْئًا لِقَرَاطِيسِهِ وَلَا يُكَلِّفَهُ الطَّالِبَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Seorang hakim sepatutnya berlaku adil terhadap kedua belah pihak dalam hal penerimaan, mendengarkan, dan memberikan kesempatan berbicara hingga argumen mereka tersampaikan. Ia tidak boleh membentak mereka, mempersulit saksi, atau mengarahkan salah satu pihak dalam argumen atau kesaksian. Tidak mengapa jika ia duduk lalu berkata, ‘Silakan berbicara,’ atau diam hingga salah satu memulai. Pihak penggugat sebaiknya berbicara terlebih dahulu, kemudian tergugat setelah argumen penggugat selesai. Hakim tidak boleh memihak salah satu pihak atau menerima hadiah darinya, meski sebelumnya terbiasa diberi hadiah, hingga sengketa selesai. Jika ada pihak yang bepergian dan yang menetap, dan jumlah yang bepergian sedikit, tidak mengapa memprioritaskan mereka atau memberi waktu khusus selama tidak merugikan penduduk setempat. Jika jumlah mereka banyak hingga setara dengan penduduk setempat, hakim harus menyamakan hak mereka. Setiap orang berhak diperlakukan adil, dan hakim tidak boleh mendahulukan orang yang datang belakangan. Saksi hanya boleh didengar dalam satu persidangan untuk satu putusan. Setelah selesai, hakim memutuskan lalu memanggil pihak berikutnya. Pemerintah sebaiknya menyertakan tunjangan untuk kebutuhan tulis-menulis hakim dan tidak membebani pencari keadilan.”

 

فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ قَالَ لِلطَّالِبِ: إنْ شِئْت بِصَحِيفَةٍ فِيهَا شَهَادَةُ شَاهِدَيْك وَكِتَابُ خُصُومَتِك وَلَا أُكْرِهُك وَلَا أَقْبَلُ أَنْ يَشْهَدَ لَك شَاهِدٌ بِلَا كِتَابٍ وَأَنْسَى شَهَادَتَهُ فَإِنْ قَبِلَ الشَّهَادَةَ مِنْ غَيْرِ مَحْضَرِ خَصْمٍ فَلَا بَأْسَ وَيَنْبَغِي إذَا حَضَرَ أَنْ يَقْرَأَ عَلَيْهِ مَا شَهِدُوا بِهِ عَلَيْهِ وَيَنْسَخَهُ أَسْمَاءَهُمْ وَأَنْسَابَهُمْ وَيَطْرُدَهُ جَرْحَهُمْ فَإِنْ لَمْ يَأْتِ بِهِ حَكَمَ عَلَيْهِ وَإِذَا عَلِمَ مِنْ رَجُلٍ بِإِقْرَارِهِ أَوْ تَيَقَّنَ أَنَّهُ شَهِدَ عِنْدَهُ بِزُورٍ عَزَّرَهُ وَلَمْ يَبْلُغْ بِالتَّعْزِيرِ أَرْبَعِينَ سَوْطًا وَشَهَّرَ أَمْرَهُ فَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْمَسْجِدِ وَقَّفَهُ فِيهِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ قَبِيلٍ وَقَّفَهُ فِي قَبِيلِهِ أَوْ فِي سُوقِهِ وَقَالَ: إنَّا وَجَدْنَا هَذَا شَاهِدَ زُورٍ فَاعْرِفُوهُ.

 

 

Jika dia tidak melakukannya, dia berkata kepada pemohon: “Jika engkau mau, dengan sebuah dokumen yang berisi kesaksian dua saksimu dan catatan sengketa engkau, dan aku tidak memaksamu, juga tidak menerima seorang saksi bersaksi untukmu tanpa dokumen, dan aku akan melupakan kesaksiannya.” Jika dia menerima kesaksian tanpa kehadiran pihak lawan, maka tidak mengapa. Dan sepatutnya ketika pihak lawan hadir, dia membacakan apa yang telah disaksikan terhadapnya, mencatat nama-nama dan nasab mereka, serta menolak tuduhan mereka. Jika pihak lawan tidak datang, dia boleh memutuskan terhadapnya. Dan jika dia mengetahui dari seseorang melalui pengakuannya atau meyakini bahwa dia telah memberikan kesaksian palsu di hadapannya, dia boleh menghukumnya dengan hukuman ta’zir tidak melebihi empat puluh cambukan, dan mempublikasikan perkaranya. Jika dia berasal dari jamaah masjid, dia ditempatkan di masjid. Jika dia berasal dari suatu kabilah, dia ditempatkan di kabilahnya atau di pasar seraya berkata: “Sesungguhnya kami menemukan orang ini sebagai saksi palsu, maka kenalilah dia.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – اخْتَلَفَ قَوْلُهُ فِي الْخَصْمِ يُقِرُّ عِنْدَ الْقَاضِي فَقَالَ: فِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ كَشَاهِدٍ وَبِهِ قَالَ شُرَيْحٌ وَالْآخَرُ أَنَّهُ يَحْكُمُ بِهِ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata tentang perbedaan pendapatnya mengenai pengakuan pihak lawan di hadapan hakim. Ia menyebutkan dua pendapat: pertama, pengakuan itu dianggap seperti kesaksian, dan ini pendapat Syuraih; kedua, hakim dapat memutuskan berdasarkan pengakuan tersebut.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَطَعَ بِأَنَّ سَمَاعَهُ الْإِقْرَارَ مِنْهُ أَثْبَتُ مِنْ الشَّهَادَةِ وَهَكَذَا قَالَ فِي كِتَابِ الرِّسَالَةِ أَقْضِي عَلَيْهِ بِعِلْمِي وَهُوَ أَقْوَى مِنْ شَاهِدَيْنِ أَوْ بِشَاهِدَيْنِ وَبِشَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ وَهُوَ أَقْوَى مِنْ شَاهِدٍ وَيَمِينٍ وَبِشَاهِدٍ وَيَمِينٍ وَهُوَ أَقْوَى مِنْ النُّكُولِ وَرَدِّ الْيَمِينِ قَالَ: وَأُحِبُّ لِلْإِمَامِ إذْ وَلَّى الْقَضَاءَ رَجُلًا أَنْ يَجْعَلَ لَهُ أَنْ يُوَلِّيَ الْقَضَاءَ مَنْ رَأَى فِي الطَّرَفِ مِنْ أَطْرَافِهِ فَيَجُوزُ حُكْمُهُ، وَلَوْ عُزِلَ فَقَالَ: قَدْ كُنْت قَضَيْتُ لِفُلَانٍ عَلَى فُلَانٍ لَمْ يُقْبَلْ إلَّا بِشُهُودٍ وَكُلُّ مَا حَكَمَ بِهِ لِنَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَمَنْ لَا تَجُوزُ لَهُ شَهَادَتُهُ رَدَّ حُكْمَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) dan ia menegaskan bahwa mendengar pengakuan darinya lebih kuat daripada kesaksian. Demikian pula yang ia sebutkan dalam kitab Ar-Risalah: “Aku memutuskan berdasarkan pengetahuanku, dan itu lebih kuat daripada dua saksi, atau dengan dua saksi, atau dengan satu saksi dan dua perempuan, dan itu lebih kuat daripada satu saksi dan sumpah, atau dengan satu saksi dan sumpah, dan itu lebih kuat daripada penolakan sumpah.” Beliau berkata: “Dan aku berpendapat bahwa jika seorang imam mengangkat seseorang sebagai hakim, sebaiknya ia memberikan wewenang kepada hakim tersebut untuk mengangkat hakim lain di wilayahnya yang ia anggap layak, sehingga keputusannya sah. Namun jika ia diberhentikan, lalu berkata: ‘Aku pernah memutuskan untuk si fulan atas si fulan,’ maka hal itu tidak diterima kecuali dengan adanya saksi. Setiap keputusan yang ia buat untuk dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya, atau orang yang kesaksiannya tidak sah, maka keputusannya ditolak.”

الشَّهَادَاتُ

 

Kesaksian-kesaksian

فِي الْبُيُوعِ مُخْتَصَرٌ مِنْ الْجَامِعِ مِنْ اخْتِلَافِ الْحُكَّامِ وَالشَّهَادَاتِ وَمِنْ أَحْكَامِ الْقُرْآنِ وَمِنْ مَسَائِلَ شَتَّى سَمِعْتهَا مِنْهُ لَفْظًا.

 

Dalam jual beli, ringkasan dari Al-Jami’ tentang perbedaan pendapat para hakim dan persaksian, serta dari hukum-hukum Al-Qur’an dan berbagai masalah yang kudengar langsung darinya secara lisan.

(Asy-Syafi’i berkata): Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.” (QS. Al-Baqarah: 282). Perintah Allah yang Maha Agung ini mengandung dua kemungkinan: pertama, boleh ditinggalkan, dan kedua, wajib sehingga orang yang meninggalkannya bermaksiat. Ketika Allah ‘azza wa jalla memerintahkan dalam ayat tentang hutang—dan hutang termasuk jual beli—untuk menghadirkan saksi, lalu berfirman, “Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya.” (QS. Al-Baqarah: 283), ini menunjukkan bahwa perintah pertama (mengenai saksi) merupakan anjuran karena adanya manfaat dalam persaksian, seperti mencegah pengingkaran atau lupa yang dapat menimbulkan kezaliman, serta membersihkan tanggung jawab setelah kematian, bukan yang lain. Setiap perintah yang Allah anjurkan adalah kebaikan yang tidak bisa digantikan oleh orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli seekor kuda dari seorang badui, lalu si badui itu mengingkari transaksi tersebut karena hasutan sebagian orang munafik, dan tidak ada saksi di antara mereka. Seandainya persaksian itu wajib, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan meninggalkannya.

 

بَابُ عِدَّةِ الشُّهُودِ

 

Pasal tentang Jumlah Saksi

 

وَ حَيْثُ لَا يَجُوزُ فِيهِ النِّسَاءُ وَحَيْثُ يَجُوزُ وَحُكْمُ الْقَاضِي بِالظَّاهِرِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَدَلَّ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ عَلَى أَنْ لَا يَجُوزَ فِي الزِّنَا أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعَةٍ لِقَوْلِهِ {لَوْلا جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ} النور: 13 «وَقَالَ سَعْدٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْت لَوْ وَجَدْت مَعَ امْرَأَتِي رَجُلًا أُمْهِلُهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ؟ فَقَالَ نَعَمْ» وَجَلَدَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – ثَلَاثَةً لَمَّا لَمْ يُقِمْ الرَّابِعُ وَقَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ فِي الْإِمْسَاكِ وَالْفِرَاقِ {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} الطلاق: 2 فَانْتَهَى إلَى شَاهِدَيْنِ وَدَلَّ عَلَى مَا دَلَّ قَبْلَهُ مِنْ نَفْيِ أَنْ يَجُوزَ فِيهِ إلَّا رِجَالٌ لَا نِسَاءَ مَعَهُمْ؛ لِأَنَّهُ لَا يَحْتَمِلُ إلَّا أَنْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ، وَقَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ فِي آيَةِ الدَّيْنِ {فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ} البقرة: 282 وَلَمْ يَذْكُرْ فِي شُهُودِ الزِّنَا وَلَا الْفِرَاقِ وَلَا الرَّجْعَةِ امْرَأَةً وَوَجَدْنَا شُهُودَ الزِّنَا يَشْهَدُونَ عَلَى حَدٍّ لَا مَالٍ، وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ تَحْرِيمٌ بَعْدَ تَحْلِيلٍ وَتَثْبِيتُ تَحْلِيلٍ لَا مَالَ وَالْوَصِيَّةُ إلَى الْمُوصَى إلَيْهِ قِيَامٌ بِمَا أَوْصَى بِهِ إلَيْهِ لَا أَنَّ لَهُ مَالًا وَلَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ خَالَفَ فِي أَنَّهُ لَا يَجُوزُ فِي الزِّنَا إلَّا الرِّجَالُ وَأَكْثَرُهُمْ قَالَ وَلَا فِي الطَّلَاقِ وَلَا فِي الرَّجْعَةِ إذَا تَنَاكَرَ الزَّوْجَانِ، وَقَالُوا ذَلِكَ فِي الْوَصِيَّةِ فَكَانَ ذَلِكَ كَالدَّلَالَةِ عَلَى ظَاهِرِ الْقُرْآنِ وَكَانَ أَوْلَى الْأُمُورِ بِأَنْ يُصَارَ إلَيْهِ وَيُقَاسَ عَلَيْهِ وَالدَّيْنُ مَالٌ فَمَا أَخَذَ بِهِ الْمَشْهُودُ لَهُ مَا لَا جَازَتْ فِيهِ شَهَادَةُ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ وَمَا عَدَا ذَلِكَ فَلَا يَجُوزُ فِيهِ إلَّا الرِّجَالُ.

 

 

Dan di mana perempuan tidak diperbolehkan (menjadi saksi) dan di mana diperbolehkan, serta keputusan hakim berdasarkan zhahir (Asy-Syafi’i berkata): Allah Jalla Tsana’uhu telah menunjukkan bahwa dalam persaksian zina tidak boleh kurang dari empat orang, berdasarkan firman-Nya: “Mengapa mereka (yang menuduh) tidak mendatangkan empat orang saksi?” (An-Nur: 13). Sa’d berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menemukan seorang laki-laki bersama isteriku, apakah aku harus menunggu sampai mendatangkan empat saksi?” Beliau menjawab, “Ya.” Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhu- pernah mencambuk tiga orang karena tidak menghadirkan saksi keempat. Allah Jalla Tsana’uhu berfirman tentang rujuk dan talak: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (At-Talaq: 2), sehingga cukup dengan dua saksi. Ini menunjukkan bahwa yang diperbolehkan hanyalah laki-laki, tidak bersama perempuan, karena yang dimaksud pasti dua laki-laki. Dalam ayat hutang, Allah berfirman: “Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua perempuan.” (Al-Baqarah: 282). Namun, dalam persaksian zina, talak, atau rujuk, tidak disebutkan perempuan. Kami melihat saksi zina memberikan kesaksian atas hukuman had, bukan harta. Talak dan rujuk adalah pengharaman setelah kehalalan atau penetapan kehalalan, bukan harta. Wasiat kepada penerima wasiat adalah pelaksanaan amanah, bukan kepemilikan harta. Aku tidak mengetahui seorang ulama pun yang berbeda pendapat bahwa dalam zina hanya laki-laki yang boleh menjadi saksi. Sebagian besar mereka juga mengatakan demikian dalam talak dan rujuk jika suami-isteri saling mengingkari. Mereka juga berpendapat demikian dalam wasiat. Ini menjadi petunjuk atas zhahir Al-Qur’an dan merupakan hal yang paling utama untuk diikuti serta diqiyaskan. Hutang berkaitan dengan harta, sehingga dalam hal yang melibatkan harta, kesaksian perempuan bersama laki-laki diperbolehkan. Selain itu, hanya laki-laki yang diperbolehkan menjadi saksi.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَفِي قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى {فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ} البقرة: 282 وَقَالَ {أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى} البقرة: 282 دَلَالَةٌ عَلَى أَنْ لَا تَجُوزَ شَهَادَةُ النِّسَاءِ حَيْثُ يُجَزْنَ إلَّا مَعَ الرَّجُلِ وَلَا يَجُوزُ مِنْهُنَّ إلَّا امْرَأَتَانِ فَصَاعِدًا وَأَصْلُ النِّسَاءِ أَنَّهُ قَصَرَ بِهِنَّ عَنْ أَشْيَاءَ بَلَغَهَا الرِّجَالُ أَنَّهُمْ جُعِلُوا قَوَّامِينَ عَلَيْهِنَّ وَحُكَّامًا وَمُجَاهِدِينَ وَأَنَّ لَهُمْ السَّهْمَيْنِ مِنْ الْغَنِيمَةِ دُونَهُنَّ وَغَيْرَ ذَلِكَ فَالْأَصْلُ أَنْ لَا يُجَزْنَ فَإِذَا أُجِزْنَ فِي مَوْضِعٍ لَمْ يَعْدُ بِهِنَّ ذَلِكَ الْمَوْضِعُ وَكَيْفَ أَجَازَهُنَّ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ فِي الطَّلَاقِ وَالْعَتَاقِ وَرَدَّهُنَّ فِي الْحُدُودِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Dalam firman Allah Tabaraka wa Ta’ala {Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka satu orang laki-laki dan dua orang perempuan} Al-Baqarah: 282 dan firman-Nya {agar jika salah seorang dari kedua perempuan itu lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya} Al-Baqarah: 282, terdapat petunjuk bahwa kesaksian perempuan tidak diperbolehkan di tempat-tempat yang diterima kecuali bersama laki-laki, dan tidak boleh dari mereka kecuali dua orang perempuan atau lebih. Asal hukum perempuan adalah bahwa mereka dibatasi dari hal-hal yang dicapai oleh laki-laki, bahwa laki-laki dijadikan pemimpin atas mereka, hakim, pejuang, dan bahwa mereka mendapatkan dua bagian dari harta rampasan sedangkan perempuan tidak, serta hal-hal lainnya. Maka asalnya adalah kesaksian perempuan tidak diterima. Jika diterima di suatu tempat, maka tidak boleh melampaui tempat itu. Bagaimana mungkin Muhammad bin Al-Hasan membolehkan kesaksian mereka dalam talak dan memerdekakan budak, namun menolaknya dalam hudud?”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَفِي إجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنْ لَا يُجَزْنَ عَلَى الزِّنَا وَلَمْ يَسْتَبِنْ فِي الْإِعْوَازِ مِنْ الْأَرْبَعَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنْ لَا يُجَزْنَ فِي الْوَصِيَّةِ إذْ لَمْ يَسْتَبِنْ فِي الْإِعْوَازِ مِنْ شَاهِدَيْنِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: إنْ شَهِدَتْ امْرَأَتَانِ لِرَجُلٍ بِمَالٍ حَلَفَ مَعَهُنَّ وَلَقَدْ خَالَفَهُ عَدَدٌ أَحْفَظُ ذَلِكَ عَنْهُمْ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ وَهَذَا إجَازَةُ النِّسَاءِ بِغَيْرِ رَجُلٍ فَيَلْزَمُهُ أَنْ يُجِيزَ أَرْبَعًا فَيُعْطِيَ بِهِنَّ حَقًّا فَإِنْ قَالَ: إنَّهُمَا مَعَ يَمِينِ رَجُلٍ فَيَلْزَمُهُ أَنْ لَا يُجِيزَهُمَا مَعَ يَمِينِ امْرَأَةٍ وَالْحُكْمُ فِيهِمَا وَاحِدٌ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Dalam kesepakatan mereka bahwa wanita tidak boleh menjadi saksi dalam kasus zina, dan ketidakjelasan tentang kurangnya empat saksi menjadi dalil bahwa wanita juga tidak boleh menjadi saksi dalam wasiat jika tidak jelas tentang kurangnya dua saksi. Sebagian sahabat kami berkata: ‘Jika dua wanita bersaksi untuk seorang laki-laki tentang harta, maka dia harus bersumpah bersama mereka.’ Namun, banyak orang dari penduduk Madinah yang aku hafal pendapat mereka menyelisihi hal ini. Ini adalah bentuk penerimaan kesaksian wanita tanpa laki-laki, sehingga konsekuensinya harus menerima empat wanita untuk menetapkan suatu hak. Jika ada yang berkata: ‘Dua wanita itu disertai sumpah seorang laki-laki,’ maka konsekuensinya adalah tidak boleh menerima dua wanita yang disertai sumpah seorang wanita, karena hukum dalam kedua kasus tersebut sama.”

 

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyebutkan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَكَانَ الْقَتْلُ وَالْجِرَاحُ وَشُرْبُ الْخَمْرِ وَالْقَذْفِ مِمَّا لَمْ يُذْكَرْ فِيهِ عَدَدَ الشُّهُودِ فَكَانَ ذَلِكَ قِيَاسًا عَلَى شَاهِدَيْ الطَّلَاقِ وَغَيْرِهِ مِمَّا وَصَفْت

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Pembunuhan, luka-luka, minum khamr, dan qadzaf termasuk perkara yang tidak disebutkan jumlah saksi. Maka hal itu diqiyaskan kepada dua saksi dalam perceraian dan lainnya sebagaimana yang telah aku jelaskan.”

 

(قَالَ) : وَلَا يُحِلُّ حُكْمُ الْحَاكِمِ الْأُمُورَ عَمَّا هِيَ عَلَيْهِ أَخْبَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ يَقْضِي بِالظَّاهِرِ وَيَتَوَلَّى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّرَائِرَ، فَقَالَ «مَنْ قَضَيْت لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ بِشَيْءٍ فَلَا يَأْخُذُهُ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ»

Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Keputusan hakim tidak menghalalkan perkara dari hakikatnya. Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- telah memberitahukan bahwa beliau memutuskan berdasarkan yang zhahir, sedangkan Allah ‘azza wa jalla yang mengurusi yang tersembunyi. Beliau bersabda: ‘Barangsiapa aku putuskan untuknya mengambil hak saudaranya, maka janganlah dia mengambilnya, karena itu sama saja aku memberinya sepotong api neraka.'”

 

فَلَوْ شَهِدَا بِزُورٍ أَنَّ رَجُلًا طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلَاثًا فَفَرَّقَ الْحَاكِمُ بَيْنَهُمَا كَانَتْ لَهُ حَلَالًا غَيْرَ أَنَّا نَكْرَهُ أَنْ يَطَأَهَا فَيُحَدَّا وَيَلْزَمُ مَنْ زَعَمَ أَنَّ فُرْقَتَهُ فُرْقَةٌ تُحَرَّمُ بِهَا عَلَى الزَّوْجِ وَيَحِلُّ لِأَحَدِ الشَّاهِدَيْنِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَقُولَ: لَوْ شَهِدَا لَهُ بِزُورٍ أَنَّ هَذَا قَتَلَ ابْنَهُ عَمْدًا فَأَبَاحَ لَهُ الْحَاكِمُ دَمَهُ أَنْ يُرِيقَ دَمَهُ وَيَحِلُّ لَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

“Seandainya dua saksi bersaksi palsu bahwa seorang suami telah menceraikan istrinya tiga kali, lalu hakim memisahkan keduanya, maka wanita itu halal baginya. Namun kami memakruhkan jika dia menggaulinya sehingga keduanya dihukum had. Dan wajib bagi orang yang berpendapat bahwa perpisahan itu adalah perpisahan yang mengharamkan istri bagi suaminya, serta halal bagi salah seorang saksi untuk menikahinya dalam hubungannya dengan Allah ‘azza wa jalla, untuk mengatakan: ‘Seandainya mereka bersaksi palsu bahwa dia membunuh anak pamannya dengan sengaja, lalu hakim menghalalkan darahnya, maka dia boleh menumpahkan darahnya dan halal baginya dalam hubungannya dengan Allah ‘azza wa jalla.'”

 

بَابُ شَهَادَةِ النِّسَاءِ لَا رَجُلَ مَعَهُنَّ

 

Bab tentang kesaksian perempuan tanpa adanya laki-laki bersama mereka

 

وَالرَّدِّ عَلَى مَنْ أَجَازَ شَهَادَةَ امْرَأَةٍ مِنْ هَذَا الْكِتَابِ مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى وَأَبِي حَنِيفَةَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَالْوِلَادَةُ وَعُيُوبُ النِّسَاءِ مِمَّا لَمْ أَعْلَمْ فِيهِ مُخَالِفًا فِي أَنَّ شَهَادَةَ النِّسَاءِ جَائِزَةٌ فِيهِ لَا رَجُلَ مَعَهُنَّ وَاخْتَلَفُوا فِي عَدَدِهَا فَقَالَ عَطَاءٌ: لَا يَكُونُ فِي شَهَادَةِ النِّسَاءِ لَا رَجُلَ مَعَهُنَّ فِي أَمْرِ النِّسَاءِ أَقَلُّ مِنْ أَرْبَعٍ عُدُولٍ.

 

 

Dan sanggahan terhadap orang yang membolehkan kesaksian seorang wanita dari kitab ini, dari kitab Ikhtilaf Ibnu Abi Laila dan Abu Hanifah. (Asy-Syafi’i berkata) -semoga Allah merahmatinya-: “Kelahiran dan aib-aib wanita termasuk hal yang tidak aku ketahui adanya perbedaan pendapat tentang bolehnya kesaksian wanita dalam hal tersebut tanpa disertai laki-laki. Mereka berselisih tentang jumlahnya, Atha’ berkata: ‘Tidak boleh dalam kesaksian wanita tanpa disertai laki-laki dalam urusan wanita kurang dari empat orang wanita yang adil.'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَبِهَذَا نَأْخُذُ وَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ النِّسَاءَ فَجَعَلَ امْرَأَتَيْنِ يَقُومَانِ مَقَامَ رَجُلٍ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي أَجَازَهُمَا فِيهِ دَلَّ – وَاَللَّهُ أَعْلَمُ – إذْ أَجَازَ الْمُسْلِمُونَ شَهَادَةَ النِّسَاءِ فِي مَوْضِعٍ أَنْ لَا يَجُوزَ مِنْهُنَّ إلَّا أَرْبَعٌ عُدُولٌ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مَعْنَى حُكْمِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Dan dengan ini kami mengambil (hukum). Ketika Allah menyebutkan tentang perempuan, lalu menjadikan dua perempuan setara dengan satu laki-laki dalam tempat yang Dia perbolehkan bagi mereka, hal itu menunjukkan – wallahu a’lam – ketika kaum muslimin membolehkan kesaksian perempuan dalam suatu perkara, bahwa tidak boleh kecuali dari empat perempuan yang adil. Karena itulah makna hukum Allah ‘Azza wa Jalla.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَقُلْت لِمَنْ يُجِيزُ شَهَادَةَ امْرَأَةٍ فِي الْوِلَادَةِ كَمَا يُجِيزُ الْخَبَرَ بِهَا لَا مِنْ قِبَلِ الشَّهَادَةِ وَأَيْنَ الْخَبَرُ مِنْ الشَّهَادَةِ أَتَقْبَلُ امْرَأَةً عَنْ امْرَأَةٍ أَنَّ امْرَأَةَ رَجُلٍ وَلَدَتْ هَذَا الْوَلَدَ؟ قَالَ: لَا، قُلْت: فَتُقْبَلُ فِي الْخَبَرِ أَخْبَرَنَا فُلَانٌ عَنْ فُلَانٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْت: فَالْخَبَرُ هُوَ مَا اسْتَوَى فِيهِ الْمُخْبِرُ وَالْمُخْبَرُ، وَالْعَامَّةُ مِنْ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، قُلْت: وَالشَّهَادَةُ مَا كَانَ الشَّاهِدُ مِنْهُ خَلِيًّا وَالْعَامَّةُ وَإِنَّمَا نُلْزِمُ الْمَشْهُودَ عَلَيْهِ؟ قَالَ نَعَمْ: قُلْت: أَفَتَرَى هَذَا مُشْبِهًا لِهَذَا؟ قَالَ: أَمَّا فِي هَذَا فَلَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan aku bertanya kepada orang yang membolehkan kesaksian seorang wanita dalam persoalan kelahiran sebagaimana dia membolehkan kabar tentang hal itu, bukan dari sisi kesaksian. Di mana letak persamaan antara kabar dan kesaksian? Apakah engkau menerima (kabar) dari seorang wanita tentang wanita lain bahwa istri seseorang melahirkan anak ini? Dia menjawab: Tidak. Aku bertanya: Lalu apakah dalam kabar diterima jika si fulan mengabarkan kepada kami dari fulan lainnya? Dia menjawab: Ya. Aku berkata: Jadi kabar adalah sesuatu yang setara antara yang mengabarkan dan yang dikabarkan, serta masyarakat umum, baik dalam hal yang halal atau haram? Dia menjawab: Ya. Aku berkata: Sedangkan kesaksian adalah ketika saksi bebas (dari kepentingan) dan masyarakat umum, dan kita hanya memberatkan orang yang disaksikan? Dia menjawab: Ya. Aku bertanya: Apakah engkau melihat ini mirip dengan itu? Dia menjawab: Dalam hal ini, tidak.

 

بَابُ شَهَادَةِ الْقَاذِفِ

 

Bab Kesaksian Pencela

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَمَرَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْ يُضْرَبَ الْقَاذِفُ ثَمَانِينَ وَلَا تُقْبَلَ لَهُ شَهَادَةٌ أَبَدًا وَسَمَّاهُ فَاسِقًا إلَّا أَنْ يَتُوبَ فَإِذَا تَابَ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ وَلَا خِلَافَ بَيْنَنَا فِي الْحَرَمَيْنِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا فِي أَنَّهُ إذَا تَابَ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Allah Tabaraka wa Ta’ala memerintahkan agar pencela (qadzaf) dipukul delapan puluh kali dan kesaksiannya tidak diterima selamanya, serta menyebutnya sebagai fasik kecuali jika ia bertaubat. Jika ia bertaubat, maka kesaksiannya diterima. Tidak ada perbedaan pendapat di antara kami (ulama) di dua tanah haram (Mekah dan Madinah), baik dahulu maupun sekarang, bahwa jika ia bertaubat, kesaksiannya diterima.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَالتَّوْبَةُ إكْذَابُهُ نَفْسَهُ؛ لِأَنَّهُ أَذْنَبَ بِأَنْ نَطَقَ بِالْقَذْفِ وَالتَّوْبَةُ مِنْهُ أَنْ يَقُولَ: الْقَذْفُ بَاطِلٌ كَمَا تَكُونُ الرِّدَّةُ بِالْقَوْلِ وَالتَّوْبَةُ عَنْهَا بِالْقَوْلِ فَإِنْ كَانَ عَدْلًا قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ وَإِلَّا فَحَتَّى يَحْسُنَ حَالُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Taubat adalah mendustakan dirinya sendiri, karena ia berdosa dengan mengucapkan tuduhan (qadzf). Taubat darinya adalah dengan mengatakan bahwa tuduhan itu batil, sebagaimana kemurtadan terjadi dengan ucapan dan taubat darinya juga dengan ucapan. Jika ia seorang yang adil, maka kesaksiannya diterima. Jika tidak, maka sampai keadaannya membaik.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ قَالَ: سَمِعْت الزُّهْرِيَّ يَقُولُ: زَعَمَ أَهْلُ الْعِرَاقِ أَنَّ شَهَادَةَ الْقَذْفِ لَا تَجُوزُ فَأَشْهَدُ لَأَخْبَرَنِي ثُمَّ سَمَّى الَّذِي أَخْبَرَهُ أَنَّ عُمَرَ قَالَ لِأَبِي بَكْرَةَ: تُبْ تُقْبَلْ شَهَادَتُك أَوْ قَالَ: إنْ تُبْتَ قُبِلَتْ شَهَادَتُك.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Az-Zuhri berkata: Penduduk Irak mengklaim bahwa kesaksian dalam kasus qadzaf (tuduhan zina) tidak diperbolehkan. Maka aku bersaksi bahwa sungguh telah mengabarkan kepadaku – kemudian ia menyebutkan orang yang mengabarkan kepadanya – bahwa Umar berkata kepada Abu Bakrah: “Bertaubatlah, niscaya kesaksianmu diterima.” Atau ia berkata: “Jika engkau bertaubat, kesaksianmu akan diterima.”

 

(قَالَ) : وَبَلَغَنِي عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ مِثْلُ مَعْنَى هَذَا، وَقَالَ ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ كُلُّنَا نَقُولُهُ قُلْت: مَنْ؟ قَالَ عَطَاءٌ وَطَاوُسٌ وَمُجَاهِدٌ وَقَالَ الشَّعْبِيُّ: يَقْبَلُ اللَّهُ تَوْبَتَهُ وَلَا تَقْبَلُونَ شَهَادَتَهُ؟

 

 

Beliau berkata: “Telah sampai kepadaku dari Ibnu Abbas makna seperti ini. Ibnu Abi Najih berkata, ‘Kami semua mengatakannya.’ Aku bertanya, ‘Siapa?’ Dia menjawab, ‘Atha’, Thawus, dan Mujahid.’ Asy-Sya’bi berkata, ‘Allah menerima taubatnya, tetapi kalian tidak menerima kesaksiannya?'”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَهُوَ قَبْلَ أَنْ يُحَدَّ شَرٌّ مِنْهُ حِينَ يُحَدَّ؛ لِأَنَّ الْحُدُودَ كَفَّارَاتٌ لِأَهْلِهَا فَكَيْفَ تَرُدُّونَهَا فِي أَحْسَنِ حَالَاتِهِ وَتَقْبَلُونَهَا فِي شَرِّ حَالَاتِهِ؟ وَإِذَا قَبِلْتُمْ تَوْبَةَ الْكَافِرِ وَالْقَاتِلِ عَمْدًا كَيْفَ لَا تَقْبَلُونَ تَوْبَةَ الْقَاذِفِ وَهُوَ أَيْسَرُ ذَنْبًا؟ .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Keadaannya sebelum dihukum lebih buruk daripada setelah dihukum, karena hukuman-hukuman itu menjadi penebus dosa bagi pelakunya. Bagaimana kalian menolaknya dalam keadaan terbaiknya dan menerimanya dalam keadaan terburuknya? Jika kalian menerima taubat orang kafir dan pembunuh dengan sengaja, bagaimana kalian tidak menerima taubat orang yang menuduh (berzina) padahal dosanya lebih ringan?”

 

بَابُ التَّحَفُّظِ فِي الشَّهَادَةِ وَالْعِلْمِ بِهَا

Bab tentang kehati-hatian dalam kesaksian dan pengetahuan tentangnya

(Asy-Syafi’i berkata): Allah Jalla Tsana’uhu berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’: 36). Dan Dia berfirman, “Kecuali orang yang bersaksi dengan kebenaran sedangkan mereka mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf: 86). Dia (Asy-Syafi’i) berkata: Ilmu itu berasal dari tiga sisi. Pertama, apa yang disaksikan secara langsung lalu ia bersaksi atasnya. Kedua, apa yang telah tersebar beritanya dan pengetahuan tentangnya telah tetap dalam hati, lalu ia bersaksi atasnya. Ketiga, apa yang ditetapkan melalui pendengaran disertai penglihatan dari para saksi atasnya. Oleh karena itu, kami mengatakan: Tidak boleh menerima kesaksian orang buta, karena suara bisa menyerupai suara lain, kecuali jika ia telah menetapkan sesuatu melalui penyaksian langsung, pendengaran, dan nasab, kemudian ia buta, maka kesaksiannya boleh diterima dan tidak ada alasan untuk menolaknya.

 

 

(قَالَ) : وَالشَّهَادَةُ عَلَى مِلْكِ الرَّجُلِ الدَّارَ وَالثَّوْبَ عَلَى ظَاهِرِ الْأَخْبَارِ بِأَنَّهُ مَالِكٌ وَلَا يَرَى مُنَازِعًا فِي ذَلِكَ فَتَثْبُتُ مَعْرِفَتُهُ فِي الْقَلْبِ فَتُسْمَعُ الشَّهَادَةُ عَلَيْهِ وَعَلَى النَّسَبِ إذَا سَمِعَهُ يَنْسُبُهُ زَمَانًا وَسَمِعَ غَيْرَهُ يَنْسُبُهُ إلَى نَسَبِهِ وَلَمْ يَسْمَعْ دَافِعًا وَلَا دَلَالَةً يَرْتَابُ بِهَا وَكَذَلِكَ يَشْهَدُ عَلَى عَيْنِ الْمَرْأَةِ وَنَسَبِهَا إذَا تَظَاهَرَتْ لَهُ الْأَخْبَارُ مِمَّنْ يُصَدِّقُ بِأَنَّهَا فُلَانَةُ وَرَآهَا مَرَّةً وَهَذَا كُلُّهُ شَهَادَةٌ بِعِلْمٍ كَمَا وَصَفْنَا وَكَذَلِكَ يَحْلِفُ الرَّجُلُ عَلَى مَا يَعْلَمُ بِأَحَدِ هَذِهِ الْوُجُوهِ فِيمَا أَخَذَ بِهِ مَعَ شَاهِدِهِ وَفِي رَدِّ يَمِينٍ وَغَيْرِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Kesaksian atas kepemilikan seseorang terhadap rumah atau pakaian didasarkan pada kabar yang jelas bahwa dia adalah pemiliknya, tanpa melihat adanya pihak yang mengingkarinya. Maka keyakinannya tertanam dalam hati sehingga kesaksian dapat diterima. Begitu pula kesaksian tentang nasab, jika dia mendengarnya menyandang nasab tersebut dalam waktu lama dan mendengar orang lain juga menyandangkannya tanpa ada yang mengingkari atau tanda-tanda yang meragukan. Demikian pula kesaksian tentang identitas wanita dan nasabnya jika terdapat kabar yang jelas dari orang-orang yang dipercaya bahwa dia adalah si Fulanah, dan dia pernah melihatnya sekali. Semua ini adalah kesaksian berdasarkan ilmu sebagaimana kami jelaskan. Begitu pula seseorang boleh bersumpah atas apa yang dia ketahui melalui salah satu cara ini dalam perkara yang dia pegang bersama saksi, atau dalam menolak sumpah dan lainnya.”

(Asy-Syafi’i berkata): Dan aku katakan kepada orang yang berkata, “Aku tidak menerima kesaksian seorang saksi meskipun dia melihat saat dia mengetahui, sampai dia menyaksikan langsung orang yang terhadapnya kesaksian itu diberikan pada hari dia memberikan kesaksiannya.” Maka kamu menerima kesaksian seorang yang melihat terhadap mayit dan terhadap orang yang tidak hadir dalam suatu keadaan, dan ini serupa dengan apa yang kamu ingkari.

 

بَابُ مَا يَجِبُ عَلَى الْمَرْءِ مِنْ الْقِيَامِ بِالشَّهَادَةِ إذَا دُعِيَ لِيَشْهَدَ أَوْ يَكْتُبَ

 

Bab tentang kewajiban seseorang untuk memberikan kesaksian ketika diminta untuk bersaksi atau menulis

(Asy-Syafi’i) -rahimahullah- berkata: Allah Jalla Tsana’uhu berfirman: “Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sungguh dia adalah orang yang berdosa hatinya.” (QS. Al-Baqarah: 283).

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) وَاَلَّذِي أَحْفَظُ عَنْ كُلِّ مَنْ سَمِعْت مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ ذَلِكَ فِي الشَّاهِدِ قَدْ لَزِمَتْهُ الشَّهَادَةُ وَأَنَّ فَرْضًا عَلَيْهِ أَنْ يَقُومَ بِهَا عَلَى وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالْقَرِيبِ وَالْبَعِيدِ لَا تُكْتَمُ عَنْ أَحَدٍ وَلَا يُحَابَى بِهَا أَحَدٌ وَلَا يُمْنَعُهَا أَحَدٌ ثُمَّ تَتَفَرَّعُ الشَّهَادَاتُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) Dan yang aku hafal dari semua ulama yang kudengar, bahwa bagi seorang saksi telah diwajibkan kesaksian, dan kewajiban baginya untuk menyampaikannya terhadap orang tua, anak, kerabat, atau orang jauh. Tidak boleh disembunyikan dari siapa pun, tidak boleh berpihak kepada siapa pun, dan tidak boleh dihalangi oleh siapa pun. Kemudian kesaksian-kesaksian itu bercabang-cabang.

(Asy-Syafi’i berkata): Allah Jalla Tsana’uhu berfirman, “Dan janganlah penulis dan saksi saling dirugikan” QS. Al-Baqarah: 282. Maka nampaknya orang yang meninggalkan hal itu (kewajiban menulis utang) dengan tujuan merugikan telah keluar (dari ketentuan ayat). Kewajiban melaksanakannya sejak awal adalah fardhu kifayah, seperti jihad, mengurus jenazah, dan menjawab salam. Dan aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang apa yang kukatakan dari seorang pun.

 

بَابُ شَرْطِ الَّذِينَ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُمْ

 

Bab tentang syarat-syarat orang yang diterima kesaksiannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} الطلاق: 2 وَقَالَ {مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ} البقرة: 282 قَالَ: فَكَانَ الَّذِي يَعْرِفُ مَنْ خُوطِبَ بِهَذَا أَنَّهُ أُرِيدَ بِذَلِكَ الْأَحْرَارُ الْبَالِغُونَ الْمُسْلِمُونَ الْمَرْضِيُّونَ وَقَوْلُهُ {شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ} البقرة: 282 يَدُلُّ عَلَى إبْطَالِ قَوْلِ مَنْ قَالَ: تَجُوزُ شَهَادَةُ الصِّبْيَانِ فِي الْجِرَاحِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقُوا فَإِنْ قَالَ: أَجَازَهَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فَابْنُ عَبَّاسٍ رَدَّهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Allah Jalla Tsanā’uhu berfirman, “Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu.” (QS. At-Talaq: 2) dan firman-Nya, “Dari orang-orang yang kamu ridai sebagai saksi.” (QS. Al-Baqarah: 282). Beliau berkata: Maka orang yang memahami kepada siapa ayat ini ditujukan mengetahui bahwa yang dimaksud adalah orang merdeka, baligh, Muslim, dan diridai. Firman-Nya, “Dua orang saksi laki-laki di antara kamu.” (QS. Al-Baqarah: 282) menunjukkan batalnya pendapat orang yang mengatakan bahwa kesaksian anak kecil dalam kasus luka boleh diterima selama mereka belum berpisah. Jika ada yang berkata, “Ibnu Az-Zubair membolehkannya,” maka Ibnu Abbas menolaknya.

 

(قَالَ) : وَلَا تَجُوزُ شَهَادَةُ مَمْلُوكٍ وَلَا كَافِرٍ وَلَا صَبِيٍّ بِحَالٍ؛ لِأَنَّ الْمَمَالِيكَ يَغْلِبُهُمْ مَنْ يَمْلِكُهُمْ عَلَى أُمُورِهِمْ وَأَنَّ الصِّبْيَانَ لَا فَرَائِضَ عَلَيْهِمْ فَكَيْفَ يَجِبُ بِقَوْلِهِمْ فَرْضٌ وَالْمَعْرُوفُونَ بِالْكَذِبِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ لَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُمْ فَكَيْفَ تَجُوزُ شَهَادَةُ الْكَافِرِينَ مَعَ كِذْبِهِمْ عَلَى اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ.

 

 

Beliau berkata: “Tidak sah kesaksian seorang budak, orang kafir, atau anak kecil dalam keadaan apa pun. Karena budak biasanya dikuasai oleh pemiliknya dalam urusan mereka, sedangkan anak-anak tidak memiliki kewajiban (syariat), maka bagaimana mungkin perkataan mereka bisa menetapkan kewajiban? Orang-orang Muslim yang dikenal suka berbohong pun kesaksiannya tidak sah, maka bagaimana mungkin kesaksian orang kafir bisa diterima sementara mereka berdusta terhadap Allah Yang Maha Agung dan Mulia.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَحْسَنَ الشَّافِعِيُّ.

 

(Al-Muzani berkata) “Asy-Syafi’i telah berbuat baik.”

 

 

كِتَابُ الْأَقْضِيَةِ وَالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ وَمَا دَخَلَ فِيهِ مِنْ اخْتِلَافِ الْحَدِيثِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

 

 

Kitab tentang Keputusan Hukum dan Sumpah beserta Saksi, serta Perbedaan Hadis dan Hal Lain yang Termasuk di Dalamnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ الْمَخْزُومِيُّ عَنْ سَيْفِ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ قَيْسِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ» قَالَ عَمْرٌو فِي الْأَمْوَالِ وَرَوَاهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ» وَمِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَضَى بِالْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ» وَرَوَاهُ عَنْ عَلِيٍّ وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَشُرَيْحٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Al-Harits bin Abdul Malik Al-Makhzumi dari Saif bin Sulaiman dari Qais bin Sa’d dari Amr bin Dinar dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memutuskan dengan sumpah bersama seorang saksi.” Amr berkata: dalam hal harta. Dan diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah, “Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memutuskan dengan sumpah bersama seorang saksi.” Dan dari hadits Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, “Sesungguhnya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- memutuskan dengan sumpah bersama seorang saksi.” Dan diriwayatkan dari Ali, Ubay bin Ka’ab, Umar bin Abdul Aziz, dan Syuraih.

(Asy-Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memutuskan dengan sumpah bersama satu saksi, dan ‘Amr berkata: ‘Dialah yang meriwayatkan hadits tentang harta.’ Ja’far bin Muhammad juga berkata dari riwayat Muslim bin Khalid tentang hutang, dan hutang termasuk harta. Hal itu menunjukkan bahwa tidak boleh diputuskan dengan sumpah dan satu saksi kecuali dalam perkara yang telah diputuskan oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – atau yang semakna dengannya.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Dan bukti dalam petunjuk sunnah Rasulullah – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ada dua macam: bukti yang sempurna, yaitu dengan jumlah saksi yang tidak mengharuskan penggugat bersumpah bersamanya, dan bukti yang kurang jumlahnya dalam hal harta, yang mengharuskan penggugat bersumpah bersamanya.” (قَالَ): “Maka setiap perkara yang berkaitan dengan harta yang berpindah dari satu pemilik ke pemilik lainnya, hingga menjadi serupa atau dalam makna yang serupa, diputuskan dengan satu saksi disertai sumpah. Demikian pula setiap perkara yang mewajibkan harta, baik karena luka, pembunuhan tanpa qishash, pengakuan, atau hal lain yang mewajibkan harta.”

 

وَلَوْ أَتَى قَوْمٌ بِشَاهِدٍ أَنَّ لِأَبِيهِمْ عَلَى فُلَانٍ حَقًّا أَوْ أَنَّ فُلَانًا قَدْ أَوْصَى لَهُمْ فَمَنْ حَلَفَ مِنْهُمْ مَعَ شَاهِدِهِ اسْتَحَقَّ مُوَرِّثَهُ أَوْ وَصِيَّتَهُ دُونَ مَنْ لَمْ يَحْلِفْ وَإِنْ كَانَ فِيهِمْ مَعْتُوهٌ وَقَفَ حَقُّهُ حَتَّى يَعْقِلَ فَيَحْلِفَ أَوْ يَمُوتَ فَيَقُومُ وَارِثُهُ مَقَامَهُ فَيَحْلِفُ وَيَسْتَحِقُّ وَلَا يَسْتَحِقُّ أَخٌ بِيَمِينِ أَخِيهِ وَلَيْسَ الْغَرِيمُ وَلَا الْمُوصَى لَهُ مِنْ مَعْنَى الْوَارِثِ فِي شَيْءٍ، وَإِنْ كَانُوا أَوْلَى بِمَالِ مَنْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ فَلَيْسَ مِنْ وَجْهٍ أَنَّهُمْ يَقُومُونَ مَقَامَهُ وَلَا يَلْزَمُهُمْ مَا يَلْزَمُ الْوَارِثَ مِنْ نَفَقَةِ عَبِيدِهِ الزَّمْنَى أَلَا تَرَى أَنَّهُ لَوْ ظَهَرَ لَهُ مَالٌ سِوَى مَالَهُ الَّذِي يُقَالُ لِلْغَرِيمِ: احْلِفْ عَلَيْهِ كَانَ لِلْوَرَثَةِ أَنْ يُعْطُوهُ مِنْ ذَلِكَ الْمَالِ الظَّاهِرَ الَّذِي لَمْ يَحْلِفْ عَلَيْهِ الْغَرِيمُ قَالَ: وَإِذَا حَلَفَ الْوَرَثَةُ فَالْغُرَمَاءُ أَحَقُّ بِمَالِ الْمَيِّتِ، وَلَوْ أَقَامَ شَاهِدًا أَنَّهُ سَرَقَ لَهُ مَتَاعًا مِنْ حِرْزٍ يُسَاوِي مَا تُقْطَعُ فِيهِ الْيَدُ حَلَفَ مَعَ شَاهِدِهِ وَاسْتَحَقَّ وَلَا يُقْطَعُ؛ لِأَنَّ الْحَدَّ لَيْسَ بِمَالٍ كَرَجُلٍ قَالَ: امْرَأَتِي طَالِقٌ وَعَبْدِي حُرٌّ إنْ كُنْت غَصَبْت فُلَانًا هَذَا الْعَبْدَ فَيَشْهَدُ لَهُ عَلَيْهِ بِغَصْبِهِ شَاهِدٌ فَيَحْلِفُ وَيَسْتَحِقُّ الْغَصْبَ، وَلَا يَثْبُتُ عَلَيْهِ طَلَاقٌ وَلَا عِتْقٌ؛ لِأَنَّ حُكْمَ الْحِنْثِ غَيْرُ حُكْمِ الْمَالِ.

 

 

Jika suatu kaum datang dengan membawa saksi bahwa ayah mereka memiliki hak atas seseorang atau bahwa seseorang telah berwasiat untuk mereka, maka siapa saja di antara mereka yang bersumpah bersama saksinya berhak mendapatkan warisan atau wasiatnya, berbeda dengan yang tidak bersumpah. Jika di antara mereka ada yang gila, haknya ditahan sampai ia sadar lalu bersumpah, atau sampai ia meninggal, maka ahli warisnya menggantikan posisinya untuk bersumpah dan berhak. Seorang saudara tidak berhak dengan sumpah saudaranya. Pihak yang berpiutang atau penerima wasiat tidak termasuk dalam makna ahli waris sama sekali. Meskipun mereka lebih berhak atas harta orang yang diambil sumpahnya, mereka tidak menggantikan posisinya dan tidak terbebani kewajiban seperti ahli waris dalam menafkahi budak-budak yang lemah. Tidakkah engkau melihat bahwa jika muncul harta selain hartanya yang diperintahkan untuk bersumpah atasnya, ahli waris boleh memberikannya dari harta yang muncul itu yang belum disumpahi oleh pihak berpiutang? Ia berkata: Jika ahli waris bersumpah, maka para piutang lebih berhak atas harta mayit. Jika seseorang mendatangkan saksi bahwa pencuri telah mencuri barangnya dari tempat penyimpanan senilai potong tangan, ia bersumpah bersama saksinya dan berhak, tetapi tangan tidak dipotong karena hukuman had bukan harta. Seperti seseorang yang berkata: “Istriku tertalak dan budakku merdeka jika aku merampas budak ini dari si fulan,” lalu ada saksi yang bersaksi atas perampasannya, ia bersumpah dan berhak atas rampasan, tetapi talak dan pembebasan tidak berlaku karena hukum sumpah palsu berbeda dengan hukum harta.

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَقَامَ شَاهِدًا عَلَى جَارِيَةٍ أَنَّهَا لَهُ وَابْنُهَا وَلَدٌ مِنْهُ حَلَفَ وَقُضِيَ لَهُ بِالْجَارِيَةِ كَانَتْ أُمَّ وَلَدِهِ بِإِقْرَارِهِ؛ لِأَنَّ أُمَّ الْوَلَدِ مَمْلُوكَةٌ وَلَا يُقْضَى لَهُ بِالِابْنِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُهُ عَلَى أَنَّهُ ابْنُهُ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia mendatangkan saksi atas seorang budak perempuan bahwa budak itu miliknya dan anaknya adalah anak darinya, lalu dia bersumpah dan diputuskan untuknya memiliki budak perempuan tersebut yang menjadi umm walad (ibu anak) karena pengakuannya—karena umm walad adalah budak yang dimiliki—namun tidak diputuskan untuknya memiliki anak tersebut karena dia tidak memiliki anak itu sebagai anak kandungnya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: يَأْخُذُهَا وَوَلَدَهَا وَيَكُونُ ابْنُهُ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Dan dia berkata di tempat lain: “Dia mengambilnya beserta anaknya, dan anak itu menjadi anaknya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَهَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ الْآتِي لَمْ يَخْتَلِفْ وَهُوَ قَوْلُهُ: لَوْ أَقَامَ شَاهِدًا عَلَى عَبْدٍ فِي يَدَيْ رَجُلٍ يَسْتَرِقُّهُ أَنَّهُ كَانَ عَبْدًا لَهُ فَأَعْتَقَهُ ثُمَّ غَصَبَهُ هَذَا بَعْدَ الْعِتْقِ حَلَفَ وَأَخَذَهُ وَكَانَ مَوْلًى لَهُ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini lebih mirip dengan pendapatnya yang akan datang tanpa perbedaan, yaitu ucapannya: Seandainya seseorang mendatangkan saksi atas seorang budak yang berada di tangan orang lain yang mengklaimnya sebagai budak miliknya, lalu ia memerdekakannya, kemudian orang ini merampasnya setelah pemerdekaan, maka ia bersumpah dan mengambilnya, serta budak itu menjadi maula (bekas budak yang memiliki hubungan khusus) dengannya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Maka tuannya tidak boleh mengambilnya dengan alasan mempekerjakannya sebagai budak, sebagaimana dia tidak boleh mengambil anaknya dengan alasan yang sama. Jika hal itu diperbolehkan bagi tuannya, maka itu juga berlaku bagi anaknya.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَقَامَ شَاهِدًا أَنَّ أَبَاهُ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ بِهَذِهِ الدَّارِ صَدَقَةً مُحَرَّمَةً مَوْقُوفَةً وَعَلَى أَخَوَيْنِ لَهُ فَإِذَا انْقَرَضُوا فَعَلَى أَوْلَادِهِمْ أَوْ عَلَى الْمَسَاكِينِ فَمَنْ حَلَفَ مِنْهُمْ ثَبَتَ حَقُّهُ وَصَارَ مَا بَقِيَ مِيرَاثًا فَإِنْ حَلَفُوا مَعًا خَرَجَتْ الدَّارُ مِنْ مِلْكِ صَاحِبِهَا إلَى مَنْ جُعِلَتْ لَهُ حَيَاتَهُ وَمَضَى الْحُكْمُ فِيهَا لَهُمْ، فَمَنْ جَاءَ بَعْدَهُمْ مِمَّنْ وُقِفَتْ عَلَيْهِ إذَا مَاتُوا قَامَ مَقَامَ الْوَارِثِ وَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ إلَّا وَاحِدٌ فَنَصِيبُهُ مِنْهَا وَهُوَ الثُّلُثُ صَدَقَةٌ عَلَى مَا شَهِدَ بِهِ شَاهِدُهُ، ثُمَّ نَصِيبُهُ عَلَى مَنْ تَصَدَّقَ بِهِ أَبُوهُ عَلَيْهِ بَعْدَهُ وَبَعْدَ أَخَوَيْهِ، فَإِنْ قَالَ الَّذِينَ تَصَدَّقَ بِهِ عَلَيْهِمْ بَعْدَ الِاثْنَيْنِ: نَحْنُ نَحْلِفُ عَلَى مَا أَبَى يَحْلِفُ عَلَيْهِ الِاثْنَانِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَكُونُ لَهُمْ إلَّا مَا كَانَ لِلِاثْنَيْنِ قَبْلَهُمْ. وَالْآخَرُ: أَنَّ ذَلِكَ لَهُمْ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُمْ إنَّمَا يَمْلِكُونَ إذَا حَلَفُوا بَعْدَ مَوْتِ الَّذِي جَعَلَ لَهُمْ مِلْكًا إذَا مَاتَ وَهُوَ أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ وَبِهِ أَقُولُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia mendatangkan seorang saksi bahwa ayahnya telah menyedekahkan rumah ini kepadanya sebagai sedekah yang diharamkan dan diwakafkan, serta kepada dua saudaranya, lalu apabila mereka telah tiada, maka (sedekah itu) untuk anak-anak mereka atau untuk orang-orang miskin. Barangsiapa di antara mereka yang bersumpah, maka haknya tetap, dan sisanya menjadi warisan. Jika mereka semua bersumpah, maka rumah itu keluar dari kepemilikan pemiliknya kepada orang yang dijadikan untuknya selama hidupnya, dan keputusan hukum berlaku bagi mereka. Siapa pun yang datang setelah mereka dari orang-orang yang diwakafkan kepadanya setelah mereka meninggal, maka dia menempati posisi ahli waris. Jika hanya satu yang bersumpah, maka bagiannya (sepertiga) menjadi sedekah sesuai dengan kesaksian saksinya, lalu bagiannya diberikan kepada orang yang ayahnya menyedekahkan kepadanya setelah dia dan dua saudaranya. Jika orang-orang yang disedekahkan setelah dua saudara itu berkata: ‘Kami bersedia bersumpah atas apa yang dua saudara itu enggan bersumpah,’ maka dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, mereka tidak mendapatkan kecuali apa yang diberikan kepada dua saudara sebelumnya. Kedua, hal itu menjadi milik mereka karena mereka hanya memiliki hak jika bersumpah setelah kematian orang yang menjadikan hak milik bagi mereka ketika dia meninggal. Pendapat kedua lebih sahih, dan inilah yang aku pegang. Wallahu a’lam.”

 

وَلَوْ قَالَ: وَعَلَى أَوْلَادِهِمْ وَأَوْلَادِ أَوْلَادِهِمْ مَا تَنَاسَلُوا، قَالَ: فَإِذَا حَدَثَ وَلَدٌ نَقَصَ مَنْ لَهُ حَقٌّ فِي الْحَبْسِ وَيُوقَفُ حَقُّ الْمَوْلُودِ حَتَّى يَبْلُغَ فَيَحْلِفَ فَيَأْخُذَ أَوْ يَدَعَ فَيُبْطِلَ حَقَّهُ وَيَرُدَّ كِرَاءَ مَا وُقِفَ لَهُ مِنْ حَقِّهِ عَلَى الَّذِينَ انْتَقَصُوا مِنْ أَجْلِهِ حُقُوقَهُمْ سَوَاءٌ بَيْنَهُمْ، فَإِنْ مَاتَ مِنْ الْمُنْتَقِصِ حُقُوقَهُمْ أَحَدٌ فِي نِصْفِ عُمُرِ الَّذِي وُقِفَ لَهُ إلَى أَنْ يَبْلُغَ رَدَّ حِصَّةَ الْمُوقِفِ عَلَى مَنْ مَعَهُ فِي الْحَبْسِ، وَأَعْطَى وَرَثَةَ الْمَيِّتِ مِنْهُمْ بِقَدْرِ مَا اسْتَحَقَّ مِمَّا رَدَّ عَلَيْهِ بِقَدْرِ حَقِّهِ.

 

 

Dan sekiranya dikatakan: “Dan atas anak-anak mereka serta anak-anak keturunan mereka selama mereka beranak-pinak,” maka apabila seorang anak lahir, berkuranglah hak orang yang berhak dalam penahanan. Hak anak yang baru lahir ditahan sampai ia dewasa, lalu bersumpah, kemudian mengambil atau meninggalkan (haknya), sehingga membatalkan haknya. Lalu dikembalikan sewa dari hak yang ditahan untuknya kepada orang-orang yang haknya berkurang karena kelahirannya, dibagi rata di antara mereka. Jika salah seorang yang haknya berkurang meninggal dalam separuh usia penahanan hingga anak itu dewasa, maka bagian yang ditahan dikembalikan kepada yang masih bersama dalam penahanan. Dan diberikan kepada ahli waris si mayit dari mereka sesuai dengan hak yang seharusnya ia terima dari yang dikembalikan, menurut kadar haknya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَصْلُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْمُحْبِسَ أَزَالَ مِلْكَ رَقَبَتِهِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِنَّمَا يَمْلِكُ الْمُحْبَسُ عَلَيْهِ مَنْفَعَتَهُ لَا رَقَبَتَهُ كَمَا أَزَالَ الْمُعْتِقُ مِلْكَهُ عَنْ رَقَبَةِ عَبْدِهِ وَإِنَّمَا يَمْلِكُ الْمُعْتَقُ مَنْفَعَةَ نَفْسِهِ لَا رَقَبَتَهُ وَهُوَ لَا يُجِيزُ الْيَمِينَ مَعَ الشَّاهِدِ إلَّا فِيمَا يَمْلِكُهُ الْحَالِفُ فَكَيْفَ يُخْرِجُ رَقَبَةَ مِلْكِ رَجُلٍ بِيَمِينِ مَنْ لَا يَمْلِكُ تِلْكَ الرَّقَبَةَ وَهُوَ لَا يُجِيزُ يَمِينَ الْعَبْدِ مَعَ شَاهِدِهِ بِأَنَّ مَوْلَاهُ أَعْتَقَهُ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ مَا كَانَ السَّيِّدُ يَمْلِكُهُ مِنْ رَقَبَتِهِ فَكَذَلِكَ يَنْبَغِي فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ أَنْ لَا يُجِيزَ يَمِينَ الْمُحْبَسِ عَلَيْهِ فِي رَقَبَتِهِ الْحَبْسِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ مَا كَانَ الْمُحْبِسُ يَمْلِكُهُ مِنْ رَقَبَتِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pokok pendapat Syafi’i adalah bahwa orang yang mewakafkan telah menghilangkan kepemilikan dirinya untuk Allah Azza wa Jalla. Orang yang diwakafkan hanya memiliki manfaatnya, bukan kepemilikan dirinya, sebagaimana orang yang memerdekakan budak telah menghilangkan kepemilikannya atas budaknya. Orang yang dimerdekakan hanya memiliki manfaat dirinya, bukan kepemilikan dirinya. Syafi’i tidak membolehkan sumpah bersama saksi kecuali dalam hal yang dimiliki oleh orang yang bersumpah. Bagaimana mungkin kepemilikan seseorang bisa hilang dengan sumpah orang yang tidak memiliki kepemilikan tersebut? Syafi’i juga tidak membolehkan sumpah budak bersama saksi bahwa tuannya telah memerdekakannya, karena budak tidak memiliki apa yang sebelumnya dimiliki tuannya atas dirinya. Demikian pula seharusnya dalam qiyas pendapatnya, yaitu tidak membolehkan sumpah orang yang diwakafkan atas kepemilikan wakafnya, karena ia tidak memiliki apa yang sebelumnya dimiliki oleh orang yang mewakafkan atas dirinya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَإِذَا لَمْ تَزُلْ رَقَبَةَ الْحَبْسِ بِيَمِينِهِ بَطَلَ الْحَبْسُ مِنْ أَصْلِهِ وَهَذَا عِنْدِي قِيَاسُ قَوْلِهِ عَلَى أَصْلِهِ الَّذِي وَصَفْت، وَلَوْ جَازَ الْحَبْسُ عَلَى مَا وَصَفَ الشَّافِعِيُّ مَا جَازَ أَنْ يَقْرَأَ أَهْلُهُ أَنَّ لَهُمْ شَرِيكًا وَيُنْكِرَ الشَّرِيكُ الْحَبْسَ فَيَأْخُذُونَ حَقَّهُ لِامْتِنَاعِهِ مِنْ أَنْ يَحْلِفَ مَعَهُمْ، فَأَصْلُ قَوْلِهِ أَنَّ حَقَّ مَنْ لَمْ يَحْلِفْ مَوْقُوفٌ حَتَّى يَحْلِفَ لَهُ وَوَارِثُهُ إنْ مَاتَ يَقُومُ مَقَامَهُ وَلَا يَأْخُذُ مِنْ حَقٍّ أَقَرَّ بِهِ لِصَاحِبِهِ شَيْئًا؛ لِأَنَّ أَخْذَهُ ذَلِكَ حَرَامٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Jika ikatan penahanan tidak terlepas dengan sumpahnya, maka penahanan itu batal dari dasarnya. Menurutku, ini adalah qiyas dari perkataannya berdasarkan prinsip yang telah kujelaskan. Seandainya penahanan diperbolehkan seperti yang dijelaskan oleh Asy-Syafi’i, tentu tidak boleh bagi keluarganya untuk membaca bahwa mereka memiliki mitra, lalu si mitra mengingkari penahanan sehingga mereka mengambil haknya karena dia menolak untuk bersumpah bersama mereka. Prinsip perkataannya adalah bahwa hak orang yang tidak bersumpah tertahan sampai dia bersumpah, dan ahli warisnya jika dia meninggal akan menggantikan posisinya, serta tidak mengambil sedikit pun dari hak yang diakui untuk pemiliknya, karena mengambil hal itu adalah haram.

 

بَابُ الْخِلَافِ فِي الْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ

 

Bab tentang perbedaan pendapat dalam sumpah bersama saksi.

Berikut adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَالَ بَعْضُ النَّاسِ: فَقَدْ أَقَمْتُمْ الْيَمِينَ مَقَامَ شَاهِدٍ قُلْت: وَإِنْ أَعْطَيْت بِهَا كَمَا أَعْطَيْت بِشَاهِدٍ فَلَيْسَ مَعْنَاهَا مَعْنَى شَاهِدٍ وَأَنْتَ تُبَرِّئُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بِشَاهِدَيْنِ وَبِيَمِينِهِ إنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ بَيِّنَةٌ وَتُعْطِي الْمُدَّعِيَ حَقَّهُ بِنُكُولِ صَاحِبِهِ كَمَا تُعْطِيهِ بِشَاهِدَيْنِ أَفَمَعْنَى ذَلِكَ مَعْنَى شَاهِدَيْنِ؟ قَالَ: فَكَيْفَ يَحْلِفُ مَعَ شَاهِدِهِ عَلَى وَصِيَّةٍ أَوْصَى بِهَا مَيِّتٌ أَوْ أَنَّ لِأَبِيهِ حَقًّا عَلَى رَجُلٍ وَهُوَ صَغِيرٌ وَهُوَ إنْ حَلَفَ حَلَفَ عَلَى مَا لَمْ يَعْلَمْ قُلْت: فَأَنْتَ تُجِيزُ أَنْ يَشْهَدَ أَنَّ فُلَانًا ابْنَ فُلَانٍ وَأَبُوهُ غَائِبٌ لَمْ يَرَ أَبَاهُ قَطُّ، وَيَحْلِفُ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً مَشْرِقِيًّا اشْتَرَى عَبْدًا ابْنَ مِائَةِ سَنَةٍ مَغْرِبِيًّا وُلِدَ قَبْلَ جَدِّهِ فَبَاعَهُ فَأَبِقَ أَنَّك تُحَلِّفُهُ لَقَدْ بَاعَهُ بَرِيئًا مِنْ الْإِبَاقِ عَلَى الْبَتِّ قَالَ: مَا يَجِدُ النَّاسُ بُدًّا مِنْ هَذَا غَيْرَ أَنَّ الزُّهْرِيَّ أَنْكَرَهَا قُلْت: فَقَدْ قَضَى بِهَا حِينَ وُلِّيَ أَرَأَيْت مَا رَوَيْت عَنْ عَلِيٍّ مِنْ إنْكَارِهِ عَلَى مَعْقِلٍ حَدِيثَ «بِرْوَعَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – جَعَلَ لَهَا الْمَهْرَ وَالْمِيرَاثَ» وَرَدَّ حَدِيثَهُ وَمَعَ عَلِيٍّ زَيْدٌ وَابْنُ عُمَرَ فَهَلْ رَدَدْت شَيْئًا بِالْإِنْكَارِ فَكَيْفَ يَحْتَجُّ بِإِنْكَارِ الزُّهْرِيِّ وَقُلْت لَهُ: وَكَيْفَ حَكَمْت بِشَهَادَةِ قَابِلَةٍ فِي الِاسْتِهْلَالِ وَهُوَ مَا يَرَاهُ الرِّجَالُ أَمْ كَيْفَ حَكَمْت عَلَى أَهْلِ مَحَلَّةٍ وَعَلَى عَوَاقِلِهِمْ بِدِيَةِ الْمَوْجُودِ قَتِيلًا فِي مَحَلَّتِهِمْ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ وَزَعَمْت أَنَّ الْقُرْآنَ يُحَرِّمُ أَنْ يَجُوزَ أَقَلَّ مِنْ شَاهِدٍ وَامْرَأَتَيْنِ وَزَعَمْت أَنَّ سُنَّةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْيَمِينَ بَرَاءَةٌ لِمَنْ حَلَفَ فَخَالَفْت فِي جُمْلَةِ قَوْلِك الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ.

 

(Imam Syafi’i—semoga Allah merahmatinya—berkata): Sebagian orang berkata, “Kalian telah menjadikan sumpah sebagai pengganti satu saksi.” Aku menjawab, “Meskipun engkau memutuskan berdasarkan sumpah sebagaimana engkau memutuskan berdasarkan satu saksi, maknanya tidak sama dengan saksi. Engkau membebaskan tergugat dengan dua saksi dan sumpahnya jika ia tidak memiliki bukti, dan engkau memberikan hak penggugat karena lawannya enggan bersumpah, sebagaimana engkau memberikannya berdasarkan dua saksi. Apakah maknanya sama dengan dua saksi?” Dia berkata, “Bagaimana mungkin seseorang bersumpah bersama satu saksinya tentang wasiat mayit atau hak ayahnya atas seseorang padahal ia masih kecil? Jika ia bersumpah, berarti ia bersumpah atas sesuatu yang tidak ia ketahui.” Aku berkata, “Engkau membolehkan seseorang bersaksi bahwa si Fulan adalah anak si Fulan padahal ayahnya tidak ada dan ia tidak pernah melihat ayahnya. Engkau juga membolehkan seorang anak 15 tahun dari timur yang membeli budak berusia 100 tahun dari barat—yang lahir sebelum kakeknya—lalu menjualnya, kemudian budak itu kabur, untuk bersumpah bahwa ia menjualnya dalam keadaan bebas dari lari, dengan sumpah tegas.” Dia berkata, “Orang-orang terpaksa melakukan hal ini, hanya saja Az-Zuhri mengingkarinya.” Aku berkata, “Dia justru memutuskan demikian ketika diangkat sebagai hakim. Bagaimana pendapatmu tentang riwayat yang engkau sampaikan dari Ali yang mengingkari Ma’qil tentang hadis ‘Barwa’ bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberinya mahar dan warisan,’ lalu Ali menolak hadisnya, padahal bersama Ali ada Zaid dan Ibnu Umar? Apakah engkau menolak sesuatu hanya dengan pengingkaran? Lalu bagaimana bisa berhujjah dengan pengingkaran Az-Zuhri?” Aku juga berkata kepadanya, “Bagaimana engkau memutuskan berdasarkan kesaksian bidan tentang tangisan bayi, padahal itu adalah hal yang dilihat laki-laki? Atau bagaimana engkau memutuskan atas penduduk suatu wilayah dan keluarga mereka untuk membayar diyat bagi mayat yang ditemukan terbunuh di wilayah mereka dalam tiga tahun? Engkau mengklaim bahwa Al-Qur’an melarang menerima kesaksian kurang dari satu saksi dan dua perempuan, dan engkau mengklaim bahwa Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa sumpah adalah pembebasan bagi yang bersumpah. Dengan demikian, engkau telah menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah dalam beberapa pernyataanmu.”

 

أَرَأَيْت لَوْ قَالَ لَك أَهْلُ الْمَحَلَّةِ: أَتَدَّعِي عَلَيْنَا فَأَحْلِفْ جَمِيعَنَا وَأَبْرِئْنَا؟ قَالَ: لَا أُحَلِّفُهُمْ إذَا جَاوَزُوا خَمْسِينَ رَجُلًا وَلَا أُبَرِّئُهُمْ بِأَيْمَانِهِمْ وَأُغَرِّمُهُمْ قُلْت: فَكَيْفَ جَازَ لَك هَذَا قَالَ: رَوَيْنَا هَذَا عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَقُلْت: فَإِنْ قِيلَ لَك: لَا يَجُوزُ عَلَى عُمَرَ أَنْ يُخَالِفَ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَقَالَ عُمَرُ نَفْسُهُ: الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ قَالَ: لَا يَجُوزُ أَنْ أَتَّهِمَ مَنْ أَثِقُ بِهِ وَلَكِنْ أَقُولُ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقَوْلُ عُمَرَ عَلَى الْخَاصِّ: قُلْت: فَلِمَ لَمْ يَجُزْ لَنَا مِنْ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مَا أَجَزْت لِنَفْسِك مِنْ عُمَرَ؟ قُلْت: وَقَدْ رَوَيْتُمْ أَنَّ عُمَرَ كَتَبَ فَجَلَبَهُمْ إلَى مَكَّةَ وَهُوَ مَسِيرَةُ اثْنَيْنِ وَعِشْرِينَ يَوْمًا فَأَحْلَفَهُمْ فِي الْحِجْرِ وَقَضَى عَلَيْهِمْ بِالدِّيَةِ فَقَالُوا: مَا وَقَتْ أَمْوَالُنَا أَيْمَانَنَا وَلَا أَيْمَانُنَا أَمْوَالَنَا، فَقَالَ: حَقَنْتُمْ بِأَيْمَانِكُمْ دِمَاءَكُمْ فَخَالَفْتُمْ فِي ذَلِكَ عُمَرَ فَلَا أَنْتُمْ أَخَذْتُمْ بِكُلِّ حُكْمِهِ وَلَا تَرَكْتُمُوهُ، وَنَحْنُ نَرْوِي عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِالْإِسْنَادِ الصَّحِيحِ «أَنَّهُ بَدَأَ فِي الْقَسَامَةِ بِالْمُدَّعِينَ فَلَمَّا لَمْ يَحْلِفُوا قَالَ: تُبَرِّئُكُمْ يَهُودُ بِخَمْسِينَ يَمِينًا» وَإِذْ قَالَ: تُبَرِّئُكُمْ يَهُودُ فَلَا يَكُونُ عَلَيْهِمْ غُرْمٌ.

 

 

Bagaimana pendapatmu jika penduduk kampung berkata kepadamu: “Apakah engkau menuduh kami? Maka sumpahlah kami semua dan bebaskan kami!” Dia menjawab: “Aku tidak akan menyumpah mereka jika jumlah mereka melebihi lima puluh orang, dan aku tidak akan membebaskan mereka dengan sumpah mereka, melainkan aku akan menghukum mereka dengan denda.” Aku bertanya: “Bagaimana hal ini boleh bagimu?” Dia menjawab: “Kami meriwayatkan ini dari Umar bin Al-Khattab, rahmat Allah atasnya.” Aku berkata: “Jika dikatakan kepadamu: ‘Tidak boleh bagi Umar untuk menyelisihi Al-Kitab dan Sunnah, sedangkan Umar sendiri berkata: ‘Bukti ada pada penuduh dan sumpah ada pada yang dituduh’?” Dia menjawab: “Tidak boleh bagiku menuduh orang yang aku percayai, tetapi aku berpegang pada Al-Kitab dan Sunnah, sedangkan perkataan Umar itu khusus.” Aku bertanya: “Mengapa tidak boleh bagi kami dari sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – apa yang engkau perbolehkan untuk dirimu dari Umar?” Aku berkata: “Dan sungguh kalian telah meriwayatkan bahwa Umar menulis surat lalu membawa mereka ke Makkah yang perjalanannya dua puluh dua hari, lalu menyumpah mereka di Hijr dan memutuskan diyat atas mereka. Mereka berkata: ‘Harta kami tidak melindungi sumpah kami, dan sumpah kami tidak melindungi harta kami.’ Maka Umar berkata: ‘Kalian telah menyelamatkan darah kalian dengan sumpah kalian.’ Maka kalian telah menyelisihi Umar dalam hal itu. Kalian tidak mengambil seluruh hukumnya, dan tidak pula meninggalkannya. Dan kami meriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dengan sanad yang sahih: ‘Bahwa beliau memulai dalam qasamah dengan para penuduh. Ketika mereka tidak bersumpah, beliau berkata: ‘Orang-orang Yahudi akan membebaskan kalian dengan lima puluh sumpah.’ Dan ketika beliau berkata: ‘Orang-orang Yahudi akan membebaskan kalian,’ maka tidak ada denda atas mereka.”

 

وَيُرْوَى عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ بدى الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ ثُمَّ رَدَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعِينَ وَهَذَانِ جَمِيعًا يُخَالِفَانِ مَا رَوَيْتُمْ عَنْهُ، وَقَدْ أَجَزْتُمْ شَهَادَةَ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَهُمْ غَيْرُ الَّذِينَ شَرَطَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَجُوزَ شَهَادَتُهُمْ وَرَدَدْتُمْ سُنَّةَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْيَمِينِ مَعَ الشَّاهِدِ قَالَ: فَإِنَّا أَجَزْنَا شَهَادَةَ أَهْلِ الذِّمَّةِ بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ} المائدة: 106 قُلْت: سَمِعْت مَنْ أَرْضَى يَقُولُ: مِنْ غَيْرِ قَبِيلَتِكُمْ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَيَحْتَجُّ بِقَوْلِ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ {تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ} المائدة: 106 قُلْت: وَالْمُنْزَلُ فِيهِ هَذِهِ الْآيَةُ رَجُلٌ مِنْ الْعَرَبِ فَأَجَزْت شَهَادَةَ مُشْرِكِي الْعَرَبِ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ قَالَ لَا إلَّا شَهَادَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ قُلْت: فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: لَا إلَّا شَهَادَةَ مُشْرِكِي الْعَرَبِ فَمَا الْفَرْقُ؟ فَقُلْت لَهُ: أَفَتُجِيزُ الْيَوْمَ شَهَادَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ عَلَى وَصِيَّةِ مُسْلِمٍ كَمَا زَعَمْت أَنَّهَا فِي الْقُرْآنِ؟ قَالَ: لَا؛ لِأَنَّهَا مَنْسُوخَةٌ قُلْت: بِمَاذَا؟ قَالَ: بِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} الطلاق: 2 قُلْت: فَقَدْ زَعَمْت بِلِسَانِك أَنَّك خَالَفْت الْقُرْآنَ إذْ لَمْ يُجِزْ اللَّهُ إلَّا مُسْلِمًا فَأَجَزْت كَافِرًا، وَقَالَ لِي قَائِلٌ: إذَا نَصَّ اللَّهُ حُكْمًا فِي كِتَابِهِ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ سَكَتَ عَنْهُ وَقَدْ بَقِيَ مِنْهُ شَيْءٌ، وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يُحْدِثَ فِيهِ مَا لَيْسَ فِي الْقُرْآنِ قُلْت: فَقَدْ نَصَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْوُضُوءَ فِي كِتَابِهِ فَأَحْدَثَ فِيهِ الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ وَنَصَّ مَا حَرَّمَ مِنْ النِّسَاءِ وَأَحَلَّ مَا وَرَاءَهُنَّ فَقُلْت: لَا تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلَا عَلَى خَالَتِهَا وَنَصَّ الْمَوَارِيثَ فَقُلْت: لَا يَرِثُ قَاتِلٌ وَلَا مَمْلُوكٌ وَلَا كَافِرٌ وَإِنْ كَانُوا وَلَدًا أَوْ وَالِدًا، وَنَصَّ حَجْبَ الْأُمِّ بِالْإِخْوَةِ فَحَجَبْتهَا بِأَخَوَيْنِ وَنَصَّ لِلْمُطَلَّقَةِ قَبْلَ أَنْ تُمَسَّ نِصْفَ الْمَهْرِ وَرَفْعَ الْعِدَّةِ فَقُلْت: إنْ خَلَا بِهَا وَلَمْ يَمَسَّهَا فَلَهَا الْمَهْرُ وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ فَهَذِهِ أَحْكَامٌ مَنْصُوصَةٌ فِي الْقُرْآنِ فَهَذَا عِنْدَك خِلَافُ ظَاهِرِ الْقُرْآنِ وَالْيَمِينُ مَعَ الشَّاهِدِ لَا يُخَالِفُ ظَاهِرَ الْقُرْآنِ شَيْئًا وَالْقُرْآنُ عَرَبِيٌّ فَيَكُونُ عَامًّا يُرَادُ بِهِ الْخَاصُّ وَكُلُّ كَلَامٍ احْتَمَلَ فِي الْقُرْآنِ مَعَانِيَ فَسُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – تَدُلُّ عَلَى أَحَدِ مَعَانِيهِ مُوَافِقَةً لَهُ لَا مُخَالِفَةً لِلْقُرْآنِ.

 

 

Dan diriwayatkan dari Umar bahwa ia memulai dari pihak yang didakwa, kemudian mengembalikan sumpah kepada pihak yang mendakwa. Kedua hal ini bertentangan dengan apa yang kalian riwayatkan darinya. Kalian telah membolehkan kesaksian ahli dzimmi, padahal mereka bukan termasuk orang yang Allah Azza wa Jalla syaratkan kesaksiannya boleh diterima. Kalian juga menolak sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang sumpah bersama saksi. Beliau berkata: “Kami membolehkan kesaksian ahli dzimmi berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla {atau dua orang lain dari selain kalian} (QS. Al-Maidah: 106).” Aku berkata: “Aku mendengar dari orang yang kupercaya mengatakan: ‘Dari selain kabilah kalian dari kaum muslimin.’ Dan ia berargumen dengan firman Allah Jalla wa ‘Azza {Kalian tahan kedua orang itu setelah shalat} (QS. Al-Maidah: 106).” Aku berkata: “Orang yang turun ayat ini untuknya adalah seorang Arab. Maka engkau membolehkan kesaksian orang-orang musyrik Arab sebagian mereka atas sebagian yang lain?” Beliau berkata: “Tidak, kecuali kesaksian ahli kitab.” Aku berkata: “Jika ada yang berkata: ‘Tidak, kecuali kesaksian orang musyrik Arab,’ lalu apa bedanya?” Maka aku berkata kepadanya: “Apakah engkau membolehkan hari ini kesaksian ahli kitab atas wasiat seorang muslim seperti yang engkau klaim ada dalam Al-Qur’an?” Beliau berkata: “Tidak, karena itu telah dihapus.” Aku bertanya: “Dengan apa?” Dia menjawab: “Dengan firman Allah Azza wa Jalla {Dan persaksikanlah dua orang yang adil di antara kalian} (QS. Ath-Thalaq: 2).” Aku berkata: “Engkau telah mengklaim dengan lisanmu bahwa engkau menyelisihi Al-Qur’an, karena Allah tidak membolehkan kecuali muslim, sementara engkau membolehkan orang kafir.” Dan ada yang berkata kepadaku: “Jika Allah menetapkan suatu hukum dalam Kitab-Nya, maka tidak boleh ada yang diam darinya sementara masih ada sisanya, dan tidak boleh bagi siapa pun untuk mengada-adakan sesuatu yang tidak ada dalam Al-Qur’an.” Aku berkata: “Allah Azza wa Jalla telah menetapkan wudhu dalam Kitab-Nya, lalu di sana ada tambahan mengusap khuf. Allah menetapkan wanita yang diharamkan dan menghalalkan selain mereka, lalu aku katakan: ‘Seorang wanita tidak boleh dinikahi bersama bibinya (dari pihak ayah) atau bibinya (dari pihak ibu).’ Allah menetapkan hukum waris, lalu aku katakan: ‘Pembunuh tidak mewarisi, begitu pula budak dan orang kafir, meskipun anak atau orang tua.’ Allah menetapkan penghalangan ibu oleh saudara, maka aku halangi dengan dua saudara. Allah menetapkan bagi wanita yang diceraikan sebelum disentuh mendapat separuh mahar dan tidak ada iddah, lalu aku katakan: ‘Jika dia menyendiri dengannya tapi tidak menyentuhnya, maka dia berhak mendapat mahar dan wajib menjalani iddah.’ Ini adalah hukum-hukum yang jelas dalam Al-Qur’an. Menurutmu, ini menyelisihi zahir Al-Qur’an, sedangkan sumpah bersama saksi tidak bertentangan dengan zahir Al-Qur’an sedikit pun. Al-Qur’an berbahasa Arab, sehingga ada yang umum yang dimaksudkan khusus. Setiap perkataan dalam Al-Qur’an yang mengandung beberapa makna, maka sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- menunjukkan salah satu maknanya yang sesuai, bukan yang bertentangan dengan Al-Qur’an.”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Dan tidaklah kami tinggalkan hujjah atas mereka lebih banyak daripada yang telah kami tulis. Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَا تَرَكْنَا مِنْ الْحُجَّةِ عَلَيْهِمْ أَكْثَرَ مِمَّا كَتَبْنَاهُ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

بَابُ مَوْضِعِ الْيَمِينِ

 

Bab tentang Tempat Sumpah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – مَنْ ادَّعَى مَالًا فَأَقَامَ عَلَيْهِ شَاهِدًا أَوْ ادَّعَى عَلَيْهِ مَالًا أَوْ جِنَايَةَ خَطَأٍ بِأَنْ بَلَغَ ذَلِكَ عِشْرِينَ دِينَارًا أَوْ ادَّعَى عَبْدٌ عِتْقًا تَبْلُغُ قِيمَتُهُ عِشْرِينَ دِينَارًا أَوْ ادَّعَى جِرَاحَةَ عَمْدٍ صَغُرَتْ أَوْ كَبُرَتْ أَوْ فِي طَلَاقٍ أَوْ لِعَانٍ أَوْ حَدٍّ أَوْ رَدِّ يَمِينٍ فِي ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ الْحُكْمُ بِمَكَّةَ كَانَتْ الْيَمِينُ بَيْنَ الْمَقَامِ وَالْبَيْتِ وَإِنْ كَانَ بِالْمَدِينَةِ كَانَتْ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Barangsiapa mengklaim harta lalu mendatangkan satu saksi, atau mengklaim harta atau kesalahan tidak sengaja yang mencapai dua puluh dinar, atau seorang budak mengklaim kemerdekaan yang nilainya mencapai dua puluh dinar, atau mengklaim luka sengaja baik kecil maupun besar, atau dalam kasus perceraian, li’an, hudud, atau pengembalian sumpah dalam hal itu, maka jika keputusan hukum berada di Mekkah, sumpah dilakukan antara Maqam dan Ka’bah. Jika di Madinah, sumpah dilakukan di atas mimbar Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.”

 

وَإِنْ كَانَتْ بِبَلَدٍ غَيْرِ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ أُحْلِفَ بَعْدَ الْعَصْرِ فِي مَسْجِدِ ذَلِكَ الْبَلَدِ بِمَا تُؤَكَّدُ بِهِ الْأَيْمَانُ وَيُتْلَى عَلَيْهِ {إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلا} آل عمران: 77 الْآيَةَ، قَالَ: وَهَذَا قَوْلُ حُكَّامِ الْمَكِّيِّينَ وَمُفْتِيهِمْ وَمِنْ حُجَّتِهِمْ فِيهِ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ رَأَى قَوْمًا يَحْلِفُونَ بَيْنَ الْمَقَامِ وَالْبَيْتِ فَقَالَ: أَعَلَى دَمٍ؟ قَالُوا: لَا، قَالَ: أَفَعَلَى أَمْرٍ عَظِيمٍ؟ قَالُوا: لَا، قَالَ: لَقَدْ خَشِيت أَنْ يَتَهَاوَنَ النَّاسُ بِهَذَا الْمَقَامِ قَالَ: فَذَهَبُوا إلَى أَنَّ الْعَظِيمَ مِنْ الْأَمْوَالِ مَا وَصَفْت مِنْ عِشْرِينَ دِينَارًا فَصَاعِدًا قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: كَتَبَ إلَيَّ ابْنُ عَبَّاسٍ فِي جَارِيَتَيْنِ ضَرَبَتْ إحْدَاهُمَا الْأُخْرَى أَنْ أَحْبِسَهُمَا بَعْدَ الْعَصْرِ ثُمَّ أَقْرَأَ عَلَيْهِمَا {إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلا} آل عمران: 77 فَفَعَلْت فَاعْتَرَفَتْ قَالَ: وَاسْتَدْلَلْت بِقَوْلِ اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ} المائدة: 106 قَالَ الْمُفَسِّرُونَ: صَلَاةِ الْعَصْرِ عَلَى تَأْكِيدِ الْيَمِينِ عَلَى الْحَالِفِ فِي الْوَقْتِ الَّذِي تَعْظُمُ فِيهِ الْيَمِينُ وَبِكِتَابِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – يَحْلِفُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Dan jika (sumpah itu) berada di negeri selain Makkah dan Madinah, hendaknya ia bersumpah setelah Asar di masjid negeri tersebut dengan cara yang menguatkan sumpah dan dibacakan kepadanya ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…” (QS. Ali Imran: 77). Beliau berkata: Ini adalah pendapat para hakim dan mufti penduduk Makkah. Di antara dalil mereka adalah bahwa Abdurrahman bin Auf melihat suatu kaum yang bersumpah antara Maqam dan Baitullah, lalu ia bertanya: “Apakah untuk urusan darah?” Mereka menjawab: “Tidak.” Ia bertanya lagi: “Apakah untuk urusan penting?” Mereka menjawab: “Tidak.” Ia berkata: “Aku khawatir orang-orang meremehkan tempat ini.” Lalu mereka berpendapat bahwa harta yang dianggap penting adalah seperti yang telah disebutkan, yaitu dua puluh dinar atau lebih. Ibnu Abi Mulaikah berkata: Ibnu Abbas menulis surat kepadaku tentang dua budak perempuan yang saling memukul, agar aku menahan mereka setelah Asar kemudian membacakan kepada mereka ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji Allah…” (QS. Ali Imran: 77). Aku pun melakukannya, lalu salah satunya mengaku. Beliau berkata: Aku berdalil dengan firman Allah: “Kamu tahan kedua wanita itu setelah shalat…” (QS. Al-Maidah: 106). Para mufassir mengatakan: yaitu shalat Asar, untuk menguatkan sumpah bagi yang bersumpah pada waktu ketika sumpah dianggap agung. Juga berdasarkan surat Abu Bakar Ash-Shiddiq -radhiyallahu ‘anhu- yang bersumpah di dekat mimbar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-.

 

وَمَا بَلَغَنِي أَنَّ عُمَرَ حَلَفَ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي خُصُومَةٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَجُلٍ وَأَنَّ عُثْمَانَ رُدَّتْ عَلَيْهِ الْيَمِينُ عَلَى الْمِنْبَرِ فَاتَّقَاهَا، وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ تُوَافِقَ قَدْرَ بَلَاءٍ، فَيُقَالَ بِيَمِينِهِ قَالَ وَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَصْحَابِهِ وَأَهْلِ الْعِلْمِ بِبَلَدِنَا دَارِ السُّنَّةِ وَالْهِجْرَةِ، وَحَرَّمَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَحَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اقْتَدَيْنَا وَالْمُسْلِمُونَ الْبَالِغُونَ رِجَالُهُمْ وَنِسَاؤُهُمْ وَأَحْرَارُهُمْ وَعَبِيدُهُمْ وَمَمَالِيكُهُمْ يَحْلِفُونَ كَمَا وَصَفْنَا.

 

 

Dan tidak sampai kepadaku bahwa Umar pernah bersumpah di atas mimbar Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dalam suatu perselisihan antara dia dan seorang laki-laki. Dan bahwa Utsman diminta untuk bersumpah di atas mimbar, lalu ia menghindarinya seraya berkata, “Aku khawatir sumpah itu sesuai dengan kadar bala, sehingga dikatakan dengan sumpahnya.” Dia juga berkata, “Dengan sunnah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – dan para sahabatnya, serta ulama di negeri kita Darussunnah wal Hijrah. Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya – shallallahu ‘alaihi wa sallam – telah mengharamkan, maka kami dan kaum muslimin yang telah balig, baik laki-laki, perempuan, merdeka, budak, atau hamba sahaya, mereka semua bersumpah sebagaimana yang kami jelaskan.”

 

وَيَحْلِفُ الْمُشْرِكُونَ أَهْلُ الذِّمَّةِ وَالْمُسْتَأْمَنُونَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِمَا يُعَظِّمُ مِنْ الْكُتُبِ وَحَيْثُ يُعَظِّمُ مِنْ الْمَوَاضِعِ مِمَّا يَعْرِفُهُ الْمُسْلِمُونَ وَمَا يُعَظِّمُ الْحَالِفُ مِنْهُمْ مِثْلَ قَوْلِهِ: وَاَللَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ التَّوْرَاةَ عَلَى مُوسَى، وَاَللَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ الْإِنْجِيلَ عَلَى عِيسَى، وَمَا أَشْبَهَ هَذَا وَلَا يَحْلِفُونَ بِمَا يَجْهَلُ مَعْرِفَتَهُ الْمُسْلِمُونَ وَيَحْلِفُ الرَّجُلُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَفِيمَا عَلَيْهِ بِعَيْنِهِ عَلَى الْبَتِّ مِثْلَ أَنْ يَدَّعِيَ عَلَيْهِ بَرَاءَةً مِنْ حَقٍّ لَهُ فَيَحْلِفَ بِاَللَّهِ إنَّ هَذَا الْحَقَّ وَيُسَمِّيَهُ لَثَابِتٌ عَلَيْهِ مَا اقْتَضَاهُ وَلَا شَيْئًا مِنْهُ وَلَا مُقْتَضًى بِأَمْرٍ يَعْلَمُهُ وَلَا أَحَالَ بِهِ وَلَا بِشَيْءٍ مِنْهُ وَلَا أَبْرَأَهُ مِنْهُ وَلَا مِنْ شَيْءٍ مِنْهُ بِوَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ وَإِنَّهُ لَثَابِتٌ عَلَيْهِ إلَى أَنْ حَلَفَ بِهَذَا الْيَمِينِ وَإِنْ كَانَ حَقًّا لِأَبِيهِ حَلَفَ فِي نَفْسِهِ عَلَى الْبَتِّ وَفِي أَبِيهِ عَلَى الْعِلْمِ وَإِنْ أُحْلِفَ قَالَ: وَاَللَّهِ الَّذِي لَا إلَهَ إلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ الَّذِي يَعْلَمُ مِنْ السِّرِّ مَا يَعْلَمُ مِنْ الْعَلَانِيَةِ، ثُمَّ يُنَسِّقُ الْيَمِينَ وَلَا يَقْبَلُ مِنْهُ الْيَمِينَ إلَّا بَعْدَ أَنْ يَسْتَحْلِفَهُ الْحَاكِمُ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ «رُكَانَةَ قَالَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إنِّي طَلَّقْت امْرَأَتِي أَلْبَتَّةَ وَاَللَّهِ مَا أَرَدْت إلَّا وَاحِدَةً، فَقَالَ النَّبِيُّ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – وَاَللَّهِ مَا أَرَدْت إلَّا وَاحِدَةً؟ فَرَدَّهَا إلَيْهِ» وَهَذَا تَجْوِيزًا لِلْيَمِينِ فِي الطَّلَاقِ وَالرَّجْعَةِ فِي طَلَاقِ الْبَتَّةِ.

 

 

Orang-orang musyrik dari ahli dzimah dan musta’man bersumpah masing-masing dengan apa yang mereka agungkan dari kitab-kitab dan tempat-tempat yang diakui oleh umat Islam. Mereka bersumpah seperti ucapan: “Demi Allah yang menurunkan Taurat kepada Musa, demi Allah yang menurunkan Injil kepada Isa,” dan semisalnya. Mereka tidak bersumpah dengan sesuatu yang tidak diketahui oleh umat Islam. Seseorang bersumpah untuk hak dirinya atau kewajiban tertentu secara tegas, seperti jika dia mengklaim kebebasan dari suatu hak yang dituntut darinya, lalu bersumpah: “Demi Allah, hak ini (disebutkan namanya) tetap ada padaku sebagaimana tuntutannya, tidak sedikit pun berkurang.” Dia tidak mengalihkan, membebaskan, atau melepaskan hak tersebut dengan cara apa pun, dan hak itu tetap ada padanya hingga dia bersumpah demikian. Jika hak itu milik ayahnya, dia bersumpah untuk dirinya secara tegas dan untuk ayahnya berdasarkan pengetahuan. Jika disumpah, Beliau berkata: “Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang mengetahui rahasia sebagaimana yang nyata.” Kemudian dia merapikan sumpahnya. Sumpahnya tidak diterima kecuali setelah hakim memintanya bersumpah. Dalilnya adalah kisah Rukanah yang berkata kepada Nabi SAW: “Aku telah menceraikan istriku dengan talak ba’tah, demi Allah aku hanya bermaksud satu talak.” Nabi SAW bersabda: “Demi Allah, engkau hanya bermaksud satu talak?” Lalu Nabi mengembalikan istrinya kepadanya. Ini menunjukkan kebolehan sumpah dalam talak dan rujuk pada talak ba’tah.

بَابُ الِامْتِنَاعِ مِنْ الْيَمِينِ

Bab tentang menolak sumpah

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika tuntutan itu bukan berupa celaan terkait harta, maka tergugat disumpah. Jika ia bersumpah, ia terbebas. Jika ia menolak, dikatakan kepada penggugat: ‘Bersumpahlah dan berhaklah.’ Jika engkau menolak, kami akan menanyakan alasan penolakanmu. Jika itu karena ingin mendatangkan bukti atau memeriksa perhitunganmu, kami akan memberimu waktu.”

 

وَإِنْ قُلْت: لَا أُؤَخِّرُ ذَلِكَ لِشَيْءٍ غَيْرَ أَنِّي لَا أَحْلِفُ أَبْطَلْنَا أَنْ تَحْلِفَ وَإِنْ حَلَفَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ أَوْ لَمْ يَحْلِفْ فَنَكَلَ الْمُدَّعِي فَأَبْطَلْنَا يَمِينَهُ ثُمَّ جَاءَ بِشَاهِدَيْنِ أَوْ بِشَاهِدٍ وَحَلَفَ مَعَ شَاهِدِهِ أَخَذْنَا لَهُ حَقَّهُ وَالْبَيِّنَةُ الْعَادِلَةُ أَحَقُّ مِنْ الْيَمِينِ الْفَاجِرَةِ وَلَوْ رَدَّ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ الْيَمِينَ فَقَالَ لِلْمُدَّعِي: احْلِفْ فَقَالَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ: أَنَا أَحْلِفُ لَمْ أَجْعَلْ ذَلِكَ لَهُ؛ لِأَنِّي قَدْ أَبْطَلْت أَنْ يَحْلِفَ وَحَوَّلْت الْيَمِينَ عَلَى صَاحِبِهِ وَلَوْ قَالَ: أُحَلِّفُهُ مَا اشْتَرَيْت هَذِهِ الدَّارَ الَّتِي فِي يَدَيْهِ لَمْ أُحَلِّفْهُ إلَّا مَا لِهَذَا وَيُسَمِّيهِ فِي هَذَا الدَّارِ حَقٌّ تُمْلَكُ وَلَا غَيْرَهُ بِوَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَمْلِكُهَا وَتَخْرُجُ مِنْ يَدَيْهِ.

 

 

Dan jika engkau berkata, “Aku tidak menunda hal itu untuk sesuatu apa pun kecuali karena aku tidak bersumpah,” maka kami membatalkan kesempatanmu untuk bersumpah. Jika tergugat bersumpah atau tidak bersumpah, lalu penggugat menolak bersumpah, maka kami batalkan sumpahnya. Kemudian jika ia datang dengan dua saksi atau satu saksi dan bersumpah bersama saksinya, kami akan memberinya haknya. Bukti yang adil lebih berhak daripada sumpah yang curang. Sekiranya tergugat mengembalikan sumpah dengan berkata kepada penggugat, “Bersumpahlah,” lalu tergugat berkata, “Aku bersumpah,” maka kami tidak memberikan hak itu kepadanya karena aku telah membatalkan sumpahnya dan memindahkan sumpah kepada pihak lawannya. Jika ia berkata, “Aku akan menyumpahnya bahwa ia tidak membeli rumah yang ada di tangannya,” maka aku tidak akan menyumpahnya kecuali untuk hal ini, dan ia harus menyebutkan hak tertentu dalam rumah ini yang dapat dimiliki, bukan yang lain, karena bisa saja ia memilikinya lalu rumah itu keluar dari tangannya.

 

بَابُ النُّكُولِ وَرَدِّ الْيَمِينِ

Bab tentang Penolakan dan Pengembalian Sumpah

 

مِنْ الْجَامِعِ وَمِنْ اخْتِلَافِ الشَّهَادَاتِ وَالْحُكَّامِ وَمِنْ الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ وَمِنْ إمْلَاءٍ فِي الْحُدُودِ.

 

 

Dari Al-Jami’, dari perbedaan kesaksian dan para hakim, dari dakwaan dan bukti-bukti, serta dari pembacaan dalam hudud.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَا يَقُومُ النُّكُولُ مَقَامَ إقْرَارٍ فِي شَيْء حَتَّى يَكُونَ مَعَهُ يَمِينُ الْمُدَّعِي فَإِنْ قِيلَ: فَكَيْفَ أَحَلَفْت فِي الْحُدُودِ وَالطَّلَاقِ وَالنَّسَبِ وَالْأَمْوَالِ وَجَعَلْت الْأَيْمَانَ كُلَّهَا تَجِبُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ وَجَعَلْتهَا كُلَّهَا تُرَدُّ عَلَى الْمُدَّعِي؟ قِيلَ: قُلْته اسْتِدْلَالًا بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ ثُمَّ الْخَبَرِ عَنْ عُمَرَ حُكْمُ اللَّهِ عَلَى الْقَاذِفِ غَيْرِ الزَّوْجِ بِالْحَدِّ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا مِنْهُ إلَّا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ وَأَخْرَجَ الزَّوْجَ مِنْ الْحَدِّ بِأَنْ يَحْلِفَ أَرْبَعَةَ أَيْمَانٍ وَيَلْتَعِنَ بِخَامِسَةٍ فَيُسْقِطَ عَنْهُ الْحَدَّ وَيُلْزِمَهَا إنْ لَمْ تَخْرُجْ مِنْهُ بِأَرْبَعَةِ أَيْمَانٍ وَالْتِعَانِهَا، وَسَنَّ بَيْنَهُمَا الْفُرْقَةَ وَدَرَأَ اللَّهُ عَنْهُمَا الْحَدَّ بِالْأَيْمَانِ وَالْتِعَانِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Penolakan untuk bersumpah tidak bisa menggantikan pengakuan dalam hal apa pun kecuali disertai sumpah dari penggugat.” Jika ada yang bertanya, “Bagaimana engkau mewajibkan sumpah dalam hudud, talak, nasab, dan harta, serta menjadikan semua sumpah itu wajib bagi tergugat, namun semua sumpah itu dikembalikan kepada penggugat?” Dijawab, “Aku mengatakan hal itu berdasarkan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kemudian riwayat dari Umar tentang hukum Allah bagi penuduh zina (bukan suami) dengan hukuman had, tanpa memberi jalan keluar kecuali dengan empat saksi. Sedangkan suami dibebaskan dari had dengan bersumpah empat kali dan melakukan li’an dengan sumpah kelima, sehingga had dijatuhkan darinya dan diwajibkan kepada istri jika ia tidak bisa membebaskan diri dengan empat sumpah dan li’annya. Rasulullah menetapkan perceraian di antara mereka, dan Allah menghindarkan had dari keduanya melalui sumpah dan li’an.”

 

وَكَانَتْ أَحْكَامُ الزَّوْجَيْنِ وَإِنْ خَالَفَتْ أَحْكَامَ الْأَجْنَبِيَّيْنِ فِي شَيْءٍ فَهِيَ مُجَامَعَةٌ لَهَا فِي غَيْرِهِ وَذَلِكَ أَنَّ الْيَمِينَ فِيهِ جَمَعَتْ دَرْءَ الْحَدِّ عَنْ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ وَفُرْقَةِ وَنَفْيِ وَلَدٍ فَكَانَ هَذَا الْحَدُّ وَالْفِرَاقُ وَالنَّفْيُ مَعًا دَاخِلَةً فِيهَا وَلَا يَحِقُّ الْحَدُّ عَلَى الْمَرْأَةِ حِينَ يَقْذِفُهَا الزَّوْجُ إلَّا بِيَمِينِهِ وَتَنْكُلُ عَنْ الْيَمِينِ أَلَا تَرَى أَنَّ الزَّوْجَ لَوْ لَمْ يَلْتَعِنْ حُدَّ بِالْقَذْفِ وَلِتَرْكِ الْخُرُوجِ مِنْهُ بِالْيَمِينِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَى الْمَرْأَةِ حَدٌّ وَلَا لِعَانٌ.

 

 

Hukum-hukum pasangan suami istri, meskipun berbeda dengan hukum orang asing dalam beberapa hal, tetap memiliki kesamaan dalam aspek lainnya. Hal ini karena sumpah dalam kasus li’an menggabungkan pencegahan hukuman had bagi suami dan istri, perceraian, serta penafian anak. Dengan demikian, hukuman had, perceraian, dan penafian tersebut tercakup dalam sumpah tersebut. Hukuman had tidak berlaku bagi istri ketika suami menuduhnya berzina kecuali dengan sumpahnya dan istri menolak bersumpah. Tidakkah engkau melihat bahwa jika suami tidak melakukan li’an, dia akan dihukum had karena tuduhan zina dan karena tidak mengeluarkan diri darinya dengan sumpah, sementara istri tidak dikenakan hukuman had maupun li’an?

 

أَوْ لَا تَرَى «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ لِلْأَنْصَارِيِّينَ تَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ دَمَ صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا لَمْ يَحْلِفُوا رَدَّ الْأَيْمَانَ عَلَى يَهُودَ لِيَبْرَءُوا بِهَا فَلَمَّا لَمْ يَقْبَلْهَا الْأَنْصَارِيُّونَ تَرَكُوا حَقَّهُمْ» أَوْ لَا تَرَى عُمَرَ جَعَلَ الْأَيْمَانَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِمْ فَلَمَّا لَمْ يَحْلِفُوا رَدَّهَا عَلَى الْمُدَّعِينَ وَكُلُّ هَذَا تَحْوِيلُ يَمِينٍ مِنْ مَوْضِعٍ قَدْ نُدِبَتْ فِيهِ إلَى الْمَوْضِعِ الَّذِي يُخَالِفُهُ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «وَعَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ الْيَمِينُ» .

 

 

Atau tidakkah engkau melihat bahwa Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – berkata kepada kaum Anshar, “Kalian bersumpah dan berhak atas darah sahabat kalian.” Ketika mereka tidak bersumpah, beliau memindahkan sumpah kepada orang-orang Yahudi agar mereka terbebas dengannya. Ketika kaum Anshar tidak menerimanya, mereka meninggalkan hak mereka. Atau tidakkah engkau melihat Umar menjadikan sumpah atas pihak yang didakwa, lalu ketika mereka tidak bersumpah, ia memindahkannya kepada pihak yang mendakwa. Semua ini adalah pemindahan sumpah dari tempat yang telah ditetapkan ke tempat yang berlawanan dengannya. Dan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Dan atas pihak yang didakwa adalah sumpah.”

 

وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَكُونَ عَلَى مُدَّعًى عَلَيْهِ دُونَ غَيْرِهِ إلَّا بِخَبَرٍ لَازِمٍ وَهُمَا لَفْظَانِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ» مَخْرَجُهُمَا وَاحِدٌ فَكَيْفَ يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ: إنْ جَاءَ الْمُدَّعِي بِالْبَيِّنَةِ أَخَذَ وَإِنْ لَمْ يَأْتِ بِهَا حَدَثَ لَهُ حُكْمُ غَيْرِهَا وَهُوَ اسْتِحْلَافُ مَنْ ادَّعَى عَلَيْهِ وَإِنْ جَاءَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ بِالْيَمِينِ بَرِئَ وَإِنْ لَمْ يَأْتِ بِهَا لَزِمَهُ مَا نَكَلَ عَنْهُ وَلَمْ يَحْدُثْ لَهُ حُكْمٌ غَيْرُهَا وَيَجُوزُ رَدُّ الْيَمِينِ كَمَا حَدَثَ لِلْمُدَّعِي، إنْ لَمْ يَأْتِ بِهَا حُكْمٌ غَيْرُهُ وَهُوَ الْيَمِينُ وَإِذْ حَوَّلَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْيَمِينَ حَيْثُ وَضَعَهَا فَكَيْفَ لَمْ تُحَوَّلْ كَمَا حَوَّلَهَا.

 

 

Tidak boleh beban dibebankan kepada tergugat tanpa yang lain kecuali dengan keterangan yang meyakinkan. Keduanya adalah sabda Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – “Bukti atas penggugat dan sumpah atas tergugat”. Sumber keduanya satu, maka bagaimana bisa dikatakan: Jika penggugat datang dengan bukti, ia menang, dan jika tidak datang dengannya, maka berlaku hukum lain baginya yaitu meminta sumpah pihak yang didakwa. Jika tergugat datang dengan sumpah, ia bebas, dan jika tidak datang dengannya, ia wajib menanggung apa yang ia hindari tanpa ada hukum lain baginya. Boleh mengembalikan sumpah sebagaimana terjadi pada penggugat, jika tidak datang dengannya hukum lain yaitu sumpah. Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam – memindahkan sumpah pada tempatnya, mengapa tidak dipindahkan sebagaimana beliau memindahkannya?

 

مُخْتَصَرٌ مِنْ كِتَابِ الشَّهَادَاتِ وَمَا دَخَلَهُ مِنْ الرِّسَالَةِ بَابُ مَنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ وَمَنْ لَا تَجُوزُ

 

 

Ringkasan dari Kitab Kesaksian dan Apa yang Termasuk di Dalamnya dari Risalah Bab Orang yang Diterima Kesaksiannya dan yang Tidak Diterima

 

بَابُ مَنْ تَجُوزُ شَهَادَتُهُ وَمَنْ لَا تَجُوزُ وَمَنْ يَشْهَدُ بَعْدَ رَدِّ شَهَادَةٍ مِنْ الْجَامِعِ وَمِنْ اخْتِلَافِ الْحُكَّامِ وَأَدَبِ الْقَاضِي وَغَيْرِ ذَلِكَ.

 

 

Bab tentang orang yang kesaksiannya diterima dan yang tidak diterima, serta orang yang memberikan kesaksian setelah penolakan kesaksian dari Al-Jami’, perbedaan pendapat para hakim, adab seorang qadhi, dan hal-hal lainnya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : لَيْسَ مِنْ النَّاسِ أَحَدٌ نَعْلَمُهُ إلَّا أَنْ يَكُونَ قَلِيلًا يُمْحِضَ الطَّاعَةَ وَالْمُرُوءَةَ حَتَّى لَا يَخْلِطَهُمَا بِمَعْصِيَةٍ وَلَا يُمْحِضَ الْمَعْصِيَةَ وَتَرْكَ الْمُرُوءَةِ حَتَّى لَا يَخْلِطَهُمَا شَيْئًا مِنْ الطَّاعَةِ وَالْمُرُوءَةِ فَإِنْ كَانَ الْأَغْلَبُ عَلَى الرَّجُلِ الْأَظْهَرُ مِنْ أَمْرِهِ الطَّاعَةَ وَالْمُرُوءَةَ قُبِلَتْ شَهَادَتُهُ وَإِذَا كَانَ الْأَغْلَبُ الْأَظْهَرُ مِنْ أَمْرِهِ الْمَعْصِيَةَ وَخِلَافَ الْمُرُوءَةِ رُدَّتْ شَهَادَتُهُ وَلَا يُقْبَلُ الشَّاهِدُ حَتَّى يَثْبُتَ عِنْدَهُ بِخَبَرٍ مِنْهُ أَوْ بَيِّنَةٍ أَنَّهُ حُرٌّ وَلَا تَجُوزُ شَهَادَةُ جَارٍ إلَى نَفْسِهِ وَلَا دَافِعٍ عَنْهَا وَلَا عَلَى خَصْمٍ؛ لِأَنَّ الْخُصُومَةَ مَوْضِعُ عَدَاوَةٍ وَلَا لِوَلَدِ بَنِيهِ وَلَا لِوَلَدِ بَنَاتِهِ وَإِنْ سَفَلُوا وَلَا لِآبَائِهِ وَأُمَّهَاتِهِ وَإِنْ بَعِدُوا وَلَا مَنْ يُعْرَفُ بِكَثْرَةِ الْغَلَطِ أَوْ الْغَفْلَةِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak ada seorang pun yang kami ketahui kecuali sedikit yang benar-benar murni dalam ketaatan dan muruah (kehormatan diri) sehingga tidak mencampurkannya dengan maksiat, dan tidak pula benar-benar murni dalam maksiat serta meninggalkan muruah sehingga tidak mencampurkannya sedikit pun dengan ketaatan dan muruah. Jika yang dominan dan tampak pada seseorang adalah ketaatan dan muruah, maka kesaksiannya diterima. Namun jika yang dominan dan tampak adalah maksiat dan penyimpangan dari muruah, maka kesaksiannya ditolak. Seorang saksi tidak diterima kecuali telah terbukti melalui informasi darinya atau bukti bahwa ia adalah orang merdeka. Tidak sah kesaksian tetangga untuk dirinya sendiri, tidak pula yang membela dirinya atau terhadap lawannya, karena permusuhan adalah tempat kebencian. Juga tidak sah kesaksian untuk anak cucu laki-lakinya, anak cucu perempuannya meskipun jauh, tidak untuk orang tuanya dan nenek moyangnya meskipun jauh, dan tidak pula untuk orang yang dikenal sering keliru atau lalai.

 

وَلَوْ كُنْت لَا أُجِيزُ شَهَادَةَ الرَّجُلِ لِامْرَأَتِهِ لِأَنَّهُ يَرِثُهَا مَا أَجَزْت شَهَادَةَ الْأَخِ لِأَخِيهِ إذَا كَانَ يَرِثُهُ وَلَا أَرُدُّ شَهَادَةَ الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ إذَا كَانَ لَا يَرَى أَنْ يَشْهَدَ لِمُوَافِقِهِ بِتَصْدِيقِهِ وَقَبُولِ يَمِينِهِ وَشَهَادَةُ مَنْ يَرَى كَذِبَهُ شِرْكًا بِاَللَّهِ وَمَعْصِيَةً تَجِبُ بِهَا النَّارُ أَوْلَى أَنْ تَطِيبَ النَّفْسُ بِقَبُولِهَا مِنْ شَهَادَةِ مَنْ يُخَفِّفُ الْمَأْثَمَ فِيهَا، وَكُلُّ مَنْ تَأَوَّلَ حَرَامًا عِنْدَنَا فِيهِ حَدٌّ أَوْ لَا حَدَّ فِيهِ لَمْ نَرُدَّ بِذَلِكَ شَهَادَتَهُ.

 

 

Seandainya aku tidak menerima kesaksian seorang suami untuk istrinya karena ia mewarisinya, niscaya aku juga tidak akan menerima kesaksian seorang saudara untuk saudaranya jika ia mewarisinya. Aku tidak menolak kesaksian seorang dari ahli hawa nafsu selama ia tidak bersaksi untuk yang sepaham dengannya dengan membenarkannya dan menerima sumpahnya. Kesaksian orang yang menganggap dustanya sebagai syirik kepada Allah dan maksiat yang mengharuskan neraka, lebih layak diterima dengan lapang dada daripada kesaksian orang yang meremehkan dosanya. Setiap orang yang menakwilkan sesuatu yang haram menurut kami, baik ada hukum had atau tidak, kami tidak menolak kesaksiannya karena hal itu.

 

أَلَا تَرَى أَنَّ مِمَّنْ حَمَلَ عَنْهُ الدَّيْنَ وَجَعَلَ عَلَمًا فِي الْبُلْدَانِ مِنْهُمْ مَنْ يَسْتَحِلُّ الْمُتْعَةَ وَالدِّينَارَ بِالدِّينَارَيْنِ نَقْدًا وَهَذَا عِنْدَنَا وَغَيْرِنَا حَرَامٌ وَأَنَّ مِنْهُمْ مَنْ اسْتَحَلَّ سَفْكَ الدِّمَاءِ وَلَا شَيْءَ أَعْظَمُ مِنْهُ بَعْدَ الشِّرْكِ وَمِنْهُمْ مَنْ تَأَوَّلَ فَاسْتَحَلَّ كُلَّ مُسْكِرٍ غَيْرِ الْخَمْرِ وَعَابَ عَلَى مَنْ حَرَّمَهُ وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ سَلَفِ هَذِهِ الْأُمَّةِ يُقْتَدَى بِهِ وَلَا مِنْ التَّابِعِينَ بَعْدَهُمْ رَدَّ شَهَادَةَ أَحَدٍ بِتَأْوِيلٍ، وَإِنْ خَطَّأَهُ وَضَلَّلَهُ وَاللَّاعِبُ بِالشِّطْرَنْجِ وَالْحَمَامِ بِغَيْرِ قِمَارٍ وَإِنْ كَرِهْنَا ذَلِكَ أَخَفُّ حَالًا.

 

 

Tidakkah engkau melihat bahwa di antara orang yang diambil pendapatnya dalam agama dan dijadikan panutan di berbagai negeri, ada yang menghalalkan nikah mut’ah dan transaksi satu dinar dengan dua dinar secara tunai? Padahal menurut kami dan selain kami, hal itu haram. Di antara mereka juga ada yang menghalalkan penumpahan darah, padahal tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik. Ada pula yang menakwilkan sehingga menghalalkan segala yang memabukkan selain khamr, serta mencela orang yang mengharamkannya. Kami tidak mengetahui seorang pun dari salaf umat ini yang diikuti, maupun dari tabi’in setelah mereka, yang menolak kesaksian seseorang hanya karena takwil, meskipun menganggapnya keliru dan sesat. Sedangkan orang yang bermain catur dan merpati tanpa judi—meski kami membencinya—keadaannya lebih ringan.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – فَكَيْفَ يَحُدُّ مَنْ شَرِبَ قَلِيلًا مِنْ نَبِيذٍ شَدِيدٍ وَيُجِيزُ شَهَادَتَهُ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Bagaimana mungkin seseorang yang meminum sedikit anggur keras dihukum had dan kesaksiannya diterima?”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَنْ شَرِبَ عَصِيرَ الْعِنَبِ الَّذِي عَتَقَ حَتَّى سَكِرَ وَهُوَ يَعْرِفُهَا خَمْرًا رُدَّتْ شَهَادَتُهُ؛ لِأَنَّ تَحْرِيمَهَا نَصٌّ وَمَنْ شَرِبَ سِوَاهَا مِنْ الْمُنَصَّفِ أَوْ الْخَلِيطَيْنِ فَهُوَ آثِمٌ وَلَا تُرَدُّ شَهَادَتُهُ إلَّا أَنْ يَسْكَرَ؛ لِأَنَّهُ عِنْدَ جَمِيعِهِمْ حَرَامٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Barangsiapa meminum perasan anggur yang telah tua hingga mabuk, sedangkan ia mengetahui itu adalah khamr, maka kesaksiannya ditolak; karena keharamannya berdasarkan nash. Dan barangsiapa meminum selain itu seperti munashshaf atau khalithain, maka ia berdosa tetapi kesaksiannya tidak ditolak kecuali jika mabuk; karena menurut semua ulama itu adalah haram.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَكْرَهُ اللَّعِبَ بِالنَّرْدِ لِلْخَبَرِ وَإِنْ كَانَ يُدِيمُ الْغِنَاءَ وَيَغْشَاهُ الْمُغَنُّونَ مُعْلِنًا فَهَذَا سَفَهٌ تُرَدُّ بِهِ شَهَادَتُهُ وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يَقِلُّ لَمْ تُرَدَّ فَأَمَّا الِاسْتِمَاعُ لِلْحِدَاءِ وَنَشِيدِ الْأَعْرَابِ فَلَا بَأْسَ بِهِ «قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِلشَّرِيدِ أَمَعَك مِنْ شِعْرِ أُمَيَّةَ شَيْءٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ هِيهِ فَأَنْشَدَهُ بَيْتًا فَقَالَ هِيهِ حَتَّى بَلَغْت مِائَةَ بَيْتٍ» «وَسَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْحِدَاءَ وَالرَّجَزَ، وَقَالَ لِابْنِ رَوَاحَةَ حَرِّكْ بِالْقَوْمِ فَانْدَفَعَ يَرْجُزُ» (قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – سَمِعْت الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: كَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ يَلْعَبُ بِالشِّطْرَنْجِ اسْتِدْبَارًا فَقُلْت لَهُ: كَيْفَ يَلْعَبُ بِهَا اسْتِدْبَارًا؟ قَالَ يُوَلِّيهَا ظَهْرَهُ ثُمَّ يَقُولُ بِأَيِّ شَيْءٍ وَقَعَ ” فَيَقُولُ بِكَذَا فَيَقُولُ أُوقِعُ بِكَذَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Aku tidak menyukai permainan dadu karena ada larangannya. Jika seseorang sering bernyanyi dan didatangi para penyanyi secara terang-terangan, ini adalah kebodohan yang dapat menolak kesaksiannya. Namun jika hal itu jarang dilakukan, kesaksiannya tidak ditolak. Adapun mendengar nyanyian penggembala atau syair orang Badui, tidak mengapa. Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada Asy-Syarid, ‘Apakah kamu memiliki syair Umayyah?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Nabi berkata, ‘Coba bacakan.’ Lalu dia membacakan satu bait, dan Nabi terus memintanya hingga mencapai seratus bait.” “Rasulullah ﷺ juga pernah mendengar nyanyian penggembala dan rajaz, serta berkata kepada Ibnu Rawahah, ‘Gerakkanlah orang-orang.’ Maka dia pun mulai melantunkan rajaz.” (Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya -: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata, “Sa’id bin Jubair pernah bermain catur dengan membelakangi papan. Aku bertanya, ‘Bagaimana cara bermain seperti itu?’ Dia menjawab, ‘Dia memunggungi papan, lalu bertanya, ‘Dengan bidak apa ia menyerang?’ Orang lain menjawab, ‘Dengan ini.’ Lalu dia berkata, ‘Aku menyerang dengan ini.'”

(قَالَ) : وَإِذَا كَانَ هَكَذَا كَانَ تَحْسِينُ الصَّوْتِ بِذِكْرِ اللَّهِ وَالْقُرْآنِ أَوْلَى مَحْبُوبًا.

 

Beliau berkata: “Jika demikian, maka memperindah suara dalam berzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an lebih utama dan disukai.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ «مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ كَإِذْنِهِ لِنَبِيٍّ حَسَنِ التَّرَنُّمِ بِالْقُرْآنِ» «وَسَمِعَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ يَقْرَأُ فَقَالَ لَقَدْ أُوتِيَ هَذَا مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُد» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – dan telah diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bahwa beliau bersabda: “Allah tidak pernah memberikan izin kepada sesuatu seperti izin-Nya kepada seorang nabi yang indah melantunkan Al-Qur’an.” Dan Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – pernah mendengar Abdullah bin Qais membaca (Al-Qur’an), lalu beliau bersabda: “Sungguh orang ini telah diberikan seruling dari serulingnya keluarga Dawud.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَا بَأْسَ بِالْقِرَاءَةِ بِالْأَلْحَانِ وَتَحْسِينِ الصَّوْتِ بِأَيِّ وَجْهٍ مَا كَانَ وَأَحَبُّ مَا يَقْرَأُ إلَيَّ حَدَرًا وَتَحْزِينًا.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Tidak mengapa membaca (Al-Qur’an) dengan lagu dan memperindah suara dengan cara apa pun. Dan cara bacaan yang paling aku sukai adalah dengan cepat dan sedih.”

Berikut terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – سَمِعْت الشَّافِعِيَّ يَقُولُ: لَوْ كَانَ مَعْنَى يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ عَلَى الِاسْتِغْنَاءِ لَكَانَ يَتَغَانَى، وَتَحْسِينُ الصَّوْتِ هُوَ يَتَغَنَّى وَلَكِنَّهُ يُرَادُ بِهِ تَحْسِينُ الصَّوْتِ

Al-Muzani—semoga Allah merahmatinya—berkata: Aku mendengar Asy-Syafi’i berkata: “Jika makna ‘bernyanyi dengan Al-Qur’an’ bermakna merasa cukup, maka akan disebut ‘yataghānā’. Namun yang dimaksud adalah memperindah suara.”

 

(وَقَالَ) وَلَيْسَ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ وَالْعَصَبِيَّةُ الْمَحْضَةُ أَنْ يَبْغُضَ الرَّجُلَ؛ لِأَنَّهُ مِنْ بَنِي فُلَانٍ فَإِذَا أَظْهَرَهَا وَدَعَا إلَيْهَا وَتَأَلَّفَ عَلَيْهَا فَمَرْدُودٌ، وَقَدْ جَمَعَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الْمُسْلِمِينَ بِالْإِسْلَامِ وَهُوَ أَشْرَفُ أَنْسَابِهِمْ فَقَالَ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ} الحجرات: 10 وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «كُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إخْوَانًا» فَمَنْ خَالَفَ أَمْرَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمْرَ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – رُدَّتْ شَهَادَتُهُ

Dan dia (Asy-Syafi’i) berkata: “Bukan termasuk ‘ashabiyah (fanatisme buta) jika seseorang mencintai kaumnya. ‘Ashabiyah murni adalah ketika seseorang membenci orang lain hanya karena ia berasal dari suku tertentu. Jika ia menampakkannya, mengajak kepadanya, dan bersekutu atas dasar itu, maka (kesaksiannya) tertolak. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menyatukan kaum Muslimin dengan Islam, dan itulah nasab termulia mereka. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.’ (QS. Al-Hujurat: 10). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.’ Barangsiapa menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya, maka kesaksiannya ditolak.”

 

وَالشِّعْرُ كَلَامٌ فَحَسَنُهُ كَحَسَنِ الْكَلَامِ وَقَبِيحُهُ كَقَبِيحِهِ وَفَضْلُهُ عَلَى الْكَلَامِ أَنَّهُ سَائِرٌ، وَإِذَا كَانَ الشَّاعِرُ لَا يُعْرَفُ بِشَتْمِ النَّاسِ وَأَذَاهُمْ وَلَا يَمْتَدِحُ فَيُكْثِرُ الْكَذِبَ الْمَحْضَ وَلَا يَتَشَبَّبَ بِامْرَأَةٍ بِعَيْنِهَا وَلَا يُشَهِّرُهَا بِمَا يَشِينُهَا، فَجَائِزُ الشَّهَادَةِ وَإِنْ كَانَ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ لَمْ تَجُزْ

“Syair adalah ucapan. Yang baik darinya seperti ucapan yang baik, dan yang buruk seperti ucapan yang buruk. Kelebihannya dibanding ucapan biasa adalah bahwa syair itu tersebar. Jika seorang penyair tidak dikenal suka mencela dan menyakiti orang, tidak sering memuji dengan kebohongan murni, tidak menggubah syair cinta untuk wanita tertentu yang memalukannya, maka kesaksiannya diterima. Jika sebaliknya, kesaksiannya tidak diterima.”

 

وَيَجُوزُ شَهَادَةُ وَلَدِ الزِّنَا فِي الزِّنَا وَالْمَحْدُودِ فِيمَا حُدَّ فِيهِ وَالْقَرَوِيُّ عَلَى الْبَدْوِيِّ وَالْبَدْوِيُّ عَلَى الْقَرَوِيِّ إذَا كَانُوا عُدُولًا

“Dan diperbolehkan kesaksian anak zina dalam kasus zina, orang yang dihukum dalam perkara yang membuatnya dihukum, orang kota terhadap orang badui, dan orang badui terhadap orang kota—jika mereka adalah orang-orang yang adil.”

 

وَإِذَا شَهِدَ صَبِيٌّ أَوْ عَبْدٌ أَوْ نَصْرَانِيٌّ بِشَهَادَةٍ فَلَا يَسْمَعُهَا وَاسْتِمَاعُهُ لَهَا تَكَلُّفٌ وَإِنْ بَلَغَ الصَّبِيُّ وَأَعْتَقَ الْعَبْدُ وَأَسْلَمَ النَّصْرَانِيُّ ثُمَّ شَهِدُوا بِهَا بِعَيْنِهَا قَبِلْتهَا فَأَمَّا الْبَالِغُ الْمُسْلِمُ أَرُدُّ شَهَادَتَهُ فِي الشَّيْءِ ثُمَّ يَحْسُنُ حَالُهُ فَيَشْهَدُ بِهَا فَلَا أَقْبَلُهَا؛ لِأَنَّا حَكَمْنَا بِإِبْطَالِهَا وَجَرْحِهِ فِيهَا؛ لِأَنَّهُ مِنْ الشَّرْطِ أَنْ لَا يَخْتَبِرَ عَمَلَهُ قَالَ: وَلَوْ تَرَكَ الْمَيِّتُ ابْنَيْنِ فَشَهِدَ أَحَدُهُمَا عَلَى أَبِيهِ بِدَيْنٍ فَإِنْ كَانَ عَدْلًا حَلَفَ الْمُدَّعِي وَأَخَذَ الدَّيْنَ مِنْ الِاثْنَيْنِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَدْلًا أَخَذَ مِنْ يَدَيْ الشَّاهِدِ بِقَدْرِ مَا كَانَ يَأْخُذُهُ مِنْهُ لَوْ جَازَتْ شَهَادَتُهُ؛ لِأَنَّ مَوْجُودًا فِي شَهَادَتِهِ أَنَّ لَهُ فِي يَدَيْهِ حَقًّا وَفِي يَدَيْ الْجَاحِدِ حَقًّا فَأَعْطَيْته مِنْ الْمُقِرِّ وَلَمْ أُعْطِهِ مِنْ الْمُنْكِرِ، وَكَذَلِكَ لَوْ شَهِدَ أَنَّ أَبَاهُ أَوْصَى لَهُ بِثُلُثِ مَالِهِ.

 

 

Dan jika seorang anak kecil, budak, atau Nasrani memberikan kesaksian, maka kesaksiannya tidak didengar, dan mendengarkannya adalah suatu kesulitan. Namun jika anak kecil itu telah baligh, budak itu dimerdekakan, atau Nasrani itu masuk Islam, lalu mereka memberikan kesaksian yang sama, maka aku menerimanya. Adapun seorang Muslim yang sudah baligh, jika kesaksiannya tentang sesuatu telah kutetapkan, kemudian keadaannya membaik dan ia memberikan kesaksian yang sama, maka aku tidak menerimanya karena kami telah memutuskan untuk membatalkannya dan mencacatnya dalam hal itu, sebab salah satu syaratnya adalah tidak menguji perbuatannya. Beliau berkata: Dan jika mayit meninggalkan dua anak, lalu salah satunya bersaksi terhadap ayahnya tentang hutang, maka jika ia adil, pihak yang mengklaim harus bersumpah dan mengambil hutang dari keduanya. Namun jika ia tidak adil, maka diambil dari tangan sang saksi sebesar apa yang akan diambil darinya seandainya kesaksiannya diterima, karena dalam kesaksiannya terdapat pengakuan bahwa ia memiliki hak di tangannya dan di tangan pihak yang mengingkari. Maka aku memberikannya dari yang mengakui dan tidak memberikannya dari yang mengingkari. Demikian pula jika ia bersaksi bahwa ayahnya mewasiatkan sepertiga hartanya untuknya.

 

بَابُ الشَّهَادَةِ عَلَى الشَّهَادَةِ

 

Bab Kesaksian atas Kesaksian

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَتَجُوزُ الشَّهَادَةُ عَلَى الشَّهَادَةِ بِكِتَابِ الْقَاضِي فِي كُلِّ حَقٍّ لِلْآدَمِيِّينَ مَالًا أَوْ حَدًّا أَوْ قِصَاصًا وَفِي كُلِّ حَدٍّ لِلَّهِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ تَجُوزُ، وَالْآخَرُ: لَا تَجُوزُ مِنْ قِبَلِ دَرْءِ الْحُدُودِ بِالشُّبُهَاتِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dan diperbolehkan kesaksian atas kesaksian melalui surat qadhi dalam setiap hak bagi manusia, baik berupa harta, had, atau qishash. Sedangkan dalam setiap had untuk Allah, ada dua pendapat: salah satunya mengatakan itu diperbolehkan, dan yang lain mengatakan tidak diperbolehkan karena menolak hudud dengan syubhat.”

 

 

(قَالَ) : وَإِذَا سَمِعَ الرَّجُلَانِ الرَّجُلَ يَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّ لِفُلَانٍ عَلَى فُلَانٍ أَلْفَ دِرْهَمٍ وَلَمْ يَقُلْ لَهُمَا اشْهَدَا عَلَى شَهَادَتِي فَلَيْسَ لَهُمَا أَنْ يَشْهَدَا بِهَا وَلَا لِلْحَاكِمِ أَنْ يَقْبَلَهَا؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَرْعِهِمَا إيَّاهَا، وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَقُولَ لَهُ: عَلَى فُلَانٍ أَلْفُ دِرْهَمٍ وَعَدَهُ بِهَا، وَإِذَا اسْتَرْعَاهُمَا إيَّاهَا لَمْ يَفْعَلْ إلَّا وَهِيَ عِنْدَهُ وَاجِبَةٌ وَأُحِبُّ لِلْقَاضِي أَنْ لَا يَقْبَلَ هَذَا مِنْهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى الصِّحَّةِ حَتَّى يَسْأَلَهُ مِنْ أَيْنَ هِيَ؟ فَإِنْ قَالَ بِإِقْرَارٍ مِنْهُ أَوْ بِبَيْعٍ حَضَرْته أَوْ سَلَفٍ أَجَازَهُ وَلَوْ لَمْ يَسْأَلْهُ رَأَيْته جَائِزًا، وَإِنْ شَهِدَا عَلَى شَهَادَةِ رَجُلٍ وَلَمْ يَعْدِلَاهُ قَبِلَهُمَا وَسَأَلَ عَنْهُ فَإِنْ عَدَلَ قَضَى بِهِ.

 

 

(Dia berkata): Jika dua orang mendengar seseorang mengatakan, “Aku bersaksi bahwa si fulan memiliki hak seribu dirham atas fulan lainnya,” namun dia tidak mengatakan kepada keduanya, “Saksikanlah kesaksianku,” maka keduanya tidak boleh bersaksi atas hal itu, dan hakim tidak boleh menerimanya. Sebab dia tidak meminta mereka untuk menyaksikannya. Bisa saja dia berkata kepadanya, “Fulan memiliki seribu dirham yang dijanjikan kepadanya.” Jika dia meminta mereka untuk menyaksikannya, dia hanya melakukannya ketika itu adalah kewajiban menurutnya. Aku menyarankan hakim untuk tidak menerima hal ini darinya, meskipun benar, hingga dia bertanya darimana asalnya. Jika dia menjawab dengan pengakuan darinya, transaksi jual beli yang disaksikannya, atau pinjaman yang dia setujui, maka itu diperbolehkan meski hakim tidak menanyainya. Aku memandang hal itu sah. Jika dua orang bersaksi atas kesaksian seseorang tanpa menyatakan keadilannya, hakim boleh menerima kesaksian mereka dan menanyakan tentangnya. Jika dia adil, maka hakim boleh memutuskan berdasarkan itu.

 

(قَالَ) : وَلَوْ شَهِدَ رَجُلَانِ عَلَى شَهَادَةِ رَجُلَيْنِ فَقَدْ رَأَيْت كَثِيرًا مِنْ الْحُكَّامِ وَالْمُفْتِينَ يُجِيزُونَهُ.

 

Beliau berkata: “Seandainya dua orang laki-laki bersaksi atas kesaksian dua orang laki-laki (lainnya), sungguh aku telah melihat banyak hakim dan mufti yang membolehkannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَخَرَّجَهُ عَلَى قَوْلَيْنِ وَقَطَعَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ بِأَنَّهُ لَا تَجُوزُ شَهَادَتُهُمَا إلَّا عَلَى وَاحِدٍ مِمَّنْ شَهِدَا عَلَيْهِ وَآمُرُهُ بِطَلَبِ شَاهِدَيْنِ عَلَى الشَّاهِدِ الْآخَرِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) dan ia mengeluarkannya berdasarkan dua pendapat, serta menegaskan di tempat lain bahwa kesaksian keduanya tidak sah kecuali terhadap salah satu dari orang yang mereka beri kesaksian, dan aku memerintahkannya untuk mencari dua saksi atas saksi yang lain.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَنْ قَطَعَ بِشَيْءٍ كَانَ أَوْلَى بِهِ مِنْ حِكَايَتِهِ لَهُ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Barangsiapa memutuskan sesuatu, maka ia lebih berhak atasnya daripada sekadar menceritakannya.”

بَابُ الشَّهَادَةِ عَلَى الْحُدُودِ وَجَرْحِ الشُّهُودِ

Bab tentang kesaksian dalam hudud dan kritik terhadap saksi

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا شَهِدُوا عَلَى رَجُلٍ بِالزِّنَا سَأَلَهُمْ الْإِمَامُ أَزَنَى بِامْرَأَةٍ؟ ؛ لِأَنَّهُمْ قَدْ يَعُدُّونَ الزِّنَا وُقُوعًا عَلَى بَهِيمَةٍ وَلَعَلَّهُمْ يَعُدُّونَ الِاسْتِمْنَاءَ زِنًا فَلَا يَحُدُّ حَتَّى يُثْبِتُوا رُؤْيَةَ الزِّنَا وَتَغْيِيبَ الْفَرْجِ فِي الْفَرْجِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seseorang memberikan kesaksian bahwa seorang lelaki berzina, maka imam (hakim) harus bertanya kepadanya: ‘Apakah dia berzina dengan seorang perempuan?’ Karena mereka mungkin menganggap zina itu adalah persetubuhan dengan hewan, atau mungkin mereka menganggap onani sebagai zina. Maka hukuman had tidak boleh dilaksanakan sampai mereka membuktikan bahwa mereka melihat perbuatan zina dan masuknya kemaluan ke dalam kemaluan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ أَجَازَ فِي كِتَابِ الْحُدُودِ أَنَّ إتْيَانَ الْبَهِيمَةِ كَالزِّنَا يَحُدُّ فِيهِ قَالَ: وَلَوْ شَهِدَ أَرْبَعَةٌ اثْنَانِ مِنْهُمْ أَنَّهُ زَنَى بِهَا فِي بَيْتٍ وَاثْنَانِ مِنْهُمْ فِي بَيْتٍ غَيْرِهِ فَلَا حَدَّ عَلَيْهِمَا وَمَنْ حَدَّ الشُّهُودَ إذَا لَمْ يُتِمُّوا أَرْبَعَةً حَدَّهُمْ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – telah membolehkan dalam kitab Al-Hudud bahwa bersetubuh dengan hewan seperti zina, pelakunya dihukum had. Beliau berkata: “Seandainya empat orang bersaksi, dua di antaranya menyatakan bahwa dia berzina dengannya di satu rumah, dan dua lainnya menyatakan di rumah yang berbeda, maka tidak ada had atas keduanya. Dan barangsiapa menghukum para saksi ketika mereka tidak memenuhi empat orang, maka dia menghukum mereka.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ قَطَعَ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ بِحَدِّهِمْ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – telah memutuskan di beberapa tempat dengan hukum mereka.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ مَاتَ الشُّهُودُ قَبْلَ أَنْ يَعْدِلُوا ثُمَّ عَدَلُوا أُقِيمَ الْحَدُّ وَيَطْرُدُ الْمَشْهُودَ عَلَيْهِ وَجَرَحَ مَنْ يَشْهَدُ عَلَيْهِ وَلَا أَقْبَلُ الْجَرْحَ مِنْ الْجَارِحِ إلَّا بِتَفْسِيرِ مَا يَجْرَحُ بِهِ لِلِاخْتِلَافِ فِي الْأَهْوَاءِ وَتَكْفِيرِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا وَيُجَرَّحُونَ بِالتَّأْوِيلِ، وَلَوْ ادَّعَى عَلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَهَالَةِ بِحَدٍّ لَمْ أَرَ بَأْسًا أَنْ يَعْرِضَ لَهُ بِأَنْ يَقُولَ: لَعَلَّهُ لَمْ يَسْرِقْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya para saksi meninggal sebelum mereka dinyatakan adil, kemudian mereka dinyatakan adil, maka hukum had tetap dilaksanakan dan orang yang disaksikan terhadapnya tetap dihukum. Jika seseorang mencela orang yang bersaksi terhadapnya, aku tidak akan menerima celaan dari pencela kecuali dengan penjelasan tentang alasan pencelaan, karena perbedaan hawa nafsu dan saling mengkafirkan di antara mereka. Mereka bisa dicela berdasarkan takwil. Dan jika seseorang menuduh seorang yang bodoh dengan hukuman had, aku tidak melihat masalah untuk memberikan kemungkinan dengan mengatakan: ‘Mungkin dia tidak mencuri’.”

 

وَلَوْ شَهِدَا بِأَنَّهُ سَرَقَ مِنْ هَذَا الْبَيْتِ كَبْشًا لِفُلَانٍ فَقَالَ أَحَدُهُمَا: غَدْوَةً، وَقَالَ الْآخَرُ: عَشِيَّةً أَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا: الْكَبْشُ أَبْيَضُ، وَقَالَ الْآخَرُ: أَسْوَدُ لَمْ يَقْطَعْ حَتَّى يَجْتَمِعَا وَيُحَلِّفَ مَعَ شَاهِدِهِ أَيَّهُمَا شَاءَ، وَلَوْ شَهِدَ اثْنَانِ أَنَّهُ سَرَقَ ثَوْبَ كَذَا وَقِيمَتُهُ رُبُعِ دِينَارٍ وَشَهِدَ آخَرَانِ أَنَّهُ سَرَقَ ذَلِكَ الثَّوْبَ بِعَيْنِهِ وَأَنَّ قِيمَتَهُ أَقَلُّ مِنْ رُبُعِ دِينَارٍ فَلَا قَطْعَ وَهَذَا مِنْ أَقْوَى مَا تُدْرَأُ بِهِ الْحُدُودُ، وَيَأْخُذُهُ بِأَقَلِّ الْقِيمَتَيْنِ فِي الْغُرْمِ وَإِذَا لَمْ يَحْكُمْ بِشَهَادَةِ مَنْ شَهِدَ عِنْدَهُ حَتَّى يَحْدُثَ مِنْهُ مَا تُرَدُّ بِهِ شَهَادَتُهُ رَدَّهَا وَإِنْ حَكَمَ بِهَا وَهُوَ عَدْلٌ ثُمَّ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ بَعْدَ الْحُكْمِ لَمْ نَرُدَّهُ؛ لِأَنِّي إنَّمَا أَنْظُرُ يَوْمَ يَقْطَعُ الْحَاكِمُ بِشَهَادَتِهِ.

 

 

Dan jika dua saksi bersaksi bahwa dia mencuri seekor kambing dari rumah ini milik si fulan, lalu salah satu dari mereka berkata: “pada pagi hari,” sedangkan yang lain berkata: “pada sore hari,” atau salah satu berkata: “kambing itu putih,” dan yang lain berkata: “hitam,” maka hukuman potong tangan tidak dilaksanakan hingga kesaksian mereka bersatu dan dia (tertuduh) disumpah bersama salah satu saksi yang dipilih. Jika dua orang bersaksi bahwa dia mencuri pakaian tertentu senilai seperempat dinar, lalu dua orang lain bersaksi bahwa dia mencuri pakaian yang sama tetapi nilainya kurang dari seperempat dinar, maka hukuman potong tangan tidak berlaku. Ini termasuk alasan terkuat untuk menolak penerapan hudud, dan dia (tertuduh) dikenai denda berdasarkan nilai yang lebih rendah. Jika hakim tidak memutuskan berdasarkan kesaksian seseorang hingga muncul alasan yang membuat kesaksiannya tertolak, maka kesaksian itu ditolak. Namun, jika hakim telah memutuskan berdasarkan kesaksiannya saat dia masih adil, lalu keadaannya berubah setelah putusan, kami tidak membatalkannya karena aku hanya melihat pada saat hakim memutuskan berdasarkan kesaksiannya.

 

بَابُ الرُّجُوعِ عَنْ الشَّهَادَةِ

Bab tentang menarik kembali kesaksian

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الرُّجُوعُ عَنْ الشَّهَادَةِ ضَرْبَانِ فَإِنْ كَانَتْ عَلَى رَجُلٍ بِشَيْءٍ يَتْلَفُ مِنْ بَدَنِهِ أَوْ يُنَالُ بِقَطْعٍ أَوْ قِصَاصٍ فَأَخَذَ مِنْهُ ذَلِكَ ثُمَّ رَجَعُوا فَقَالُوا: عَمَدْنَاهُ بِذَلِكَ فَهِيَ كَالْجِنَايَةِ فِيهَا الْقِصَاصُ وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِعَلِيٍّ وَمَا لَمْ يَكُنْ مِنْ ذَلِكَ فِيهِ الْقِصَاصُ أَغْرَمُوهُ وَعَزَّرُوا دُونَ الْحَدِّ وَإِنْ قَالُوا: لَمْ نَعْلَمْ أَنَّ هَذَا يَجِبُ عَلَيْهِ عَزَّرُوا وَأَخَذَ مِنْهُمْ الْعَقْلَ وَلَوْ قَالُوا: أَخْطَأْنَا؛ كَانَ عَلَيْهِمْ الْأَرْشُ، وَلَوْ كَانَ هَذَا فِي طَلَاقِ ثَلَاثٍ أَغْرَمْتهمْ لِلزَّوْجِ صَدَاقَ مِثْلِهَا دَخَلَ بِهَا أَوْ لَمْ يَدْخُلْ بِهَا؛ لِأَنَّهُمْ حَرَّمُوهَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَكُنْ لَهَا قِيمَةٌ إلَّا مَهْرُ مِثْلِهَا وَلَا أَلْتَفِتُ إلَى مَا أَعْطَاهَا.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Mencabut kesaksian ada dua jenis. Jika kesaksian itu terkait sesuatu yang merusak tubuh seseorang, seperti hukuman potong atau qishash, lalu hukuman itu telah dilaksanakan kemudian mereka mencabut kesaksian dan berkata, ‘Kami sengaja melakukan itu,’ maka hal itu dianggap sebagai kejahatan yang wajib diqishash. Beliau berargumen dalam hal ini dengan pendapat Ali. Sedangkan jika tidak termasuk dalam kategori itu, maka mereka diharuskan membayar denda dan dihukum ta’zir tanpa hukuman had. Jika mereka berkata, ‘Kami tidak tahu bahwa ini wajib atasnya,’ maka mereka dihukum ta’zir dan diwajibkan membayar diyat. Jika mereka berkata, ‘Kami salah,’ maka mereka wajib membayar arsy. Jika hal ini terjadi dalam kasus talak tiga, maka mereka diwajibkan membayar kepada suami mahar seperti istrinya, baik sudah digauli atau belum, karena mereka telah mengharamkannya atas suami, sehingga tidak ada nilai baginya kecuali mahar seperti itu. Dan aku tidak memperhatikan apa yang telah diberikan kepadanya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ هَذَا غَلَطًا مِنْ غَيْرِ الشَّافِعِيِّ وَمَعْنَى قَوْلِهِ الْمَعْرُوفُ أَنْ يَطْرَحَ عَنْهُمْ ذَلِكَ بِنِصْفِ مَهْرِ مِثْلِهَا إذَا لَمْ يَكُنْ دَخَلَ بِهَا.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata, “Ini seharusnya merupakan kesalahan dari selain Asy-Syafi’i. Makna perkataannya yang dikenal adalah bahwa mereka dikurangi separuh mahar perempuan semisalnya jika suami belum berhubungan dengannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِنْ كَانَ فِي دَارٍ فَأُخْرِجَتْ مِنْ يَدَيْهِ إلَى غَيْرِهِ عُزِّرُوا عَلَى شَهَادَةِ الزُّورِ وَلَمْ يُعَاقَبُوا عَلَى الْخَطَأِ وَلَمْ أُغَرِّمْهُمْ مِنْ قِبَلِ أَنِّي جَعَلْتهمْ عُدُولًا بِالْأَوَّلِ فَأَمْضَيْنَا بِهِمْ الْحُكْمَ وَلَمْ يَكُونُوا عُدُولًا بِالْآخَرِ فَتُرَدُّ الدَّارُ وَلَمْ يُفِيتُوا شَيْئًا لَا يُؤْخَذُ وَلَمْ يَأْخُذُوا شَيْئًا؛ لِأَنْفُسِهِمْ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُمْ وَهُمْ كَمُبْتَدِئِينَ شَهَادَةً لَا تُقْبَلُ مِنْهُمْ فَلَا أُغَرِّمُهُمْ مَا أَقَرُّوهُ فِي أَيْدِي غَيْرِهِمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika ada suatu rumah yang dikeluarkan dari pemiliknya dan diberikan kepada orang lain, mereka (para saksi) dihukum karena kesaksian palsu, tetapi tidak dihukum karena kekeliruan, dan aku tidak memaksa mereka membayar denda. Sebab, awalnya aku menganggap mereka sebagai saksi yang adil, sehingga keputusan hukum dijalankan berdasarkan kesaksian mereka. Namun, ternyata mereka tidak adil dalam kesaksian yang lain, sehingga rumah itu harus dikembalikan. Mereka tidak menghilangkan sesuatu yang tidak boleh diambil, juga tidak mengambil sesuatu untuk diri mereka sendiri. Lalu, hakim mencabut kepemilikan itu dari mereka, dan status mereka seperti orang yang baru memulai kesaksian yang tidak dapat diterima. Karena itu, aku tidak memaksa mereka membayar denda atas apa yang mereka tetapkan di tangan orang lain.”

بَابُ عِلْمِ الْحَاكِمِ بِحَالِ مَنْ قَضَى بِشَهَادَتِهِ

 

Bab tentang pengetahuan hakim mengenai keadaan orang yang diputuskan berdasarkan kesaksiannya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا عَلِمَ الْقَاضِي أَنَّهُ قَضَى بِشَهَادَةِ عَبْدَيْنِ أَوْ مُشْرِكَيْنِ أَوْ غَيْرِ عَدْلَيْنِ مِنْ جَرْحٍ بَيِّنٍ أَوْ أَحَدُهُمَا – رَدَّ الْحُكْمَ عَلَى نَفْسِهِ وَرَدَّهُ عَلَيْهِ غَيْرُهُ بَلْ الْقَاضِي بِشَهَادَةِ الْفَاسِقِ أَبْيَنَ خَطَأً مِنْهُ بِشَهَادَةِ الْعَبْدِ، وَذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ جَلَّ ثَنَاؤُهُ قَالَ {وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ} الطلاق: 2 وَقَالَ {مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ} البقرة: 282 وَلَيْسَ الْفَاسِقُ بِوَاحِدٍ مِنْ هَذَيْنِ فَمَنْ قُضِيَ بِشَهَادَتِهِ فَقَدْ خَالَفَ حُكْمَ اللَّهِ وَرَدَّ شَهَادَةَ الْعَبْدِ إنَّمَا هُوَ تَأْوِيلٌ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: إنْ طَلَبَ الْخَصْمُ الْجُرْحَةَ أَجَّلَهُ بِالْمِصْرِ وَمَا قَارَبَهُ فَإِنْ لَمْ يَجِئْ بِهَا أَنْفَذَ الْحُكْمَ عَلَيْهِ ثُمَّ إنْ جَرَحَهُمْ بَعْدُ لَمْ يَرُدَّ عَنْهُ الْحُكْمَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Jika seorang hakim mengetahui bahwa ia telah memutuskan berdasarkan kesaksian dua budak, dua orang musyrik, atau dua orang yang tidak adil karena cacat yang jelas atau salah satunya, maka ia harus membatalkan putusannya sendiri atau orang lain membatalkannya. Bahkan, hakim yang memutus berdasarkan kesaksian orang fasik lebih jelas kesalahannya daripada memutus berdasarkan kesaksian budak. Hal itu karena Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan persaksikanlah dengan dua orang yang adil di antara kamu’ (QS. At-Talaq: 2) dan firman-Nya, ‘Dari orang-orang yang kamu ridhai sebagai saksi’ (QS. Al-Baqarah: 282). Orang fasik tidak termasuk dalam kedua kriteria ini. Barangsiapa memutus berdasarkan kesaksiannya, maka ia telah menyalahi hukum Allah. Penolakan terhadap kesaksian budak hanyalah berdasarkan takwil.” Dalam kesempatan lain, beliau berkata: “Jika pihak yang berperkara meminta penundaan untuk mengajukan pencacatan saksi, hakim boleh menundanya di kota atau tempat terdekat. Jika ia tidak datang dengan membawa pencacatan, hakim dapat melanjutkan putusan terhadapnya. Kemudian, jika setelah itu ia mencacat saksi, putusan tidak dapat dibatalkan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قِيَاسُ قَوْلِهِ الْأَوَّلِ أَنْ يَقْبَلَ الشُّهُودَ الْعُدُولَ أَنَّهُمَا فَاسِقَانِ كَمَا يَقْبَلُ أَنَّهُمَا عَبْدَانِ وَمُشْرِكَانِ وَيَرُدُّ الْحُكْمَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Qiyas dari perkataan pertamanya adalah menerima saksi-saksi yang adil bahwa keduanya fasik, sebagaimana menerima bahwa keduanya adalah budak dan musyrik, dan menolak putusan hukum.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَنْفَذَ الْقَاضِي بِشَهَادَتِهِمَا قَطْعًا ثُمَّ بَانَ لَهُ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِمَا شَيْءٌ؛ لِأَنَّهُمَا صَادِقَانِ فِي الظَّاهِرِ وَكَانَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَقْبَلَ مِنْهُمَا فَهَذَا خَطَأٌ مِنْهُ تَحْمِلُهُ عَاقِلَتُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika hakim memutuskan berdasarkan kesaksian keduanya, kemudian terbukti kesalahan keputusan tersebut, maka tidak ada tanggungan atas keduanya; karena secara lahir mereka berdua bersaksi dengan benar. Namun seharusnya hakim tidak menerima kesaksian mereka. Ini merupakan kesalahan dari hakim yang ditanggung oleh keluarganya (aqilah).”

 

بَابُ الشَّهَادَةِ فِي الْوَصِيَّةِ

 

Bab Kesaksian dalam Wasiat

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ شَهِدَ أَجْنَبِيَّانِ لِعَبْدٍ أَنَّ فُلَانًا الْمُتَوَفَّى أَعْتَقَهُ وَهُوَ الثُّلُثُ فِي وَصِيَّتِهِ وَشَهِدَ وَارِثَانِ لِعَبْدٍ غَيْرِهِ أَنَّهُ أَعْتَقَهُ وَهُوَ الثُّلُثُ فِي الِاثْنَيْنِ فَسَوَاءٌ وَيُعْتِقُ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Seandainya dua orang asing bersaksi untuk seorang budak bahwa si fulan yang telah meninggal telah memerdekakannya, dan itu adalah sepertiga dalam wasiatnya, serta dua orang ahli waris bersaksi untuk budak lain bahwa dia telah memerdekakannya, dan itu adalah sepertiga dari keduanya, maka sama saja, dan dibebaskan separuh dari masing-masing budak tersebut.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قِيَاسُ قَوْلِهِ أَنْ يَقْرَعَ بَيْنَهُمَا وَقَدْ قَالَهُ فِي غَيْرِ هَذَا الْبَابِ.

 

(Al-Muzani berkata) Qiyas dari perkataannya adalah mengundi antara keduanya, dan hal itu telah ia sebutkan dalam bab selain ini.

 

(قَالَ) : وَلَوْ شَهِدَ الْوَارِثَانِ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ عِتْقِ الْأَوَّلِ وَأَعْتَقَ الْآخَرُ أَجَزْت شَهَادَتَهُمَا وَإِنَّمَا أَرُدُّ شَهَادَتَهُمَا فِيمَا جَرَّا إلَى أَنْفُسِهِمَا فَإِذَا لَمْ يَجُرَّا فَلَا فَأَمَّا الْوَلَاءُ فَلَا يَمْلِكُ مِلْكَ الْأَمْوَالِ وَقَدْ لَا يَصِيرُ فِي أَيْدِيهِمَا بِالْوَلَاءِ شَيْءٌ وَلَوْ أَبْطَلْتهمَا بِأَنَّهُمَا يَرِثَانِ الْوَلَاءَ إنْ مَاتَ لَا وَارِثَ لَهُ غَيْرَهُمَا أَبْطَلْتهَا لِذَوِي أَرْحَامِهِمَا.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya dua ahli waris bersaksi bahwa dia menarik kembali pembebasan budak pertama dan memerdekakan budak lainnya, aku akan menerima kesaksian mereka. Aku hanya menolak kesaksian mereka dalam hal yang menguntungkan diri mereka sendiri. Jika tidak menguntungkan, maka tidak. Adapun perwalian, ia tidak memiliki hak kepemilikan seperti harta, dan mungkin tidak ada sesuatu pun yang sampai ke tangan mereka melalui perwalian. Seandainya aku membatalkan kesaksian mereka karena mereka mewarisi perwalian jika dia meninggal tanpa ahli waris selain mereka, aku akan membatalkannya untuk kerabat mereka.”

 

 

وَلَوْ شَهِدَ أَجْنَبِيَّانِ أَنَّهُ أَعْتَقَ عَبْدًا هُوَ الثُّلُثُ وَصِيَّةً وَشَهِدَ وَارِثَانِ أَنَّهُ رَجَعَ فِيهِ وَأَعْتَقَ عَبْدًا هُوَ السُّدُسُ عَتَقَ الْأَوَّلُ بِغَيْرِ قُرْعَةٍ لِلْجَرِّ إلَى أَنْفُسِهِمَا، وَأَبْطَلْت حَقَّهُمَا مِنْ الْآخَرِ بِالْإِقْرَارِ وَلَوْ لَمْ يَقُولَا: إنَّهُ رَجَعَ فِي الْأَوَّلِ أَقْرَعْت بَيْنَهُمَا حَتَّى يَسْتَوْظِفَ الثُّلُثَ وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ الْمُفْتِينَ إنَّ شَهَادَةَ الْأَجْنَبِيَّيْنِ وَالْوَرَثَةِ سَوَاءٌ مَا لَمْ يَجُرَّا إلَى أَنْفُسِهِمَا.

 

 

Jika dua orang asing bersaksi bahwa seseorang telah memerdekakan budak yang merupakan sepertiga wasiat, lalu dua ahli waris bersaksi bahwa ia telah menarik kembali (wasiat tersebut) dan memerdekakan budak yang merupakan seperenam, maka budak pertama merdeka tanpa undian karena (kesaksian ahli waris) menguntungkan diri mereka sendiri. Hak mereka atas budak kedua gugur melalui pengakuan. Namun jika mereka tidak mengatakan bahwa ia menarik kembali wasiat pertama, maka diadakan undian antara kedua budak hingga sepertiga wasiat terpenuhi. Ini adalah pendapat mayoritas mufti bahwa kesaksian orang asing dan ahli waris sama selama tidak menguntungkan diri mereka sendiri.

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ شَهِدَ رَجُلَانِ لِرَجُلٍ بِالثُّلُثِ وَآخَرَانِ لِآخَرَ بِالثُّلُثِ وَشَهِدَ آخَرَانِ أَنَّهُ رَجَعَ عَنْ أَحَدِهِمَا فَالثُّلُثُ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ، وَقَالَ فِي الشَّهَادَاتِ فِي الْعِتْقِ وَالْحُدُودِ إمْلَاءً، وَإِذَا شَهِدَا أَنَّ سَيِّدَهُ أَعْتَقَهُ فَلَمْ يَعْدِلَا فَسَأَلَ الْعَبْدَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَيِّدِهِ أَجْرٌ وَوَقَفْت إجَارَتَهُ فَإِنْ تَمَّ عِتْقُهُ أَخَذَهَا وَإِنْ رُقَّ أَخَذَهَا السَّيِّدُ، وَلَوْ شَهِدَ لَهُ شَاهِدٌ وَادَّعَى شَاهِدًا قَرِيبًا فَالْقَوْلُ فِيهَا وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: مَا وَصَفْت فِي الْوَقْفِ. وَالثَّانِي: لَا يَمْنَعُ مِنْهُ سَيِّدُهُ وَيَحْلِفُ لَهُ.

 

 

(Dia berkata): “Seandainya dua orang bersaksi untuk seseorang atas sepertiga, dan dua orang lain bersaksi untuk orang lain atas sepertiga, lalu dua orang lain bersaksi bahwa dia menarik kembali salah satunya, maka sepertiga itu dibagi dua di antara mereka.” Dia juga berkata tentang kesaksian dalam pembebasan dan hudud secara dikte. Jika dua orang bersaksi bahwa tuannya telah membebaskannya tetapi mereka tidak adil, lalu budak itu meminta upah sebagai penghalang antara dia dan tuannya, dan aku menahan upahnya. Jika pembebasannya sah, dia mengambilnya; jika statusnya kembali sebagai budak, tuannya yang mengambilnya. Dan jika seorang saksi bersaksi untuknya dan mengklaim saksi yang dekat, maka pendapat tentang hal itu adalah salah satu dari dua pendapat: pertama seperti yang telah aku jelaskan tentang wakaf, dan kedua: tuannya tidak boleh menghalanginya dan dia harus bersumpah untuknya.

 

مُخْتَصَرٌ مِنْ جَامِعِ الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ

 

Ringkasan dari Kumpulan Doa dan Bukti

 

إمْلَاءٌ عَلَى كِتَابِ ابْنِ الْقَاسِمِ وَمِنْ كِتَابِ الدَّعْوَى إمْلَاءٌ عَلَى كِتَابِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمِنْ اخْتِلَافِ الْأَحَادِيثِ وَمِنْ اخْتِلَافِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى وَأَبِي حَنِيفَةَ وَمِنْ مَسَائِلَ شَتَّى سَمِعْتهَا لَفْظًا (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: أَخْبَرَنَا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِي» .

 

 

Dikte atas kitab Ibnu Al-Qasim, dan dari kitab Ad-Da’wa dikte atas kitab Abu Hanifah, serta dari perbedaan hadis-hadis dan perbedaan antara Ibnu Abi Laila dengan Abu Hanifah, dan dari berbagai masalah yang kudengar secara lisan (Asy-Syafi’i berkata) -semoga Allah merahmatinya-: Telah mengabarkan kepada kami Muslim bin Khalid dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda: “Bukti itu atas orang yang menuduh.”

(Asy-Syafi’i berkata) : Aku mengira dia berkata, namun aku tidak memastikannya: “Sumpah itu dibebankan kepada pihak yang didakwa.” Beliau berkata: Jika seseorang mengklaim suatu benda yang ada di tangan orang lain, maka yang tampak jelas adalah bahwa benda itu milik orang yang memegangnya disertai sumpahnya, karena posisinya lebih kuat. Jika alasan keduanya sama, maka keduanya memiliki hak yang sama. Jika pihak yang tidak memegang benda tersebut menghadirkan bukti, dikatakan kepada pemegang benda: “Bukti yang tidak merugikan dirinya sendiri dengan kesaksiannya lebih kuat daripada sekadar kepemilikan benda di tanganmu. Bisa saja benda yang ada di tanganmu bukan milikmu, maka benda itu menjadi miliknya karena kekuatan alasannya lebih unggul daripada alasanmu.” Jika pihak lain menghadirkan bukti, dikatakan: “Kalian telah setara dalam klaim dan bukti, tetapi pihak yang memegang benda memiliki alasan lebih kuat, maka benda itu miliknya karena keunggulan alasannya.” Ini sesuai dengan prinsip qiyas dan sunnah, sebagaimana yang kami sebutkan dalam kasus “dua orang yang memperebutkan hewan ternak, dan masing-masing menghadirkan bukti bahwa hewan itu adalah hasil ternaknya, lalu Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – memutuskan untuk pihak yang memegangnya.” Beliau berkata: “Perselisihan dan bukti dalam kasus hasil ternak atau lainnya adalah sama. Sama saja apakah salah satu pihak menghadirkan satu saksi laki-laki dan dua perempuan, sedangkan pihak lain menghadirkan sepuluh saksi, selama sebagian lebih kuat daripada sebagian lainnya. Jika pihak yang didukung bukti ingin meminta sumpah lawannya bersama buktinya, hal itu tidak diperbolehkan kecuali jika dia mengklaim bahwa lawannya telah mengeluarkan benda itu dari kepemilikannya. Ini adalah klaim lain, maka sumpah dibebankan kepadanya.”

 

 

وَلَوْ ادَّعَى أَنَّهُ نَكَحَ امْرَأَةً لَمْ أَقْبَلْ دَعْوَاهُ حَتَّى يَقُولَ: نَكَحْتهَا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدِي عَدْلٍ وَرِضَاهَا فَإِنْ حَلَفَتْ بَرِئَتْ وَإِنْ نَكَلَتْ حَلَفَ وَقُضِيَ لَهُ بِأَنَّهَا زَوْجَةٌ لَهُ.

 

 

Dan jika seseorang mengaku telah menikahi seorang wanita, aku tidak akan menerima pengakuannya hingga ia mengatakan: “Aku menikahinya dengan wali, dua saksi yang adil, dan kerelaannya.” Jika wanita itu bersumpah, ia terbebas. Namun jika ia menolak bersumpah, maka pria itu dapat bersumpah dan diputuskan bahwa wanita itu adalah istrinya.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Sumpah dalam kasus pembunuhan berbeda dengan kasus lainnya. Tidak dibebaskan darinya kecuali dengan lima puluh sumpah. Sama saja antara jiwa dan luka dalam hal ini, kami membunuhnya atau memotongnya karena penolakannya (untuk bersumpah) dan sumpah dari pihak korban.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَطَعَ فِي الْإِمْلَاءِ بِأَنْ لَا قَسَامَةَ بِدَعْوَى مَيِّتٍ وَلَكِنْ يَحْلِفُ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ، وَيَبْرَأُ فَإِنْ أَبَى حَلَفَ الْأَوْلِيَاءُ وَاسْتَحَقُّوا دَمَهُ وَإِنْ أَبَوْا بَطَلَ حَقُّهُمْ وَقَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ الْحَدِيثِ: مَنْ ادَّعَى دَمًا وَلَا دَلَالَةَ لِلْحَاكِمِ عَلَى دَعْوَاهُ كَالدَّلَالَةِ الَّتِي قَضَى بِهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِالْقَسَامَةِ أَحْلَفَ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ كَمَا يَحْلِفُ فِيمَا سِوَى الدَّمَ.

 

 

Al-Muzani – rahimahullah – berkata dalam kitab Al-Imla’: Tidak ada qasamah (sumpah bersama) dengan klaim orang yang sudah meninggal, tetapi yang terdakwa lah yang harus bersumpah dan dibebaskan. Jika dia menolak, maka para wali (keluarga korban) bersumpah dan berhak atas darahnya. Jika mereka menolak, gugurlah hak mereka. Dalam kitab Ikhtilaf Al-Hadits, beliau berkata: Siapa yang menuntut darah tanpa bukti yang jelas bagi hakim atas klaimnya, seperti bukti yang diputuskan Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – dalam qasamah, maka terdakwa disumpah sebagaimana sumpah dalam selain kasus darah.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَهَذَا بِهِ أَشْبَهُ وَدَلِيلٌ آخَرُ «حَكَمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الْقَسَامَةِ بِتَبْدِئَةِ الْمُدَّعِي لَا غَيْرَهُ وَحَكَمَ فِيمَا سِوَى ذَلِكَ بِتَبْدِئَةِ يَمِينِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ لَا غَيْرَهُ» فَإِذَا حَكَمَ الشَّافِعِيُّ فِيمَا وَصَفْت بِتَبْدِئَةِ الْمُدَّعَى عَلَيْهِ ارْتَفَعَ عَدَدُ أَيْمَانِ الْقَسَامَةِ.

 

 

(Al-Muzani) – rahimahullah – berkata: “Ini lebih mirip dengannya, dan ada dalil lain: ‘Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memutuskan dalam qasamah untuk memulai dengan penggugat, bukan selainnya, dan memutuskan dalam selain itu dengan memulai sumpah tergugat, bukan selainnya.’ Maka jika Asy-Syafi’i memutuskan dalam hal yang telah kujelaskan dengan memulai dari tergugat, jumlah sumpah qasamah akan berkurang.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالدَّعْوَى فِي الْكَفَالَةِ بِالنَّفْسِ وَالنُّكُولِ وَرَدِّ الْيَمِينِ كَهِيَ فِي الْمَالِ إلَّا أَنَّ الْكَفَالَةَ بِالنَّفْسِ ضَعِيفَةٌ وَلَوْ أَقَامَ بَيِّنَةً أَنَّهُ أَكْرَاهُ بَيْتًا مِنْ دَارِهِ شَهْرًا بِعَشَرَةٍ، وَأَقَامَ الْمُكْتَرِي الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ اكْتَرَى مِنْهُ الدَّارَ كُلَّهَا ذَلِكَ الشَّهْرَ بِعَشَرَةٍ فَالشَّهَادَةُ بَاطِلَةٌ وَيَتَحَالَفَانِ وَيَتَرَادَّانِ فَإِنْ كَانَ سَكَنَ فَعَلَيْهِ كِرَاءُ مِثْلِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Tuntutan dalam penjaminan diri, penolakan, dan pengembalian sumpah adalah seperti tuntutan dalam harta, kecuali bahwa penjaminan diri itu lemah. Jika seseorang mengajukan bukti bahwa ia dipaksa menyewakan satu rumah dari miliknya selama satu bulan dengan harga sepuluh, dan penyewa mengajukan bukti bahwa ia menyewa seluruh rumah itu pada bulan tersebut dengan harga sepuluh, maka kesaksian itu batal. Keduanya harus bersumpah dan saling mengembalikan. Jika ia telah menempati, maka ia wajib membayar sewa yang semisal.”

 

 

وَلَوْ ادَّعَى دَارًا فِي يَدَيْ رَجُلٍ فَقَالَ: لَيْسَتْ بِمِلْكٍ لِي وَهِيَ لِفُلَانٍ فَإِنْ كَانَ حَاضِرًا صَيَّرْتهَا لَهُ وَجَعَلْته خَصْمًا عَنْ نَفْسِهِ، وَإِنْ كَانَ غَائِبًا كَتَبَ إقْرَارَهُ وَقِيلَ لِلْمُدَّعِي: أَقِمْ الْبَيِّنَةَ فَإِنْ أَقَامَهَا قُضِيَ بِهَا عَلَى الَّذِي هِيَ فِي يَدَيْهِ وَيَجْعَلُ فِي الْقَضِيَّةِ أَنَّ الْمُقَرَّ لَهُ بِهَا عَلَى حُجَّتِهِ.

 

 

Dan jika seseorang mengklaim sebuah rumah yang berada di tangan seorang laki-laki, lalu dia berkata, “Ini bukan milikku, melainkan milik si fulan,” maka jika fulan hadir, rumah itu diserahkan kepadanya dan dia dijadikan lawan bagi dirinya sendiri. Namun jika fulan tidak hadir, pengakuannya dicatat, dan sang pengklaim disuruh, “Tunjukkan bukti.” Jika dia menunjukkannya, maka keputusan dijatuhkan berdasarkan bukti tersebut terhadap orang yang memegang rumah itu, dan dalam putusan disebutkan bahwa pengakuan itu menjadi hujjah bagi yang diakui.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: قَدْ قَطَعَ بِالْقَضَاءِ عَلَى غَائِبٍ وَهُوَ أَوْلَى بِقَوْلِهِ.

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Sungguh, dia telah memutuskan hukum atas orang yang tidak hadir, dan pendapatnya lebih utama.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَقَامَ رَجُلٌ بَيِّنَةً أَنَّ هَذِهِ الدَّارَ كَانَتْ فِي يَدَيْهِ أَمْسِ لَمْ أَقْبَلْ قَدْ يَكُونُ فِي يَدَيْهِ مَا لَيْسَ لَهُ إلَّا أَنْ يُقِيمَ بَيِّنَةً أَنَّهُ أَخَذَهَا مِنْهُ، وَلَوْ أَقَامَ بَيِّنَةً أَنَّهُ غَصَبَهُ إيَّاهَا وَأَقَامَ آخَرُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ أَقَرَّ لَهُ بِهَا فَهِيَ لِلْمَغْصُوبِ وَلَا يَجُوزُ إقْرَارُهُ فِيمَا غَصَبَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang mengajukan bukti bahwa rumah ini kemarin berada dalam penguasaannya, aku tidak akan menerimanya. Bisa saja sesuatu yang bukan miliknya berada dalam penguasaannya, kecuali jika dia mengajukan bukti bahwa dia mengambilnya darinya. Dan jika dia mengajukan bukti bahwa dia merampasnya, sementara orang lain mengajukan bukti bahwa dia mengakuinya, maka rumah itu milik yang dirampas. Tidak boleh pengakuan dalam hal yang dirampas.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا ادَّعَى عَلَيْهِ شَيْئًا كَانَ فِي يَدَيْ الْمَيِّتِ حَلَفَ عَلَى عِلْمِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى وَإِذَا اشْتَرَاهُ حَلَفَ عَلَى الْبَتِّ.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Dan jika ia menuntut sesuatu yang berada di tangan mayit, maka ia bersumpah berdasarkan pengetahuannya. Dan dalam kitab Ibnu Abi Laila disebutkan, jika ia membelinya, maka ia bersumpah dengan tegas.

 

Teks Asli

بَابُ الدَّعْوَى فِي الْمِيرَاثِ مِنْ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى

 

Terjemahan

Bab tentang klaim dalam warisan dari perbedaan pendapat antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila.

(Asy-Syafi’i berkata): Seandainya seorang Nasrani meninggal dan dia memiliki dua anak: seorang Muslim dan seorang Nasrani, lalu dua orang Muslim bersaksi untuk si Muslim bahwa ayahnya meninggal dalam keadaan Muslim, dan untuk si Nasrani dua orang Muslim bersaksi bahwa ayahnya meninggal dalam keadaan Nasrani, maka jenazahnya dishalatkan. Barangsiapa yang membatalkan bukti yang tidak mungkin kecuali dengan mendustakan sebagian dari mereka terhadap sebagian yang lain, maka dia memberikan warisan kepada si Nasrani. Barangsiapa yang berpendapat untuk mengundi, maka dia mengundi, dan siapa yang keluar undiannya, warisan menjadi miliknya. Barangsiapa yang berpendapat untuk membagi jika kedua bukti mereka setara, maka dia membagikannya di antara keduanya. Jenazah dishalatkan karena adanya keraguan, sebagaimana dia dishalatkan jika bercampur dengan jenazah-jenazah Muslim lainnya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَشْبَهُ بِالْحَقِّ عِنْدِي أَنَّهُ إنْ كَانَ أَصْلُ دِينِهِ النَّصْرَانِيَّةَ فَاَللَّذَانِ شَهِدَا بِالْإِسْلَامِ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُمَا عَلِمَا إيمَانًا حَدَثَ خَفِيَ عَلَى الْآخَرِينَ وَإِنْ لَمْ يَدْرِ مَا أَصْلُ دِينِهِ وَالْمِيرَاثُ فِي أَيْدِيهِمَا فَبَيْنَهُمَا نِصْفَانِ، وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَوْ رَمَى أَحَدُهُمَا طَائِرًا ثُمَّ رَمَاهُ الثَّانِي فَلَمْ يَدْرِ أَبَلَغَ بِهِ الْأَوَّلَ أَنْ يَكُونَ مُمْتَنِعًا أَوْ غَيْرَ مُمْتَنِعٍ جَعَلْنَاهُ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat yang paling mendekati kebenaran menurutku adalah jika asal agamanya Nasrani, maka kedua saksi yang bersaksi tentang keislamannya lebih utama; karena mereka mengetahui keimanan yang baru terjadi yang tersembunyi dari orang lain. Jika tidak diketahui asal agamanya dan warisan berada di tangan mereka berdua, maka dibagi setengah-setengah di antara mereka. Asy-Syafi’i berkata: Seandainya salah satu dari mereka melempar burung, lalu yang kedua melemparnya, dan tidak diketahui apakah lemparan pertama sudah cukup untuk membuat burung itu tidak bisa terbang atau belum, maka kami membaginya setengah-setengah di antara mereka.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) Al-Muzanni berkata: “Ini dan itu menurutku dalam qiyas adalah sama.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ كَانَتْ دَارٌ فِي يَدَيْ رَجُلٍ وَالْمَسْأَلَةُ عَلَى حَالِهَا فَادَّعَاهَا كُلُّ وَاحِدٍ مِنْ هَذَيْنِ الْمُدَّعِيَيْنِ أَنَّهُ وَرِثَهَا مِنْ أَبِيهِ فَمَنْ أَبْطَلَ الْبَيِّنَةَ تَرَكَهَا فِي يَدَيْ صَاحِبِهَا وَمَنْ رَأَى الْإِقْرَاعَ أَقْرَعَ بَيْنَهُمَا أَوْ يَجْعَلَهَا بَيْنَهُمَا مَعًا وَيُدْخِلُ عَلَيْهِ شَنَاعَةً وَأَجَابَ بِهَذَا الْجَوَابِ فِيمَا يُمْكِنُ فِيهِ الْبَيِّنَتَانِ أَنْ تَكُونَا صَادِقَتَيْنِ فِي مَوَاضِعَ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seandainya ada sebuah rumah yang dikuasai oleh seseorang, dan permasalahannya tetap seperti itu, lalu kedua pihak yang mengklaim sama-sama menyatakan bahwa mereka mewarisinya dari ayah mereka, maka siapa yang membatalkan bukti, ia membiarkannya tetap di tangan pemiliknya. Dan siapa yang berpendapat untuk mengundi, ia boleh mengundi antara keduanya atau membagi rumah itu untuk mereka berdua bersama, meskipun hal itu mengandung ketidaknyamanan. Beliau memberikan jawaban ini dalam kasus di mana dimungkinkan adanya dua bukti yang sama-sama benar dalam situasi tertentu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَسَمِعْته يَقُولُ فِي مِثْلِ هَذَا: لَوْ قَسَمْته بَيْنَهُمَا كُنْت لَمْ أَقْضِ لِوَاحِدٍ مِنْهُمَا بِدَعْوَاهُ وَلَا بِبَيِّنَتِهِ وَكُنْت عَلَى يَقِينٍ خَطَأٍ بِنَقْصِ مَنْ هُوَ لَهُ عَنْ كَمَالِ حَقِّهِ أَوْ بِإِعْطَاءِ الْآخَرِ مَا لَيْسَ لَهُ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata, dan aku mendengarnya mengatakan dalam hal seperti ini: “Seandainya aku membaginya di antara keduanya, aku tidak akan memutuskan untuk salah satu dari mereka berdasarkan klaimnya atau buktinya, dan aku pasti akan melakukan kesalahan dengan mengurangi hak orang yang berhak dari kesempurnaan haknya atau memberikan kepada yang lain apa yang bukan miliknya.”

Berikut adalah terjemahan dalam Bahasa Indonesia dengan tetap menyertakan teks aslinya:

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ أَبْطَلَ الشَّافِعِيُّ الْقُرْعَةَ فِي امْرَأَتَيْنِ مُطَلَّقَةٍ وَزَوْجَةٍ وَأَوْقَفَ الْمِيرَاثَ حَتَّى يَصْطَلِحَا، وَأَبْطَلَ فِي ابْنَيْ أَمَتِهِ اللَّذَيْنِ أَقَرَّ أَنَّ أَحَدَهُمَا ابْنُهُ الْقُرْعَةُ فِي النَّسَبِ وَالْمِيرَاثِ فَلَا يُشْبِهُ قَوْلُهُ فِي مِثْلِ هَذَا الْقُرْعَةَ وَقَدْ قَطَعَ فِي كِتَابِ الدَّعْوَى عَلَى كِتَابِ أَبِي حَنِيفَةَ فِي امْرَأَةٍ أَقَامَتْ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ أَصْدَقَهَا هَذِهِ وَقَبَضَتْهَا وَأَقَامَ رَجُلٌ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ اشْتَرَاهَا مِنْهُ وَنَقَذَهُ الثَّمَنَ وَقَبَضَهَا قَالَ: أَبْطَلَ الْبَيِّنَتَيْنِ لَا يَجُوزُ إلَّا هَذَا أَوْ الْقُرْعَةُ.

 

(Al-Muzani berkata) Asy-Syafi’i telah membatalkan undian dalam kasus dua perempuan (seorang istri yang diceraikan dan seorang istri yang masih sah), dan menahan pembagian warisan hingga keduanya berdamai. Dia juga membatalkan undian dalam penentuan nasab dan warisan untuk dua anak budak perempuan yang diakui salah satunya sebagai anaknya. Pendapatnya dalam hal ini tidak mirip dengan pendapatnya tentang undian. Dia juga telah memutuskan dalam kitab Ad-Da’wa, bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, tentang seorang perempuan yang menghadirkan bukti bahwa mahar tersebut diberikan dan diterimanya, sementara seorang laki-laki menghadirkan bukti bahwa dia telah membelinya darinya dan membayar harganya serta menerimanya. Asy-Syafi’i berkata: “Kedua bukti itu dibatalkan, tidak ada yang sah kecuali ini atau undian.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: هَذَا لَفْظُهُ وَقَدْ بَيَّنَّا أَنَّ الْقُرْعَةَ لَا تُشْبِهُ قَوْلَهُ فِي الْأَمْوَالِ.

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini adalah lafaznya, dan kami telah menjelaskan bahwa undian tidak serupa dengan ucapannya dalam masalah harta.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَقَدْ قَالَ الْحُكْمُ فِي الثَّوْبِ لَا يُنْسَجُ إلَّا مَرَّةً وَالثَّوْبُ الْخَزُّ يُنْسَجُ مَرَّتَيْنِ سَوَاءٌ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: Dan telah dikatakan hukum mengenai kain, bahwa ia tidak ditenun kecuali sekali, sedangkan kain khazz ditenun dua kali, sama saja.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ كَانَتْ دَارٌ فِي يَدَيْ أَخَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فَأَقَرَّا أَنَّ أَبَاهُمَا هَلَكَ وَتَرَكَهَا مِيرَاثًا فَقَالَ أَحَدُهُمَا: كُنْت مُسْلِمًا وَكَانَ أَبِي مُسْلِمًا، وَقَالَ الْآخَرُ: أَسْلَمْت قَبْلَ مَوْتِ أَبِي فَهِيَ لِلَّذِي اجْتَمَعَا عَلَى إسْلَامِهِ وَالْآخَرُ مُقِرٌّ بِالْكُفْرِ مُدَّعٍ الْإِسْلَامَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya ada sebuah rumah yang berada di tangan dua orang bersaudara yang Muslim, lalu mereka berdua mengakui bahwa ayah mereka telah meninggal dan meninggalkannya sebagai warisan. Salah satu dari mereka berkata: ‘Aku adalah Muslim dan ayahku juga Muslim,’ sedangkan yang lain berkata: ‘Aku masuk Islam sebelum ayahku meninggal,’ maka rumah itu menjadi milik orang yang keduanya sepakat atas keislamannya, sedangkan yang lain mengakui kekufuran tetapi mengklaim keislaman.”

 

 

وَلَوْ قَالَتْ امْرَأَةُ الْمَيِّتِ وَهِيَ مُسْلِمَةٌ: زَوْجِي مُسْلِمٌ وَقَالَ وَلَدُهُ وَهُمْ كُفَّارٌ: بَلْ كَافِرٌ وَقَالَ أَخُو الزَّوْجِ وَهُوَ مُسْلِمٌ: بَلْ مُسْلِمٌ فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ فَالْمِيرَاثُ مَوْقُوفٌ حَتَّى يَعْرِفَ إسْلَامَهُ مِنْ كُفْرِهِ بِبَيِّنَةٍ تَقُومُ عَلَيْهِ.

 

 

Seandainya istri mayit yang muslimah berkata, “Suamiku muslim,” sementara anak-anak mayit yang kafir berkata, “Tidak, dia kafir,” dan saudara suami yang muslim berkata, “Tidak, dia muslim,” maka jika tidak diketahui (statusnya), harta warisan ditahan sampai diketahui keislaman atau kekafirannya dengan bukti yang valid.

 

 

وَلَوْ أَقَامَ رَجُلٌ بَيِّنَةً أَنَّ أَبَاهُ هَلَكَ وَتَرَكَ هَذِهِ الدَّارَ مِيرَاثًا لَهُ وَلِأَخِيهِ أَخْرَجْتهَا مِنْ يَدِي مَنْ هِيَ فِي يَدَيْهِ وَأَعْطَيْته مِنْهَا نَصِيبَهُ وَأَخْرَجْت نَصِيبَ الْغَائِبِ وَأَكْرَى لَهُ حَتَّى يَحْضُرَ فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ عَدَدَهُمْ وَقَفَ مَالَهُ وَتَلَوَّمَ بِهِ وَيَسْأَلُ عَنْ الْبُلْدَانِ الَّتِي وَطِئَهَا هَلْ لَهُ فِيهَا وَلَدٌ؟ فَإِذَا بَلَغَ الْغَايَةَ الَّتِي لَوْ كَانَ لَهُ فِيهَا وَلَدٌ لَعَرَفَهُ وَادَّعَى الِابْنُ أَنْ لَا وَارِثَ لَهُ غَيْرُهُ أَعْطَاهُ الْمَالَ بِالضَّمِينِ، وَحُكِيَ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ لَهُ إلَّا أَنَّهُ لَمْ يَجِدْ لَهُ وَارِثًا غَيْرَهُ فَإِذَا جَاءَ وَارِثٌ غَيْرُهُ آخُذُ الضُّمَنَاءَ بِحَقِّهِ وَلَوْ كَانَ مَكَانُ الِابْنِ أَوْ مَعَهُ زَوْجَةٌ وَلَا يَعْلَمُونَهُ فَارَقَهَا أَعْطَيْتهَا رُبُعَ الثَّمَنِ؛ لِأَنَّ مِيرَاثَهَا مَحْدُودٌ لِلْأَكْثَرِ وَالْأَقَلُّ الثَّمَنُ وَرُبُعُ الثَّمَنِ وَمِيرَاثُ الِابْنِ غَيْرُ مَحْدُودٍ.

 

 

Dan jika seseorang menegakkan bukti bahwa ayahnya telah meninggal dan meninggalkan rumah ini sebagai warisan untuknya dan saudaranya, aku akan mengeluarkannya dari tangan orang yang memegangnya dan memberikannya bagiannya, serta mengeluarkan bagian yang tidak hadir dan menyewakannya sampai dia datang. Jika dia tidak mengetahui jumlah mereka, harta itu ditahan dan dicari tahu, serta ditanyakan tentang negeri-negeri yang pernah dia singgahi apakah dia memiliki anak di sana? Ketika telah mencapai batas di mana jika dia memiliki anak di sana, pasti akan mengetahuinya, dan sang anak mengklaim bahwa tidak ada ahli waris selain dirinya, maka harta itu diberikan kepadanya dengan jaminan. Dan diceritakan bahwa keputusan tidak diberikan kecuali karena tidak ditemukan ahli waris selainnya. Jika kemudian datang ahli waris lain, aku akan mengambil jaminan untuk haknya. Dan jika di tempat sang anak atau bersamanya ada istri yang tidak mereka ketahui bahwa dia telah menceraikannya, maka dia diberi seperempat harga, karena warisannya terbatas untuk yang terbanyak dan yang terkecil adalah harga dan seperempat harga, sedangkan warisan anak tidak terbatas.

 

 

وَإِذَا مَاتَتْ زَوْجَتُهُ وَابْنُهُ مِنْهَا فَقَالَ أَخُوهَا: مَاتَ ابْنُهَا ثُمَّ مَاتَتْ فَلِي مِيرَاثِي مَعَ زَوْجِهَا وَقَالَ زَوْجُهَا: بَلْ مَاتَتْ فَأُحْرِزُ أَنَا وَابْنِي الْمَالَ ثُمَّ مَاتَ ابْنِي فَالْمَالُ لِي فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْأَخِ؛ لِأَنَّهُ وَارِثٌ لِأُخْتِهِ وَعَلَى الَّذِي يَدَّعِي أَنَّهُ مَحْجُوبٌ الْبَيِّنَةُ وَعَلَى الْأَخِ فِيمَا يَدَّعِي أَنَّ أُخْتَهُ وَرِثَتْ ابْنَهَا الْبَيِّنَةُ.

 

 

Dan apabila istrinya meninggal beserta anak laki-lakinya darinya, lalu saudara laki-lakinya berkata: “Anaknya meninggal terlebih dahulu, kemudian ia (istri) meninggal, maka warisan menjadi hakku bersama suaminya.” Sedangkan suaminya berkata: “Tidak, justru istrinya meninggal terlebih dahulu, sehingga aku dan anakku mewarisi harta, lalu anakku meninggal, maka harta menjadi milikku.” Maka pendapat yang diambil adalah pendapat saudara laki-lakinya, karena ia adalah ahli waris dari saudara perempuannya. Bagi yang mengklaim bahwa ia terhalang (dari warisan), harus mendatangkan bukti. Dan saudara laki-laki tersebut juga harus mendatangkan bukti atas klaimnya bahwa saudara perempuannya mewarisi anaknya.

 

 

وَلَوْ أَقَامَ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ وَرِثَ هَذِهِ الْأَمَةَ مِنْ أَبِيهِ وَأَقَامَتْ امْرَأَةٌ الْبَيِّنَةَ أَنَّ أَبَاهُ أَصْدَقَهَا إيَّاهَا فَهِيَ لِلْمَرْأَةِ كَمَا يَبِيعُهَا وَلَمْ يَعْلَمْ شُهُودُ الْمِيرَاثِ.

 

 

Dan sekiranya dia mendatangkan bukti bahwa dia mewarisi budak perempuan ini dari ayahnya, lalu seorang perempuan mendatangkan bukti bahwa ayahnya telah memberikannya sebagai hadiah kepadanya, maka budak itu menjadi milik perempuan tersebut sebagaimana dia menjualnya, sedangkan para saksi warisan tidak mengetahuinya.

بَابُ الدَّعْوَى فِي وَقْتٍ قَبْلَ وَقْتٍ

 

Bab tentang dakwa pada waktu sebelum waktu

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا كَانَ الْعَبْدُ فِي يَدِ رَجُلٍ فَأَقَامَ رَجُلٌ بَيِّنَةً أَنَّهُ لَهُ مُنْذُ سِنِينَ وَأَقَامَ الَّذِي هُوَ فِي يَدَيْهِ الْبَيِّنَةُ أَنَّهُ لَهُ مُنْذُ سَنَةٍ فَهُوَ لِلَّذِي هُوَ فِي يَدَيْهِ وَلَمْ أَنْظُرْ إلَى قَدِيمِ الْمِلْكِ وَحَدِيثِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang budak berada di tangan seseorang, lalu orang lain mengajukan bukti bahwa budak itu miliknya sejak beberapa tahun, sedangkan orang yang memegangnya mengajukan bukti bahwa budak itu miliknya sejak satu tahun, maka budak itu tetap menjadi milik orang yang memegangnya. Aku tidak melihat kepada lama atau barunya kepemilikan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ أَنْ يَجْعَلَ الْمِلْكَ لِلْأَقْدَامِ أَوْلَى كَمَا جَعَلَ مِلْكَ النِّتَاجِ أَوْلَى وَقَدْ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ صَاحِبُ النِّتَاجِ قَدْ أَخْرَجَهُ مِنْ مِلْكِهِ كَمَا أَمْكَنَ أَنْ يَكُونَ صَاحِبُ الْمِلْكِ الْأَقْدَمِ أَخْرَجَهُ مِنْ مِلْكِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat yang lebih mendekati ucapannya adalah menjadikan kepemilikan untuk yang lebih dahulu lebih utama, sebagaimana kepemilikan hasil ternak diutamakan. Dan mungkin saja pemilik hasil ternak telah mengeluarkannya dari kepemilikannya, sebagaimana mungkin pula pemilik yang lebih awal telah mengeluarkannya dari kepemilikannya.

 

بَابُ الدَّعْوَى عَلَى كِتَابِ أَبِي حَنِيفَةَ

 

Bab Dakwaan Berdasarkan Kitab Abu Hanifah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَإِذَا أَقَامَ أَحَدُهُمَا الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ اشْتَرَى هَذِهِ الدَّارَ مِنْهُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ وَنَقَدَهُ الثَّمَنَ وَأَقَامَ الْآخَرُ بَيِّنَةً أَنَّهُ اشْتَرَاهَا مِنْهُ بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ وَنَقَدَهُ الثَّمَنَ بِلَا وَقْتٍ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ إنْ شَاءَ أَخَذَ نِصْفَهَا بِنِصْفِ الثَّمَنِ الَّذِي سَمَّى شُهُودَهُ وَيَرْجِعَ بِالنِّصْفِ وَإِنْ شَاءَ رَدَّهَا، وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْبَائِعِ فِي الْبَيْعِ.

 

 

(Imam Syafi’i) -rahimahullah- berkata: “Jika salah satu dari keduanya mendatangkan bukti bahwa ia membeli rumah ini darinya dengan seratus dirham dan telah membayar harganya, sedangkan yang lain mendatangkan bukti bahwa ia membelinya darinya dengan dua ratus dirham dan telah membayar harganya tanpa penentuan waktu, maka masing-masing dari mereka memiliki hak pilihan. Jika ia menghendaki, ia dapat mengambil separuhnya dengan separuh harga yang disebutkan oleh saksi-saksinya dan mengambil kembali separuhnya, atau jika ia menghendaki, ia dapat membatalkannya.” Dan dalam kesempatan lain beliau berkata: “Perkataan yang dianggap adalah perkataan penjual dalam jual beli.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَشْبَهُ بِالْحَقِّ عِنْدِي؛ لِأَنَّ الْبَيِّنَتَيْنِ قَدْ تَكَافَأَتَا وَلِلْمُقَرِّ لَهُ بِالدَّارِ سَبَبٌ لَيْسَ لِصَاحِبِهِ كَمَا يَدَّعِيَانِهَا جَمِيعًا بِبَيِّنَةٍ وَهِيَ فِي يَدِ أَحَدِهِمَا فَتَكُونُ لِمَنْ هِيَ فِي يَدَيْهِ لِقُوَّةِ سَبَبِهِ عِنْدَهُ عَلَى سَبَبِ صَاحِبِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat ini lebih mendekati kebenaran menurutku, karena kedua bukti telah setara dan pihak yang mengakui memiliki rumah memiliki alasan yang tidak dimiliki oleh pihak lain, sementara keduanya sama-sama mengklaim kepemilikan dengan bukti, sedangkan rumah tersebut berada di tangan salah satu dari mereka. Maka, rumah itu menjadi milik orang yang memegangnya karena kekuatan alasannya dibanding alasan pihak lain.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَقَدْ قَالَ: لَوْ أَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْبَيِّنَةَ عَلَى دَابَّةٍ أَنَّهُ نَتَجَهَا أَبْطَلْتهمَا وَقَبِلْت قَوْلَ الَّذِي هِيَ فِي يَدَيْهِ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Seandainya masing-masing dari keduanya menghadirkan bukti bahwa hewan itu adalah anak ternaknya, aku akan membatalkan kedua bukti itu dan menerima perkataan orang yang memegang hewan tersebut.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ أَقَامَ بَيِّنَةً أَنَّهُ اشْتَرَى هَذَا الثَّوْبَ مِنْ فُلَانٍ وَهُوَ مِلْكُهُ بِثَمَنٍ مُسَمًّى وَنَقَدَهُ وَأَقَامَ الْآخَرُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ اشْتَرَاهُ مِنْ فُلَانٍ وَهُوَ يَمْلِكُهُ بِثَمَنٍ مُسَمًّى وَنَقَدَهُ فَإِنَّهُ يَحْكُمُ بِهِ لِلَّذِي هُوَ فِي يَدَيْهِ لِفَضْلِ كَيْنُونَتِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – “Seandainya seseorang mengajukan bukti bahwa ia membeli pakaian ini dari si fulan yang merupakan pemiliknya dengan harga yang disebutkan dan telah membayarnya, lalu pihak lain juga mengajukan bukti bahwa ia membelinya dari si fulan yang merupakan pemiliknya dengan harga yang disebutkan dan telah membayarnya, maka keputusan diberikan kepada pihak yang memegang barang tersebut karena kelebihan kepemilikannya.”

(Al-Muzani berkata) Dan ini menunjukkan kepada apa yang aku katakan dari ucapannya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ كَانَ الثَّوْبُ فِي يَدَيْ رَجُلٍ وَأَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ ثَوْبُهُ بَاعَهُ مِنْ الَّذِي هُوَ فِي يَدَيْهِ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ فَإِنَّهُ يَقْضِي بِهِ بَيْنَ الْمُدَّعِيَيْنِ نِصْفَيْنِ وَيَقْضِي لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَيْهِ بِنِصْفِ الثَّمَنِ.

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Seandainya ada sebuah pakaian di tangan seseorang, lalu masing-masing dari keduanya (yang bersengketa) menghadirkan bukti bahwa pakaian itu miliknya, dan (pakaian itu) dijual dari orang yang memegangnya dengan harga seribu dirham, maka hakim memutuskan untuk membagi pakaian itu antara kedua pihak yang bersengketa menjadi dua bagian, dan memutuskan agar masing-masing dari mereka membayar setengah dari harga (pakaian tersebut).”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: “Seyogianya memutuskan untuk masing-masing dari keduanya dengan seluruh harga; karena bisa saja dia membelinya dari salah satu dari mereka dan menerimanya, kemudian yang lain memilikinya dan membelinya darinya serta menerimanya, sehingga dia terkena dua harga. Dia juga berkata: ‘Seandainya saksi-saksi masing-masing bersaksi atas pengakuan pembeli bahwa dia telah membelinya atau mengakui pembelian, maka dia dihukum untuk membayar dua harga.'”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) سَوَاءٌ إذَا شَهِدُوا أَنَّهُ اشْتَرَى أَوْ أَقَرَّ بِالشِّرَاءِ.

 

(Al-Muzani berkata) Sama saja jika mereka bersaksi bahwa dia telah membeli atau mengakui pembelian.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَوْ أَقَامَ رَجُلٌ بَيِّنَةً أَنَّهُ اشْتَرَى مِنْهُ هَذَا الْعَبْدَ الَّذِي فِي يَدَيْهِ بِأَلْفِ دِرْهَمٍ وَأَقَامَ الْعَبْدُ الْبَيِّنَةَ أَنَّهُ سَيِّدُهُ الَّذِي هُوَ فِي يَدَيْهِ أَعْتَقَهُ وَلَمْ يُوَقِّتْ الشُّهُودُ فَإِنِّي أُبْطِلُ الْبَيِّنَتَيْنِ؛ لِأَنَّهُمَا تَضَادَّتَا وَأُحَلِّفُهُ مَا بَاعَهُ وَأُحَلِّفُهُ مَا أَعْتَقَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Seandainya seseorang menghadirkan bukti bahwa dia telah membeli budak yang ada di tangannya seharga seribu dirham, dan budak itu menghadirkan bukti bahwa tuannya yang memegangnya telah memerdekakannya, sementara para saksi tidak menyebutkan waktu, maka aku membatalkan kedua bukti tersebut karena saling bertentangan. Aku akan menyumpahnya bahwa dia tidak menjualnya, dan menyumpahnya bahwa dia tidak memerdekakannya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ أُبْطِلُ الْبَيِّنَتَيْنِ فِيمَا يُمْكِنُ أَنْ تَكُونَا فِيهِ صَادِقَتَيْنِ فَالْقِيَاسُ عِنْدِي أَنَّ الْعَبْدَ فِي يَدَيْ نَفْسِهِ بِالْحُرِّيَّةِ كَمُشْتَرٍ قَبَضَ مِنْ الْبَائِعِ فَهُوَ أَنْ أَحَقَّ لِقُوَّةِ السَّبَبِ كَمَا إذَا أَقَامَا بَيِّنَةً وَالشَّيْءُ فِي يَدَيْ أَحَدِهِمَا كَانَ أَوْلَى بِهِ لِقُوَّةِ السَّبَبِ وَهَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ.

 

(Al-Muzani berkata) Kedua bukti telah gugur dalam hal yang memungkinkan keduanya benar. Maka menurut qiyasku, budak yang memegang kebebasannya sendiri seperti seorang pembeli yang menerima barang dari penjual, sehingga ia lebih berhak karena kuatnya sebab, sebagaimana jika keduanya mendatangkan bukti. Dan sesuatu yang berada di tangan salah satu dari mereka lebih utama baginya karena kuatnya sebab. Ini lebih mirip dengan pendapatnya.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan aku tidak menerima bukti bahwa budak perempuan ini adalah anak dari budaknya sampai mereka mengatakan: ‘Dia melahirkannya dalam kepemilikannya.’ Dan seandainya mereka bersaksi bahwa benang ini berasal dari kapas si fulan, aku menjadikannya untuk si fulan.”

 

وَإِذَا كَانَ فِي يَدَيْهِ صَبِيٌّ صَغِيرٌ يَقُولُ: هُوَ عَبْدِي فَهُوَ كَالثَّوْبِ إذَا كَانَ لَا يَتَكَلَّمُ فَإِنْ أَقَامَ رَجُلٌ بَيِّنَةً أَنَّهُ ابْنُهُ جَعَلْته ابْنَهُ وَهُوَ فِي يَدَيْ الَّذِي هُوَ فِي يَدَيْهِ.

 

Dan apabila di tangannya ada seorang anak kecil, ia berkata: “Ini adalah hambaku,” maka ia seperti pakaian jika ia tidak dapat berbicara. Jika seseorang mendatangkan bukti bahwa anak itu adalah anaknya, maka aku menjadikannya sebagai anaknya, dan anak itu tetap berada di tangan orang yang memegangnya.

 

 

وَإِذَا كَانَتْ الدَّارُ فِي يَدَيْ رَجُلٍ لَا يَدَّعِيهَا فَأَقَامَ رَجُلٌ الْبَيِّنَةَ أَنَّ نِصْفَهَا لَهُ، وَآخَرُ الْبَيِّنَةَ أَنَّ جَمِيعَهَا لَهُ فَلِصَاحِبِ الْجَمِيعِ النِّصْفُ وَأَبْطَلَ دَعْوَاهُمَا فَلَا حَقَّ لَهُمَا وَلَا قُرْعَةَ وَقَدْ مَضَى مَا هُوَ أَوْلَى بِهِ فِي هَذَا الْمَعْنَى.

 

 

Dan apabila sebuah rumah berada di tangan seorang laki-laki yang tidak mengklaimnya, lalu seorang laki-laki mengajukan bukti bahwa separuhnya miliknya, dan yang lain mengajukan bukti bahwa seluruhnya miliknya, maka bagi pemilik klaim seluruhnya mendapat separuh, dan gugurlah klaim keduanya sehingga tidak ada hak bagi keduanya dan tidak ada undian. Telah dijelaskan sebelumnya penjelasan yang lebih utama dalam makna ini.

 

 

قَالَ: وَإِذَا كَانَتْ الدَّارُ فِي يَدَيْ ثَلَاثَةٍ فَادَّعَى أَحَدُهُمْ النِّصْفَ وَالْآخَرُ الثُّلُثَ وَآخَرُ السُّدُسَ وَجَحَدَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فَهِيَ لَهُمْ عَلَى مَا فِي أَيْدِيهِمْ ثُلُثًا ثُلُثًا.

 

 

Beliau berkata: “Dan apabila sebuah rumah berada dalam kepemilikan tiga orang, lalu salah seorang mengklaim separuh, yang lain mengklaim sepertiga, dan yang lain lagi mengklaim seperenam, sementara sebagian mereka menyangkal klaim sebagian yang lain, maka rumah itu menjadi milik mereka sesuai dengan kepemilikan yang ada di tangan mereka, yaitu masing-masing sepertiga.”

(Asy-Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Jika harta berada di tangan dua orang, lalu salah satu dari keduanya mendatangkan bukti atas sepertiga bagian, sedangkan yang lain mendatangkan bukti atas seluruhnya, maka aku berikan kepada yang pertama sepertiga bagian karena itu lebih sedikit dari apa yang ada di tangannya, dan sisanya untuk yang lain.”

 

Teks Asli

بَابٌ فِي الْقَافَةِ وَدَعْوَى الْوَلَدِ مِنْ كِتَابِ الدَّعْوَى وَالْبَيِّنَاتِ وَمِنْ كِتَابِ نِكَاحٍ قَدِيمٍ

 

Terjemahan

Bab tentang Qāfah dan Klaim Keturunan dari Kitab Dakwa dan Bukti-bukti, serta dari Kitab Nikah Kuno.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَن عُروَةَ «عَن عَائِشَةَ قَالَت: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – أَعرِفُ السُّرُورَ فِي وَجهِهِ فَقَالَ أَلَم تَرَينَ أَنَّ مُجَزِّزًا المُدلِجِيَّ نَظَرَ إِلَى أُسَامَةَ وَزَيدٍ عَلَيهِمَا قَطِيفَةٌ قَد غَطَّيَا رُءُوسَهُمَا وَبَدَت أَقدَامُهُمَا فَقَالَ: إِنَّ هَذِهِ الأَقدَامَ بَعضُهَا مِن بَعضٍ».

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah, ia berkata: “Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – menemuiku dan aku melihat kegembiraan di wajahnya. Beliau berkata: ‘Tidakkah engkau tahu bahwa Mujazziz Al-Mudliji melihat Usamah dan Zaid yang sedang berselimut dengan kain hingga kepala mereka tertutup dan kaki mereka terlihat, lalu ia berkata: ‘Sesungguhnya kaki-kaki ini sebagiannya berasal dari sebagian yang lain.'”

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya dalam qafah (ilmu qira’at) tidak ada kecuali ini, sudah sepantasnya hal itu menjadi bukti bahwa ia adalah ilmu. Seandainya bukan ilmu, niscaya dia (Nabi) akan berkata kepadanya: ‘Janganlah engkau mengatakan ini, karena jika engkau benar dalam suatu hal, aku tidak dapat menjamin bahwa engkau tidak akan salah dalam hal lainnya. Dan dalam kesalahanmu terdapat tuduhan terhadap wanita yang terjaga (muhshanah) atau pengingkaran nasab.’ Aku tidak mengakuinya kecuali karena dia (Nabi) meridhainya dan memandangnya sebagai ilmu, dan dia tidak berjalan kecuali dengan kebenaran – shallallahu ‘alaihi wa sallam -.”

 

وَدَعَا عُمَرُ – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَائِفًا فِي رَجُلَيْنِ ادَّعَيَا وَلَدًا فَقَالَ: لَقَدْ اشْتَرَكَا فِيهِ فَقَالَ عُمَرُ لِلْغُلَامِ: وَالِ أَيَّهمَا شِئْت وَشَكَّ أَنَسٌ فِي ابْنٍ لَهُ فَدَعَا لَهُ الْقَافَةَ.

 

 

Umar – semoga Allah merahmatinya – memanggil seorang ahli pelacak keturunan untuk memutuskan dua orang yang mengklaim seorang anak. Ahli itu berkata, “Keduanya benar terlibat dalam kelahiran anak ini.” Maka Umar berkata kepada anak itu, “Pilihlah siapa yang kau kehendaki sebagai ayahmu.” Anas pernah ragu tentang seorang anak yang diklaimnya, lalu ia memanggil ahli pelacak keturunan untuk memastikannya.

(Asy-Syafi’i) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Dan telah mengabarkan kepadaku sejumlah ahli ilmu dari Madinah dan Makkah bahwa mereka mendapati para hakim memberikan fatwa berdasarkan pendapat al-Qafah.”

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَمْ يُجِزْ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ نَسَبَ أَحَدٍ قَطُّ إلَّا إلَى أَبٍ وَاحِدٍ وَلَا رَسُولُهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ -.

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Allah Yang Maha Tinggi puji-Nya tidak pernah mengizinkan penyandaran nasab seseorang kecuali kepada satu ayah, begitu pula Rasul-Nya – semoga keselamatan atasnya -.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ ادَّعَى حُرٌّ وَعَبْدٌ مُسْلِمَانِ وَذِمِّيٌّ مَوْلُودًا وُجِدَ لَقِيطًا فَلَا فَرْقَ بَيْنَ وَاحِدٍ مِنْهُمْ كَالتَّدَاعِي فِيمَا سِوَاهُ فَيَرَاهُ الْقَافَةَ فَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِوَاحِدٍ فَهُوَ ابْنُهُ وَإِنْ أَلْحَقُوهُ بِأَكْثَرَ لَمْ يَكُنْ ابْنُ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ فَيَنْتَسِبَ إلَى أَيِّهِمْ شَاءَ فَيَكُونَ ابْنُهُ وَتَنْقَطِعَ عَنْهُ دَعْوَى غَيْرِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang merdeka, budak muslim, dan dzimmi mengaku memiliki seorang anak yang ditemukan sebagai laqith (anak terlantar), maka tidak ada perbedaan antara salah satu dari mereka dalam hal pengakuan sebagaimana dalam hal lainnya. Kemudian ahli qafah (ahli pengenalan nasab) memeriksanya. Jika mereka menghubungkannya dengan satu orang, maka anak itu adalah anaknya. Jika mereka menghubungkannya dengan lebih dari satu orang, maka anak itu bukan anak salah satu dari mereka sampai ia dewasa dan memilih nasab kepada siapa pun yang ia kehendaki, maka orang itu menjadi ayahnya, dan gugurlah klaim orang lain terhadapnya.”

 

Teks Asli

بَابُ جَوَابِ الشَّافِعِيِّ مُحَمَّدَ بْنَ الْحَسَنِ فِي الْوَلَدِ يَدَّعِيهِ عِدَّةُ رِجَالٍ

 

Terjemahan

Bab tentang jawaban Imam Syafi’i, Muhammad bin Al-Hasan, mengenai anak yang diklaim oleh beberapa orang laki-laki.

(Asy-Syafi’i berkata): Aku berkata kepada Muhammad bin Al-Hasan: “Engkau mengklaim bahwa Abu Yusuf berkata: ‘Jika dua orang mengakuinya (sebagai anak), maka dia adalah anak keduanya berdasarkan atsar. Jika tiga orang mengakuinya, maka dia adalah anak mereka berdasarkan qiyas. Namun jika empat orang mengakuinya, dia bukanlah anak seorang pun dari mereka.'” Dia (Muhammad bin Al-Hasan) berkata: “Ini adalah kesalahan dalam perkataannya.”

 

Aku berkata: “Jika engkau berpendapat bahwa mereka bersekutu dalam nasabnya, meskipun seratus orang, sebagaimana mereka bersekutu dalam harta—jika salah seorang mitra dalam harta meninggal, apakah yang hidup memiliki hak kecuali apa yang dia miliki sebelum kematian rekannya?” Dia menjawab: “Tidak.”

 

Aku berkata: “Engkau berpendapat bahwa jika salah satu dari mereka meninggal, dia mewarisinya seperti warisan anak penuh, lalu hubungan kebapakannya terputus. Namun jika dia (anak itu) yang meninggal, setiap dari mereka mewarisi satu bagian dari seratus bagian warisan seorang ayah. Pernahkah engkau melihat seorang ayah yang hanya untuk sementara waktu?”

 

Aku melanjutkan: “Atau pernahkah engkau melihat, jika hubungan kebapakannya terputus dari si mayit, apakah dia boleh menikahi anak-anak perempuannya yang sekarang menjadi orang asing, padahal sebelumnya mereka adalah saudara-saudara perempuannya?” Beliau berkata: “Ini tidak masuk akal.”

 

Aku berkata: “Dan masih banyak lagi.” Dia bertanya: “Lalu bagaimana seharusnya kami mewarisinya?” Aku menjawab: “Kami mewarisinya menurut pendapatmu, dari salah satu mereka, satu bagian dari seratus bagian warisan seorang anak, sebagaimana kami mewarisikan setiap dari mereka satu bagian dari seratus bagian warisan seorang ayah.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – لَيْسَ هَذَا بِلَازِمٍ لَهُمْ فِي قَوْلِهِمْ؛ لِأَنَّ جَمِيعَ كُلِّ أَبٍ أَبُو بَعْضِ الِابْنِ وَلَيْسَ بَعْضُ الِابْنِ ابْنًا لِبَعْضِ الْأَبِ دُونَ جَمِيعِهِ كَمَا لَوْ مَلَكُوا عَبْدًا كَانَ جَمِيعُ كُلِّ سَيِّدٍ مِنْهُمْ مَالِكًا لِبَعْضِ الْعَبْدِ وَلَيْسَ بَعْضُ الْعَبْدِ مِلْكًا لِبَعْضِ السَّيِّدِ دُونَ جَمِيعِهِ؛ فَتَفَهَّمْ كَذَلِكَ تَجِدُهُ إنْ شَاءَ اللَّهُ.

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Ini tidak menjadi keharusan bagi mereka dalam pendapat mereka, karena setiap ayah adalah ayah bagi sebagian anak, tetapi sebagian anak bukanlah anak bagi sebagian ayah tanpa melibatkan seluruhnya. Seperti halnya jika mereka memiliki seorang budak, maka setiap tuan dari mereka adalah pemilik sebagian budak, tetapi sebagian budak bukanlah milik sebagian tuan tanpa melibatkan seluruhnya. Renungkanlah demikian, niscaya engkau akan memahaminya, insya Allah.”

بَابُ دَعْوَى الْأَعَاجِمِ وِلَادَةَ الشِّرْكِ وَالطِّفْلُ يَسْلَمُ أَحَدُ أَبَوَيْهِ

 

Bab tentang klaim orang non-Arab bahwa kemusyrikan itu bawaan lahir dan anak yang salah satu orang tuanya masuk Islam.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا ادَّعَى الْأَعَاجِمُ وِلَادَةً بِالشِّرْكِ فَإِنْ جَاءُونَا مُسْلِمِينَ لَا وَلَاءَ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِعِتْقٍ قَبِلْنَا دَعْوَاهُمْ كَمَا قَبِلْنَا غَيْرَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ وَإِنْ كَانُوا مَسْبِيِّينَ عَلَيْهِمْ رِقٌّ أَوْ أَعْتَقُوا فَثَبَتَ عَلَيْهِمْ وَلَاءٌ لَمْ يُقْبَلْ إلَّا بِبَيِّنَةٍ عَلَى وِلَادَةٍ مَعْرُوفَةٍ قَبْلَ السَّبْيِ وَهَكَذَا أَهْلُ حِصْنٍ وَمَنْ يُحْمَلُ إلَيْنَا مِنْهُمْ.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika orang-orang non-Arab mengklaim kelahiran dalam keadaan syirik, lalu mereka datang kepada kami sebagai Muslim tanpa ada hubungan kewalian akibat pembebasan budak pada salah satu dari mereka, maka kami menerima klaim mereka sebagaimana kami menerima klaim orang-orang selain mereka dari kalangan ahli jahiliyah. Namun, jika mereka adalah tawanan perang yang status perbudakan melekat pada mereka atau mereka dibebaskan sehingga hubungan kewalian tetap berlaku, maka klaim mereka tidak diterima kecuali dengan bukti atas kelahiran yang diketahui sebelum penawanan. Demikian pula halnya dengan penduduk benteng dan orang-orang yang dibawa kepada kami dari mereka.”

 

 

وَإِذَا أَسْلَمَ أَحَدُ أَبَوَيْ الطِّفْلِ أَوِ الْمَعْتُوهِ كَانَ مُسْلِمًا؛ لِأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَعْلَى الْإِسْلَامَ عَلَى الْأَدْيَانِ وَالْأَعْلَى أَوْلَى أَنْ يَكُونَ الْحُكْمُ لَهُ مَعَ أَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – مَعْنَى قَوْلِنَا وَيَرْوِي عَنْ الْحَسَنِ وَغَيْرِهِ.

 

 

Dan jika salah satu dari kedua orang tua anak kecil atau orang yang gila masuk Islam, maka anak tersebut dihukumi Muslim; karena Allah ‘azza wa jalla telah mengangkat Islam di atas semua agama, dan yang lebih tinggi lebih berhak untuk dihukumi, meskipun diriwayatkan dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu makna perkataan kami, dan juga diriwayatkan dari Al-Hasan dan lainnya.

 

بَابُ مَتَاعِ الْبَيْتِ يَخْتَلِفُ فِيهِ الزَّوْجَانِ مِنْ كِتَابِ اخْتِلَافِ أَبِي حَنِيفَةَ وَابْنِ أَبِي لَيْلَى

 

Bab tentang peralatan rumah tangga yang diperselisihkan oleh pasangan suami istri dari kitab perbedaan pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا اخْتَلَفَ الزَّوْجَانِ فِي مَتَاعِ الْبَيْتِ يَسْكُنَانِهِ قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا أَوْ بَعْدَمَا تَفَرَّقَا كَانَ الْبَيْتُ لَهُمَا أَوْ لِأَحَدِهِمَا أَوْ يَمُوتَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا فَيَخْتَلِفُ فِي ذَلِكَ وَرَثَتُهُمَا فَمَنْ أَقَامَ بَيِّنَةً عَلَى شَيْءٍ فَهُوَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُقِمْ بَيِّنَةً فَالْقِيَاسُ الَّذِي لَا يُعْذَرُ أَحَدٌ عِنْدِي بِالْغَفْلَةِ عَنْهُ عَلَى الْإِجْمَاعِ أَنَّ هَذَا الْمَتَاعَ بِأَيْدِيهِمَا جَمِيعًا فَهُوَ بَيْنَهُمَا نِصْفَيْنِ. وَقَدْ يَمْلِكُ الرَّجُلُ مَتَاعَ الْمَرْأَةِ وَتَمْلِكُ الْمَرْأَةُ مَتَاعَ الرَّجُلِ وَلَوْ اسْتَعْمَلْت الظُّنُونَ عَلَيْهِمَا لَحَكَمْت فِي عَطَّارٍ وَدَبَّاغٍ يَتَنَازَعَانِ عِطْرًا وَدِبَاغًا فِي أَيْدِيهِمَا بِأَنْ أَجْعَلَ لِلْعَطَّارِ الْعِطْرَ وَلِلدَّبَّاغِ الدِّبَاغَ وَلَحَكَمْت فِيمَا يَتَنَازَعُ فِيهِ مُعْسِرٌ وَمُوسِرٌ مِنْ لُؤْلُؤٍ بِأَنْ أَجْعَلَهُ لِلْمُوسِرِ وَلَا يَجُوزُ الْحُكْمُ بِالظُّنُونِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika suami istri berselisih mengenai perabot rumah yang mereka tinggali, baik sebelum berpisah atau setelah berpisah—entah rumah itu milik keduanya atau salah satunya—atau jika keduanya atau salah satunya meninggal lalu ahli waris mereka berselisih tentang hal itu, maka siapa yang bisa mendatangkan bukti atas sesuatu, itu menjadi miliknya. Jika tidak ada bukti, maka menurut qiyas yang tidak bisa diabaikan menurut kesepakatan, perabot yang ada di tangan keduanya dibagi rata. Bisa saja suami memiliki perabot istri atau sebaliknya. Seandainya aku menggunakan dugaan dalam memutuskan perkara mereka, niscaya aku akan memutuskan perselisihan antara penjual minyak wangi dan penyamak kulit yang memperebutkan minyak wangi dan kulit samak di tangan mereka dengan memberi minyak wangi kepada penjualnya dan kulit samak kepada penyamaknya. Atau aku akan memutuskan perselisihan antara orang miskin dan kaya soal mutiara dengan memberikannya kepada si kaya. Namun, tidak boleh memutuskan perkara berdasarkan dugaan.

 

بَابُ أَخْذِ الرَّجُلِ حَقَّهُ مِمَّنْ يَمْنَعُهُ إيَّاهُ

 

Bab tentang seorang laki-laki mengambil haknya dari orang yang menghalanginya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : «وَكَانَتْ هِنْدُ زَوْجَةً لِأَبِي سُفْيَانَ وَكَانَتْ الْقَيِّمَ عَلَى وَلَدِهَا لِصِغَرِهِمْ بِأَمْرِ زَوْجِهَا فَأَذِنَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمَّا شَكَتْ إلَيْهِ أَنْ تَأْخُذَ مِنْ مَالِهِ مَا يَكْفِيهَا وَوَلَدَهَا بِالْمَعْرُوفِ» فَمِثْلُهَا الرَّجُلُ يَكُونُ لَهُ الْحَقُّ عَلَى الرَّجُلِ فَيَمْنَعُهُ إيَّاهُ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِهِ حَيْثُ وَجَدَهُ بِوَزْنِهِ أَوْ كَيْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلٌ كَانَتْ قِيمَتُهُ دَنَانِيرَ أَوْ دَرَاهِمَ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ لَهُ مَالًا بَاعَ عَرَضَهُ وَاسْتَوْفَى مِنْ ثَمَنِهِ حَقَّهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Hindun adalah istri Abu Sufyan dan menjadi penanggung jawab anak-anaknya karena mereka masih kecil, atas perintah suaminya. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – mengizinkannya ketika dia mengadukan bahwa dia boleh mengambil harta suaminya secukupnya untuk dirinya dan anak-anaknya dengan cara yang baik.” Maka, seperti halnya seorang laki-laki yang memiliki hak atas orang lain tetapi dihalangi, dia boleh mengambil harta orang tersebut di mana pun ditemukan, dengan timbangan atau takarannya. Jika tidak ada yang serupa, nilainya bisa dalam dinar atau dirham. Jika tidak menemukan hartanya, dia boleh menjual barangnya dan mengambil haknya dari hasil penjualan tersebut.

 

فَإِنْ قِيلَ: فَقَدْ رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَدِّ إلَى مَنْ ائْتَمَنَك وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَك» قِيلَ: إنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ وَلَوْ كَانَ ثَابِتًا لَمْ تَكُنْ الْخِيَانَةُ مَا أَذِنَ بِأَخْذِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَإِنَّمَا الْخِيَانَةُ أَنْ آخُذَ لَهُ دِرْهَمًا بَعْدَ اسْتِيفَائِهِ دِرْهَمِي فَأَخُونَهُ بِدِرْهَمٍ كَمَا خَانَنِي فِي دِرْهَمِي فَلَيْسَ لِي أَنْ أَخُونَهُ بِأَخْذِ مَا لَيْسَ لِي وَإِنْ خَانَنِي.

 

 

Jika dikatakan: “Telah diriwayatkan dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – ‘Tunaikanlah amanat kepada yang memberi amanat kepadamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu'”, dijawab: “Ini tidak tsabit (tidak kuat). Seandainya pun tsabit, yang dimaksud khianat bukanlah apa yang diizinkan untuk diambil oleh Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -. Khianat itu adalah jika aku mengambil satu dirham miliknya setelah aku mengambil dirhamku, lalu aku mengkhianatinya dengan satu dirham sebagaimana dia mengkhianatiku dengan dirhamku. Maka tidak boleh bagiku mengkhianatinya dengan mengambil apa yang bukan hakku, meskipun dia mengkhianatiku.”

 

بَابُ عِتْقِ الْمُشْرِكِ فِي الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ وَالْوَصَايَا فِي الْعِتْقِ

Bab tentang memerdekakan orang musyrik dalam keadaan sehat, sakit, dan wasiat dalam pembebasan

 

بَابُ عِتْقِ الشِّرْكِ فِي الصِّحَّةِ وَالْمَرَضِ وَالْوَصَايَا فِي الْعِتْقِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي عَبْدٍ وَكَانَ لَهُ مَالٌ يَبْلُغُ قِيمَةَ الْعَبْدِ قَوَّمَ عَلَيْهِ قِيمَةَ عَدْلٍ وَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ وَعَتَقَ الْعَبْدَ وَإِلَّا فَقَدْ عَتَقَ مِنْهُ مَا عَتَقَ، وَهَكَذَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.

 

 

Bab tentang memerdekakan bagian kepemilikan dalam keadaan sehat, sakit, dan wasiat dalam pembebasan (Asy-Syafi’i berkata): Barangsiapa memerdekakan bagiannya pada seorang budak dan ia memiliki harta yang mencukupi nilai budak tersebut, maka ditetapkan padanya nilai yang adil dan diberikan kepada para sekutunya bagian mereka, lalu budak itu merdeka. Jika tidak, maka yang merdeka hanya bagian yang dimerdekakannya. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam -.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَحْتَمِلُ قَوْلُهُ فِي عِتْقِ الْمُوسِرِ – وَأَعْطَى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ وَعَتَقَ الْعَبْدُ – مَعْنَيَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ يُعْتَقُ بِالْقَوْلِ وَبِدَفْعِ الْقِيمَةِ. وَالْآخَرُ: أَنْ يُعْتَقَ بِقَوْلِ الْمُوسِرِ وَلَوْ أَعْسَرَ كَانَ الْعَبْدُ حُرًّا وَاتُّبِعَ بِمَا ضَمِنَ وَهَذَا قَوْلٌ يَصِحُّ فِيهِ الْقِيَاسُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Perkataannya tentang pembebasan budak oleh orang yang mampu – dan ia memberikan bagian kepada para sekutunya lalu budak itu merdeka – mengandung dua makna. Pertama: budak itu merdeka dengan pernyataan dan penyerahan nilai (tebusan). Kedua: budak itu merdeka dengan pernyataan orang yang mampu, sekalipun ia menjadi tidak mampu, maka budak itu tetap merdeka dan penjamin diikuti dengan apa yang dijaminnya. Ini adalah pendapat yang sah menurut qiyas.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَبِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ قَالَ فِي كِتَابِ الْوَصَايَا فِي الْعِتْقِ، وَقَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ الْأَحَادِيثِ يُعْتَقُ يَوْمَ تَكَلَّمَ بِالْعِتْقِ، وَهَكَذَا قَالَ فِي كِتَابِ اخْتِلَافِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى وَأَبِي حَنِيفَةَ وَقَالَ أَيْضًا فَإِنْ مَاتَ الْمُعْتَقُ أُخِذَ بِمَا لَزِمَهُ مِنْ أَرْشِ الْمَالِ لَا يَمْنَعُهُ الْمَوْتُ حَقًّا لَزِمَهُ كَمَا لَوْ جَنَى جِنَايَةً وَالْعَبْدُ حُرٌّ فِي شَهَادَتِهِ وَحُدُودِهِ وَمِيرَاثِهِ وَجِنَايَاتِهِ قَبِلَ الْقِيمَةَ وَدَفَعَهَا.

 

 

(Al-Muzanni berkata) Dan dengan pendapat pertama, ia berkata dalam kitab Al-Washaya tentang pembebasan, dan dalam kitab Ikhtilaf Al-Ahadits disebutkan bahwa budak dibebaskan pada hari ia mengucapkan pembebasan. Demikian pula pendapatnya dalam kitab Ikhtilaf Ibnu Abi Laila dan Abu Hanifah. Ia juga berkata: Jika orang yang membebaskan meninggal, maka diambil dari hartanya sejumlah yang wajib dibayarkan sebagai ganti rugi. Kematian tidak menghalangi hak yang telah menjadi kewajibannya, sebagaimana jika ia melakukan kejahatan. Budak tersebut dianggap merdeka dalam kesaksiannya, hukumannya, warisannya, dan kejahatannya. Ia menerima nilai (ganti rugi) dan membayarkannya.

(Al-Muzani berkata) dan dia telah memastikan bahwa makna ini lebih benar.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَطَعَهُ بِهِ فِي أَرْبَعَةِ مَوَاضِعَ أَوْلَى بِهِ مِنْ أَحَدِ قَوْلَيْنِ لَمْ يَقْطَعْ بِهِ وَهُوَ الْقِيَاسُ عَلَى أَصْلِهِ فِي الْقُرْعَةِ أَنَّ الْعِتْقَ يَوْمَ تَكَلَّمَ بِالْعِتْقِ حَتَّى أَقْرَعَ بَيْنَ الْأَحْيَاءِ وَالْمَوْتَى فَهَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan ia memutuskannya dalam empat tempat yang lebih utama daripada salah satu dari dua pendapat yang tidak diputuskannya. Ini adalah qiyas berdasarkan prinsipnya dalam undian bahwa pembebasan terjadi pada hari ia mengucapkan pembebasan hingga ia mengadakan undian antara yang hidup dan yang mati. Ini lebih sesuai dengan pendapatnya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – قَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ لَوْ أَعْتَقَ الثَّانِي كَانَ عِتْقُهُ بَاطِلًا وَفِي ذَلِكَ دَلِيلٌ لَوْ كَانَ مِلْكُهُ بِحَالِهِ لَوْ عَتَقَ بِإِعْتَاقِهِ إيَّاهُ وَقَوْلُهُ فِي الْأَمَةِ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ إنْ أَحْبَلَهَا صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ إنْ كَانَ مُوسِرًا كَالْعِتْقِ وَأَنَّ شَرِيكَهُ إنْ وَطِئَهَا قَبْلَ أَخْذِ الْقِيمَةِ كَانَ مَهْرُهَا عَلَيْهِ تَامًّا وَفِي ذَلِكَ قَضَاءٌ لِمَا قُلْنَا وَدَلِيلٌ آخَرُ لِمَا كَانَ الثَّمَنُ فِي إجْمَاعِهِمْ ثَمَنَيْنِ: أَحَدُهُمَا: فِي بَيْعٍ عَنْ تَرَاضٍ يَجُوزُ فِيهِ التَّغَابُنُ. وَالْآخَرُ: قِيمَةُ مُتْلِفٍ لَا يَجُوزُ فِيهِ التَّغَابُنُ وَإِنَّمَا هِيَ عَلَى التَّعْدِيلِ وَالتَّقْسِيطِ، فَلَمَّا حَكَمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَلَى الْمُعْتِقِ الْمُوسِرِ بِالْقِيمَةِ دَلَّ عَلَى أَنَّهَا قِيمَةُ مُتْلِفٍ عَلَى شَرِيكِهِ يَوْمَ أَتْلَفَهُ فَهَذَا كُلُّهُ قَضَاءٌ لِأَحَدِ قَوْلَيْهِ عَلَى الْآخَرِ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani) – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Sesungguhnya Syafi’i telah mengatakan, ‘Seandainya yang kedua memerdekakan, maka kemerdekaannya batal.’ Dalam hal ini terdapat petunjuk bahwa seandainya kepemilikannya tetap seperti semula, tentu ia akan merdeka dengan pembebasannya. Pendapatnya mengenai budak perempuan yang dimiliki bersama bahwa jika ia menghamilinya, maka ia menjadi umm walad baginya jika ia mampu, seperti status merdeka. Dan jika rekannya menyetubuhinya sebelum mengambil nilai (tebusan), maka maharnya menjadi tanggungannya secara penuh. Dalam hal ini terdapat keputusan terhadap apa yang kami katakan dan petunjuk lain bahwa harga menurut kesepakatan mereka ada dua: pertama, dalam jual beli atas dasar kerelaan yang memungkinkan adanya ketidaktahuan nilai; kedua, nilai kerusakan yang tidak memungkinkan ketidaktahuan nilai, melainkan harus adil dan merata. Ketika Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – memutuskan bagi orang yang memerdekakan dan mampu untuk membayar nilai, hal itu menunjukkan bahwa itu adalah nilai kerusakan bagi rekannya pada hari ia merusaknya. Semua ini merupakan keputusan salah satu dari dua pendapatnya terhadap yang lain. Dan hanya kepada Allah pertolongan.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ وَصَاحِبُهُ مُوسِرٌ أَعْتَقْت نَصِيبَك وَأَنْكَرَ الْآخَرُ عِتْقَ نَصِيبِ الْمُدَّعِي وَوَقَفَ وَلَاؤُهُ لِأَنَّهُ زَعَمَ أَنَّهُ حُرٌّ كُلُّهُ وَادَّعَى قِيمَةَ نَصِيبِهِ عَلَى شَرِيكِهِ فَإِنْ ادَّعَى شَرِيكُهُ مِثْلَ ذَلِكَ – عَتَقَ الْعَبْدُ وَكَانَ لَهُ وَلَاؤُهُ، قَالَ: وَفِيهَا قَوْلٌ آخَرُ إذَا لَمْ يُعْتِقْ نَصِيبَ الْأَوَّلِ لَمْ يُعْتِقْ نَصِيبَ الْآخَرِ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا يُعْتِقُ بِالْأَوَّلِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya – : “Seandainya salah satu dari keduanya berkata kepada rekannya, sementara rekannya dalam keadaan mampu, ‘Aku telah memerdekakan bagianmu,’ lalu yang lain mengingkari pembebasan bagian penggugat dan menahan walanya karena mengklaim bahwa budak itu sepenuhnya merdeka, serta menuntut nilai bagiannya kepada rekannya, maka jika rekannya juga mengklaim hal yang sama, budak itu merdeka dan walanya menjadi miliknya.” Dia (Imam Syafi’i) berkata: “Dalam hal ini ada pendapat lain, yaitu jika bagian yang pertama tidak dimerdekakan, maka bagian yang lain juga tidak merdeka, karena ia dimerdekakan hanya melalui yang pertama.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَطَعَ بِجَوَابِهِ الْأَوَّلِ أَنَّ صَاحِبَهُ زَعَمَ أَنَّهُ حُرٌّ كُلُّهُ وَقَدْ عَتَقَ نَصِيبَ الْمُقِرِّ بِإِقْرَارِهِ قَبْلَ أَخْذِهِ قِيمَتَهُ؛ فَتَفَهَّمْ. وَلَا خِلَافَ أَنَّ مَنْ أَقَرَّ بِشَيْءٍ يَضُرُّهُ لَزِمَهُ وَمَنْ ادَّعَى حَقًّا لَمْ يَجِبْ لَهُ وَهَذَا مُقِرٌّ لِلْعَبْدِ بِعِتْقِ نَصِيبِهِ فَيَلْزَمُهُ وَمُدَّعٍ عَلَى شَرِيكِهِ بِقِيمَةٍ لَا تَجِبُ لَهُ وَمِنْ قَوْلِهِ وَجَمِيعُ مَنْ عَرَفْت مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنْ لَوْ قَالَ لِشَرِيكِهِ: بِعْتُك نَصِيبِي بِثَمَنٍ وَسَلَّمْته إلَيْك وَأَنْتَ مُوسِرٌ وَإِنَّك قَبَضْته وَأَعْتَقْته وَأَنْكَرَ شَرِيكُهُ أَنَّهُ مُقِرٌّ بِالْعِتْقِ لِنَصِيبِهِ نَافِذٌ عَلَيْهِ مُدَّعٍ الثَّمَنَ لَا يَجِبُ لَهُ فَهَذَا وَذَاكَ عِنْدِي فِي الْقِيَاسِ سَوَاءٌ وَهَذَا يَقْضِي لِأَحَدِ قَوْلَيْهِ عَلَى الْآخَرِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dia telah memutuskan dengan jawaban pertamanya bahwa temannya mengklaim bahwa budak itu merdeka seluruhnya, padahal bagian orang yang mengakui telah merdeka dengan pengakuannya sebelum menerima nilainya; maka pahamilah. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa siapa yang mengakui sesuatu yang merugikannya, maka itu mengikatnya, dan siapa yang mengklaim suatu hak yang tidak wajib baginya. Ini adalah pengakuan terhadap budak atas kemerdekaan bagiannya, maka itu mengikatnya, dan klaim terhadap rekanannya atas nilai yang tidak wajib baginya. Dan dari perkataannya serta semua ulama yang kuketahui, bahwa jika seseorang berkata kepada rekanannya: “Aku menjual bagianku kepadamu dengan harga dan telah menyerahkannya padamu, sedangkan kamu mampu, dan kamu telah menerimanya serta memerdekakannya,” lalu rekanannya mengingkari bahwa dia mengakui kemerdekaan bagiannya, maka itu berlaku atasnya sebagai pengakuan, sedangkan pengklaim harga tidak berhak atasnya. Menurutku dalam qiyas, hal ini dan itu sama, dan ini memutuskan salah satu dari dua pendapat atas yang lain.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَوْ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ: إذَا أَعْتَقْته فَهُوَ حُرٌّ فَأَعْتَقَهُ كَانَ حُرًّا فِي مَالِ الْمُعْتِقِ وَسَوَاءٌ كَانَ بَيْنَ مُسْلِمَيْنِ أَوْ كَافِرَيْنِ أَوْ مُسْلِمٍ وَكَافِرٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan Asy-Syafi’i telah berkata: Seandainya salah satu dari mereka berkata kepada temannya, “Jika engkau memerdekakannya, maka dia merdeka,” lalu dia memerdekakannya, maka budak itu merdeka dengan harta orang yang memerdekakannya, baik itu terjadi antara dua muslim, dua kafir, atau seorang muslim dan seorang kafir.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ قَطَعَ بِعِتْقِهِ قَبْلَ دَفْعِ قِيمَتِهِ وَدَلِيلٌ آخَرُ مِنْ قَوْلِهِ أَنَّهُ جَعَلَ قِيمَتَهُ يَوْمَ تَكَلَّمَ بِعِتْقِهِ فَدَلَّ أَنَّهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ حُرٌّ قَبْلَ دَفْعِ قِيمَتِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan dia telah memastikan kebebasannya sebelum membayar harganya. Dalil lain dari ucapannya adalah bahwa dia menjadikan harganya pada hari dia mengucapkan pembebasannya, yang menunjukkan bahwa pada saat itu dia sudah merdeka sebelum membayar harganya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَدَّى الْمُوسِرُ قِيمَتَهُ كَانَ لَهُ وَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا عَتَقَ نَصِيبُهُ وَكَانَ شَرِيكُهُ عَلَى مِلْكِهِ يَخْدُمُهُ يَوْمًا وَيَتْرُكُ لِنَفْسِهِ يَوْمًا فَمَا اكْتَسَبَ لِنَفْسِهِ فَهُوَ لَهُ، وَإِنْ مَاتَ وَلَهُ وَارِثٌ وَرَّثَهُ بِقَدْرِ وَلَائِهِ فَإِنْ مَاتَ لَهُ مُوَرِّثٌ لَمْ يَرِثْ مِنْهُ شَيْئًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika orang yang mampu membayar harganya, maka perwaliannya menjadi miliknya. Namun jika ia tidak mampu, bagiannya merdeka dan rekannya tetap memiliki hak miliknya, melayaninya sehari dan meninggalkannya untuk dirinya sehari. Apa yang ia peroleh untuk dirinya adalah miliknya. Jika ia meninggal dan memiliki ahli waris, maka ahli waris mewarisinya sesuai kadar perwaliannya. Namun jika yang meninggal memiliki pewaris, ia tidak mewarisi apa pun darinya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْقِيَاسُ أَنْ يَرِثَ مِنْ حَيْثُ يُورَثُ وَقَدْ قَالَ الشَّافِعِيُّ: إنَّ النَّاسَ يَرِثُونَ مِنْ حَيْثُ يُورَثُونَ وَهَذَا وَذَاكَ فِي الْقِيَاسِ سَوَاءٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Qiyas mengharuskan seseorang mewarisi dari sumber yang sama dengan cara ia diwarisi. Imam Syafi’i pernah mengatakan: Sesungguhnya manusia mewarisi dari sumber yang sama dengan cara mereka diwarisi. Hal ini dan itu dalam qiyas adalah sama.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: لَا تَكُونُ نَفْسٌ وَاحِدَةٌ بَعْضُهَا عَبْدًا وَبَعْضُهَا حُرًّا كَمَا لَا تَكُونُ امْرَأَةٌ بَعْضُهَا طَالِقًا وَبَعْضُهَا غَيْرَ طَالِقٍ قِيلَ لَهُ: أَتَتَزَوَّجُ بَعْضَ امْرَأَةٍ كَمَا تَشْتَرِي بَعْضَ عَبْدٍ أَوْ تُكَاتِبُ الْمَرْأَةَ كَمَا يُكَاتَبُ الْعَبْدُ أَوْ يَهَبُ امْرَأَتَهُ كَمَا يَهَبُ عَبْدَهُ فَيَكُونُ الْمَوْهُوبُ لَهُ مَكَانَهُ؟ قَالَ: لَا، قِيلَ: فَمَا أَعْلَمُ شَيْئًا أَبْعَدَ مِنْ الْعَبْدِ مِمَّا قِسْته عَلَيْهِ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika ada yang berkata: “Satu jiwa tidak mungkin sebagiannya menjadi budak dan sebagiannya merdeka, sebagaimana seorang wanita tidak mungkin sebagiannya diceraikan dan sebagiannya tidak,” maka dikatakan kepadanya: “Apakah engkau menikahi sebagian wanita sebagaimana engkau membeli sebagian budak? Atau apakah engkau membuat perjanjian pembebasan dengan wanita sebagaimana perjanjian pembebasan dengan budak? Atau apakah engkau menghadiahkan istrimu sebagaimana engkau menghadiahkan budakmu, sehingga penerima hadiah menggantikan posisimu?” Dia menjawab: “Tidak.” Dikatakan: “Maka aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih jauh dari budak dibandingkan apa yang engkau bandingkan dengannya.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَعْتَقَ شَرِيكَانِ لِأَحَدِهِمَا النِّصْفُ وَلِلْآخَرِ السُّدُسُ مَعًا أَوْ وَكَّلَا رَجُلًا فَأَعْتَقَ عَنْهُمَا مَعًا كَانَ عَلَيْهِمَا قِيمَةُ الْبَاقِي لِشَرِيكَيْهِمَا سَوَاءٌ لَا أَنْظُرُ إلَى كَثِيرِ الْمِلْكِ وَلَا قَلِيلِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika dua orang yang berserikat memerdekakan budak, di mana salah satu memiliki separuh bagian dan yang lain seperenam bagian secara bersama-sama, atau mereka mewakilkan kepada seseorang lalu ia memerdekakan budak tersebut atas nama mereka berdua secara bersama-sama, maka keduanya wajib membayar nilai sisa bagian kepada kedua mitra mereka yang lain secara sama rata. Aku tidak memandang apakah kepemilikan itu banyak atau sedikit.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا يَقْضِي لِأَحَدِ قَوْلَيْهِ فِي الشُّفْعَةِ أَنَّ مَنْ لَهُ كَثِيرُ مِلْكٍ وَقَلِيلُهُ فِي الشُّفْعَةِ سَوَاءٌ.

 

(Al-Muzani berkata) Ini menunjukkan salah satu dari dua pendapatnya mengenai syuf’ah, bahwa orang yang memiliki banyak atau sedikit hak milik dalam syuf’ah adalah sama.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا اخْتَلَفَا فِي قِيمَةِ الْعَبْدِ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُعْتِقِ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ رَبِّ النَّصِيبِ لَا يَخْرُجُ مِلْكُهُ مِنْهُ إلَّا بِمَا يَرْضَى.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika mereka berselisih tentang nilai budak, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, pendapat yang diambil adalah pendapat orang yang memerdekakan. Kedua, pendapat yang diambil adalah pendapat pemilik bagian, karena kepemilikannya tidak lepas darinya kecuali dengan kerelaannya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَطَعَ الشَّافِعِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ بِأَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْغَارِمِ وَهَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ وَأَقْيَسُ عَلَى أَصْلِهِ عَلَى مَا شَرَحْت مِنْ أَحَدِ قَوْلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يَقُولُ فِي قِيمَةِ مَا أَتْلَفَ: إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْغَارِمِ وَلِأَنَّ السَّيِّدَ مُدَّعٍ لِلزِّيَادَةِ فَعَلَيْهِ الْبَيِّنَةُ وَالْغَارِمُ مُنْكِرٌ فَعَلَيْهِ الْيَمِينُ قَالَ: وَلَوْ قَالَ: هُوَ خَبَّازٌ وَقَالَ الْغَارِمُ: لَيْسَ كَذَلِكَ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْغَارِمِ، وَلَوْ قَالَ: هُوَ سَارِقٌ أَوْ آبِقٌ، وَقَالَ الَّذِي لَهُ الْغُرْمُ: لَيْسَ كَذَلِكَ فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ وَهُوَ عَلَى الْبَرَاءَةِ مِنْ الْعَيْبِ حَتَّى يَعْلَمَ (قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَالَ فِي الْغَاصِبِ: إنَّ الْقَوْلَ قَوْلُهُ أَنَّ بِهِ دَاءً أَوْ غَائِلَةً وَالْقِيَاسُ عَلَى قَوْلِهِ فِي الْحُرِّ يَجْنِي عَلَى يَدِهِ فَيَقُولُ الْجَانِي هِيَ شَلَّاءُ – أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْغَارِمِ.

 

 

(Al-Muzanni berkata) Asy-Syafi’i telah menegaskan dalam tempat lain bahwa perkataan yang dianggap adalah perkataan orang yang berutang (gharim), dan ini lebih sesuai dengan pendapatnya serta lebih sejalan dengan prinsipnya berdasarkan salah satu dari dua pendapatnya yang telah aku jelaskan. Karena dalam menilai nilai sesuatu yang dirusak, ia berpendapat bahwa perkataan yang dianggap adalah perkataan gharim. Juga karena tuan (pemilik) mengklaim adanya tambahan, maka ia harus mendatangkan bukti, sedangkan gharim mengingkari, maka ia harus bersumpah. Ia berkata: Seandainya (tuan) berkata, “Dia adalah tukang roti,” dan gharim berkata, “Tidak demikian,” maka perkataan yang dianggap adalah perkataan gharim. Dan jika (tuan) berkata, “Dia pencuri atau budak yang melarikan diri,” sedangkan pihak yang berutang berkata, “Tidak demikian,” maka perkataan yang dianggap adalah perkataannya disertai sumpah, dan ia dianggap bebas dari cacat sampai diketahui (sebaliknya). (Al-Muzanni berkata) Ia juga pernah berpendapat mengenai pencuri bahwa perkataan yang dianggap adalah perkataannya jika ia menyatakan ada penyakit atau cacat tersembunyi. Dan qiyas berdasarkan pendapatnya tentang orang merdeka yang melukai tangannya sendiri, lalu pelaku mengatakan tangan itu lumpuh – maka perkataan yang dianggap adalah perkataan gharim.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : “Dan jika seseorang membebaskan bagiannya yang dimiliki bersama dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematiannya dengan pembebasan yang mutlak, kemudian dia meninggal, maka hal itu termasuk dalam sepertiga hartanya, sebagaimana orang yang sehat dalam seluruh hartanya.”

 

 

وَلَوْ أَوْصَى بِعِتْقِ نَصِيبٍ مِنْ عَبْدٍ بِعَيْنِهِ لَمْ يُعْتَقْ بَعْدَ الْمَوْتِ مِنْهُ إلَّا مَا أَوْصَى بِهِ.

 

 

Dan seandainya ia berwasiat untuk memerdekakan sebagian dari seorang budak tertentu, maka tidaklah dimerdekakan setelah kematiannya kecuali apa yang diwasiatkannya.

 

بَابٌ فِي عِتْقِ الْعَبِيدِ لَا يَخْرُجُونَ مِنْ الثُّلُثِ

 

Bab tentang memerdekakan budak yang tidak melebihi sepertiga harta

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَعْتَقَ رَجُلٌ سِتَّةً مَمْلُوكِينَ لَهُ عِنْدَ الْمَوْتِ لَا مَالَ لَهُ غَيْرُهُمْ جُزِّئُوا ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ وَأَقْرَعَ بَيْنَهُمْ كَمَا أَقْرَعَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي مِثْلِهِمْ وَأَعْتَقَ اثْنَيْنِ ثُلُثَ الْمَيِّتِ، وَأَرَقَّ أَرْبَعَةً لِلْوَارِثِ وَهَكَذَا كُلُّ مَا لَمْ يَحْتَمِلْ الثُّلُثَ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ وَلَا سِعَايَةَ؛ لِأَنَّ فِي إقْرَاعِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بَيْنَهُمْ وَفِي قَوْلِهِ: إنْ كَانَ مُعْسِرًا فَقَدْ عَتَقَ مِنْهُ مَا عَتَقَ إبْطَالًا لِلسِّعَايَةِ مِنْ حَدِيثَيْنِ ثَابِتَيْنِ. وَحَدِيثُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ فِي السِّعَايَةِ ضَعِيفٌ وَخَالَفَهُ شُعْبَةُ وَهِشَامٌ جَمِيعًا، وَلَمْ يَذْكُرُوا فِيهِ اسْتِسْعَاءً وَهُمَا أَحْفَظُ مِنْهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang memerdekakan enam budak yang dimilikinya saat menjelang kematian, sementara ia tidak memiliki harta selain mereka, maka budak-budak itu dibagi menjadi tiga bagian dan diadakan undian di antara mereka sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengundi orang-orang seperti mereka. Dua orang dimerdekakan sebagai sepertiga harta mayit, sedangkan empat orang tetap sebagai budak bagi ahli waris. Demikianlah setiap kasus yang tidak mencukupi sepertiga harta, maka diadakan undian di antara mereka tanpa ada si’ayah (pembebasan sebagian dengan tebusan). Karena dalam pengundian yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di antara mereka, dan dalam sabdanya: ‘Jika dia dalam kesulitan, maka yang telah merdeka darinya adalah yang telah merdeka’, terdapat pembatalan terhadap si’ayah berdasarkan dua hadits yang sahih. Adapun hadits Sa’id bin Abi ‘Arubah tentang si’ayah adalah lemah, dan bertentangan dengan riwayat Syu’bah dan Hisyam yang sama-sama tidak menyebutkan istis’a’ (permintaan tebusan) dalam hal ini, sementara keduanya lebih hafizh darinya.”

 

بَابُ كَيْفِيَّةِ الْقُرْعَةِ بَيْنَ الْمَمَالِيكِ وَغَيْرِهِمْ

 

Bab tentang tata cara mengundi antara hamba sahaya dan selain mereka

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – أَحَبُّ الْقُرْعَةِ إلَيَّ وَأَبْعَدُهَا مِنْ الْحَيْفِ عِنْدِي أَنْ تُقْطَعَ رِقَاعٌ صِغَارٌ مُسْتَوِيَةٌ فَيُكْتَبَ فِي كُلِّ رُقْعَةٍ اسْمُ ذِي السَّهْمِ حَتَّى يَسْتَوْظِفَ أَسْمَاءَهُمْ ثُمَّ تُجْعَلَ فِي بَنَادِقِ طِينٍ مُسْتَوِيَةٍ وَتُوزَنُ ثُمَّ تُسْتَجَف ثُمَّ تُلْقَى فِي حِجْرِ رَجُلٍ لَمْ يَحْضُرْ الْكِتَابَةَ وَلَا إدْخَالَهَا فِي الْبُنْدُقِ وَيُغَطَّى عَلَيْهَا ثَوْبٌ، ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: أَدْخِلْ يَدَك فَأَخْرِجْ بُنْدُقَةً فَإِذَا أَخْرَجَهَا فُضَّتْ وَقُرِئَ اسْمُ صَاحِبِهَا وَدُفِعَ إلَيْهِ الْجُزْءُ الَّذِي أَقْرَعَ عَلَيْهِ ثُمَّ يُقَالُ لَهُ: أَقْرِعْ عَلَى الْجُزْءِ الثَّانِي الَّذِي يَلِيهِ وَهَكَذَا مَا بَقِيَ مِنْ السَّهْمَانِ شَيْءٌ حَتَّى تَنْفَدَ وَهَذَا فِي الرَّقِيقِ وَغَيْرِهِمْ سَوَاءٌ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Metode undian yang paling aku sukai dan paling jauh dari ketidakadilan menurutku adalah dengan memotong potongan kecil kertas yang sama ukurannya, lalu pada setiap kertas ditulis nama pemilik bagian hingga semua nama terkumpul. Kemudian kertas-kertas itu dimasukkan ke dalam bola-bola tanah liat yang sama besar dan ditimbang, lalu dikeringkan. Setelah itu, bola-bola itu diberikan kepada seseorang yang tidak hadir saat penulisan nama maupun pemasukannya ke dalam bola, lalu ditutup dengan kain. Kemudian dikatakan kepadanya: ‘Masukkan tanganmu dan keluarkan satu bola.’ Ketika dia mengeluarkannya, bola itu dibuka dan dibacakan nama pemiliknya, lalu diberikan bagian yang diundi untuknya. Kemudian dikatakan lagi: ‘Lakukan undian untuk bagian berikutnya.’ Demikian seterusnya hingga semua bagian habis. Cara ini berlaku sama baik untuk budak maupun selain mereka.”

 

بَابُ الْإِقْرَاعِ بَيْنَ الْعَبِيدِ فِي الْعِتْقِ وَالدَّيْنِ وَالتَّبْدِئَةِ بِالْعِتْقِ

 

Bab tentang pengundian di antara budak dalam hal pembebasan, hutang, dan memulai dengan pembebasan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيُجَزَّأُ الرَّقِيقُ إذَا أَعْتَقَ ثُلُثَهُمْ ثَلَاثَةُ أَجْزَاءٍ إذَا كَانَتْ قِيَمُهُمْ سَوَاءً وَيَكْتُبُ سَهْمَ الْعِتْقِ فِي وَاحِدٍ وَسَهْمَا الرِّقِّ فِي اثْنَيْنِ ثُمَّ يُقَالُ: أَخْرِجْ عَلَى هَذَا الْجُزْءِ بِعَيْنِهِ، وَيُعَرَّفُ فَإِنْ خَرَجَ عَلَيْهِ سَهْمُ الْعِتْقِ عَتَقَ وَرَقَّ الْجُزْءَانِ الْآخَرَانِ، وَإِنْ خَرَجَ عَلَى الْجُزْءِ الْأَوَّلِ سَهْمُ الرِّقِّ رُقَّ ثُمَّ قِيلَ: أَخْرِجْ، فَإِنْ خَرَجَ سَهْمُ الْعِتْقِ عَلَى الْجُزْءِ الثَّانِي عَتَقَ وَرَقَّ الثَّالِثَ، وَإِنْ خَرَجَ سَهْمُ الرِّقِّ عَلَيْهِ عَتَقَ الثَّالِثُ، وَإِنْ اخْتَلَفَتْ قِيَمُهُمْ ضَمَّ قَلِيلَ الثَّمَنِ إلَى كَثِيرِ الثَّمَنِ حَتَّى يَعْتَدِلُوا فَإِنْ تَفَاوَتَتْ قِيَمُهُمْ فَكَانَ قِيمَةُ وَاحِدٍ مِائَةً وَقِيمَةُ اثْنَيْنِ مِائَةً وَقِيمَةُ ثَلَاثَةٍ مِائَةً جَزَّأَهُمْ ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ ثُمَّ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ عَلَى الْقِيَمِ، فَإِنْ كَانَتْ قِيمَةُ وَاحِدٍ مِائَتَيْنِ وَاثْنَيْنِ خَمْسِينَ، وَثَلَاثَةٍ خَمْسِينَ فَإِنْ خَرَجَ سَهْمُ الْعِتْقِ عَلَى الْوَاحِدِ عَتَقَ مِنْهُ نِصْفُهُ وَهُوَ الثُّلُثُ مِنْ جَمِيعِ الْمَالِ وَالْآخَرُونَ رَقِيقٌ، وَإِنْ خَرَجَ سَهْمُ اثْنَيْنِ عَتَقَا ثُمَّ أُعِيدَتْ الْقُرْعَةُ بَيْنَ الثَّلَاثَةِ وَالْوَاحِدِ وَأَيُّهُمْ خَرَجَ سَهْمُهُ بِالْعِتْقِ عَتَقَ مِنْهُ مَا بَقِيَ مِنْ الثُّلُثِ وَرُقَّ مَا بَقِيَ مِنْهُ وَمِنْ غَيْرِهِ وَإِنْ خَرَجَ السَّهْمُ عَلَى الِاثْنَيْنِ أَوْ الثَّلَاثَةِ فَكَانُوا لَا يَخْرُجُونَ مَعًا جُزِّئُوا ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ وَأَقْرَعَ بَيْنَهُمْ كَذَلِكَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ الثُّلُثَ وَيُجَزَّءُونَ ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ أَصَحُّ عِنْدِي مِنْ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثَةٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Budak dibagi menjadi tiga bagian jika seorang memerdekakan sepertiga dari mereka ketika nilai mereka setara. Bagian kemerdekaan ditulis pada satu bagian, dan dua bagian perbudakan pada dua bagian lainnya. Kemudian dikatakan, “Keluarkan pada bagian ini secara spesifik,” dan dijelaskan. Jika bagian kemerdekaan keluar pada bagian itu, maka ia merdeka dan dua bagian lainnya tetap budak. Jika bagian perbudakan keluar pada bagian pertama, maka ia tetap budak. Kemudian dikatakan, “Keluarkan,” jika bagian kemerdekaan keluar pada bagian kedua, ia merdeka dan bagian ketiga tetap budak. Jika bagian perbudakan keluar padanya, maka bagian ketiga merdeka.

 

Jika nilai mereka berbeda, gabungkan yang bernilai sedikit dengan yang bernilai banyak hingga seimbang. Jika nilai mereka bervariasi, seperti satu bernilai seratus, dua bernilai dua ratus, dan tiga bernilai tiga ratus, maka mereka dibagi menjadi tiga bagian dan diundi berdasarkan nilai. Jika nilai satu adalah dua ratus, dua bernilai lima puluh, dan tiga bernilai lima puluh, lalu bagian kemerdekaan keluar pada yang satu, maka separuhnya merdeka (sepertiga dari total harta) dan sisanya tetap budak. Jika bagian dua keluar, mereka merdeka. Kemudian undian diulang antara tiga dan satu. Siapa pun yang bagian kemerdekaannya keluar, maka sisa sepertiga merdeka, dan sisanya tetap budak.

 

Jika undian keluar pada dua atau tiga tetapi mereka tidak bisa keluar bersamaan, mereka dibagi menjadi tiga bagian dan diundi seperti itu hingga sepertiga terpenuhi. Menurut pendapatku, membagi mereka menjadi tiga bagian lebih tepat daripada lebih dari tiga.

 

وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ يُحِيطُ بِبَعْضِ رَقيِقِهِ جَزَّأَ الرَّقِيقَ عَلَى قَدْرِ الدَّيْنِ ثُمَّ جُزِّئُوا فَأَيُّهُمْ خَرَجَ عَلَيْهِ سَهْمُ الدَّيْنِ بِيعُوا، ثُمَّ أَقْرَعَ لِيُعْتِقَ ثُلُثَهُمْ بَعْدَ الدَّيْنِ وَإِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِ دَيْنٌ بَعْدَ ذَلِكَ بِعْت مَنْ عَتَقَ حَتَّى لَا يَبْقَى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَإِنْ أَعْتَقْت ثُلُثًا وَأَرْقَقْت ثُلُثَيْنِ بِالْقُرْعَةِ ثُمَّ ظَهَرَ لَهُ مَالٌ يَخْرُجُونَ مَعًا مِنْ الثُّلُثِ أَعْتَقْت مَنْ أَرْقَقْت وَرَفَعَتْ إلَيْهِمْ مَا اكْتَسَبُوا بَعْدَ عِتْقِ الْمَالِكِ إيَّاهُمْ وَأَيُّ الرَّقِيقِ أَرَدْت قِيمَتَهُ لِعِتْقِهِ فَزَادَتْ قِيمَتُهُ أَوْ نَقَصَتْ أَوْ مَاتَ فَإِنَّمَا قِيمَتُهُ يَوْمَ وَقَعَ الْعِتْقُ.

 

Terjemahan Bahasa Indonesia:

Dan jika ada hutang yang meliputi sebagian budaknya, maka budak itu dibagi sesuai besarnya hutang, lalu mereka dibagi-bagi. Siapa saja yang keluar undian hutang untuknya, mereka dijual. Kemudian diadakan undian untuk memerdekakan sepertiga dari mereka setelah hutang dilunasi. Jika setelah itu muncul hutang lagi, maka yang sudah dimerdekakan dijual sampai tidak ada lagi hutang yang tersisa. Jika engkau memerdekakan sepertiga dan menjadikan dua pertiga sebagai budak melalui undian, lalu muncul harta yang membuat mereka semua terbebas dari sepertiga, maka yang tadinya engkau jadikan budak dimerdekakan, dan hasil usaha mereka setelah dimerdekakan oleh pemilik dikembalikan kepada mereka. Budak mana pun yang engkau tentukan nilainya untuk dimerdekakan, jika nilainya bertambah, berkurang, atau meninggal, maka nilainya dihitung pada hari kemerdekaan itu terjadi.

 

فَإِنْ وَقَعَتْ الْقُرْعَةُ لِمَيِّتٍ عَلِمْنَا أَنَّهُ كَانَ حُرًّا أَوْ لِأَمَةٍ فَوَلَدَتْ عَلِمْنَا أَنَّهَا حُرَّةٌ وَوَلَدُهَا وَلَدُ حُرَّةٍ لَا أَنَّ الْقُرْعَةَ أَحْدَثَتْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ عِتْقًا يَوْمَ وَقَعَتْ إنَّمَا وَجَبَ الْعِتْقُ حِينَ الْمَوْتِ بِالْقُرْعَةِ وَلَوْ قَالَ فِي مَرَضِهِ: سَالِمٌ حُرٌّ وَغَانِمٌ حُرٌّ وَزِيَادٌ حُرٌّ، ثُمَّ مَاتَ فَإِنَّهُ يَبْدَأُ بِالْأَوْلِ فَالْأَوْلِ مَا احْتَمَلَ الثُّلُثَ؛ لِأَنَّهُ عِتْقٌ بَتَاتٌ فَأَمَّا كُلُّ مَا كَانَ لِلْمُوصِي أَنْ يَرْجِعَ فِيهِ مِنْ تَدْبِيرٍ وَغَيْرِهِ فَكُلُّهُ سَوَاءٌ.

 

 

Jika undian jatuh pada orang yang telah meninggal, kita tahu bahwa dia adalah orang merdeka, atau jika jatuh pada budak perempuan yang melahirkan, kita tahu bahwa dia adalah merdeka dan anaknya adalah anak orang merdeka. Bukan berarti undian tersebut menyebabkan pembebasan pada hari itu. Pembebasan itu wajib terjadi saat kematian melalui undian. Seandainya dia berkata saat sakitnya: “Salim merdeka, Ghanim merdeka, dan Ziyad merdeka,” kemudian dia meninggal, maka dimulai dari yang pertama hingga yang pertama selama masih dalam batas sepertiga, karena itu adalah pembebasan yang pasti. Adapun segala hal yang bisa ditarik kembali oleh pemberi wasiat, seperti tadbir dan lainnya, semuanya sama.

 

(قَالَ) : وَلَوْ شَهِدَ أَجْنَبِيَّانِ أَنَّهُ أَعْتَقَ عَبْدَهُ وَصِيَّةً وَهُوَ الثُّلُثُ وَشَهِدَ وَارِثَانِ أَنَّهُ أَعْتَقَ عَبْدًا غَيْرَ وَصِيَّةٍ وَهُوَ الثُّلُثُ أَعْتَقَ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا نِصْفَهُ.

 

Beliau berkata: “Seandainya dua orang asing bersaksi bahwa dia memerdekakan budaknya sebagai wasiat (yang nilainya sepertiga harta), dan dua ahli waris bersaksi bahwa dia memerdekakan budak (lain) bukan sebagai wasiat (yang nilainya juga sepertiga harta), maka budak itu dimerdekakan separuh dari masing-masing (wasiat dan bukan wasiat).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) إذَا أَجَازَ الشَّهَادَتَيْنِ فَقَدْ ثَبَتَ عِتْقُ عَبْدَيْنِ وَهُمَا ثُلُثَا الْمَيِّتِ فَمَعْنَاهُ أَنْ يُقْرِعَ بَيْنَهُمَا.

 

 

(Al-Muzani berkata) Jika dua kesaksian itu diterima, maka telah terbukti pembebasan dua budak yang merupakan dua pertiga dari harta mayit. Maksudnya adalah dilakukan undian antara keduanya.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya seseorang berkata kepada sepuluh budaknya: ‘Salah satu dari kalian merdeka,’ maka kami akan meminta keterangan kepada para ahli waris. Jika mereka berkata, ‘Kami tidak tahu,’ maka diadakan undian di antara budak-budak itu dan dimerdekakan salah satu dari mereka, baik yang paling rendah nilainya atau yang paling tinggi.”

 

بَابُ مَنْ يُعْتَقُ بِالْمِلْكِ وَفِيهِ ذِكْرُ عِتْقِ السَّائِبَةِ وَلَا وَلَاءَ إلَّا لِمُعْتِقٍ

 

Bab tentang orang yang dimerdekakan melalui kepemilikan, dan di dalamnya disebutkan pembebasan saibah (budak yang dibebaskan tanpa syarat), serta tidak ada kewajiban wala’ (loyalitas) kecuali bagi orang yang memerdekakan

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: مَنْ مَلَكَ أَحَدًا مِنْ آبَائِهِ أَوْ أُمَّهَاتِهِ أَوْ أَجْدَادِهِ أَوْ جَدَّاتِهِ أَوْ وَلَدِهِ أَوْ وَلَدِ بَنِيهِ أَوْ بَنَاتِهِ عَتَقَ عَلَيْهِ بَعْدَ مِلْكِهِ بَعُدَ مِنْهُ الْوَلَدُ أَوْ قَرُبَ الْمَوْلُودُ وَلَا يُعْتَقُ عَلَيْهِ سِوَى مَنْ سَمَّيْت بِحَالٍ وَإِنْ مَلَكَ شِقْصًا مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ بِغَيْرِ مِيرَاثِ قُوِّمَ عَلَيْهِ مَا بَقِيَ إنْ كَانَ مُوسِرًا وَرُقَّ بَاقِيهِ إنْ كَانَ مُعْسِرًا وَإِنْ وَرِثَ مِنْهُ شِقْصًا عَتَقَ وَلَمْ يُقَوَّمْ عَلَيْهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Barangsiapa memiliki salah seorang dari orang tuanya (ayah atau ibu), kakek-neneknya, anaknya, atau cucu-cucunya (baik dari anak laki-laki maupun perempuan), maka orang tersebut merdeka atasnya setelah dimiliki, baik anak itu jauh atau dekat kelahirannya. Tidak ada yang dimerdekakan atasnya selain orang-orang yang telah disebutkan dalam keadaan apa pun. Jika ia memiliki sebagian dari salah seorang di antara mereka bukan karena warisan, maka sisa bagiannya dinilai atasnya jika ia mampu, dan sisanya tetap sebagai budak jika ia tidak mampu. Namun, jika ia mewarisi sebagian dari mereka, maka orang itu merdeka dan tidak dinilai atasnya.”

 

 

وَإِنْ وَهَبَ لِصَبِيٍّ مَنْ يُعْتَقُ عَلَيْهِ أَوْ أَوْصَى لَهُ بِهِ وَلَا مِلْكَ لَهُ وَلَهُ وَصِيٌّ كَانَ عَلَيْهِ قَبُولُ هَذَا كُلِّهِ وَيُعْتَقُ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ مُوسِرًا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَقْبَلَ؛ لِأَنَّ عَلَى الْمُوسِرِ عِتْقَ مَا بَقِيَ وَإِنْ قَبِلَهُ فَمَرْدُودٌ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْوَصَايَا: يُعْتَقُ مَا مَلَكَ الصَّبِيُّ وَلَا يُقَوَّمُ عَلَيْهِ.

 

 

Dan jika seorang anak kecil dihibahi orang yang harus dimerdekakan atas namanya atau diwasiatkan untuknya, sementara anak itu tidak memiliki harta dan memiliki wali, maka wali wajib menerima semua itu dan orang tersebut dimerdekakan atas nama anak itu. Namun jika anak itu sudah kaya, wali tidak boleh menerimanya, karena orang kaya wajib memerdekakan sisa budaknya. Jika tetap diterima, maka harus dikembalikan. Dalam kitab wasiat disebutkan: “Budak yang dimiliki anak kecil harus dimerdekakan dan tidak dinilai harganya.”

 

بَابٌ فِي الْوَلَاءِ

 

Bab tentang perwalian

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ عَنْ يَعْقُوبَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «الْوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ» .

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan dari Ya’qub dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda, “Walâ’ adalah ikatan seperti ikatan nasab, tidak boleh dijual maupun dihadiahkan.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَفِي قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ» دَلِيلٌ أَنَّهُ لَا وَلَاءَ إلَّا لِمُعْتِقٍ وَاَلَّذِي أَسْلَمَ النَّصْرَانِيُّ عَلَى يَدَيْهِ لَيْسَ بِمُعْتِقٍ فَلَا وَلَاءَ لَهُ، وَلَوْ أَعْتَقَ مُسْلِمٌ نَصْرَانِيًّا أَوْ نَصْرَانِيٌّ مُسْلِمًا فَالْوَلَاءُ ثَابِتٌ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ وَلَا يَتَوَارَثَانِ لِاخْتِلَافِ الدِّينِ وَلَا يَقْطَعُ اخْتِلَافُ الدِّينِ الْوَلَاءَ كَمَا لَا يَقْطَعُ النَّسَبَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ} هود: 42 {وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ} الأنعام: 74 فَلَمْ يَقْطَعْ النَّسَبَ بِاخْتِلَافِ الدِّينِ فَكَذَلِكَ الْوَلَاءُ وَمَنْ أَعْتَقَ سَائِبَةً فَهُوَ مُعْتِقٌ وَلَهُ الْوَلَاءُ وَمَنْ وَرَّثَ مَنْ يُعْتَقُ عَلَيْهِ أَوْ مَاتَ عَنْ أُمِّ وَلَدٍ لَهُ فَلَهُ وَلَاؤُهُمْ وَإِنْ لَمْ يُعْتِقْهُمْ؛ لِأَنَّهُمْ فِي مَعْنَى مَنْ أَعْتَقَ وَالْمُعْتِقُ السَّائِبَةَ مُعْتِقٌ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ هَذَا فِي مَعْنَى الْمُعْتِقِينَ فَكَيْفَ لَا يَكُونُ لَهُ وَلَاؤُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dalam sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- “Sesungguhnya kewalian itu bagi orang yang memerdekakan”, terdapat dalil bahwa tidak ada kewalian kecuali bagi orang yang memerdekakan. Orang yang Nasrani masuk Islam melalui tangannya bukanlah orang yang memerdekakan, maka tidak ada kewalian baginya. Jika seorang Muslim memerdekakan Nasrani atau seorang Nasrani memerdekakan Muslim, maka kewalian tetap berlaku bagi masing-masing terhadap yang lain, tetapi mereka tidak saling mewarisi karena perbedaan agama. Perbedaan agama tidak memutus kewalian sebagaimana tidak memutus nasab. Allah berfirman, “Dan Nuh memanggil anaknya” (Hud: 42), “Dan ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya” (Al-An’am: 74). Maka nasab tidak terputus karena perbedaan agama, demikian pula kewalian. Barangsiapa memerdekakan saibah (hewan yang dibebaskan), maka ia termasuk orang yang memerdekakan dan berhak atas kewalian. Barangsiapa mewarisi orang yang dimerdekakan atasnya atau meninggalkan umm walad (budak yang melahirkan anak tuannya), maka ia berhak atas kewalian mereka meskipun tidak memerdekakan mereka, karena mereka termasuk dalam makna orang yang memerdekakan. Orang yang memerdekakan saibah adalah orang yang memerdekakan, dan ia lebih layak dalam makna orang-orang yang memerdekakan, maka bagaimana mungkin ia tidak memiliki kewalian.

 

(قَالَ) : فَالْمُعْتِقُ سَائِبَةً قَدْ أَنْفَذَ اللَّهُ لَهُ الْعِتْقَ؛ لِأَنَّهُ طَاعَةٌ وَأَبْطَلَ الشَّرْطَ بِأَنْ لَا وَلَاءَ لَهُ؛ لِأَنَّهُ مَعْصِيَةٌ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ» .

 

 

Beliau berkata: “Orang yang memerdekakan budak secara sukarela, Allah telah melaksanakan kemerdekaan baginya karena itu adalah ketaatan, dan membatalkan syarat (yang menyatakan) tidak ada kewalian baginya karena itu adalah maksiat. Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: ‘Kewalian itu bagi orang yang memerdekakan (budak).'”

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan apabila ahli waris yang telah mendapatkan bagiannya tidak memiliki ‘ashabah (kerabat) dari jalur nasab, maka sisa harta warisan diberikan kepada maula (mantan tuannya) yang memerdekakannya.”

 

 

وَلَوْ تَرَكَ ثَلَاثَةَ بَنِينَ اثْنَانِ لِأُمٍّ فَهَلَكَ أَحَدُ الِاثْنَيْنِ لِأُمٍّ وَتَرَكَ مَالًا وَمَوَالِيَ فَوَرِثَ أَخُوهُ لِأَبِيهِ وَأُمِّهِ مَالَهُ وَوَلَاءَ مَوَالِيهِ ثُمَّ هَلَكَ الَّذِي وَرِثَ الْمَالَ وَوَلَاءَ الْمَوْلَى وَتَرَكَ ابْنَهُ وَأَخَاهُ لِأَبِيهِ فَقَالَ ابْنُهُ: قَدْ أَحْرَزْت مَا كَانَ أَبِي أَحْرَزَهُ، وَقَالَ أَخُوهُ: إنَّمَا أَحْرَزْت الْمَالَ وَأَمَّا وَلَاءُ الْمَوَالِي فَلَا.

 

 

Dan jika seseorang meninggalkan tiga anak laki-laki, dua di antaranya dari ibu yang sama, lalu salah satu dari dua anak tersebut meninggal dan meninggalkan harta serta budak, maka saudaranya (yang seayah dan seibu) mewarisi hartanya serta hak perwalian atas budaknya. Kemudian, orang yang mewarisi harta dan hak perwalian itu meninggal dan meninggalkan anak laki-laki serta saudara laki-laki seayah. Anaknya berkata, “Aku mewarisi semua yang dimiliki ayahku.” Sedangkan saudaranya berkata, “Kamu hanya mewarisi harta, sedangkan hak perwalian atas budak tidak.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : الْأَخُ أَوْلَى بِوَلَاءِ الْمَوَالِي وَقَضَى بِذَلِكَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْهِ ثُمَّ الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ مِنْ الْعَصَبَةِ أَوْلَى بِمِيرَاثِ الْمَوَالِي وَالْإِخْوَةُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ أَوْلَى مِنْ الْإِخْوَةِ لِلْأَبِ وَإِنْ كَانَ جَدٌّ وَأَخٌ لِأَبٍ وَأُمٍّ أَوْ لِأَبٍ فَقَدْ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا فِي ذَلِكَ فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: الْأَخُ أَوْلَى وَكَذَلِكَ بَنُو الْأَخِ وَإِنْ سَفَلُوا، وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ: هُمَا سَوَاءٌ وَلَا يَرِثُ النِّسَاءُ الْوَلَاءَ وَلَا يَرِثْنَ إلَّا مَنْ أَعْتَقْنَ أَوْ أَعْتَقَ مَنْ أَعْتَقْنَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Saudara laki-laki lebih berhak atas perwalian maula (budak yang dimerdekakan), dan hal itu telah diputuskan oleh Utsman bin Affan rahimahullah. Kemudian yang lebih dekat lalu yang lebih dekat dari kalangan ‘ashabah lebih berhak atas warisan maula. Saudara seayah dan seibu lebih diutamakan daripada saudara seayah saja. Jika terdapat kakek dan saudara seayah-seibu atau seayah, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian berpendapat bahwa saudara lebih berhak, begitu pula anak saudara meskipun dari keturunan bawah. Sebagian lain berpendapat bahwa keduanya setara. Wanita tidak mewarisi perwalian, dan mereka hanya mewarisi dari orang yang mereka merdekakan atau dari orang yang dimerdekakan oleh yang mereka merdekakan.

 

مُخْتَصَرُ كِتَابَيْ الْمُدَبَّرِ مِنْ جَدِيدٍ وَقَدِيمٍ

 

Ringkasan Dua Kitab Al-Mudabbir dari yang Baru dan yang Lama

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَن عَمرِو بِنِ دِينَارٍ وَعَن أَبِي الزُّبَيرِ سَمِعَا «جَابِرَ بِنَ عَبدِ اللَّهِ يَقُولُ: دَبَّرَ رَجُلٌ مِنَّا غُلَامًا لَيسَ لَهُ مَالٌ غَيرُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ – مَن يَشتَرِيهِ مِنِّي؟ فَاشتَرَاهُ نُعَيمُ بِنُ النَّحَّامِ» فَقَالَ عَمرٌو: سَمِعت جَابِرًا يَقُولُ: عَبدٌ قِبطِيٌّ مَاتَ عَامَ أَوَّلَ فِي إمَارَةِ ابِنِ الزُّبَيرِ زَادَ أَبُو الزُّبَيرِ يُقَالُ لَهُ: يَعقُوبُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Sufyan bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dan dari Abu Az-Zubair, mereka berdua mendengar Jabir bin ‘Abdillah berkata: “Seorang lelaki dari kami memerdekakan budaknya setelah kematiannya (tadbir), padahal budak itu adalah satu-satunya hartanya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Siapa yang mau membelinya dariku?’ Lalu Nu’aim bin An-Nahham membelinya.” ‘Amr berkata: Aku mendengar Jabir berkata: “Budak itu seorang Qibti (dari Mesir) yang meninggal tahun pertama pada masa pemerintahan Ibnu Az-Zubair.” Abu Az-Zubair menambahkan: “Budak itu dipanggil dengan nama Ya’qub.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبَاعَتْ عَائِشَةُ مُدَبَّرَةً لَهَا سَحَرَتْهَا. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: الْمُدَبَّرُ مِنْ الثُّلُثِ وَقَالَ مُجَاهِدٌ الْمُدَبَّرُ وَصِيَّةٌ يَرْجِعُ فِيهِ صَاحِبُهُ مَتَى شَاءَ وَبَاعَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ مُدَبَّرًا فِي دَيْنِ صَاحِبِهِ وَقَالَ طَاوُسٌ: يَعُودُ الرَّجُلُ فِي مُدَبَّرِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Aisyah pernah menjual budak mudabbarnya yang telah menyihirnya. Ibnu Umar berkata: Mudabbar adalah dari sepertiga harta. Mujahid berkata: Mudabbar adalah wasiat yang bisa ditarik kembali oleh pemiliknya kapan saja. Umar bin Abdul Aziz pernah menjual seorang mudabbar untuk melunasi utang pemiliknya. Thawus berkata: Seseorang boleh menarik kembali mudabbarnya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِعَبْدِهِ: أَنْتَ مُدَبَّرٌ أَوْ أَنْتَ عَتِيقٌ أَوْ مُحَرَّرٌ أَوْ حُرٌّ بَعْدَ مَوْتِي أَوْ مَتَى مِتّ أَوْ مَتَى دَخَلْت الدَّارَ فَأَنْتَ حُرٌّ بَعْدَ مَوْتِي – فَدَخَلَ فَهَذَا كُلُّهُ تَدْبِيرٌ يَخْرُجُ مِنْ الثُّلُثِ وَلَا يُعْتَقُ فِي مَالِ غَائِبٍ حَتَّى يَحْضُرَ. وَلَوْ قَالَ: إنْ شِئْت فَأَنْتَ حُرٌّ بَعْدَ مَوْتِي؛ فَدَخَلَ فَهَذَا كُلُّهُ تَدْبِيرٌ يَخْرُجُ مِنْ الثُّلُثِ وَلَا يُعْتَقُ فِي مَالِ غَائِبٍ حَتَّى يَحْضُرَ وَلَوْ قَالَ: إنْ شِئْت فَأَنْتَ حُرٌّ مَتَى مِتّ فَشَاءَ فَهُوَ مُدَبَّرٌ، وَلَوْ قَالَ: إذَا مِتّ فَشِئْت فَأَنْتَ حُرٌّ أَوْ قَالَ أَنْتَ حُرٌّ إذَا مِتّ إنْ شِئْت فَسَوَاءٌ قَدَّمَ الْمَشِيئَةَ أَوْ أَخَّرَهَا لَا يَكُونُ حُرًّا إلَّا أَنْ يَشَاءَ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang berkata kepada budaknya, “Kamu adalah mudabbar (yang akan dimerdekakan setelah kematianku), atau kamu merdeka, atau dibebaskan, atau bebas setelah kematianku, atau kapan aku mati, atau ketika kamu masuk rumah maka kamu bebas setelah kematianku” – lalu budak itu masuk, maka semua ini termasuk tadbir (pengaturan pembebasan) yang diambil dari sepertiga harta, dan tidak boleh memerdekakan budak dengan harta orang yang tidak hadir hingga ia hadir. Dan jika ia berkata, “Jika kamu mau, kamu bebas setelah kematianku” lalu budak itu masuk, maka semua ini termasuk tadbir yang diambil dari sepertiga harta, dan tidak boleh memerdekakan budak dengan harta orang yang tidak hadir hingga ia hadir. Dan jika ia berkata, “Jika kamu mau, kamu bebas kapan aku mati” lalu budak itu menghendaki, maka ia adalah mudabbar. Dan jika ia berkata, “Ketika aku mati, jika kamu mau, kamu bebas” atau ia berkata, “Kamu bebas ketika aku mati jika kamu mau,” maka sama saja, baik ia mendahulukan atau mengakhirkan kehendak, budak itu tidak menjadi merdeka kecuali jika ia menghendaki.

 

وَلَوْ قَالَ شَرِيكَانِ فِي عَبْدٍ: مَتَى مُتْنَا فَأَنْتَ حُرٌّ؛ لَمْ يُعْتَقْ إلَّا بِمَوْتِ الْآخَرِ مِنْهُمَا.

 

Dan jika dua orang yang berserikat dalam kepemilikan seorang budak berkata, “Ketika kami mati, engkau merdeka,” maka budak itu tidak merdeka kecuali setelah kematian yang terakhir dari keduanya.

 

 

وَلَوْ قَالَ سَيِّدُ الْمُدَبَّرِ: قَدْ رَجَعْت فِي تَدْبِيرِك أَوْ نَقَضْته أَوْ أَبْطَلْته؛ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ نَقْضًا لِلتَّدْبِيرِ حَتَّى يُخْرِجَهُ مِنْ مِلْكِهِ. وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: إنْ قَالَ: إنْ أَدَّى بَعْدَ مَوْتِي كَذَا فَهُوَ حُرٌّ، أَوْ وَهَبَهُ هِبَةَ بَتَاتٍ قَبَضَ أَوْ لَمْ يَقْبِضْ وَرَجَعَ؛ فَهَذَا رُجُوعٌ فِي التَّدْبِيرِ.

 

 

Seandainya pemilik budak mudabbir berkata, “Aku telah menarik kembali pengaturanmu, membatalkannya, atau menghapusnya,” hal itu tidak dianggap sebagai pembatalan tadbir hingga ia mengeluarkannya dari kepemilikannya. Dalam bagian lain disebutkan: Jika ia berkata, “Jika setelah kematianku dia membayar sesuatu, maka dia merdeka,” atau memberikannya sebagai hibah mutlak baik telah diterima atau belum lalu ditarik kembali, maka ini dianggap sebagai pencabutan tadbir.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا رُجُوعٌ فِي التَّدْبِيرِ بِغَيْرِ إخْرَاجٍ لَهُ مِنْ مِلْكِهِ وَذَلِكَ كُلُّهُ فِي الْكِتَابِ الْجَدِيدِ وَقَالَ فِي الْكِتَابِ الْقَدِيمِ: لَوْ قَالَ: قَدْ رَجَعْت فِي تَدْبِيرِك أَوْ فِي رُبُعِك أَوْ فِي نِصْفِك كَانَ مَا رَجَعَ عَنْهُ رُجُوعًا فِي التَّدْبِيرِ وَمَا لَمْ يَرْجِعْ عَنْهُ مُدَبَّرًا بِحَالِهِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini adalah pembatalan dalam pengaturan (tadbir) tanpa mengeluarkannya dari kepemilikannya, dan semua itu terdapat dalam Kitab Baru. Dalam Kitab Lama, Beliau berkata: “Jika seseorang mengatakan, ‘Aku telah membatalkan pengaturanmu,’ atau ‘seperempatnya,’ atau ‘separuhnya,’ maka bagian yang dibatalkan menjadi batal dalam pengaturan, sedangkan bagian yang tidak dibatalkan tetap berlaku sebagaimana adanya.”

 

(وَقَالَ الْمُزَنِيّ) وَهَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ بِأَصْلِهِ وَأَصَحُّ لِقَوْلِهِ: إذَا كَانَ الْمُدَبَّرُ وَصِيَّةً فَلِمَ لَا يَرْجِعُ فِي الْوَصِيَّةِ وَلَوْ جَازَ لَهُ أَنْ يُخَالِفَ بَيْنَ ذَلِكَ فَيُبْطِلَ الرُّجُوعَ فِي الْمُدَبَّرِ وَلَا يُبْطِلَهُ فِي الْوَصِيَّةِ لِمَعْنًى اخْتَلَفَا فِيهِ جَازَ بِذَلِكَ الْمَعْنَى أَنْ يُبْطِلَ بَيْعَ الْمُدَبَّرِ وَلَا يُبْطِلَ فِي الْوَصِيَّةِ فَيَصِيرُ إلَى قَوْلِ مَنْ لَا يَبِيعُ الْمُدَبَّرَ، وَلَوْ جَازَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْمُدَبَّرِ وَالْأَيْمَانِ فِي هَذَا الْمَوْضِعِ جَازَ إبْطَالُ عِتْقِ الْمُدَبَّرِ لِمَعْنَى الْحِنْثِ؛ لِأَنَّ الْأَيْمَانَ لَا يَجِبُ الْحِنْثُ بِهَا عَلَى مَيِّتٍ، وَقَوْلُهُ فِي الْجَدِيدِ وَالْقَدِيمِ بِالرُّجُوعِ فِيهِ كَالْوَصَايَا مُعْتَدِلٌ مُسْتَقِيمٌ لَا يَدْخُلُ عَلَيْهِ مِنْهُ كَبِيرُ تَعْدِيلٍ.

 

 

(Dan Al-Muzanni berkata) Ini lebih mirip dengan perkataannya berdasarkan asalnya dan lebih sahih karena ucapannya: Jika budak mudabbar dianggap wasiat, mengapa tidak boleh ditarik kembali dalam wasiat? Seandainya boleh baginya untuk bertentangan dalam hal itu, sehingga membatalkan penarikan kembali pada mudabbar tetapi tidak membatalkannya dalam wasiat karena suatu makna yang mereka perselisihkan, maka dengan makna itu boleh membatalkan penjualan mudabbar tetapi tidak membatalkannya dalam wasiat, sehingga pendapatnya menjadi seperti orang yang tidak menjual mudabbar. Seandainya boleh menggabungkan antara mudabbar dan sumpah dalam konteks ini, maka boleh membatalkan pembebasan mudabbar karena makna melanggar sumpah, karena sumpah tidak mewajibkan pelanggaran atas orang yang sudah meninggal. Dan ucapannya dalam kitab Al-Jadid dan Al-Qadim tentang penarikan kembali seperti wasiat adalah seimbang dan lurus, tidak ada perubahan besar yang mempengaruhinya.

 

(Asy-Syafi’i berkata): Dan tindak pidana oleh budak yang telah ditudbiri (akan dimerdekakan setelah tuannya meninggal) sama seperti tindak pidana oleh budak biasa, di mana dia harus dijual untuk menutupi kerugian sesuai dengan kadar tindak pidana yang dilakukannya, dan sisanya tetap berstatus sebagai budak yang ditudbiri.

 

 

وَلَوْ ارْتَدَّ الْمُدَبَّرُ أَوْ لَحِقَ بِدَارِ الْحَرْبِ ثُمَّ أَوْجَبَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ فَأَخَذَهُ سَيِّدُهُ فَهُوَ عَلَى تَدْبِيرِهِ وَلَوْ أَنَّ سَيِّدَهُ ارْتَدَّ فَمَاتَ كَانَ مَالُهُ فَيْئًا وَالْمُدَبَّرُ حُرًّا.

 

 

Jika seorang mudabbir (budak yang dijanjikan kebebasan setelah tuannya meninggal) murtad atau bergabung dengan darul harb (negara musuh), kemudian kaum Muslimin memutuskan hukum atasnya lalu tuannya mengambilnya kembali, maka statusnya tetap sesuai perjanjian tadbir. Namun, jika tuannya yang murtad lalu meninggal, maka hartanya menjadi fai’ (harta rampasan untuk baitulmal) dan si mudabbir merdeka.

 

وَلَوْ دَبَّرَهُ مُرْتَدًّا فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ:

 

Dan jika dia mengaturnya secara berbalik, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat.

 

أَحَدُهَا: أَنَّهُ يُوقَفُ فَإِنْ رَجَعَ فَهُوَ عَلَى تَدْبِيرِهِ وَإِنْ قُتِلَ فَالتَّدْبِيرُ بَاطِلٌ وَمَالُهُ فَيْءٌ؛ لِأَنَّا عَلِمْنَا أَنَّ رِدَّتَهُ صَيَّرَتْ مَالَهُ فَيْئًا.

 

 

Salah satunya adalah bahwa dia ditahan, jika dia kembali maka dia tetap pada pengaturannya, tetapi jika dia dibunuh maka pengaturannya batal dan hartanya menjadi fai’; karena kita tahu bahwa kemurtadannya menjadikan hartanya sebagai fai’.

 

وَالثَّانِي: أَنَّ التَّدْبِيرَ بَاطِلٌ؛ لِأَنَّ مَالَهُ خَارِجٌ مِنْهُ إلَّا بِأَنْ يَرْجِعَ وَهَذَا أَشْبَهُ الْأَقَاوِيلِ بِأَنْ يَكُونَ صَحِيحًا فِيهِ أَقُولُ.

 

 

Kedua, bahwa tadbir (pengaturan pembebasan budak setelah kematian) itu batal, karena hartanya keluar darinya kecuali jika dia menarik kembali. Dan ini pendapat yang paling mirip dengan kebenaran dalam hal ini, menurutku.

 

وَالثَّالِثُ: أَنَّ التَّدْبِيرَ مَاضٍ؛ لِأَنَّهُ لَا يَمْلِكُ عَلَيْهِ مَالَهُ إلَّا بِمَوْتِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِ الزَّكَاةِ: إنَّهُ مَوْقُوفٌ، فَإِنْ رَجَعَ وَجَبَتْ الزَّكَاةُ وَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ وَقُتِلَ فَلَا زَكَاةَ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْمُكَاتَبِ: إنَّهُ إنْ كَاتَبَ الزَّكَاةَ إنَّهُ مَوْقُوفٌ فَإِنْ رَجَعَ وَجَبَتْ الزَّكَاةُ وَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ وَقُتِلَ فَلَا زَكَاةَ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْمُكَاتَبِ: إنَّهُ إنْ كَاتَبَ الْمُرْتَدُّ عَبْدَهُ قَبْلَ أَنْ يُوقَفَ مَالُهُ فَالْكِتَابَةُ جَائِزَةٌ.

 

 

Ketiga, bahwa tadbir (pengaturan pembebasan budak setelah kematian pemilik) tetap berlaku karena ia tidak memiliki hartanya kecuali setelah kematiannya. Dalam kitab zakat, ia berkata: itu tertahan, jika ia kembali maka zakat wajib, dan jika tidak kembali dan dibunuh maka tidak ada zakat. Dalam kitab mukatab, ia berkata: jika seorang murtad mengadakan perjanjian pembebasan budaknya sebelum hartanya dihentikan, maka perjanjian itu boleh.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) أَصَحُّهَا عِنْدِي وَأَوْلَاهَا بِهِ أَنَّهُ مَالِكٌ لِمَالِهِ لَا يَمْلِكُ عَلَيْهِ إلَّا بِمَوْتِهِ؛ لِأَنَّهُ أَجَازَ كِتَابَةَ عَبْدِهِ وَأَجَازَ أَنْ يُنْفِقَ مِنْ مَالِهِ عَلَى مَنْ يَلْزَمُ الْمُسْلِمَ نَفَقَتُهُ فَلَوْ كَانَ مَالُهُ خَارِجًا مِنْهُ لَخَرَجَ الْمُدَبَّرُ مَعَ سَائِرِ مَالِهِ وَلَمَّا كَانَ لِوَلَدِهِ وَلِمَنْ يَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ حَقٌّ فِي مَالِ غَيْرِهِ مَعَ أَنَّ مِلْكَهُ لَهُ بِإِجْمِاعٍ قَبْلَ الرِّدَّةِ فَلَا يَزُولُ مِلْكُهُ إلَّا بِإِجْمَاعٍ وَهُوَ أَنْ يَمُوتَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) “Pendapat yang paling sahih menurutku dan yang paling layak adalah bahwa dia (murtad) tetap pemilik hartanya, tidak ada yang berhak atasnya kecuali setelah kematiannya. Karena dia diizinkan menulis surat pembebasan budaknya dan diizinkan mengeluarkan hartanya untuk nafkah orang yang menjadi tanggungan seorang muslim. Seandainya hartanya keluar dari kepemilikannya, niscaya harta yang ditasarufkan (al-mudabbar) akan keluar bersama seluruh hartanya. Padahal anaknya dan orang yang menjadi tanggungannya memiliki hak atas harta orang lain, sementara kepemilikannya atas harta itu tetap berdasarkan ijma’ sebelum kemurtadannya. Maka kepemilikannya tidak hilang kecuali dengan ijma’ pula, yaitu ketika dia meninggal.”

 

 

وَلَوْ قَالَ لِعَبْدِهِ: مَتَى قَدِمَ فُلَانٌ فَأَنْتَ حُرٌّ، فَقَدِمَ وَالسَّيِّدُ صَحِيحٌ أَوْ مَرِيضٌ عَتَقَ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ وَجِنَايَةُ الْمُدَبَّرِ جِنَايَةُ عَبْدٍ.

 

 

Dan jika dia berkata kepada hambanya, “Ketika si fulan datang, maka engkau merdeka,” lalu fulan datang sementara sang tuan dalam keadaan sehat atau sakit, maka hamba itu merdeka dari harta pokok, dan tindak pidana orang yang ditadbir (budak yang akan dimerdekakan setelah tuannya meninggal) adalah seperti tindak pidana seorang budak.

 

(قَالَ) : وَلَا يَجُوزُ عَلَى التَّدْبِيرِ إذَا جَحَدَ السَّيِّدُ إلَّا عَدْلَانِ.

 

Beliau berkata: “Dan tidak boleh dalam hal pembebasan dengan perjanjian (tadbir) jika tuannya mengingkari kecuali dengan dua saksi yang adil.”

 

بَابُ وَطْءِ الْمُدَبَّرَةِ وَحُكْمِ وَلَدِهَا

 

Bab tentang hubungan intim dengan budak mudabbara dan hukum mengenai anaknya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَطَأُ السَّيِّدُ مُدَبَّرَتَهُ وَمَا وَلَدَتْ مِنْ غَيْرِهِ فَفِيهِمْ وَاحِدٌ مِنْ قَوْلَيْنِ كِلَاهُمَا لَهُ مَذْهَبٌ أَحَدُهُمَا: أَنَّ وَلَدَ كُلِّ ذَاتِ رَحِمٍ بِمَنْزِلَتِهَا فَإِنْ رَجَعَ فِي تَدْبِيرِ الْأُمِّ حَامِلًا كَانَ لَهُ وَلَمْ يَكُنْ رُجُوعًا فِي تَدْبِيرِ الْوَلَدِ فَإِنْ رَجَعَ فِي تَدْبِيرِ الْوَلَدِ لَمْ يَكُنْ رُجُوعًا فِي الْأُمِّ فَإِنْ رَجَعَ فِي تَدْبِيرِهَا ثُمَّ وَلَدَتْ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ يَوْمِ رَجَعَ فَالْوَلَدُ فِي مَعْنَى هَذَا الْقَوْلِ مُدَبَّرٌ، وَإِنْ وَضَعَتْ لِأَكْثَرَ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَهُوَ مَمْلُوكٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seorang tuan boleh menyetubuhi budak mudabbara-nya dan anak yang dilahirkannya dari selainnya. Dalam hal ini ada dua pendapat, keduanya memiliki dasar. Salah satunya: bahwa anak dari setiap pemilik rahim mengikuti status ibunya. Jika tuan menarik kembali pengelolaan (tadbir) sang ibu saat hamil, maka anak itu miliknya dan tidak termasuk penarikan kembali pengelolaan terhadap anak. Jika ia menarik kembali pengelolaan terhadap anak, maka itu tidak termasuk penarikan kembali terhadap sang ibu. Jika ia menarik kembali pengelolaan terhadap sang ibu lalu sang ibu melahirkan dalam waktu kurang dari enam bulan sejak penarikan kembali, maka anak itu menurut pendapat ini statusnya mudabbar. Namun jika melahirkan setelah lebih dari enam bulan, maka anak itu statusnya tetap sebagai budak.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَهَذَا أَيْضًا رُجُوعٌ فِي التَّدْبِيرِ بِغَيْرِ إخْرَاجٍ مِنْ مِلْكٍ؛ فَتَفَهَّمْهُ.)

 

(Al-Muzanni berkata) Dan ini juga merupakan pembatalan dalam pengaturan wasiat tanpa mengeluarkan dari kepemilikan; maka pahamilah hal ini.

(Asy-Syafi’i berkata): Pendapat kedua adalah bahwa anak-anaknya adalah budak, karena dia adalah seorang budak perempuan yang diwasiatkan untuk dimerdekakan, namun pemiliknya memiliki hak untuk menarik kembali pembebasannya dan menjualnya. Wasiat untuk kemerdekaannya tidak tetap, sehingga anak-anaknya adalah budak.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ قَالَ: أَوْلَادُهَا مَمْلُوكُونَ.

 

(Berkata Asy-Syafi’i): Sufyan mengabarkan kepada kami dari Amr dari Abu Asy-Sya’tsa’, Beliau berkata: Anak-anaknya adalah budak.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ عِنْدِي وَأَشْبَهُهُمَا بِقَوْلِ الشَّافِعِيِّ؛ لِأَنَّ التَّدْبِيرَ عِنْدَهُ وَصِيَّةٌ بِعِتْقِهَا كَمَا لَوْ أَوْصَى بِرَقَبَتِهَا لَمْ يَدْخُلْ فِي الْوَصِيَّةِ وَلَدُهَا.

 

(Al-Muzani berkata) Ini adalah pendapat yang lebih sahih menurutku dan yang paling mirip dengan pendapat Asy-Syafi’i; karena menurutnya, tadbir adalah wasiat untuk memerdekakannya, sebagaimana jika dia mewasiatkan kebebasannya, anaknya tidak termasuk dalam wasiat tersebut.

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَالَ: إذَا دَخَلْت الدَّارَ بَعْدَ سَنَةٍ فَأَنْتِ حُرَّةٌ، فَدَخَلَتْ أَنَّ وَلَدَهَا لَا يَلْحَقُهَا.

 

Beliau berkata: “Seandainya dia mengatakan, ‘Jika engkau masuk ke rumah setelah satu tahun, maka engkau merdeka,’ lalu dia masuk, maka anaknya tidak mengikutinya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَكَذَلِكَ تُعْتَقُ بِالْمَوْتِ وَوَلَدُهَا لَا يَلْحَقُهَا إلَّا أَنْ تُعْتَقَ حَامِلًا فَيُعْتَقُ وَلَدُهَا بِعِتْقِهَا.

 

(Al-Muzani berkata) Demikian pula, dia merdeka karena kematian, dan anaknya tidak mengikutinya kecuali jika dia dimerdekakan dalam keadaan hamil, maka anaknya merdeka karena kemerdekaannya.

(قَالَ) : وَلَوْ قَالَتْ: وَلَدْته بَعْدَ التَّدْبِيرِ، وَقَالَ الْوَارِثُ: قَبْلَ التَّدْبِيرِ – فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْوَارِثِ؛ لِأَنَّهُ الْمَالِكُ وَهِيَ الْمُدَّعِيَةُ.

 

Beliau berkata: “Seandainya dia (budak perempuan) berkata, ‘Aku melahirkannya setelah tadbir,’ dan ahli waris berkata, ‘Sebelum tadbir,’ maka perkataan yang diambil adalah perkataan ahli waris karena dialah pemilik (budak) sedangkan dia (budak perempuan) adalah pihak yang mengklaim.”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ قَالَ الْمُدَبَّرُ: أَفَدْت هَذَا الْمَالَ بَعْدَ الْعِتْقِ وَقَالَ الْوَارِثُ: قَبْلَ الْعِتْقِ أَنَّ الْقَوْلَ قَوْلُ الْمُدَبَّرِ وَالْوَارِثُ مُدَّعٍ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya orang yang dimerdekakan (mudabbar) berkata, ‘Aku telah menebus harta ini setelah dimerdekakan,’ sedangkan ahli waris berkata, ‘Sebelum dimerdekakan,’ maka perkataan yang diterima adalah perkataan orang yang dimerdekakan (mudabbar), sementara ahli waris dianggap sebagai pihak yang mengklaim.”

بَابٌ فِي تَدْبِيرِ النَّصْرَانِيِّ

 

Bab tentang Pengaturan Urusan Orang Nasrani

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) : (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَيَجُوزُ تَدْبِيرُ النَّصْرَانِيِّ وَالْحَرْبِيِّ فَإِنْ دَخَلَ إلَيْنَا بِأَمَانٍ فَأَرَادَ الرُّجُوعَ إلَى دَارِ الْحَرْبِ لَمْ نَمْنَعْهُ فَإِنْ أَسْلَمَ الْمُدَبَّرُ قُلْنَا لِلْحَرْبِيِّ: إنْ رَجَعْت فِي تَدْبِيرِك بِعْنَاهُ عَلَيْك وَإِنْ لَمْ تَرْجِعْ خَارَجْنَاهُ لَك وَمَنَعْنَاك خِدْمَتَهُ فَإِنْ خَرَجْت دَفَعْنَاهُ إلَى مَنْ وَكَّلْتَهُ فَإِذَا مِتّ فَهُوَ حُرٌّ وَفِيهِ قَوْلٌ آخَرُ أَنَّهُ يُبَاعُ.

 

 

(Al-Muzani berkata): (Imam Syafi’i berkata): Boleh melakukan tadbir (pembebasan bersyarat) terhadap seorang Nasrani atau harbi (orang kafir yang memerangi Muslim). Jika dia masuk ke wilayah kami dengan jaminan keamanan, lalu ingin kembali ke darul harb (wilayah perang), kami tidak menghalanginya. Jika orang yang ditadbir masuk Islam, kami katakan kepada si harbi: “Jika engkau membatalkan tadbirmu, engkau wajib membayar harganya. Jika tidak, kami akan membebaskannya untukmu dan melarangmu memanfaatkan jasanya. Jika engkau pergi, kami akan menyerahkannya kepada wakilmu. Jika engkau meninggal, dia merdeka.” Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa dia boleh dijual.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) يُبَاعُ أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ؛ لِأَنَّ التَّدْبِيرَ وَصِيَّةٌ فَهُوَ فِي مَعْنَى عَبْدٍ أَوْصَى بِهِ لِرَجُلٍ لَا يَجِبُ لَهُ إلَّا بِمَوْتِ السَّيِّدِ وَهُوَ عَبْدٌ بِحَالِهِ وَلَا يَجُوزُ تَرْكُهُ إذَا أَسْلَمَ فِي مِلْكِ مُشْرِكٍ بَذَلَهُ وَقَدْ صَارَ بِالْإِسْلَامِ عَدُوًّا لَهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dia dijual lebih mirip dengan asalnya karena tadbir adalah wasiat, maka ia seperti budak yang diwasiatkan kepada seseorang yang tidak berhak kecuali setelah kematian tuannya, dan dia tetap sebagai budak. Tidak boleh membiarkannya jika dia masuk Islam dalam kepemilikan musyrik yang memilikinya, karena dengan masuk Islam dia telah menjadi musuh baginya.

 

بَابٌ فِي تَدْبِيرِ الَّذِي يَعْقِلُ وَلَمْ يَبْلُغْ

 

Bab tentang pengaturan bagi orang yang berakal tetapi belum balig

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : مَنْ أَجَازَ وَصِيَّتَهُ أَجَازَ تَدْبِيرَهُ وَلِوَلِيِّهِ بَيْعُ عَبْدِهِ عَلَى النَّظَرِ وَكَذَلِكَ الْمَحْجُورُ عَلَيْهِ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Barangsiapa yang membolehkan wasiatnya, maka boleh pula pengaturan (budaknya), dan bagi walinya boleh menjual budaknya dengan pertimbangan, begitu pula orang yang berada di bawah pengampuan.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْقِيَاسُ عِنْدِي فِي الصَّبِيِّ أَنَّ الْقَلَمَ لَمَّا رُفِعَ عَنْهُ وَلَمْ تَجُزْ هِبَتُهُ وَلَا عِتْقُهُ فِي حَيَاتِهِ أَنَّ وَصِيَّتَهُ لَا تَجُوزُ بَعْدَ وَفَاتِهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ الْبَالِغُ الْمَحْجُورُ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مُكَلَّفٌ وَيُؤْجَرُ عَلَى الطَّاعَةِ وَيَأْثَمُ عَلَى الْمَعْصِيَةِ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Menurut qiyasku mengenai anak kecil, karena pena diangkat darinya (tidak dibebani hukum), hibah dan pembebasan budaknya tidak sah selama hidupnya, maka wasiatnya juga tidak sah setelah kematiannya. Berbeda dengan orang dewasa yang berada di bawah pengampuan, karena ia mukallaf (dibebani hukum), mendapat pahala atas ketaatan dan berdosa atas kemaksiatan.

 

مُخْتَصَرُ الْمُكَاتَبِ

 

Ringkasan Korespondensi

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : قَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا} النور: 33 قَالَ: وَلَا يَكُونُ الِابْتِغَاءُ مِنْ الْأَطْفَالِ وَلَا الْمَجَانِينِ وَلَا تَجُوزُ الْكِتَابَةُ إلَّا عَلَى بَالِغٍ عَاقِلٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Allah Jalla Tsana’uhu berfirman, “Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian (untuk merdeka), maka buatlah perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS. An-Nur: 33). Beliau berkata: “Permintaan (perjanjian) itu tidak boleh dari anak-anak atau orang gila, dan perjanjian tidak diperbolehkan kecuali dengan orang yang sudah baligh dan berakal.”

 

(قَالَ) : وَأَظْهَرُ مَعَانِي الْخَيْرِ فِي الْعَبْدِ بِدَلَالَةِ الْكِتَابِ الِاكْتِسَابُ مَعَ الْأَمَانَةِ فَأُحِبُّ أَنْ لَا يَمْتَنِعَ مِنْ كِتَابَتِهِ إذَا كَانَ هَكَذَا وَمَا جَازَ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْبَيْعِ وَالْإِجَارَةِ جَازَ فِي الْكِتَابَةِ وَمَا رُدَّ فِيهِمَا رُدَّ فِي الْكِتَابَةِ وَلَا تَجُوزُ عَلَى أَقَلَّ مِنْ نَجْمَيْنِ فَإِنْ كَاتَبَهُ عَلَى مِائَةِ دِينَارٍ مَوْصُوفَةِ الْوَزْنِ وَالْعَيْنِ إلَى عَشْرِ سِنِينَ أَوَّلُهَا كَذَا وَآخِرُهَا كَذَا يُؤَدِّي فِي انْقِضَاءِ كُلِّ سَنَةٍ مِنْهَا كَذَا فَجَائِزٌ، وَلَا يُعْتَقُ حَتَّى يَقُولَ فِي الْكِتَابَةِ: فَإِذَا أَدَّيْت كَذَا فَأَنْتَ حُرٌّ أَوْ يَقُولَ بَعْدَ ذَلِكَ: إنَّ قَوْلِي كَاتَبْتُك كَانَ مَعْقُودًا عَلَى أَنَّك إذَا أَدَّيْت فَأَنْتَ حُرٌّ كَمَا لَا يَكُونُ الطَّلَاقُ إلَّا بِصَرِيحٍ أَوْ مَا يُشْبِهُهُ مَعَ النِّيَّةِ وَلَا تَجُوزُ عَلَى الْعَرْضِ حَتَّى يَكُونَ مَوْصُوفًا كَالسَّلَمِ.

 

 

(Dia berkata): “Tanda-tanda kebaikan pada seorang hamba yang paling jelas berdasarkan petunjuk Al-Kitab adalah usaha yang disertai amanah. Maka aku suka jika ia tidak menolak untuk membuat perjanjian kitabah jika kondisinya seperti itu. Apa yang diperbolehkan di antara kaum muslimin dalam jual beli dan sewa-menyewa, maka diperbolehkan pula dalam kitabah. Apa yang ditolak dalam kedua hal itu, maka ditolak pula dalam kitabah. Kitabah tidak sah jika kurang dari dua bintang. Jika seseorang membuat perjanjian kitabah dengan seratus dinar yang telah ditentukan timbangannya dan jenisnya untuk jangka waktu sepuluh tahun, dengan awal tahun sekian dan akhir tahun sekian, lalu ia membayar setiap tahun sekian, maka itu diperbolehkan. Dan budak itu tidak merdeka sampai disebutkan dalam perjanjian kitabah: ‘Jika engkau telah membayar sekian, maka engkau merdeka,’ atau ia mengatakan setelah itu: ‘Sesungguhnya ucapanku ‘aku telah membuat perjanjian kitabah denganmu’ bermakna bahwa jika engkau telah membayar, maka engkau merdeka,’ sebagaimana talak tidak terjadi kecuali dengan ucapan yang jelas atau yang semakna disertai niat. Dan kitabah tidak sah dengan barang (selain emas/perak) kecuali jika barang itu telah ditentukan sifatnya seperti dalam salam.”

 

 

وَلَا بَأْسَ أَنْ يُكَاتِبَهُ عَلَى خِدْمَةِ شَهْرٍ وَدِينَارٍ بَعْدَ الشَّهْرِ وَإِنْ كَاتَبَهُ عَلَى أَنْ يَخْدُمَهُ بَعْدَ الشَّهْرِ لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ قَدْ يَحْدُثُ مَا يَمْنَعُهُ مِنْ الْعَمَلِ بَعْدَ الشَّهْرِ وَلَيْسَ بِمَضْمُونٍ يُكَلَّفُ أَنْ يَأْتِيَ بِمِثْلِهِ فَإِنْ كَاتَبَهُ عَلَى إنْ بَاعَهُ شَيْئًا لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّ الْبَيْعَ يَلْزَمُ بِكُلِّ حَالٍ وَالْكِتَابَةُ لَا تَلْزَمُ مَتَى شَاءَ تَرَكَهَا.

 

 

Tidak mengapa jika seseorang membuat perjanjian kitabah (pembebasan budak dengan tebusan) atas budaknya dengan syarat budak tersebut bekerja selama satu bulan dan membayar satu dinar setelah bulan itu. Namun, jika perjanjian itu mensyaratkan budak harus bekerja setelah bulan tersebut, itu tidak diperbolehkan karena mungkin ada halangan yang mencegahnya bekerja setelah bulan itu, dan itu tidak dijamin bahwa ia bisa memenuhinya. Jika perjanjian itu mensyaratkan budak harus menjual sesuatu, itu juga tidak diperbolehkan karena penjualan mengikat dalam segala keadaan, sedangkan kitabah tidak mengikat dan bisa dibatalkan kapan saja.

 

وَلَوْ كَاتَبَهُ عَلَى مِائَةِ دِينَارٍ يُؤَدِّيهَا إلَيْهِ فِي عَشْرِ سِنِينَ كَانَ النَّجْمُ مَجْهُولًا لَا يَدْرِي أَفِي أَوَّلِهَا أَوْ آخِرِهَا.

 

Dan seandainya dia menulis perjanjian dengan budak itu untuk membayar seratus dinar yang akan dilunasinya dalam sepuluh tahun, maka pembayaran cicilannya tidak diketahui, apakah di awal atau di akhir masa tersebut.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَكَذَا يُؤَدِّي إلَيْهِ فِي كُلِّ سَنَةٍ عَشَرَةً مَجْهُولٌ؛ لِأَنَّهُ لَا يَدْرِي أَفِي أَوَّلِ كُلِّ سَنَةٍ أَوْ آخِرِهَا حَتَّى يَقُولَ فِي انْقِضَاءِ كُلِّ سَنَةٍ عَشَرَةٌ فَتَكُونُ النُّجُومُ مَعْلُومَةً.

 

 

(Al-Muzani berkata) Demikian pula, membayar sepuluh setiap tahun adalah tidak jelas; karena tidak diketahui apakah di awal atau di akhir tahun, hingga dikatakan bahwa setiap tahun berakhir dengan sepuluh, sehingga jumlahnya menjadi jelas.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَاتَبَ ثَلَاثَةً كِتَابَةً وَاحِدَةً عَلَى مِائَةٍ مُنَجَّمَةٍ عَلَى أَنَّهُمْ إذَا أَدَّوْا عَتَقُوا كَانَتْ جَائِزَةً وَالْمِائَةُ مَقْسُومَةً عَلَى قِيمَتِهِمْ يَوْمَ كُوتِبُوا، فَأَيُّهُمْ أَدَّى حِصَّتَهُ عَتَقَ وَأَيُّهُمْ عَجَزَ رُقَّ وَأَيُّهُمْ مَاتَ قَبْلَ أَنْ يُؤَدِّيَ مَاتَ رَقِيقًا كَانَ لَهُ وَلَدٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ. وَلَوْ أَدَّوْا فَقَالَ مَنْ: قَلَّتْ قِيمَتُهُ أَدَّيْنَا عَلَى الْعَدَدِ، وَقَالَ الْآخَرُونَ عَلَى الْقِيَمِ فَهُوَ عَلَى الْعَدَدِ أَثْلَاثًا وَلَوْ أَدَّى أَحَدُهُمْ مِنْ غَيْرِهِ كَانَ لَهُ الرُّجُوعُ فَإِنْ تَطَوَّعَ فَعَتَقُوا لَمْ يَكُنْ لَهُ الرُّجُوعُ فَإِنْ أَدَّى بِإِذْنِهِمْ رَجَعَ عَلَيْهِمْ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يَتَحَمَّلَ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ الْكِتَابَةَ فَإِنْ اشْتَرَطَ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ فَالْكِتَابَةُ فَاسِدَةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seseorang membuat perjanjian pembebasan (mukatabah) dengan tiga budak dalam satu akad untuk seratus dinar yang dibayar secara bertahap, dengan syarat jika mereka melunasi maka mereka merdeka, perjanjian itu sah. Seratus dinar itu dibagi menurut nilai harga mereka pada saat akad. Siapa yang melunasi bagiannya, dia merdeka. Siapa yang tidak mampu, statusnya kembali sebagai budak. Siapa yang meninggal sebelum melunasi, dia mati dalam status budak, baik memiliki anak maupun tidak. Jika mereka melunasi, lalu salah seorang berkata, “Nilainya lebih rendah, kami membayar berdasarkan jumlah (sama rata),” sedangkan yang lain berkata, “Berdasarkan nilai,” maka pembagiannya berdasarkan jumlah (sama rata) sepertiga. Jika salah seorang melunasi untuk yang lain, dia berhak menuntut kembali. Jika dia melunasi secara sukarela sehingga mereka merdeka, dia tidak berhak menuntut kembali. Jika dia melunasi dengan izin mereka, dia boleh menuntut kembali. Tidak boleh sebagian mereka menanggung pembayaran sebagian yang lain dalam perjanjian ini. Jika hal itu disyaratkan kepada mereka, maka perjanjian itu batal.

 

 

وَلَوْ كَاتَبَ عَبْدًا كِتَابَةً فَاسِدَةً فَأَدَّى عَتَقَ وَرَجَعَ السَّيِّدُ عَلَيْهِ بِقِيمَتِهِ يَوْمَ عَتَقَ وَرَجَعَ عَلَى السَّيِّدِ بِمَا دَفَعَ فَأَيُّهُمَا كَانَ لَهُ الْفَضْلُ رَجَعَ بِهِ، فَإِنْ أَبْطَلَ السَّيِّدُ الْكِتَابَةَ وَأَشْهَدَ عَلَى إبْطَالِهَا أَوْ أَبْطَلَهَا الْحَاكِمُ ثُمَّ أَدَّاهَا الْعَبْدُ لَمْ يُعْتَقْ وَالْفَرْقُ بَيْنَ هَذَا وَقَوْلِهِ: إنْ دَخَلْت الدَّارَ فَأَنْتَ حُرٌّ أَنَّ الْيَمِينَ لَا بَيْعَ فِيهَا بِحَالٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ وَالْكِتَابَةُ كَالْبَيْعِ الْفَاسِدِ إذَا فَاتَ رَدَّ قِيمَتَهُ وَإِنْ أَدَّى الْفَاسِدَةَ إلَى الْوَارِثِ لَمْ يُعْتَقْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ الْقَائِلُ إنْ أَدَّيْتهَا فَأَنْتَ حُرٌّ وَلَوْ لَمْ يَمُتْ السَّيِّدُ وَلَكِنَّهُ حُجِرَ عَلَيْهِ أَوْ غُلِبَ عَلَى عَقْلِهِ فَتَأَدَّاهَا مِنْهُ لَمْ يُعْتَقْ وَلَوْ كَانَ الْعَبْدُ مَخْبُولًا عَتَقَ بِأَدَاءِ الْكِتَابَةِ وَلَا يَرْجِعُ أَحَدُهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ بِشَيْءٍ.

 

 

Dan jika seorang tuan membuat perjanjian pembebasan yang rusak dengan budaknya, lalu budak itu membayar (tebusannya), maka budak itu merdeka, dan sang tuan dapat menuntut kembali nilai budak itu pada hari pembebasannya. Budak itu juga dapat menuntut kembali apa yang telah dibayarkannya. Siapa pun di antara mereka yang memiliki kelebihan dapat menuntutnya kembali. Jika sang tuan membatalkan perjanjian itu dan menyaksikan pembatalannya, atau hakim membatalkannya, kemudian budak itu membayar (tebusannya), maka budak itu tidak merdeka. Perbedaan antara kasus ini dengan ucapan “Jika kamu masuk rumah, maka kamu merdeka” adalah bahwa sumpah tidak melibatkan transaksi jual beli sama sekali, sedangkan perjanjian pembebasan seperti jual beli yang rusak—jika tidak dapat dikembalikan, maka nilai (budak) harus dikembalikan. Jika budak membayar (tebusan) perjanjian yang rusak kepada ahli waris, maka dia tidak merdeka, karena bukanlah orang yang mengatakan “Jika kamu membayarnya, maka kamu merdeka.” Sekalipun sang tuan tidak meninggal tetapi dia berada di bawah pengampuan atau kehilangan akalnya, lalu budak membayar (tebusan) kepadanya, maka budak tidak merdeka. Namun, jika budak itu gila, dia merdeka dengan membayar (tebusan) perjanjian pembebasan, dan tidak ada satu pun dari mereka yang dapat menuntut kembali apa pun dari yang lain.

 

 

وَلَوْ كَانَتْ كِتَابَةً صَحِيحَةً فَمَاتَ السَّيِّدُ وَلَهُ وَارِثَانِ فَقَالَ أَحَدُهُمَا: إنَّ أَبَاهُ كَاتَبَهُ وَأَنْكَرَ الْآخَرُ وَحَلَفَ مَا عَلِمَ أَنَّ أَبَاهُ كَاتَبَهُ كَانَ نِصْفُهُ مُكَاتَبًا وَنِصْفُهُ مَمْلُوكًا يَخْدُمُ يَوْمًا وَيُخَلَّى يَوْمًا، وَيَتَأَدَّى مِنْهُ الْمُقِرُّ نِصْفَ كُلِّ نَجْمٍ لَا يَرْجِعُ بِهِ أَخُوهُ عَلَيْهِ، وَإِنْ عَتَقَ لَمْ يُقَوَّمْ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا أَقَرَّ أَنَّهُ عَتَقَ بِشَيْءٍ فَعَلَهُ أَبُوهُ وَإِنْ عَجَزَ رَجَعَ رَقِيقًا بَيْنَهُمَا.

 

 

Dan jika perjanjian pembebasan itu sah, lalu tuan meninggal dengan dua ahli waris, salah satunya berkata, “Ayahnya telah memerdekakannya,” sementara yang lain mengingkari dan bersumpah bahwa ia tidak tahu ayahnya pernah memerdekakannya, maka separuhnya statusnya sebagai mukatab (budak yang sedang menebus diri) dan separuhnya lagi sebagai budak biasa. Ia bekerja sehari dan bebas sehari. Yang mengakui harus membayar separuh setiap angsuran tanpa bisa menuntut saudaranya untuk ikut membayar. Jika ia merdeka, tidak ada penilaian atasnya karena ia hanya mengakui kemerdekaannya akibat tindakan ayahnya. Jika ia gagal membayar, statusnya kembali sebagai budak yang dimiliki bersama.

 

 

وَلَوْ وَرِثَا مُكَاتَبًا فَأَعْتَقَ أَحَدُهُمَا نَصِيبَهُ فَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ نَصِيبِهِ مِنْ الْكِتَابَةِ فَإِنْ أَدَّى إلَى أَخِيهِ نَصِيبَهُ عَتَقَ وَكَانَ الْوَلَاءُ لِلْأَبِ وَإِنْ عَجَزَ قُوِّمَ عَلَيْهِ وَعَتَقَ إنْ كَانَ مُوسِرًا وَوَلَاؤُهُ لَهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَنِصْفُهُ حُرٌّ وَنِصْفُهُ رَقِيقٌ لِأَخِيهِ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ يُعْتَقُ نِصْفُهُ عَجَزَ أَوْ لَمْ يَعْجِزْ وَوَلَاؤُهُ لِلْأَبِ؛ لِأَنَّهُ الَّذِي عَقَدَ كِتَابَتَهُ.

 

 

Jika dua orang mewarisi seorang mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan), lalu salah satunya memerdekakan bagiannya, maka ia terbebas dari bagiannya dalam kitabah (pembayaran). Jika ia membayarkan bagiannya kepada saudaranya, maka budak itu merdeka dan perwaliannya menjadi hak ayah. Namun jika ia tidak mampu, maka dihitung nilai bagiannya. Jika ia mampu, budak itu merdeka dan perwaliannya menjadi miliknya. Jika ia miskin, maka separuhnya merdeka dan separuhnya tetap menjadi budak saudaranya. Dalam riwayat lain disebutkan: separuhnya merdeka, baik ia mampu atau tidak, dan perwaliannya menjadi hak ayah, karena dialah yang mengadakan perjanjian kitabah.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَالْمُكَاتَبُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ دِرْهَمٌ وَإِنْ مَاتَ وَلَهُ مَالٌ حَاضِرٌ وَوَلَدٌ مَاتَ عَبْدًا وَلَا يُعْتَقُ بَعْدَ الْمَوْتِ وَإِنْ جَاءَهُ بِالنَّجْمِ فَقَالَ السَّيِّدُ: هُوَ حَرَامٌ أَجْبَرْت السَّيِّدَ عَلَى أَخْذِهِ أَوْ يُبَرِّئُهُ مِنْهُ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَتَزَوَّجَ إلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ وَلَا يَتَسَرَّى بِحَالٍ فَإِنْ وَلَدَتْ مِنْهُ أَمَتُهُ بَعْدَ عِتْقِهِ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ كَانَتْ فِي حُكْمِ أُمِّ وَلَدِهِ وَإِنْ وَضَعَتْ لِأَقَلَّ فَلَا تَكُونُ أُمَّ وَلَدٍ إلَّا بِوَطْءٍ بَعْدَ الْعِتْقِ وَلَهُ بَيْعُهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan seorang mukatab (budak yang sedang dalam proses pembebasan) tetap berstatus budak selama masih tersisa satu dirham (yang harus dibayar). Jika ia meninggal sementara masih memiliki harta yang ada dan anak, ia tetap mati dalam status budak dan tidak bisa dibebaskan setelah kematian. Jika ia datang dengan membayar cicilan, lalu tuannya mengatakan, “Ini haram,” maka tuannya boleh dipaksa untuk menerimanya atau membebaskannya dari kewajiban tersebut. Seorang mukatab tidak boleh menikah tanpa izin tuannya dan sama sekali tidak boleh memiliki budak perempuan (untuk hubungan). Jika budak perempuannya melahirkan darinya setelah enam bulan sejak pembebasannya, maka budak tersebut dihukumi sebagai ummu walad (ibu dari anak tuannya). Namun jika melahirkan dalam waktu kurang dari itu, ia tidak menjadi ummu walad kecuali jika hubungan terjadi setelah pembebasan. Dan ia (mukatab) boleh menjualnya (budak perempuan tersebut).

 

 

(قَالَ) : وَيُجْبَرُ السَّيِّدُ عَلَى أَنْ يَضَعَ مِنْ كِتَابَتِهِ شَيْئًا لِقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ {وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ} النور: 33 وَهَذَا عِنْدِي مِثْلُ قَوْلِهِ {وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ} البقرة: 241 وَاحْتَجَّ بِابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَاتَبَ عَبْدًا لَهُ بِخَمْسَةٍ وَثَلَاثِينَ أَلْفًا وَوَضَعَ عَنْهُ خَمْسَةَ آلَافٍ أَحْسِبُهُ قَالَ مِنْ آخِرِ نُجُومِهِ.

 

 

Beliau berkata: “Seorang tuan boleh dipaksa untuk mengurangi sebagian dari perjanjian pembebasan budaknya, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla, ‘Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia karuniakan kepadamu.’ (QS. An-Nur: 33). Menurutku, ini seperti firman-Nya, ‘Dan bagi para wanita yang dicerai hendaknya diberi mut’ah (pemberian) secara ma’ruf.’ (QS. Al-Baqarah: 241). Dia juga berargumen dengan perbuatan Ibnu Umar yang pernah membuat perjanjian pembebasan dengan budaknya sebesar tiga puluh lima ribu (dirham), lalu mengurangi lima ribu darinya—aku kira dia berkata, ‘Dari bagian terakhir pembayarannya.'”

 

وَلَوْ مَاتَ السَّيِّدُ وَقَدْ قَبَضَ جَمِيعَ الْكِتَابَةِ حَاصَّ الْمُكَاتَبُ بِاَلَّذِي لَهُ أَهْلَ الدَّيْنِ وَالْوَصَايَا.

 

Dan jika tuan meninggal sementara ia telah menerima seluruh pembayaran, maka mukatab merdeka dengan haknya, sedangkan ahli waris dan wasiat-wasiat berhak atas sisanya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) يَلْزَمُهُ أَنْ يُقَدِّمَهُ عَلَى الْوَصَايَا عَلَى أَصْلِ قَوْلِهِ.

 

(Al-Muzani berkata) Ia wajib mendahulukannya atas wasiat-wasiat berdasarkan prinsip ucapannya.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَيْسَ لِوَلِيِّ الْيَتِيمِ أَنْ يُكَاتِبَ عَبْدَهُ بِحَالٍ؛ لِأَنَّهُ لَا نَظَرَ فِي ذَلِكَ وَلَوْ اخْتَلَفَ السَّيِّدُ وَالْمُكَاتَبُ تَحَالَفَا وَتَرَادَّا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Wali yatim tidak boleh memerdekakan budaknya dengan cara mukatabah dalam keadaan apapun, karena ia tidak memiliki kepentingan dalam hal itu. Jika terjadi perselisihan antara tuan dan budak mukatab, maka keduanya bersumpah dan saling mengembalikan (hak masing-masing).”

 

 

وَلَوْ مَاتَ الْعَبْدُ فَقَالَ سَيِّدُهُ: قَدْ أَدَّى إلَيَّ كِتَابَتَهُ وَجَرَّ إلَيَّ وَلَاءَ وَلَدُهُ مِنْ حُرَّةٍ وَأَنْكَرَ مَوَالِي الْحُرَّةِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ مَوَالِي الْحُرَّةِ.

 

 

Dan jika seorang budak meninggal, lalu tuannya berkata, “Dia telah menunaikan kitabah (perjanjian pembebasan dirinya) kepadaku dan menarik perwalian anaknya yang lahir dari wanita merdeka kepadaku,” sementara wali-wali wanita merdeka tersebut mengingkarinya, maka perkataan yang diakui adalah perkataan wali-wali wanita merdeka tersebut.

 

 

قَالَ وَلَوْ قَالَ: قَدْ اسْتَوْفَيْت مَالِي عَلَى أَحَدِ مُكَاتَبَيْ أَقْرَعَ بَيْنَهُمَا فَأَيُّهُمَا خَرَجَ لَهُ الْعِتْقُ عَتَقَ وَالْآخَرُ عَلَى نُجُومِهِ وَالْمُكَاتَبُ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ دِرْهَمٌ فَإِنْ مَاتَ وَعِنْدَهُ وَفَاءٌ فَهُوَ وَمَالُهُ لِسَيِّدِهِ وَكَيْفَ يَمُوتُ عَبْدًا ثُمَّ يَصِيرُ بِالْأَدَاءِ بَعْدَ الْمَوْتِ حُرًّا وَإِذَا كَانَ لَا يُعْتَقُ فِي حَيَاتِهِ إلَّا بَعْدَ الْأَدَاءِ فَكَيْفَ يَصِحُّ عِتْقُهُ إذَا مَاتَ قَبْلَ الْأَدَاءِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia mengatakan, ‘Aku telah menerima seluruh hartaku dari salah satu dari dua budak mukatab,’ maka diadakan undian di antara keduanya. Siapa yang keluar namanya untuk dimerdekakan, maka dia merdeka, sedangkan yang lain tetap pada pembayaran cicilannya. Seorang budak mukatab tetap berstatus budak selama masih tersisa satu dirham yang harus dibayarnya. Jika dia meninggal dan memiliki harta yang cukup untuk melunasi, maka dia dan hartanya kembali kepada tuannya. Bagaimana mungkin dia mati dalam status budak, kemudian menjadi merdeka setelah kematiannya dengan pelunasan? Sedangkan selama hidupnya dia tidak bisa merdeka kecuali setelah melunasi, maka bagaimana sah kemerdekaannya jika dia mati sebelum melunasi?”

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ أَدَّى كِتَابَتَهُ فَعَتَقَ وَكَانَتْ عَرَضًا فَأَصَابَ بِهِ السَّيِّدُ عَيْبًا رَدَّهُ وَرَدَّ الْعِتْقَ (قَالَ) : وَلَوْ فَاتَ الْمَعِيبُ قِيلَ لَهُ: إنْ جِئْت بِنُقْصَانِ الْعَيْبِ وَإِلَّا فَلِسَيِّدِك تَعْجِيزُك كَمَا لَوْ دَفَعْت دَنَانِيرَ نَقْصًا لَمْ تُعْتَقْ إلَّا بِدَفْعِ نُقْصَانِ دَنَانِيرِك. وَلَوْ ادَّعَى أَنَّهُ دَفَعَ أُنْظِرُ يَوْمًا وَأَكْثَرُهُ ثَلَاثٌ فَإِنْ جَاءَ بِشَاهِدٍ حَلَفَ وَبَرِئَ وَلَوْ عَجَزَ أَوْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دُيُونٌ بُدِئَ بِهَا عَلَى السَّيِّدِ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya dia membayar kitabahnya lalu merdeka, dan itu berupa barang, kemudian tuannya menemukan cacat padanya, maka dia boleh mengembalikannya dan membatalkan kemerdekaan.” Beliau berkata: “Jika barang yang cacat itu sudah tidak ada, dikatakan kepadanya: ‘Jika kamu bisa menutupi kekurangan cacat itu, jika tidak, maka ketidakmampuanmu menjadi hak tuanmu, sebagaimana jika kamu membayar dinar yang kurang, kamu tidak merdeka kecuali dengan menutupi kekurangan dinar itu.’ Jika dia mengaku telah membayar, dia diberi tenggat sehari dan maksimal tiga hari. Jika dia bisa mendatangkan saksi, dia bisa bersumpah dan bebas. Jika dia tidak mampu atau meninggal sementara memiliki utang, maka utang itu didahulukan atas tuannya.”

 

كِتَابَةُ بَعْضِ عَبْدٍ وَالشَّرِيكَانِ فِي الْعَبْدِ يُكَاتِبَانِهِ أَوْ أَحَدُهُمَا

 

Perjanjian pembebasan sebagian budak dan dua mitra dalam budak yang membuat perjanjian pembebasan bersamanya atau salah satu dari mereka

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : لَا يَجُوزُ أَنْ يُكَاتَبَ بَعْضَ عَبْدٍ إلَّا أَنْ يَكُونَ بَاقِيهِ حُرًّا وَلَا بَعْضًا مِنْ عَبْدٍ بَيْنَهُ وَبَيْنَ شَرِيكِهِ، وَإِنْ كَانَ بِإِذْنِ الشَّرِيكِ؛ لِأَنَّ الْمُكَاتَبَ لَا يُمْنَعُ مِنْ السَّفَرِ وَالِاكْتِسَابِ وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُكَاتِبَاهُ مَعًا حَتَّى يَكُونَا فِيهِ سَوَاءٌ، وَقَالَ فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ وَإِذَا أَذِنَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ أَنْ يُكَاتِبَهُ فَالْكِتَابَةُ جَائِزَةٌ وَلِلَّذِي لَمْ يُكَاتِبْهُ أَنْ يَخْتَدِمَهُ يَوْمًا وَيُخَلِّيَ وَالْكَسْبَ يَوْمًا فَإِنْ أَبْرَأَهُ مِمَّا عَلَيْهِ كَانَ نَصِيبُهُ حُرًّا وَقُوِّمَ عَلَيْهِ الْبَاقِي وَعَتَقَ إنْ كَانَ مُوسِرًا وَرُقَّ إنْ كَانَ مُعْسِرًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Tidak boleh memerdekakan sebagian budak kecuali jika sisanya sudah merdeka, dan tidak boleh memerdekakan sebagian budak yang dimiliki bersama antara dia dan rekannya, meskipun dengan izin rekannya. Karena budak yang sedang dalam proses merdeka tidak boleh dilarang bepergian dan bekerja. Juga tidak boleh kedua pemilik memerdekakannya bersama-sama kecuali jika keduanya memiliki bagian yang sama. Dalam kitab Al-Imla’ kepada Muhammad bin Al-Hasan, beliau berkata: Jika salah satu pemilik mengizinkan rekannya untuk memerdekakan budak tersebut, maka perjanjian merdeka itu boleh dilakukan. Pemilik yang tidak memerdekakan berhak mempekerjakannya sehari dan membebaskannya bekerja sehari. Jika dia membebaskan dari kewajibannya, maka bagiannya menjadi merdeka, dan sisanya dinilai. Jika budak itu mampu, dia merdeka; jika tidak mampu, dia tetap sebagai budak.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْأَوَّلُ بِقَوْلِهِ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُ زَعَمَ لَوْ كَانَتْ كِتَابَتُهُمَا فِيهِ سَوَاءً فَعَجَزَهُ أَحَدُهُمَا فَأَنْظَرَهُ الْآخَرُ فُسِخَتْ الْكِتَابَةُ بَعْدَ ثُبُوتِهَا حَتَّى يَجْتَمِعَا عَلَى الْإِقَامَةِ عَلَيْهَا فَالِابْتِدَاءُ بِذَلِكَ أَوْلَى.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat pertama lebih utama; karena ia berpendapat seandainya perjanjian keduanya dalam hal ini setara, lalu salah satunya tidak mampu memenuhinya sedangkan yang lain memberinya tenggat waktu, maka perjanjian itu dibatalkan setelah sebelumnya tetap, hingga keduanya sepakat untuk melanjutkannya. Maka memulai dengan hal itu lebih utama.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَلَا يَخْلُو مِنْ أَنْ تَكُونَ كِتَابَةُ نَصِيبِهِ جَائِزَةً كَبَيْعِهِ إيَّاهُ فَلَا مَعْنَى لِإِذْنِ شَرِيكِهِ أَوْ لَا تَجُوزُ فَلِمَ جَوَّزَهُ بِإِذْنِ مَنْ لَا يَمْلِكُهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Tidak terlepas dari dua kemungkinan: penulisan bagiannya sah seperti menjualnya, maka tidak ada artinya izin dari rekannya; atau tidak sah, lalu mengapa dia membolehkannya dengan izin orang yang tidak memilikinya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَاتَبَاهُ جَمِيعًا بِمَا يَجُوزُ فَقَالَ: دَفَعْت إلَيْكُمَا مُكَاتَبَتِي وَهِيَ أَلْفٌ فَصَدَّقَهُ أَحَدُهُمَا وَكَذَّبَهُ الْآخَرُ رَجَعَ الْمُنْكِرُ عَلَى شَرِيكِهِ بِنِصْفِ مَا أَقَرَّ بِقَبْضِهِ وَلَمْ يَرْجِعْ الشَّرِيكُ عَلَى الْعَبْدِ بِشَيْءٍ وَيُعْتِقُ نَصِيبَ الْمُقِرِّ فَإِنْ أَدَّى إلَى الْمُنْكِرِ تَمَامَ حَقِّهِ عَتَقَ وَإِنْ عَجَزَ رُقَّ نِصْفُهُ وَالنِّصْفُ الْآخَرُ حُرٌّ، وَلَوْ أَذِنَ أَحَدُهُمَا لِشَرِيكِهِ أَنْ يَقْبِضَ نَصِيبَهُ فَقَبَضَهُ ثُمَّ عَجَزَ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا يُعْتَقُ نَصِيبُهُ مِنْهُ وَلَا يَرْجِعُ شَرِيكُهُ وَيُقَوَّمُ عَلَيْهِ الْبَاقِي إنْ كَانَ مُوسِرًا وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَجَمِيعُ مَا فِي يَدَيْهِ لِلَّذِي بَقِيَ لَهُ فِيهِ الرِّقُّ؛ لِأَنَّهُ يَأْخُذُهُ بِمَا بَقِيَ لَهُ مِنْ الْكِتَابَةِ فَإِنْ كَانَ فِيهِ وَفَاءُ عِتْقٍ وَإِلَّا عَجَزَ بِالْبَاقِي، وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ الْعَجْزِ فَمَا فِي يَدَيْهِ بَيْنَهُمَا نِصْفَانِ يَرِثُ أَحَدُهُمَا بِقَدْرِ الْحُرِّيَّةِ وَالْآخَرُ بِقَدْرِ الْعُبُودِيَّةِ. وَالْقَوْلُ الثَّانِي لَا يُعْتَقُ وَيَكُونُ لِشَرِيكِهِ أَنْ يَرْجِعَ عَلَيْهِ فَيُشْرِكَهُ فِيمَا قَبَضَهُ؛ لِأَنَّهُ أَذِنَ لَهُ بِهِ وَهُوَ لَا يَمْلِكُهُ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika dua orang bersama-sama membuat perjanjian mukatabah yang sah, lalu budak itu berkata, “Aku telah menyerahkan uang mukatabahku sebesar seribu kepada kalian berdua,” lalu salah satu pemilik membenarkannya dan yang lain mendustakannya, maka yang mendustakan berhak menuntut separuh dari yang diakui telah diterima kepada rekannya, sementara rekannya tidak boleh menuntut budak tersebut. Bagian pemilik yang mengakui dibebaskan. Jika budak itu melunasi hak pemilik yang mendustakan, ia merdeka. Jika tidak mampu, separuhnya tetap budak dan separuhnya merdeka. Jika salah satu pemilik mengizinkan rekannya menerima bagiannya, lalu ia menerimanya kemudian budak itu tidak mampu, ada dua pendapat: Pertama, bagian pemilik yang mengizinkan dibebaskan, rekannya tidak boleh menuntut, dan sisanya dinilai jika budak itu mampu. Jika tidak mampu, semua yang ada padanya menjadi milik pemilik yang masih berhak atas perbudakan, karena ia mengambilnya berdasarkan sisa perjanjian. Jika cukup untuk pembebasan, ia merdeka; jika tidak, ia tetap budak untuk sisa bagian. Jika budak itu meninggal setelah tidak mampu, harta yang ada dibagi dua: satu pihak mewarisi sesuai bagian kebebasan, lainnya sesuai bagian perbudakan. Pendapat kedua: tidak dibebaskan, dan rekannya berhak menuntut untuk membagi apa yang telah diterima, karena izin diberikan padahal ia tidak memilikinya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ: إنَّ الْمُكَاتَبَ عَبْدٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ دِرْهَمٌ وَمَا فِي يَدَيْهِ مَوْقُوفٌ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ دِرْهَمٌ فَلَيْسَ مَعْنَاهُ فِيمَا أَذِنَ لَهُ بِقَبْضِهِ إلَّا بِمَعْنَى اسْبِقْنِي بِقَبْضِ النِّصْفِ حَتَّى أَسْتَوْفِيَ مِثْلَهُ فَلَيْسَ يَسْتَحِقُّ بِالسَّبْقِ مَا لَيْسَ لَهُ كَأَنَّهُ وَزَنَ لِأَحَدِهِمَا قَبْلَ الْآخَرِ، قَالَ فِي كِتَابِ الْإِمْلَاءِ عَلَى كِتَابِ مَالِكٍ: إنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ وَيُعْتِقُ نَصِيبَهُ وَالْبَاقِي عَلَى كِتَابَتِهِ فَإِنْ أَدَّى فَالْوَلَاءُ بَيْنَهَا وَإِنْ عَجَزَ قُوِّمَ عَلَى الْمُعْتَقِ إنْ كَانَ مُوسِرًا وَرُقَّ إنْ كَانَ مُعْسِرًا.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini lebih mirip dengan ucapannya: Sesungguhnya mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) tetap sebagai budak selama masih ada satu dirham yang tersisa (untuk dibayar), dan apa yang ada di tangannya tertahan selama masih ada satu dirham tersisa. Maksudnya dalam hal apa yang diizinkan untuk dipegangnya hanyalah dalam artiizinkan aku mengambil setengahnya terlebih dahulu hingga aku mendapatkan bagian yang sama. Maka, ia tidak berhak mendapatkan apa yang bukan haknya hanya karena lebih dulu, seolah-olah ia menimbang untuk salah satu dari mereka sebelum yang lain. Dia berkata dalam kitab Al-Imla’ atas kitab Malik: Sesungguhnya hal itu diperbolehkan, dan dia memerdekakan bagiannya, sedangkan sisanya tetap dalam perjanjian kitabah. Jika dia melunasi, maka perwalian dibagi antara mereka. Jika dia tidak mampu, maka dinilai atas yang memerdekakan jika dia mampu, dan tetap sebagai budak jika dia tidak mampu.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَالَ: وَلَوْ أَعْتَقَهُ أَحَدُهُمَا قُوِّمَ عَلَيْهِ الْبَاقِي إنْ كَانَ مُوسِرًا وَعَتَقَ كُلُّهُ وَإِلَّا كَانَ الْبَاقِي مُكَاتَبًا وَكَذَلِكَ لَوْ أَبْرَأَهُ كَانَ كَعِتْقِهِ إيَّاهُ.

 

 

(Al-Muzani) berkata: “Jika salah satu dari mereka memerdekakannya, maka sisanya dinilai atasnya jika dia mampu, lalu seluruhnya merdeka. Jika tidak, sisanya menjadi mukatab. Demikian pula jika dia membebaskannya, itu seperti memerdekakannya.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) فَهَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ وَأَوْلَى بِأَصْلِهِ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzanni berkata) Ini lebih mirip dengan ucapannya dan lebih sesuai dengan dasarnya, dan hanya kepada Allah pertolongan.

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ مَاتَ سَيِّدُ الْمُكَاتَبِ فَأَبْرَأَهُ بَعْضُ الْوَرَثَةِ مِنْ حِصَّتِهِ عَتَقَ نَصِيبُهُ عَجَزَ أَوْ لَمْ يَعْجِزْ وَوَلَاؤُهُ لِلَّذِي كَاتَبَهُ وَلَا أُقَوِّمُ عَلَيْهِ وَالْوَلَاءُ لِغَيْرِهِ وَأَعْتَقَهُ عَلَيْهِ بِسَبَبِ رَقِّهِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ رِقٌّ فَعَجَزَ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا هَذَا وَالْآخَرُ يُقَوَّمُ عَلَيْهِ إذَا عَجَزَ وَكَانَ لَهُ وَلَاؤُهُ كُلُّهُ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ الْأُولَى بَطَلَتْ وَأَعْتَقَ هَذَا مِلْكَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya tuan seorang mukatab meninggal, lalu sebagian ahli waris membebaskannya dari bagiannya, maka bagiannya merdeka baik dia tidak mampu atau mampu. Perwaliannya tetap milik yang memukatabnya, dan aku tidak menetapkan kewajiban atasnya. Perwalian itu milik selainnya, dan dia memerdekakannya karena masih ada unsur perbudakan padanya. Sebab, jika tidak ada unsur perbudakan padanya lalu dia tidak mampu, maka perwalian tidak menjadi miliknya. Dalam kesempatan lain, beliau berkata: Dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya seperti ini, dan yang lain menetapkan kewajiban atasnya jika dia tidak mampu, serta perwalian seluruhnya menjadi miliknya. Karena perjanjian pertama telah batal, dan ini memerdekakan miliknya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الْأَوَّلُ بِمَعْنَاهُ أَشْبَهُ بِأَصْلِهِ إذْ زَعَمَ أَنَّهُ إذَا أَبْرَأَهُ مِنْ قَدْرِ حَقِّهِ مِنْ دَرَاهِمِ الْكِتَابَةِ عَتَقَ نَصِيبُهُ بِمَعْنَى عَقْدِ الْأَبِ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُزِيلَ مَا ثَبَتَ، وَإِذْ زَعَمَ أَنَّهُ إنْ عَجَزَ فِيهِ فَقَدْ بَطَلَتْ الْكِتَابَةُ الْأُولَى فَيَنْبَغِي أَنْ يُبْطِلَ عِتْقَ النَّصِيبِ بِالْإِبْرَاءِ مِنْ قَدْرِ النَّصِيبِ؛ لِأَنَّ الْأَبَ لَمْ يُعْتِقْهُ إلَّا بِأَدَاءِ الْجَمِيعِ فَكَأَنَّ الْأَبَ أَبْرَأَهُ مِنْ جَمِيعِ الْكِتَابَةِ وَلَا عِتْقَ بِإِبْرَائِهِ مِنْ بَعْضِ الْكِتَابَةِ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: “Pendapat pertama lebih sesuai dengan makna aslinya karena ia beranggapan bahwa jika seseorang membebaskan budak dari jumlah haknya dalam dirham-dirham kitabah, maka bagiannya merdeka berdasarkan makna perjanjian ayah. Tidak boleh menghilangkan sesuatu yang telah tetap. Dan jika ia beranggapan bahwa jika budak tersebut tidak mampu, maka kitabah pertama batal. Oleh karena itu, seharusnya pembebasan bagian tersebut dibatalkan dengan pembebasan dari jumlah bagiannya, karena ayah hanya memerdekakannya dengan melunasi seluruhnya. Seolah-olah ayah membebaskannya dari seluruh kitabah, dan tidak ada kemerdekaan dengan pembebasan sebagian dari kitabah.”

 

بَابٌ فِي وَلَدِ الْمُكَاتَبَةِ

 

Bab tentang anak budak yang sedang dalam proses merdeka

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَلَدُ الْمُكَاتَبَةِ مَوْقُوفٌ فَإِذَا أَدَّتْ فَعَتَقَتْ عَتَقُوا وَإِنْ عَجَزَتْ أَوْ مَاتَتْ قَبْلَ الْأَدَاءِ رُقُّوا، فَإِنْ جَنَى عَلَى وَلَدِهَا فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ لِلسَّيِّدِ قِيمَتَهُ وَمَا كَانَ لَهُ؛ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَمْلِكُ وَلَدَهَا وَيُؤْخَذُ السَّيِّدُ بِنَفَقَتِهِ وَإِنْ اكْتَسَبَ أَنْفَقَ عَلَيْهِ مِنْهُ وَوَقَفَ الْبَاقِي وَلَمْ يَكُنْ لِلسَّيِّدِ أَخْذُهُ فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ عِتْقِ أُمِّهِ كَانَ لِسَيِّدِهِ وَإِنْ عَتَقَ بِعِتْقِهَا كَانَ مَالُهُ لَهُ وَإِنْ أَعْتَقَهُ السَّيِّدُ جَازَ عِتْقُهُ وَإِنْ أَعْتَقَ ابْنَ الْمُكَاتَبِ مِنْ أَمَتِهِ لَمْ يَجُزْ عِتْقُهُ وَإِنَّمَا فَرَّقْت بَيْنَهُمَا؛ لِأَنَّ الْمُكَاتَبَةَ لَا تَمْلِكُ وَلَدَهَا وَإِنَّمَا حُكْمُهُ حُكْمُهَا وَالْمُكَاتَبُ يَمْلِكُ وَلَدَهُ مِنْ أَمَتِهِ لَوْ كَانَ يَجْرِي عَلَيْهِ رِقٌّ، وَالْقَوْلُ الثَّانِي أَنَّ أُمَّهُمْ أَحَقُّ بِمَا مَلَكُوا تَسْتَعِينُ بِهِ؛ لِأَنَّهُمْ يُعْتَقُونَ بِعِتْقِهَا وَالْأَوَّلُ أَشْبَهُهُمَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Anak dari seorang mukatabah (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) statusnya tertunda. Jika ibunya menyelesaikan pembayaran dan merdeka, maka mereka pun merdeka. Namun jika ibunya gagal atau meninggal sebelum menyelesaikan pembayaran, mereka kembali menjadi budak. Jika anaknya melakukan tindakan merugikan, ada dua pendapat: Pertama, tuannya berhak mendapatkan nilai (ganti rugi) dan apa yang dimiliki anak itu, karena seorang wanita tidak memiliki hak atas anaknya. Tuannya juga bertanggung jawab atas nafkahnya. Jika anak itu bekerja, nafkahnya diambil dari hasil kerjanya, sisanya disimpan, dan tuannya tidak boleh mengambilnya. Jika anak itu meninggal sebelum ibunya merdeka, hartanya menjadi milik tuannya. Jika ia merdeka karena kemerdekaan ibunya, hartanya menjadi miliknya. Jika tuannya memerdekakannya, maka itu sah. Namun jika seorang mukatab memerdekakan anaknya dari budak perempuannya, itu tidak sah. Perbedaan ini karena mukatabah tidak memiliki hak atas anaknya, status anak mengikuti ibunya, sedangkan seorang mukatab (laki-laki) memiliki hak atas anaknya dari budak perempuannya jika status perbudakan masih berlaku. Pendapat kedua menyatakan bahwa ibu mereka lebih berhak atas apa yang dimiliki anak-anaknya untuk membantunya, karena mereka merdeka dengan kemerdekaannya. Pendapat pertama lebih tepat.”

(Al-Muzani berkata) yang lain lebih mirip dengan perkataannya: Jika mereka dimerdekakan dengan dimerdekakannya dia (wanita), maka mereka lebih berhak dengan hukumnya. Dan di antara yang menguatkan hal itu juga adalah perkataannya: Seandainya dia (laki-laki) menyetubuhi anak perempuan atau ibunya yang sedang dalam proses dimerdekakan, maka dia wajib membayar mahar semisalnya. Dan di sini dia memutuskan sesuai dengan apa yang telah aku sebutkan mengenai makna anaknya.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْآخَرُ أَشْبَهُهُمَا بِقَوْلِهِ: إذَا كَانُوا يُعْتَقُونَ بِعِتْقِهَا فَهُمْ أَوْلَى بِحُكْمِهَا. وَمِمَّا يُثْبِتُ ذَلِكَ أَيْضًا قَوْلُهُ: لَوْ وَطِئَ ابْنَةَ مُكَاتَبَتِهِ أَوْ أُمَّهَا كَانَ عَلَيْهِ مَهْرُ مِثْلِهَا وَهُنَا يَقْضِي لِمَا وَصَفْت مِنْ مَعْنَى وَلَدِهَا.

(Asy-Syafi’i berkata): Dia dilarang mencampuri budak mukatabnya. Jika dia mencampurinya dalam keadaan rela, maka tidak ada had dan keduanya diberi hukuman ta’zir. Jika dia memaksanya, maka budak itu berhak mendapatkan mahar seperti wanita yang setara dengannya.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَيُعَزَّرُ فِي قِيَاسِ قَوْلِهِ.

 

(Al-Muzani berkata) Dan dia dihukum ta’zir berdasarkan qiyas dari perkataannya.

(Asy-Syafi’i berkata): “Jika mereka berselisih tentang anaknya, lalu sang budak perempuan berkata, ‘Aku melahirkan setelah perjanjian pembebasan,’ dan sang tuan berkata, ‘Tidak, sebelum itu,’ maka perkataan sang tuan yang diterima dengan disertai sumpahnya. Dan jika mereka berselisih tentang anak sang mukatab (budak yang sedang dalam proses pembebasan) dari budak perempuannya, maka perkataan sang mukatab yang diterima.”

 

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ اخْتَلَفَا فِي وَلَدِهَا فَقَالَتْ: وَلَدْت بَعْدَ الْكِتَابَةِ وَقَالَ السَّيِّدُ: بَلْ قَبْلُ – فَالْقَوْلُ قَوْلُهُ مَعَ يَمِينِهِ. وَإِنْ اخْتَلَفَا فِي وَلَدِ الْمُكَاتَبِ مِنْ أَمَتِهِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْمُكَاتَبِ.

 

بَابُ الْمُكَاتَبَةِ بَيْنَ اثْنَيْنِ يَطَؤُهَا أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا

 

Bab tentang perjanjian antara dua orang yang salah satunya atau keduanya menidurinya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا وَطِئَهَا أَحَدُهُمَا فَلَمْ تَحْبَلْ فَلَهَا مَهْرُ مِثْلِهَا يُدْفَعُ إلَيْهَا فَإِنْ عَجَزَتْ قَبْلَ دَفْعِهِ كَانَ لِلَّذِي لَمْ يَطَأْهَا نِصْفُهُ مِنْ شَرِيكِهِ، فَإِنْ حَبِلَتْ وَلَمْ تَدَّعِ الِاسْتِبْرَاءَ فَاخْتَارَتْ الْعَجْزَ أَوْ مَاتَ الْوَاطِئُ فَإِنَّ لِلَّذِي لَمْ يَطَأْ نِصْفَ الْمَهْرِ وَنِصْفُ قِيمَتِهَا عَلَى الْوَاطِئِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan jika salah seorang dari mereka mencampurinya lalu ia tidak hamil, maka ia berhak mendapatkan mahar seperti wanita semisalnya yang harus diberikan kepadanya. Jika ia mandul sebelum pembayarannya, maka separuh mahar itu menjadi hak pihak yang belum mencampurinya dari rekannya. Jika ia hamil dan tidak menuntut masa istibra’, lalu memilih kemandulan atau pihak yang mencampuri meninggal, maka pihak yang belum mencampuri berhak separuh mahar dan separuh nilai dirinya menjadi tanggungan pihak yang mencampuri.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَيَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ حُرَّةً بِمَوْتِهِ.

 

(Al-Muzani berkata) “Dan seharusnya dia menjadi merdeka dengan kematiannya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ وَطِئَاهَا فَعَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مَهْرُ مِثْلِهَا فَإِنْ عَجَزَتْ تَقَاصَّا الْمَهْرَيْنِ فَإِنْ كَانَتْ حَبِلَتْ فَجَاءَتْ بِوَلَدٍ لِأَقَلَّ مِنْ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ وَطْءِ الثَّانِي وَلَمْ يَسْتَبْرِئْهَا الْأَوَّلُ فَهُوَ وَلَدُهُ وَعَلَيْهِ نِصْفُ قِيمَتِهَا وَنِصْفُ مَهْرِهَا، وَفِي نِصْفِ قِيمَةِ وَلَدِهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: يَغْرَمُهُ. وَالْآخَرُ: لَا غُرْمَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّ الْعِتْقَ وَجَبَ بِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika keduanya (dua orang laki-laki) menyetubuhinya (seorang budak perempuan), maka masing-masing dari mereka wajib membayar mahar seperti maharnya. Jika budak perempuan itu tidak mampu (membayar), maka kedua mahar itu dikompensasikan. Jika budak perempuan itu hamil lalu melahirkan anak kurang dari enam bulan sejak persetubuhan yang kedua, sedangkan yang pertama tidak melakukan istibra’ (menunggu satu haid), maka anak itu adalah anaknya (orang pertama) dan dia wajib membayar setengah nilai budak perempuan itu dan setengah maharnya. Ada dua pendapat mengenai setengah nilai anaknya: pertama, dia harus membayarnya; kedua, tidak ada kewajiban membayar karena status merdeka telah ditetapkan karenanya.

(Al-Muzani berkata) Qiyas menurut mazhabnya adalah bahwa dia hanya wajib membayar setengah nilai budak perempuan itu, bukan setengah nilai anaknya, karena dengan kehamilannya dia menjadi umm walad.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْقِيَاسُ عَلَى مَذْهَبِهِ أَنْ لَيْسَ عَلَيْهِ إلَّا نِصْفُ قِيمَتِهَا دُونَ نِصْفِ قِيمَةِ الْوَلَدِ؛ لِأَنَّهَا بِالْحَبَلِ صَارَتْ أُمَّ وَلَدٍ.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فِي الْوَاطِئِ الْآخَرِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: يَغْرَمُ نِصْفَ مَهْرِهَا؛ لِأَنَّهَا لَا تَكُونُ أُمَّ وَلَدٍ لِلْحَمْلِ إلَّا بَعْدَ أَدَاءِ نِصْفِ الْقِيمَةِ. وَالْآخَرُ: جَمِيعَ مَهْرِ مِثْلِهَا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Dalam kasus orang yang berhubungan dengan budak perempuan milik orang lain, ada dua pendapat. Pertama, dia harus membayar setengah maharnya karena budak perempuan itu tidak menjadi ummu walad (ibu dari anak yang membebaskannya) kecuali setelah membayar setengah nilainya. Kedua, dia harus membayar seluruh mahar perempuan yang setara dengannya.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) Ini lebih sahih; karena dia telah menyetubuhi umm walad milik tuannya.

(Asy-Syafi’i berkata): “Seandainya seorang budak perempuan melahirkan anak setelah lebih dari enam bulan dari persetubuhan salah satu dari dua orang laki-laki (yang menggaulinya), baik keduanya mengakuinya atau salah satunya, dan dia tidak mengklaim masa istibra’, maka dia menjadi ummu walad bagi salah satu dari mereka. Jika tidak bisa ditentukan, maka diambil nafkahnya dan didatangkan ahli qafah (pengenal garis keturunan). Anak itu akan dinasabkan kepada siapa pun yang mereka anggap sesuai. Jika mereka menasabkannya kepada keduanya, maka anak itu bukan anak salah satu dari mereka hingga dia dewasa dan memilih nasab salah satunya, lalu terputuslah hubungan bapak yang lain. Dia wajib membayar separuh nilai budak perempuan itu kepada yang terputus hubungan bapaknya jika dia mampu, dan budak perempuan itu menjadi ummu walad baginya. Jika dia tidak mampu, maka separuhnya menjadi milik rekannya dalam keadaan seperti itu, dan kedua maharnya gugur dari keduanya. Jika dia melahirkan anak dari masing-masing laki-laki yang mengakuinya sementara yang lain tidak mengakuinya, maka jika yang pertama mampu, dia membayar separuh nilainya dan budak perempuan itu menjadi ummu walad baginya, serta dia wajib membayar separuh maharnya kepada rekannya. Ketentuan mengenai separuh anaknya seperti yang telah dijelaskan. Anak yang lain dinasabkan kepada laki-laki yang menggaulinya, dan dia wajib membayar maharnya secara penuh. Nilai anak pada hari dilahirkan dihitung sebagai pengganti dari separuh nilai budak perempuan itu. Anak itu dinasabkan kepadanya karena syubhat (kesamaran).”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ قَضَى قَوْلُهُ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِمَا قُلْت؛ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ تَكُنْ لِلْأَوَّلِ أُمُّ وَلَدٍ إلَّا بَعْدَ أَدَاءِ نِصْفِ الْقِيمَةِ لَمَا كَانَ عَلَى الْمُحْبِلِ الثَّانِي جَمِيعُ مَهْرِهَا وَلَا قِيمَةُ وَلَدِهِ مِنْهَا؛ فَتَفَهَّمْ ذَلِكَ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan perkataannya dalam masalah ini telah memutuskan seperti yang aku katakan; karena jika yang pertama tidak memiliki ummu walad kecuali setelah membayar setengah nilai, maka yang kedua tidak wajib menanggung seluruh maharnya maupun nilai anak darinya. Maka pahamilah hal itu.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ ادَّعَى كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَنَّ وَلَدَهُ وُلِدَ قَبْلَ وَلَدِ صَاحِبِهِ أُلْحِقَ بِهِمَا الْوَلَدَانِ وَوُقِفَتْ أُمُّ الْوَلَدِ وَأَخَذَا بِنَفَقَتِهَا وَإِذَا مَاتَ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَتَقَ نَصِيبُهُ وَأَخَذَ الْآخَرُ بِنَفَقَةِ نَصِيبِ نَفْسِهِ، فَإِذَا مَاتَ عَتَقَتْ وَوَلَاؤُهَا مَوْقُوفٌ إذَا كَانَا مُوسِرَيْنِ أَوْ أَحَدُهُمَا مُعْسِرٌ وَالْآخَرُ مُوسِرٌ فَوَلَاؤُهَا مَوْقُوفٌ بِكُلِّ حَالٍ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya masing-masing dari keduanya mengklaim bahwa anaknya lahir sebelum anak yang lain, maka kedua anak tersebut dinisbatkan kepada mereka berdua, dan ibu si anak ditahan, lalu keduanya menanggung nafkahnya. Jika salah satu dari mereka meninggal, maka bagiannya merdeka, dan yang lain menanggung nafkah bagiannya sendiri. Ketika (ibu si anak) meninggal, dia merdeka, dan walanya tertahan jika keduanya mampu atau salah satunya tidak mampu sedangkan yang lain mampu. Walanya tetap tertahan dalam segala kondisi.”

بَابُ تَعْجِيلِ الْكِتَابَةِ

Bab Menyegerakan Penulisan

(Asy-Syafi’i berkata): “Seorang tuan dapat dipaksa untuk menerima pembayaran secara mencicil jika budak mukatab telah membayarnya lebih awal, dan dia berargumen dalam hal ini dengan merujuk pada Umar bin Al-Khaththab, semoga rahmat Allah atasnya.”

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا كَانَتْ دَنَانِيرُ أَوْ دَرَاهِمُ أَوْ مَا لَا يَتَغَيَّرُ عَلَى طُولِ الْمُكْثِ مِثْلُ الْحَدِيدِ وَالنُّحَاسِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، فَأَمَّا مَا يَتَغَيَّرُ عَلَى طُولِ الْمُكْثِ أَوْ كَانَتْ لِحُمُولَتِهِ مُؤْنَةٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَبُولُهُ إِلَّا فِي مَوْضِعِهِ فَإِنْ كَانَ فِي طَرِيقٍ بِخَرَابَةٍ أَوْ فِي بَلَدٍ فِيهِ نَهْبٌ لَمْ يَلْزَمْهُ قَبُولُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي ذَلِكَ الْمَوْضِعِ كَاتَبَهُ فَيَلْزَمُهُ قَبُولُهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika berupa dinar, dirham, atau sesuatu yang tidak berubah karena lama disimpan seperti besi, tembaga, dan sejenisnya. Adapun sesuatu yang berubah karena lama disimpan atau memerlukan biaya untuk mengangkutnya, maka tidak wajib menerimanya kecuali di tempatnya. Jika berada di jalan yang rusak atau di negeri yang terjadi perampokan, tidak wajib menerimanya kecuali jika di tempat itu ada yang mencatatnya, maka wajib menerimanya.

 

 

(قَالَ) : وَلَوْ عَجَّلَ لَهُ بَعْضَ الْكِتَابَةِ عَلَى أَنْ يُبَرِّئَهُ مِنْ الْبَاقِي لَمْ يَجُزْ وَرَدَّ عَلَيْهِ مَا أَخَذَ وَلَمْ يُعْتِقْ؛ لِأَنَّهُ أَبْرَأَهُ مِمَّا لَمْ يَبْرَأْ مِنْهُ فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَصِحَّ هَذَا فَلْيَرْضَ الْمُكَاتَبُ بِالْعَجْزِ وَيَرْضَ السَّيِّدُ بِشَيْءٍ يَأْخُذُهُ مِنْهُ عَلَى أَنْ يُعْتِقَهُ فَيَجُوزُ.

 

 

Beliau berkata: “Seandainya seorang budak mukatab mempercepat pembayaran sebagian dari kitabah (perjanjian pembebasan) dengan syarat tuannya membebaskannya dari sisa pembayaran, hal itu tidak diperbolehkan. Tuannya harus mengembalikan apa yang telah diambil dan budak tersebut tidak merdeka, karena tuannya telah membebaskannya dari sesuatu yang sebenarnya belum dibebaskan. Jika ingin perjanjian ini sah, maka budak mukatab harus rela mengakui ketidakmampuan (untuk melunasi) dan tuannya rela menerima sesuatu yang diambil darinya sebagai syarat untuk memerdekakannya, maka itu diperbolehkan.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) عِنْدِي أَنْ يَضَعَ عَنْهُ عَلَى أَنْ يَتَعَجَّلَ وَأَجَازَهُ فِي الدَّيْنِ.

 

(Al-Muzani berkata) menurutku ia boleh mengurangi (utang) dengan syarat mempercepat (pembayaran), dan dia membolehkannya dalam hutang.

 

بَيْعُ الْمُكَاتَبِ وَشِرَاؤُهُ وَبَيْعُ كِتَابَتِهِ وَبَيْعُ رَقَبَتِهِ وَجَوَابَاتٌ فِيهِ

 

Penjualan dan pembelian mukatab, penjualan kitabahnya, penjualan raqabahnya, serta jawaban-jawaban terkait hal tersebut

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَبَيْعُ الْمُكَاتَبِ وَشِرَاؤُهُ وَالشُّفْعَةُ لَهُ وَعَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ سَيِّدِهِ وَالْأَجْنَبِيِّ سَوَاءٌ إلَّا أَنَّ الْمُكَاتَبَ مَمْنُوعٌ مِنْ اسْتِهْلَاكِ مَالِهِ وَأَنْ يَبِيعَ بِمَا لَا يَتَغَابَنُ النَّاسُ بِمِثْلِهِ وَلَا يَهَبَ إلَّا بِإِذْنِ سَيِّدِهِ وَلَا يُكَفِّرَ فِي شَيْءٍ مِنْ الْكَفَّارَاتِ إلَّا بِالصَّوْمِ وَإِنْ بَاعَ فَلَمْ يفترقها حَتَّى مَاتَ الْمُكَاتَبُ وَجَبَ الْبَيْعُ وَقَالَ فِي كِتَابِ الْبُيُوعِ إذَا مَاتَ أَحَدُ الْمُتَبَايِعَيْنِ قَامَ وَارِثُهُ مَقَامَهُ وَلَا يَبِيعُ بِدَيْنٍ وَلَا يَهَبُ لِثَوَابٍ وَإِقْرَارُهُ فِي الْبَيْعِ جَائِزٌ.

 

(Imam Syafi’i berkata): Jual beli mukatab, pembeliannya, syuf’ah baginya dan atasnya, baik antara dia dengan tuannya maupun dengan orang asing adalah sama. Hanya saja, mukatab dilarang menghabiskan hartanya, menjual dengan harga yang tidak lazim, tidak boleh menghibahkan kecuali dengan izin tuannya, dan tidak boleh menebus kafarat kecuali dengan puasa. Jika dia menjual lalu belum sempat berpisah hingga mukatab meninggal, maka jual belinya wajib. Dalam kitab Al-Buyu’, beliau berkata: Jika salah satu dari dua pihak yang berjual beli meninggal, ahli warisnya menggantikan posisinya. Dia tidak boleh menjual dengan hutang, tidak boleh menghibahkan untuk imbalan, dan pengakuannya dalam jual beli adalah sah.

 

 

وَلَوْ كَانَتْ لَهُ عَلَى مَوْلَاهُ دَنَانِيرُ وَلِمَوْلَاهُ عَلَيْهِ دَنَانِيرُ فَجَعَلَا ذَلِكَ قِصَاصًا جَازَ، وَلَوْ كَانَتْ لَهُ عَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ مِنْ نُجُومِهِ حَالَّةٌ وَلَهُ عَلَى السَّيِّدِ مِائَةُ دِينَارٍ حَالَّةٌ فَأَرَادَ أَنْ يَجْعَلَا الْأَلْفَ بِالْمِائَةِ قِصَاصًا لَمْ يَجُزْ، وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ دَيْنُهُ عَلَيْهِ عَرَضًا وَكِتَابَتُهُ نَقْدًا.

 

 

Dan jika dia memiliki beberapa dinar yang harus dibayarkan kepada tuannya, dan tuannya juga memiliki beberapa dinar yang harus dibayarkan kepadanya, lalu mereka menjadikannya sebagai qishash (pembayaran timbal balik), maka itu diperbolehkan. Namun, jika dia memiliki seribu dirham yang harus segera dibayarkan dari hasil kerjanya, dan dia juga memiliki seratus dinar yang harus segera dibayarkan oleh tuannya, lalu mereka ingin menjadikan seribu dirham dengan seratus dinar sebagai qishash, maka itu tidak diperbolehkan. Demikian pula jika hutangnya berupa barang sedangkan pembayarannya harus tunai.

 

 

قَالَ: وَإِنْ أَعْتَقَ عَبْدَهُ أَوْ كَاتَبَهُ بِإِذْنِ سَيِّدِهِ فَأَدَّى كِتَابَتَهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا يَجُوزُ؛ لِأَنَّ الْوَلَاءَ لِمَنْ أَعْتَقَ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ يَجُوزُ. وَفِي الْوَلَاءِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ وَلَاءَهُ مَوْقُوفٌ فَإِنْ عَتَقَ الْمُكَاتَبُ الْأَوَّلُ كَانَ لَهُ وَإِنْ لَمْ يُعْتِقْ حَتَّى يَمُوتَ فَالْوَلَاءُ لِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ عَبْدٌ لِعَبْدِهِ عَتَقَ.

 

 

Beliau berkata: “Jika seseorang memerdekakan budaknya atau membuat perjanjian pembebasan (mukatab) dengan izin tuannya, lalu budak itu memenuhi perjanjiannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama: tidak boleh, karena hak perwalian (wala’) adalah bagi yang memerdekakan. Kedua: boleh. Mengenai hak perwalian, ada dua pendapat. Pertama: hak perwaliannya tertahan. Jika mukatab pertama merdeka, maka hak itu menjadi miliknya. Namun jika tidak merdeka sampai meninggal, maka hak perwalian berpindah kepada tuan mukatab, karena dia adalah budak yang dimerdekakan oleh budaknya.”

 

وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَلَاءَ لِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ بِكُلِّ حَالٍ؛ لِأَنَّهُ عِتْقٌ فِي حِينِ لَا يَكُونُ لَهُ بِعِتْقِهِ وَلَاؤُهُ فَإِنْ مَاتَ عَبْدُ الْمُكَاتَبِ الْمُعْتَقُ بَعْدَ مَا يُعْتَقُ وَقَفَ مِيرَاثُهُ فِي قَوْلِ مَنْ وَقَفَ الْمِيرَاثَ كَمَا وَصَفْت، فَإِنْ عَتَقَ الْمُكَاتَبُ الَّذِي أَعْتَقَهُ فَلَهُ وَإِنْ مَاتَ أَوْ عَجَزَ فَلِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ إذَا كَانَ حَيًّا يَوْمَ يَمُوتُ وَإِنْ كَانَ مَيِّتًا فَلِوَرَثَتِهِ مِنْ الرِّجَالِ مِيرَاثُهُ وَفِي الْقَوْلِ الثَّانِي لِسَيِّدِ الْمُكَاتَبِ؛ لِأَنَّ وَلَاءَهُ لَهُ وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى كِتَابِ مَالِكٍ: إنَّهُ لَوْ كَاتَبَ الْمُكَاتَبُ عَبْدَهُ فَأَدَّى لَمْ يُعْتَقْ كَمَا لَوْ أَعْتَقَهُ لَمْ يُعْتَقْ.

 

 

Yang kedua: bahwa kewalian (perwalian) tetap milik tuan mukatab dalam segala keadaan; karena ia adalah pembebasan pada saat tidak ada kewalian yang menyertainya. Jika budak mukatab yang telah dibebaskan meninggal setelah dibebaskan, maka warisannya ditahan menurut pendapat yang menahan warisan seperti yang telah dijelaskan. Jika mukatab yang membebaskannya merdeka, maka warisan itu menjadi miliknya. Namun jika ia meninggal atau tidak mampu, maka warisan itu menjadi milik tuan mukatab jika ia masih hidup saat kematiannya. Jika tuan mukatab sudah meninggal, maka warisan itu menjadi milik para ahli waris laki-lakinya. Dalam pendapat kedua, warisan itu tetap milik tuan mukatab karena kewaliannya adalah miliknya. Dalam kitab Al-Imla’ ‘ala Kitab Malik disebutkan: “Seandainya seorang mukatab mengadakan perjanjian pembebasan dengan budaknya lalu budak itu melunasinya, ia tidak menjadi merdeka, sebagaimana jika ia membebaskannya, ia juga tidak merdeka.”

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا عِنْدِي أَشْبَهُ.

 

(Al-Muzani berkata) Menurutku ini lebih mirip.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : Dan penjualan budak yang masih memiliki kewajiban (untuk menebus dirinya) adalah batal. Namun, jika budak tersebut menyerahkan uang tebusannya kepada pembeli atas perintah tuannya, maka dia merdeka, sebagaimana jika dia menyerahkannya kepada wakil tuannya, maka dia pun merdeka.

 

 

قَالَ: وَلَيْسَ لِلْمُكَاتَبِ أَنْ يَشْتَرِيَ مَنْ يُعْتِقَ عَلَيْهِ لَوْ كَانَ حُرًّا وَلَهُ أَنْ يَقْبَلَهُمْ إنْ أَوْصَى لَهُ بِهِمْ وَيَكْتَسِبُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَيَأْخُذَ فَضْلَ كَسْبِهِمْ وَمَا أَفَادُوا فَإِنْ مَرِضُوا أَوْ عَجَزُوا عَنْ الْكَسْبِ أَنْفَقَ عَلَيْهِمْ وَإِنْ جَنَوْا لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَفْدِيَهُمْ وَبِيعَ مِنْهُمْ بِقَدْرِ جِنَايَاتِهِمْ.

 

 

Beliau berkata: “Seorang mukatab tidak boleh membeli orang yang akan dimerdekakan atasnya seandainya dia merdeka. Namun, dia boleh menerima mereka jika diwasiatkan untuknya. Mereka boleh bekerja untuk diri mereka sendiri, dan dia boleh mengambil kelebihan hasil kerja mereka serta apa yang mereka peroleh. Jika mereka sakit atau tidak mampu bekerja, dia wajib menafkahi mereka. Jika mereka melakukan kejahatan, dia tidak boleh menebus mereka, dan mereka akan dijual sesuai dengan kadar kejahatan mereka.”

 

 

وَلَا يَجُوزُ بَيْعُ رَقَبَةِ الْمُكَاتَبِ فَإِنْ قِيلَ: بِيعَتْ بَرِيرَةَ قِيلَ: هِيَ الْمُسَاوِمَةُ بِنَفْسِهَا عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا – وَالْمُخْبِرَةُ بِالْعَجْزِ بِطَلَبِهَا أُوقِيَّةً وَالرَّاضِيَةُ بِالْبَيْعِ فَإِنْ قِيلَ: فَمَا مَعْنَى «قَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لِعَائِشَةَ اشْتَرِطِي لَهُمْ الْوَلَاءَ؟» قُلْت أَنَا لِلشَّافِعِيِّ فِي هَذَا جَوَابَانِ: أَحَدُهُمَا يُبْطِلُ الشَّرْطَ وَيُجِيزُ الْعِتْقَ وَيَجْعَلُهُ خَاصًّا وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ: هَذَا مِنْ أَشَدِّ مَا يَغْلَطُ فِيهِ وَإِنَّمَا جَاءَ بِهِ هِشَامٌ وَحْدَهُ وَغَيْرُهُ قَدْ خَالَفَهُ وَضَعَّفَهُ (قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَوْلَى بِهِ؛ لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ فِي صِفَةِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي مَكَانِهِ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُنْكِرُ عَلَى نَاسٍ شَرْطًا بَاطِلًا وَيَأْمُرُ أَهْلَهُ بِإِجَابَتِهِمْ إلَى بَاطِلٍ وَهُوَ عَلَى أَهْلِهِ فِي اللَّهِ أَشَدُّ وَعَلَيْهِمْ أَغْلَظُ.

 

 

Tidak diperbolehkan menjual budak mukatab. Jika dikatakan: “Barirah dijual,” dijawab: “Dialah yang menawar dirinya sendiri kepada Aisyah – radhiyallahu ‘anha – dan mengabarkan ketidakmampuannya dengan meminta satu uqiyah serta rela dengan penjualannya.” Jika ditanya: “Apa makna sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – kepada Aisyah: ‘Syaratkanlah untuk mereka hak perwalian’?” Aku (penulis) menjawab untuk Asy-Syafi’i dalam hal ini dua jawaban: salah satunya membatalkan syarat dan membolehkan pembebasan serta mengkhususkannya. Dia berkata di tempat lain: “Ini termasuk kesalahan yang paling parah, hanya Hisyam yang meriwayatkannya sendirian, sedangkan yang lain menyelisihi dan melemahkannya.” (Al-Muzani berkata): “Ini lebih tepat, karena tidak boleh dalam sifat Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – di kedudukannya di sisi Allah ‘azza wa jalla, beliau mengingkari orang-orang atas syarat yang batil lalu memerintahkan keluarganya untuk memenuhi kebatilan mereka, padahal beliau terhadap keluarganya dalam hal Allah lebih keras dan lebih tegas.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ يَحْتَمِلُ أَنْ لَوْ صَحَّ الْحَدِيثُ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ اشْتَرِطِي عَلَيْهِمْ أَنَّ لَك إنْ اشْتَرَيْت وَأَعْتَقْت الْوَلَاءَ أَيْ لَا تُغْرِيهِمْ، وَاللُّغَةُ تَحْتَمِلُ ذَلِكَ قَالَ اللَّهُ جَلَّ ثَنَاؤُهُ {لَهُمُ اللَّعْنَةُ} الرعد: 25 وَقَالَ {أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللَّهِ} آل عمران: 87 وَكَذَلِكَ قَالَ تَعَالَى {أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلا} النساء: 109 وَقَالَ {إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا} الإسراء: 7 أَيْ فَعَلَيْهَا وَقَالَ {وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ} الحجرات: 2 فَقَامَتْ لَهُمْ مَقَامَ ” عَلَيْهِمْ ” فَتَفَهَّمْ رَحِمَك اللَّهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan bisa jadi jika hadits itu sahih, yang dimaksud adalah “Buatlah syarat atas mereka bahwa jika engkau membeli dan memerdekakan, perwalian itu untukmu” yaitu jangan kau berikan kepada mereka. Bahasa memungkinkan hal itu. Allah Ta’ala berfirman {Bagi mereka laknat} Ar-Ra’d: 25 dan berfirman {Sesungguhnya atas mereka laknat Allah} Ali Imran: 87. Demikian pula firman-Nya {Atau siapakah yang menjadi wali atas mereka?} An-Nisa’: 109. Dan firman-Nya {Jika kalian berbuat baik, kalian berbuat baik untuk diri kalian sendiri, dan jika berbuat buruk maka baginya} Al-Isra’: 7 yaitu maka atasnya. Dan firman-Nya {Dan janganlah kalian mengeraskan suara terhadapnya dalam ucapan sebagaimana sebagian kalian mengeraskan suara terhadap sebagian yang lain} Al-Hujurat: 2. Maka kata “lahum” di sini menempati posisi “‘alaihim”. Pahamilah, semoga Allah merahmatimu.

 

بَابُ كِتَابَةِ النَّصْرَانِيِّ

Bab tentang tulisan orang Nasrani

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ -: وَتَجُوزُ كِتَابَةُ النَّصْرَانِيِّ بِمَا تَجُوزُ بِهِ كِتَابَةُ الْمُسْلِمِ فَإِنْ أَسْلَمَ الْعَبْدُ ثُمَّ تَرَافَعَا إلَيْنَا فَهُوَ عَلَى الْكِتَابَةِ إلَّا أَنْ يَعْجِزَ فَيُبَاعَ عَلَى النَّصْرَانِيِّ فَإِنْ كَاتَبَهُ عَلَى حَلَالٍ عِنْدَهُمْ حَرَامٍ عِنْدَنَا أَبْطَلْنَا مَا بَقِيَ مِنْ الْكِتَابَةِ فَإِنْ أَدَّاهَا ثُمَّ تَحَاكَمَا إلَيْنَا فَقَدْ عَتَقَ الْعَبْدُ وَلَا يَرُدُّ وَاحِدٌ مِنْهُمَا عَلَى صَاحِبِهِ شَيْئًا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ مَضَى فِي النَّصْرَانِيَّةِ وَلَوْ أَسْلَمَا وَبَقِيَ مِنْ الْكِتَابَةِ شَيْءٌ مِنْ خَمْرٍ فَقَبَضَهُ السَّيِّدُ عَتَقَ بِقَبْضِهِ آخِرَ كِتَابَتِهِ وَرَجَعَ عَلَى الْعَبْدِ بِقِيمَتِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i) – rahimahullah – berkata: “Perjanjian pembebasan budak oleh seorang Nasrani diperbolehkan sebagaimana perjanjian oleh seorang Muslim. Jika budak itu masuk Islam kemudian mereka berdua mengadukan persoalan kepada kami, maka budak itu tetap terikat dengan perjanjian kecuali jika tidak mampu memenuhinya, maka ia dijual kepada orang Nasrani tersebut. Jika perjanjian itu dibuat atas sesuatu yang halal menurut mereka tapi haram menurut kami, kami batalkan sisa perjanjian itu. Jika budak telah melunasi kemudian mereka berdua mengajukan perselisihan kepada kami, maka budak itu telah merdeka dan tidak ada pengembalian apa pun dari salah satu pihak kepada yang lain, karena itu terjadi saat masih dalam keyakinan Nasrani. Jika keduanya masuk Islam dan masih ada sisa pembayaran berupa khamr, lalu tuannya menerimanya, maka budak itu merdeka dengan penerimaan terakhir itu dan tuannya boleh menuntut nilai (khamr) tersebut kepada budak.”

وَلَوْ اشْتَرَى مُسْلِمًا فَكَاتَبَهُ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

 

Dan jika seorang muslim membeli (budak) muslim lalu memerdekakannya dengan kitabah, maka dalam hal ini ada dua pendapat.

 

أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْكِتَابَةَ بَاطِلَةٌ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِإِخْرَاجٍ لَهُ مِنْ مِلْكِهِ تَامٍّ فَإِنْ أَدَّى جَمِيعَ الْكِتَابَةِ عَتَقَ بِكِتَابَةٍ فَاسِدَةٍ وَتَرَاجَعَا كَمَا وَصَفْت.

 

 

Salah satunya adalah bahwa perjanjian itu batal karena tidak sepenuhnya mengeluarkannya dari kepemilikannya. Jika dia memenuhi seluruh perjanjian, maka dia merdeka dengan perjanjian yang rusak dan keduanya saling mengklaim kembali seperti yang telah dijelaskan.

وَالْقَوْلُ الْآخَرُ: إنَّهَا جَائِزَةٌ فَمَتَى عَجَزَ بِيعَ عَلَيْهِ.

 

Pendapat lainnya mengatakan bahwa hal itu diperbolehkan, maka ketika ia tidak mampu, barangnya boleh dijual.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْقَوْلُ الْآخَرُ أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنْ النَّصْرَانِيِّ بِكِتَابَتِهِ وَعَسَى أَنْ يُؤَدِّيَ فَيُعْتِقَ فَإِنْ عَجَزَ رُقَّ وَبِيعَ مَكَانَهُ وَفِي تَثْبِيتِهِ الْكِتَابَةَ إذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ وَمَوْلَاهُ نَصْرَانِيٌّ عَلَى مَا قُلْت دَلِيلٌ وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat kedua lebih mirip dengan pendapatnya; karena dia dicegah oleh orang Nasrani dengan perjanjiannya dan mungkin dia bisa membayar lalu merdeka. Jika tidak mampu, dia tetap sebagai budak dan dijual sebagai penggantinya. Dalam menetapkan perjanjiannya ketika budak masuk Islam sementara tuannya Nasrani, terdapat dalil seperti yang kukatakan. Dan hanya kepada Allah pertolongan.

 

كِتَابَةُ الْحَرْبِيِّ

Tulisan Sang Pejuang

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إذَا كَاتَبَ الْحَرْبِيُّ عَبْدَهُ فِي دَارِ الْحَرْبِ ثُمَّ خَرَجَا مُسْتَأْمَنَيْنِ أَثْبَتَهَا إلَّا أَنْ يَكُونَ أَحْدَثَ لَهُ قَهْرًا فِي إبْطَالِ كِتَابَتِهِ فَالْكِتَابَةُ بَاطِلَةٌ، وَلَوْ كَانَ السَّيِّدُ مُسْلِمًا فَالْكِتَابَةُ ثَابِتَةٌ فَإِنْ سُبِيَ لَمْ يَكُنْ رَقِيقًا؛ لِأَنَّ لَهُ أَمَانًا مِنْ مُسْلِمٍ بِعِتْقِهِ إيَّاهُ وَلَوْ كَاتَبَهُ الْمُسْتَأْمَنُ عِنْدَنَا وَأَرَادَ إخْرَاجَهُ مُنِعَ وَقِيلَ: إنْ أَقَمْت فَأَدِّ الْجِزْيَةَ وَإِلَّا فَوَكَّلَ بِقَبْضِ نُجُومِهِ، فَإِنْ أَدَّى عَتَقَ وَالْوَلَاءُ لَك وَإِنْ مِتّ دُفِعَتْ إلَى وَرَثَتِك، وَقَالَ فِي كِتَابِ السِّيَرِ: يَكُونُ مَغْنُومًا.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang harbi menulis perjanjian pembebasan budaknya di darul harbi, kemudian mereka keluar sebagai musta’min, perjanjian itu tetap berlaku kecuali jika ada pemaksaan untuk membatalkannya, maka perjanjian itu batal. Jika tuannya seorang muslim, perjanjian itu tetap sah. Jika budak itu ditawan, ia tidak menjadi budak karena memiliki jaminan keamanan dari seorang muslim melalui pembebasannya. Jika musta’min menulis perjanjian pembebasan budaknya di negeri kita dan ingin membawanya keluar, ia dilarang. Dikatakan kepadanya: “Jika kamu menetap, bayarlah jizyah. Jika tidak, tunjuklah wakil untuk menerima pembayaran cicilannya.” Jika budak itu melunasi, ia merdeka dan perwaliannya untukmu. Jika ia meninggal, cicilannya diserahkan kepada ahli warismu. Dalam kitab As-Siyar, beliau berkata: “Ia menjadi harta rampasan.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) الْأَوَّلُ أَوْلَى؛ لِأَنَّهُ إذَا كَانَ فِي دَارِ الْحَرْبِ حَيًّا لَا يُغْنَمُ مَالَهُ فِي دَارِ الْإِسْلَامِ، لِأَنَّهُ مَالٌ لَهُ أَمَانٌ فَوَارِثُهُ فِيهِ بِمَثَابَتِهِ.

 

 

(Az-Zayni berkata) Yang pertama lebih utama; karena jika dia berada di darul harb dalam keadaan hidup, hartanya tidak dirampas di darul Islam, sebab hartanya itu memiliki perlindungan, sehingga ahli warisnya memiliki kedudukan yang sama.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِنْ خَرَجَ فَسُبِيَ فَمُنَّ عَلَيْهِ أَوْ فُودِيَ بِهِ لَمْ يَكُنْ رَقِيقًا وَرَدَّ مَالَ مُكَاتِبِهِ إلَيْهِ فِي بِلَادِ الْحَرْبِ أَوْ غَيْرِهِ فَإِنْ اُسْتُرِقَّ وَعَتَقَ مُكَاتَبُهُ بِالْأَدَاءِ وَمَاتَ الْحَرْبِيُّ رَقِيقًا لَمْ يَكُنْ رَقِيقًا وَلَا وَلَاءَ لِأَحَدٍ بِسَبَبِهِ وَالْمُكَاتَبُ لَا وَلَاءَ عَلَيْهِ إلَّا أَنْ يُعْتَقَ الْحَرْبِيُّ قَبْلَ مَوْتِهِ فَيَكُونَ لَهُ وَلَاءُ مُكَاتَبِهِ وَمَا أَدَّى مِنْ كِتَابَتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ مَالٌ كَانَ مَوْقُوفًا لَهُ أَمَانٌ فَلَمْ يَبْطُلْ أَمَانُهُ مَا كَانَ رَقِيقًا وَلَمْ نَجْعَلْهُ لَهُ فِي حَالِ رِقِّهِ فَيَأْخُذُهُ مَوْلَاهُ فَلَمَّا عَتَقَ كَانَتْ الْأَمَانَةُ مُؤَدَّاةً.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang keluar lalu ditawan, kemudian diberi kebebasan atau ditebus, maka ia tidak menjadi budak. Hartanya yang dibayarkan dalam perjanjian mukatabah dikembalikan kepadanya di negeri perang atau lainnya. Jika ia dijadikan budak lalu mukatabnya merdeka karena melunasi pembayaran, sementara orang kafir harbi mati dalam status budak, maka ia tidak dianggap sebagai budak dan tidak ada kewalian bagi siapa pun karenanya. Mukatab tidak memiliki kewalian kecuali jika orang kafir harbi dimerdekakan sebelum kematiannya, maka ia memiliki kewalian atas mukatabnya dan apa yang telah dibayarkan dalam perjanjiannya, karena harta itu merupakan amanah yang ditahan untuknya. Amanahnya tidak batal selama ia berstatus budak, dan kami tidak memberikannya kepadanya selama status perbudakannya sehingga tuannya mengambilnya. Ketika ia merdeka, amanah itu telah terpenuhi.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَالَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ فِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا هَذَا، وَالثَّانِي لَمَّا رُقَّ كَانَ مَا أَدَّى مُكَاتَبُهُ فَيْئًا وَقَالَ فِي كِتَابِ السِّيَرِ: يَصِيرُ مَالُهُ مَغْنُومًا.

 

 

(Al-Muzani berkata) dan ia berkata di tempat lain tentang hal ini ada dua pendapat, salah satunya adalah ini, dan yang kedua adalah ketika ia kembali menjadi budak, apa yang telah dibayarkan oleh mukatabnya menjadi fai’. Dan dalam kitab As-Siyar ia berkata: hartanya menjadi ghanimah.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا عِنْدِي أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ الَّذِي خَتَمَ بِهِ قَبْلَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ؛ لِأَنَّهُ لَمَّا بَطَلَ أَنْ يَمْلِكَ بَطَلَ عَنْ مَالِهِ مِلْكُهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Ini menurutku lebih mirip dengan ucapannya yang ia akhiri sebelum masalah ini; karena ketika kepemilikan itu batal, maka kepemilikannya atas hartanya juga batal.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَغَارَ الْمُشْرِكُونَ عَلَى مُكَاتَبٍ ثُمَّ اسْتَنْقَذَهُ الْمُسْلِمُونَ كَانَ عَلَى كِتَابَتِهِ.

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya orang-orang musyrik menyerang seorang mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan), kemudian kaum Muslimin menyelamatkannya, maka dia tetap terikat dengan perjanjian pembebasannya.”

 

وَلَوْ كَاتَبَهُ فِي بِلَادِ الْحَرْبِ ثُمَّ خَرَجَ الْمُكَاتَبُ إلَيْنَا مُسْلِمًا كَانَ حُرًّا.

 

Dan sekiranya dia mengadakan perjanjian pembebasan budak di negeri perang, kemudian budak yang dibebaskan itu datang kepada kami dalam keadaan muslim, maka dia menjadi merdeka.

 

كِتَابَةُ الْمُرْتَدِّ

 

Penulisan murtad

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ كَاتَبَ الْمُرْتَدُّ عَبْدَهُ قَبْلَ أَنْ يَقِفَ الْحَاكِمُ مَالَهُ كَانَ جَائِزًا وَقَالَ فِي كِتَابِ الْمُدَبَّرِ: إذَا دَبَّرَ الْمُرْتَدُّ عَبْدَهُ فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقَاوِيلَ قَدْ وَصَفْتهَا فِيهِ وَقَضَيْت أَنَّ جَوَابَهُ فِي الْمُكَاتَبِ أَصَحُّهَا قَالَ: فَإِنْ نَهَى الْحَاكِمُ الْمُكَاتَبَ أَنْ يَدْفَعَ إلَى الْمُرْتَدِّ كِتَابَتَهُ فَدَفَعَهَا لَمْ يَبْرَأْ مِنْهَا وَأَخَذَهُ بِهَا فَإِنْ عَجَزَ ثُمَّ أَسْلَمَ السَّيِّدُ أَلْغَى السَّيِّدُ التَّعْجِيزَ، وَلَوْ ارْتَدَّ الْعَبْدُ ثُمَّ كَاتَبَهُ جَازَ وَكَانَ حُكْمُهُ حُكْمَ الْمُرْتَدِّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seorang murtad mengadakan perjanjian pembebasan (mukatabah) dengan budaknya sebelum hakim menyita hartanya, maka itu diperbolehkan. Dalam kitab Al-Mudabbar, beliau berkata: Jika seorang murtad menetapkan budaknya sebagai mudabbar (budak yang akan merdeka setelah tuannya meninggal), maka terdapat tiga pendapat yang telah aku jelaskan di dalamnya, dan aku memutuskan bahwa jawaban beliau mengenai mukatab adalah yang paling sahih. Beliau berkata: Jika hakim melarang budak yang sedang dalam perjanjian mukatab untuk menyerahkan pembayaran mukatabnya kepada tuannya yang murtad, lalu budak itu tetap menyerahkannya, maka budak itu tidak terbebas dari kewajibannya dan tetap dituntut untuk membayarnya. Jika budak itu tidak mampu membayar, lalu tuannya masuk Islam kembali, maka tuannya dapat membatalkan ketidakmampuan tersebut. Seandainya budak itu murtad, lalu tuannya mengadakan perjanjian mukatab dengannya, maka itu diperbolehkan, dan hukumnya sama seperti hukum orang murtad.

 

جِنَايَةُ الْمُكَاتَبِ عَلَى سَيِّدِهِ

Kejahatan budak yang sedang menebus diri terhadap tuannya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا جَنَى الْمُكَاتَبُ عَلَى سَيِّدِهِ عَمْدًا فَلَهُ الْقِصَاصُ فِي الْجُرْحِ وَلِوَارِثِهِ الْقِصَاصُ فِي النَّفْسِ أَوْ الْأَرْشِ فَإِنْ أَدَّى ذَلِكَ فَهُوَ عَلَى كِتَابَتِهِ وَإِنْ لَمْ يُؤَدِّ فَلَهُمْ تَعْجِيزُهُ وَلَا دَيْنَ لَهُمْ عَلَى عَبْدِهِمْ وَبِيعَ فِي جِنَايَةِ الْأَجْنَبِيِّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) sengaja melukai tuannya, maka tuannya berhak melakukan qishas atas luka tersebut, dan ahli warisnya berhak melakukan qishas atas nyawa atau mengambil diyat (tebusan). Jika dia (mukatab) mampu membayarnya, maka itu menjadi bagian dari perjanjian pembebasannya. Jika tidak mampu membayar, mereka (tuan/ahli waris) berhak membatalkan perjanjian pembebasannya, dan mereka tidak memiliki hak utang atas budak mereka. Budak itu dijual untuk menutupi kejahatan yang dilakukan terhadap orang lain.

 

بَابُ جِنَايَةِ الْمُكَاتَبِ وَرَقِيقِهِ

 

Bab tentang tindak pidana budak mukatab dan budaknya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا جَنَى الْمُكَاتَبُ فَعَلَى سَيِّدِهِ الْأَقَلُّ مِنْ قِيمَةِ عَبْدِهِ الْجَانِي يَوْمَ جَنَى أَوْ أَرْشُ الْجِنَايَةِ فَإِنْ قَوِيَ عَلَى أَدَائِهَا مَعَ الْكِتَابَةِ فَهُوَ مُكَاتَبٌ وَلَهُ تَعْجِيلُ الْكِتَابَةِ قَبْلَ الْجِنَايَةِ وَقَبْلَ الدَّيْنِ الْحَالِّ مَا لَمْ يَقِفْ الْحَاكِمُ لَهُمْ مَالَهُ كَالْحُرِّ فِيمَا عَلَيْهِ إلَّا أَنَّهُ لَيْسَ لِلْمُكَاتَبِ أَنْ يُعَجِّلَ الدَّيْنَ قَبْلَ مَحِلِّهِ بِغَيْرِ إذْنِ سَيِّدِهِ، فَإِنْ وَقَفَ الْحَاكِمُ مَالَهُ أَدَّى إلَى سَيِّدِهِ وَإِلَى النَّاسِ دُيُونَهُمْ شَرْعًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا يُؤَدِّي هَذَا كُلَّهُ عَجَزَهُ فِي مَالِ الْأَجْنَبِيِّ إلَّا أَنْ يُنْظِرُوهُ وَمَتَى شَاءَ مَنْ أَنْظَرَهُ عَجَزَهُ ثُمَّ خَيَّرَ الْحَاكِمُ سَيِّدَهُ بَيْنَ أَنْ يَفْدِيَهُ بِالْأَقَلِّ مِنْ أَرْشِ الْجِنَايَةِ أَوْ يُبَاعَ فِيهَا فَيُعْطِيَ أَهْلَ الْجِنَايَةِ حُقُوقَهُمْ دُونَ مَنْ دَايَنَهُ بِبَيْعٍ أَوْ غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ فِي ذِمَّتِهِ وَمَتَى عَتَقَ اتَّبَعَ بِهِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ الْجِنَايَاتُ مُتَفَرِّقَةً أَوْ مَعًا وَبَعْضُهَا قَبْلَ التَّعْجِيزِ وَبَعْدَهُ يَتَحَاصُّونَ فِي ثَمَنِهِ مَعًا وَإِنْ أَبْرَأَهُ بَعْضُهُمْ كَانَ ثَمَنُهُ لِلْبَاقِينَ مِنْهُمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Jika seorang mukatab (budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan) melakukan pelanggaran, maka tuannya wajib membayar nilai budak yang melakukan pelanggaran pada hari pelanggaran terjadi atau diyat pelanggaran tersebut, mana yang lebih rendah. Jika ia mampu membayarnya bersamaan dengan pembayaran kitabah (pembebasan), maka ia tetap sebagai mukatab dan berhak menyegerakan pembayaran kitabah sebelum pelanggaran atau sebelum hutang yang jatuh tempo, selama hakim belum menyita hartanya. Ia diperlakukan seperti orang merdeka dalam kewajibannya, kecuali bahwa mukatab tidak boleh mempercepat pembayaran hutang sebelum jatuh tempo tanpa izin tuannya. Jika hakim menyita hartanya, ia harus membayar kepada tuannya dan kepada orang-orang yang berpiutang secara syar’i. Jika ia tidak memiliki harta untuk membayar semua ini, maka ia dinyatakan bangkrut dalam harta orang lain, kecuali jika para kreditur memberinya tenggat waktu. Kapan saja kreditur yang memberinya tenggat waktu menghendaki, ia bisa menyatakan kebangkrutannya. Kemudian hakim memberikan pilihan kepada tuannya: menebusnya dengan membayar diyat pelanggaran yang lebih rendah atau menjualnya untuk pelanggaran tersebut, lalu memberikan hak-hak korban pelanggaran tanpa membayar hutang-hutang lainnya dari hasil penjualan atau lainnya, karena hutang-hutang tersebut tetap menjadi tanggungannya. Ketika ia merdeka, hutang-hutang itu tetap mengikutinya. Baik pelanggaran-pelanggaran itu terjadi terpisah atau bersamaan, sebagian sebelum atau sesudah kebangkrutan, semua kreditur akan membagi hasil penjualannya secara bersama-sama. Jika sebagian kreditur membebaskannya, maka hasil penjualannya menjadi milik kreditur yang tersisa.”

 

 

وَلَوْ قَطَعَ يَدَ سَيِّدِهِ فَبَرَأَ وَعَتَقَ بِالْأَدَاءِ اتَّبَعَهُ بِأَرْشِ يَدِهِ وَأَيُّ الْمُكَاتَبَيْنِ جَنَى وَكِتَابَتُهُمْ وَاحِدَةٌ لَزِمَتْهُ دُونَ أَصْحَابِهِ، وَلَوْ كَانَ هَذَا الْجَانِي وَلَدَ الْمُكَاتِبِ وُهِبَ لَهُ أَوْ مِنْ أَمَتِهِ أَوْ وَلَدَ مُكَاتَبِهِ لَمْ يَفْدِ بِشَيْءٍ وَإِنْ قَلَّ إلَّا بِإِذْنِ السَّيِّدِ؛ لِأَنِّي لَا أَجْعَلُ لَهُ بَيْعَهُمْ وَيُسَلَّمُونَ فَيُبَاعُ مِنْهُمْ بِقَدْرِ الْجِنَايَةِ وَمَا بَقِيَ بِحَالِهِ يُعْتَقُ بِعِتْقِ الْمُكَاتَبِ أَوْ الْمُكَاتَبَةِ.

 

 

Dan jika dia memotong tangan tuannya lalu sembuh dan merdeka karena melunasi (pembebasan), dia wajib membayar diyat atas tangannya. Siapa pun di antara dua budak mukatab yang melakukan kejahatan sementara perjanjian pembebasan mereka sama, maka dia yang menanggung (diyat) tanpa melibatkan temannya. Jika pelaku kejahatan ini adalah anak sang mukatab yang dihadiahkan untuknya, atau dari budak perempuannya, atau anak budak mukatabnya, dia tidak membayar apa pun meskipun sedikit kecuali dengan izin tuannya. Karena aku tidak memberinya hak untuk menjual mereka, dan mereka diserahkan lalu dijual sesuai nilai kejahatannya. Sisanya tetap dalam statusnya dan merdeka dengan kemerdekaan mukatab atau mukatabah.

 

وَإِنْ جَنَى بَعْضُ عَبِيدِهِ عَلَى بَعْضٍ عَمْدًا فَلَهُ الْقِصَاصُ إلَّا أَنْ يَكُونَ وَالِدًا فَلَا يَقْتُلُ وَالِدَهُ بِعَبْدِهِ وَهُوَ لَا يُقْتَلُ بِهِ، وَلَوْ أَعْتَقَهُ السَّيِّدُ بِغَيْرِ أَدَاءِ ضَمِنَ الْأَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ الْجِنَايَةَ، وَلَوْ كَانَ أَدَّى فَعَتَقَ فَعَلَيْهِ الْأَقَلُّ مِنْ قِيمَةِ نَفْسِهِ أَوْ الْجِنَايَةُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَعْجِزْ وَلَوْ جَنَى جِنَايَةً أُخْرَى ثُمَّ أَدَّى فَعَتَقَ فَفِيهَا قَوْلَانِ

 

Dan jika sebagian hamba sahaya-Nya berbuat zalim terhadap sebagian yang lain dengan sengaja, maka baginya berlaku qishas kecuali jika pelakunya adalah orang tua, maka dia tidak boleh membunuh orang tuanya karena (dosa terhadap) hambanya, dan dia juga tidak boleh dibunuh karenanya. Jika tuannya memerdekakannya tanpa membayar (denda), maka dia menanggung nilai yang lebih rendah antara harga dirinya atau denda kejahatannya. Jika dia telah membayar lalu merdeka, maka dia wajib membayar nilai yang lebih rendah antara harga dirinya atau denda kejahatannya, karena dia tidak dalam keadaan tidak mampu. Jika dia melakukan kejahatan lain lalu membayar dan merdeka, maka dalam hal ini ada dua pendapat.

 

أَحَدُهُمَا: أَنَّ عَلَيْهِ الْأَقَلَّ مِنْ قِيمَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ الْجِنَايَةَ يَشْتَرِكَانِ فِيهَا.

 

 

Salah satunya: bahwa dia wajib membayar nilai yang lebih rendah dari satu nilai atau kejahatan yang mereka berdua terlibat di dalamnya.

 

وَالْآخَرُ أَنَّ عَلَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا الْأَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ الْجِنَايَةَ وَهَكَذَا لَوْ كَانَتْ جِنَايَاتٌ كَثِيرَةٌ.

 

 

Dan pendapat lain menyatakan bahwa dia wajib membayar yang paling rendah antara nilai (barang) atau denda jinayat untuk setiap salah satunya, dan begitu pula jika jinayat-jinayat itu banyak.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قَدْ قَطَعَ فِي هَذَا الْبَابِ بِأَنَّ الْجِنَايَاتِ مُتَفَرِّقَةً أَوْ مَعًا فَسَوَاءٌ وَهُوَ عِنْدِي بِالْحَقِّ أَوْلَى.

 

(Al-Muzani berkata) Ia telah memutuskan dalam bab ini bahwa jinayat, baik terpisah maupun bersama, adalah sama. Menurutku, pendapat ini lebih benar dan utama.

 

(Asy-Syafi’i berkata): “Dan jika budak seorang mukatab melakukan suatu kejahatan yang tidak ada qishash padanya, maka itu sia-sia. Seorang mukatab boleh mendidik budaknya tetapi tidak boleh menghukum had, karena hukuman had tidak berlaku bagi selain orang merdeka.”

 

بَابُ مَا جَنَى عَلَى الْمُكَاتَبِ لَهُ

 

Bab tentang apa yang ditanggung oleh mukatab untuknya.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَأَرْشُ مَا جَنَى عَلَى الْمُكَاتَبِ لَهُ وَلَوْ قَتَلَهُ السَّيِّدُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ شَيْءٌ؛ لِأَنَّهُ مَاتَ عَبْدًا وَلَوْ قَطَعَ يَدَهُ فَإِنْ كَانَ يُعْتَقُ بِأَرْشِ يَدِهِ وَطَلَبَهُ الْعَبْدُ جَعَلَ قِصَاصًا وَعَتَقَ وَإِنْ مَاتَ بَعْدَ ذَلِكَ ضَمِنَ مَا يَضْمَنُ لَوْ جَنَى عَلَى عَبْدِ غَيْرِهِ فَعَتَقَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ، وَإِنْ كَانَتْ الْكِتَابَةُ غَيْرَ حَالَّةٍ كَانَ لَهُ تَعْجِيلُ الْأَرْشِ فَإِنْ لَمْ يَقْبِضْهُ حَتَّى مَاتَ سَقَطَ عَنْهُ؛ لِأَنَّهُ صَارَ مَالًا لَهُ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata) – semoga Allah merahmatinya -: “Diyat atas apa yang dilakukan oleh seorang mukatab adalah miliknya. Jika tuannya membunuhnya, maka tidak ada kewajiban apa pun atasnya karena ia meninggal dalam status sebagai budak. Jika tuannya memotong tangannya, dan ia bisa merdeka dengan diyat tangannya serta budak itu menuntutnya, maka dijadikan sebagai qishash dan ia merdeka. Jika ia meninggal setelah itu, tuannya menanggung apa yang harus ia tanggung seandainya ia melakukan kejahatan terhadap budak orang lain lalu budak itu merdeka sebelum meninggal. Jika perjanjian mukatabah belum jatuh tempo, ia berhak mempercepat penerimaan diyat. Jika ia tidak menerimanya hingga meninggal, maka diyat itu gugur karena telah menjadi hartanya.”

 

الْجِنَايَةُ عَلَى الْمُكَاتَبِ وَرَقِيقِهِ عَمْدًا

 

Kejahatan terhadap mukatab dan budaknya dengan sengaja

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا جَنَى عَبْدٌ عَلَى الْمُكَاتَبِ عَمْدًا فَأَرَادَ الْقِصَاصَ، وَالسَّيِّدُ الدِّيَةَ فَلِلْمُكَاتَبِ الْقِصَاصُ؛ لِأَنَّ السَّيِّدَ مَمْنُوعٌ مِنْ مَالِهِ وَبَدَنِهِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُصَالِحَ إلَّا عَلَى الِاسْتِيفَاءِ لِجَمِيعِ الْأَرْشِ وَلَوْ عَفَا عَنْ الْقِصَاصِ وَالْأَرْشِ مَعًا ثُمَّ عَتَقَ كَانَ لَهُ أَخْذُ الْمَالِ وَلَا قَوَدَ؛ لِأَنَّهُ عَفَا وَلَا يَمْلِكُ إتْلَافَ الْمَالِ وَلَوْ كَانَ الْعَفْوُ بِإِذْنِ السَّيِّدِ فَالْعِتْقُ جَائِزٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seorang budak sengaja melukai mukatab (budak yang sedang dalam proses merdeka) dan mukatab itu menuntut qishash, sedangkan tuannya menghendaki diyat, maka hak qishash adalah milik mukatab. Karena tuannya terhalang dari hartanya dan tubuhnya, dan tuannya tidak boleh berdamai kecuali dengan mengambil seluruh arsy (ganti rugi). Jika mukatab memaafkan qishash dan arsy sekaligus, kemudian ia merdeka, maka ia berhak mengambil harta tetapi tidak boleh qishash, karena ia telah memaafkan dan tidak memiliki hak untuk menghilangkan harta. Jika pemaafan itu dengan izin tuannya, maka pembebasannya sah.

 

بَابُ عِتْقِ السَّيِّدِ الْمُكَاتَبِ فِي الْمَرَضِ وَغَيْرِهِ

 

Pasal tentang pembebasan budak mukatab oleh tuannya saat sakit atau selainnya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : إذَا وَضَعَ السَّيِّدُ عَنْ الْمُكَاتَبِ كِتَابَتَهُ أَوْ أَعْتَقَهُ فِي الْمَرَضِ فَالْعِتْقُ مَوْقُوفٌ فَإِنْ خَرَجَ مِنْ الثُّلُثِ بِالْأَقَلِّ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ فَهُوَ حُرٌّ وَإِلَّا عَتَقَ مِنْهُ مَا حَمَلَ الثُّلُثَ فَوَضَعَ عَنْهُ مِنْ الْكِتَابَةِ بِقَدْرِ مَا عَتَقَ مِنْهُ وَكَانَ الْبَاقِي مِنْهُ عَلَى الْكِتَابَةِ، وَلَوْ أَوْصَى بِعِتْقِهِ عَتَقَ بِالْأَقَلِّ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنْ كِتَابَتِهِ إنْ كَانَ قِيمَتُهُ أَلْفًا وَبَاقِي كِتَابَتِهِ خَمْسَمِائَةٍ أَوْ كَانَتْ أَلْفًا وَثَمَنُهُ خَمْسَمِائَةٍ فَيُعْتَقُ بِخَمْسِمِائَةٍ، وَقَالَ فِي الْإِمْلَاءِ عَلَى مَسَائِلِ مَالِكٍ.

 

 

(Asy-Syafi’i berkata): Jika seorang tuan membebaskan mukatab dari kewajiban kitabah (perjanjian pembebasan) atau memerdekakannya saat sakit, maka kemerdekaan itu tertahan. Jika nilai (pembebasan) itu keluar dari sepertiga harta (warisan) dengan jumlah yang lebih sedikit antara nilai dirinya atau sisa kewajibannya, maka ia merdeka. Jika tidak, maka ia merdeka sesuai bagian yang tercakup dalam sepertiga harta, dan kewajiban kitabah-nya dikurangi sesuai bagian yang dimerdekakan, sedangkan sisanya tetap dalam status kitabah. Jika tuannya berwasiat untuk memerdekakannya, maka ia merdeka dengan jumlah yang lebih sedikit antara nilai dirinya atau sisa kewajibannya. Misalnya, jika nilai dirinya seribu dan sisa kewajibannya lima ratus, atau kewajibannya seribu sedangkan harganya lima ratus, maka ia dimerdekakan dengan lima ratus. Demikian pula yang ia sebutkan dalam Al-Imla’ ‘ala Masail Malik.

 

 

وَلَوْ أَعْتَقَهُ عِنْدَ الْمَوْتِ وَلَا مَالَ لَهُ غَيْرُهُ عَتَقَ ثُلُثُهُ فَإِنْ أَدَّى ثُلُثَيْ الْكِتَابَةِ عَتَقَ كُلُّهُ، وَإِنْ عَجَزَ رُقَّ ثُلُثَاهُ وَلَوْ قَالَ: ضَعُوا عَنْهُ كِتَابَتَهُ فَهِيَ وَصِيَّةٌ لَهُ فَيُعْتَقُ بِالْأَقَلِّ مِنْ قِيمَتِهِ أَوْ كِتَابَتِهِ وَسَوَاءٌ كَانَتْ حَالَّةً أَوْ دَيْنًا، يُحْسَبُ فِي الثُّلُثِ، وَلَوْ كَاتَبَهُ فِي مَرَضِهِ وَلَا يَخْرُجُ مِنْ الثُّلُثِ وَقَفْت فَإِنْ أَفَادَ السَّيِّدُ مَالًا يَخْرُجُ بِهِ مِنْ الثُّلُثِ جَازَتْ الْكِتَابَةُ وَإِنْ لَمْ يُفِدْ جَازَتْ كِتَابَةُ ثُلُثِهِ، إذَا كَانَتْ كِتَابَةُ مِثْلِهِ وَلَمْ تَجُزْ فِي ثُلُثَيْهِ.

 

 

Dan jika ia memerdekakannya saat menjelang kematian sementara tidak memiliki harta selain budak itu, maka sepertiganya merdeka. Jika budak itu melunasi dua pertiga pembebasannya, seluruhnya merdeka. Namun jika tidak mampu, dua pertiganya tetap sebagai budak. Jika tuannya berkata, “Hapuskanlah pembebasannya,” maka itu dianggap wasiat baginya, sehingga ia dimerdekakan berdasarkan nilai yang lebih rendah antara harga dirinya atau pembebasannya, baik tunai maupun utang, dan dihitung dalam sepertiga harta. Jika tuannya membuat perjanjian pembebasan saat sakit dan tidak melebihi sepertiga harta, perjanjian itu ditangguhkan. Jika tuannya kemudian memperoleh harta yang memungkinkannya keluar dari sepertiga harta, perjanjian itu sah. Jika tidak, hanya perjanjian pembebasan sepertiga hartanya yang sah, selama pembebasan semisalnya berlaku, dan tidak sah jika melebihi dua pertiga hartanya.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا خِلَافُ قَوْلِهِ: لَا تَجُوزُ كِتَابَةُ بَعْضِ عَبْدِهِ وَمَا أَقَرَّ بِقَبْضِهِ فِي مَرَضِهِ فَهُوَ كَالدَّيْنِ يُقِرُّ بِقَبْضِهِ فِي صِحَّتِهِ وَإِذَا وَضَعَ عَنْهُ دَنَانِيرَ وَعَلَيْهِ دَرَاهِمُ أَوْ شَيْئًا وَعَلَيْهِ غَيْرُهُ لَمْ يَجُزْ وَلَوْ قَالَ: قَدْ اسْتَوْفَيْت آخِرَ كِتَابَتِك إنْ شَاءَ اللَّهُ أَوْ شَاءَ فُلَانٌ – لَمْ يَجُزْ؛ لِأَنَّهُ اسْتِثْنَاءٌ.

 

 

Al-Muzani – semoga Allah merahmatinya – berkata: Ini bertentangan dengan ucapannya bahwa tidak boleh menulis sebagian dari budaknya. Apa yang diakui penerimaannya saat sakit, itu seperti utang yang diakui penerimaannya saat sehat. Jika ia membebaskan dinar darinya sementara ia masih memiliki utang dirham atau sesuatu lainnya, itu tidak boleh. Sekalipun ia berkata, “Aku telah menerima akhir pembayaran kitabahmu, insya Allah atau jika si fulan menghendaki,” itu tidak sah karena termasuk istitsna’ (pengecualian).

 

الْوَصِيَّةُ لِلْعَبْدِ أَنْ يُكَاتَبَ

 

Wasiat bagi budak untuk dimerdekakan dengan perjanjian (mukatab).

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَوْصَى أَنْ يُكَاتَبَ عَبْدٌ لَهُ لَا يَخْرُجُ مِنْ الثُّلُثِ حَاصَّ أَهْلَ الْوَصَايَا وَكُوتِبَ عَلَى كِتَابَةِ مِثْلِهِ وَلَوْ لَمْ تَكُنْ وَصَايَا وَلَا مَالَ لَهُ غَيْرُهُ قِيلَ: إنْ شِئْت كَاتَبْنَا ثُلُثَك، وَوَلَاءُ ثُلُثِك لِسَيِّدِك وَالثُّلُثَانِ رَقِيقٌ لِوَرَثَتِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seseorang berwasiat agar budaknya dimerdekakan dengan pembayaran (mukatab), maka (biayanya) tidak boleh melebihi sepertiga harta, setelah dipotong wasiat-wasiat lain. Dan budak itu dimerdekakan dengan nilai seperti budak sejenisnya. Jika tidak ada wasiat lain dan tidak ada harta selain budak itu, dikatakan: “Jika kamu mau, kami merdekakan sepertiga bagianmu, dan hak waris atas sepertigamu tetap untuk tuanmu, sedangkan dua pertiganya tetap sebagai budak bagi ahli warismu.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) – رَحِمَهُ اللَّهُ – هَذَا خِلَافُ أَصْلِ قَوْلِهِ مِثْلَ الَّذِي قَبْلَهُ وَلَوْ قَالَ: كَاتِبُوا أَحَدَ عَبِيدِي لَمْ يُكَاتِبُوا أَمَةً، وَلَوْ قَالَ: إحْدَى إمَائِي لَمْ يُكَاتِبُوا عَبْدًا وَلَا خُنْثَى، وَإِنْ قَالَ: أَحَدُ رَقِيقِي كَانَ لَهُمْ الْخِيَارُ فِي عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ.

 

 

(Al-Muzani berkata) – semoga Allah merahmatinya – ini bertentangan dengan prinsip ucapannya seperti yang sebelumnya. Seandainya Beliau berkata: “Buatlah perjanjian pembebasan dengan salah satu budak laki-lakiku,” maka mereka tidak boleh membuat perjanjian dengan budak perempuan. Dan jika Beliau berkata: “Salah satu budak perempuanku,” maka mereka tidak boleh membuat perjanjian dengan budak laki-laki atau banci. Namun jika Beliau berkata: “Salah satu hamba sahayaku,” maka mereka boleh memilih antara budak laki-laki atau perempuan.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا أَوْ خُنْثَى.

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Aku atau seorang khuntsa.

 

بَابُ مَوْتِ سَيِّدِ الْمُكَاتَبِ

Bab tentang kematian majikan orang yang melakukan mukatabah

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ أَنْكَحَ ابْنَةً لَهُ مُكَاتَبَهُ بِرِضَاهَا فَمَاتَ وَابْنَتُهُ غَيْرُ وَارِثَةٍ إمَّا لِاخْتِلَافِ دِينِهِمَا أَوْ لِأَنَّهَا قَاتِلَةٌ فَالنِّكَاحُ ثَابِتٌ وَإِنْ كَانَتْ وَارِثَةً فَسَدَ النِّكَاحُ؛ لِأَنَّهَا مَلَكَتْ مِنْ زَوْجِهَا بَعْضَهُ فَإِنْ دَفَعَ مِنْ الْكِتَابَةِ مَا عَلَيْهِ إلَى أَحَدِ الْوَصِيَّيْنِ أَوْ أَحَدَ وَارِثَيْنِ أَوْ إلَى وَارِثٍ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ لَهُ وَصَايَا لَمْ يُعْتَقْ إلَّا بِوُصُولِ الدَّيْنِ إلَى أَهْلِهِ، وَكُلُّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ إذَا لَمْ يَدْفَعْ بِأَمْرِ حَاكِمٍ أَوْ إلَى وَصِيٍّ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Seandainya seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang masih mukatab dengan persetujuannya, lalu dia meninggal sementara anak perempuannya bukan ahli waris—baik karena perbedaan agama mereka atau karena dia pembunuh—maka pernikahan itu tetap sah. Namun, jika dia adalah ahli waris, pernikahan itu batal karena dia telah memiliki sebagian dari suaminya. Jika dia membayar kewajiban kitabah kepada salah satu dari dua wali, salah satu dari dua ahli waris, atau kepada ahli waris yang memiliki utang atau wasiat, dia tidak merdeka kecuali setelah utang sampai kepada pemiliknya. Setiap pemilik hak berhak menerimanya jika tidak dibayarkan berdasarkan perintah hakim atau kepada wali.

 

بَابُ عَجْزِ الْمُكَاتَبِ

 

Bab tentang ketidakmampuan budak yang sedang menebus dirinya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَيْسَ لِسَيِّدِهِ أَنْ يَفْسَخَ كِتَابَتَهُ حَتَّى يَعْجِزَ عَنْ أَدَاءِ نَجْمٍ فَيَكُونَ لَهُ فَسْخُهَا بِحَضْرَتِهِ إنْ كَانَ بِبَلَدِهِ، وَإِذَا قَالَ: لَيْسَ عِنْدِي مَالٌ فَأَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ عَجَزَهُ بَطَلَتْ كَانَ عِنْدَ سُلْطَانٍ أَوْ غَيْرِهِ، وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ بِابْنِ عُمَرَ فَإِنْ سَأَلَهُ أَنْ يُنْظِرَهُ مُدَّةً يُؤَدِّي إلَيْهَا نَجْمَهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ عَلَيْهِ وَلَا لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُنْظِرَهُ إلَّا أَنْ يُحْضِرَهُ مَالَهُ يَبِيعُهُ مَكَانَهُ إلَى الْمُدَّةِ فَيُنْظِرَهُ قَدْرَ بَيْعِهِ فَإِنْ حَلَّ عَلَيْهِ نَجْمٌ فِي غَيْبَتِهِ فَأَشْهَدَ سَيِّدُهُ أَنْ قَدْ عَجَزَ أَوْ فَسَخَ كِتَابَتَهُ فَهُوَ عَاجِزٌ وَلَا يَعْجِزُهُ السُّلْطَانُ إلَّا أَنْ تَثْبُتَ بَيِّنَةٌ عَلَى حُلُولِ نَجْمٍ مِنْ نُجُومِهِ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Dan tuannya tidak berhak membatalkan perjanjian kitabahnya hingga ia benar-benar tidak mampu membayar cicilannya, maka barulah tuannya boleh membatalkannya di hadapannya jika ia berada di negerinya. Jika ia berkata, “Aku tidak memiliki harta,” lalu tuannya mempersaksikan bahwa ia telah tidak mampu, maka perjanjian itu batal, baik di hadapan penguasa atau selainnya. Imam Syafi’i berargumen dalam hal ini dengan riwayat Ibnu Umar. Jika budak itu meminta penangguhan waktu untuk membayar cicilannya, maka tuannya atau penguasa tidak boleh memberinya penangguhan kecuali jika ia menghadirkan hartanya untuk dijual sebagai gantinya hingga waktu yang ditentukan, lalu ia diberi penangguhan sesuai nilai penjualannya. Jika cicilan jatuh tempo saat ia tidak ada, lalu tuannya mempersaksikan bahwa ia telah tidak mampu atau membatalkan perjanjian kitabahnya, maka ia dianggap tidak mampu. Dan penguasa tidak boleh menyatakannya tidak mampu kecuali dengan bukti yang jelas bahwa cicilan dari cicilan-cicilannya telah jatuh tempo.

 

فَإِنْ قَالَ: قَدْ أَنْظَرْته وَبَدَا لِي كَتَبَ السُّلْطَانُ إلَى حَاكِمِ بَلَدِهِ فَأَعْلَمَهُ بِذَلِكَ وَأَنَّهُ إنْ لَمْ يُؤَدِّ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَكِيلٌ أَنْظَرَهُ قَدْرَ مَسِيرِهِ إلَى سَيِّدِهِ، فَإِنْ جَاءَ وَإِلَّا عَجَزَهُ حَاكِمُ بَلَدِهِ. وَلَوْ غُلِبَ عَلَى عَقْلِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَعْجِزَهُ حَتَّى يَأْتِيَ الْحَاكِمُ وَلَا يَعْجِزَهُ الْحَاكِمُ حَتَّى يَسْأَلَ مِنْ مَالِهِ فَإِنْ وَجَدَهُ أَدَّى عَنْهُ وَإِنْ لَمْ يَجِدْهُ عَجَزَهُ وَأَخَذَ السَّيِّدُ بِنَفَقَتِهِ وَإِنْ وَجَدَ لَهُ مَالًا، كَانَ لَهُ قَبْلَ التَّعْجِيزِ فَكُّ الْعَجْزِ عَنْهُ وَرَدَّ عَلَى سَيِّدِهِ نَفَقَتَهُ مَعَ كِتَابَتِهِ، وَلَوْ ادَّعَى أَنْ أَوْصَلَ إلَيْهِ كِتَابَتَهُ وَجَاءَ بِشَاهِدٍ أَحْلَفَهُ مَعَهُ وَأَبْرَأَهُ. وَلَوْ دَفَعَ الْكِتَابَةَ وَكَانَتْ عَرَضًا بِصِفَةٍ وَعِتْقٍ ثُمَّ اُسْتُحِقَّ قِيلَ لَهُ: إنْ أَدَّيْت مَكَانَك وَإِلَّا رُقِقْت.

 

 

Jika dia berkata, “Aku telah memberinya tenggat waktu dan tampak bagiku,” maka penguasa menulis kepada hakim negerinya dan memberitahukan hal itu. Jika dia tidak membayar kepadanya atau kepada wakilnya, dan jika dia tidak memiliki wakil, dia diberi tenggat waktu sesuai perjalanan kepada tuannya. Jika dia datang (membayar), (itu cukup); jika tidak, hakim negerinya menyatakannya bangkrut. Jika akalnya terganggu, tidak boleh menyatakannya bangkrut sampai dia menghadap hakim, dan hakim tidak boleh menyatakannya bangkrut sampai memeriksa hartanya. Jika ditemukan harta, hakim membayarkan untuknya; jika tidak ditemukan, hakim menyatakannya bangkrut, dan tuannya mengambil nafkahnya. Jika ditemukan hartanya sebelum penyataan bangkrut, dia bisa membatalkan kebangkrutannya dan mengembalikan nafkahnya kepada tuannya beserta akad kitabahnya. Jika dia mengaku telah menyampaikan akad kitabahnya dan datang dengan saksi, hakim menyumpahnya bersama saksi dan membebaskannya. Jika dia menyerahkan kitabah yang berupa barang dengan sifat dan pembebasan, kemudian dianggap sah, dikatakan kepadanya, “Jika engkau membayar di tempatmu (itu cukup); jika tidak, engkau dikembalikan sebagai budak.”

بَابُ الْوَصِيَّةِ بِالْمُكَاتَبِ وَالْوَصِيَّةِ لَهُ

 

Bab Wasiat untuk Mukatab dan Wasiat untuknya

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا أَوْصَى بِهِ لِرَجُلٍ وَعَجَزَهُ قَبْلَ مَوْتِهِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ يَجُزْ كَمَا لَوْ أَوْصَى بِرَقَبَتِهِ وَهُوَ لَا يَمْلِكُهُ ثُمَّ مَلَكَهُ حَتَّى يُجَدِّدَ وَصِيَّةً لَهُ بِهِ وَإِذَا أَوْصَى بِكِتَابَتِهِ جَازَتْ فِي الثُّلُثِ فَإِذَا أَدَّاهَا عَتَقَ فَإِنْ أَرَادَ الَّذِي أَوْصَى لَهُ تَأْخِيرَهُ وَالْوَارِثُ تَعْجِيلَهُ فَذَلِكَ لِلْوَارِثِ تَصِيرُ رَقَبَتُهُ لَهُ. وَلَوْ كَانَتْ الْكِتَابَةُ فَاسِدَةً بَطَلَتْ الْوَصِيَّةُ، وَلَوْ أَوْصَى بِرَقَبَتِهِ وَكِتَابَتُهُ فَاسِدَةٌ فَفِيهَا قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْوَصِيَّةَ بَاطِلَةٌ. وَالثَّانِي: أَنَّ الْوَصِيَّةَ جَائِزَةٌ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang mewasiatkan (budak) untuk seorang lelaki, lalu ia tidak mampu (membebaskannya) sebelum atau setelah kematiannya, maka wasiat itu tidak sah. Seperti halnya jika ia mewasiatkan budak yang tidak ia miliki, kemudian ia memilikinya, maka ia harus memperbarui wasiat untuk budak tersebut. Jika ia mewasiatkan pembebasan budak melalui kitabah (pembayaran cicilan), maka itu diperbolehkan dalam sepertiga harta. Jika budak tersebut melunasi pembayarannya, ia merdeka. Jika penerima wasiat ingin menunda pembebasan, sedangkan ahli waris ingin mempercepatnya, maka hak itu ada pada ahli waris, dan kepemilikan budak tersebut beralih kepadanya. Jika kitabah itu tidak sah, maka wasiatnya batal. Jika ia mewasiatkan budak tersebut sedangkan kitabahnya tidak sah, maka ada dua pendapat: Pertama, wasiat itu batal. Kedua, wasiat itu sah.

(قَالَ الْمُزَنِيّ) هَذَا أَشْبَهُ بِقَوْلِهِ؛ لِأَنَّهُ فِي مِلْكِهِ فَكَيْفَ لَا يَجُوزُ مَا صَنَعَ فِي مِلْكِهِ؟

 

(Al-Muzani berkata) Ini lebih mirip dengan perkataannya; karena itu berada dalam kepemilikannya, maka bagaimana tidak boleh apa yang ia lakukan dalam kepemilikannya?

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَلَوْ قَالَ: ضَعُوا عَنْهُ أَكْثَرَ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ وَمِثْلَ نِصْفِهِ، وُضِعَ عَنْهُ أَكْثَرُ مِنْ النِّصْفِ بِمَا شَاءُوا وَمِثْلُ نِصْفِهِ، وَلَوْ قَالَ: ضَعُوا عَنْهُ أَكْثَرَ مَا عَلَيْهِ وَمِثْلَهُ وُضِعَ عَنْهُ الْكِتَابَةُ كُلُّهَا وَالْفَضْلُ بَاطِلٌ، وَلَوْ قَالَ: ضَعُوا عَنْهُ مَا شَاءَ فَشَاءَهَا كُلَّهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ إلَّا أَنْ يُبْقِيَ مِنْهَا شَيْئًا.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): “Seandainya Beliau berkata: ‘Hapuskanlah darinya sebagian besar dari sisa hutangnya dan separuhnya,’ maka dihapuskan darinya lebih dari separuh sesuai keinginan mereka dan separuhnya. Jika Beliau berkata: ‘Hapuskanlah darinya sebagian besar dari hutangnya dan semisalnya,’ maka dihapuskan seluruh hutangnya dan kelebihannya batal. Dan jika Beliau berkata: ‘Hapuskanlah darinya sesuai kehendaknya,’ lalu dia menghendaki seluruhnya, maka tidak boleh kecuali harus menyisakan sedikit darinya.”

 

كِتَابُ عِتْقِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ مِنْ كُتُبٍ

 

Kitab tentang pembebasan ibu-ibu anak dari beberapa kitab.

 

(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَإِذَا وَطِئَ أَمَتَهُ فَوَلَدَتْ مَا يَبِينُ أَنَّهُ مِنْ خَلْقِ الْآدَمِيِّينَ عَيْنٌ أَوْ ظُفْرٌ أَوْ أُصْبُعٌ فَهِيَ أُمُّ وَلَدٍ لَا تُخَالِفُ الْمَمْلُوكَةَ فِي أَحْكَامِهَا غَيْرَ أَنَّهَا لَا تَخْرُجُ مِنْ مِلْكِهِ فِي دَيْنٍ وَلَا غَيْرِهِ فَإِذَا مَاتَ عَتَقَتْ مِنْ رَأْسِ الْمَالِ، وَإِنْ لَمْ يَتَبَيَّنْ فِيهِ مِنْ خَلْقِ آدَمِيٍّ سَأَلْنَا عُدُولًا مِنْ النِّسَاءِ فَإِنْ زَعَمْنَ أَنَّ هَذَا لَا يَكُونُ إلَّا مِنْ خَلْقِ آدَمِيٍّ كَانَتْ بِهِ أُمُّ وَلَدٍ، فَإِنْ شَكَكْنَ لَمْ تَكُنْ بِهِ أُمَّ وَلَدٍ وَوَلَدُ أُمِّ الْوَلَدِ بِمَنْزِلَتِهَا يُعْتَقُونَ بِعِتْقِهَا كَانُوا مِنْ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ، وَلَوْ مَاتَتْ قَبْلَهُمْ ثُمَّ مَاتَ السَّيِّدُ عَتَقُوا بِمَوْتِهِ كَأُمِّهِمْ.

 

 

(Imam Syafi’i berkata): Jika seseorang menggauli budak perempuannya lalu melahirkan anak yang jelas termasuk bentuk manusia seperti mata, kuku, atau jari, maka ia menjadi ummu walad (ibu anak) yang tidak berbeda hukumnya dengan budak biasa, kecuali ia tidak bisa dijual untuk melunasi utang atau lainnya. Jika tuannya meninggal, ia merdeka dari harta warisan. Jika tidak ada tanda manusia yang jelas pada anak itu, kita meminta pendapat wanita terpercaya. Jika mereka menyatakan bahwa itu pasti bentuk manusia, maka ia menjadi ummu walad. Jika mereka ragu, ia tidak dianggap ummu walad. Anak-anak ummu walad statusnya seperti ibunya, merdeka jika ibunya merdeka, baik dari hubungan halal atau haram. Jika ibunya meninggal sebelum mereka lalu tuannya meninggal, mereka merdeka karena kematian tuannya seperti ibunya.

 

 

وَلَوْ اشْتَرَى امْرَأَتَهُ وَهِيَ أَمَةٌ حَامِلٌ مِنْهُ ثُمَّ وَضَعَتْ عِنْدَهُ عَتَقَ وَلَدُهَا مِنْهُ وَلَمْ تَكُنْ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ أَبَدًا حَتَّى تَحْمِلَ مِنْهُ وَهِيَ فِي مِلْكِهِ.

 

 

Dan jika seseorang membeli istrinya yang merupakan budak perempuan yang sedang hamil darinya, kemudian melahirkan di sisinya, maka anaknya merdeka darinya, namun dia tidak menjadi ummu walad selamanya sampai hamil darinya saat masih dalam kepemilikannya.

 

 

وَلِلْمُكَاتِبِ أَنْ يَبِيعَ أُمَّ وَلَدِهِ فَإِنْ أَوْصَى رَجُلٌ لِأُمِّ وَلَدِهِ أَوْ لِمُدَبَّرِهِ يَخْرُجُ مِنْ الثُّلُثِ فَهِيَ جَائِزَةٌ؛ لِأَنَّهُمَا يُعْتَقَانِ بِمَوْتِهِ.

 

 

Seorang mukatab boleh menjual umm waladnya. Jika seseorang berwasiat untuk umm waladnya atau mudabbarnya, maka wasiat itu diambil dari sepertiga hartanya dan itu diperbolehkan, karena keduanya akan merdeka setelah kematiannya.

 

وَلَوْ جَنَتْ أُمُّ الْوَلَدِ جِنَايَةً ضَمِنَ السَّيِّدُ الْأَقَلَّ مِنْ الْأَرْشِ أَوْ الْقِيمَةِ فَإِنْ أَدَّى قِيمَتَهَا ثُمَّ عَادَتْ فَجَنَتْ فَفِيهَا قَوْلَانِ:

 

Dan jika seorang ummul walad melakukan kejahatan, tuannya menanggung yang lebih rendah antara diyat atau nilainya. Jika tuannya telah membayar nilainya kemudian dia kembali melakukan kejahatan, maka dalam hal ini ada dua pendapat.

Berikut terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia dengan menyertakan teks aslinya:

 

 

أَحَدُهُمَا: أَنَّ إسْلَامَهُ قِيمَتَهَا كَإِسْلَامِهِ بَدَنِهَا وَيَرْجِعُ الْمَجْنِيُّ عَلَيْهِ الثَّانِي بِأَرْشِ جِنَايَتِهِ عَلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ الْأَوَّلِ فَيَشْتَرِكَانِ فِيهَا بِقَدْرِ جِنَايَتِهِمَا ثُمَّ هَكَذَا كُلَّمَا جَنَتْ، وَيَدْخُلُ فِيهَا أَنَّ إسْلَامَهُ قِيمَتَهَا كَانَ كَإِسْلَامِ بَدَنِهَا إلَى الْأَوَّلِ لَزِمَ الْأَوَّلَ إخْرَاجُهَا إلَى الثَّانِي إذَا بَلَغَ أَرْشُ الْجِنَايَةِ قِيمَتَهَا.

 

 

Salah satunya adalah bahwa penyerahan nilainya sama seperti penyerahan tubuhnya, dan pihak yang dirugikan kedua dapat menuntut diyat atas kerugiannya kepada pihak yang dirugikan pertama, sehingga keduanya berbagi sesuai besarnya kerugian mereka. Begitu pula setiap kali terjadi kerugian. Dan termasuk dalam hal ini bahwa jika penyerahan nilainya sama seperti penyerahan tubuhnya kepada pihak pertama, maka pihak pertama wajib menyerahkannya kepada pihak kedua ketika diyat kerugian telah mencapai nilainya.

 

وَالثَّانِي أَنَّهُ يَدْفَعُ الْأَقَلَّ مِنْ قِيمَتِهَا أَوْ الْجِنَايَةَ فَإِنْ عَادَتْ فَجَنَتْ وَقَدْ دَفَعَ الْأَرْشَ رَجَعَ عَلَى السَّيِّدِ وَهَكَذَا كُلَّمَا جَنَتْ.

 

 

Dan yang kedua, dia harus membayar nilai yang lebih rendah antara harga (hewan) atau tindak kriminalnya. Jika hewan itu kembali dan melakukan pelanggaran lagi, sementara dia sudah membayar ganti rugi, maka (tuntutan) kembali kepada pemiliknya. Demikian seterusnya setiap kali hewan itu melakukan pelanggaran.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَالثَّانِي أَشْبَهُ عِنْدِي بِالْحَقِّ؛ لِأَنَّ إسْلَامَ قِيمَتِهَا لَوْ كَانَ كَإِسْلَامِ بَدَنِهَا لَوَجَبَ أَنْ تَكُونَ الْجِنَايَةُ الثَّانِيَةُ عَلَى قِيمَتِهَا وَبَطَلَتْ الشَّرِكَةُ وَفِي إجْمَاعِهِمْ عَلَى إبْطَالِ ذَلِكَ إبْطَالُ هَذَا الْقَوْلِ وَفِي إبْطَالِهِ ثُبُوتُ الْقَوْلِ الْآخَرِ إذْ لَا وَجْهَ لِقَوْلٍ ثَالِثٍ نَعْلَمُهُ عِنْدَ جَمَاعَةِ الْعُلَمَاءِ مِمَّنْ لَا يَبِيعُ أُمَّهَات الْأَوْلَادِ فَإِذَا افْتَكَّهَا رَبُّهَا صَارَتْ بِمَعْنَاهَا الْمُتَقَدِّمِ لَا جِنَايَةَ عَلَيْهَا وَلَا عَلَى سَيِّدِهَا بِهَا فَكَيْفَ إذَا جَنَتْ لَا يَكُونُ عَلَيْهَا مِثْلُ ذَلِكَ قِيَاسًا.

 

 

(Al-Muzani berkata) Pendapat kedua lebih mendekati kebenaran menurutku, karena jika pembebasan nilainya seperti pembebasan jasadnya, maka kejahatan kedua harus dikenakan pada nilainya dan kerja sama menjadi batal. Kesepakatan mereka untuk membatalkan hal itu menunjukkan batalnya pendapat ini, dan pembatalannya membuktikan pendapat lain, sebab tidak ada pendapat ketiga yang kami ketahui di kalangan ulama yang tidak menjual ummahat al-awlad. Jika tuannya membebaskannya, maka statusnya kembali seperti sebelumnya—tidak ada kejahatan yang dikenakan padanya atau pada tuannya. Lalu bagaimana jika dia melakukan kejahatan, tidak ada konsekuensi serupa yang dikenakan padanya berdasarkan qiyas.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) وَقَدْ مَلَكَ الْمَجْنِيُّ عَلَى الْأَرْشِ بِحَقٍّ فَكَيْفَ يَجْنِي غَيْرُهُ وَغَيْرُ مِلْكِهِ وَغَيْرُ مَنْ هُوَ عَاقِلُهُ لَهُ فَيَجِبُ عَلَيْهِ غُرْمُهُ أَوْ غُرْمُ شَيْءٍ مِنْهُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Dan sungguh orang yang gila telah memiliki hak atas diyat dengan benar, maka bagaimana mungkin orang lain yang bukan pemiliknya dan bukan pula walinya dapat melakukan tindakan, sehingga wajib baginya menanggung ganti rugi atau sebagian darinya.

 

 

(قَالَ) : فَإِنْ أَسْلَمَتْ أُمُّ وَلَدِ النَّصْرَانِيِّ حِيلَ بَيْنَهُمَا وَأَخَذَ بِنَفَقَتِهَا وَتَعْمَلُ مَا يَعْمَلُ لَهُ مِثْلَهَا فَإِنْ أَسْلَمَ خَلَّى بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ وَإِنْ مَاتَ عَتَقَتْ.

 

 

Beliau berkata: “Jika ibu dari anak seorang Nasrani memeluk Islam, maka dipisahkan antara keduanya, dan dia (sang ayah) mengambil nafkahnya serta dia (sang ibu) melakukan pekerjaan seperti yang biasa dilakukannya untuknya. Jika dia (sang ayah) masuk Islam, maka dibiarkan antara dia (sang ibu) dan dirinya (sang ayah). Dan jika dia (sang ayah) meninggal, maka dia (sang ibu) merdeka.”

 

 

فَإِذَا تُوُفِّيَ سَيِّدُ أُمِّ الْوَلَدِ أَوْ أَعْتَقَهَا فَلَا عِدَّةَ وَتُسْتَبْرَأُ بِحَيْضَةٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْحَيْضِ فَثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ أَحَبُّ إلَيْنَا.

 

 

Maka jika pemilik ummul walad meninggal atau memerdekakannya, tidak ada iddah, dan ia harus menunggu satu kali haid. Jika ia bukan termasuk orang yang mengalami haid, maka tiga bulan lebih kami sukai.

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: قَدْ سَوَّى الشَّافِعِيُّ بَيْنَ اسْتِبْرَاءِ الْأَمَةِ وَعِدَّةِ أُمِّ الْوَلَدِ فِي كِتَابِ الْعِدَدِ وَجَعَلَهَا حَيْضَةً فَأَشْبَهَ بِقَوْلِهِ إذَا لَمْ يَكُونَا مِنْ أَهْلِ الْحَيْضِ أَنْ يَقُومَ الشَّهْرُ فِيهِمَا مَقَامَ الْحَيْضَةِ كَمَا قَالَ: إنَّ الشَّهْرَ فِي الْأَمَةِ يَقُومُ مَقَامَ الْحَيْضَةِ وَقَدْ قَالَ فِي بَابِ اسْتِبْرَاءِ أُمِّ الْوَلَدِ فِي كِتَابِ الْعِدَدِ: لَا تَحِلُّ أُمُّ الْوَلَدِ لِلْأَزْوَاجِ إنْ كَانَتْ مِمَّنْ لَا تَحِيضُ إلَّا بِشَهْرٍ وَهَذَا أَوْلَى بِقَوْلِهِ وَأَشْبَهُ بِأَصْلِهِ. وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Sesungguhnya Asy-Syafi’i menyamakan antara masa istibra’ budak perempuan dan iddah ummul walad dalam kitab Al-‘Iddah, dan menjadikannya sebagai satu haid. Hal ini mirip dengan perkataannya bahwa jika keduanya bukan termasuk orang yang haid, maka bulan menggantikan posisi haid pada keduanya, sebagaimana Beliau berkata: “Sesungguhnya bulan pada budak perempuan menggantikan posisi haid.” Dan dia telah berkata dalam bab istibra’ ummul walad dalam kitab Al-‘Iddah: “Ummul walad tidak halal untuk suaminya jika dia termasuk orang yang tidak haid kecuali setelah satu bulan.” Ini lebih sesuai dengan perkataannya dan lebih mirip dengan prinsipnya. Dan hanya kepada Allah pertolongan.

 

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: قَدْ قَطَعَ فِي خَمْسَةَ عَشَرَ كِتَابًا بِعِتْقِ أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ وَوَقَفَ فِي غَيْرِهَا وَقَالَ فِي كِتَابِ النِّكَاحِ الْقَدِيمِ: لَيْسَ لَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا بِغَيْرِ إذْنِهَا وَقَالَ فِي هَذَا الْكِتَابِ: إنَّهَا كَالْمَمْلُوكَةِ فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهَا إلَّا أَنَّهَا لَا تُبَاعُ وَفِي كِتَابِ الرَّجْعَةِ لَهُ أَنْ يَخْتَدِمَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Dia telah memutuskan dalam lima belas kitab tentang pembebasan ibu-ibu anak (ummahat al-awlad) dan ragu dalam kitab lainnya. Dalam kitab Nikah yang lama, Beliau berkata: “Dia tidak boleh menikahkannya tanpa izinnya.” Dalam kitab ini, Beliau berkata: “Sesungguhnya dia (ummahat al-awlad) seperti budak dalam semua hukumnya kecuali bahwa dia tidak boleh dijual.” Dan dalam kitab Rujuk, Beliau berkata: “Dia (suami) boleh mempekerjakannya meskipun dia (istri) tidak suka.”

 

(قَالَ الْمُزَنِيّ) قُلْت أَنَا: وَهَذَا أَصَحُّ قَوْلَيْهِ؛ لِأَنَّ رِقَّهَا لَمْ يَزُلْ فَكَذَلِكَ مَا كَانَ لَهُ مِنْ وَطْئِهَا وَخِدْمَتِهَا وَإِنْكَاحِهَا بِغَيْرِ إذْنِهَا لَمْ يَزُلْ، وَبِاَللَّهِ التَّوْفِيقُ.

 

 

(Al-Muzani berkata) Aku berkata: Dan ini adalah pendapat yang lebih benar di antara dua pendapatnya; karena status budaknya belum hilang, maka demikian pula haknya untuk menggaulinya, memanfaatkan pelayanannya, dan menikahkannya tanpa izinnya belum hilang. Dan hanya kepada Allah pertolongan.