البيع جائز وأصله قوله تعالى: {وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ} وقوله تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ} ويصح البيع من كل بالغ عاقل مختار فأما الصبي والمجنون فلا يصح بيعهما لقوله صلى الله عليه وسلم: “رفع القلم عن ثلاثة عن الصبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق” ولأنه تصرف في المال فلم يفوض إلى الصبي والمجنون كحفظ المال
Kitab al-Buyū‘ (Jual Beli)
Jual beli itu boleh, dan dasarnya adalah firman Allah Ta‘ala: {wa-aḥalla -llāhu al-bay‘a wa-ḥarrama} dan firman-Nya: {yā ayyuhā alladhīna āmanū lā ta’kulū amwālakum baynakum bil-bāṭili illā an takūna tijāratan ‘an tarāḍin minkum}.
Jual beli sah dari setiap orang yang baligh, berakal, dan atas kehendaknya sendiri. Adapun anak kecil dan orang gila, maka jual beli keduanya tidak sah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Rafa‘a al-qalamu ‘an ṡalāṡatin: ‘ani al-ṣabiyyi ḥattā yablugha, wa ‘ani al-nā’imi ḥattā yastaīqiẓa, wa ‘ani al-majnūni ḥattā yafīqa.” Dan karena ini adalah bentuk pengelolaan terhadap harta, maka tidak diserahkan kepada anak kecil dan orang gila, sebagaimana menjaga harta juga tidak diserahkan kepada mereka.
فأما المكره فإنه إن كان بغير حق لم يصح بيعه لقوله تعالى: {لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ} فدل على أنه إذا لم يكن عن تراض لم يحل الأكل وروى أبو سعيد الخدري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إنما البيع عن تراض” فدل على أنه لا بيع عن غير تراض ولأنه قول أكره عليه بغير حق فلم يصح ككلمة الكفر إذا أكره عليها المسلم وإن كان بحق صح لأنه قول حمل عليه بحق فصح ككلمة الإسلام إذا أكره عليها الحربي.
Adapun orang yang dipaksa, maka jika pemaksaan itu tanpa hak, jual belinya tidak sah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {lā ta’kulū amwālakum baynakum bil-bāṭili illā an takūna tijāratan ‘an tarāḍin minkum}, yang menunjukkan bahwa apabila tidak didasari kerelaan, maka tidak halal memakan harta tersebut.
Dan telah meriwayatkan Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi SAW bersabda: “Innamā al-bay‘u ‘an tarāḍin”, yang menunjukkan bahwa tidak sah jual beli tanpa kerelaan. Juga karena ini adalah ucapan yang dipaksakan tanpa hak, maka tidak sah sebagaimana ucapan kekufuran yang dipaksakan kepada seorang muslim.
Namun jika pemaksaan itu dengan hak, maka jual belinya sah, karena itu adalah ucapan yang dipaksakan dengan hak, maka sah sebagaimana ucapan masuk Islam yang dipaksakan kepada orang kafir harbi.
فصل: ولا ينعقد البيع إلا بالإيجاب والقبول فأما المعاطاة فلا ينعقد فيها البيع لأن اسم البيع لا يقع عليه والإيجاب أن يقول بعتك أو ملكتك أو ما أشبههما والقبول أن يقول قبلت أو ابتعت أو ما أشبههما فإن قال المشتري بعني فقال البائع: بعتك انعقد البيع لأن ذلك يتضمن الإيجاب والقبول وإن كتب رجل إلى رجل ببيع سلعة فيه وجهان: أحدهما ينعقد البيع لأنه موضع ضرورة والثاني لا ينعقد وهو الصحيح لأنه قادر على النطق فلا ينعقد البيع بغيره وقول القائل الأول إنه موضع ضرورة لا يصح لأنه يمكنه أن يوكل من يبيعه بالقول.
PASAL: Jual beli tidak sah kecuali dengan ijāb dan qabūl. Adapun jual beli dengan mu‘āṭāh (serah terima tanpa ucapan), maka tidak sah, karena nama jual beli tidak berlaku padanya.
Ijāb adalah ucapan seperti: “Saya jual kepadamu” atau “Saya serahkan milik kepadamu” atau ucapan semacamnya. Sedangkan qabūl adalah ucapan seperti: “Saya terima” atau “Saya beli” atau yang semacamnya.
Jika pembeli berkata, “Jual lah kepadaku”, lalu penjual menjawab, “Saya jual kepadamu,” maka akad jual beli sah, karena hal itu mencakup ijāb dan qabūl.
Jika seseorang menulis surat kepada orang lain untuk menjual suatu barang, maka ada dua pendapat:
Pertama, akad jual beli sah, karena itu adalah keadaan darurat.
Kedua, tidak sah, dan ini adalah pendapat yang benar, karena dia mampu mengucapkannya secara langsung, maka tidak sah jika tidak menggunakan ucapan.
Adapun alasan pendapat pertama bahwa itu keadaan darurat, maka tidak tepat, karena sebenarnya ia bisa mewakilkan kepada orang lain untuk menjual dengan ucapan.
فصل: وإذا انعقد البيع ثبت لكل واحد من المتبايعين الخيار بين الفسخ والإمضاء إلى أن يتفرقا أو يتخايرا لما روى ابن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “البيعان بالخيار ما لم يتفرقا أو يقول أحدهما للآخر اختر” والتفرق أن يتفرقا بأبدانهما بحيث إذا كلمه عن العادة لم يسمع كلامه لما روى نافع أن ابن عمر كان إذا اشترى شيئاً مشى أذرعاً ليجب البيع ثم يرجع ولأن التفرق في الشرع مطلق فوجب أن يحمل على التفرق المعهود وذلك يحصل بما ذكرناه وإن لم يتفرقا ولكن جعل بينهما حاجز من ستر أو غيره لم يسقط الخيار
PASAL: Apabila akad jual beli telah sah, maka masing-masing dari dua pihak yang berjual beli memiliki hak khiyār antara membatalkan atau melanjutkan akad, hingga keduanya berpisah atau salah satunya berkata kepada yang lain, “Pilihlah.”
Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Al-bay‘āni bil-khiyāri mā lam yatafarraqā, aw yaqūla aḥaduhumā lil-ākhar ikhtar.”
Yang dimaksud tafarraq (berpisah) adalah berpisah secara fisik, yaitu dengan jarak yang apabila salah satu berbicara, biasanya tidak terdengar lagi oleh yang lain. Sebagaimana diriwayatkan dari Nāfi‘ bahwa Ibn ‘Umar, apabila membeli sesuatu, ia berjalan beberapa hasta agar jual beli menjadi wajib, lalu ia kembali.
Karena lafaz tafarraq dalam syariat bersifat mutlak, maka wajib dibawa kepada bentuk tafarraq yang dikenal, dan itu terwujud dengan apa yang telah disebutkan.
Jika keduanya tidak berpisah, tetapi di antara mereka terdapat penghalang seperti tirai atau semacamnya, maka hal itu tidak menggugurkan hak khiyār.
لأن ذلك لا يسمى تفرقاً وأما التخاير فهو أن يقول أحدهما للآخر اختر إمضاء البيع أو فسخه فيقول الآخر اخترت إمضاءه أو فسخه فينقطع الخيار لقوله عليه الصلاة والسلام “أو يقول أحدهما للآخر اختر” فإن خير أحدهما صاحبه فسكت لم ينقطع خيار المسؤول وهل ينقطع خيار السائل؟ فيه وجهان: أحدهما لا ينقطع خياره كما لو قال لزوجته اختاري فسكتت فإن خيار الزوج في طلاقها لا يسقط
Karena hal itu tidak disebut perpisahan. Adapun takhayyur adalah salah satu dari keduanya berkata kepada yang lain: “Pilihlah untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya,” lalu yang lain berkata: “Aku memilih untuk meneruskannya” atau “Aku memilih untuk membatalkannya,” maka gugurlah hak khiyar, berdasarkan sabda Nabi SAW: “atau salah satu dari keduanya berkata kepada yang lain: ikhtār (pilihlah).”
Jika salah satu dari keduanya menawarkan pilihan kepada yang lain, lalu yang diajak bicara diam, maka tidak gugur hak khiyar bagi yang diajak bicara. Adapun apakah hak khiyar pihak yang memberi pilihan itu gugur? Maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak gugur hak khiyarnya, sebagaimana jika seorang suami berkata kepada istrinya: “Pilihlah,” lalu si istri diam, maka hak khiyar suami untuk menceraikannya tidak gugur.
والثاني أنه ينقطع لقوله عليه الصلاة والسلام: “أو يقول أحدهما للآخر اختر” فدل على أنه إذا قال يسقط خياره ويخالف تخيير المرأة فإن المرأة لم تكن مالكة للخيار وإذا خيرها فقد ملكها ما لم تكن تملكه فإذا سكتت بقي على حقه وههنا المشتري يملك الفسخ فلا يفيد تخييره إسقاط حقه من الخيار فإن أكرها على التفرق ففيه وجهان: أحدهما يبطل الخيار لأنه كان يمكنه أن يفسخ بالتخاير فإذا لم يفعل فقد رضي بإسقاط الخيار والثاني أنه لا يبطل لأنه لم يوجد منه أكثر من السكوت والسكوت لا يسقط الخيار.
Dan pendapat kedua: bahwa hak khiyar itu gugur, berdasarkan sabda Nabi SAW: “atau salah satu dari keduanya berkata kepada yang lain: ikhtār (pilihlah),” maka hal itu menunjukkan bahwa apabila dia telah berkata demikian, maka gugurlah hak khiyarnya. Ini berbeda dengan kasus ketika seorang suami memberi pilihan kepada istrinya, karena sang istri pada awalnya tidak memiliki hak pilihan, lalu ketika suami memberinya pilihan, maka dia memberikan hak yang sebelumnya tidak dimiliki. Maka jika istri diam, hak suami tetap ada. Adapun dalam hal ini, pembeli memang sudah memiliki hak untuk membatalkan, maka memberinya pilihan tidak berkonsekuensi pada hilangnya haknya dari khiyar.
Jika salah satu dari keduanya dipaksa untuk berpisah (beranjak dari majelis), maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: hak khiyar gugur, karena sebenarnya dia bisa membatalkan dengan takhayyur, maka ketika dia tidak melakukannya berarti dia ridha menggugurkan hak khiyar tersebut.
Pendapat kedua: hak khiyar tidak gugur, karena tidak ada yang muncul darinya kecuali diam, dan diam tidak menggugurkan hak khiyar.
فصل: فإن باعه على أن لا خيار له ففيه وجهان: من أصحابنا من قال يصح لأن الخيار جعل رفقاً بهما فجاز لهما تركه ولأن الخيار غرر فجاز إسقاطه وقال أبو إسحاق لا يصح وهو الصحيح لأنه خيار يثبت بعد تمام البيع فلم يجز إسقاطه قبل تمامه كخيار الشفيع فإن قلنا بهذا فهل يبطل العقد بتمام الشرط؟ فيه وجهان أحدهما لا يبطل لأن هذا الشرط لا يؤدي إلى الجهل بالعوض المعوض والثاني يبطل لأنه يسقط موجب العقد كما لو شرط ألا يسلم المبيع.
PASAL: Jika ia menjual barang dengan syarat bahwa tidak ada hak khiyar baginya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Sebagian dari para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) berkata: jual beli tersebut sah, karena khiyar ditetapkan sebagai bentuk keringanan bagi kedua belah pihak, maka boleh saja keduanya meninggalkannya. Dan karena khiyar termasuk gharar (unsur ketidakpastian), maka boleh dihapuskan.
Dan Abū Isḥāq berkata: tidak sah, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena khiyar adalah hak yang ditetapkan setelah sempurnanya akad jual beli, maka tidak boleh digugurkan sebelum akad itu sempurna, seperti halnya khiyar syuf‘ah.
Jika kita mengambil pendapat ini, maka apakah akadnya batal karena adanya syarat tersebut?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak batal, karena syarat tersebut tidak menyebabkan ketidaktahuan terhadap barang atau harga yang menjadi objek akad.
Pendapat kedua: batal, karena syarat tersebut menggugurkan konsekuensi akad, sebagaimana jika disyaratkan bahwa barang yang dijual tidak akan diserahkan.
فصل: ويجوز شرط خيار ثلاثة أيام في البيوع التي لاربا فيها لما روى محمد بن يحيى بن حبان قال: كان جدي قد بلغ ثلاثين ومائة سنة لا يترك البيع والشراء ولا يزال يخدع فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من بايعته فقل لاخلابة وأنت بالخيار ثلاثاً” فأما في البيوع التي فيها الربا وهي الصرف وبيع الطعام بالطعام فلا يجوز فيها شرط الخيار لأنه لا يجوز أن يتفرقا قبل تمام المبيع ولهذا لا يجوز أن يتفرقا إلا عن قبض العوضين فلو جوزنا شرط الخيار لتفرقا ولم يتم البيع بينهما وجاز شرط الخيار في ثلاثة أيام وفيما دونهما لأنه لو جاز شرط الثلاث فما دونها أولى بذلك
PASAL: Boleh mensyaratkan khiyār selama tiga hari dalam jual beli yang tidak mengandung riba, berdasarkan riwayat dari Muḥammad bin Yaḥyā bin Ḥibbān, ia berkata: “Kakekku telah berusia seratus tiga puluh tahun, ia tidak meninggalkan jual beli, namun ia sering tertipu. Maka Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa engkau melakukan jual beli dengannya, maka katakan: “Lā khilābah (tidak ada penipuan) dan engkau berhak memilih selama tiga hari”.”
Adapun dalam jual beli yang mengandung riba —seperti ṣarf (jual beli mata uang) dan jual beli makanan dengan makanan sejenis— maka tidak boleh disyaratkan adanya khiyār, karena dalam akad seperti ini tidak boleh berpisah sebelum serah terima objek akad. Oleh karena itu, tidak boleh berpisah kecuali setelah menerima kedua barang yang menjadi pengganti (‘iwaḍ).
Seandainya diperbolehkan syarat khiyār, maka akan mengakibatkan keduanya berpisah tanpa sempurnanya akad, padahal itu tidak sah.
Boleh mensyaratkan khiyār selama tiga hari atau kurang darinya, karena apabila syarat khiyār selama tiga hari dibolehkan, maka waktu yang lebih pendek tentu lebih layak untuk dibolehkan.
ولا يجوز أكثر من ثلاثة أيام لأنه غرر وإنما جوز في الثلاث لأنه رخصة فلا يجوز فيما زاد ويجوز أن يشترط لهما ولأحدهما دون الآخر ويجوز أن يشترط لأحدهما ثلاثة أيام وللآخر يوم أو يومان لأن ذلك جعل إلى شرطهما فكان على حسب الشرط فإن شرطا ثلاثة أيام ثم تخايرا سقط قياساً على خيار المجلس وإن شرط الخيار لأجنبي ففيه قولان: أحدهما لا يصح لأنه حكم من أحكام العقد فلا يثبت لغير المتعاقدين كسائر الأحكام والثاني يصح لأنه جعل إلى شرطهما للحاجة وربما دعت الحاجة إلى شرطه للأجنبي بأن يكون أعرف بالمتاع منهما فإن شرطه للأجنبي وقلنا إنه يصح فهل يثبت له؟ فيه وجهان: أحدهما يثبت له لأنه إذا ثبت للأجنبي من جهته فلأن يثبت له أولى
Tidak boleh menetapkan khiyār lebih dari tiga hari karena hal itu mengandung gharar, dan hanya dibolehkan dalam tiga hari karena termasuk rukhṣah (keringanan), maka tidak boleh pada waktu yang melebihi itu.
Boleh disyaratkan khiyār untuk kedua belah pihak atau untuk salah satu pihak saja, dan boleh juga disyaratkan tiga hari untuk salah satu pihak dan satu atau dua hari untuk pihak lainnya, karena hal itu dikembalikan kepada kesepakatan keduanya, maka berlaku sesuai dengan apa yang disyaratkan.
Jika keduanya telah menyepakati tiga hari lalu melakukan takhayyur (saling memilih) sebelumnya, maka gugurlah hak khiyār, berdasarkan qiyās terhadap khiyār majelis.
Jika khiyār disyaratkan untuk orang luar (ajnabī), maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak sah, karena khiyār adalah hukum dari hukum-hukum akad, maka tidak sah ditetapkan untuk selain kedua pihak yang berakad, sebagaimana hukum-hukum lainnya.
Pendapat kedua: sah, karena hal itu dikembalikan kepada kesepakatan keduanya karena adanya kebutuhan, dan mungkin saja kebutuhan menuntut untuk disyaratkan kepada orang luar karena ia lebih mengetahui barang daripada kedua pihak yang berakad.
Jika disyaratkan untuk orang luar dan kita mengambil pendapat bahwa itu sah, maka apakah khiyār itu benar-benar menjadi haknya?
Dalam hal ini ada dua wajah (pendapat):
Pendapat pertama: menjadi haknya, karena jika saja disyaratkan untuknya dari pihak dirinya (pihak ketiga), maka lebih layak lagi jika disyaratkan untuk dirinya secara langsung.
والثاني لا يثبت لأن ثبوته بالشرط فلا يثبت إلا لمن شرط له قال في الصرف: إذا اشترى بشرط الخيار على أن لا يفسخ حتى يستأمر فلاناً لم يكن له أن يفسخ حتى يقول استأمرته فأمرني بالفسخ فمن أصحابنا من قال له أن يفسخ من غير إذنه لأن له أن يفسخ من غير شرط الاستثمار فلا يسقط حقه بذكر الاستثمار وتأول ما قاله على أنه أراد به أنه لا يقول استأمرته إلا بعد أن يستأمره لئلا يكون كاذباً ومنهم من حمله على ظاهره أنه لا يجوز أن يفسخ لأنه ثبت بالشرط فكان على ما شرط وإذا شرط الخيار في البيع ففي ابتداء مدته وجهان: أحدهما من حين العقد لأنها مدة ملحقة بالعقد فاعتبر ابتداؤها من حين العقد كالأجل ولأنه اعتبر من حين التفرق صار أول مدة الخيار مجهولاً لأنه لا يعلم متى يفترقان
Dan pendapat kedua: tidak tetap hak khiyār bagi orang luar, karena keberlakuannya bergantung pada syarat, maka tidak berlaku kecuali untuk orang yang disyaratkan untuknya.
Dikatakan dalam ṣarf: jika seseorang membeli dengan syarat khiyār dengan ketentuan bahwa ia tidak boleh membatalkan kecuali setelah meminta pendapat si Fulan, maka ia tidak boleh membatalkan sampai ia mengatakan: “Aku telah meminta pendapatnya, dan ia memerintahkanku untuk membatalkannya.”
Sebagian dari kalangan kami (ulama Syafi‘iyah) berkata: boleh baginya membatalkan tanpa izin orang itu, karena ia memang berhak membatalkan tanpa syarat meminta pendapat, maka tidak gugur haknya hanya dengan menyebut adanya syarat meminta pendapat.
Mereka menakwil ucapan tersebut sebagai: maksudnya adalah bahwa ia tidak boleh mengatakan “aku telah meminta pendapatnya” kecuali setelah benar-benar melakukannya, agar tidak berdusta.
Sebagian yang lain memahaminya secara zahir: bahwa ia tidak boleh membatalkan, karena hak itu ditetapkan melalui syarat, maka terikatlah dengan apa yang telah disyaratkan.
Apabila syarat khiyār ditetapkan dalam akad jual beli, maka dalam penetapan awal waktunya terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: dimulai sejak waktu akad, karena durasi tersebut terhubung dengan akad, maka waktu mulainya dihitung sejak akad, sebagaimana halnya tenggat waktu (ajal).
Dan karena apabila dihitung sejak waktu berpisah, maka permulaan masa khiyār menjadi tidak jelas, karena tidak diketahui kapan keduanya berpisah.
والثاني أنه يعتبر من حين التفرق لأن ما قبل التفرق الخيار ثابت فيه بالشرع فلا يثبت فيه بشرط الخيار فإن قلنا إن ابتداءه من حين العقد فشرط أن يكون من حين التفرق بطل لأن وقت الخيار مجهول ولأنه يزيد الخيار على ثلاثة أيام ولو قلنا أن ابتداءه من حين التفرق فشرط أن يكون من حين العقد ففيه وجهان: أحدهما يصح لأن ابتداء الوقت معلوم والثاني لا يصح لأنه شرط ينافي موجب العقد فأبطله ومن ثبت له الخيار فله أن يفسخ في محضر من صاحبه وفي غيبته لأنه رفع عقد جعل إلى اختياره فجاز في حضوره وغيبته كالطلاق
Dan pendapat kedua: bahwa awal masa khiyār dihitung sejak perpisahan, karena sebelum perpisahan hak khiyār telah tetap berdasarkan syariat, maka tidak ditetapkan lagi melalui syarat.
Jika kita mengatakan bahwa permulaan masa khiyār adalah sejak akad, lalu disyaratkan agar dimulai sejak perpisahan, maka syarat itu batal, karena waktu khiyār menjadi tidak jelas, dan karena hal itu menyebabkan durasi khiyār melebihi tiga hari.
Namun jika kita mengatakan bahwa permulaan masa khiyār adalah sejak perpisahan, lalu disyaratkan agar dimulai sejak akad, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: sah, karena waktu mulainya jelas.
Pendapat kedua: tidak sah, karena itu merupakan syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad, maka syarat tersebut batal.
Barang siapa yang telah ditetapkan hak khiyār baginya, maka ia boleh membatalkan akad, baik di hadapan lawannya maupun saat tidak hadir, karena hal itu merupakan pembatalan akad yang diserahkan kepada pilihannya, maka dibolehkan dalam keadaan hadir maupun tidak hadir, sebagaimana dalam kasus talak.
فإن تصرف في المبيع تصرفاً يفتقر إلى الملك كالعتق والوطء والهبة والبيع وما أشبهها نظرت فإن كان ذلك من البائع كان اختياراً للفسخ لأنه تصرف يفتقر إلى الملك فجعل اختياراً للفسخ والرد إلى الملك وإن كان ذلك من المشتري ففيه وجهان: قال أبو إسحاق: إن كان ذلك عتقاً كان اختياراً للإمضاء وإن كان غيره لم يكن اختياراً لأن العتق لو وجد قبل العلم بالعيب منع الرد فأسقط خيار المجلس وخيار الشرط وما سواه لو وجد قبل العلم بالعيب لم يمنع الرد فلم يسقط خيار المجلس وخيار الشرط
Jika seseorang melakukan tindakan terhadap barang yang dijual berupa tindakan yang memerlukan hak milik —seperti memerdekakan, menyetubuhi, menghibahkan, menjual, dan semisalnya— maka hal itu perlu diperinci:
Jika tindakan itu dilakukan oleh penjual, maka dianggap sebagai pilihan untuk membatalkan (fasakh), karena ia melakukan tindakan yang membutuhkan hak milik, maka diposisikan sebagai bentuk memilih pembatalan dan pengembalian barang kepada kepemilikannya.
Namun jika tindakan itu dilakukan oleh pembeli, maka ada dua pendapat:
Abū Isḥāq berkata: jika tindakan itu berupa pemerdekaan (‘itq), maka dianggap sebagai pilihan untuk meneruskan (imḍā’), sedangkan jika berupa tindakan selain itu, maka tidak dianggap sebagai pilihan, karena pemerdekaan jika dilakukan sebelum diketahui adanya cacat, maka ia mencegah pengembalian barang (dalam khiyār aib), sehingga dapat menggugurkan khiyār majlis dan khiyār syarṭ.
Adapun tindakan selain pemerdekaan, jika dilakukan sebelum diketahui adanya cacat, tidak mencegah pengembalian barang, maka tidak menggugurkan khiyār majlis dan khiyār syarṭ.
وقال أبو سعيد الإصطخري: الجميع اختيار للإممضاء وهو الصحيح لأن الجميع يفتقر إلى الملك فكان الجميع اختياراً للملك ولأن في حق البائع الجميع واحد فكذلك في حق المشتري فإن وطئها المشتري بحضرة البائع وهو ساكت فهل ينقطع خيار البائع بذلك؟ فيه وجهان أحدهما ينقطع لأنه أمكنه أن يمنعه فإذا سكت كان ذلك رضا بالبيع والثاني لا ينقطع لأنه سكوت عن التصرف في ملكه فلا يسقط عليه حكم التصرف كما لو رأى رجلاً يخرق ثوبه فسكت عنه
dan Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: semuanya merupakan pilihan untuk meneruskan (akad), dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena semuanya membutuhkan kepemilikan, maka semuanya dianggap sebagai pilihan untuk memiliki. Dan karena dalam hak penjual semuanya dianggap satu, maka demikian pula dalam hak pembeli.
Jika pembeli menyetubuhinya di hadapan penjual dan penjual diam saja, apakah dengan itu gugur hak khiyār bagi penjual? Dalam hal ini ada dua wajah (pendapat):
Pertama, gugur, karena penjual mampu mencegahnya, maka ketika ia diam berarti itu adalah tanda kerelaan terhadap jual beli.
Kedua, tidak gugur, karena diam atas tindakan terhadap miliknya tidak menyebabkan gugurnya hukum atas tindakan tersebut, sebagaimana jika ia melihat seseorang merobek pakaiannya lalu ia diam saja.
فإن جن من له الخيار أو أغمي عليه انتقل الخيار إلى الناظر في ماله وإن مات فإن كان في خيار الشرط انتقل الخيار إلى من ينتقل إليه المال لأنه حق ثابت لإصلاح المال كالرهن وحبس المبيع على الثمن فإن لم يعلم والوارث حتى انقضت المدة ففيه وجهان: أحدهما يثبت له الخيار في القدر الذي بقي من المدة لأنه لما انتقل الخيار إلى غير من شرط له بالموت وجب أن ينتقل إلى غير الزمان الذي شرط فيه
maka jika orang yang memiliki hak khiyār itu menjadi gila atau pingsan, maka hak khiyār berpindah kepada pengelola hartanya. Dan jika ia meninggal dunia, maka jika ia dalam khiyār al-syarth, hak khiyār berpindah kepada orang yang menerima harta warisan, karena ia adalah hak yang ditetapkan demi kemaslahatan harta, seperti rahn dan penahanan barang dagangan karena harga.
Jika ahli waris tidak mengetahuinya hingga masa (khiyār) berakhir, maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat):
Pertama, ia tetap memiliki hak khiyār dalam sisa waktu yang masih ada, karena ketika hak khiyār berpindah kepada selain orang yang disyaratkan untuknya akibat kematian, maka semestinya ia juga berpindah kepada selain waktu yang disyaratkan.
والثاني أن تسقط المدة ويثبت الخيار للوارث على الفور لأن المدة فاتت وبقي الخيار فكان على الفور كخيار الرد بالعيب وإن كان في خيار المجلس فقد روى المزني أن الخيار للوارث وقال في المكاتب إذا مات وجب البيع فمن أصحابنا من قال لا يسقط الخيار بالموت في المكاتب وغيره وقوله في المكاتب وجب البيع أراد به أن ينفسخ بالموت كما تنفسخ الكتابة ومنهم من قال يسقط الخيار في بيع المكاتب ولا يسقط في بيع غيره لأن السيد يملك بحق الملك
dan pendapat kedua: bahwa masa khiyār gugur dan hak khiyār bagi ahli waris ditetapkan secara langsung (‘alā al-fawr), karena waktu (syarat) telah lewat sedangkan hak khiyār masih ada, maka hukumnya langsung seperti khiyār al-radd bi al-‘ayb.
Jika berada dalam khiyār al-majlis, maka al-Muzanī meriwayatkan bahwa hak khiyār berpindah kepada ahli waris. Ia berkata tentang al-mukātab (budak yang dalam perjanjian pembebasan bertahap): “Jika ia meninggal dunia maka wajib dijual.” Di antara para sahabat kami ada yang berpendapat: hak khiyār tidak gugur karena kematian, baik dalam al-mukātab maupun selainnya.
Adapun ucapannya: “Dalam al-mukātab wajib dijual,” yang dimaksud adalah bahwa akad menjadi batal karena kematian, sebagaimana akad kitābah juga batal dengan kematian. Dan di antara mereka ada yang berpendapat: hak khiyār gugur dalam jual beli budak mukātab, namun tidak gugur dalam selainnya, karena tuan memiliki hak kepemilikan penuh.
فإذا لم يملك في حياة المكاتب لم يملك بعد موته والوارث يملك بحق الإرث فانتقل إليه بموته ومنهم من نقل جواب كل واحدة من المسألتين إلى الأخرى وخرجهما على قولين: أحدهما أنه يسقط الخيار لأنه إذا سقط الخيار بالتفرق فلأن يسقط بالموت والتفرق فيه أعظم أولى والثاني لا يسقط وهو الصحيح لأنه خيار ثابت لفسخ البيع فلم يبطل بالموت كخيار الشرط فعلى هذا إن كان الذي ينتقل إليه الخيار حاضراً ثبت له الخيار إلى أن يتفرقا أو يتخايرا وإن كان غائباً ثبت له الخيار إلى أن يفارق الموضع الذي بلغه فيه.
maka jika ia (tuan) tidak memiliki (hak menjual) saat mukātab masih hidup, maka ia pun tidak memilikinya setelah kematiannya. Sedangkan ahli waris memiliki (hak) karena warisan, maka hak itu berpindah kepadanya karena kematian. Di antara mereka ada yang memindahkan jawaban masing-masing dari dua masalah tersebut kepada yang lainnya, dan membangunnya atas dua qaul:
Pertama, hak khiyār gugur, karena jika gugur khiyār dengan perpisahan (tafarqu), maka lebih utama gugur dengan kematian, karena perpisahan itu lebih ringan daripada kematian.
Kedua, hak khiyār tidak gugur, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena ia adalah hak khiyār yang ditetapkan untuk membatalkan jual beli, maka tidak batal dengan kematian sebagaimana khiyār al-syarth.
Berdasarkan pendapat ini, jika orang yang menerima hak khiyār itu hadir, maka tetap baginya hak khiyār hingga mereka berpisah atau saling memilih. Dan jika ia tidak hadir, maka tetap hak khiyār baginya hingga ia meninggalkan tempat di mana ia mendengar (tentang akad tersebut).
فصل: وفي الوقت الذي ينتقل الملك في البيع الذي فيه خيار المجلس أو خيار الشرط ثلاثة أقوال: أحدها ينتقل بنفس العقد لأنه عقد معاوضة يوجب الملك فانتقل الملك فيه بنفس العقد كالنكاح والثاني أنه يملك بالعقد وانقضاء الخيار لأنه لا يملك التصرف إلا بالعقد وانقضاء الخيار فدل على أنه لا يملك إلا بهما والثالث أنه موقوف مراعى فإن لم ينفسخ العقد تبينا أنه ملك بالعقد وإن فسخ تبينا أنه لم يملك لأنه لا يجوز أنه يملك بالعقد لأنه لو ملك بالعقد لملك التصرف
PASAL: Tentang waktu berpindahnya kepemilikan dalam jual beli yang di dalamnya terdapat khiyār al-majlis atau khiyār al-syarth, terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama: kepemilikan berpindah dengan akad itu sendiri, karena ia adalah akad pertukaran yang menyebabkan kepemilikan, maka kepemilikan berpindah dengan sendirinya melalui akad, sebagaimana dalam akad nikah.
Pendapat kedua: kepemilikan terjadi dengan akad dan selesainya masa khiyār, karena seseorang tidak memiliki hak taṣarruf kecuali dengan keduanya, yaitu akad dan berakhirnya khiyār, maka hal itu menunjukkan bahwa kepemilikan tidak terjadi kecuali dengan keduanya.
Pendapat ketiga: kepemilikan berstatus mauqūf, tergantung dan diperhatikan; jika akad tidak dibatalkan, maka ternyata kepemilikan terjadi sejak akad; dan jika dibatalkan, maka ternyata tidak terjadi kepemilikan, karena tidak boleh dikatakan bahwa kepemilikan terjadi dengan akad, sebab jika demikian, tentu ia berhak melakukan taṣarruf.
ولا يجوز أن يملك بانقضاء الخيار لأن انقضاء الخيار لا يوجب الملك فثبت أنه موقوف مراعى فإن كان المبيع عبداً فأعتقه البائع نفذ عتقه لأنه إن كان باقياً على ملكه فقد صادف العتق ملكه وإن كان قد زال ملكه عنه إلا أن يملك الفسخ فجعل العتق فسخاً وإن أعتقه المشتري لم يخل إما أن يفسخ البائع البيع أو لا يفسخ فإن لم يفسخ وقلنا إنه يملكه بنفس العقد أو قلنا إنه موقوف نفذ عتقه لأنه صادف ملكه وإن قلنا إنه لا يملك بالعقد م يعتق لأنه لم يصادف ملكه وإن فسخ البائع وقلنا إنه لا يملك بالعقد أو موقوف لم يعتق لأنه لم يصادف ملكه
dan tidak boleh dikatakan bahwa kepemilikan terjadi dengan berakhirnya khiyār, karena berakhirnya khiyār tidak menyebabkan kepemilikan. Maka tetaplah bahwa status kepemilikan itu mauqūf mura‘ā (tergantung dan diperhatikan).
Jika barang yang dijual adalah seorang budak, lalu penjual memerdekakannya, maka kemerdekaannya sah, karena jika memang budak itu masih dalam kepemilikannya, maka pemerdekaan itu bertepatan dengan miliknya. Dan jika kepemilikannya telah hilang darinya namun ia masih memiliki hak membatalkan, maka pemerdekaan itu dianggap sebagai pembatalan.
Dan jika pembeli yang memerdekakannya, maka tidak lepas dari dua keadaan: penjual membatalkan akad atau tidak. Jika penjual tidak membatalkan, dan kita katakan bahwa pembeli memilikinya dengan akad, atau kita katakan statusnya mauqūf, maka kemerdekaannya sah karena bertepatan dengan miliknya.
Namun jika kita katakan bahwa pembeli tidak memilikinya dengan akad, maka kemerdekaannya tidak sah, karena tidak bertepatan dengan miliknya.
Dan jika penjual membatalkan, dan kita katakan bahwa pembeli tidak memilikinya dengan akad atau statusnya mauqūf, maka tidak sah pemerdekaannya karena tidak bertepatan dengan miliknya.
وإن قلنا إنه يملك بالعقد ففيه وجهان: قال أبو العباس إن كان موسراً عتق وإن كان معسراً لم يعتق لأن العتق صادف ملكه وقد تعلق به حق الغير فأشبه عتق المرهون ومن أصحابنا من قال لا يعتق وهو المنصوص لأن البائع اختار الفسخ والمشتري اختار الإجازة بالعتق والفسخ والإجازة إذا اجتمعا قدم الفسخ ولهذا لو قال المشتري أجزت وقال البائع بعده فسخت قدم الفسخ وبطلت الإجازة وإن كانت سابقة للفسخ فإن قلنا لا يعتق عاد العبد إلى ملك البائع وإن قلنا يعتق فهل يرجع البائع بالثمن أو بالقيمة؟ قال أبو العباس يحتمل وجهين: أحدهما يرجع بالثمن ويكون العتق مقرراً للعقد ومبطلاً للفسخ.
Dan jika kita mengatakan bahwa kepemilikan terjadi dengan akad, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: Abu al-‘Abbās berkata, jika pembelinya mampu, maka hamba itu merdeka; dan jika ia tidak mampu, maka tidak merdeka, karena pemerdekaan itu terjadi saat harta itu dalam kepemilikannya, sedangkan hak orang lain telah melekat padanya, maka hal itu menyerupai pemerdekaan terhadap barang yang digadaikan.
Sebagian dari ulama mazhab kami mengatakan bahwa hamba itu tidak merdeka, dan ini adalah pendapat yang diriwayatkan (dari Imam al-Syāfi‘i), karena penjual memilih pembatalan (akad) sedangkan pembeli memilih melanjutkan (akad) melalui pemerdekaan, dan jika pembatalan dan pelanjutan akad bertemu, maka didahulukanlah pembatalan. Oleh karena itu, jika pembeli berkata, “Saya setujui,” lalu penjual berkata setelahnya, “Saya batalkan,” maka yang didahulukan adalah pembatalan dan batal kesetujuan, meskipun kesetujuan itu lebih dulu dari pembatalan.
Jika kita mengatakan bahwa hamba itu tidak merdeka, maka ia kembali menjadi milik penjual. Dan jika kita mengatakan bahwa ia merdeka, maka apakah penjual berhak kembali atas harga atau atas nilai? Abu al-‘Abbās berkata, terdapat dua kemungkinan: yang pertama, penjual berhak kembali atas harga, dan pemerdekaan itu menjadi penetap akad dan membatalkan pembatalan.
والثاني أنه يرجع بالقيمة لأن البيع انفسخ وتعذر الرجوع إلى العين فرجع إلى قيمته كما لو اشترى عبداً بثوب واعتق العبد ووجد البائع بالثوب عيباً فرده فإنه يرجع بقيمة العبد فإن باع البائع المبيع أو وهبه صح لأنه إما أن يكون على ملكه فيملك العقد عليه وإما أن يكون للمشتري إلا أنه يملك الفسخ فجعل البيع والهبة فسخاً وإن باع المشتري المبيع أو وهبه نظرت فإن كان بغير رضى البائع فإن قلنا إنه في ملك البائع لم يصح تصرفه وإن قلنا إنه في ملكه ففيه وجهان:
Dan yang kedua, bahwa penjual berhak kembali atas nilai karena akad jual beli telah batal dan tidak mungkin kembali kepada barangnya, maka dikembalikan kepada nilainya. Sebagaimana jika seseorang membeli seorang budak dengan sehelai pakaian, lalu membebaskan budak itu, kemudian penjual menemukan cacat pada pakaian dan mengembalikannya, maka ia berhak kembali atas nilai budak.
Jika penjual menjual barang yang dijual atau memberikannya (sebagai hibah), maka sah, karena bisa jadi barang itu masih miliknya sehingga ia berhak mengadakan akad atasnya, atau bisa jadi milik pembeli, hanya saja penjual memiliki hak pembatalan, maka jual dan hibah itu dianggap sebagai bentuk pembatalan.
Jika pembeli menjual barang yang dibeli atau menghibahkannya, maka perlu dilihat: jika itu dilakukan tanpa kerelaan penjual, maka jika kita katakan barang itu masih milik penjual, maka tidak sah tindakan pembeli. Namun jika kita katakan bahwa itu milik pembeli, maka terdapat dua pendapat:
قال أبو سعيد الاصطخري: يصح وللبائع أن يختار الفسخ فإذا فسخ بطل تصرف المشتري ووجهه أن التصرف صادف ملكه الذي ثبت للغير فيه حق الانتزاع فأشبه إذا اشترى شقصاً فيه شفعة فباعه ومن أصحابنا من قال لا يصح لأنه باع عيناً تعلق بها حق الغير من غير رضاه فلم يصح كما لو باع الراهن المرهون فأما إذا تصرف فيه برضى البائع نظرت فإن كان عتقاً نفذ لأنهما رضيا بإمضاء البيع وإن كان بيعاً أو هبة ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه ابتدأ بالتصرف قبل أن يتم ملكه والثاني يصح لأن المنع من التصرف لحق البائع وقد رضي البائع.
Berkata Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī: sah (transaksi pembeli) dan penjual tetap memiliki hak memilih pembatalan. Jika penjual membatalkannya, maka batal pula tindakan pembeli. Dasarnya adalah bahwa tindakan tersebut terjadi atas sesuatu yang secara hukum merupakan miliknya, namun padanya terdapat hak orang lain untuk mencabut, maka menyerupai orang yang membeli bagian dari suatu properti yang padanya ada hak syuf‘ah, lalu ia menjualnya.
Dan sebagian dari ulama mazhab kami berkata: tidak sah, karena ia menjual barang yang padanya terdapat hak orang lain tanpa kerelaannya, maka tidak sah, sebagaimana jika orang yang menggadaikan menjual barang yang digadaikan.
Adapun jika pembeli bertindak atas barang itu dengan kerelaan penjual, maka perlu diperhatikan: jika itu berupa pemerdekaan, maka sah, karena keduanya telah ridha terhadap pelanjutan akad jual beli. Dan jika berupa jual beli atau hibah, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak sah, karena ia memulai tindakan sebelum kepemilikannya sempurna.
Kedua, sah, karena larangan melakukan tindakan tersebut berasal dari hak penjual, dan penjual telah ridha.
فصل: وإن كان المبيع جارية لم يمنع البائع من وطئها لأنها باقية على ملكه في بعض الأقوال ويمكن ردها إلى ملكه في بعض الأقوال فإذا وطئها انفسخ البيع ولا يجوز للمشتري وطؤها لأن في أحد الأقوال لا يملكها وفي الثاني مراعي فلا يعلم هل يملكها أم لا وفي الثالث يملكها ملكاً غير مستقر فإن وطئها لم يجب الحد وإن أحبلها ثبت نسب الولد وانعقد الولد حراً لأنه إما أن يكون في ملك أو في شبهة ملك وأما المهر وقيمة الولد وكون الجارية أم ولد فإنه يبنى على الأقوال فإن أجاز البائع البيع بعد وطء المشتري وقلنا إن الملك للمشتري أو موقوف لم يلزمه المهر ولا قيمة الولد وتصير الجارية أم ولد لأنها مملوكته
PASAL: Jika barang yang dijual adalah seorang jāriyah (budak perempuan), maka penjual tidak dilarang untuk menyetubuhinya karena ia masih berada dalam kepemilikannya menurut sebagian pendapat, dan bisa kembali menjadi miliknya menurut pendapat yang lain. Maka jika ia menyetubuhinya, jual beli menjadi batal.
Adapun bagi pembeli, tidak boleh menyetubuhinya karena menurut salah satu pendapat, ia belum memilikinya; menurut pendapat kedua, kepemilikannya masih tergantung (murā‘ā), sehingga tidak diketahui apakah ia memilikinya atau tidak; dan menurut pendapat ketiga, ia memilikinya dengan kepemilikan yang tidak tetap.
Jika pembeli menyetubuhinya, maka tidak wajib ḥadd, dan jika ia menghamilinya, nasab anak itu tetap dan anak itu menjadi merdeka, karena ia lahir dari kepemilikan atau dari syubhat kepemilikan.
Adapun mengenai mahar, nilai anak, dan status budak perempuan itu sebagai umm walad, maka semua dibangun atas dasar perbedaan pendapat. Jika penjual menyetujui jual beli setelah pembeli menyetubuhinya, dan kita mengatakan bahwa kepemilikan ada pada pembeli atau masih tergantung, maka ia tidak diwajibkan membayar mahar maupun nilai anak, dan budak perempuan itu menjadi umm walad karena ia adalah miliknya.
وإن قلنا إن الملك للبائع فعليه المهر وقال أبو إسحاق: لا يلزمه كما لا تلزمه أجرة الخدمة والمذهب الأول لأنه وطء في ملك البائع ويخالف الخدمة فإن الخدمة تستباح بالإباحة والوطء لا يستباح وفي قيمة الولد وجهان: أحدهما لا تلزمه لأنها وضعته في ملكه والاعتبار بحال الوضع ألا ترى أن قيمة الولد تعتبر حال الوضع والثاني تلزمه لأن العلوق حصل في غير ملكه والاعتبار بحال العلوق لأنها حالة الإتلاف وإنما تأخر التقويم إلى حال الوضع لأنه لا يمكن تقويمه في حال العلوق وهل تصير الجارية أم ولد؟ فيه قولان كما قلنا فيمن أحبل جارية غيره بشبهة
Dan jika dikatakan bahwa kepemilikan adalah milik penjual, maka penjual wajib membayar mahar. Abu Ishaq berkata: tidak wajib membayar mahar, sebagaimana ia tidak wajib membayar upah pelayanan. Namun, pendapat yang pertama adalah madzhab yang lebih kuat, karena jima‘ itu terjadi dalam kepemilikan penjual, dan berbeda dengan pelayanan, sebab pelayanan boleh dimanfaatkan dengan izin, sedangkan jima‘ tidak boleh dilakukan hanya dengan izin.
Tentang nilai anak, terdapat dua pendapat: pendapat pertama, tidak wajib membayar karena anak dilahirkan dalam kepemilikannya, dan yang menjadi tolok ukur adalah keadaan saat melahirkan. Tidakkah engkau lihat bahwa nilai anak ditentukan berdasarkan saat kelahirannya?
Pendapat kedua, wajib membayar, karena kehamilan terjadi di luar kepemilikannya, dan yang menjadi tolok ukur adalah keadaan saat terjadi kehamilan, karena itulah saat terjadinya perusakan. Hanya saja penilaian ditunda sampai waktu kelahiran karena tidak mungkin melakukan penilaian saat kehamilan.
Apakah budak perempuan itu menjadi ummu walad? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, sebagaimana pendapat dalam kasus seseorang yang menghamili budak milik orang lain karena syubhat.
فأما إذا فسخ البيع وعادت إلى ملكه فإن قلنا إن الملك للبائع أو موقوف وجب عليه المهر وقيمة الولد ولا تصير الجارية في الحال أم ولد وهل تصير أم ولد إذا ملكها؟ فيه قولان وإن قلنا إن الملك للمشتري لم يجب عليه المهر لأن الوطء صادف ملكه ومن أصحابنا من قال: يجب لأن لم يتم ملكه عليها وهذا يبطل به إذا أجاز البائع البيع وعلى قول أبي العباس تصير أم ولد كما تعتق إذا أعتقها عنده وهل يرجع البائع بقيمتها أو بالثمن؟ فيه وجهان: وقد بينا ذلك في العتق وعلى المنصوص أنها لا تصير أم ولد له لأن حق البائع سابق فلا يسقط بإحبال المشتري فإن ملكها المشتري بعد ذلك صارت أم ولد لأنها لم تصر أم ولد له في الحال لحق البائع فإذا ملكها صارت أم ولد.
Adapun jika akad jual beli dibatalkan dan budak perempuan itu kembali kepada kepemilikan penjual, maka jika dikatakan bahwa kepemilikan adalah milik penjual atau statusnya mauqūf, maka penjual wajib membayar mahar dan nilai anak. Dan budak perempuan itu pada saat itu tidak langsung menjadi ummu walad. Apakah ia akan menjadi ummu walad jika kemudian dimiliki oleh orang yang menghamilinya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat.
Dan jika dikatakan bahwa kepemilikan adalah milik pembeli, maka pembeli tidak wajib membayar mahar karena jima‘ tersebut terjadi dalam kepemilikannya. Namun sebagian ulama mazhab kami berkata: wajib membayar mahar, karena kepemilikannya belum sempurna atas budak tersebut. Ini akan rusak (batal) jika penjual kemudian menyetujui jual beli tersebut.
Menurut pendapat Abu al-‘Abbās, budak itu menjadi ummu walad, sebagaimana budak menjadi merdeka bila dimerdekakan olehnya. Lalu apakah penjual berhak mengambil nilai budak tersebut atau hanya sebatas harga jualnya? Dalam hal ini terdapat dua wajah, dan telah dijelaskan sebelumnya dalam bab ‘itq.
Menurut pendapat yang manshūsh, budak tersebut tidak menjadi ummu walad bagi pembeli, karena hak penjual lebih dahulu dan tidak gugur hanya karena pembeli menghamilinya. Namun jika setelah itu pembeli memilikinya kembali, maka budak itu menjadi ummu walad, karena sebelumnya belum menjadi ummu walad baginya disebabkan adanya hak penjual, maka ketika ia memilikinya, barulah ia menjadi ummu walad.
فصل: وإن اشترى جارية فولدت في مدة الخيار بنينا على أن الحمل هل له حكم في البيع وفيه قولان: أحدهما له حكم ويقابله قسط من الثمن وهو الصحيح لأن ما أخذ قسطاً من الثمن بعد الانفصال أخذ قسطاً من الثمن قبل الانفصال كاللبن والثاني لا حكم له ولا قسط له من الثمن لأنه يتبعها في العتق فلم يأخذ قسطاً من الثمن كالأعضاء فإن قلنا إن له حكماً فهو مع الأم بمنزلة العينين المبيعتين فإن أمضى العقد كانا للمشتري وإن فسخ العقد كانا للبائع كالعينين المبيعتين وإن قلنا لا حكم له نظرت فإن أمضى العقد وقلنا إن الملك ينتفل بالعقد أو موقوف فهما للمشتري وإن قلنا إنه يملك بالعقد وانقضاء الخيار فالولد للبائع وإن قلنا يملك بالعقد فهو للمشتري وقال أبو اسحاق الولد للبائع لأن على هذا القول لا ينفذ عتق المشتري وهذا خطأ لأن العتق يفتقر إلى ملك تام والنماء لا يفتقر إلى ملك تام.
PASAL: Apabila seseorang membeli seorang jariyah lalu ia melahirkan dalam masa khiyār, maka hal ini tergantung pada apakah janin memiliki status hukum dalam jual beli, dan dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan bahwa janin memiliki status hukum dan mendapat bagian dari harga, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena sesuatu yang mendapatkan bagian dari harga setelah kelahiran juga mendapatkan bagian sebelum kelahiran, sebagaimana susu.
Pendapat kedua menyatakan bahwa janin tidak memiliki status hukum dan tidak mendapat bagian dari harga, karena ia mengikuti induknya dalam status merdeka, sehingga tidak mendapat bagian harga, sebagaimana anggota tubuh.
Jika dikatakan bahwa janin memiliki status hukum, maka ia bersama ibunya diposisikan seperti dua barang yang diperjualbelikan. Jika akad diteguhkan, keduanya menjadi milik pembeli; jika akad dibatalkan, keduanya kembali kepada penjual, seperti dua barang yang diperjualbelikan.
Namun jika dikatakan janin tidak memiliki status hukum, maka diperinci: jika akad diteguhkan dan dikatakan bahwa kepemilikan berpindah dengan akad atau bahwa kepemilikan itu mauqūf, maka anak itu menjadi milik pembeli.
Jika dikatakan bahwa kepemilikan berpindah dengan akad dan berakhirnya khiyār, maka anak itu milik penjual.
Jika dikatakan bahwa kepemilikan berpindah dengan akad, maka anak itu milik pembeli.
Abu Ishaq berkata: Anak itu milik penjual, karena menurut pendapat ini, pembebasan budak (oleh pembeli) tidak sah.
Namun ini adalah kekeliruan, karena pembebasan budak membutuhkan kepemilikan yang sempurna, sedangkan pertumbuhan (seperti kelahiran) tidak membutuhkan kepemilikan yang sempurna.
فصل: وإن تلف المبيع في يد المشتري في مدة الخيار فلمن له الخيار الفسخ والإمضاء لأن الحاجة التي دعت إلى الخيار باقية بعد تلف المبيع فإن فسخ وجبت القيمة على المشتري لأنه تعذر رد العين فوجب رد القيمة وإن أمضى العقد فإن قلنا إنه يملك بنفس العقد أو موقوف فقد هلك من ملكه وإن قلنا يملك بالعقد وانقضاء الخيار وجب على المشتري قيمته والله أعلم.
PASAL: Apabila barang yang dijual rusak di tangan pembeli dalam masa khiyār, maka pihak yang memiliki hak khiyār tetap berhak memilih antara membatalkan atau meneruskan akad, karena kebutuhan yang mendorong ditetapkannya khiyār tetap ada meskipun barang telah rusak.
Jika ia memilih untuk membatalkan akad, maka wajib atas pembeli untuk membayar nilainya, karena barangnya tidak dapat dikembalikan, maka harus diganti dengan nilainya.
Jika ia memilih untuk meneruskan akad, maka jika dikatakan bahwa kepemilikan berpindah dengan akad secara langsung, atau bahwa kepemilikan itu mauqūf, maka berarti barang tersebut rusak dalam kepemilikan pembeli.
Namun jika dikatakan bahwa kepemilikan berpindah dengan akad dan setelah berakhirnya khiyār, maka wajib atas pembeli membayar nilainya.
Wallāhu a‘lam.
باب ما يجوز بيعه وما لا يجوز
الأعيان ضربان: نجس وطاهر فأما النجس فعلى ضربين: نجس في نفسه ونجس بملاقاة نجاسة فأما النجس في نفسه فلا يجوز بيعه وذلك مثل الكلب والخنزير والخمر والسرجين وما أشبه ذلك من النجاسات والأصل فيه ما روى جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إن الله تعالى حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام” وروى ابن مسعود وأبو هريرة أن رسول الله صلي الله عليه وسلم “نهى عن ثمن الكلب” فنص على الكلب والخنزير والخمر والميتة وقسنا عليها سائر الأعيان النجسة فأما اقتناؤها فينظر فيه فإن لم يكن فيها منفعة مباحة كالخمر والخنزير والميتة العذرة لم يجز اقتناؤها
BAB: Barang-Barang yang Boleh dan Tidak Boleh Dijual
Ain (benda fisik) terbagi dua: najis dan suci. Adapun najis terbagi dua pula: najis pada zatnya dan najis karena terkena najis.
Adapun yang najis pada zatnya, maka tidak boleh dijual. Contohnya seperti anjing, babi, khamar, kotoran hewan, dan benda-benda najis lainnya yang serupa.
Dalil asalnya adalah riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan berhala.”
Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd dan Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW “melarang dari harga anjing.” Maka dengan tegas disebutkan larangan terhadap anjing, babi, khamar, dan bangkai. Kemudian dikiaskan pada itu semua seluruh benda najis lainnya.
Adapun menyimpannya, maka diperinci: bila tidak terdapat manfaat yang dibolehkan padanya—seperti khamar, babi, bangkai, dan kotoran manusia—maka tidak boleh untuk disimpan.
لما روى أنس قال: سأل رجل النبي صلى الله عليه وسلم عن الخمر تصنع خلاً فكرهه وقال: “اهرقها” ولأن اقتناء ما لا منفعة فيه سفه فلم يجز فإن كان فيه منفعة مباحة كالكلب جاز اقتناؤه للصيد والماشية والزرع لما روى سالم عن أبيه أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: “من اقتنى كلباً إلا كلب صيد أو ماشية نقص من أجره كل يوم قيراطان” وفي حديث أبو هريرة: “إلا كلب صيد أو ماشية أو زرع” ولأن الحاجة تدعو إلى الكلب في هذه المواضع فجاز اقتناؤه وهل يجوز اقتناؤه لحفظ الدروب؟ فيه وجهان: أحدهما يجوز للخبر
Karena Anas meriwayatkan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi SAW tentang khamar yang dijadikan cuka, maka beliau membencinya dan bersabda: “Tumpahkanlah.”
Dan karena menyimpan sesuatu yang tidak ada manfaatnya adalah tindakan bodoh, maka tidak diperbolehkan.
Namun jika terdapat manfaat yang dibolehkan, seperti anjing, maka boleh menyimpannya untuk keperluan berburu, menjaga ternak, dan pertanian. Sebagaimana riwayat dari Sālim dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa memelihara anjing kecuali anjing untuk berburu atau menjaga ternak, maka akan dikurangi dari pahalanya setiap hari dua qirāṭ.”
Dan dalam hadis Abū Hurairah disebutkan: “Kecuali anjing untuk berburu, menjaga ternak, atau pertanian.”
Karena kebutuhan menuntut keberadaan anjing dalam situasi-situasi tersebut, maka diperbolehkan menyimpannya.
Adapun apakah diperbolehkan menyimpannya untuk menjaga gang atau jalan? Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Salah satunya menyatakan boleh, berdasarkan hadis.
والثاني يجوز لأنه حفظ مال فأشبه الزرع والماشية وهل يجوز لمن لا يصطاد أن يقتنيه ليصطاد به إذا أراد؟ فيه وجهان: أحدهما يجوز للخبر والثاني لا يجوز لأنه لا حاجة به إليه وهل يجوز اقتناء الجرو للصيد والزرع والماشية فيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأنه ليس فيه منفعة يحتاج إليها والثاني يجوز لأنه إذا جاز اقتناه للصيد جاز اقتناؤه لتعليم ذلك وأما السرجين فإنه يكره اقتناؤه وتربية الزرع به لما فيه من مباشرة النجاسة وأما النجس بملاقاة النجاسة فهو الأعيان الطاهرة إذا أصابتها نجاسة فينظر فيها
Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh, karena itu termasuk menjaga harta, maka disamakan dengan pertanian dan ternak.
Apakah seseorang yang tidak berburu boleh memelihara anjing agar bisa digunakan berburu bila ia menghendaki? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan boleh, berdasarkan hadis.
Pendapat kedua menyatakan tidak boleh, karena ia tidak membutuhkannya.
Apakah boleh memelihara anak anjing untuk keperluan berburu, pertanian, dan ternak? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan tidak boleh, karena belum ada manfaat yang dibutuhkan darinya.
Pendapat kedua menyatakan boleh, karena jika dibolehkan memelihara anjing untuk berburu, maka boleh pula memelihara untuk melatihnya guna keperluan itu.
Adapun sarjīn (kotoran hewan), maka makruh untuk menyimpannya dan menggunakannya untuk memupuk tanaman, karena di dalamnya terdapat kontak langsung dengan najis.
Adapun benda suci yang terkena najis, yaitu benda-benda suci yang terkena najis, maka perlu diperinci keadaannya.
فإن كان جامداً كالثوب وغيره جاز بيعه لأن البيع يتناول الثوب وهو طاهر وإنما جاورته نجاسة وإن كان مائعاً نظرت فإن كان مما لا يطهر كالخل والدبس لم يجز بيعه لأنه نجس لا يمكن تطهيره من النجاسة فلم يجز بيعه كالأعيان النجسة وإن كان ماء ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز بيعه لأنه نجس لا يطهر بالغسل فلم يجز بيعه كالخمر
Jika benda tersebut bersifat padat seperti pakaian dan sejenisnya, maka boleh dijual, karena yang dijual adalah pakaian itu sendiri yang asalnya suci, hanya saja bersentuhan dengan najis.
Namun jika benda tersebut bersifat cair, maka perlu diperinci:
Jika termasuk yang tidak dapat disucikan, seperti cuka dan dibs (sirup kurma), maka tidak boleh dijual, karena ia najis dan tidak bisa disucikan dari najis, maka tidak boleh dijual seperti benda najis lainnya.
Namun jika berupa air, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan tidak boleh dijual karena ia najis dan tidak bisa disucikan dengan dibasuh, maka tidak boleh dijual seperti khamar.
والثاني يجوز بيعه لأنه يطهر بالماء فأشبه الثوب فإن كان دهناً فهل يطهر بالغسل؟ فيه وجهان: أحدهما لا يطهر لأن لا يمكن عصره من النجاسة فلم يطهر كالخل والثاني يطهر لأنه يمكن غسله بالماء فهو كالثوب فإن قلنا لا يطهر لم يجز بيعه كالخل وإن قلنا يطهر ففي بيعه وجهان كالماء النجس ويجوز استعماله في السراج والأولى أن لا يفعل لما فيه من مباشرة النجاسة.
dan yang kedua: boleh dijual karena ia suci dengan air, maka ia menyerupai kain. Jika ia adalah minyak, apakah ia bisa disucikan dengan pencucian? Maka ada dua wajah:
Pertama: tidak bisa disucikan karena tidak mungkin diperas dari najis, maka ia tidak suci seperti cuka.
Kedua: ia bisa disucikan karena mungkin dicuci dengan air, maka ia seperti kain.
Jika kita katakan tidak suci, maka tidak boleh dijual seperti cuka. Jika kita katakan suci, maka dalam hal jual belinya ada dua wajah seperti air najis. Dan boleh digunakan untuk lampu, namun yang utama adalah tidak menggunakannya karena mengandung penyentuhan najis.
فصل: وأما الأعيان الطاهرة فضربان: ضرب لا منفعة فيه وضرب فيه منفعة فأما ما لا منفعة فيه فهو كالحشرات والسباع التي لا تصلح للاصطياد والطيور التي لا تؤكل ولا تصطاد كالرخمة والحدأة وما يؤكل من الغراب فلا يجوز بيعه لأن ما لا منفعة فيه لا قيمة له فأخذ العوض عنه من أكل المال بالباطل وبذل العوض فيه من السفه واختلف أصحابنا في بيع دار لا طريق لها أو بيع بيت من دار لا طريق إليه فمنهم من قال لا يصح لأنه لا يمكن الانتفاع به فلم يصح بيعه ومنهم من قال يصح لأنه يمكن أن يحصل له طريق فينتفع به فيصح بيعه وأما مافيه منفعة فلايجوز بيع الحر منه
PASAL: Adapun benda-benda suci, maka terbagi dua: benda yang tidak memiliki manfaat, dan benda yang memiliki manfaat.
Adapun yang tidak memiliki manfaat, seperti serangga dan binatang buas yang tidak layak untuk berburu, serta burung-burung yang tidak dimakan dan tidak bisa diburu seperti rakhmah dan ḥidā’, serta jenis burung gagak yang tidak boleh dimakan, maka tidak boleh dijual. Karena sesuatu yang tidak memiliki manfaat, tidak memiliki nilai, maka mengambil ganti rugi atasnya termasuk memakan harta secara batil, dan memberikan harta untuk itu termasuk tindakan bodoh.
Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai penjualan rumah yang tidak memiliki jalan, atau kamar dalam rumah yang tidak memiliki akses menuju jalan.
Sebagian mereka mengatakan: tidak sah, karena tidak mungkin mengambil manfaat darinya, maka tidak sah dijual.
Sebagian lain mengatakan: sah, karena masih mungkin didapatkan jalan baginya, sehingga bisa dimanfaatkan, maka sah dijual.
Adapun benda suci yang memiliki manfaat, maka tidak boleh menjual manusia merdeka darinya.
لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “قال ربكم: ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة ومن كنت خصمه خصمته رجل أعطى بي ثم غدر ورجل باع حراً فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيراً فاستوفى منه ولم يوفه أجره” ولايجوز بيع أم الولد لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع أمهات الأولاد ولأنه استقر لها حق الحرية وفي بيعها إبطال ذلك فلم يجز ويجوز بيع المدبر لما روى جابر رضي الله عنه أن رجلاً دبر غلاماً له ليس له مال غيره فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من يشتريه منه فاشتراه نعيم” ويجوز بيع المعتق بصفة لأنه ثبت له العتق بقول السيد وحده فجاز بيعه كالمدبر وفي المكاتب قولان: قال في القديم يجوز بيعه لأن عتقه غير مستقر فلا يمنع من البيع
Karena Abū Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tuhan kalian berfirman: Tiga golongan, Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, dan barang siapa Aku menjadi musuhnya, pasti Aku mengalahkannya: (pertama) seseorang yang berjanji atas nama-Ku lalu berkhianat, (kedua) seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan (ketiga) seseorang yang mempekerjakan buruh, lalu mengambil seluruh tenaganya namun tidak membayar upahnya.”
Tidak boleh menjual umm al-walad, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW melarang menjual ummahāt al-awlād (budak yang melahirkan anak dari tuannya).
Dan karena hak kemerdekaan telah tetap baginya, maka menjualnya berarti membatalkan hak tersebut, sehingga tidak boleh dilakukan.
Boleh menjual budak mudabbar, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa seseorang me-dabbir-kan budaknya, sedangkan ia tidak memiliki harta lain selain budak itu. Maka Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mau membelinya darinya?” Maka Nu‘aim membelinya.
Boleh juga menjual budak yang telah dijanjikan akan dimerdekakan dengan suatu sifat (mu‘taq biṣ-ṣifah), karena kemerdekaannya hanya berdasarkan ucapan tuannya saja, maka boleh dijual sebagaimana mudabbar.
Adapun mukātab, terdapat dua pendapat:
Dalam pendapat qadīm, Imam al-Syafi‘i berkata: Boleh dijual, karena kemerdekaannya belum sempurna, maka tidak menghalangi dari penjualan.
وقال في الجديد لايجوز لأنه كالخارج من ملكه ولهذا لا يرجع أرش الجناية عليه إليه فلم يملك بيعه كما لو باعه ولايجوز بيع الوقف لما روى ابن عمر رضي الله عنه قال أصاب عمر رضي الله عنه أرضا بخيبر فأتى البني صلى الله عليه وسلم يستأمره فيها فقال: “إن شئت حبست أصله وتصدقت بها” قال: فتصدق بها عمر صدقة لا يباع أصلها ولا يوهب ولا يورث.
Dan ia berkata dalam qaul jadīd: tidak boleh (dijual), karena ia seperti telah keluar dari miliknya. Oleh karena itu, diyat luka padanya tidak kembali kepadanya, maka ia tidak memiliki hak menjualnya, sebagaimana jika ia telah menjualnya. Dan tidak boleh menjual harta waqaf, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA, bahwa ‘Umar RA mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia mendatangi Nabi SAW untuk meminta petunjuk tentangnya. Maka beliau bersabda: “Jika engkau mau, tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya.” Maka ‘Umar pun menyedekahkannya sebagai sedekah yang pokoknya tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan.
فصل: ويجوز بيع ما سوى ذلك من الأعيان المنتفع بها من المأكول والمشروب والملبوس والمشموم وما ينتفع به من الحيوان بالركوب والأكل والدر والنسل والصيد والصوف وما يقتنيه الناس من العبيد والجواري والأراضي والعقار لاتفاق أهل الأمصار في جميع الأعصار على بيعها من غير إنكار ولا فرق بين ما كان في الحرم من الدور وغيره لما روي أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه أمر نافع بن عبد الحارث أن يشتري داراً بمكة للسجن من صفوان بن أمية فاشتراها بأربعة آلاف درهم ولأنه أرض حية لم يرد عليها صدقة مؤبدة فجاز بيعها كغير الحرم ويجوز بيع المصاحف وكتب الأدب
PASAL: Boleh menjual selain dari itu berupa benda-benda yang dapat diambil manfaatnya, seperti makanan, minuman, pakaian, wewangian, dan hewan yang diambil manfaatnya untuk ditunggangi, dimakan, diperah, dikembangbiakkan, diburu, diambil bulunya, serta segala sesuatu yang biasa dimiliki manusia seperti budak laki-laki dan perempuan, tanah, dan bangunan.
Hal ini karena penduduk berbagai negeri di seluruh masa telah sepakat membolehkan jual beli barang-barang tersebut tanpa ada yang mengingkarinya.
Tidak ada perbedaan antara rumah yang berada di kawasan ḥaram maupun selainnya. Berdasarkan riwayat bahwa ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA memerintahkan Nāfi‘ bin ‘Abd al-Ḥārith untuk membeli rumah di Mekah dari Ṣafwān bin Umayyah untuk dijadikan penjara, maka ia membelinya seharga empat ribu dirham.
Dan karena tanah tersebut adalah tanah yang hidup (bukan tanah mati), serta tidak terdapat padanya sedekah yang bersifat abadi, maka boleh diperjualbelikan sebagaimana tanah di luar kawasan ḥaram.
Boleh juga menjual mushaf dan kitab-kitab sastra.
لما روي عن ابن عباس رضي الله عنه أنه سئل عن بيع المصاحف فقال: لا بأس يأخذون أجور أيديهم ولأنه طاهر منتفع به فهو كسائر الأموال واختلف أصحابنا في بيع بيض دود القز وبيض ما لا يؤكل لحمه من الطيور التي يجوز بيعها كالصقر والبازي فمنهم من قال هو طاهر ومنهم من قال هو نجس بناءً على الوجهين في طهارة من ما لا يؤكل لحمه ونجاسته فإن قلنا إن ذلك طاهر جاز بيعه لأنه طاهر منتفع به فهو كبيض الدجاج وإن قلنا إنه نجس لم يجز بيعه لأنه عين نجسة فلم يجز بيعه كالكلب والخنزير.
Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa beliau ditanya tentang jual beli mushaf, maka beliau menjawab: “Tidak mengapa, mereka mengambil upah dari kerja tangan mereka.” Dan karena mushaf itu suci dan dapat dimanfaatkan, maka ia seperti harta benda lainnya.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang jual beli telur ulat sutra dan telur burung yang tidak boleh dimakan dagingnya, dari jenis burung yang boleh dijual seperti elang dan bāzī. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa telur itu suci, dan ada yang berpendapat najis, berdasarkan dua wajah dalam persoalan kesucian dan kenajisan dari hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya.
Jika kita katakan bahwa telur tersebut suci, maka boleh dijual karena ia suci dan dapat dimanfaatkan, maka ia seperti telur ayam. Namun jika kita katakan ia najis, maka tidak boleh dijual karena ia adalah benda najis, sehingga tidak boleh dijual sebagaimana anjing dan babi.
باب ما نهى عنه من بيع الغرر وغيره
ولا يجوز بيع المعدوم كالثمرة التي لم تخلق لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر والغرر ما انطوى عليه أمره وخفيت عليه عاقبته ولهذا قالت عائشة رضي الله عنها في وصف أبو بكر رضي الله عنه: فرد نشر الإسلام على غره أي على طيه والمعدوم قد انطوى عنه أمره وخفي عليه عاقبته فلم يجز بيعه وروى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المعاومة وفي بعضها بيع السنين.
PASAL: Larangan Menjual Barang Gharar dan Semisalnya
Tidak boleh menjual barang yang tidak ada, seperti buah yang belum tercipta, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW melarang jual beli gharar, dan gharar adalah sesuatu yang tidak jelas urusannya dan tidak diketahui akibatnya. Oleh karena itu, Aisyah RA berkata dalam menggambarkan Abu Bakar RA: “Ia menyebarkan kembali Islam dalam keadaan ghurrah,” yakni dalam keadaan tersembunyi. Dan barang yang tidak ada, urusannya tersembunyi dan akibatnya tidak diketahui, maka tidak boleh dijual. Dan diriwayatkan dari Jabir RA bahwa Nabi SAW melarang mu‘āwamah, dan dalam sebagian riwayat disebutkan larangan jual beli bertahun-tahun.
فصل: ولايجوز بيع مالا يملكه من غير إذن مالكه لما روى حكيم بن حزام أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تبع ماليس عندكسيئ” ولأن مالا يملكه لا يقدر على تسليمه فهو كالطير في الهواء أو السمك في الماء.
PASAL: Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak dimiliki tanpa izin pemiliknya, berdasarkan riwayat dari Hakim bin Hizam bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” Dan karena sesuatu yang tidak dimilikinya itu tidak mampu diserahkan, maka hukumnya seperti burung di udara atau ikan di air.
فصل: ولا يجوز بيع ما لم يستقر ملكه عليه كبيع الأعيان المملوكة بالبيع والإجازة والصداق وماأشبهها من المعاوضات قبل القبض لما روي أن حكيم بن حزام قال يا رسول الله إني أبيع بيوعاً كثيرة فما يحل لي منها مما يحرم قال: “لاتبع ما لم تقبضه” ولأن ملكه عليه غير مستقر لأنه بما هلك فانفسخ العقد وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز وهل يجوز عتقه؟ فيه وجهان: أحدهما أنه لايجوز لما ذكرناه
PASAL: Tidak boleh menjual sesuatu yang belum tetap kepemilikannya, seperti menjual barang-barang yang dimiliki melalui jual beli, ijārah, mahar, dan semisalnya dari akad-akad pertukaran sebelum diterima, berdasarkan riwayat bahwa Hakim bin Hizam berkata: “Wahai Rasulullah, aku melakukan banyak jual beli, maka apa yang halal bagiku darinya dan apa yang haram?” Beliau menjawab: “Janganlah engkau menjual sesuatu sebelum engkau menerimanya.” Karena kepemilikannya atas barang tersebut belum tetap, sebab jika barang itu rusak maka akad menjadi batal, dan itu merupakan gharar tanpa adanya kebutuhan, maka tidak diperbolehkan. Adapun apakah boleh dimerdekakan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat; salah satunya menyatakan tidak boleh, karena alasan yang telah disebutkan.
والثاني يجوز لأن العتق له سراية فصح لقوته فأما ماملكه بغير معاوضة كالميراث والوصية أو عاد إليه بفسخ عقد فإنه يجوز بيعه وعتقه قبل القبض لأن ملكه مستقر فجاز التصرف فيه كالمبيع بعد القبض وأما الديون فينظر فيها فإن كان الملك مستقراً كغرامة المتلف وبدل القرض جاز بيعه ممن عليه قبل القبض لأن ملكه مستقر عليه فجاز بيعه كالمبيع وهل يجوز من غيره فيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن ما جاز بيعه ممن عليه جاز بيعه من غيره كالوديعه والثاني لا يجوز لأنه لا يقدر على تسليمه إليه لأنه ربما منعه أوجحده وذلك غرر لاحاجة به إليه فلم يجز والأول أظهر لأن الظاهر أنه يقدر على تسليمه إليه من غير منع ولاجحود
PASAL: Pendapat kedua menyatakan boleh, karena ‘itq (pembebasan budak) memiliki pengaruh yang menyebar, maka sah karena kuatnya. Adapun sesuatu yang dimiliki tanpa melalui pertukaran, seperti warisan, wasiat, atau yang kembali kepadanya karena pembatalan akad, maka boleh dijual dan dimerdekakan sebelum diterima, karena kepemilikannya telah tetap, sehingga boleh diperlakukan seperti barang yang telah diterima dalam jual beli.
Adapun utang, maka perlu diperinci. Jika kepemilikannya telah tetap, seperti ganti rugi karena perusakan atau pengganti pinjaman, maka boleh dijual kepada pihak yang berutang sebelum diterima, karena kepemilikannya telah tetap atasnya, maka boleh dijual sebagaimana barang yang dijual. Apakah boleh dijual kepada selainnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, karena sesuatu yang boleh dijual kepada pihak yang berutang, juga boleh dijual kepada selainnya, seperti barang titipan.
Kedua, tidak boleh, karena ia tidak mampu menyerahkannya kepada selain pihak yang berutang, sebab bisa jadi ia mengingkarinya atau menolaknya, dan hal itu termasuk gharar yang tidak ada kebutuhan padanya, maka tidak boleh.
Dan pendapat pertama lebih kuat, karena pada umumnya ia mampu menyerahkannya tanpa penolakan dan pengingkaran.
وإن كان الدين غير مستقر نظرت فإن كان مسلماً فلم يجز بيعه لما روي أن ابن عباس رضي الله عنه سئل عن رجل أسلف في حلل دقاق فلم يجد تلك الحلل فقال: آخذ منك مقام كل حلة من الدقاق حلتين من الجل فكرهه ابن عباس وقال خذ برأس المال علفاً أو غنماً ولأن الملك في المسلم فيه غير مستقر لأنه ربما تعذر فانفسخ البيع فيه فلم يجز بيعه كالمبيع قبل القبض وإن كان ثمنا في بيع ففيه قولان: قال في الصرف يجوز بيعه قبل القبض لما روى ابن عمر قال: كنت أبيع الإبل بالبقيع بالدنانير فآخذ الدراهم وأبيع بالدراهم فآخذ الدنانير فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لابأس ما لم تتفرقا وبينكما شيء”
PASAL: Jika utang itu belum tetap, maka perlu diperinci: jika berupa salam, maka tidak boleh dijual, berdasarkan riwayat bahwa Ibn ‘Abbās RA ditanya tentang seseorang yang melakukan salam dalam bentuk pakaian tipis, namun tidak mendapati jenis pakaian tersebut, lalu ia berkata: “Akan aku ambil darimu sebagai ganti setiap satu helai pakaian tipis dua helai pakaian kasar.” Maka Ibn ‘Abbās membencinya dan berkata: “Ambillah pokok hartamu, berupa makanan ternak atau kambing.” Karena kepemilikan atas barang dalam akad salam belum tetap, sebab bisa saja terjadi ketidakmampuan untuk menyerahkannya, sehingga akadnya menjadi batal, maka tidak boleh dijual sebagaimana barang yang dijual sebelum diterima.
Jika yang menjadi utang itu adalah harga dalam akad jual beli, maka terdapat dua pendapat. Dalam kitab al-Sharf dinyatakan bahwa boleh menjualnya sebelum diterima, berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar RA, ia berkata: “Aku dahulu menjual unta di Baqī‘ dengan dinar lalu mengambil pembayaran berupa dirham, dan menjual dengan dirham lalu mengambil dinar.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Tidak mengapa, selama kalian belum berpisah dan masih ada sesuatu di antara kalian.”
ولأنه لا يخشى انفساخ العقد فيه بالهلاك فصار كالمبيع بعد القبض وروى المزني في جامعه الكبير أنه لا يجوز لأن ملكه غير مستقر عليه لأنه قد ينفسخ البيع فيه بتلف المبيع أو بالرد بالعيب فلم يجز بيعه كالمبيع قبل القبض وفي بيع نجوم المكاتب قبل القبض طريقان: أحدهما أنه على قولين بناء على القولين في بيع رقبته والثاني انه لايصح ذلك قولاً واحداً وهو المنصوص في المختصر لأنه لايملكه ملكاً مستقراً فلم يصح بيعه كالمسلم فيه والقبض فيما بنقل النقل لما روى زيد بن ثابت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن أن تباع السلع حيث تبتاع حتى يجوزها التجار إلى رحالهم وفيما لا ينقل كالعقار والثمر قبل أوان الجداد التخلية لأن القبض ورد به الشرع وأطلقه فحمل على العرف والعرف فيما ينقل النقل وفيما لا ينقل التخلية.
PASAL: Karena tidak dikhawatirkan akadnya batal akibat kerusakan barang, maka kedudukannya seperti barang yang telah diterima. Dan al-Muzani meriwayatkan dalam al-Jāmi‘ al-Kabīr bahwa tidak boleh, karena kepemilikannya belum tetap, sebab bisa saja akad batal akibat rusaknya barang atau karena pengembalian sebab cacat, maka tidak boleh dijual sebagaimana barang yang belum diterima.
Adapun penjualan cicilan-cicilan budak mukātab sebelum diterima, terdapat dua ṭarīq (pendekatan):
Pertama, bahwa hal itu mengikuti dua pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam jual beli terhadap dirinya (budak tersebut).
Kedua, bahwa tidak sah, menurut satu pendapat saja, dan inilah yang dinyatakan dalam al-Mukhtaṣar, karena ia belum memilikinya dengan kepemilikan yang tetap, maka tidak sah dijual sebagaimana barang dalam akad salam.
Adapun penerimaan (qabḍ) dalam barang yang bisa dipindah, maka harus dengan pemindahan, berdasarkan riwayat dari Zaid bin Tsābit bahwa Rasulullah SAW melarang menjual barang-barang dagangan di tempat dibelinya, hingga para pedagang membawanya ke tempat mereka.
Sedangkan dalam barang yang tidak bisa dipindah seperti tanah dan buah sebelum masa panen, maka cukup dengan penyerahan tempat (takhliyah), karena qabḍ disebutkan oleh syariat secara umum, maka ditafsirkan berdasarkan kebiasaan. Dan kebiasaan dalam barang yang bisa dipindah adalah dengan pemindahan, dan dalam barang yang tidak bisa dipindah adalah dengan penyerahan tempat.
فصل: ولا يجوز بيع مالا يقدر على تسليمه كالطير في الهواء أو السمك في الماء والجمل الشارد والفرس العائر والعبد الآبق والمال المغصوب في يد الغاصب لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر وهذا غرر ولهذا قال ابن مسعود لا تشتروا السمك في الماء فإنه غرر ولأن القصد بالبيع تمليك التصرف وذلك لايمكن فيما لايقدر على تسليمه فإن باع طيراً في برج مغلق الباب أو السمك في بركة لاتتصل بنهر نظرت فإن قدر على تناوله إذا أراد من غير تعب جاز بيعه وإن كان في برج عظيم أو بركة عظيمة لايقدر على أخذه إلا بتعب لم يجز بيعه لأنه غير مقدور عليه في الحال وإن باع العبد الآبق ممن يقدر عليه أو المغصوب من الغاصب أو ممن يقدر على أخذه منه جاز لأنه لاغرر في بيعه منه.
PASAL: Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak mampu diserahkan, seperti burung di udara, ikan di air, unta yang liar, kuda yang lepas, budak yang kabur, dan harta yang dirampas yang masih berada di tangan perampas, berdasarkan hadis Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW melarang jual beli gharar, dan ini termasuk gharar. Oleh karena itu, Ibn Mas‘ūd berkata: “Janganlah kalian membeli ikan dalam air, karena itu gharar.” Karena maksud dari jual beli adalah memberikan hak untuk menggunakan, dan hal itu tidak bisa dilakukan pada sesuatu yang tidak mampu diserahkan.
Namun jika ia menjual burung dalam menara yang pintunya tertutup, atau ikan dalam kolam yang tidak tersambung ke sungai, maka perlu diperinci: jika memungkinkan untuk mengambilnya kapan saja tanpa kesulitan, maka boleh menjualnya. Namun jika berada dalam menara besar atau kolam besar sehingga tidak bisa diambil kecuali dengan kesulitan, maka tidak boleh dijual, karena tidak mampu diserahkan saat ini.
Adapun jika seseorang menjual budak yang kabur kepada orang yang mampu menangkapnya, atau harta yang dirampas kepada perampasnya sendiri, atau kepada orang yang mampu mengambilnya dari perampas, maka jual belinya boleh, karena tidak ada gharar dalam penjualan kepada orang tersebut.
فصل: ولايجوز بيع عين مجهولة كبيع عبد من عبيد وثوب من أثواب لأن ذلك غرر من غير حاجة ويجوز أن يبيع قفيزاً من صبرة لأنه إذا عرف الصبرة عرف القفيز منها فزال الغرر.
فصل: ولا يجوز بيع العين الغائبة إذا جهل جنسها أو نوعها لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر وفي بيع ما لايعرف جنسه أو نوعه غرر كبير فإن علم الجنس والنوع بأن قال بعتك الثوب المروي الذي في كمي أو العبد الزنجي الذي في داري أو الفرس الأدهم الذي في اصطبلي ففيه قولان: قال في القديم والصرف يصح ويثبت له الخيار إذا رآه
PASAL: Tidak boleh menjual barang tertentu yang tidak diketahui, seperti menjual seorang budak dari beberapa budak, atau sehelai kain dari beberapa kain, karena hal itu termasuk gharar tanpa adanya kebutuhan. Namun boleh menjual satu qafīz dari tumpukan makanan (ṣubrah), karena apabila tumpukannya telah diketahui, maka satu qafīz darinya juga dapat diketahui, sehingga hilanglah unsur gharar.
PASAL: Tidak boleh menjual barang yang tidak hadir (ghaib) apabila tidak diketahui jenis atau macamnya, berdasarkan hadis Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW melarang jual beli gharar. Menjual barang yang tidak diketahui jenis atau macamnya mengandung gharar besar. Namun jika jenis dan macamnya diketahui, seperti mengatakan: “Aku jual kepadamu kain murawwī yang ada di lengan bajuku,” atau “budak berkulit hitam yang ada di rumahku,” atau “kuda berwarna hitam pekat yang ada di kandangku,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: dalam pendapat al-Qadīm dan dalam bab ṣarf, jual beli itu sah dan pembeli mendapatkan hak khiyār (memilih) setelah melihatnya.
لما روي ابن أبي مليكة أن عثمان رضي الله عنه ابتاع من طلحة أرضاً بالمدينة ناقله بأرض له بالكوفة فقال عثمان بعتك ما لم أره فقال طلحة: إنما النظر لأني ابتعت مغيباً وأنت قد رأيت ما ابتعت فتحاكما إلى جبير بن مطعم فقضي على عثمان أن البيع جائز وأن النظر لطلحة لأنه ابتاع مغيباً ولأنه عقد على عين فجاز مع الجهل بصفته كالنكاح وقال في الجديد لايصح لحديث أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر وفي هذا البيع غرر ولأنه نوع بيع فلم يصح مع الجهل بصفة المبيع كالسلم فإذا قلنا بقوله القديم فهل تفتقر صحة البيع إلى ذكر الصفات أم لا فيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه لايصح حتى تذكر جميع الصفات المسلم فيه
لما رُوي أن ابن أبي مليكة أن عثمان رضي الله عنه membeli sebidang tanah milik Ṭalḥah di Madinah dengan menukarnya dengan tanah miliknya di Kufah, maka ‘Utsmān berkata: “Aku telah menjual kepadamu sesuatu yang belum aku lihat.” Ṭalḥah menjawab: “Adapun hak melihat itu untukku, karena aku membeli barang yang ghaib, sedangkan engkau telah melihat apa yang kau beli.” Maka mereka berdua mengadukan perkara itu kepada Jubayr bin Muṭ‘im, dan ia memutuskan perkara terhadap ‘Utsmān bahwa jual beli tersebut sah, dan hak melihat ada pada Ṭalḥah karena ia membeli barang yang ghaib.
Dan karena ini adalah akad atas ‘ain tertentu, maka dibolehkan meskipun sifatnya tidak diketahui, sebagaimana dalam akad nikah. Namun dalam pendapat al-Jadīd, jual beli semacam ini tidak sah, berdasarkan hadis Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli gharar, dan dalam jual beli ini terdapat unsur gharar. Karena ini termasuk jenis jual beli, maka tidak sah jika barangnya tidak diketahui sifatnya, sebagaimana dalam akad salam.
Maka jika kita mengikuti pendapat al-Qadīm, apakah sahnya jual beli ini bergantung pada penyebutan sifat-sifat barang? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, tidak sah kecuali disebutkan seluruh sifat sebagaimana dalam akad salam.
والثاني لا يصح حتى تذكر الصفات المقصودة والثالث أنه لايفتقر إلى ذكر شيء من الصفات وهو المنصوص في الصرف لأن الاعتماد على الرؤية ويثبت له الخيار إذا رآه فلا يحتاج إلى ذكر الصفات فإن وصفه ثم وجده على خلاف ما وصف ثبت له الخيار وإن وجده على ما وصف أو أعلى ففيه وجهان: أحدهما لاخيار له لأنه وجده على ما وصف فلم يكن له خيار كالمسلم فيه والثاني أن له الخيار لأنه يعرف ببيع خيار الرؤية فلا يجوز أن يخلو من الخيار وهل يكون له الخيار على الفور أم لا؟ فيه وجهان: قال ابن أبي هريرة هو على الفور لأنه خيار تعلق بالرؤية فكان على الفور كخيار الرد بالعيب وقال أبو إسحاق يتقدر الخيار بالمجلس لأن العقد إنما يتم بالرؤيا فيصير كأنه عقد عند الرؤية فيثبت له خيار كخيار المجلس
PASAL: Pendapat kedua menyatakan bahwa jual beli tidak sah kecuali disebutkan sifat-sifat yang menjadi maksud. Pendapat ketiga menyatakan tidak disyaratkan menyebutkan satu pun dari sifat-sifat, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam bab ṣarf, karena yang dijadikan dasar adalah penglihatan (ru’yah), dan pembeli mendapatkan hak khiyār apabila ia telah melihatnya, maka tidak membutuhkan penyebutan sifat-sifat.
Apabila penjual menyebutkan sifat barang, kemudian pembeli mendapati barang tersebut berbeda dari apa yang dijelaskan, maka ia berhak memilih (khiyār). Namun jika ternyata barang tersebut sesuai dengan yang dijelaskan atau lebih baik, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak ada hak khiyār baginya karena ia mendapatkan barang sesuai deskripsi, sehingga tidak memiliki hak khiyār, sebagaimana dalam akad salam.
Kedua, ia tetap memiliki hak khiyār, karena jual beli ini tergolong bai‘ khiyār al-ru’yah, maka tidak boleh tidak disertai hak memilih.
Apakah hak khiyār ini harus digunakan seketika (langsung) atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Ibn Abī Hurayrah berpendapat bahwa hak khiyār itu harus digunakan segera (langsung), karena khiyār ini bergantung pada ru’yah, maka hukumnya seperti khiyār karena cacat (‘ayb).
Sedangkan Abu Ishāq berpendapat bahwa masa khiyār itu seukuran dengan waktu duduk bersama (majlis), karena akad baru menjadi sempurna setelah penglihatan, maka seakan-akan akad itu terjadi saat penglihatan, dan oleh karena itu diberlakukan seperti khiyār al-majlis.
وأما إذا رأى المبيع قبل العقد ثم غاب عنه ثم اشتراه فإن كان مما لايتغير كالعقار وغيره جاز بيعه وقال أبو القاسم الأنماطي: لايجوز في قوله الجديد لأن الرؤية شرط في العقد فاعتبر وجودها في حال العقد كالشهادة في النكاح والمذهب الأول لأن الرؤية تراد للعلم بالمبيع وقد حصل العلم بالرؤية المتقدمة فعلى هذا إذا اشتراه ثم وجده على الصفة الأولى أخذه وإن وجده ناقصاً فله الرد لأنه ماالتزم العقد فيه إلا على تلك الصفة وإن اختلفا فقال البائع لم يتغير وقال المشتري تغير فالقول قول المشتري لأنه يؤخذ منه الثمن فلا يجوز من غير رضاه وإن كان مما يجوز أن يتغير ويجوز أن لا يتغير أو يجوز أن يبني ويجوز أن لا يبقى ففيه وجهان: أحدهما أنه لايصح لأنه مشكوك في بقائه على صفته والثاني يصح وهو المذهب لأن الأصل بقاؤه على صفته فصح بيعه قياساً على ما لا يتغير.
PASAL: Adapun jika pembeli telah melihat barang sebelum akad, kemudian barang itu tidak lagi hadir di hadapannya, lalu ia membelinya, maka jika barang tersebut termasuk sesuatu yang tidak berubah, seperti tanah dan semisalnya, maka boleh menjualnya.
Abu al-Qāsim al-Anmāṭī berkata: tidak boleh menurut pendapat al-Jadīd, karena penglihatan adalah syarat dalam akad, maka disyaratkan keberadaannya saat akad, sebagaimana kesaksian dalam akad nikah.
Namun madzhab yang pertama (boleh) adalah yang benar, karena penglihatan bertujuan untuk mengetahui barang, dan pengetahuan tersebut telah diperoleh melalui penglihatan sebelumnya. Maka berdasarkan hal ini, apabila pembeli melangsungkan akad jual beli, lalu mendapati barang itu masih sesuai dengan keadaan sebelumnya, maka ia mengambilnya. Dan apabila ia mendapati ada kekurangan, maka ia berhak mengembalikannya, karena ia tidak berakad kecuali atas dasar sifat sebelumnya.
Apabila terjadi perselisihan, lalu penjual berkata: “Barang ini tidak berubah,” dan pembeli berkata: “Barang ini telah berubah,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pembeli, karena ia yang akan menyerahkan harga, maka tidak boleh dilakukan tanpa keridhaannya.
Namun apabila barang itu termasuk sesuatu yang bisa jadi berubah dan bisa jadi tidak, atau bisa jadi dibangun atau bisa jadi tidak tersisa, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, bahwa jual belinya tidak sah karena diragukan keberlangsungan sifatnya.
Kedua, bahwa jual belinya sah, dan ini adalah madzhab yang benar, karena asalnya adalah tetapnya sifat sebagaimana sebelumnya, maka sah menjualnya dengan qiyās kepada barang yang tidak berubah.
فصل: وإن باع الأعمى أو اشترى شيئاً لم يره فإن قلنا أن بيع مالم يره البصير لا يصح لم يصح بيع الأعمى وشراؤه وإن قلنا يصح ففي بيع الأعمى وشرائه وجهان: أحدهما يصح كما يصح من البصير فيما لم يره ويستنيب في القبض والخيار كما يستنيب في شرط الخيار والثاني لا يصح لأن بيع مالم يره يتم بالرؤية وذلك لا يوجد في حق الأعمى ولايمكنه أن يوكل في الخيار لأنه خيار ثبت بالشرع فلا يجوز الاستنابة به كخيار المجلس بخلاف خيار الشرط.
PASAL: Jika orang buta menjual atau membeli sesuatu yang tidak ia lihat, maka apabila kita mengatakan bahwa jual beli sesuatu yang belum dilihat oleh orang yang melek tidak sah, maka tidak sah pula jual beli orang buta.
Namun jika kita mengatakan bahwa jual beli semacam itu sah, maka dalam jual beli orang buta terdapat dua pendapat:
Pertama, sah, sebagaimana sahnya jual beli orang melek terhadap sesuatu yang belum ia lihat, dan ia boleh mewakilkan dalam hal penerimaan barang (qabḍ) dan dalam hal khiyār, sebagaimana ia boleh mewakilkan dalam khiyār al-syarth.
Kedua, tidak sah, karena jual beli terhadap sesuatu yang belum dilihat sempurna dengan penglihatan, dan hal itu tidak mungkin bagi orang buta. Ia juga tidak bisa mewakilkan dalam khiyār ini, karena khiyār ini ditetapkan oleh syariat, maka tidak boleh diwakilkan sebagaimana khiyār al-majlis, berbeda dengan khiyār al-syarth.
فصل: إذا رأى بعض المبيع دون بعض نظرت فإن كان مما لايختلف أجزاؤه كالصبرة من الطعام والجرة من الدبس جاز بيعه لأن برؤية البعض يزول غرر الجهالة لأن الظاهر أن الباطن كالظاهر وإن كان مما يختلف نظرت فإن كان مما يشق رؤية باقيه كالجوز في القشر الأسفل جاز بيعه لأن رؤية الباطن تشق فسقط اعتبارها كرؤية أساس الحيطان وإن لم تشق رؤية الباقي كالثوب المطوي ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كبيع مالم ير شيئاً منه ومنهم من قال يبطل البيع قولاً واحداً لأن ما رآه لا خيار فيه ومالم يره فيه الخيار وذلك لا يجوز في عين واحدة.
PASAL: Jika seseorang melihat sebagian dari barang yang dijual dan tidak melihat sebagian lainnya, maka perlu diperinci:
Jika barang tersebut adalah sesuatu yang bagian-bagiannya tidak berbeda, seperti tumpukan makanan (ṣubrah) atau kendi berisi sirup (dubs), maka boleh dijual, karena dengan melihat sebagian, hilanglah unsur gharar akibat ketidaktahuan, sebab secara umum bagian dalam sama dengan bagian luar.
Namun jika barang tersebut bagian-bagiannya berbeda, maka perlu diperinci lagi:
Jika bagian yang tidak terlihat itu sulit untuk dilihat, seperti isi buah kenari dalam kulit bagian dalam, maka boleh dijual, karena melihat bagian dalamnya menyulitkan, maka gugurlah keharusan untuk melihatnya, sebagaimana dasar-dasar tembok.
Namun jika bagian yang tidak terlihat mudah untuk dilihat, seperti kain yang terlipat, maka dalam hal ini terdapat dua pendekatan (ṭarīq).
Sebagian ulama kami berkata: dalam kasus ini terdapat dua pendapat, sebagaimana halnya menjual sesuatu yang tidak dilihat sedikit pun.
Sebagian lainnya berkata: batal secara pasti, karena bagian yang terlihat tidak ada hak khiyār, sedangkan bagian yang tidak terlihat memiliki hak khiyār, dan hal ini tidak diperbolehkan pada satu barang yang sama.
فصل: واختلف أصحابنا في بيع الباقلا في قشره فقال أبو سعيد الإصطخري يجوز لأنه يباع في جميع البلدان من غير إنكار ومنهم من قال لا يجوز وهو المنصوص في الأم لأن الحب قد يكون صغاراً وقد يكون كباراً وقد يكون في بيوته ما لا شيء فيه وقد يكون فيه حب متغير وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز واختلفوا أيضاً في بيع نافجة المسك فقال أبو العباس: يجوز بيعها لأن النافجة فيها صلاح للمسك لأن بقاءه فيها أكثر فجاز بيعه فيها كالجوز في القشر الأسفل ومن أصحابنا من قال لا يجوز وهو ظاهر النص لأنه مجهول القدر مجهول الصفة وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز واختلفوا في بيع الطلع في قشره
PASAL: Ulama kami berbeda pendapat tentang jual beli baqillā (kacang bakla) yang masih dalam kulitnya. Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: boleh, karena dijual di seluruh negeri tanpa ada pengingkaran. Sebagian dari mereka berkata: tidak boleh, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam al-Umm, karena bijinya bisa jadi kecil, bisa jadi besar, bisa jadi di dalam kelopaknya tidak ada isinya, dan bisa jadi berisi biji yang rusak, maka ini termasuk gharar yang tidak ada kebutuhan padanya, sehingga tidak boleh.
Mereka juga berbeda pendapat tentang jual beli nāfijatu al-misk (kantong kesturi). Abu al-‘Abbās berkata: boleh menjualnya karena kantong tersebut bermanfaat untuk kesturi, karena keberadaan kesturi di dalamnya membuatnya lebih awet, maka boleh dijual dalam keadaannya, sebagaimana jauz (kacang) dalam kulit bagian bawah. Sebagian ulama kami berkata: tidak boleh, dan ini adalah zahir dari nash, karena tidak diketahui kadarnya dan tidak diketahui sifatnya, maka itu termasuk gharar yang tidak ada kebutuhan padanya, sehingga tidak boleh.
Mereka juga berbeda pendapat tentang jual beli ṭal‘ (mayang kurma) yang masih dalam kelopaknya.
فقال أبو اسحاق: لا يجوز بيعه لأن المقصود مستور بما لا يدخر فيه فلم يصح بيعه كالتمر في الجراب وقال أبو علي عن أبي هريرة يجوز لأنه مستور بما يؤكل معه من القشر فجاز بيعه فيه كالقثاء والخيار واختلف قوله في بيع الحنطة في سنبلها فقال في القديم: يجوز لما روى أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم “نهى عن بيع العنب حتى يسود وعن بيع الحب حتى يشتد” وقال في الجديد: لا يجوز لأن لا يعلم قدر ما فيه من الحب ولا صفة الحب وذلك غرر لاتدعو الحاجة إليه فلم يجز.
Maka Abu Ishāq berkata: tidak boleh menjualnya karena yang dimaksud (yaitu buahnya) tertutup oleh sesuatu yang tidak disimpan bersamanya, maka tidak sah menjualnya, sebagaimana tamr (kurma kering) dalam kantong. Dan Abu ‘Alī meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa hal itu boleh, karena tertutup oleh sesuatu yang biasa dimakan bersamanya, yaitu kulitnya, maka boleh dijual bersamanya seperti qiṭṭā’ (mentimun) dan khiyār (ketimun).
Ia juga berbeda pendapat dalam jual beli ḥinṭah (gandum) yang masih dalam tangkainya. Dalam pendapat al-qadīm, ia berkata: boleh, berdasarkan riwayat dari Anas bahwa Nabi SAW “melarang menjual anggur hingga menghitam dan melarang menjual biji-bijian hingga keras.” Dan dalam pendapat al-jadīd, ia berkata: tidak boleh, karena tidak diketahui berapa banyak biji yang ada di dalamnya dan tidak diketahui sifat bijinya, maka itu termasuk gharar yang tidak ada kebutuhan padanya, sehingga tidak boleh.
فصل: ولا يجوز بيع مجهول القدر فإن قال قد بعتك بعض هذه الصبرة لم يصح البيع لحديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الغرر وفي بيع البعض غرر لأنه يقع على القليل والكثير ولأنه نوع بيع فلم يصح مع الجهل بقدر المبيع كالسلم وإن قال بعتك هذه الصبرة جاز وإن لم يعرف قفزانها وإن قال بعتك هذه الدار أو هذا الثوب جاز وإن لم يعرف ذرعانها لأن غرر الجهالة ينتفي عنهما بالمشاهدة قال الشافعي: وأكره بيع الصبرة جزافاً لأنه يجهل قدرها على الحقية وإن قال بعتك ثلثها أو ربعها أو بعتك إلا ثلثها أو ربعها جاز لأن من عرف الشيء عرف ثلثه وربعه وما يبقى بعدهما
PASAL: Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak diketahui kadarnya. Jika seseorang berkata, “Aku telah menjual kepadamu sebagian dari ṣubrah (tumpukan barang) ini,” maka jual belinya tidak sah, berdasarkan hadits Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW melarang jual beli gharar. Dalam jual sebagian terdapat unsur gharar, karena mencakup yang sedikit maupun yang banyak. Dan karena itu termasuk jenis jual beli, maka tidak sah jika kadarnya tidak diketahui, sebagaimana dalam akad salam.
Namun jika ia berkata, “Aku jual kepadamu ṣubrah ini,” maka boleh, meskipun tidak diketahui jumlah takarannya. Dan jika ia berkata, “Aku jual kepadamu rumah ini,” atau “Aku jual kepadamu kain ini,” maka boleh meskipun tidak diketahui ukuran panjangnya, karena gharar al-jahālah (ketidaktahuan) hilang dengan penglihatan langsung.
Imam al-Syafi‘i berkata: “Aku memakruhkan menjual ṣubrah secara jusāfan (tanpa ditimbang atau ditakar), karena tidak diketahui kadarnya secara pasti.” Namun jika ia berkata, “Aku jual sepertiganya,” atau “seperempatnya,” atau “kecuali sepertiganya,” atau “kecuali seperempatnya,” maka boleh, karena siapa yang mengetahui suatu barang, maka ia mengetahui sepertiga dan seperempatnya serta sisanya setelah itu.
وإن قال بعتك هذه الصبرة إلا قفيزاً منها أو هذه الدار أو هذا الثوب إلا ذراعاً منه نظرت فإن علما مبلغ قفزان الصبرة وذرعان الدار والثوب جاز لأن المبيع معلوم إن لم يعلما ذلك لم يجز لما روى جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الثنيا ولأن المبيع هو الباقي بعد القفيز والذراع وذلك مجهول وإن قال بعتك عشرة أقفزة من هذه الصبرة جاز لأنها معلومة القدر والصفة فإن اختلفا فقال البائع أعطيك من أسفلها وقال المشتري من أعلاها فالخيار إلى البائع فمن أي موضع أعطاه جاز لأنه أعطاه من الصبرة
Jika ia berkata, “Aku jual kepadamu ṣubrah ini kecuali satu qafīz darinya,” atau “rumah ini” atau “kain ini kecuali satu dzirā‘ darinya,” maka dilihat: jika jumlah qafīz dalam ṣubrah dan ukuran dzirā‘ dari rumah dan kain tersebut diketahui, maka boleh, karena bagian yang dijual itu jelas. Jika tidak diketahui, maka tidak boleh, berdasarkan riwayat dari Jābir bahwa Nabi SAW melarang jual beli dengan tsunyā (pengecualian yang tidak jelas), karena yang dijual adalah sisanya setelah dikecualikan satu qafīz atau satu dzirā‘, dan itu tidak diketahui.
Jika ia berkata, “Aku jual kepadamu sepuluh qafīz dari ṣubrah ini,” maka boleh, karena kadarnya dan sifatnya diketahui. Jika keduanya berselisih, penjual berkata, “Aku akan memberimu dari bagian bawahnya,” dan pembeli berkata, “Aku mau dari bagian atasnya,” maka pilihan ada di tangan penjual. Dari bagian manapun ia memberikannya, maka sah, karena ia telah memberikan dari ṣubrah itu.
وإن قال بعتك عشرة أذرع من هذه الدار أو عشرة أذرع من هذا الثوب فإن كانا يعلمان مبلغ ذرعان الدار والثوب وأنها مئة ذراع صح البيع في عشرها لأن العشرة من المئة عشرها فلا فرق بين أن يقول بعتك عشرها وبين أن يقول بعتك عشرة من مئة ذراع منها وإن لم يعلما مبلغ ذرعان الدار والثوب لم يصح لأنه إن جعل البيع في عشر أذرع مشاعة لم يعرف قدر المبيع أنه عشرها أو ثلثها أو سدسها وإن جعل البيع في عشرة أذرع من موضع بعينه لم يعرف صفة المبيع فإن أجزاء الثوب والدار تختلف وقد يكون بعضها أجود من بعض وإن قال بعتك عشرة أذرع ابتداؤها من هذا المكان ولم يبين المنتهى ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأن أجزاء المبيع مختلفة وقد ينتهي إلى موضع يخالف موضع الابتداء
Jika ia berkata, “Aku jual kepadamu sepuluh dzirā‘ dari rumah ini,” atau “sepuluh dzirā‘ dari kain ini,” maka jika keduanya mengetahui jumlah keseluruhan dzirā‘ dari rumah dan kain tersebut, misalnya seratus dzirā‘, maka sah jual belinya atas sepersepuluhnya. Karena sepuluh dari seratus adalah sepersepuluh, maka tidak ada perbedaan antara mengatakan “Aku jual kepadamu sepersepuluhnya” dengan mengatakan “Aku jual kepadamu sepuluh dari seratus dzirā‘ darinya.”
Namun jika mereka tidak mengetahui jumlah total dzirā‘ dari rumah atau kain tersebut, maka tidak sah. Karena jika jual beli itu dianggap atas sepuluh dzirā‘ secara musya‘ (tidak ditentukan bagian tertentu), maka tidak diketahui apakah yang dijual itu sepersepuluh, sepertiga, atau seperenam. Dan jika jual beli itu dianggap atas sepuluh dzirā‘ dari tempat tertentu, maka tidak diketahui sifat barang yang dijual, karena bagian-bagian dari kain dan rumah itu berbeda; bisa jadi sebagian lebih baik dari yang lain.
Jika ia berkata, “Aku jual kepadamu sepuluh dzirā‘, yang dimulai dari tempat ini,” tanpa menyebutkan batas akhirnya, maka ada dua wajah (pendapat): salah satunya adalah tidak sah, karena bagian-bagian dari barang yang dijual itu berbeda, dan bisa saja batas akhirnya berada di tempat yang tidak sama dengan tempat awalnya.
والثاني أنه يصح لأنه يشاهد السمت وإن بين الابتداء والانتهاء صح في الدار وأما في الثوب فإنه إن كان مما لا ينقص قيمته بالقطع فهو كالدار وإن كان مما ينقص لم يصح لأنه شرط إدخال نقص عليه فيما لم يبع من الثوب ومن أصحابنا من قال يصح لأنه رضي بما يدخل عليه من الضرر وإن قال بعتك هذا السمن مع الظرف كل من بدرهم نظرت فإن لم يعلما مقدار السمن والظرف لم يجز لأن ذلك غرر لأن الظرف قد يكون خفيفاً وقد يكون ثقيلاً وإن علما وزنهما جاز لأنه لا غرر فيه واختلف أصحابنا في بيع النحل في الكندوج فقال أبو العباس يجوز بيعه لأنه يعرف مقداره حال دخوله وخروجه ومن أصحابنا من قال لايجوز وهو قول أبي حامد الإسفرايني لأنه قد يكون في الكندوج ما لا يخرج وإن اجتمع فرخه في موضع وشوهد جميعه جاز بيعه لأنه معلوم مقدور على تسليمه فجاز بيعه.
Pendapat kedua: sah, karena arah dan jalurnya dapat disaksikan. Jika dijelaskan batas awal dan akhirnya, maka sah dalam hal rumah. Adapun dalam hal kain, maka jika jenis kain tersebut tidak berkurang nilainya karena dipotong, maka hukumnya seperti rumah. Namun jika jenis kain tersebut berkurang nilainya karena dipotong, maka tidak sah, karena ia telah mensyaratkan adanya cacat pada bagian kain yang tidak dijual. Sebagian ulama kami berkata: sah, karena pembeli telah rela terhadap kerugian yang mungkin menimpanya.
Jika seseorang berkata, “Aku jual kepadamu minyak samin ini beserta wadahnya, seluruhnya seharga satu dirham,” maka dilihat: jika mereka berdua tidak mengetahui kadar minyak dan wadahnya, maka tidak boleh, karena itu termasuk gharar, sebab wadah bisa jadi ringan atau berat. Jika mereka mengetahui berat keduanya, maka boleh, karena tidak ada unsur gharar di dalamnya.
Ulama kami juga berbeda pendapat tentang jual beli lebah yang berada di kandūj (sarang kayu). Abu al-‘Abbās berkata: boleh menjualnya, karena dapat diketahui kadarnya saat keluar dan masuk. Sebagian ulama kami berkata: tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abū Ḥāmid al-Isfirā’īnī, karena bisa jadi di dalam kandūj ada sesuatu yang tidak keluar. Jika anak-anak lebah berkumpul di satu tempat dan semuanya terlihat, maka boleh menjualnya, karena jumlahnya diketahui dan dapat diserahkan, maka sah jual belinya.
فصل: ولا يجوز بيع الحمل في البطن لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي نهى عن المجر والمجر اشتراء ما في الأرحام ولأنه قد يكون حملاً وقد يكون ريحاً وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز ولأنه إن كان حملاً فهو مجهول القدر مجهول الصفة وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز وإن باع حيواناً وشرط أنه حامل ففيه قولان: أحدهما أن البيع باطل لأنه مجهول الوجود مجهول الصفة والثاني أنه يجوز لأن الظاهر أنه موجود والجهل به لايؤثر لأنه لاتمكن رؤيته فعفى عن الجهل به كأساس الدار.
PASAL: Tidak boleh menjual janin yang masih dalam perut, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW melarang al-mujarr dan al-mujarr adalah membeli apa yang ada di dalam rahim. Karena bisa jadi itu memang janin, dan bisa jadi hanya angin, maka ini termasuk gharar yang tidak ada kebutuhan padanya, sehingga tidak boleh. Dan jika memang janin, maka ia tidak diketahui kadarnya dan tidak diketahui sifatnya, maka ini pun gharar yang tidak ada kebutuhan padanya, sehingga tidak boleh.
Jika seseorang menjual seekor hewan dan mensyaratkan bahwa hewan itu sedang bunting, maka ada dua pendapat:
- Pertama, jual belinya batal, karena bunting itu tidak diketahui keberadaannya dan tidak diketahui sifatnya.
- Kedua, jual belinya sah, karena secara lahiriah hal itu dianggap ada, dan ketidaktahuan tentangnya tidak berpengaruh karena tidak mungkin dilihat, maka dimaafkan ketidaktahuan tersebut sebagaimana dasar bangunan.
فصل: ولايجوز بيع اللبن في الضرع لما روي عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال: “لاتبيعوا الصوف على ظهر الغنم ولاتبيعوا اللبن في الضرع” ولأنه مجهول القدر لأنه قد يرى امتلاء الضرع في السمن فيظن أنه من اللبن ولأنه مجهول الصفة لأنه قد يكون اللبن صافي وقد يكون كدراً وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز.
PASAL: Tidak boleh menjual susu yang masih di dalam ambing, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa ia berkata: “Jangan kalian menjual bulu di atas punggung kambing, dan jangan kalian menjual susu di dalam ambing.” Karena susu itu tidak diketahui kadarnya, sebab bisa jadi ambingnya tampak penuh karena lemak, lalu disangka penuh karena susu. Dan juga tidak diketahui sifatnya, bisa jadi susunya jernih, bisa jadi keruh. Maka ini termasuk gharar yang tidak ada kebutuhan padanya, sehingga tidak boleh.
فصل: ولا يجوز بيع الصوف على ظهر الغنم لقول ابن عباس ولأنه قد يموت الحيوان قبل الجز فيتنجس شعره وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز ولأنه لا يمكن تسليمه إلا باستئصاله من أصله ولا يمكن ذلك إلا بإيلام الحيوان وهذا لايجوز.
PASAL: Tidak boleh menjual bulu yang masih di atas punggung kambing, berdasarkan perkataan Ibnu ‘Abbās. Karena bisa jadi hewan tersebut mati sebelum dicukur, lalu bulunya menjadi najis, maka itu termasuk gharar yang tidak ada kebutuhan padanya, sehingga tidak boleh. Dan karena tidak mungkin diserahkan kecuali dengan mencabutnya dari asalnya, sedangkan hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan menyakiti hewan, dan ini tidak diperbolehkan.
فصل: ولا يجوز البيع إلابثمن معلوم الصفة فإن باع بثمن مطلق في موضع ليس فيه نقد متعارف لم يصح البيع لأنه عوض في البيع فلم يجز مع الجهل بصفته كالمسلم فيه فإن باع بثمن معين تعين لأنه عوض فتعين بالتعيين كالمبيع فإن لم يره المتعاقدان أو أحدهما فعلى ما ذكرناه من القولين في بيع العين التي لم يرها المتبايعان أو أحدهما.
PASAL: Tidak sah jual beli kecuali dengan harga yang diketahui sifatnya. Jika seseorang menjual dengan harga mutlak di tempat yang tidak memiliki mata uang yang dikenal secara umum, maka jual belinya tidak sah, karena harga adalah pengganti dalam jual beli, maka tidak boleh ada kejahilan terhadap sifatnya, sebagaimana dalam akad salam.
Jika ia menjual dengan harga tertentu, maka harga tersebut menjadi pasti, karena ia adalah pengganti yang menjadi pasti dengan penentuan, sebagaimana barang yang dijual. Jika salah satu atau kedua pihak tidak melihat barang tersebut, maka hukumnya kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya dalam jual beli barang yang tidak dilihat oleh kedua belah pihak atau salah satunya.
فصل: ولا يجوز البيع إلا بثمن معلوم القدر فإن باع بثمن مجهول كبيع السلعة برقمها وبيع السلعة بما باع به فلان سلعته وهما لا يعلمان ذلك فالبيع باطل لأنه عوض في البيع فلم يجز مع الجهل بقدره كالمسلم فيه فإن باعه بثمن معين جزافاً فأجاز لأنه معلوم بالمشاهدة ويكره ذلك ما قلنا في بيع الصبرة جزافاً وإن قال بعتك هذا القطيع كل شاة بدرهم أو هذه الصبرة كل قفيز بدرهم وهما لا يعلمان مبلغ قفزان الصبرة وعدد القطيع صح البيع لأن غرر الجهالة ينتفي بالعلم بالتفصيل كما ينتفي بالعلم بالجملة جاز بالعلم بالتفصيل
PASAL: Tidak sah jual beli kecuali dengan harga yang diketahui kadarnya. Jika seseorang menjual dengan harga yang tidak diketahui, seperti menjual barang dengan “harga yang tertulis” (bi raqmi-hā), atau menjual barang dengan harga yang digunakan oleh si fulan dalam menjual barangnya—padahal keduanya tidak mengetahui jumlah harga tersebut—maka jual belinya batal. Karena harga adalah pengganti dalam jual beli, maka tidak boleh ada kejahilan terhadap kadarnya, sebagaimana dalam akad salam.
Jika ia menjual dengan harga tertentu secara jusāfan (tanpa timbangan atau takaran), maka boleh, karena dapat diketahui melalui penglihatan langsung. Namun hal itu makruh sebagaimana telah kami sebutkan dalam jual beli ṣubrah secara jusāfan.
Jika ia berkata, “Aku jual kepadamu kawanan hewan ini, setiap ekor satu dirham,” atau “Aku jual kepadamu ṣubrah ini, setiap qafīz-nya satu dirham,” padahal keduanya tidak mengetahui jumlah qafīz dalam ṣubrah atau jumlah hewan dalam kawanan, maka sah jual belinya. Karena gharar al-jahālah hilang dengan pengetahuan terhadap rincian, sebagaimana ia hilang dengan pengetahuan secara keseluruhan, maka boleh karena telah diketahui secara rinci.
وإن كان لرجل عبدان فباع أحدهما من رجل الآخر من رجل آخر في صفقة واحدة بثمن واحد فإن الشافعي رحمه الله قال فيمن كاتب عبدين بمال واحد أنه على قولين: أحدهما يبطل العقد لأن العقد الواحد مع اثنين عقدان فإذا لم يعلم قدر العوض في كل واحد منهما بطل كما لو باع كل واحد منهما في صفقة بثمن مجهول والثاني يصح ويقسم العوض عليهما على قدر قيمتهما فمن قال في البيع أيضاً قولان وهو قول أبي العباس وقال أبو سعيد الإصطخري وأبو إسحاق يبطل البيع قولاً واحداً
Dan jika seseorang memiliki dua budak lalu menjual salah satunya kepada seorang lelaki dan yang lainnya kepada lelaki lain dalam satu transaksi dengan satu harga, maka asy-Syafi‘i rahimahullah berkata dalam kasus seseorang yang memerdekakan dua budak dengan satu pembayaran bahwa hal itu memiliki dua pendapat:
Pertama, akadnya batal karena satu akad dengan dua pihak adalah dua akad. Maka jika tidak diketahui kadar imbalan untuk masing-masing dari keduanya, akad menjadi batal, sebagaimana jika ia menjual masing-masing dari keduanya dalam satu transaksi dengan harga yang tidak diketahui.
Kedua, akadnya sah dan imbalan dibagi kepada keduanya sesuai dengan kadar nilainya.
Maka dalam jual beli juga terdapat dua pendapat, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas.
Dan Abu Sa‘id al-Ishṭakhri serta Abu Isḥaq berpendapat bahwa jual beli tersebut batal menurut satu pendapat saja.
لأن البيع يفسد العوض والصحيح قول أبي العباس لأن الكتابة أيضاً تفسد بفساد العوض وقد نص فيها على قولين فإن قال بعتك بألف مثقال ذهباً وفضة فالبيع باطل لأنه لم يبين القدر من كل واحد منهما فكان باطلاً وإن قال بعتك بألف نقدا أو بألفين نسيئة فالبيع باطل لأنه لم يعقد على ثمن بعينه فهو كما لو قال بعتك أحد هذين العبدين.
Karena jual beli menjadi rusak karena rusaknya imbalan, dan pendapat yang sahih adalah pendapat Abu al-‘Abbas, karena kitābah juga rusak dengan rusaknya imbalan, dan telah dinyatakan padanya dua pendapat.
Jika ia berkata, “Aku jual kepadamu dengan seribu mitsqāl berupa emas dan perak,” maka jual beli batal, karena ia tidak menjelaskan kadar dari masing-masing keduanya, maka batal.
Dan jika ia berkata, “Aku jual kepadamu dengan seribu tunai atau dua ribu secara tangguh (kredit),” maka jual beli batal, karena ia tidak mengadakan akad atas harga tertentu, maka hukumnya seperti jika ia berkata, “Aku jual kepadamu salah satu dari dua budak ini.”
فصل: وإن باع بثمن مؤجل لم يجز إلى أجل مجهول كالبيع إلى العطاء لأنه عوض في بيع فلم يجز إلى أجل مجهول كالمسلم فيه.
فصل: ولا يجوز تعليق البيع على شرط مستقبل كمجيء الشهر وقدوم الحاج لأنه بيع غرر من غير حاجة فلم يجز ولا يجوز بيع المنابذة وهو أن يقول إذا نبذت هذا الثوب فقد وجب البيع ولابيع الملامسة وهو أن يمس بيده ولا ينشره وإذا مسه فقد وجب البيع
PASAL: Jika menjual dengan harga yang ditangguhkan, maka tidak boleh hingga waktu yang tidak diketahui, seperti jual beli hingga waktu pemberian gaji (al-‘aṭā’), karena itu adalah imbalan dalam jual beli, maka tidak boleh hingga waktu yang tidak diketahui sebagaimana dalam salam.
PASAL: Tidak boleh menggantungkan jual beli pada syarat masa depan seperti datangnya bulan atau tibanya jamaah haji, karena itu merupakan jual beli gharār tanpa kebutuhan, maka tidak diperbolehkan. Dan tidak boleh jual beli munābadzah, yaitu dengan mengatakan: “Jika aku lempar kain ini, maka wajib jual belinya.” Dan tidak boleh jual beli mulāmasah, yaitu ketika ia menyentuhnya dengan tangannya tanpa membukanya, dan jika ia menyentuhnya maka wajib jual belinya.
لما روى أبو سعيد الخدري قال: “نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين المنابذة والملامسة” والمنابذة أن يقول إذا نبذت هذا الثوب فقد وجب البيع والملامسة أن يمسه بيده ولا ينشره فإذا مسه فقد وجب البيع ولأنه إذا علق وجوب البيع على نبذ الثوب فقد علق البيع على شرط وذلك لا يجوز وإذا لم ينشر الثوب فقد باع مجهولاً وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز ولايجوز بيع الحصى وهو أن يقول بعتك ما وقع عليه الحصى من ثوب أو أرض
Karena telah diriwayatkan dari Abu Sa‘id al-Khudri, ia berkata: “Rasulullah SAW melarang dua macam jual beli: munābadzah dan mulāmasah.” Munābadzah adalah ketika seseorang berkata, “Jika aku melempar kain ini, maka wajib jual belinya,” dan mulāmasah adalah ketika ia menyentuh dengan tangannya tanpa membukanya, maka jika ia menyentuhnya, wajib jual belinya.
Dan karena jika ia menggantungkan kewajiban jual beli pada lemparan kain, maka berarti ia menggantungkan jual beli pada suatu syarat, dan itu tidak diperbolehkan. Dan jika kain tidak dibuka, maka ia telah menjual sesuatu yang tidak diketahui, dan itu termasuk gharār tanpa kebutuhan, maka tidak diperbolehkan.
Dan tidak boleh jual beli ḥaṣā, yaitu ketika seseorang berkata: “Aku jual kepadamu apa yang terkena lemparan kerikil, baik dari kain atau tanah.”
لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الحصى ولأنه بيع مجهول من غير حاجة فلم يجز ولا يجوز حبل الحبلة لما روي ابن عمر رضي الله عنه قال “نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الحبلة” واختلف في تأويله فقال الشافعي رحمه الله: هو بيع السلعة بثمن إلى أن تلد الناقة ويلد حملها وقال أبو عبيد: هو بيع ما يلد حمل الناقة فإن كان على ما قال الشافعي رحمه الله فهو بيع بثمن إلى أجل مجهول وقد بينا أن ذلك لايجوز وإن كان على ما قال أبو عبيد فهو بيع معدوم ومجهول وذلك لا يجوز ولا يجوز بيعان في بيعة
Karena telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang jual beli ḥaṣā, dan karena itu merupakan jual beli atas sesuatu yang tidak diketahui tanpa adanya kebutuhan, maka tidak diperbolehkan.
Dan tidak diperbolehkan ḥabl al-ḥabalah, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata: “Rasulullah SAW melarang jual beli ḥabalah.” Terjadi perbedaan pendapat dalam penafsirannya.
Asy-Syafi‘i rahimahullah berkata: Itu adalah menjual barang dengan pembayaran ditangguhkan hingga unta betina melahirkan dan anaknya melahirkan. Sedangkan Abū ‘Ubaid berkata: Itu adalah menjual apa yang dilahirkan oleh anak unta.
Jika sesuai dengan pendapat asy-Syafi‘i rahimahullah, maka itu adalah jual beli dengan harga yang ditangguhkan hingga waktu yang tidak diketahui, dan telah kami jelaskan bahwa hal itu tidak diperbolehkan.
Jika sesuai dengan pendapat Abū ‘Ubaid, maka itu adalah jual beli atas sesuatu yang belum ada dan tidak diketahui, dan itu tidak diperbolehkan.
Dan tidak diperbolehkan dua jual beli dalam satu jual beli.
لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال “نهى رسول الله عن بيعتين في بيعة” فيحتمل أن يكون المراد به أن يقول بعتك هذا بألف نقداً أو بألفين نسيئة فلا يجوز للخبر ولأنه لم يعقد على ثمن معلوم ويحتمل أن يكون المراد به أن يقول بعتك هذا بألف على أن تبيعني دارك بألف فلا يصح للخبر ولأنه شرط في عقد وذلك لايصح فإذا سقط وجب أن يضاف إلى ثمن السلعة بإزاء ما سقط من الشرط وذلك مجهول فإذا أضيف إلى الثمن صار مجهولاً فبطل.
Karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW melarang dua jual beli dalam satu jual beli.” Maka hal itu mengandung kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah seseorang berkata, “Aku jual kepadamu barang ini dengan seribu tunai atau dua ribu secara tangguh,” maka tidak diperbolehkan karena hadits tersebut, dan karena ia tidak mengadakan akad atas harga yang diketahui.
Dan juga mengandung kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah ia berkata, “Aku jual kepadamu barang ini dengan seribu, dengan syarat engkau menjual rumahmu kepadaku dengan seribu,” maka tidak sah karena hadits tersebut, dan karena ia mensyaratkan sesuatu dalam akad, dan hal itu tidak sah. Maka jika syarat itu gugur, wajib menambahkan nilai pengganti untuk bagian syarat yang gugur ke dalam harga barang, dan itu tidak diketahui. Maka jika digabungkan ke dalam harga, menjadi tidak diketahui, sehingga batal.
فصل: ولا يجوز مبايعة من يعلم أن جميع ماله حرام لما روى أبو مسعود البدري أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن حلوان الكاهن ومهر البغي وعن الزهري في امرأة زنت بمال عظيم قال لا يصلح لملاها أكله لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن مهر البغي فإن كان معه حلال وحرام كره مبايعته والأخذ منه لما روى النعمان بن بشير قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “الحلال بين والحرام بين وبين ذلك أمور مشتبهات وسأضرب لكم في ذلك مثلاً إن الله تعالى حمى حمى وإن حمى الله حرام وأن من يرعى حول الحمى يوشك أن يخالط الحمى”
PASAL: Tidak boleh melakukan jual beli dengan orang yang diketahui bahwa seluruh hartanya haram, berdasarkan riwayat dari Abu Mas‘ūd al-Badrī bahwa Nabi SAW melarang dari ḥulwān al-kāhin (upah dukun), mahr al-baghī (bayaran pelacur), dan dari az-Zuhrī tentang seorang perempuan yang berzina dengan harta yang banyak, ia berkata: “Tidak boleh bagi walinya memakan harta tersebut,” karena Nabi SAW melarang dari mahr al-baghī.
Jika hartanya bercampur antara yang halal dan haram, maka makruh melakukan jual beli dengannya dan mengambil darinya, berdasarkan riwayat dari an-Nu‘mān bin Basyīr, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang samar. Aku akan memberikan permisalan tentang hal itu: Sesungguhnya Allah memiliki ḥimā (larangan), dan ḥimā Allah adalah yang haram. Barang siapa menggembala di sekitar ḥimā, maka dikhawatirkan ia akan masuk ke dalam ḥimā.”
وإن بايعه وأخذ منه جاز لأن الظاهر مما في يده أنه له فلا يحرم الأخذ منه ويكره بيع العنب ممن يعصر الخمر والتمر ممن يعمل النبيذ وبيع السلاح ممن يعصي الله تعالى به لأنه لا يأمن أن يكون ذلك معونة على المعصية فإن باع منه صح البيع لأنه قد لا يتخذ الخمر ولا يعصي الله تعالى بالسلاح ولا يجوز بيع المصحف ولا العبد المسلم من الكافر لأنه يعرض العبد للصغار والمصفح للابتذال فإن باعه منه ففيه قولان: أحدهما أن البيع باطل لأنه عقد منع منه لحرمة الإسلام فلم يصح كتزويج المسلمة من الكافر
Dan jika ia melakukan jual beli dengannya dan mengambil darinya, maka itu boleh, karena secara lahiriah apa yang ada di tangannya adalah miliknya, maka tidak haram mengambil darinya.
Dimakruhkan menjual anggur kepada orang yang memeras khamar, dan kurma kepada orang yang membuat nabīdh, serta menjual senjata kepada orang yang menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah Ta‘ala, karena dikhawatirkan hal itu menjadi bantuan terhadap maksiat.
Namun jika ia menjual kepada mereka, maka jual belinya sah, karena bisa jadi ia tidak membuat khamar darinya dan tidak bermaksiat kepada Allah dengan senjata tersebut.
Tidak diperbolehkan menjual mushaf dan budak muslim kepada orang kafir, karena hal itu akan membuat budak terhina dan mushaf menjadi direndahkan. Jika ia tetap menjual kepada mereka, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa jual beli itu batal karena merupakan akad yang dilarang demi menjaga kehormatan Islam, maka tidak sah, sebagaimana menikahkan perempuan muslimah dengan orang kafir.
والثاني يصح لأنه سبب يملك به العبد الكافر فجاز أن يملك به العبد المسلم كالإرث فإذا قلنا بهذا أمرناه بإزالة ملكه لأن في تركه ملكه صغاراً على الإسلام فإن باعه أو أعتقه جاز وإن كاتبه ففيه قولان: أحدهما يقبل لأن بالكتابة يصير كالخارج من ملكه في التصرفات والثاني لايقبل لأنه عقدة لا يزيل الملك فلا يقبل منه كالتزويج والإجارة فإن ابتاع الكافر أباه المسلم ففيه طريقان: أحدهما أنه على القولين والثاني أنه يصح قولاً واحداً لأنه يحصل له من الكمال بالحرية أكثر مما يحصل له من الصغار بالرق.
Pendapat yang kedua: jual beli tersebut sah, karena itu adalah sebab yang dengannya orang kafir dapat memiliki budak, maka boleh pula ia memiliki budak muslim sebagaimana dalam kasus warisan.
Jika kita memilih pendapat ini, maka kita perintahkan agar ia melepaskan kepemilikannya, karena membiarkannya tetap memiliki budak muslim merupakan bentuk penghinaan terhadap Islam. Maka jika ia menjualnya atau memerdekakannya, hukumnya sah.
Jika ia melakukan kitābah terhadapnya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, diterima, karena dengan kitābah budak menjadi seakan-akan keluar dari kepemilikan dalam hal tindakan.
Kedua, tidak diterima, karena kitābah adalah akad yang tidak menghilangkan kepemilikan, maka tidak diterima darinya, sebagaimana halnya akad pernikahan dan sewa-menyewa.
Jika orang kafir membeli ayahnya yang muslim, maka terdapat dua metode pendalilan:
Pertama, bahwa kasus ini mengikuti dua pendapat di atas.
Kedua, bahwa jual beli itu sah menurut satu pendapat saja, karena ia memperoleh kemuliaan dari kemerdekaan lebih banyak daripada kehinaan akibat perbudakan.
فصل: ولا يجوز بيع الجارية إلا حملها لأنه يتبعها في البيع والعتق فلا يجوز بيعها دونه كاليد والرجل ولا يجوز أن يفرق بين الجارية وولدها في البيع قبل سبع سنين لما روى أبو سعيد الخدري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لاتوله والدة بولدها” وقال عليه السلام: “من فرق بين والدة وولدها فرق الله بينه وبين أحبته يوم القيامة” وإن فرق بينهما بالبيع بطل البيع لأنه تفريق محرم فأفسد البيع كالتفريق بين الجارية وحملها وهل يجوز بعد سبع سنين إلى البلوغ؟ فيه قولان: أحدهما لا يجوز لعموم الأخبار ولأنه غير بالغ فلا يجوز التفريق بينه وبين أمه في البيع كما لو كان دون سبع سنين والثاني يجوز لأنه لأنه مستغن عن حضانتها فجاز التفريق بينهما كالبالغ.
PASAL: Tidak boleh menjual seorang jāriyah (budak perempuan) tanpa menjual janin yang dikandungnya, karena janin tersebut mengikuti ibunya dalam jual beli dan dalam pembebasan, maka tidak boleh menjualnya secara terpisah, sebagaimana halnya tangan dan kaki.
Dan tidak boleh memisahkan antara jāriyah dan anaknya dalam jual beli sebelum usia tujuh tahun, berdasarkan riwayat dari Abu Sa‘īd al-Khudrī bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh seorang ibu dipisahkan dari anaknya.” Dan beliau SAW bersabda: “Barang siapa memisahkan antara ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat.”
Jika dilakukan pemisahan antara keduanya dalam jual beli, maka jual beli tersebut batal karena merupakan pemisahan yang diharamkan, sehingga merusak jual beli, sebagaimana pemisahan antara budak perempuan dan kandungannya.
Apakah boleh dilakukan pemisahan setelah usia tujuh tahun hingga baligh? Maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, karena keumuman hadits-hadits, dan karena ia belum baligh, maka tidak boleh dipisahkan dari ibunya dalam jual beli, sebagaimana halnya jika usianya di bawah tujuh tahun.
Kedua, boleh, karena ia telah tidak lagi membutuhkan pengasuhan ibunya, maka boleh dipisahkan darinya sebagaimana anak yang telah baligh.
باب ما يفسد البيع من الشروط وما لا يفسده
إذا شرط في البيع شرطاً نظرت فإن كان شرطاً يقتضيه البيع كالتسليم والرد بالعيب وما أشبههما لم يبطل العقد لأن شرط ذلك بيان لما يقتضيه العقد فلم يبطله فإن شرط ما لا يقتضيه العقد ولكن فيه مصلحة كالخيار والأجل والرهن ولاضمين لم يبطل العقد لأن الشرع ورد بذلك على ما نبينه في مواضعه إن شاء الله وبه الثقة ولأن الحاجة تدعو إليه فلم يفسد العقد فإن شرط عتق العبد المبيع لم يفسد العقد لأن عائشة رضي الله عنها اشترت بريرة لتعتقها فأراد أهلها أن يشترطوا ولاءها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “اشتريها وأعتقيها فإن الولاء لمن أعتق”
Bab: Syarat-Syarat yang Merusak Jual Beli dan yang Tidak Merusaknya
Jika dalam jual beli disyaratkan suatu syarat, maka dilihat: jika syarat tersebut termasuk yang dituntut oleh jual beli seperti penyerahan barang, pengembalian karena cacat, dan semacamnya, maka akad tidak batal, karena syarat itu merupakan penegasan terhadap hal yang dituntut oleh akad, sehingga tidak membatalkannya.
Jika disyaratkan sesuatu yang tidak dituntut oleh akad, tetapi mengandung maslahat seperti khiyār (hak memilih), penangguhan pembayaran, gadai, atau adanya penjamin, maka akad tidak batal, karena syariat telah menetapkan hal itu sebagaimana akan kami jelaskan pada tempatnya, insya Allah – dan kepada-Nya tempat bergantung. Dan karena adanya kebutuhan terhadap hal itu, maka tidak merusak akad.
Jika disyaratkan pembebasan budak yang dijual, maka akad tidak rusak, karena ‘Ā’isyah RA pernah membeli Barīrah untuk dimerdekakan, lalu keluarga Barīrah ingin mensyaratkan agar walā’-nya tetap untuk mereka, maka Rasulullah SAW bersabda: “Belilah dan merdekakanlah dia, karena walā’ itu milik orang yang memerdekakan.”
وإن اشتراه بشرط العتق فامتنع من إعتاقه ففيه وجهان: أحدهما يجبر عليه لأنه عتق مستحق عليه فإذا امتنع أجبر عليه كما لو نذر عتق عبد ثم امتنع من إعتاقه والثاني لا يجبر بل يثبت الخيار في فسخ البيع لأنه ملكه بالعوض وإنما شرط للبائع حقاً فإذا لم يف ثبت للبائع الخيار كما لو اشترى شيئاً بشرط أن يرهن بالثمن رهناً فامتنع من الرهن فإن رضي البائع بإسقاط حقه من العتق ففيه وجهان: أحدهما لا يسقط لأنه عتق مستحق فلا يسقط بإسقاط الآدمي كالمنذور
Jika ia membeli budak dengan syarat untuk memerdekakannya, lalu ia enggan memerdekakannya, maka terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, ia dipaksa untuk memerdekakannya, karena itu adalah ‘itq yang wajib atasnya. Maka jika ia enggan, ia dipaksa sebagaimana orang yang bernazar untuk memerdekakan budak lalu enggan memerdekakannya.
Kedua, ia tidak dipaksa, tetapi penjual berhak memilih untuk membatalkan jual beli, karena pembeli memiliki budak tersebut dengan imbalan, dan syarat tersebut hanya menetapkan hak bagi penjual. Maka jika tidak dipenuhi, penjual berhak memilih, sebagaimana jika seseorang membeli sesuatu dengan syarat akan memberikan jaminan (rahan) sebagai pembayaran, lalu ia menolak memberikan jaminan.
Jika penjual rela menggugurkan haknya atas pembebasan, maka terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, hak itu tidak gugur, karena pembebasan itu merupakan sesuatu yang wajib, maka tidak gugur dengan pengguguran oleh manusia, sebagaimana dalam kasus ‘itq yang dinazarkan.
والثاني أنه يسقط لأنه حق شرطه البائع لنفسه فسقط بإسقاطه كالرهن والضمين وإن تلف العبد قبل العتق ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه ليس للبائع إلا الثمن لأنه لم يفقد أكثر من العتق والثاني يأخذ الثمن وما نقص من الثمن بشرط العتق فيقوم من غير شرط العتق ثم يقوم مع شرط العتق ويجب ما بينهما من الثمن والثالث أنه يفسخ العقد لأن البائع لم يرض بهذا الثمن وحده والمشتري لم يلتزم أكثر من هذا الثمن فوجب أن يفسخ العقد.
Pendapat yang kedua: hak tersebut gugur karena itu adalah hak yang disyaratkan oleh penjual untuk dirinya sendiri, maka gugur dengan kerelaannya, sebagaimana halnya jaminan (rahn) dan penjamin (ḍamīn).
Jika budak tersebut meninggal sebelum dimerdekakan, maka terdapat tiga wajah pendapat:
Pertama, penjual hanya berhak atas harga (yang telah dibayar), karena ia tidak kehilangan lebih dari sekadar hak pembebasan.
Kedua, ia berhak atas harga dan selisih antara harga tanpa syarat pembebasan dan harga dengan syarat pembebasan, yaitu dengan menilai budak tanpa syarat pembebasan, lalu dengan syarat pembebasan, maka diwajibkan membayar selisih antara keduanya.
Ketiga, akad dibatalkan, karena penjual tidak rela dengan harga tersebut saja, dan pembeli pun tidak berkomitmen untuk membayar lebih dari harga itu, maka wajib dibatalkan akadnya.
فصل: فإن شرط ما سوى ذلك من الشروط التي تنافي مقتضى البيع بأن باع عبداً بشرط أن لا يبيعه أو لا يعتقه أو باع داراً بشرط أن يسكنها مدة أو ثوباً بشرط أن يخيطه له أو فعلة بشرط أن يحذوها له بطل البيع لما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه “نهى عن بيع وشرط” وروي أن عبد الله بن مسعود اشترى جارية من امرأته زينب الثقفية وشرطت عليه أنك إن بعتها فهي لي بالثمن فاستفتى عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فقال: لا تقر بها وفيها شرط لأحد
PASAL: Jika disyaratkan syarat-syarat lain yang bertentangan dengan maksud akad jual beli, seperti menjual budak dengan syarat tidak boleh dijual atau tidak boleh dimerdekakan, atau menjual rumah dengan syarat penjual boleh menempatinya untuk jangka waktu tertentu, atau menjual pakaian dengan syarat harus dijahitkan oleh penjual, atau menjual tenaga kerja dengan syarat harus membuat sepatu untuk penjual, maka jual beli batal.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau “melarang jual beli dengan syarat.”
Dan diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin Mas‘ūd membeli seorang budak perempuan dari istrinya, Zainab ats-Tsaqafiyyah, lalu ia (Zainab) mensyaratkan, “Jika engkau menjualnya, maka aku yang berhak atasnya dengan harga yang sama.” Maka ‘Abdullāh bin Mas‘ūd meminta fatwa kepada ‘Abdullāh bin ‘Umar RA, dan ia berkata: “Jangan engkau setujui selama di dalamnya terdapat syarat bagi seseorang.”
وروي أن عبد الله اشترى جارية واشترط خدمتها فقال له عمر رضي الله عنه: لا تقبر بها وفيها مثنوية ولأنه شرط لم يبن على التغليب ولا هو من مقتضى العقد ولا من مصلحته فأفسد العقد كما لو شرط أن لا يسلم إليه المبيع فإن قبض المبيع لم يملكه لأنه قبض في عقد فاسد فلا يوجب الملك كالوطء في النكاح الفاسد فإن كان باقياً وجب رده وإن هلك ضمنه بقيمته أكثر ما كانت من حين القبض إلى حين التلف ومن أصحابنا من قال: يضمن قيمته يوم التلف لأنه مأذون في إمساك فضمن قيمته يوم التلف كالعارية وليس بشيء لأنه قبض مضمون في عين يجب ردها فإذا هلكت ضمنها بأكثر ما كانت من حين القبض إلى حين التلف كقبض الغاصب ويخالف العارية فإن العارية مأذون في إتلاف منافعها ولأن في العارية لو رد العين ناقصة بالاستعمال لم يضمن ولو رد المبيع ناقصاً ضمن النقصان
Diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh pernah membeli seorang jāriyah dan mensyaratkan agar ia melayaninya, maka ‘Umar RA berkata kepadanya: “Jangan engkau terima selama di dalamnya terdapat mathnawiyyah (syarat ganda).”
Karena syarat tersebut tidak dibangun atas dasar kebiasaan dominan (ghālib) dan bukan termasuk dari maksud akad, serta bukan pula termasuk maslahat akad, maka ia merusak akad, sebagaimana jika disyaratkan untuk tidak menyerahkan barang yang dijual.
Jika pembeli menerima barang yang dijual, maka ia tidak memilikinya, karena penerimaan (qabd) terjadi dalam akad yang rusak, sehingga tidak menyebabkan kepemilikan, sebagaimana wath’ dalam nikah yang rusak.
Jika barang tersebut masih ada, wajib dikembalikan. Namun jika telah rusak, wajib menggantinya dengan nilainya yang paling tinggi sejak saat diterima hingga saat rusaknya.
Sebagian ulama mazhab kami berkata: yang wajib adalah nilai pada saat rusaknya, karena pembeli diberi izin untuk memegangnya, maka ia wajib mengganti nilainya saat rusak, seperti dalam kasus ‘āriyah (pinjaman pakai).
Namun pendapat ini tidak tepat, karena barang tersebut diterima dengan tanggungan, pada benda yang wajib dikembalikan. Maka jika ia rusak, ia wajib mengganti nilai tertingginya sejak saat diterima hingga saat rusaknya, sebagaimana penerimaan oleh seorang ghāṣib (perampas).
Kasus ini berbeda dengan ‘āriyah, karena dalam ‘āriyah diperbolehkan untuk menghilangkan manfaatnya. Dalam ‘āriyah, jika benda dikembalikan dalam keadaan berkurang karena pemakaian, tidak wajib mengganti. Namun dalam jual beli, jika barang dikembalikan dalam keadaan berkurang, maka wajib mengganti kekurangan tersebut.
وإن حدثت في عينها زيادة بأن سمنت ثم هزلت ضمن ما نقص لأن ما ضمن عينه ضمن نقصانه كالمغصوب ومن أصحابنا من قال: لا يضمن لأن البائع دخل في العقد ليأخذ بدل العين دون الزيادة والمنصوص هو الأول وماقاله هذا القائل يبطل بالمنافع فإنه لم يدخل في العقد ليأخذ بدلها ثم تستحق فإن كان لمثله أجرة لزمه الأجرة للمدة التي أقام في يده لأنه مضمون عليه غير مأذون في الانتفاع به فضمن أجرته كالمغصوب فإن كانت جارية فوطئها لم يلزمه الحد لأنه وطء بشبهة لأنه اعتقد أنها ملكه ويجب عليه المهر لأنه وطء بشبهة فوجب به المهر كالوطء في النكاح الفاسد وإن كانت بكراً وجب عليه أرش البكارة لأن البكارة جزء من أجزائها وأجزاؤها مضمونة عليه فكذلك البكارة
Jika pada barang yang dijual terjadi penambahan, seperti menjadi gemuk lalu kurus kembali, maka ia wajib menanggung kekurangan tersebut, karena siapa yang wajib menanggung benda, maka ia juga menanggung kekurangannya, sebagaimana dalam kasus barang maghṣūb (yang dirampas).
Sebagian ulama dari mazhab kami berkata: tidak wajib menanggung kekurangan, karena penjual masuk dalam akad untuk mengambil pengganti dari benda, bukan dari penambahannya. Namun pendapat yang manṣūṣ (dinukil dari imam mazhab) adalah pendapat pertama.
Apa yang dikatakan oleh pendapat kedua ini, batal dengan adanya manfaat; karena penjual tidak masuk dalam akad untuk mengambil ganti dari manfaat, namun manfaat tetap wajib diberikan.
Jika barang tersebut termasuk yang memiliki tarif sewa (ujrah), maka wajib membayar sewa untuk masa waktu barang tersebut berada di tangannya, karena ia menanggungnya dan tidak diizinkan untuk mengambil manfaatnya, maka ia wajib membayar sewanya, seperti dalam kasus ghaṣb.
Jika barang itu adalah jāriyah, lalu ia menggaulinya, maka tidak dikenakan ḥadd, karena itu adalah wath’ yang mengandung syubhat, karena ia mengira bahwa budak tersebut adalah miliknya.
Namun ia wajib membayar mahr, karena itu adalah wath’ dengan syubhat, sehingga mewajibkan mahar, sebagaimana dalam wath’ dalam nikah fasid.
Jika budak itu masih perawan, maka ia wajib membayar ganti atas keperawanannya (arsy al-bakārah), karena keperawanan adalah bagian dari anggota tubuhnya, dan seluruh anggota tubuhnya wajib ia tanggung, maka demikian pula keperawanannya.
وإن أتت منه بولد فهو حر لأنه اعتقد أنها جاريته ويلزمه قيمة الولد لأنه أتلف عليه رقه باعتقاده ويقوم بعد الانفصال لأنه لا يمكن تقويمه قبل الانفصال ولأنه يضمن قيمة الولد للحيلولة وذلك لا يحصل إلا بعد الانفصال فإن ألقت الولد ميتاً لم يضمنه لأنه لا قيمة له قبل الانفصال ولا توجد الحيلولة إلا بعد الانفصال فإن ماتت الجارية من الولادة لزمه قيمتها لأنها هلكت بسبب من جهته ولا تصير الجارية أم ولد في الحال لأنها عقلت منه في غير ملكه وهل تصير أم ولد إذا ملكها فيه قولان.
Jika budak tersebut melahirkan anak darinya, maka anak itu merdeka, karena ia mengira bahwa budak tersebut adalah miliknya. Dan ia wajib membayar nilai anak tersebut karena ia telah merusak status perbudakannya berdasarkan sangkaannya. Anak tersebut dinilai setelah lahir, karena tidak mungkin menilainya sebelum terpisah dari ibunya, dan karena ia menanggung nilai anak karena adanya penghalangan (dari perbudakan), dan itu tidak terjadi kecuali setelah terpisah.
Jika anak tersebut lahir dalam keadaan mati, maka ia tidak wajib menggantinya, karena tidak ada nilainya sebelum terpisah, dan tidak terjadi penghalangan kecuali setelah terpisah.
Jika budak perempuan itu meninggal karena melahirkan, maka ia wajib mengganti nilainya, karena kematiannya disebabkan oleh sesuatu yang berasal darinya.
Dan budak tersebut tidak menjadi umm walad saat itu juga, karena ia hamil darinya bukan dalam kepemilikannya.
Apakah ia menjadi umm walad jika ia memilikinya (kembali)? Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.
باب تفريق الصفقة
إذا جمع في البيع بين ما يجوز بيعه وما لا يجوز بيعه كالحر والعبد وعبده وعبد غيره ففيه قولان: أحدهما تفرق الصفقة فيبطل البيع فيما لا يجوز ويصح فيما يجوز لأنه ليس إبطاله فيهما لبطلانه في أحدهما بأولى من تصحيحه فيهما لصحته في أحدهما فبطل حمل أحدهما على الآخر وبقيا على حكمهما فصح فيما يجوز وبطل فيما لا يجوز والقول الثاني أن الصفقة لا تفرق فيبطل للعقد فيهما واختلف أصحابنا في علته فمنهم من قال يبطل لأن العقد جمع حلالاً وحراماً فغلب التحريم كما لو جمع بين أختين في النكاح أو باع درهماً بدرهمين ومنهم من قال يبطل لجهالة الثمن وذلك أنه إذا باع حراً وعبداً بألف سقط ما يخص الحر من الثمن فيصير العبد مبيعاً بما بقي وذلك مجهول في حال العقد فبطل كما لو قال بعتك هذا العبد بحصته من ألف درهم
PASAL: Pemisahan Transaksi
Jika dalam jual beli digabung antara sesuatu yang boleh dijual dan yang tidak boleh dijual, seperti menjual orang merdeka bersama budak, atau budaknya sendiri dan budak milik orang lain, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan bahwa transaksi dipisahkan. Maka, jual beli yang tidak sah batal, dan yang sah tetap berlaku. Karena membatalkan keduanya hanya karena salah satunya batal tidak lebih utama daripada mengesahkan keduanya karena salah satunya sah. Maka, tidak dapat dijadikan alasan untuk menggabungkan satu hukum pada yang lain, keduanya tetap pada hukumnya masing-masing. Maka, yang sah tetap sah, dan yang batal tetap batal.
Pendapat kedua menyatakan bahwa transaksi tidak dapat dipisah. Maka, batal seluruh akadnya.
Ulama kami berbeda pendapat mengenai sebab batalnya. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa batal karena akad menggabungkan antara yang halal dan yang haram, dan yang haram lebih dominan, sebagaimana menggabungkan dua saudari dalam pernikahan atau menjual satu dirham dengan dua dirham.
Sebagian lainnya mengatakan bahwa batal karena ketidakjelasan harga. Yaitu, jika seseorang menjual orang merdeka dan budak dengan seribu dirham, maka bagian harga untuk orang merdeka gugur, dan budak menjadi dijual dengan sisa harga, yang mana tidak diketahui saat akad, maka batal sebagaimana jika ia berkata, “Aku jual budak ini dengan bagian dari seribu dirham.”
فإن قلنا بالتعليل الأول بطل البيع فيما ينقسم الثمن فيه على القيمة كالعبدين وفيما ينقسم الثمن فيه على الأجزاء كالعبد الواحد نصفه له ونصفه لغيره أو كرين من طعام أحدهما له والآخر لغيره وكذلك لو جمع بين ما يجوز وبين ما لا يجوز في الرهن أو الهبة أو النكاح بطل في الجميع لأنه جمع بين الحلال والحرام وإن قلنا إن العلة جهالة العوض لم يبطل البيع فيما ينقسم الثمن فيه على الأجزاء لأن العوض غير مجهول ولا يبطل الرهن والهبة لأنه لا عوض فيه ولا يبطل النكاح لأن الجهل بالعوض لا يبطله فإن قلنا أن العقد يبطل فيهما رد المبيع واسترجع الثمن وإن قلنا أنه يصح في أحدهما فله الخيار بين فسخ البيع وبين إمضائه لأنه يلحقه ضرر بتفريق الصفقة فثبت له الخيار فإن اختار الإمساك فبكم يمسك فيه قولان: أحدهما يمسك بجميع الثمن أو يرد لأن مالاً يقابل العقد لا ثمن له فيصير الثمن كله في مقابلة الآخر
Maka jika kita berpendapat dengan alasan yang pertama (yaitu karena menggabungkan antara halal dan haram), maka batal jual beli dalam hal-hal yang nilai harganya terbagi menurut nilai seperti dua budak, dan dalam hal-hal yang nilai harganya terbagi menurut bagian seperti seorang budak yang setengahnya milik sendiri dan setengahnya milik orang lain, atau dua takaran makanan, salah satunya milik sendiri dan lainnya milik orang lain. Demikian pula jika digabung antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam gadai, hibah, atau nikah, maka batal seluruhnya karena telah menggabungkan antara halal dan haram.
Namun jika kita mengatakan bahwa sebabnya adalah ketidaktahuan tentang imbalan (harga), maka jual beli tidak batal dalam hal-hal yang harganya dapat dibagi menurut bagian, karena imbalannya tidak samar. Dan tidak batal gadai maupun hibah karena tidak ada imbalan di dalamnya, dan tidak batal nikah karena ketidaktahuan tentang imbalan tidak membatalkannya.
Jika kita mengatakan bahwa akad batal pada keduanya, maka barang yang dijual dikembalikan dan harga dibayarkan kembali. Namun jika kita mengatakan bahwa sah pada salah satunya, maka pembeli memiliki pilihan antara membatalkan jual beli atau melanjutkannya, karena ia terkena kerugian akibat perpisahan dalam satu transaksi, maka ia berhak memilih.
Jika ia memilih untuk melanjutkan, maka dengan harga berapa ia tetap memilikinya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: ia menahan dengan seluruh harga atau mengembalikannya, karena barang yang termasuk dalam akad tidak memiliki nilai (harga), maka seluruh harga menjadi sebagai ganti dari yang lainnya.
والثاني أنه يمسكه بقسطه لأنه لم يبذل جميع العوض إلا في مقابلتهما فلا يؤخذ منه جميعه في مقابلة أحدهما واختلف أصحابنا في موضع القولين فمنهم من قال القولان فيما يتقسط العوض عليه بالقيمة فأما ما يتقسط العوض عليه بالأجزاء فإنه يمسك الباقي بالقسط من الثمن قولاً واحداً لأن فيما يتقسط الثمن عليه بالقيمة ما يخص الجائز مجهول فدعت الضرورة إلى أن يجعل جميع الثمن في مقابلته ليصير معلوماً وفيما يتقسط الثمن عليه بالأجزاء ما يخص الجائز معلوم فلا حاجة بنا إلى أن نجعل جميع الثمن في مقابلته ومنهم من قال: القولان في الجميع وهو الصحيح لأنه نص على القولين في بيع الثمرة قبل أن تخرج الزكاة والثمار مما يتقسط الثمن عليها بالأجزاء
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa ia menahannya sesuai bagian (prosentase)-nya dari harga, karena ia tidak memberikan seluruh imbalan kecuali untuk keduanya, maka tidak diambil seluruhnya sebagai pengganti dari salah satunya.
Para ulama kami berbeda pendapat tentang tempat berlakunya dua pendapat ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa dua pendapat itu berlaku dalam hal yang pembagiannya berdasarkan nilai (harga), adapun yang pembagiannya berdasarkan bagian (fisik), maka ia menahan bagian yang tersisa dengan bagian harga secara satu pendapat, karena dalam hal yang dibagi menurut nilai, bagian dari harga yang terkait dengan yang sah masih tidak diketahui, maka dibutuhkan untuk menjadikan seluruh harga sebagai ganti baginya agar menjadi jelas. Adapun dalam hal yang dibagi menurut bagian (fisik), maka bagian dari harga yang terkait dengan yang sah sudah diketahui, maka tidak perlu menjadikan seluruh harga sebagai gantinya.
Sebagian lain mengatakan: dua pendapat tersebut berlaku pada semua kasus, dan inilah pendapat yang shahih, karena Imam al-Syafi‘i telah menegaskan dua pendapat itu dalam jual beli buah sebelum dikeluarkan zakatnya, padahal buah termasuk dalam hal yang pembagiannya berdasarkan bagian (fisik).
فإن قلنا يمسك بجميع الثمن لم يكن للبائع الخيار لأنه لا ضرر عليه وإن قلنا يمسك بحصته فهل للبائع الخيار؟ فيه وجهان أحدهما أن له الخيار لأنه تبعضت عليه الصفقة فيثبت له الخيار كما يثبت للمشتري والثاني لاخيار له لأنه دخل على بصيرة لأن الحر لا يؤخذ منه بثمن وإن باع مجهولاً ومعلوماً فإن قلنا لاتفرق الصفقة بطل العقد فيهما وإن قلنا تفرق وقلنا إنه يمسك الجائز بحصته بطل البيع فيه لأن الذي يخصه مجهول وإن قلنا يمسكه بجميع الثمن صح العقد فيه وإن جمع بين حلالين ثم تلف أحدهما قبل القبض بطل البيع فيه وإن يبطل في الباقي فيه طريقان: أحدهما أنه على القولين في تفريق الصفقة لأن ما يحدث من الهلاك قبل القبض كالموجود في حال العقد في إبطال العقد فوجب أن يكون كالموجود في حال العقد فيما ذكرناه
Maka jika dikatakan bahwa ia menahan (barang) dengan seluruh harga, maka penjual tidak memiliki hak khiyar karena tidak ada mudarat baginya. Namun jika dikatakan bahwa ia menahan (barang) sesuai bagiannya, maka apakah penjual memiliki hak khiyar? Dalam hal ini terdapat dua wajah: pertama, bahwa penjual memiliki hak khiyar karena akad telah terbagi padanya, maka ditetapkan baginya hak khiyar sebagaimana ditetapkan bagi pembeli; dan kedua, bahwa penjual tidak memiliki hak khiyar karena ia masuk dalam akad dengan kesadaran, sebab orang merdeka tidak dapat diambil sebagai ganti harga.
Dan jika ia menjual sesuatu yang tidak diketahui dan sesuatu yang diketahui, maka jika dikatakan bahwa akad tidak dapat dipisah, maka batal akad keduanya. Namun jika dikatakan dapat dipisah dan dikatakan bahwa ia menahan yang sah (dijual) sesuai bagiannya, maka batal akadnya karena bagian yang khusus baginya tidak diketahui. Dan jika dikatakan bahwa ia menahannya dengan seluruh harga, maka sah akadnya.
Dan jika ia menggabungkan dua barang halal lalu salah satunya rusak sebelum diterima, maka batal jual beli atas barang yang rusak itu. Adapun mengenai barang yang tersisa, terdapat dua jalan: pertama, bahwa hal itu mengikuti dua pendapat dalam persoalan pemisahan akad, karena kerusakan yang terjadi sebelum penerimaan itu seperti keberadaan (cacat) pada saat akad dalam membatalkan akad. Maka wajib hukumnya dianggap seperti keberadaan pada saat akad sebagaimana yang telah kami sebutkan.
والثاني لايبطل إلا فيما تلف لأن في الجمع ما بين الحلال والحرام إنما بطل للجهل بالعوض أو للجمع بين الحلال والحرام في العقد ولا يوجد ههنا واحد منهما فعلى هذا يصح العقد في الباقي وللمشتري الخيار في فسخ العقد لأنه تفرقت عليه الصفقة فإن أمضاه أخذ البا قي بقسطه من الثمن قولاً واحداً لأن العوض ههنا قابل المبيعين فانقسم عليهما فلا يتغير بالهلاك.
Dan yang kedua: tidak batal kecuali pada bagian yang rusak saja, karena dalam penggabungan antara yang halal dan haram, batalnya (akad) itu disebabkan oleh ketidaktahuan terhadap ‘iwadh (imbalan) atau karena penggabungan antara halal dan haram dalam satu akad, dan di sini tidak terdapat salah satunya. Maka berdasarkan ini, sah akad atas bagian yang tersisa, dan pembeli memiliki hak khiyar untuk membatalkan akad karena akad telah terbagi padanya. Jika ia melangsungkannya, maka ia mengambil bagian yang tersisa dengan bagian (sepadan) dari harga—menurut satu pendapat—karena imbalan di sini mencakup kedua barang yang dijual, lalu terbagi di antara keduanya, maka tidak berubah dengan sebab kerusakan.
فصل: وإن جمع بين بيع وإجارة أو بين بيع وصرف أو بين عبدين بشرط الخيار في أحدهما دون الآخر بعوض واحد ففيه قولان: أحدهما أنه يبطل العقدان لأن أحكام العقدين متضادة وليس أحدهما أولى من الآخر فبطل الجميع والثاني أنه يصح العقدان وينقسم العوض عليهما على قدر قيمتهما لأنه ليس فيه أكثر من اختلاف حكم العقدين وهذا لا يمنع صحة العقد كما لو جمع في البيع بين ما فيه شفعة وبين ما لا شفعة فيه وإن جمع بين البيع والنكاح بعوض واحد فالنكاح لا يبطل لأنه لا يبطل بفساد العوض وفي البيع قولان ووجههما ما ذكرناه وإن جمع بين البيع والكتابة فإن قلنا في البيع والإجارة أنهما يبطلان بطل البيع والكتابة وإن قلنا إن البيع والإجارة يصحان بطل البيع ههنا لأنه لا يجوز أن يبيع السيد من عبده وهل تبطل الكتابة يبني على تفريق الصفقة فإن قلنا لا تفرق بطل وإن قلنا تفرق بطل البيع وصحت الكتابة.
PASAL: Jika seseorang menggabungkan antara jual beli dan ijarah, atau antara jual beli dan sharf, atau antara dua budak dengan syarat khiyar pada salah satunya saja dengan satu ‘iwadh (imbalan), maka terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa kedua akad batal, karena hukum kedua akad tersebut saling bertentangan dan tidak ada yang lebih utama dari yang lain, maka batal seluruhnya.
Kedua, bahwa kedua akad sah dan ‘iwadh dibagi kepada keduanya menurut kadar nilainya, karena tidak lebih dari sekadar perbedaan hukum antara dua akad, dan hal ini tidak menghalangi sahnya akad, sebagaimana jika dalam jual beli digabungkan antara sesuatu yang terdapat hak syuf‘ah dan yang tidak terdapat hak syuf‘ah.
Dan jika digabungkan antara jual beli dan nikah dengan satu ‘iwadh, maka nikah tidak batal karena nikah tidak batal dengan sebab kerusakan imbalan, sedangkan dalam jual beli terdapat dua pendapat, dan argumentasinya sebagaimana yang telah disebutkan.
Dan jika digabungkan antara jual beli dan kitabah, maka jika kita mengatakan bahwa jual beli dan ijarah batal, maka batal pula jual beli dan kitabah. Dan jika kita mengatakan bahwa jual beli dan ijarah sah, maka batal jual beli di sini karena tidak boleh seorang tuan menjual kepada hambanya sendiri. Adapun kitabah, apakah ikut batal atau tidak, tergantung pada persoalan tafriq al-shafqah (pemisahan akad): jika kita mengatakan tidak dipisah, maka batal; dan jika kita mengatakan dipisah, maka batal jual beli dan sah kitabah.
باب الربا
الربا محرم والأصل فيه قوله تعالى: {وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا} وقوله تعالى: {الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ} روي في التفسير حين يقوم من القبر وروى ابن مسعود رضي الله عنه قال: “لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وشاهده وكاتبه”.
BAB RIBA
Riba itu haram, dan dalil asalnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” dan firman-Nya: “Orang-orang yang memakan riba tidak akan berdiri (di akhirat) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan karena tekanan gila” —diriwayatkan dalam tafsir: saat ia bangkit dari kubur.
Dan dari Ibnu Mas‘ūd RA, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberi riba, saksinya, dan penulisnya.”
فصل: والأعيان التي نص على تحريم الربا فيها الذهب والفضة والبر والشعير والتمر والملح والدليل عليه ما روى عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهى عن بيع الذهب بالذهب والفضة بالفضة والتمر بالتمر والبر بالبر والشعير بالشعير والملح بالملح إلا سواء بسواء عيناً فمن زاد أو استزاد فقد أربى فأما الذهب والفضة فإنه يحرم فيهما الربا لعلة واحدة وهو أنهما من جنس الأثمان فيحرم الربا فيهما ولا يحرم فيما سواهما من الموزونات
PASAL: Barang-barang (‘ayn) yang disebutkan secara tegas dalam larangan riba adalah emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan garam. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Ubadah bin al-Shāmit RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, jelai dengan jelai, dan garam dengan garam kecuali sama dengan sama, tunai. Maka siapa yang menambah atau meminta tambahan, sungguh ia telah melakukan riba.
Adapun emas dan perak, maka riba haram padanya karena satu ‘illat, yaitu karena keduanya termasuk jenis al-athmān (alat tukar). Maka haram riba padanya dan tidak haram pada selain keduanya dari barang-barang yang ditakar.
والدليل عليه أن لا يجوز أن يكون تحريم الربا لمعنى يتعداهما إلى غيرهما من الأموال لأنه لو كان لمعنى يتعداهما إلى غيرهما لم يجز إسلامهما فيما سواهما من الأموال لأن شيئين جمعتها علة واحدة في الربا لا يجوز إسلام أحدهما في الآخر كالذهب والفضة والحنطة والشعير فلما جاز إسلام الذهب والفضة في الموزونات والمكيلات وغيرهما من الأموال دل على أن العلة فيهما لمعنى لا يتعداهما وهو أنه من جنس الأثمان فأما الأعيان الأربعة ففيها قولان: قال في الجديد العلة فيها أنها مطعومة
Dan dalil atas hal itu adalah bahwa tidak boleh diartikan bahwa pengharaman riba pada emas dan perak karena suatu ‘illat yang meluas kepada selain keduanya dari harta-harta lain. Sebab, seandainya pengharaman itu karena suatu ‘illat yang meluas, niscaya tidak boleh dilakukan salam (jual beli dengan pembayaran di muka) antara keduanya dengan harta lainnya. Karena dua benda yang dikumpulkan oleh satu ‘illat dalam riba, tidak boleh salah satunya dijadikan salam untuk yang lain—seperti emas dengan perak, dan gandum dengan jelai.
Maka, ketika dibolehkan melakukan salam antara emas dan perak dengan benda-benda yang ditakar, ditimbang, atau harta lainnya, hal itu menunjukkan bahwa ‘illat dalam keduanya adalah suatu sebab yang tidak meluas kepada selain keduanya, yaitu karena keduanya termasuk jenis al-athmān (alat tukar).
Adapun empat barang (‘ayn) lainnya, maka terdapat dua pendapat: dalam pendapat al-jadīd, ‘illat padanya adalah karena termasuk benda yang dapat dimakan.
والدليل عليه ماروى معمر بن عبد الله أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الطعام بالطعام مثلاً بمثل” والطعام اسم لكل ما يتطعم والدليل عليه قوله تعالى: {وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ} أراد به الذبائح وقالت عائشة رضي الله عنها: مكثنا مع نبينا صلى الله عليه وسلم سنة ما لنا طعام إلا الأسودان الماء والتمر وقال لبيد: لمعفر قهد ينازع شلوه … غبش كواسب ما يمن طعامها وأراد بع الفريسة والحكم إذا علق على اسم مشتق كان ذلك علة فيه كالقطع في السرقة والحد في الزنا ولأن الحب ما دام مطعوماً يحرم فيه الربا فإذا زرع وخرج عن أن يكون مطعوماً لم يحرم فيه الربا فإذا انعقد الحب وصار مطعوماً حرم فيه الربا فدل على أن العلة فيه كونه مطعوماً فعلى هذا يحرم الربا في كل ما يطعم من الأقوات والإدام والحلاوات والفواكه والأدوية وفي الماء وجهان: أحدهما يحرم فيه الربا لأنه مطعوم فهو كغيره
Dan dalil atas hal itu adalah riwayat dari Ma‘mar bin ‘Abdillah bahwa Nabi SAW bersabda: “Makanan dengan makanan harus sama dan sepadan.” Sedangkan ṭa‘ām (makanan) adalah nama bagi segala sesuatu yang dimakan.
Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Dan makanan orang-orang yang diberi kitab itu halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka,” yang dimaksud dengannya adalah sembelihan.
‘Āisyah RA berkata: “Kami tinggal bersama Nabi SAW selama satu tahun, tidak ada makanan kami kecuali dua yang hitam: air dan kurma.”
Dan Labīd berkata:
لِمُعَفَّرٍ قَهِدٍ يُنَازِعُ شِلْوَهُ … غَبَشٌ كَوَاسِبُ مَا يُمَنُّ طَعَامُهَا
(Yaitu binatang buruan yang kurus, berebut bangkai… dalam kegelapan pagi, binatang pemangsa yang tidak diberi makanannya)
Dan yang dimaksud dengan ṭa‘ām di situ adalah bangkai buruan.
Dan suatu hukum, apabila digantungkan pada nama yang bersifat musytaq (pecahan dari kata kerja), maka hal itu menunjukkan ‘illat, sebagaimana hukum potong tangan dalam pencurian dan hukum had dalam zina.
Dan karena biji-bijian selama masih dalam keadaan yang bisa dimakan, maka haram berlaku riba padanya. Namun jika sudah ditanam dan keluar dari sifat dapat dimakan, maka tidak haram riba padanya. Apabila biji tersebut telah terbentuk dan menjadi sesuatu yang dapat dimakan, maka haram riba padanya. Maka ini menunjukkan bahwa ‘illat keharamannya adalah karena sifatnya sebagai sesuatu yang dapat dimakan.
Berdasarkan hal ini, maka riba haram pada segala sesuatu yang dimakan, baik dari makanan pokok, lauk-pauk, manisan, buah-buahan, maupun obat-obatan.
Adapun pada air terdapat dua wajah (pendapat): salah satunya, bahwa riba haram padanya karena ia termasuk sesuatu yang dimakan, maka ia seperti selainnya.
والثاني لا يحرم فيه الربا لأنه مباح في الأصل غير متمول في العادة فلا يحرم فيه الربا وفي الأدهان المطيبة وجهان: أحدهما لا ربا فيها لأنها تعد للانتفاع برائحتها دون الأكل والثاني أنه يحرم فيها الربا وهو الصحيح لأنه مأكول وإنما لا يؤكل لأنه ينتفع به فيما هو أكثر من الأكل وفي البزر ودهن السمك وجهان: أحدهما لا ربا فيه لأنه يعد للاستصباح والثاني أنه يحرم الربا فيه لأنه مأكول فأشبه الشيرج وقال في القديم العلة فيها أنها مطعومة مكيلة أو مطعومة موزونة والدليل عليه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الطعام بالطعام مثلاً بمثل” والمماثلة لا تكون إلا بالكيل أو الوزن فدل على أنه لا يحرم إلا في مطعوم يكال أو يوزن فعلى هذا لا يحرم الربا فيما لا يكال ولا يوزن من الأطعمة كالرمان والسفرجل والقثاء والبطيخ وما أشبهها.
Dan pendapat kedua: tidak haram riba pada air karena air pada asalnya mubah, dan pada umumnya tidak dianggap sebagai māl (harta bernilai), maka tidak haram riba padanya.
Adapun minyak-minyakan yang diberi wewangian, terdapat dua wajah (pendapat): pertama, tidak ada riba padanya karena diperuntukkan untuk diambil manfaat dari baunya, bukan untuk dimakan. Kedua, bahwa riba haram padanya—dan ini yang ṣaḥīḥ—karena ia termasuk sesuatu yang dimakan, hanya saja tidak dimakan karena dimanfaatkan dalam hal yang lebih utama daripada makan.
Adapun pada biji-bijian (al-bizr) dan minyak ikan, terdapat dua wajah: pertama, tidak ada riba padanya karena diperuntukkan untuk penerangan (istisbāḥ). Kedua, bahwa riba haram padanya karena termasuk sesuatu yang dimakan, maka ia serupa dengan asy-syīrīj (minyak wijen).
Dan dalam pendapat al-qadīm, disebutkan bahwa ‘illatnya adalah karena ia termasuk sesuatu yang dimakan dan ditakar (mukālah) atau ditimbang (mawzūn). Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Makanan dengan makanan harus sama dan sepadan,” dan kesepadanan (mumātsalah) tidak bisa terjadi kecuali dengan takaran atau timbangan, maka ini menunjukkan bahwa riba tidak haram kecuali dalam makanan yang ditakar atau ditimbang.
Berdasarkan pendapat ini, tidak haram riba pada makanan yang tidak ditakar dan tidak ditimbang, seperti delima, quince (as-safarjal), mentimun, semangka, dan semisalnya.
فصل: وما سوى الذهب والفضة والمأكول والمشروب لا يحرم فيها الربا فيجوز بيع بعضها ببعض متفاضلاً ونسيئة ويجوز فيها التفرق قبل التقابض لما روى عبد الله بن عمرو بن العاص قال: أمرني رسول الله أن أجهز جيشاً فنقدت الإبل فأمرني أن آخذ على قلاص الصدقة فكنت آخذ البعير بالبعيرين إلى إبل الصدقة وعن علي كرم الله وجهه أنه باع جملاً إلى أجل بعشرين بعيراً وباع ابن عباس رضي الله عنه بعيراً بأربعة أبعرة واشترى ابن عمر رضي لله عنه راحلة بأربعة رواحل ورواحله بالربذة واشترى رافع بن خديج رضي الله عنه بعيراً ببعيرين فأعطاه أحدهما وقال آتيك بالآخر غداً ولا يجوز بيع نسيئة بنسيئة لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم “نهى عن بيع الكاليء بالكاليء ” قال أبو عبيدة: هو النسيئة بالنسيئة.
PASAL: Adapun selain emas, perak, serta barang yang dimakan dan diminum, maka tidak haram riba padanya. Maka boleh menjual sebagian dengan sebagian lainnya secara tafāḍul (tidak seimbang) dan nasī’ah (tempo), dan boleh berpisah sebelum terjadi serah terima.
Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ RA, ia berkata: Rasulullah SAW memerintahkanku untuk mempersiapkan pasukan, maka aku membeli unta, lalu beliau memerintahkanku untuk mengambil dari unta zakat. Maka aku biasa membeli satu unta dengan dua unta hingga datang unta zakat.
Dan dari ‘Alī Karramallāhu Wajhah, bahwa ia menjual seekor unta dengan tempo seharga dua puluh unta.
Dan Ibnu ‘Abbās RA pernah menjual seekor unta dengan empat unta.
Dan Ibnu ‘Umar RA membeli tunggangannya dengan empat tunggangan, dan tunggangannya berada di al-Rabdzah.
Dan Rāfi‘ bin Khadīj RA membeli seekor unta dengan dua unta, lalu ia memberikan satu dan berkata, “Aku akan membawakan satu lagi besok.”
Namun tidak diperbolehkan bai‘ antara dua barang yang sama-sama nasī’ah (jual beli tempo dengan tempo), berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Beliau melarang dari jual beli al-kāli’ bi al-kāli’.”
Abū ‘Ubaidah berkata: Yang dimaksud dengan al-kāli’ bi al-kāli’ adalah jual beli nasī’ah dengan nasī’ah.
فصل: فأما ما يحرم فيه الربا فينظر فيه فإن باعه بجنسه حرم فيه التفاضل والنساء والتفرق قبل التقابض لما روى عبادة ابن الصامت أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الذهب بالذهب والفضة بالفضة والتمر بالتمر والبر بالبر والشعير بالشعير والملح بالملح مثلاً بمثل يداً بيد فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يداً بيد” فإن باعه بغير جنسه نظرت فإن كان مما يحرم الربا فيهما لعلة واحدة كالذهب والفضة والشعير والحنطة جاز فيه التفاضل وحرم فيه النساء والتفرق قبل التقابض لقوله صلى الله عليه وسلم: “فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم إذا كان يداً بيد”
PASAL: Adapun barang-barang yang diharamkan riba padanya, maka dilihat keadaannya. Jika ia menjualnya dengan sesama jenisnya, maka diharamkan tafāḍul (berselisih dalam takaran atau timbangan), nasī’ah (penundaan), dan berpisah sebelum taqābuḍ (serah terima), berdasarkan riwayat dari ‘Ubādah bin al-Ṣāmit bahwa Nabi SAW bersabda: “Emas dengan emas, perak dengan perak, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, syair dengan syair, dan garam dengan garam harus sama takarannya dan secara tunai. Jika jenis-jenis itu berbeda, maka jual belilah sebagaimana kalian kehendaki asalkan secara tunai.”
Jika ia menjualnya dengan selain jenisnya, maka dilihat kembali: jika keduanya termasuk barang yang diharamkan riba padanya karena satu ‘illah yang sama, seperti emas dan perak, atau syair dan gandum, maka boleh adanya tafāḍul, namun diharamkan nasī’ah dan berpisah sebelum taqābuḍ, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Jika jenis-jenis itu berbeda, maka jual belilah sebagaimana kalian kehendaki asalkan secara tunai.”
فإن تبايعا وتخايرا في المجلس قبل التقابض بطل البيع لأن التخاير كالتفرق ولو تفرقا قبل التقابض بطل العقد فكذلك إذا تخايرا وإن تبايعا دراهم بدنانير في الذمة وتقابضا ثم وجد أحدهما بما قبض عيباً نظرت فإن لم يتفرقا جاز أن يرد ويطالب بالبلد لأن المعقود عليه ما في الذمة وقد قبض قبل التفرق وإن تفرقا ففيه قولان: أحدهما يجوز إبداله قبل التفرق جاز بعده كالمسلم فيه والثاني لا يجوز وهو قول المزني لأنه إذا أبدله صار القبض بعد التفرق وذلك لا يجوز وإن كان مما يحرم فيهما الربا بعلتين كبيع الحنطة بالذهب والشعير بالفضة حل فيه التفاضل والنساء والتفرق قبل التقابض لإجماع الأمة على جواز إسلام الذهب والفضة في المكيلات المطعومة.
Maka jika keduanya saling melakukan jual beli dan saling memberi pilihan (hak takhāyur) dalam majelis sebelum taqābuḍ, maka batal jual belinya, karena takhāyur itu seperti perpisahan. Maka jika berpisah sebelum taqābuḍ membatalkan akad, demikian pula jika saling memberi pilihan. Dan jika keduanya melakukan jual beli dirham dengan dinar secara fī al-dzimmah (utang), lalu terjadi taqābuḍ, kemudian salah satu dari keduanya mendapati aib pada apa yang telah ia terima, maka dilihat: jika belum berpisah, boleh ia mengembalikan dan menuntut pengganti di tempat itu, karena yang menjadi objek akad adalah apa yang ada di dalam tanggungan, dan telah dilakukan qabḍ sebelum berpisah.
Namun jika telah berpisah, maka ada dua pendapat: pendapat pertama, boleh menggantinya — jika boleh sebelum berpisah maka boleh pula setelahnya, sebagaimana pada akad salam. Pendapat kedua, tidak boleh — dan ini adalah pendapat al-Muzanī — karena jika diganti maka qabḍ-nya terjadi setelah perpisahan, dan itu tidak diperbolehkan.
Adapun jika barang yang dijual merupakan dua barang yang diharamkan riba padanya karena dua ‘illah berbeda — seperti menjual gandum dengan emas, atau syair dengan perak — maka boleh adanya tafāḍul, nasī’ah, dan berpisah sebelum taqābuḍ, karena ijma‘ umat atas bolehnya akad salam antara emas dan perak dengan barang-barang yang ditakar dan dimakan.
فصل: وكل شيئين اتفقا في الاسم الخاص من أصل الخلقة كالتمر البرني والتمر المعقلي فهما جنس واحد وكل شيئين اختلفا في الاسم من أصل الخلقة كالحنطة والشعير والتمر والزبيب فهما جنسان والدليل عليه أن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر ستة أشياء وحرم التفاضل إذا باع كل شيء منها بما وافقه في الاسم وأباح فيه التفاضل إذا باعه بما خالفه في الاسم فدل على أن كل شيئين اتفقا في الاسم فهما جنس وإذا اختلفا في الاسم فهما جنسان وما اتخذ من أموال الربا كالدقيق والخبز والعصير والدهن تعتبر بأصولها فإن كانت الأصول أجناساً فهي أجناس
PASAL: Setiap dua barang yang memiliki kesamaan dalam nama khusus sejak asal penciptaannya — seperti kurma barni dan kurma ‘iqlī — maka keduanya termasuk satu jenis (jins). Dan setiap dua barang yang berbeda dalam nama sejak asal penciptaannya — seperti gandum dan syair, atau kurma dan zabīb (kismis) — maka keduanya termasuk dua jenis.
Dalil atas hal ini adalah bahwa Nabi SAW menyebut enam jenis barang, dan mengharamkan tafāḍul ketika menjual setiap barang tersebut dengan yang sejenis dalam nama, dan membolehkan tafāḍul jika menjualnya dengan yang berbeda nama. Maka hal ini menunjukkan bahwa setiap dua barang yang namanya sama adalah satu jins, dan jika namanya berbeda maka keduanya dua jins.
Adapun barang-barang yang dibuat dari harta-harta ribawi — seperti tepung, roti, sari buah, dan minyak — maka hukumnya dikembalikan kepada asalnya. Jika asalnya berbeda jenis, maka ia dianggap berbeda jenis.
وإن كانت الأصول جنساً واحداً فهي جنس واحد فعلى هذا دقيق الحنطة ودقيق الشعير جنسان وخبز الحنطة وخبز الشعير جنسان ودهن الجوز ودهن اللوز جنسان واختلف قوله في زيت الزيتون وزيت الفجل فقال في أحد القولين: هما جنس واحد لأنه جمعهما اسم الزيت والثاني أنهما جنسان وهو الصحيح لأنهما يختلفان في الطعم واللون فكانا جنسين كالتمر الهندي والتمر البرني ولأنهما فرعان لجنسين مختلفين فكانا جنسين كدهن الجوز ودهن اللوز واختلف قوله في اللحمان فقال في أحد القولين هي أجناس وهو قول المزني هو الصحيح لأنها فروع لأصول هي أجناس فكانت أجناساً كالأدقة والأدهان
Dan jika asal-usulnya satu jenis, maka hukumnya satu jenis. Maka dari itu, tepung gandum dan tepung jelai adalah dua jenis, roti gandum dan roti jelai adalah dua jenis, minyak kenari dan minyak almond adalah dua jenis. Terdapat perbedaan pendapat mengenai minyak zaitun dan minyak lobak: dalam salah satu pendapat, keduanya dianggap satu jenis karena keduanya disebut dengan nama minyak; dan pendapat kedua menyatakan bahwa keduanya adalah dua jenis, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena berbeda dalam rasa dan warna, sehingga keduanya menjadi dua jenis seperti kurma hindī dan kurma barnī, dan karena keduanya merupakan cabang dari dua jenis yang berbeda, maka keduanya pun menjadi dua jenis seperti minyak kenari dan minyak almond.
Terdapat pula perbedaan pendapat mengenai daging: dalam salah satu pendapat disebutkan bahwa daging-daging itu adalah berbagai jenis, dan ini adalah pendapat al-Muzanī, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena daging-daging itu adalah cabang dari asal-usul yang berbeda-beda, maka dianggap sebagai jenis-jenis yang berbeda sebagaimana berbagai jenis tepung dan minyak.
والثاني أنها جنس واحد لأنها تشترك في الاسم الخاص في أول دخولها في تحريم الربا فكانت جنساً واحداً كالتمور وتخالف الأدقة والأدهان لأنه أصولها أجناس يجوز بيع بعضها ببعض متفاضلاً فاعتبر فروعها بها واللحمان لا يحرم الربا في أصولها فاعتبرت بنفسها فإن قلنا إن اللحم جنس واحد لم يجز بيع لحم شيء من الحيوان بلحم غيره متفاضلاً وهل يدخل لحم السمك في ذلك فيه وجهان: قال أبو اسحاق يدخل فيها فلا يجوز بيعه بلحم شيء من الحيوان متفاضلاً لأن اسم اللحم يقع عليه والدليل قوله تعالى: {لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْماً طَرِيّاً}
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa daging adalah satu jenis, karena daging-daging itu memiliki kesamaan dalam nama khusus ketika pertama kali masuk dalam larangan riba, maka dihukumi satu jenis sebagaimana kurma-kurma. Dan berbeda dengan berbagai jenis tepung dan minyak, karena asal-usulnya adalah berbagai jenis yang boleh saling dijual secara tidak sepadan, maka cabangnya pun dihukumi demikian. Adapun daging, riba tidak diharamkan pada asal-usulnya, maka dihukumi berdasarkan dirinya sendiri.
Jika kita katakan bahwa daging adalah satu jenis, maka tidak boleh menjual daging suatu hewan dengan daging hewan lain secara tidak sepadan. Apakah daging ikan termasuk dalam hal ini? Dalam hal ini terdapat dua wajah: Abu Ishaq berkata bahwa daging ikan termasuk di dalamnya, maka tidak boleh menjualnya dengan daging hewan lain secara tidak sepadan, karena nama laḥm (daging) berlaku atasnya, dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {lita’kulū min-hu laḥman ṭariyyan} (agar kalian memakan darinya daging yang segar).
ومن أصحابنا من قال لا يدخل فيه لحم السمك وهو المذهب لأنه لا يدخل في إطلاق اللحوم أجناس جاز بيع لحم كل جنس من الحيوان بلحم جنس آخر متفاضلاً فيجوز بيع لحم البقر بلحم الغنم متفاضلاً ولحم بقر الوحش بلحم بقر الأهل لأنهما جنسان ولا يجوز بيع لحم الضأن بلحم المعز ولا لحم البقر بلحم الجواميس متفاضلاً لأنهما نوعان من جنس واحد.
dan sebagian dari sahabat kami berkata: tidak termasuk di dalamnya daging ikan, dan itulah madzhab (yang dipegang), karena daging ikan tidak termasuk dalam cakupan lafaz al-luḥūm (daging-daging). Maka boleh menjual daging setiap jenis hewan dengan daging jenis lainnya secara tidak seimbang (takarannya), maka boleh menjual daging sapi dengan daging kambing secara tidak seimbang, dan daging sapi liar dengan daging sapi jinak, karena keduanya adalah dua jenis yang berbeda. Namun tidak boleh menjual daging domba dengan daging kambing, atau daging sapi dengan daging kerbau secara tidak seimbang, karena keduanya adalah dua ragam dari satu jenis.
فصل: واللحم الأحمر واللحم الأبيض جنس واحد لأن الجميع لحم واللحم والشحم جنسان واللحم والألية جنسان والشحم والألية جنسان واللحم والكبد جنسان والكبد والطحال جنسان واللحم والكلية جنسان لأنه مختلفة الاسم والخلقة فأما الألبان ففيها طريقان: من أصحابنا من قال هي كاللحمان وفيها قولان ومنهم من قال الألبان أجناس قولاً واحداً لأنها تتولد من الحيوان والحيوان أجناس فكذلك الألبان واللحمان لا تتولد من الحيوان والصحيح أنها كاللحمان.
PASAL: Daging merah dan daging putih adalah satu jenis, karena semuanya disebut laḥm (daging). Adapun daging dan lemak adalah dua jenis, daging dan ekor lemak adalah dua jenis, lemak dan ekor lemak adalah dua jenis, daging dan hati adalah dua jenis, hati dan limpa adalah dua jenis, dan daging dan ginjal adalah dua jenis, karena berbeda nama dan bentuk ciptaannya.
Adapun susu, maka ada dua ṭarīq (pendekatan). Sebagian sahabat kami berkata: hukumnya seperti daging, dan di dalamnya terdapat dua pendapat. Dan sebagian mereka berkata: susu-susu adalah berbagai jenis menurut satu pendapat, karena ia berasal dari hewan, dan hewan-hewan itu beragam jenis, maka begitu pula susu. Sedangkan daging tidak berasal dari hewan. Dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah bahwa susu itu seperti daging.
فصل: وما حرم فيه التفاضل لا يجوز بيع بعضه ببعض حتى يتساويا في الكيل فيما يكال والوزن فيما يوزن لما روى عبادة بن الصامت أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الذهب بالذهب تبره وعينه وزناً بوزن والفضة بالفضة تبرها وعينها وزناً بوزن والملح بالملح والتمر بالتمر والبر بالبر والشعير بالشعير كيلاً بكيل فمن زاد أو أزاد فقد أربى” فإن باع صبرة طعام بصبرة طعام وهما لا يعلمان كيلهما لم يصح البيع لما روى جابر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لاتباع الصبرة من الطعام بالصبرة من الطعام” وإن باع صبرة طعام بصبرة طعام صاعاً بصاع فخرجتا متساويتين صح البيع وإن خرجتا متفاضلتين ففيه قولان: أحدهما أنه باطل لأنه بيع طعام بطعام متفاضلاً
PASAL: Sesuatu yang diharamkan padanya tafāḍul (perbedaan takaran/berat) tidak boleh dijual sebagian dengan sebagian lainnya kecuali sama dalam takaran pada yang ditakar, dan dalam timbangan pada yang ditimbang. Berdasarkan riwayat dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit bahwa Nabi SAW bersabda: “Emas dengan emas, baik dalam bentuk batangan maupun koin, harus seimbang timbangannya. Perak dengan perak, baik dalam bentuk batangan maupun koin, harus seimbang timbangannya. Garam dengan garam, kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, dan jelai dengan jelai, semuanya harus ditukar dengan takaran yang sama. Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.”
Apabila seseorang menjual ṣubrah (tumpukan) makanan dengan ṣubrah makanan lain sementara keduanya tidak mengetahui takarannya, maka jual beli tersebut tidak sah. Berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah menjual ṣubrah makanan dengan ṣubrah makanan lainnya.”
Namun jika menjual ṣubrah makanan dengan ṣubrah makanan lainnya dengan perhitungan ṣā‘ dengan ṣā‘, lalu ternyata keduanya setara, maka jual beli sah. Tetapi jika ternyata tidak setara, maka ada dua pendapat: salah satunya menyatakan bahwa jual beli tersebut batal karena termasuk menjual makanan dengan makanan secara tidak seimbang.
والثاني أنه يصح فيما تساويا فيه لأنه شرط التساوي في الكيل ومن نقصت صبرته فهو بالخيار بين أن يفسخ البيع وبين أن يمضيه بمقدار صبرته لأنه دخل على أن يسلم له جميع الصبرة ولم يسلم له فثبت له الخيار وإن باع صبرة طعام بصبرة شعير كيلاً بكيل فخرجتا متساويتين جاز وإن خرجتا متفاضلتين فإن رضي صاحب الصبرة الزائد بتسليم الزيادة أقر العقد ووجب على الآخر قبوله لأنه ملك الجميع بالعقد إن رضي صاحب الصبرة الناقصة بقدر صبرته من الصبرة الزائدة أقر العقد وإن تشاحا فسخ البيع لأن كل واحد منهما باع صبرته بجميع صبرة صاحبه على التساوي في المقدار وقد تعذر ذلك ففسخ العقد.
dan pendapat kedua menyatakan: jual beli sah pada bagian yang setara, karena syaratnya adalah kesetaraan dalam takaran. Maka pihak yang ṣubrah-nya kurang memiliki hak khiyār antara membatalkan jual beli atau meneruskannya sesuai kadar ṣubrah-nya, karena ia masuk ke dalam akad dengan anggapan bahwa seluruh ṣubrah akan diserahkan kepadanya, namun ternyata tidak diserahkan seluruhnya, maka tetaplah hak khiyār baginya.
Apabila ia menjual ṣubrah makanan dengan ṣubrah jelai dengan perhitungan takaran, lalu keduanya keluar dalam keadaan seimbang, maka jual beli sah. Jika keduanya keluar dalam keadaan tidak seimbang, maka jika pemilik ṣubrah yang lebih banyak rela menyerahkan kelebihannya, maka akad tetap berlaku dan wajib bagi pihak lain menerimanya, karena ia telah memiliki keseluruhan melalui akad. Jika pemilik ṣubrah yang kurang rela menerima sesuai kadar ṣubrah-nya dari yang lebih banyak, maka akad juga tetap berlaku. Namun jika keduanya saling berselisih, maka jual beli dibatalkan, karena masing-masing dari mereka menjual ṣubrah-nya dengan seluruh ṣubrah milik lawannya dengan syarat kesetaraan takaran, dan hal itu tidak terpenuhi, maka batal akadnya.
فصل: ويعتبر التساوي فيما يكال ويوزن بكيل الحجاز ووزنه لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “المكيال مكيال أهل المدينة والميزان ميزان أهل مكة” وإن كان مما لا أصل له بالحجاز في الكيل والوزن نظرت فإن كان مما لا يمكن كيله اعتبر التساوي فيه بالوزن لأنه لا يمكن غيره وإن كان مما يمكن كيله ففيه وجهان: أحدهما أن يعتبر بأشبه الأشياء به في الحجاز فإن كان مكيلاً لم يجز بيعه إلا كيلاً وإن كان موزوناً لم يجز بيعه إلا موزوناً لأن الأصل فيه الكيل والوزن بالحجاز فإذا لم يكن له في الحجاز أصل في الكيل والوزن اعتبر بأشبه الأشياء به
PASAL: Kesetaraan dalam barang yang ditakar dan ditimbang diukur dengan takaran dan timbangan penduduk Ḥijāz, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Takarannya adalah takaran penduduk Madinah dan timbangannya adalah timbangan penduduk Makkah.”
Jika barang tersebut tidak memiliki asal penetapan takaran dan timbangan di Ḥijāz, maka perlu ditinjau: bila termasuk sesuatu yang tidak mungkin ditakar, maka kesetaraan diukur dengan timbangan, karena tidak mungkin selain itu. Namun jika termasuk sesuatu yang memungkinkan untuk ditakar, maka ada dua wajah:
Wajah pertama, diukur dengan barang yang paling mirip dengannya di wilayah Ḥijāz. Jika yang mirip itu adalah barang yang ditakar, maka tidak boleh dijual kecuali dengan takaran; dan jika yang mirip adalah barang yang ditimbang, maka tidak boleh dijual kecuali dengan timbangan. Karena asal hukum dalam takaran dan timbangan adalah mengacu pada kebiasaan di Ḥijāz, maka bila suatu barang tidak memiliki asal di Ḥijāz, maka diukur dengan yang paling mirip dengannya.
والثاني أنه يعتبر بالبلد الذي فيه البيع لأنه أقرب إليه وإن كان مما لا يكال أو يوزن وقلنا بقوله الجديد إنه يحرم فيه الربا وجوزنا بيع بعضه ببعض نظرت فإن كان مما لا يمكن كيله كالبقل والقثاء والبطيخ وما أشبهها بيع وزناً وإن كان مما يمكن كيله ففيه وجهان: أحدهما لا يباع إلا كيلاً لأن الأصل هو الأعيان الأربعة المنصوص عليها وهي مكيلة فوجب رده إلى الأصل والثاني أنه لا يباع إلا وزنا لأن الوزن أحصر.
kedua, bahwa yang dijadikan pertimbangan adalah negeri tempat berlangsungnya jual beli karena lebih dekat dengannya. Jika barang tersebut tidak bisa ditakar atau ditimbang, dan kita mengikuti pendapat jadid-nya bahwa padanya berlaku keharaman riba, dan kita membolehkan jual beli sebagian dengan sebagian lainnya, maka diperhatikan: jika barang tersebut tidak mungkin ditakar seperti sayuran hijau, mentimun, semangka, dan semisalnya, maka dijual dengan ditimbang. Dan jika barang tersebut memungkinkan untuk ditakar, maka ada dua pendapat: pertama, tidak boleh dijual kecuali dengan takaran karena asal barang-barang yang disebutkan secara eksplisit dalam nash adalah barang-barang yang ditakar, maka wajib dikembalikan pada asal tersebut. Kedua, tidak boleh dijual kecuali dengan ditimbang karena timbangan lebih membatasi.
فصل: وما حرم فيه الربا لا يجوز بيع بعضه ببعض ومع أحد العوضين جنس آخر يخالفه في القيمة كبيع ثوب ودرهم بدرهمين، ومد عجوة ودرهم بدرهمين ولا يباع نوعان من جنس بنوع كدينار قاساني ودينار سابوري بقاسانين أو سابورين أو دينار صحيح ودينار قراضة بدينارين صحيحين أو دينارين قراضة والدليل عليه ما روى فضالة بن عبيد قال: أتى رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بقلادة فيها خرز مغلفة بذهب فابتاعها رجل بسبعة دنانير أو تسعة دنانير فقال عليه الصلاة والسلام: “لاحتى تميز بينه وبينه” قال: إنما أردت الحجارة فقال: لاحتى تميز بينهما ولأن الصفقة إذا جمعت شيئين مختلفي القيمة انقسم الثمن عليهما
PASAL: Barang yang diharamkan padanya riba tidak boleh dijual sebagian dengan sebagian lainnya dengan disertai salah satu dari dua pengganti berupa jenis lain yang berbeda nilainya, seperti menjual sehelai kain dan satu dirham dengan dua dirham, atau satu mudd kurma ‘ajwah dan satu dirham dengan dua dirham. Dan tidak boleh menjual dua jenis dari satu macam barang dengan dua jenis dari macam yang sama, seperti satu dinar qāsānī dan satu dinar sābūrī dengan dua dinar qāsānī atau dua dinar sābūrī, atau satu dinar utuh dan satu dinar pecahan dengan dua dinar utuh atau dua dinar pecahan. Dalilnya adalah riwayat dari Faḍālah bin ‘Ubaid, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW membawa kalung yang di dalamnya terdapat manik-manik yang dilapisi emas, lalu seseorang membelinya dengan tujuh atau sembilan dinar. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Tidak, sampai kamu pisahkan antara emasnya dengan manik-maniknya.” Lelaki itu berkata, “Aku hanya menginginkan batunya.” Nabi bersabda: “Tidak, sampai kamu pisahkan antara keduanya.” Dan karena satu transaksi yang mencakup dua barang dengan nilai berbeda maka harga akan terbagi atas keduanya.
والدليل عليه أنه إذا باع سيفاً وشقصاً بألف قوم السيف والشقص وقسم الثمن عليهما على قدر قيمتهما وأخذ الشفيع الشقص بحصته من الثمن على قدر قيمته وأمسك المشتري السيف بحصته من الثمن على قدر قيمته وإذا قسم الثمن على قدر القيمة أدى إلى الربا لأنه إذا باع ديناراً صحيحاً قيمته عشرون درهماً وديناراً قراضة قيمته عشرة بدينارين وقسم الثمن على قدر قيمتهما صارت القراضة مبيعة بثلث الدينارين والصحيح بالثلثين وذلك ربا.
Dalilnya adalah bahwa apabila seseorang menjual sebilah pedang dan sebidang bagian tanah dengan harga seribu, maka pedang dan bagian tanah tersebut ditaksir nilainya, lalu harga dibagi di antara keduanya sesuai dengan kadar nilainya. Maka syuf‘ah diambil atas bagian tanah dengan bagian harga yang sepadan dengan nilainya, dan pembeli menahan pedang dengan bagian harga yang sepadan dengan nilainya. Namun apabila harga dibagi menurut kadar nilai, maka hal itu mengantarkan kepada riba. Karena jika seseorang menjual satu dinar utuh yang nilainya dua puluh dirham dan satu dinar pecahan yang nilainya sepuluh dirham dengan dua dinar, lalu harga itu dibagi menurut nilai keduanya, maka dinar pecahan berarti dijual dengan sepertiga dari dua dinar, dan dinar utuh dengan dua pertiga dari dua dinar, dan ini termasuk riba.
فصل: ولا يباع خالصه بمشوبه كحنطة خالصة بحنطة فيها شعير أو زؤان وفضة خالصة لفضة مغشوشة وعسل مصفى بعسل فيه شمع لأن أحدهما يفضل على الآخر ولا يباع مشوبه بمشوبه كحنطة فيها شعير أو زؤان بحنطة فيها شعير أو زؤان وفضة مغشوشة بفضة مغشوشة أو عسل فيه شمع بعسل فيه شمع لأنه لا يعلم التماثل بين الحنطتين وبين الفضتين وبين العسلين ويجوز أن يباع طعام بطعام وفيه قليل تراب لأن التراب يحصل في سفوف الطعام ولا يظهر في الكيل فإن باع موزوناً بموزون من جنسه من أموال الربا وفيه قليل تراب لم يجز لأن ذلك يظهر في الوزن ويمنع من التماثل.
PASAL: Tidak boleh menjual barang murni dengan barang yang tercampur, seperti gandum murni dengan gandum yang bercampur jelai atau zu’wān, atau perak murni dengan perak campuran, atau madu yang telah disaring dengan madu yang masih bercampur lilin, karena salah satunya melebihi yang lain. Dan tidak boleh menjual barang tercampur dengan barang tercampur pula, seperti gandum yang bercampur jelai atau zu’wān dengan gandum yang juga bercampur jelai atau zu’wān, atau perak campuran dengan perak campuran, atau madu bercampur lilin dengan madu bercampur lilin, karena tidak diketahui kesamaan antara dua jenis gandum, dua jenis perak, dan dua jenis madu tersebut.
Namun, boleh menjual makanan dengan makanan yang sejenis jika hanya terdapat sedikit tanah di dalamnya, karena tanah itu biasanya bercampur dalam proses pengayakan makanan dan tidak tampak dalam takaran. Akan tetapi, jika yang dijual adalah barang yang ditimbang dari jenis barang ribawi dan terdapat sedikit tanah di dalamnya, maka tidak boleh, karena tanah itu terlihat dalam timbangan dan menghalangi terwujudnya kesamaan.
فصل: ولا يباع رطبه بيابسه على الأرض لما روى سعد بن أبي وقاص رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن بيع الرطب بالتمر فقال: “أينقص الرطب إذا يبس” فقيل له نعم قال: “فلا”. فنهى عن بيع الرطب بالتمر وجعل العلة فيه أنه ينقص عن يابسه فدل على أن كل رطب لا يجوز بيعه بيابسه وأما بيع رطبه برطبه فينظر فيه فإن كان ذلك مما يدخر يابسه كالرطب والعنب ولم يجز بيع رطبه برطبه وقال المزني يجوز لأن معظم منافعه في حال رطوبته فجاز بيع بعضه ببعض كالبن والدليل على أنه لا يجوز أنه لا يعلم التماثل بينهما في حال الكمال والادخار فلم يجز بيع أحدهما بالآخر كالتمر بالتمر جزافاً ويخالف اللبن فإن كماله في حال رطوبته لأنه يصلح لكل ما يراد به الكمال في الرطب والعنب في حال يبوسته لأنه يعمل منه كل ما يراد منه ويصلح للبقاء والادخار
PASAL: Tidak boleh menjual buah basahnya dengan yang kering di atas tanah. Karena diriwayatkan dari Sa‘d bin Abī Waqqāṣ RA bahwa Nabi SAW ditanya tentang jual beli ruṭab dengan tamar, maka beliau bersabda: “Apakah ruṭab akan berkurang jika sudah kering?” Mereka menjawab: “Ya.” Maka beliau bersabda: “Kalau begitu, tidak boleh.” Beliau melarang jual beli ruṭab dengan tamar dan menjadikan sebab larangannya karena ruṭab itu akan berkurang jika sudah kering. Maka ini menunjukkan bahwa setiap yang basah tidak boleh dijual dengan yang keringnya.
Adapun jual beli basah dengan basah, maka perlu ditinjau: jika termasuk dari jenis yang bisa disimpan dalam keadaan kering seperti ruṭab dan ‘inab, maka tidak boleh menjual basahnya dengan basahnya. Sedangkan al-Muzanī berpendapat boleh, karena kebanyakan manfaatnya ada pada saat masih basah, maka boleh dijual sebagian dengan sebagian seperti susu.
Dalil bahwa hal itu tidak boleh adalah karena tidak diketahui kesetaraannya pada saat sempurna dan disimpan, maka tidak boleh menjual salah satunya dengan yang lain sebagaimana tamar dengan tamar secara jazāf. Ini berbeda dengan susu, karena kesempurnaannya ada dalam keadaan basah, karena ia layak untuk segala keperluan yang dimaksud dari susu dalam keadaan basah; sedangkan ruṭab dan ‘inab, kesempurnaannya ada pada saat kering, karena darinya bisa dihasilkan segala yang diinginkan dan layak untuk bertahan dan disimpan.
وإن كان مما لا يدخر يابسه كسائر الفواكه ففيه قولان: أحدهما لا يجوز لأنه جنس فيه رباً فلم يجز بيع رطبه برطبه كالرطب والعنب والثاني أنه يجوز لأن معظم منافعه في حال رطوبته فجاز بيع رطبه برطبه كاللبن وفي الرطب الذي لا يجيء منه التمر والعنب الذي لا يجيء منه الزبيب طريقان: أحدهما أنه لا يجوز بيع بعضه ببعض لأن الغالب منه أنه يدخر يابسه وما لا يدخر منه نادر فألحق بالغالب والثاني وهو قول أبي العباس إنه على قولين لأن معظم منفعته في حال رطوبته فكان على قولين كسائر الفواكه وفي بيع اللحم الطري باللحم الطري طريقان:
Dan jika termasuk jenis yang tidak bisa disimpan dalam keadaan kering seperti buah-buahan lainnya, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh karena ia termasuk satu jenis yang mengandung riba, maka tidak boleh menjual basahnya dengan basahnya sebagaimana ruṭab dan ‘inab.
Kedua, boleh karena kebanyakan manfaatnya terdapat dalam keadaan basah, maka boleh menjual basahnya dengan basahnya sebagaimana susu.
Adapun ruṭab yang tidak bisa menjadi tamar dan ‘inab yang tidak bisa menjadi zabīb, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak boleh menjual sebagian dengan sebagian karena umumnya ruṭab dan ‘inab itu bisa disimpan dalam keadaan kering, sedangkan yang tidak bisa disimpan itu jarang, maka disamakan dengan yang umum.
Kedua, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa ia termasuk dalam dua pendapat, karena kebanyakan manfaatnya dalam keadaan basah, maka ia seperti buah-buahan lainnya.
Adapun jual beli daging segar dengan daging segar, maka terdapat dua pendapat:
أحدهما وهو المنصوص إنه لا يجوز لأنه يدخر يابسه فلم يجز بيع رطبه برطبه كالرطب والعنب والثاني وهو قول أبي العباس إنه على قولين لأن معظم منفعته في حال رطوبته فصار كالفواكه فإن باع منه ما فيه نداوة يسيرة بمثله كالتمر الحديث بعضه ببعض جاز بلا خلاف لأن ذلك لا يظهر في الكيل وإن كان مما يوزن كاللحم لم يجز لأنه يظهر في الوزن.
Pertama, dan ini adalah pendapat yang manshūṣ, bahwa tidak boleh karena daging bisa disimpan dalam keadaan kering, maka tidak boleh menjual basahnya dengan basahnya sebagaimana ruṭab dan ‘inab.
Kedua, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa terdapat dua pendapat karena kebanyakan manfaatnya terdapat dalam keadaan basah, maka ia seperti buah-buahan.
Jika seseorang menjual darinya sesuatu yang mengandung sedikit kelembapan dengan yang sepadan, seperti tamar baru sebagian dengan sebagian lainnya, maka boleh tanpa ada perbedaan pendapat, karena kelembapan tersebut tidak tampak dalam takaran.
Namun jika termasuk barang yang ditimbang seperti daging, maka tidak boleh karena kelembapan itu tampak dalam timbangan.
فصل: وأما العرايا وهو بيع الرطب على النخل بالتمر على الأرض خرصاً فإنه يجوز للفقراء فيخرص ما على النخل من الرطب وما يجيء منه من التمر إذا جف ثم يبيع ذلك بمثله تمراً ويسلمه إليه قبل التفرق والدليل عليه ماروى محمود بي لبيد قال: قلت لزيد بن ثابت: ما عراياكم هذه فسمى رجالاً محتاجين من الأنصار شكوا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن الرطب يأتي ولا نقد بأيديهم يبتاعون به رطباً يأكلونه مع الناس وعندهم فضول من قوتهم من التمر فرخص لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم أن بيتاعوا العرايا بخرصها من التمر الذي في أيديهم يأكلونها رطباً وهل يجوز للأغنياء فيه قولان: أحدهما لا يجوز – وهو اختيار المزني – لأن الرخصة وردت في حق الفقراء والأغنياء لا يشاركونهم في الحاجة فبقي في حقهم على الحظر والثاني أنه يجوز
PASAL: Adapun al-‘arāyā, yaitu jual beli ruṭab yang masih di pohon dengan tamar yang ada di tanah berdasarkan taksiran (kharṣ), maka itu diperbolehkan bagi orang-orang fakir. Maka ditaksir ruṭab yang ada di pohon dan jumlah tamar yang akan dihasilkannya ketika sudah kering, lalu dijual dengan tamar sejumlah itu dan diserahkan kepadanya sebelum berpisah.
Dalilnya adalah riwayat dari Maḥmūd bin Labīd, ia berkata: Aku bertanya kepada Zayd bin Thābit: “Apa itu ‘arāyā kalian?” Maka ia menyebutkan beberapa orang dari kaum Anṣār yang fakir, mereka mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa ruṭab datang (musim panen) dan mereka tidak memiliki uang tunai untuk membeli ruṭab agar bisa makan bersama orang-orang. Sedangkan mereka memiliki kelebihan tamar dari kebutuhan pokok mereka. Maka Rasulullah SAW memberikan keringanan kepada mereka untuk membeli ‘arāyā berdasarkan taksiran dari tamar yang mereka miliki agar bisa memakannya dalam keadaan ruṭab.
Apakah boleh bagi orang-orang kaya? Maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh — dan ini adalah pilihan al-Muzanī — karena keringanan tersebut datang dalam konteks orang-orang fakir, sedangkan orang-orang kaya tidak memiliki kebutuhan yang sama, maka tetap berlaku hukum asal larangan bagi mereka.
Kedua, bahwa hal itu boleh.
لما روى سهل بن أبي حثمة قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع التمر بالتمر إلا أنه رخص في العرايا أن تبتاع بخرصها تمراً يأكلها أهلها رطباً ولم يفرق ولأن كل بيع جاز للفقراء جاز للأغنياء كسائر البيوع وهل يجوز ذلك في الرطب بالرطب؟ فيه ثلاثة أوجه: أحدها يجوز – وهو قول أبي علي بن خيران لما روى زيد بن ثابت قال: رخص رسول الله في العرايا بالتمر والرطب ولم يرخص في غير ذلك والثاني لايجوز وهو قول أبي سعيد الإصطخري لما روى عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تبايعوا ثمر النخل بثمر النخل”
Karena diriwayatkan dari Sahl bin Abī Ḥathmah, ia berkata: Rasulullah SAW melarang jual beli tamar dengan tamar, kecuali beliau memberikan keringanan dalam ‘arāyā untuk dibeli berdasarkan taksiran dengan tamar agar pemiliknya bisa memakannya dalam keadaan ruṭab, dan beliau tidak membedakan (antara fakir dan kaya). Dan karena setiap jual beli yang dibolehkan untuk orang-orang fakir, maka juga dibolehkan untuk orang-orang kaya, sebagaimana jual beli lainnya.
Apakah boleh hal itu dilakukan dalam bentuk ruṭab dengan ruṭab? Maka ada tiga pendapat:
Pertama, boleh — dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Khayyār — berdasarkan riwayat dari Zayd bin Thābit bahwa Rasulullah SAW memberikan keringanan dalam ‘arāyā untuk dilakukan dengan tamar dan ruṭab, dan tidak memberi keringanan selain itu.
Kedua, tidak boleh — dan ini adalah pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī — berdasarkan riwayat dari ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah kalian melakukan jual beli tsamar kurma dengan tsamar kurma.”
ولأن الخرص غرر وقد وردت الرخصة في جوازه في أحد العوضين فلو جوزناه في الرطب بالرطب لجوزناه في العوضين وذلك غرر كثير زائد على ما وردت فيه الرخصة فلم يجز كشرط الخيار فيما زاد على ثلاثة أيام والثالث وهو قول أبي إسحاق إنه إن كان نوعاً واحداً لم يجز لأنه لاحاجة به إليه لأن مثل ما يبتاعه عنده وإن كان نوعين جاز لأنه قد يشتهي كل واحد منهما النوع الذي عند صاحبه فيكون كمن عنده تمر ولارطب عنده ولا يجوز في العرايا فيما زاد على خمسة أوسق في عقد واحد لما روى جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن المخابرة والمحاقلة والمزابنة فالمحاقلة أن يبيع الرجل الزرع بمائة فرق من حنطة والمزابنة أن يبيع الثمر على رؤوس النخل بمائة فرق والمخابرة كراء الأرض بالثلث والربع ويجوز ذلك فيما دون خمسة أوسق
Karena al-khars mengandung unsur gharar, padahal telah datang rukhṣah untuk membolehkannya pada salah satu dari dua barang yang dipertukarkan, maka seandainya kita membolehkannya dalam pertukaran ruṭab dengan ruṭab, berarti kita membolehkannya pada kedua barang yang dipertukarkan. Hal ini mengandung gharar yang banyak, melebihi apa yang diberi rukhṣah, maka tidak boleh, seperti halnya syarat khiyār lebih dari tiga hari.
Pendapat ketiga, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa jika jenisnya satu, maka tidak boleh karena tidak ada hajat kepadanya, sebab barang yang akan dibeli itu sejenis dengan yang ada padanya. Namun jika dua jenis, maka boleh, karena bisa jadi masing-masing dari keduanya menginginkan jenis yang ada pada temannya, seperti orang yang memiliki tamr namun tidak memiliki ruṭab.
Tidak boleh dalam akad ‘arāyā melebihi lima wasq dalam satu akad, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW melarang al-mukhābarah, al-muḥāqalah, dan al-muzābanah. Adapun al-muḥāqalah adalah seseorang menjual tanaman dengan seratus farq gandum, dan al-muzābanah adalah seseorang menjual buah di pohon dengan seratus farq, dan al-mukhābarah adalah menyewakan tanah dengan sepertiga atau seperempat hasilnya. Dan diperbolehkan hal tersebut jika kurang dari lima wasq.
لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم أرخص في بيع العرايا فيما دون خمسة أوسق وفي خمسة أوسق قولان: أحدهما لا يجوز وهو قول المزني لأن الأصل هو الحضر وقد ثبت جواز ذلك فيما دون خمسة أوسق لحديث أبي هريرة رضي الله عنه وفي خمسة أوسق شك لأنه روي في حديث أبي هريرة فيما دون خمسة أوسق أو في خمسة أوسق شك فيه داود بي الحصين فبقي على الأصل ولأن خمسة أوسق في حكم ما زاد بدليل أنه تجب الزكاة في الجميع فإذا لم تجز فيما زاد على خمسة أوسق لم تجز في خمسة أوسق والقول الثاني أنه يجوز لعموم حديث سهل بن أبي حثمة.
karena Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW memberi keringanan dalam jual beli ‘arāyā pada kadar kurang dari lima wasq, dan dalam (kasus) lima wasq terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh, dan ini adalah pendapat al-Muzanī, karena hukum asalnya adalah larangan, dan telah tetap kebolehannya pada kadar kurang dari lima wasq berdasarkan hadis Abu Hurairah RA, sedangkan dalam lima wasq terdapat keraguan, karena dalam hadis Abu Hurairah diriwayatkan “pada kadar kurang dari lima wasq” atau “pada lima wasq” yang padanya terdapat keraguan dari Dāwud bin al-Ḥuṣain, maka (kasus lima wasq) dikembalikan pada hukum asal. Dan karena lima wasq dalam hukum seperti yang lebih dari lima wasq, berdasarkan dalil bahwa zakat wajib atas semuanya, maka jika tidak boleh pada kadar lebih dari lima wasq, tidak boleh pula pada lima wasq. Pendapat kedua menyatakan boleh, karena keumuman hadis Sahl bin Abī Ḥathmah.
فصل: وما جاز في الرطب بالتمر جاز في العنب بالزبيب لأنه يدخر يابسه ويمكن خرصه فأشبه الرطب وفيما سوى ذلك من الثمار قولان: أحدهما يجوز لأنه ثمرة فجاز بيع رطبها بيابسها خرصاً كالرطب والثاني لا يجوز لما روى زيد بن ثابت قال: رخص رسول الله صلى الله عليه وسلم في العرايا بالتمر والرطب ولم يرخص في ذلك ولأن سائر الثمار لايدخر يابسها ولا يمكن خرصها لتفرقها في الأغصان واستتارها في الأوراق فلم يجز بيعها خرصاً.
PASAL: Apa yang boleh dalam jual beli ruṭab dengan tamr, maka boleh pula pada ‘inab dengan zabīb, karena zabīb (kismis) adalah bagian yang dapat diawetkan dalam keadaan kering dan memungkinkan untuk di-kharṣ, maka ia serupa dengan ruṭab.
Adapun selain dari itu berupa buah-buahan, terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, karena ia termasuk buah-buahan, maka boleh menjual yang basahnya dengan yang keringnya secara kharṣ seperti ruṭab.
Kedua, tidak boleh, berdasarkan riwayat dari Zaid bin Tsābit, ia berkata: “Rasulullah SAW memberikan keringanan dalam ‘arāyā dengan tamr dan ruṭab, dan tidak memberikan keringanan dalam selain itu.”
Dan karena buah-buahan lainnya tidak dapat diawetkan dalam keadaan kering dan tidak memungkinkan untuk di-kharṣ, karena tersebar di cabang-cabang dan tersembunyi di balik daun-daun, maka tidak boleh menjualnya dengan cara kharṣ.
فصل: ولا يباع منه ما نزع نواه بما لم ينزع نواه لأن أحدهما على هيئة الادخار والآخر على غير هيئة الادخار ويتفاضلان حال الادخار فلم يجز بيع أحدهما بالآخر كالرطب بالتمر وهل يجوز بيع ما نزع نواعه بعضه ببعض؟ فيه وجهان: أحدهما يجوز لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا تبيعوا التمر بالتمر إلا سواء بسواء” والثاني لا يجوز لأنه يتجافى في المكيال فلا يتحقق التساوي ولأنه يجهل تساويهما في حال الكمال والادخار فأشبه بيع التمر بالتمر جزافاً.
PASAL: Tidak boleh menjual tamr yang telah dibuang bijinya dengan tamr yang belum dibuang bijinya, karena yang satu berada dalam keadaan siap untuk disimpan, sedangkan yang lain tidak, dan keduanya berbeda dalam keadaan disimpan, maka tidak boleh menjual salah satunya dengan yang lain sebagaimana ruṭab dengan tamr.
Adapun menjual tamr yang telah dibuang bijinya sebagian dengan yang lainnya, terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Janganlah kalian menjual tamr dengan tamr kecuali sama dengan sama.”
Kedua, tidak boleh, karena terjadi perbedaan dalam takaran sehingga tidak dapat dipastikan kesamaan, dan karena tidak diketahui kesetaraannya dalam keadaan sempurna dan layak disimpan, maka ia serupa dengan jual beli tamr dengan tamr secara juzāf (tanpa takaran).
فصل: ولا يجوز بيع نيئه بمطبوخه لأن النار تعقد أجزاءه وتسخنه فإن بيع كيلاً لم يجز لأنهما لا يتساويان في الكيل في حال الادخار وإن بيع وزناً لم يزد لأن أصله الكيل فلا يجوز بيعه وزناً ولا يجوز بيع مطبوخه لأن النار قد تعقد من أجزاء أحدهما أكثر من الآخر فيجهل التساوي واختلف أصحابنا في بيع العسل المصفى بالنار بعضه ببعض فمنهم من قال لا يجوز لأن النار تعقد أجزاءه فلا يعلم تساويهما ومنهم من قال يجوز وهو المذهب لأن نار التصفية نار لينة لا تعقد الأجزاء وإنما تميزه من الشمع فصار كالعسل المصفى بالشمس واختلفوا في بيع السكر بعضه ببعض فمنهم من قال لا يجوز لأن النار قد عقدت أجزاءه ومنهم من قال يجوز لأن ناره لا تعقد الأجزاء وغنما تميزه من القصب.
PASAL: Tidak boleh menjual yang mentah dengan yang sudah dimasak, karena api menyatukan bagian-bagiannya dan memanaskannya. Jika dijual dengan takaran (kail), tidak boleh, karena keduanya tidak sama dalam takaran saat disimpan. Dan jika dijual dengan timbangan, juga tidak boleh, karena asalnya adalah takaran, maka tidak boleh dijual dengan timbangan.
Dan tidak boleh menjual yang sudah dimasak, karena api dapat menyatukan bagian dari salah satunya lebih banyak dari yang lain, sehingga tidak diketahui kesetaraannya.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang menjual madu yang dimurnikan dengan api, sebagian mengatakan tidak boleh karena api menyatukan bagian-bagiannya sehingga tidak diketahui kesetaraannya. Sebagian lain mengatakan boleh, dan ini adalah al-madzhab, karena api penyaring adalah api yang lembut, tidak menyatukan bagian-bagiannya, melainkan hanya memisahkannya dari lilin, maka ia seperti madu yang dimurnikan dengan matahari.
Mereka juga berbeda pendapat tentang menjual gula sebagian dengan sebagian yang lain. Sebagian mengatakan tidak boleh, karena api telah menyatukan bagian-bagiannya. Dan sebagian mengatakan boleh, karena apinya tidak menyatukan bagian-bagiannya, tetapi hanya memisahkannya dari tebu.
فصل: ولا يجوز بيع الحب بدقيقه متفاضلاً لأن الدقيق هو الحب بعينه وإنما فرقت أجزاؤه فهو كالدنانير الصحاح بالقراضة فأما بيعه به متماثلاً فالمنصوص أنه لا يجوز وقال الكرابيسي: قال أبو عبد الله: تجوز فجعل أبو الطيب بن سلمة هذا قولاً آخر وقال أكثر أصحابنا: لا يجوز قولاً واحداً ولعل الكرابيسي أراد أبا عبد الله مالكاً أو أحمد فإن عندهما يجوز ذلك والدليل على أنه لا يجوز أنه جنس فيه ربا بيع منه ما هو على هيئة الادخار بما ليس منه على هيئة الادخار على وجه يتفاضلان في حال الادخار فلم يصح كبيع الرطب بالتمر ولا يجوز بيع دقيقة بدقيقة وروى المزني عنه في المنثور أنه يجوز وإليه أومأ في البويطي لأنهما يتساويان في الحال ولا يتفاضلان في الثاني فجاز بيع أحدهما بالآخر كالحنطة بالحنطة والصحيح هو الأول لأنه جهل التساوي بينهما في حال الكمال والإدخار فأشبه بيع الصبرة بالصبرة جزافاً
PASAL: Tidak boleh menjual ḥabb (biji-bijian) dengan daqīq-nya (tepungnya) secara tafāḍul, karena daqīq adalah ḥabb itu sendiri, hanya saja bagian-bagiannya terpisah, maka hukumnya seperti dinar utuh dengan potongannya.
Adapun menjualnya secara tamātsul (sama beratnya), maka pendapat yang manshūṣ (tegas dari Imam al-Syāfi‘i) adalah tidak boleh.
Al-Karābīsī berkata: Abū ‘Abdillāh mengatakan boleh. Maka Abū Ṭayyib bin Salamah menjadikannya sebagai pendapat kedua. Dan mayoritas sahabat kami mengatakan: tidak boleh, secara qaul wāḥid.
Kemungkinan al-Karābīsī yang dimaksud adalah Abū ‘Abdillāh Mālik atau Aḥmad, karena menurut keduanya hal itu boleh.
Dalil bahwa hal itu tidak boleh: karena ia termasuk jenis yang terkena riba, maka menjual sesuatu yang dalam keadaan siap disimpan dengan sesuatu yang tidak siap disimpan, dalam keadaan keduanya berbeda saat disimpan, tidak sah — seperti menjual ruṭab dengan tamr.
Tidak boleh juga menjual daqīq dengan daqīq (dari dua sumber berbeda).
Al-Muzanī meriwayatkan dari Imam al-Syāfi‘i dalam kitab al-Manthūr bahwa hal itu boleh, dan ke arah ini juga diisyaratkan dalam al-Buwayṭī, karena keduanya sama dalam keadaan sekarang dan tidak berbeda dalam kadar kedua, maka boleh menjual salah satunya dengan yang lain sebagaimana menjual gandum dengan gandum.
Namun yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena tidak diketahui kesetaraan keduanya dalam keadaan sempurna dan siap disimpan, maka ia serupa dengan menjual ṣubrah dengan ṣubrah secara juzāf.
ولا يجوز بيع حبه بسويقه ولا سويقه بسويقه لما ذكرناه في الدقيق ولأن النار قد دخلت عليه وعقدت أجزاؤه فمنع التماثل ولا يجوز بيعه بخبزه لأنه دخله النار وخالطه الملح والماء وذلك يمنع التماثل ولأن الخبز موزون والحنطة مكيل فلا يمكن معرفة التساوي بينهما ولا يجوز بيع خبزه بخبزه لأن ما فيه من الماء والملح يمنع من لا علم بالتماثل فمنع جواز العقد وإن جفف الخبز وجعل فتيتاً وبيع بعضه ببعض كيلاً ففيه قولان: أحدهما لا يجوز لأنه لا يعلم تساويهما في حال التكامل فلم يجز بيع أحدهما بالآخر كالرطب بالرطب والثاني أنه يجوز لأنه مكيل مدخر فجاز بيع بعضه ببعض كالتمر.
Tidak boleh menjual ḥabb (gandum utuh) dengan sawīq-nya, dan tidak pula sawīq dengan sawīq, karena alasan yang telah disebutkan dalam kasus daqīq (tepung), dan karena sawīq telah dimasuki api dan bagian-bagiannya telah menyatu, maka hal itu menghalangi adanya tamātsul (kesetaraan).
Tidak boleh pula menjualnya dengan roti, karena telah dimasak dengan api dan dicampur garam serta air, dan hal itu menghalangi tamātsul.
Juga karena roti ditimbang sedangkan gandum ditakar, sehingga tidak memungkinkan untuk mengetahui kesetaraan di antara keduanya.
Tidak boleh menjual roti dengan roti, karena adanya air dan garam di dalamnya menghalangi pengetahuan tentang kesetaraan, maka tidak sah akadnya.
Jika roti dikeringkan lalu dijadikan remah-remah (fatīt) dan dijual sebagian dengan sebagian lainnya secara takaran, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, karena tidak diketahui kesetaraan keduanya dalam keadaan sempurna, maka tidak boleh menjual salah satunya dengan yang lain seperti halnya ruṭab dengan ruṭab.
Kedua, boleh, karena ia merupakan barang yang ditakar dan bisa disimpan, maka boleh menjual sebagian dengan sebagian lainnya sebagaimana tamr.
فصل: ولا يجوز بيع أصله بعصيره كالسمسم بالشيرج والعنب بالعصير لأنه إذا عصر الأصل نقص عن العصير الذي بيع به ويجوز بيع العصير بالعصير إذا لم تنعقد أجزاؤه لأنه يدخر على صفته فجاز بيع بعضه ببعض كالزبيب بالزبيب ويجوز بيع الشيرج بالشيرج ومن أصحابنا من قال لا يجوز لأنه يخالطه الماء والملح وذلك يمنع التماثل فمنع العقد والمذهب الأول لأنه يدخر على جهته فجاز بيع بعضه ببعض كالعصير وأما الماء والملح فإنه يحصل في الكسب ولا ينعصر لأنه لو انعصر في الشيرج لبان عليه ويجوز بيع خل الخمر بخل الخمر لأنه يدخر على جهته فجاز بيع بعضه ببعض كالزبيب بالزبيب
PASAL: Tidak boleh menjual asal barang dengan perasannya, seperti as-simsim dengan asy-syirij dan anggur dengan perasannya, karena apabila asalnya diperas maka akan berkurang dari perasan yang dijual dengannya. Dan boleh menjual perasan dengan perasan jika belum mengental bagiannya, karena ia dapat disimpan dalam keadaannya, maka boleh menjual sebagian dengan sebagian seperti kismis dengan kismis. Dan boleh menjual asy-syirij dengan asy-syirij, dan sebagian dari para sahabat kami berkata: tidak boleh, karena tercampur dengan air dan garam, dan hal itu menghalangi kesetaraan sehingga dilarang akadnya. Dan pendapat yang kuat adalah yang pertama, karena ia dapat disimpan dalam bentuknya, maka boleh menjual sebagian dengan sebagian seperti perasan. Adapun air dan garam, maka itu terdapat dalam hasil perasan dan tidak ikut terperas, karena kalau ikut terperas dalam asy-syirij niscaya akan tampak padanya. Dan boleh menjual cuka khamar dengan cuka khamar, karena dapat disimpan dalam bentuknya, maka boleh menjual sebagian dengan sebagian seperti kismis dengan kismis.
ولا يجوز بيع خل الخمر بخل الزبيب لأن في خل الزبيب ماء وذلك يمنع من تماثل الخلين ولا يجوز خل الزبيب بخل الزبيب ولا بيع خل التمر بخل التمر لأنا إن قلنا إن الماء فيه ربا لم يجز للجهل بتماثل الماءين والجهل بتماثل الخلين وإن باع خل الزبيب بخل التمر فإن قلنا إن في الماء ربا لم يجز للجهل بتماثل الماءين فيهما وإن قلنا لا ربا في الماء جاز لأنهما جنسان فجاز بيع أحدهما بالآخر مع الجهل بالمقدار كالتمر بالزبيب والله أعلم.
Dan tidak boleh menjual cuka khamr dengan cuka anggur kering karena dalam cuka anggur kering terdapat air, dan itu menghalangi kesetaraan antara kedua cuka tersebut. Dan tidak boleh menjual cuka anggur kering dengan cuka anggur kering, serta tidak boleh menjual cuka kurma dengan cuka kurma, karena jika kita mengatakan bahwa air di dalamnya termasuk riba, maka tidak boleh disebabkan ketidaktahuan terhadap kesetaraan kedua air tersebut dan ketidaktahuan terhadap kesetaraan kedua cuka tersebut. Namun jika ia menjual cuka anggur kering dengan cuka kurma, maka jika kita mengatakan bahwa air termasuk riba, tidak boleh karena ketidaktahuan terhadap kesetaraan dua air dalam keduanya. Dan jika kita mengatakan tidak ada riba dalam air, maka boleh karena keduanya adalah dua jenis yang berbeda, maka boleh menjual salah satunya dengan yang lain meskipun tidak mengetahui kadar masing-masing, seperti halnya menjual kurma dengan anggur kering. Wallāhu a‘lam.
فصل: ولا يجوز بيع شاة في ضرعها لبن بلب شاة لأن اللبن يدخل في البيع ويقابله قسط من الثمن والدليل عليه أن النبي صلى الله عليه وسلم جعل في مقابلة لبن المصراة صاعاً من تمر ولأن اللبن في الضرع كاللبن في الإناء والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم: “لا يحلبن أحدكم شاة غيره بغير إذنه أيحب أحدكم أن تؤتى خزانته فينتثل ما فيها” فجعل اللبن كالمال في الخزانة فصار كما لو باع لبناً وشاة بلبن فإن باع شاة في ضرعها لبن بشاة في ضرعها لبن ففيه وجهان: قال أبو الطيب بن سلمى: يجوز كما يجوز بيع السمسم بالسمسم وإن كان في كل واحد منهما شيرج وكما يجوز بيع دار بدار
PASAL: Tidak boleh menjual seekor kambing yang di dalam kantung susunya terdapat susu dengan susu kambing, karena susu tersebut termasuk dalam jual beli dan mendapatkan bagian dari harga. Dalilnya adalah bahwa Nabi SAW menetapkan satu ṣā‘ kurma sebagai pengganti dari susu kambing yang dikumpulkan (muṣarrāh), dan karena susu dalam kantung susu sama seperti susu dalam bejana. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Janganlah salah seorang di antara kalian memerah susu kambing milik orang lain tanpa izinnya. Apakah salah seorang dari kalian suka jika gudangnya didatangi lalu diambil isinya?” Maka Nabi menjadikan susu seperti harta di dalam gudang. Maka keadaannya seperti orang yang menjual susu dan kambing dengan susu.
Jika ia menjual kambing yang di dalam kantung susunya terdapat susu dengan kambing lain yang di kantung susunya juga terdapat susu, maka ada dua wajah (pendapat). Abū Ṭayyib ibn Salmā berkata: Boleh, sebagaimana bolehnya menjual wijen dengan wijen meskipun masing-masing mengandung minyak (shīraj), dan sebagaimana bolehnya menjual rumah dengan rumah.
وإن كان في كل واحدة منهما بئر ماء وقال أكثر أصحابنا: لا يجوز لأنه جنس فيه ربا بيع بعضه ببعض ومع كل واحد منهما شيء مقصود فلم يجز كما لو باع نخلة مثمرة بنخلة مثمرة ويخالف السمسم لأن الشيرج في السمسم كالمعدوم لأنه لا يحصل إلا بطحن وعصر واللبن موجود في الضرع من غير فعل ويمكن أخذه من غير مشقة وأما الدار فإن قلنا إن الماء يملك ويحرم فيه الربا فلا يجوز بيع إحدى الدارين بالأخرى ويجوز بيع اللبن الحليب بعضه ببعض لأن عامة منافعه في هذه الحال فجاز بيع بعضه ببعض كالتمر بالتمر
Dan jika dalam masing-masing dari keduanya terdapat sumur air, maka mayoritas dari para sahabat kami (ulama mazhab) mengatakan: Tidak boleh, karena ini adalah jenis yang termasuk dalam riba, yang dijual sebagian dengan sebagian, dan pada masing-masing dari keduanya terdapat sesuatu yang dimaksudkan (yaitu air), maka tidak boleh, sebagaimana menjual pohon kurma berbuah dengan pohon kurma berbuah.
Adapun wijen, maka berbeda, karena shīraj (minyak) yang ada pada wijen seperti tidak ada, sebab tidak bisa diperoleh kecuali dengan ditumbuk dan diperas. Adapun susu, maka ia ada dalam kantung susu tanpa perbuatan apa pun, dan dapat diambil tanpa kesulitan.
Adapun rumah, maka jika kita katakan bahwa air itu dimiliki dan termasuk yang terkena hukum riba, maka tidak boleh menjual salah satu rumah dengan rumah lainnya. Dan boleh menjual susu segar (yang sudah diperah) sebagian dengan sebagian yang lain, karena manfaat utamanya sudah nampak dalam keadaan ini, maka boleh menjual sebagian dengan sebagian seperti halnya kurma dengan kurma.
ويجوز بيع اللبن الحليب بالرائب وهو الذي فيه حموضة لأنه لبن خالص وإنما تغير فهو كتمر طيب بتمر غير طيب ويجوز بيع الرائب بالرائب كما يجوز بيع تمر متغير بتمر متغير ولا يجوز بيع اللبن بما يتخذ منه من الزبد والسمن لأن ذلك مستخرج منه فلا يجوز بيعه به كالشيرج بالسمسم ولا يجوز بيعه بالمخيض لأن المخيض لبن نزع منه الزبد والحليب لم ينزع منه الزبد فإذا بيع أحدهما بالآخر تفاضل اللبنان ولا يجوز بيعه بالشيراز واللبأ والجبن لأن أجزاءها قد انعقدت فلا يجوز بيعها باللبن كيلاً لأنهما يتفاضلان ولا يجوز بيعها وزناً لأن اللبن مكيل فلا يباع بجنسه وزناً وأما بيع ما يتخذ منه بعضه ببعض فإنه إن باع السمن بالسمن جاز لأنه لا يخالطه غيره قال الشافعي رحمه الله والوزن فيه أحوط وقال أبو إسحاق: يباع كيلاً لأن أصله الكيل فإن باع الزبد بالزبد ففيه وجهان: أحدهما يجوز كما يجوز بيع السمن بالسمن واللبن باللبن
Dan boleh menjual susu segar dengan rā’ib (susu asam), yaitu yang terdapat keasaman padanya, karena itu adalah susu murni, hanya saja telah berubah, maka hukumnya seperti kurma baik dengan kurma yang tidak baik. Dan boleh menjual rā’ib dengan rā’ib, sebagaimana boleh menjual kurma yang berubah dengan kurma yang berubah.
Tidak boleh menjual susu dengan apa yang diambil darinya, yaitu mentega (zubd) dan minyak samin (samin), karena keduanya merupakan hasil ekstraksi dari susu, maka tidak boleh menjualnya dengannya, seperti halnya shīraj dengan wijen. Dan tidak boleh menjualnya dengan makhīḍ, karena makhīḍ adalah susu yang telah diambil menteganya, sedangkan susu segar belum diambil menteganya. Maka jika dijual salah satunya dengan yang lain, akan terjadi ketidaksamaan antara kedua susu tersebut.
Dan tidak boleh menjualnya dengan shīrāz, laban, dan keju, karena bagian-bagiannya telah mengental, maka tidak boleh menjualnya dengan susu secara takaran (kaylan), karena keduanya tidak sama. Dan tidak boleh pula menjualnya dengan timbangan, karena susu adalah barang yang ditakar, maka tidak boleh dijual dengan sesama jenisnya dengan cara ditimbang.
Adapun menjual apa yang dibuat dari susu sebagian dengan sebagian lainnya, maka jika ia menjual minyak samin dengan minyak samin, hukumnya boleh karena tidak tercampur dengan unsur lain. Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: Menimbangnya lebih hati-hati. Dan Abū Isḥāq berkata: Dijual dengan takaran, karena asalnya adalah ditakar.
Jika ia menjual mentega dengan mentega, maka ada dua wajah (pendapat): salah satunya menyatakan boleh, sebagaimana bolehnya menjual minyak samin dengan minyak samin dan susu dengan susu.
والثاني لا يجوز لأن الزبد فيه لبن فيكون بيع لبن وزبد بلبن وزبد وإن باع المخيض بالمخيض نظرت فإن لم يطرح فيه الماء جاز لأنه بيع لبن بلبن وإنما طرح فيه ماء للضرب لم يجز لتفاضل الماءين وتفاضل اللبنين وإن باع الجبن أو الأقط أو المصل أو اللبأ بعضه ببعض لم يجز لأن أجزاءها منعقدة ويختلف انعقادها ولأن فيها ما يخالطه الملح والأنفحة وذلك يمنع التماثل وأما بيع نوع منه بنوع آخر فإنه ينظر فيه فإن باع الزبد بالسمن لم يجز لأن السمن مستخرج من الزبد فلا يجوز بيعه بما استخرج منه كالشيرج بالسمسم
dan yang kedua tidak boleh karena zubd mengandung susu, sehingga menjadi jual beli susu dan zubd dengan susu dan zubd. Dan apabila menjual makhīḍ dengan makhīḍ, maka dilihat: jika tidak dicampur air, maka boleh karena itu jual beli susu dengan susu; tetapi jika dicampur air untuk dikocok, maka tidak boleh karena terjadi perbedaan antara dua air dan perbedaan antara dua susu. Dan jika menjual keju (jubn), atau aqiṭ, atau miṣl, atau labā’ sebagian dengan sebagian lainnya, maka tidak boleh karena bagian-bagiannya telah mengeras dan tingkat pengerasannya berbeda-beda, dan karena di dalamnya bercampur garam dan anfahah yang menghalangi kesetaraan. Adapun jual beli antarjenis dari produk-produk tersebut, maka ditinjau: jika menjual zubd dengan saman, maka tidak boleh karena saman diambil dari zubd, maka tidak boleh menjual sesuatu dengan apa yang diambil darinya, sebagaimana shīraj dengan simsim.
وإن باع المخيض بالسمن فالمنصوص أنه يجوز لأن ليس في أحدهما شيء من الآخر قال شيخنا القاضي أبو الطيب الطبري رحمه الله: هما كالجنسين فيجوز بيع أحدهما بالآخر متفاضلاً بلا خلاف وإن باع الزبد بالمخيض فالمنصوص أنه يجوز وقال أبو إسحاق أنه لا يجوز لأن في الزبد شيئاً من المخيض فيكون بيع زبد ومخيض بمخيض وهذا لا يصح لأن الذي فيه من المخيض لا يظهر إلا بالتصفية والنار فلم يكن له حكم وما سوى ذلك لا يجوز بيع نوع منه بنوع آخر لأنه يؤدي إلى التفاضل.
Dan jika menjual makhīḍ dengan saman, maka pendapat yang manṣūṣ adalah bahwa hal itu boleh, karena tidak ada pada salah satunya unsur dari yang lain. Syaikh kami, al-Qāḍī Abū Ṭayyib aṭ-Ṭabarī raḥimahullāh berkata: keduanya seperti dua jenis yang berbeda, maka boleh menjual salah satunya dengan yang lain secara tidak setara (mutafāḍil) tanpa ada khilaf. Dan jika menjual zubd dengan makhīḍ, maka pendapat yang manṣūṣ adalah bahwa hal itu boleh. Namun Abū Isḥāq berpendapat bahwa hal itu tidak boleh karena dalam zubd terdapat unsur dari makhīḍ, maka itu menjadi seperti menjual zubd dan makhīḍ dengan makhīḍ, dan ini tidak sah. Sebab, unsur makhīḍ yang ada di dalam zubd tidak tampak kecuali melalui penyaringan dan pemanasan, maka tidak dihukumi dengannya. Adapun selain dari itu, maka tidak boleh menjual satu jenis dengan jenis lainnya karena akan mengakibatkan ketidaksamaan nilai (tafāḍul).
فصل: ولا يجوز بيع حيوان يؤكل لحمه بلحمه لما روى سعيد بن المسيب رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يباع حي بميت” وروى ابن عباس رضي الله عنه أن جزوراً نحرت على عهد أبي بكر رضي الله عنه فجاء رجل بعناق فقال: أعطوني بها لحماً فقال أبو بكر: لا يصلح هذا ولأنه جنس فيه الربا بيع بأصله الذي فيه مثله فلم يجز كبيع الشيرج بالسمسم وفي بيع اللحم بحيوان لا يؤكل قولان: أحدهما لا يجوز للخبر
PASAL: Tidak boleh menjual hewan yang boleh dimakan dagingnya dengan dagingnya, berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyab RA bahwa Nabi SAW bersabda: “lā yubā‘u ḥayyun bimiayyit” (tidak boleh menjual yang hidup dengan yang mati). Dan diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās RA bahwa seekor unta disembelih pada masa Abū Bakar RA, lalu datang seorang lelaki membawa seekor anak kambing betina dan berkata: “Berikan kepadaku daging sebagai gantinya.” Maka Abū Bakar berkata: “Ini tidak sah.” Dan karena hal itu merupakan satu jenis yang terkena riba, dijual dengan asalnya yang mengandung jenis yang sama, maka tidak boleh sebagaimana jual beli shīraj dengan simsim.
Adapun jual beli daging dengan hewan yang tidak boleh dimakan, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama: tidak boleh, karena adanya khabar (hadis).
والثاني يجوز لأنه ليس فيه مثله فجاز بيعه به كاللحم بالثوب ويجوز بيع اللحم بجنسه إذا تناهى جفافه ونزع منه العظم لأنه يدخر على هذه الصفة فجاز بيع بعضه ببعض كالتمر وهل يجوز بيع بعضه ببعض قبل زرع العظم؟ فيه وجهان: قال أبو سعيد الإصطخري يجوز كما يجوز بيع التمر بالتمر وفيه النوى ومن أصحابنا من قال لا يجوز كما لا يجوز بيع العسل الذي فيه شمع بعضه ببعض ويخالف النوى في التمر فإن فيه مصلحة له وليس في ترك العظم في اللحم مصلحة له.
Dan pendapat kedua: boleh, karena di dalamnya tidak terdapat yang sejenis dengannya, maka boleh menjualnya dengannya, seperti daging dengan kain. Dan boleh menjual daging dengan sesama jenisnya jika telah benar-benar kering dan tulangnya telah dihilangkan, karena ia dapat disimpan dalam keadaan seperti itu, maka boleh menjual sebagian dengan sebagian sebagaimana tamr.
Apakah boleh menjual sebagian daging dengan sebagian lainnya sebelum tulangnya dipisahkan? Dalam hal ini ada dua pendapat.
Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: boleh, sebagaimana boleh menjual tamr dengan tamr meskipun masih ada bijinya.
Dan sebagian dari kalangan kami berkata: tidak boleh, sebagaimana tidak boleh menjual madu yang masih mengandung lilin sebagian dengan sebagian.
Ini berbeda dengan biji dalam tamr, karena biji itu ada manfaatnya bagi buah tamr, sedangkan tulang tidak memberi manfaat bagi daging.
فصل: ولا يجوز بيع بيض الدجاج بدجاجة في جوفها بيض لأنه جنس فيه ربا بيع بما في مثله فلم يجز كبيع اللحم بالحيوان.
PASAL: Tidak boleh menjual telur ayam dengan seekor ayam yang di dalam perutnya terdapat telur, karena ia adalah satu jenis yang terkena riba, dijual dengan apa yang ada pada sejenisnya, maka tidak boleh, seperti menjual daging dengan hewan.
باب بيع الأصول والثمار
إذا باع أرضاً وفيها بناء أو غراس نظرت فإن قال بعتك هذه الأرض بحقوقها دخل فيها البناء والغراس لأنه من حقوقها وإن لم يقل بحقوقها فقد قال في البيع يدخل وقال في الرهن لا يدخل واختلف أصحابنا فيه على ثلاث طرق: فمنهم من قال لا يدخل في الجميع لأن الأرض ليست بعبارة عن الغراس والبناء وتأول قوله في البيع عليه إذا قال بحقوقها ومنهم من نقل جوابه في الرهن إلى البيع وجوابه في البيع إلى الرهن وجعلهما على قولين: أحدهما لا يدخل في الجميع لأن الأرض اسم للعرصة دون ما فيها من الغراس والبناء
BAB JUAL BELI ASET DAN BUAH-BUAHAN
Apabila seseorang menjual sebidang tanah yang di atasnya terdapat bangunan atau tanaman, maka dilihat terlebih dahulu: jika ia berkata, “Aku jual kepadamu tanah ini beserta hak-haknya,” maka bangunan dan tanaman termasuk di dalamnya, karena keduanya termasuk hak-haknya. Namun jika ia tidak mengatakan “beserta hak-haknya,” maka terdapat dua pendapat dari Imam al-Syafi‘i: beliau berkata dalam konteks jual beli bahwa keduanya termasuk, sedangkan dalam konteks gadai, keduanya tidak termasuk.
Para sahabat kami berbeda pendapat dalam masalah ini dengan tiga pendekatan:
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa bangunan dan tanaman tidak termasuk dalam kedua konteks (jual beli maupun gadai), karena kata “tanah” tidak mencakup bangunan dan tanaman. Mereka menafsirkan ucapan Imam al-Syafi‘i dalam jual beli bahwa bangunan dan tanaman masuk hanya jika disebutkan “beserta hak-haknya.”
Sebagian lagi memindahkan jawaban beliau dalam konteks gadai ke jual beli, dan jawaban beliau dalam jual beli ke gadai, lalu menjadikannya sebagai dua pendapat: salah satunya adalah bahwa bangunan dan tanaman tidak termasuk dalam keduanya, karena kata “tanah” hanyalah sebutan untuk ‘arsah (tanah kosong) tanpa memperhitungkan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
والثاني يدخل لأنه متصل بها فدخل فيها الغراس والبناء والرهن عقد ضعيف لا يزيل الملك فلم يدخل فيه الغراس والبناء فإن قال بعتك هذه القرية بحقوقها لم تدخل فيها المزارع لأن القرية اسم للأبنية دون المزارع وإن قال بعتك هذه الدار دخل بها ما اتصل بها من الرفوف المسمرة والجوابي والأجاجين المدفونة فيها للانتفاع بها وإن كان فيها رحا مبينة دخل الحجر السفلاني في بيعها لأنه متصل بها وفي الفوقاني وجهان: أحدهما أنه يدخل وهو الصحيح لأنه ينصب هكذا فدخل فيه كالباب
dan yang kedua: bangunan dan tanaman termasuk karena keduanya melekat pada tanah, sehingga masuk dalam jual beli tersebut. Adapun gadai adalah akad yang lemah dan tidak menghilangkan kepemilikan, maka bangunan dan tanaman tidak termasuk di dalamnya.
Jika ia berkata, “Aku jual kepadamu desa ini beserta hak-haknya,” maka lahan pertanian tidak termasuk di dalamnya, karena istilah qaryah (desa) mengacu pada bangunan-bangunan saja, bukan pada lahan pertaniannya.
Jika ia berkata, “Aku jual kepadamu rumah ini,” maka termasuk pula segala sesuatu yang melekat padanya, seperti rak-rak yang dipaku, tempat penyimpanan (al-jawwābī), dan tempat adonan (al-ajājīn) yang ditanam di dalam tanah untuk dimanfaatkan.
Jika di dalamnya terdapat alat penggiling (raḥā) yang terpasang, maka batu penggiling bagian bawah termasuk dalam jual beli karena ia melekat pada bangunan. Adapun batu bagian atas, maka ada dua pendapat: salah satunya menyatakan bahwa ia termasuk—dan ini adalah pendapat yang sahih—karena ia biasa dipasang demikian, maka ia termasuk sebagaimana pintu.
والثاني لا يدخل لأنه منفصل عن المبيع ويدخل الغلق المسمر في الباب وفي المفتاح وجهان أحدهما: يدخل فيه لأنه من مصلحته فلا ينفرد عنه والثاني لا يدخل لأنه منفصل فلم يدخل كالدلو والبكرة وإن كان في الدار شجرة فعلى الطرق الثلاثة التي ذكرناها في الأرض وأما الماء الذي في البئر فاختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق: الماء غير مملوك لأنه لو كان مملوكاً لصاحب الدار لما جاز للمستأجرين شربه لأنه إتلاف عين فلا يستحق بالإجارة كثمرة النخل ولوجب أن لا يجوز للمشتري رد الدار بالعيب بعد شربه كما لا يجوز رد النخل بعد أكل ثمرته فعلى هذا لا يدخل في بيع الدار غير أن المشتري أحق به لثبوت يده على الدار
dan yang kedua: tidak termasuk, karena terpisah dari barang yang dijual. Paku pengunci yang menempel pada pintu termasuk dalam jual beli. Adapun kunci, terdapat dua pendapat:
Yang pertama, termasuk, karena merupakan bagian dari kemanfaatannya sehingga tidak terpisah darinya.
Yang kedua, tidak termasuk karena merupakan benda yang terpisah, maka tidak termasuk sebagaimana timba dan katrol.
Jika di dalam rumah terdapat pohon, maka hukumnya mengikuti tiga pendekatan yang telah disebutkan sebelumnya mengenai tanah.
Adapun air yang ada di dalam sumur, para sahabat kami berselisih pendapat:
Abu Ishaq berkata: air tidak dimiliki, karena jika air itu milik pemilik rumah, maka tidak boleh bagi para penyewa rumah untuk meminumnya, karena itu merupakan tindakan menghilangkan suatu benda (‘ain), dan hal semacam itu tidak dibolehkan dalam akad sewa, sebagaimana buah kurma. Dan seharusnya pembeli tidak diperbolehkan mengembalikan rumah karena cacat setelah meminum air tersebut, sebagaimana tidak boleh mengembalikan pohon kurma setelah memakan buahnya.
Berdasarkan pendapat ini, air tidak termasuk dalam jual beli rumah, hanya saja pembeli lebih berhak terhadapnya karena ia memegang kekuasaan atas rumah tersebut.
وقال أبو علي بن أبي هريرة: هو مملوك لمالك الدار وهو المنصوص في القديم وفي كتاب حرملة لأنه من نماء الأرض فكان لمالك الأرض كالحشيش فإذا باع الدار فإن الماء الظاهر للبائع لايدخل في بيع الدار من غير شرط وما يظهر بعد العقد فهو للمشتري فعلى هذا لا يصح البيع حتى يشترط أن الظاهر من الماء للمشتري لأنه إذا لم يشترط اختلط ماء البائع بماء المشتري فينفسخ البيع وإن كان في الأرض معدن باطن كمعدن الذهب والفضة دخل في البيع لأنه من أجزاء الأرض وإن كان معدناً ظاهراً كالنفط والقار فهو كالماء المملوك في قول أبي علي بن أبي هريرة وغير مملوك في قول أبي إسحاق والحكم في دخوله في البيع على ما بيناه في الماء وإن باع أرضاً وفيها ركاز أو حجارة مدفونة لم تدخل في البيع لأنها ليست من أجزاء الأرض ولا هي متصلة بها فلم تدخل في بيعها.
Dan Abu ‘Ali bin Abī Hurairah berkata: air itu dimiliki oleh pemilik rumah, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam qaul qadīm dan dalam Kitāb Ḥarmalah, karena ia termasuk hasil perkembangan dari tanah, maka ia menjadi milik pemilik tanah sebagaimana rumput.
Jika ia menjual rumah, maka air yang tampak (sebelum akad) adalah milik penjual dan tidak termasuk dalam jual beli rumah kecuali dengan syarat. Sedangkan air yang muncul setelah akad, maka menjadi milik pembeli. Maka, menurut pendapat ini, jual beli tidak sah kecuali disyaratkan bahwa air yang tampak menjadi milik pembeli. Karena jika tidak disyaratkan, maka air milik penjual akan bercampur dengan air milik pembeli, sehingga jual beli menjadi batal.
Jika di dalam tanah terdapat tambang tersembunyi seperti tambang emas dan perak, maka ia termasuk dalam jual beli karena ia bagian dari tanah. Tetapi jika tambangnya tampak di permukaan seperti minyak bumi (nafṭ) dan ter (qār), maka hukumnya seperti air: dimiliki menurut pendapat Abu ‘Ali bin Abī Hurairah, dan tidak dimiliki menurut pendapat Abū Isḥāq. Dan hukum apakah ia masuk dalam jual beli mengikuti penjelasan sebelumnya tentang air.
Jika seseorang menjual tanah dan di dalamnya terdapat rikāz (barang peninggalan kuno) atau batu yang tertanam, maka keduanya tidak termasuk dalam jual beli, karena keduanya bukan bagian dari tanah dan tidak pula melekat padanya, maka tidak termasuk dalam jual belinya.
فصل: وإن باع نخلاً وعليها طلع غير مؤبر دخل في بيع النخل وإن كان مؤبراً لم يدخل لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من باع نخلاً بعد أن تؤبر فثمرتها للبائع إلا أن يشترطها المبتاع” فجعلها للبائع بشرط أن تكون مؤبرة فدل على أنها إذا لم تكن مؤبرة فهي للمبتاع ولأن ثمرة النخل كالحمل لأنه نماء كامن لظهوره غاية كالحمل ثم الحمل الكامن يتبع الأصل في البيع والحمل الظاهر لا يتبع فكذلك الثمرة قال الشافعي رحمه الله: وما شقق في معنى ما أبر لأنه نماء ظاهر فهو كالمؤبر
PASAL: Jika seseorang menjual pohon kurma yang masih terdapat ṭal‘ (bakal buah) yang belum dikawinkan (ghair muʾabbar), maka ṭal‘ tersebut masuk dalam jual beli pohon kurma. Namun jika telah dikawinkan (muʾabbar), maka tidak termasuk, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa menjual pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik penjual kecuali jika pembeli menyaratkannya.”
Beliau menetapkan buahnya untuk penjual dengan syarat telah dikawinkan, yang menunjukkan bahwa jika belum dikawinkan, maka buahnya menjadi milik pembeli.
Dan karena buah kurma itu seperti janin, yaitu pertumbuhan tersembunyi yang memiliki batas waktu kemunculan, seperti janin. Maka janin yang masih tersembunyi mengikuti induknya dalam jual beli, sedangkan janin yang telah tampak tidak mengikutinya. Maka demikian pula buah.
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: segala yang diragukan apakah termasuk makna muʾabbar atau tidak, maka ia dihukumi sebagai namāʾ yang tampak, sehingga statusnya seperti buah yang telah dikawinkan.
وإن باع فحالاً وعليها طلع لم يتشقق ففيه وجهان: أحدهما أنه لا يدخل في بيع الأصل لأن جميع الطلع مقصود مأكول وهو ظاهر فلم يتبع الأصل كالتين والثاني أنه يدخل في بيع الأصل وهو الصحيح لأنه طلع لم يتشقق فدخل في بيع الأصل كطلع الإناث وما قاله الأول لا يصح لأن المقصود ما فيه وهو الكش الذي تلقح به الإناث وهو غير ظاهر فدخل في بيع الأصل كطلع الإناث.
Jika seseorang menjual pohon fahl (pohon kurma jantan) yang terdapat padanya ṭal‘ (bakal serbuk sari) yang belum merekah, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, ṭal‘ tersebut tidak termasuk dalam jual beli pohon, karena seluruh ṭal‘ itu adalah sesuatu yang dimaksudkan untuk dimakan, dan ia tampak, maka tidak mengikuti pokok (asal) dalam jual beli, sebagaimana buah tin.
Pendapat kedua, ṭal‘ tersebut termasuk dalam jual beli pohon—dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ—karena ṭal‘ itu belum merekah, maka ia termasuk dalam jual beli pokok, sebagaimana ṭal‘ pada pohon kurma betina.
Dan apa yang dikatakan oleh pendapat pertama tidak sah, karena yang dimaksud sebenarnya adalah bagian dalamnya, yaitu kashsh (serbuk sari) yang digunakan untuk membuahi pohon betina, dan itu tidak tampak, maka ia masuk dalam jual beli pokok sebagaimana ṭal‘ pada pohon betina.
فصل: وإن باع حائطاً أبر بعضه دون بعض جعل الجميع كالمؤبر فيكون الجميع للبائع لأنا لو قلنا إن ما أبر للبائع وما لم يؤبر للمشتري أدى إلى سوء المشاركة واختلاف الأيدي فجعل مالم يؤبر تبعاً للمؤبر لأن الباطن يتبع الظاهر ولم نجعل ما أبر تابعاً لما لم يؤبر لأن الظاهر لا يتبع الباطن ولهذا جعلنا أساس الدار تابعاً لظاهرها في تصحيح البيع ولم نجعل ظاهرها تابعاً للباطن في إفساد البيع وقال أبو على بن خيران: إن كان نوعاً واحداً جعل غير المؤبر تابعاً للمؤبر وإن كان نوعين لم يجعل مالم يؤبر من أحد النوعين تابعاً للمؤبر من نوع آخر لأن النوع الواحد يتقارب ظهوره والنوعان يختلف ظهورهما والمذهب الأول
PASAL: Jika seseorang menjual kebun kurma (ḥā’iṭ) dan sebagian pohonnya telah dikawinkan (muʾabbar) sementara sebagian lainnya belum, maka seluruhnya dianggap seperti telah dikawinkan, sehingga buah dari semua pohon menjadi milik penjual. Karena jika dikatakan bahwa buah yang telah dikawinkan milik penjual dan yang belum dikawinkan milik pembeli, hal itu akan menimbulkan keburukan dalam kepemilikan bersama dan perbedaan dalam penguasaan.
Maka, yang belum dikawinkan dijadikan sebagai pengikut yang telah dikawinkan, karena bagian dalam mengikuti bagian luar. Dan kami tidak menjadikan yang telah dikawinkan sebagai pengikut dari yang belum dikawinkan, karena bagian luar tidak mengikuti bagian dalam. Oleh karena itu pula kami menjadikan pondasi rumah sebagai pengikut dari bagian luarnya dalam hal sahnya jual beli, dan tidak menjadikan bagian luarnya sebagai pengikut dari bagian dalamnya dalam hal rusaknya jual beli.
Abū ‘Alī bin Khirān berkata: jika jenisnya satu, maka yang belum dikawinkan dijadikan pengikut dari yang telah dikawinkan. Namun jika jenisnya berbeda, maka ṭal‘ yang belum dikawinkan dari salah satu jenis tidak dijadikan pengikut dari yang telah dikawinkan dari jenis lain, karena waktu kemunculan dari satu jenis itu berdekatan, sedangkan antara dua jenis berbeda waktu kemunculannya.
Dan madzhab yang kuat adalah pendapat pertama.
لما ذكرناه من سوء المشاركة واختلاف الأيدي وذلك يوجد في النوعين كما يوجد في النوع الواحد وأما إذا كان له حائطان فأبر أحدهما دون الآخر وباعهما فإن المؤبر للبائع وما لم يؤبر للمشتري ولا يتبع أحدهما الآخر لأن انفراد كل واحدة منهما بثمرة حائط لا يؤدي إلى سوء المشاركة واختلاف الأيدي فاعتبر كل واحد منهما بنفسه وإن كان له حائط أطلع بعضه دون بعض فأبر المطلع ثم باع الحائط ثم أطلع الباقي ففيه وجهان: قال أبو علي بن أبي هريرة: ما أطلع في ملك المشتري لا يتبع المؤبر بل يكون للمشتري لأنه حادث في ملكه فلا يصير للبائع
Karena alasan yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu keburukan dalam kepemilikan bersama dan perbedaan penguasaan—dan hal ini terjadi baik pada dua pohon yang sejenis maupun yang berbeda jenis.
Adapun jika seseorang memiliki dua kebun (ḥā’iṭān), lalu mengawinkan salah satunya tanpa mengawinkan yang lain, kemudian menjual keduanya, maka buah dari pohon yang telah dikawinkan menjadi milik penjual, dan buah dari pohon yang belum dikawinkan menjadi milik pembeli. Sebab, masing-masing dari dua kebun itu memiliki buah secara terpisah, dan tidak menimbulkan keburukan dalam kepemilikan bersama atau perbedaan dalam penguasaan, maka setiap kebun dipertimbangkan secara terpisah.
Jika ia memiliki satu kebun, lalu sebagian pohonnya lebih dahulu mengeluarkan ṭal‘, kemudian ia mengawinkan yang telah keluar ṭal‘-nya, lalu menjual seluruh kebun tersebut, kemudian ṭal‘ muncul pada pohon-pohon lainnya setelah akad, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Abū ‘Alī bin Abī Hurairah berkata: ṭal‘ yang muncul setelah akad di dalam kepemilikan pembeli tidak mengikuti pohon yang telah dikawinkan, tetapi menjadi milik pembeli karena kemunculannya terjadi setelah akad dan berada dalam kepemilikan pembeli, maka tidak berpindah menjadi milik penjual.
والثاني أنه يتبع المؤبر فيكون للبائع لأنه من ثمرة عامه فجعل تابعاً له كالطلع الظاهر في حال العقد فإن أبر بعض الحائط دون بعض ثم أفرد الذي لم يؤبر بالبيع ففي طلعه وجهان: أحدهما أنه للبائع لأنا جعلناه في الحكم كالمؤبر بدليل أنه لو باع الجميع كان للبائع فصار كما لو أفرد بعض المؤبر بالبيع والثاني أنه للمشتري لأنه إنما جعل كالمؤبر إذا بيع معه فيصير تابعاً له فأما إذا أفرده فليس بتابع للمؤبر فتبع أصله.
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa ṭal‘ yang muncul setelah akad mengikuti pohon yang telah dikawinkan, sehingga menjadi milik penjual, karena ia termasuk buah dari tahun yang sama, maka dijadikan sebagai pengikutnya, sebagaimana ṭal‘ yang tampak pada saat akad.
Jika seseorang mengawinkan sebagian pohon dari kebun, lalu menjual secara terpisah pohon-pohon yang belum dikawinkan, maka terdapat dua pendapat mengenai ṭal‘-nya:
Pendapat pertama: ṭal‘ tersebut milik penjual, karena kita telah menetapkannya secara hukum seperti pohon yang telah dikawinkan—sebagaimana ditunjukkan oleh kenyataan bahwa jika seluruh kebun dijual sekaligus, maka ṭal‘-nya menjadi milik penjual. Maka jika sebagian pohon yang telah dikawinkan dijual secara terpisah, ṭal‘-nya tetap menjadi milik penjual.
Pendapat kedua: ṭal‘ tersebut milik pembeli, karena pohon tersebut hanya disamakan dengan yang telah dikawinkan apabila dijual bersamaan dengannya, sehingga ia menjadi pengikutnya. Adapun jika dijual secara terpisah, maka ia tidak lagi dianggap sebagai pengikut, maka ia mengikuti pokoknya (asal pohonnya), yaitu milik pembeli.
فصل: قال الشافعي رحمه الله والكرسف إذا بيع أصله كالنخل وأراد به كرسف الحجاز فإنه شجر يحمل في كل سنة وتخرج ثمرته في كمام وتتشقق عنه كالنخل فإن باع وقد تشقق جوزه فهو للبائع وإن لم يتشقق فهو للمشتري وإن تشقق بعضه دون بعض جعل الجميع للبائع كالنخل وأما ما لا يحمل إلا سنة وهو قطن العراق وخراسان فهو كالزرع ويجيء حكمه إن شاء الله تعالى.
PASAL: Imam Syafi‘i rahimahullah berkata, al-kursuf apabila dijual pokoknya seperti pohon kurma, dan yang dimaksud adalah kursuf Hijaz, yaitu pohon yang berbuah setiap tahun dan buahnya keluar dalam kelopak lalu pecah darinya seperti pohon kurma, maka apabila dijual dalam keadaan kelopaknya telah pecah, buahnya menjadi milik penjual. Jika belum pecah, maka menjadi milik pembeli. Jika sebagian pecah dan sebagian belum, maka seluruhnya menjadi milik penjual seperti halnya kurma. Adapun kursuf yang tidak berbuah kecuali sekali dalam setahun, yaitu kapas Irak dan Khurasan, maka hukumnya seperti tanaman, dan akan dijelaskan hukumnya insya Allah Ta‘ala.
فصل: وإن باع شجراً غير النخل والكرسف لم يخل إما أن يقصد منه الورد أو الورق أو الثمرة فإن كان يقصد منه الورد فإن كان ورده يخرج في كمام ثم ينفتح منه كالورد فهو كالنخيل فإن كان في الكمام تبع الأصل في البيع كالطلع الذي لم يؤبر وإن كان خارجاً من الكمام لم يتبع الأصل كالطلع المؤبر وإن كان لا كمام له كالياسمين كان ماظهر منه للبائع وما لم يظهر للمشتري
PASAL: Jika seseorang menjual pohon selain pohon kurma dan kursuf, maka tidak lepas dari kemungkinan bahwa tujuan dari pohon tersebut adalah bunganya, daunnya, atau buahnya. Jika yang dimaksud adalah bunganya, lalu bunganya itu keluar dari kelopak dan kemudian terbuka darinya seperti bunga mawar, maka hukumnya seperti pohon kurma. Jika masih berada dalam kelopak, maka ia mengikuti pokok dalam penjualan, seperti ṭal‘ yang belum dibuahi. Jika telah keluar dari kelopak, maka ia tidak mengikuti pokok, seperti ṭal‘ yang telah dibuahi. Dan jika tidak memiliki kelopak seperti yāsamīn (melati), maka bunga yang sudah tampak menjadi milik penjual, sedangkan yang belum tampak menjadi milik pembeli.
وإن كان مما يقصد منه الورق كالتوت ففيه وجهان: أحدهما أنه إن لم ينفتح فهو للمشتري وإن تفتح فهو للبائع لأن الورق من هذا كالثمر من سائر الأشجار والثاني أنه للمشتري تفتح أو لم يتفتح لأنه بمنزلة الأغصان من سائر الأشجار وليس كالثمر لأن ثمرة التوت ما يؤكل منه وإن كان مما يقصد منه الثمرة فهو على أربعة أضرب: أحدها ما تخرج ثمرته ظاهرة من غير كمام كالتين والعنب فما ظهر منه فهو للبائع لا يدخل في البيع من غير شرط وما يظهر بعد العقد فهو للمشتري لأن الظاهر منه كالطلع المؤبر والباطن منه كالطلع الذي لم يؤبر
Dan jika termasuk yang dimaksudkan daunnya seperti pohon murbai, maka ada dua wajah:
Pertama, jika belum terbuka maka menjadi milik pembeli, dan jika sudah terbuka maka milik penjual, karena daun pada pohon ini seperti buah pada pohon-pohon lainnya.
Kedua, bahwa daun tersebut milik pembeli, baik telah terbuka maupun belum, karena ia sebanding dengan ranting pada pohon-pohon lain dan tidak seperti buah, karena buah murbai adalah yang dimakan darinya.
Dan jika termasuk yang dimaksudkan adalah buahnya, maka terbagi menjadi empat macam:
Pertama, buah yang keluar tampak dari selain kummām seperti buah tin dan anggur, maka yang sudah tampak darinya menjadi milik penjual, tidak termasuk dalam jual beli tanpa adanya syarat, dan yang tampak setelah akad menjadi milik pembeli, karena yang tampak darinya seperti ṭal‘ yang telah dibuahi, sedangkan yang belum tampak seperti ṭal‘ yang belum dibuahi.
والثاني ما يخرج في كمام لا يزال عنه إلا عند الأكل كالرمان والموز فهو للبائع لأن كمامه من مصلحته فهو كأجزاء الثمرة والثالث ما يخرج وعليه قشرتان كالجوز واللوز والرانج فالمنصوص أنه كالرمان لا يدخل في بيع الأصل لأن قشره لا يتشقق عنه كما لا يتشقق قشر الرمان ومن أصحابنا من قال: هو كثمرة النخل الذي لم يؤبر لأنه لا يترك في القشر الأعلى كما لا تترك الثمرة في الطلع والرابع ما يكون في نور يتناثر عنه النور كالتفاح والكمثري فاختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق والقاضي أبو حامد: هو كثمرة النخل إن تناثر عنه النور فهو للبائع وإن لم يتناثر عنه فهو للمشتري وهو ظاهر كتشقق الطلع عن الثمرة فكان في الحكم مثلها وقال الشيخ أبو حامد الأسفرايني: هو للبائع وإن لم يتناثر النور عنها لأن الثمرة قد ظهرت بالخروج من الشجر واستتارها بالقشر الأبيض فكذلك هذه الثمرة للبائع مع استتارها بالنور.
Kedua, adalah buah yang keluar dalam kummām yang tidak terlepas darinya kecuali saat dimakan, seperti delima dan pisang, maka itu milik penjual karena kummām-nya termasuk bagian yang menjaga buah, maka dihukumi seperti bagian dari buah itu sendiri.
Ketiga, adalah yang keluar dengan dua kulit seperti kenari, almond, dan rānaj, maka pendapat yang dinyatakan (oleh imam) adalah seperti delima, tidak termasuk dalam jual beli pokok pohon, karena kulitnya tidak terbelah sebagaimana kulit delima tidak terbelah. Sebagian dari sahabat kami mengatakan: ia seperti buah kurma yang belum dibuahi, karena tidak dibiarkan dalam kulit bagian atas, sebagaimana buah tidak dibiarkan dalam ṭal‘.
Keempat, adalah buah yang muncul pada bunga, kemudian bunga itu luruh, seperti apel dan pir. Maka para sahabat kami berselisih pendapat:
Abū Isḥāq dan al-Qāḍī Abū Ḥāmid berkata: ia seperti buah kurma, jika bunganya telah luruh maka menjadi milik penjual, dan jika belum luruh maka milik pembeli, karena hal itu tampak seperti pecahnya ṭal‘ dari buah, maka dihukumi seperti buah kurma.
Sedangkan al-Syaikh Abū Ḥāmid al-Asfarāyīnī berkata: itu milik penjual meskipun bunganya belum luruh, karena buah telah tampak dengan keluarnya dari pohon, dan tersembunyinya di balik kelopak putih, maka demikian pula buah ini milik penjual meskipun masih tersembunyi dalam bunganya.
فصل: وإن باع أرضاً وفيها نبات غير الشجر فإن كان مما له أصل يحمل مرة بعد أخرى كالرطبة والبنفسج والنرجس والنعنع والهندبا والبطيخ والقثاء دخل الأصل في البيع وما ظهر منه فهو للبائع وما لم يظهر فهو للمشتري كالأشجار وإن كان مالا يحمل إلا مرة كالحنطة والشعير لم يدخل في بيع لأصل لأنه لماء ظاهر لا يراد للبقاء فلم يدخل في بيع الأصل كالطلع المؤبر وفي بيع الأرض طريقان:
PASAL: Dan jika seseorang menjual tanah yang di atasnya tumbuh-tumbuhan selain pohon, maka jika termasuk tanaman yang memiliki pokok dan dapat tumbuh kembali berulang kali seperti ruṭbah, banafsaj, narjis, na‘na‘, hindibā’, baṭṭīkh, dan qiṯṯā’, maka pokok tanaman tersebut masuk dalam jual beli, dan apa yang telah tampak darinya menjadi milik penjual, sedangkan yang belum tampak menjadi milik pembeli, sebagaimana hukum pada pohon-pohon.
Namun jika termasuk tanaman yang hanya tumbuh sekali saja seperti gandum dan jelai, maka tidak masuk dalam jual beli tanah karena ia adalah sesuatu yang tampak dan tidak dimaksudkan untuk menetap, maka tidak termasuk dalam jual beli tanah sebagaimana ṭal‘ yang telah dibuahi.
Dan dalam jual beli tanah ini terdapat dua ṭarīq (jalan pendapat):
من أصحابنا من قال فيه قولان لأنها في يد البائع إلى أن يحصد الزرع فكان في بيعها قولان كالأرض المستأجرة ومنهم من قال يصح بيع الأرض قولاً واحداً لأن المبيع في يد المشتري وإنما يدخل البائع للسقي أو الحصاد فجاز بيعه قولاً واحداً كالأمة المزوجة وإن باع أرضاً فيها بذر لم يدخل البذر لأنه مودع في الأرض فلم يدخل في بيعها كالركاز فإن باع الأرض مع البذر ففيه وجهان: أحدهما أنه يصح تبعاً للأرض والثاني لايصح وهو المذهب لأنه لا يجوز بيعه منفرداً فلم يجز بيعه مع الأرض.
Sebagian dari sahabat kami berkata: dalam hal ini ada dua qawl, karena tanah masih berada di tangan penjual hingga tanaman dipanen, maka ada dua pendapat dalam jual belinya sebagaimana pada tanah yang disewakan.
Dan sebagian dari mereka berkata: sah jual beli tanah itu dengan satu pendapat saja, karena barang yang dijual berada di tangan pembeli, sedangkan penjual hanya masuk ke tanah itu untuk menyiram atau memanen, maka sah dijual dengan satu pendapat, seperti budak perempuan yang bersuami.
Jika seseorang menjual tanah yang di dalamnya terdapat benih, maka benih itu tidak termasuk dalam jual beli, karena ia dititipkan di dalam tanah, maka tidak masuk dalam jual beli tanah, sebagaimana rikāz.
Jika ia menjual tanah beserta benihnya, maka dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, sah sebagai pengikut (tanah).
Kedua, tidak sah — dan inilah al-madzhab — karena tidak boleh menjualnya secara terpisah, maka tidak boleh pula menjualnya bersama tanah.
فصل: إذا باع أصلاً وعليه ثمرة وعليه ثمرة للبائع لم يكلف قطع الثمرة إلى أوان الجداد فإن كان مما يقطع بسراً كالبسر الحيسواني والقرشي لم يكلف قطعه إلى أن يصير بسراً وإن كان مما لا يقطع إلا رطباً لم يكلف قطعه إلى أن يصير رطباً لأن نقل المبيع على حسب العادة ولهذا إذا اشترى بالليل متاعاً لم يكلف نقله حتى يصبح وإن اشتراه في المطر لم يكلف نقله حتى يسكن المطر والعادة في قطع الثمار ما ذكرناه فلا يكلف القطع قبله.
PASAL: Jika seseorang menjual pokok (pohon) yang terdapat buah di atasnya, dan buah itu milik penjual, maka penjual tidak dibebani untuk memetik buah tersebut sebelum waktunya panen.
Jika buah tersebut termasuk yang dipetik dalam keadaan busr seperti busr ḥaysawānī dan qurasyī, maka penjual tidak dibebani memetiknya hingga menjadi busr.
Dan jika termasuk yang tidak dipetik kecuali dalam keadaan ruṭab, maka ia tidak dibebani memetiknya hingga menjadi ruṭab, karena pemindahan barang dagangan mengikuti kebiasaan.
Karena itu, jika seseorang membeli barang di malam hari, ia tidak dibebani memindahkannya sampai pagi. Dan jika ia membelinya saat hujan, tidak dibebani memindahkannya sampai hujan reda.
Adapun kebiasaan dalam memetik buah adalah sebagaimana telah disebutkan, maka tidak dibebani memetiknya sebelum itu.
فصل: فإن أصاب النخل عطش وخاف أن تشرب الثمرة الماء من أصل النخل فيهلك ففيه قولان: أحدهما لا يكلف البائع قطع الثمرة لأن المشتري دخل في العقد على أن يترك الثمار إلى الجداد فلزمه تركه والثاني أنه يكلف قطعه لأن المشتري إنما رضي بذلك إذا لم يضر به فإذا أضر به لم يلزمه تركه فإن احتاج أحدهما إلى سقي ماله ولم يكن على الآخر ضرر جاز له أن يسقيه لأنه إصلاح لما له من غير إضرار بأحد فجاز وإن كان على الآخر ضرر في السقي وتشاحا ففيه وجهان: قال أبو إسحاق: يفسخ العقد لأنه ليس أحدهما بأولى من الآخر في الأضرار فوجب أن يفسخ وقال أبو علي بن أبي هريرة يجبر الممتنع منهما لأنه حين دخل في العقد رضي بدخول الضرر عليه لأنه يعلم أنه لا بد من السقي ويجب أجرة السقي على من يسقي لأن منفعته تحصل له.
PASAL: Jika pohon kurma terkena kekeringan dan dikhawatirkan buahnya akan menyedot air dari pokok kurma sehingga merusaknya, maka dalam hal ini ada dua qawl:
Pertama, penjual tidak dibebani untuk memetik buah, karena pembeli telah masuk dalam akad dengan kerelaan membiarkan buah hingga masa panen, maka wajib baginya untuk membiarkannya.
Kedua, penjual dibebani memetik buah, karena pembeli hanya rela dengan ketentuan tersebut jika tidak membahayakan dirinya. Maka, jika hal itu membahayakan, ia tidak wajib membiarkannya.
Jika salah satu dari keduanya membutuhkan untuk menyiram miliknya, dan hal itu tidak menimbulkan bahaya bagi pihak lain, maka boleh baginya menyiraminya, karena itu termasuk memperbaiki miliknya tanpa membahayakan orang lain, maka dibolehkan.
Namun jika penyiraman itu menimbulkan bahaya bagi pihak lain dan keduanya saling bersikeras, maka dalam hal ini ada dua wajah:
Abū Isḥāq berkata: akad dibatalkan, karena tidak ada salah satu dari keduanya yang lebih berhak untuk membahayakan pihak lain, maka wajib dibatalkan.
Abū ‘Alī bin Abī Hurairah berkata: pihak yang menolak dipaksa (untuk menerima), karena ketika masuk ke dalam akad ia telah rela dengan kemungkinan adanya bahaya, sebab ia mengetahui bahwa penyiraman pasti akan terjadi.
Dan wajib memberikan upah penyiraman kepada pihak yang menyirami, karena manfaatnya kembali kepadanya.
فصل: ولا يجوز بيع الثمار والزرع قبل بدو الصلاح من غير شرط القطع لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الثمار حتى يبدو صلاحها وروى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع ثمرة النخل حتى تزهى والسنبل والزرع حتى يبيض ويأمن العاهة ولأن المبيع إنما ينقل على حسب العادة ولهذا لو اشترى بالليل متاعاً لم يكلف نقله حتى يصبح والعادة في الثمار تركها إلى أوان الجداد فإذا باعها قبل بدو الصلاح لم يأمن أن يصيبها عاهة فتتلف وذلك غرر من غير حاجة فلم يجز وإن باعها بشرط القطع جاز لأنه يأخذه قبل أن يتلف فيأمن الغرر وإن باع الثمرة مع الأصل والزرع مع الأرض قبل بدو الصلاح جاز
PASAL: Tidak boleh menjual buah-buahan dan tanaman sebelum tampak tanda-tanda kematangannya tanpa syarat untuk dipetik, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW melarang menjual buah-buahan sebelum tampak baiknya. Dan diriwayatkan pula dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW melarang menjual buah kurma sebelum berwarna kuning kemerah-merahan (tuzhihī), dan bulir serta tanaman hingga memutih dan aman dari hama.
Hal ini karena barang yang dijual dipindahkan sesuai dengan kebiasaan, oleh karena itu jika seseorang membeli barang di malam hari maka tidak dibebani memindahkannya hingga pagi. Dan kebiasaan dalam buah-buahan adalah membiarkannya hingga masa panen. Maka jika dijual sebelum tampak tanda kematangan, tidak aman dari kemungkinan terkena hama lalu rusak, dan itu merupakan gharar tanpa adanya kebutuhan, maka tidak boleh.
Namun jika dijual dengan syarat harus segera dipetik, maka boleh, karena ia mengambilnya sebelum rusak, sehingga aman dari gharar.
Dan jika buah dijual bersama pokoknya, dan tanaman dijual bersama tanahnya, sebelum tampak tanda kematangan, maka hukumnya boleh.
لأن حكم الغرر مع الأصل كالغرر في الحمل يسقط حكمه إذا بيع مع الأصل وإن باع الثمرة ممن يملك الأصل أو الزرع ممن يملك الأرض ففيه وجهان: أحدهما يصح لأنه يحصل لمالك الأصل فجاز كما لو باعها مع الشجر والأرض والثاني لا يصح لأن أفرده بالبيع قبل بدو الصلاح من غير شرط القطع فأشبه إذا باعها من غير مالك الأصل وإن بدا صلاحها جاز بيعها بشرط القطع لحديث ابن عمر رضي الله عنه ولأنه إذا جاز بيعه بشرط القطع قبل بدو الصلاح فلأن يجوز بعد بدو الصلاح أولى ويجوز بيعها مطلقاً للخبر ولأنه أمن من العاهة فجاز بيعها مطلقاً كسائر الأموال ويجوز بيعها بشرط التبقية إلى الجداد للخبر ولأن إطلاق البيع يقتضي التبقية إلى أوان الجداد فإذا شرط التبقية فقد شرط ما يقتضيه الإطلاق فجاز.
Karena hukum gharar (ketidakjelasan) jika disertakan dengan pokok, hukumnya gugur, sebagaimana gharar pada janin yang gugur hukumnya jika dijual bersama induknya.
Dan jika seseorang menjual buah kepada orang yang memiliki pokok pohon, atau menjual tanaman kepada pemilik tanah, maka terdapat dua wajah:
Pertama, sah, karena berpindah kepada pemilik pokok, maka boleh sebagaimana jika dijual bersama pohon dan tanah.
Kedua, tidak sah, karena ia menjualnya secara terpisah sebelum tampak tanda kematangan tanpa syarat untuk dipetik, maka serupa dengan menjualnya kepada orang yang bukan pemilik pokok.
Dan jika telah tampak tanda kematangannya, maka boleh menjualnya dengan syarat untuk dipetik, berdasarkan hadis Ibnu ‘Umar RA, dan karena jika dibolehkan menjualnya dengan syarat dipetik sebelum tampak tanda kematangan, maka setelah tampak tanda kematangan tentu lebih layak untuk dibolehkan.
Dan boleh menjualnya secara mutlak (tanpa syarat) karena hadis, dan karena telah aman dari hama, maka boleh dijual secara mutlak seperti harta benda lainnya.
Dan boleh menjualnya dengan syarat tetap berada di tempatnya hingga masa panen, karena hadis, dan karena akad jual beli secara mutlak mengandung makna membiarkannya hingga masa panen. Maka jika disyaratkan untuk dibiarkan, berarti mensyaratkan sesuatu yang sudah dikandung oleh akad secara mutlak, maka diperbolehkan.
فصل: وبدو الصلاح في الثمار أن يطيب أكلها فإن كان رطباً أن يحمر أو يصفر وإن كان عنباً أسود بأن يتموه وإن كان أبيض بأن يرق ويحلو وإن كان زرعاً بأن يشتد وإن كان بطيخاً بأن يبدو فيه النضج وإن كان قثاء أن يكبر بحيث يؤخذ ويؤكل والدليل عليه ما روى أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الثمرة حتى تطعم فإن وجد بدو الصلاح في بعض الجنس من حائط جاز بيع ذلك الجنس كله في ذلك الحائط لأنا لو قلنا لا يجوز إلا فيما بدا صلاحه فيه أدى إلى المشقة والضرر بسوء المشاركة
PASAL: Permulaan tanda baik pada buah-buahan adalah jika telah enak dimakan. Jika berupa ruthab, maka ditandai dengan memerah atau menguning; jika berupa anggur hitam, maka dengan terlihat memar; jika anggur putih, maka dengan menjadi tipis dan manis; jika berupa tanaman, maka dengan menjadi keras; jika semangka, maka dengan tampaknya kematangan; jika mentimun, maka dengan membesar hingga dapat dipetik dan dimakan. Dalilnya adalah riwayat dari Anas RA bahwa Nabi SAW melarang menjual buah sebelum dapat dimakan. Maka jika terlihat permulaan tanda baik pada sebagian jenis buah dalam satu kebun, boleh menjual seluruh jenis itu dalam kebun tersebut. Karena jika dikatakan tidak boleh kecuali pada yang sudah tampak tanda baiknya, niscaya akan menimbulkan kesulitan dan kerugian karena buruknya sistem kepemilikan bersama.
ولا يجوز أن يبيع ما لم يبد فيه الصلاح من جنس آخر ولا ما لم يبد فيه الصلاح من ذلك الجنس من حائط آخر لأن المنع من ذلك لا يؤدي إلى الضرر بسوء المشاركة فإن بدا الصلاح في بعض الجنس في حائط فباع منه ما لم يبد فيه الصلاح مفرداً من غير شرط القطع ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنا جعلناه في حكم ما بدا فيه الصلاح فجاز إفراده بالبيع والثاني لا يجوز لأنه جعل في حكم ما بدا فيه الصلاح بيعاً لما بدا فيه الصلاح وما أجيز بيعه تبعاً لغيره لم يجز إفراده بالبيع كالحمل.
Dan tidak boleh menjual buah yang belum tampak tanda baiknya dari jenis lain, dan tidak pula yang belum tampak tanda baiknya dari jenis yang sama tetapi dari kebun lain, karena larangan terhadap hal itu tidak menyebabkan kerugian akibat buruknya sistem kepemilikan bersama. Maka jika telah tampak tanda baik pada sebagian jenis dalam satu kebun, lalu ia menjual bagian yang belum tampak tanda baiknya secara terpisah tanpa syarat pemotongan, terdapat dua wajah: pertama, boleh, karena kita telah menjadikannya dalam hukum yang telah tampak tanda baiknya, maka boleh dijual secara terpisah; kedua, tidak boleh, karena ia disamakan dengan yang telah tampak tanda baiknya hanya dalam hal penjualan apa yang telah tampak bersamanya, dan sesuatu yang dibolehkan penjualannya karena mengikuti yang lain tidak boleh dijual secara terpisah seperti janin.
فصل: إذا ابتاع زرعاً أو ثمرة بعد بدو الصلاح لم يكلف قطعه قبل أوان الحصاد والجداد لأن العادة فيها تركها إلى الحصاد والجداد فلم يكلف نقله قبله كما نقول فيمن اشترى متاعاً بالليل إنه لا يكلف نقله إلا بالنهار فإذا احتاجت الثمرة أو الزرع إلى السقي لزم البائع ذلك لأنه يجب عليه تسليمها في حال الجداد والحصاد وذلك لا يحصل إلا بالسقي فلزمه.
PASAL: Jika seseorang membeli tanaman atau buah setelah tampak tanda baiknya, maka ia tidak dibebani untuk memanennya sebelum waktu panen atau pemetikan, karena kebiasaan dalam hal itu adalah membiarkannya hingga waktu panen dan pemetikan, maka ia tidak dibebani untuk memindahkannya sebelumnya, sebagaimana dikatakan tentang orang yang membeli barang di malam hari bahwa ia tidak dibebani memindahkannya kecuali di siang hari. Jika buah atau tanaman tersebut membutuhkan penyiraman, maka kewajiban itu berada pada penjual, karena ia wajib menyerahkannya dalam keadaan layak dipanen atau dipetik, dan hal itu tidak tercapai kecuali dengan penyiraman, maka ia pun wajib melakukannya.
فصل: وإذا اشترى ثمرة على الشجر فلم يأخذ حتى حدث ثمرة أخرى واختلطت ولم تتميز أو اشترى حنطة فلم يقبض حتى انثالت عليها حنطة أخرى ففيه قولان: أحدهما ينفسخ البيع وهو الصحيح لأنه تعذر التسليم المستحق بالعقد فإن البائع لا يلزمه تسليم ما اختلط به من ماله فإن رضي البائع بتسليم ماله لم يلزم المشتري قبوله وإذا تعذر تسليم المعقود عليه بطل العقد كما لو تلف المبيع والثاني لا ينفسخ لأن المبيع باق وإنما انضاف إليه زيادة فصار كما لو باع عبداً فسمن أو شجرة فكبرت
PASAL: Jika seseorang membeli buah di atas pohon lalu belum mengambilnya hingga muncul buah lain yang bercampur dan tidak bisa dibedakan, atau membeli gandum lalu belum mengambilnya hingga tercampur dengan gandum lain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa jual beli batal, dan inilah yang shahih, karena telah terhalang penyerahan barang yang disepakati dalam akad, sebab penjual tidak wajib menyerahkan bagian yang bercampur dari hartanya. Jika penjual rela menyerahkan hartanya, tidak wajib bagi pembeli untuk menerimanya. Maka ketika penyerahan barang yang diakadkan terhalang, batal akadnya sebagaimana jika barang yang dijual itu rusak. Pendapat kedua menyatakan bahwa akad tidak batal, karena barang yang dijual masih ada, hanya saja ada tambahan padanya, maka keadaannya seperti orang yang menjual budak lalu budak itu menjadi gemuk, atau menjual pohon lalu pohon itu tumbuh besar.
فإن قلنا لا ينفسخ قلنا للبائع إن سمحت بحقك أقر العقد وإن لم تسمح فسخ العقد وإن اشترى شجرة عليها حمل للبائع فلم يأخذه حتى حدث حمل للمشتري واختلطت ولم تتميز ففيه طريقان: قال أبو علي بن خيران وأبو علي الطبري لا ينفسخ العقد قولاً واحداً بل يقال إن سمح أحد كما بترك حقه من الثمرة أقر العقد لأن المبيع هو الشجر ولم يختلط الشجر بغيره وإنما اختلط ما عليها من الثمرة والثمرة غير مبيعة فلم ينفسخ البيع كما لو اشترى داراً وفيها طعام للبائع وطعام للمشتري فاختلط أحد الطعامين بالآخر
Maka jika kita mengatakan bahwa akad tidak batal, maka dikatakan kepada penjual: jika engkau rela melepaskan hakmu, maka akad tetap berlaku, dan jika tidak rela, maka akad dibatalkan. Dan jika seseorang membeli pohon yang terdapat buah milik penjual di atasnya, lalu pembeli belum mengambil buah tersebut hingga muncul buah baru milik pembeli dan keduanya bercampur serta tidak bisa dibedakan, maka dalam hal ini terdapat dua cara pandang. Abu ‘Ali bin Khirān dan Abu ‘Ali ath-Thabari berkata: akad tidak batal menurut satu pendapat, melainkan dikatakan: jika salah satu pihak rela melepaskan haknya atas buah tersebut, maka akad tetap berlaku, karena yang dijual adalah pohonnya, dan pohon itu tidak bercampur dengan yang lain, hanya saja buah di atasnya yang bercampur, sedangkan buah tersebut bukan bagian dari yang dijual, maka akad tidak batal, sebagaimana jika seseorang membeli rumah dan di dalamnya terdapat makanan milik penjual dan makanan milik pembeli lalu salah satunya bercampur dengan yang lain.
فإن البيع لا ينفسخ في الدار وقال المزني وأكثر أصحابنا: إنها على قولين كالمسئلة قبلها لأن المقصود بالشجر هو الثمرة فكان اختلاطها كاختلاط المبيع وإن اشترى رطبة بشرط القطع فلم يقطع حتى زادت وطالت ففيه طريقان: أحدها أنه لا يبطل البيع قولاً واحداً بل يقال للبائع إن سمحت بحقك أقر العقد وإن لم تسمح فسخ العقد لأنه لم يختلط المبيع بغيره وإنما زاد المبيع في نفسه فصار كما لو اشترى عبداً صغيراً فكبر أو هزيلاً فسمن والثاني هو الصحيح أنه على قولين: أحدهما لا ينفسخ البيع والثاني ينفسخ ويخالف السمن والكبر في العبد فإن تلك الزيادة لا حكم لها ولهذا يجبر البائع على تسليم العبد مع السمن والكبر ولهذه الزيادة حكم ولهذا لا يجبر البائع على تسليمها فدل على الفرق بينهما.
Maka jual beli rumah tidak batal. Dan menurut al-Muzani serta mayoritas sahabat kami: kasus ini berada pada dua pendapat sebagaimana masalah sebelumnya, karena maksud dari pohon adalah buahnya, maka pencampuran buah disamakan dengan pencampuran barang yang dijual. Dan jika seseorang membeli ruthbah dengan syarat dipotong, lalu tidak dipotong hingga buah itu bertambah dan memanjang, maka dalam hal ini terdapat dua cara pandang:
Pertama, bahwa jual beli tidak batal menurut satu pendapat, melainkan dikatakan kepada penjual: jika engkau rela melepaskan hakmu, maka akad tetap berlaku, dan jika tidak rela, maka dibatalkan, karena barang yang dijual tidak bercampur dengan yang lain, tetapi hanya bertambah pada dirinya sendiri, maka hal itu seperti membeli budak kecil lalu menjadi besar, atau kurus lalu menjadi gemuk.
Pandangan kedua —dan inilah yang shahih— bahwa ada dua pendapat: pertama, jual beli tidak batal; kedua, batal. Dan hal ini berbeda dengan gemuk dan besar pada budak, karena pertambahan tersebut tidak dianggap, oleh sebab itu penjual dipaksa untuk menyerahkannya dalam keadaan gemuk atau besar. Sedangkan pertambahan ini memiliki konsekuensi hukum, oleh karena itu penjual tidak dipaksa untuk menyerahkannya, maka ini menunjukkan adanya perbedaan antara keduanya.
فصل: وإن كان له شجرة تحمل حملين فباع أحد الحملين بعد بدو الصلاح وهو يعلم أنه يحدث الحمل الآخر ويختلط به ولا يتميز فالبيع باطل وقال الربيع فيه قول آخر إن البيع يصح ولعله أخذه من أحد القولين فيمن باع جزة من الرطبة فلم يأخذ حتى حدث شيء آخر أن البيع يصح في أحد القولين والصحيح هو الأول لأنه باع ما لا يقدر على تسليمه لأن العادة فيها الترك فإذا ترك اختلط به غيره فتعذر التسليم بخلاف الرطبة فإنه باعها بشرط القطع فلا يتعذر التسليم.
PASAL: Jika seseorang memiliki pohon yang berbuah dua kali, lalu ia menjual salah satu dari dua buah itu setelah tampak tanda baiknya, padahal ia tahu bahwa buah yang lain akan tumbuh dan bercampur dengannya serta tidak dapat dibedakan, maka jual beli itu batal. Ar-Rabi‘ berkata bahwa dalam hal ini ada pendapat lain bahwa jual beli sah, dan kemungkinan ia mengambilnya dari salah satu dua pendapat dalam kasus seseorang menjual satu kali potong ruthbah lalu belum diambil hingga tumbuh yang lain, bahwa jual beli sah menurut salah satu pendapat.
Namun pendapat yang shahih adalah pendapat pertama, karena ia menjual sesuatu yang tidak mampu ia serahkan, sebab kebiasaannya adalah dibiarkan, dan jika dibiarkan akan bercampur dengan yang lain, sehingga penyerahannya menjadi mustahil. Berbeda dengan ruthbah, karena dijual dengan syarat dipotong, maka tidak mustahil penyerahannya.
باب بيع المصراة والرد بالعيب
إذا اشترى ناقة أو شاة أو بقرة مصراة ولم يعلم أنها مصراة ثم علم أنها مصراة فهو بالخيار بأن يمسك وبين أن يرد لما روى أبو هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا تصروا الإبل والغنم للبيع فمن ابتاعها بعد ذلك فهو بخير النظرين بعد أن يحلبها ثلاثاً إن رضيها أمسكها وإن سخطها ردها وصاعاً من تمر” وروى ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من ابتاع محفلة فهو بالخيار ثلاثة أيام فإن ردها رد معها مثل أو مثلي لبنها قمحاً” واختلف أصحابنا في وقت الرد فمنهم من قال يتقدر الخيار بثلاثة أيام فإن علم بالتصرية فيما دون الثلاث كان له الخيار في بقية الثلاث للسنة ومنهم من قال: إذا علم بالتصرية ثبت له الخيار على الفور فإن لم يرد سقط خياره لأنه خيار ثبت لنقص فكان على الفور كخيار الرد بالعيب.
BAB JUAL BELI HEWAN YANG DIIKAT SUSUNYA DAN PENGEMBALIAN KARENA CACAT
Jika seseorang membeli unta, kambing, atau sapi yang diikat susunya (muṣarrah) tanpa mengetahui bahwa hewan itu diikat, lalu kemudian ia mengetahui hal itu, maka ia berhak memilih antara tetap memilikinya atau mengembalikannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mengikat susu unta dan kambing untuk dijual. Barang siapa membelinya setelah itu, maka ia punya dua pilihan terbaik setelah memerahnya selama tiga hari. Jika ia rela, maka ia mempertahankannya. Jika tidak suka, maka ia mengembalikannya dengan satu ṣā‘ kurma.”
Dan Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa membeli hewan yang susunya penuh, maka ia berhak memilih selama tiga hari. Jika ia mengembalikannya, maka ia mengembalikannya bersama satu atau dua takaran susu dalam bentuk gandum.”
Ulama kami berbeda pendapat mengenai batas waktu pengembalian. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hak khiyār ini dibatasi selama tiga hari. Maka jika ia mengetahui adanya taṣriyyah (pengikatan susu) dalam waktu kurang dari tiga hari, ia berhak memilih dalam sisa waktu dari tiga hari tersebut sebagai bentuk mengikuti sunnah. Sebagian lain berpendapat: jika ia telah mengetahui adanya taṣriyyah, maka hak khiyār langsung berlaku, dan jika ia tidak segera mengembalikannya, maka haknya gugur. Karena ini adalah khiyār yang ditetapkan akibat adanya kekurangan, maka hukumnya seperti khiyār karena cacat, yaitu harus segera digunakan.
فصل: فإن اختار رد المصراة رد بدل اللبن الذي أخذه واختلفت الرواية فيه فروى أبو هريرة صاعاً من تمر وروى ابن عمر مثل أو مثلي لبنها قمحاً واختلف أصحابنا فيه فقال أبو العباس بن سريج: يرد في كل بلد من غالب قوته وحمل حديث أبو هريرة على من قوت بلده التمر وحديث ابن عمر على من قوت بلده القمح كما قال في زكاة الفطر صاعاً من تمر أو صاعاً من شعير وأراد التمر لمن قوته التمر والشعير لمن قوته الشعير وقال أبو إسحاق: الواجب صاع من تمر لحديث أبو هريرة وتأول حديث ابن عمر عليه إذا كان مثل لبنها من القمح أكثر قيمة من صاع من التمر فتطوع به وإن كان قيمة الصاع بقيمة الشاة أو أكثر ففيه وجهان:
PASAL: Jika ia memilih untuk mengembalikan al-muṣarrāh, maka ia mengembalikan pengganti susu yang telah diambilnya. Dalam hal ini terdapat perbedaan riwayat. Abu Hurairah meriwayatkan satu ṣā‘ kurma, sedangkan Ibn ‘Umar meriwayatkan seukuran atau dua kali lipat susunya berupa gandum. Para ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu al-‘Abbās bin Suraij berkata: yang dikembalikan di setiap negeri adalah dari makanan pokok mayoritasnya. Ia mengartikan hadits Abu Hurairah berlaku bagi orang yang makanan pokok negerinya adalah kurma, dan hadits Ibn ‘Umar berlaku bagi orang yang makanan pokok negerinya adalah gandum, sebagaimana dalam zakat fitri disebutkan satu ṣā‘ kurma atau satu ṣā‘ jelai, maksudnya kurma bagi yang makanan pokoknya kurma dan jelai bagi yang makanan pokoknya jelai.
Abu Ishaq berkata: yang wajib adalah satu ṣā‘ kurma, berdasarkan hadits Abu Hurairah. Adapun hadits Ibn ‘Umar ditakwilkan bahwa ia bersedekah dengan nilai yang setara atau lebih dari satu ṣā‘ kurma jika nilai gandum seukuran susunya lebih mahal. Namun jika nilai satu ṣā‘ itu setara dengan harga kambing atau bahkan lebih, maka terdapat dua pendapat:
قال أبو إسحاق: يجب عليه قيمة صاع بالحجاز لأنا لو أوجبنا صاعاً بقيمة الشاة حصل للبائع الشاة وبدلها فوجب قيمة الصاع بالحجاز لأنه هو الأصل ومن أصحابنا من يقول يلزمه الصاع وإن كان بقيمة الشاة أو أكثر ولا يؤدي إلى الجمع بين الشاة وبدلها لأن الصاع ليس ببدل عن الشاة وإنما هو بدل عن اللبن فجاز كما لو غصب عبداً فخصاه فإنه يرد العبد مع قيمته ولا يكون ذلك جمعاً بين العبد وقيمته لأن القيمة بدل عن العضو المتلف
Abu Ishaq berkata: wajib atasnya membayar nilai satu ṣā‘ menurut standar Hijaz, karena jika kami mewajibkan satu ṣā‘ dengan nilai setara harga kambing, maka penjual akan mendapatkan kambing dan gantinya sekaligus. Maka wajiblah nilai ṣā‘ menurut standar Hijaz, karena itulah asalnya.
Sebagian dari ulama mazhab kami berkata: yang wajib adalah satu ṣā‘ meskipun sebanding dengan harga kambing atau lebih, dan hal itu tidak menyebabkan penggabungan antara kambing dan gantinya, karena ṣā‘ bukanlah pengganti kambing, tetapi pengganti susu. Maka boleh saja, sebagaimana jika seseorang merampas seorang budak lalu mengebirinya, maka ia mengembalikan budak tersebut beserta nilai kerusakan organ yang dimutilasi, dan hal itu tidak dianggap sebagai penggabungan antara budak dan nilainya, karena nilai tersebut adalah ganti rugi atas anggota tubuh yang rusak.
وإن كان ما حلب من اللبن باقياً فأراد رده ففيه وجهان: قال أبو إسحاق: لا يجبر البائع على أخذه لأنه أصبح بالحلب ناقصاً لأنه يسرع إليه التغير فلا يجبر على أخذه ومن أصحابنا من قال يجبر لأن نقصانه حصل لمعنى يستعلم به العيب فلم يمنع الرد ولأنه لو لم يجز رده لنقصانه بالحلب فلم يجز إفراد الشاة بالرد لأنه إفراد بعض المعقود عليه بالرد فلما جاز ذلك ههنا وإن لم يجز في سائر المواضع جاز رد اللبن ههنا مع نقصانه بالحلب وإن لم يجز في سائر المواضع.
Jika susu yang telah diperah itu masih ada lalu ia ingin mengembalikannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Abu Ishaq berkata: penjual tidak dipaksa untuk menerimanya kembali karena dengan diperah, susu itu telah menjadi kurang nilainya, sebab ia cepat berubah, maka penjual tidak diwajibkan menerimanya.
Sebagian ulama mazhab kami berkata: penjual dipaksa menerimanya karena kekurangan itu terjadi karena sebab yang digunakan untuk mengetahui adanya cacat, maka hal itu tidak mencegah pengembalian. Dan karena jika tidak boleh mengembalikannya hanya karena berkurangnya nilai karena diperah, maka tidak boleh juga mengembalikan kambingnya saja, sebab itu berarti mengembalikan sebagian dari barang akad. Maka ketika hal itu diperbolehkan di sini meskipun tidak diperbolehkan di tempat lain, maka boleh juga mengembalikan susunya di sini meskipun berkurang karena diperah, walaupun tidak dibolehkan di tempat lain.
فصل: وإن اشترى جارية مصراة ففيه أربعة أوجه: أحدها أنه يردها ويرد معها صاعاً لأنه يقصد لبنها فثبت بالتدليس له فيه الخيار والصاع كالشاة والثاني أنه يردها لأن لبنها يقصد لتربية الولد ولم يسلم له ذلك فثبت له الرد ولا يرد بدله لأنه لا يباع ولا يقصد بالعوض والثالث لا يردها لأن الجارية في العادة لا يقصد في العادة إلا عينها دون لبنها والرابع لا يردها ويرجع بالأرش لأنه لا يمكن ردها مع عوض اللبن لأنه ليس للبنها عوض مقصود ولا يمكن رده من غير عوض لأنه يؤدي إلى إسقاط حق البائع من لبنها من غير بدل ولا يمكن إجبار المبتاع على إمساكها بالثمن المسمى لأنه لم يبذل الثمن إلا ليسلم له ما دلس به من اللبن فوجب أن يرجع على البائع بالأرش كما لو وجد بالمبيع عيباً وحدث عنده عيب.
PASAL: Jika seseorang membeli seorang budak perempuan yang muṣarrāh, maka dalam hal ini terdapat empat pendapat:
Pertama, ia mengembalikannya dan mengembalikan pula satu ṣā‘, karena ia membeli dengan tujuan mengambil susunya, maka dengan adanya tadlīs (rekayasa), ia berhak memilih, dan satu ṣā‘ sebagai ganti seperti halnya kambing.
Kedua, ia boleh mengembalikannya karena susunya dimaksudkan untuk menyusui anak, dan hal itu tidak terpenuhi, maka ia berhak mengembalikannya, namun tidak mengembalikan gantinya karena susu tidak diperjualbelikan dan tidak dimaksudkan untuk diganti.
Ketiga, tidak boleh mengembalikannya karena dalam kebiasaan, budak perempuan tidak dibeli untuk susunya, melainkan hanya karena dirinya.
Keempat, tidak mengembalikannya namun ia berhak meminta potongan harga (arasy), karena tidak mungkin mengembalikannya bersamaan dengan pengganti susunya, sebab susu tidak memiliki ganti yang dianggap. Dan tidak mungkin juga dikembalikan tanpa pengganti karena hal itu menyebabkan hak penjual atas susunya hilang tanpa ganti. Dan tidak mungkin juga memaksa pembeli untuk menahannya dengan harga yang telah disepakati, karena ia tidak menyerahkan harga kecuali untuk memperoleh susu yang ditipukan padanya, maka wajib baginya mengembalikan pada penjual dalam bentuk arasy, sebagaimana jika pembeli menemukan cacat pada barang yang dibeli dan cacat itu timbul setelah berada di tangannya.
فصل: وإن اشترى أتاناً مصراة فإن قلنا بقول الإصطخري إن لبنها طاهر ردها ورد معها بدل اللبن كالشاة وإن قلنا بالمنصوص إنه نجس ففيه وجهان: أحدهما أنه يردها ولا يرد بدل اللبن لأنه لا قيمة له فلا يقابل ببدل والثاني يمسكها ويأخذ الأرض لأنه لا يمكن ردها مع البدل لأنه لا بدل له ولا ردها من غير بدل لما فيه من إسقاط حق البائع من لبنها ولا إمساكها بالثمن لأنه لم يبذل الثمن إلا لتسلم له الأتان مع اللبن ولم تسلم فوجب أن تمسك ويأخذ الأرش.
PASAL: Jika seseorang membeli seekor keledai betina (atān) yang muṣarrāh, maka jika kita mengikuti pendapat al-Iṣṭakhrī bahwa susunya suci, maka ia mengembalikannya dan mengembalikan pula pengganti susu seperti pada kambing.
Namun jika kita mengikuti pendapat manṣūṣ bahwa susunya najis, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia mengembalikannya tanpa mengganti susunya, karena susu itu tidak memiliki nilai, maka tidak perlu diganti.
Kedua, ia menahannya dan mengambil arasy, karena tidak mungkin mengembalikannya beserta pengganti susunya karena susunya tidak ada gantinya, dan tidak mungkin pula mengembalikannya tanpa pengganti karena itu berarti menghilangkan hak penjual atas susunya tanpa ganti, dan tidak mungkin pula memaksanya untuk menahannya dengan harga yang telah disepakati karena ia tidak membayar harga itu kecuali agar ia memperoleh keledai beserta susunya, sedangkan itu tidak terpenuhi, maka wajib baginya menahannya dan mengambil arasy.
فصل: إذا ابتاع بشرط أن تحلب كل يوم خمسه أرطال ففيه وجهان بناء على القولين فيمن باع شاة شرط حملها: أحدهما لا يصح لأنه شرط مجهول فلم يصح والثاني أنه يصح لأنه يعلم بالعادة فصح شرطه فعلى هذا إذا لم تحلب المشروط فهو بالخيار بين الإمساك والرد.
PASAL: Jika seseorang membeli dengan syarat bahwa hewan tersebut diperah setiap hari sebanyak lima raṭl, maka terdapat dua pendapat yang dibangun atas dua pendapat dalam kasus seseorang menjual kambing dengan syarat bahwa kambing itu sedang bunting:
Pertama, akadnya tidak sah karena syarat tersebut tidak jelas, maka tidak sah.
Kedua, akadnya sah karena hal itu dapat diketahui berdasarkan kebiasaan, maka sah syaratnya. Berdasarkan pendapat ini, jika hewan tersebut tidak menghasilkan susu sesuai syarat, maka pembeli berhak memilih antara menahannya atau mengembalikannya.
فصل: إذا ابتاع جارية قد جعد شعرها ثم بان أنها سبطة الشعر أو سود شعرها ثم بان بياض شعرها أو حمر وجهها ثم بان صفرة وجهها ثبت له الرد لأنه تدليس بما يختلف به الثمن فثبت به الخيار كالتصرية وإن سبط شعرها ثم بان أنها جعدة ففيه وجهان: أحدهما لا خيار له لأن الجعدة أكمل وأكثر ثمناً والثاني أنه يثبت له الخيار لأنه قد تكون السبطة أحب إليه وأحسن عنده وهذا لا يصح لأنه اعتبار به وإنما الاعتبار بما يزيد في الثمن والجعدة أكثر ثمناً من السبطة وإن ابتاع صبرة ثم بان أنها كانت على صخرة أو بان أن باطنها دون ظاهرها في الجودة ثبت له الرد لما ذكرناه من العلة في المسألة قبلها.
PASAL: Jika seseorang membeli seorang budak perempuan yang rambutnya tampak keriting, lalu ternyata rambutnya lurus; atau rambutnya tampak hitam, lalu ternyata putih; atau wajahnya tampak kemerahan, lalu ternyata kekuningan — maka ia berhak mengembalikannya, karena itu termasuk tadlīs (tipuan) dalam hal yang memengaruhi harga, maka menetapkan hak khiyar sebagaimana taṣriyyah.
Jika rambutnya tampak lurus lalu ternyata keriting, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia tidak memiliki hak khiyar karena rambut keriting lebih sempurna dan lebih mahal harganya.
Kedua, ia berhak khiyar karena bisa jadi rambut lurus lebih disukai dan lebih indah menurutnya. Namun pendapat ini tidak sah, karena itu pertimbangan berdasarkan selera pribadi, sedangkan yang dijadikan pertimbangan adalah apa yang menyebabkan kenaikan harga, dan rambut keriting lebih mahal dari rambut lurus.
Jika ia membeli ṣubrah (tumpukan barang) lalu ternyata tumpukan itu berada di atas batu, atau ternyata bagian dalamnya kualitasnya lebih rendah dari bagian luarnya, maka ia berhak mengembalikannya, karena alasan yang telah disebutkan dalam masalah sebelumnya.
فصل: ومن ملك عيناً وعلم بها عيباً لم يجز أن يبيعها حتى يبين عيبها لما روى عقبة بن عامر رضي الله عنه قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: “المسلم أخو المسلم فلا يحل لمسلم باع من أخيه بيعاً يعلم فيه عيباً إلا بينه له” فإن علم غير المالك بالعيب لزمه أن يبين ذلك لمن يشتريه لما روى أبو سباع قال: اشتريت ناقة من دار واثلة بن الأسقع فلما خرجت بها أدركنا عقبة بن عامر فقال هل بين لك ما فيها؟ قلت: وما فيها إنها لسمينة ظاهرة الصحة فقال: أردت بها سفراً أم أردت بها لحماً قلت: أردت عليها الحج قال: إن بخفها نقباً قال صاحبها: أصلحك الله ما تريد إلى هذا تفسد علي قال: أني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “لا يحل لأحد يبيع شيئاً إلا بين ما فيه ولا يحل لمن يعلم ذلك إلا بينه” فإن باع ولم يبين العيب صح البيع لأن النبي صلى الله عليه وسلم صحح البيع في المصراة مع التدليس بالتصرية.
PASAL
Barang siapa memiliki suatu barang dan mengetahui adanya cacat padanya, maka tidak boleh menjualnya kecuali setelah menjelaskan cacat tersebut. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Uqbah bin ‘Āmir RA bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda: “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, maka tidak halal bagi seorang Muslim menjual kepada saudaranya suatu barang yang ia ketahui mengandung cacat kecuali ia menjelaskannya kepadanya.”
Jika yang mengetahui cacat tersebut bukanlah pemilik barang, maka ia wajib menjelaskannya kepada pembeli. Hal ini sebagaimana riwayat Abū Sabā‘ yang berkata: Aku membeli seekor unta dari rumah Wāṯilah bin al-Asqa‘, ketika aku membawanya keluar, kami bertemu ‘Uqbah bin ‘Āmir, lalu ia berkata: “Apakah telah dijelaskan kepadamu apa yang ada padanya?” Aku menjawab: “Apa yang ada padanya? Bukankah ia gemuk dan tampak sehat?” Ia bertanya: “Apakah engkau menginginkannya untuk perjalanan atau untuk daging?” Aku menjawab: “Aku membelinya untuk berhaji.” Maka ia berkata: “Sesungguhnya di telapak kakinya ada lubang.” Pemilik unta itu berkata: “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, apa yang engkau inginkan dengan hal ini, engkau malah merusak jual beliku.” Maka ‘Uqbah menjawab: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Tidak halal bagi seseorang menjual sesuatu kecuali ia menjelaskan apa yang ada padanya, dan tidak halal bagi orang yang mengetahui hal itu kecuali ia menjelaskannya.”
Namun, jika seseorang menjual barang tanpa menjelaskan cacatnya, maka jual belinya tetap sah, karena Nabi SAW mensahkan jual beli muṣarrāh meskipun terdapat unsur tadlīs (tipuan) dengan cara taṣrīyah (mengumpulkan susu agar terlihat banyak).
فصل: فإن لم يعلم بالعيب واشتراه ثم علم بالعيب فهو بالخيار بين أن يمسك وبين أن يرد لأنه بذل الثمن ليسلم له مبيع سليم ولم يسلم له ذلك فثبت له الرجوع بالثمن كما قلنا في المصراة فإن ابتاع شيئاً ولا عيب به ثم حدث به عيب في ملكه نظرت فإن كان حدث قبل القبض ثبت له الرد لأن المبيع مضمون على البائع فثبت له الرد بما يحدث فيه من العيب كما قبل العقد وإن حدث العيب بعد القبض نظرت فإن لم يستند إلى سبب قبل القبض لم يثبت له الرد لأنه دخل المبيع في ضمانه فلم يرد بالعيب الحادث وإن استند إلى ما قبل القبض بأن كان عبداً فسرق أو قطع يداً قبل القبض فقطعت يده بعد القبض ففيه وجهان: أحدهما أنه يرد وهو على قول أبي أسحق لأنه قطع بسبب كان قبل القبض فصار كما لو قطع قبل القبض والثاني أنه لا يرد وهو قول أبي علي بن أبي هريرة لأن القطع وجد في يد المشتري فلم يردكما لو لم يستند إلى سبب قبله.
PASAL
Jika pembeli tidak mengetahui adanya cacat lalu membelinya, kemudian ia mengetahui cacat tersebut, maka ia berhak memilih antara tetap memilikinya atau mengembalikannya. Karena ia telah menyerahkan harga agar memperoleh barang yang selamat dari cacat, namun ternyata tidak demikian, maka ia berhak mengembalikan barang dan menerima kembali harganya, sebagaimana halnya dalam kasus muṣarrāh.
Jika ia membeli suatu barang yang pada saat pembelian tidak terdapat cacat, lalu setelah itu terjadi cacat pada masa kepemilikannya, maka dilihat:
- Jika cacat itu terjadi sebelum menerima barang, maka ia berhak mengembalikannya, karena barang tersebut masih menjadi tanggungan penjual, maka cacat yang terjadi padanya menjadikan pembeli berhak untuk mengembalikannya, sebagaimana jika cacat terjadi sebelum akad.
- Jika cacat itu terjadi setelah penerimaan, maka dilihat lagi:
- Jika cacat itu tidak bersandar kepada sebab yang terjadi sebelum penerimaan, maka ia tidak berhak mengembalikannya, karena tanggungan atas barang tersebut sudah beralih kepada pembeli, sehingga cacat yang terjadi setelah itu tidak menjadi alasan untuk pengembalian.
- Namun jika cacat itu bersandar kepada sebab yang ada sebelum penerimaan, seperti budak yang mencuri atau melakukan tindakan yang menyebabkan tangannya dipotong sebelum penerimaan, lalu tangannya benar-benar dipotong setelah penerimaan, maka ada dua pendapat:
- Pertama, pembeli boleh mengembalikannya, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena pemotongan tersebut disebabkan oleh sesuatu yang terjadi sebelum penerimaan, maka statusnya seperti cacat yang terjadi sebelum penerimaan.
- Kedua, tidak boleh dikembalikan, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurayrah, karena pemotongan terjadi di tangan pembeli, maka tidak boleh dikembalikan, sebagaimana jika sebabnya terjadi setelah penerimaan.
فصل: إذا وجد المشتري بالمبيع عيباً لم يخل إما أن يكون المبيع باقياً على وجهه أو زاد أو نقص فإن كان باقياً على جهته وأراد الرد لم يؤخره فإن أخره من غير عذر سقط الخيار لأنه خيار ثبت بالشرع لدفع الضرر عن المال فكان على الفور كخيار الشفعة فإن كان المبيع دابة فساقها ليردها فركبها في الطريق أو علفها أو سقاها لم يسقط حقه من الرد لأنه لم يرض بالعيب ولم يوجد منه أكثر من الركوب والعلف والسقي وذلك حق له إلى أن يرد فلم يمنع الرد وله أن يرد بغير رضى البائع ومن غير حضوره لأنه رفع عقد جعل إليه فلا يعتبر فيه رضى صاحبه ولا حضوره كالطلاق فإن اشترى ثوباً بجارية فوجد بالثوب عيباً فوطيء الجارية ففيه وجهان: أحدهما أنه ينفسخ البيع كما ينفسخ البيع في مدة خيار الشرط بالوطء
PASAL: Jika pembeli mendapati pada barang yang dibeli suatu cacat, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah barang itu masih dalam kondisi semula, atau telah mengalami penambahan atau pengurangan. Jika barang masih dalam kondisinya semula dan ia ingin mengembalikannya, maka tidak boleh menunda-nunda; jika ia menunda tanpa uzur, gugurlah hak khiyar, karena khiyar ini ditetapkan syariat untuk mencegah kerugian harta, maka ia bersifat segera seperti khiyar syuf‘ah.
Jika barang yang dibeli adalah hewan tunggangan, lalu ia menggiringnya untuk dikembalikan, dan ia menungganginya di perjalanan atau memberinya makan atau minum, maka tidak gugur haknya untuk mengembalikan, karena ia belum ridha terhadap cacat tersebut dan tidak melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar menunggangi, memberi makan, dan minum, yang itu adalah haknya hingga ia mengembalikan, maka hal itu tidak mencegah pengembalian.
Ia berhak mengembalikannya tanpa ridha penjual dan tanpa kehadirannya, karena pengembalian itu adalah pembatalan akad yang diserahkan kepadanya, maka tidak disyaratkan adanya ridha dari pihak lain dan kehadirannya, seperti ṭalāq.
Jika ia membeli kain dengan imbalan seorang budak perempuan, lalu ia mendapati cacat pada kain tersebut dan telah menyetubuhi budak perempuan itu, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa jual beli tersebut menjadi batal sebagaimana jual beli menjadi batal saat masa khiyar syarṭ karena adanya persetubuhan.
والثاني لا ينفسخ لأن الملك قد استقر للمشتري فلا يجوز إلا بالقول فإن زال العيب قبل الرد ففيه وجهان: بناء على القولين في الأمة إذا أعتقت تحت عبد ثم أعتق العبد قبل أن تختار الأمة الفسخ: أحدهما يسقط الخيار لأن الخيار ثبت لدفع الضرر وقد زال الضرر والثاني لا يسقط لأن الخيار ثبت بوجود العيب فلا يسقط من غير رضاه وإن قال البائع أنا أزيل العيب مثل أن يبع أرضاً فيها حجارة مدفونة يضر تركها بالأرض فقال البائع: أنا أقلع ذلك في مدة لا أجرة لمثلها سقط حق المشتري من الرد لأن ضرر البيع يزول من غير إضرار وإن قال البائع أمسك المبيع أنا أعطيك أرش العيب لم يجبر المشتري على قبوله لأنه لم يرض إلا بمبيع سليم بجميع الثمن فلم يجبر على إمساك معيب ببعض الثمن
PASAL
Pendapat kedua menyatakan bahwa akad tidak batal, karena kepemilikan telah tetap bagi pembeli, maka tidak bisa dibatalkan kecuali dengan ucapan (ijab dan qabul) dari kedua belah pihak.
Jika cacat itu hilang sebelum pengembalian dilakukan, maka ada dua wajah pendapat, yang dibangun di atas dua pendapat dalam kasus ummatun (budak perempuan) yang dimerdekakan saat masih menjadi istri seorang budak, lalu budak laki-laki itu dimerdekakan sebelum si perempuan memilih untuk membatalkan pernikahan:
- Pertama, hak khiyār (pilihan) gugur, karena hak tersebut ditetapkan untuk menolak mudarat, dan mudaratnya telah hilang.
- Kedua, hak khiyār tidak gugur, karena hak tersebut ditetapkan karena adanya cacat, maka tidak gugur kecuali dengan keridaan pembeli.
Jika penjual berkata, “Aku akan menghilangkan cacat itu,” seperti menjual tanah yang di dalamnya terdapat batu-batu tertanam yang membahayakan tanah jika tidak dibersihkan, lalu penjual berkata, “Aku akan mencabut batu-batu itu dalam waktu yang wajar tanpa mengambil upah,” maka gugurlah hak pembeli untuk mengembalikan barang, karena mudarat dalam jual beli tersebut hilang tanpa mendatangkan mudarat lain.
Namun jika penjual berkata, “Tahanlah barang ini, aku akan memberimu arsy (ganti rugi atas cacat),” maka pembeli tidak dipaksa untuk menerimanya, karena ia hanya rela dengan barang yang selamat dengan harga penuh, maka ia tidak bisa dipaksa untuk menahan barang cacat dengan sebagian harga.
وإن قال المشتري أعطني الأرش لأمسك المبيع لم يجبر البائع على دفع الأرش لأنه لم يبذل المبيع إلا بجميع الثمن فلم يجبر على تسليمه ببعض الثمن فإن تراضيا على دفع الأرش لأنه لم يبذل المبيع إلا بجميع الثمن فلم يجبر على تسليمه ببعض الثمن فإن تراضيا على دفع الأرش لإسقاط الخيار ففيه وجهان: أحدهما يجوز وهو قول أبي العباس لأن خيار الرد يجوز أن يسقط إلى المال وهو إذا حدث عند المشتري عيب فجاز إسقاطه إلى المال بالتراضي كالخيار في القصاص والثاني لا يجوز وهو المذهب لأنه خيار فسخ فلم يجز إسقاطه بمال كخيار الشرط وخيار الشفعة
Dan jika pembeli berkata, “Berikan aku al-arasy agar aku tetap memegang barang,” maka penjual tidak dipaksa memberikan arasy, karena ia tidak menyerahkan barang kecuali dengan seluruh harga, maka tidak dipaksa menyerahkannya dengan sebagian harga.
Jika keduanya sepakat atas pemberian arasy untuk menggugurkan hak khiyar, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh — dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbās — karena khiyar untuk mengembalikan barang boleh digugurkan dengan ganti uang, yaitu jika cacat muncul di tangan pembeli, maka boleh menggugurkannya dengan uang melalui kesepakatan, seperti khiyar dalam qiṣāṣ.
Kedua, tidak boleh — dan ini adalah pendapat yang menjadi mazhab — karena khiyar ini adalah khiyar pembatalan, maka tidak boleh digugurkan dengan uang, sebagaimana khiyar syarṭ dan khiyar syuf‘ah.
فإن تراضيا على ذلك وقلنا إنه لا يجوز فهل يسقط خياره؟ فيه وجهان: أحدهما أنه يسقط لأنه رضي بإمساك العين مع العيب والثاني لا يسقط وهو المذهب ولأنه رضي بإمساك العين مع العيب والثاني لا يسقط وهو المذهب ولأنه رضي بإسقاط الخيار بعوض ولم يسلم له العوض فبقي الخيار وإن أراد أن يرد بعضه لم يجز لأن على البائع ضرراً في تبعيض الصفقة عليه فلم يجز من غير رضاه وإن اشترى عبدين فوجد بأحدهما عيباً فهل له أن يفرده بالرد؟ فيه قولان: أحدهما لا يجوز لأنه تبعيض صفقة على البائع فلم يجز من غير رضاه
PASAL
Jika keduanya saling merelakan (pembeli dan penjual) atas hal tersebut, lalu kita katakan bahwa hal itu tidak boleh (yakni menahan barang dengan menerima arsy), maka apakah gugur hak khiyār-nya? Dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:
- Pertama, gugur, karena ia telah rela menahan barang dalam keadaan cacat.
- Kedua, tidak gugur, dan ini adalah pendapat yang menjadi mazhab, karena ia rela menggugurkan hak khiyār dengan imbalan (‘iwaḍ), namun imbalan tersebut tidak ia peroleh, maka hak khiyār tetap ada.
Jika ia ingin mengembalikan sebagian dari barang yang dibeli, maka tidak boleh, karena hal itu menimbulkan mudarat bagi penjual berupa pemecahan akad, maka tidak boleh dilakukan tanpa keridaan penjual.
Jika ia membeli dua orang budak, lalu mendapati cacat pada salah satunya, maka apakah ia boleh mengembalikan budak yang cacat saja? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
- Pertama, tidak boleh, karena hal itu termasuk memecah akad terhadap penjual, maka tidak diperbolehkan tanpa keridaannya.
والثاني يجوز لأن العيب اختص بأحدهما فمجاز أن يفرده بالرد وإن ابتاع اثنان عبداً فأراد أحدهما أن يمسك حصته وأراد الآخر أن يرد حصته جاز لأن البائع فرق الملك في الإيجاب لهما فجاز أن يرد عليه أحدهما دون الآخر كما لو باع منهما في صفقتين فإن مات من له الخيار انتقل إلى وارثه لأنه حق لازم يختص بالمبيع فانتقل بالموت إلى الوارث كحبس المبيع إلى أن يحضر الثمن فإن كان له وارثان فاختار أحدهما أن يرد نصيبه دون الآخر لم يجز لأنه تبعيض صفقة في الرد فلم يجز من غير رضا البائع كما لو أراد المشتري أن يرد بعض المبيع.
Dan pendapat kedua menyatakan boleh, karena cacat itu khusus pada salah satunya, maka boleh baginya untuk mengembalikan secara tersendiri.
Jika dua orang membeli seorang budak, lalu salah satunya ingin menahan bagiannya dan yang lainnya ingin mengembalikan bagiannya, maka hal itu boleh, karena penjual telah memisahkan kepemilikan dalam ijab kepada keduanya, maka boleh salah satu dari keduanya mengembalikan kepada penjual tanpa yang lain, sebagaimana jika penjual menjual kepada keduanya dalam dua transaksi terpisah.
Jika orang yang memiliki hak khiyar meninggal, maka hak itu berpindah kepada ahli warisnya, karena ia adalah hak yang melekat yang berkaitan dengan barang yang dibeli, maka berpindahlah dengan kematian kepada ahli waris, sebagaimana hak menahan barang sampai harga dibayar.
Jika ia memiliki dua ahli waris, lalu salah satu dari keduanya memilih untuk mengembalikan bagiannya dan yang lainnya tidak, maka hal itu tidak boleh, karena itu adalah pemisahan transaksi dalam pengembalian, dan tidak boleh tanpa kerelaan penjual, sebagaimana jika pembeli ingin mengembalikan sebagian dari barang yang dibeli.
فصل: وإن وجد العيب وقد زاد المبيع نظرت فإن كانت الزيادة لا تتميز كالسمن واختار الرد مع الزيادة لأنها لا تنفرد عن الأصل في الملك فلا يجوز أن ترد دونها وإن كانت زيادة منفصلة كأكساب العبد فله أن يرد ويمسك الكسب لما روت عائشة رضي الله عنها أن رجلاً ابتاع غلاماً فأقام عنده ما شاء الله أن يقيم ثم وجد به عيبا فخاصمه إلى النبي صلى الله عليه وسلم ورد عليه فقال الرجل يا رسول الله قد استغل غلامي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “الخراج بالضمان” وإن كان المبيع بهيمة فحملت عنده وولدت أو شجرة فأثمرت عنده رد الأصل وأمسك الولد والثمرة لأنه نماء منفصل حدث في ملكه فجاز أن يمسكه ويرد الأصل كغلة البعد وإن كان المبيع جارية فحملت عنده وولدت ثم علم بالعيب ردها وأمسك الولد
PASAL
Jika pembeli menemukan cacat pada barang yang dibeli dan barang tersebut telah mengalami pertambahan (penambahan nilai atau manfaat), maka dilihat:
- Jika pertambahannya tidak dapat dipisahkan seperti gemuknya hewan, maka jika ia memilih untuk mengembalikannya, maka ia harus mengembalikannya beserta pertambahan itu, karena pertambahan tersebut tidak terpisah dalam hal kepemilikan, maka tidak boleh dikembalikan sebagian tanpa sebagian lainnya.
- Jika pertambahannya dapat dipisahkan, seperti hasil kerja budak, maka ia boleh mengembalikan barang dan menahan hasil kerja tersebut. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa seorang lelaki membeli seorang budak, lalu budak itu tinggal bersamanya selama beberapa waktu, kemudian ia menemukan cacat padanya dan mengadukannya kepada Nabi SAW. Maka Nabi SAW mengembalikan budak tersebut, lalu lelaki itu berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah memperoleh hasil dari budakku itu.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Keuntungan mengikuti tanggungan (al-kharāj bi al-ḍamān).”
- Jika barang yang dibeli berupa hewan, lalu ia hamil dan melahirkan saat berada dalam kepemilikan pembeli, atau pohon lalu berbuah saat berada di tangan pembeli, maka ia mengembalikan pokok barang dan menahan anak dan buahnya, karena itu termasuk pertambahan yang terpisah dan terjadi dalam kepemilikan pembeli, maka boleh ditahan dan pokok barang dikembalikan, sebagaimana hasil sewa pada budak.
- Jika barang yang dibeli berupa budak perempuan, lalu ia hamil dan melahirkan saat berada dalam kepemilikan pembeli, kemudian pembeli mengetahui adanya cacat, maka ia mengembalikan budak tersebut dan menahan anaknya.
لما ذكرناه ومن أصحابنا من قال: لا يرد الأم بل يرجع بالأرش لأن التفريق بين الأم والولد فيما دون سبع سنين لا يجوز وهذا لا يصح لأن التفريق بينهما يجوز عند الضرورة ولهذا قال الشافعي رحمه الله في الجارية المرهونة إنها تباع دون الولد فإن اشتراها وهي حامل فولدت عنده فإن قلنا إن الحمل له حكم رد الجميع وإن قلنا لا حكم للحمل رد الأم دون الولد وإن كان المبيع جارية ثيباً فوطئها ثم علم بالعيب فله أن يردها لأنه انتفاع لا يتضمن نقصاً فلم يمنع الرد كالاستخدام وإن وجد العيب وقد نقص المبيع نظرت فإن كان النقص بمعنى لا يقف استعلام العيب على جنسه كوطء البكر وقطع الثوب وتزويج الأم لم يجز له الرد بالعيب لأنه أخذه من البائع وبه عيب فلا يجوز رده وبه عيبان من غير رضاه وينتقل حقه إلى الأرش لأنه فات جزء من المبيع وتعذر الفسخ بالرد فوجب أن يرجع إلى بدل الجزء الفائت وهو الأرش
Sebagaimana telah kami sebutkan. Dan sebagian dari kalangan kami berkata: tidak boleh mengembalikan sang ibu, melainkan cukup dengan kembali kepada al-arasy, karena memisahkan antara ibu dan anak yang belum mencapai usia tujuh tahun tidak diperbolehkan. Namun pendapat ini tidak sah, karena pemisahan antara keduanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat. Oleh karena itu, Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata tentang budak perempuan yang digadaikan: ia boleh dijual tanpa anaknya.
Jika ia membeli budak perempuan dalam keadaan hamil, lalu melahirkan saat berada di tangannya, maka jika dikatakan bahwa janin memiliki hukum, maka harus dikembalikan semuanya. Namun jika dikatakan bahwa janin tidak memiliki hukum, maka yang dikembalikan hanya sang ibu tanpa anaknya.
Jika barang yang dibeli adalah budak perempuan yang sudah tidak perawan, lalu ia menyetubuhinya kemudian mengetahui adanya cacat, maka ia boleh mengembalikannya, karena bentuk pemanfaatan tersebut tidak mengakibatkan kekurangan, sehingga tidak menghalangi pengembalian, seperti halnya penggunaan biasa.
Jika ia mendapati cacat dan ternyata barang itu telah mengalami pengurangan, maka ditinjau: jika pengurangan itu dalam bentuk yang tidak menghalangi untuk mengetahui adanya cacat pada jenisnya — seperti menyetubuhi gadis perawan, memotong kain, atau menikahkan budak perempuan — maka ia tidak boleh mengembalikan barang karena cacat, karena ia telah mengambilnya dari penjual dalam keadaan cacat, maka tidak boleh ia mengembalikannya dengan dua cacat tanpa kerelaan penjual.
Dan haknya berpindah kepada al-arasy, karena bagian dari barang telah hilang dan pembatalan melalui pengembalian menjadi mustahil, maka wajib berpindah kepada pengganti bagian yang hilang, yaitu al-arasy.
فإن قال البائع أنا آخذ المبيع مع العيب الحادث لم يلزمه دفع الأرش لأنه لم يكن له غير الرد وإن قال المشتري أرده وأعطي معه أرش العيب الحادث في يده فإذا رضي به صار كأنه لم يحدث عنده عيب فلم يكن له غير الرد وإن قال المشتري أرده وأعطي معه أرش العيب الحادث عندي لم يلزم البائع قبوله كما إذا حدث العيب به عند البائع فقال: خذه وأنا أعطيك معه أرش العيب لم يلزم المشتري قبوله.
Jika penjual berkata, “Aku akan mengambil kembali barang yang dijual meskipun ada cacat yang terjadi setelahnya,” maka penjual tidak wajib membayar arsy (ganti rugi), karena ia tidak memiliki kewajiban selain menerima pengembalian barang.
Jika pembeli berkata, “Aku akan mengembalikannya dan memberikan arsy atas cacat yang terjadi di tanganku,” lalu penjual merelakannya, maka itu seakan-akan cacat tersebut tidak pernah terjadi pada masa pembeli, sehingga tidak ada hak bagi pembeli selain pengembalian barang saja.
Namun jika pembeli berkata, “Aku akan mengembalikannya dan memberikan arsy atas cacat yang terjadi di tanganku,” maka penjual tidak wajib menerima pengembalian tersebut. Sama halnya jika cacat itu terjadi saat barang masih di tangan penjual, lalu penjual berkata, “Ambillah barang ini dan aku akan memberikan arsy atas cacatnya,” maka pembeli juga tidak wajib menerimanya.
فصل: فإذا أراد الرجوع بالأرش قوم المبيع بلا عيب فيقال قيمته مئة ثم يقوم مع العيب فيقال قيمته تسعون فيعلم أنه قد نقص العشر من بدله فيرجع على البائع بعشر الثمن ولايرجع بما نقص من قيمته لأن الرش بدل عن الجزء الفائت ولو فات المبيع كله رجع على البائع بجميع الثمن فإذا فات قدر العشر منهرجع بعشر الثمن كالجزء لما ضمن جميعه بالدية ضمن الجزء منه بجزء من الدية ولأنا لو قلنا إنه يرجع بما نقص من قيمته أدى إلى أن يجتمع الثمن والمثمن للمشتري فإنه قد يشتري ما يساوي مائة بعشرة فإذا رجع بالعشرة رجع جميع الثمن إليه فيجتمع له الثمن والمثمن وهذا لا يجوز وإن اختلفت قيمة المبيع من حال العقد إلى حال القبض قوم بأقل القيمتين لأنه إن كانت قيمته وقت العقد أكثر ثم نقص كان ما نقص في يده مضموناً عليه وماكان نقصانه من ضمانه فلا يجوز أن يقوم على البائع
PASAL: Maka apabila pembeli ingin kembali kepada al-arasy, maka barang yang dibeli dinilai dalam keadaan tanpa cacat, misalnya dikatakan nilainya seratus. Lalu dinilai dalam keadaan ada cacat, misalnya dikatakan nilainya sembilan puluh. Maka diketahui bahwa telah berkurang sepersepuluh dari nilainya, maka pembeli berhak kembali kepada penjual sebesar sepersepuluh dari harga beli.
Dan tidak boleh kembali berdasarkan jumlah nilai yang berkurang, karena al-arasy itu adalah ganti dari bagian yang hilang. Jika seluruh barang hilang, maka pembeli berhak kembali dengan seluruh harga. Maka jika yang hilang hanya sepertiga, ia kembali dengan sepertiga dari harga, sebagaimana bagian tubuh: ketika seluruh tubuh dijamin dengan diyat, maka sebagian tubuh dijamin dengan bagian dari diyat.
Dan karena jika kami katakan bahwa pembeli kembali berdasarkan nilai yang berkurang, maka bisa terjadi pembeli mendapatkan kembali harga dan barang sekaligus. Sebab bisa jadi ia membeli barang yang nilainya seratus hanya dengan sepuluh, lalu ia kembali menuntut sepuluh karena cacat, maka seluruh harga kembali padanya, dan berarti ia mendapatkan harga dan barang sekaligus, dan ini tidak diperbolehkan.
Jika terjadi perbedaan nilai barang antara waktu akad dan waktu penerimaan, maka yang dijadikan dasar adalah nilai yang lebih rendah dari keduanya, karena jika nilainya saat akad lebih tinggi lalu turun nilainya, maka penurunan nilai itu terjadi dalam tanggungan pembeli, dan apa yang cacatnya dalam tanggungan pembeli, tidak boleh dibebankan kepada penjual.
وإن كان قيمته وقت العقد أكثر ثم نقص كان ما نقص في يده مضموناً عليه وما كان نقصانه من ضمانه فلا يجوز أن يقوم على البائع وإن كانت قيمته وقت العقد أقل ثم زادت في يده فإنها زيادة حدثت في ملك المشتري لا حق للبائع فيها فلا يجوز إدخالها في التقويم فإن كان المبيع إناء من فضة وزنه ألف وقيمته ألفان فكسره ثم علم به عيباً لم يجز له الرجوع بأرش العيب لأن ذلك رجوع بجزء من الثمن فيصير الأف بدون الألف وذلك لا يجوز فيفسخ البيع ويسترجع الثمن ثم يغرم أرش الكسر وحكى أبو القاسم الداركي وجهاً آخر أنه يرجع بالأرش لأن ما ظهر من الفضل بالرجوع بالأرش لا اعتبار به والدليل عليه أنه يجوز الرجوع بالأرش في غير هذا ولا يقال إن هذا لا يجوز لأنه يصير الثمن مجهولاً.
Jika nilai barang saat akad lebih tinggi lalu kemudian nilainya menurun, maka penurunan tersebut adalah tanggungan pembeli, dan apa yang termasuk dalam tanggungannya tidak boleh dihitung atas beban penjual.
Jika nilai barang saat akad lebih rendah lalu nilainya meningkat saat berada di tangan pembeli, maka peningkatan tersebut terjadi dalam kepemilikan pembeli, dan penjual tidak memiliki hak atasnya, maka tidak boleh dimasukkan ke dalam penilaian (untuk menentukan arsy).
Jika barang yang dibeli adalah bejana perak, beratnya seribu dan nilainya dua ribu, lalu pembeli memecahkannya, kemudian ia mendapati adanya cacat padanya, maka ia tidak boleh meminta pengembalian berupa arsy cacat, karena itu berarti pengembalian sebagian dari harga, sehingga seolah-olah ia mendapatkan bejana yang lebih ringan dengan harga penuh, dan hal itu tidak boleh. Maka akad dibatalkan dan ia mengembalikan harga (yang dibayar), lalu ia mengganti arsy (ganti rugi) atas kerusakan akibat pemecahan.
Abū al-Qāsim al-Dārakī meriwayatkan wajah pendapat lain: bahwa pembeli boleh mengambil arsy atas cacat tersebut, karena kelebihan yang timbul dari pengambilan arsy tidak dianggap sebagai hal yang merusak. Dalilnya adalah bahwa pengambilan arsy dibolehkan dalam kasus selain ini, dan tidak dikatakan bahwa hal ini tidak boleh hanya karena menjadikan harga menjadi tidak jelas.
فصل: وإن وجد العيب وقد نقص المبيع بمعنى يقف استعلام العيب على جنسه بأن كان جوزاً أو بيضاً أو غير ذلك مما لا يقف على عيبه إلا بكسره فينظر فيه فإن كسره فوجده لا قيمة للباقي كالبيض المذر والرمان العفن فالبيع باطل لأن مالا قيمة له لا يصح بيعه فيجب رد الثمن فإن كان له قيمة كبيض النعامة والبطيخ الحامض وما دود بعضه من المأكول نظرت فإن كسر منه قدراً لا يوفق على العيب بما دونه ففيه قولان: أحدهما أنه لا يرد وهو قول المزني لأنه نقص حدث في يد المشتري فمنع الرد كقطيع الثوب
PASAL: Jika pembeli mendapati cacat dan barang yang dibeli telah mengalami pengurangan dalam bentuk yang mana untuk mengetahui cacatnya harus melihat jenis isinya — seperti kacang, telur, dan sejenisnya yang cacatnya tidak bisa diketahui kecuali dengan memecahnya — maka hal itu ditinjau.
Jika ia memecahnya dan mendapati bahwa sisanya tidak memiliki nilai sama sekali, seperti telur busuk dan delima yang membusuk, maka jual beli itu batal, karena sesuatu yang tidak memiliki nilai tidak sah untuk dijual, maka wajib mengembalikan harga.
Namun jika sisanya masih memiliki nilai, seperti telur burung unta, semangka asam, atau makanan yang sebagian sudah dimakan ulat, maka ditinjau: jika ia memecah sebagian yang memang tidak mungkin diketahui cacatnya kecuali dengan kadar tersebut, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan tidak boleh mengembalikan — dan ini adalah pendapat al-Muzanī — karena pengurangan itu terjadi di tangan pembeli, maka menghalangi pengembalian sebagaimana potongan kain.
والثاني لا يمنع الرد لأنه معنى لا يوقف على العيب إلا به فلم يمنع الرد كنشر الثوب فإن قلنا لا يرد رجع بأرش العيب على ما ذكرناه وإن قلنا يرد فهل يلزمه أن يدفع معه أرش الكسر؟ فيه قولان: أحدهما يلزمه كما يلزمه بدل لبن الشاة المصراة والثاني لا يلزمه لأن الكسر الذي يتوصل به إلى معرفة العيب مستحق له فلا يلزمه لأجله أرش فإنا قلنا يلزمه الأرش قوم معيباً صحيحاً ومعيباً مكسوراً ثم يرجع عليه بما بين القيمتين لأنه لما رد انفسخ العقد فصار فيه كالمقبوض بالسوم والمقبوض بالسوم مضمون بالقيمة فضمن نقصانه بما نقص من القيمة ويخالف الأرش مع بقاء العقد لأن المبيع مع بقاء العقد مضمون بالثمن فضمن نقصانه بجزء من الثمن وإن كسر منه قدراً يمكنه الوقوف على العيب بأقل منه ففيه طريقان أحدهما: لا يجوز الرد قولاً واحداً لأنه نقص حدث بمعنى لا يحتاج إليه لمعرفة العيب فمنع الرد كقلع الثوب والثاني أنه على القولين لأنه يشق التمييز بين القدر الذي يحتاج إليه في معرفة العيب وبين ما زاد عليه فسوي بين القليل والكثير.
PASAL
Pendapat kedua menyatakan bahwa pemecahan (barang) tidak menghalangi pengembalian, karena itu merupakan sarana untuk mengetahui cacat yang tidak bisa diketahui kecuali dengannya, maka tidak menghalangi pengembalian—seperti menebarkan kain (untuk melihat cacatnya).
Jika kita mengatakan bahwa barang tersebut tidak dapat dikembalikan, maka pembeli berhak menuntut arsy atas cacat tersebut, sebagaimana telah disebutkan.
Namun jika kita mengatakan bahwa barang dapat dikembalikan, maka apakah pembeli wajib membayar arsy atas kerusakan (akibat pemecahan)?
Terdapat dua pendapat:
- Pertama, wajib membayar, sebagaimana ia wajib mengganti susu kambing dalam kasus muṣarrā
- Kedua, tidak wajib membayar, karena kerusakan (pemecahan) yang dilakukan untuk mengetahui cacat adalah sesuatu yang menjadi haknya, maka tidak wajib mengganti atasnya.
Jika kita mengatakan bahwa ia wajib membayar arsy, maka barang dihargai dalam tiga keadaan:
- saat cacat dan masih utuh
- saat cacat dan telah pecah
Lalu ia mengembalikan barang dan menanggung selisih nilai antara keduanya. Karena ketika ia mengembalikannya, maka akad menjadi batal, dan barang menjadi seperti barang yang dipegang dalam akad penjajakan (al-maqbūḍ bi al-sawm), dan barang seperti itu ditanggung dengan nilai, maka ia wajib menanggung selisih kerusakan berupa penurunan nilai.
Ini berbeda dengan arsy saat akad tetap berlangsung, karena barang dalam kondisi akad tetap ditanggung dengan harga, maka penurunan nilainya diganti dengan bagian dari harga.
Jika pembeli memecah sebagian barang dengan kadar yang melebihi dari yang dibutuhkan untuk mengetahui cacat, maka dalam hal ini ada dua metode (ṭarīq):
- Pertama: tidak boleh dikembalikan secara qawl wāḥid, karena penurunan nilai terjadi akibat sesuatu yang tidak dibutuhkan untuk mengetahui cacat, maka menghalangi pengembalian sebagaimana menanggalkan kain (dari lipatannya).
- Kedua: kembali pada dua pendapat, karena sulit membedakan antara kadar yang dibutuhkan untuk mengetahui cacat dan yang melebihi darinya, maka disamakan antara yang sedikit dan yang banyak.
فصل: وإن لم يعلم بالعيب حتى أبق العبد لم يطالب بالأرش لأنه لم ييأس من الرد فإن رجع رده بالعيب وإن هلك أخذ عنه الأرش فإن لم يعلم بالعيب حتى باعه لم يجز له المطالبة بالأرش قال أبو إسحاق: العلة فيه أنه استدرك الظلامة فغبن كما غبن فزال عنه ضرر العيب وقال أكثر أصحابنا العلة فيه أنه ييأس من الرد لأنه قد يرجع إليه فيرد عليه فإن رد المشتري الثاني بالعيب على المشتري الأول رده على البائع لأنه أمكنه الرد ولم يستدرك الظلامة وإن حدث عند الثاني عيب فرجع على الأول بالأرش رجع هو على بائعه لأنه أيس من الرد ولم يستدرك الظلامة
PASAL: Jika pembeli tidak mengetahui adanya cacat hingga budak tersebut melarikan diri, maka ia tidak berhak menuntut arasy, karena ia belum putus asa dari kemungkinan mengembalikan. Jika kemudian ia berhasil mengembalikannya, maka ia boleh mengembalikan karena cacat; dan jika budak itu binasa, maka ia berhak atas arasy sebagai gantinya.
Namun jika ia tidak mengetahui adanya cacat sampai ia menjualnya, maka ia tidak berhak menuntut arasy. Abū Isḥāq berkata: alasannya adalah karena ia telah mengimbangi kerugiannya, maka ia telah menipu sebagaimana ia pun telah tertipu, sehingga hilanglah kerugian karena cacat itu.
Sedangkan mayoritas sahabat kami mengatakan: alasannya adalah karena ia telah putus asa dari kemungkinan pengembalian, sebab bisa saja barang itu kembali kepadanya dan ia bisa mengembalikannya.
Jika pembeli kedua mengembalikan barang karena cacat kepada pembeli pertama, maka pembeli pertama boleh mengembalikannya kepada penjual pertama, karena ia masih memungkinkan untuk mengembalikannya dan belum mengambil ganti rugi.
Namun jika pada pembeli kedua muncul cacat baru, lalu ia menuntut arasy dari pembeli pertama, maka pembeli pertama juga boleh menuntut arasy dari penjualnya, karena ia telah putus asa dari kemungkinan pengembalian dan tidak sempat mendapatkan kembali haknya.
وإن تلف في يد الثاني وقلنا بتعليل أبي إسحاق لم يرجع لأنه استدرك الظلامة وإن قلنا بتعليل غيره رجع بالأرش لأنه قد أيس من الرد وإن رجع المبيع إليه ببيع أو هبة أو إرث لم يرد على تعليل أبي إسحاق لأنه استدرك الظلامة وعلى تعليل غيره يرد لأنه أمكنه الرد فإن لم يعلم بالعيب حتى وهبه من غيره فإن كان بعوض كالبيع وقد بيناه وإن وهبه بغير عوض لم يرجع بالأرش لأنه لم ييأس من الرد فإن رجع إليه ببيع أو هبة أو إرث فله الرد بلا خلاف لأنه أمكنه الرد ولم يستدرك الظلامة.
PASAL
Jika barang rusak atau binasa di tangan orang kedua (penerima dari pembeli pertama), dan kita mengambil alasan menurut pendapat Abū Isḥāq, maka pembeli pertama tidak berhak menuntut arsy, karena ia telah mendapatkan ganti atas kezalimannya (dengan menjadikan barang miliknya secara utuh).
Namun jika kita mengambil alasan menurut selain Abū Isḥāq, maka ia berhak menuntut arsy, karena ia telah putus asa dari kemungkinan mengembalikan barang.
Jika barang tersebut kembali kepadanya melalui jual beli, hibah, atau warisan, maka:
- Menurut pendapat Abū Isḥāq, ia tidak dapat mengembalikannya, karena ia telah dianggap mendapatkan ganti atas kezalimannya.
- Menurut pendapat selainnya, ia boleh mengembalikannya, karena sekarang ia memiliki kesempatan untuk mengembalikannya.
Jika ia tidak mengetahui adanya cacat hingga ia memberikan barang tersebut kepada orang lain, maka:
- Jika pemberian itu dengan imbalan, seperti jual beli, maka telah dijelaskan hukumnya.
- Jika pemberian itu tanpa imbalan, maka ia tidak berhak menuntut arsy, karena ia belum putus asa dari kemungkinan pengembalian.
Jika barang itu kembali kepadanya melalui jual beli, hibah, atau warisan, maka ia berhak mengembalikannya tanpa khilaf, karena ia memiliki kesempatan untuk mengembalikannya dan belum dianggap mendapatkan ganti atas kezalimannya.
فصل: والعيب الذي يرد به المبيع ما يعده الناس عيباً فإن خفي منه شيء رجع فيه إلى أهل الخبر بذلك الجنس فإن اشترى عبداً فوجده أعمى أو أعرج أو أصم أو أخرس أو مجذوماً أو أبرص أو مريضاً أو أبخر أو مقطوعاً أو أقرع أو زانياً أو سارقاً أو آبقاً ثبت له الرد لأن هذه عاهات يقتضي مطلق العقد السلامة منها فلا يلزمه العقد مع وجودها وإن وجده يبول في الفراش فإن كان صغيراً لم يرد لأن بول الصغير معتاد فلا يعد عيباً وإن كان كبيراً رد لأن ذلك عاهة ونقص وإن وجده خصياً ثبت له الرد لأن العقد يقتضي سلامة الأعضاء وهذا ناقص وإن وجده غير مختون فإن كان صغيراً لم يثبت له الرد لأنه لا يعد ذلك نقصاً في الصغير لأنه لا يخاف عليه منه
PASAL: Cacat yang menjadi sebab pengembalian barang adalah apa yang dianggap cacat oleh manusia. Jika ada cacat yang tersembunyi, maka dikembalikan penilaiannya kepada ahli yang berpengalaman dalam jenis tersebut. Jika seseorang membeli seorang budak, lalu didapati ia buta, pincang, tuli, bisu, berpenyakit judzām, belang (barash), sakit, bau mulut, terpotong anggota badannya, botak, pezina, pencuri, atau pelarian (ābiq), maka ia berhak mengembalikannya, karena semua itu adalah cacat yang menurut keumuman akad, mengharuskan barang dalam keadaan selamat darinya, sehingga akad tidak mengikat bila cacat-cacat itu ada.
Jika didapati budak tersebut mengompol di kasur, maka jika ia masih kecil tidak dapat dikembalikan karena mengompol pada anak kecil adalah hal yang lazim dan tidak dianggap cacat. Namun jika sudah dewasa, maka boleh dikembalikan karena itu termasuk cacat dan kekurangan.
Jika didapati budak itu telah dikebiri (khuṣiyy), maka boleh dikembalikan karena akad menuntut kesempurnaan anggota tubuh, sementara ini adalah kekurangan.
Jika didapati tidak dikhitan, maka jika ia masih kecil, tidak boleh dikembalikan karena tidak dianggap kekurangan pada anak kecil, sebab tidak dikhawatirkan darinya.
وإن كان كبيراً ثبت له الرد لأنه يعد نقصاً لأنه يخاف عليه منه وإن كانت جارية لم ترد صغيرة أو كبيرة لأن ختانها سليم لا يخاف عليها منه وإن اشترى جارية فوجدها مغنية لم ترد لأنه لا تنقص به العين ولا القيمة فلم يعد ذلك عيباً وإن وجدها ثيباً أو مسنة لم يثبت له الرد لأن الثيوبة والكبر ليس بنقص وإنما هو عدم فضيلة فإن وجد المملوك مرتداً أو وثنياً ثبت له الرد لأنه لا يقر على دينه وإن وجده كتابياً لم يثبت له الرد لأن كفره لا ينقص من عينه ولا من ثمنه
Jika budak itu sudah dewasa, maka ia berhak mengembalikannya karena itu dianggap sebagai kekurangan, sebab dikhawatirkan membahayakan dirinya. Namun jika budak itu perempuan, maka tidak boleh dikembalikan baik masih kecil maupun sudah dewasa, karena khitan pada perempuan adalah hal yang selamat dan tidak membahayakan dirinya.
Jika seseorang membeli seorang budak perempuan dan mendapati bahwa ia seorang penyanyi, maka tidak boleh dikembalikan karena hal itu tidak mengurangi fisik maupun harga, maka tidak dianggap sebagai cacat.
Jika didapati ia sudah tidak perawan (thayyib) atau sudah tua (musinnah), maka tidak berhak mengembalikannya karena status tidak perawan dan usia tua bukanlah kekurangan, tetapi hanya kekurangan keutamaan.
Jika didapati budak itu murtad atau penyembah berhala (watsaniyy), maka ia boleh dikembalikan karena tidak dibolehkan tetap dalam agamanya. Namun jika didapati ia seorang ahli kitab, maka tidak boleh dikembalikan karena kekafirannya tidak mengurangi fisik maupun harga.
وإن اشترى أمة فوجدها مزوجة أو عبداً فوجده مستأجراً ثبت له الرد لأن إطلاق البيع يقتضي سلامة المنافع للمشتري ولم يسلم له ذلك فثبت له الرد وإن اشترى شيئاً فتبين أنه غبن في ثمنه لم يثبت له الرد لما روي أن حبان بن منقذ كان يخدع في البيع فذكر ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال: “إذا بعت فلا خلابة ولك الخيار ثلاثاً” ولم يثبت له خيار الغبن ولأن المبيع سليم ولم يوجد من جهة البائع تدليس وإنما فرط المشتري في ترك الاستظهار فلم يجز له الرد.
Jika seseorang membeli seorang budak perempuan lalu didapati telah bersuami, atau membeli seorang budak laki-laki lalu didapati sedang disewakan, maka ia berhak mengembalikannya karena keumuman akad jual beli menuntut keselamatan manfaat bagi pembeli, sementara manfaat tersebut tidak terpenuhi, maka ia berhak mengembalikannya.
Jika seseorang membeli sesuatu lalu ternyata ia tertipu dalam harga (ghabn), maka tidak berhak mengembalikannya, berdasarkan riwayat bahwa Ḥibbān bin Munqidz adalah orang yang mudah tertipu dalam jual beli, lalu ia mengadukan hal itu kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda: “Jika engkau berjual beli, maka jangan ada penipuan (khilābah), dan bagimu hak khiyār selama tiga hari.” Beliau tidak menetapkan hak khiyār karena tertipu dalam harga, karena barang yang dijual dalam keadaan selamat dan tidak ada penipuan dari pihak penjual. Justru kelalaian datang dari pembeli yang tidak berhati-hati, maka tidak dibolehkan baginya untuk mengembalikan.
فصل: وإن اشترى عبداً بشرط أنه كاتب فوجده غير كاتب أو على أنه يحسن صنعة فوجده لا يحسن ثبت له الرد لأنه أنقص مما شرط فجاز له الرد وإن اشتراه على أنه فحل فوجده خصياً ثبت له الرد لأنه الخصي أنقص من الفحل في الخلقة والبطش والقوة وإن شرط أنه خصي فوجده فحلاً ثبت له الرد لأن الفحل دون الخصي في الثمن والدخول إلى الحرم وإن اشتراه على أنه لا يثبت له الرد لأن المسلم أفضل من الكافر وهذا لا يصح لأن المسلم أفضل في الدين إلا أن الكافر أكثر ثمناً لأنه يرغب فيه المسلم والكافر والمسلم لا يشتريه الكافر
PASAL: Jika seseorang membeli seorang budak dengan syarat bahwa ia bisa menulis (kātib), lalu didapati ia tidak bisa menulis, atau dengan syarat bahwa ia mahir dalam suatu keahlian (ṣinā‘ah) lalu didapati tidak mahir, maka ia berhak mengembalikannya karena keadaannya lebih rendah dari apa yang disyaratkan, maka boleh dikembalikan.
Jika ia membelinya dengan syarat bahwa budak itu jantan (faḥl), lalu didapati ternyata dikebiri (khuṣiyy), maka boleh dikembalikan karena budak yang dikebiri lebih rendah daripada yang jantan dalam hal bentuk, kekuatan, dan daya.
Jika ia mensyaratkan bahwa budak itu telah dikebiri, lalu ternyata didapati jantan, maka juga boleh dikembalikan karena budak jantan lebih rendah dari yang dikebiri dalam hal harga dan kemampuan masuk ke tanah suci.
Jika ia membelinya dengan syarat bahwa budak itu muslim, lalu ternyata kafir, maka ia boleh mengembalikannya karena muslim lebih utama dari kafir. Adapun jika dikatakan tidak boleh dikembalikan karena muslim lebih utama dari kafir, maka ini tidak sah, karena keutamaan muslim itu dalam agama. Namun dari sisi harga, budak kafir lebih mahal karena diminati oleh muslim dan kafir, sementara budak muslim tidak dibeli oleh orang kafir.
وإذا اشترى جارية على أنها بكر فوجدها ثيباً ثبت له الرد لأن الثيب دون البكر وإن اشتراها على أنها ثيب فوجدها بكراً لم يثبت له الرد لأن البكر أفضل من الثيب ومن أصحابنا من قال: يثبت له الرد لأنه قد يكون ضعيفاً لا يطيق وطء البكر فكانت الثيب أحب إليه والمذهب الأول لأنه لا اعتبار بما عنده وإنما الاعتبار بما يزيد في الثمن والبكر أفضل من الثيب في الثمن وإن باعه حيواناً على أنه بغل فوجده حماراً أو على أنه حمار فوجده بغلاً ففيه وجهان: أحدهما أن البيع صحيح لأن العقد وقع على العين والعين موجودة فصح البيع وثبت له الرد لأنه لم يجده على ما شرط
Jika seseorang membeli seorang budak perempuan dengan syarat bahwa ia perawan (bikr), lalu didapati ternyata janda (thayyib), maka ia berhak mengembalikannya karena janda lebih rendah daripada perawan.
Namun jika ia membelinya dengan syarat bahwa budak itu janda, lalu didapati ternyata perawan, maka tidak berhak mengembalikannya karena perawan lebih utama daripada janda. Sebagian ulama kami berpendapat: ia tetap boleh mengembalikannya karena bisa jadi ia lemah dan tidak mampu menggauli perawan, sehingga janda lebih disukai baginya. Tetapi pendapat yang benar adalah yang pertama, karena tidak dianggap apa yang menjadi kecenderungannya, melainkan yang jadi patokan adalah apa yang menambah nilai harga, dan perawan lebih mahal daripada janda.
Jika seseorang menjual hewan dengan menyatakan bahwa ia bagal (baghl), lalu ternyata keledai (ḥimār), atau menyatakan bahwa ia keledai lalu ternyata bagal, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, akad jual belinya sah karena akad tertuju pada benda, dan bendanya memang ada, maka sah akadnya, namun pembeli tetap berhak mengembalikannya karena tidak mendapati barang sesuai syarat.
والثاني أن البيع باطل لأن العقد وقع على جنس فلا ينعقد في جنس آخر وإن اشترى ثوباً أو أرضاً على أنه عشرة أذرع فوجده تسعة فهو بالخيار بين أن يأخذه بجميع الثمن وبين أن يرده لأنه دخل في العقد على أن تسلم له العشرة ولم تسلم له فثبت له الخيار كما لو وجد بالمبيع عيباً وإن وجده أحد عشر ذراعاً ففيه وجهان: أحدهما أن البائع بالخيار بين أن يفسخ العقد وبين أن يسلمه بالثمن ويجبر المشتري على قوله كما أجبرنا البائع إذا كان دون العشرة والثاني أن البيع باطل لأنه لا يمكن إجبار البائع على تسليم ما زاد على عشرة ولا إجبار للمشتري على الرضا بما دون الثوب والساحة من الأرض لأنه لم يرض بالشركة والتبعيض فوجب أن يبطل العقد
Pendapat kedua menyatakan bahwa jual beli tersebut batal, karena akad dilakukan atas suatu jenis, maka tidak sah jika ternyata jenis lain.
Jika seseorang membeli kain atau tanah dengan syarat bahwa ukurannya sepuluh hasta, lalu didapati sembilan, maka ia diberi pilihan antara mengambilnya dengan membayar seluruh harga atau mengembalikannya, karena ia masuk ke dalam akad dengan keyakinan akan menerima sepuluh, namun tidak mendapatkannya, maka tetap baginya hak khiyār sebagaimana jika ia mendapati cacat pada barang.
Namun jika didapati sebelas hasta, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan bahwa penjual diberi pilihan antara membatalkan akad atau menyerahkan barang tersebut dengan harga yang telah disepakati, dan pembeli dipaksa untuk menerimanya, sebagaimana kita memaksa penjual ketika kurang dari sepuluh.
Pendapat kedua menyatakan bahwa akad batal, karena tidak mungkin memaksa penjual menyerahkan kelebihan dari sepuluh, dan tidak boleh pula memaksa pembeli menerima kurang dari kain atau bidang tanah secara utuh, sebab ia tidak ridha dengan adanya penyekutuan atau pemotongan, maka akad wajib dibatalkan.
فإن اشترى صبرة على أنها مائة قفيز فوجدها دون المائة فهو بالخيار بين أن يفسخ لأنه لم يسلم له ما شرط وبين أن يأخذ الموجود بحصته من الثمن لأنه يمكن قسمة الثمن على الأجزاء لتساويها في القيمة ويخالف الثوب والأرض لأن أجزاءها مختلفة فلا يمكن قسمة الثمن على أجزائه لأنا لا نعلم كم قيمة الذراع لو كانت موجودة لنسقطها من الثمن وإن وجد الصبرة أكثر من مائة قفيز أخذ المائة بالثمن وترك الزيادة لأنه يمكن أخذ ما عقد عليه من إضرار.
Jika seseorang membeli ṣubrah (tumpukan barang) dengan syarat bahwa isinya seratus qafīz, lalu didapati kurang dari seratus, maka ia diberi pilihan antara membatalkan akad karena tidak terpenuhi apa yang disyaratkan, atau mengambil jumlah yang ada dengan bagian dari harga sesuai proporsinya, karena memungkinkan untuk membagi harga atas bagian-bagian yang ada, sebab nilainya sama rata.
Ini berbeda dengan kain dan tanah, karena bagian-bagiannya berbeda-beda, maka tidak mungkin membagi harga atas setiap bagiannya. Sebab kita tidak tahu berapa nilai per hasta andaikata ia ada, agar dapat dikurangkan dari harga.
Dan jika ṣubrah itu ternyata lebih dari seratus qafīz, maka ia hanya mengambil seratus sesuai harga yang disepakati dan meninggalkan sisanya, karena memungkinkan untuk mengambil apa yang menjadi objek akad tanpa menimbulkan kerugian.
فصل: وإن باع عبداً جانياً ففيه قولان: أحدهما أن البيع صحيح وهو اختيار المزني لأنه إن كانت الجناية عمداً فهو عبد تعلق برقبته قتل فصح بيعه كالعبد المرتد أو يخشى هلاكه وترجى سلامته فجاز بيعه كالمريض وإن كان خطأً فلأنه عبد تعلق برقبته حق بغير اختياره فلا يمنع من بيعه والقول الثاني أن البيع باطل لأنه عبد تعلق برقبته آدمي فلا يصح بيعه كالمرهون وفي موضع القولين ثلاث طرق: أحدها أن القولين في العمد والخطأ لأن القصاص حق آدمي فهو كالمال ولأنه يسقط إلى مال بالعفو فهو كالمال والثاني أن القولين في جناية لا توجب القصاص فأما فيما توجب القصاص فلا تمنع البيع قولاً واحداً لأنه كالمرتد
PASAL: Jika seseorang menjual budak yang melakukan tindak kejahatan (jānī), maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan bahwa jual belinya sah — ini adalah pilihan al-Muzanī — karena jika kejahatannya dilakukan dengan sengaja (‘amd), maka ia adalah budak yang lehernya menjadi tanggungan untuk hukuman mati, maka sah menjualnya sebagaimana budak murtad, atau karena dikhawatirkan binasa namun masih diharapkan selamatnya, maka boleh dijual sebagaimana orang sakit.
Jika kejahatannya karena kesalahan (khaṭa’), maka karena ia adalah budak yang lehernya menjadi tanggungan suatu hak tanpa pilihannya, maka tidak menghalangi penjualannya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa jual belinya batal, karena ia adalah budak yang lehernya menjadi tanggungan hak manusia, maka tidak sah dijual sebagaimana budak yang digadaikan (murtahan).
Mengenai dua pendapat tersebut, ada tiga cara penyampaian:
Pertama, bahwa dua pendapat itu berlaku baik dalam kasus pembunuhan sengaja maupun tidak sengaja, karena qiṣāṣ adalah hak manusia maka hukumnya seperti harta, dan karena qiṣāṣ bisa gugur dengan pemaafan menjadi harta, maka ia dianggap seperti harta.
Kedua, bahwa dua pendapat itu hanya berlaku dalam kasus kejahatan yang tidak mewajibkan qiṣāṣ, adapun jika mewajibkan qiṣāṣ, maka menurut satu pendapat, tidak menghalangi penjualan, karena kedudukannya seperti budak murtad.
والثالث أن القولين فيما وجب القصاص فأما فيما يوجب لا مال فلا يجوز قولاً واحداً لأنه كالمرهون فإذا قلنا إن البيع صحيح في قتل العمد فقتل العبد في يد المشتري ففيه وجهان: قال أبو العباس وأبو علي بن أبي هريرة: إن علم المشتري بالجناية في حال العقد لم يرجع عليه بالأرش وإن لم يعلم رجع بأرش العيب لأنه تعلق القتل برقبته كالعيب لأنه ترجى سلامته ويرجه هلاكه فهو كالمريض وإذا اشترى المريض ومات وكان قد علم بمرضه لم يرجع بالأرش وإن لم يعلم رجع فكذلك ههنا فعلى هذا إذا لم يعلم بحاله وقتل قوم وهو جان وقوم غير جان فيرجع بما بينهم من الثمن وقال أبو إسحاق وجود القتل بمنزلة الاستحقاق وهو المنصوص فإذا قتل انفسخ البيع ورجع بالثمن على البائع علم بالجناية حال العقد أو لم يعلم لأنه أزيلت يده عن الرقبة بسبب كان في يد البائع فأشبه إذا استحق ويخالف المريض
Pendapat ketiga menyatakan bahwa dua pendapat itu hanya berlaku dalam kasus yang mewajibkan qiṣāṣ, adapun dalam kasus yang hanya mewajibkan pembayaran harta (māl), maka menurut satu pendapat, tidak boleh dijual, karena kedudukannya seperti barang yang digadaikan (murtahan).
Jika kita mengatakan bahwa jual beli sah dalam kasus pembunuhan sengaja (qatl ‘amd), lalu budak itu dibunuh di tangan pembeli, maka terdapat dua pendapat:
Abu al-‘Abbās dan Abu ‘Alī bin Abī Hurairah berpendapat: jika pembeli mengetahui adanya tindak pidana saat akad, maka ia tidak berhak menuntut ganti rugi (arsy); namun jika tidak mengetahuinya, maka ia berhak menuntut ganti rugi cacat, karena keterkaitan hukuman mati pada leher budak itu seperti cacat — karena masih ada harapan selamat, dan kemungkinan binasa — maka keadaannya seperti orang sakit. Maka apabila seseorang membeli orang sakit lalu ia wafat, dan pembeli sudah mengetahui sakitnya, maka tidak bisa menuntut ganti rugi; tetapi jika ia tidak mengetahui, maka ia berhak menuntut. Demikian pula dalam hal ini.
Berdasarkan itu, jika pembeli tidak tahu bahwa budak tersebut telah melakukan kejahatan, lalu ia dibunuh, sementara sebagian budak yang dibeli pelaku kejahatan dan sebagian bukan, maka pembeli berhak meminta pengembalian selisih harga antara keduanya.
Adapun Abu Ishaq berpendapat: terjadinya pembunuhan itu statusnya seperti barang yang terbukti bukan milik penjual (istiḥqāq), dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam nash. Maka, jika budak itu dibunuh, akad menjadi batal dan pembeli berhak menuntut kembali seluruh harga kepada penjual, baik ia tahu tentang kejahatan saat akad maupun tidak, karena kepemilikannya atas budak tersebut telah hilang disebabkan sesuatu yang berasal dari masa sebelum akad, yaitu saat berada di tangan penjual, maka keadaannya seperti jika budak itu terbukti milik orang lain. Berbeda dengan orang sakit.
فإنه لم يمت بالمريض الذي في يد البائع وإنما مات بزيادة مرض حدث في يد المشتري فلم يرجع بجميع الثمن وإن اشترى عبداً مرتداً فقتل في يده ففيه وجهان: في قول أبي إسحاق ينفسخ البيع ويرجع بالثمن وعلى قول أبي العباس وأبي علي بن أبي هريرة إن كان قد علم بالردة لم يرجع بالأرش وإن لم يعلم رجع بالأرش ووجههما ما ذكرناه في الجاني عمداً وإن قتل العبد في المحاربة وانحتم قتله فقد ذكر الشيخ أبو حامد الاسفرايني رحمه الله في التعليق أن البيع باطل لأنه لا منفعة فيه لأنه مستحق القتل فلا يصح بيعه كالحشرات وقال شيخنا القاضي أبو الطيب يصح بيعه لأن فيه منفعة وهو أن يعتقه فصح بيعه كالزمن فعلى هذا إذا قتل في يد المشتري فحكمه حكم القاتل عمداً في غير المحاربة وقد بيناه.
Karena budak yang sakit tidak wafat disebabkan penyakit yang berasal dari tangan penjual, melainkan karena penyakitnya bertambah ketika berada di tangan pembeli, maka pembeli tidak berhak menuntut pengembalian seluruh harga.
Jika seseorang membeli budak yang murtad lalu budak itu dibunuh ketika berada di tangan pembeli, maka terdapat dua pendapat:
Menurut pendapat Abū Isḥāq, akadnya batal dan pembeli berhak menuntut kembali seluruh harga.
Menurut pendapat Abū al-‘Abbās dan Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, jika pembeli telah mengetahui kemurtadan budak tersebut saat akad, maka ia tidak berhak menuntut ganti rugi (arsy); namun jika ia tidak mengetahuinya, maka ia berhak menuntut ganti rugi. Dasar dua pendapat ini sama seperti yang telah dijelaskan dalam kasus budak yang melakukan pembunuhan dengan sengaja.
Jika budak dibunuh karena ikut berperang melawan kaum muslimin (muḥārabah) dan hukumannya adalah wajib dibunuh, maka Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarā’īnī rahimahullāh menyebutkan dalam at-Ta‘liq bahwa jual belinya batal, karena tidak ada manfaat pada budak tersebut, sebab ia wajib dibunuh, maka tidak sah dijual sebagaimana binatang atau serangga yang harus dibunuh.
Namun Syaikh kami, al-Qāḍī Abū Ṭayyib berpendapat bahwa jual belinya sah karena masih ada manfaat darinya, yaitu bisa dimerdekakan, maka sah dijual sebagaimana orang lumpuh (az-zaman). Berdasarkan pendapat ini, jika budak tersebut dibunuh di tangan pembeli, maka hukumnya seperti budak pembunuh sengaja selain dalam kasus muḥārabah, dan itu telah dijelaskan sebelumnya.
فصل: إذا باع بشرط البراءة من العيب ففيه طريقان: أحدهما وهو قول أبي سعيد الأسطخري أن المسألة على ثلاثة أقوال: أحدهما أنه يبرأ من كل عيب لأنه عيب رضي به المشتري فبرئ منه البائع ما لو أوقفه عليه والثاني لا يبرأ من شيء من العيوب لأنه شرط يرتفق به أحد المبايعين فلم يصح مع الجهالة كالأجل المجهول والرهن المجهول والثالث أنه لا يبرأ إلا من عيب واحد وهو العيب الباطن في الحيوان الذي لا يعلم به البائع لما روى سالم أن أباه باع غلاماً بثمانمائة بالبراءة من كل آفة فوجد الرجل به عيباً فخاصمه إلى عثمان رضي الله عنه فقال عثمان لابن عمر: احلف لقد بعته وما به من داء تعلمه فأبى ابن عمر أن يحلف وقبل الغلام فباعه بعد ذلك بألف وخمسمائة فدل على أنه يبرأ مما لا يعلم ولا يبرأ مما علمه
PASAL: Jika seseorang menjual dengan syarat bara’ah min al-‘ayb (peniadaan tanggungan cacat), maka ada dua metode penyampaian pendapat:
Metode pertama — yang merupakan pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī — menyatakan bahwa dalam masalah ini terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama: penjual terbebas dari semua cacat, karena itu dianggap cacat yang telah diridhai oleh pembeli, maka penjual terbebas darinya sebagaimana jika ia ditunjukkan secara langsung.
Pendapat kedua: penjual tidak terbebas dari satu pun cacat, karena syarat tersebut hanya menguntungkan salah satu pihak dalam akad, maka tidak sah apabila bersifat tidak jelas, seperti waktu tempo yang tidak diketahui atau barang jaminan yang tidak diketahui.
Pendapat ketiga: penjual hanya terbebas dari satu jenis cacat, yaitu cacat tersembunyi pada hewan yang tidak diketahui oleh penjual. Hal ini berdasarkan riwayat dari Sālim, bahwa ayahnya menjual seorang budak seharga delapan ratus dengan syarat bebas dari segala cacat. Lalu pembeli menemukan cacat pada budak tersebut dan menggugatnya kepada ‘Utsmān RA. Maka ‘Utsmān berkata kepada Ibn ‘Umar: “Bersumpahlah bahwa engkau menjualnya dan engkau tidak mengetahui adanya penyakit padanya.” Namun Ibn ‘Umar enggan bersumpah dan menerima pengembalian budak tersebut. Lalu ia menjualnya kembali seharga seribu lima ratus. Maka ini menunjukkan bahwa penjual terbebas dari cacat yang tidak ia ketahui, namun tidak terbebas dari cacat yang ia ketahui.
قال الشافعي رحمه الله: ولأن الحيوان يفارق ما سواه لأنه يغتذي بالصحة والسقم وتحول طبائعه وقلما يبرأ من عيب يظهر أو يخفي فدعت الحاجة إلى التبرئ من العيب الباطن فيه لأنه لا سبيل إلى معرفته وتوقيف المشتري عليه وهذا المعنى لا يوجد في العيب الظاهر ولا في العيب الباطن في غير الحيوان فلم يجز التبري منه مع الجهالة والطريق الثاني أن المسألة على قول واحد وهو أنه يبرأ من عيب باطن في الحيوان لم يعلم به ولا يبرأ من غيره وتأول هذا القائل ما أشار إليه الشافعي من القولين الآخرين على أنه حكى ذلك عن غيره ولم يختره لنفسه
Imam al-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: Karena hewan berbeda dari selainnya, sebab ia mengalami perubahan karena kesehatan, penyakit, dan perubahan tabiat, dan jarang sekali benar-benar bebas dari cacat — baik yang tampak maupun tersembunyi — maka kebutuhan menuntut adanya peniadaan tanggungan (tabarrī) dari cacat batin padanya, karena tidak ada jalan untuk mengetahuinya dan tidak mungkin penjual memberitahukannya kepada pembeli. Makna ini tidak terdapat pada cacat yang tampak, juga tidak terdapat pada cacat batin pada selain hewan, maka tidak diperbolehkan peniadaan tanggungan darinya jika disertai ketidakjelasan.
Metode penyampaian kedua menyatakan bahwa masalah ini hanya memiliki satu pendapat, yaitu bahwa penjual terbebas dari cacat batin pada hewan yang tidak ia ketahui, dan tidak terbebas dari selain itu. Pendukung pendapat ini menafsirkan dua pendapat lain yang disebut oleh al-Syāfi‘ī sebagai pendapat yang beliau riwayatkan dari selain dirinya, dan bukan yang beliau pilih sebagai pendapat sendiri.
فإن قلنا إن الشرط باطل فهل يبطل البيع فيه وجهان: أحدهما لا يبطل البيع ويرد المبيع لحديث عثمان رضي الله عنه فإنه أمضى البيع والثاني أنه يبطل البيع لأن هذا الشرط يقتضي جزءاً من الثمن تركه البائع لأجل الشرط فإذا سقط وجب أن يرد الجزء الذي تركه بسبب الشرط وذلك مجهول والمجهول إذا أضيف إلى معلوم صار الجميع مجهولاً فيصير الثمن مجهولاً ففسد العقد والله أعلم.
Maka jika dikatakan bahwa syarat itu batal, apakah jual belinya juga batal? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, jual belinya tidak batal dan barang dikembalikan, berdasarkan hadis dari ‘Utsmān RA bahwa beliau mengesahkan jual beli tersebut.
Kedua, jual belinya batal karena syarat tersebut mengandung bagian dari harga yang ditinggalkan oleh penjual demi syarat itu. Maka jika syaratnya gugur, wajib mengembalikan bagian harga yang ditinggalkan karena syarat itu, dan bagian tersebut tidak diketahui. Sesuatu yang tidak diketahui apabila digabungkan dengan sesuatu yang diketahui, maka keseluruhannya menjadi tidak diketahui. Akibatnya, harga menjadi tidak diketahui, sehingga akad menjadi rusak. Wallāhu a‘lam.
باب بيع المرابحة
من اشترى سلعة جاز له بيعها برأس المال وبأقل منه وبأكثر منه لقوله صلى الله عليه وسلم: “إذا اختلف الجنسان فبيعوا كيف شئتم” ويجوز أن يبيعها مرابحة وهو أن يبين رأس المال وقدر الربح بأن يقول ثمنها مائة وقد بعتكها برأس مالها وربح درهم في كل عشرة لما روي عن ابن مسعود رضي الله عنه أنه كان لايرى بأساً بده يازده وده دواز ده ولأنه ثمن معلوم فجاز البيع به كما لو قال بعتك بمائة وعشرة ويجوز أن يبيعها مواضعة رأن يقول رأس مالها مائة وقد بعتك برأس مالها ووضع درهم من كل عشرة لأنه ثمن معلوم فجاز البيع به كما لو قال بعتك بمائة إلا عشرة ويجوز أن يبيع بعضه مرابحة
Bab Jual Beli Murābaḥah
Barang siapa membeli suatu barang, maka boleh baginya menjualnya dengan harga pokok, atau kurang darinya, atau lebih darinya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Jika berlainan jenis, maka juallah sebagaimana kalian kehendaki.”
Boleh juga menjualnya dengan sistem murābaḥah, yaitu dengan menjelaskan harga pokok dan besar keuntungan, seperti mengatakan: “Harga pokoknya seratus, dan aku jual kepadamu dengan harga pokok ditambah keuntungan satu dirham dari setiap sepuluh,” karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd RA bahwa beliau tidak melihat masalah dengan ucapan dah yāzdah (sepuluh jadi sebelas) dan dah dwāzdah (sepuluh jadi dua belas).
Dan karena itu adalah harga yang jelas, maka boleh menjual dengannya sebagaimana jika ia berkata: “Aku jual kepadamu seharga seratus sepuluh.”
Boleh juga menjualnya dengan sistem muwāḍa‘ah, yakni dengan mengatakan: “Harga pokoknya seratus, dan aku jual kepadamu dengan potongan satu dirham dari setiap sepuluh,” karena itu adalah harga yang jelas, maka boleh menjual dengannya sebagaimana jika ia berkata: “Aku jual kepadamu seharga seratus dikurangi sepuluh.”
Dan boleh juga menjual sebagian dari barang itu dengan sistem murābaḥah.
فإن كان مما لا تختلف أجزاؤه كالطعام والعبد والواحد قسم الثمن على أجزائه وباع ما يريد بيعه منه بحصته وإن كان مما يختلف كالثوبين والعبدين قومهما وقسم الثمن عليهما على قدر قيمتهما ثم باع ما شاء منهما بحصته من الثمن لأن الثمن ينقسم على المبيعين على قدر قيمتهما ولهذا لو اشترى سيفاً وشقصاً بألف قسم الثمن عليهما على قدر قيمتهما ثم أخذ الشفيع الشقص بما يخصه من الثمن على قدر قيمته.
Maka jika barang tersebut termasuk yang tidak berbeda-beda bagiannya seperti makanan, budak, atau satu benda yang serupa, maka harga dibagi atas bagian-bagiannya dan ia boleh menjual sebagian yang ingin ia jual dengan bagian harganya.
Namun jika termasuk barang yang berbeda-beda seperti dua kain atau dua budak, maka keduanya dinilai (ditaksir) dan harga dibagi di antara keduanya sesuai kadar nilainya. Lalu ia menjual yang ia kehendaki di antara keduanya dengan bagian harganya menurut kadar nilainya.
Karena harga itu terbagi atas dua barang yang dibeli sesuai kadar nilainya. Oleh karena itu, jika seseorang membeli sebilah pedang dan sebidang tanah (hak milik sebagian) seharga seribu, maka harga itu dibagi antara keduanya menurut kadar nilainya. Kemudian orang yang memiliki hak syuf‘ah dapat mengambil bagian tanah sesuai bagian harganya menurut kadar nilainya.
فصل: ولا يخبر بالثمن إلا بالذي لزم به البيع فإن اشترى بثمن ثم حط البائع عنه بعضه أو ألحق به زيادة نظرت فإن كان بعد لزوم العقد لم يلحق ذلك بالعقد ولم يحط في بيع المرابحة ما حط عنه ولا يخبر بالزيادة فيما زاد لأن البيع استقر بالثمن الأول فالحط والزيادة تبرع لا يقابله عوض فلم يتغير به الثمن وإن كان ذلك في مدة الخيار لحق بالعقد وجعل الثمن ماتقرر بعد الحط والزيادة وقال أبو علي الطبري: إن قلنا أن المبيع ينتقل بنفس العقد لم يلحق به لأن المبيع قد ملكه بالثمن الأول فلم يتغير بما بعده والمذهب الأول لأنه وإن كان قد انتقل المبيع إلا أن البيع لم يستقر فجاز أن يتغير الثمن بما يلحق به
PASAL: Tidak boleh memberitahukan harga dalam murābaḥah kecuali dengan harga yang menyebabkan jual beli menjadi sah.
Jika seseorang membeli suatu barang dengan harga tertentu, lalu penjual mengurangi sebagian harga atau menambahkan sesuatu kepadanya, maka hal ini dilihat dari waktunya:
Jika pengurangan atau penambahan itu terjadi setelah jual beli menjadi pasti (tanpa khiyār), maka hal tersebut tidak dianggap sebagai bagian dari akad. Maka dalam jual beli murābaḥah, tidak dihitung pengurangan sebagai pengurang harga, dan tidak pula disebutkan tambahan, karena jual beli telah sah dengan harga pertama. Pengurangan maupun penambahan itu dianggap sebagai pemberian sukarela (tabarru‘) yang tidak memiliki nilai tukar, sehingga tidak mengubah harga.
Namun jika pengurangan atau penambahan itu terjadi dalam masa khiyār (hak memilih membatalkan atau melanjutkan akad), maka itu dianggap menyatu dengan akad. Maka harga dianggap sesuai yang telah ditetapkan setelah pengurangan atau penambahan.
Abū ‘Alī al-Ṭabarī berkata: Jika kita berpendapat bahwa barang berpindah kepemilikan dengan semata akad, maka pengurangan atau penambahan tidak dianggap, karena barang telah dimiliki dengan harga pertama, maka tidak berubah dengan sesuatu yang datang setelahnya.
Namun pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, yaitu bahwa meskipun barang telah berpindah, tetapi karena jual beli belum pasti (masih dalam masa khiyār), maka boleh harga berubah dengan hal-hal yang datang setelahnya.
وإن اشترى ثوباً بعشرة وقصره بدرهم ورفاه بدرهم وطرزه بدرهم قال هو علي بثلاثة عشر وما أشبه ذلك ولا يقول اشتريت بثلاثة عشر ولا يقول ثمنه ثلاثة عشر لأن ذلك كذب وإن قال رأس مالي ثلاثة عشر ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز أن يقول لأن رأس المال هو الثمن والثمن عشرة والثاني يجوز لأن رأس المال ما وزن فيه وقد وزن فيه ثلاثة عشر وإن عمل فيه ذلك بيده قال اشتريته بعشرة وعملت فيه ما يساوي ثلاثة ولا يقول هو علي بثلاثة عشر لأن عمله لنفسه لا أجرة له ولا يتقوم عليه وإن اشترى عيناً بمائة ووجد بها عيباً وحدث عنده عيب آخر فرجع بالأرش وهو عشرة دراهم قال هي علي بتسعين أو تقوم علي بتسعين ولا يجوز أن يقول الثمن مائة لأن الرجوع بالأرش استرجاع جزء من الثمن فخرج عن أن يكون الثمن مائة ولا يقول اشتريتها بتسعين لأنه كذب
Jika seseorang membeli sehelai kain seharga sepuluh, lalu memotongnya seharga satu dirham, menjahitnya seharga satu dirham, dan menyulamnya seharga satu dirham, kemudian ia berkata: “Biayanya atas saya tiga belas dirham” atau yang semisalnya, maka itu dibolehkan. Namun ia tidak boleh mengatakan: “Saya membelinya seharga tiga belas” dan tidak boleh mengatakan: “Harganya tiga belas”, karena itu adalah dusta.
Jika ia berkata: “Modal saya tiga belas”, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh ia mengatakan demikian, karena ra’s al-māl adalah harga beli, dan harga belinya adalah sepuluh.
Kedua, boleh ia mengatakan demikian, karena ra’s al-māl adalah apa yang telah dikeluarkan untuk barang tersebut, dan ia telah mengeluarkan tiga belas.
Jika ia sendiri yang mengerjakannya, maka ia berkata: “Saya membelinya sepuluh, dan saya mengerjakan sendiri sesuatu yang senilai tiga.” Dan ia tidak boleh mengatakan: “Biayanya atas saya tiga belas”, karena pekerjaannya untuk dirinya sendiri tidak ada upahnya dan tidak bisa dinilai atas dirinya.
Jika seseorang membeli suatu barang seharga seratus dan mendapati padanya cacat, lalu setelah itu muncul cacat lain (setelah diterima), dan ia mengambil ganti kerusakan (al-arasy) sebesar sepuluh dirham, maka ia berkata: “Biayanya atas saya sembilan puluh” atau “Nilainya atas saya sembilan puluh.” Dan tidak boleh ia mengatakan: “Harganya seratus”, karena pengambilan arasy adalah pengambilan kembali sebagian dari harga, maka tidak lagi disebut harganya seratus. Dan tidak boleh pula ia berkata: “Saya membelinya seharga sembilan puluh”, karena itu adalah dusta.
وإن كان المبيع عبداً فجنى ففداه بأرش الجناية لم يضف ما فداه إلى الثمن لأن الفداء جعل لاستبقاء الملك فلم يضف إلى الثمن كعلف البهيمة وإن جنى عليه فأخذ الأرش ففيه وجهان: أحدهما أنه لا يحط من الثمن قدر الأرش لأنه كما لا يضيق ما فدى به الجناية إلى الثمن لا يحط ما أخذ عن أرش الجناية عن الثمن والثاني أنه يحط لأنه عوض عن جزء تناوله البيع فحط من الثمن كأرش العيب وإن حدثت من العين فوائد في ملكه كالولد واللبن والثمرة لم يحط ذلك من الثمن لأن العقد لم يتناوله وإن أخذ ثمرة كانت موجودة عند العقد أو لبناً كان موجوداً حال العقد حط من الثمن لأن العقد تناوله وقابله قسط من الثمن فأسقط ما قابله وإن أخذ ولداً كان موجوداً حال العقد فإن قلنا إن الحمل له حكم فهو كاللبن والثمرة
Jika barang yang dijual adalah seorang budak, lalu ia melakukan tindak pidana (jināyah), kemudian penjual menebusnya dengan membayar arsy (ganti rugi), maka tebusan tersebut tidak ditambahkan ke dalam harga barang, karena tebusan itu diberikan untuk mempertahankan kepemilikan, maka tidak dianggap bagian dari harga — seperti halnya biaya pakan hewan ternak.
Jika budak itu yang menjadi korban tindak pidana dan penjual mengambil arsy-nya, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: arsy tersebut tidak mengurangi harga barang, karena sebagaimana tebusan untuk jinayah tidak ditambahkan ke dalam harga, maka arsy atas jinayah juga tidak mengurangi harga.
Pendapat kedua: arsy tersebut mengurangi harga, karena ia merupakan kompensasi atas bagian dari barang yang tercakup dalam jual beli, maka mengurangi harga seperti arsy karena cacat (‘ayb).
Jika dari barang itu muncul manfaat dalam kepemilikannya, seperti anak, susu, atau buah, maka itu tidak mengurangi harga karena tidak termasuk dalam cakupan akad.
Namun jika penjual mengambil buah yang sudah ada saat akad, atau susu yang sudah ada ketika akad, maka itu mengurangi harga karena termasuk dalam akad dan telah mendapat bagian dari harga, maka bagian tersebut harus dikurangkan.
Dan jika penjual mengambil anak yang telah ada saat akad, maka jika kita berpendapat bahwa janin memiliki hukum tersendiri, maka hukumnya sama seperti susu dan buah.
وإن قلنا لا حكم له لم يحط من الثمن شيئاً وإن ابتاع بثمن مؤجل لم يخبر بثمن مطلق لأن الأجل يأخذ جزءاً من الثمن فإن باعه مرابحة ولم يخبره بالأجل ثم علم المشتري بذلك ثبت له الخيار بذلك لأنه دلس عليه بما يأخذ جزءاً من الثمن فثبت له الخيار كما لو باعه شيئاً وبع عيب ولم يعلمه بعيبه وإن اشترى شيئاً بعشرة وباعه بخمسة ثم اشتراه بعشرة أخبر بعشرة ولا يضم ما خسر فيه إلى الثمن ففإن اشترى بعشرة وباعه بخمسة عشر ثم اشتراه بعشرة ثم أخبر بعشرة ولا يحط ما ربح من الثمن لأن الثمن ما ابتاع به في العقد الذي هو مالك به وذلك عشرة وإن اشترى بعشرة ثم واطأ غلامه فباع منه ثم اشتراه منه بعشرين ليخبر بما اشتراه من الغلام كره ما فعله لأنه لو صرح بذلك في العقد فسد العقد فإذا قصده كره فإن أخبر بالعشرين في بيع المرابحة جاز بيعه من الغلام كبيعه من الأجنبي في الصحة فجاز أن يخبر بما اشترى به منه فإن علم بذلك المشتري لم يثبت له الخيار لأن شراءه بعشرين صحيح.
Jika kita mengatakan bahwa perbuatan itu tidak memiliki dampak hukum, maka tidak dikurangi sedikit pun dari harga.
Jika ia membeli dengan harga yang ditangguhkan pembayarannya (tidak tunai), maka ia tidak boleh memberitakan harga seolah-olah harga tunai, karena penangguhan itu mengambil bagian dari harga. Jika ia menjualnya dengan sistem murābaḥah tanpa memberitahu adanya penangguhan, lalu pembeli mengetahui hal itu, maka ia memiliki hak khiyār, karena ia telah ditipu dengan sesuatu yang mengambil bagian dari harga, maka tetap baginya hak khiyār, sebagaimana jika menjual sesuatu yang cacat namun tidak memberitahu kecacatannya.
Jika ia membeli sesuatu seharga sepuluh lalu menjualnya seharga lima, kemudian ia membelinya lagi seharga sepuluh, maka ia mengabarkan bahwa ia membelinya seharga sepuluh dan tidak menyatukan kerugian sebelumnya dengan harga tersebut.
Jika ia membeli seharga sepuluh lalu menjualnya seharga lima belas, kemudian ia membelinya lagi seharga sepuluh, maka ia mengabarkan harga sepuluh dan tidak mengurangi keuntungan yang sebelumnya dari harga, karena harga yang diperhitungkan adalah harga dalam akad yang ia miliki atas barang tersebut, yaitu sepuluh.
Jika ia membeli seharga sepuluh lalu menyuruh budaknya untuk membeli darinya, kemudian ia membeli kembali dari budaknya seharga dua puluh dengan tujuan agar ia bisa mengabarkan bahwa ia membelinya dari budaknya, maka hal itu makruh karena jika ia menyatakan tujuannya dalam akad maka akadnya batal. Maka ketika ia meniatkannya, hukumnya menjadi makruh.
Namun jika ia mengabarkan harga dua puluh dalam jual beli murābaḥah, maka jual belinya dari budaknya sah sebagaimana sahnya jual beli dari orang lain. Maka ia boleh mengabarkan harga sesuai yang ia beli dari budaknya. Dan jika pembeli mengetahui hal itu, maka tidak tetap baginya hak khiyār, karena pembelian seharga dua puluh itu sah.
فصل: إذا قال رأس المال مائة وقد بعتكه برأس المال وربح درهم في كل عشرة أو بربح ده يازده فالثمن مائة وعشرة وإن قال بعتك برأس المال ووضع ده يازده فالثمن أحد وتسعون درهماً إلا جزءاً من أحد عشر جزءاً من درهم لأنه معناه بعتك بمائة على أن أضع درهماً من كل أحد عشر درهما فسقط تسعة وتسعين درهماً لأنها تسع مرات أحد عشر ويبقى من رأس المال درهم فيسقط منه جزء من أحد عشر جزءاً فيكون الباقي أحداً وتسعين درهماً إلا جزءاً من أحد عشر جزءاً من درهم وإن قال: بعتك على وضع درهم من كل عشرة ففي الثمن وجهان: أحدهما أن الثمن أحد وتسعون درهماً إلا جزءاً من أحد عشر جزءاً من درهم وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفراييني رحمه الله والثاني أن الثمن تسعون درهماً وهو قول شيخنا القاضي أبي الطيب الطبري رحمه الله وهو الصحيح لأن المائة عشرة مرات عشرة فإذا وضع من كل عشرة درهماً بقي تسعون.
PASAL: Jika seseorang berkata, “Harga pokoknya seratus, dan aku menjualnya kepadamu dengan harga pokok ditambah keuntungan satu dirham dari setiap sepuluh,” atau ia berkata, “dengan keuntungan dah yāzdah (sepuluh jadi sebelas),” maka harga jualnya adalah seratus sepuluh dirham.
Dan jika ia berkata, “Aku jual kepadamu dengan harga pokok dan pengurangan dah yāzdah (sepuluh jadi sembilan),” maka harga jualnya adalah sembilan puluh satu dirham kurang satu bagian dari sebelas bagian dari satu dirham, karena maknanya adalah: “Aku jual kepadamu dengan harga seratus, dan aku mengurangi satu dirham dari setiap sebelas dirham.” Maka terkurangi sebanyak sembilan puluh sembilan dirham (karena sembilan kali sebelas), dan tersisa satu dirham dari harga pokok. Maka dari satu dirham itu dikurangi satu bagian dari sebelas, sehingga sisanya adalah sembilan puluh satu dirham kurang satu bagian dari sebelas bagian dari satu dirham.
Dan jika ia berkata: “Aku jual kepadamu dengan pengurangan satu dirham dari setiap sepuluh,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
- Pendapat pertama: harga jualnya adalah sembilan puluh satu dirham kurang satu bagian dari sebelas bagian dari satu dirham, dan ini adalah pendapat Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarā’īnī rahimahullā
- Pendapat kedua: harga jualnya adalah sembilan puluh dirham, dan ini adalah pendapat Syaikh kami al-Qāḍī Abū al-Ṭayyib al-Ṭabarī rahimahullāh, dan ini yang shahih, karena seratus itu terdiri dari sepuluh kali sepuluh, maka jika dikurangi satu dirham dari setiap sepuluh, maka yang tersisa adalah sembilan puluh.
فصل: إذا أخبر أن رأس المال مائة وباع على ربح درهم في كل عشرة ثم قال أخطأت أو قامت البينة أن الثمن كان تسعين فالبيع صحيح وحكى القاضي أبو حامد وجهاً آخر أن البيع باطل لأنه بان أن الثمن كان تسعين وأن ربحها تسعة هذا كان مجهولاً حال العقد فكان العقد باطلاً والمذهب الأول لأن البيع عقد على ثمن معلوم وإنما سقط بعضه بالتدليس وسقوط بعض الثمن لا يفسد البيع كسقوط بعض الثمن بالرجوع بأرش العيب وأما الثمن الذي يأخذه به ففيه قولان: أحدهما أنه مائة وعشرة لأن المسمى في العقد مائة وعشرة فإذا بان تدليس من جهة البائع لم يسقط من الثمن شيء كما لو باعه شيئاً بثمن فوجد به عيباً
PASAL: Jika seseorang mengabarkan bahwa ra’s al-māl-nya adalah seratus, lalu ia menjualnya dengan keuntungan satu dirham pada setiap sepuluh dirham, kemudian ia berkata, “Saya keliru,” atau muncul bukti bahwa harga sebenarnya adalah sembilan puluh, maka jual belinya tetap sah.
Al-Qāḍī Abū Ḥāmid meriwayatkan pendapat lain bahwa jual belinya batal, karena ternyata harga sebenarnya adalah sembilan puluh, dan keuntungannya adalah sembilan, maka hal ini tidak diketahui pada saat akad, sehingga akadnya batal.
Namun pendapat yang menjadi mazhab adalah pendapat pertama, karena jual beli tersebut adalah akad atas harga yang diketahui, hanya saja sebagian dari harganya gugur karena adanya penipuan (tadlīs), dan gugurnya sebagian harga tidak membatalkan jual beli, seperti halnya gugurnya sebagian harga karena pengembalian arasy cacat.
Adapun harga yang harus ia ambil, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa harganya adalah seratus sepuluh, karena yang disebutkan dalam akad adalah seratus sepuluh. Maka jika ternyata terdapat tadlīs dari pihak penjual, maka tidak gugur sedikit pun dari harga, sebagaimana jika ia menjual sesuatu dengan harga tertentu lalu ternyata padanya terdapat cacat.
والثاني أن الثمن تسعة وتسعون وهو الصحيح لأنه نقل ملك يعتبر فيه الثمن الأول فإذا أخبر بزيادة وجب حط الزيادة كالشفعة والتولية ويخالف العيب فإن هناك الثمن هو المسمى في العقد وههنا الثمن هو رأس المال وقدر الربح وقد بان أن رأس المال تسعون والربح تسعة فإن قلنا إن الثمن مائة وعشرة فهو بالخيار بين أن يمسك المبيع بالثمن وبين أن يفسخ لأنه دخل على أن يأخذ المبيع برأس المال وهذا أكثر من رأس المال فثبت له الخيار وإن قلنا إن الثمن تسعة وتسعون فهل يثبت له الخيار؟ اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال فيه قولان: أحدهما أن له الخيار لأنه إن كان قد أخطأ في الخبر الأول لم يأمن أنيكون قد أخطأ في الثاني وأن لا ثمن غيره وإن كان قد خان في الأول فلا يأمن أن يكون قد خان في الثاني فثبت له الخيار
Pendapat kedua menyatakan bahwa harga jualnya adalah sembilan puluh sembilan, dan ini adalah pendapat yang shahih, karena ini adalah pemindahan kepemilikan yang mengacu pada harga pertama. Maka apabila penjual memberitakan adanya tambahan harga, wajib dikurangi tambahan tersebut, sebagaimana dalam kasus syuf‘ah dan tawliyah. Ini berbeda dengan kasus cacat (‘ayb), karena di sana harga adalah yang disebutkan dalam akad, sedangkan di sini harga adalah harga pokok (ra’s al-māl) dan nilai keuntungan (ribh), dan telah jelas bahwa harga pokok adalah sembilan puluh dan keuntungan sembilan.
Jika kita katakan bahwa harga jualnya adalah seratus sepuluh, maka pembeli berhak memilih antara tetap mengambil barang dengan harga tersebut atau membatalkan, karena ia masuk ke dalam akad dengan keyakinan bahwa harga yang dibayar adalah harga pokok, sementara ini ternyata lebih tinggi, maka ia berhak khiyār.
Namun jika kita katakan bahwa harga jualnya adalah sembilan puluh sembilan, maka apakah pembeli tetap berhak khiyār? Para ulama kami berbeda pendapat:
Sebagian dari mereka mengatakan bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa pembeli berhak khiyār, karena jika penjual keliru dalam pemberitaan pertama (soal harga pokok), tidak ada jaminan bahwa ia tidak keliru dalam pemberitaan kedua (soal total harga), dan bisa jadi tidak ada harga lain yang sebenarnya. Jika penjual telah berkhianat pada pemberitaan pertama, maka tidak ada jaminan bahwa ia tidak juga berkhianat pada yang kedua. Maka pembeli tetap memiliki hak khiyār.
والقول الثاني وهو الصحيح أنه لاخيار له لأن الخيار إنما يثبت لنقص وضرر وهذا زيادة ونفع لأنه دخل على أن الثمن مائة وعشرة وقد رجع إلى تسعة وتسعين فلا وجه للخيار ومنهم من قال إن ثبتت الخيانة بإقرار البائع لزم المشتري تسعة وتسعون ولا خيار له وإن ثبتت بالبينة فهل له الخيار أم لا فيه قولان لأنه إذا ثبتت بالإقرار دل على أمانته فلم يتهم في خيانة أخرى وإذا ثبتت بالبينة كان متهماً في خيانة أخرى فثبت له الخيار قال أصحابنا: القولان إذا كانت العين باقية فأما إذا تلفت العين فإنه يلزم البيع بتسعة وتسعين قولاً واحداً
Pendapat kedua — dan ini yang shahih — menyatakan bahwa pembeli tidak memiliki hak khiyār, karena khiyār hanya ditetapkan ketika terdapat kekurangan dan kerugian, sedangkan dalam kasus ini justru terjadi penambahan dan keuntungan. Ia masuk ke dalam akad dengan anggapan harga seratus sepuluh, lalu ternyata kembali menjadi sembilan puluh sembilan, maka tidak ada alasan untuk menetapkan hak khiyār.
Sebagian ulama kami juga mengatakan: jika terbuktinya kecurangan karena pengakuan penjual, maka harga yang wajib dibayar pembeli adalah sembilan puluh sembilan, dan tidak ada hak khiyār. Namun jika kecurangan terbukti dengan kesaksian, maka apakah pembeli berhak khiyār atau tidak, terdapat dua pendapat:
- Karena jika terbukti melalui pengakuan penjual, maka itu menunjukkan bahwa ia dapat dipercaya, maka tidak dituduh melakukan kecurangan lain.
- Tetapi jika terbukti melalui kesaksian, maka ia masih dicurigai melakukan kecurangan lain, maka pembeli berhak khiyā
Para ulama kami juga menyatakan: dua pendapat ini berlaku jika barang masih ada. Adapun jika barang telah rusak atau hilang, maka jual beli berlaku dengan harga sembilan puluh sembilan, menurut satu pendapat saja (tanpa ada perbedaan pendapat).
لأنا لو جوزنا له فسخ البيع مع تلف العين رفعنا الضرر عنه وألحقناه بالبائع والضرر لا يزال بالضرر ولهذا لو هلك المبيع عنده ثم علم به عيباً لم يملك الفسخ فإن قلنا لاخيار له وإن قلنا له الخيار فاختار البيع فهل يثبت للبائع الخيار؟ فيه وجهان: أحدهما يثبت له الخيار لأنه لم يرض إلا بالثمن المسمى وهو مائة وعشرة ولم يسلم له ذلك والثاني لاخيار له لأنه رضي برأس المال وربحه وقد حصل له ذلك.
Karena jika kita membolehkan pembeli membatalkan jual beli padahal barang sudah rusak atau hilang, berarti kita mengalihkan kerugian darinya kepada penjual, dan kerugian tidak boleh dihilangkan dengan menimpakan kerugian kepada pihak lain. Oleh karena itu, jika barang rusak di tangan pembeli kemudian ia mengetahui ada cacat padanya, maka ia tidak berhak membatalkan akad.
Jika kita katakan bahwa pembeli tidak memiliki hak khiyār, maka selesai. Namun jika kita katakan bahwa ia memiliki hak khiyār, lalu ia memilih untuk tetap membeli, maka apakah penjual juga berhak khiyār?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
- Pendapat pertama: Penjual berhak khiyār, karena ia hanya ridha dengan harga yang disebutkan, yaitu seratus sepuluh, dan ternyata tidak ia terima.
- Pendapat kedua: Penjual tidak berhak khiyār, karena ia telah ridha dengan harga pokok beserta keuntungannya, dan itu telah ia peroleh.
فصل: وإن أخبر أن الثمن مائة وربحه عشرة ثم قال أخطأت والثمن مائة وعشرة لم يقبل قوله لأنه رجوع عن إقرار متعلق به حق آدمي فلم يقبل كما لو أقر له بدين وإن قال لي بينة على ذلك لم تسمع لأنه كذب بالإقرار السابق بينته فلم تقبل فإن قال أحلفوا لي المشتري أنه لا يعلم أن الثمن مائة وعشرة ففيه طريقان: أحدهما أنه إن قال ابتعته بنفسي لم يحلف المشتري لأن إقراره بكذبه وإن قال إبتاعه وكيل لي فظننت أنه ابتاع بمائة وقد بان لي أنه ابتاع بمائة وعشرة حلف لأنه الآن لا يكذبه إقراره والثاني أنه يبني على القولين في يمين المدعي مع نكول المدعي عليه فإن قلنا أنه كالبينة لم يعرض اليمين لأنه إذا نكل حصلنا على بينة والبينة لا تسمع وإن قلنا أنه كالإقرار عرضنا اليمين لأنه إذا نكل حصلنا على الإقرار وإقراره مقبول.
PASAL: Jika seseorang mengabarkan bahwa harga (modal) adalah seratus dan keuntungannya sepuluh, lalu ia berkata, “Saya keliru, ternyata harganya adalah seratus sepuluh,” maka ucapannya tidak diterima, karena itu merupakan pencabutan dari pengakuan yang terkait dengan hak manusia, maka tidak diterima, sebagaimana jika ia mengakui utang kepada seseorang lalu mencabutnya.
Jika ia berkata, “Aku memiliki bukti atas hal itu,” maka buktinya tidak diterima, karena ia telah mendustakan bukti tersebut dengan pengakuannya yang terdahulu, maka tidak diterima.
Jika ia berkata, “Suruhlah pembeli bersumpah bahwa ia tidak mengetahui bahwa harganya seratus sepuluh,” maka dalam hal ini ada dua ṭarīq (jalan pendalilan):
Pertama, jika ia berkata, “Aku sendiri yang membelinya,” maka tidak disuruh bersumpah pembeli, karena itu berarti pengakuannya sendiri membatalkan ucapannya.
Namun jika ia berkata, “Yang membelinya adalah wakilku, dan aku menyangka bahwa ia membelinya seharga seratus, lalu ternyata aku tahu bahwa ia membelinya seharga seratus sepuluh,” maka pembeli disuruh bersumpah, karena dalam hal ini tidak ada pengingkaran terhadap pengakuannya.
Kedua, permasalahan ini dibangun di atas dua pendapat dalam masalah: apakah sumpah pihak penggugat ketika tergugat enggan bersumpah, statusnya seperti bukti atau seperti pengakuan?
Jika dikatakan seperti bukti, maka tidak disodorkan sumpah, karena ketika tergugat enggan, maka kita sudah memperoleh bukti, dan bukti yang bertentangan dengan pengakuan tidak diterima.
Namun jika dikatakan seperti pengakuan, maka disodorkan sumpah, karena ketika tergugat enggan bersumpah, maka kita memperoleh pengakuan, dan pengakuan itu dapat diterima.
باب النجش والبيع على بيع أخيه وبيع الحاضر للبادي وتلقي الركبان والتسعير والاحتكار
ويحرم النجش وهو أن يزيد في الثمن ليغر غيره والدليل عليه لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن النجش ولأنه خديعة مكر فإن اغتر الرجل بمن ينجش فابتاع فالبيع صحيح لأن النهي لا يعود إلى البيع فلم يمنع صحته كالبيع في حال النداء فإن علم المبتاع بذلك نظرت فإن لم يكن للبائع فيه صنع لم يكن للمبتاع الخيار لأنه ليس من جهة البائع تدليس وإن كان النجش بمواطأة من البائع ففيه قولان: أحدهما أن له الخيار بين الإمساك والرد لأنه دلس عليه فثبت له الرد كما لو دلس عليع بعيب والثاني لا خيار له لأن المشتري فرط في ترك التأمل وترك التفويض إلى من يعرف ثمن المتاع.
BAB NAJASY, JUAL BELI ATAS JUAL BELI SAUDARANYA, ORANG KOTA MENJUALKAN UNTUK ORANG BADUI, MENYAMBUT KEDATANGAN KENDARAAN, PENETAPAN HARGA, DAN PENIMBUNAN
Dan diharamkan najasy, yaitu seseorang menaikkan harga untuk menipu orang lain. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW melarang najasy, dan karena hal itu adalah tipu daya dan makar. Jika seseorang tertipu oleh orang yang melakukan najasy lalu membeli barang tersebut, maka jual belinya tetap sah karena larangan itu tidak kembali kepada akad jual beli, sehingga tidak mencegah keabsahannya—seperti jual beli ketika azan Jumat.
Jika pembeli mengetahui hal itu, maka ditinjau lagi: bila penjual tidak ada sangkut pautnya dengan tindakan najasy, maka pembeli tidak memiliki hak khiyar karena tidak ada unsur penipuan dari pihak penjual. Namun jika najasy itu dilakukan dengan kesepakatan bersama penjual, maka ada dua pendapat:
Pertama, pembeli memiliki hak khiyar antara tetap memiliki barang atau mengembalikannya, karena telah terjadi penipuan atasnya, sebagaimana jika ditipu dengan cacat barang.
Kedua, tidak ada hak khiyar baginya karena pembeli telah teledor dengan tidak mencermati harga dan tidak menyerahkan urusan kepada orang yang mengetahui harga barang.
فصل: ويحرم أن يبيع على بيع أخيه وهو أن يجيء إلى من اشترى شيئاً في مدة الخيار فيقول افسخ فإني أبيعك أجود منه بهذا الثمن أو أبيعك مثله بدون هذا الثمن لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يبع الرجل على بيع أخيه” ولأن في هذا إفساداً وإنجاشاً فلم يحل فإن قبل منه وفسخ البيع واشترى منه صح البيع لما ذكرناه في النجش.
PASAL: Haram hukumnya menjual atas jual beli saudaranya, yaitu apabila seseorang mendatangi orang yang telah membeli suatu barang dalam masa khiyār, lalu ia berkata, “Batalkanlah, aku akan menjual kepadamu barang yang lebih baik dari itu dengan harga ini,” atau, “Aku akan menjual yang semisal dengan harga yang lebih murah dari ini,” karena berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah seseorang menjual atas jual beli saudaranya.”
Hal ini karena perbuatan tersebut termasuk merusak dan mengandung unsur najasy, maka tidak diperbolehkan.
Namun jika orang itu menerima ajakan tersebut, lalu membatalkan jual beli dan membeli darinya, maka jual belinya sah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pembahasan najasy.
فصل: ويحرم أن يدخل على سوم أخيه وهو أن يجيء إلى رجل أنعم لغيره في بيع سلعة بثمن فيزيده ليبيع منه أو يجيء إلى المشتري فيعرض عليه مثل السلعة بدون ثمنها أو أجود منها بذلك الثمن لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يخطب الرجل على خطبة أخيه ولا يسم على سوم أخيه” ولأن في هذا إفساداً وإنجاشاً فلم يحل فأما إذا جاء إليه فطلب منه متاعاً فلم ينعم له جاز لغيره أن يطلبه لأنه لم يدخل على سومه وإن طلبه منه فسكت ولم يظهر منه رد ولا إجابة ففيه قولان: أحدهما يحرم والثاني لا يحرم كالقولين في الخطبة على خطبة أخيه وأما إذا عرضت السلعة في النداء جاز لمن شاء أن يطلبها ويزيد في ثمنها
PASAL
Diharamkan masuk pada sawm saudaranya, yaitu: seseorang datang kepada orang yang telah disepakati oleh penjual untuk menjual suatu barang dengan harga tertentu, lalu ia menaikkan harga agar penjual menjual kepadanya; atau ia datang kepada pembeli dan menawarkan kepadanya barang sejenis dengan harga lebih murah, atau barang yang lebih bagus dengan harga yang sama.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah seseorang meminang di atas pinangan saudaranya dan jangan pula menawar di atas tawaran saudaranya.” Dan karena perbuatan ini mengandung unsur merusak dan najasy, maka tidaklah halal.
Adapun jika seseorang datang kepada penjual lalu meminta barang darinya, namun penjual belum menyetujuinya, maka boleh bagi orang lain untuk memintanya, karena ia tidak termasuk masuk pada sawm-nya.
Namun jika penjual telah diminta lalu diam, tidak menunjukkan penolakan ataupun persetujuan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, haram.
Kedua, tidak haram.
Hal ini seperti dua pendapat dalam hukum meminang di atas pinangan saudaranya.
Adapun jika barang itu ditawarkan secara terbuka dalam seruan umum (nadā’), maka siapa pun boleh memintanya dan menaikkan tawaran harganya.
لما روى أنس رضي الله عنه عن رجل من الأنصار أنه أصابه جهد شديد هو وأهل بيته فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم وذكر ذلك له فقال: ما عندي شيء إذهب فأتني بما عندك فذهب فجاء بحلس وقدح فقال: يا رسول الله هذا الحلس والقدح فقال: “من يشتري هذا الحلس والقدح” فقال رجل أنا آخذهما بدرهم فقال: “من يزيد على درهم”؟ فسكت القوم قال: “من يزيد على درهم” فقال رجل أن آخذهما بدرهمين فقال: “هما لك” ثم قال بعد ثم قال: “إن المسألة لا تحل إلا لثلاثة: لذي دم موجع أو فقر مدقع أو غرم مفظع” ولأن في النداء لا يقصد رجلاً بعينه فلا يؤدي إلى النجش والإفساد.
Karena telah diriwayatkan dari Anas RA, dari seorang laki-laki Anshar bahwa ia dan keluarganya mengalami kesulitan yang sangat berat. Maka ia datang kepada Rasulullah SAW dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Rasulullah SAW bersabda: “Aku tidak memiliki sesuatu. Pergilah dan bawakan kepadaku apa yang kamu miliki.” Maka ia pergi lalu kembali membawa ḥils (alas pelana) dan qudaḥ (cangkir). Ia berkata, “Wahai Rasulullah, ini ḥils dan qudaḥ milikku.”
Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mau membeli ḥils dan qudaḥ ini?” Maka seorang lelaki berkata, “Aku membelinya dengan satu dirham.” Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menambah dari satu dirham?” Maka orang-orang diam. Beliau bersabda lagi: “Siapa yang menambah dari satu dirham?” Maka seorang lelaki berkata, “Aku membelinya dengan dua dirham.” Rasulullah SAW bersabda: “Itu milikmu.”
Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya meminta-minta tidak halal kecuali dalam tiga keadaan: orang yang menanggung darah (diyat) yang berat, atau kefakiran yang sangat parah, atau utang yang sangat memberatkan.”
Dan karena dalam seruan umum (nadā’) tidak ditujukan kepada orang tertentu, maka tidak menyebabkan najasy dan perusakan.
فصل: ويحرم أن يبيع حاضر لباد وهو أن يقدم رجلاً ومعه متاع يريد بيعه ويحتاج الناس إليه في البلد فإذا باع اتسع وإذا لم يبع ضاق فيجيء إليه سمسار فيقول لا تبع حتى أبيع لك قليلاً قليلاً وأزيد في ثمنها لما روى ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا يبع حاضر لباد” قلت ما لا يبع حاضر لباد قال لا يكون له سمساراً وروى جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا يبع حاضر لباد دعوا الناس يرزق الله بعضهم من بعض” فإن خالف وباع له صح البيع لما ذكرناه في النجش فإن كان البلد كبيراً لا يضيق على أهله بترك البيع ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز للخبر والثاني يجوز لأن المنع لخوف الإضرار بالناس ولا ضرر ههنا.
PASAL: Haram hukumnya seorang penduduk kota menjualkan (menjadi perantara) untuk orang desa (bādī), yaitu ketika datang seseorang membawa barang dagangan yang ingin ia jual, sedangkan penduduk kota sedang membutuhkannya—jika barang itu dijual maka kebutuhan mereka menjadi lapang, dan jika tidak dijual maka menjadi sempit. Lalu datang seorang simsār (makelar) dan berkata: “Jangan engkau jual, biar aku jualkan sedikit demi sedikit agar aku bisa menaikkan harganya.”
Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn Ṭāwūs dari ayahnya dari Ibn ‘Abbās RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah penduduk kota menjualkan untuk orang desa.” Aku (perawi) bertanya: “Apa maksudnya jangan menjualkan untuk orang desa?” Ia menjawab: “Jangan menjadi makelar baginya.”
Dan dari Jābir RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jangan penduduk kota menjualkan untuk orang desa. Biarkan manusia, niscaya Allah memberi rezeki sebagian mereka melalui sebagian yang lain.”
Namun jika ia melanggar larangan itu lalu menjualkan untuknya, maka jual belinya sah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam masalah najasy.
Jika kota itu besar dan tidak menyebabkan kesempitan bagi penduduknya meskipun orang desa tidak langsung menjual, maka ada dua pendapat:
Pertama, tetap tidak boleh karena larangan hadits.
Kedua, diperbolehkan karena larangan itu disebabkan kekhawatiran akan membahayakan penduduk, dan di sini tidak ada bahaya.
فصل: ويحرم تلقي الركبان وهو أن يتلقى القافلة ويخبرهم بكساد ما معهم من متاع ليغبنهم لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن تتلقى السلع حتى يهبط بها الأسواق ولأن هذا تدليس وغرر فلم يحل فإن خالف واشترى صح البيع لما ذكرناه في النجش فإن دخلوا البلد فبان لهم الغبن كان لهم الخيار لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا تلقوا الجلب فمن تلقاها واشترى منهم فصاحبه بالخيار إذا أتى السوق” ولأنه غرهم ودلس عليهم فثبت لهم الخيار كما لو دلس عليهم بعيب وإن بان لهم أنه لم يغبنهم ففيه وجهان: أحدهما أن لهم الخيار للخبر والثاني لا خيار لهم لأنه ما غر ولا دلس وإن خرج إلى خارج البلد لحاجة غير التلقي فرأى القافلة فهل يجوز أن يبتاع منهم فيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه لم يقصد التلقي والثاني لا يجوز لأن المنع من التلقي للبيع وهذا المعنى موجود وإن لم يقصد التلقي فلم يجز.
PASAL
Diharamkan talaqqī al-rukbān, yaitu seseorang keluar menyambut kafilah (pedagang yang datang dari luar) dan memberi tahu mereka bahwa barang yang mereka bawa tidak laku agar dapat membeli dari mereka dengan harga murah.
Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW melarang talaqqī al-silā‘ sampai barang-barang itu sampai ke pasar. Dan karena perbuatan tersebut merupakan bentuk penipuan dan unsur ketidakjelasan (gharar), maka tidak halal.
Namun jika seseorang melanggarnya lalu membeli, maka jual belinya tetap sah, seperti yang telah disebutkan dalam kasus najasy. Jika mereka (kafilah) telah masuk ke kota dan tampak bagi mereka bahwa mereka telah dirugikan, maka mereka memiliki hak khiyar.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jangan kalian menyambut barang dagangan (yang datang). Barang siapa yang menyambutnya lalu membeli dari mereka, maka pihak penjual berhak memilih ketika telah sampai ke pasar.”
Dan karena ia telah menipu mereka dan menyembunyikan informasi, maka mereka berhak khiyar sebagaimana jika ditipu dengan cacat barang.
Namun jika ternyata setelah mereka masuk ke kota tidak ada kerugian, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, mereka tetap berhak khiyar karena adanya dalil hadis.
Kedua, tidak berhak khiyar karena tidak terjadi penipuan atau penyembunyian informasi.
Dan apabila seseorang keluar dari kota bukan dengan niat untuk menyambut kafilah, namun secara kebetulan bertemu dengan mereka di jalan dan membeli dari mereka, maka ada dua pendapat:
Pertama, boleh, karena ia tidak berniat untuk menyambut.
Kedua, tidak boleh, karena larangan menyambut itu berkaitan dengan hasil jual belinya, dan makna ini tetap ada meskipun ia tidak bermaksud menyambut, maka tetap tidak diperbolehkan.
فصل: ولا يحل للسلطان التسعير لما روى أنس رضي الله عنه قال: غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال الناس: يا رسول الله سعر لنا فقال عليه الصلاة والسلام: “إن الله هو القابض والباسط والرازق والمسعر وإني لأرجو أن ألقى الله وليس أحد يطالبني بمظلمة في نفس ولا مال”.
PASAL: Tidak halal bagi penguasa (sulṭān) melakukan penetapan harga (tas‘īr), berdasarkan riwayat dari Anas RA bahwa harga-harga pernah naik pada masa Rasulullah SAW, lalu orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami.” Maka beliau SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah-lah yang menyempitkan, melapangkan, memberi rezeki, dan menetapkan harga. Dan sesungguhnya aku berharap akan bertemu Allah, sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena kezaliman dalam jiwa maupun harta.”
فصل: ويحرم الاحتكار في الأقوات وهو أن يبتاع في وقت الغلاء ويمسكه ليزداد في ثمنه ومن أصحابنا من قال: يكره ولا يحرم وليس بشيء لما روى عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “الجالب مرزوق والمحتكر ملعون” وروى معمر العدوي قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا يحتكر إلا خاطئ” فدل على أنه حرام فأما إذا ابتاع في وقت الرخص أو جاءه من ضيعته طعام فأمسكه ليبيعه إذا غلا فلا يحرم ذلك لأنه في معنى الجالب وقد روى رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الجالب مرزوق والمحتكر ملعون”
PASAL
Diharamkan iḥtikār (penimbunan) dalam makanan pokok, yaitu seseorang membeli bahan makanan di waktu mahal lalu menahannya agar harganya naik.
Sebagian dari kalangan kami (ulama mazhab) berkata: hukumnya makruh, tidak haram. Namun pendapat ini tidak benar, karena telah diriwayatkan dari ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang membawa barang dagangan akan diberi rezeki, dan orang yang menimbun dilaknat.”
Dan telah diriwayatkan dari Ma‘mar al-‘Adawi bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak menimbun kecuali orang yang berdosa.”
Maka hal ini menunjukkan bahwa penimbunan itu haram.
Adapun jika seseorang membeli di waktu harga murah atau datang kepadanya bahan makanan dari lahannya lalu ia menahannya untuk dijual ketika harga naik, maka hal itu tidak haram, karena keadaannya menyerupai orang yang membawa barang dagangan (jālib).
Dan telah diriwayatkan dari beliau RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Orang yang membawa barang dagangan akan diberi rezeki, dan orang yang menimbun dilaknat.”
وروى أبو الزناد قال: قلت لسعيد بن المسيب: بلغني عنك أنك قلت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يحتكر بالمدينة إلا خاطئ وأنت تحتكر! قال: ليس هذا الذي قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يأتي الرجل السلعة عند غلائها فيغالي بها فإما أن يأتي الشيء وقد اتضع فيشتريه ثم يضعه فإن احتاج الناس إليه أخرجه فذلك خير وأما غير الأقوات فيجوز إحتكاره لما روى أبو أمامة رضي الله عنه قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يحتكر الطعام فدل على أن غيره يجوز ولأنه لا ضرر في احتكار غير الأقوات فلم يمنع منه.
Dan telah diriwayatkan oleh Abū al-Zinād, ia berkata: Aku berkata kepada Sa‘īd bin al-Musayyab, “Telah sampai kepadaku bahwa engkau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak ada yang menimbun di Madinah kecuali orang yang berdosa,’ tetapi engkau sendiri menimbun?”
Maka ia menjawab: “Bukan itu yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Sesungguhnya yang dimaksud oleh Rasulullah SAW adalah seseorang yang mendatangi barang saat harga sedang mahal, lalu ia menawarkannya dengan harga yang lebih tinggi. Adapun bila seseorang mendatangi suatu barang dalam keadaan murah lalu ia membelinya dan menyimpannya, kemudian ketika manusia membutuhkannya ia mengeluarkannya, maka itu adalah suatu kebaikan.”
Adapun selain makanan pokok, maka boleh menimbunnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Umāmah RA, bahwa Rasulullah SAW melarang menimbun makanan, maka hal itu menunjukkan bahwa selain makanan pokok boleh ditimbun.
Dan karena tidak ada mudarat dalam menimbun selain makanan pokok, maka tidak dilarang darinya.
باب اختلاف المتبايعين وهلاك المبيع
إذا اختلف المتبايعان في مقدار الثمن ولم تكن بينة تحالفا لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لو أن الناس أعطوا بدعاويهم لادعى الناس من الناس دماء ناس وأموالهم لكن اليمين على المدعى عليه” فجعل اليمين على المدعى عليه والبائع مدعى عليه بيع بألف والمشتري مدعى عليه بيع بألفين فوجب أن يكون على كل واحد منهما اليمين لأن كل واحد منهما مدعى عليه ولا بينة فتحالفا كما لو ادعى رجل على رجل ديناراً وادعى الآخر على المدعى درهماً.
BĀB PERSELISIHAN ANTARA PENJUAL DAN PEMBELI SERTA KERUSAKAN BARANG YANG DIJUAL
Jika penjual dan pembeli berselisih tentang jumlah harga, dan tidak ada bukti (bayyinah), maka keduanya bersumpah (taḥālafā), berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbās RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Seandainya manusia diberi (hak) berdasarkan klaim mereka, niscaya akan ada orang yang mengklaim darah dan harta orang lain. Tetapi sumpah itu atas tanggungan pihak yang dituduh.”
Maka Nabi SAW menjadikan sumpah atas pihak yang didakwa, sedangkan penjual adalah pihak yang didakwa ketika ia mengklaim bahwa jual beli itu seharga seribu, dan pembeli juga menjadi pihak yang didakwa ketika ia mengklaim bahwa jual beli itu seharga dua ribu. Maka wajib atas masing-masing dari keduanya untuk bersumpah, karena masing-masing merupakan pihak yang didakwa dan tidak ada bukti. Maka keduanya bersumpah, sebagaimana jika seseorang mengklaim atas orang lain satu dīnār dan orang yang diklaim justru mengklaim balik satu dirham.
فصل: قال الشافعي رحمه الله في البيوع يبدأ بيمين البائع وقال في الصداق إذا اختلف الزوجان يبدأ بيمين الزوج كالمشتري وقال في الدعوى والبينات إن بدأ بالبائع خير المشتري وإن بدأ بالمشتري خير البائع وهذا يدل على أنه مخير بين أن يبدأ بالبائع وبين أن يبدأ بالمشتري فمن أصحابنا من قال فيها ثلاثة أقوال: أحدهما يبدأ بالمشتري لأن جنبته أقوى لأن المبيع على ملكه فكان بالبداية أولى والثاني يبدأ بمن شاء منهما لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر في الدعوى فتساويا كما لو تداعيا شيئاً في يديهما والثالث أن يبدأ بالبائع وهو الصحيح
PASAL
Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata dalam bab jual beli: dimulai dengan sumpah dari pihak penjual. Dan beliau berkata dalam bab ṣadāq (mahar), apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, maka dimulai dengan sumpah suami, sebagaimana pembeli. Dan beliau berkata dalam bab da‘wā wa al-bayyināt (gugatan dan alat bukti): jika dimulai dengan penjual, maka pembeli diberi pilihan; dan jika dimulai dengan pembeli, maka penjual diberi pilihan.
Ini menunjukkan bahwa hakim diberi pilihan, apakah memulai dari penjual atau dari pembeli. Maka sebagian ulama dari kalangan kami mengatakan bahwa dalam masalah ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, dimulai dengan pembeli, karena posisinya lebih kuat, sebab barang telah berada dalam kepemilikannya, maka ia lebih berhak untuk didahulukan.
Kedua, dimulai dengan siapa saja dari keduanya yang dikehendaki, karena tidak ada kelebihan satu pihak atas pihak lainnya dalam gugatan, maka keduanya disamakan, sebagaimana jika keduanya berselisih atas suatu barang yang berada di tangan mereka berdua.
Ketiga, dimulai dengan penjual, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ.
لما روى ابن مسعود رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا اختلف البيعان فالقول ما قال البائع والمبتاع بالخيار” فبدأ بالبائع ثم خير المبتاع ولأن جنيته أقوى لأنه إذا تحالفا رجع المبيع إليه فكانت البداية به أولى ومن أصحابنا من قال هي على قول واحد أنه يبدأ بالبائع ويخالف الزوج في الصداق لأن جنبته أقوى من جنبة الزوجة لأن البضع بعد التحالف على ملك الزوج فكان بالتقديم أولى وها هنا جنبة البائع أقوى لأن المبيع بعد التحالف على ملك موضع اجتهاد فقال إن حلف الحاكم البائع باجتهاده خير المشتري وإن حلف المشتري خير البائع.
Karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd RA bahwa Nabi SAW bersabda:
“Apabila penjual dan pembeli berselisih, maka perkataan penjual yang dipegang, dan pembeli diberi pilihan (khiyar).”
Maka Nabi SAW memulai dengan penjual, lalu memberikan khiyar kepada pembeli.
Dan karena posisinya (penjual) lebih kuat, sebab apabila keduanya saling bersumpah (taḥāluf), maka barang kembali kepada penjual. Maka memulai dari penjual lebih utama.
Sebagian ulama dari kalangan kami mengatakan bahwa masalah ini hanya satu pendapat, yaitu dimulai dari penjual.
Berbeda halnya dengan suami dalam masalah ṣadāq (mahar), karena posisinya lebih kuat dibandingkan istri, sebab kemaluan (hak pergaulan suami-istri) setelah adanya sumpah tetap dalam kepemilikan suami, maka ia lebih berhak untuk didahulukan.
Adapun dalam kasus ini, posisi penjual lebih kuat, karena barang setelah taḥāluf kembali menjadi miliknya.
Namun ini adalah tempat ijtihad. Maka dikatakan: apabila hakim memulai dengan sumpah penjual berdasarkan ijtihadnya, maka pembeli diberi pilihan (khiyār), dan jika ia memulai dengan pembeli, maka penjual diberi pilihan.
فصل: ويجب أن يجمع كل واحد منهما في اليمين بين النفي والإثبات لأنه يدعي عقداً وينكر عقداً فوجب أن يحلف عليهما ويجب أن يقدم النفي على الإثبات. وقال أبو سعيد الإصطخري: يقدم الإثبات على النفي كما قدمنا الإثبات على النفي في اللعان والمذهب الأول لأن الأصل في اليمين أن يبدأ بالنفي وهي يمين المدعي عليه فوجب أن يبدأ ههنا أيضاً بالنفي ويخالف اللعان فإنه لا أصل له في البداية بالنفي وهل تجمع بين النفي والإثبات بيمين واحدة أم لا؟ فيه وجهان: أحدهما يجمع بينهما بيمين واحدة وهو المنصوص في الأم لأنه أقرب إلى فصل القضاء فعلى هذا يحلف البائع إنه لم يبع بألف ولقد باع بألفين ويحلف المشتري ما إنه اشترى بألفين ولقد اشترى بألف فإن نكل المشتري قضى للبائع وإن حلف فقد تحالفا
PASAL: Wajib bagi masing-masing dari keduanya (penjual dan pembeli) dalam sumpahnya untuk menggabungkan antara penolakan (nafy) dan penetapan (itsbāt), karena masing-masing mengklaim adanya suatu akad dan mengingkari akad yang lain, maka wajib bersumpah atas keduanya.
Dan wajib mendahulukan penolakan (nafy) atas penetapan (itsbāt).
Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: Didahulukan penetapan atas penolakan, sebagaimana kita mendahulukan penetapan atas penolakan dalam li‘ān.
Namun pendapat yang menjadi mazhab adalah pendapat pertama, karena asal sumpah adalah dimulai dengan penolakan, dan ini adalah sumpah dari pihak yang didakwa (al-mudda‘ā ‘alayh), maka wajib dimulai di sini dengan penolakan.
Berbeda dengan li‘ān, karena di sana tidak ada asal yang menunjukkan didahulukannya penolakan.
Apakah penolakan dan penetapan itu digabung dalam satu sumpah atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, digabung dalam satu sumpah, dan ini adalah pendapat yang manshūṣ dalam al-Umm, karena itu lebih dekat kepada penyelesaian hukum. Maka dalam hal ini penjual bersumpah: “Demi Allah aku tidak menjual dengan harga seribu, dan sungguh aku telah menjual dengan harga dua ribu.” Dan pembeli bersumpah: “Demi Allah aku tidak membeli dengan harga dua ribu, dan sungguh aku telah membeli dengan harga seribu.”
Jika pembeli enggan bersumpah, maka diputuskan untuk penjual. Dan jika ia bersumpah, maka keduanya telah saling bersumpah.
والثاني أن يفرد النفي بيمين والإثبات بيمين لأنه دعوى عقد وإنكار فافتقر إلى يمينين ولأنا إذا جمعنا بينهما بيمين واحدة حلفنا البائع على الإثبات قبل نكول المشتري عن يمين النفي وذلك لا يجوز فعلى هذا يحلف البائع أنه ما باع بألفين فإن نكل المشتري حلف البائع أنه باع بألفين وقضى له فإن حلف المشتري حلف البائع أنه باع بألفين ثم يحلف المشتري أنه ابتاع بألف فإن نكل قضى للبائع وإن حلف فقد تحالفا.
Pendapat kedua: Penolakan (nafy) dan penetapan (itsbāt) dipisah menjadi dua sumpah, karena perkara ini mencakup klaim adanya akad dan pengingkaran akad, maka membutuhkan dua sumpah.
Juga karena jika kita menggabungkan keduanya dalam satu sumpah, maka kita telah menyuruh penjual bersumpah atas penetapan (itsbāt) sebelum pembeli menolak bersumpah atas penolakan (nafy), dan itu tidak diperbolehkan.
Maka berdasarkan pendapat ini, penjual bersumpah terlebih dahulu bahwa ia tidak menjual dengan harga dua ribu. Jika pembeli enggan bersumpah, maka penjual bersumpah bahwa ia menjual dengan harga dua ribu, lalu diputuskan untuknya.
Namun jika pembeli bersumpah, maka penjual bersumpah bahwa ia menjual dengan harga dua ribu. Lalu pembeli juga bersumpah bahwa ia membeli dengan harga seribu. Jika pembeli enggan bersumpah, maka diputuskan untuk penjual. Dan jika ia bersumpah, maka keduanya telah saling bersumpah (taḥālafā).
فصل: وإذا تحالفا وجب فسخ البيع لأنه لا يمكن إمضاء العقد مع التحالف وهل ينفسخ بنفس التحالف أم لا؟ فيه وجهان: أحدهما أنه ينفسخ بنفس التحالف كما ينفسخ النكاح في اللعان بنفس التحالف ولأن بالتحالف صار الثمن مجهولاً والبيع لا يثبت مع جهالة العوض فوجب أن ينفسخ والثاني أنه لا ينفسخ إلا بالفسخ بعد التحالف وهو المنصوص لأن العقد في الباطن صحيح لأنه وقع على ثمن معلوم فلا ينفسخ بتحالفهما ولأن البينة أقوى من اليمين ثم لو أقام كل واحد منهما بينة على ما يدعيه لم ينفسخ البيع فلأن لا ينفسخ باليمين أولى وفي الذي يفسخه وجهان: أحدهما أنه يفسخه الحاكم لأنه مجتهد فيه فافتقر إلى الحاكم كفسخ النكاح بالعيب والثاني أنه ينفسخ بالمتعاقدين لأنه فسخ لاستدراك الظلامة فصح من المتبايعين كالرد بالعيب.
PASAL: Apabila kedua belah pihak saling bersumpah, maka wajib dibatalkan akad jual belinya, karena tidak mungkin mengeksekusi akad dengan adanya saling bersumpah. Apakah akad tersebut batal dengan sendirinya karena saling bersumpah atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, batal dengan sendirinya karena saling bersumpah, sebagaimana akad nikah batal dengan sendirinya karena saling melaknat (li‘ān). Sebab, dengan saling bersumpah harga menjadi tidak diketahui, padahal jual beli tidak sah dengan objek yang tidak jelas, maka wajib dibatalkan.
Kedua, tidak batal dengan sendirinya, melainkan harus dibatalkan setelah adanya sumpah, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan secara eksplisit (oleh Imam al-Syafi‘i). Sebab akad secara batin tetap sah karena dilakukan atas dasar harga yang diketahui, maka tidak batal hanya karena saling bersumpah. Dan karena bukti lebih kuat daripada sumpah, padahal jika masing-masing menghadirkan bukti atas klaimnya, akad tidak dibatalkan, maka dengan sumpah tentu lebih utama untuk tidak dibatalkan.
Adapun siapa yang membatalkan akad, terdapat dua pendapat:
Pertama, dibatalkan oleh hakim, karena hal ini berdasarkan ijtihad, maka memerlukan keputusan hakim, sebagaimana pembatalan nikah karena cacat.
Kedua, dibatalkan oleh dua pihak yang berakad, karena pembatalan ini dimaksudkan untuk menghilangkan kezaliman, maka sah dilakukan oleh penjual dan pembeli sebagaimana pengembalian barang karena cacat.
فصل: وإذا فسخ أو انفسخ فهل ينفسخ ظاهراً وباطناً أم لا؟ فيه ثلاثة أوجه: أحدهما ينفسخ ظاهراً وباطناً لأنه فسخ بالتحالف فوقع ظاهراً وباطناً كفسخ النكاح باللعان ولأنه فسخ بيع لاستدراك الظلامة فصح ظاهراً أو باطناً كالرد بالعيب والثاني أنه ينفسخ في الظاهر دون الباطن لأن سبب الفسخ هو الجهل بالثمن والثمن معلوم في الباطن مجهول في الظاهر فلما اختصت الجهالة بالظاهر دون الباطن اختص البطلان بالظاهر دون الباطن والثالث أنه إن كان البائع هو الظالم وقع الفسخ في الظاهر دون الباطن لأنه يمكنه أن يصدق المشتري ويأخذ منه الثمن ويسلم إليه المبيع فإذا لم يفعل كان ممتنعاً من تسليم المبيع بظلم فلم ينفسخ البيع
PASAL: Jika terjadi pembatalan atau pembatalan itu terjadi dengan sendirinya, maka apakah batalnya itu berlaku secara ẓāhir (lahiriah) dan bāṭin (batiniah) sekaligus, atau tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, batal secara ẓāhir dan bāṭin, karena pembatalan itu terjadi melalui sumpah (taḥāluf), maka batal secara lahir dan batin, sebagaimana pembatalan nikah karena li‘ān. Dan karena ini adalah pembatalan jual beli untuk menghilangkan kezaliman, maka sah secara lahir dan batin, sebagaimana pembatalan karena cacat (‘aib).
Kedua, batal secara ẓāhir saja, tidak secara bāṭin, karena sebab pembatalan adalah ketidaktahuan tentang harga. Dan ketidaktahuan itu hanya terjadi pada aspek lahiriah, sementara dalam batin harga itu sebenarnya diketahui. Maka ketika ketidaktahuan hanya terbatas pada lahir, maka batal pun hanya terbatas pada lahir.
Ketiga, jika penjual adalah pihak yang zalim, maka pembatalan hanya berlaku secara ẓāhir saja, tidak secara bāṭin, karena penjual bisa saja mempercayai pembeli, mengambil darinya harga yang benar, dan menyerahkan barang kepadanya. Maka jika ia tidak melakukannya, berarti ia menolak menyerahkan barang karena kezaliman. Maka tidaklah jual beli itu batal secara bāṭin.
وإن كان البائع مظلوماً انفسخ ظاهراً وباطناً لأنه تعذر عليه أخذ الثمن ووجد عين ماله فجاز له أن يفسخ ويأخذ عين ماله كما لو أفلس المشتري ووجد البائع عين ماله فإن قلنا إن الفسخ يقع في الظاهر والباطن عاد المبيع إلى ملك البائع وإلى تصرفه وإن قلنا إن الفسخ في الظاهر دون الباطن نظرت فإن كان البائع هو الظالم لم يجز له قبض المبيع والتصرف فيه بل يلزمه أن يأخذ ما أقر به المشتري من الثمن ويسلم المبيع إليه وإن كان مظلوماً لم يجز له التصرف في المبيع بالوطء والهبة لأنه على ملك المشتري ولكن يستحق البائع الثمن في ذمة المشتري ولا يقدر على أخذه منه فيبيع من المبيع بقدر حقه كما تقول فيمن له على رجل دين لا يقدر على أخذه منه ووجد شيئاً من ماله.
Jika penjual adalah pihak yang dizalimi, maka jual beli batal secara ẓāhir dan bāṭin, karena ia tidak mampu mengambil harga, dan ia mendapati barang miliknya masih ada. Maka ia berhak membatalkan jual beli dan mengambil kembali barang miliknya, sebagaimana jika pembeli bangkrut (muflis) dan penjual mendapati barang miliknya, maka ia boleh mengambilnya kembali.
Jika kita mengatakan bahwa pembatalan itu terjadi secara ẓāhir dan bāṭin, maka barang yang dijual kembali menjadi milik penjual dan berada dalam kekuasaannya.
Namun jika kita mengatakan bahwa pembatalan itu hanya berlaku secara ẓāhir tanpa bāṭin, maka kita perhatikan:
- Jika penjual adalah pihak yang zalim, maka ia tidak boleh mengambil barang dagangan itu dan tidak boleh menggunakannya, bahkan ia wajib mengambil jumlah harga yang diakui oleh pembeli dan menyerahkan barang kepadanya.
- Jika penjual adalah pihak yang dizalimi, maka ia tidak boleh menggunakan barang yang dijual itu untuk berhubungan suami-istri atau memberikannya sebagai hibah, karena barang tersebut masih dalam kepemilikan pembeli. Akan tetapi, penjual berhak menuntut harga dari pembeli yang menjadi tanggungannya, namun ia tidak mampu mengambilnya secara langsung. Maka ia boleh menjual bagian dari barang itu sebesar nilai haknya, sebagaimana hukum pada orang yang memiliki piutang atas orang lain namun tidak mampu menagihnya, lalu ia menemukan sebagian barang miliknya.
فصل: وإن اختلفا في الثمن بعد هلاك السلعة في يد المشتري تحالفا وفسخ البيع بينهما لأن التحالف يثبت لرفع الضرر واستدراك الظلامة وهذا المعنى موجود بعد هلاك السلعة فوجب أن يثبت التحالف فإذا تحالفا رجع بقيمته ومتى تعتبر قيمته فيه وجهان: أحدهما تجب قيمته يوم التلف والثاني تجب قيمته أكثر ما كانت من يوم القبض إلى يوم التلف وقد ذكرنا دليل الوجهين في هلاك السلعة في البيع الفاسد فإن زادت القيمة على ما ادعاه البائع من الثمن وجب ذلك وحكي عن أبي علي بن خيران أنه قال: ما زاد على الثمن لا يجب لأن البائع لا يدعيه فلم يجب كما لو أقر لرجل بما لا يدعيه والمذهب الأول لأنه بالفسخ سقط اعتبار السلعة فالقول قول المشتري لأنه غارم فكان القول قوله كالغاصب فإن تقايلا أو وجد بالمبيع عيباً فرده واختلفا في الثمن فقال البائع الثمن ألف وقال المشتري الثمن ألفان فالقول قول البائع لأن البيع قد انفسخ والمشتري مدع والبائع منكر فكان القول قوله.
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang harga setelah barang rusak di tangan pembeli, maka keduanya saling bersumpah dan akad jual beli dibatalkan di antara mereka. Karena sumpah saling berselisih itu ditetapkan untuk menghilangkan kerugian dan mengangkat kezaliman, dan makna ini tetap ada meskipun barang telah rusak, maka sumpah tetap ditetapkan. Jika keduanya telah saling bersumpah, maka (pembeli) mengganti dengan qīmah-nya. Kapan nilai barang itu ditetapkan? Ada dua pendapat:
Pertama, wajib mengganti senilai hari barang itu rusak.
Kedua, wajib mengganti dengan nilai tertinggi sejak hari diterima sampai hari rusak. Telah kami sebutkan dalil kedua pendapat ini dalam pembahasan tentang kerusakan barang dalam jual beli yang fasid.
Jika nilai tersebut melebihi harga yang diakui oleh penjual, maka tetap wajib dibayar. Diriwayatkan dari Abū ʿAlī bin Khirān bahwa ia berkata: kelebihan dari harga tidak wajib dibayar, karena penjual tidak mengakuinya, maka tidak wajib sebagaimana jika seseorang mengakui sesuatu kepada orang lain yang tidak menuntutnya. Namun, pendapat yang rajih adalah pendapat pertama, karena dengan pembatalan, barang tidak lagi dianggap, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pembeli karena dia pihak yang menanggung, maka ucapannya didahulukan seperti halnya orang yang merampas (ghāṣib).
Jika kedua belah pihak saling mengembalikan (sepakat membatalkan) atau pembeli menemukan cacat lalu mengembalikannya, kemudian mereka berselisih tentang harga — penjual berkata: harganya seribu, pembeli berkata: dua ribu — maka ucapan penjual yang diterima. Karena akad telah batal dan pembeli menjadi pihak yang mengklaim, sedangkan penjual pihak yang mengingkari, maka ucapan penjual yang dipegang.
فصل: وإن مات المتبايعان فاختلف ورثتهما تحالفوا لأنه يمين في المال فقام الوارث فيها مقام الموروث كاليمين في دعوى المال وإن كان البيع بين وكيلين واختلفا في الثمن ففيه وجهان: أحدهما يتحالفان لأنهما عاقدان فتحالفا كالمالكين والثاني لا يتحالفان لأن اليمين تعرض حتى يخاف الظالم منهما فيرجع والوكيل إذا أقر ثم رجع لم يقبل رجوعه فلا تثبت اليمين في حقه.
PASAL: Jika kedua pihak yang berjual beli telah wafat, lalu para ahli waris mereka berselisih, maka para ahli waris itu saling bersumpah (taḥālafū), karena sumpah tersebut berkaitan dengan harta, dan ahli waris menempati kedudukan pewaris dalam perkara yang berkaitan dengan harta, sebagaimana sumpah dalam sengketa harta.
Jika akad jual beli dilakukan oleh dua orang wakil, lalu keduanya berselisih tentang harga, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, keduanya saling bersumpah, karena keduanya adalah pihak yang melakukan akad, maka mereka bersumpah sebagaimana halnya dua orang pemilik barang.
Kedua, keduanya tidak saling bersumpah, karena sumpah itu hanya disyariatkan untuk memberi tekanan agar pihak yang zalim di antara mereka mengakui kebenaran dan menarik kembali pengakuannya. Sedangkan wakil, apabila telah mengakui lalu menarik kembali pengakuannya, maka penarikannya tidak diterima. Maka sumpah tidak ditetapkan atas dirinya.
فصل: وإن اختلف المتبايعان في قدر المبيع تحالفا لما ذكرنا في الثمن وإن اختلفا في عين المبيع يأن قال البائع بعتك هذا العبد بألف وقال المشتري بل اشتريت هذه الجارية بألف ففيه وجهان: أحدهما يتحالفان لأن كل واحد منهما يدعي عقداً ينكره الآخر فأشبه إذا اختلفا في قدر المبيع والثاني أنهما لايتحالفا بل يحلف البائع أنه ما باعه الجارية ويحلف المشتري أنه ما اشترى العبد وهو اختيار الشيخ أبي حامد الأسفرايني رحمه الله لأنهما اختلفا في أصل العقد في العبد والجارية فكان القول فيه قول من ينكر كما لوادعى أحدهما على الآخر عبد والآخر جارية من غير عقد فإن أقام البائع بينة أنه باعه العبد وجب على المشتري الثمن فإن كان العبد في يده أقر في يده وإن كان في يد البائع ففيه وجهان: أحدهما يجبر المشتري على قبضه لأن البينة قد شهدت له بالملك والثاني لا يجبر لأن البينة شهدت له بما لا يدعيه فلم يسلم إليه فعلى هذا يسلم إلى الحاكم ليحفظه.
PASAL: Jika kedua pihak dalam jual beli berselisih tentang jumlah barang yang dijual, maka keduanya saling bersumpah, sebagaimana telah disebutkan dalam perselisihan tentang harga.
Jika mereka berselisih tentang jenis barang yang dijual — misalnya penjual berkata: “Aku menjual budak laki-laki ini kepadamu seharga seribu”, dan pembeli berkata: “Bukan, aku membeli budak perempuan ini seharga seribu” — maka ada dua pendapat:
Pertama, keduanya saling bersumpah, karena masing-masing mengklaim adanya akad yang diingkari oleh pihak lain, maka ini serupa dengan perselisihan tentang jumlah barang.
Kedua, keduanya tidak saling bersumpah, tetapi penjual bersumpah bahwa ia tidak menjual budak perempuan, dan pembeli bersumpah bahwa ia tidak membeli budak laki-laki. Ini adalah pilihan pendapat Syaikh Abū Ḥāmid al-Asfarā’īnī RA, karena mereka berselisih tentang pokok akad, yakni antara budak laki-laki dan perempuan, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pihak yang mengingkari, sebagaimana jika salah satu pihak mengklaim terhadap pihak lain tentang budak laki-laki dan pihak lain mengklaim budak perempuan tanpa adanya akad.
Jika penjual menghadirkan bukti bahwa ia telah menjual budak laki-laki tersebut, maka pembeli wajib membayar harganya. Jika budak itu berada di tangan pembeli, maka tetap berada di tangannya. Dan jika budak itu berada di tangan penjual, maka ada dua pendapat:
Pertama, pembeli dipaksa untuk menerimanya, karena bukti telah menunjukkan bahwa budak itu miliknya.
Kedua, tidak dipaksa, karena bukti itu menyatakan sesuatu yang tidak ia klaim, maka tidak diserahkan kepadanya. Dalam kondisi ini, budak tersebut diserahkan kepada hakim agar dijaga.
فصل: وإن اختلفا في شرط الخيار أو الأجل أو الرهن أو في قدرها تحالفا لما ذكرناه في الثمن فإن اختلفا في شرط يفسد البيع ففيه وجهان بناءً على القولين في شرط الخيار في الكفالة: أحدهما أن القول قول من يدعي الصحة لأن الأصل عدم ما يفسد والثاني أن القول من يدعي الفساد لأن الأصل عدم العقد فكان القول قول من يدعي ذلك فإن اختلفا في الصرف بعد التفرق فقال أحدهما تفرقنا قبل القبض وقال الآخر تفرقنا بعد القبض ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول من يدعي التفرق قبل القبض لأن الأصل عدم القبض والثاني أن القول قول من يدعي التفرق بعد القبض لأن الأصل صحة العقد وإن اختلفا بعد التفرق فقال أحدهما تفرقنا عن تراض وقال الآخر تفرقنا عن فسخ البيع ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول من يدعي التراضي لأن الأصل عدم الفسخ وبقاء العقد
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang syarat khiyār, atau tentang tempo pembayaran (ajal), atau tentang barang jaminan (rahn), atau tentang kadar masing-masing dari hal tersebut, maka keduanya saling bersumpah (taḥālafā), sebagaimana telah disebutkan dalam perselisihan tentang harga.
Namun jika keduanya berselisih tentang syarat yang merusak akad jual beli, maka ada dua pendapat, yang dibangun atas dua pendapat dalam masalah syarat khiyār dalam akad kafālah:
Pertama, bahwa yang dijadikan pegangan adalah pihak yang mengklaim sahnya akad, karena asalnya tidak ada sesuatu yang membatalkan akad.
Kedua, bahwa yang dijadikan pegangan adalah pihak yang mengklaim rusaknya akad, karena asalnya adalah tidak ada akad, maka yang dipegang adalah pihak yang mengaku tidak adanya akad.
Jika keduanya berselisih dalam akad ṣarf (jual beli emas dan perak) setelah berpisah, lalu salah satunya berkata, “Kami berpisah sebelum menerima barang,” dan yang lain berkata, “Kami berpisah setelah menerima barang,” maka ada dua pendapat:
Pertama, yang dijadikan pegangan adalah pihak yang mengaku berpisah sebelum serah terima, karena asalnya tidak ada serah terima.
Kedua, yang dijadikan pegangan adalah pihak yang mengaku telah berpisah setelah serah terima, karena asalnya adalah sahnya akad.
Dan jika keduanya berselisih setelah berpisah, lalu salah satunya berkata, “Kami berpisah atas dasar kerelaan,” dan yang lain berkata, “Kami berpisah setelah membatalkan akad,” maka ada dua pendapat:
Pertama, yang dijadikan pegangan adalah pihak yang mengklaim adanya kerelaan, karena asalnya tidak ada pembatalan dan akad masih tetap ada.
والثاني أن القول قول من يدعي الفسخ لأن الأصل عدم اللزوم ومنع المشتري من التصرف فأما إذا اختلفنا في عيب المبيع ومثله يجوز أن يحدث فقال البائع عندك حدث العيب وقال المشتري بل حدث عندك فالقول قول البائع لأن الأصل عدم العيب فإن اختلفا في المردود بالعيب فقال المشتري هو المبيع وقال البائع الذي بعتك غير هذا فالقول قول البائع لأن الأصل سلامة المبيع وبقاء العقد فكان القول قوله فإن اشترى عبدين فتلف أحدهما ووجد بالآخر عيباً فرده وقلنا إنه يجوز أن يرد أحدهما واختلفا في قيمة التآلف ففيه قولان:
dan kedua, bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan orang yang mengklaim adanya fasakh, karena hukum asalnya adalah ketidaklaziman dan larangan bagi pembeli untuk melakukan tindakan atas barang tersebut. Adapun bila terjadi perselisihan mengenai cacat pada barang yang dijual, sementara jenis cacat tersebut mungkin saja terjadi (setelah pembelian), kemudian penjual berkata: “cacat itu terjadi saat barang berada padamu,” dan pembeli berkata: “justru terjadi saat masih di tanganmu,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan penjual, karena hukum asalnya adalah tidak adanya cacat.
Jika keduanya berselisih tentang barang yang dikembalikan karena cacat, lalu pembeli berkata: “inilah barang yang aku beli,” dan penjual berkata: “barang yang aku jual padamu bukan ini,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan penjual, karena hukum asalnya adalah keselamatan barang dan tetapnya akad, maka ucapan penjuallah yang dipegang.
Apabila seseorang membeli dua budak, lalu salah satunya rusak dan pada yang lainnya ditemukan cacat, maka ia mengembalikan yang cacat, dan kita mengatakan bahwa boleh baginya mengembalikan salah satunya saja, kemudian mereka berselisih tentang nilai ta’āluf (penyatuan nilai antara keduanya), maka terdapat dua pendapat:
أحدهما وهو الصحيح أن القول قول البائع لأنه ملك جميع الثمن فلا يزال ملكه إلا عن القدر الذي يقربه كالمشتري والشفيع إذا اختلفا في الثمن فإن القول قول المشتري لأنه ملك الشقص فلايزال إلا بما يقربه والثاني أن القول قول المشتري لأنه كالغارم فكان القول قوله فإن باعه عشرة أقفزة من صبرة وسلمها بالكيل فادعى المشتري أنها دون حقه ففيه قولان: أحدهما أن القول قول المشتري لأن الأصل أنه لم يقبض جميعه والثاني أن القول قول البائع لأن العادة فيمن يقبض حقه بالكيل أن يستوفي جميعه فجعل القول قول البائع.
Salah satunya — dan ini yang ṣaḥīḥ — bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan penjual, karena ia memiliki seluruh harga (barang), maka tidak hilang kepemilikannya kecuali pada kadar yang diakui olehnya, sebagaimana pembeli dan syafī‘ apabila berselisih tentang harga, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pembeli, karena ia telah memiliki bagian (dalam barang), maka tidak hilang (haknya) kecuali dengan sesuatu yang diakuinya.
Pendapat kedua, bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan pembeli, karena ia seperti pihak yang memikul beban tanggungan (ghārim), maka yang dijadikan pegangan adalah ucapannya.
Jika penjual menjual sepuluh qafīz dari satu ṣubrah dan menyerahkannya dengan ditakar, lalu pembeli mengklaim bahwa takarannya kurang dari haknya, maka ada dua pendapat:
pertama, bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan pembeli, karena hukum asalnya ia belum menerima seluruh bagiannya;
kedua, bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan penjual, karena kebiasaan orang yang menerima haknya dengan cara ditakar adalah menyempurnakan seluruhnya, maka ucapan penjual dijadikan pegangan.
فصل: إذا باعه سلعة بثمن في الذمة ثم اختلفا فقال البائع لا أسلم المبيع حتى أقبض الثمن وقال المشتري لا أسلم الثمن حتى أقبض المبيع فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال فيه ثلاثة أقوال: أحدهما يجبر البائع على إحضار المبيع والمشتري على إحضار الثمن ثم يسلم إلى كل واحد منهما ما له دفعة واحدة لأن التسليم واجب على كل واحد منهما فإذا امتنعا أجبرا كما لو كان لأحدهما على الآخر دراهم وللآخر عليه دنانير والثاني لا يجبر واحد منهما بل يقال من يسلم منكما ما عليه أجبر الآخر على تسليم ما عليه لأن على كل واحد منهما حقاً في مقابلة حق له
PASAL: Jika seseorang menjual barang dengan harga yang menjadi utang (fī al-dzimmah), lalu keduanya berselisih — penjual berkata, “Aku tidak akan menyerahkan barang sampai aku menerima pembayaran,” dan pembeli berkata, “Aku tidak akan membayar sampai aku menerima barang” — maka para ulama kami berbeda pendapat tentang hal ini.
Sebagian dari mereka mengatakan ada tiga pendapat:
Pertama, penjual dipaksa untuk menghadirkan barang dan pembeli dipaksa untuk menghadirkan pembayaran, kemudian masing-masing diserahkan apa yang menjadi haknya secara sekaligus, karena penyerahan adalah kewajiban bagi masing-masing, maka jika keduanya menolak, keduanya dipaksa, sebagaimana jika salah satu dari mereka memiliki hak berupa dirham dan yang lain memiliki hak berupa dinar atasnya.
Kedua, tidak ada satu pun dari keduanya yang dipaksa. Namun dikatakan kepada mereka: siapa pun di antara kalian yang memulai menyerahkan apa yang menjadi kewajibannya, maka pihak lainnya dipaksa untuk menyerahkan kewajibannya juga. Karena masing-masing dari keduanya memiliki hak sebagai imbalan atas kewajiban.
فإذا تمانعا لم يجبر واحد منهما كما لو نكل المدعي عليه فردت اليمين على المدعي فنكل والثالث أنه يجبر البائع على تسليم المبيع ثم يجبر المشتري وهو الصحيح لأن حق المشتري متعلق بعين وحق البائع في الذمة فقدم ما تعلق بعين كأرش الجناية مع غيرها من الديون ولأن البائع يتصرف في الثمن في الذمة فوجب أن يجبر البائع على التسليم ليتصرف المشتري في المبيع ومن أصحابنا من قال المسألة على قول واحد وهو أن يجبر البائع على تسليم المبيع كما ذكرناه وما سواه من الأقوال ذكره الشافعي عن غيره ولم يختره فعلى هذا ينظر فيه فإن كان المشتري موسراً نظرت فإن كان ماله حاضراً أجبر على تسليمه في الحال
Jika keduanya saling menolak, maka tidak ada satu pun yang dipaksa, sebagaimana jika tergugat menolak sumpah lalu sumpah dikembalikan kepada penggugat, kemudian penggugat juga menolak.
Pendapat ketiga: penjual dipaksa menyerahkan barang terlebih dahulu, lalu pembeli dipaksa (menyerahkan harga), dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena hak pembeli berkaitan dengan ‘ayn (barang tertentu), sedangkan hak penjual berkaitan dengan dzimmah (utang), maka didahulukan hak yang berkaitan dengan barang, sebagaimana arasy al-jināyah dibandingkan dengan hak-hak piutang lainnya.
Dan karena penjual akan memanfaatkan harga yang berada dalam dzimmah, maka wajib penjual dipaksa untuk menyerahkan barang agar pembeli dapat memanfaatkan barang tersebut.
Sebagian ulama kami mengatakan bahwa permasalahan ini hanya memiliki satu pendapat, yaitu penjual dipaksa untuk menyerahkan barang sebagaimana disebutkan di atas. Adapun pendapat selain itu, disebutkan oleh asy-Syāfi‘ī dari selainnya, dan beliau sendiri tidak memilihnya.
Berdasarkan pendapat ini, jika pembeli adalah orang yang mampu (mūsir), maka dilihat: jika hartanya hadir (tersedia), maka ia dipaksa untuk segera menyerahkannya.
وإن كان في داره أو دكانه حجر عليه في المبيع وفي سائر أمواله إلى أن يدفع الثمن لأنه إذا لم يحجر عليه لم نأمن أن يتصرف فيه فيضر بالبائع وإن كان غائباً منه على مسافة يقصر فيها الصلاة فللبائع أن يفسخ البيع ويرجع إلى عين ماله لأن عليه ضرراً في تأخير الثمن فجاز له الرجوع إلى عين ماله كما لو أفلس المشتري وإن كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة ففيه وجهان: أحدهما ليس له أن يختار عين ماله لأنه في حكم الحاضر
Dan jika harta pembeli berada di rumahnya atau tokonya, maka diberlakukan penyitaan atas barang yang dibeli dan seluruh hartanya hingga ia membayar harga, karena jika tidak disita, dikhawatirkan ia akan bertindak atas barang tersebut yang dapat merugikan penjual.
Jika harta tersebut berada di tempat yang jauh darinya, sejauh yang membolehkan qasr dalam salat, maka penjual berhak membatalkan akad dan kembali mengambil barang miliknya, karena ia mendapat kesulitan dari keterlambatan pembayaran, maka dibolehkan baginya untuk kembali ke barang miliknya, sebagaimana jika pembeli bangkrut.
Namun jika jaraknya tidak mencapai batas bolehnya qasr salat, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, penjual tidak boleh mengambil kembali barangnya karena statusnya seperti orang yang hadir.
والثاني له أن يختار عين ماله لأنه يخاف عليه الهلاك فيما قرب كما يخاف عليه فيما بعد وإن كان المشتري معسراً ففيه وجهان: أحدهما تباع السلعة ويقضى دينه من ثمنها والمنصوص أنه يرجع إلى عين ماله لأنه تعذر الثمن بالإعسار فثبت له الرجوع إلى عين ماله كما لو أفلس بالثمن وإن كان الثمن معيناً ففيه قولان: أحدهما يجبران والثاني لا يجبر واحد منهما ويقسط القول الثالث أنه يجبر البائع لأن الثمن المعين كالمبيع في تعلق الحق بالعين والمنع من التصرف فيه قبل القبض.
Dan pendapat kedua: penjual berhak memilih untuk mengambil kembali barang miliknya, karena ia khawatir barang itu rusak meskipun jaraknya dekat, sebagaimana kekhawatiran itu ada pada jarak yang jauh.
Jika pembeli adalah orang yang tidak mampu (mu‘sir), maka terdapat dua pendapat:
Pertama, barang tersebut dijual dan utangnya dibayar dari hasil penjualannya.
Pendapat yang manṣūṣ (ditegaskan) adalah bahwa penjual boleh kembali mengambil barang miliknya, karena pembayaran harga menjadi terhalang akibat ketidakmampuan, maka penjual berhak kembali pada barangnya sebagaimana jika pembeli bangkrut dengan harga (yang belum dibayar).
Jika harga itu ditentukan secara mu‘ayyan (spesifik), maka ada dua pendapat:
Pertama, keduanya dipaksa (untuk menyerahkan kewajibannya).
Kedua, tidak satu pun dari keduanya dipaksa, dan ini adalah pendapat yang muqassath (tengah-tengah).
Pendapat ketiga: penjual dipaksa (menyerahkan barang), karena harga yang ditentukan secara spesifik seperti halnya barang yang dijual dalam hal keterikatan hak padanya, dan larangan untuk bertindak atasnya sebelum diterima.
فصل: وإن باع من رجل عيناً فأحضر المشتري نصف الثمن ففيه وجهان: أحدهما لا يجبر البائع على تسليم شيء من المبيع لأنه محبوس بدين فلا يسلم شيء منه بحضور بعد الدين كالرهن والثاني أنه يجبر على تسليم نصف المبيع لأن كل واحد منهما عوض عن الآخر وكل جزء من المبيع في مقابلة جزء من الثمن فإذا سلم بعض الثمن وجب تسليم ما في مقابلته ويخالف الرهن في الدين فإن الرهن ليس بعوض من الدين وإنما هو وثيقة به فجاز له حبسه إلى أن يستوفي جميع الدين وإن باع من اثنين عبداً بثمن فأحضر أحدهما نصف الثمن وجب تسليم حصته إليه لأنه أحضر جميع ما عليه من الثمن فوجب تسليم ما في مقابلته من المبيع كما لو اشترى عيناً وأحضر ثمنها والله أعلم.
PASAL: Jika seseorang menjual suatu barang kepada orang lain, lalu pembeli menghadirkan setengah dari harga barang tersebut, maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, bahwa penjual tidak dipaksa menyerahkan sedikit pun dari barang yang dijual, karena barang tersebut tertahan oleh utang, maka tidak boleh diserahkan sebagian darinya hanya karena sebagian pembayaran telah diserahkan, sebagaimana halnya barang gadaian.
Yang kedua, bahwa penjual dipaksa menyerahkan setengah dari barang yang dijual, karena masing-masing dari keduanya adalah ‘iwaḍ (pengganti) dari yang lain, dan setiap bagian dari barang adalah sebagai imbalan dari bagian tertentu dari harga, maka jika telah diserahkan sebagian harga, wajib diserahkan bagian barang yang menjadi imbalannya. Hal ini berbeda dengan gadaian atas utang, karena gadaian bukanlah pengganti dari utang, melainkan hanya jaminan atasnya, maka dibolehkan menahannya hingga seluruh utang dilunasi.
Dan jika seseorang menjual seorang budak kepada dua orang dengan harga tertentu, lalu salah satunya menyerahkan setengah harga, maka wajib diserahkan bagian (setengah) budak yang menjadi haknya, karena ia telah menyerahkan seluruh bagian dari harga yang menjadi tanggungannya, maka wajib diserahkan bagian dari barang yang menjadi imbalannya, sebagaimana jika seseorang membeli suatu barang dan menyerahkan seluruh harganya. Wallāhu a‘lam.
فصل: إذا تلف المبيع في يد البائع قبل التسليم لم يخل إما أن يكون ثمرة أو غيرها فإن كان غير الثمرة نطرت فإن كان تلفه بآفة سماوية انفسخ البيع لأنه فات التسليم المستحق بالعقد فانفسخ البيع كما لو اصطرفا وتفرقا قبل القبض فإن كان المبيع عبداً فذهبت يده بآكلة فالمبتاع بالخيار بين أن يرد وبين أن يمسك فإن اختار الرد رجع بجميع الثمن وإن اختار الإمساك أمسك بجميع الثمن لأن الثمن لا ينقسم على الأعضاء فلم يسقط بتلفها شيء من الثمن وإن أتلفه أجنبي ففيه قولان: أحدهما أنه ينفسخ البيع لأنه فات التسليم المستحق بالعقد فانفسخ البيع كما لو تلف بآفة سماوية
PASAL: Jika barang yang dijual rusak di tangan penjual sebelum diserahkan, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah barang itu berupa buah-buahan atau selainnya.
Jika bukan buah-buahan, maka dilihat: bila kerusakannya disebabkan oleh bencana alam (āfah samāwiyyah), maka akad jual beli batal, karena penyerahan yang menjadi hak berdasarkan akad telah gugur, sehingga batal sebagaimana dua orang yang melakukan ṣarf (tukar-menukar emas/perak) lalu berpisah sebelum serah terima.
Jika barang yang dijual adalah budak lalu tangannya hilang karena penyakit ākilah (penyakit yang menggerogoti), maka pembeli diberi pilihan antara mengembalikan atau tetap memegangnya. Jika ia memilih untuk mengembalikan, maka ia berhak atas seluruh harga. Jika ia memilih untuk menahannya, maka ia tetap menahannya dengan membayar seluruh harga, karena harga tidak terbagi menurut anggota tubuh, maka tidak gugur sebagian dari harga hanya karena sebagian anggota tubuh hilang.
Jika yang merusakkannya adalah pihak ketiga (orang lain), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, akad batal karena penyerahan yang menjadi hak berdasarkan akad telah gugur, maka akad batal sebagaimana jika rusak karena bencana alam.
والثاني أن المشتري بالخيار بين أن يفسخ العقد ويرجع بالثمن وبين أن يقر البيع ويرجع عن الأجنبي بالقيمة لأن القيمة عوض عن المبيع فقامت مقامه في القبض فإن كان عبداً فقطع الأجنبي يده فهو بالخيار بين أن يفسخ ويرجع بالثمن وبين أن يجيزه ويرجع على الجاني بنصف قيمته فإن أتلفه البائع ففيه طريقان: قال أبو العباس فيه قولان كالأجنبي وقال أكثر أصحابنا ينفسخ قولاً واحداً لأنه لا يمكن الرجوع على البائع بالقيمة لأن المبيع مضمون عليه بالثمن فلا يجوز أن يكون مضموناً عليه بالقيمة بخلاف الأجنبي فإن المبيع غير مضمون عليه بالثمن فجاز أن يضمنه بالقيمة فإن كان عبداً فقطع البائع يده ففيه وجهان: قال أبو العباس المبتاع بالخيار إن شاء فسخ البيع ورجع بالثمن وإن شاء أجازه ورجع على البائع بنصف القيمة
Dan pendapat kedua: pembeli memiliki pilihan antara membatalkan akad dan mengambil kembali harga, atau menetapkan jual beli dan menuntut pihak ketiga (yang merusak) untuk mengganti dengan qīmah (nilai), karena nilai itu adalah pengganti dari barang, maka dianggap sebagai barang yang diterima.
Jika yang dijual adalah budak lalu orang asing memotong tangannya, maka pembeli diberi pilihan antara membatalkan akad dan mengambil kembali harga, atau menetapkannya dan menuntut pelaku untuk membayar separuh nilai budak tersebut.
Jika yang merusaknya adalah penjual sendiri, maka dalam hal ini ada dua jalur pendapat:
Menurut Abū al-‘Abbās: ada dua pendapat sebagaimana dalam kasus perusakan oleh pihak ketiga.
Namun mayoritas ulama kami mengatakan: akad batal secara qaul wāḥid, karena tidak mungkin menuntut penjual dengan qīmah, sebab barang yang dijual telah ditanggung oleh penjual dengan harga, maka tidak boleh ditanggung pula dengan nilai. Ini berbeda dengan orang asing, karena barang yang dijual tidak menjadi tanggungannya melalui harga, maka boleh dituntut dengan nilai.
Jika yang dijual adalah budak, lalu penjual memotong tangannya, maka ada dua pendapat:
Menurut Abū al-‘Abbās: pembeli diberi pilihan, jika ia mau maka ia membatalkan akad dan mengambil kembali harga, dan jika ia mau maka ia tetap meneruskan akad dan menuntut penjual dengan separuh nilai budak.
وقال أكثر أصحابنا هو بالخيار إن شاء فسخ البيع وإن شاء أجازه ولا شيء له لأنه جزء من المبيع فلا يضمنه البائع بالقيمة قبل القبض كما لو ذهب بآكلة فإن أتلفه المشتري استقر عليه الثمن لأن الإتلاف كالقبض ولهذا لو أعتقه جعل إعتاقه كالقبض فكذلك إذا أتلفه فإن كان عبداً فقطع يده لم يجز له أن يفسخ لأنه نقص بفعله إن اندمل ثم تلف في يد البائع رجع البائع على المشتري بأرش النقص فيقوم مع اليد ويقوم بلا يد ثم يرجع بما نقص من الثمن ولا يرجع بما نقص من القيمة لأن المبيع مضمون على المشتري بالثمن
Dan mayoritas ulama kami berpendapat bahwa pembeli diberi pilihan: jika ia mau, ia membatalkan akad, dan jika ia mau, ia menetapkannya namun tidak mendapatkan apa-apa. Karena anggota tubuh yang rusak itu bagian dari barang yang dijual, maka tidak dijamin oleh penjual dengan nilai sebelum serah terima, sebagaimana jika rusak karena penyakit ākilah.
Jika yang merusaknya adalah pembeli sendiri, maka harga menjadi tetap atasnya, karena perusakan dihukumi seperti penerimaan (qabḍ). Oleh karena itu, jika pembeli memerdekakannya, maka pemerdekaannya dianggap sebagai qabḍ, maka begitu pula jika ia merusaknya.
Jika yang dijual adalah budak lalu pembeli memotong tangannya, maka ia tidak boleh membatalkan akad karena cacat itu terjadi karena perbuatannya sendiri.
Jika luka itu telah sembuh lalu budak itu rusak di tangan penjual, maka penjual berhak menuntut pembeli atas arasy al-naqṣ (nilai pengurangan karena cacat), dengan cara menilai budak itu dalam keadaan memiliki tangan dan dalam keadaan tanpa tangan, lalu ia menuntut selisihnya dari harga yang telah disepakati. Namun tidak boleh menuntut berdasarkan nilai, karena barang yang dijual ditanggung oleh pembeli dengan harga, bukan dengan nilai.
فلا يجوز أن يرجع عليه بما نقص من القيمة وإن كان المبيع ثمرة فإن كان على الأرض فهو كغيره من الثمار وقد بيناه وإن كانت على الشجر نظرت فإن تلفت قبل التخلية فهي كغير الثمرة إذا هلك قبل أن يقبض وقد بيناه فإن تلفت بعد التخلية ففيه قولان: أحدهما أنها تتلف من ضمان المشتري لأن التخلية قبض يتعلق به جواز التصرف فدخل في ضمانه كالنقل فيما ينقل والثاني أنها تتلف من ضمان البائع لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن بعت من أخيك تمراً فأصابته جائحة فلا يحل لك أن تأخذ منه شيئاً بم تأخذ مال أخيك بغير حق”
Maka tidak boleh bagi penjual untuk menuntut pembeli atas kekurangan nilai (qīmah).
Jika barang yang dijual adalah buah-buahan, maka jika berada di atas tanah, maka hukumnya seperti buah lainnya, dan telah dijelaskan sebelumnya.
Namun jika buah tersebut masih berada di pohon, maka diperinci:
- Jika rusak sebelum dilakukan takhliyah (pembiaran untuk mengambil), maka hukumnya seperti buah lainnya yang rusak sebelum qabḍ, dan telah dijelaskan sebelumnya.
- Jika rusaknya setelah dilakukan takhliyah, maka ada dua pendapat:
Pertama, rusaknya menjadi tanggungan pembeli, karena takhliyah adalah bentuk qabḍ (penerimaan) yang membolehkan pembeli untuk bertindak atasnya, maka ia masuk dalam tanggungan pembeli, sebagaimana naql (pemindahan) pada barang-barang yang bisa dipindahkan.
Kedua, rusaknya menjadi tanggungan penjual, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika engkau menjual kurma kepada saudaramu lalu terkena musibah, maka tidak halal bagimu mengambil apa pun darinya. Dengan apa engkau mengambil harta saudaramu tanpa hak?”
وروى جابر أيضا أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بوضع الجوائح فإن قلنا بهذا فاختلفا في الهالك فقال البائع الثلث وقال المشتري النصف فالقول قول البائع لأن الأصل عدم الهلاك وإن بلغت الثمار وقت الجداد فلم ينقل حتى هلكت كان هلاكها من ضمان المشتري لأنه وجب عليه النقل فلم يلزم البائع ضمانها والله أعلم.
Dan Jābir juga meriwayatkan bahwa Nabi SAW memerintahkan agar musibah tanaman (al-jawā’iḥ) ditanggung (oleh penjual).
Jika kita berpegang pada hadits ini, lalu keduanya berselisih tentang jumlah yang rusak — penjual berkata: “Sepertiga,” dan pembeli berkata: “Separuh” — maka ucapan penjual yang diterima, karena asalnya adalah tidak adanya kerusakan (‘adam al-halak).
Jika buah-buahan telah sampai waktu panen (jadād), namun tidak segera dipindahkan hingga akhirnya rusak, maka kerusakannya menjadi tanggungan pembeli, karena ia wajib memindahkannya, maka penjual tidak dibebani tanggungan atas kerusakan tersebut.
Wallāhu a‘lam.
باب السلم
السلم جائز لقوله تعالى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ} قال ابن عباس: أشهد أن السلف المضمون إلى أجل قد أجله الله في كتابه وأذن فيه فقال: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ} .
BAB SALAM
Salam (salam) diperbolehkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā:
{Yā ayyuhā alladzīna āmanū idzā tadāyantum bidaynin ilā ajalin musamman faktubūh} — “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian berutang piutang dalam bentuk utang hingga waktu yang ditentukan, maka tulislah itu.”
Ibnu ‘Abbās berkata: “Aku bersaksi bahwa as-salaf al-maḍmūn ilā ajal (jual beli dengan pembayaran di muka untuk barang yang diserahkan di kemudian hari) telah dijadikan ketetapannya oleh Allah dalam Kitab-Nya dan diizinkan oleh-Nya, lalu Dia berfirman: {Yā ayyuhā alladzīna āmanū idzā tadāyantum bidaynin ilā ajalin musamman faktubūh}.”
فصل: ولا يصلح السلم إلا من مطلق التصرف في المال لأنه عقد على مال فلا يصح إلا من جاز له التصرف كالبيع قال الشافعي رحمه الله: ويصح السلم من الأعمى قال المزني رحمه الله: أعلم من نطقه أنه أراد الأعمى الذي عرف الصفات قبل أن يعمى قال أبو العباس: هذا الذي قال المزني حسن فأما الأكمه الذي لا يعرف الصفات فلا يصح سلمه لأنه يعقد على مجهول وبيع المجهول لا يصح وقال أبو إسحاق: يصح السلم من الأعمى وإن كان أكمه لأنه يعرف الصفات بالسماع.
PASAL: Tidak sah akad salam kecuali dari orang yang memiliki wewenang mutlak untuk melakukan taṣarruf terhadap harta, karena ia adalah akad atas harta, maka tidak sah kecuali dari orang yang boleh melakukan taṣarruf seperti halnya akad jual beli.
Imam al-Syafi‘i RA berkata: sah salam dari orang buta. Al-Muzani RA berkata: aku memahami dari ucapannya bahwa yang dimaksud adalah orang buta yang telah mengenal sifat-sifat barang sebelum ia buta.
Abu al-‘Abbās berkata: pendapat al-Muzani ini baik.
Adapun al-akmah (orang yang buta sejak lahir) yang tidak mengenal sifat-sifat, maka tidak sah akad salam-nya, karena ia mengadakan akad atas sesuatu yang tidak diketahui, sedangkan menjual sesuatu yang tidak diketahui tidak sah.
Abu Ishaq berkata: sah akad salam dari orang buta, meskipun ia akmah, karena ia dapat mengenal sifat-sifat melalui pendengaran.
فصل: وينعقد بلفظ السلف والسلم وفي لفظ البيع وجهان: من أصحابنا من قال: لا ينعقد السلم بلفظ البيع فإذا عقد بلفظ البيع كان بيعاً ولا يشترط فيه قبض العوض في المجلس لأن السلم غير البيع فلا ينعقد بلفظه ومنهم من قال ينعقد لأنه نوع بيع يقتضي القبض في المجلس فانعقد بلفظ البيع كالصرف.
PASAL: Akad salam sah dilakukan dengan lafaz as-salaf dan as-salam. Adapun dengan lafaz al-bay‘, terdapat dua wajah pendapat:
Sebagian dari kalangan kami berkata: tidak sah akad salam dengan lafaz bay‘, maka apabila akad dilakukan dengan lafaz bay‘, maka itu dihukumi sebagai jual beli biasa, dan tidak disyaratkan penyerahan ‘iwaḍ (harga) dalam majelis, karena salam berbeda dengan jual beli, maka tidak sah dengan lafaznya.
Dan sebagian dari mereka berkata: sah, karena salam adalah salah satu jenis jual beli yang mengharuskan penyerahan di majelis, maka sah dilakukan dengan lafaz jual beli seperti halnya ṣarf.
فصل: ويثبت فيه خيار المجلس لقوله صلى الله عليه وسلم: “المتبايعان بالخيار ما لم يفترقا” ولا يثبت فيه خيار الشرط لأنه لا يجوز أن يتفرقا قبل تمامه ولهذا لا يجوز أن يتفرقا قبل قبض العوض فلو أثبتنا فيه خيار الشرط أدى إلى أن يتفرقا قبل تمامه.
PASAL: Dalam akad salam berlaku khiār al-majlīs, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Dua orang yang berjual beli masih memiliki pilihan selama keduanya belum berpisah.”
Namun tidak berlaku khiār asy-syarṭ (opsi bersyarat) dalam salam, karena tidak diperbolehkan keduanya berpisah sebelum akad sempurna. Oleh sebab itu, tidak boleh pula berpisah sebelum menyerahkan ‘iwaḍ (imbalan/harga). Jika kita menetapkan adanya khiār asy-syarṭ di dalamnya, hal itu akan mengharuskan mereka berpisah sebelum sempurnanya akad, dan itu tidak diperbolehkan.
فصل: ويجوز مؤجلاً للآية ويجوز حالاً لأنه إذا جاز مؤجلاً فلأن يجوز حالاً وهو من الغرر أبعد أولى ويجوز في المعدوم إذا كان موجوداً عند المحل لما روى ابن عباس رضي الله عنه قال: قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة وهم يسلفون في الثمرة السنتين والثلاث فقال: “أسلفوا في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم” فلو لم يجز السلم في المعدوم لنهاهم عن السلم في الثمار السنتين والثلاث ويجوز السلم في الموجود لأنه إذا جاز السلم في المعدوم فلأن يجوز في الموجود أولى لأنه أبعد من الغرر.
PASAL: Salam boleh dilakukan secara tangguh (muʾajjal), berdasarkan ayat (al-Qur’an), dan boleh juga secara tunai (ḥāl), karena apabila diperbolehkan secara tangguh maka lebih layak diperbolehkan secara tunai, sebab tunai lebih jauh dari unsur gharār.
Salam juga diperbolehkan pada barang yang belum ada (ma‘dūm), selama barang tersebut akan ada pada waktu jatuh tempo, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Rasulullah SAW datang ke Madinah sementara mereka melakukan salam pada buah-buahan selama dua atau tiga tahun. Maka beliau bersabda: “Lakukanlah salam dalam takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui dengan tenggat waktu yang diketahui.”
Seandainya tidak sah salam atas barang yang belum ada, tentu beliau akan melarang mereka dari melakukan salam atas buah-buahan selama dua atau tiga tahun.
Dan salam juga boleh dilakukan atas barang yang telah ada (mawjūd), karena jika sah salam atas barang yang belum ada, maka atas barang yang sudah ada lebih layak untuk dibolehkan, karena lebih jauh dari unsur gharār.
فصل: ويجوز السلم في كل مال يجوز بيعه وتضبط صفاته كالأثمان والحبوب والثمار والثياب والدواب والعبيد والجواري والأصواف والأشعار والأخشاب والأحجار والطين والفخار والحديد والرصاص والبللور والزجاج وغير ذلك من الأموال التي تباع وتضبط بالصفات والدليل عليه حديث ابن عباس في الثمار وروى عبد الله بن أبي أوفى قال: كنا نسلف ورسول الله صلى الله عليه وسلم فينا في الزيت والحنطة وروى عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يجهز جيشاً فنفدت الإبل فأمره أن يأخذ على قلاص الصدقة وكان يأخذ البعير بالبعيرين إلى إبل الصدقة
PASAL: Boleh melakukan salam dalam setiap harta yang boleh dijual dan dapat ditentukan sifat-sifatnya, seperti: mata uang, biji-bijian, buah-buahan, pakaian, hewan tunggangan, budak laki-laki, budak perempuan, wol, rambut, kayu, batu, tanah liat, tembikar, besi, timah, kristal, kaca, dan selainnya dari harta yang dijual dan dapat ditentukan dengan sifat. Dalilnya adalah hadis Ibnu ‘Abbās tentang buah-buahan. Dan telah meriwayatkan ‘Abdullāh bin Abī Awfā bahwa kami dahulu melakukan salaf sementara Rasulullah SAW masih hidup di tengah kami dalam (jual beli) minyak dan gandum. Dan diriwayatkan pula dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh RA bahwa Nabi SAW memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan, lalu unta habis, maka beliau memerintahkannya untuk mengambil dari unta sedekah, dan ia biasa mengambil seekor unta dengan imbalan dua unta sampai datang unta sedekah.
وعن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال في السلم في الكرابيس إذا كان ذرعاً معلوماً إلى أجل معلوم فلا بأس وعن أبي النضر قال: سئل ابن عمر رضي الله عنه عن السلم في السرق قال: لا بأس والسرق الحرير فثبت جواز السلم فيما رويناه في الأخبار وثبت فيما سواه مما يباع ويضبط بالصفات بالقياس على ما ثبت بالأخبار لأنه في معناه.
Dan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa ia berkata tentang salam dalam kurābīs (sejenis kain): “Jika dengan ukuran panjang yang diketahui dan tempo yang diketahui, maka tidak mengapa.” Dan dari Abū al-Naḍr, ia berkata: Ibnu ‘Umar RA ditanya tentang salam dalam siraq, maka ia menjawab: “Tidak mengapa.” Siraq adalah sutra. Maka tetaplah kebolehan salam dalam apa yang kami riwayatkan dalam kabar-kabar, dan tetap pula kebolehannya pada selainnya dari apa yang dijual dan dapat ditentukan dengan sifat, dengan qiyās kepada apa yang ditetapkan dengan kabar, karena ia termasuk dalam maknanya.
فصل: وأما ما لا يضبط بالصفة فلا يجوز السلم فيه لأنه يقع البيع فيه على مجهول وبيع المجهول لا يجوز قال الشافعي رحمه الله: ولا يجوز السلم في النبل لأن دقته وغلظه مقصود وذلك لا يضبط ولا يجوز في الجواهر كاللؤلؤ والعقيق والياقوت والفيروزج والمرجان لأن صفاءها مقصود وعلى قدر صفائه يكون ثمنها وذلك لايضبط بالوصف ولا يجوز السلم في الجلود لأن جلد الأوراك غليظ وجلد البطن رقيق ولا يضبط قدر رقته وغلظه ولأنه مجهول المقدار لأنه لا يمكن ذرعه لاختلاف أطرافه ولا يجوز في الرق لأنه لا يضبط رقته وغلظه ويجوز في الورق لأنه معلوم القدر معلوم الصفة.
PASAL: Adapun barang yang tidak dapat ditetapkan dengan sifat, maka tidak boleh disalemi karena jual beli atas sesuatu yang majhūl (tidak diketahui) itu tidak sah. Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: Tidak boleh salam dalam nabl (anak panah) karena ketebalan dan tipisnya adalah hal yang menjadi tujuan, dan hal itu tidak dapat ditetapkan dengan sifat. Dan tidak boleh juga dalam batu mulia seperti lu’lu’, ‘aqīq, yāqūt, fayrūzaj, dan marjān, karena kejernihannya adalah hal yang diinginkan, dan harga ditentukan berdasarkan tingkat kejernihannya, sedangkan hal itu tidak dapat ditetapkan dengan sifat. Tidak boleh salam dalam kulit, karena kulit bagian paha tebal dan kulit bagian perut tipis, dan tidak dapat ditetapkan kadar ketebalan dan ketipisannya. Dan juga karena tidak diketahui kadarnya, karena tidak bisa diukur dengan tepat akibat perbedaan ujung-ujungnya. Tidak boleh pula dalam raqq (kertas tipis buatan tangan) karena tidak bisa ditetapkan kadar ketebalan dan ketipisannya. Adapun dalam waraq (perak), maka boleh, karena diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya.
فصل: ولا يجوز فيما عملت فيه النار كالخبز والشواء لأن عمل النار فيه يختلف فلا يضبط واختلف أصحابنا في اللبأ المطبوخ فقال الشيخ أبو حامد الإسفرايني رحمه الله: لا يجوز لأن النار تعقد أجزاءه فلا يضبط وقال القاضي أبو الطيب الطبري رحمه الله يجوز لأن ناره لينة.
PASAL: Tidak boleh salam dalam barang yang telah dikenai api, seperti roti dan daging panggang, karena pengaruh api padanya berbeda-beda sehingga tidak dapat ditentukan sifatnya. Para ashāb kami berbeda pendapat tentang labā’ yang telah dimasak. Syekh Abū Ḥāmid al-Isfarāyinī rahimahullāh berkata: Tidak boleh, karena api menjadikan bagian-bagiannya mengeras sehingga tidak dapat ditentukan. Sedangkan Qāḍī Abū al-Ṭayyib al-Ṭabarī rahimahullāh berkata: Boleh, karena apinya lembut.
فصل: ولا يجوز فيما يجمع أجناساً مقصودة لا تتميز كالغالية والند والمعجون والقوس والخف والحنطة التي فيها الشعير لأنه لا يعرف قدر كل جنس منه ولا يجوز فيما خالطه ما ليس بمقصود من غير حاجة كاللبن المشوب بالماء والحنطة التي فيها الزوان لأن ذلك يمنع من العلم بمقدار المقصود وذلك غرر من غير حاجة فمنع صحة العقد ويجوز فيما خالطه غيره للحاجة كخل التمر وفيه الماء والجبن وفيه الأنفحة والسمك المملوح وفيه الملح لأن ذلك من مصلحته فلم يمنع جواز العقد
PASAL: Tidak boleh salam dalam barang yang mencampur berbagai jenis yang masing-masingnya menjadi tujuan (jual beli) dan tidak bisa dibedakan, seperti al-ghāliyah (parfum campuran), al-‘and (sejenis wewangian), al-ma‘jūn (ramuan), busur panah, sepatu kulit, dan gandum yang tercampur dengan jelai, karena tidak diketahui kadar masing-masing jenisnya. Dan tidak boleh pula pada sesuatu yang tercampur dengan unsur yang bukan tujuan dan tidak ada kebutuhan padanya, seperti susu yang tercampur air dan gandum yang tercampur zuwān (rumput liar pengganggu), karena hal itu menyebabkan ketidaktahuan terhadap kadar barang yang menjadi tujuan, dan itu termasuk gharār tanpa kebutuhan, sehingga menghalangi sahnya akad. Namun boleh pada barang yang tercampur dengan unsur lain karena kebutuhan, seperti cuka kurma yang mengandung air, keju yang mengandung anfihah (enzim dari lambung hewan), dan ikan asin yang mengandung garam, karena unsur-unsur itu termasuk bagian dari kemaslahatannya, sehingga tidak menghalangi keabsahan akad.
ويجوز في الأدهان المطيبة لأن الطيب لا يخالطه وإنما تعبق به رائحته ولا يجوز في ثوب نسج ثم صبغ لأنه سلم في ثوب وصبغ مجهول ويجوز فيما صبغ غزله ثم نسج لأنه بمنزلة صبغ الأصل ولا يجوز في ثوب عمل فيه من غير غزله كالقرقوبي لأن ذلك لا يضبط واختلف أصحابنا في الثوب المعمول من غزلين فمنهم من قال: لا يجوز لأنهما جنسان مقصودان لا يتميز أحدهما عن الآخر فأشبه الغالية ومنهم من قال: يجوز لأنهما جنسان يعرف قدر كل واحد منهما وفي السلم في الرؤوس قولان: أحدهما يجوز لأنه لحم وعظم فهو كسائر اللحوم والثاني لا يجوز لأنه يجمع أجناساً مقصودة لا تضبط بالوصف ولأن معظمه العظم وهو غير مقصود.
Dan boleh salam dalam minyak yang diberi pewangi, karena pewanginya tidak tercampur ke dalamnya, melainkan hanya mengharumkan baunya. Dan tidak boleh salam dalam kain yang ditenun lalu dicelup, karena itu merupakan salam dalam kain dan pewarna yang majhūl. Dan boleh pada benang yang dicelup lalu ditenun, karena itu seperti mewarnai benda asal. Dan tidak boleh salam dalam kain yang dibuat dari selain benangnya, seperti al-qurqūbī (kain yang dibuat dari kulit atau bahan campuran), karena hal itu tidak dapat ditetapkan.
Para sahabat kami berselisih pendapat tentang kain yang dibuat dari dua jenis benang: sebagian dari mereka berkata tidak boleh, karena keduanya adalah dua jenis yang menjadi tujuan dan tidak bisa dibedakan satu sama lain, maka ia seperti al-ghāliyah (campuran wewangian). Dan sebagian yang lain berkata boleh, karena keduanya adalah dua jenis yang dapat diketahui kadar masing-masingnya.
Dan dalam salam terhadap kepala (hewan) ada dua pendapat: salah satunya mengatakan boleh, karena ia terdiri dari daging dan tulang, maka ia seperti daging lainnya; dan yang kedua mengatakan tidak boleh, karena ia mencampur beberapa unsur yang menjadi tujuan namun tidak dapat ditetapkan dengan sifat, dan karena mayoritasnya adalah tulang yang bukan merupakan tujuan.
فصل: ولا يجوز السلم في الطير لأنه لا يضبط بالسن ولا يعرف قدره بالذرع ولا يجوز السلم في جارية وولدها ولا في جارية وأختها لأنه يتعذر وجود جارية وولدها أو جارية وأخنها على على ماوصف وفي الجارية الحامل طريقان: أحدهما لا يجوز السلم فيها لأن الحمل مجهول والثاني يجوز لأن الجهل بالحمل لاحكم له مع الأم كما نقول في بيع الجارية الحامل وفي السلم في شاة لبون.
PASAL: Tidak boleh salam dalam burung karena tidak dapat ditentukan dengan umur, dan tidak diketahui ukurannya dengan pengukuran. Dan tidak boleh salam dalam seorang budak perempuan bersama anaknya, atau dalam budak perempuan bersama saudarinya, karena sulit untuk mendapatkan budak perempuan dan anaknya atau budak perempuan dan saudarinya sesuai dengan sifat yang ditentukan. Adapun mengenai budak perempuan yang sedang hamil, terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh salam padanya karena kehamilan itu tidak diketahui. Kedua, boleh, karena ketidaktahuan terhadap kehamilan tidak berpengaruh selama bersama dengan induknya, sebagaimana kita katakan dalam jual beli budak perempuan yang hamil dan dalam salam pada kambing betina yang sedang menyusui.
فصل: وفي السلم في الأواني المختلفة الأعلى والأسفل كالإبريق والمنارة والكراز وجهان: أحدهما لا يجوز لأنها مختلفة الأجزاء فلم يجز السلم فيها كالجلود والثاني يجوز لأنها يمكن وصفها فجاز السلم فيها كالأسطال المربعة والصحاف الواسعة واختلف أصحابنا في السلم في الدقيق فمنهم من قال لا يجوز وهو قول أبي القاسم الداركي رحمه الله لأنه لا يضبط والثاني يجوز لأنه يذكر النوع والنعومة والجودة فيصير معلوماً ولا يجوز السلم في العقار لأن المكان فيه مقصود والثمن يختلف باختلافه فلا بد من تعيينه والعين لا تثبت في الذمة.
PASAL: Dalam salam terhadap wadah-wadah yang berbeda antara bagian atas dan bawahnya seperti ibrīq (teko), manārah (lampu gantung), dan kirāz (wadah air), terdapat dua pendapat: salah satunya mengatakan tidak boleh karena bagian-bagiannya berbeda-beda, maka tidak sah salam padanya seperti kulit; dan pendapat kedua mengatakan boleh karena dapat dideskripsikan sifat-sifatnya, maka sah salam padanya seperti bejana empat persegi dan piring lebar.
Para sahabat kami juga berbeda pendapat dalam salam terhadap tepung: sebagian mereka berkata tidak boleh, dan itu adalah pendapat Abū al-Qāsim al-Dārakī rahimahullah, karena tidak dapat ditetapkan; dan pendapat kedua mengatakan boleh karena dapat disebutkan jenisnya, tingkat kelembutannya, dan kualitasnya sehingga menjadi diketahui.
Dan tidak boleh salam dalam properti (‘aqār), karena lokasinya menjadi tujuan dan harga berbeda-beda tergantung lokasinya, maka harus ditentukan secara langsung, sementara barang yang ditentukan tidak bisa ditetapkan dalam tanggungan.
فصل: ولا يجوز السلم إلا في شيء عام الوجود مأمون الانقطاع في المحل فإن أسلم فيما لا يعم كالصيد في موضع لا يكثر فيه أو ثمرة ضيعة بعينها أو جعل المحل وقتالاً يأمن انقطاعه فيه لم يصح لما روى عبد الله بن سلام رضي الله عنه أن زيد بن سعنة قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم هل لك أن تبيعني تمراً معلوماً إلى أجل معلوم من حائط بني فلان فقال: “لا يا يهودي ولكن أبيعك تمراً معلوماً إلى كذا وكذا من الأجل” ولأنه لا يؤمن أن يتعذر المسلم فيه وذلك غرر من غير حاجة فمنع صحة العقد.
PASAL: Tidak boleh melakukan salam kecuali pada sesuatu yang umum keberadaannya dan aman dari kemungkinan terputus pada waktu jatuh tempo. Maka jika seseorang melakukan salam pada sesuatu yang tidak umum seperti hewan buruan di tempat yang tidak banyak terdapat buruan, atau buah dari kebun tertentu, atau menjadikan waktu jatuh tempo pada masa yang dikhawatirkan terputus ketersediaannya, maka tidak sah. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin Salām RA bahwa Zayd bin Sa‘nah berkata kepada Rasulullah SAW: “Maukah engkau menjual kepadaku kurma yang diketahui (jenis dan ukurannya) untuk tempo yang diketahui dari kebun Bani Fulān?” Maka beliau menjawab: “Tidak, wahai Yahudi, akan tetapi aku menjual kepadamu kurma yang diketahui hingga sekian dan sekian waktu.” Dan karena tidak dijamin aman dari kesulitan dalam mendapatkan barang yang diserahkan (muslam fīh), maka hal itu termasuk gharār yang tidak ada kebutuhan padanya, sehingga dilarang sahnya akad.
فصل: ولا يجوز السلم إلا فيقدر معلوم لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “أسلفوا في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم” فإن كان في مكيل ذكر كيلاً معروفاً وإن كان في موزون ذكر وزناً معروفاً وإن كان في مذروع ذكر ذرعاً معروفاً فإن علق العقد على كيل غير معروف كملء زبيل لا يعرف ما يسع أو ملء جرة لا يعرف ما تسع أو زنة صخرة لا يعرف وزنها أو ذراع رجل بعينه لم يجز لأن المعقود عليه غير معلوم في الحال لأنه لا يؤمن أن يهلك ما علق عليه العقد فلا يعرف قدر المسلم فيه وذلك غرر من غير حاجة فمنع صحة العقد كما لو علقه على ثمرة حائط بعينه وإن أسلم فيما يكال بالوزن وفيما يوزن بالكيل جاز لأن القصد أن يكون معلوماً والعلم يحصل بذلك وإن أسلم فيما لا يكال ولا يوزن كالجوز والبيض والقثاء والبطيخ والبقل والرؤوس إذا جوزنا السلم فيها أسلم بالوزن وقال أبو إسحاق: يجوز أن يسلم في الجوز كيلاً لأنه لا يتجافى في المكيال والمنصوص هو الأول.
PASAL: Tidak sah salam kecuali dalam takaran yang diketahui, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aslifū fī kailin ma‘lūm wa waznin ma‘lūm ilā ajal ma‘lūm” (Salamlah dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui sampai waktu yang diketahui).
Maka jika barangnya berupa yang ditakar, harus disebutkan takaran yang dikenal; jika berupa yang ditimbang, disebutkan timbangan yang dikenal; dan jika berupa yang diukur panjang, disebutkan ukuran panjang yang dikenal.
Jika akad digantungkan pada takaran yang tidak dikenal, seperti satu isi zabīl (keranjang) yang tidak diketahui kapasitasnya, atau satu isi kendi yang tidak diketahui volumenya, atau berat batu yang tidak diketahui berapa beratnya, atau panjang tangan seseorang tertentu, maka tidak sah, karena objek akad tidak diketahui secara pasti saat ini. Sebab, dikhawatirkan benda yang menjadi acuan akad itu rusak sehingga tidak diketahui kadar barang yang disalemi, dan itu merupakan gharār tanpa kebutuhan, maka akad tidak sah, sebagaimana jika digantungkan pada buah dari kebun tertentu.
Jika menyalami sesuatu yang biasa ditakar dengan timbangan, atau yang biasa ditimbang dengan takaran, maka itu boleh, karena tujuannya adalah agar diketahui kadarnya, dan pengetahuan itu bisa tercapai dengan cara tersebut.
Jika menyalami sesuatu yang tidak biasa ditakar atau ditimbang seperti kacang, telur, mentimun, semangka, sayuran, dan kepala (hewan) — jika kita membolehkan salam pada kepala — maka disalemi dengan timbangan. Abū Isḥāq berkata: Boleh menyalami kacang dengan takaran karena tidak saling bertindihan dalam takaran. Namun pendapat yang ditegaskan adalah yang pertama.
فصل: ولا يجوز حتى يصف المسلم فيه بالصفات التي تختلف بها الأثمان كالصغر والكبر والطول والعرض والدور والسمك والنعومة والخشونة واللين والصلابة والرقة والصفاقة والذكورية والأنوثية والثيوبية والبكارة والبياض والحمرة والواد والسمرة والرطوبة واليبوسة والجودة والرداءة وغير ذلك من الصفات التي تختلف بها الأثمان ويرجع فيما لا يعلم من ذلك إلى نفسين من أهل الخبرة وإن شرط الأجود لم يصح العقد لأن ما من جيد إلا ويجوز أن يكون فوقه ما هو أجود منه فيطالب به فلا يقدر عليه وإن شرط الأردأ ففيه قولان: أحدهما لا يصح لأنه ما من رديء إلا ويجوز أن يكون دونه ما هو أردأ منه فيصير كالأجود
PASAL: Tidak boleh salam sampai muslam fīh dijelaskan dengan sifat-sifat yang memengaruhi perbedaan harga, seperti: kecil dan besar, panjang dan lebar, bundar dan tebal, halus dan kasar, lunak dan keras, tipis dan tebal, laki-laki dan perempuan, janda dan perawan, putih dan merah, hitam dan sawo matang, basah dan kering, bagus dan jelek, dan sifat-sifat lain yang menyebabkan perbedaan harga. Dalam hal sifat-sifat yang tidak diketahui, dikembalikan kepada dua orang yang ahli di bidang tersebut. Jika disyaratkan yang terbaik maka akad tidak sah, karena tidak ada barang bagus kecuali mungkin ada yang lebih bagus darinya, sehingga pembeli akan menuntutnya namun tidak dapat dipenuhi. Dan jika disyaratkan yang paling buruk, maka ada dua pendapat: pertama, tidak sah, karena tidak ada barang jelek kecuali mungkin ada yang lebih jelek darinya, maka jadilah seperti mensyaratkan yang terbaik.
والثاني أنه يصح لأنه إن كان ما يحضره هو الأردأ فهو الذي أسلم فيه وإن كان دونه أردأ منه فقد تبرع بما أحضره فوجب قبوله فلا يتعذر التسليم وإن أسلم في ثوب من الصفات التي يختلف بها الثمن وشرط أن يكون وزنه قدراً معلوماً ففيه وجهان: أحدهما لا يصح وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني لأنه لا يتفق ثوب على هذه الصفات مع الوزن المشروط إلا نادراً فيصير كالسلم في جارية وولدها وكالسلم فيما لا يعم وجوده والثاني أنه يجوز لأن الشافعي رحمه الله نص على أنه إذا أسلم في آنية وشرط وزناً معلوماً جاز فكذلك ههنا.
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa akadnya sah, karena jika barang yang dibawa adalah yang paling buruk, maka itulah yang menjadi objek salam. Dan jika ternyata ada yang lebih buruk darinya, maka ia telah memberikan kelebihan dari yang disyaratkan, sehingga wajib diterima, dan tidak mustahil untuk diserahkan. Dan jika seseorang melakukan salam dalam kain dengan sifat-sifat yang menyebabkan perbedaan harga lalu mensyaratkan agar beratnya sejumlah tertentu, maka terdapat dua wajah (pendapat): pertama, tidak sah, dan ini adalah pendapat Syekh Abū Ḥāmid al-Isfarāyinī, karena jarang sekali kain dengan sifat-sifat tersebut memiliki berat sesuai dengan yang disyaratkan, sehingga serupa dengan salam pada budak perempuan bersama anaknya atau salam pada sesuatu yang tidak umum keberadaannya. Kedua, bahwa hal itu diperbolehkan, karena al-Syāfi‘ī rahimahullāh telah menegaskan bahwa jika seseorang melakukan salam dalam bejana dan mensyaratkan berat tertentu, maka hal itu sah. Maka demikian pula dalam kasus ini.
فصل: فإن أسلم في المؤجل وجب بين أجل لحديث ابن عباس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “أسلفوا في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم” ولأن الثمن يختلف باختلافه فوجب بيانه كالكيل والوزن وسائر الصفات والأجل المعلوم ما يعرفه الناس كشهور العرب وشهور الفرس وشهور الروم وأعياد المسلمين والنيروز والمهرجان فإن أسلم إلى الحصاد أو إلى العطاء أو إلى عيد اليهود والنصارى لم يصح لأنه ذلك غير معلوم لأنه يتقدم ويتأخر وإن جعله إلى شهر ربيع أو جمادى صح وحمل على الأول منهما ومن أصحابنا من قال: لا يصح حتى يبين والمذهب الأول لأنه نص على أنه إذا جعل إلى النفر حمل على النفر الأول
PASAL: Jika melakukan salam dalam bentuk pembayaran tangguh, maka wajib disebutkan tenggat waktu secara jelas, berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbās RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Lakukanlah salam dalam takaran yang diketahui, timbangan yang diketahui, dan hingga waktu yang diketahui.” Karena harga bisa berbeda-beda sesuai waktu penyerahan, maka wajib dijelaskan sebagaimana takaran, timbangan, dan seluruh sifat lainnya.
Batas waktu yang diketahui adalah waktu yang dikenal oleh masyarakat seperti bulan-bulan Arab, bulan-bulan Persia, bulan-bulan Romawi, hari raya kaum Muslimin, nairūz, dan mahrājān. Namun jika ditentukan hingga waktu panen, atau waktu pembagian (‘aṭā’), atau hari raya kaum Yahudi dan Nasrani, maka tidak sah, karena waktu tersebut tidak diketahui secara pasti sebab bisa maju atau mundur.
Jika disyaratkan hingga bulan Rabī‘ atau Jumādā, maka sah dan ditafsirkan dengan awal dari keduanya. Sebagian ulama dari kalangan kami mengatakan: tidak sah hingga dijelaskan dengan rinci. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena terdapat nash bahwa jika disebutkan hingga nafr, maka dimaknai nafr yang pertama.
فإن قال إلى يوم كذا كان المحل إذا طلع الفجر فإن قال إلى شهر كذا كان المحل إذا غربت الشمس من الليلة التي يرى فيها الهلال فإن قال محله في يوم كذا أو سنة كذا ففيه وجهان: قال أبو علي بن أبي هريرة يجوز ويحمل على أوله كما لو قال لامرأته أنت طالق في يوم كذا أو شهر كذا أو سنة كذا فإن الطلاق يقع في أولها والثاني لا يجوز وهو الصحيح لأن ذلك يقع على جميع أجزاء اليوم والشهر والسنة فإذا لم يبين كان مجهولاً ويخالف الطلاق فإنه يجوز إلى أجل مجهول
Jika ia berkata: “sampai hari ini dan itu”, maka waktu jatuh temponya adalah ketika terbit fajar.
Jika ia berkata: “sampai bulan ini dan itu”, maka waktu jatuh temponya adalah ketika matahari terbenam dari malam yang tampak hilalnya.
Jika ia berkata: “waktu jatuh temponya pada hari ini dan itu” atau “tahun ini dan itu”, maka terdapat dua wajah:
Abū ‘Alī bin Abī Hurairah berkata: boleh, dan ditafsirkan pada awal waktunya, sebagaimana jika ia berkata kepada istrinya: “Engkau tertalak pada hari ini dan itu, atau bulan ini dan itu, atau tahun ini dan itu”, maka talak terjadi pada permulaan waktunya.
Wajah kedua: tidak boleh, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ucapan tersebut mencakup seluruh bagian hari, bulan, dan tahun, sehingga jika tidak dijelaskan maka termasuk hal yang majhūl.
Hal ini berbeda dengan talak, karena talak boleh dijatuhkan pada waktu yang majhūl.
وإذا صح تعلق بأوله بخلاف السلم فإن ذكر شهوراً مطلقة حمل على شهور الأهلة لأن الشهور في عرف الشرع شهور الأهلة فجمل العقد عليها فإن كان العقد في الليلة التي رؤي فيها الهلال اعتبر الجميع بالأهلة وإن كان العقد في أثناء الشهر اعتبر شهراً بالعدد وجعل الباقي بالأهلة فإن أسلم في حال وشرط أنه حاال صح العقد وإن أطلق ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه أحد محلي السلم فوجب بينه كالمؤجل
Dan jika telah sah, maka dikaitkan dengan awalnya, tidak seperti salam. Maka jika menyebutkan bulan-bulan secara mutlak, maka dibawa kepada bulan-bulan berdasarkan rukyat hilal, karena bulan-bulan menurut kebiasaan syar‘i adalah bulan-bulan rukyat hilal, maka dijumlahkan akad berdasarkan hal itu. Maka jika akad dilakukan pada malam ketika hilal terlihat, maka seluruh bulan dihitung berdasarkan rukyat hilal. Dan jika akad dilakukan di pertengahan bulan, maka satu bulan dihitung berdasarkan jumlah hari dan sisanya berdasarkan rukyat hilal. Maka jika seseorang melakukan salam secara tunai dan mensyaratkan bahwa itu dilakukan saat itu juga, maka akadnya sah. Dan jika dilakukan secara mutlak, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya tidak sah, karena itu merupakan salah satu dari dua waktu jatuh tempo dalam salam, maka wajib dijelaskan, seperti halnya yang ditangguhkan.
والثاني أنه يصح ويكون حالاً لأن ما جاز حالاً ومؤجلاً حمل إطلاقه على الحال كالثمن في البيع وإن عقد السلم حالاً وجعله مؤجلاً أو مؤجلاً فجعله حالاً أو زاد في أجله أو نقص نظرت فإن كان ذلك بعد التفرق لم يلحق بالعقد لأن العقد استقر فلا يتغير وإن كان قبل التفرق لحق بالعقد وقال أبو علي الطبري إن قلنا أن المبيع انتقل بنفس العقد لم يلحق به والصحيح هو الأول وقد ذكرناه في الزيادة في الثمن.
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa akadnya sah dan dianggap tunai, karena sesuatu yang boleh dilakukan secara tunai dan tangguh, jika disebutkan secara mutlak maka dibawa kepada tunai, seperti halnya harga dalam jual beli. Dan jika akad salam dilakukan secara tunai kemudian dijadikan tangguh, atau dilakukan secara tangguh kemudian dijadikan tunai, atau ditambah atau dikurangi waktunya, maka hal itu dilihat: jika dilakukan setelah berpisah, maka tidak terhubung dengan akad karena akad telah tetap sehingga tidak berubah. Dan jika dilakukan sebelum berpisah, maka hal itu terhubung dengan akad. Dan Abu ‘Ali at-Ṭabari berkata: jika kita mengatakan bahwa barang berpindah kepemilikannya dengan akad, maka perubahan itu tidak terhubung dengannya. Dan pendapat yang benar adalah yang pertama, dan telah kami sebutkan hal itu dalam pembahasan tambahan harga.
فصل: وإن أسلم في جنسين إلى أجل أو في جنس إلى أجلين ففيه قولان: أحدهما أنه لا يصح لأن ما يقابل أحد الجنسين أقل مما يقابل الآخر وذلك مجهول فلم يجز والثاني أنه يصح وهو الصحيح لأن كل بيع جاز في جنس واحد وأجل واحد جاز في جنسين وفي أجلين كبيع الأعيان ودليل القول الأول يبطل ببيع الأعيان فإنه يجوز إلى أجلين وفي جنسين مع الجهل بما يقابل كل واحد منهما.
PASAL: Jika seseorang melakukan salam dalam dua jenis barang hingga waktu tertentu, atau dalam satu jenis barang hingga dua waktu tertentu, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah, karena bagian yang menjadi imbalan dari salah satu jenis lebih sedikit dari bagian yang menjadi imbalan jenis lainnya, dan hal itu tidak diketahui secara pasti, maka tidak boleh.
Kedua, sah, dan ini yang shahih, karena setiap jual beli yang boleh dalam satu jenis dan satu waktu, maka boleh pula dalam dua jenis dan dua waktu, seperti jual beli barang nyata (al-a‘yān).
Dalil pendapat pertama gugur dengan adanya jual beli barang nyata, karena dibolehkan dengan dua waktu dan dua jenis meskipun tidak diketahui imbalan masing-masingnya.
فصل: وأما بيان موضع التسليم فإنه إن كان في العقد في موضع لا يصلح للتسليم كالصحراء وجب بيانه وإن كان موضع يصلح للتسليم ففيه ثلاثة أوجه: أحدها يجب بيانه لأنه يختلف الغرض باختلافه فوجب بيانه كالصفات والثاني لا يجب بل يحمل على موضع العقد كما نقول في بيع الأعيان والثالث أنه إن كان لحمله مؤنة وجب بيانه لأنه يختلف الثمن باختلافه فوجب بيانه كالصفات التي يختلف الثمن باختلافها فإن لم يكن لحمله مؤنة لميجب بيانه لأنه لا يختلف الثمن باختلافها فلم يجب بيانه كالصفات التي لا يختلف الثمن باختلافها.
PASAL: Adapun penjelasan tentang tempat penyerahan, maka jika dalam akad disebutkan tempat yang tidak layak untuk penyerahan seperti padang pasir, maka wajib dijelaskan. Dan jika tempatnya layak untuk penyerahan, maka ada tiga pendapat:
Pendapat pertama: wajib dijelaskan, karena maksud (akad) berbeda-beda tergantung tempatnya, maka wajib dijelaskan seperti halnya sifat-sifat (barang).
Pendapat kedua: tidak wajib dijelaskan, bahkan dibawa kepada tempat akad, sebagaimana yang kami katakan dalam jual beli benda.
Pendapat ketiga: jika untuk membawanya membutuhkan biaya, maka wajib dijelaskan, karena harga bisa berbeda tergantung tempatnya, maka wajib dijelaskan seperti sifat-sifat yang harga berubah karena perbedaan sifat. Jika tidak membutuhkan biaya untuk membawanya, maka tidak wajib dijelaskan, karena harga tidak berubah karena perbedaan tempat, maka tidak wajib dijelaskan sebagaimana sifat-sifat yang tidak menyebabkan perbedaan harga.
فصل: ولا يجوز تأخير قبض رأس المال عن المجلس لقوله صلى الله عليه وسلم: “أسلفوا في كيل معلوم” والإسلاف هو التقديم ولأنه إنما سمي سلماً لما فيه من تسليم رأس المال فإذا تأخر لم يكن سلماً فلم يصح ويجوز أن يكون رأس المال في الذمة ثم يعينه في المجلس ويسلمه ويجوز أن يكون معيناً فإن كان في الذمة نظرت فإن كان من الأثمان حمل على نقد البلد وإن كان في البلد نقود حمل على الغالب منها وإن لم يكن في البلد نقد غالب وجب بيان نقد معلوم وإن كان رأس المال عرضاً وجب بين الصفات التي تختلف بها الأثمان لأنه عوض في الذمة غير معلوم بالعرف فوجب بيان صفاته كالمسلم فيه وإن كان رأس المال معيناً ففيه قولان: أحدهما يجب ذكر صفاته ومقداره لأنه لا يؤمن أن ينفسخ السلم بانقطاع المسلم فيه فإذا لم يعرف مقداره وصفته لم يعرف ما يرده
PASAL: Tidak boleh menunda penyerahan uang pokok (modal) dari majelis akad, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Aslifū fī kaylin ma‘lūm” (Bertransaksilah secara salam dengan takaran yang diketahui), dan as-salaf adalah pembayaran di muka. Dan karena dinamakan salam disebabkan adanya penyerahan uang pokok, maka jika ditunda, tidak disebut salam dan tidak sah.
Boleh jadi uang pokok berupa utang dalam tanggungan, lalu ditentukan di majelis akad dan diserahkan. Dan boleh juga uang pokoknya berupa barang tertentu (mu‘ayyan). Jika berupa utang dalam tanggungan, maka diperhatikan: jika berupa uang, maka dibawa kepada mata uang negeri tersebut. Jika di negeri itu ada lebih dari satu jenis mata uang, maka dibawa kepada yang paling umum digunakan. Jika tidak ada mata uang yang dominan, maka wajib disebutkan jenis uangnya secara jelas.
Jika uang pokok berupa barang dagangan, maka wajib dijelaskan sifat-sifatnya yang mempengaruhi harga, karena ia merupakan pengganti dalam tanggungan yang tidak diketahui secara umum (‘urf), maka wajib dijelaskan sifat-sifatnya seperti barang muslam fīh.
Jika uang pokok berupa barang tertentu (mu‘ayyan), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya wajib disebutkan sifat-sifat dan ukurannya, karena dikhawatirkan akad salam batal karena barang muslam fīh tidak tersedia, maka jika tidak diketahui ukuran dan sifat barangnya, tidak diketahui apa yang harus dikembalikan.
والثاني لا يجب ذكر صفاته ومقداره لأنه عوض في عقد لا يقتضي رد المثل فوجب أن تغني المشاهدة عن ذكر صفاته ومقداره كالمهر والثمن في البيع وإن كان رأس المال بما لا يضبط بالصفة كالجواهر وغيرها فعلى القولين إن قلنا يجب صفاته لم يجز أن يجعل ذلك رأس المال لأنه لا يمكن ذكر صفاته وإن قلنا لا يجب جاز أن يجعل ذلك رأس المال لأنه معلوم بالمشاهدة والله أعلم.
Dan pendapat kedua: tidak wajib menyebutkan sifat-sifat dan ukurannya, karena ia adalah ‘iwaḍ (pengganti) dalam akad yang tidak mengharuskan pengembalian barang sejenis, maka penglihatan langsung mencukupi tanpa perlu menyebutkan sifat dan ukurannya, seperti mahar dan harga dalam jual beli.
Dan jika uang pokok berupa sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat, seperti permata dan sejenisnya, maka tetap berlaku dua pendapat:
Jika kita mengatakan bahwa sifat-sifatnya wajib disebutkan, maka tidak boleh dijadikan sebagai uang pokok karena tidak mungkin menjelaskan sifatnya.
Dan jika kita mengatakan tidak wajib menyebutkan sifatnya, maka boleh dijadikan sebagai uang pokok karena sudah diketahui melalui penglihatan.
Wallāhu a‘lam.
باب تسليم المسلم فيه
إذا حل دين السلم وجب على المسلم إليه تسليم المسلم فيه على ما اقتضاه العقد فإن كان المسلم فيه تمراً لزمه ما يقع عليه اسم التمر على الإطلاق فإن أحضر حشفاً أو رطباً لم يقبل منه فإن كان رطباً لزمه ما يطلق عليه اسم الرطب على الإطلاق ولا يقبل منه بسر ولا منصف ولا مذنب ولا مشدخ وإن كان طعاماً لزمه ما نقى من التبن فإن كان فيه قليل تراب نظرت فإن كان أسلم فيه كيلاً قبل منه لأن القليل من التراب لا يظهر في الكيل وإن أيلم فيه وزناً لم يقبل منه لأنه يظهر في الوزن فيكون المأخوذ من الطعام دون حقه وإن كان عسلاً لزمه ما صفى من الشمع فإن أسلم إليه في ثوب فأحضر ثوباً أجود منه لزمه قبوله لأنه أحضر المسلم فيه وفيه زيادة صفة لا تتميز فلزمه قبوله
BAB PENYERAHAN BARANG SALAM
Apabila telah jatuh tempo utang salam, maka wajib bagi pihak yang menerima salam menyerahkan barang muslim fīh sebagaimana yang ditetapkan dalam akad. Jika muslim fīh-nya adalah kurma (tamr), maka ia wajib menyerahkan apa yang dinamakan kurma secara mutlak. Maka jika ia menyerahkan kurma yang jelek (ḥashaf) atau kurma basah (ruṭab), tidak boleh diterima darinya.
Jika yang diserahkan adalah ruṭab, maka wajib baginya menyerahkan sesuatu yang dinamai ruṭab secara mutlak, dan tidak boleh diterima darinya buah yang masih mengkal (busr), setengah matang (munṣif), rusak (mudhnib), atau pecah (musyaddakh).
Jika barangnya adalah ṭa‘ām (bahan makanan pokok seperti gandum), maka wajib menyerahkan yang telah bersih dari jerami. Jika ada sedikit debu, maka dilihat: bila salam dilakukan berdasarkan takaran (kail), maka diterima karena sedikit debu tidak tampak dalam takaran. Namun bila salam dilakukan berdasarkan timbangan (wazn), maka tidak boleh diterima karena debu tersebut tampak dalam timbangan dan menyebabkan bagian makanan yang diterima kurang dari haknya.
Jika barangnya adalah madu (‘asal), maka wajib menyerahkan madu yang bersih dari lilin.
Jika salam dilakukan untuk kain, lalu ia menyerahkan kain yang lebih bagus daripada yang disyaratkan, maka wajib bagi penerima salam untuk menerimanya karena ia telah menyerahkan barang muslim fīh dengan tambahan sifat yang lebih baik yang tidak bisa dipisahkan, maka wajib diterima.
فإن جاءه بالأجود وطلب عن الزيادة عوضاً لم يجز لأنه بيع صفة والصفة لا تفرد بالبيع فإن أتاه بثوب رديء لم يجبر على قبوله لأنه دون حقه فإن قال خذه وأعطيك للجودة درهماً لم يجز لأنه بيع صفة ولأنه بيع جزء من المسلم فيه قبل قبضه فإن أسلم في نوع آخر من ذلك الجنس كالمعقلي عن البرني والهروي عن المروي ففيه وجهان: قال أبو إسحاق لا يجوز لأنه غير الصنف الذي أسلم فيه فلم يجز أخذه عنه كالزبيب عن التمر
Jika ia datang membawa barang yang lebih baik dan meminta imbalan atas kelebihannya, maka tidak boleh, karena ini termasuk jual beli sifat (ṣifah), dan sifat tidak boleh dijual secara terpisah.
Jika ia datang membawa kain yang buruk, maka tidak dipaksa untuk menerimanya karena itu di bawah haknya.
Jika ia berkata, “Ambillah ini dan berilah aku satu dirham karena kualitasnya lebih baik,” maka tidak boleh, karena itu termasuk jual beli sifat, dan karena itu termasuk jual beli sebagian dari muslim fīh sebelum diterima.
Jika ia melakukan salam dalam satu jenis dari suatu jins, seperti al-Mi‘qalī sebagai ganti dari al-Barnī, atau al-Harawī sebagai ganti dari al-Marwī, maka ada dua wajah:
Abu Ishaq berkata: Tidak boleh, karena itu bukan jenis yang diserahkan dalam salam, maka tidak sah diterima darinya, seperti zabīb sebagai ganti dari tamr.
وقال أبو علي ابن أبي هريرة يجوز لأن النوعين من جنس واحد بمنزلة النوع الواحد ولهذا يحرم التفاضل في بيع أحدهما بالآخرة ويضم أحدهما إلى الآخر في إكمال النصاب في الزكاة فإن اتفق أن يكون رأس المال على صفة المسلم فيه فأحضره ففيه وجهان: أحدهما إلى الآخر في إكمال النصاب في الزكاة ففيه وجهان: أحدهما إن اتفق أن يكون رأس المال على صفة المسلم فيه فأحضره ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز قبوله لأنه يصير الثمن هو المثمن والعقد يقتضي أن يكون الثمن غير المثمن
Dan Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah berkata: boleh, karena dua jenis itu masih termasuk dalam satu jins, sehingga diperlakukan seperti satu jenis. Oleh karena itu, diharamkan adanya tafāḍul (selisih timbangan) dalam jual beli antara keduanya, dan keduanya digabungkan untuk menyempurnakan niṣāb zakat.
Maka jika kebetulan uang pokok memiliki sifat yang sama dengan barang muslam fīh, lalu ia menghadirkannya (untuk diserahkan sebagai barang muslam fīh), maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak boleh diterima, karena berarti harga menjadi barang yang dibeli (tsaman menjadi mutsman), padahal akad salam mengharuskan bahwa harga harus berbeda dari barang yang dibeli.
والثاني أنه يجوز لأن الثمن هو الذي سلم إليه والمثمن هو الموصوف وإن أسلم إلى محل فأحضر المسلم فيه قبله أو شرط أن يسلم إليه في مكان فأحضر المسلم فيه في غير ذلك المكان فامتنع المسلم من أخذه نظرت فإن كان له غرض صحيح في الامتناع لزمه أخذه فإن لم يأخذه رفع إلى الحاكم ليأخذه عنه والدليل عليه ماروي أن أنساً رضي الله عنه كاتب عبداً له على مال إلى أجل فجاءه بمال قبل الأجل فأبى أن يأخذه فأتى عمر رضي الله عنه فأخذه منه وقال له إذهب فقد عتقت ولأنه زاده بالتقديم خيراً فلزمه قبوله وإن سأله المسلم أن يقدمه قبل المحل فقال أنقصني من الدين حتى أقدمه ففعل لم يجز لأنه بيع أجل والأجل لا يفرد بالبيع ولأن هذا في معنى ربا الجاهلية فإن كان من في الجاهلية يقول من عليه الدين زدني في الأجل أزدك في الدين.
Dan pendapat kedua: boleh, karena tsaman adalah apa yang diserahkan, sedangkan mutsman adalah barang yang disifati.
Jika seseorang melakukan salam ke tempat tertentu, lalu barang muslam fīh dihadirkan sebelum sampai di tempat tersebut, atau ia mensyaratkan bahwa penyerahan dilakukan di tempat tertentu, lalu barang muslam fīh dihadirkan di tempat lain, dan pihak muslam ilayh menolak untuk menerimanya, maka hal itu diteliti: jika penolakannya memiliki tujuan yang benar, maka wajib baginya untuk menerimanya. Jika ia tetap tidak mau menerimanya, maka diajukan kepada hakim untuk menerima barang itu atas namanya.
Dalilnya adalah riwayat bahwa Anas RA memerdekakan seorang budaknya melalui akad mukātabah dengan pembayaran harta secara tangguh. Lalu budak itu membawa pembayaran sebelum waktunya, tetapi Anas menolaknya. Maka budak itu mendatangi ‘Umar RA, lalu beliau mengambilnya darinya dan berkata, “Pergilah, engkau telah merdeka.”
Dan karena orang tersebut telah memberikan tambahan kebaikan dengan menyegerakan, maka wajib diterima.
Namun jika pihak muslim memintanya agar menyerahkan barang muslam fīh sebelum waktu yang ditentukan, dan sebagai gantinya ia berkata: “Kurangi dari jumlah utangmu agar aku serahkan lebih awal,” lalu permintaan itu dipenuhi, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena itu termasuk bai‘ al-ajal, sementara tenggat waktu (ajal) tidak boleh dijadikan objek jual beli.
Dan karena hal itu termasuk dalam makna ribā jahiliyyah, sebab di masa jahiliyyah orang yang berutang biasa berkata: “Tambahkan waktu tenggatku, aku akan menambah utangku kepadamu.”
فصل: وإن أسلم إليه في طعام بالكيل أو اشترى منه طعاماً بالكيل فدفع إليه الطعام من غير كيل لم يصح القبض لأن المستحق قبض بالكيل فلا يصح قبض بغير الكيل فإن كان المقبوض باقياً رده على البائع ليكيله له وإن تلف في يده قبل الكيل تلف من ضمانه لأنه قبض حقه وإن ادعى أنه كان دون حقه فالقول قوله لأن الأصل أنه لم يقبض إلا ماثبت بإقراره فإن باع الجميع قبل الكيل لم يصح لأنه لا يتحقق أن الجميع له وإن باع منه القدر الذي يتحقق أنه له ففيه وجهان: أحدهما يصح وهو قول أبي إسحاق لأنه دخل في ضمانه فنفذ بيعه فيه كما لو قبضه بالكيل
PASAL: Jika seseorang melakukan salam kepadanya dalam bentuk makanan yang ditakar, atau membeli darinya makanan dengan takaran, lalu ia menyerahkan makanan tersebut tanpa ditakar, maka penyerahan tersebut tidak sah, karena yang berhak ia terima adalah dengan takaran, maka tidak sah jika diterima tanpa takaran.
Jika makanan yang diterima masih ada, maka harus dikembalikan kepada penjual untuk ditakar. Dan jika rusak atau hilang di tangannya sebelum ditakar, maka rusaknya menjadi tanggungannya, karena ia telah menerima haknya. Dan jika ia mengklaim bahwa barang yang diterimanya kurang dari haknya, maka perkataannya diterima, karena asalnya ia belum menerima kecuali apa yang ia akui.
Jika ia menjual seluruh makanan itu sebelum ditakar, maka penjualannya tidak sah, karena belum dipastikan bahwa seluruhnya adalah miliknya. Namun jika ia menjual sebagian dari makanan itu sebanyak ukuran yang pasti menjadi miliknya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: sah, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena telah masuk dalam tanggungannya, maka sah menjualnya seperti halnya jika ia telah menerimanya dengan takaran.
والثاني لا يصح وهو قول أبي علي بن أبي هريرة وهو المنصوص في الصرف لأنه باعه قبل وجود القبض المستحق بالعقد فلم يصح بيعه كما لو باعه قبل أن يقبضه فإن دفع إليه بالكيل ثم ادعى أنه دون حقه فإن كان ما يدعيه قليلاً قبل منه وإن كان كثيراً لم يقبل لأن القليل يبخس به والأصل عدم القبض والكثير لا يبخس به فكان دعواه مخالفاً للظاهر فلم يقبل.
Dan pendapat kedua: tidak sah, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam masalah ṣarf, karena ia menjual barang sebelum terjadi qabḍ yang ditentukan oleh akad, maka tidak sah menjualnya, sebagaimana jika ia menjualnya sebelum menerimanya.
Jika ia telah menerima barang dengan takaran, lalu ia mengklaim bahwa barang tersebut kurang dari haknya, maka:
- Jika yang ia klaim kurangnya itu sedikit, maka diterima darinya, karena kekurangan sedikit sering terjadi, dan asalnya belum terjadi qabḍ
- Namun jika yang diklaim banyak, maka tidak diterima, karena kekurangan banyak tidak biasa terjadi, dan klaimnya bertentangan dengan keadaan lahiriah, maka tidak diterima.
فصل: فإن أحاله على رجل له عليه طعام لم يصح لأن الحوالة بيع وقد بينا في كتاب البيوع أنه لا يجوز بيع المسلم فيه قبل القبض وإن قال لي عند رجل طعام فأحضر معي حتى أكتاله لك فحضر واكتاله له لم يجز لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الطعام حتى يجري فيه الصاعان: صاع البائع وصاع المشتري وهذا لم يجر فيه الصاعان وهل ييصح قبض المسلم إليه لنفسه فيه وجهان بناء على القولين فيمن باع دين المكاتب فقبضمنه المشتري فإن قبض المشتري لنفسه لا يصح وهل يصح القبض للسيد فيه قولان: أحدهما يصح لأنه قبضه بإذنه فصار كما لو قبضه وكيله
PASAL: Jika ia mengalihkan hak salam kepada seseorang yang memiliki makanan atasnya, maka tidak sah, karena ḥawālah (pengalihan utang) adalah jual beli, dan telah dijelaskan dalam Kitab al-Buyū‘ bahwa tidak boleh menjual barang muslam fīh sebelum diterima.
Dan jika ia berkata, “Aku punya makanan pada seseorang, maka ikutlah bersamaku agar aku menakarkannya untukmu,” lalu ia hadir dan menakarkan untuknya, maka itu tidak sah, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Nabi SAW melarang menjual makanan hingga terjadi dua takaran padanya: takaran penjual dan takaran pembeli. Dan dalam kasus ini belum terjadi dua takaran.
Apakah boleh pihak muslam ilayh melakukan qabḍ untuk dirinya sendiri? Maka dalam hal ini ada dua pendapat, yang dibangun di atas dua pendapat dalam masalah seseorang yang membeli piutang seorang mukātab, lalu ia melakukan qabḍ atasnya: jika qabḍ pembeli untuk dirinya sendiri tidak sah, maka dalam kasus ini juga tidak sah.
Dan apakah qabḍ sah jika dilakukan untuk tuannya? Maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama: sah, karena ia melakukannya dengan izin, sehingga seperti halnya jika dilakukan oleh wakilnya.
والثاني لا يصح لأنه لم يأذن له في قبضه له وإنما أذن له في قبضه لنفسه فلا يصير القبض له ويخالف الوكيل فإنه قبضه لموكله فإن قلنا إن قبضه لا يصح اكتال لنفسه مرة أخرى ثم يكيله للمسلم وإن قلنا إن قبضه يصح كاله للمسلم فإن قال أحضر معي حتى أكتاله لنفسي وتأخذه ففعل ذلك صح القبض للمسلم إليه لأنه قبضه لنفسه قبضاً صحيحاً ولا يصح للمسلم لأنه دفعه إليه من غير كيل وإن اكتاله لنفسه وسلم إلى المسلم وهو في المكيال ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الطعام حتى يجري فيه الصاعان وهذا يقتضي كيلاً بعد كيل وذاك لم يوجد والثاني أنه يصح لأن استدامة الكيل بمنزلة ابتدائه ولو ابتدأ بكيله جاز فكذلك إذا استدامه.
Dan pendapat kedua: tidak sah, karena ia tidak diberi izin untuk melakukan qabḍ atas nama pihak muslim, melainkan hanya diberi izin untuk melakukan qabḍ untuk dirinya sendiri, maka tidak dianggap sebagai qabḍ untuk pihak muslim. Berbeda dengan wakil, karena ia melakukan qabḍ untuk orang yang mewakilkannya.
Maka jika kita mengatakan bahwa qabḍ-nya tidak sah, maka ia harus menakarnya kembali untuk dirinya sendiri, kemudian menakarnya lagi untuk pihak muslim.
Dan jika kita mengatakan bahwa qabḍ-nya sah, maka ia boleh langsung menakarnya untuk pihak muslim.
Jika ia berkata: “Ikutlah bersamaku agar aku menakarnya untuk diriku, lalu engkau ambil,” lalu hal itu dilakukan, maka qabḍ sah untuk pihak muslam ilayh karena ia telah menerimanya untuk dirinya sendiri dengan qabḍ yang sah. Namun tidak sah untuk pihak muslim, karena ia menyerahkan makanan itu kepadanya tanpa takaran.
Dan jika ia menakarnya untuk dirinya sendiri lalu menyerahkannya kepada pihak muslim dalam wadah takaran itu juga, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak sah, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Nabi SAW melarang menjual makanan hingga terjadi dua takaran, dan ini menuntut adanya takaran setelah takaran, sedangkan dalam kasus ini tidak terjadi.
Pendapat kedua: sah, karena kelanjutan proses takaran dianggap seperti permulaan takaran. Jika ia memulainya dengan takaran, maka sah. Maka demikian pula jika ia melanjutkannya.
فصل: وإن دفع المسلم إليه إلى المسلم دراهم وقال اشتر لي بها مثل مالك علي واقبضه لنفسك ففعل لم يصح قبضه لنفسه وهل يصح للمسلم إليه على الوجهين المبينين على القولين في دين المكاتب فإن قال اشتري لي واقبضه لي ثم اقبضه لنفسك ففعل صح الشراء والقبض للمسلم إليه ولا يصح قبضه لنفسه لأنه لا يجوز أن يكون وكيلاً لغيره في قبض حق نفسه.
PASAL: Jika muslim ilayh (pihak yang menerima akad salam) menyerahkan kepada muslim (pihak yang menyerahkan modal salam) sejumlah dirham seraya berkata, “Belikan untukku barang seharga dengan yang menjadi hakmu atasku, lalu terimalah untuk dirimu sendiri,” kemudian ia melakukannya, maka serah terimanya untuk dirinya sendiri tidak sah.
Adapun apakah sah untuk muslim ilayh, maka ada dua wajah sebagaimana dua pendapat dalam permasalahan utang bagi mukātab.
Jika ia berkata, “Belikan untukku, lalu terimalah untukku, kemudian barulah engkau terima untuk dirimu sendiri,” lalu ia melakukannya, maka sah pembelian dan serah terima untuk muslim ilayh, tetapi tidak sah serah terima untuk dirinya sendiri. Karena tidak boleh seseorang menjadi wakil bagi orang lain dalam menerima haknya sendiri.
فصل: إذا قبض المسلم فيه وجد به عيباً فله أن يرده لأن إطلاق العقد يقتضي مبيعاً سليماً فلا يلزمه قبول المعيب فإن رد ثبت له المطالبة بالسليم لأنه أخذ المعيب عما في الذمة فإذا رده رجع إلى ماله في الذمة وإن حدث عنده عيب رجع بالأرش لأنه لا يمكنه رده ناقصاً عما أخذ ولا يمكن إجباره على أخذه مع العيب فوجب الأرش.
PASAL: Jika pihak muslim menerima barang muslam fīh lalu mendapati padanya cacat, maka ia berhak mengembalikannya, karena akad yang bersifat mutlak mengharuskan barang yang selamat (dari cacat), maka tidak wajib baginya menerima barang yang cacat.
Jika ia mengembalikannya, maka ia berhak menuntut barang yang sesuai karena ia menerima barang cacat sebagai ganti dari yang ada dalam tanggungan. Maka jika ia mengembalikannya, ia kembali berhak atas barang yang ada dalam tanggungan.
Jika cacat itu terjadi di tangannya, maka ia hanya berhak atas arasy (ganti rugi), karena ia tidak bisa mengembalikannya dalam keadaan berkurang dari apa yang ia terima, dan tidak bisa pula dipaksa untuk menerima barang cacat, maka wajib diberikan arasy.
فصل: فإن أسلم في ثمرة فانقطعت في محلها أو غاب المسلم إليه فلم يظهر حتى نفدت الثمرة ففيه قولان: أحدهما أن العقد ينفسخ لأن المعقود عليه ثمرة هذا العام وقد هلكت فانفسخ العقد كما لو اشتري لي واقبضه لي ثم اقبضه لنفسك ففعل صح الشراء والقبض للمسلم إليه ولا يصح قبضه لنفسه لأنه لا يجوز أن يكون وكيلاً لغيره في قبض حق نفسه.
PASAL: Jika seseorang melakukan salam pada buah-buahan, lalu buah tersebut habis di waktu jatuh temponya, atau pihak muslam ilayh tidak tampak hingga buahnya habis, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: akadnya batal, karena yang diakadkan adalah buah tahun itu, dan buah tersebut telah rusak, maka batal akadnya sebagaimana halnya jika seseorang berkata, “Belikan untukku dan serahkan kepadaku, lalu setelah itu serahkan untuk dirimu,” lalu hal itu dilakukan, maka pembelian dan penyerahan kepada pihak muslim ilayh sah, namun penyerahan kepada dirinya sendiri tidak sah, karena tidak boleh seseorang menjadi wakil orang lain dalam menerima hak dirinya sendiri.
فصل: إذا قبض المسلم فيه ووجد به عيباً فله أن يرده لأن إطلاق العقد يقتضي مبيعاً سليماً فلا يلزمه قبول المعيب فإن رد ثبت له المطالبة بالسليم لأنه أخذ المعيب عما في الذمة فإذا رده رجع إلى ماله في الذمة وإن حدث عنده عيب رجع بالأرش لأنه لا يمكنه رده ناقصاً عما أخذ ولا يمكن إجباره على أخذه مع العيب فوجب الأرش.
PASAL: Jika muslam fīh telah diterima, lalu ditemukan padanya cacat, maka ia berhak mengembalikannya karena lafaz akad secara mutlak menghendaki barang yang selamat (dari cacat), maka tidak wajib baginya menerima barang yang cacat. Jika ia mengembalikannya, maka ia berhak menuntut yang selamat, karena ia menerima barang cacat sebagai ganti dari apa yang menjadi tanggungan. Maka apabila ia mengembalikannya, ia kembali kepada haknya dalam tanggungan.
Namun jika cacat itu terjadi di tangannya, maka ia berhak mendapatkan arasy (ganti rugi), karena ia tidak bisa mengembalikannya dalam keadaan kurang dari yang ia terima, dan ia pun tidak bisa dipaksa untuk menerima barang yang cacat, maka wajiblah arasy.
فصل: فإن أسلم في ثمرة فانقطعت في محلها أو غاب المسلم إليه فلم يظهر حتى نفدت الثمرة ففيه قولان: أحدهما أن العقد ينفسخ لأن المعقود عليه ثمرة هذا العام وقد هلك فانفسخ العقد كما لو اشترى قفيزاً من صبرة فهلكت الصبرة والثاني أنه لا ينفسخ لكنه بالخيار بين أن يفسخ وبين أن يصبر إلى أن توجد الثمرة فيأخذها لأن المعقود عليه ما في الذمة لا ثمرة هذا العام والدليل عليه أنه لو أسلم إليه في ثمرة عامين فقدم في العام الأول ما يجب له في العام الثاني جاز وما في الذمة لم يتلف وإنما تأخر فثبت له الخيار كما لو اشترى عبداً فأبق.
PASAL: Jika seseorang melakukan salam atas buah-buahan, lalu buah itu habis di tempat jatuh temponya, atau pihak muslam ilayh tidak tampak hingga buah-buahan itu habis, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: akadnya batal, karena yang diakadkan adalah buah tahun itu, dan buah tersebut telah rusak, maka batal akad sebagaimana seseorang membeli satu qafīz dari sebuah tumpukan, lalu tumpukan itu rusak.
Pendapat kedua: akadnya tidak batal, tetapi pihak muslim memiliki hak memilih antara membatalkan akad atau menunggu hingga buah itu tersedia lalu mengambilnya. Karena yang diakadkan adalah kewajiban dalam tanggungan (mā fī al-dzimmah), bukan buah-buahan tahun itu.
Dalilnya adalah: seandainya seseorang melakukan salam atas buah dua tahun, lalu pihak muslam ilayh menyerahkan buah tahun kedua di tahun pertama, maka itu boleh. Maka apa yang ada dalam tanggungan tidaklah rusak, hanya saja tertunda, sehingga pihak muslim memiliki hak khiyar, sebagaimana jika seseorang membeli seorang budak lalu budak itu kabur.
فصل: يجوز فسخ عقد السلم بالإقالة لأن الحق لهما فجاز لهما الرضا بإسقاطه فإذا فسخا وانفسخ بانقطاع الثمرة في أحد القولين أو بالفسخ في القول الآخر رجع المسلم إلى رأس المال فإن كان باقياً وجب رده وإن كان تالفاً ثبت بدله في ذمة المسلم إليه فإن أراد أن يسلمه في شيء آخر لم يجز لأنه بيع دين بدين وإن أراد أن يشتري به عيناً نظرت فإن كان تجمعهما علة واحدة في الربا كالدراهم بالدنانير والحنطة بالشعير لم يجز أن يتفرقا قبل القبض كما لو أراد أن يبيع أحدهما بالآخر عيناً بعين وإن لم تجمعهما علة واحدة في الربا كالدراهم بالحنطة والثوب بالثوب ففيه وجهان: أحدهما يجوز أن يتفرقا من غير قبض كما يجوز إذا باع أحدهما بالآخر عيناً بعين أن يتفرقا من غير قبض والثاني لا يجوز لأن المبيع في الذمة فلا يجوز أن يتفرقا قبل قبض عوضه كالمسلم فيه والله أعلم.
PASAL: Boleh membatalkan akad salam dengan iqālah karena hak berada pada keduanya, maka boleh bagi keduanya untuk saling ridha dalam menggugurkan akad tersebut. Apabila keduanya membatalkannya dan akad salam menjadi batal karena buah-buahan tidak ada (putus hasil) menurut salah satu dari dua pendapat, atau karena pembatalan menurut pendapat yang lain, maka pihak muslim (pemberi uang di awal) kembali kepada modal awal. Jika modal itu masih ada, wajib dikembalikan, dan jika telah rusak, maka penggantinya wajib dibayar oleh pihak muslam ilayh (penerima uang).
Jika pihak muslim ingin menukar haknya dengan sesuatu yang lain, maka tidak boleh, karena itu termasuk jual beli utang dengan utang. Jika ia ingin membeli dengan haknya suatu barang (‘ayn), maka diteliti terlebih dahulu: jika keduanya termasuk jenis yang memiliki ‘illah yang sama dalam riba, seperti dirham dengan dinar, atau gandum dengan jelai, maka tidak boleh berpisah sebelum serah terima, sebagaimana jika ia ingin menjual salah satunya dengan yang lain secara ‘ayn dengan ‘ayn.
Namun jika keduanya tidak memiliki ‘illah yang sama dalam riba, seperti dirham dengan gandum, atau kain dengan kain, maka ada dua pendapat: pertama, boleh berpisah sebelum serah terima, sebagaimana jika ia menjual salah satunya dengan yang lain secara ‘ayn dengan ‘ayn, boleh berpisah sebelum serah terima. Kedua, tidak boleh, karena yang dijual adalah sesuatu dalam tanggungan (fi al-dzimmah), maka tidak boleh berpisah sebelum menerima gantinya, sebagaimana barang yang diserahkan dalam akad salam. Wallāhu a‘lam.
باب القرض
القرض قربة مندوب إليه لما روى أبوهريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من كشف عن مسلم كربة كشف الله عنه كربة من كرب يوم القيامة والله في عون العبد مادام العبد في عون أخيه” وعن أبي الدرداء رضي الله عنه أنه قال: لأن أقرض دينارين ثم يردا ثم أقرضهما أحب إلي من أن أتصدق بهما وعن ابن مسعود وابن عباس رضي الله عنهما أنهما قالا: قرض مرتين خير من صدقة مرة.
BAB PINJAMAN (AL-QARḌ)
Pinjaman (al-qarḍ) adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah yang dianjurkan, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa meringankan satu kesulitan dari seorang Muslim, niscaya Allah akan meringankan darinya satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.”
Dan dari Abu Darda RA, ia berkata: “Sungguh aku meminjamkan dua dinar lalu dikembalikan, kemudian aku meminjamkannya lagi, itu lebih aku sukai daripada aku menyedekahkannya.”
Dan dari Ibnu Mas‘ūd dan Ibnu ‘Abbās RA, keduanya berkata: “Memberi pinjaman dua kali lebih baik daripada bersedekah sekali.”
فصل: ولا يصح إلا من جائز التصرف لأنه عقد على المال فلا يصح إلا من جائز التصرف كالبيع ولا ينعقد إلا يالإيجاب والقبول لأنه تمليك آدمي فلا يصح من غير إيجاب وقبول كالبيع والهبة ويصح بلفظ القرض والسلف لأن الشرع ورد بهما ويصح بما يؤدي معناه وهو أن يقول ملكتك هذا على أن ترد علي بدله فإن قال ملكتك ولم يذكر البدل كان هبة فإن اختلفا فيه فالقول قول الموهوب له لأنه الظاهر معه فإن التمليك من غير ذكر عوض هبة في الظاهر وإن قال أقرضتك ألفاً وقبل وتفرقا ثم دفع إليه ألفاً فإن لم يطل الفصل جاز لأن الظاهر أنه قصد الإيجاب وإن طال الفصل لم يجز حتى يعيد لفظ القرض لأنه لا يمكن البناء على العقد مع طول الفصل.
PASAL: Tidak sah (akad pinjam-meminjam) kecuali dari orang yang cakap bertindak, karena ia adalah akad atas harta, maka tidak sah kecuali dari orang yang cakap bertindak seperti jual beli. Akad ini tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul, karena ia merupakan pemilikan dari sesama manusia, maka tidak sah tanpa ijab dan qabul sebagaimana jual beli dan hibah. Sah dengan lafaz qardh dan salaf, karena syariat datang dengan keduanya. Sah juga dengan lafaz yang mengandung makna keduanya, yaitu seperti ucapan: “Aku milikkan ini kepadamu dengan syarat engkau mengembalikan gantinya kepadaku.” Jika ia berkata: “Aku milikkan kepadamu,” tanpa menyebutkan ganti, maka itu adalah hibah. Jika keduanya berselisih dalam hal ini, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan pihak yang menerima hibah, karena yang tampak mendukungnya, sebab pemilikan tanpa menyebutkan pengganti tampak sebagai hibah. Jika ia berkata, “Aku pinjamkan kepadamu seribu,” lalu yang lain menerima dan keduanya berpisah, kemudian ia menyerahkan seribu tersebut, maka jika pemisahan tidak terlalu lama, maka sah, karena tampak bahwa ia bermaksud melakukan ijab. Namun jika pemisahan terlalu lama, maka tidak sah hingga ia mengulangi lafaz qardh, karena tidak mungkin membangun (serah terima) di atas akad setelah terpisah lama.
فصل: وإن كتب إليه وهو غائب أقرضتك هذا أو كتب إليه بالبيع ففيه وجهان: أحدهما ينعقد لأن الحاجة مع الغيبة داعية للكتابة والثاني لا ينعقد لأنه قادر على النطق فلا ينعقد عقده بالكتابة كما لو كتب وهو حاضر وقول القائل الأول إن الحاجة داعية إلى الكتابة لا يصح لأنه يمكنه أن يوكل من يعقد العقد بالقول.
PASAL
Jika seseorang menulis surat kepada orang yang sedang tidak hadir (ghā’ib) dengan mengatakan, “Aku telah meminjamkan kepadamu ini,” atau menulis kepadanya tentang jual beli, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan bahwa akadnya sah, karena dalam keadaan tidak hadir, kebutuhan untuk menggunakan tulisan sangat mendesak.
Pendapat kedua menyatakan bahwa akadnya tidak sah, karena ia masih mampu berbicara, maka akadnya tidak sah hanya dengan tulisan sebagaimana jika ia menulis padahal ia hadir.
Pendapat pihak pertama yang mengatakan bahwa kebutuhan mendorong untuk menggunakan tulisan tidak dapat diterima, karena sesungguhnya ia bisa mewakilkan kepada seseorang untuk melakukan akad dengan ucapan.
فصل: ولا يثبت فيه خيار المجلس وخيار الشرط لأن الخيار يراد للفسخ وفي القرض يجوز لكل واحد منهما أن يفسخ إذا شاء فلا معنى لخيار المجلس وخيار الشرط ولا يجوز شرط الأجل فيه لأن الأجل يقتضي جزءاً من العوض والقرض لا يحتمل الزيادة والنقصان في عوضه فلا يجوز شرط الأجل فيه ويجوز شرط الرهن فيه لأن النبي صلى الله عليه وسلم رهن درعه على شعير أخذه لأهله ويجوز أخذ الضمين فيه لأنه وثيقة فجاز في القرض كالرهن.
PASAL: Tidak tetap padanya khiyār al-majlis dan khiyār al-syarṭ, karena khiyār dimaksudkan untuk membatalkan akad, sedangkan dalam qarḍ (pinjaman), masing-masing dari keduanya boleh membatalkan kapan saja ia kehendaki, maka tidak ada makna khiyār al-majlis dan khiyār al-syarṭ. Tidak boleh mensyaratkan tempo (tenggang waktu) padanya, karena tempo mengandung tambahan dari ganti (pengembalian), sementara qarḍ tidak menerima tambahan maupun pengurangan pada gantinya, maka tidak boleh mensyaratkan tempo padanya. Boleh mensyaratkan jaminan (gadai) padanya, karena Nabi SAW menggadaikan baju besinya atas gandum yang beliau ambil untuk keluarganya. Dan boleh mengambil penanggung (ḍamīn) padanya, karena ia adalah bentuk penguatan (jaminan), maka diperbolehkan dalam qarḍ sebagaimana rahn.
فصل: وفي الوقت الذي يملك فيه وجهان: أحدهما أنه يملكه بالقبض لأنه عقد يقف التصرف فيه على القبض فوقف الملك فيه على القبض كالهبة فعلى هذا إذا كان القرض حيواناً فنفقته بعد القبض على المستقرض فإن اقترض أباه وقبضه عتق عليه والثاني أنه لا يملكه إلا بالتصرف بالبيع والهبة والإتلاف لأنه لو ملك قبل التصرف لما جاز للمقرض أن يرجع فيه بغير رضاه فعلى هذا تكون نفقته على المقرض فإن اقترض أباه لم يعتق عليه قبل أن يتصرف فيه واختلف أصحابنا فيمن قدم طعاماً إلى رجل ليأكله على أربعة أوجه: أحدهما أنه يملكه بالأخذ والثاني أنه يملكه بمركه في الفم والثالث أنه يملكه بالبلع والرابع أنه لا يملكه بل يأكله على ملك صاحب الطعام.
PASAL
Tentang waktu kepemilikan (atas barang pinjaman), terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan bahwa seseorang memilikinya dengan qabḍ (pengambilan fisik), karena ia merupakan akad yang pelaksanaannya bergantung pada qabḍ, maka kepemilikan pun bergantung padanya, seperti hibah. Berdasarkan pendapat ini, jika yang dipinjam adalah hewan, maka biaya nafkahnya setelah qabḍ menjadi tanggung jawab peminjam. Jika ia meminjam (budak) ayahnya dan telah ia qabḍ, maka budak itu merdeka baginya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa ia tidak memilikinya kecuali setelah melakukan tindakan seperti menjual, menghibahkan, atau merusaknya, karena seandainya ia telah memilikinya sebelum ada tindakan, tentu pemberi pinjaman tidak boleh menarik kembali pinjamannya tanpa kerelaannya. Maka berdasarkan pendapat ini, biaya nafkahnya menjadi tanggung jawab pemberi pinjaman, dan jika ia meminjam (budak) ayahnya, maka tidak merdeka baginya sebelum ada tindakan terhadapnya.
Para ulama kami berselisih pendapat mengenai orang yang menghidangkan makanan kepada seseorang untuk dimakan, dengan empat pendapat:
Pertama, ia memilikinya sejak mengambil.
Kedua, ia memilikinya saat memasukkan ke dalam mulut.
Ketiga, ia memilikinya saat menelan.
Keempat, ia tidak memilikinya sama sekali, melainkan ia memakannya dalam kepemilikan pemilik makanan.
فصل: ويجوز قرض كل مال يملك بالبيع ويضبط بالوصف لأنه عقد تمليك يثبت العوض فيه في الذمة فجاز أن يملك ويضبط بالوصف كالسلم فأما ما لا يضبط بالوصف كالجواهر وغيرها ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن القرض يقتضي رد المثل وما لا يضبط بالوصف لا مثل له والثاني يجوز لأن ما لا مثل له يضمنه المستقرض بالقيمة والجواهر كغيرها في القيمة ولا يجوز إلا في مال معلوم القدر فإن أقرضه دراهم لا يعرف وزنها أو طعاماً لا يعرف كيله لم يجز لأن القرض يقتضي رد المثل فإذا لم يعلم القدر لم يمكن القضاء.
PASAL: Boleh meminjamkan setiap harta yang dimiliki melalui jual beli dan dapat ditentukan dengan sifat, karena ia adalah akad pemilikan yang menetapkan adanya ganti dalam dzimmah, maka boleh dimiliki dan ditentukan dengan sifat seperti salam. Adapun sesuatu yang tidak dapat ditentukan dengan sifat seperti permata dan sejenisnya, maka ada dua wajah: pertama, tidak boleh, karena qarḍ menuntut pengembalian yang sepadan, sementara yang tidak dapat ditentukan dengan sifat tidak memiliki padanan; dan kedua, boleh, karena sesuatu yang tidak memiliki padanan dapat dijamin oleh peminjam dengan nilai, dan permata seperti selainnya dalam hal nilai. Dan tidak boleh kecuali pada harta yang diketahui takarannya. Jika ia meminjamkan dirham yang tidak diketahui beratnya, atau makanan yang tidak diketahui takarannya, maka tidak sah, karena qarḍ menuntut pengembalian yang sepadan, dan jika kadar tidak diketahui, maka tidak mungkin dilakukan pembayaran.
فصل: ويجوز استقراض الجارية لمن لا يحل له وطؤها كالبيع والهبة والمنصوص هو الأول لأنه عقد إرفاق جائز من الطرفين فلا يستباح الوطء كالعارية ويخالف البيع والهبة فإن الملك فيهما تام لأنه لو أراد كل واحد منهما أن ينفرد بالفسخ لم يملك والملك في القرض غير تام لأنه يجوز لكل واحد منهما أن ينفرد بالفسخ فلو جوزنا فيمن يحل له وطؤها أدى إلى الوطء في ملك غير تام وذلك لا يجوز وإن أسلم جارية في جارية ففيه وجهان: قال أبو إسحاق لا يجوز لأنا لا نأمن أن يطأها ثم يردها عن التي تستحق عليه فيصير كمن اقترض جارية فوطئها ثم ردها ومن أصحابنا من قال: يجوز وهو المذهب لأن كل عقد صح في العبد بالعبد صح في الجارية بالجارية كالبيع.
PASAL
Boleh meminjam budak perempuan (jāriyah) bagi orang yang haram baginya melakukan persetubuhan dengannya, seperti dalam jual beli dan hibah. Pendapat yang ditegaskan adalah yang pertama, karena ini adalah akad tolong-menolong yang diperbolehkan dari kedua belah pihak, sehingga tidak boleh disetubuhi, sebagaimana ‘āriyah (pinjaman pakai). Ini berbeda dengan jual beli dan hibah, karena kepemilikan dalam kedua akad tersebut sempurna—sebab jika salah satu pihak ingin membatalkannya sendiri, maka tidak diperbolehkan.
Sedangkan kepemilikan dalam pinjaman tidak sempurna, karena masing-masing pihak boleh membatalkan secara sepihak. Maka, jika dibolehkan bagi orang yang halal menyetubuhinya, hal itu akan menyebabkan persetubuhan dalam kepemilikan yang tidak sempurna, dan itu tidak diperbolehkan.
Jika seseorang melakukan akad salam dengan menukar satu budak perempuan dengan budak perempuan lain, maka terdapat dua pendapat:
Abu Ishaq berkata: tidak boleh, karena dikhawatirkan ia akan menyetubuhinya lalu mengembalikannya sebagai pengganti budak yang menjadi haknya, maka hal itu seperti orang yang meminjam budak perempuan, lalu menyetubuhinya, kemudian mengembalikannya.
Sebagian ulama mazhab kami berkata: boleh, dan ini adalah pendapat yang menjadi al-madhhab, karena setiap akad yang sah untuk budak laki-laki dengan budak laki-laki, juga sah untuk budak perempuan dengan budak perempuan, seperti dalam jual beli.
فصل: ولا يجوز قرض جر منفعة مثل أن يقرضه ألفاً على أن يبني داره أو على أن يرد عليه أجود منه أو أكثر منه أو على أن يكتب له بها سفتجة يربح فيها خطر الطريق والدليل عليه ما روى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن سلف وبيع والسلف هو القرض في لغة أهل الحجاز وروي عن أبي كعب وابن مسعود وابن عباس رضي الله عنهم أنهم نهوا عن قرض جر منفعة ولأنه عقد إرفاق فإذا شرط فيه منفعة خرج عن موضوعه فإن شرط أن يرد عليه دون ما أقرضه ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن مقتضى القرض رد المثل فإذا شرط النقصان عما أقرضه فقد شرط ما ينافي مقتضاه فلم يجز كما لو شرط الزيادة
PASAL
Tidak boleh memberikan pinjaman yang menarik manfaat, seperti meminjamkan seribu dengan syarat peminjam harus membangun rumahnya, atau mengembalikan barang yang lebih baik atau lebih banyak darinya, atau dengan syarat menuliskan untuknya sufṭajah (surat pengantar uang) yang di dalamnya ia mendapatkan keuntungan karena aman dari bahaya perjalanan.
Dalilnya adalah riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Nabi SAW melarang salaf wa bay‘ (pinjaman dan jual beli dalam satu akad), dan salaf dalam bahasa penduduk Hijaz adalah qarḍ (pinjaman).
Diriwayatkan pula dari Ubay bin Ka‘b, Ibnu Mas‘ūd, dan Ibnu ‘Abbās RA bahwa mereka melarang pinjaman yang menarik manfaat.
Karena ia adalah akad tolong-menolong, maka jika disyaratkan adanya manfaat, ia keluar dari hakikat akad tersebut.
Jika disyaratkan agar peminjam mengembalikan kurang dari yang dipinjam, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, karena konsekuensi dari pinjaman adalah mengembalikan barang sejenis. Jika disyaratkan pengurangan dari yang dipinjamkan, berarti ia telah mensyaratkan sesuatu yang bertentangan dengan konsekuensi akad, maka tidak boleh, sebagaimana halnya jika mensyaratkan kelebihan.
والثاني يجوز لأن القرض جعل رفقاً بالمستقرض وشرط الزيادة يخرج به عن موضوعه فلم يجز وشرط النقصان لا يخرج به عن موضوعه فجاز فإن بدأ المستقرض فزاده أو رد عليه ما هو أجود منه أو كتب سفتجة أو باع منه داره جاز لما روى أبو رافع رضي الله عنه قال: استسلف رضي رسول الله صلى الله عليه وسلم من رجل بكراً فجاءته إبل الصدقة فأمرني أن أقضي الرجل بكراً فقلت: لم أجد في الإبل إلا جملاً خياراً رباعياً فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “أعطه فإن خياركم أحسنكم قضاء”
dan yang kedua boleh, karena qarḍ dijadikan sebagai bentuk keringanan bagi pihak yang meminjam. Adapun syarat adanya tambahan menjadikannya keluar dari maksud akad, maka tidak diperbolehkan. Sedangkan syarat adanya pengurangan tidak mengeluarkannya dari maksud akad, maka diperbolehkan. Apabila pihak yang meminjam memulai (inisiatif) untuk menambahkan atau mengembalikan sesuatu yang lebih baik dari yang dipinjam, atau menulis suftajah, atau menjual rumahnya kepadanya, maka itu dibolehkan. Karena berdasarkan riwayat dari Abū Rāfi‘ RA, ia berkata: Rasulullah SAW pernah meminjam unta muda dari seorang laki-laki. Kemudian datanglah unta-unta zakat, maka beliau memerintahkanku untuk membayarkan unta muda kepada laki-laki itu. Aku berkata: “Aku tidak menemukan di antara unta-unta itu kecuali seekor unta jantan pilihan yang sudah berumur empat tahun.” Maka Nabi SAW bersabda: “Berikan kepadanya, karena sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.”
وروى جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال: كان لي على رسول الله صلى الله عليه وسلم حق فقضاني وزادني فإ عرف لرجل عادة أنه إذا استقرض زاد في العوض ففي إقراضه وجهان: أحدهما لا يجوز إقراضه إلا أن يشترط رد المثل لأن المتعارف كالمشروط ولو شرط الزيادة لم يجز فكذلك إذا عرف بالعادة والثاني أنه يجوز وهو المذهب وإن الزيادة مندوب إليها فلا يجوز أن يمنع ذلك صحة العقد فإن شرط في العقد شرطاً فاسداً بطل الشرط وفي القرض وجهان: أحدهما أنه يبطل لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “كل قرض جر منفعة فهو ربا” ولأنه إنما أقرضه بشرط ولم يسلم الشرط فوجب أن لا يسلم القرض والثاني أنه يصح لأن القصد منه الإرفاق فإذا زال الشرط بقي الإرفاق.
Dan telah meriwayatkan Jābir bin ‘Abdillāh RA, ia berkata: Aku memiliki hak (utang) atas Rasulullah SAW, lalu beliau membayarnya kepadaku dan menambahkannya. Maka apabila dikenal dari seseorang bahwa kebiasaannya jika meminjamkan sesuatu, ia menambahkan pada pengembaliannya, maka dalam meminjamkan kepadanya terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama, tidak boleh meminjamkannya kecuali dengan mensyaratkan pengembalian yang sepadan, karena yang sudah menjadi kebiasaan itu seperti sesuatu yang disyaratkan. Dan jika tambahan itu disyaratkan, tidaklah diperbolehkan, maka demikian pula bila sudah dikenal melalui kebiasaan.
Kedua, diperbolehkan, dan inilah mazhab (pendapat) yang dipegang, karena tambahan itu dianjurkan, maka tidak boleh menjadikan anjuran itu sebagai penghalang bagi keabsahan akad.
Jika di dalam akad disyaratkan suatu syarat yang rusak (syarṭ fāsid), maka syarat tersebut batal. Adapun pada akad qarḍ terdapat dua wajah:
Pertama, batal, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Setiap pinjaman yang menarik manfaat, maka itu adalah riba.” Dan karena ia meminjamkannya dengan suatu syarat, lalu syarat itu tidak sah, maka tidak semestinya pinjamannya pun menjadi sah.
Kedua, sah, karena maksud dari akad tersebut adalah irfāq (memberi keringanan), maka apabila syaratnya gugur, tetaplah maksud keringanan tersebut.
فصل: ويجب على المستقرض رد المثل فيما له مثل لأن مقتضى القرض رد المثل ولهذا يقال الدنيا قروض ومكافأة فوجب أن يرد المثل وفيما لا مثل له وجهان: أحدهما يجب عليه القيمة لأن ما ضمن بالمثل إذا كان له مثل ضمن بالقيمة إذا لم يكن له مثل كالمتلفات والثاني يجب عليه مثله في الخلقة والصورة لحديث أبي رافع أن النبي صلى الله عليه وسلم أمره أن يقضي البكر بالبكر ولأن ما ثبت في الذمة بعقد السلم ثبت بعقد القرض قياساً على ماله مثل ويخالف المتلفات
PASAL: Wajib bagi orang yang berutang (mustaqriḍ) untuk mengembalikan mithl (barang sejenis) dalam hal barang itu memiliki padanan sejenis, karena konsekuensi dari akad qardh adalah pengembalian barang sejenis. Oleh karena itu dikatakan: “Dunia ini adalah utang dan balasan.” Maka wajiblah mengembalikan barang sejenis.
Adapun terhadap barang yang tidak memiliki padanan sejenis, terdapat dua pendapat:
Pertama, wajib membayar dengan qīmah (nilai harga), karena sesuatu yang ditanggung dengan mithl jika ia memiliki padanan sejenis, maka ditanggung dengan qīmah jika tidak memiliki padanan, sebagaimana pada kasus barang yang rusak (al-mutalafāt).
Kedua, wajib mengembalikan barang yang serupa dalam bentuk dan rupa, berdasarkan hadis Abū Rāfi‘ bahwa Nabi SAW memerintahkannya untuk membayar unta muda (al-bikr) dengan unta muda. Dan karena apa yang menjadi kewajiban dalam dzimmah melalui akad salam, juga menjadi kewajiban melalui akad qardh dengan qiyās terhadap barang yang memiliki padanan sejenis, dan hal ini berbeda dengan kasus barang yang rusak.
فإن المتلف متعد فلم يقبل منه إلا القيمة لأنها أحصر وهذا عقد أجيز للحاجة فقبل فيه مثل ما قبض كما قبل في السلم مثل ما وصف فإن اقترض الخبز وقلنا يجوز إقراض ما لا يضبط بالوصف ففي الذي يرد وجهان: أحدهما مثل الخبز والثاني ترد القيمة فعلى هذا إذا أقرضه الخبز وشرط أن يرد عليه الخبز ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأن مبناه على الرفق فلو منعناه من رد الخبز شق وضاق والثاني لا يجوز لأنه إذا شرط صار بيع خبز بخبز وذلك لا يجوز.
karena yang merusakkan adalah orang yang melampaui batas, maka tidak diterima darinya kecuali nilai (barang yang dirusak), karena dia terhalangi (dari mengembalikan barang itu sendiri), sedangkan akad ini dibolehkan karena kebutuhan, maka diterima dalam akad ini semisal apa yang diambil, sebagaimana dalam akad salam diterima semisal dengan apa yang disifati. Maka jika seseorang meminjam roti, dan kita katakan bahwa boleh meminjam sesuatu yang tidak bisa dibatasi dengan sifat, maka dalam hal apa yang harus dikembalikan terdapat dua pendapat: salah satunya, mengembalikan semisal roti tersebut; dan yang kedua, mengembalikan nilainya. Maka berdasarkan pendapat ini, jika ia meminjam roti dan mensyaratkan untuk mengembalikan roti pula, maka terdapat dua pendapat: pertama, boleh karena dasar akad ini adalah keringanan, maka jika kita melarang mengembalikan roti akan menyulitkan dan menyempitkan; dan kedua, tidak boleh karena jika disyaratkan maka itu menjadi jual beli roti dengan roti, dan itu tidak diperbolehkan.
فصل: إذا أقرضه دراهم بمصر ثم لقيم بمكة فطالبه بها لزمه دفعها إليه فإن طالبه المستقرض بأن يأخذها وجب عليه أخذها لأنه لا ضرر عليه في أخذها فوجب أخذها فإن أقرضه طعاماً بمصر فلقيه بمكة فطالبه به لم يجبر على دفعه إليه لأن الطعام بمكة أغلى فإن طالبه المستقرض بالأخذ لم يجبر على أخذه لأن عليه مؤنة في حمله فإن تراضيا جاز لأن المنع لحقهما وقد رضيا جميعاً فإن طالبه بقيمة الطعام بمكة أجبر على دفعها لأنه بمكة كالمعدوم وماله مثل إذا عدم وجبت قيمته ويجب قيمته بمصر لأنه يستحقه بمصر فإن أراد أن يأخذ عن بدل القرض عوضاً جاز لأن ملكه عليه مستقر فجاز أخذ العوض عنه كالأعيان المستقرة وحكمه في اعتبار القبض في المجلس حكم ما يأخذه بدلاً عن رأس مال السلم بعد الفسخ وقد بيناه والله أعلم.
PASAL: Jika seseorang meminjamkan dirham di Miṣr, lalu bertemu di Makkah dan menagihnya, maka wajib atasnya menyerahkannya. Jika yang meminjam menuntut agar pihak yang memberi pinjaman menerima uang tersebut, maka wajib atasnya menerimanya, karena tidak ada mudarat baginya dalam menerima, maka wajib menerimanya. Jika ia meminjamkan makanan di Miṣr, lalu bertemu di Makkah dan ia menagihnya, maka tidak wajib atasnya menyerahkan karena harga makanan di Makkah lebih mahal. Jika yang meminjam menuntut agar pemberi pinjaman menerima, maka tidak wajib atasnya menerima, karena terdapat beban dalam membawanya. Jika keduanya saling rela, maka boleh, karena larangan itu demi menjaga hak keduanya, dan mereka telah sama-sama rela. Jika ia menuntut nilai makanan tersebut di Makkah, maka wajib atasnya menyerahkannya, karena makanan di Makkah seperti tidak ada, dan sesuatu yang tidak ada padanannya, wajib diganti nilainya. Dan yang wajib adalah nilainya di Miṣr, karena ia menagihnya di Miṣr. Jika ia ingin menerima pengganti pinjaman dengan ganti lain, maka boleh, karena miliknya telah tetap atasnya, maka boleh menerima ganti darinya seperti barang-barang yang telah tetap dimiliki. Dan hukumnya dalam memperhitungkan serah terima di majelis sama dengan hukum dalam pengambilan pengganti dari modal salam setelah fasakh, dan telah kami jelaskan. والله أعلم.
ويجوز الرهن على الدين في السفر لقوله عز وجل: {وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِباً فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ} ويجوز في الحضر لما روى أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم رهن درعاً عند يهودي بالمدينة وأخذ منه شعيراً لأهله.
فصل: ولا يصح الرهن إلا من جائز التصرف في المال لأنه عقد على المال فلم يصح إلا من جائز التصرف في المال كالبيع.
Kitab ar-Rahn
Boleh melakukan rahn atas utang ketika dalam safar, berdasarkan firman Allah SWT: {Dan jika kamu dalam perjalanan (dan tidak mendapat seorang penulis), maka boleh ada barang tanggungan yang dipegang}. Dan boleh juga dilakukan di tempat menetap, berdasarkan riwayat dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan beliau mengambil darinya gandum untuk keluarganya.
PASAL: Tidak sah rahn kecuali dari orang yang sah melakukan pengelolaan harta, karena ia adalah akad atas harta, maka tidak sah kecuali dari orang yang sah melakukan pengelolaan harta, sebagaimana jual beli.
فصل: ويجوز أخذ الرهن على دين السلم وعوض القرض للآية والخبر ويجوز على الثمن والأجرة والصداق وعوض الخلع ومال الصلح وأرش الجناية وغرامة المتلف لأنه دين لازم فجاز أخذ الرهن عليه كدين السلم وبدل القرض ولا يجوز أخذه على دين الكتابة لأن الرهن إنما جعل ليحفظ عوض ما زال عنه ملكه من مال ومنفعة وعضو والمعوض في الكتابة هو الرقبة وهي باقية على ملكه لا يزول ملكه عنها إلا بالأداء فلا حاجة به إلى الرهن ولأن الرهن إنما يعقد لتوثيق الدين حتى لا يبطل والمكاتب يملك أن يبطل الدين بالفسخ إذا شاء فلا يصح توثيقه فأما مال الجعالة قبل العمل ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز أخذ الرهن به لأنه مال شرط في عقد لا يلزم فلا يجوز أخذ الرهن به كمال الكتابة
PASAL: Boleh mengambil rahn atas utang salam dan pengganti qardh, berdasarkan ayat dan hadis. Dan boleh juga atas harga barang (tsaman), upah (ujrah), ṣadaq (mahar), pengganti khulu‘, harta ṣulḥ, diyat kejahatan, dan ganti rugi atas kerusakan, karena semuanya merupakan utang yang wajib, maka boleh mengambil rahn atasnya sebagaimana utang salam dan pengganti qardh.
Tidak boleh mengambil rahn atas utang kitābah, karena rahn disyariatkan untuk menjaga ganti dari sesuatu yang telah hilang kepemilikannya, baik berupa harta, manfaat, atau anggota tubuh. Sedangkan ganti dalam kitābah adalah raqabah (badan budak), yang masih tetap dalam kepemilikannya, dan tidak hilang kepemilikannya kecuali setelah pelunasan, maka tidak ada kebutuhan untuk rahn. Dan karena rahn itu diadakan untuk penguatan utang agar tidak gugur, sedangkan budak mukatab berhak membatalkan utang itu dengan fasakh kapan saja ia mau, maka tidak sah menjadikannya jaminan.
Adapun harta ju‘ālah sebelum pekerjaan dilakukan, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh mengambil rahn atasnya karena ia adalah harta yang disyaratkan dalam akad yang tidak mengikat, maka tidak boleh mengambil rahn atasnya seperti harta kitābah.
والثاني يجوز لأنه دين يؤول إلى اللزوم فجاز أخذ الرهن به كالثمن في مدة الخيار وأما مال السبق والرمي ففيه قولان: أحدهما أنه كالإجارة فيجوز أخذ الرهن به والثاني أنه كالجعالة فيكون على الوجهين وأما العمل في الإجارة فإنه إن كانت الإجارة على عمل الأجير فلا يجوز أخذ الرهن به لأن القصد بالرهن استيفاء الحق منه عند التعذر وعمله لا يمكن استيفاؤه من غيره وإن كانت الإجارة على عمل في الذمة جاز أخذ الرهن به لأنه يمكن استيفاؤه من الرهن بأن يباع ويستأجر بثمنه من يعمل.
Dan pendapat kedua: boleh, karena itu adalah utang yang pada akhirnya menjadi wajib, maka boleh mengambil rahn atasnya sebagaimana harga dalam masa khiyār.
Adapun harta sabaq (perlombaan) dan ramy (memanah), maka terdapat dua pendapat:
Pertama, hukumnya seperti ijarah, maka boleh mengambil rahn atasnya.
Kedua, hukumnya seperti ju‘ālah, maka kembali kepada dua wajah sebelumnya.
Adapun pekerjaan dalam ijarah, maka jika ijarah itu atas pekerjaan si pekerja (ajīr), maka tidak boleh mengambil rahn atasnya karena tujuan dari rahn adalah untuk memenuhi hak ketika terjadi kesulitan, sedangkan pekerjaannya tidak dapat dipenuhi oleh selain dirinya.
Dan jika ijarah itu atas pekerjaan dalam tanggungan (fiż-żimmah), maka boleh mengambil rahn atasnya karena memungkinkan untuk memenuhinya dari rahn dengan cara dijual dan digunakan uangnya untuk menyewa orang lain yang bisa mengerjakannya.
فصل: ويجوز عقد الرهن بعد ثبوت الدين وهو أن يرهن بالثمن بعد البيع ويعوض القرض بعد القرض ويجوز عقده مع العقد على الدين وهو أن يشترط الرهن في عقد البيع وعقد القرض لأن الحاجة تدعو إلى شرطه بعد ثبوته وحال ثبوته فأما شرطه قبل العقد فلا يصح لأن الرهن تابع للدين فلا يجوز شرط قبله.
PASAL: Boleh mengadakan akad rahn setelah utang ditetapkan, yaitu seseorang menggadaikan atas harga setelah jual beli, dan atas ganti qardh setelah qardh. Dan boleh mengadakan akad rahn bersamaan dengan akad utang, yaitu mensyaratkan rahn dalam akad jual beli dan akad qardh, karena kebutuhan menuntut untuk mensyaratkannya setelah utang ditetapkan maupun saat utang ditetapkan.
Adapun mensyaratkannya sebelum akad, maka tidak sah, karena rahn merupakan turunan dari utang, maka tidak boleh disyaratkan sebelum adanya utang.
فصل: ولا يجوز أخذ الرهن على الأعيان كالمغصوب والمسروق والعارية والمأخوذ على وجه اليوم لأنه إن رهن على قيمتها إذا تلفت لم يصح لأن رهن على دين قبل ثبوته وإن رهن على عينها لم يصح لأنه لا يمكن استيفاء العين من الرهن.
PASAL: Tidak boleh mengambil barang gadai atas barang-barang tertentu seperti barang maghṣūb, barang curian, barang pinjaman (‘āriyah), dan barang yang diambil dengan sistem upah harian, karena jika digadaikan atas nilainya apabila rusak, maka tidak sah, karena itu berarti menggadaikan atas utang sebelum utang itu tetap. Dan jika digadaikan atas bendanya secara langsung, maka tidak sah, karena tidak mungkin mengambil benda tersebut dari gadai.
فصل: ولا يلزم الرهن من جهة المرتهن لأن العقد لحظه لاحظ فيه للراهن فجاز له فسخه إذا شاء فأما من جهة الراهن فلا يلزم إلا بقبض والدليل عليه قوله عز وجل: {فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ} فوصف الرهن بالقبض فدل على أنه لا يلزم إلا به ولأنه عقد إرفاق يفتقد إلى القبول والقبض فلم يلزم من غير قبض كالهبة فإن كان المرهون في يد الراهن لم يجز للمرتهن قبضه إلا بإذن الراهن لأن للراهن أن يفسخه قبل القبض فلا يملك المرتهن إسقاط حقه من غير إذنه
PASAL: Rahn tidak menjadi mengikat dari sisi murtahin, karena akad itu untuk kepentingannya dan tidak ada kepentingan bagi rāhin, maka boleh baginya membatalkan kapan saja ia mau.
Adapun dari sisi rāhin, maka tidak menjadi mengikat kecuali dengan adanya qabḍ, dan dalilnya adalah firman Allah SWT: {fa-rihānun maqbūḍah}, yang menyifati rahn dengan qabḍ, menunjukkan bahwa rahn tidak menjadi mengikat kecuali dengan adanya qabḍ. Dan karena ia adalah akad irfāq (kemudahan) yang membutuhkan ijab, kabul, dan qabḍ, maka tidak mengikat tanpa adanya qabḍ, seperti hibah.
Jika barang yang digadaikan masih berada di tangan rāhin, maka tidak boleh bagi murtahin mengambilnya kecuali dengan izin dari rāhin, karena rāhin berhak membatalkan sebelum qabḍ, maka tidak berhak bagi murtahin menggugurkan haknya tanpa izinnya.
فإن كان في يد المرتهن فقد قال في الرهن إنه لا يصير مقبوضاً بحكم الرهن إلا بإذن الراهن وقال في الإقرار والمواهب إذا وهب له عيناً في يده صارت مقبوضة من غير إذن فمن أصحابنا من نقل جوابه في الرهن إلى الهبة وجوابه في الهبة إلى الرهن فجعلها على قولين: أحدهما لا يفتقر واحد منهما إلى الإذن في القبض لأنه لما لم يفتقر إلى نقل مستأنف لم يفتقر إلى إذن مستأنف
Jika barang rahn berada di tangan murtahin, maka Imam asy-Syafi‘i berkata dalam pembahasan rahn bahwa ia tidak dianggap sebagai qabḍ berdasarkan hukum rahn kecuali dengan izin dari rāhin. Dan beliau berkata dalam pembahasan iqrār dan hibah, bahwa jika seseorang memberikan hibah atas suatu benda yang sudah berada di tangan penerima hibah, maka benda tersebut dianggap telah diterima tanpa perlu izin.
Maka sebagian dari ulama kami menukilkan jawaban beliau dalam rahn ke dalam hibah, dan jawaban beliau dalam hibah ke dalam rahn, lalu menjadikannya dua pendapat:
Pertama, tidak diperlukan izin dalam qabḍ pada keduanya, karena ketika tidak diperlukan pemindahan yang baru, maka tidak diperlukan pula izin yang baru.
والثاني أنه يفتقر وهو الصحيح لأنه عقد افتقر لزومه إلى القبض فافتقر القبض إلى الإذن كما لو لم تكن العين في يده وقولهم إنه لا يحتاج إلى نقل مستأنف لا يصح لأن النقل يراد ليصير في يده وذلك موجود والإذن يراد لتمييز قبض الهبة والرهن عن قبض الوديعة والغصب وذلك لا يحصل إلا بإذن ومن أصحابنا من حمل المسألتين على ظاهرهما فقال في الهبة لا يفتقر إلى الإذن وفي الرهن يفتقر لأن الهبة عقد يزيل الملك فلم يفتقر إلى الإذن لقوته والرهن لا يزيل الملك فافتقر إلى الإذن فضعفه والصحيح هو الطريق الأول
Pendapat kedua: qabḍ membutuhkan izin, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia adalah akad yang keabsahannya bergantung pada qabḍ, maka qabḍ pun membutuhkan izin, sebagaimana jika barang tersebut tidak berada di tangannya.
Adapun pernyataan mereka bahwa tidak diperlukan pemindahan baru, maka itu tidak sah, karena pemindahan dimaksudkan agar barang itu berada di tangannya — dan itu memang telah terjadi — sedangkan izin dibutuhkan untuk membedakan antara qabḍ karena hibah dan rahn dengan qabḍ karena wadī‘ah atau ghaṣb, dan hal ini tidak bisa tercapai kecuali dengan izin.
Sebagian ulama kami ada yang membawa dua permasalahan itu sesuai zahirnya, maka mereka berkata bahwa dalam hibah tidak diperlukan izin, sedangkan dalam rahn diperlukan, karena hibah adalah akad yang menghilangkan kepemilikan, maka tidak membutuhkan izin karena kuatnya, sedangkan rahn tidak menghilangkan kepemilikan, maka membutuhkan izin. Namun pendapat ini lemah, dan pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat yang pertama.
لأن هذا الفرق يبطل به إذا لم تكن العين في يده فإنه يفتقر إلى الإذن في الرهن والهبة مع ضعف أحدهما وقوة الآخر فإن عقد على عين رهناً وإجارة وأذن له في القبض عن الرهن والإجارة صار مقبوضاً عنهما فإن أذن له في القبض عن الإجارة دون الرهن لم يصر مقبوضاً عن الرهن لأنه لم يأذن له في قبض الرهن فإن أذن له في القبض عن الرهن دون الإجارة صار مقبوضاً عنهما لأنه أذن له في قبض الرهن وقبض الإجارة لا يفتقر إلى الإذن لأنه مستحق عليه.
Karena perbedaan yang disebutkan itu menjadi batal apabila barang tidak berada di tangannya, maka dalam hal itu tetap dibutuhkan izin baik dalam rahn maupun hibah, padahal salah satunya lemah dan yang lainnya kuat.
Jika seseorang mengadakan akad atas suatu barang sebagai rahn dan ijarah, lalu ia mengizinkan untuk melakukan qabḍ atas nama rahn dan ijarah, maka barang tersebut dianggap telah maqbūḍ untuk keduanya.
Namun jika ia hanya mengizinkan qabḍ atas nama ijarah dan bukan rahn, maka tidak dianggap maqbūḍ untuk rahn, karena tidak ada izin untuk qabḍ atas nama rahn.
Sebaliknya, jika ia mengizinkan qabḍ atas nama rahn dan bukan ijarah, maka dianggap maqbūḍ untuk keduanya, karena ia telah mengizinkan untuk qabḍ atas nama rahn, dan qabḍ dalam ijarah tidak membutuhkan izin karena itu adalah hak yang wajib dipenuhi oleh pihak yang menyewakan.
فصل: وإن أذن له في قبض ما عنده لم يصر مقبوضاً حتى يمضي زمان يتأتى فيه القبض وقال في حرملة لا يحتاج إلى ذلك كما لا يحتاج إلى نقل والمذهب الأول لأن القبض إنما يحصل بالاستيفاء أو التمكين من الاستيفاء ولهذا لو استأجر داراً لم يحصل له القبض في منافها إلا بالاستيفاء أو بمضي زمان يتأتى فيه الاستيفاء فكذلك ههنا فعلى هذا إن كان المرهون حاضراً فبأن يمضي زمان أن ينقله أمكنه ذلك وإن كان غائباً فبأن يمضي هو أو وكيله ويشاهده ثم يمضي من الزمان ما يتمكن فيه من القبض
PASAL: Jika ia mengizinkannya untuk mengambil apa yang ada padanya, maka belum dianggap sebagai telah diterima (qabadh) hingga berlalu waktu yang memungkinkan terjadinya qabadh. Dalam riwayat dari Ḥarmalah disebutkan bahwa hal itu tidak dibutuhkan, sebagaimana tidak dibutuhkan adanya pemindahan. Namun, mazhab yang pertama lebih kuat, karena qabadh hanya terjadi dengan pengambilan langsung (istifā’) atau dengan memberikan kemampuan untuk mengambil secara langsung. Oleh karena itu, seandainya seseorang menyewa rumah, maka tidak dianggap telah terjadi qabadh atas manfaatnya kecuali dengan pemanfaatan langsung atau dengan berlalu waktu yang memungkinkan pemanfaatan. Demikian pula dalam kasus ini. Maka berdasarkan hal ini, jika barang yang digadaikan hadir, maka cukup dengan berlalu waktu yang memungkinkan untuk memindahkannya. Dan jika barang itu tidak hadir, maka cukup dengan datangnya pihak yang berhak atau wakilnya, lalu melihatnya, kemudian berlalu waktu yang memungkinkan untuk mengambilnya.
وقال أبو إسحاق إن كان مما ينتقل كالحيوان لم يصر مقبوضاً إلا بأن يمضي إليه لأنه يجوز أن يكون قد انتقل من المكان الذي كان فيه فلا يمكنه أن يقدر الزمان الذي يمكن المضي فيه إليه من موضع الإذن إلى موضع القبض فأما ما لا ينتقل فإنه لا يحتاج إلى المضي إليه بل يكفي أن يمضي زمان لو أراد أن يمضي ويقبض أمكنه ومن أصحابنا من قال إن أخبره ثقة أنه باق على صفته ومضى زمان يتأتى فيه القبض صار مقبوضاً كما لو رآه وكيله ومضى زمان يتأتى فيه القبض والمنصوص هو الأول وما قال أبو إسحاق لا يصح لأنه كما يجوز أن ينتقل الحيوان من مكان إلى مكان فلا يتحقق زمان إلامكان في غير الحيوان ويجوز أن يكون قد أخذ أو هلك وما قال القائل الآخر من خبر الثقة لا يصح لأنه يجوز أن يكون بعد رؤية الثقة حدث عليه حادث فلا يتحقق إمكان القبض ويخالف الوكيل فإنه قائم مقامه فقام حضوره مقام حضوره والثقة بخلافه.
Dan Abu Ishaq berkata: Jika barang tersebut termasuk sesuatu yang bisa berpindah seperti hewan, maka belum dianggap sebagai telah diterima kecuali dengan cara ia mendatanginya, karena bisa jadi hewan itu telah berpindah dari tempat semula, sehingga tidak memungkinkan untuk memperkirakan waktu yang cukup dari tempat izin ke tempat penerimaan. Adapun jika barang itu tidak berpindah, maka tidak disyaratkan untuk mendatanginya, cukup berlalu waktu yang sekiranya jika ia hendak datang dan mengambilnya, maka memungkinkan untuk itu.
Sebagian ulama dari kalangan kami berkata: Jika seorang yang terpercaya memberitahunya bahwa barang tersebut masih dalam keadaan sebagaimana adanya, dan telah berlalu waktu yang memungkinkan untuk qabadh, maka dianggap telah diterima, sebagaimana jika wakilnya yang melihatnya dan waktu yang memungkinkan qabadh telah berlalu. Namun pendapat yang dinyatakan oleh imam adalah pendapat pertama.
Dan apa yang dikatakan oleh Abu Ishaq tidak sah, karena sebagaimana hewan bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain sehingga tidak bisa dipastikan waktunya, maka demikian pula selain hewan, bisa jadi telah diambil atau rusak.
Dan apa yang dikatakan oleh yang menyandarkan pada berita orang terpercaya juga tidak sah, karena bisa jadi setelah dilihat oleh orang terpercaya, terjadi sesuatu padanya, sehingga tidak bisa dipastikan kemungkinan qabadh. Adapun wakil, maka ia adalah perwakilan dirinya, maka kehadiran wakil dianggap seperti kehadirannya sendiri, sedangkan orang terpercaya tidak demikian.
فصل: وإن أذن له في القبض ثم رجع لم يجز أن يقبض لأن الإذن قد زال فعاد كما لو لم يأذن له وإن أذن له أو أغمي عليه لم يجز أن يقبضه لأنه خرج عن أن يكون من أهل الإذن ويكون الإذن في القبض إلى من ينظر في ماله فإن رهن شيئاً ثم تصرف فيه قبل أن يقبضه نظرت فإن باعه أو جعله مهراً في نكاح أو أجرة في إجارة أو وهبة وأقبضه أو رهنه وأقبضه أو كان عبداً فكاتبه أو أعتقه انفسخ الرهن لأن هذه التصرفات تمنع الرهن فانفسخ بها الرهن فإن دبره فالمنصوص في الأم أنه رجوع وقال الربيع فيه قول آخر أنه لايكون رجوعاً وهذا من تخريجه ووجهه أنه يمكن الرجوع في التدبير فإذا دبره أمكنه أن يرجع فيه فيقبضه في الرهن ويبيعه في الدين والصحيح هو الأول لأن المقصود بالتدبير هو العتق وذاك ينافي الرهن فجعل رجوعاً كالبيع والكتابة
PASAL: Jika seseorang memberi izin untuk melakukan qabadh (pengambilan barang gadai), kemudian ia menarik kembali izinnya, maka tidak boleh dilakukan qabadh, karena izin tersebut telah hilang, sehingga kembali seperti keadaan saat belum diberi izin. Jika ia gila atau pingsan, maka tidak boleh dilakukan qabadh karena ia telah keluar dari golongan orang yang berhak memberikan izin, dan izin qabadh berpindah kepada orang yang mengurus hartanya.
Jika seseorang menggadaikan sesuatu, lalu melakukan tindakan terhadap barang itu sebelum dilakukan qabadh, maka dilihat dahulu: jika ia menjualnya, atau menjadikannya sebagai mahr dalam akad nikah, atau sebagai upah dalam akad ijarah, atau memberikannya sebagai hibah dan telah diserahterimakan, atau menggadaikannya kepada orang lain dan telah diserahterimakan, atau barang itu adalah budak lalu ia memerdekakannya atau menulis akad kitābah padanya, maka rukun gadai batal, karena tindakan-tindakan ini menghalangi terjadinya rukun gadai, maka dengan itu batalah gadai tersebut.
Jika ia menetapkan tadbīr atas budak tersebut, maka pendapat yang dinukil dalam al-Umm adalah bahwa hal itu termasuk bentuk penarikan (pembatalan) gadai. Al-Rabi‘ meriwayatkan pendapat lain bahwa itu bukan pembatalan, dan ini adalah hasil ijtihadnya. Alasannya adalah karena masih mungkin untuk membatalkan tadbīr, maka jika ia melakukan tadbīr, tetap memungkinkan baginya untuk menariknya kembali, lalu menyerahkannya dalam gadai, dan menjualnya untuk pelunasan utang.
Namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena tujuan dari tadbīr adalah memerdekakan budak, dan hal itu bertentangan dengan akad gadai, maka dianggap sebagai pembatalan, sebagaimana jual beli dan kitābah.
فإن رهن ولم يقبض أو وهب ولم يقبض كان ذلك رجوعاً عن المنصوص لأن المقصود منه ينافي الرهن وعلى تخريج الربيع لا يكون رجوعاً لأنه يمكنه الرجوع فيه وإن كان المرهون جارية فزوجها لم يكن ذلك رجوعاً لأن التزويج لا يمنع الرهن فلا يكون رجوعاً في الرهن وإن كان داراً فأجرها نظرت فإن كانت الإجارة إلى مدة تنقضي قبل محل الدين لم يكن رجوعاً لأنها لا تمنع البيع عند المحل فلم ينفسخ بها كالتزويج وإن كانت إلى مدة يحل الدين قبل انقضائها فإن قلنا إن المستأجر يجوز بيعه لم يكن رجوعاً لأنه لا يمنع البيع عند المحل وإن قلنا لا يجوز بيعه كان رجوعاً لأنه تصرف ينافي مقتضى الرهن فجعل رجوعا كالبيع.
Jika ia menggadaikan sesuatu namun belum dilakukan qabadh, atau memberikan hibah namun belum dilakukan qabadh, maka hal itu dianggap sebagai bentuk penarikan (pembatalan) menurut pendapat yang dinukil, karena maksud dari tindakan tersebut bertentangan dengan akad gadai. Sedangkan menurut hasil ijtihad al-Rabi‘, hal itu tidak dianggap sebagai pembatalan, karena masih memungkinkan baginya untuk menarik kembali akad tersebut.
Jika barang yang digadaikan adalah seorang perempuan lalu ia menikahkannya, maka itu tidak dianggap sebagai pembatalan, karena pernikahan tidak menghalangi terjadinya gadai, maka tidak termasuk sebagai bentuk pembatalan gadai.
Jika barang yang digadaikan adalah rumah lalu ia sewakan, maka perlu diteliti: jika masa sewanya berakhir sebelum jatuh tempo utang, maka itu tidak dianggap sebagai pembatalan, karena sewa tidak menghalangi penjualan saat jatuh tempo, maka tidak membatalkan gadai sebagaimana pernikahan.
Namun jika masa sewa berlangsung melewati jatuh tempo utang, maka jika kita berpendapat bahwa rumah yang disewa boleh dijual, maka itu tidak dianggap sebagai pembatalan, karena tidak menghalangi penjualan pada saat jatuh tempo. Tetapi jika kita berpendapat bahwa rumah yang disewa tidak boleh dijual, maka itu dianggap sebagai pembatalan, karena termasuk bentuk tindakan yang bertentangan dengan maksud akad gadai, sehingga dianggap sebagai pembatalan seperti halnya penjualan.
فصل: وإن مات أحد المتراهنين فقد قال في الرهن: إذا مات المرتهن لم ينفسخ وقال في التفليس: إذا مات الراهن لم يكن للمرتهن قبض الرهن فمن أصحابنا من جعل ما قال في التفليس قولاً آخر أن الرهن ينفسخ بموت الراهن ونقل جوابه فيه إلى المرتهن وجوابه في المرتهن إليه وجعلهما على قولين: أحدهما ينفسخ بموتهما لأنه عقد لا يلزم بحال فانفسخ بموت العاقد كالوكالة والشركة والثاني لا ينفسخ لأنه عقد يؤول إلى اللزوم فلم ينفسخ بالموت كالبيع في مدة الخيار ومنهم من قال يبطل بموت الراهن ولا يبطل بموت المرتهن
PASAL: Jika salah satu dari dua pihak yang berakad gadai meninggal dunia, maka dalam masalah gadai beliau berkata: Jika yang meninggal adalah pihak yang menerima gadai (al-murtahin), maka akad gadai tidak batal. Namun dalam bab taflīs (kebangkrutan) beliau berkata: Jika yang meninggal adalah pihak yang menggadaikan (al-rāhin), maka pihak penerima gadai tidak boleh mengambil barang gadai. Maka sebagian dari ulama kami menjadikan apa yang beliau katakan dalam bab taflīs sebagai pendapat lain, yaitu bahwa akad gadai batal dengan meninggalnya pihak yang menggadaikan, dan mereka memindahkan jawaban beliau dalam hal ini ke pihak penerima gadai, dan jawaban beliau tentang pihak penerima gadai ke pihak yang menggadaikan, dan menjadikannya dua pendapat:
Pertama, akad batal dengan kematian salah satu dari keduanya karena ia adalah akad yang tidak wajib secara mutlak, sehingga batal dengan meninggalnya salah satu pihak seperti akad wakālah dan syirkah.
Kedua, akad tidak batal karena merupakan akad yang pada akhirnya menjadi wajib, maka tidak batal dengan kematian salah satu pihak seperti akad jual beli dalam masa khiyār.
Dan di antara mereka ada yang berpendapat bahwa akad batal dengan kematian pihak yang menggadaikan, dan tidak batal dengan kematian pihak yang menerima gadai.
لأن بموت الراهن يحل الدين ويتعلق بالتركة فلا حاجة إلى بقاء الرهن وبموت المرتهن لا يحل الدين فالحاجة باقية إلى بقاء الرهن ومنهم من قال لا يبطل بموت واحد منهما قولاً واحداً لأنه لم إذا لم يبطل بموت المرتهن على ما نص عليه والعقد غير لازم في حقه بحال فلأن لا يبطل بموت الراهن والعقد لازم له بعد القبض أولى وما قال في التفليس لاحجة فيه لأنه لم يرد أن الرهن ينفسخ وأنما أراد أنه إذا مات الراهن لم يكن للمرتهن قبض الرهن من غير إذن الورثة.
Karena dengan wafatnya pihak yang menggadaikan (ar-rāhin), maka utang menjadi jatuh tempo dan menjadi tanggungan harta peninggalan, sehingga tidak ada lagi kebutuhan terhadap keberlangsungan gadai. Sedangkan dengan wafatnya pihak penerima gadai (al-murtahin), utang tidak menjadi jatuh tempo, maka kebutuhan terhadap keberlangsungan gadai tetap ada.
Sebagian dari mereka berkata: Akad tidak batal dengan wafatnya salah satu dari keduanya, menurut satu pendapat, karena jika tidak batal dengan wafatnya pihak penerima gadai —sebagaimana dinyatakan dalam nash, padahal akad itu tidak wajib atasnya dalam kondisi apa pun— maka lebih utama lagi bahwa akad tidak batal dengan wafatnya pihak yang menggadaikan, karena akad menjadi wajib atasnya setelah barang diserahkan.
Adapun pernyataan beliau dalam bab taflīs tidak dapat dijadikan hujjah, karena beliau tidak bermaksud bahwa akad gadai menjadi batal, namun maksudnya adalah bahwa jika pihak yang menggadaikan meninggal dunia, maka pihak penerima gadai tidak boleh mengambil barang gadai kecuali dengan izin ahli waris.
فصل: إذا امتنع الراهن من تسليم الرهن أو انفسخ العقد قبل القبض نظرت فإن كان الرهن غبر مشروط في العقد على البيع بقي الدين بغير رهن وإن كان الرهن مشروطاً في البيع ثبت للبائع الخيار بين أن يمضي البيع من غير رهن أو يفسخه لأنه دخل في البيع بشرط أن يكون له بالثمن وثيقة ولم تسلم له فثبت له الخيار بين الفسخ والإمضاء.
PASAL: Jika pihak yang menggadaikan ( rāhin ) menolak menyerahkan barang gadai, atau akad gadai batal sebelum dilakukan qabadh, maka dilihat keadaannya: jika gadai tersebut tidak disyaratkan dalam akad jual beli, maka utang tetap ada tanpa jaminan gadai. Namun jika gadai itu disyaratkan dalam akad jual beli, maka penjual memiliki hak khiyār (memilih) antara melanjutkan jual beli tanpa adanya barang gadai atau membatalkan jual beli, karena ia masuk dalam akad jual beli dengan syarat memperoleh jaminan atas harga, namun tidak diserahkan kepadanya. Maka tetaplah baginya hak memilih antara membatalkan atau meneruskan.
فصل: إذا أقبض الراهن الرهن لزم العقد من جهته ولا يملك فسخه لأنه عقد وثيقة فإذا تم لم يجز فسخه من غير رضا من له الحق كالضمان ولأنا لو جوزنا له الفسخ من غير رضا المرتهن بطلت الوثيقة وسقط فائدة الرهن.
PASAL: Jika pihak yang menggadaikan (rāhin) telah menyerahkan barang gadai, maka akad menjadi wajib dari pihaknya, dan ia tidak memiliki hak untuk membatalkannya, karena akad ini adalah akad jaminan. Maka apabila telah sempurna, tidak boleh dibatalkan tanpa kerelaan pihak yang berhak, sebagaimana dalam akad ḍamān. Dan karena jika dibolehkan baginya membatalkannya tanpa kerelaan pihak penerima gadai (murtahin), maka batalah fungsi jaminan dan hilanglah manfaat dari gadai itu.
فصل: ولا ينفك من الرهن شيء حتى يبرأ الراهن من جميع الدين لأنه وثيقة محضة فكان وثيقة بالدين وبكل جزء منه كالشهادة والضمان، فإن رهن اثنان عند رجل عيناً بينهما بدين له عليهما فبرئ أحدهم أو رهن رجل عند اثنين عيناً بدين عليه لهما فبرئ من دين أحدهما إنفك نصف العين من الرهن لأن الصفقة إذا حصل في أحد شطريها عاقدان فهما عقدان فلا يقف الفكاك في أحدهما على الفكاك في الآخر كما لو فرق بين العقدين
PASAL: Tidak ada satu bagian pun dari barang gadai yang terlepas dari status gadai hingga rāhin (pihak yang menggadaikan) bebas dari seluruh utang, karena gadai adalah jaminan murni, maka ia menjadi jaminan untuk seluruh utang dan setiap bagiannya, sebagaimana dalam kesaksian dan penjaminan (ḍamān).
Jika dua orang menggadaikan sebuah barang milik bersama kepada satu orang atas utang yang mereka tanggung bersama, lalu salah satu dari keduanya terbebas dari utangnya, maka tidak terlepas sebagian dari barang gadai.
Atau jika satu orang menggadaikan sebuah barang kepada dua orang atas utang yang ia tanggung kepada keduanya, lalu ia terbebas dari utang salah satu dari mereka, maka separuh dari barang tersebut terlepas dari gadai. Karena apabila suatu transaksi melibatkan dua pihak dalam satu sisi dari dua sisi akad, maka ia menjadi dua akad. Maka pelepasan dalam salah satunya tidak bergantung pada pelepasan yang lain, sebagaimana jika kedua akad itu dipisahkan.
وإن أراد الراهنان في المسألة الأولى أن يقتسما أو الرهن في المسألة الثانية أن يقاسم المرتهن الذي لم يبرأ من دينه نظرت فإن كان مما لا ينقص قيمته بالقسمة كالحبوب جاز ذلك من غير رضا المرتهن وإن كان مما ينقص قيمته ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز من غير رضا المرتهن لأنه يدخل عليه بالقسمة فلم يجز من غير رضاه والثاني يجوز لأن المرهون عنده نصف العين فلا يملك الاعتراض على المالك فيما لاحق له فيه.
Jika dua orang rāhin dalam masalah pertama ingin membagi barang gadai, atau rāhin dalam masalah kedua ingin membagi barang dengan murtahin yang utangnya belum dilunasi, maka perlu dilihat keadaannya:
Jika barang tersebut termasuk yang tidak berkurang nilainya karena dibagi, seperti biji-bijian, maka boleh dibagi tanpa persetujuan murtahin.
Namun jika barang tersebut termasuk yang berkurang nilainya karena dibagi, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak boleh dibagi tanpa persetujuan murtahin, karena pembagian tersebut menyebabkan kerugian baginya, maka tidak sah tanpa izinnya.
Pendapat kedua: boleh dibagi, karena bagian yang digadaikan hanyalah separuh dari barang itu, maka murtahin tidak berhak menghalangi pemilik dari bertindak terhadap bagian yang bukan haknya.
فصل: وإذا قبض المرتهن الرهن ثم وجد به عيباً كان قبل القبض نظرت فإن كان في رهن عقد بعد عقد البيع لم يثبت له الخيار في فسخ البيع وإن كان في رهن شرط في البيع فهو بالخيار بين أن يفسخ البيع وبين أن يمضيه لأنه دخل في البيع بشرط أن يسلم له الرهن فإذا لم يسلم له ثبت له الخيار فإن لم يعلم بالعيب حتى هلك الرهن عنده أو حدث به عيب عنده لم يملك الفسخ لأنه لا يمكنه رد العين على الصفة التي أخذ فسقط حقه من الفسخ كما قلنا في المبيع إذا هلك عند المشتري أو حدث به عيب عنده ولا يثبت له الأرش لأن الأرش بدل عن الجزء الفائت ولو فات الرهن بالهلاك لم يجب بدله فإذا فات بعضه لم يجب بدله والله أعلم.
PASAL: Jika pihak penerima gadai telah menerima barang gadai, lalu ia mendapati bahwa barang tersebut memiliki cacat yang sudah ada sejak sebelum penerimaan, maka diperinci:
Jika barang gadai tersebut merupakan hasil akad tersendiri setelah akad jual beli, maka ia tidak berhak khiyār untuk membatalkan akad jual beli.
Namun jika barang gadai itu merupakan syarat dalam akad jual beli, maka ia memiliki hak memilih antara membatalkan jual beli atau meneruskannya. Sebab ia masuk dalam akad jual beli dengan syarat bahwa barang gadai itu diserahkan kepadanya; maka ketika syarat itu tidak terpenuhi, ia berhak khiyār.
Jika ia tidak mengetahui adanya cacat tersebut hingga barang gadai itu rusak ketika berada di tangannya, atau muncul cacat baru saat berada di tangannya, maka ia tidak berhak membatalkan akad, karena tidak memungkinkan lagi baginya untuk mengembalikan barang dalam keadaan seperti saat diterima, maka gugurlah haknya untuk membatalkan, sebagaimana yang dikatakan dalam kasus barang jualan apabila rusak di tangan pembeli atau muncul cacat padanya.
Ia juga tidak berhak mendapatkan arasy (ganti rugi), karena arasy adalah pengganti atas bagian yang hilang. Maka jika barang gadai hilang seluruhnya, tidak ada kewajiban untuk mengganti, maka jika sebagian dari barang itu yang hilang, juga tidak wajib diganti. Wallāhu a‘lam.
باب ما يجوز رهنه وما لا يجوز
ما لا يجوز بيعه كالوقف وأم الولد والكلب والخنزير لا يجوز رهنه لأن المقصود من الرهن أن يباع ويستوفى الحق منه وهذا لا يوجد فيما لا يجوز بيعه فلم يصح رهنه.
BAB BARANG YANG BOLEH DIGADAIKAN DAN YANG TIDAK BOLEH
Barang yang tidak boleh dijual seperti wakaf, umm al-walad, anjing, dan babi, tidak boleh digadaikan karena tujuan dari gadai adalah agar barang tersebut dapat dijual dan hak dapat dipenuhi darinya. Hal ini tidak terdapat pada barang-barang yang tidak boleh dijual, maka tidak sah menggadaikannya.
فصل: وما يسرع إليه الفساد من الأطعمة والفواكه الرطبة التي لا يمكن استصلاحها يجوز رهنه بالدين الحال والمؤجل الذي يحل قبل فساده لأنه يمكن بيعه واستيفاء الحق من ثمنه فأما ما رهنه بدين مؤجل إلى وقت يفسد قبل محله فإنه ينظر فيه فإن شرط أن يبيعه إذا خاف عليه الفساد جاز رهنه وإن أطلق ففيه قولان: أحدهما لا يصح وهو الصحيح لأنه لا يمكن بيعه بالدين في محله فلم يجز رهنه كأم الولد
PASAL: Makanan dan buah-buahan basah yang cepat rusak dan tidak bisa diawetkan boleh dijadikan barang gadai untuk utang yang sudah jatuh tempo maupun utang yang belum jatuh tempo tetapi akan jatuh sebelum makanan itu rusak, karena barang tersebut bisa dijual dan hak dapat diambil dari hasil penjualannya. Adapun jika barang itu digadaikan untuk utang yang jatuh temponya setelah waktu barang itu rusak, maka dilihat keadaannya: jika disyaratkan bahwa barang itu boleh dijual saat dikhawatirkan rusak, maka boleh digadaikan; tetapi jika tidak disyaratkan, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan tidak sah, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena barang itu tidak bisa dijual untuk melunasi utang saat waktu pembayaran tiba, maka tidak sah dijadikan barang gadai, seperti umm al-walad.
والثاني يصح وإذا خيف عليه أجبر على بيعه ويجعل ثمنه رهناً لأن مطلق العقد يحمل على المتعارف ويصير كالمشروط والمتعارف فيما يفسد أن يباع قبل فساده فيصير كما لو شرط ذلك ولو شرط ذلك جاز رهنه فكذلك إذا أطلق فإن رهن ثمرة يسرع إليها الفساد مع الشجر ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كما لو أفرده بالعقد ومنهم من قال يصح قولاً واحداً لأنه تابع للشجر فإذا هلكت الثمرة بقيت الشجرة.
dan pendapat kedua menyatakan sah, dan jika dikhawatirkan rusak, maka pemiliknya dipaksa untuk menjualnya dan hasil penjualannya dijadikan sebagai barang gadai, karena akad yang dilakukan secara mutlak dibawa kepada kebiasaan, dan kebiasaan pada barang yang cepat rusak adalah dijual sebelum rusak, sehingga hukumnya seperti jika disyaratkan secara eksplisit. Dan apabila hal itu disyaratkan, maka sah menjadikannya sebagai barang gadai, maka demikian pula jika tidak disyaratkan secara eksplisit. Jika ia menggadaikan buah yang cepat rusak beserta pohonnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: sebagian aṣḥāb kami berkata bahwa padanya terdapat dua pendapat sebagaimana jika buah itu dipisahkan dari pohonnya dalam akad; dan sebagian dari mereka berkata bahwa hukumnya sah secara qawl wāḥid, karena buah itu mengikuti pohonnya, maka jika buah itu rusak, pohonnya masih tetap.
فصل: وإن علق عتق عبد على صفة توجد قبل محل الدين لم يجز رهنه لأنه ل ايمكن بيعه في الدين وقال أبو علي الطبري رحمه الله إذا قلنا يجوز رهن ما يسرع إليه الفساد جاز رهنه وإن علق عتقه على صفة يجوز أن توجد قبل محل الدين ويجوز أن لا توجد ففيه قولان: أحدهما يصح لأن الأصل بقاء العقد وإمكان البيع ووقوع العتق قبل محل الدين مشكوك فيه فلا يمنع صحة الرهن كجواز الموت في الحيوان المرهون والثاني لا يصح لأنه قد توجد الصفة قبل محل الدين فلا يمكن بيعه وذلك غرر من غير حاجة فمنع صحة الرهن.
PASAL: Jika seseorang menggantungkan kemerdekaan seorang budak pada suatu sifat yang mungkin terjadi sebelum jatuh tempo utang, maka tidak boleh digadaikan, karena tidak mungkin dijual untuk pelunasan utang. Abu ‘Ali ath-Thabari rahimahullah berkata, jika kita katakan boleh menggadaikan barang yang cepat rusak, maka boleh pula menggadaikan budak tersebut apabila kemerdekaannya digantungkan pada suatu sifat yang mungkin terjadi sebelum jatuh tempo utang, dan mungkin juga tidak terjadi. Maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, sah, karena pada asalnya akad tetap berlaku, penjualan masih mungkin dilakukan, dan terjadinya sifat itu sebelum jatuh tempo utang masih diragukan, sehingga tidak menghalangi sahnya gadai, seperti kemungkinan kematian pada hewan yang digadaikan. Kedua, tidak sah, karena bisa jadi sifat itu terjadi sebelum jatuh tempo utang, sehingga tidak mungkin dijual, dan ini merupakan unsur gharar tanpa ada kebutuhan, maka tidak sah menggadaikannya.
فصل: واختلف أصحابنا في المدبر فمنهم من قال لا يجوز رهنه قولاً واحداً لأنه قد يموت المولى فجأة فيعتق فلا يمكن بيعه وذلك غرر من غير حاجة فمنع صحة الرهن ومنهم من قال يجوز قولاً واحداً لأنه يجوز بيعه فجاز رهنه كالعبد القن ومنهم من قال فيه قولان بناء على القولين في أن التدبير وصية أو عتق بصفة فإن قلنا إنه وصية جاز رهنه لأنه يجوز الرجوع فيه بالقول فجعل الرهن رجوعاً إن قلنا إنه عتق بصفة لم يجز رهنه
PASAL: Para aṣḥāb kami berselisih pendapat mengenai hukum mudabbir. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tidak boleh dijadikan barang gadai secara qawl wāḥid, karena bisa saja tuannya meninggal secara tiba-tiba sehingga ia merdeka, dan akibatnya tidak mungkin dijual, maka hal itu mengandung gharār tanpa ada kebutuhan, sehingga tidak sah dijadikan barang gadai. Sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh dijadikan barang gadai secara qawl wāḥid, karena ia boleh dijual, maka sah pula dijadikan barang gadai seperti budak biasa (‘abd al-qin). Dan sebagian lagi berkata bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat, tergantung pada dua pendapat dalam masalah apakah tadbīr itu termasuk wasiat atau pembebasan budak yang tergantung pada suatu sifat. Jika dikatakan bahwa tadbīr itu adalah wasiat, maka sah dijadikan barang gadai karena boleh dibatalkan dengan ucapan, maka menjadikan rahn itu sebagai bentuk pembatalan. Tetapi jika dikatakan bahwa tadbīr adalah pembebasan budak yang tergantung pada suatu sifat, maka tidak boleh dijadikan barang gadai.
لأنه لا يجوز الرجوع فيه بالقول وإنما يجوز الرجوع فيه بتصرف يزيل الملك والرهن لا يزيل الملك قال أبو إسحاق إذا قلنا إنه يصح رهنه فحل الحق وقضى سقط حكم الرهن وبقي العبد على تدبيره وإن لم يقض قيل له أترجع في الدبير فإن اختار الرجوع بيع العبد في الرهن وإن لم يختر كان له مال غيره قضي منه الدين ويبقى العبد على التدبير وإن لم يكن له مال غيره ففيه وجهان: أحدهما أنه يحكم بفساد الرهن لأنا إنما صححنا الرهن لأنا قلنا لعله يقضي الدين من غيره أو يرجع في التدبير فإذا لم يفعل حكمنا بفساد الرهن
karena tidak boleh membatalkannya dengan ucapan semata, tetapi hanya bisa dibatalkan dengan tindakan yang menghilangkan kepemilikan, sedangkan rahn tidak menghilangkan kepemilikan. Abu Ishaq berkata: jika kita mengatakan bahwa sah merahnkannya, lalu utang jatuh tempo dan dilunasi, maka hukum rahn gugur dan budak tetap pada status tadbīr-nya. Jika utang belum dilunasi, maka ditanya kepadanya: “Apakah engkau mau menarik kembali tadbīr?” Jika ia memilih menariknya, maka budak boleh dijual untuk pelunasan rahn. Jika ia tidak memilih menariknya dan ia memiliki harta lain, maka utang dibayar dari harta tersebut dan budak tetap dalam status tadbīr. Namun jika ia tidak memiliki harta lain, maka dalam hal ini ada dua wajah (pendapat): yang pertama, diputuskan bahwa rahn batal, karena kita hanya mensahkan rahn dengan anggapan bahwa mungkin saja ia akan melunasi utangnya dari harta lain atau menarik kembali tadbīr, maka jika tidak dilakukan keduanya, diputuskan bahwa rahn tersebut batal.
والثاني أنه يباع في الدين وهو الصحيح لأنا حكمنا بصحة الرهن ومن حكم الرهن أنه يباع في الدين وما سوى ذلك من الأموال كالعقار والحيوان وسائر ما يباع يجوز رهنه لأنه يحصل به مقصود الرهن وما جاز رهنه جاز رهن البعض منه مشاعاً لأن المشاع كالمقسوم في جواز البيع فكان كالمقسوم في جواز الرهن فإن كان بين رجلين دار فرهن أحدهما نصيبه من بيت بغير إذن شريكه ففيه وجهان: أحدهما يصح كما يصح بيعه والثاني لا يصح لأن فيه إضراراً بالشريك بأن يقتسما فيقع هذا البيت في حصته فيكون بعضه رهناً.
dan pendapat kedua menyatakan bahwa budak tersebut dijual untuk melunasi utang, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena kita telah memutuskan keabsahan rahn, dan di antara konsekuensi rahn adalah bahwa barang yang digadaikan dijual untuk melunasi utang. Adapun harta lainnya seperti tanah, hewan, dan semua yang dapat dijual, maka boleh dijadikan barang gadai, karena tujuan dari rahn dapat tercapai dengannya. Dan segala sesuatu yang boleh digadaikan, maka boleh pula menggadaikan sebagian musyā‘-nya, karena harta musyā‘ (yang belum dibagi) diperlakukan seperti harta yang sudah dibagi dalam hal kebolehan jual beli, maka demikian pula dalam kebolehan gadai. Jika suatu rumah dimiliki dua orang, lalu salah satu dari mereka menggadaikan bagiannya dari salah satu ruangan tanpa izin dari rekannya, maka dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat): yang pertama menyatakan sah, sebagaimana sah menjualnya; dan yang kedua menyatakan tidak sah, karena hal itu dapat merugikan rekannya, misalnya jika nanti rumah dibagi, lalu ruangan itu menjadi bagian rekannya, maka sebagian rumah akan berada dalam status gadai.
فصل: ولا يجوز رهن مال الغير بغير إذنه لأنه لا يقدر على تسليمه ولا على بيعه في الدين فلم يجز رهنه كالطير الطائر والعبد الآبق فإن كان في يده مال لمن يرثه وهو يظن أنه حي فباعه أو رهنه ثم بان أنه قد مات قبل العقد فالمنصوص أن العقد باطل لأنه عقد وهو لاعب فلم يصح ومن أصحابنا من قال: يصح لأنه صادف ملكه فأشبه إذا عقد وهو يعلم أنه ميت.
PASAL: Tidak boleh menggadaikan harta milik orang lain tanpa izinnya karena tidak mampu menyerahkannya dan tidak bisa menjualnya untuk pelunasan utang, maka tidak sah menggadaikannya, seperti burung yang terbang atau budak yang kabur. Jika seseorang memiliki harta milik orang yang akan diwarisinya, dan ia menyangka bahwa pemiliknya masih hidup, lalu ia menjual atau menggadaikannya, kemudian ternyata orang tersebut telah wafat sebelum akad, maka menurut pendapat yang manshūsh, akad tersebut batal karena ia berakad dalam keadaan bermain-main, sehingga tidak sah. Namun sebagian ulama mazhab kami berkata: akadnya sah karena bertepatan dengan kepemilikannya, sehingga seperti orang yang berakad padahal ia mengetahui bahwa orang tersebut telah wafat.
فصل: وإن رهن مبيعاً لم يقبضه نظرت فإن رهنه قبل أن ينقد ثمنه لم يصح الرهن لأنه محبوس بالثمن فلا يملك رهنه كالمرهون فإن رهنه بعد نقد الثمن ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه عقد يفتقر إلى القبض فلم يصح في المبيع قبل القبض كالبيع والثاني يصح وهو المذهب لأن الرهن لا يقتضي الضمان فجاز فيما لم يدخل في ضمانه بخلاف البيع.
فصل: وفي رهن الدين وجهان: أحدهما يجوز لأنه يجوز بيعه فجاز رهنه كالعين والثاني لا يجوز لأنه لا يدري هل يعطيه أم لا وذلك غرر من غير حاجة فمنع صحة العقد.
PASAL: Jika seseorang menggadaikan barang yang dibelinya namun belum ia terima, maka dilihat keadaannya: jika ia menggadaikannya sebelum membayar harga (barang) tersebut, maka gadai itu tidak sah karena barang itu masih tertahan oleh harga, sehingga ia tidak memiliki wewenang untuk menggadaikannya, sebagaimana barang yang digadaikan. Namun jika ia menggadaikannya setelah membayar harga, maka terdapat dua wajah (pendapat): yang pertama menyatakan tidak sah, karena rahn adalah akad yang bergantung pada qabḍ, maka tidak sah dilakukan atas barang yang belum diterima seperti halnya jual beli; dan yang kedua menyatakan sah, dan inilah madzhab, karena rahn tidak mengharuskan adanya jaminan, maka boleh dilakukan atas sesuatu yang belum masuk dalam tanggungannya, berbeda dengan jual beli.
PASAL: Dalam masalah menggadaikan piutang, terdapat dua wajah (pendapat): yang pertama menyatakan boleh, karena piutang boleh dijual, maka boleh pula dijadikan barang gadai seperti barang berwujud (‘ayn); dan yang kedua menyatakan tidak boleh, karena belum tentu ia akan menerima piutang tersebut atau tidak, dan itu termasuk gharār tanpa kebutuhan, maka tidak sah akadnya.
فصل: ولا يجوز رهن المرهون من غير إذن المرتهن لأن ما استحق بعقد لازم لا يجوز أن يعقد عليه مثله من غير إذن من له الحق كبيع ما باعه وإجارة ما أجره وهل يجوز رهنه بدين آخر عند المرتهن فيه قولان: قال في القديم يجوز وهو اختيار المزني لأنه إذا جاز أن يكون مرهوناً بألف ثم يصير مرهوناً بخمسمائة جاز أن يكون مرهوناً بخمسمائة ثم يصير مرهوناً بألف وقال في الجديد لا يجوز لأنه رهن مستحق بدين فلا يجوز رهنه بغيره كما لو رهنه عند غير المرتهن
PASAL: Tidak boleh menggadaikan barang yang sudah digadaikan tanpa izin dari pihak yang menerima gadai, karena sesuatu yang sudah menjadi hak dengan akad yang mengikat tidak boleh diakadkan lagi semisalnya tanpa izin pemilik hak tersebut, sebagaimana menjual barang yang telah dijual atau menyewakan barang yang telah disewakan. Adapun apakah boleh menggadaikannya untuk utang lain kepada pihak yang sama (yakni si penerima gadai), terdapat dua pendapat: dalam qaul qadīm, Imam asy-Syāfi‘i berkata boleh, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, karena jika boleh suatu barang digadaikan untuk utang seribu, lalu menjadi gadai untuk utang lima ratus, maka boleh pula digadaikan untuk lima ratus lalu menjadi gadai untuk seribu. Sedangkan dalam qaul jadīd, beliau berkata tidak boleh, karena barang tersebut sudah menjadi gadai yang sah karena suatu utang, maka tidak boleh dijadikan gadai untuk utang lain, sebagaimana jika digadaikan kepada pihak selain penerima gadai sebelumnya.
فإن جنى العبد المرهون ففداه المرتهن وشرط على الرهن أن يكون رهناً بالدين والأرش ففيه طريقان: من أصحابنا من قال هو على القولين ومنهم من قال: يصح ذلك قولاً واحداً والفرق بين الأرش وبين سائر الديون أن الأرش متعلق بالرقبة فإذا رهنه به فقد علق بالرقبة ما كان متعلقاً بها وغيره لم يكن متعلقاً بالرقبة فلم يجز رهنه به ولأن في الرهن بالأرش مصلحة للراهن في حفظ ماله وللمرتهن في حفظ وثيقته وليس في رهنه بدين آخر مصلحة ويجوز للمصلحة ما لا يجوز لغيرها والدليل عليه أنه يجوز أن يفتدي للعبد بقيمته في الجناية ليبقى عليه وإن كان لا يجوز أن يشتري ماله بماله.
Jika budak yang digadaikan melakukan suatu jinayah, lalu pihak yang menerima gadai menebusnya, dan ia mensyaratkan kepada pihak yang menggadaikan bahwa budak tersebut menjadi gadai untuk pelunasan utang dan arasy, maka dalam hal ini ada dua pendapat: sebagian ulama mazhab kami berkata, hal itu kembali kepada dua pendapat yang telah disebutkan sebelumnya (tentang hukum menggadaikan kembali kepada pihak yang sama untuk utang lain), dan sebagian dari mereka berkata: sah secara qawl wāḥid.
Perbedaan antara arasy dan utang-utang lainnya adalah bahwa arasy berkaitan langsung dengan tubuh budak tersebut, maka ketika digadaikan untuk arasy, berarti hanya menggantungkan apa yang memang sudah terkait dengan tubuhnya. Sementara utang lain tidak berkaitan langsung dengan tubuh budak, maka tidak sah menggadaikannya untuk utang tersebut.
Selain itu, dalam gadai untuk arasy terdapat kemaslahatan bagi pihak yang menggadaikan karena menjaga hartanya, dan bagi pihak penerima gadai karena menjaga jaminannya. Sedangkan menggadaikan untuk utang lain tidak mengandung kemaslahatan. Dan sesuatu yang mengandung kemaslahatan boleh dilakukan, sedangkan yang tidak, tidak dibolehkan. Dalilnya adalah diperbolehkan menebus budak dengan nilainya ketika terkena jinayah agar tetap berada dalam kepemilikannya, padahal tidak diperbolehkan membeli harta seseorang dengan hartanya sendiri.
فصل: وفي رهن العبد الجاني قولان واختلف أصحابنا في موضع القولين على ثلاث طرق: فمنهم من قال القولان في العمد فأما في جناية الخطأ فلا يجوز قولاً واحداً ومنهم من قال القولان في جناية الخطأ فأما في جناية العمد فيجوز قولاً واحداً ومنهم من قال القولان في الجميع وقد بينا وجوههما في البيع.
فصل: ولا يجوز رهن ما لا يقدر على تسليمه كالعبد الآبق والطير الطائر لأنه لا يمكن تسليمه ولا بيعه في الدين فلم يصح رهنه.
PASAL: Dalam masalah menggadaikan budak yang melakukan tindak pidana (al-‘abd al-jānī), terdapat dua qawl. Para aṣḥāb kami berselisih mengenai ruang lingkup dua pendapat ini dalam tiga metode: di antara mereka ada yang mengatakan bahwa dua pendapat itu berlaku dalam kasus pembunuhan sengaja (‘amd), sedangkan dalam kasus kesalahan (khaṭā’) maka tidak boleh dijadikan barang gadai secara qawl wāḥid; dan ada pula yang mengatakan bahwa dua pendapat itu berlaku dalam kasus kesalahan, sedangkan dalam kasus pembunuhan sengaja maka boleh dijadikan barang gadai secara qawl wāḥid; dan ada juga yang mengatakan bahwa dua pendapat itu berlaku dalam semua jenis tindak pidana. Kami telah menjelaskan alasan kedua pendapat ini dalam bab jual beli.
PASAL: Tidak boleh menggadaikan sesuatu yang tidak mungkin diserahkan, seperti budak yang melarikan diri (al-‘abd al-ābiq) dan burung yang terbang, karena barang tersebut tidak mungkin diserahkan dan tidak mungkin dijual untuk pelunasan utang, maka tidak sah dijadikan barang gadai.
فصل: وما لا يجوز بيعه من المجهول لا يجوز رهنه لأن الصفات مقصودة في الرهن للوفاء بالدين كما أنها مقصودة في البيع للوفاء بلا ثمن فإذا لم يجز بيع المجهول وجب أن لا يجوز رهن المجهول.
فصل: وفي رهن الثمرة قبل بدو الصلاح من غير شرط القطع قولان: أحدهما لا يصح لأنه عقد لا يصح فيما لا يقدر على تسليمه فلم يجز في الثمرة قبل بدو الصلاح من غير شرط القطع كالبيع والثاني أنه يصح لأنه إن كان بدين حال فمقتضاه أن تؤخذ لتباع فيأمن أن تهلك بالعاهة وإن كان بدين مؤجل فتلفت الثمرة لم يسقط دينه وإنما تبطل وثيقته والغرر في بطلان الوثيقة مع بقاء الدين قليل فجاز بخلاف البيع فإن العادة فيه أن يترك إلى أوان الجذاذ فلا يأمن أن يهلك بعاهة فيذهب الثمن ولا يحصل المبيع فيعظم الضرر فلم يجز من غير شرط القطع.
PASAL: Sesuatu yang tidak boleh dijual karena tidak diketahui (majhūl), maka tidak boleh pula digadaikan, karena sifat-sifat itu menjadi tujuan dalam gadai untuk pelunasan utang, sebagaimana ia menjadi tujuan dalam jual beli untuk pelunasan dengan harga. Maka jika tidak sah menjual barang yang majhūl, maka wajib tidak sah pula menggadaikannya.
PASAL: Adapun tentang menggadaikan buah sebelum tampak tanda masaknya (badw aṣ-ṣalāḥ) tanpa syarat harus dipetik, terdapat dua pendapat: pertama, tidak sah, karena ini adalah akad yang tidak sah terhadap sesuatu yang tidak mampu diserahkan, maka tidak sah pada buah sebelum badw aṣ-ṣalāḥ tanpa syarat dipetik, sebagaimana dalam jual beli. Kedua, sah, karena jika gadai dilakukan untuk utang yang sudah jatuh tempo, maka maknanya buah itu akan diambil untuk dijual, sehingga aman dari kerusakan karena hama; dan jika untuk utang yang belum jatuh tempo lalu buah itu rusak, maka utangnya tidak gugur, hanya jaminannya saja yang batal. Risiko gugurnya jaminan sementara utang tetap ada adalah gharar yang kecil, maka dibolehkan. Berbeda dengan jual beli, karena biasanya buah dibiarkan sampai masa panen, sehingga tidak aman dari kerusakan oleh hama, yang mengakibatkan harga hilang dan barang tidak didapatkan, sehingga kerugiannya besar, maka tidak boleh dilakukan tanpa syarat harus dipetik.
فصل: وإن كان له أصول تحمل في السنة مرة بعد أخرى كالتين والقثاء فرهن الحمل الظاهر فإن كان بدين يستحق فيه بيع الرهن قبل أن يحدث الحمل الثاني ويختلط به جاز لأنه يأمن الغرر بالاختلاط وإن كان بدين لا يستحق البيع فيه إلا بعد حدوث الحمل الثاني واختلاطه به نظرت فإن شرط أنه إذا خيف الاختلاط قطعه جاز لأنه منع الغرر بشرط القطع وإن لم يشترط القطع ففيه قولان: أحدهما أن العقد باطل لأنه يختلط بالمرهون غيره فلا يمكن إمضاء العقد على مقتضاه
PASAL: Jika seseorang memiliki tanaman berakar yang berbuah lebih dari sekali dalam setahun seperti pohon tin dan tanaman mentimun, lalu ia menggadaikan buah yang telah tampak, maka jika gadai itu untuk utang yang boleh dilunasi dengan menjual barang gadai sebelum munculnya buah yang kedua dan bercampur dengannya, maka hal itu boleh karena aman dari gharār akibat pencampuran. Namun jika untuk utang yang tidak boleh dilunasi dengan penjualan sebelum buah kedua muncul dan bercampur dengannya, maka dilihat: jika disyaratkan bahwa jika dikhawatirkan terjadi pencampuran maka akan dipetik (dipisah), maka sah, karena syarat pemetikan tersebut menghilangkan gharār. Tetapi jika tidak disyaratkan pemetikan, maka terdapat dua qawl: yang pertama menyatakan bahwa akadnya batal, karena buah lain akan bercampur dengan barang yang digadaikan, sehingga tidak mungkin melaksanakan akad sesuai ketentuannya.
والثاني أنه صحيح لأنه يمكن الفصل عند الاختلاط بأن يسمح الراهن بترك ثمرته للمرتهن أو ينظر كم كان المرهون فيحلف عليه ويأخذ ما زاد فإذا أمكن إمضاء العقد لم يحكم ببطلانه.
فصل: ويجوز أن يرهن الجارية دون ولدها لأن الرهن لا يزيل الملك فلا يؤدي إلى التفريق بينهما فإن حل الدين ولم يقبضه بيعت الأم والولد ويقسم الثمن عليهما فما قابل الأم تعلق به حق المرتهن في قضاء دينه وما قابل الولد يكون للراهن لا يتعلق به حق المرتهن.
dan pendapat kedua menyatakan bahwa akadnya sah, karena saat terjadi pencampuran masih mungkin untuk memisahkannya, yaitu dengan cara si rāhin mengizinkan buahnya untuk diberikan kepada murtahin, atau dengan memperkirakan seberapa banyak bagian yang digadaikan, lalu ia bersumpah atas jumlahnya dan mengambil kelebihan dari itu. Maka jika memungkinkan untuk menjalankan akad, tidak dihukumi batal.
PASAL: Boleh menggadaikan seorang jāriyah tanpa anaknya, karena rahn tidak menghilangkan kepemilikan, sehingga tidak menyebabkan perpisahan antara keduanya. Jika utang telah jatuh tempo dan belum dibayar, maka ibu dan anak dijual, dan hasil penjualan dibagi di antara keduanya. Bagian harga yang menjadi milik ibu menjadi tanggungan murtahin untuk pelunasan utang, sedangkan bagian harga anak menjadi milik rāhin dan tidak berkaitan dengan hak murtahin.
فصل: وفي جواز رهن المصحف وكتب الأحاديث والعبد المسلم عند الكافر طريقان: قال أبو إسحاق والقاضي أبو حامد: فيه قولان كالبيع أحدهما يبطل والثاني يصح ويجبر على تركه في يد مسلم وقال أبو علي الطبري في الإفصاح يصبح الرهن قولاً واحداً ويجبر على تركه في يد مسلم ويفارق البيع بأن البيع ينتقل فيه إلى الكافر وفي الرهن المرهون باق على ملك المسلم.
PASAL: Dalam masalah bolehnya menggadaikan mushaf, kitab-kitab hadis, dan budak muslim kepada orang kafir, terdapat dua ṭarīq: Abu Ishāq dan al-Qāḍī Abū Ḥāmid berkata: dalam hal ini ada dua pendapat sebagaimana dalam jual beli, pertama batal, dan kedua sah namun wajib dipindahkan ke tangan seorang muslim.
Sedangkan Abū ‘Alī aṭ-Ṭabarī dalam al-Ifṣāḥ berkata: gadai tersebut sah menurut satu pendapat saja, namun tetap wajib dipindahkan ke tangan seorang muslim. Perbedaannya dengan jual beli adalah bahwa dalam jual beli kepemilikan berpindah kepada orang kafir, sedangkan dalam gadai, barang yang digadaikan tetap menjadi milik orang muslim.
فصل: فإن شرط في الرهن شرطاً ينافي مقتضاه مثل أن يقول رهنتك على أن لا أسلمه أو على أن لا يباع في الدين أو على أن منفعته لك أو على أن ولده لك فالشرط باطل لقوله صلى الله عليه وسلم: “كل شرط ليس في كتاب الله تعالى فهو باطل ولو كان مائة شرط” وهل يبطل الرهن ينظر فيه فإن كان الشرط نقصاناً في حق المرتهن كالشرطين الأولين فالعقد باطل لأنه يمنع المقصود فأبطله وإن كان زيادة في حق المرتهن كالشرطين الآخرين ففيه قولان: أحدهما يبطل الرهن وهو الصحيح لأنه شرط فاسد قارن العقد فأبطله كما لو شرط نقصاناً في حق المرتهن
PASAL: Jika dalam rahn disyaratkan suatu syarat yang bertentangan dengan maksud akad, seperti ucapan: “Aku menggadaikan kepadamu dengan syarat tidak akan kuserahkan,” atau, “dengan syarat tidak boleh dijual untuk membayar utang,” atau, “dengan syarat manfaatnya untukmu,” atau, “anaknya untukmu,” maka syarat tersebut batal berdasarkan sabda Nabi SAW: “Kullu syarṭin laysa fī kitābillāh fahuwa bāṭil, wa in kāna mi’ata syarṭin” — “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah adalah batil, meskipun seratus syarat.”
Adapun status rahn-nya, maka perlu diteliti: jika syarat tersebut mengurangi hak murtahin, seperti dua syarat pertama, maka akadnya batal karena menghalangi tujuan utama dari rahn, maka dibatalkan. Namun jika syarat tersebut justru menambah hak murtahin, seperti dua syarat terakhir, maka terdapat dua qawl: yang pertama menyatakan rahn-nya batal, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ia merupakan syarat rusak (syarṭ fāsid) yang bersamaan dengan akad, maka membatalkan akad, sebagaimana jika syarat itu mengurangi hak murtahin.
والثاني أنه لا يبطل لأنه شرط جميع أحكامه وزاد فبطلت الزيادة وبقي العقد بأحكامه فإذا قلنا إن الرهن يبطل فإن كان الرهن مشروطاً في بيع فهل يبطل فيه قولان: أحدهما أنه لا يبطل لأنه يجوز شرطه بعد البيع وما جاز شرطه بعد تمام العقد لم يبطل العقد بفساده كالصداق في النكاح والثاني أنه يبطل وهو الصحيح لأن الرهن يترك لأجله جزء من الثمن فإذا بطل الرهن وجب أن يضم إلى الثمن الجزء الذي ترك لأجله وذلك مجهول والمجهول إذا أضيف إلى معلوم صار الجميع مجهولاً فيصير الثمن مجهولاً والجهل بالثمن يفسد البيع.
dan pendapat kedua menyatakan bahwa rahn tidak batal, karena syarat tersebut hanya menambahkan atas hukum-hukum yang telah ada, maka tambahan itu saja yang batal, sementara akad tetap sah dengan hukum-hukumnya.
Jika kita mengatakan bahwa rahn itu batal, maka apabila rahn itu disyaratkan dalam akad jual beli, terdapat dua qawl mengenai apakah jual beli itu juga batal: pendapat pertama menyatakan tidak batal, karena rahn boleh disyaratkan setelah akad jual beli, dan sesuatu yang boleh disyaratkan setelah akad tidak membatalkan akad jika disyaratkan sebelumnya, sebagaimana ṣadāq dalam akad nikah.
Pendapat kedua menyatakan bahwa jual beli itu batal, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena rahn menyebabkan sebagian harga ditinggalkan (ditunda pembayarannya). Maka jika rahn batal, wajib untuk memasukkan kembali bagian harga yang ditinggalkan karena rahn, dan bagian itu tidak diketahui secara pasti. Jika sesuatu yang tidak diketahui digabungkan ke dalam sesuatu yang diketahui, maka keseluruhan menjadi tidak diketahui. Akibatnya, harga menjadi tidak jelas (majhūl), dan ketidakjelasan harga membatalkan jual beli.
فصل: ويجوز أن يجعل الرهن في يد المرتهن ويجوز أن يجعل في يد عدل لأن الحق لهما فجاز ما اتفقا عليه من ذلك فإن كان المرهون أمة لم توضع إلا عند امرأة وعنده محرم لها أو عند من له زوجة لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا يخلون أحدكم بامرأة ليست له بمحرم فإن ثالثهما الشيطان” فإن جعل الرهن على يد عدل ثم أراد أحدهما أن ينقله إلى غيره لم يكن له ذلك لأنه حصل عند العدل برضاهما فلا يجوز لأحدهما أن ينفرد بنقله
PASAL: Boleh menempatkan barang rahn di tangan murtahin, dan boleh pula di tangan pihak ketiga yang adil (‘adl), karena hak itu milik keduanya, maka boleh mengikuti kesepakatan mereka berdua dalam hal itu. Jika barang yang digadaikan adalah seorang amah (budak perempuan), maka tidak boleh ditempatkan kecuali di tempat seorang perempuan, dan harus ada mahram bersamanya, atau di rumah orang yang memiliki istri, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Lā yakhluwanna aḥadukum bi-imra’atin laysa lahā bi-maḥram fa-inna thālithahumā asy-syayṭān” — “Janganlah salah seorang dari kalian berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahramnya, karena yang ketiganya adalah setan.”
Jika barang gadai telah diserahkan kepada pihak ketiga yang adil, lalu salah satu dari mereka ingin memindahkannya kepada pihak lain, maka ia tidak berhak melakukannya, karena barang tersebut telah ditempatkan di tangan ‘adl dengan kerelaan keduanya, maka tidak boleh dipindahkan oleh salah satunya saja.
فإن اتفقا على النقل إلى غيره جاز لأن الحق لهما وقد رضيا فإن مات العدل أو اختل فاختلف الراهن والمرتهن فيمن يكون عنده أو مات المرتهن أو اختل والرهن عنده فاختلف الراهن ومن ينظر في مال المرتهن فيمن يكون الرهن عنده رفع الأمر إلى الحاكم فيجعله عند عدل فإن جعلا الرهن على يد عدلين فأراد أحد العدلين لأن يجعل الجميع في يد الآخر ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن ما جعل إلى اثنين لم يجز أن ينفرد به أحدهما كالوصية
Jika keduanya sepakat untuk memindahkan barang gadai kepada orang lain, maka hal itu boleh, karena hak tersebut milik mereka berdua dan keduanya telah ridha. Jika pihak ‘adl (penjaga barang) meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi syarat keadilan, lalu rāhin dan murtahin berselisih mengenai siapa yang akan memegang barang gadai; atau jika murtahin meninggal atau tidak lagi cakap dan barang gadai berada di tangannya, lalu rāhin berselisih dengan wali harta murtahin mengenai siapa yang memegang barang gadai, maka perkara itu diajukan kepada hakim, dan hakim akan menyerahkannya kepada pihak ketiga yang adil.
Jika keduanya menyerahkan barang gadai kepada dua orang ‘adl, lalu salah satu dari keduanya ingin menyerahkan seluruh barang kepada rekannya, maka dalam hal ini terdapat dua wajh (pendapat): yang pertama mengatakan tidak boleh, karena sesuatu yang diserahkan kepada dua orang tidak boleh diambil alih oleh salah satu dari mereka secara sendiri, seperti dalam wasiat.
والثاني يجوز لأن في اجتماع الاثنين على حفظه مشقة فعلى هذا اتفقا على أن يكون في يد أحدهما جاز وإن تشاحا نظرت فإن كان مما لا ينقسم جعل في حرز لهما وإن كان مما ينقسم جاز أن يقتسما فيكون عند كل واحد منهما نصفه فإن اقتسما ثم سلم أحدهما حصته إلى الآخر ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه لو سلم إليه قبل القسمة جاز فكذلك بعد القسمة والثاني لا يجوز لأنهما لما اقتسما صار كل واحد منهما منفرداً بحصته فلا يجوز أن يسلم ذلك إلى غيره كما لو جعل في يد كل واحد منهما نصفه والله أعلم.
dan pendapat kedua menyatakan boleh, karena menjaga bersama oleh dua orang menimbulkan kesulitan. Maka berdasarkan pendapat ini, jika keduanya sepakat untuk menyerahkannya kepada salah satu dari mereka, maka hal itu diperbolehkan. Namun jika keduanya berselisih, maka dilihat: jika barang tersebut tidak dapat dibagi, maka diletakkan di tempat penyimpanan yang aman milik bersama; dan jika barang tersebut dapat dibagi, maka boleh dibagi dua, lalu masing-masing menyimpan separuhnya.
Jika setelah dibagi salah satu dari keduanya menyerahkan bagiannya kepada rekannya, maka terdapat dua wajh (pendapat): yang pertama mengatakan boleh, karena jika ia menyerahkannya sebelum pembagian maka boleh, maka demikian pula setelah pembagian. Pendapat kedua menyatakan tidak boleh, karena setelah pembagian, masing-masing menjadi pemegang mandiri atas bagiannya, maka tidak boleh diserahkan kepada selainnya, sebagaimana jika sejak awal ditetapkan bahwa masing-masing memegang separuhnya. والله أعلم.
باب ما يدخل في الرهن وما لا يدخل وما يملكه الراهن وما لا يملكه
ما يحدث في عين الرهن من النماء المتميز كالشجر والثمر واللبن والولد والصوف والشعر لا يدخل في الرهن لما روى روى سعيد بن المسيب عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يغلق الرهن الرهن من راهنه الذي رهنه له غنمه وعليه غرمه” والنماء من الغنم فوجب أن يكون له وعن ابن عمر وأبي هريرة مرفوعاً الرهن مجلوب ومركوب ومعلوم أنه لم يرد أنه مجلوب مركوب للمرتهن فدل على أنه أراد به مجلوب ومركوب للراهن ولأنه عقد لا يزيل الملك فلم يسر إلى النماء المتميز كالإجارة فإن رهن نخلاً على أن ما يتميز داخل في الرهن أو ماشية على أن تنتج داخل في الرهن فالمنصوص في الأم أن الشرط باطل
PASAL: Tentang apa saja yang termasuk dalam rahan dan yang tidak termasuk, serta apa yang dimiliki oleh rāhin dan yang tidak dimilikinya
Apa yang muncul dari ‘ain rahan berupa namā’ (pertumbuhan) yang dapat dibedakan seperti pohon, buah, susu, anak (keturunan), wol, dan rambut, maka tidak termasuk dalam rahan. Karena telah diriwayatkan dari Sa‘īd bin al-Musayyab dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
“Lā yughlaqu ar-rahn, ar-rahn min rāhinah, alladzī rahanah, lahū ghanamuh wa ‘alayhi ghurmuh.”
(Rahan tidak ditutup; rahan adalah milik rāhin yang merahankannya; keuntungannya milik rāhin dan kerugiannya menjadi tanggungannya.)
Dan namā’ termasuk ke dalam keuntungan, maka wajib menjadi milik rāhin.
Diriwayatkan pula dari Ibn ‘Umar dan Abū Hurairah secara marfū‘:
“Ar-rahn majlūb wa markūb.”
(Rahan adalah sesuatu yang bisa didatangkan dan ditunggangi.)
Dan telah diketahui bahwa yang dimaksud bukanlah bahwa rahan dapat didatangkan dan ditunggangi oleh murtahin, maka hal itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah bahwa rahan tersebut dapat didatangkan dan ditunggangi oleh rāhin.
Dan karena rahan adalah akad yang tidak menghilangkan kepemilikan, maka tidak menyertakan namā’ yang dapat dibedakan, sebagaimana akad ijarah.
Jika seseorang merahkan pohon kurma dengan syarat bahwa apa yang dapat dibedakan (dari namā’) termasuk dalam rahan, atau merahkan binatang ternak dengan syarat bahwa hasil kelahirannya termasuk dalam rahan, maka manṣūṣ dalam al-Umm adalah bahwa syarat tersebut batal.
وقال في الأمالي القديمة لو قال قائل إن الثمرة والنتاج يكون رهناً كان مذهباً ووجهه أنه تابع للأصل فجاز أن يتبعه كأساس الدار والمذهب الأول وهذا مرجوع عنه لأنه رهن مجهول ومعدوم فلم يصح بخلاف أساس الدار فإنه موجود ولكنه شق رؤيته فعفى عن الجهل به وأما النماء الموجود في حال العقد ينظر فيه فإن كان شجراً فقد قال في الرهن لا يدخل فيه وقال في البيع يدخل واختلف أصحابنا فيه على ثلاث طرق وقد بيناها في البيوع وإن كان ثمراً نظرت فإن كان ظاهراً كالطلع المؤبر وما أشبهه من الثمار لم يدخل في الرهن لأنه إذا لم يدخل ذلك في البيع وهو يزيل الملك فلأن لا يدخل في الرهن وهو لا يزيل الملك أولى وإن كن ثمراً غير ظاهر كالطلع الذي لم يؤبر وما أشبهه من الثمار ففيه من أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما يدخل فيه قياساً على البيع
Dan ia berkata dalam al-Amālī al-Qadīmah: “Seandainya ada yang berkata bahwa buah dan hasil keturunan termasuk sebagai rahan, maka itu adalah suatu madzhab.” Dasarnya adalah bahwa keduanya merupakan pengikut dari pokok, maka boleh jadi ia mengikutinya, seperti pondasi rumah.
Namun madzhab yang pertama adalah bahwa ini merupakan pendapat yang ditinggalkan, karena merupakan rahan atas sesuatu yang majhūl dan ma‘dūm (tidak diketahui dan belum ada), maka tidak sah. Berbeda halnya dengan pondasi rumah, karena ia memang ada namun sulit terlihat, maka dimaafkan ketidaktahuan tentangnya.
Adapun namā’ yang sudah ada ketika akad rahan dilakukan, maka perlu ditinjau:
Jika berupa pohon, maka beliau berkata dalam bab rahan bahwa ia tidak termasuk, sedangkan dalam bab jual beli beliau berkata ia termasuk. Para aṣḥāb kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga metode, dan kami telah menjelaskannya dalam bab jual beli.
Jika berupa buah, maka perlu diteliti:
Apabila sudah tampak jelas seperti ṭal‘ mu’aabar (mayang kurma yang telah dibuahi) dan buah-buahan sejenisnya, maka tidak termasuk dalam rahan. Karena apabila hal tersebut tidak termasuk dalam jual beli — padahal jual beli menghilangkan kepemilikan — maka tidak masuk dalam rahan — yang tidak menghilangkan kepemilikan — adalah lebih utama.
Namun apabila berupa buah yang belum tampak jelas seperti ṭal‘ yang belum dibuahi dan buah-buahan sejenisnya, maka di antara aṣḥāb kami ada yang mengatakan bahwa di dalamnya terdapat dua qawl:
Salah satunya, bahwa ia termasuk dalam rahan dengan qiyās kepada jual beli.
والثاني لا يدخل فيه وهو الصحيح لأنه لما لم يدخل فيه ما يحدث بعد العقد لم يدخل الموجود حال العقد ومنهم من قال لا يدخل فيه قولاً واحداً ويخالف البيع فإن في البيع ما يحدث بعد العقد ملك للمشتري والحادث بعد العقد لا حق للمرتهن فيه ولأن البيع يزيل الملك فيدخل فيه النماء والرهن لا يزيل الملك فلم يدخل فيه واختلف أصحابنا في ورق التوت والآس وأغصان الخلاف فمنهم من قال: هو كالورق والأغصان من سائر الأشجار فيدخل في الرهن ومنهم من قال: إنها كالثمار من سائر الأشجار فيكون حكمها حكم الثمار وإن كان النماء صوفاً أو لبناً فالمنصوص أنه لا يدخل في العقد وقال الربيع في الصوف قول آخر إنه يدخل فمن أصحابنا من قال فيه قولان ومنهم من قال لا يدخل قولاً واحداً وما قاله الربيع من تخريجه.
Dan qawl yang kedua: tidak termasuk dalam rahan, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena apabila sesuatu yang terjadi setelah akad tidak termasuk, maka sesuatu yang sudah ada saat akad juga tidak termasuk.
Sebagian dari mereka berkata: tidak termasuk qawlan wāḥidan (secara satu pendapat), dan berbeda dengan jual beli. Karena dalam jual beli, apa yang terjadi setelah akad menjadi milik pembeli, sedangkan dalam rahan, apa yang terjadi setelah akad bukanlah hak murtahin. Dan karena jual beli menghilangkan kepemilikan, maka namā’ termasuk di dalamnya. Sedangkan rahan tidak menghilangkan kepemilikan, maka namā’ tidak termasuk.
Para aṣḥāb kami juga berbeda pendapat tentang daun pohon tūt (murbei), pohon ās (sejenis perdu harum), dan ranting khalāf (pohon yang rantingnya sering digunakan):
Sebagian dari mereka berkata: ia seperti daun dan ranting dari pohon lainnya, maka termasuk dalam rahan.
Sebagian lain berkata: ia seperti buah dari pohon lainnya, maka hukumnya seperti buah.
Dan apabila namā’ berupa wol atau susu, maka yang manṣūṣ adalah bahwa ia tidak termasuk dalam akad.
Namun al-Rabī‘ mengatakan pendapat lain mengenai wol, yaitu bahwa ia termasuk. Maka sebagian dari aṣḥāb kami berkata bahwa dalam hal ini terdapat dua qawl, dan sebagian lainnya berkata tidak termasuk qawlan wāḥidan. Dan apa yang dikatakan oleh al-Rabī‘ adalah hasil takhrīj-nya.
فصل: ويملك الراهن التصرف في منافع الرهن على وجه لا ضرر فيه على المرتهن كخدمة العبد وسكنى الدار وركوب الدابة وزراعة الأرض لقوله صلى الله عليه وسلم: “الرهن مجلوب ومركوب” ولأنه لم يدخل في العقد ولا يضر بالمعقود له فبقي على ملكه وتصرفه كخدمة الأمة المزوجة ووطء الأمة المستأجرة وله أن يستوفي ذلك بالإجارة والإعارة وهل له أن يستوفي ذلك بنفسه؟ قال في الأم: له ذلك وقال في الرهن الصغير: لا يجوز فمن أصحابنا من قال: فيه قولان: أحدهما لا يجوز لأنه لا يأمن أن يجحد فيبطل حق المرتهن والثاني يجوز وهو الصحيح لأن كل منفعة جاز أن يستوفيها بغيره جاز أن يستوفيها بنفسه كمنفعة غير المرهون ودليل القول الأول يبطل به إذا أكراه من غيره فإنه لا يؤمن أن يجحد ثم يجوز ومنهم من قال إن كان الراهن ثقة جاز لأنه يؤمن أن يجحد وإن كان غير ثقة لم يجز لأنه لا يؤمن أن يجحد وحمل القولين على هذين الحالين.
PASAL: Rāhin berhak melakukan tasharruf (pemanfaatan) terhadap manfaat dari barang rahan selama tidak menimbulkan ḍarar terhadap murtahin, seperti memanfaatkan jasa budak, menempati rumah, menunggangi hewan, dan menggarap tanah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Ar-rahn majlūb wa markūb” (rahan dapat didatangkan dan ditunggangi).
Dan karena manfaat-manfaat tersebut tidak termasuk dalam akad, serta tidak membahayakan pihak yang memiliki hak dalam akad (yaitu murtahin), maka tetap berada dalam kepemilikan dan wewenang rāhin, sebagaimana layanan budak perempuan yang dinikahkan dan jima‘ terhadap budak perempuan yang disewakan.
Rāhin juga berhak mengambil manfaat tersebut melalui akad ijarah maupun ‘āriyah.
Lalu, apakah ia boleh mengambil manfaat itu sendiri tanpa melalui akad?
Dalam al-Umm, beliau berkata: “Boleh.” Namun dalam ar-Rahn aṣ-ṣaghīr, beliau berkata: “Tidak boleh.”
Sebagian aṣḥāb kami menyatakan bahwa dalam hal ini terdapat dua qawl:
Pertama, tidak boleh, karena dikhawatirkan ia mengingkari (pemanfaatan itu), sehingga membatalkan hak murtahin.
Kedua, boleh, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena setiap manfaat yang boleh diambil oleh orang lain, maka boleh pula diambil oleh dirinya sendiri, sebagaimana manfaat pada barang yang bukan rahan.
Dalil qawl pertama juga dapat dibantah, karena jika ia menyewakan manfaat tersebut kepada orang lain, tetap tidak aman dari pengingkaran, namun tetap dianggap sah.
Sebagian dari mereka berkata:
Apabila rāhin adalah orang terpercaya (thiqqah), maka boleh, karena tidak dikhawatirkan akan mengingkari.
Namun jika ia bukan orang yang terpercaya, maka tidak boleh, karena dikhawatirkan ia mengingkari. Maka dua qawl tersebut ditakwilkan pada dua kondisi ini.
فصل: وأما ما فيه ضرر بالمرتهن فإنه لا يملك لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا ضرر ولا ضرار” فإن كان المرهون مما ينقل فأراد أن ينتفع به في السفر أو يكريه ممن يسافر به لم يجز لأن أمن السفر لا يوثق به فلا يؤمن أن يؤخذ فيد فيدخل على المرتهن الضرر وإن كان ثواباً لم يملك لبسه لأنه ينقص قيمته وإن كان أمة لم يملك تزويجها لأنه ينقص قيمتها وهل يجوز وطؤها ينظر فإن كانت مما تحبل لم يجز وطؤها لأنه لا يؤمن أن تحبل فتنقص قيمتها وتبطل الوثيقة باستيلادها وإن كانت مما لا تحبل لصغر أو لكبر ففيه وجهان: قال أبو إسحاق: يجوز وطؤها لأنا قد أمنا الضرر بالإحبال وقال أبو علي بن أبي هريرة: لا يجوز لأن السن الذي لا تحبل فيه لا يتميز عن السن الذي تحبل فيه مع اختلاف الطباع فمنع من الجميع كما قلنا في شرب الخمر لما لم يتميز ما يسكر مما لا يسكر مع اختلاف الطباع في السكر حرم الجميع
PASAL: Adapun sesuatu yang di dalamnya terdapat ḍarar bagi al-murtahin, maka tidak boleh dimiliki, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Lā ḍarar wa lā ḍirār.” Maka jika barang yang digadaikan termasuk sesuatu yang dapat dipindahkan, lalu pihak yang menggadaikan ingin mengambil manfaat darinya untuk bepergian atau menyewakannya kepada orang yang bepergian dengannya, maka tidak diperbolehkan, karena keamanan dalam perjalanan tidak dapat dijamin, sehingga dikhawatirkan akan dirampas, lalu merugikan al-murtahin.
Dan jika barang tersebut berupa pakaian, maka tidak diperbolehkan memakainya karena akan mengurangi nilainya. Jika yang digadaikan itu adalah seorang amah (budak perempuan), maka tidak diperbolehkan menikahkannya karena hal itu juga mengurangi nilainya.
Adapun apakah boleh digauli, maka perlu diteliti: jika ia termasuk perempuan yang bisa hamil, maka tidak diperbolehkan digauli, karena dikhawatirkan ia hamil sehingga nilainya berkurang dan jaminan menjadi batal karena statusnya berubah menjadi ummu walad. Namun jika ia termasuk perempuan yang tidak mungkin hamil karena masih kecil atau sudah tua, maka ada dua pendapat:
Pertama, menurut Abū Isḥāq: boleh digauli karena tidak ada kekhawatiran bahaya akibat kehamilan.
Kedua, menurut Abū ‘Alī bin Abī Hurairah: tidak boleh digauli, karena usia yang tidak menyebabkan kehamilan tidak bisa dibedakan secara pasti dari usia yang bisa menyebabkan kehamilan, disebabkan perbedaan tabiat. Maka dilarang semuanya, sebagaimana dalam hal minuman keras: karena tidak bisa dibedakan antara yang memabukkan dan yang tidak, dengan perbedaan tabiat dalam memabukkan, maka diharamkan semuanya.
فإذا منعنا من الوطء منعنا من الاستخدام لأنه لا يؤمن أن يطأها وإذا لم يمنع من الوطء جاز الاستخدام فإن كان أرضاً فأراد أن يغرس فيها أو يبني لم يجز لأنه يراد للبقاء وينقص به قيمة الأرض عند القضاء فإذا خالف وغرس أو بنى والدين مؤجل لم يقلع في الحال لأنه يجوز أن يقضي الدين من غير الأرض وربما لم تنقص قيمة الأرض مع الغراس والبناء عن الدين فلا يجوز الإضرار بالراهن في الحال لضرر متوهم في ثاني الحال فإن حل الدين ولم يقض وعجزت قيمة الأرض مع الغراس والبناء على قدر الدين قلع فإن أراد أن يزرع ما يضر بالأرض لم يجز وإن لم يضر بالأرض نظرت فإن كان مما يحصد قبل محل الدين جاز وإن كان لا يحصد إلا بعد محل الدين ففيه قولان: أحدهما لا يجوز لأنه ينقص قيمة الأرض فيستضر به المرتهن
Maka apabila kami melarang dari wati’ (menggauli), maka kami juga melarang dari penggunaan (budak perempuan tersebut), karena dikhawatirkan ia digauli. Dan jika tidak dilarang dari wati’, maka penggunaan dibolehkan.
Jika yang digadaikan adalah sebidang tanah lalu pihak yang menggadaikan ingin menanami atau membangun di atasnya, maka tidak diperbolehkan karena hal tersebut dimaksudkan untuk menetap dan hal itu mengurangi nilai tanah ketika hendak dilakukan pelunasan. Jika ia melanggar dan tetap menanam atau membangun padahal utangnya belum jatuh tempo, maka tidak serta merta dicabut saat itu juga, karena bisa jadi utang tersebut akan dilunasi tanpa harus menjual tanah tersebut. Dan bisa jadi nilai tanah beserta tanaman atau bangunan tidak lebih rendah dari nilai utang, maka tidak boleh merugikan pihak yang menggadaikan karena suatu kerugian yang baru diperkirakan akan terjadi di masa mendatang.
Namun jika utangnya telah jatuh tempo dan belum dilunasi, dan nilai tanah beserta tanaman atau bangunan tidak mencukupi untuk membayar utang, maka tanaman atau bangunan itu dicabut (dihilangkan).
Jika ia ingin menanam sesuatu yang dapat merusak tanah, maka tidak diperbolehkan. Tetapi jika tidak merusak tanah, maka perlu diperinci: apabila tanaman tersebut dapat dipanen sebelum jatuh tempo utang, maka diperbolehkan. Jika tanaman tersebut tidak dapat dipanen kecuali setelah jatuh tempo, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak diperbolehkan karena mengurangi nilai tanah sehingga merugikan al-murtahin.
والثاني يجوز لأنه ربما قضاه الدين من غير الأرض وربما وفت قيمة الأرض مع الزرع بالدين فلا يمنع منه في الحال وإن أراد أن يؤجر إلى مدة يحل الدين قبل انقضائها لم يجز له لأنه ينقص قيمة الأرض وقال أبو علي الطبري رحمه الله: فيها قولان كزراعة ما لا يحصد قبل محل الدين وإن كان فحلاً وأراد أن ينزيه على الإناث جاز لأنه انتفاع لا ضرر فيه على المرتهن فلم يمنع منه كالركوب فإن كان أنثى أراد أن ينزي عليها الفحل نظرت فإن كانت تلد قبل محل الدين جاز لأنه لا ضرر على المرتهن وإن كان الدين يحل قبل ولادتها وقبل ظهور الحمل بها جاز لأنه يمكن بيعها وإن كان يحل بعد ظهور الحمل فإن قلنا إن الحمل لا حكم له جاز لأنه يباع معها وإن قلنا له حكم لم يجز لأنه خارج من الرهن فلا يمكن بيعه مع الأم ولا يمكن بيع الأم دونه فلم يجز.
Dan pendapat kedua menyatakan: boleh, karena bisa jadi utangnya akan dilunasi tanpa tanah, dan bisa jadi nilai tanah beserta tanaman mencukupi untuk membayar utang, maka tidak dilarang pada saat itu.
Jika ia ingin menyewakan tanah hingga waktu jatuh tempo utang belum tiba, maka tidak diperbolehkan karena hal itu mengurangi nilai tanah. Abū ‘Alī aṭ-Ṭabarī raḥimahullāh berkata: dalam hal ini ada dua pendapat sebagaimana dalam kasus menanam sesuatu yang tidak dapat dipanen sebelum jatuh tempo utang.
Jika yang digadaikan adalah hewan jantan dan ia ingin mengawinkannya dengan betina, maka diperbolehkan karena itu bentuk pemanfaatan yang tidak merugikan al-murtahin, maka tidak dilarang, sebagaimana diperbolehkannya menungganginya.
Jika yang digadaikan adalah hewan betina dan ia ingin mengawinkannya dengan jantan, maka perlu diperinci: jika ia akan melahirkan sebelum jatuh tempo utang, maka diperbolehkan karena tidak ada ḍarar pada al-murtahin.
Jika utang jatuh tempo sebelum hewan tersebut melahirkan dan sebelum tampak tanda-tanda kehamilan, maka diperbolehkan karena masih bisa dijual.
Namun jika utang jatuh tempo setelah tampak tanda-tanda kehamilan, maka:
- Jika kita mengatakan bahwa janin tidak memiliki ḥukm, maka boleh karena ia dapat dijual bersama induknya.
- Jika kita mengatakan bahwa janin memiliki ḥukm, maka tidak boleh karena janin berada di luar rukun gadai, maka tidak bisa dijual bersama induknya, dan induknya pun tidak bisa dijual tanpanya, maka tidak diperbolehkan.
فصل: ويملك الراهن التصرف في عين الرهن بما لا ضرر فيه على المرتهن كودج الدابة وتبزيغها وفصد العبد وحجامته لأنه إصلاح مال من غير إضرار بالمرتهن وإن أراد أن يختن العبد فإن كان كبيراً لم يجز لأنه يخاف منه عليه وإن كان صغيراً نظرت فإن كان في وقت يندمل الجرح فيه قبل حلول الدين جاز وإن كان في وقت يحل الدين قبل اندماله جرحه لم يجز لأنه ينقص ثمنه وإن كانت به أكلة يخاف من تركها ولا يخاف من قطعها جاز أن يقطع وإن كان يخاف من تركها ويخاف من قطعها لم يجز قطعها لأنه جرح يخاف عليه منه فلم يجز كما لو أراد أن يجرحه من غير أكلة
PASAL: Pemilik barang gadai berhak melakukan tindakan terhadap barang gadai selama tidak menimbulkan mudarat bagi pihak penerima gadai, seperti menunggangi hewan tunggangan, melepaskannya untuk berlari, membekam atau mengeluarkan darah budak, karena hal itu merupakan bentuk perbaikan harta tanpa menimbulkan kerugian bagi pihak penerima gadai.
Jika ia ingin menyunat budak, maka apabila budak tersebut telah dewasa, tidak diperbolehkan karena dikhawatirkan membahayakan dirinya. Namun jika budak tersebut masih kecil, maka diperinci: apabila waktu penyembuhan lukanya memungkinkan selesai sebelum jatuh tempo utang, maka diperbolehkan. Tetapi jika waktu jatuh tempo utang tiba sebelum luka itu sembuh, maka tidak diperbolehkan karena hal itu dapat mengurangi nilai budak tersebut.
Jika budak tersebut menderita penyakit uklah (daging busuk) yang bila dibiarkan akan membahayakan dan tidak dikhawatirkan jika dipotong, maka boleh dipotong. Namun jika dikhawatirkan baik jika dibiarkan maupun jika dipotong, maka tidak diperbolehkan memotongnya, karena hal itu termasuk luka yang berbahaya, sehingga tidak diperbolehkan, sebagaimana tidak diperbolehkan melukainya tanpa adanya penyakit uklah.
وإن كانت ماشية فأراد أن يخرج منها في طلب الكلأ فإن كان الموضع مخصباً لم يجز له ذلك لأنه يغرر به من غير حاجة وإن كان الموضع مجدباً جاز له لأنه موضع ضرورة وإن اختلفا في موضع النجعة فاختار الراهن جهة واختار المرتهن أخرى قدم اختيار الراهن لأنه يملك العين والمنفعة وليس للمرتهن إلا حق الوثيقة فكان تقديم اختياره أولى وإن كان الرهن عبداً فأراد تدبيره جاز لأنه يمكن بيعه في الدين فإن دبره وحل الدين فإن كان له مال غيره لم يكلف بيع المدبر وإن لم يكن له مال غيره بيع منه بقدر الدين وبقي الباقي على التدبير وإن استغرق الدين جميعه بيع الجميع.
Dan jika barang gadai itu adalah hewan ternak, lalu pemiliknya ingin mengeluarkannya untuk mencari rumput, maka jika tempat tersebut subur, tidak diperbolehkan karena hal itu mengandung risiko tanpa ada kebutuhan. Namun jika tempat tersebut gersang, maka diperbolehkan karena merupakan kondisi darurat.
Apabila keduanya (rahin dan murtahin) berselisih mengenai tempat penggembalaan, si rahin memilih satu arah dan si murtahin memilih arah lain, maka yang diutamakan adalah pilihan si rahin karena ia memiliki kepemilikan atas barang dan manfaatnya, sedangkan si murtahin hanya memiliki hak sebagai jaminan saja, maka pilihan si rahin lebih utama untuk didahulukan.
Jika barang gadai itu adalah seorang budak lalu pemiliknya ingin menetapkannya sebagai mudabbar, maka hal itu diperbolehkan karena masih memungkinkan untuk dijual guna melunasi utang. Apabila ia telah menetapkan budak itu sebagai mudabbar dan waktu pelunasan utang telah tiba, maka jika ia memiliki harta selain itu, ia tidak diwajibkan menjual budak mudabbar tersebut. Namun jika ia tidak memiliki harta lain, maka budak tersebut dijual sebesar jumlah utang, dan sisanya tetap dalam status tadbir. Jika seluruh harta itu habis untuk melunasi utang, maka seluruh budak tersebut dijual.
فصل: ولا يملك التصرف في العين بما فيه ضرر على المرتهن لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا ضرر ولا إضرار” فإن باعه أو وهبه أو جعله مهرا في نكاح أو أجرة في إجارة أو كان عبداً فكاتبه لم يصح لأنه تصرف لا يسري إلى ملك الغير يبطل به حق المرتهن من الوثيقة فلم يصح من الراهن بنفسه كالفسخ وإن أعتقه ففيه ثلاثة أقوال: أحدها يصح لأنه عقد لا يزيل الملك فلم يمنع صحة العتق كالإجارة والثاني أنه لا يصح لأنه قول يبطل الوثيقة من عين الرهن فلم يصح من الراهن بنفسه كالبيع والثالث وهو الصحيح أنه إن كان موسراً صح وإن كان معسراً لم يصح لأنه عتق في ملكه يبطل به حق غيره فاختلف فيه الموسر والمعسر كالعتق في العبد المشترك بينه وبين غيره
PASAL: Tidak boleh bagi pihak yang menggadaikan (rahin) untuk bertindak terhadap barang gadai (rahn) dengan tindakan yang mengandung mudarat bagi pihak penerima gadai (murtahin), berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” Maka jika ia menjualnya, atau memberikannya sebagai hibah, atau menjadikannya sebagai mahar dalam akad nikah, atau sebagai upah dalam akad ijarah, atau jika barang tersebut adalah seorang budak lalu ia menulis akad mukātabah dengannya, maka semua itu tidak sah. Sebab, tindakan tersebut merupakan bentuk transaksi yang tidak berlaku terhadap milik orang lain dan menyebabkan hilangnya hak murtahin atas jaminan, sehingga tidak sah dilakukan oleh rahin sendirian, sebagaimana halnya fasakh.
Apabila ia memerdekakannya, maka ada tiga pendapat:
Pertama, sah, karena akad tersebut tidak menghilangkan kepemilikan, sehingga tidak menghalangi sahnya pemerdekaan, seperti halnya akad ijarah.
Kedua, tidak sah, karena pemerdekaan itu membatalkan jaminan yang melekat pada barang gadai, sehingga tidak sah dilakukan sendiri oleh rahin sebagaimana halnya penjualan.
Ketiga, dan ini yang rajih, yaitu: jika rahin itu orang yang mampu (mūsir), maka pemerdekaannya sah; namun jika ia orang yang tidak mampu (mu‘sir), maka tidak sah. Karena pemerdekaan tersebut terjadi atas miliknya sendiri tetapi membatalkan hak orang lain, maka diperselisihkan hukumnya antara orang yang mampu dan yang tidak, sebagaimana dalam kasus pemerdekaan budak yang dimiliki bersama antara dua orang.
فإن قلنا إن العتق يصح فإن كان موسراً أخذت منه القيمة وجعلت رهناً مكانه لأنه أتلف رقه فلزمه ضمانه كما لو قتله وتعتق قيمته وقت الإعتاق لأنه حال الإتلاف ويعتق بنفس اللفظ ومن أصحابنا من قال في وقت العتق ثلاثة أقوال: أحدها بنفس اللفظ والثاني بدفع القيمة والثالث موقوف فإن دفع القيمة حكمنا أنه عتق من حين الإعتاق وإن لم يدفع حكمنا أنه لم يعتق في حال الإعتاق كما قلنا فيمن أعتق شركاً له في عبد أنه يسري وفي وقت السراية ثلاثة أقوال وهذا خطأ لأنه لو كان كالعتق في العبد المشترك لوجب أن لا يصح العتق من المعسر كما لا يسري العتق بإعتاق المعسر في العبد المشترك
Jika kita berpendapat bahwa pemerdekaan itu sah, maka apabila pihak rahin adalah orang yang mampu (mūsir), maka diambil darinya nilai (budak tersebut) dan dijadikan sebagai barang gadai pengganti, karena ia telah menghilangkan status perbudakan budak tersebut, maka wajib baginya menanggung ganti rugi, sebagaimana jika ia membunuhnya. Nilai budak tersebut dianggap merdeka pada saat pemerdekaan karena itulah waktu terjadinya penghilangan (status perbudakan), dan budak itu merdeka dengan ucapan pemerdekaan saja.
Sebagian dari ulama kami berkata bahwa waktu terjadinya pemerdekaan ada tiga pendapat:
Pertama, terjadi dengan ucapan pemerdekaan.
Kedua, terjadi dengan penyerahan nilai (sebagai ganti).
Ketiga, pemerdekaannya mauqūf (tertunda): jika ia membayar nilainya maka ditetapkan bahwa ia telah merdeka sejak saat pemerdekaan; jika tidak membayarnya maka ditetapkan bahwa ia tidak merdeka pada saat pemerdekaan.
Sebagaimana yang kami katakan dalam orang yang memerdekakan bagian miliknya dari budak yang dimiliki bersama: pemerdekaannya menjalar (yasrī), dan dalam waktu menjalar tersebut terdapat tiga pendapat.
Namun, hal ini adalah kesalahan, karena jika memang keadaannya seperti pemerdekaan terhadap budak yang dimiliki bersama, niscaya tidak sah pemerdekaan yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu, sebagaimana tidak menjalar pemerdekaan yang dilakukan oleh orang tidak mampu dalam budak yang dimiliki bersama.
وإن كان معسراً وجبت عليه القيمة في ذمته فإن أيسر قبل محل الدين طولب بها لتكون رهناً مكانه وإن أيسر في محل الدين طولب بقضاء الدين وإن قلنا إن الحق لا يصح ففكه أو بيع في الدين ثم ملكه لم يعتق عليه ومن أصحابنا من قال يعتق لأنه إنما لم يعتق في الحال الحق المرتهن وقد زال حق المرتهن فنفذ العتق كما لو أحبلها ثم فكها أو بيعت ثم ملكها والمذهب الأول لأنه عتق لم ينفذ في الحال فلم ينفذ بعد ذلك كما لو أعتق المحجور عليه عبده ثم فك عنه الحجر ويخالف الإحبال فإنه فعل وحكم الفعل أقوى من حكم القول ولهذا لو أحبل المجنون جاريته نفذ إحباله وثبت له حق الحرية ولو أعتقها لم يصح وإن قلنا إنه يصح العتق إن كان موسراً ولا يصح إذا كان معسراً فقد بينا حكم الموسر والمعسر
Jika rahin adalah orang yang mu‘sir (tidak mampu), maka wajib atasnya membayar nilai (budak tersebut) dalam tanggungan (dzimmah)-nya. Jika ia menjadi mūsir (mampu) sebelum jatuh tempo utang, maka ia dituntut untuk membayar nilai tersebut agar dijadikan sebagai barang gadai pengganti. Namun jika ia menjadi mampu tepat pada waktu jatuh tempo utang, maka ia dituntut untuk melunasi utangnya.
Dan jika kita berpendapat bahwa pemerdekaan tidak sah, lalu budak tersebut ditebus (rahnya) atau dijual untuk membayar utang, kemudian rahin membelinya kembali, maka budak tersebut tidak menjadi merdeka.
Sebagian dari ulama kami berkata bahwa budak itu menjadi merdeka, karena yang menghalangi kemerdekaannya hanyalah hak murtahin, dan ketika hak murtahin telah hilang, maka pemerdekaan pun menjadi sah, sebagaimana jika rahin menghamilinya kemudian menebusnya atau ia dijual lalu rahin memilikinya kembali.
Namun, pendapat yang rajih adalah yang pertama, yaitu: jika pemerdekaan tidak sah pada saat diucapkan, maka ia tidak menjadi sah setelahnya, sebagaimana halnya orang yang dalam keadaan dibatasi (haknya) lalu ia memerdekakan budaknya, kemudian setelah itu ia bebas dari pembatasan tersebut—maka pemerdekaannya tetap tidak sah.
Adapun kehamilan (yang menyebabkan istīlād) berbeda, karena ia merupakan perbuatan, dan hukum perbuatan lebih kuat daripada hukum ucapan. Oleh karena itu, jika orang gila menghamili budak wanitanya, maka kehamilannya sah dan menetapkan hak kemerdekaan bagi budak tersebut. Namun jika ia memerdekakannya, maka tidak sah.
Dan apabila kita berpendapat bahwa pemerdekaan sah jika rahin mūsir dan tidak sah jika mu‘sir, maka telah kami jelaskan hukum keduanya.
وإن كان المرهون جارية فأحبلها فهل ينفذ إحباله أم لا على الأقوال الثلاثة وقد بينا وجوهها في العتق فإن قلنا إنه ينفذ فالحكم فيه كالحكم في العتق وإن قلنا إنه لا ينفذ إحباله صارت أم الولد في حق الراهن لأنه علقت بحر في ملكه وإنما لم ينفذ لحق المرتهن فإن حل الدين وهي حامل لم يجز بيعها لأنها حامل بحر وإن ماتت من الولادة لزمه قيمتها لأنها هلكت بسبب من جهته وفي القيمة التي تجب ثلاثة أوجه: أحدها تجب قيمتها وقت الوطء لأنه وقت سبب التلف فاعتبرت القيمة فيه كما لو جرحها وبقيت ضنيئة إلى أن ماتت
Jika barang gadai adalah seorang budak perempuan lalu ia menghamilinya, maka apakah kehamilan tersebut sah atau tidak—terdapat tiga pendapat sebagaimana dalam masalah pemerdekaan, dan telah dijelaskan sisi-sisinya dalam pembahasan tentang ‘itq.
Jika kita berpendapat bahwa kehamilan itu sah, maka hukumnya seperti hukum dalam pemerdekaan.
Jika kita berpendapat bahwa kehamilan itu tidak sah, maka budak tersebut menjadi umm walad hanya bagi pihak rahin saja, karena kehamilannya terjadi dari seorang lelaki merdeka atas budak yang dimilikinya. Hanya saja kehamilan tersebut tidak dianggap sah karena adanya hak murtahin.
Apabila jatuh tempo utang sementara budak itu sedang hamil, maka tidak boleh dijual, karena ia adalah hamil dari seorang lelaki merdeka.
Jika ia meninggal dunia karena proses melahirkan, maka rahin wajib membayar nilainya karena kematiannya terjadi akibat perbuatan dari pihak rahin.
Terkait nilai yang wajib diganti, terdapat tiga pendapat:
Pertama, wajib membayar nilainya pada waktu ia digauli, karena saat itu adalah waktu sebab kematian, maka nilai ditetapkan menurut saat itu, sebagaimana jika rahin melukainya lalu budak itu sakit terus-menerus hingga wafat.
والثاني تجب قيمتها أكثر مما كانت من حين الوطء إلى حين التلف كما قلنا فيمن غصب جارية وأقامت في يده ثم ماتت والثالث أنه تجب قيمتها وقت الموت لأن التلف حصل بالموت والمذهب الأول وما قال الثاني لا يصح لأن الغصب موجود من حين الأخذ إلى حين التلف والوطء غير موجود من حين الوطء إلى حين التلف وما قال الثالث يبطل به إذا جرحها ثم ماتت فإن التلف حصل بالموت ثم تجب القيمة وقت الجراحة وإن ولدت نظرت فإن نقصت بالولادة وجب عليه أرش ما نقص وإن حل الدين ولم يقضمه فإن أمكن أن يقضي الدين بثمن بعضها بيع منها بقدر ما يقضي به الدين إن فكها من المرهن أو بيعت وعادت إليه ببيع أو غيره صارت أم ولد له وقال المزني لا تصير كما لا تعتق إذا أعتقها ثم فكها أو ملكها وقد بينا الفرق بين الإعتاق والإحبال فأغنى عن الإعادة.
Pendapat kedua: wajib mengganti nilainya sebesar nilai tertinggi dari sejak waktu digauli hingga waktu kematian, sebagaimana kami katakan dalam kasus orang yang merampas budak perempuan, lalu budak itu tinggal di tangannya dan kemudian meninggal.
Pendapat ketiga: wajib mengganti nilainya pada waktu kematian, karena kerusakan (télat) terjadi pada saat kematian.
Namun pendapat yang rajih adalah yang pertama.
Adapun pendapat kedua tidak sah, karena dalam kasus perampasan (ghaṣb), penguasaan berlangsung dari sejak pengambilan sampai terjadinya kerusakan, sedangkan dalam kasus ini, jima‘ tidak berlangsung dari waktu jima‘ hingga waktu kematian.
Sedangkan pendapat ketiga juga tertolak, karena jika seseorang melukai budak, lalu budak itu mati, maka meskipun kerusakan terjadi saat mati, nilai diganti menurut saat terjadinya luka.
Jika budak tersebut melahirkan, maka dilihat: jika proses melahirkan menyebabkan penurunan nilai, maka wajib atas rahin membayar arasy (ganti rugi) atas kekurangan nilai tersebut.
Jika utang telah jatuh tempo dan belum dibayar, maka jika memungkinkan membayar utang dengan menjual sebagian dari budak tersebut, maka dijual sebagiannya sebesar nilai yang bisa digunakan untuk membayar utang.
Jika ia ditebus oleh rahin dari pihak murtahin, atau dijual lalu kembali dimiliki oleh rahin melalui pembelian atau cara lainnya, maka budak tersebut menjadi umm walad baginya.
Namun al-Muzani berkata: tidak menjadi umm walad, sebagaimana jika ia memerdekakannya lalu ia menebusnya atau memilikinya kembali, maka tidak menjadi merdeka.
Akan tetapi, kami telah menjelaskan perbedaan antara pemerdekaan dan kehamilan, maka tidak perlu diulang kembali.
فصل: وإن وقف المرهون ففيه وجهان: أحدهما أنه كالعتق لأنه حق الله تعالى لا يصح إسقاطه بعد ثبوته فصار كالعتق والثاني أنه لا يصح لأنه تصرف لا يسري إلى ملك الغير فلا يصح البيع كالبيع والهبة.
PASAL: Apabila barang yang digadaikan diwakafkan, maka ada dua pendapat: pertama, hukumnya seperti ‘itq (pembebasan budak), karena merupakan hak Allah Ta‘ala yang tidak sah dibatalkan setelah ditetapkan, maka menjadi seperti ‘itq; dan kedua, tidak sah, karena merupakan bentuk tasharruf (tindakan hukum) yang tidak berlaku atas milik orang lain, maka tidak sah seperti jual beli dan hibah.
فصل: وما منع منه الراهن لحق المرتهن كالوطء والتزويج وغيرهما إذا أذن فيه جاز له فعله لأن المنع لحقه فزال بإذنه وما يبطل لحقه كالبيع والعتق وغيرهما إذا فعله بإذنه صح لأن بطلانه لحقه فصح بإذنه فإن أذن البيع أو العتق ثم رجع قبل أن يبيع أو قبل أن يعتق لم يجز البيع والعتق لأنه بالرجوع سقط الإذن فصار كما لو لم يأذن فإن لم يعلم بالرجوع فباع أو أعتق ففيه وجهان: أحدهما أنه يسقط ويصير كما إذا باع أو أعتق بغير الإذن والثاني أنه لا يسقط الإذن بناء على القولين في الوكيل إذا عزله الموكل ولم يعلم حتى تصرف.
PASAL: Segala sesuatu yang dilarang bagi pihak rahin demi menjaga hak murtahin—seperti jimā‘ dan pernikahan, serta yang semisalnya—apabila murtahin memberikan izin, maka boleh bagi rahin untuk melakukannya, karena larangan itu ditetapkan demi hak murtahin, dan hak itu menjadi gugur dengan izinnya.
Adapun segala hal yang membatalkan hak murtahin seperti penjualan, pemerdekaan, dan yang semisalnya, jika dilakukan dengan izin darinya, maka sah, karena batalnya disebabkan hak murtahin, maka menjadi sah dengan izinnya.
Jika murtahin mengizinkan untuk menjual atau memerdekakan, lalu ia menarik kembali izinnya sebelum rahin menjual atau memerdekakan, maka tidak boleh dilaksanakan penjualan atau pemerdekaan tersebut, karena dengan pencabutan itu, izin menjadi gugur, dan kembalilah hukumnya seperti keadaan tanpa izin.
Namun jika rahin tidak mengetahui bahwa izin telah dicabut, lalu ia tetap menjual atau memerdekakan, maka ada dua wajah (pendapat):
Pertama, izin dianggap gugur, sehingga hukum penjualan dan pemerdekaan tersebut seperti dilakukan tanpa izin.
Kedua, izin tidak dianggap gugur, berdasarkan dua pendapat dalam kasus wakil (perantara) yang diberhentikan oleh muwakkil (pemberi kuasa), namun wakil tidak mengetahui pemberhentian itu lalu melakukan tindakan (atas dasar kuasa tersebut).
فصل: وإن أذن له في العتق فأعتق أو في الهبة فوهب وأقبض بطل الرهن لأنه تصرف ينافي مقتضى الوثيقة فعله بإذنه فبطلت به الوثيقة فإن أذن له في البيع لم يخل إما أن يكون في دين حال أو في دين مؤجل فإن كان في دين حال تعلق حق المرتهن بالثمن ووجب قضاء الدين منه لأن مقتضى الرهن بيعه واستيفاء الحق منه وإن كان في دين مؤجل نظرت فإنكان الإذن مطلقاً فباع بطل الرهن وسقط حقه من الوثيقة لأنه تصرف في عين الرهن لا يستحق المرتهن فعله بإذنه فبطل به الرهن كما لو أعتقه بإذنه
PASAL: Jika murtahin mengizinkan kepada rahin untuk memerdekakan lalu rahin memerdekakannya, atau mengizinkan untuk memberikan hibah lalu rahin memberikannya dan menyerahkannya, maka batal status rahn-nya, karena itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan maksud dari akad jaminan, dan ketika dilakukan dengan izinnya, maka gugurlah jaminan tersebut.
Jika murtahin mengizinkan untuk menjual, maka keadaannya tidak lepas dari dua kemungkinan: apakah untuk membayar utang yang telah jatuh tempo atau yang masih tertunda.
Jika untuk utang yang telah jatuh tempo, maka hak murtahin melekat pada harga (hasil penjualan), dan wajib digunakan untuk membayar utang, karena maksud dari akad rahn memang adalah menjual barang jaminan dan mengambil hak dari hasil penjualannya.
Namun jika utangnya masih belum jatuh tempo, maka dilihat: jika izinnya bersifat mutlak, lalu rahin menjualnya, maka batal status rahn-nya dan gugurlah hak murtahin atas jaminan tersebut, karena ini merupakan tindakan terhadap barang gadai yang tidak memiliki hak bagi murtahin, dan dilakukan dengan izinnya, maka dengan itu batal status rahn, sebagaimana bila ia memerdekakannya dengan izinnya.
وإن أذن له في البيع بشرط أن يكون الثمن رهناً ففيه قولان: قال في الإملاء يصح ووجهه أنه لو أذن له في بيعه بعد المحل بشرط أن يكون ثمنه رهناً إلى أن يوفيه جاز وقال في الأم: لا يصح لأن ما يباع به من الثمن مجهول ورهن المجهول لا يصح فإذا بطل الشرط بطل البيع لأنه إنما أذن في البيع بهذا الشرط ولم يثبت الشرط فلم يصح البيع وإن أذن له في البيع بشرط أن يعجل الدين فباع لم يصح البيع
Jika murtahin mengizinkan rahin untuk menjual barang gadai dengan syarat bahwa harga (hasil penjualannya) dijadikan sebagai barang gadai pengganti, maka terdapat dua pendapat:
Imam Syafi‘i berkata dalam al-Imlā’ bahwa hal itu sah. Alasannya: seandainya murtahin mengizinkan rahin untuk menjual barang tersebut setelah jatuh tempo, dengan syarat bahwa hasil penjualannya menjadi barang gadai hingga utang dilunasi, maka hal itu dibolehkan.
Namun beliau berkata dalam al-Umm bahwa hal itu tidak sah, karena harga (hasil penjualan) yang akan diperoleh masih majhūl (tidak diketahui), sedangkan menjadikan sesuatu yang tidak diketahui sebagai barang gadai tidak sah. Maka ketika syarat tersebut batal, batal pula penjualannya, karena izin menjual itu diberikan dengan syarat tersebut, dan ketika syarat tidak sah, maka penjualannya pun tidak sah.
Dan jika murtahin mengizinkan rahin untuk menjual barang gadai dengan syarat bahwa utangnya harus segera dibayar, lalu rahin menjualnya tanpa membayar utangnya, maka penjualannya tidak sah.
وقال المزني يبطل الشرط ويصح العقد لأنه شرط فاسد سبق البيع فلم يمنع صحته كما لو قال لرجل بع هذه السلعة ولك عشر ثمنها وهذا خطأ لأنه إنما أذن له بشرط أن يعجل الدين لم يسلم له فإذا لم يسلم له الشرط بطل الإذن فيصير البيع بغير إذن ويخالف مسألة الوكيل فإن هناك لم يجعل العوض في مقابلة الإذن وإنما جعله في مقابلة البيع وههنا جعل تعجيل الدين في مقابلة الإذن فإذا بطل التعجيل بطل الإذن والبيع بغير إذن المرتهن باطل وحكي عن أبي إسحاق أنه قال: في هذه المسألة قول آخر أنه يصح البيع ويكون ثمنه رهناً كما لو أذن له في البيع بشرط أن يكون ثمنه رهناً.
Al-Muzani berkata: syaratnya batal, tetapi akad jualnya sah, karena syarat tersebut rusak (syarṭ fāsid) yang mendahului akad, sehingga tidak mencegah keabsahan akad—sebagaimana jika seseorang berkata kepada orang lain: “Juallah barang ini dan engkau mendapatkan sepersepuluh dari harganya.”
Namun, pendapat ini adalah keliru. Karena murtahin hanya memberikan izin untuk menjual dengan syarat bahwa utang dilunasi terlebih dahulu. Maka ketika syarat tersebut tidak terpenuhi, batallah izin, dan akad jualnya menjadi tanpa izin.
Hal ini berbeda dengan kasus wakil, karena dalam kasus wakil, imbalan tidak dijadikan sebagai pengganti dari izin, melainkan sebagai pengganti dari akad jualnya. Sedangkan dalam kasus ini, pelunasan utang dijadikan sebagai pengganti dari izin. Maka ketika pelunasan itu batal, batallah izinnya, dan penjualan tanpa izin dari murtahin adalah batal.
Diriwayatkan dari Abū Isḥāq bahwa dalam masalah ini terdapat pendapat lain, yaitu: jual-beli tersebut sah, dan harga (hasil jualnya) menjadi barang gadai pengganti, sebagaimana jika murtahin mengizinkan penjualan dengan syarat bahwa harga tersebut dijadikan barang gadai.
فصل: وما يحتاج إليه الرهن من نفقة وكسوة وعلف وغيرها فهو على الراهن لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الظهر يركب بنفقته إذا كان مرهوناً وعلى الذي يركب ويشرب نفقته” والذي يركب ويشرب هو الراهن فوجب أن تكون النفقة عليه ولأن الرقبة والمنفعة على ملكه فكانت النفقة عليه وإن احتاج إلى شرب دواء أو فتح عرق فامتنع لم يجبر عليه لأن الشفاء بيد الله تعالى وقد يجيء من غير فصد ولا دواء ويخالف النفقة فإنه لا يبقى دونها فلزمه القيام بها.
PASAL: Segala kebutuhan barang gadai seperti nafkah, pakaian, pakan, dan semacamnya, menjadi tanggungan pihak yang menggadaikan (rāhin), berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tunggangan itu boleh dinaiki dengan menanggung nafkahnya jika digadaikan, dan nafkah menjadi tanggungan orang yang menunggangi dan meminum susu darinya.” Orang yang menunggangi dan meminum susunya adalah pihak yang menggadaikan, maka wajib baginya menanggung nafkah tersebut. Sebab, kepemilikan atas fisik dan manfaat barang itu tetap berada pada dirinya, maka kewajiban nafkah menjadi tanggungannya. Apabila barang gadai membutuhkan minum obat atau pengobatan seperti fasd (pembukaan pembuluh darah), namun pihak yang menggadaikan enggan melakukannya, maka ia tidak boleh dipaksa, karena kesembuhan berada di tangan Allah Ta‘ala dan terkadang bisa datang tanpa fasd dan tanpa obat. Hal ini berbeda dengan nafkah, karena barang tersebut tidak bisa bertahan hidup tanpanya, maka wajib dipenuhi.
فصل: وإن جنى العبد المرهون لم يخل إما أن يجني على الأجنبي أو على المولى أو على مملوك للمولى فإن كانت الجناية على أجنبي تعلق حق المجني عليه برقبته ويقدم على حق المرتهن لأن حق المجني عليه يقدم على حق المالك فلأن يقدم على حق المرتهن أولى ولأن حق المجني عليه يختص بالعين فلو قدمنا حق المرتهن عليه أسقطنا حقه وحق المرتهن يتعلق بالعين والذمة فإذا قدمنا حق المجني عليه لم يسقط حقه فوجب تقديم حق المجني عليه فإن سقط حق المجني عليه بالعفو أو الفداء بقي حق المرتهن لأن حق المجني عليه لم يبطل الرهن وإنما قدم عليه حق المجني عليه لقوته فإذا سقط حق المجني عليه بقي المرتهن
PASAL: Jika budak yang digadaikan melakukan jinayah (tindak pidana), maka keadaannya tidak lepas dari tiga kemungkinan: ia menjatuhkan jinayah terhadap orang luar, terhadap tuannya sendiri (mālīkuh), atau terhadap milik dari tuannya.
Jika jinayah itu terhadap orang luar (ajnabī), maka hak korban jinayah tersebut melekat pada tubuh (rāqabah) budak, dan haknya didahulukan daripada hak murtahin. Karena hak korban jinayah lebih didahulukan daripada hak pemilik, maka lebih layak lagi untuk didahulukan daripada hak murtahin.
Selain itu, hak korban jinayah itu bersifat khusus terhadap benda (yaitu tubuh budak itu), sehingga apabila kita dahulukan hak murtahin, maka hilanglah hak korban. Sedangkan hak murtahin melekat pada benda dan juga tanggungan (dzimmah). Maka apabila kita dahulukan hak korban jinayah, hak murtahin tidak gugur. Maka wajiblah mendahulukan hak korban jinayah.
Jika hak korban gugur karena adanya pemaafan atau karena adanya fidā’ (penebusan), maka hak murtahin tetap ada, karena hak korban jinayah tidak membatalkan rahn, tetapi hanya didahulukan karena kekuatannya. Maka apabila hak korban itu gugur, hak murtahin kembali seperti semula.
وإن لم يسقط حق المجني عليه نظرت فإن كان قصاصاً في النفس اقتص له وبطل الرهن وإن كان في الطرف اقتص له وبقي الرهن في الباقي وإن كان مالاً وأمكن أن يوفي ببيع بعضه بيع منه ما يقضي به حقه وإن لم يمكن إلا ببيع جميعه بيع فإن فضل عن حق المجني عليه شيء من ثمنه تعلق به حق المرتهن وإن كانت الجناية على المولى نظرت فإن كان فيما دون النفس اقتص منه إن كان عمداً وإن كان خطأً أو عمداً فعفى عنه على مال لم يثبت له المال وقال أبو العباس: فيه قول آخر أنه يثبت له المال ويستفيد به بيعه وبطل حق المرتهن من الرهن
Jika hak orang yang terkena tindak pidana tidak gugur, maka diperhatikan: jika berupa qiṣāṣ nyawa, maka dilakukan iqtiṣāṣ dan batal rahn-nya; jika berupa qiṣāṣ pada anggota tubuh, maka dilakukan iqtiṣāṣ dan rahn tetap berlaku pada sisanya; jika berupa harta dan memungkinkan dipenuhi dengan menjual sebagian dari barang yang digadaikan, maka dijual sebagian untuk memenuhi haknya; namun jika tidak memungkinkan kecuali dengan menjual seluruhnya, maka dijual seluruhnya. Jika terdapat kelebihan dari harga barang tersebut setelah hak orang yang terkena tindak pidana dipenuhi, maka sisa harganya menjadi hak pemegang gadai.
Jika tindak pidana itu menimpa tuan (pemilik budak), maka diperhatikan: jika selain nyawa, maka dilakukan iqtiṣāṣ darinya jika dilakukan secara sengaja. Jika dilakukan karena kesalahan atau sengaja namun dimaafkan dengan kompensasi harta, maka tidak tetap baginya hak harta. Abu al-‘Abbās berkata: ada pendapat lain bahwa ia tetap mendapatkan hak harta dan berhak menjualnya, dan batallah hak pemegang gadai atas rahn tersebut.
ووجهه أنه من ثبت له القصاص في العمد ثبت له المال في الخطأ كالأجنبي والصحيح هو الأول لأن المولى لا يثبت له المال على عبده ولهذا لو أتلف له مالاً لم يستحق عليه بدله ووجه الأول يبطل بغير المرهون فإنه يجب له القصاص في العمد ولا يجب له المال في الخطأ وإن كانت الجناية على النفس وإن كانت عمداً ثبت للوارث القصاص فإن اقتص بطل الرهن وإن كانت خطأ أو عمدا وعفى على مال ففيه قولان: أحدهما لا يثبت له المال لأن الوارث قائم مقام المولى والمولى لا يثبت له في رقبة العبد مال فلا يثبت لمن يقوم مقامه
Dan alasan (pendapat) tersebut adalah bahwa siapa yang berhak mendapatkan qiṣāṣ dalam tindak pidana sengaja, maka ia juga berhak mendapatkan harta dalam tindak pidana karena kesalahan, sebagaimana halnya orang lain (selain tuan). Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena tuan tidak berhak mendapatkan harta dari budaknya; karena itu, jika budak tersebut merusak harta miliknya, maka ia tidak berhak menuntut gantinya.
Adapun alasan pendapat pertama dapat dibantah dengan (kasus) selain barang gadai, karena di situ ia (tuan) berhak mendapat qiṣāṣ atas tindak pidana sengaja, tetapi tidak berhak mendapat harta atas tindak pidana karena kesalahan.
Jika tindak pidana itu terhadap nyawa, dan dilakukan secara sengaja, maka ahli waris berhak mendapatkan qiṣāṣ. Jika dilakukan iqtiṣāṣ, maka batal rahn-nya. Dan jika tindak pidana itu karena kesalahan atau disengaja namun dimaafkan dengan ganti rugi harta, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa ahli waris tidak berhak mendapatkan harta, karena ahli waris berkedudukan sebagai pengganti tuan, dan tuan tidak berhak atas harta dalam diri budaknya, maka tidak pula berhak orang yang menggantikannya.
والثاني أنه يثبت له لأنه يأخذ المال عن جناية حصلت وهو في غير ملكه فصار كمن جنى على من يملكه المولى وإن كانت الجناية على مملوك للمولى فإن كانت على مملوك غير مرهون فإن كانت الجناية عمداً فللمولى أن يقتص منه وإن كانت خطأ أو عمداً وعفا على مال لم يجز لأن المولى لا يستحق على عبده مالاً وإن كانت الجناية على مملوك مرهون عند مرتهن آخر فإن كانت الجناية عمداً فللمولى أن يقتص منه فإن اقتص بطل الرهن
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa ahli waris berhak mendapat harta, karena ia menerima harta sebagai ganti dari tindak pidana yang terjadi saat budak tersebut berada di luar kepemilikannya, maka ia seperti orang yang melakukan tindak pidana terhadap milik tuannya.
Jika tindak pidana itu menimpa budak milik tuan, maka bila terhadap budak yang tidak tergadai: jika dilakukan dengan sengaja, maka tuan berhak melakukan iqtiṣāṣ terhadapnya. Jika karena kesalahan atau disengaja lalu dimaafkan dengan kompensasi harta, maka tidak sah, karena tuan tidak berhak mendapat harta dari budaknya.
Dan jika tindak pidana itu menimpa budak yang tergadai kepada pemegang gadai lain, maka jika dilakukan dengan sengaja, maka tuan berhak melakukan iqtiṣāṣ terhadapnya. Jika iqtiṣāṣ dilakukan, maka batallah rahn tersebut.
وإن كانت خطأ أو عمدا وعفا على مال ثبت المال لحق المرتهن الذي عنده المجني عليه لأنه لو قتله المولى لزمه ضمانه فإذا قتله عبده تعلق بالضمان برقبته فإن كانت قيمته أكثر من قيمة المقتول وأمكن أن يقضي أرش الجناية ببيع بضعه منه ما يقضي به أرش الجناية ويكون الباقي رهناً فإن لم يمكن إلا ببيع جميعه وبيع ما فضل من ثمنه يكون رهناً فإن كانت قيمته مثل قيمة المقتول أو أقل منه ففيه وجهان: أحدهما أن ينقل القاتل إلى مرتهن المقتول ليكون رهناً مكانه لأنه لا فائدة في بيعه
Dan jika tindak pidana itu karena kesalahan atau dilakukan dengan sengaja lalu dimaafkan dengan kompensasi harta, maka harta tersebut tetap menjadi hak pemegang gadai yang memegang budak korban, karena jika tuan membunuhnya, ia wajib menanggung ganti rugi. Maka jika yang membunuh adalah budaknya, tanggungan itu menjadi terkait pada leher budak tersebut.
Jika nilai budak pelaku lebih tinggi dari nilai budak korban, dan memungkinkan untuk menunaikan arsy al-jināyah dengan menjual sebagian darinya, maka dijual sebagian untuk menunaikan arsy al-jināyah, dan sisanya tetap menjadi barang gadai. Jika tidak memungkinkan kecuali dengan menjual seluruhnya, maka dijual seluruhnya, dan sisa dari hasil penjualannya menjadi barang gadai.
Jika nilainya sama dengan atau lebih rendah dari nilai korban, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa budak pelaku dipindahkan kepada pemegang gadai budak korban, agar menjadi barang gadai sebagai pengganti, karena tidak ada faedah dalam menjualnya.
والثاني أنه يباع لأنه ربما رغب فيه من يشتريه بأكثر من قيمته فيحصل عند كل واحد من المرتهنين وثيقة بدينه وإن كانت الجناية على مرهون عند المرتهن الذي عنده القاتل فإن كانت عمداً فاقتص منه بطل الرهن وإن كانت خطأ أو عمدا وعفى عنه على مال نظرت فإن اتفق الدينان في المقدار والحلول والتأجيل واتفقت قيمة العبدين ترك على حاله لأنه لا فائدة في بيعه وإن كان الدين الذي رهن به المقتول حالاً والدين الذي رهن به القاتل مؤجلاً بيع لأن في بيعه فائدة وهو أن يقضي الدين الحال فإن اختلف الدينان واتفقت القيمتان نظرت فإن كان الدين الذي ارتهن به القاتل أكثر لم يبع لأنه مرهون بقدر فإذا بيع صار مرهوناً ببعضه
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa budak pelaku dijual, karena bisa jadi ada orang yang menginginkannya dan membelinya dengan harga lebih tinggi dari nilainya, sehingga masing-masing dari para pemegang gadai mendapatkan jaminan atas piutangnya.
Jika tindak pidana itu menimpa budak yang tergadai pada pemegang gadai yang sama dengan yang memegang budak pelaku, maka jika dilakukan dengan sengaja lalu dilakukan iqtiṣāṣ, maka batallah rahn-nya. Jika karena kesalahan, atau dilakukan dengan sengaja lalu dimaafkan dengan kompensasi harta, maka diperhatikan: jika kedua utang (dari rahn budak korban dan budak pelaku) sama dalam jumlah, waktu jatuh tempo, dan penangguhan, serta nilai kedua budak juga sama, maka keduanya dibiarkan dalam keadaan semula, karena tidak ada manfaat dalam menjualnya.
Namun, jika utang dari rahn budak korban telah jatuh tempo, sedangkan utang dari rahn budak pelaku masih ditangguhkan, maka budak pelaku dijual, karena dalam penjualannya terdapat manfaat, yaitu untuk membayar utang yang telah jatuh tempo.
Jika kedua utang berbeda dan nilai kedua budak sama, maka diperhatikan: jika utang yang menjadi sebab rahn budak pelaku lebih besar, maka ia tidak dijual, karena ia tergadai sesuai nilai utangnya; jika dijual maka ia hanya tergadai untuk sebagian dari nilainya.
وإن كان الدين الذي ارتهن به القاتل أقل نقل فإن في نقله فائدة وهو أن يصير مرهوناً بأكثر من الدين الذي هو مرهون به وهل يباع وينقل ثمنه أو ينقل بنفسه فيه وجهان وقد مضى توجيههما وإن اتفق الدينان بأن كان كل واحد منهما مائة واختلف القيمتان نظر فيه فإن كانت قيمة المقتول أكثر لم يبع لأنه إذا ترك كان رهناً بمائة وإذا بيع كان ثمنه رهناً بمائة فلا يكون في بيعه فائدة وإن كانت قيمة القاتل أكثر بيع منه بقدر قيمة المقتول ويكون رهناً بالحق الذي كان المقتول رهناً به وباقيه على ما كان.
Dan jika utang yang menjadi sebab rahn budak pelaku lebih sedikit, maka ia dipindahkan, karena dalam pemindahannya terdapat manfaat, yaitu agar ia menjadi barang gadai untuk utang yang lebih besar dari utang yang sebelumnya ia tergadai karenanya. Apakah budak tersebut dijual lalu dipindahkan nilainya, atau dipindahkan secara langsung (tanpa dijual), terdapat dua pendapat, dan penjelasannya telah berlalu.
Jika kedua utang sama, misalnya masing-masing sebesar seratus, tetapi nilai kedua budak berbeda, maka diperhatikan: jika nilai budak korban lebih tinggi, maka budak pelaku tidak dijual, karena jika dibiarkan maka tetap menjadi gadai untuk seratus, dan jika dijual, maka hasil penjualannya juga menjadi gadai untuk seratus — maka tidak ada faedah dalam menjualnya.
Namun jika nilai budak pelaku lebih tinggi, maka dijual darinya sebesar nilai budak korban, dan bagian itu menjadi gadai untuk utang yang sebelumnya dijamin oleh budak korban, dan sisanya tetap dalam status seperti semula.
فصل: فإن جنى العبد المرهون بإذن المولى نظرت فإن كان بالغاً عاقلاً فحكمه ما لو جنى بغير إذنه في القصاص والأرش على ما بيناه ولا يلحق السيد بالإذن أو الإثم فإنه يأثم لما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “من أعان على قتل مسلم ولو بشرط كلمة جاء يوم القيامة مكتوباً بين عينيه آيس من رحمة الله” فإن كان غير بالغ نظرت فإن كان مميزاً يعرف أن طاعة المولى لا تجوز في القتل كان كالبالغ في جميع ما ذكرناه إلا في القصاص فإن القصاص لا يجب على الصبي وإن كان صغيراً لا يميز أو أعجمياً لا يعرف أن طاعة المولى لا تجوز في القتل لم تتعلق الجناية برقبته بل يتعلق حكم الجناية بالمولى
PASAL: Apabila budak yang digadaikan melakukan jinayah (kejahatan) dengan izin tuannya, maka dilihat keadaannya. Jika ia sudah balig dan berakal, maka hukumnya sama seperti jika ia melakukan jinayah tanpa izin, baik dalam hal qiṣāṣ maupun arsy, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pemberian izin dari tuan tidak menjadikan tuan ikut bertanggung jawab atas jinayah atau dosa tersebut, akan tetapi ia berdosa, berdasarkan riwayat dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Barang siapa membantu dalam pembunuhan seorang Muslim, walaupun hanya dengan sepatah kata, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan tertulis di antara kedua matanya: ‘Putus asa dari rahmat Allah.’”
Apabila budak tersebut belum balig, maka dilihat lagi: jika ia mumayyiz (sudah bisa membedakan) dan mengetahui bahwa menaati tuan dalam membunuh tidak diperbolehkan, maka hukumnya seperti orang balig dalam semua hal yang telah disebutkan, kecuali qiṣāṣ, karena qiṣāṣ tidak diwajibkan atas anak kecil. Namun, jika ia masih kecil dan belum mumayyiz, atau ia adalah orang asing (a‘jamī) yang tidak mengetahui bahwa menaati tuan dalam pembunuhan tidak diperbolehkan, maka jinayah tersebut tidak dibebankan pada tubuh budaknya, melainkan hukum jinayah itu dibebankan kepada tuannya.
فإن كان موسراً أخذ منه الأرش وإن كان معسراً فقد قال الشافعي رحمه الله: يباع العبد في أرش الجناية فمن أصحابنا من حمله على ظاهره وقال يباع لأنه قد باشر الجناية فبيع فيها ومنهم من قال لا يباع لأن القاتل في الحقيقة هو المولى وإنما هو آلة كالسيف وغيره وحمل قول الشافعي رحمه الله على أنه أراد إذا ثبت بالبينة أنه قتله فقال المولى أنا أمرته فقال يؤخذ منه الأرش إن كان موسراً بحكم إقراره وإن كان معسراً بيع العبد بظاهر البينة والله أعلم.
Jika tuannya mūsir (mampu), maka diambil darinya arsy (denda jinayah). Namun jika mu‘sir (tidak mampu), maka Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: Budak dijual untuk menutupi arsy jinayah. Sebagian sahabat kami memahami ucapan beliau secara zahir, dan berkata: Budak itu dijual karena ia langsung melakukan jinayah, maka dijual karenanya.
Sebagian yang lain berkata: Tidak dijual, karena pelaku sebenarnya adalah tuannya, sedangkan budak hanyalah alat, seperti pedang dan semisalnya. Mereka menakwil ucapan Imam al-Syafi‘i rahimahullah bahwa maksudnya adalah apabila telah terbukti dengan kesaksian bahwa budak tersebut melakukan pembunuhan, lalu tuannya berkata: “Aku yang memerintahkannya,” maka arsy diambil dari tuannya jika ia mampu, berdasarkan pengakuannya sendiri. Namun jika ia tidak mampu, maka budak dijual berdasarkan bukti zahir dari kesaksian. Wallahu a‘lam.
فصل: وإن جنى على العبد المرهون فالخصم في الجناية هو الراهن لأنه هو المالك للعبد ولما يجب من بدله ادعى على رجل أنه جنى عليه فأنكره ولم تكن بينة فالقول قول المدعي عليه مع يمينه فإن نكل عن اليمين ردت اليمين على الراهن فإن نكل فهل ترد اليمين على المرتهن فيه قولان بناء على القولين في المفلس إذا ردت عليه اليمين فنكل فهل ترد على الغريم فيه قولان: أحدهما لا ترد لأنه غير مدع
PASAL: Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap budak yang tergadai, maka yang menjadi pihak dalam perkara tindak pidana tersebut adalah rāhin (pemberi gadai), karena dialah pemilik budak dan pemilik hak atas kompensasi pengganti.
Jika ia (rāhin) menuduh seseorang telah melakukan tindak pidana terhadap budaknya, namun orang tersebut mengingkari dan tidak ada bukti, maka pernyataan orang yang dituduh diterima dengan sumpahnya. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada rāhin.
Jika rāhin juga enggan bersumpah, maka apakah sumpah itu dialihkan kepada murtahin (penerima gadai)? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, berdasarkan perbedaan pendapat dalam kasus orang bangkrut (muflis), jika sumpah dialihkan kepadanya lalu ia enggan bersumpah, apakah sumpah itu dialihkan kepada krediturnya (gharīm)? Maka terdapat dua pendapat:
Salah satunya, tidak dialihkan karena ia bukan pihak yang mengajukan klaim (ghair mudda‘ī).
والثاني ترد لأنه ثبت له حق فيما يثبت باليمين فهو كالمالك فإن أقر المدعي عليه أو قامت البينة عليه أو نكل وحلف الراهن أو المرتهن على أحد القولين فإن كانت الجناية موجبة للقود فالراهن بالخيار بين أن يقتص وبين أن يعفو فإن اقتص بطل الرهن وإن قال لا أقتص ولاأعفو ففيه وجهان: قال أبو علي بن أبي هريرة: للمرتهن إجباره على اختيار القصاص أو أخذ المال لأن له حقاً في بدله فجاز له إجباره على تعيينه وقال أبو القاسم الداركي: إن قلنا إن الواجب بقتل العمد هو القود لم يملك إجباره لأنه إذا ملك إسقاط القصاص فلأن يملك تأخيره أولى وإن قلنا أن الواجب أحد الأمرين أجبر على التعيين لأن له حقاً هو القصاص وللمرتهن حقاً هو المال فلزمه التعيين
Pendapat kedua: sumpah dialihkan (kepada murtahin), karena ia memiliki hak atas sesuatu yang dapat ditetapkan dengan sumpah, maka ia seperti pemilik.
Jika terdakwa mengakui, atau terdapat bukti atasnya, atau ia enggan bersumpah lalu rāhin atau murtahin bersumpah (menurut salah satu dari dua pendapat), maka jika tindak pidana tersebut mewajibkan qiṣāṣ, maka rāhin memiliki pilihan antara melakukan iqtiṣāṣ atau memaafkan. Jika ia melakukan iqtiṣāṣ, maka rahn menjadi batal.
Namun jika ia berkata, “Saya tidak ingin melakukan iqtiṣāṣ dan juga tidak memaafkan,” maka ada dua pendapat:
- Abu ‘Alī ibn Abī Hurairah berkata: murtahin boleh memaksanya untuk memilih antara qiṣāṣ atau menerima ganti rugi berupa harta, karena murtahin memiliki hak dalam kompensasinya, maka ia berhak memaksanya untuk menentukan salah satunya.
- Abū al-Qāsim al-Dārakī berkata: jika kita berpendapat bahwa yang wajib atas pembunuhan sengaja adalah qiṣāṣ, maka ia (rāhin) tidak dapat dipaksa, karena jika ia berhak menggugurkan qiṣāṣ, maka terlebih lagi ia berhak menundanya. Namun jika kita berpendapat bahwa yang wajib adalah salah satu dari dua hal (qiṣāṣ atau harta), maka ia dipaksa untuk memilih, karena ia memiliki hak yaitu qiṣāṣ, dan murtahin memiliki hak yaitu harta, maka wajib baginya untuk menentukan.
وإن عفى على مال أو كانت الجناية خطأ وجب الأرش وتعلق حق المرتهن به لأن الأرش بدل عن المرهون فتعلق حق المرتهن به وإن أسقط المرتهن حقه من الوثيقة سقط لأنه لو كان الرهن باقياً فأسقط حقه منه سقط فكذلك إذا أسقط من بدله فإن أبرأ المرتهن الجاني من الأرش لم يصح إبراؤه لأنه لا يملكه فلا ينفذ إبراؤه فيه كما لو كان الراهن باقياً فوهبه وهل يبطل بهذا الإبراء حقه من الوثيقة فيه وجهان: أحدهما يبطل لأن إبراءه تضمن إبطال حقه من الوثيقة فإذا سقط الإبراء بقي ما تضمنه من إبطال الوثيقة
Dan jika ia memaafkan dengan ganti rugi atau jika kejahatan itu terjadi karena kesalahan, maka wajib dibayar arasy, dan hak si penerima gadai (murtahin) berkaitan dengannya, karena arasy adalah pengganti barang yang digadaikan, maka hak si penerima gadai pun berkaitan dengannya. Jika si penerima gadai menggugurkan haknya atas dokumen gadai, maka hak itu gugur, karena seandainya barang gadai masih ada lalu ia menggugurkan haknya atasnya, maka hak itu pun gugur, maka demikian pula jika ia menggugurkan haknya atas penggantinya. Jika si penerima gadai membebaskan pelaku dari kewajiban membayar arasy, maka pembebasan itu tidak sah, karena ia tidak memilikinya, maka pembebasan itu tidak berlaku, sebagaimana jika barang gadai masih ada lalu ia memberikannya secara cuma-cuma. Apakah dengan pembebasan tersebut haknya atas dokumen gadai menjadi batal? Maka ada dua pendapat: pertama, batal, karena pembebasan itu mengandung pembatalan hak atas dokumen gadai, maka jika pembebasan itu gugur, tetaplah kandungan pembatalannya terhadap dokumen gadai.
والثاني لا يبطل لأن الذي أبطله هو الإبراء والإبراء لم يصح فلم يبطل ما نضمنه فإن أبرأه الراهن من الأرش لم يصح إبراؤه لأنه يبطل حق المرتهن من الوثيقة من غير رضاه فلم يصح كما لوكان الرهن باقياً فأراد أن يهبه فإن أبرأه ثم قضى دين المرتهن أو أبرأه المرتهن منه فهل ينفذ إبراء الراهن للجاني من الأرش فيه وجهان: أحدهما ينفذ لأن المنع منه لحق المرتهن وقد زال حق المرتهن فينفذ إبراء الراهن والثاني أنه لا ينفذ لأنا حكمنا ببطلانه فلا يجوز أن يحكم بصحته بعد الحكم ببطلانه كما لو وهب مال غيره ثم ملكه وإن أراد أن يصالحه عن الأرش على حيوان أو غيره من غير رضا المرتهن لم يجز لأن حق المرتهن يتعلق بالقيمة فلا يجوز إسقاطه إلى بدل من غير رضاه كما لو كان الراهن باقياً فأراد أن يبيعه من غير رضاه
Dan pendapat kedua: tidak batal, karena yang membatalkannya adalah pembebasan, sedangkan pembebasan itu tidak sah, maka tidak batal pula apa yang dikandung olehnya. Jika si pemberi gadai (rāhin) membebaskan pelaku dari kewajiban membayar arasy, maka pembebasan itu tidak sah, karena hal itu akan membatalkan hak si penerima gadai atas dokumen tanpa izinnya, maka tidak sah, sebagaimana jika barang gadai masih ada lalu ia ingin memberikannya secara cuma-cuma.
Jika si rāhin membebaskannya, lalu ia melunasi utang kepada si murtahin, atau si murtahin membebaskan utangnya, maka apakah pembebasan si rāhin terhadap pelaku dari arasy menjadi sah? Maka terdapat dua pendapat: pertama, menjadi sah, karena pelarangan sebelumnya adalah karena hak si murtahin, dan hak si murtahin telah hilang, maka sah-lah pembebasan si rāhin. Kedua, tidak sah, karena kami telah memutuskan bahwa pembebasan itu batal, maka tidak boleh ditetapkan sah setelah diputuskan batal, sebagaimana jika seseorang memberikan harta milik orang lain lalu ia memilikinya (setelah itu), tetap tidak sah.
Jika ia ingin berdamai dengan pelaku kejahatan atas arasy dengan imbalan seekor hewan atau selainnya tanpa persetujuan si murtahin, maka tidak boleh, karena hak si murtahin berkaitan dengan nilai (qīmah), maka tidak boleh dialihkan kepada pengganti tanpa izinnya, sebagaimana jika barang gadai masih ada lalu si rāhin ingin menjualnya tanpa izinnya.
فإن رضي المرتهن بالصلح فصالح على حيوان تعلق به حق المرتهن وسلم إلى من كان عنده الرهن ليكون رهناً مكانه فإن كان مما له منفعة انفرد الراهن بمنفعته وإن كان له نماء انفرد بنمائه كما كان ينفرد بمنفعة أصل الرهن ونمائه فإن كان المرهون جارية فجنى عليها فأسقطت جنيناً ميتاً وجب عليه عشر قيمة الأم ويكون خارجاً من الرهن لأنه بدل عن الولد والولد خارج من الرهن فكان بدله خارجاً منه وإن كانت بهيمة فألقت جنيناً ميتاً وجب عليه ما نقص من قيمة الأم ويكون رهناً لأنه بدل عن جزء من المرهون فإن ألقته حياً ثم مات ففيه قولان: أحدهما يجب عليه قيمة الولد حياً لأنه يمكن تقويمه فيكون للراهن فإن عفى عنه صح عفوه والثاني يجب عليه أكثر الأمرين من قيمته حياً أو ما نقص من قيمة الأم فإن كان قيمته حياً أكثر وجب ذلك للراهن وصح عفوه عنه وإن كان ما نقص من قيمة الأم أكثر كان رهناً.
Jika si murtahin ridha dengan perdamaian tersebut, lalu mereka berdamai atas imbalan seekor hewan, maka hak si murtahin berkaitan dengan hewan itu, dan hewan itu diserahkan kepada orang yang memegang barang gadai sebelumnya, agar menjadi barang gadai pengganti. Jika hewan itu termasuk yang memiliki manfaat, maka si rāhin berhak sendiri atas manfaatnya. Dan jika hewan itu memiliki namā’ (pertumbuhan atau hasil tambahan), maka si rāhin pun berhak sendiri atas namā’-nya, sebagaimana ia berhak sendiri atas manfaat dan namā’ barang gadai semula.
Jika barang gadai itu adalah seorang budak perempuan, lalu seseorang berbuat jahat terhadapnya hingga ia mengalami keguguran dan janinnya mati, maka pelakunya wajib membayar sepersepuluh dari nilai induknya. Dan itu dianggap di luar dari barang gadai, karena ia adalah pengganti dari anak, sementara anak adalah di luar dari barang gadai, maka penggantinya pun demikian.
Jika yang menjadi barang gadai adalah hewan lalu hewan itu melahirkan janin dalam keadaan mati, maka pelakunya wajib membayar sebesar pengurangan nilai induknya, dan itu menjadi barang gadai karena ia adalah pengganti dari sebagian bagian dari barang gadai.
Jika janin itu lahir hidup-hidup kemudian mati, maka ada dua pendapat:
Pertama, wajib atas pelaku untuk membayar nilai anak tersebut saat hidup, karena ia bisa dinilai, maka nilainya menjadi milik si rāhin, dan jika ia memaafkannya maka sah.
Kedua, wajib membayar nilai yang lebih besar antara dua hal: nilai anak tersebut saat hidup, atau pengurangan nilai induknya. Jika nilai anak saat hidup lebih besar, maka hal itu menjadi milik si rāhin dan sah jika ia memaafkannya. Namun jika pengurangan nilai induknya lebih besar, maka nilainya menjadi barang gadai.
فصل: وإن جنى على العبد المرهون ولم يعرف الجاني فأقر رجل أنه هو الجاني فإن صدقه الراهن دون المرتهن كان الأرش له ولا حق للمرتهن فيه وإن صدقه المرتهن دون الراهن كان الأرش رهناً عنده فإن لم يقضه الراهن الدين استوفى من المرتهن حقه من الأرش فإن قضاه الدين أو أبرأه منه المرتهن رد الأرش إلى المقر.
PASAL: Jika seseorang melakukan kejahatan terhadap budak yang digadaikan namun pelakunya tidak diketahui, lalu seseorang mengaku bahwa dialah pelakunya, maka jika yang membenarkannya adalah si rāhin tanpa si murtahin, maka arasy menjadi miliknya (rāhin), dan si murtahin tidak memiliki hak atasnya. Namun jika yang membenarkannya adalah si murtahin tanpa si rāhin, maka arasy menjadi barang gadai di tangannya. Jika si rāhin tidak melunasi utang, maka si murtahin mengambil haknya dari arasy tersebut. Jika si rāhin melunasi utangnya atau si murtahin membebaskannya, maka arasy dikembalikan kepada orang yang mengaku (sebagai pelaku).
فصل: فإن كان المرهون عصيراً صار في يد المرتهن خمراً زال ملك الراهن عنه وبطل الرهن لأنه صار محرماً لا يجوز التصرف فيه فزال الملك وبطل الرهن كالحيوان إذا مات فإن تخللت عاد الملك فيه لأنه عاد مباحاً يجوز التصرف فيه فعاد الملك فيه كجلد الميتة إذا دبغ ويعود رهناً لأنه عاد إلى الملك السابق وقد كان في الملك السابق رهناً فعاد رهناً فإن كان المرهون حيواناً فمات وأخذ الراهن جلده ودبغه فهل يعود الرهن؟ فيه وجهان: قال أبوعلي ابن خيران: يعود كما لو رهنه عصيراً فصار خمراً ثم صار خلاً وقال أبو إسحاق: لا يعود الرهن لأنه عاد الملك فيه بمعالجة وأمر أحدثه فلم يعد رهناً بخلاف الخمر فإنها صارت خلاً بغير معنى من جهته.
PASAL: Apabila barang gadai berupa ‘aṣīr (perasan anggur) lalu berubah menjadi khamr di tangan pihak yang menerima gadai (murtahin), maka kepemilikan pihak yang menggadaikan (rāhin) atasnya hilang dan rahan menjadi batal, karena khamr adalah benda haram yang tidak boleh ditransaksikan, maka kepemilikannya gugur dan rahan pun batal, seperti hewan yang mati. Namun, apabila kemudian berubah menjadi khal (cuka), maka kepemilikan kembali karena benda tersebut telah kembali menjadi sesuatu yang mubah dan boleh ditransaksikan, maka kepemilikan kembali padanya seperti kulit bangkai jika telah disamak. Dan status rahannya juga kembali karena kembali kepada kepemilikan sebelumnya, sedangkan sebelumnya ia merupakan barang gadai, maka kembali menjadi gadai.
Apabila barang gadai berupa hewan, lalu mati, kemudian pihak yang menggadaikan mengambil kulitnya dan menyamaknya, apakah status rahannya kembali? Maka ada dua pendapat. Abu ‘Ali Ibn Khirān berkata: Status rahan kembali sebagaimana jika ia menggadaikan ‘aṣīr, lalu berubah menjadi khamr, lalu menjadi khal. Sedangkan Abu Ishaq berkata: Status rahan tidak kembali, karena kepemilikan kembali akibat adanya usaha dan perlakuan baru dari pemilik, maka tidak kembali menjadi rahan. Berbeda dengan khamr yang berubah menjadi khal tanpa campur tangan darinya.
فصل: وإن تلف الرهن في يد المرتهن من غير تفريط تلف من ضمان الراهن ولا يسقط من دينه شيء لما روى سعيد بن المسيب رضي الله عنه قال: قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن لا يغلق الرهن ممن رهنه ولأنه وثيقة بدين ليس يعوض منه فلم يسقط الدين بهلاكه كالضامن فإن عصب عيناً ورهنها بدين ولم يعلم المرتهن وهلكت عنده من غير تفريط فهل يجوز للمالك أن يغرمه؟ فيه وجهان: أحدهما لا يغرمه لأنه دخل على الأمانة والثاني له أن يغرمه لأنه أخذه من يد ضامنة فإن قلنا إنه يغرمه فغرمه فهل يرجع بما غرم على الراهن فيه وجهان: أحدهما يرجع لأنه غره
PASAL: Jika barang gadai rusak di tangan si murtahin tanpa adanya kelalaian darinya, maka kerusakan itu menjadi tanggungan si rāhin, dan tidak gugur sedikit pun dari utangnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyab RA bahwa Rasulullah SAW memutuskan bahwa barang gadai tidak boleh disita oleh yang menerimanya (murtahin). Dan karena barang gadai adalah jaminan utang yang tidak menjadi pengganti dari utang itu sendiri, maka tidaklah gugur utang karena kerusakan barang gadai, sebagaimana halnya penjamin (ḍāmin).
Jika seseorang merebut suatu barang dan menjadikannya sebagai barang gadai atas suatu utang, sementara si murtahin tidak mengetahui bahwa barang itu hasil rampasan, lalu barang itu rusak di tangannya tanpa adanya kelalaian, maka apakah pemilik barang berhak menuntut ganti rugi darinya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh menuntut ganti rugi, karena ia menerima barang dalam posisi amanah.
Kedua, boleh menuntut ganti rugi, karena ia mengambilnya dari tangan pihak yang menanggung tanggungan (yakni si perampas).
Jika kita mengatakan bahwa ia wajib mengganti rugi lalu ia menggantinya, maka apakah ia boleh menuntut kembali apa yang telah ia bayarkan dari si rāhin (perampas)? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, boleh menuntut ganti rugi, karena ia telah diperdaya olehnya.
والثاني لا يرجع لأنه حصل التلف في يده فاستقر الضمان عليه فإن بدأ وغرم الراهن فإن قلنا إن المرتهن إذا غرم رجع على الراهن لم يرجع الراهن على المرتهن بما غرمه وإن قلنا إن المرتهن إذا غرم لا يرجع على الراهن رجع عليه الراهن بما غرمه فإن رهن عند رجل عيناً وقال رهنتك هذا إلى شهر فإن لم أعطك مالك فهو لك بالدين فالرهن باطل لأنه وقته والبيع باطل لأنه علقه على شرط فإن ملك العين قبل الشهر لم يضمن لأنه مقبوض بحكم الرهن فلم يضمنه كالمقبوض عن رهن صحيح وإن هلك بعد الشهر ضمنه لأنه مقبوض بحكم البيع فضمنه كالمقبوض عن بيع صحيح.
Pendapat kedua: tidak boleh menuntut kembali, karena barang rusak di tangannya, maka tanggungan tetap atasnya. Jika si rāhin yang terlebih dahulu mengganti rugi, maka jika kita mengatakan bahwa si murtahin apabila mengganti rugi boleh menuntut kepada si rāhin, maka si rāhin tidak boleh menuntut kembali kepada si murtahin atas apa yang telah ia bayarkan. Namun jika kita mengatakan bahwa si murtahin tidak boleh menuntut kepada si rāhin, maka si rāhin boleh menuntut kembali kepada si murtahin atas apa yang telah ia bayarkan.
Jika seseorang menggadaikan suatu barang kepada orang lain dan berkata: “Aku gadaikan ini kepadamu selama satu bulan. Jika aku tidak membayar utangmu, maka barang ini menjadi milikmu sebagai pelunasan utang,” maka akad gadai itu batal karena dibatasi waktu, dan akad jual belinya pun batal karena digantungkan pada syarat.
Jika ia memiliki barang tersebut sebelum satu bulan, maka ia tidak menanggung kerusakan, karena barang itu diterima berdasarkan hukum gadai, maka ia tidak menanggungnya seperti halnya barang yang diterima dalam gadai yang sah. Namun jika barang itu rusak setelah lewat sebulan, maka ia menanggungnya karena barang itu dianggap diterima berdasarkan hukum jual beli, maka ia menanggungnya sebagaimana barang yang diterima dari jual beli yang sah.
باب اختلاف المتراهنين
إذا اختلف المتراهنان فقال الراهن ما رهنتك وقال المرتهن رهنتني فالقول قول الراهن مع يمينه لأن الأصل عدم العقد.
فصل: وإذا اختلفا في عين الرهن فقال الراهن فقال رهنتك العبد وقال المرتهن بل رهنتني الثوب فالقول قول الراهن إنه لم يرهن الثوب فإذا حلف خرج الثوب عن أن يكون رهناً بيمينه وخرج العبد عن أن يكون رهناً برد المرتهن.
BAB IKHTILĀF ANTARA PIHAK GADAI
Apabila kedua pihak yang berakad gadai berselisih, lalu pihak yang menggadaikan (rāhin) berkata: “Aku tidak menggadaikan kepadamu,” sedangkan pihak yang menerima gadai (murtahin) berkata: “Engkau telah menggadaikan kepadaku,” maka perkataan yang diterima adalah perkataan pihak yang menggadaikan dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada akad.
PASAL: Apabila keduanya berselisih tentang barang yang digadaikan, lalu pihak yang menggadaikan berkata: “Aku menggadaikan kepadamu budak,” sedangkan pihak yang menerima gadai berkata: “Bukan, engkau menggadaikan kepadaku kain,” maka perkataan yang diterima adalah perkataan pihak yang menggadaikan bahwa ia tidak menggadaikan kain. Jika ia bersumpah, maka kain itu keluar dari status rahan karena sumpahnya, dan budak itu keluar dari status rahan karena penolakan pihak yang menerima gadai.
فصل: وإذا اختلفا في قدر الرهن فقال الراهن رهنتك هذا العبد وقال بل رهنتني هذين العبدين فالقول قول الراهن لأن الأصل عدم الرهن إلا فيما أقر به ولأن كل من كان القول قوله إذا اختلفا في أصله كان القول قوله إذا اختلفا في قدره كالزوج في الطلاق فإن رهنه أرضاً وأقبضه ووجد فيه نخيل يجوز أن يكون حدث بعد الرهن ويجوز أن يكون قبله فقال الراهن حدث بعد الرهن فهو خارج من الرهن وقال المرتهن بل كان قبل الرهن ورهنتنيه مع الأرض فالقول قول الراهن قال المزني: القول قول المرتهن لأنه في يده وهذا خطأ
PASAL: Jika terjadi perselisihan antara keduanya mengenai jumlah barang gadai, si rāhin berkata, “Aku menggadaikan kepadamu budak ini,” sementara si murtahin berkata, “Bukan, engkau menggadaikan kepadaku dua budak ini,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan si rāhin, karena asalnya tidak ada gadai kecuali pada apa yang diakui olehnya. Dan karena siapa saja yang ucapannya diterima ketika berselisih dalam pokok perkara, maka ucapannya juga diterima ketika berselisih dalam jumlah, sebagaimana suami dalam kasus talak.
Jika ia menggadaikan sebidang tanah lalu ia menyerahkannya, kemudian ditemukan di dalamnya pohon kurma, dan hal itu bisa jadi tumbuh setelah akad gadai atau bisa jadi telah ada sebelumnya, lalu si rāhin berkata, “Pohon itu tumbuh setelah akad gadai, maka ia di luar dari gadai,” sedangkan si murtahin berkata, “Tidak, pohon itu sudah ada sebelumnya dan engkau menggadaikannya bersamaan dengan tanah,” maka ucapan si rāhin yang diterima.
Al-Muzanī berkata: yang benar adalah ucapan si murtahin karena barang itu berada di tangannya. Namun pendapat ini salah.
لما ذكرناه في العبدين وقوله إنه في يده لا يصح لأن اليد إنما يقدم بها في الملك دون العقد ولهذا لو اختلفا في أصل العقد كان القول قول الراهن وإن كانت العين في يد المرتهن فإن رهن حمل شجرة تحمل حملين وحدث حمل آخر وقلنا إنه يصح العقد فاختلفا في مقدار الحمل الأول فالقول قول الراهن وقال المزني: القول قول المرتهن لأنه في يده وهذا لا يصح لأن الأصل أنه لم يدخل في العقد إلا ما أقر به وأما اليد فقد بينا أنه لا يرجح بها في العقد.
Sebagaimana telah kami sebutkan dalam kasus dua budak, dan pernyataan bahwa barang itu berada di tangannya tidaklah sah sebagai alasan, karena kepemilikan melalui tangan (yakni penguasaan fisik) hanya diutamakan dalam hal milik, bukan dalam hal akad. Oleh karena itu, jika keduanya berselisih mengenai pokok akad, maka ucapan si rāhin yang dijadikan pegangan, meskipun barangnya berada di tangan si murtahin.
Jika seseorang menggadaikan buah dari pohon yang menghasilkan dua kali dalam setahun, lalu muncul hasil baru, dan kita mengatakan bahwa akad tersebut sah, kemudian keduanya berselisih mengenai jumlah buah hasil yang pertama, maka ucapan si rāhin yang dijadikan pegangan.
Al-Muzanī berkata: ucapan si murtahin yang dijadikan pegangan karena buah itu di tangannya. Ini tidak sah, karena asalnya tidak termasuk dalam akad kecuali yang diakui oleh si rāhin. Adapun tangan, telah kami jelaskan bahwa itu tidak menjadi keunggulan dalam perkara akad.
فصل: وإن اختلفا في قدر الدين فقال الراهن رهنتك هذا العبد بألف وقال المرتهن بل رهنتنيه بألفين فالقول قول الراهن لأن الأصل عدم الألف فإن قال رهنته بألف وزادني ألفاً آخر على أن يكون رهناً بالألفين وقال المرتهن بل رهنتني بالألفين وقلنا لا تجوز الزيادة في الدين في رهن واحد ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول الراهن لأنهما لو اختلفا في أصل العقد كان القول قوله فكذلك إذا اختلفا في صفته
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang kadar utang, lalu si rāhin berkata, “Aku menggadaikan budak ini kepadamu dengan seribu,” dan si murtahin berkata, “Bahkan engkau menggadaikannya kepadaku dengan dua ribu,” maka perkataan rāhin yang diterima karena asalnya tidak ada tambahan seribu itu.
Jika rāhin berkata, “Aku menggadaikannya dengan seribu, lalu ia menambahkan seribu lagi kepadaku dengan syarat bahwa budak itu menjadi gadai untuk dua ribu,” dan murtahin berkata, “Bahkan engkau menggadaikannya kepadaku untuk dua ribu,” dan kita mengatakan bahwa tidak boleh ada penambahan dalam utang pada satu gadai, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: perkataan rāhin yang diterima, karena jika keduanya berselisih dalam pokok akad, maka yang diterima adalah perkataan rāhin, maka demikian pula jika berselisih dalam sifatnya.
والثاني أن القول قول المرتهن لأنهما اتفقا على صحة الرهن والدين والراهن يدعي أن ذلك كان في عقد آخر والأصل عدمه فكان القول قول المرتهن فإن بعث عبده مع رجل ليرهنه عند رجل بمال ففعل ثم اختلف الراهن والمرتهن فقال الراهن أذنت له في الرهن بعشرة وقال المرتهن بل بعشرين نظرت فإن صدق الرسول الراهن حلف الرسول أنه ما رهن إلا بعشرة ولا يمين على الراهن لأنه لم يعقد وإن صدق الرسول المرتهن فالقول قول الراهن مع يمينه فإذا حلف بقي الرهن على عشرة وعلى الرسول عشرة لأنه أقر بقبضها.
Dan pendapat kedua: bahwa perkataan murtahin yang diterima karena keduanya sepakat atas sahnya rahan dan utang, sementara rāhin mengklaim bahwa hal itu terjadi dalam akad lain, dan asalnya tidak ada akad tersebut, maka perkataan murtahin yang diterima.
Jika seseorang mengutus budaknya bersama seorang laki-laki untuk menggadaikannya kepada seseorang dengan sejumlah harta, lalu ia melakukannya, kemudian rāhin dan murtahin berselisih, lalu rāhin berkata, “Aku mengizinkannya untuk menggadaikan dengan sepuluh,” dan murtahin berkata, “Bahkan dengan dua puluh,” maka dilihat:
Jika utusan membenarkan rāhin, maka utusan bersumpah bahwa ia tidak menggadaikannya kecuali dengan sepuluh, dan tidak ada sumpah atas rāhin karena ia tidak melakukan akad.
Dan jika utusan membenarkan murtahin, maka perkataan rāhin yang diterima dengan sumpahnya. Jika ia bersumpah, maka rahan tetap atas sepuluh, dan atas utusan sepuluh karena ia telah mengakui telah menerima sepuluh itu.
فصل: قال في الأم: إذا كان في يد رجل عبد لآخر فقال رهنتنيه بألف وقال السيد بل بعتكه بألف حلف السيد أنه ما رهنه بألف لأن الأصل عدم الرهن ويحلف الذي في يده العبد أنه ما اشتراه لأن الأصل عدم الشراء ويأخذ السيد عبده فإن قال السيد رهنتكه بألف قبضتها منك قرضاً وقال الذي في يده العبد بل بعتنيه بألف قبضتها مني ثمناً حلف كل واحد منهما على نفي ما ادعى عليه لأن الأصل عدم العقد وعلى السيد الألف لأنه مقر بوجوبها فإن قال الذي في يده العبد بعتنيه بألف وقال السيد بل رهنتكه بألف حلف السيد أنه ما باعه فإذا حلف خرج العبد من يده لأن البيع قد زال والسيد معترف بأنه رهن والمرتهن ينكر ومتى أنكر المرتهن الرهن زال الرهن.
PASAL: Dikatakan dalam al-Umm: Jika ada seorang laki-laki memegang budak milik orang lain, lalu ia berkata, “Engkau menggadaikannya kepadaku seharga seribu,” dan sang tuan berkata, “Tidak, aku menjualnya kepadamu seharga seribu,” maka si tuan bersumpah bahwa ia tidak menggadaikannya seharga seribu, karena asalnya tidak ada akad gadai. Dan orang yang memegang budak itu juga bersumpah bahwa ia tidak membelinya, karena asalnya tidak ada akad jual-beli. Maka sang tuan mengambil kembali budaknya.
Jika si tuan berkata, “Aku menggadaikannya kepadamu seharga seribu yang telah engkau berikan kepadaku sebagai pinjaman (qarḍ),” dan orang yang memegang budak itu berkata, “Aku membelinya darimu seharga seribu yang telah aku bayarkan sebagai harga,” maka masing-masing dari keduanya bersumpah untuk menolak klaim yang ditujukan kepadanya, karena asalnya tidak ada akad.
Dan atas si tuan tetap kewajiban membayar seribu, karena ia mengakui kewajibannya.
Jika orang yang memegang budak itu berkata, “Aku membelinya darimu seharga seribu,” dan si tuan berkata, “Tidak, aku hanya menggadaikannya kepadamu seharga seribu,” maka si tuan bersumpah bahwa ia tidak menjualnya. Jika ia bersumpah, maka budak itu keluar dari tangan orang tersebut, karena akad jual beli telah batal, dan si tuan mengakui bahwa itu hanya rahan, sedangkan si murtahin (orang yang memegang budak) mengingkarinya. Dan kapan pun si murtahin mengingkari adanya rahan, maka rahan menjadi batal.
فصل: وإن اتفقا على رهن عين ثم وجدت العين في يد المرتهن فقال الراهن قبضته بغير إذني وقال المرتهن بل قبضته بإذنك فالقول قول الراهن لأن الأصل عدم الإذن ولأنهما لو اختلفا في أصل العقد والعين في يد المرتهن كان القول قول الراهن فكذلك إذا اختلفا في الإذن فإن اتفقا على الإذن فقال الراهن رجعت في الإذن قبل القبض وقال المرتهن لم ترجع حتى قبضت فالقول قول المرتهن لأن الأصل بقاء الإذن
PASAL: Jika keduanya sepakat bahwa telah terjadi akad rahan atas suatu barang, lalu barang itu ditemukan berada di tangan si murtahin, kemudian si rāhin berkata, “Engkau mengambilnya tanpa izinku,” dan si murtahin berkata, “Aku mengambilnya dengan izinmu,” maka ucapan si rāhin yang dijadikan pegangan, karena asalnya adalah tidak ada izin. Dan seandainya keduanya berselisih mengenai pokok akad padahal barang ada di tangan si murtahin, maka ucapan si rāhin yang dijadikan pegangan, maka demikian pula jika perselisihan terjadi pada soal izin.
Jika keduanya sepakat bahwa izin telah diberikan, lalu si rāhin berkata, “Aku telah menarik kembali izin sebelum engkau mengambilnya,” dan si murtahin berkata, “Engkau belum menariknya hingga aku mengambilnya,” maka ucapan si murtahin yang dijadikan pegangan, karena asalnya izin itu masih ada.
وإن اتفقا على الإذن واختلفا في القبض فقال الراهن لم تقبضه وقال المرتهن بل قبضت فإن كانت العين في يد الراهن فالقول قوله لأن الأصل عدم القبض وإن كان في يد المرتهن فالقول قوله لأنه أذن في قبضه والعين في يده فالظاهر أنه قبضه بحق فكان القول قوله وإن قال رهنته وأقبضته ثم رجع وقال ما كنت أقبضته حلفوه أنه قبض فالمنصوص أنه يحلف وقال أبو إسحاق إن قال وكيلي أقبضه وبان لي أنه لم يكن أقبضه حلف وعليه تأول النص وإن قال أنا أقبضته ثم رجع لم يحلف لأن إقراره المتقدم يكذبه وقال أبو علي ابن خيران وعامة أصحابنا: إنه يحلف لأنه يمكن صدقه بأن يكون قد وعده بالقبض فأقر به ولم يكن قبض.
Jika keduanya sepakat bahwa telah ada izin, namun berselisih tentang apakah barang sudah diterima atau belum, lalu si rāhin berkata, “Engkau belum menerimanya,” dan si murtahin berkata, “Aku telah menerimanya,” maka:
- Jika barang itu masih berada di tangan si rāhin, maka ucapannya yang diterima, karena asalnya belum terjadi penerimaan (qabḍ).
- Namun jika barang berada di tangan si murtahin, maka ucapannya yang diterima, karena ia telah diberi izin untuk menerimanya dan barang tersebut berada di tangannya, maka secara lahir tampak bahwa ia telah menerimanya secara sah, maka ucapannya yang diterima.
Jika si rāhin berkata, “Aku telah menggadaikannya dan menyerahkannya kepadamu,” lalu ia menarik kembali pengakuannya dan berkata, “Aku belum pernah menyerahkannya kepadamu,” maka ia diminta bersumpah bahwa memang telah dilakukan qabḍ. Pendapat yang dinyatakan dalam nash adalah bahwa ia wajib bersumpah.
Abū Isḥāq berkata: Jika ia berkata, “Wakilku telah menyerahkannya kepadamu, kemudian aku mengetahui bahwa ternyata belum diserahkan,” maka ia bersumpah, dan ini menjadi dasar takwil terhadap nash tersebut.
Namun jika ia berkata, “Aku sendiri yang menyerahkannya kepadamu,” kemudian ia menarik kembali pernyataannya, maka ia tidak diminta bersumpah, karena pengakuan pertamanya mendustakan ucapan yang belakangan.
Abū ‘Alī bin Khirān dan mayoritas ulama mazhab kami berkata: Ia tetap diminta bersumpah, karena masih memungkinkan bahwa ia benar, yakni mungkin ia hanya berjanji untuk menyerahkannya lalu ia mengaku telah menyerahkannya padahal belum benar-benar melakukannya.
فصل: وإن رهن عصيراً وأقبضه ثم وجده خمراً في يد المرتهن فقال أقبضتنيه وهو خمر فلي الخيار في فسخ البيع وقال الراهن بل أقبضتكه وهو عصير فصار في يدك خمراً فلا خيار لك ففيه قولان: أحدهما أن القول قول المرتهن وهو اختيار المزني لأن الراهن يدعي قبضاً صحيحاً والأصل عدمه والثاني أن القول قول الراهن وهو الصحيح لأنهما اتفقا على العقد والقبض واختلفا في صفة يجوز حدوثها فكان القول من ينفي الصفة كما لو اختلف البائع والمشتري في عيب بعد القبض وإن اختلفا في العقد فقال المرتهن رهنتنيه وهو خمر وقال الراهن بل رهنتكهه وهو عصير فصار عندك خمراً فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أكثرهم هي على قولين
PASAL: Jika seseorang menggadaikan ‘aṣīr (perasan anggur) lalu menyerahkannya, kemudian didapati telah menjadi khamar di tangan murtahin, lalu murtahin berkata, “Engkau menyerahkannya kepadaku dalam keadaan telah menjadi khamar, maka aku berhak memilih untuk membatalkan akad,” sedangkan rāhin berkata, “Aku menyerahkannya kepadamu dalam keadaan masih ‘aṣīr, lalu ia berubah menjadi khamar di tanganmu, maka engkau tidak berhak memilih,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: bahwa perkataan murtahin yang diterima, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, karena rāhin mengklaim adanya qabadh yang sah, padahal asalnya tidak demikian.
Pendapat kedua: bahwa perkataan rāhin yang diterima, dan ini yang benar, karena keduanya sepakat atas akad dan qabadh, lalu berselisih dalam suatu sifat yang mungkin saja terjadi kemudian, maka perkataan yang menafikan sifat itu yang diterima, sebagaimana jika penjual dan pembeli berselisih tentang cacat setelah qabadh.
Jika keduanya berselisih dalam akad, lalu murtahin berkata, “Engkau menggadaikannya kepadaku dalam keadaan telah menjadi khamar,” dan rāhin berkata, “Bahkan aku menggadaikannya kepadamu dalam keadaan masih ‘aṣīr, lalu berubah menjadi khamar di sisimu,” maka para sahabat kami berselisih pendapat dalam hal ini. Mayoritas mereka mengatakan bahwa kasus ini kembali kepada dua pendapat.
وقال أبو علي ابن أبي هريرة القول قول المرتهن قولاً واحداً لأنه ينكر العقد والأصل عدمه فإن رهن عبداً فأقبضه في محمل أو ملفوفاً في ثوب ووجد ميتاً فقال المرتهن أقبضتنيه وهو ميت فلي الخيار فسخ البيع وقال الراهن أقبضتكه حياً ثم مات عندك فلا خيار لك ففيه طريقان: أحدهما وهو الصحيح أنه على القولين كالعصير والثاني وهو قول أبي علي الطبري أن القول قول المرتهن لأن هذا اختلاف في أصل القبض لأن الميت لا يصح قبضه لأنه لا يقبض إلا ظاهراً بخلاف العصير فإنه يقبض في الظرف والظاهر منه الصحة.
Dan Abū ‘Alī Ibn Abī Hurairah berkata: yang diterima adalah perkataan murtahin secara qawl wāḥid, karena ia mengingkari akad, dan asalnya tidak ada akad.
Jika seseorang menggadaikan seorang budak lalu menyerahkannya dalam tandu atau terbungkus kain, kemudian ditemukan dalam keadaan telah mati, lalu murtahin berkata, “Engkau menyerahkannya kepadaku dalam keadaan sudah mati, maka aku berhak memilih untuk membatalkan akad,” dan rāhin berkata, “Aku menyerahkannya kepadamu dalam keadaan hidup, lalu ia mati di sisimu, maka engkau tidak berhak memilih,” maka dalam hal ini ada dua ṭarīq:
Ṭarīq pertama —dan ini yang ṣaḥīḥ— bahwa hukumnya kembali kepada dua pendapat seperti kasus ‘aṣīr.
Ṭarīq kedua —dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī al-Ṭabarī— bahwa perkataan murtahin yang diterima, karena ini termasuk perselisihan dalam pokok qabadh, sebab mayit tidak sah untuk dijadikan objek qabadh, karena ia hanya bisa diterima secara lahiriyah, berbeda dengan ‘aṣīr karena bisa diterima dalam wadah dan tampak secara lahir sah.
فصل: وإن كان لرجل عبد وعليه ألفان لرجلين لكل واحد منهما ألف فادعى كل واحد منهما أنه رهن العبد عنده بدينه والعبد في يد الراهن أو في يد العادل نظرت فإن كذبهما فالقول قوله مع يمينه لأن الأصل عدم الرهن وإن صدقهما وادعى الجهل بالسابق منهما فالقول قوله مع يمينه فإذا حلف فسخ الرهن الرهن على المنصوص لأنه ليس أحدهما بأولى من الآخر فبطل كما لو زوج امرأة وليان من رجلين وجهل السابق منهما ومن أصحابنا من قال: يجعل بينهما نصفين لأنه يجوز أن يكون مرهوناً عندهما بخلاف الزوجة وإن صدق أحدهما وكذب الآخر أو صدقهما وعين السابق منهما فالرهن للمصدق وهل يحلف؟ فيه قولان: أحدهما يحلف
PASAL: Jika seseorang memiliki seorang budak dan ia memiliki utang dua ribu kepada dua orang, masing-masing seribu, lalu masing-masing dari keduanya mengaku bahwa budak tersebut digadaikan kepadanya untuk menanggung utangnya, sementara budak itu berada di tangan pemilik (rahin) atau di tangan pihak yang adil (‘ādil), maka hal ini ditinjau sebagai berikut: jika ia mendustakan keduanya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapannya dengan sumpah karena asalnya tidak ada akad gadai.
Jika ia membenarkan keduanya dan mengaku tidak tahu siapa yang lebih dahulu di antara keduanya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapannya dengan sumpah. Jika ia telah bersumpah, maka akad gadai batal menurut pendapat yang manshūsh, karena tidak ada salah satu dari keduanya yang lebih berhak dari yang lain, sehingga batal sebagaimana jika seorang wanita dinikahkan oleh dua wali kepada dua orang laki-laki dan tidak diketahui mana yang lebih dahulu di antara keduanya.
Dan sebagian ulama mazhab kami mengatakan: budak itu dijadikan sebagai gadai untuk keduanya masing-masing setengah, karena mungkin saja dia digadaikan kepada keduanya, tidak seperti istri.
Jika ia membenarkan salah satunya dan mendustakan yang lain, atau ia membenarkan keduanya namun menunjukkan siapa yang lebih dahulu di antara keduanya, maka akad gadai menjadi milik pihak yang dibenarkan. Apakah ia wajib bersumpah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya ia wajib bersumpah.
والثاني لا يحلف بناء على القولين فيمن أقر بدار لزيد ثم أقر بها لعمرو فهل يغرم عمرو شيئاً أم لا فيه وجهان: فإن قلنا لا يغرم لم يحلف لأنه إن نكل لم يغرم فلا فائدة في عرض اليمين وإن قلنا يغرم حلف لأنه ربما نكل فيغرم الثاني قيمته فإن قلنا لا يحلف فلا كلام وإن قلنا يحلف نظرت فإن حلف انصرف الآخر وإن نكل عرضت اليمين على الثاني فإن نكل انصرف وإن حلف بنينا على القول في يمين المدعي مع نكول المدعي عليه
dan pendapat yang kedua: tidak disumpah, berdasarkan dua pendapat dalam kasus seseorang mengakui sebuah rumah milik Zaid, kemudian mengakuinya pula sebagai milik ‘Amr — apakah ‘Amr menanggung ganti rugi atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Jika dikatakan bahwa ia tidak menanggung ganti rugi, maka ia tidak disumpah, karena jika ia enggan bersumpah (nukūl), ia tidak menanggung ganti rugi, sehingga tidak ada faedah menawarkannya sumpah.
Namun jika dikatakan bahwa ia menanggung ganti rugi, maka ia disumpah, karena mungkin saja ia enggan bersumpah lalu ia menanggung nilai milik yang kedua.
Jika dikatakan bahwa ia tidak disumpah, maka tidak ada pembahasan lanjutan.
Namun jika dikatakan bahwa ia disumpah, maka dilihat kembali: jika ia bersumpah, gugurlah hak pihak yang lain. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah ditawarkan kepada pihak kedua. Jika pihak kedua juga enggan bersumpah, maka gugurlah haknya. Namun jika ia bersumpah, maka kita kembali pada pendapat mengenai sumpah penggugat (al-mudda‘ī) ketika tergugat menolak bersumpah (nukūl).
فإن قلنا إنها كالبينة نزع العبد وسلم إلى الثاني وإن قلنا إنه كالإقرار ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه ينفسخ لأنه أقر لهما وجهل السابق منهما والثاني يجعل بينهما لأنهما استويا ويجوز أن يكون مرهوناً عندهما فجعل بينهما والثالث يقر الرهن في يد المصدق ويغرم للآخر قيمته ليكون رهناً عنده لأنه جعل كأنه أقر بأنه حال بينه وبين الرهن فلزمه ضمانه وإن كان العبد في يد أحد المرتهنين نظرت فإن كان في يد المقر له أقر في يده لأنه اجتمع له اليد والإقرار وهل يحلف للثاني على القولين فإن كان في يد الذي لم يقر له فقد حصل لأحدهما اليد وللآخر الإقرار وفيه قولان: أحدهما يقدم الإقرار لأنه يخبر عن أمر باطن
Jika kita katakan bahwa hal itu seperti bayyinah, maka budak itu dicabut dan diserahkan kepada yang kedua. Dan jika kita katakan bahwa itu seperti iqrār, maka ada tiga pendapat:
Pertama, akad menjadi batal karena ia mengakui kepada keduanya dan tidak diketahui siapa yang lebih dahulu.
Kedua, dibagi di antara keduanya karena keduanya setara, dan boleh jadi budak itu digadaikan kepada keduanya, maka dijadikan milik bersama.
Ketiga, gadai tetap berada di tangan orang yang dibenarkan pengakuannya, dan ia mengganti kepada yang lain senilai harga budak tersebut agar menjadi gadai di sisinya, karena ia dianggap telah mengakui bahwa ia menghalangi yang lain dari mendapatkan gadai tersebut, maka wajib baginya menanggungnya.
Jika budak tersebut berada di tangan salah satu dari dua orang yang menerima gadai, maka dilihat:
Jika berada di tangan orang yang diakui (oleh pengaku), maka tetap di tangannya karena terkumpul pada dirinya kepemilikan tangan dan pengakuan.
Apakah ia harus bersumpah kepada yang kedua? Dalam hal ini ada dua pendapat.
Jika budak itu berada di tangan orang yang tidak diakui, maka salah satunya memiliki tangan dan yang lainnya memiliki pengakuan, dan dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, pengakuan lebih diutamakan karena ia mengabarkan tentang sesuatu yang tersembunyi.
والثاني يقدم اليد وهو قول المزني لأن الظاهر معه والأول أظهر لأن اليد إنما تدل على الملك لا على العقد وإن كان في يدهما فللمقر له الإقرار واليد على النصف الآخر له الإقرار وللآخر يد وفيه قولان: أحدهما يقدم الإقرار فيصير الجميع رهناً عند المقر له والثاني يقدم اليد فيكون الرهن بينهما نصفين.
Dan pendapat kedua: yang diutamakan adalah tangan (kepemilikan secara lahir), dan ini adalah pendapat al-Muzani karena zhahir berpihak kepadanya.
Namun pendapat pertama lebih kuat, karena tangan (yad) hanya menunjukkan kepemilikan, bukan menunjukkan akad.
Jika budak itu berada di tangan keduanya, maka bagi yang diakui (oleh pengaku) ia memiliki pengakuan dan tangan atas setengahnya, sedangkan yang lain memiliki tangan. Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, yang diutamakan adalah pengakuan, sehingga seluruh budak menjadi gadai di sisi orang yang diakui.
Kedua, yang diutamakan adalah tangan, maka gadai dibagi dua di antara keduanya.
فصل: وإن رهن عبداً وأقبضه ثم أقر أنه جنى قبل الرهن على رجل وصدقه المقر لن وأنكر المرتهن ففيه قولان: أحدهما أن القول قول المرتهن وهو اختيار المزني لأنه عقد إذا تم منع البيع فمنع الإقرار كالبيع والثاني أن القول قول الراهن لأنه أقر في ملكه بما لا يجر نفعاً إلى نفسه فقبل إقراره كما لو لم يكن مرهوناً ويخالف هذا إذا باعه لأنه هناك زال ملكه عن العبد فلم يقبل إقراره عليه وهذا باق على ملكه فقبل إقراره عليه فإن قلنا إن القول قول الراهن فهل يحلف؟ فيه قولان: أحدهما لا يحلف لأن اليمين إنما يعرض ليخاف فيرجع إن كان كاذباً والراهن لو رجع لم يقبل رجوعه فلا معنى لعرض اليمين ولأنه أقر في ملكه لغيره فلم يحلف عليه كالمريض إذا أقر بدين
PASAL: Jika seseorang menggadaikan seorang budak lalu menyerahkannya, kemudian ia mengaku bahwa budak tersebut telah melakukan suatu tindak pidana sebelum digadaikan terhadap seseorang dan orang yang disebut dalam pengakuan itu membenarkannya, namun pihak yang menerima gadai mengingkarinya, maka ada dua pendapat:
Pertama, yang dipegang adalah pernyataan pihak penerima gadai, dan ini adalah pilihan al-Muzani, karena ini adalah akad yang apabila telah sempurna maka mencegah dari penjualan, maka ia juga mencegah dari pengakuan sebagaimana dalam jual beli.
Kedua, yang dipegang adalah pengakuan pihak yang menggadaikan, karena ia mengakui sesuatu dalam kepemilikannya tanpa membawa manfaat bagi dirinya, maka diterima pengakuannya sebagaimana jika tidak sedang digadaikan. Ini berbeda jika budak itu telah dijual, karena kepemilikannya telah hilang maka tidak diterima pengakuannya terhadap budak itu. Adapun dalam hal ini, kepemilikan masih ada padanya maka diterima pengakuannya.
Jika kita katakan bahwa yang dipegang adalah pengakuan pihak yang menggadaikan, maka apakah ia harus bersumpah? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak perlu bersumpah, karena sumpah hanya ditawarkan agar ia merasa takut lalu mengurungkan pengakuannya jika ia berdusta, sedangkan pihak yang menggadaikan jika ia menarik pengakuannya tidak akan diterima, maka tidak ada faedahnya menawarkan sumpah.
Juga karena ia mengakui dalam miliknya terhadap orang lain, maka tidak diminta bersumpah atasnya, sebagaimana orang sakit yang mengakui adanya utang.
والثاني يحلف لأنه يحتمل أن يمون كاذباً بأن واطأ المقر له ليسقط بالإقرار حق المرتهن فحلف فإذا ثبت أنه رهنه وهو جان ففي رهن الجاني قولان: أحدهما أنه باطل والثاني أنه صحيح وقد بينا ذلك في أول الرهن فإن قلنا إنه باطل وجب بيعه في أرش الجناية فإن استغرق الأرش قيمته بيع الجميع وإن لم يستغرق بيع منه بقدر الأرش وفي الباقي وجهان: أحدهما أنه مرهون لأنه إنما حكم ببطلانه لحق المجني عليه وقد زال
Dan pendapat kedua: ia harus bersumpah, karena mungkin saja ia berdusta, yaitu dengan melakukan hubungan dengan orang yang diakui (sebagai korban) agar dengan pengakuannya itu gugur hak pihak yang menerima gadai, maka ia pun diminta bersumpah.
Jika telah terbukti bahwa ia menggadaikan budak yang telah melakukan tindak pidana, maka dalam hukum gadai terhadap pelaku pidana ada dua pendapat:
Pertama, akadnya batal.
Kedua, akadnya sah.
Dan hal ini telah dijelaskan pada permulaan pembahasan tentang rahn.
Jika kita katakan bahwa akadnya batal, maka budak tersebut wajib dijual untuk membayar arsy (denda) akibat tindak pidananya. Jika nilai arsy menghabiskan seluruh nilai budak, maka seluruh budak dijual. Jika tidak menghabiskan, maka dijual sebagian sesuai dengan kadar arsy.
Adapun sisanya, ada dua pendapat:
Pertama, sisanya menjadi gadai, karena pembatalan akad hanya berlaku untuk kepentingan korban, dan hak itu telah hilang.
والثاني أنه لا يكون مرهوناً لأنا حكمنا ببطلان الرهن من أصله فلا يصير مرهوناً من غير عقد وإن قلنا إنه صحيح فإن استغرق الأرش قيمته بيع الجميع وإن لم يستغرق بيع منه بقدر الأرش ويكون الباقي مرهوناً فإن اختار السيد أن يفديه على هذا القول فبكم يفديه؟ فيه قولان: أحدهما يفديه بأقل الأمرين من قيمته أو أرش الجناية والثاني يفديه بأرش الجناية بالغاً أو يسلم المبيع فإن قلنا إن القول قول المرتهن لم يقبل قوله من غير يمين لأنه لو رجع قبل رجوعه فحلف فإذا ثبت أنه غير جان فهل يغرم الراهن أرش الجناية ففيه قولان بناء على فيمن أقر بدار لزيد ثم أقر بها لعمرو: أحدهما يغرم لأنه منع بالرهن حق المجني عليه
Dan pendapat kedua: bahwa sisanya tidak menjadi barang gadai, karena kita telah menetapkan batalnya akad gadai sejak awal, maka ia tidak menjadi barang gadai tanpa akad baru.
Jika kita katakan bahwa akadnya sah, maka apabila arsy (denda) menghabiskan seluruh nilainya, maka seluruh budak dijual. Jika tidak menghabiskan seluruhnya, maka dijual sebagian sesuai kadar arsy, dan sisanya tetap menjadi barang gadai.
Jika tuannya memilih untuk menebusnya menurut pendapat ini, maka dengan berapa ia menebusnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, ia menebusnya dengan nilai yang lebih rendah antara harga budak atau jumlah arsy tindak pidananya.
Kedua, ia menebusnya dengan jumlah arsy, berapapun besarnya, atau ia serahkan budak itu untuk dijual.
Jika kita katakan bahwa yang dipegang adalah pernyataan pihak penerima gadai, maka pengakuannya tidak diterima tanpa sumpah, karena jika ia menarik pengakuannya sebelum bersumpah, maka ia diminta bersumpah.
Jika telah tetap bahwa budak tersebut bukan pelaku tindak pidana, maka apakah pihak yang menggadaikan wajib mengganti arsy? Dalam hal ini ada dua pendapat, yang dibangun atas permasalahan orang yang mengaku bahwa rumah itu milik Zaid, kemudian mengaku bahwa itu milik ‘Amr:
Pertama, ia wajib mengganti, karena dengan menjadikannya sebagai gadai, ia telah menghalangi hak korban.
والثاني لا يغرم لأنه إن كان كاذباً فلا حق عليه وإن كان صادقاً وجب تسليم العبد فإن قلنا إنه لا يغرم فرجع إليه تعلق بالأرش برقبته كما لو أقر على رجل أنه أعتق عبده ثم ملك العبد فإنه يعتق عليه وإن قلنا يغرم فبكم يغرم؟ فيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كالقسم قبله ومنهم من قال يغرم أقل الأمرين قولاً واحداً لأن القول الثاني إنما يجيء في الموضع الذي يمكن بيعه فيمتنع وههنا لا يمكن بيعه فصار كجناية أم الولد وإن نكل المرتهن عن اليمين فعلى من ترد اليمين؟ فيه طريقان: أحدهما ترد على الراهن وإن نكل فهل ترد على المجني عليه فيه قولان كما قلنا في غرماء الميت ومن ومن أصحابنا من قال ترد اليمين على المجني عليه أولا ًفإن نكل فهل ترد على الراهن على قولين لأنه المجني عليه يثبت الحق لنفسه وغرماء الميت يثبتون الحق للميت.
Dan pendapat kedua: ia tidak wajib mengganti, karena jika ia berdusta maka tidak ada hak atasnya, dan jika ia jujur maka wajib menyerahkan budak tersebut.
Jika kita katakan bahwa ia tidak wajib mengganti, lalu budak itu kembali kepadanya, maka arsy (denda) kembali melekat pada leher budak itu, sebagaimana seseorang mengaku bahwa orang lain telah memerdekakan budaknya, lalu ia membeli budak itu, maka budak tersebut merdeka karena pengakuannya.
Jika kita katakan bahwa ia wajib mengganti, maka berapa besarnya? Dalam hal ini terdapat dua cara penjelasan:
Sebagian ulama kami mengatakan ada dua pendapat sebagaimana sebelumnya,
dan sebagian dari mereka mengatakan ia wajib mengganti dengan yang lebih sedikit antara dua hal itu, sebagai satu pendapat, karena pendapat kedua (yang mewajibkan mengganti penuh) hanya berlaku pada situasi di mana memungkinkan untuk menjual tetapi tidak dilakukan, sedangkan dalam kasus ini tidak mungkin dijual, maka hukumnya seperti tindak pidana yang dilakukan oleh umm al-walad (budak perempuan yang melahirkan anak dari tuannya).
Jika pihak penerima gadai enggan bersumpah, kepada siapa sumpah itu dialihkan?
Ada dua cara:
Pertama, dialihkan kepada pihak yang menggadaikan, dan jika ia juga enggan bersumpah, apakah sumpah itu dialihkan kepada korban? Dalam hal ini ada dua pendapat, sebagaimana dalam kasus para penagih utang terhadap orang mati.
Sebagian ulama kami mengatakan: sumpah dialihkan pertama kali kepada korban. Jika korban enggan bersumpah, apakah kemudian dialihkan kepada pihak yang menggadaikan? Dalam hal ini ada dua pendapat, karena korban menetapkan hak untuk dirinya sendiri, sedangkan para penagih utang menetapkan hak bagi orang yang telah mati.
فصل: وإن أعتق الراهن العبد ثم اختلفا فقال الراهن أعتقته بإذنك وأنكر المرتهن الإذن فالقول قوله لأن الأصل عدم الإذن فإن نكل عن اليمين حلف الراهن وإن نكل الراهن فهل ترد على العبد؟ فيه طريقان: أحدهما أنه على قولين بناء على رد اليمين على غرماء الميت قال في الجديد: لا ترد لأنه غير المتراهنين فلا ترد عليه اليمين وقال في القديم: ترد لأنه يثبت لنفسه حقاً باليمين ومن أصحابنا من قال ترد اليمين على العبد قولاً واحداً لأن العبد يثبت باليمين حقاً لنفسه وهو العتق خلاف غرماء الميت.
PASAL: Jika pihak yang menggadaikan memerdekakan budak lalu terjadi perselisihan, yaitu pihak yang menggadaikan berkata, “Aku memerdekakannya dengan izinmu,” dan pihak yang menerima gadai mengingkari adanya izin, maka yang dipegang adalah pernyataan pihak penerima gadai, karena asalnya tidak ada izin.
Jika pihak penerima gadai enggan bersumpah, maka pihak yang menggadaikan diminta bersumpah. Jika pihak yang menggadaikan juga enggan bersumpah, apakah sumpah dialihkan kepada budak?
Dalam hal ini ada dua ṭarīq (cara penyampaian):
Pertama, bahwa hal itu kembali kepada dua pendapat, sebagaimana perbedaan pendapat tentang pengalihan sumpah kepada para penagih utang dari orang yang telah mati. Dalam pendapat jadīd, tidak dialihkan karena ia bukan salah satu dari pihak yang melakukan akad gadai, maka sumpah tidak dialihkan kepadanya. Dalam pendapat qadīm, sumpah dialihkan karena ia menetapkan hak bagi dirinya sendiri dengan sumpah.
Sebagian ulama mazhab kami mengatakan: sumpah dialihkan kepada budak sebagai satu pendapat, karena budak menetapkan hak bagi dirinya sendiri dengan sumpah, yaitu hak untuk merdeka — berbeda dengan para penagih utang dari orang mati.
فصل: وإن كان المرهون جارية فادعى الراهن أنه وطئها بإذن المرتهن فأتت بولد لمدة الحمل وصدقه المرتهن ثبت نسب الولد وصارت الجارية أم ولد وإن اختلفا في الإذن أو في الولد أو في مدة الحمل فأنكر المرتهن شيئاً من ذلك فالقول قوله لأن الأصل في هذه الأشياء العدم.
PASAL: Jika barang yang digadaikan adalah seorang jāriyah, lalu si rāhin mengaku bahwa ia telah menggaulinya dengan izin dari murtahin, kemudian jāriyah tersebut melahirkan anak dalam rentang waktu kehamilan dan murtahin membenarkannya, maka nasab anak tersebut menjadi sah dan jāriyah itu menjadi umm walad. Namun, jika keduanya berselisih mengenai izin, atau mengenai anak tersebut, atau mengenai masa kehamilan, lalu murtahin mengingkari salah satu dari hal itu, maka perkataan murtahin yang diterima, karena asal dalam hal-hal tersebut adalah tidak adanya.
فصل: فإن كان عليه ألف برهن وألف بغير رهن فدفع إليه ألفاً ثم اختلفا نظرت فإن اختلفا في اللفظ فادعى المرتهن أنه قال هي عن الألف التي لا رهن بها وقال الراهن بل قلت هي عن الألف التي بها رهن فالقول قول الراهن لأنه منه ينتقل إلى المرتهن فكان القول قوله في صفة النقل وإن اختلفا في النية فقال الراهن نويت أنها عن الألف التي بها الرهن وقال المرتهن بل نزيت أنها عن الألف التي لا رهن بها فالقول قول الراهن لما ذكرناه في اللفظ ولأنه أعرف بنيته وإن دفع إليه الألف من غير لفظ ولا نية ففيه وجهان: قال أبو إسحاق: يصرفه إلى ما شاء منهما كما لو طلق إحدى المرأتين وقال أبو علي بن أبي هريرة يجعل بينهما نصفين لأنهما استويا في الوجوب فصرف القضاء إليهما.
PASAL: Jika seseorang mempunyai utang seribu dengan jaminan gadai dan seribu lagi tanpa jaminan, lalu ia membayar seribu kepada pihak yang mengutangi, kemudian keduanya berselisih, maka diperinci:
Jika keduanya berselisih dalam lafaz, yaitu pihak yang menerima gadai mengklaim bahwa ia mengatakan: “Ini untuk seribu yang tidak ada gadainya,” dan pihak yang menggadaikan berkata: “Justru aku mengatakan bahwa ini untuk seribu yang ada gadainya,” maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang menggadaikan, karena pembayaran berasal darinya kepada pihak yang menerima, maka yang berhak menentukan sifat pembayaran adalah dia.
Dan jika mereka berselisih dalam niat, yakni pihak yang menggadaikan berkata, “Aku meniatkan ini untuk seribu yang ada gadainya,” dan pihak yang menerima gadai berkata, “Aku meniatkan ini untuk seribu yang tidak ada gadainya,” maka yang dipegang adalah pernyataan pihak yang menggadaikan sebagaimana disebut dalam perbedaan lafaz, dan karena ia lebih tahu terhadap niatnya sendiri.
Jika ia menyerahkan seribu tersebut tanpa disertai ucapan maupun niat, maka ada dua pendapat:
Menurut Abū Isḥāq: ia boleh menyalurkannya ke mana saja yang ia kehendaki di antara keduanya, sebagaimana jika seseorang menceraikan salah satu dari dua istrinya.
Menurut Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah: dibagi dua di antara keduanya, karena keduanya sama-sama wajib, maka pembayaran diarahkan kepada keduanya.
فصل: وإن أبرأ المرتهن الراهن عن الألف ثم اختلفا نظرت فإن اختلفا في اللفظ فادعى الراهن أنه قال أبرأتك عن الألف التي بها رهن وقال المرتهن بل قلت أبرأتك من الألف التي لا رهن بها فالقول قول المرتهن لأنه هو الذي يبرئ فكان القول في صفة الإبراء قوله فإن اختلفا في النية فقال الراهن نويت الإبراء عن الألف التي بها الرهن وقال المرتهن نويت الإبراء عن الألف التي لا رهن بها فالقول قول المرتهن لما ذكرناه في اللفظ ولأنه أعرف بنيته فإن أطلق صرفه إلى ما شاء منهما في قول أبي إسحاق وجعل بينهما في قول أبي علي بن أبي هريرة.
PASAL: Jika murtahin membebaskan rāhin dari utang seribu, lalu keduanya berselisih, maka dilihat dahulu: jika berselisih dalam lafaz, si rāhin mengklaim bahwa ia berkata, “Aku membebaskanmu dari seribu yang menjadi sebab adanya rahn,” dan murtahin berkata, “Aku berkata: Aku membebaskanmu dari seribu yang tidak ada rahn padanya,” maka perkataan murtahin yang diterima, karena dialah yang melakukan pembebasan, maka penentuan sifat pembebasan kembali kepadanya. Jika berselisih dalam niat, si rāhin berkata, “Aku berniat dibebaskan dari seribu yang ada rahn-nya,” dan murtahin berkata, “Aku berniat membebaskan dari seribu yang tidak ada rahn-nya,” maka perkataan murtahin yang diterima karena alasan yang disebutkan dalam perbedaan lafaz, dan karena dia lebih mengetahui niatnya. Jika ia mengucapkan secara mutlak, maka boleh diarahkan kepada yang mana saja dari keduanya menurut pendapat Abū Isḥāq, dan dijadikan terbagi antara keduanya menurut pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurayrah.
فصل: وإن ادعى المرتهن هلاك الرهن فالقول قوله مع يمينه لأنه أمين فكان القول قوله في الهلاك كالمودع وإن ادعى الرد لم يقبل قوله لأنه قبض العين لمنفعة نفسه فلم يقبل قوله في الرد كالمستأجر.
PASAL: Jika pihak penerima gadai mengklaim bahwa barang gadai telah rusak, maka yang dipegang adalah pernyataannya disertai sumpah, karena ia adalah amīn (orang terpercaya), maka pernyataannya diterima dalam perkara kerusakan sebagaimana mūda‘ (penerima titipan).
Namun jika ia mengklaim bahwa ia telah mengembalikan barang gadai, maka tidak diterima pernyataannya, karena ia menerima barang tersebut untuk kemanfaatan dirinya sendiri, maka tidak diterima pengakuannya dalam hal pengembalian, sebagaimana penyewa.
فصل: وإن كان الرهن على يد عدل قد وكل في بيعه فاختلفا في النقد الذي يبيع به باعه بنقد البلد فإن كان في البلد نقدان متساويان باع بما هو أنفع للراهن لأنه ينفع الراهن ولا يضر المرتهن فوجب به البيع فإن كانا في النفع واحداً فإن كان أحدهما من جنس الدين باع به لأنه أقرب إلى المقصود وهو قضاء الدين فإن لم يكن واحد منهما من جنس الدين باع بأيهما شاء لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر ثم يصرف الثمن في جنس الدين.
PASAL: Jika barang gadai berada di tangan seorang pihak ketiga yang adil yang telah diberi kuasa untuk menjualnya, lalu terjadi perselisihan tentang mata uang yang akan digunakan untuk menjualnya, maka ia menjual dengan mata uang yang berlaku di negeri tersebut. Jika di negeri itu terdapat dua mata uang yang nilainya setara, maka dijual dengan mata uang yang lebih menguntungkan bagi rāhin, karena hal itu memberi manfaat bagi rāhin dan tidak membahayakan murtahin, maka wajib menjual dengannya. Jika keduanya sama dalam segi manfaat, dan salah satunya sejenis dengan jenis utang, maka dijual dengan mata uang tersebut karena lebih mendekati tujuan, yaitu pelunasan utang. Jika tidak ada salah satunya yang sejenis dengan jenis utang, maka dijual dengan salah satunya secara bebas karena tidak ada kelebihan salah satu dari yang lain, kemudian hasil penjualannya digunakan dalam jenis mata uang utang tersebut.
باب التفليس
إذا كان على رجل دين فإن كان مؤجلاً لم يجز مطالبته لأنا لو جوزنا مطالبته سقطت فائدة التأجيل فإن أراد سفراً قبل محل الدين لم يكن للغريم منعه ومن أصحابنا من قال إن كان السفر مخوفاً كان له منعه لأنه لا يأمن أن يموت فيضيع دينه والصحيح هو الأول لأنه لا حق له عليه قبل محل الدين وجواز أن يموت لا يمنع من التصرف في نفسه قبل المحل كما يجوز في الحضر أن يهرب ثم لا يملك حبسه لجواز الهرب
BAB TAFLĪS
Jika seseorang memiliki utang, maka apabila utang tersebut masih mu‘ajjal (ditangguhkan jatuh temponya), tidak boleh menagihnya, karena jika diperbolehkan menagihnya, maka hilanglah manfaat dari penangguhan.
Jika orang yang berutang hendak bepergian sebelum jatuh tempo, maka pihak yang mengutangi tidak berhak mencegahnya.
Sebagian ulama mazhab kami mengatakan: jika perjalanan itu berbahaya, maka ia berhak mencegahnya, karena dikhawatirkan ia akan meninggal dan utangnya hilang.
Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena belum ada hak atasnya sebelum jatuh tempo, dan kemungkinan ia meninggal tidaklah menghalangi seseorang untuk melakukan perjalanan sebelum jatuh tempo, sebagaimana seseorang di daerah tinggalnya bisa saja melarikan diri, namun tidak bisa ditahan hanya karena kemungkinan lari.
وإن قال أقم لي كفيلاً بالمال لم يلزمه لأنه لم يحن عليه الدين فلم يملك المطالبة بالكفيل كما لو لم يرد السفر وإن كان الدين حالاً نظرت فإن كان معسراً لم يجز مطالبته لقوله تعالى: {وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ} ولا يملك ملازمته لأن كل دين لا يملك المطالبة به لم يملك الملازمة عليه كالدين المؤجل فإن كان يحسن صنعة فطلب الغريم أن يؤجر نفسه ليكسب ما يعطيه لم يجبر على ذلك لأنه إجبار على التكسب فلم يجز الإجبار على التجارة وإن كان موسراً جازت مطالبته لقوله تعالى: {وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ} فدل على أنه إذا لم يكن ذا عسرة لم يجب إنظاره فإن لم يقضه ألزمه الحاكم فإن امتنع فإن كان له مال ظاهر باعه عليه
Jika orang yang mengutangi berkata, “Tunjukkan penjamin (kafīl) atas utang itu,” maka tidak wajib bagi yang berutang memenuhinya, karena utang itu belum jatuh tempo, sehingga ia tidak berhak menuntut penjamin, sebagaimana jika tidak ada rencana bepergian.
Jika utangnya sudah ḥāl (jatuh tempo), maka diperinci:
- Jika ia mu‘sir (tidak mampu), tidak boleh ditagih, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wa in kāna dhū ‘usrah fa naẓiratun ilā maisarah} — “Jika orang itu dalam kesulitan, maka tunggulah sampai dia mudah membayarnya.”
Ia juga tidak boleh ditahan, karena setiap utang yang tidak boleh ditagih, maka tidak boleh pula menahannya, seperti utang yang belum jatuh tempo. - Jika ia memiliki keahlian atau keterampilan, lalu pihak yang mengutangi memintanya untuk bekerja agar mendapat penghasilan untuk membayar, maka ia tidak boleh dipaksa, karena itu termasuk memaksanya untuk mencari penghasilan, dan tidak boleh dipaksa berdagang.
- Jika ia mūsir (mampu), maka boleh ditagih, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wa in kāna dhū ‘usrah fa naẓiratun ilā maisarah}, yang menunjukkan bahwa jika ia bukan orang yang dalam kesulitan, maka tidak wajib diberi tenggang waktu.
Jika ia tidak mau membayar, maka hakim mewajibkannya. Jika ia tetap menolak, dan ia memiliki harta yang tampak, maka harta itu dijual oleh hakim untuk melunasi utangnya.
لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال: ألا إن الأسيفع أسيفع جهينة رضي من دينه أن يقال سبق الحاج فإدان معرضاً فأصبح وقدرين به فمن له دين فليحضر فإنا بايعو ماله وقاسموه بين غرمائه وإن كان له مال كتمه حبسه وعزره حتى يظهره فإن ادعى الإعسار نظرت فإن لم يعرف له قبل ذلك مال فالقول قوله مع يمينه لأن الأصل عدم المال فإن عرف له مال لم يقبل قوله لأنه معسر إلا ببينة لأن الأصل بقاء المال فإن قال غريمي يعلم أني معسر أو أن مالي هلك فحلفوه حلف
Karena telah diriwayatkan dari ‘Umar RA bahwa ia berkata: “Ketahuilah bahwa al-Asyīfa‘ adalah Asyīfa‘ Juhaynah, ia telah merasa cukup dari agamanya dengan hanya dikatakan: ‘Ia telah mendahului para haji,’ lalu ia berutang dengan cara yang merugikan, maka di pagi hari ia telah dikenai (hukuman). Maka barang siapa yang memiliki piutang, hendaklah ia datang, karena kami akan menjual hartanya dan membaginya kepada para krediturnya. Jika ia memiliki harta yang disembunyikan, kami akan menahannya dan menghukumnya hingga ia menampakkannya. Jika ia mengaku tidak mampu (membayar), maka kami akan menyelidikinya. Jika sebelumnya tidak diketahui bahwa ia memiliki harta, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya, karena asalnya adalah tidak memiliki harta. Namun jika sebelumnya diketahui bahwa ia memiliki harta, maka tidak diterima pengakuannya bahwa ia tidak mampu, kecuali dengan bukti, karena asalnya harta itu masih ada. Jika ia berkata, ‘Krediturku mengetahui bahwa aku tidak mampu atau hartaku telah hilang,’ maka hendaklah mereka menyuruhnya bersumpah.”
لأن ما يدعيه محتمل فإن أراد أن يقيم البينة على هلاك المال قبل فيه شهادة عدلين فإن أراد أن يقيم البينة على الإعسار لم يقبل إلا بشهادة عدلين من أهل الخبرة والمعرفة بحاله لأن الهلاك يدركه كل أحد والإعسار لا يعلمه إلا من يخبر باطنه فإن أقام البينة على الإعسار وادعى الغريم أن له مالاً باطناً فطلب اليمين عليه ففيه قولان: أحدهما لا يحلف لأنه أقام البينة على ما ادعاه فلا يحلف كما لو ادعى ملكاً وأقام عليه البينة
Karena apa yang ia klaim masih memungkinkan (terjadi), maka jika ia ingin mendatangkan bukti atas hilangnya harta, diterima dengan kesaksian dua orang yang adil. Namun jika ia ingin mendatangkan bukti atas ketidakmampuannya, maka tidak diterima kecuali dengan kesaksian dua orang yang adil dari kalangan yang memiliki keahlian dan pengetahuan tentang keadaannya, karena kehancuran harta dapat diketahui oleh siapa pun, sedangkan ketidakmampuan tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengetahui keadaan batinnya. Jika ia mendatangkan bukti atas ketidakmampuannya, lalu pihak yang menagih mengklaim bahwa ia memiliki harta secara tersembunyi, dan ia meminta sumpah atasnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ia tidak disuruh bersumpah karena ia telah mendatangkan bukti atas apa yang ia klaim, maka ia tidak disuruh bersumpah sebagaimana orang yang mengklaim kepemilikan lalu mendatangkan bukti atasnya.
والثاني يحلف لأن المال الباطن يجوز خفاؤه على الشاهدين فجاز عرض اليمين فيه عند الطلب كما لو أقام عليه البينة بالدين وادعى أنه أبرأه منه وإن وجد في يده مال فادعى أنه لغيره نظرت فإن كذبه المقر له بيع في الدين لأن الظاهر أنه له وإن صدقه سلم إليه فإن قال الغريم أحلفوه لي أنه صادق في إقراره ففيه وجهان: أحدهما يحلف لأنه يحتمل أن يكون كاذباً في إقراره والثاني لا يحلف وهو الصحيح لأن اليمين تعرض ليخاف فيرجع عن الإقرار ولو رجع عن الإقرار لم يقبل رجوعه فلا معنى لعرض اليمين.
Dan pendapat kedua: ia disumpah, karena harta yang tersembunyi memungkinkan tidak diketahui oleh dua saksi, maka diperbolehkan mengajukan sumpah atasnya ketika diminta, sebagaimana jika ia mendatangkan bukti atas adanya utang lalu mengklaim bahwa ia telah membebaskannya.
Jika ditemukan harta di tangannya lalu ia mengklaim bahwa itu milik orang lain, maka dilihat: jika orang yang diakui tidak mempercayainya, maka harta itu dijual untuk membayar utang karena secara lahiriyah itu miliknya; dan jika ia membenarkannya maka harta itu diserahkan kepadanya.
Jika pihak penagih berkata, “Sumpahilah dia bahwa ia jujur dalam pengakuannya,” maka dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, ia disumpah karena bisa jadi ia berdusta dalam pengakuannya; dan pendapat kedua—yang shahih—adalah tidak disumpah, karena sumpah itu diajukan agar orang takut lalu menarik kembali pengakuannya, dan seandainya ia menarik pengakuannya pun tidak diterima, maka tidak ada makna mengajukan sumpah.
فصل: وإن ركبته الديون ورفعه الغرماء إلى الحاكم وسألوه أن يحجر عليه نظر الحاكم في ماله فإن كان له مال يفي الديون لم يحجر عليه لأنه لا حاجة به إلى الحجر بل يأمره بقضاء الدين على ما بيناه فإن كان ماله لا يفي بالديون حجر عليه وباع ماله عليه لما روى عبد الرحمن بن كعب بن مالك قال: كان معاذ بن جبل من أفضل شباب قومه ولم يكن يمسك شيئاً فلم يزل يدان حتى أغرق ماله في الدين فكلم النبي صلى الله عليه وسلم غرماءه فلو ترك أحد من أجل أحد لتركوا معاذا من أجل رسول الله صلى الله عليه وسلم فباع لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم ماله حتى قام معاذ بغير شيئ
PASAL: Jika utang-utang menumpuk atas dirinya lalu para kreditur membawanya kepada hakim dan meminta agar ia dikenai ḥajr, maka hakim meneliti hartanya. Jika ia memiliki harta yang mencukupi untuk melunasi utang-utang, maka tidak dikenai ḥajr atasnya, karena tidak ada kebutuhan untuk menjatuhkan ḥajr; bahkan hakim memerintahkannya untuk melunasi utangnya sebagaimana telah dijelaskan.
Namun jika hartanya tidak mencukupi untuk melunasi utang-utang, maka hakim menjatuhkan ḥajr atasnya dan menjual hartanya, berdasarkan riwayat dari ‘Abdur Raḥmān bin Ka‘b bin Mālik, bahwa: “Mu‘āż bin Jabal adalah salah satu pemuda terbaik di antara kaumnya, dan ia tidak bisa menahan hartanya. Ia terus-menerus berutang hingga seluruh hartanya tenggelam dalam utang. Maka para krediturnya berbicara kepada Nabi SAW. Seandainya ada orang yang dibiarkan karena seseorang, niscaya mereka akan membiarkan Mu‘āż karena Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW menjual harta Mu‘āż untuk mereka, hingga Mu‘āż berdiri tanpa memiliki apa pun.”
وروى كعب بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم حجر على معاذ وباع عليه ماله وإن كان ماله بالديون إلا أنه ظهرت عليه أمارة التفليس بأن زاد خرجه على دخله ففيه وجهان: أحدهما لا يحجر عليه لأنه مليء بالدين فلا يحجر عليه كما لو لم يظهر فيه أمارة الفلس والثاني يحجر عليه لأنه إذا لم يحجر عليه أتى الخرج على ماله فذهب ودخل على الغرماء.
Dan telah diriwayatkan oleh Ka‘b bin Mālik bahwa Rasulullah SAW telah menjatuhkan ḥajr atas Mu‘āż dan menjual hartanya.
Jika hartanya berupa piutang, namun telah tampak padanya tanda-tanda kebangkrutan—yaitu pengeluaran lebih besar daripada pemasukan—maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak dikenai ḥajr karena ia masih mampu membayar utang dengan piutangnya, maka tidak dikenai ḥajr sebagaimana jika tidak tampak tanda-tanda kebangkrutan.
Kedua, dikenai ḥajr, karena jika tidak dikenai ḥajr, pengeluarannya akan menghabiskan hartanya, sehingga hilanglah harta itu dan para kreditur pun akan dirugikan.
فصل: والمستحب أن يشهد على الحجر ليعلم الناس حاله فلا يعاملوه إلا على بصيرة فإذا حجر عليه تعلقت ديون الغرماء بماله ومنع من التصرف فيه فإن اقترض أو اشترى في ذمته شيئاً صح لأنه لا ضرر على الغرماء فيما يثبت في ذمته ومن باع أو أقرضه بعد الحجر لم يشارك الغرماء في ماله لأنه إذا علم بالحجر فقد دخل على بصيرة وإن ديون الغرماء متعلقة بماله وإن لم يعلم فقد فرط حين دخل في معاملته على غير بصيرة فلزمه الصبر إلى أن يفك عنه الحجر فإن تصرف في المال بالبيع والهبة والعتق ففيه قولان: أحدهما أنه صحيح موقوف لأنه حجر ثبت لحق الغرماء فلم يمنع من صحة التصرف في المال كالحجر على المريض
PASAL: Dianjurkan untuk menghadirkan saksi atas tindakan ḥajr agar orang-orang mengetahui keadaannya, sehingga mereka tidak bertransaksi dengannya kecuali dengan penuh kesadaran. Apabila telah dijatuhkan ḥajr atasnya, maka utang para kreditur akan melekat pada hartanya dan ia dilarang melakukan tindakan atas harta tersebut. Namun jika ia berutang atau membeli sesuatu yang menjadi tanggungan dalam żimmah-nya, maka hukumnya sah, karena tidak ada bahaya bagi para kreditur terhadap apa yang dibebankan di dalam żimmah-nya. Barang siapa yang menjual atau meminjamkan kepadanya setelah dijatuhkan ḥajr, maka ia tidak berhak ikut mengambil bagian dari harta untuk mengganti piutangnya, karena jika ia mengetahui ḥajr, berarti ia telah masuk dalam transaksi dengan kesadaran. Dan jika ia tidak mengetahui, maka ia telah lalai karena masuk dalam transaksi tanpa kesadaran, maka wajib baginya bersabar sampai ḥajr-nya dicabut.
Jika orang yang dikenai ḥajr melakukan transaksi atas harta, seperti menjual, memberi hibah, atau memerdekakan budak, maka ada dua pendapat: salah satunya menyatakan sah namun tergantung (mauqūf), karena ḥajr ini ditetapkan demi hak para kreditur, maka tidak menghalangi keabsahan transaksi atas harta, seperti ḥajr terhadap orang sakit.
والثاني لا يصح وهو الصحيح لأنه حجر ثبت بالحاكم فمنع من التصرف في المال كالحجر على السفيه ويخالف حجر المريض لأن الورثة لا تتعلق حقوقهم بماله إلا بعد الموت وههنا حقوق الغرماء تعلقت بماله في الحال فلم يصح تصرفه فيه كالمرهون فإن قلنا يصح تصرفه وقف فإن وفى ماله بالدين نفذ تصرفه وإن لم يف فسخ لأنا جوزنا تصرفه رجاء أن تزيد قيمة المال أو يفتح عليه بما يقضي به الدين فإذا عجز فسخ كما نقول في هبة المريض قال أصحابنا وعلى هذا ينقض من تصرفه الأضعف فالأضعف فأضعفها الهبة لأنه لا عوض فيه ثم البيع لأنه يلتقه الفسخ ثم العتق لأنه أقوى التصرفات ويحتمل عندي أنه يفسخ الآخر فالآخر كما قلنا في تبرعات المريض إذا عجز عنها الثلث.
dan pendapat kedua: tidak sah, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena ḥajr ini ditetapkan oleh hakim, maka ia mencegah dari tindakan atas harta, sebagaimana ḥajr atas orang safih. Ini berbeda dengan ḥajr atas orang sakit, karena hak para ahli waris tidak berkaitan dengan hartanya kecuali setelah wafat, sedangkan dalam kasus ini hak para kreditur telah berkaitan dengan hartanya secara langsung, maka tidak sah tindakannya atas harta tersebut, seperti halnya barang yang digadaikan.
Jika kita mengatakan bahwa tindakannya sah, maka statusnya tergantung (mauqūf); jika hartanya mencukupi untuk melunasi utang, maka tindakannya menjadi sah (nafād), namun jika tidak mencukupi, maka transaksi itu dibatalkan, karena kita membolehkan tindakannya dengan harapan nilai hartanya bertambah atau terbuka jalan untuk melunasi utang tersebut. Jika ternyata tidak mampu, maka dibatalkan, sebagaimana yang kami katakan dalam hibah orang sakit.
Para sahabat kami berkata: dalam kasus ini, transaksi yang dibatalkan adalah yang paling lemah, lalu yang lebih kuat sedikit demi sedikit. Yang paling lemah adalah hibah, karena tidak ada ‘iwaḍ (imbal balik) di dalamnya; kemudian penjualan, karena masih bisa dibatalkan; kemudian pembebasan budak (‘itq), karena ia adalah bentuk tindakan yang paling kuat.
Dan menurutku, kemungkinan juga transaksi yang dibatalkan adalah yang terakhir dan seterusnya, sebagaimana kita katakan dalam hibah-hibah orang sakit bila tidak mencukupi sepertiga harta.
فصل: قال الشافعي رحمه الله: ولو باع بشرط الخيار ثم أفلس فله إجازة البيع ورده فمن أصحابنا من حمل هذا على ظاهره وقال له أن يفعل ما يشاء لأن الحجر إنما يؤثر في عقد مستأنف وهذا عقد سبق الحجر فلم يؤثر الحجر وقال أبو إسحاق: إن كان الحظ في الرد لم يجز وإن كان في الإجازة لم يرد لأن الحجر يقتضي طلب الحظ فإن طرأ في بيع الخيار أوجب طلب الحظ كما لو باع بشرط الخيار ثم جن فإن الولي لا يفعل إلا ما فيه الحظ من الرد والإجازة ومن أصحابنا من قال إن قلنا إن المبيع انتقل بنفس العقد لم يجب الرد وإن كان الحظ في الرد لأن الملك قد انتقل فلا يكلف رده وحمل قول الشافعي رحمه الله على هذا القول وإن قلنا إن المبيع لم ينتقل أو موقوف لزمه الرد إن كان الحظ في الرد لأن المبيع على ملكه فلا يفعل إلا ما فيه الحظ.
PASAL: Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Seandainya seseorang menjual dengan syarat khiyār (hak pilih), lalu ia jatuh bangkrut (muflis), maka ia boleh meneruskan jual beli itu atau membatalkannya.” Sebagian dari para sahabat kami memahami perkataan ini secara lahiriah, dan berkata: “Ia boleh melakukan apa yang ia kehendaki, karena ḥajr hanya berpengaruh pada akad yang baru, sedangkan ini adalah akad yang terjadi sebelum ḥajr, maka ḥajr tidak berpengaruh padanya.”
Dan Abū Isḥāq berkata: “Jika maslahat ada pada pembatalan, maka tidak boleh ia meneruskannya; dan jika maslahat ada pada meneruskan, maka tidak boleh ia membatalkannya. Karena ḥajr mengharuskan pencarian maslahat, maka jika ḥajr datang saat ada jual beli dengan syarat khiyār, itu mewajibkan untuk mencari maslahat sebagaimana jika seseorang menjual dengan syarat khiyār lalu menjadi gila, maka wali hanya boleh melakukan apa yang terdapat maslahatnya antara meneruskan atau membatalkan.”
Dan sebagian dari sahabat kami berkata: “Jika kita katakan bahwa barang telah berpindah kepemilikan hanya dengan akad, maka tidak wajib membatalkannya meskipun maslahat ada pada pembatalan, karena kepemilikan sudah berpindah dan ia tidak dibebani untuk mengembalikannya. Dan mereka menafsirkan ucapan Imam al-Syafi‘i rahimahullah berdasarkan pendapat ini.
Namun jika kita katakan bahwa barang belum berpindah kepemilikan atau masih tergantung (belum pasti), maka wajib membatalkannya jika maslahat ada pada pembatalan, karena barang masih di bawah kepemilikannya dan tidak boleh ia bertindak kecuali atas dasar maslahat.
فصل: وإن وهب هبة تقتضي الثواب وقلنا إن الثواب مقدر بما يرضي به الواهب ثم أفلس فله أن يرضىي بما شاء لأنا لو ألزمناه أن يطلب الفضل لألزمناه أن يكتسب والمفلس لا يكلف الاكتساب.
PASAL: Jika seseorang memberikan hibah yang mengharuskan adanya imbalan (tsawāb), dan kita mengatakan bahwa imbalan itu ditentukan menurut apa yang membuat pemberi hibah ridha, kemudian ia jatuh pailit, maka ia boleh ridha dengan apa pun yang ia kehendaki, karena jika kami mewajibkan ia untuk menuntut tambahan (faḍl), berarti kami mewajibkan ia untuk berusaha, padahal orang yang pailit tidak dibebani kewajiban untuk berusaha.
فصل: وإن أقر بدين لزمه قبل الحجر لزم الإقرار في حقه وهل يلزم في حق الغرماء فيه قولان: أحدهما لا يلزم لأنه متهم لأنه ربما واطأ المقر له ليأخذ ما أقر به ويرد عليه والثاني أنه يلزمه وهو الصحيح لأنه يستند ثبوته إلى ما قبل الحجر فلزم في حق الغرماء كما لو ثبت بالبينة وإن ادعى عليه رجل مالاً وأنكر ولم يحلف وحلف المدعي فإن قلنا إن يمين المدعي مع نكول المدعي عليه كالبينة شارك الغرماء في المال وإن قلنا كالإقرار فعلى القولين في الإقرار وإن أقر لرجل بعين لزمه الإقرار في حقه وهل يلزم في حق الغرماء؟ فيه قولان: أحدهما لا يلزم والثاني يلزم وتسلم العين إلى المقر له ووجه القولين ما ذكرناه في الإقرار بالدين.
PASAL: Jika seseorang mengakui utang yang telah wajib atasnya sebelum dijatuhi ḥajr, maka pengakuannya itu sah terhadap dirinya sendiri. Adapun apakah pengakuan itu sah juga terhadap para kreditur (ghurmā’), maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak sah terhadap mereka, karena ia dianggap tertuduh—barangkali ia bersekongkol dengan pihak yang diakui agar harta yang ia akui itu diambil lalu dikembalikan kepadanya.
Kedua, pengakuan itu sah terhadap para kreditur—dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ—karena kewajiban utang itu kembali kepada masa sebelum ḥajr, maka ia berlaku terhadap kreditur sebagaimana jika ditetapkan dengan bukti (bainah).
Jika ada seseorang yang mengklaim memiliki harta atasnya lalu ia mengingkari, dan ia tidak bersumpah, kemudian si penggugat yang bersumpah, maka:
- Jika kita katakan bahwa sumpah penggugat karena terdakwa tidak bersumpah adalah seperti bukti, maka penggugat berhak mendapatkan bagian bersama para kreditur dalam harta tersebut.
- Jika kita katakan itu seperti pengakuan, maka kembali kepada dua pendapat dalam masalah pengakuan (yakni: apakah sah terhadap para kreditur atau tidak).
Jika ia mengakui adanya kepemilikan suatu barang tertentu kepada seseorang, maka pengakuan itu sah terhadap dirinya. Adapun apakah sah terhadap para kreditur, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah;
Kedua, sah, dan barang tersebut diserahkan kepada orang yang diakui kepemilikannya.
Dalil dari kedua pendapat ini sama seperti yang telah disebutkan dalam masalah pengakuan terhadap utang.
فصل: وإن جنى على رجل جناية توجب المال وجب قضاء الأرش من المال لأنه حق لزمه بغير رضى من له الحق فوجب قضاؤه من المال وإن جنى عليه جناية توجب لمال تعلق حق الغرماء بالأرش كما يتعلق بسائر أمواله.
PASAL: Jika seseorang melakukan tindak pidana terhadap seseorang yang mengharuskan pembayaran arasy (diyat), maka wajib membayar arasy tersebut dari hartanya, karena itu adalah hak yang wajib atasnya tanpa kerelaan dari yang memiliki hak, maka wajib dipenuhi dari harta. Dan jika ia menjadi korban tindak pidana yang menyebabkan adanya arasy untuknya, maka hak para kreditur juga melekat pada arasy tersebut sebagaimana melekat pada harta-hartanya yang lain.
فصل: وإن ادعى على رجل مالاً وله شاهد فإن حلف استحق وتعلق به حق الغرماء وإن لم يحلف فهل تحلف الغرماء أم لا؟ قال في التفليس لا يحلفون وقال في غرماء الميت إذا لم يحلف الوارث مع الشاهد ففيه قولان: أحدهما يحلفون والثاني لا يحلفون فمن أصحابنا من نقل أحد القولين من غرماء الميت إلى غرماء المفلس فجعل فيهما قولين: أحدهما يحلفون لأن المال إذا ثبت استحقوه والثاني لا يحلفون لأنهم يحلفون لإثبات المال لغيرهم وذلك لا يجوز
PASAL: Jika seseorang menuntut harta kepada orang lain dan ia memiliki satu orang saksi, maka jika ia bersumpah, ia berhak atas harta tersebut dan hak para kreditur pun melekat padanya.
Namun jika ia tidak bersumpah, maka apakah para kreditur boleh bersumpah atau tidak?
Imam al-Syafi‘i berkata dalam masalah orang yang bangkrut: para kreditur tidak boleh bersumpah.
Namun dalam masalah para kreditur orang yang telah meninggal, apabila ahli waris tidak bersumpah bersama satu saksi, maka ada dua pendapat:
Pertama, para kreditur boleh bersumpah;
Kedua, tidak boleh bersumpah.
Sebagian sahabat kami memindahkan dua pendapat ini dari masalah para kreditur mayit ke masalah para kreditur orang bangkrut, sehingga dalam keduanya terdapat dua pendapat:
Pertama, para kreditur boleh bersumpah karena apabila harta itu terbukti, maka mereka berhak atasnya;
Kedua, tidak boleh bersumpah karena mereka bersumpah untuk menetapkan harta bagi orang lain, dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
ومن أصحابنا من قال لا تحلف غرماء المفلس ومن غرماء الميت قولان لأن الميت لم يمتنع من اليمين فحلف غرماؤه والمفلس امتنع من اليمين فلم تحلف غرماؤه ولأن غرماء الميت أيسوا من يمين الميت فحلفوا وغرماء المفلس لم ييأسوا من يمين المفلس فلم يحلفوا وإن حجر عليه وعليه دين مؤجل فهل يحل؟ فيه قولان: أحدهما يحل لأن الدين تعلق بالمال فحل الدين المؤجل كما لو مات والثاني لا يحل وهو الصحيح لأنه يملك التصرف في الذمة فلم يحل عليه الدين كما لو لم يحجر عليه.
Dan sebagian dari sahabat kami berkata: para kreditur orang yang bangkrut tidak boleh bersumpah, sedangkan dalam masalah para kreditur mayit terdapat dua pendapat. Karena orang yang meninggal tidak menolak untuk bersumpah, maka para krediturnya bersumpah; sedangkan orang yang bangkrut menolak untuk bersumpah, maka para krediturnya tidak boleh bersumpah.
Juga karena para kreditur mayit telah putus asa dari sumpah si mayit, maka mereka bersumpah; sedangkan para kreditur orang yang bangkrut belum putus asa dari sumpahnya, maka mereka tidak bersumpah.
Dan jika telah dijatuhkan ḥajr atas seseorang, sedangkan ia memiliki utang yang belum jatuh tempo, maka apakah utangnya menjadi jatuh tempo?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, utangnya menjadi jatuh tempo, karena utang itu telah terkait dengan harta, maka utang yang belum jatuh tempo menjadi jatuh tempo sebagaimana jika ia meninggal dunia.
Kedua, utang tersebut tidak menjadi jatuh tempo—dan ini yang ṣaḥīḥ—karena ia masih memiliki kuasa bertindak atas tanggungan utangnya, maka utang tersebut tidak menjadi jatuh tempo sebagaimana jika ia tidak dikenai ḥajr.
فصل: وإن لم يكن له كسب ترك ما يحتاج إليه للنفقة إلى أن يفك الحجر عنه ويرجع إلى الكسب لقوله صلى الله عليه وسلم: “ابدأ بنفسك ثم بمن تعول” فقدم حق نفسه على حق العيال وهو دين فدل على أنه يقدم على كل دين ويكون الطعام على ما جرت به عادته ويترك له ما يحتاج إليه من الكسوة من غير إسراف ولا إجحاف لأن الحاجة إلى الكسوة كالحاجة إلى القوت فإن كان له من تلزمه نفقته من زوجة أو قريب ترك لهم ما يحتاجون إليه من النفقة والكسوة بالمعروف لأنهم يجرون مجراه في النفقة والكسوة ولا تترك له دار ولا خادم لأنه يمكنه أن يكترى داراً يسكنها وخادماً يخدمه وإن كان له كسب جعلت نفقته في كسبه لأنه لا فائدة في إخراج ماله في نفقته وهو يكتسب ما ينفق.
PASAL: Jika seseorang tidak memiliki penghasilan, maka dibiarkan baginya apa yang dibutuhkan untuk nafkah hingga ḥajr dicabut darinya dan ia dapat kembali bekerja, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Mulailah dari dirimu, kemudian dari orang yang engkau tanggung.” Maka hak dirinya lebih didahulukan daripada hak keluarga, dan itu merupakan utang, yang menunjukkan bahwa hak dirinya lebih didahulukan dari semua utang. Maka diberikan makanan sesuai kebiasaan, dan dibiarkan baginya kebutuhan pakaian secukupnya tanpa berlebih-lebihan dan tanpa kekurangan, karena kebutuhan pakaian setara dengan kebutuhan makanan.
Jika ia memiliki orang-orang yang wajib dinafkahinya, seperti istri atau kerabat, maka disisakan bagi mereka kebutuhan nafkah dan pakaian secara patut, karena mereka berada dalam kedudukan yang sama dengannya dalam hal nafkah dan pakaian. Tidak disisakan baginya rumah atau pembantu, karena ia masih bisa menyewa rumah untuk ditinggali dan menyewa pembantu untuk melayani. Namun jika ia memiliki penghasilan, maka nafkahnya diambil dari penghasilan tersebut, karena tidak ada faedahnya mengeluarkan hartanya untuk nafkah sementara ia mampu mencukupi nafkahnya dari penghasilannya.
فصل: وإذا أراد الحاكم بيع ماله فالمستحب أن يحضره لأنه أعرف بثمن ماله فإن لم يكن من يتطوع بالنداء استؤجر من ينادي عليه من سهم المصالح لأن ذلك من المصالح فهو كأجرة الكيال والوزان في الأسواق فإن لم يكن سهم المصالح اكترى من مال المفلس لأنه يحتاج إليه لإيفاء ما عليه فكان عليه ويقدم على سائر الديون لأن في ذلك مصلحة له ويباع كل شيء في سوقه لأن أهل السوق أعرف بقيمة المتاع ومن يطلب السلعة في السوق أكثر ويبدأ بما يسرع إليه الفساد لأنه إذا أخر ذلك هلك وفي ذلك إضرار وقد قال صلى الله عليه وسلم: “لا ضرر ولا إضرار”
PASAL: Jika hakim hendak menjual harta orang yang bangkrut, maka yang disunnahkan adalah menghadirkan orang tersebut, karena ia lebih mengetahui harga barang-barangnya.
Jika tidak ada yang bersedia mengumumkan (lelangnya) secara sukarela, maka disewa orang untuk mengumumkannya dari dana ṣadaqah yang dialokasikan untuk kemaslahatan umum, karena hal itu termasuk bagian dari kemaslahatan, sebagaimana upah juru takar dan penimbang di pasar.
Jika tidak ada dana ṣadaqah, maka biaya sewa diambil dari harta orang yang bangkrut, karena dibutuhkan untuk melunasi utangnya, maka menjadi tanggungannya. Biaya ini diprioritaskan atas utang-utang lainnya, karena mengandung maslahat baginya.
Setiap barang dijual di pasarnya masing-masing, karena para pedagang di pasar tersebut lebih mengetahui nilai barang, dan orang yang mencari barang pun lebih banyak.
Penjualan dimulai dari barang yang cepat rusak, karena jika ditunda akan binasa, dan hal itu menimbulkan kerugian. Nabi SAW bersabda: “Lā ḍarara wa lā ḍirār” — “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh saling membahayakan.”
ثم في بالحيوان لأنه يحتاج إلى علف ويخاف عليه التلف ويتأنى بالعقار لأنه إذا تأنى به كثر من يطلبه ولا يتأنى به أكثر من ثلاثة أيام لأن فيما زاد إضراراً بالغرماء في تأخير حقهم فإن كان في المال رهن أو عبد تعلق الأرض برقبته بيع في حق المرتهن والمجني عليه لأن حقهما يختص بالعين فقدم وإن بيع له متاع وقبض ثمنه فهلك الثمن واستحق المبيع رجع المشتري بالعهدة في مال المفلس وهل يقدم على سائر الغرماء روى المزني أنه يقدم وروى الربيع أنه أسوة الغرماء فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما يقدم لأن في تقدمه المصلحة فإنه متى لم يقدم تجنب الناس شراء ماله خوفاً من الاستحقاق فإذا قدم رغبوا في شراء ماله
Kemudian dijual hewan, karena ia membutuhkan pakan dan dikhawatirkan akan binasa. Adapun harta tak bergerak seperti tanah (‘aqār), maka dijual dengan pelan-pelan, karena semakin ditunda biasanya semakin banyak peminatnya. Namun tidak boleh ditunda lebih dari tiga hari, karena jika melebihi itu maka terjadi ḍarar (kerugian) bagi para kreditur akibat tertundanya hak mereka.
Jika dalam harta tersebut terdapat barang yang tergadai atau budak yang terkait dengan tanah, maka tanah tersebut dijual untuk memenuhi hak murtahin atau orang yang menjadi korban jināyah, karena hak mereka terkait langsung dengan benda tersebut, maka didahulukan.
Jika ada barang milik orang bangkrut yang dijual, lalu harga telah diterima dan kemudian harganya rusak atau hilang, dan barang tersebut ternyata diketahui bukan milik orang tersebut (ada yang menuntut kepemilikan), maka pembeli berhak menuntut ganti rugi dari harta orang yang bangkrut.
Apakah tuntutan ini didahulukan atas para kreditur lainnya?
Diriwayatkan dari al-Muzanī bahwa ia didahulukan, dan dari ar-Rabī‘ bahwa ia setara dengan para kreditur lain. Maka sebagian sahabat kami menyatakan ada dua pendapat:
Pertama, ia didahulukan, karena dalam hal itu terdapat maslahat: jika tidak didahulukan, orang-orang akan enggan membeli harta orang bangkrut karena takut adanya tuntutan hak kepemilikan, tetapi jika ia didahulukan, orang-orang akan tertarik untuk membeli hartanya.
والثاني إنه أسوة الغرماء لأن هذا دين تعلق بذمته بغير رضى من له الحق فضرب به مع الغرماء كأرش الجناية ومنهم من قال إن لم يفك الحجر عنه قدم لأن فيه مصلحة له وإن فك الحجر عنه كسائر الغرماء وحمل رواية الربيع على هذا.
Dan pendapat kedua: ia setara dengan para kreditur lainnya, karena ini adalah utang yang melekat pada tanggungannya tanpa keridaan dari pemilik hak, maka diperlakukan seperti utang bersama para kreditur lainnya, sebagaimana arasy al-jināyah (denda akibat tindak pidana).
Sebagian dari sahabat kami berkata: jika ḥajr belum dicabut darinya, maka tuntutan tersebut didahulukan karena terdapat maslahat baginya; namun jika ḥajr telah dicabut, maka ia seperti kreditur lainnya. Dan riwayat dari ar-Rabī‘ ditakwil atas pendapat ini.
فصل: وإن كان في الغرماء من باع منه شيئاً قبل الإفلاس ولم يأخذ من ثمنه شيئاً ووجد عين ماله على صفته ولم يتعلق به حق غيره فهو بالخيار بين أن يترك ويضرب مع الغرماء بالثمن وبين أن يفسخ البيع ويرجع في عين ماله لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من باع سلعة ثم أفلس صاحبها فوجدها بعينها فهو أحق بها من الغرماء” وهل يفتقر الفسخ إلى إذن الحاكم فيه وجهان: قال أبو إسحاق لا يفسخ إلا بإذن الحاكم لأنه مختلف فيه فلم يصح بغير الحاكم كفسخ النكاح بالإعسار والنفقة وقال أبو القاسم الداركي لا يفتقر إلى الحاكم لأنه فسخ ثبت بنص السنة فلم يفتقر إلى الحاكم كفسخ النكاح بالعتق تحت العبد
PASAL: Jika di antara para kreditur terdapat orang yang telah menjual sesuatu kepada si pailit sebelum ia jatuh pailit dan belum menerima sedikit pun dari harganya, lalu ia mendapati barangnya masih ada sebagaimana sifat asalnya dan belum terkait dengan hak pihak lain, maka ia memiliki pilihan: antara membiarkannya dan menagih harga barang itu bersama para kreditur lainnya, atau membatalkan jual beli dan mengambil kembali barang miliknya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menjual suatu barang, lalu pembelinya jatuh pailit, dan ia mendapati barang tersebut masih dalam wujud asalnya, maka ia lebih berhak atas barang itu daripada para kreditur.”
Apakah pembatalan ini memerlukan izin hakim? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: Abū Isḥāq berpendapat bahwa tidak boleh membatalkan kecuali dengan izin hakim, karena perkara ini diperselisihkan, maka tidak sah tanpa keputusan hakim, sebagaimana pembatalan nikah karena ketidakmampuan memberi nafkah. Sedangkan Abū al-Qāsim al-Dārakī berpendapat tidak perlu izin hakim, karena pembatalan ini didasarkan pada nash dari sunnah, maka tidak memerlukan izin hakim, seperti pembatalan nikah karena istri dimerdekakan dari kepemilikan seorang budak.
فإن حكم حاكم بالمنع من الفسخ فقد قال أبو سعيد الإصطخري ينقص حكمه لأنه حكم مخالف لنص السنة ويحتمل أن لا ينقض لأنه مختلف فيه فلم ينقض وهل يكون الفسخ على الفور أو على التراخي؟ فيه وجهان: أحدهما أنه على التراخي لأنه خيار لا يسقط إلى بدل فكان على التراخي كخيار الرجوع في الهبة والثاني أنه على الفور لأنه خيار ثبت لنقص في العوض فكان على الفور كخيار الرد بالعيب وهل يصح الفسخ بالوطء في الجارية؟ فيه وجهان: أحدهما يصح كما يصح الفسخ في الوطء في خيار الشرط والثاني أنه لا يصح لأنه ملك مستقر فلا يجوز رفعه بالوطء وإن قال الغرماء نحن نعطيك الثمن ولا نفسخ لم يسقط حقه من الفسخ لأنه ثبت له حق الفسخ فلم يسقط ببدل العوض كالمشتري إذا وجد بالسلعة عيباً وبذل له البائع الأرش.
Jika seorang hakim memutuskan untuk melarang pembatalan jual beli, maka menurut Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, putusannya dapat dibatalkan karena bertentangan dengan nash sunnah. Namun, ada kemungkinan putusannya tidak dibatalkan karena persoalannya merupakan perkara yang diperselisihkan, sehingga tidak dibatalkan.
Apakah pembatalan ini harus segera (fauran) atau boleh ditunda (taraqkhiy)? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
- Pertama: boleh ditunda, karena ini adalah hak khiyar yang tidak gugur dengan adanya pengganti, maka ia seperti khiyar rujū‘ dalam hibah.
- Kedua: harus segera, karena ini adalah khiyar yang ditetapkan karena adanya kekurangan pada imbalan, maka hukumnya seperti khiyar radd karena cacat.
Apakah pembatalan jual beli sah dilakukan dengan cara menggauli budak perempuan (jāriyah)? Dalam hal ini juga terdapat dua pendapat:
- Pertama: sah, sebagaimana sahnya pembatalan dengan jima‘ dalam khiyar syarat.
- Kedua: tidak sah, karena kepemilikan terhadap budak telah sempurna, maka tidak boleh dihilangkan dengan jima‘.
Jika para kreditur berkata, “Kami akan memberikanmu harga barang itu, maka jangan batalkan jual beli,” maka hal itu tidak menggugurkan haknya dalam pembatalan, karena hak pembatalan telah ditetapkan baginya dan tidak gugur hanya karena adanya tawaran imbalan, sebagaimana halnya pembeli yang menemukan cacat pada barang, lalu penjual menawarkan arasy, maka hak pembatalannya tidak gugur.
فصل: وإن كان قد باعه بعد الإفلاس ففيه وجهان: أحدهما أن له أن يفسخ لأنه باعه قبل وقت الفسخ فلم يسقط حقه من الفسخ كما لو تزوجت امرأة بفقير ثم أعسر بالنفقة والثاني أنه ليس له أن يفسخ لأنه باعه مع العلم بخراب ذمته فسقط خياره كما لو اشترى سلعة مع العلم بعيبها.
فصل: وإن وجد المبيع وقد قبض من الثمن بعضه رجع بحصة ما بقي من الثمن لأنه إذا رجع بالجميع إذا لم يقبض جميع الثمن رجع في بعضه إذا لم يقبض بعض الثمن
PASAL: Jika ia telah menjualnya setelah jatuh bangkrut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa ia berhak membatalkan (jual beli) karena ia menjualnya sebelum waktu pembatalan, maka tidak gugur haknya untuk membatalkan, sebagaimana jika seorang wanita menikah dengan orang miskin kemudian suaminya tidak mampu memberi nafkah.
Kedua, bahwa ia tidak berhak membatalkan karena ia menjualnya dengan mengetahui kehancuran harta si pembeli, maka gugurlah hak khiyar-nya, sebagaimana seseorang membeli barang dengan mengetahui cacatnya.
PASAL: Jika ia mendapati barang yang dijual dan dari harganya telah diterima sebagian, maka ia berhak kembali (mengambil barang) sebanding dengan sisa harga yang belum dibayar. Karena apabila ia berhak mengambil seluruh barang ketika belum menerima seluruh harga, maka ia juga berhak mengambil sebagian jika belum menerima sebagian harga.
وإن كان المبيع عبدين متساويي القيمة وباعهما بمائة وقبض من الثمن خمسين ثم مات أحد العبدين وأفلس المشتري فالمنصوص في التفليس إنه يأخذ الباقي بما بقي من الثمن ونص في الصداق إذا أصدقها عبدين فتلف أحدهما ثم طلقها قبل الدخول على قولين: أحدهما أنه يأخذ الموجود بنصف الصداق مثل قوله في التفليس والثاني أنه نصف الموجود ونصف قيمة التالف فمن أصحابنا من نقل هذا القول إلى البيع وقال فيه قولان: أحدهما أنه يأخذ نصف الموجود ويضرب مع الغرماء بنصف ثمن التالف وهو اختيار المزني رحمه الله لأن البائع قبض الخمسين من ثمنه وما قبض من ثمنه لا يرجع به
Dan jika barang yang dijual adalah dua budak yang sama nilai, lalu ia menjual keduanya seharga seratus dan telah menerima lima puluh dari harga tersebut, kemudian salah satu dari dua budak itu mati dan pembeli jatuh bangkrut, maka pendapat yang dinyatakan secara tegas dalam kasus kebangkrutan adalah bahwa ia mengambil yang tersisa dengan sisa dari harga. Dan ia juga menukil dalam masalah ṣadaq bahwa jika seorang suami menjadikan dua budak sebagai mahar lalu salah satunya rusak, kemudian ia menceraikannya sebelum digauli, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia mengambil yang masih ada dengan setengah mahar, sebagaimana pendapatnya dalam kasus kebangkrutan.
Kedua, ia mengambil setengah dari yang masih ada dan setengah dari nilai budak yang rusak.
Sebagian dari ulama kami menukil pendapat kedua ini ke dalam masalah jual beli, dan mengatakan bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, ia mengambil setengah dari yang masih ada dan menuntut setengah dari harga budak yang rusak bersama para kreditur, dan ini adalah pilihan al-Muzani rahimahullah, karena si penjual telah menerima lima puluh dari harga jualnya, dan apa yang telah diterima dari harga tidak bisa ditarik kembali.
والثاني أنه يأخذ الموجود بما بقي لأن ما أخذه جميعه لدفع الضرر إذا كان باقياً أخذ الباقي إذا هلك بعضه كالشقص في الشفعة ومن أصحابنا من قال: يأخذ البائع الموجود بما بقي من الثمن قولاً واحداً وفي الصداق قولان والفرق بينهما أن البائع إذا رجع بنصف الموجود ونصف بدل التالف لم يصل إلى كمال حقه لأن غريمه مفلس والزوج إذا رجع بنصف الموجود ونصف قيمة التالف وصل إلى جميع حقه لأن الزوجة موسرة فلم يجز له الرجوع بجميع الموجود بنصف المهر.
فصل: وإن وجد البائع عين ماله وهو رهن لم يرجع به لأن حق المرتهن سابق لحقه فلم يملك إسقاطه بحقه فإن أمكن أن يقضي حق المرتهن ببيع بعضه بيع منه بقدر حقه ويرجع البائع بالباقي لأن المنع كان لحق المرتهن وقد زال.
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa ia mengambil barang yang masih ada sebanding dengan sisa harga, karena apa yang ia ambil seluruhnya adalah untuk menolak mudarat, maka jika sebagian barangnya masih ada, ia mengambil sisanya sebagaimana bagian dalam syuf‘ah. Dan sebagian dari ulama kami mengatakan: si penjual mengambil barang yang masih ada sebanding dengan sisa harga—ini satu pendapat. Sedangkan dalam masalah ṣadaq ada dua pendapat. Perbedaannya, bahwa jika si penjual kembali dengan setengah dari barang yang ada dan setengah dari ganti rugi barang yang rusak, ia tidak mencapai haknya secara penuh karena pihak yang berutang padanya adalah orang yang bangkrut. Sedangkan suami, jika ia kembali dengan setengah dari barang yang ada dan setengah dari nilai barang yang rusak, maka ia telah mendapatkan seluruh haknya karena sang istri adalah orang yang mampu, maka tidak dibolehkan baginya mengambil seluruh barang yang ada dengan hanya setengah mahar.
PASAL: Jika penjual mendapati barang miliknya masih ada dan dalam keadaan tergadai, maka ia tidak boleh menariknya kembali karena hak pemegang gadai lebih dahulu daripada haknya, maka ia tidak berhak membatalkannya dengan hak miliknya. Jika memungkinkan untuk melunasi hak pemegang gadai dengan menjual sebagian barang tersebut, maka dijual sesuai kadar haknya, dan si penjual mengambil sisanya karena larangan tersebut hanya karena adanya hak pemegang gadai, dan jika hak itu telah hilang, maka hilang pula larangannya.
فصل: وإن كان المبيع شقصاً تثبت فيه الشفعة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أن الشفيع أحق لأن حقه سابق فإنه يثبت بالعقد وحق البائع ثبت بالحجر فقدم حق الشفيع والثاني أن البائع أحق لأنه إذا أخذ الشفيع الشقص زال الضرر عنه وحده وإذا أخذه البائع زال الضرر عنهما لأن البائع يرجع إلى عين ماله والشفيع يتخلص من ضرر المشتري فيزول الضرر عنهما والثالث أنه يدفع الشقص إلى الشفيع ويؤخذ منه ثمنه ويدفع إلى البائع لأن في ذلك جمعاً بين الحقين وإذا أمكن الجمع بين الحقين لم يجز إسقاط أحدهما.
PASAL: Jika barang yang dijual adalah syuqṣ (bagian dari harta yang bisa dikenai hak syuf‘ah), maka dalam hal ini terdapat tiga wajh (pendapat):
Pertama, bahwa orang yang memiliki hak syuf‘ah (syafī‘) lebih berhak, karena haknya lebih dahulu, yaitu ditetapkan sejak terjadinya akad jual beli, sedangkan hak si penjual baru muncul karena dikenai ḥajr, maka didahulukan hak syafī‘.
Kedua, bahwa si penjual lebih berhak, karena jika bagian tersebut diambil oleh syafī‘, maka kerugian hanya hilang dari satu pihak (yakni syafī‘ saja), namun jika si penjual yang mengambilnya kembali, maka kerugian hilang dari dua pihak sekaligus: penjual mendapatkan kembali barangnya, dan syafī‘ terbebas dari kerugian karena pembeli (yang tidak diinginkannya), maka hilanglah kerugian dari keduanya.
Ketiga, bagian itu diserahkan kepada syafī‘, namun harganya diambil darinya dan diberikan kepada penjual. Karena dengan cara ini dua hak bisa dihimpun sekaligus, dan apabila memungkinkan menghimpun dua hak, tidak boleh salah satunya digugurkan.
فصل: وإن كان المبيع صيداً والبائع محرم لم يرجع فيه لأنه تمليك فلم يجز مع الإحرام كشراء الصيد.
فصل: وإن وجد عين ماله ودينه مؤجل وقلنا إن الدين المؤجل لا يحل وديون الغرماء حالة فالمنصوص أن يباع المبيع في الديون الحالة لأنها حقوق حالة فقدمت على الدين المؤجل ومن أصحابنا من قال لا يباع بل يوقف إلى أن يحل فيختار البائع الفسخ أو الترك وإليه أشار في الإملاء لأن بالحجر تتعلق الديون بماله فصار المبيع كالمرهون في حقه بدين مؤجل فلا يباع في الديون الحالة.
PASAL: Jika barang yang dijual adalah hewan buruan dan penjualnya dalam keadaan iḥrām, maka ia tidak berhak menarik kembali barang tersebut, karena hal itu merupakan tindakan tamlīk (menjadikan milik), dan hal tersebut tidak diperbolehkan saat iḥrām, sebagaimana tidak sah membeli hewan buruan saat iḥrām.
PASAL: Jika ia menemukan barang miliknya dan utangnya adalah utang yang belum jatuh tempo (muʾajjal), sedangkan kita berpendapat bahwa utang yang belum jatuh tempo tidak menjadi jatuh tempo, sementara utang-utang para kreditur lainnya sudah jatuh tempo (ḥāllah), maka menurut nash (teks) Imam al-Syafi‘i, barang tersebut dijual untuk membayar utang-utang yang telah jatuh tempo, karena itu adalah hak-hak yang sudah wajib ditunaikan, maka ia didahulukan dari utang yang belum jatuh tempo.
Namun sebagian sahabat kami berkata: barang tersebut tidak dijual, tetapi ditangguhkan hingga tempo utangnya tiba, lalu si penjual boleh memilih antara membatalkan akad atau membiarkannya. Pendapat ini disinggung dalam al-Imlā’, karena dengan dijatuhkannya ḥajr, seluruh utang menjadi terkait dengan harta si bangkrut, sehingga barang yang dijual itu kedudukannya seperti barang yang tergadai atas utang yang belum jatuh tempo, maka tidak boleh dijual untuk membayar utang yang telah jatuh tempo.
فصل: وإن وجد المبيع وقد باعه المشتري ورجع إليه ففيه وجهان: أحدهما له أن يرجع فيه لأنه وجد رأس ماله خالياً من حق غيره فأشبه إذا لم يبعه والثاني لا يرجع لأن هذا الملك لم ينتقل إليه منه فلم يملك فسخه.
PASAL: Jika ia menemukan barang yang dijual, namun barang tersebut telah dijual oleh pembeli kemudian kembali lagi kepadanya (pembeli), maka dalam hal ini terdapat dua wajh (pendapat):
Pertama, ia berhak menarik kembali barang tersebut, karena ia mendapati barang pokok miliknya dalam keadaan kosong dari hak pihak lain, sehingga serupa dengan kasus ketika barang tersebut belum dijual sama sekali.
Kedua, ia tidak berhak menarik kembali, karena kepemilikan yang sekarang tidak kembali kepadanya (pembeli) dari si penjual secara langsung, maka si penjual tidak memiliki hak untuk membatalkan akadnya.
فصل: وإن وجد المبيع ناقصاً نظرت فإن كان نقصان جزء ينقسم عليه الثمن كعبدين تلف أحدهما أو نخلة مثمرة تلفت ثمرتها فالبائع بالخيار بين أن يضرب مع الغرماء بالثمن وبين أن يفسخ البيع فيما بقي بحصته من الثمن ويضرب مع الغرماء بثمن ما تلف لأن البائع يستحق المبيع في يد المفلس بالثمن كما يستحق المشتري المبيع في يد البائع بالثمن ثم المشتري إذا وجد أحد العينين في يد البائع والآخر هالكاً كان بالخيار بين أن يترك الباقي ويطالب بجميع الثمن وبين أن يأخذ الموجود بثمنه ويطالب بثمن التالف فكذلك البائع
PASAL: Jika penjual mendapati barang yang dijual dalam keadaan kurang, maka diperhatikan: jika kekurangannya berupa bagian yang nilai harganya bisa dibagi—seperti dua budak lalu salah satunya rusak, atau pohon kurma berbuah lalu buahnya rusak—maka penjual memiliki hak pilih antara:
- Menagih sisa harga kepada para kreditur sesuai bagian barang yang rusak,
- Atau membatalkan akad pada bagian yang tersisa dan mengambilnya kembali dengan porsi dari harga yang sesuai, serta menagih sisa harga bagian yang rusak kepada para kreditur.
Karena penjual berhak atas barang yang masih ada di tangan orang bangkrut dengan dasar harga, sebagaimana pembeli juga berhak atas barang di tangan penjual dengan dasar harga.
Maka sebagaimana pembeli, jika ia mendapati salah satu dari dua barang yang dibelinya masih ada di tangan penjual dan yang satu lagi telah rusak, ia memiliki pilihan antara meninggalkan yang tersisa dan menuntut seluruh harga, atau mengambil yang masih ada dengan harganya dan menuntut harga bagian yang rusak—maka begitu pula hak penjual.
وإن كان المبيع نخلاً مع ثمرة مؤبرة فهلكت الثمرة قوم النخل مع الثمرة ثم يقوم بلا ثمرة ويرجع بما بينهما من الثمن وتعتبر القيمة أقل ما كانت من حين العقد إلى حين القبض فإن كانت قيمته وقت العقد أقل قوم وقت العقد لأن الزيادة حدثت في ملك المشتري فلا تقوم عليه وإن كان في وقت القبض أقل قوم في وقت القبض لأن ما نقص لم يقبضه المشتري فلم يضمنه فإن كان نقصان جزء لا ينقسم عليه الثمن كذهاب يد وتأليف دار نظرت فإن لم يجب لها أرش بأن أتلفها المشتري أو ذهبت بآفة سماوية فالبائع بالخيار بين أن يأخذه بالثمن وبين أن يتركه ويضرب بالثمن مع الغرماء كما تقول فيمن اشترى عبداً فذهبت يده أو داراً فذهب تأليفها في يد البائع
Jika barang yang dijual adalah pohon kurma bersama buahnya yang telah ta’nīb (diserbuki), lalu buahnya rusak, maka dilakukan penilaian terhadap harga pohon beserta buahnya, kemudian dinilai lagi tanpa buahnya, lalu penjual menuntut selisih antara keduanya dari harga jual.
Penilaian tersebut didasarkan pada harga yang paling rendah antara waktu akad hingga waktu qabḍ (penyerahan). Jika harga pada waktu akad lebih rendah, maka dinilai pada waktu akad, karena kenaikan nilai terjadi dalam kepemilikan pembeli, maka ia tidak menanggungnya. Namun jika harga pada waktu qabḍ lebih rendah, maka dinilai pada waktu qabḍ, karena kekurangan itu belum diterima oleh pembeli, maka ia tidak menanggungnya.
Jika kekurangan terjadi pada bagian yang tidak dapat dibagi nilainya secara terpisah, seperti hilangnya satu tangan atau rusaknya susunan bangunan rumah, maka diperhatikan: jika tidak wajib ada ganti rugi (arasy)—karena misalnya kerusakan itu disebabkan oleh pembeli sendiri atau karena bencana alam—maka penjual memiliki pilihan antara mengambil barang tersebut dengan harga penuh, atau meninggalkannya dan menagih harga kepada para kreditur, sebagaimana ketentuan dalam kasus orang yang membeli budak lalu tangannya hilang, atau membeli rumah lalu susunan bangunannya rusak saat masih di tangan penjual.
فإن المشتري بالخيار بين أن يأخذه بالثمن وبين أن يتركه ويرجع بالثمن فإن وجب لها أرض بأن أتلفها أجنبي فالبائع بالخيار بين أن يترك ويضرب مع الغرماء بالثمن وبين أن يأخذ ويضرب بما نقص من الثمن لأن الأرش في مقابلة جزء كان البائع يستحقه فاستحق ما يقابله كما نقول فيمن اشترى عبداً فقطع الأجنبي يده أنه بالخيار بين أن يتركه ويرجع بالثمن وبين أن يأخذه ويطالب الجاني بالأرش غير أن المشتري يرجع على الجاني بقيمة اليد لأنها تلفت في ملكه فوجب له البدل والبائع يرجع بحصة اليد من الثمن لأنها تلفت في ملك المفلس فوجب الأرش له فيرجع البائع عليه بالحصة من الثمن لأن المبيع مضمون إلى المفلس بالثمن
Jika pembeli memiliki hak pilih antara mengambil barang tersebut dengan harga penuh, atau meninggalkannya dan menuntut kembali harga—maka apabila terjadi kewajiban arasy (ganti rugi) karena dirusak oleh pihak ketiga (orang lain), maka penjual memiliki pilihan: antara meninggalkan barang tersebut dan menagih harga penuh bersama para kreditur, atau mengambil barang tersebut dan menagih selisih kekurangan dari harga (karena rusaknya sebagian barang).
Karena arasy itu merupakan pengganti dari bagian yang semestinya menjadi milik penjual, maka penjual berhak atas penggantinya, sebagaimana dalam kasus seseorang yang membeli budak lalu tangan budak itu dipotong oleh orang lain, maka pembeli punya hak pilih antara mengembalikan budak dan menuntut kembali harga, atau tetap mengambil budak dan menuntut ganti rugi kepada pelaku.
Namun terdapat perbedaan: pembeli menuntut nilai tangan budak kepada pelaku, karena tangannya rusak dalam kepemilikannya, maka wajib baginya menerima gantinya; sedangkan penjual hanya menuntut bagian dari harga yang sepadan dengan tangan yang hilang, karena bagian tersebut rusak dalam kepemilikan orang yang bangkrut, maka hak atas arasy menjadi milik si bangkrut, dan penjual hanya berhak menagih bagian harga dari barang yang rusak tersebut, karena barang itu dijamin kepada si bangkrut dengan harga.
فإن كان المبيع نخلاً عليه طلع غير مؤبر فهلكت الثمرة ثم أفلس بالثمن فرجع البائع في النخل ففيه وجهان: أحدهما يأخذها بجميع الثمن لأن الثمرة تابعة للأصل في البيع فلم يقابلها قسط من الثمن والثاني يأخذها بقسطها من الثمن ويضرب بحصة الثمرة مع الغرماء لأن الثمرة يجوز إفرادها بالبيع فصارت مع النخل بمنزلة العينين.
Jika yang dijual adalah pohon kurma yang terdapat padanya ṭal‘ yang belum dikawinkan (ghairu muʾabbar), lalu buah tersebut rusak, kemudian pembeli bangkrut dari pembayaran harga, lalu penjual ingin mengambil kembali pohon kurma tersebut, maka ada dua wajah:
Pertama, penjual mengambil seluruhnya dengan membayar seluruh harga, karena buah tersebut mengikuti pokok dalam akad jual beli, sehingga tidak ada bagian dari harga yang khusus untuk buah tersebut.
Kedua, penjual mengambil pohon kurma dengan membayar sebanding dari harga, dan sisanya ia menagih bersama para kreditur untuk bagian harga buah, karena buah dapat dijual secara terpisah, maka kedudukannya bersama pohon seperti dua barang yang berbeda.
فصل: وإن وجد المبيع زائداً نظرت فإن كانت زيادة غير متميزة كالسمن والكبر واختار البائع الفسخ رجع في المبيع مع الزيادة لأنها زيادة لا تتميز فتبعت الأصل في الرد كما قلنا في الرد بالعيب وإن كان المبيع حباً فصار زرعاً أو زرعاً فصار حباً أو بيضاً فصار فرخاً ففيه وجهان: أحدهما لا يرجع به لأن الفرخ غير البيض والزرع غير الحب والثاني يرجع – وهو المنصوص – لأن الفرخ والزرع عين المبيع وإنما تغيرت صفته فهو كالودي إذا صار نخلاً والجدي إذا صار شاة
PASAL: Jika barang yang dijual ditemukan bertambah, maka dilihat: jika tambahannya tidak dapat dibedakan seperti gemuk dan besar, lalu penjual memilih membatalkan jual beli, maka ia boleh mengambil kembali barang yang dijual beserta tambahannya, karena tambahan tersebut tidak dapat dibedakan sehingga mengikuti barang pokok dalam pengembalian, sebagaimana dikatakan dalam pengembalian karena cacat.
Jika barang yang dijual berupa biji lalu menjadi tanaman, atau tanaman lalu menjadi biji, atau telur lalu menjadi anak ayam, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh dikembalikan, karena anak ayam bukanlah telur dan tanaman bukanlah biji.
Kedua, boleh dikembalikan — dan ini yang manshūṣ — karena anak ayam dan tanaman adalah zat dari barang yang dijual, hanya saja sifatnya berubah. Maka hukumnya seperti wadiy yang menjadi pohon kurma, dan anak kambing (jady) yang menjadi kambing dewasa.
وإن كانت الزيادة متميزة نظرت فإن كانت ظاهرة كالطلع المؤبر وما أشبهه من الثمار رجع فيه دون الزيادة لأنه نماء طاهر متميز حدث في ملك المشتري فلم يتبع الأصل في الرد كما قلنا في الرد بالعيب، فإن اتفق المفلس والغرماء على قطعها قطع وإن اتفقوا على تركها إلى الجداد ترك لأنه ملك أحدهما وحق الآخر وإن دعا أحدهما إلى قطعها والآخر إلى تركها وجب القطع لأن من دعا إلى القطع تعجل حقه فلا يؤخر بغير رضاه وإن كانت الزيادة غير ظاهرة كطلع غير مؤبر وما أشبهه من الثمار ففيه قولان: روى الربيع أنه يرجع في النخل دون الطلع لأن الثمرة ليست عين ماله فلم يرجع بها
Dan jika tambahannya dapat dibedakan, maka dilihat: jika tampak jelas seperti ṭal‘ muʾabbir dan semisalnya dari buah-buahan, maka penjual boleh mengambil barang yang dijual tanpa tambahannya, karena tambahan tersebut merupakan pertumbuhan yang tampak dan dapat dibedakan, yang terjadi dalam kepemilikan pembeli, sehingga tidak mengikuti barang pokok dalam pengembalian, sebagaimana yang dikatakan dalam pengembalian karena cacat.
Jika orang yang bangkrut dan para kreditur sepakat untuk memetiknya, maka boleh dipetik. Dan jika mereka sepakat untuk membiarkannya hingga waktu panen, maka boleh dibiarkan, karena itu adalah milik salah satu pihak dan hak bagi pihak lain. Namun jika salah satunya menginginkan dipetik, dan yang lain menginginkan ditunda, maka wajib dipetik, karena pihak yang menghendaki pemetikan berarti ingin segera mengambil haknya, maka tidak boleh ditunda tanpa persetujuannya.
Jika tambahannya tidak tampak jelas, seperti ṭal‘ yang belum muʾabbir dan semisalnya dari buah-buahan, maka terdapat dua pendapat: al-Rabi‘ meriwayatkan bahwa penjual boleh mengambil kembali pohon kurma tanpa ṭal‘-nya, karena buah tersebut bukanlah barang miliknya secara zat, maka tidak dikembalikan bersamanya.
وروى المزني أنه يرجع لأنه يتبع الأصل في البيع فتبعه في الفسخ كالثمن والكبر فإذا قلنا بهذا فأفلس وهو غير مؤبر فلم يرجع حتى أبر لم يرجع في الثمرة لأنها أبرت وهي في ملك المفلس فإن اختلف البائع والمفلس فقال البائع رجعت فيه قبل التأبير فالثمرة لي وقال المفلس رجعت بعد التأبير فالثمرة لي فالقول قول المفلس لأن الأصل بقاء الثمرة على ملكه فإن لم يحلف المفلس فهل يحلف الغرماء؟ فيه قولان وقد مضى دليلهما فإن كذبوه فحلف واستحق وأراد أن يفرقه على الغرماء ففيه وجهان: أحدهما أنه لا يلزمهم قبوله لأنهم أقروا أنه أخذ بغير حق
Dan al-Muzanī meriwayatkan bahwa penjual boleh mengambil kembali (barang) tersebut karena buah itu mengikuti pokok dalam jual beli, maka ia pun mengikutinya dalam pembatalan, seperti harga dan pertambahan besar badan. Jika kita mengambil pendapat ini, lalu pembeli bangkrut sementara buahnya belum muʾabbir, kemudian penjual belum mengambil kembali hingga buah itu muʾabbir, maka ia tidak berhak kembali atas buahnya, karena proses taʾbīr terjadi saat berada dalam kepemilikan orang yang bangkrut.
Jika terjadi perselisihan antara penjual dan orang yang bangkrut, penjual berkata: “Aku membatalkannya sebelum taʾbīr, maka buahnya milikku,” dan orang yang bangkrut berkata: “Aku membatalkannya setelah taʾbīr, maka buahnya milikku,” maka perkataan orang yang bangkrut diterima karena asalnya buah itu tetap dalam kepemilikannya. Jika ia tidak mau bersumpah, apakah para kreditur boleh bersumpah? Dalam hal ini ada dua pendapat, dan dalil keduanya telah dijelaskan sebelumnya.
Jika mereka (para kreditur) mendustakannya, lalu ia bersumpah dan berhasil memperoleh kembali (haknya), lalu ia ingin membagikannya kepada para kreditur, maka terdapat dua wajah pendapat:
Salah satunya, mereka tidak wajib menerimanya karena mereka telah mengakui bahwa ia mengambilnya tanpa hak.
والثاني يلزمهم قبوله أو الإبراء من الدين وعليه نص في المكاتب إذا حمل إلى المولى نجماً فقال المولى هو حرام أنه يلزمه أن يأخذه أو يبرئه منه فإن صدقه بعضهم وكذبه البعض فقد قال الشافعي رحمه الله: يفرق ذلك فيمن صدقه دون من كذبه فمن أصحابنا من قال لا يجوز أن يفرقه إلا على من صدقه لأنه لا حاجة به إلى دفع ذلك إلى من يكذبه وقال أبو إسحاق إذا اختار المفلس أن يفرق على الجميع جاز كما يجوز إذا كذبوه وحمل قول الشافعي رحمه الله إذا اختار أن يفرق فيمن صدقه وإن قال البائع رجعت قبل التأبير فالثمرة لي فصدقه المفلس وكذبه الغرماء ففيه قولان: أحدهما يقبل قول المفلس لأنه غير متهم
Dan pendapat kedua: mereka wajib menerimanya atau memberikan ibrā’ (pembebasan utang), dan atas hal ini terdapat nash dalam kasus mukātab apabila ia membawa cicilan kepada tuannya, lalu tuannya berkata, “Ini haram,” maka wajib atasnya untuk menerima atau membebaskannya. Jika sebagian dari mereka (para kreditur) membenarkannya dan sebagian lainnya mendustakannya, maka Imam al-Syafi‘i RA berkata: dibagikan hanya kepada mereka yang membenarkannya, tidak kepada yang mendustakannya.
Sebagian ulama kami berkata: tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang membenarkannya, karena tidak ada kebutuhan untuk memberikan kepada orang yang mendustakannya. Dan Abū Isḥāq berkata: jika orang yang bangkrut memilih untuk membagikannya kepada semuanya, maka boleh, sebagaimana boleh dibagikan ketika mereka semua mendustakannya. Ia menafsirkan perkataan Imam al-Syafi‘i RA bahwa itu berlaku jika ia memilih membagikannya hanya kepada yang membenarkannya.
Dan jika penjual berkata, “Aku membatalkannya sebelum taʾbīr, maka buahnya milikku,” lalu orang yang bangkrut membenarkannya, dan para kreditur mendustakannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, diterima ucapan orang yang bangkrut karena ia tidak tertuduh.
والثاني لا يقبل لأنه تعلق به حق الغرماء فلم يقبل إقراره فيه فإذا قلنا بهذا فهل يحلف الغرماء؟ فيه طريقان: فمن أصحابنا من قال هي على القولين كما قلنا في القسم قبله ومنهم من قال يحلفون قولاً واحداً لأن اليمين ههنا توجهت عليهم ابتداء وفي القسم قبله توجهت اليمين على المفلس فلما نكل نقلت إليهم.
Dan pendapat kedua: tidak diterima (pengakuan orang yang bangkrut), karena telah terkait padanya hak para kreditur, maka tidak diterima pengakuannya atasnya. Jika kita mengambil pendapat ini, apakah para kreditur bersumpah? Dalam hal ini terdapat dua ṭarīq (jalan pendalilan):
Sebagian ulama kami berkata: hal ini mengikuti dua pendapat sebelumnya, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam bagian sebelumnya.
Sebagian lainnya berkata: para kreditur wajib bersumpah menurut satu pendapat saja, karena sumpah dalam kasus ini ditujukan kepada mereka sejak awal, sedangkan dalam bagian sebelumnya sumpah awalnya ditujukan kepada orang yang bangkrut, lalu ketika ia enggan bersumpah barulah dipindahkan kepada mereka.
فصل: وإن كان المبيع جارية فحبلت في ملك المشتري نظرت فإذا أفلس بعد الوضع رجع في الجارية دون الولد كما قلنا في الرد بالعيب ولا يجوز التفرق بين الأم والولد فإما أن يرد البائع قيمة الولد فيأخذه مع الأم أو تباع الأم والولد فيأخذ البائع ثمن الأم ويأخذ المفلس ثمن الولد ومن أصحابنا من قال إما أن يزن قيمة الولد فيأخذه مع الأم وإما أن يسقط حقه من الرجوع والمذهب الأول لأنه وجد عين ماله خالياً عن حق غيره فثبت له الرجوع
PASAL: Jika barang yang dijual adalah seorang jāriyah lalu ia hamil dalam kepemilikan pembeli, maka hal itu ditinjau. Jika pembeli bangkrut setelah melahirkan, maka penjual berhak kembali pada jāriyah tanpa anaknya, sebagaimana telah kami sebutkan dalam pengembalian karena cacat. Tidak boleh dipisahkan antara ibu dan anak, maka penjual punya dua pilihan: ia mengembalikan nilai anak lalu mengambil anak bersama ibunya, atau ibu dan anak dijual lalu penjual mengambil harga ibu dan si bangkrut mengambil harga anak.
Sebagian sahabat kami berkata: penjual hanya punya dua pilihan, menimbang nilai anak lalu mengambilnya bersama ibunya, atau menggugurkan haknya untuk kembali. Namun mazhab yang pertama lebih kuat, karena penjual mendapatkan kembali barang miliknya dalam keadaan kosong dari hak orang lain, maka tetaplah baginya hak untuk kembali.
وإن أفلس قبل الوضع فإن قلنا لا حكم للحمل رجع فيهما لأنه كالسمن وإن قلنا إن الحمل له حكم رجع في الأم دون الحمل لأنه كالحمل المنفصل فإن باعها وهي حبلى ثم أفلس المشتري نظرت فإن أفلس قبل الوضع رجع فيهما وإن أفلس بعد الوضع فإن قلنا للحمل حكم رجع فيهما لأنهما كعينين باعهما وإن قلنا لا حكم للحمل رجع في الأم دون الحمل لأنه نماء تميز في ملك المشتري فلم يرجع فيه البائع ولا يفرق بين الأم والولد على ما ذكرناه.
Dan jika ia bangkrut sebelum melahirkan, maka jika kita katakan bahwa janin tidak memiliki hukum, penjual berhak kembali pada keduanya, karena janin itu seperti gemuk. Namun jika kita katakan janin memiliki hukum, maka penjual hanya kembali pada ibu tanpa janin, karena kedudukannya seperti janin yang terpisah.
Jika pembeli menjual jāriyah itu dalam keadaan hamil lalu ia bangkrut, maka hal itu ditinjau. Jika ia bangkrut sebelum melahirkan, maka penjual kembali pada keduanya. Jika ia bangkrut setelah melahirkan, maka jika kita katakan janin memiliki hukum, penjual kembali pada keduanya, karena keduanya seperti dua barang yang dijual. Dan jika kita katakan janin tidak memiliki hukum, maka penjual hanya kembali pada ibu tanpa anak, karena anak itu adalah namā’ yang terpisah dalam milik pembeli, maka penjual tidak kembali padanya. Dan tidak boleh dipisahkan antara ibu dan anak sebagaimana telah kami sebutkan.
فصل: وإن كان المبيع طعاماً فطحنه المشتري أو ثوباً فقصره ثم أفلس نظرت فإن لم تزد قيمته بذلك واختار البائع الرجوع رجع فيه ولا يكون المشتري شؤيكاً له بقدر عمله لأن عمله قد استهلك ولم يظهر له أثر وإن زادت قيمته بأن كانت عشر قيمته فصارت قيمته خمسة عشر ففيه قولان: أحدهما أن البائع يرجع فيه ولا يكون المشتري شريكاً له بقدر ما عمل فيه وهو قول المزني لأنه لم يضف إلى المبيع عيناً وإنما فرق بالطحن أجزاء مجتمعة وفي القصارة أظهر بياضاً كان كامناً في الثوب فلم يصر شريكاً للبائع في العين كما لو كان المبيع جوزاً فكسره ولأنه زيادة لا تتميز فلم يتعلق بها حق المفلس كما لو كان المبيع غلاماً فعلمه أو حيواناً فسمنه
PASAL: Jika barang yang dijual adalah makanan lalu digiling oleh pembeli, atau kain lalu diputihkan (quṣṣira) olehnya, kemudian ia bangkrut, maka hal itu ditinjau. Jika nilainya tidak bertambah dengan itu, dan penjual memilih untuk kembali, maka ia berhak kembali padanya, dan pembeli tidak menjadi sekutu baginya sebanding dengan pekerjaannya, karena pekerjaannya telah lenyap dan tidak tampak hasilnya.
Namun jika nilainya bertambah, misalnya dari sepuluh menjadi lima belas, maka ada dua pendapat. Pertama, penjual berhak kembali padanya dan pembeli tidak menjadi sekutu baginya sebanding dengan pekerjaannya. Ini adalah pendapat al-Muzani, karena pembeli tidak menambahkan sesuatu pada barang yang dijual, hanya saja dengan penggilingan ia memisahkan bagian-bagian yang sudah menyatu, dan dengan pemutihan ia menampakkan warna putih yang sudah ada dalam kain. Maka ia tidak menjadi sekutu penjual dalam barang itu, sebagaimana jika barang yang dijual adalah kacang lalu dipatahkan, atau jika barang itu seorang budak lalu diajari, atau hewan lalu digemukkan.
والثاني أن المشتري يكون شريكاً للبائع بقدر ما زاد بالعمل ويكون حكم العمل حكم العين وهو الصحيح لأنها زيادة حصلت بفعله فصار شريكاً كما لو كان المبيع ثوباً فصبغه ولأن القصار يملك حبس العين لقبض الأجرة كما يملك البائع حبس المبيع لقبض الثمن فدل على أن العمل كالعين بخلاف كسر الجوز وتعلين الغلام وتسمين الحيوان فإن الأجير على هذه الأشياء لا يملك حبس العين لقبض الأجرة فعلى هذا يباع الثوب فيصرف ثلث الثمن إلى الغرماء والثلثان إلى البائع وإن كان قد استأجر المشتري من قصر الثوب وطحن الطعام ولم يدفع إليه الأجرة دفع الأجرة إلى الأجير من ثمن الثوب لأن الزيادة حصلت بفعله فقضى حقه من بدله.
Dan pendapat kedua: pembeli menjadi sekutu bagi penjual sebanding dengan tambahan nilai yang muncul dari pekerjaannya, dan hukum pekerjaan diperlakukan seperti hukum barang. Inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena tambahan itu muncul dari usahanya, maka ia berhak menjadi sekutu, sebagaimana jika barang yang dijual adalah kain lalu ia mewarnainya.
Selain itu, tukang pemutih (al-qaṣṣār) memiliki hak menahan barang untuk mengambil upahnya, sebagaimana penjual berhak menahan barang untuk mengambil harga, maka hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan itu seperti barang. Berbeda halnya dengan memecah kacang, mengajarkan budak, atau menggemukkan hewan, karena pekerja pada hal-hal itu tidak berhak menahan barang untuk mengambil upahnya.
Berdasarkan itu, kain tersebut dijual, lalu sepertiga dari harganya diberikan kepada para kreditur, dan dua pertiga kepada penjual. Jika pembeli menyewa orang untuk memutihkan kain atau menggiling makanan dan ia belum membayar upahnya, maka upah itu diambil dari harga kain, karena tambahan nilai itu muncul dari pekerjaannya, maka haknya ditunaikan dari gantinya.
فصل: وإن اشترى من رجل ثوباً بعشرة ومن آخر صبغاً بخمسة فصبغ به الثوب ثم أفلس نظرت فإن لم تزد ولم تنقص بأن صار قيمة الثوب خمسة عشر فقد وجد كل واحد من البائعين عين ماله فإن اختار الرجوع صار الثوب بينهما لصاحب الثوب الثلثان ولصاحب الصبغ الثلث وإن نقص فصار قيمة الثوب اثني عشر فقد وجد بائع الثوب عين ماله ووجد بائع الصبغ بعض ماله لأن النقص دخل عليه بهلاك بعضه فإن اختار الرجوع كان لبائع الثوب عشرة ولبائع الصبغ درهمان ويضرب بما هلك من ماله وهو ثلاثة مع الغرماء وإن زاد فصار يساوي الثوب عشرين درهماً بنينا على القولين في أن زيادة القيمة بالعمل كالعين أم لا فإن قلنا أنها ليست كالعين حصلت الزيادة في مالهما فيسقط بينهما على الثلث والثلثين لصاحب الثوب الثلثان ولصاحب الصبغ الثلث وإن قلنا إنها كالعين كانت الزيادة للمفلس فيكون شريكاً للبائعين بالربع.
PASAL: Jika seseorang membeli dari seseorang sehelai kain seharga sepuluh dirham, dan dari orang lain pewarna seharga lima dirham, lalu ia mewarnai kain tersebut dengan pewarna itu, kemudian ia bangkrut, maka hal ini dilihat:
Jika nilainya tidak bertambah dan tidak berkurang — yakni nilai kain menjadi lima belas dirham — maka masing-masing penjual menemukan kembali barangnya secara utuh. Jika keduanya memilih mengambil kembali barangnya, maka kain menjadi milik bersama: dua pertiga milik penjual kain, dan sepertiganya milik penjual pewarna.
Jika nilainya berkurang menjadi dua belas dirham, maka penjual kain menemukan kembali barangnya secara utuh, sedangkan penjual pewarna hanya mendapatkan sebagian dari haknya karena kekurangan itu berasal dari kerusakan sebagian miliknya. Jika ia memilih mengambil kembali barangnya, maka penjual kain mendapat sepuluh dirham, dan penjual pewarna mendapat dua dirham, serta ia menuntut sisa kerugian tiga dirham bersama para kreditur.
Jika nilainya bertambah menjadi dua puluh dirham, maka permasalahannya dikembalikan pada dua pendapat: apakah pertambahan nilai karena pekerjaan (seperti pencelupan) dihukumi sebagai bagian dari barang itu sendiri atau tidak.
- Jika dikatakan bahwa pertambahan itu bukan bagian dari barang, maka tambahan itu terjadi atas harta milik keduanya, sehingga dibagi antara mereka berdua: dua pertiga untuk pemilik kain, dan sepertiga untuk pemilik pewarna.
- Jika dikatakan bahwa pertambahan itu seperti bagian dari barang, maka tambahan nilai tersebut menjadi milik si bangkrut, sehingga ia menjadi sekutu bagi kedua penjual dalam kepemilikan barang itu sebesar seperempat.
فصل: وإن كان المبيع أرضاً فبناها أو غرسها فإذا أنفق المفلس والغرماء على قلع البناء والغراس ثبت للبائع الرجوع في الأرض لأنه وجد عين ماله خالياً عن حق غيره فجاز له الرجوع فإن رجع فيها ثم قلعوا البناء والغراس لزم المفلس تسوية الأرض وأرش نقص إن حدث بها من القلع لأنه نقص حصل لتخليص ماله ويقدم ذلك على سائر الديون لأنه يجب لإصلاح ماله فقدم ذلك كعلف البهائم وأجرة النقال وإن امتنعوا من القلع لم يجبروا لقوله صلى الله عليه وسلم: “ليس لعرق ظالم حق”
PASAL: Jika barang yang dijual adalah tanah, lalu dibangun atau ditanami, maka apabila si pailit dan para kreditur menanggung biaya untuk mencabut bangunan dan tanaman, maka penjual berhak untuk kembali mengambil tanah itu karena ia mendapati barang miliknya dalam keadaan kosong dari hak orang lain, maka boleh baginya untuk menarik kembali. Jika ia menarik kembali tanah itu, kemudian mereka mencabut bangunan dan tanaman, maka si pailit wajib meratakan tanah dan mengganti kerugian jika terjadi kekurangan akibat pencabutan itu, karena kerugian tersebut timbul demi menyelamatkan harta miliknya, dan hal itu didahulukan atas utang-utang lainnya karena kewajiban itu bertujuan memperbaiki barang miliknya, sehingga didahulukan seperti biaya pakan hewan dan ongkos pengangkutan. Namun jika mereka menolak mencabutnya, maka mereka tidak dipaksa, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada hak bagi akar yang zalim.”
وهذا غرس وبناء بحق فقال البائع أنا أعطي قيمة الغراس والبناء وآخذه مع الأرض أو قلع وأضمن أرش النقص ثبت له الرجوع لأنه يرجع في عين ماله من غير إضرار وإن امتنع المفلس والغرماء من القلع وامتنع البائع من بذل العوض وأرش النقص فقد روى المزني فيه قولين: أحدهما أنه يرجع والثاني أنه لا يرجع فمن أصحابنا من قال إن كانت قيمة الغراس والبناء أقل من قيمة الأرض فله أن يرجع لأن الغراس والبناء تابع فلم يمنع الرجوع
PASAL: Dan ini adalah tanam dan bangunan yang dilakukan secara sah. Maka jika penjual berkata, “Aku akan membayar nilai tanaman dan bangunan itu lalu mengambil tanah bersamanya,” atau ia berkata, “Cabutlah, dan aku akan menanggung ganti rugi atas kerusakan yang timbul,” maka ia berhak untuk menarik kembali karena ia mengambil kembali barang miliknya tanpa menimbulkan kerugian. Namun, jika si pailit dan para kreditur menolak mencabut, dan penjual juga menolak memberikan ganti rugi serta arasy atas kekurangan, maka al-Muzani meriwayatkan dua pendapat dalam hal ini: pertama, bahwa ia boleh menarik kembali; dan kedua, bahwa ia tidak boleh menarik kembali. Di antara para sahabat kami ada yang mengatakan: jika nilai tanaman dan bangunan lebih rendah dari nilai tanah, maka ia boleh menarik kembali karena tanaman dan bangunan itu dianggap sebagai pelengkap, sehingga tidak menghalangi hak penarikan kembali.
وإن كانت قيمة الغراس والبناء أكثر من قيمة الأرض لم يرجع لأن الأرض صارت كالتبع للغراس والبناء وحمل القولين على هذين الحالين وذهب المزني وأبو العباس وأبو إسحاق إلى أنها على قولين: أحدهما يرجع لأنه وجد عين ماله مشغولاً بملك المفلس فثبت له الرجوع كما لو كان المبيع ثوباً فصبغه المفلس بصبغ من عنده والثاني لا يرجع لأنه إذا رجع في الأرض بقي الغراس والبناء من غير طريق ومن غير شرب فيدخل الضرر على المفلس والضرر لا يزال بالضرر
Dan jika nilai tanaman dan bangunan lebih tinggi daripada nilai tanah, maka penjual tidak boleh menarik kembali, karena tanah menjadi seperti pelengkap bagi tanaman dan bangunan. Maka dua pendapat itu dibawa pada dua kondisi ini.
Al-Muzani, Abū al-‘Abbās, dan Abū Isḥāq berpendapat bahwa masalah ini tetap pada dua pendapat:
Pertama, bahwa penjual boleh menarik kembali, karena ia mendapati barang miliknya yang sedang dikuasai oleh milik si pailit, maka tetap baginya hak penarikan, sebagaimana jika barang yang dijual adalah kain lalu si pailit mewarnainya dengan pewarna miliknya sendiri.
Kedua, bahwa penjual tidak boleh menarik kembali, karena jika ia menarik kembali tanahnya, maka tanaman dan bangunan akan tertinggal tanpa akses dan tanpa saluran air, sehingga hal itu menimbulkan kerugian bagi si pailit, sedangkan kerugian tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan kerugian lain.
فإن قلنا إنه يرجع وامتنع البائع عن بذل العوض وأرش النقص وامتنع المفلس والغرماء من القلع فهل يجبر البائع على البيع؟ فيه قولان: أحدهما يجبر لأن الحاجة تدعوا إلى البيع لقضاء الدين فوجب أن يباع كما يباع الصبغ مع الثوب وإن لم يكن الصبغ له ويباع ولد المرهونة مع الرهن وإن لم يدخل في الرهن والثاني لا يجبر لأنه لايمكن إفراد كل واحد منهما بالبيع ولا يجبر على بيعها مع الغراس والبناء.
Jika kita berpendapat bahwa penjual boleh menarik kembali, namun penjual menolak untuk memberikan ganti rugi dan arasy kekurangan, dan si pailit serta para kreditur juga menolak mencabut tanaman dan bangunan, maka apakah penjual dipaksa untuk menjual tanahnya?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, penjual dipaksa untuk menjualnya karena kebutuhan menuntut adanya penjualan guna membayar utang, maka wajib dijual sebagaimana pewarna dijual bersama kain meskipun pewarna itu bukan miliknya, dan anak dari barang yang digadaikan dijual bersama barang gadai meskipun ia tidak termasuk dalam akad gadai.
Kedua, penjual tidak dipaksa, karena tidak memungkinkan untuk menjual masing-masing secara terpisah, dan tidak boleh dipaksa untuk menjualnya bersama tanaman dan bangunan.
فصل: وإن كان المبيع أرضاً فزرعها المشتري ثم أفلس واختار البائع الرجوع في الأرض جاز له لأنه وجد عين ماله مشغولاً بما ينقل فجاز له الرجوع فيه كما لو كان المبيع داراً وفيها متاع للمشتري فإن رجع في الأرض نظرت في الزرع فإن استحصد وجب نقله وإن لم يستحصد جاز تركه إلى أوان الحصاد من غير أجرة لأن زرعه في ملكه فإذا زال الملك جاز ترك الزرع إلى أوان الحصاد من غير أجرة كما لو زرع أرضه ثم باع الأرض.
PASAL: Jika barang yang dijual adalah tanah, lalu ditanami oleh pembeli, kemudian ia jatuh pailit dan penjual memilih untuk menarik kembali tanah tersebut, maka itu boleh baginya karena ia mendapati barang miliknya dalam keadaan ditempati sesuatu yang dapat dipindah, maka boleh baginya menarik kembali, sebagaimana jika yang dijual adalah rumah dan di dalamnya terdapat barang-barang milik pembeli.
Jika penjual menarik kembali tanahnya, maka diperhatikan tanaman yang ada di atasnya: jika tanaman itu telah siap dipanen, maka wajib dipindahkan; dan jika belum siap dipanen, maka boleh dibiarkan hingga waktu panen tanpa dikenakan sewa, karena tanaman itu ditanam di atas tanah milik pembeli, maka ketika kepemilikannya hilang, tetap boleh membiarkan tanaman hingga masa panen tanpa sewa, sebagaimana jika seseorang menanam di atas tanah miliknya lalu menjual tanah itu.
فصل: وإن كان المبيع من ذوات الأمثال كالحبوب والأدهان فخلطه بجنسه نظرت فإن خلطه بمثله كان للبائع أن يرجع لأن عين ماله موجود من جهة الحكم ويملك أخذه بالقسمة فإن رجع واتفقا على القسمة قسم ودفع إليه مثل مكيلته فإن طلب البائع البيع فهل يجبر المفلس فيه وجهان: أحدهما لا يجبر لأنه تمكن القسمة فلا يجبر على البيع كالمال بين الشريكين
PASAL: Jika barang yang dijual termasuk dzawāt al-amtsāl seperti biji-bijian dan minyak, lalu dicampur dengan sejenisnya, maka dilihat kembali: jika dicampur dengan yang sejenis, maka penjual berhak untuk menarik kembali karena ‘ain miliknya masih ada dari segi hukum, dan ia berhak mengambilnya melalui pembagian. Jika ia menarik kembali dan keduanya sepakat untuk melakukan pembagian, maka dibagi dan diberikan kepadanya sebanyak takaran miliknya. Jika penjual meminta agar dijual, maka apakah si muflis dipaksa untuk menjual? Ada dua pendapat:
Pertama, tidak dipaksa karena pembagian memungkinkan, maka ia tidak dipaksa untuk menjual sebagaimana harta antara dua orang yang berserikat.
والثاني يجبر لأنه إذا بيع وصل البائع إلى بدل ماله بعينه وإذا قسم لم يصل إلى جميع ماله ولا إلى بدله وإن خلطه بأردأ منه فله أن يرجع لأن عين ماله موجودة من طريق الحكم فملك أخذه بالقسمة وكيف يرجع فيه وجهان: قال أبو إسحاق يباع الزيتان ويقسم ثمنه بينهما على قدر قيمتهما لأنه إن أخذ مثل زيته بالكيل كان ذلك أنقص من حقه وإن أخذ أكثر من زيته كان ربا فوجب البيع
Dan pendapat kedua: dipaksa, karena jika dijual, penjual akan memperoleh pengganti dari ‘ain hartanya, sedangkan jika dibagi, ia tidak akan memperoleh seluruh hartanya dan tidak pula penggantinya.
Dan jika ia mencampurkannya dengan jenis yang lebih rendah mutunya, maka penjual berhak untuk menarik kembali karena ‘ain miliknya masih ada dari sisi hukum, sehingga ia berhak mengambilnya dengan pembagian.
Adapun bagaimana cara penjual menarik kembali, terdapat dua pendapat:
Abu Ishaq berkata: kedua minyak dijual, lalu hasil penjualannya dibagi di antara keduanya sesuai dengan kadar nilainya, karena jika ia mengambil semisal minyaknya berdasarkan takaran, maka hal itu akan mengurangi haknya, dan jika ia mengambil lebih dari minyaknya, maka itu termasuk riba, maka wajib dijual.
والثاني وهو المنصوص أنه يأخذ مثل زيته بالكيل لأنه وجد عين ماله ناقصاً فرجع فيه مع النقص كما لو كان عين ماله ثوباً فحدث به عيب عند المشتري فإن خلطه بأجود منه ففيه قولان: أحدهما يرجع وهو قول المزني لأنه وجد عين ماله مختلطاً بما لايتميز عنه فأشبه إذا خلطه بمثله أو كان ثوباً فصبغه والثاني أنه لا يرجع لأن عين ماله غير موجود حقيقة لأنه اختلط بما لا يمكن تمييزه منه حقيقة ولاحكماً لأنه لا يمكن المطالبة بمثل مكيلته منه ويخالف إذا خلطه بمثله لأنه تمكن المطالبة بمثل مكيلته ويخالف الثوب إذا صبغه لأن الثوب موجود وإنما تغير لونه
Dan pendapat kedua — dan inilah yang manshūṣ — bahwa ia mengambil semisal minyaknya berdasarkan takaran, karena ia mendapati ‘ain miliknya dalam keadaan berkurang, maka ia berhak menarik kembali meskipun dengan kekurangan, sebagaimana jika ‘ain miliknya adalah sebuah kain lalu mengalami cacat di tangan pembeli.
Jika minyaknya dicampur dengan yang lebih bagus mutunya, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia berhak menarik kembali, dan ini adalah pendapat al-Muzanī, karena ia mendapati ‘ain miliknya bercampur dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan darinya, maka serupa dengan jika ia mencampurnya dengan yang sejenis, atau jika barangnya adalah kain lalu dicelup.
Kedua, ia tidak berhak menarik kembali karena ‘ain miliknya tidak benar-benar ada, sebab telah bercampur dengan sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan darinya, baik secara hakikat maupun hukum, karena tidak mungkin menuntut semisal takarannya darinya. Hal ini berbeda dengan jika dicampur dengan yang sejenis, karena masih memungkinkan menuntut semisal takarannya. Dan berbeda pula dengan kain yang dicelup, karena kainnya masih ada, hanya saja warnanya yang berubah.
فإن قلنا إنه يرجع فكيف يرجع فيه قولان: أحدهما يباع الزيتان ويقسم ثمنه بينهما على قدر قيمتهما لأنه لا يمكن أن يأخذ مثل زيته بالكيل لأنه يأخذ أكثر من حقه ولا يمكن أن يأخذ أقل من زيته بالكيل لأنه ربا فوجب البيع والثاني يرجع من الزيت بقيمة مكيلته فيكون قد أخذ بعض حقه وترك بعضه باختياره.
Jika dikatakan bahwa ia berhak menarik kembali, maka bagaimana cara ia menarik kembali? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, kedua minyak dijual, lalu hasil penjualannya dibagi antara keduanya sesuai kadar nilainya, karena tidak mungkin ia mengambil semisal minyaknya dengan takaran — sebab jika ia mengambil lebih dari haknya maka itu melebihi haknya, dan jika ia mengambil kurang dari minyaknya maka itu termasuk riba, maka wajib dilakukan penjualan.
Kedua, ia menarik dari minyak tersebut senilai takaran miliknya, maka berarti ia telah mengambil sebagian haknya dan meninggalkan sebagian yang lain atas pilihannya.
فصل: وإن أسلم إلى رجل في شيء وأفلس المسلم إليه وحجر عليه فإن كان رأس المال باقياً فله أن يفسخ العقد ويرجع إلى عين ماله لأنه وجد عين ماله خالياً من حق غيره فرجع إليه كالمبيع وإن كان رأس المال تالفاً ضرب مع الغرماء بقدر المسلم فيه فإن لم يكن في ماله الجنس المسلم فيه اشترى ودفع إليه لأن أخذ العوض عن المسلم فيه لا يجوز وقال أبو إسحاق: إذا أفلس المسلم إليه فللمسلم أن يفسخ العقد ويضرب مع الغرماء برأس المال
PASAL: Jika seseorang melakukan salam kepada orang lain dalam suatu barang, lalu pihak yang menerima salam jatuh bangkrut dan dikenai ḥajr, maka jika modal masih ada, pihak yang menyerahkan modal berhak membatalkan akad dan mengambil kembali ‘ain miliknya, karena ia mendapati ‘ain miliknya bebas dari hak orang lain, maka ia kembali kepadanya seperti halnya barang jualan.
Jika modal telah rusak atau hilang, maka ia ikut serta bersama para kreditur sesuai kadar barang yang diserahkan dalam akad salam. Jika di dalam hartanya tidak ada barang sejenis yang menjadi objek salam, maka barang itu dibelikan dan diserahkan kepadanya, karena mengambil pengganti dari barang salam tidak diperbolehkan.
Abu Ishaq berkata: jika pihak penerima salam jatuh bangkrut, maka pihak pemberi salam berhak membatalkan akad dan ikut serta bersama para kreditur dengan modalnya.
لأنه يتعذر تسليم المسلم فيه فثبت الفسخ كما لو أسلم في الرطب فانقطع والمذهب أنه لا يثبت الفسخ لأنه غير واجد لعين ماله فلم يملك الفسخ بالإفلاس كما لو باعه عيناً فأفلس المشتري بالثمن والعين تالفة ويخالف إذا أسلم وانقطع الرطب لأن الفسخ هناك لتعذر المعقود عليه قبل التسليم وههنا الفسخ بالإفلاس والفسخ بالإفلاس إنما يكون لمن وجد عين ماله وهذا غير واجد لعين ماله فلم يملك الفسخ.
Karena sulit menyerahkan barang salam, maka menurut Abu Ishaq ditetapkan adanya hak fasakh, sebagaimana jika seseorang melakukan salam pada kurma basah lalu kurma itu habis.
Namun mazhab berpendapat bahwa fasakh tidak ditetapkan, karena ia tidak mendapati ‘ain miliknya, sehingga ia tidak berhak melakukan fasakh sebab pailit, sebagaimana jika ia menjual suatu barang, lalu pembeli jatuh bangkrut dengan harga yang belum dibayar sementara barang sudah rusak — maka tidak ada hak fasakh.
Hal ini berbeda dengan kasus salam pada kurma basah lalu kurma itu habis, karena fasakh di sana terjadi akibat hilangnya objek akad sebelum diserahkan. Sedangkan dalam kasus ini fasakh disebabkan pailit, dan fasakh karena pailit hanya berlaku bagi orang yang mendapati ‘ain miliknya, sementara di sini ia tidak mendapati ‘ain miliknya, maka ia tidak berhak melakukan fasakh.
فصل: وإن أكرى أرضاً فأفلس المكتري بالأجرة فإن كان قبل استيفاء شيء من المنافع فله أن يفسخ لأن المنافع في الإجارة كالأعيان المبيعة في البيع ثم إذا أفلس المشتري والعين باقية ثبت له الفسخ فكذلك إذا أفلس المكتري والمنافع باقية وجب أن يثبت له الفسخ وإن أفلس وقد استوفى بعض المنافع وبقي البعض ضرب مع الغرماء بحصة ما مضى وفسخ فيما بقي كما لو ابتاع عبدين وتلف عنده أحدهما ثم أفلس فإنه يضرب بثمن ما تلف مع الغرماء ويفسخ البيع فيما بقي
PASAL: Jika seseorang menyewakan tanah lalu penyewa jatuh bangkrut dengan kewajiban membayar sewa, maka jika itu terjadi sebelum ia mengambil manfaat sedikit pun, pemilik tanah berhak membatalkan akad. Sebab manfaat dalam akad ijārah kedudukannya seperti ‘ain barang dalam akad jual beli. Maka ketika pembeli jatuh bangkrut sementara ‘ain barang masih ada, ditetapkan baginya hak fasakh, demikian pula ketika penyewa jatuh bangkrut sementara manfaat masih ada, maka wajib ditetapkan baginya hak fasakh.
Jika ia jatuh bangkrut setelah mengambil sebagian manfaat dan masih tersisa sebagian, maka ia ikut serta bersama para kreditur untuk bagian manfaat yang sudah berlalu, dan membatalkan akad untuk bagian manfaat yang tersisa. Hal ini sebagaimana orang yang membeli dua budak lalu salah satunya rusak di tangannya kemudian ia jatuh bangkrut, maka ia ikut bersama para kreditur untuk harga budak yang rusak, dan membatalkan jual beli untuk yang masih tersisa.
فإن فسخ وفي الأرض زرع لم يستحصد نظرت فإن اتفق الغرماء والمفلس على تبقيته بأجرة إلى وقت الحصاد لزم المكري قبوله لأن زرع بحق وقد بذل له الأجرة لما بقي فلزمه قبوله وإن لم يبذل له الأجرة جاز له المطالبة بقطعه لأن التبقية إلى الحصاد لدفع الضرر عن المفلس والغرماء والضرر لا يزال بالضرر وفي تبقيته من غير عوض إضرار بالمكري وإن دعا بعضهم إلى القطع وبعضهم إلى التبقية نظرت فإن كان الزرع لا قيمة له في الحال كالطعام في أول ما يخرج من الأرض لم يقطع لأنه إذا قطع لم يكن له قيمة وإذا ترك صار له قيمة فقدم قول من دعا إلى الترك وإن كان له قيمة كالقصيل الذي يقطع ففيه وجهان: أحدهما يقدم قول من دعا إلى القطع لأن من دعا إلى القطع تعجل حقه فلم يؤخر والثاني وهو قول أبي إسحاق أنه يفعل ما هو أحظ والأول أظهر.
Jika dibatalkan (akadnya), sedangkan di tanah tersebut terdapat tanaman yang belum siap dipanen, maka dilihat keadaannya: apabila para kreditur (ghurmā’) dan orang yang bangkrut (muflis) sepakat untuk membiarkan tanaman itu hingga waktu panen dengan membayar sewa, maka pemilik tanah (mukri) wajib menerima hal itu, karena tanaman itu tumbuh secara sah dan mereka telah menawarkan sewa atas sisa waktu, maka wajib diterima olehnya. Namun jika mereka tidak menawarkan sewa, maka pemilik tanah boleh meminta agar tanaman tersebut dicabut, karena membiarkannya hingga waktu panen hanya untuk mencegah kerugian bagi si bangkrut dan para kreditur, sedangkan ḍarar tidak boleh dihilangkan dengan ḍarar lain, dan membiarkannya tanpa imbalan akan merugikan pemilik tanah.
Jika sebagian dari mereka meminta pencabutan dan sebagian yang lain meminta agar dibiarkan, maka dilihat keadaannya: jika tanaman tersebut tidak memiliki nilai pada saat itu, seperti makanan yang baru tumbuh dari tanah, maka tidak boleh dicabut, karena jika dicabut tidak memiliki nilai, namun jika dibiarkan akan memiliki nilai. Maka didahulukan pendapat yang meminta agar dibiarkan. Tetapi jika tanaman itu sudah memiliki nilai, seperti rumput segar (al-qaṣīl) yang biasa dipotong, maka ada dua pendapat:
- Pertama, didahulukan pendapat yang meminta pencabutan, karena yang meminta pencabutan ingin segera mendapatkan haknya, sehingga tidak ditunda.
- Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, dilakukan mana yang lebih memberikan keuntungan (aḥaẓ).
Namun pendapat pertama lebih kuat.
فصل: إذا قسم مال المفلس بين الغرماء ففي حجره وجهان: أحدهما يزول الحجر لأن المعنى الذي لأجله حجر عليه حفظ المال على الغرماء وقد زال ذلك فزال الحجر كالمجنون إذا أفاق والثاني لا يزول إلا بالحاكم لأنه حجر ثبت بالحاكم فلم يزل إلا بالحاكم كالحجر على المبذر.
PASAL: Jika harta orang yang bangkrut telah dibagi kepada para kreditur, maka dalam hal status larangan bertindak (ḥajr) atasnya terdapat dua pendapat:
Pertama, larangan tersebut gugur, karena sebab yang menjadi dasar pelarangan, yaitu menjaga harta untuk para kreditur, telah hilang, maka larangan pun hilang sebagaimana orang gila ketika telah sembuh.
Kedua, larangan tidak gugur kecuali dengan keputusan hakim, karena larangan itu ditetapkan oleh hakim, maka tidak bisa gugur kecuali dengan keputusan hakim, sebagaimana larangan atas orang yang boros (mubadzdzir).
فصل: ومن مات وعليه ديون تعلقت الديون بماله كما تتعلق بالحجر في حياته فإن كان عليه دين مؤجل حل الدين بالموت لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا مات الرجل وله دين إلى أجل وعليه دين إلى أجل فالذي عليه حال والذي له إلى أجله” ولأن الأجل جعل رفقاً بمن عليه الدين والرفق بعد الموت أن يقضي دينه وتبرأ ذمته والدليل عليه ما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “نفس المؤمن مرتهنة في قبره بدينه إلى أن يقضى عنه”.
PASAL: Siapa yang meninggal dunia dalam keadaan memiliki utang, maka utang-utang tersebut menjadi tanggungan hartanya, sebagaimana utang itu menjadi tanggungan saat ia masih hidup di masa ḥajr. Jika ia memiliki utang yang masih bertempo (muʾajjal), maka tempo tersebut menjadi jatuh tempo dengan kematiannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn ʿUmar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila seseorang meninggal dunia dan ia mempunyai utang yang bertempo dan juga piutang yang bertempo, maka yang menjadi tanggungannya menjadi jatuh tempo, sedangkan yang menjadi haknya tetap sesuai temponya.” Karena tempo diberikan sebagai keringanan bagi orang yang berutang, sedangkan keringanan setelah kematian adalah dengan melunasi utangnya dan membebaskan tanggungannya. Dalilnya adalah riwayat dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Ruh seorang mukmin tergadai di kuburnya karena utangnya hingga utangnya dibayarkan.”
فصل: فإن تصرف الوارث في التركة قبل مضي الدين ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه مال تعلق به دين فلا يصح التصرف فيه من غير رضى من له الحق كالمرهون والثاني يصح لأنه حق تعلق بالمال من غير رضى المالك فلم يمنع التصرف كمال المريض وإن قلنا إنه يصح فإن قضى الوارث الدين نفذ تصرفه وإن لم يقضي فسخنا وإن باع عبداً ومات وتصرف الوارث في التركة ثم وجد المشتري بالعبد عيباً فرده أو وقع في بئر كان حفرها بهيمة في تصرف الورثة وجهان: أحدهما أنه يصح لأنهم تصرفوا في ملك لهم لا يتعلق به حق أحد
PASAL: Jika ahli waris melakukan tindakan terhadap harta warisan sebelum pelunasan utang, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah, karena harta tersebut terkait dengan utang, sehingga tidak sah diperlakukan tanpa izin pihak yang berhak, seperti barang yang digadaikan.
Kedua, sah, karena hak tersebut terkait pada harta tanpa persetujuan pemiliknya, sehingga tidak menghalangi tindakan, sebagaimana harta orang sakit.
Jika dikatakan sah, maka apabila ahli waris melunasi utang, tindakan mereka berlaku. Namun jika tidak dilunasi, maka tindakan itu dibatalkan.
Jika mereka menjual seorang budak lalu budak itu meninggal, atau ahli waris melakukan tindakan terhadap harta warisan, kemudian pembeli menemukan cacat pada budak dan mengembalikannya, atau budak itu jatuh ke dalam sumur yang digali oleh hewan dalam masa pengelolaan ahli waris, maka ada dua pendapat:
Pertama, bahwa tindakan itu sah karena mereka telah bertindak pada milik mereka yang tidak terkait dengan hak siapa pun.
والثاني يبطل لأنا تبينا أنهم تصرفوا والدين متعلق بالتركة فإن كان في غرماء الميت من باع شيئاً ووجد عين ماله فإن لم تف التركة بالدين فهو بالخيار بين أن يضرب مع الغرماء بالثمن وبين أن يفسخ ويرجع في عين ماله لما روي عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال في رجل أفلس هذا الذي قضى فيه رسول الله صلى الله عليه وسلم “أيما رجل مات أو أفلس فصاحب المتاع أحق بمتاعه إذا وجده بعينه” فإن كانت التركة تفي بالدين ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي سعيد الإصطخري رحمه الله أن له أن يرجع في عين ماله لحديث أبي هريرة والثاني لا يجوز أن يرجع في عين ماله وهو المذهب لأن المال يفي بالدين فلم يجز الرجوع في المبيع كالحي المليء وحديث أبي هريرة قد روى فيه أبو بكر النيسابوري وإن خالف وفاء فهو أسوة الغرماء.
Dan pendapat kedua: batal, karena telah nyata bahwa mereka (ahli waris) melakukan tindakan sementara utang masih melekat pada harta warisan.
Jika di antara para kreditur si mayit terdapat seseorang yang pernah menjual sesuatu dan mendapati kembali barang miliknya (yang dijual), maka:
- Jika harta warisan tidak mencukupi untuk membayar utang, ia berhak memilih antara ikut bersama para kreditur lainnya dengan menagih harga barang, atau membatalkan akad dan mengambil kembali barangnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa ia berkata tentang seseorang yang pailit: Inilah yang diputuskan oleh Rasulullah SAW: “Barang siapa yang mati atau pailit, maka pemilik barang lebih berhak atas barangnya selama masih ditemukan secara langsung.”
Namun jika harta warisan mencukupi untuk membayar utang, maka ada dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī rahimahullah, bahwa ia tetap boleh mengambil kembali barang miliknya berdasarkan hadis Abū Hurairah.
Kedua, tidak boleh mengambil kembali barangnya, dan ini adalah al-madhhab, karena harta warisan cukup untuk membayar utang, maka tidak diperbolehkan mengambil barang yang dijual, seperti halnya orang hidup yang mampu membayar.
Adapun hadis Abū Hurairah telah diriwayatkan oleh Abū Bakr an-Naisābūrī, meskipun bertentangan dengan kaidah wafā’ (kemampuan pelunasan), maka penjual tersebut sebanding (statusnya) dengan para kreditur lainnya.
فصل: إذا قسم مال المفلس أو مال الميت بين الغرماء ثم ظهر غريم آخر رجع على الغرماء وشاركهم فيما أخذوه على قدر دينه لأنا إنما قسمنا بينهم بحكم الظاهر إنه لا غريم له غيرهم فإذا بان بخلاف ذلك وجب نقض القسمة كالحاكم إذا حكم بحكم ثم وجد النص بخلافه وإن أكرى رجل داره سنة وقبض الأجرة وتصرف فيها ثم أفلس وقسم ماله بين الغرماء ثم انهدمت الدار في أثناء المدة فإن المكتري يرجع على المفلس بأجرة ما بقي وهل يشارك الغرماء فيما اقتسموا به أم لا؟ ففيه وجهان: أحدهما لا يشاركهم لأنه دين وجب بعد القسمة فلم يشارك به الغرماء فيما اقتسموا كما لو استقرض مالا ًبعد القسمة
PASAL: Jika harta orang yang pailit atau harta orang mati telah dibagikan kepada para kreditur, kemudian muncul kreditur lain, maka ia boleh menuntut kepada para kreditur dan ikut serta dalam bagian yang telah mereka ambil sesuai kadar utangnya. Karena pembagian tersebut dilakukan berdasarkan hukum lahiriah bahwa tidak ada kreditur selain mereka, maka ketika ternyata sebaliknya, wajib membatalkan pembagian itu, sebagaimana seorang hakim yang memutuskan suatu perkara, lalu ditemukan nash yang bertentangan dengannya.
Dan jika seseorang menyewakan rumahnya selama setahun, lalu ia telah menerima uang sewa dan menggunakannya, kemudian ia jatuh pailit dan hartanya dibagikan kepada para kreditur, lalu rumah itu runtuh di tengah masa sewa, maka penyewa berhak menuntut kepada orang yang pailit atas uang sewa masa yang tersisa. Apakah ia ikut serta dalam harta yang telah dibagi kepada para kreditur atau tidak? Maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, ia tidak ikut serta karena utang tersebut muncul setelah pembagian, maka ia tidak ikut serta dengan para kreditur dalam bagian yang telah dibagi, sebagaimana orang yang meminjamkan harta setelah pembagian.
والثاني يشاركهم لأنه دين وجب بسبب قبل الحجر فشارك به الغرماء كما لو انهدمت الدار قبل القسمة ويخالف القرض لأنه دينه لا يستند ثبوته إلى ما قبل الحجر وهذا استند إلى ما قبل الحجر ولأن المقرض لا يشارك الغرماء في المال قبل القسمة والمكتري يشاركهم في المال قبل القسمة فشاركهم بعد القسمة.
Dan pendapat kedua, ia ikut serta bersama para kreditur, karena utang tersebut wajib disebabkan oleh sesuatu yang terjadi sebelum ditetapkannya larangan bertindak (ḥajr), maka ia berhak ikut serta bersama para kreditur, sebagaimana jika rumah itu runtuh sebelum pembagian.
Dan hal ini berbeda dengan kasus pinjaman (qarḍ), karena utang dalam pinjaman tidak berpijak pada sebab yang terjadi sebelum ḥajr, sedangkan utang dalam sewa ini berpijak pada sebab yang telah terjadi sebelum ḥajr.
Selain itu, pemberi pinjaman tidak berhak ikut serta bersama para kreditur dalam harta sebelum pembagian, sedangkan penyewa (muktarī) berhak ikut serta dalam harta sebelum pembagian, maka ia juga ikut serta setelah pembagian.
باب الحجر
إذا ملك الصبي أو المجنون مالاً حجر عليه في ماله والدليل عليه قوله تعالى: {وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} فدل على أنه لا يسلم إليه مال قبل البلوغ والرشد.
BAB HUKUM PEMBATASAN (ḤAJR)
Jika seorang anak kecil atau orang gila memiliki harta, maka dikenakan ḥajr atas hartanya. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Wa abtalū al-yatāmā ḥattā idhā balaghū al-nikāḥ fa in ānastum minhum rushdan fa adfa‘ū ilayhim amwālahum} (QS. An-Nisā’: 6), yang menunjukkan bahwa tidak boleh diserahkan harta kepadanya sebelum mencapai baligh dan memiliki rushd.
فصل: وينظر في ماله الأب ثم الجد لأنها ولاية على حق الصغير فقدم الأب والجد فيهما على غيرهما كولاية النكاح فإن لم يكن أب ولا جد نظر فيه الوصي لأنه نائب عن الأب والجد فقدم على غيره وإن لم يكن وصي نظر السلطان لأن الولاية من جهة القرابة قد سقطت فثبتت للسلطان كولاية النكاح وقال أبو سعيد الإصطخري: فإن لم يكن أب ولا جد نظرت الأم لأنها أحد الأبوين فثبت لها الولاية في المال كالأب والمذهب إنه لا ولاية لها لأنها ثبتت بالشرع فلم تثبت للأم كولاية النكاح.
PASAL: Dalam urusan harta anak kecil, yang pertama kali berwenang adalah ayah, kemudian kakek, karena ini adalah bentuk perwalian atas hak anak kecil, maka ayah dan kakek didahulukan atas selain keduanya sebagaimana dalam perwalian nikah.
Jika tidak ada ayah maupun kakek, maka yang berwenang adalah waṣī (wali wasiat), karena ia merupakan wakil dari ayah atau kakek, maka ia lebih didahulukan daripada yang lain.
Jika tidak ada waṣī, maka yang berwenang adalah sulṭān (penguasa), karena perwalian dari jalur kekerabatan telah gugur, maka beralih kepada penguasa sebagaimana dalam perwalian nikah.
Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī berpendapat: Jika tidak ada ayah dan tidak ada pula kakek, maka yang memegang perwalian adalah ibu, karena ia salah satu dari kedua orang tua, maka ia memiliki hak perwalian dalam urusan harta seperti halnya ayah.
Namun al-madhhab menyatakan bahwa ibu tidak memiliki hak perwalian, karena perwalian tersebut ditetapkan oleh syariat, maka tidak diberikan kepada ibu, sebagaimana dalam perwalian nikah.
فصل: ولا يتصرف الناظر في ماله إلا على النظر والاحتياط ولا يتصرف إلا فيما فيه حظ واغتباط فأما ما لا حظ فيه كالعتق والهبة والمحاباة فلا يملكه لقوله تعالى: {وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} ولقول رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا ضرر ولا إضرار” وفي هذه التصرفات إضرار بالصبي فوجب أن لا يملكه ويجوز أن يتجر في ماله لما روى عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من ولى يتيماً وله مال فليتجر له بماله ولا يتركه حتى تأكله الصدقة”.
PASAL: Seorang nāẓir (pengelola harta anak kecil) tidak boleh bertindak dalam hartanya kecuali dengan mempertimbangkan kemaslahatan dan kehati-hatian. Ia hanya boleh bertindak dalam hal yang mengandung manfaat dan keuntungan.
Adapun hal-hal yang tidak mengandung manfaat seperti memerdekakan budak, memberi hibah, atau melakukan transaksi yang merugikan, maka ia tidak berhak melakukannya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa lā taqrabū māla al-yatīmi illā bi-allatī hiya aḥsan} (dan janganlah kalian dekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang terbaik), serta sabda Rasulullah SAW: “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh saling membahayakan.”
Karena tindakan-tindakan seperti itu mengandung unsur merugikan anak kecil, maka tidak boleh dilakukan. Namun boleh melakukan usaha dagang dengan hartanya, berdasarkan riwayat dari ʿAbdullāh bin ʿAmr bin al-ʿĀṣ RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menjadi wali bagi anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia memperdagangkan hartanya, dan jangan dibiarkan hingga habis dimakan oleh sedekah (zakat).”
فصل: ويبتاع له العقار لأنه يبقى وينتفع بغلته ولا يبتاع إلا من مأمون لأنه إذا لم يكن مأموناً لم يأمن أن يبيع مالاً يملكه ولا يبتاعه في موضع أشرف على الخراب أو يخاف عليه الهلاك لأن في ذلك تغريراً بالمال ويبنى له العقار ويبنيه بالآجر والطين ولا يبنيه باللبن والجص لأن الآجر يبقى واللبن يهلك والجص يجحف به والطين لا ثمن له والجص يتناثر ويذهب ثمنه والطين لا يتناثر وإن تناثر فلا ثمن له ولأن الآجر لا يتخلص من الجص إذا أراد نقضه ويتلف عليه ويتخلص من الطين فلا يتلف عليه ولا يبيع له العقار إلا في موضعين: أحدهما أن تدعو إليه الضرورة بأن يفتقر إلى النفقة وليس له مال غيره ولم يجد من يقرضه
PASAL: Boleh dibelikan tanah atau bangunan untuk anak kecil atau orang gila, karena itu bersifat tetap dan dapat dimanfaatkan hasilnya. Namun, pembelian itu tidak boleh dilakukan kecuali oleh orang yang terpercaya, karena jika bukan orang terpercaya, dikhawatirkan akan menjual harta miliknya atau membeli dengan cara yang merugikan.
Tidak boleh dibelikan di tempat yang hampir roboh atau dikhawatirkan akan binasa, karena hal itu merupakan bentuk membahayakan harta. Boleh dibangunkan bangunan untuknya, dan bangunan itu dibuat dari ājur (batu bata bakar) dan tanah liat (ṭīn), bukan dari laban (batu bata mentah) dan jiṣṣ (gips), karena ājur tahan lama, sedangkan laban mudah rusak, jiṣṣ merusak bangunan, dan ṭīn tidak memiliki harga. Jiṣṣ akan hancur dan nilainya hilang, sementara ṭīn tidak mudah hancur, dan jika pun hancur, tidak menyebabkan kerugian nilai.
Karena ājur tidak bisa dipisahkan dari jiṣṣ jika bangunan ingin dibongkar, maka ia rusak, sedangkan ājur bisa dipisahkan dari ṭīn sehingga tidak rusak.
Tidak boleh menjual properti untuknya kecuali dalam dua keadaan:
Pertama, karena adanya kebutuhan mendesak, seperti membutuhkan biaya hidup dan tidak ada harta lain yang dimiliki, serta tidak menemukan orang yang bersedia meminjamkan.
والثاني أن يكون له في بيعه غبطة وهو أن يطلب منه بأكثر من ثمنه فيباع له ويشتري ببعض الثمن مثله لأن البيع في هذين الحالين فيه حظ وفيما سواهما لا حظ فيه فلم يجز وإن باع العقار وسأل الحاكم أن يسجل له نظر فإن باعه الأب أو الجد سجل له لأنهما لا يتهمان في حق الولد وإن كان غيرهما لم يسجل حتى يقيم بينة على الضرورة أو الغبطة لأنه تلحقه للتهمة فلم يسجل له من غير بينة فإن بلغ الصبي وادعى أنه باع من غير ضرورة ولا غبطة فإن كان الولي أباً أو جداً فالقول قوله وإن كان غيرهما لم يقبل إلا ببينة
Dan yang kedua adalah apabila dalam penjualannya terdapat keuntungan, yaitu ketika properti itu ditawar lebih tinggi dari harganya, maka boleh dijual untuknya, lalu dibelikan properti serupa dengan sebagian dari harganya. Karena penjualan dalam dua keadaan ini mengandung maslahat, sedangkan di luar dua keadaan tersebut tidak ada maslahat, maka tidak diperbolehkan.
Jika properti telah dijual, lalu wali meminta kepada hakim untuk mencatatnya, maka hakim meninjaunya. Jika yang menjual adalah ayah atau kakek, maka hakim mencatatkan untuknya karena keduanya tidak dicurigai merugikan anak. Namun jika selain keduanya, maka hakim tidak mencatatkannya kecuali setelah didatangkan bukti adanya kebutuhan mendesak atau keuntungan, karena selain ayah dan kakek terindikasi memiliki kemungkinan melakukan penipuan, maka tidak boleh dicatat tanpa bukti.
Jika anak telah baligh lalu mengklaim bahwa properti dijual tanpa kebutuhan mendesak dan tanpa keuntungan, maka jika walinya adalah ayah atau kakek, maka ucapannya yang diterima. Namun jika selain keduanya, maka tidak diterima kecuali dengan bukti.
لما ذكرناه من الفرق فإن بيع في شركته شقص فإن كان الحظ في أخذه بالشفعة لمن يترك وإن كان الحظ في الترك لم يأخذ لأن بينا أن تصرفه على النظر والاحتياط فلا يفعل إلا ما يقتضي النظر والاحتياط. فإن ترك الشفعة والحظ في تركها ثم بلغ الصبي وأراد أن يأخذ فالمنصوص أنه لا يملك ذلك لأن ما فعل الولي مما فيه نظر لا يملك الصبي نقضه كما لو أخذوا الحظ في الأخذ فبلغ وأراد أن يرد من أصحابنا من قال: له أن يأخذ لأنه يملك بعد البلوغ التصرف فيما فيه حظ وفيما لا حظ فيه وقد بلغ فجاز أن يأخذ وإن لم يكن فيه حظ وهذا خطأ لأن له أن يتصرف فيما لا حظ فيه إذا كان باقياً وهذا قد سقط بعفو الولي فسقط فيه اختياره فإن بلغ وادعى أنه ترك الشفعة من غير غبطة فالحكم فيه كالحكم في بيع العقار وقد بيناه.
Karena alasan perbedaan yang telah kami sebutkan, maka jika dalam kemitraannya dijual syaqṣ (bagian milik) dan terdapat maslahat dalam mengambilnya melalui hak syuf‘ah, maka wajib diambil; dan jika maslahatnya ada dalam meninggalkannya, maka tidak diambil. Karena telah kami jelaskan bahwa tindakan wali harus berdasarkan pertimbangan maslahat dan kehati-hatian, maka ia tidak boleh melakukan kecuali apa yang mengandung maslahat dan kehati-hatian.
Jika wali meninggalkan hak syuf‘ah dan memang terdapat maslahat dalam meninggalkannya, lalu anak itu baligh dan ingin mengambilnya, maka pendapat yang ditegaskan adalah bahwa ia tidak berhak melakukannya. Karena tindakan wali yang didasarkan pada pertimbangan maslahat, maka anak tidak berhak membatalkannya—sebagaimana jika wali mengambil syuf‘ah karena ada maslahat, lalu anak baligh dan ingin menolaknya.
Sebagian dari kalangan kami mengatakan: anak boleh mengambilnya karena setelah baligh ia memiliki hak bertindak baik dalam perkara yang mengandung maslahat maupun tidak. Dan karena ia telah baligh, maka boleh mengambil meskipun tidak ada maslahat. Pendapat ini salah, karena anak boleh bertindak dalam perkara yang tidak mengandung maslahat jika perkara itu masih ada. Adapun yang ini telah gugur karena pengguguran oleh wali, maka gugur pula pilihannya.
Jika anak telah baligh lalu mengklaim bahwa wali telah meninggalkan syuf‘ah tanpa adanya keuntungan, maka hukumnya seperti dalam penjualan properti, dan telah kami jelaskan sebelumnya.
فصل: ولا يبيع ما له بنسيئة من غير غبطة فإن كانت السلعة تساوي مائة نقداً ومائة وعشرين نسيئة فباعها بمائة نسيئة فالبيع باطل لأنه باع بدون الثمن وإن باعها بمائة وعشرين نسيئة من غير رهن لم يصح البيع لأنه غرر بالمال فإن باع بمائة نقداً وعشرين مؤجلاً وأخذ بالعشرين رهناً جاز لأنه لو باعها بمائة نقداً جاز فلأن يجوز وقد زاده عشرين أولى وإن باعها بمائة وعشرين نسيئة وأخذ به رهناً ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأنه أخرج ماله من غير عوض والثاني يجوز وهو ظاهر النص وقول أبي إسحاق لأنه باع بربح واستوثق بالرهن فجاز.
PASAL: Tidak boleh menjual harta anak kecil secara tempo (nasī’ah) tanpa adanya keuntungan (ghibṭah). Jika suatu barang senilai seratus tunai dan seratus dua puluh secara tempo, lalu dijual dengan harga seratus secara tempo, maka jual beli tersebut batal karena dijual di bawah harga.
Jika dijual dengan harga seratus dua puluh secara tempo tanpa jaminan (rahn), maka jual beli tidak sah karena mengandung risiko terhadap harta.
Namun jika dijual seharga seratus tunai dan dua puluh secara tempo, dan untuk dua puluh tersebut diambil jaminan, maka jual beli sah, karena seandainya dijual dengan harga seratus tunai saja dibolehkan, maka menjualnya dengan tambahan dua puluh dan adanya jaminan lebih utama untuk dibolehkan.
Jika dijual dengan harga seratus dua puluh secara tempo dan diambil jaminan atasnya, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah, karena ia mengeluarkan hartanya tanpa imbalan langsung.
Kedua, sah, dan ini adalah zahir dari naṣṣ serta pendapat Abū Isḥāq, karena ia menjual dengan keuntungan dan menguatkan haknya dengan jaminan, maka dibolehkan.
فصل: ولا يكاتب عبده ولو كان بأضعاف القيمة لأنه يأخذ العوض من كسبه وهو مال له فيصير كالعتق من غير عوض.
فصل: ولا يسافر بماله من غير ضرورة لأن فيه تغريراً بالمال ويروى “إن المسافر وماله على قلت” أي على هلاك وفيه قول الشاعر:
بغاث الطير أكثرها فراخاً … وأم الباز مقلاة نزور
PASAL: Tidak boleh memerdekakan budaknya dengan mukātabah, meskipun dengan nilai berlipat ganda dari harga budak tersebut, karena ia mengambil pengganti (harga) dari hasil kerja budak, padahal hasil kerja itu adalah milik budak tersebut, sehingga statusnya seperti memerdekakan tanpa pengganti.
PASAL: Tidak boleh melakukan perjalanan jauh dengan membawa hartanya tanpa adanya kebutuhan mendesak, karena hal itu merupakan tindakan yang membahayakan harta. Diriwayatkan bahwa: “Sesungguhnya orang yang bepergian dan hartanya berada di atas ujung sumur,” maksudnya: berada dalam ancaman kebinasaan. Dan dalam bait syair disebutkan:
Bughātsu al-ṭayri akṡaruhā firākhan
Wa ummu al-bāzi miqlātun nazūr
“Burung-burung lemah justru banyak anaknya,
Sedang induk elang sering keguguran dan jarang beranak.”
فصل: فإن دعت إليه ضرورة بأن خاف عليه الهلاك في الحضر لحريق أو نهب جاز أن يسافر به لأن السفر ههنا أحوط.
PASAL: Jika terdapat keadaan darurat, seperti kekhawatiran harta akan binasa di daerah tempat tinggal karena kebakaran atau penjarahan, maka boleh melakukan perjalanan (membawa harta itu keluar), karena bepergian dalam keadaan ini lebih menjaga (lebih hati-hati).
فصل: ولا يودع ماله ولا يقرضه من غير حاجة لأنه يخرجه من يده فلم يجز فإن خاف من نهب أو حريق أو غرق أو أراد سفراً وخاف عليه جاز له الإيداع والإقراض فإن قدر على الإيداع دون الإقراض أودع ولا يودع إلا ثقة وإن قدر على الإقراض دون الإيداع أقرضه ولا يقرضه إلا ثقة ملياً لأن غير الثقة يجحد وغير الملى لا يمكن أخذ البدل منه فإن أقرض ورأى أخذ الرهن عليه أخذ
PASAL: Tidak boleh menitipkan hartanya (kepada orang lain) dan tidak boleh meminjamkannya kecuali karena kebutuhan, karena hal itu berarti mengeluarkan harta dari tangannya, maka tidak diperbolehkan. Namun jika ia khawatir hartanya akan dijarah, terbakar, tenggelam, atau ia hendak bepergian dan khawatir atas hartanya, maka diperbolehkan untuk menitipkan atau meminjamkannya.
Jika ia mampu menitipkan tapi tidak bisa meminjamkan, maka ia titipkan, dan tidak boleh menitipkan kecuali kepada orang yang terpercaya. Jika ia mampu meminjamkan tapi tidak bisa menitipkan, maka ia pinjamkan, dan tidak boleh meminjamkan kecuali kepada orang yang terpercaya lagi mampu membayar, karena orang yang tidak terpercaya bisa mengingkari, dan orang yang tidak mampu tidak bisa mengembalikan.
Jika ia meminjamkan dan melihat bahwa perlu mengambil barang gadai darinya, maka ia ambil.
وإن رأى ترك الرهن لم يأخذ وإن قدر على الإيداع والإقراض فالإقراض أولى لأن القرض مضمون بالبدل والوديعة غير مضمونة فكان القرض أحوط فإن ترك الإقراض وأودع ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه يجوز كل واحد منهما فإذا قدر عليهما تخير بينهما والثاني لا يجوز لقوله تعالى: {وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ} والاقراض ههنا أحسن فلم يجز تركه ويجوز أن يقترض له إذا دعت إليه الحاجة ويرهن ماله عليه لأن في ذلك مصلحة له فجاز.
Dan jika ia melihat untuk meninggalkan rahn, maka ia tidak mengambilnya. Dan jika ia mampu melakukan penitipan (iḍā‘ah) dan peminjaman (iqrāḍ), maka peminjaman lebih utama karena qarḍ dijamin dengan pengganti, sedangkan wadī‘ah tidak dijamin, maka qarḍ lebih hati-hati. Jika ia meninggalkan peminjaman dan malah menitipkan, maka ada dua wajah:
Pertama, boleh, karena masing-masing dari keduanya dibolehkan, maka jika mampu atas keduanya ia boleh memilih di antara keduanya.
Kedua, tidak boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa lā taqrabū māla al-yatīmi illā bi-allatī hiya aḥsan}, dan peminjaman di sini lebih baik, maka tidak boleh meninggalkannya.
Dan boleh meminjamkan untuknya jika ada kebutuhan yang menuntut ke arah itu, dan boleh menjadikan hartanya sebagai rahn atas pinjaman itu, karena di dalamnya terdapat maslahat baginya, maka diperbolehkan.
فصل: وينفق عليه بالمعروف من غير إسراف ولا إقتار لقوله تعالى: {وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَاماً} وإن رأى أن يخلط ماله بماله في النفقة جاز لقوله تعالى: {وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ} فإن بلغ الصبي واختلفا في النفقة فإن كان الولي الأب أو الجد فالقول قوله وإن كان غيرهما ففيه وجهان: أحدهما يقبل لأن في إقامة البينة على النفقة مشقة فقبل قوله والثاني لا يقبل قوله كما لا يقبل في دعوى الضرر والغبطة في بيع العقار.
PASAL: Nafkah atasnya diberikan secara ma‘ruf, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa kekikiran, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa alladzīna idzā anfaqū lam yusrifū wa lam yaqturū wa kāna bayna dzālika qawāmā}.
Jika ia melihat bahwa mencampurkan hartanya dengan harta anak yatim dalam pemberian nafkah itu lebih baik, maka hal itu diperbolehkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa yas’alūnaka ‘ani al-yatāmā qul iṣlāḥun lahum khayr, wa in tukhāliṭūhum fa ikh’wānukum, wa Allāhu ya‘lamu al-mufsid min al-muṣliḥ}.
Jika anak kecil telah baligh dan mereka berselisih tentang nafkah, maka:
- Jika walinya adalah ayah atau kakek, maka ucapan mereka diterima.
- Jika selain keduanya, maka ada dua wajah:
- Pertama, diterima, karena mendatangkan bukti atas nafkah itu sulit, maka diterima ucapannya.
- Kedua, tidak diterima ucapannya, sebagaimana tidak diterima dalam pengakuan kerugian atau ketidakmenguntungkan dalam penjualan properti.
فصل: وإن أراد أن يبيع ماله بماله فإن كان أباً أو جداً جاز ذلك لأنهما لا يتهمان في ذلك لكمال شفقتهما وإن كان غيرهما لم يجز لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يشتري الوصي من مال اليتيم” ولأنه متهم في طلب الحظ له في بيع ماله من نفسه فلم يجعل ذلك إليه.
فصل: وإن أراد أن يأكل من ماله نظرت فإن كان غنياً لم يجز لقوله تعالى: {وَمَنْ كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ}
PASAL: Jika ia ingin menjual hartanya dengan hartanya sendiri, maka jika ia adalah ayah atau kakek, boleh melakukan hal itu karena keduanya tidak dituduh dalam hal tersebut disebabkan oleh sempurnanya kasih sayang mereka. Namun jika selain keduanya, tidak boleh, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak boleh washi membeli dari harta yatim.” Karena ia dituduh mencari keuntungan pribadi dalam menjual harta untuk dirinya sendiri, maka tidak diberikan hak itu kepadanya.
PASAL: Jika ia ingin makan dari hartanya, maka dilihat dahulu: jika ia adalah orang kaya, maka tidak diperbolehkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa man kāna ghanīyan falyasta‘fif} (Dan barang siapa yang kaya hendaklah ia menahan diri).
وإن كان فقيراً جاز أن يأكل لقوله تعالى: {وَمَنْ كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ} وهل يضمن البدل فيه قولان: أحدهما لا يضمن لأنه أجير له الأكل بحق الولاية فلم يضمنه كالرزق الذي يأكله الإمام من أموال المسلمين والثاني أنه يضمن لأنه مال لغيره أجيز له أكله للحاجة فوجب ضمانه كمن اضطر إلى مال غيره.
Dan jika ia fakir, maka boleh baginya makan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa man kāna faqīran falyakul bil-ma‘rūf} (Dan barang siapa yang fakir, maka hendaklah ia makan dengan cara yang ma‘rūf).
Apakah ia wajib mengganti (membayar) gantinya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, ia tidak wajib mengganti karena ia diberi izin makan berdasarkan hak perwalian, maka tidak wajib mengganti sebagaimana rezeki yang dimakan oleh imam dari harta kaum muslimin.
Kedua, ia wajib mengganti karena itu adalah harta milik orang lain yang diperbolehkan baginya untuk dimakan karena kebutuhan, maka wajib menggantinya sebagaimana orang yang terpaksa mengambil harta orang lain.
فصل: ولا يفك الحجر عن الصبي حتى يبلغ ويؤنس منه الرشد لقوله تعالى: {حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} فأما البلوغ فإنه يحصل بخمسة أشياء: ثلاثة يشترك فيها الرجل والمرأة وهي الإنزال والسن والإنبات واثنان تختص بهما المرأة وهما الحيض والحبل فأما الإنزال فهو إنزال المني فمتى أنزل صار بالغاً والدليل عليه قوله تعالى: {وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا} فأمرهم بالاستئذان بعد الاحتلام فدل على أنه بلوغ
PASAL: Tidak boleh dicabut status ḥajr dari seorang anak kecil hingga ia baligh dan tampak darinya tanda-tanda kecerdasan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Hingga apabila mereka telah mencapai usia nikah, jika kamu melihat pada mereka kecerdasan, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya}.
Adapun baligh terjadi dengan lima hal: tiga di antaranya berlaku untuk laki-laki dan perempuan, yaitu keluarnya mani, usia, dan tumbuh rambut kemaluan. Dua lainnya khusus bagi perempuan, yaitu haid dan hamil.
Adapun keluarnya mani, yakni keluarnya air mani. Maka apabila seseorang mengeluarkan mani, ia dianggap telah baligh. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan apabila anak-anak di antara kalian telah mencapai mimpi, maka hendaklah mereka meminta izin}, maka Allah memerintahkan mereka untuk meminta izin setelah bermimpi (iḥtilām), yang menunjukkan bahwa itu adalah tanda baligh.
وروى عطية القرظي قال: عرضنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم زمن قريظة فمن كان محتلماً أو نبتت عانته قتل فلو لم يكن بالغاً لما قتل وأما السن فهو أن يستكمل خمس عشرة سنة والدليل عليه ما روى ابن عمر رضي الله عنه قال: عرضت على رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم أحد وأنا ابن أربع عشرة سنة فلم يجزني ولم يرني بلغت وعرضت عليه وأنا ابن خمس عشرة سنة فرآني بلغت فأجازني وأما الإنبات فهو الشعر الخشن الذي ينبت على العانة وهو بلوغ في حق الكافر
Dan telah diriwayatkan dari ‘Aṭiyyah al-Qurazhi, ia berkata: “Kami diperiksa oleh Rasulullah SAW pada saat Bani Qurayzhah, maka siapa saja yang sudah bermimpi (muḥtalim) atau telah tumbuh rambut kemaluannya, dibunuh. Maka seandainya ia belum baligh, tentu tidak akan dibunuh.”
Adapun usia, yaitu genap lima belas tahun. Dalilnya adalah riwayat dari Ibn ‘Umar RA, ia berkata: “Aku diperiksa oleh Rasulullah SAW pada hari Uhud, dan saat itu aku berusia empat belas tahun, maka beliau tidak mengizinkanku (ikut berperang) karena belum melihatku baligh. Dan aku diperiksa lagi saat usia lima belas tahun, maka beliau melihatku telah baligh lalu mengizinkanku.”
Adapun inbāt adalah rambut kasar yang tumbuh di sekitar kemaluan, dan itu merupakan tanda baligh bagi orang kafir.
والدليل عليه ما روى عطية القرظي قال: كنت فيمن حكم فيهم سعد بن معاذ رضي الله عنه فشكوا في أمن الذرية أنا أم من المقاتلة؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم “انظروا فإن كان قد أنبت وإلا فلا تقتلوه” فنظروا فإذا عانتي لم تنبت فجعلوني في الذرية ولم أقتل وهل هو بلوغ في نفسه أو دلالة على البلوغ؟ فيه قولان: أحدهما أنه بلوغ فعلى هذا هو بلوغ في حق المسلم لأن ما كان بلوغاً في حق الكافر كان بلوغاً في حق المسلم كالاحتلام والسن
dan dalil atasnya adalah riwayat dari ‘Aṭiyyah al-Qurazhi, ia berkata: Aku termasuk orang yang diputuskan hukum atas kami oleh Sa‘d bin Mu‘āż RA, lalu mereka meragukan apakah aku termasuk anak-anak atau termasuk para pejuang. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Lihatlah! Jika ia sudah tumbuh rambut kemaluannya maka bunuhlah, jika belum maka jangan kalian bunuh.” Maka mereka melihat dan ternyata rambut kemaluanku belum tumbuh, lalu mereka menggolongkanku sebagai anak-anak dan aku tidak dibunuh. Apakah hal itu sendiri adalah tanda balig atau hanya merupakan petunjuk kepada balig? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa hal itu adalah balig itu sendiri. Maka berdasarkan pendapat ini, ia adalah balig dalam hak seorang muslim, karena sesuatu yang dihukumi sebagai balig pada orang kafir maka ia juga balig pada orang muslim, seperti iḥtilām dan usia.
والثاني أنه دلالة على البلوغ فعلى هذا هل يكون دلالة في حق المسلم وفيه وجهان: أحدهما أنه دلالة لما روى محمد بن يحيى بن حبان أن غلاماً من الأنصار شبب بامرأة في شعره فرفع إلى عمر رضي الله عنه فلم يجده أنبت فقال: لو أنبت الشعر لحددتك والثاني أنه ليس بدلالة في حق المسلم وهو ظاهر النص لأن المسلمين يمكن الرجوع إلى أخبارهم فلم يجعل ذلك دلالة في حقهم والكفار لا يمكن الرجوع إلى أخبارهم فجعل ذلك دلالة في حقهم
dan kedua, bahwa hal itu adalah petunjuk kepada balig. Maka berdasarkan pendapat ini, apakah ia menjadi petunjuk balig bagi seorang muslim? Dalam hal ini terdapat dua wajah: pertama, bahwa ia adalah petunjuk, berdasarkan riwayat dari Muḥammad bin Yaḥyā bin Ḥibbān bahwa seorang pemuda dari kaum Anṣār menggubah syair yang menggoda seorang wanita, lalu ia dibawa kepada ‘Umar RA dan tidak didapati telah tumbuh rambut kemaluannya, maka ‘Umar berkata: “Seandainya rambut itu telah tumbuh, niscaya aku akan menegakkan ḥadd atasmu.” Dan kedua, bahwa hal itu bukan merupakan petunjuk bagi seorang muslim, dan ini adalah zahir dari nash, karena kaum muslimin memungkinkan untuk ditanyakan langsung perihal keadaan mereka, maka hal itu tidak dijadikan sebagai petunjuk balig bagi mereka. Sedangkan orang-orang kafir tidak memungkinkan untuk ditanyakan keadaan mereka, maka dijadikanlah hal itu sebagai petunjuk balig bagi mereka.
ولأن الكافر لا يستفيد بالبلوغ إلا وجوب الحرية ووجوب القتل فلا يتهم في مداواة العانة بما ينبت الشعر والمسلم يستفتد بالبلوغ التصرف والكمال بالأحكام فلا يؤمن أن يداوي العانة بما ينبت الشعر فلم يجعل ذلك دلالة في حقه فأما الحيض فهو بلوغ لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لأسماء بنت أبي بكر الصديق رضي الله عنهما “إن المرأة إذا بلغت المحيض لا يصلح أن يرى منها إلا هذا وهذا” وأشار إلى الوجه والكف فعلق وجوب الستر بالمحيض وذلك تكليف فدل على أنه بلوغ يتعلق به التكليف وأما الحبل فهو دليل على البلوغ فإذا حبلت حكمنا بأنها بالغ لأن الحبل لا يكون إلا بإنزال الماء فدل على البلوغ
dan karena orang kafir tidak memperoleh manfaat dari balig kecuali berupa wajibnya pembebasan dan wajibnya dibunuh, maka ia tidak dituduh melakukan pengobatan terhadap kemaluan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan rambut. Sedangkan seorang muslim memperoleh manfaat dari balig berupa hak bertindak dan kesempurnaan dalam hukum-hukum, maka tidak aman (kemungkinan) ia mengobati kemaluannya dengan sesuatu yang menumbuhkan rambut, maka hal itu tidak dijadikan sebagai petunjuk balig dalam haknya.
Adapun ḥaiḍ, maka itu adalah balig, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda kepada Asmā’ binti Abī Bakr aṣ-Ṣiddīq RA: “Sesungguhnya seorang wanita apabila telah mengalami ḥaiḍ, tidak pantas terlihat darinya kecuali ini dan ini,” dan beliau SAW menunjuk ke wajah dan telapak tangan. Maka beliau mengaitkan kewajiban menutup aurat dengan ḥaiḍ, dan itu adalah bentuk taklif (pembebanan hukum), maka hal itu menunjukkan bahwa ḥaiḍ adalah balig yang dengannya berlaku pembebanan hukum.
Adapun kehamilan (ḥabl), maka ia adalah petunjuk balig. Jika ia hamil, maka kami menghukumi bahwa ia telah balig, karena kehamilan tidak terjadi kecuali dengan keluarnya mani, maka hal itu menunjukkan telah terjadinya balig.
فإذا كانت المرأة لها زوج فولدت حكمنا بأنها بالغ من قبل الوضع بستة أشهر لأن ذلك أقل مدة الوضع وإن كانت مطلقة وأتت بولد يلحق الزوج حكمنا بأنها بالغ من قبل الطلاق وإن كانت خنثى فخرج المني من ذكره أو الدم من فرجه لم يحكم بالبلوغ لجواز أن يكون ذلك من العضو الزائد فإن خرج المني من الذكر والدم من الفرج فقد بلغ لأنه إذا كان رجلاً فقد أمنى وإن كان امرأة فقد حاضت.
Apabila seorang wanita memiliki suami lalu melahirkan, maka kami menghukuminya telah balig sejak enam bulan sebelum kelahiran, karena itu adalah masa paling singkat kehamilan. Dan jika ia ditalak lalu melahirkan anak yang nasabnya tersambung kepada suami, maka kami menghukuminya telah balig sejak sebelum talak.
Dan apabila ia seorang khuntsā lalu keluar mani dari dzakarnya atau darah dari farjinya, maka tidak dihukumi balig, karena bisa jadi itu berasal dari anggota tambahan. Namun jika keluar mani dari dzakar dan darah dari farji, maka ia telah balig, karena jika ia laki-laki maka ia telah mengeluarkan mani, dan jika ia perempuan maka ia telah mengalami ḥaiḍ.
فصل: فأما إيناس الرشد فهو إصلاح الدين والمال فإصلاح الدين أن لا يرتكب من المعاصي ما يسقط به العدالة وإصلاح المال أن يكون حافظاً لماله غير مبذر ويختبره الولي اختبار مثله من تجارة إن كان تاجراً أو تناء إن كان تانئاً أو إصلاح أمر البيت إن كان امرأة واختلف أصحابنا في وقت الاختبار فمنهم من قال لا يختبر في التجارة إلا بعد البلوغ لأن قبل البلوغ لا يصح تصرفه فلا يصح اختباره ومنهم من قال يختبر قبل البلوغ لقوله تعالى: {وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ} فأمر باختبار اليتامى وهم الصغار فعلى هذا كيف يختبر؟ فيه وجهان: أحدهما أنه يسلم إليه المال فإذا ساوم وقرر الثمن عقد الولي لأن عقد الصبي لا يصح والثاني أنه يتركه حتى يعقد لأن هذا موضع ضرورة.
PASAL: Adapun īnās ar-rusyud adalah perbaikan agama dan harta. Perbaikan agama adalah tidak melakukan maksiat yang menjatuhkan ‘adālah, dan perbaikan harta adalah mampu menjaga hartanya serta tidak boros. Wali mengujinya dengan ujian yang sesuai dengan keadaannya: dari sisi perdagangan jika ia pedagang, dari sisi pertanian jika ia petani, atau dari sisi pengurusan rumah tangga jika ia perempuan.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang waktu pengujian. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ia tidak diuji dalam perdagangan kecuali setelah baligh, karena sebelum baligh taṣarruf-nya tidak sah, maka ujiannya pun tidak sah.
Sebagian lain berpendapat bahwa ia diuji sebelum baligh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa-abtalū al-yatāmā ḥattā iżā balaghū an-nikāḥ}, yaitu Allah memerintahkan untuk menguji anak-anak yatim, padahal mereka masih kecil.
Berdasarkan pendapat ini, bagaimana cara mengujinya? Ada dua pendapat:
pertama, diserahkan kepadanya harta, lalu apabila ia menawar dan menetapkan harga, maka walinya yang melakukan akad, karena akad anak kecil tidak sah;
kedua, dibiarkan ia sendiri yang melakukan akad, karena dalam keadaan ini merupakan kondisi darurat.
فصل: وإن بلغ مبذراً استديم الحجر عليه لأن الحجر عليه إنما يثبت للحاجة إليه لحفظ المال والحاجة قائمة مع التبذير فوجب أن يكون الحجر باقياً وإن بلغ مصلحاً للمال فاسقاً في الدين استديم الحجر عليه لقوله تعالى: {فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} والفاسق لم يؤنس منه الرشد ولأن حفظه للمال لا يوثق به مع الفسق لأنه لا يؤمن أن يدعوه الفسق إلى التبذير فلم يفك الحجر عنه ولهذا لم تقبل شهادته وإن كان معروفاً بالصدق لأنا لا نأمن أن يدعوه الفسق إلى الكذب وينظر في ماله من كان ينظر في حال الصغر وهو الأب والجد والوصي والحاكم لأنه حجر ثبت من غير قضاء فكان النظر إلى من ذكرنا كالحجر على الصبي والمجنون.
PASAL: Jika seseorang telah baligh namun masih melakukan pemborosan, maka ḥajr (penahanan hak pengelolaan harta) tetap dilanjutkan atasnya, karena ḥajr itu ditetapkan karena adanya kebutuhan untuk menjaga harta, dan kebutuhan tersebut tetap ada selama ia masih melakukan pemborosan, maka wajiblah ḥajr itu tetap berlaku.
Jika ia baligh dan mampu memperbaiki urusan harta, namun fasik dalam urusan agama, maka ḥajr juga tetap dilanjutkan atasnya berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Fa-in ānastum minhum rusydan fa-adfa‘ū ilayhim amwālahum}, dan orang fasik tidak tampak darinya rusyd, dan karena penjagaannya terhadap harta tidak bisa dipercaya disertai kefasikannya, sebab tidak aman ia terdorong oleh kefasikannya untuk melakukan pemborosan, maka tidak dilepaskan ḥajr darinya.
Oleh karena itu, kesaksiannya pun tidak diterima, walaupun dikenal jujur, karena tidak aman ia didorong oleh kefasikannya untuk berbohong.
Yang mengurus hartanya adalah pihak yang dahulu mengurusnya sewaktu kecil, yaitu ayah, kakek, washi (wasiat), dan hakim, karena ḥajr ini ditetapkan tanpa keputusan pengadilan, maka urusan hartanya dikembalikan kepada pihak-pihak tersebut, sebagaimana ḥajr atas anak kecil dan orang gila.
فصل: وإن بلغ مصلحاً للدين والمال فك عنه الحجر لقوله تعالى: {فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ} وهل يفتقر فك الحجر إلى الحاكم فيه وجهان: أحدهما لا يفتقر إلى الحاكم لأنه حجر ثبت من غير حكم فزال من غير حكم كالحجر على المجنون والثاني أنه يفتقر إلى الحاكم لأنه يحتاج إلى نظر واختبار فافتقر إلى الحاكم كفك الحجر عن السفيه.
PASAL: Dan jika ia telah baligh dalam keadaan memperbaiki agama dan hartanya, maka status ḥajr-nya dicabut, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Fa-in ānastum min-hum ruṣdan fa-dfa‘ū ilayhim amwālahum} (apabila kalian melihat adanya kecakapan dari mereka, maka berikanlah kepada mereka harta-harta mereka).
Apakah pencabutan ḥajr memerlukan keputusan dari hakim? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak memerlukan keputusan hakim, karena ḥajr tersebut ditetapkan tanpa keputusan, maka bisa hilang tanpa keputusan, sebagaimana ḥajr atas orang gila.
Kedua, memerlukan keputusan hakim karena hal ini membutuhkan pengamatan dan pengujian, maka diperlukan keputusan hakim, sebagaimana pencabutan ḥajr atas orang safīh.
فصل: وإن فك عنه الحجر ثم صار مبذراً حجر عليه لما روي أن عبد الله بن جعفر رضي الله عنه ابتاع أرضاً سبخة بستين ألفاً فقال عثمان: ما يسرني أن تكون لي بنعلي معاً فبلغ ذلك علياً كرم الله وجهه وعزم أن يسأل عثمان أن يحجر عليه فجاء عبد الله بن جعفر إلى الزبير وذكر أن علياً يريد أن يسأل عثمان رضي الله عنهما أن يحجر عليه فقال الزبير أنا شريكك فجاء علي إلى عثمان رضي الله عنهما وسأله أن يحجر عليه فقال كيف أحجر على من شريكه الزبير فدل على جواز الحجر لأن كل معنى اقتضى الحجر إذا قارن البلوغ اقتضى الحجر إذا طرأ بعد البلوغ كالجنون
PASAL: Jika seseorang telah dicabut ḥajr-nya, kemudian ia menjadi pemboros, maka diberlakukan kembali ḥajr atasnya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa ‘Abdullāh bin Ja‘far RA membeli sebidang tanah payau seharga enam puluh ribu. Maka ‘Utsmān berkata: “Aku tidak suka tanah itu menjadi milikku walau hanya dengan kedua sandalku.” Maka hal itu sampai kepada ‘Alī karamallāhu wajhah, dan ia bertekad untuk meminta ‘Utsmān agar memberlakukan ḥajr atasnya. Lalu ‘Abdullāh bin Ja‘far mendatangi az-Zubair dan menyebutkan bahwa ‘Alī ingin meminta kepada ‘Utsmān RA agar memberlakukan ḥajr atasnya. Maka az-Zubair berkata: “Aku adalah sekutumu.” Kemudian ‘Alī mendatangi ‘Utsmān RA dan memintanya untuk memberlakukan ḥajr atasnya. Maka ‘Utsmān berkata: “Bagaimana aku akan memberlakukan ḥajr atas seseorang yang sekutunya adalah az-Zubair?” Maka hal ini menunjukkan bolehnya ḥajr, karena setiap sebab yang mewajibkan ḥajr saat bersamaan dengan baligh, maka juga mewajibkannya jika terjadi setelah baligh, seperti kegilaan.
فإن فك عنه الحجر ثم صار فاسقاً ففيه وجهان: قال أبو العباس: يعاد عليه الحجر لأنه معنى يقتضي الحجر عند البلوغ فاقتضى الحجر بعده كالتبذير وقال أبو إسحاق: لا يعاد عليه الحجر لأن الحجر للفسق لخوف التبذير وتبذير الفاسق ليس بيقين فلا يزال به ما تيقنا من حفظه للمال ولا يعاد عليه الحجر بالتبذير إلا بالحاكم لأن علياً كرم الله وجهه أتى عثمان رضي الله عنه وسأله أن يحجر على عبد الله بن جعفر ولأن العلم بالتبذير يحتاج إلى نظر، فإن الغبن قد يكون تبذيراً وقد يكون غير تبذير ولأن الحجر للتبذير مختلف فيه فلا يجوز إلا بالحاكم
Jika telah dicabut ḥajr darinya kemudian ia menjadi fasik, maka dalam hal ini ada dua wajah pendapat: Abū al-‘Abbās berkata: Diberlakukan kembali ḥajr atasnya karena kefasikan adalah sebab yang mengharuskan ḥajr saat baligh, maka ia juga mengharuskan ḥajr setelahnya, seperti pemborosan. Dan Abū Isḥāq berkata: Tidak diberlakukan kembali ḥajr atasnya karena ḥajr disebabkan kefasikan adalah karena dikhawatirkan akan terjadi pemborosan, sementara pemborosan dari seorang fasik tidaklah pasti, maka tidak dihilangkan apa yang telah diyakini berupa kemampuannya menjaga harta. Dan tidak diberlakukan kembali ḥajr atasnya karena pemborosan kecuali dengan keputusan hakim, karena ‘Alī karamallāhu wajhah pernah mendatangi ‘Utsmān RA dan memintanya untuk memberlakukan ḥajr atas ‘Abdullāh bin Ja‘far. Juga karena mengetahui adanya pemborosan memerlukan pengamatan, sebab kerugian terkadang merupakan pemborosan dan terkadang bukan pemborosan. Dan karena ḥajr karena pemborosan adalah perkara yang diperselisihkan, maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan keputusan hakim.
فإذا حجر عليه لم ينظر في ماله إلا الحاكم لأنه حجر ثبت بالحاكم فصار هو الناظر كالحجر في المفلس ويستحب أن يشهد على الحجر ليعلم الناس بحاله وأن من عامله ضيع ماله فإن أقرضه رجل مالاً أو باع منه متاعاً لم يملكه لأنه محجور عليه لعدم الرشد فلم يملك بالبيع والقرض كالصبي والمجنون فإن كانت العين باقية ردت وإن كانت تالفة لم يجب ضمانها لأن المالك إن علم بحاله فقد دخل على بصيرة وأن ماله ضائع وإن لم يعلم فقد فرط حين ترك الاستظهار ودخل في معاملته على غير معرفة
Jika telah diberlakukan ḥajr atasnya, maka tidak ada yang boleh mengurus hartanya kecuali hakim, karena ḥajr itu ditetapkan oleh hakim, maka ia menjadi pihak yang berwenang sebagaimana ḥajr atas orang yang pailit. Dianjurkan untuk menghadirkan saksi atas ḥajr agar orang-orang mengetahui keadaannya, dan bahwa siapa pun yang bertransaksi dengannya berarti menyia-nyiakan hartanya. Jika ada seseorang yang meminjamkan harta kepadanya atau menjualkan barang kepadanya, maka transaksi itu tidak sah karena ia dalam status maḥjūr ‘alayh disebabkan tidak adanya rushd, maka ia tidak memiliki wewenang dalam jual beli dan pinjaman sebagaimana anak kecil dan orang gila. Jika barang masih ada, maka dikembalikan; dan jika telah rusak, maka tidak wajib menggantinya, karena jika pemilik barang mengetahui keadaannya, maka ia telah masuk dengan penuh kesadaran bahwa hartanya akan sia-sia; dan jika tidak mengetahui, maka ia telah teledor karena tidak melakukan pengecekan dan masuk dalam transaksi tanpa pengetahuan.
وإن غصب مالاً وأتلفه وجب عليه ضمانه لأن حجر العبد والصبي آكد من حجره ثم حجر العبد والصبي لا يمنع من وجوب ضمان المتلف فلأن لا يمنع حجر المبذر أولى فإن أودعه مالاً فأتلفه ففيه وجهان: أحدهما أنه لا يجب ضمانه لأنه فرط في التسليم إليه والثاني يجب ضمانه لأنه لم يرض بالإتلاف فإن أقر بمال لم يقبل إقراره لأنه حجر عليه لحظه فلا يصح إقراره بالمال كالصبي ولأنا لو قلنا يصح إقراره وصل بالإقرار إلى إبطال معنى الحجر وما لا يلزمه بالإقرار والابتياع لا يلزمه إذا فك عنه الحجر لأنا أسقطنا حكم الإقرار والابتياع لحفظ المال فلو قلنا إنه يلزمه إذا فك عنه الحجر لم يؤثر الحجر في حفظ المال
Dan jika ia merampas harta lalu merusaknya, maka wajib menggantinya, karena ḥajr atas budak dan anak kecil lebih kuat dari ḥajr atasnya, padahal ḥajr atas budak dan anak kecil tidak menghalangi kewajiban ganti rugi atas kerusakan, maka ḥajr atas pemboros tentu lebih tidak menghalangi kewajiban tersebut. Jika ia dititipi harta lalu merusaknya, maka ada dua wajah pendapat: pertama, tidak wajib menggantinya karena pihak yang menitipkan telah teledor dengan menyerahkannya; kedua, wajib menggantinya karena ia tidak ridha terhadap perusakan.
Jika ia mengakui adanya harta (hutang atau kewajiban), maka pengakuannya tidak diterima, karena ḥajr atasnya demi kemaslahatannya, maka tidak sah pengakuannya atas harta seperti anak kecil. Dan karena jika kita mengatakan pengakuannya sah, maka hal itu akan membatalkan makna ḥajr. Dan sesuatu yang tidak wajib atasnya melalui pengakuan dan pembelian, maka tidak wajib pula atasnya setelah dicabut ḥajr-nya, karena kita telah meniadakan hukum pengakuan dan pembelian demi menjaga harta, maka jika kita mengatakan hal itu menjadi wajib setelah ḥajr dicabut, maka ḥajr tidak memberikan pengaruh dalam menjaga harta.
وإن طلق امرأته صح الطلاق لأن الحجر لحفظ المال والطلاق لا يضيع المال بل يتوفر المال عليه وإن خالع جاز لأنه إذا صح الطلاق بغير مال فلأن يصح بالمال أولى ولا يجوز للمرأة أن تدفع إليه المال فإن دفعته لم يصح القبض ولم تبرأ المرأة منه فإن تلف كان ذلك من ضمانها وإن تزوج من غير إذن الولي فالنكاح باطل لأنه يجب به المال فإذا صححنا من غير إذن الولي تزوج من غير حاجة فيؤدي إلى إتلاف المال فإن تزوج بإذنه صح لأن الولي لا يأذن إلا في موضع الحاجة فلا يؤدي إلى إتلاف ماله فإن باع ففيه وجهان: أحدهما يصح لأنه عقد معاوضة فملكه بالإذن كالنكاح
Jika ia menalak istrinya, maka talaknya sah, karena ḥajr diberlakukan untuk menjaga harta, sedangkan talak tidak menyia-nyiakan harta, bahkan justru menjaga harta tetap padanya. Jika ia melakukan khul‘, maka sah, karena jika talak tanpa imbalan saja sah, maka lebih utama lagi talak dengan imbalan. Namun perempuan tidak boleh memberikan harta kepadanya, maka jika ia memberikannya, serah terima itu tidak sah dan perempuan belum terbebas darinya. Jika harta tersebut rusak, maka menjadi tanggungan si perempuan.
Jika ia menikah tanpa izin wali, maka akad nikahnya batal, karena pernikahan menimbulkan kewajiban harta. Jika disahkan tanpa izin wali, maka ia akan menikah tanpa kebutuhan yang sah, yang dapat mengakibatkan pemborosan harta. Tetapi jika ia menikah dengan izin wali, maka sah, karena wali tidak akan mengizinkan kecuali pada tempat yang diperlukan, sehingga tidak menyebabkan kerugian harta.
Jika ia melakukan jual beli, maka ada dua wajah pendapat: pertama, sah, karena ia adalah akad mu‘āwaḍah (timbal balik), maka ia memilikinya dengan izin seperti dalam pernikahan.
والثاني لا يصح لأن القصد منه المال وهو محجور عليه في المال فإن حلف انعقدت يمينه فإذا حنث كفر بالصوم لأنه مكلف ممنوع من التصرف بالمال فصحت يمينه وكفر بالصوم كالعبد وإن أحرم بالحج صح إحرامه لأنه من أهل العبادات فإن كان فرضاً لم يمنع من إتمامه ويجب الإنفاق عليه إلى أن يفرغ منه لأنه مال يحتاج إليه لأداء الفرض فوجب وإن كان تطوعاً فإن كان ما يحتاج إليه في الحج لا يزيد على نفقته لزمه إتمامه
Dan pendapat kedua: tidak sah (jual belinya), karena maksud dari jual beli adalah harta, sedangkan ia sedang dalam status maḥjūr ‘alayh dalam hal harta.
Jika ia bersumpah, maka sumpahnya sah, dan jika ia melanggarnya, maka ia menunaikan kafārah dengan puasa, karena ia adalah seorang mukallaf yang dilarang melakukan transaksi harta, maka sumpahnya sah dan kafārah-nya dengan puasa, sebagaimana halnya budak.
Jika ia beriḥrām untuk haji, maka iḥrām-nya sah karena ia termasuk ahli ibadah. Jika hajinya fardu, maka ia tidak dicegah dari menyempurnakannya, dan wajib dinafkahi hingga ia menyelesaikannya, karena itu termasuk harta yang dibutuhkan untuk menunaikan kewajiban, maka wajib diberikan.
Dan jika hajinya sunnah, maka jika biaya yang dibutuhkan tidak lebih dari nafkah hariannya, maka ia wajib menyempurnakannya.
وإن كان يزيد على نفقته فإن كان له كسب إذا أضيف إلى النفقة أمكنه الحج لزمه إتمامه وإن لم يكن حلله الولي من الإحرام ويصير كالمحصر ويتحلل بالصوم دون الهدي لأنه محجور عليه في المال فتحلل بالصوم دون الهدي كالعبد وإن أقر بنسب ثبت النسب لأنه حق ليس بمال فقبل إقراره به كالحد وينفق على الولد من بيت المال لأن المقر محجور عليه في المال فلا ينفق عليه من المال كالعبد وإن وجب له القصاص فله أن يقتص ويعفو لأن القصد منه التشفي ودرك الغيظ فإن عفا على مال وجب المال وإن عفا مطلقاً أو عفا على غير مال فإن قلنا إن القتل يوجب أحد الأمرين من القصاص أو الدية وجبت الدية ولم يصح عفوه عنها وإن قلنا إنه لا يوجب غير القصاص سقط ولم يجب المال.
Jika biaya haji melebihi nafkah hariannya, maka bila ia memiliki penghasilan yang apabila digabungkan dengan nafkah hariannya memungkinkan untuk menunaikan haji, maka ia wajib menyempurnakannya. Namun jika tidak memungkinkan, maka walinya membatalkan iḥrām-nya, dan ia menjadi seperti orang yang terhalang (muḥṣar), dan ia bertahallul dengan puasa, bukan dengan hadyu, karena ia berada dalam status maḥjūr ‘alayh dalam urusan harta, maka ia bertahallul dengan puasa sebagaimana budak.
Jika ia mengakui suatu nasab, maka nasab tersebut ditetapkan karena itu adalah hak yang bukan berupa harta, maka pengakuannya diterima sebagaimana dalam perkara ḥadd. Dan nafkah anak dibebankan dari bait al-māl, karena orang yang mengakui adalah maḥjūr ‘alayh dalam hal harta, maka tidak boleh memberi nafkah dari hartanya sendiri sebagaimana budak.
Jika ia memiliki hak qiṣāṣ, maka ia boleh melaksanakan qiṣāṣ atau memaafkan, karena tujuannya adalah untuk melepaskan amarah dan menuntaskan dendam. Jika ia memaafkan dengan syarat imbalan harta, maka harta tersebut wajib diberikan. Namun jika ia memaafkan secara mutlak atau memaafkan bukan karena harta, maka jika kita berpendapat bahwa pembunuhan mewajibkan salah satu dari dua hal—yakni qiṣāṣ atau diyat—maka diyat menjadi wajib dan tidak sah baginya untuk menggugurkannya. Tetapi jika kita berpendapat bahwa pembunuhan tidak mewajibkan selain qiṣāṣ, maka gugurlah haknya dan tidak wajib diyat.
إذا كان لرجل عند رجل عين في يده أو دين في ذمته جاز له أن يصالح منه والدليل عليه ما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “المسلمون على شروطهم” والصلح جائز بين المسلمين فإن صالح عن المال على مال فهو بيع يثبت فيه ما يثبت في البيع من الخيار ويحرم فيه ما يحرم في البيع من الغرر والجهالة والربا ويفسد بما يفسد به البيع من الشروط الفاسدة لأنه باع ماله بمال فكان حكمه حكم البيع فيما ذكرناه
Kitāb al-Ṣulḥ
Pendahuluan
…
Kitāb al-Ṣulḥ
Apabila seseorang memiliki barang di tangan orang lain atau piutang dalam tanggungan orang lain, maka boleh baginya melakukan ṣulḥ (perdamaian) dengannya. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan dari Abū Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “al-muslimūna ‘alā syurūṭihim” (kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka).
Ṣulḥ itu boleh di antara kaum Muslimin. Apabila ṣulḥ itu dilakukan atas harta dengan imbalan harta, maka ia termasuk jual beli. Maka berlaku padanya hukum-hukum jual beli, seperti:
- sah padanya khiyār (opsi pembatalan),
- haram padanya unsur gharar (ketidakjelasan), jahālah (ketidaktahuan), dan ribā,
- batal karena syarat-syarat fasidah (rusak),
karena ia menjual hartanya dengan harta, maka hukumnya sama dengan jual beli dalam hal-hal tersebut di atas.
وإن صالحه من دين على دين وتفرقا قبل القبض لم يصح لأنه بيع دين بدين تفرقا فيه قبل القبض فإن صالحه فيه من دين على عين وتفرقا قبل القبض ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنهما تفرقا والعوض والمعوض في ضمان واحد فأشبه إذا تفرقا عن دين بدين والثاني يصح لأنه بيع عين بدين فصار كبيع العين بالثمن في الذمة وإن صالح عن المال على منفعة فهو إجارة يثبت فيه ما يثبت في الإجارة من الخيار ويبطل بما تبطل به الإجارة من الجهالة لأنه استأجر منفعة بالمال فكان حكمه فيما ذكرناه حكم الإجارة.
Dan jika ia melakukan ṣulḥ atas utang dengan utang, lalu keduanya berpisah sebelum serah terima, maka tidak sah, karena itu adalah jual beli utang dengan utang, yang keduanya berpisah sebelum terjadi qabḍ.
Jika ia melakukan ṣulḥ atas utang dengan ‘ayn (barang nyata), dan keduanya berpisah sebelum qabḍ, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah, karena keduanya berpisah sementara ‘iwaḍ dan mu‘awwaḍ berada dalam satu tanggungan, sehingga menyerupai kasus berpisah dari akad utang dengan utang.
Kedua, sah, karena itu adalah jual beli ‘ayn dengan utang, sehingga seperti menjual barang dengan harga dalam tanggungan.
Dan jika ia melakukan ṣulḥ atas harta dengan imbalan manfaat, maka hukumnya adalah ijārah, berlaku padanya hukum-hukum ijārah seperti adanya khiyār, dan batal dengan sebab-sebab yang membatalkan ijārah seperti ketidaktahuan (jahālah), karena ia menyewa suatu manfaat dengan harta, maka hukumnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam ijārah.
فصل: وإن صالح من دار على نصفها ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه ابتاع ماله بماله والثاني يصح لأنه لما عقد بلفظ الصلح صار كأنه وهب النصف وأخذ النصف وإن صالحه من الدار على سكناها سنة ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه ابتاع داره بمنفعتها والثاني يصح لأنه لما عقد بلفظ الصلح صار كما لو أخذ الدار وأعاره سكناها سنة وإن صالحه من ألف درهم على خمسمائة ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه بيع ألف بخمسمائة والثاني أنه يصح لأنه لما عقد بلفظ الصلح جعل كأنه قال أبرأتك من خمسمائة وأعطني خمسمائة.
PASAL: Jika seseorang melakukan ṣulḥ atas rumah dengan memberikan setengahnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak sah karena ia membeli hartanya dengan hartanya sendiri; kedua, sah karena ketika akad dilakukan dengan lafaz ṣulḥ, maka seakan-akan ia telah menghibahkan setengahnya dan mengambil setengahnya.
Dan jika ia melakukan ṣulḥ atas rumah dengan menukarnya dengan hak tinggal selama satu tahun, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak sah karena ia membeli rumahnya dengan manfaatnya; kedua, sah karena ketika akad dilakukan dengan lafaz ṣulḥ, maka seakan-akan ia mengambil rumah itu dan meminjamkan hak tinggal selama satu tahun.
Dan jika ia melakukan ṣulḥ dari seribu dirham dengan menukarnya dengan lima ratus dirham, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak sah karena itu adalah jual beli seribu dengan lima ratus; kedua, sah karena ketika akad dilakukan dengan lafaz ṣulḥ, maka seakan-akan ia berkata: “Aku telah membebaskanmu dari lima ratus dan berikanlah kepadaku lima ratus.”
فصل: وإن ادعى عليه عيناً في يده أو ديناً في ذمته فأنكر المدعي عليه فصالحه منه على عوض لم يصح الصلح لأن المدعي اعتاض عما لا يملكه فصار كمن باع مال غيره والمدعي عليه عاوض على ملكه فصار كمن ابتاع مال نفسه من وكيله فإن جاء أجنبي إلى المدعي وصدقه على ما ادعاه وقال صالحني منه على مال لم يخل إما أن يكون المدعي عيناً أو ديناً فإن كان ديناً نظرت فإن صالحه عن المدعي عليه صح الصلح لأنه إن كان قد وكله المدعى عليه فقد قضى دينه بإذنه وإن لم يوكله فقد قضى دينه بغير إذنه وذلك يجوز
PASAL: Jika seseorang mengaku memiliki barang di tangan orang lain atau piutang dalam tanggungan orang lain, lalu pihak yang dituduh mengingkarinya, kemudian mereka melakukan ṣulḥ atas hal itu dengan imbalan tertentu, maka ṣulḥ tersebut tidak sah. Karena pihak penggugat telah menerima imbalan atas sesuatu yang bukan miliknya, sehingga keadaannya seperti orang yang menjual harta milik orang lain. Adapun pihak tergugat, ia telah menukar hartanya sendiri, sehingga seperti orang yang membeli hartanya sendiri dari wakilnya.
Jika ada orang ketiga datang kepada penggugat, membenarkan apa yang didakwakannya, dan berkata: “Berdamailah denganku atas hal itu dengan imbalan,” maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah yang didakwakan itu berupa barang atau utang.
Jika berupa utang, maka ditinjau lebih lanjut:
Jika ia melakukan ṣulḥ atas nama pihak tergugat, maka ṣulḥ itu sah. Karena:
- jika ia telah diberi kuasa oleh pihak tergugat, berarti ia telah melunasi utangnya dengan izin pemilik utang,
- jika tidak diberi kuasa, maka ia telah melunasi utang orang lain tanpa izinnya, dan hal itu dibolehkan.
فإن صالحه عن نفسه وقال صالحني عن هذا الدين ليكون لي في ذمة المدعي عليه ففيه وجهان بناء على الوجهين في بيع الدين من غير من عليه: أحدهما لا يصح لأنه لا يقدر على تسليم ما في ذمة المدعي عليه والثاني يصح كما لو اشترى وديعة في يد غيره وإن كان المدعي عيناً فإن صالحه عن المدعي عليه وقال قد أقر لك في الباطن ووكلني في مصالحتك فصدقه المدعي صح الصلح لأن الاعتبار بالمتعاقدين وقد اتفقا على ما يجوز العقد عليه فجاز ثم ينظر فيه فإن كان قد أذن له في الصلح ملك المدعي عليه العين لأنه ابتاعه له وكيله
Jika orang ketiga itu melakukan ṣulḥ atas namanya sendiri dan berkata, “Berdamailah denganku atas utang ini agar menjadi tanggungan pihak tergugat kepadaku,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam jual beli utang dari selain orang yang berutang:
Pertama, tidak sah, karena ia tidak mampu menyerahkan apa yang ada dalam tanggungan pihak tergugat.
Kedua, sah, sebagaimana jika seseorang membeli barang titipan yang ada di tangan orang lain.
Dan jika yang didakwakan adalah ‘ayn, lalu orang ketiga itu melakukan ṣulḥ atas nama pihak tergugat dan berkata, “Sesungguhnya ia telah mengakui kepemilikanmu secara batin dan telah mewakilkan kepadaku untuk berdamai denganmu,” kemudian penggugat membenarkannya, maka ṣulḥ itu sah. Karena yang diperhitungkan adalah kedua pihak yang berakad, dan keduanya telah sepakat atas sesuatu yang boleh dijadikan objek akad, maka akad itu pun sah.
Kemudian ditinjau lebih lanjut:
Jika pihak tergugat telah memberi izin kepadanya untuk melakukan ṣulḥ, maka pihak tergugat menjadi pemilik barang tersebut, karena wakilnya telah membelinya untuknya.
وإن لم يكن أذن له في الصلح لم يملك المدعي عليه العين لأنه ابتاع له عيناً بغير إذنه فلم يملكه ومن أصحابنا من قال يملكه ويصير هذا الصلح استنقاذاً لماله كما قال الشافعي رحمه الله في رجل في يده دار فجعلها مسجداً ثم ادعاها رجل فأنكر فاستنقذه الجيران من المدعي بغير إذن المدعي عليه أنه يجوز ذلك وإن صالحه لنفسه فقال: أنا أعلم أنه لك فصالحني فأنا أقدر على أخذه صح الصلح لأنه بمنزلة بيع المغصوب ممن يقدر على أخذه فإن أخذه استقر الصلح وإن لم يقدر على أخذه فهو بالخيار بين أن يفسخ ويرجع إلى ما دفع وبين أن يصبر إلى أن يقدر كمن ابتاع عبداً فأبق قبل القبض.
Dan jika pihak tergugat tidak memberi izin kepadanya untuk melakukan ṣulḥ, maka pihak tergugat tidak berhak memiliki ‘ayn tersebut, karena orang lain telah membelikan barang untuknya tanpa izinnya, sehingga ia tidak menjadi pemiliknya.
Namun sebagian ulama mazhab kami berkata: Ia tetap memilikinya, dan ṣulḥ ini dianggap sebagai penyelamatan harta miliknya. Sebagaimana pendapat Imam al-Syāfi‘ī rahimahullah tentang seseorang yang di tangannya terdapat sebuah rumah, lalu ia menjadikannya masjid. Kemudian ada orang yang mengaku memilikinya dan orang yang di tangan rumah itu mengingkarinya. Lalu para tetangga menyelamatkan rumah itu dari si penggugat tanpa izin dari pemilik (yakni orang yang mengingkarinya), maka hal itu dibolehkan.
Dan jika orang ketiga melakukan ṣulḥ untuk dirinya sendiri, lalu berkata, “Aku tahu bahwa barang ini milikmu, maka berdamailah denganku, aku mampu mengambilnya,” maka ṣulḥ itu sah. Karena hal itu seperti menjual barang ghoṣb kepada orang yang mampu mengambilnya.
Jika ia berhasil mengambilnya, maka ṣulḥ itu menjadi tetap.
Namun jika ia tidak mampu mengambilnya, maka ia berhak memilih:
- antara membatalkan ṣulḥ dan mengambil kembali harta yang ia bayarkan,
- atau bersabar hingga ia mampu mengambil barang tersebut, sebagaimana orang yang membeli budak lalu budak itu melarikan diri sebelum sempat ia kuasai.
فصل: إذا أقر المدعي عليه بالحق ثم أنكر جاز الصلح فإن أنكر فصولح ثم أقر كان الصلح باطلاً لأن الإقرار المتقدم لا يبطل بالإنكار الحادث فيصح الصلح إذا أنكر بعد إقراره لوجوده بعد لزوم الحق ولم يصح الصلح إذا كان عقيب إنكاره وقبل إقراره لوجوده قبل لزوم الحق.
فصل: فلو أنكر الحق فقامت عليه البينة جاز الصلح عليه للزوم الحق بالبينة كلزومه بالإقرار لفظاً ويقاس عليه لو نكل المدعي عليه فحلف المدعي من طريق الأولى إذ اليمين المردودة كالإقرار على أحد القولين.
PASAL: Jika tergugat mengakui hak lalu mengingkarinya, maka boleh dilakukan ṣulḥ. Namun jika ia mengingkari lalu dilakukan ṣulḥ, kemudian ia mengakuinya, maka ṣulḥ itu batal. Sebab pengakuan sebelumnya tidak batal karena pengingkaran yang datang belakangan, maka sah ṣulḥ jika pengingkaran terjadi setelah pengakuan karena terjadi setelah hak menjadi wajib. Dan tidak sah ṣulḥ jika dilakukan setelah pengingkaran dan sebelum pengakuan karena terjadi sebelum hak menjadi wajib.
PASAL: Jika ia mengingkari hak lalu ditegakkan bukti atasnya, maka boleh dilakukan ṣulḥ atasnya karena kewajiban hak dengan bukti seperti halnya dengan pengakuan secara lisan. Dan di-qiyās-kan atasnya jika tergugat menolak bersumpah lalu penggugat bersumpah, maka lebih utama lagi kebolehan ṣulḥ, karena sumpah yang dikembalikan kedudukannya seperti pengakuan menurut salah satu pendapat.
فصل: وإن ادعى عليه مالاً فأنكره ثم قال صالحني عنه لم يكن ذلك إقراراً له بالمال لأنه يحتمل أنه إذا أراد قطع الخصومة فلم يجعل ذلك إقراراً فإن قال بعني ذلك ففيه وجهان: أحدهما لا يجعل ذلك إقراراً وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفراييني لأن البيع والصلح واحد فإذا لم يكن الصلح إقراراً لم يكن البيع إقراراً والثاني وهو قول شيخنا القاضي أبي الطيب أنه يجعل ذلك إقراراً لأن البيع تمليك والتمليك لا يصح إلا ممن يملك.
PASAL: Jika seseorang menuntut harta dari orang lain, lalu orang yang dituntut mengingkarinya, kemudian berkata, “Berdamailah denganku atas hal itu,” maka hal itu tidak dianggap sebagai pengakuan atas harta tersebut. Karena bisa jadi maksudnya hanyalah untuk mengakhiri sengketa, maka tidak dianggap sebagai pengakuan. Namun jika ia berkata, “Jualkan kepadaku harta itu,” maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak dianggap sebagai pengakuan, dan ini adalah pendapat Asy-Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfaraīnī, karena jual beli dan ṣulḥ itu satu jenis, maka jika ṣulḥ tidak dianggap sebagai pengakuan, begitu pula jual beli.
Kedua, yaitu pendapat Syekh kami al-Qāḍī Abū Ṭayyib, bahwa hal itu dianggap sebagai pengakuan, karena jual beli adalah bentuk pemilikan, dan pemilikan tidak sah kecuali dari orang yang memiliki.
فصل: وإن أخرج جناحاً إلى طريق لم يخل إما أن يكون نافذاً أو غير نافذ فإن كان الطريق نافذاً نظرت فإن كان الجناح لا يضر بالمارة جاز ولم يعترض عليه واختلفوا في علته فمن أصحابنا من قال يجوز لأنه ارتفاق بما لم يتعين عليه ملك أحد من غير إضرار فجاز كالمشي في الطريق ومنهم من قال يجوز لأن الهواء تابع للقرار فلما ملك الارتفاق بالطريق من غير إضرار ملك الارتفاق بالهواء من غير إضرار فإن وقع الجناح أو نقضه وبادر من يحاذيه فأخرج جناحاً يمنع من إعادة الجناح الأول جاز لأن الأول ثبت له الارتفاق بالسبق إلى إخراج الجناح فإذا زال الجناح جاز لغيره أن يرتفق كما لو قعد في طريق واسع ثم انتقل عنه.
PASAL: Jika seseorang mengeluarkan janāḥ (balkon/atap menjorok) ke jalan, maka jalan itu tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi jalan tersebut tembus atau tidak tembus. Jika jalan tersebut tembus, maka diperhatikan: jika janāḥ itu tidak membahayakan para pejalan kaki, maka boleh dan tidak ada yang berhak menghalanginya. Para ulama berbeda pendapat tentang sebab kebolehannya. Di antara sahabat kami ada yang mengatakan bahwa hal itu boleh karena ia memanfaatkan sesuatu yang bukan milik tertentu seseorang dan tidak menimbulkan bahaya, maka boleh sebagaimana berjalan di jalan. Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu boleh karena udara adalah bagian yang mengikuti tanah, maka ketika ia memiliki hak memanfaatkan jalan tanpa menimbulkan bahaya, ia juga memiliki hak memanfaatkan udara tanpa menimbulkan bahaya.
Jika janāḥ itu roboh atau dibongkar, lalu orang yang berhadapan dengan tempat tersebut segera mengeluarkan janāḥ yang menghalangi pengembalian janāḥ pertama, maka hal itu diperbolehkan. Karena yang pertama memiliki hak memanfaatkan jalan dengan mendahului dalam mengeluarkan janāḥ, maka ketika janāḥ itu hilang, orang lain boleh memanfaatkannya sebagaimana orang yang duduk di jalan luas lalu pergi darinya.
فصل: فإن صالحه الإمام عن الجناح على شيء لم يصح الصلحين لمعنيين: أحدهما أن الهواء تابع للقرار في العقد فلا يفرد بالعقد كالحمل والثاني أن ذلك حق له فلا يجوز أن يؤخذ منه عوض على حقه كالاجتياز في الطريق وإن كان الجناح يضر بالمارة لم يجز وإذا أخرجه وجب نقضه لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا ضرر ولا إضرار” ولأنه يضر بالمارة في طريقهم فلم يجز كالقعود في المضيق وإن صالحه الإمام من ذلك على شيء لم يجز لمعنيين: أحدهما أن الهواء تابع للقرار فلا يفرد بالعقد والثاني أن ما منع منه الإضرار بالناس لم يجز بعوض كالقعود في المضيق والبناء في الطريق.
PASAL: Jika seorang imam berdamai dengan seseorang atas janāḥ (bangunan menjorok di atas jalan) dengan imbalan sesuatu, maka ṣulḥ tersebut tidak sah karena dua alasan:
Pertama, udara (ruang di atas tanah) adalah pengikut dari tanah yang menetap (di bumi), maka tidak bisa dijadikan objek akad secara terpisah, sebagaimana halnya janin dalam kandungan.
Kedua, hal itu merupakan hak milik umum, maka tidak boleh diambil imbalan atasnya, sebagaimana halnya melewati jalan umum.
Dan jika janāḥ tersebut membahayakan para pejalan kaki, maka tidak diperbolehkan, dan jika sudah dibangun, maka wajib dibongkar berdasarkan sabda Nabi SAW: “Lā ḍarar wa lā ḍirār” (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain). Karena hal itu membahayakan pejalan kaki di jalan mereka, maka tidak diperbolehkan, sebagaimana duduk di jalan sempit.
Jika imam berdamai atas hal itu dengan suatu imbalan, maka tidak diperbolehkan karena dua alasan:
Pertama, udara adalah pengikut dari tempat menetap, maka tidak bisa dijadikan objek akad tersendiri.
Kedua, sesuatu yang dilarang karena membahayakan manusia tidak boleh diizinkan dengan imbalan, seperti duduk di tempat sempit dan membangun di jalan umum.
فصل: ويرجع فيما يضر وفيما لا يضر إلى حال الطريق فإن كان الطريق لا تمر فيه القوافل ولا تجوز فيه الفوارس لم يجز إخراج الجناح إلا بحيث يمر الماشي تحته منتصباً لأن الضرر يزول بهذا القدر ولا يزول بما دونه وإن كان الطريق تمر فيه القوافل وتجوز فيه الفوارس لم يجز إلا عالياً بمقدار ما تمر العمارية تحته ويمر الراكب منتصباً وقال أبو عبيدة ابن حربويه: لا يجوز حتى يكون عالياً يمر الراكب ورمحه منصوب لأنه ربما ازدحم الفرسان فيحتاج إلى نصب الرماح ومتى لم ينصبوا تأذى الناس بالرماح والأول هو المذهب لأنه يمكنهم أن يضعوا أطرافها على الأكتاف غير منصوبة فلا يتأذوا.
PASAL: Dalam hal yang menimbulkan mudarat maupun yang tidak menimbulkan mudarat, dikembalikan penilaiannya kepada kondisi jalan. Jika jalan tersebut tidak dilalui oleh kafilah dan tidak dilewati oleh penunggang kuda, maka tidak boleh mengeluarkan janāḥ kecuali dengan ketinggian yang memungkinkan orang berjalan di bawahnya dalam keadaan berdiri tegak. Karena dengan kadar itu mudarat hilang, dan tidak hilang dengan yang lebih rendah darinya.
Jika jalan tersebut dilalui oleh kafilah dan bisa dilewati oleh penunggang kuda, maka tidak boleh kecuali janāḥ itu cukup tinggi hingga tandu bisa lewat di bawahnya dan penunggang kuda bisa lewat dengan tegak.
Abū ‘Ubaidah Ibn Ḥarbuwaih berkata: tidak boleh kecuali janāḥ itu setinggi orang berkuda yang membawa tombaknya dalam keadaan tegak, karena terkadang para penunggang kuda berdesakan sehingga perlu menegakkan tombak mereka, dan jika tidak ditegakkan, orang-orang akan terganggu oleh tombak tersebut.
Namun pendapat yang pertama adalah mazhab, karena mereka bisa meletakkan ujung tombak di atas bahu tanpa ditegakkan sehingga tidak mengganggu.
فصل: وإن أخرج جناحاً إلى داره جاره من غير إذنه لم يجز واختلف أصحابنا في تعليله فمنهم من قال لا يجوز لأنه ارتفاق بما تعين مالكه فلم يجز بغير إذنه من غير ضرورة كأكل ماله ومنهم من قال: لا يجوز لأن الهواء تابع للقرار والجار لا يملك الارتفاق بقرار دار الجار فلا يملك الارتفاق بهواء داره فإن صالحه صاحب الدار على شيء لم يجز لأن الهواء تابع فلا يفرد بالعقد.
PASAL: Jika seseorang mengeluarkan janāḥ (bangunan menjorok) ke atas rumah tetangganya tanpa izinnya, maka hal itu tidak diperbolehkan. Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal alasan pelarangannya:
Sebagian dari mereka berkata: Tidak diperbolehkan karena hal itu termasuk bentuk pemanfaatan terhadap sesuatu yang pemiliknya tertentu, maka tidak boleh dilakukan tanpa izinnya kecuali dalam keadaan darurat, sebagaimana makan dari hartanya.
Sebagian yang lain berkata: Tidak diperbolehkan karena udara (ruang di atas tanah) mengikuti keberadaan tempat menetap (di bumi), dan tetangga tidak memiliki hak pemanfaatan atas tempat menetap rumah tetangganya, maka ia juga tidak berhak memanfaatkan udara rumah tetangganya.
Jika pemilik rumah berdamai dengannya atas hal itu dengan suatu imbalan, maka tidak sah, karena udara adalah pengikut (tanah), maka tidak bisa dijadikan objek akad secara terpisah.
فصل: وإن أخرج جناحاً إلى درب غير نافذ نظرت فإن لك يكن له في الدرب طريق لم يجز لما ذكرناه في دار الجار وإن كان له فيه طريق ففيه وجهان: أحدهما يجوز وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني لأن الهواء تابع للقرار فإذا جاز أن يرتفق بالقرار بالاجتياز جاز أن يرتفق بالهواء بإخراج الجناح والثاني لا يجوز وهو قول شيخنا القاضي أبي الطيب رحمه الله لأنه موضع تعين ملاكه فلم يجز إخراج الجناح إليه كدار الجار فإن صالحه عنه أهل الدرب فإن قلنا يجوز إخراج الجناح لم يجز الصلح لما ذكرناه في الصلح على الجناح الخارج من الشارع وإن قلنا لا يجوز إخراجه لم يجز الصلح لما ذكرناه في الصلح على الجناح الخارج إلى دار الجار.
PASAL: Jika seseorang mengeluarkan janāḥ ke darb (gang) yang tidak tembus, maka diperhatikan: jika ia tidak memiliki jalan di dalam gang tersebut, maka tidak boleh sebagaimana telah disebutkan pada kasus rumah tetangga.
Jika ia memiliki jalan di dalam gang tersebut, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama, boleh. Ini adalah pendapat Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfirāyinī, karena udara adalah bagian yang mengikuti tanah. Maka jika ia boleh memanfaatkan tanah dengan melewati, ia juga boleh memanfaatkan udara dengan mengeluarkan janāḥ.
Pendapat kedua, tidak boleh. Ini adalah pendapat guru kami al-Qāḍī Abū Ṭayyib رحمه الله, karena tempat itu adalah milik yang telah ditentukan pemiliknya, maka tidak boleh mengeluarkan janāḥ ke situ sebagaimana ke rumah tetangga.
Jika penghuni gang berdamai dengannya untuk janāḥ itu, maka jika kita berpendapat bahwa mengeluarkan janāḥ itu boleh, maka tidak sah ṣulḥ, sebagaimana telah disebutkan dalam ṣulḥ atas janāḥ yang menjorok ke jalan umum.
Dan jika kita berpendapat bahwa mengeluarkannya tidak boleh, maka juga tidak sah ṣulḥ, sebagaimana telah disebutkan dalam ṣulḥ atas janāḥ yang menjorok ke rumah tetangga.
فصل: وإن أراد أن يعمل ساباطاً ويضع أطراف جذعه على حائط الجدار المحاذي لم يجز ذلك من غير إذنه لأنه حمل على ملك الغير من غير ضرورة فلم يجز من غير إذنه كحمل المتاع على بهيمة غيره فإن صالحه منه على شيء جاز إذا عرف مقدار الأجذاع فإن كانت حاضرة نظر إليها وإن لم تحضر وصفها فإن أراد أن يني عليها ذكر سمك البناء وما يبنى به فإن أطلق كان بيعاً مؤبداً لمغارز الأجذاع ومواضع البناء وإن وقت كان ذلك إجارة تنقضي بانقضاء المدة.
PASAL: Jika seseorang ingin membuat sābāṭ (lorong beratap) dan meletakkan ujung-ujung kayunya di atas dinding rumah yang bersebelahan, maka hal itu tidak diperbolehkan tanpa izin pemilik dinding, karena hal itu termasuk memikulkan beban pada milik orang lain tanpa ada keadaan darurat, maka tidak diperbolehkan tanpa izinnya, sebagaimana tidak boleh memikulkan barang pada hewan milik orang lain.
Jika ia berdamai dengannya atas hal itu dengan suatu imbalan, maka boleh, dengan syarat diketahui ukuran kayu-kayunya; jika kayunya hadir, maka dilihat langsung, dan jika tidak hadir, maka dijelaskan spesifikasinya.
Jika ia ingin membangun di atasnya, maka dijelaskan tinggi bangunannya dan bahan yang digunakan untuk membangun.
Jika disepakati secara mutlak tanpa batas waktu, maka itu merupakan jual beli secara permanen terhadap tempat tancapan kayu dan lokasi bangunan. Namun jika dibatasi dengan waktu, maka itu adalah ijārah (sewa) yang berakhir dengan habisnya masa sewa.
فصل: ولا يجوز أن يفتح كوة ولا يسمر مسماراً في حائط جاره إلا بإذنه ولا في الحائط المشترك بينه وبين غيره إلا بإذنه لأن ذلك يوهي الحائط ويضربه فلا يجوز من غير إذن مالكه ولا يجوز أن يبني على حائط جاره ولا على الحائط المشترك شيئاً من غير إذن مالكه ولا على السطحين المتلاصقين حاجزاً من غير إذن صاحبه لأنه حمل على ملك الغير فلم يجز من غير إذن كالحمل على بهيمته ولا يجوز أن يجري على سطحه ماء من غير إذنه فإن صالحه منه على عوض جاز إذا عرف السطح الذي يجري ماؤه لأنه يختلف ويتفاوت.
PASAL: Tidak boleh membuka kawwāh (jendela kecil) atau memaku paku di dinding milik tetangganya kecuali dengan izinnya, dan tidak pula di dinding yang dimiliki bersama antara dia dan orang lain kecuali dengan izin, karena hal itu dapat melemahkan dan merusak dinding, maka tidak boleh dilakukan tanpa izin pemiliknya.
Tidak boleh pula membangun sesuatu di atas dinding milik tetangga, atau di atas dinding yang dimiliki bersama, tanpa izin pemiliknya. Dan tidak boleh pula membuat sekat di atas dua atap yang saling berdekatan tanpa izin pemiliknya, karena hal itu termasuk memikulkan sesuatu di atas milik orang lain, maka tidak boleh tanpa izin sebagaimana tidak boleh memikulkan barang pada hewan milik orang lain.
Tidak boleh pula mengalirkan air ke atap rumah orang lain tanpa izinnya. Namun jika ia melakukan ṣulḥ dengannya atas imbalan, maka boleh, apabila atap yang dialiri air itu diketahui secara jelas, karena setiap atap berbeda-beda dan memiliki kadar yang beragam.
فصل: وفي وضع الجذوع على حائط الجار والحائط الذي بينه وبين شريكه قولان: قال في القديم يجوز فإذا امتنع الجار أو الشريك أجبر إذا كان الجذع خفيفاً لا يضر بالحائط ولا يقدر على التسقيف إلا به لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يمنعن أحدكم جاره أن يضع خشبه على جداره” قال أبو هريرة رضي الله عنه: إني لأراكم عنها معرضين والله لأرمينها بين أظهركم ولأنه إذا وجب ذلك فضل الماء لكلأ لاستغنائه عنه وحاجة غيره وجب بذل فضل الحائط لاستغنائه عنه وحاجة جاره
PASAL: Dalam meletakkan juzū‘ di atas dinding milik tetangga dan dinding yang dimiliki bersama antara dia dan sekutunya terdapat dua pendapat. Dalam pendapat qadīm, dikatakan bahwa hal itu diperbolehkan. Maka jika tetangga atau sekutunya menolak, ia dipaksa untuk mengizinkan jika juzū‘-nya ringan dan tidak membahayakan dinding, serta tidak mungkin membuat atap kecuali dengannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian melarang tetangganya meletakkan kayunya di atas dindingnya.” Abū Hurairah RA berkata: “Sungguh aku melihat kalian berpaling darinya. Demi Allah, sungguh aku akan melemparkannya di tengah-tengah kalian.” Dan karena apabila diwajibkan memberikan kelebihan air untuk tanaman orang lain karena sudah tidak dibutuhkan olehnya dan dibutuhkan oleh orang lain, maka wajib juga memberikan kelebihan dari dinding karena ia tidak lagi membutuhkannya dan dibutuhkan oleh tetangganya.
وقال في الجديد لا يجوز بغير إذن وهو الصحيح لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه” ولأنه انتفاع بملك غيره من غير ضرورة فلا يجوز بغير إذنه كالحمل على بهيمته والبناء في أرضه وحديث أبي هريرة نحمله على الاستحباب وأما الماء فإنه غير مملوك في قول بعض أصحابنا والحائط مملوك ولأن الماء لا تنقطع مادته والحائط بخلافه فإن كان الجذع ثقيلاً يضر بالحائط لم يجز وضعه من غير إذنه قولاً واحداً لأن الارتفاق بحق الغير لا يجوز مع الإضرار ولهذا لا يجوز أن يخرج إلى الطريق جناحاً يضر بالمارة
Dan dalam pendapat jadīd, beliau mengatakan: tidak boleh (meletakkan juzū‘ di atas dinding tetangga atau dinding bersama) tanpa izin, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.” Dan karena hal itu merupakan bentuk pemanfaatan terhadap milik orang lain tanpa adanya darurat, maka tidak diperbolehkan tanpa izinnya, sebagaimana tidak diperbolehkan memuat barang di atas hewan miliknya atau membangun di atas tanahnya. Adapun hadis Abū Hurairah, maka kami pahami sebagai anjuran saja (istiḥbāb). Adapun air, maka menurut sebagian sahabat kami, ia bukanlah milik seseorang, sedangkan dinding adalah milik. Dan karena air tidak habis sumbernya, berbeda dengan dinding. Maka jika juzū‘ itu berat dan membahayakan dinding, maka tidak diperbolehkan meletakkannya tanpa izin, menurut satu pendapat, karena bentuk pemanfaatan terhadap hak orang lain tidak boleh jika menimbulkan mudarat. Oleh karena itu, tidak boleh mengeluarkan janāḥ ke jalan umum jika membahayakan para pejalan.
وإن كان لاحاجة إليه لم يجبر عليه لأن الفضل إنما يجب بذله عند الحاجة إليه ولهذا يجب بذلك فضل الماء عند الحاجة إليه للكلأ ولا يجب مع عدم الحاجة فإن قلنا يجبر عليه فصالح منه على مال لم يجز لأن من وجب له حق لا يؤخذ منه عوضه وإن قلنا لا يجبر عليه فصالح منه على مال جاز على ما بيناه في أجذاع الساباط.
Jika tidak ada kebutuhan terhadapnya, maka tidak dipaksa untuk mengizinkannya, karena kelebihan (hak) itu hanya wajib diberikan ketika ada kebutuhan terhadapnya. Oleh karena itu, kelebihan air wajib diberikan ketika dibutuhkan untuk tanaman, dan tidak wajib jika tidak ada kebutuhan. Maka jika kita katakan bahwa dia dipaksa mengizinkannya, lalu ia melakukan ṣulḥ (perdamaian) dengannya atas imbalan harta, maka tidak diperbolehkan, karena seseorang yang memiliki hak yang wajib diberikan kepadanya, tidak boleh diambil imbalan sebagai pengganti hak tersebut. Namun jika kita katakan bahwa dia tidak dipaksa mengizinkannya, lalu ia melakukan ṣulḥ dengannya atas imbalan harta, maka hal itu diperbolehkan sebagaimana telah kami jelaskan dalam masalah ajdzi‘ as-sabāṭ.
فصل: إذا وضع الخشب على حائط الجار أو الحائط المشترك وقلنا إنه يجبر في قوله القديم أو صالح عنه على مال في قوله الجديد فرفعه جاز له أن يعيده فإن صالحه صاحب الحائط عن حقه بعوض ليسقط حقه من الوضع جاز لأن ما جاز بيعه جاز ابتياعه كسائر الأموال.
PASAL: Jika seseorang meletakkan kayu di atas dinding milik tetangga atau dinding yang dimiliki bersama, dan kita katakan bahwa ia boleh dipaksa menurut qawl qadīm, atau ia berdamai atasnya dengan memberikan harta menurut qawl jadīd, lalu ia mengangkat kayu tersebut, maka boleh baginya untuk mengembalikannya. Jika pemilik dinding berdamai dengannya atas haknya dengan imbalan agar hak meletakkan itu gugur, maka hal itu boleh, karena sesuatu yang boleh dijual maka boleh pula dibeli seperti harta-harta lainnya.
فصل: وإن كان في ملكه شجرة فاستعلت وانتشرت أغصانها وحصلت في دار جاره جاز للجار مطالبته بإزالة ما حصل في ملكه فإن لم يزله جاز للجار إزالته عن ملكه كما لو دخل رجل إلى داره بغير إذنه فإن له أن يطالبه بالخروج فإن لم يخرج أخرجه فإن صالحه منه على مال فإن كان يابساً لم يجز لأنه عقد على الهواء والهواء لا يفرد بالعقد وإن كان رطباً لم يجز لما ذكرناه ولأنه صلح على مجهول لأنه يزيد في كل وقت.
PASAL: Jika seseorang memiliki pohon di dalam miliknya, lalu pohon tersebut tumbuh tinggi dan cabang-cabangnya menjulur hingga masuk ke dalam rumah tetangganya, maka tetangganya berhak menuntutnya untuk menghilangkan bagian yang masuk ke dalam miliknya. Jika ia tidak menghilangkannya, maka tetangganya boleh menghilangkannya dari miliknya, sebagaimana jika seseorang masuk ke rumahnya tanpa izin, maka ia boleh menuntut orang itu keluar, dan jika tidak keluar, maka ia boleh mengeluarkannya. Jika ia melakukan ṣulḥ dengannya atas imbalan harta, maka jika cabangnya sudah kering, tidak boleh, karena itu merupakan akad atas udara, dan udara tidak dapat menjadi objek akad secara terpisah. Dan jika cabangnya masih basah, maka juga tidak diperbolehkan karena sebab yang telah disebutkan, dan karena ia merupakan ṣulḥ atas sesuatu yang tidak diketahui, sebab terus bertambah setiap waktu.
فصل: وإن كان لرجل في زقاق لا ينفذ دار وظهرها إلى الشارع ففتح باباً من الدار إلى الشارع جاز لأن له حق الاستطراق في الشارع فجاز أن يفتح إليه باباً من الدار وإن كان باب الدار إلى الشارع وظهرها إلى الزقاق ففتح باباً من الدار إلى الزقاق نظرت فإن فتحه ليستطرق الزقاق لم يجز لأنه يجعل لنفسه حق الاستطراق في درب مملوك لأهله لا حق له في طريقه فإن قال أفتحه ولا أجعله طريقاً بل أغلقه وأسمره ففيه وجهان: أحدهما إن له ذلك لأنه إذا جاز له أن يرفع جميع حائط الدار فلأن يجوز أن يفتح فيه باباً أولى
PASAL: Jika seseorang memiliki rumah di gang buntu dan bagian belakang rumah itu menghadap ke jalan umum, lalu ia membuka pintu dari rumah ke jalan umum, maka hal itu boleh karena ia memiliki hak untuk melintasi jalan umum, maka boleh baginya membuka pintu dari rumah ke arah jalan umum.
Namun jika pintu rumah itu menghadap ke jalan umum dan bagian belakangnya menghadap ke gang buntu, lalu ia membuka pintu dari rumah ke arah gang buntu, maka hal itu perlu ditinjau: jika ia membukanya untuk menjadikannya jalan keluar ke gang tersebut, maka tidak boleh karena ia menjadikan dirinya memiliki hak untuk melintasi gang yang dimiliki oleh para pemiliknya, sedangkan ia tidak memiliki hak atas jalan tersebut.
Namun jika ia berkata, “Saya hanya akan membukanya tanpa menjadikannya sebagai jalan keluar, melainkan saya akan menutupnya dan menyekunya,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya, ia boleh melakukannya karena jika ia boleh merobohkan seluruh dinding rumah, maka membuka sebuah pintu di dalamnya tentu lebih boleh.
والثاني لا يجوز لأن الباب دليل على الاستطراق فمنع منه وإن فتح في الحائط كوة إلى الزقاق جاز لأنه ليس بطريق ولا دليل عليه فإن كان له داران في زقاقين غير نافذين وظهر كل واحدة من الدارين إلى الأخرى فأنفذ إحدى الدارين إلى الأخرى ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأنه يجعل الزقاقين نافذين ولأنه يجعل لنفسه الاستطراق من كل واحد من الزقاقين إلى الدار التي ليست فيه ويثبت لأهل كل واحد من الزقاقين الشفعة في دور الزقاق الآخر على قول من يوجب الشفعة بالطريق والثاني يجوز وهو اختيار شيخنا القاضي رحمه الله لأن له أن يزيل الحاجز بين الدارين ويجعلهما داراً واحدة ويترك البابين على حالهما فجاز أن ينفذ إحداهما إلى الأخرى.
Dan pendapat kedua: tidak boleh, karena pintu merupakan tanda adanya hak melintas, maka dilarang darinya.
Namun jika ia membuka jendela di dinding yang menghadap ke gang, maka hal itu boleh karena jendela bukanlah jalan dan bukan pula tanda atasnya.
Jika ia memiliki dua rumah di dua gang yang tidak tembus, dan bagian belakang masing-masing rumah saling berhadapan, lalu ia menembus salah satu rumah ke rumah yang lain, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, karena ia menjadikan kedua gang itu tembus, dan menjadikan dirinya memiliki hak melintas dari masing-masing gang menuju rumah yang tidak berada padanya, serta menetapkan hak syuf‘ah bagi para pemilik masing-masing gang atas rumah-rumah di gang lainnya menurut pendapat yang mewajibkan syuf‘ah karena jalan.
Kedua, boleh, dan ini adalah pilihan guru kami al-Qadhi rahimahullah, karena ia boleh menghilangkan sekat antara dua rumah dan menjadikannya satu rumah, dan membiarkan kedua pintu sebagaimana adanya, maka boleh pula menembus salah satunya ke yang lain.
فصل: إن كان لداره باب في وسط درب لا ينفذ فأراد أن ينقل الباب نظرت فإن أراد نقله إلى أول الدرب جاز له لأنه يترك بعض حقه من الاستطراق وإن أراد أن ينقله إلى آخر الدرب ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأنه يريد أن يجعل لنفسه حق الاستطراق في موضع لم يكن له والثاني يجوز لأن حقه ثابت في جميع الدرب ولهذا لو أرادوا قسمته كان له حق في جميعه فإن كان باب في آخر الدرب وأراد أن ينقل الباب إلى وسطه ويجعل إلى عند الباب دهليزاً إن قلنا إن من بابه في وسط الدرب يجوز أن يؤخره إلى آخر الدرب لم يجز لهذا أن يقدمه لأنه مشترك بين الجميع فلا يجوز أن يختص به وإن قلنا لا يجوز جاز لهذا أن يقدمه لأنه يختص به.
PASAL: Jika rumahnya memiliki pintu di tengah gang buntu lalu ia ingin memindahkan pintu tersebut, maka diperinci: jika ia ingin memindahkannya ke awal gang, maka boleh baginya, karena berarti ia meninggalkan sebagian haknya dalam menggunakan jalan. Namun jika ia ingin memindahkannya ke ujung gang, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh, karena berarti ia ingin menetapkan hak penggunaan jalan di tempat yang sebelumnya bukan haknya; kedua, boleh, karena haknya telah tetap di seluruh gang, dan karena itu jika mereka ingin membaginya, maka ia memiliki hak atas seluruhnya.
Jika ada pintu di ujung gang lalu ia ingin memindahkannya ke tengah gang dan membuat lorong di depan pintu, maka jika kita berpendapat bahwa orang yang pintunya berada di tengah gang boleh memindahkannya ke ujung gang, maka orang ini tidak boleh memindahkannya ke tengah, karena tempat itu milik bersama dan tidak boleh dimonopoli. Namun jika kita berpendapat bahwa tidak boleh memindahkannya ke ujung gang, maka orang ini boleh memindahkannya ke tengah karena tempat itu menjadi khusus miliknya.
فصل: إذا كان بين رجلين حائط مشترك فانهدم فدعا أحدهما صاحبه إلى العمارة وامتنع الآخر ففيه قولان: قال في القديم: يجبر لأنه إنفاق على مشترك يزول به الضرر عنه وعن شريكه فأجبر عليه كالإنفاق على العبد وقال في الجديد لا يجبر لأنه إنفاق على ملك أو انفرد به لم يجب فإذا اشتركا لم يجب كزراعة الأرض فإن قلنا بقوله القديم أجبر الحاكم الممتنع على الإنفاق فإن لم يفعل وله مال باعه وأنفق عليه فإن لم يكن له مال اقترض عليه وأنفق عليه فإذا بنى الحائط كان بينهما كما كان ومنه له رسم خشب أو غيره أعاده كما كان وإن أراد الشريك أن يبنيه لم يمنع منه
PASAL: Jika terdapat tembok bersama antara dua orang lalu roboh, kemudian salah satunya mengajak temannya untuk membangunnya kembali, namun yang lain menolak, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Dalam pendapat qadīm, ia dipaksa, karena itu merupakan pembelanjaan atas sesuatu yang dimiliki bersama yang dapat menghilangkan bahaya darinya dan dari temannya, maka dipaksa atasnya sebagaimana pembelanjaan atas budak.
Dalam pendapat jadīd, ia tidak dipaksa, karena itu merupakan pembelanjaan atas milik, yang jika dilakukan sendiri tidak wajib, maka ketika dilakukan bersama pun tidak wajib, sebagaimana menanami tanah.
Jika kita mengambil pendapat qadīm, maka hakim memaksa orang yang enggan untuk membelanjakannya; jika ia tidak melakukannya sementara ia memiliki harta, maka dijual dan dibelanjakan untuk membangun; jika ia tidak memiliki harta, maka dicarikan pinjaman atasnya lalu digunakan untuk membangun.
Apabila tembok telah dibangun, maka kembali menjadi milik bersama seperti semula, dan siapa pun yang memiliki hak meletakkan kayu atau selainnya padanya, maka dikembalikan seperti semula.
Jika salah satu dari keduanya ingin membangunnya sendiri, maka tidak boleh dicegah darinya.
لأنه يعيد رسماً في ملك مشترك فلم يمنع منه كما لو كان على الحائط رسم خشب فوقع فإن بنى الحائط من غير إذن الحاكم نظرت فإن بناه بآلته ونقضه معاً عاد الحائط بينهما كما كان برسومه وحقوقه لأن الحائط عاد بعينه وليس للباني فيه إلا أثر في تأليفه وإن بناه بغير آلته كان الحائط للباني لا يجوز لشريكه أن ينتفع من غير إذنه فإن أراد الباني نقضه كان له ذلك لأن ملكه لا حق لغيره فيه فجاز له نقضه فإن قال له الممتنع لا تنقض وأنا أعطيك نصف القيمة لم يجز له نقضه لأن على هذا القول يجبر على البناء فإذا بناه أحدهما وبذل له الآخر نصف القيمة وجب تبقيته وأجبر عليه كما أجبر على البناء
Karena ia mengembalikan hak lama pada milik bersama, maka tidak dilarang darinya sebagaimana jika terdapat bekas tempat kayu di atas tembok lalu runtuh.
Jika ia membangun tembok tanpa izin hakim, maka perlu ditinjau:
Jika ia membangunnya dengan alat dan bahan milik bersama dan membongkarnya bersama-sama, maka tembok itu kembali menjadi milik bersama sebagaimana sebelumnya, dengan semua bekas dan hak-haknya, karena tembok itu kembali dalam bentuk asalnya, dan si pembangun tidak memiliki bagian darinya kecuali karena ia yang menyusunnya.
Namun jika ia membangunnya bukan dengan alat dan bahan milik bersama, maka tembok itu menjadi milik si pembangun dan tidak boleh bagi sekutunya memanfaatkannya tanpa izinnya.
Jika si pembangun ingin membongkarnya, maka ia boleh karena itu miliknya, dan orang lain tidak memiliki hak atasnya, maka ia boleh membongkarnya.
Namun jika si penolak berkata, “Jangan engkau bongkar, dan aku akan memberimu separuh nilai bangunan,” maka tidak boleh baginya membongkarnya, karena menurut pendapat ini, ia dipaksa untuk membangun; maka jika salah satunya membangunnya dan yang lain menawarkan setengah dari nilainya, maka wajib untuk membiarkannya tetap dan pihak yang enggan dipaksa sebagaimana ia dipaksa untuk membangunnya.
وإن قلنا بقوله الجديد فأراد الشريك أن يبنيه لم يمنع لأن يعيد رسماً في ملك مشتري وهو عرصة الحائط فلم يمنع منه فإن بناه بآلته فهو بينهما ولكل واحد منهما أن ينتفع به ويعيد ماله من رسم خشب وإن بناه بآلة أخرى فالحائط له وله أن يمنع الشريك من الانتفاع به وإن أراد نقضه كان له لأنه لا حق لغيره فيه فإن قال له الشريك لا تنقضه وأنا أعطيك نصف القيمة لم يمنع من نقضه لأن على هذا القول لو امتنع من البناء في الابتداء لم يجبر فإذا لم يجبر على تبقيته وإن قال قد كان لي عليه رسم خشب وأعطيك نصف القيمة وأعيد رسم الخشب قلنا للباني إما أن تمكنه من إعادة رسمه وتأخذ نصف القيمة وإما أن تنقضه ليبني معك لأن القرار مشترك بينهما فلا يجوز أن يعيد رسمه ويسقط حق شريكه.
Dan jika kita mengambil pendapat jadīd, lalu salah satu dari keduanya ingin membangun, maka tidak dicegah, karena ia hanya mengembalikan sesuatu yang telah ada pada milik bersama, yaitu tanah (pondasi) tembok, maka tidak dilarang darinya.
Jika ia membangunnya dengan alat (bahan) milik bersama, maka tembok itu menjadi milik bersama antara keduanya, dan masing-masing berhak memanfaatkannya serta mengembalikan haknya seperti bekas tempat kayu.
Namun jika ia membangunnya dengan alat lain (milik pribadi), maka tembok itu menjadi miliknya sendiri, dan ia berhak melarang sekutunya dari memanfaatkannya.
Jika ia ingin membongkarnya, maka ia boleh, karena tidak ada hak bagi orang lain atasnya.
Jika sekutunya berkata: “Jangan kau bongkar, dan aku akan memberimu separuh nilai tembok itu,” maka ia tidak dicegah dari membongkarnya, karena menurut pendapat ini, jika ia enggan membangun sejak awal, ia tidak dipaksa; maka setelah itu pun ia tidak dipaksa membiarkannya tetap berdiri.
Namun jika sekutunya berkata: “Dulu aku memiliki hak letak kayu di atasnya, dan aku akan memberimu setengah nilai tembok, lalu aku akan mengembalikan tempat letak kayuku,” maka dikatakan kepada si pembangun: “Engkau boleh memilih: izinkan ia mengembalikan tempat letaknya dan ambillah setengah nilainya, atau bongkarlah agar ia dapat membangunnya bersamamu,” karena dasar tembok itu adalah milik bersama, maka tidak boleh ia mengembalikan haknya sendiri dengan menggugurkan hak sekutunya.
فصل: وإن كان لأحدهما علو وللآخر سفل والسقف بينهما فانهدم حيطان السفل لم يكن لصاحب السفل أن يجبر صاحب العلو على البناء قولاً واحداً لأن حيطان السفل لصاحب السفل فلا يجبر صاحب العلو على بنائه وهل لصاحب العلو إجبار صاحب السفل على البناء؟ فيه قولان: فإن قلنا يجبر ألزمه الحاكم فإن لم يفعل وله مال باع الحاكم عليه ماله وأنفق عليه وإن لم يكن له مال اقترض عليه فإذا بنى الحائط كان الحائط ملكاً لصاحب السفل لأنه بنى له وتكون النفقة في ذمته ويعيد صاحب العلو غرفته عليه وتكون النفقة على الغرفة وحيطانها من ملك صاحب العلو دون صاحب السفل
PASAL: Jika salah satu dari keduanya memiliki bagian atas dan yang lain memiliki bagian bawah, dan atap berada di antara keduanya, lalu dinding bagian bawah runtuh, maka pemilik bagian bawah tidak boleh memaksa pemilik bagian atas untuk membangunnya — ini adalah satu pendapat, karena dinding bagian bawah adalah milik pemilik bagian bawah, maka pemilik bagian atas tidak dipaksa untuk membangunnya.
Apakah pemilik bagian atas boleh memaksa pemilik bagian bawah untuk membangunnya? Dalam hal ini ada dua pendapat. Jika dikatakan bahwa ia boleh memaksanya, maka hakim akan mewajibkannya. Jika ia tidak melakukannya padahal memiliki harta, maka hakim menjual hartanya dan menggunakannya untuk membangun. Jika ia tidak memiliki harta, maka hakim meminjamkan atas namanya.
Jika dinding telah dibangun, maka dinding itu milik pemilik bagian bawah karena dibangun untuknya, dan biaya menjadi tanggungannya. Pemilik bagian atas mengembalikan ruangannya di atas dinding tersebut, dan biaya atas ruangan serta dindingnya adalah tanggungan pemilik bagian atas, bukan pemilik bagian bawah.
لأنها ملكه لا حق لصاحب السفل فيه وأما السقف فهم بينهما وما ينفق عليه فهو من مالهما فإن تبرع صاحب العلو وبنى من غير إذن الحاكم لم يرجع صاحب العلو على صاحب السفل بشيء ثم ينظر فإن كان قد بناها بآلتها كانت الحيطان لصاحب السفل لأن الآلة كلها له وليس لصاحب العلو منعه من الانتفاع بها ولا يملك نقضها لأنها لصاحب السفل وله أن يعيد حقه من الغرفة وإن بناها بغير آلتها كانت الحيطان لصاحب العلو وليس لصاحب السفل أن ينتفع بها ولا أن يتد فيها وتداً ولا يفتح فيها كوة من غير إذن صاحب العلو ولكن له أن يسكن في قرار السفل لأن القرار له ولصاحب العلو أن ينقض ما بناه من الحيطان لأنه لا حق لغيره فيها فإن بذل صاحب السفل القيمة ليترك نقضها لم يلزمه قبولها لأنه لا يلزمه بناؤها قولاً واحداً فلا يلزمه تبقيتها ببذل العوض والله أعلم.
Karena dinding itu miliknya dan tidak ada hak bagi pemilik bagian bawah padanya. Adapun atap adalah milik bersama di antara keduanya, dan biaya atasnya ditanggung oleh keduanya. Jika pemilik bagian atas membangun secara sukarela tanpa izin hakim, maka ia tidak boleh menuntut kembali apa pun dari pemilik bagian bawah.
Kemudian dilihat lagi: jika ia membangunnya dengan alat-alat milik pemilik bagian bawah, maka dinding itu menjadi milik pemilik bagian bawah karena seluruh alatnya milik dia. Maka pemilik bagian atas tidak boleh melarangnya untuk memanfaatkan dinding itu, dan tidak berhak membongkarnya karena itu milik pemilik bagian bawah. Ia berhak mengembalikan ruangannya di atas dinding itu.
Namun jika ia membangunnya dengan alat-alat selain milik pemilik bagian bawah, maka dinding itu menjadi milik pemilik bagian atas, dan pemilik bagian bawah tidak berhak memanfaatkannya, tidak boleh menancapkan paku padanya, tidak boleh membuka celah (jendela kecil) padanya tanpa izin dari pemilik bagian atas. Akan tetapi, ia berhak tinggal di bagian bawah karena bagian bawah adalah miliknya.
Pemilik bagian atas juga berhak membongkar dinding yang ia bangun karena tidak ada hak orang lain padanya. Jika pemilik bagian bawah menawarkan ganti nilai agar dinding tidak dibongkar, pemilik bagian atas tidak wajib menerimanya, karena secara ijma‘ ia tidak wajib membangunnya, maka ia juga tidak wajib mempertahankannya dengan menerima ganti rugi. Wallahu a‘lam.
تجوز الحوالة بالدين لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “مطل الغني ظلم فإذا تبع أحدكم على مليء فليتبع”.
فصل: ولا تجوز إلا على دين يجوز بيعه كعوض القرض وبدل المتلف فأما ما لا يجوز بيعه كدين السلم ومال الكتابة فلا تجوز الحوالة به لأن الحوالة بيع في الحقيقة لأن المحتال يبيع ماله في ذمة المحيل بماله في ذمة المحال عليه والمحيل يبيع ماله في ذمة المحال عليه بما عليه من الدين فلا يجوز إلا فيما يجوز بيعه.
Kitāb al-Ḥawālah (Buku tentang Pengalihan Utang)
Pendahuluan
…
Kitāb al-Ḥawālah
Boleh melakukan ḥawālah atas utang, karena telah diriwayatkan dari Abū Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu bahwa Nabi SAW bersabda: “Menunda pembayaran oleh orang kaya adalah kezaliman. Maka apabila salah seorang dari kalian di-taba‘a (dialihkan penagihannya) kepada orang yang mampu, hendaklah ia mengikuti (pengalihan itu).”
PASAL: Tidak boleh dilakukan ḥawālah kecuali atas utang yang boleh diperjualbelikan, seperti pengganti qarḍ (pinjaman) dan ganti rugi atas barang yang dirusak. Adapun utang yang tidak boleh diperjualbelikan seperti utang salam dan māl al-kitābah, maka tidak boleh dilakukan ḥawālah atasnya, karena ḥawālah pada hakikatnya adalah jual beli. Sebab orang yang menerima ḥawālah (muḥtāl) menjual piutangnya pada muḥīl dengan piutang muḥīl terhadap orang yang dialihkan (muḥāl ‘alayh), dan muḥīl menjual piutangnya terhadap muḥāl ‘alayh dengan utangnya kepada muḥtāl. Maka tidak boleh dilakukan kecuali atas utang yang boleh diperjualbelikan.
فصل: واختلف أصحابنا في جنس المال الذي تجوز به الحوالة فمنهم من قال لا تجوز إلا بما له مثل كالأثمان والحبوب وما أشبهها لأن القصد بالحوالة اتصال الغريم إلى حقه على الوفاء من غير زيادة ولا نقصان ولا يمكنه ذلك إلا فيما له مثل فوجب أن لا يجوز فيما سواه ومنهم من قال تجوز في كل ما يثبت في الذمة بعقد السلم كالثياب والحيوان لأنه مال ثابت في الذمة يجوز بيعه قبل القبض فجازت الحوالة به كذوات الأمثال.
PASAL: Ulama kami berbeda pendapat tentang jenis harta yang boleh dijadikan objek ḥawālah. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa ḥawālah tidak boleh dilakukan kecuali atas harta yang memiliki padanan (mithl), seperti emas, perak, biji-bijian, dan semisalnya, karena tujuan ḥawālah adalah menyambungkan kreditur kepada haknya secara sempurna tanpa penambahan maupun pengurangan, dan hal itu hanya dapat dilakukan pada harta yang memiliki padanan. Maka tidak boleh dilakukan ḥawālah pada selainnya.
Sebagian lain berpendapat bahwa ḥawālah boleh dilakukan atas semua harta yang dapat ditetapkan dalam tanggungan dengan akad salam, seperti pakaian dan hewan, karena itu adalah harta yang tetap dalam tanggungan dan boleh dijual sebelum diterima, maka bolehlah dilakukan ḥawālah atasnya sebagaimana pada harta yang memiliki padanan.
فصل: ولا تجوز إلا بمال معلوم لأنا بينا أنه بيع فلا تجوز في مجهول واختلف أصحابنا في إبل الدية فمنهم من قال لا تجوز وهو الصحيح لأنه مجهول الصفة فلم تجز الحوالة به كغيره ومنهم من قال تجوز لأنه معلوم العدد والسن فجازت الحوالة به.
PASAL: Ḥawālah tidak boleh dilakukan kecuali atas harta yang diketahui kadarnya, karena telah dijelaskan bahwa ḥawālah adalah jual beli, maka tidak boleh dilakukan atas sesuatu yang majhūl. Ulama kami berbeda pendapat tentang unta diyat: sebagian dari mereka berpendapat tidak boleh dilakukan ḥawālah atasnya, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia tidak diketahui sifatnya secara rinci, maka tidak boleh dilakukan ḥawālah atasnya seperti harta majhūl lainnya. Sebagian lain berpendapat boleh dilakukan ḥawālah karena ia diketahui jumlah dan usianya, maka bolehlah dilakukan ḥawālah atasnya.
فصل: ولا تجوز إلا أن يكون الحقان متساويين في الصفة والحلول والتأجيل فإن اختلفا في شيء من ذلك لم تصح الحوالة لأن الحوالة إرفاق كالقرض فلو جوزنا مع الاختلاف صار المطلوب منه طلب الفضل فتخرج عن موضوعها فإن كان لرجل على رجلين ألف على كل واحد منهما خمسمائة وكل واحد منهما ضامن عن صاحبه خمسمائة فأحال عليهما رجلاً عليه ألف على أن يطالب من شاء منهما بألف ففيه وجهان: أحدهما تصح وهو قول الشيخ أبو حامد الإسفرايني رحمه الله لأنه لا يأحذ إلا قدر حقه والثاني لا تصح وهو قول شيخنا القاضي أبي الطيب رحمه الله لأنه يستفتد بالحوالة زيادة في المطالبة وذلك لا يجوز ولأن الحوالة بيع فإذا خبرناه بين الرجلين صار كما لو قال بعتك أحد هذين العبدين.
PASAL: Tidak boleh melakukan ḥawālah kecuali kedua hak tersebut sama dalam sifatnya, baik dalam hal telah jatuh tempo maupun masih tertunda. Jika terdapat perbedaan dalam salah satu dari hal-hal tersebut, maka ḥawālah tidak sah, karena ḥawālah merupakan bentuk kebaikan seperti halnya qarḍ, maka jika dibolehkan dengan perbedaan, berarti yang diminta dari orang yang dipindahi adalah kelebihan, sehingga keluar dari maksud asalnya.
Jika seseorang memiliki piutang seribu atas dua orang, masing-masing lima ratus, dan masing-masing dari keduanya menjadi penjamin bagi yang lain sebesar lima ratus, lalu ia mengalihkan piutangnya kepada keduanya kepada seseorang yang berpiutang seribu, dengan syarat orang tersebut boleh menagih dari siapa saja dari keduanya sebesar seribu, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, ḥawālah sah, dan ini adalah pendapat Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarāyīnī rahimahullah, karena ia tidak mengambil kecuali sebatas haknya saja.
Kedua, ḥawālah tidak sah, dan ini adalah pendapat guru kami al-Qāḍī Abū Ṭayyib rahimahullah, karena ia mendapatkan tambahan hak menagih melalui ḥawālah, dan itu tidak boleh. Juga karena ḥawālah itu seperti jual beli, maka ketika kita memberikan pilihan kepada dua orang, itu seperti mengatakan, “Aku jual kepadamu salah satu dari dua budak ini.”
فصل: ولا تجوز الحوالة إلا على من له عليه دين لأنا بينا أن الحوالة بيع ما في الذمة بما في الذمة فإذا أحال من لادين عليه كان بيع معدوم فلم تصح ومن أصحابنا من قال تصح إذا رضي المحال عليه لأنه تحمل دين يصح إذا كان عليه مثله فصح وإن لم يكن عليه مثله كالضمان فعلى هذا يطالب المحيل بتخليصه كما يطالب الضامن المضمون عنه بتخليصه فإن قضاه بإذنه رجع على المحيل وإن قضاه بغير إذنه لم يرجع.
PASAL: Tidak sah ḥawālah kecuali kepada orang yang memiliki utang kepada muḥīl, karena telah dijelaskan bahwa ḥawālah adalah jual beli hak dalam tanggungan dengan hak dalam tanggungan lainnya. Maka apabila seseorang melakukan ḥawālah kepada orang yang tidak memiliki utang, maka itu berarti menjual sesuatu yang tidak ada, sehingga tidak sah.
Sebagian dari ulama kami berpendapat bahwa ḥawālah sah apabila pihak yang di-ḥawālah-kan (muḥāl ‘alayh) ridha, karena ia menanggung utang yang sah apabila sebelumnya ia memang memiliki utang serupa. Maka sah meskipun sebenarnya ia tidak memiliki utang seperti itu, sebagaimana dalam kasus ḍamān (penjaminan).
Menurut pendapat ini, muḥāl ‘alayh berhak menuntut muḥīl untuk membebaskannya dari tuntutan, sebagaimana penjamin (ḍāmin) menuntut pihak yang dijamin untuk membebaskannya. Jika muḥāl ‘alayh membayar utangnya dengan izin muḥīl, maka ia boleh menuntut ganti darinya. Namun jika ia membayar tanpa izin, maka ia tidak berhak menuntut ganti.
فصل: ولا تصح الحوالة من غير رضا المحتال لأنه نقل حق من ذمة إلى غيرها فلم يجز من غير رضا صاحب الحق كما لو أراد أن يعطيه بالدين عيناً وهل تصح من غير رضا المحال عليه؟ ينظر فيه فإن كان على من لا حق له عليه وقلنا أنه تصح الحوالة على من لا حق له عليه لم تجز إلا برضاه وإن كان على من له عليه حق ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي سعيد الاصطخري واختيار المزني أنه لا تجوز إلا برضاه لأنه أحد من تتم به الحوالة فاعتبر رضاه في الحوالة كالمحتال والثاني وهو المذهب أنه تجوز لأنه تفويض قبض فلا يعتبر فيه رضا من عليه كالتوكيل في قبضه ويخالف المحتال فإن الحق له فلا ينقل بغير رضاه كالبائع وههنا الحق عليه فلا يعتبر رضاه كالعبد في البيع.
PASAL: Tidak sah ḥawālah tanpa keridaan muḥtāl (orang yang berpiutang), karena ḥawālah itu adalah pemindahan hak dari satu żimmah ke żimmah yang lain, maka tidak boleh dilakukan tanpa keridaan pemilik hak, sebagaimana jika seseorang ingin memberikan kepada orang lain barang secara ‘ayn untuk mengganti utang.
Adapun apakah sah ḥawālah tanpa keridaan muḥāl ‘alayh (orang yang dipindahi utang kepadanya), maka hal ini dirinci:
Jika ia adalah orang yang tidak punya kewajiban apa pun terhadap pihak yang mengalihkan, dan kita berpendapat bahwa sah ḥawālah atas orang yang tidak memiliki kewajiban, maka tidak sah kecuali dengan keridaannya.
Namun, jika muḥāl ‘alayh memang memiliki kewajiban terhadap muḥīl, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, dan ini adalah pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī dan pilihan al-Muzanī, bahwa tidak sah kecuali dengan keridaannya, karena ia adalah salah satu pihak yang membuat ḥawālah menjadi sempurna, maka dipersyaratkan keridaannya sebagaimana muḥtāl.
Kedua, dan ini adalah pendapat yang menjadi mazhab, bahwa sah ḥawālah meskipun tanpa keridaannya, karena ini termasuk pelimpahan dalam hal menerima pembayaran, maka tidak dipersyaratkan keridaan pihak yang memiliki kewajiban, sebagaimana tawkīl dalam penerimaan. Hal ini berbeda dengan muḥtāl, karena hak itu miliknya, maka tidak boleh dipindahkan tanpa keridaannya sebagaimana penjual, sedangkan di sini hak itu menjadi tanggungan pihak yang dipindahi, maka tidak dipersyaratkan keridaannya sebagaimana budak dalam akad jual beli.
فصل: إذا أحال بالدين انتقل الحق إلى المحال عليه وبرئت ذمة المحيل لأن الحوالة إما أن تكون تحويل حق أو بيع حق وأيهما كان وجب أن بيرأ به ذمة المحيل
فصل: ولا يجوز شرط الخيار فيه لأنه لم يبن على المغابنة فلا يثبت فيه خيار الشرط وفي خيار المجلس وجهان: أحدهما يثبت لأنه بيع فيثبت خيار المجلس كالصلح والثاني لا يثبت لأنه يجري مجرى الإبراء ولهذا لا يجوز بلفظ البيع فلم يثبت فيه خيار المجلس.
PASAL: Apabila seseorang melakukan ḥawālah atas utang, maka hak berpindah kepada pihak yang di-ḥawālah-kan (muḥāl ‘alayh), dan bebaslah tanggungan pihak yang mengalihkan (muḥīl), karena ḥawālah itu bisa dianggap sebagai pengalihan hak atau sebagai jual beli hak, dan dalam kedua kemungkinan itu, wajiblah bahwa tanggungan muḥīl menjadi bebas karenanya.
PASAL: Tidak boleh mensyaratkan khiyār (hak memilih) dalam ḥawālah, karena ḥawālah tidak dibangun atas dasar tawar-menawar, maka tidak ditetapkan padanya khiyār al-syarth. Adapun mengenai khiyār al-majlis, terdapat dua pendapat: salah satunya menyatakan ditetapkan, karena ia termasuk jual beli, maka ditetapkan padanya khiyār al-majlis sebagaimana dalam ṣulḥ; dan pendapat kedua menyatakan tidak ditetapkan, karena ia berlaku seperti ibrā’ (pembebasan utang), oleh karena itu tidak sah dengan lafaz jual beli, maka tidak ditetapkan padanya khiyār al-majlis.
فصل: وإن أحاله على مليء فأفلس أو جحد الحق وحلف عليه لم يرجع إلى المحيل لأنه انتقل حقه إلى مال يملك بيعه فسقط حقه من الرجوع كما لو أخذ بالدين سلعة ثم تلفت بعد القبض وإن أحاله على رجل بشرط أنه مليء فبان أنه معسر فقد ذكر المزني أنه لا خيار له وأنكر أبو العباس هذا وقال له الخيار لأنه غره بالشرط فثبت له الخيار كما لو باعه عبداً بشرط أنه كاتب ثم بان أنه ليس بكاتب وقال عامة أصحابنا لاخيار له لأن الإعسار نقص فلو ثبت به الخيار لثبت من غير شرط كالعيب في المبيع ويخالف الكتابة فإن عدم الكتابة ليس بنقص وإنما هو عدم فضيلة فاختلف الأمر فيه بين أن يشرط وبين أن لا يشرط.
PASAL: Jika seseorang mengalihkan piutang kepada orang yang malī’ (mampu), lalu orang tersebut bangkrut atau mengingkari utang dan bersumpah atas pengingkarannya, maka muḥtāl tidak boleh kembali kepada muḥīl (orang yang mengalihkan utang), karena haknya telah berpindah kepada harta yang boleh dijual, maka gugurlah haknya untuk kembali, sebagaimana jika ia menerima barang sebagai ganti utang lalu barang tersebut rusak setelah diterima.
Namun, jika muḥīl mengalihkan piutang kepada seseorang dengan syarat bahwa orang itu malī’, lalu ternyata orang tersebut fakir, maka al-Muzanī menyebutkan bahwa muḥtāl tidak memiliki hak khiyar. Abū al-‘Abbās membantah hal ini dan berkata bahwa muḥtāl memiliki hak khiyar karena ia telah ditipu oleh syarat tersebut, maka ia berhak memilih, sebagaimana jika seseorang membeli budak dengan syarat bahwa ia seorang kātib (pandai tulis), lalu ternyata tidak demikian.
Mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa muḥtāl tidak memiliki hak khiyar, karena kefakiran adalah suatu kekurangan. Maka, jika khiyar ditetapkan karena kekurangan, maka seharusnya khiyar itu berlaku meskipun tanpa syarat, sebagaimana dalam kasus cacat pada barang jualan.
Hal ini berbeda dengan kitābah (kepandaian menulis), karena tidak adanya kitābah bukan merupakan suatu kekurangan, melainkan hilangnya suatu keutamaan, maka perkaranya berbeda antara disyaratkan dan tidak disyaratkan.
فصل: وإن اشترى رجل من رجل شيئاً بألف وأحال المشتري البائع على رجل بالألف ثم وجد بالمبيع عيباً فرده فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو علي الطبري لا تبطل الحوالة فيطلب البائع المحال عليه بالمال ويرجع المشتري على البائع بالثمن لأنه تصرف في أحد عوضي البيع فلا يبطل بالرد بالعيب كما لو اشترى عبداً بثوب وقبضه وباعه ثم وجد البائع بالثوب عيباً فرده وقال أبو إسحاق تبطل الحوالة وهو الذي ذكره المزني في المختصر
PASAL: Apabila seseorang membeli sesuatu dari orang lain seharga seribu, lalu si pembeli melakukan ḥawālah kepada penjual atas seorang lelaki untuk membayar seribu tersebut, kemudian si pembeli menemukan cacat pada barang yang dibeli lalu mengembalikannya, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini.
Abū ‘Alī al-Ṭabarī berpendapat: ḥawālah tidak batal, sehingga penjual tetap menuntut pembayaran kepada pihak yang di-ḥawālah-kan, dan si pembeli kembali menuntut penjual untuk mengembalikan harga, karena ḥawālah adalah bentuk tasharruf (transaksi) atas salah satu dari dua imbalan jual beli, maka tidak batal hanya karena pengembalian barang karena cacat, sebagaimana seseorang membeli budak dengan kain, lalu kain itu diterima dan dijual, kemudian penjual menemukan cacat pada budak lalu mengembalikannya.
Adapun Abū Isḥāq berpendapat bahwa ḥawālah batal, dan inilah pendapat yang disebutkan oleh al-Muzanī dalam al-Mukhtaṣar.
فلا يجوز للبائع مطالبة المحال عليه لأن الحوالة وقعت بالثمن فإذا فسخ البيع خرج المحال به عن أن يكون ثمناً فإذا خرج عن أن يكون ثمناً ولم يتعلق به حق غيرهما وجب أن تبطل الحوالة ويخالف هذا إذا اشترى عبداً وقبضه وباعه لأن العبد تعلق به حق غير المتبايعين وهو المشتري الثاني فلم يكن إبطاله والحوالة لم يتعلق بها حق غيرهما فوجب إبطالها وإن أحال الزوج زوجته بالمهر على رجل ثم ارتدت المرأة قبل الدخول ففي الحوالة وجهان بناء على المسألة قبلها وإن أحال البائع رجلاً على المشتري بالألف ثم المشتري المبيع بالعيب لم تبطل الحوالة وجهاً واحداً لأنه تعلق بالحوالة حق غير المتعاقدين وهو الأجنبي المحتال لم يجز إبطالها.
Maka tidak boleh bagi penjual menuntut kepada pihak yang di-ḥawālah-kan, karena ḥawālah terjadi atas dasar harga (tsaman), maka apabila akad jual beli dibatalkan, hilanglah status harta yang di-ḥawālah-kan sebagai harga. Jika ia telah keluar dari status sebagai harga dan tidak ada hak pihak lain yang terkait dengannya, maka ḥawālah wajib dibatalkan.
Hal ini berbeda dengan kasus seseorang membeli budak, lalu menerimanya dan menjualnya, karena budak tersebut telah terkait dengan hak pihak ketiga selain kedua pihak yang berjual beli, yaitu pembeli kedua. Maka tidak sah pembatalannya. Sedangkan dalam ḥawālah, tidak ada hak pihak lain yang terkait dengannya, maka wajib dibatalkan.
Jika seorang suami melakukan ḥawālah terhadap istrinya atas mahar kepada seseorang, lalu istri murtad sebelum terjadinya hubungan suami istri, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat, mengikuti perbedaan pendapat dalam masalah sebelumnya.
Dan jika penjual melakukan ḥawālah terhadap seseorang kepada pembeli atas seribu, kemudian si pembeli mengembalikan barang karena cacat, maka ḥawālah tidak batal menurut satu pendapat, karena dalam ḥawālah tersebut terdapat hak pihak ketiga selain dua pihak akad, yaitu orang luar yang di-ḥawālah-kan (muḥtāl), maka tidak boleh dibatalkan.
فصل: وإن أحال البائع على المشتري رجلاً بألف ثم اتفقا على أن العبد كان حراً فإن كذبهما المحتال لم تبطل الحوالة كما لو اشترى عبداً وباعه ثم اتفق البائع والمشتري أنه كان حراً فإن أقاما على ذلك بينة لم تسمع لأنهما كذبا البينة بدخولهما في البيع وإن صدقهما المحتال بطلت الحوالة لأنه ثبتت الحرية وسقط الثمن فبطلت الحوالة.
PASAL: Jika penjual mengalihkan (meng-hawalah-kan) seseorang kepada pembeli atas seribu, lalu keduanya sepakat bahwa budak tersebut ternyata merdeka, maka jika orang yang di-hawalah-kan (al-muḥtāl) mendustakan keduanya, maka ḥawālah tidak batal, sebagaimana jika seseorang membeli budak lalu menjualnya, kemudian penjual dan pembeli sepakat bahwa budak tersebut ternyata merdeka. Namun, jika keduanya mendatangkan saksi atas hal tersebut, kesaksian itu tidak diterima karena mereka telah mendustakan kesaksian tersebut dengan masuknya mereka dalam akad jual beli. Dan jika al-muḥtāl membenarkan keduanya, maka batal ḥawālah karena kemerdekaan budak itu telah terbukti, dan harga (pembelian) pun gugur, maka batallah ḥawālah.
فصل: إذا أحال رجل رجلاً له عليه دين على رجل له عليه دين ثم اختلفا فقال المحيل وكلتك وقال المحتال بل أحلتني نظرت فإن اختلفا في اللفظ فقال المحيل بل وكلتك بلفظ الوكالة وقال المحتال بل أحلتني بلفظ الحوالة فالقول قول المحيل لأنهما اختلفا في لفظه فكان القول فيه قوله وإن اتفقا على لفظ الحوالة ثم اختلفا فقال المحيل وكلتك وقال المحتال بل أحلتني ففيه وجهان: قال أبو العباس القول قول المحتال لأن اللفظ يشهد له ومن أصحابنا من قال القول قول المحيل وهو قول المزني لأنه يدعي بقاء الحق في الذمة والمحتال يدعي انتقال الحق من الذمة والأصل بقاء الحق في الذمة
PASAL: Jika seseorang meng-hawalah-kan orang yang berpiutang kepadanya kepada orang lain yang juga berutang kepadanya, lalu keduanya berselisih. Si muḥīl berkata, “Aku menjadikanmu wakil,” sedangkan al-muḥtāl berkata, “Bahkan engkau telah meng-hawalah-kan aku.” Maka hal ini perlu ditinjau. Jika keduanya berselisih dalam lafal, yakni si muḥīl berkata, “Aku menjadikanmu wakil dengan lafal wakalah,” sedangkan al-muḥtāl berkata, “Bahkan engkau telah meng-hawalah-kan aku dengan lafal ḥawālah,” maka pendapat si muḥīl yang dipegang karena mereka berselisih dalam lafal yang ia ucapkan, maka ucapan itu kembali kepadanya.
Dan jika keduanya sepakat bahwa lafalnya adalah lafal ḥawālah, kemudian berselisih, si muḥīl berkata, “Aku menjadikanmu wakil,” sedangkan al-muḥtāl berkata, “Bahkan engkau telah meng-hawalah-kan aku,” maka ada dua wajah. Abū al-‘Abbās berkata: yang dipegang adalah ucapan al-muḥtāl karena lafal tersebut menunjukkan kebenarannya. Namun sebagian sahabat kami berkata: yang dipegang adalah ucapan si muḥīl —dan ini adalah pendapat al-Muzanī— karena ia mengklaim bahwa hak masih tetap dalam tanggungan (dzimmah), sedangkan al-muḥtāl mengklaim bahwa hak telah berpindah dari tanggungan, dan hukum asalnya adalah tetapnya hak dalam tanggungan.
فإن قلنا بقول أبي العباس وحلف المحتال ثبتت الحوالة وبرئ المحيل وثبتت له مطالبة المحال عليه وإن قلنا بقول المزني فحلف المحيل ثبتت الوكالة فإن لم يقبض المال انعزل عن الوكالة بإنكاره إن كان قد قبض المال أخذه المحيل وهل يرجع هو على المحيل بدينه فيه وجهان: أحدهما لا يرجع لأنه أقر ببراءة ذمته من دينه والثاني له أن يرجع لأنه يقول إن كنت محتالاً فقد استرجع مني ما أخذته بحكم الحوالة وإن كنت وكيلاً فحقي باق في ذمته فيجب أن يعطيني وإن هلك في يده لم يكن للمحيل الرجوع عليه لأنه يقر بأن ماله تلف في يد وكيله من غير عدوان وليس للمحتال أن يطالب المحيل بحقه لأنه يقر بأنه استوفى حقه وتلف عنده
Maka jika kita mengikuti pendapat Abu al-‘Abbās dan muḥtāl bersumpah, maka ḥawālah itu tetap berlaku dan muḥīl terbebas, serta tetap baginya hak menuntut kepada muḥāl ‘alayh. Namun jika kita mengikuti pendapat al-Muzanī lalu muḥīl yang bersumpah, maka tetaplah hukum wakālah. Jika belum menerima uang, maka ia tercabut dari status sebagai wakil karena pengingkarannya. Jika sudah menerima uang, maka muḥīl yang mengambilnya. Apakah muḥtāl dapat kembali menuntut muḥīl atas piutangnya? Dalam hal ini ada dua wajah pendapat: pertama, ia tidak dapat menuntut kembali karena ia telah mengakui bahwa tanggungan piutangnya telah lepas; kedua, ia dapat menuntut kembali karena ia dapat berkata: “Jika aku muḥtāl, maka sungguh engkau telah mengambil kembali dariku apa yang telah kuambil berdasarkan hukum ḥawālah, dan jika aku wakil, maka hakku tetap ada dalam tanggunganmu, maka wajib engkau memberikannya.” Dan jika harta itu rusak di tangannya, maka muḥīl tidak dapat menuntutnya karena ia mengakui bahwa hartanya rusak di tangan wakilnya tanpa adanya tindakan aniaya. Dan muḥtāl tidak dapat menuntut muḥīl atas haknya karena ia mengakui bahwa ia telah menerima haknya dan rusak di tangannya.
وإن قال المحيل أحلتك وقال المحتال بل وكلتني فقد قال أبو العباس القول قول المحيل لأن اللفظ يشهد له وقال المزني: القول قول المحتال لأنه يدعي بقاء دينه في ذمة المحيل والأصل بقاؤه في ذمته فإن قلنا بقول أبي العباس فحلف المحيل برئ من دين المحتال وللمحتال مطالبة المحال عليه بالدين لأنه إن كان محتالاً فله مطالبته بمال الحوالة وإن كان وكيلاً فله المطالبة بحكم الوكالة فإذا قبض المال صرف إليه لأن المحيل يقول هو له بحكم الحوالة والمحتال يقول هو لي فيما لي عليه من الدين الذي لم يوصلني إليه
Dan jika muḥīl berkata, “Aku telah mengḥawālahkan engkau,” sedangkan muḥtāl berkata, “Bahkan engkau hanya mewakilkan aku,” maka Abu al-‘Abbās berkata: perkataan muḥīl yang diterima karena lafaz menunjukkan kebenarannya. Sedangkan al-Muzanī berkata: perkataan muḥtāl yang diterima karena ia mengklaim bahwa utangnya masih tetap dalam tanggungan muḥīl, dan hukum asalnya adalah tetapnya utang dalam tanggungan muḥīl.
Maka jika kita mengikuti pendapat Abu al-‘Abbās, lalu muḥīl bersumpah, maka ia terbebas dari utang kepada muḥtāl, dan muḥtāl berhak menuntut muḥāl ‘alayh atas utangnya, karena jika ia adalah muḥtāl, maka ia berhak menuntut atas dasar ḥawālah, dan jika ia adalah wakil, maka ia berhak menuntut berdasarkan hukum wakālah. Maka jika ia telah menerima uangnya, uang itu diserahkan kepadanya, karena muḥīl mengatakan bahwa uang itu miliknya berdasarkan ḥawālah, dan muḥtāl mengatakan bahwa uang itu miliknya karena utangnya yang belum sampai kepadanya.
وإن قلنا بقول المزني وحلف المحتال ثبت أنه وكيل فإن لم يقبض المال كان له مطالبة المحيل بماله في ذمته وهل يرجع المحيل على المحال عليه بشيء؟ فيه وجهان: أحدهما لا يرجع لأنه مقر بأن المال صار للمحتال والثاني يرجع لأنه إن كان وكيلاً فدينه ثابت في ذمة المحتال عليه وإن كان محتالاً فقد قبض المحتال المال منه ظلماً وهو مقر بأن ما في ذمة المحتال عليه للمحتال فكان له قبضه عوضاً عما أخذه منه ظلماً
Dan jika kita mengikuti pendapat al-Muzanī lalu muḥtāl bersumpah, maka tetaplah bahwa ia adalah wakil. Jika ia belum menerima uang, maka ia berhak menuntut muḥīl atas harta yang masih dalam tanggungan muḥīl.
Apakah muḥīl dapat menuntut kembali kepada muḥāl ‘alayh atas sesuatu? Dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, ia tidak dapat menuntut kembali karena ia mengakui bahwa harta itu telah menjadi milik muḥtāl.
Kedua, ia dapat menuntut kembali, karena jika muḥtāl adalah wakil, maka piutangnya tetap berada dalam tanggungan muḥāl ‘alayh, dan jika muḥtāl adalah muḥtāl (bukan wakil), maka ia telah mengambil harta dari muḥāl ‘alayh secara zhalim, sedangkan muḥīl mengakui bahwa yang ada dalam tanggungan muḥāl ‘alayh adalah milik muḥtāl, maka ia boleh mengambilnya sebagai ganti dari apa yang telah diambil darinya secara zhalim.
فإن كان قد قبض المال فإن كان باقياً صرف إليه لأنه قبضه بحوالة فهو له وإن قبضه بوكالة فله أن يأخذه عما له في ذمة المحيل وإن كان تالفاً نظرت فإن تلف بتفريط لزمه ضمان وثبت للمحيل عليه مثل ما ثبت له في ذمته فتقاصا وإن تلف من غير تفريط لم يلزمه الضمان لأنه وكيل ويرجع على المحيل بدينه ويبرأ المحال عليه لأنه إن كان محتالاً فقد وفاه حقه وإن كان وكيلاً فقد دفع إليه.
Jika ia telah menerima uang, maka jika uang itu masih ada, diserahkan kepadanya karena ia menerimanya dengan ḥawālah, maka itu menjadi miliknya. Dan jika ia menerimanya sebagai wakil, maka ia berhak mengambilnya sebagai pelunasan atas piutangnya yang ada dalam tanggungan muḥīl.
Jika uang itu telah rusak, maka dilihat: jika rusaknya disebabkan kelalaian, maka ia wajib menggantinya, dan tetap menjadi hak muḥīl atas muḥāl ‘alayh sebagaimana yang menjadi hak muḥtāl atasnya, lalu keduanya saling mengompensasikan (taqāṣṣu).
Namun jika rusaknya bukan karena kelalaian, maka ia tidak wajib mengganti karena ia adalah wakil. Maka ia menuntut kepada muḥīl atas piutangnya, dan muḥāl ‘alayh terbebas, karena jika ia adalah muḥtāl, maka ia telah menerima haknya, dan jika ia adalah wakil, maka muḥāl ‘alayh telah menyerahkan (uang) kepadanya.
يصح ضمان الدين عن الميت لما روى أبو قتادة قال: أقبل بجنازة على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “هل على صاحبكم من دين” فقالوا عليه ديناران قال صلى الله عليه وسلم: “صلوا على صاحبكم” فقال أبو قتادة: هما علي يا رسول الله فصلى عليه رسول الله صلي الله عليه وسلم ويصح عن الحي لأنه دين لازم فصح ضمانه كالدين على الميت.
Kitab ad-Ḍamān
Penjaminan utang atas orang yang telah wafat adalah sah, berdasarkan riwayat dari Abū Qatādah, ia berkata: dibawa jenazah kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda: “Apakah pada jenazah kalian ini ada utang?” Mereka menjawab: “Ia memiliki dua dinar utang.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Salatkanlah jenazah kalian ini.” Lalu Abū Qatādah berkata: “Keduanya menjadi tanggunganku, wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah SAW pun menshalatinya.
Dan penjaminan atas orang yang masih hidup juga sah karena itu adalah utang yang wajib, sehingga sah dijamin sebagaimana utang atas orang yang telah wafat.
فصل: ويصح ذلك من كل جائز التصرف في ماله فأما من يحجر عليه لصغر أو جنون أو سفه فلا يصح ضمانه لأنه إيجاب مال بعقد فلم يصح من الصبي والمجنون والسفيه كالبيع ومن حجر عليه للفلس يصح ضمانه لأنه إيجاب مال في الذمة بالعقد فصح من المفلس كالشراء بثمن في الذمة وأما العبد فإنه إن ضمن بغير إذن المولى ففيه وجهان: قال أبو إسحاق يصح ضمانه ويتبع به إذاً عتق لأنه لا ضرر فيه على المولى لأنه يطالب به بعد العتق فصح منه كالإقرار بإتلاف ماله وقال أبو سعيد الاصطخري لا يصح لأنه عقد تضمن إيجاب مال منه فلم يصح منه بغير إذن المولى كالنكاح
PASAL: Dan sah penjaminan itu dari setiap orang yang sah melakukan tasharruf terhadap hartanya. Adapun orang yang dikenai ḥajr karena masih kecil, gila, atau safih maka tidak sah penjaminannya, karena hal itu merupakan perikatan harta dengan akad, maka tidak sah dari anak kecil, orang gila, dan safih, sebagaimana jual beli.
Adapun orang yang dikenai ḥajr karena pailit, maka sah penjaminannya, karena ia adalah perikatan harta dalam żimmah melalui akad, maka sah dari orang yang pailit sebagaimana membeli dengan harga yang menjadi utang dalam żimmah.
Adapun budak, jika ia menjamin tanpa izin tuannya, maka terdapat dua pendapat: Abu Ishaq berkata, sah penjaminannya dan ia dituntut untuk membayarnya setelah merdeka, karena hal itu tidak mengandung mudarat bagi tuannya, sebab tuntutannya setelah ia merdeka, maka sah darinya sebagaimana pengakuan bahwa ia merusak harta orang lain.
Sedangkan Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata, tidak sah, karena itu adalah akad yang mengandung perikatan harta darinya, maka tidak sah tanpa izin tuannya, sebagaimana akad nikah.
فإن ضمن بإذن مولاه صح ضمانه لأن الحجر لحقه فزال بإذنه ومن أين يقضي ينظر فيه فإن قال له المولى اقضه من كسبك قضاه منه وإن قال اقضه مما في يدك للتجارة قضاه منه لأن المال له وقد أذن له فيه وإن لم يذكر القضاء ففيه وجهان: أحدهما يتبع به إذا أعتق لأنه أذن في الضمان دون الأداء والثاني يقضي من كسبه إن كان له كسب أو مما في يده إن كان مأذوناً له في التجارة لأن الضمان يقتضي الغرم كما يقتضي النكاح المهر ثم إذا أذن له في النكاح وجب قضاء المهر مما في يده فكذلك إذا أذن له في الضمان وجب قضاء الغرم مما في يده
Jika ia menjamin dengan izin tuannya, maka sah penjaminannya, karena ḥajr itu demi kemaslahatan tuan, dan menjadi gugur dengan izinnya.
Adapun dari mana ia membayar (kewajiban penjaminan) maka hal itu perlu dilihat:
Jika tuannya berkata kepadanya, “Bayarlah dari hasil kerjamu,” maka ia membayarnya dari hasil kerjanya.
Jika tuannya berkata, “Bayarlah dari harta yang ada di tanganmu untuk berdagang,” maka ia membayarnya dari harta tersebut karena harta itu milik tuannya dan ia telah mengizinkannya untuk berdagang.
Jika tuannya tidak menyebutkan cara pembayaran, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia dituntut untuk membayarnya setelah merdeka, karena izin itu hanya untuk penjaminan, bukan untuk pembayaran.
Kedua, ia membayarnya dari hasil kerjanya jika ia punya penghasilan, atau dari harta yang ada di tangannya jika ia diizinkan berdagang, karena penjaminan mengandung kewajiban mengganti (kerugian), sebagaimana pernikahan mengharuskan pembayaran mahar. Maka sebagaimana jika diizinkan menikah, wajib membayar mahar dari harta yang di tangannya, begitu pula jika diizinkan menjamin, wajib membayar ganti rugi dari harta yang di tangannya.
فإن كان على المأذون له دين وقلنا إن دين الضمان يقضيه مما في يده فهل يشارك فيه الغرماء؟ فيه وجهان: أحدهما يشارك به لأن المال للمولى وقد أذن له في القضاء منه إما بصريح الإذن أو من جهة الحكم فوجب المشاركة به والثاني أنه لا يشارك به لأن المال تعلق به الغرماء فلا يشارك بمال الضمان كالرهن وأما المكتب فإنه ضمن بغير إذن المولى فهو كالعبد القن وإن ضمن بإذنه فهو تبرع وفي تبرعات المكاتب بإذن المولى قولان نذكرهما في المكاتب إن شاء الله تعالى.
Jika budak yang diizinkan berdagang memiliki utang, dan kita berpendapat bahwa utang penjaminan dibayar dari harta yang ada di tangannya, maka apakah dalam hal ini ia berhak berbagi (menjadi bagian) dengan para kreditur lain? Maka ada dua pendapat:
Pertama, ia berhak berbagi karena harta tersebut milik tuannya dan tuan telah mengizinkannya untuk membayar darinya, baik dengan izin secara eksplisit maupun secara hukum, maka wajib diberikan hak berbagi.
Kedua, ia tidak berhak berbagi karena harta tersebut telah menjadi jaminan bagi para kreditur, maka tidak boleh berbagi dengan utang penjaminan, sebagaimana dalam kasus barang gadai.
Adapun budak muktatab, jika ia menjamin tanpa izin tuannya, maka hukumnya seperti budak biasa (qinn). Jika ia menjamin dengan izin tuannya, maka penjaminannya dihukumi sebagai tabarru‘ (pemberian secara suka rela), dan dalam masalah tabarru‘ dari budak muktatab dengan izin tuannya terdapat dua pendapat yang akan disebutkan dalam pembahasan tentang budak muktatab, insya Allah Ta‘ala.
فصل: ويصح الضمان من غير رضا المضمون عنه لأنه لما جاز قضاء دينه من غير رضاه جاز ضمان ما عليه من غير رضاه واختلف أصحابنا في رضا المضمون له فقال أبو علي الطبري يعتبر رضاه لأنه إثبات مال في الذمة بعقد لازم فشرط فيه رضاه كالثمن في البيع وقال أبو العباس لا يعتبر لأن أبا قتادة ضمن الدين عن الميت بحضرة النبي صلى الله عليه وسلم ولم يعتبر النبي صلى الله عليه وسلم رضا المضمون له.
PASAL: Sah menjamin (utang) tanpa ridha orang yang dijamin karena ketika boleh membayar utangnya tanpa izinnya, maka boleh pula menjamin apa yang menjadi tanggungannya tanpa izinnya. Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai apakah disyaratkan ridha orang yang berpiutang: Abu ‘Ali ath-Ṭabarī berkata bahwa ridha orang yang berpiutang disyaratkan karena ini merupakan penetapan harta dalam dzimmah melalui akad yang mengikat, maka disyaratkan adanya ridha sebagaimana harga dalam jual beli. Sedangkan Abu al-‘Abbās berkata bahwa tidak disyaratkan karena Abu Qatādah menjamin utang orang yang telah meninggal di hadapan Nabi SAW dan Nabi SAW tidak mensyaratkan adanya ridha dari orang yang berpiutang.
فصل: وهل يفتقر إلى معرفة المضمون له والمضمون عنه؟ فيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يفتقر إلى معرفة المضمون عنه ليعلم أنه هل هو ممن يسدي إليه الجميل ويفتقر إلى معرفة المضمون له ليعلم هل يصلح لمعاملته أم لا يصلح كما يفتقر إلى معرفة ما تضمنه من المال هل يقدر عليه أم لا يقدر عليه والثاني أنه يفتقر إلى معرفة المضمون له لأن معاملته معه ولا يفتقر إلى معرفة المضمون عنه لأنه لا معاملة بينه وبينه والثالث أنه لا يفتقر إلى معرفة واحد منهما لأن أبا قتادة ضمن عن الميت ولم يسأله النبي صلى الله عليه وسلم عن المضمون له والمضمون عنه.
PASAL: Apakah disyaratkan mengetahui pihak yang dijamin (al-maḍmūn lahu) dan pihak yang dijamin darinya (al-maḍmūn ‘anhu)? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, disyaratkan mengetahui pihak yang dijamin darinya, agar diketahui apakah ia termasuk orang yang pantas diberi kebaikan; dan disyaratkan juga mengetahui pihak yang dijamin, agar diketahui apakah layak untuk diajak bertransaksi atau tidak; sebagaimana disyaratkan mengetahui harta yang dijaminkan, apakah ia mampu memikulnya atau tidak.
Kedua, disyaratkan mengetahui pihak yang dijamin, karena transaksi terjadi dengannya; dan tidak disyaratkan mengetahui pihak yang dijamin darinya, karena tidak ada transaksi antara keduanya.
Ketiga, tidak disyaratkan mengetahui keduanya, karena Abu Qatādah menjamin utang dari orang mati, dan Nabi SAW tidak menanyakannya tentang pihak yang dijamin dan pihak yang dijamin darinya.
فصل: وإن باعه بشرط أن يضمن الثمن ضامن لم يجز حتى يعين الضامن لأن الغرض يختلف باختلاف من يضمن كما يختلف باختلاف ما يرهن من الرهون وإن شرط أن يضمنه ثقة لم يجز حتى يعين لأن الثقات يتفاوتون فإن لم يف به بما شرط من الضمين ثبت للبائع الخيار لأنه دخل في العقد بشرط الوثيقة ولم يسلم له الشرط فثبت له الخيار كما لو شرط له رهناً ولم يف له بالرهن وإن شرط أن يشهد له شاهدين جاز من غير تعيين لأن الأغراض لا تختلف باختلاف الشهود فإن عين له شاهدين فهل يجوز إبدالهما بغيرهما؟ فيه وجهان: أحدهما لا يجوز كما لا يجوز في الضمان والثاني يجوز لأن الغرض لا يختلف.
PASAL: Jika ia menjual kepadanya dengan syarat bahwa ada penjamin yang menjamin pembayaran harga, maka tidak sah hingga penjamin itu ditentukan, karena maksud (akad) berbeda-beda sesuai dengan siapa yang menjamin, sebagaimana berbeda pula menurut barang yang dijadikan rahn. Dan jika disyaratkan agar yang menjamin itu seorang yang tsiqah, maka tidak sah hingga orang tersebut ditentukan, karena orang-orang tsiqah berbeda-beda tingkatannya. Jika penjual tidak dipenuhi syarat tentang penjamin, maka penjual berhak memilih (antara meneruskan atau membatalkan) karena ia masuk ke dalam akad dengan syarat adanya jaminan, namun syarat itu tidak terpenuhi, maka ia berhak memilih sebagaimana jika disyaratkan barang jaminan lalu tidak dipenuhi.
Jika disyaratkan agar dihadirkan dua orang saksi, maka hal itu sah tanpa harus menentukan siapa dua saksi itu karena maksud (akad) tidak berubah dengan perbedaan para saksi. Namun jika ia menentukan dua saksi tersebut, apakah boleh diganti dengan dua saksi lain? Dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, tidak boleh sebagaimana dalam kasus penjamin; kedua, boleh karena maksudnya tidak berubah.
فصل: ويصح ضمان كل دين لازم الثمن والأجرة وعوض القرض ودين السلم وأرش الجناية وغرامة المتلف لأنه وثيقة يستوفي منها الحق فصح في كل دين لازم كالرهن وأما ما لا يلزم بحال وهو دين الكتابة فلا يصح ضمانه لأنه لا يلزم المكاتب أداؤه فلم يلزم ضمانه ولأن الضمان يراد لتوثيق الدين ودين الكتابة لا يمكن توثيقه لأنه يملك إسقاطه إذا شاء فلا معنى لضمانه وفي مال الجعالة والثمن في مدة الخيار ثلاثة أوجه: أحدها لا يصح ضمانه لأنه دين غير لازم فلم يصح ضمانه كدين الكتابة
PASAL: Sah menjamin setiap utang yang wajib, seperti harga barang, upah, ganti rugi pinjaman, utang salam, denda jināyah, dan ganti rugi atas kerusakan, karena jaminan adalah bentuk peneguhan yang darinya dapat ditagih hak, maka sah dilakukan pada setiap utang yang wajib seperti halnya rahn.
Adapun utang yang tidak wajib dalam keadaan apa pun, yaitu utang kitābah, maka tidak sah menjaminnya karena tidak wajib bagi mukātab untuk melunasinya, maka tidak wajib pula menjaminnya. Dan karena jaminan dimaksudkan untuk menguatkan utang, sedangkan utang kitābah tidak mungkin diperkuat karena tuannya memiliki hak untuk membatalkannya kapan saja, maka tidak ada faedah menjaminnya.
Adapun harta ju‘ālah dan harga barang dalam masa khiyār, terdapat tiga pendapat:
Pertama, tidak sah menjaminnya karena termasuk utang yang belum wajib, maka tidak sah menjaminnya sebagaimana utang kitābah.
والثاني يصح لأنه يئول إلى اللزوم فصح ضمانه والثالث يصح ضمان الثمن في مدة الخيار ولا يصح ضمان مال الجعالة لأن عقد البيع يئول إلى اللزوم وعقد الجعالة لا يلزم بحال فأما مال المشروط في السبق والرمي ففيه قولان: أحدهما أنه كالإجارة فيصح ضمانه والثاني أنه كالجعالة فيكون في ضمانه وجهان.
Dan pendapat kedua: sah menjaminnya karena pada akhirnya akan menjadi wajib, maka sah menjaminnya.
Pendapat ketiga: sah menjamin harga barang dalam masa khiyār, dan tidak sah menjamin harta ju‘ālah, karena akad jual beli pada akhirnya menjadi wajib, sedangkan akad ju‘ālah tidak wajib dalam keadaan apa pun.
Adapun harta yang disyaratkan dalam perlombaan dan memanah, terdapat dua pendapat:
Pertama, hukumnya seperti ijārah, maka sah menjaminnya.
Kedua, hukumnya seperti ju‘ālah, sehingga dalam hal menjaminnya terdapat dua wajah pendapat.
فصل: ولا يجوز ضمان المجهول لأنه إثبات مال في الذمة بعقد لآدمي مع الجهالة كالثمن في البيع وفي إبل الدية وجهان: أحدهما لا يجوز ضمانه لأنه مجهول اللون والصفة والثاني أنه يجوز لأنه معلوم السن والعدد ويرجع في اللون والصفة إلى عرف البلد.
PASAL: Tidak boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui (majhūl) karena itu berarti menetapkan harta dalam dzimmah melalui akad antar manusia dengan adanya ketidakjelasan, seperti halnya harga dalam jual beli. Adapun untuk unta diyat, terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh menjaminnya karena tidak diketahui warna dan sifatnya; kedua, boleh karena telah diketahui umur dan jumlahnya, sedangkan warna dan sifatnya dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf) di negeri tersebut.
فصل: ولا يصح ضمان ما لم يجب وهو أن يقول ما تداين فلام فأنا ضامن له لأنه وثيقة بحق فلا يسبق الحق كالشهادة.
PASAL: Tidak sah menjamin sesuatu yang belum wajib, yaitu seperti ucapan: “Apa pun yang akan diutang oleh si Fulan, maka aku adalah penjaminnya,” karena jaminan adalah peneguhan atas suatu hak, maka tidak boleh mendahului adanya hak, sebagaimana persaksian.
فصل: ولا يجوز تعليقه على شرط لأنه إيجاب مال لآدمي بعقد فلم يجز تعليقه على شرط كالبيع وإن قال ألق متاعك في البحر وعلي ضمانه صح فإذا ألقاه وجب ما ضمنه لأنه استدعاء إتلاف بعوض لغرض صحيح فأشبه إذا قال طلق امرأتك أو أعتق عبدك على ألف وإن قال بع عبدك من زيد بخمسمائة ولك علي خمسمائة أخرى فباعه ففيه وجهان: أحدهما يصح البيع ويستحق ما بذله لأنه مال بذله في مقابلة إزالة الملك فأشبه إذا قال طلق امرأتك أو أعتق عبدك على ألف والثاني لا يصح لأنه بذل مال لغرض غير صحيح فلم يجز ويخالف ما بذله في الطلاق والعتق فإن في ذلك بذل مال لغرض صحيح وهو تخليص المرأة من الزوج وتخليص العبد من الرق.
PASAL: Tidak boleh menjamin dengan syarat yang digantungkan, karena itu merupakan penetapan harta bagi manusia dengan akad, maka tidak boleh digantungkan pada syarat sebagaimana jual beli. Namun jika seseorang berkata, “Buanglah barangmu ke laut dan aku menjaminnya,” maka sah. Ketika ia membuangnya, maka jaminan itu wajib, karena hal itu merupakan permintaan untuk merusak dengan kompensasi karena suatu tujuan yang sah, sehingga menyerupai ucapan: “Ceraikan istrimu atau merdekakan hambamu dengan imbalan seribu.”
Jika seseorang berkata, “Juallah hambamu kepada Zaid seharga lima ratus, dan aku akan memberimu lima ratus lainnya,” lalu ia menjualnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, jual beli sah dan ia berhak atas imbalan yang dijanjikan karena ia telah menyerahkan harta sebagai imbalan atas pelepasan kepemilikan, sebagaimana dalam kasus perceraian atau pemerdekaan dengan imbalan. Kedua, tidak sah karena ia menyerahkan harta untuk tujuan yang tidak sah, maka tidak boleh, berbeda dengan apa yang diserahkan dalam kasus talak dan ‘itq karena di situ terdapat penyerahan harta untuk tujuan yang sah, yaitu membebaskan perempuan dari ikatan pernikahan dan membebaskan budak dari perbudakan.
فصل: ويجوز أن يضمن الدين الحال إلى أجل لأنه رفق ومعروف فكان على حسب ما يدخل فيه وهل يجوز أن يضمن المؤجل حالاً؟ فيه وجهان: أحدهما يجوز كما يجوز أن يضمن الحال مؤجلاً والثاني لا يجوز لأن الضمان فرع لما على المضمون عنه فلا يجوز أن يكون الفرع معجلاً والأصل مؤجلاً.
PASAL: Boleh menjamin utang yang jatuh tempo untuk dibayar di waktu yang akan datang, karena hal itu merupakan bentuk keringanan dan kebaikan, maka boleh sesuai dengan apa yang tercakup di dalamnya.
Apakah boleh menjamin utang yang belum jatuh tempo dengan jaminan yang langsung jatuh tempo? Dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, boleh, sebagaimana boleh menjamin utang yang sudah jatuh tempo dengan jaminan yang ditangguhkan.
Kedua, tidak boleh, karena jaminan merupakan cabang dari utang yang ada atas pihak yang dijamin darinya, maka tidak boleh cabang lebih cepat dari pokoknya, sedangkan pokoknya ditangguhkan.
فصل: ولا يثبت في الضمان خيار لأن لدفع الغبن وطلب الحظ والضامن يدخل في العقد على بصيرة أنه مغبون وأنه لا حظ له في العقد ولهذا يقال الكفالة أولها ندامة وأوسطها ملامة وآخرها غرامة.
PASAL: Tidak ditetapkan khiyār dalam jaminan karena khiyār itu ditetapkan untuk menolak kerugian dan mencari keuntungan, sedangkan penjamin masuk dalam akad dengan penuh kesadaran bahwa ia dirugikan dan tidak memiliki keuntungan dalam akad. Oleh karena itu dikatakan: kafālah itu awalnya penyesalan, pertengahannya celaan, dan akhirnya kerugian.
فصل: ويبطل بالشروط الفاسدة لأنه عقد يبطل بجهالة المال فبطل بالشرط الفاسد كالبيع وإن شرط ضماناً فاسداً في عقد بيع فإنه يبطل البيع فيه قولان كالقولين في الرهن الفاسد إذا شرطه في البيع وقد بينا وجه القولين في الرهن.
PASAL: Akad ini batal karena syarat-syarat yang rusak, karena ia adalah akad yang batal disebabkan ketidakjelasan harta, maka batal pula karena syarat yang rusak sebagaimana jual beli. Dan jika disyaratkan jaminan yang rusak dalam akad jual beli, maka jual beli tersebut batal menurut dua pendapat, seperti dua pendapat dalam kasus rahn yang rusak apabila disyaratkan dalam jual beli. Dan kami telah menjelaskan alasan dua pendapat tersebut dalam rahn.
فصل: ويجب بالضمان الدين في ذمة الضامن ولا يسقط عن المضمون عنه والدليل عليه ما روى “جابر رضي الله عنه قال: توفي رجل منا فأتينا النبي صلى الله عليه وسلم ليصلي عليه فخطا خطوة ثم قال أعليه دين قلنا ديناران فتحملهما أبو قتادة ثم قال بعد ذلك بيوم ما فعل الديناران قال: إنما مات بالأمس ثم أعاد عليه بالغد قال: قد قضيتهما قال الآن بردت عليه جلده” ولأنه وثيقة بدين في الذمة فلا يسقط الدين عن الذمة كالرهن
PASAL: Wajib dengan jaminan (ضمان) adanya utang dalam tanggungan si penjamin, dan tidak gugur dari orang yang dijamin. Dalilnya adalah riwayat:
“Jābir RA berkata: Ada seorang lelaki dari kami meninggal, lalu kami mendatangi Nabi SAW untuk menshalatinya. Maka beliau melangkah satu langkah, kemudian bersabda: ‘Apakah ia punya utang?’ Kami menjawab: ‘Dua dinar.’ Maka Abū Qatādah menanggung keduanya. Kemudian keesokan harinya beliau bersabda: ‘Apa yang terjadi dengan dua dinar itu?’ Ia menjawab: ‘Baru saja ia wafat kemarin.’ Lalu beliau mengulanginya lagi keesokan harinya, dan Abū Qatādah berkata: ‘Sungguh aku telah melunasinya.’ Maka beliau bersabda: ‘Sekarang telah sejuk kulitnya.'”
Dan karena jaminan itu merupakan watsīqah (jaminan) atas utang dalam tanggungan, maka tidak menggugurkan utang dari tanggungan seperti halnya rahn (gadai).
ويجوز للمضمون له مطالبة الضامن والمضمون عنه لأن الدين ثابت في ذمتهما فكان له مطالبتهما فإن ضمن عن الضامن ثالث جاز لأنه ضمان دين ثابت فجاز كالضمان الأول وإن ضمن المضمون عنه عن الضامن لم يجز لأنه المضمون عنه أصل والضامن فرع فلا يجوز أن يصير الأصل فرعاً والفرع أصلاً ولأنه يضمن ما في ذمته ولأنه لا فائدة في ضمانه وهو ثابت في ذمته.
PASAL: Boleh bagi pihak yang berpiutang menuntut kepada penjamin maupun kepada pihak yang dijamin, karena utang tetap berada dalam tanggungan keduanya, maka ia berhak menuntut keduanya. Jika ada orang ketiga menjamin pihak penjamin, maka hal itu boleh karena merupakan jaminan atas utang yang sudah tetap, sehingga dibolehkan seperti jaminan yang pertama.
Namun, jika pihak yang dijamin menjamin pihak penjamin, maka tidak boleh, karena pihak yang dijamin adalah asal, sedangkan penjamin adalah cabang. Maka tidak boleh asal menjadi cabang dan cabang menjadi asal. Juga karena itu berarti ia menjamin sesuatu yang sudah berada dalam tanggungannya sendiri, dan karena tidak ada manfaat dari jaminannya, sebab utang memang sudah tetap dalam tanggungannya.
فصل: وإن ضمن عن رجل ديناً بغير إذن لم يجز له مطالبة المضمون عنه بتخليصه لأنه لم يدخل فيه بإذنه فلم يلزمه تخليصه وإن ضمن بإذنه نظرت فإن طالبه صاحب الحق جاز له مطالبته بتخليصه لأنه إذا جاز أن يغرمه إذا غرم جاز له أن يطالبه إذا طولب وإن لم يطالب ففيه وجهان: أحدهما له أن يطالبه لأنه شغل ذمته بالدين بإذنه فجاز له المطالبة بتفريغ ذمته كما لو أعاره عيناً ليرهنها فرهنها
PASAL: Jika seseorang menjamin utang seorang laki-laki tanpa izinnya, maka ia tidak boleh menuntut orang yang dijamin untuk membebaskannya, karena ia masuk ke dalam jaminan itu tanpa izinnya, maka tidak wajib bagi yang dijamin untuk membebaskannya. Namun jika ia menjamin dengan izinnya, maka perlu dilihat: jika penuntut hak menuntutnya, maka boleh baginya menuntut orang yang dijamin untuk membebaskannya, karena jika dibolehkan baginya untuk menuntut ganti rugi ketika ia telah membayar, maka dibolehkan pula baginya untuk menuntut ketika ia dituntut. Jika belum dituntut, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia boleh menuntutnya karena ia telah membebani tanggungannya dengan utang atas izinnya, maka boleh baginya menuntut pembebasan tanggungannya, sebagaimana jika ia meminjamkan suatu barang untuk digadaikan, lalu barang itu digadaikan.
والثاني ليس له وهو الصحيح لأنه لما لم يغرمه قبل أن يغرم لم يطالبه قبل أن يطالب ويخالف إذا أعاره عيناً ليرهنها فرهنها لأن عليه ضرراً في حبس العين والمنع من التصرف بها ولا ضرر عليه في دين في ذمته لا يطالب به فإن دفع المضمون عنه مالاً إلى الضامن وقال خذ هذا بدلاً عما يجب لك بالقضاء ففيه وجهان: أحدهما يملكه لأن الرجوع يتعلق بسبب الضمان والغرم وقد وجد أحدهما فجاز تقديمه على الآخر كإخراج الزكاة قبل الحول وإخراج الكفارة قبل الحنث
dan kedua, tidak boleh — dan inilah pendapat yang sahih — karena selama ia belum membayar, maka ia tidak boleh menuntut sebelum dituntut. Ini berbeda dengan kasus jika ia meminjamkan suatu barang untuk digadaikan lalu barang itu digadaikan, karena dalam hal itu terdapat mudarat berupa tertahannya barang dan terhalang dari pemanfaatannya, sedangkan dalam utang yang ada dalam tanggungannya tidak ada mudarat baginya selama belum dituntut.
Jika orang yang dijamin memberikan harta kepada penjamin dan berkata, “Ambillah ini sebagai pengganti dari apa yang akan menjadi hakmu melalui keputusan (hakim),” maka terdapat dua pendapat: pertama, ia memilikinya karena hak untuk menuntut berkaitan dengan sebab penjaminan dan pembayaran, dan salah satu sebab tersebut telah ada, maka boleh mendahulukan (pemberian) atas yang lainnya, seperti mengeluarkan zakat sebelum haul, dan membayar kafarat sebelum terjadi pelanggaran.
فإن قضى عنه الدين استقر ملكه على ما قبض وإن أبرئ من الدين قبل القضاء وجب رد ما أخذ كما يجب رد ما عجل من الزكاة إذا هلك النصاب قبل الحول والثاني لا يملك لأنه أخذه بدلاً عما يجب في الثاني فلا يملكه كما لو دفع إليه شيئاً عن بيع لم يعقده فعلى هذا يجب رده فإن هلك ضمنه لأنه قبضه على وجه البدل فضمنه كالمقبوض بسوء البيع.
Jika ia telah melunasi utang tersebut, maka kepemilikannya atas apa yang ia terima menjadi tetap. Namun jika ia dibebaskan dari utang sebelum pelunasan, maka ia wajib mengembalikan apa yang telah diterima, sebagaimana wajib mengembalikan zakat yang disegerakan apabila nishab hancur sebelum haul.
Pendapat kedua, ia tidak memilikinya karena ia menerimanya sebagai pengganti dari sesuatu yang belum menjadi kewajiban, maka ia tidak memilikinya, sebagaimana jika seseorang memberikan sesuatu kepadanya sebagai harga dari jual beli yang belum terjadi. Maka menurut pendapat ini, ia wajib mengembalikannya, dan jika barang tersebut rusak, ia wajib menggantinya, karena ia menerimanya dalam bentuk pengganti, maka ia wajib menanggungnya sebagaimana barang yang diterima dalam jual beli batil.
فصل: وإن قبض المضمون له الحق من المضمون منه برئ الضمان لأنه وثيقة بحق فانحلت بقبض الحق كالرهن وإن قبضه من الضامن برئ المضمون عنه لأنه استوفى الحق من الوثيقة فبرئ من عليه الدين كما لو قضى الدين من ثمن الرهن وإن أبرئ المضمون عنه برئ الضامن لأن الضامن وثيقة بالدين فإذا أبرئ من عليه الدين انحلت الوثيقة كما ينحل الرهن إذ أبرئ الراهن من الدين وإن أبرئ الضامن لم يبرأ المضمون عنه لأن إبراءه إسقاط وثيقة من غير قبض فلم يبرأ به من عليه الدين كفسخ الرهن.
PASAL: Jika mashāl lah menerima hak (utang) dari mashāl ‘alayh, maka gugurlah jaminan, karena jaminan adalah bukti atas suatu hak, maka batal dengan diterimanya hak itu, sebagaimana rahn. Jika dia menerimanya dari ḍāmin, maka gugurlah kewajiban mashāl ‘alayh, karena hak telah dipenuhi dari jaminan, maka gugurlah pihak yang berutang, sebagaimana jika utang dilunasi dari hasil penjualan barang rahn. Jika mashāl ‘alayh dibebaskan dari utang, maka gugurlah jaminan, karena jaminan adalah bukti atas utang, maka ketika yang berutang dibebaskan, lepaslah jaminan itu, sebagaimana rahn batal jika orang yang menggadaikan dibebaskan dari utang. Namun jika ḍāmin yang dibebaskan, maka tidak gugur utang dari mashāl ‘alayh, karena pembebasan itu berarti menggugurkan bukti tanpa menerima pelunasan, maka tidak gugur utang darinya, sebagaimana pembatalan rahn.
فصل: وإن قضى الضامن الدين نظرت فإن ضمن بإذن المضمون عنه وقضى بإذنه رجع عليه لأنه أذن له في الضمان والقضاء وإن ضمن بغير إذنه وقضى بغير إذنه لم يرجع لأنه تبرع بالقضاء فلم يرجع وإن ضمن بغير إذنه وقضى بإذنه ففيه وجهان: من أصحابنا من قال يرجع لأنه قضى بإذنه
PASAL: Jika penjamin telah membayar utang, maka perlu dilihat: jika ia menjamin dengan izin dari orang yang dijamin dan membayar dengan izinnya, maka ia boleh menuntut ganti kepadanya, karena ia mendapat izin untuk menjamin dan membayar. Namun jika ia menjamin tanpa izinnya dan membayar tanpa izinnya, maka ia tidak boleh menuntut ganti karena ia telah membayar secara sukarela, maka tidak boleh menuntut ganti.
Jika ia menjamin tanpa izinnya lalu membayar dengan izinnya, maka terdapat dua pendapat: sebagian ulama kami berpendapat bahwa ia boleh menuntut ganti karena ia membayar dengan izinnya.
والثاني لا يرجع وهو المذهب لأنه لزمه بغير إذنه فلم يؤثر إذنه في قضائه وإن ضمن بإذنه وقضى بغير إذنه فالمنصوص أنه يرجع عليه وهو قول أبي علي بن أبي هريرة لأنه اشتغلت ذمته بالدين بإذنه فإذا استوفى منه رجع كما لو أعاره مالاً فرهنه في دينه وبيع في الدين وقال أبو إسحاق: إن أمكنه أن يستأذنه لم يرجع لأنه قضاه باختياره وإن لم يمكنه رجع لأنه قضاه بغير اختياره وإن أحاله الضامن على رجل له عليه دين برئت ذمة المضمون عنه
dan pendapat kedua: tidak boleh menuntut ganti — dan inilah mazhab yang dipegang — karena kewajiban itu timbul tanpa izinnya, maka izinnya untuk membayar tidak berpengaruh.
Jika ia menjamin dengan izinnya namun membayar tanpa izinnya, maka pendapat yang ditegaskan adalah bahwa ia boleh menuntut ganti kepadanya — dan ini adalah pendapat Abū ʿAlī ibn Abī Hurairah — karena tanggungannya terbebani utang dengan izinnya, maka apabila ia menagih darinya, ia boleh menuntut ganti, sebagaimana jika ia meminjamkan harta untuk dijadikan jaminan atas suatu utang lalu dijual untuk membayar utang tersebut.
Sedangkan Abū Isḥāq berpendapat: jika memungkinkan baginya untuk meminta izin namun ia tidak melakukannya, maka ia tidak boleh menuntut ganti karena ia membayar atas pilihannya sendiri. Namun jika tidak memungkinkan untuk meminta izin, maka ia boleh menuntut ganti karena ia membayar bukan atas pilihannya sendiri.
Jika penjamin mengalihkan penagihan kepada seseorang yang memiliki utang kepadanya, maka bebaslah tanggungan orang yang dijamin.
لأن الحوالة بيع فصار كما لو أعطاه عن الدين عوضاً وإن أحاله على من لا دين له عليه وقيل المحال عليه وقلنا يصح بريء الضامن لأن بالحوالة تحول ما ضمن ولا يرجع عن المضمون عنه لأنه لم يغرم فإن قبضه منه ثم وهبه له فهل يرجع على الضامن؟ فيه وجهان بناءً على القولين في المرأة إذا وهب الصداق من الزوج ثم طلقها قبل الدخول.
Karena ḥawālah adalah akad jual beli, maka keadaannya seperti jika ia memberikan pengganti dari utang.
Jika ia mengalihkan penagihan kepada seseorang yang tidak memiliki utang kepadanya, namun orang yang dialihkan menerima dan kita berpendapat bahwa ḥawālah seperti itu sah, maka bebaslah tanggungan penjamin, karena dengan ḥawālah, tanggungan jaminan berpindah. Namun penjamin tidak boleh menuntut ganti kepada orang yang dijamin karena ia belum membayar.
Jika orang yang dialihkan (muhāl ʿalayh) membayar kepada pihak yang berhak lalu menghadiahkannya kembali kepadanya (misal: kepada penjamin), maka apakah pihak yang menerima hadiah itu (pemberi jaminan) boleh menuntut kepada pihak yang dijamin? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, berdasarkan dua pendapat pula dalam kasus wanita yang menghibahkan ṣadāq kepada suaminya, lalu dicerai sebelum terjadi hubungan badan.
فصل: وإن دفع الضامن إلى المضمون له ثوباً عن الدين في موضع يثبت له الرجوع رجع بأقل الأمرين من قيمة الثوب أو قدر الدين فإن كان قيمة الثوب عشرة والدين عشرين لم يرجع بما زاد على العشرة لأنه لم يغرم وإن كان قيمة الثوب عشرين والدين عشرين لم يرجع بما زاد على العشرة لأنه تبرع بما زاد فلا يرجع به وإن كان الدين الذي ضمنه مؤجلاً فعجل قضاؤه لم يرجع به قبل المحل لأنه تبرع بالتعجيل.
PASAL: Jika penjamin menyerahkan kepada pihak yang berpiutang (mutaḍamman lah) sebuah pakaian sebagai pelunasan utang, dalam kondisi di mana ia berhak menuntut ganti, maka ia hanya boleh menuntut ganti sebesar nilai yang lebih kecil antara harga pakaian dan jumlah utang.
Jika harga pakaian sepuluh, sedangkan utangnya dua puluh, maka ia tidak boleh menuntut lebih dari sepuluh karena ia belum membayar lebih dari itu.
Jika harga pakaian dua puluh dan utangnya juga dua puluh, maka ia tetap tidak boleh menuntut lebih dari sepuluh, karena kelebihan itu dianggap sebagai tabarru‘ (pemberian sukarela), maka tidak boleh dituntut.
Dan jika utang yang ia jamin itu bersifat tangguh (muʾajjal), lalu ia membayarnya sebelum jatuh tempo, maka ia tidak boleh menuntut ganti sebelum waktu jatuh tempo, karena ia telah membayar lebih awal secara sukarela.
فصل: ويصح ضمان الدرك على المنصوص وخرج أبو العباس قولاً آخر أنه لايصح لأنه ضمان ما يستحق من المبيع وذلك مجهول والصحيح أنه يصح قولاً واحداً لأن الحاجة داعية إليه لأنه يسلم الثمن ولا يأمن أن يستحق عليه المبيع ولا يمكنه أن يأخذ على الثمن رهناً لأن البائع لا يعطيه من المبيع رهناً ولا يمكنه أن يستوثق بالشهادة لأنه قد يفلس البائع فلا تنفعه الشهادة فلم يبق ما يستوثق به غير الضمان ولا يمكن أن يجعل القدر الذي يستحق معلوماً فعفى عن الجهالة فيه كما عفى عن الجهل بأساس الحيطان ويخالف ضمان المجهول لأنه يمكنه أن يعلم قدر الدين ثم يضمنه وفي وقت ضمانه وجهان: أحدهما لا يصح حتى يقبض البائع الثمن لأنه قبل أن يقبض ما وجب له شيء وضمان ما لم يجب لا يصح
PASAL: Dan sah penjaminan darak menurut teks yang manṣūṣ, dan Abul ‘Abbās mengeluarkan pendapat lain bahwa penjaminan itu tidak sah karena merupakan penjaminan terhadap sesuatu yang mungkin akan menjadi milik dari barang dagangan, dan hal itu tidak diketahui. Namun pendapat yang sahih adalah bahwa penjaminan itu sah secara qawl wāḥid, karena kebutuhan mendesaknya. Sebab, pembeli menyerahkan harga dan tidak merasa aman dari kemungkinan barang yang dibelinya akan menjadi milik orang lain.
Dan tidak memungkinkan baginya untuk mengambil jaminan (gadai) atas harga, karena penjual tidak akan memberikan jaminan dari barang yang dijual. Dan tidak memungkinkan juga untuk memastikan dengan kesaksian, karena bisa saja penjual jatuh bangkrut dan kesaksian tidak lagi berguna. Maka tidak tersisa cara untuk menjamin selain dengan penjaminan (ḍamān). Dan tidak mungkin pula menjadikan kadar yang akan diserahkan sebagai sesuatu yang diketahui, maka dimaafkanlah ketidaktahuan (di dalam akad ini), sebagaimana dimaafkan ketidaktahuan terhadap pondasi dinding (asās al-ḥīṭān).
Dan hal ini berbeda dengan penjaminan terhadap sesuatu yang tidak diketahui, karena dalam hal itu memungkinkan untuk mengetahui kadar utang terlebih dahulu, lalu dijamin.
Adapun waktu penjaminannya, terdapat dua wajah (pendapat). Salah satunya: tidak sah hingga penjual menerima harga, karena sebelum menerima, belum ada yang menjadi wajib baginya, dan penjaminan terhadap sesuatu yang belum wajib tidak sah.
والثاني يصح قبل قبض الثمن لأن الجارية داعية إلى هذا الضمان في عقد البيع فجاز قبل قبض الثمن وإن اشترى جارية وضمن دركها فخرج بعضها مستحقاً فإن قلنا إن البيع يصح في الباقي رجع بثمن ما استحق وإن قلنا يبطل البيع في الجميع رجع على الضامن بثمن ما استحق وهل يرجع عليه بثمن الباقي فيه وجهان: أحدهما يرجع عليه لأنه بطل البيع فيه لأجل الاستحقاق فضمن كالمستحق والثاني لا يرجع لأنه لم يضمن إلا ما يستحق فلم يضمن ما سواه
والثاني: sah sebelum menerima harga, karena kebutuhan mendorong kepada adanya penjaminan ini dalam akad jual beli, maka dibolehkan sebelum menerima harga.
Jika seseorang membeli seorang jariyah dan ada penjaminan darak-nya, lalu sebagian dari jariyah tersebut ternyata milik orang lain (mustaḥaq), maka:
- Jika kita mengatakan bahwa jual beli sah pada bagian yang tersisa, maka ia berhak meminta kembali harga dari bagian yang terbukti milik orang lain.
- Dan jika kita mengatakan bahwa jual beli batal seluruhnya, maka ia berhak meminta kembali dari penjamin sebesar harga bagian yang terbukti milik orang lain.
Adapun apakah ia boleh menuntut kembali harga bagian yang tidak bermasalah, terdapat dua wajah (pendapat):
- Pertama: ia boleh menuntut kembali, karena jual beli batal pada bagian itu disebabkan oleh adanya istihqāq, maka berlaku seperti bagian yang memang terbukti milik orang lain.
- Kedua: tidak boleh menuntut kembali, karena penjamin hanya menjamin apa yang terbukti milik orang lain (mustaḥaq), sehingga ia tidak menjamin bagian yang tidak demikian.
وإن ضمن الدرك فوجد بالمبيع عيباً فرده فهل يرجع على الضامن بالثمن فيه وجهان: أحدهما لا يرجع وهو قول المزني وأبي العباس لأنه زال ملكه عنه بأمر حادث فلم يرجع عليه بالثمن كما لو كان شقصاً فأخذه الشفيع والثاني يرجع لأنه رجع إليه الثمن بمعنى قارن العقد فثبت له الرجوع على الضامن كما لو خرج مستحقاً وإن وجد به العيب وقد حدث عنده عيب فهل يرجع بأرش العيب على ما ذكرناه من الوجهين.
Jika seseorang menjamin darak, lalu ternyata terdapat cacat pada barang yang dijual sehingga pembeli mengembalikannya, maka apakah ia boleh menuntut kembali harga dari penjamin? Dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat):
- Pertama: tidak boleh menuntut kembali, dan ini adalah pendapat al-Muzanī dan Abul ‘Abbās, karena kepemilikannya terhadap barang itu hilang disebabkan oleh perkara yang muncul setelah akad, maka ia tidak berhak menuntut harga dari penjamin, sebagaimana jika yang dijual adalah syuṣṣ (bagian dari kepemilikan) lalu diambil oleh pemilik hak syuf‘ah.
- Kedua: ia berhak menuntut kembali, karena ia menerima kembali harga dengan sebab yang berkaitan langsung dengan akad, maka ia berhak menuntut kepada penjamin, sebagaimana jika barang itu ternyata milik orang lain (mustaḥaq).
Dan jika ditemukan cacat, lalu pada saat itu terjadi cacat lain saat berada di tangan pembeli, maka apakah pembeli berhak menuntut ganti rugi (arsy al-‘ayb) kepada penjamin? Maka hukumnya mengikuti dua wajah pendapat yang telah disebutkan.
فصل: وتجوز كفالة البدن على المنصوص في الكتب وقال في الدعاوى والبينات إن كفالة البدن ضعيفة فمن أصحابنا من قال تصح قولاً واحداً وقوله ضعيف أراد من جهة القياس ومن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما أنها لا تصح لأنه ضمان عين في الذمة بعقد فلم يصح كالسلم في ثمرة نخلة بعينها
PASAL: Boleh menjamin badan menurut pendapat yang ditegaskan dalam kitab-kitab. Namun ia berkata dalam kitab al-Daʿāwā wa al-Bayyināt bahwa penjaminan badan itu lemah. Maka sebagian dari kalangan kami ada yang mengatakan bahwa penjaminan itu sah menurut satu pendapat saja, dan bahwa ucapannya “lemah” itu maksudnya dari segi qiyās. Dan sebagian dari kalangan kami ada yang mengatakan bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa penjaminan itu tidak sah, karena ia merupakan jaminan atas suatu ‘ain (benda tertentu) dalam tanggungan dengan akad, maka tidak sah sebagaimana akad salam dalam buah kurma dari pohon tertentu.
والثاني يصح وهو الأظهر لما روى أبو إسحاق السبيعي عن حارثة بن مضرب قال: صليت مع عبد الله بن مسعود الغداة فلما سلم قام رجل فحمد الله وأثنى عليه وقال أما بعد فوالله لقد بت البارحة وما في نفسي على أحد إحنة وإني كنت استطرقت رجلاً من بني حنيفة وكان أمرني أن آتيه بغلس فانتهيت إلى مسجد بني حنيفة – مسجد عبد الله بن النواحة – فسمعت مؤذنهم يشهد أن لا إله إلا الله وأن مسيلمة رسول الله فكذبت سمعي وكففت فرسي حتى سمعت أهل المسجد قد تواطؤوا على ذلك فقال عبد الله بن مسعود علي بعبد الله بن النواحة فحضر واعترف فقال له عبد الله أين ما كنت تقرأ من القرآن؟ قال كنت أتقيكم به فقال له تب فأبى فأمر به فأخرج إلى السوق فجز رأسه ثم شاور أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم في بقية القوم
والثاني يصح وهو yang lebih kuat, berdasarkan riwayat dari Abū Isḥāq al-Sabīʿī dari Ḥāriṯah bin Muḍarriب, ia berkata: Aku shalat subuh bersama ʿAbdullāh bin Masʿūd. Setelah salam, seorang lelaki berdiri, memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu berkata: Amma baʿdu, demi Allah, aku bermalam tadi dalam keadaan tidak menyimpan dendam terhadap siapa pun, dan sungguh aku telah meminta izin kepada seorang lelaki dari Banī Ḥanīfah untuk melewati jalannya, dan ia menyuruhku menemuinya saat masih gelap. Maka aku sampai di masjid Banī Ḥanīfah – yaitu Masjid ʿAbdullāh bin al-Nawwāḥah – lalu aku mendengar muazin mereka bersyahadat lā ilāha illa Allāh dan Mūsaylamah rasūl Allāh. Maka aku menganggap pendengaranku salah, dan aku menahan kudaku hingga aku mendengar bahwa seluruh penduduk masjid telah sepakat atas hal itu.
ʿAbdullāh bin Masʿūd lalu berkata: “Bawa kemari ʿAbdullāh bin al-Nawwāḥah.” Maka ia dibawa, lalu mengakui. Lalu ʿAbdullāh bertanya kepadanya: “Mana yang dulu engkau baca dari al-Qur’ān?” Ia menjawab: “Aku hanya menjadikannya sebagai tameng terhadap kalian.” Maka ʿAbdullāh berkata kepadanya: “Bertobatlah.” Tapi ia menolak. Maka diperintahkanlah agar ia dibawa ke pasar, lalu dipenggal kepalanya. Kemudian ʿAbdullāh bermusyawarah dengan para sahabat Muḥammad SAW mengenai sisa-sisa orang tersebut.
فقال عدي بن حاتم ثؤلول كفر قد أطلع رأسه فاحسمه وقال جرير بن عبد الله والأشعث بن قيس استتبهم فإن تابوا كفلهم عشائرهم فاستتابوا فتابوا وكفلهم عشائرهم ولأن البدن يستحق تسليمه بالعقد فجاز الكفالة به كالدين فإن قلنا تصح جازت الكفالة ببدن كل من يلزمه الحضور في مجلس الحكم يدين لأنه حق لازم لآدمي فصحت الكفالة به كالدين وإن كان عليه حد فإن كان لله تعالى لم تصح الكفالة به لأن الكفالة للاستيثاق وحق الله تعالى مبني على الدرء والإسقاط فلم يجز الاستيثاق بمن عليه وإن كان قصاصاً أو حد قذف ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه لا تصح الكفالة بما عليه فلم تصح الكفالة به كمن عليه حد لله تعالى والثاني تصح لأنه حق لآدمي فجازت الكفالة ببدن من عليه كالدين ومن عليه دين لازم كالمكاتب لا تجوز الكفالة ببدنه لأن الحضور لا يلزمه فلا تجوز الكفالة به كدين الكتابة.
Maka ʿAdiyy bin Ḥātim berkata: “Ini adalah tsu’lūl (benjolan kecil) kekufuran yang telah menampakkan kepalanya, maka potonglah.” Dan Jarīr bin ʿAbdillāh serta al-Asyʿats bin Qays berkata: “Minta mereka bertobat, jika mereka bertobat maka hendaknya kabilah mereka menjamin mereka.” Maka mereka diminta bertobat, lalu mereka bertobat, dan kabilah mereka menjamin mereka.
Dan karena badan itu berhak untuk diserahkan berdasarkan akad, maka boleh menjaminnya sebagaimana utang. Maka jika kita katakan bahwa penjaminan itu sah, maka sah pula penjaminan badan setiap orang yang wajib hadir di majelis hukum karena utang, karena itu merupakan hak yang wajib bagi sesama manusia, maka sah penjaminannya seperti utang.
Dan jika ia dikenai ḥadd, maka jika ḥadd tersebut merupakan hak Allah Ta‘ālā, tidak sah penjaminannya, karena penjaminan bertujuan sebagai bentuk kehati-hatian, sedangkan hak Allah dibangun di atas prinsip menolak dan menggugurkan, maka tidak dibenarkan kehati-hatian terhadap orang yang terkena hak Allah.
Namun jika ḥadd tersebut adalah qiṣāṣ atau ḥadd karena qadzf, maka terdapat dua pendapat:
– Pertama, tidak sah karena tidak sah menjamin sesuatu yang wajib atasnya, maka tidak sah pula menjamin badannya, seperti orang yang terkena ḥadd karena hak Allah.
– Kedua, sah, karena itu adalah hak manusia, maka sah menjamin badan orang yang terkena ḥadd tersebut seperti utang.
Adapun orang yang mempunyai utang yang wajib seperti mukātib, maka tidak sah menjamin badannya karena ia tidak wajib hadir, maka tidak sah penjaminan badannya sebagaimana utang kitābah.
فصل: وإن كان عليه دين مجهول ففيه وجهان: قال أبو العباس لا تصح الكفالة ببدنه لأنه قد يموت المكفول به فيلزمه الدين فإذا كان مجهولاً لم تمكن المطالبة والثاني أنه تصح وهو المذهب لأن الكفالة بالبدن لا تعلق لها بالدين.
فصل: وتصح الكفالة ببدن الكفيل كما يصح ضمان الدين عن الضمين.
PASAL: Jika seseorang memiliki utang yang tidak diketahui (jumlahnya), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: Abu al-‘Abbās berpendapat bahwa tidak sah kafalah terhadap badannya karena bisa jadi orang yang dijamin itu mati sehingga tanggungan utang beralih kepada penjamin, dan jika utangnya tidak diketahui maka tidak mungkin ditagih. Pendapat kedua menyatakan bahwa kafalah tersebut sah, dan inilah pendapat yang menjadi mazhab, karena kafalah terhadap badan tidak terkait dengan utang.
PASAL: Dan sah kafalah terhadap badan penjamin sebagaimana sahnya penjaminan utang atas penjamin.
فصل: وتجوز الكفالة حالاً ومؤجلاً كما يجوز ضمان الدين حالاً ومؤجلاً وهل يجوز إلى أجل مجهول فيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه تبرع من غير عوض فجاز في المجهول كإباحة الطعام والثاني لا يجوز لأنه إثبات حق في الذمة لآدمي فلا يجوز إلى أجل مجهول كالبيع ويخالف الإباحة فإنه لو أباحه أحد الطعامين جاز ولو تكفل ببدن أحد الرجلين لم يجز.
PASAL: Boleh melakukan kafālah secara ḥālan (langsung) maupun mu‘ajjalan (ditangguhkan), sebagaimana boleh menjamin utang secara langsung maupun ditangguhkan. Adapun apakah boleh dilakukan hingga batas waktu yang tidak diketahui, terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, karena ia merupakan bentuk pemberian tanpa imbalan, maka diperbolehkan meski tidak diketahui batas waktunya, sebagaimana dalam membolehkan makanan.
Kedua, tidak boleh, karena hal itu merupakan penetapan hak dalam żimmah seseorang untuk kepentingan sesama manusia, maka tidak boleh dilakukan dengan batas waktu yang tidak diketahui sebagaimana dalam jual beli. Hal ini berbeda dengan ibāḥah, karena seandainya seseorang membolehkan dua jenis makanan, maka hukumnya sah, sedangkan jika seseorang menanggung badan salah satu dari dua orang, maka tidak sah.
فصل: وتجوز الكفالة به ليسلم في مكان معين وتجوز مطلقاً فإن أطلق وجب التسليم في موضع العقد كما تجوز حالاً ومؤجلاً وإذا أطلق وجب التسليم في حال العقد.
فصل: ولا تصح الكفالة بالبدن من غير إذن المكفول به لأنه إذا تكفل به من غير إذنه لم يقدر على تسليمه ومن أصحابنا من قال: تصح كما تصح الكفالة بالدين من غير إذن من عليه بالدين.
PASAL: Boleh melakukan kafālah terhadap badan seseorang agar ia diserahkan di tempat tertentu, dan boleh pula dilakukan secara mutlak. Jika dilakukan secara mutlak, maka wajib menyerahkannya di tempat akad. Demikian pula, kafālah boleh dilakukan secara segera (ḥālan) atau ditangguhkan (muʾajjalan). Jika dilakukan tanpa penentuan, maka wajib diserahkan saat akad.
PASAL: Tidak sah kafālah terhadap badan tanpa izin dari orang yang dijamin, karena jika ia menjaminnya tanpa izinnya, maka ia tidak mampu menyerahkannya. Namun sebagian dari ulama mazhab kami berpendapat: sah, sebagaimana sahnya kafālah terhadap utang tanpa izin dari orang yang berutang.
فصل: وإن تكفل بعضو منه ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يصح لأنه في تسليمه تسليم جميعه والثاني لا يجوز لأن إفراد العضو بالعقد لا يصح وتسريته إلى الباقي لا تمكن لأنه لا سراية له فبطلت والثالث إن كان العضو لا يبقى البدن دونه كالرأس والقلب جاز لأنه لا يمكن تسليمه إلا بتسليم البدن وإن كان عضواً يبقى البدن دونه كاليد والرجل لم يصح لأنه يقطع فيبرأ مع بقائه.
PASAL: Jika seseorang menjamin (dalam kafālah) salah satu anggota tubuh seseorang, maka terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama, sah, karena menyerahkan anggota tersebut berarti menyerahkan seluruh tubuh.
Pendapat kedua, tidak sah, karena mengkhususkan satu anggota tubuh dalam akad tidak sah, dan menularkannya (tasriyyah) ke seluruh tubuh tidak mungkin karena tidak ada penularan, maka batal.
Pendapat ketiga, jika anggota tersebut adalah anggota yang tubuh tidak bisa hidup tanpanya seperti kepala dan jantung, maka sah, karena tidak mungkin diserahkan kecuali dengan menyerahkan seluruh badan. Namun jika anggota tersebut adalah yang tubuh masih bisa hidup tanpanya seperti tangan dan kaki, maka tidak sah, karena bisa saja dipotong lalu ia terbebas (dari kafālah) sementara ia masih tetap hidup.
فصل: وإن أحضر المكفول به قبل المحل أو في غير الموضع الذي شرط فيه التسليم فإن كان عليه في قبوله ضرر أو في رده غرض لم يلزمه قبوله وإن لم يكن عليه ضرر ولا في رده غرض وجب قبوله فإن لم يتسلمه أحضره عند الحاكم ليتسلم عنه ويبرأ كما قلنا في دين السلم وإن أحضره وهناك يد حائلة لم يبرأ لأن التسليم المستحق هو التسليم من غير حائل ولهذا لو سلم المبيع مع الحائل لم يصح تسليمه وإن سلمه وهو في حبس الحاكم صح التسليم لأن حبس الحاكم ليس بحائل ويمكن إحضاره ومطالبته بما عليه من الحق وإن حضر المكفول به بنفسه وسلم نفسه برئ الكفيل كما يبرأ الضامن إذا أدى المضمون عنه الدين
PASAL: Jika penjamin menghadirkan orang yang dijamin sebelum jatuh tempo atau di tempat yang bukan tempat penyerahan yang disyaratkan, maka jika dalam menerima penyerahan itu terdapat mudarat baginya atau dalam menolaknya terdapat suatu tujuan, maka tidak wajib baginya menerimanya. Namun jika tidak ada mudarat dan tidak ada tujuan dalam menolaknya, maka wajib menerimanya. Jika ia tidak mau menerima, maka penjamin membawanya kepada hakim agar hakim yang menerima penyerahan itu darinya, dan ia bebas tanggungan sebagaimana telah dijelaskan dalam utang salam.
Jika penjamin menghadirkannya namun ada tangan yang menghalangi (untuk menyerahkannya), maka ia belum bebas tanggungan karena penyerahan yang sah adalah penyerahan tanpa penghalang. Oleh karena itu, seandainya barang jualan diserahkan dalam keadaan ada penghalang, maka tidak sah penyerahannya.
Jika ia menyerahkannya dalam tahanan hakim, maka sah penyerahannya, karena tahanan hakim bukan penghalang dan masih memungkinkan untuk dihadirkan dan dituntut hak darinya.
Jika orang yang dijamin hadir sendiri dan menyerahkan dirinya, maka penjamin bebas tanggungan, sebagaimana penjamin utang bebas jika ia membayar utang yang ditanggungnya.
وإن غاب المكفول به إلى موضع لا يعرف خبره لم يطالب وإن غاب إلى موضع يعرف خبره لم يطالب به حتى يمضي زمان يمكن فيه الذهاب والمجيء لأن ما لزم تسليمه لم يلزم إلا بإمكان التسليم فإن مضى زمان الإمكان ولم يفعل حبس الكفيل إلى أن يحضره فإن أبرأه المكفول له من الكفالة برئ كما يبرأ الضامن إذا أبرأه المضمون له فإن جاء رجل وقال أبرئ الكفيل وأنا كفيل بمن تكفل به ففيه وجهان: قال أبو العباس يصح لأنه نقل الضمان إلى نفسه فصار كما لو ضمن رجل مالاً فأحال الضامن المضمون له على آخر
Jika orang yang dijamin pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui beritanya, maka penjamin tidak dituntut. Namun jika ia pergi ke tempat yang diketahui beritanya, maka penjamin tidak dituntut sampai lewat waktu yang memungkinkan untuk pergi dan kembali, karena sesuatu yang wajib diserahkan tidak menjadi wajib kecuali bila memungkinkan untuk diserahkan. Jika waktu yang memungkinkan telah berlalu dan penjamin belum juga menyerahkannya, maka ia dipenjara sampai dapat menyerahkannya.
Jika pihak yang dijamin haknya (al-makfūl lah) membebaskan penjamin dari kafālah, maka penjamin bebas, sebagaimana penjamin utang bebas jika dibebaskan oleh yang berpiutang.
Jika datang seseorang lalu berkata: “Aku membebaskan penjamin dan aku menjadi penjamin atas orang yang dijaminnya,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Abu al-‘Abbās berkata: sah, karena ia telah memindahkan jaminan kepada dirinya sendiri, sehingga menjadi seperti seseorang yang menjamin utang lalu penjamin itu mengalihkan hak kepada orang lain.
وقال الشيخ أبو حامد والقاضي أبو الطيب الطبري رحمهما الله لا يصح لأنه تكفل بشرط أن يبرأ الكفيل وذلك شرط فاسد فمنع صحة العقد وإن تكفل ببدن رجل لنفسين فسلمه إلى أحدهما لم يبرأ من حق الآخر لأنه ضمن تسليمين فلم يبرأ بأحدهما كما لوضمن لهما دينين فأدى دين أحدهما وإن تكفل اثنان لرجل ببدن رجل فأحضره أحدهما فقد قال شيخنا القاضي أبو الطيب رحمه الله أنه لا يبرأ الآخر لأنه لو أبرئ أحدهما لم يبرأ الآخر فإذا سلمه أحدهما لم يبرأ الآخر وعندي أنه يبرأ لأن المستحق إحضاره قد حصل فبرئا كما لو ضمن رجلان ديناً فأداه أحدهما ويخالف الإبراء فإن الإبراء مخالف للأداء والدليل عليه أن في ضمان المال لو أبرئ أحد الضامنين لم يبرأ الآخر ولو أدى أحد الضامنين برئ.
Dan Syekh Abū Ḥāmid serta al-Qāḍī Abū al-Ṭayyib al-Ṭabarī رحمهما الله berkata: tidak sah, karena ia menjamin dengan syarat agar penjamin pertama bebas, dan itu adalah syarat yang rusak, maka membatalkan keabsahan akad.
Jika seseorang menjamin badan seseorang untuk dua orang, lalu ia menyerahkannya kepada salah satu dari keduanya, maka ia belum bebas dari tanggungan terhadap yang lain, karena ia menjamin dua penyerahan, sehingga tidak bebas hanya dengan salah satunya, sebagaimana jika ia menjamin dua utang untuk keduanya, lalu ia membayar salah satu dari keduanya.
Dan jika dua orang menjamin badan seseorang untuk satu orang, lalu salah satunya menyerahkannya, maka Syekh kami al-Qāḍī Abū al-Ṭayyib رحمه الله berkata: penjamin yang satu lagi tidak bebas, karena seandainya salah satu dari keduanya dibebaskan, maka yang lain tidak bebas. Maka jika salah satu menyerahkannya, yang lain juga tidak bebas.
Menurutku, penjamin yang lain ikut bebas, karena yang berhak atas penyerahan telah mendapatkan apa yang menjadi haknya, maka keduanya bebas, sebagaimana jika dua orang menjamin suatu utang lalu salah satunya membayarnya. Ini berbeda dengan pembebasan (ibrā’), karena ibrā’ tidak sama dengan pelunasan. Dalilnya, dalam penjaminan harta, jika salah satu penjamin dibebaskan maka yang lain tidak bebas, namun jika salah satunya melunasi, maka keduanya bebas.
فصل: وإن تكفل ببدن رجل فمات المكفول به برئ الكفيل وقال أبو العباس يلزمه ما على المكفول به من الدين لأنه وثيقة فإذا مات من عليه الدين وجب أن يستوفي الدين منها كالرهن والمذهب الأول لأنه لم يضمن الدين فلا يلزمه.
PASAL: Jika seseorang menjamin badan seorang lelaki, lalu orang yang dijamin itu meninggal dunia, maka penjamin bebas dari tanggung jawab. Abu al-‘Abbās berkata: Penjamin tetap bertanggung jawab atas utang orang yang dijamin karena jaminan adalah suatu bentuk peneguhan hak, maka jika orang yang berutang meninggal, utangnya harus diambil dari jaminan itu seperti halnya rahn. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena penjamin tidak menjamin utangnya, maka ia tidak menanggungnya.
فصل: وإن تكفل بعين نظرت فإن كان أمانة كالوديعة لم يصح لأنه إذا لم يجب ضمانها على من هي عنده فلأن لا يجب على من يضمن عنه أولى وإن كان عيناً مضمونة كالمغصوب والعارية والمبيع قبل القبض ففيه وجهان بناء على القولين في كفالة البدن فإن قلنا إنها تصح فهلكت العين فقد قال أبو العباس فيه وجهان: أحدهما يجب عليه ضمانها والثاني لا يجب وقال الشيخ أبو حامد لا يجوز بناء ذلك على كفالة البدن لو تلف لم يضمن بدله ولو هلكت العين ضمنها.
PASAL: Jika seseorang menjamin suatu barang tertentu (‘ayn), maka hal itu perlu diteliti. Jika barang tersebut merupakan barang titipan seperti wadī‘ah, maka tidak sah penjaminannya, karena jika tidak wajib menjamin barang tersebut bagi orang yang memegangnya, maka lebih utama lagi tidak wajib atas orang yang menjamin pihak tersebut. Namun jika barang itu adalah barang yang wajib diganti seperti barang maghṣūb, ‘āriyah, atau barang jualan sebelum diserahterimakan, maka terdapat dua wajah pendapat, yang dibangun di atas dua pendapat dalam kafālah badan. Jika dikatakan kafālah tersebut sah lalu barang itu rusak, maka Abu al-‘Abbās berkata: ada dua wajah pendapat—pertama, penjamin wajib menggantinya; kedua, tidak wajib menggantinya. Sementara itu, Syekh Abū Ḥāmid berpendapat bahwa tidak boleh membangun masalah ini atas kafālah badan, karena bila orang yang dijamin badannya wafat, tidak wajib mengganti gantinya, sedangkan bila barang tersebut rusak, maka penjamin wajib menggantinya.
فصل: وإن ضمن عنه ديناً ثم اختلفا فقال الضامن ضمنت وأنا صبي وقال المضمون له ضمنت وأنت بالغ فالقول قول الضامن لأن الأصل عدم البلوغ وإن قال ضمنت وأنا مجنون وقال بل ضمنت وأنت عاقل فإن لم يعرف له حالة جنون فالقول قول المضمون له لأن الأصل العقل وصحة الضمان وإن عرف له حالة جنون فالقول قول الضامن لأنه يحتمل أن يكون الضمان في حالة الإفاقة ويحتمل أن يكون في حالة الجنون والأصل عدم الضمان وبراءة الذمة
PASAL: Jika seseorang menjamin utang orang lain kemudian keduanya berselisih, lalu si penjamin berkata, “Aku menjamin saat aku masih kecil,” sementara pihak yang dijamin berkata, “Engkau menjamin saat sudah balig,” maka perkataan si penjamin yang diterima karena asalnya adalah tidak balig. Dan jika ia berkata, “Aku menjamin saat aku gila,” sedangkan pihak yang dijamin berkata, “Bahkan engkau menjamin saat engkau sadar (berakal),” maka jika tidak dikenal adanya masa kegilaan baginya, maka perkataan pihak yang dijamin yang diterima karena asalnya adalah berakal dan sahnya penjaminan. Namun jika diketahui adanya masa kegilaan, maka perkataan si penjamin yang diterima karena dimungkinkan penjaminan itu dilakukan saat ia sadar dan dimungkinkan pula dilakukan saat gila, dan asalnya adalah tidak adanya penjaminan dan bebasnya tanggungan.
وإن ضمن عن رجل شيئاً وأدى المال ثم ادعى أنه ضمن بإذنه وأدى بإذنه ليرجع وأنكر المضمون عنه الإذن لم يرجع عليه لأن الأصل عدم الإذن وإن تكفل ببدن رجل ثم ادعى أنه تكفل به ولا حق عليه فالقول قول المكفول له لأن الكفيل قد أقر بالكفالة والكفالة لا تكون إلا بمن عليه حق فكان القول قول المكفول له فإن طلب الكفيل يمين المكفول له على ذلك ففيه وجهان: أحدهما يحلف لأن ما يدعيه الكفيل ممكن فحلف عليه الخصم
Dan jika seseorang menjamin sesuatu atas nama orang lain lalu membayar harta tersebut, kemudian ia mengaku bahwa ia menjamin dan membayar dengan izinnya agar dapat menagih kembali, namun orang yang dijamin mengingkari adanya izin tersebut, maka ia tidak dapat menagih kembali karena asalnya tidak ada izin. Dan jika ia menjamin badan seseorang lalu mengaku bahwa ia menjaminnya padahal tidak ada hak atasnya, maka perkataan yang diterima adalah perkataan pihak yang berhak (yang menuntut) karena penjamin telah mengakui adanya penjaminan, dan penjaminan itu tidak terjadi kecuali atas orang yang memiliki tanggungan, maka perkataan pihak yang berhak lebih kuat. Jika penjamin meminta sumpah dari pihak yang berhak atas hal itu, maka terdapat dua wajah: salah satunya, ia disumpah karena klaim si penjamin itu memungkinkan, maka lawan sengketa bersumpah atasnya.
والثاني لا يحلف لأن إقراره بالكفالة يقتضي وجوب الحق وما يدعيه يكذب إقراره فلم يحلف الخصم وإن ادعى الضامن أنه قضى الحق عن المضمون عنه وأقر المضمون له وأنكر المضمون عنه ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول المضمون عنه لأن الضامن يدعي القضاء ليرجع فلم يقبل قوله والمضمون له يشهد على فعل نفسه أنه قبض فلم تقبل شهادته فسقط قولهما وحلف المضمون عنه والثاني أن القول قول الضامن لأن قبض المضمون له يثبت بالإقرار مرة وبالبينة أخرى ولو ثبت قبضه بالبينة رجع الضامن فكذلك إذا ثبت بالإقرار.
Dan wajah yang kedua: tidak disumpah, karena pengakuannya atas penjaminan meniscayakan adanya kewajiban, sedangkan klaimnya justru bertentangan dengan pengakuannya, maka lawan sengketa tidak disumpah. Dan jika si penjamin mengaku bahwa ia telah membayar hak tersebut atas nama orang yang dijamin, dan pihak yang berhak mengakui hal itu, sedangkan pihak yang dijamin mengingkari, maka terdapat dua wajah: pertama, bahwa yang diterima adalah perkataan pihak yang dijamin, karena si penjamin mengklaim telah membayar agar dapat menagih kembali, maka tidak diterima pengakuannya, dan pihak yang berhak bersaksi atas perbuatannya sendiri bahwa ia telah menerima, maka tidak diterima kesaksiannya, sehingga keduanya gugur, dan pihak yang dijamin bersumpah. Wajah kedua: bahwa yang diterima adalah perkataan si penjamin, karena penerimaan pihak yang berhak terbukti dengan pengakuan sekali waktu dan dengan kesaksian di waktu lain, maka jika terbukti dengan kesaksian, si penjamin dapat menagih, maka begitu pula jika terbukti dengan pengakuan.
يصح عقد الشركة على التجارة لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “قال الله تعالى: أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانا خرجت من بينهما” ولا تصح الشركة إلا من جائز التصرف في المال لأنه عقد على التصرف في المال فلم تصح إلا من جائز التصرف في المال.
Kitab al-Syirkah
Sah akad syirkah dalam perdagangan, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Allah Ta‘ala berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lain. Jika mereka saling mengkhianati, Aku keluar dari antara keduanya.” Dan tidak sah syirkah kecuali dari orang yang sah bertindak atas harta, karena ia merupakan akad yang berkaitan dengan pengelolaan harta, maka tidak sah kecuali dari orang yang sah bertindak atas harta.
فصل: ويكره أن يشارك المسلم الكافر لما روى أبو جمرة عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال: لا تشاركن يهودياً ولا نصرانياً ولا مجوسياً قلت لم؟ قال لأنهم يربون والربا لا يحل.
PASAL: Dimakruhkan seorang Muslim berserikat dengan orang kafir, berdasarkan riwayat dari Abū Jamrah dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa ia berkata: “Janganlah kamu berserikat dengan seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Aku (Abū Jamrah) bertanya: “Kenapa?” Ia menjawab: “Karena mereka melakukan riba, sedangkan riba tidak halal.”
فصل: وتصح الشركة على الدراهم والدنانير لأنهما أصل لكل ما يباع ويبتاع وبهما تعرف قيمة الأموال وما يزيد فيها من الأرباح فأما ما سواهما من العروض فضربان: ضرب لا مثل له وضرب له مثل فأما ما لا ضرب له كالحيوان والثياب فلا يجوز عقد الشركة عليها لأنه قد تزيد قيمة أحدهما دون الآخر فإن جعلنا ربح ما زاد قيمته لمالكه أفردنا أحدهما بالربح والشركة معقود على الاشتراك في الربح وإن جعلنا الربح بينهما أعطينا من لم تزد قيمة ماله ربح مال الآخر وهذا لا يجوز وأما ماله مثل كالحبوب والأدهان ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز عقد الشركة عليه وعليه نص في البويطي لأنه من غير الأثمان فلم يجز عقد الشركة عليه كالثياب والحيوان
PASAL: Sah akad syirkah atas dirham dan dinar karena keduanya adalah pokok bagi segala sesuatu yang diperjualbelikan, dan dengan keduanya diketahui nilai harta dan tambahan keuntungan di dalamnya. Adapun selain keduanya dari barang dagangan (‘urūḍ), terbagi menjadi dua jenis: jenis yang tidak ada bandingannya (lā mithlahu) dan jenis yang ada bandingannya (lahu mithl).
Adapun yang tidak ada bandingannya seperti hewan dan pakaian, maka tidak sah akad syirkah atasnya karena mungkin nilai salah satunya bertambah sedangkan yang lain tidak. Jika keuntungan dari kenaikan nilai itu diberikan kepada pemiliknya, maka kita mengkhususkan keuntungan hanya kepada salah satu dari keduanya, padahal syirkah itu disepakati atas dasar berbagi keuntungan. Dan jika kita membagi keuntungan di antara keduanya, berarti kita memberikan kepada pihak yang hartanya tidak naik nilainya bagian dari keuntungan harta pihak lain, dan ini tidak boleh.
Adapun yang ada bandingannya seperti biji-bijian dan minyak, maka terdapat dua pendapat: salah satunya mengatakan tidak sah akad syirkah atasnya, dan pendapat ini dinyatakan secara tegas dalam al-Buwaiṭī, karena ia bukan dari jenis mata uang (athmān), maka tidak sah akad syirkah atasnya seperti halnya pakaian dan hewan.
والثاني يجوز وهو قول أبي إسحاق لأنه من ذوات الأمثال فأشبه الأثمان وإن لم يكن لهما غير العروض وأراد الشركة باع كل واحد منهما بعض عرضه ببعض عرض الآخر فيصير الجميع مشتركاً بينهما ويشتركان في ربحه.
Dan pendapat kedua menyatakan boleh, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena termasuk dzawāt al-amtsāl (barang yang ada bandingannya), maka menyerupai athmān (mata uang).
Jika keduanya tidak memiliki selain barang dagangan (‘urūḍ) dan keduanya ingin melakukan syirkah, maka masing-masing menjual sebagian barangnya dengan sebagian barang milik yang lain, sehingga seluruh barang menjadi milik bersama di antara keduanya, lalu keduanya berserikat dalam keuntungannya.
فصل: ولا يصح من الشركة إلا شركة العنان ولا يصح ذلك إلا أن يكون مال أحدهما من جنس مال الآخر وعلى صفته فإن كان مال أحدهما دنانير والآخر دراهم أو مال أحدهما صحاحاً والآخر قراضة أو مال أحدهما من سكة ومال الآخر من سكة أخرى لم تصح الشركة لأنهما مالان لا يختلطان فلم تصح الشركة عليهما كالعروض فإن كان مال أحدهما عشرة دنانير ومال الآخر مائة درهم وابتاعا بها شيئاً وربحا قسم الربح بينهما على قدر المالين فإن كان نقد البلد أحدهما قوم به الآخر فإن استوت قيمتاهما استويا في الربح وإن اختلفت قيمتاهما تفاضلا في الربح على قدر مالهما.
PASAL: Tidak sah bentuk syirkah (kerja sama usaha) kecuali syirkah ‘inān, dan bentuk ini pun tidak sah kecuali jika harta salah satu pihak sejenis dan sesuai sifatnya dengan harta pihak lainnya. Jika harta salah satunya berupa dinar dan yang lainnya dirham, atau milik salah satunya berupa uang koin utuh (ṣaḥāḥ) dan yang lain berupa uang pecahan (qirāḍah), atau milik salah satunya dari cetakan tertentu dan yang lain dari cetakan lain, maka tidak sah syirkah di atas harta tersebut karena keduanya merupakan harta yang tidak bisa tercampur, sehingga tidak sah dijadikan dasar syirkah, sebagaimana halnya dengan barang dagangan (‘urūḍ).
Namun, jika harta salah satunya sepuluh dinar dan yang lainnya seratus dirham lalu keduanya membeli sesuatu dengan harta tersebut dan memperoleh keuntungan, maka keuntungan dibagi antara keduanya sesuai dengan kadar harta masing-masing. Jika uang yang berlaku di negeri tersebut adalah salah satunya, maka yang lainnya dikonversi ke dalam nilai uang yang berlaku. Jika nilainya setara, maka mereka mendapatkan bagian keuntungan yang sama. Jika nilainya berbeda, maka keuntungan dibagi berdasarkan kadar harta masing-masing.
فصل: ولا تصح حتى يختلط المالان لأنه قبل الاختلاط لا شركة بينهما في مال ولأنه لو صححنا الشركة قبل الاختلاط وقلنا إن من ربح شيئاً من ماله انفرد بالربح أفردنا أحدهما بالربح وذلك لا يجوز وإن قلنا يشاركه الآخر أخذ أحدهما ربح الآخر وهذا لا يجوز وهل تصح الشركة مع تفاضل المالين في القدر؟ فيه وجهان: أحدهما لا تصح وهو قول أبي القاسم الإنماطي لأن الشركة تشتمل على مال وعمل ثم لا يجوز أن يتساويا في المال ويتفاضلا في الربح فذلك لا يجوز أن يتساويا في العمل ويتفاضلا في الربح وإذا اختلف مالهما في القدر فقد تساويا في العمل وتفاضلا في الربح فوجب أن لا يجوز
PASAL: Tidak sah syirkah hingga kedua harta itu tercampur, karena sebelum tercampur belum ada syirkah di dalam harta. Dan karena jika kita membolehkan syirkah sebelum tercampur lalu mengatakan bahwa siapa yang memperoleh keuntungan dari hartanya sendiri maka ia berhak atas seluruh keuntungannya, berarti kita telah mengkhususkan salah satu dari keduanya dengan keuntungan, dan hal itu tidak boleh. Dan jika kita mengatakan bahwa temannya turut serta dalam keuntungannya, berarti salah satu dari keduanya mengambil keuntungan milik yang lain, dan itu pun tidak boleh.
Apakah syirkah sah jika terdapat perbedaan jumlah harta di antara keduanya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan tidak sah, dan ini adalah pendapat Abul Qasim al-Inmaṭi, karena syirkah mencakup harta dan kerja. Tidak boleh keduanya sama dalam harta tetapi berbeda dalam keuntungan, demikian juga tidak boleh keduanya sama dalam kerja tetapi berbeda dalam keuntungan. Jika harta keduanya berbeda dalam jumlah, berarti mereka sama dalam kerja tetapi berbeda dalam keuntungan, maka tidak boleh.
والثاني تصح وهو قول عامة أصحابنا وهو الصحيح لأن المقصود بالشركة أن يشتركا في ربح مالهما وذلك يحصل مع تفاضل المالين كما يحصل مع تساويهما وما قاله الإنماطي من قياس العمل على المال لا يصح لأن الاعتبار في الربح بالمال لا بالعمل والدليل عليه أنه لا يجوز أن ينفرد أحدهما بالمال ويشتركا في الربح فلم يجز أن يستويا في المال ويختلفا في الربح وليس كذلك العمل فإنه يجوز أن ينفرد أحدهما بالعمل ويشتركا في الربح فجاز أن يستويا في العمل ويختلفا في الربح.
Dan pendapat kedua: syirkah sah, dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama kami, dan inilah yang shahih. Karena tujuan dari syirkah adalah agar keduanya berserikat dalam keuntungan dari harta mereka berdua, dan hal itu bisa terwujud meskipun harta keduanya berbeda sebagaimana bisa terwujud ketika harta keduanya sama.
Adapun apa yang dikemukakan oleh al-Inmaṭi berupa qiyas kerja terhadap harta, maka itu tidak sah. Karena yang menjadi tolok ukur dalam pembagian keuntungan adalah harta, bukan kerja. Dalilnya adalah bahwa tidak boleh salah satu dari keduanya memiliki harta sendiri namun keuntungan dibagi bersama. Maka tidak boleh keduanya memiliki harta yang sama tetapi berbeda dalam keuntungan.
Berbeda halnya dengan kerja, karena boleh salah satu dari keduanya bekerja sendiri namun keuntungan dibagi bersama. Maka boleh keduanya sama dalam kerja tetapi berbeda dalam keuntungan.
فصل: ولا يجوز لأحد الشريكين أن يتصرف في نصيب شريكه إلا بإذنه فإن أذن كل واحد منهما لصاحبه في التصرف تصرف وإن أذن أحدهما ولم يأذن الآخر تصرف المأذون في الجميع ولا يتصرف الآخر إلا في نصيبه ولا يجوز لأحدهما أن يتجر في نصيب شريكه إلا في الصنف الذي يأذن فيه الشريك ولا أن يبيع بدون ثمن المثل ولا بثمن مؤجل ولا بغير نقد البلد إلا أن يأذن له شريكه لأن كل واحد منهما وكيل للآخر في نصفه فلا يملك إلا ما يملك كالوكيل.
PASAL: Tidak boleh salah satu dari dua orang yang berserikat melakukan tindakan terhadap bagian milik sekutunya kecuali dengan izinnya. Jika masing-masing dari keduanya memberi izin kepada pasangannya untuk bertindak, maka keduanya boleh bertindak. Jika hanya salah satunya yang memberi izin dan yang lain tidak, maka yang mendapat izin boleh bertindak atas seluruh harta bersama, sedangkan yang tidak memberi izin hanya boleh bertindak atas bagiannya sendiri. Dan tidak boleh salah satunya berdagang dengan bagian milik sekutunya kecuali dalam jenis barang yang diizinkan oleh sekutunya, dan tidak boleh menjual di bawah harga pasar, tidak boleh dengan harga tangguhan, dan tidak boleh dengan mata uang selain yang berlaku di negeri tersebut kecuali jika sekutunya memberi izin, karena masing-masing dari keduanya adalah wakil bagi yang lain pada setengah harta, maka tidak memiliki wewenang kecuali sebatas yang dimiliki oleh seorang wakil.
فصل: ويقسم الربح والخسران على قدر المالين لأن الربح نماء مالهما والخسران نقصان مالهما فكانا على قدر المالين فإن شرطا التفاضل في الربح والخسران مع تساوي المالين أو التساوي في الربح والخسران مع تفاضل المالين لم يصح العقد لأنه شرط ينافي مقتضى الشركة فلم يصح كما لو شرط أن يكون الربح لأحدهما فإن تصرفا مع هذا الشرط صح التصرف لأن الشرط لا يسقط الإذن فنفذ التصرف فإن ربحا أو خسرا جعل بينهما على قدر المالين ويرجع كل واحد منهما بأجرة عمله في نصيب شريكه لأنه إنما عمل ليسلم له ما شرط وإذا لم يسلم رجع بأجرة عمله.
PASAL: Keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kadar harta masing-masing, karena keuntungan adalah pertambahan harta keduanya, dan kerugian adalah pengurangan harta keduanya, maka keduanya dibagi berdasarkan kadar harta. Apabila keduanya mensyaratkan perbedaan dalam pembagian keuntungan dan kerugian padahal harta keduanya sama, atau mensyaratkan kesamaan dalam pembagian keuntungan dan kerugian padahal harta keduanya berbeda, maka akadnya tidak sah, karena syarat tersebut bertentangan dengan konsekuensi syirkah, maka tidak sah sebagaimana jika disyaratkan bahwa keuntungan hanya untuk salah satu pihak saja.
Namun jika keduanya melakukan transaksi dengan syarat seperti itu, maka transaksi tetap sah, karena syarat tersebut tidak membatalkan izin (untuk bertindak), sehingga transaksi tetap sah. Apabila keduanya mendapatkan untung atau rugi, maka dibagi di antara keduanya sesuai kadar harta, dan masing-masing berhak menuntut upah atas kerjanya dari bagian milik rekannya, karena ia bekerja demi mendapatkan apa yang telah disyaratkan untuknya, dan ketika tidak terpenuhi, ia berhak menuntut upah atas kerjanya.
فصل: وأما شركة الأبدان وهي الشركة على ما يكتسبان بأبدانهما فهي باطلة لما روت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل” وهذا الشرط ليس في كتاب الله تعالى فوجب أن يكون باطلاً ولأن عمل كل واحد منهما يختص به فلم يجز أن يشاركه الآخر في بدله فإن عملا وكسبا أخذ كل واحد منهما أجرة عمله لأنها بدل عمله فاختص بها.
PASAL: Adapun syirkah al-abdān, yaitu kerja sama atas hasil yang diperoleh dari usaha fisik (tenaga) keduanya, maka hukumnya batal. Karena ‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitab Allah, maka ia batal,” dan syarat ini tidak terdapat dalam Kitab Allah Ta‘ala, maka wajib hukumnya dinyatakan batal. Selain itu, karena setiap pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing orang adalah hak khusus dirinya, maka tidak boleh yang lain ikut serta dalam imbalannya. Maka jika keduanya bekerja dan memperoleh hasil, maka masing-masing mengambil upah dari pekerjaannya sendiri karena itu adalah imbalan atas pekerjaannya, maka menjadi miliknya secara khusus.
فصل: وأما شركة المفاوضة وهو أن يعقد الشركة على أن يشتركا فيما يكتسبان بالمال والبدن وأن يضمن كل واحد منهما ما يجب على الآخر بغصب أو بيع أو ضمان فهي شركة باطلةلحديث عائشة رضي الله عنها ولأنها شركة معقودة على أن يشارك كل واحد منهما صاحبه فيما يختص بسببه فلم تصح كما لو عقد الشركة على ما يملكان بالإرث والهبة ولأنها شركة معقودة على أن يضمن كل واحد منهما ما يجب على الآخر بعدوانه فلم تصح كما لو عقدا الشركة على أن يضمن كل واحد منهما ما يجب على الآخر بالجناية
PASAL: Adapun syirkah al-mufāwaḍah, yaitu akad syirkah dengan kesepakatan bahwa keduanya berserikat dalam apa yang diperoleh melalui harta dan tenaga, dan bahwa masing-masing dari keduanya menanggung kewajiban yang timbul atas yang lain, baik karena ghoṣb, jual beli, atau jaminan, maka syirkah ini adalah syirkah yang batal berdasarkan hadis ‘Āisyah RA.
Dan karena ini adalah syirkah yang diakadkan agar masing-masing dari keduanya berserikat dalam sesuatu yang timbul karena sebab khusus dari pihaknya, maka tidak sah, sebagaimana jika keduanya mengadakan akad syirkah atas harta yang mereka miliki dari warisan atau hibah.
Juga karena ini adalah syirkah yang diakadkan atas dasar bahwa masing-masing dari keduanya menanggung kewajiban yang timbul atas yang lain karena perbuatan melampaui batas, maka tidak sah, sebagaimana jika keduanya mengadakan syirkah untuk saling menanggung kewajiban yang timbul karena jināyah.
فإن عقدا الشركة على ذلك واكتسبا وضمنا أخذ كل واحد منهما ربح ماله وأجرة عمله وضمن كل واحد منهما ما لزمه بغصبه وبيعه وضمانه لأن الشرط قد سقط وبقي الربح والضمان على ما كانا قبل الشرط ويرجع كل واحد منهما بأجرة عمله في نصيب شريكه لأنه عمل في ماله ليسلم له ما شرط له ولم يسلم فوجب أجرة عمله.
Jika keduanya mengadakan akad syirkah atas dasar itu, lalu melakukan aktivitas usaha dan saling menanggung, maka masing-masing dari keduanya mengambil keuntungan dari hartanya sendiri dan upah dari pekerjaannya, dan masing-masing menanggung apa yang menjadi tanggungannya karena ghoṣb, jual beli, dan jaminan, karena syarat tersebut telah gugur, dan keuntungan serta tanggungan kembali kepada hukum asal sebelum adanya syarat.
Dan masing-masing dari keduanya berhak menuntut upah kerja atas bagian milik rekannya, karena ia telah bekerja pada harta rekannya demi mendapatkan apa yang disyaratkan untuknya, namun tidak terpenuhi, maka ia berhak mendapatkan upah kerja.
فصل: وأما شركة الوجوه وهو أن يعقدا الشركة على أن يشارك كل واحد منهما صاحبه في ربح ما يشتريه بوجهه فهي شركة باطلة لأن ما يشتريه كل واحد منهما ملك له ينفرد به فلا يجوز أن يشاركه غيره في ربحه وإن وكل كل واحد منهما صاحبه في شراء شيء بينهما واشترى كل واحد منهما ماأذن فيه شريكه ونوى أن يشتريه بينه وبين شريكه دخل في ملكهما وصارا شريكين فيه فإذا بيع قسم الثمن بينهما لأنه بدل مالهما.
PASAL: Adapun syirkah al-wujūh, yaitu apabila dua orang membuat akad kerja sama bahwa masing-masing dari keduanya akan berbagi keuntungan dari apa yang dibeli dengan nama baik (kredibilitas) masing-masing, maka ini adalah syirkah yang batal. Sebab, apa yang dibeli oleh masing-masing orang menjadi miliknya sendiri secara penuh, maka tidak boleh orang lain ikut serta dalam keuntungannya. Namun, jika masing-masing dari keduanya mewakilkan kepada pasangannya untuk membeli sesuatu yang akan dimiliki bersama, dan masing-masing membeli apa yang telah diizinkan oleh pasangannya dengan niat agar barang tersebut dimiliki berdua, maka barang itu menjadi milik bersama, dan keduanya menjadi sekutu di dalamnya. Maka apabila barang tersebut dijual, maka hasil penjualannya dibagi di antara keduanya, karena itu merupakan pengganti dari harta milik bersama mereka.
فصل: وإن أخذ رجل من رجل جملاً ومن آخر راوية على أن يستقي الماء ويكون الكسب بينهم فقد قال في موضع يجوز وقال في موضع لا يجوز فمن أصحابنا من قال إن كان الماء مملوكاً للسقاء فالكسب له ويرجع عليه صاحب الجمل والراوية أجرة المثل للجمل والراوية لأنه استوفى منفعتهما بإجارة فاسدة فوجب عليه أجرة المثل وإن كان الماء مباحاً فالكسب بينهم أثلاثاً لأنه استقى الماء على أن يكون الكسب بينهم فكان الكسب بينهم كما لو وكلاه في شراء ثوب بينهم فاشتراه على أن يكون بينهم وحمل القولين على هذين الحالين ومنهم من قال إن كان الماء مملوكاً للسقاء كان الكسب له ويرجعان عليه بالأجرة
PASAL: Jika seseorang mengambil unta dari seseorang dan rawiyah (tempat air) dari orang lain dengan kesepakatan bahwa ia akan mengambil air dan hasilnya akan dibagi di antara mereka, maka ada dua pendapat:
Di satu tempat, Imam al-Syafi‘i berpendapat bahwa hal itu boleh, dan di tempat lain beliau mengatakan tidak boleh. Maka sebagian sahabat kami (ulama Syafi‘iyah) mengatakan:
Jika air itu milik si penyiram (saqqā’), maka hasil keuntungan adalah miliknya, dan pemilik unta serta rawiyah berhak menuntut upah sepadan untuk unta dan rawiyah karena ia telah memanfaatkan keduanya dengan akad ijarah yang rusak, sehingga wajib membayar upah sepadan.
Namun jika air tersebut bersifat mubāḥ (tidak dimiliki siapapun), maka hasil keuntungan dibagi sepertiga-sepertiga di antara mereka bertiga karena air diambil berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagi di antara mereka, maka keuntungan tersebut menjadi milik bersama, sebagaimana jika dua orang mewakilkan seseorang untuk membeli pakaian bagi mereka dan si wakil membelinya atas nama mereka bersama. Pendapat-pendapat tersebut ditakwilkan sesuai dengan dua kondisi ini.
Dan sebagian dari mereka mengatakan:
Jika air itu milik si penyiram, maka hasil keuntungan menjadi miliknya, dan dua pemilik (unta dan rawiyah) berhak menuntut upah darinya.
لما ذكرناه وإن كان الماء مباحاً ففيه قولان: أحدهما أنه بينهم أثلاثاً لأنه أخذه على أن يكون بينهم فدخل في ملكهم كما لو اشترى شيئاً بينهم بإذنهم والثاني أن الكسب للسقاء لأنه مباح اختص بحيازته فاختص بملكه كالغنيمة ويرجعان عليه بأجرة المثل لأنهما بذلا منفعة الجمل والراوية ليسلم لهما الكسب ولم يسلم فثبت لهما أجرة المثل.
Karena alasan yang telah disebutkan. Dan jika air itu bersifat mubāḥ, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama, bahwa hasilnya dibagi di antara mereka bertiga sepertiga-sepertiga, karena ia mengambilnya dengan kesepakatan bahwa hasilnya akan dibagi di antara mereka, maka hasil itu menjadi milik bersama mereka sebagaimana jika seseorang membeli sesuatu untuk mereka bertiga dengan izin mereka.
Pendapat kedua, bahwa hasil itu menjadi milik si penyiram (saqqā’), karena ia memperoleh sesuatu yang mubāḥ melalui penguasaannya, maka menjadi milik khususnya seperti ghanimah. Dan dua orang lainnya berhak menuntut upah sepadan, karena mereka telah memberikan manfaat unta dan rawiyah agar keuntungan itu sampai kepada mereka, namun tidak tercapai, maka berhaklah mereka atas upah sepadan.
فصل: والشريك أمين فيما في يده من مال شريكه فإن هلك المال في يده من غير تفريط لم يضمن لأنه نائب عنه في الحفظ والتصرف فكان المالك في يده كالهالك في يده فإن ادعى الهلاك فإن كان بسبب ظاهر لم يقبل حتى يقيم البينة عليه فإذا أقام البينة على السبب فالقول قوله في الهلاك مع يمينه وإن كان بسبب غير ظاهر فالقول قوله مع يمينه من غير بينة لأنه يتعذر إقامة البينة على الهلاك فكان القول قوله مع يمينه
PASAL: Sekutu adalah orang yang dipercaya (amīn) terhadap harta sekutunya yang berada di tangannya. Jika harta itu rusak di tangannya tanpa adanya kelalaian, maka ia tidak menanggungnya, karena ia adalah wakilnya dalam penjagaan dan pengelolaan, sehingga harta yang rusak di tangannya seperti harta yang rusak di tangan pemiliknya sendiri. Jika ia mengaku bahwa harta itu rusak, maka jika kerusakan itu disebabkan oleh sebab yang nyata, pengakuannya tidak diterima kecuali setelah ia mendatangkan bukti atas sebab tersebut. Apabila ia telah mendatangkan bukti atas sebabnya, maka perkataannya diterima tentang terjadinya kerusakan dengan disertai sumpahnya. Namun jika kerusakan itu disebabkan oleh sebab yang tidak nyata, maka cukup dengan perkataannya disertai sumpah tanpa perlu menghadirkan bukti, karena sulitnya mendatangkan bukti atas kerusakan, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya.
وإن ادعى عليه الشريك خيانة وأنكر فالقول قوله لأن الأصل عدم الخيانة وإن كان في يده عين وادعى شريكه أن ذلك من مال الشركة وادعى هو أنه له فالقول قوله مع يمينه لأن الظاهر مما في يده أنه ملكه فإن اشترى شيئاً فيه ربح فادعى الشريك أنه للشركة وادعى هو أنه اشتراه لنفسه واشترى شيئاً فيه خسارة وادعى الشريك أنه اشتراه لنفسه وادعى هو أنه اشتراه للشركة فالقول قوله لأنه أعرف بعقده ونيته.
Dan jika sekutunya menuduhnya berkhianat lalu ia mengingkarinya, maka perkataannya diterima karena asalnya tidak ada kecurangan. Jika di tangannya terdapat suatu benda, lalu sekutunya mengklaim bahwa itu termasuk dari harta syirkah, sedangkan ia mengklaim bahwa itu miliknya sendiri, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya karena secara lahiriah apa yang ada di tangannya adalah miliknya. Jika ia membeli sesuatu yang mendatangkan keuntungan, lalu sekutunya mengklaim bahwa itu milik syirkah, sedangkan ia mengklaim bahwa ia membelinya untuk dirinya sendiri, dan ia membeli sesuatu yang mengalami kerugian, lalu sekutunya mengklaim bahwa ia membelinya untuk dirinya sendiri dan ia mengklaim bahwa ia membelinya untuk syirkah, maka perkataannya diterima karena ia lebih mengetahui tentang akad dan niatnya.
فصل: وإن كان بينهما عبد فأذن أحدهما لصاحبه في بيعه فباعه بألف ثم أقر الشريك الذي لم يبع أن البائع قبض الألف من المشتري وادعى المشتري ذلك وأنكر البائع فإن المشتري يبرأ من حصة الشريك الذي لم يبع لأنه أقر أنه سلم حصته من الثمن إلى شريكه بإذنه وتبقى الخصومة بين البائع وبين المشتري وبين الشريكين فإن تحاكم البائع والمشتري فإن كان للمشتري بينة بتسليم الثمن قضى له وإن لم يكن له من يشهد غير الشريك الذي لم يبع فإن شهادته مردودة في قبض حصته لأنه يجر بها إلى نفسه نفعاً وهو حق الرجوع عليه بما قبض من حصته
PASAL: Jika di antara dua orang terdapat seorang budak sebagai milik bersama, lalu salah satunya memberi izin kepada yang lain untuk menjualnya, maka ia pun menjualnya seharga seribu. Kemudian, sekutu yang tidak menjual mengakui bahwa si penjual telah menerima seribu dari pembeli, dan pembeli pun mengklaim hal itu, sementara penjual mengingkarinya — maka pembeli bebas dari tanggungan terhadap bagian sekutu yang tidak menjual, karena sekutu itu mengakui bahwa ia telah menyerahkan bagian miliknya dari harga jual kepada temannya dengan izinnya.
Adapun perselisihan tetap terjadi antara penjual dan pembeli serta antara dua sekutu tersebut.
Jika penjual dan pembeli mengajukan perkara ke pengadilan, maka jika pembeli memiliki bukti bahwa ia telah menyerahkan pembayaran, maka hakim memutuskan kemenangan untuknya.
Namun jika pembeli tidak memiliki saksi selain sekutu yang tidak menjual, maka kesaksiannya tidak diterima dalam perkara penerimaan bagian miliknya, karena ia akan menarik manfaat kepada dirinya sendiri, yaitu hak untuk menuntut kembali bagian harga yang telah ia akui diserahkan.
وهل ترد في حصة البائع؟ فيه قولان: فإن قلنا تقبل حلف معه المشتري ويبرأ وإن قلنا لا تقبل أو لم يكن عدلاً فالقول قول البائع مع يمينه أنه لم يقبض فإن حلف أخذ منه نصف الثمن وليس للشريك الذي لم يبع أن يأخذ مما أخذ البائع شيئاً لأنه أقر أنه قد أخذ الحق مرة وإن ما أخذه الآن أخذه ظلماً فلا يجوز أن يأخذ منه وإن نكل البائع حلف المشتري ويبرأ وإن تحاكم الشريكان فإن كان للذي لم يبع بينة بأن البائع قبض الثمن رجع عليه بحصته وإن لم تكن له بينة حلف البائع أنه لم يقبض ويبرأ وإن نكل عن اليمين ردت اليمين على الذي لم يبع فيحلف ويأخذ منه حصته
Dan apakah kesaksian itu ditolak juga untuk bagian penjual? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Jika kita mengatakan kesaksiannya diterima, maka pembeli bersumpah bersamanya dan ia pun terbebas.
Namun jika kita mengatakan tidak diterima, atau saksi tersebut tidak ‘adl (adil), maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan penjual disertai sumpahnya bahwa ia belum menerima pembayaran. Jika ia bersumpah, maka diambil darinya setengah dari harga (yaitu setengah bagian milik sekutu yang mengizinkan).
Dan sekutu yang tidak menjual tidak boleh mengambil apa pun dari bagian yang diambil oleh penjual, karena ia telah mengakui bahwa haknya telah ia terima sebelumnya, dan apa yang diambil oleh penjual sekarang adalah secara zalim, maka tidak boleh ia mengambilnya.
Namun jika penjual enggan bersumpah, maka pembeli yang bersumpah dan ia pun terbebas.
Jika dua sekutu mengajukan perkara ke pengadilan, dan sekutu yang tidak menjual memiliki bukti bahwa penjual telah menerima harga jual, maka ia berhak menuntut bagian miliknya.
Jika ia tidak memiliki bukti, maka penjual bersumpah bahwa ia belum menerima, dan ia pun bebas.
Namun jika penjual menolak bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada sekutu yang tidak menjual; jika ia bersumpah, maka ia berhak mengambil bagian miliknya dari penjual.
وإن ادعى البائع أن الذي لم يبع قبض الألف من المشتري وادعاه المشتري وأنكر الذي لم يبع نظرت فإن كان الذي لم يبع مأذوناً له في القبض برئت ذمة المشتري من نصيب البائع لأنه أقر أنه سلمه إلى شريكه بإذنه وتبقى الخصومة بين الذي لم يبع وبين المشتري وبين الشريكين فيكون البائع ههنا كالذي لم يبع والذي لم يبع كالبائع في المسألة قبلها وقد بيناه وإن لم يكن واحد منهما مأذون له في القبض لم تبرأ ذمة المشتري من شيء من الثمن لأن الذي باعه أقر بالتسليم إلى من لم يأذن له والذي لم يبع أنكر القبض
Jika penjual mengklaim bahwa sekutu yang tidak menjual telah menerima seribu dari pembeli, dan pembeli pun mengklaim demikian, sementara sekutu yang tidak menjual mengingkarinya, maka dilihat keadaannya:
Jika sekutu yang tidak menjual memang diberi izin untuk menerima pembayaran, maka pembeli bebas dari tanggungan bagian penjual, karena ia mengakui bahwa ia telah menyerahkan pembayaran kepada sekutunya dengan izinnya. Maka yang tersisa adalah sengketa antara sekutu yang tidak menjual dan pembeli, serta antara dua sekutu tersebut. Dalam hal ini, posisi penjual seperti sekutu yang tidak menjual, dan sekutu yang tidak menjual seperti penjual dalam kasus sebelumnya, dan telah kami jelaskan.
Namun jika tidak ada satu pun dari keduanya yang diberi izin untuk menerima pembayaran, maka pembeli tidak bebas dari tanggungan sedikit pun dari harga jual, karena penjual mengakui bahwa ia menyerahkan pembayaran kepada orang yang tidak diberi izin, dan sekutu yang tidak menjual mengingkari telah menerima.
فإن تحاكم البائع والمشتري أخذ البائع منه حقه من غير يمين لأنه سلمه إلى شريكه بغير إذنه وإن تحاكم المشتري والذي لم يبع فإن كان للمشتري بينة برئ من حقه وإن لم يكن له من يشهد غير البائع فإن كان عدلاً قبلت شهادته لأنه لا يجر بهذه الشهادة إلى نفسه نفعاً ولا يدفع بها ضرراً فإذا شهد حلف معه المشتري وبرئ وإن لم يكن عدلاً فالقول قول الذي لم يبع مع يمينه فإذا حلف أخذ منه حقه وإن كان البائع مأذوناً له في القبض والذي لم يبع غير مأذون له وتحاكم البائع والمشتري قبض منه حقه من غير يمين لأنه سلمه إلى شريكه من غير إذنه وهل للشريك الذي لم يبع مشاركته فيما أخذ قال المزني: له مشاركته وهو بالخيار بين أن يأخذ من المشتري خمسمائة وبين أن يأخذ من المشتري مائتين وخمسين ومن الشريك مائتين وخمسين
Jika penjual dan pembeli bersengketa, maka penjual mengambil haknya dari pembeli tanpa perlu bersumpah, karena ia telah menyerahkan pembayaran kepada sekutunya tanpa izin darinya.
Jika pembeli bersengketa dengan sekutu yang tidak menjual, maka jika pembeli memiliki bukti, ia terbebas dari tanggungan terhadap hak sekutunya.
Namun jika ia tidak memiliki saksi selain penjual, maka jika penjual itu ‘adl (adil), maka kesaksiannya diterima karena ia tidak menarik manfaat bagi dirinya sendiri dan tidak menolak bahaya dari dirinya. Maka jika ia bersaksi, pembeli bersumpah bersamanya dan terbebas.
Namun jika penjual tidak ‘adl, maka pernyataan yang dijadikan pegangan adalah dari sekutu yang tidak menjual disertai sumpahnya. Jika ia bersumpah, maka ia berhak mengambil haknya dari pembeli.
Dan jika penjual adalah orang yang diberi izin untuk menerima pembayaran, sementara sekutu yang tidak menjual tidak diberi izin, dan penjual serta pembeli bersengketa, maka penjual berhak mengambil haknya dari pembeli tanpa sumpah, karena ia telah menyerahkan pembayaran kepada sekutunya tanpa izinnya.
Apakah sekutu yang tidak menjual berhak ikut serta dalam apa yang telah diambil oleh penjual?
Imam al-Muzanī mengatakan: ia berhak ikut serta, dan ia diberi pilihan antara mengambil lima ratus dari pembeli, atau mengambil dua ratus lima puluh dari pembeli dan dua ratus lima puluh dari sekutunya.
وقال أبو العباس: لا يأخذ منه شيئاً لأنه لما أقر أن الذي لم يبع قبض جميع الثمن عزل نفسه من الوكالة في القبض لأنه لم يبق له ما يتوكل في قبضه فلا يأخذ بعد العزل إلا حق نفسه فلا يجوز للذي لم يبع إلا أن يشاركه فيه فإن تحاكم المشتري والذي لم يبع فالقول قول الذي لم يبع مع يمينه أنه لم يقبض لأن الأصل عدم القبض فإن كان للمشتري بينة قضى له وبرئ وإن لم يكن له من يشهد إلا البائع لم تقبل شهادته على قول المزني لأنه يدفع عن نفسه بهذه الشهادة ضرراً وهو رجوع الشريك الذي لم يبع عليه بنصف ما في يده وعلى قول أبي العباس تقبل شهادته قولاً واحداً لأنه لا يدفع بشهادته ضرراً لأنه لا رجوع له عليه.
Dan Abū al-‘Abbās berkata: Sekutu yang tidak menjual tidak boleh mengambil apa pun dari penjual, karena ketika penjual mengakui bahwa sekutu yang tidak menjual telah menerima seluruh harga, maka ia telah mencabut dirinya dari tugas sebagai wakil dalam penerimaan, sebab tidak tersisa lagi sesuatu yang bisa ia wakili dalam penerimaannya. Maka setelah pencabutan itu, ia hanya boleh mengambil bagian miliknya sendiri, dan tidak boleh bagi sekutu yang tidak menjual untuk ikut serta kecuali dalam bagian itu.
Jika pembeli bersengketa dengan sekutu yang tidak menjual, maka pernyataan yang dijadikan pegangan adalah dari sekutu yang tidak menjual dengan sumpahnya bahwa ia belum menerima, karena asalnya adalah tidak ada penerimaan.
Jika pembeli memiliki bukti, maka diputuskan untuknya dan ia pun terbebas.
Jika ia tidak memiliki saksi kecuali penjual, maka menurut pendapat al-Muzanī, kesaksiannya tidak diterima karena dengan kesaksian itu ia menolak bahaya dari dirinya, yaitu tuntutan dari sekutu yang tidak menjual terhadap separuh dari apa yang ada di tangannya.
Sedangkan menurut pendapat Abū al-‘Abbās, kesaksiannya diterima secara mutlak, karena ia tidak menolak bahaya apa pun dengan kesaksiannya, sebab tidak ada tuntutan balik dari sekutu yang tidak menjual terhadap dirinya.
فصل: ولكل واحد من الشريكين أن يعزل نفسه عن التصرف إذا شاء لأنه وكيل وله أن يعزل شريكه عن التصرف في نصيبه لأنه وكيله فيملك عزله فإذا انعزل أحدهما لم ينعزل الآخر عن التصرف لأنهما وكيلان فلا يعزل أحدهما بعزل الآخر فإن قال أحدهما فسخت الشركة انعزلا جميعاً لأن الفسخ يقتضي رفع العقد من الجانبين فانعزلا وإن ماتا أو أحدهما انفسخت الشركة لأنه عقد جائز فبطل بالموت كالوديعة وإن جنى أو أحدهما أو أغمي عليهما أو على أحدهما بطل لأنه بالجنون والإغماء يخرج عن أن يكون من أهل التصرف ولهذا تثبت الولاية عليه في المال فبطل العقد كما لومات والله أعلم.
PASAL: Masing-masing dari dua sekutu berhak untuk memisahkan dirinya dari melakukan taṣarruf kapan saja ia kehendaki, karena ia adalah wakil. Dan ia berhak memecat sekutunya dari melakukan taṣarruf pada bagiannya, karena sekutunya adalah wakilnya, maka ia berhak memecatnya. Apabila salah satu dari keduanya dipisahkan, maka yang lain tidak otomatis terpisah dari taṣarruf, karena keduanya adalah dua wakil, maka pemecatan salah satu tidak memecat yang lain.
Jika salah satunya berkata, “Aku membatalkan syirkah ini,” maka keduanya otomatis terpisah, karena pembatalan mengharuskan pencabutan akad dari kedua belah pihak, maka keduanya terpisah. Jika keduanya wafat, atau salah satunya wafat, maka syirkah otomatis batal, karena ia adalah akad yang tidak mengikat, maka batal karena kematian seperti halnya wadī‘ah. Dan jika salah satu atau keduanya menjadi gila atau pingsan, maka batal, karena dengan kegilaan atau pingsan seseorang keluar dari status sebagai orang yang layak melakukan taṣarruf, oleh karena itu ditetapkan perwalian atas hartanya, maka batal akad sebagaimana jika ia wafat. والله أعلم.
تجوز الوكالة فيعقد البيع لما روي عن عروة بن الجعد قال: أعطاني رسول الله صلى الله عليه وسلم ديناراً أشتري شاة أو أضحية فاشتريت شاتين فبعت إحداهما بدينار فدعا لي بالبركة فكان لو اشترى تراباً لربح فيه ولأن الحاجة تدعو إلى الوكالة في البيع لأنه قد يكون له مال ولا يحسن التجارة فيه وقد يحسن ولا يتفرغ إليه لكثرة أشغاله فجاز أن يوكل فيه غيره
Kitāb al-Wakālah
Boleh melakukan wakālah (perwakilan) dalam akad jual beli, berdasarkan riwayat dari ‘Urwah bin al-Ja‘d, ia berkata: Rasulullah SAW memberiku satu dinar untuk membeli seekor kambing atau hewan kurban, lalu aku membeli dua ekor kambing dan menjual salah satunya seharga satu dinar, maka beliau pun mendoakanku keberkahan. Seandainya ia membeli tanah pun, niscaya ia akan mendapat untung darinya.
Dan karena kebutuhan menuntut adanya wakālah dalam jual beli, sebab bisa jadi seseorang memiliki harta namun tidak mahir berdagang, atau ia mahir namun tidak sempat karena banyaknya kesibukan, maka boleh baginya mewakilkan kepada orang lain dalam hal tersebut.
وتجوز في سائر عقود المعاملات كالرهن والحوالة والضمان والكفالة والشركة والوكاة والوديعة والإعارة والمضاربة والجعالة والمساقاة والإجارة والقرض والهبة والوقف والصدقة لأن الحاجة إلى التوكيل فيها كالحاجة إلى التوكيل في البيع وفي تملك المباحات كإحياء الموات واستقاء الماء والاصطياد والاحتشاش قولان: أحدهما لا يصح التوكيل فيها لأنه تملك مباح فلم يصح التوكيل فيه كالاغتنام والثاني يصح لأنه تملك مال بسبب لا يتعين عليه فجاز أن يوكل فيه كالابتياع والاتهاب ويخالف الاغتنام لأنه يستحق بالجهاد وقد تعين عليه بالحضور فتعين له ما استحق به.
Boleh melakukan wakālah dalam seluruh akad mu‘āmalah seperti: rahn (gadai), ḥawālah (pemindahan utang), ḍamān (penjaminan), kafālah (penjaminan badan), syirkah (kerja sama), wakālah (perwakilan), wadī‘ah (titipan), ‘ārīyah (pinjaman barang), muḍārabah (kerja sama modal dan usaha), ju‘ālah (upah untuk pekerjaan yang ditentukan hasil), musāqah (kerja sama kebun), ijārah (sewa), qarḍ (pinjaman uang), hibah (pemberian), waqaf, dan ṣadaqah, karena kebutuhan untuk mewakilkan dalam perkara-perkara ini sama seperti kebutuhan mewakilkan dalam jual beli.
Adapun dalam kepemilikan terhadap hal-hal yang mubah, seperti menghidupkan tanah mati (iḥyā’ al-mawāt), mengambil air, berburu, dan mengumpulkan rumput, terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, tidak sah melakukan wakālah di dalamnya karena itu adalah bentuk kepemilikan atas hal yang mubah, sehingga tidak sah dilakukan wakālah padanya seperti halnya ghanimah.
Pendapat kedua, boleh karena ia adalah kepemilikan atas harta melalui sebab yang tidak wajib dilakukan oleh dirinya sendiri, maka boleh mewakilkan seperti membeli atau menerima hibah.
Dan berbeda halnya dengan ghanimah, karena ia diperoleh melalui jihad, dan jihad mewajibkan kehadiran, maka apa yang diperoleh pun menjadi kewajibannya secara khusus.
فصل: ويجوز التوكيل في عقد النكاح لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم وكل عمرو بن أمية الضمري في نكاح أم حبيبة ويجوز في الطلاق والخلع والعتاق لأن الحاجة تدعوا إلى التوكيل فيه كما تدعوا إلى التوكيل في البيع والنكاح ولا يجوز التوكيل في الإيلاء والظهار واللعان لأنها أيمان فلا تحتمل التوكيل وفي الرجعة وجهان: أحدهما لا يجوز التوكيل فيه كما لا يجوز في الإيلاء والظهار والثاني أنه يجوز وهو الصحيح فإنه إصلاح للنكاح فإذا جاز في النكاح جاز في الرجعة.
PASAL: Boleh melakukan tawkil dalam akad nikah, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW mewakilkan ‘Amr bin Umayyah al-Ḍamarī dalam pernikahan Ummu Ḥabībah. Juga boleh dalam talak, khulu‘, dan pembebasan budak, karena kebutuhan terhadap tawkil dalam hal ini sama seperti kebutuhannya dalam jual beli dan nikah. Tidak boleh melakukan tawkil dalam īlā’, ẓihār, dan li‘ān, karena ketiganya adalah sumpah, sehingga tidak dapat diwakilkan. Adapun dalam rujū‘, terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh dilakukan tawkil sebagaimana tidak boleh dalam īlā’ dan ẓihār; dan kedua, boleh, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena rujū‘ adalah perbaikan terhadap pernikahan, maka jika tawkil dibolehkan dalam nikah, maka boleh pula dalam rujū‘.
فصل: ويجوز التوكيل في إثبات الأموال والخصومة فيها لما روي أن علياً كرم الله وجهه وكل عقيلاً رضي الله عنه عند أبي بكر وعمرو رضي الله عنهما وقال ما قضى له فلي وما قضى عليه فعلي ووكل عبد الله بن جعفر عند عثمان رضي الله عنه وقال علي أن للخصومات قحماً قال أبو زباد الكلابي: القحم المهالك ولأن الحاجة تدعوا إلى التوكيل في الخصومات لأنه قد يكون له حق أو يدعي عليه حق ولا يحسن الخصومة فيه أو يكره أن يتولاها بنفسه فجاز أن يوكل فيه ويجوز ذلك من غير رضى الخصم لأنه توكيل في حقه فلا يعتبر فيه رضى من عليه كالتوكيل في قبض الديون
PASAL: Boleh melakukan wakālah dalam penetapan harta dan perkara sengketa tentangnya, berdasarkan riwayat bahwa ‘Alī karamallāhu wajhah pernah mewakilkan ‘Aqīl RA di hadapan Abū Bakr dan ‘Umar RA, seraya berkata: “Apa yang diputuskan untuknya, maka itu untukku, dan apa yang diputuskan atasnya, maka itu menjadi tanggunganku.” Dan ‘Abdullāh bin Ja‘far juga pernah mewakilkan seseorang di hadapan ‘Utsmān RA, dan ia berkata: “Sesungguhnya dalam persengketaan terdapat qaḥam.” Abū Zibād al-Kilābī berkata: qaḥam adalah kehancuran.
Dan karena kebutuhan mendorong adanya wakālah dalam perkara sengketa, sebab bisa jadi seseorang memiliki hak, atau ada yang menuntutnya atas suatu hak, sementara ia tidak pandai bersengketa atau enggan menanganinya sendiri, maka boleh baginya mewakilkan dalam hal itu.
Dan hal tersebut dibolehkan meskipun tanpa kerelaan pihak lawan sengketa, karena wakālah itu dalam hal hak miliknya sendiri, maka tidak disyaratkan kerelaan orang yang dituntut, sebagaimana wakālah dalam menerima utang.
ويجوز التوكيل في إثبات القصاص وحد القذف لأنه حق آدمي فجاز التوكيل في إثباته كالمال ولا يجوز التوكيل في إثبات حدود الله تعالى لأن الحق له وقد أمرنا فيه بالدرء والتوصل إلى إسقاطه وبالتوكيل يتوصل إلى إيجابه فلم يجز ويجوز التوكيل في استيفاء الأموال لأن النبي صلى الله عليه وسلم بعث العمال لقبض الصدقات وأخذ الجزي ويجوز في استيفاء حدود الله تعالى لأن النبي صلى الله عليه وسلم بعث أنيساً لإقامة الحد وقال: “يا أنيس اغد على امرأة هذا فإن اعترفت فارجمها”
Boleh melakukan wakālah dalam penetapan qiṣāṣ dan ḥadd al-qażf, karena keduanya merupakan hak manusia, maka dibolehkan mewakilkan dalam penetapannya sebagaimana harta.
Namun tidak boleh melakukan wakālah dalam penetapan ḥudūd Allāh Ta‘ālā, karena itu adalah hak Allah, sementara kita diperintahkan untuk menolak pelaksanaannya dan mencari cara agar ia gugur. Sedangkan dengan wakālah justru menjadi sarana untuk menetapkannya, maka tidak diperbolehkan.
Boleh melakukan wakālah dalam pelaksanaan hak-hak harta, karena Nabi SAW pernah mengutus para petugas untuk mengambil zakat dan jizyah.
Dan boleh juga dalam pelaksanaan ḥudūd Allāh Ta‘ālā, karena Nabi SAW pernah mengutus Anīs untuk menegakkan hudud dan bersabda:
“Yā Anīs, pergilah pagi-pagi kepada wanita ini, jika ia mengaku, maka rajamlah dia.”
ووكل عثمان رضي الله عنه علياً كرم الله وجهه ليقيم حد الشرب على الوليد بن عقبة وأما القصاص وحد القذف فإنه يجوز التوكيل في استيفائهما بحضرة الموكل لأن الحاجة تدعو إلى التوكيل فيه لأنه قد يكون له حد أو قصاص ولا يحسن أن يستوفيه فجاز لأن يوكل فيه غيره وهل يجوز أن يستوفيه في غيبة الموكل؟ قال في الوكالة لا يستوفي وقال في الجنايات ولو وكل فتنحى به فعفا الموكل فقتله الوكيل بعد العفو وقبل العلم بالعفو ففي الضمان قولان: وهذا يدل على أنه يجوز أن يقتص مع غيبة الموكل فمن أصحابنا من قال يجوز قولاً واحداً وهو قول أبي إسحاق لأنه حق يجوز أن يستوفيه بحضرة الموكل فجاز في غيبته كأخذ المال وحمل قوله لا يستوفي على الاستحباب
‘Utsmān RA pernah mewakilkan ‘Alī karamallāhu wajhah untuk menegakkan ḥadd syurb (hukuman minum khamar) atas al-Walīd bin ‘Uqbah.
Adapun qiṣāṣ dan ḥadd al-qażf, maka boleh mewakilkan dalam pelaksanaannya dengan kehadiran muwakkil, karena kebutuhan menuntut adanya wakālah dalam hal itu. Bisa jadi seseorang memiliki hak ḥadd atau qiṣāṣ, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka dibolehkan mewakilkan orang lain untuk melaksanakannya.
Apakah boleh dilaksanakan dalam keadaan muwakkil tidak hadir?
Dalam Kitāb al-Wakālah dikatakan: tidak boleh dilaksanakan.
Namun dalam Kitāb al-Jināyāt disebutkan: jika seseorang mewakilkan lalu sang wakil membawa pelaku jinayah ke suatu tempat, kemudian muwakkil memaafkannya, lalu wakil membunuhnya setelah adanya pemaafan dan sebelum mengetahui pemaafan tersebut, maka ada dua pendapat mengenai kewajiban ḍamān (ganti rugi).
Hal ini menunjukkan bahwa boleh melaksanakan qiṣāṣ meskipun muwakkil tidak hadir.
Sebagian ulama kami mengatakan: boleh secara qaul wāḥid, dan itu adalah pendapat Abū Isḥāq, karena ia merupakan hak yang boleh dilaksanakan dengan kehadiran muwakkil, maka boleh pula dalam ketiadaannya, sebagaimana halnya mengambil harta.
Dan pendapat yang menyatakan “tidak boleh” dibawa kepada makna anjuran saja (bukan larangan).
ومنهم من قال لا يجوز قولاً واحداً لأن القصاص والحد يحتاط في إسقاطهما والعفو مندوب إليه فيهما فإذا حضر رجونا أن يرحمه فيعفو عنه وحمل قوله في الجنايات على أنه أراد إذا انتفع به ولم يغب عن عينه فعفا ولم يسمع الوكيل فقتل ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما يجوز والثاني لا يجوز ووجههما ما ذكرناه.
Dan sebagian dari mereka (ulama Syafi‘iyah) berkata: tidak boleh secara qaul wāḥid, karena dalam perkara qiṣāṣ dan ḥadd harus sangat berhati-hati dalam menjatuhkan dan menggugurkannya, sedangkan pemaafan dianjurkan dalam keduanya. Maka jika muwakkil hadir, diharapkan ia akan merasa kasihan lalu memaafkan, sehingga pelaksanaannya tidak dilakukan.
Adapun perkataannya dalam Kitāb al-Jināyāt, dimaknai bahwa maksudnya adalah jika muwakkil mendapatkan manfaat dari proses tersebut dan tidak lepas dari pengawasannya, lalu ia memaafkan, namun wakil belum mendengar pemaafan tersebut, lalu ia membunuh — maka terjadi perbedaan pendapat.
Dan sebagian ulama mengatakan dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh.
Kedua, tidak boleh.
Dan alasan bagi kedua pendapat tersebut telah disebutkan sebelumnya.
فصل: ويجوز التوكيل في فسخ العقود لأنه إذا جاز التوكيل في عقدها ففي فسخها أولى ويجوز أن يوكل في الإبراء من الديون لأنه إذا جاز التوكيل في إثباته واستيفائها جاز التوكيل في الإبراء عنها وفي التوكيل في الإقرار وجهان: أحدهما يجوز وهو ظاهر النص لأنه إثبات مال في الذمة بالقول فجاز التوكيل فيه كالبيع والثاني لا يجوز وهو قول أبي العباس لأنه توكيل في إخبار عن حق فلم يجز كالتوكيل في الشهادة بالحق فإذا قلنا لا يجوز فهل يكون توكيله إقراراً فيه وجهان: أحدهما أنه إقرار لأنه لم يوكل في الإقرار بالحق إلا والحق واجب عليه والثاني أنه لا يكون إقراراً كما لا يكون التوكيل في الإبراء إبراء.
PASAL: Dan boleh melakukan tawkil dalam pembatalan akad, karena apabila tawkil dibolehkan dalam akad, maka dalam pembatalannya lebih utama. Dan boleh mewakilkan untuk pembebasan dari utang, karena apabila tawkil dibolehkan dalam penetapan dan penagihannya, maka tawkil juga boleh dalam pembebasannya.
Adapun dalam tawkil untuk pengakuan (ikrar), terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, dan ini adalah zahir dari nash, karena ia adalah penetapan harta dalam tanggungan dengan ucapan, maka boleh tawkil di dalamnya seperti jual beli.
Kedua, tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbās, karena ia adalah tawkil dalam pemberitaan tentang hak, maka tidak boleh sebagaimana tawkil dalam kesaksian terhadap hak.
Apabila kita katakan tidak boleh, maka apakah tawkil itu dianggap sebagai pengakuan? Terdapat dua pendapat:
Pertama, dianggap sebagai pengakuan, karena ia tidak mewakilkan dalam pengakuan terhadap hak kecuali hak tersebut memang wajib atasnya.
Kedua, tidak dianggap sebagai pengakuan, sebagaimana tawkil dalam pembebasan tidak dianggap sebagai pembebasan.
فصل: ولا يصح التوكيل إلا ممن يملك التصرف في الذي يوكل فيه بملك أو ولاية فأما من لا يملك التصرف في الذي يوكل فيه كالصبي والمجنون والمحجور عليه في المال والمرأة في النكاح والفاسق في تزويج ابنته فلا يملك التوكيل فيه لأنه لا يملكه فلا يملك أن يملك ذلك غيره وأما من لا يملك التصرف إلا بالإذن كالوكيل والعبد المأذون فإنه لا يملك التوكيل إلا بالإذن لأنه يملك التصرف بالإذن فكان توكيله بالإذن واختلف أصحابنا في غير الأب والجد من العصبات هل تملك التوكيل في التزويج من غير إذن المرأة فمنهم من قال يملك لأنه يملك التزويج بالولاية من جهة الشرع فملك التوكيل من غير إذن كالأب والجد ومنهم من قال لا يملك لأنه لا يملك التزويج إلا بإذن فلا يملك التوكيل إلا بإذن كالوكيل والعبد المأذون.
PASAL: Tidak sah melakukan tawkil kecuali dari orang yang memiliki kewenangan bertindak dalam perkara yang di-tawkil-kan, baik dengan kepemilikan maupun dengan wewenang. Adapun orang yang tidak memiliki kewenangan bertindak dalam perkara yang di-tawkil-kan, seperti anak kecil, orang gila, orang yang dibatasi dalam mengelola harta, perempuan dalam nikah, dan orang fasik dalam menikahkan putrinya, maka mereka tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tawkil karena mereka sendiri tidak memiliki kewenangan tersebut, maka tidak sah pula memberikan kewenangan itu kepada orang lain.
Adapun orang yang tidak memiliki kewenangan bertindak kecuali dengan izin, seperti wakil dan budak yang diberi izin, maka ia tidak boleh melakukan tawkil kecuali dengan izin, karena kewenangannya bergantung pada izin, maka tawkil-nya pun harus dengan izin.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang selain ayah dan kakek dari kalangan ‘aṣhabah, apakah mereka boleh melakukan tawkil dalam pernikahan tanpa izin dari perempuan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa boleh, karena mereka memiliki kewenangan menikahkan berdasarkan wewenang dari syariat, maka sah pula bagi mereka melakukan tawkil tanpa izin, sebagaimana ayah dan kakek. Sebagian yang lain berpendapat tidak boleh, karena mereka tidak memiliki kewenangan menikahkan kecuali dengan izin, maka tidak boleh pula melakukan tawkil kecuali dengan izin, sebagaimana wakil dan budak yang diberi izin.
فصل: ومن لا يملك التصرف في حق نفسه لنقص فيه كالمرأة في النكاح والصبي والمجنون في جميع العقود لم يملك أن يتوكل لغيره لأنه إذا لم يملك ذلك في حق نفسه بحق الملك لم يملكه في حق غيره بالتوكيل ومن ملك التصرف فيما تدخله النيابة في حق نفسه جاز أن يتوكل فيه لغيره لأنه يملك في حق نفسه بحق الملك فملك في حق غيره بالإذن واختلف أصحابنا في العبد هل يجوز أن يتوكل في قبول النكاح فمنهم من قال يجوز لأنه يملك قبول العقد لنفسه بإذن المولى فملك أن يقبل لغيره بالتوكيل
PASAL: Orang yang tidak memiliki kewenangan bertindak atas hak dirinya karena kekurangan padanya—seperti perempuan dalam nikah, anak kecil, dan orang gila dalam seluruh akad—tidak boleh bertindak sebagai wakil untuk orang lain, karena jika ia tidak memiliki kewenangan itu untuk dirinya sendiri secara hak milik, maka ia pun tidak memilikinya untuk orang lain melalui perwakilan.
Adapun orang yang memiliki kewenangan bertindak dalam perkara yang memungkinkan adanya perwakilan atas hak dirinya, maka boleh baginya bertindak sebagai wakil untuk orang lain dalam perkara itu, karena ia memilikinya atas dasar hak milik atas dirinya, maka ia memilikinya pula untuk orang lain atas dasar izin.
Para sahabat kami berselisih pendapat tentang budak, apakah boleh ia menjadi wakil dalam menerima akad nikah. Di antara mereka ada yang mengatakan boleh, karena ia boleh menerima akad untuk dirinya sendiri dengan izin tuannya, maka ia pun boleh menerima untuk orang lain melalui perwakilan.
ومنهم من قال لا يجوز لأنه لا يملك النكاح وإنما أجيز له القبول لنفسه للحاجة إليه ولا حاجة إلى القبول لغيره فلم يجز واختلفوا في توكيل المرأة في طلاق غيرها فمنهم من قال يجوز كما يجوز توكيلها في طلاقها ومنهم من قال لا يجوز لأنها لا تملك الطلاق وإنما أجيز توكيلها في طلاق نفسها للحاجة ولا حاجة إلى توكيلها في طلاق غيرها فلم يجز ويجوز للفاسق أن يتوكل في قبول النكاح للزوج لأنه يجوز أن يقبل لنفسه مع الفسق فجاز أن يقبل لغيره وهل يجوز أن يتوكل في الإيجاب فيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأنه موجب للنكاح فلم يجز أن يكون فاسقاً كالولي والثاني يجوز لأنه ليس بولي وإنما هو مأمور من جهة الولي والولي عدل.
dan di antara mereka ada yang berpendapat tidak boleh, karena ia tidak memiliki kewenangan dalam nikah, hanya saja dibolehkan baginya menerima untuk dirinya sendiri karena kebutuhan, sedangkan tidak ada kebutuhan untuk menerima nikah bagi orang lain, maka tidak boleh.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang bolehnya perempuan menjadi wakil dalam menjatuhkan talak atas nama perempuan lain. Sebagian dari mereka berpendapat boleh, sebagaimana boleh baginya menjadi wakil dalam menjatuhkan talak atas dirinya sendiri. Sebagian yang lain berpendapat tidak boleh, karena ia tidak memiliki hak talak, hanya saja dibolehkan baginya menjadi wakil dalam talak dirinya sendiri karena kebutuhan, sedangkan tidak ada kebutuhan dalam mewakili talak perempuan lain, maka tidak boleh.
Boleh bagi orang fasik menjadi wakil dalam menerima akad nikah untuk suami, karena ia boleh menerima untuk dirinya sendiri dalam keadaan fasik, maka boleh pula ia menerima untuk orang lain.
Adapun apakah boleh orang fasik menjadi wakil dalam ijab nikah, terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, karena ia merupakan pihak yang melakukan ijab dalam nikah, sehingga tidak boleh dilakukan oleh orang fasik, sebagaimana halnya wali.
Kedua, boleh, karena ia bukanlah wali, tetapi hanya menjalankan perintah dari wali, sedangkan wali adalah orang yang adil.
فصل: ولا تصح الوكالة إلا بالإيجاب والقبول لأنه عقد تعلق به حق كل واحد منهما فافتقر إلى الإيجاب والقبول كالبيع والإجارة ويجوز القبول على الفور وعلى التراخي وقال القاضي أبو حامد المروروذي: لا يجوز إلا على الفور لأنه عقد في حال الحياة فكان القبول فيه على الفور كالبيع والمذهب الأول لأنه إذن في التصرف والإذن قائم ما لم يرجع فيه فجاز القبول ويجوز القبول بالفعل لأنه إذن في التصرف فجاز القبول فيه بالفعل كالإذن في أكل الطعام.
PASAL: Tidak sah akad wakalah kecuali dengan ijāb dan qabūl, karena ia merupakan akad yang berkaitan dengan hak masing-masing pihak, maka membutuhkan ijāb dan qabūl seperti halnya jual beli dan ijarah. Boleh melakukan qabūl seketika ataupun setelah jeda. Al-Qāḍī Abū Ḥāmid al-Marwazī berpendapat: tidak boleh kecuali dilakukan seketika, karena ia merupakan akad dalam kehidupan, maka qabūl di dalamnya harus seketika sebagaimana jual beli. Namun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, karena ia merupakan izin dalam bertindak, dan izin itu tetap berlaku selama tidak dicabut, maka boleh melakukan qabūl. Dan boleh juga melakukan qabūl dengan perbuatan, karena ia merupakan izin untuk bertindak, maka sah qabūl dengan perbuatan sebagaimana izin untuk makan makanan.
فصل: ولا يجوز التوكيل إلا في تصرف معلوم فإن قال وكلتك في كل قليل وكثير لم يصح لأنه يدخل فيه ما يطيق وما لا يطيق فيعظم الضرر ويكثر الغرر وإن قال وكلتك في بيع جميع مالي أو قبض جميع ديوني صح لأنه عرف ماله ودينه وإن قال بع ما شئت من مالي أو اقبض ما شئت من ديوني جاز لأنه إذا عرف ماله ودينه عرف أقصى ما يبيع ويقبض فيقل الغرر وإن قال اشتر لي عبداً لم يصح لأن فيه ما يكون بمائة وفيه ما يكون بألف فيكثر الغرر وإن قال اشتر لي عبداً بمائة لم يصح لأنه ذكر الثمن لا يدل على النوع فيكثر الغرر
PASAL: Tidak boleh melakukan tawkil (perwakilan) kecuali dalam bentuk tindakan yang jelas diketahui. Jika seseorang berkata, “Aku mewakilkan kepadamu dalam segala hal kecil maupun besar,” maka tidak sah, karena hal itu mencakup perkara yang mampu dan yang tidak mampu dilakukan, sehingga menimbulkan bahaya besar dan unsur ketidakjelasan (gharar) yang banyak.
Namun jika ia berkata, “Aku mewakilkan kepadamu untuk menjual seluruh hartaku” atau “untuk mengambil semua piutangku,” maka sah, karena ia telah mengetahui hartanya dan piutangnya.
Jika ia berkata, “Juallah apa yang engkau kehendaki dari hartaku” atau “Ambillah apa yang engkau kehendaki dari piutangku,” maka diperbolehkan, karena apabila harta dan piutangnya telah diketahui, maka diketahui pula batas maksimal dari apa yang dijual dan diambil, sehingga kadar gharar menjadi sedikit.
Namun jika ia berkata, “Belikan untukku seorang budak,” maka tidak sah, karena ada budak yang berharga seratus dan ada pula yang berharga seribu, maka timbullah gharar yang besar.
Dan jika ia berkata, “Belikan untukku seorang budak seharga seratus,” maka juga tidak sah, karena menyebutkan harga tidak menunjukkan jenisnya, sehingga timbul banyak gharar.
وإن قال اشتر لي عبداً تركياً بمائة جاز لأن مع ذكر النوع وقدر الثمن يقل الغرر فإن قال اشتر لي عبداً تركياً ولم يقدر الثمن ففيه وجهان: قال أبو العباس يصح لأنه يحمل الأمر على أعلى هذا النوع ثمناً فيقل الغرر ومن أصحابنا من قال لا يصح لأن أثمان الترك تختلف وتتفاوت فيكثر الغرر وإن وكله في الإبراء لم يجز حتى يبين الجنس الذي يبرئ منه والقدر الذي يبرئ منه وإن وكله في الإقرار وقلنا إنه يصح التوكيل فيه لم يجز حتى يبين جنس ما يقر به وقدر ما يقر به لأنه إذا أطلق عظم الضرر وكثر الغرر فلم يجز وإن وكله في خصومة كل من يخاصمه ففيه وجهان: أحدهما يصح لأن الخصومة معلومة والثاني لا يصح لأنها قد تقل الخصومات وقد تكثر فيكثر الغرر.
Jika ia berkata, “Belikan untukku seorang budak Turki seharga seratus,” maka diperbolehkan, karena dengan menyebut jenis dan kadar harga, kadar gharar menjadi sedikit.
Jika ia berkata, “Belikan untukku seorang budak Turki,” tanpa menentukan harga, maka terdapat dua pendapat:
Abu al-‘Abbās berkata: sah, karena perintah itu dibawa kepada harga tertinggi dari jenis tersebut, sehingga gharar menjadi sedikit.
Sebagian sahabat kami berkata: tidak sah, karena harga budak Turki berbeda-beda dan bertingkat-tingkat, maka timbul gharar yang besar.
Jika ia mewakilkan dalam melakukan ibrā’, maka tidak diperbolehkan kecuali ia menjelaskan jenis yang hendak di-ibrā’-kan dan kadar yang hendak di-ibrā’-kan.
Jika ia mewakilkan dalam pengakuan (iqrār), dan kita katakan bahwa tawkil dalam iqrār itu sah, maka tidak boleh kecuali ia menjelaskan jenis perkara yang hendak diakui dan kadar yang hendak diakui, karena jika pengakuan itu dilontarkan secara mutlak, maka akan menimbulkan bahaya besar dan banyak gharar, maka tidak diperbolehkan.
Jika ia mewakilkan untuk bersengketa dengan siapa saja yang bersengketa dengannya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, sah, karena perkara sengketa itu diketahui.
Kedua, tidak sah, karena jumlah sengketa bisa sedikit dan bisa banyak, sehingga timbul gharar yang besar.
فصل: ولا يجوز تعليق الوكالة على شرط مستقبل ومن أصحابنا من قال يجوز لأنه أذن في التصرف فجاز تعليقه على مستقبل كالوصية والمذهب الأول لأنه عقد تؤثر الجهالة في إبطاله فلم يصح تعليقه على شرط كالبيع والإجارة ويخالف الوصية فإنها لا يؤثر فيها غرر الجهالة فلا يؤثر فيها غرر الشرط والوكالة تؤثر الجهالة في إبطالها فأثر غرر الشرط فإن علقها على شرط مستقبل ووجد الشرط وتصرف الوكيل صح التصرف لأن مع فساد العقد الإذن قائم فيكون تصرفه بإذن فصح
PASAL: Tidak boleh menggantungkan akad wakalah pada suatu syarat di masa depan. Sebagian dari kalangan kami berpendapat boleh, karena ia merupakan izin untuk bertindak, maka boleh digantungkan pada masa depan sebagaimana wasiat. Namun pendapat yang lebih kuat adalah yang pertama, karena ia merupakan akad yang kebatalannya dipengaruhi oleh ketidakjelasan (jahālah), maka tidak sah jika digantungkan pada syarat, sebagaimana jual beli dan ijarah. Berbeda dengan wasiat, karena wasiat tidak dipengaruhi oleh ketidakjelasan (gharār jahālah), maka tidak terpengaruh oleh ketidakjelasan syarat. Sedangkan wakalah, kebatalannya dipengaruhi oleh ketidakjelasan, maka ketidakjelasan syarat pun berpengaruh padanya. Jika wakalah digantungkan pada syarat di masa depan dan syarat tersebut terjadi, lalu wakil melakukan tindakan, maka tindakan tersebut sah, karena meskipun akadnya rusak, izin tetap ada, maka tindakannya dilakukan atas dasar izin, sehingga sah.
فإن كان قد سمى له جعلاً سقط المسمى ووجب له أجرة المثل لأنه عمل في عقد فاسد لم يرض فيه بغير بدل فوجب أجرة المثل كالعمل في الإجارة الفاسدة وإن عقد الوكالة في الحال وعلق التصرف على شرط بأن قال: وكلتك بأن تطلق امرأتي أو تبيع مالي بعد شهر صح لأنه لم يعلق العقد على شرط وإنما علق التصرف على شرط فلم يمنع صحة العقد.
Jika ia telah menyebutkan imbalan (ju‘l) kepada wakil, maka imbalan yang disebutkan itu gugur, dan wajib baginya upah sepadan (ujrah al-mitsl), karena ia telah bekerja dalam akad yang fasad dan tidak rela tanpa imbalan, maka wajib baginya upah sepadan sebagaimana pekerjaan dalam akad ijarah yang fasad.
Dan jika akad wakalah dilakukan saat itu juga, namun pelaksanaan tindakan digantungkan pada syarat, seperti ia berkata: “Aku wakilkan kepadamu untuk menceraikan istriku atau menjual hartaku setelah sebulan,” maka akadnya sah. Karena ia tidak menggantungkan akad pada syarat, tetapi hanya menggantungkan pelaksanaan tindakan pada syarat, maka tidak menghalangi keabsahan akad.
فصل: ولا يملك الوكيل من التصرف إلا ما يقتضيه إذن الموكل من جهة النطق أو من جهة العرف لأن تصرفه بالإذن فلا يملك إلا ما يقتضيه الإذن والإذن يعرف بالنطق وبالعرف فإن تناول الإذن تصرفين وفي أحدهما إضرار بالموكل لم يجز ما فيه إضرار لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا ضرر ولا إضرار” فإن تناول تصرفين وفي أحدهما نظر للموكل لزمه مافيه نظر للموكل لما روى ثوبان مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “رأس الدين النصيحة قلنا يارسول الله لمن؟ قال: لله ورسوله ولكتابه ولأئمة المسلمين وللمسلمين عامة” وليس من النصح أن يترك ما فيه الحظ والنظر للموكل.
PASAL: Seorang wakil tidak memiliki kewenangan untuk melakukan suatu tindakan kecuali yang ditunjukkan oleh izin dari pihak yang mewakilkan, baik secara lughawi (ucapan) maupun secara ‘urf (kebiasaan yang berlaku), karena tindakan wakil itu bergantung pada izin, maka ia hanya memiliki kewenangan sebatas yang ditunjukkan oleh izin tersebut. Izin itu dapat diketahui melalui ucapan ataupun melalui kebiasaan yang umum.
Apabila izin itu mencakup dua jenis tindakan, namun salah satunya mengandung mudarat bagi pihak yang mewakilkan, maka tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang mengandung mudarat, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Lā ḍarara wa lā ḍirār (tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan).”
Jika izin itu mencakup dua tindakan dan salah satunya mengandung maslahat bagi pihak yang mewakilkan, maka wajib melaksanakan yang mengandung maslahat bagi pihak yang mewakilkan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Tsaubān, maula Rasulullah SAW, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Untuk Allah, Rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin seluruhnya.”
Dan meninggalkan hal yang mengandung maslahat dan keuntungan bagi pihak yang mewakilkan bukanlah bagian dari nasihat.
فصل: وإن وكل في تصرف وأذن له أن يوكل إذا شاء نظرت فإن عين له أن يوكله وكله أميناً كان أو غير أمين لأنه قطع اجتهاده بالتعيين وإن لم يعين من يوكل لم يوكل إلا أميناً لأنه لا نظر للموكل في توكيل غير الأمين فإن وكل أميناً فإن صار خائناً فهل يملك عزله؟ فيه وجهان: أحدهما يملك عزله لأن الوكالة تقتضي استعمال أمين فإذا خرج عن أن يكون أميناً لم يجز استعماله فوجب عزله
PASAL: Jika seseorang mewakilkan dalam suatu tindakan dan memberi izin kepadanya untuk mewakilkan kepada orang lain kapan pun ia mau, maka dilihat: jika ia telah menentukan siapa yang boleh dijadikan wakil, maka ia boleh mewakilkannya baik orang tersebut orang yang terpercaya maupun tidak, karena ia telah memutus ijtihadnya dengan penentuan tersebut. Namun jika ia tidak menentukan siapa yang boleh dijadikan wakil, maka tidak boleh mewakilkan kecuali kepada orang yang terpercaya, karena tidak ada maslahat bagi muwakkil dalam mewakilkan kepada orang yang tidak terpercaya. Jika ia mewakilkan kepada orang yang terpercaya, kemudian orang itu menjadi pengkhianat, maka apakah ia berhak memberhentikannya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ia berhak memberhentikannya karena wakālah menuntut penggunaan orang yang terpercaya, maka apabila ia tidak lagi terpercaya, tidak boleh dipakai, sehingga wajib memberhentikannya.
والثاني لا يملك عزله لأنه أذن له في التوكيل دون العزل وإن وكله ولم يأذن له في التوكيل نظرت فإن كان موكله فيه مما يتولاه الوكيل ويقدر عليه لم يجز أن يوكل فيه غيره لأن الإذن لا يتناول تصرف غيره من جهة النطق ولا من جهة العرف لأنه ليس في العرف إذا رضيه أن يرضي غيره وإن وكله في تصرف وقال اصنع فيه ما شئت ففيه وجهان: أحدهما أنه يجوز أن يوكل فيه غيره لعموم قوله اصنع فيه ما شئت
dan pendapat kedua, ia tidak berhak memberhentikannya karena ia hanya diberi izin untuk mewakilkan, bukan untuk memberhentikan. Jika ia diberi wakālah tanpa izin untuk mewakilkan kepada orang lain, maka dilihat: jika perkara yang diwakilkan termasuk hal yang biasa dilakukan langsung oleh wakil dan ia mampu melakukannya, maka tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, karena izin tersebut tidak mencakup tindakan orang lain, baik dari sisi ucapan (nash) maupun dari sisi ‘urf, sebab dalam kebiasaan tidak berlaku bahwa kerelaan terhadap satu orang berarti kerelaan terhadap orang lain. Namun, jika ia diberi wakālah dalam suatu tindakan dan dikatakan kepadanya: “Lakukanlah sesukamu,” maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, boleh baginya mewakilkan kepada orang lain karena keumuman ucapan: “Lakukanlah sesukamu.”
والثاني لا يجوز لأن التوكيل يقتضي تصرفاً يتولاه بنفسه وقوله اصنع فيه ما شئت يرجع إلى ما يقتضيه التوكيل في تصرفه بنفسه وإن كان ما وكله فيه مما لا يتولاه بنفسه كعمل لا يحسنه أو عمل يترفع عنه جاز أن يوكل فيه غيره لأن توكيله فيما لا يحسنه أو فيما يترفع عنه إذن في التوكيل فيه من جهة العرف وإن كان مما يتولاه إلا أنه لا يقدر على جميعه لكثرته جاز له أن يوكل فيما لا يقدر عليه منه لأن توكيله فيما لا يقدر عليه إذن في التوكيل فيه من جهة العرف
dan pendapat kedua, tidak boleh mewakilkan kepada orang lain karena wakālah menuntut pelaksanaan suatu tindakan oleh dirinya sendiri, dan ucapan “lakukanlah sesukamu” kembali kepada hal-hal yang dituntut oleh wakālah untuk dilaksanakan sendiri olehnya. Namun, jika perkara yang diwakilkan bukan termasuk hal yang bisa dilakukannya sendiri, seperti pekerjaan yang tidak dikuasainya atau pekerjaan yang tidak layak dikerjakannya sendiri, maka boleh baginya mewakilkan kepada orang lain, karena pemberian wakālah dalam perkara yang tidak dikuasai atau tidak layak dikerjakan menunjukkan izin untuk mewakilkan berdasarkan ‘urf. Dan jika perkara itu sebenarnya bisa ia lakukan sendiri, namun ia tidak sanggup menyelesaikannya seluruhnya karena terlalu banyak, maka boleh baginya mewakilkan bagian yang tidak sanggup ia kerjakan, karena pemberian wakālah dalam perkara yang melebihi kemampuannya menunjukkan izin untuk mewakilkan sebagian berdasarkan ‘urf.
وهل يجوز أن يوكل في جميعه؟ فيه وجهان: أحدهما له أن يوكل في جميعه لأنه ملك التوكيل فملك في جميعه كالموكل والثاني ليس له أن يوكل فيما يقدر عليه منه لأن التوكيل يقتضي أن يتولى الوكيل بنفسه وإنما أذن له فيما لا يقدر عليه للعجز وبقي فيما يقدر عليه على مقتضى التوكيل وإن وكل نفسين في بيع أو طلاق فإن جعله إلى كل واحد منهما جاز لكل واحد منهما أن ينفرد به لأنه أذن لكل واحد منهما في التصرف وإن لم يجعل لكل واحد منهما لم يجز لأحدهما أن ينفرد به لأنه لم يرض بتصرف أحدهما فلا يجوز أن ينفرد به
Dan apakah boleh ia mewakilkan seluruhnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
pertama, boleh baginya mewakilkan seluruhnya karena ia memiliki hak untuk mewakilkan, maka ia pun boleh mewakilkan seluruhnya sebagaimana muwakkil;
kedua, tidak boleh baginya mewakilkan bagian yang masih mampu ia kerjakan sendiri, karena wakālah menuntut agar wakil melakukannya sendiri, dan ia hanya diberi izin untuk mewakilkan bagian yang tidak mampu ia kerjakan karena adanya kelemahan, sedangkan bagian yang ia mampu tetap sesuai tuntutan wakālah.
Dan jika ia mewakilkan dua orang dalam urusan jual atau talak, maka jika ia memberikan kuasa kepada masing-masing dari keduanya, maka masing-masing dari keduanya boleh melakukannya secara mandiri, karena ia telah memberi izin kepada masing-masing dari keduanya untuk bertindak. Namun, jika ia tidak memberi kuasa kepada masing-masing secara terpisah, maka tidak boleh salah satu dari keduanya bertindak sendirian, karena ia tidak rela salah satu dari mereka bertindak sendiri, maka tidak boleh ia melakukannya sendirian.
وإن وكلهما في حفظ ماله حفظاه في حرز لهما وخرج أبو العباس وجهاً آخر أنه إن كان مما ينقسم جاز أن يقتسما ويكون عند كل واحد منهما نصفه وإن لم ينقسم جعلاه في حرز لهما كما يفعل المالكان والصحيح هو الأول لأنه تصرف أشرك فيه بينهما فلم يجز لأحدهما أن ينفرد ببعضه فيه كالبيع ويخالف المالكين لأن تصرف المالكين بحق الملك ففعلا ما يقتضي الملك وتصرف الوكيلين بالإذن والإذن يقتضي اشتراكهما ولهذا يجوز لأحد المالكين أن ينفرد ببيع بعضه ولا يجوز لأحد الوكيلين أن ينفرد ببيع بعضه.
Dan jika ia mewakilkan keduanya untuk menjaga hartanya, maka keduanya wajib menjaganya dalam tempat penyimpanan (tempat aman) milik bersama keduanya. Abu al-‘Abbās mengemukakan pendapat lain, yaitu: jika harta itu dapat dibagi, maka boleh bagi keduanya untuk membaginya dan masing-masing menjaga separuhnya; dan jika tidak dapat dibagi, maka mereka harus menyimpannya dalam tempat penyimpanan milik bersama, sebagaimana yang dilakukan oleh dua orang pemilik harta.
Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena ini merupakan tindakan yang di dalamnya ia melibatkan keduanya, maka tidak boleh salah satunya bertindak sendiri terhadap sebagian darinya, sebagaimana dalam urusan jual beli. Ini berbeda dengan dua orang pemilik harta, karena tindakan mereka berdasarkan hak milik, maka mereka boleh melakukan apa yang dituntut oleh kepemilikan. Adapun tindakan dua orang wakil berdasarkan izin, dan izin tersebut menuntut keduanya untuk bersama, oleh karena itu tidak boleh salah satu wakil menjual sebagian harta secara sendiri, sedangkan pemilik harta boleh melakukannya.
فصل: وإن وكل رجلاً في الخصومة لم يملك الإقرار على الموكل ولا الإبراء من دينه ولا الصلح عنه لأن الإذن في الخصومة لا يقتضي شيئاً من ذلك وإن وكله في تثبيت حق فثبته لم يملك قبضه لأن الإذن في التثبيت ليس بإذن في القبض من جهة النطق ولا من جهة العرف لأنه ليس في العرف أن من يرضاه للتثبيت يرضاه للقبض وإن وكله في قبض حق من رجل فجحد الرجل الحق فهل يملك أن يثبته عليه؟ فيه وجهان: أحدهما لا يملك لأن الإذن في القبض ليس بإذن في التثبيت من جهة النطق ولا من جهة العرف لأنه ليس في العرف أن من يرضاه للقبض يرضاه للتثبيت
PASAL: Jika seseorang mewakilkan kepada seseorang dalam perkara sengketa, maka ia tidak berhak melakukan pengakuan atas nama orang yang mewakilkannya, tidak pula membebaskan utangnya, dan tidak pula melakukan ṣulḥ atasnya, karena izin untuk bersengketa tidak mengandung makna dari hal-hal tersebut. Dan jika ia mewakilkannya untuk menetapkan hak lalu ia menetapkannya, maka ia tidak berhak untuk menerima hak tersebut, karena izin untuk menetapkan hak bukanlah izin untuk menerima hak, baik dari sisi ucapan maupun dari sisi kebiasaan, karena tidak termasuk kebiasaan bahwa orang yang diridhai untuk menetapkan hak juga diridhai untuk menerima hak.
Dan jika ia mewakilkannya untuk menerima hak dari seseorang, lalu orang itu mengingkari hak tersebut, maka apakah ia berhak menetapkannya atas orang itu? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya, ia tidak berhak, karena izin untuk menerima hak bukanlah izin untuk menetapkan hak, baik dari sisi ucapan maupun dari sisi kebiasaan, karena tidak termasuk kebiasaan bahwa orang yang diridhai untuk menerima hak juga diridhai untuk menetapkan hak.
والثاني أنه يملك لأنه يتوصل بالتثبيت إلى القبض فكان الإذن في القبض إذناً بالتثبيت وإن وكله في بيع سلعة فباعها لم يملك الإبراء من الثمن لأن الإذن في البيع ليس بإذن في الإبراء من الثمن وهل يملك قبضه أم لا؟ فيه وجهان: أحدهما أنه لا يملك لأن الإذن في البيع ليس بإذن في قبض الثمن من جهة النطق ولا من جهة العرف لأنه قد يرضى الإنسان للبيع من لا يرضاه للقبض والثاني أنه يملك لأن العرف في البيع تسليم للمبيع وقبض الثمن فحملت الوكالة عليه وإن وكله في شراء عبد فاشترى وسلم الثمن ثم استحق العبد فهل يملك أن يخاصم البائع في درك الثمن؟ فيه وجهان: أحدهما يملك لأنه من أحكام العقد والثاني لا يملك لأن الذي وكل فيه هو العقد وقد فرغ منه فزالت الوكالة.
dan pendapat kedua menyatakan bahwa ia berhak, karena penetapan hak adalah jalan untuk menerima hak, maka izin untuk menerima hak dianggap sebagai izin untuk menetapkan hak.
Dan jika ia mewakilkannya untuk menjual suatu barang, lalu ia menjualnya, maka ia tidak berhak membebaskan pembeli dari pembayaran harga, karena izin untuk menjual bukanlah izin untuk membebaskan dari harga. Dan apakah ia berhak menerima pembayaran atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ia tidak berhak, karena izin untuk menjual bukanlah izin untuk menerima pembayaran, baik dari sisi ucapan maupun dari sisi kebiasaan, karena bisa jadi seseorang meridhai orang lain untuk menjual tetapi tidak meridhainya untuk menerima pembayaran. Pendapat kedua, ia berhak, karena kebiasaan dalam jual beli adalah menyerahkan barang dan menerima pembayaran, maka wakalah dihukumi berdasarkan kebiasaan tersebut.
Dan jika ia mewakilkannya untuk membeli seorang budak, lalu ia membelinya dan menyerahkan pembayaran, kemudian budak tersebut ternyata milik orang lain (istihqāq), maka apakah ia berhak menggugat penjual dalam perkara jaminan pengembalian harga (darak)? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ia berhak, karena hal itu termasuk hukum-hukum akad. Kedua, ia tidak berhak, karena yang diwakilkan kepadanya hanyalah akad, dan akad tersebut telah selesai, maka berakhirlah keabsahan wakalah.
فصل: وإن وكل في البيع في زمان لم يملك البيع قبله ولا بعده لأن الإذن لا يتناول ما قبله ولا ما بعده من جهة النطق ولا من جهة العرف لأنه قد يؤثر البيع في زمان الحاجة ولا يؤثر في زمان قبله ولا زمان بعده وإن وكله في البيع في مكان فإن كان الثمن فيه أكثر أو النقد فيه أجود لم يجز البيع في غيره لأنه قد يؤثر البيع في ذلك المكان لزيادة الثمن أو جودة النقد فلا يجوز تفويت ذلك عليه وإن كان الثمن فيه وفي غيره واحداً ففيه وجهان: أحدهما أنه يملك البيع في غيره لأن المقصود فيهما واحد فكان الإذن في أحدهما إذناً في الآخر والثاني لا يجوز لأنه لما نص عليه دل على أنه قصد عينه لمعنى هو أعلم به من يمين وغيرها فلم تجز مخالفته.
PASAL: Jika seseorang mewakilkan dalam jual beli pada waktu tertentu, maka tidak sah baginya melakukan jual beli sebelum atau sesudah waktu tersebut, karena izin itu tidak mencakup waktu sebelum atau sesudahnya baik secara lafaz maupun secara ‘urf, sebab bisa jadi penjualan itu berdampak pada waktu kebutuhan dan tidak berdampak pada waktu sebelum atau sesudahnya.
Jika ia mewakilkannya untuk melakukan jual beli di tempat tertentu, maka apabila harga di tempat tersebut lebih tinggi atau alat tukarnya lebih baik, tidak boleh melakukan jual beli di tempat lain, karena bisa jadi penjualan di tempat tersebut dipilih karena harga yang lebih tinggi atau kualitas alat tukar yang lebih baik, maka tidak boleh menyepelekan hak itu darinya.
Namun jika harga di tempat tersebut dan di tempat lain sama, maka ada dua pendapat:
Pertama, boleh melakukan jual beli di tempat lain, karena tujuannya sama, maka izin di salah satunya dianggap izin di yang lainnya.
Kedua, tidak boleh, karena ketika disebutkan tempat secara spesifik menunjukkan bahwa ia menghendaki tempat itu secara khusus karena alasan tertentu yang hanya diketahui olehnya, seperti sumpah dan lainnya, maka tidak boleh menyelisihinya.
فصل: وإن وكله في البيع من رجل لم يجزأن يبيع من غيره لأنه قد يؤثر تمليكه دون غيره فلا يكون الإذن في البيع منه إذناً في البيع من غيره وإن قال خذ مالي من فلان فمات لم يجز أن يأخذ من ورثته لأنه قد لايرضى أن يكون ماله عنده ويرضى أن يكون عند ورثته فلا يكون الإذن في الأخذ منه إذناً في الأخذ من ورثته وإن قال خذ مالي على فلان فمات جاز أن يأخذ من ورثته لأنه قصد أخذ ماله وذلك يتناول الأخذ منه ومن ورثته وإن وكل العدل في بيع الرهن فأتلفه رجل فأخذت منه القيمة لم يجز له بيع القيمة لأن الإذن لم يتناول بيع القيمة.
PASAL: Jika seseorang mewakilkan untuk menjual kepada seseorang tertentu, maka tidak boleh menjual kepada selain orang itu, karena bisa jadi ia menginginkan agar kepemilikan berpindah kepada orang tersebut secara khusus, sehingga izin untuk menjual kepadanya bukanlah izin untuk menjual kepada selainnya.
Jika ia berkata, “Ambillah hartaku dari Fulan,” lalu Fulan meninggal dunia, maka tidak boleh diambil dari ahli warisnya, karena bisa jadi ia tidak ridha hartanya berada di tangan Fulan, namun ridha jika berada di tangan ahli warisnya, maka izin untuk mengambil dari Fulan bukanlah izin untuk mengambil dari ahli warisnya.
Namun jika ia berkata, “Ambillah hartaku yang ada pada Fulan,” lalu Fulan meninggal, maka boleh diambil dari ahli warisnya, karena maksudnya adalah mengambil hartanya, dan itu mencakup mengambil dari Fulan maupun dari ahli warisnya.
Jika seseorang mewakilkan seorang ‘adl untuk menjual barang gadai, lalu barang itu dirusak oleh seseorang dan ia menerima ganti rugi (nilai barang), maka tidak boleh menjual nilai penggantinya, karena izin tersebut tidak mencakup penjualan nilai pengganti.
فصل: وإن وكل في بيع فاسد لم يملك الفاسد لأن الشرع لم يأذن فيه ولا يملك الصحيح لأن الموكل لم يأذن فيه.
PASAL: Jika seseorang mewakilkan dalam jual beli yang fasad, maka tidak sah baginya melakukan jual beli yang fasad karena syariat tidak mengizinkannya, dan tidak sah pula melakukan jual beli yang sah karena pihak yang mewakilkan tidak mengizinkannya.
فصل: وإن وكل في بيع سلعة لم يملك بيعها من نفسه من غير إذن لأن العرف في البيع أن يوجب لغيره فحمل الوكالة عليه ولأن إذن الموكل يقتضي البيع ممن يستقصي في الثمن عليه وفي البيع من نفسه لا يستقصي في الثمن فلم يدخل في الإذن وهل يملك البيع من ابنه أو مكاتبه؟ فيه وجهان: أحدهما يملك وهو قول أبو سعيد الاصطخري لأنه يجوز أن يبيع منه ماله فجاز له أن يبيع منه مال موكله كالأجنبي
PASAL: Jika seseorang diberi kuasa untuk menjual suatu barang, maka ia tidak memiliki hak untuk menjualnya kepada dirinya sendiri tanpa izin, karena dalam kebiasaan jual beli itu dilakukan untuk orang lain, maka kuasa ditafsirkan sesuai kebiasaan tersebut. Selain itu, izin dari pemberi kuasa mengandung makna bahwa penjualan dilakukan kepada orang yang akan menawar harga terbaik, sedangkan jika ia menjual kepada dirinya sendiri, maka ia tidak akan menawar harga terbaik, sehingga tidak termasuk dalam cakupan izin. Apakah ia berhak menjual kepada anaknya atau mukatab-nya? Ada dua pendapat: salah satunya adalah berhak, dan ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Iṣṭakhri, karena ia boleh menjual harta miliknya kepada mereka, maka boleh pula menjual harta pemberi kuasa kepada mereka seperti halnya kepada orang asing.
والثاني لا يجوز وهو قول أبي إسحاق لأنه متهم في الميل إليهما كما يتهم في الميل إلى نفسه ولهذا لا تقبل شهادته لهما كما لا تقبل شهادته لنفسه فإن أذن له في البيع من نفسه ففيه وجهان: أحدهما يجوز كما يجوز أن يوكل المرأة في طلاقها والثاني لا يجوز وهو المنصوص لأنه يجتمع في عقده غرضان متضادان الاستقصاء للموكل والاسترخاص لنفسه فتمانعا ويخالف الطلاق فإنه يصح بالزوج وحده فصح بمن يوكل والبيع لا يصح بالبائع وحده فلم يصح بمن يوكله
dan pendapat kedua adalah tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq, karena ia dituduh condong kepada keduanya sebagaimana ia dituduh condong kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu, kesaksiannya untuk keduanya tidak diterima sebagaimana kesaksiannya untuk dirinya sendiri tidak diterima. Jika pemberi kuasa mengizinkannya untuk menjual kepada dirinya sendiri, maka ada dua pendapat: salah satunya adalah boleh, sebagaimana boleh memberi kuasa kepada istri untuk mentalak dirinya; dan pendapat kedua adalah tidak boleh, dan ini adalah pendapat yang diriwayatkan secara eksplisit, karena dalam akad tersebut terkumpul dua tujuan yang saling bertentangan: mencari harga terbaik untuk pemberi kuasa dan mencari harga murah untuk dirinya sendiri, maka keduanya saling meniadakan. Ini berbeda dengan ṭalāq, karena ṭalāq sah dilakukan oleh suami seorang diri, maka sah pula dilakukan oleh orang yang diberi kuasa. Sedangkan jual beli tidak sah hanya oleh penjual seorang diri, maka tidak sah dilakukan oleh orang yang diberi kuasa.
وإن كان رجلاً في بيع عبده ووكله آخر في شرائه لم يصح لأنه عقد واحد يجتمعان فيه غرضان متضادان فلم يصح التوكيل فيه كالبيع من نفسه وإن وكله في خصومة رجل ووكله الرجل في خصومته ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه توكيل في أمر يجتمع فيه عرضان متضادان فلم يصح كما لو وكله أحدهما في بيع عبده ووكله آخر في شرائه والثاني يصح لأنه لا يتهم في إقامة الحجة لكل واحد منهما مع حضور الحاكم فإن وكل عبد الرجل ليشتري له نفساً أو عبداً غيره من مولاه ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه لما جاز توكيله في الشراء من غير مولاه جاز توكيله في الشراء من مولاه والثاني لا يجوز لأن يد العبد كيد المولى ولهذا يحكم له بما في يد العبد كما يحكم له بما في يده ثم لو وكل المولى في الشراء من نفسه لم يجز فكذلك إذا وكل العبد.
Jika seseorang adalah pihak yang menjual budaknya, lalu orang lain memberinya kuasa untuk membeli budak tersebut, maka tidak sah, karena itu adalah satu akad yang mengandung dua kepentingan yang saling bertentangan, maka tidak sah memberi kuasa padanya, sebagaimana jual beli kepada diri sendiri.
Jika ia diberi kuasa oleh seseorang untuk bersengketa dengan seorang laki-laki, lalu laki-laki itu juga memberinya kuasa untuk bersengketa dengannya, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah, karena itu merupakan kuasa dalam suatu perkara yang mengandung dua tujuan yang bertentangan, maka tidak sah, sebagaimana jika seseorang memberinya kuasa untuk menjual budaknya dan orang lain memberinya kuasa untuk membelinya.
Kedua, sah, karena ia tidak dituduh akan condong dalam mendatangkan hujah untuk masing-masing pihak selama di hadapan hakim.
Jika seorang hamba diberi kuasa oleh seseorang untuk membeli orang merdeka atau budak lain dari tuannya, maka ada dua pendapat:
Pertama, boleh, karena ketika boleh memberinya kuasa untuk membeli dari selain tuannya, maka boleh pula memberinya kuasa untuk membeli dari tuannya.
Kedua, tidak boleh, karena tangan hamba adalah seperti tangan tuannya, oleh sebab itu ditetapkan hukum untuk tuannya atas apa yang ada di tangan hamba sebagaimana atas apa yang ada di tangannya sendiri. Maka, jika tidak boleh memberi kuasa kepada tuan untuk membeli dari dirinya sendiri, maka begitu pula jika memberi kuasa kepada hambanya.
فصل: وإن وكل في شراء سلعة موصوفة لم يجز أن يشتري معيباً لأن إطلاق البيع يقتضي السلامة من العيب ولهذا لو اشترى عيناً فوجد فيها عيباً ثبت له الرد فإن اشترى معيباً نظرت فإن اشتراه وهو يعلم أنه معيب لم يصح الشراء للموكل لأنه اشترى له ما لم يأذن فيه فلم يصح له وإن اشتراه وهو لا يعلم أنه معيب ثم علم لم يخل إما أن يرضى به أو لا يرضى
PASAL: Dan jika seseorang mewakilkan dalam membeli barang yang disebutkan sifatnya, maka tidak boleh membeli barang yang cacat, karena lafaz umum dalam jual beli mengandung makna keharusan selamat dari cacat. Oleh karena itu, seandainya ia membeli barang tertentu lalu didapati padanya cacat, maka ia berhak mengembalikannya. Maka jika ia membeli barang yang cacat, maka diperhatikan: jika ia membelinya dalam keadaan mengetahui bahwa barang itu cacat, maka tidak sah pembeliannya untuk pihak yang mewakilkan, karena ia telah membeli sesuatu yang tidak diizinkan olehnya, maka tidak sah baginya. Dan jika ia membelinya dalam keadaan tidak mengetahui bahwa barang itu cacat, lalu kemudian ia mengetahuinya, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah pihak yang mewakilkan ridha terhadapnya atau tidak ridha.
فإن لم يرض به نظرت فإن علم الموكل ورضي به لم يجز للوكيل رده لأن الرد لحقه وقد رضي به فسقط وإن لم يعلم الموكل ثبت للوكيل الرد لأنه ظلامة حصلت بعقده فجاز له رفعها كما لو اشترى نفسه فإن قال البائع أخر الرد حتى تشاور الموكل فإن لم يرض قبلته لم يلزمه التأخير لأنه حق تعجل له فلم يلزمه تأخيره وإن قبل منه وأخره بهذا الشرط فهل يسقط حقه من الرد فيه وجهان: أحدهما يسقط لأنه ترك الرد مع القدرة
Jika ia tidak ridha terhadapnya, maka dilihat kembali: jika sang muwakkil (yang mewakilkan) telah mengetahui hal itu dan ridha, maka tidak boleh bagi wakil untuk mengembalikannya karena hak pengembalian itu milik muwakkil, dan jika ia telah ridha maka hak itu gugur. Namun jika muwakkil belum mengetahui, maka tetap berlaku hak pengembalian bagi wakil karena itu merupakan kezaliman yang terjadi melalui akadnya, maka boleh baginya menghilangkannya sebagaimana jika ia membeli barang untuk dirinya sendiri.
Jika penjual berkata: “Tunda pengembalian sampai engkau bermusyawarah dengan muwakkil. Jika ia tidak ridha, maka aku terima pengembaliannya,” maka ia (wakil) tidak wajib menundanya karena itu adalah hak yang dapat ia percepat, sehingga ia tidak wajib menundanya.
Jika ia menerima penundaan itu dan menundanya dengan syarat tersebut, maka apakah gugur haknya untuk mengembalikan? Maka ada dua pendapat: salah satunya gugur, karena ia telah meninggalkan pengembalian padahal mampu.
والثاني لا يسقط لأنه لم يرض بالعيب فإن ادعى البائع أن الموكل علم بالعيب ورضي به فالقول قول الوكيل مع يمينه لأن الأصل عدم الرضا فإن رضي الوكيل بالعيب سقط خياره فإن حضر الموكل ورضي بالعيب استقر العقد وإن اختار الرد نظرت فإن كان قد سماه الوكيل في الابتياع أو نواه وصدقه البائع جاز أن يرده لأن الشراء له وهو لم يرض بالعيب وإنما رضي وكيله فلا يسقط حقه من الرد وإن لم يسمه الوكيل في الابتياع ولا صدقة البائع أنه نواه فالمنصوص أن السلعة تلزم الوكيل لأنه ابتاع في الذمة للموكل ما لم يأذن فيه
dan pendapat yang kedua: tidak gugur (hak pengembalian) karena ia (wakil) tidak ridha terhadap cacat tersebut. Jika penjual mengklaim bahwa muwakkil telah mengetahui cacat itu dan ridha dengannya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan wakil disertai sumpahnya, karena asalnya adalah tidak adanya keridhaan.
Jika wakil ridha terhadap cacat tersebut, maka gugurlah hak pilih (khiyār) baginya. Jika muwakkil hadir dan ridha terhadap cacat tersebut, maka akad menjadi tetap. Namun jika ia memilih untuk mengembalikannya, maka dilihat: jika wakil telah menyebutkan namanya dalam pembelian atau meniatkannya dan penjual membenarkannya, maka boleh baginya mengembalikannya karena pembelian itu untuknya, sedangkan ia tidak ridha terhadap cacat tersebut—yang ridha hanyalah wakilnya, maka tidak gugur haknya untuk mengembalikan.
Namun jika wakil tidak menyebutkan namanya dalam pembelian dan penjual tidak membenarkan bahwa ia meniatkannya, maka pendapat yang masyhur adalah bahwa barang tersebut menjadi tanggungan wakil, karena ia membeli atas tanggungan (dzimmah)-nya sesuatu untuk muwakkil yang tidak diizinkan.
ومن أصحابنا من قال: يلزم الموكل لأن العقد وقع له وقد تعذر الرد بتفريط الوكيل في ترك الرد ويرجع الموكل على الوكيل بنقصان العيب لأن الوكيل صار كالمستهلك له بتفريطه وفي الذي يرجع به وجهان: أحدهما وهو قول أبي يحيى البلخي أنه يرجع بما نقص من قيمته معيباً على الثمن فإن كان الثمن مائة وقيمة السلعة مائة لم يرجع بشيء وإن كان الثمن مائة وقيمة السلعة تسعين رجع بعشرة كما نقول في شاهدين شهدا على رجل أنه باع سلعة بمائة فأخذت منه ووزن له المشتري الثمن ثم رجع الشهود عن الشهادة
Dan sebagian dari kalangan kami berkata: barang itu menjadi tanggungan muwakkil karena akad terjadi atas namanya, namun pengembalian menjadi terhalang karena kelalaian wakil dalam tidak segera mengembalikannya. Maka muwakkil berhak menuntut wakil atas kekurangan nilai akibat cacat, karena wakil dalam hal ini seperti orang yang telah merusaknya karena kelalaiannya.
Adapun mengenai berapa yang boleh dituntut darinya, ada dua pendapat. Yang pertama—dan ini adalah pendapat Abū Yaḥyā al-Balkhī—bahwa ia (muwakkil) menuntut sesuai dengan kekurangan nilai barang dalam keadaan cacat dibandingkan dengan harga (yang dibayar). Maka jika harga seratus dan nilai barang dalam keadaan cacat juga seratus, maka tidak ada yang bisa dituntut. Namun jika harga seratus dan nilai barang dalam keadaan cacat hanya sembilan puluh, maka ia menuntut sepuluh.
Sebagaimana halnya dua orang saksi bersaksi bahwa seseorang telah menjual barang dengan harga seratus, kemudian barang itu diambil darinya (karena ada klaim), dan pembeli telah membayar harganya, lalu para saksi mencabut kembali kesaksiannya.
فإن الحكم لا ينقض ويرجع البائع على الشهود بما نقص من القيمة عن الثمن فإن كان الثمن والقيمة سواء لم يرجع عليهم بشيء وإن كانت القيمة مائة والثمن تسعون رجع بعشرة والثاني أنه يرجع بأرش العيب وهو الصحيح لأنه عيب فات الرد به من غير رضاه فوجب الرجوع بالأرض
maka keputusan hukum tidak dibatalkan, dan penjual berhak menuntut para saksi atas kekurangan nilai dibandingkan dengan harga. Jika harga dan nilai sama, maka ia tidak berhak menuntut apa pun dari mereka. Namun jika nilai barang seratus dan harga sembilan puluh, maka ia menuntut sepuluh.
Pendapat kedua adalah bahwa yang menjadi hak tuntutan adalah arasy al-‘ayb (ganti rugi cacat), dan inilah pendapat yang benar, karena cacat tersebut menyebabkan kehilangan hak pengembalian tanpa keridhaan, maka wajib diberikan arasy.
وإن وكل في شراء سلعة بعينها فاشتراها ووجد بها عيباً فهل له أن يرد من غير إذن الموكل؟ فيه وجهان: أحدهما له أن يرد لأن البيع يقتضي السلامة من العيب ولم يسلم من العيب فثبت له الرد كما لو وكل في شراء سلعة موصوفة فوجد بها عيباً فعلى هذا يكون حكمه في الرد على ما ذكرناه في السلعة الموصوفة والثاني لا يرد من غير إذن الموكل لأنه قطع نظره واجتهاده بالتعيين.
Dan jika seseorang mewakilkan untuk membeli suatu barang tertentu, lalu ia membelinya dan mendapati ada cacat padanya, maka apakah ia boleh mengembalikannya tanpa izin dari muwakkil? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, ia boleh mengembalikannya karena jual beli menuntut adanya keselamatan dari cacat, dan barang ini tidak selamat dari cacat, maka tetap baginya hak pengembalian sebagaimana jika ia diwakilkan membeli barang yang memiliki sifat tertentu lalu ditemukan cacat padanya. Maka menurut pendapat ini, hukum pengembaliannya sama seperti yang telah disebutkan pada barang yang disifati.
Kedua, tidak boleh ia mengembalikannya tanpa izin dari muwakkil, karena muwakkil telah menentukan secara spesifik, sehingga ijtihad dan pertimbangan wakil telah terputus dengan penentuan itu.
فصل: وإن وكل في بيع عبد أو شراء عبد لم يجز أن يعقد على بعضه لأن العرف في بيع العبد وشرائه أن يعقد على جميعه فحمل الوكالة عليه ولأن في تبعيضه إضراراً بالموكل فلم يملك من غير إذن وإن وكل في شراء أعبد أو بيع أعبد جاز أن يعقد على واحد لأن العرف في العبيد أن تباع وتشترى واحداً واحداً ولأنه لا ضرر في إفراد بعضهم عن بعض فإن وكله أن يشتري له عشرة أعبد صفقة واحدة فابتاع عشرة أعبد من اثنين صفقة واحدة ففيه وجهان: قال أبو العباس يلزم الموكل لأنه اشتراهم صفقة واحدة ومن أصحابنا من قال لا يلزم الموكل لأن عقد الواحد مع الاثنين عقدان.
PASAL: Jika seseorang mewakilkan dalam menjual atau membeli seorang budak, maka tidak boleh melakukan akad atas sebagian budak tersebut, karena kebiasaan dalam jual beli budak adalah dilakukan atas seluruhnya, maka wakalah dibawa kepada kebiasaan itu. Dan karena membagi (akad atas sebagian) mengandung unsur merugikan bagi muwakkil, maka tidak diperbolehkan tanpa izinnya.
Namun, jika ia mewakilkan untuk membeli beberapa budak atau menjual beberapa budak, maka boleh melakukan akad atas satu orang saja, karena kebiasaan dalam jual beli budak adalah dilakukan satu per satu. Dan karena tidak ada kerugian dalam memisahkan sebagian dari mereka.
Jika ia mewakilkan untuk membeli sepuluh budak dalam satu transaksi, lalu ia membeli sepuluh budak dari dua orang dalam satu transaksi, maka ada dua pendapat: Abu al-‘Abbās berkata: hal itu mengikat muwakkil karena mereka dibeli dalam satu transaksi. Dan sebagian dari ulama kami berkata: tidak mengikat muwakkil karena akad antara satu orang dengan dua orang adalah dua akad.
فصل: ولا يجوز للوكيل في البيع أن يبيع بغير نقد البلد من غير إذن ولا للوكيل في الشراء أن يشتري بغير نقد البلد من غير إذن لأن إطلاق البيع يقتضي نقد البلد ولهذا لو قال بعتك بعشرة دراهم حمل على نقد البلد وإن كان في البلد نقدان باع بالغالب منهما لأن نقد البلد هو الغالب فإن استويا في المعاملة باع بما هو أنفع للموكل لأنه مأمور بالنصح له ومن النصح أن يبيع بالأنفع فإن استويا باع بما شاء منهما لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر فخير بينهما وإن أذن له في العقد بنقد لم يجز أن يعقد بنقد آخر لأن الإذن في جنس ليس بإذن في جنس آخر ولهذا لو أذن له في شراء عبد لم يجز أن يشتري جارية ولو أذن له في شراء حمار لم يجز أن يشتري فرسا.
PASAL: Tidak boleh bagi wakil dalam jual beli untuk menjual dengan selain mata uang yang berlaku di negeri tersebut tanpa izin, dan tidak boleh pula bagi wakil dalam pembelian untuk membeli dengan selain mata uang negeri tersebut tanpa izin, karena lafaz umum dalam jual beli mengandung makna dengan mata uang yang berlaku di negeri itu. Oleh sebab itu, jika seseorang berkata, “Aku jual kepadamu dengan sepuluh dirham,” maka itu dibawa pada makna mata uang yang berlaku di negeri itu.
Jika di negeri tersebut terdapat dua jenis mata uang, maka ia menjual dengan yang lebih dominan di antara keduanya, karena mata uang negeri adalah yang paling umum digunakan. Jika keduanya setara dalam transaksi, maka ia menjual dengan yang lebih bermanfaat bagi muwakkil, karena ia diperintahkan untuk bersikap naṣīḥah (memberi yang terbaik) kepada muwakkil, dan termasuk naṣīḥah adalah menjual dengan yang lebih bermanfaat.
Jika keduanya sama dalam manfaat, maka ia boleh memilih salah satunya, karena tidak ada kelebihan salah satu dari keduanya, maka ia diberi pilihan.
Jika muwakkil mengizinkannya untuk melakukan akad dengan satu jenis mata uang, maka tidak boleh baginya melakukan akad dengan jenis mata uang lain, karena izin terhadap satu jenis tidak dianggap sebagai izin terhadap jenis lain. Sebagaimana jika ia mengizinkannya membeli seorang budak, maka tidak boleh baginya membeli seorang jariyah. Dan jika ia mengizinkannya membeli seekor keledai, maka tidak boleh baginya membeli seekor kuda.
فصل: وإن دفع إليه ألفا وقال اشتريها بعينها في ذمته لم يصح الشراء للموكل، لأنه لم يرض بالتزام غير الألف، فإذا ابتاع بألف في الذمة فقد ألزمه في ذمته ألفا لم يرض بالتزامها فلم يلتزم وإن قال اشتر لي في الذمة وانقد الألف فيه فابتاع فابتاع بعينها ففيه وجهان: أحدهما أن البيع باطل لأنه أمره بعقد لا ينفسخ بتلف الألف فعقد عقدا ينفسخ بتلف الألف وذالك لم يأذن فيه ولم يرض به.
PASAL: Jika seseorang menyerahkan seribu (dirham) kepadanya dan berkata, “Belilah dengan uang ini secara ‘ain (tunai) untuk orang yang berutang (penjual menanggung di dalam tanggungan),” maka tidak sah pembelian tersebut untuk muwakkil, karena ia tidak rela menanggung selain seribu itu. Maka jika ia membeli dengan seribu yang menjadi tanggungan, berarti ia telah membebankan seribu dalam tanggungan yang tidak diridhai muwakkil, maka ia tidak menanggungnya.
Dan jika ia berkata, “Belikanlah untukku dalam tanggungan, dan bayarkanlah seribu ini untuk itu,” lalu ia membeli dengan uang tersebut secara ‘ain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya adalah bahwa jual beli tersebut batal, karena ia memerintahkannya untuk melakukan akad yang tidak batal dengan rusaknya seribu tersebut, tetapi ia melakukan akad yang batal dengan rusaknya seribu, dan itu bukan sesuatu yang diizinkan atau diridhai olehnya.
والثاني أن يصح لأنه أمره بعقد يلزمه الثمن مع بقا الألف، ومع تلفها قد عقد عقدا يلزمه الثمن مع بقائها ولايلزمه مع تلفها فزاد بذالك خيرا، وإن دفع إليه ألفا وقال اشتر عبدا ولم يقل بعينها ففيه وجهان: أحدهما مقتضاه الشراء بعينها لأنه لما دفع إليه الألف دل علي أنه قصد الشراء بعينها لأن الأمر مطلق فهلي هذا يجوز أن يشتري بعينها ويجوز أن يشتري في الذمة وينقد الألف فيه.
dan kedua, sah, karena ia memerintahkannya untuk melakukan akad yang mewajibkan harga dengan tetapnya uang seribu, dan jika uang itu hilang, maka ia telah melakukan akad yang mewajibkan harga selama uang itu masih ada dan tidak mewajibkan bila telah hilang, maka dengan itu ia menambahkan kebaikan. Dan jika ia menyerahkan kepadanya seribu dan berkata: “Belikan aku seorang budak,” dan tidak mengatakan “dengan uang ini,” maka dalam hal ini ada dua wajah: pertama, maknanya adalah pembelian dengan uang itu secara langsung, karena ketika ia menyerahkan uang seribu kepadanya, hal itu menunjukkan bahwa maksudnya adalah membeli dengan uang itu, karena perintah tersebut bersifat mutlak. Maka dalam hal ini, boleh baginya untuk membeli dengan uang itu secara langsung dan boleh pula membeli dengan tanggungan lalu membayarkan uang seribu tersebut dalam akad.
فصل: فإن وكله في الشراء ولم يدفع إليه الثمن فاشتراه ففي الثمن ثلاثة أوجه: أحدهما أنه علي الموكل والوكيل ضامن لأنه المبيع للموكل فكان الثمن عليه والوكيل تولي العقد والتزم الثمن فضمنه، فعلي هذا يجوز للبائع أن يطالب الوكيل والموكل لأن أحدهما ضامن والآخر مضمون عنه فإن وزن الوكيل الثمن رجع علي الموكل وإن وزن الموكل لم يرجع علي الوكيل.
PASAL: Jika ia mewakilkannya dalam pembelian dan tidak menyerahkan harga kepadanya lalu si wakil membeli, maka mengenai harga terdapat tiga wajah: pertama, harga itu atas tanggungan muwakkil dan wakil menanggungnya, karena barang yang dibeli adalah untuk muwakkil, maka harga atasnya, sedangkan wakil melakukan akad dan berkomitmen terhadap harga, maka ia menanggungnya. Berdasarkan pendapat ini, penjual boleh menuntut wakil dan muwakkil, karena salah satunya penanggung dan yang lainnya yang ditanggung. Jika wakil membayar harga, maka ia boleh menuntut ganti dari muwakkil. Namun jika muwakkil yang membayar, maka ia tidak boleh menuntut dari wakil.
والثاني أن الثمن علي الوكيل دون الموكل لأن الذي التزم هو الوكيل فكان الثمن عليه فعلي هذا يجوز للبائع مطالبة الوكيل لأن الثمن عليه ولا يجوز له مطالبة الموكل لأنه لا شيء عليه، فإن وزن الوكيل رجع علي الموكل لأنه التزم بإذنه وإن لم يزن لم يرجع كما نقول فيمن أحال بدين عليه علي رجل لا دين له عليه، أنه إذا وزن رجع وإذا لم يزن لم يرجع وإن أبر البائع الوكيل سقط الثمن وحصلت السلعة للموكل من غير ثمن. والثالث أن الثمن علي الوكيل وللوكيل في ذمة الموكل مثل الثمن فيجوز للبائع مطالبة الوكيل دون الموكل، وللوكيل مطالبة الموكل بالثمن وإن لم يطالبه البائع.
Dan kedua, bahwa harga atas tanggungan wakil, bukan muwakkil, karena yang berkomitmen adalah wakil, maka harga menjadi tanggungannya. Berdasarkan pendapat ini, penjual boleh menuntut wakil karena harga atasnya, dan tidak boleh menuntut muwakkil karena tidak ada kewajiban atasnya. Jika wakil membayar harga, maka ia boleh menuntut ganti dari muwakkil karena ia berkomitmen atas izin muwakkil. Namun jika tidak membayar, maka tidak boleh menuntut, sebagaimana kita katakan tentang orang yang mengalihkan utang kepada seseorang yang tidak memiliki utang padanya, bahwa jika ia membayar maka ia boleh menuntut, dan jika tidak membayar maka tidak boleh menuntut. Jika penjual membebaskan wakil, maka gugurlah harga dan barang menjadi milik muwakkil tanpa harga.
Dan ketiga, bahwa harga atas tanggungan wakil, dan wakil memiliki hak di dalam tanggungan muwakkil sebesar harga itu. Maka penjual boleh menuntut wakil tanpa muwakkil, dan wakil boleh menuntut muwakkil atas harga tersebut meskipun penjual tidak menuntutnya.
فصل: ولا يجوز للوكيل في البيع أن يبيع بثمن مؤجل من غير إذن لأن الأفضل في البيع النقد، وإنما يدخل التأجيل لكساد أو فساد فإن أطلق حمل علي الأصل، فإن أذن له في بيع مؤجل وقدر الأجل أكثر منه لأنه لم يرض بما زاد علي المقدر ففي علي الصل في المنع، وإن أطلق الأجل ففيه وجهان: أحدهما لايصح التوكيل لأن الأجال تختلف فيكثر الغرر فيه فلم يصح.
PASAL: Tidak boleh bagi wakil dalam jual beli untuk menjual dengan harga yang ditangguhkan tanpa izin, karena yang lebih utama dalam jual beli adalah tunai, dan penangguhan hanya dimasukkan karena adanya kelesuan atau kerusakan (dalam pasar). Maka jika perintahnya mutlak, maka dibawa kepada hukum asal (yaitu tunai). Jika ia mengizinkannya menjual dengan pembayaran tertangguh dan menentukan jangka waktu, lalu wakil melebihi jangka tersebut, maka tidak sah karena pemberi kuasa tidak ridha terhadap yang melebihi ketentuan. Jika ia membiarkan jangka waktu secara mutlak, maka ada dua wajah: pertama, tidak sah perwakilan karena jangka waktu itu berbeda-beda sehingga menimbulkan gharār yang banyak, maka tidak sah.
والثاني يصح ويحمل علي العرف في مثله لأن مطلق الوكالة يحمل علي المتعارف، وإن لم يكن فيه عرف باع بأنفع ما يقدر عليه لأنه مأمور بالنصح لموكله. ومن أصحابنا من قال يجوز القليل والكثير لأن اللفظ مطلق ومنهم من قال: يجوز إلي سنة لأن الديون المؤجلة في الشرع مقدرة بالسنة وهي الدية والجزية والصحيح هو الأول، وقول القائل الثاني إن اللفظ مطلق لا يصح لأن العرف يخصه، ونصح الموكل يخصه،
dan yang kedua: sah, dan dibawa kepada ‘urf dalam perkara semacam itu, karena bentuk wakālah yang mutlak dibawa kepada kebiasaan yang berlaku. Jika tidak ada ‘urf, maka ia menjual dengan cara yang paling menguntungkan yang mampu ia lakukan, karena ia diperintahkan untuk menasihati pemberi kuasa. Sebagian dari ulama kami berkata: boleh menjual dengan jangka pendek maupun panjang karena lafaznya bersifat mutlak. Dan sebagian dari mereka berkata: boleh sampai satu tahun, karena utang-utang yang ditangguhkan dalam syariat ditentukan dengan setahun, seperti diyah dan jizyah. Pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama. Adapun perkataan orang yang mengatakan bahwa lafaz itu mutlak maka boleh mencakup semuanya—itu tidak sah, karena ‘urf membatasinya dan nasihat kepada pemberi kuasa pun membatasinya.
وقول القائل الثالث لا يصح لأن الدية والجزية وجبت بالشرع فحمل علي تأجيل الشرع، وهذا وجب بإذن الموكل فحمل علي المتعارف، وإن أذن له في البيع إلي أجل فباع بالنقد نظرت فإن باع بدون ما يساوي نسيئة لم يصح لأن الإذن في البيع نسيئة يقتضي افلبيع بما يساوي نسيئة، فإذا باع بما دونه لم يصح. وإن باع نقدا بما يساوي نسيئة؛ فإن كان في وقت لا يأمن أن ينهب أو يسرق لم يصح لأن ضرر لم يرض به فلم يلزمه، وإن كان في وقت مأمون ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه قد يكون له غرض في كون الثمن في ذمة ملئ، ففوت عليه ذالك فلم يصح، والثاني يصح لأنه زاده بالتعجيل خيرا.
Dan pendapat orang ketiga tidak sah, karena diyah dan jizyah diwajibkan oleh syariat, maka ditetapkan penangguhannya sesuai syariat. Sedangkan ini (yakni jual beli dengan penangguhan) wajib karena izin dari pemberi kuasa, maka ditetapkan menurut kebiasaan yang berlaku. Jika pemberi kuasa mengizinkannya untuk menjual secara bertangguh lalu ia menjual secara tunai, maka dilihat: jika ia menjual dengan harga yang lebih rendah dari harga jual secara bertangguh, maka tidak sah, karena izin untuk menjual secara bertangguh mengandung makna menjual dengan harga sebanding dengan transaksi bertangguh; maka jika ia menjual dengan harga di bawah itu, tidak sah.
Jika ia menjual tunai dengan harga yang sebanding dengan harga jual bertangguh, maka jika itu terjadi pada waktu yang tidak aman dari perampokan atau pencurian, maka tidak sah karena mengandung bahaya yang tidak diridhai oleh pemberi kuasa, maka tidak wajib. Namun jika dilakukan pada waktu yang aman, maka ada dua wajah: pertama, tidak sah karena bisa jadi pemberi kuasa memiliki tujuan agar harga tersimpan dalam tanggungan orang kaya, maka hal itu telah disia-siakan, sehingga tidak sah. Wajah kedua, sah karena ia menambahkan kebaikan berupa percepatan pembayaran.
وإن وكله أن يشتري عبدا بألف فاشتراه بألف مؤجل ففيه وجهان: أحدهما لا يصح الشراء للموكل لأنه قصد أن لا يكون عليه دين وأن لا يشتري إلا بما معه، والثاني أنه يصح لأنه حصل له العبد وزاده التأجيل خيرا.
Jika ia mewakilkannya untuk membeli seorang budak dengan seribu, lalu wakil membelinya dengan seribu yang ditangguhkan, maka ada dua wajah: pertama, tidak sah pembelian itu untuk pemberi kuasa karena maksudnya adalah agar tidak ada utang atasnya dan agar tidak membeli kecuali dengan harta yang ada padanya; dan yang kedua, sah karena ia memperoleh budak dan penangguhan itu memberi tambahan kebaikan baginya.
فصل: ولا يجوز للوكيل في البيع أن يشترط الخيار للمشتري ولا للوكيل في الشراء أن يشترط الخيار للبائع من غير إذن لأنه شرط لاحظ فيه للموكل فلا يجوز من غير إذن كالأجل، وهل يجوز أن يشترط لنفسه أو للموكل؟ فيه وجهان أحدهما لا يجوز لأن إطلاق البيع يقتضي البيع من غير شرط، والثاني يجوز لأنه احتاط للموكل بشرط الخيار.
PASAL: Tidak boleh bagi wakil dalam jual beli mensyaratkan khiyār bagi pembeli, dan tidak boleh bagi wakil dalam pembelian mensyaratkan khiyār bagi penjual tanpa izin, karena itu adalah syarat yang tidak mengandung maslahat bagi muwakkil, maka tidak boleh dilakukan tanpa izin sebagaimana syarat tempo (ajal). Lalu, apakah boleh ia mensyaratkan khiyār untuk dirinya sendiri atau untuk muwakkil? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh karena pelaksanaan jual beli secara mutlak mengharuskan tanpa syarat; dan kedua, boleh karena ia berhati-hati untuk kepentingan muwakkil dengan mensyaratkan khiyār.
فصل: ولا يجوز للوكيل في البيع أن يبيع بدون ثمن المثل بما لا يتغابن الناس به من غير إذن، ولا للوكيل في الشراء أن يشتري بأكثر من ثمن المثل بما لا يتغابن الناس به من غير إذن لأنه منهي عن الإضرار بالموكل مأمور بالنصح له، وفي النقصان عن ثمن المثل في البيع والزيادة علي ثمن المثل في الشراء ضرار وترك النصح، ولأن العرف في البيع ثمن المثل فحمل إطلاق الإذن عليه فإن حضر من يطلب الزيادة علي ثمن المثل لم يجز أن يبيع بثمن المثل لأنه مأمور بالنصح والنظر للموكل، ولا نصح ولا نظر للموكل في ترك الزيادة،
PASAL: Tidak boleh bagi wakil dalam jual beli untuk menjual di bawah harga pasar (tsaman al-mitsl) dengan harga yang tidak biasa ditoleransi oleh orang-orang, tanpa izin, dan tidak boleh pula bagi wakil dalam pembelian untuk membeli dengan harga di atas harga pasar dengan kadar yang tidak biasa ditoleransi oleh orang-orang, tanpa izin. Karena ia dilarang merugikan pemberi kuasa dan diperintahkan untuk menasihatinya. Padahal, menjual di bawah harga pasar atau membeli di atas harga pasar merupakan bentuk merugikan dan meninggalkan nasihat.
Juga karena kebiasaan dalam jual beli adalah dengan harga pasar, maka izin yang mutlak ditafsirkan kepada hal itu. Jika hadir seseorang yang bersedia membeli dengan harga lebih tinggi dari harga pasar, maka tidak boleh menjual dengan harga pasar, karena wakil diperintahkan untuk memberi nasihat dan memperhatikan kepentingan pemberi kuasa, sementara tidak ada nasihat dan perhatian dalam meninggalkan tambahan harga tersebut.
وإن باع بثمن المثل ثم حضر من يزيد في حال الخيار ففيه وجهان: أحدهما لا يلزمه فسخ البيع لأن المزايد قد لا يثبت علي الزيادة فلا يلزمه الفسخ بالشك، والثاني يلزمه الفسخ وهو الصحيح لأن حال الخيار كحال العقد. ولو حضر في حال العقد من يزيد وجب البيع منه فكذلك إذا حضر في حال الخيار، وقول القائل الأول إنه قد لا يثبت علي الزيادة فيكون الفسخ بالشك، وإن باع بنقصان يتغابن الناس بمثله بأن باع ما يساوي عشرة بتسعة صح البيع،
Jika ia menjual dengan harga pasar, kemudian datang orang yang menawarkan harga lebih tinggi saat masih dalam masa khiyār, maka ada dua wajah: pertama, tidak wajib baginya untuk membatalkan jual beli, karena orang yang menawar lebih tinggi itu bisa saja tidak menetapkan tambahan harga tersebut, maka tidak wajib membatalkan hanya karena keraguan; dan yang kedua, wajib baginya membatalkan, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena keadaan dalam masa khiyār itu seperti keadaan saat akad. Jika saat akad hadir orang yang menawar lebih tinggi, maka wajib menjual kepadanya; maka demikian pula jika hadir saat masa khiyār.
Adapun pendapat orang pertama yang mengatakan bahwa bisa jadi tidak tetap pada tambahan harga sehingga pembatalan berdasarkan dugaan—tidak dapat diterima. Dan jika ia menjual dengan kekurangan yang masih dalam batas toleransi orang-orang—seperti menjual sesuatu yang senilai sepuluh dengan sembilan—maka jual belinya sah.
وإن اشتري بزيادة يتغابن الناس بمثلها بأن ابتاع ما يساوي عشرة بأحد عشرة صح الشراء ولزم الموكل لأن ما يتغابن الناس بمثله يعد من المثل، ولأنه يمكن الإحتراز منه فعفي عنه، وإن اشتري بزيادة لا تتغابن الناس بمثلها بأن ابتاع مايساوي عشرة بإثني عشر فإن كان بعين مال الموكل بطل الشراء لأنه عقد على ماله عقدا لم يأذن فيه وإن كان في الذمة لزم الوكيل لأنه اشترى في الذمة بغير إذن فوقع الملك وإن باع بنقصان لا يتغابن الناس بمثله بأن باع مايساوي عشرة بثمانية لم يصح البيع لأنه بيع غير مأذون فيه فإن كان المبيع باقيا رد
Jika ia membeli dengan kelebihan yang masih dalam batas toleransi orang-orang—seperti membeli sesuatu yang senilai sepuluh dengan sebelas—maka pembeliannya sah dan mengikat pemberi kuasa, karena apa yang masih ditoleransi oleh orang-orang dianggap seperti harga pasar, dan karena hal itu masih memungkinkan untuk dihindari, maka dimaafkan.
Namun jika ia membeli dengan kelebihan yang tidak ditoleransi oleh orang-orang—seperti membeli sesuatu yang senilai sepuluh dengan dua belas—maka jika menggunakan harta milik pemberi kuasa secara langsung, maka pembelian batal, karena ia telah mengadakan akad atas harta pemberi kuasa tanpa izin. Dan jika dilakukan di dalam tanggungan (żimmah), maka pembelian mengikat kepada wakil, karena ia telah membeli dalam żimmah tanpa izin, maka kepemilikan terjadi atas tanggungannya.
Dan jika ia menjual dengan kekurangan yang tidak ditoleransi oleh orang-orang—seperti menjual sesuatu yang senilai sepuluh dengan delapan—maka jual belinya tidak sah karena itu adalah penjualan tanpa izin. Jika barang yang dijual masih ada, maka wajib dikembalikan.
وإن كان تالفا وجب ضمانه وللموكل أن يضمن الوكيل لأنه سلم مالم يكن له تسليمه وله أن يضمن المشتري لأنه ضمن قبض مالم يكن له قبضه فإن اختار تضمن المشتري ضمن جميع القيمة وهو عشرة لأنه ضمن المبيع بالقبض فضمنه بكمال البلد وإن اختار تضمين الوكيل ففيه ثلاثة أقوال: أحدها أنه يضمنه جميع القيمة لأنه لزمه رد المبيع فضمن جميع بدله والثاني يضمنه تسعة لأنه لو باعه بتسعة جاز فلا يضمن مازاد ويضمن المشتري تمام القيمة وهو درهم
Jika barang telah rusak, maka wajib menggantinya. Pemberi kuasa berhak menuntut ganti rugi kepada wakil karena ia telah menyerahkan sesuatu yang tidak berhak ia serahkan, dan ia juga berhak menuntut kepada pembeli karena pembeli telah menerima sesuatu yang tidak berhak ia terima. Jika ia memilih untuk menuntut ganti rugi kepada pembeli, maka pembeli wajib mengganti seluruh nilai barang, yaitu sepuluh, karena ia menjamin barang dengan penerimaan (qabḍ), maka ia wajib menanggung nilai penuh sesuai harga di negeri itu.
Dan jika ia memilih menuntut ganti rugi kepada wakil, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, wakil wajib mengganti seluruh nilai karena ia wajib mengembalikan barang, maka ia wajib menanggung seluruh penggantinya.
Kedua, wakil hanya wajib mengganti sembilan, karena kalau ia menjualnya seharga sembilan itu boleh, maka ia tidak wajib menanggung kelebihan dari itu. Dan pembeli wajib mengganti sisanya, yaitu satu dirham.
والثالث يضمنه درهما لأنه لم يفرط إلا بدرهم فلا يضمن غيره ويضمن المشتري تمام القيمة وهو تسعة ومايضمنه الوكيل يرجع به على المشتري ومايضمنه المشتري لا يرجع به على الوكيل لأن المبيع تلف في يده فاستقر الضمان عليه وإن قدر الثمن فقال بع بألف درهم لم يجر أن يبيع بدونها لأن الأذن في الألف ليس بإذن فيما دونها وإن باع بألفين نظرت فإن كان قد عين من يبيع منه لم يجز لأنه قصد تمليكه بألف فلا يجوز أن يفوت عليه غرضه وإن لم يعين من يبيع منه جاز لأن الإذن في الألف إذن فيما زاد من جهة العرف لأن من رضي بألف رضي بألفين.
Pendapat yang ketiga: wakil hanya menanggung satu dirham, karena ia tidak lalai kecuali dalam satu dirham, maka ia tidak wajib menanggung selainnya. Dan pembeli menanggung sisanya, yaitu sembilan. Apa yang ditanggung oleh wakil, maka ia boleh menuntut kembali dari pembeli. Namun apa yang ditanggung oleh pembeli, maka ia tidak dapat menuntut kembali dari wakil, karena barang telah rusak di tangannya, maka tanggung jawab tetap padanya.
Jika pemberi kuasa menentukan harga, misalnya ia berkata: “juallah dengan seribu dirham,” maka tidak boleh menjual di bawah harga tersebut, karena izin dalam seribu bukanlah izin untuk harga yang kurang darinya. Namun jika wakil menjual dengan dua ribu, maka dilihat: jika pemberi kuasa telah menentukan kepada siapa barang itu dijual, maka tidak boleh karena maksud pemberi kuasa adalah agar orang tersebut memiliki barang dengan harga seribu, maka tidak boleh disia-siakan tujuannya.
Namun jika ia tidak menentukan kepada siapa barang dijual, maka diperbolehkan, karena izin dalam seribu mencakup juga harga yang lebih tinggi menurut kebiasaan, sebab orang yang rela menjual dengan seribu, maka tentu rela pula dengan dua ribu.
وإن قال بع بألف ولاتبع بما زاد لم يجز أن يبيع بما زاد لأنه صرح بالنهي فدل على غرض قصده فلم يجز مخالفته وإن قال بع بألف فباع بألف وثوب ففيه وجهان: أحدهما أنه يصح لأنه حصل له الألف وزيادة فصار كما لو باع بألفي درهم والثاني أنه لا يصح لأن الدراهم والثوب تتقسط على السلعة فيكون ما يقابل الثوب من السلعة مبيعا بالثوب وذلك خلاف ما يقتضيه الإذن فإن الإذن يقتضي البيع بالنقد فعلى هذا هل يبطل العقد في الدراهم؟ فيه قولان بناء على تفريق الصفقة وإن وكله في بيع عبد بألف فباع نصفه بألف جاز
Dan jika ia berkata: “Juallah dengan seribu dan jangan engkau jual dengan lebih dari itu,” maka tidak boleh menjual dengan lebih dari itu karena ia telah secara tegas melarangnya, maka hal itu menunjukkan adanya maksud tertentu, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Dan jika ia berkata: “Juallah dengan seribu,” lalu ia menjual dengan seribu dan sehelai kain, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, jual beli itu sah karena ia telah mendapatkan seribu dan tambahan, sehingga seperti halnya menjual dengan dua ribu dirham; dan kedua, tidak sah karena dirham dan kain terbagi atas barang, maka bagian dari barang yang sepadan dengan kain dianggap dijual dengan kain, dan itu menyelisihi makna izin, karena izin mengharuskan jual beli dengan uang tunai. Berdasarkan pendapat kedua ini, apakah akad untuk dirham menjadi batal? Dalam hal ini terdapat dua pendapat berdasarkan perbedaan akad dalam satu transaksi (tafriq aṣ-ṣafqah). Dan jika ia mewakilkannya untuk menjual seorang budak dengan seribu lalu ia menjual separuhnya dengan seribu, maka hal itu boleh.
لأنه مأذون له فيه من جهة العرف لأن من يرضى ببيع العبد بألف يرضى ببيع نصفه بالألف فإن باع نصفه بما دون الألف لم يصح لأنه ربما لم يمكنه بيع الباقي بتمام الألف وإن وكله ببيع ثلاثة أعبد بألف فباع عبدا بدون الألف لم يصح لأنه قد لا يشتري الباقي بما بقي من الألف وإن باع أحد الثلاثة بألف جاز لأن من رضي ببيع ثلاثة بألف رضي ببيع أحدهم بألف وهل له أن يبيع الآخرين؟ فيه وجهان: أحدهما لا يملك لأنه قد حصل المقصود وهو الألف
Karena ia diberi izin dari sisi ‘urf, sebab siapa yang rela menjual seorang budak dengan seribu, maka ia rela pula menjual separuhnya dengan seribu. Jika ia menjual separuhnya dengan kurang dari seribu, maka tidak sah, karena mungkin ia tidak bisa menjual sisanya dengan sisa dari seribu itu. Dan jika ia mewakilkannya untuk menjual tiga orang budak dengan seribu, lalu ia menjual satu budak dengan kurang dari seribu, maka tidak sah, karena bisa jadi tidak akan ada yang membeli sisanya dengan sisa dari seribu tersebut. Tetapi jika ia menjual salah satu dari tiga budak dengan seribu, maka hal itu boleh, karena siapa yang rela menjual tiga orang dengan seribu, maka ia rela pula menjual salah satunya dengan seribu. Apakah ia boleh menjual dua budak yang tersisa? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh, karena tujuan yaitu seribu telah tercapai.
والثاني أنه يجوز أذن له في بيع الجميع فلا يسقط الأمر ببيع واحد منهم كما لو لم يقدر الثمن وإن وكله في شراء عبد بعينه بمائة رضي أن يشتريه بخمسين وإن قال اشتر بمائة ولا تشتر بخمسين جاز أن يشتري بمائة لأنه مأذون فيه ولا يشتري بخمسين لأنه منهي عنه ويجوز أن يشتري بما بين الخمسين والمائة لأنه لما أذن في الشراء بالمائة دل علي أنه رضي بالشراء بما دونها ثم خرج الخمسون بالنهي وبقي فيما زاد على مادل عليه المأمور به وهل يجوز أن يشتري بأقل من الخمسين فيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه لما نص على المائة دل على ما دونها أولى إلا فيما أخرجه النهي
Dan pendapat kedua: boleh, karena ia telah memberinya izin untuk menjual semuanya, maka perintah tidak gugur hanya karena telah menjual salah satunya, sebagaimana jika ia tidak menentukan harga.
Dan jika ia mewakilkannya untuk membeli seorang budak tertentu dengan seratus, maka ia rela jika membelinya dengan lima puluh. Namun jika ia berkata: “Belilah dengan seratus dan jangan beli dengan lima puluh,” maka boleh membelinya dengan seratus karena itu adalah yang diizinkan, dan tidak boleh membelinya dengan lima puluh karena dilarang. Dan boleh membelinya dengan harga antara lima puluh dan seratus, karena ketika ia mengizinkan membeli dengan seratus, itu menunjukkan ia rela membeli dengan harga di bawahnya, lalu lima puluh dikecualikan karena adanya larangan, dan sisanya tetap mengikuti makna dari perintah.
Apakah boleh membeli dengan kurang dari lima puluh? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, boleh, karena ketika ia menyebut seratus, maka hal itu menunjukkan bahwa yang di bawahnya lebih boleh lagi, kecuali yang dikecualikan oleh larangan.
والثاني لا يجوز لانه لما نهى عن الخمسين دل على أن ما دونها أولى بالمنع. وإن قال اشتر هذا العبد بمائة فاشتراه بمائة وعشرة لم يلزم الموكل وقال أبو العباس يلزمه الموكل بنائه ويضمن الوكيل ما زاد على المائة لأنه تبرع بالترام الزيادة والمذهب الأول لأنه زاد على الثمن المأذون فلم يلزم الموكل كما لو قال اشتر لي عبدا فاشتراه بأكثر من ثمن المثل ولأنه لو قال بع هذا العبد بمائة فباعه بمائة إلا عشرة لم يصح ثم يضمن الوكيل ما نقص من المائة فكذلك إذا قال اشتر هذا العبد بمائة فاشتراه بمائة وعشرة لم يلزم الموكل ثم يضمن الوكيل ما زاد على المائة.
Dan pendapat kedua: tidak boleh, karena ketika ia melarang harga lima puluh, maka hal itu menunjukkan bahwa yang di bawahnya lebih utama untuk dilarang.
Jika ia berkata: “Belilah budak ini dengan seratus,” lalu ia membelinya dengan seratus sepuluh, maka tidak wajib atas muwakkil. Dan Abu al-‘Abbās berpendapat bahwa hal itu tetap wajib atas muwakkil sebatas seratus, dan sisanya ditanggung oleh wakil, karena wakil telah menyanggupi kelebihan tersebut secara sukarela. Namun, madzhab yang pertama lebih kuat, karena ia melebihi harga yang diizinkan, maka tidak wajib atas muwakkil, sebagaimana jika ia berkata: “Belikan aku seorang budak,” lalu wakil membelinya dengan harga lebih mahal dari harga pasar (tsaman al-mitsl).
Dan karena jika ia berkata: “Juallah budak ini dengan seratus,” lalu wakil menjualnya dengan seratus dikurangi sepuluh, maka tidak sah; lalu wakil wajib menanggung kekurangannya dari seratus. Maka demikian pula jika ia berkata: “Belilah budak ini dengan seratus,” lalu wakil membelinya dengan seratus sepuluh, maka tidak wajib atas muwakkil, dan wakil wajib menanggung kelebihan dari seratus.
وإن وكله في شراء عبد بنائة فاشترى عبدا بمائتين وهو يساوي المائتين لم يلزم الموكل لأنه غير مأذون فيه من جهة النطق ولا من جهة العرف لأنه رضاه بعبد بمائة لا يدل على الرضا بعبد بمائتين وإن جفع له دينارا لم يلزم الموكل لأنه لا يطلب بدينار ما لا يساوي دينارا وإن كل واحدة منهما تساوي دينارا فإن اشترى في الذمة ففيه قولان: أحدهما أن الجميع للموكل لأن النبي صلى الله عليه وسلم دفع إلى عروة البارقي دينارا ليشتري له شاة فاشترى شاتين فباع إحداهما بدينار وأتى النبي صلى الله عليه وسلم بشاة ودينار فدعا له بالبركة ولأن الإذن في شاة بدينار إذن في شاتين بدينار لأن من رضي شاة بدينار رضي شاتين بدينار،
Dan jika ia mewakilkannya untuk membeli seorang budak dengan seratus, lalu ia membeli budak dengan dua ratus dan memang budak itu sepadan dengan harga dua ratus, maka tidak wajib atas muwakkil, karena tidak ada izin baik dari sisi lafaẓ maupun dari sisi ‘urf, sebab kerelaannya atas budak seharga seratus tidak menunjukkan kerelaannya atas budak seharga dua ratus.
Dan jika ia memberikan satu dinar kepadanya, maka tidak wajib atas muwakkil, karena tidak mungkin seseorang akan menuntut dengan satu dinar untuk sesuatu yang tidak sebanding dengan satu dinar, meskipun masing-masing dari barang itu seharga satu dinar.
Jika ia membeli secara fi al-dzimmah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: semuanya milik muwakkil, karena Nabi SAW pernah memberikan kepada ‘Urwah al-Bāriqī satu dinar untuk membelikan beliau seekor kambing, lalu ia membeli dua ekor kambing dan menjual salah satunya seharga satu dinar, kemudian ia datang kepada Nabi SAW dengan membawa seekor kambing dan satu dinar, maka Nabi SAW mendoakannya keberkahan. Karena izin untuk membeli seekor kambing dengan satu dinar berarti juga izin untuk dua ekor kambing dengan satu dinar, sebab siapa yang rela satu kambing dengan satu dinar, maka ia rela dua kambing dengan satu dinar.
والثاني أن للموكل شاة لأنه فيه والأخري للوكيل لأنه لم يأذن فيه الموكل فوقع الشراء للوكيل. فإن قلنا إن الجميع للموكل فباع إحداهما فقد خرج أبو العباس فيه وجهين: أحدهما أنه لا يصح لأنه باع مال الموكل بغير إذنه فلم يصح، والثاني أنه يصح لحديث عروة البارقي والمذهب الأول والحديث يتأول، فإن قلنا إن للوكيل شاة استرجع الموكل منه نصف دينار، وغن اشتري الشاتين بعين الدينار فإن قلنا فيما اشتري في الذمة إن الجميع للموكل كان الجميع ههنا للموكل، وإن قلنا عن أحداهما للوكيل والأخري للموكل صح الابتياع للموكل في إحداهما ويبطل في الأخري، لأنه لا يجوز أن يصح الابتياع له بمال الموكل فبطل.
Dan pendapat kedua: bahwa hanya satu ekor kambing milik muwakkil, karena ia termasuk dalam perintah, dan yang satu lagi milik wakil karena muwakkil tidak mengizinkannya, maka pembelian atas kambing kedua itu dianggap milik wakil.
Jika kita mengatakan bahwa semuanya milik muwakkil, lalu wakil menjual salah satunya, maka Abu al-‘Abbās mengeluarkan dua pendapat: pertama, tidak sah, karena ia menjual milik muwakkil tanpa izinnya, maka tidak sah; dan kedua, sah, berdasarkan hadits ‘Urwah al-Bāriqī. Namun pendapat yang pertama adalah madzhab, dan hadits tersebut bisa ditakwilkan.
Jika kita mengatakan bahwa salah satu kambing adalah milik wakil, maka muwakkil berhak mengambil kembali setengah dinar dari wakil.
Dan jika dua kambing itu dibeli dengan mata uang satu dinar (bukan secara fi al-dzimmah), maka jika kita katakan bahwa dalam kasus pembelian fi al-dzimmah seluruhnya milik muwakkil, maka dalam hal ini juga seluruhnya milik muwakkil. Dan jika kita mengatakan bahwa salah satunya milik wakil dan yang lainnya milik muwakkil, maka sah pembelian untuk muwakkil atas salah satunya dan batal pada yang lainnya, karena tidak sah pembelian untuk muwakkil dengan menggunakan harta muwakkil pada sesuatu yang tidak diizinkan, maka batal.
فصل: إذا اشتري الوكيل ما أذن فيه الموكل إنتقل الملك إلي الموكل لأن العقد له فوقع الملك له كما لو عقده بنفسه، وإن اشتري مالم يأذن فيه، فإن كان قد اشتراه بعين مال الموكل فالعقد باطل لأنه عقد علي مال لم يؤذن في العقد عليه فبطل كما لو باع مال غيره بغير إذنه، وإن اشتراه بثمن في الذمة نظرت، فإن لم يذكر الموكل في العقد لزمه ما اشتري لأنه اشتري لغيره في الذمة ما لم يأذن فيه فانعقد الشراء له كما لو اشتراه من غير وكالة، وغن ذكر الموكل في العقد ففيه وجهان: أحدهما أن العقد باطل لأنه عقد علي أنه للموكل والموكل لم يأذن فيه فبطل، والثاني أنه يصح العقد ويلزم الوكيل ما اشتراه وهو قول أبي إسحاق وهو الصحيح لأنه اشتري في الذمة ولم يصح في حق الموكل فانعقد في حقه كما لو لم يذكر الموكل.
PASAL: Jika seorang wakil membeli sesuatu yang telah diizinkan oleh muwakkil, maka kepemilikan berpindah kepada muwakkil karena akad itu untuknya, sehingga kepemilikan jatuh padanya sebagaimana jika ia sendiri yang mengakadkannya. Namun jika wakil membeli sesuatu yang tidak diizinkan, maka jika ia membelinya dengan menggunakan harta muwakkil secara langsung, akadnya batal karena merupakan akad atas harta yang tidak diizinkan untuk diakadkan, maka batal sebagaimana seseorang menjual harta milik orang lain tanpa izinnya. Dan jika ia membelinya dengan harga di dalam dzimmah, maka dilihat: jika tidak disebutkan nama muwakkil dalam akad, maka yang dibeli menjadi tanggungannya karena ia membeli atas nama orang lain di dalam dzimmah tanpa izin, maka akad itu berlaku atas dirinya sebagaimana jika ia membeli tanpa perwakilan. Namun jika ia menyebutkan nama muwakkil dalam akad, maka ada dua pendapat: pertama, akadnya batal karena diakadkan atas nama muwakkil padahal muwakkil tidak mengizinkannya, maka batal; dan kedua, bahwa akadnya sah dan yang membeli bertanggung jawab atas barang yang dibeli, ini adalah pendapat Abū Isḥāq dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ia membeli di dalam dzimmah dan tidak sah atas muwakkil, maka berlaku atas dirinya sebagaimana jika ia tidak menyebutkan nama muwakkil.
فصل: وإن وكله فلي قضاء دين لزمه أن يشهد علي القضاء لأنه مأمور بالنظر والاحتياط للموكل، ومن النظر أن يشهد عليه لئلا يرجع عليه فإن ادعي الوكيل أنه قضاه وأنكر الغريم لم يقبل قول الكيل علي الغريم، لأن الغريم لم يأتمنه علي المال فلا يقبل قوله عليه في الدفع كالوصي وإذا ادعي دفع المال إلي الصبي. وهل يضمن المال للموكل ينظر فيه، فإن كان فيه غيبة الموكل وأشهد شاهدين ثم مات الشهود أو فسقوا لم يضمن لأنه لم يفرط، وإن لم يشهد ضمن لأنه فرط، وإن أشهد شاهدا واحدا ففيه وجهان: أحدهما لا يضمن لأن الشاهد مع اليمين بينه،
PASAL: Jika seseorang mewakilkan untuk melunasi utang, maka wajib baginya untuk menghadirkan saksi atas pelunasan tersebut, karena ia diperintahkan untuk memperhatikan dan menjaga kepentingan muwakkil. Termasuk bentuk kehati-hatian adalah menghadirkan saksi agar tidak dituntut kembali. Jika wakil mengaku telah melunasi dan pihak yang berutang mengingkarinya, maka tidak diterima ucapan wakil terhadap pihak berutang, karena pihak berutang tidak memberi amanah kepadanya atas harta tersebut, maka tidak diterima ucapannya dalam penyerahan itu sebagaimana halnya waṣī apabila mengaku telah menyerahkan harta kepada seorang anak kecil. Apakah wakil bertanggung jawab atas harta kepada muwakkil? Maka hal ini ditinjau: jika wakil melakukannya saat muwakkil tidak hadir dan ia menghadirkan dua orang saksi, lalu kedua saksi tersebut wafat atau menjadi fasik, maka wakil tidak menanggung karena tidak ada kelalaian darinya. Namun jika ia tidak menghadirkan saksi, maka ia menanggung karena telah lalai. Jika ia hanya menghadirkan satu orang saksi, maka terdapat dua pendapat: salah satunya, ia tidak menanggung karena satu saksi ditambah sumpah merupakan alat bukti.
والثاني يضمن لأنه فرط حيث أنه اقتصر علي بينه مختلف فيها وإن كان بمحضر الموكل وأشهد لم يضمن، وإن لم يشهد ففيه وجهان: أحدهما لا يضمن لأن المفرط هو الموكل فإنه حضر وترك الإشهاد، والثاني انه يضمن لأنه ترك الإشهاد يثبت الضمان فلا يسقط حكمه بحضور الموكل كما لو أتلف مله وهو حاضر. وإن وكله في إيداع ماله عند رجل فهل يلزمه الإشهاد فيه وجهان: أحدهما يلزمه لأنه لا يأمن أن يجحد فيشهد عليه الشهود،
dan pendapat kedua menyatakan bahwa wakil menanggung karena ia telah lalai dengan mencukupkan diri pada alat bukti yang diperselisihkan keabsahannya. Jika pelunasan dilakukan di hadapan muwakkil dan wakil menghadirkan saksi, maka ia tidak menanggung. Namun jika ia tidak menghadirkan saksi, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia tidak menanggung karena yang lalai adalah muwakkil itu sendiri sebab ia hadir namun tidak menghadirkan saksi. Kedua, ia tetap menanggung karena meninggalkan penyaksian menetapkan tanggungan, dan hukum ini tidak gugur hanya karena kehadiran muwakkil, sebagaimana jika ia merusak hartanya di hadapan muwakkil.
Jika ia mewakilkannya untuk menitipkan harta kepada seseorang, maka apakah wajib menghadirkan saksi? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, wajib, karena ia tidak aman dari kemungkinan pengingkaran, maka dibutuhkan saksi untuk memberikan kesaksian terhadap penitipan tersebut.
والثاني لا يلزمه لأن القول قول المودع في الرد والهلاك فلا فائدة في الإشهاد، وإن وكله في الإيداع فادعي أنه أودع وأنكر المودع لم يقبل قول الوكيل عليه، لأنه لم يأتمنه المودع فلا يقبل قوله عليه كالوصي إذا ادعي دفع المال إلي اليتيم، وهل يضمن الوكيل؟ ينظر فيه، فإن أشهد ثم مات الشهود أو فسقوا لم يضمن لأنه لم يفرط، وإن لم يشهد، فإن قلنا إنه يجب الإشهاد ضمن لأنه فرط، وإن قلنا لا يجب لم يضمن لأنه لم يفرط.
dan pendapat kedua menyatakan bahwa tidak wajib menghadirkan saksi, karena ucapan pihak yang dititipi (muwdā‘) diterima dalam hal pengembalian dan kerusakan, maka tidak ada faidah dari penyaksian.
Jika seseorang mewakilkannya untuk melakukan penitipan (iḍā‘ah), lalu wakil mengaku telah menitipkan dan pihak yang dititipi mengingkarinya, maka tidak diterima ucapan wakil terhadapnya, karena pihak yang dititipi tidak memberikan amanah kepadanya, maka tidak diterima ucapannya terhadapnya, sebagaimana waṣī yang mengaku telah menyerahkan harta kepada anak yatim.
Apakah wakil menanggung? Maka hal itu ditinjau: jika ia menghadirkan saksi lalu para saksi itu wafat atau menjadi fasik, maka ia tidak menanggung karena tidak ada kelalaian. Namun jika ia tidak menghadirkan saksi, maka jika dikatakan bahwa wajib menghadirkan saksi, ia menanggung karena telah lalai. Namun jika dikatakan tidak wajib, maka ia tidak menanggung karena tidak ada kelalaian darinya.
فصل: وإن كان عليه حق لرجل ادعي أنه وكيل صاحب الحق في قبضه وصدقه جاز أن يدفع إليه ولا يجب الدفع إليه، وقال المزني يجب الدفع إليه لأنه أقر له بحق القبض، وهذا لا يصح لأنه دفع غير مبريء فلم يجبر عليه كما لو كان عليه دين بشهادة فطولب به من غير إشهاد، فإن دفع إليه ثم حضر الموكل وأنكر التوكيل فالقول قوله مع يمينه أنه ما وكل لأن الأصل عد التوكيل، فإذا حلف نظرت؛
PASAL: Jika seseorang mempunyai kewajiban kepada orang lain, lalu datang seseorang yang mengaku sebagai wakil pemilik hak untuk menerima pembayaran, dan dia dibenarkan oleh orang yang berkewajiban, maka boleh baginya untuk memberikan pembayaran kepadanya, namun tidak wajib memberikannya. Al-Muzanī berkata: wajib memberikannya, karena ia telah mengakui bahwa orang tersebut memiliki hak untuk menerima pembayaran. Namun pendapat ini tidak sah, karena pemberian itu tidak membebaskan (dari tanggungan), maka tidak dipaksakan sebagaimana seseorang yang ditagih atas utang yang disaksikan dengan kesaksian, lalu ditagih oleh orang lain tanpa bukti kesaksian. Jika ia memberikan pembayaran kepada orang itu, lalu datang muwakkil dan mengingkari adanya perwakilan, maka perkataannya yang diterima dengan sumpahnya bahwa ia tidak mewakilkan, karena asalnya adalah tidak adanya perwakilan. Jika ia telah bersumpah, maka dilihat:
فإن كان الحق عينا أخذها إن كانت باقية ورجع ببدلها إن كانت تالفة، وله أن يطالب الدافع والقابض لأن الدافع سلم إلي من لم يأذن له الموكل والقابض أخذ مالم يكن له أخذه فإن ضمن الدافع لم يرجع علي القابض وإن ضمن القابض لم يرجع إلي الدافع لأن كل واحد منهما يقول إن ما يأخذه المالك ظلم فلا يرجع به علي غير، وإن كان الحق دينا أن يطالب به الدافع لأن حقه في ذمته لم ينتقل. وهل له أن يطالب القابض؟ فيه وجهان: أحدهما له أن يطالب وهو قول أبي إسحاق لأنه يقر بأنه قبض حقه فرجع عليه كما لو كان الحق عينا،
maka jika hak itu berupa barang (‘ain), maka muwakkil berhak mengambilnya jika masih ada, dan menuntut gantinya jika telah rusak. Ia (muwakkil) berhak menuntut kepada orang yang menyerahkan (dāfi‘) maupun yang menerima (qābiḍ), karena pihak yang menyerahkan telah menyerahkan kepada orang yang tidak diberi izin oleh muwakkil, dan pihak yang menerima telah mengambil sesuatu yang tidak berhak ia ambil. Jika yang dimintai ganti rugi adalah pihak yang menyerahkan, maka ia tidak boleh menuntut kepada pihak yang menerima; dan jika yang dimintai ganti rugi adalah pihak yang menerima, maka ia tidak boleh menuntut kepada pihak yang menyerahkan, karena masing-masing dari keduanya dianggap mengambil harta pemilik secara zhalim, maka tidak boleh menuntut kepada pihak lain.
Jika hak tersebut berupa utang (dayn), maka muwakkil hanya berhak menuntut kepada pihak yang menyerahkan, karena haknya masih tetap dalam tanggungannya dan belum berpindah. Apakah ia boleh menuntut kepada pihak yang menerima? Dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, ia berhak menuntut, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena pihak yang menerima mengakui bahwa ia telah menerima hak tersebut, maka muwakkil berhak menuntutnya sebagaimana jika hak itu berupa barang.
والثاني ليس له وهو قول أكثر أصحابنا لأن دينه في ذمة الدافع لم يتعين فيما صار في يد القابض فلم يجز أن يطالب به، وإن جاء رجل إلي من عليه الحق وادعي أنه وارث صاحب الحق فصدقه وجب الدفع إليه لأنه اعترف بأنه لا مالك له غيره، وإن دفعه إليه دفع مبرئ فلزمه. وإن جاء رجل فقال: أحالني عليك صاحب الحق فصدقه ففيه وجهان: أحدهما يلزمه الدفع إليه لأنه أقر أنه انتقل الحق إليه فصار كالوارث،
dan pendapat kedua: tidak berhak menuntut, dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat-sahabat kami, karena utangnya berada dalam dzimmah pihak yang menyerahkan dan belum ditentukan untuk apa yang berada di tangan penerima, maka tidak boleh dituntut darinya.
Jika datang seseorang kepada orang yang memiliki kewajiban, lalu mengaku bahwa ia adalah ahli waris pemilik hak, kemudian orang yang berkewajiban membenarkannya, maka wajib memberikan hak itu kepadanya karena ia telah mengakui bahwa tidak ada pemilik lain selain dia. Jika ia memberikannya, maka pemberian itu membebaskan dari tanggungan, sehingga ia wajib (memberikan).
Jika datang seseorang dan berkata: “Pemilik hak telah mengalihkan tagihan (mengḥiwālī-kan) kepadaku,” lalu ia membenarkannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, wajib memberikannya, karena ia telah mengakui bahwa hak itu telah berpindah kepadanya, maka ia seperti ahli waris.
والثاني أنه لا يلزمه لأن الدفع غير مبرئ لأنه ربما يجئ صاحب الحق فلينكر الحوالة فيضمنه، وإن كذبه لم يلزمه الدفع إليه في المسائل كلها، وهل يحلف إن قلنا إنه إن صدقه لزمه الدفع إليه حلف لأنه قد يخاف اليمين فيصدقه فيلزمه الدفع إليه، وإن قلنا لا يلزمه الدفع إليه إذا صدقه لم يحلف لأن اليمين يعرض ليخاف فيصدق ولو صدق لم يلزمه الدفع فلا معني لعرض اليمين.
dan pendapat kedua: tidak wajib memberikannya karena pemberian tersebut tidak membebaskan dari tanggungan, sebab bisa jadi pemilik hak datang lalu mengingkari ḥiwālah-nya, sehingga orang itu harus menanggung kembali. Jika ia mendustakannya, maka tidak wajib memberikannya dalam seluruh permasalahan ini.
Apakah ia perlu disuruh bersumpah? Jika kita mengatakan bahwa apabila ia membenarkannya maka ia wajib memberikannya, maka ia disuruh bersumpah, karena bisa jadi ia takut pada sumpah lalu membenarkan, maka wajib memberikannya. Namun jika kita mengatakan bahwa ia tidak wajib memberikan meskipun ia membenarkannya, maka ia tidak disuruh bersumpah, karena sumpah itu ditawarkan agar ia takut lalu membenarkan, padahal seandainya ia membenarkan pun ia tidak wajib memberikan, maka tidak ada faedah menawarkan sumpah.
فصل: ويجوز للموكل أن يعزل الوكيل إذا شاء ويجوز للوكيل أن يعزل نفسه متي شاء، لأنه أذن في التصرف في ماله فجاز لكل واحد منهما إبطاله كالإذن في أكل طعامه، وإن رهن عند رجل شيئا وجعلاه علي يد عدل واتفقا علي أنه يبيعه إذا حل الدين ثم عزله الراهن عن البيع انعزل لأنه وكيله في البيع فأنعزل بعزله كالوكيل في بيع غير الرهن وإن عزله المرتهن ففيه وجهان: أحدهما أنه ينعزل وهو ظاهر النص لأنه يبيع الرهن لحقه فانعزل بعزله كالراهن،
PASAL: Dan boleh bagi al-muwakkil untuk memberhentikan al-wakīl kapan saja ia kehendaki, dan boleh bagi al-wakīl untuk memberhentikan dirinya kapan saja ia kehendaki, karena ia diberi izin untuk bertindak dalam hartanya, maka boleh bagi masing-masing dari keduanya membatalkannya seperti izin makan makanannya. Dan jika seseorang menjadikan sesuatu sebagai barang gadai di sisi seseorang, lalu keduanya menjadikannya berada di tangan seorang ‘adl dan mereka sepakat bahwa ia akan menjualnya ketika utang telah jatuh tempo, kemudian pihak yang menggadaikan (al-rāhin) memberhentikannya dari penjualan, maka ia pun dianggap telah diberhentikan karena ia adalah wakil dalam penjualan, maka ia diberhentikan dengan pemberhentian darinya sebagaimana wakil dalam penjualan selain barang gadai. Dan jika yang memberhentikannya adalah pihak penerima gadai (al-murtahin), maka ada dua pendapat: pertama, bahwa ia diberhentikan dan ini adalah pendapat yang zhāhir dari al-nash, karena ia menjual barang gadai demi haknya, maka ia diberhentikan dengan pemberhentian darinya sebagaimana al-rāhin.
والثاني لا ينعزل وهو قول أبي إسحاق لأنه ليس بوكيل له في البيع فلم ينعزل بعزله، وإن وكل رجلا في تصرف وأذن له في توكيل غيره نظرت، فإن أذن له في التوكيل عن الموكل فهما وكيلان للموكل، فإن بطلت وكالة أحدهما لم تبطل وكالة الآخر، وإن أذن له في توكيله عن نفسه فإن الثاني وكيل الوكيل فإن عزله الموكل انعزل لأنه يتصرف فملك عزله كالوكيل وإن عزله الوكيل انعزل لأنه وكيله فانعزل بعزله وإن بطلت وكالة الوكيل بطلت وكالته،
dan yang kedua: tidak dianggap diberhentikan, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena ia bukan wakil dari al-murtahin dalam penjualan, maka tidak diberhentikan dengan pemberhentiannya.
Dan jika seseorang mewakilkan seseorang dalam suatu tindakan, dan mengizinkannya untuk mewakilkan orang lain, maka perlu ditinjau: jika ia mengizinkannya untuk mewakilkan atas nama al-muwakkil, maka keduanya adalah wakil dari al-muwakkil, maka jika salah satu dari keduanya batal wakalahnya, wakalah yang lain tidak batal. Namun jika ia mengizinkannya untuk mewakilkan atas nama dirinya, maka orang kedua adalah wakil dari wakil. Maka jika al-muwakkil memberhentikannya, ia pun diberhentikan, karena ia bertindak (atas nama al-muwakkil), maka al-muwakkil berhak memberhentikannya sebagaimana wakil. Dan jika yang memberhentikan adalah wakil, maka ia pun diberhentikan, karena ia adalah wakilnya, maka ia diberhentikan dengan pemberhentian darinya. Dan jika wakalah wakil batal, maka batal pula wakalahnya.
لأنه فرع له فإذا بطلت وكالة الأصل بطلت وكالة الفرع وإن وكل رجلا في أمر ثم خرج عن أن يكون من أهل التصرف في ذالك الأمر بالموت أو الجنون أو الإغماء أو الحجر أو الفسق بطلت الوكالة، لأنه لا يملك التصرف فلا يملك غيره من جهته. وإن أمر عبده بعقد ثم عتقه أو باعه ففيه وجهان: أحدهما لا ينعزل كما لو أمر زوجته بعقد ثم طلقها،
karena ia adalah cabang darinya, maka apabila wakalah asal batal, maka batal pula wakalah cabangnya. Dan apabila seseorang mewakilkan seseorang dalam suatu urusan, lalu ia keluar dari status sebagai orang yang berwenang dalam urusan tersebut karena meninggal, gila, pingsan, terkena ḥajr, atau karena kefasikan, maka batallah wakalah tersebut, karena ia tidak memiliki kewenangan bertindak, maka ia pun tidak berhak memberi kewenangan kepada orang lain dari pihaknya.
Dan apabila ia memerintahkan budaknya untuk melakukan suatu akad, kemudian ia memerdekakannya atau menjualnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak batal, sebagaimana jika seseorang memerintahkan istrinya untuk melakukan suatu akad, lalu ia menceraikannya.
والثاني أنه ينعزل لأن ذالك ليس بتوكيل في الحقيقة، وإنما هو أمر ولهذا يلزم إمتثاله وبالعتق والبيع سقط أمره عنه وإن وكل في بيع عين فتعدي فيها بأن كان ثوبا فلبسه أو دابة فركبها فهل تبطل الوكالة أم لا؟ في وجهان: أحدهما تبطل فلا يجوز له البيع لأنه عقد أمانه فتبطل بالخيانه كالوديعة، والثاني أنها لا تبطل لأن العقد يتضمن أمانة وتصرفا، فإذا تعدي فيه بطلت الأمانة وبقي التصرف كالرهن يتضمن أمانة ووثيقة فإذا تعدي فيه بطلت الأمانة وبقيت الوثيقة.
dan yang kedua: bahwa ia batal, karena itu pada hakikatnya bukanlah wakalah, melainkan perintah, oleh karena itu wajib ditaati, dan dengan dimerdekakan atau dijualnya budak, gugurlah perintah tersebut darinya.
Dan apabila seseorang mewakilkan untuk menjual suatu barang tertentu, lalu ia melampaui batas terhadapnya—seperti jika berupa pakaian lalu ia memakainya, atau berupa hewan tunggangan lalu ia menungganginya—maka apakah wakalahnya batal atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, batal, sehingga tidak boleh baginya melakukan penjualan, karena akad ini bersifat amanah, maka batal dengan adanya khianat, seperti halnya wadī‘ah.
Kedua, tidak batal, karena akad tersebut mencakup unsur amanah dan juga unsur tindakan (taṣarruf), maka apabila ia melampaui batas di dalamnya, batal sisi amanahnya dan tetap sisi tindakannya, sebagaimana rahn mencakup amanah dan jaminan (wathīqah), maka ketika terjadi pelanggaran dalam rahn, batal sisi amanahnya dan tetap sisi jaminannya.
وإن وكل رجلا في تصرف ثم عزله ولم يعلم الوكيل بالعزل ففيه قولان: أحدهما لا ينعزل فإن تصرف صح تصرفه لأنه أمر فلا يسقط حكمه قبل العلم بالنهي كأمر صاحب الشرع، والثاني أنه ينعزل فإن تصرف لم ينفذ تصرفه لأنه قطع عقد لا يفتقر إلي رضاه فلم يفتقر إلي علمه كالطلاق.
Dan apabila seseorang mewakilkan seseorang dalam suatu tindakan, lalu ia memberhentikannya namun si wakil belum mengetahui pemberhentiannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak dianggap telah diberhentikan, maka jika ia melakukan tindakan, maka sah tindakannya, karena itu adalah perintah, dan hukum perintah tidak gugur sebelum mengetahui larangan, sebagaimana perintah dari syariat.
Kedua, bahwa ia telah diberhentikan, maka jika ia bertindak, tidak sah tindakannya, karena itu adalah pemutusan akad yang tidak bergantung pada keridhaan (pihak yang diberhentikan), maka tidak pula bergantung pada pengetahuannya, seperti halnya talak.
فصل: والوكيل أمين فيما في يده من مال الموكل، فإن تلف في يده من غير تفريط لم يضمن لأنه نائب عن الموكل في اليد والتصرف، فكان الهلاك في يده كالهلاك في يد الموكل فلم يضمن، وإن وكله في بيع سلعة وقبض ثمنها فباعها وقبض ثمنها وتلف الثمن واستحق المبيع رجع المشتري بالثمن علي المكل لأن البيع له فكان الرجوع بالعهدة عليه كما لو باع نفسه.
PASAL: Wakil adalah orang yang dipercaya dalam hal harta milik muwakkil yang berada di tangannya. Jika harta itu rusak di tangannya tanpa kelalaian darinya, maka ia tidak menanggung ganti rugi karena ia adalah wakil dari muwakkil dalam hal memegang dan mengelola, maka kerusakan yang terjadi di tangannya sama seperti kerusakan yang terjadi di tangan muwakkil, sehingga ia tidak menanggungnya. Jika muwakkil mewakilkannya untuk menjual suatu barang dan menerima harganya, lalu ia menjual barang tersebut dan menerima harganya, kemudian harga itu rusak dan barang yang dijual ternyata milik orang lain (bukan milik muwakkil), maka pembeli berhak menuntut kembali harga tersebut dari muwakkil, karena penjualan itu dilakukan atas nama muwakkil, maka tanggung jawab pengembalian berada pada muwakkil sebagaimana jika ia menjualnya sendiri.
فصل: إذا ادعي رجل انه وكل في تصرف فأنكر المدعي عليه، فالقول قوله لأنه ينكر العقد والأصل عدمه فكان القول قوله، وغن اتفقا علي الوكالة واختلفا في صفتها بأن قال الوكيل وكلتني في بيع ثوب، وقال الموكل بل وكلتك في عبد، أو قال الوكيل وكلتني في البيع بألف، وقال بل وكلتك في البيع بألفين، أو قال الوكيل وكلتني في البيع بثمن مؤجل، وقال الموكل بل وكلتك في البيع بثمن حال، فالقول قول الموكل لأنه ينكر إذنا والأصل عدمه، ولأن من جعل القول قوله في أصل التصرف كان القول قوله في كيفية كالزوج في الطلاق.
PASAL: Apabila seseorang mengklaim bahwa ia telah diberi wakalah dalam suatu tindakan, namun orang yang dituduh sebagai al-muwakkil mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan al-muwakkil, karena ia mengingkari adanya akad, dan hukum asalnya adalah ketiadaan akad, maka perkataannya yang dipegang.
Dan apabila keduanya sepakat tentang adanya wakalah namun berselisih dalam sifatnya—seperti si wakil berkata: “Engkau mewakilkan aku untuk menjual kain”, sedangkan si muwakkil berkata: “Tidak, aku mewakilkanmu untuk menjual budak”; atau si wakil berkata: “Engkau mewakilkan aku untuk menjual dengan harga seribu”, lalu muwakkil berkata: “Tidak, aku mewakilkanmu untuk menjual dengan harga dua ribu”; atau si wakil berkata: “Engkau mewakilkan aku untuk menjual dengan harga tangguh”, lalu muwakkil berkata: “Tidak, aku mewakilkanmu untuk menjual dengan harga tunai”—maka yang dipegang adalah perkataan muwakkil, karena ia mengingkari bentuk izin tertentu, dan hukum asalnya adalah ketiadaan izin tersebut.
Dan karena siapa pun yang perkataannya dipegang dalam pokok suatu tindakan, maka perkataannya juga dipegang dalam sifat dan rincian tindakan tersebut, sebagaimana suami dalam kasus talak.
فصل: وإن اختلفا في التصرف فادعي الوكيل أنه باع المال وأنكر الموكل أو اتفقا علي البيع واختلفا في قبض الثمن فادعي الوكيل أنه قبض الثمن وتلف وأنكر الموكل ففيه قولان: أحدهما أن القول قول الوكيل لأنه يملك العقد والقبض. ومن ملك تصرفا ملك الإقرار به كالأب في تزويج البكر، والثاني أنه لا يقبل قوله لأنه إقرار علي الموكل بالبيع وقبض الثمن فلم يقبل كما لو أقر عليه أنه باع ماله من رجل وقبض ثمنه، وغن وكله في ابتياع جارية فابتاعها ثم اختلفا فقال الوكيل: ابتعتها بإذنك بعشرين، وقال الموكل يل أذنت لك في ابتياعها بعشرة، فالقول قول الموكل لما بيناه،
PASAL: Jika terjadi perselisihan antara keduanya dalam hal tindakan, lalu wakil mengaku bahwa ia telah menjual harta tersebut, sedangkan muwakkil mengingkarinya, atau keduanya sepakat bahwa telah terjadi penjualan tetapi berselisih dalam hal penerimaan harga—wakil mengaku bahwa ia telah menerima harga dan harga itu telah rusak, sedangkan muwakkil mengingkarinya—maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa perkataan wakil dapat diterima karena ia memiliki kewenangan untuk melakukan akad dan menerima harga. Barang siapa memiliki kewenangan untuk bertindak, maka ia juga berhak mengakuinya, seperti ayah dalam hal pernikahan anak perempuannya yang masih perawan.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa perkataannya tidak diterima karena hal itu merupakan pengakuan terhadap muwakkil dalam hal penjualan dan penerimaan harga, maka tidak diterima, sebagaimana jika ia mengaku bahwa ia telah menjual harta milik muwakkil kepada seseorang dan telah menerima harganya.
Jika muwakkil mewakilkannya untuk membeli seorang jariyah, lalu ia membelinya, kemudian terjadi perselisihan antara keduanya, wakil berkata: “Aku membelinya dengan izinku seharga dua puluh,” sedangkan muwakkil berkata: “Aku hanya mengizinkanmu membelinya seharga sepuluh,” maka perkataan yang diterima adalah perkataan muwakkil, sebagaimana telah dijelaskan.
فإن حلف الموكل صارت الجارية للوكيل في الظاهر لأنه قد ثبت انه ابتاعها بغير الإذن، فإن كان الوكيل كاذبا كانت الجارية في الظاهر والباطن، وإن كان صادقا كانت الجارية للموكل في لباطن وللوكيل في الظاهر قال المزني: ويستحب الشافعي رحمه الله في مثل هذا أن يرفق الحاكم بالموكل فيقول إن كنت أمرته أن يشتريها بعشرين فبعه إياها بعشرين، فإن قال له بعتك هذه الجارية بعشرين صارت الجارية للوكيل في الظاهر والباطن، وإن قال كما قال المزني إن كنت اذنت لك في ابتياعها بعشرين فقد بعتكها بعشرين فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال لا يصح
Maka jika muwakkil bersumpah, maka jariyah itu menjadi milik wakil secara zhahir karena telah tetap bahwa ia membelinya tanpa izin. Jika wakil berdusta, maka jariyah itu menjadi miliknya baik secara zhahir maupun batin. Dan jika ia jujur, maka jariyah itu menjadi milik muwakkil secara batin dan milik wakil secara zhahir.
Al-Muzani berkata: Imam asy-Syafi‘i رحمه الله menganjurkan dalam kasus seperti ini agar hakim bersikap lembut kepada muwakkil, lalu berkata kepadanya: “Jika engkau telah memerintahkannya untuk membelinya seharga dua puluh, maka juallah kepadanya seharga dua puluh.”
Jika muwakkil kemudian berkata kepada wakil: “Aku telah menjual jariyah ini kepadamu seharga dua puluh,” maka jariyah itu menjadi milik wakil secara zhahir dan batin.
Namun jika ia berkata seperti yang dikatakan oleh al-Muzani: “Jika aku telah mengizinkanmu untuk membelinya seharga dua puluh, maka aku menjualnya kepadamu seharga dua puluh,” maka para ulama kami berbeda pendapat mengenai hal ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal tersebut tidak sah.
لأنه بيع معلق علي شرط فلم يصح وجعل ما قاله المزني من كلام الحاكم لا من كلام الموكل، ومنهم من قال يصح لأن هذا الشرط يقتضيه العقد لأنه لا يصح أن يبيعها إلا أن يكون قد أذن له في الإبتياع بعشرين وما يقتضيه العقد لا يبطل العقد بشرطه، فإن امتنع الموكل من البيع قال المزني يبيعها الوكيل وبأخذ حقه من ثمنها، وقال أبو سعيد الأصطخري فيه وجهان: أحدهما ما قال المزني، والثاني يملكها ظاهرا وباطنا بناء علي القولين فيمن ادعي علي رجل أنه اشتري منه دارا وأنكر المشتري وحلف أن المستحب للمشتري أن يقول للبائع إن كنت اشتريتها منك فقد فسخت البيع،
karena itu merupakan jual beli yang digantungkan pada syarat, maka tidak sah. Dan mereka menjadikan ucapan al-Muzani sebagai ucapan hakim, bukan ucapan dari muwakkil. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa itu sah, karena syarat tersebut memang dikehendaki oleh akad, sebab tidak sah menjualnya kecuali jika wakil memang telah diberi izin untuk membelinya seharga dua puluh. Dan sesuatu yang dikehendaki oleh akad, tidak membatalkan akad jika disebutkan sebagai syarat.
Jika muwakkil menolak untuk menjualnya, maka al-Muzani berpendapat: wakil boleh menjualnya dan mengambil haknya dari harga penjualan. Dan Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī menyatakan ada dua wajah: wajah pertama adalah sebagaimana pendapat al-Muzani, dan wajah kedua adalah bahwa wakil memilikinya secara zhāhir dan bāṭin, berdasarkan dua pendapat dalam kasus seseorang mengaku bahwa ia telah membeli rumah dari seseorang, lalu orang yang dituduh sebagai penjual mengingkarinya dan bersumpah, maka disunnahkan bagi pembeli untuk mengatakan kepada penjual: “Jika aku telah membeli rumah ini darimu, maka sungguh aku telah membatalkan jual belinya.”
وإن لم يفعل االمشتري ذلك ففيه قولان: أحدهما أن البائع يبيع الدار وبأخذ ثمنها، والثاني أن البائع يملك الدار لأن المشتري صار كالمفلس بالثمن لتعذر من جهته فيكون البائع أحق بعين ماله وقال أبو إسحاق لا يملك الوكيل الجارية قولا واحدا وتخالف المتبايعان والجارية لم تكن للوكيل فتعود إليه عند التعذر، فإن قلنا يملكها ظاهرا وباطنا تصرف فيها بالوطيء وغيره، وإن قلنا إنها للمكل في الباطن كان كمن له علي رجل دين لا يصل إليه ووجد له مالا من غير جنس حقه.
Jika pembeli tidak melakukan hal itu, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa penjual menjual rumah tersebut dan mengambil harganya.
Kedua, bahwa penjual memiliki rumah itu karena pembeli dianggap seperti orang yang tidak mampu membayar harga disebabkan adanya halangan dari pihaknya, maka penjual lebih berhak atas barang miliknya.
Abū Isḥāq berkata: Wakil tidak memiliki jariyah itu menurut satu pendapat yang pasti, dan berbeda halnya dengan dua orang yang saling berjual beli, karena jariyah itu sebelumnya bukan milik wakil sehingga tidak kembali kepadanya ketika terjadi halangan.
Jika kita berpendapat bahwa wakil memilikinya secara zhāhir dan bāṭin, maka ia boleh bertindak atasnya seperti berjima‘ dan selainnya. Namun jika kita berpendapat bahwa jariyah itu milik muwakkil secara bāṭin, maka wakil seperti orang yang memiliki piutang atas seseorang, namun tidak dapat mengambilnya, sementara ia menemukan harta milik orang itu yang bukan sejenis dengan haknya.
فصل: وإن اختلفا في تلف المال فادعي الوكيل أنه تلف وأنكر الموكل، فالقول قول الوكيل لأن التلف يتعذر إقامة البينة عليه فجعل القول قوله.
PASAL: Dan apabila keduanya berselisih tentang kerusakan harta, lalu si wakil mengklaim bahwa harta tersebut telah rusak, sedangkan si muwakkil mengingkarinya, maka yang dipegang adalah perkataan si wakil, karena kerusakan adalah hal yang sulit didatangkan buktinya, maka dijadikan perkataannya sebagai pegangan.
فصل: وإن اختلف في رد المال فقال رددت عليك المال وأنكر الموكل نظرت، فإن كانت الوكالة بغير جعل فالقول قول الوكيل مع يمينه لأنه فيض العين لمنفعة الملك فكان القول في الرد قول كالمودع، وإن كانت الوكالة بجعل ففيه وجهان: أحمدهما لا يقبل قوله لأنه قبض العين لمنفعة نفسه فلم يقبل قوله في الرد كالمستأجر والمرتهن، والثاني أنه يقبل قوله لأن انتفاعه بالعمل في العين فأما العين فلا منفعة له فيها فقبل قوله في ردها كالمودع في الوديعة.
PASAL: Dan apabila terjadi perselisihan tentang pengembalian harta, lalu si wakil berkata, “Aku telah mengembalikan hartamu,” sedangkan al-muwakkil mengingkarinya, maka perlu ditinjau:
Jika wakalah tersebut tanpa imbalan, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan si wakil disertai sumpah, karena ia menerima barang itu untuk kemaslahatan milik orang lain, maka dalam pengembaliannya dipegang perkataannya, seperti halnya mūdā‘ dalam kasus titipan.
Namun jika wakalah tersebut disertai imbalan (bi jā‘l), maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak diterima perkataannya, karena ia menerima barang tersebut demi kemanfaatan dirinya sendiri, maka tidak diterima pengakuannya dalam hal pengembalian, seperti halnya penyewa (musta’jir) dan penerima gadai (murtahin).
Kedua, diterima perkataannya, karena manfaat yang ia peroleh adalah dari pekerjaannya terhadap barang tersebut, adapun zat barangnya sendiri tidak ada manfaat baginya, maka diterima perkataannya dalam pengembaliannya, seperti orang yang menerima titipan dalam kasus wadī‘ah.
فصل: إذا كان لرجل علي رجل آخر حق فطالبه به فقال لا أعطيك حتي تشهد علي نفسك بالقبض نظرت، فإن كان مضمونا عليه كالغصب والعارية فإن كان عليه فليه بينة فله أن يمتنع حتي يشهد عليه بالقبض لأنه لا يأمن أن القبض ثم يجحد ويقيم عيه البينة فيغرمه، وإن كان أمانة كالوديعة أو ما في يد الوكيل والشريك أو مضمونا لا بينة عليه فيه ففيه وجهان: أحدهما أن له أن يمتنع حتي يشهد بالقبض وهو قول أبي علي بن أبي هريرة لأنه لا يأمن أن يقبض ثم يجحد فيحتاج أن يحلف أنه لا يستحق عليه وفي الناس من يكره أن يحلف، والثاني أنه ليس له أن يمتنع لأنه إذا جحد كان القول قوله أنه لا يستحق عليه شيئا، وليس علي في اليمين علي الحق ضرر فلم يجز له أن يمتنع والله أعلم.
PASAL: Jika seseorang memiliki hak atas orang lain, lalu ia menagihnya, namun orang itu berkata: “Aku tidak akan memberikannya kepadamu sampai engkau bersaksi atas dirimu bahwa engkau telah menerimanya,” maka hal ini perlu diperinci:
Jika hak itu sesuatu yang wajib diganti apabila rusak—seperti barang ghaṣb (perampasan) atau pinjaman (‘āriyah)—dan ada bukti atas kewajiban itu, maka ia boleh menolak untuk menyerahkannya sampai orang yang menagih bersaksi atas dirinya bahwa ia telah menerima barang tersebut, karena ia tidak aman dari kemungkinan orang itu nanti mengingkari bahwa ia telah menerima dan mendatangkan bukti atasnya, sehingga ia harus mengganti.
Namun jika hak itu adalah amanah—seperti wadī‘ah (titipan), atau yang berada di tangan wakil dan sekutu—atau sesuatu yang wajib diganti tetapi tidak ada bukti atasnya, maka ada dua pendapat:
Pertama, bahwa ia boleh menolak sampai orang yang menagih bersaksi atas dirinya bahwa ia telah menerima, dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, karena ia tidak aman dari kemungkinan orang itu akan menerima lalu mengingkari, dan ia harus bersumpah bahwa tidak ada hak atasnya, sementara ada orang yang tidak menyukai bersumpah.
Kedua, bahwa ia tidak boleh menolak, karena jika orang itu mengingkari, maka perkataan diterima darinya bahwa tidak ada hak atasnya, dan tidak ada bahaya dalam bersumpah atas kebenaran, maka ia tidak boleh menolak. Wallāhu a‘lam.
يستحب لمن قدر على حفظ الوديعة وأداء الأمانة فيها أن يقبلها لقوله تعالى: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى} ولما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من كشف عن مسلم كربة من كرب الدنيا كشف الله عنه كربة من كرب يوم القيامة والله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه” فإن لم يكن من يصلح لذلك غيره وخاف إن لم يقبل أن تهلك تعين عليه قبولها لأن حرمة المال كحرمة النفس والدليل عليه ما روى ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “حرمة مال المؤمن كحرمة دمه” ولو خاف على دمه لوجه عليه حفظه فكذلك إذا خاف على ماله وإن كان عاجزاً عن حفظها أو لا يأمن أن يخون فيها فلم يجز له قبولها لأنه يغرر بها ويعرضها للهلاك فلم يجز له أخذها.
KITAB WADΑAH (TITIPAN)
Disunnahkan bagi orang yang mampu menjaga wadī‘ah dan menunaikan amanah di dalamnya untuk menerimanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa ta‘āwanū ‘ala al-birri wa al-taqwā} (dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa), dan karena riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesusahan dari seorang Muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahan darinya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.”
Jika tidak ada orang lain yang cocok untuk itu selain dia, dan ia khawatir jika tidak menerimanya maka barang itu akan rusak, maka wajib baginya untuk menerimanya, karena kehormatan harta sama dengan kehormatan jiwa. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Mas‘ūd bahwa Nabi SAW bersabda: “Kehormatan harta seorang mukmin seperti kehormatan darahnya.” Jika ia wajib menjaga darahnya karena khawatir atasnya, maka demikian pula apabila ia khawatir atas hartanya.
Namun jika ia tidak mampu menjaganya, atau ia tidak merasa aman dari berbuat khianat terhadapnya, maka tidak boleh baginya menerima titipan itu, karena berarti ia membahayakan barang tersebut dan mempertaruhkan pada kebinasaan, maka tidak halal baginya menerimanya.
فصل: ولا يصح الإيداع إلا من جائز التصرف في المال فإن أودعه صبي أو سفيه لم يقبل لأنه تصرف في المال فلم يصح من الصبي والسفيه كالبيع فإن أخذها منه ضمنها ولأنه أخذ ماله من غير إذن فضمنه كما لو غصبه ولا يبرأ من الضمان إلا بالتسليم إلى الناظر في ماله كما تقول فيما غصبه من ماله وإن خاف المودع أنه إن لم يأخذ منه استهلكه فأخذه ففيه وجهان: بناء على القولين في المحرم إذا خلص طائراً من جارحة وأمسكه ليحفظه: أحدهما لا يضمن لأنه قصد حفظه والثاني يضمن لأنه ثبتت يده عليه من غير ائتمان.
PASAL: Tidak sah penitipan (wadī‘ah) kecuali dari orang yang sah bertindak dalam harta. Jika seorang anak kecil atau orang safīh menitipkan harta, maka tidak boleh diterima, karena itu termasuk tindakan dalam harta, sehingga tidak sah dari anak kecil dan safīh, sebagaimana dalam jual beli.
Jika seseorang mengambil harta tersebut dari mereka, maka ia menanggungnya (ḍāmin), karena ia mengambil harta mereka tanpa izin, sehingga ia wajib menanggungnya sebagaimana jika ia merampasnya (ghaṣbah). Ia tidak terbebas dari tanggungan kecuali dengan menyerahkannya kepada wali yang mengurus harta mereka, sebagaimana kita katakan dalam kasus perampasan terhadap harta mereka.
Namun, jika orang yang hendak dititipi khawatir bahwa apabila ia tidak mengambil harta itu maka harta tersebut akan dihabiskan oleh pemiliknya, lalu ia mengambilnya, maka ada dua wajah (pendapat), yang dibangun di atas dua pendapat dalam kasus seseorang yang beriḥrām lalu menyelamatkan burung dari hewan buas dan memegangnya untuk menjaganya:
Pertama, ia tidak menanggung karena ia bermaksud menjaganya.
Kedua, ia menanggung karena tangannya atas barang tersebut terjadi tanpa adanya kepercayaan (amānah).
فصل: ولا يصح إلا عند جائز التصرف فإن أودع صبياً أو سفيهاً لم يصح الإيداع لأن القصد من الإيداع الحفظ والصبي والسفيه ليسا من أهل الحفظ فإن أودع واحداً منهما فتلف عنده لم يضمن لأنه لا يلزمه حفظه فلا يضمنه كما لو تركه عند بالغ من غير إيداع فتلف وإن أودعه فأتلفه ففيه وجهان: أحدهما يضمن لأنه لم يسلطه على إتلافه فضمنه بالإتلاف كما لو أدخله دراه فتلف ماله والثاني لا يضمن لأنه مكنه من إتلافه فلم يضمنه كما لو باع منه شيئاً وسلمه إليه فأتلفه.
PASAL: Tidak sah wadī‘ah kecuali kepada orang yang sah tindakannya (jā’iz al-taṣarruf). Maka jika seseorang menitipkan barang kepada anak kecil atau orang safih (bodoh dalam mengelola harta), maka tidak sah penitipan tersebut, karena tujuan dari wadī‘ah adalah penjagaan, sedangkan anak kecil dan orang safih bukanlah termasuk orang yang layak menjaga.
Jika ia tetap menitipkan kepada salah satu dari keduanya lalu barang itu rusak di tangannya, maka ia tidak menanggungnya, karena tidak wajib baginya untuk menjaganya, maka ia pun tidak menanggungnya, sebagaimana jika ia meletakkan barang tersebut di sisi orang dewasa tanpa akad titipan lalu rusak.
Namun jika ia menitipkan lalu orang itu justru merusaknya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, ia menanggungnya, karena ia tidak diberi wewenang untuk merusaknya, maka ia wajib menanggungnya karena perusakan, sebagaimana jika seseorang memasukkannya ke dalam rumahnya lalu hartanya rusak.
Kedua, ia tidak menanggungnya, karena si penitip telah memberinya kesempatan untuk merusaknya, maka ia tidak menanggungnya, sebagaimana jika ia menjual sesuatu kepadanya lalu menyerahkannya dan ia pun merusaknya.
فصل: وتنعقد الوديعة بما تنعقد به الوكالة من الإيجاب بالقول والقبول بالفعل وتنفسخ كما تنفسخ به الوكالة من العزل والجنون والإغماء والموت كما تنفسخ الوكالة لأنه وكالة في الحفظ فكان كالوكالة في العقد والفسخ.
PASAL: Penitipan (wadī‘ah) menjadi sah dengan sesuatu yang menjadikan wakālah sah, yaitu dengan ijab melalui ucapan dan penerimaan melalui perbuatan. Penitipan ini juga batal sebagaimana wakālah menjadi batal, yaitu dengan pemecatan, gila, pingsan, dan kematian, karena penitipan merupakan wakālah dalam hal penjagaan, maka hukumnya seperti wakālah dalam hal akad dan pembatalan.
فصل: والوديعة أمانة في يد المودع فإن تلفت من غير تفريط لم تضمن لما روى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من أودع وديعة فلا ضمان عليه” وروى ذلك أبو بكر وعمر وعلي وابن مسعود وجابر رضي الله عنهم وهو إجماع فقهاء الأمصار ولأنه يحفظها للمالك فكانت يده كيده ولأن حفظ الوديعة معروف وإحسان فلو ضمنت من غير عدوان زهد الناس في قبولها فيؤدي إلى قطع المعروف فإن أودعه وشرط عليه الضمان لم يصر مضموناً لأنه أمانه فلا يصير مضموناً بالشرط كالمضمون لا يصير أمانة بالشرط وإن ولدت الوديعة ولداً كان الولد أمانة لأنه يوجد فيه سبب يوجب الضمان لا بنفسه ولا بأمه وهل يجوز إمساكه فيه وجهان: أحدهما لا يجوز بل يجب أن يعلم صاحبه كما لو ألقت الريح ثوباً في داره والثاني لا يجوز لأن إيداع الأم إيداع لما يحدث منها.
PASAL: Wadī‘ah adalah amanah di tangan orang yang diberi titipan (al-mūda‘), maka jika barang tersebut rusak tanpa adanya kelalaian, maka ia tidak menanggungnya. Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang dititipi suatu titipan, maka tidak ada jaminan atasnya.” Riwayat ini juga disampaikan oleh Abū Bakr, ‘Umar, ‘Alī, Ibnu Mas‘ūd, dan Jābir RA, dan ini merupakan ijma‘ fuqahā dari berbagai negeri.
Karena ia menjaga titipan itu untuk pemiliknya, maka tangannya seperti tangan pemilik sendiri. Dan karena menjaga titipan adalah bentuk kebaikan dan ihsan, maka jika orang yang menjaga tetap diwajibkan menanggung meskipun tanpa pelanggaran, orang-orang akan enggan menerimanya, yang akan mengakibatkan terputusnya perbuatan baik tersebut.
Jika seseorang menitipkan sesuatu dan memberikan syarat bahwa si penjaga menanggungnya (jika rusak), maka ia tidak menjadi tanggungan, karena ia adalah amanah, maka tidak bisa berubah menjadi tanggungan hanya dengan syarat, sebagaimana halnya sesuatu yang merupakan tanggungan tidak bisa menjadi amanah hanya dengan syarat.
Jika barang titipan tersebut melahirkan anak, maka anak tersebut juga termasuk amanah, karena tidak ada penyebab yang mewajibkan jaminan atas dirinya, tidak dari dirinya sendiri, dan tidak pula dari induknya.
Apakah boleh memeliharanya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, bahkan wajib memberitahukan pemiliknya, sebagaimana jika angin menerbangkan pakaian ke dalam rumah seseorang.
Kedua, boleh, karena penitipan atas induknya mencakup juga hal-hal yang muncul darinya.
فصل: ومن قبل الوديعة نظرت فإن لم يعين المودع الحرز لزمه حفظها في حرز مثلها فإن أخر إحرازها فتلفت لزمه الضمان لأنه ترك الحفظ من غير عذر فضمنها فإن وضعها في حرز دون حرز مثلها ضمن لأن الإيداع يقتضي الحفظ فإذا أطلق حمل على التعارف وهو حرز المثل فإذا تركها فيما دون حرز مثلها فقط فرط فلزمه الضمان وإن وضعها في حرز فوق حرز مثلها لم يضمن لأن من رضي بحرز المثل رضي بما فوقه فإن قال لا تقفل عليه فأقفل عليه أو قال لا تقفل عليه قفلين فأقفل قفلين أو قال لا ترقد عليه فرقد عليه فالمذهب أنه لا يضمن لأنه زاده في الحرز ومن أصحابنا من قال يضمن لأنه نبه اللص عليه وأغراه به.
PASAL: Barang siapa menerima titipan (wadī‘ah), maka hal itu dilihat terlebih dahulu. Jika pihak yang menitipkan tidak menentukan tempat penyimpanan (ḥirz), maka wajib baginya untuk menyimpannya di tempat yang sepadan dengan jenis barang tersebut. Jika ia menunda untuk menyimpannya lalu barang itu rusak, maka ia wajib mengganti karena telah meninggalkan penjagaan tanpa uzur, maka ia menanggungnya.
Jika ia menyimpannya di tempat yang kurang dari standar tempat penyimpanan yang layak, maka ia wajib mengganti karena penitipan mengharuskan adanya penjagaan. Ketika tidak ada penjelasan, maka disesuaikan dengan kebiasaan, yaitu tempat penyimpanan yang sesuai. Maka jika ia menyimpannya di tempat yang kurang dari itu, berarti ia telah lalai, dan wajib mengganti.
Jika ia menyimpannya di tempat yang lebih baik dari standar tempat yang layak, maka ia tidak wajib mengganti, karena orang yang ridha dengan tempat yang layak berarti juga ridha dengan yang lebih baik darinya.
Jika yang menitipkan berkata: “Jangan dikunci,” lalu ia menguncinya, atau berkata: “Jangan dikunci dengan dua kunci,” lalu ia menguncinya dengan dua kunci, atau berkata: “Jangan tidur di dekatnya,” lalu ia tidur di dekatnya—maka madzhab menyatakan bahwa ia tidak menanggung, karena ia justru menambah tingkat keamanan.
Namun sebagian ulama kami berpendapat bahwa ia tetap menanggung, karena perbuatannya justru menarik perhatian pencuri dan mendorong mereka untuk mencurinya.
فصل: وإن عين له الحرز فقال احفظها في هذا البيت فنقلها إلى ما دونه ضمن لأن من رضي حرزاً لم يرض بما دونه وإن نقلها إلى مثله أو إلى ما هو أحرز منه لم يضمن لأن من رضي حرزاً رضي مثله وما هو أحرز منه وإن قال له احفظها في هذا البيت ولا تنقلها فنقلها إلى ما دونه ضمن لأنه لم يرض بما دونه وإن نقلها إلى مثلها أو إلى ما هو أحرز منه ففيه وجهان: قال أبو سعيد الاصطخري لا يضمن لأنه جعله في مثله فأشبه إذا لم ينهه عن النقل
PASAL: Jika si pemilik telah menentukan tempat penyimpanan, lalu berkata: “Jagalah barang ini di rumah ini,” kemudian ia memindahkannya ke tempat yang lebih rendah tingkat keamanannya, maka ia wajib menanggungnya, karena siapa yang rela dengan tempat yang aman, maka ia tidak rela dengan yang lebih rendah darinya.
Namun jika ia memindahkannya ke tempat yang setara atau yang lebih aman, maka ia tidak menanggungnya, karena siapa yang rela dengan suatu tempat, maka ia juga rela dengan tempat yang sepadan atau lebih aman darinya.
Jika si pemilik berkata: “Jagalah barang ini di rumah ini dan jangan engkau pindahkan,” lalu ia memindahkannya ke tempat yang lebih rendah tingkat keamanannya, maka ia wajib menanggungnya, karena si pemilik tidak rela dengan tempat yang lebih rendah.
Namun jika ia memindahkannya ke tempat yang setara atau lebih aman darinya, maka ada dua pendapat: Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: tidak wajib menanggung, karena ia memindahkannya ke tempat yang setara, maka itu seperti kasus ketika pemilik tidak melarang pemindahan.
وقال أبو إسحاق يضمن لأنه نهاه عن النقل فضمنه بالنقل فإن خاف عليه في الحرز المعين من نهب أو حريق نظرت فإن كان النهي مطلقاً لزمه النقل ولا يضمن لأن النهي عن النقل للاحتياط في حفظها والاحتياط في هذا الحال أن تنقل فلزمه النقل فإن لم ينقلها حتى تلفت ضمنها لأنه فرط في الترك وإن قال له لا تنقل وإن خفت عليه الهلاك فنقلها لم يضمن لأنه زاده خيراً وإن تركها حتى تلفت ففيه وجهان: قال أبو العباس وأبو إسحاق لا يضمن لأن نهيه مع خوف الهلاك أبرأ من الضمان وقال أبو سعيد الاصطخري يضمن لأن نهيه عن النقل مع خوف الهلاك لا حكم له لأنه خلاف الشرع فيصير كما لو لم ينهه والأول أظهر لأن الضمان يجب لحقه فسقط بقوله وإن خالف الشرع كما لو قال لغيره اقطع يدي أو أتلف مالي.
Dan Abū Isḥāq berkata: ia wajib menanggungnya, karena si pemilik telah melarangnya untuk memindahkan, maka ketika ia memindahkannya, ia menanggungnya.
Jika ia khawatir atas barang titipan itu dalam tempat yang telah ditentukan, seperti karena penjarahan atau kebakaran, maka perlu ditinjau:
Jika larangan untuk memindahkannya bersifat mutlak, maka ia wajib memindahkannya dan tidak menanggungnya, karena larangan terhadap pemindahan dimaksudkan untuk kehati-hatian dalam penjagaan, dan kehati-hatian dalam kondisi seperti ini justru dengan memindahkannya, maka wajib baginya untuk memindahkannya. Jika ia tidak memindahkannya hingga barang itu rusak, maka ia wajib menanggungnya karena ia telah lalai dengan tidak memindahkannya.
Namun jika si pemilik berkata: “Jangan engkau pindahkan, sekalipun engkau khawatir atas keselamatannya,” lalu ia memindahkannya, maka ia tidak menanggungnya, karena ia justru menambahkan kebaikan.
Tetapi jika ia membiarkannya sampai rusak, maka ada dua pendapat:
Abū al-‘Abbās dan Abū Isḥāq berkata: ia tidak menanggungnya, karena larangan pemindahan bersamaan dengan adanya kekhawatiran atas kerusakan adalah pembebasan dari tanggungan, maka ia tidak wajib menanggungnya.
Sedangkan Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: ia wajib menanggungnya, karena larangan untuk memindahkan meskipun ada kekhawatiran rusak tidaklah dianggap sah, sebab bertentangan dengan syariat, maka hukumnya seperti tidak ada larangan.
Dan pendapat pertama lebih kuat, karena tanggungan (jaminan) itu wajib karena hak si pemilik, maka gugur dengan pernyataannya, meskipun bertentangan dengan syariat, sebagaimana jika seseorang berkata kepada orang lain: “Potonglah tanganku” atau “Rusaklah hartaku.”
فصل: فإن أودعه شيئاً فربطه في كمه لم يضمن فإن تركه في كمه ولم يربطه نظرت فإن كان خفيفاً إذا سقط لم يعلم به ضمنه لأنه مفرط في حفظه وإن كان ثقيلاً إذا سقط علم به لم يضمن لأنه غير مفرط وإن تركه في جيبه فإن كان مزرراً أو كان الفتح ضيقاً لم يضمن لأنه لا تناله اليد وإن كان واسعاً غير مزرر ضمن لأن اليد تناله وإن أودعه شيئاً فقال اربطه في كمك فأمسكه في يده فتلف فقد روى المزني أنه لا يضمن وروى الربيع في الأم أنه يضمن فمن أصحابنا من قال: هو على قولين: أحدهما لا يضمن لأن اليد أحرز من الكم لأنه قد يسرق من الكم ولا يسرق من اليد
PASAL: Jika seseorang menitipkan sesuatu lalu ditaruh oleh penerima titipan di lengan bajunya (kummih) dan diikat, maka ia tidak menanggung. Namun jika ia meletakkannya di lengan bajunya tanpa diikat, maka dilihat kembali: jika barang itu ringan sehingga ketika jatuh tidak terasa, maka ia menanggung karena telah lalai dalam menjaganya; tetapi jika barang itu berat sehingga ketika jatuh akan terasa, maka ia tidak menanggung karena tidak lalai.
Jika ditaruh di saku bajunya (jayyibih), maka jika saku itu tertutup kancing atau lubangnya sempit, maka ia tidak menanggung karena tangan tidak bisa menjangkaunya. Namun jika sakunya lebar dan tidak dikancing, maka ia menanggung karena tangan dapat menjangkaunya.
Jika seseorang menitipkan sesuatu kepadanya dan berkata: “Ikatlah di lengan bajumu,” lalu ia pegang dengan tangannya, lalu barang itu rusak, maka al-Muzani meriwayatkan bahwa ia tidak menanggung, sedangkan ar-Rabi‘ meriwayatkan dalam al-Umm bahwa ia menanggung. Maka sebagian ulama kami berkata: dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama: ia tidak menanggung karena tangan lebih aman daripada lengan baju, sebab bisa saja dicuri dari lengan baju namun tidak bisa dicuri dari tangan.
والثاني أنه يضمن لأن الكم أحرز من اليد لأن اليد حرز مع الذكر دون النسيان والكم حرز مع النسيان والذكر ومن أصحابنا من قال إن ربطها في كمه وأمسكها بيده لم يضمن لأن اليد مع الكم أحرز من الكم وإن تركها في يده ولم يربطها في كمه ضمن لأن الكم أحرز من اليد وحمل الروايتين على هذين الحالين وإن أمره أن يحرزها في جيبه فأحرزها في كمه ضمن لأن الجيب أحرز من الكم لأن الكم قد يرسله فيقع منه ولا يقع من الجيب
dan pendapat kedua: ia menanggung karena lengan baju lebih aman daripada tangan, sebab tangan hanya menjadi tempat penyimpanan (harz) saat seseorang sedang sadar, tidak saat lupa, sedangkan lengan baju menjadi tempat penyimpanan baik saat sadar maupun saat lupa.
Dan sebagian ulama kami berkata: jika ia mengikatnya di lengan bajunya dan memegangnya dengan tangannya, maka ia tidak menanggung karena tangan yang disertai lengan baju lebih aman daripada lengan baju saja. Namun jika ia meninggalkannya di tangannya tanpa mengikatnya di lengan bajunya, maka ia menanggung karena lengan baju lebih aman daripada tangan. Maka kedua riwayat itu dibawa pada dua keadaan ini.
Dan jika ia diperintahkan untuk menyimpannya di dalam sakunya lalu ia menyimpannya di lengan bajunya, maka ia menanggung karena saku lebih aman daripada lengan baju, sebab lengan baju bisa saja dilepaskan sehingga barang jatuh darinya, sementara dari saku tidak akan jatuh.
وإن قال احفظها في البيت فشدها في ثوبه وخرج ضمنها لأن البيت أحرز فإن شدها في عضده فإن كان الشد مما يلي أضلاعه لم يضمن لأنه أحرز من البيت وإن كان من الجانب الآخر ضمن لأن البيت أحرز منه وإن دفعها إليه في السوق وقال احفظها في البيت فقام في الحال ومضى إلى البيت فأحرزها لم يضمن وإن قعد في السوق وتوانى ضمنها لأنه حفظها فيما دون البيت وإن أودعه خاتماً وقال احفظه في البنصر فجعله في الخنصر ضمن لأن الخنصر دون البنصر في الحرز لأن الخاتم في الخنصر أوسع فهي إلى الوقوع أسرع وإن قال اجعله في الخنصر فجعله في البنصر لم يضمن لأن البنصر أحرز لأنه أغلظ والخاتم فيه أحفظ وإن قال اجعله في الخنصر فلبسه في البنصر فانكسر ضمن لأنه تعدى فيه.
Jika seseorang berkata, “Simpanlah ini di dalam rumah,” lalu penerima titipan mengikatnya pada pakaiannya dan keluar, maka ia menanggungnya karena rumah lebih aman. Jika ia mengikatnya pada lengannya, maka jika ikatan itu di sisi yang menghadap tulang rusuk, ia tidak menanggung karena itu lebih aman daripada rumah. Namun jika di sisi luar, ia menanggung karena rumah lebih aman.
Jika ia menyerahkan titipan itu kepadanya di pasar dan berkata, “Simpanlah di rumah,” lalu ia segera berdiri dan pergi ke rumah dan menyimpannya di sana, maka ia tidak menanggung. Tetapi jika ia duduk-duduk di pasar dan bermalas-malasan, maka ia menanggung karena ia menyimpannya di tempat yang kurang aman dibanding rumah.
Jika seseorang menitipkan cincin dan berkata, “Simpanlah di jari manis,” lalu ia memakainya di jari kelingking, maka ia menanggung karena jari kelingking lebih longgar dari jari manis sehingga cincin lebih cepat jatuh. Namun jika ia berkata, “Pakaikan di jari kelingking,” lalu ia pakaikan di jari manis, maka ia tidak menanggung karena jari manis lebih aman sebab lebih tebal dan cincin lebih kokoh di situ. Tetapi jika ia berkata, “Pakaikan di jari kelingking,” lalu ia pakaikan di jari manis dan cincin itu pecah, maka ia menanggung karena ia telah melanggar perintah.
فصل: وإن أراد المودع السفر ووجد صاحبها أو كيله سلمها إليه فإن لم يجد سلمها إلى الحاكم لأنه لا يمكن منعه من السفر ولا قدرة على المالك ولا وكيله فوجب الدفع إلى الحاكم كما لو حضر من يخطب المرأة والولي غائب فإن الحاكم ينوب عنه في التزويج فإن سلم إلى الحاكم مع وجود المالك أو وكيله ضمن لأن الحاكم لا ولاية له مع وجود المالك أو وكيله كما لا ولاية له في تزويج المرأة مع حضور الولي أو وكيله فإن لم يكن حاكم سلمها إلى أمين لأن النبي صلى الله عليه وسلم كانت عنده ودائع فلما أراد الهجرة سلمها إلى أم أيمن واستخلف علياً كرم الله وجهه في ردها
PASAL: Jika orang yang menyimpan barang (mustauda‘) ingin bepergian lalu ia menemukan pemilik barang atau wakilnya, maka ia harus menyerahkan barang tersebut kepadanya. Jika ia tidak menemukannya, maka ia menyerahkannya kepada ḥākim, karena tidak mungkin ia dicegah dari bepergian, sedangkan ia tidak mampu menjangkau pemilik atau wakilnya, maka wajib baginya menyerahkannya kepada ḥākim, sebagaimana jika datang orang yang ingin melamar perempuan sementara walinya tidak ada, maka ḥākim bertindak mewakilinya dalam akad nikah.
Jika ia menyerahkannya kepada ḥākim padahal pemilik atau wakilnya ada, maka ia menanggungnya, karena ḥākim tidak memiliki kewenangan selama pemilik atau wakilnya ada, sebagaimana ḥākim tidak memiliki kewenangan menikahkan perempuan saat wali atau wakilnya hadir. Jika tidak ada ḥākim, maka ia menyerahkannya kepada orang yang terpercaya, karena Nabi SAW memiliki barang-barang titipan, lalu ketika beliau hendak berhijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu Aiman dan menjadikan ‘Alī karramallāhu wajhah sebagai pengganti dalam mengembalikannya.
وإن سلم إلى أمين مع وجود الحاكم ففيه وجهان: أحدهما لا يضمن وهو ظاهر النص وهو قول أبي إسحاق لأنه أمين فأشبه الحاكم والثاني يضمن وهو ظاهر قوله في الرهن وهو قول أبي سعيد الاصطخري لأن أمانة الحاكم مقطوع بها وأمانة الأمين غير مقطوع بها فلا يجوز ترك ما يقطع به بما لا يقطع به كما لا يترك النص للاجتهاد فإن لم يكن أمين لزمه أن يسافر بها لأن السفر في هذه الحال أحوط فإن وجد المالك أو الحاكم أو الأمين فسافر ضمن لأن الإيداع يقتضي الحفظ في الحرز وليس السفر من مواضع الحفظ لأنه إما أن يكون مخوفاً أو آمناً لا يوثق بأمنه فلا يجوز مع عدم الضرورة
وإذا ia menyerahkannya kepada orang terpercaya padahal ḥākim ada, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: ia tidak menanggung, dan ini adalah pendapat yang zahir dalam naṣṣ, serta merupakan pendapat Abū Isḥāq, karena orang tersebut adalah orang terpercaya, maka ia menyerupai ḥākim. Pendapat kedua: ia menanggung, dan ini adalah pendapat yang zahir dalam pembahasan rahn, serta merupakan pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, karena amanah ḥākim bersifat pasti, sedangkan amanah orang terpercaya tidak pasti, maka tidak boleh meninggalkan sesuatu yang pasti dengan sesuatu yang tidak pasti, sebagaimana tidak boleh meninggalkan naṣṣ karena ijtihād.
Jika tidak ada orang terpercaya, maka wajib baginya bepergian sambil membawa barang tersebut, karena bepergian dalam keadaan ini lebih menjaga. Jika ia tetap bepergian padahal telah menemukan pemilik, atau ḥākim, atau orang terpercaya, maka ia menanggungnya, karena widā‘ah menuntut untuk menjaga di tempat yang aman, sementara bepergian bukan termasuk tempat menjaga, karena bepergian itu bisa berbahaya atau aman tetapi tidak dapat dijamin keamanannya, maka tidak diperbolehkan melakukannya kecuali dalam keadaan darurat.
وإن دفنها ثم سافر نظرت فإن كان في موضع لا يد فيه لأحد ضمن لأن ما تتناوله الأيدي معرض للأخذ فإن كان في موضع مسكون فإن لم يعلم بها أحداً ضمن لأنه ربما أدركته المنية في السفر فلا تصل إلى صاحبها فإن أعلم بها من لا يسكن في الموضع ضمن لأن ما في البيت إنما يكون محفوظاً بحافظ فإن أعلم بها من يسكن في الموضع فإن كان غير ثقة ضمن لأنه عرضه للأخذ وإن كان ثقة فهو كما لو استودع ثقة ثم سافر وقد بينا حكم من استودع ثم سافر.
Jika ia menguburnya lalu bepergian, maka dilihat: jika ia menguburnya di tempat yang tidak ada tangan siapa pun atasnya, maka ia menanggungnya, karena sesuatu yang bisa dijangkau oleh tangan manusia rentan untuk diambil.
Jika dikubur di tempat yang berpenghuni, lalu ia tidak memberitahu siapa pun tentangnya, maka ia menanggungnya, karena mungkin saja ia meninggal dalam perjalanan, sehingga barang tersebut tidak sampai kepada pemiliknya.
Jika ia memberitahu seseorang, namun orang itu tidak tinggal di tempat tersebut, maka ia juga menanggungnya, karena sesuatu yang ada di dalam rumah hanya akan aman jika ada penjaganya.
Jika ia memberitahu seseorang yang tinggal di tempat tersebut, namun orang itu tidak terpercaya, maka ia tetap menanggungnya karena ia telah menjadikannya rentan untuk diambil.
Dan jika orang itu terpercaya, maka hukumnya seperti orang yang menitipkan barang kepada orang terpercaya lalu ia bepergian—dan telah dijelaskan hukum orang yang menitipkan lalu bepergian.
فصل: وإن حضره الموت فهو بمنزلة من حضره السفر لأنه لا يمكنه الحفظ مع الموت بنفسه كما لا يمكنه الحفظ مع السفر وقد بينا حكمه وإن قال في مرضه عندي وديعة ووصفها ولم يوجد ذلك في تركته فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق: لا يضرب المقر له مع الغرماء بقيمتها لأن الوديعة أمانة فلا يضمن بالشك ومن أصحابنا من قال يضرب المقر له بقيمتها مع الغرماء وهو ظاهر النص لأن الأصل وجوب ردها فلا يسقط ذلك بالشك.
PASAL: Jika seseorang dalam keadaan menjelang kematian, maka ia diposisikan seperti orang yang hendak bepergian, karena ia tidak bisa menjaga sendiri barang titipan ketika menghadapi kematian sebagaimana ia tidak bisa menjaganya ketika bepergian. Dan telah kami jelaskan hukumnya.
Jika dalam sakitnya ia berkata, “Di sisiku ada barang titipan,” lalu ia menyebutkan sifatnya, tetapi barang itu tidak ditemukan dalam peninggalannya, maka para ulama kami berbeda pendapat tentang hal ini. Abu Ishaq berkata: tidak dihukumi bahwa yang diakui berhak mendapat bagian bersama para kreditur senilai barang itu, karena titipan adalah amanah, maka tidak ditanggung hanya dengan keraguan.
Sebagian ulama kami berkata: orang yang diakui berhak atas titipan itu mendapat bagian bersama para kreditur senilai barang tersebut, dan ini adalah makna lahir dari nash karena asalnya adalah kewajiban mengembalikannya, maka kewajiban itu tidak gugur hanya karena keraguan.
فصل: وإن أودع الوديعة غيره من غير ضرورة ضمنها لأن المودع لم يرض بأمانة غيره فإن هلكت عند الثاني جاز لصاحبها أن يضمن الأول لأنه سلم ما لم يكن له تسليمه وله أن يضمن الثاني لأنه أخذ ما لم يكن له أخذه فإن ضمن الثاني نظرت فإن كان قد علم بالحال لم يرجع بما ضمنه على الأول لأنه دخل على أنه يضمن فلم يرجع فإن لم يعلم ففيه وجهان: أحدهما أنه يرجع لأنه دخل على أنه أمانة فإذا ضمن رجع على من غره والثاني أنه لا يرجع لأنه هلك في يده فاستقر الضمان عليه فإن ضمن الأول فإن قلنا إن الثاني إذا ضمن يرجع على الأول لم يرجع الأول عليه وإن قلنا إنه لا يرجع رجع الأول عليه فأما إذا استعان بغيره في حملها ووضعها في الحرز أو سقاها أو علفها فإنه لا يضمن لأن العادة قد جرت بالاستعانة ولأنه ما أخرجها عن يده ولا فوض حفظها إلى غيره.
PASAL: Jika seseorang menitipkan widā‘ah kepada orang lain tanpa ada kebutuhan mendesak, maka ia menanggungnya, karena pemilik barang tidak merelakan amanah orang lain. Jika barang tersebut rusak di tangan orang kedua, maka pemilik barang boleh menuntut ganti rugi dari orang pertama karena ia telah menyerahkan sesuatu yang tidak berhak ia serahkan, dan ia juga boleh menuntut ganti rugi dari orang kedua karena ia telah mengambil sesuatu yang tidak berhak ia ambil.
Jika pemilik menuntut orang kedua, maka dilihat: jika orang kedua mengetahui keadaannya, maka ia tidak boleh menuntut ganti rugi dari orang pertama, karena ia menerima dengan risiko menanggung, maka ia tidak boleh menuntut kembali. Tetapi jika ia tidak tahu keadaannya, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: ia boleh menuntut ganti rugi, karena ia masuk dalam perjanjian sebagai amanah, maka ketika ia menanggung, ia berhak menuntut dari orang yang telah menipunya.
Pendapat kedua: ia tidak boleh menuntut, karena barang tersebut rusak di tangannya, maka tanggungan itu tetap padanya.
Jika pemilik menuntut orang pertama, maka jika kita berpendapat bahwa orang kedua yang menanggung boleh menuntut ganti rugi kepada orang pertama, maka orang pertama tidak boleh menuntut kembali. Tetapi jika kita berpendapat bahwa orang kedua tidak boleh menuntut, maka orang pertama boleh menuntut ganti rugi kepadanya.
Adapun jika orang pertama hanya meminta bantuan orang lain untuk membawanya, menaruhnya di tempat yang aman, atau memberinya minum atau makan, maka ia tidak menanggungnya, karena kebiasaan memang menggunakan bantuan, dan karena ia tidak mengeluarkannya dari tangannya, dan tidak pula menyerahkan penjagaannya kepada orang lain.
فصل: وإن أودعه دراهم فخلطها بمثلها من ماله ضمن لأن صاحبها لم يرض أن يخلط ماله بمال غيره فإن خلطها بدراهم لصاحب الدراهم ففيه وجهان: أحدهما لا يضمن لأن الجميع له والثاني أنه يضمن وهو الأظهر لأنه لم يرض أن يكون أحدهما مختلطاً بالآخر وإن أودعه دراهم في كيس مشدود فحله أو خرق ما تحت الشد ضمن ما فيه لأنه هتك الحرز من غير عذر وإن أودعه دراهم في غير وعاء فأخذ منها درهماً ضمن الدرهم لأنه تعدى فيه ولا يضمن الباقي لأنه لم يتعدى فيه فإن رد الدرهم فإن كان متميزاً بعلامة لم يضمن غيره
PASAL: Jika seseorang titipkan kepadanya dirham lalu ia mencampurnya dengan dirham sejenis miliknya, maka ia wajib menggantinya karena pemilik tidak rela hartanya dicampur dengan harta orang lain. Jika ia mencampurnya dengan dirham milik si penitip juga, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia tidak wajib mengganti karena semuanya milik si penitip; kedua, ia wajib mengganti, dan ini yang lebih kuat, karena si penitip tidak rela sebagian hartanya bercampur dengan sebagian yang lain.
Jika seseorang menitipkan kepadanya dirham dalam kantong yang terikat, lalu ia membuka ikatannya atau merobek bagian bawah ikatan tersebut, maka ia wajib mengganti isinya karena ia telah merusak tempat penyimpanan tanpa alasan.
Jika seseorang menitipkan dirham tanpa wadah, lalu ia mengambil satu dirham darinya, maka ia wajib mengganti dirham itu karena ia berbuat sewenang-wenang terhadapnya, tetapi tidak wajib mengganti sisanya karena tidak ada pelanggaran padanya. Jika ia mengembalikan dirham tersebut dan masih dapat dibedakan dengan tanda khusus, maka ia tidak wajib mengganti selainnya.
وإن لم يتميز بعلامة فقد قال الربيع يضمن الجميع لأنه خلط المضمون بغيره فضمن الجميع والمنصوص أنه لا يضمن الجميع لأن المالك رضي أن يختلط هذا الدرهم بالدراهم فلم يضمن وإن أنفق الدرهم ورد بدله فإن كان متميزاً عن الدراهم لم يضمن الدراهم لأنها باقية كما كانت وإن كان غير متميز ضمن الجميع لأنه خلط الوديعة بما لا يتميز عنها فضمن الجميع.
Jika dirham tersebut tidak dapat dibedakan dengan tanda khusus, maka ar-Rabi‘ berkata: ia wajib mengganti seluruhnya, karena ia telah mencampur sesuatu yang wajib diganti dengan yang bukan miliknya, sehingga wajib mengganti semuanya.
Namun, menurut nash Imam asy-Syafi‘i, ia tidak wajib mengganti semuanya karena pemilik telah rela dirham itu bercampur dengan dirham lainnya, maka tidak wajib menggantinya.
Jika ia membelanjakan dirham itu lalu mengembalikannya dengan gantinya, maka jika dirham tersebut dapat dibedakan dari dirham yang lain, ia tidak wajib mengganti yang lain karena ia tetap sebagaimana sebelumnya. Namun jika tidak dapat dibedakan, maka ia wajib mengganti semuanya karena ia telah mencampur barang titipan dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan darinya, maka wajib mengganti semuanya.
فصل: فإن أودعه دابة فلم يسقها ولم يعلفها حتى ماتت ضمنها لأنها ماتت بسبب تعدى به فضمنها وإن قال لا تسقها ولا تعلفها فلم يسقها ولم يعافها حتى ماتت ففيه وجهان: قال أبو سعيد الاصطخري يضمن لأنه لاحكم لنهيه لأنه يجب عليه سقيها وعلفها فإذا ترك ضمن كما لو لم ينه عن السقي والعلف وقال أبو العباس وأبو إسحاق لا يضمن لأن الضمان يجب لحق المالك وقد رضي بإسقاطه.
PASAL: Jika seseorang menitipkan kepadanya seekor hewan tunggangan, lalu ia tidak memberinya minum dan tidak memberinya makan hingga hewan itu mati, maka ia wajib menggantinya karena hewan tersebut mati akibat kelalaiannya, maka ia wajib menanggungnya.
Namun, jika si penitip berkata: “Jangan beri minum dan jangan beri makan,” lalu ia pun tidak memberi minum dan tidak memberi makan hingga hewan itu mati, maka ada dua pendapat:
Pertama, menurut Abu Sa‘id al-Ishṭakhrī, ia tetap wajib menggantinya karena larangan itu tidak dianggap, sebab ia wajib memberi minum dan makan, maka jika ia meninggalkannya, ia tetap wajib menanggungnya sebagaimana jika tidak ada larangan untuk memberi minum dan makan.
Kedua, menurut Abu al-‘Abbās dan Abu Ishaq, ia tidak wajib menggantinya karena tanggungan itu wajib demi hak pemilik, dan pemilik telah rela menggugurkan hak tersebut.
فصل: إذا أخرج الوديعة من الحرز لمصلحة لها كإخراج الثياب للتشرير لم يضمن لأن ذلك من مصلحة الوديعة ومقتضى الإيداع فلم يضمن به وإن أخرجها لينتفع بها ضمنها لأنه تصرف في الوديعة بما ينافي مقتضاها فضمن به كما لو أحرزها في غير حرزها فإن كان دابة فأخرجها للسقي والعلف إلى خارج الحرز فإن كان المنزل ضيقاً لم يضمن لأنه مضطر إلى الإخراج وإن كان المنزل واسعاً ففيه وجهان: أحدهما يضمن وهو المنصوص وهو قول أبي سعيد الاصطخري لأنه أخرج الوديعة من حرزها من غير حاجة فضمنها كما لو أخرجها ليركبها
PASAL: Jika ia mengeluarkan barang titipan dari tempat penyimpanan karena ada maslahat bagi titipan itu, seperti mengeluarkan pakaian untuk dijemur, maka ia tidak menanggungnya karena itu termasuk maslahat titipan dan sesuai dengan konsekuensi penitipan, sehingga ia tidak menanggungnya. Namun jika ia mengeluarkannya untuk mengambil manfaat darinya, maka ia menanggungnya karena ia telah menggunakan titipan dengan cara yang bertentangan dengan maksud penitipan, maka ia menanggungnya sebagaimana jika ia menyimpannya di tempat yang bukan tempat penyimpanannya. Jika barang itu adalah hewan, lalu ia keluarkan untuk diberi minum dan makan di luar tempat penyimpanan, maka jika rumahnya sempit ia tidak menanggungnya karena terpaksa mengeluarkannya, dan jika rumahnya luas, maka ada dua pendapat: salah satunya mengatakan ia menanggungnya, ini adalah pendapat yang diriwayatkan langsung dan merupakan pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī, karena ia telah mengeluarkan barang titipan dari tempat penyimpanannya tanpa kebutuhan, maka ia menanggungnya sebagaimana jika ia mengeluarkannya untuk ditunggangi.
والثاني أنه لا يضمن وهو قول أبي إسحاق لأن العادة قد جرت بالسقي والعلف خارج المنزل وحمل النص عليه إذا كان الخارج غير آمن وإن نوى إخراجها للانتفاع بها كاللبس والركوب أو نوى ألا يردها على صاحبها ففيه ثلاثة أوجه: أحدها وهو قول أبي العباس أنه يضمن كما يضمن اللقطة إذا نوى تملكها والثاني وهو قول القاضي أبي حامد المروروذي أنه إن نوى إخراجها للانتفاع بها لم يضمن وإن نوى أن لا يردها ضمن لأن هذه النية صار ممسكاً لها على نفسه وبالنية الأولى لا يصير ممسكاً على نفسه والثالث وهو قول أكثر أصحابنا أنه لا يضمن لأن الضمان إنما يكون بفعل يوقع في العين وذلك لم يوجد.
dan yang kedua bahwa ia tidak menanggung, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena kebiasaan telah berlaku memberi minum dan makan ternak di luar rumah, dan nash dibawa pada keadaan jika tempat di luar itu tidak aman. Dan jika ia berniat mengeluarkannya untuk mengambil manfaat darinya seperti mengenakan atau menungganginya, atau ia berniat untuk tidak mengembalikannya kepada pemiliknya, maka ada tiga pendapat:
Pertama, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa ia menanggung sebagaimana menanggung barang temuan (luqṭah) jika berniat untuk memilikinya.
Kedua, dan ini adalah pendapat al-Qāḍī Abū Ḥāmid al-Marwazī, bahwa jika ia berniat mengeluarkannya untuk mengambil manfaat darinya, maka ia tidak menanggung, dan jika ia berniat untuk tidak mengembalikannya maka ia menanggung, karena niat yang kedua menjadikannya sebagai orang yang menahannya untuk dirinya sendiri, sedangkan niat yang pertama tidak menjadikannya demikian.
Ketiga, dan ini adalah pendapat mayoritas aṣḥāb kami, bahwa ia tidak menanggung, karena tanggungan hanya terjadi dengan perbuatan yang menyebabkan kerusakan pada benda, dan hal itu tidak terjadi.
فصل: وإن أخذت الوديعة منه قهراً لم يضمن لأنه غير مفرط في ذلك وإن أكره حتى سلمها ففيه وجهان بناء على القولين فيمن أكره حتى أكل في الصوم: أحدهما أنه يضمن لأنه فوت الوديعة على صاحبها لدفع الضرر عن نفسه فأشبه إذا أنفقها على نفسه لخوف التلف من الجوع والثاني أنه لا يضمن لأنه مكره فأشبه إذا أخذت بغير فعل من جهته.
فصل: وإن طالبه المودع برد الوديعة فأخر من غير عرف ضمن لأنه مفرط فإن أخرها لعذر لم يضمن لأنه غير مفرط.
PASAL: Jika barang titipan diambil darinya secara paksa, maka ia tidak menanggung ganti rugi karena tidak ada unsur kelalaian darinya. Jika ia dipaksa hingga menyerahkannya, maka ada dua pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam masalah orang yang dipaksa lalu makan di siang hari bulan Ramadan: pertama, ia menanggung ganti rugi karena ia telah menghilangkan barang titipan milik pemiliknya demi menghindari bahaya atas dirinya sendiri, maka hal itu seperti ketika ia memakainya untuk dirinya karena takut mati kelaparan; kedua, ia tidak menanggung ganti rugi karena ia dipaksa, maka hal itu seperti ketika barang itu diambil tanpa ada perbuatan darinya.
PASAL: Jika pemilik titipan meminta pengembalian titipan dan ia menunda tanpa alasan yang diakui secara adat, maka ia menanggung ganti rugi karena dianggap lalai. Jika ia menundanya karena suatu uzur, maka ia tidak menanggung ganti rugi karena tidak dianggap lalai.
فصل: وإن تعدى في الوديعة فضمنها ثم ترك التعدي في الوديعة لم يبرأ من الضمان لأنه ضمن العين بالعدوان فلم يبرأ بالرد إلى المكان كما لو غصب من داره شيئاً ثم رده إلى الدار فإن قال المودع أبراتك من الضمان أو أذنت لك في حفظها ففيه وجهان: أحدهما يبرأ من الضمان وهو ظاهر النص لأن الضمان يجب لحقه فسقط بإسقاطه والثاني أنه لا يبرأ حتى يردها إليه لأن الإبراء إنما يكون عن حق في الذمة ولا حق له في الذمة فلم يصح الإبراء.
PASAL: Jika seseorang melampaui batas dalam menjaga titipan lalu ia menanggung ganti rugi atasnya, kemudian ia berhenti dari perbuatan melampaui batas tersebut, maka ia tidak bebas dari tanggungan ganti rugi. Sebab ia telah menanggung ganti rugi atas barang itu karena tindakan aniaya, maka tidak cukup baginya hanya dengan mengembalikan ke tempatnya, sebagaimana orang yang merampas sesuatu dari rumah seseorang, lalu mengembalikannya ke rumah itu—maka ia tetap menanggung ganti rugi. Jika pemilik titipan berkata, “Aku bebaskan kamu dari tanggungan ganti rugi,” atau “Aku izinkan kamu untuk menjaganya,” maka ada dua pendapat: pertama, ia bebas dari tanggungan ganti rugi—dan ini adalah pendapat yang lebih kuat menurut nash—karena tanggungan itu wajib demi hak pemilik, maka gugur dengan pelepasannya; kedua, ia tidak bebas dari tanggungan sampai barang itu dikembalikan kepadanya, karena pembebasan hanya berlaku untuk hak yang ada dalam tanggungan, sedangkan di sini belum ada hak dalam tanggungan, maka tidak sah pembebasannya.
فصل: إذا اختلف المودع والمودع فقال أودعتك وديعة وأنكرها المودع فالقول قوله لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لوأن الناس أعطوا بدعاويهم لادعى ناس من الناس دماء ناس وأموالهم ولكن اليمين على المدعى عليه والبينة على من أنكر” ولأن الأصل أنه لم يودعه فكان القول قوله.
PASAL: Jika terjadi perselisihan antara pemilik titipan (al-mūdi‘) dan penerima titipan (al-mūda‘), lalu pemilik titipan berkata, “Aku telah menitipkan suatu barang kepadamu,” sementara penerima titipan mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan penerima titipan. Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Seandainya manusia diberi (hak) berdasarkan pengakuan mereka, niscaya akan ada orang-orang yang mengklaim darah dan harta milik orang lain, namun sumpah itu dibebankan kepada pihak yang mengingkari, dan bukti itu wajib atas pihak yang menuduh.” Dan karena hukum asalnya adalah tidak adanya penitipan, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan penerima titipan.
فصل: وإن ادعى أنها تلفت نظرت فإن ادعى التلف بسبب ظاهر كالنهب والحريق فلم يقبل حتى يقيم البينة على وجود النهب والحريق لأن الأصل أن لا نهب ولا حريق ويمكن إقامة البينة عليها فلم يقبل قوله من غير بينة فإن أقام البينة على ذلك أو ادعى الهلاك بسبب يخفى فالقول قوله مع اليمين أنها هلكت لأن الهلاك يتعذر إقامة البينة عليه فقبل قوله مع يمينه.
PASAL: Jika seseorang mengklaim bahwa barang titipan telah rusak, maka hal itu diteliti. Jika ia mengaku bahwa kerusakan terjadi karena sebab yang tampak seperti penjarahan atau kebakaran, maka tidak diterima kecuali ia menghadirkan bukti atas terjadinya penjarahan atau kebakaran, karena pada dasarnya tidak ada penjarahan dan tidak ada kebakaran, dan memungkinkan untuk menghadirkan bukti atas hal itu, maka tidak diterima ucapannya tanpa bukti. Namun jika ia menghadirkan bukti atas hal tersebut, atau mengklaim kerusakan karena sebab yang tersembunyi, maka ucapannya diterima dengan disertai sumpah bahwa barang tersebut telah rusak, karena kerusakan itu sulit dibuktikan dengan saksi, maka ucapannya diterima dengan sumpah.
فصل: وإن اختلفا في الرد فالقول قوله مع يمينه لأنه أخذ العين لمنفعة المالك فكان القول في الرد قوله وإن ادعى عليه أنه أودعه فأنكر الإيداع فأقام المودع بينة بالإيداع فقال المودع صدقت البينة أودعتني ولكنها تلفت أو رددتها لم يقبل قوله لأنه صار خائناً ضامناً فلا يقبل قوله في البراءة بالرد والهلاك فإن قال أنا أقيم البينة بالتلف أو الرد ففيه وجهان: أحدهما أنها تسمع لأنه لو صدقه المدعي ثبتت براءته فإذا قامت البينة سمعت والثاني لا تسمع لأنه كذب البينة بإنكاره الإيداع فأما إذا ادعى عليه أنه أودعه فقال: ماله عندي شيء فأقام البينة بالإيداع فقال صدقت البينة أودعتني ولكنها تلفت أو رددتها قبل قوله مع اليمين لأنه صادق في إنكاره أنه لا شيء عنده لأنها إذا تلفت أو ردها عليه لم يبق له عنده شيء والله أعلم.
PASAL: Jika keduanya berselisih dalam hal pengembalian, maka perkataannya diterima dengan sumpahnya, karena ia mengambil barang itu untuk kemaslahatan pemilik, maka dalam hal pengembalian, perkataan berada pada pihaknya. Jika pemilik barang mengaku telah menitipkan, namun yang dititipi mengingkari penitipan lalu pemilik mendatangkan bukti atas penitipan tersebut, lalu yang dititipi berkata: “Benar, bukti itu benar, engkau memang telah menitipkannya padaku, tetapi barang itu telah rusak atau telah aku kembalikan,” maka perkataannya tidak diterima karena ia telah menjadi pengkhianat yang wajib menanggung, sehingga tidak diterima pengakuannya dalam pembebasan melalui pengembalian atau kerusakan.
Jika ia berkata, “Aku akan mendatangkan bukti bahwa barang itu telah rusak atau telah aku kembalikan,” maka ada dua pendapat:
Pertama, bukti tersebut diterima, karena jika penggugat membenarkannya, maka gugur tanggungannya; maka apabila ia mendatangkan bukti, diterimalah.
Kedua, tidak diterima, karena ia telah mendustakan bukti dengan pengingkaran terhadap penitipan.
Adapun jika dituduh bahwa ia telah menerima titipan, lalu ia berkata: “Tidak ada sesuatu pun miliknya padaku,” lalu pemilik mendatangkan bukti tentang penitipan, dan ia pun berkata: “Benar, bukti itu benar, engkau memang menitipkannya padaku, tetapi barang itu telah rusak atau telah aku kembalikan,” maka perkataannya diterima dengan sumpah karena ia jujur dalam pengingkarannya bahwa tidak ada lagi milik orang itu padanya, sebab jika barang itu telah rusak atau telah dikembalikan, maka memang tidak ada lagi yang tersisa padanya. والله أعلم.
الإعارة قربة مندوب إليها لقوله تعالى: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى} وروى جابر رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “ما من صاحب إبل لا يفعل فيها حقها إلا جاءت يوم القيامة أكثر ما كانت بقاع قرقر تشتد عليه بقوائمها وأخفافها قال رجل يا رسول الله ماحق الإبل؟ قال: حلبها على الماء وإعارة دلوها وإعارة فحلها”.
Kitab al-‘Āriyah (Kitab Peminjaman Pakai)
‘Āriyah adalah bentuk qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang dianjurkan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan.”
Diriwayatkan dari Jabir RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah seorang pemilik unta yang tidak menunaikan hak unta tersebut, melainkan unta-unta itu akan datang pada hari kiamat dalam jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya di sebuah tanah lapang, lalu ia diinjak-injak oleh kaki dan telapak unta-unta itu.”
Seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak unta itu?”
Beliau menjawab: “Memerah susunya di tempat air, meminjamkan embernya, dan meminjamkan pejantan untanya.”
فصل: ولا تصح الإعارة إلا من جائز التصرف في المال فأما من لا يملك التصرف في المال كالصبي والسفيه فلا تصح منه لأنه تصرف في المال فلا يملكه الصبي والسفيه كالبيع.
PASAL: Tidak sah ‘ārīyah kecuali dari orang yang sah dalam melakukan taṣarruf terhadap harta. Adapun orang yang tidak memiliki kewenangan taṣarruf terhadap harta seperti anak kecil dan orang safih, maka tidak sah ‘ārīyah darinya, karena ia merupakan bentuk taṣarruf terhadap harta, maka tidak dimiliki oleh anak kecil dan orang safih, sebagaimana dalam jual beli.
فصل: وتصح الإعارة في كل عين ينتفع بها مع بقائها كالدور والعقار والعبيد والجواري والثياب والدواب والفحل للضراب لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم ذكر إعارة دلوها وإعارة فحلها ورى أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم استعار من أبي طلحة فرساً فركبه وروى صفوان أن النبي صلى الله عليه وسلم استعار منه أدرعاً في غزاة حنين فثبت في هذه الأشياء بالخبر وقسنا عليها كل ما كان ينتفع به مع بقاء عينه.
PASAL: Sah peminjaman pakai (‘āriyah) atas setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuh bendanya, seperti rumah, tanah, budak laki-laki, budak perempuan, pakaian, hewan tunggangan, dan pejantan untuk dikawinkan. Karena diriwayatkan dari Jabir RA bahwa Nabi SAW menyebutkan peminjaman ember dan peminjaman pejantan. Dan Anas meriwayatkan bahwa Nabi SAW meminjam kuda dari Abu Ṭalḥah lalu beliau menungganginya. Dan Ṣafwān meriwayatkan bahwa Nabi SAW meminjam baju-baju besi darinya dalam Perang Ḥunain. Maka telah tetap hukum peminjaman pada barang-barang tersebut berdasarkan hadis, dan kami mengqiyaskan padanya setiap barang yang dapat dimanfaatkan dengan tetap utuh bendanya.
فصل: ولا يجوز إعارة جارية ذات جمال لغير ذي رحم محرم لأنه لا يأمن أن يخلو بها فيواقعها فإن كانت قبيحة أو كبيرة لا تشتهى لم يحرم لأنه يؤمن عليها الفساد ولا تجوز إعارة العبد المسلم من الكافر لأنه لا يجوز أن يخدمه ولا تجوز إعارة الصيد من المحرم لأنه لا يجوز له إمساكه ولا التصرف فيه ويكره أن يستعير أحد أبويه للخدمة لأنه يكره أن يستخدمهما فكره استعارتهما لذلك.
PASAL: Tidak boleh meminjamkan seorang budak perempuan yang memiliki paras cantik kepada orang yang bukan mahram, karena dikhawatirkan ia akan berkhalwat dengannya lalu menyetubuhinya. Namun jika budak itu buruk rupa atau sudah tua dan tidak menimbulkan syahwat, maka tidak haram, karena aman dari kerusakan.
Tidak boleh meminjamkan budak laki-laki muslim kepada orang kafir, karena tidak boleh ia melayaninya. Dan tidak boleh meminjamkan hewan buruan kepada orang yang sedang berihram, karena ia tidak boleh memegang dan menguasainya.
Dan dimakruhkan seseorang meminjam salah satu dari kedua orang tuanya untuk dijadikan pembantu, karena dimakruhkan mempergunakan keduanya untuk pelayanan, maka dimakruhkan pula meminjam mereka untuk itu.
فصل: ولا تنعقد إلا بإيجاب وقبول لأنه إيجاب حق لآدمي فلا يصح إلا بالإيجاب والقبول كالبيع والإجارة وتصح بالقول من أحدهما والفعل من الآخر فإن قال المستعير أعرني فسلمها إليه انعقد وإن قال المعير أعرتك فقبضها المستعير انعقد لأنه إباحة للتصرف في مال فصلح بالقول من أحدهما والفعل من الآخر كإباحة الطعام.
PASAL: Tidak sah akad ‘āriyah kecuali dengan ijab dan qabul, karena ia adalah penetapan hak bagi manusia, maka tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul sebagaimana jual beli dan ijarah. Sah dilakukan dengan ucapan dari salah satu pihak dan perbuatan dari pihak lainnya. Jika peminjam berkata, “Pinjamkanlah kepadaku,” lalu pemilik barang menyerahkannya kepadanya, maka akadnya sah. Dan jika pemilik barang berkata, “Aku telah meminjamkannya kepadamu,” lalu peminjam mengambilnya, maka akadnya sah, karena ia merupakan pembolehan untuk menggunakan harta, sehingga sah dengan ucapan dari satu pihak dan perbuatan dari pihak lain, seperti pembolehan memakan makanan.
فصل: وإذا قبض العين ضمنها لما روى صفوان أن النبي صلى الله عليه وسلم استعار منه أدرعاً يوم حنين فقال أغصباً يا محمد قال: “بل عارية مضمونة” ولأنه مال لغيره أخذه لمنفعة نفسه لا على وجه الوثيقة فضمنها كالمغصوب فإن هلكت نظرت فإن كان مما لا مثل له ففي ضمانها وجهان: أحدهما يضمنها بأكثر ما كانت قيمتها من حين القبض إلى حين التلف كالمغصوب وتصير الأجزاء تابعة للعين إن سقط ضمانها بالرد سقط ضمان الأجزاء وإن وجب ضمانها بالتلف وجب ضمان الأجزاء
PASAL: Apabila barang telah diterima, maka orang yang meminjam menanggungnya, berdasarkan riwayat dari Ṣafwān bahwa Nabi SAW meminjam darinya beberapa baju besi pada hari Ḥunain. Ṣafwān berkata: “Apakah engkau meminjam secara paksa, wahai Muḥammad?” Beliau menjawab: “Bukan, tetapi ‘ārīyah yang dijamin.” Karena barang itu adalah milik orang lain yang diambil untuk kemanfaatan dirinya sendiri, bukan dalam bentuk jaminan, maka ia wajib menanggungnya seperti barang yang diguṣub.
Jika barang itu rusak, maka dilihat dahulu: jika termasuk barang yang tidak memiliki padanan (mithl), maka dalam penjaminnya terdapat dua pendapat:
Pertama, ia wajib menanggungnya dengan nilai tertinggi dari sejak barang itu diterima hingga saat rusaknya, seperti barang yang diguṣub. Maka bagian-bagian (ajzā’) barang itu mengikuti hukum barang utamanya: jika gugur tanggungannya karena dikembalikan, maka gugur pula tanggungan bagian-bagiannya; dan jika wajib mengganti karena rusak, maka wajib pula mengganti bagian-bagiannya.
والثاني أنها تضمن بقيمتها يوم التلف وهو الصحيح لأنا لو ألزمناه قيمتها أكثر ما كانت من حين القبض إلى حين التلف أوجبنا ضمان الأجزاء التالفة بالإذن وهذا لا يجوز ولهذا لو كانت العين باقية وقد نقصت أجزاؤها بالاستعمال لم يجب ضمانها وإن كان مما له مثل فإن قلنا فيما لا مثل له أنه يضمن بأكثر ما كانت قيمته لزمه مثلها وإن قلنا إنه يضمن بقيمته يوم التلف ضمنها بقيمتها واختلف أصحابنا في ولد المستعارة فمنهم من قال إنه مضمون لأنها مضمونة فضمن ولدها كالمغصوبة ومنهم من قال لا يضمن لأن الولد لم يدخل في الإعارة فلم يدخل في الضمان ويخالف المغصوبة فإن الولد يدخل في الغصب فدخل في الضمان
Dan yang kedua: bahwa ia wajib diganti dengan nilainya pada hari rusak, dan inilah yang shahih. Karena jika kami mewajibkan mengganti dengan nilai tertinggi sejak diterima hingga saat rusak, maka berarti kami mewajibkan mengganti bagian-bagian yang rusak dengan izin, dan ini tidak boleh. Oleh karena itu, jika barangnya masih ada namun sebagian bagiannya rusak karena pemakaian, maka tidak wajib menggantinya. Dan jika barang itu termasuk yang ada padanannya, maka jika kita katakan bahwa untuk barang yang tidak ada padanannya wajib diganti dengan nilai tertingginya, maka berarti ia wajib mengganti dengan padanannya. Dan jika kita katakan bahwa ia wajib mengganti dengan nilainya pada hari rusak, maka ia menggantinya sesuai nilai tersebut.
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang anak dari barang yang dipinjam. Sebagian dari mereka berkata: anaknya wajib diganti karena induknya dijamin, maka anaknya juga dijamin sebagaimana pada barang yang digashab. Dan sebagian dari mereka berkata: tidak wajib diganti, karena anak tersebut tidak termasuk dalam akad peminjaman, maka tidak termasuk dalam kewajiban ganti rugi. Ini berbeda dengan barang yang digashab, karena anaknya termasuk dalam ghashab, maka masuk pula dalam tanggung jawab ganti rugi.
فإن غصب عيناً فأعارها من غيره ولم يعلم المستعير وتلفت عنده فضمن المالك المستعير لم يرجع بما غرم على الغاصب لأنه دخل على أنه يضمن العين وإن ضمنه أجرة المنفعة فهل يرجع على الغاصب؟ فيه قولان: بناء على القولين فيمن غصب طعاماً وقدمه إلى غيره: أحدهما يرجع لأنه غره والثاني لا يرجع لأن المنافع تلفت تحت يده.
Jika seseorang menggashab suatu barang, lalu meminjamkannya kepada orang lain tanpa sepengetahuan peminjam, kemudian barang itu rusak di tangan peminjam, lalu pemilik menuntut ganti rugi dari si peminjam, maka si peminjam tidak bisa menuntut kembali ganti rugi dari si penggashab, karena ia telah menerima barang tersebut dengan konsekuensi menanggung kerusakannya.
Namun, jika si peminjam juga diwajibkan mengganti ujrah al-manfa‘ah (upah pemanfaatan), maka apakah ia boleh menuntut ganti kepada penggashab? Dalam hal ini ada dua pendapat:
- Pertama: ia boleh menuntut ganti karena telah diperdaya olehnya.
- Kedua: tidak boleh menuntut ganti karena manfaat tersebut hilang di bawah tanggungannya sendiri.
فصل: ويجوز للمعير أن يرجع في العارية بعد القبض ويجوز للمستعير أن يرد لأنه إباحة فجاز لكل واحد منهما رده كإباحة الطعام وإذا فسخ العقد وجب الرد على المستعير لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم استعار من صفوان بن أمية أدرعاً وسلاحاً فقال: أعارية مؤداة قال: “عارية مؤداة” ويجب ردها إلى المعير أو إلى وكيله فإن ردها إلى المكان الذي أخذها منه لم يبرأ من الضمان لأن ما وجب رده وجب رده إلى المالك أو إلى وكيله كالمغصوب والمسروق.
PASAL: Boleh bagi pemberi pinjaman (al-mu‘īr) untuk menarik kembali barang pinjaman setelah diterima, dan boleh bagi peminjam (al-musta‘īr) untuk mengembalikannya, karena pinjaman ini merupakan bentuk pembolehan, maka boleh bagi masing-masing dari keduanya untuk membatalkannya, sebagaimana dalam pembolehan makan. Apabila akad dibatalkan, maka wajib mengembalikannya atas peminjam, karena diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW meminjam baju besi dan senjata dari Shafwān bin Umayyah, lalu beliau berkata: “Apakah ini pinjaman yang harus dikembalikan?” Shafwān menjawab: “Pinjaman yang harus dikembalikan.” Dan wajib dikembalikan kepada pemilik (mu‘īr) atau kepada wakilnya. Apabila dikembalikan ke tempat semula barang itu diambil, maka tidak bebas dari tanggungan (jaminan), karena apa yang wajib dikembalikan, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya atau wakilnya, seperti barang yang dighasab dan dicuri.
فصل: ومن استعار عيناً جاز له أن يستوفي منفعتها بنفسه أو بوكيله لأن الوكيل نائب عنه وهل له أن يعير غيره؟ فيه وجهان: أحدهما يجوز كما يجوز للمستأجر أن يؤجر والثاني لا يجوز وهو الصحيح لأنه إباحة فلا يملك بها الإباحة لغيره وكإباحة الطعام ويخالف المستأجر فإنه يملك المنافع ولهذا يملك أن يأخذ عليه العوض فملك نقله إلى غيره كالمشتري للطعام والمستعير لا يملك ولهذا لا يملك أخذ العوض عليه فلا يملك نقله إلى غيره كمن قدم إليه الطعام.
PASAL: Barang siapa meminjam suatu barang, maka boleh baginya mengambil manfaatnya sendiri atau melalui wakilnya, karena wakil adalah perwakilan darinya.
Apakah boleh ia meminjamkannya lagi kepada orang lain? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
- Pendapat pertama: boleh, sebagaimana penyewa boleh menyewakan kembali.
- Pendapat kedua: tidak boleh, dan inilah yang shahih, karena peminjaman itu hanya merupakan bentuk ibāhah (pembolehan), sehingga tidak memberikan hak untuk membolehkan kepada orang lain, sebagaimana pembolehan makan. Berbeda dengan penyewa, karena ia memiliki manfaat barang tersebut, dan karena itu boleh mengambil imbalan atasnya, maka ia memiliki hak untuk memindahkannya kepada orang lain, sebagaimana pembeli makanan. Sedangkan peminjam tidak memiliki manfaat itu, dan karena itu tidak berhak mengambil imbalan atasnya, maka ia tidak boleh memindahkannya kepada orang lain, sebagaimana orang yang diberi makanan.
فصل: وتجوز الإعارة مطلقاً ومعيناً لأنه إباحة فجاز مطلقاً ومعيناً كإباحة الطعام فإن قال أعرتك هذه الأرض لتنتفع بها جاز له أن يزرع ويغرس ويبني لأن الإذن مطلق وإن استعار للبناء أو للغرس جاز له أن يزرع لأن الزرع أقل ضرراً من الغراس والبناء فإذا رضي بالبناء والغراس رضي بالزرع ومن أصحابنا من قال إن استعار للبناء لم يزرع لأن في الزرع ضرراً ليس في البناء وهو أنه يرخي الأرض وإن استعار للزرع لم يغرس ولم يبن لأن الغراس والبناء أكثر ضرراً من الزرع فلا يكون الإذن في الزرع إذناً في الغراس والبناء
PASAL: Boleh meminjamkan secara mutlak maupun secara tertentu, karena ini merupakan bentuk pembolehan, maka dibolehkan secara mutlak maupun tertentu sebagaimana pembolehan makan. Jika ia berkata: “Aku meminjamkan tanah ini kepadamu untuk kamu ambil manfaatnya,” maka boleh baginya untuk menanam, menanam pohon, dan membangun, karena izinnya bersifat mutlak. Dan jika ia meminjam untuk membangun atau menanam pohon, maka boleh baginya menanam, karena menanam lebih ringan mudaratnya dibandingkan menanam pohon dan membangun. Maka apabila ia ridha terhadap pembangunan dan penanaman pohon, maka berarti ia ridha terhadap penanaman. Dan sebagian dari sahabat kami berkata: Jika ia meminjam untuk membangun, maka tidak boleh menanam karena dalam penanaman terdapat mudarat yang tidak terdapat dalam pembangunan, yaitu merusak struktur tanah. Dan jika ia meminjam untuk menanam, maka tidak boleh menanam pohon dan tidak boleh membangun, karena menanam pohon dan membangun lebih besar mudaratnya daripada sekadar menanam, maka izin dalam penanaman tidak berarti izin dalam penanaman pohon dan pembangunan.
وإن استعار للحنطة زرع الحنطة وما ضرره ضرر الحنطة لأن الرضا بزراعة الحنطة رضا بزراعة مثله وإن استعار للغراس والبناء ملك ما أذن فيه منهما وهل يملك الآخر فيه وجهان: أحدهما أنه يملك الآخر لأن الغراس والبناء يتقاربان في البقاء والتأييد فكان الإذن في أحدهما إذناً في الآخر والثاني أنه لا يجوز لأنه في كل واحد منهما ضرراً ليس في الآخر فإن ضرر الغراس في باطن الأرض أكثر وضرر البناء في ظاهر الأرض أكثر فلا يملك بالإذن في أحدهما الآخر.
Dan jika ia meminjam untuk menanam gandum, maka boleh menanam gandum dan apa pun yang kadar mudaratnya sama dengan gandum, karena keridaan terhadap penanaman gandum berarti keridaan terhadap penanaman yang semisal dengannya. Dan jika ia meminjam untuk menanam pohon atau membangun, maka ia memiliki hak atas apa yang diizinkan dari keduanya. Adapun apakah ia juga memiliki hak atas yang lainnya, maka terdapat dua wajh: Pertama, ia memiliki hak atas yang lainnya karena penanaman pohon dan pembangunan sama-sama bersifat permanen dan langgeng, maka izin atas salah satunya merupakan izin atas yang lainnya. Kedua, tidak boleh, karena masing-masing dari keduanya memiliki mudarat yang tidak terdapat pada yang lain, sebab mudarat penanaman pohon lebih besar di dalam tanah, sedangkan mudarat pembangunan lebih besar di permukaan tanah, maka tidak dapat dimiliki salah satunya hanya dengan izin pada yang lain.
فصل: وإن أعاره أرضاً للغراس أو البناء فغرس وبنى ثم رجع لم يجز أن يغرس ويبني شيئاً آخر لأنه يملك الغراس والبناء بالإذن وقد زال الإذن فأما ما غرس وبنى فينظر فإن كان قد شرط عليه القلع أجبر على القلع لقوله صلى الله عليه وسلم: “والمؤمنون عند شروطهم” ولأنه رضي بالتزام الضرر الذي يدخل عليه بالقلع فإذا قلع لم تلزمه تسوية الأرض لأنه لما شرط عليه القلع رضي بما يحصل بالقلع من الحفر ولأنه مأذون فيه فلا يلزمه ضمان ما حصل به من النقص كاستعمال الثوب لا يلزمه ضمان ما يبليه منهن وإن لم يشرط القلع نظرت فإن لم تنقص قيمة الغراس والبناء بالقلع قلع لأنه يمكن رد العارية فارغة من غير إضرار فوجب ردها
PASAL: Jika seseorang meminjamkan tanah untuk penanaman atau pembangunan, lalu peminjam menanam atau membangun, kemudian pemilik tanah menarik kembali izinnya, maka tidak boleh lagi menanam atau membangun sesuatu yang lain, karena kepemilikan atas tanaman dan bangunan itu diperoleh melalui izin, dan izin itu telah hilang.
Adapun tanaman dan bangunan yang sudah ada, maka dilihat keadaannya. Jika sebelumnya disyaratkan untuk dicabut, maka ia dipaksa untuk mencabutnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Orang-orang mukmin terikat dengan syarat-syarat mereka”, dan karena ia telah rela menanggung kerugian yang timbul akibat pencabutan. Maka apabila ia telah mencabutnya, ia tidak wajib meratakan tanah kembali, karena ketika ia menerima syarat pencabutan, berarti ia rela dengan lubang-lubang yang terjadi akibat pencabutan tersebut. Dan karena itu dilakukan dengan izin, maka ia tidak wajib menanggung kerusakan yang timbul karenanya, sebagaimana orang yang memakai pakaian tidak wajib mengganti bagian yang aus karena pemakaian.
Namun jika tidak disyaratkan pencabutan, maka dilihat kembali: jika pencabutan tidak mengurangi nilai tanaman dan bangunan, maka wajib mencabutnya, karena memungkinkan untuk mengembalikan barang pinjaman dalam keadaan kosong tanpa menyebabkan kerusakan, maka wajib mengembalikannya.
فإن نقصت قيمة الغراس بالقلع نظرت فإن اختار المستعير القلع كان له ذلك لأنه ملكه فملك نقله فإذا قلعه فهل تلزمه تسوية الأرض فيه وجهان: أحدهما لا تلزمه لأنه لما أعاره من العلم بأن له أن يقلع كان ذلك رضا بما يحصل بالقلع من التخريب فلم تلزمه التسوية كما لو شرط القلع والثاني تلزمه لأن القلع باختياره فإنه لو امتنع لم يجبر عليه فلزمه تسوية الأرض كما لو أخرب أرض غير هـ من غير غراس وإن لم يختر القلع نظرت فإن بذل المعير قيمة الغراس والبناء ليأخذه مع الأرض أجبر المستعير عليه لأنه رجوع في العاريو من غير إضرار وإن ضمن أرش النقص بالقلع أجبر المستعير على القلع لأنه رجوع في العارية من غير إضرار
Jika pencabutan mengurangi nilai tanaman, maka dilihat lagi: jika peminjam memilih untuk mencabutnya, maka itu dibolehkan baginya, karena ia memilikinya, maka ia berhak memindahkannya. Jika ia mencabutnya, apakah ia wajib meratakan tanah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: ia tidak wajib meratakan tanah, karena ketika tanah itu dipinjamkan dengan diketahui bahwa ia boleh mencabut tanamannya, maka hal itu menunjukkan kerelaan terhadap kerusakan yang terjadi akibat pencabutan, sehingga tidak wajib baginya meratakan tanah, sebagaimana jika disyaratkan sebelumnya untuk mencabut.
Pendapat kedua: ia wajib meratakannya, karena pencabutan itu atas pilihannya sendiri. Sebab jika ia menolak mencabut, ia tidak dipaksa. Maka wajib atasnya meratakan tanah, sebagaimana orang yang merusak tanah milik orang lain tanpa ada tanaman.
Jika ia tidak memilih mencabut, maka dilihat lagi: jika pemilik tanah menawarkan untuk membayar harga tanaman dan bangunan agar ia dapat mengambil tanah berikut yang ada di atasnya, maka peminjam dipaksa untuk menerimanya, karena itu merupakan bentuk penarikan kembali pinjaman tanpa menimbulkan kerugian.
Jika pemilik tanah menanggung arasy kerugian akibat pencabutan, maka peminjam dipaksa untuk mencabut, karena itu merupakan bentuk penarikan kembali pinjaman tanpa menimbulkan kerugian.
وإن بذل المعير القيمة ليأخذه مع الأرض وبذل المستعير قيمة الأرض ليأخذها مع الغراس قدم المعير لأن الغراس يتبع الأرض في البيع فجاز أن يتبعها في التملك والأرض لا تتبع الغراس في البيع فلم تتبعه في التملك وإن امتنع المعير من بذل القيمة وأرش النقص وبذل المستعير أجرة الأرض لم يجبر على القلع لقوله صلى الله عليه وسلم: “ليس لعرق ظالم حق” وهذا ليس بظالم فوجب أن يكون له حق ولأنه غراس مأذون فيه فلا يجوز الإضرار به في قلعه وإن لم يبذل المستعير الأجرة ففيه وجهان: أحدهما لا يقلع لأن الإعارة تقتضي الانتفاع من غير ضمان والثاني يقلع لأن بعد الرجوع لا يجوز الانتفاع بماله من غير أجرة.
Jika pemilik tanah menawarkan harga untuk mengambil kembali tanah beserta tanaman, dan peminjam menawarkan harga tanah untuk mengambil tanah beserta tanaman, maka didahulukan pemilik tanah. Karena dalam jual beli, tanaman mengikuti tanah, maka boleh tanaman mengikuti tanah dalam kepemilikan. Sedangkan tanah tidak mengikuti tanaman dalam jual beli, maka tidak mengikuti pula dalam kepemilikan.
Jika pemilik tanah enggan memberikan harga atau arasy kerugian, dan peminjam menawarkan sewa tanah, maka ia tidak dipaksa mencabut tanamannya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada hak bagi tanaman yang ditanam secara zalim,” dan ini bukan termasuk orang zalim, maka wajib baginya memiliki hak. Dan karena tanamannya dilakukan atas dasar izin, maka tidak boleh merugikannya dengan pencabutan.
Namun jika peminjam tidak menawarkan sewa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak dipaksa mencabut, karena akad ‘āriyah mengandung makna memperbolehkan pemanfaatan tanpa kewajiban ganti rugi.
Pendapat kedua: dipaksa mencabut, karena setelah penarikan kembali izin, tidak boleh lagi memanfaatkan harta orang lain tanpa membayar sewa.
فصل: إذا أقررنا الغراس في ملكه فأراد المعير أن يدخل إلى الأرض للتفرج أو يستظل بالغراس لم يكن للمستعير منعه لأن الذي استحق المستعير من الأرض موضع الغراس فأما البياض فلا حق للمستعير فيه فجاز للمالك دخوله وإن أراد المستعير دخولها نظرت فإن كان للتفرج والاستراحة لم يجز لأنه قد رجع في الإعارة فلا يجوز دخولها من غير إذن وإن كان لإصلاح الغراس أو أخذ الثمار ففيه وجهان: أحدهما لا يملك لأن حقه إقرار الغراس والبناء دون ما سواه
PASAL: Jika kita membiarkan ghirās tetap berada dalam kepemilikan penyewa, lalu pemilik tanah ingin masuk ke tanah tersebut untuk sekadar melihat-lihat atau berteduh di bawah ghirās, maka penyewa tidak berhak melarangnya, karena yang dimiliki oleh penyewa dari tanah itu hanyalah tempat tumbuhnya ghirās. Adapun bagian tanah yang kosong, maka penyewa tidak memiliki hak atasnya, sehingga pemilik boleh memasukinya. Dan jika penyewa ingin masuk ke tanah itu, maka perlu ditinjau: jika tujuannya adalah untuk bersantai atau beristirahat, maka tidak diperbolehkan karena pemilik telah menarik kembali pinjaman, sehingga tidak boleh memasukinya tanpa izin. Namun jika tujuannya untuk merawat ghirās atau memetik buahnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak berhak memasukinya karena haknya hanyalah menetapkan ghirās dan bangunan, bukan yang lainnya.
والثاني أنه يملك وهو الصحيح لأن الإذن في الغراس إذن فيه فيما يعود بصلاحه وأخذ ثماره وإن أراد المعير بيع الأرض جاز لأنه لا حق فيها لغيره فجاز له بيعها وإن أراد المستعير بيع الغراس من غير المعير ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه ملك له لا حق فيه لغيره والثاني لا يجوز لأن ملكه غير مستقر لأن للمعير أن يبذل له قيمة الغراس والبناء فيأخذهما والصحيح هو الأول لأن عدم الاستقرار لا يمنع البيع كالشقص المشفوع يجوز للمشتري بيعه وإن جاز أن ينتزعه الشفيع بالشفعة.
dan pendapat kedua: ia berhak memasukinya, dan inilah yang benar, karena izin atas ghirās berarti juga izin atas segala sesuatu yang membawa kemaslahatan baginya dan untuk memetik buahnya. Jika pemilik tanah ingin menjual tanahnya, maka itu diperbolehkan karena tidak ada hak bagi orang lain di dalamnya, sehingga sah baginya menjualnya. Dan jika penyewa ingin menjual ghirās kepada selain pemilik tanah, maka terdapat dua pendapat: pertama, boleh karena ghirās adalah miliknya dan tidak ada hak orang lain di dalamnya; dan kedua, tidak boleh karena kepemilikannya belum tetap, sebab pemilik tanah berhak menebus ghirās dan bangunan dengan membayar nilainya, lalu memilikinya. Dan yang benar adalah pendapat pertama, karena ketidakpastian dalam kepemilikan tidak menghalangi jual beli, seperti dalam kasus syaqṣ yang terkena hak syuf‘ah, tetap sah dijual oleh pembeli meskipun memungkinkan untuk diambil oleh pemilik syuf‘ah melalui hak tersebut.
فصل: وإن حمل السيل طعام رجل إلى أرض آخر فنبت فيه فهل يجبر صاحب الطعام على القلع مجاناً؟ فيه وجهان: أحدهما لا يجبر لأنه غير مفرط في إنباته والثاني يجبر وهو الصحيح لأنه شغل ملك غيره بملكه من غير إذن فأجبر على إزالته كما لو كان في داره شجرة فانتشرت أغصانها في هواء دار غيره.
PASAL: Jika air bah membawa makanan milik seseorang ke tanah milik orang lain lalu makanan itu tumbuh di sana, maka apakah pemilik makanan wajib mencabutnya tanpa ganti rugi? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak wajib karena ia tidak lalai dalam menumbuhkannya; dan kedua, wajib, dan inilah yang benar, karena ia telah menggunakan milik orang lain dengan miliknya tanpa izin, maka ia wajib menghilangkannya, sebagaimana jika seseorang memiliki pohon di rumahnya lalu rantingnya menjulur ke udara rumah orang lain.
فصل: وإن أعاره أرضاً للزراعة فزرعها ثم رجع في العارية قبل أن يدرك الزرع وطالبه بالقلع ففيه وجهان: أحدهما أنه كالغراس في التبقية والقلع والأرش والثاني أنه يجبر المعير على التبقية إلى الحصاد بأجرة المثل لأن للزرع وقتاً ينتهي إليه فلو أجبرنا على التبقية عطلنا عليه أرضه.
PASAL: Jika seseorang meminjamkan tanah untuk ditanami, lalu peminjam menanaminya, kemudian pemberi pinjaman menarik kembali pinjamannya sebelum tanaman itu matang, dan ia menuntut agar tanaman dicabut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: hukumnya seperti tanaman keras (ghirās) dalam hal pilihan antara dibiarkan, dicabut, atau diberi arasy (ganti rugi).
Pendapat kedua: pemilik tanah dipaksa untuk membiarkannya hingga masa panen dengan membayar sewa sepadan, karena tanaman memiliki waktu tertentu untuk selesai, dan jika kita memaksanya untuk tetap membiarkannya tanpa imbalan, maka itu berarti menyia-nyiakan hak pemilik tanah atas lahannya.
فصل: وإن أعاره حائطاً ليضع عليه أجذاعاً فوضعها لم يملك إجباره على قلعها لأنه تراد للبقاء فلا يجبر على قلعها كالغراس وإن ضمن المعير قيمة الأجذاع ليأخذها لم يجبر المستعير على قبولها لأن أحد طرفيها في ملكه فلم يجبر على أخذ قيمته وإن تلفت الأجذاع وأراد أن يعيد مثلها على الحائط فلم يجز أن يعيد إلا بالإذن لأن الأذن تناول الأول دون غيره فإن انهدم الحائط وبناه بتلك الآلة لم يجز أن يضع الأجذاع على الثاني لأن الإذن تناول الأول من أصحابنا من قال يجوز لأن الإعارة اقتضت التأييد والمذهب الأول.
PASAL: Jika seseorang meminjamkan dinding kepada orang lain untuk meletakkan batang pohon di atasnya, lalu ia meletakkannya, maka tidak boleh dipaksakan untuk mencabutnya karena batang pohon itu dimaksudkan untuk tetap tinggal, sehingga tidak wajib dicabut sebagaimana ghirās. Dan jika si peminjam (pemilik dinding) menjamin nilai batang-batang itu untuk mengambilnya, maka si penyewa tidak wajib menerimanya, karena salah satu ujung batang itu berada di dalam kepemilikannya, maka tidak dipaksakan menerima penggantinya. Jika batang-batang itu rusak dan ia ingin menggantinya dengan yang semisal di atas dinding tersebut, maka tidak boleh diletakkan kecuali dengan izin, karena izin hanya berlaku untuk yang pertama saja, bukan selainnya. Jika dinding itu runtuh lalu dibangun kembali dengan alat yang sama, maka tidak boleh meletakkan batang di atas bangunan yang baru, karena izin hanya berlaku untuk yang pertama. Di antara ulama kami ada yang berpendapat boleh, karena peminjaman itu mengisyaratkan keberlangsungan, namun pendapat yang kuat adalah yang pertama.
فصل: وإن وجدت أجذاع على الحائط ولم يعرف سببها ثم تلفت جاز إعادة مثلها لأن الظاهر أنها بحث ثابت.
فصل: إذا استعار من رجل عبداً ليرهنه فأعاره ففيه قولان: أحدهما أنه ضمان وإن المالك للرهن ضمن الدين عن الراهن في رقبة عبده لأن العارية ما يستحق به منفعة العين والمنفعة ههنا للمالك فدل على أنه ضمان والثاني أنه عارية لأنه استعاره ليقضي به حاجته فهو كسائر العواري فإن قلنا إنه ضمان لم يصح حتى يتعين جنس الدين وقدره ومحله لأنه ضمان فاعتبر فيه العلم بذلك وإن قلنا إنه عارية لم يفتقر إلى ذلك لأنه عارية فلا يعتبر فيه العلم فإن عين له جنساً وقدراً ومحلاً تعين على القولين
PASAL: Jika ditemukan balok-balok kayu di atas dinding dan tidak diketahui sebab penempatannya, lalu balok-balok itu rusak, maka boleh menggantinya dengan balok sejenis, karena yang tampak adalah bahwa balok-balok itu dipasang dengan hak yang tetap.
PASAL: Jika seseorang meminjam dari orang lain seorang budak untuk dijadikan barang jaminan, lalu ia meminjamkannya lagi (kepada pihak ketiga), maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: hukumnya adalah ḍamān (jaminan), dan pemilik budak menanggung utang si peminjam pertama dengan menanggungnya melalui budaknya, karena dalam ‘āriyah seharusnya yang berhak atas manfaat adalah peminjam, sedangkan dalam kasus ini yang memperoleh manfaat adalah pemilik, maka menunjukkan bahwa ini adalah jaminan.
Pendapat kedua: hukumnya adalah ‘āriyah, karena ia meminjamnya untuk memenuhi kebutuhannya, maka hukumnya seperti seluruh bentuk pinjaman lainnya.
Jika kita mengatakan bahwa hukumnya adalah jaminan (ḍamān), maka tidak sah kecuali telah ditentukan jenis utang, jumlahnya, dan waktu jatuh temponya, karena jaminan disyaratkan adanya pengetahuan tentang hal itu.
Namun jika kita mengatakan bahwa hukumnya ‘āriyah, maka tidak disyaratkan pengetahuan tersebut, karena ini adalah pinjaman biasa.
Jika ia menetapkan jenis, jumlah, dan tempat pembayaran, maka semua itu menjadi ketetapan menurut kedua pendapat tersebut.
لأن الضمان والعارية يتعينان بالتعيين فإن خالفه في الجنس لم يصح لأنه عقد على ما لم يأذن له فيه وإن خالفه في المحل بأن أذن له في دين مؤجل فرهنه بدين حال لم يصح لأنه قد لا يجد ما يفك به الرهن في الحال وإن أذن له في دين حال فرهنه بدين مؤجل لم يصح لأنه لا يرضى أن يحال بينه وبين عبده إلى أجل فإن خالفه في القدر بأن أذن له في الرهن بعشرة فرهن بما دونها جاز لأن من رضي أن يقضي عن غيره عشرة رضي أن يقضي ما دونه وإن رهنه بخمسة عشر لم يصح لأن من رضي بقضاء عشرة لم يرض بما زاد.
Karena baik ḍamān (jaminan) maupun ‘āriyah (pinjaman) menjadi tetap dengan adanya penetapan, maka jika ia menyelisihi dalam jenis (utang), maka tidak sah, karena itu berarti melakukan akad atas sesuatu yang tidak diizinkan.
Jika ia menyelisihi dalam tempat pembayaran, misalnya ia diberi izin untuk menjaminkan budak pada utang yang bertempo (mu’ajjal), lalu ia menjaminkannya pada utang yang harus segera dibayar (ḥāl), maka tidak sah, karena bisa jadi ia tidak mendapatkan sesuatu untuk menebus barang jaminan tersebut secara langsung.
Dan jika ia diberi izin untuk menjaminkannya pada utang yang harus segera dibayar, lalu ia menjaminkannya untuk utang yang bertempo, maka juga tidak sah, karena pemilik tidak rela jika dipisahkan dari budaknya hingga waktu yang lama.
Jika ia menyelisihi dalam jumlah, misalnya ia diberi izin untuk menjaminkan dengan nilai sepuluh, lalu ia menjaminkan dengan nilai di bawahnya, maka itu sah, karena siapa yang rela menanggung utang orang lain sebesar sepuluh, tentu rela pula menanggung jumlah yang lebih sedikit.
Namun jika ia menjaminkannya untuk lima belas, maka tidak sah, karena siapa yang rela menanggung sepuluh belum tentu rela menanggung lebih dari itu.
فصل: وإن رهن العبد بإذنه بدين حال جاز للسيد مطالبته بالفكاك على القولين في الحال لأن للمعير أن يرجع في العارية وللضامن أن يطالب بتخليصه من الضمان فإن رهنه بدين مؤجل بإذنه فإن قلنا إنه عارية جاز له المطالبة بالفكاك لأن للمعير أن يرجع متى شاء وإن قلنا إنه ضمان لم يطالب قبل المحل لأن الضامن إلى أجل لا يملك المطالبة قبل المحل.
PASAL: Jika seseorang menggadaikan budak dengan izinnya untuk membayar utang yang jatuh tempo, maka tuannya boleh menuntut pembebasannya segera menurut dua pendapat, karena pemberi pinjaman (dalam ‘āriyah) berhak menarik kembali pinjamannya, dan penjamin berhak menuntut pembebasan dari jaminan. Jika budak itu digadaikan untuk utang yang ditangguhkan dengan izinnya, maka jika kita katakan statusnya adalah ‘āriyah, maka tuannya boleh menuntut pembebasan karena pemberi pinjaman boleh menarik kembali kapan saja. Namun jika kita katakan statusnya adalah jaminan, maka tidak boleh menuntut sebelum jatuh tempo, karena penjamin untuk utang yang ditangguhkan tidak berhak menuntut sebelum waktunya.
فصل: وإن بيع في الدين فإن قلنا إنه عارية رجع السيد على الراهن بقيمته لأن العرية تضمن بقيمتها وإن قلنا إنه ضمان رجع بما بيع سواء بقدر قيمته أو بأقل أو بأكثر لأن الضامن يرجع بما غرم ولم يغرم إلا ما بيع به.
فصل: وإن تلف العبد فإن قلنا إنه عارية ضمن قيمته لأن العارية مضمونة بالقيمة وإن قلنا إنه ضمان لم يضمن شيئاً لأنه لم يغرم شيئاً.
PASAL: Jika budak dijual untuk melunasi utang, maka jika kita katakan bahwa akadnya adalah ‘āriyah, maka tuannya berhak menuntut ganti dari pihak yang menjaminkan sebesar nilai budak tersebut, karena ‘āriyah ditanggung dengan nilai barang.
Namun jika kita katakan bahwa akadnya adalah ḍamān (jaminan), maka ia berhak menuntut sesuai dengan harga penjualan, baik jumlahnya sama dengan nilainya, lebih rendah, ataupun lebih tinggi, karena penanggung (ḍāmin) hanya boleh menuntut sebesar apa yang telah ia bayarkan, dan ia tidak membayar kecuali sebesar nilai penjualan.
PASAL: Jika budak tersebut rusak (hilang atau mati), maka jika kita katakan akadnya adalah ‘āriyah, maka ia wajib mengganti nilainya, karena barang pinjaman dijamin dengan nilai.
Namun jika kita katakan akadnya adalah ḍamān, maka ia tidak wajib mengganti apa pun, karena ia belum menanggung kerugian apa pun.
فصل: وإن استعار رجل من رجلين عبداً فرهنه عند رجل بمائة ثم قضى خمسين على أن تخرج حصة أحدهما من الرهن ففيه قولان: أحدهما لا تخرج لأنه رهنه بجميع الدين في صفقة فلا ينفك بعضه دون بعض والثاني يخرج نصفه لأنه لم يأذن كل واحد منهما إلا في رهن نصيبه بخمسين فلا يصير رهناً بأكثر منه.
PASAL: Jika seseorang meminjam seorang budak dari dua orang, lalu ia menggadaikannya kepada seseorang dengan seratus, kemudian ia melunasi lima puluh dengan syarat bahwa bagian salah satu dari keduanya keluar dari gadai, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak keluar, karena budak itu digadaikan untuk seluruh utang dalam satu akad, maka tidak bisa dibebaskan sebagian tanpa sebagian lainnya.
Kedua, keluar separuhnya, karena masing-masing dari dua pemilik hanya mengizinkan untuk menggadaikan bagiannya sebesar lima puluh, maka tidak menjadi gadai untuk lebih dari itu.
فصل: إذا ركب دابة غيره ثم اختلفا فقال المالك أكريتها فعليك الأجرة وقال الراكب بل أعرتنيها فلا أجرة لك فقد قال في العارية القول قول الراكب وقال في المزارعة إذا دفع أرضه إلى رجل فزرعها ثم اختلفا فقال المالك أكريتكها وقال الزارع بل أعرتنيها فالقول قول المالك فمن أصحابنا من حمل المسألتين على ظاهرهما فقال في الدابة القول قول الراكب وقال في الأرض القول قول المالك لأن العادة أن الدواب تعار فالظاهر فيها مع الراكب والعادة في الأرض أنها تكرى ولا تعار فالظاهر فيها مع المالك ومنهم من نقل الجواب في كل واحدة منهما الأخرى وجعلهما على قولين وهو اختيار المزني:
PASAL: Jika seseorang menunggangi hewan tunggangan milik orang lain, lalu keduanya berselisih — pemilik berkata, “Aku menyewakannya kepadamu, maka kamu wajib membayar upah,” sementara si penunggang berkata, “Bahkan aku dipinjami, maka tidak ada upah bagimu” — maka Imam al-Syafi‘i berkata dalam bab ‘āriyah: pendapat yang diterima adalah pendapat si penunggang. Dan beliau berkata dalam bab muzāra‘ah: jika seseorang menyerahkan tanah kepada orang lain lalu orang itu menanaminya, kemudian mereka berselisih — pemilik berkata, “Aku menyewakannya kepadamu,” dan si petani berkata, “Bahkan aku dipinjami” — maka pendapat yang diterima adalah pendapat pemilik tanah.
Sebagian ulama mazhab kami membawa kedua masalah tersebut sesuai zhahirnya: maka dalam kasus hewan tunggangan, pendapat yang diterima adalah pendapat penunggang, dan dalam kasus tanah, pendapat yang diterima adalah pendapat pemilik, karena kebiasaan umumnya bahwa hewan biasa dipinjamkan, maka dugaan kuat mendukung si penunggang; dan kebiasaan dalam tanah adalah disewakan, bukan dipinjamkan, maka dugaan kuat mendukung pemilik.
Dan sebagian ulama lainnya menukarkan jawaban kedua kasus tersebut satu sama lain, dan menjadikannya sebagai dua qaul, dan inilah yang dipilih oleh al-Muzanī.
أحدهما أن القول قول المالك لأن المنافع كالأعيان في الملك والعقد عليها ثم لو اختلفا في عين فقال المالك بعتكها وقال الآخر بل وهبتنيها كان القول قول المالك فكذلك إذا اختلفا في المنافع والثاني أن القول قول المتصرف لأن المالك أقر بالمنافع له ومن أقر لغيره بملك ثم ادعى عليه عوضاً لم يقبل قوله فإن قلنا إن القول قول المالك حلف ووجبت له الأجرة وفي قدر الأجرة وجهان: أحدهما يجب المسمى لأنه قبل قوله فيها وحلف عليها
Salah satu dari dua pendapat adalah bahwa yang diterima adalah pendapat pemilik, karena manfaat itu seperti benda (‘ayn) dalam hal kepemilikan dan akad atasnya. Seandainya keduanya berselisih mengenai suatu benda, lalu pemilik berkata, “Aku menjualnya kepadamu,” dan yang lain berkata, “Bahkan kamu memberikannya kepadaku sebagai hibah,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat pemilik; maka begitu pula jika berselisih dalam hal manfaat.
Pendapat kedua adalah bahwa yang diterima adalah pendapat orang yang memanfaatkan, karena pemilik telah mengakui bahwa manfaat itu untuknya, dan siapa yang mengakui kepemilikan untuk orang lain lalu menuntut imbalan darinya, maka perkataannya tidak diterima.
Jika kita katakan bahwa pendapat yang diterima adalah pendapat pemilik, maka ia bersumpah, dan wajib baginya mendapatkan upah. Mengenai kadar upah, terdapat dua pendapat: salah satunya adalah wajib yang disepakati (upah yang disebutkan), karena telah diterima ucapannya mengenai hal itu dan ia telah bersumpah atasnya.
والثاني أنها تجب أجرة المثل وهو المنصوص لأنهما لو اتفقا على الأجرة واختلفا في قدرها وجبت أجرة المثل فلأن تجب أجرة المثل وقد اختلفا في الأجرة أولى فإن نكل عن اليمين لم يرد على المتصرف لأن اليمين إنما ترد ليستحق بها حق والمتصرف لا يدعي حقاً فلم ترد عليه وإن قلنا إن القول قول المتصرف حلف وبريء من الأجرة فإن نكل رد اليمين على المالك فإن حلف استحق المسمى وجهاً واحداً لأن يمينه بعد النكول كالبينة في أحد القولين وكالإقرار في الآخر وأيهما كان وجب المسمى وإن تلفت الدابة بعد الركوب ثم اختلفا فإن قلنا إن القول قول المالك حكم له بالأجرة وإن قلنا القول قول الراكب فهل يلزمه أقل الأمرين من الأجرة أو القيمة؟ فيه وجهان: أحدهما يلزمه لاتفاقهما على استحقاقه والثاني لا يحكم له بشيء لأنه لا يدعي القيمة ويستحق الأجرة.
Dan pendapat kedua: yang wajib adalah ujrah al-mitsl (upah sepadan), dan inilah yang dinyatakan secara nash, karena jika keduanya sepakat tentang adanya upah namun berselisih dalam kadarnya, maka yang wajib adalah ujrah al-mitsl — maka lebih utama lagi untuk mewajibkan ujrah al-mitsl dalam keadaan mereka berselisih tentang adanya upah itu sendiri.
Jika pemilik enggan bersumpah, maka sumpah tidak dialihkan kepada pihak yang memanfaatkan (penunggang), karena sumpah hanya dipindahkan agar pihak yang bersumpah memperoleh hak, sedangkan pihak yang memanfaatkan tidak mengklaim adanya hak, maka sumpah tidak diberikan kepadanya.
Namun jika kita katakan bahwa yang diterima adalah pendapat pihak yang memanfaatkan, maka ia bersumpah dan terbebas dari kewajiban membayar upah. Jika ia enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada pemilik. Jika pemilik bersumpah, maka ia berhak atas ujrah musammā (upah yang ditentukan) menurut satu wajah, karena sumpah setelah penolakan (dari lawan) itu dalam salah satu pendapat seperti bukti (bayyinah), dan dalam pendapat lain seperti pengakuan — dan dalam kedua pendapat itu, yang wajib adalah ujrah musammā.
Jika hewan tersebut rusak setelah dinaiki lalu mereka berselisih, maka:
- Jika kita katakan bahwa yang diterima adalah pendapat pemilik, maka diputuskan bahwa ia berhak atas upah.
- Dan jika kita katakan bahwa yang diterima adalah pendapat penunggang, maka apakah ia wajib membayar yang lebih ringan dari dua kemungkinan — yaitu antara upah atau harga hewan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
- Pertama, ia wajib membayar yang lebih ringan, karena keduanya sepakat bahwa ia memang wajib membayar salah satunya;
- Kedua, tidak diputuskan baginya (pemilik) suatu kewajiban pun, karena ia tidak menuntut harga hewan, tetapi hanya menuntut upah.
فصل: وإن قال المالك غصبتنيها فعليك الأجرة وقال المتصرف بل أعرتنيها فلا أجرة علي فإن المزني نقل أن القول قول المستعير واختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال المسألة على طريقين كما ذكرنا في المسألة قبلها أحدهما الفرق بين الأرض والدابة والثاني أنهما على قولين لأن الخلاف في المسألتين جميعاً في وجوب الأجرة والمالك يدعي وجوبها والمتصرف ينكر فيجب أن لا يختلفا في الطريقين ومنهم من قال إن القول قول المالك وما نقل المزني غلط لأن في تلك المسألة أقر المالك للمتصرف بملك المنافع فلا يقبل قوله في دعوى العوض وههنا اختلفا أن الملك للمالك أو للمتصرف والأصل أنها للمالك.
PASAL: Jika pemilik berkata, “Engkau telah merampas barang ini dariku, maka engkau wajib membayar sewa,” sedangkan orang yang memanfaatkannya berkata, “Bahkan engkau telah meminjamkannya kepadaku, maka aku tidak wajib membayar sewa,” maka menurut riwayat al-Muzani, pendapat yang dipegang adalah: ucapan orang yang meminjam (pengguna) yang diterima.
Namun para ulama mazhab kami berselisih dalam hal ini. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa masalah ini memiliki dua pendekatan, sebagaimana dijelaskan dalam masalah sebelumnya:
Pendekatan pertama: membedakan antara tanah dan hewan tunggangan.
Pendekatan kedua: bahwa keduanya (tanah dan hewan) termasuk dalam dua qawl, karena perbedaan pendapat dalam dua masalah tersebut sama-sama berkaitan dengan kewajiban membayar sewa. Pemilik menuntut adanya kewajiban membayar sewa, sedangkan pengguna mengingkarinya. Maka seharusnya dua masalah tersebut tidak berbeda dalam pendekatan pendalilannya.
Dan sebagian dari mereka mengatakan: ucapan yang diterima adalah ucapan pemilik, dan apa yang dinukil oleh al-Muzani adalah kekeliruan. Karena dalam kasus sebelumnya, pemilik mengakui bahwa manfaat barang adalah milik pengguna, maka tidak diterima klaim pemilik untuk menuntut imbalan. Sedangkan dalam kasus ini, keduanya berselisih: apakah manfaat itu milik pemilik atau pengguna? Dan asalnya, manfaat itu milik pemilik.
فصل: وإن اختلفا فقال المالك أعرتكها وقال الراكب أجرتنيها فالقول قول المالك لأنهما اتفقا أن الملك له واختلفا في صفة انتقال اليد فكان القول قول المالك فإن كانت العين باقية حلف وأخذ وإن كانت تالفة نظرت فإن لم تمض مدة لمثلها أجرة حلف واستحق القيمة وإن مضت مدة لمثلها أجرة فالمالك يدعي القيمة والراكب بقوله بالأجرة فإن كانت القيمة أكثر من الأجرة لم يستحق شيئاً ثم يحلف وإن كانت القيمة مثل الأجرة أو أقل منها ففيه وجهان: أحدهما يستحق من غير يمين لأنهما متفقان على استحقاقه والثاني لا يستحق من غير يمين لأنه أسقط حقه من الأجرة وهو يدعي القيمة بحكم العارية والراكب منكر فلم يستحق من غير يمين.
PASAL: Jika keduanya berselisih, pemilik berkata, “Aku meminjamkannya kepadamu,” dan si penunggang berkata, “Bahkan engkau menyewakannya kepadaku,” maka yang diterima adalah pendapat pemilik, karena keduanya sepakat bahwa kepemilikan adalah milik pemilik, dan mereka hanya berselisih dalam sifat perpindahan kepemilikan manfaat, maka yang diterima adalah pendapat pemilik.
Jika barangnya masih ada, maka pemilik bersumpah lalu mengambilnya kembali. Namun jika barang itu telah rusak, maka ditinjau:
- Jika belum berlalu waktu yang setara dengan masa yang layak untuk dikenakan upah, maka pemilik bersumpah dan berhak atas nilai barang tersebut.
- Jika telah berlalu masa yang layak dikenakan upah, maka pemilik menuntut nilai barang (karena statusnya adalah ‘āriyah), dan si penunggang dengan ucapannya mengakui bahwa dia berutang upah.
- Jika nilai barang lebih besar daripada upah, maka pemilik tidak berhak atas apa pun, kemudian ia bersumpah.
- Jika nilai barang sama atau lebih kecil dari upah, maka terdapat dua pendapat:
- Pertama, pemilik berhak mendapatkannya tanpa sumpah, karena keduanya sepakat atas haknya.
- Kedua, tidak berhak kecuali dengan sumpah, karena dia telah menggugurkan haknya atas upah dan kini menuntut nilai barang berdasarkan hukum ‘āriyah, sedangkan si penunggang mengingkari hal itu, maka tidak berhak tanpa sumpah.
فصل: وإن اختلفا فقال المالك غصبتنيها فعليك ضمانها وأجرة مثلها وقال الراكب بل أجرتنيها فلا يلزمني ضمانها ولا أجرة مثلها فالقول قول المالك مع يمينه لأن الأصل أنه ما أجره فإن اختلفا وقد تلفت العين حلف واستحق القيمة وإن بقيت في يد الراكب مدة ثم اختلفا فإن المالك يدعي أجرة المثل والراكب يقر بالمسمى فإن كانت أجرة المثل أكثر من المسمى لم يستحق الزيادة حتى يحلف وإن لم تكن أكثر استحق من غير يمين لأنهما متفقان على استحقاقه والله أعلم.
PASAL: Jika keduanya berselisih, lalu pemilik berkata, “Engkau telah merampas barang ini dariku, maka engkau wajib menanggung kerusakan dan membayar sewa sepadan,” sementara orang yang menunggang berkata, “Bahkan engkau telah menyewakannya kepadaku, maka aku tidak wajib menanggung kerusakan dan tidak pula membayar sewa sepadan,” maka ucapan yang diterima adalah ucapan pemilik disertai sumpah, karena asalnya tidak ada akad sewa.
Jika keduanya berselisih dan barang tersebut telah rusak, maka pemilik bersumpah dan berhak atas nilai barang tersebut.
Jika barang tersebut masih berada di tangan penunggang dalam waktu tertentu, kemudian mereka berselisih—pemilik menuntut sewa sepadan, sedangkan penunggang mengakui adanya sewa dengan jumlah tertentu—maka jika sewa sepadan lebih besar dari yang disepakati, maka pemilik tidak berhak atas kelebihan itu kecuali dengan sumpah. Namun jika sewa sepadan tidak lebih besar, maka ia berhak atasnya tanpa perlu sumpah, karena keduanya sepakat atas kewajiban membayar jumlah tersebut. والله أعلم.
الغصب محرم لما روى أبو بكرة قال: خطبنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “إن دماءكم وأموالكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا” وروى أبو حميد الساعدي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا يحل لامرئ أن يأخذ مال أخيه بغير طيب نفس منه”.
Kitab Ghaṣb
Ghaṣb itu haram, berdasarkan riwayat dari Abū Bakrah, ia berkata: Rasulullah SAW berkhutbah kepada kami dan bersabda: “Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian haram atas kalian seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini.”
Dan diriwayatkan dari Abū Ḥumayd al-Sā‘idī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak halal bagi seseorang mengambil harta saudaranya tanpa kerelaan dari dirinya.”
فصل: ومن غصب ماله غيره وهو من أهل الضمان في حقه ضمنه لما روى سمرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “على اليد ما أخذت حتى ترده”.
فصل: فإن كان منفعة تستباح بالإجارة فأقام في يده مدة لمثلها أجرة ضمن الأجرة لأنه يطلب بدلها بعقد المغابنة فضمن بالغصب كالأعيان.
PASAL: Barangsiapa merampas harta orang lain, dan ia termasuk orang yang wajib menanggung dalam hak tersebut, maka ia wajib menggantinya. Berdasarkan riwayat dari Samrah bahwa Nabi SAW bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas apa yang diambilnya hingga dikembalikan.”
PASAL: Jika yang dirampas adalah manfaat yang boleh diambil dengan akad ijarah (sewa), lalu ia menggunakannya dalam jangka waktu yang biasanya dikenakan biaya sewa, maka ia wajib membayar sewa tersebut. Karena manfaat tersebut pada asalnya diminta ganti dengan akad jual beli yang mengandung saling menutupi kekurangan (muġābanah), maka ketika diambil dengan cara ghashab (perampasan), wajib menanggungnya sebagaimana dalam harta berwujud.
فصل: فإن كان المغصوب باقياً لزمه رده لما روى عبد الله بن السائب بن يزيد عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يأخذ أحدكم متاع أخيه لاعباً أو جاداً إذا أخذ أحدكم عصا أخيه فليردها” فإن اختلفت قيمته من حين الغصب إلى حين الرد لم يلزمه ضمان ما نقص من قيمته وقال أبو ثور من أصحابنا: يضمن كما يضمن زيادة العين وهذا خطأ لأن الغاصب يضمن ما غصب والقيمة لا تدخل في الغصب لأنه لا حق للمغصوب منه في القيمة مع بقاء العين وإنما حقه في العين والعين باقية كما كانت فلم يلزمه شيء.
PASAL: Jika barang yang dighaṣb masih ada, maka wajib dikembalikan, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin Sā’ib bin Yazīd dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang saudaranya baik untuk bermain-main atau serius. Jika salah seorang dari kalian mengambil tongkat saudaranya, maka hendaklah ia mengembalikannya.”
Jika nilai barang tersebut berubah dari saat dighaṣb sampai saat dikembalikan, maka tidak wajib menanggung nilai yang berkurang darinya. Abū Thawr dari kalangan sahabat kami berpendapat: ia wajib menanggungnya sebagaimana ia menanggung pertambahan barang. Namun ini adalah kesalahan, karena ghāṣib hanya menanggung barang yang ia ghaṣb, dan nilai (harga) tidak termasuk dalam perbuatan ghasab, sebab tidak ada hak bagi yang dighaṣbi atas nilai selama barangnya masih ada. Haknya hanyalah pada barang itu sendiri, dan barang tersebut masih tetap sebagaimana adanya, maka tidak wajib atas ghāṣib apa pun.
فصل: وإن تلف في يد الغاصب أو أتلفه لم يخل إما أن يكون له مثل أو لا مثل له فإن لم يكن له مثل نظرت فإن كان من غير جنس الأثمان كالثياب والحيوان ضمنه بالقيمة لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أعتق شركاً له في عبد فإن كان معه ما يبلغ به ثمن العبد قوم عليه وأعطى شركاءه حصصهم وعتق عليه العبد” وإلا فقد عتق عليه ما عتق فأوجب القيمة في العبد بالإتلاف بالعتق ولأن إيجاب مثله من جهة الخلقة لا يمكن لاختلاف الجنس الواحد في القيمة فكانت القيمة أقرب إلى إيفاء حقه
PASAL: Jika barang itu rusak di tangan ghāṣib atau ia yang merusaknya, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah barang itu ada padanannya atau tidak. Jika tidak ada padanannya, maka dilihat kembali: jika barang itu bukan dari jenis atsmān seperti pakaian dan hewan, maka ia wajib menggantinya dengan nilai (qīmah), berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa memerdekakan bagian kepemilikannya dalam seorang budak, maka jika ia memiliki harta yang mencukupi untuk menebus seluruh harga budak itu, maka budak itu dinilai dan ia wajib memberikan bagian teman-teman sekutunya, maka budak itu menjadi merdeka seluruhnya atas namanya.” Maka Nabi SAW mewajibkan penggantian dengan nilai pada budak yang dimerdekakan (padahal masih milik bersama), karena telah merusaknya dengan cara memerdekakannya. Dan karena mewajibkan padanan dari segi bentuk ciptaan tidaklah mungkin, karena jenis yang sama pun berbeda-beda nilainya, maka nilai (qīmah) lebih dekat dalam memenuhi haknya.
وإن اختلفت قيمته من حين الغصب إلى حين التلف ضمنها بأكثر ما كانت لأنه غاصب في الحال التي زادت فيها قيمته فلزمه ضمان قيمته فيها كالحالة التي غصبه فيها وتجب القيمة من نقد البلد الذي تلفت العين فيه لأنه موضع الضمان فوجبت القيمة من نقده وإن كان من جنس الأثمان نظرت فإن لم يكن فيه صنعه كالسبيكة والنقرة فإن كان نقد البلد من غير جنسه أو من جنسه لكن لا تزيد قيمته على وزنه ضمن بالقيمة لأن تضمينه بالقيمة لا يؤدي إلى الربا فضمن بالقيمة كما قلنا في غير الأثمان وإن كان نقد البلد من جنسه وإذا قوم به زادت قيمته على وزنه قوم بجنس آخر حتى لا يؤدي إلى الربا وإن كانت فيه صنعته نظرت
Dan jika nilainya berbeda antara saat dighaṣb hingga saat rusak, maka ia wajib mengganti dengan nilai tertinggi dari apa yang pernah terjadi, karena ia adalah ghāṣib pada waktu nilai barang tersebut meningkat, maka wajib baginya menanggung nilainya pada saat itu, sebagaimana ia menanggungnya pada waktu mengghaṣb. Nilai yang wajib diganti adalah berdasarkan mata uang negeri tempat barang itu rusak, karena itulah tempat terjadinya kewajiban ganti rugi, maka wajiblah mengganti dengan mata uang tersebut.
Jika barang itu berasal dari jenis atsmān (alat tukar seperti emas dan perak), maka dilihat lagi: jika tidak ada proses pengerjaan padanya seperti sabīkah (batangan) dan nuqrah (gumpalan), dan jika mata uang negeri tersebut bukan dari jenis yang sama, atau dari jenis yang sama namun nilainya tidak melebihi beratnya, maka ia wajib mengganti dengan nilai karena penggantian dengan nilai tidak mengarah kepada riba, maka wajib mengganti dengan nilai sebagaimana kami katakan pada barang-barang selain atsmān.
Namun jika mata uang negeri tersebut sejenis dengannya, dan jika ditaksir dengannya maka nilainya melebihi beratnya, maka barang tersebut ditaksir dengan jenis lain agar tidak mengarah kepada riba.
Jika barang tersebut memiliki hasil pengerjaan (buatan), maka dilihat kembali.
فإن كانت صنعة محرمة ضمن كما تضمن السبيكة والنقرة لأن الصنعة لا قيمة لها فكان وجودها كعدمها وإن كانت صنعة مباحة فإن كان النقد من غير جنسه أو من جنسه ولكنه لا تزيد قيمته على وزنه ضمنه بقيمته لأنه لا يؤدي إلى الربا وإن كان النقد من جنسه ونوعه وتزيد قيمته على وزنه ففيه وجهان: أحدهما يقوم بجنس آخر لا يؤدي إلى الربا والثاني أنه يضمنه بقيمته من جنسه بالغة ما بلغت وهو الصحيح لأن الزيادة على الوزن في مقابلة الصنعة فلا تؤدي إلى الربا وإن كان مخلوطاً من الذهب والفضة قومه بما شاء منهما.
Jika barang tersebut memiliki ṣan‘ah (hasil pengerjaan) yang haram, maka wajib diganti sebagaimana mengganti sabīkah dan nuqrah, karena hasil pengerjaan yang haram tidak memiliki nilai, maka keberadaannya dianggap seperti tidak ada.
Jika hasil pengerjaannya mubah, maka jika mata uang negeri tersebut bukan dari jenis yang sama, atau dari jenis yang sama namun nilainya tidak melebihi beratnya, maka ia wajib menggantinya dengan nilainya karena tidak mengarah kepada riba.
Namun jika mata uang negeri tersebut sejenis dan setipe, serta nilainya melebihi beratnya, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
- Pendapat pertama: barang itu ditaksir dengan jenis lain agar tidak mengarah kepada riba.
- Pendapat kedua: ia wajib menggantinya dengan nilainya dari jenis yang sama, berapa pun nilainya. Dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena kelebihan nilai dari berat disebabkan oleh hasil pengerjaan, maka tidak mengarah kepada riba.
Jika barang tersebut merupakan campuran antara emas dan perak, maka ia ditaksir dengan salah satunya sesuai pilihannya.
فصل: وإن كان مما له مثل كالحبوب والأدهان ضمن بالمثل لأن إيجاب المثل رجوع إلى المشاهدة والقطع وإيجاب القيمة رجوع إلى الاجتهاد والظن فإن أمكن الرجوع إلى القطع لم يرجع إلى الاجتهاد كما لا يجوز الرجوع إلى القياس مع النص وإن غصب ما له مثل واتخذ منه ما لا مثل له كالتمر إذا اتخذ منه الخل بالماء أو الحنطة إذا جعلها دقيقاً وقلنا إنه لا مثل له ثم تلف لزمه مثل الأصل لأن المثل أقرب إلى المغصوب من القيمة وإن غصب مالاً مثل له واتخذ منه ماله مثل كالرطب إذا جعله تمراً ثم تلف لزمه مثل التمر لأن المثل أقرب إليه من قيمة الأصل
PASAL: Jika barang yang dighasab adalah sesuatu yang memiliki mitsl seperti biji-bijian dan minyak, maka wajib diganti dengan yang sejenis karena mewajibkan ganti dengan yang sejenis kembali kepada penglihatan dan kepastian, sedangkan mewajibkan nilai kembali kepada ijtihad dan dugaan. Maka apabila memungkinkan kembali kepada kepastian, tidak kembali kepada ijtihad, sebagaimana tidak boleh kembali kepada qiyās jika ada nash.
Jika ia mengghasab sesuatu yang memiliki mitsl lalu menjadikannya sesuatu yang tidak memiliki mitsl—seperti kurma yang dijadikan cuka dengan air, atau gandum yang dijadikan tepung—dan kita mengatakan bahwa ia tidak memiliki mitsl, lalu barang tersebut rusak, maka wajib mengganti dengan mitsl dari barang asal karena mitsl lebih mendekati barang yang dighasab dibandingkan nilai.
Dan jika ia mengghasab barang yang memiliki mitsl, lalu menjadikannya barang lain yang juga memiliki mitsl—seperti ruthab (kurma basah) yang dijadikan tamr (kurma kering)—lalu barang tersebut rusak, maka wajib mengganti dengan mitsl dari tamr, karena mitsl lebih mendekati barang tersebut dibandingkan nilai dari barang asal.
وإن غصب ماله مثل واتخذ منه ماله مثل كالسمسم إذا عصر منه الشيرج ثم تلف بالمغصوب منه فهو بالخيار إن شاء رجع عليه بمثل السمسم وإن شاء رجع عليه بمثل الدهن لأنه قد ثبت ملكه على كل واحد من المثلين فرجع بما شاء منهما وإن وجب المثل فأعوز فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال تجب قيمته وقت المحاكمة لأن الواجب هو المثل وإنما القيمة تجب بالحكم فاعتبرت وقت الحكم ومنهم من قال تعتبر قيمته أكثر ما كانت من حيث النصب إلى حين تعذر المثل كما تعتبر قيمة المغصوب أكثر ما كانت من حين الغصب إلى حين التلف ومنهم من قال تضمن قيمته أكثر ما كانت من حين الغصب إلى وقت الكم
Dan jika seseorang merampas barang yang ada padanya mitsl, lalu menjadikannya sesuatu yang juga mitsl — seperti as-simsim yang diperas menjadi asy-syīraj — kemudian benda tersebut rusak setelah dijadikan asy-syīraj, maka ia (pemilik) diberi pilihan: jika ia mau, ia bisa menuntut ganti dengan mitsl as-simsim, dan jika ia mau, ia bisa menuntut ganti dengan mitsl minyaknya. Karena telah tetap kepemilikan atas masing-masing dari keduanya (yaitu as-simsim dan minyak), maka ia boleh menuntut ganti atas salah satunya sesuai kehendaknya.
Dan jika mitsl itu wajib diganti namun tidak ditemukan lagi (a‘waz), maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya:
- Sebagian dari mereka berkata: yang wajib adalah nilainya pada waktu penyelesaian perkara (saat pengadilan), karena yang wajib adalah mitsl, sementara nilai (qīmah) hanya ditetapkan oleh keputusan hukum, maka dianggap saat keputusan ditetapkan.
- Sebagian lain berkata: nilai yang dianggap adalah yang paling tinggi sejak waktu penetapan kewajiban mengganti hingga waktu mitsl itu tidak dapat ditemukan lagi, sebagaimana nilai barang rampasan ditetapkan dengan nilai tertingginya dari sejak perampasan hingga rusak.
- Dan sebagian dari mereka berkata: diganti dengan nilai tertingginya sejak waktu perampasan hingga waktu pengukuran (al-kayl).
لأن الواجب في الذمة هو المثل إلى وقت الحكم كما أن الواجب في المغصوب رد العين إلى وقت التلف ثم يغرم قيمة الغصوب أكثر ما كانت من حيث الغصب إلى حين التلف فيجب أن يعتبر في المثل أكثر ما كانت قيمته إلى وقت الحكم ومنهم من قال: إن كان ذلك مما يكون في وقت وينقطع في وقت كالعصير وجبت قيمته وقت الانقطاع لأنه بالانقطاع يسقط المثل وتجب القيمة وإن كان مما لا ينقطع عن أيدي الناس وإنما يتعذر في موضع وجبت قيمته وقت الحكم لأنه لا ينتقل إلى القيمة إلا بالحكم وإن وجد المثل بأكثر من ثمن المثل احتمل وجهين: أحدهما لا يلزمه المثل لأن وجود الشيء بأكثر من ثمن المثل كعدمه كما قلنا في الماء في الوضوء والرقبة في الكفارة والثاني يلزمه لأن المثل كالعين ولو احتاج في رد العين إلى أضعاف ثمنه لزمه فكذلك المثل.
Karena yang wajib dalam tanggungan adalah mitsl hingga waktu penetapan hukum, sebagaimana yang wajib dalam perkara barang rampasan adalah mengembalikan benda itu hingga waktu kerusakan, kemudian ia mengganti nilai barang rampasan dengan nilai tertingginya sejak waktu perampasan hingga saat kerusakan. Maka harus dipertimbangkan juga dalam perkara mitsl nilai tertingginya hingga waktu penetapan hukum.
Dan di antara mereka ada yang berkata: jika mitsl itu termasuk barang yang ada pada satu waktu dan hilang pada waktu lain — seperti al-‘aṣīr (perasan) — maka wajib diganti nilainya pada waktu hilangnya, karena dengan hilangnya itulah mitsl gugur dan nilai menjadi wajib. Namun jika barang itu tidak pernah terputus dari tangan manusia, hanya saja sulit didapat di suatu tempat, maka wajib nilainya saat penetapan hukum, karena ia tidak berpindah ke nilai kecuali dengan putusan hukum.
Dan jika mitsl itu ditemukan, namun dengan harga lebih mahal dari harga biasanya, maka ada dua pendapat:
- Pertama, tidak wajib mengganti dengan mitsl, karena keberadaan sesuatu dengan harga lebih mahal dari harga mitsl itu seperti tidak adanya, sebagaimana dikatakan mengenai air dalam wudhu dan budak dalam kafarat.
- Kedua, wajib mengganti dengan mitsl, karena mitsl itu seperti benda aslinya. Maka seandainya ia membutuhkan biaya berlipat ganda untuk mengembalikan benda aslinya, ia tetap wajib melakukannya, begitu pula mitsl.
فصل: وإن ذهب المغصوب من اليد وتعذر رده بأن كان عبداً فأبق أو بهيمة فضلت كان للمغصوب منه المطالبة بالقيمة لأنه حيل بينه وبين ماله فوجب له البدل كما لو تلف وإذا قبض البدل ملكه لأنه بدل ماله فملكه كبدل التالف ولا يملك الغاصب المغصوب لأنه لا يصح تملكه بالبيع فلا يملك بالتضمن كالتالف فإن رجع المغصوب وجب رده على المالك وهل يلزم الغاصب الأجرة من حين دفع القيمة إلى أن يرده فيه وجهان: أحدهما لا تلزمه لأن المغصوب منه ملك بدل العين فلا يستحق أجرته
PASAL: Dan jika barang rampasan hilang dari tangan dan tidak dapat dikembalikan — misalnya berupa budak yang dilepas atau hewan ternak yang melarikan diri — maka pemilik barang rampasan berhak menuntut nilai (qīmah) barang tersebut, karena ia dihalangi dari hartanya, sehingga wajib diberikan pengganti seperti halnya jika barang itu rusak. Dan apabila pengganti diterima, ia menjadi milik pemilik, karena itu adalah pengganti hartanya, sehingga kepemilikannya sama dengan pengganti barang yang rusak. Sedangkan perampas tidak memperoleh hak milik atas barang rampasan, karena kepemilikan tidak sah melalui jual beli; maka ia tidak memiliki hak melalui jaminan seperti halnya barang yang rusak.
Dan apabila barang rampasan kembali, wajib dikembalikan kepada pemilik. Adapun apakah perampas wajib membayar sewa dari saat nilai diberikan hingga dikembalikan, ada dua pendapat: salah satunya mengatakan tidak wajib, karena pengganti barang telah menjadi milik pemilik, sehingga ia tidak berhak atas sewa.
والثاني تلزمه لأنه تلفت عليه منافع ماله بسبب كان في يد الغاصب فلزمه ضمانها كما لو لم يدفع القيمة وإذا رد المغصوب وجب على المغصوب منه رد البدل لأنه ملكه بالحيلولة وقد زالت الحيلولة فوجب الرد وإن زاد البدل في يده نظرت فإن كانت الزيادة متصلة كالسمن وجب الرد مع الزيادة لأن الزيادة المتصلة تتبع الأصل في الفسخ بالعيب وهذا فسخ وإن كانت زيادة منفصلة كالولد واللبن لم ترد الزيادة كما لا ترد في الفسخ بالعيب.
Dan pendapat kedua mengatakan bahwa perampas wajib membayar, karena manfaat hartanya hilang ketika berada di tangan perampas, sehingga ia wajib menjamin kerugian tersebut seolah-olah nilai belum dibayarkan.
Dan apabila barang rampasan dikembalikan, wajib bagi pemilik untuk mengembalikan pengganti (al-badl) karena kepemilikannya terjadi karena penghalangan (al-ḥīlulah), dan setelah penghalangan itu hilang, wajib dikembalikan.
Apabila pengganti bertambah di tangannya, diperhatikan hal berikut: jika pertambahan itu bersambung dengan asalnya, seperti minyak samin, wajib dikembalikan beserta pertambahannya, karena pertambahan yang bersambung mengikuti asalnya dalam pembatalan akibat cacat; sedangkan jika pertambahan terpisah, seperti anak atau susu, pertambahan itu tidak dikembalikan, sebagaimana tidak dikembalikan dalam pembatalan akibat cacat.
فصل: فإن نقص المغصوب نقصاناً تنقص به القيمة نظرت فإن كان في غير الرقيق لم يخل إما أن يكون نقصاناً مستقراً أو غير مستقر فإن كان مستقراً بأن كان ثوباً فتخرق أو إناء فانكسر أو شاة فذبحت أو طعاماً فطحن ونقصت قيمته رده ورد معه أرش ما نقص لأن نقصان عين في يد الغاصب نقصت به القيمة فوجب ضمانه كالقفيز من الطعام والذراع من الثوب فإن ترك المغصوب منه المغصوب على الغاصب وطالبه ببدله لم يكن له ذلك ومن أصحابنا من قال في الطعام إذا طحنه أن له أن يتركه ويطالب بمثل طعامه لأن مثله أقرب إلى حقه من الدقيق والمذهب الأول لأن عين ماله باقية فلا يملك المطالبة ببدله كالثوب إذا تخرق والشاة إذا ذبحت
PASAL: Jika barang yang digasb berkurang dengan suatu kekurangan yang menurunkan nilainya, maka diperhatikan. Jika bukan berupa budak, tidak lepas dari dua keadaan: kekurangan itu menetap atau tidak menetap. Jika menetap, seperti kain yang robek, bejana yang pecah, kambing yang disembelih, atau makanan yang digiling dan nilainya berkurang, maka wajib dikembalikan bersama ganti rugi atas nilai yang hilang. Karena kerusakan pada benda yang ada di tangan ghāṣib menyebabkan turunnya nilai, maka wajib diganti seperti satu qafīz makanan atau satu hasta dari kain. Jika pemilik barang meninggalkan barangnya pada ghāṣib dan menuntut gantinya, maka ia tidak berhak atas hal itu. Dan sebagian sahabat kami berkata: dalam makanan yang sudah digiling, pemilik berhak meninggalkannya lalu menuntut gantinya, karena makanan sejenis lebih mendekati haknya daripada tepung. Namun pendapat yang menjadi mazhab adalah yang pertama, karena benda miliknya masih ada, maka ia tidak berhak menuntut gantinya, sebagaimana kain yang robek atau kambing yang disembelih.
وإن كان نقصاناً غير مستقر كطعام ابتل وخيف عليه الفساد فقد قال في الأم: للمغصوب منه مثل مكيلته وقال الربيع: فيه قول آخر أن يأخذه وأرش النقص فمن أصحابنا من قال هو على قولين: أحدهما يأخذه وأرش النقص كالثوب إذا تخرق
Dan jika kekurangan itu tidak menetap, seperti makanan yang basah dan dikhawatirkan rusak, maka Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: bagi pemilik barang ada hak menuntut ganti berupa takaran sejenis. Al-Rabi‘ berkata: ada pula pendapat lain, yaitu pemilik mengambil barang itu beserta ganti rugi atas kekurangannya. Maka sebagian sahabat kami berkata: masalah ini berdasarkan dua pendapat; yang pertama: pemilik mengambil barangnya dan ganti rugi atas kekurangannya, sebagaimana kain yang robek.
والثاني أنه ياخذ مثل مكيلته لأنه يتزايد فساده إلى أن يتلف فصار كالمستهلك ومنهم من قال يأخذ مثل مكيلته قولاً واحداً ولا يثبت ما قاله الربيع وإن كان في الرقيق نظرت فإن لم يكن له أرش مقدر كإذهاب البكارة والجنايات التي ليس لها أرش مقدر رده وأرش ما نقص لأنه نقصان ليس فيه أرض مقدر فضمن بما نقص كالثوب إذا تخرق وإن كان له أرش مقدر كذهاب اليد نظرت فإن كان ذهب من غير جناية رده وما نقص من قيمته ومن أصحابنا من قال: يرده وما يجب بالجناية والمذهب الأول لأن ضمان اليد ضمان المال ولهذا لا يجب فيه القصاص ولا تتعلق به الكفارة في النفس فلم يجب فيه أرض مدر
Dan yang kedua: pemilik mengambil gantinya seukuran takarannya, karena kerusakannya terus bertambah hingga rusak total, maka hukumnya seperti barang yang habis. Dan sebagian sahabat kami berkata: pemilik hanya berhak mengambil gantinya seukuran takarannya secara mutlak, dan tidak ditetapkan apa yang dikatakan al-Rabi‘.
Jika barang itu berupa budak, maka diperhatikan: bila tidak ada arsh yang ditentukan, seperti hilangnya keperawanan atau luka-luka yang tidak memiliki arsh tertentu, maka budak dikembalikan bersama ganti rugi atas kekurangannya, karena itu kerusakan yang tidak ada arsh tertentu sehingga diganti sesuai kekurangannya, seperti kain yang robek.
Dan bila kerusakan itu memiliki arsh yang ditentukan, seperti hilangnya tangan, maka diperhatikan: jika hilangnya bukan karena jinayah, maka budak dikembalikan bersama kekurangan dari nilainya. Sebagian sahabat kami berkata: budak dikembalikan bersama ganti yang wajib karena jinayah. Tetapi mazhab yang benar adalah pendapat pertama, karena jaminan tangan termasuk jaminan harta; oleh sebab itu tidak wajib padanya qishash dan tidak terkait kafarat jiwa, maka tidak wajib arsh jinayah.
وإن ذهب بجناية بأن عصبه ثم قطع يده فإن قلنا إن ضمانه باليد كضمانه بالجناية وجب عليه نصف القيمة وقت الجناية لأن اليد في الجناية تضمن بنصف بدل النفس وإن قلنا إن ضمانه ضمان المال وجب عليه أكثر الأمرين من نصف القيمة أو ما نقص من قيمته لأنه وجد اليد والجناية فوجب أكثرهما ضماناً وإن عصب عبداً يساوي مائة ثم زادت قيمته فأصبح يساوي ألفاً ثم قطع يده لزمه خمسمائة لأن زيادة السوق مع تلف العين مضمونة ويد العبد كنصفه فكأنه بقطع اليد فوت عليه نصفه فضمنه بزيادة السوق.
Dan jika hilangnya tangan budak itu karena jinayah, misalnya budak diikat lalu dipotong tangannya, maka bila kita katakan bahwa jaminannya dengan tangan seperti jaminannya dengan jinayah, wajib baginya membayar setengah dari nilai budak saat terjadinya jinayah, karena tangan dalam jinayah diganti dengan setengah dari diyat jiwa.
Namun bila kita katakan bahwa jaminannya adalah jaminan harta, maka wajib baginya membayar yang lebih besar antara setengah nilai atau kekurangan dari nilainya, karena telah terkumpul sebab hilangnya tangan dan sebab jinayah, maka wajib mengganti dengan yang paling besar.
Dan jika ia mengikat seorang budak yang harganya seratus, lalu harganya naik hingga seribu, kemudian dipotong tangannya, maka wajib baginya lima ratus, karena kenaikan harga di pasar bersama kerusakan anggota tubuh itu dijamin. Tangan budak kedudukannya seperti setengah dirinya, maka dengan memotong tangan berarti ia telah merusakkan setengahnya, sehingga wajib menanggungnya dengan memperhitungkan kenaikan harga pasar.
فصل: وإن نقصت العين ولم تنقص القيمة نظرت فإن كان ما نقص من العين له بدل مقدر فنقص ولم تنقص القيمة مثل أن غصب عبداً فقطع أنثييه ولم تنقص قيمته أو غصب صاعاً من زيت فأغلاه فنقص نصفه ولم تنقص قيمته لزمه في الأنثيين قيمة العبد وفي الزيت نصف صاع لأن الواجب في الأنثيين مقدر بالقيمة والواجب في الزيت مقدر بما نقص من الكيل فلزمه ما يقدر به
PASAL: Dan jika barang yang digasb berkurang pada zatnya tetapi tidak berkurang pada nilainya, maka diperhatikan. Jika yang berkurang dari zatnya itu memiliki ganti yang telah ditentukan lalu berkurang tanpa mengurangi nilai, seperti orang yang menggasb seorang budak kemudian memotong kedua buah pelirnya tetapi nilainya tidak berkurang, atau menggasb satu ṣā‘ minyak lalu ia merebusnya hingga berkurang setengahnya tetapi nilainya tidak berkurang, maka ia wajib pada kedua buah pelir membayar senilai budak, dan pada minyak membayar setengah ṣā‘. Sebab kewajiban pada kedua buah pelir ditentukan dengan nilai, sedangkan kewajiban pada minyak ditentukan dengan berkurangnya takaran, maka wajiblah sesuai dengan ukuran yang menjadi ketentuan.
وإن كان مانقص لا يضمن إلا بما نقص من القيمة فنقص ولم تنقص القيمة كالسمن المفرط إذا نقص ولم تنقص القيمة لم يلزمه شيء لأن السمن يضمن بما نقص من القيمة ولم ينقص من القيمة شيء فلم يلزمه شيء واختلف أصحابنا فيمن عصب صاعاً من عصير فأغلاه ونقص نصفه ولم تنقص قيمته فقال أبو علي الطبري: يلزمه نصف صاع كما قلنا في الزيت وقال أبو العباس لا يلزمه شيء لأن نقص العصير باستهلاك مائه ورطوبته لا قيمة لها وأما حلاوته فيه باقية لم تنقص ونقصان الزيت باستهلاك أجزائه ولأجزائه قيمة فضمنها بمثلها.
Dan jika yang berkurang tidak ditanggung kecuali dengan berkurangnya nilai, lalu berkurang tetapi nilainya tidak berkurang, seperti kegemukan yang berlebihan apabila berkurang namun nilainya tidak berkurang, maka tidak wajib atasnya sesuatu pun. Sebab kegemukan itu ditanggung dengan berkurangnya nilai, dan tidak ada nilai yang berkurang, maka tidak wajib atasnya sesuatu pun.
Para ashḥāb kami berbeda pendapat tentang orang yang menggasb satu ṣā‘ perasan anggur lalu ia merebusnya hingga berkurang setengahnya tetapi nilainya tidak berkurang. Abū ‘Alī al-Ṭabarī berkata: ia wajib mengganti setengah ṣā‘ sebagaimana kami katakan pada minyak. Sedangkan Abū al-‘Abbās berkata: tidak wajib atasnya sesuatu pun, karena berkurangnya perasan anggur itu disebabkan habisnya air dan kelembapannya yang tidak ada nilainya, sementara manisnya tetap ada dan tidak berkurang. Adapun berkurangnya minyak itu karena habisnya bagian-bagiannya, dan bagian-bagiannya memiliki nilai, maka ditanggunglah dengan sepadannya.
فصل: وإن تلف بعض العين ونقصت قيمة الباقي بأن غصب ثوباً تنقص قيمته بالقطع فشقه بنصفين ثم تلف أحد النصفين لزمه قيمة التالف وهو قيمة نصف الثوب أكثر ما كانت من حين الغصب إلى حين التلف ورد الباقي وأرش ما نقص لأنه نقص حدث بسبب تعدي به فضمنه فإن كان لرجل خفان قيمتهما عشرة فأتلف رجل أحدهما فصار قيمة الباقي درهمين ففيه وجهان: أحدهما يلزمه درهمان لأن الذي أتلفه قيمته درهمان والثاني تلزمه ثمانية وهو المذهب لأنه ضمن أحدهما بالإتلاف ونقص قيمة الآخر بسبب التعدي به فلزمه ضمانه.
PASAL: Jika sebagian barang rusak dan nilai sisanya berkurang — misalnya seseorang menggasab kain yang nilainya turun jika dipotong, lalu ia membelahnya menjadi dua bagian, kemudian salah satunya rusak — maka wajib baginya mengganti bagian yang rusak dengan nilai setengah kain, dengan menghitung nilai tertinggi sejak digasb hingga rusak, serta mengembalikan bagian yang masih ada bersama arsh atas kekurangannya, karena kekurangan itu terjadi akibat perbuatannya yang melampaui batas, maka ia wajib menanggungnya.
Jika seseorang memiliki sepasang khuf senilai sepuluh, lalu salah satunya dirusak seseorang sehingga nilai yang tersisa hanya tinggal dua dirham, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: wajib baginya membayar dua dirham, karena yang dirusak nilainya dua dirham.
Kedua: wajib baginya delapan dirham, dan inilah mazhab yang benar. Karena ia telah merusakkan salah satunya dengan perbuatan merusak, serta menyebabkan berkurangnya nilai pasangannya akibat perbuatannya, maka ia wajib menanggung kerugian tersebut.
فصل: فإن غصب ثوباً فلبسه وأبلاه ففيه وجهان: أحدهما يلزمه أكثر الأمرين من الأجرة أو أرش ما نقص لأن ما نقص من الأجزاء في مقابلة الأجرة ولهذا لا يضمن المستأجر أرض الأجزاء والثاني تلزمه الأجرة وأرش ما نقص لأن الأجرة بدل للمنافع والأرش بدل الأجزاء فلم يدخل أحدهما في الآخر كالأجرة وأرش ما نقص من السمن.
PASAL: Jika seseorang menggasb sebuah pakaian lalu ia memakainya hingga usang, maka dalam hal ini ada dua wajah:
Pertama, ia wajib membayar yang lebih besar antara ujrah atau arsy dari apa yang berkurang, karena berkurangnya bagian-bagian pakaian itu sebagai ganti dari ujrah. Oleh sebab itu penyewa tidak menanggung bagian-bagian yang berkurang.
Kedua, ia wajib membayar ujrah dan juga arsy dari apa yang berkurang, karena ujrah adalah pengganti manfaat, sedangkan arsy adalah pengganti bagian-bagian, sehingga yang satu tidak masuk dalam yang lain, sebagaimana ujrah dan arsy dari apa yang berkurang pada kegemukan.
فصل: وأن نقصت العين ثم زال النقص بأن كانت جارية سمينة فهزلت ونقصت قيمتها ثم سمنت وعادت قيمتها ففيه وجهان: أحدهما يسقط عنه الضمان وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة لأنه زال ما أوجب الضمان كما لو جنى على عين فابيضت ثم زال البياض والثاني أنه لا يسقط وهو قول أبي سعيد الاصطخري لأن السمن الثاني غير الأول فلا يسقط به ما وجب بالأول وإن سمنت ثم هزلت ثم سمنت ثم هزلت ضمن أكثر السمنين قيمة في قول أبي علي ابن أبي هريرة لأنه بعود السمن يسقط ما في مقابلته من الأرش ويضمن السمنين في قول أبي سعيد لأن السمن الثاني غير الأول فلزمه ضمانهما.
PASAL: Jika suatu barang berkurang nilainya lalu hilang kekurangannya — misalnya seorang budak wanita gemuk lalu menjadi kurus sehingga nilainya turun, kemudian ia kembali gemuk dan nilainya pulih — maka ada dua pendapat:
Pertama: gugur kewajiban ganti rugi, dan ini adalah pendapat Abu ‘Ali ibn Abi Hurairah, karena telah hilang sebab yang mewajibkan ganti rugi, sebagaimana jika seseorang melukai mata lalu menjadi putih, kemudian hilang putihnya.
Kedua: tidak gugur kewajiban ganti rugi, dan ini adalah pendapat Abu Sa‘id al-Istakhri, karena kegemukan yang kedua bukanlah yang pertama, maka tidak gugur dengan yang kedua apa yang telah diwajibkan oleh yang pertama.
Dan jika budak itu gemuk lalu kurus, kemudian gemuk lagi lalu kurus lagi, maka menurut Abu ‘Ali ibn Abi Hurairah: ia wajib menanggung kerugian pada nilai gemuk yang tertinggi, karena dengan kembalinya kegemukan gugurlah arsh yang sebanding dengannya. Sedangkan menurut Abu Sa‘id: ia wajib menanggung kerugian pada kedua kegemukan itu, karena kegemukan yang kedua bukan yang pertama, maka wajib menanggung keduanya.
فصل: وإن غصب عبداً فجنى على إنسان في يد الغاصب لزم الغاصب ما يستوفي في جنايته فإن كانت الجناية على النفس فأقيد به ضمن الغاصب قيمته لأنه تلف بسبب كان في يده فإن كان في الطرف فأقيد منه ضمن وفي الذي يضمن وجهان: أحدهما أرش العضو في الجناية والثاني ما نقص من قيمته لأنه ضمان وجب باليد لا الجناية لأن القطع في القصاص ليس بجناية وقد بينا الوجهين فيما تقدم فإن عفى عن القصاص على مال لزم الغاصب أي يفديه لأنه حق تعلق برقبته في يده فلزم تخليصه منه.
PASAL: Jika seseorang menggasb seorang budak lalu budak itu melakukan jinayah terhadap seseorang ketika berada di tangan si penggasb, maka penggasb wajib menanggung apa yang dituntut dari jinayahnya. Jika jinayah itu pada jiwa lalu budak tersebut dihukum qiṣāṣ dengan dibunuh, maka penggasb wajib membayar senilai harga budak itu karena ia binasa dengan sebab yang terjadi di tangannya. Jika jinayah itu pada anggota tubuh lalu budak itu dihukum qiṣāṣ dengan dipotong anggotanya, maka penggasb wajib menanggung, dan tentang apa yang ditanggung ada dua wajah:
Pertama, membayar arsy anggota tubuh dalam jinayah.
Kedua, membayar sebesar apa yang berkurang dari nilainya, karena tanggungan itu wajib sebab tangan (penguasaan), bukan sebab jinayah. Sebab pemotongan dalam qiṣāṣ bukanlah jinayah. Dan dua wajah ini telah dijelaskan sebelumnya.
Jika pihak yang berhak qiṣāṣ memaafkan dengan ganti harta, maka penggasb wajib menanggungnya, yakni menebusnya, karena itu adalah hak yang terkait dengan leher budak tersebut ketika berada di tangannya, maka wajib baginya membebaskannya dari hak itu.
فصل: وإذا زاد المغصوب في يد الغاصب بأن كانت شجرة فأثمرت أو جارية فسمنت أو ولدت ولداً مملوكاً ثم تلف ضمن ذلك كله لأنه مال للمغصوب منه حصل في يده بالغصب فضمنه بالتلف كالعين المغصوبة وإن ألقت الجارية الولد ميتاً ففيه وجهان: أحدهما أنه يضمنه بقيمته يوم الوضع كما لو كان حياً وهو ظاهر النص لأنه غصبه بغصب الأم فضمنه بالتلف كالأم والثاني أنه لا يضمنه وهو قول أبي إسحاق لأنه إنما يقوم حال الحيلولة بينه وبين المالك وهو حال الوضع ولا قيمة له في تلك الحال فلم يضمن وحمل النص عليه إذا ألقته حياً ثم مات.
PASAL: Jika barang yang digasb bertambah di tangan ghāṣib — seperti pohon yang berbuah, budak wanita yang gemuk, atau melahirkan anak yang berstatus budak — lalu kemudian rusak, maka ia wajib menanggung semuanya. Karena itu adalah harta milik pemilik yang berada di tangan ghāṣib melalui perbuatan ghasab, maka ketika rusak ia wajib menggantinya sebagaimana barang pokok yang digasb.
Jika budak wanita itu melahirkan anak dalam keadaan mati, maka ada dua pendapat:
Pertama: wajib diganti dengan nilainya pada hari lahir, seakan-akan ia lahir hidup. Dan ini adalah zahir dari nash, karena anak itu tergasb dengan ghasab ibunya, maka wajib diganti saat rusak sebagaimana ibunya.
Kedua: tidak wajib diganti, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq, karena penilaian (taqwim) itu hanya berlaku saat terjadi penghalangan antara pemilik dan barangnya, yaitu saat lahir, sedangkan dalam keadaan itu ia tidak memiliki nilai, maka tidak wajib diganti. Dan nash dibawa kepada kasus jika anak itu lahir hidup kemudian mati.
فصل: وإن غصب دراهم فاشترى سلعة في الذمة ونقد الدراهم في ثمنها وربح ففي الربح قولان: قال في القديم هو للمغصوب منه لأنه نماء ملكه فصار كالثمرة والولد فعلى هذا يضمنه الغاصب إذا تلف في يده كالثمرة والولد وقال في الجديد هو للغاصب لأنه بدل ماله فكان له.
PASAL: Jika seseorang menggasb dirham lalu ia membeli suatu barang dengan tanggungan, kemudian ia membayar harga barang itu dengan dirham hasil ghasb tersebut dan memperoleh keuntungan, maka mengenai keuntungan itu ada dua qaul:
Dalam qaul qadīm: keuntungan itu milik orang yang dirampasi, karena ia termasuk namā’ dari miliknya, sehingga hukumnya seperti buah dan anak. Maka atas dasar ini, penggasb wajib menanggungnya jika barang itu rusak di tangannya, sebagaimana buah dan anak.
Dalam qaul jadīd: keuntungan itu milik penggasb, karena ia merupakan pengganti dari hartanya, maka menjadi miliknya.
فصل: وإن غصب عبداً فاصطاد صيداً فالصيد لمولاه لأن يد العبد كيد المولى فكان صيده كصيده وهل تلزم الغاصب أجرة العبد للمدة التي اصطاد فيها؟ فيه وجهان: أحدهما تلزمه لأنه أتلف عليه منافعه والثاني لا تلزمه لأن منافعه صارت إلى المولى وإن غصب جارية كالفهد والبازي فاصطاد بها صيداً ففي صيده وجهان: أحدهما أنه للغاصب لأنه هو المرسل والجارحة آلة فكان الصيد كما لو غصب قوساً فاصطاد بها وعليه أجرة الجارحة لأنه أتلف على صاحبها منافعها والثاني أن الصيد للمغصوب منه لأنه كسب ماله فكان له كصيد العبد فعلى هذا في أجرته وجهان على ما ذكرناه في العبد.
PASAL: Jika seseorang menggasab seorang budak lalu budak itu berburu binatang, maka hasil buruan menjadi milik tuannya, karena tangan budak sama dengan tangan tuannya, maka buruan budak seperti buruan tuannya.
Apakah ghāṣib wajib membayar upah budak untuk waktu yang dipakai berburu? Ada dua pendapat:
Pertama: wajib, karena ia telah merusakkan manfaat budak itu.
Kedua: tidak wajib, karena manfaat budak kembali kepada tuannya.
Dan jika seseorang menggasab hewan betina seperti cheetah (fahd) atau elang pemburu (bāzī), lalu ia digunakan untuk berburu, maka mengenai hasil buruannya ada dua pendapat:
Pertama: hasil buruan menjadi milik ghāṣib, karena dialah yang melepas hewan itu dan hewan pemburu hanyalah sebagai alat, maka buruan itu seperti orang yang menggasab busur lalu berburu dengannya. Namun ghāṣib wajib membayar upah hewan pemburu, karena ia telah merusakkan manfaat hewan tersebut bagi pemiliknya.
Kedua: hasil buruan menjadi milik pemilik hewan, karena itu merupakan usaha dari hartanya, maka hasilnya menjadi miliknya seperti buruan budak. Atas dasar ini, mengenai kewajiban upah ada dua pendapat sebagaimana yang telah disebutkan pada kasus budak.
فصل: وإن غصب عيناً فاستحالت عنده بأن كان بيضاً فصار فرخاً أو كان حباً فصار زرعاً أو كان زرعاً فصار حباً فللمغصوب منه أن يرجع به لأنه عين ماله فإن نقصت قيمته بالاستحالة رجع بأرش النقص لأنه حدث في يده وإن غصب عصيراً فصار خمراً ضمن العصير بمثله لأنه بانقلابه خمراً سقطت قيمته فصار كما لو غصب حيواناً فمات فإن صار الخمر خلاً رده
PASAL: Jika seseorang menggasb suatu barang lalu barang itu berubah bentuk di tangannya, seperti telur menjadi anak ayam, atau biji menjadi tanaman, atau tanaman menjadi biji, maka pemilik berhak mengambilnya kembali karena itu adalah ‘ain miliknya. Jika nilainya berkurang karena perubahan itu, maka ia berhak menuntut arsy kekurangan karena hal itu terjadi di tangan penggasb.
Jika ia menggasb perasan anggur lalu berubah menjadi khamar, maka ia wajib menanggung perasan anggur dengan semisalnya, karena dengan berubah menjadi khamar nilainya hilang, sehingga sama seperti menggasb hewan lalu mati. Jika khamar itu berubah menjadi cuka, maka ia wajib mengembalikannya.
وهل يلزمه ضمان العصير مع رد الخل؟ فيه وجهان: أحدهما يلزمه لأن الخل غير العصير فلا يسقط برد الخل ضمان ما وجب بهلاك العصير والثاني لا يلزمه لأن الخل عين العصير فلا يلزمه مع ردها ضمان العصير فعلى هذا إن كانت قيمة الخل دون قيمة العصير رد مع الخل أرش النقص.
Apakah ghāṣib wajib menanggung kerugian atas ‘aṣīr (perasan anggur) ketika ia mengembalikan khall (cuka)? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama: wajib, karena khall berbeda dengan ‘aṣīr, maka pengembaliannya tidak menggugurkan kewajiban ganti atas rusaknya ‘aṣīr.
Kedua: tidak wajib, karena khall adalah wujud dari ‘aṣīr itu sendiri, maka dengan mengembalikannya tidak wajib ganti atas ‘aṣīr.
Atas pendapat kedua ini, jika nilai khall lebih rendah daripada nilai ‘aṣīr, maka selain mengembalikan khall ia juga wajib membayar arsh kekurangannya.
فصل: وإن غصب شيئاً فعمل فيه عملاً زادت به قيمته بأن كان ثوباً فقصره أو قطناً فغزله أو غزلاً فنسجه أو ذهباً فصاغه حلياً أو خشباً فعمل منه باباً رده على المالك لأنه عين ماله ولا يشارك الغاصب فيه ببدل عمله لأنه عمل تبرع به في ملك غيره فلم يشاركه ببدله.
PASAL: Dan jika seseorang meng-ghaṣab sesuatu lalu ia mengerjakannya dengan suatu pekerjaan yang karenanya bertambah nilainya, seperti kain lalu dipotong (dijadikan pakaian), kapas lalu dipintal, benang pintalan lalu ditenun, emas lalu ditempa menjadi perhiasan, atau kayu lalu dibuat menjadi pintu, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemilik karena itu adalah ‘ain miliknya. Dan si ghāṣib tidak berhak mendapat bagian dari imbalan pekerjaannya karena ia telah bekerja secara tabarru‘ pada milik orang lain, maka ia tidak berhak atas pengganti dari pekerjaannya itu.
فصل: وإن غصب شيئاً فخلطه بما لا يتميز منه من جنسه بأن غصب صاعاً من زيت فخلطه بصاع من زيته أو صاعاً من الطعام فخلطه بصاع من طعامه نظرت فإن خلطه بمثله في القيمة فله أن يدفع إليه صاعاً منه لأنه تعذر بالاختلاط عين ماله فجاز أن يدفع إليه البعض من مثله وإن أراد أن يدفع إليه مثله من غيره وطلب المغصوب منه مثله منه ففيه وجهان: أحدهما وهو المنصوص أن الخيار إلى الغصب لأنه لا يقدر على رد عين ماله فجاز أن يدفع إليه مثله كما لو هلك
PASAL: Dan jika ia meng-ghaṣab sesuatu lalu mencampurnya dengan sesuatu dari jenisnya yang tidak dapat dibedakan darinya, seperti ia meng-ghaṣab satu ṣā‘ minyak lalu mencampurnya dengan satu ṣā‘ minyak miliknya, atau satu ṣā‘ makanan lalu mencampurnya dengan satu ṣā‘ makanannya, maka diperhatikan: jika ia mencampurnya dengan yang sepadan dalam nilai, maka boleh baginya untuk memberikan kepadanya satu ṣā‘ darinya, karena barangnya tidak bisa dikembalikan secara spesifik akibat tercampur, maka boleh menggantinya dengan sebagian dari yang serupa. Jika ia ingin memberikan kepadanya yang serupa dari selain itu, sementara pihak yang di-ghaṣab menuntut yang serupa dari campuran itu, maka ada dua pendapat: salah satunya, dan inilah yang dinashkan, bahwa pilihan ada pada pihak peng-ghaṣab, karena ia tidak mampu mengembalikan barangnya secara spesifik, maka boleh baginya untuk menggantinya dengan yang serupa, sebagaimana halnya bila barang itu binasa.
والثاني وهو قول أبي إسحاق وأبي علي ابن أبي هريرة أنه يلزمه أن يدفع صاعاً منه لأنه يقدر أن يدفع إليه بعض ماله فلا ينتقل إلى البدل في الجميع ما لو غصب صاعاً فتلف بعضه وإن خلطه بأجود منه فإن بذل الغاضب صاعاً منه لزم المغصوب منه قبوله لأنه دفع إليه بعض ماله وبعض مثله خيراً منه وإن بذل مثله من غيره وطلب المغصوب منه صاعاً منه ففيه وجهان: أحدهما وهو المنصوص في الغصب أن الخيار إلى الغاصب لأنه تعذر رد المغصوب بالاختلاط فقبل منه المثل
Dan yang kedua, yaitu pendapat Abu Ishaq dan Abu ‘Ali Ibn Abi Hurairah, bahwa ia wajib memberikan satu ṣā‘ dari campuran itu, karena ia mampu memberikan sebagian dari barang milik orang yang di-ghaṣab, maka tidak berpindah kepada penggantian dengan semuanya. Sama halnya jika ia meng-ghaṣab satu ṣā‘ lalu sebagian darinya rusak.
Jika ia mencampurnya dengan yang lebih baik darinya, lalu peng-ghaṣib menyerahkan satu ṣā‘ darinya, maka wajib bagi yang di-ghaṣab untuk menerimanya, karena ia menyerahkan sebagian barangnya dan sebagian serupanya yang lebih baik darinya. Jika peng-ghaṣib menyerahkan yang serupa dari selain itu, sementara yang di-ghaṣab menuntut satu ṣā‘ dari campuran itu, maka ada dua pendapat: salah satunya, dan ini yang dinashkan dalam masalah ghaṣb, bahwa pilihan ada pada peng-ghaṣib, karena barang yang di-ghaṣab tidak bisa dikembalikan secara spesifik akibat tercampur, maka diterima darinya yang serupa.
والثاني أنه يباع الجميع ويقسم الثمن بينهما على قدر قيمتهما وهو المنصوص في التفليس لأنا إذا فعلنا ذلك أوصلنا كل واحد منهما إلى عين ماله وإذا أمكن الرجوع إلى عين المال لم يلزم الرجوع إلى البدل فإن كان ما يخص المغصوب منه من الثمن أقل من قيمة ماله استوفى قيمة صاعه ودخل النقص على الغاصب لأنه نقص بفعله فلزمه ضمانه وعلى هذا الوجه إن طلب المغصوب منه أن يدفع إليه من الزيت المختلط بقدر قيمة ماله ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز وهو قول أبي إسحاق لأنه يأخذ بعض صاع عن صاع وذلك ربا والثاني أنه يجوز لأن الربا إنما يكون في البيع وليس ههنا بيع وإنما يأخذ هو بعض حقه ويترك بعضه كرجل له على رجل درهم فأخذ بعضه وترك البعض.
Dan yang kedua, yaitu bahwa seluruh campuran dijual lalu harganya dibagi di antara keduanya sesuai kadar nilai masing-masing, dan inilah yang dinashkan dalam masalah taflīs. Karena jika kita lakukan demikian maka masing-masing dari keduanya sampai kepada barangnya secara spesifik, dan apabila memungkinkan untuk kembali kepada barang secara spesifik maka tidak wajib kembali kepada pengganti.
Jika bagian harga yang menjadi hak orang yang di-ghaṣab lebih sedikit daripada nilai barangnya, maka ia berhak mengambil nilai satu ṣā‘-nya, dan kekurangan itu masuk tanggungan peng-ghaṣib, karena kekurangan terjadi akibat perbuatannya maka wajib baginya menanggungnya.
Berdasarkan pendapat ini, jika orang yang di-ghaṣab menuntut agar diberikan kepadanya dari minyak yang tercampur sebanyak kadar nilai barangnya, maka ada dua pendapat: pertama, tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq, karena berarti ia mengambil sebagian ṣā‘ sebagai ganti dari satu ṣā‘ penuh, dan itu termasuk ribā. Kedua, boleh, karena ribā itu hanya terjadi dalam jual beli, sedangkan di sini tidak ada jual beli; ia hanyalah mengambil sebagian dari haknya dan meninggalkan sebagian lainnya, seperti seorang yang memiliki satu dirham atas orang lain, lalu ia mengambil sebagian darinya dan meninggalkan sisanya.
فصل: وإن خلطه بما دونه فإن طلب المغصوب منه صاعاً وامتنع الغاصب أجبر على الدفع لأنه رضي بأخذ حقه ناقصاً وإن طلب مثله من غيره وامتنع الغاصب أجبر على دفع مثله لأن المخلوط دون حقه فلا يلزمه أخذه من أصحابنا من قال يباع الجميع ويقسم الثمن بينهما على قدر قيمتهما ليصل كل واحد منهما إلى عين ماله وإن نقص ما يخصه من الثمن عن قيمته ضمن الغاصب تمام القيمة لأنه نقص بفعله.
PASAL: Dan jika ia mencampurnya dengan yang lebih rendah, maka jika pemilik yang dirampas meminta satu ṣā‘ dan si perampas enggan, ia dipaksa untuk menyerahkan karena pemilik rela mengambil haknya dalam keadaan kurang. Dan jika ia meminta yang semisalnya dari selain itu lalu si perampas enggan, maka ia dipaksa untuk menyerahkan yang semisalnya karena yang tercampur lebih rendah daripada haknya, maka ia tidak wajib menerimanya. Sebagian sahabat kami berkata: dijual seluruhnya dan dibagi harganya di antara keduanya sesuai kadar nilainya agar masing-masing sampai kepada عين (hakikat) hartanya. Dan jika bagian yang menjadi miliknya dari harga kurang daripada nilainya, maka si perampas wajib menanggung kekurangan nilainya karena kekurangan itu terjadi dengan perbuatannya.
فصل: وإن غصب شيئاً فخلطه بغير جنسه أو نوعه فإن أمكن تمييزه كالحنطة إذا اختلطت بالشعير أو الحنطة البيضاء إذا اختلطت بالحنطة السمراء لزمه تمييزه ورده لأنه يمكن رد العين فلزمه وإن لم يمكن تمييزه كالزيت إذا خلطه بالشيرج لزمه صاع من مثله لأنه تعذر رد العين بالاختلاط فعدل إلى مثله من أصحابنا من قال يباع الجميع ويقسم الثمن بينهما على قدر قيمتهما ليصل كل واحد منهما إلى عين ماله كما قلنا في القسم قبله.
PASAL: Jika seseorang menggasab suatu barang lalu mencampurnya dengan barang lain yang tidak sejenis atau tidak sejenis dalam jenisnya, maka jika masih mungkin dipisahkan — seperti gandum yang bercampur dengan jelai, atau gandum putih bercampur dengan gandum merah — maka ia wajib memisahkan dan mengembalikannya, karena memungkinkan mengembalikan barang asal, maka wajiblah ia lakukan.
Namun jika tidak mungkin dipisahkan — seperti minyak yang bercampur dengan minyak wijen — maka wajib baginya mengganti dengan satu ṣā‘ sejenis, karena pengembalian barang asal telah terhalang akibat percampuran, maka beralihlah kewajiban kepada ganti yang sejenis.
Sebagian sahabat kami berkata: seluruh campuran itu dijual, lalu harganya dibagi antara keduanya sesuai kadar nilainya, agar masing-masing dapat kembali memperoleh bagian dari barang asalnya, sebagaimana telah kami sebutkan pada pembahasan sebelumnya.
فصل: وإن غصب دقيقاً فخلطه بدقيق له ففيه وجهان: أحدهما أن الدقيق له مثل وهو قول أبي العباس وظاهر النص لأن تفاوته في النعومة والخشونة ليس بأكثر من تفاوت الحنطة في صغر الحب وكبره فعلى هذا يكون حكمه حكم الحنطة إذا خلطها بالحنطة وقد بيناه والثاني أنه لا مثل له وهو قول أبي إسحاق لأنه يتفاوت في الخشونة والنعومة ولهذا لا يجوز بيع بعضه ببعض فعلى هذا اختلف أصحابنا فيما يلزمه قيمته لأنه تعذر رده بالاختلاط ولا مثل له فوجبت القيمة ومنهم من قال يصيران شريكين فيه فيباع ويقسم الثمن بينهما على ما ذكرناه في الزيت إذا خلطه بالشيرج.
PASAL: Dan jika seseorang merampas tepung lalu mencampurnya dengan tepung miliknya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, bahwa tepung itu memiliki mitsl, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbas serta sesuai dengan lahir nash, karena perbedaan dalam hal kehalusan dan kekasarannya tidak lebih banyak daripada perbedaan gandum dalam hal kecil dan besarnya biji. Maka berdasarkan ini, hukumnya sama dengan gandum apabila dicampur dengan gandum, sebagaimana telah kami jelaskan. Kedua, bahwa tepung itu tidak memiliki mitsl, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq, karena ia berbeda dalam hal kekasaran dan kehalusan, dan karena itu tidak boleh menjual sebagian dengan sebagian yang lain. Berdasarkan ini, para sahabat kami berbeda pendapat mengenai kewajiban atasnya: ada yang mengatakan wajib membayar nilainya karena mustahil dikembalikan akibat bercampur dan tidak ada mitsl baginya, maka wajiblah nilai. Dan ada pula yang mengatakan keduanya menjadi sekutu di dalamnya, lalu dijual dan dibagi harganya di antara mereka berdua sebagaimana telah kami sebutkan dalam kasus minyak apabila dicampur dengan syirj.
فصل: وإن غصب أرضاً فغرس بها غراساً أو بنى فيها بناء فدعا صاحب الأرض إلى قلع الغراس ونقض البناء لزمه ذلك لما روى سعيد بن زيد أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ليس لعرق ظالم حق” فإن قلعه فقد قال في الغصب يلزمه أرش ما نقص من الأرض وقال في البيع إذا قلع الأحجار المستودعة عليه تسوية الأرض ومن أصحابنا من جعلهما على قولين: أحدهما يلزمه أرش النقص لأنه نقص بفعل مضمون فلزمه أرش،
PASAL: Dan jika seseorang meng-ghaṣab tanah lalu menanaminya dengan tanaman atau membangun bangunan di atasnya, kemudian pemilik tanah menuntut agar tanaman itu dicabut dan bangunan itu dibongkar, maka ia wajib melakukannya. Karena telah diriwayatkan dari Sa‘id bin Zaid bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada hak bagi akar (tanaman) orang zalim.” Jika ia mencabutnya, maka dalam masalah ghaṣb dikatakan: ia wajib membayar arsh atas kerusakan tanah. Dan dalam masalah jual beli, jika mencabut batu-batu yang tersimpan di atasnya maka ia wajib meratakan tanah tersebut. Sebagian dari ulama kami menjadikannya pada dua pendapat: pertama, ia wajib membayar arsh kerusakan karena kerusakan itu terjadi dengan perbuatan yang mengandung tanggungan, maka wajiblah arsh.
والثاني يلزمه تسوية الأرض لأن جبران النقص بالمثل أولى من جبرانه بالقيمة ومنهم من قال يلزمه في الغصب أرش من نقص وفي البيع يلزمه تسوية الأرض لأن الغاصب متعد فغلظ عليه بالأرش لأنه أوفي والبائع غير متعد فلم يلزمه أكثر من التسوية وإن كان الغراس لصاحب الأرض فطالبه بالقلع فإن كان له غرض في قلعه أخذ بقلعه لأنه قد فوت عليه بالغراس غرضاً مقصوداً في الأرض فأخذ بإعادتها إلى ما كانت وإن لم يكن له غرض ففيه وجهان: أحدهما لا يؤخذ بقلعه لأن قلعه من غير غرض سفه وعبث والثاني يؤخذ به لأن المالك محكم في ملكه والغاصب غير محكم فوجب أن يؤخذ به.
Dan pendapat kedua: ia wajib meratakan tanah, karena menutup kerusakan dengan yang sepadan (bi al-mitsl) lebih utama daripada menutupnya dengan nilai (qīmah). Sebagian dari ulama kami berkata: dalam ghaṣb ia wajib membayar arsh atas kerusakan, sedangkan dalam jual beli ia wajib meratakan tanah. Sebab, orang yang melakukan ghaṣb adalah pihak yang melampaui batas, maka diperberat kewajiban atasnya dengan arsh karena lebih menyempurnakan, sedangkan penjual tidak melampaui batas sehingga tidak diwajibkan lebih dari perataan.
Dan jika tanaman itu milik pemilik tanah, lalu ia menuntut pencabutan, maka jika ia memiliki tujuan dalam pencabutan itu, orang tersebut diwajibkan mencabutnya karena dengan adanya tanaman itu telah hilang darinya tujuan yang dimaksud dari tanah, maka diwajibkan mengembalikannya sebagaimana semula. Namun jika ia tidak memiliki tujuan, maka ada dua wajah: pertama, tidak diwajibkan mencabutnya karena pencabutan tanpa tujuan adalah tindakan sia-sia dan main-main. Kedua, ia diwajibkan mencabutnya karena pemilik adalah pihak yang berhak menentukan dalam miliknya, sedangkan pengghaṣab bukanlah pihak yang berhak, maka wajib diambil dengan pencabutan.
فصل: وإن غصب أرضاً حفر بها بئراً فطالبه صاحب الأرض بطمها لزمه طمها لأن التراب ملكه وقد نقله من موضعه فلزمه رده إلى موضعه فإن أراد الغاصب طمها فامتنع صاحب الأرض أجبر وقال المزني لا يجبر كما لو غضب غزلاً ونسجه لم يجبر المالك على نقضه وهذا غير صحيح لأن له غرضاً في طمها وهو أن يسقط عنه ضمان من يقع فيها بخلاف نقض الغزل المنسوج فإن أبرأه صاحب الأرض من ضمان يقع فيها ففيه وجهان: أحدهما يصح الابراء لأنه لما سقط الضمان عنه إذا أذن في حفرها سقط عنه إذا أبرأه منها والثاني أنه لا يصح لأن الإبراء إنما يكون من واجب ولم يجب بعد شيء فلم يصح الإبراء.
PASAL: Dan jika seseorang mengghasab sebidang tanah lalu menggali sumur di dalamnya, kemudian pemilik tanah menuntut agar ia menimbunnya, maka wajib baginya menimbunnya karena tanah itu adalah milik pemilik, dan ia telah memindahkannya dari tempatnya sehingga wajib baginya mengembalikannya ke tempatnya. Jika si ghasib ingin menimbunnya tetapi pemilik tanah menolak, maka pemilik tanah dipaksa untuk menerima penimbunan itu. Al-Muzani berkata: tidak dipaksa, sebagaimana jika ia mengghasab kapas lalu menenunnya, maka pemilik tidak dipaksa untuk membongkarnya. Pendapat ini tidak benar, karena pemilik memiliki maksud dalam penimbunan sumur tersebut, yaitu agar gugur darinya tanggungan (dhaman) jika ada orang yang jatuh ke dalamnya. Berbeda halnya dengan membongkar tenunan dari kapas, karena tidak ada maksud di situ. Jika pemilik tanah membebaskannya dari tanggungan orang yang jatuh ke dalamnya, maka ada dua wajah: pertama, pembebasan itu sah, karena ketika gugur darinya tanggungan dengan izin menggali maka gugur pula dengan pembebasan; kedua, tidak sah, karena pembebasan hanya terjadi dari sesuatu yang telah wajib, sedangkan di sini belum wajib sesuatu apapun, maka tidak sah pembebasan.
فصل: إذا غصب ثوباً فصبغه بصبغ من عنده نظرت فإن لم تزد قيمة الثوب والصبغ ولم تنقص بأن كانت قيمة الثوب عشرة وقيمة الصبغ عشر فصارت قيمة الثوب مصبوغاً عشرين صار شريكا ًلصاحب الثوب بالصبغ لأن الصبغ عين مال له قيمة فإن بيع الثوب كان الثمن بينهما نصفين فإن زادت قيمتهما بأن صارت قيمة الثوب ثلاثين حدث الزيادة في ملكهما لأنه بفعله زاد ماله ومال غيره وما زاد في ماله يملكه لأنه حصل بعمل عمله بنفسه في ماله فإن بيع الثوب قسم الثمن بينهما نصفين
PASAL: Jika seseorang meng-ghaṣab kain lalu mewarnainya dengan pewarna miliknya, maka dilihat keadaannya. Jika nilai kain dan pewarna tidak bertambah dan tidak berkurang — misalnya nilai kain sepuluh dan nilai pewarna sepuluh, lalu setelah diwarnai nilai kain menjadi dua puluh — maka ia menjadi sekutu dengan pemilik kain dalam pewarna itu, karena pewarna adalah harta yang memiliki nilai. Jika kain tersebut dijual, maka harga dibagi antara keduanya setengah-setengah.
Jika nilainya bertambah — misalnya nilai kain menjadi tiga puluh — maka tambahan itu terjadi dalam kepemilikan keduanya. Sebab, dengan perbuatannya bertambah nilai harta miliknya dan harta orang lain. Adapun tambahan pada harta miliknya, ia memilikinya karena ia terjadi melalui usaha yang ia lakukan sendiri pada hartanya. Jika kain itu dijual, maka harga dibagi antara keduanya setengah-setengah.
وإن نقص قيمتهما بأن صار الثوب يساوي خمسة عشر حسب النقصان على الغاصب في صبغه لأنه بفعله حصل النقص فإن بيع الثوب بخمسة عشر دفع إلى صاحب الثوب عشرة وإلى الغاصب خمسة فإن صارت قيمة الثوب عشرة حسب النقص على الغاصب فإن بيع الثوب بعشرة دفع العشرة كلها إلى صاحب الثوب لأنه إما أن يكون سقط بدل الصبغ بالاستهلاك أو نقص به قيمة الثوب فلزمه أن يجبر ما نقص من قيمة الثوب فإن صارت قيمة الثوب ثمانية لم يستحق بصبغه شيئاً لأنه استهلكه في الثوب ويلزمه درهمان لأنه نقص بصبغه من قيمة الثوب درهمان.
Dan jika nilainya berkurang — misalnya kain menjadi bernilai lima belas — maka kekurangan itu dibebankan kepada pengghaṣab pada pewarnanya, karena dengan perbuatannyalah terjadi kekurangan tersebut. Jika kain dijual seharga lima belas, maka diberikan kepada pemilik kain sepuluh dan kepada pengghaṣab lima.
Jika nilai kain menjadi sepuluh, maka kekurangan dihitung atas pengghaṣab. Jika kain dijual seharga sepuluh, maka seluruh sepuluh itu diberikan kepada pemilik kain, karena pengganti pewarna antara gugur sebab habis terpakai, atau ia justru mengurangi nilai kain, sehingga ia wajib menutupi kekurangan nilai kain.
Jika nilai kain menjadi delapan, maka pengghaṣab tidak berhak atas pewarnanya sama sekali, karena pewarna telah habis terpakai pada kain, dan ia wajib membayar dua dirham, karena dengan pewarnanya itu ia telah mengurangi nilai kain sebesar dua dirham.
فصل: إذا استهلك ثمن الصبغ لم يبق للغاصب في الثوب حق لأن ماله هو الصبغ وقد استهلكه وإن بقي للصبغ ثمن فطلب الغاصب استخراجه أجيز إلى ذلك عين ماله فكان له أخذه كما لو غرس في أرض مغصوبة غراساً ثم أراد قلعه فإن نقصت قيمة الثوب باستخراج النقص ضمن ما نقص لأنه حصل بسبب من جهته وإن طلب صاحب الثوب استخراج الصبغ وامتنع الغاصب ففيه وجهان: أحدهما لا يجبر وهو قول أبي العباس لأن الصبغ يهلك بالاستخراج ولاحاجة به إلى ذلك لأنه يمكنه أن يستوفي حقه في البيع
PASAL: Jika harga ṣibgh telah habis maka tidak tersisa bagi ghāṣib hak dalam kain, karena hartanya adalah ṣibgh dan ia telah menghabiskannya. Jika masih ada bagi ṣibgh nilai harga lalu ghāṣib meminta untuk mengeluarkannya, maka diperbolehkan baginya, karena itu adalah mata hartanya, maka ia berhak mengambilnya sebagaimana jika ia menanam tanaman di tanah yang dighaṣab lalu ia ingin mencabutnya. Jika berkurang nilai kain dengan pengeluaran itu, maka ia wajib menanggung kekurangan tersebut karena terjadi dengan sebab darinya. Jika pemilik kain meminta pengeluaran ṣibgh dan ghāṣib menolak, maka dalam hal ini ada dua wajah: pertama, tidak dipaksa, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, karena ṣibgh akan rusak dengan pengeluaran itu dan tidak ada kebutuhan baginya untuk itu, sebab ia bisa mengambil haknya melalui penjualan.
ولا يجوز أن يتلف مال الغير والثاني يجبر وهو قول أبي إسحاق وأبي علي بن خيران لأنه عرق ظالم لا حق له فيه فأجبر على قلعه كالغراس في الأرض المغصوبة وإن بذل المغصوب منه قيمة الصبغ ليتملكه وامتنع الغاصب لم يجبر على القبول لأنه إجبار على بيع ماله وإن أراد صاحب الثوب بيع وامتنع الغاصب بيع لأنه ملك له فلا يملك الغاصب أن يمنعه من بيعه بتعديه وإن أراد الغاصب البيع وامتنع صاحب الثوب ففيه وجهان: أحدهما يجبر ليصل الغاصب إلى ثمن صبغه كما يجبر الغاصب على البيع ليصل رب الثوب إلى ثمن ثوبه والثاني لا يجبر لأنه متعد فلم يستحق بتعديه إزالة ملك رب الثوب عن ثوبه وإن وهب الغاصب الصبغ من صاحب الثوب ففيه وجهان: أحدهما يجبر على قبوله لأنه لا يتميز من العين فلزمه قبوله كقصارة الثوب والثاني لا يجبر لأنه هبة عين فلا يجبر على قبولها.
Dan tidak boleh merusak harta orang lain. Pendapat kedua, ia dipaksa, dan ini adalah pendapat Abu Ishaq serta Abu ‘Ali bin Khairan, karena itu merupakan ‘irq ẓālim yang tidak ada hak baginya, maka dipaksa untuk mencabutnya seperti tanaman di tanah yang dighaṣab. Jika pihak yang dighaṣab menawarkan harga ṣibgh untuk memilikinya dan si ghaṣib menolak, maka tidak dipaksa untuk menerima, karena itu merupakan pemaksaan jual beli terhadap hartanya. Jika pemilik kain ingin menjual dan si ghaṣib menolak, maka kain itu tetap boleh dijual, karena ia adalah milik pemilik kain, dan si ghaṣib tidak berhak melarangnya menjual akibat perbuatannya yang zalim. Jika si ghaṣib ingin menjual dan pemilik kain menolak, maka ada dua pendapat: pertama, dipaksa agar si ghaṣib sampai pada harga ṣibgh-nya, sebagaimana ghaṣib dipaksa menjual agar pemilik kain sampai pada harga kainnya; kedua, tidak dipaksa, karena ia seorang pelaku aniaya, sehingga dengan aniayanya itu tidak berhak menghapus kepemilikan pemilik kain atas kainnya. Jika si ghaṣib memberikan ṣibgh itu kepada pemilik kain sebagai hibah, maka ada dua pendapat: pertama, dipaksa untuk menerimanya karena ia tidak dapat dipisahkan dari barang itu, maka wajib menerimanya sebagaimana qaṣārah pada kain; kedua, tidak dipaksa karena itu hibah terhadap suatu benda, dan tidak boleh dipaksa untuk menerimanya.
فصل: فإن غصب ساجاً فأدخله في البناء أو خيطاً أخاط به شيئاً نظرت فإن عفن التاج وبلي الخيط لم يؤخذ برده لأنه صار مستهلكاً فسقط رده ووجبت قيمته وإن كان باقياً على جهته نظرت فإن كان الساج في البناء والخيط في الثوب وجب نزعه ورده لأنه مغصوب يمكن رده فوجب رده كما لو لم يبن عليه ولم يخط به وإن غصب خيطاً فخاط به جرح حيوان فإن كان مباح الدم كالمرتد والخنزير والكلب العقور وجب نزعه ورده لأنه لا حرمة له فكان كالثوب
PASAL: Jika seseorang mengghasab sāj lalu memasukkannya ke dalam bangunan, atau benang lalu menjahitkan dengannya sesuatu, maka diperhatikan: jika papan itu telah lapuk dan benang itu telah rusak, maka tidak diambil dengan pengembaliannya, karena telah menjadi musnah sehingga gugur kewajiban mengembalikan dan wajib mengganti dengan nilainya. Jika masih tetap pada bentuknya, maka diperhatikan: jika papan berada dalam bangunan dan benang dalam kain, maka wajib dicabut dan dikembalikan, karena ia barang ghasaban yang mungkin untuk dikembalikan, maka wajib dikembalikan sebagaimana jika tidak dibangun di atasnya dan tidak dijahit dengannya. Jika mengghasab benang lalu menjahitkan dengannya luka binatang, maka jika binatang itu halal darahnya seperti murtad, babi, dan anjing buas, wajib mencabutnya dan mengembalikannya, karena tidak ada kehormatan padanya, maka keadaannya seperti kain.
وإن كان محرم الدم فإن كان مما لا يؤكل كالآدمي والبغل والحمار وخاف من نزعه الهلاك لم ينزع لأن حرمة الحيوان آكد من حرمة المال ولهذا يجوز أخذ مال الغير بغير إذنه لحفظ الحيوان ولا يجوز أخذه لحفظ المال فلا يجوز هتك حرمة الحيوان لحفظ المال وإن كان مما يؤكل ففيه قولان: أحدهما يجب رده لأنه يمكن نزعه بسبب مباح فوجب رده كالساج والثاني لا يجب لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذبح الحيوان لغير مأكلة.
Dan jika binatang itu haram darahnya, maka bila termasuk yang tidak dimakan seperti manusia, bagal, dan keledai, serta dikhawatirkan binasa dengan mencabutnya, maka tidak dicabut, karena kehormatan hewan lebih kuat daripada kehormatan harta. Oleh sebab itu boleh mengambil harta orang lain tanpa izinnya untuk menyelamatkan hewan, dan tidak boleh mengambilnya untuk menyelamatkan harta. Maka tidak boleh menodai kehormatan hewan demi menjaga harta. Jika termasuk hewan yang dimakan, maka ada dua pendapat: pertama, wajib dikembalikan karena bisa dicabut dengan sebab yang mubah, maka wajib dikembalikan sebagaimana sāj. Kedua, tidak wajib, karena Nabi SAW melarang menyembelih hewan tanpa tujuan untuk dimakan.
فصل: وإن غصب لوحاً وأدخله في سفينة وخاف من نزعه الغرق فإن كان فيها حيوان لم ينزع لما ذكرناه في الخيط وإن كان المال لغاصب ففيه وجهان: أحدهما ينزع كما تنقض الدار لرد الساج والثاني لا ينزع لأنه يمكن رده من غير إتلاف المال بأن تجر إلى الشط بخلاف التاج في البناء وعلى هذا إن أراد المالك أن يطالب بالقيمة كان له ذلك لأنه حيل بينه وبين ماله فجاز له المطالبة بالبدل كما لوغصب منه عبداً فأبق وإن اختلطت السفينة التي فيها اللوح بسفن للغاصب ففيه وجهان: أحدهما ينقض الجميع كما ينقض جميع السفينة والثاني لا ينقض ما لم تتعين لأنه إتلاف مال لم يتعين فيه التعدي
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab papan lalu memasukkannya ke dalam kapal, dan dikhawatirkan kapal itu tenggelam bila papan tersebut dicabut, maka jika di dalamnya terdapat hewan, papan itu tidak boleh dicabut, sebagaimana telah disebutkan pada kasus benang. Jika harta itu milik ghaṣib, maka ada dua pendapat: pertama, papan itu dicabut sebagaimana rumah dibongkar untuk mengembalikan sāj; kedua, tidak dicabut, karena masih mungkin dikembalikan tanpa merusak harta dengan cara menarik kapal ke tepi, berbeda dengan tāj di bangunan. Berdasarkan pendapat ini, jika pemilik papan ingin menuntut ganti rugi, maka ia berhak atasnya, karena ia terhalang dari hartanya, sehingga boleh menuntut pengganti sebagaimana jika seorang ghaṣib mengghaṣab budak lalu budak itu kabur. Jika kapal yang berisi papan itu bercampur dengan kapal-kapal milik ghaṣib, maka ada dua pendapat: pertama, semua kapal dibongkar sebagaimana seluruh kapal dibongkar; kedua, tidak boleh dibongkar selama belum jelas mana yang dimaksud, karena hal itu berarti merusak harta yang belum pasti terbukti adanya pelanggaran di dalamnya.
فصل: وإن غصب جوهرة فبلعتها بهيمة له فإن كانت البهيمة مما لا تؤكل ضمن قيمة الجوهرة لأنه تعذر ردها فضمن البدل وإن كانت مما تؤكل ففيه وجهان بناءً على القولين في الخيط الذي خيط به جرح ما يؤكل.
فصل: وإن غصب فصيلاً فأدخله إلى داره فكبر ولم يخرج من الباب نقض الباب لرد الفصيل كما ينقض البناء لرد الساج وإن دخل الفصيل إلى داره من غير تفريط منه نقض الباب وعلى صاحب الفصيل ضمان ما يصلح به الباب لأنه نقض لتخليص ماله من غير تفريط من صاحب الباب.
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab permata lalu ditelan oleh hewan miliknya, maka jika hewan itu bukan hewan yang boleh dimakan, ia wajib mengganti harga permata tersebut, karena sudah mustahil mengembalikannya sehingga wajib mengganti dengan badal. Jika hewan itu termasuk yang boleh dimakan, maka ada dua pendapat, berdasarkan pada dua pendapat dalam kasus benang yang digunakan untuk menjahit luka hewan yang boleh dimakan.
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab anak unta lalu membawanya ke rumahnya, kemudian anak unta itu tumbuh besar sehingga tidak bisa keluar dari pintu, maka pintu rumah itu dibongkar untuk mengembalikan anak unta, sebagaimana bangunan dibongkar untuk mengembalikan sāj. Jika anak unta itu masuk ke rumah tanpa kelalaian pemilik rumah, maka pintu tetap dibongkar, namun pemilik anak unta wajib menanggung biaya perbaikan pintu, karena pembongkaran dilakukan untuk menyelamatkan hartanya tanpa ada kelalaian dari pemilik rumah.
فصل: وإن غصب ديناراً وطرحه في محبرة كسرت المحبرة ورد الدينار كما ينقص البناء لرد الساج وإن وقع في المحبرة من غير تفريط من صاحبها كسرت وعلى صاحب الدينار قيمة المحبرة لأنها كسرت لتخليص ماله من غير تفريط من صاحب المحبرة.
PASAL: Jika seseorang meng-ghaṣab dinar lalu meletakkannya ke dalam tempat tinta, maka tempat tinta itu dipecahkan dan dinar dikembalikan, sebagaimana bangunan dibongkar untuk mengembalikan sāj. Jika dinar itu jatuh ke dalam tempat tinta tanpa adanya kelalaian dari pemiliknya, maka tempat tinta itu tetap dipecahkan, dan pemilik dinar wajib membayar nilai tempat tinta, karena tempat tinta dipecahkan untuk menyelamatkan hartanya tanpa adanya kelalaian dari pemilik tempat tinta.
فصل: وإن غصب عيناً وباعها وقبضها المشتري وتصرف فيها وتلفت عنده فللمالك أن يضمن الغاصب لأنه غصبها وله أن يضمن المشتري لأنه قبض ما يمكن له قبضه فصار كالغاصب فإن ضمن الغاصب العين ضمنه قيمته أكثر ما كانت قيمته من حين الغصب إلى أن تلف في يد المشتري لأنه من حين الغصب إلى حين التلف في ضمانه وإن ضمن المشتري ضمنه أكثر ما كانت قيمته من حين قبض إلى أن تلف لأنه لم يدخل في ضمانه قبل القبض فلا يضمن ما قبله فإن بدأ فضمن المشتري نظرت فإن كان عالماً بالغصب لم يرجع بما ضمنه على الغاصب
PASAL: Jika seseorang meng-ghaṣab suatu barang lalu menjualnya, kemudian pembeli menerimanya, mempergunakannya, dan barang itu rusak di tangannya, maka pemilik barang boleh menuntut ganti kepada ghasib karena ia yang meng-ghaṣab, dan boleh juga menuntut pembeli karena ia telah menerima sesuatu yang tidak halal baginya untuk diterima, maka kedudukannya seperti ghasib.
Jika pemilik menuntut ganti dari ghasib, maka ghasib wajib mengganti dengan nilai barang itu sebesar nilai tertingginya sejak waktu dighaṣab hingga rusak di tangan pembeli, karena sejak dighaṣab sampai rusaknya barang berada dalam tanggung jawabnya.
Jika pemilik menuntut ganti dari pembeli, maka pembeli wajib mengganti dengan nilai tertingginya sejak ia menerima barang itu hingga rusak, karena sebelum penerimaan tidak berada dalam tanggung jawabnya, maka ia tidak wajib menanggung sebelum itu.
Jika pemilik terlebih dahulu menuntut pembeli, maka dilihat: jika pembeli mengetahui bahwa barang itu hasil ghasab, maka ia tidak boleh kembali menuntut ganti kepada ghasib atas apa yang telah ia bayarkan.
لأنه غاصب تلف المغصوب عنده فاستقر الضمان عليه كالغاصب من المالك إذا تلف عنده فإن لم يعلم نظرت فيما ضمن فإن التزم ضمانه بالعقد كبدل العين وما نقص منها لم يرجع به على الغاصب لأن الغاصب لم يغره بل دخل معه على أن يضمنه وإن لم يتلزم ضمانه بالعقد نظرت فغن لم يحصل له في مقابلته منفعة كقيمة الولد نقصان الجارية بالولادة رجع على الغاصب لأنه غره ودخل معه على أن لا يضمنه وإن حصلت له في مقابلته منفعة كالأجرة والمهر وأرش البكارة ففيه قولان: أحدهما يرجع به لأنه غره ولم يدخل معه على أن يضمنه
Karena ia adalah ghasib dan barang yang di-ghaṣab rusak di tangannya, maka tetaplah tanggungan itu atasnya, sebagaimana ghasib dari pemilik jika barang rusak di tangannya. Jika pembeli tidak mengetahui (bahwa barang itu hasil ghasab), maka dilihat pada apa yang ia tanggung.
Jika ia menanggung kerusakan itu dengan akad, seperti ganti barang atau kekurangan darinya, maka ia tidak boleh menuntut kembali kepada ghasib, karena ghasib tidak menipunya, tetapi ia masuk dalam akad dengan konsekuensi menanggungnya.
Jika ia tidak menanggungnya dengan akad, maka dilihat: apabila tidak didapatkan padanya manfaat sebagai gantinya, seperti nilai anak atau berkurangnya nilai budak perempuan karena melahirkan, maka ia boleh kembali menuntut ghasib, karena ghasib telah menipunya dan ia masuk akad dengan asumsi tidak menanggungnya.
Jika didapatkan padanya manfaat sebagai gantinya, seperti upah, mahar, atau arsy keperawanan, maka ada dua pendapat: pertama, ia boleh menuntut kembali karena ghasib telah menipunya dan ia tidak masuk akad dengan konsekuensi menanggungnya.
والثاني لا يرجع به لأنه حصل له في مقابلته منفعة وإن بدأ فضمن الغاصب فما لا يرجع به المشتري على الغاصب إذا غرم رجع به الغاصب على المشتري وما يرجع به المشتري على الغاصب لايرجع به لأنه لا فائدة في أن يرجع عليه ثم يرجع المشتري به عليه.
Dan pendapat kedua: tidak boleh menuntut kembali, karena ia telah memperoleh manfaat sebagai gantinya.
Jika pemilik terlebih dahulu menuntut ghasib, maka apa yang tidak boleh dituntut kembali oleh pembeli kepada ghasib, apabila pembeli membayarnya, ghasib boleh menuntut kembali kepada pembeli. Dan apa yang boleh dituntut kembali oleh pembeli kepada ghasib, maka ghasib tidak boleh menuntut kembali kepadanya, karena tidak ada faedah jika ghasib menuntutnya lalu kemudian pembeli menuntut kembali kepadanya.
فصل: وإن غصب من رجل طعاماً فأطعمه رجلاً فللمالك أن يضمن الغاصب لأنه غصبه وله أن يضمن الآكل لأنه أكل ما لم يكن له أكله فإن صمن الآكل نظرت فإن علم أنه مغصوب فأكله لم يرجع على الغاصب بما ضمن لأنه غاصب استهلك المغصوب فلم يرجع بما ضمنه فإن أكل ولم يعلم أنه مغصوب ففيه قولان: أحدهما يرجع لأنه غره وأطعمه على أن لا يضمنه والثاني لا يرجع لأنه حصل له منفعة فإن أطعمه المالك فإن علم أنه له برئ الغاصب من الضمان لأنه استهلك ماله برضاه مع العلم به وإن لم يعلم ففيه قولان: أحدهما يبرأ الغاصب لأنه عاد إلى يده فبرئ الغاصب من الضمان كما أورده عليه والثاني أنه لا يبرأ لأنه إنما ضمن لأنه أزال يده وسلطانه عن المال وبالتقديم إليه ليأكله لم تعد يده وسلطانه لأنه لو أراد أن يأخذه لم يمكنه فلم يزل الضمان.
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab makanan milik orang lain lalu memberikannya kepada orang lain untuk dimakan, maka pemilik makanan boleh menuntut ganti rugi dari si pengghaṣab karena ia telah melakukan ghoṣb, dan boleh juga menuntut ganti rugi dari orang yang memakannya karena ia memakan sesuatu yang bukan haknya.
Jika pemilik menuntut ganti dari orang yang memakan, maka dilihat: jika orang tersebut mengetahui bahwa makanan itu hasil ghoṣb lalu tetap memakannya, maka ia tidak boleh menuntut kembali kepada pengghaṣab atas ganti rugi yang telah dibayarkannya, karena ia adalah pelaku ghoṣb yang telah menghabiskan barang ghoṣb sehingga tidak boleh menuntut kembali atas apa yang ia ganti.
Namun jika ia memakan makanan itu tanpa mengetahui bahwa makanan itu hasil ghoṣb, maka terdapat dua pendapat:
- Pertama: ia boleh menuntut kepada pengghaṣab karena ia telah tertipu dan diberi makan tanpa tanggungan ganti rugi.
- Kedua: ia tidak boleh menuntut karena ia telah memperoleh manfaat dari makanan tersebut.
Jika yang memberi makan adalah pemilik barang, maka:
- Jika orang yang memakan tahu bahwa makanan itu miliknya (milik pemilik), maka pengghaṣab bebas dari tanggungan ganti rugi karena makanan itu dihabiskan atas kerelaan pemilik dan sepengetahuannya.
- Jika tidak tahu bahwa itu milik pemilik, maka ada dua pendapat:
- Pertama: pengghaṣab bebas dari tanggungan karena barang tersebut telah kembali ke tangan pemiliknya, sehingga gugur tanggungan ganti rugi sebagaimana jika barang itu dikembalikan secara langsung kepadanya.
- Kedua: pengghaṣab tidak bebas dari tanggungan karena ia diwajibkan mengganti kerugian akibat telah menghilangkan kepemilikan dan kekuasaan pemilik atas barang tersebut, dan dengan sekadar memberikan makanan itu kepada orang lain untuk dimakan belum mengembalikan kepemilikannya, karena jika ia ingin mengambil kembali makanan itu maka ia tidak mampu melakukannya, sehingga tanggungan ganti rugi tetap ada.
فصل: وإن غصب من رجل شيئاً ثم رهنه عنده أو أودعه أو آجره منه وتلف عنده فإن علم أنه له برئ الغاصب من ضمانه لأنه أعاده إلى يده وسلطانه وإن لم يعلم ففيه وجهان: أحدهما أنه يبرأ الغاصب من الضمان لأنه عاد إلى يده والثاني لا يبرأ لأنه لم يعد إلى سلطانه وإنما عاد إليه على أنه أمانة عنده وإن باعه منه برئ من الضمان علم أو لم يعلم لأنه قبضه بابتياع وجب الضمان فبرئ به الغاصب من الضمان.
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab suatu barang dari orang lain, lalu ia menjadikannya sebagai barang gadai (rahn) di tangan pemiliknya, atau menitipkannya kembali (wadi‘ah), atau menyewakannya kepada pemiliknya, kemudian barang itu rusak di tangan pemiliknya, maka:
- Jika pemilik mengetahui bahwa barang itu miliknya, maka pengghaṣab bebas dari tanggungan ganti rugi karena barang tersebut telah dikembalikan ke dalam kekuasaan dan kendali pemiliknya.
- Jika pemilik tidak mengetahui bahwa itu adalah barang miliknya, maka ada dua pendapat:
- Pertama: pengghaṣab bebas dari tanggungan karena barang tersebut telah kembali ke tangannya.
- Kedua: pengghaṣab tidak bebas dari tanggungan karena barang itu memang kembali ke tangan pemilik, tetapi tidak dalam keadaan berada dalam kekuasaannya, melainkan sebagai titipan (amanah).
Namun, jika pengghaṣab menjual barang itu kepada pemiliknya, maka ia bebas dari tanggungan, baik pemilik mengetahui bahwa itu barang miliknya atau tidak, karena barang tersebut telah diterima dengan akad jual beli yang mengharuskan tanggungan, maka gugurlah tanggungan ghoṣb dari pihak pengghaṣab.
فصل: وإن غصب شيئاً فرهنه المالك عند الغاصب لم يبرأ الغاصب وقال المزني يبرأ لأنه أذن له في إمساكه فبرئ من الضمان كما لو أودعه والمذهب الأول لأن الرهن يجتمع مع الضمان وهو إذا رهنه شيئاً فتعدى فيه فلا ينافي الضمان.
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab suatu barang lalu pemiliknya menjadikannya sebagai barang gadai (rahn) di tangan si ghaṣib, maka si ghaṣib tidak lepas dari tanggungan. Al-Muzanī berkata: lepas tanggungan, karena si pemilik telah mengizinkannya untuk memegang barang tersebut, sehingga bebas dari tanggungan sebagaimana jika ia menitipkannya (ʿawḍah). Namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena rahn dapat bersatu dengan tanggungan, yaitu apabila seseorang menjadikan barang sebagai rahn lalu pihak yang menerima rahn tersebut berbuat melampaui batas terhadapnya, maka itu tidak menghilangkan tanggungan.
فصل: وإن غصب حراً وحبسه ومات عنده لم يضمنه لأنه ليس بمال فلم يضمنه باليد وإن حبسه مدة لمثلها أجرة فإن استوفى فيها منفعته لزمته الأجرة لأنه أتلف عليه ما يتقوم فلزمه الضمان كما لو أتلف عليه ماله أو قطع أطرافه وإن لم يستوف منفعته ففيه وجهان: أحدهما تلزمه الأجرة لأن منفعته تضمن بالإجارة فضمنت بالغصب كمنفعة المال والثاني لا تلزمه لأنها تلفت تحت يده فلا يضمنه الغاصب بالغصب كأطرافه وثياب بدنه.
PASAL: Jika seseorang menggheṣab orang merdeka lalu menahannya dan orang itu mati di sisinya, maka ia tidak wajib menanggungnya karena orang merdeka bukanlah harta, maka tidak wajib menanggungnya hanya karena memegangnya. Jika ia menahannya dalam jangka waktu yang biasa disewakan, maka jika ia telah memanfaatkan orang itu dalam waktu tersebut, wajib atasnya membayar sewa karena ia telah merusak manfaat yang memiliki nilai, maka wajib atasnya menanggungnya sebagaimana jika ia merusak hartanya atau memotong anggota tubuhnya. Namun jika ia tidak memanfaatkannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, wajib membayar sewa karena manfaat itu bisa menjadi objek akad ijarah, maka wajib ditanggung karena ghoṣb sebagaimana manfaat harta. Kedua, tidak wajib karena manfaat itu hilang di bawah kekuasaannya, maka tidak wajib ditanggung oleh ghoṣib karena ghoṣb, sebagaimana anggota tubuhnya dan pakaian yang melekat pada badannya.
فصل: وإن غصب كلباً فيه منفعة رده على صاحبه لأنه يجوز اقتناؤه للانتفاع به فلزمه رده فإن حبسه مدة لمثلها أجرة فهل تلزمه الأجرة؟ فيه وجهان بناءً على الوجهين في جواز إجارته.
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab seekor anjing yang ada manfaat padanya, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya karena boleh memeliharanya untuk mengambil manfaat darinya, maka wajib mengembalikannya. Jika ia menahannya dalam waktu yang pada umumnya ada upahnya, maka apakah ia wajib membayar upah? Dalam hal ini terdapat dua wajah, yang dibangun di atas dua pendapat dalam masalah kebolehan menyewakannya.
فصل: وإن غصب خمراً نظرت فإن غصبها في ذمي لزمه ردها عليه لأنه يقر على شربها فلزمه ردها عليه وإن غصبها من مسلم ففيه وجهان: أحدهما يلزمه ردها عليه لأنه يجوز أن يطفئ بها ناراً أو يبل بها طيناً فوجب ردها عليه والثاني لا يلزمه وهو الصحيح لما روي أن أبا طلحة رضي الله عنه سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أيتام ورثوا خمرا فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يهرقها فإن أتلفها أو تلفت عنده لم يلزمه ضمانها
PASAL: Jika seseorang menggheṣab khamr, maka dilihat: jika ia menggheṣabnya dari seorang dzimmi, wajib mengembalikannya kepadanya karena ia dibolehkan untuk tetap dalam keyakinannya meminum khamr, maka wajib mengembalikannya kepadanya. Namun jika ia menggheṣabnya dari seorang Muslim, maka terdapat dua pendapat: pertama, wajib mengembalikannya karena boleh jadi ia akan memadamkan api dengannya atau membasahi tanah liat dengannya, maka wajib dikembalikan kepadanya. Kedua, tidak wajib mengembalikannya, dan ini yang ṣaḥīḥ, berdasarkan riwayat bahwa Abu Ṭalḥah RA bertanya kepada Rasulullah SAW tentang anak-anak yatim yang mewarisi khamr, maka Rasulullah SAW memerintahkannya untuk membuangnya. Maka jika ia merusaknya atau khamr tersebut rusak di tangannya, ia tidak wajib menanggung ganti rugi atasnya.
لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن الله تعالى إذا حرم شيئاً حرم ثمنه” ولأن ما حرم الانتفاع به لم يضمن ببدل كالميتة والدم فإن صار خلاً لزمه رده على صاحبه لأنه صار خلاً على حكم ملكه فلزمه رده إليه فإن تلف ضمنه لأنه مال للمغصوب منه تلف في يد الغاصب فضمنه.
Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā apabila mengharamkan sesuatu, Dia mengharamkan harganya.” Dan karena sesuatu yang haram dimanfaatkan tidak wajib diganti dengan yang semisal, seperti bangkai dan darah. Namun jika khamr itu berubah menjadi cuka (khal), maka wajib mengembalikannya kepada pemiliknya karena ia telah menjadi khal dalam status kepemilikannya, maka wajib dikembalikan kepadanya. Jika khal itu rusak, maka ia wajib menanggungnya karena ia adalah harta milik orang yang digheṣab yang rusak di tangan ghoṣib, maka ia wajib menggantinya.
فصل: وإن غصب جلد ميتة لزمه رده لأن له أن يتوصل إلى تطهيره بالدباغ فوجب رده عليه فإن دبغه الغاصب ففيه وجهان: أحدهما يلزمه رده كالخمر إذا صار خلاً والثاني لا يلزمه لأنه بفعله صار مالاً فلم يلزمه رده.
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab kulit bangkai, maka ia wajib mengembalikannya karena pemiliknya bisa berusaha menyucikannya dengan cara menyamak, maka wajib dikembalikan kepadanya. Jika kulit itu disamak oleh si ghoṣib, maka terdapat dua wajah: pertama, ia wajib mengembalikannya sebagaimana khamar yang berubah menjadi cuka; dan kedua, tidak wajib mengembalikannya karena dengan perbuatannya sendiri kulit itu menjadi harta, maka tidak wajib dikembalikan.
فصل: وإن فصل صليباً أو مزماراً لم يلزمه شيء لأن ما أزاله لا قيمة له والدليل عليه ما روى جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة: “إن الله تعالى حرم بيع الخمر وبيع الخنازير وبيع الأصنام وبيع الميتة” فدل على أنه لا قيمة له وما لا قيمة له لا يضمن فإن كسره نظرت فإن كان إذا فصله يصلح لمنفعة مباحة وإذا كسره لم يصلح لزمه ما بين قيمته مفصلاً ومكسوراً لأنه أتلف بالكسر ما له قيمة فلزمه ضمانه فإن كان لا يصلح لمنفعة مباحة لم يلزمه شيء لأنه لم يتلف ماله قيمة.
PASAL: Jika seseorang melepaskan salib atau seruling, maka tidak wajib atasnya apa pun, karena yang ia hilangkan itu tidak memiliki nilai. Dalilnya adalah riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda pada hari Fathu Makkah: “Sesungguhnya Allah Ta‘ālā mengharamkan jual beli khamr, jual beli babi, jual beli berhala, dan jual beli bangkai.” Maka hal itu menunjukkan bahwa ia tidak memiliki nilai, dan sesuatu yang tidak memiliki nilai tidak wajib diganti.
Namun jika ia mematahkannya, maka dilihat: jika benda itu setelah dilepaskan masih dapat dimanfaatkan untuk manfaat yang mubah, dan ketika dipatahkan menjadi tidak berguna, maka ia wajib mengganti selisih antara nilainya dalam keadaan terpisah dan dalam keadaan rusak, karena ia telah merusak sesuatu yang memiliki nilai, maka wajib menanggungnya. Tetapi jika benda itu tidak dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang mubah, maka ia tidak wajib menanggung apa pun karena ia tidak merusak sesuatu yang memiliki nilai.
فصل: وإن فتح قفصاً عن طائر نظرت فإن نفره حتى طار ضمنه لأن تنفير الطائر بسبب ملجيء إلى ذهابه فصار كما لو باشر إتلافه وإن لم ينفره نظرت فإن وقف ثم طار لم يضمنه لأنه وجد منه سبب غير ملجئ ووجد من الطائر مباشرة والسبب إذا لم يكن ملجئاً واجتمع مع المباشرة سقط حكمه كما لو حفر بئراً فوقع فيها إنسان باختياره فإن طار عقيب الفتح ففيه قولان: أحدهما لا يضمن لأنه طار باختياره فأشبه إذا وقف بعد الفتح ثم طار والثاني يضمن لأن من طبع الطائر النفور ممن قرب منه فإذا طار عقيب الفتح كان طيرانه بنفوره فصار كما لو نفره.
PASAL: Jika seseorang membuka sangkar burung, maka hal itu diteliti; jika ia menakut-nakutinya hingga burung itu terbang, maka ia wajib menggantinya karena menakuti burung adalah sebab yang memaksa untuk terbangnya, maka keadaannya seperti orang yang langsung merusaknya. Namun jika ia tidak menakut-nakutinya, maka dilihat: jika burung itu diam dahulu lalu terbang, maka ia tidak wajib menggantinya karena terdapat sebab yang tidak memaksa dari pihak orang itu dan terdapat tindakan langsung dari burung itu, dan sebab jika tidak memaksa lalu bertemu dengan tindakan langsung, maka gugurlah hukumnya, sebagaimana jika seseorang menggali sumur lalu seseorang jatuh ke dalamnya atas pilihannya sendiri.
Jika burung itu langsung terbang setelah dibuka, maka ada dua pendapat: pertama, tidak wajib menggantinya karena ia terbang atas pilihannya sendiri, maka serupa dengan keadaan ketika ia diam dahulu lalu terbang; dan kedua, wajib menggantinya karena tabiat burung adalah lari dari orang yang mendekatinya, maka jika ia terbang seketika setelah dibuka, maka terbangnya itu karena ketakutannya, maka keadaannya seperti ketika ia ditakut-takuti.
فصل: وإن وقع طائر لغيره على جدار فرماه بحجر فطار لم يضمنه لأن رميه لم يكن سبباً لفواته لأنه قد كان ممتنعاً وفائتاً من قبل أن يرميه فإن طار في هواء داره فرماه فأتلفه ضمنه لأنه لا يملك منع الطائر من هواء داره فصار كما لو رماه في غير داره.
PASAL: Jika burung milik orang lain hinggap di atas dinding lalu seseorang melemparnya dengan batu hingga burung itu terbang, maka ia tidak wajib menanggungnya karena lemparannya bukanlah sebab hilangnya burung itu, sebab burung tersebut memang sudah bersifat lepas dan dapat pergi sebelum dilempar. Namun jika burung itu terbang di udara rumahnya lalu ia melemparnya hingga mati, maka ia wajib menanggungnya karena ia tidak memiliki hak untuk melarang burung berada di udara rumahnya, maka hukumnya seperti melemparnya di luar rumahnya.
فصل: وإن فتح زقاً فيه مائع فخرج ما فيه نظرت فإن خرج في الحال ضمنه لأنه كان محفوظاً بالوكاء فتلف بحله فضمنه وإن خرج منه شيء فابتل أسفله أو ثقل به أحد جانبيه فسقط وذهب ما فيه ضمنه لأنه ذهب بعضه بفعله وبعضه بسبب فعله فضمنه كما لو قطع يد رجل فمات منه وإن فتحه ولم يخرج منه شيء ثم هبت ريح فسقط وذهب ما فيه لم يضمن لأن ذهابه لم يكن بفعله فلم يضمنه كما لو فتح قفصاً عن طائر فوقف ثم طار أو نقب حرزاً فسرق منه غيره وإن فتح زقاً فيه جامد فذاب وخرج فيه وجهان: أحدهما لا يضمنه لأنه لم يخرج عقيب الحل فصار كما لو كان مائعاً فهبت عليه ريح فسقط
PASAL: Jika seseorang membuka ziq (kantong kulit) yang berisi cairan lalu isinya keluar, maka dilihat dahulu: jika cairan itu keluar seketika, maka ia wajib menggantinya karena cairan itu tadinya tersimpan dengan ikatan, lalu rusak karena dibuka, maka wajib mengganti. Jika sebagian cairan keluar lalu bagian bawah ziq menjadi basah atau salah satu sisinya menjadi berat hingga menyebabkan ziq jatuh dan isinya habis, maka ia wajib mengganti karena sebagian kerusakan terjadi langsung oleh perbuatannya dan sebagian lagi disebabkan oleh perbuatannya, maka ia wajib mengganti sebagaimana orang yang memotong tangan seseorang lalu orang itu mati karenanya. Jika ia membuka namun tidak ada cairan yang keluar, kemudian angin bertiup dan ziq itu jatuh hingga isinya tumpah, maka ia tidak wajib mengganti karena kerusakannya bukan disebabkan oleh perbuatannya, maka tidak wajib ganti, sebagaimana orang yang membuka sangkar burung lalu burung itu diam kemudian terbang, atau orang yang membobol tempat penyimpanan lalu yang mencuri adalah orang lain. Jika ia membuka ziq yang berisi benda padat lalu benda itu mencair dan keluar, maka ada dua pendapat: pertama, tidak wajib mengganti karena keluarnya bukan langsung setelah dibuka, maka seperti cairan yang tertiup angin lalu jatuh.
والثاني أنه يضمن وهو الصحيح لأن الشمس لا توجب للخروج وإنما تذيبه والخروج بسبب فعله فضمنه كالمائع إذا خرج عقيب الفتح وإن حل زقاً فيه جامد وقرب إليه آخر ناراً فذاب وخرج فقد قال بعض أصحابنا لا ضمان على واحد منهما لأن الذي حل الوكاء لم توجد منه عند فعله جناية يضمن بها وصاحب النار لم يباشر ما يضمن فصارا كسارقين نقب أحدهما الحرز وأخرج الآخر المال فإنه لا قطع على واحد منهما وعندي أنه يجب الضمان على صاحب النار لأنه باشر الإتلاف بإدناء النار فصار كما لو حفر رجل بئراً ودفع فيها آخر إنساناً وأما السارق فهو حجة عليه لأنا أوجبنا الضمان على من أخرج المال فيجب أن يجب الضمان ههنا على صاحب النار وأما القطع فلا يجب عليهما لأنه لا يجب القطع إلا بهتك الحرز والذي أخذ المال لم يهتك الحرز والضمان يجب بمجرد الإتلاف وصاحب النار قد أتلف فلزمه الضمان.
dan pendapat kedua adalah bahwa ia wajib mengganti, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena sinar matahari tidak menyebabkan benda keluar, melainkan hanya mencairkannya, sedangkan keluarnya disebabkan oleh perbuatannya, maka ia wajib mengganti sebagaimana cairan yang keluar langsung setelah dibuka.
Jika seseorang membuka ziq yang berisi benda padat lalu orang lain mendekatkannya dengan api sehingga mencair dan keluar, maka sebagian aṣḥāb kami berkata: tidak ada kewajiban ganti pada keduanya, karena orang yang membuka ikatan tidak melakukan perusakan secara langsung saat melakukan perbuatannya, dan orang yang membawa api tidak secara langsung melakukan tindakan yang mewajibkan ganti, maka keduanya seperti dua pencuri: salah satunya membobol tempat penyimpanan dan yang lainnya mengambil barang, maka tidak ada hukuman potong tangan atas keduanya.
Namun menurutku, wajib ganti atas orang yang membawa api karena dialah yang secara langsung melakukan perusakan dengan mendekatkan api, maka ia seperti orang yang menggali sumur dan orang lain mendorong orang ke dalamnya.
Adapun contoh pencuri adalah hujjah atasnya, karena kami mewajibkan ganti atas orang yang mengambil barang, maka harus pula diwajibkan ganti di sini atas orang yang membawa api. Adapun potong tangan tidak diwajibkan atas keduanya karena potong tangan tidak wajib kecuali disertai dengan pembobolan tempat penyimpanan (ḥirz), sedangkan yang mengambil barang tidak membobol, dan ganti rugi diwajibkan dengan semata-mata perusakan, dan orang yang membawa api telah merusak, maka wajiblah atasnya ganti rugi.
فصل: وإن فتح زقاً مستعلي الرأس فاندفع ما فيه فخرج فجاء آخر فنكسه حتى تعجل خروج ما فيه ففيه وجهان: أحدهما يشتركان في ضمان ما خرج بعد التنكيس كالجارحين والثاني أن ما خرج بعد التنكيس يجب على الثاني كالجارح والذابح.
PASAL: Jika seseorang membuka ziqq yang bagian atasnya lebih tinggi, lalu isinya mengalir keluar, kemudian datang orang lain dan membalikkan ziqq tersebut hingga isi di dalamnya lebih cepat keluar, maka ada dua pendapat:
Pertama, keduanya ikut serta dalam tanggungan terhadap isi yang keluar setelah dibalik, seperti dua orang yang melukai hewan sembelihan.
Kedua, tanggungan atas isi yang keluar setelah dibalik hanya wajib atas orang kedua, seperti hukum pada orang yang menyembelih setelah orang lain melukai.
فصل: وإن حل رباط سفينة فغرقت نظرت فإن غرقت في الحال ضمن لأنها تلفت بفعلهن وإن وقفت ثم غرقت فإن كان بسبب حادث كريح هبت لم يضمن لأنها غرقت بغير فعله وإن غرقت بغير سبب حادث ففيه وجهان: أحدهما لا يضمن كالزق إذا ثبت بعد فتحه ثم سقط والثاني أنه يضمن لأن الماء أحد المتلفات.
PASAL: Jika seseorang melepaskan tali pengikat perahu lalu perahu itu tenggelam, maka dilihat dahulu: jika tenggelam seketika, maka ia wajib mengganti karena perahu itu rusak akibat perbuatannya.
Jika perahu itu diam terlebih dahulu lalu tenggelam, maka jika tenggelam karena sebab luar seperti angin yang bertiup, ia tidak wajib mengganti karena kerusakan itu bukan akibat perbuatannya.
Namun jika tenggelam tanpa sebab luar, maka ada dua pendapat:
pertama, tidak wajib mengganti seperti ziq yang tetap berdiri setelah dibuka lalu jatuh;
kedua, wajib mengganti karena air termasuk salah satu penyebab kerusakan.
فصل: إذا أجج على سطحه ناراً فطارت شرارة إلى دار الجار فأحرقتها أو سقى أرضه فنزل الماء إلى أرض جاره فغرقها فإن كان الذي فعله ما جرت به العادة لم يضمن لأنه غير متعد وإن فعل ما لم تجر به العادة بأن أجج من النار ما لا يقف على حد داره أو سقى أرضه من الماء ما لا تحتمله ضمن لأنه متعد.
PASAL: Jika seseorang menyalakan api di atap rumahnya lalu terbang percikan api ke rumah tetangganya hingga membakarnya, atau ia menyiram tanahnya lalu airnya mengalir ke tanah tetangganya hingga menenggelamkannya, maka jika perbuatan yang dilakukan itu sesuai dengan kebiasaan, ia tidak menanggung karena tidak dianggap melampaui batas. Namun jika ia melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan, seperti menyalakan api yang tidak terbatas pada wilayah rumahnya atau menyiram tanahnya dengan air yang melebihi daya tampungnya, maka ia menanggung karena dianggap melampaui batas.
فصل: إذا ألقت الريح ثوباً لإنسان في داره لزمه حفظه لأنه أمانة حصلت تحت يده فلزمه حفظها كاللقطة فإن عرف صاحبه لزمه إعلامه فإن لم يفعل ضمنه لأنه أمسك مال غيره بغير رضاه من غير تعريف فصار كالغاصب وإن وقع في داره طائر لم يلزمه حفظه ولا إعلام صاحبه لأنه محفوظ بنفسه فإن دخل إلى برج في داره طائر فأغلق عليه الباب نظرت فإن نوى إمساكه على نفسه ضمنه لأنه أمسك مال غيره فضمنه كالغاصب وإن لم ينو إمساكه على نفسه لم يضمنه لأنه يملك التصرف في برجه فلا يضمن ما فيه.
PASAL: Jika angin melemparkan pakaian milik seseorang ke dalam rumahnya, maka ia wajib menjaganya karena itu adalah amanah yang berada di bawah tangannya, maka wajib ia jaga seperti luqṭah. Jika ia mengetahui pemiliknya, maka ia wajib memberitahunya; jika tidak ia lakukan, maka ia wajib mengganti karena ia memegang harta orang lain tanpa kerelaannya dan tanpa memberi tahu, maka ia seperti ghāṣib.
Jika burung jatuh ke dalam rumahnya, maka ia tidak wajib menjaganya dan tidak wajib memberitahu pemiliknya karena burung itu terjaga dengan sendirinya.
Namun jika burung masuk ke dalam menara rumahnya lalu ia menutup pintunya, maka dilihat: jika ia berniat menahannya untuk dirinya, maka ia wajib mengganti karena ia menahan harta milik orang lain, maka ia wajib menggantinya sebagaimana ghāṣib; jika ia tidak berniat menahannya untuk dirinya, maka ia tidak wajib mengganti karena ia berhak berbuat sesuatu di menaranya, maka ia tidak wajib mengganti apa yang ada di dalamnya.
فصل: إذا اختلف الغاصب والمغصوب منه في تلف المغصوب فقال المغصوب منه هو باق وقال الغاصب تلف فالقول قول مع يمينه لأنه يتعذر إقامة البينة على التلف وهل يلزمه البدل؟ فيه وجهان: أحدهما لا يلزمه لأن المغصوب منه لا يدعيه والثاني يلزمه لأنه بيمينه تعذر الرجوع إلى العين فاستحق البدل كما لو غضب عبداً فأبق.
PASAL: Jika terjadi perselisihan antara pihak yang mengghaṣab dan pemilik barang yang dighaṣab tentang kerusakan barang tersebut—pemilik berkata, “Barang itu masih ada,” sementara pengghaṣab berkata, “Sudah rusak”—maka perkataan pengghaṣab diterima dengan sumpahnya, karena sulit menghadirkan saksi atas kerusakan.
Apakah ia wajib mengganti? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak wajib, karena pemilik barang tidak menuntut pengganti.
Kedua, wajib, karena dengan sumpahnya telah tertutup kemungkinan untuk kembali kepada barang itu, maka berhak mendapat pengganti sebagaimana orang yang mengghaṣab budak lalu budak itu melarikan diri.
فصل: وإن تلف المغصوب واختلفا في قيمته فقال الغاصب قيمته عشرة وقال المغصوب منه قيمته عشرون فالقول قول الغاصب لأن الأصل براءة ذمته فلا يلزمه إلا ما أقر به كما لو ادعى عليه ديناً من غير غصب فأقر ببعضه.
PASAL: Jika barang yang dighaṣab rusak, lalu keduanya berselisih tentang nilainya — si ghāṣib berkata nilainya sepuluh, sementara pihak yang dighaṣab berkata nilainya dua puluh — maka perkataan ghāṣib yang diterima, karena asalnya adalah bebasnya tanggungan dari kewajiban, maka tidak wajib atasnya kecuali sesuai dengan pengakuannya, sebagaimana jika seseorang menuntut utang tanpa kasus ghoṣb, lalu yang dituduh mengaku sebagian darinya.
فصل: وإن اختلفا في صفته فقال الغاصب كان سارقاً فقيمته مائة وقال المغصوب منه لم يكن سارقاً فقيمته ألف فالقول قول المغصوب منه لأن الأصل عدم السرقة ومن أصحابنا من قال: القول قول الغاصب لأنه غارم والأصل براءة ذمته مما زاد على المائة فإن قال المغصوب منه كان كاتباً فقيمته ألف وقال الغاصب لم يكن كاتباً فقيمته مائة فالقول قول الغاصب لأن الأصل عدم الكتابة وبراءة الذمة مما زاد على المائة فإن قال المغصوب منه غصبتني طعاماً حديثاً وقال الغاصب بل غصبتك طعاماً عتيقاً فالقول قول الغاصب لأن الأصل أنه لا يلزمه الحديث فإذا حلف للمغصوب منه أن يأخذ العتيق لأنه أنقص من حقه.
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang sifat barang, lalu pengghaṣab berkata, “Ia adalah pencuri, maka nilainya seratus,” dan pemilik berkata, “Ia bukan pencuri, maka nilainya seribu,” maka perkataan pemilik diterima karena asalnya adalah tidak mencuri.
Namun sebagian dari ulama kami berpendapat: perkataan pengghaṣab yang diterima karena ia adalah pihak yang menanggung, dan asalnya adalah bebas dari kewajiban membayar lebih dari seratus.
Jika pemilik berkata, “Engkau mengghaṣabku seorang penulis, nilainya seribu,” dan pengghaṣab berkata, “Ia bukan penulis, nilainya seratus,” maka perkataan pengghaṣab diterima karena asalnya adalah tidak menulis dan terbebasnya tanggungan dari lebih dari seratus.
Jika pemilik berkata, “Engkau mengghaṣab makananku yang masih baru,” dan pengghaṣab berkata, “Aku mengghaṣab makananmu yang sudah lama,” maka perkataan pengghaṣab diterima karena asalnya ia tidak wajib memberikan makanan yang baru. Maka jika ia bersumpah, pemilik hanya berhak mengambil makanan yang lama karena lebih rendah dari haknya.
فصل: وإن غصبه خمراً وتلف عنده ثم اختلفا فقال المغصوب منه صار خلاً ثم تلف فعليك الضمان وقال الغاصب بل تلف وهو خمر فلا ضمان علي فالقول قول الغاصب لأن الأصل براءة ذمته ولأن الأصل أنه باق على كونه خمراً.
PASAL: Jika seseorang mengghaṣab khamr lalu rusak di tangannya, kemudian keduanya berselisih — pihak yang dighaṣab berkata: “Khamr itu telah berubah menjadi khal, lalu rusak, maka wajib atasmu ganti rugi,” sementara ghāṣib berkata: “Benda itu rusak dalam keadaan masih khamr, maka tidak ada kewajiban atasku” — maka perkataan ghāṣib yang diterima, karena asalnya adalah bebasnya tanggungan dari kewajiban, dan karena asalnya benda itu tetap sebagai khamr.
فصل: وإن اختلفا في الثياب التي على العبد المغصوب فادعى المغصوب منه أنها له وادعى الغاصب أنها له فالقول قول الغاصب لأن العبد وما عليه في يد الغاصب فكان القول قوله والله أعلم.
PASAL: Jika terjadi perselisihan mengenai pakaian yang ada pada budak yang dighaṣab—pemilik mengatakan bahwa pakaian itu miliknya, sementara pengghaṣab mengatakan bahwa itu miliknya—maka perkataan pengghaṣab yang diterima, karena budak dan apa yang ada padanya berada dalam kekuasaan pengghaṣab, maka perkataan dialah yang dipegang. Wallāhu a‘lam.
وتجب الشفعة في العقار لما روى جابر رضي الله عنه قال: قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم بالشفعة في كل شرك لم يقسم ربعه أو حائط لا يحل له أن يبيعه حتى يؤذن شريكه فإن شاء أخذ وإن شاء ترك فإن باعه ولم يؤذنه فهو أحق به ولأن الضرر في العقار يتأبد من جهة الشريك فثبتت فيه الشفعة لإزالة الضرر.
Kitab Syuf‘ah
Syuf‘ah wajib pada harta tidak bergerak (‘aqār), berdasarkan riwayat dari Jābir RA, ia berkata: Rasulullah SAW menetapkan hukum syuf‘ah pada setiap kepemilikan bersama yang belum dibagi seperempatnya atau tembok, tidak halal bagi salah satu pemilik untuk menjualnya hingga memberi tahu sekutunya; jika ia mau, maka ia mengambil (dengan syuf‘ah), dan jika ia mau, maka ia meninggalkannya. Jika ia menjualnya tanpa memberitahunya, maka sekutunya lebih berhak atasnya.
Hal ini karena mudarat dalam kepemilikan harta tidak bergerak berlangsung terus-menerus dari pihak sekutu, maka disyariatkan syuf‘ah untuk menghilangkan mudarat tersebut.
فصل: وأما غير العقار من المنقولات فلا شفعة فيه لما روى جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا شفعة إلا في ربعة أو حائط” وأما البناء والغراس فإنه إن بيع مع الأرض ثبت فيه الشفعة لما روى جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من كان له شريك في ربع أو نخل فليس له أن يبيع حتى يؤذن شريكه فإن رضي أخذه وإن كرهه تركه”
PASAL: Adapun selain tanah dari benda-benda bergerak maka tidak ada hak syuf‘ah padanya, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada syuf‘ah kecuali pada rumah atau kebun.”
Adapun bangunan dan tanaman, apabila dijual bersama tanahnya, maka tetap ada hak syuf‘ah padanya, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang memiliki sekutu dalam tanah atau pohon kurma, maka tidak halal baginya menjualnya sampai memberitahukan kepada sekutunya. Jika sekutunya ridha, maka dia mengambilnya, dan jika tidak suka, maka dia membiarkannya.”
لأنه يراد لتأبيد فهو كالأرض فإن بيع منفرداً لم تثبت فيه الشفعة لأنه ينقل ويحول فلم تثبت فيه الشفعة واختلف أصحابنا في النخل إذا بيعت مع قرارها مفردة عما يتخللها من بياض الأرض فمنهم من قال تثبت فيه الشفعة لأنه فرع تابع لأصل ثابت ومنهم من قال لا شفعة فيها لأن القرار تابع لها فإذا لم تجب الشفعة فيها إذا بيعت مفردة لم تجب فيها وفي تبعها وإن كانت دار أسفلها لواحد وعلوها مشترك بين جماعة فباع أحدهم نصيبه فإن كان السقف لصاحب السفل لم تثبت الشفعة في الحصة المبيعة من العلو لأنه بناء مفرد وإن كان السقف للشركاء في العلو ففيه وجهان: أحدهما لا تثبت فيه الشفعة لأنه لا يتبع أرضاً والثاني تثبت لأن السقف أرض لصاحب العلو يسكنه ويأوي إليه فهو كالأرض.
karena ia dimaksudkan untuk keabadian, maka hukumnya seperti tanah. Jika dijual terpisah, maka tidak tetap padanya hak syuf‘ah karena ia bisa dipindah dan dialihkan, maka tidak tetap padanya syuf‘ah.
Para sahabat kami berselisih pendapat tentang pohon kurma apabila dijual bersama tanah pijakannya, namun terpisah dari bagian tanah putih di sekitarnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tetap padanya hak syuf‘ah karena ia adalah cabang yang mengikuti pokok yang padanya tetap hak syuf‘ah. Dan sebagian yang lain berpendapat tidak ada syuf‘ah padanya karena tanah pijakan itu mengikuti pohon, maka jika tidak wajib syuf‘ah ketika pohon itu dijual terpisah, maka tidak wajib pula dalam keadaan ikutannya.
Jika ada rumah yang bagian bawahnya milik seseorang dan bagian atasnya dimiliki bersama oleh sekelompok orang, lalu salah satu dari mereka menjual bagiannya, maka jika atap rumah itu milik pemilik lantai bawah, tidak tetap hak syuf‘ah pada bagian atas yang dijual, karena ia adalah bangunan tersendiri. Namun jika atap tersebut milik para pemilik bagian atas, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak tetap hak syuf‘ah padanya karena ia tidak mengikuti tanah.
Kedua, tetap padanya hak syuf‘ah karena atap itu adalah tanah bagi pemilik bagian atas yang mereka tempati dan berteduh di bawahnya, maka hukumnya seperti tanah.
فصل: وإن بيع الزرع مع الأرض أو الثمرة الظاهرة مع الأصل لم تؤخذ مع الأصل بالشفعة لأنه منقول فلم يؤخذ مع الأرض بالشفعة كنيران الضيعة فإن بيع وفيه ثمرة غير مؤبرة ففيه وجهان: أحدهما تؤخذ الثمرة مع الأصل بالشفعة لأنها تبعت الأصل في البيع فأخذت معه بالشفعة كالغراس والثاني لا تؤخذ لأنه منقول فلم تؤخذ مع الأصل كالزرع والثمرة الظاهرة.
PASAL: Jika tanaman dijual bersama tanah, atau buah yang sudah tampak dijual bersama pohonnya, maka tidak diambil bersama pokoknya dengan syuf‘ah karena keduanya termasuk benda bergerak, sehingga tidak diambil bersama tanah dengan syuf‘ah, sebagaimana api-api milik kebun.
Namun jika dijual dalam keadaan terdapat buah yang belum mu’aʾbarah, maka ada dua pendapat:
pertama, buah itu diambil bersama pokoknya dengan syuf‘ah karena ia mengikuti pokok dalam akad jual, maka diambil bersamanya dengan syuf‘ah sebagaimana ghirās;
kedua, tidak diambil karena ia termasuk benda bergerak, maka tidak diambil bersama pokok sebagaimana tanaman dan buah yang sudah tampak.
فصل: ولا تثبت الشفعة إلا للشريك في ملك مشاع فأما الجار والقاسم فلا شفعة لهما لما روى جابر رضي الله عنه قال: إنما جعل رسول الله صلى الله عليه وسلم الشفعة في كل ما لم يقسم فإذا وقعت الحدود وصرفت الطرق فلا شفعة ولأن الشفعة إنما تثبت لأنه يدخل عليه شريك فيتأذى به فتدعوا الحاجة إلى مقاسمته فيدخل عليه الضرر بنقصان قيمة الملك وما يحتاج إلى إحداثه من المرافق وهذا لا يوجد في المقسوم.
PASAL: Tidak tetap hak syuf‘ah kecuali bagi sekutu dalam kepemilikan musyā‘ (tidak terbagi). Adapun tetangga dan orang yang pernah berbagi lalu telah membagi (qāsim), maka keduanya tidak memiliki hak syuf‘ah, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW hanya menetapkan syuf‘ah pada sesuatu yang belum dibagi. Jika batas-batas telah ditentukan dan jalan-jalan telah diarahkan, maka tidak ada hak syuf‘ah.
Karena hak syuf‘ah itu ditetapkan disebabkan masuknya sekutu yang dapat menyakiti (pemilik lain), sehingga menimbulkan kebutuhan untuk membaginya, dan hal itu menyebabkan kerugian berupa turunnya nilai harta dan kebutuhan untuk membuat sarana tambahan. Hal ini tidak ditemukan pada harta yang sudah dibagi.
فصل: ولا تجب إلا فيما تجب قسمته عند الطلب فأما ما لا تجب قسمته كالرحا والبئر الصغيرة والدار الصغيرة فلا تثبت فيه الشفعة وقال أبو العباس: تثبت فيه الشفعة لأنه عقار فثبت فيه الشفعة قياساً على ما تجب قسمته والمذهب الأول لما روي عن أمير المؤمنين عثمان رضي الله عنه أنه قال: لا شفعة في بئر والأرف تقطع كل شفعة ولأن الشفعة إنما تثبت للضرر الذي يلحقه بالمقاسمة وذلك لا يوجد فيما لا يقسم وأما الطريق المشترك في درب مملوك ينظر فيه فإن كان ضيقاً إذا قسم لم يصب كل واحد منهم طريقاً يدخل فيه إلى ملكه فلا شفعة فيه
PASAL: Syuf‘ah tidak wajib kecuali pada sesuatu yang wajib dibagi ketika diminta. Adapun sesuatu yang tidak wajib dibagi seperti penggilingan, sumur kecil, dan rumah kecil, maka tidak tetap padanya hak syuf‘ah.
Abu al-‘Abbās berkata: Syuf‘ah tetap berlaku padanya karena ia adalah ‘aqār, maka tetap padanya syuf‘ah berdasarkan qiyās terhadap ‘aqār yang wajib dibagi.
Namun madzhab yang pertama lebih kuat, berdasarkan riwayat dari Amīr al-Mu’minīn ‘Utsmān RA bahwa ia berkata: “Tidak ada syuf‘ah pada sumur, dan parit-parit memutuskan setiap hak syuf‘ah.”
Karena syuf‘ah hanya ditetapkan karena adanya mudarat yang timbul dari pembagian, dan itu tidak terdapat pada sesuatu yang tidak bisa dibagi.
Adapun jalan bersama di lorong milik seseorang, maka dilihat: jika lorong itu sempit, dan jika dibagi maka masing-masing tidak mendapatkan jalan yang bisa digunakan untuk masuk ke miliknya, maka tidak ada syuf‘ah padanya.
وإن كان واسعاً نظرت فإن كان للدار المبيعة طريق آخر وجبت الشفعة في الطريق لأنه أرض مشتركة تحتمل القسمة ولا ضرر على أحد في أخذه بالشفعة فأشبه غير الطريق وإن لم يكن للدار طريق غيره ففيه ثلاثة أوجه: أحدها لا شفعة فيه لأنه لو أثبتنا الشفعة فيه أضررنا بالمشتري لأنه يبقى ملكه بغير طريق والضرر لا يزال بالضرر والثاني تثبت فيه الشفعة لأنه أرض تحتمل القسمة فتثبت فيها الشفعة كغير الطريق والثالث أنه إن أمكن الشفيع المشتري من دخول الدار ثبت له الشفعة وإن لم يمكنه فلا شفعة فيه لأنه مع التمكين يمكن دفع الضرر من غير إضرار ولا يمكن مع عدم التمكين إلا بالإضرار.
Dan jika jalannya luas, maka dilihat: jika rumah yang dijual memiliki jalan lain, maka syuf‘ah wajib pada jalan tersebut karena ia adalah tanah milik bersama yang memungkinkan untuk dibagi, dan tidak ada mudarat bagi salah satu pihak jika diambil dengan syuf‘ah, maka ia seperti selain jalan.
Namun jika rumah tersebut tidak memiliki jalan selain jalan itu, maka terdapat tiga pendapat:
pertama, tidak ada syuf‘ah padanya karena jika disyariatkan syuf‘ah padanya maka akan memudaratkan pembeli, sebab rumahnya akan menjadi miliknya tanpa jalan, dan mudarat tidak dihilangkan dengan mendatangkan mudarat lain;
kedua, syuf‘ah tetap berlaku padanya karena ia adalah tanah yang memungkinkan untuk dibagi, maka berlaku padanya syuf‘ah seperti selain jalan;
ketiga, jika orang yang berhak syuf‘ah mengizinkan pembeli untuk masuk ke rumah, maka syuf‘ah tetap berlaku baginya; namun jika tidak mengizinkan, maka tidak ada syuf‘ah padanya, karena jika diizinkan, maka mudarat bisa dihindarkan tanpa menimbulkan mudarat baru, sedangkan jika tidak diizinkan, maka tidak bisa dihindarkan kecuali dengan mendatangkan mudarat.
فصل: وتثبت الشفعة في الشقص المملوك بالبيع لحديث جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “فإن باعه ولم يؤذنه فهو أحق به” وتثبت في كل عقد يملك الشقص فيه بعوض كالإجارة والنكاح والخلع لأنه عقد معاوضة فجاز أن تثبت الشفعة في الشقص المملوك به كالبيع.
PASAL: Syuf‘ah berlaku pada bagian milik (s̱iqṣ) yang dimiliki melalui jual beli, berdasarkan hadis Jābir RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika ia menjualnya tanpa memberitahunya, maka sekutunya lebih berhak atasnya.”
Syuf‘ah juga berlaku pada setiap akad yang menyebabkan kepemilikan bagian dengan imbalan (‘iwaḍ), seperti sewa, nikah, dan khulu‘, karena itu adalah akad mu‘āwaḍah, maka sah diberlakukan syuf‘ah pada bagian yang dimiliki dengannya, sebagaimana dalam jual beli.
فصل: فأما فيما ملك فيه الشقص بغير عوض كالوصية والهبة من غير عوض فلا تثبت فيه الشفعة لأنه ملكه بغير بدل فلم تثبت فيه الشفعة كما لو ملكه بالإرث وإن باع من رجل شقصاً فعفى الشفيع فيه عن الشفعة ثم رجع الشقص فيه بالإقالة لم تثبت فيه الشفعة لأنه لم يملكه بعوض وإنما انفسخ البيع ورجع المبيع إلى ملكه بغير بدل فإن باعه شقصاً فعفا الشفيع عن الشفعة ثم ولاه رجلاً ثبتت فيه الشفعة لأن التولية ببيع رأس المال وإن قال لأم ولده إن خدمت ورثتي شهراً فلك هذا الشقص فخدمتهم ملكت الشقص وهل تثبت فيه الشفعة؟ فيه وجهان: أحدهما أنه تثبت لأنها ملكته ببدل هو كالخدمة فصار كالمملوك بالإجارة
PASAL: Adapun dalam hal seseorang memiliki syaqṣ tanpa ganti rugi seperti wasiat dan hibah tanpa ganti rugi, maka tidak tetap padanya hak syuf‘ah karena ia memilikinya tanpa imbalan, maka tidak tetap padanya syuf‘ah sebagaimana jika ia memilikinya melalui warisan. Dan jika ia menjual kepada seseorang suatu syaqṣ lalu orang yang berhak syuf‘ah menggugurkan haknya, kemudian syaqṣ tersebut kembali kepadanya melalui pembatalan akad (iqālah), maka tidak tetap padanya syuf‘ah karena ia tidak memilikinya dengan imbalan, melainkan karena jual beli tersebut batal dan barang kembali ke kepemilikannya tanpa ganti rugi. Namun jika ia menjual suatu syaqṣ lalu orang yang berhak syuf‘ah menggugurkan haknya, kemudian ia serahkan (tawliyyah) kepada seseorang, maka tetap padanya hak syuf‘ah karena tawliyyah itu merupakan penjualan dengan harga pokok. Dan jika ia berkata kepada ummu walad-nya, “Jika engkau melayani para ahli warisku selama sebulan maka engkau mendapatkan syaqṣ ini,” lalu ia melayani mereka maka ia pun memiliki syaqṣ tersebut, maka apakah tetap padanya syuf‘ah? Dalam hal ini terdapat dua wajah: salah satunya adalah bahwa syuf‘ah tetap padanya karena ia memilikinya dengan imbalan yaitu berupa pelayanan, maka menjadi seperti kepemilikan melalui akad ijarah.
والثاني لا تثبت فيه الشفعة لأنه وصية في الحقيقة لأنه يعتبر من الثلث فلا تثبت فيه الشفعة كسائر الوصايا وإن دفع المكاتب إلى مولاه شقصاً عن نجم عليه ثم عجز ورق فهل للشفيع في الشقص شفعة أم لا فيه وجهان: أحدهما لا شفعة له لأنه بالعجز صار ماله للمولي بحق الملك لا بالمعاوضة وما ملك بغير المعاوضة لا شفعة فيه والثاني تثبت فيه لأنه ملكه بعوض فثبت فيه الشفعة فلا تسقط بالفسخ بعده.
dan wajah kedua: tidak tetap padanya syuf‘ah karena pada hakikatnya itu adalah wasiat, sebab ia diperhitungkan dari sepertiga harta, maka tidak tetap padanya syuf‘ah sebagaimana wasiat-wasiat lainnya. Dan jika seorang mukātab menyerahkan kepada tuannya suatu syaqṣ sebagai pembayaran angsuran yang menjadi tanggungannya, lalu ia gagal melunasi dan kembali menjadi budak, maka apakah bagi orang yang berhak syuf‘ah terhadap syaqṣ tersebut masih ada hak syuf‘ah atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua wajah: salah satunya adalah tidak ada hak syuf‘ah karena dengan kegagalannya, harta tersebut menjadi milik tuannya karena hak kepemilikan, bukan karena mu‘āwaḍah, dan apa yang dimiliki tanpa mu‘āwaḍah tidak ada syuf‘ah padanya. Dan wajah yang kedua adalah bahwa syuf‘ah tetap ada padanya karena ia memilikinya dengan imbalan, maka tetap padanya syuf‘ah dan tidak gugur dengan pembatalan sesudahnya.
فصل: وإن بيع شقص في شركة الوقف فإن قلنا إن الموقوف عليه لا يملك الوقف لم تجب فيه الشفعة لأنه لا ملك له وإن قلنا أنه يملك ففيه وجهان: أحدهما أنه يأخذ بالشفعة لأنه يلحقه الضرر في ماله من جهة الشريك فأشبه مالك الطلق والثاني لا يأخذه لأن ملكه غير تام بدليل أنه لا يملك التصرف فيه فلا يملك به ملكاً تاماً.
PASAL: Jika dijual sebagian (s̱iqṣ) dalam kepemilikan bersama harta wakaf, maka apabila kita berpendapat bahwa mauqūf ‘alayh (pihak yang menerima manfaat wakaf) tidak memiliki harta wakaf, maka tidak berlaku syuf‘ah padanya karena ia tidak memiliki harta tersebut.
Namun jika kita berpendapat bahwa ia memiliki harta wakaf, maka terdapat dua pendapat:
pertama, ia boleh mengambil dengan syuf‘ah karena ia tertimpa mudarat dalam hartanya dari sisi sekutu, maka ia seperti pemilik harta bebas;
kedua, ia tidak boleh mengambil karena kepemilikannya tidak sempurna, dengan dalil bahwa ia tidak berhak melakukan tasharruf padanya, maka kepemilikan itu tidak disebut kepemilikan yang sempurna.
فصل: وإن اشترى شقصاً وشرط الخيارة فيه للبائع لم يكن للشفيع أن يأخذ قبل انقضاء الخيار لأنه في أحد الأقوال لا يملك الشقص وفي القول الثاني ملكه موقوف فلا يعلم هل يملك أم لا وفي القول الثالث يملكه ملكاً غير تام لأن للبائع أن يفسخه ولأنه إذا أخذ بالشفعة أضر بالبائع لأنه يسقط حقه من الفسخ والضرر لا يزال بالضرر وإن شرط الخيار للمشتري وحده فإن قلنا إنه لا يملك أو قلنا إنه موقوف لم يأخذ لما ذكرناه خيار البائع وإن قلنا إنه يملكه ففيه قولان: أحدهما لا يأخذه لأنه بيع فيه خيار فلا يأخذ به كما لو كان الخيار للبائع والثاني يأخذه وهو الصحيح لأنه لا حق لغير المشتري والشفيع يملك إسقاط حقه ولهذا يملك إسقاط حقه بعد لزومه البيع واستقرار الملك فلأن يملك قبل لزومه أولى.
PASAL: Jika seseorang membeli syaqṣ dan mensyaratkan khiyār untuk penjual, maka orang yang berhak syuf‘ah tidak boleh mengambilnya sebelum masa khiyār selesai, karena menurut salah satu pendapat, pembeli belum memiliki syaqṣ tersebut; menurut pendapat kedua, ia memilikinya secara mauqūf, sehingga belum diketahui apakah ia benar-benar memilikinya atau tidak; dan menurut pendapat ketiga, ia memilikinya dengan kepemilikan yang tidak sempurna karena penjual masih berhak membatalkannya. Dan karena jika orang yang berhak syuf‘ah mengambilnya, hal itu akan merugikan penjual karena menggugurkan haknya untuk membatalkan, sedangkan kerugian tidak dihilangkan dengan kerugian yang lain.
Dan jika khiyār disyaratkan khusus untuk pembeli, maka jika kita katakan bahwa ia belum memiliki atau kita katakan bahwa kepemilikannya mauqūf, maka tidak boleh diambil dengan syuf‘ah sebagaimana dalam kasus khiyār untuk penjual. Namun jika kita katakan bahwa ia telah memilikinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya, ia tidak boleh diambil dengan syuf‘ah karena merupakan jual beli yang mengandung khiyār, maka tidak bisa diambil sebagaimana jika khiyārnya untuk penjual; dan pendapat kedua, ia boleh diambil, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena tidak ada hak bagi selain pembeli, dan orang yang berhak syuf‘ah memiliki wewenang untuk menggugurkan haknya. Oleh karena itu, ia memiliki hak menggugurkan syuf‘ah setelah jual beli menjadi tetap dan kepemilikan menjadi pasti, maka terlebih lagi ia memiliki hak itu sebelum jual beli menjadi tetap.
فصل: وتثبت الشفعة للكافر على المسلم لحديث جابر رضي الله عنه لا يحل حتى يؤذن شريكه فإن باعه ولم يؤذنه فهو أحق به ولم يفرق ولأنه خيار جعل لدفع الضرر عن المال فاستوى فيه الكافر والمسلم كالرد بالعيب.
PASAL: Syuf‘ah berlaku bagi orang kafir atas orang muslim, berdasarkan hadis Jābir RA: “Tidak halal (menjualnya) hingga memberitahukan kepada sekutunya. Jika ia menjualnya tanpa memberitahunya, maka sekutunya lebih berhak atasnya”, dan dalam hadis tersebut tidak ada pembedaan (antara muslim dan kafir).
Dan karena syuf‘ah adalah hak khiyar yang disyariatkan untuk menolak mudarat dari harta, maka orang kafir dan muslim sama-sama berhak padanya, sebagaimana hak khiyar karena cacat (‘aib).
فصل: ولا يأخذ بالشفعة من لا يقدر على العوض لأنه إذا أخذه ولم يقدر على العوض أضر بالمشتري والضرر لا يزال بالضرر فإن أحضر رهناً أو ضميناً أو عوضاً عن الثمن لم يلزم قبوله لأنه ما استحق أخذه بالعوض لم يلزم قبول الرهن والضمين والعوض فيه كالمبيع في يد البائع.
PASAL: Tidak boleh mengambil dengan syuf‘ah orang yang tidak mampu membayar ganti, karena jika ia mengambilnya sementara ia tidak mampu membayar, hal itu akan merugikan pembeli, dan kerugian tidak dihilangkan dengan kerugian. Maka jika ia menghadirkan barang jaminan (rahn), penjamin (ḍamīn), atau barang sebagai pengganti harga, tidak wajib diterima, karena sesuatu yang hak pengambilannya disyaratkan dengan adanya ganti, maka tidak wajib menerima rahn, ḍamīn, atau pengganti padanya, sebagaimana barang dagangan di tangan penjual.
فصل: ويأخذ الشفيع بالعوض الذي ملك به فإن اشتراه أخذه بالثمن لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “فإن باعه فهو أحق به بالثمن” وإن اشترى شقصاً وسيفاً بثمن قسم الثمن عليهما على قدر قيمتهما وأخذ الشقص بحصته وترك السيف على المشتري بحصته لأن الثمن ينقسم على المبيع على قدر قيمته ولا يثبت للمشتري الخيار في فسخ البيع بتفريق الصفقة عليه لأنه دخل في العقد على بصيرة أن الصفقة تفرق عليه وإن اشترى الشقص بثمن ثم ألحق به زيادة أو حط عنه بعض أو وجد به عيباً فأخذ عنه الأرش فعلى ما ذكرناه في بيع المرابحة
PASAL: Orang yang berhak syuf‘ah mengambil bagian tersebut dengan imbalan yang digunakan untuk memperolehnya. Jika bagian itu dibeli, maka ia mengambilnya dengan harga belinya, berdasarkan riwayat dari Jābir RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika ia menjualnya, maka sekutunya lebih berhak atasnya dengan harga beli.”
Jika seseorang membeli bagian (s̱iqṣ) dan pedang dengan satu harga, maka harga itu dibagi antara keduanya sesuai kadar nilainya. Maka bagian diambil dengan bagian harganya, dan pedang tetap pada pembeli dengan bagian harganya. Sebab, harga dibagi atas barang-barang yang dibeli sesuai kadar nilainya.
Dan pembeli tidak memiliki hak khiyār untuk membatalkan akad karena transaksi terpisah, sebab ia telah masuk dalam akad dengan sadar bahwa transaksi itu akan terpisah.
Jika ia membeli bagian dengan harga tertentu, lalu ditambahkan harga, atau dikurangi sebagian, atau ditemukan cacat sehingga ia mengambil arasy, maka hukumnya mengikuti apa yang telah kami sebutkan dalam jual beli murābaḥah.
فإن نقص الشقص في يد المشتري فقد روى المزني أن الشفيع يأخذه بجميع الثمن وقال في القديم يأخذه بالحصة واختلف أصحابنا في ذلك فمنهم من قال: فيه قولان: وهو الصحيح: أحدهما يأخذ بجميع الثمن كالعبد المبيع إذا ذهبت عينه في يد البائع فإن المشتري يأخذه بجميع الثمن والقول الثاني أنه يأخذه بالحصة وهو الصحيح لأنه أخذ بعض ما دخل في العقد فأخذه بالحصة كما لو كان معه سيف ومنهم من قال إن ذهب التالف ولم يذهب من الأجزاء شيء أخذ بالجميع لأن الذي يقابله الثمن أجزاء العين وهي باقية
PASAL: Jika bagian (s̱iqṣ) tersebut mengalami pengurangan di tangan pembeli, maka al-Muzanī meriwayatkan bahwa orang yang berhak syuf‘ah mengambilnya dengan membayar seluruh harga. Namun dalam qaul qadīm, Imam al-Syāfi‘i berkata bahwa ia mengambilnya sesuai bagiannya.
Para aṣḥāb kami berbeda pendapat dalam hal ini. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa dalam hal ini terdapat dua qaul, dan ini yang ṣaḥīḥ:
Pendapat pertama: ia mengambil dengan seluruh harga, seperti budak yang dijual lalu matanya hilang di tangan penjual, maka pembeli tetap mengambilnya dengan seluruh harga.
Pendapat kedua: ia mengambil sesuai bagiannya, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia hanya mengambil sebagian dari apa yang termasuk dalam akad, maka ia mengambilnya sesuai bagiannya, sebagaimana jika bagian itu dijual bersama pedang.
Dan di antara mereka ada pula yang berkata: jika bagian yang rusak itu hilang namun tidak ada bagian lainnya yang hilang, maka diambil dengan seluruh harga, karena yang menjadi imbalan harga adalah bagian-bagian benda, dan bagian-bagian itu masih ada.
فإن تلف بعض الأجزاء من الآجر والخشب أخذه بالحصة لأنه تلف بعض ما يقابله الثمن فأخذ الباقي بالحصة وحمل القولين على هذين الحالين ومنهم من قال: إن تلف بجائحة من السماء أخذ بالجميع لأنه لم يحصل للمشتري بدل التالف وإن تلف بفعل آدمي أخذ بالحصة لأنه حصل للمشتري بدل التالف وحمل القولين على هذين الحالين.
Jika sebagian bagian dari batu bata atau kayu rusak, maka bagian yang tersisa diambil dengan harga bagiannya, karena sebagian dari barang yang menjadi ganti harga telah rusak, maka bagian yang tersisa diambil dengan porsi harganya. Maka dua qaul tersebut ditakwilkan pada dua keadaan ini.
Dan di antara mereka ada pula yang berkata: jika kerusakan terjadi karena musibah dari langit (jā’iḥah), maka bagian itu diambil dengan seluruh harga, karena pembeli tidak mendapatkan pengganti dari bagian yang rusak. Namun jika rusak karena perbuatan manusia, maka diambil dengan harga bagiannya, karena pembeli telah mendapatkan pengganti dari bagian yang rusak. Maka dua qaul itu ditakwilkan pada dua keadaan ini.
فصل: وإن اشترى الشقص بمائة مؤجلة ففيه ثلاثة أقوال: أحدها يأخذ بمائة مؤجلة لأن الشفيع تابع للمشتري في قدر الثمن وصفته فكان تابعاً له في التأجيل والثاني أنه يأخذ بسلعة تساوي مائة إلى الأجل لأنه لا يمكن أن يطالب بمائة حالة لأن ذلك أكثر مما لزم المشتري ولا يمكن أن يطالب بمائة مؤجلة لأن الذمم لا تتماثل فتجعل ذمة الشفيع مثل ذمة المشتري فوجب أن يعدل إلى جنس آخر بقيمته كما يعدل فيما لا مثل له إلى جنس آخر بقيمته والثالث وهو الصحيح أنه يخير بين أن يعجل الثمن ويأخذ وبين أن يصبر إلى أن يحل فيأخذ لأنه لا يمكن أن يطالب بمائة حالة ولا بمائة مؤجلة لما ذكرناه ولا يمكن أن يأخذ بسلعة لأن الشفيع إنما يأخذ بالمثل أو القيمة والسلعة ليست بمثل الثمن ولا هي قيمته فلم يبق إلا التخيير.
PASAL: Jika seseorang membeli syuqs seharga seratus yang ditangguhkan pembayarannya, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, syuf‘ah diambil dengan seratus yang ditangguhkan, karena syafi‘ (pemilik hak syuf‘ah) mengikuti pembeli dalam jumlah dan sifat harga, maka ia juga mengikutinya dalam penangguhan.
Kedua, syafi‘ mengambil dengan barang yang senilai seratus sampai waktu jatuh tempo, karena tidak mungkin ia dituntut membayar seratus secara tunai, sebab itu lebih dari yang diwajibkan atas pembeli; dan juga tidak mungkin dituntut membayar seratus yang ditangguhkan, karena tanggungan itu tidak sama, sehingga tidak bisa dijadikan tanggungan syafi‘ sama dengan tanggungan pembeli; maka wajib beralih kepada jenis lain berdasarkan nilainya, sebagaimana dalam kasus barang yang tidak memiliki mitsl dialihkan kepada jenis lain berdasarkan nilainya.
Ketiga, dan inilah yang ṣaḥīḥ, bahwa syafi‘ diberi pilihan antara menyegerakan pembayaran dan mengambil (hak syuf‘ah), atau menunggu hingga waktu jatuh tempo lalu mengambil, karena tidak mungkin ia dituntut membayar seratus secara tunai, dan juga tidak bisa dituntut seratus yang ditangguhkan sebagaimana telah disebutkan, dan tidak mungkin mengambil dengan barang karena syafi‘ hanya mengambil dengan mitsl atau nilai (qīmah), sementara barang bukan mitsl dari harga, dan juga bukan nilainya, maka tidak tersisa kecuali pilihan.
فصل: وإن باع رجل من وارثه شقصاً يساوي ألفين بألف ولم تجز الوراثة بطل البيع في نصفه لأنه قدر المحاباة فإن اختار الشفيع أن يأخذ النصف بالألف لم يكن للمشتري الخيار في تفريق الصفقة لأن الشفيع أخذه بألف وإن لم يأخذ الشفيع فللمشتري أن يفسخ البيع لتفرق الصفقة عليه وإن باع من أجنبي وحاباه والشفيع وارث فاحتمل الثلث المحاباة ففيه خمسة أوجه: أحدها أن البيع يصح في نصف الشقص بالألف وللشفيع أن يأخذه ويبقى النصف للمشتري بلا ثمن لأن المحاباة وصية والوصية للمشتري تصح ولا تصح للشفيع فيصير كأنه وهب له النصف وباع منه النصف بثمن المثل ويأخذ الشفيع النصف بجميع الثمن ويبقى النصف للمشتري بغير ثمن
PASAL: Jika seseorang menjual bagian (s̱iqṣ) kepada salah satu ahli warisnya, yang nilainya dua ribu namun dijual seharga seribu, dan para ahli waris tidak merelakan, maka akad jual beli itu batal pada setengah bagian, karena itulah kadar muḥābāh (pemberian harga di bawah nilai).
Jika orang yang berhak syuf‘ah memilih untuk mengambil setengah bagian tersebut dengan harga seribu, maka pembeli tidak memiliki hak khiyār atas perpecahan transaksi, karena pihak syuf‘ah mengambilnya dengan nilai seribu. Namun jika pihak syuf‘ah tidak mengambil, maka pembeli berhak membatalkan jual beli karena transaksi menjadi terpecah.
Jika penjual menjual kepada orang luar dan melakukan muḥābāh (diskon besar), sementara orang yang berhak syuf‘ah adalah ahli waris, dan nilai muḥābāh tersebut masih dalam batas sepertiga (al-tsuluts) yang dibolehkan untuk wasiat, maka dalam hal ini terdapat lima pendapat:
Pendapat pertama: akad jual beli sah pada setengah bagian seharga seribu, dan pihak yang berhak syuf‘ah dapat mengambil bagian itu, dan separuhnya tetap menjadi milik pembeli tanpa harga, karena muḥābāh dihukumi sebagai wasiat. Dan wasiat kepada pembeli sah, sedangkan kepada pihak yang berhak syuf‘ah tidak sah. Maka seakan-akan penjual menghibahkan setengah bagian dan menjual setengah lainnya dengan harga pasar. Maka pihak yang berhak syuf‘ah mengambil setengah bagian dengan seluruh harga, dan setengah sisanya tetap menjadi milik pembeli tanpa harga.
والثاني أن البيع يصح في نصفه بالألف لأنا لو دفعنا الجميع إلى الشفيع بالألف حصلت الوصية للوارث وإن دفعنا إليه النصف بالألف وتركنا النصف على المشتري ألزمنا الشفيع في النصف أكثر مما لزم المشتري فلم يبق إلا الفسخ بالنصف ودفع النصف إلى الوارث من غير محاباة والثالث أن البيع باطل لأن المحاباة تعلقت بالكل فلا يجوز أن تجعل في نصفه والرابع أنه يصح البيع وتسقط الشفعة لأن إثبات الشفعة يؤدي إلى إبطال البيع وإذا بطل البيع سقطت الشفعة وما أدى ثبوته إلى سقوطه وسقوط غيره سقط فسقطت الشفعة وبقي البيع والخامس وهو الصحيح أنه يصح البيع في الجميع بالألف ويأخذ الشفيع بالألف لأن المحاباة وقعت للمشتري دون الشفيع والمشتري أجنبي فصحت المحاباة له.
kedua: bahwa jual beli sah pada setengah bagian dengan harga seribu, karena jika seluruh bagian diserahkan kepada syuf‘ah dengan seribu, berarti telah terjadi wasiat kepada ahli waris. Dan jika diserahkan kepadanya setengah bagian dengan seribu dan setengahnya dibiarkan pada pembeli, maka syafii‘ dikenai kewajiban pada setengah bagian lebih besar dari pembeli. Maka tidak ada pilihan selain membatalkan pada setengah bagian dan menyerahkan setengah bagian kepada ahli waris tanpa muḥābāh.
ketiga: bahwa jual beli batal karena muḥābāh mencakup keseluruhan, maka tidak boleh dijadikan pada setengahnya.
keempat: bahwa jual beli sah dan hak syuf‘ah gugur karena menetapkan syuf‘ah akan menyebabkan pembatalan jual beli, dan apabila jual beli batal maka syuf‘ah gugur. Sesuatu yang penetapannya menyebabkan gugurnya ia sendiri dan gugurnya yang lain maka ia pun gugur, maka gugurlah syuf‘ah dan tetaplah jual beli.
kelima, dan ini yang ṣaḥīḥ, bahwa jual beli sah seluruhnya dengan harga seribu dan pemilik syuf‘ah mengambilnya dengan seribu karena muḥābāh terjadi untuk pembeli, bukan untuk pemilik syuf‘ah, dan pembeli adalah orang luar, maka sah muḥābāh untuknya.
فصل: وإن اشترى الشقص بعرض فإن كان له مثل كالحبوب والأدهان أخذه بمثله لأنه من ذوات الأمثال فأخذ به كالدراهم والدنانير وإن لم يكن له مثل كالعبيد والثياب أخذه بقيمته لأن القيمة مثل لما لا مثل له ويأخذه بقيمته حال وجوب الشفعة كما يأخذ بالثمن الذي وجب عنده وجوب الشفعة وإن اشترى الشقص بعبد أخذ الشفيع بقيمته ووجد البائع بالعبد عيباً ورده أخذ قيمة الشقص وهل يثبت التراجع للشفيع والمشتري بما بين قيمة العبد وقيمة الشقص؟ فيه وجهان: أحدهما لا يتراجعان لأن الشفيع أخذ بما استقر عليه العقد وهو قيمة العبد فلا يتغير بما طرأ بعده
PASAL: Jika seseorang membeli syuqs dengan barang (‘araḍ), maka jika barang tersebut memiliki mitsl seperti biji-bijian dan minyak, maka syafi‘ mengambil dengan mitsl-nya, karena termasuk dalam kategori benda yang memiliki mitsl, maka diambil dengannya sebagaimana dirham dan dinar.
Dan jika barang tersebut tidak memiliki mitsl seperti budak dan pakaian, maka syafi‘ mengambil dengan nilainya, karena nilai adalah pengganti bagi sesuatu yang tidak memiliki mitsl, dan ia mengambil dengan nilainya pada saat wajibnya syuf‘ah, sebagaimana ia mengambil dengan harga pada saat wajibnya syuf‘ah.
Jika syuqs dibeli dengan seorang budak, maka syafi‘ mengambil dengan nilainya. Lalu jika penjual menemukan cacat pada budak tersebut dan mengembalikannya, maka ia mengambil nilai syuqs.
Apakah terjadi saling menuntut kembali antara syafi‘ dan pembeli atas selisih antara nilai budak dan nilai syuqs? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya, tidak saling menuntut, karena syafi‘ telah mengambil berdasarkan apa yang telah ditetapkan dalam akad, yaitu nilai budak, maka tidak berubah dengan sesuatu yang terjadi setelahnya.
والثاني يتراجعان فإن كانت قيمة الشقص أكثر رجع المشتري على الشفيع وإن كانت قيمة العبد أكثر رجع الشفيع على المشتري لأنه استقر الشقص على المشتري بقيمته فثبت التراجع بما بين القيمتين وإن وجد البائع بالعبد العيب وقد حدث عنده عيب آخر فرجع على المشتري بالأرش نظرت فإن أخذ المشتري من الشفيع قيمة العبد سليماً لم يرجع عليه بالأرش لأن الأرش دخل في القيمة وإن أخذ قيمته معيباً فهل يرجع بالأرش؟ فيه وجهان: أحدهما لا يرجع لأنه أخذ الشقص بقيمة العبد المعيب الذي استقر عليه العقد والثاني يرجع بالأرش لأنه استقر الشقص عليه بقيمة عبد سليم فرجع به على الشفيع.
Dan pendapat kedua: keduanya saling menuntut kembali (yatārāja‘ān). Maka jika nilai syuqs lebih tinggi, pembeli menuntut kembali dari syafi‘; dan jika nilai budak lebih tinggi, syafi‘ menuntut kembali dari pembeli, karena syuqs telah tetap pada pembeli dengan nilainya, maka sah terjadinya saling tuntut atas selisih antara kedua nilai tersebut.
Jika penjual menemukan cacat pada budak dan telah terjadi cacat lain setelah itu, lalu ia menuntut pembeli dengan arsy, maka hal itu perlu ditinjau: jika pembeli telah mengambil dari syafi‘ nilai budak dalam keadaan sehat (tanpa cacat), maka ia tidak menuntut arsy dari syafi‘, karena arsy sudah termasuk dalam nilai.
Namun jika ia mengambil nilainya dalam keadaan cacat, maka apakah ia berhak menuntut arsy? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, ia tidak menuntut karena ia mengambil syuqs dengan nilai budak yang cacat yang telah ditetapkan dalam akad.
Kedua, ia menuntut arsy karena syuqs telah ditetapkan atasnya dengan nilai budak yang sehat, maka ia menuntut arsy kepada syafi‘.
فصل: وإن جعل الشقص أجرة في إجارة أخذ الشفيع بأجرة مثل المنفعة فإن جعل صداقاً في نكاح أو بدلاً في خلع أخذ الشفيع بمهر المرأة لأن المنفعة لا مثل لها فأخذ بقيمتها كالثوب والعبد وإن جعل متعة في طلاق امرأة أخذ الشفيع بمتعة مثلها لا بالمهر لأن الواجب بالطلاق متعة مثلها لا المهر.
PASAL: Jika syuqs dijadikan sebagai upah dalam akad ijārah, maka syafi‘ mengambil dengan upah sepadan untuk manfaat tersebut.
Jika syuqs dijadikan sebagai ṣadaq dalam akad nikah, atau sebagai pengganti dalam khul‘, maka syafi‘ mengambil dengan mahar perempuan, karena manfaat tidak memiliki mitsl, maka diambil dengan nilainya sebagaimana pakaian dan budak.
Jika syuqs dijadikan sebagai muta‘ah dalam perceraian seorang perempuan, maka syafi‘ mengambil dengan muta‘ah yang sepadan, bukan dengan mahar, karena yang wajib dalam perceraian adalah muta‘ah yang sepadan, bukan mahar.
فصل: والشفيع بالخيار بين الأخذ والترك لأنه حق ثبت له لدفع الضرر عنه فخير بين أخذه وتركه وفي خياره أربعة أقوال: قولان نص عليهما في القديم أحدهما أنه على التراخي لا يسقط إلا بالعفو أو بما يدل على العفو كقوله بعني أو قاسمني وما أشبههما لأنه حق له لا ضرر على المستحق عليه في تأخيره فلم يسقط إلا بالعفو كالخيار في القصاص والثاني أنه بالخيار بين أن يرفعه المشتري إلى الحاكم ليجبره عن الأخذ أو العفو لأنا لو قلنا إنه على الفور أضررنا بالشفيع لأنه لا يأمن مع الاستعجال أن يترك والحظ في الأخذ أو يأخذه والحظ في الترك فيندم
PASAL: Pemilik syuf‘ah diberi pilihan antara mengambil atau meninggalkan, karena itu adalah hak yang ditetapkan baginya untuk menolak bahaya dari dirinya, maka ia diberi pilihan antara mengambilnya atau meninggalkannya. Dalam hak pilih ini terdapat empat pendapat:
Dua pendapat di antaranya dinyatakan oleh Imam al-Syafi‘i dalam qaul qadīm:
Pertama, bahwa hak pilih itu bersifat taraqī (boleh ditunda), dan tidak gugur kecuali dengan ‘afw (pengguguran hak) atau dengan sesuatu yang menunjukkan ‘afw, seperti ucapannya “juallah kepadaku” atau “bagilah denganku” dan semisalnya, karena itu adalah hak miliknya dan tidak ada kerugian bagi pihak yang terkena kewajiban bila ditunda, maka tidak gugur kecuali dengan pengguguran, sebagaimana hak khiẓār dalam qiṣāṣ.
Kedua, bahwa ia memiliki pilihan sampai pembeli mengadukannya kepada hakim, maka hakim memaksanya untuk mengambil atau menggugurkan, karena jika dikatakan bahwa ia harus segera mengambil (faur), hal itu akan membahayakan pemilik syuf‘ah, karena bisa jadi ia terburu-buru meninggalkannya padahal lebih baik diambil, atau terburu-buru mengambil padahal lebih baik ditinggalkan, lalu ia menyesal.
وإن قلنا على التراخي إلى أن يسقط أضررنا بالمشتري لأنه لا يقدر على التصرف والسعي في عمارته خوفاً من الشفيع فجعل له إلى أن يرفع إلى الحاكم ليدفع عنه الضرر والثالث نص عليه في سير حرملة أنه بالخيار إلى ثلاثة أيام لأنه لا يمكن أن يجعل على الفور لأنه يستضر به الشفيع ولا أن يجعل على التراخي لأنه يستضر به المشتري فقدر بثلاثة أيام لأنه لا ضرر فيه على الشفيع، لأنه يمكنه أن يعرف ما فيه من الحظ في ثلاثة أيام ولا على المشتري قريب
dan jika dikatakan bahwa hak pilih itu bersifat taraqī hingga gugur, maka hal itu membahayakan pembeli karena ia tidak dapat melakukan taṣarruf dan berusaha membangun karena khawatir terhadap pemilik syuf‘ah. Maka ditetapkan baginya batas hingga pembeli mengangkat perkara kepada hakim agar hakim menghilangkan bahaya tersebut darinya.
Pendapat ketiga, dinukil dalam riwāyah Ḥarmalah, bahwa pemilik syuf‘ah diberi pilihan hingga tiga hari, karena tidak mungkin ditetapkan secara segera (faur) sebab hal itu membahayakan pemilik syuf‘ah, dan tidak pula ditunda terus-menerus (taraqī) karena hal itu membahayakan pembeli. Maka ditentukan waktu tiga hari karena tidak ada bahaya bagi pemilik syuf‘ah, sebab ia dapat mengetahui dalam waktu tiga hari apakah di situ ada ḥaẓẓ (keuntungan) atau tidak, dan juga tidak berat bagi pembeli karena waktunya dekat.
والرابع نص عليه في الجديد أنه على الفور وهو الصحيح لما روى أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الشفعة لمن واثبها” وروي أنه قال: “الشفعة كنشطة العقال” إن قيدت ثبتت وإن تركت فاللوم على من تركها فعلى هذا إن أخر الطلب من غير عذر سقط لأنه على الفور فسقط بالتأخير من غير عذر كالرد بالعيب وإن أخره لطهارة أو صلاة أو طعام أو لبس ثوب أو إغلاق باب فهو على شفعته لأنه ترك الطلب لعذر وإن قال سلام عليكم أنا مطالب بالشفعة ثبتت الشفعة
dan pendapat keempat, dinyatakan dalam qaul jadīd, bahwa hak syuf‘ah harus segera diambil (‘ala al-faur), dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan riwayat dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Asy-syuf‘atu liman wāṡabahā” (syuf‘ah adalah bagi siapa yang segera menuntutnya), dan diriwayatkan pula bahwa beliau bersabda: “Asy-syuf‘atu kanasṭatil-‘iqāl” (syuf‘ah itu seperti unta yang segera dilepas talinya, jika segera diikat maka tetap, dan jika ditinggalkan maka celaan atas yang meninggalkannya).
Berdasarkan pendapat ini, apabila permintaan syuf‘ah ditunda tanpa uzur maka gugur, karena ia wajib diambil segera, dan gugur karena penundaan tanpa uzur sebagaimana pengembalian barang karena ‘aib. Namun jika penundaan itu karena uzur seperti bersuci, shalat, makan, memakai pakaian, atau menutup pintu, maka ia tetap dalam hak syuf‘ah karena ia meninggalkan tuntutan karena uzur.
Dan jika ia berkata, “Assalāmu ‘alaikum, saya menuntut hak syuf‘ah,” maka tetap berlaku hak syuf‘ah baginya.
لأن السلام قبل الكلام سنة فلا تسقط به الشفعة وإن قال بارك الله في صفقة يمينك أنا مطالب بالشفعة لم تسقط لأن الدعاء له بالبركة لا يدل على ترك الشفعة لأنه يجوز أن يكون دعاء للصفقة بالبركة لأنها أوصلته إلى الأخذ بالشفعة وإن قال صالحني عن الشفعة على مال لم يصح الصلح لأنه خيار فلا يجوز أخذ العرض عنه كخيار الشرط وفي شفعته وجهان: أحدهما تسقط لأنه أعرض عن طلبها من غير عذر والثاني لا يسقط لأنه تركها على عوض ولم يسلم له العوض فبقي على شفعته فإن أخذه بثمن مستحق ففيه وجهان: أحدهما تسقط لأنه ترك الأخذ الذي يملك به من غير عذر والثاني لا تسقط لأنه استحق الشقص بمثل الثمن في الذمة فإذا عينه فيما لا يملك سقط التعيين وبقي الاستحقاق كما لو اشترى شيئاً بثمن في الذمة ووزن فيه ما لا يملك.
karena memberi salam sebelum berbicara adalah sunah, maka hal itu tidak menggugurkan hak syuf‘ah. Dan jika ia berkata: “Bāraka Allāhu fī ṣafqati yamīnik (semoga Allah memberkahi akad tangan kananmu), aku menuntut hak syuf‘ah”, maka tidak gugur hak syuf‘ahnya, karena doa keberkahan tidak menunjukkan pelepasan hak syuf‘ah. Sebab bisa jadi ia mendoakan keberkahan terhadap akad tersebut karena akad itulah yang menyampaikannya pada pengambilan syuf‘ah.
Dan jika ia berkata: “Berikan aku ṣulḥ atas hak syuf‘ah dengan imbalan harta,” maka tidak sah ṣulḥ tersebut, karena syuf‘ah adalah khiyār, maka tidak boleh mengambil kompensasi harta untuknya seperti khiyār al-syarth. Dan dalam masalah syuf‘ahnya terdapat dua pendapat: salah satunya, gugur haknya karena ia berpaling dari menuntutnya tanpa uzur. Dan pendapat kedua, tidak gugur karena ia meninggalkannya dengan imbalan, namun imbalannya tidak diterima olehnya, maka ia tetap memiliki hak syuf‘ahnya.
Jika ia mengambilnya dengan harga yang tidak sah (mustaḥaqq), maka terdapat dua pendapat: pertama, haknya gugur karena ia meninggalkan pengambilan yang menyebabkan kepemilikan tanpa uzur. Pendapat kedua, tidak gugur karena ia berhak atas bagian itu dengan nilai yang setara dalam tanggungan, maka ketika ia menentukan pada sesuatu yang bukan miliknya, penentuan itu gugur dan hak tetap ada, sebagaimana jika seseorang membeli sesuatu dengan harga dalam tanggungan kemudian menimbangnya dengan sesuatu yang bukan miliknya.
فصل: وإن وجبت وهو محبوس أو مريض أو غائب نظرت فإن لم يقدر على الطلب ولا على التوكيل وعلى الإشهاد فهو على شفعته لأنه ترك بعذر وإن قدر على التوكيل فلم يوكل فيه ثلاثة أوجه: أحدها وهو قول القاضي أبي حامد إنه تسقط شفعته لأنه ترك الطلب مع القدرة فأشبه إذا قدر على الطلب بنفسه فترك والثاني وهو قول أبي علي الطبري إنه لا تسقط لأن التوكيل إن كان بعوض لزمه غرم وفيه ضرر وإن كان بغير عوض احتاج إلى التزام منه وفي تحملها مشقة وذلك عذر فلم تسقط به الشفعة ومن أصحابنا من قال إن وجد من يتطوع بالوكالة سقطت شفعته
PASAL: Jika hak syuf‘ah telah tetap, namun ia dalam keadaan dipenjara, sakit, atau sedang bepergian, maka dilihat keadaannya. Jika ia tidak mampu untuk menuntut secara langsung, tidak mampu mewakilkan, dan tidak mampu menghadirkan saksi, maka ia tetap berada di atas hak syuf‘ahnya karena penundaan itu terjadi karena uzur.
Namun jika ia mampu untuk mewakilkan, namun tidak mewakilkan, maka ada tiga pendapat:
Pertama, yaitu pendapat al-Qāḍī Abū Ḥāmid, bahwa hak syuf‘ahnya gugur karena ia meninggalkan tuntutan padahal mampu, maka keadaannya seperti orang yang mampu menuntut secara langsung namun ia tinggalkan.
Kedua, yaitu pendapat Abū ‘Alī al-Ṭabarī, bahwa hak syuf‘ahnya tidak gugur, karena jika ia harus mewakilkan dengan imbalan, maka ia menanggung biaya, dan itu memberatkannya; dan jika tanpa imbalan, maka butuh komitmen darinya, dan dalam menanggung komitmen itu ada kesulitan, maka itu merupakan uzur, dan hak syuf‘ah tidak gugur karenanya.
Sebagian dari ulama kami berkata: jika ia mendapati seseorang yang bersedia secara sukarela untuk menjadi wakil, maka gugur hak syuf‘ahnya.
لأنه ترك الطلب من غير ضرر فإن لم يجد من يتطوع لم تسقط لأنه ترك للضرر وإن عجز عن التوكيل وقدر على الإشهاد فلم يشهد ففيه قولان: أحدهما تسقط شفعته لأن الترك قد يكون للزهد وقد يكون للعجز وقد قدر على أن يبين ذلك بالشهادة فإذا لم يفعل سقطت شفعته والثاني لا تسقط لأن عذره في الترك ظاهر فلم يحتج معه إلى الشهادة.
karena ia meninggalkan tuntutan tanpa adanya mudarat, maka jika ia tidak mendapati orang yang bersedia secara sukarela menjadi wakil, maka tidak gugur hak syuf‘ahnya karena ia meninggalkannya karena adanya mudarat.
Dan jika ia tidak mampu mewakilkan, namun mampu menghadirkan saksi, lalu ia tidak menghadirkan saksi, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, hak syuf‘ahnya gugur karena meninggalkan tuntutan itu bisa jadi karena tidak berminat (zuhud), dan bisa jadi karena tidak mampu, sedangkan ia mampu menjelaskan hal itu dengan menghadirkan saksi. Maka ketika ia tidak melakukannya, gugurlah hak syuf‘ahnya.
Kedua, hak syuf‘ahnya tidak gugur karena uzurnya dalam meninggalkan tuntutan itu sudah jelas, maka tidak membutuhkan penjelasan melalui kesaksian.
فصل: وإن قال أخرت الطلب لأني لم أصدق فإن كان قد أخبره عدلان سقطت شفعته لأنه أخبره من يثبت بقوله الحقوق وإن أخبره حر أو عبد أو امرأة ففيه وجهان: أحدهما لا تسقط لأنه ليس ببينة والثاني تسقط لأنه أخبره من يجب تصديقه في الخبر وهذا من باب الأخبار فوجب تصديقهم فيه.
PASAL: Jika ia berkata, “Aku menunda tuntutan karena aku tidak mempercayai (berita penjualan),” maka jika yang memberitahunya adalah dua orang laki-laki yang ‘adl, gugurlah hak syuf‘ahnya, karena yang memberitahunya adalah orang-orang yang dengan kesaksiannya dapat ditetapkan hak-hak.
Namun jika yang memberitahunya adalah seorang lelaki merdeka, atau seorang budak, atau seorang perempuan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak gugur hak syuf‘ahnya karena mereka bukanlah bayyinah.
Kedua, gugur hak syuf‘ahnya karena yang memberitahunya adalah orang-orang yang wajib dipercaya dalam penyampaian berita, dan ini termasuk kategori khabar, maka wajib mempercayai mereka di dalamnya.
فصل: فإن قال المشتري اشتريت بمائة فعفا الشفيع ثم بان أنه اشترى بخمسين فهو على شفعته لأنه عفا عن الشفعة لعذر وهو أنه لا يرضاه بمائة أو ليس معه مائة وإن قال اشتريت بخمسين فعفا ثم بان أنه قد اشتراه بمائة لم يكن له أن يطلب لأن من لا يرضى الشقص بخمسين لا يرضاه بمائة وإن قال اشتريت نصفه بمائة فعفا ثم بان أنه قد اشترى جميعه بمائة فهو على شفعته لأنه لم يرض بترك الجميع وإن قال اشتريت الشقص بمائة فعفا ثم بان أنه كان قد اشترى نصفه بمائة لم يكن له أن يطالب بالشفعة لأن من لم يرض الشقص بمائة لا يرضى نصفه بمائة
PASAL: Jika pembeli berkata, “Aku membeli dengan harga seratus,” lalu syafī‘ (pemilik hak syuf‘ah) memaafkan (tidak menuntut syuf‘ah), kemudian ternyata ia membelinya dengan harga lima puluh, maka ia tetap berhak atas syuf‘ahnya, karena ia meninggalkan syuf‘ah dengan alasan, yaitu ia tidak rela dengan harga seratus atau ia tidak memiliki seratus.
Dan jika pembeli berkata, “Aku membeli dengan harga lima puluh,” lalu syafī‘ memaafkan, kemudian ternyata ia membelinya dengan harga seratus, maka syafī‘ tidak boleh menuntut hak syuf‘ah, karena orang yang tidak rela dengan harga lima puluh tentu lebih tidak rela dengan harga seratus.
Dan jika pembeli berkata, “Aku membeli setengahnya dengan harga seratus,” lalu syafī‘ memaafkan, kemudian ternyata ia membeli seluruhnya dengan harga seratus, maka syafī‘ tetap berhak atas syuf‘ahnya, karena ia tidak rela untuk meninggalkan seluruhnya.
Dan jika pembeli berkata, “Aku membeli syaqṣ ini dengan harga seratus,” lalu syafī‘ memaafkan, kemudian ternyata ia hanya membeli setengahnya dengan harga seratus, maka ia tidak berhak menuntut syuf‘ah, karena orang yang tidak rela dengan syaqṣ seharga seratus tentu lebih tidak rela dengan setengahnya seharga seratus.
وإن قال اشتريت بأحد النقدين فعفا ثم بان أنه كان قد اشتراه بالنقد الآخر فهو على شفعته لأنه يجوز أن يكون عفا لإعواز أحد النقدين عنده أو لحاجته إليه وإن قال اشتريت الشقص فعفا ثم بان أنه كان وكيلاً فيه وإنما المشتري غيره فهو على شفعته لأنه قد يرضى مشاركة الوكيل ولا يرضى مشاركة الموكل.
Dan jika pembeli berkata, “Aku membeli dengan salah satu dari dua jenis uang,” lalu syafī‘ memaafkan, kemudian ternyata ia membelinya dengan jenis uang yang lain, maka ia tetap berhak atas syuf‘ahnya, karena bisa jadi ia memaafkan karena kekurangan salah satu dari dua jenis uang tersebut di sisinya atau karena ia membutuhkannya.
Dan jika pembeli berkata, “Aku membeli syaqṣ ini,” lalu syafī‘ memaafkan, kemudian ternyata ia hanyalah wakil dalam pembelian itu dan yang membeli sebenarnya adalah orang lain, maka ia tetap berhak atas syuf‘ahnya, karena bisa jadi ia rela bermitra dengan sang wakil tetapi tidak rela bermitra dengan orang yang mewakilkannya.
فصل: وإن وجبت له الشفعة فباع حصته فإن كان بعد العلم بالشفعة سقطت شفعته لأنه ليس له ملك يستحق به وإن باع قبل العلم بالشفعة ففيه وجهان: أحدهما تسقط لأنه زال السبب الذي يستحق به الشفعة وهو الملك الذي يخاف الضرر بسببه والثاني لا تسقط لأنه وجبت له الشفعة والشركة موجودة فلا تسقط بالبيع بعده.
PASAL: Jika hak syuf‘ah telah tetap baginya, lalu ia menjual bagiannya, maka jika penjualan itu dilakukan setelah ia mengetahui adanya hak syuf‘ah, gugurlah hak syuf‘ahnya, karena ia tidak lagi memiliki kepemilikan yang menjadi sebab ia berhak atas syuf‘ah.
Namun jika ia menjual bagiannya sebelum mengetahui adanya hak syuf‘ah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, hak syuf‘ahnya gugur karena sebab yang menjadi dasar hak syuf‘ah telah hilang, yaitu kepemilikan yang dikhawatirkan mendatangkan mudarat.
Kedua, hak syuf‘ahnya tidak gugur karena hak syuf‘ah telah ditetapkan baginya dan kondisi kemitraan masih ada, maka tidak gugur hanya karena penjualan setelah itu.
فصل: ومن وجبت له الشفعة في شقص لم يجز أن يأخذ البعض ويعفو عن البعض لأن في ذلك إضراراً بالمشتري في تفريق الصفقة عليه والضرر لا يزال بالضرر فإن أخذ البعض وترك البعض سقطت سفعته لأنه لا يتبعض فإذا عفا عن البعض سقط الجميع كالقصاص وإن اشترى شقصين من أرضين في عقد واحد فأراد الشفيع أن يأخذ أحدهما دون الآخر ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز وهو الأظهر لما فيه من الإضرار بالمشتري في تفريق الصفقة عليه والثاني يجوز لأن الشفعة جعلت لدفع الضرر وربما كان الضرر في أحدهما دون الآخر فإن كان البائع أو المشتري اثنين جاز للشفيع أن يأخذ نصيب أحدهما دون الآخر كما لو اشتراه في عقدين متفرقين.
PASAL: Barang siapa yang berhak atas syuf‘ah pada suatu syaqṣ, maka tidak boleh ia mengambil sebagian dan memaafkan sebagian lainnya, karena hal itu merugikan pembeli dengan memecah akad atasnya, dan kerugian tidak dihilangkan dengan kerugian. Maka jika ia mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian, gugurlah hak syuf‘ahnya, karena syuf‘ah tidak bisa dibagi-bagi. Maka jika ia memaafkan sebagian, gugurlah seluruhnya, seperti dalam kasus qiṣāṣ.
Jika pembeli membeli dua syaqṣ dari dua bidang tanah dalam satu akad, lalu syafī‘ ingin mengambil salah satunya dan meninggalkan yang lainnya, maka ada dua pendapat: salah satunya tidak boleh, dan itu yang lebih kuat, karena di dalamnya terdapat kerugian bagi pembeli berupa pemecahan akad; dan pendapat kedua membolehkan, karena syuf‘ah disyariatkan untuk menghilangkan kerugian, dan bisa jadi kerugian hanya terdapat pada salah satunya.
Namun jika penjual atau pembelinya ada dua orang, maka boleh bagi syafī‘ untuk mengambil bagian salah satunya dan meninggalkan bagian yang lain, sebagaimana jika dibeli dalam dua akad yang terpisah.
فصل: وإن كان للشقص شفعاء نظرت فإن حضروا وطلبوا أخذوا فإن كانت حصة بعضهم أكثر ففيه قولان: أحدهما أنه يقسم الشقص بينهم على عدد الرؤوس وهو قول المزني لأن كل واحد منهم لو انفرد أخذ الجميع فإذا اجتمعوا تساووا كما لو تساووا في الملك والثاني أنه يقسم بينهم على قدر الأنصباء لأنه حق يستحق بسبب الملك فيسقط عند الاشتراك على قدر الأملاك كأجرة الدكان وثمرة البستان وإن عفا بعضهم عن حقه أخذ الباقون جميعه لأن في أخذ البعض إضراراً بالمشتري فإن جعل بعضهم حصته لبعض الشركاء لم يصح بل يكون لجميعهم
PASAL: Jika ada beberapa orang yang berhak syuf‘ah atas syaqṣ (bagian), maka dilihat keadaannya: jika mereka hadir dan menuntut, maka mereka mengambilnya. Jika porsi kepemilikan sebagian dari mereka lebih banyak, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa bagian tersebut dibagi di antara mereka berdasarkan jumlah kepala (‘adad al-ru’ūs)—ini adalah pendapat al-Muzanī—karena masing-masing dari mereka jika berdiri sendiri bisa mengambil seluruhnya, maka jika mereka berkumpul, mereka pun setara, sebagaimana jika mereka setara dalam kepemilikan.
Kedua, bahwa bagian tersebut dibagi berdasarkan kadar kepemilikan, karena hak ini didasarkan atas kepemilikan, maka ketika terjadi kebersamaan (dalam menuntut), pembagiannya mengikuti kadar kepemilikan, seperti sewa toko dan hasil kebun.
Jika sebagian dari mereka menggugurkan haknya, maka sisanya berhak mengambil seluruh bagian, karena pengambilan sebagian akan merugikan pembeli.
Jika sebagian dari mereka menjadikan hak bagiannya kepada sebagian syarik lainnya, maka hal itu tidak sah, bahkan bagian tersebut kembali menjadi milik bersama mereka semua.
لأن ذلك عفو ليس بهبة وإن حضر بعضهم أخذ جميعه فإن حضر آخر قاسمه وإن حضر الثالث قاسمهما لأنا بينا أنه لا يجوز التبعيض فإن أخذ الحاضر الشقص وزاده في يده بأن كان نخلاً فأثمرت ثم قدم الغائب قاسمه على الشقص دون الثمار لأن الثمار حديث في ملك الحاضر فاختص بها وإن قال الحاضر أنا آخذ بقدر مالي لم يجز وهل تسقط شفعته؟ فيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أنها تسقط لأنه قدر على أخذ الجميع وقد تركه والثاني وهو قول أبي إسحاق أنها لا تسقط لأنه تركه بعذر وهو أنه يخشى أن يقدم الغائب فينتزعه منه والترك للعذر لا يسقط الشفعة كما قلنا فيمن أظهر له المشتري ثمناً كثيراً ثم ترك ثم بان بخلافه.
karena hal itu adalah pengguguran hak, bukan hibah. Jika sebagian dari mereka hadir, maka ia mengambil seluruh bagian; lalu jika yang lain datang, ia membaginya bersamanya; dan jika datang orang ketiga, ia membaginya bersama keduanya. Karena telah dijelaskan bahwa tidak boleh ada pembagian sebagian dalam syuf‘ah.
Jika orang yang hadir mengambil syaqṣ lalu ada tambahan di tangannya—misalnya berupa pohon kurma yang kemudian berbuah—lalu datang yang tidak hadir, maka ia membaginya hanya atas syaqṣ (bagian tanah), bukan atas buahnya, karena buah itu muncul di bawah kepemilikan orang yang hadir, maka itu menjadi khusus miliknya.
Jika orang yang hadir berkata: “Aku akan mengambil sesuai kadar kepemilikanku saja,” maka hal itu tidak diperbolehkan. Apakah dengan itu gugur hak syuf‘ahnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurairah: hak syuf‘ahnya gugur, karena ia mampu mengambil seluruhnya namun tidak mengambilnya.
Kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq: tidak gugur, karena ia meninggalkannya karena uzur, yaitu khawatir akan datangnya orang yang tidak hadir dan merampasnya darinya, dan meninggalkan karena uzur tidak menggugurkan syuf‘ah, sebagaimana telah disebutkan pada kasus seseorang yang ketika ditampakkan harga oleh pembeli terlihat mahal lalu ia tinggalkan, lalu kemudian terbukti harga sebenarnya tidak demikian.
فصل: وإن كان للمشتري شريكاً بأن كان بين ثلاثة دار فباع أحدهم نصيبه من أحد شريكيه لم يكن للشريك الثاني أن يأخذ الجميع لأن المشتري أحد الشريكين فلم يجز للآخر أن يأخذ الجميع كما لو كان المشتري أجنبياً وقال أبو العباس للشريك أن يأخذ الجميع لأنا لو قلنا إنه يأخذ النصف لتركنا النصف على المشتري بالشفعة والإنسان لا يأخذ بالشفعة من نفسه والمذهب الأول لأن المشتري لا يأخذ النصف من نفسه بالشفعة وإنما يمنع الشريك أن يأخذ الجميع ويبقى الباقي على ملكه.
PASAL: Jika pembeli memiliki sekutu—misalnya sebuah rumah dimiliki oleh tiga orang, lalu salah satu dari mereka menjual bagiannya kepada salah satu dari dua sekutu lainnya—maka sekutu yang ketiga tidak berhak mengambil seluruh bagian dengan syuf‘ah, karena pembeli adalah salah satu dari dua sekutunya, maka tidak boleh bagi sekutu lainnya mengambil seluruh bagian, sebagaimana jika pembeli adalah orang luar (ajnabī).
Abū al-‘Abbās berpendapat: sekutu tersebut berhak mengambil seluruhnya, karena jika dikatakan ia hanya mengambil separuhnya saja, berarti kita meninggalkan separuh bagian itu pada pembeli karena syuf‘ah, padahal seseorang tidak mengambil hak syuf‘ah dari dirinya sendiri.
Namun pendapat yang rajih adalah pendapat pertama, karena pembeli tidak mengambil separuh dari dirinya sendiri melalui syuf‘ah, tetapi justru mencegah sekutunya dari mengambil seluruh bagian, dan bagian sisanya tetap menjadi milik pembeli.
فصل: وإن ورث رجلان من أبيهما داراً ثم مات أحدهما وخلف ابنين ثم باع أحد هذين الابنين حصته في الشفعة قولان: أحدهما أن الشفعة بين الأخ والعم وهو الصحيح لأنهما شريكان للمشتري فاشتركا في الشفعة كما لو ملكاه بسبب واحد والثاني أنها للأخ دون العم لأن الأخ أقرب إليه في الشركة لأنهما ملكاه بسبب واحد والعم ملك بسبب قبلهما فعلى هذا إن عفا الأخ عن حقه فهل يستحق العم؟ فيه وجهان: أحدهما يستحق به لأنه شريك وإنما قدم الأخ عليه لأنه أقرب في الشركة
PASAL: Jika dua orang mewarisi sebuah rumah dari ayah mereka, lalu salah satu dari keduanya meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak, kemudian salah satu dari dua anak tersebut menjual bagiannya, maka dalam hal syuf‘ah terdapat dua pendapat:
Pertama, syuf‘ah berlaku antara saudara dan paman, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena keduanya adalah sekutu terhadap pembeli, maka keduanya bersekutu dalam hak syuf‘ah sebagaimana jika mereka memilikinya karena satu sebab.
Kedua, syuf‘ah hanya untuk saudara, bukan untuk paman, karena saudara lebih dekat kepadanya dalam hal kemitraan, sebab keduanya memilikinya karena satu sebab, sedangkan paman memilikinya karena sebab yang mendahului mereka berdua.
Berdasarkan pendapat kedua ini, jika saudara menggugurkan haknya, maka apakah paman berhak atas syuf‘ah? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, paman berhak karena dia adalah sekutu, hanya saja saudara didahulukan darinya karena lebih dekat dalam kemitraan.
فإذا ترك الأخ ثبت للعم كما نقول فيمن قتل رجلين أنه يقتل الأول لأن حقه أسبق فإذا عفا ولي الأول قتل بالثاني والوجه الثاني أنه لا يستحق لأنه لم يستحق الشفعة وقت الوجوب فلم يستحق بعده وإن كان بين ثلاثة أنفس دار فباع أحدهم نصيبه من رجلين وعفا شريكاه عن الشفعة ثم باع أحد المشتريين نصيبه فعلى القولين: أحدهما أن الشفعة للمشتري الآخر لأنهما ملكاه بسبب واحد والشريكان الآخران ملكاه بسبب سابق لملك المشتريين والثاني أنها بين الجميع لأن الجميع شركاء في الملك في حال وجوب الشفعة وإن مات رجل عن دار وخلف ابنتين وأختين ثم باعت إحدى الأختين نصيبها ففيه طريقان: من أصحابنا من قال هي على القولين: أحدهما أن الشفعة للأخت لأنها ملكت مع الأخت بسبب واحد وملك البنات بسبب آخر والثاني أن الشفعة بين البنات والأخت لأن الجميع شركاء في الملك ومنهم من قال إن الشفعة بين البنات والأخت قولاً واحداً لأن الجميع ملكن الشقص في وقت واحد لم يسبق بعضهن بعضاً.
Maka apabila saudara (yang lebih dekat) menggugurkan haknya, tetaplah hak syuf‘ah bagi paman, sebagaimana dikatakan dalam kasus seseorang yang membunuh dua orang: ia dibunuh karena yang pertama karena haknya lebih dahulu, maka apabila wali dari korban pertama memaafkannya, ia dibunuh karena korban kedua.
Wajah yang kedua: paman tidak berhak, karena ia tidak berhak atas syuf‘ah saat wajibnya hak itu, maka tidak berhak pula setelahnya.
Dan jika ada tiga orang memiliki sebuah rumah, lalu salah satu dari mereka menjual bagiannya kepada dua orang, kemudian kedua sekutunya menggugurkan hak syuf‘ah, lalu salah satu dari dua pembeli menjual bagiannya, maka berdasarkan dua pendapat:
Pertama, syuf‘ah hanya untuk pembeli yang lain, karena keduanya memiliki bagian tersebut karena satu sebab, sedangkan dua sekutu lainnya memilikinya karena sebab yang mendahului kepemilikan kedua pembeli itu.
Kedua, syuf‘ah adalah milik semua pihak, karena semuanya adalah sekutu dalam kepemilikan saat syuf‘ah menjadi wajib.
Dan jika seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan sebuah rumah, dua anak perempuan, dan dua saudari (dari ayah atau ibu), lalu salah satu dari dua saudari itu menjual bagiannya, maka dalam hal ini ada dua ṭarīq:
Sebagian dari para aṣḥāb kami mengatakan bahwa kasus ini termasuk dalam dua pendapat:
Pertama, syuf‘ah untuk saudari karena ia memiliki bersama saudari lainnya karena satu sebab, sedangkan dua anak perempuan memilikinya karena sebab yang lain.
Kedua, syuf‘ah antara anak-anak perempuan dan saudari, karena semuanya sekutu dalam kepemilikan.
Dan sebagian dari mereka mengatakan: syuf‘ah antara anak-anak perempuan dan saudari secara qawl wāḥid, karena semuanya memiliki bagian syaqṣ pada waktu yang sama dan tidak ada satu pun dari mereka yang mendahului yang lainnya.
فصل: وإن تصرف المشتري في الشقص ثم حضر الشفيع نظرت فإن تصرف بما لا تستحق به الشفعة كالوقف والهبة والرهن والإجارة فللشفيع أن يفسخ ويأخذ لأن حقه سابق للتصرف ومع بقاء التصرف لا يمكن الأخذ فملك الفسخ وإن تصرف بما تستحق به الشفعة كالبيع والصداق فهو بالخيار بين أن يفسخ ويأخذ بالعقد الأول وبين أن يأخذ بالعقد الثاني لأنه شفيع بالعقدين فجاز أن يأخذ بما شاء منهما وإن قابل البائع أو رده عليه بعيب فللشفيع أن يفسخ الإقالة والرد بالعيب فملك الفسخ وإن تحالفا على الثمن وفسخ العقد جاز للشفيع أن يأخذ بالثمن الذي حلف عليه البائع لأن البائع أقر للمشتري بالملك وللشفيع بالشفعة بالثمن الذي حلف عليه
PASAL: Jika pembeli melakukan tindakan terhadap syuqṣ lalu hadirlah orang yang memiliki hak syuf‘ah, maka dilihat: jika tindakannya termasuk yang tidak menjadikan hak syuf‘ah seperti waqaf, hibah, rahn, dan ijarah, maka syuf‘ah tetap berlaku dan si shafi‘ boleh membatalkan transaksi tersebut dan mengambilnya, karena haknya lebih dahulu daripada tindakan itu, dan selama tindakan tersebut masih berlaku maka ia tidak bisa mengambilnya, maka ia memiliki hak membatalkannya.
Dan jika tindakan itu termasuk yang menjadikan hak syuf‘ah seperti jual beli dan menjadikannya sebagai ṣadaq (mahar), maka shafi‘ memiliki pilihan antara membatalkan dan mengambil berdasarkan akad pertama, atau mengambil berdasarkan akad kedua, karena ia adalah shafi‘ pada kedua akad tersebut, maka boleh baginya memilih salah satunya.
Jika pembeli melakukan muqābalah dengan penjual (tukar barang) atau mengembalikannya karena cacat, maka shafi‘ boleh membatalkan iqālah dan pengembalian karena cacat, sehingga ia memiliki hak untuk membatalkannya.
Jika terjadi taḥāluf (saling bersumpah) atas harga dan akad dibatalkan, maka shafi‘ boleh mengambil dengan harga yang disumpahkan oleh penjual, karena penjual telah mengakui kepemilikan pembeli dan mengakui hak syuf‘ah bagi shafi‘ atas harga yang ia sumpahkan.
فإذا بطل حق المشتري بالتحالف بقي حق الشفيع وإن اشترى شقصاً بعبد ووجد البائع بالعبد عيباً ورده قبل أن يأخذ الشفيع ففيه وجهان: أحدهما يقدم الشفيع لأن حقه سابق لأنه ثبت بالعقد وحق البائع ثبت بالرد والثاني أن البائع أولى لأن في تقديم الشفيع إضراراً بالبائع في إسقاط حقه من الرد والضرر لا يزال بالضرر وإن أصدق امرأته شقصاً وطلقها قبل الدخول وقبل أن يأخذ الشفيع ففيه وجهان: أحدهما يقدم الزوج على الشفيع لأن حق الزوج على أقوى لأنه ثبت بنص الكتاب وحق الشفيع ثبت بخبر الواحد فقدم حق الزوج والثاني يقدم الشفيع لأن حقه سابق لأنه ثبت بالعقد وحق الزوج ثبت بالطلاق.
Jika hak pembeli gugur karena taḥāluf, maka hak shafi‘ tetap ada.
Jika seseorang membeli syuqṣ dengan menukarnya dengan seorang budak, lalu penjual menemukan cacat pada budak tersebut dan mengembalikannya sebelum shafi‘ mengambil syuqṣ, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, shafi‘ didahulukan karena haknya lebih dahulu, sebab ia ditetapkan dengan akad, sedangkan hak penjual ditetapkan dengan pengembalian.
Kedua, penjual lebih berhak karena mendahulukan shafi‘ akan menimbulkan ḍarar terhadap penjual, yaitu dengan menggugurkan haknya untuk mengembalikan, dan ḍarar tidak boleh dihilangkan dengan ḍarar lain.
Jika seseorang menjadikan syuqṣ sebagai mahar untuk istrinya, lalu menceraikannya sebelum dukhūl dan sebelum shafi‘ mengambilnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, suami didahulukan atas shafi‘ karena hak suami lebih kuat, sebab ia ditetapkan berdasarkan nash Al-Qur’an, sedangkan hak shafi‘ ditetapkan dengan khabar al-wāḥid, maka hak suami didahulukan.
Kedua, shafi‘ didahulukan karena haknya lebih dahulu, sebab ia ditetapkan dengan akad, sedangkan hak suami ditetapkan dengan talak.
فصل: وإن اشترى شقصاً وكان الشفيع غائباً فقاسم وكيله في القسمة أو رفع الأمر إلى الحاكم فقاسمه وغرس وبنى ثم حضر الشفيع أو أظهر له ثمناً كثيراً فقاسمه ثم غرس وبنى ثم بان خلافه وأراد الأخذ فإن اختار المشتري قلع الغراس والبناء لم يمنع لأنه ملكه فملك نقله ولا تلزمه تسوية الأرض لأنه غير متعد وإن لم يختر القلع فالشفيع بالخيار بين أن يأخذ الشقص بثمن والغراس والبناء بالقيمة وبين أن يقلع الغراس والبناء ويضمن ما بين قيمته قائماً ومقلوعاً لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا ضرر ولا إضرار” ولا يزول الضرر عنهما إلا بذلك.
PASAL: Jika seseorang membeli syuqṣ sedangkan shafi‘ sedang tidak ada, lalu wakilnya melakukan qismah (pembagian) atau menyerahkan perkara tersebut kepada hakim lalu hakim membaginya, kemudian pembeli menanam dan membangun, lalu shafi‘ hadir; atau jika pembeli menampakkan harga yang tinggi lalu melakukan qismah, menanam dan membangun, kemudian ternyata bukan sebagaimana yang ditampakkan dan shafi‘ ingin mengambilnya—maka jika pembeli memilih untuk mencabut tanaman dan bangunan, maka ia tidak dicegah, karena itu adalah miliknya, maka ia berhak memindahkannya, dan ia tidak wajib meratakan tanah karena ia tidak berbuat melampaui batas.
Dan jika ia tidak memilih mencabutnya, maka shafi‘ memiliki pilihan: antara mengambil syuqṣ dengan harga dan membayar nilai tanaman serta bangunan, atau mencabut tanaman dan bangunan dan menanggung selisih antara nilai syuqṣ saat bangunan dan tanaman masih ada dan sesudah dicabut, karena Nabi SAW bersabda: “Lā ḍarara wa lā ḍirār,” dan tidak mungkin menghilangkan ḍarar dari keduanya kecuali dengan cara demikian.
فصل: وإن اشترى شقصاً وحدث فيه زيادة قبل أن يأخذ الشفيع نظرت فإن كانت زيادته لا تتميز كالفسيل إذا طال وامتلأ فإن الشفيع ياخذه مع زيادته لأن ما لا يتميز يتبع الأصل في الملك كما يتبعه في الرد بالعيب وإن كانت متميزة كالثمرة فإن كانت ثمرة ظاهرة لم يكن للشفيع فيها حق لأن الثمرة الظاهرة لا تتبع الأصل كما قلنا في الرد بالعيب وإن كانت غير ظاهرة ففيه قولان: قال في القديم تتبع الأصل كما تتبع في البيع وقال في الجديد لا تتبعه لأنه استحقاق بغير تراض فلا يأخذ به إلا ما دخل بالعقد ويخالف البيع لأنه استحقاق عن تراض يقدر فيه على الاستثناء فإذا لم يستثن تبع الأصل.
PASAL: Jika seseorang membeli syaqsh lalu terjadi penambahan padanya sebelum diambil oleh syafii‘, maka diperinci: jika penambahannya tidak dapat dibedakan, seperti tunas kurma yang tumbuh tinggi dan membesar, maka syafii‘ mengambilnya beserta penambahannya, karena sesuatu yang tidak dapat dibedakan mengikuti pokok dalam hal kepemilikan sebagaimana mengikutinya dalam pengembalian karena cacat. Namun jika penambahannya dapat dibedakan, seperti buah-buahan, maka jika buahnya sudah tampak, maka syafii‘ tidak memiliki hak atasnya, karena buah yang tampak tidak mengikuti pokok, sebagaimana telah dijelaskan dalam kasus pengembalian karena cacat. Dan jika buahnya belum tampak, maka ada dua pendapat: beliau berkata dalam qaul qadim bahwa ia mengikuti pokok sebagaimana dalam jual beli. Dan dalam qaul jadid ia tidak mengikutinya karena ini adalah bentuk istihqāq tanpa kerelaan, maka tidak diambil kecuali apa yang masuk dalam akad. Ini berbeda dengan jual beli karena merupakan istihqāq dengan kerelaan, yang memungkinkan adanya pengecualian. Maka jika tidak dikecualikan, ia mengikuti pokok.
فصل: إذا أراد الشفيع أن يأخذ الشقص ملك الأخذ من غير حكم الحاكم لأن الشفعة ثابتة بالنص والإجماع فلم تفتقر إلى الحاكم كالرد بالعيب فإن كان الشقص في يد المشتري أخذه منه وإن كان في يد البائع ففيه وجهان: أحدهما يجوز أن يأخذ منه لأنه استحق فملك الأخذ كما لو كان في يد المشتري والثاني لا يجوز أن يأخذ منه بل يجبر المشتري على القبض ثم يأخذه منه لأن الأخذ من البائع يؤدي إلى إسقاط الشفعة لأنه يفوت به التسليم وفوات التسليم يوجب بطلان العقد فإذا بطل العقد سقطت الشفعة وما أدى إثباته إلى إسقاطه سقط.
PASAL: Jika shafi‘ ingin mengambil syuqṣ, maka ia memiliki hak untuk mengambilnya tanpa perlu keputusan hakim, karena hak syuf‘ah telah tetap berdasarkan nash dan ijma‘, sehingga tidak membutuhkan keputusan hakim, sebagaimana pengembalian barang karena cacat.
Jika syuqṣ berada di tangan pembeli, maka shafi‘ mengambilnya langsung darinya. Namun jika berada di tangan penjual, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh diambil langsung darinya, karena telah menjadi hak shafi‘, maka ia berhak mengambilnya sebagaimana jika berada di tangan pembeli.
Kedua, tidak boleh diambil darinya, tetapi pembeli dipaksa untuk mengambilnya terlebih dahulu, lalu baru diambil dari tangan pembeli. Karena mengambil langsung dari penjual dapat menyebabkan gugurnya hak syuf‘ah, sebab hal itu menggugurkan proses penyerahan, sedangkan gugurnya penyerahan membatalkan akad, dan jika akad batal maka hak syuf‘ah gugur. Maka sesuatu yang penetapannya menyebabkan gugurnya syuf‘ah, maka syuf‘ah itu sendiri pun gugur.
فصل: ويملك الشفيع الشقص بالأخذ لأنه تملك مال بالقهر فوقع الملك فيه بالأخذ كتملك المباحات ولا يثبت فيه خيار الشرط لأن الشرط إنما يثبت مع تملك الاختيار والشقص يؤخذ بالإجبار فلم يصح فيه شرط الخيار وهل يثبت له خيار المجلس؟ فيه وجهان: أحدهما يثبت لأنه تملك مال بالثمن فثبت فيه خيار المجلس كالبيع والثاني لا يثبت لأنه إزالة الملك لدفع الضرر فلم يثبت فيه خيار المجلس كالرد بالعيب.
PASAL: Syafii‘ memiliki syaqsh dengan pengambilan, karena ia memiliki harta dengan pemaksaan, maka kepemilikan terjadi melalui pengambilan sebagaimana dalam kepemilikan terhadap benda-benda mubah. Tidak ditetapkan padanya khiyār syarṭ karena syarat hanya berlaku dalam kepemilikan yang bersifat pilihan, sedangkan syaqsh diambil secara paksa, maka tidak sah syarat khiyār padanya. Apakah ditetapkan baginya khiyār majlis? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ditetapkan karena ia memiliki harta dengan harga, maka ditetapkan padanya khiyār majlis seperti dalam jual beli. Kedua, tidak ditetapkan karena ini merupakan penghilangan kepemilikan untuk menolak mudarat, maka tidak ditetapkan padanya khiyār majlis seperti pengembalian karena cacat.
فصل: وإن وجد بالشقص عيباً فله أن يرده لأنه ملكه بالثمن فثبت له الرد بالعيب كالمشتري في البيع وإن خرج مستحقاً رجع بالعهدة على المشتري لأنه أخذ منه على أنه ملكه فرجع بالعهدة عليه كما لو اشتراه منه.
PASAL: Jika shafi‘ mendapati syuqṣ memiliki cacat, maka ia berhak mengembalikannya karena ia memilikinya dengan membayar harga, maka tetap baginya hak mengembalikan karena cacat, sebagaimana pembeli dalam jual beli.
Dan jika ternyata syuqṣ itu milik orang lain (bukan milik penjual), maka ia berhak menuntut jaminan (‘uhdah) kepada pembeli, karena ia mengambilnya dari pembeli atas dasar bahwa itu adalah miliknya, maka ia menuntut jaminan kepadanya sebagaimana jika ia membelinya langsung darinya.
فصل: وإن مات الشفيع قبل العفو والأخذ انتقل حقه من الشفعة إلى ورثته لأنه قبض استحقه بعقد البيع فانتقل إلى الورثة كقبض المشتري في البيع ولأنه خيار ثابت لدفع الضرر عن المال فورث كالرد بالعيب وإن كان له وارثان فعفا أحدهما عن حقه سقط حقه وهل يسقط حق الآخر؟ فيه وجهان: أحدهما يسقط لأنها شفعة واحدة فإذا عفا عن بعضها سقط الباقي كالشفيع إذا عفا عن بعض الشقص والثاني لا يسقط لأنه عفا عن حقه فلم يسقط حق غيره كما لو عفا أحد الشفيعين.
PASAL: Jika syafii‘ wafat sebelum ‘afw (memaafkan) dan sebelum pengambilan, maka haknya atas syuf‘ah berpindah kepada para ahli warisnya, karena ia merupakan hak kepemilikan yang diperoleh melalui akad jual beli, maka berpindah kepada ahli waris sebagaimana hak kepemilikan pembeli dalam jual beli. Juga karena ia adalah khiyār yang ditetapkan untuk menolak mudarat atas harta, maka diwariskan sebagaimana khiyār pengembalian karena cacat. Jika ia memiliki dua orang ahli waris, lalu salah satunya menggugurkan haknya, maka gugur haknya. Apakah gugur pula hak ahli waris yang lain? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, gugur karena ini adalah satu kesatuan hak syuf‘ah, maka jika sebagian digugurkan, gugur seluruhnya seperti syafii‘ yang menggugurkan sebagian dari syaqsh. Kedua, tidak gugur karena yang menggugurkan hanya haknya sendiri, maka tidak menggugurkan hak orang lain sebagaimana jika salah satu dari dua syafii‘ menggugurkan haknya.
فصل: إذا اختلف الشريكان في الدار فادعى أحدهما على الآخر أنه ابتاع نصيبه فله أخذه بالشفعة وقال الآخر بل ورثته أو أوهبته فلا شفعة لك فالقول قول المدعى عليه مع يمينه لأنه يدعي عليه استحقاق ملكه بالشفعة فكان القول قوله كما لو ادعى عليه نصيبه من غير شفعة فإن نكل عن اليمين حلف المدعي وأخذ بالشفعة وفي الثمن ثلاثة أوجه: أحدها أنه يقال للمدعى عليه قد أقر لك بالثمن وهو مصدق في ذلك فإما أن تأخذه أو تبرئه من الثمن الذي لك عليه كما قلنا في المكاتب إذا حمل نجماً إلى المولى فادعى المولى أنه مغصوب والثاني أنه يترك الثمن في يد المدعي لأنه قد أقر لمن لا يدعيه فأقر في يده كما لو أقر بدار لرجل وكذبه المقر له والثالث يأخذه الحاكم ويحفظه إلى أن يدعيه صاحبه لأنهما اتفقا على أنهما لا يستحقان ذلك.
PASAL: Jika dua orang berserikat dalam sebuah rumah lalu salah satunya mengklaim bahwa ia telah membeli bagian temannya, maka ia berhak mengambilnya dengan syuf‘ah. Namun jika yang lain mengatakan, “Aku mewarisinya atau aku diberi hibah, maka tidak ada syuf‘ah bagimu,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pihak yang dituduh (yang mengingkari) dengan sumpah, karena ia sedang dituntut untuk melepaskan kepemilikannya berdasarkan klaim syuf‘ah, maka perkataannya lebih kuat sebagaimana jika ia dituntut atas kepemilikan tanpa syuf‘ah.
Jika ia enggan bersumpah, maka yang mengklaim bersumpah dan mengambil dengan syuf‘ah.
Adapun mengenai harga, terdapat tiga pendapat:
Pertama, dikatakan kepada pihak yang dituduh, “Kamu telah mengakui adanya harga, dan kamu dibenarkan dalam hal itu. Maka ambillah atau bebaskan dia dari harga yang kamu akui sebagaimana dalam kasus seorang mukātib yang membawa cicilan kepada tuannya lalu tuannya mengklaim bahwa itu barang ghoṣb.”
Kedua, harga tersebut dibiarkan di tangan pihak yang mengklaim (shafi‘), karena pihak yang dituduh telah mengaku kepada orang yang tidak menuntutnya, maka tetaplah barang itu di tangannya sebagaimana jika seseorang mengaku rumah milik seseorang lalu yang diakui mengingkarinya.
Ketiga, hakim mengambil dan menyimpannya sampai ada pihak yang benar-benar menuntutnya, karena keduanya sepakat bahwa tidak ada yang berhak atas harga tersebut.
فصل: وإن ادعى كل منهما على شريكه أنه ابتاع حصته بعده وأنه يستحق عليه ذلك بالشفعة فالقول قول كل واحد منهما لما ذكرناه فإن سبق أحدهما فادعى وحلف المدعى عليه استقر ملكه ثم يدعى الحالف على الآخر فإن حلف استقر أيضاً ملكه وإن نكل الأول ردت اليمين على المدعي فإذا حلف استحق وإن أراد الناكل أن يدعي على الآخر بعد ذلك لم تسمع دعواه لأنه لم يبق له ملك يستحق به الشفعة.
PASAL: Jika masing-masing dari dua orang mengklaim terhadap rekannya bahwa ia telah membeli bagiannya setelahnya dan bahwa ia berhak atas bagian tersebut dengan syuf‘ah, maka ucapan masing-masing diterima atas dasar yang telah disebutkan. Jika salah satu dari keduanya mendahului untuk mengklaim, dan pihak yang dituduh bersumpah, maka kepemilikannya menjadi tetap. Lalu si penuduh yang bersumpah itu mengklaim terhadap yang lainnya. Jika yang lainnya bersumpah, maka kepemilikannya juga menjadi tetap. Namun jika yang pertama enggan bersumpah, maka sumpah dikembalikan kepada penggugat. Jika ia bersumpah, maka ia berhak atas bagian tersebut. Namun jika orang yang enggan bersumpah tadi ingin mengklaim terhadap yang lain setelah itu, maka klaimnya tidak diterima, karena ia tidak lagi memiliki kepemilikan yang dengannya ia bisa menuntut syuf‘ah.
فصل: وإن اختلفا في الثمن فقال المشتري الثمن ألف وقال الشفيع هو خمسمائة فالقول قول المشتري مع يمينه لأنه هو العاقد فكان أعرف بالثمن ولأنه مالك الشقص فلا ينزع منه بالدعوى من غير بينة.
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang harga, pembeli berkata: “Harganya seribu,” sedangkan shafi‘ berkata: “Harganya lima ratus,” maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan pembeli dengan sumpahnya, karena dialah yang melakukan akad sehingga lebih mengetahui harga, dan karena ia adalah pemilik syuqṣ, maka tidak boleh diambil darinya hanya dengan klaim tanpa adanya bukti.
فصل: وإن ادعى الشفيع أن الثمن ألف وقال المشتري لا أعلم قدره فالقول قول المشتري لأن ما يدعيه ممكن فإنه يجوز أن يكون قد علم بالثمن ثم نسي فإذا حلف لم يستحق الشفعة لأنه لا يستحق من غير بدل ولا يمكن أن يدفع إليه مالاً يدعيه وقال أبو العباس: يقال له إما أن تبين قدر الثمن أو نجعلك ناكلاً فيحلف الشفيع أن الثمن ألف ويستحق كما نقول فيمن ادعى على رجل ألفاً فقال للمدعى عليه لا أعلم القدر والمذهب الأول لأن ما يدعيه ممكن فإنه يجوز أن يكون قد اشتراه بثمن جزاف لا يعرف وزنه ويجوز أن يكون قد علم ثم نسي ويخالف إذا ادعى عليه ألفاً فقال لا أعرف القدر لأن هناك لم يجب عن الدعوى وههنا أجاب عن استحقاق الشفعة وإنما ادعى الجهل بالثمن.
PASAL: Jika syafii‘ mengklaim bahwa harga (barang yang dibeli) adalah seribu, dan pembeli berkata, “Aku tidak tahu berapa besarannya,” maka ucapan pembeli yang diterima, karena klaim syafii‘ masih mungkin terjadi—bisa jadi pembeli sebelumnya tahu harga lalu lupa. Maka jika pembeli bersumpah, syafii‘ tidak berhak atas syuf‘ah, karena ia tidak berhak atas sesuatu tanpa pengganti, dan tidak mungkin diberikan kepadanya harta hanya berdasarkan klaim semata.
Abu al-‘Abbās berkata: Dikatakan kepada pembeli, “Sebutkan berapa harga yang kamu bayar atau kamu dianggap enggan bersumpah,” lalu syafii‘ bersumpah bahwa harganya seribu dan ia berhak atas syuf‘ah—sebagaimana dalam kasus seseorang menuntut seribu atas orang lain, lalu pihak tergugat berkata, “Aku tidak tahu jumlahnya.”
Namun pendapat yang menjadi mazhab adalah pendapat pertama, karena klaim syafii‘ itu mungkin, bisa jadi pembeli membelinya dengan harga jizāf (tanpa takaran pasti) sehingga ia tidak tahu timbangan pastinya, atau memang tahu lalu lupa. Ini berbeda dengan kasus jika seseorang mengklaim atas orang lain seribu lalu pihak tergugat berkata, “Aku tidak tahu berapa jumlahnya,” karena dalam kasus itu tergugat belum menjawab gugatan, sedangkan dalam kasus syuf‘ah ini pembeli telah menjawab soal hak syuf‘ah, hanya saja ia mengaku tidak tahu harga.
فصل: وإن قال المشتري الثمن ألف وقال الشفيع لا أعلم هل هو ألف أو أقل فهل له أن يحلف المشتري؟ فيه وجهان: أحدهما ليس له أن يحلفه حتى يعلم لأن اليمين لا يجب بالشك والثاني له أن يحلفه لأن المال لا يملك بمجرد الدعوى وإن قال المشتري الثمن ألف وقال الشفيع لا أعلم كم هو ولكنه دون الألف فالقول قول المشتري فإن نكل لم يحلف الشفيع حتى يعلم قدر الثمن لأنه لا يجوز أن يحلف على ما لم يعلم.
PASAL: Jika pembeli berkata, “Harganya seribu,” dan shafi‘ berkata, “Aku tidak tahu apakah seribu atau kurang,” maka apakah ia boleh meminta pembeli bersumpah? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh memintanya bersumpah hingga ia mengetahui (jumlahnya), karena sumpah tidak wajib berdasarkan keraguan.
Kedua, boleh memintanya bersumpah karena harta tidak dimiliki hanya dengan sekadar klaim.
Dan jika pembeli berkata, “Harganya seribu,” sementara shafi‘ berkata, “Aku tidak tahu berapa jumlahnya, tapi yang pasti kurang dari seribu,” maka yang dipegang adalah pernyataan pembeli. Jika ia enggan bersumpah, maka shafi‘ tidak boleh bersumpah hingga ia mengetahui jumlah harga tersebut, karena tidak boleh bersumpah atas sesuatu yang tidak diketahui.
فصل: وإن اشترى الشقص بعرض وتلف العرض واختلفا في قيمته فالقول قول المشتري لأن الشقص ملك له فلا ينتزع بقول المدعي.
فصل: وإن أقر المشتري أنه اشترى الشقص بألف وأخذ الشفيع بألف ثم ادعى البائع أن الثمن كان ألفين وصدقه المشتري لم يلزم الشفيع أكثر من الألف لأن المشتري أقر بأنه يستحق الشفعة بألف فلا يقبل رجوعه في حقه فإن كذبه المشتري فأقام عليه بينة أن الثمن ألفان لزم المشتري الألفان ولا يرجع على الشفيع بما زاد على الألف لأنه كذب البينة بإقراره السابق.
PASAL: Jika seseorang membeli syaqsh dengan ‘arḍ (barang selain uang), lalu barang tersebut rusak, dan keduanya berselisih tentang nilainya, maka ucapan pembeli yang diterima, karena syaqsh telah menjadi miliknya, maka tidak boleh diambil darinya hanya dengan klaim pihak lain.
PASAL: Jika pembeli mengakui bahwa ia membeli syaqsh seharga seribu, lalu syafii‘ mengambilnya dengan seribu, kemudian penjual mengklaim bahwa harganya dua ribu dan pembeli membenarkannya, maka syafii‘ tidak wajib membayar lebih dari seribu, karena pembeli telah mengakui bahwa syuf‘ah berhak diambil dengan seribu, maka tidak sah ia menarik kembali pengakuannya dalam hal yang menyangkut hak orang lain.
Jika pembeli mendustakan penjual, lalu penjual mendatangkan bukti bahwa harganya dua ribu, maka pembeli wajib membayar dua ribu, tetapi ia tidak bisa menuntut kelebihan dari seribu kepada syafii‘, karena ia telah mendustakan bukti tersebut dengan pengakuannya sebelumnya.
فصل: فإن كان بين رجلين دار وغاب احدهما وترك نصيبه في يد رجل فادعى الشريك على من في يده نصيب الغائب أنه اشتراه منه وأنه استحق أخذه بالشفعة فأقر به فهل يلزمه تسليمه إليه بالشفعة؟ فيه وجهان: أحدهما لا يسلمه لأنه أقر بالملك للغائب ثم ادعى انتقاله بالشراء فلم يقبل قوله والثاني يسلم إليه لأنه في يده فقبل قوله فيه.
PASAL: Jika ada sebuah rumah yang dimiliki dua orang, lalu salah satunya pergi dan meninggalkan bagiannya di tangan seseorang, kemudian sekutunya mengklaim terhadap orang yang memegang bagian orang yang pergi bahwa ia telah membelinya darinya dan bahwa ia berhak mengambilnya dengan syuf‘ah, lalu orang tersebut mengakui hal itu—maka apakah ia wajib menyerahkannya kepada si pengklaim dengan syuf‘ah?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak wajib menyerahkannya, karena ia telah mengakui bahwa kepemilikan itu milik orang yang pergi, kemudian ia mengklaim adanya perpindahan kepemilikan melalui jual beli, maka tidak diterima klaimnya.
Kedua, wajib menyerahkannya karena barang itu berada di tangannya, maka diterima pernyataannya terhadap apa yang ada di tangannya.
فصل: وإن أقر أحد الشريكين في الدار أنه باع نصيبه من رجل ولم يقبض الثمن وصدقه الشريك وأنكر الرجل فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال: لا نثبت الشفعة للشريك لأن الشفعة تثبت بالشراء ولم يثبت الشراء فلم تثبت الشفعة للشريك وذهب عامة أصحابنا إلى أنه تثبت الشفعة وهو جواب المزني فيما أجاب فيه على قول الشافعي رحمه الله لأنه أقر للشفيع بالشفعة وللمشتري بالملك فإذا أسقط أحدهما حقه لم يسقط حق الآخر كما لو أقر لرجلين بحق فكذبه أحدهما وصدقه الآخر
PASAL: Jika salah satu dari dua orang yang berserikat dalam sebuah rumah mengakui bahwa ia telah menjual bagiannya kepada seseorang dan belum menerima harga, lalu disetujui oleh sekutunya namun orang yang disebut sebagai pembeli itu mengingkari, maka para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian dari mereka berkata: tidak ditetapkan hak syuf‘ah bagi sekutu karena syuf‘ah ditetapkan dengan adanya pembelian, dan pembelian belum terbukti, maka tidak ditetapkan syuf‘ah bagi sekutu. Mayoritas sahabat kami berpendapat bahwa syuf‘ah tetap ditetapkan, dan inilah jawaban al-Muzani ketika menjawab atas pendapat asy-Syafi‘i rahimahullah, karena ia telah mengakui syuf‘ah bagi orang yang berhak syuf‘ah dan kepemilikan bagi pembeli. Maka jika salah satu dari keduanya menggugurkan haknya, hak yang lain tidak ikut gugur, sebagaimana jika seseorang mengakui hak kepada dua orang, lalu salah satu dari keduanya mendustakannya dan yang lain membenarkannya.
وهل يجوز للبائع أن يخاصم المشتري؟ فيه وجهان: أحدهما ليس له ذلك لأنه يصل إلى الثمن من جهة الشفيع فلا حاجة به إلى خصومة المشتري والثاني له أن يخاصمه لأنه قد يكون المشتري أجهل في المعاملة من الشفيع فإن قلنا لا يخاصم المشتري أخذ الشفيع الشقص من البائع وعهدته عليه لأنه منه أخذ وإليه دفع الثمن وإن قلنا يخاصمه فإن حلف أخذ الشفيع الشقص من البائع ورجع بالعهدة عليه وإن نكل فحلف البائع سلم الشقص إلى المشتري وأخذ الشفيع الشقص من المشتري ورجع بالعهدة عليه لأنه منه أخذ وإليه دفع الثمن
Dan apakah penjual boleh bersengketa dengan pembeli? Dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat: pertama, tidak boleh karena ia bisa mendapatkan harga dari pihak syuf‘ah, maka tidak ada kebutuhan untuk bersengketa dengan pembeli. Kedua, boleh baginya untuk bersengketa karena bisa jadi pembeli lebih tidak berpengalaman dalam bermuamalah dibandingkan orang yang mengambil dengan syuf‘ah. Jika dikatakan tidak boleh bersengketa dengan pembeli, maka orang yang berhak syuf‘ah mengambil bagian (syiqṣ) dari penjual dan tanggung jawab (‘uhdah) ada pada penjual karena ia mengambil darinya dan membayar harga kepadanya. Namun jika dikatakan boleh bersengketa, maka jika pembeli bersumpah, maka orang yang berhak syuf‘ah mengambil bagian dari penjual dan kembali tanggung jawab kepada penjual. Tetapi jika pembeli enggan bersumpah lalu penjual yang bersumpah, maka bagian diserahkan kepada pembeli dan orang yang berhak syuf‘ah mengambil bagian dari pembeli serta kembali tanggung jawab kepadanya, karena ia mengambil darinya dan membayar harga kepadanya.
وإن أقر البائع بالبيع وقبض الثمن وأنكر المشتري فمن قال لا شفعة إذا لم يقر بقبض الثمن لم تثبت الشفعة إذا أقر بقبض ومن قال تثبت إذا لم يقر بقبض الثمن اختلفوا إذا أقر بقبضه فمنهم من قال لا تثبت لأنه يأخذ الشقص من غير عوض وهذا لا يجوز ومنهم من قال تثبت لأن البائع أقر له بحق الشفعة وفي الثمن الأوجه الثلاثة والتي ذكرناها فيمن ادعى الشفعة على شريكه وحلف بعد نكول الشريك والله أعلم.
Dan jika penjual mengakui telah menjual dan menerima harga, sedangkan pembeli mengingkari, maka bagi siapa yang berpendapat bahwa syuf‘ah tidak ditetapkan apabila belum ada pengakuan penerimaan harga, maka syuf‘ah juga tidak ditetapkan jika penjual mengakui penerimaannya. Sedangkan bagi siapa yang berpendapat bahwa syuf‘ah tetap ditetapkan meskipun belum ada pengakuan penerimaan harga, mereka berbeda pendapat apabila penjual mengakui penerimaan harga. Sebagian dari mereka berkata: tidak ditetapkan, karena berarti orang yang berhak syuf‘ah mengambil syiqṣ tanpa ganti, dan hal ini tidak diperbolehkan. Dan sebagian lainnya berkata: tetap ditetapkan, karena penjual telah mengakui hak syuf‘ah baginya. Adapun mengenai harga, maka berlaku tiga wajah yang telah kami sebutkan dalam kasus seseorang yang mengklaim hak syuf‘ah atas sekutunya dan bersumpah setelah sekutunya enggan bersumpah. والله أعلم.
القراض جائز لما روى زيد بن اسلم عن أبيه أن عبد الله وعبيد الله ابني عمر بن الخطاب رضي الله عنهم خرجا في جيش إلى العراق فلما قفلا مرا على عامل لعمر بن الخطاب رضي الله عنه فرحب بهما وسهل وقال: لو أقدر لكما على أمر أنفعكما به لفعلت ثم قال: بل ههنا مل من مال الله أريد أن أبعث به إلى أمير المؤمنين فأسلفكما فتبتاعان به متاعاً من متاع العراق ثم تبيعانه في المدينة وتوفران رأس المال إلى أمير المؤمنين ويكون لكما ربحه فقالا: وددنا ففعل فكتب إلى عمر أن يأخذ منهما المال
KITAB AL-QIRĀḌ
PASAL
Al-qirāḍ (akad mudhārabah) adalah akad yang dibolehkan, berdasarkan riwayat dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa ‘Abdullāh dan ‘Ubaidullāh, dua putra ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, ikut dalam suatu pasukan menuju Irak. Ketika mereka pulang, mereka melewati seorang pejabat ‘Umar bin al-Khaṭṭāb RA, maka pejabat itu menyambut mereka dengan baik dan berkata: “Kalau aku mampu memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi kalian berdua, niscaya aku akan melakukannya.” Kemudian dia berkata, “Di sini ada harta milik Allah yang hendak aku kirimkan kepada Amīr al-Mu’minīn, maka aku akan memberikan pinjaman kepada kalian berdua. Kalian membeli barang-barang dari Irak dengannya, lalu menjualnya di Madinah, kemudian kalian kembalikan modal itu kepada Amīr al-Mu’minīn, dan keuntungannya menjadi milik kalian berdua.” Maka mereka berdua berkata, “Kami senang,” lalu pejabat itu melakukannya. Kemudian ia menulis surat kepada ‘Umar agar mengambil kembali harta itu dari mereka berdua.
فلما قدما وباعا وربحا فقال عمر: أكل الجيش قد أسلف كما أسلفكما فقالا: لا فقال عمر: ابنا أمير المؤمنين فأسلفكما أديا المال وربحه فأما عبد الله فسكت وأما عبيد الله فقال يا أمير المؤمنين لو هلك المال ضمناه فقال أدياه فسكت عبد الله وراجعه عبيد الله فقال رجل من جلساء عمر يا أمير المؤمنين لو جعلته قراضاً فأخذ رأس المال ونصف ربحه وأخذ عبد الله وعبيد الله نصف ربح المال ولأن الأثمان لا يتوصل إلى نمائها المقصود إلا بالعمل فجاز المعاملة عليها ببعض النماء الخارج منها كالنخل في المساقاة.
Ketika keduanya sampai di Madinah, mereka menjual barang-barang tersebut dan memperoleh keuntungan. Maka ‘Umar berkata: “Apakah seluruh pasukan telah diberikan pinjaman sebagaimana kalian berdua diberi pinjaman?” Mereka menjawab: “Tidak.” Maka ‘Umar berkata: “Kalian adalah putra Amīr al-Mu’minīn, lalu kalian diberi pinjaman? Kembalikanlah modal dan keuntungannya.” Maka ‘Abdullāh diam, sedangkan ‘Ubaidullāh berkata: “Wahai Amīr al-Mu’minīn, seandainya harta itu hilang, niscaya kami akan menanggungnya.” Maka ‘Umar berkata: “Kembalikanlah.” Maka ‘Abdullāh tetap diam, dan ‘Ubaidullāh kembali membicarakannya.
Lalu salah seorang dari para hadirin ‘Umar berkata: “Wahai Amīr al-Mu’minīn, seandainya engkau menjadikannya sebagai qirāḍ, maka engkau mengambil kembali modal dan setengah dari keuntungannya, dan ‘Abdullāh serta ‘Ubaidullāh mengambil setengah dari keuntungan harta tersebut.”
Dan karena harta berupa mata uang tidak mungkin berkembang sesuai tujuan kecuali dengan usaha, maka dibolehkan bermuamalah atasnya dengan sebagian hasil keuntungan yang keluar darinya, sebagaimana pohon kurma dalam akad musāqāh.
فصل: وينعقد بلفظ القراض لأنه لفظ موضوع له في لغة أهل الحجاز وبلفظ المضاربة لأنه موضوع له في لغة أهل العراق وبما يؤدي معناه لأن المقصود هو المهنى فجاز بما يدل عليه كالبيع بلفظ التمليك.
PASAL: Akad sah dengan lafaz al-qirāḍ karena lafaz tersebut digunakan untuk makna itu dalam bahasa penduduk Hijaz, dan dengan lafaz al-muḍārabah karena digunakan untuk makna itu dalam bahasa penduduk Iraq, serta dengan lafaz lain yang menunjukkan maknanya, karena yang menjadi tujuan adalah makna, maka sah dengan lafaz yang menunjukkan makna tersebut sebagaimana jual beli sah dengan lafaz at-tamlīk.
فصل: ولا يصح إلى على الأثمان وهي الدراهم والدنانير فأما ما سواهما من العروض والعقار والسبائك والفلوس فلا يصح القراض عليها لأن المقصود بالقراض رد رأس المال والاشتراك في الربح ومتى عقد على غير الأثمان لم يحصل المقصود لأنه ربما زادت قيمته فيحتاج أن يصرف العامل جميع ما اكتسبه في رد مثله إن كان له مثل وفي رد قيمته إن لم يكن له مثل وفي هذا إضرار بالعامل وربما نقصت قيمته فيصرف جزءاً يسيراً من الكسب في رد مثله أو رد قيمته ثم يشارك رب المال في الباقي وفي هذا إضرار برب المال لأن العامل يشاركه في أكثر رأس المال وهذا لا يوجد في الأثمان لأنها لا تقوم بغيرها ولا يجوز على المغشوش من الأثمان لأنه تزيد قيمته وتنقص كالعروض.
PASAL
Tidak sah akad qirāḍ kecuali atas atsmān, yaitu dirham dan dinar. Adapun selain keduanya, seperti barang dagangan, tanah, batangan logam, dan fulūs (uang tembaga), maka tidak sah qirāḍ atasnya. Sebab tujuan dari qirāḍ adalah pengembalian modal dan pembagian keuntungan. Jika akad dilakukan atas selain atsmān, maka tujuan tersebut tidak tercapai. Karena bisa jadi nilainya naik, sehingga pekerja (‘āmil) harus mengembalikan seluruh hasil usahanya untuk mengembalikan barang sejenis (jika ada padanannya), atau mengembalikan nilainya (jika tidak ada padanannya), dan ini memberatkan ‘āmil. Dan bisa jadi nilainya turun, sehingga ‘āmil hanya mengembalikan sebagian kecil dari hasil usahanya untuk mengembalikan barang atau nilainya, lalu ia berbagi keuntungan dengan pemilik modal pada sisa hasil usaha, dan ini merugikan pemilik modal karena ‘āmil berbagi keuntungan dari modal yang nilainya lebih kecil. Hal ini tidak terjadi pada atsmān, karena nilainya tidak ditentukan oleh selain dirinya.
Dan tidak sah pula akad atas atsmān yang dicampur (atau palsu) karena nilainya bisa bertambah dan berkurang sebagaimana barang dagangan.
فصل: ولا يجوز إلا على مال معلوم الصفة والقدر فإن قارضه على دراهم جزاف لم يصح لأن مقتضى القراض رد رأس المال وهذا لا يمكن فيما لا يعرف صفته وقدره فإن دفع إليه كيسين في كل واحد منهما ألف درهم فقال قارضتك على أحدهما وأودعتك الآخر ففيه وجهان: أحدهما يصح وأنهما متساويان والثاني لا يصح لأنه لم يبين مال القراض من مال الوديعة وإن قارضه على ألف درهم هي له عنده وديعة جاز لأنه معلوم وإن قارضه على درهم هي له عنده مغصوبة ففيه وجهان: أحدهما يصح الوديعة والثاني لا يصح لأنه مقبوض عنده قبض ضمان فلا يصير مقبوضاً قبض أمانة.
PASAL: Tidak boleh melakukan akad kecuali atas harta yang diketahui sifat dan kadarnya. Maka jika ia melakukan muqāraḍah atas dirham yang tidak ditentukan (jumlah dan sifatnya), tidak sah, karena konsekuensi dari al-qirāḍ adalah mengembalikan pokok modal, dan hal itu tidak mungkin dilakukan pada sesuatu yang tidak diketahui sifat dan kadarnya. Jika ia menyerahkan dua kantong, masing-masing berisi seribu dirham, lalu berkata: “Aku melakukan muqāraḍah atas salah satunya dan aku titipkan yang lainnya kepadamu,” maka ada dua wajah: pertama, sah karena keduanya sama; dan kedua, tidak sah karena tidak dijelaskan mana harta al-qirāḍ dan mana harta titipan.
Jika ia melakukan muqāraḍah atas seribu dirham miliknya yang berada di tangan orang tersebut sebagai titipan, maka sah karena diketahui. Dan jika ia melakukan muqāraḍah atas dirham miliknya yang berada di tangan orang itu dalam keadaan dighaṣab, maka ada dua wajah: pertama, sah seperti halnya titipan; dan kedua, tidak sah karena ia diterima dengan qabul jaminan, sehingga tidak dapat berubah menjadi qabul amanah.
فصل: ولا يجوز إلا على جزء من الربح معلوم فإن قارضه على جزء مبهم لم يصح لأن الجزء يقع على الدرهم والألف فيعظم الضرر وإن قارضه على جزء مقدر كالنصف والثلث جاز لأن القراض كالمساقاة وقد ساقى رسول الله صلى الله عليه وسلم أهل خيبر على شطر ما يخرج من تمر وزرع وإن قارضه على درهم معلوم لم يصح لأنه قد لا يربح ذلك الدرهم فيستضر العامل وقد لا يربح إلا ذلك الدرهم فيستضر رب المال وإن قال قارضتك على أن الربح بيننا ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه مجهول لأن هذا القول يقع على التساوي وعلى التفاضل
PASAL: Tidak boleh melakukan qarāḍ kecuali atas bagian dari laba yang diketahui. Jika ia melakukan qarāḍ atas bagian yang samar, maka tidak sah, karena bagian itu bisa jatuh pada satu dirham atau seribu, sehingga kerugian menjadi besar. Namun, jika ia melakukan qarāḍ atas bagian tertentu seperti setengah atau sepertiga, maka boleh, karena qarāḍ serupa dengan musāqāh, dan sungguh Rasulullah SAW telah melakukan musāqāh dengan penduduk Khaybar atas setengah dari hasil kurma dan tanaman.
Jika ia melakukan qarāḍ atas satu dirham tertentu, maka tidak sah, karena bisa jadi keuntungan tidak mencapai satu dirham, sehingga merugikan pekerja (‘āmil), atau bisa jadi keuntungan hanya mencapai satu dirham, sehingga merugikan pemilik modal (ṣāḥib al-māl).
Jika ia berkata, “Aku melakukan qarāḍ denganmu dan keuntungan dibagi antara kita berdua,” maka ada dua pendapat: pertama, tidak sah karena keuntungannya tidak diketahui, sebab pernyataan ini bisa mengandung arti pembagian sama rata atau tidak sama rata.
والثاني يصح لأنه سوى بينهما في الإضافة فحمل على التساوي كما لو قال هذه الدار لزيد وعمرو وإن قال قارضتك على أن لي نصف الربح ففيه وجهان: أحدهما يصح ويكون الربح بينهما نصفين لأن الربح بينهما فإذا شرط لنفسه النصف دل على أن الباقي للعامل والثاني لا يصح وهو الصحيح لأن الربح كله لرب المال بالملك وإنما يملك العامل جزءاً منه بالشرط ولم يشرط له شيئاً فبطل وإن قال قارضتك على أن لك النصف ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه لم يبين ما لرب المال
dan yang kedua: sah, karena ia menyamakan keduanya dalam penisbatan, maka dipahami sebagai pembagian yang sama, sebagaimana jika ia berkata, “Rumah ini milik Zaid dan ‘Amr.”
Jika ia berkata, “Aku melakukan qarāḍ denganmu dan bagiku setengah dari keuntungan,” maka terdapat dua pendapat:
Pertama, sah, dan keuntungan dibagi dua, karena keuntungan memang milik bersama, maka ketika ia mensyaratkan setengah untuk dirinya, hal itu menunjukkan bahwa sisanya untuk pekerja (‘āmil).
Kedua, tidak sah – dan ini yang benar – karena seluruh keuntungan adalah milik pemilik modal (ṣāḥib al-māl) secara kepemilikan, sedangkan pekerja tidak memiliki apa-apa kecuali dengan syarat, dan ia tidak mensyaratkan apa pun untuk pekerja, maka batal.
Jika ia berkata, “Aku melakukan qarāḍ denganmu dan untukmu setengah keuntungan,” maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah, karena tidak dijelaskan bagian untuk pemilik modal.
والثاني يصح وهو الصحيح لأن ما لرب المال لا يحتاج إلى شرط لأنه يملكه بملك المال وإنما يحتاج إلى شرط ما للعامل فإذا شرط للعامل النصف بقي الباقي على ملك رب المال فعلى هذا لو قال قارضتك على أن لك النصف ولي الثلث وسكت عن السدس صح ويكون النصف له لأن الجميع له إلا ما شرطه للعامل وقد شرط له النصف فكان الباقي له.
dan yang kedua: sah – dan ini yang benar – karena apa yang menjadi hak pemilik modal tidak membutuhkan syarat, sebab ia memilikinya berdasarkan kepemilikan modal. Yang membutuhkan syarat hanyalah bagian untuk pekerja (‘āmil). Maka jika ia mensyaratkan setengah untuk pekerja, maka sisanya tetap menjadi milik pemilik modal.
Berdasarkan pendapat ini, jika ia berkata, “Aku melakukan qarāḍ denganmu dan untukmu setengah, dan untukku sepertiga,” lalu ia diam dari sepertiga sisanya, maka sah, dan setengahnya menjadi milik pekerja, karena seluruhnya milik pemilik modal kecuali bagian yang disyaratkan untuk pekerja, dan telah disyaratkan setengah untuknya, maka sisanya menjadi milik pemilik modal.
فصل: وإن قال قارضتك على أن الربح كله لي أو كله لك بطل القراض لأن موضوعه على الاشتراك في الربح فإذا شرط الربح لأحدهما فقد شرط ما ينافي مقتضاه فبطل وإن دفع إليه ألفاً وقال تصرف فيه والربح كله لك فهو قرض لا حق لرب المال في ربحه لأن اللفظ مشترك بين القراض والقرض وقد قرن به حكم القرض فانعقد القرض به كلفظ التمليك لما كان مشتركاً بين البيع والهبة إذا قرن به الثمن كان بيعاً وإن قال تصرف فيه والربح كله لي فهو بضاعة لأن اللفظ مشترك بين القراض والبضاعة وقد قرن به حكم البضاعة فكان بضاعة كما قلنا في لفظ التمليك.
PASAL: Jika ia berkata, “Aku qāradh-kan kamu dengan syarat seluruh keuntungan untukku,” atau “seluruh keuntungan untukmu,” maka qarāḍ tersebut batal, karena akad qarāḍ disyariatkan atas dasar saling berbagi keuntungan. Maka jika disyaratkan keuntungan hanya untuk salah satu pihak, berarti telah disyaratkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud akad, sehingga batal.
Jika ia menyerahkan seribu (dinar atau dirham) dan berkata, “Gunakanlah untuk usaha dan seluruh keuntungan untukmu,” maka itu adalah qardh, tidak ada hak bagi pemilik modal atas keuntungannya, karena lafaz tersebut bisa bermakna qarāḍ atau qardh, dan telah digandengkan dengannya hukum qardh, maka sah sebagai qardh seperti lafaz tamlik (penyerahan kepemilikan) yang juga bisa bermakna jual beli atau hibah. Jika digandengkan dengan penyebutan harga, maka itu adalah jual beli.
Dan jika ia berkata, “Gunakanlah untuk usaha dan seluruh keuntungan untukku,” maka itu adalah biḍā‘ah, karena lafaz tersebut bisa bermakna qarāḍ atau biḍā‘ah, dan telah digandengkan dengannya hukum biḍā‘ah, maka dianggap sebagai biḍā‘ah sebagaimana kami jelaskan pada lafaz tamlik.
فصل: ولا يجوز أن يختص أحدهما بدرهم معلوم ثم الباقي بينهما لأنه ربما لم يحصل ذلك الدرهم فيبطل حقه وربما لم يحصل غير ذلك الدرهم فيبطل حق الآخر ولا يجوز أن يخص أحدهما بربح ما في الكيسين لأنه قد لا يربح في ذلك فيبطل حقه أو لا يربح إلا فيه فيبطل حق الآخر ولا يجوز أن يجعل حق أحدهما في عبد يشتريه فإن شرط أنه إذا اشترى عبداً أخذه برأس المال أو أخذه العامل بحقه لم يصح العقد لأنه قد لا يكون في المال ما فيه ربح غير العبد فيبطل حق الآخر.
PASAL: Tidak boleh salah satu dari keduanya dikhususkan dengan satu dirham tertentu kemudian sisanya dibagi di antara keduanya, karena bisa jadi dirham itu tidak diperoleh sehingga haknya batal, atau tidak diperoleh selain dirham itu sehingga hak pihak lain batal. Dan tidak boleh pula salah satu dari keduanya dikhususkan dengan laba dari barang dalam dua kantong, karena bisa jadi tidak ada laba dari barang itu sehingga haknya batal, atau hanya ada laba dari barang itu sehingga hak pihak lain batal. Dan tidak boleh pula ditentukan hak salah satu dari keduanya pada seorang budak yang akan dibeli; jika disyaratkan bahwa apabila membeli seorang budak, maka budak itu diambil sebagai pengganti dari modal, atau diambil oleh ‘āmil sebagai bagiannya, maka akadnya tidak sah, karena bisa jadi tidak ada keuntungan dalam harta selain budak itu, sehingga hak pihak lain menjadi batal.
فصل: ولا يجوز أن يعلق العقد على شرط مستقبل لأنه عقد يبطل بالجهالة فلم يجز تعليقه على شرط مستقبل كالبيع والإجارة.
فصل: قال الشافعي رحمه الله: ولا تجوز الشريطة إلى مدة فمن أصحابنا من قال لا يجوز شرط المدة فيه لأنه عقد معاوضة يجوز مطلقاً فبطل بالتوقيت كالبيع والنكاح ومنهم من قال: إن عقده إلى مدة على أن لا يبيع بعدها لم يصح لأن العامل يستحق البيع لأجل الربح وإذا شرط المنع منه فقد شرط ما ينافي مقتضاه فلم يصح وإن عقده إلى مدة على أن لا يشتري بعدها صح لأن رب المال يملك المنع من الشراء إذا شاء فإذا شرط المنع منه فقد شرط ما يملكه بمقتضى العقد فلم يمنع صحته.
PASAL: Tidak boleh menggantungkan akad pada syarat yang akan datang, karena akad ini batal disebabkan adanya jahālah (ketidakjelasan), maka tidak sah menggantungkan akad ini pada syarat yang akan datang sebagaimana dalam jual beli dan ijārah.
PASAL: Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Tidak sah mensyaratkan batas waktu dalam akad. Sebagian ulama kami berpendapat bahwa tidak sah mensyaratkan jangka waktu karena akad ini adalah akad mu‘āwaḍah yang sah dilakukan secara mutlak, maka menjadi batal jika dibatasi waktu, sebagaimana dalam jual beli dan nikah.
Sebagian dari mereka berkata: Jika akad dilakukan dengan batas waktu dan disyaratkan agar tidak menjual setelahnya, maka tidak sah, karena ‘āmil berhak untuk menjual demi memperoleh keuntungan. Jika disyaratkan larangan untuk menjual, maka berarti telah disyaratkan sesuatu yang bertentangan dengan maksud akad, maka tidak sah.
Namun jika akad dilakukan dengan batas waktu dan disyaratkan agar tidak membeli setelahnya, maka sah, karena pemilik modal memiliki hak untuk melarang pembelian kapan saja ia kehendaki. Maka jika disyaratkan larangan untuk membeli, berarti itu adalah syarat yang sesuai dengan hak yang dimiliki berdasarkan akad, sehingga tidak membatalkan keabsahan akad.
فصل: ولا يصح إلا على التجارة في جنس يعم كالثياب والطعام والفاكهة وقتها فإن عقده على ما لا يعم كالياقوت الأحمر والخيل البلق وما أشبهها أو على التجارة في سلعة بعينها لم يصح لأن المقصود بالقراض الربح فإذا علق على ما لا يعم أو على سلعة بعينها تعذر المقصود لأنه ربما يتفق ذلك ولا يجوز عقده على أن لا يشري إلا من رجل بعينه لأنه قد لا يتفق عنده ما يربح فيه أو لا يبيع منه ما يربح فيه فيبطل المقصود.
PASAL: Tidak sah akad qarāḍ kecuali untuk perdagangan dalam jenis barang yang umum terdapat, seperti pakaian, makanan, dan buah-buahan pada musimnya. Jika akad dilakukan atas barang yang tidak umum terdapat seperti yaqut merah, kuda belang, dan sejenisnya, atau atas perdagangan dalam barang tertentu secara spesifik, maka tidak sah, karena tujuan dari qarāḍ adalah memperoleh keuntungan, dan jika digantungkan pada sesuatu yang tidak umum atau pada barang tertentu saja, maka tujuan tersebut bisa jadi tidak tercapai. Dan tidak boleh akad dilakukan dengan syarat tidak membeli kecuali dari seseorang tertentu, karena bisa jadi tidak ada padanya barang yang menguntungkan, atau ia tidak menjual barang yang menguntungkan, sehingga tujuan menjadi batal.
فصل: وعلى العامل أن يتولى ما جرت العادة أن يتولاه بنفسه من النشر والطي والإيجاب والقبول وقبض الثمن ووزن ما خف كالعود والمسك لأن إطلاق الإذن يحمل على العرف والعرف في هذه الأشياء أن يتولاه بنفسه فإن استأجر من يفعل ذلك لزمه الأجرة في ماله فأما ما لم تجر العادة أن يتولاه بنفسه كحمل المتاع ووزن ما يثقل وزنه فلا يلزمه أن يتولاه بنفسه وله أن يستأجر من مال القراض من يتولاه لأن العرف في هذه الأشياء أن لا يتولاه بنفسه فإن تولى ذلك بنفسه لم يستحق الأجرة لأنه تبرع به وإن سرق المال أو غصب فهل يخاصم السارق والغاصب؟ ففيه وجهان: أحدهما لا يخاصم لأن القراض معقود علىالتجارة فلا تدخل فيه الخصومة والثاني أنه يخاصم فيه لأن القراض يقضي حفظ المال والتجارة ولا يتم ذلك إلا بالخصومة والمطالبة.
PASAL: Wajib bagi ‘āmil untuk mengerjakan sendiri hal-hal yang menurut kebiasaan biasa dilakukan sendiri, seperti membuka gulungan, melipat barang, melakukan ijab dan kabul, menerima pembayaran, dan menimbang barang-barang ringan seperti kayu cendana dan minyak kesturi, karena izin yang diberikan secara mutlak ditafsirkan berdasarkan kebiasaan, dan kebiasaan dalam hal-hal ini adalah dikerjakan sendiri. Maka jika ia menyewa orang untuk melakukannya, biaya sewanya ditanggung dari hartanya sendiri.
Adapun hal-hal yang menurut kebiasaan tidak dilakukan sendiri, seperti mengangkat barang dan menimbang barang yang berat, maka tidak wajib ia mengerjakannya sendiri. Ia boleh menyewa orang dari harta qarāḍ untuk melakukannya, karena kebiasaan dalam hal ini memang tidak dikerjakan sendiri. Jika ia tetap melakukannya sendiri, maka ia tidak berhak atas upah karena ia melakukannya secara sukarela.
Jika harta tersebut dicuri atau dirampas, apakah ia berhak menggugat pencuri atau perampas? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, ia tidak menggugat, karena akad qarāḍ terikat pada aktivitas perdagangan, dan gugatan tidak termasuk dalam cakupannya.
Kedua, ia berhak menggugat, karena qarāḍ menuntut adanya penjagaan terhadap harta dan kegiatan perdagangan, dan hal itu tidak dapat terlaksana kecuali dengan gugatan dan tuntutan.
فصل: ولا يجوز للعامل أن يقارض غيره من غير إذن رب المال لأن تصرفه بالإذن ولم يأذن له رب المال في القراض فلم يملكه فإن قارضه رب المال على النصف وقارض العامل آخر واشترى الثاني في الذمة ونقض الثمن من مال القراض وربح بنينا على القولين في الغاصب إذا اشترى في الذمة ونقد فيه المال المغصوب وربحه فإن قلنا بقوله القديم إن الربح لرب المال فقد قال المزني ههنا إن لرب المال نصف الربح والآخر بين العاملين نصفين واختلف أصحابنا في ذلك
PASAL: Tidak boleh bagi ‘āmil melakukan qarāḍ kepada orang lain tanpa izin dari pemilik harta, karena tindakannya berdasarkan izin, sedangkan pemilik harta tidak mengizinkannya melakukan qarāḍ, maka ia tidak berhak melakukannya. Jika pemilik harta melakukan akad qarāḍ dengan ‘āmil dengan bagian setengah, lalu ‘āmil tersebut melakukan qarāḍ lagi dengan orang lain, dan orang kedua membeli dengan tanggungan utang, lalu membayar harga dari harta qarāḍ dan mendapat keuntungan, maka hal itu dibangun atas dua pendapat dalam kasus ghāṣib yang membeli dengan tanggungan utang lalu membayar dari harta yang dighaṣab dan mendapatkan keuntungan. Jika kita memilih pendapat qadim bahwa keuntungan milik pemilik harta, maka menurut al-Muzanī dalam kasus ini, separuh keuntungan menjadi milik pemilik harta dan sisanya dibagi dua antara kedua ‘āmil. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam masalah ini.
فقال أبو إسحاق هذا صحيح لأن رب المال رضي أن يأخذ نصف ربح فلم يستحق أكثر منه والنصف الثاني بين العاملين لأنهما رضيا أن ما رزق الله بينهما والذي رزق الله تعالى هو النصف فإن النصف الآخر أخذه رب المال فصار كالمستهلك ومن أصحابنا من قال يرجع العامل الثاني على العامل الأول بنصف أجرة مثله لأنه دخل على أن يأخذ نصف ربح المال ولم يسلم له ذلك
Maka Abū Isḥāq berkata: Ini adalah pendapat yang sahih, karena pemilik harta telah rela untuk mengambil separuh dari keuntungan, maka ia tidak berhak atas lebih dari itu. Dan separuh sisanya adalah milik kedua ‘āmil, karena keduanya telah rela bahwa rezeki yang Allah berikan dibagi di antara mereka berdua, dan rezeki yang Allah berikan adalah separuh tersebut. Adapun separuh lainnya telah diambil oleh pemilik harta, maka keadaannya seperti telah habis dikonsumsi. Dan sebagian dari sahabat kami berkata: ‘Āmil kedua berhak menuntut dari ‘āmil pertama setengah dari upah yang sebanding, karena ia masuk dalam akad dengan harapan mendapatkan separuh dari keuntungan harta, namun hal itu tidak terwujud baginya.
وإن قلنا بقوله الجديد فقد قال المزني الربح كله للعامل الأول وللعامل الثاني أجرة المثل فمن أصحابنا من قال هذا غلط لأن على هذا القول الربح كله للعامل الثاني لأنه هو المتصرف فصار كالغاصب في غير القراض ومنهم من قال الربح للأول كما قال المزني لأن العامل الثاني لم يشتر لنفسه وإنما اشتراه للأول فكان الربح له بخلاف الغاصب في غير القراض فإن ذلك اشتراه لنفسه فكان الربح له.
Dan jika kita memilih pendapat jadīd, maka al-Muzanī berkata: Keuntungan seluruhnya milik ‘āmil pertama, dan ‘āmil kedua mendapat upah sepadan (ujrah al-mitsl). Maka sebagian dari sahabat kami berkata: Ini adalah kesalahan, karena menurut pendapat ini keuntungan seluruhnya mestinya milik ‘āmil kedua, karena dialah yang melakukan transaksi, sehingga ia seperti ghāṣib dalam selain qarāḍ. Dan sebagian dari mereka berkata: Keuntungan tetap milik ‘āmil pertama sebagaimana pendapat al-Muzanī, karena ‘āmil kedua tidak membeli untuk dirinya sendiri, tetapi membelinya untuk ‘āmil pertama, maka keuntungannya menjadi milik ‘āmil pertama. Berbeda halnya dengan ghāṣib dalam selain qarāḍ, karena ia membeli untuk dirinya sendiri, maka keuntungannya pun miliknya.
فصل: ولا يتجر العامل إلا فيما أذن فيه رب المال فإن أذن له في صنف لم يتجر في غيره لأن تصرفه بالإذن فلم يملك ما لم يأذن له فيه فإن قال له اتجر في البز جاز له أن يتجر في أصناف البز من المنسوج من القطن والإبريسم والكتان وما يلبس من الأصواف لأن اسم البز يقع على ذلك كله ولا يجوز أن يتجر في البسط والفرش لأنه لا يطلق عليه اسم البز وهل يجوز أن يتجر في الأكسية البركانية؟ فيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه يلبس فأشبه الثياب والثاني لا يجوز لأنه لا يطلق عليه اسم البز ولهذا لا يقال لبائعه بزاز وإنما يقال له كسائي ولو أذن له في التجارة في الطعام لم يجز أن يتجر في الدقيق ولا في الشعير لأن الطعام لا يطلق إلا على الحنطة.
PASAL: ‘Āmil tidak boleh berdagang kecuali dalam hal yang telah diizinkan oleh pemilik modal. Jika pemilik modal hanya mengizinkannya berdagang dalam satu jenis barang, maka ia tidak boleh berdagang dalam jenis yang lain, karena tindakan ‘āmil berdasarkan izin, sehingga ia tidak berhak melakukan sesuatu yang tidak diizinkan.
Jika pemilik modal berkata kepadanya, “Berdaganglah dalam bazz,” maka ia boleh berdagang dalam berbagai jenis bazz, seperti kain yang ditenun dari kapas, sutra, linen, dan pakaian dari wol, karena nama bazz mencakup semua itu. Namun, tidak boleh berdagang dalam permadani dan alas tidur, karena itu tidak disebut dengan bazz.
Adapun apakah boleh berdagang dalam aksiyah barakāniyyah (semacam selimut atau mantel tebal dari daerah Barqah), terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, karena ia dipakai seperti halnya pakaian.
Kedua, tidak boleh, karena tidak termasuk dalam nama bazz. Karena itu, penjualnya tidak disebut bazzāz, tetapi disebut kisā’ī.
Jika ia diizinkan berdagang dalam makanan (ṭa‘ām), maka tidak boleh berdagang dalam tepung ataupun jelai (sya‘īr), karena kata ṭa‘ām hanya digunakan untuk menunjuk kepada gandum (ḥinṭah) saja.
فصل: ولا يشتري العامل بأكثر من رأس المال لأن الإذن لم يتناول غير رأس المال فإن كان رأس المال ألفاً فاشترى عبداً بألف ثم اشترى آخر بألف قبل أن ينقد الثمن في البيع الأول فالأول للقراض لأنه اشتراه بالإذن وأما الثاني فينظر فيه فإن اشتراه بعين الألف فالشراء باطل لأنه اشتراه بمال استحق تسليمه في البيع الأول فلم يصح وإن اشتراه بألف في الذمة كان العبد له ويلزمه الثمن في ماله لأنه اشترى في الذمة لغيره مالم يأذن فيه فوقع الشراء.
PASAL: Tidak boleh bagi ‘āmil membeli dengan jumlah lebih dari modal, karena izin tidak mencakup selain dari modal. Jika modalnya seribu, lalu ia membeli seorang budak seharga seribu, kemudian membeli budak lain seharga seribu sebelum membayar harga pada pembelian pertama, maka pembelian pertama adalah untuk qarāḍ karena dilakukan dengan izin. Adapun pembelian kedua, maka perlu ditinjau: jika ia membelinya dengan menggunakan uang seribu secara langsung, maka jual beli tersebut batal, karena ia membeli dengan harta yang telah wajib diserahkan dalam jual beli pertama, maka tidak sah. Namun jika ia membelinya dengan seribu yang menjadi utang di tanggungan (fi al-dzimmah), maka budak itu menjadi miliknya dan ia wajib membayar harganya dari hartanya sendiri, karena ia membeli secara utang untuk orang lain dalam hal yang tidak diizinkan, maka terjadilah akad pembelian tersebut (untuk dirinya sendiri).
فصل: ولا يتجر إلا على النظر والاحتياط فلا يبيع بدون ثمن المثل ولا بثمن مؤجل لأنه وكيل فلا يتصرف إلا على النظر والاحتياط وإن اشترى معيباً رأى شرائه جاز لأن المقصود طلب الحظ وقد يكون الربح في المعيب وإن اشترى شيئاً على أنه سليم فوجده معيباً جاز له الرد لأنه فوض إليه النظر والاجتهاد فلك الرد.
PASAL: Tidak boleh berdagang kecuali dengan pertimbangan yang cermat dan kehati-hatian. Maka tidak boleh menjual di bawah harga pasar dan tidak pula dengan pembayaran yang ditangguhkan, karena ia adalah wakil, sehingga tidak boleh bertindak kecuali dengan pertimbangan dan kehati-hatian.
Jika ia membeli barang cacat dalam keadaan mengetahui cacatnya dan memandang bahwa pembelian itu menguntungkan, maka boleh, karena tujuan utama adalah mencari keuntungan, dan terkadang keuntungan ada pada barang yang cacat.
Jika ia membeli sesuatu dengan anggapan bahwa barang itu sehat, lalu ternyata cacat, maka ia boleh mengembalikannya, karena ia diberi wewenang untuk menilai dan berijtihad, maka ia memiliki hak untuk mengembalikan.
فصل: وإن اختلفا فدعا أحدهما إلى الرد والآخر إلى الإمساك فعل ما فيه النظر لأن المقصود طلب الحظ لهما فإذا اختلفا حمل الأمر على ما فيه الحظ.
فصل: وإن اشترى من يعتق على رب المال بغير إذنه لم يلزم رب المال لأن القصد بالقراض شراء ما يربح فيه وذلك لا يوجد في شراء من يعتق عليه وإن كان رب المال امرأة فاشترى العامل زوجها بغير إذنها ففيه وجهان: أحدهما لا يلزمها لأن المقصود شراء ما تنتفع به وشراء الزوج تستضر به لأن النكاح ينفسخ وتسقط نفقتها واستمتاعها والثاني يلزمها لأن المقصود بالقراض شراء ما يربح فيه والزوج كغيره في الربح فلزمها شراؤه.
PASAL: Jika keduanya berselisih, lalu salah satu dari mereka meminta agar barang dikembalikan, dan yang lain ingin mempertahankan, maka dilakukan apa yang mengandung kemaslahatan, karena tujuan dari qarāḍ adalah mencari keuntungan bagi keduanya. Maka jika terjadi perselisihan, perkara dikembalikan kepada apa yang lebih menguntungkan.
PASAL: Jika ‘āmil membeli seseorang yang akan merdeka bila dimiliki oleh pemilik harta tanpa izinnya, maka hal itu tidak mengikat pemilik harta, karena maksud dari qarāḍ adalah membeli sesuatu yang bisa memberi keuntungan, dan itu tidak terdapat pada pembelian orang yang akan merdeka atas pemiliknya. Jika pemilik harta adalah seorang perempuan, lalu ‘āmil membeli suaminya tanpa izinnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak wajib atasnya, karena tujuan pembelian adalah memperoleh manfaat, sementara membeli suami justru mendatangkan mudarat, karena pernikahan menjadi batal dan nafkah serta hak hubungan suami-istri menjadi gugur; kedua, pembelian tersebut tetap mengikatnya, karena tujuan dari qarāḍ adalah membeli sesuatu yang bisa mendatangkan keuntungan, dan suami seperti yang lainnya dalam hal keuntungan, maka pembelian itu sah atas dirinya.
فصل: ولايسافر بالمال من غبر إذن رب المال لأنه مأمور بالنظر والاحتياط وليس في السفر احتياط لأن فيه تغريراً بالمال ولهذا يروى أن المسافر ومتاعه لعلى قلت فإن أذن له في السفر فقد قال في موضع له أن ينفق من مال القراض وقال في موضع آخر لا نفقة له فمن أصحابنا من قال: لا نفقة له قولاً واحداً لأن نفقته على نفسه فلم تلزم من مال القراض كنفقة الإقامة وتأول قوله على ما يحتاج إليه لنقل المتاع وما يحتاج إليه مال القراض ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما لا ينفق لما ذكرناه والثاني ينفق لأن سفره لأجل المال فكان نفقته منه كأجرة الحمال فإن قلنا ينفق من مال القراض ففي قدره وجهان: أحدهما جميع ما يحتاج إليه لأن من لزمه نفقة غيره لزمه جميع نفقته والثاني ما يزيد على نفقة الحضر لأن النفقة إنما لزمته لأجل السفر فلم يلزمه إلا ما زاد بالسفر.
PASAL: Tidak boleh melakukan perjalanan dengan membawa harta qarāḍ tanpa izin dari pemilik modal, karena ia diperintahkan untuk bertindak dengan pertimbangan dan kehati-hatian, sedangkan dalam bepergian tidak terdapat kehati-hatian, bahkan justru mengandung risiko terhadap harta. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa “musafir dan barang bawaannya berada di atas jurang.”
Jika pemilik modal mengizinkan untuk bepergian, maka Imam Syafi‘i pernah berkata di satu tempat bahwa ‘āmil boleh mengambil nafkah dari harta qarāḍ, dan di tempat lain beliau mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan nafkah. Maka sebagian ulama kami mengatakan bahwa tidak ada nafkah baginya secara qaul wāḥid, karena nafkah itu menjadi tanggungannya sendiri dan tidak dibebankan pada harta qarāḍ, sebagaimana nafkah ketika menetap. Adapun perkataan Imam di tempat lain ditakwilkan sebagai biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan barang dagangan dan keperluan lain yang berkaitan dengan harta qarāḍ.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dalam masalah ini ada dua qaul:
Pertama, tidak diberi nafkah, sebagaimana disebutkan di atas.
Kedua, diberi nafkah karena perjalanannya dilakukan demi kepentingan harta, sehingga ia mendapatkan nafkah darinya sebagaimana upah untuk pemikul barang.
Jika dikatakan bahwa ia berhak mendapatkan nafkah dari harta qarāḍ, maka dalam menentukan jumlahnya ada dua pendapat:
Pertama, seluruh kebutuhan nafkahnya ditanggung, karena siapa yang wajib memberi nafkah kepada orang lain, maka seluruh nafkah menjadi tanggungannya.
Kedua, hanya yang melebihi nafkah ketika menetap saja, karena nafkah itu dibebankan semata-mata karena adanya perjalanan, maka yang dibebankan hanyalah tambahan biaya akibat perjalanan.
فصل: وإن ظهر في المال ربح ففيه قولان: أحدهما أن الجميع لرب المال فلا يملك العامل حصته بالربح إلا بالقسمة لأنه لو ملك حصته من الربح لصار شريكاً لرب المال حتى إذا هلك شيء كان هالكاً من المالين فلم يجعل التالف من المالين دل على أنه لم يملك منه شيئاً والثاني أن العامل يملك حصته من الربح لأنه أحد المتقارضين فملك حصته من الربح بالظهور كرب المال.
PASAL: Jika dalam harta tampak adanya keuntungan, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa seluruh keuntungan adalah milik pemilik harta, dan ‘āmil tidak memiliki bagiannya dari keuntungan kecuali setelah dilakukan pembagian, karena jika ‘āmil telah memiliki bagiannya dari keuntungan sejak munculnya, maka ia menjadi sekutu bagi pemilik harta, sehingga jika ada kerusakan pada harta, maka kerusakan itu seharusnya berasal dari kedua pihak. Namun kenyataannya, kerusakan dianggap berasal dari harta pemilik saja, menunjukkan bahwa ‘āmil belum memiliki bagian apapun darinya. Pendapat kedua menyatakan bahwa ‘āmil memiliki bagiannya dari keuntungan sejak keuntungan itu tampak, karena ia adalah salah satu pihak dalam akad qarāḍ, maka ia memiliki bagiannya dari keuntungan sejak keuntungan itu muncul, sebagaimana pemilik harta.
فصل: وإن طلب أحد المتقارضين قسمة الربح قبل المفاصلة فامتنع الآخر لم يجبر لأنه إن امتنع رب المال لم يجز إجباره لأنه يقول الربح وقاية لرأس المال فلا أعطيك حتى تسلم لي رأس المال وإن كان الذي امتنع هو العام لم يجز إجباره لأنه يقول لا نأمن أن نخسر فنحتاج أن نرد ما أخذه وإن تقاسما جاز لأن المنع لحقهما وقد رضيا فإن حصل بعد القسمة خسر إن لزم العامل أن يجبره بما أخذ لأنه لا يستحق الربح إلا بعد تسليمه رأس المال.
PASAL: Jika salah satu dari dua pihak dalam akad qarāḍ meminta pembagian keuntungan sebelum dilakukan perhitungan final (mufāṣalah), lalu pihak yang lain menolak, maka tidak boleh dipaksa.
Jika yang menolak adalah pemilik modal, maka tidak boleh dipaksa, karena ia dapat berkata, “Keuntungan adalah pelindung bagi modal, maka aku tidak akan memberikannya kepadamu sebelum modal dikembalikan kepadaku.”
Dan jika yang menolak adalah ‘āmil, maka juga tidak boleh dipaksa, karena ia bisa berkata, “Kita tidak aman dari kemungkinan mengalami kerugian, sehingga aku harus mengembalikan apa yang telah kuambil.”
Namun jika keduanya sepakat membagi keuntungan, maka hal itu boleh, karena larangan pembagian adalah demi menjaga hak keduanya, dan keduanya telah ridha.
Jika setelah pembagian tersebut terjadi kerugian, maka ‘āmil wajib mengganti apa yang telah ia ambil, karena ia tidak berhak atas keuntungan kecuali setelah menyerahkan modal kepada pemiliknya.
فصل: وإن اشترى العامل من يعتق عليه فإن لم يكن في المال ربح لزم الشراء في مال القراض لأنه لا ضرر فيه على رب المال فإن ظهر بعدما اشتراه ربح فإن قلنا إنه لا يملك حصته قبل القسمة لم يعتق وإن قلنا أنه يملك بالظهور فهل يعتق بقدر بحصته؟ فيه وجهان: أحدهما أنه يعتق منه بقدر حصته لأنه ملكه فعتق والثاني لا يعتق لأن ملكه غير مستقر لأنه ربما تلف بعض المال فلزمه جبرانه بماله وإن اشترى وفي الحال ربح فإن قلنا إنه لا يعتق عليه صح الشراء لأنه لا ضرر فيه على رب المال وإن قلنا يعتق لم يصح الشراء لأن المقصود بالقراض شراء ما يربح فيه وهذا لا يوجد فيمن يعتق به.
PASAL: Jika ‘āmil membeli seseorang yang akan merdeka bila dimilikinya, maka apabila tidak terdapat keuntungan dalam harta, maka pembelian tersebut tetap termasuk dalam harta qarāḍ, karena tidak ada mudarat bagi pemilik harta. Jika setelah pembelian tampak adanya keuntungan, maka jika kita berpendapat bahwa ‘āmil tidak memiliki bagiannya sebelum pembagian, maka orang itu tidak merdeka. Namun jika kita berpendapat bahwa ia memiliki bagian sejak keuntungan tampak, maka apakah orang itu merdeka sebanding dengan bagiannya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, ia merdeka sebanding dengan bagiannya, karena ia telah memilikinya, maka menjadi merdeka; kedua, tidak merdeka, karena kepemilikannya belum tetap, sebab bisa jadi sebagian harta rusak dan ia wajib menggantinya dari hartanya sendiri.
Dan jika pembelian dilakukan saat telah tampak keuntungan, maka jika kita berpendapat bahwa orang tersebut tidak merdeka karena tidak sempurna kepemilikannya, maka pembeliannya sah karena tidak membawa mudarat bagi pemilik harta. Namun jika kita berpendapat bahwa orang itu merdeka, maka pembelian tidak sah, karena tujuan qarāḍ adalah membeli sesuatu yang bisa memberikan keuntungan, dan hal itu tidak terdapat pada orang yang otomatis merdeka dengan pembelian.
فصل: والعامل أمين فيما في يده فإن تلف المال في يده من غير تفريط لم يضمن لأنه نائب عن رب المال في التصرف فلم يضمن من غير تفريط كالمودع فإن دفع إليه ألفاً فاشترى عبداً في الذمة ثم تلف الألف قبل أن ينقده في ثمن العبد انفسخ القراض لأنه تلف رأس المال بعينه وفي الثمن وجهان: أحدهما أنه على رب المال لأنه اشتراه له فكان الثمن عليه كما لو اشترى الوكيل في الذمة ما وكل في شرائه فتلف الثمن في يده قبل أن ينقذه
PASAL: Dan ‘āmil adalah orang yang dipercaya terhadap apa yang ada di tangannya. Maka jika harta tersebut rusak di tangannya tanpa kelalaian, ia tidak menanggungnya karena ia adalah wakil dari pemilik harta dalam melakukan transaksi, maka ia tidak menanggung kerugian tanpa adanya kelalaian sebagaimana orang yang dititipi (muwadda‘). Jika pemilik harta memberikan seribu kepadanya lalu ia membeli seorang budak dengan cara berutang (fī al-dzimmah), kemudian seribu itu rusak sebelum diserahkan untuk membayar harga budak, maka akad qarāḍ menjadi batal karena modal pokok rusak secara langsung. Adapun mengenai pembayaran harga budak, terdapat dua pendapat: salah satunya adalah bahwa pembayarannya menjadi tanggungan pemilik harta karena budak tersebut dibeli untuknya, maka harga menjadi tanggungannya sebagaimana jika seorang wakil membeli barang secara utang dalam urusan yang diwakilkan lalu harga barang itu rusak di tangannya sebelum diserahkan.
والثاني أن الثمن على العامل لأن رب المال لم يأذن له في التجارة إلا في رأس المال فلم يلزمه ما زاد وإن دفع إليه ألفين فاشترى بهما عبدين ثم تلف أحدهما ففيه وجهان: أحدهما يتلف من رأس المال وينفسخ فيه القراض لأنه بدل عن رأس المال فكان هلاكه كهلاكه والثاني أنه يتلف من الربح لأنه تصرف في المال فكان في القراض وإن قارضه رجلان على مالين فاشترى لكل واحد منهما جارية ثم أشكلتا عليه ففيه قولان: أحدهما تباعان فإن لم يكن فيهما ربح قسم بين ربي المال وإن كان فيهما ربح شاركهما العامل في الربح وإن كان فيهما خسران ضمن العامل ذلك لأنه حصل بتفريطه والقول الثاني أن الجاريتين للعامل ويلزمه قيمتهما لأنه تعذر ردهما بتفريطه فلزمه ضمانهما كما لو أتلفهما.
dan pendapat kedua: bahwa pembayaran harga menjadi tanggungan ‘āmil, karena pemilik harta tidak mengizinkannya untuk berdagang kecuali dengan modal pokok, maka ia tidak menanggung lebih dari itu. Dan jika pemilik harta memberikan dua ribu kepadanya lalu ia membeli dua budak dengannya, kemudian salah satunya rusak, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, kerugian itu dianggap dari modal pokok dan akad qarāḍ menjadi batal atas bagian tersebut, karena budak itu sebagai pengganti dari modal, maka kerusakannya seperti kerusakan modal. Pendapat kedua, bahwa kerugian itu dari keuntungan, karena hal itu merupakan bentuk transaksi dalam harta, maka masuk dalam kategori qarāḍ.
Dan jika dua orang meng-qarāḍ-kan masing-masing harta mereka kepada seorang ‘āmil, lalu ia membeli untuk masing-masing satu jariyah, kemudian keduanya menjadi tidak dapat dibedakan, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, keduanya dijual; jika tidak terdapat keuntungan pada keduanya, maka hasil penjualannya dibagi di antara kedua pemilik harta; dan jika terdapat keuntungan pada keduanya, maka ‘āmil ikut serta dalam keuntungan; dan jika terdapat kerugian pada keduanya, maka ‘āmil menanggungnya karena itu terjadi akibat kelalaiannya.
Pendapat kedua, kedua jariyah itu menjadi milik ‘āmil dan ia wajib membayar nilainya, karena pengembalian kepada pemilik harta menjadi mustahil akibat kelalaiannya, maka wajib atasnya mengganti keduanya sebagaimana jika ia merusaknya.
فصل: ويجوز لكل واحد منهما أن يفسخ إذا شاء لأنه تصرف في مال الغير بإذنه فملك كل واحد منهما فسخه كالوديعة والوكالة فإن فسخ العقد والمال من غير جنس رأس المال وتقاسماه جاز وإن باعاه جاز لأن الحق لهما وإن طلب العامل البيع وامتنع رب المال أجبر لأن حق العامل في الربح وذلك لا يحصل إلا بالبيع فإن قال رب المال أنا أعطيك مالك فيه الربح وامتنع العامل فإن قلنا إنه ملك حصته من الربح بالظهور لم يجبر على أخذه كما لو كان بينهما مال مشترك وبذل أحدهما للآخر عوض حقه
PASAL: Dan boleh bagi masing-masing dari keduanya untuk membatalkan (akad) kapan saja ia mau, karena itu adalah bentuk tasharruf pada harta orang lain dengan izinnya, maka masing-masing dari keduanya berhak membatalkannya sebagaimana dalam wadi‘ah dan wakālah. Jika akad dibatalkan sementara harta yang ada bukan sejenis dengan ra’s al-māl lalu mereka membaginya, maka itu dibolehkan. Dan jika mereka menjualnya, maka itu juga dibolehkan karena hak itu milik keduanya. Jika ‘āmil meminta agar dijual dan ṣāḥib al-māl menolak, maka ia (ṣāḥib al-māl) dipaksa, karena hak ‘āmil ada pada keuntungan, dan itu tidak diperoleh kecuali dengan penjualan. Jika ṣāḥib al-māl berkata, “Aku akan memberimu bagianmu dari keuntungan,” dan ‘āmil menolak, maka jika kita mengatakan bahwa ‘āmil telah memiliki bagiannya dari keuntungan dengan hanya kemunculannya, maka ia tidak dipaksa untuk menerimanya, sebagaimana jika ada harta syirkah di antara dua orang, lalu salah satunya menawarkan ganti rugi atas hak milik rekannya.
وإن قلنا لا يملك ففيه وجهان بناء على القولين في العبد الجاني إذا امتنع المولى عن بيعه وضمن للمجني عليه قيمته أحدهما لا يجبر على بيعه لأن البيع لحقه وقد بذل له حقه والثاني أنه يجبر لأنه ربما زاد مزايد ورغب راغب فزاد في قيمته وإن طلب رب المال البيع وامتنع العامل أجبر على بيعه لأن حق رب المال في رأس المال ولا يحصل ذلك إلا بالبيع فإن قال العامل أنا أترك حقي ولا أبيع فإن قلنا إن العامل يملك حصته بالظهور لم يقبل منه لأنه يريد أن يهب حقه وقول الهبات لا يجب وإن قلنا إنه لا يملك بالظهور ففيه وجهان: أحدهما لا يجبر على بيعه لأن البيع لحقه وقد تركه فسقط والثاني يجبر لأن البيع لحقه ولحق رب المال في رأس ماله فإذا رضي بترك حقه لم يرض رب المال بترك رأس ماله وإن فسخ العقد وهناك دين وجب على العامل أن يتقاضاه لأنه دخل في العقد على أن يرد رأس المال فوجب أن يتقاضاه ليرده
Dan jika dikatakan bahwa ia (yakni: pekerja) tidak memiliki (bagian dari keuntungan) maka dalam hal ini ada dua wajah pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam masalah budak yang melakukan kejahatan, apabila tuannya enggan menjualnya namun menjamin nilainya kepada korban:
Pendapat pertama, ia tidak dipaksa untuk menjualnya karena penjualan itu merupakan haknya dan ia telah menyerahkan hak tersebut.
Pendapat kedua, ia dipaksa untuk menjual karena bisa jadi ada penawar yang menambah harga dan ada orang yang berminat sehingga nilainya bertambah.
Jika pemilik modal meminta agar barang dijual namun pekerja menolak, maka ia dipaksa untuk menjualnya, karena hak pemilik modal ada pada pokok modal dan hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan penjualan.
Jika pekerja berkata: “Aku tinggalkan bagianku dan tidak akan menjual”, maka:
- Jika dikatakan bahwa pekerja memiliki bagiannya karena adanya keuntungan yang tampak, maka tidak diterima darinya, karena ia ingin memberikan haknya secara cuma-cuma, dan ucapan hibah tidak wajib diterima.
- Dan jika dikatakan bahwa ia tidak memilikinya hanya karena keuntungan tampak, maka ada dua wajah pendapat:
Pertama, ia tidak dipaksa menjual karena penjualan itu untuk haknya, dan ia telah meninggalkannya maka gugurlah hak itu.
Kedua, ia dipaksa menjual karena penjualan itu adalah demi haknya dan hak pemilik modal atas pokok modalnya. Maka ketika ia rela meninggalkan haknya, tidak berarti pemilik modal juga rela kehilangan pokok modalnya.
Dan jika akad dibatalkan sementara masih ada piutang, maka wajib bagi pekerja untuk menagihnya, karena ia telah masuk ke dalam akad dengan kewajiban mengembalikan pokok modal, maka wajib baginya menagihnya untuk dapat dikembalikan.
فصل: وإن مات أحدهما أو جن انفسخ لأنه عقد جائز فبطل بالموت والجنون كالوديعة والوكالة وإن مات رب المال أو جن وأراد الوارث أو الولي أن يعقد القراض والمال عرض فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق يجوز لأنه ليس بابتداء قراض وإنما هو بناء على مال القراض فجاز ومنهم من قال لا يجوز وهو الصحيح لأن القراض قد بطل بالموت وهذا ابتداء قراض على غرض فلم يجز.
PASAL: Jika salah satu dari keduanya meninggal atau gila, maka akad pun batal, karena ini adalah akad yang ja’iz, sehingga batal dengan kematian dan kegilaan, sebagaimana halnya wadī‘ah dan wakālah. Jika pemilik harta meninggal atau gila, lalu ahli waris atau wali ingin melakukan akad qarāḍ dengan harta yang berbentuk barang (‘araḍ), maka para sahabat kami berbeda pendapat. Abū Isḥāq berkata: Boleh, karena ini bukan permulaan akad qarāḍ, melainkan kelanjutan dari harta qarāḍ, maka dibolehkan. Dan sebagian dari mereka berkata: Tidak boleh, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena akad qarāḍ telah batal dengan kematian, maka ini termasuk memulai akad qarāḍ dengan barang (‘araḍ), sehingga tidak dibolehkan.
فصل: وإن قارض في مرضه على ربح أكثر من أجرة المثل ومات اعتبر الربح من رأس المال لأن الذي يعتبر من الثلث ما يخرجه من ماله والربح ليس من ماله وإنما يحصل بكسب العامل فلم يعتبر من الثلث وإن مات وعليه دين قدم العامل على الغرماء لأن حقه يتعلق بعين المال فقدم على الغرماء.
PASAL: Jika seseorang melakukan qarāḍ saat sakitnya dengan memberikan keuntungan lebih dari upah yang sebanding, lalu ia wafat, maka keuntungan tersebut dihitung dari pokok modal. Sebab yang diperhitungkan dari sepertiga harta adalah apa yang dikeluarkan dari hartanya, sedangkan keuntungan bukan berasal dari hartanya, melainkan diperoleh dari usaha ‘āmil, maka tidak diperhitungkan dari sepertiga. Jika ia wafat dalam keadaan memiliki utang, maka ‘āmil didahulukan dari para kreditur, karena haknya berkaitan langsung dengan pokok harta, sehingga didahulukan dari para kreditur.
فصل: وإن قارض قراضاً فاسداً وتصرف العامل نفذ تصرفه لأن العقد بطل وبقي الإذن فملك به التصرف فغن حصل في المال ربح لم يستحق العامل منه شيئاً لأن الربح يستحقه بالقراض وقد بطل القراض فاما أجرة المثل فإنه ينظر فيه فإن لم يرض إلا بربح استحق لأنه لم يرض أن يعمل إلا بعوض فإذا لم يسلم له رجع إلى أجرة المثل وإن رضي من غير ربح بأن قارضه على أن الربح كله لرب المال ففي الأجرة وجهان: أحدهما لا يستحق وهو قول المزني لأنه رضي أن يعمل من غير عوض فصار كالمتطوع بالعمل من غير قراض
PASAL: Jika seseorang melakukan akad qarāḍ yang fasad, lalu ‘āmil melakukan transaksi, maka transaksinya tetap sah karena akadnya batal, namun izin tetap ada, sehingga dengan izin itu ia memiliki hak melakukan transaksi. Jika terdapat keuntungan dalam harta tersebut, maka ‘āmil tidak berhak atas sedikit pun dari keuntungan itu, karena keuntungan hanya bisa diperoleh melalui qarāḍ, sementara akad qarāḍ-nya telah batal. Adapun mengenai ujrah al-mitsl (upah sepadan), maka hal itu tergantung: jika ia tidak rela kecuali dengan adanya keuntungan, maka ia berhak atas ujrah al-mitsl, karena ia tidak rela bekerja kecuali dengan imbalan. Maka jika tidak diberikan keuntungan, ia berhak kembali kepada ujrah al-mitsl. Namun jika ia rela tanpa keuntungan, seperti saat ia melakukan akad qarāḍ dengan syarat bahwa seluruh keuntungan milik ṣāḥib al-māl, maka mengenai ujrah terdapat dua pendapat: salah satunya, ia tidak berhak atas upah, dan ini adalah pendapat al-Muzanī, karena ia rela bekerja tanpa imbalan, sehingga seperti orang yang bekerja secara sukarela tanpa ada akad qarāḍ.
والثاني أنه يستحق وهو قول أبي العباس لأن العمل في القراض يقتضي العوض فلا يسقط بإسقاطه كالوطء في النكاح وإن كان له على رجل دين فقال إقبض ملي عليك فعزل الرجل ذلك وقارضه عليه لم يصح القراض لأنه قبضه له من نفسه لا يصح فإذا قارضه عليه فقد قارضه على مال لا يملكه فلم يصح فإن اشترى العامل شيئاً في الذمة ونقد في ثمنه ما عزله لرب المال وربح ففيه قولان: أحدهما أن ما اشتراه مع الربح لرب المال لأنه اشتراه له بإذنه ونقد فيه الثمن بإذنه وبرئت ذمته من الدين لأنه سلمه إلى من اشترى منه بإذنه ويرجع العامل بأجرة المثل لأنه عمل ليسلم له الربح ولم يسلم فرجع إلى أجرة عمله والثاني أن الذي اشتراه مع الربح له لا حق لرب المال فيه لأن رب المال عقد القراض على مال لا يملكه فلم يقع الشراء له.
Dan pendapat kedua, bahwa ia berhak atas upah, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, karena pekerjaan dalam qarāḍ menuntut adanya imbalan, maka tidak gugur hanya karena diabaikan, sebagaimana wuṭ’ (hubungan suami-istri) dalam akad nikah.
Jika seseorang memiliki piutang pada orang lain, lalu ia berkata: “Ambillah milikmu dari orang ini,” maka orang itu memisahkan (mengkhususkan) harta tersebut dan melakukan akad qarāḍ dengannya, maka akad qarāḍ tersebut tidak sah, karena ia mengambilnya dari dirinya sendiri untuk orang lain, dan itu tidak sah. Maka ketika ia melakukan akad qarāḍ atas harta yang belum ia miliki, akadnya pun tidak sah.
Jika ‘āmil membeli sesuatu secara fi al-dzimmah (utang), lalu ia membayar harganya dari harta yang telah dipisahkan untuk ṣāḥib al-māl, dan dari transaksi itu muncul keuntungan, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa barang yang dibeli beserta keuntungannya adalah milik ṣāḥib al-māl, karena ‘āmil membelinya untuk ṣāḥib al-māl dengan izinnya, dan ia membayar harganya juga dengan izinnya, dan tanggungannya terbebas dari utang karena ia telah menyerahkan pembayaran kepada penjual dengan izin ṣāḥib al-māl. Maka ‘āmil berhak menuntut ujrah al-mitsl, karena ia bekerja untuk mendapatkan keuntungan namun tidak mendapatkannya, sehingga kembali kepada upah atas kerjanya.
Kedua, bahwa barang yang dibeli beserta keuntungannya adalah milik ‘āmil, dan ṣāḥib al-māl tidak memiliki hak apa pun atasnya, karena ia telah melakukan akad qarāḍ atas harta yang bukan miliknya, sehingga pembelian tersebut tidak terjadi atas nama ṣāḥib al-māl.
فصل: وإن اختلف العامل ورب المال في تلف المال فادعاه العامل وأنكره رب المال أو في الخيانة فادعاها رب المال وأنكر العامل فالقول قول العامل لأنه أمين والأصل عدم الخيانة فكان القول قوله كالمودع.
PASAL: Jika terjadi perselisihan antara ‘āmil dan pemilik harta tentang kerusakan harta, lalu ‘āmil mengakuinya dan pemilik harta mengingkarinya, atau terjadi perselisihan tentang pengkhianatan, lalu pemilik harta menuduhnya dan ‘āmil mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan ‘āmil, karena ia adalah orang yang dipercaya (amīn) dan pada dasarnya tidak ada pengkhianatan, maka pernyataannya yang dipegang, sebagaimana halnya mūdā‘.
فصل: فإن اختلفا في رد المال فادعاه العامل وأنكره رب المال ففيه وجهان: أحدهما لا يقبل قوله لأنه قبض العين لمنفعته فلم يقبل قوله في الرد كالمستعير والثاني يقبل قوله لأن معظم منفعته لرب المال لأن الجميع له إلا السهم الذي جعله للعامل فقبل قوله عليه في الرد كالمودع.
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang pengembalian harta, lalu ‘āmil mengklaim telah mengembalikannya, sedangkan ṣāḥib al-māl mengingkarinya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak diterima pengakuan ‘āmil, karena ia telah menerima barang tersebut untuk kemanfaatannya sendiri, maka tidak diterima pengakuannya dalam hal pengembalian, sebagaimana orang yang meminjam (musta‘īr).
Pendapat kedua: diterima pengakuannya, karena sebagian besar manfaat dari harta tersebut adalah milik ṣāḥib al-māl, sebab seluruh harta adalah miliknya kecuali bagian keuntungan yang diberikan kepada ‘āmil, maka diterima pengakuannya dalam pengembalian, sebagaimana pengakuan mūda‘ (orang yang diberi titipan).
فصل: فإن اختلفا في قدر الربح المشروط فادعى العامل أنه النصف وادعى رب المال أنه الثلث تحالفا لأنهما اختلفا في عوض مشروط في العقدة فتحالفا كالمتبايعين إذا اختلفا في قدر الثمن فإن حلفا صار الربح كله لرب المال ويرجع العامل بأجرة المثل لأنه لم يسلم له المسمى فرجع ببدل عمله.
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang besaran keuntungan yang disyaratkan, lalu ‘āmil mengklaim bahwa bagiannya setengah, sementara pemilik harta mengklaim bahwa hanya sepertiga, maka keduanya saling bersumpah. Karena mereka berselisih tentang imbalan yang disyaratkan dalam akad, maka keduanya saling bersumpah sebagaimana dua orang yang saling berjual beli ketika berselisih tentang besaran harga. Jika keduanya telah bersumpah, maka seluruh keuntungan menjadi milik pemilik harta, dan ‘āmil berhak menuntut upah yang sebanding, karena imbalan yang disyaratkan tidak sah baginya, maka ia berhak menuntut pengganti atas pekerjaannya.
فصل: وإن اختلفا في قدر رأس المال فقال رب المال ألفان وقال العامل ألف فإن لم يكن في المال ربح فالقول قول العامل لأن الأصل عدم القبض فلا يلزمه إلا ما أقر به وإن كان في المال ربح ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول العامل لما ذكرناه والثاني أنهما يتحالفان لأنهما اختلفا فيما يستحقان من الربح فتحالفا كما لو اختلفا في قدر الربح المشروط والصحيح هو الأول لأن الاختلاف في الربح المشروط اختلاف في صفة العقد فتحالفا كالمتبايعين إذا اختلفا في قدر الثمن وهذا اختلاف فيما قبض فكان الظاهر مع الذي ينكر كالمتبايعين إذا اختلفا في قبض الثمن فإن القول قول البائع.
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang jumlah ra’s al-māl, lalu ṣāḥib al-māl berkata: “Dua ribu,” sedangkan ‘āmil berkata: “Seribu,” maka jika tidak ada keuntungan dalam harta tersebut, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan ‘āmil, karena asalnya adalah tidak ada penerimaan, maka ia tidak diwajibkan kecuali atas apa yang ia akui.
Namun jika terdapat keuntungan dalam harta tersebut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: ucapan ‘āmil yang dijadikan pegangan, berdasarkan alasan yang telah disebutkan.
Pendapat kedua: keduanya saling bersumpah, karena mereka berselisih tentang besarnya bagian keuntungan yang menjadi hak masing-masing, maka keduanya saling bersumpah sebagaimana jika berselisih dalam kadar keuntungan yang disyaratkan.
Pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena perselisihan dalam kadar keuntungan yang disyaratkan adalah perselisihan dalam sifat akad, maka keduanya saling bersumpah, sebagaimana dua orang yang melakukan jual beli lalu berselisih dalam kadar harga. Adapun ini adalah perselisihan dalam hal yang telah diterima, maka zhahirnya mendukung pihak yang mengingkari, sebagaimana dua orang yang melakukan jual beli lalu berselisih dalam penerimaan harga, maka ucapan penjual yang dijadikan pegangan.
فصل: وإن كان في المال عبد فقال رب المال اشتريته للقراض وقال العامل اشتريته لنفسي أو قال رب المال اشتريته لنفسك وقال العامل اشتريته للقراض فالقول قول العامل لأنه قد يشتري لنفسه وقد يشتريه للقراض ولا يتميز أحدهما عن الآخر إلا بالنية فوجب الرجوع إليه فإن أقام رب المال البينة أنه اشتراه بمال القراض ففيه وجهان: أحدهما أنه يحكم بالبينة لأنه لا يشتري بمال القراض إلا للقراض والثاني أنه لا يحكم بها لأنه يجوز أن يشتري لنفسه بمال القراض على ووجه التعدي فلا يكون للقراض لبطلان البيع.
PASAL: Jika dalam harta terdapat seorang budak, lalu pemilik harta berkata, “Aku membelinya untuk qarāḍ,” sedangkan ‘āmil berkata, “Aku membelinya untuk diriku sendiri,” atau pemilik harta berkata, “Engkau membelinya untuk dirimu sendiri,” dan ‘āmil berkata, “Aku membelinya untuk qarāḍ,” maka pernyataan yang dipegang adalah pernyataan ‘āmil, karena bisa jadi ia membelinya untuk dirinya sendiri atau untuk qarāḍ, dan keduanya tidak bisa dibedakan kecuali dengan niat, maka harus kembali pada niatnya. Jika pemilik harta mendatangkan bukti bahwa budak itu dibeli dengan harta qarāḍ, maka ada dua pendapat: pertama, keputusan diambil berdasarkan bukti tersebut, karena tidak dibenarkan membeli dengan harta qarāḍ kecuali untuk keperluan qarāḍ; kedua, tidak diputuskan berdasarkan bukti tersebut, karena bisa saja ‘āmil membeli untuk dirinya sendiri dengan harta qarāḍ secara menyimpang, maka pembelian itu tidak termasuk untuk qarāḍ, karena akadnya batal.
فصل: وإن كان في يده عبد فقال رب المال كنت نهيتك عن شرائه وأنكر العامل فالقول قول العامل لأن الأصل عدم النهي ولأن هذا دعوى خيانة والعامل أمين فكان القول فيهما قوله.
PASAL: Jika di tangan ‘āmil terdapat seorang budak, lalu ṣāḥib al-māl berkata: “Aku telah melarangmu membelinya,” namun ‘āmil mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan ‘āmil, karena asalnya tidak ada larangan, dan karena ini merupakan tuduhan khianat, sedangkan ‘āmil adalah orang yang dipercaya, maka dalam kedua hal tersebut ucapan ‘āmil yang dijadikan pegangan.
فصل: وإن قال ربحت في المال ألفاً ثم ادعى أنه غلط فيه أو أظهر ذلك خوفاً من نزع المال من يده لم يقبل قوله لأن هذا رجوع عن الإقرار بالمال لغيره فلم يقبل كما لو أقر لرجل بمال ثم ادعى أنه غلط فإن قال قد كان فيه ربح ولكنه هلك قبل قوله لأن دعوى التلف بعد الإقرار لا تكذب إقراره فقبل.
PASAL: Jika ṣāḥib al-māl berkata, “Aku memperoleh untung seribu dari harta itu,” lalu ia mengaku bahwa ia keliru dalam ucapannya, atau ia menampakkan hal itu karena takut hartanya akan diambil dari tangannya, maka pengakuannya tidak diterima, karena itu merupakan pencabutan dari pengakuan atas hak milik orang lain, maka tidak diterima, sebagaimana seseorang yang mengakui adanya harta milik orang lain lalu mengaku bahwa ia keliru.
Namun jika ia berkata, “Memang ada keuntungan, tetapi telah rusak (hilang),” maka ucapannya diterima, karena pengakuan adanya kerusakan setelah pengakuan tidaklah membatalkan pengakuan sebelumnya, maka diterima.
باب العبد المأذون له في التجارة
لا يجوز للعبد أن يتجر بغير إذن المولى لأن منافعه مستحقة له فلا يملك التصرف فيها بغير إذنه فإن رآه يتجر فسكت لم يصر مأذوناً لأنه تصرف يفتقر إلى الإذن فلم يكن السكوت إذناً فيه كبيع مال الأجنبي فإن اشترى شيئاً في الذمة فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو سعيد الاصطخري وأبو إسحاق لا يصح لأنه عقد معاوضة فلم يصح من العبد بغير إذن المولى كالنكاح وقال أبو علي بن أبي هريرة يصح لأنه محجور عليه لحق غيره فصح شراؤه في الذمة كالمفلس ويخالف النكاح فإنه تنقص به قيمته ويستضر به المولى فلم يصح من غير إذنه
BAB TENTANG BUDAK YANG DIBERI IZIN UNTUK BERDAGANG
Tidak boleh bagi budak berdagang tanpa izin tuannya, karena manfaat dirinya adalah milik tuannya, maka ia tidak memiliki hak bertindak atasnya tanpa izin. Jika tuannya melihatnya berdagang lalu diam saja, maka ia tidak menjadi budak yang diberi izin, karena itu adalah tindakan yang membutuhkan izin, sehingga diamnya tidak dianggap sebagai izin, sebagaimana menjual harta milik orang lain.
Jika budak membeli sesuatu secara dzimmah, maka para sahabat kami berbeda pendapat mengenainya. Abu Sa‘id al-Iṣṭakhrī dan Abu Ishaq berkata: Tidak sah, karena itu adalah akad mu‘āwaḍah (pertukaran), maka tidak sah dilakukan oleh budak tanpa izin tuannya, sebagaimana nikah.
Sedangkan Abu ‘Ali bin Abī Hurairah berkata: Sah, karena larangan terhadapnya adalah demi kepentingan orang lain, maka sah pembeliannya secara dzimmah, seperti orang muflis (bangkrut). Hal ini berbeda dengan nikah, karena nikah dapat mengurangi nilai dirinya dan membahayakan tuannya, maka tidak sah dilakukan tanpa izinnya.
فإن قلنا إنه يصح دخل المبيع في ملك المولى لأنه كسب للعبد فكان للمولى كما لو احتشم أو اصطاد ويثبت الثمن في ذمته لأن إطلاق البيع يقتضي إيجاب الثمن في الذمة فإن علم البائع برقه لم يطالبه حتى يعتق لأنه رضي بذمته فلزمه الصبر إلى أن يقدر كما نقول فيمن باع من رجل ثم أفلس بالثمن وإن قلنا إن الشراء باطل وجب رد المبيع لأنه مقبوض عن بيع فاسد فإن تلف في يد العبد أتبع بقيمته إذا أعتق لأنه رضي بذمته وإن تلف في يد السيد جاز له مطالبة المولى في الحال ومطالبة العبد إذا عتق لأنه ثبتت يد كل واحد منهما عليه بغير حق.
Jika dikatakan bahwa jual belinya sah, maka barang yang dibeli masuk ke dalam milik tuannya, karena itu adalah hasil usaha budak, maka menjadi milik tuannya sebagaimana jika budak berburu atau menangkap sesuatu. Dan harga (barang) itu menjadi tanggungan dalam dzimmah-nya, karena keumuman lafaz akad jual beli mengharuskan adanya kewajiban membayar harga dalam dzimmah.
Jika penjual mengetahui bahwa dia adalah budak, maka ia tidak boleh menagihnya sampai budak itu merdeka, karena ia telah rela dengan tanggungan dzimmah-nya, maka wajib baginya untuk bersabar sampai budak itu mampu, sebagaimana yang kami katakan tentang orang yang menjual kepada seseorang lalu orang itu jatuh bangkrut.
Dan jika dikatakan bahwa jual belinya batal, maka wajib mengembalikan barang yang dibeli, karena ia telah diterima berdasarkan jual beli yang rusak. Jika barang itu rusak di tangan budak, maka budak wajib mengganti dengan nilainya ketika telah merdeka, karena penjual telah rela dengan dzimmah-nya. Dan jika barang itu rusak di tangan tuan, maka penjual boleh menuntut tuannya saat itu juga, dan boleh pula menuntut budak ketika telah merdeka, karena tangan keduanya telah menetapkan barang itu secara tidak sah.
فصل: وإن أذن له في التجارة صح تصرفه لأن الحجر عليه الحق المولى وقد زال وما يكتسبه للمولى لأنه إن دفع إليه مالاً فاشترى به كان المشتري عوض ماله فكان له وإن أذن له في الشراء في الذمة كان المشتري من أكسابه لأنه تناوله الإذن فإن لم يكن في يده شيء اتبع به إذا عتق لأنه دين لزمه برضى من له الحق فتعلق بذمته ولا تباع فيه رقبته لأن المولى لم يأذن له في رقبته فلم يقض منها دينه.
PASAL: Jika tuannya mengizinkannya untuk berdagang, maka sahlah transaksi yang dilakukannya karena larangan atas dirinya adalah hak tuan, dan hak itu telah hilang. Segala sesuatu yang diperolehnya adalah milik tuannya. Sebab jika tuannya memberikan harta kepadanya lalu ia membeli dengannya, maka barang yang dibeli itu sebagai pengganti harta tuannya, sehingga menjadi milik tuan. Dan jika tuan mengizinkannya membeli dengan cara utang (di tanggungan), maka barang yang dibeli termasuk hasil usahanya, karena izin itu mencakupnya. Jika ia tidak memiliki sesuatu pun di tangannya, maka ia ditagih setelah ia merdeka, karena itu adalah utang yang menjadi tanggungannya dengan kerelaan pihak yang berhak, maka utang itu melekat pada tanggungannya. Namun leher (badan)nya tidak dijual untuk membayar utang itu, karena tuannya tidak mengizinkannya menjadikan lehernya sebagai jaminan, maka tidak dibayarkan utangnya dari lehernya.
فصل: ولا يتجر إلا فيما أذن به لأن تصرفه بالإذن فلا يملك إلا ما دخل فيه فإن أذن له في التجارة لم يملك الإجارة ومن أصحابنا من قال يملك إجارة ما يشتريه للتجارة لأنه من فوائد المال فملك العقد عليه كالصوف واللبن والمذهب الأول لأن المأذون فيه هو التجارة والإجارة ليست من التجارة فلم يملك بالإذن من التجارة.
PASAL: Budak tidak boleh berdagang kecuali dalam perkara yang telah diizinkan, karena tindakannya bergantung pada izin, maka ia tidak memiliki hak kecuali pada apa yang termasuk dalam izin tersebut.
Jika tuannya mengizinkannya untuk berdagang, maka ia tidak berhak melakukan akad ijarah (sewa-menyewa). Di antara para sahabat kami ada yang berkata: Ia berhak menyewakan apa yang ia beli untuk perdagangan, karena itu termasuk hasil manfaat dari harta, maka ia boleh mengadakan akad atasnya sebagaimana bulu dan susu.
Namun pendapat yang menjadi madzhab adalah yang pertama, karena yang diizinkan hanyalah berdagang, sedangkan ijarah bukan termasuk dari perdagangan, maka tidak boleh dilakukan berdasarkan izin untuk berdagang.
فصل: ولا يبيع بنسيئة ولا بدون ثمن المثل لأن إطلاق الإذن يحمل على العرف والعرف فيه هو البيع بالنقد وثمن المثل ولأنه يتصرف في حق غيره فلا يملك إلا ما فيه النظر والاحتياط وليس فيما ذكرناه نظر ولا احتياط فلا يملك ولا يسافر بالمال لأن فيه تغريرا بالمال، فلا يملك من غير إذن وإن اشترى من يعتق على مولاه بغير إذن ففيه قولان: أحدهما أنه لا يصح وهو الصحيح لأن الإذن في التجارة يقتضي ما ينتفع به ويربح فيه وهذا لا يوجد فيمن يعتق عليه
PASAL: Dan tidak boleh menjual dengan cara nasī`ah (tempo) dan tidak pula dengan harga di bawah harga pasar, karena keumuman izin dibawa kepada kebiasaan, dan kebiasaan dalam hal ini adalah jual beli secara tunai dan dengan harga pasar. Dan karena ia bertindak dalam hak orang lain, maka ia tidak memiliki wewenang kecuali pada hal yang mengandung maslahat dan kehati-hatian. Sedangkan pada perkara yang disebutkan itu tidak terdapat maslahat dan kehati-hatian, maka tidak diperbolehkan.
Dan tidak boleh safar membawa harta, karena hal itu mengandung risiko terhadap harta, maka ia tidak berhak melakukannya tanpa izin.
Dan jika ia membeli seseorang yang apabila dibeli maka ia akan merdeka bagi tuannya, tanpa izin, maka terdapat dua pendapat: salah satunya adalah tidak sah, dan inilah yang ṣaḥīḥ, karena izin dalam perdagangan mengandung makna untuk memperoleh manfaat dan keuntungan, dan hal ini tidak terdapat pada orang yang jika dibeli maka ia menjadi merdeka bagi tuannya.
والثاني أنه يصح لأن العبد لا يصح منه الشراء لنفسه فإذا أذن له فقد أقامه مقام نفسه فوجب أن يملك جميع ما يملك فإن قلنا يصح فإن لم يكن عليه دين عتق وإن كان عليه دين ففيه قولان: أحدهما يعتق لأنه ملكه والثاني لا يعتق لأن حقوق الغرماء تعلقت به فإن اشتراه بإذنه صح الشراء فإن لم يكن عليه دين عتق عليه وإن كان عليه دين فعلى القولين ومتى صح العتق لزمه أن يغرم قيمته للغرماء لأنه أسقط حقه منهم بالعتق.
dan yang kedua: bahwa jual belinya sah karena budak tidak sah membeli untuk dirinya sendiri, maka jika tuannya mengizinkannya, berarti dia telah menempatkannya sebagai wakil dari dirinya, sehingga wajib dimiliki semua yang dimilikinya. Maka jika kita katakan bahwa jual belinya sah, jika tidak ada utang atasnya maka ia merdeka, dan jika ia memiliki utang maka ada dua pendapat: pertama, ia tetap merdeka karena dia telah menjadi miliknya; dan kedua, tidak merdeka karena hak para kreditur telah melekat padanya. Jika ia membelinya dengan izin dari tuannya, maka jual belinya sah; jika tidak ada utang atasnya maka ia merdeka; dan jika ada utang maka berlaku dua pendapat di atas. Dan kapan pun kemerdekaan itu sah, maka ia wajib mengganti nilainya kepada para kreditur karena ia telah menggugurkan hak mereka dengan kemerdekaan tersebut.
فصل: وإذا اكتسب العبد مالاً بأن احتش أو اصطاد أو عمل في معدن فأخذ منه مالاً أو ابتاع أو اتهب أو أوصى له بمال فقبل دخل ذلك في ملك المولى لأنها اكتساب ماله فكانت له فإن ملكه مالاً ففيه قولان: قال في القديم يملكه لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من باع عبداً وله مال فماله للبائع إلا أن يشترطه المبتاع” ولأنه يملك البضع فملك المال كالحر
PASAL: Apabila seorang budak memperoleh harta, baik dengan mengumpulkan kayu bakar, berburu, bekerja di pertambangan lalu memperoleh harta darinya, atau dengan membeli, menerima hadiah, atau diberi wasiat lalu ia menerimanya, maka seluruh harta itu menjadi milik tuannya, karena ia merupakan hasil usaha budak, maka hasilnya menjadi milik tuannya. Namun jika ia diberi harta (secara langsung sebagai milik), maka terdapat dua pendapat: dalam pendapat al-qadīm, ia memilikinya, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya milik penjual, kecuali bila pembeli mensyaratkannya.” Dan karena budak memiliki hak atas kemaluannya (al-buḍ‘u), maka ia pun dapat memiliki harta sebagaimana orang merdeka.
وقال في الجديد: لا يملك لأنه سبب يملك به المال فلا يملك به العبد كالإرث فإن ملكه جارية وأذن له في وطئها ملك وطئها في قوله القديم ولا يملك في الجديد وإن ملكه نصاباً لم يجب زكاته على المولى في قوله القديم ويجب في الجديد فإن وجب كفارة عليه كفر بالطعام والكسوة في قوله القديم وكفر بالصوم في قوله الجديد وأما العتق فلا يكفر به على القولين لأن العتق يتضمن الولاء والعبد ليس من أهل الولاء وإن باعه وشرط المبتاع ماله جاز في قوله القديم أن يكون المال مجهولاً لأنه تابع ولا يجوز في الجديد لأنه غير تابع والله أعلم.
Dan dalam pendapat al-jadīd, ia tidak memilikinya, karena ia merupakan sebab yang menjadikan seseorang memiliki harta, maka tidak menjadikan budak memilikinya, sebagaimana warisan. Maka jika tuan menghadiahkan seorang jariah kepadanya dan mengizinkannya untuk menyetubuhinya, maka menurut al-qadīm ia boleh menyetubuhinya, dan menurut al-jadīd tidak boleh. Dan jika tuannya memberinya harta sejumlah niṣāb, maka menurut al-qadīm tidak wajib atas tuannya mengeluarkan zakat, sedangkan menurut al-jadīd wajib. Dan jika wajib membayar kafarat atasnya, maka ia menunaikannya dengan makanan atau pakaian menurut al-qadīm, dan dengan puasa menurut al-jadīd. Adapun kafarat dengan membebaskan budak, maka tidak sah menurut kedua pendapat, karena pembebasan budak mengandung konsekuensi walā’, sementara budak bukan termasuk orang yang berhak mendapatkan walā’. Dan jika tuannya menjual budak lalu pembeli mensyaratkan kepemilikan harta (budak tersebut), maka menurut al-qadīm boleh hartanya tidak diketahui karena ia dianggap sebagai pengikut (tambahan), sedangkan dalam al-jadīd tidak boleh karena ia bukan termasuk pengikut. Wallāhu a‘lam.
تجوز المساقاة على النخل لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم عامل أهل خيبر على شطر ما يخرج منها من ثمر وزرع وتجوز على الكرم لأنه شجر تجب الزكاة في ثمرته فجازت المساقاة عليه كالنخيل وتجوز على الفسلان وصغار الكرم إلى وقت أن تحمل لأنه بالعمل عليها تحصل الثمرة كما تحصل بالعمل على النخل والكرم ولا تجوز على المباطخ والمقاثئ والعلف وقصب السكر لأنها بمنزلة الزرع فكان المساقاة عليها كالمخابرة على الزرع واختلف قوله في سائر الأشجار المثمرة كالتين والتفاح
Kitab al-Musāqah
Boleh melakukan musāqah atas pohon kurma, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bermuamalah dengan penduduk Khaibar atas setengah dari hasil kurma dan tanaman yang keluar dari situ. Dan boleh pula atas pohon anggur, karena ia adalah pohon yang zakat diwajibkan atas buahnya, maka boleh dilakukan musāqah atasnya sebagaimana pohon kurma. Dan boleh pula atas tunas-tunas dan bibit pohon anggur sampai waktu berbuah, karena dengan pekerjaan atasnya dapat menghasilkan buah, sebagaimana hasil pekerjaan atas pohon kurma dan anggur.
Tidak boleh dilakukan atas pohon semangka, mentimun, rumput pakan, dan tebu, karena ia seperti tanaman biji-bijian, maka musāqah atasnya seperti mukhābarah atas tanaman.
Dan terdapat perbedaan pendapat dalam hal pohon-pohon berbuah lainnya seperti pohon tin dan apel.
فقال في القديم تجوز المساقاة عليها لأنه شجر مثمر فأشبه النخل والكرم وقال في الجديد لا تجوز لأنه لا تجب الزكاة في ثماره فلم تجز المساقاة عليه كالغرب والخلاف واختلف قوله في المساقة على الثمرة الظاهرة فقال في الأم تجوز لأنه إذا جاز على الثمرة المعدومة مع كثرة الغرر فلأن تجوز على الثمرة الموجدة وهي من الغرر أبعد أولى وقال في البويطي لا تجوز لأن المساقاة عقد على غرر وإنما أجيز على الثمرة المعدومة للحاجة إلى استخراجها بالعمل فإذا ظهرت الثمرة زالت الحاجة فلم تجز.
Maka beliau berkata dalam qaul qadīm: boleh melakukan musāqah atasnya karena ia adalah pohon yang berbuah, maka ia serupa dengan pohon kurma dan anggur. Dan beliau berkata dalam qaul jadīd: tidak boleh, karena tidak wajib zakat atas buahnya, maka tidak boleh dilakukan musāqah atasnya sebagaimana pohon gharb dan khilāf.
Dan terdapat perbedaan pendapat beliau tentang musāqah atas buah yang telah tampak. Beliau berkata dalam al-Umm: boleh, karena jika dibolehkan atas buah yang belum tampak padahal mengandung banyak gharār, maka membolehkannya atas buah yang sudah tampak—yang gharār-nya lebih ringan—lebih utama. Dan beliau berkata dalam al-Buwayṭī: tidak boleh, karena musāqah adalah akad yang mengandung gharār, dan hanya dibolehkan atas buah yang belum tampak karena ada kebutuhan untuk mengeluarkannya melalui pekerjaan. Maka jika buah telah tampak, kebutuhan itu hilang, maka tidak boleh.
فصل: ولا تجوز إلا على شجر معلوم وإن قال ساقيتك على أحد هذين الحائطين لم يصح لأنها معاوضة يخلف الغرض فيها باختلاف الأعيان فلم يجز على حائط غير معين كالبيع وهل يجوز على حائط معين لم يره؟ فيه طريقان: أحدهما أنه على قولين كالبيع والثاني أنه لا يصح قولاً واحداً لأن المساقاة معقودة على الغرر فلا يجوز أن يضاف إليها الغرر لعدم الرؤية بخلاف البيع.
PASAL: Tidak sah musāqāh kecuali atas pohon yang diketahui (dengan jelas). Jika seseorang berkata, “Aku musāqāh-kan engkau atas salah satu dari dua kebun ini,” maka tidak sah, karena ini adalah akad pertukaran yang tujuan (dan manfaatnya) berbeda-beda menurut perbedaan objek (‘ayn), maka tidak sah atas kebun yang tidak ditentukan, sebagaimana dalam jual beli. Apakah sah musāqāh atas kebun tertentu yang belum dilihat? Dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, bahwa ada dua pendapat sebagaimana dalam jual beli; dan kedua, bahwa tidak sah secara mutlak, karena musāqāh adalah akad yang mengandung gharār, maka tidak boleh ditambah dengan gharār karena tidak melihatnya, berbeda dengan jual beli.
فصل: ولا تجوز إلا على مدة معلومة لأنه عقد لازم فلو جوزناه مصلقاً استبد العامل بالأصل فصار كالمالك ولا تجوز إلا على أقل من مدة توجد فيها الثمرة فإن ساقاه على النخل أو على الودي إلى مدة لا تحمل لم يصح لأن يشتركا في الثمرة وذلك لا يوجد فإن عمل العامل فهل يستحق أجرة المثل؟ فيه وجهان: أحدهما لا يستحق وهو قول المزني لأنه رضي أن يعمل بغير عوض فلم يستحق لأجرة كالمتطوع في غير المساقاة
PASAL: Tidak sah musāqāh kecuali dengan jangka waktu yang diketahui, karena ia merupakan akad yang mengikat. Maka jika dibolehkan secara mutlak, niscaya pekerja akan menguasai pokok tanaman seperti seorang pemilik. Dan tidak sah kecuali pada jangka waktu yang lebih lama dari masa munculnya buah. Maka jika ia melakukan musāqāh atas pohon kurma atau pohon al-wadī untuk masa yang belum berbuah, maka tidak sah, karena maksud dari musāqāh adalah berbagi hasil buah, dan hal itu tidak terjadi. Jika pekerja telah bekerja, apakah ia berhak atas upah sepadan (ujrah al-mitsl)? Dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, tidak berhak, dan ini adalah pendapat al-Muzanī, karena ia rela bekerja tanpa imbalan, maka tidak berhak atas upah sebagaimana sukarelawan dalam selain musāqāh.
والثاني أنه يستحق وهو قول أبي العباس لأن العمل في المساقاة يقتضي العوض فلا يسقط بالرضا بتركه كالوطء في النكاح وإن ساقاه إلى مدة قد تحمل وقد لا تحمل ففيه وجهان: أحدهما أنها تصح لأنه عقد إلى مدة يرجى فيها وجود الثمرة فأشبه إذا ساقاه إلى مدة توجد الثمرة فيها في الغالب والثاني أنها لا تصح وهو قول أبي إسحاق لأنه عقد على عوض موجود ولا الظاهر وجوده فلم يصح كما لو أسلم في معدوم إلى محل لا يوجد في الغالب فعلى هذا إن عمل استحق أجرة المثل لأنه لم يرض أن يعمل من غير ربح ولم يسلم له الربح فرجع إلى بدل عمله واختلف قوله في أكثر مدة الإجارة والمساقاة فقال في موضع سنة
dan yang kedua bahwa ia berhak mendapatkannya, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbās, karena pekerjaan dalam musāqāh menuntut adanya imbalan, maka tidak gugur hanya karena rela meninggalkannya, sebagaimana wath’ dalam pernikahan.
Dan jika ia melakukan musāqāh untuk jangka waktu yang kemungkinan akan berbuah dan kemungkinan tidak, maka ada dua pendapat:
Pertama, akadnya sah, karena merupakan akad untuk jangka waktu yang diharapkan adanya buah, maka serupa dengan musāqāh pada jangka waktu yang biasanya buah itu ada.
Kedua, akadnya tidak sah, dan ini adalah pendapat Abu Ishāq, karena ini adalah akad atas imbalan yang sudah ada (yakni buah), padahal tidak tampak wujudnya, maka tidak sah, sebagaimana salam pada barang yang tidak ada sampai waktu yang biasanya tidak ditemukan.
Berdasarkan pendapat ini, jika pekerja telah bekerja, maka ia berhak mendapat ujrah al-mitsl, karena ia tidak rela bekerja tanpa memperoleh keuntungan, dan keuntungan tidak jadi miliknya, maka ia kembali kepada pengganti pekerjaannya.
Dan imam berbeda pendapat dalam hal maksimal masa ijarah dan musāqāh, beliau berkata di suatu tempat: setahun.
وقال في موضع يجوز ما شاء وقال في موضع يجوز ثلاثين سنة فمن أصحابنا من قال فيه ثلاثة أقوال: أحدها لا تجوز بأكثر من سنة لأنه عقد على غرر أجيز للحاجة ولا تدعو الحاجة إلى أكثر من سنة لأن منافع الأعيان تتكامل في سنة والثاني تجوز ما بقيت العين لأن كل عقد جاز إلى سنة جاز إلى أكثر منها كالكتابة والبيع إلى أجل والثالث أنها لا تجوز أكثر من ثلاثين سنة لأن الثلاثين شطر العمر ولا تبقى الأعيان على صفة أكثر من ذلك ومنهم من قال هي على القولين الأولين
dan beliau berkata di satu tempat: boleh selama yang dikehendaki, dan di tempat lain: boleh sampai tiga puluh tahun. Maka sebagian dari para sahabat kami mengatakan bahwa dalam masalah ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, tidak boleh lebih dari setahun, karena ini adalah akad yang mengandung gharār yang dibolehkan karena kebutuhan, dan kebutuhan tidak menuntut lebih dari setahun, karena manfaat barang biasanya sempurna dalam waktu setahun.
Kedua, boleh selama benda itu masih ada, karena setiap akad yang boleh sampai setahun, boleh juga lebih dari itu, seperti kitābah dan jual beli dengan tempo.
Ketiga, tidak boleh lebih dari tiga puluh tahun, karena tiga puluh tahun adalah setengah umur, dan benda tidak akan bertahan dalam kondisi yang sama lebih dari itu.
Dan sebagian mereka mengatakan bahwa dalam hal ini hanya ada dua pendapat pertama.
وأما الثلاثون فإنما ذكره على سبيل التكثير لا على سبيل التجديد وهو الصحيح فإن ساقاه إلى سنة لم يجب ذكر قسط كل شهر لأن شهور السنة لا تختلف منافعها وإن ساقاه إلى سنتين ففيه قولان: أحدهما لا يجب ذكر كل سنة كما إذا اشترى أعياناً بثمن واحد لم يجب ذكر قسط كل عين منها والثاني يجب لأن المنافع تختلف باختلاف السنين فإذا لم يذكر قسط كل سنة لم نأمن أن ينفسخ العقد فلا يعرف ما يرجع فيه من العوض ومن أصحابنا من قال القولان في الإجارة فأما في المساقاة فإنه يجب ذكر قسط كل سنة من العوض لأن الثمار تختلف باختلاف السنين والمنافع لا تختلف في العادة باختلاف السنين.
Adapun tiga puluh (tahun), maka yang beliau sebut hanyalah dalam rangka menunjukkan banyaknya, bukan sebagai batasan yang pasti, dan inilah yang shahih.
Maka jika ia melakukan musāqāh untuk satu tahun, tidak wajib menyebutkan bagian (imbalan) tiap bulan, karena bulan-bulan dalam satu tahun tidak berbeda manfaatnya.
Namun jika ia melakukan musāqāh selama dua tahun, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak wajib menyebutkan bagian tiap tahun, sebagaimana jika seseorang membeli beberapa barang dengan satu harga, maka tidak wajib menyebutkan bagian harga masing-masing barang.
Kedua, wajib menyebutkan bagian tiap tahun, karena manfaat berbeda-beda sesuai perbedaan tahun, sehingga jika tidak disebutkan bagian tiap tahun, maka dikhawatirkan akadnya batal dan tidak diketahui imbalan apa yang harus dikembalikan.
Dan sebagian sahabat kami berkata: dua pendapat itu berlaku dalam ijārah, adapun dalam musāqāh, maka wajib menyebutkan bagian tiap tahun dari imbalan, karena buah-buahan berbeda-beda sesuai perubahan tahun, sedangkan manfaat (dalam ijārah) biasanya tidak berubah seiring pergantian tahun.
فصل: وإذا ساقاه إلى عشر سنين فانقضت المدة ثم أطلعت ثمرة السنة العاشرة لم يكن للعامل فيها حق لأنها ثمرة حدثت بعد انقضاء العقد إن طلعت قبل انقضاء المدة وانقضت المدة هي طلع أو بلح تعلق به حق العامل لأنها حدثت قبل انقضاء المدة.
PASAL: Jika ia melakukan musāqāh hingga sepuluh tahun, lalu masa itu berakhir kemudian tampak buah pada tahun kesepuluh, maka pekerja tidak memiliki hak atasnya karena buah tersebut muncul setelah berakhirnya akad. Namun, jika buah itu muncul sebelum berakhirnya masa akad dan masa akad berakhir dalam keadaan buah tersebut masih ṭal‘ atau balaḥ, maka pekerja memiliki hak atasnya karena buah itu muncul sebelum berakhirnya masa akad.
فصل: ولا تجوز إلا على جزء معلوم فإن ساقاه على جزء مقدر كالنصف والثلث جاز لحديث ابن عمر فإن عقد على جزء غير مقدر كالجزء والسهم والنصيب لم يصح لأن ذلك يقع على القليل والكثير فيعظم الغرر وإن ساقاه على صاع معلوم لم يصح لأنه ربما لم يحصل ذلك فيستضر العامل وربما لا يحصل إلا ذلك فيستضر رب النخل وإن ساقاه على أن له ثمر نخلات بعينها لم يصح لأنه قد لا تحمل تلك النخلات فيستضر العامل أو لا يحمل إلا هي فيستضر رب النخل وإن ساقاه عشر سنين وشرط له ثمرة السنة غير السنة العاشرة لم يصح لأنه شرط عليه بعد حقه عملاً لا يستحق عليه عوضاً وإن شرط له ثمرة السنة العاشرة ففيه وجهان: أحدهما أنه يصح كما يصح أن يعمل في جميع السنة وإن كانت الثمرة في بعضها والثاني لا يصح لأنه يعمل فيها مدة تثمر فيها ولا يستحق شيئاً من ثمرها.
PASAL: Tidak sah musāqāh kecuali atas bagian yang diketahui. Maka jika ia melakukan musāqāh atas bagian yang ditentukan seperti setengah atau sepertiga, maka sah, berdasarkan hadis Ibn ‘Umar.
Namun jika akad dilakukan atas bagian yang tidak ditentukan, seperti “bagian”, “saham”, atau “nasib” (bagian takar), maka tidak sah, karena itu bisa berarti sedikit maupun banyak, sehingga mengandung gharār yang besar.
Dan jika ia melakukan musāqāh dengan syarat mendapat satu ṣā‘ yang tertentu, maka tidak sah, karena bisa jadi tidak didapatkan takaran tersebut sehingga merugikan pekerja, dan bisa jadi tidak didapatkan selain itu sehingga merugikan pemilik pohon kurma.
Jika ia melakukan musāqāh selama sepuluh tahun, dan disyaratkan bahwa pekerja hanya mendapat buah dari sembilan tahun pertama, tidak termasuk tahun kesepuluh, maka tidak sah, karena berarti pekerja tetap bekerja di tahun kesepuluh tanpa imbalan yang berhak ia dapatkan.
Namun jika disyaratkan bahwa ia hanya mendapatkan buah dari tahun kesepuluh saja, maka ada dua pendapat:
Pertama, akadnya sah, sebagaimana sah bekerja sepanjang tahun walaupun buahnya hanya muncul di sebagian tahun.
Kedua, tidak sah, karena ia bekerja selama masa berbuah namun tidak mendapatkan sedikit pun dari buah tersebut.
فصل: ولا يصح إلا على عمل معلوم فإن قال إن سقيته بالسيح فلك الثلث وإن سقيته بالناضح فلك النصف لم يصح لأنه عقد على مجهول.
فصل: وتنعقد بلفظ المساقاة لأنه موضوع له وتنعقد بما يؤدي معناه لأن القصد منه المعنى فصح بما دل عليه فإن قال استأجرتك لتعمل فيه على نصف ثمرته لم تصح لأنه عقد الأجارة بعوض مجهول القدر فلم تصح.
PASAL: Tidak sah musāqāh kecuali atas pekerjaan yang diketahui. Jika ia berkata, “Jika engkau menyiramnya dengan saluran (al-sayḥ) maka engkau mendapat sepertiga, dan jika engkau menyiramnya dengan timba (al-nāḍiḥ) maka engkau mendapat separuh,” maka tidak sah karena itu adalah akad atas sesuatu yang majhul (tidak jelas).
PASAL: Akad musāqāh sah dengan lafaz musāqāh karena memang lafaz itu diperuntukkan baginya. Akad ini juga sah dengan lafaz lain yang menunjukkan maknanya, karena yang dimaksud adalah maknanya, maka sah dengan lafaz yang menunjukkan makna tersebut. Jika ia berkata, “Aku menyewamu untuk bekerja di kebun ini dengan imbalan separuh dari buahnya,” maka tidak sah karena itu adalah akad ijarah dengan imbalan yang tidak diketahui kadar pastinya, maka tidak sah.
فصل: ولا يثبت فيه خيار الشرط لأنه إذا فسخ لم يمكن رد المعقود عليه وفي خيار المجلس وجهان: لأحدهما يثبت فيه لأنه عقد لازم يقصد به المال فيثبت فيه خيار المجلس كالبيع والثاني لا يثبت لأنه عقد لا يعتبر فيه قبض العوض في المجلس فلو ثبت خيار المجلس لثبت فيه خيار الشرط كالبيع.
PASAL: Tidak berlaku khiyār syarṭ dalam musāqāh, karena jika dibatalkan, tidak mungkin mengembalikan objek akad.
Adapun khiyār majlis, terdapat dua pendapat:
Pertama, berlaku khiyār majlis padanya, karena ia merupakan akad yang mengikat dan bertujuan mendapatkan harta, maka berlaku padanya khiyār majlis sebagaimana dalam jual beli.
Kedua, tidak berlaku, karena ini adalah akad yang tidak mensyaratkan penyerahan imbalan di majelis akad. Maka jika khiyār majlis ditetapkan padanya, niscaya khiyār syarṭ juga akan ditetapkan sebagaimana dalam jual beli.
فصل: وإذا تم العقد لم يجز لواحد منهما فسخه لأن النماء متأخر عن العمل فلو قلنا إنه يملك الفسخ لم يأمن أن يفسخ بعد العمل ولا تحصل له الثمرة.
PASAL: Jika akad telah sempurna, maka tidak boleh bagi salah satu dari keduanya membatalkannya, karena pertumbuhan hasil terjadi setelah adanya pekerjaan. Maka, jika dikatakan bahwa salah satu dari keduanya berhak membatalkan, tidak terjamin bahwa ia tidak akan membatalkannya setelah pekerjaan dilakukan, sehingga pekerja tidak mendapatkan buahnya.
فصل: وعلى العامل أن يعمل ما فيه مستزاد في الثمرة من التلقيح وصرف الجريد وإصلاح الأجاجين وتنقية السواقي والسقي وقع الحشيش المضر بالنخل وعلى رب النخل عمل ما فيه حفظ الأصل من سد الحيطان ونصب الدولاب وشراء الثيران لأن ذلك يراد لحفظ الأصل ولهذا من يريد إنشاء بستان فعل هذا كله واختلف أصحابنا في الجذاذ واللقاط فمنهم من قال لا يلزم العامل ذلك لأن ذلك يحتاج إليه بعد تكامل النماء ومنهم من قال يلزمه لأنه لا تستغني عنه الثمرة.
PASAL: Wajib atas pekerja melakukan semua pekerjaan yang dapat menambah buah, seperti taqlīḥ (penyerbukan), memangkas pelepah kurma, memperbaiki al-ajājīn (saluran lumpur), membersihkan aliran air, menyiram pohon, dan mencabut rumput yang merugikan pohon kurma.
Adapun pemilik pohon kurma, maka ia berkewajiban melakukan segala hal yang berkaitan dengan penjagaan pokok tanaman, seperti menutup pagar, memasang alat timba air (al-dawwālīb), dan membeli sapi, karena semua itu ditujukan untuk menjaga pokok tanaman. Oleh karena itu, siapa saja yang hendak membuat kebun baru pasti melakukan semua hal tersebut.
Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai al-jadhād (memanen buah kurma) dan al-luqāṭ (mengumpulkan buah yang gugur). Sebagian mereka berkata: itu tidak wajib atas pekerja, karena pekerjaan tersebut dibutuhkan setelah pertumbuhan buah sempurna. Dan sebagian lain berkata: itu wajib atasnya, karena buah tidak bisa lepas dari kebutuhan terhadap pekerjaan tersebut.
فصل: وإن شرط العامل في القراض والمساقاة أن يعمل معه رب المال لم يصح لأن موضوع العقد أن يكون المال من رب المال والعمل من العامل فإذا لم يجز شرط المال على العامل لم يجز شرط العمل على رب المال وإن شرط أن يعمل معه غلمان رب المال فقد نص في المساقاة أنه يجوز واختلف أصحابنا فيها على ثلاثة أوجه فمنهم من قال لا يجوز فيهما لأن عمل الغلمان كعمل رب المال فإذا لم يجز شرط عمله لم يجز شرط عمل غلمانه وحمل قوله في المساقاة على أنه أراد ما يلزم رب المال من سد الحيطان وغيره
PASAL: Jika pekerja (ʿāmil) dalam qarāḍ dan musāqāh mensyaratkan agar pemilik modal ikut bekerja bersamanya, maka tidak sah, karena maksud akad ini adalah agar modal berasal dari pemilik modal dan pekerjaan dari pekerja. Maka sebagaimana tidak sah mensyaratkan modal atas pekerja, tidak sah pula mensyaratkan pekerjaan atas pemilik modal. Jika disyaratkan agar para budak milik pemilik modal bekerja bersamanya, maka dalam musāqāh telah dinyatakan bahwa hal itu boleh. Para sahabat kami berselisih pendapat dalam hal ini menjadi tiga pendapat: di antara mereka ada yang berkata bahwa hal itu tidak boleh dalam keduanya, karena pekerjaan budak seperti pekerjaan pemilik modal. Maka ketika tidak boleh mensyaratkan pekerjaannya, tidak boleh pula mensyaratkan pekerjaan budaknya. Mereka menafsirkan perkataannya dalam musāqāh bahwa yang dimaksud adalah kewajiban yang memang dibebankan kepada pemilik modal, seperti menambal tembok dan semisalnya.
والثاني يجوز فيهما لأن غلمانه ماله فجاز أن يجعل تابعاً لماله كالثور والدولاب والحمار لحمل المتاع بخلاف رب المال فإنه مالك فلا يجوز أن يجعل تابعاً لماله والثالث أنه يجوز في المساقاة ولا يجوز في القراض لأن في المساقاة ما يلزم رب المال من سد الحيطان وغيره فجاز أن يشترط فيها عمل غلمانه وليس في القراض ما يلزم رب المال فلم يجر شرط غلمانه
dan pendapat kedua: boleh dalam keduanya (qarāḍ dan musāqāh), karena para budaknya adalah miliknya, maka boleh dijadikan sebagai pelengkap hartanya, sebagaimana halnya lembu, alat timba (dawláb), dan keledai untuk mengangkut barang. Berbeda halnya dengan pemilik modal, karena dia adalah pemilik (orang merdeka), maka tidak boleh dijadikan pelengkap hartanya.
Dan pendapat ketiga: boleh dalam musāqāh dan tidak boleh dalam qarāḍ, karena dalam musāqāh ada hal-hal yang memang menjadi kewajiban pemilik modal seperti menambal tembok dan semisalnya, maka boleh disyaratkan pekerjaan budak-budaknya di dalamnya. Sedangkan dalam qarāḍ tidak ada kewajiban atas pemilik modal, maka tidak berlaku syarat pekerjaan budak-budaknya.
فإذا قلنا إنه يجوز لم يصح حتى تعرف الغلمان بالؤية أو الوصف ويجب أن يكون الغلمان تحت أمر العامل وأما نفقتهم فإنه إن شرط على العامل جاز لأن بعملهم ينحفظ الأصل وتزكو الثمرة وإن لم يشرط ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنها على العامل لأن العمل مستحق عليه فكانت النفقة عليه والثاني أنها على رب المال لأنه شرط عملهم عليه فكانت النفقة عليه والثالث أنها من الثمرة لأن عملهم على الثمرة فكانت النفقة منها.
Maka jika dikatakan bahwa hal itu boleh, maka tidak sah kecuali para budak itu dikenali dengan penglihatan langsung atau dengan sifat (deskripsi), dan harus berada di bawah perintah pekerja (ʿāmil). Adapun nafkah mereka, jika disyaratkan atas pekerja maka boleh, karena dengan pekerjaan mereka terjaga pokok tanaman dan tumbuh buahnya. Namun jika tidak disyaratkan, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, nafkah itu ditanggung oleh pekerja karena pekerjaan wajib atasnya, maka nafkah pun menjadi tanggungannya.
Kedua, nafkah itu ditanggung oleh pemilik modal karena dialah yang mensyaratkan pekerjaan mereka, maka nafkah pun menjadi tanggungannya.
Ketiga, nafkah itu diambil dari hasil buah karena pekerjaan mereka untuk buah tersebut, maka nafkahnya pun berasal dari buah itu.
فصل: وإذا ظهرت الثمرة ففيه طريقان: من أصحابنا من قال هي على القولين في العامل في القراض أحدهما تملك في الظهور والثاني بالتسليم ومنهم من قال في المساقاة تملك في الظهور قولاً واحداً لأن الثمرة لم تجعل وقاية لرأس المال فملك بالظهور والربع جعل وقاية لرأس المال فلم يملك بالظهور في أحد القولين.
PASAL: Jika buah telah tampak, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat. Sebagian dari kalangan kami berkata bahwa hukumnya mengikuti dua pendapat dalam masalah pekerja (‘āmil) dalam qarāḍ: pendapat pertama, kepemilikan terjadi dengan tampaknya buah; pendapat kedua, dengan penyerahan. Dan sebagian dari mereka berkata bahwa dalam musāqāh, kepemilikan terjadi dengan tampaknya buah menurut satu pendapat saja, karena buah tidak dijadikan sebagai penjaga (wiqāyah) bagi pokok modal, maka ia dimiliki dengan tampaknya. Adapun keuntungan (ribh) dijadikan sebagai penjaga bagi pokok modal, maka tidak dimiliki hanya dengan tampaknya menurut salah satu dari dua pendapat.
فصل: والعامل أمين فيما يدعي من هلاك وفيما يدعى عليه من خيانة لأنه ائتمنه رب المال فكان القول قوله فإن ثبتت خيانته ضم إليه من يشرف عليه ولا تزال يده لأن العمل مستحق عليه ويمكن استيفاؤه منه فوجب أن يستوفي وإن لم ينحفظ استؤجر عليه من ماله من يعمل عنه لأنه لا يمكن استيفاء العمل بفعله فاستوفى بغيره.
PASAL: Pekerja (ʿāmil) adalah orang yang dipercaya dalam klaim kerusakan (harta) dan dalam tuduhan khianat, karena pemilik modal telah mempercayainya, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataannya. Namun jika terbukti pengkhianatannya, maka ditambahkan orang yang mengawasinya, dan tidak dicabut kekuasaannya (atas pekerjaan), karena pekerjaan itu adalah kewajiban atasnya dan masih memungkinkan untuk dipenuhi darinya, maka wajib untuk dipenuhi. Jika tidak dapat dijaga, maka diupahkan dari hartanya orang lain untuk menggantikan pekerjaannya, karena tidak memungkinkan mengambil pekerjaan itu langsung dari dirinya, maka diambil dari selainnya.
فصل: وإنه هرب رفع الأمر إلى الحاكم ليستأجر من ماله من يعمل عنه فإن لم يكن مال اقترض عليه فإن لم يجد من يقرضه فلرب النخل أن يفسخ لأنه تعذر استيفاء المعقود عليه فثبت له الفسخ كما لو اشترى عبداً فأبق من يد البائع فإن فسخ نظرت فإن لم تظهر الثمرة فهي لرب النخل لأن العقد زال قبل ظهورها وللعامل أجرة ما عمل وإن ظهرت الثمرة فهي بينهما فإن عمل فيه رب النخل أو استأجر من عمل فيه بغير إذن الحاكم لم يرجع لأنه متبرع وإن لم يقدر على إذن الحاكم فإن لم يشهد لم يرجع لأنه متبرع وإن أشهد ففيه وجهان: أحدهما يرجع لأنه موضع ضرورة والثاني لا يرجع لأنه يصير حاكماً لنفسه على غيره وهذا لا يجوز لا لضرورة ولا لغيرها.
PASAL: Jika pekerja melarikan diri, maka perkara tersebut diajukan kepada hakim agar menyewa dari hartanya seseorang yang dapat bekerja menggantikan dia. Jika ia tidak memiliki harta, maka hakim meminjamkan atas tanggungannya. Jika tidak ada yang bersedia meminjamkannya, maka pemilik pohon kurma boleh membatalkan akad karena telah terjadi halangan untuk memenuhi isi akad, maka tetap baginya hak membatalkan sebagaimana jika seseorang membeli budak lalu budak tersebut lari dari tangan penjual.
Jika pemilik pohon membatalkan, maka diperhatikan: jika buah belum tampak, maka buah itu milik pemilik pohon karena akad telah batal sebelum tampaknya buah, dan bagi pekerja diberikan upah atas pekerjaannya. Jika buah telah tampak, maka buah itu milik bersama antara keduanya.
Jika pemilik pohon bekerja sendiri atau menyewa orang lain untuk bekerja tanpa izin hakim, maka ia tidak boleh menuntut ganti karena dianggap sebagai orang yang berbuat secara sukarela (mutabarri‘). Jika ia tidak mampu mendapatkan izin hakim, dan ia tidak menghadirkan saksi, maka ia juga tidak boleh menuntut ganti karena dianggap sebagai orang yang berbuat secara sukarela. Namun jika ia menghadirkan saksi, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia boleh menuntut ganti karena situasinya darurat; kedua, tidak boleh karena ia menjadi hakim atas dirinya sendiri terhadap orang lain, dan ini tidak diperbolehkan, baik dalam kondisi darurat maupun tidak.
فصل: وإن مات العامل قبل الفراغ فإن تمم الوارث العمل استحق نصيبه من الثمرة وإن لم يعمل فإن كان له تركة استؤجر منهما من يعمل لأنه حق عليه يمكن استيفاؤه من التركة فوجب أن يستوفي كما لو كان عليه دين وله تركة وإن لم تكن له تركة لم يلزم الوارث العمل لأن ما لزم الموروث لا يطالب به الوارث كالدين ولا يقترض عليه لأنه لا ذمة له ولرب النخل أن يفسخ لأنه تعذر استيفاء المعقود عليه فإن فسخ كان الحكم فيه على ما ذكرناه في العامل إذا هرب.
PASAL: Jika pekerja (ʿāmil) meninggal sebelum menyelesaikan pekerjaan, maka jika ahli warisnya menyempurnakan pekerjaan itu, mereka berhak atas bagian dari buahnya. Jika tidak bekerja, maka jika pewaris memiliki harta peninggalan, maka diupahkan dari harta tersebut orang yang mengerjakannya, karena hal itu merupakan kewajiban atasnya yang memungkinkan untuk dipenuhi dari harta warisan, maka wajib dipenuhi sebagaimana jika ia memiliki utang dan meninggalkan harta. Namun jika tidak memiliki harta warisan, maka ahli waris tidak dibebani pekerjaan itu, karena apa yang menjadi tanggungan pewaris tidak dibebankan kepada ahli waris, seperti halnya utang. Dan tidak boleh berutang atas nama ahli waris, karena mereka tidak memiliki tanggungan (żimmah).
Pemilik pohon kurma berhak membatalkan akad, karena akad yang disepakati tidak mungkin dipenuhi. Jika ia membatalkannya, maka hukumannya sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kasus pekerja yang melarikan diri.
فصل: وإن ساقى رجلاً على نخل على النصف فعمل فيه العامل وتقاسما الثمرة ثم استحق النخل رجع العامل على من ساقاه بالأجرة لأنه عمل بعوض ولم يسلم له العوض فرجع ببدل عمله فإن كانت الثمرة باقية أخذها المالك فإن تلفت رجع بالبدل فإن أراد تضمين الغاصب ضمنه الجميع لأنه حال بينه وبين الجميع وإن أراد أن يضمن العامل ففيه وجهان: أحدهما يضمنه الجميع لأنه ثبتت يده على الجميع فضمنه كالعامل في القراض في المال المغصوب والثاني لا يضمن إلا النصف لأنه لم يحصل في يده إلا ما أخذه بالقسمة وهو النصف فأما النصف الآخر فإنه لم يكن في يده لأنه لو كان في يده لزمه حفظه كما يلزم العامل في القراض.
PASAL: Jika seseorang melakukan musāqāh dengan seorang lelaki atas pohon kurma dengan pembagian setengah, lalu pekerja bekerja padanya dan mereka berdua membagi hasil buahnya, kemudian diketahui bahwa pohon tersebut ternyata milik orang lain (istihqāq), maka pekerja berhak menuntut orang yang melakukan musāqāh dengannya dengan menuntut upah, karena ia telah bekerja untuk imbalan, namun imbalan tersebut tidak sampai kepadanya, maka ia berhak menuntut ganti atas pekerjaannya.
Jika buah masih ada, maka pemilik sah pohon kurma mengambil buah tersebut. Jika buah telah rusak atau hilang, maka pekerja menuntut ganti atas bagiannya.
Jika pemilik sah ingin menuntut ganti kepada pihak yang merampas, maka ia menuntut seluruh hasil, karena pihak tersebut telah menghalanginya dari keseluruhan buah. Jika ia ingin menuntut kepada pekerja, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, ia menjamin seluruh buah karena pekerja telah memegang seluruhnya, maka ia menjaminnya sebagaimana pekerja dalam qarāḍ terhadap harta yang digelapkan.
Kedua, ia hanya menjamin setengah karena ia hanya menerima setengah hasil dari pembagian. Adapun setengah lainnya, tidak berada dalam tangannya, karena jika memang berada dalam tangannya, maka ia berkewajiban menjaganya sebagaimana pekerja dalam qarāḍ.
فصل: إذا اختلف العامل ورب العمل في العوض المشروط فقال العامل شرطت لي النصف وقال رب النخل شرطت لك الثلث تحالفا لأنهما متعاقدان اختلفا في العوض المشروط ولا بينة فتحالفا كالمتبايعين إذا اختلفا في قدر الثمن وبالله التوفيق.
PASAL: Jika pekerja (ʿāmil) dan pemilik modal berselisih dalam hal imbalan yang disyaratkan, misalnya pekerja berkata, “Engkau telah mensyaratkan bagiku separuh,” dan pemilik kurma berkata, “Aku mensyaratkan sepertiga bagimu,” maka keduanya saling bersumpah, karena mereka adalah dua pihak yang berakad dan berselisih dalam imbalan yang disyaratkan, serta tidak ada bukti, maka keduanya saling bersumpah sebagaimana dua orang yang berjual beli jika berselisih dalam jumlah harga. Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon taufik.
باب المزارعة
لا تجوز المزارعة على بياض لا شجر فيه لما روى سلين بن بشار أن رافع بن خديج قال: كنا نخابر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وذكر أن بعض عمومته أتاه فقال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن أمر كان لنا نافعاً وطاعة الله ورسوله أنفع لنا وأنفع قلنا وما ذاك قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من كانت له أرض فليزرعها ولا يكرها بثلث ولا بربع ولا بطعام مسمى” فأما إذا كانت الأرض بين النخل ولا يمكن سقي الأرض إلا بقسيها نظرت فإن كان النخيل كثيراً والبياض قليلاً جاز أن تساقيه على النخل وتزارعه على الأرض
BAB MŪZĀRA‘AH
Tidak boleh melakukan muzāra‘ah pada tanah kosong yang tidak terdapat pohon padanya, berdasarkan riwayat dari Salīn bin Basyyār bahwa Rāfi‘ bin Khadīj berkata: Kami dahulu melakukan mukhābarah pada masa Rasulullah SAW, dan disebutkan bahwa sebagian pamannya mendatanginya dan berkata: Rasulullah SAW telah melarang sesuatu yang dahulu memberi manfaat bagi kami, namun ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya lebih memberi manfaat bagi kami. Kami bertanya: “Apa itu?” Ia menjawab: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memiliki tanah, maka hendaknya ia menanaminya sendiri, dan janganlah ia menyewakannya dengan sepertiga, seperempat, atau makanan yang ditentukan.”
Adapun jika tanah tersebut berada di antara pohon kurma, dan tidak memungkinkan untuk menyirami tanah kecuali dengan aliran air dari pohon-pohon itu, maka diperhatikan: jika pohon kurma lebih banyak dan tanah kosong lebih sedikit, maka boleh dilakukan musāqāh atas pohon kurma dan muzāra‘ah atas tanahnya.
لما روى ابن رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم عامل أهل خيبر على شطر ما يخرج منها من تمر وزرع فإن عقد المزارعة على الأرض ثم عقد المساقاة على النخل لم تصح المزارعة لأنها إنما أجيزت تبعاً للمساقاة للحاجة ولا حاجة قبل المساقاة وإن عقدت بعد المساقاة ففيه وجهان: أحدهما لا تصح لأنه أفرد المزارعة بالعقد فأشبه إذا قدمت والثاني تصح لأنهما يحصلان لمن له المساقاة وإن عقدها مع المساقاة وسوى بينهما في العوض جاز
Karena telah diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW bermuamalah dengan penduduk Khaybar atas separuh dari apa yang keluar darinya berupa kurma dan tanaman, maka jika akad muzāra‘ah dilakukan atas tanah terlebih dahulu, kemudian akad musāqāh dilakukan atas pohon kurma, maka muzāra‘ah tersebut tidak sah, karena muzāra‘ah hanya dibolehkan sebagai pengikut musāqāh karena kebutuhan, dan belum ada kebutuhan sebelum adanya musāqāh.
Namun jika akad muzāra‘ah dilakukan setelah akad musāqāh, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak sah karena muzāra‘ah dilakukan secara terpisah, maka menyerupai kasus jika didahulukan; kedua, sah karena keduanya diberikan kepada orang yang mendapatkan musāqāh.
Dan jika akad muzāra‘ah dilakukan bersamaan dengan akad musāqāh, serta disamakan dalam imbalan, maka itu diperbolehkan.
لأن النبي صلى الله عليه وسلم عامل أهل خيبر على شطر ما يخرج منها من ثمر وزرع فإن فاضل بينهما في العوض ففيه وجهان: أحدهما يجوز وهو الصحيح لأنهما عقدان فجاز أن يفاضل بينهما في العوض والثاني لا يجوز لأنهما إذا تفاضلا تميزا فلم يكن أحدهما تبعاً للآخر فإن كان النخل قليلاً والبياض كثيرا ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه لا يمكن سقي النخل إلا بسقي الأرض فأشبه الكثير والثاني لا يجوز لأن البياض أكثر فلا يجوز أن يكون الأكثر تابعا للأقل.
Karena Nabi SAW bermuamalah dengan penduduk Khaybar atas separuh dari apa yang keluar darinya berupa buah dan tanaman. Jika dibedakan imbalan antara keduanya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena keduanya adalah dua akad yang terpisah, maka boleh dibedakan imbalannya.
Kedua, tidak boleh, karena jika berbeda, maka keduanya menjadi terpisah, sehingga salah satunya tidak bisa menjadi pengikut yang lain.
Jika pohon kurma sedikit dan tanah kosong lebih banyak, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, karena tidak mungkin menyirami pohon kurma kecuali dengan menyirami tanah, maka ia menyerupai kasus ketika pohon lebih banyak.
Kedua, tidak boleh, karena tanah kosong lebih banyak, maka tidak boleh yang lebih banyak menjadi pengikut dari yang lebih sedikit.
يجوز عقد الإجارة على المنافع المباحة والدليل عليه قوله تعالى: {فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ} وروى سعيد بن المسيب عن سعد رضي الله عنه قال: كنا نكري الأرض بما على السواقي من الزرع فنهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك وأمرنا أن نكريها بذهب أو ورق وروى أبو أمامة التيمي قال: سألت ابن عمر فقلت: إنا قوم نكري في هذا الوجه وإن قوما يزعمون أن لا حج لنا فقال ابن عمر: ألستم تلبون وتطوفون بين الصفا والمروة إن رجلاً أتى النبي صلى الله عليه وسلم فسأل عما تسألونني فلم يرد عليه حتى نزل {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ} فتلاها عليه
Kitab al-Ijārah
Boleh mengadakan akad ijārah atas kemanfaatan-kemanfaatan yang mubah. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Fa-in arda‘na lakum fa-ātūhunna ujūrahunna” (Jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya). Dan diriwayatkan dari Sa‘īd bin al-Musayyab dari Sa‘d RA, ia berkata: “Kami dahulu menyewakan tanah dengan bagian tanaman yang tumbuh di atas saluran air, lalu Rasulullah SAW melarang kami dari hal itu dan memerintahkan kami agar menyewakannya dengan emas atau perak.” Dan diriwayatkan dari Abū Umāmah at-Taimī, ia berkata: Aku bertanya kepada Ibn ‘Umar, aku berkata: “Kami adalah suatu kaum yang menyewakan (kendaraan) dalam perjalanan ini, dan ada kaum yang mengira bahwa kami tidak mendapat haji.” Maka Ibn ‘Umar berkata: “Bukankah kalian bertalbiyah dan bertawaf antara ṣafā dan marwah? Sungguh seorang lelaki datang kepada Nabi SAW dan bertanya tentang apa yang kalian tanyakan kepadaku, maka beliau tidak menjawabnya hingga turun ayat: Laysa ‘alaykum junāḥun an tabtaghū faḍlan min rabbikum (Tidak ada dosa atas kalian untuk mencari karunia dari Rabb kalian), lalu beliau membacakannya kepadanya.”
وروى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وأعطى الحجام أجره ولأن الحاجة إلى المنافع كالحاجة إلى الأعيان فلما جاز عقد البيع على الأعيان وجب أن يجوز عقد الإجارة على المنافع.
Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW berbekam dan memberi upah kepada tukang bekam. Dan karena kebutuhan terhadap kemanfaatan seperti kebutuhan terhadap barang (‘ain), maka sebagaimana boleh akad jual beli atas barang, wajib pula dibolehkan akad ijārah atas kemanfaatan.
فصل: ولا تجوز على المنافع المحرمة لأنه يحرم فلا يجوز أخذ العوض عليه كالميتة والدم.
فصل: واختلف أصحابنا في استئجار الكلب المعلم فمنهم من قال: يجوز لأن فيه منفعة مباحة فجاز استئجاره كالفهد ومنهم من قال لا يجوز وهو الصحيح لأن اقتناءه لا يجوز إلا للحاجة وهو الصيد وحفظ الماشية وما لا يقوم غير الكلب فيه مقامه إلا بمؤن والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم: “من اقتنى كلباً إلا كلب صيد أو ماشية نقص من أجره كل يوم قيراطان” وما أبيح للحاجة لم يجز أخذ العوض عليه كالميتة ولأنه لا يضمن منفعته بالغصب فدل على أنه لا قيمة لها.
PASAL: Tidak boleh akad ijārah atas manfaat yang haram karena hal itu diharamkan, maka tidak boleh mengambil imbalan atasnya seperti bangkai dan darah.
PASAL: Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai menyewa anjing terlatih. Sebagian dari mereka berkata: boleh, karena di dalamnya terdapat manfaat yang mubah, maka boleh disewa seperti fahd (macan tutul pemburu). Sebagian lain berkata: tidak boleh, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena memelihara anjing tidak boleh kecuali karena kebutuhan, seperti untuk berburu, menjaga ternak, dan hal-hal yang tidak bisa dilakukan selain oleh anjing kecuali dengan biaya tambahan. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Barang siapa memelihara anjing selain anjing pemburu atau penjaga ternak, maka akan berkurang dari pahalanya setiap hari sebanyak dua qīrāṭ.” Dan sesuatu yang dibolehkan karena kebutuhan, tidak boleh diambil imbalan atasnya seperti bangkai. Selain itu, manfaatnya tidak dijamin bila diguṇakan secara paksa (ghaṣb), maka hal itu menunjukkan bahwa manfaat tersebut tidak memiliki nilai.
فصل: واختلفوا في استئجار الفحل للضراب فمنهم من قال: يجوز لأنه يجوز أن يستباح بالإعارة فجاز أن يستباح بالإجارة كسائر المنافع ومنهم من قال لا يجوز وهو الصحيح لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن عسب الفحل ولأن المقصود منه هو الماء الذي يخلق منه وهو محرم لا قيمة له فلم يجز أخذ العوض عليه كالميتة والدم.
PASAL: Para ulama berbeda pendapat tentang menyewa pejantan untuk dikawinkan. Sebagian dari mereka berpendapat: boleh, karena boleh dimanfaatkan melalui ‘āriyah, maka boleh pula dimanfaatkan melalui ijārah seperti manfaat-manfaat lainnya. Dan sebagian dari mereka berpendapat: tidak boleh, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar RA bahwa Nabi SAW melarang dari harga ‘usb al-faḥl (kawinkan pejantan). Karena maksud dari penyewaan itu adalah air mani yang darinya diciptakan (janin), dan itu adalah sesuatu yang haram serta tidak memiliki nilai, maka tidak boleh mengambil imbalan atasnya, seperti halnya bangkai dan darah.
فصل: واختلفوا في استئجار الدراهم والدنانير ليجمل بها الدكان واستئجار الأشجار لتجفيف الثياب والاستظلال فمنهم من قال يجوز لأنه منفعة مباحة فجاز الاستئجار لها كسائر المنافع ومنهم من قال: لا يجوز وهو الصحيح لأن الدراهم والدنانير لا تراد للجمال ولا الأشجار لتجفيف الثياب والاستظلال فكان بذل العوض فيه من السفه وأخذ العوض عنه من أكل المال بالباطل ولأنه لا يضمن منفعتها بالغصب فلم يضمن بالعقد.
PASAL: Mereka berbeda pendapat mengenai menyewa dirham dan dinar untuk memperindah toko, serta menyewa pepohonan untuk mengeringkan pakaian dan berteduh. Sebagian dari mereka berkata: boleh, karena itu merupakan manfaat yang mubah, maka boleh disewa sebagaimana manfaat-manfaat lainnya. Sebagian lain berkata: tidak boleh, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena dirham dan dinar tidak dimaksudkan untuk keindahan, dan pepohonan tidak dimaksudkan untuk mengeringkan pakaian dan berteduh, maka memberikan imbalan atas hal itu termasuk tindakan konyol, dan mengambil imbalan atasnya termasuk memakan harta dengan batil. Selain itu, manfaatnya tidak dijamin bila diguṇakan secara ghaṣb, maka tidak pula dijamin melalui akad.
فصل: واختلفوا في الكافر إذا استأجر مسلماً إجارة معينة فمنهم من قال فيه قولان لأنه عقد يتضمن حبس المسلم فصار كبيع العبد المسلم منه ومنهم من قال يصح قولاً واحداً لأن علياً كرم الله وجهه كان يستقي الماء لامرأة يهودية كل دلو بتمرة.
فصل: ولا يصح إلا من جائز التصرف في المال لأنه عقد يقصد به المال فلم يصح إلا من جائز التصرف في المال كالبيع.
PASAL: Para ulama berbeda pendapat tentang orang kafir apabila menyewa seorang Muslim dengan ijārah mu‘ayyanah. Sebagian dari mereka mengatakan: terdapat dua pendapat, karena akad ini mengandung unsur menahan seorang Muslim, maka menjadi seperti menjual budak Muslim kepada orang kafir. Dan sebagian dari mereka mengatakan: sah menurut satu pendapat saja, karena ‘Alī karamallāhu wajhah dahulu pernah menimba air untuk seorang wanita Yahudi, setiap satu timba ditukar dengan satu butir kurma.
PASAL: Tidak sah kecuali dari orang yang sah dalam bertindak terhadap harta, karena ia merupakan akad yang ditujukan untuk memperoleh harta, maka tidak sah kecuali dari orang yang sah bertindak terhadap harta, sebagaimana dalam jual beli.
فصل: وينعقد بلفظ الإجارة لأنه لفظ موضوع له وهل ينعقد بلفظ البيع؟ فيه وجهان: أحدهما ينعقد لأنه صنف من البيع لأنه تمليك يتقسط العوض فيه على المعوض كالبيع فانعقد بلفظه والثاني لا ينعقد لأنه يخالف البيع في الاسم والحكم فلم ينعقد بلفظه كالنكاح.
PASAL: Akad ijārah sah dengan lafaz ijārah karena itu adalah lafaz yang ditetapkan untuknya. Apakah sah dengan lafaz bai‘ (jual beli)? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan sah, karena ijārah adalah salah satu jenis jual beli, yaitu bentuk pemilikan yang imbalannya dibayarkan secara bertahap terhadap sesuatu yang diberi imbalan, seperti halnya jual beli, maka sah dengan lafaz jual beli.
Pendapat kedua menyatakan tidak sah, karena ia berbeda dengan jual beli dalam hal nama dan hukum, maka tidak sah dengan lafaz jual beli sebagaimana halnya nikāḥ.
فصل: ويجوز على منفعة عين حاضرة مثل أن يستأجر ظهراً بعينه للركوب ويجوز على منفعة عين في الذمة مثل أن يستأجر في الذمة للركوب ويجوز على عمل معين مثل أن يكتري رجلاً ليخيط له ثوباً أو يبني له حائطاً ويجوز على عمل في الذمة مثل أن يكتري رجلاً ليحصل له خياطة ثوب أو بناء حائط لأنا بينا أن الإجارة بيع والبيع يصح في عين حاضرة وموصوفة في الذمة فكذلك الإجارة وفي استئجار عين لم يرها قولان: أحدهما لا يصح والثاني يصح ويثبت الخيار إذا رآها كما قلنا في البيع.
PASAL: Boleh melakukan akad ijārah atas kemanfaatan suatu benda yang hadir, seperti menyewa tunggangan tertentu untuk dinaiki. Dan boleh pula atas kemanfaatan suatu benda dalam tanggungan (fi al-dzimmah), seperti menyewa dalam tanggungan untuk keperluan naik kendaraan. Dan boleh atas pekerjaan tertentu, seperti menyewa seseorang untuk menjahitkan pakaian atau membangun dinding. Dan boleh pula atas pekerjaan dalam tanggungan, seperti menyewa seseorang agar mendapatkan hasil jahitan pakaian atau pembangunan dinding. Karena kami telah menjelaskan bahwa ijārah itu seperti jual beli, dan jual beli sah atas benda yang hadir maupun yang bersifat deskriptif dalam tanggungan, maka demikian pula ijārah.
Adapun dalam menyewa benda yang belum pernah dilihat, terdapat dua pendapat: pertama, tidak sah. Kedua, sah dan ditetapkan hak khiyar saat melihatnya, sebagaimana yang kami katakan dalam jual beli.
فصل: وتجوز على عين مفردة وعلى جزء مشاع لأنا بينا أنه بيع والبيع يصح في المفرد والمشاع وكذلك الإجارة.
PASAL: Boleh akad ijārah atas barang tertentu yang tunggal maupun atas bagian musyā‘ (tidak terbagi), karena kami telah jelaskan bahwa ijārah itu seperti jual beli, dan jual beli sah atas barang tunggal maupun musyā‘, demikian pula ijārah.
فصل: ولا تجوز إلا على عين يمكن استيفاء المنفعة منها فإن استأجر أرضاً للزراعة لم تصح حتى يكون لها ماء يؤمن انقطاعه كماء العين والمد بالبصرة والثلج والمطر في الجبل لأن المنفعة في الإجارة كالعين في البيع فإذا لم يجز بيع عين لا يقدر عليها لم تجز إجارة منفعة لا يقدر عليها فإن اكترى أرضاً على نهر إذا زاد سقي وإذا لم يزد لم يسقى كأرض مصر والفرات وما انحدر من دجلة نظرت فإن اكتراها بعد الزيادة صح العقد
PASAL: Tidak sah akad ijārah kecuali atas barang tertentu yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya. Maka jika seseorang menyewa tanah untuk pertanian, tidak sah sampai tanah itu memiliki sumber air yang terjamin tidak terputus, seperti air dari mata air, aliran mad di Bashrah, salju, dan hujan di pegunungan. Karena manfaat dalam ijārah seperti barang dalam jual beli; maka jika tidak sah menjual barang yang tidak dapat diambil, tidak sah pula menyewakan manfaat yang tidak dapat diambil. Jika seseorang menyewa tanah yang berada di tepi sungai, yang hanya dapat disiram apabila airnya naik, dan tidak bisa disiram apabila airnya tidak naik — seperti tanah Mesir, Eufrat, dan yang berada di hilir sungai Tigris — maka diperhatikan: jika ia menyewanya setelah air sungai naik, maka akadnya sah.
لأنه يمكن استيفاء المعقود عليه فهو كبيع الطير في القفص وإن كان قبل الزيادة لم يصح لأنه لم يعلم هل يقدر على المعقود عليه أو لا يقدر فلم يصح كبيع الطير في الهواء وإن اكترى أرضاً لا ماء لها ولم يذكر أن يكتريها للزراعة ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأن الأرض لا تكتري في العادة إلا للزراعة فصار كما لو شرط أنه يكتريها للزراعة والثاني إن كانت الأرض عالية لا يطمع في سقيها صح العقد أنه يعلم أنه لم يكترها للزراعة وإن كانت مستقلة يطمع في سقيها بسوق الماء إليها من موضع لم يصح
Karena memungkinkan untuk mengambil manfaat yang menjadi objek akad, maka hukumnya seperti menjual burung dalam sangkar. Namun jika akad dilakukan sebelum air sungai naik, maka tidak sah karena tidak diketahui apakah ia mampu mengambil manfaat yang diakadkan atau tidak, maka tidak sah seperti menjual burung yang masih terbang di udara.
Dan jika seseorang menyewa tanah yang tidak memiliki air, dan tidak disebutkan bahwa ia menyewanya untuk pertanian, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan tidak sah, karena lazimnya tanah disewa untuk pertanian, maka hukumnya seperti jika disyaratkan untuk pertanian.
Pendapat kedua: jika tanah tersebut berada di tempat tinggi yang tidak diharapkan bisa disiram, maka akadnya sah karena diketahui bahwa ia tidak menyewanya untuk pertanian. Namun jika tanah itu datar dan memungkinkan untuk disiram dengan mengalirkan air dari tempat lain, maka tidak sah.
لأنه اكتراها للزراعة مع تعذر الزراعة فإن اكترى أرضاً غرقت بالماء لزراعة ما لا يثبت في الماء كالحنطة والشعير نظرت فإن كان للماء مغيض إذا فتح انحسر الماء عن الأرض وقدر على الزراعة صح العقد لأنه يمكن زراعتها بفتح المغيض كما يمكن سكنى الدار بفتح الباب وإن لم يكن له مغيض ولا يعلم أن الماء ينحسر عنها لم يصح العقد لأنه لا يعلم هل يقدر على المعقود عليه أم لا يقدر فلم يصبح العقد كبيع ما في يد الغاصب فإن كان يعلم أن الماء ينحسر وتنشفه الريح ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه لا يمكن استيفاء المنفعة في الحال والثاني يصح وهو قول أبي إسحاق وهو الصحيح لأنه يعلم بالعادة إمكان الانتفاع به فإن اكترى أرضاً على ماء إذا زاد غرقت فاكتراها قبل الزيادة صح العقد لأن الغرق متوهم فلا يمنع صحة العقد.
Karena ia menyewanya untuk pertanian, padahal pertanian tidak mungkin dilakukan. Maka jika seseorang menyewa tanah yang tergenang air untuk menanam sesuatu yang tidak bisa tumbuh di air seperti gandum dan jelai, maka diperhatikan:
Jika air tersebut memiliki saluran pembuangan (maghīḍ), yang apabila dibuka airnya surut dari tanah dan memungkinkan untuk bercocok tanam, maka akadnya sah, karena memungkinkan untuk menanaminya dengan membuka saluran itu, sebagaimana memungkinkan untuk menempati rumah dengan membuka pintunya.
Namun jika tidak ada saluran pembuangan dan tidak diketahui apakah air akan surut atau tidak, maka akadnya tidak sah, karena tidak diketahui apakah ia mampu mengambil manfaat yang diakadkan atau tidak, maka akad tidak sah seperti menjual barang yang berada di tangan ghāṣib.
Jika diketahui bahwa air akan surut dan mengering karena tertiup angin, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan tidak sah, karena tidak memungkinkan mengambil manfaat secara langsung.
Pendapat kedua menyatakan sah, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, serta merupakan pendapat yang ṣaḥīḥ, karena berdasarkan kebiasaan diketahui bahwa manfaat tersebut bisa diambil.
Maka jika seseorang menyewa tanah yang berada di dekat air dan apabila air naik maka tanah itu akan tergenang, lalu ia menyewanya sebelum air naik, maka akadnya sah, karena kemungkinan tergenangnya tanah hanya sekadar dugaan, sehingga tidak menghalangi sahnya akad.
فصل: وإن استأجر رجلاً ليعلمه بنفسه سورة وهو لا يحسنها ففيه وجهان: أحدهما يصح كما يصح أن يشتري سلعة بدراهم وهو لا يملكها ثم يحصلها ويسلم والثاني لا يصح لأنه عقد على منفعة معينة لا يقدر عليها فلم يصح كما لو أجر عبد غيره.
PASAL: Jika seseorang menyewa seorang laki-laki untuk mengajarkannya satu surah dengan dirinya sendiri, padahal dia tidak bisa membacanya, maka ada dua pendapat:
Pertama, akadnya sah, sebagaimana sah membeli suatu barang dengan uang yang belum dimiliki, lalu didapatkan dan diserahkan.
Kedua, akadnya tidak sah karena merupakan akad atas suatu manfaat tertentu yang tidak mampu dia lakukan, maka tidak sah sebagaimana jika dia menyewakan budak milik orang lain.
فصل: ولا تصح الإجارة إلا على منفعة معلومة القدر لأنا بينا أن الإجارة بيع والبيع لا يصح إلا في معلوم القدر فكذلك الإجارة ويعلم مقدار المنفعة بتقدير العمل أو بتقدير المدة فإن كانت المنفعة معلومة القدر في نفسها كخياطة ثوب وبيع عبد والركوب إلى مكان قدرت بالعمل لأنها معلومة في نفسها فلا تقدر بغيرها وإن قدر بالعمل والمدة بأن استأجره يوماً ليخيط له قميصاً فالإجارة باطلة لأنه يؤدي إلى التعارض وذلك أنه قد يفرغ من الخياطة في بعض اليوم
PASAL: Tidak sah akad ijārah kecuali atas manfaat yang diketahui kadar (besarnya), karena telah dijelaskan bahwa ijārah adalah jual beli, dan jual beli tidak sah kecuali pada sesuatu yang diketahui kadarnya, maka demikian pula ijārah. Kadar manfaat diketahui dengan takaran kerja atau dengan takaran waktu. Jika manfaat itu telah diketahui kadarnya secara zat, seperti menjahit pakaian, menjual budak, atau menunggang menuju suatu tempat, maka ditakar dengan kerja karena manfaat itu telah diketahui pada dirinya, maka tidak ditakar dengan selainnya. Namun jika ditakar dengan kerja dan waktu, seperti menyewanya sehari untuk menjahitkan qamīṣ, maka ijārah-nya batal karena akan menimbulkan pertentangan, yaitu bisa jadi dia menyelesaikan jahitan dalam sebagian hari.
فإن طولب في بقية اليوم بالعمل أخل بشرط العمل وإن لم يطالب أخل بشرط المدة فإن كانت المنفعة مجهولة المقدار في نفسها كالسكنى والرضاع وسقي الأرض والتطيين والتجصيص قدر بالمدة لأن السكنى وما يشبع به الصبي من اللبن وما تروى به الرض من السقي يختلف ولا ينضبط ومقدار التطيين والتجصيص لا ينضبط لاختلافهما في الرقة والثخونة فقدر بالمدة واختلف أصحابنا في استئجار الظهر للحرث فمنهم من قال يجوز أن يقدر بالعمل بأن يستأجره ليحرث أرضاً بعينها ويجوز أن يقدر بالمدة بأن يستأجره ليحرث له شهراً ومنهم من قال لا يجوز تقديره بالمدة والأول أظهر لأنه يمكن تقديره بكل واحد منهم فجاز التقدير بكل واحد منهما.
Maka jika ia dituntut untuk bekerja di sisa hari tersebut, berarti ia menyelisihi syarat kerja, dan jika tidak dituntut, berarti ia menyelisihi syarat waktu. Jika manfaat itu tidak diketahui kadar (besarnya) pada dirinya sendiri, seperti tempat tinggal, penyusuan, pengairan lahan, pelapisan tanah (taṭyīn), dan pengacian (tajṣīṣ), maka ditakar dengan waktu, karena tempat tinggal, kadar susu yang mengenyangkan bayi, dan kadar air yang mengairi ladang berbeda-beda dan tidak dapat ditetapkan kadarnya, dan kadar pelapisan tanah dan pengacian tidak dapat ditetapkan karena perbedaan dalam ketipisan dan ketebalannya, maka ditakar dengan waktu. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal menyewa hewan tunggangan untuk membajak: sebagian dari mereka berpendapat boleh ditakar dengan kerja, yaitu menyewanya untuk membajak sebidang tanah tertentu, dan boleh juga ditakar dengan waktu, yaitu menyewanya untuk membajak selama sebulan; dan sebagian dari mereka berpendapat tidak boleh ditakar dengan waktu. Pendapat pertama lebih kuat karena memungkinkan untuk ditakar dengan keduanya, maka boleh ditakar dengan salah satunya.
فصل: وما عقد على مدة لا يجوز إلا على مدة معلومة الابتداء والانتهاء فإن قال أجرتك هذه الدار كل شهر بدينار فالإجارة باطلة وقال في الإملاء تصح في الشهر الأول وتيطل فيما زاد لأن الشهر الأول معلوم وما زاد مجهول فصح في المعلوم وبطل في المجهول كما لو قال أجرتك هذا الشهر بدينار وما زاد بحسابه والصحيح هو الأول لأنه عقد على الشهر وما زاد من الشهور وذلك مجهول فبطل ويخالف هذا إذا قال أجرتك هذا الشهر بدينار وما زاد بحسابه لأن هناك أفرد الشهر الأول بالعقد وههنا لم يفرد الشهر عما بعده بالعقد فبطل بالجميع فإن أجره سنة مطلقة حمل على سنة بالأهلة لأن السنة المعهودة بالشرع سنة الأهلة
PASAL: Dan akad yang dilakukan atas dasar waktu, tidak sah kecuali dengan waktu yang diketahui awal dan akhirnya. Maka jika ia berkata, “Aku sewakan kepadamu rumah ini setiap bulan dengan satu dinar,” maka ijārah tersebut batal. Dan disebutkan dalam al-Imlā’ bahwa sah untuk bulan pertama dan batal untuk bulan-bulan setelahnya, karena bulan pertama diketahui, sedangkan sisanya tidak diketahui; maka sah pada yang diketahui dan batal pada yang tidak diketahui, sebagaimana jika ia berkata, “Aku sewakan kepadamu bulan ini dengan satu dinar dan sisanya sesuai hitungannya.” Dan pendapat yang sahih adalah yang pertama, karena akad dilakukan atas bulan ini dan bulan-bulan setelahnya, dan itu sesuatu yang tidak diketahui, maka batal. Dan ini berbeda dengan pernyataan, “Aku sewakan kepadamu bulan ini dengan satu dinar dan sisanya sesuai hitungannya,” karena dalam kasus itu, bulan pertama diakadkan secara terpisah dari yang setelahnya, sedangkan dalam kasus ini tidak dipisahkan, maka batal semuanya. Jika ia menyewakan selama satu tahun secara mutlak, maka ditafsirkan sebagai satu tahun menurut bulan-bulan hijriah, karena tahun yang dikenal dalam syariat adalah tahun hijriah.
والدليل عليه قوله عز وجل {يَسْأَلونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ} فوجب أن يحمل العقد عليه فإن كان العقد في أول الهلال عد اثني عشر شهراً بالأهلة تاماً كان الشهر أو ناقصاً وإن كان في أثناء الشهر عد ما بقي من الشهر وعد بعده أحد عشر شهراً بالأهلة ثم كمل عدد الشهر الأول بالعدد ثلاثين يوماً لأنه تعذر إتمامه بالشهر الهلالي فتمم بالعدد فإن أجره سنة شمسية ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه على حساب أنسيء فيه الأيام والنسيء حرام والدليل عليه قوله تعالى: {إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ} والثاني أنه يصح لأنه وإن كان النسيء حراماً إلا أن المدة معلومة فجاز العقد كالنيروز والمهرجان وفي أكثر المدة التي يجوز عقد الإجارة عليه طريقان ذكرناهما في المساقاة.
Dan dalil atas hal tersebut adalah firman Allah SWT: {Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: itu adalah penentu waktu bagi manusia dan (ibadah) haji}, maka wajib membawa akad kepada ketentuan itu. Jika akad dilakukan pada awal bulan hilal, maka dihitung dua belas bulan berdasarkan kalender hijriah, baik bulan tersebut sempurna atau kurang. Dan jika akad dilakukan di tengah bulan, maka dihitung sisa hari dari bulan tersebut, lalu setelahnya dihitung sebelas bulan berdasarkan kalender hijriah, kemudian disempurnakan jumlah bulan pertama berdasarkan hitungan hari menjadi tiga puluh hari, karena tidak memungkinkan menyempurnakannya dengan bulan hijriah, maka disempurnakan dengan hitungan.
Jika ia menyewakan untuk satu tahun matahari (tahun syamsiyah), maka terdapat dua pendapat: salah satunya menyatakan tidak sah, karena itu berdasarkan hitungan yang di dalamnya terdapat nasī’, dan nasī’ itu haram. Dalilnya adalah firman Allah SWT: {Sesungguhnya nasī’ itu adalah tambahan dalam kekafiran}. Dan pendapat kedua menyatakan sah, karena meskipun nasī’ itu haram, tetapi durasi waktunya diketahui, maka sah akadnya seperti pada nairūz dan mahrājān. Dan dalam hal maksimal waktu yang diperbolehkan dalam akad ijārah terdapat dua metode, yang telah kami sebutkan dalam musāqāh.
فصل: ولا تصح الإجارة إلا على منفعة معلومة لأن الإجارة بيع والمنفعة فيها كالعين في البيع والبيع لا يصح إلا في المعلوم فكذلك الإجارة فإن كان المكترى داراً لم يصح العقد عليها حتى تعرف الدار لأن المنفعة تختلف باختلافها فوجب العلم بها ولا يعرف ذلك إلا بالتعيين لأنها لا تضبط بالصفة فافتقر إلى التعيين كالعقار والجواهر في البيع وهل يفتقر إلى الرؤية؟ فيه قولان بناء على القولين في البيع ولا يفتقر إلى ذكر السكنى ولا إلى ذكر صفاتها لأن الدار لا تكترى إلا للسكنى وذلك معلوم بالعرف فاستغنى عن ذكرها كالبيع بثمن مطلق في موضع فيه نقد معروف وإن اكترى أرضاً لم يصح حتى تعرف الأرض
PASAL: Ijārah tidak sah kecuali atas manfaat yang diketahui (jelas), karena ijārah adalah jual beli, dan manfaat di dalamnya seperti ‘ayn (barang) dalam jual beli, sedangkan jual beli tidak sah kecuali pada sesuatu yang diketahui, maka demikian pula ijārah. Apabila yang disewa adalah sebuah rumah, maka akad tidak sah kecuali rumah itu diketahui, karena manfaatnya berbeda-beda tergantung perbedaan rumah tersebut, maka wajib diketahui, dan hal itu tidak dapat diketahui kecuali dengan penunjukan langsung, sebab tidak dapat ditentukan dengan sifat-sifatnya, maka membutuhkan penunjukan seperti halnya tanah dan permata dalam jual beli.
Apakah harus dilihat terlebih dahulu? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, sebagaimana dua pendapat dalam jual beli.
Tidak disyaratkan penyebutan bahwa rumah itu untuk ditempati, dan tidak pula disyaratkan penyebutan sifat-sifatnya, karena rumah tidak disewa kecuali untuk ditempati dan hal itu sudah diketahui berdasarkan kebiasaan, maka tidak perlu disebutkan seperti halnya jual beli dengan harga mutlak di suatu tempat yang terdapat mata uang yang telah dikenal.
Jika menyewa tanah, maka tidak sah kecuali tanah itu diketahui.
لما ذكرناه في الدار ولا يصح حتى يذكر ما يكترى له من الزراعة والغراس والبناء لأن الأرض تكترى لهذه المنافع وتأثيرها في الأرض يختلف فوجب بيانها وإن قال أجرتك هذه الأرض لتزرعها ما شئت جاز لأنه جعل له زراعة أضر الأشياء فأي صنف زرع لم يستوف به أكثر من حقه وإن قال أجرتك لتزرع وأطلق ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأن الزروع مختلفة في التأثير في الأرض فوجب بينها والثاني يصح لأن التفاوت بين الزرعين يقل وإن قال أجرتك لتزرعها أو تغرسها لم يصح لأنه جعل له أحدهما ولم يعين فلم يصح كما قال بعتك أحد هذين العبدين وإن قال أجرتك لتزرعها وتغرسها ففيه وجهان: أحدهما لا يصح وهو قول المزني وأبي العباس وأبي إسحاق لأنه لم يبين المقدار من كل واحد منهما والثاني يصح وله أن يزرع النصف ويغرس النصف وهو ظاهر النص وهو قول أبي الطيب بن سلمة لأن الجمع يقتضي التسوية فوجب أن يكون نصفين.
Karena alasan yang telah disebutkan pada penyewaan rumah. Dan tidak sah akadnya kecuali disebutkan tujuan penyewaannya seperti untuk pertanian, penanaman, atau pembangunan, karena tanah disewa untuk manfaat-manfaat tersebut, sedangkan pengaruhnya terhadap tanah berbeda-beda, maka wajib untuk dijelaskan.
Jika ia berkata, “Aku sewakan kepadamu tanah ini untuk kamu tanami apa saja yang kamu kehendaki,” maka hal itu sah, karena ia memberikan izin menanami dengan sesuatu yang paling merusak tanah, maka jenis tanaman apapun yang ia tanam, tidaklah ia mengambil manfaat lebih dari haknya.
Jika ia berkata, “Aku sewakan kepadamu untuk menanam,” tanpa menyebut jenisnya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak sah, karena jenis-jenis tanaman berbeda dalam pengaruhnya terhadap tanah, maka wajib dijelaskan.
Kedua, sah, karena perbedaan pengaruh antara jenis-jenis tanaman tidak terlalu signifikan.
Jika ia berkata, “Aku sewakan kepadamu untuk menanam atau menanam pohon,” maka tidak sah, karena ia memberikan pilihan salah satu di antara dua tanpa penentuan, maka tidak sah sebagaimana jika ia berkata, “Aku jual kepadamu salah satu dari dua budak ini.”
Jika ia berkata, “Aku sewakan kepadamu untuk menanam dan menanam pohon,” maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak sah —ini adalah pendapat al-Muzani, Abū al-‘Abbās, dan Abū Isḥāq— karena tidak dijelaskan jumlah masing-masing dari keduanya.
Kedua, sah, dan penyewa boleh menanami separuh dan menanam pohon pada separuhnya —ini adalah pendapat yang zahir dari nash dan merupakan pendapat Abū al-Ṭayyib ibn Salamah— karena penggabungan dua hal mengandung makna pembagian secara merata, maka wajib dijadikan masing-masing separuh.
فصل: وإن استأجر ظهراً للركوب لم يصح العقد حنى يعرف جنس المركوب لأن الغرض يختلف باختلافه ويعرف ذلك بالتعيين والوصف لأنه يضبط بالصفة فجاز أن يعقد عليه بالتعيين والوصف كما قلنا في البيع فإن كان في الجنس نوعان مختلفان في السير كالمهملج والقطوف من الخيل ففيه وجهان: أحدهما يفتقر إلى ذكره لأن سيرهما يختلف
PASAL: Jika seseorang menyewa kendaraan tunggangan untuk ditunggangi, maka akadnya tidak sah sampai diketahui jenis hewan tunggangan tersebut, karena tujuan penggunaannya berbeda-beda tergantung jenisnya. Jenis tersebut diketahui dengan penunjukan langsung atau dengan penyebutan sifatnya, karena sifat dapat dijadikan ukuran, maka boleh dijadikan dasar akad sebagaimana dalam jual beli.
Jika dalam satu jenis hewan terdapat dua macam yang berbeda cara jalannya, seperti al-muhmalij dan al-qaṭūf dari jenis kuda, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, harus disebutkan perbedaannya karena perbedaan cara jalannya.
والثاني لا يختلف لأن التفاوت في جنس واحد يقل ولا يصح حتى يعرف الراكب ولا يعرف ذلك إلا بالتعيين لأنه يختلف بثقله وخفته وحركته وسكونه ولا يضبط ذلك بالوصف فوجب تعيينه ولا يصح حتى يعرف ما يركب به من سرج وغيره لأنه يختلف ذلك على المركوب والراكب فإن كان عمارية أو محملاً ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يجوز العقد عليه بالوصف لأنه يمكن وصفه فجاز العقد عليه بالصفة كالسرج والقتب والثاني إن كانت من المحامل البغدادية الخفاف جاز العقد عليه بالصفة لأنها لا تختلف وإن كانت من الخراسانية الثقال لم يجز إلا بالتعيين لأنها تختلف وتتفاوت
dan pendapat kedua, tidak perlu dibedakan karena perbedaan dalam satu jenis itu sedikit.
Dan tidak sah (akad sewa) sampai diketahui siapa penunggangnya, dan hal itu tidak dapat diketahui kecuali dengan penunjukan langsung, karena penunggang berbeda-beda berat ringannya, gerak dan diamnya, dan hal itu tidak dapat ditentukan dengan sifat, maka wajib ditentukan secara langsung.
Dan tidak sah sampai diketahui apa yang dipakai untuk menunggang, seperti pelana dan sejenisnya, karena hal itu berbeda-beda sesuai dengan hewan tunggangan dan penunggangnya.
Jika yang digunakan adalah ‘immāriyyah (tandu tertutup) atau muḥmal (tandu terbuka), maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, boleh mengakadkannya dengan sifat karena bisa dijelaskan dengan deskripsi, maka boleh akad dengan sifat sebagaimana pelana dan qitb.
Kedua, jika tandunya termasuk jenis baġdādiyyah yang ringan, maka boleh akad dengan sifat karena tidak berbeda-beda.
Ketiga, jika dari jenis khurāsāniyyah yang berat, maka tidak boleh kecuali dengan penunjukan langsung karena berbeda-beda dan beragam.
والثالث وهو المذهب أنه لا يجوز إلا بالتعيين لأنها تختلف بالضيق والسعة والثقل والخفة وذلك لا يضبط بالصفة فوجب تعيينه واختلف أصحابنا في المعاليق كالقدر والسطيحة فمنهم من قال: لا يجوز حتى يعرف قولاً واحداً لأنها تختلف فوجب العلم بها ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما لا يجوز حتى يعرف لما ذكرناه والثاني يجوز وتحمل على ما جرت به العادة لأنه تابع غير مقصود فلم تؤثر الجهالة فيه كالغطاء في الإجارة والحمل في البيع وإن كان السير في طريق فيه منازل معروفة جاز العقد عليه مطلقاً لأنه معلوم بالعرف فجاز العقد عليه مطلقاً كالثمن في موضع فيه نقد متعارف فإن لم يكن فيه منازل معروفة لم يصح حتى يبين لأنه مختلف لا عرف فيه فوجب بيانه كالثمن في موضع لا نقد فيه.
Dan yang ketiga, yaitu mazhab, bahwa tidak boleh kecuali dengan penentuan, karena berbeda-beda dalam sempit dan luasnya, berat dan ringannya, dan itu tidak bisa ditentukan dengan sifat, maka wajib ditentukan. Ulama kami berbeda pendapat tentang al-ma‘āliq seperti kuali dan wadah air, sebagian mereka berkata: tidak boleh sampai diketahui secara pasti, ini satu pendapat, karena ia berbeda-beda maka wajib mengetahuinya. Sebagian lagi berkata ada dua pendapat: salah satunya tidak boleh sampai diketahui sebagaimana telah kami sebutkan, dan yang kedua boleh serta dibawa kepada apa yang berlaku menurut kebiasaan, karena ia hanyalah sesuatu yang mengikuti, bukan maksud utama, maka ketidakjelasan padanya tidak berpengaruh, sebagaimana penutup dalam ijārah dan muatan dalam jual beli. Dan jika perjalanan di jalan yang terdapat rumah-rumah singgah yang sudah dikenal maka boleh akad atasnya secara mutlak, karena hal itu diketahui melalui ‘urf, maka bolehlah akad atasnya secara mutlak sebagaimana harga di suatu tempat yang ada mata uang yang dikenal. Jika tidak ada rumah-rumah singgah yang dikenal maka tidak sah sampai dijelaskan, karena ia berbeda-beda dan tidak ada ‘urf padanya, maka wajib dijelaskan sebagaimana harga di tempat yang tidak ada mata uang di dalamnya.
فصل: فإن استأجر ظهراً لحمل متاع صح العقد من غير جنس الظهر لأنه لا غرض في معرفته ولا يصح حتى يعرف جنس المتاع إنه حديد أو قطن لأن ذلك يختلف على البهيمة ولا يصح حتى يعرف قدره لأنه يختلف فإن كان موزوناً ذكر وزنه وإن كان مكيلاً ذكر كيله فإن ذكر الوزن فهو أولى لأنه أخصر وأبعد من الغرر فإن عرف بالمشاهدة جاز كما يجوز بيع الصبرة بالمشاهدة وإن لم يعرف كيلها فإن شرط أن يحمل عليها ما شاء بطل العقد لأنه دخل في الشرط ما يقتل البهيمة وذلك لا يجوز فبطل به العقد
PASAL: Jika seseorang menyewa kendaraan tunggangan untuk membawa barang, maka sah akadnya tanpa perlu mengetahui jenis tunggangan, karena tidak ada tujuan dalam mengetahuinya. Namun tidak sah sampai diketahui jenis barang yang dibawa, apakah besi atau kapas, karena hal itu berbeda pengaruhnya terhadap hewan. Dan tidak sah sampai diketahui kadarnya, karena hal itu juga berbeda. Jika barang ditakar dengan timbangan maka harus disebutkan timbangannya, dan jika ditakar dengan takaran maka harus disebutkan takarannya. Jika disebutkan dengan timbangan maka itu lebih utama, karena lebih ringkas dan lebih jauh dari gharar. Jika diketahui dengan cara melihat langsung maka boleh, sebagaimana sah jual beli tumpukan barang (ṣubrah) dengan melihat langsung meskipun tidak diketahui takarannya. Jika disyaratkan bahwa ia boleh membawa sekehendaknya, maka batal akadnya, karena dalam syarat itu bisa termasuk membawa sesuatu yang membinasakan hewan, dan hal itu tidak boleh, maka batal akad karena sebab itu.
فأما الظروف التي فيها متاع فإنه إن دخلت في وزن المتاع صح العقد لأن الغرر قد زال بالوزن وإن لم تدخل في وزن المتاع نظرت فإن كان ظروفاً معروفة كالغرائر الجبلية جاز العقد عليها من غير تعيين لأنها تتفاوت وإن كانت غير معروفة لم يجز حتى تعين لأنها تختلف ولا تضبط بالصفة فوجب تعيينه.
Adapun wadah-wadah yang di dalamnya terdapat barang, maka jika wadah tersebut masuk dalam timbangan barang, sah akadnya karena gharar telah hilang dengan adanya timbangan. Jika tidak masuk dalam timbangan barang, maka diperhatikan: jika berupa wadah yang sudah dikenal seperti karung-karung buatan Jabal, maka boleh akad atasnya tanpa penentuan karena tidak banyak perbedaan. Jika wadah tersebut tidak dikenal, maka tidak boleh kecuali dengan penentuan, karena wadah itu berbeda-beda dan tidak bisa ditentukan dengan sifat, maka wajib ditentukan.
فصل: فإن استأجر ظهراً للسقي لم يصح العقد حتى يعرف الظهر لأنه لا يجوز إلا على مدة وذلك يختلف باختلاف الظهر فوجب العلم به على الأظهر ويجوز أن يعرف ذلك بالتعيين والصفة لأنه يضبط بالصفة فجاز أن يعقد عليه بالتعيين والصفة كما يجوز بيعه بالتعيين والصفة ولا يصح حتى يعرف الدولاب لأنه يختلف ولا يعرف ذلك إلا بالتعيين لأنه لا يضبط بالصفة فوجب تعيينه.
PASAL: Jika seseorang menyewa kendaraan tunggangan untuk menyiram (tanaman), maka akadnya tidak sah hingga diketahui kendaraan tersebut, karena tidak diperbolehkan kecuali dengan waktu tertentu, dan waktu itu berbeda-beda tergantung kendaraan, maka wajib mengetahuinya menurut pendapat yang lebih kuat. Dan boleh diketahui dengan cara penunjukan langsung (ta‘yīn) dan penyebutan sifat (ṣifah), karena ia dapat ditentukan dengan sifat, maka boleh dilakukan akad atasnya dengan penunjukan dan sifat sebagaimana boleh menjualnya dengan penunjukan dan sifat. Dan tidak sah hingga diketahui dawlīb (alat pemutar air) karena alat itu berbeda-beda, dan tidak bisa diketahui kecuali dengan penunjukan, karena tidak bisa ditentukan dengan sifat, maka wajib ditentukan secara langsung.
فصل: وإن استأجر ظهراً للحرث لم يصح حتى يعرف الأرض لأنه يختلف ذلك بصلابة الأرض ورخاوتها فإن كان على جريان لم يفتقر إلى العلم بالظهر لأنه لا يختلف وإن كان على مدة وقلنا إنه يصح لم يجز حتى يعرف الظهر الذي يحرث به لأن العمل يختلف باختلافه ويعرف ذلك بالتعيين والصفة لما ذكرناه في السقي.
PASAL: Jika seseorang menyewa kendaraan tunggangan untuk membajak, maka tidak sah sampai diketahui tanahnya, karena hal itu berbeda pengaruhnya antara keras dan lunaknya tanah. Jika sewa tersebut berdasarkan pekerjaan (‘alā jarayān), maka tidak perlu mengetahui tunggangan, karena tidak ada perbedaan. Namun jika berdasarkan waktu dan kita katakan sah, maka tidak boleh sampai diketahui tunggangan yang digunakan untuk membajak, karena pekerjaan berbeda dengan perbedaan tunggangan, dan hal itu diketahui dengan penentuan dan sifat, sebagaimana telah kami sebutkan dalam masalah penyiraman.
فصل: وإن استأجر ظهراً للدياس لم يصح حتى يعرف الجنس الذي يداس لأن العمل يختلف باختلافه فإن كان على زرع معين لم يفتقر إلى ذكر الحيوان الذي يداس به لأنه لا غرض في تعيينه فإن كان على مدة لم يصح حتى يعرف الحيوان الذي يداس به لأن العمل يختلف باختلافه.
PASAL: Jika seseorang menyewa kendaraan tunggangan untuk mengirik, maka tidak sah hingga diketahui jenis tanaman yang akan diirik, karena pekerjaan berbeda-beda tergantung jenisnya. Jika pengirikan dilakukan terhadap tanaman tertentu, maka tidak perlu menyebutkan hewan yang digunakan untuk mengirik, karena tidak ada tujuan dalam penentuannya. Namun jika akadnya berdasarkan waktu tertentu, maka tidak sah hingga diketahui hewan yang digunakan untuk mengirik, karena pekerjaan berbeda-beda tergantung hewannya.
فصل: وإن استأجر جارحة للصيد لم يصح حتى يعرف جنس الجارحة لأن الصيد يختلف باختلافه ويعرف ذلك بالتعيين والصفة لأنه يضبط بالصفة ولا يصح حتى يعرف ما يرسله عليه من الصيد لأن لكل صنف من الصيد تأثيراً في إتعاب الجارحة.
PASAL: Jika seseorang menyewa hewan pemburu untuk berburu, maka tidak sah sampai diketahui jenis hewan pemburunya, karena hasil buruan berbeda sesuai perbedaan jenisnya. Hal itu diketahui dengan penentuan dan sifat, karena bisa ditentukan dengan sifat. Dan tidak sah sampai diketahui binatang buruan apa yang akan dilepaskan kepadanya, karena setiap jenis buruan memiliki pengaruh berbeda dalam membuat lelah hewan pemburu.
فصل: وإن استأجر رجلاً ليرعى له مدة لم يصح حتى يعرف جنس الحيوان لأن لكل جنس من الماشية تأثيراً في إتعاب الراعي ويجوز أن يعقد على جنس معين وعلى جنس في الذمة فإن عقد على موصوف لم يصح حتى يذكر العدد لأن العمل يختلف باختلافه ومن أصحابنا من قال يجوز مطلقاً ويحمل على ما جرت به العادة أن يرعاه الواحد من مائة أو أقل أو أكثر والأول أظهر لأن ذلك يختلف وليس فيه عرف واحد.
PASAL: Jika seseorang menyewa seorang lelaki untuk menggembalakan hewan ternaknya dalam jangka waktu tertentu, maka tidak sah hingga diketahui jenis hewan ternaknya, karena setiap jenis hewan ternak memiliki pengaruh tersendiri dalam melelahkan penggembala. Boleh melakukan akad atas jenis tertentu, dan atas jenis dalam tanggungan. Jika akad dilakukan atas hewan yang disifati, maka tidak sah hingga disebutkan jumlahnya, karena pekerjaan berbeda-beda tergantung jumlahnya. Sebagian dari para sahabat kami berpendapat bahwa boleh secara mutlak, dan ditakwilkan kepada kebiasaan bahwa satu orang biasa menggembalakan seratus ekor atau kurang atau lebih. Namun pendapat pertama lebih kuat, karena hal itu berbeda-beda dan tidak ada kebiasaan tunggal yang berlaku.
فصل: وإن استأجر امرأة للرضاع لم يصح العقد حتى يعرف الصبي الذي عقد على إرضاعه لأنه يختلف الرضاع باختلافه ولا يعرف ذلك إلا بالتعيين لأنه لا يضبط بالصفة ولا يصح حتى يذكر موضع الرضاع لأن الغرض يختلف باختلافه.
PASAL: Jika seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui, maka tidak sah akadnya sampai diketahui bayi yang disusui dalam akad tersebut, karena penyusuan berbeda sesuai perbedaan bayi. Dan hal itu tidak bisa diketahui kecuali dengan penentuan, sebab tidak dapat ditentukan dengan sifat. Dan tidak sah sampai disebutkan tempat penyusuan, karena tujuan berbeda sesuai perbedaan tempatnya.
فصل: وإن استأجر رجلاً ليحفر له بئراً أو نهراً لم يصح العقد حتى يعرف الأرض لأن الحفر يختلف باختلافها ولا يصح حتى يذكر الطول والعرض والعمق لأن الغرض يختلف باختلافها وإن استأجر لبناء حائط لم يصح العقد حتى يذكر الطول والعرض وما يبنى به من الآجر واللبن والجص والطين لأن الأغراض تختلف باختلافها، وإن استأجره لضرب اللبن لم يصح حتى يعرف موضع الماء والتراب ويذكر الطول والعرض والسمك والعدد وعلى هذا جميع الأعمال التي يستأجر عليها وإن كان فيما يختلف الغرض باختلافه ما لا يعرفه رجع فيه إلى أهل الخبرة ليعقد على شرطه كما إذا أراد أن يعقد النكاح ولم يعرف شروط العقد رجع إلى من يعرفه ليعقد بشروطه وإن عجز عن ذلك فوضه إلى من يعرفه ليعقد بشرطه كما يوكل الأعمى في البيع والشراء من يشاهد المبيع.
PASAL: Jika seseorang menyewa seorang lelaki untuk menggali sumur atau sungai, maka akadnya tidak sah hingga diketahui tanahnya, karena penggalian berbeda-beda tergantung jenis tanahnya. Dan tidak sah hingga disebutkan panjang, lebar, dan kedalamannya, karena tujuan berbeda-beda tergantung hal tersebut. Jika ia menyewanya untuk membangun dinding, maka tidak sah hingga disebutkan panjang dan lebar, serta bahan yang digunakan untuk membangunnya, apakah dari batu bata, tanah liat, kapur, atau lumpur, karena tujuan berbeda-beda tergantung bahan tersebut. Jika ia menyewanya untuk mencetak batu bata, maka tidak sah hingga diketahui letak air dan tanahnya, serta disebutkan panjang, lebar, tebal, dan jumlahnya. Demikian pula seluruh pekerjaan yang disewa untuknya—jika dalam hal-hal yang tujuannya berbeda-beda itu terdapat sesuatu yang tidak diketahuinya, maka dikembalikan kepada ahli yang berpengalaman untuk melakukan akad sesuai dengan ketentuannya, sebagaimana jika seseorang hendak melakukan akad nikah namun tidak mengetahui syarat-syarat akad, maka ia kembali kepada orang yang mengetahuinya untuk melangsungkan akad dengan syarat-syaratnya. Jika ia tidak mampu melakukannya, maka ia serahkan urusan itu kepada orang yang mengetahuinya untuk melakukan akad sesuai ketentuannya, sebagaimana orang buta mewakilkan kepada orang lain dalam jual beli untuk melihat barang yang dijual.
فصل: وإن استأجر رجلاً ليلقنه سورة من القرآن لم يصح حتى يعرف السورة لأن الغرض يختلف باختلافها وإن كان على تلاوة عشر آيات من القرآن لم يصح حتى يعينها لأن آيات القرآن تختلف فإن كان على عشر آيات من سورة معينة ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأن الأعشار تختلف والثاني يصح لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: جاءت امرأة إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فعرضت نفسها عليه فقال لها: “اجلسي بارك الله فيك أما نحن فلا حاجة لنا فيك ولكن تملكيننا أمرك” قالت نعم: فنظر رسول الله صلى الله عليه وسلم في وجوه القوم فدعا رجلاً منهم فقال: “إني أريد أن أزوجك هذا إن رضيت”
PASAL: Jika seseorang menyewa seorang lelaki untuk melafalkan kepadanya suatu surah dari Al-Qur’an, maka tidak sah sampai diketahui surah tersebut karena tujuan berbeda-beda tergantung surahnya. Dan jika sewa itu atas dasar membaca sepuluh ayat dari Al-Qur’an, maka tidak sah sampai ayat-ayat itu ditentukan karena ayat-ayat Al-Qur’an berbeda-beda. Jika sewa itu atas dasar sepuluh ayat dari surah tertentu, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak sah karena sepuluh ayat berbeda-beda kandungannya.
Kedua, sah, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW dan menawarkan dirinya kepada beliau. Maka beliau bersabda kepadanya: “Duduklah, semoga Allah memberkahimu. Adapun kami, kami tidak mempunyai kebutuhan kepadamu, tetapi engkau dapat menyerahkan urusanmu kepadaku.” Wanita itu berkata, “Ya.” Maka Rasulullah SAW melihat kepada wajah-wajah para sahabat, lalu beliau memanggil seorang dari mereka dan bersabda: “Aku ingin menikahkanmu dengannya jika engkau ridha.”
فقالت ما رضيت لي يا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقد رضيت ثم قال للرجل: “هل عندك من شيء” قال لا والله يا رسول الله قال: “ما تحفظ من القرآن؟ ” قال: سورة البقرة والتي تليها قال: “قم فعلمها عشرين آية وهي امرأتك” وهل يفتقر إلى تعيين الحرف؟ فيه وجهان: أحدهما لا يصح حتى يعين الحرف لأن الأغراض تختلف باختلاف الحرف والثاني لا يحتاج إلى تعيين الأحرف لأن ما بين الأحرف من الاختلاف قليل.
Maka wanita itu berkata: “Apa yang engkau ridai untukku wahai Rasulullah SAW, maka aku pun ridha.” Lalu beliau berkata kepada laki-laki itu: “Apakah engkau memiliki sesuatu?” Ia menjawab: “Demi Allah tidak, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Apa yang engkau hafal dari Al-Qur’an?” Ia menjawab: “Surah al-Baqarah dan surah setelahnya.” Beliau bersabda: “Berdirilah dan ajarkanlah dia dua puluh ayat, dan dia menjadi istrimu.”
Apakah perlu menentukan bacaan huruf? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak sah sampai hurufnya ditentukan, karena tujuan berbeda-beda tergantung huruf.
Kedua, tidak perlu menentukan huruf, karena perbedaan antar huruf sangat sedikit.
فصل: وإن استأجر للحج والعمرة لم يصح حتى يذكر أنه إفراد أو قران أو تمتع لأن الأغراض تختلف باختلافها فأما موضع الإحرام فقال في الأم لا يجوز حتى يعين وقال في الإملاء إذا استأجر أجيراً أحرم من الميقات ولم يشترط التعيين واختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق المرزوي فيه قولان: أحدهما لا يجوز حتى يعين لأن الإحرام قد يكون من الميقات وقد يكون من دويرة أهله وقد يكون من غيرهما فإذا أطلق العقد على مجهول فلم يصح والثاني أنه يجوز من غير تعيين ويحمل على ميقات الشرع لأن الميقات معلوم بالشرع فانصرف الإطلاق إليه كنقد البلد في البيع
PASAL: Jika seseorang menyewa orang lain untuk haji dan ‘umrah, maka tidak sah hingga disebutkan apakah itu ifrād, qirān, atau tamattu‘, karena maksud dan tujuan berbeda-beda menurut masing-masingnya.
Adapun tempat iḥrām, maka beliau berkata dalam al-Umm: tidak boleh hingga ditentukan. Dan beliau berkata dalam al-Imlā’: jika menyewa seorang pekerja, maka ia berihrām dari mīqāt tanpa mensyaratkan penentuan.
Para sahabat kami berbeda pendapat dalam hal ini. Abu Ishāq al-Marwazī berkata bahwa terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak sah hingga ditentukan, karena iḥrām bisa saja dari mīqāt, bisa dari rumahnya, dan bisa dari tempat lain. Maka jika akad dilakukan secara mutlak terhadap sesuatu yang tidak diketahui, tidaklah sah.
Kedua, bahwa hal itu sah meskipun tanpa penentuan, dan dibawa kepada mīqāt syar‘i, karena mīqāt diketahui melalui syariat, maka pengungkapan yang bersifat umum diarahkan kepadanya, sebagaimana nuqūd al-balad dalam jual beli.
ومن أصحابنا من قال إن كان الحج عن حي لم يجز حتى يعين لأنه يمكن الرجوع إلى معرفة غرضه وإن كان عن ميت جاز من غير تعيين لأنه لا يمكن الرجوع إلى معرفة غرضه وحمل القولين على هذين الحالين ومنهم من قال: إن كان للبلد ميقاتان لم يجز حتى يبين لأنه ليس أحدهما بأولى من الآخر فوجب بيانه كالثمن في موضع فيه نقدان وإن لم يكن له إلا ميقات واحد جاز من غير تعيين كالثمن في موضع ليس فيه إلا نقد واحد وحمل القولين على هذين الحالين فإن ترك التعيين وقلنا إنه لا يصح فحج الأجير انعقد الحج للمستأجر لأنه فعله بإذنه مع فساد العقد فوقع له كما لو وكله وكالة فاسدة في بيع.
dan sebagian dari sahabat kami berkata: jika haji itu untuk orang hidup, maka tidak boleh hingga ditentukan, karena memungkinkan untuk kembali mengetahui maksud dan tujuannya. Namun jika untuk orang mati, maka boleh tanpa penentuan karena tidak memungkinkan kembali untuk mengetahui maksud dan tujuannya. Maka dua pendapat itu ditakwilkan sesuai dua keadaan ini.
Dan sebagian dari mereka berkata: jika negeri itu memiliki dua mīqāt, maka tidak sah hingga dijelaskan, karena tidak ada salah satu yang lebih utama dari yang lain, maka wajib dijelaskan sebagaimana harga di tempat yang memiliki dua jenis mata uang. Namun jika negeri itu hanya memiliki satu mīqāt, maka boleh tanpa penentuan, seperti harga di tempat yang hanya memiliki satu jenis mata uang. Maka dua pendapat itu ditakwilkan kepada dua keadaan ini.
Jika penentuan itu ditinggalkan dan kita mengatakan bahwa hal itu tidak sah, kemudian si pekerja tetap berhaji, maka haji tersebut terhitung untuk pihak penyewa, karena ia melakukannya dengan izinnya meskipun akadnya rusak, maka haji itu jatuh baginya sebagaimana bila seseorang mewakilkannya dengan wakālah yang rusak untuk menjual.
فصل: ولا تصح الإجارة إلا على أجرة معلومة لأنه عقد يقصد به العوض فلم يصح من غير ذكر العوض كالبيع ويجوز إجارة المنافع من جنسها ومن غير جنسها لأن المنافع في الإجارة كالأعيان في البيع ثم الأعيان يجوز بيع بعضها ببعض فكذلك المنافع.
PASAL: Dan tidak sah ijārah kecuali dengan upah yang diketahui, karena ia adalah akad yang dimaksudkan untuk mendapatkan imbalan, maka tidak sah tanpa penyebutan imbalan sebagaimana dalam jual beli. Dan boleh menyewakan manfaat dengan imbalan yang sejenis maupun yang tidak sejenis, karena manfaat dalam ijārah seperti benda dalam jual beli, sedangkan benda boleh dijual sebagian dengan sebagian lainnya, maka demikian pula manfaat.
فصل: ولا تجوز إلا بعوض معلوم لما روى أبو سعيد الخدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من استأجر أجيراً فليعلمه أجره” ولأنه عقد معاوضة فلم يجز بعوض مجهول كالبيع وإن عقد بمال جزاف نظرت فإن كان العقد على منفعة في الذمة ففيه قولان لأن إجارة المنفعة في الذمة كالسلم وفي السلم على مال جزاف قولان فكذلك في الإجارة ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما يجوز
PASAL: Tidak boleh (akad ijārah) kecuali dengan imbalan yang diketahui, berdasarkan riwayat dari Abu Sa‘īd al-Khudrī RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menyewa seorang pekerja, maka hendaklah ia memberitahukan upahnya.” Karena akad ini adalah akad tukar-menukar (mu‘āwaḍah), maka tidak sah dengan imbalan yang tidak diketahui, sebagaimana jual beli.
Jika akad dilakukan dengan harta jazāf (tidak ditentukan ukurannya), maka ditinjau lagi: apabila akad atas manfaat dalam tanggungan (fī al-dzimmah), maka ada dua pendapat karena sewa-menyewa manfaat dalam tanggungan seperti salam, dan dalam akad salam atas harta jazāf terdapat dua pendapat, maka demikian pula dalam ijārah.
Sebagian ulama berkata, dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah boleh.
والثاني لا يجوز لأنه عقد على منتظر وربما انفسخ فيحتاج إلى الرجوع إلى العوض فكان في عوضه جزافاً قولان كالسلم وإن كانت الإجارة على منفعة معينة جاز بأجرة حالة ومؤجلة لأن إجارة العين كبيع العين وبيع العين يصح بثمن حال ومؤجل فكذلك الإجارة فإن أطلق العقد وجبت الأجرة بالعقد ويجب تسليمها بتسليم العين لما روى أبو هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم “أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف رشحه” ولأن الإجارة كالبيع ثم في البيع يجب الثمن بنفس العقد ويجب تسليمه بتسليم العين فكذلك في الأجرة فإن استوفى المنفعة استقرت الأخيرة
dan yang kedua: tidak boleh, karena itu adalah akad atas sesuatu yang belum ada, dan mungkin saja akad itu batal sehingga perlu kembali kepada imbalan, maka imbalannya menjadi tidak tentu, dua pendapat seperti dalam salam. Dan jika ijārah atas manfaat tertentu, maka boleh dengan upah yang kontan maupun yang ditangguhkan, karena ijārah atas barang seperti jual beli barang, dan jual beli barang sah dengan harga kontan maupun harga yang ditangguhkan, maka demikian pula ijārah. Jika akad dilakukan secara mutlak, maka upah menjadi wajib dengan akad, dan wajib diserahkan saat penyerahan barang, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Bayarlah upah pekerja sebelum kering keringatnya,” dan karena ijārah seperti jual beli, dan dalam jual beli harga menjadi wajib dengan akad itu sendiri dan wajib diserahkan saat penyerahan barang, maka demikian pula dalam ijārah. Jika manfaat telah dinikmati, maka upahnya menjadi tetap.
لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “قال ربكم عز وجل: ثلاث أنا خصمهم يوم القيامة ومن كنت خصمه خصمته رجل أعطى بي ثم غدر ورجل باع حراً فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيراً فاستوفى منه ولم يوفه أجره” ولأنه قبض المعقود عليه فاستقر عليه البدل كما لو قبض المبيع فإن سلم إليه العين التي وقع في العقد على منفعتها ومضت مدة يمكن فيها الاستيفاء استقر البدل لأن المعقود عليه تلف تحت يده فاستقر عليه البدل كالمبيع إذا تلف في يد المشتري
karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Rabb kalian ‘azza wa jalla berfirman: Ada tiga golongan yang Aku menjadi lawan mereka pada hari kiamat, dan siapa yang Aku menjadi lawannya, pasti Aku kalahkan: seseorang yang berjanji atas nama-Ku lalu berkhianat, seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan seseorang yang mempekerjakan pekerja lalu mengambil manfaat darinya namun tidak memberinya upah.” Dan karena ia telah menerima barang yang menjadi objek akad, maka wajib atasnya imbalan sebagaimana jika ia menerima barang dagangan. Maka jika ia telah menyerahkan barang yang menjadi objek manfaat dalam akad, dan telah berlalu waktu yang memungkinkan untuk mengambil manfaat tersebut, maka imbalan menjadi tetap atasnya karena objek akad telah rusak di tangannya, maka tetaplah imbalannya sebagaimana barang dagangan yang rusak di tangan pembeli.
فإن عرض العين على المستأجر ومضى زمان يمكن فيه الاستيفاء استقرت الأجرة لأن المنافع تلفت باختياره فاستقر عليه ضمانها كالمشتري إذا أتلف المبيع في يد البائع فإن كان هذا في إجارة فاسدة استقر عليه أجرة المثل لأن الإجارة كالبيع والمنفعة كالعين ثم البيع الفاسد كالصحيح في استقرار البدل فكذلك في الإجارة
maka jika pemilik barang menawarkan barang tersebut kepada penyewa, dan telah berlalu waktu yang memungkinkan untuk mengambil manfaat darinya, maka upah menjadi tetap atas penyewa karena manfaat telah hilang karena pilihannya, maka wajib atasnya menanggungnya sebagaimana pembeli yang merusak barang dagangan di tangan penjual. Jika hal ini terjadi dalam ijārah yang rusak (fāsidah), maka wajib atasnya ujrah al-mitsl karena ijārah seperti jual beli, dan manfaat seperti barang, dan jual beli yang rusak sama dengan yang sah dalam hal tetapnya imbalan, maka demikian pula dalam ijārah.
فإن كان العقد على منفعة في الذمة لم يجز بأجرة مؤجلة لأن إجارة ما في الذمة كالسلم ولا يجوز السلم بثمن مؤجل فكذلك الإجارة ولا يجوز حتى يقبض العوض في المجلس كما لا يجوز في السلم ومن أصحابنا من قال إن كان العقد بلفظ السلم وجب قبض العوض في المجلس لأنه سلم وإن كان بلفظ الإجارة لم يجب لأنه إجارة والأول أظهر لأن الحكم يتبع المعنى لا الإسم ومعناه معنى السلم فكان حكمه كحكمه ولا تستقر الأجرة في هذه الإجارة إلا باستيفاء المنفعة لأن المعقود عليه في الذمة فلا يستقر بدله من غير استيفاء كالمسلم فيه.
maka jika akad atas manfaat dalam dzimmah, tidak boleh dengan upah yang ditangguhkan, karena ijārah atas sesuatu dalam dzimmah seperti salam, dan salam tidak boleh dengan harga yang ditangguhkan, maka demikian pula ijārah. Dan tidak boleh kecuali setelah menerima imbalan di majelis akad sebagaimana salam. Dan sebagian dari kalangan kami berkata: jika akad dilakukan dengan lafaz salam, maka wajib menerima imbalan di majelis akad karena ia adalah salam; dan jika dengan lafaz ijārah, maka tidak wajib karena ia adalah ijārah. Pendapat pertama lebih kuat karena hukum mengikuti makna, bukan nama, dan maknanya adalah makna salam, maka hukumnya seperti hukumnya. Dan upah dalam ijārah seperti ini tidak menjadi tetap kecuali dengan pengambilan manfaat, karena yang diakadkan adalah sesuatu dalam dzimmah, maka imbalannya tidak menjadi tetap tanpa pengambilan manfaat sebagaimana barang dalam akad salam.
فصل: وما عقد من الإجارة على منفعة موصوفة في الذمة يجوز حالاً ومؤجلاً في الذمة كالسلم والسلم يجوز حالاً ومؤجلاً فكذلك الإجارة في الذمة وإن استأجر منفعة في الذمة وأطلق وجبت المنفعة حالة كما إذا أسلم في شيء وأطلق وجب حالاً فإن استأجر رجلاً للحج في الذمة لزمه الحج من سنته فإن أخره عن السنة نظرت فإن كانت الإجارة عن حي كان له أن يفسخ لأن حقه تأخر وله في الفسخ فائدة وهو أن يتصرف في الأجرة فإن كانت عن ميت لم يفسخ لأنه لا يمكن التصرف في الأجرة إذا فسخ العقد ولا بد من استئجار غيره في السنة الثانية فلم يكن للفسخ وجه وما عقد على منفعة معينة لا يجوز إلا حالاً
PASAL: Dan akad ijārah atas manfaat yang disifati dalam dzimmah boleh dilakukan secara tunai maupun tangguh dalam dzimmah sebagaimana salam, dan salam boleh secara tunai maupun tangguh, maka demikian pula ijārah dalam dzimmah. Jika seseorang menyewa suatu manfaat dalam dzimmah secara mutlak (tanpa menyebut waktu), maka wajib dipenuhi secara tunai, sebagaimana apabila seseorang melakukan salam pada suatu barang secara mutlak, maka wajib ditunaikan secara tunai.
Jika seseorang menyewa seseorang untuk menunaikan haji dalam dzimmah, maka wajib baginya untuk berhaji pada tahun itu juga. Jika ia menunda pelaksanaan haji dari tahun itu, maka dilihat: jika akad ijārah tersebut atas nama orang hidup, maka pihak yang menyewakan boleh membatalkan akad karena haknya tertunda, dan ada manfaat dalam pembatalan, yaitu ia bisa menggunakan kembali uang sewa. Namun jika akad itu untuk menggantikan haji orang mati, maka tidak boleh dibatalkan karena tidak mungkin menggunakan uang sewa setelah pembatalan akad, dan tetap harus menyewa orang lain pada tahun berikutnya, sehingga tidak ada faedah dalam pembatalan.
Dan segala akad atas manfaat tertentu tidak boleh kecuali secara tunai.
فإن كان على مدة لم يجز إلا على مدة يتصل ابتداؤها بالعقد وإن كان على عمل معين لم يجز إلا في الوقت الذي يمكن الشروع في العمل لأن إجارة العين كبيع العين وبيع العين لا يجوز إلا على ما يمكن الشروع في قبضها فكذلك الإجارة فإن استأجر من يحج له لم يجز إلا في الوقت الذي يتمكن فيه من التوجه فإن كان في موضع قريب لم يجز قبل شهر الحج لأنه يتأخر استيفاء المعقود عليه عن حال العقد
Maka jika akad dilakukan atas suatu jangka waktu, tidak boleh kecuali dengan waktu yang permulaannya bersambung dengan waktu akad. Dan jika atas suatu pekerjaan tertentu, maka tidak boleh kecuali pada waktu yang memungkinkan untuk memulai pekerjaan tersebut. Karena ijārah atas ‘ain seperti jual beli ‘ain, dan jual beli ‘ain tidak boleh kecuali atas sesuatu yang mungkin segera diterima, maka demikian pula ijārah.
Jika seseorang menyewa orang lain untuk menghajikannya, maka tidak boleh kecuali pada waktu yang memungkinkan untuk berangkat. Jika berada di tempat yang dekat, maka tidak boleh sebelum masuk bulan haji, karena pelaksanaan manfaat yang diakadkan tertunda dari waktu akad.
وإن كان في موضع بعيد لا يدرك الحج إلا أن يسير قبل أشهره لم يستأجر إلا في الوقت الذي يتوجه بعده لأنه وقت الشروع في الاستيفاء فإن قال أجرتك هذه الدار شهراً لم يصح لأنه ترك تعيين المعقود عليه في عقد شرط فيه التعيين فبطل كما لو قال بعتك عبداً فإن أجر داراً من رجل شهراً من وقت العقد ثم أجرها منه الشهر الذي بعده قبل انقضاء الشهر الأول ففيه وجهان: أحدهما لا يصح لأنه إجارة منفعة معينة على مدة متأخرة عن العقد فأشبه إذا أجرها من غيره والثاني أنه يصح وهو المنصوص لأنه ليس لغيره يد تحول بينه وبين ما استأجر ولأن أحد شهريه لا ينفصل عن الآخر فأشبه إذا جمع بينهما في العقد
Dan jika berada di tempat yang jauh sehingga tidak dapat mencapai haji kecuali dengan berangkat sebelum bulan-bulan haji, maka tidak boleh disewa kecuali pada waktu yang setelahnya ia bisa mulai berangkat, karena itu adalah waktu permulaan dalam mengambil manfaat.
Jika seseorang berkata, “Aku sewakan rumah ini kepadamu selama sebulan,” maka tidak sah, karena ia meninggalkan penentuan ma‘qūd ‘alayh dalam akad yang disyaratkan adanya penentuan, maka batal, sebagaimana jika ia berkata, “Aku jual kepadamu seorang budak.”
Jika seseorang menyewakan rumah dari orang lain untuk sebulan sejak waktu akad, kemudian ia menyewakannya lagi untuk bulan berikutnya sebelum habis bulan pertama, maka ada dua pendapat: pertama, tidak sah, karena itu adalah ijārah atas manfaat tertentu untuk jangka waktu yang tertunda dari waktu akad, maka menyerupai ketika ia menyewakannya kepada orang lain; dan pendapat kedua menyatakan sah, dan itu adalah pendapat yang manshūsh, karena tidak ada tangan pihak lain yang menghalangi antara dirinya dan apa yang ia sewa, dan karena kedua bulan itu tidak terpisah, maka menyerupai keadaan jika ia menggabungkan keduanya dalam satu akad.
فصل: فإن أكرى ظهراً من رجلين يتعاقبان عليه أو اكترى من رجل عقبة ليركب في بعض الطريق دون بعض جاز وقال المزني لا يجوز اكتراء العقبة إلا مضموناً لأنه يتأخر حق أحدهما عن العقد فلم يجز كما لو أكراه ظهراً في مدة تتأخر عن العقد والمذهب الأول لأنه استحقاق الاستيفاء مقارن للعقد وإنما يتأخر في القسمة وذلك لا يمنع صحة العقد كما لو باع من رجلين صبرة فإنه يصح وإن تأخر حق أحدهما عند القسمة فإن كان ذلك في طريق فيه عادة في الركوب والنزول جاز العقد عليه مطلقاً وحملا في الركوب والنزول على العادة لأنه معلوم بالعادة فحمل الإطلاق عليه كالنقد المعروف في البيع
PASAL: Jika seseorang menyewakan tunggangan kepada dua orang secara bergantian, atau ia menyewa dari seseorang satu giliran untuk menaiki sebagian jalan tanpa sebagian yang lain, maka hal itu boleh. Al-Muzani berkata: tidak boleh menyewa secara bergiliran kecuali dengan tanggungan (jaminan), karena hak salah satu dari keduanya tertunda dari waktu akad, maka tidak boleh, sebagaimana jika ia menyewakan tunggangan untuk waktu yang tertunda dari akad.
Namun pendapat yang benar adalah yang pertama, karena hak untuk mulai mengambil manfaat itu bertepatan dengan waktu akad, hanya saja pelaksanaannya tertunda karena pembagian, dan hal itu tidak menghalangi sahnya akad, sebagaimana jika seseorang menjual ṣubrah kepada dua orang, maka sah meskipun hak salah satunya tertunda karena pembagian.
Jika akad itu dilakukan di jalan yang memang biasa dilakukan naik dan turun (bergiliran), maka sah akadnya secara mutlak, dan disesuaikan dalam naik dan turun itu dengan kebiasaan, karena hal itu diketahui dengan kebiasaan, maka membawa keumuman lafal pada kebiasaan seperti harga yang dikenal dalam akad jual beli.
وإن لم يكن فيه عادة لم يصح حتى يبين مقدار ما يركب كل واحد منهما لأنه غير معلوم بالعادة فوجب بيانه كالثمن في موضع لا نقد فيه فإن اختلفا في البادئ في الركوب أقرع بينهما فمن خرجت عليه القرعة قدم لأنهما تساويا في الملك فقدم القرعة.
Dan jika di jalan tersebut tidak terdapat kebiasaan (bergiliran naik turun), maka tidak sah hingga dijelaskan kadar waktu yang akan dinaiki oleh masing-masing dari keduanya, karena hal itu tidak diketahui berdasarkan kebiasaan, maka wajib dijelaskan sebagaimana (wajib dijelaskan) harga di tempat yang tidak ada mata uang yang berlaku.
Jika keduanya berselisih tentang siapa yang lebih dahulu naik, maka dilakukan undian di antara keduanya. Siapa yang keluar undiannya, dialah yang didahulukan, karena keduanya sama dalam hak kepemilikan, maka undian dijadikan penentu.
فصل: وما عقد من الإجارة على مدة لا يجوز فيه شرط الخيار لأن الخيار يمنع من التصرف فإن حسب ذلك على المكرى زدنا عليه المدة وإن حسب على المكترى نقصنا من المدة وهل يثبت فيه خيار المجلس؟ فيه وجهان: أحدهما لا يثبت لما ذكرناه من النقصان والزيادة في خيار الشرط والثاني يثبت لأنه قدر يسير ولكل واحد منهما إسقاطه وإن كان الإجارة على عمل معين ففيه ثلاثة أوجه: أحدها لا يثبت فيه الخياران لأنه عقد على غرر فلا يضاف إليه غرر الخيار
PASAL: Akad ijarah yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu tidak boleh disertai syarat khiyār karena khiyār menghalangi terjadinya pemanfaatan. Jika khiyār itu dihitung atas kerugian pihak pemberi sewa, maka kami tambahkan waktu sewa; dan jika dihitung atas kerugian penyewa, maka kami kurangi dari waktu sewa. Apakah dalam akad ini berlaku khiyār al-majlis? Ada dua pendapat: pertama, tidak berlaku, karena adanya kemungkinan pengurangan atau penambahan waktu sebagaimana pada khiyār asy-syarth; dan kedua, berlaku, karena masa khiyār ini singkat, dan masing-masing dari keduanya dapat menggugurkannya.
Jika akad ijarah dilakukan atas suatu pekerjaan tertentu, maka terdapat tiga pendapat: pertama, tidak berlaku kedua jenis khiyār, karena akad ini mengandung unsur gharar, sehingga tidak boleh ditambahkan gharar lainnya berupa khiyār.
والثاني يثبت فيه الخياران لأن المنفعة المعينة كالعين المعينة في البيت ثم العين المعينة يثبت فيها الخياران فكذلك المنفعة والثالث يثبت فيه خيار المجلس دون خيار الشرط لأنه عقد على منتظر فيثبت فيه خيار المجلس دون خيار الشرط كالسلم وإن كانت الإجارة على منفعة في الذمة ففيه وجهان: أحدهما لا يثبت فيه الخياران لأنه عقد على غرر فلا يضاف إليه غرر الخيار والثاني يثبت فيه خيار المجلس دون الشرط لأن الإجارة في الذمة كالسلم وفي السلم يثبت خيار المجلس دون خيار الشرط فكذلك في الإجارة.
Dan pendapat kedua: berlaku kedua jenis khiyār, karena manfaat tertentu itu seperti barang tertentu dalam jual beli rumah, sedangkan barang tertentu dapat berlaku padanya kedua jenis khiyār, maka demikian pula manfaat tertentu.
Pendapat ketiga: berlaku khiyār al-majlis saja tanpa khiyār asy-syarth, karena akad ini atas sesuatu yang ditunggu (tidak langsung ada manfaatnya), maka diberlakukan padanya khiyār al-majlis tanpa khiyār asy-syarth, sebagaimana dalam akad salam.
Dan jika akad ijarah atas manfaat dalam tanggungan (fi al-dzimmah), maka ada dua pendapat: pertama, tidak berlaku kedua jenis khiyār, karena akad ini mengandung unsur gharar, maka tidak boleh ditambahkan gharar lain berupa khiyār; dan pendapat kedua, berlaku padanya khiyār al-majlis saja tanpa khiyār asy-syarth, karena ijarah dalam tanggungan seperti salam, sedangkan dalam salam berlaku khiyār al-majlis saja tanpa khiyār asy-syarth, maka demikian pula dalam ijarah.
فصل: وإذا تم العقد لزم ولم يملك واحد منهما أن ينفرد بفسخه من غير عيب لأن الإجارة كالبيع ثم البيع إذا تم لزم فكذلك الإجارة وبالله التوفيق.
PASAL: Jika akad telah sempurna, maka akad menjadi mengikat dan tidak boleh salah satu dari keduanya membatalkannya secara sepihak tanpa adanya cacat, karena ijarah seperti halnya jual beli. Sedangkan jual beli, apabila telah sempurna, menjadi mengikat; maka demikian pula ijarah. Dan hanya kepada Allah-lah tertuju segala taufik.
باب ما يلزم المتكاريين وما يجوز لهما
يجب على المكري ما يحتاج إليه المكتري للتمكين من الانتفاع كمفتاح الدار وزمام الجمل والبرة التي في أنفه والحزام والقتب والسرج واللجام للفرس لأن التمكين عليه ولا يحصل التمكين إلا بذلك فإن تلف شيء منه في يد المكتري لم يضمنه كما لا يضمن العين المستأجرة وعلى المكري بدله لأن التمكين مستحق عليه إلى أن يستوفى المستأجر المنفعة وما يحتاج إليه لكمال الانتفاع كالدلو والحبل والمحمل والغطاء فهو على المكتري لأن ذلك يراد لكمال الانتفاع واختلف أصحابنا فيما يشد به أحد المحملين إلى الآخر فمنهم من قال هو على المكري لأنه من آلة التمكين فكان على المكري ومنهم من قال هو على المكتري لأنه بمنزلة تأليف المحمل وضم بعضه إلى بعض.
BAB TENTANG KEWAJIBAN DAN YANG BOLEH DILAKUKAN OLEH KEDUA PIHAK (PENYEWA DAN YANG MENYEWAKAN)
Wajib atas pihak yang menyewakan (al-mu’jir) menyediakan segala yang dibutuhkan oleh penyewa (al-musta’jir) untuk memungkinkan pemanfaatan, seperti kunci rumah, tali kendali unta, besi yang ada di hidungnya, tali pengikat, pelana, dan kekang untuk kuda, karena kewajiban memberikan akses pemanfaatan ada pada pihak penyewa, dan akses tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan hal-hal tersebut. Jika sesuatu dari itu rusak di tangan penyewa, maka ia tidak menanggung ganti rugi, sebagaimana ia juga tidak menanggung ganti rugi atas barang sewaan itu sendiri. Namun, pihak penyewa wajib menyediakan gantinya, karena akses pemanfaatan menjadi hak bagi penyewa hingga ia menyempurnakan pemanfaatannya.
Adapun hal-hal yang dibutuhkan untuk penyempurnaan pemanfaatan seperti ember, tali, tandu, dan penutup, maka itu menjadi tanggungan penyewa, karena hal tersebut diperlukan untuk kesempurnaan pemanfaatan.
Ulama mazhab kami berselisih pendapat tentang alat yang digunakan untuk mengikat salah satu dari dua sisi tandu dengan sisi lainnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa itu menjadi tanggungan pihak penyewa karena termasuk alat untuk memberikan akses pemanfaatan, sehingga menjadi tanggungan pihak penyewa. Sebagian lain berpendapat bahwa itu menjadi tanggungan penyewa, karena posisinya seperti menyusun dan menyatukan bagian-bagian tandu.
فصل: وعلى المكري إشالة المحمل وحطه وسوق الظهر وقوده لأن العادة أنه يتولاه المكري فحمل العقد عليه وعليه أن ينزل الراكب للطهارة وصلاة الفرض لأنه لا يمكن ذلك على الظهر ولا يجب ذلك للأكل وصلاة النفل لأنه يمكن فعله على الظهر وعليه أن يبرك الجمل للمرأة والمريض والشيخ الضعيف لأن ذلك من مقتضى التمكين من الانتفاع فكان عليه فأما أجرة الدليل فينظر فيه فإن كانت الإجارة على تحصيل الراكب فهو على المكري لأن ذلك من مؤن التحصيل
PASAL: Wajib atas pihak yang menyewakan (al-mu’jir) untuk menaikkan dan menurunkan tandu, menggiring hewan tunggangan, serta memberinya makan dan minum, karena kebiasaan umum menunjukkan bahwa hal itu ditangani oleh pihak penyewa, maka akad dibangun di atas dasar kebiasaan tersebut. Ia juga wajib menurunkan penumpang untuk bersuci dan menunaikan salat fardu, karena hal itu tidak mungkin dilakukan di atas tunggangan. Namun, ia tidak wajib menurunkannya untuk makan dan salat sunah, karena kedua hal itu masih memungkinkan dilakukan di atas tunggangan.
Ia juga wajib menundukkan unta (membuatnya duduk) bagi perempuan, orang sakit, dan orang tua yang lemah, karena itu merupakan bagian dari konsekuensi memberikan akses kepada pemanfaatan, maka menjadi kewajibannya.
Adapun upah pemandu jalan, maka perlu dirinci: jika akad sewa adalah untuk mencapai penumpang, maka biaya pemandu itu ditanggung oleh pihak yang menyewakan, karena termasuk ke dalam biaya pencapaian (manfaat yang dijanjikan).
وإن كانت الإجارة على ظهر بعينه فهو على المكتري لأن الذي يجب على المكري تسلم الظهر وقد فعل وعلى المكري تسليم الدار فارغة الحش لأنه من مقتضى التمكين فإن امتلأ في يد المكتري ففي كسحه وجهان: أحدهما أنه على المكري لأنه من مقتضى التمكين فكان عليه والثاني أنه على المكتري لأنه حصل بفعله فكان تنقيته عليه كتنظيف الدار من القماش وعلى المكري إصلاح ما تهدم من الدار وإبدال ما تكسر من الخشب
Jika akad ijarah dilakukan atas hewan tunggangan tertentu, maka biaya pemandu jalan menjadi tanggungan penyewa, karena yang wajib atas pihak yang menyewakan hanyalah menyerahkan hewan tunggangan tersebut, dan hal itu telah dilakukan.
Wajib atas pihak penyewa untuk menyerahkan rumah dalam keadaan kosong dari kotoran, karena hal itu termasuk konsekuensi dari pemberian akses pemanfaatan. Jika rumah itu menjadi penuh kotoran saat berada di tangan penyewa, maka dalam hal membersihkannya terdapat dua pendapat:
pertama, bahwa itu menjadi tanggungan pihak yang menyewakan karena termasuk konsekuensi dari pemberian akses pemanfaatan, maka menjadi kewajibannya;
kedua, menjadi tanggungan penyewa karena kotoran tersebut muncul karena perbuatannya, maka membersihkannya menjadi tanggung jawabnya, sebagaimana kewajiban membersihkan rumah dari kain atau barang-barangnya sendiri.
Wajib atas pihak yang menyewakan untuk memperbaiki bagian rumah yang rusak dan mengganti bagian kayu yang patah.
لأن ذلك من مقتضى التمكين فكان عليه واختلف أصحابنا في المستأجرة على الرضاع هل يلزمها الحضانة وغسل الخرق فمنهم من قال يلزمها لأن الحضانة تابعة للرضاع فاستحقت بالعقد على الرضاع ومنهم من قال لا يلزمها لأنهما منفعتان مقصودتان تنفرد إحداهما عن الأخرى فلا تلزم بالعقد على إحداهما الأخرى وعليها أن تأكل وتشرب ما يدر به اللبن ويصلح به وللمستأجر أن يطالبها بذلك لأن من مقتضى التمكين من الرضاع وفي تركه إضرار بالصبي.
Karena hal itu termasuk konsekuensi dari pemberian akses pemanfaatan, maka menjadi kewajibannya.
Ulama mazhab kami berselisih pendapat mengenai wanita yang disewa untuk menyusui, apakah ia juga wajib melakukan ḥaḍānah (mengasuh) dan mencuci kain kotor si anak. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa ia wajib melakukannya, karena pengasuhan adalah bagian yang mengikuti dari penyusuan, sehingga keduanya termasuk dalam akad penyusuan. Sebagian lain berpendapat bahwa ia tidak wajib, karena keduanya adalah dua bentuk manfaat yang masing-masing berdiri sendiri dan memiliki tujuan tersendiri, maka tidak wajib melakukan salah satunya hanya karena adanya akad atas yang lain.
Wanita yang disewa wajib makan dan minum hal-hal yang dapat memperlancar keluarnya susu dan menjadikannya layak, dan pihak penyewa berhak menuntutnya untuk melakukan hal itu, karena hal tersebut termasuk dalam konsekuensi pemberian akses terhadap manfaat penyusuan. Meninggalkannya dapat membahayakan si bayi.
فصل: وعلى المكري علف الظهر وسقيه لأن ذلك من مقتضى التمكين فكان عليه فإن هرب الجمال وترك الجمال فللمستأجر أن يرفع الأمر إلى الحاكم ليحكم في مال الجمال بالعلف لأن ذلك مستحق عليه فجاز أن يتوصل بالحكم إليه فإن أنفق المستأجر ولم يستأذن الحاكم لم يرجع لأنه متطوع وإن رفع الأمر إلى الحاكم ولم يكن للجمال مال اقترض عليه فإن اقترض من المستأجر وقبضه منه ثم دفعه إليه لينفق جاز وإن لم يقبض منه ولكنه أذن له في الإنفاق عليها قرضاً على الجمال ففيه قولان: أحدهما لا يجوز لأنه إذا أنفق احتجنا أن يقبل قوله في استحقاق حق له على غيره
PASAL: Dan wajib atas pihak mukri (pemilik tunggangan) memberi makan dan minum tunggangan, karena hal itu termasuk dalam konsekuensi pemberian kemampuan pemanfaatan, maka menjadi tanggungannya. Jika penggiring tunggangan melarikan diri dan meninggalkan tunggangan, maka penyewa boleh membawa perkara tersebut kepada hakim agar hakim menetapkan pemberian makan dari harta pemilik tunggangan, karena hal itu merupakan kewajiban atasnya, maka boleh ditempuh melalui keputusan hakim. Jika penyewa mengeluarkan biaya tanpa seizin hakim, maka ia tidak boleh menuntut ganti karena ia bersifat sukarela. Jika ia membawa perkara tersebut kepada hakim dan pemilik tunggangan tidak memiliki harta, maka hakim boleh meminjamkan atas nama pemilik tunggangan. Jika pinjaman itu dari penyewa dan ia menerima pinjaman itu dari penyewa kemudian memberikannya kepada pemilik tunggangan untuk digunakan memberi makan, maka hal itu sah. Namun jika ia tidak menerima secara langsung darinya, tapi hanya mengizinkan untuk mengeluarkan biaya atas nama pinjaman kepada pemilik tunggangan, maka terdapat dua pendapat: salah satunya tidak boleh, karena jika ia mengeluarkan biaya, maka kita membutuhkan penerimaan pengakuannya atas klaim hak milik terhadap orang lain.
والثاني يجوز لأنه موضع ضرورة لأنه لا بد للجمال من علف وليس ههنا من ينفق غيره فإن أذن له وأنفق ثم اختلفا في قدر ما أنفق فإن كان ما يدعيه زيادة على المعروف لم يلتفت إليه لأنه إن كان كاذباً فلا حق له وإن كان صادقاً فهو متطوع بالزيادة فلم تصح الدعوى وإن كان ما يدعيه هو المعروف فالقول قوله لأنه مؤتمن في الإنفاق فقبل قوله فيه فإن لم يكن حاكم فأنفق ولم يشهدلم يرجع لأنه متطوع وإن أشهد فهل يرجع فيه وجهان: أحدهما لا يرجع لأنه يثبت حقاً لنفسه على غيره من غير إذن ولا حاكم
dan yang kedua: boleh, karena ini adalah tempat ḍarūrah, sebab unta pengangkut pasti membutuhkan pakan, sedangkan tidak ada yang menanggung biaya selain dia. Maka jika ia diberi izin lalu mengeluarkan biaya, kemudian keduanya berselisih tentang jumlah yang dikeluarkan, jika yang ia klaim melebihi dari yang ma‘rūf, maka tidak diperhatikan; karena jika ia berdusta maka ia tidak punya hak, dan jika ia jujur maka ia hanya seorang yang bersedekah lebih, maka tidak sah pengakuannya. Dan jika yang ia klaim sesuai dengan yang ma‘rūf, maka perkataannya diterima, karena ia adalah orang yang dipercaya dalam pengeluaran, maka diterima perkataannya dalam hal itu. Jika tidak ada ḥākim, lalu ia mengeluarkan biaya tanpa menghadirkan saksi, maka ia tidak bisa meminta ganti karena ia seorang yang bersedekah. Dan jika ia menghadirkan saksi, maka apakah ia bisa meminta ganti? Dalam hal ini ada dua wajah: salah satunya, tidak bisa meminta ganti, karena ia menetapkan hak atas orang lain tanpa izin dan tanpa ḥākim.
والثاني يرجع لأنه حق على غائب تعذر استيفاؤه منه فجاز أن يتوصل إليه بنفسه كما لو كان له على رجل دين لا يقدر على أخذه منه فإن لم يجد من يشهد أنفق وفي الرجوع وجهان: أحدهما لا يرجع لما ذكرناه فيه إذا أشهد والثاني يرجع لأن ترك الجمال مع العلم أنه لا بد لها من العلف إذن في الإنفاق.
dan yang kedua: boleh meminta ganti, karena itu adalah hak atas orang yang ghaib yang sulit diambil darinya, maka boleh ditempuh dengan cara sendiri sebagaimana jika seseorang memiliki piutang atas orang lain dan tidak mampu mengambilnya. Jika ia tidak menemukan orang yang bisa dijadikan saksi, lalu ia mengeluarkan biaya, maka dalam hal meminta ganti ada dua wajah: pertama, tidak bisa meminta ganti sebagaimana telah disebutkan dalam kasus jika ia menghadirkan saksi; dan yang kedua, boleh meminta ganti, karena meninggalkan unta pengangkut dalam keadaan diketahui bahwa ia pasti membutuhkan pakan merupakan izin untuk mengeluarkan biaya.
فصل: واختلف أصحابنا في رد المستأجر بعد انقضاء الإجارة فمنهم من قال لا يلزمه قبل المطالبة لأنه أمانة فلا يلزمه ردها قبل الطلب كالوديعة ومنهم من قال يلزمه لأنه بعد انقضاء الإجارة غير مأذون له في إمساكها فلزمها الرد كالعارية المؤقتة بعد انقضاء وقتها فإن قلنا لا يلزمه الرد لم يلزمه مؤنة الرد كالوديعة وإن قلنا يلزمه لزمه مؤنة الرد كالعارية.
PASAL: Para sahabat kami berbeda pendapat tentang kewajiban mengembalikan barang sewaan setelah masa ijārah berakhir. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa penyewa tidak wajib mengembalikannya sebelum adanya tuntutan, karena barang tersebut adalah amanah, sehingga tidak wajib dikembalikan sebelum diminta, seperti wadī‘ah. Dan ada yang berpendapat bahwa penyewa wajib mengembalikannya karena setelah berakhirnya masa ijārah, ia tidak lagi diberi izin untuk menyimpannya, maka wajib dikembalikan seperti ‘āriyah yang terikat waktu setelah habis masa penggunaannya. Jika kita mengatakan bahwa penyewa tidak wajib mengembalikannya, maka tidak wajib baginya menanggung biaya pengembaliannya, seperti wadī‘ah. Namun jika kita mengatakan bahwa ia wajib mengembalikannya, maka ia wajib menanggung biaya pengembaliannya, seperti ‘āriyah.
فصل: وللمستأجر أن يستوفي مثل المنفعة المعقود عليها بالمعروف، لأن إطلاق العقد يقتضي المتعارف والمتعارف كالمشروط فإن استأجر داراً للسكنى جاز أن يطرح فيها المتاع لأن ذلك متعارف في السكنى ولا يجوز أن يربط فيها الدواب ولا يقصر فيها الثياب ولا يطرح في أصول حيطانها الرماد والتراب لأن ذلك غير متعارف في السكنى وهل يجوز أن يطرح فيها ما يسرع إليه الفساد؟ فيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن الفأر ينقب الحيطان للوصول إلى ذلك
PASAL: Penyewa berhak untuk mengambil manfaat sebagaimana yang diperjanjikan menurut kebiasaan, karena keumuman akad menunjukkan pada hal yang sudah menjadi kebiasaan, dan sesuatu yang menjadi kebiasaan itu seperti halnya syarat yang disebutkan. Maka jika seseorang menyewa rumah untuk tempat tinggal, boleh baginya menaruh barang-barangnya di dalamnya karena itu merupakan kebiasaan dalam tempat tinggal. Namun tidak boleh mengikat hewan di dalamnya, tidak boleh memotong kain di dalamnya, dan tidak boleh menaruh abu atau tanah di dasar dinding-dindingnya karena itu tidak termasuk kebiasaan dalam tempat tinggal. Apakah boleh menaruh sesuatu yang mudah rusak di dalamnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya mengatakan tidak boleh karena tikus dapat melubangi dinding untuk mencapai barang tersebut.
والثاني يجوز وهو الأظهر لأن طرح ما يسرع إليه قميصاً للبس لم يجز أن ينام فيه بالليل ويجوز بالنهار لأن العرف أن يخلع لنوم الليل دون نوم النهار وإن استأجر ظهر للركوب ركب عليه لا مستلقياً ولا منكباً لأن ذلك هو المتعارف وإن كان في طريق العادة فيه السير في أحد الزمانين من ليل أو نهار لم يسر في الزمان الآخر لأن ذلك هو المعارف وإن اكترى ظهراً في طريق العادة فيه النزول للرواح ففيه وجهان: أحدهما يلزمه النزول لأن ذلك متعارف والمتعارف كالمشروط
dan pendapat kedua menyatakan boleh, dan itu yang lebih kuat, karena menaruh sesuatu yang mudah rusak seperti baju untuk dipakai tidak menyebabkan keharaman, sebagaimana seseorang tidak boleh tidur malam dengan memakainya, tetapi boleh tidur siang karena kebiasaan (ʿurf) menunjukkan bahwa baju dilepas saat tidur malam, tidak pada tidur siang.
Jika seseorang menyewa kendaraan tunggangan untuk ditunggangi, maka ia menungganginya dalam posisi duduk, bukan berbaring atau tengkurap, karena itu yang menjadi kebiasaan. Jika berada di jalan yang kebiasaan dalamnya adalah perjalanan pada salah satu waktu, malam atau siang, maka tidak boleh melakukan perjalanan pada waktu lainnya, karena itu yang menjadi kebiasaan.
Jika seseorang menyewa tunggangan di jalan yang kebiasaan dalamnya turun untuk beristirahat sore, maka terdapat dua pendapat: salah satunya adalah ia wajib turun karena itu sudah menjadi kebiasaan, dan kebiasaan itu seperti syarat dalam akad.
والثاني لا يلزمه لأنه عقد على الركوب في جميع الطريق فلا يلزمه تركه في بعضه فإن اكترى ظهراً إلى مكة لم يجز أن يحج عليه لأن ذلك زيادة على المعقود عليه وإن اكتراه للحج عليه فله أن يركبه إلى منى ثم إلى عرفة ثم إلى المزدلفة ثم إلى منى ثم إلى مكة وهل يجوز أن يركبه من مكة عائداً إلى منى للمبيت والرمي؟ فيه وجهان: أحدهما له ذلك لأنه من تمام الحج والثاني ليس له لأنه قد حل من الحج.
dan pendapat kedua menyatakan tidak wajib baginya untuk turun, karena akadnya adalah atas tunggangan sepanjang jalan, maka tidak wajib baginya meninggalkannya pada sebagian jalan.
Jika seseorang menyewa tunggangan menuju Makkah, maka tidak boleh baginya berhaji dengannya, karena itu termasuk tambahan dari apa yang diakadkan. Namun jika ia menyewa untuk berhaji dengannya, maka boleh baginya menungganginya menuju Mina, lalu ke Arafah, lalu ke Muzdalifah, lalu ke Mina, lalu ke Makkah.
Apakah boleh menungganginya kembali dari Makkah ke Mina untuk bermalam dan melontar? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya, boleh karena itu bagian dari kesempurnaan ibadah haji; dan yang kedua, tidak boleh karena ia telah tahallul dari haji.
فصل: فإن اكترى ليحمل له أرطالاً من الزاد فهل له أن يبدل مال يأكله فيه قولان: أحدهما له أن يبدل وهو اختيار المزني كما أن له أن يبدل ما يشرب من الماء والثاني ليس له أن يبدله لأن العادة أن الزاد يشتري موضعاً واحداً بخلاف الماء قال أبو إسحاق: هذا إذا لم تختلف قيمة الزاد في المنازل فأما إذا كانت قيمته تختلف في المنازل جاز له أن يبدله قولاً واحداً لأنه له غرضاً أن لا يشتري موضعاً واحداً.
PASAL: Jika seseorang menyewa (kendaraan) untuk membawa artāl dari bekal makanan, maka apakah boleh baginya mengganti barang yang dimakannya? Ada dua pendapat:
Pertama, boleh baginya menggantinya, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, sebagaimana ia boleh mengganti air yang diminumnya.
Kedua, tidak boleh menggantinya karena kebiasaan (yang berlaku) adalah bahwa bekal makanan dibeli di satu tempat, berbeda dengan air.
Abū Isḥāq berkata: Ini jika harga bekal tidak berbeda-beda di berbagai tempat singgah. Adapun jika harga bekal berbeda-beda di tempat-tempat singgah, maka boleh baginya mengganti, menurut satu pendapat saja, karena ia memiliki tujuan agar tidak membeli di satu tempat saja.
فصل: وإن اكترى ظهراً فله أن يضربه ويكبحه باللجام ويركضه بالرجل للاستصلاح لما روى جابر قال: سافرت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فاشترى مني بعيراً وحملني عليه إلى المدينة وكان يسوقه وأنا راكبه وإنه ليضربه بالعصا ولا يتوصل إلى استيفاء المنفعة إلا بذلك فجاز له فعله.
PASAL: Jika seseorang menyewa tunggangan, maka boleh baginya memukulnya, mengekangnya dengan tali kekang, dan mendorongnya dengan kakinya demi kemaslahatan, berdasarkan riwayat dari Jabir RA, ia berkata: Aku bepergian bersama Rasulullah SAW, lalu beliau membeli unta dariku dan membawaku ke Madinah di atasnya, dan beliau menggiringnya sementara aku menungganginya, dan beliau memukulnya dengan tongkat. Karena tidak mungkin mengambil manfaat secara sempurna kecuali dengan hal itu, maka dibolehkan baginya melakukan demikian.
فصل: وللمستأجر أن يستوفى مثل المنفعة المعقود عليها وما دونها في الضرر ولا يملك أن يستوفي ما فوقها في الضرر فإن اكترى ظهراً ليركبه في طريق فله أن يركبه في مثله وما دونه في الخشونة ولا يركبه فيما هو أخشن منه فإن استأجر أرضاً ليزرع فيها الحنطة فله أن يزرع مثلها وما دونها في الضرر ولا يزرع ما فوقها لأن في مثلها يستوفي قدر حقه وفيما دونها يستوفي بعض حقه وفيما فوقها يستوفي أكثر من حقه فإن اكترى ظهراً ليحمل عليه القطن لم يحمل عليه الحديد لأنه أضر على الظهر من القطن لاجتماعه وثقله فإن اكتراه للحديد لم يحمل عليه القطن
PASAL: Penyewa berhak untuk memanfaatkan manfaat yang semisal dengan yang disepakati dalam akad atau yang lebih ringan mudaratnya. Namun, ia tidak berhak memanfaatkan yang lebih besar mudaratnya dari manfaat yang disepakati.
Jika seseorang menyewa tunggangan untuk dinaiki di suatu jalan, maka boleh baginya menungganginya di jalan yang semisal atau yang lebih ringan tingkat kesulitannya, dan tidak boleh menungganginya di jalan yang lebih berat darinya.
Jika ia menyewa tanah untuk ditanami gandum, maka boleh menanami semisalnya atau yang lebih ringan pengaruhnya terhadap tanah, dan tidak boleh menanami yang lebih berat darinya. Karena pada semisalnya ia mengambil manfaat sesuai dengan haknya, pada yang lebih ringan ia mengambil sebagian dari haknya, dan pada yang lebih berat ia mengambil lebih dari haknya.
Jika ia menyewa tunggangan untuk membawa kapas, maka tidak boleh membawa besi di atasnya, karena besi lebih berat bagi tunggangan disebabkan berat dan padatnya. Namun jika ia menyewanya untuk membawa besi, maka boleh membawa kapas di atasnya.
لأنه أضر من الحديد لأنه يتجافى ويقع فيه الريح فيتعب الظهر فإن اكتراه ليركبه بسرج لم يجز أن يركبه عرياً لأن ركوبه عرياً أضر فإن اكتراه عرياً لم يركبه بسرج لأنه يحمل عليه أكثر مما عقد عليه فإن اكترى ظهراً ليركبه لم يجز أن يحمل عليه المتاع لأن الراكب يعين الظهر بحركته والمتاع لا يعينه فإن اكتراه لحمل المتاع لم يجز أن يركبه لأن الراكب أشد على الظهر لأنه يقعد في موضع واحد والمتاع يتفرق على جنبيه فإن اكترى قميصاً للبس لم يجز أن يتزر به لأن الإتزار أضر من اللبس لأنه يعتمد فيه على طاقين وفي اللبس يعتمد فيه على طاق واحد وهل له أن يرتدي به فيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه أخف من اللبس والثاني لا يجوز لأنه استعمال غير معروف فلا يملكه كالاتزار.
karena (kapas) lebih membahayakan daripada besi, sebab ia menggembung dan tertiup angin sehingga memberatkan punggung tunggangan.
Jika seseorang menyewa tunggangan untuk dinaiki dengan pelana, maka tidak boleh ia menungganginya tanpa pelana karena menungganginya tanpa pelana lebih membahayakan.
Jika ia menyewanya tanpa pelana, maka tidak boleh ia menungganginya dengan pelana karena itu berarti membebani lebih dari yang disepakati dalam akad.
Jika seseorang menyewa tunggangan untuk dinaiki, maka tidak boleh ia membebani barang di atasnya, karena penunggang membantu punggung tunggangan dengan gerakannya, sementara barang tidak membantunya.
Jika ia menyewa untuk membawa barang, maka tidak boleh ia menungganginya karena penunggang lebih memberatkan punggung, sebab ia duduk pada satu titik, sedangkan barang terbagi di kedua sisi.
Jika ia menyewa baju untuk dipakai, maka tidak boleh ia menjadikannya izar (kain sarung), karena penggunaan sebagai izar lebih membebani daripada sebagai pakaian biasa, sebab izar bertumpu pada dua lipatan, sedangkan pakaian bertumpu pada satu lipatan.
Apakah boleh ia menjadikannya sebagai rida’ (selendang)? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, boleh, karena lebih ringan daripada dikenakan sebagai pakaian.
Kedua, tidak boleh, karena itu merupakan penggunaan yang tidak dikenal, maka tidak dibolehkan sebagaimana tidak boleh dijadikan izar.
فصل: وله أن يستوفي المنفعة بنفسه وبغيره فإن اكترى داراً ليسكنها فله أن يسكنها مثله ومن هو دونه في الضرر ولا يسكنها من هو أضر منه فإن اكترى ظهراً ليركبه فله أن يركبه مثله ومن هو أخف منه ولا يركبه من هو أثقل منه لما ذكرناه في الفصل قبله.
PASAL: Penyewa boleh mengambil manfaat (yang disewa) baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Jika ia menyewa rumah untuk ditempati, maka boleh baginya menempatinya sendiri, atau bersama orang yang setara dengannya dalam hal beban, atau yang lebih ringan darinya dalam menimbulkan kerusakan, dan tidak boleh menempatkan orang yang lebih berat dampaknya darinya. Jika ia menyewa tunggangan untuk ditunggangi, maka boleh ia menungganginya sendiri atau orang yang lebih ringan darinya, dan tidak boleh dinaiki oleh orang yang lebih berat darinya, sebagaimana telah disebutkan dalam pasal sebelumnya.
فصل: فإن استأجر عيناً لمنفعة وشرط عليه أن لا يستوفي مثلها أو دونها أو لا يستوفيها لمن هو مثله أو دونه ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أن الإجارة باطلة لأنه شرط فيها ما ينافي موجبها فبطلت والثاني أن الإجارة جائزة والشرط باطل لأنه شرط لا يؤثر في حق المؤجر فألغي وبقي العقد على مقتضاه الثالث أن الإجارة جائزة والشرط لازم لأن المستأجر يملك المنافع من جهة المؤجر فلا يملك ما لم يرض به.
PASAL: Jika seseorang menyewa suatu benda untuk suatu manfaat, lalu disyaratkan kepadanya agar tidak memanfaatkannya dengan yang semisal atau yang lebih rendah, atau agar tidak memanfaatkannya untuk orang yang semisalnya atau yang lebih rendah darinya, maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, akad ijarah batal karena di dalamnya terdapat syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad, maka akadnya menjadi batal.
Kedua, akad ijarah sah dan syaratnya batal karena syarat tersebut tidak berpengaruh terhadap hak pemilik, maka diabaikan dan akad tetap berlaku menurut konsekuensinya.
Ketiga, akad ijarah sah dan syaratnya mengikat, karena penyewa memiliki manfaat atas izin dari pemilik, maka ia tidak memiliki (hak penuh) kecuali sesuai kerelaan pihak pemilik.
فصل: وللمستأجر أن يؤجر العين المستأجرة إذا قبضها لأن الإجارة كالبيع وبيع المبيع يجوز بعد القبض فكذلك إجارة المستأجر ويجوز من المؤجر وغيره كما يجوز بيع المبيع من البائع وغيره وهل يجوز قبل القبض فيه ثلاثة أوجه: أحدها لا يجوز كما لا يجوز بيع المبيع قبل القبض والثاني يجوز لأن المعقود عليه هو المنافع والمنافع لا تصير مقبوضة بقبض العين فلم يؤثر فيها قبض العين والثالث أنه يجوز إجارتها من المؤجر لأنها في قبضته ولا يجوز من غيره لأنها ليست في قبضته ويجوز أن يؤجرها برأس المال وبأقل منه وبأكثر لأنا بينا أن الإجارة بيع وبيع المبيع يجوز برأس المال وبأقل منه وبأكثر منه فكذلك الإجارة.
PASAL: Penyewa boleh menyewakan kembali barang sewaan setelah ia menerimanya, karena akad ijārah itu seperti jual beli, dan barang yang dibeli boleh dijual kembali setelah diterima, maka demikian pula barang sewaan boleh disewakan setelah diterima. Penyewaan kembali itu boleh dilakukan kepada pihak pemberi sewa maupun selainnya, sebagaimana jual beli barang boleh dilakukan kepada penjual maupun orang lain.
Apakah boleh menyewakannya kembali sebelum menerima barang sewaan? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, tidak boleh, sebagaimana tidak boleh menjual barang sebelum diterima.
Kedua, boleh, karena objek akad adalah manfaat, dan manfaat tidak menjadi tergolong telah diterima hanya dengan menerima barang, maka penerimaan barang tidak berpengaruh terhadapnya.
Ketiga, boleh menyewakannya kepada pihak pemberi sewa karena barang tersebut berada dalam kekuasaannya, namun tidak boleh kepada selainnya karena bukan berada dalam kekuasaannya.
Penyewa boleh menyewakannya kembali dengan harga sewa yang sama, lebih murah, atau lebih mahal, karena telah dijelaskan bahwa ijārah adalah seperti jual beli, dan barang yang dibeli boleh dijual dengan harga yang sama, lebih murah, atau lebih mahal, maka demikian pula dalam akad ijārah.
فصل: وإن استأجر عيناً لمنفعة فاستوفى أكثر منها فإن كانت زيادة تتميز بأن اكترى ظهراً ليركبه إلى مكان فجاوز أو ليحمل عليه عشرة أقفزة فحمل عليه أحد عشر قفيزاً لزمه المسمى لما عقد عليه وأجرة المثل لما زاد لأنه استوفى المعقود عليه فاستقر عليه المسمى واستوفى زيادة فلزمه ضمان مثلها كما لو اشترى عشرة أقفزة فقبض أحد عشر قفيزاً فإن كانت الزيادة لا تتميز بأن اكترى أرضاً ليزرعها حنطة فزرعها دخناً فقد اختلف أصحابنا فيه فذهب المزني وأبو إسحاق إلى أن المسألة على قولين: أحدهما يلزمه أجرة المثل للجميع لأنه تعدى بالعدول عن المعقود عليه إلى غيره فلزمه ضمان المثل كما لو اكترى أرضاً للزراعة فزرع أرضاً أخرى
PASAL: Jika seseorang menyewa suatu benda untuk suatu manfaat, lalu ia memanfaatkannya melebihi dari yang disepakati, maka jika kelebihan tersebut dapat dibedakan — seperti menyewa tunggangan untuk dinaiki sampai suatu tempat, lalu ia melewatinya, atau menyewanya untuk membawa sepuluh qafīz, tetapi ia membebani sebelas qafīz — maka ia wajib membayar upah yang disepakati untuk yang tercantum dalam akad, dan wajib membayar ujrah al-mitsl untuk kelebihan tersebut. Karena ia telah memanfaatkan bagian yang diakadkan, maka tetap wajib atasnya upah yang disepakati, dan karena ia juga memanfaatkan tambahan, maka wajib membayar ganti sepadannya, sebagaimana jika seseorang membeli sepuluh qafīz lalu menerima sebelas qafīz.
Jika kelebihan tersebut tidak dapat dibedakan — seperti menyewa tanah untuk ditanami gandum, tetapi ia menanaminya dengan dukhn (salah satu jenis biji-bijian) — maka para sahabat kami berselisih dalam hal ini. Al-Muzanī dan Abū Isḥāq berpendapat bahwa dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pertama, ia wajib membayar ujrah al-mitsl untuk seluruhnya karena ia telah melakukan pelanggaran dengan mengganti jenis dari apa yang diakadkan ke selainnya, maka wajib membayar ganti sepadannya, sebagaimana jika seseorang menyewa tanah untuk ditanami lalu ia malah menanami tanah lain.
والثاني يلزمه المسمى وأجرة المثل للزيادة لأنه استوفى ما استحقه وزيادة فأشبه إذا استأجر ظهراً إلى موضع فجاوزه وذهب القاضي أبو حامد المروروذي إلى أن المسألة على قول واحد وأن صاحب الأرض بالخيار بين أن يأخذ المسمى وأجرة المثل للزيادة وبين أن يأخذ أجره المثل للجميع لأنه أخذ شبهاً ممن استأجر ظهراً إلى مكان فجاوزه وشبهاً ممن اكترى أرضاً للزرع فزرع غيرها فخير بين الحكمين.
Dan pendapat kedua, ia wajib membayar upah yang disepakati dan ujrah al-mitsl untuk kelebihannya, karena ia telah memanfaatkan apa yang menjadi haknya dan juga tambahan, maka hal ini menyerupai orang yang menyewa tunggangan ke suatu tempat lalu melampauinya.
Sedangkan al-Qāḍī Abū Ḥāmid al-Marwazī berpendapat bahwa dalam masalah ini hanya ada satu pendapat, yaitu bahwa pemilik tanah memiliki hak pilihan antara mengambil upah yang disepakati ditambah ujrah al-mitsl untuk kelebihannya, atau mengambil ujrah al-mitsl untuk seluruhnya. Karena kasus ini mengandung kemiripan dengan orang yang menyewa tunggangan ke suatu tempat lalu melewatinya, dan juga kemiripan dengan orang yang menyewa tanah untuk ditanami lalu menanaminya dengan selainnya, maka pemilik diberi pilihan antara dua hukum tersebut.
فصل: وإن أجره عينا ثم أراد أن يبدلها بغيرها لم يملك لأن المستحق معين فلم يملك إبداله بغيره كما لو باع عيناً فأراد أن يبدها بغيرها.
فصل: فإن استأجر أرضاً مدة للزراعة فأراد أن يزرع ما لا يستحصد في تلك المدة فقد ذكر بعض أصحابنا أنه لا يجوز وللمؤجر أن يمنعه من زراعته فإن بادر المستأجر وزرع لم يجبر على قلعه قبل انقضاء المدة ويحتمل عندي أنه لا يجوز منعه من الزراعة لأنه يستحق الزراعة إلى أن ينقضي المدة فلا يجوز منعه قبل القضاء المدة ولأنه لا خلاف أنه إن سبق وزرع لم يجبر على نقله فلا يجوز منعه من زراعته.
PASAL: Jika ia menyewakan suatu ‘ayn (barang tertentu), kemudian ingin menggantinya dengan yang lain, maka ia tidak berhak melakukannya karena yang menjadi hak adalah barang tertentu, sehingga tidak boleh diganti dengan yang lain, sebagaimana jika seseorang menjual suatu barang tertentu lalu ingin menggantinya dengan barang lain.
PASAL: Jika seseorang menyewa sebidang tanah untuk jangka waktu tertentu guna ditanami, lalu ia ingin menanam sesuatu yang tidak bisa dipanen dalam jangka waktu tersebut, maka sebagian ashḥāb kami menyebutkan bahwa hal itu tidak diperbolehkan dan pemilik tanah berhak melarangnya menanamnya. Namun, jika penyewa segera menanaminya, maka ia tidak dipaksa untuk mencabut tanamannya sebelum habis masa sewa. Menurut pendapatku, tidak boleh melarangnya menanam karena ia berhak menanam hingga masa sewa habis, maka tidak boleh dilarang sebelum habis masa tersebut. Dan juga karena tidak ada perbedaan pendapat bahwa jika ia telah lebih dulu menanam, maka ia tidak dipaksa mencabutnya, maka tidak boleh dilarang menanamnya.
فصل: وإن اكترى أرضاً مدة للزرع لم يخل إما أن يكون لزرع مطلق أو لزرع معين فإن كان لزرع مطلق فزرع وانقضت المدة ولم يستحصد الزرع نظرت فإن كان بتفريط منه بأن زرع صنفاً لا يستحصد في تلك المدة أو صنفاً يستحصد في المدة إلا أنه أخر زراعته فللمكري أن يأخذه بنقله لأنه لم يعقد إلا على المدة فلا يلزمه الزيادة عليها لتفريط المكتري فإن لم يستحصد لشدة البرد أو قلة المطر ففيه وجهان: أحدهما يجبر على نقله لأنه كان يمكنه أن يستظهر بالزيادة في مدة الإجارة فإذا لم يفعل لم يلزم المكري أن يستدرك له ما تركه
PASAL: Jika seseorang menyewa tanah untuk jangka waktu tertentu guna pertanian, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan: apakah untuk pertanian secara mutlak, atau untuk jenis tanaman tertentu.
Jika disewa untuk pertanian secara mutlak, lalu ia menanami dan masa sewanya habis sementara tanamannya belum dapat dipanen, maka diperinci:
Jika hal itu terjadi karena kelalaiannya — seperti menanam jenis tanaman yang memang tidak bisa dipanen dalam masa sewa, atau menanam jenis yang bisa dipanen dalam masa itu namun ia menunda waktu tanam — maka pemilik tanah berhak memaksanya memindahkan tanaman tersebut, karena akad hanya berlangsung selama jangka waktu yang disepakati, maka pemilik tidak wajib menambah waktu karena kelalaian penyewa.
Namun, jika tidak dapat dipanen karena faktor eksternal seperti cuaca sangat dingin atau kurangnya hujan, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama, penyewa tetap diwajibkan memindahkan tanamannya, karena ia bisa saja mengantisipasi hal itu dengan menambah masa sewa saat akad, maka ketika ia tidak melakukannya, pemilik tanah tidak wajib mengganti kekurangannya.
والثاني لا يجبر وهو الصحيح لأنه تأخر من غير تفريط منه فإن قلنا مجبر على نقله وتراضيا على تركه بإجارة أو إعارة جاز لأن النقل لحق المكري وقد رضي بتركه وإن قلنا لا يجبر فعليه المسمى إلى القضاء المدة بحكم العقد وأجرة المثل لما زاد لأنه كما لا يجوز الإضرار بالمستأجر في نقل زرعه لا يجوز الإضرار بالمؤجر في تفويت منفعة أرضه فإن كان لزرع معين لا يستحصد في المدة وانقضت المدة والزرع قائم نظرت فإن شرط عليه القلع فالإجارة صحيحة لأنه عقد على مدة معلومة ويجبر على قلعه لأنه دخل على هذا الشرط فإن تراضيا على تركه بإجارة أو إعارة جاز
Pendapat kedua: tidak diwajibkan memindahkan, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena keterlambatan panen terjadi bukan karena kelalaiannya.
Jika kita mengatakan bahwa ia wajib memindahkannya, lalu keduanya saling meridhai untuk membiarkannya (tetap di tanah) dengan akad sewa baru atau pemberian (‘āriyah), maka hal itu boleh, karena pemindahan adalah hak pemilik tanah, dan ia telah rela untuk membiarkannya.
Namun jika kita mengatakan bahwa ia tidak wajib memindahkannya, maka penyewa wajib membayar upah yang disepakati sampai akhir masa sewa berdasarkan hukum akad, dan ujrah al-mitsl untuk masa setelahnya, karena sebagaimana tidak boleh menyakiti penyewa dengan memaksanya memindahkan tanamannya, demikian pula tidak boleh menyakiti pemilik tanah dengan menghalanginya dari mengambil manfaat tanahnya.
Jika penyewaan itu dilakukan untuk menanam jenis tanaman tertentu yang memang tidak bisa dipanen dalam waktu sewa, lalu masa sewa habis sementara tanaman masih berdiri, maka diperinci:
Jika dalam akad disyaratkan untuk mencabut tanaman di akhir masa sewa, maka sewa tersebut sah, karena itu adalah akad atas waktu yang diketahui, dan penyewa wajib mencabut tanamannya, karena ia telah masuk akad dengan syarat tersebut. Namun jika keduanya saling meridhai untuk membiarkannya dengan sewa baru atau pemberian, maka hal itu boleh.
لما ذكرناه وإن شرط التبقية بعد المدة فالإجارة باطلة لأنه شرط ينافي مقتضى العقد فأبطله فإن لم يزرع كان لصاحب الأرض أن يمنعه من الزراعة لأنها زراعة فالعقد باطل فإن بادر وزرع لم يجبر على القلع لأنه زرع مأذون فيه وعليه أجرة المثل لأنه استوفى منفعة الأرض بإجارة فاسدة فإن أطلق العقد ولم يشرط التبقية ولا القلع ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه يجبر على قلعه لأن العقد إلى مدة وقد انقضت فأجبر على قلعه كالزرع المطلق
Karena alasan yang telah disebutkan. Jika dalam akad disyaratkan bahwa tanaman boleh dibiarkan setelah masa sewa berakhir, maka akad ijarah tersebut batal, karena itu adalah syarat yang bertentangan dengan konsekuensi akad, maka membatalkannya.
Jika penyewa belum menanam, maka pemilik tanah berhak melarangnya menanam, karena tanamannya terjadi berdasarkan akad yang batal.
Namun jika penyewa segera menanam (sebelum dilarang), maka ia tidak diwajibkan mencabut tanamannya, karena tanamannya dilakukan dengan izin (dari akad meskipun batal), dan ia wajib membayar ujrah al-mitsl, karena ia telah mengambil manfaat tanah dengan akad yang rusak.
Jika akad disampaikan secara umum tanpa menyebutkan apakah tanaman akan dibiarkan atau dicabut setelah masa berakhir, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama — dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq — bahwa penyewa wajib mencabut tanaman, karena akad berlangsung sampai waktu tertentu, dan waktu tersebut telah berakhir, maka ia wajib mencabutnya sebagaimana dalam akad sewa secara mutlak.
والثاني لا يجبر لأنه دخل معه على العمل بحال الزرع وأن العادة فيه الترك إلى الحصاد فلزمه الصبر عليه كما لو باع ثمرة بعد بدو الصلاح وقبل الإدراك ويخالف هذا إذا اكترى لزرع مطلق لأن هناك يمكنه أن يزرع ما يستحصد في المدة فإذا ترك كان ذلك بتفريط منه فأجبر على قلعه وههنا هو زرع معنى علم المكري أنه لا يستحصد في تلك المدة فإذا قلنا يجبر فتراضيا على تركه بإجارة أو إعارة جاز لما ذكرناه وإن قلنا لا يجبر لزمه المسمى للمدة وأجرة المثل للزيادة لأنه كما لا يجوز الإضرار بالمكتري في نقل زرعه لا يجوز الإضرار بالمكري في إبطال منفعة أرضه.
Pendapat kedua: tidak wajib mencabutnya, karena penyewa masuk akad dengan keadaan bahwa ia akan menanam, dan kebiasaan dalam pertanian adalah membiarkan tanaman sampai panen. Maka pemilik tanah wajib bersabar sebagaimana jika seseorang menjual buah setelah tampak matang namun sebelum sempurna masaknya.
Hal ini berbeda dengan kasus menyewa tanah untuk pertanian secara mutlak, karena dalam kasus itu penyewa bisa saja menanam sesuatu yang dapat dipanen dalam waktu sewa. Maka jika ia tidak melakukannya, berarti itu karena kelalaiannya, sehingga ia wajib mencabutnya.
Adapun dalam kasus ini, ia menanam sesuatu yang maknanya diketahui oleh pemilik tanah bahwa ia tidak akan dapat dipanen dalam masa sewa.
Jika kita mengatakan bahwa penyewa wajib mencabut tanamannya, lalu keduanya sepakat untuk membiarkannya dengan akad sewa baru atau ‘āriyah, maka hal itu boleh, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Namun jika kita mengatakan bahwa ia tidak wajib mencabut, maka wajib atasnya membayar upah yang disepakati untuk masa sewa, dan ujrah al-mitsl untuk masa lebihnya, karena sebagaimana tidak boleh merugikan penyewa dengan memaksanya mencabut tanamannya, demikian pula tidak boleh merugikan pemilik tanah dengan menggugurkan manfaat dari tanahnya.
فصل: وإن اكترى أرضاً للغراس مدة لم يجز أن يغرس بعد انقضائها لأن العقد يقتضي الغرس في المدة فلم يملك بعدها فإن غرس في المدة وانقضت المدة نظرت فإن شرط عليه القلع بعد المدة أخذ بقلعه لما تقدم من شرطه ولا يبطل العقد بهذا الشرط لأن الذي يقتضيه العقد هو الغراس في المدة وشرط القلع بعد المدة لا يمنع ذلك وإنما يمنع من التبقية بعد المدة والتبقية بعد المدة من مقتضى الإذن لا من مقتضى العقد لم يبطل العقد بإسقاطها فإذا قلع لم يلزمها تسوية الأرض
PASAL: Apabila seseorang menyewa tanah untuk ditanami pohon dalam suatu jangka waktu, maka tidak boleh baginya menanam setelah waktu tersebut berakhir karena akad menyiratkan penanaman dalam masa itu, maka ia tidak berhak menanam setelahnya. Jika ia menanam dalam masa sewa lalu masa tersebut berakhir, maka dilihat: apabila disyaratkan atasnya untuk mencabut setelah masa berakhir, maka ia wajib mencabutnya karena adanya syarat tersebut sebelumnya. Akad tidak batal karena syarat ini, sebab yang ditunjukkan oleh akad adalah penanaman dalam masa sewa, dan syarat pencabutan setelah masa sewa tidak menghalangi hal itu, melainkan hanya melarang keberlanjutan setelah masa berakhir. Sedangkan keberlanjutan setelah masa sewa merupakan konsekuensi dari izin, bukan dari akad, maka tidaklah batal akad karena pengguguran izin tersebut. Jika ia mencabut, maka ia tidak wajib meratakan tanah.
لأنه لما شرط القلع رضي بما يحصل به من الحفر فإن أطلق العقد ولم يشترط القلع ولا التبقية لم يلزمه القلع لأن تفريغ المستأجر على حسب العادة ولهذا لو اكترى داراً وترك فيها متاعاً وانقضت المدة لم يلزمه المستأجر على حسب العادة ولهذا لو اكترى داراً وترك فيها متاعاً وانقضت المدة لم يلزمه تفريغها إلا على حسب العادة في نقل مثله والعادة في الغراس التبقية إلى أن يجف ويستقلع فإن اختار المكتري القلع نظرت فإن كان ذلك قبل انقضاء المدة ففيه وجهان: أحدهما يلزمه تسوية الأرض لأنه قلع الغراس من أرض غيره بغير إذنه فلزمه تسوية الأرض
Karena ketika disyaratkan pencabutan, ia telah rela dengan apa yang timbul darinya berupa galian. Apabila akad dilangsungkan secara mutlak tanpa mensyaratkan pencabutan maupun keberlanjutan, maka ia tidak wajib mencabut, karena pengosongan oleh penyewa mengikuti kebiasaan. Oleh karena itu, jika seseorang menyewa rumah lalu meninggalkan barang di dalamnya dan masa sewa telah habis, maka ia tidak wajib mengosongkannya kecuali sesuai kebiasaan dalam memindahkan barang semisalnya. Dan kebiasaan dalam hal tanaman adalah membiarkannya hingga mengering dan mudah dicabut.
Jika penyewa memilih untuk mencabut, maka dilihat: apabila itu dilakukan sebelum masa sewa habis, maka terdapat dua pendapat. Salah satunya: ia wajib meratakan tanah, karena ia telah mencabut tanaman dari tanah milik orang lain tanpa izinnya, maka ia wajib meratakannya.
والثاني لا يلزمه لأنه قلع الغراس من أرض غيره بغير إذنه فلزمه تسوية الأرض والثاني لا يلزمه لأنه قلع الغراس من أرض له عليه يد فإن كان ذلك بعد انقضاء المدة لزمه تسوية الأرض وجهاً واحداً لأنه قلع الغراس من أرض غيره بلا إذن ولا يد فإن اختار التبقية نظرت فإن أراد صاحب الأرض أن يدفع قيمة الغراس ويتملكه أجبر المكتري على ذلك لأنه يزول عنه الضرر بدفع القيمة فإن أراد أن يقلعه نظرت فإن كان قيمة الغراس لا تنقص بالقلع أجبر المكتري على القلع لأنه لا ضرر عليه في القلع
Dan pendapat kedua: ia tidak wajib meratakannya karena ia mencabut tanaman dari tanah yang berada dalam genggamannya. Namun, jika pencabutan itu dilakukan setelah masa sewa berakhir, maka ia wajib meratakan tanah menurut satu pendapat, karena ia mencabut tanaman dari tanah milik orang lain tanpa izin dan tanpa memiliki hak tangan atasnya.
Apabila ia memilih untuk membiarkan tanaman, maka dilihat: jika pemilik tanah ingin membayar nilai tanaman dan memilikinya, maka penyewa dipaksa untuk menerimanya, karena kerugian hilang darinya dengan pembayaran nilai tersebut. Jika pemilik tanah ingin mencabutnya, maka dilihat: apabila nilai tanaman tidak berkurang karena pencabutan, maka penyewa dipaksa untuk mencabutnya karena tidak ada kerugian atasnya dalam pencabutan tersebut.
فإن كانت قيمة الغراس تنقص بالقلع أجبر المكتري على القلع لأنه لا ضرر عليه في القلع فإن كانت قيمة الغراس تنقص بالقلع فإن ضمن له أرض نقص أجبر عليه لأنه لا ضرر عليه بالقلع مع دفع الأرش فإن أراد أن يقلع ولا يضمن أرش النقص لم يجبر المكتري قال المزني يجبر لأنه لا يجوز أن ينتفع بأرض غيره من غير رضاه وهذا خطأ لأن في قلع ذلك من غير ضمان الأرض إضراراً بالمكتري والضرر لا يزال بالضرر
Jika nilai tanaman berkurang karena pencabutan, maka penyewa dipaksa untuk mencabutnya karena tidak ada kerugian atasnya dalam pencabutan tersebut. Jika nilai tanaman memang berkurang karena pencabutan, namun pemilik tanah menjamin kerugian nilai tanah (arasy), maka penyewa dipaksa mencabut karena tidak ada kerugian padanya dengan adanya pembayaran arasy.
Namun, jika pemilik tanah ingin mencabut tanaman tanpa menjamin arasy atas kekurangannya, maka penyewa tidak dipaksa. Al-Muzani berkata: “Penyewa dipaksa, karena tidak boleh mengambil manfaat dari tanah milik orang lain tanpa izinnya.” Ini adalah pendapat yang keliru, karena mencabut tanaman tanpa menjamin nilai tanah menimbulkan kerugian bagi penyewa, dan kerugian tidak dihilangkan dengan kerugian lain.
فإن اختار أن يقر الغراس في الأرض ويطالب المكتري بأجرة المثل أجبر المكتري لأنه كما لا يجوز الإضرار بالمكتري بالقلع من غير ضمان لا يجوز الإضرار بالمكري بإبطال منفعة الأرض عليه من غير أجرة فإن أراد المكتري أن يبيع الغراس من المكري جاز وإن أراد بيعه من غيره ففيه وجهان وقد بيناهما في كتاب العارية فإن اكترى بشرط التبقية بعد المدة جاز لأن إطلاق العقد يقتضي التبقية فلا يبطل بشرطها والحكم في القلع والتبقية على ما ذكرناه فيه إذا أطلق العقد.
Jika pemilik tanah memilih untuk membiarkan tanaman tetap di tanah dan menuntut penyewa membayar sewa sesuai ujrah al-mitsl, maka penyewa dipaksa membayarnya, karena sebagaimana tidak boleh merugikan penyewa dengan memaksanya mencabut tanpa ganti rugi, demikian pula tidak boleh merugikan pemilik tanah dengan membatalkan manfaat tanahnya tanpa sewa.
Jika penyewa ingin menjual tanamannya kepada pemilik tanah, maka hal itu diperbolehkan. Dan jika ia ingin menjualnya kepada orang lain, maka ada dua pendapat, yang telah dijelaskan dalam Kitab al-‘āriyah.
Jika akad sewa dilakukan dengan syarat membolehkan keberlanjutan tanaman setelah masa sewa, maka hal itu sah, karena keumuman akad menyiratkan kebolehan keberlanjutan, maka tidak batal dengan adanya syarat tersebut. Dan hukum pencabutan serta keberlanjutan mengikuti apa yang telah dijelaskan pada kondisi jika akad dilangsungkan secara mutlak.
فصل: فإن اكترى أرضاً بإجارة فاسدة وغرس كان حكمها في القلع والإقرار على ما بيناه في الإجارة الصحيحة لأن الفاسد كالصحيح فيما يقتضيه من القلع والإقرار فكان حكمهما واحداً وبالله التوفيق.
PASAL: Jika seseorang menyewa tanah dengan akad ijarah yang fasid, lalu ia menanam tanaman, maka hukumnya dalam hal pencabutan dan pembiaran (peninggalan tanaman di tempatnya) sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam ijarah yang sah, karena akad yang fasid disamakan dengan akad yang sah dalam hal yang mengharuskan pencabutan atau pembiaran, maka hukumnya pun sama. Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon taufik.
باب ما يوجب فسخ الإجارة
إذا وجد المستأجر بالعين المستأجرة عيباً جاز له أن يرد لأن الإجارة كالبيع، فإذا جاز رد المبيع بالعيب جاز رد المستأجر وله أن يرد بما يحدث في يده من العيب لأن المستاجر في يد المستأجر كالمبيع في يد البائع فإذا جاز رد المبيع بما يحدث من العيب في يد البائع جاز رد المستأجر بما يحدث من العيب في يد المستأجر.
BAB HAL-HAL YANG MEWAJIBKAN PEMBATALAN IJARAH
Apabila penyewa mendapati cacat pada barang yang disewa, maka boleh baginya untuk membatalkan sewa, karena ijārah seperti jual beli. Maka jika boleh mengembalikan barang yang dijual karena cacat, boleh pula mengembalikan barang sewaan karena cacat.
Ia boleh mengembalikannya karena cacat yang terjadi di tangannya, karena barang sewaan di tangan penyewa seperti barang jualan di tangan penjual. Maka jika boleh mengembalikan barang jualan karena cacat yang terjadi di tangan penjual, boleh pula mengembalikan barang sewaan karena cacat yang terjadi di tangan penyewa.
فصل: والعيب الذي يرد به ما تنقص به المنفعة كتعثر الظهر في المشي والعرج الذي يتأخر به عن القافلة وضعف البصر والجذام والبرص في المستأجر للخدمة وانهدام الحائط في الدار وانقطاع الماء في البئر والعين والتغير الذي يمتنع به الشرب أو الوضوء وغير ذلك من العيوب التي تنقص بها المنفعة فأما إذا اكترى ظهراً فوجده خشين المشي لم يرد لأن ذلك لا تنقص به المنفعة وإن اكترى ظهراً للحج عليه فعجز عن الخروج بالمرض أو ذهاب المال لم يجز له الرد وإن اكترى حماماً فتعذر عليه ما يوقده لم يجز له الرد لأن المعقود عليه باق
PASAL: ‘Aib yang dapat dijadikan alasan pengembalian adalah sesuatu yang mengurangi manfaat, seperti kendaraan tunggangan yang tersandung ketika berjalan, pincang yang menyebabkan tertinggal dari kafilah, lemah penglihatan, penyakit judzām dan barash pada orang yang disewa untuk bekerja, robohnya dinding rumah, terputusnya air pada sumur atau mata air, dan perubahan (air) yang menyebabkan tidak bisa dipakai minum atau berwudu, serta aib-aib lain yang mengurangi manfaat. Adapun jika seseorang menyewa tunggangan lalu mendapati jalannya kasar, maka tidak bisa dijadikan alasan untuk mengembalikan, karena hal itu tidak mengurangi manfaat. Jika seseorang menyewa tunggangan untuk haji lalu tidak sanggup berangkat karena sakit atau kehilangan harta, maka ia tidak boleh mengembalikannya. Jika menyewa pemandian lalu tidak mendapatkan sesuatu untuk menyalakan api, maka ia juga tidak boleh mengembalikannya karena objek akad masih ada.
وإنما تعذر الانتفاع لمعنى في غيره فلم يجز له الرد كما لو اشترى ظهراً ليحج عليه فعجز عن الحج لمرض أو ذهاب المال وإن اكترى أرضاً للزراعة فزرعها ثم هلك الزرع بزيادة المطر أو شدة برد أو دوام ثلج أو أكل جراد لم يجز له الرد لأن الجائحة حدثت على مال المستأجر دون منفعة الأرض فلم يجز له الرد وإن اكترى داراً فتشعثت فبادر المكري إلى إصلاحها لم يكن للمستأجر ردها لأنه لا يلحقه الضرر فإن لم يبادر ثبت له الفسخ لأنه يلحقه ضرر بنقصان المنفعة
Dan sesungguhnya terhalangnya pemanfaatan itu disebabkan oleh faktor luar, maka tidak boleh baginya mengembalikan, sebagaimana jika seseorang membeli tunggangan untuk berhaji, lalu ia tidak mampu berhaji karena sakit atau kehilangan harta. Jika seseorang menyewa tanah untuk pertanian lalu menanaminya, kemudian tanamannya rusak karena hujan yang berlebihan, cuaca dingin yang sangat, salju yang terus-menerus, atau dimakan belalang, maka ia tidak boleh mengembalikannya, karena musibah tersebut menimpa harta milik penyewa, bukan manfaat tanah, maka tidak boleh baginya mengembalikannya. Jika seseorang menyewa rumah lalu rumah itu rusak, dan pemilik rumah segera memperbaikinya, maka penyewa tidak berhak mengembalikannya karena tidak terkena mudarat. Namun jika pemilik rumah tidak segera memperbaikinya, maka penyewa berhak membatalkan akad karena terkena mudarat berupa berkurangnya manfaat.
فإن رضي سكناها ولم يطالب بالإصلاح فهل يلزمه جميع الأجرة أم لا فيه وجهان: أحدهما لا يلزمه جميع الأجرة لأنه لم يستوف جميع ما استحقه من المنفعة فلم يلزمه جميع الأجرة كما لو اكترى داراً سنة فسكنها بعض السنة ثم غصبت والثاني يلزمه جميع الأجرة لأنه استوفى جميع المعقود عليه ناقصاً بالعيب فلزمه جميع البدل كما لو اشترى عبداً فتلفت يده في يد البائع ورضي به.
Jika penyewa ridha menempati rumah itu dan tidak menuntut perbaikan, maka apakah ia tetap wajib membayar seluruh uang sewa atau tidak? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak wajib membayar seluruh uang sewa, karena ia tidak menikmati seluruh manfaat yang menjadi haknya, maka tidak wajib membayar seluruh sewa, sebagaimana jika seseorang menyewa rumah selama setahun lalu menempatinya sebagian tahun kemudian rumah itu dirampas.
Pendapat kedua: wajib membayar seluruh uang sewa, karena ia telah menikmati seluruh manfaat yang menjadi objek akad, meskipun kurang karena cacat, maka wajib membayar seluruh imbalan, sebagaimana jika seseorang membeli seorang budak lalu tangan budak itu rusak ketika masih di tangan penjual dan pembeli ridha dengannya.
فصل: ومتى رد المستأجر العين بالعيب فإن كان العقد على عينها انفسخ العقد لأنه عقد على معين فانفسخ برده كبيع العين وإن كان العقد على موصوف في الذمة لم ينفسخ العقد برد العين بل يطالب ببدله لأن العقد على ما في الذمة فإن رد العين رجع إلى ما في الذمة كما لو وجد بالمسلم فيه عيباً فرده.
PASAL: Apabila penyewa mengembalikan barang sewaan karena cacat, maka jika akad dilakukan atas barang tertentu, maka akad menjadi batal karena akad tersebut atas sesuatu yang tertentu, sehingga batal dengan pengembaliannya sebagaimana jual beli atas barang tertentu. Namun jika akad dilakukan atas barang yang ditentukan sifatnya dalam tanggungan, maka akad tidak batal dengan pengembalian barang, melainkan penyewa menuntut gantinya, karena akad itu atas sesuatu dalam tanggungan. Jika ia mengembalikan barang, maka kembali kepada yang ada dalam tanggungan sebagaimana jika menemukan cacat pada barang salam, lalu ia kembalikan.
فصل: وإن استأجر عبداً فمات في يده فإن كان العقد على موصوف في الذمة طالب ببدله كما ذكرناه في الرد بالعيب وإن كان العقد على عينه فإن لم يمض من المدة ماله أجرة انفسخ العقد وقال أبو ثور من أصحابنا لا ينفسخ بل يلزم المستأجر الأجرة لأنه هلك بعد التسليم فلم ينفسخ العقد كما لو هلك المبيع بعد التسليم فلم ينفسخ العقد والمذهب الأول لأن المعقود عليه هو المنافع وقد تلفت قبل قبضها فانفسخ العقد كالمبيع إذا هلك قبل القبض وإن مضى من المدة ماله أجرة انفسخ العقد فيما بقي بتلف المعقود عليه وفيما مضى طريقان: أحدهما لا ينفسخ فيه العقد قولاً واحداً والثاني أنه على قولين بناء على الطريقين في الهلاك الطارئ في بعض المبيع قبل القبض هل هو كالهلاك المقارن للعقد أم لا لأن المنافع في الإجارة كالمبيع قبل القبض وفي المبيع قبل القبض طريقان فكذلك الإجارة.
PASAL: Jika seseorang menyewa seorang budak lalu budak itu meninggal di tangannya, maka:
- Jika akadnya atas budak yang disifati dalam dzimmah, maka ia berhak menuntut penggantinya, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan pengembalian karena cacat.
- Jika akadnya atas budak tertentu (bukan dalam dzimmah), maka:
- Jika belum berlalu dari masa sewa sesuatu yang memiliki nilai sewa, maka akad menjadi batal.
- Abu Tsaur dari kalangan mazhab kami berpendapat: akad tidak batal, bahkan penyewa tetap wajib membayar sewa karena budak itu telah binasa setelah diserahkan, maka akad tidak batal sebagaimana barang jualan yang binasa setelah diserahkan, tidaklah membatalkan akad.
- Namun, pendapat yang rajih adalah yang pertama, karena objek akad dalam ijarah adalah manfaat, dan manfaat tersebut telah hilang sebelum diterima, maka batal akad, sebagaimana barang jualan yang binasa sebelum diterima, maka batal jual belinya.
- Jika telah berlalu sebagian masa sewa yang memiliki nilai, maka akad batal untuk sisa waktunya karena hilangnya objek akad. Adapun untuk masa yang telah berlalu, ada dua pendapat:
- Pertama, tidak batal akad pada masa tersebut menurut satu pendapat.
- Kedua, ada dua pendapat, yang didasarkan pada dua pendapat dalam kasus binasanya sebagian barang jualan sebelum diterima: apakah hukumnya seperti binasa yang bersamaan dengan akad atau tidak, karena manfaat dalam ijarah seperti barang jualan sebelum diterima. Dan dalam kasus jual beli barang sebelum diterima terdapat dua pendapat, maka demikian pula dalam ijarah.
فصل: وإن اكترى داراً فانهدمت فقد قال في الإجارة ينفسخ العقد وقال في المزارعة إذا اكترى أرضاً للزراعة فانقطع ماؤها إن المكتري بالخيار بين أن يفسخ وبين أن لا يفسخ واختلف أصحابنا فيهما على طريقين فمنهم من نقل جواب كل واحدة من المسألتين إلى الأخرى فخرجهما على قولين وهو الصحيح: أحدهما أن العقد ينفسخ فيهما لأن المنفعة المقصودة هي السكنى والزراعة وقد فاتت فانفسخ العقد كما لو اكترى عبداً للخدمة فمات والثاني لا ينفسخ لأن العين باقية يمكن الانتفاع بها وإنما نقصت منفعتها فثبت له الخيار كما لو حدث به عيب ومنهم من قال إذا انهدمت الدار انفسخ العقد وإن انقطع الماء من الأرض لم ينفسخ لأن الأرض باقية مع انقطاع الماء والدار غير باقية مع الانهدام.
PASAL: Jika seseorang menyewa rumah lalu rumah itu runtuh, maka Imam Syafi‘i berkata dalam al-Ijārah bahwa akadnya batal. Namun beliau berkata dalam al-Muzāra‘ah, jika seseorang menyewa tanah untuk ditanami lalu airnya terputus, maka penyewa diberi pilihan antara membatalkan akad atau tidak. Para sahabat kami berbeda pendapat dalam dua masalah ini dengan dua pendekatan:
Sebagian mereka memindahkan jawaban masing-masing permasalahan kepada yang lain, lalu menjadikannya dua pendapat, dan ini yang benar:
Pertama, akad batal pada keduanya karena manfaat yang dimaksud adalah tempat tinggal dan pertanian, dan keduanya telah hilang, maka batal akad sebagaimana jika seseorang menyewa budak untuk bekerja lalu ia meninggal.
Kedua, akad tidak batal karena barangnya masih ada dan masih mungkin dimanfaatkan, hanya saja manfaatnya berkurang, maka yang berhak memilih adalah penyewa, sebagaimana jika terjadi cacat pada barang.
Dan sebagian mereka berkata: jika rumah itu runtuh maka akad batal, namun jika air terputus dari tanah maka akad tidak batal, karena tanah tetap ada meskipun air terputus, sedangkan rumah tidak tersisa saat runtuh.
فصل: وإن أكرى نفسه فهرب أو أكرى عيناً فهرب بها نظرت فإن كانت الإجارة على موصوف في الذمة استؤجر عليه من ماله كما لو أسلم إليه في شيء فهرب فإنه يبتاع عليه المسلم فيه وإن لم يكن الاستئجار عليه ثبت للمستأجر الخيار بين أن يفسخ وبين أن يصبر لأنه تأخر حقه فيثبت له الخيار كما لو أسلم في شيء فتعذر وإن كانت الإجارة على عين فهو بالخيار بين أن يفسخ وبين أن يصبر لأنه تأخر حقه فثبت له الخيار كما لو ابتاع عبداً فأبق قبل القبض فإن لم يفسخ نظرت فإن كانت الإجارة على مدة انفسخ العقد بمضي المدة يوماً بيوم لأن المنافع تتلف بمضي الزمان فانفسخ العقد بمضيه وإن كانت على عمل معين لم ينفسخ لأنه يمكن استيفاؤه إذا وجده.
PASAL: Jika seseorang mengontrakkan dirinya lalu melarikan diri, atau mengontrakkan suatu benda lalu melarikan diri dengannya, maka dilihat dulu: jika akad ijarah atas sesuatu yang bersifat maushūf fī al-dzimmah, maka disewa pengganti dari hartanya, sebagaimana jika seseorang menerima akad salam lalu melarikan diri, maka dibelikan barang salam dari hartanya. Jika tidak memungkinkan untuk menyewa pengganti, maka penyewa memiliki hak khiyar antara membatalkan akad atau bersabar, karena haknya tertunda, maka ia berhak khiyar sebagaimana orang yang melakukan akad salam lalu barangnya tidak bisa disediakan.
Jika akad ijarah atas benda tertentu (‘ayn), maka penyewa juga berhak khiyar antara membatalkan akad atau bersabar, karena haknya tertunda, sehingga ia berhak khiyar sebagaimana orang yang membeli budak lalu budak itu melarikan diri sebelum diterima.
Jika ia tidak membatalkan, maka dilihat kembali: jika akad ijarah itu atas jangka waktu tertentu, maka akadnya batal seiring berlalunya waktu, hari demi hari, karena manfaat hilang seiring berjalannya waktu, maka batal akadnya. Namun jika akadnya atas pekerjaan tertentu, maka tidak batal karena masih memungkinkan untuk mengambil manfaatnya jika orang itu ditemukan.
فصل: وإن غصبت العين المستأجرة من يد المستأجر، فإن كان العقد على موصوف في الذمة طولب المؤجر بإقامة عين مقامها على ما ذكرناه في هرب المكري وإن كان على العين فللمستأجر أن يفسخ العقد لأنه تأخر حقه فثبت له الفسخ كما لو ابتاع عبداً فغضب فإن لم يفسخ فإن كانت الإجارة على عمل لم تنفسخ لأنه يمكن استيفاؤها إذا وجده وإن كانت على مدة فانقضت ففيه قولان: أحدهما ينفسخ العقد فيرجع المستأجر على المؤجر بالمسمى ويرجع المؤجر على الغاصب بأجرة المثل
PASAL: Jika barang sewaan dirampas dari tangan penyewa, maka jika akad dilakukan atas sesuatu yang ditentukan sifatnya dalam tanggungan, maka pemilik disuruh untuk menyediakan barang pengganti sebagaimana telah disebutkan dalam kasus larinya pemilik sewaan. Namun jika akad dilakukan atas barang tertentu, maka penyewa berhak membatalkan akad karena haknya tertunda, sehingga ia berhak membatalkannya sebagaimana jika membeli budak lalu dirampas. Jika ia tidak membatalkan, dan akad sewa itu atas suatu pekerjaan, maka akad tidak batal karena masih mungkin untuk mengambil manfaatnya jika barang ditemukan. Namun jika akad sewa atas jangka waktu tertentu dan masa sewa telah habis, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, akad batal, maka penyewa menuntut kembali bayaran sewa yang telah disepakati dari pemilik, dan pemilik menuntut kepada perampas dengan tuntutan sewa yang setara.
والثاني لا ينفسخ بل يخير المستأجر بين أن يفسخ ويرجع على المؤجر بالمسمى ثم يرجع المؤجر على الغاصب بأجرة المثل وبين أن يقر العقد ويرجع على الغاصب بأجرة المثل لأن المنافع تلفت في يد الغاصب فصار كالمبيع إذا أتلفه الأجنبي وفي المبيع قولان إذا أتلفه الأجنبي فكذلك ههنا.
Dan pendapat kedua: akad tidak batal, namun penyewa diberi pilihan antara membatalkan akad dan menuntut pemilik atas bayaran sewa yang telah disepakati, lalu pemilik menuntut kepada perampas dengan tuntutan sewa yang setara; atau membiarkan akad tetap berlaku dan menuntut langsung kepada perampas dengan tuntutan sewa yang setara. Karena manfaat telah hilang di tangan perampas, maka hukumnya seperti barang yang dijual lalu dirusak oleh pihak ketiga, dan dalam kasus barang yang dijual lalu dirusak oleh orang lain terdapat dua pendapat; maka di sini pun demikian.
فصل: وإن مات الصبي الذي عقد الإجارة على إرضاعه فالمنصوص أنه ينفسخ العقد لأنه تعذر استيفاء المعقود عليه لأنه لا يمكن إقامة غيره مقامه لاختلاف الصبيان في الرضاع فبطل ومن أصحابنا من خرج فيه قولاً آخر أنه لا ينفسخ لأن المنفعة باقية وإنما هلك المستوفي فلم ينفسخ العقد كما لو استأجر داراً فمات فعلى هذا إن تراضيا على إرضاع الصبي آخر جاز وإن تشاحا فسخ العقد لأنه تعذر إمضاء العقد ففسخ.
PASAL: Jika bayi yang menjadi objek akad ijarah untuk disusui meninggal dunia, maka menurut pendapat yang manshūsh, akadnya batal karena mustahil untuk merealisasikan manfaat yang diakadkan, sebab tidak mungkin mengganti bayi tersebut dengan bayi lain karena perbedaan anak-anak dalam hal menyusu, maka batal akadnya.
Sebagian ulama mazhab kami mengemukakan pendapat lain bahwa akadnya tidak batal, karena manfaatnya masih ada, hanya saja yang wafat adalah pihak yang menerima manfaat, maka akadnya tidak batal, sebagaimana jika seseorang menyewa rumah lalu ia meninggal dunia.
Menurut pendapat ini, jika keduanya sepakat untuk menyusui bayi lain, maka boleh. Namun jika keduanya berselisih, maka akad dibatalkan karena pelaksanaan akad menjadi mustahil, maka dibatalkan.
فصل: وإن استأجر رجلاً ليقلع له ضرساً فسكن الوجع أو ليكحل عينه فبرئت أو ليقتص له فعفا عن القصاص انفسخ العقد على المنصوص في المسألة قبلها لأنه تعذر استيفاء المعقود عليه فانفسخ كما لو تعذر بالموت ولا ينفسخ على قول من خرج القول الآخر.
PASAL: Jika seseorang menyewa orang untuk mencabut giginya lalu sakitnya hilang, atau untuk mengobati matanya dengan kḥāl lalu sembuh, atau untuk melakukan qiṣāṣ lalu ia memaafkan qiṣāṣ, maka akad batal menurut pendapat yang dinyatakan secara naṣ dalam masalah sebelumnya, karena mustahil untuk mengambil manfaat yang menjadi objek akad, maka batal sebagaimana jika manfaat itu mustahil karena kematian. Namun menurut pendapat lain yang di-qiyaskan dari pendapat kedua sebelumnya, maka akad tidak batal.
فصل: وإن مات الأجير في الحج قبل الإحرام نظرت فإن كان العقد على حج في الذمة استؤجر من تركته من يحج فإن لم يمكن ثبت للمستأجر الخيار في فسخ العقد كما قلنا في السلم وإن كان حجه بنفسه انفسخ العقد لأنه تلف المعقود عليه قبل القبض فإن مات بعدما أتى بجميع الأركان وقبل المبيت والرمي سقط الفرض لأنه أتى بالأركان ويجب في تركته الدم لما بقي كما يجب ذلك في حج نفسه وإن مات بعد الإحرام وقبل أن يأتي بالأركان فهل يجوز أن يبني غيره على عمله؟ فيه قولان: أحدهما قال في القديم يجوز لأنه عمل تدخله النيابة فجاز البناء عليه كسائر الأعمال
PASAL: Jika seorang pekerja yang disewa untuk haji meninggal sebelum iḥrām, maka dilihat: jika akadnya atas haji yang menjadi tanggungan (fī al-dzimmah), maka diambilkan dari hartanya untuk menyewa orang lain agar menghajikannya. Jika tidak memungkinkan, maka penyewa memiliki hak khiyar untuk membatalkan akad, sebagaimana dijelaskan dalam akad salam.
Jika akadnya adalah agar ia sendiri yang berhaji, maka batal akadnya karena manfaat yang diakadkan telah hilang sebelum dapat diterima.
Jika ia meninggal setelah menunaikan seluruh rukun haji namun sebelum bermalam (mabīt) dan melempar jumrah, maka gugurlah kewajiban haji karena rukun-rukunnya telah ditunaikan, tetapi wajib dari hartanya menyembelih dam untuk kewajiban yang tersisa, sebagaimana jika itu haji atas namanya sendiri.
Jika ia meninggal setelah berihram namun sebelum melaksanakan rukun-rukun, maka apakah boleh orang lain melanjutkan pelaksanaan hajinya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya adalah pendapat dalam al-Qadīm bahwa hal itu boleh, karena haji termasuk amalan yang bisa diwakilkan, maka boleh dilanjutkan sebagaimana amalan-amalan lain yang dapat diwakilkan.
وقال في الجديد لا يجوز وهو الصحيح لأنه عبادة يفسد أولها بفساد آخرها فلا تتأدى بنفسين كالصوم والصلاة فإن قلنا لا يجوز البناء كانت الإجارة على عمل الأجير بنفسه بطلت لأنه فات المعقود عليه ويستأجر المستأجر من يستأنف الحج وإن كانت الإجارة على حج في الذمة لم تبطل لأن المعقود عليه لم يفت بموته فإن كان وقت الموقوف باقياً استؤجر من تركته من يحج وإن فات الموقوف فللمستأجر أن يفسخ لأنه تأخر حقه فثبت له الفسخ
Dan beliau berkata dalam pendapat jadīd: tidak boleh membangun (melanjutkan) atas amalan orang lain, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena haji adalah ibadah yang rusak bagian awalnya jika bagian akhirnya rusak, maka tidak bisa ditunaikan oleh dua orang, sebagaimana puasa dan salat.
Jika kita mengatakan tidak boleh membangun atas amal ajīr, maka akad ijarah atas pelaksanaan haji oleh ajīr itu sendiri menjadi batal, karena manfaat yang diakadkan telah hilang. Maka penyewa menyewa orang lain untuk memulai haji dari awal.
Namun jika akadnya atas haji yang menjadi tanggungan (fī al-dzimmah), maka akadnya tidak batal karena manfaat yang diakadkan belum hilang dengan kematian ajīr.
Jika waktu pelaksanaan yang ditentukan (al-mawqūf) masih ada, maka diambilkan dari hartanya untuk menyewa orang yang melaksanakan haji. Namun jika waktu tersebut telah lewat, maka penyewa berhak membatalkan akad karena haknya tertunda, maka ia berhak melakukan pembatalan.
وإن قلنا يجوز البناء على فعل الأجير فإن كانت الإجارة على فعل الأجير بنفسه بطلت لأن حجه فات بموته فإن كان وقت الوقوف باقياً أقام المستأجر من يحرم بالحج ويبني على عمل الأجير وإن كان بعد فوات وقت الوقوف أقام من يحرم بالحج ويتم وقال أبو إسحاق لا يجوز للباقي أن يحرم بالحج لأن الإحرام بالحج في غير أشهر الحج لا ينعقد بل يحرم بالعمرة ويتم والصحيح هو الأول لأنه لا يجوز أن يطوف في العمرة ويقع على الحج وقوله إن الإحرام بالحج لا ينعقد في غير أشهر الحج لا يصح لأن هذا بناء على إحرام حصل في أشهر الحج وإن كانت الإجارة على حج في الذمة استؤجر من تركته الأجير من يبني على إحرامه على ما ذكرناه.
Dan jika kita berpendapat bahwa boleh membangun (melanjutkan) atas amalan ajīr, maka jika akad ijarah atas pelaksanaan haji oleh ajīr itu sendiri, akadnya tetap batal karena hajinya telah gugur dengan kematiannya.
Jika waktu wuqūf masih tersisa, maka penyewa menunjuk orang lain untuk berihram haji dan melanjutkan amalan ajīr. Jika telah lewat waktu wuqūf, maka penyewa menunjuk orang lain untuk berihram haji dan menyempurnakannya.
Abū Isḥāq berpendapat: tidak boleh bagi orang yang melanjutkan untuk berihram haji, karena ihram haji di luar bulan-bulan haji tidak sah. Tapi ia berihram dengan ‘umrah dan menyempurnakannya.
Pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena tidak boleh ṭawāf dalam ‘umrah lalu dihitung sebagai ṭawāf haji. Ucapannya bahwa ihram haji tidak sah di luar bulan-bulan haji tidak benar, karena ini merupakan kelanjutan dari ihram yang sudah dilakukan dalam bulan-bulan haji.
Dan jika akad ijarah adalah atas haji dalam tanggungan (fī al-dzimmah), maka diambilkan dari harta ajīr untuk menyewa orang lain guna melanjutkan ihramnya, sebagaimana telah dijelaskan.
فصل: ومتى انفسخ العقد بالهلاك أو بالرد بالعيب أو بتعذر المنفعة بعد استيفاء بعض المنفعة قسم المسمى على ما استوفى وعلى ما بقي فما قابل المستوفي استقر وما قابل الباقي سقط كما يقسم الثمن على ما هلك من المبيع وعلى ما بقي فإذا كان ذلك مما يختلف رجع في تقويمه إلى أهل الخبرة وإن كان العقد على الحج فمات الأجير أو أحصر نظرت فإن كان بعد قطع المسافة وقبل الإحرام ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه لا يستحق شيئاً من الأجرة بناء على قوله في الأم أن الأجرة لا تقابل قطع المسافة وهو الصحيح
PASAL: Jika akad batal karena kebinasaan, atau karena pengembalian disebabkan cacat, atau karena kemanfaatan menjadi mustahil setelah sebagian manfaat terambil, maka upah yang telah disepakati dibagi antara yang sudah diambil dan yang tersisa. Maka bagian yang sesuai dengan manfaat yang sudah diambil menjadi tetap, dan bagian yang sesuai dengan sisa manfaat gugur, sebagaimana harga jual dibagi antara barang yang telah binasa dan yang masih tersisa. Jika hal itu termasuk perkara yang berbeda-beda (nilainya), maka kembali kepada penilaian ahli dalam hal tersebut. Jika akad itu tentang haji, lalu ajir (pekerja) meninggal atau tertahan, maka dilihat: jika itu terjadi setelah melewati jarak safar tetapi sebelum iḥrām, maka ada dua wajah; salah satunya adalah pendapat Abū Isḥāq bahwa tidak berhak sedikit pun dari upah, berdasarkan pendapatnya dalam al-Umm bahwa upah tidak bisa menjadi imbalan atas sekadar melewati jarak safar, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ.
لأن الأجرة في مقابلة الحج وابتداء الحج من الإحرام وما قبله من قطع المسافة تسبب إلى الحج وليس بحج فلم يستحق في مقابلته أجرة كما لو استأجر رجلاً ليخبز له فأحضر الآلة وأوقد النار ومات قبل أن يخبز والثاني وهو قول أبو سعيد الاصطخري وأبي بكر الصير في أنه يستحق من الأجرة بقدر ما قطع من المسافة بناء على قوله في الإملاء إن الأجرة تقابل قطع المسافة والعمل لأن الحج لا يتأدى إلا بهما فسقطت الأجرة عليهما وإن كان بعد الفراغ من الأركان وقبل الرمي والمبيت ففيه طريقان: أحدهما يلزمه أن يرد من الأجرة بقدر ما ترك قولاً واحداً لأنه ترك بعض ما استؤجر عليه فلزمه رد بدله كما لو استؤجر على بناء عشرة أذرع فبنى تسعة ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما يلزمه لما ذكرناه
karena upah adalah sebagai imbalan atas (pelaksanaan) haji, sedangkan permulaan haji adalah dari iḥrām, dan apa yang sebelumnya berupa menempuh jarak safar hanyalah pengantar menuju haji, bukan haji itu sendiri. Maka tidak berhak mendapatkan upah sebagai imbalan atasnya, sebagaimana jika seseorang menyewa orang lain untuk memanggang roti, lalu orang itu menyiapkan alat dan menyalakan api, tetapi meninggal sebelum memanggang.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī dan Abū Bakr aṣ-Ṣayrī, adalah bahwa ia berhak atas upah sebanding dengan jarak yang telah ditempuh, berdasarkan pendapatnya dalam al-Imlāʾ bahwa upah itu sebagai imbalan atas menempuh jarak dan pelaksanaan kerja, karena haji tidak bisa terlaksana kecuali dengan keduanya. Maka upah dijatuhkan untuk keduanya.
Jika kematian terjadi setelah selesai menunaikan rukun-rukun haji dan sebelum melontar dan bermalam, maka dalam hal ini terdapat dua ṭarīq (pendekatan pendalilan): salah satunya menyatakan bahwa ia wajib mengembalikan bagian dari upah sebanding dengan bagian yang ditinggalkan, menurut satu pendapat saja, karena ia telah meninggalkan sebagian dari apa yang disewa untuk dikerjakan, maka wajib baginya mengembalikan gantiannya, sebagaimana jika ia disewa untuk membangun sepuluh hasta, lalu hanya membangun sembilan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya ia wajib (mengembalikan upah) sebagaimana telah disebutkan.
والثاني لا يلزمه لأن ما دخل على الحج من النقص بترك الرمي والمبيت جبره بالدم فصار كما لو لم يتركه وإن كان بعد الإحرام وقبل أن يأتي بباقي الأركان ففيه وجهان: أحدهما لا يستحق شيئاً كما لو قال من رد عبدي الآبق فله دينار فرده رجل إلى باب البلد ثم هرب والثاني أنه يستحق بقدر ما عمله وهو الصحيح لأنه عمل بعض ما استؤجر عليه فأشبه إذا استؤجر على بناء عشرة أذرع فبنى بعضها ثم مات فإن قلنا إنه يستحق بعض الأجرة فهل تسقط الأجرة على العمل والمسافة أو على العمل دون المسافة على ما ذكرناه في القولين.
dan pendapat kedua: tidak wajib mengembalikannya, karena kekurangan yang terjadi dalam haji akibat meninggalkan melontar dan bermalam telah ditebus dengan dam, sehingga seakan-akan tidak ada kekurangan.
Jika kematian terjadi setelah iḥrām dan sebelum melaksanakan sisa rukun-rukun haji, maka terdapat dua wajah:
pertama, tidak berhak mendapatkan apa pun, sebagaimana jika seseorang berkata, “Siapa yang mengembalikan budakku yang lari akan mendapatkan satu dinar,” lalu seseorang mengembalikannya sampai pintu kota, kemudian budaknya lari lagi.
Kedua, ia berhak mendapatkan upah sebanding dengan apa yang telah dikerjakannya, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia telah mengerjakan sebagian dari apa yang ia disewa untuknya, maka hal ini menyerupai orang yang disewa untuk membangun sepuluh hasta lalu ia membangun sebagiannya kemudian meninggal.
Jika kita mengatakan bahwa ia berhak atas sebagian upah, maka apakah bagian upah itu mencakup pekerjaan dan perjalanan, ataukah hanya pekerjaan saja? Hal ini kembali pada dua pendapat yang telah disebutkan.
فصل: وإن أجر عبداً ثم أعتقه صح العتق لأنه عقد على منفعة فلم يمنع العتق كما لو زوج أمته ثم أعتقها ولا تنفسخ الإجارة كما لا ينفسخ النكاح وهل يرجع العبد على مولاه بالأجرة؟ فيه قولان: قال في الجديد لا يرجع وهو الصحيح لأنها منفعة استحقت بالعقد قبل العتق فلم يرجع ببدلها بعد العتق كما لو زوج أمته ثم أعتقها وقال في القديم يرجع لأنه فوت بالإجارة ما ملكه من منفعته بالعتق فوجب عليه البدل
PASAL: Jika seseorang menyewakan seorang budak, lalu ia memerdekakannya, maka pemerdekaan itu sah, karena akad tersebut atas manfaat, sehingga tidak menghalangi pemerdekaan, sebagaimana jika ia menikahkan budak perempuannya lalu memerdekakannya. Dan akad ijarah tidak batal, sebagaimana nikah tidak batal. Apakah budak tersebut boleh menuntut tuannya atas upah sewa? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: dalam pendapat al-jadīd, ia tidak boleh menuntut, dan ini yang shahih, karena manfaat itu telah menjadi hak pihak lain melalui akad sebelum pemerdekaan, maka ia tidak berhak menuntut gantinya setelah dimerdekakan, sebagaimana jika ia menikahkan budak perempuannya lalu memerdekakannya. Dalam pendapat al-qadīm, ia boleh menuntut, karena tuannya telah menghalangi manfaat yang menjadi miliknya dengan akad ijarah, maka wajib atasnya membayar ganti.
فإن قلنا يرجع بالأجرة كانت نفقته على نفسه لأنه ملك بدل منفعته فكانت نفقته عليه كما لو أجر نفسه بعد العتق وإن قلنا لا يرجع بالأجرة ففي نفقته وجهان: أحدهما أنها على المولى لأنه كالباقي على ملكه بدليل أنه يملك بدل منفعته بحق الملك فكانت نفقته عليه والثاني أنها في بيت المال لأنه لا يمكن إيجابها على المولى لأنه زاد ملكه عنه ولا على العبد لأنه لا يقدر عليها في مدة الإجارة فكانت في بيت المال.
Maka jika dikatakan bahwa ia (budak) berhak menuntut upah sewa, maka nafkahnya menjadi tanggungan dirinya sendiri, karena ia telah memiliki pengganti dari manfaat dirinya, maka nafkahnya menjadi kewajibannya, sebagaimana jika ia menyewakan dirinya setelah merdeka. Namun jika dikatakan bahwa ia tidak berhak menuntut upah sewa, maka dalam hal nafkahnya terdapat dua wajah: wajah pertama, bahwa nafkahnya menjadi tanggungan tuannya, karena ia seperti tetap berada dalam kepemilikan tuannya, dengan dalil bahwa tuan masih memiliki pengganti dari manfaat dirinya berdasarkan hak milik, maka nafkahnya atas tuannya. Wajah kedua, bahwa nafkahnya menjadi tanggungan bait al-māl, karena tidak mungkin mewajibkannya atas tuan (karena kepemilikannya telah hilang darinya), dan tidak pula atas budak (karena ia tidak mampu menanggungnya selama masa ijarah), maka menjadi tanggungan bait al-māl.
فصل: وإن أجر عيناً ثم باعها من غير المستأجر ففيه قولان: أحدهما أن البيع باطل لأن يد المستأجر تحول دون فلم يصح البيع كبيع المغصوب من غير الغاصب والمرهون من غير المرتهن والثاني يصح لأنه عقد على المنفعة فلم يمنع صحة البيع كما لو زوج أمته ثم باعها ولا تنفسخ الإجارة كما لا ينفسخ النكاح في بيع الأمة المزوجة وإن باعها من المستأجر صح البيع قولاً واحداً
PASAL: Jika seseorang menyewakan suatu barang, lalu menjualnya kepada selain penyewa, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, jual beli tersebut batal karena tangan penyewa menghalangi (penguasaan penjual), maka tidak sah jual beli itu sebagaimana menjual barang yang digusah (digunakan secara zalim) kepada selain penggusah, atau menjual barang yang digadaikan kepada selain penerima gadai.
Kedua, jual beli itu sah karena akadnya atas zat barang, bukan atas manfaat, maka tidak menghalangi sahnya jual beli sebagaimana jika ia menikahkan budak perempuannya lalu menjualnya, maka nikahnya tidak batal sebagaimana juga jual belinya tidak batal atas budak yang sudah menikah.
Dan apabila ia menjualnya kepada penyewa, maka jual belinya sah menurut satu pendapat.
لأنه في يده لا حائل دونه فصح بيعها منه كما لو باع المغصوب من الغاصب والمرهون من المرتهن ولا تنفسخ الإجارة بل يستوفي المستأجر المنفعة بالإجارة لأن الملك لا ينافي الإجارة والدليل عليه أنه يجوز أن يستأجر ملكه من المستأجر فإذا طرأ عليها لم يمنع صحتها وإن تلفت المنافع قبل انقضاء المدة انفسخت الإجارة ورجع المشتري بالأجرة لما بقي على البائع.
Karena barang itu berada di tangannya dan tidak ada penghalang antara keduanya, maka sah menjualnya kepada penyewa sebagaimana sah menjual barang yang digusah kepada penggusah dan barang yang digadaikan kepada penerima gadai. Dan akad ijarah tidak batal, bahkan penyewa tetap berhak menikmati manfaatnya berdasarkan akad sewa, karena kepemilikan tidak bertentangan dengan akad ijarah. Dalilnya adalah bahwa seseorang boleh menyewa miliknya sendiri dari penyewa, maka jika kepemilikan itu datang belakangan (karena pembelian), tidak menghalangi sahnya akad.
Dan jika manfaat barang itu rusak sebelum habis masa sewanya, maka akad ijarah batal, dan pembeli berhak menuntut kembali sisa uang sewa dari penjual untuk waktu yang tersisa.
فصل: فإن أجر عيناً من رجل ثم مات أحدهما لم يبطل العقد لأنه عقد لازم فلا يبطل بالموت مع سلامة العقود عليه كالبيع فإن أجر وقفاً عليه ثم مات ففيه وجهان: أحدهما لا يبطل لأنه أجر ما يملك إجارته فلم يبطل بموته كما لو أجر ملكه ثم مات فعلى هذا يرجع البطن الثاني في تركة المؤجر بأجرة المدة الباقية لأن المنافع في المدة الباقية حق له فاستحق أجرتها والثاني تبطل لأن المنافع بعد الموت حق لغيره فلا ينفذ عقده عليها من غير إذن ولا ولاية ويخالف إذا أجر ملكه ثم مات
PASAL: Jika seseorang menyewakan suatu ‘ain kepada orang lain, lalu salah satu dari keduanya meninggal, maka akad tidak batal karena ia merupakan akad yang lazim sehingga tidak batal dengan kematian selama tidak ada hal yang merusak akad, seperti dalam jual beli. Jika ia menyewakan harta wakaf yang berada dalam tanggungannya lalu ia meninggal, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, akad tidak batal karena ia menyewakan sesuatu yang ia miliki hak untuk menyewakannya, sehingga tidak batal dengan kematiannya, sebagaimana jika ia menyewakan miliknya lalu ia meninggal. Berdasarkan pendapat ini, maka pihak penerima manfaat wakaf generasi kedua berhak menuntut kepada harta peninggalan penyewa pertama atas sewa untuk sisa masa sewa, karena manfaat pada sisa masa sewa adalah haknya, sehingga ia berhak atas imbalannya.
Kedua, akad batal karena manfaat setelah kematian menjadi hak orang lain, sehingga tidak sah akad atasnya tanpa izin atau wewenang. Hal ini berbeda dengan orang yang menyewakan miliknya lalu ia meninggal.
فإن الوارث يملك من جهة الموروث فلا يملك ما خرج من ملكه بالإجارة والبطن الثاني يملك غلة الوقف من جهة الواقف فلم ينفذ عقد الأول عليه وإن أجر صبياً في حجره أو أجر ماله ثم بلغ ففيه وجهان: أحدهما لا يبطل العقد لأنه عقد لازم عقده بحق الولاية فلا يبطل بالبلوغ كما لو باع داره والثاني يبطل لأنه بان بالبلوغ أن تصرف الولي إلى هذا الوقت والصحيح عندي في المسائل كلها أن الإجارة لا تبطل وبالله التوفيق.
Karena ahli waris memiliki dari jalur orang yang mewariskan, maka ia tidak memiliki apa yang telah keluar dari kepemilikannya melalui akad sewa, sedangkan pihak penerima manfaat wakaf generasi kedua memiliki hasil wakaf dari jalur pewakaf, maka tidak sah akad pihak pertama atasnya.
Jika seseorang menyewakan anak kecil yang berada dalam perwaliannya atau menyewakan hartanya, lalu si anak mencapai usia baligh, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, akad tidak batal karena ia merupakan akad lazim yang dilakukan dengan hak perwalian, maka tidak batal dengan baligh, sebagaimana jika wali menjual rumah anak tersebut.
Kedua, akad batal karena dengan baligh tampak bahwa wewenang wali hanya berlaku hingga waktu tersebut.
Dan pendapat yang shahih menurutku dalam seluruh permasalahan ini adalah bahwa akad ijarah tidak batal. Wa biLlâhi at-taufîq.
باب تضمين المستأجر والأجير
إذا تلفت العين المستأجرة في يد المستأجر من غير فعله لم يلزمه الضمان لأنه عين قبضها ليستوفي منها ما ملكه فلم يضمنها بالقبض كالمرأة في يد الزوج والنخلة التي اشترى ثمرتها وإن تلفت بفعله نظرت فإن كان بغير عدوان كضرب الدابة وكبحها باللجام للاستصلاح لم يضمن لأنه هلك من فعل مستحق فلم يضمنه كما هلك تحت الحمل وإن تلفت بعدوان كالضرب من غير حاجة لزمه الضمان لأنه جناية على مال الغير فلزمه ضمانه.
BAB TENTANG TANGGUNG JAWAB PENYEWA DAN PEKERJA BAYARAN
Jika barang sewaan rusak di tangan penyewa tanpa perbuatannya, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi karena ia memegang barang tersebut untuk mengambil manfaat yang telah dimilikinya, maka tidak wajib menanggungnya hanya karena memegangnya, sebagaimana perempuan di tangan suami dan pohon kurma yang buahnya telah dibeli.
Namun jika rusaknya disebabkan oleh perbuatannya, maka dilihat:
Jika perbuatannya bukan kezaliman, seperti memukul hewan atau menariknya dengan tali kekang untuk kemaslahatan, maka ia tidak wajib menanggung ganti rugi karena kerusakan itu disebabkan oleh perbuatan yang dibenarkan, maka tidak wajib menggantinya, sebagaimana rusak karena beban yang dibawanya.
Dan jika rusaknya disebabkan oleh tindakan zalim, seperti memukul tanpa kebutuhan, maka ia wajib menanggung ganti rugi karena itu merupakan perusakan terhadap harta milik orang lain, maka wajib menggantinya.
فصل: وإن اكترى ظهراً إلى مكان فجاوز به المكان فهلك نظرت فإن لم يكن معه صاحبه لزمه قيمته أكثر ما كانت من حين جاوز به المكان إلى أن تلف لأنه ضمنه باليد من حين جاوز فصار كالغاصب وإن كان صاحبه معه نظرت فإن هلك بعد نزوله وتسليمه إلى صاحبه لم يضمن لأنه ضمنه باليد فبرئ بالرد كالمغصوب إذا رده إلى مالكه وإن تلف في حال السير والركوب ضمن لأنه هلك في حال العدوان وفي قدر الضمان قولان: أحدهما نصف قيمته لأنه تلف من مضمون وغير مضمون فكان الضمان بينهما نصفين كما لو مات في جراحته وجراحة مالكه
PASAL: Jika seseorang menyewa tunggangan ke suatu tempat, lalu ia melewati tempat itu dan tunggangan tersebut binasa, maka dilihat dahulu: jika tidak bersama pemiliknya, maka ia wajib mengganti nilainya sebesar nilai tertinggi sejak ia melewati tempat tersebut sampai binasanya, karena ia menanggungnya dengan tangan (penguasaan) sejak melewati tempat, maka keadaannya seperti ghāṣib (perampas). Namun jika pemiliknya bersamanya, maka dilihat lagi: jika tunggangan itu binasa setelah ia turun dan menyerahkannya kepada pemiliknya, maka ia tidak menanggungnya karena sebelumnya ia menanggung dengan tangan lalu bebas dengan pengembalian, seperti barang yang dighāṣib ketika dikembalikan kepada pemiliknya. Namun jika binasa dalam keadaan perjalanan dan ia sedang menungganginya, maka ia menanggungnya karena kebinasaan itu terjadi dalam keadaan ‘udwān (melanggar). Tentang kadar jaminannya ada dua pendapat: pertama, setengah dari nilainya karena kebinasaan itu terjadi akibat gabungan antara yang ditanggung dan tidak ditanggung, maka jaminannya dibagi dua, sebagaimana jika seseorang mati karena luka dari penyewa dan luka dari pemilik.
والثاني أنه تقسط القيمة على المسافتين فما قابل مسافة الإجارة سقط وما قابل الزيادة يجب لأنه يمكن تقسيطه على قدرهما فقسط بناء على القولين في الجلاد إذا ضرب رجلاً في القذف إحدى وثمانين فمات وإن تعادل اثنان ظهراً استأجراه وارتدف معهما الثالث من غير إذن فتلف الظهر ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يجب على المرتدف نصف القيمة لأنه هلك من مضمون وغير مضمون
dan pendapat kedua adalah bahwa nilai ditakar berdasarkan dua jarak: bagian yang sesuai dengan jarak yang disepakati dalam akad sewa gugur (tidak wajib diganti), dan bagian yang melebihi (jarak tambahan) wajib diganti, karena memungkinkan untuk dibagi berdasarkan perbandingan keduanya. Ini berdasarkan qiyas pada dua pendapat dalam kasus jallād (algojo) yang memukul seseorang karena qadzf sebanyak delapan puluh satu pukulan lalu orang itu mati.
Dan jika dua orang setara dalam kepemilikan terhadap tunggangan, lalu mereka menyewanya bersama, dan ada orang ketiga menumpang tanpa izin mereka berdua, lalu tunggangan itu binasa, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, wajib atas penumpang ketiga (yang menumpang tanpa izin) untuk membayar setengah dari nilai tunggangan, karena kebinasaan terjadi akibat gabungan antara yang ditanggung dan yang tidak ditanggung.
والثاني يجب عليه الثلث لأن الرجال لا يوزنون فقسط الضمان على عددهم والثالث أنه يقسط على أوزانهم فيجب على المرتدف ما يخصه بالوزن لأنه يمكنه تقسيطه بالوزن فقسط عليه.
فصل: وإن استأجر عيناً واستوفى المنفعة وحبسها حتى تلفت فإن كان حبسها العذر لم يلزمه الضمان لأنه أمانة في يده فلم يضمن بالحبس لعذر كالوديعة وإن كان لغير عذر فإن قلنا لا يجب الرد قبل الطلب لم يضمن كالوديعة قبل الطلب وإن قلنا يجب ردها ضمن الوديعة بعد الطلب.
dan pendapat kedua: ia wajib membayar sepertiga karena manusia tidak ditimbang, maka tanggungan dibagi berdasarkan jumlah mereka.
Dan pendapat ketiga: dibagi berdasarkan berat badan mereka, maka penumpang ketiga wajib membayar sesuai bagiannya berdasarkan berat, karena memungkinkan untuk membaginya menurut berat, maka dibagi menurutnya.
PASAL: Jika seseorang menyewa suatu barang dan telah memanfaatkan manfaatnya, lalu menahan barang itu sampai binasa, maka jika penahanannya karena uzur, ia tidak wajib menanggung karena barang itu merupakan amanah di tangannya, sehingga tidak wajib mengganti karena penahanan yang disebabkan oleh uzur, seperti barang titipan. Namun jika penahanannya tanpa uzur, maka jika kita mengatakan bahwa ia tidak wajib mengembalikan sebelum ada permintaan, maka ia tidak wajib mengganti seperti halnya barang titipan sebelum diminta. Dan jika kita mengatakan bahwa ia wajib mengembalikannya, maka ia wajib mengganti sebagaimana barang titipan setelah adanya permintaan.
فصل: وإن تلفت العين التي استؤجر على العمل فيها نظرت فإن كان التلف بتفريط بأن استأجره ليخبز له فأسرف يجوز الوقود أو ألزقه بل وقته أو تركه في النار حتى احترق ضمنه لأنه هلك بعدوان فلزمه الضمان وإن استؤجر على تأديب غلام فضربه فمات فضمنه لأنه يمكن تأديبه بغير الضرب فإذا عدل إلى الضرب كان ذلك تفريطاً منه فلزمه الضمان وإن كان التلف بغير تفريط نظرت فإن كان العمل في ملك المستأجر بأن دعاه إلى داره ليعمل له أو كان العمل في دكان الأجير والمستأجر حاضر أو اكتراه ليحمل له شيئاً وهو معه لم يضمن لأن يد صاحبه عليه فلم يضمن من غير جناية
PASAL: Jika barang yang menjadi objek kerja dalam akad sewa rusak, maka dilihat: jika kerusakan itu karena tafrīṭ (kelalaian), seperti menyewanya untuk memanggang roti lalu ia berlebihan dalam menyalakan api, atau menempelkan roti ke dinding oven, atau membiarkannya terlalu lama di dalam api hingga terbakar, maka ia wajib mengganti karena barang itu rusak akibat ‘udwān (perbuatan melampaui batas), sehingga ia wajib menanggung kerugian tersebut. Jika ia disewa untuk mendidik seorang anak lalu ia memukulnya hingga mati, maka ia wajib mengganti, karena mendidik bisa dilakukan tanpa pukulan, maka ketika ia beralih kepada pukulan, itu merupakan kelalaian darinya, sehingga ia wajib menanggung kerugiannya.
Namun jika kerusakan itu bukan karena kelalaian, maka dilihat: jika pekerjaan itu dilakukan di properti milik penyewa, seperti memanggilnya ke rumahnya untuk bekerja, atau pekerjaan dilakukan di toko milik pekerja sedangkan penyewa hadir, atau ia disewa untuk membawa barang dan penyewa ikut serta, maka ia tidak wajib menanggung kerusakan karena barang itu berada dalam pengawasan pemiliknya, maka tidak wajib ganti rugi kecuali ada unsur penganiayaan.
وإن كان العمل في يد الأجير من غير حضور المستأجر نظرت فإن كان الأجير مشركاً وهو الذي يعمل له ولغيره كالقصار الذي يقصر لكل أحد والملاح الذي يحمل لكل أحد ففيه قولان: أحدهما يجب عليه الضمان لما روى الشعبي عن أنس رضي الله عنه قال: استحملني رجل بضاعة فضاعت من بين متاعي فضمنها عمر بن الخطاب رضي الله عنه وعن خلاس بن عمرو أن علياً رضي الله عنه كان يضمن الأجير وعن جعفر بن محمد عن أبيه عن علي كرم الله وجهه أنه كان يضمن الصباغ والصواغ وقال لا يصلح الناس إلا ذلك ولأنه قبض العين لمنفعته من غير استحقاق فضمنها كالمستعين
Dan jika pekerjaan berada di tangan ajīr tanpa kehadiran penyewa, maka dilihat: jika ajīr itu adalah musytarak (ajīr yang bekerja untuk umum), yaitu yang bekerja untuk banyak orang seperti tukang cuci yang mencuci untuk siapa saja, atau juru mudi kapal yang mengangkut milik siapa saja, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: ia wajib menanggung kerugian, berdasarkan riwayat dari asy-Sya‘bī dari Anas RA bahwa seorang laki-laki membawakan barangku lalu barang itu hilang di antara barang-barangku, maka ‘Umar bin al-Khaththāb RA mewajibkan ia mengganti. Dan dari Kholās bin ‘Amr bahwa ‘Alī RA dahulu mewajibkan ganti rugi kepada ajīr, dan dari Ja‘far bin Muḥammad dari ayahnya dari ‘Alī karramallāhu wajhah bahwa beliau mewajibkan ganti rugi kepada tukang celup dan tukang emas, dan berkata: “Orang-orang tidak akan bisa tertib kecuali dengan ketentuan seperti ini.” Karena ia telah menerima barang untuk kepentingannya sendiri tanpa hak, maka ia wajib menanggungnya seperti orang yang meminta bantuan.
والثاني لا ضمان عليه وهو قول المزني وهو الصحيح قال الربيع: كان الشافعي رحمه الله يذهب إلى أنه لا ضمان على الأجير ولكنه لا يفتى به لفساد الناس والدليل عليه أنه قبض العين لمنفعته ومنفعة المالك فلم يضمنه كالمضارب وإن كان الأجير منفرداً وهو الذي يعمل له ولا يعمل لغيره فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال: هو كالأجير المشترك وهو المنصوص
Pendapat kedua: tidak ada kewajiban ganti rugi atasnya. Ini adalah pendapat al-Muzanī, dan ini yang ṣaḥīḥ. Ar-Rabī‘ berkata: Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berpendapat bahwa ajīr tidak wajib menanggung kerugian, namun beliau tidak memfatwakannya karena rusaknya kondisi manusia. Dalilnya adalah bahwa ia menerima barang untuk kemaslahatannya dan juga untuk kemaslahatan pemilik, maka ia tidak wajib menanggungnya, seperti muḍārib (pengelola dana mudharabah).
Dan jika ajīr itu munfarid (pekerja eksklusif, hanya bekerja untuk satu orang), yaitu ia bekerja untuk satu orang dan tidak bekerja untuk selainnya, maka para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya. Sebagian mereka berkata: hukumnya seperti ajīr musytarak, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam nash.
فإن الشافعي رحمه الله قال: والأجراء كلهم سواء فيكون على قولين لأنه منفرد باليد فأشبه الأجير المشترك ومنهم من قال لا يجب عليه الضمان قولاً واحداً لأنه منفرد بالعمل فأشبه إذا كان عمله في دار المستأجر فإن قلنا إنه أمين فتعدى فيه ثم تلف ضمنه بقيمته أكثر ما كانت من حين تعدي إلى أن تلف لأنه ضمن بالتعدي فصار كالغاصب وإن قلنا إنه ضامن لزمه قيمته أكثر ما كانت من حين القبض إلى حين التلف كالغاصب ومن أصحابنا من قال يلزمه قيمته وقت التلف كالمستعير وليس بشيء.
Karena Imam al-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: “Para ajīr itu semuanya sama,” maka jadilah dalam dua pendapat, karena ia memegang barang secara mandiri, sehingga menyerupai ajīr musytarak. Dan sebagian dari sahabat kami berkata: ia tidak wajib mengganti kerugian secara qaul wāḥid, karena ia bekerja secara eksklusif, maka menyerupai kondisi ketika pekerjaannya dilakukan di rumah penyewa.
Jika kita berpendapat bahwa ia adalah amīn (pemegang amanah), lalu ia melakukan pelanggaran terhadap barang tersebut kemudian barang itu rusak, maka ia wajib mengganti nilainya dengan nilai tertinggi dari saat pelanggaran hingga waktu rusaknya, karena ia menanggung akibat pelanggaran tersebut sehingga statusnya seperti ghāṣib (perampas).
Dan jika kita berpendapat bahwa ia memang wajib mengganti kerugian, maka ia wajib membayar nilai tertingginya dari saat penerimaan hingga waktu kerusakan, seperti halnya ghāṣib. Dan sebagian sahabat kami berkata: ia hanya wajib mengganti nilainya saat rusak, seperti musta‘īr (peminjam barang), namun pendapat ini tidak kuat.
فصل: وإن عمل الأجير بعض العمل أو جميعه ثم تلف نظرت؛ فإن كان العمل في ملك صاحبه أو بحضرته وجبت له الأجرة لأنه تحت يده فكل ما عمل شيئاً صار مسلماً له وإن كان في يد الأجير فإن قلنا إنه أمين لم يستحق الأجرة لأنه لم يسم العمل وإن قلنا إنه ضامن استحق الأجرة لأنه يقوم عليه معمولاً فيصير بالتضمين مسلماً للعمل فاستحق الأجرة.
PASAL: Jika seorang ajīr telah mengerjakan sebagian atau seluruh pekerjaan lalu (barang) itu rusak, maka dilihat; jika pekerjaan itu dilakukan di milik pemiliknya atau di hadapannya, maka ia berhak mendapat upah karena pekerjaan itu berada dalam kekuasaannya, maka setiap kali ia melakukan sesuatu, pekerjaan itu menjadi diserahkan kepadanya. Dan jika (barang itu) berada di tangan ajīr, maka jika kita katakan bahwa ia adalah orang yang dipercaya (amīn), maka ia tidak berhak mendapat upah karena pekerjaan itu belum diserahkan. Dan jika kita katakan bahwa ia penanggung (ḍāmin), maka ia berhak mendapat upah karena pekerjaan itu dinilai sebagai sesuatu yang telah dikerjakan, maka dengan penjaminan itu pekerjaan dianggap telah diserahkan, sehingga ia berhak mendapat upah.
فصل: وإن دفع ثوباً إلى خياط وقال إن كان يكفيني لقميص فاقطعه فقطعه ولم يكفه لزمه الضمان لأنه أذن له بشرط فقطع من غير وجود الشرط فضمنه وإن قال أيكفيني للقميص فقال نعم فقال: إقطعه فقطعه فلم يكفه لم يضمن لأنه قطعه بإذن مطلق.
PASAL: Jika seseorang menyerahkan sehelai kain kepada penjahit dan berkata: “Jika cukup untuk baju, potonglah,” lalu penjahit itu memotongnya namun ternyata tidak cukup, maka ia wajib mengganti karena ia melakukan pemotongan dengan syarat, namun melakukannya tanpa terpenuhi syarat tersebut, sehingga ia menanggungnya.
Namun jika orang itu berkata: “Apakah cukup untuk baju?” lalu penjahit menjawab: “Ya,” kemudian orang itu berkata: “Potonglah,” lalu penjahit memotongnya namun ternyata tidak cukup, maka ia tidak wajib mengganti karena ia memotong dengan izin mutlak.
فصل: واختلف أصحابنا فيما يأخذ الحمامي هل هو ثمن الماء أو أجرة الدخول والسطل وحفظ الثياب فمنهم من قال هو ثمن الماء وهو متطوع بحفظ الثياب ومعير للسطل فعلى هذا لا يضمن الثياب إذا أتلفت وله عوض السطل إذا تلف ومنهم من قال هو أجرة الدخول والسطل وحفظ الثياب فعلى هذا لا يضمن الداخل السطل إذا هلك لأنه مستأجر وهل يضمن الحمامي الثياب؟ فيه قولان لأنه أجير مشترك.
PASAL: Para sahabat kami berbeda pendapat mengenai bayaran yang diterima oleh pemilik pemandian umum (ḥammāmī): apakah itu merupakan harga air ataukah upah untuk masuk, ember, dan penjagaan pakaian. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa itu adalah harga air, sedangkan penjagaan pakaian dilakukan secara sukarela dan ember dipinjamkan. Maka menurut pendapat ini, ia tidak menanggung ganti rugi jika pakaian rusak, dan ia berhak mendapat ganti rugi jika ember rusak. Dan di antara mereka ada pula yang berpendapat bahwa itu adalah upah untuk masuk, ember, dan penjagaan pakaian. Maka menurut pendapat ini, orang yang masuk tidak menanggung ganti rugi jika ember rusak karena ia menyewanya. Adapun apakah pemilik pemandian menanggung kerusakan pakaian, maka terdapat dua pendapat karena ia termasuk ajīr musytarak (pekerja bersama).
فصل: وإن استأجر رجلاً للحج فتطيب في إحرامه أو لبس وجبت الفدية على الأجير لأنه جناية لم يتناولها الإذن فوجب ضمانها كما لو استأجر ليشتري له ثوباً فاشتراه ثم خرقه وإن أفسد الحج صار الإحرام عن نفسه لأن الفاسد غير مأذون فيه فانعقد له كما ولو وكله في شراء عبد فاشترى أمة فإن كان العقد على حجه في هذه السنة انفسخ لأنه فات المعقود عليه وإن كان على حج في الذمة ثبت له الخيار لأنه تأخر حقه
PASAL: Jika seseorang menyewa orang lain untuk menunaikan haji, lalu orang yang disewa itu memakai wangi-wangian saat ihram atau mengenakan pakaian, maka wajib baginya membayar fidyah, karena itu merupakan pelanggaran yang tidak termasuk dalam izin, maka wajib ditanggung sebagaimana jika seseorang disewa untuk membelikan baju lalu setelah dibeli ia merobeknya.
Dan jika hajinya menjadi rusak, maka ihram tersebut menjadi atas nama dirinya sendiri, karena haji yang rusak bukanlah yang diizinkan, maka ihram itu berlaku untuk dirinya, sebagaimana jika seseorang mewakilkan untuk membeli seorang budak laki-laki lalu yang dibeli justru seorang budak perempuan.
Jika akadnya adalah untuk menunaikan haji pada tahun itu juga, maka akad menjadi batal karena objek akad tidak terlaksana. Namun jika akadnya adalah untuk haji yang bersifat fī al-dzimmah (utang di tanggungan), maka pihak penyewa berhak memilih, karena haknya menjadi tertunda.
فإن استأجر للحج من ميقات فأحرم من ميقات آخر لم يلزمه شيء لأن المواقيت المنصوص عليها متساوية في الحكم وإن كان بعضها أبعد من بعض فإذا ترك بعضها إلى بعض لم يحصل نقص يقتضي الجبران وإن أحرم دون الميقات لزمه دم لأنه ترك الإحرام من موضع يلزمه الإحرام منه فلزمه دم كما لو ترك ذلك في حجه لنفسه فإن استأجر ليحرم من دويرة أهله فأحرم دونه لزمه دم لأنه وجب عليه ذلك بعقد الإجارة فصار كما لو لزمه لحجه لنفسه بالشرع أو بالنذر فتركه وهل يلزمه أن يرد الأجرة بقسطه قال في القديم يهرق دماً وحجة تام
Jika seseorang disewa untuk menunaikan haji dari mīqāt tertentu lalu ia beriḥrām dari mīqāt yang lain, maka tidak wajib atasnya apa pun, karena seluruh mīqāt yang disebutkan secara naṣṣ hukumnya sama, meskipun sebagian lebih jauh dari yang lain, maka jika ia meninggalkan salah satunya menuju yang lain, tidak terjadi kekurangan yang mewajibkan pengganti (jabr).
Namun jika ia beriḥrām dari tempat yang lebih dekat daripada mīqāt, maka wajib atasnya menyembelih dam, karena ia telah meninggalkan beriḥrām dari tempat yang semestinya ia beriḥrām darinya, maka wajib baginya dam sebagaimana jika ia meninggalkan hal itu dalam hajinya sendiri.
Jika ia disewa untuk beriḥrām dari rumahnya lalu ia beriḥrām dari tempat yang lebih dekat, maka wajib baginya dam, karena kewajiban itu ditetapkan atasnya melalui akad sewa, maka hukumnya seperti jika kewajiban itu dikenakan atas dirinya dalam hajinya sendiri, baik karena syariat maupun nadzar, lalu ia tinggalkan.
Adapun apakah ia wajib mengembalikan bagian dari upahnya secara proporsional? Dalam qaul qadīm, disebutkan bahwa cukup baginya menyembelih dam dan hajinya dianggap sah dan sempurna.
وقال في الأم يلزمه أن يرد من الأجرة بقدر ما ترك فمن أصحابنا من قال يلزمه قولاً واحداً والذي قاله في القديم ليس فيه نص أنه لا يجب ومنهم من قال فيه قولان وهو الصحيح: أحدهما لا يلزمه لأن النص الذي لحق الإحرام جبره بالدم فصار كما لو لم يترك والثاني أنه يلزمه لأنه ترك بعض ما استؤجر عليه فلزمه رد بدله كما لو استأجره لبناء عشرة أذرع فبنى تسعة فعلى هذا يرد ما بين حجه من الميقات وبين حجه من الموضع الذي أحرم منه فإن استأجره ليحرم بالحج من الميقات فأحرم من الميقات بعمرة عن نفسه ثم أحرم بالحج عن المستأجر من مكة لزمه الدم لترك الميقات
Dan disebutkan dalam al-Umm bahwa ia wajib mengembalikan bagian dari upah sesuai kadar yang ia tinggalkan. Maka sebagian sahabat kami berkata: itu wajib secara qaul wāḥid, dan apa yang disebutkan dalam qaul qadīm tidak mengandung naṣṣ bahwa hal itu tidak wajib. Dan sebagian mereka berkata: ada dua pendapat, dan ini yang ṣaḥīḥ:
Pendapat pertama: tidak wajib, karena pelanggaran terhadap tempat iḥrām dapat ditebus dengan dam, maka seakan-akan tidak ada pelanggaran.
Pendapat kedua: wajib, karena ia telah meninggalkan sebagian dari apa yang ia disewa untuk melakukannya, maka ia wajib mengembalikan penggantinya, sebagaimana jika seseorang disewa untuk membangun sepuluh hasta lalu ia hanya membangun sembilan.
Maka menurut pendapat ini, ia harus mengembalikan selisih antara haji dari mīqāt dengan haji dari tempat yang ia mulai beriḥrām darinya.
Jika seseorang menyewanya untuk beriḥrām haji dari mīqāt, namun ia beriḥrām dari mīqāt untuk ‘umrah atas nama dirinya sendiri, kemudian beriḥrām haji atas nama penyewa dari Mekkah, maka ia wajib membayar dam karena telah meninggalkan mīqāt.
وهل يرد من الأجرة بقدر ما ترك على ما ذكرناه من الطرفين فإن قلنا يلزمه ففيه قولان: قال في الأم يرد بقدر ما بين حجه من الميقات وحجه من مكة لأن الحج من الإحرام وما قبله ليس من الحج وقال في الإملاء يلزمه أن يرد ما بين حجه من بلده وبين حجه من مكة لأنه جعل الأجرة في مقابلة السفر والعمل وجعل سفره لنفسه ويخالف المسألة قبلها لأن هناك سافر للمستاجر وإنما ترك الميقات وإن استأجره للحج فحج عنه وترك الرمي أو الميت لزمه الدم كما يلزمه لحجه وهل يرد من الأجرة بقسطه على ما ذكرناه فيمن ترك الإحرام من الميقات.
Dan apakah ia wajib mengembalikan bagian dari upah sebesar yang ia tinggalkan, sebagaimana telah kami sebutkan dari dua sisi pendapat?
Jika kita mengatakan bahwa ia wajib mengembalikannya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, sebagaimana disebutkan dalam al-Umm: ia wajib mengembalikan sebesar selisih antara haji dari mīqāt dan haji dari Mekah, karena haji dimulai dari iḥrām, sedangkan apa yang sebelum iḥrām bukan bagian dari haji.
Kedua, sebagaimana disebutkan dalam al-Imlā’: ia wajib mengembalikan selisih antara haji dari negerinya dengan haji dari Mekah, karena upah itu diberikan sebagai imbalan atas perjalanan dan pelaksanaan ibadah, sedangkan perjalanan itu ia niatkan untuk dirinya sendiri. Ini berbeda dengan masalah sebelumnya, karena dalam kasus itu ia memang melakukan perjalanan untuk pihak penyewa, hanya saja ia meninggalkan mīqāt.
Dan jika seseorang menyewanya untuk haji, lalu ia berhaji atas nama penyewa namun meninggalkan ramy atau mabīt, maka wajib baginya membayar dam, sebagaimana jika ia berhaji untuk dirinya sendiri. Dan apakah ia juga wajib mengembalikan sebagian dari upahnya? Maka berlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam kasus orang yang meninggalkan iḥrām dari mīqāt.
باب اختلاف المتكاريين
إذا اختلف المتكاريان في مقدار المنفعة أو قدر الأجرة ولم تكن بينة فتحالفا لأنه عقد معاوضة فأشبه البيع وإذا تحالفا كان الحكم في فسخ الإجارة كالحكم في البيع لأن الإجارة كالبيع فكان حكمها في الفسخ كالحكم في البيع فإن اختلفا في التعدي في العين المستأجرة فادعاه المؤجر وأنكره المستأجر فالقول قول المستأجر لأن الأصل عدم العدوان والبراءة من الضمان فإن اختلفا في الرد فادعاه المستأجر وأنكره المؤجر فالقول قول المؤجر إنه لم يرد عليه لأن المستأجر قبض العين لمنفعته فلم يقبل قوله في الرد كالمستعير وإن اختلف الأجير المشترك والمستأجر في رد العين فادعى الأجير أنه ردها وأنكر المستأجر
PASAL: Perselisihan antara pihak yang berijarah
Apabila terjadi perselisihan antara dua pihak yang berijarah tentang kadar manfaat atau besarnya upah, sedangkan tidak ada bukti, maka keduanya saling bersumpah karena ini adalah akad mu‘āwaḍah, sehingga menyerupai jual beli. Apabila keduanya telah saling bersumpah, maka hukum dalam pembatalan ijarah sama seperti hukum dalam jual beli, karena ijarah seperti jual beli, maka hukumnya dalam pembatalan pun sama seperti jual beli.
Jika terjadi perselisihan mengenai tindakan melampaui batas (ta‘addī) atas barang yang disewa, lalu pihak pemilik barang menyewakan mengklaim adanya tindakan tersebut, dan pihak penyewa mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan penyewa karena asalnya tidak ada pelanggaran dan bebas dari kewajiban ganti rugi.
Jika terjadi perselisihan tentang pengembalian barang, lalu penyewa mengklaim telah mengembalikannya sedangkan pihak penyewa menyangkal, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan pihak penyewa (yang menyewakan) bahwa barang belum dikembalikan, karena penyewa telah menerima barang untuk diambil manfaatnya, maka tidak diterima pengakuannya dalam pengembalian, seperti halnya orang yang meminjam barang (al-musta‘īr).
Jika terjadi perselisihan antara al-ajīr al-musytarak (pekerja yang jasanya digunakan bersama) dan penyewa tentang pengembalian barang, lalu ajīr mengklaim telah mengembalikannya, dan penyewa mengingkarinya… [bersambung ke bagian berikutnya].
فإن قلنا إن الأجير يضمن العين بالقبض لم يقبل قوله في الرد لأنه ضامن فلم يقبل قوله في الرد كالمستعير والغاصب وإن قلنا إنه لا يضمن العين بالقبض فهل يقبل قوله في الرد؟ فيه وجهان كالوكيل بجعل وقد مضى توجيههما في الوكالة وإن هلكت العين فادعى الأجير أنها هلكت بعد العمل وأنه يستحق الأجرة وأنكر المستأجر فالقول قول المستأجر لأن الأصل عدم العمل وعدم البدل.
Jika kita berpendapat bahwa ajīr bertanggung jawab atas barang dengan sebab menerima (barang tersebut), maka tidak diterima pengakuannya bahwa ia telah mengembalikannya, karena ia adalah pihak yang menanggung, maka tidak diterima pengakuannya dalam pengembalian sebagaimana halnya peminjam (musta‘īr) dan perampas (ghāṣib).
Namun jika kita berpendapat bahwa ajīr tidak menanggung barang dengan sebab penerimaan, maka apakah diterima pengakuannya bahwa ia telah mengembalikannya? Dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat, sebagaimana halnya wakīl bi ja‘l (agen dengan upah), dan telah disebutkan penjelasan kedua wajah tersebut dalam pembahasan tentang wakalah.
Jika barang tersebut rusak, lalu ajīr mengklaim bahwa kerusakan itu terjadi setelah pekerjaan selesai dan bahwa ia berhak mendapatkan upah, namun pihak penyewa mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan penyewa karena asalnya tidak ada pekerjaan dan tidak ada kewajiban memberikan imbalan.
فصل: وإن دفع ثوباً إلى خياط فقطعه قباء ثم اختلفا فقال رب الثوب أمرتك أن تقطعه قميصاً فتعديت بقطعه قباء فعليك ضمان النقص وقال الخياط بل أمرتني أن أقطعه قباء فعليك الأجرة فقد حكى الشافعي رحمه الله في اختلاف العراقيين قول ابن أبي ليلى إن القول قول الخياط وقول أبي حنيفة رحمة الله عليه إن القول قول رب الثوب ثم قال وهذا أشبه وكلاهما مدخول وقال في كتاب الأجير والمستأجر إذا دفع إليه ثوباً ليصبغه أحمر فصبغه أخضر فقال أمرتك أن تصبغه أحمر فقال الصباغ بل أمرتني أن أصبغه أخضر إنهما يتحالفان واختلف أصحابنا فيه على ثلاث طرق فمنهم من قال فيه ثلاثة أقوال: أحدها إن القول قول الخياط لأنه مأذون له في القطع فكان القول قوله في صفته
PASAL: Jika seseorang memberikan sepotong kain kepada tukang jahit lalu tukang itu memotongnya menjadi qabā’, kemudian keduanya berselisih — pemilik kain berkata, “Aku memerintahkanmu memotongnya menjadi qamīṣ, maka engkau telah melanggar dengan memotongnya menjadi qabā’, sehingga engkau wajib menanggung kerugian,” sedangkan tukang jahit berkata, “Bahkan engkau memerintahkanku untuk memotongnya menjadi qabā’, maka engkau wajib membayar upah” — maka Imam asy-Syāfi‘ī RA menukil dalam pembahasan perbedaan pendapat ulama ‘Irāq bahwa menurut Ibn Abī Laylā, perkataan tukang jahit yang diterima; dan menurut Abū Ḥanīfah RA, perkataan pemilik kain yang diterima. Lalu beliau berkata, “Yang ini lebih mendekati (kebenaran), dan keduanya memiliki kelemahan.”
Dan beliau berkata dalam Kitāb al-Ajīr wa al-Musta’jir, “Jika seseorang memberikan kain kepada tukang celup untuk dicelup warna merah, lalu tukang itu mencelupnya warna hijau, dan kemudian terjadi perselisihan — pemilik kain berkata, ‘Aku memerintahkanmu mencelupnya merah,’ dan tukang celup berkata, ‘Bahkan engkau memerintahkanku mencelupnya hijau,’ maka keduanya saling bersumpah.”
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini dalam tiga pendekatan. Di antaranya ada yang mengatakan bahwa ada tiga pendapat: pertama, bahwa perkataan tukang jahit yang diterima karena ia diberi izin untuk memotong, maka perkataannya diterima dalam menentukan bentuk potongan.
والثاني أن القول قول رب الثوب كما لو اختلفا في أصل الإذن والثالث أنهما يتحالفان وهو الصحيح لأن كل واحد منهما مدع ومدعى عليه لأن صاحب الثوب يدعي الأرض والخياط ينكره والخياط يدعي الأجرة وصاحب الثوب ينكره فتحالفا كالمتبايعين إذا اختلفا في قدر الثمن ومن أصحابنا من قال المسألة على القولين المذكورين في اختلاف العراقيين وهو قول أبي العباس وأبي إسحاق وأبي علي بن أبي هريرة والقاضي أبي حامد
dan kedua, bahwa perkataan pemilik kain yang diterima, sebagaimana jika keduanya berselisih tentang asal izin (apakah ada izin atau tidak);
dan ketiga, bahwa keduanya saling bersumpah — dan inilah pendapat yang benar, karena masing-masing dari keduanya adalah pengklaim dan yang diklaim: pemilik kain mengklaim adanya pelanggaran, sedangkan tukang jahit mengingkarinya; dan tukang jahit mengklaim upah, sedangkan pemilik kain mengingkarinya. Maka keduanya saling bersumpah seperti dua orang yang berjual beli jika berselisih tentang jumlah harga.
Sebagian sahabat kami mengatakan bahwa permasalahan ini kembali kepada dua pendapat yang dinukil dalam perbedaan pendapat ulama ‘Irāq. Inilah pendapat Abū al-‘Abbās, Abū Isḥāq, Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, dan al-Qāḍī Abū Ḥāmid.
ومن أصحابنا من قال هي على قول واحد أنهما يتحالفان وهو قول أبي حامد الإسفرايني لأن الشافعي رحمه الله ذكر القولين الأولين ثم قال: وكلاهما مدخول فإن قلنا إن القول قول الخياط فحلف لم يلزمه أرش النقص لأنه ثبت بيمينه أنه مأذون فيه وهل يستحق الأجرة؟ فيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه لايستحق الأجر لأن قوله قبل في سقوط الغرم لأنه منكر فأما في الأجرة فإنه مدع لم يقبل قوله والثاني وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أن له الأجرة لأنا قبلنا قوله في الإذن فعلى هذا هل يجب المسمى أو أجرة المثل؟ فيه وجهان: أحدهما يجب المسمى لأنا قبلنا قوله أنه أذن له فوجب ما اقتضاه
dan sebagian dari ulama kami ada yang berpendapat bahwa dalam masalah ini hanya ada satu pendapat, yaitu keduanya saling bersumpah, dan ini adalah pendapat Abū Ḥāmid al-Isfirāyinī, karena al-Syāfi‘ī rahimahullah menyebutkan dua pendapat pertama kemudian berkata: “Keduanya mengandung cacat.” Maka jika kita katakan bahwa yang dibenarkan adalah tukang jahit, lalu ia bersumpah, maka tidak wajib baginya membayar arasy (ganti rugi) atas kerusakan karena telah tetap dengan sumpahnya bahwa ia mendapatkan izin. Lalu, apakah ia berhak atas upah? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa ia tidak berhak atas upah karena pernyataannya diterima dalam menggugurkan kewajiban ganti rugi karena ia mengingkarinya, adapun mengenai upah, maka ia adalah pengklaim sehingga tidak diterima ucapannya.
Kedua, yaitu pendapat Abū ‘Alī ibn Abī Hurayrah, bahwa ia berhak atas upah karena kita menerima ucapannya dalam hal adanya izin. Berdasarkan ini, apakah yang wajib diberikan adalah upah yang disepakati (al-musammā) atau ujrah al-mitsl? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, yang wajib adalah al-musammā karena kita telah menerima ucapannya bahwa ia mendapatkan izin, maka wajiblah apa yang ditetapkan oleh izin tersebut.
والثاني أنه يجب له أجرة المثل لأنا إذا قبلنا قوله لم نأمن أن يدعي ألفاً وأجرة مثله درهم وإن قلنا أن القول قول صاحب الثوب فحلف لم تجب الأجرة لأنه فعل ما لم يؤذن فيه ويلزمه أرش القطع لأنه قطع ما لم يكن له قطعه وفي قدر الأرش قولان: أحدهما يلزمه ما بين قيمته مقطوعاً وصحيحاً لأنا حكمنا أنه لم يؤذن له في القطع فلزمه أرش القطع
dan kedua, bahwa yang wajib baginya adalah ujrah al-mitsl, karena meskipun kita menerima ucapannya, kita tidak aman dari kemungkinan ia mengaku bahwa upahnya seribu, padahal upah semisalnya hanyalah satu dirham.
Dan jika kita mengatakan bahwa yang dibenarkan adalah pemilik pakaian lalu ia bersumpah, maka tidak wajib diberikan upah, karena tukang jahit telah melakukan sesuatu yang tidak diizinkan, dan wajib baginya membayar arasy pemotongan karena ia telah memotong sesuatu yang tidak diizinkan baginya untuk dipotong.
Adapun dalam kadar arasy, terdapat dua pendapat: salah satunya, ia wajib membayar selisih antara nilai pakaian dalam keadaan terpotong dan dalam keadaan utuh, karena kita telah menetapkan bahwa ia tidak diizinkan untuk memotongnya, maka wajiblah atasnya arasy pemotongan.
والثاني يلزمه ما بين قيمته مقطوعاً قميصاً وبين قيمته مقطوعاً قباء لأنه قد أذن له في القطع وإنما حصلت المخالفة في الزيادة فلزمه أرش الزيادة فإن لم يكن بينهما تفاوت لم يلزمه شيء وإذا قلنا إنهما يتحالفان فتحالفا لم تجب الأجرة لأن التحالف يوجب رفع العقد والخياطة من غير عقد لا توجب الأجرة وهل يجب أرش القطع؟ ففيه قولان: أحدهما يجب لأن كل واحد منهما حلف على ما ادعاه ونفى ما ادعى عليه فبرئا كالمتبايعين والثاني أنه يجب أرش النقص لأنا حكمنا بارتفاع العقد بالتحالف فإذا ارتفع العقد حصل القطع من غير عقد فلزمه أرشه ومتى قلنا إنه يستحق الأجرة لم يرجع بالخيوط لأنه أخذ بدلها فإن قلنا لا يستحق الأجرة فله أن يأخذ خيوطه لأنه عين ماله فكان له أن يأخذه.
dan pendapat kedua, ia wajib membayar selisih antara nilai pakaian ketika terpotong menjadi qamīṣ dan nilainya ketika terpotong menjadi qabā’, karena ia telah diberi izin untuk memotong, dan pelanggaran hanya terjadi pada kelebihan potongan, maka wajiblah atasnya arasy kelebihan tersebut. Jika tidak ada perbedaan nilai antara keduanya, maka tidak wajib baginya membayar apa pun.
Dan jika kita mengatakan bahwa keduanya saling bersumpah, lalu mereka bersumpah, maka tidak wajib diberikan upah, karena sumpah berbalasan (taḥāluf) menyebabkan batalnya akad, sedangkan pekerjaan menjahit tanpa akad tidak mewajibkan upah.
Lalu apakah wajib membayar arasy pemotongan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, wajib, karena masing-masing bersumpah atas apa yang ia klaim dan menolak apa yang diklaim atasnya, maka keduanya bebas dari tuntutan seperti dua orang yang saling berjual beli.
Kedua, bahwa yang wajib adalah arasy kekurangan, karena kita menetapkan bahwa akad batal dengan sumpah, maka ketika akad batal, terjadilah pemotongan tanpa akad, sehingga wajiblah arasy-nya.
Dan kapanpun kita mengatakan bahwa ia berhak atas upah, maka ia tidak boleh mengambil benang-benangnya, karena ia telah menerima ganti darinya. Namun jika kita mengatakan bahwa ia tidak berhak atas upah, maka ia boleh mengambil benangnya, karena itu adalah harta miliknya, maka ia berhak mengambilnya.
فصل: إذا استأجر صانعاً على عمل من خياطة أو صباغة فعمل فهل له أن يحبس العين على الأجرة فيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأنه لم يرهن العين عنده فلم يجز له احتباسها كما لو استأجره ليحمل له متاعاً فحمله ثم أراد أن يحبس المتاع على الأجرة والثاني يجوز لأن عمله ملكه فجاز له حبسه على العوض كالمبيع في يد البائع.
PASAL: Jika seseorang menyewa seorang tukang untuk suatu pekerjaan seperti menjahit atau mewarnai, lalu tukang itu telah mengerjakannya, maka apakah ia boleh menahan barang tersebut sampai dibayar upahnya? Dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, tidak boleh, karena barang tersebut tidak dijadikan sebagai rahn (barang jaminan) padanya, maka tidak boleh baginya menahan barang tersebut, sebagaimana halnya jika ia disewa untuk membawa barang lalu setelah dibawa ia ingin menahan barang itu sebagai jaminan atas upahnya.
Kedua, boleh, karena hasil kerjanya adalah miliknya, maka boleh baginya menahan barang tersebut sampai dibayar imbalannya, sebagaimana halnya barang yang dijual di tangan penjual.
فصل: وإن دفع ثوباً إلى رجل فخاطه ولم يذكر له أجرة فقد اختلف أصحابنا فيه على أربعة أوجه: أحدها أنه تلزمه الأجرة وهو قول المزني رحمه الله لأنه استهلك عمله فلزمه أجرته والثاني أنه إن قال له خطه لزمه وإن بدأ الرجل فقال أعطني لأخيطه لم تلزمه وهو قول أبي إسحاق لأنه إذا أمره فقد ألزمه بالأمر والعمل لا يلزم من غير أجرة فلزمته وإذا لم يأمره لم يوجد ما يوجب الأجرة فلم تلزم
PASAL: Jika seseorang menyerahkan pakaian kepada seorang lelaki lalu lelaki itu menjahitnya tanpa menyebutkan upah, maka para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi empat pendapat:
Pertama, bahwa ia wajib membayar upah, dan ini adalah pendapat al-Muzanī rahimahullah, karena tukang jahit telah menghabiskan tenaganya, maka wajiblah dibayar upahnya.
Kedua, bahwa jika pemilik pakaian berkata kepadanya, “Jahitlah,” maka wajib membayar upah; namun jika tukang jahit yang lebih dahulu berkata, “Berikan kepadaku, akan kujahit,” maka tidak wajib upah, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq. Karena jika pemilik memerintahkannya, berarti ia telah mewajibkan pekerjaan itu, dan pekerjaan tidaklah wajib tanpa upah, maka wajiblah upahnya; tetapi jika tidak ada perintah, maka tidak ada sesuatu yang mewajibkan adanya upah, maka tidak wajib membayarnya.
والثالث أنه إذا كان الصانع معروفاً بأخذ الأجرة على الخياطة لزمه وإذا لم يكن معروفاً بذلك لم يلزمه وهو قول أبي العباس لأنه إذا كان معروفاً بأخذ الأجرة صار العرف في حق الشرط وإن لم يكن معروفاً لم يوجد ما يقتضي الأجرة من جهة الشرط ولا من جهة العرف والرابع وهو المذهب أنه لا يلزمه بحال لأنه بذل مال من غير عوض فلم يجب له العوض كما لو بذل طعامه لمن أكله وإن نزل رجل في سفينة ملاح بغير إذنه فحمله فيها إلى بلد لزمه الأجرة لأنه استهلك منفعة موضعه من السفينة من غير إذن فلزمه أجرتها وإن نزل فيها عن إذنه ولم يذكر الأجرة فعلى ما ذكرناه من الوجوه الأربعة في الخياطة وبالله التوفيق.
Ketiga, bahwa jika tukang tersebut dikenal sebagai orang yang biasa mengambil upah atas jahitannya, maka wajib diberikan upah; dan jika tidak dikenal demikian, maka tidak wajib, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās. Karena jika ia dikenal biasa mengambil upah, maka ‘urf (kebiasaan umum) berlaku sebagai pengganti syarat, dan jika tidak dikenal demikian, maka tidak ada hal yang mengharuskan adanya upah, baik dari sisi syarat maupun dari sisi kebiasaan.
Keempat, dan ini adalah al-madzhab, bahwa tidak wajib membayar upah dalam keadaan apa pun, karena ia telah memberikan hartanya tanpa imbalan, maka tidak wajib baginya imbalan, sebagaimana jika seseorang memberikan makanannya kepada orang yang memakannya.
Dan jika seseorang naik ke perahu milik seorang pelaut tanpa izinnya, lalu pelaut itu membawanya ke suatu negeri, maka ia wajib membayar upah, karena ia telah menggunakan manfaat dari tempat di perahu itu tanpa izin, maka wajib baginya membayar upahnya. Namun jika ia naik ke dalamnya dengan izin pelaut dan tidak menyebutkan upah, maka hukumnya kembali kepada apa yang telah disebutkan dari empat wajah dalam masalah jahitan. Wa billāh al-taufīq.
باب الجعالة
يجوز عقد الجعالة وهو أن يبذل الجعل لمن عمل له عملاً من رد ضالة ورد آبق وبناء حائط وخياطة ثوب وكل ما يستأجر عليه من الأعمال والدليل عليه قوله تعالى: {وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ} وروى أبو سعيد الخدري أن ناساً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أتوا حياً من أحياء العرب فلم يقروهم فبينما هم كذلك إذ لدغ سيد أولئك فقالوا: هل فيكم راق؟ فقالوا: لم تقرونا فلا نفعل أو تجعلوا لنا جعلاً؟ فجعلوا لهم قطيع شاء فجعل يقرأ بأم القرآن ويجمع بزاقه ويتفل فبرأ الرجل فأتوهم بالشاء فقالوا: لا نأخذها حتى نسأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فضحك وقال: “ما أدراك أنها رقية خذوها واضربوا لي فيها بسهم” ولأن الحاجة تدعو إلى ذلك من رد ضالة وآبق وعمل لا يقدر عليه فجاز الإجارة والمضاربة.
BAB: Ju‘ālah
Boleh mengadakan akad ju‘ālah, yaitu seseorang menawarkan imbalan (al-ja‘l) kepada siapa saja yang melakukan suatu pekerjaan untuknya, seperti mengembalikan barang yang hilang, budak yang kabur, membangun tembok, menjahit pakaian, dan segala pekerjaan yang boleh disewa.
Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala:
{وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ}
“Dan barang siapa yang membawanya (barang yang hilang) maka ia mendapat imbalan satu beban unta, dan aku menjadi penjaminnya.”
Dan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī RA bahwa sekelompok sahabat Rasulullah SAW datang ke salah satu kabilah Arab, lalu mereka tidak diberi jamuan oleh penduduknya. Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba kepala suku mereka tersengat (binatang berbisa). Lalu mereka berkata, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah?” Para sahabat menjawab, “Kalian tidak menjamu kami, maka kami tidak akan melakukannya kecuali kalian memberi kami imbalan.” Maka mereka pun menjanjikan sekumpulan kambing. Kemudian salah satu dari sahabat membacakan Umm al-Qur’ān (al-Fātiḥah), meludahkannya, lalu meniupkannya, dan kepala suku itu sembuh.
Mereka pun membawa kambing kepada para sahabat, namun para sahabat berkata, “Kami tidak akan mengambilnya sampai kami bertanya kepada Rasulullah SAW.” Maka mereka pun bertanya kepada Rasulullah SAW, dan beliau SAW tertawa lalu bersabda: “Bagaimana kamu tahu bahwa itu adalah ruqyah? Ambillah dan berikan aku bagian darinya.”
Dan karena kebutuhan manusia terhadap hal ini, seperti mengembalikan barang hilang, budak kabur, atau pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan oleh orang tertentu, maka ju‘ālah diperbolehkan sebagaimana ijārah dan muḍārabah.
فصل: ويجوز أن يعقد لعامل معين للآية ولأنه قد يكون له عمل ولا يعرف من يعمله فجاز من غير تعيين وروى المزني في المختصر عن الشافعي رحمه الله في المنثور أنه قال: إذا قال أول من يحج عني فله مائة فحج عنه رجل أنه يستحق المائة وقال المزني ينبغي أن يستحق أجرة المثل لأنه إجارة فلم تصح من غير تعيين وهذا خطأ لأن ذلك جعالة وقد بينا أن الجعالة لا تجوز من غير تعيين العامل.
PASAL: Boleh melakukan akad kepada pekerja tertentu berdasarkan firman Allah, dan karena bisa jadi seseorang memiliki pekerjaan tetapi tidak mengetahui siapa yang mampu mengerjakannya, maka dibolehkan tanpa penunjukan secara khusus.
Dan al-Muzanī meriwayatkan dalam al-Mukhtaṣar dari al-Syāfi‘ī rahimahullah dalam al-Manṯūr, bahwa beliau berkata: “Jika seseorang berkata, ‘Siapa saja yang pertama kali berhaji untukku, maka ia mendapat seratus’, lalu seseorang berhaji untuknya, maka ia berhak mendapatkan seratus tersebut.”
Dan al-Muzanī berkomentar: “Sepatutnya ia hanya berhak atas ujrah al-mitsl, karena ini adalah akad ijarah, maka tidak sah tanpa penunjukan (‘adam al-ta‘yīn).”
Namun ini adalah kekeliruan, karena akad tersebut termasuk ju‘ālah, dan kami telah menjelaskan bahwa ju‘ālah sah meskipun tanpa penunjukan pekerja secara khusus.
فصل: وتجوز على عمل مجهول للآية ولأن الحاجة تدعو إلى ذلك فجاز مع الجهالة كالمضاربة ولا تجوز إلا بعوض معلوم لأنه عقد معاوضة فلا تجوز بعوض مجهول كالنكاح فإن شرط له جعلاً مجهولاً استحق أجرة المثل لأن كل عقد وجب المسمى في صحيحه وجب المثل في فاسده كالبيع والنكاح.
PASAL:
Boleh akad ju‘ālah atas pekerjaan yang tidak diketahui (secara rinci), berdasarkan ayat (yang telah disebutkan), dan karena kebutuhan mendorong kepada hal itu, maka dibolehkan meskipun mengandung ketidakjelasan, sebagaimana muḍārabah.
Namun, tidak boleh kecuali dengan imbalan yang diketahui, karena ini adalah akad mu‘āwaḍah (timbal balik), maka tidak boleh dengan imbalan yang tidak jelas, seperti halnya nikah.
Jika disyaratkan suatu ja‘l yang tidak diketahui, maka yang berhak adalah ujrah al-mitsl (upah sepadan), karena setiap akad yang dalam bentuk shahihnya mewajibkan imbalan tertentu, maka dalam bentuk fasid-nya mewajibkan imbalan sepadan, sebagaimana dalam jual beli dan nikah.
فصل: ولا يستحق العامل الجعل إلا بإذن صاحب المال فأما إذا عمل له عملاً من غير إذنه بأن وجد له آبقاً فجاء به أو ضالة فردها إليه لم يستحق الجعل لأنه بذل منفعته من غير عوض فلم يستحق العوض فإن عمل بإذنه ولم يشرط له الجعل فعلى الأوجه الأربعة التي ذكرناها في الإجارة فإن أذن له وشرط له الجعل فعمل استحق الجعل لأنه استهلك منفعته بعوض فاستحق العوض كالأجير فإن نادى فقال: من رد عبدي فله دينار فرده من لم يسمع النداء لم يستحق الجعل لأنه متطوع بالرد من غير بدل فإن أبق عبد لرجل فنادى غيره أن من رد عبد فلان فله دينار فرده رجل وجب الدينار على المنادي لأنه ضمن العوض فلزمه فإن قال في النداء قال فلان من رد عبدي فله دينار فرده رجل لم يلزم المنادي لأنه لم يضمن وإنما حكى قول غيره.
PASAL: Seorang pekerja tidak berhak atas al-ju‘l kecuali dengan izin pemilik harta. Adapun jika ia mengerjakan suatu pekerjaan untuknya tanpa izinnya, seperti menemukan budaknya yang kabur lalu membawanya kembali, atau menemukan barang hilangnya lalu mengembalikannya, maka ia tidak berhak atas ju‘l, karena ia telah memberikan manfaat tanpa imbalan, maka tidak berhak mendapatkan imbalan.
Jika ia bekerja dengan izinnya namun tidak disyaratkan ju‘l, maka hukumnya berdasarkan pada empat wajah yang telah kami sebutkan dalam masalah ijārah.
Jika diizinkan dan disyaratkan ju‘l, lalu ia bekerja, maka ia berhak atas ju‘l, karena ia telah menghabiskan manfaat dirinya dengan imbalan, maka berhak atas imbalan seperti halnya seorang ajīr.
Jika seseorang berseru: “Barang siapa yang mengembalikan budakku, maka baginya satu dinar,” lalu ada orang yang mengembalikannya namun tidak mendengar seruan itu, maka ia tidak berhak atas ju‘l, karena ia melakukan pengembalian secara sukarela tanpa imbalan.
Jika budak seseorang kabur lalu orang lain berseru: “Barang siapa yang mengembalikan budak Fulan maka baginya satu dinar,” lalu ada orang yang mengembalikannya, maka wajib atas yang berseru untuk membayar satu dinar, karena ia telah menjamin imbalan, maka wajib baginya membayar.
Jika dalam seruan itu ia berkata: “Fulan mengatakan, barang siapa yang mengembalikan budakku maka baginya satu dinar,” lalu seseorang mengembalikannya, maka tidak wajib atas yang berseru membayar, karena ia tidak menjamin, melainkan hanya mengutip ucapan orang lain.
فصل: ولا يستحق العامل الجعل إلا بالفراغ من العمل فإن شرط له جعلاً على رد الآبق فرده إلى باب الدار ففر منه أو مات قبل أن يسلمه لم يستحق شيئاً من الجعل لأن المقصود هو الرد والجعل في مقابلته ولم يوجد منه شيء وإن قال من رد عبدي الآبق من البصرة فله دينار وهو ببغداد فرده رجل من واسط استحق نصف الدينار لأنه رده من نصف الطريق وإن رده من أبعد من البصرة لم يستحق أكثر من الدينار لأنه لو لم يضمن له لما زاد شيئاً وإن أبق له عبدان فقال: من ردهما فله دينار فرد رجل أحدهما استحق نصف الجعل لأنه عمل نصف العمل
PASAL:
Seorang pekerja tidak berhak mendapatkan ja‘l kecuali setelah menyelesaikan pekerjaan.
Jika disyaratkan baginya ja‘l atas pengembalian budak yang kabur, lalu ia hanya mengembalikannya sampai ke depan pintu rumah kemudian budak itu kabur lagi atau mati sebelum diserahkan, maka ia tidak berhak atas sedikit pun dari ja‘l, karena yang menjadi tujuan adalah pengembalian, dan ja‘l itu sebagai imbalan atas pengembalian, sementara itu tidak terwujud.
Jika seseorang berkata, “Siapa yang mengembalikan budakku yang kabur dari Baṣrah maka ia mendapatkan satu dinar,” padahal budaknya berada di Bagdad, lalu seseorang mengembalikannya dari Wāsiṭ, maka ia berhak atas setengah dinar karena ia mengembalikannya dari setengah perjalanan.
Namun jika ia mengembalikannya dari tempat yang lebih jauh dari Baṣrah, maka ia tidak berhak atas lebih dari satu dinar, karena seandainya tidak dijanjikan imbalan, ia pun tidak akan mendapat tambahan.
Jika seseorang memiliki dua budak yang kabur lalu ia berkata, “Siapa yang mengembalikan keduanya maka ia mendapatkan satu dinar,” kemudian seseorang mengembalikan salah satunya, maka ia berhak atas setengah dari ja‘l, karena ia telah mengerjakan setengah pekerjaan.
وإن قال من رد عبدي فله دينار فاشترك في رده اثنان اشتركا في الدينار لأنهما اشتركا في العمل فاشتركا في الجعل وإن قال لرجل إن رددت عبدي فلك دينار وقال الآخر إن رددته فلك ديناران فاشتركا في الرد استحق كل واحد منهما نصف ما جعل له وإن جعل لأحدهما ديناراً وللآخر ثوباً مجهولاً فرداه استحق صاحب الدينار نصف دينار وصاحب الثوب نصف أجرة المثل لأن الدينار جعل صحيح فاستحق نصفه والثوب جعل باطل فاستحق نصف أجرة المثل وإن قال لرجل إن رددت عبدي فلك دينار فشاركه غيره في رده فإن قال شاركته معاونة له كان الدينار للعامل لأن العمل كله له فكان الجعل كله له وإن قال شاركته لأشاركه في الجعل كان للعامل نصف الجعل لأنه عمل نصف العمل ولا شيء للشريك لأنه لم يشرط له شيئاً.
Jika seseorang berkata, “Siapa yang mengembalikan budakku maka baginya satu dinar,” lalu dua orang bekerja sama dalam mengembalikannya, maka keduanya berbagi dalam satu dinar, karena mereka berbagi dalam pekerjaan, maka mereka juga berbagi dalam ja‘l.
Jika ia berkata kepada seseorang, “Jika engkau mengembalikan budakku maka bagimu satu dinar,” dan kepada orang lain, “Jika engkau mengembalikannya maka bagimu dua dinar,” lalu keduanya bersama-sama mengembalikannya, maka masing-masing berhak atas setengah dari ja‘l yang dijanjikan kepadanya.
Jika ia menjanjikan kepada salah satu satu dinar dan kepada yang lain satu kain yang tidak diketahui (jenis dan ukurannya), lalu keduanya mengembalikannya, maka orang yang dijanjikan satu dinar berhak atas setengah dinar, dan orang yang dijanjikan kain berhak atas setengah dari ujrah al-mitsl, karena dinar adalah ja‘l yang sah, maka ia berhak atas setengahnya, sedangkan kain adalah ja‘l yang batal, maka ia berhak atas setengah dari upah sepadan.
Jika ia berkata kepada seseorang, “Jika engkau mengembalikan budakku maka bagimu satu dinar,” lalu orang lain ikut serta dalam pengembaliannya, maka jika ia berkata, “Aku membantunya hanya untuk membantu,” maka dinar itu milik pekerja karena seluruh pekerjaan adalah miliknya, maka seluruh ja‘l juga miliknya.
Namun jika ia berkata, “Aku membantunya agar mendapatkan bagian dari ja‘l,” maka pekerja berhak atas setengah dari ja‘l, karena ia melakukan setengah pekerjaan, dan tidak ada hak bagi orang yang membantu karena tidak ada syarat yang ditetapkan untuknya.
فصل: ويجوز لكل واحد منهما فسخ العقد لأنه عقد على عمل مجهول بعوض فجاز لكل واحد منهما فسخه كالمضاربة فإن فسخ العامل لم يستحق شيئاً لأن الجعل يستحق بالفراغ من العمل وقد تركه فسقط حقه وإن فسخ رب المال فإن كان قبل العمل لم يلزمه شيء لأنه فسخ قبل أن يستهلك منفعة العمل فلم يلزمه شيء كما لو فسخ المضاربة قبل العمل وإن كان بعد ما شرع في العمل لزمه أجرة المثل لما عمل لأنه استهلك منفعته بشرط العوض فلزمه أجرته كما لو فسخ المضاربة بعد الشروع في العمل.
PASAL: Masing-masing dari keduanya boleh membatalkan akad, karena akad ini adalah akad atas pekerjaan yang tidak diketahui (jenisnya) dengan imbalan, maka boleh bagi masing-masing untuk membatalkannya seperti muḍārabah. Jika pekerja yang membatalkan, maka ia tidak berhak atas apa pun, karena al-ja‘l hanya berhak diperoleh setelah menyelesaikan pekerjaan, sedangkan ia telah meninggalkannya maka gugurlah haknya. Jika pemilik harta yang membatalkan, maka jika ia membatalkannya sebelum pekerjaan dimulai, ia tidak wajib memberikan apa pun, karena pembatalan terjadi sebelum manfaat pekerjaan digunakan, maka tidak wajib memberikan apa pun sebagaimana jika membatalkan muḍārabah sebelum pekerjaan dimulai. Namun jika pembatalan terjadi setelah pekerjaan dimulai, maka ia wajib membayar ujrah al-mitsl atas pekerjaan yang telah dilakukan, karena manfaatnya telah dikonsumsi dengan syarat adanya imbalan, maka wajib baginya membayar imbalannya sebagaimana jika membatalkan muḍārabah setelah pekerjaan dimulai.
فصل: وتجوز الزيادة والنقصان في الجعل قبل العمل فإن قال من رد عبدي فله دينار ثم قال من رده فله عشرة فرده رجل استحق عشرة وإن قال من رد عبدي فله عشرة ثم قال من رده فله دينار استحق الدينار لأنه مال بذل في مقابلة عمل في عقد جائز فجاز الزيادة والنقصان فيه قبل العمل كالربح في المضاربة.
PASAL: Boleh menambah atau mengurangi al-ja‘l sebelum pekerjaan dimulai. Jika seseorang berkata, “Siapa yang mengembalikan hambaku maka baginya satu dinar,” lalu ia berkata lagi, “Siapa yang mengembalikannya maka baginya sepuluh,” kemudian seseorang mengembalikannya, maka ia berhak atas sepuluh. Dan jika ia berkata, “Siapa yang mengembalikan hambaku maka baginya sepuluh,” lalu ia berkata lagi, “Siapa yang mengembalikannya maka baginya satu dinar,” maka yang mengembalikannya berhak atas satu dinar. Karena harta yang diberikan sebagai imbalan atas suatu pekerjaan dalam akad yang boleh (tidak mengikat), maka boleh ada penambahan dan pengurangan di dalamnya sebelum pekerjaan dimulai, seperti keuntungan dalam muḍārabah.
فصل: وإن اختلف العامل ورب المال فقال العامل شرطت لي الجعل وأنكر رب المال فالقول قول رب المال لأن الأصل عدم الشرط وعدم الضمان وإن اختلفا في عين العبد فقال السيد شرطت الجعل في رد غيره وقال العامل بل شرطت الجعل في رده فالقول قول المالك لأن العامل يدعي عليه شرط الجعل في عقد الأصل عدمه فكان القول فيه قوله وإن اختلفا في قدر الجعل تحالفا كما قلنا في البيع فإذا تحالفا رجع إلى أجرة المثل كما رجع في البيع بعد هلاك السلعة إلى قيمة العين وإن اختلف العامل والعبد فقال العامل أنا رددته وقال العبد جئت بنفسي وصدقه المولى فالقول قول المولى مع يمينه لأن الأصل عدم الرد وعدم وجوب الجعل وبالله التوفيق.
PASAL: Jika terjadi perselisihan antara ‘āmil dan pemilik harta, lalu ‘āmil berkata, “Aku mensyaratkan imbalan (jā‘ilah) untukku,” sementara pemilik harta mengingkarinya, maka yang dibenarkan adalah ucapan pemilik harta karena asalnya tidak ada syarat dan tidak ada kewajiban membayar.
Jika keduanya berselisih tentang identitas budak, lalu tuan budak berkata, “Aku mensyaratkan imbalan untuk pengembalian budak yang lain,” dan ‘āmil berkata, “Bahkan aku mensyaratkan imbalan untuk pengembalian budak ini,” maka yang dibenarkan adalah ucapan pemilik budak karena ‘āmil mengklaim adanya syarat imbalan dalam akad, padahal asalnya tidak ada.
Jika keduanya berselisih dalam besaran imbalan, maka keduanya saling bersumpah, sebagaimana kami jelaskan dalam masalah jual beli. Jika keduanya telah saling bersumpah, maka dikembalikan kepada ujrah al-mitsl (upah sepadan), sebagaimana dalam jual beli setelah barang rusak dikembalikan kepada nilai barang tersebut.
Jika terjadi perselisihan antara ‘āmil dan budak, lalu ‘āmil berkata, “Akulah yang mengembalikannya,” dan budak berkata, “Aku datang sendiri,” dan tuannya membenarkan ucapan budak, maka yang dibenarkan adalah ucapan tuan dengan sumpah, karena asalnya tidak ada pengembalian dan tidak ada kewajiban membayar imbalan. Wa biLlahi al-taufīq.
تجوز المسابقة والمناضلة لما روى ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سابق بين الخيل والمضمرة منها من الحفيا إلى ثنية الوداع وما لم يضمر منها من ثنية الوداع إلى مسجد بني زريق وروى أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كانت له ناقة يقال لها العضباء لا تسبق فجاء أعرابي على قعود له فسبقها فشق ذلك على المسلمين فقالوا يا رسول الله سبقت العضباء فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إنه حق على الله أن لا يرتفع من هذه القدرة شيء إلا وضعه”
Kitab as-Sabaq wa ar-Ramī
Diperbolehkan melakukan perlombaan (musābaqah) dan pertandingan memanah (munāḍhalah) karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah SAW pernah mengadakan perlombaan antara kuda-kuda, yaitu yang telah dilatih (dikuruskan) dari al-Ḥafya sampai Ṯaniyyah al-Wadā‘, dan kuda yang belum dilatih dari Ṯaniyyah al-Wadā‘ sampai Masjid Banī Zurayq. Dan telah diriwayatkan dari Anas bahwa Nabi SAW memiliki unta betina yang bernama al-‘Aḍbā’ yang tidak pernah terkalahkan. Lalu datang seorang Arab dusun dengan tunggangannya dan berhasil mengalahkannya, maka hal itu terasa berat bagi para sahabat. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, unta al-‘Aḍbā’ telah dikalahkan.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya menjadi suatu hak atas Allah bahwa tidak ada sesuatu yang naik tinggi dari perkara dunia kecuali akan Dia rendahkan.”
وروى سلمة بن الأكوع قال: أتي علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن نترامى فقال: “حسن هذا لعباً ارموا يا بني اسماعيل فإن أباكم كان رامياً ارموا وأنا مع ابن الأدرع” فكف القوم أيديهم وقسيهم وقال غلب يا رسول الله من كنت معه قال: “ارموا وأنا معكم جميعاً” فإن كان ذلك للجهاد فهو مندوب إليه لما روى عقبة بن عامر رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول على المنبر: “وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ألا إن القوة هي الرمي قالها ثلاثاً”
Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa‘ bahwa Rasulullah SAW mendatangi kami sementara kami sedang saling melempar (latihan memanah), lalu beliau bersabda: “Bagus ini sebagai permainan. Lemparlah, wahai Bani Ismā‘īl, karena ayah kalian adalah seorang pemanah. Lemparlah, dan aku bersama Ibnu al-Adra‘.” Maka orang-orang pun menghentikan tangan dan busur mereka, lalu berkata, “Telah menang, wahai Rasulullah, orang yang engkau bersamanya.” Maka beliau bersabda: “Lemparlah, dan aku bersama kalian semua.”
Jika hal itu dilakukan untuk keperluan jihad, maka hukumnya mandūb (dianjurkan), karena diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Āmir RA, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbar: “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka apa yang kalian mampu dari kekuatan.” Ketahuilah bahwa kekuatan adalah memanah, beliau mengatakannya tiga kali.
وروى عقبة بن عامر قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “ارموا واركبوا ولأن ترموا أحب إلي من أن تركبوا” و “ليس من اللهو إلا ثلاثة: ملاعبة الرجل أهله وتأديبه فرسه رميه بقوسه” و “من علمه الله الرمي فتركه رغبة عنه فنعمة كفرها وإن الله يدخل بالسهم الواحد ثلاث الجنة: صانعه المحتسب في الخير والرامي ومنبله”.
Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Āmir, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Lemparlah (panah), dan naikilah (tunggangan), dan sungguh melempar itu lebih aku sukai daripada menunggangi.”
Dan (sabda beliau): “Tidak termasuk dari permainan yang sia-sia kecuali tiga: permainan seorang laki-laki dengan istrinya, melatih kudanya, dan memanah dengan busurnya.”
Dan (sabda beliau): “Barang siapa yang diajarkan oleh Allah memanah lalu ia meninggalkannya karena tidak suka, maka itu adalah nikmat yang ia kufuri. Dan sesungguhnya Allah memasukkan dengan satu anak panah tiga orang ke dalam surga: pembuatnya yang mengharap kebaikan, si pemanahnya, dan si pemberi anak panah kepadanya.”
فصل: ويجوز ذلك بعوض لما روى أنه سأل عثمان رضي الله عنه أكنتم تراهنون على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: نعم راهن رسول الله صلى الله عليه وسلم على فرس فجاءت سابقة فهش لذلك وأعجبه والرهن لا يكون إلا على عوض ولأن في بذل العوض فيه تحريضاً على التعلم والاستعداد للجهاد.
PASAL: Boleh melakukan hal itu dengan imbalan, berdasarkan riwayat bahwa seseorang bertanya kepada ‘Utsmān RA: “Apakah kalian dahulu saling bertaruh pada masa Rasulullah SAW?” Ia menjawab: “Ya, Rasulullah SAW pernah bertaruh pada seekor kuda, lalu kudanya menang dan beliau pun gembira dan menyukainya.” Padahal taruhan tidak terjadi kecuali dengan adanya imbalan. Dan karena memberikan imbalan di dalamnya merupakan dorongan untuk belajar dan bersiap-siap menghadapi jihād.
فصل: ويجوز أن يكون العوض منهما ويجوز أن يكون من أحدهما ويجوز أن يبذله السلطان من بيت المال ويجوز أن يكون من رجل من الرعية لأنه إخراج مال لمصلحة الدين فجاز من الجميع كارتباط الخيل في سبيل الله ولا يجوز إلا على عوض معلوم إما معيناً أو موصوفاً في الذمة لأنه عقد معاوضة فلم يجز إلا على عوض معلوم كالبيع ويجوز على عوض حال ومؤجل لأنه عوض يجوز أن يكون عيناً وديناً فجاز أن يكون حالاً ومؤجلاً كالثمن في البيع.
PASAL: Boleh imbalan (‘iwaḍ) itu berasal dari keduanya, atau dari salah satunya saja. Boleh juga diberikan oleh penguasa dari bait al-māl, dan boleh pula dari seseorang dari kalangan rakyat, karena ini adalah pengeluaran harta untuk kemaslahatan agama, maka boleh dilakukan oleh siapa saja, seperti memelihara kuda di jalan Allah.
Dan tidak boleh perlombaan kecuali dengan imbalan yang diketahui, baik berupa barang tertentu atau barang yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan, karena ini adalah akad pertukaran, maka tidak boleh kecuali dengan imbalan yang diketahui sebagaimana jual beli. Dan boleh dengan imbalan yang tunai ataupun yang ditangguhkan, karena imbalan itu boleh berupa barang tunai maupun utang, maka boleh ditunaikan saat itu juga ataupun ditangguhkan, seperti harga dalam jual beli.
فصل: فإن كان العوض من أحدهما أو من السلطان أو من رجل من الرعية فهو كالجعالة وإن كان منهما ففيه قولان: أحدهما أنه يلزم كالإجارة وهو الصحيح لأنه عقد من شرط صحته أن يكون العوض والمعوض معلومين فكان لازماً كالإجارة والثاني أنه لا يلزم كالجعالة لأنه عقد يبذل العوض فيه على ما لا يوثق به فلم يلزم كالجعالة فإن قلنا إنه كالإجارة كان حكمهما في الرهن والضمين حكم الإجارة وحكمهما في خيار المجلس وخيار الشرط حكم الإجارة ولا يجوز لواحد منهما فسخه بعد تمامه ولا الزيادة ولا النقصان بعد لزومه كما لا يجوز ذلك في الإجارة
PASAL: Jika imbalan berasal dari salah satu pihak, atau dari sultan, atau dari seorang rakyat, maka hukumnya seperti ju‘ālah. Namun jika berasal dari kedua belah pihak, maka terdapat dua pendapat: pertama, hukumnya wajib seperti ijārah—dan ini yang shahih—karena akad ini disyaratkan diketahui imbalan dan pekerjaan yang dimaksud, maka ia menjadi wajib seperti ijārah; dan pendapat kedua, tidak wajib seperti ju‘ālah, karena ia adalah akad yang diberikan imbalan atas sesuatu yang belum pasti, maka tidak wajib seperti ju‘ālah. Jika dikatakan bahwa ia seperti ijārah, maka hukum keduanya dalam hal gadai dan penjamin adalah seperti ijārah, dan hukum keduanya dalam hal khiyār al-majlis dan khiyār al-syarth juga seperti ijārah, serta tidak boleh salah satunya membatalkannya setelah sempurna, dan tidak boleh ada penambahan maupun pengurangan setelah akadnya menjadi wajib, sebagaimana tidak diperbolehkan dalam ijārah.
وإن قلنا إنه كالجعالة كان حكماً في الرهن والضمان حكم الجعالة وقد مضى ذلك في كتاب الرهن والضمان فأما الفسخ والزيادة والنقصان فإن كان قبل الشروع فيه أو بعد الشروع فيه وهما متكافئان فلكل واحد منهما أن يفسخ ويزيد وينقص لأنه عقد جائز لا ضرر على أحد في فسخه والزيادة والنقصان فيه وإن كانا غير متكافئين نظرت فإن كان الذي له الفضل هو الذي يطلب الفسخ أو الزيادة جاز لأنه عقد جائز لا ضرر على صاحبه في الفسخ والزيادة فيه فملك الفسخ والزيادة فيه وإن كان الذي عليه الفضل هو الذي يطلب الفسخ أو الزيادة ففيه وجهان: أحدهما له ذلك لأنه عقد جائز فملك فسخه والزيادة فيه والثاني ليس له لأنا لو جوزنا ذلك لم يسبق أحد أحداً لأنه متى لاح له أن صاحبه يغلب فسخ أو طلب الزيادة فيبطل المقصود.
Dan jika dikatakan bahwa hukumnya seperti ju‘ālah, maka hukumnya dalam hal gadai dan penjaminan sama seperti ju‘ālah, dan hal itu telah dijelaskan dalam Kitab ar-Rahn dan ad-Dhamān. Adapun mengenai pembatalan, penambahan, dan pengurangan: jika hal itu dilakukan sebelum pekerjaan dimulai, atau setelah dimulai namun keduanya masih seimbang, maka masing-masing dari keduanya berhak membatalkan, menambah, atau mengurangi, karena ini adalah akad yang tidak mengikat (‘aqd jā’iz) dan tidak ada mudarat bagi salah satu pihak dalam pembatalan, penambahan, maupun pengurangan.
Namun jika keduanya tidak seimbang, maka dilihat: jika pihak yang memiliki kelebihan yang meminta pembatalan atau penambahan, maka hal itu diperbolehkan karena ini akad jā’iz dan tidak ada mudarat bagi pihak lainnya, sehingga ia berhak untuk membatalkan atau menambah. Tetapi jika yang meminta pembatalan atau penambahan adalah pihak yang berkekurangan, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia berhak melakukan hal itu karena akad ini jā’iz, maka ia memiliki hak untuk membatalkan dan menambah. Kedua, ia tidak berhak karena jika hal itu diperbolehkan, maka tidak akan ada yang mendahului pihak lain, sebab kapan pun ia merasa bahwa lawannya akan menang, ia akan membatalkan atau meminta tambahan, sehingga tujuan dari akad ini menjadi batal.
فصل: وتجوز المسابقة على الخيل والإبل بعوض لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا سبق إلا في نصل أو خف أو حافر” ولأن الخيل تقاتل عليها العرب والعجم والإبل تقاتل عليها العرب فجازت المسابقة عليها بالعوض واختلف قوله في البغل والحمار فقال في أحد القولين تجوز المسابقة عليهما بعوض لحديث أبي هريرة ولأنه ذو حافر أهلي فجازت المسابقة عليهما بعوض كالخيل
PASAL: Boleh mengadakan perlombaan pada kuda dan unta dengan imbalan, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada sabaq kecuali pada anak panah, sandal unta, atau kuku kuda.” Dan karena bangsa Arab maupun non-Arab berperang dengan mengendarai kuda, serta bangsa Arab berperang dengan unta, maka diperbolehkan mengadakan perlombaan atas keduanya dengan imbalan.
Adapun mengenai baghal dan keledai, terdapat dua pendapat. Dalam salah satu pendapat, diperbolehkan mengadakan perlombaan atas keduanya dengan imbalan, berdasarkan hadis Abu Hurairah, dan karena keduanya termasuk hewan berkuku jinak, maka dibolehkan mengadakan perlombaan atas keduanya dengan imbalan sebagaimana halnya kuda.
والثاني لا تجوز لأنه لا يصلح للكر والفر فأشبه البقر واختلف أصحابنا في المسابقة على الفيل بعوض فمنهم من قال لا تجوز لأنه لا يصلح للكر والفر ومنهم من قال تجوز لحديث أبي هريرة ولأنه ذو خف يقاتل عليه فأشبه الإبل واختلفوا في المسابقة على الحمام فمنهم من قال لا تجوز المسابقة عليها بعوض وهو المنصوص لحديث أبي هريرة ولأنه ليس من آلات الحرب فلم تجز المسابقة عليه بعوض ومنهم من قال تجوز
dan pendapat kedua: tidak diperbolehkan, karena tidak layak untuk maju dan mundur dalam pertempuran, sehingga diserupakan dengan sapi.
Para ulama kami berbeda pendapat mengenai perlombaan di atas gajah dengan imbalan. Sebagian dari mereka mengatakan tidak diperbolehkan, karena tidak layak untuk maju dan mundur dalam pertempuran. Sebagian lain mengatakan diperbolehkan, berdasarkan hadis Abu Hurairah dan karena gajah termasuk hewan yang memiliki telapak lebar (khuff) dan digunakan dalam peperangan, maka diserupakan dengan unta.
Mereka juga berbeda pendapat tentang perlombaan burung merpati. Sebagian dari mereka mengatakan tidak diperbolehkan mengadakan perlombaan atasnya dengan imbalan — dan inilah yang diriwayatkan secara manshūsh — karena hadis Abu Hurairah, dan karena ia bukan termasuk alat perang, maka tidak diperbolehkan mengadakan perlombaan atasnya dengan imbalan. Sebagian lain mengatakan diperbolehkan.
لأنه يستعان به على الحرب في حمل الأخبار فجازت المسابقة عليه بعوض كالخيل واختلفوا في سفن الحرب كالزبازب والشذوات فمنهم من قال تجوز وهو قول أبي العباس لأنها في قتال الماء كالخيل في قتال الأرض ومنهم من قال لا تجوز لأن سبقها بالملاح لا بمن يقاتل فيها واختلفوا في المسابقة على الإقدام بعوض فمنهم من قال تجوز لأن الإقدام في قتال الرجالة كالخيل في قتال الفرسان ومنهم من قال لا تجوز وهو المنصوص لحديث أبي هريرة
karena burung merpati digunakan untuk membantu peperangan dalam membawa berita, maka diperbolehkan mengadakan perlombaan atasnya dengan imbalan sebagaimana kuda.
Mereka juga berbeda pendapat mengenai kapal-kapal perang seperti az-zabāzib dan asy-syadzawāt. Sebagian dari mereka mengatakan boleh, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbās, karena kapal-kapal tersebut digunakan untuk peperangan di laut sebagaimana kuda digunakan untuk peperangan di darat. Sebagian lain mengatakan tidak boleh, karena kecepatan kapal bergantung pada tukang kemudinya, bukan pada orang yang berperang di dalamnya.
Mereka juga berbeda pendapat mengenai perlombaan keberanian (iqdām) dengan imbalan. Sebagian mengatakan diperbolehkan, karena keberanian dalam pertempuran infantri serupa dengan peran kuda dalam pertempuran pasukan berkuda. Sebagian lain mengatakan tidak diperbolehkan — dan ini yang dinyatakan secara manshūsh — karena hadis Abu Hurairah.
ولأن المسابقة بعوض أجيزت ليتعلم بها ما يستعان به في الجهاد والمشي بالأقدام لا يحتاج إلى التعلم واختلفوا في السراع فمنهم من قال يجوز بعوض لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم صارع يزيد بن ركانة على شاء فصرعه ثم عاد فصرعه فأسلم ورد عليه الغنم ومنهم من قال لا يجوز وهو المنصوص لحديث أبي هريرة ولأنه ليس من آلات القتال وحديث يزيد بن ركانة محمول على أنه فعل ذلك ليسلم ولأنه لما أسلم رد عليه ما أخذه منه.
Dan karena perlombaan dengan imbalan dibolehkan agar seseorang belajar sesuatu yang dapat digunakan dalam berjihad, sedangkan berjalan kaki tidak membutuhkan pembelajaran.
Mereka juga berbeda pendapat mengenai perlombaan gulat (sirā‘). Sebagian mengatakan boleh dengan imbalan, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bergulat dengan Yazīd bin Rukānah atas taruhan kambing, lalu beliau menjatuhkannya, kemudian mengulanginya dan menjatuhkannya lagi, maka Yazīd masuk Islam, dan Nabi SAW mengembalikan kambing tersebut kepadanya.
Sebagian lain mengatakan tidak boleh — dan ini adalah pendapat yang manshūsh — berdasarkan hadis Abu Hurairah, dan karena gulat bukan termasuk alat perang. Adapun hadis Yazīd bin Rukānah ditakwil bahwa Nabi SAW melakukan itu agar dia masuk Islam, dan karena ketika dia masuk Islam, Nabi SAW mengembalikan apa yang telah diambil darinya.
فصل: وتجوز المسابقة بعوض على الرمي بالنشاب والنبل وكل ما له نصل يرمي به كالحراب والرانات لحديث أبي هريرة ولأنه لا يحتاج إلى تعلمه في الحر فجاز أخذ العوض عليه ويجوز على رمي الأحجار عن المقلاع لأنه سلاح يرمي به فهو كالنشاب وأما الرمح والسيف والعمود ففيه وجهان: أحدهما تجوز المسابقة عليها بعوض لأنه سلاح يقاتل به فأشبه النشاب والثاني لا يجوز لأن القصد بالمسابقة التحريض على تعلم ما يعد للحرب والمسابقة بهذه الآلات محاربة لا مسابقة فلم تجز كالسبق على أن يرمي بعضهم بعضاً بالسهم.
PASAL: Boleh mengadakan perlombaan dengan imbalan pada lempar panah nasyyāb dan nabl, dan segala sesuatu yang memiliki mata tajam yang dilemparkan seperti tombak (ḥirāb) dan ranāt, berdasarkan hadis Abu Hurairah, dan karena tidak perlu dipelajari di musim panas, maka boleh mengambil imbalan atasnya. Dan boleh juga atas lempar batu dengan miqlā‘ (ketapel), karena ia termasuk senjata yang dilemparkan, maka sama seperti nasyyāb.
Adapun tombak panjang (rumḥ), pedang (saif), dan tongkat besi (‘amūd), maka terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh diadakan perlombaan atasnya dengan imbalan karena itu termasuk senjata yang digunakan untuk berperang, maka sama seperti nasyyāb.
Kedua, tidak boleh karena tujuan dari perlombaan adalah mendorong untuk belajar hal-hal yang dipersiapkan untuk perang, sedangkan perlombaan dengan alat-alat ini termasuk pertempuran, bukan perlombaan, maka tidak boleh seperti halnya lomba saling melempar anak panah satu sama lain.
فصل: وأما كرة الصولجان ومداحاة الأحجار ورفعها من الأرض والمشابكة والسباحة واللعب بالخاتم والوقوف على رجل واحدة وغير ذلك من اللعب الذي لا يستعان به على الحرب فلا تجوز المسابقة عليها بعوض لأنه لا يعد للحرب فكان أخذ العوض فيه من أكل المال بالباطل.
PASAL: Adapun permainan ṣawlajān, saling melempar batu dan mengangkatnya dari tanah, adu kekuatan tangan, berenang, bermain cincin, berdiri dengan satu kaki, dan permainan-permainan lainnya yang tidak digunakan untuk membantu peperangan, maka tidak boleh diadakan perlombaan atasnya dengan imbalan, karena ia tidak dipersiapkan untuk peperangan, sehingga mengambil imbalan darinya termasuk memakan harta dengan cara batil.
فصل: وإن كانت المسابقة على مركوبين فقد اختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال لا تجوز إلا على مركوبين من جنس واحد كالفرسين والبعيرين فإن سابق بين فرس وبعير أو فرس وبغل لم يجز لأن تفاضل الجنسين معلوم ولأنه لا يجري البغل في شوط الفرس كما قال الشاعر: إن المذرع لا تغنى خؤلته … كالبغل يعجز عن شوط المحاضير
PASAL: Jika perlombaan diadakan antara dua tunggangan, maka para ulama kami berbeda pendapat tentangnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa tidak boleh kecuali antara dua tunggangan dari jenis yang sama, seperti dua ekor kuda atau dua ekor unta. Maka jika berlomba antara seekor kuda dan unta, atau antara seekor kuda dan bighal, tidak boleh, karena perbedaan jenis keduanya sudah jelas, dan karena bighal tidak bisa berlari dalam lintasan kuda, sebagaimana dikatakan oleh penyair:
“Sesungguhnya orang yang memakai baju besi tidak bermanfaat bagi keluarga ibunya … seperti bighal yang tidak sanggup mengikuti lintasan kuda pacu.”
ويجوز أن يسابق بين العتيق والهجين لأن العتيق في أول شوطه أحد وفي آخره ألين والهجين في أول شوطه أليه وفي آخره أحد فربما صارا عند الغاية متكافئين ومنهم من قال وهو قول أبي إسحاق إنه يعتبر التكافؤ بالتقارب في السبق فإن تقارب جنسان كالبغل والحمار جاز لأنه يجوز أن يكون لكل واحد منهما سابقاً والآخر مسبوقاً وإن تباعد نوعان من جنس كالهجين والعتيق والبختي والنجيب لم يجز لأنه يعلم أن أحدهما لا يجري في شوط الآخر قال الشاعر:
إن البراذين إذا أجريتها … مع العتاق ساعة أعنيتها
فلا معنى للعقد عليه.
Dan boleh mengadakan perlombaan antara kuda murni (‘atīq) dan kuda campuran (hajīn), karena kuda murni pada permulaan larinya lebih cepat, tetapi di akhir lebih lambat, sedangkan kuda campuran pada permulaan larinya lebih lambat, tetapi di akhir lebih cepat, sehingga bisa jadi keduanya menjadi seimbang di garis akhir.
Sebagian ulama, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, mengatakan bahwa yang dijadikan tolok ukur kesetaraan adalah kedekatan dalam kecepatan lari. Jika dua jenis hewan dekat sifatnya, seperti baghal dan keledai, maka boleh karena mungkin salah satunya mendahului dan yang lainnya tertinggal.
Namun jika dua jenis berbeda secara nyata meskipun dari satu jenis umum, seperti kuda campuran dengan kuda murni, atau unta bakhtī dengan unta najīb, maka tidak diperbolehkan, karena diketahui bahwa salah satunya tidak akan mampu menyamai kecepatan lari yang lain dalam satu lintasan.
Sebagaimana dikatakan penyair:
Inna al-barādhīn idzā ajraytahā
Ma‘a al-‘itāq sā‘atan a‘naytahā
“Sesungguhnya kuda-kuda berat jika kau pacu bersama kuda-kuda murni, sesaat saja kau sudah membuatnya kelelahan.”
Maka tidak ada makna untuk mengadakan akad perlombaan atas hal seperti itu.
فصل: ولا تجوز إلا على مركوبين معينين لأن القصد معرفة جوهرهما ولا يعرف ذلك إلا بالتعيين
فصل: ولا تجوز إلا على مسافة معلومة الإبتداء والإنتهاء لحديث ابن عمرو رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم سابق بين الخيل المضمرة من الحفياء إلى ثنية الوداع وما لم يضمر منها من ثنية الوداع إلى مسجد بني زريق ولأنهما إذا تسابقا على إجراء الفرسين حتى يسبق أحدهما الآخر إلى غير غاية لم يؤمن أن يسبق أحدهما الآخر إلى أن يعطبا ولا يجوز أن يكون إجراؤه إلا بتدبير الراكب لأنهما إذا جريا لأنفسهما تنافرا ولم يقفا على الغاية وإن تسابقا على أن من سبق صاحبه بخمسة أقدام فأكثر كان السبق له
PASAL: Tidak boleh mengadakan perlombaan kecuali atas dua tunggangan yang telah ditentukan, karena tujuan dari perlombaan adalah untuk mengetahui kualitas keduanya, dan hal itu tidak dapat diketahui kecuali dengan penentuan secara spesifik.
PASAL: Tidak boleh pula kecuali pada jarak yang telah diketahui permulaan dan akhirnya, berdasarkan hadis Ibnu ‘Amr RA bahwa Nabi SAW pernah mengadakan perlombaan antara kuda-kuda yang sudah dilatih dari al-Ḥafiyā’ sampai Ṯaniyyat al-Wadā‘, dan antara kuda yang belum dilatih dari Ṯaniyyat al-Wadā‘ sampai Masjid Banī Zuraiq. Dan karena jika keduanya berlomba menjalankan dua ekor kuda hingga salah satunya mendahului yang lain tanpa ada tujuan akhir yang jelas, tidak terjamin bahwa salah satunya akan menang sebelum keduanya celaka. Dan tidak boleh pula dijalankan kecuali atas kendali pengendara, karena jika keduanya berlari dengan sendirinya, maka akan saling menolak dan tidak akan berhenti di tujuan.
Dan jika keduanya berlomba dengan ketentuan bahwa siapa yang lebih dahulu dari lawannya sejauh lima langkah atau lebih maka dialah pemenangnya, maka hal itu tidak sah.
فقد قال أبو علي الطبري في الإفصاح يجوز ذلك عندي لأنهما يتحاطان ما تساويا فيه وينفرد أحدهما بالقدر الذي شرطه فجاز كما يجوز في الرمي أن يتناضلا على أن يتحاطا ما تساويا فيه ويفضل لأحدهما عدد قال أبو علي الطبري: ورأيت من أصحابنا من منع ذلك وأبطله ولا أعرف له وجهاً.
Maka Abū ‘Alī ath-Ṭabarī berkata dalam kitab al-Ifṣāḥ: Menurutku hal itu boleh, karena keduanya akan saling menggugurkan (nilai) pada bagian yang mereka sepadan, dan yang tersisa menjadi milik pihak yang melebihi, maka diperbolehkan, sebagaimana diperbolehkan dalam perlombaan memanah untuk saling menandingi dengan kesepakatan bahwa apa yang sama akan digugurkan dan kelebihan panah menjadi milik salah satu pihak.
Abū ‘Alī ath-Ṭabarī berkata: Aku melihat sebagian dari kalangan kami melarang dan membatalkan hal tersebut, dan aku tidak mengetahui alasan yang benar untuk melarangnya.
فصل: وإن كان المخرج للسبق هو السلطان أو رجل من الرعية لم يخل إلا أن يجعله للسابق منهم أو لبعضهم أو لجميعهم فإن جعله للسابق بأن قال من سبق منكم فله عشرة جاز لأن يجتهد كل واحد منهم أن يكون هو السابق ليأخذ السبق فيحصل المقصود فإن سبق واحد منهم استحق العشرة لأنه سبق وإن سبق اثنان أو ثلاثة وجاؤوا مكاناً واحداً اشتركوا في العشرة لأنهم اشتركوا في السبق فإن جاؤوا كلهم مكاناً واحداً لم يستحق واحد منهم لأنه لم يسبق منهم أحد وإن جعله بعضهم بأن جعله للمجلى والمصلى ولم يجعل الباقي جاز
PASAL: Jika yang mengeluarkan sabq adalah sultan atau seseorang dari kalangan rakyat, maka tidak lepas dari tiga keadaan: ia menjadikannya bagi pemenang dari mereka, atau bagi sebagian mereka, atau bagi seluruh mereka. Jika ia menjadikannya bagi pemenang, seperti mengatakan: “Barang siapa yang menang dari kalian, maka baginya sepuluh,” maka hal itu boleh, karena setiap orang akan bersungguh-sungguh untuk menjadi pemenang agar mendapatkan sabq, sehingga tercapailah maksudnya. Jika salah satu dari mereka menang, maka ia berhak atas sepuluh tersebut karena ia telah menang. Jika dua orang atau tiga orang menang dan sampai di tempat yang sama, maka mereka berbagi dalam sepuluh tersebut karena mereka sama-sama menang. Jika mereka semua sampai di tempat yang sama, maka tidak seorang pun dari mereka yang berhak karena tidak ada satu pun yang menang di antara mereka. Jika hadiah itu dijadikan bagi sebagian dari mereka, seperti dijadikan untuk al-mujallā dan al-muṣallā, dan tidak dijadikan bagi sisanya, maka hal itu boleh.
لأن كل واحد منهم يجتهد أن يكون هو المجلى أو المصلي ليأخذ السبق فيحصل المقصود وإن جعله لجميعهم نظرت فإن سوى بينهم بأن قال من جاء منكم إلى الغاية فله عشرة لم يصح لأن القصد من بذل العوض هو التحريض على المسابقة وتعلم الفروسية فإذا سوى بين الجميع علم كل واحد منهم أنه يستحق السبق تقدم أو تأخر فلا يجتهد في المسابقة فيبطل المقصود وإن شرط للجميع وفاضل بينهم بأن قال للمجلى وهو الأول مائة وللمصلي وهو الثاني خمسون وللتالي وهو الثالث أربعون وللبارع وهو الرابع ثلاثون وللمرتاح وهو الخامس عشرون وللحظى وهو السادس خمسة عشر وللعاطف وهو السابع عشرة وللمرمل وهو الثامن ثمانية وللطيم وهو التاسع خمسة وللسكيت وهو العاشر درهم وللفكسل وهو الذي يجيء بعد الكل نصف درهم ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأن كل واحد منهم يجتهد ليأخذ الأكثر
Karena masing-masing dari mereka berusaha agar menjadi al-mujallā (yang pertama) atau al-muṣallī (yang kedua) untuk mendapatkan as-sabaq (hadiah lomba), sehingga tujuan pun tercapai. Jika hadiah itu diberikan untuk semuanya, maka dilihat kembali: jika disamaratakan, seperti mengatakan, “Siapa saja dari kalian yang sampai ke garis akhir maka ia mendapat sepuluh,” maka tidak sah, karena tujuan dari pemberian imbalan adalah untuk mendorong semangat berlomba dan belajar keterampilan berkuda. Maka jika disamaratakan, setiap peserta tahu bahwa ia akan mendapat hadiah apakah ia menang atau kalah, sehingga tidak bersungguh-sungguh dalam berlomba, lalu batalah tujuan tersebut.
Namun jika hadiah diberikan kepada semuanya namun dibedakan tingkatannya, seperti mengatakan: kepada al-mujallā (yang pertama) seratus, kepada al-muṣallī (yang kedua) lima puluh, kepada at-tālī (yang ketiga) empat puluh, kepada al-bāri‘ (yang keempat) tiga puluh, kepada al-murtaāḥ (yang kelima) dua puluh, kepada al-ḥaẓiyy (yang keenam) lima belas, kepada al-‘āṭif (yang ketujuh) sepuluh, kepada al-murmil (yang kedelapan) delapan, kepada aṭ-ṭayyim (yang kesembilan) lima, kepada as-sakkīt (yang kesepuluh) satu dirham, dan kepada al-faksal (yang datang paling akhir) setengah dirham, maka ada dua pendapat: salah satunya adalah boleh, karena masing-masing dari mereka tetap berusaha keras untuk mendapatkan yang paling banyak.
والثاني لا يجوز لأن كل واحد منهم يعلم أنه لا يخلوا من شيء تقدم أو تأخر فلا يجتهد في المسابقة فإن جعل للأول عشرة وللثالث خمسة وللرابع أربعة ولم يجعل للثاني شيئاً ففيه وجهان: أحدهما يصح ويقوم الثالث مقام الثاني والرابع مقام الثالث لأن الثاني بخروجه من السبق يجعل كأن لم يكن والثاني أنه يبطل لأنه فضل الثالث والرابع على من سبقهما.
Dan pendapat kedua: tidak boleh, karena masing-masing dari mereka mengetahui bahwa ia tidak akan luput dari sesuatu, baik ia menang atau kalah, sehingga ia tidak bersungguh-sungguh dalam perlombaan.
Jika hadiah diberikan kepada yang pertama sepuluh, kepada yang ketiga lima, kepada yang keempat empat, dan tidak diberikan apa pun kepada yang kedua, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama: sah, dan yang ketiga dianggap menempati posisi yang kedua, serta yang keempat menempati posisi yang ketiga, karena yang kedua dengan keluarnya dari urutan pemenang dianggap seperti tidak ada.
Pendapat kedua: batal, karena berarti ia melebihkan yang ketiga dan keempat atas orang yang lebih dahulu dari mereka.
فصل: فإن كان المخرج للسبق هما المتسابقان نظرت فإن كان معهما محلل وهو الثالث على فرس كفء لفرسيهما صح العقد وإن لم يكن معهما محلل فالعقد باطل لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال “من أدخل فرساً بين فرسين وهو لا يأمن أن يسبق فلا بأس ومن أدخل فرساً بين فرسين وقد أمن أن يسبق فهو قمار” ولأن مع المحلل لا يكون قماراً لأن فيهم من يأخذ إذا سبق ولا يعطي إذا سبق وهو المحلل ومع عدم المحلل ليس فيهم إلا من يأخذ إذا سبق ويعطي إذا سبق وذلك قمار
PASAL: Jika yang mengeluarkan imbalan perlombaan adalah kedua pihak yang berlomba, maka perlu dilihat: apabila bersama keduanya ada muḥallil, yaitu orang ketiga yang menunggang kuda yang sepadan dengan keduanya, maka akad perlombaan itu sah.
Namun jika tidak ada muḥallil bersama mereka, maka akadnya batal, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa memasukkan seekor kuda di antara dua kuda, sementara ia tidak yakin kuda itu akan menang, maka tidak mengapa. Tetapi jika ia yakin bahwa kuda itu tidak mungkin menang, maka itu adalah judi.”
Dan karena dengan adanya muḥallil, maka hal itu tidak menjadi judi, sebab di antara mereka ada yang bisa menang dan mengambil hadiah tetapi tidak memberi bila kalah — itulah muḥallil. Sedangkan tanpa adanya muḥallil, maka di antara mereka hanya ada yang mengambil bila menang dan memberi bila kalah, dan itu adalah judi.
وإذا كان المحلل اثنان أو أكثر جاز لأن ذلك أبعد من القمار وإن كان المسابقة بين حزبين كان حكمهما في المحلل حكم الرجلين لأن القصد من دخول المحلل الخروج من القمار وذلك يحصل بالمحلل الواحد مع قلة العدد وكثرته واختلف أصحابنا في دخول المحلل فذهب أكثرهم إلى أن دخول المحلل لتحليل السبق لكل من سبق منهم وذهب أبو علي بن خيران إلى أن دخوله لتحليل السبق لنفسه وإن يأخذ إذا سبق ولا يأخذان إذا سبقا لأنا لو قلنا إنهما إذا سبقا أخذاً حصل فيهم من يأخذ مرة ويعطي مرة وهذا قمار
Dan jika muḥallil-nya dua orang atau lebih, maka hal itu diperbolehkan, karena itu lebih jauh dari unsur judi (qamār). Jika perlombaan dilakukan antara dua kelompok, maka hukum muḥallil di antara keduanya seperti dua orang yang berlomba, karena tujuan dari keikutsertaan muḥallil adalah untuk menghindari unsur judi, dan hal itu tercapai dengan keikutsertaan satu muḥallil, baik pesertanya sedikit maupun banyak.
Para ulama kami berbeda pendapat mengenai maksud keikutsertaan muḥallil. Mayoritas mereka berpendapat bahwa keikutsertaan muḥallil bertujuan untuk menghalalkan imbalan bagi siapa pun yang menang dari mereka.
Sedangkan Abū ‘Alī bin Khirān berpendapat bahwa muḥallil masuk untuk menghalalkan imbalan hanya bagi dirinya sendiri, yaitu dia boleh mengambil (imbalan) jika menang, sedangkan dua orang lainnya tidak boleh mengambil jika mereka berdua menang. Sebab, jika dikatakan bahwa keduanya boleh mengambil jika menang, maka berarti di antara mereka ada yang kadang mengambil dan kadang memberi, dan itu adalah qamār.
والمذهب الأول لأنا بينا أن بدخول المحلل خرجا من القمار لأن في القمار ليس فيهم إلا من يعطي مرة ويأخذ مرة وبدخول المحلل قد حصل فيهم من يأخذ ولا يعطي فلم يكن قماراً فإن تسابقوا نظرت فإن انتهوا إلى الغاية معاً أحرز كل واحد منهما سبقه لأنه لم يسبقه أحد ولم يكن للمحلل شيء لأنه لم يسبق واحداً منهما وإن سبق المخرجان أحرز كل واحد منهما سبقه لأنهما تساويا في السبق ولا شيء للمحلل لأنه مسبوق وإن سبقهما المحلل أخذ سبقهما لأنه سبقهما وإن سبق أحد المخرجين وتأخر المحلل والمخرج الآخر أحرز السابق سبق نفسه وفي سبق المسبوق وجهان: المذهب أنه للسابق المخرج لأنه انفرد بالسبق
Dan mazhab yang pertama lebih kuat, karena kami telah menjelaskan bahwa dengan masuknya muḥallil, maka keduanya keluar dari unsur qamār, sebab dalam qamār tidak ada di antara mereka kecuali orang yang kadang memberi dan kadang mengambil, sedangkan dengan masuknya muḥallil terdapat di antara mereka orang yang hanya mengambil dan tidak memberi, maka itu bukan qamār.
Jika mereka berlomba, maka dilihat: jika mereka sampai ke garis akhir secara bersamaan, maka masing-masing berhak atas imbalannya, karena tidak ada yang mendahului yang lain. Dan muḥallil tidak mendapat apa-apa karena ia tidak mendahului satu pun dari keduanya.
Jika dua orang pemberi imbalan (al-mukhrajān) yang mencapai garis akhir lebih dahulu, maka masing-masing dari mereka berhak atas imbalannya, karena keduanya sama-sama menang, dan muḥallil tidak mendapat apa-apa karena ia kalah.
Jika muḥallil yang mendahului mereka, maka ia berhak mengambil imbalan dari keduanya, karena ia menang atas keduanya.
Jika salah satu dari dua pihak pemberi imbalan menang, sedangkan muḥallil dan yang satu lagi kalah, maka yang menang itu berhak atas imbalannya. Adapun imbalan dari pihak yang kalah, terdapat dua pendapat. Pendapat yang rajih adalah bahwa imbalan itu menjadi milik pihak pemenang dari kedua pemberi imbalan, karena ia menang secara sendiri.
وعلى مذهب ابن خيران يكون سبق المسبوق لنفسه لأنه لا يستحقه السابق المخرج على قوله ولا يستحقه المحلل لأنه لم يسبق وإن سبق المحلل وأحد المخرجين أحرز السابق سبق نفسه وفي سبق المسبوق وجهان: المذهب أنه بين المخرج السابق والمحلل وعلى مذهب ابن خيران يكون سبقه للمحلل. وإن سبق أحد المخرجين ثم جاء المحلل ثم جاء المخرج الآخر ففيه وجهان: المذهب إن سبق المسبوق للمخرج السابق بسبقه وعلى مذهب ابن خيران للمحلل دون السابق وإن سبق أحد المخرجين ثم جاء المخرج الثاني ثم جاء المحلل ففيه وجهان: المذهب أن سبق المسبوق للسابق وعلى مذهب ابن خيران يكون للمسبوق لأن المخرج السابق لا يستحقه والمحلل له يسبق فبقي على ملك صاحبه.
Menurut mazhab Ibn Khirān, imbalan dari pihak yang kalah (muspūq) menjadi milik dirinya sendiri, karena menurut pendapatnya pihak pemenang dari dua mukhraj tidak berhak atasnya, dan muḥallil juga tidak berhak karena ia tidak menang.
Jika yang menang adalah muḥallil dan salah satu dari dua mukhraj, maka yang menang dari keduanya berhak atas imbalan dirinya sendiri. Adapun imbalan dari pihak yang kalah, terdapat dua pendapat; mazhab mengatakan: imbalan tersebut dibagi antara mukhraj yang menang dan muḥallil. Sedangkan menurut mazhab Ibn Khirān, seluruhnya menjadi milik muḥallil.
Jika salah satu dari dua mukhraj menang, kemudian muḥallil, lalu mukhraj yang satu lagi, maka terdapat dua pendapat: mazhab mengatakan bahwa imbalan dari pihak yang kalah menjadi milik mukhraj yang menang karena kemenangannya. Sedangkan menurut mazhab Ibn Khirān, imbalan tersebut menjadi milik muḥallil, bukan milik mukhraj yang menang.
Jika salah satu dari dua mukhraj menang, lalu disusul oleh mukhraj kedua, lalu muḥallil, maka terdapat dua pendapat: mazhab mengatakan bahwa imbalan dari pihak yang kalah menjadi milik pihak yang menang. Sedangkan menurut mazhab Ibn Khirān, imbalan tersebut tetap menjadi milik pihak yang kalah, karena mukhraj yang menang tidak berhak atasnya, dan muḥallil tidak menang, maka imbalan itu tetap pada pemiliknya.
فصل: وإن كان المخرج للسبق أحدهما جاز من غير محلل لأن فيهم من يأخذ ولا يعطي وهو الذي لم يخرج فصار كما لو كان السبق منهما وبينهما المحلل فإن تسابقا فسبق المخرج أحرز السبق وإن سبق الآخر أخذ سبقه وإن جاءا معاً أحرز المخرج السبق لأنه لم يسبقه الآخر.
PASAL: Dan jika yang mengeluarkan sabq adalah salah satu dari keduanya, maka boleh tanpa adanya muḥallil, karena di antara mereka ada yang mengambil tanpa memberi, yaitu yang tidak mengeluarkan sabq, sehingga hukumnya seperti jika sabq itu dari keduanya dan di antara mereka ada muḥallil. Maka jika mereka berlomba, lalu yang mengeluarkan sabq menang, ia berhak atas sabq-nya. Dan jika yang lain yang menang, maka ia mengambil sabq-nya. Dan jika keduanya sampai bersamaan, maka yang mengeluarkan sabq berhak atas sabq-nya karena yang lain tidak mendahuluinya.
فصل: ويطلق الفرسان من مكان واحد في وقت واحد لما روى الحسن أو خلاس عن علي كرم الله وجهه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لعلي: “يا علي قد جعلت إليك هذه السبقة بين الناس” فخرج علي كرم الله وجهه فدعا بسراقة بن مالك فقال يا سراقة إني قد جعلت إليك ما جعل النبي صلى الله عليه وسلم في عنقي من هذه السبقة في عنقك فإذا أتيت الميطان فصف الخيل ثم ناد ثلاثاً هل مصلح للجام أو حام لغلام أو طارح لجل فإذا لم يجبك أحد فكبر ثلاثاً ثم خلها عند الثالثة يسعد الله بسبقه من يشاء من خلقه فإن كان بينهما محلل وتنازعا في مكانه جعل بينهما لأنه أعدل وأقطع للتنافر
PASAL: Para penunggang dilepaskan dari satu tempat pada waktu yang sama, berdasarkan riwayat dari al-Ḥasan atau Kallās dari ʿAlī raḍiya Allāhu ʿanhu bahwa Nabi SAW bersabda kepada ʿAlī: “Wahai ʿAlī, sungguh aku telah menyerahkan kepadamu perlombaan ini di antara manusia.” Maka ʿAlī raḍiya Allāhu ʿanhu keluar lalu memanggil Surāqah bin Mālik dan berkata: “Wahai Surāqah, sungguh aku telah menyerahkan kepadamu apa yang Nabi SAW bebankan kepadaku dari perlombaan ini, maka aku bebankan kepadamu. Apabila engkau telah sampai ke al-Mīṭān, maka aturlah kuda-kuda itu berbaris, kemudian serulah tiga kali: ‘Apakah ada yang membetulkan tali kekang? Atau pengasuh anak? Atau yang membuang beban?’ Jika tidak ada yang menjawabmu, bertakbirlah tiga kali, kemudian lepaskanlah pada takbir ketiga. Allah akan memberikan kemenangan kepada siapa yang Dia kehendaki dari makhluk-Nya.” Jika terdapat muḥallil di antara keduanya dan mereka berselisih tentang tempatnya, maka ia ditempatkan di antara keduanya karena hal itu lebih adil dan lebih memutus perselisihan.
وإن اختلف المتسابقان في اليمين واليسار أقرع بينهما لأنها مزية لأحدهما على الآخر ولا يجلب وراءه لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أجلب على الخيل يوم الرهان فليس منا” قال مالك الجلب أن يجلب وراء الفرس حين يدنو أو يحرك وراءه الشن ليستحث به السبق.
Dan jika dua orang yang berlomba berselisih tentang arah kanan dan kiri, maka diundi di antara keduanya, karena itu merupakan keutamaan bagi salah satunya atas yang lain. Dan tidak boleh mengiringi dari belakang, berdasarkan riwayat dari Ibnu ʿAbbās raḍiya Allāhu ʿanhumā bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang mengiringi kuda pada hari perlombaan, maka ia bukan dari golongan kami.” Mālik berkata: al-jalb adalah mengiringi dari belakang kuda ketika sudah mendekat atau menggerakkan al-shann (sejenis benda) di belakangnya agar kuda itu terdorong untuk menang.
فصل: وأما ما يسبق به فينظر فيه فإن شرط في السبق أقداماً معلومة لم يستحق السبق بما دونها لأنه شرط صحيح فتعلق الاستحقاق به وإن أطلق نظرت إن تساوى المركوبان في طول العنق اعتبر السبق بالعنق أو بالكتد فإن سبق أحدهما بالعنق أو ببعضه أو بالكتد أو ببعضه فقد سبق وإن اختلفا في العنق اعتبر السبق بالكتد لأنه لا يختلف وإن سبق أطولهما عنقاً بقدر زيادة الخلقة لم يحكم له بالسبق لأنه يسبق بزيادة الخلقة لا بجودة الجري.
PASAL: Adapun alat yang digunakan untuk berlomba, maka diperhatikan keadaannya. Jika disyaratkan dalam sabq jarak tertentu dari langkah, maka tidak berhak atas sabq dengan jarak yang kurang darinya karena itu adalah syarat yang sah sehingga hak sabq tergantung padanya. Jika disyaratkan secara mutlak, maka diperhatikan: jika tunggangan keduanya sama panjang lehernya, maka ditentukan pemenang dengan mendahului leher atau dengan katif (bahu). Maka jika salah satunya mendahului dengan leher atau sebagian leher, atau dengan katif atau sebagian katif, maka ia dianggap menang. Namun jika panjang leher keduanya berbeda, maka ditentukan pemenang dengan mendahului katif karena katif tidak berbeda-beda. Jika yang lehernya lebih panjang mendahului seukuran kelebihan ciptaannya, maka tidak dihukumi menang karena ia mendahului disebabkan kelebihan ciptaan, bukan karena kecepatan lari.
فصل: وإن عثر أحد الفرسين أو ساخت قوائمه في الأر ض أو وقف لعلة أصابته فسبقه الآخر لم يحكم للسابق بالسبق لأنه لم يسبق بجودة الجري ولا تأخر المسبوق لسوء جريه.
PASAL: Jika salah satu dari dua kuda tersandung atau kaki-kakinya terperosok ke dalam tanah, atau ia berhenti karena suatu penyakit yang menimpanya, lalu kuda yang lain mendahuluinya, maka tidak dihukumi bahwa yang mendahului itu menang, karena ia tidak mendahului dengan kecepatan lari yang bagus, dan yang tertinggal juga tidak tertinggal karena buruknya lari.
فصل: وإن مات المركوب قبل الفراغ بطل العقد لأنه العقد تعلق بعينه وقد فات بالموت فبطل كالمبيع إذا هلك قبل القبض وإن مات الراكب فإن قلنا إنه كالجعالة بطل العقد بموته وإن قلنا إنه كالإجارة لم يبطل وقام الوارث فيه مقامه.
PASAL: Jika tunggangan mati sebelum selesai (perlombaan), maka batal akadnya, karena akad itu bergantung pada bendanya secara khusus, dan telah gugur dengan kematian, maka batal sebagaimana barang yang dijual jika rusak sebelum diterima. Dan jika penunggangnya yang mati, maka jika dikatakan bahwa akad tersebut seperti ju‘ālah, maka batal akad itu dengan kematiannya. Dan jika dikatakan bahwa akad itu seperti ijārah, maka tidak batal dan ahli waris menggantikannya dalam akad tersebut.
فصل: وإن كان العقد على الرمي لم يجز بأقل من نفسين لأن المقصود معرفة الحذق ولم يبين ذلك بأقل من اثنين فإن قال رجل لآخر ارم عشراً وناضل فيها خطأك بصوابك فإن كان صوابك أكثر فلك دينار لم يجز لأنه بذل العوض على أن يناضل نفسه وقد بينا أن ذلك لا يجوز وإن قال ارم عشراً فإن كان صوابك أكثر فلك دينار ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه بذل له العوض على عمل معلوم لا يناضل فيه نفسه فجاز والثاني لا يجوز لأنه جعل العوض في مقابلة الخطأ والصواب والخطأ لا يستحق به بدل
PASAL: Jika akad dilakukan untuk perlombaan memanah, maka tidak boleh dilakukan dengan kurang dari dua orang karena tujuan utamanya adalah mengetahui tingkat kecakapan, dan hal itu tidak dapat ditentukan dengan kurang dari dua orang. Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Panahlah sepuluh kali, dan aku akan bandingkan kesalahanmu dengan kebenaranmu, jika kebenaranmu lebih banyak maka engkau mendapat satu dinar,” maka itu tidak boleh karena ia memberikan imbalan atas dasar menandingi dirinya sendiri, dan telah dijelaskan bahwa hal itu tidak diperbolehkan. Namun jika ia berkata, “Panahlah sepuluh kali, jika kebenaranmu lebih banyak maka engkau mendapat satu dinar,” maka ada dua pendapat: pertama, boleh, karena ia memberikan imbalan atas pekerjaan yang jelas tanpa menandingi dirinya sendiri, maka diperbolehkan; kedua, tidak boleh, karena ia menjadikan imbalan bergantung pada benar dan salah, padahal kesalahan tidak pantas diberi imbalan.
فصل: ولا يجوز إخراج السبق إلا على ما ذكرناه في المسابقة من إخراج العوض منهما أو من غيرهما وفي دخول المحلل بينهما.
فصل: ولا يصح حتى يتعين المتراميان لأن المقصود معرفة حذفهما ولا يعلم ذلك إلا بالتعيين فإن كان أحدهما كثير الإصابة والآخر كثير الخطأ ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن نضل أحدهما معلوم فيكون الناضل منهما كالآخذ للمال من غير نضال وذلك من أكل المال بالباطل والثاني لا يجوز لأن أخذ المال منه يبعثه على معاطاة الرمي والحذق فيه.
PASAL: Tidak boleh mengeluarkan sabq kecuali sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam musābaqah, yaitu dengan mengeluarkan imbalan dari keduanya atau dari selain keduanya, dan dengan masuknya muḥallil di antara keduanya.
PASAL: Dan tidak sah sampai dua orang yang saling melempar (mutarāmiyān) ditentukan, karena tujuan dari lomba ini adalah untuk mengetahui ketepatan lemparan mereka, dan hal itu tidak diketahui kecuali dengan penentuan yang jelas. Jika salah satu dari keduanya sangat tepat dan yang lain sering meleset, maka ada dua pendapat: pertama, tidak boleh karena keunggulan salah satunya sudah jelas, sehingga yang berlomba menjadi seperti orang yang mengambil harta tanpa tanding, dan itu termasuk memakan harta secara batil. Kedua, boleh karena pengambilan harta darinya dapat mendorongnya untuk melakukan lemparan dan mahir di dalamnya.
فصل: ولا يصح إلا على آلتين متجانستين فإن عقد على جنسين بأن يرمي أحدهما بالنشاب والآخر بالحراب لم يجز لأنه لا يعلم فضل أحدهما على الآخر في واحد من الجنسين وإن عقد على نوعين من جنس بأن يرمي أحدهما بالنبل والآخر بالنشاب أو يرمي أحدهما على قوس عربي والآخر على قوس فارسي جاز لأن النوعين من جنس واحد يتقاربان فيعرف به حذقهما فإن أطلق العقد في موضع العرف فيه نوع واحد حمل العقد عليه وإن لم يكن فيه عرف لم يصح حتى يبين لأن الأغراض تختلف باختلاف النوعين فوجب بيانه
PASAL: Tidak sah akad kecuali atas dua alat yang sejenis. Jika akad dilakukan atas dua jenis berbeda, misalnya salah satunya memanah dengan nasyyāb dan yang lainnya dengan ḥirāb, maka tidak sah, karena tidak diketahui keunggulan salah satunya atas yang lain dalam satu jenis. Namun jika akad dilakukan atas dua macam dari satu jenis, seperti salah satunya memanah dengan nabl dan yang lainnya dengan nasyyāb, atau salah satunya menggunakan busur Arab dan yang lainnya menggunakan busur Persia, maka sah, karena dua macam dari satu jenis itu saling mendekati, sehingga dapat diketahui kepandaian mereka. Jika akad disebutkan secara mutlak di tempat yang sudah dikenal hanya satu jenis, maka akad dibawa kepada jenis tersebut. Jika tidak ada kebiasaan (yang dikenal), maka tidak sah sampai dijelaskan, karena tujuan berbeda-beda tergantung perbedaan dua macam tersebut, maka wajib dijelaskan.
وإن عقد على نوع فأراد أن ينتقل إلى نوع آخر لم تلزم الإجابة إليه لأن الأغراض تختلف باختلاف الأنواع فإن من الناس من يرمي بأحد النوعين أجود من رميه بالنوع الآخر وإن عقد على قوس بعينها فأراد أن ينتقل إلى غيرها من نوعها جاز لأن الأغراض لا تختلف باختلاف الأعيان فإن شرط على أنه لا يبدل فهو على الأوجه الثلاثة فيمن استأجر ظهراً ليركبه على أنه لا يركبه مثله وقد بيناها في كتاب الإجارة.
Dan jika akad dilakukan atas suatu jenis lalu salah satu pihak ingin berpindah ke jenis lain, maka tidak wajib mengabulkannya karena tujuan berbeda-beda tergantung pada perbedaan jenis. Sebab, ada orang yang lebih pandai memanah dengan salah satu dari dua jenis dibandingkan jenis yang lain. Namun jika akad dilakukan atas suatu busur tertentu lalu ingin berpindah ke busur lain dari jenis yang sama, maka boleh, karena tujuan tidak berbeda-beda dengan perbedaan benda (alat) yang sejenis. Jika disyaratkan bahwa ia tidak boleh mengganti, maka hukumnya kembali kepada tiga wajah dalam permasalahan orang yang menyewa tunggangan untuk dinaikinya dengan syarat tidak boleh dinaiki oleh yang sejenis dengannya. Permasalahan ini telah kami jelaskan dalam Kitab al-Ijārah.
فصل: ولا يجوز إلا على رشق معلوم وهو العدد الذي يرمي به لأنه إذا لم يعرف منتهى العدد لم يبن الفضل ولم يظهر السبق.
فصل: ولا يجوز إلا على إصابة عدد معلوم لأنه لا يبين الفضل إلا بذلك فإن شرط إصابة عشرة من عشرة أو تسعة من عشرة ففيه وجهان: أحدهما يصح لأنه قد يصيب ذلك فصح العقد كما لو شارط إصابة ثمانية من عشرة والثاني لا يصح لأن إصابة ذلك تندر وتتعذر فبطل المقصود بالعقد.
PASAL: Tidak boleh kecuali pada jumlah lemparan yang diketahui, yaitu jumlah anak panah yang akan dilemparkan, karena jika tidak diketahui batas jumlahnya, maka keunggulan tidak bisa ditentukan dan kemenangan tidak tampak.
PASAL: Tidak boleh kecuali atas dasar mengenai sasaran dengan jumlah yang diketahui, karena keunggulan tidak bisa ditentukan kecuali dengan itu. Jika disyaratkan mengenai sepuluh dari sepuluh atau sembilan dari sepuluh, maka ada dua pendapat: pertama, sah, karena hal itu mungkin dicapai, maka sah akadnya sebagaimana jika disyaratkan mengenai delapan dari sepuluh; kedua, tidak sah karena mengenai sebanyak itu jarang terjadi dan sulit, sehingga tujuan akad menjadi batal.
فصل: ولا يجوز إلا أن يكون مدى الغرض معلوماً لأن الإصابة تختلف بالقرب والبعد فوجب العلم به فإن كان في الموضع غرض معلوم المدى فأطلق العقد جاز وحمل عليه كما يجوز أن يطلق الثمن في البيع في موضع فيه نقد واحد وإن لم يكن فيه غرض معلوم المدى لم يجز العقد حتى يبين فإن أطلق العقد بطل كما يبطل البيع بثمن مطلق في موضع لا نقد فيه ويجوز أن يكون مدى الغرض قدراً يصيب مثلهما في مثله في العادة ولا يجوز أن يكون قدراً لا يصيب مثلهما في مثله وفيما يصيب مثلهما في مثله نادراً وجهان: أحدهما يجوز لأنه قد يصيب مثلهما في مثله فإذا عقدا عليه بعثهما العقد على الاجتهاد في الإصابة
PASAL: Tidak boleh (akad memanah) kecuali jika jarak sasaran diketahui, karena tingkat ketepatan berbeda-beda antara dekat dan jauh, maka wajib diketahui. Jika di tempat itu terdapat sasaran dengan jarak yang diketahui, lalu akad dilakukan secara mutlak, maka sah dan dibawa kepada sasaran tersebut, sebagaimana sah menjatuhkan harga dalam jual beli secara mutlak di tempat yang hanya memiliki satu jenis mata uang. Jika tidak terdapat sasaran dengan jarak yang diketahui, maka tidak sah akad hingga dijelaskan; jika akad dilakukan secara mutlak, maka batal, sebagaimana batal jual beli dengan harga yang tidak dijelaskan di tempat yang tidak ada mata uang. Dan boleh menjadikan jarak sasaran itu ukuran yang biasa bisa dicapai oleh keduanya dalam kondisi yang sama menurut kebiasaan. Namun tidak boleh menjadikannya ukuran yang tidak dapat dicapai oleh keduanya dalam kondisi yang sama. Adapun mengenai jarak yang hanya sesekali bisa dicapai oleh keduanya dalam kondisi yang sama, terdapat dua wajah: pertama, boleh, karena bisa saja keduanya mengenai sasaran tersebut, maka jika akad dilakukan atas dasar itu, akad akan mendorong keduanya untuk bersungguh-sungguh dalam membidik.
والثاني لا يجوز لأن إصابتهما في مثله تندر فلا يحصل المقصود وقدر أصحابنا ما يصاب منه بمائتين وخمسين ذراعاً وما لا يصاب بما زاد على ثلاثمائة وخمسين ذراعاً وفيما بينهما وجهان: فإن تراميا على غير غرض على أن يكون السبق لأبعدهما رمياً ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه يمتحن به قوة الساعد ويستعان به على قتال من بعد من العدو والثاني لا يجوز لأن الذي يقصد بالرمي هو الإصابة فأما الأبعاد فليس بمقصود فلم يجز أخذ العوض عليه.
Dan wajah kedua: tidak boleh, karena ketepatan keduanya dalam jarak tersebut sangat jarang terjadi, sehingga tujuan tidak tercapai. Para sahabat kami memperkirakan bahwa jarak yang masih bisa dikenai sasaran adalah dua ratus lima puluh hasta, dan yang tidak bisa dikenai adalah lebih dari tiga ratus lima puluh hasta. Adapun jarak antara keduanya, terdapat dua wajah.
Jika keduanya saling melempar tanpa sasaran, dengan syarat bahwa yang lebih jauh lemparannya berhak atas imbalan, maka terdapat dua wajah: pertama, boleh, karena hal itu dapat menguji kekuatan lengan dan dapat dimanfaatkan untuk menghadapi musuh yang berada di kejauhan; dan wajah kedua: tidak boleh, karena tujuan dari memanah adalah mengenai sasaran, sedangkan jarak jauh bukanlah tujuan, maka tidak boleh mengambil imbalan atas hal tersebut.
فصل: ويجب أن يكون الغرض معلوماً في نفسه فيعلم طوله وعرضه وقدر انخفاضه وارتفاعه من الأرض لأن الإصابة تختلف باختلافه فإن كان العقد في موضع فيه غرض معروف فأطلق العقد حمل عليه كما يحمل البيع بثمن مطلق في موضع فيه نقد متعارف على نقد البلد وإن لم يكن فيه غرض وجب بيانه والمستحب أن يكون الرمي بين غرضين لما روى عبد الدائم بن دينار قال: بلغني أن ما بين الهدفين روضة من رياض الجنة وعن عقبة بن عامر أنه كان يرمي بين غرضين بينهما أربعمائة وعن ابن عمر أنه كان يختفي بين الغرضين وعن أنس أنه كان يرمي بين الهدفين ولأن ذلك أقطع للتنافر وأقل للتعب.
PASAL: Dan wajib bahwa gharaḍ diketahui sifatnya, yaitu diketahui panjangnya, lebarnya, serta kadar rendah dan tingginya dari tanah, karena tingkat akurasi tembakan berbeda-beda tergantung padanya. Jika akad dilakukan di tempat yang terdapat gharaḍ yang dikenal, lalu akad itu dilakukan secara mutlak, maka ditafsirkan atas gharaḍ tersebut, sebagaimana jual beli dengan harga mutlak di tempat yang berlaku mata uang tertentu ditafsirkan berdasarkan mata uang negeri tersebut. Dan jika tidak terdapat gharaḍ, maka wajib dijelaskan. Dan yang disunnahkan adalah memanah antara dua gharaḍ, karena telah diriwayatkan dari ‘Abd al-Dā’im bin Dīnār, ia berkata: Telah sampai kepadaku bahwa antara dua sasaran adalah taman dari taman-taman surga. Dan dari ‘Uqbah bin ‘Āmir bahwa ia biasa memanah antara dua gharaḍ yang jaraknya empat ratus. Dan dari Ibnu ‘Umar bahwa ia biasa bersembunyi di antara dua gharaḍ. Dan dari Anas bahwa ia biasa memanah antara dua sasaran. Karena hal itu lebih memutuskan perselisihan dan lebih sedikit menyebabkan keletihan.
فصل: ويجب أن يكون موضع الإصابة معلوماً وأن الرمي إلى الهدف وهو التراب الذي يجمع أو الحائط الذي يبني أو إلى الغرض وهو الذي ينصب في الهدف أو الشن الذي في الغرض أو الدارة التي في الشن أو الخاتم الذي في الدارة لأن الغرض يختلف باختلافها فإن أطلق العقد حمل على الغرض لأن العرف في الرمي إصابة الغرض فحمل العقد عليه ويجب أن تكون صفة الرمي معلومة من القرع وهو إصابة الغرض أو الخزق وهو أن يثقب الشن أو الخسق وهو الذي يثقبه ويثبت فيه أو المرق وهو الذي ينفذ منه أو الخرم وهو أن يقع طرف الشن ويكون بعض السهم في الشن وبعضه خارجاً منه
PASAL: Dan wajib bahwa tempat sasaran diketahui, serta bahwa memanah diarahkan kepada al-hadaf, yaitu tanah yang dikumpulkan atau tembok yang dibangun, atau kepada al-gharaḍ, yaitu sesuatu yang ditegakkan di hadaf, atau kepada asy-syin yang ada di gharaḍ, atau ad-dārah yang ada di syin, atau al-khātam yang ada di dārah, karena sasaran berbeda-beda menurut perbedaan hal tersebut. Maka jika akad dilakukan secara mutlak, dibawa kepada gharaḍ, karena kebiasaan dalam memanah adalah mengenai gharaḍ, maka akad dibawa kepada hal itu.
Dan wajib bahwa sifat lemparan (panah) diketahui, yaitu dari al-qara‘ yakni mengenai gharaḍ, atau al-khazq yaitu melubangi syin, atau al-khasq yaitu melubangi dan menetap di dalamnya, atau al-marq yaitu menembus darinya, atau al-khurm yaitu mengenai ujung syin dan sebagian anak panah berada di dalam syin dan sebagian lainnya berada di luarnya.
لأن الخزق لا يبين إلا بذلك فإن أطلق العقد حمل على القرع لأنه هو المتعارف فحمل مطلق العقد عليه فإن شرط قرع عشرة من عشرين وأن يحسب خاسق كل واحد منهما بقارعين جاز لأنهما يتساويان فيه وإن أصاب أحدهما تسعة قرعاً وأصاب الآخر قارعين وأربعة خواسق فقد نضله لأنه استكمل العشرة بالخواسق.
Karena al-khazq tidak dapat diketahui kecuali dengan hal itu, maka jika akad dilakukan secara mutlak, dibawa kepada al-qara‘ karena itulah yang umum dikenal, maka akad mutlak dibawa kepada hal itu. Jika disyaratkan mengenai sepuluh dari dua puluh, dan bahwa setiap khāsiq dihitung sebagai dua qāri‘, maka boleh, karena keduanya setara dalam hal itu. Maka jika salah satu dari keduanya mengenai sembilan qara‘, dan yang lain mengenai dua qāri‘ dan empat khawāsiq, maka ia telah mengalahkannya, karena ia telah menyempurnakan sepuluh dengan khawāsiq.
فصل: واختلف أصحابنا في بيان حكم الإصابة إنه مبادرة أو محاطة أو حوابي فمنهم من قال يجب بيانه فإن أطلق العقد لم يصح لأن حكمها يختلف وأغراض الناس فيها لا تتفق فوجب بيانه ومنهم من قال يصح ويحمل على المبادرة لأن المتعارف في الرمي وهو المبادرة واختلفوا في بيان من يبتدئ بالرمي فمنهم من قال يجب فإن أطلق العقد بطل وهو المنصوص لأن ذلك موضوع على نشاط القلب وقوة النفس ومتى قدم أحدهما انكسر قلب الآخر وساء رميه فلا يحصل مقصود العقد ومنهم من قال يصح لأن ذلك من توابع العقد ويمكن تلافيه بما تزول به التهمة من العرف أو القرعة
PASAL: Ulama-ulama kami berselisih pendapat dalam menjelaskan hukum ishābah, apakah itu mubādarah, muḥāṭah, atau ḥawābī. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal tersebut wajib dijelaskan. Maka jika akad dilakukan secara mutlak, tidak sah, karena hukum-hukum ishābah berbeda-beda dan maksud orang-orang di dalamnya tidak sama, sehingga wajib untuk dijelaskan. Sebagian lain berpendapat bahwa akadnya sah dan dibawa kepada mubādarah, karena itulah yang dikenal dalam praktik memanah, yaitu mubādarah.
Mereka juga berselisih pendapat dalam menjelaskan siapa yang memulai melepaskan panah. Sebagian mengatakan wajib dijelaskan, maka jika akad dilakukan secara mutlak, batal — dan inilah pendapat yang dinyatakan secara tegas — karena hal itu berkaitan dengan semangat hati dan kekuatan jiwa. Jika salah satu dari keduanya didahulukan, hati pihak yang lain bisa melemah dan bidikannya menjadi buruk, sehingga maksud dari akad tidak tercapai. Sebagian lain mengatakan akadnya sah karena hal tersebut termasuk perkara ikutan dari akad dan dapat diselesaikan dengan sesuatu yang menghilangkan dugaan buruk, baik melalui kebiasaan atau undian.
فإذا قلنا إنه يصح في البادئ وجهان: أحدهما إن كان السبق من أحدهما قدم لأن له مزية بالسبق وإن كان السبق منهما أقرع بينهما لأنه لا مزية لحدهما على الآخر والثاني لا يبدأ أحدهما بالقرعة لأن أمر المسابقة موضوع على أن لا يفضل أحدهما على الآخر بالسبق فإن كان الرمي بين غرضين فبدأ أحدهما من أحد الغرضين بدأ الآخر من الغرض الآخر لأنه أعدل وأسهل فإن كانت البداية لأحدهما فبدأ الآخر ورمى لم يحسب له إن أصاب ولا عليه إن أخطأ لأنه رمي بغير عقد فلم يعتد به
Jika kita katakan bahwa akad sah meskipun tidak disebutkan siapa yang lebih dahulu memanah, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama: jika sabq berasal dari salah satu pihak, maka ia yang didahulukan karena ia memiliki keistimewaan dengan sabq. Tetapi jika sabq berasal dari keduanya, maka dilakukan undian di antara keduanya karena tidak ada keistimewaan salah satu atas yang lain. Pendapat kedua: tidak boleh memulai salah satunya dengan undian karena perlombaan itu ditetapkan atas dasar tidak ada kelebihan salah satu dari keduanya dalam hal permulaan.
Jika memanah dilakukan antara dua gharaḍ, maka jika salah satu memulai dari salah satu gharaḍ, maka pihak lainnya memulai dari gharaḍ yang lain, karena itu lebih adil dan lebih mudah. Jika permulaan memang ditetapkan bagi salah satu dari keduanya, lalu pihak lain memulai dan melepaskan panah, maka lemparannya tidak diperhitungkan, baik jika ia tepat sasaran maupun meleset, karena itu merupakan panah yang dilepaskan tanpa akad, maka tidak dianggap.
وإن اختلفا في موضع الوقوف كان الأمر إلى من له البداية لأنه لما ثبت له السبق ثبتت له اختيار المكان فإذا صار الثاني إلى الغرض الثاني صار الخيار في موضع الوقوف إليه ليستويا وإن طلب أحدهما استقبال الشمس والآخر استدبارها أجيب من طلب الاستدبار لأنه أوفق بالرمي.
Jika keduanya berselisih tentang tempat berdiri, maka urusannya dikembalikan kepada pihak yang mendapatkan hak untuk memulai, karena ketika hak sabq telah ditetapkan untuknya, maka ia berhak memilih tempat berdiri. Maka apabila pihak kedua berpindah ke gharaḍ yang kedua, maka pilihan tempat berdiri menjadi miliknya agar keduanya setara. Dan jika salah satu dari keduanya meminta menghadap matahari dan yang lainnya meminta membelakangi matahari, maka yang dikabulkan adalah permintaan untuk membelakangi matahari, karena itu lebih sesuai untuk memanah.
فصل: ويجوز أن يرميا سهماً وخمساً خمساً وأن يرمي كل واحد منهما جميع الرشق فإن شرطا شيئاً من ذلك حملا عليه وإن أطلق العقد تراسلا سهماً سهماً لأن العرف على ما ذكرناه وإن رمى أحدهما أكثر مما لم يحسب له إن أصاب ولا عليه إن أخطأ لأنه رمى من غير عقد فلم يعتد به.
PASAL: Boleh bagi keduanya untuk melepaskan anak panah sebanyak lima-lima, atau masing-masing melepaskan seluruh rasyq (jumlah panah dalam satu putaran). Jika keduanya mensyaratkan salah satu dari cara tersebut, maka dihukumi sesuai syarat tersebut. Namun jika akad dilakukan tanpa ketentuan, maka keduanya saling bergantian memanah satu-satu anak panah karena hal itu yang dikenal dalam kebiasaan. Jika salah satu dari keduanya memanah lebih banyak dari yang disepakati, maka panahannya tidak dihitung, baik ia mengenainya maupun meleset, karena ia memanah tanpa akad, sehingga tidak diperhitungkan.
فصل: ولا يجوز أن يتفاضلا في عدد الرشق ولا في عدد الإصابة ولا في صفة الإصابة ولا في محل الإصابة ولا أن يحسب قرع أحدهما خسقاً ولا أن يكون في يد أحدهما السهام أكثر مما في يد الآخر في حال الرمي ولا أن يرمي أحدهما والشمس في وجهه لأن القصد أن يعرف حذقهما وذلك لا يعرف مع الاختلاف لأنه إذا نضل أحدهما كان النضل بما شرط لا بجودة الرمي فإن شرط شيئاً من ذلك بطل العقد لأنه في أحد القولين كالإجارة وفي الثاني كالجعالة والجميع يبطل بالشرط الفاسد وهل يجب للناضل في الفاسد أجرة المثل؟ فيه وجهان: أحدهما لا تجب وهو قول أبي إسحاق لأنه لا يحصل للمسبوق منفعة بسبق السابق فلم تلزمه أجرته والثاني تجب وهو الصحيح لأن كل عقد وجب المسمى في صحيحه وجب عوض المثل في فاسده كالبيع والإجارة.
PASAL: Tidak boleh ada perbedaan dalam jumlah rasyq, tidak dalam jumlah ishābah, tidak dalam sifat ishābah, tidak dalam tempat ishābah, tidak boleh pula dianggap qar‘ salah satunya sebagai khasq, dan tidak boleh salah satu dari keduanya memegang anak panah lebih banyak daripada yang lain saat memanah, serta tidak boleh salah satunya memanah sedangkan matahari berada di wajahnya. Karena maksud dari perlombaan ini adalah untuk mengetahui tingkat kepandaian keduanya, dan hal itu tidak bisa diketahui dengan adanya perbedaan. Sebab jika salah satunya unggul, maka keunggulan itu disebabkan oleh syarat yang ditetapkan, bukan karena kualitas lemparannya.
Jika disyaratkan salah satu dari hal-hal tersebut, batal akadnya. Karena dalam salah satu pendapat, akad ini seperti ijārah, dan dalam pendapat yang lain seperti ju‘ālah, dan kedua-duanya batal dengan syarat yang rusak.
Apakah pihak yang menang dalam akad yang rusak berhak mendapatkan ujrah al-mitsl? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak berhak, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, karena pihak yang kalah tidak mendapatkan manfaat dari kemenangan pihak yang menang, maka tidak wajib baginya membayar ujrah.
Pendapat kedua: berhak, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena setiap akad yang mensyaratkan imbalan tertentu dalam keadaan sah, maka jika rusak, wajib diberikan imbalan sepadan, seperti dalam jual beli dan ijārah.
فصل: وإن شرط على السابق أن يطعم أصحابه من السبق بطل الشرط لأنه شرط ينافي مقتضى العقد فبطل وهو يبطل العقد المنصوص أنه يبطل لأنه تمليك مال شرط فيه شرط يمنع كمال التصرف فإذا بطل الشرط بطل العقد كما لو باعه سلعة بألف على أن يتصدق بها وقال أبو إسحاق: يحتمل قولاً آخر لا يبطل كما قال فيمن أصدق امرأته ألفين على أن تعطي أباها ألفاً أن الشرط باطل ويصح الصداق فإذا قلنا بالمنصوص سقط المستحق وهل يرجع السابق بأجرة المثل على الوجهين.
PASAL: Jika disyaratkan atas pihak yang menang (sābiq) untuk memberi makan para temannya dari harta sabq, maka syarat tersebut batal karena merupakan syarat yang bertentangan dengan maksud akad, sehingga syarat itu batal, dan akadnya juga batal menurut pendapat yang dinyatakan secara naṣṣ, karena ini merupakan bentuk pemindahan kepemilikan harta dengan syarat yang menghalangi kesempurnaan taṣarruf. Maka apabila syaratnya batal, batal pula akadnya, sebagaimana jika seseorang menjual barang dengan harga seribu dengan syarat harus disedekahkan.
Adapun Abu Ishaq berkata: ada kemungkinan pendapat lain bahwa akadnya tidak batal, sebagaimana dikatakan dalam kasus seseorang menjadikan mahar untuk istrinya dua ribu dengan syarat agar ia memberi ayahnya seribu, bahwa syaratnya batal tapi mahar tetap sah.
Maka jika kita mengambil pendapat yang manṣūṣ, maka pihak yang berhak (mendapat sabq) gugur haknya. Apakah ia boleh menuntut kembali dengan ujrah al-miṡl? Maka hal ini kembali kepada dua wajah pendapat.
فصل: وإذا تناضلا لم يخل إما أن يكون الرمي مبادرة أو محاطة أو حوابي فإن كان مبادرة وهو أن يعقد على إصابة عدد من الرشق وأن من بدر منهما إلى ذلك مع تساويهما في الرمي كان ناضلاً فإن كان العقد على إصابة عشرة من ثلاثين نظرت فإن أصاب أحدهما عشرة من عشرين وأصاب الآخر تسعة من عشرين فالأول ناضل لأنه بادر إلى عدد الإصابة وإن أصاب كل واحد منهما عشرة من عشرين لم ينضل واحد منهما ويسقط رمي الباقي
PASAL: Apabila keduanya saling menandingi dalam lomba panah, maka tidak lepas dari tiga bentuk: mubādarah, muḥāṭhah, atau ḥawābī. Jika dalam bentuk mubādarah, yaitu akadnya atas dasar siapa yang lebih dahulu mengenai jumlah tertentu dari lemparan panah, maka siapa yang lebih dahulu mencapainya dengan tetap sama jumlah rancangannya, maka dialah pemenangnya (nāḍil).
Jika akadnya atas dasar mengenai sepuluh dari tiga puluh panah, maka diperinci: bila salah satu dari keduanya mengenai sepuluh dari dua puluh, dan yang lain mengenai sembilan dari dua puluh, maka yang pertama adalah nāḍil karena ia lebih dahulu mencapai jumlah yang disyaratkan.
Namun jika masing-masing mengenai sepuluh dari dua puluh, maka tidak ada yang dinyatakan menang, dan sisa panah yang belum dilepaskan menjadi gugur.
لأن الزيادة على عدد الإصابة غير معتد بها وإن أصاب الأول تسعة من عشرين وأصاب الآخر خمسة من عشرين فالنضال بحاله لأنه لم يستوف واحد منهما عدد الإصابة فيرميان فإن رمى الأول سهماً وأصاب فقد فلج وسقط رمي الباقي وإن رمى الأول خمسة فأخطأ في جميعها ورمى الثاني فأصاب في جميعها فإن الناضل هو الثاني ويسقط رمي ما بقي من الرشق لأن الأول أصاب تسعة من خمسة وعشرين وأصاب الثاني عشرة من خمسة وعشرين وإن أصاب الأول تسعة من تسعة عشر وأصاب الآخر ثمانية من تسعة عشر فرمى البادئ سهماً فأصاب فقد نضل ولا يرمي الثاني ما بقي من رشقه لأنه لا يستفيد به نضلاً ولا مساواة لأن الباقي من رشقه سهم وعليه إصابة سهمين فإن أصاب كل واحد منهما تسعة من عشرة ثم رمى البادئ فأصاب جاز للثاني أن يرمي لأنه ربما يصيب فيساويه.
Karena kelebihan dari jumlah yang disyaratkan untuk mengenai tidak dianggap. Jika yang pertama mengenai sembilan dari dua puluh, dan yang kedua mengenai lima dari dua puluh, maka naḍāl tetap berlaku karena belum ada satu pun dari keduanya yang mencapai jumlah syarat mengenai, maka keduanya melanjutkan melepaskan panah.
Jika yang pertama melepaskan satu panah lalu mengenai sasaran, maka ia telah menang (falaja) dan sisa panah tidak perlu dilepaskan. Namun, jika ia melepaskan lima panah dan meleset semuanya, lalu yang kedua melepaskan lima panah dan mengenai semuanya, maka nāḍil adalah yang kedua, dan sisa panah yang belum dilepaskan menjadi gugur. Karena yang pertama mengenai sembilan dari dua puluh lima, sedangkan yang kedua mengenai sepuluh dari dua puluh lima.
Jika yang pertama mengenai sembilan dari sembilan belas dan yang kedua mengenai delapan dari sembilan belas, lalu yang pertama melepaskan satu panah dan mengenai sasaran, maka ia telah naḍala, dan yang kedua tidak melepaskan sisa panahnya karena tidak bermanfaat baginya, baik untuk menang maupun menyamai, sebab sisa panahnya satu dan ia masih harus mengenai dua.
Namun jika masing-masing mengenai sembilan dari sepuluh, lalu yang pertama melepaskan satu panah dan mengenai sasaran, maka yang kedua boleh melepaskan panahnya karena mungkin saja ia mengenai dan menyamai lawannya.
فصل: وإن كان الرمي محاطة وهو أن يعقدا على إصابة عدد من الرشق وأن يتحاطا ما استويا فيه من عدد الإصابة ويفضل لأحدهما عدد الإصابة فيكون ناضلاً نظرت فإن كان العقد على إصابة خمسة من عشرين فأصاب كل واحد منهما خمسة من عشرة لم ينضل أحدهما الآخر لأنه لم يفضل له عدد من الإصابة فيرميان ما تبقى من الرشق لأنه يرجو كل واحد منهما أن ينضل فإن فضل لأحدهما بعد تساويهما في الرمي وإسقاط ما استويا فيه عدد الإصابة لم يخل إما أن يكون قبل إكمال الرشق أو بعده
PASAL: Jika lomba memanah itu muḥāṭah, yaitu keduanya berakad atas ketentuan mengenai jumlah anak panah yang harus mengenai sasaran, dan keduanya saling menggugurkan apa yang sama-sama mereka capai dari jumlah mengenai sasaran, dan kelebihan bagi salah satu dari keduanya dalam jumlah mengenai sasaran menjadikannya sebagai pemenang (nāḍil), maka diperhatikan: jika akad atas ketentuan mengenai lima dari dua puluh, lalu masing-masing dari keduanya mengenai lima dari sepuluh, maka tidak ada yang menundukkan yang lain, karena tidak ada kelebihan jumlah mengenai sasaran bagi salah satunya. Maka keduanya melanjutkan melepaskan sisa anak panah, karena masing-masing masih berharap bisa menundukkan yang lain. Jika kemudian terdapat kelebihan bagi salah satu dari keduanya setelah keduanya sama dalam jumlah panah yang mengenai sasaran dan setelah menggugurkan apa yang sama di antara keduanya dalam jumlah mengenai sasaran, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan: apakah terjadi sebelum penyempurnaan seluruh panah, atau sesudahnya.
فإن كان بعد إكمال الرشق بأن رمى أحدهما عشرين وأصابها ورمى الآخر فأصاب خمسة عشر فالأول هو الناضل لأنه يفضل له بعد المحاطة فيما استويا فيه عدد الإصابة وإن كان قبل كمال الرشق وطالب صاحب الأقل صاحب الأكثر برمي باقي الرشق نظرت فإن لم يكن له فائدة مثل أن يرمي الأول خمسة عشر وأصابها ورمى الثاني خمسة عشر فأصاب خمسة لم يكن له مطالبته لأن أكثر ما يمكن أن يصيب فيما بقي له وهو خمسة ويبقى للأول خمسة فينضله بها
Jika hal itu terjadi setelah penyempurnaan seluruh panah, yaitu salah satunya melepaskan dua puluh anak panah dan semuanya mengenai sasaran, sedangkan yang lain melepaskan dan mengenai lima belas, maka yang pertama adalah nāḍil, karena ia memiliki kelebihan dalam jumlah mengenai sasaran setelah digugurkan bagian yang sama di antara keduanya.
Dan jika hal itu terjadi sebelum penyempurnaan seluruh panah, lalu pemilik hasil yang lebih sedikit menuntut pemilik hasil yang lebih banyak agar melepaskan sisa anak panah, maka diperhatikan: jika tuntutan itu tidak ada faedahnya — seperti seseorang melepaskan lima belas anak panah dan semuanya mengenai sasaran, lalu yang kedua melepaskan lima belas dan mengenai lima, maka tidak ada hak baginya untuk menuntut — karena paling banyak yang bisa ia mengenai dari sisa panahnya, yaitu lima, dan sisa panah lawannya juga lima, maka lawannya tetap akan menundukkannya dengan kelebihan tersebut.
وإن كان له فيه فائدة بأن يرجو أن ينضل بأن يرمي أحدهما أحد عشر فيصيب ستة ويرمي الآخر عشرة فيصيب واحداً ثم يرمي صاحب الستة فيخطئ فيما بقي له من الرشق ويرمي صاحب الواحد فيصيب في جميع ما بقي له فينضله بخمسة أو يساويه بأن يرمي أحدهما خمسة عشر فيصيب منها عشرة ويرمي الآخر خمسة عشر فيصيب منها خمسة ثم يرمي صاحب العشرة فيخطئ في الجميع ويرمي صاحب الخمسة فيصيب فيساويه أو يقلل إصابته بأن يصيب أحدهما أحد عشر من خمسة عشر ويصيب الآخر سهمين من خمسة عشر
Dan jika dalam hal itu terdapat faedah baginya, yaitu ia masih berharap bisa menundukkan lawannya — seperti seseorang melepaskan sebelas anak panah dan mengenai enam, sedangkan yang lain melepaskan sepuluh dan hanya mengenai satu — kemudian pemilik enam panah meleset dalam seluruh sisa panahnya, dan pemilik satu panah mengenai seluruh sisa panahnya, maka ia akan menundukkannya dengan selisih lima panah, atau ia bisa menyamainya — seperti seseorang melepaskan lima belas dan mengenai sepuluh, lalu yang lain melepaskan lima belas dan mengenai lima, kemudian pemilik sepuluh panah meleset dalam seluruh sisa panahnya, dan pemilik lima panah mengenai semuanya, maka ia akan menyamainya — atau ia bisa mendekati jumlah yang mengenai sasaran, seperti seseorang mengenai sebelas dari lima belas, dan yang lain mengenai dua dari lima belas.
ثم يرمي صاحب الأحد عشر ما بقي له من رشقه فيخطئ في الجميع ويرمي صاحب السهمين فيصيب في الجميع فيصير له سبعة ويبقى لصاحبه أربعة فهو لأقلهما إصابة مطالبة الآخر بإكمال الرشق فيه وجهان: أحدهما ليس له مطالبته لأنه بدر إلى الإصابة مع تساويهما في الرمي بعد المحاطة فحكم له بالسبق والثاني له مطالبته لأن مقتضى المحاطة إسقاط ما استويا فيه من الرشق وقد بقي من الرشق بعضه.
Kemudian pemilik sebelas panah melepaskan sisa panahnya dan meleset seluruhnya, sedangkan pemilik dua panah melepaskan sisa panahnya dan semuanya mengenai sasaran, sehingga ia memiliki tujuh panah mengenai sasaran dan yang satunya hanya empat, maka menurut pendapat yang menyatakan bahwa pemilik hasil yang lebih sedikit berhak menuntut lawannya untuk menyempurnakan sisa panahnya terdapat dua wajah:
Pertama, ia tidak berhak menuntutnya, karena lawannya telah lebih dahulu mengenai sasaran saat keduanya sama dalam jumlah panah setelah muḥāṭah, maka ditetapkanlah kemenangan baginya.
Kedua, ia berhak menuntutnya, karena konsekuensi dari muḥāṭah adalah menggugurkan apa yang sama-sama mereka capai dari jumlah panah, dan masih tersisa sebagian dari panah yang belum dilepaskan.
فصل: وإن كان على العقد على جرابي وهو أن يشترطا إصابة عدد من الرشق على أن يسقط ما قرب من إصابة أحدهما ما بعد من إصابة الآخر فمن فضل له بعد ذلك مما اشترطا عليه من العدد كان له السبق فإن رمى أحدهما فأصاب من الهدف موضعاً بينه وبين الغرض قدر شبر حسب له فإن رمى الآخر فأصاب موضعاً بينه وبين الغرض قدر إصبع حسب له وأسقط ما رماه الأول فإن عاد الأول رمى فأصاب الغرض أسقط ما رماه صاحبه
PASAL: Jika akadnya berdasarkan jarābī, yaitu keduanya mensyaratkan mengenai sejumlah lemparan dengan ketentuan bahwa lemparan yang lebih dekat kepada sasaran menggugurkan lemparan yang lebih jauh dari lawannya, maka siapa yang setelah itu memiliki kelebihan dari jumlah yang disyaratkan, dialah yang berhak atas hadiah perlombaan (sabaq). Jika salah satunya melempar dan mengenai tempat di antara hadaf dan gharaḍ sejauh satu jengkal, maka lemparannya dihitung. Jika yang lain melempar dan mengenai tempat di antara hadaf dan gharaḍ sejauh satu jari, maka lemparan pertama digugurkan. Jika kemudian yang pertama melempar lagi dan mengenai gharaḍ, maka lemparan lawannya digugurkan.
وإن أصاب أحدهما الشن وأصاب الآخر العظم الذي في الشن فقد قال الشافعي رحمه الله من الرماة من قال إنه تسقط الإصابة من العظم ما كان أبعد منه قال الشافعي رحمه الله: وعندي أهما سواء لأن الغرض كله موضع الإصابة فإن استوفيا الرشق ولم يفضل أحدهما صاحبه بالعدد الذي اشترطاه فقد تكافآ وإن فضل أحدهما صاحبه بالعدد أخذ بالسبق وحكى عن بعض الرماة أنهما إذا أصابا أعلى الغرض لم يتقايسا قال: والقياس أن يتقايسا لأن أحدهما أقرب إلى الغرض من الآخر فأسقط الأقرب الأبعد كما لو أصاب أسفل الغرض أو جنبه.
Dan jika salah satunya mengenai syan dan yang lainnya mengenai tulang yang ada di dalam syan, maka Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: Sebagian ahli panah berpendapat bahwa jika seseorang mengenai tulang, maka lemparan yang lebih jauh darinya gugur. Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: Menurutku keduanya sama saja, karena seluruh gharaḍ adalah tempat yang sah untuk mengenai sasaran.
Jika keduanya telah menyelesaikan seluruh jumlah lemparan dan tidak ada yang melebihi lawannya dalam jumlah yang disyaratkan, maka keduanya dianggap seimbang. Namun jika salah satunya melebihi lawannya dalam jumlah yang disyaratkan, maka ia berhak atas hadiah perlombaan (sabaq).
Dan diriwayatkan dari sebagian ahli panah bahwa jika keduanya mengenai bagian atas gharaḍ, maka tidak bisa saling dibandingkan. Namun menurut qiyās, keduanya tetap dibandingkan, karena salah satunya lebih dekat kepada gharaḍ dibanding yang lain, maka yang lebih dekat menggugurkan yang lebih jauh, sebagaimana jika mengenai bagian bawah atau sisi gharaḍ.
فصل: وإن كان النضال بين حزبين جاز وحكى عن أبي علي بن أبي هريرة أنه قال: لا يجوز لأنه يأخذ كل واحد منهم بفعل غيره والمذهب الأول لما رويناه في أول الكتاب من حديث سلمة بن الأكوع وينصب كل واحد من الحزبين زعيماً يتوكل لهم في العقد ولا يجوز أن يكون زعيم الحزبين واحداً كما لا يجوز أن يكون وكيل المشتري والبائع واحداً ولا يجوز إلا على حزبين متساويي العدد لأن القصد معرفة الحذق فإذا تفاضلا في العدد فضل أحدهما الآخر بكثرة العدد لا بالحذق وجودة الرمي ويجب أن يتعين الرماة كما قلنا في نضال الاثنين ولا يجوز أن يتعينوا إلا بالاختيار
PASAL: Jika perlombaan memanah dilakukan antara dua kelompok maka hukumnya boleh. Diriwayatkan dari Abu ‘Ali bin Abī Hurairah bahwa ia berkata: tidak boleh, karena setiap orang dari mereka mengambil (keuntungan) dari perbuatan orang lain. Namun, pendapat yang benar adalah yang pertama, berdasarkan apa yang kami riwayatkan di awal kitab ini dari hadis Salamah bin al-Akwa‘.
Setiap kelompok harus menunjuk seorang pemimpin yang bertindak sebagai wakil mereka dalam akad. Tidak boleh pemimpin kedua kelompok itu satu orang, sebagaimana tidak boleh wakil penjual dan pembeli adalah orang yang sama.
Perlombaan ini hanya sah jika dilakukan antara dua kelompok yang sama jumlah anggotanya, karena tujuan perlombaan adalah untuk mengetahui keahlian. Jika jumlah mereka berbeda, maka salah satu pihak akan unggul karena jumlah, bukan karena keahlian dan ketepatan memanah.
Para pemanah harus ditentukan dengan jelas, sebagaimana telah dijelaskan dalam perlombaan antara dua orang, dan penetapan mereka tidak sah kecuali dengan kesepakatan.
فإن اقترع الزعيمان على أن من خرجت عليه قرعة أحدهما كان معه لم يجز لأنه ربما أخرجت القرعة الحذاق لأحد الحزبين والضعفاء للحزب الآخر فإن عدل بين الحزبين في القوة والضعف بالاختيار ثم اقترع الزعيمان على أن من خرجت قرعته على أحد الحزبين كان معه لم يجز لأنه عقد معاوضة فلم يجز تعيين المعقود عليه فيه بالقرعة كالبيع ويجب أن يكون على عدد من الرشق معلوم
Jika kedua pemimpin kelompok melakukan undian untuk menentukan bahwa siapa pun yang keluar namanya dari undian menjadi anggota salah satu kelompok, maka tidak boleh. Sebab bisa jadi undian itu menghasilkan para pemanah yang mahir untuk satu kelompok dan yang lemah untuk kelompok lainnya.
Jika kedua pemimpin telah menyamakan antara kedua kelompok dalam hal kekuatan dan kelemahan melalui pemilihan terlebih dahulu, kemudian mereka mengundi untuk menentukan siapa yang masuk ke kelompok tertentu, maka itu pun tidak boleh. Karena ini adalah akad mu‘āwaḍah (timbal balik), maka tidak boleh menentukan objek akad melalui undian, sebagaimana dalam jual beli.
Dan wajib bahwa perlombaan itu atas dasar jumlah lemparan (rasyq) yang diketahui.
فإن كان عدد كل حزب ثلاثة اعتبر أن يكون عدد الرشق له ثلث صحيح كالثلاث والستين وإن كانوا أربعة اعتبر أن يكون عدد الرشق له ربع صحيح كالأربعين والثمانين لأنه إذا لم يفعل ذلك بقي سهم ولا يمكن اشتراك جماعة في سهم واحد فإن خرج في أحد الحزبين من لا يحسن الرمي بطل العقد فيه لأنه بطل العقد فيه لأنه ليس بمحل في العقد وسقط من الحزب الآخر بإزائه واحد كما إذا بطل البيع في أحد العبدين سقط ما في مقابلته من الثمن
Jika jumlah setiap kelompok adalah tiga orang, maka jumlah rasyq (lemparan) harus dibagi tiga secara utuh, seperti tiga puluh tiga atau enam puluh tiga. Jika mereka berjumlah empat, maka jumlah rasyq harus dapat dibagi empat secara utuh, seperti empat puluh atau delapan puluh. Karena jika tidak demikian, maka akan tersisa satu anak panah, dan tidak mungkin beberapa orang berbagi satu anak panah.
Jika dalam salah satu kelompok terdapat orang yang tidak pandai memanah, maka batal akad pada pihak tersebut, karena ia bukanlah pihak yang layak untuk masuk dalam akad. Maka gugur pula satu orang dari kelompok lainnya sebagai pengimbang, sebagaimana jika batal jual beli atas salah satu dari dua budak, maka gugur pula bagian harga yang menjadi pasangan bagi budak tersebut.
وهل يبطل العقد في الباقي من الحزبين؟ فيه قولان بناء على تفريق الصفقة فإن قلنا لا يبطل في الباقي ثبت للحزبين الخيار في فسخ العقد لأن الصفقة تبعضت عليهم بغير اختيارهم فإن اختاروا البقاء على العقد وتنازعوا فيمن يخرج في مقابلة من الحزب الآخر فسخ العقد لأنه تعذر إمضاؤه على مقتضاه ففسخ ومن أصحابنا من قال: يبطل في الجميع قولاً واحداً لأن من في مقابلته من الحزب الآخر لا يتعين ولا سبيل إلى تعيينه بالقرعة فبطل في الجميع فإن نضل أحد الحزبين الآخر ففي قسمة المال بين الناضلين وجهان: أحدهما يقسم بينهما بالسوية كما يجب على المنضولين بينهم بالسوية فعلى هذا إن خرج فيهم من لم يصب استحق
Apakah akad batal pada anggota yang tersisa dari kedua kelompok? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dibangun atas dasar masalah tafrīq aṣ-ṣafqah (pembagian akad secara parsial).
Jika dikatakan bahwa tidak batal pada sisanya, maka tetap ada hak khiyār (pilihan) bagi kedua kelompok untuk membatalkan akad, karena akad telah terbagi atas mereka tanpa pilihan dari mereka. Jika mereka memilih tetap pada akad, lalu berselisih tentang siapa yang harus keluar sebagai pengganti dari pihak kelompok lawan, maka akad dibatalkan, karena tidak mungkin dilanjutkan sesuai konsekuensinya, maka batal.
Sebagian ulama kami mengatakan: akad batal pada keseluruhan pihak dengan satu pendapat, karena pihak yang menjadi pasangan dari kelompok lain tidak bisa ditentukan, dan tidak ada cara untuk menentukannya dengan undian, maka batal seluruhnya.
Jika salah satu kelompok menang atas kelompok lain, maka dalam pembagian harta (imbalan) di antara para pemenang terdapat dua pendapat:
Pertama, dibagi rata di antara mereka, sebagaimana para pemanah yang menang di antara dua orang dibagi rata. Maka berdasarkan pendapat ini, jika ada di antara mereka yang tidak mengenai sasaran, tetap berhak atas bagian.
والثاني تقسم بينهم على قدر إصابتهم لأنهم استحقوا بالإصابة فاختلف باختلاف الإصابة ويخالف ما لزم المنضولين فإن ذلك وجب بالالتزام والاستحقاق بالرمي فاعتبر بقدر الإصابة فعلى هذا إن خرج فيهم من لم يصب لم يستحق شيئاً وبالله التوفيق.
Pendapat kedua: dibagikan di antara mereka sesuai dengan kadar pencapaian (tingkat mengenai sasaran), karena mereka berhak atas imbalan tersebut melalui pencapaian, maka haknya berbeda-beda tergantung pada perbedaan pencapaian.
Ini berbeda dengan hak yang wajib bagi dua orang yang berlomba memanah, karena dalam kasus itu hak tersebut wajib karena komitmen dan karena hak diperoleh melalui aktivitas memanah. Maka dinilai berdasarkan kadar pencapaian.
Berdasarkan pendapat ini, jika di antara mereka ada yang tidak mengenai sasaran, maka ia tidak berhak atas bagian apa pun. Dan hanya kepada Allah tempat memohon taufik.
باب بيان الإصابة والخطأ في الرمي
إذا عقد على إصابة الغرض فأصاب الشن أو الجريد الذي يشد فيه الشن أو العري وهو السير الذي يشد به الشن على الجريد حسب له لأن ذلك كله من الغرض وإن أصاب العلاقة ففيه قولان: أحدهما يحسب له لأنه من جملة الغرض ألا ترى أنه إذا مد امتد معه فأشبه العري والثاني لا يحسب لأن العلاقة ما يعلق به الغرض فأما الغرض فهو الشن وما يحيط به وإن شرط إصابة الخاصرة وهو الجنب من اليمين واليسار فأصاب غيرهما لم يحسب له لأنه لم يصب الخاصرة
PASAL: Penjelasan tentang kenaan dan kesalahan dalam memanah
Apabila akad dilakukan untuk mengenai gharaḍ (sasaran), lalu mengenai syan (wadah kulit) atau jarīd (batang kurma) yang padanya syan diikat, atau mengenai ‘urī yaitu tali yang mengikat syan pada jarīd, maka dihitung baginya karena semua itu termasuk bagian dari gharaḍ. Namun jika mengenai ‘alāqah (tali gantung), maka ada dua pendapat:
Pertama, dihitung baginya karena ‘alāqah termasuk bagian dari gharaḍ. Bukankah engkau melihat bahwa ketika ditarik maka ia ikut tertarik, sehingga menyerupai ‘urī.
Kedua, tidak dihitung baginya karena ‘alāqah adalah sesuatu yang digunakan untuk menggantung gharaḍ, adapun gharaḍ itu sendiri adalah syan dan apa yang mengelilinginya.
Jika disyaratkan harus mengenai khāṣirah (sisi kanan atau kiri dari gharaḍ) namun mengenai selainnya, maka tidak dihitung baginya karena tidak mengenai khāṣirah.
وإن شرط إصابة الشن فأصاب العروة وهو السير أو العلاقة لم يحسب لأن ذلك كله غير الشن فإن أصاب سهماً في الغرض فإن كان السهم متعلقاً بنصله وباقيه خارج الغرض لم يحسب له ولا عليه لأن بينه وبين الغرض طول السهم ولا يدري لو لم يكن هذا السهم هل كان يصيب الغرض أم لايصيب وإن كان السهم قد غرق في الغرض إلى فوقه حسب له لأن العقد على إصابة الغرض ومعلوم أنه لو لم يكن هذا لكان يصيب الغرض
Dan jika disyaratkan mengenai asy-syinn lalu mengenai al-‘urwah yaitu tali, atau al-‘alāqah, maka tidak dihitung karena semua itu bukan asy-syinn. Jika mengenai anak panah yang berada di sasaran, maka jika anak panah itu hanya menancap pada mata panahnya dan sisanya di luar sasaran, maka tidak dihitung untuknya dan tidak pula atasnya, karena antara anak panah itu dan sasaran terdapat panjang anak panah, dan tidak diketahui apakah seandainya anak panah itu tidak ada, ia akan mengenai sasaran atau tidak. Namun jika anak panah itu tenggelam ke dalam sasaran sampai melebihi bagian atasnya, maka dihitung untuknya, karena akadnya adalah mengenai sasaran, dan diketahui bahwa seandainya anak panah yang lain itu tidak ada, maka ia pasti mengenai sasaran.
فإن خرج السهم من القوس فهبت ريح فنقلت الغرض إلى موضع آخر فأصاب السهم موضعه حسب له وإن أصاب الغرض في الموضع الذي انتقل إليه حسب عليه في الخطأ لأنه أخطأ في الرمي وإنما أصاب بفعل الريح لا بفعله وإن رمى وفي الجو ريح ضعيفة فأرسل السهم مفارقاً للغرض وأمال يده ليصيب مع الريح فأصاب الغرض أو كانت ريح خلفه فنزع نزعاً قريباً ليصيب مع معاونة الريح فأصاب حسب له لأنه أصاب بفراهته وحذقه وإن أخطأ حسب عليه لأنه أخطأ بسوء رميه ولأنه لو أصاب مع الريح لحسب له فإذا أخطأ معها حسب عليه
Jika anak panah keluar dari busur lalu angin bertiup dan memindahkan sasaran ke tempat lain, kemudian anak panah mengenai tempat tersebut, maka dihitung untuknya. Namun jika mengenai sasaran di tempat yang berpindah itu, maka dihitung sebagai kesalahan atasnya, karena ia keliru dalam melempar dan mengenai sasaran itu terjadi karena perbuatan angin, bukan perbuatannya. Dan jika ia melempar dalam keadaan di udara terdapat angin lemah, lalu ia melepaskan anak panah dengan posisi menjauh dari sasaran dan memiringkan tangannya agar mengenai sasaran dibantu oleh angin, lalu ia mengenai sasaran, atau angin berada di belakangnya lalu ia menarik panah dengan tarikan ringan agar mengenai sasaran dengan bantuan angin lalu ia mengenainya, maka dihitung untuknya karena ia mengenainya dengan kecerdikannya dan kepandaiannya. Dan jika ia meleset, maka dihitung atasnya karena itu merupakan kesalahan lemparannya, dan karena jika ia mengenai sasaran dengan bantuan angin maka dihitung untuknya, maka jika ia meleset bersama angin, dihitung atasnya.
وإن كانت الريح قوية لا حيلة له فيها لم يحسب له إذا أصاب لأنه لم يصب بحسن رميه ولا يحسب عليه إذا أخطأ لأنه لم يخطئ بسوء رميه وإنما أخطأ بالرمي في غير وقته وإن رمى في غير ريح فثارت ريح بعد خروج السهم من القوس فأخطأ لم يحسب عليه لأنه لم يخطئ بسوء رميه وإنما أخطأ بعارض الريح وإن أصاب فقد قال بعض أصحابنا فيه وجهان بناء على القولين في إصابة السهم المزدلف وعندي أنه لا يحسب له قولاً واحداً لأن المزدلف إنما أصاب الغرض بحدة رميه ومع الريح لا يعلم أنه أصاب برميه وإن رمى سهماً فأصاب الغرض بفوقه لم يحسب له لأن ذلك من أسوأ الرمي وأردئه.
Dan jika angin bertiup kencang yang ia tidak punya daya untuk mengatasinya, maka tidak dihitung untuknya jika ia mengenai sasaran, karena ia tidak mengenainya dengan baiknya lemparan; dan tidak pula dihitung atasnya jika ia meleset, karena ia tidak meleset karena buruknya lemparan, tetapi karena ia melempar pada waktu yang tidak tepat. Dan jika ia melempar pada saat tidak ada angin, lalu angin muncul setelah anak panah keluar dari busur sehingga meleset, maka tidak dihitung atasnya, karena ia tidak meleset karena buruknya lemparan, tetapi karena gangguan angin. Dan jika ia mengenai sasaran, sebagian dari para sahabat kami mengatakan terdapat dua wajah dalam hal ini, berdasarkan dua pendapat tentang mengenai sasaran oleh anak panah yang muzdalif. Menurutku, tidak dihitung untuknya menurut satu pendapat saja, karena anak panah muzdalif mengenai sasaran karena tajamnya lemparan, sedangkan dengan bantuan angin, tidak diketahui apakah ia mengenai sasaran karena lemparannya. Dan jika ia melempar anak panah lalu mengenai sasaran dengan bagian fawq-nya (bagian atas anak panah yang dekat tali busur), maka tidak dihitung untuknya karena itu termasuk jenis lemparan yang paling buruk dan paling hina.
فصل: وإن انكسر القوس أو انقطع الوتر أو أصابت يده ريح فرمى وأصاب حسب له لأن إصابته مع اختلاف الآلة أدل على حذقه فإن أخطأ لم يحسب عليه في الخطأ لأنه لم يخطئ بسوء رميه وإنما أخطأ بعارض وإن أغرق السهم فخرج من الجانب الآخر نظرت فإن أصاب حسب له لأن إصابته مع الإغراق أدل على حذقه فإن أخطأ لم يحسب عليه ومن أصحابنا من قال: يحسب عليه في الخطأ لأنه أخطأ في مد القوس والمنصوص هو الأول لأن الإغراق ليس من سوء الرمي وإنما هو لمعنى قبل الرمي فهو كانقطاع الوتر وانكسار القوس
PASAL: Jika busur patah, atau talinya putus, atau tangannya terkena angin lalu ia memanah dan mengenai sasaran, maka dihitung baginya karena mengenai sasaran dengan perubahan alat lebih menunjukkan kecakapannya. Jika ia meleset, tidak dihitung sebagai kesalahan karena ia tidak meleset karena buruknya memanah, tetapi karena sebab luar. Jika panah menembus hingga keluar dari sisi lain, maka dilihat: jika mengenai, dihitung baginya karena mengenai sasaran dengan tembus lebih menunjukkan kecakapannya. Jika meleset, tidak dihitung sebagai kesalahan. Dan sebagian dari sahabat kami berkata: dihitung sebagai kesalahan karena ia salah dalam menarik busur. Namun pendapat yang masyhur adalah yang pertama, karena tembus bukanlah bagian dari buruknya memanah, tetapi disebabkan sesuatu sebelum memanah, maka hukumnya seperti tali putus dan busur yang patah.
وإن انكسر السهم بعد خروجه من القوس وسقط دون الغرض لم يحسب عليه في الخطأ لأنه إنما لم يصب لفساد الآلة لا لسوء الرمي وإن أصاب بما فيه النصل حسب له لأن إصابته مع فساد الآلة دل على حذقه وإن أصابه بالموضع الآخر لم يحسب له لأنه لم يصب ولم يحسب عليه لأن خطأه لفساد الآلة لا لسوء الرمي.
Dan jika anak panah patah setelah keluar dari busur lalu jatuh sebelum mengenai sasaran, tidak dihitung sebagai kesalahan, karena ia tidak mengenai sasaran akibat rusaknya alat, bukan karena buruknya memanah. Jika mengenai dengan bagian yang ada mata panahnya, maka dihitung baginya, karena mengenai sasaran dengan alat yang rusak menunjukkan kecakapannya. Namun jika mengenai dengan bagian lain, tidak dihitung baginya karena itu bukan mengenai, dan tidak dihitung pula sebagai kesalahan karena melesetnya disebabkan rusaknya alat, bukan karena buruknya memanah.
فصل: وإن عرض دون الغرض عارض من إنسان أو بهيمة نظرت فإن رد السهم ولم يصل لم يحسب عليه لأنه لم يصل للعارض لا لسوء الرمي وإن نفذ السهم وأصاب حسب له لأن إصابته مع العارض أدل على حذقه وحكي أن الكسعي كان رامياً فخرج ذات ليلة فرأى ظبياً فرمى فأنفذه وخرج السهم فأصاب حجراً وقدح فيه ناراً فرأى ضوء النار فظن أنه أخطأ فكسر القوس وقطع إبهامه فلما أصبح رأى الظبي صريعاً قد نفذ فيه سهمه فندم فضربت به العرب مثلاً وقال الشاعر:
ندمت ندامة الكسعي لما … رأت عيناه ما صنعت يداه
PASAL: Jika ada sesuatu yang menghalangi antara pemanah dan sasaran, baik manusia maupun hewan, maka dilihat keadaannya: jika anak panah terpantul dan tidak sampai ke sasaran, maka tidak dihitung kesalahan atasnya, karena tidak sampai ke penghalang itu bukan karena buruknya lemparan. Namun jika anak panah menembus dan mengenai sasaran, maka dihitung baginya karena mengenai sasaran meskipun ada penghalang menunjukkan lebih hebatnya kepandaian.
Diriwayatkan bahwa al-Kusāʿī adalah seorang pemanah ulung. Pada suatu malam ia keluar dan melihat seekor kijang, lalu ia memanahnya hingga anak panah itu menembus dan mengenai batu sehingga memercikkan api. Ia melihat cahaya api itu dan menyangka ia telah meleset, lalu ia mematahkan busurnya dan memotong ibu jarinya. Ketika pagi tiba, ia mendapati kijang itu mati terbunuh, anak panahnya telah menembus tubuhnya, maka ia menyesal. Maka orang Arab pun menjadikannya sebagai perumpamaan. Dan seorang penyair berkata:
Aku menyesal seperti penyesalan al-Kusāʿī ketika… matanya melihat apa yang telah dilakukan oleh tangannya.
وإن رمى فعارضه عارض فعثر به السهم وجاوز الغرض ولم يصب ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبو إسحاق أنه يحسب عليه في الخطأ لأنه أخطأ بسوء الرمي للعارض لأنه لو كان للعارض تأثير لوقع سهمه دون الغرض فلما جاوزه ولم يصب دل على أنه أخطأ بسوء رميه فحسب عليه في الخطأ والثاني أنه لا يحسب عليه لأن العارض قد يشوش الرمي فيقصر عن الغرش وقد يجاوزه وإن رمى السهم فأصاب الأرض وازدلف فأصاب الغرض ففيه قولان: أحدهما يحسب لأنه أصاب الغرض بالنزعة التي أرسلها وما عرض دونها من الأرض لا يمنع الاحتساب كما لو عرض دونه شيء فهتكه وأصاب الغرض
Dan jika ia memanah lalu ada sesuatu yang menghalangi, lalu anak panah membentur penghalang itu dan melampaui sasaran namun tidak mengenainya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama —dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq— dihitung kesalahan atasnya, karena ia salah melempar disebabkan buruknya lemparan terhadap penghalang. Sebab, jika penghalang itu memang berpengaruh, niscaya anak panah akan jatuh sebelum sampai sasaran. Maka ketika anak panah itu melampaui sasaran dan tidak mengenainya, hal itu menunjukkan bahwa ia salah karena buruknya lemparan, maka dihitung kesalahan atasnya.
Pendapat kedua: tidak dihitung kesalahan atasnya karena penghalang bisa saja mengacaukan lemparan, sehingga bisa saja menyebabkan lemparan itu pendek dari sasaran atau bahkan melampauinya.
Dan jika ia memanah lalu anak panah mengenai tanah dan memantul lalu mengenai sasaran, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama, dihitung karena ia mengenai sasaran dengan hentakan saat melepaskannya, dan apa pun yang dilalui anak panah di antara keduanya, seperti tanah, tidak mencegah dihitungnya hasil lemparan itu, sebagaimana jika ada benda lain di depannya lalu ditembus oleh anak panah dan mengenai sasaran.
والثاني لا يحسب له لأن السهم خرج من الرمي إلى غير الغرض وإنما أعانته الأرض حتى ازدلف عنها إلى الغرض فلم يحسب له وإن ازدلف ولم يصب الغرض ففيه وجهان: أحدهما يحسب عليه في الخطأ لأنه إنما ازدلف بسوء رميه لأن الحاذق لا يزدلف سهمه والثاني لا يحسب عليه لأن الأرض تشوش السهم وتزيله عن سنته فإذا أخطأ لم يكن من سوء رميه.
Dan pendapat kedua: tidak dihitung baginya, karena anak panah telah keluar dari lintasan menuju selain sasaran, lalu dibantu oleh tanah hingga memantul darinya menuju sasaran, maka tidak dihitung baginya.
Dan jika anak panah memantul tetapi tidak mengenai sasaran, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama, dihitung kesalahan atasnya karena pantulan itu terjadi karena buruknya lemparan, sebab pemanah yang mahir tidak akan memantul anak panahnya.
Pendapat kedua, tidak dihitung kesalahan atasnya karena tanah bisa mengacaukan arah anak panah dan menyimpangkannya dari jalurnya, sehingga ketika meleset, itu bukan karena buruknya lemparan.
فصل: وإن كان العقد على إصابة موصوفة نظرت فإن كان على القرع فأصاب الغرض وخزق أو خسق أو مرق حسب له لأن الشرط هو الإصابة وقد حصل ذلك في هذه الأنواع.
PASAL: Jika akadnya atas dasar iṣābah yang memiliki sifat tertentu, maka dilihat. Jika disyaratkan mengenai (al-qara‘), lalu mengenai sasaran dan menembus (khaẓaqa), atau menancap di dalamnya (khasaḳa), atau tembus keluar darinya (maraqa), maka dihitung baginya (ḥusiba lahu), karena syaratnya adalah mengenai dan itu telah tercapai dalam jenis-jenis ini.
فصل: وإن كان الشرط هو الخسق نظرت فغن أصاب الغرض وثبت فيه ثم سقط حسب له لأن الخسق هو أن يثبت وقد ثبت فلم يؤثر زواله بعد ذلك كما لو ثبت ثم نزعه إنسان فإن ثقب الموضع بحيث يصلح لثبوت السهم لكنه لم يثبت ففيه قولان: أحدهما أنه يحسب لأن الخسق أن يثقب بحيث يصلح لثبوت السهم وقد فعل ذلك ولعله لم يثبت لسعة الثقب أو لغلظ لقيه والثاني وهو الصحيح أنه لا يحسب له لأن الأصل عدم الخسق وأنه لم يكن فيه من القوة ما يثبت فيه فلم يحسب له
PASAL: Jika syaratnya adalah khasaq (menancap dan menetapnya anak panah di sasaran), maka dilihat: jika ia mengenai sasaran dan menancap di dalamnya kemudian jatuh, maka dihitung baginya karena khasaq adalah menetapnya anak panah, dan anak panah itu telah menetap, sehingga tidak berpengaruh jika kemudian jatuh, sebagaimana jika telah menetap lalu dicabut oleh seseorang.
Jika anak panah hanya menembus tempat tersebut sehingga layak untuk menetap tetapi tidak menetap, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pendapat pertama mengatakan bahwa dihitung baginya karena khasaq adalah menembus dengan cara yang memungkinkan anak panah untuk menetap, dan hal itu telah terjadi. Mungkin anak panah tidak menetap karena lubang terlalu besar atau karena bagian yang terkena terlalu tebal.
Pendapat kedua —dan ini yang ṣaḥīḥ— bahwa tidak dihitung baginya, karena hukum asalnya tidak terjadi khasaq, dan tidak ada kekuatan yang cukup untuk membuat anak panah menetap di dalamnya, maka tidak dihitung baginya.
وإن كان الغرض ملصقاً بالهدف فأصابه السهم ولم يثبت فيه فقال الرامي قد خسق إلا أنه لم يثبت فيه لغلظ لقيه من نواة أو حصاة وقال رسيله لم يخسق نظرت فإن لم يعلم موضع الإصابة من الغرض فالقول قول الرسيل لأن الأصل عدم الخسق وهل يحلف ينظر فيه فإن فتش الغرض فلم يكن فيه شيء يمنع من ثبوته لم يحلف لأن ما يدعيه الرامي غير ممكن وإن كان هناك ما يمنع من ثبوته حلف لأن ما يدعيه الرامي غير ممكن وإن علم موضع الإصابة ولم يكن فيه ما يمنع من ثبوته فالقول قول الرسيل من غير يمين لأن ما يدعيه الرامي غير ممكن وإن كان فيه ما يمنع الثبوت ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول الرامي لأن المانع شهد له
Dan jika sasaran dilekatkan pada hadaf (bidikan besar), lalu anak panah mengenainya namun tidak menetap di dalamnya, kemudian pemanah berkata: “Anak panahku telah khasaq, hanya saja tidak menetap karena bagian yang terkena keras, seperti biji atau batu kecil,” sedangkan lawannya berkata: “Tidak terjadi khasaq,” maka dilihat: jika tidak diketahui tempat tepat anak panah mengenai sasaran, maka ucapan lawannya diterima karena hukum asalnya tidak terjadi khasaq. Apakah ia harus bersumpah? Maka dilihat:
Jika sasaran diperiksa dan tidak ditemukan sesuatu yang dapat menghalangi menetapnya anak panah, maka tidak diminta sumpah, karena klaim pemanah tidak mungkin terjadi (menetap lalu tidak menetap tanpa sebab). Namun jika ditemukan sesuatu yang bisa mencegah anak panah menetap, maka lawannya bersumpah karena klaim pemanah mungkin terjadi (iḥtimāl).
Jika tempat terkenanya anak panah diketahui dan tidak ada sesuatu yang menghalangi untuk menetap, maka ucapan lawan diterima tanpa sumpah karena klaim pemanah tidak mungkin terjadi.
Namun jika di tempat tersebut ada sesuatu yang mencegah menetap, maka ada dua pendapat: salah satunya, ucapan pemanah diterima karena adanya penghalang menjadi bukti yang menguatkan klaimnya.
والثاني أن القول قول الرسيل لأن الأصل عدم الخسق والمانع لا يدل على أنه لو لم يكن لكان خاسقاً ولعله لو لم يكن مانع لكان هذا منتهى رميه فلا يحكم له بالخسق بالشك وإن كان في الشن خرق أو موضع بال فوقع فيه السهم وثبت في الهدف نظرت فإن كان الموضع الذي ثبت فيه في صلابة الشن اعتد به لأنا نعلم أنه لو كان الشن صحيحاً لثبت فيه وإن كان دون الشن في الصلابة كالتراب والطين الرطب لم يعتد له ولا عليه لأنا لنعلم لأنه لو كان صحيحاً هل كان يثبت فيه أم لا فيرد إليه السهم حتى يرميه وإن خرمه وثبت ففيه قولان: أحدهما يعتد به لأن الخسق هو أن يثبت النصل وقد ثبت
Dan pendapat kedua: ucapan lawan (رسيل) yang diterima karena hukum asalnya tidak terjadi khasaq, dan keberadaan penghalang tidak menunjukkan bahwa jika penghalang itu tidak ada maka pasti akan terjadi khasaq. Mungkin saja jika tidak ada penghalang, itulah batas kekuatan lemparannya, maka tidak bisa dihukumi telah terjadi khasaq hanya berdasarkan dugaan.
Jika pada syan (sasaran) terdapat lubang atau bagian yang sudah rusak, lalu anak panah mengenainya dan menancap pada hadaf, maka dilihat: jika tempat yang ditancapinya setara kekerasannya dengan bagian utuh dari syan, maka dihitung baginya, karena kita tahu bahwa jika syan itu masih utuh, anak panah akan menetap padanya.
Namun jika tempat itu lebih lunak dari syan, seperti tanah atau lumpur basah, maka tidak dihitung baginya dan tidak pula atasnya, karena kita tidak tahu apakah jika syan itu utuh, anak panah akan menetap atau tidak, maka anak panah dikembalikan untuk dilempar ulang.
Jika anak panah menembus dan menetap, maka dalam hal ini ada dua pendapat: pendapat pertama, dihitung baginya karena khasaq adalah menetapnya mata anak panah, dan itu telah terjadi.
والثاني لا يعتد به لأن الخسق أن يثبت السهم في جميع الشن ولم يوجد ذلك فإن مرق السهم فقد قال الشافعي رحمه الله هو عندي خاسق ومن الرماة من لا يحتسبه فمن أصحابنا من قال: يحتسب له قولاً واحداً وما حكاه من غيره ليس بقول له لأن معنى الخسق قد وجد وزيادة ولأنه لو مرق والشرط القرع حسب فكذلك إذا مرق والشرط الخسق ومن أصحابنا من قال: فيه قولان: أحدهما يحسب له لما ذكرناه
Dan pendapat kedua: tidak dihitung baginya karena khasaq adalah menetapnya anak panah di seluruh bagian syan, dan itu tidak terjadi.
Jika anak panah menembus (maraq) sasaran, maka Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: “Menurutku itu adalah khasaq.” Sebagian pemanah tidak menghitungnya. Maka sebagian ulama kami berkata: dihitung baginya secara qaulan wāḥidan, dan apa yang diceritakan dari selainnya bukanlah pendapat Imam, karena makna khasaq telah terpenuhi, bahkan lebih. Sebab, jika anak panah menembus dan syaratnya adalah qar‘ (mengenai), maka dihitung; maka begitu pula jika menembus dan syaratnya adalah khasaq.
Sebagian ulama kami berkata: dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama: dihitung baginya sebagaimana telah disebutkan.
والثاني لا يحسب له لأن الخسق أن يثبت وما ثبت ولأن في الخسق زيادة حذق وصنعة من نزع القوس بمقدار الخسق والتعليل الأول أصح لأن هذا يبطل به إذا مرق والشرط القرع وإن أصاب الشن ومرق وثبت في الهدف ووجد على نصله قطعة من الشن والهدف دون الشن في الصلابة فقال الرامي هذا الجلد قطعه سهمي بقوته وقال الرسيل بل كان في الشن ثقبة وهذه الجلدة كانت قد انقطعت من قبل فحصلت في السهم فالقول قول الرسيل لأن الأصل عدم الخسق.
Dan pendapat kedua: tidak dihitung baginya, karena khasaq adalah menetapnya anak panah, dan itu tidak terjadi. Selain itu, khasaq menunjukkan tingkat kemahiran dan keterampilan lebih, yaitu menarik busur dengan kekuatan yang pas hingga anak panah dapat menetap, dan ini tidak terjadi. Namun, alasan pertama lebih kuat, karena pendapat ini akan membatalkan hukum jika anak panah menembus padahal syaratnya hanya qar‘ (mengenai).
Jika anak panah mengenai syan, menembusnya, lalu menetap di hadaf, dan didapati pada mata panah sepotong kulit dari syan, sedangkan hadaf lebih lunak daripada syan, lalu si pemanah berkata: “Kulit ini terpotong oleh panahku karena kekuatannya,” sementara lawannya berkata: “Ada lubang pada syan dan kulit ini telah terlepas sebelumnya lalu menempel pada anak panah,” maka ucapan lawannya yang diterima, karena hukum asalnya tidak terjadi khasaq.
فصل: إذا مات أحد الراميين أو ذهبت يده بطل العقد لأن المقصود معرفة حذقه وقد فات ذلك فبطل العقد كما لو هلك المبيع وإن رمدت عينه أو مرض لم يبطل العقد لأنه يمكن استيفاء المعقود عليه بعد زوال العذر وإن أراد أن يفسخ فإن قلنا إنه كالجعالة كان حكمه حكم الفسخ من غير عذر وقد بيناه في أول الكتاب وإن قلنا أنه كالإجارة جاز له أن يفسخ لأنه تأخر المعقود عليه فملك الفسخ كما يملك في الإجارة وإن أراد أحدهما أن يؤخر الرمي للدعة فإن قلنا إنه كالإجارة أجبر عليه كما أجبر في الإجارة وإن قلنا إنه كالجعالة لم يجبر كما لم يجبر في الجعالة.
PASAL: Jika salah satu dari dua pemanah meninggal atau tangannya hilang, maka batal akadnya karena tujuan akad adalah untuk mengetahui kepandaiannya, dan hal itu telah gugur, maka batal akad sebagaimana jika barang yang dijual rusak. Namun jika matanya sakit atau ia sakit, maka akad tidak batal karena masih memungkinkan untuk melaksanakan isi akad setelah hilangnya uzur. Jika ia ingin membatalkan, maka jika kita mengatakan bahwa akad ini seperti ju‘ālah, maka hukumnya seperti pembatalan tanpa uzur, dan telah kami jelaskan pada awal kitab. Namun jika kita mengatakan bahwa akad ini seperti ijārah, maka boleh baginya membatalkannya karena pelaksanaan isi akad tertunda, maka ia memiliki hak membatalkan sebagaimana dalam ijārah. Jika salah satunya ingin menunda memanah karena ingin istirahat, maka jika kita mengatakan bahwa akad ini seperti ijārah, maka ia dipaksa melakukannya sebagaimana dalam ijārah. Namun jika kita mengatakan bahwa akad ini seperti ju‘ālah, maka ia tidak dipaksa sebagaimana tidak dipaksa dalam ju‘ālah.
كتاب إحياء الموات
مدخل
…
كتاب إحياء الموات
يستحب إحياء الموات لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أحيا أرضاً ميتة فله فيها أجر وما أكله العوافي منها فهو له صدقة” وتملك به الأرض لما روى سعيد بن زيد رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من أحيا أرضاً ميتة فهي له” ويجوز ذلك من غير إذن الإمام للخبر ولأنه تملك مباح فلم يفتقر إلى إذن الإمام كالاصطياد.
Kitab Iḥyā’ al-Mawāt
Pendahuluan
…
Kitab Iḥyā’ al-Mawāt
Disunahkan menghidupkan tanah mati karena diriwayatkan dari Jābir RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menghidupkan tanah mati maka ia mendapat pahala, dan apa yang dimakan oleh binatang liar darinya maka itu menjadi sedekah baginya.” Dan kepemilikan tanah itu diperoleh dengan menghidupkannya, karena diriwayatkan dari Sa‘īd bin Zayd RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka itu menjadi miliknya.” Dan hal itu boleh dilakukan tanpa izin imam berdasarkan hadits, dan karena itu adalah bentuk kepemilikan yang mubah, maka tidak membutuhkan izin imam, sebagaimana perburuan.
فصل: وأما الموات الذي جرى عليه الملك وباد أهله ولم يعرف مالكه ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يملك بالإحياء لما روى طاوس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “عادي الأرض لله ورسوله ثم هي لكم بعد” ولأنه إن كان في دار الإسلام فهو كاللقطة التي لا يعرف مالكها وإن كان في دار الحرب فهو كالركاز والثاني لا يملك لأنه إن كان في دار الإسلام فهو لمسلم ولذمي أو لبيت المال فلا يجوز إحياؤه وإن كان في دار الحرب جاز أن يكون لكافر لا يحل ماله أو لكافر لم تبلغه الدعوة فلا يحل ماله ولا يجوز تملكه
PASAL: Adapun tanah mati yang sebelumnya dimiliki lalu penduduknya punah dan tidak diketahui siapa pemiliknya, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, tanah itu dimiliki dengan cara menghidupkannya (ihyā’) berdasarkan riwayat dari Ṭāwūs bahwa Nabi SAW bersabda: “Tanah ‘ādī adalah milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian menjadi milik kalian setelah itu”, dan karena jika tanah itu berada di dalam wilayah Islam maka hukumnya seperti luqaṭah yang tidak diketahui pemiliknya, dan jika berada di wilayah harbi maka seperti rikāz.
Kedua, tanah itu tidak dapat dimiliki karena jika berada di wilayah Islam, maka kemungkinan milik seorang Muslim, atau seorang dzimmī, atau milik Bayt al-Māl, maka tidak boleh dihidupkan. Dan jika berada di wilayah harbi, bisa jadi itu milik seorang kafir yang hartanya tidak halal, atau milik kafir yang belum sampai dakwah kepadanya, maka hartanya tidak halal dan tidak boleh dimiliki.
والثالث أنه إن كان في دار الإسلام لم يملك وإن كان في دار الحرب ملك لأن ما كان في دار الإسلام فهو في الظاهر لمن له حرمة وما كان في دار الحرب فهو في الظاهر لمن لا حرمة له ولهذا ما يوجد في دار الحرب يخمس وما يوجد في دار الإسلام يجب تعريفه وإن قاتل الكفار عن أرض ولم يحيوها ثم ظهر المسلمون عليها ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز أن تملك بالإحياء بل هي غنيمة بين الغانمين لأنهم لما منعوا عنها صاروا فيها كالمتحجرين فلم تملك بالإحياء والثاني أنه يجوز أن تملك بالإحياء لأنهم لم يحدثوا فيها عمارة فجاز أن تملك بالإحياء كسائر الموات.
dan pendapat ketiga, jika tanah itu berada di wilayah Islam maka tidak dimiliki, dan jika berada di wilayah harbi maka dimiliki, karena apa yang berada di wilayah Islam secara lahir adalah milik orang yang memiliki kehormatan, sedangkan apa yang berada di wilayah harbi secara lahir adalah milik orang yang tidak memiliki kehormatan. Oleh karena itu, apa yang ditemukan di wilayah harbi boleh diambil seperlimanya (yukhammasu), sedangkan apa yang ditemukan di wilayah Islam wajib diumumkan (yu‘arrafu).
Jika orang-orang kafir berperang mempertahankan tanah namun tidak menghidupkannya, kemudian kaum Muslimin menguasainya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak boleh dimiliki dengan cara menghidupkannya, melainkan menjadi ghanimah bagi para mujahid, karena mereka (kafir) telah menghalangi kaum Muslimin darinya maka kedudukannya seperti mutaḥajjir, sehingga tidak dapat dimiliki melalui iḥyā’.
Kedua, boleh dimiliki dengan cara menghidupkannya karena mereka belum melakukan pembangunan di atasnya, maka boleh dimiliki melalui iḥyā’ sebagaimana tanah mati lainnya.
فصل: وما يحتاج إليه لمصلحة العامر من المرافق كحريم البئر وفناء الدار والطريق ومسيل الماء لا يجوز إحياؤه لأنه تابع للعامر فلا يملك بالإحياء ولأنا لو جوزنا إحياءها أبطلنا الملك في العامر على أهله وكذلك ما بين العامر من الرحاب والشوارع ومقاعد الأسواق لا يجوز تملكه بالإحياء لأن الشرع قد ورد بإحياء الموات وهذا من جملة العامر لنا لو جوزنا ذلك ضيقنا على الناس في أملاكهم وطرقهم وهذا لا يجوز.
PASAL: Apa yang dibutuhkan untuk kemaslahatan bangunan yang sudah ada, seperti ḥarīm sumur, fanā’ rumah, jalan, dan aliran air, tidak boleh dihidupkan karena ia merupakan bagian dari bangunan yang sudah ada, maka tidak dimiliki dengan iḥyā’. Juga karena jika kita membolehkan iḥyā’-nya, berarti kita membatalkan kepemilikan atas bangunan yang sudah ada dari para pemiliknya. Demikian pula tanah-tanah lapang di antara bangunan yang sudah ada seperti tanah kosong, jalan umum, dan tempat duduk di pasar, tidak boleh dimiliki dengan cara iḥyā’, karena syariat hanya membolehkan iḥyā’ al-mawāt, sedangkan ini termasuk bagian dari tanah yang sudah makmur. Karena jika kita membolehkan hal ini, berarti kita menyempitkan orang-orang dalam kepemilikan dan jalan mereka, dan ini tidak diperbolehkan.
فصل: ويجوز إحياء كل من يملك المال لأنه فعل يملك به فجاز من كل من يملك المال كالاصطياد ولا يجوز للكافر أن يملك بالإحياء في دار الإسلام ولا للإمام أن يؤذن له في ذلك لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “موتان الأرض لله ولرسوله ثم هي لكم مني” فجمع الموتان وجعلها للمسلمين فانتفى أن يكون لغيرهم ولأن موات الدار من حقوق الدار والدار للمسلمين فكان الموات لهم كمرافق المملوك لا يجوز لغير المالك إحياؤه ولا يجوز للمسلم أن يحيي الموات في بلد صولح الكفار على المقام فيه لأن الموات تابع للبلد فإن لم يجز تملك البلد عليهم لم يجز تملك مواته.
PASAL: Boleh menghidupkan tanah mati bagi siapa saja yang memiliki harta, karena iḥyā’ adalah perbuatan yang dengannya seseorang memperoleh kepemilikan, maka boleh dilakukan oleh siapa saja yang memiliki harta, sebagaimana berburu.
Tidak boleh bagi orang kafir untuk memiliki tanah dengan cara iḥyā’ di wilayah Islam, dan tidak boleh bagi imam untuk memberikan izin kepadanya dalam hal itu, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Tanah mati adalah milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian menjadi milik kalian dariku”, maka beliau menggabungkan seluruh tanah mati dan menjadikannya milik kaum Muslimin, maka tertolak kemungkinan kepemilikannya oleh selain mereka.
Dan karena tanah mati yang berada dalam suatu wilayah termasuk hak wilayah tersebut, dan wilayah itu milik kaum Muslimin, maka tanah matinya pun milik mereka, sebagaimana fasilitas yang melekat pada barang milik seseorang, maka tidak boleh dihidupkan oleh selain pemiliknya.
Tidak boleh pula bagi seorang Muslim menghidupkan tanah mati di negeri yang telah dijadikan tempat tinggal oleh kaum kafir melalui perjanjian damai, karena tanah mati adalah bagian dari negeri itu, maka jika kepemilikan negeri tidak boleh atas mereka, maka kepemilikan tanah matinya pun tidak boleh.
فصل: والإحياء الذي يملك به أن يعمر الأرض لما يريده ويرجع في ذلك إلى العرف لأن النبي صلى الله عليه وسلم أطلق الإحياء ولم يبين فحمل على المتعارف فإن كان يريده للسكنى فأن يبني سور الدار من اللبن والآجر والطين والجص إن كانت عادتهم ذلك أو القصب أو الخشب إن كانت عادتهم ذلك ويسقف وينصب عليه الباب لأنه لا يصلح للسكنى بما دون ذلك فإن أراد مراحاً للغنم أو حظيرة للشوك والحطب بنى الحائط ونصب عليه الباب لأنه لا يصير مراحاً وحظيرة بما دون ذلك
PASAL: Penghidupan (iḥyāʾ) yang menjadikan seseorang memiliki tanah adalah dengan memakmurkan tanah tersebut sesuai keperluannya, dan hal itu dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf), karena Nabi SAW membolehkan iḥyāʾ secara mutlak tanpa penjelasan, maka dikembalikan kepada apa yang biasa dilakukan. Jika seseorang menghendakinya untuk tempat tinggal, maka ia harus membangun dinding rumah dari batu bata, batu merah, tanah, dan kapur bila itu kebiasaan mereka; atau dari ilalang dan kayu bila itu kebiasaan mereka; serta menutup atap dan memasang pintu, karena rumah tidak layak dihuni dengan kurang dari itu. Jika ia menghendakinya untuk kandang kambing atau tempat menyimpan kayu bakar dan duri, maka ia harus membangun tembok dan memasang pintu, karena tidak menjadi kandang atau tempat penyimpanan dengan kurang dari itu.
وإن أراد للزراعة فأن يعمل لها مسناة ويسوق الماء إليها من نهر أو بئر فإن كانت الأرض من البطائح فأن يحبس عنها الماء لأن إحياء البطائح أن يحبس عناه الماء كما أن إحياء اليابس بسوق الماء إليه ويحرثها وهو أن يصلح ترابها وهل يشترط غير ذلك؟ فيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه لا يشترط غير ذلك وهو المنصوص في الأم وهو قول أبي إسحاق لأن الإحياء قد تم وما بقي إلا الزراعة ذلك انتفاع بالمحيا فلم يشترط كسكنى الدار والثاني وهو ظاهر وما نقله المزني أنه لا يملك إلا بالزراعة لأنها من تمام العمارة ويخالف السكنى فإنه ليس من تمام العمارة وإنما هو كالحصاد في الزرع والثالث وهو قول أبي العباس أنه لايتم إلا بالزراعة والسقي لأن العمارة لا تكمل إلا بذلك وإن أراد حفر بئر فإحياؤها أن يحفر إلى أن يصل إلى الماء لأنه لا يحصل البئر إلا بذلك فإن كانت الأرض صلبة تم الإحياء وإن كانت رخوة لم يتم الإحياء حتى تطوق البئر لأنها لا تكمل إلا به.
Dan jika ia menghendakinya untuk pertanian, maka ia harus membuat saluran penahan air (musannāh) dan mengalirkan air ke tanah itu dari sungai atau sumur. Jika tanah tersebut termasuk tanah rawa (baṭāʾiḥ), maka cara menghidupkannya adalah dengan menahan air darinya, karena menghidupkan tanah rawa adalah dengan menahan air darinya, sebagaimana menghidupkan tanah kering adalah dengan mengalirkan air kepadanya. Ia juga harus membajaknya, yaitu memperbaiki tanahnya.
Apakah disyaratkan hal lain selain itu? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, tidak disyaratkan selain itu. Ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam al-Umm dan merupakan pendapat Abū Isḥāq, karena penghidupan telah sempurna dan yang tersisa hanyalah penanaman, dan itu termasuk bentuk pemanfaatan atas tanah yang telah dihidupkan, maka tidak disyaratkan sebagaimana tinggal di rumah.
Kedua, dan ini adalah yang tampak dari riwayat al-Muzanī, bahwa kepemilikan tidak sempurna kecuali dengan penanaman, karena penanaman termasuk penyempurna pemakmuran. Hal ini berbeda dengan tempat tinggal, karena bukan termasuk penyempurna pemakmuran, melainkan seperti panen dalam pertanian.
Ketiga, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa penghidupan tidak sempurna kecuali dengan penanaman dan pengairan, karena pemakmuran tidak sempurna kecuali dengan keduanya.
Dan jika seseorang bermaksud menggali sumur, maka cara menghidupkannya adalah dengan menggali hingga mencapai air, karena sumur tidak akan terwujud kecuali dengan itu. Jika tanahnya keras, maka penghidupan telah sempurna. Namun jika tanahnya gembur, maka penghidupan belum sempurna hingga sumur itu diberi dinding melingkar (tawq), karena sumur tidak menjadi sempurna kecuali dengan hal itu.
فصل: وإذا أحيا الأرض ملك الأرض وما فيها من المعادن كالبلور والفيروزج والحديد والرصاص لأنها من أجزاء الأرض فملك بملكها وبملك ما يتبع فيها من الماء والقار وغير ذلك وقال أبو إسحاق لا يملك الماء وما ينبع فيها وقد بينا ذلك في البيوع ويملك ما ينبت فيها من الشجر والكلأ وقال أبو القاسم الصيمري لا يملك الكلأ لما روي أن أبيض بن حمال سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن حمى الأراك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا حمى في الأراك” ولأنه لو فرخ في الأرض طائر لم يملك فكذلك إذا نبت فيه الكلأ وقال أكثر أصحابنا يملك لأنه نماء الملك فملكه بملكه كشعر الغنم.
PASAL: Apabila seseorang menghidupkan tanah, maka ia memiliki tanah tersebut beserta apa yang ada di dalamnya berupa tambang seperti kristal (balūr), pirus (fayrūzaj), besi, dan timah, karena semua itu merupakan bagian dari tanah, maka dimiliki dengan kepemilikan tanah, dan ia juga memiliki apa yang mengikutinya seperti air, aspal, dan lainnya.
Abū Isḥāq berkata: Ia tidak memiliki air dan apa yang memancar darinya, dan hal ini telah dijelaskan dalam bab jual beli. Ia juga memiliki apa yang tumbuh di dalamnya berupa pepohonan dan rumput.
Abū al-Qāsim aṣ-Ṣaymarī berkata: Ia tidak memiliki rumput, karena terdapat riwayat bahwa Abyadh bin Ḥammāl bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ḥimā pohon arāk, maka Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada ḥimā pada pohon arāk.” Dan karena jika seekor burung bertelur di tanah itu, maka tidak menjadi miliknya, maka demikian pula jika tumbuh rumput di dalamnya.
Mayoritas para sahabat kami berkata: Ia memilikinya, karena rumput itu adalah hasil pertumbuhan dari miliknya, maka ia menjadi milik karena pertumbuhan dari milik, sebagaimana rambut kambing.
فصل: ويملك بالإحياء ما يحتاج إليه من المرافق كفناء الدار والطريق ومسيل الماء وحريم البئر وهو بقدر ما يقف فيه المستقي إن كانت البئر للشرب وقدر ما يمر فيه الثور إن كانت للسقي وحريم النهر وهو ملقى الطين وما يخرج منه من التقن ويرجع في ذلك إلى أهل العرف في الموضع والدليل عليه ماروى عبد الله بن مغفل أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من احتفر بئراً فله أربعون ذراعاً حولها عطن لماشيته”
PASAL: Dan dimiliki dengan iḥyāʾ apa yang dibutuhkan dari fasilitas penunjang seperti halaman rumah, jalan, saluran air, dan pelataran sumur (ḥarīm al-biʾr). Adapun pelataran sumur adalah seukuran tempat berdirinya orang yang menimba air jika sumur itu untuk minum, dan seukuran lintasan lembu jika sumur itu untuk pengairan. Sedangkan pelataran sungai adalah tempat pembuangan lumpur dan tempat keluarnya cabang-cabang kecil (taqan), dan hal itu dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf) masyarakat di tempat tersebut. Dalil atas hal ini adalah riwayat dari ‘Abdullāh bin Mughaffal bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa menggali sumur, maka ia berhak atas empat puluh hasta di sekelilingnya sebagai tempat minum ternaknya.”
وروى ابن شهاب عن سعيد بن المسيب قال: من السنة أن حريم القليب العادية خمسون ذراعاً وحريم البدئ خمسة وعشرون ذراعاً وحريم بئر الزرع ثلاثمائة ذراع فإن أحيا أرضاً إلى جنب غيره فجعل أحدهما داره مدبغة أو مقصرة لم يكن للآخر معه من ذلك لنه تصرف مباح في ملكه فلم يمنع منه وإن ألصق حائطه بحائطه منع من ذلك وإن طرح في أصل حائط سرجيناً منع منه لنه تصرف باشر ملك الغير بما يضر به فمنع منه فإن حفر حشاً في أصل حائطه لم يمنع منه لأنه تصرف في ملكه ومن أصحابنا من قال: يمنع لأنه يضر بالحاجز الذي بينهما في الأرض وإن ملك بئراً بالإحياء فجاء رجل وتباعد عن حريمه وحفر بئراً فنقص ماء الأول لم يمنع منه لأنه تصرف في موات لا حق لغيره فيه.
Diriwayatkan dari Ibn Syihāb dari Sa‘īd bin al-Musayyib, ia berkata: Termasuk sunnah bahwa pelataran (ḥarīm) sumur lama (al-qalīb al-‘ādiyah) adalah lima puluh hasta, pelataran sumur baru (al-badʾ) dua puluh lima hasta, dan pelataran sumur untuk pertanian adalah tiga ratus hasta.
Jika seseorang menghidupkan tanah di dekat orang lain, lalu salah satunya menjadikan rumahnya sebagai tempat penyamakan kulit atau tempat mencairkan logam, maka yang lain tidak berhak melarangnya, karena itu adalah bentuk pemanfaatan yang mubah dalam kepemilikannya, maka tidak dicegah darinya. Namun jika ia menempelkan dindingnya ke dinding milik orang lain, maka dicegah dari itu. Jika ia meletakkan kotoran di pangkal dinding milik orang lain, maka ia juga dicegah darinya, karena itu adalah bentuk pemanfaatan yang menyentuh kepemilikan orang lain dan memberi mudarat padanya, maka dicegah.
Namun jika ia menggali jamban di pangkal dinding miliknya, maka tidak dicegah karena itu bentuk pemanfaatan dalam kepemilikannya. Sebagian ulama kami berpendapat: ia tetap dicegah, karena hal itu memberi mudarat pada pembatas tanah antara keduanya.
Jika seseorang memiliki sumur dengan iḥyāʾ, lalu datang orang lain dan menggali sumur lain yang jauh dari pelatarannya, kemudian hal itu menyebabkan berkurangnya air sumur pertama, maka ia tidak dicegah, karena ia beraktivitas di tanah mati (mawāt) yang tidak ada hak orang lain di dalamnya.
فصل: وإن تحجر رجل مواتاً وهو أن يشرع في إحيائه ولم يتمم صار أحق به من غيره قوله صلى الله عليه وسلم: “من سبق إلى ما لم يسبق إليه فهو أحق به” وإن نقله إلى غيره صار الثاني أحق به لأنه آثره صاحب الحق به وإن مات انتقل ذلك إلى وارثه لأنه حق تملك ثبت له فانتقل إلى وارثه كالشفعة وإن باعه ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه يصح لأنه صار به فملك بيعه
PASAL: Jika seseorang menandai tanah mati, yaitu ia mulai menghidupkannya namun belum menyempurnakannya, maka ia lebih berhak atasnya daripada orang lain, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang lebih dahulu terhadap sesuatu yang belum didahului orang lain, maka ia lebih berhak atasnya.” Jika ia menyerahkannya kepada orang lain, maka orang kedua menjadi lebih berhak atasnya karena ia telah diberi oleh pemilik hak. Jika ia meninggal dunia, maka hak itu berpindah kepada ahli warisnya karena merupakan hak milik yang telah ditetapkan baginya, maka berpindah kepada ahli waris sebagaimana syuf‘ah. Jika ia menjualnya, maka ada dua pendapat: salah satunya adalah pendapat Abu Ishaq bahwa penjualannya sah karena ia telah memiliki hak atasnya, maka ia berhak menjualnya.
والثاني أنه لا يصح وهو المذهب لأنه لم يملكه بعد فلم يملك بيعه كالشفيع قبل الأخذ وإن بادر غيره إلى إحيائه نظرت فإن كان ذلك قبل أن تطول المدة ففيه وجهان: أحدهما لا يملك لأن يد المتحجر أسبق والثاني يملك لأن الإحياء يملك به والتحجر لا يملك به فقدم ما يملك به على ما لا يملك به وإن طالت المدة ولم يتمم قال له السلطان: إما أن تعمر وإما أن ترفع يدك لأنه ضيق على الناس في حق مشترك بينهم فلم يمكن منه كما لو وقف في طريق ضيق أو مشرعة ماء ومنع غيره وإن سأل أن يمهل أمهل مدة قريبة فإن انقضت المدة ولم يحي فبادر غيره فأحيا ملك لأنه لا حق له بعد انقضاء المدة.
dan pendapat kedua—yang merupakan pendapat mazhab—bahwa jual belinya tidak sah karena ia belum memilikinya, maka ia tidak berhak menjualnya, seperti syuf‘ah sebelum diambil. Jika orang lain segera menghidupkan tanah tersebut, maka dilihat dahulu: jika hal itu terjadi sebelum berlalu waktu yang lama, maka ada dua pendapat: pertama, tidak menjadi milik karena tangan orang yang menandai lebih dahulu; kedua, menjadi milik karena kepemilikan terjadi dengan iḥyā’, sedangkan taḥajjur tidak menyebabkan kepemilikan, maka didahulukan yang menyebabkan kepemilikan atas yang tidak menyebabkan kepemilikan. Jika telah berlalu waktu yang lama dan ia belum menyempurnakannya, maka penguasa berkata kepadanya: “Hidupkanlah tanah itu atau angkatlah tanganmu darinya,” karena ia telah menyulitkan orang-orang dalam hak bersama di antara mereka, maka tidak diperbolehkan seperti orang yang berdiri di jalan sempit atau saluran air dan mencegah orang lain. Jika ia meminta penundaan, maka diberi tenggang waktu yang pendek; jika waktu tersebut habis dan ia tidak menghidupkan, lalu orang lain mendahului dan menghidupkannya, maka tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkan karena yang pertama tidak lagi memiliki hak setelah berakhirnya masa penangguhan.
فصل: ومن سبق في الموات إلى معدن ظاهر وهو الذي يوصل إلى ما فيه من غير مؤنة كالماء والنفط والمومياء والياقوت والبرام والملح والكحل كان أحق به لقوله صلى الله عليه وسلم: “من سبق إلى ما لم يسبق إليه فهو أحق به” فإن أطال المقام ففيه وجهان: أحدهما لا يمنع لأنه سبق إليه والثاني يمنع لأنه يصير كالمتحجر فإن سبق اثنان وضاق المكان وتشاحا فإن كانا يأخذان للتجارة هايأ الإمام بينهما فإن تشاحا في السبق أقرع بينهما لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر فقدم بالقرعة
PASAL: Barang siapa yang lebih dahulu di tanah mati menuju tambang yang tampak jelas—yaitu yang dapat dijangkau tanpa kesulitan seperti air, minyak, mūmiyāʾ, yaqut, barām, garam, dan kuḥl—maka ia lebih berhak atasnya berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang lebih dahulu terhadap sesuatu yang belum didahului orang lain, maka ia lebih berhak atasnya.” Jika ia menetap terlalu lama di situ, maka ada dua pendapat: pertama, tidak dihalangi karena ia telah lebih dahulu; kedua, dihalangi karena keadaannya menjadi seperti orang yang menandai tanah (tanpa menghidupkan). Jika dua orang sama-sama lebih dahulu dan tempatnya sempit lalu mereka berselisih, maka jika keduanya mengambilnya untuk perdagangan, imam membagi antara keduanya. Jika mereka berselisih dalam hal siapa yang lebih dahulu, maka diadakan undian di antara mereka karena tidak ada kelebihan salah satu dari keduanya atas yang lain, maka didahulukan dengan undian.
وإن كانا يأخذان للحاجة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها يقرع بينهما لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر والثاني يقسم بينهما لأنه يمكن لهما القسمة فلا يؤخر حقه والثالث يقدم الإمام أحدهما لأن للإمام نظراً في ذلك فقدم من رأى تقديمه وإن كان من ذلك ما يلزم عليه مؤنة بأن يكون بقرب الساحل موضع إذا حصل فيه الماء حصل فيه ملح جاز أن يملك بالإحياء لأنه يوصل إليه بالعمل والمؤنة فملك بالإحياء كالموات.
Jika keduanya mengambilnya karena kebutuhan, maka terdapat tiga pendapat: pertama, diundi di antara keduanya karena tidak ada kelebihan salah satu atas yang lain; kedua, dibagi antara keduanya karena memungkinkan untuk dibagi, maka haknya tidak ditunda; ketiga, imam mendahulukan salah satunya karena imam memiliki pertimbangan dalam hal itu, maka ia mendahulukan siapa yang ia pandang layak didahulukan.
Jika dari jenis tersebut ada yang memerlukan biaya, seperti tempat di dekat pantai yang jika dimasuki air maka menghasilkan garam, maka boleh dimiliki dengan cara iḥyā’ karena hanya dapat diperoleh dengan kerja dan biaya, maka dimiliki dengan iḥyā’ sebagaimana tanah mati.
فصل: وإن سبق إلى معدن باطن وهو الذي لا يوصل إليه إلا بالعمل والمؤنة كمعدن الذهب والفضة والحديد والرصاص والياقوت والفيروزج فوصل إلى نيله ملك ما أخذه لقوله صلى الله عليه وسلم: “من سبق إلى ما لم يسبق إليه فهو أحق به” وهل يملك المعدن فيه قولان: أحدهما يملكه لأنه موات لا يوصل إلى ما فيه إلا بالعمل والإنفاق فملكه بالإحياء كموات الأرض
PASAL: Jika seseorang mendahului orang lain menuju tambang bāṭin—yaitu tambang yang tidak dapat dijangkau kecuali dengan kerja dan biaya—seperti tambang emas, perak, besi, timah, yāqūt, dan fayrūzaj, lalu berhasil memperoleh hasilnya, maka ia berhak atas apa yang ia ambil, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa yang lebih dahulu terhadap sesuatu yang belum didahului oleh orang lain, maka dialah yang lebih berhak atasnya.”
Adapun kepemilikan terhadap tambangnya sendiri, terdapat dua pendapat:
Pertama, ia memilikinya, karena tambang tersebut termasuk mawāt dan tidak bisa diakses kecuali dengan kerja dan pengeluaran biaya, maka ia memilikinya dengan cara iḥyā’, sebagaimana tanah mawāt.
والثاني لا يملك وهو الصحيح لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الملك في الموت على الإحياء وهو العمارة والعمل في المعدن حفر وتخريب فلا يملك به ولأنه يحتاج في كل جزء يأخذه إلى عمل فلا يملك منه إلا ما أخذ ويخالف موات الأرض لأنه إذا عمر انتفع به على الدوام من غير عمل مستأنف فملك به فإن قلنا إنه يملك بالإحياء ملكه إلى القرار وملك مرافقه فإن تباعد إنسان عن حريمه وحفر معدناً فوصل إلى العرق لم يمنع من أخذ ما فيه لأنه إحياء في موات لاحق فيه لغيره فإن حفر ولم يصل إلى النيل صار أحق به كما قلنا فيمن تحجر في موات الأرض فإن قلنا لا يملك كان كالمعدن الظاهر في إزالة يده إذا طال مقامه وفي القسمة والتقديم بالقرعة وتقديم من يرى الإمام تقديمه.
Dan pendapat kedua: tidak memilikinya — dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ — karena Nabi SAW mengaitkan kepemilikan tanah mawāt dengan iḥyā’, sedangkan yang dimaksud dengan iḥyā’ adalah pembangunan. Adapun kerja di tambang berupa penggalian dan perusakan, maka hal itu tidak disebut sebagai iḥyā’, sehingga tidak menyebabkan kepemilikan.
Selain itu, karena setiap bagian dari hasil tambang memerlukan usaha tersendiri untuk memperolehnya, maka tidak dimiliki kecuali bagian yang telah diambil saja. Ini berbeda dengan tanah mawāt, karena setelah dibangun, dapat dimanfaatkan secara terus-menerus tanpa perlu kerja ulang, maka kepemilikan pun ditetapkan karena itu.
Namun jika kita katakan bahwa tambang itu dimiliki dengan iḥyā’, maka dimiliki sampai kedalaman dasarnya (ilā al-qarār) dan dimiliki pula segala fasilitasnya. Jika seseorang menjauh dari ḥarīm-nya lalu menggali tambang dan mencapai urat (‘irq), maka tidak dilarang mengambil hasilnya, karena itu adalah bentuk iḥyā’ di tanah mawāt yang tidak ada hak orang lain padanya.
Jika ia menggali namun belum sampai ke hasil, maka ia menjadi lebih berhak atasnya, sebagaimana telah disebutkan dalam orang yang membuat tanda batas di tanah mawāt. Dan jika kita berpendapat bahwa tambang tidak dimiliki, maka ia seperti tambang ẓāhir dalam hal penghilangan hak pegangnya bila terlalu lama menetap, juga dalam pembagian dan pengutamaan dengan undian, serta dalam mendahulukan orang yang dipandang layak oleh imam.
فصل: ويجوز الارتفاق بما بين العامر من الشوارع والرحاب الواسعة بالقعود للبيع والشراء لاتفاق أهل الأمصار في جميع الأعصار على إقرار الناس على ذلك من غير إنكار ولأنه ارتفاق بمباح من غير إضرار فلم يمنع منه كالاجتياز فإن سبق إليه كان أحق به لقوله صلى الله عليه وسلم: “مني مناخ من سبق” وله أن يظلل بما لا ضرر به على المارة من بارية وثوب لأن الحاجة تدعو إلى ذلك وإن أراد أن يبني دكة منع لأنه يضيق به الطريق ويعثر به الضرير وبالليل البصير فلم يجز
PASAL: Boleh memanfaatkan ruang antara bangunan-bangunan yang telah dibangun, berupa jalan-jalan dan tanah lapang yang luas, dengan duduk untuk jual beli, karena penduduk kota di seluruh masa telah sepakat untuk membiarkan orang-orang melakukan hal itu tanpa ada pengingkaran. Hal itu juga merupakan pemanfaatan terhadap sesuatu yang mubah tanpa menimbulkan mudarat, maka tidak dilarang seperti halnya melintas. Jika seseorang telah mendahuluinya maka ia lebih berhak atasnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tempat dudukku adalah tempat siapa yang lebih dahulu datang.” Ia boleh memasang pelindung seperti tikar atau kain yang tidak membahayakan orang yang lewat, karena adanya kebutuhan untuk itu. Namun jika ia ingin membangun bangku permanen, maka ia dilarang karena hal itu akan menyempitkan jalan dan membahayakan orang buta dan orang awas di malam hari, maka tidak diperbolehkan.
وإن قام وترك المتاع لم يجز لغيره أن يقعد فيه لأن يد الأول لم تزل وإن نقل متاعه كان لغيره أن يقعد فيه لأنه زالت يده وإن قعد وأطال ففيه وجهان: أحدهما يمنع لأنه يصير كالمتملك وتملكه لا يجوز والثاني يجوز لأنه قد ثبت له اليد بالسبق إليه وإن سبق إليه اثنان ففيه وجهان: أحدهما يقرع بينهما لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر والثاني يقدم الإمام أحدهما لأن للأمام النظر والاجتهاد ولا تجيء القسمة لأنها لا تملك فلم تقسم.
Dan jika ia berdiri namun meninggalkan barang dagangannya, maka tidak boleh bagi orang lain duduk di tempat itu karena hak kepemilikan orang pertama belum hilang. Namun jika ia telah memindahkan barang dagangannya, maka orang lain boleh duduk di situ karena hak kepemilikannya telah hilang. Jika ia duduk dan terlalu lama, maka ada dua pendapat: pertama, ia dilarang karena hal itu menyerupai kepemilikan, sedangkan kepemilikan tidak diperbolehkan; kedua, diperbolehkan karena ia telah mendapatkan hak menggunakan tempat itu dengan mendahuluinya. Dan jika dua orang mendahuluinya secara bersamaan, maka ada dua pendapat: pertama, dilakukan undian karena tidak ada kelebihan salah satu atas yang lain; kedua, imam memilih salah satu dari keduanya karena imam memiliki wewenang untuk mempertimbangkan dan berijtihad. Tidak dilakukan pembagian karena tempat itu bukan milik, maka tidak bisa dibagi.
باب الإقطاع والحمى
يجوز للأمام أن يقطع موات الأرض لمن يملكه بالإحياء لما روى علقمة بن وائل عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أقطعه أرضاً فأرسل معه معاوياً أن أعطه إياها أو قال أعطها إياه وروى ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم أقطع الزبير حضر فرسه فأجرى فرسه حتى قام ورمى بسوطه فقال: أعطوه من حيث وقع السوط
BAB IQṬĀ‘ DAN ḤIMĀ
Boleh bagi imam memberikan tanah mati (al-mawāt) kepada seseorang agar dimilikinya dengan cara menghidupkan, berdasarkan riwayat dari ‘Alqamah bin Wā’il dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW memberikan tanah kepadanya, lalu beliau mengutus Mu‘āwiyah bersamanya dengan berkata: “Berikan tanah itu kepadanya,” atau beliau bersabda, “Berikan tanah itu padanya.” Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi SAW memberikan tanah kepada az-Zubair sejauh tempat berhentinya kudanya, maka az-Zubair menjalankan kudanya hingga kuda itu berhenti, lalu ia melemparkan cambuknya dan Nabi bersabda: “Berikan kepadanya sejauh tempat jatuhnya cambuk itu.”
وروي أن أبو بكر أقطع الزبير وأقطع عمر علياً وأقطع عثمان رضي الله عنهم خمسة من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم الزبير وسعداً وابن مسعود وخباباً وأسامة بن زيد رضي الله عنهم ومن أقطعه الإمام شيئاً من ذلك صار أحق به ويصير كالمتحجر في جميع ما ذكرناه لأن بإقطاع الإمام صار أحق به كالمتحجر فكان حكمه حكم المتحجر ولا يقطع من ذلك إلا ما يقدر على إحيائه لأنه إذا أعطاه أكثر من ذلك دخل الضرر على المسلمين من غير فائدة.
Dan diriwayatkan bahwa Abū Bakr pernah memberikan tanah kepada az-Zubair, ‘Umar memberikan kepada ‘Alī, dan ‘Utsmān RA memberikan kepada lima orang sahabat Rasulullah SAW: az-Zubair, Sa‘d, Ibnu Mas‘ūd, Khabbāb, dan Usāmah bin Zayd RA. Barang siapa yang diberi oleh imam sesuatu dari tanah tersebut, maka ia menjadi lebih berhak atasnya dan kedudukannya seperti orang yang taḥajjur pada seluruh perkara yang telah kami sebutkan, karena dengan pemberian dari imam, ia menjadi lebih berhak atasnya seperti halnya orang yang taḥajjur, maka hukumnya sama seperti orang yang taḥajjur. Tidak boleh diberikan dari tanah itu kecuali sekadar yang mampu ia hidupkan, karena jika diberikan melebihi itu, akan menimbulkan mudarat bagi kaum Muslimin tanpa ada manfaat.
فصل: وأما المعادن فإن كانت من المعادن الظاهرة لم يجز إقطاعها لما روى ثابت بن سعيد عن أبيه عن جده أبيض بن حمال أنه استقطع النبي صلى الله عليه وسلم ملح المأرب فأقطعه إياه ثم إن الأقرع بن حابس قال يا رسول الله إني قد وردت الملح في الجاهلية وهو بأرض ليس بها ملح ومن ورده أخذه وهو مثل الماء العد بأرض فاستقال أبيض بن حمال فقال أبيض قد أقلتك فيه على أن تجعله مني صدقة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “هو منك صدقة” وهو مثل الماء العد ومن ورده أخذه
PASAL: Adapun tambang, jika termasuk tambang ẓāhirah (tampak di permukaan), maka tidak boleh di-iqṭā‘, berdasarkan riwayat dari Ṯābit bin Sa‘īd dari ayahnya dari kakeknya Abyaḍ bin Ḥamāl bahwa ia meminta kepada Nabi SAW agar diberi tambang garam Ma’rib, lalu beliau memberikannya. Kemudian al-Aqra‘ bin Ḥābis berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendatangi tempat garam itu pada masa jahiliah, dan itu berada di tanah yang tidak ada garamnya, dan siapa saja yang mendatanginya mengambilnya. Ia seperti air yang mengalir di tanah.” Maka Abyaḍ bin Ḥamāl pun meminta izin untuk membatalkannya. Lalu Abyaḍ berkata: “Aku telah membatalkannya atas syarat engkau menjadikannya sebagai sedekah dariku.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Itu adalah sedekah darimu.” Ia seperti air yang mengalir; siapa pun yang mendatanginya boleh mengambilnya.
وإن كانت من المعادن الباطنة فإن قلنا إنها تملك بالإحياء جاز قطاعه لأنه موات يجوز أن يملك بالإحياء فجاز قطاعه كموات الأرض وإن قلنا لا تملك بالإحياء فهل يجوز إقطاعه فيه قولان: أحدهما يجوز إقطاعه لأنه يفتقر الانتفاع به إلى المؤن فجاز إقطاعه كموات الأرض والثاني لا يجوز لأنه معدن لا يملك بالإحياء فلم يجز إقطاعه كالمعادن الظاهرة فإذا قلنا يجوز إقطاعه لم يجز إلا ما يقوم به لما ذكرنا في إقطاع الموات.
Dan jika termasuk dari ma‘ādin bāṭinah, maka jika dikatakan bahwa ia dimiliki dengan iḥyā’, maka boleh di-iqṭā‘ karena termasuk tanah mati yang boleh dimiliki dengan iḥyā’, maka boleh pula di-iqṭā‘ seperti tanah mati.
Dan jika dikatakan bahwa ia tidak dimiliki dengan iḥyā’, maka apakah boleh di-iqṭā‘? Maka terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh di-iqṭā‘ karena pemanfaatannya membutuhkan biaya, maka boleh di-iqṭā‘ sebagaimana tanah mati.
Kedua, tidak boleh karena ia adalah tambang yang tidak dimiliki dengan iḥyā’, maka tidak boleh di-iqṭā‘ seperti ma‘ādin ẓāhirah.
Maka jika dikatakan bahwa boleh di-iqṭā‘, maka tidak boleh kecuali sebanyak yang mampu dikerjakannya, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam iqṭā‘ tanah mati.
فصل: ويجوز إقطاع ما بين العامر من الرحاب ومقاعد الأسواق للارتفاق فمن أقطع شيئاً من ذلك صار أحق بالموضع نقل متاعه أولم ينقل لأن للإمام النظر والاجتهاد فإذا أقطعه ثبتت يده عليه بالإقطاع فلم يكن لغيره أن يقعد فيه.
PASAL: Boleh meng-iqṭā‘ area di antara bangunan yang padat berupa tanah lapang dan tempat duduk di pasar untuk keperluan irtifāq. Maka siapa yang diberikan iqṭā‘ atas sesuatu dari hal tersebut, ia menjadi lebih berhak atas tempat itu—baik ia memindahkan barang dagangannya maupun tidak—karena imam memiliki wewenang dan ijtihad. Maka apabila imam telah meng-iqṭā‘-kannya, hak pemanfaatannya menjadi tetap baginya dengan iqṭā‘, dan tidak boleh bagi orang lain duduk di tempat itu.
فصل: ولا يجوز لأحد أن يحمي مواتاً ليمنع الإحياء ورعى ما فيه من الكلأ لما روى الصعب بن جثامة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “لا حمى إلا لله ولرسوله” فأما الرسول عليه الصلاة والسلام فإنه كان يجوز له أن يحمي لنفسه وللمسلمين فإما لنفسه فإنه ما حمى ولكنه حمى المسلمين والدليل عليه ما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم حمى النقيع لخيل المسلمين وأما غيره من الأئمة فلا يجوز أن يحمي لنفسه للخبر وهل يجوز أن يحمي لخيل المجاهدين ونعم الجزية وإبل الصدقة وماشية من يضعف عن الإبعاد في طلب النجعة؟ فيه قولان أحدهما: لا يجوز للخبر والثاني يجوز
PASAL: Tidak boleh seseorang mengharimkan tanah mati untuk mencegah penghidupan dan penggembalaan rumput yang ada di dalamnya, karena diriwayatkan dari aṣ-Ṣaʿb bin Jathāmah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada ḥimā kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.”
Adapun Rasul SAW, maka boleh baginya mengharimkan untuk dirinya dan untuk kaum muslimin. Adapun untuk dirinya, beliau tidak pernah mengharimkan, tetapi beliau mengharimkan untuk kaum muslimin. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ʿUmar RA bahwa Nabi SAW mengharimkan an-Naqīʿ untuk kuda-kuda kaum muslimin.
Adapun selain beliau dari kalangan para imam, maka tidak boleh mengharimkan untuk dirinya sendiri karena adanya hadis tersebut.
Lalu apakah boleh mengharimkan untuk kuda para mujahid, hewan dari jizyah, unta zakat, dan ternak milik orang-orang yang lemah yang tidak mampu bepergian jauh untuk mencari padang rumput?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama: tidak boleh, karena adanya hadis tersebut.
Kedua: boleh.
لما روى عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال: أتى أعرابي من أهل نجد عمر فقال يا أمير المؤمنين بلادنا قاتلنا عليها في الجاهلية وأسلمنا عليها في الإسلام فعلام تحميها؟ فأطرق عمر رضي الله عنه وجعل ينفخ ويفتح شاربه وكان إذا كره أمراً فتل شاربه ونفخ فلما رأى الأعرابي ما به جعل يردد ذلك فقال عمر المال مال الله والعباد عباد الله فلولا ما أحمل عليه في سبيل الله ما حميت من الأرض شبراً في شبر قال مالك: نبئت أنه كان يحمل في كل عام أربعين ألفاً من الظهر وقال مرة من الخيل
karena diriwayatkan dari ʿĀmir bin ʿAbdillāh bin az-Zubair dari ayahnya, ia berkata: Seorang aʿrābī dari penduduk Najd datang kepada ʿUmar lalu berkata: “Wahai Amīrul-Mu’minīn, negeri kami—yang dahulu kami perangi di masa jahiliah dan kami masuk Islam di atasnya—mengapa engkau mengharimkannya?” Maka ʿUmar RA tertunduk sambil meniup dan membuka lebar kumisnya. Dan jika beliau tidak menyukai suatu perkara, beliau memelintir kumisnya dan meniup.
Tatkala orang aʿrābī itu melihat kondisi beliau, ia terus mengulang-ulang perkataannya. Maka berkatalah ʿUmar: “Harta ini adalah milik Allah dan hamba-hamba adalah hamba Allah. Kalau bukan karena keperluan untuk memikul beban di jalan Allah, niscaya aku tidak akan mengharimkan dari tanah itu sejengkal pun.”
Imām Mālik berkata: Aku diberi tahu bahwa ʿUmar dahulu setiap tahun menyediakan empat puluh ribu ekor kendaraan, dan ada yang mengatakan dari kuda.
وروى زيد بن أسلم عن أبيه أن عمر رضي الله عنه استعمل مولى له يدعى هنياً على الحمى وقال له يا هني اضمم جناحك عن الناس واتق دعوة المظلوم فإن دعوة المظلوم مجابة وأدخل رب الصريمة والغنيمة وإياك ونعم ابن عوف وإياك ونعم ابن عفان فإنهما إن تهلك ماشيتهما يرجعا إلى نخل وزرع وإن رب الصريمة ورب الغنيمة إن تهلك ماشيتهما فيأتياني فيقولا يا أمير المؤمنين يا أمير المؤمنين أفتاركهم أنا لا أبا لك إن الماء والكلأ أيسر عندي من الذهب والورق والذي نفسي بيده لولا المال الذي أحمل عليه في سبيل الله ما حميت عليهم من بلادهم شبراً
Dan diriwayatkan oleh Zayd bin Aslam dari ayahnya, bahwa ʿUmar RA mengangkat seorang maula miliknya yang bernama Hunayy sebagai penanggung jawab ḥimā, lalu ia berkata kepadanya: “Wahai Hunayy, rendahkanlah sayapmu terhadap manusia dan takutlah terhadap doa orang yang dizalimi, karena doa orang yang dizalimi itu mustajab.
Masukkanlah pemilik ṣuraymah dan pemilik kambing yang sedikit. Dan jauhilah ternak milik Ibnu ʿAwf dan Ibnu ʿAffān, karena sesungguhnya jika ternak mereka binasa, mereka masih bisa kembali kepada kebun kurma dan ladang. Sedangkan pemilik ṣuraymah dan pemilik kambing jika ternaknya binasa, maka mereka akan datang kepadaku seraya berkata: ‘Wahai Amīrul-Mu’minīn, wahai Amīrul-Mu’minīn!’
Apakah aku akan membiarkan mereka, celaka engkau! Sesungguhnya air dan rumput itu lebih ringan bagiku daripada emas dan perak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau bukan karena harta yang aku gunakan untuk membawa beban di jalan Allah, niscaya aku tidak akan mengharimkan sejengkal pun dari negeri mereka.”
فإن حمى رسول الله صلى الله عليه وسلم أرضاً لحاجة والحاجة باقية لم يجز إحياؤها وإن زالت الحاجة ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه زال السبب والثاني لا يجوز لأن ما حكم به رسول الله صلى الله عليه وسلم نص فلا يجوز نقضه بالاجتهاد وإن حماه إمام غيره وقلنا إنه يصح حماه فأحياه رجل ففيه قولان: أحدهما لا يملكه كما لا يملك ما حماه رسول الله صلى الله عليه وسلم والثاني يملك لأن حمى الإمام اجتهاد وملك الأرض بالإحياء نص والنص لا ينقض بالاجتهاد.
Jika Rasulullah SAW mengharimkan suatu tanah karena suatu kebutuhan, lalu kebutuhan itu masih ada, maka tidak boleh dihidupkan. Namun jika kebutuhannya telah hilang, maka terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama, boleh dihidupkan karena sebabnya telah hilang.
Kedua, tidak boleh karena keputusan Rasulullah SAW adalah nash, maka tidak boleh dibatalkan dengan ijtihād.
Dan jika yang mengharimkan adalah imam selain beliau, dan kita katakan bahwa pengharimannya sah, lalu ada seseorang yang menghidupkannya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, ia tidak memilikinya sebagaimana tidak dimiliki apa yang diharimkan oleh Rasulullah SAW.
Kedua, ia memilikinya karena penghariman dari seorang imam adalah ijtihād, sedangkan kepemilikan tanah dengan iḥyā’ adalah nash, dan nash tidak bisa dibatalkan oleh ijtihād.
باب حكم المياه
الماء اثنان: مباح وغير مباح فأما غير المباح فهو ما ينبع في أرض مملوكة فصاحب الأرض أحق به من غيره لأنه على المنصوص يملكه وعلى قول أبي إسحاق لا يملكه إلا أنه لا يجوز لغيره أن يدخل إلى ملكه بغير إذنه فكان أحق به وإن فضل عن حاجته واحتاج إليه الماشية لكلأ لزمه بدله من غير عوض وقال أبو عبيد بن حرب لا يلزمه بذله كما لا يلزمه بذل الكلأ للماشية ولا بذل الدلو والحبل ليستقي به الماء للماشية والمذهب الأول
PASAL: HUKUM AIR
Air itu ada dua: yang mubāḥ dan yang tidak mubāḥ. Adapun air yang tidak mubāḥ adalah air yang memancar di tanah milik, maka pemilik tanah lebih berhak atasnya dibanding selainnya, karena menurut pendapat yang manṣūṣ, ia memilikinya. Dan menurut pendapat Abū Isḥāq, ia tidak memilikinya, hanya saja tidak boleh bagi selainnya masuk ke dalam kepemilikannya tanpa izin, maka ia tetap lebih berhak atasnya.
Jika air itu melebihi kebutuhannya dan ada hewan ternak yang membutuhkan untuk rerumputan (kalā’), maka ia wajib memberikan air itu tanpa imbalan. Dan Abū ‘Ubaid bin Ḥarb berpendapat: tidak wajib memberikannya, sebagaimana tidak wajib memberikan rerumputan untuk ternak, dan tidak wajib memberikan ember serta tali untuk mengambil air bagi ternak. Dan pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama.
لما روى إياس بن عمرو أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع فضل الماء وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من منع فضل الماء ليمنع به فضل الكلأ منعه الله فضل رحمته” ويخالف الكلأ فإنه لا يستخلف عقيب أخذه وربما احتاج إليه لماشيته قبل أن يستخلف فتهلك ماشيته والماء يستخلف عقيب أخذه وما ينقص من الدلو والحبل لا يستخلف فيستضر والضرر لا يزال بالضرر ولا يلزمه بذل فضل الماء للزرع
Karena telah diriwayatkan dari Iyās bin ‘Amr bahwa Nabi SAW melarang menjual kelebihan air, dan telah diriwayatkan dari Abū Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menahan kelebihan air untuk menghalangi kelebihan rerumputan dengannya, maka Allah akan menahan kelebihan rahmat-Nya darinya.”
Adapun kalā’ (rumput) berbeda, karena ia tidak langsung tumbuh kembali setelah diambil, dan bisa jadi seseorang membutuhkan rumput itu untuk hewan ternaknya sebelum ia tumbuh kembali, sehingga hewan ternaknya bisa binasa. Sedangkan air dapat tergantikan (terisi kembali) setelah diambil. Adapun yang berkurang dari ember dan tali tidak dapat tergantikan, sehingga menimbulkan mudarat, dan mudarat tidak dihilangkan dengan mudarat. Ia tidak wajib memberikan kelebihan airnya untuk tanaman.
لأن الزرع لا حرمة له في نفسه والماشية لها حرمة في نفسها ولهذا لو كان الزرع له لم يلزمه سقيه ولو كانت الماشية لزمه سقيها وإن لم يفضل الماء عن حاجته لم يلزمه بذله لأن النبي صلى الله عليه وسلم علق الوعيد على من منع الفضل ولأن ما لا يفضل عن حاجته يستضر ببذله والضرر لا يزال بالضرر.
Karena tanaman tidak memiliki kehormatan pada dirinya sendiri, sedangkan hewan ternak memiliki kehormatan pada dirinya, oleh sebab itu, jika tanaman itu miliknya, tidak wajib baginya menyiramnya. Namun jika hewan ternak itu miliknya, wajib baginya memberi minum, sekalipun air itu tidak berlebih dari kebutuhannya.
Jika air itu tidak berlebih dari kebutuhannya, maka tidak wajib baginya memberikannya, karena Nabi SAW mengaitkan ancaman terhadap orang yang menahan kelebihan (faḍl) air, dan karena apa yang tidak melebihi kebutuhannya akan menimbulkan mudarat jika diberikan, sedangkan mudarat tidak dihilangkan dengan mudarat.
فصل: وأما المباح فهو الماء الذي ينبع في الموات فهو مشترك بين الناس لقوله صلى الله عليه وسلم: “الناس شركاء في ثلاثة الماء والنار والكلأ” فمن سبق منهم إلى شيء منه كان أحق به لقوله صلى الله عليه وسلم: “من سبق إلى ما لم يسبق إليه فهو أحق” فإن أراد أن يسقي منه أرضاً فإن كان نهراً عظيماً كالنيل والفرات وما أشبههما من الأودية العظيمة جاز أن يسقي منه ما شاء ومتى شاء لأنه لا ضرر فيه على أحد
PASAL: Adapun yang mubah adalah air yang memancar di tanah mati, maka ia merupakan milik bersama di antara manusia, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan rumput.” Maka siapa di antara mereka yang lebih dahulu mendapatkan sesuatu darinya, dialah yang lebih berhak atasnya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Barang siapa lebih dahulu pada sesuatu yang belum didahului oleh orang lain, maka ia lebih berhak.”
Jika seseorang ingin menyirami tanahnya dengan air tersebut, maka apabila airnya berupa sungai besar seperti Nil, Eufrat, dan yang semisal dari lembah-lembah besar, maka boleh baginya menyirami tanahnya sebanyak yang ia kehendaki dan kapan saja ia kehendaki, karena tidak menimbulkan mudarat bagi siapa pun.
وإن كان نهراً صغيراً لا يمكن سقي الأرض منه إلا أن يحبسه فإن كانت الأرض متساوية بدأ من في أول النهر فيحبس الماء حتى يسقي أرضه إلى أن يبلغ الماء إلى الكعب ثم يرسله إلى من يليه وعلى هذا إلى أن تنتهي الأراضي لما روى عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قضى في شرب نهر من سيل أن للأعلى أن يشرب قبل الأسفل ويجعل الماء فيه إلى الكعب ثم يرسله إلى الأسفل الذي يليه كذلك حتى تنتهي الأرضون
dan jika sungainya kecil sehingga tidak memungkinkan menyirami tanah darinya kecuali dengan menahannya, maka apabila tanah-tanahnya setara (datar), dimulai dari orang yang berada di hulu sungai; ia menahan air sampai menyirami tanahnya hingga air mencapai mata kaki, lalu ia mengalirkannya kepada orang setelahnya. Demikian seterusnya hingga seluruh tanah selesai disirami.
Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Ubādah bin aṣ-Ṣāmit RA bahwa Nabi SAW menetapkan hukum pada air minum dari sungai yang berasal dari limpahan hujan, bahwa orang yang di bagian atas berhak minum terlebih dahulu daripada orang yang di bawahnya, dan ia membuat batas air hingga setinggi mata kaki, kemudian mengalirkannya kepada yang di bawahnya, demikianlah terus hingga tanah-tanah itu selesai disirami.
وروى عبد الله بن الزبير أن الزبير ورجلاً من الأنصار تنازعا في شراج الحرة التي يسقى بها النخل، فقال الأنصاري للزبير سرح الماء فأبى الزبير فاختصما إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم للزبير: “اسق أرضك ثم أرسل الماء إلى أرض جارك” فقال الأنصاري: أن كان ابن عمتك يا رسول الله فتلون وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: “يا زبير اسق أرضك واحبس الماء إلى أن يبلغ الجدر”
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin az-Zubair bahwa az-Zubair dan seorang laki-laki dari kalangan Anṣār berselisih tentang saluran air syirāj al-Ḥirrah yang digunakan untuk menyirami pohon-pohon kurma. Orang Anṣār itu berkata kepada az-Zubair, “Lepaskan air itu (untukku),” namun az-Zubair enggan, lalu mereka berdua mengadukan perkara tersebut kepada Rasulullah SAW.
Maka Rasulullah SAW bersabda kepada az-Zubair: “Siramilah tanahmu, lalu alirkan air itu ke tanah tetanggamu.” Orang Anṣār itu berkata, “Engkau berkata demikian karena dia adalah anak bibimu, wahai Rasulullah.” Maka wajah Rasulullah SAW berubah, lalu beliau bersabda: “Wahai Zubair, siramilah tanahmu dan tahanlah air itu hingga mencapai batas tembok (kebun kurmamu).”
وإن كانت الأرض بعضها أعلى من بعض ولا يقف الماء في الأرض العالية إلى الكعب حتى يقف في الأرض المستفلة إلى الوسط فيسقي المستفلة حتى يبلغ الماء إلى الكعب ثم يسدها ويسقي العالية حتى يبلغ الكعب فإن أحيا جماعة أرضاً على هذا النهر وسقوا منه ثم جاء رجل فأحيا أرضاً في أعلاه إذا سقى أرضه استضر أهل النهر منع من ذلك لأن من ملك أرضاً ملكها بمرافقها والنهر من مرافق أرضهم فلا يجوز مضايقتهم فيه.
Dan jika tanahnya sebagian lebih tinggi dari yang lain, sedangkan air tidak dapat berhenti di tanah yang tinggi hingga mencapai mata kaki kecuali setelah berhenti di tanah yang rendah hingga mencapai tengah betis, maka tanah yang rendah disirami terlebih dahulu hingga air mencapai mata kaki, kemudian aliran air ditahan untuk menyirami tanah yang tinggi hingga mencapai mata kaki.
Apabila sekelompok orang menghidupkan tanah di sepanjang sungai tersebut dan mereka menyiraminya dari sana, lalu datang seseorang yang menghidupkan tanah di bagian hulu sungai, maka apabila ia menyirami tanahnya hingga menyebabkan mudarat bagi para pemilik tanah di sepanjang sungai tersebut, ia dicegah dari melakukannya. Karena siapa yang memiliki tanah, maka ia memiliki tanah itu beserta fasilitas penunjangnya, dan sungai termasuk fasilitas penunjang bagi tanah mereka, maka tidak boleh mengganggu mereka dalam hal itu.
فصل: وإن اشترك جماعة في استنباط عين اشتركوا في مائها فإن دخلوا على أن يتساووا وتساووا في الإنفاق وإن دخلوا على أن يتفاضلوا تفاضلوا في الإنفاق ويكون الماء بينهم على قدر النفقة لأنهم استفادوا ذلك بالإنفاق فكان حقهم على قدره فإن أرادوا سقي أراضيهم بالمهأياة يوماً يوماً جاز وإن أرادوا قسمة الماء نصبوا خشبة مستوية قبل الأراضي وتفتح فيها كوى على قدر حقوقهم فتخرج حصة كل واحد منهم إلى أرضه
PASAL: Jika sekelompok orang bekerja sama dalam menggali mata air, maka mereka bersama-sama memiliki hak atas airnya. Jika mereka masuk kerja sama dengan syarat sama rata, maka mereka wajib menanggung biaya secara rata pula. Jika mereka masuk kerja sama dengan syarat berbeda-beda, maka mereka menanggung biaya sesuai perbedaan tersebut, dan air dibagikan di antara mereka sesuai kadar kontribusi biaya masing-masing, karena hak itu diperoleh melalui pengeluaran biaya, maka hak mereka sepadan dengan biayanya.
Jika mereka ingin menyirami tanah mereka secara bergiliran hari demi hari, maka itu diperbolehkan. Jika mereka ingin membagi air tersebut, maka mereka menegakkan sebilah kayu rata di depan lahan, lalu dibuat lubang-lubang di kayu itu sesuai kadar hak masing-masing, maka keluarlah bagian air setiap orang menuju tanahnya.
فإن أراد أحدهم أن يأخذ حقه من الماء قبل المقسم في ساقية يحفرها إلى أرضه منع من ذلك لأن حريم النهر مشترك بينهم فلا يجوز لواحد منهم أن يحفر فيه فإن أراد أن ينصب رحاً قبل المقسم ويديرها بالماء منع من ذلك لأنه يتصرف في حريم مشترك فإن أراد أن يأخذ الماء ويسقي به أرضاً أخرى ليس لها رسم بشرب من هذا النهر منع منه لأنه يجعل لنفسه شرباً لم يكن له كما لا يجوز لمن له داران متلاصقان في دربين أن يفتح من أحدهما باباً إلى الأخرى فيجعل لنفسه طريقاً لم يكن له والله أعلم.
Jika salah satu dari mereka ingin mengambil bagiannya dari air sebelum tempat pembagian dengan menggali saluran menuju tanahnya, maka ia dicegah dari hal itu karena tepi sungai adalah hak bersama di antara mereka, sehingga tidak boleh bagi salah satu dari mereka menggali di dalamnya.
Jika ia ingin memasang kincir air sebelum tempat pembagian dan memutarnya dengan air, maka ia dicegah dari itu karena ia bertindak di dalam kawasan bersama.
Jika ia ingin mengambil air dan menyirami dengannya tanah lain yang tidak memiliki hak pengairan dari sungai ini, maka ia dicegah dari hal itu karena ia menjadikan bagi dirinya hak pengairan yang bukan miliknya. Hal itu seperti seseorang yang memiliki dua rumah bersebelahan di dua gang, maka tidak boleh baginya membuka pintu dari salah satu rumah menuju rumah lainnya dan menjadikan bagi dirinya jalan yang bukan miliknya. Wallahu a‘lam.
إذا وجد الحر الرشيد لقطة يمكن حفظها وتعريفها كالذهب والفضة والجواهر والثياب فإن كان ذلك في غير الحرم جاز التقاطه للتملك لما روى عبد الله بن عمرو بن العاص أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن اللقطة فقال ما كان منها في طريق مئتاء فعرفها حولاً فإن جاء صاحبها وإلا فهي لك وما كان منها في خراب ففيها وفي الركاز الخمس وله أن يلتقطها للحفظ على صاحبها لقوله تعالى: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى}
Kitab Luqaṭah
Apabila seorang merdeka yang berakal menemukan luqaṭah (barang temuan) yang memungkinkan untuk disimpan dan diumumkan, seperti emas, perak, permata, dan pakaian, maka jika barang tersebut ditemukan di luar ḥaram, boleh diambil dengan niat memiliki, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ bahwa Nabi SAW ditanya tentang luqaṭah, maka beliau bersabda: “Apa yang ditemukan di jalan yang ramai, maka umumkan selama setahun, jika pemiliknya datang maka berikan kepadanya, jika tidak maka itu milikmu. Dan apa yang ditemukan di tempat yang rusak maka pada itu dan pada rikāz ada seperlimanya.”
Dan ia boleh mengambilnya dengan niat menjaga untuk diserahkan kepada pemiliknya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى} – “Tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan.”
ولما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من كشف عن مسلم كربة من كرب الدنيا كشف الله عنه كربة من كرب يوم القيامة والله في عون العبد ما دام العبد في عون أخيه” وإن كانت في الحرم لم يجز أن يأخذها إلا للحفظ على صاحبها ومن أصحابنا من قال يجوز التقاطها للتملك لأنها أرض مباحة فجاز أخذ لقطتها للتملك كغير الحرم والمذهب الأول
Dan berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang meringankan satu kesusahan dari seorang Muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan meringankan darinya satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat. Dan Allah senantiasa menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”
Apabila luqaṭah itu berada di wilayah ḥaram, maka tidak boleh diambil kecuali untuk menjaga dan mengembalikannya kepada pemiliknya. Sebagian dari kalangan kami (ulama mazhab) berpendapat boleh mengambilnya untuk dimiliki, karena tanah ḥaram adalah tanah yang mubah, maka boleh mengambil luqaṭah-nya untuk dimiliki sebagaimana di luar ḥaram. Namun pendapat yang menjadi mazhab adalah yang pertama.
لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن هذا البلد حرمه الله يوم خلق السموات والأرض فهو حرام إلى يوم القيامة لم يحل لأحد قبلي ولا يحل لأحد بعدي ولم يحل لي إلا ساعة من نهار فهو حرام إلى يوم القيامة لا ينفر صيدها ولا يعضد شجرها ولا تلتقط لقطتها إلا لمعرف” ويلزمه المقام للتعريف وإن لم يمكنه المقام دفعها إلى الحاكم ليعرفها من سهم المصالح.
Karena riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya negeri ini (Makkah) telah Allah haramkan sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka ia adalah tanah haram sampai hari kiamat. Tidak dihalalkan bagi siapa pun sebelumku, dan tidak akan dihalalkan bagi siapa pun sesudahku, dan tidak dihalalkan bagiku kecuali sesaat di siang hari. Maka ia tetap haram sampai hari kiamat: tidak boleh diburu binatangnya, tidak boleh ditebang pohonnya, dan tidak boleh dipungut barang temuan di dalamnya kecuali untuk diumumkan.”
Dan wajib baginya menetap untuk mengumumkannya. Jika ia tidak mampu menetap, maka ia harus menyerahkannya kepada hakim agar hakim yang mengumumkannya dari bagian dana kepentingan umum (ṣahm al-maṣāliḥ).
فصل: وهل يجب أخذها؟ روى المزني أنه قال لا أحب تركها وقال في الأم لا يجوز تركها فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما لا يجب لأنها أمانة فلم يجب أخذها كالوديعة والثاني يجب لما روى ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “حرمة مال المؤمن كحرمة دمه” ولو خاف على نفسه لوجب حفظها فكذلك إذا خاف على ماله وقال أبو العباس وأبو إسحاق وغيرهما: إن كانت في موضع لا يخاف عليها لأمانة أهله لم يجب عليه لأن غيره يقوم مقامه في حفظها وإن كان في موضع يخاف عليها لقلة أمانة أهله وجب لأن غيره لا يقوم مقامه فتعين عليه وحمل القولين على هذين الحالين فإن تركها ولم يأخذها لم يضمن لأن المال إنما يضمن باليد أو بالإتلاف ولم يوجد شيء من ذلك ولهذا لا يضمن الوديعة إذا ترك أخذها فكذلك اللقطة.
PASAL: Apakah wajib mengambil luqathah?
Al-Muzanī meriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku tidak menyukai meninggalkannya.” Dan dalam al-Umm dikatakan: “Tidak boleh meninggalkannya.” Maka sebagian dari kalangan kami mengatakan ada dua pendapat:
Pertama, tidak wajib, karena ia adalah amanah, maka tidak wajib mengambilnya seperti wadi‘ah.
Kedua, wajib, berdasarkan riwayat dari Ibn Mas‘ūd bahwa Nabi SAW bersabda: “Harta seorang mukmin itu haram (terpelihara) sebagaimana darahnya.” Seandainya ia takut atas dirinya, maka wajib baginya menjaga (harta itu); maka demikian juga jika ia takut atas hartanya.
Abū al-‘Abbās, Abū Isḥāq, dan selain keduanya mengatakan: Jika berada di tempat yang tidak dikhawatirkan (keamanannya) karena penduduknya dapat dipercaya, maka tidak wajib atasnya (mengambil), karena orang lain bisa menggantikannya dalam menjaga harta itu. Dan jika berada di tempat yang dikhawatirkan karena kurangnya kepercayaan penduduknya, maka wajib atasnya mengambilnya, karena tidak ada yang bisa menggantikannya, maka menjadi wajib atasnya.
Maka dua pendapat tadi dibawa pada dua keadaan ini. Jika ia meninggalkannya dan tidak mengambilnya, maka ia tidak menanggung (ganti rugi), karena harta hanya ditanggung dengan tangan (menguasai) atau dengan merusak, dan tidak ditemukan salah satu dari keduanya. Oleh karena itu, tidak ditanggung wadi‘ah jika ditinggalkan tanpa diambil, maka demikian pula luqathah.
فصل: وإن أخذها اثنان كانت بينهما كما لو أخذا صيداً كان بينهما فإن أخذها واحداً وضاعت منه ووجدها غيره وجب عليه ردها إلى الأول لأنه سبق إليها فقدم كما لو سبق إلى موات فتحجره.
PASAL: Jika luqaṭah itu diambil oleh dua orang, maka ia menjadi milik bersama di antara keduanya, sebagaimana jika keduanya menangkap hewan buruan, maka hewan itu menjadi milik bersama keduanya.
Jika luqaṭah diambil oleh satu orang lalu hilang darinya, kemudian ditemukan oleh orang lain, maka orang yang menemukannya wajib mengembalikannya kepada orang pertama, karena ia telah lebih dahulu terhadapnya, maka ia lebih berhak, sebagaimana seseorang yang lebih dahulu pada tanah mati lalu memagari (menghidupkan) nya.
فصل: وإذا أخذها عرف عفاصها – وهو الوعاء الذي تكون فيه – ووكاءها – وهو الذي تشد به – وجنسها وقدرها لما روى زيد بن خلد الجهني أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن اللقطة فقال: “أعرف عفاصها ووكاؤها وعرفها سنة فإن جاء من يعرفها وإلا فاخلطها بمالك” فنص على العفاص والوكاء وقسنا عليهما الجنس والقدر ولأنه إذا عرف هذه الأشياء لم تختلط بماله وتعرف به صدق من يدعيها وهل يلزمه أن يشهد عليها وعلى اللقيط؟ فيه ثلاثة أوجه: أحدها لا يجب لأنه دخول في أمانة فلم يجب الإشهاد عليه كقبول الوديعة والثاني يجب
PASAL: Apabila ia mengambilnya, maka ia harus mengenali ‘ifāsh-nya — yaitu wadah tempat barang itu berada — dan *wikā’-nya — yaitu pengikatnya — serta jenis dan kadarnya. Karena Zaid bin Khalid al-Juhani meriwayatkan bahwa Nabi SAW ditanya tentang luqaṭah, lalu beliau bersabda: “Kenalilah ‘ifāsh-nya dan wikā’-nya, dan umumkan selama setahun. Jika datang orang yang mengenalinya, serahkan; jika tidak, maka campurkanlah dengan hartamu.” Maka beliau menyebutkan secara nash ‘ifāsh dan wikā’, lalu kami meng-qiyaskan padanya jenis dan kadar. Karena jika ia mengenali hal-hal ini, maka barang itu tidak akan bercampur dengan hartanya, dan dengannya dapat dikenali kebenaran orang yang mengakuinya.
Apakah wajib baginya untuk menghadirkan saksi atas luqaṭah dan anak temuan (laqīṭ)? Dalam hal ini ada tiga pendapat:
Pertama, tidak wajib, karena termasuk dalam bab amanah, maka tidak wajib menyaksikannya seperti dalam menerima wadī‘ah.
Kedua, wajib…
لما روى عياض بن حمار رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من التقط لقطة فليشهد ذا عدل أو ذوي عدل ولا يكتم ولا يغيب” ولأنه إذا لم يشهد لم يؤمن أن يموت فتضيع اللقطة أو يسترق اللقيط والثالث أنه لا يجب على اللقطة لأنه اكتساب مال فلم يجب الإشهاد عليه كالبيع ويجب على اللقيط لأنه يحفظ به النسب فوجب الإشهاد عليه كالنكاح وإن أخذها وأراد الحفظ على صاحبها لم يلزمه التعريف لأن التعريف للتملك فإذا لم يرد التملك لم يجب التعريف
Karena telah diriwayatkan dari ‘Iyāḍ bin Ḥimār RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa mengambil luqaṭah, maka hendaklah ia menghadirkan saksi seorang yang adil atau dua orang yang adil, dan janganlah ia menyembunyikannya atau menghilangkannya.” Dan karena jika ia tidak menghadirkan saksi, dikhawatirkan ia meninggal dunia sehingga luqaṭah itu hilang, atau laqīṭ itu menjadi budak.
Pendapat ketiga: tidak wajib menghadirkan saksi atas luqaṭah, karena ia adalah perolehan harta, maka tidak wajib disaksikan seperti halnya jual beli. Namun wajib menghadirkan saksi atas laqīṭ, karena dengannya dapat terjaga nasab, maka wajib menghadirkan saksi sebagaimana dalam pernikahan.
Jika ia mengambil luqaṭah dan hanya bermaksud menjaga untuk pemiliknya, maka tidak wajib baginya melakukan ta‘rīf (pengumuman), karena ta‘rīf itu adalah untuk tujuan memiliki. Maka jika ia tidak berniat memiliki, tidak wajib baginya melakukan ta‘rīf.
فإن أراد أن يتملكها نظرت فإن كان مالاً له قد يرجع من ضاع منه في طلبه لزمه أن يعرفه سنة لحديث عبد الله بن عمرو وحديث زيد بن خالد وهل يجوز تعريفها سنة متفرقة؟ فيه وجهان: أحدهما لا يجوز ومتى قطع استأنف لأنه إذا قطع لم يظهر أمرها ولم يظهر طالبها والثاني يجوز لأن اسم السنة يقع عليها ولهذا لو نذر صوم سنة جاز أن يصوم سنة متفرقة ويجب أن يكون التعريف في أوقات اجتماع الناس كأوقات الصلوات وغيرها وفي المواضع التي يجتمع الناس فيها كالأسواق وأبواب المساجد لأن المقصود لا يحصل إلا بذلك ويكثر منه في الموضع الذي وجدها فيه لأن من ضاع منه شيء يطلبه في الموضع الذي ضاع فيه ولا يعرفها في المساجد
Jika ia ingin memilikinya, maka diperhatikan: jika barang itu termasuk harta yang mungkin dicari oleh pemiliknya yang kehilangan, maka wajib baginya untuk mengumumkannya selama satu tahun, berdasarkan hadis ‘Abdullāh bin ‘Amr dan hadis Zaid bin Khālid.
Apakah boleh mengumumkannya selama setahun secara terpisah-pisah? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, dan apabila terputus, maka ia harus memulai kembali dari awal, karena jika terputus, maka keberadaannya tidak diketahui dan tidak tampak orang yang mencarinya.
Kedua, boleh, karena nama “setahun” berlaku padanya. Oleh karena itu, jika seseorang bernazar puasa setahun, maka boleh baginya untuk berpuasa setahun secara terpisah-pisah.
Wajib baginya untuk mengumumkan pada waktu-waktu berkumpulnya orang-orang, seperti waktu-waktu salat dan semacamnya, serta di tempat-tempat yang biasa menjadi tempat berkumpul orang-orang, seperti pasar dan pintu-pintu masjid, karena maksud (pengumuman) tidak akan tercapai kecuali dengan itu. Dan hendaknya ia lebih sering mengumumkan di tempat di mana ia menemukan barang tersebut, karena orang yang kehilangan sesuatu biasanya mencarinya di tempat barang itu hilang.
Dan tidak boleh mengumumkannya di dalam masjid.
لما روى جابر قال: سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلاً ينشد ضالة في المسجد فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: “لا وجدت” وذلك لأنه كان يكره أن ترفع فيه الأصوات ويقول من ضاع منه شيء أو ضاع منه دنانير ولا يزيد عليها حتى لا يضبطها رجل فيدعيها فإن ذكر النوع والقدر والعفاص والوكاء ففيه وجهان: أحدهما لا يضمن لأن بمجرد الصفة لا يجب الدفع والثاني يضمن لأنه لا يؤمن أن يحفظ ذلك رجل ثم يرافعه إلى من يوجب الدفع بالصفة فإن لم يوجد من يتطوع بالنداء كانت الأجرة على الملتقط لأنه يتملك به
Karena telah diriwayatkan dari Jābir bahwa Rasulullah SAW mendengar seorang laki-laki mencari barang hilang di dalam masjid, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya: “Semoga engkau tidak menemukannya.” Hal itu karena beliau tidak menyukai suara keras ditinggikan di dalam masjid.
Dan hendaknya orang yang kehilangan hanya mengatakan: “Barang saya hilang” atau “dinar saya hilang,” dan tidak menambahkan lebih dari itu, agar tidak ada orang yang mencatat cirinya lalu mengakuinya.
Jika orang yang mengaku menyebutkan jenis, kadar, ‘ifāsh, dan wikā’, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, tidak wajib diserahkan kepadanya, karena semata-mata penyebutan ciri tidak cukup untuk mewajibkan penyerahan.
Kedua, wajib diserahkan, karena dikhawatirkan ada orang yang mengingat ciri-ciri itu, lalu menggugat kepada hakim yang mewajibkan penyerahan berdasarkan ciri-ciri tersebut.
Jika tidak ada orang yang bersedia secara sukarela mengumumkan, maka biaya pengumuman ditanggung oleh orang yang memungut, karena ia bermaksud memiliki dengannya.
وإن كانت اللقطة مما لا يطلب كالتمرة واللقمة لم تعرف لما روى أنس قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على تمرة في الطريق مطروحة فقال: “لولا أن أخشى أن تكون من الصدقة لأكلتها” وإن كان مما يطلب إلا أنه قليل ففيه ثلاثة أوجه: أحدها يعرف القليل والكثير سنة وهو ظاهر النص لعموم الأخبار والثاني لا يعرف الدينار لما روي أن علياً كرم الله وجهه وجد ديناراً فعرفه ثلاثاً فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: “كله أو شأنك به” والثالث يعرف ما يقطع فيه السارق ولا يعرف ما دونه لأنه تافه ولهذا قالت عائشة رضي الله عنها: ما كانت اليد تقطع على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم في الشيء التافه.
Dan jika luqaṭah itu termasuk barang yang tidak dicari, seperti sebutir kurma atau sesuap makanan, maka tidak wajib diumumkan, berdasarkan riwayat dari Anas, ia berkata: Rasulullah SAW melewati sebutir kurma yang tergeletak di jalan, lalu beliau bersabda: “Kalau bukan karena aku khawatir itu termasuk dari sedekah, niscaya aku akan memakannya.”
Dan jika termasuk barang yang dicari, tetapi sedikit, maka ada tiga pendapat:
Pertama, baik yang sedikit maupun yang banyak wajib diumumkan selama satu tahun, dan ini adalah pendapat yang tampak dari nash, karena keumuman hadits-hadits.
Kedua, tidak wajib diumumkan untuk satu dinar, berdasarkan riwayat bahwa ‘Alī karamallāhu wajhah menemukan satu dinar dan mengumumkannya selama tiga hari, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya: “Makanlah atau terserah kepadamu.”
Ketiga, wajib diumumkan untuk barang yang jika dicuri dikenakan potong tangan, dan tidak wajib untuk yang di bawah itu, karena dianggap remeh. Oleh karena itu, ‘Āisyah RA berkata: “Pada masa Rasulullah SAW, tangan tidak dipotong karena barang yang remeh.”
فصل: فإن عرفها فلم يجد صاحبها ففيه وجهان: أحدهما تدخل في ملكه بالتعريف لحديث عبد الله بن عمرو بن العاص أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “فإن جاء صاحبها وإلا فهي له” ولأنه كسب مال بفعل فلم يعتبر فيه اختيار التملك كالصيد والثاني أنه يملكه باختيار التملك لما روي في حديث زيد بن خالد الجهني أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “فإن جاء صاحبها وإلا فشأنك بها” فجعله إلى اختياره ولأنه تملك ببدل فاعتبر فيه اختيار التملك كالملك بالبيع وحكى فيه وجهان آخران: أحدهما أنه يملك بمجرد النية والثاني يملكه بالتصرف ولا وجه لواحد منهما ولا فرق في ملكها بين الغني والفقير لقوله صلى الله عليه وسلم: “فإن جاء صاحبها وإلا فشأنك بها” ولم يفرق لأنه ملك بعوض فاستوى فيه الغني والفقير كالملك في القرض والبيع.
PASAL: Jika ia telah mengumumkannya namun tidak menemukan pemiliknya, maka ada dua pendapat: pertama, ia menjadi miliknya dengan pengumuman berdasarkan hadis ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āṣ bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika pemiliknya datang, (kembalikan padanya), jika tidak maka itu miliknya.” Karena ia memperoleh harta dengan perbuatan, maka tidak disyaratkan adanya pilihan untuk memilikinya, seperti dalam perburuan. Kedua, ia memilikinya dengan pilihan untuk memilikinya, berdasarkan hadis Zayd bin Khālid al-Juhani bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika pemiliknya datang, (kembalikan padanya), jika tidak maka terserah padamu.” Maka Nabi SAW menyerahkannya kepada pilihannya. Karena itu adalah kepemilikan dengan ganti, maka disyaratkan adanya pilihan untuk memilikinya, seperti kepemilikan dengan jual beli.
Dan dinukil dua pendapat lainnya: pertama, ia menjadi milik dengan sekadar niat, kedua, ia menjadi milik dengan tindakan (atas barang itu), dan keduanya tidak memiliki dasar yang kuat.
Dan tidak ada perbedaan dalam kepemilikan antara orang kaya dan orang miskin, karena sabda Nabi SAW: “Jika pemiliknya datang, (kembalikan padanya), jika tidak maka terserah padamu,” dan Nabi SAW tidak membedakan. Karena itu adalah kepemilikan dengan ganti, maka disamakan antara orang kaya dan orang miskin, seperti dalam kepemilikan melalui pinjaman dan jual beli.
فصل: فغن حضر صاحبها قبل أن يملكها نظرت فإن كانت العين باقية وجب ردها مع الزيادة المتصلة والمنفصلة لأنها باقية على ملكه وإن كانت تالفة لم يلزم الملتقط ضمانها لأنه يحفظ لصاحبها فلم يلزم ضمانها من غير تفريط كالوديعة وإن حضر بعد ما ملكها فإن كانت باقية وجب ردها وإن كانت تالفة وجب عليه بدلها وقال الكرابيسي لا يلزمه ردها ولا ضمان بدلها لأنه مال لا يعرف له مالك فإذا ملكه لم يلزمه رده ولا ضمان بدلها لأنه مال لا يعرف له مالك فإذا ملكه لم يلزمه رده ولا ضمان بدله كالركاز والمذهب الأول
PASAL: Jika pemiliknya datang sebelum ia memilikinya, maka dilihat: jika benda itu masih ada, wajib mengembalikannya beserta tambahan yang bersambung maupun terpisah, karena masih berada dalam kepemilikannya. Jika telah rusak, maka tidak wajib bagi orang yang memungutnya untuk menggantinya, karena ia menjaga milik orang lain, maka tidak wajib mengganti tanpa adanya kelalaian, seperti dalam hal wadi‘ah.
Jika ia datang setelah barang itu dimiliki, maka jika barangnya masih ada, wajib dikembalikan. Jika telah rusak, wajib mengganti dengan barang sepadan.
Adapun menurut al-Karābīsī, tidak wajib mengembalikannya dan tidak pula mengganti barang sepadan, karena itu adalah harta yang tidak diketahui pemiliknya. Maka apabila telah dimiliki, tidak wajib mengembalikannya dan tidak pula menggantinya, seperti rikāz. Namun pendapat yang benar adalah pendapat pertama.
لما روى أبو سعيد الخدري أن علياً كرم الله وجهه وجد ديناراً فجاء صاحبه فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “أده” قال علي قد أكلته فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “إذا جاء ناشئ أديناه” ويخلف الركاز فإنه مال لكافر لا حرمة له وهذا مال مسلم ولهذا لا يلزمه تعريف الركاز ويلزمه تعريف اللقطة فإن كانت العين باقية فقال الملتقط أنا أعطيك البدل لم يجبر المالك على قبوله لأنه يمكنه الرجوع إلى عين ماله فلا يجبر على قبول البدل وإن حضر وقد باعها الملتقط وبينهما خيار ففيه وجهان: أحدهما يفسخ البيع ويأخذ لأنه يستحق العين والعين باقية
Karena telah diriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī bahwa ‘Alī Karramallāhu Wajhah menemukan satu dinar, lalu datang pemiliknya, maka Nabi SAW bersabda: “Bayarkanlah.” ‘Alī berkata: “Aku telah memakannya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Jika suatu saat datang orang yang menagih, kita akan membayarkannya.”
Ini berbeda dengan rikāz, karena itu adalah harta milik orang kafir yang tidak memiliki kehormatan, sedangkan ini adalah harta milik seorang Muslim. Oleh karena itu, tidak wajib memperkenalkan rikāz, tetapi wajib memperkenalkan luqaṭah.
Jika barangnya masih ada dan orang yang memungut berkata: “Aku akan memberimu ganti,” maka pemilik tidak dipaksa untuk menerimanya, karena ia masih bisa kembali kepada barang miliknya, maka tidak dipaksa menerima ganti.
Jika pemilik datang dan si pemungut telah menjualnya, sedangkan antara dia dan pembeli masih ada hak khiyār, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, jual beli dibatalkan dan ia berhak mengambilnya, karena ia berhak atas barang tersebut, dan barangnya masih ada.
والثاني لا يجوز له أن يفسخ لأن الفسخ حق للعاقد فلا يجوز لغيره من غير إذنه وإن حضر وقد زادت العين فإن كانت زيادة متصلة رجع فيها مع الزيادة وإن كانت زيادة منفصلة رجع فيها دون الزيادة لأنه فسخ ملك فاختلفت فيه الزيادة المتصلة والمنفصلة كالرد بالعيب.
Dan pendapat kedua: tidak boleh baginya membatalkan, karena pembatalan adalah hak pihak yang berakad, maka tidak boleh dilakukan oleh selainnya tanpa izinnya.
Jika pemilik datang dan barang tersebut telah mengalami penambahan, maka jika penambahannya bersifat menyatu (muttaṣilah), ia berhak mengambilnya beserta penambahan tersebut. Namun jika penambahannya terpisah (munfaṣilah), maka ia hanya berhak atas barang asal tanpa penambahannya, karena ini termasuk pembatalan kepemilikan, maka dibedakan antara penambahan yang menyatu dan yang terpisah, sebagaimana dalam pengembalian karena cacat.
فصل: وإن جاء من يدعيها ووصفها فإن غلب على ظنه أنها له أن يدفع إليه ولا يلزمه الدفع لأنه مال للغير فلا يجب تسليمه بالوصف كالوديعة فإن دفع إليه بالوصف ثم جاء غيره وأقام البينة أنها له قضى بالبينة لأنها حجة توجب الدفع فقدمت على الوصف فإن كانت باقية ردت على صاحب البينة وإن كانت تالفة فله أن يضمن الملتقط لأنه دفع ماله بغير حق وله أن يضمن الآخذ لأنه أخذ ماله بغير حق فإن ضمن الآخذ لم يرجع على الملتقط لأنه إن كان مستحقاً عليه فقد دفع ما وجب عليه فلم يرجع وإن كان مظلوماً لم يجز أن يرجع على غير من ظلمه فلا يرجع على من لم يظلمه وإن لم يقر له ولكنه قال يغلب على ظني أنها لك فله الرجوع لأنه بان بأنه لم يكن له وقد تلف في يده فاستقر الضمان عليه.
PASAL: Jika datang seseorang yang mengakuinya (yaitu luqaṭah) dan menyebutkan ciri-cirinya, maka jika kuat dugaan bahwa barang itu miliknya, boleh diserahkan kepadanya. Namun, tidak wajib menyerahkannya karena itu adalah harta milik orang lain, maka tidak wajib diserahkan hanya berdasarkan ciri, seperti halnya wadi‘ah.
Jika ia menyerahkannya hanya dengan menyebutkan ciri, lalu datang orang lain dengan membawa bukti bahwa barang itu miliknya, maka diputuskan berdasarkan bukti karena bukti merupakan dalil yang mewajibkan penyerahan, sehingga lebih didahulukan daripada ciri. Jika barangnya masih ada, dikembalikan kepada orang yang membawa bukti. Jika telah rusak, maka pemilik barang berhak menuntut ganti rugi dari orang yang memungut (al-multaqiṭ) karena ia telah menyerahkan barang orang lain tanpa hak. Ia juga berhak menuntut orang yang mengambilnya karena mengambil harta orang lain tanpa hak.
Jika ia menuntut orang yang mengambilnya, maka orang tersebut tidak boleh menuntut kembali kepada si pemungut, karena jika memang ia berkewajiban (mengembalikan), maka ia telah melaksanakan kewajibannya sehingga tidak bisa menuntut kembali. Dan jika ia dizalimi, maka tidak boleh menuntut kepada selain orang yang menzalimnya, maka tidak bisa menuntut kepada orang yang tidak menzalimnya.
Jika si pemungut tidak mengakui bahwa barang itu milik orang tersebut, namun berkata, “Saya kuat dugaan bahwa barang ini milikmu,” maka ia boleh menuntut ganti rugi karena ternyata barang itu bukan miliknya dan telah rusak di tangannya, maka jaminan (ganti rugi) tetap berlaku atasnya.
فصل: وإن وجد ضالة لم يخل إما أن تكون في برية أو بلد فإن كانت في برية نظرت فإن كانت مما يمتنع على صغار السباع بقوته كالإبل والبقر والخيل والبغال والحمير أو ببعد أثره لسرعته كالظباء والأرانب أو بجناحه كالحمام والدراج لم يجز التقاطه للتملك لما روى زيد بن خالد الجهني قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ضالة الإبل فغضب واحمرت عيناه وقال: “ما لك ولها معها الحذاء والسقاء تأكل من الشجر وترد الماء حتى يأتي ربها” وسئل عن ضالة الغنم فقال: “خذها هي لك أو لأخيك أو للذئب”
PASAL: Jika seseorang menemukan barang hilang, maka tidak lepas dari dua keadaan: berada di padang pasir atau di dalam kota. Jika berada di padang pasir, maka diperhatikan: jika barang tersebut termasuk hewan yang dapat menjaga diri dari binatang buas kecil karena kekuatannya seperti unta, sapi, kuda, bagal, dan keledai, atau karena cepatnya ia hingga sulit dilacak seperti kijang dan kelinci, atau karena memiliki sayap seperti burung merpati dan ayam hutan, maka tidak boleh diambil untuk dimiliki.
Karena diriwayatkan dari Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang unta yang hilang, maka beliau marah hingga memerah kedua matanya dan bersabda: “Apa urusanmu dengannya? Ia bersama alas kaki dan tempat airnya, makan dari pepohonan dan minum air hingga datang pemiliknya.”
Dan beliau ditanya tentang kambing yang hilang, maka beliau bersabda: “Ambillah, ia untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.”
وهل يجوز أخذها للحفظ؟ ينظر فيه فإن كان الواجد هو السلطان جاز لأن للسلطان ولاية في حفظ أموال المسلمين ولهذا روي أنه كان لعمر حظيرة يضع فيها الضوال فإن كان له حمى تركها في الحمى وأشهد عليها ويسمها بسمة الضوال للتميز عن غيرها من الأموال وإن لم يكن له حمى فإن كان يطمع في مجيء صاحبها بأن يعرف أنها من نعم قوم يعرفهم حفظها اليومين والثلاثة وإن لم يعرف أو عرف ولم يجئ صاحبها باعها وحفظ ثمنها لأنه إذا تركها احتاجت إلى نفقة وفي ذلك إضرار
Dan apakah boleh mengambilnya untuk dijaga? Maka diperinci: jika yang menemukannya adalah seorang sulṭān, maka boleh, karena sulṭān memiliki kewenangan dalam menjaga harta kaum muslimin. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa ‘Umar memiliki kandang khusus tempat meletakkan hewan-hewan hilang.
Jika ia memiliki tanah larangan (ḥimā), maka ia tinggalkan hewan tersebut di ḥimā, menyaksikan atasnya, dan memberi tanda khusus milik hewan hilang sebagai pembeda dari harta yang lain. Jika ia tidak memiliki ḥimā dan masih ada harapan datangnya pemilik hewan itu, seperti diketahui bahwa hewan itu berasal dari ternak suatu kaum yang dikenal, maka ia jaga selama dua atau tiga hari.
Namun jika tidak dikenal, atau dikenal namun pemiliknya tidak datang, maka hewan itu dijual dan dijaga uang hasil penjualannya, karena jika ditinggalkan, hewan itu membutuhkan nafkah, dan hal itu mengandung kemudaratan.
وإن كان الواجد لها من الرعية ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه يأخذها للحفظ على صاحبها فجاز كالسلطان والثاني لا يجوز لأنه لا ولاية له على صاحبها بخلاف السلطان فإن أخذها للتملك أو للحفظ وقلنا إنه لا يجوز ضمنها لأنه تعدى بأخذها فضمنها كالغاصب وإن دفعها إلى السلطان ففيه وجهان: أحدهما لا يبرأ من الضمان لأنه لا ولاية للسلطان على رشيد والثاني يبرأ وهو المذهب لأن للسلطان ولاية على الغائب في حفظ ما يخاف عليه من ماله ولهذا لو وجدها السلطان جاز له أخذها للحفظ على مالكها فإذا أخذها غيره وسلمها إليه بريء من الضمان
Jika yang menemukannya adalah dari kalangan rakyat, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh mengambilnya karena ia mengambilnya untuk menjaga harta pemiliknya, maka diperbolehkan sebagaimana sulṭān.
Kedua, tidak boleh karena ia tidak memiliki wewenang atas pemiliknya, berbeda dengan sulṭān.
Jika ia mengambilnya untuk dimiliki atau untuk dijaga—dan kita mengatakan bahwa tidak boleh—maka ia wajib menanggung ganti rugi, karena ia telah melampaui batas dengan mengambilnya, maka ia seperti seorang ghāṣib (perampas).
Jika ia menyerahkannya kepada sulṭān, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia tidak bebas dari tanggungan, karena sulṭān tidak memiliki kewenangan atas orang yang rasyīd (berakal dan dewasa).
Kedua, ia bebas dari tanggungan, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat, karena sulṭān memiliki kewenangan atas orang yang tidak hadir dalam menjaga harta yang dikhawatirkan hilang. Oleh karena itu, jika sulṭān sendiri yang menemukan maka boleh baginya untuk mengambilnya demi menjaga harta pemiliknya, maka jika yang menemukannya orang lain dan kemudian menyerahkannya kepada sulṭān, maka ia bebas dari tanggungan.
وإن كان مما لا يمتنع من صغار السباع كالغنم وصغار الإبل والبقر أخذها لحديث زيد بن خالد الجهني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في ضالة الغنم: “خذها هي لك أو لأخيك أو للذئب” ولأنه إذا تركها أخذها غيره أو أكلها الذئب فكان أخذها أحوط لصاحبها وإذا أخذها فهو بالخيار بين أن يمسكها ويتطوع بالإنفاق عليها ويعرفها حولاً ثم يملكها وبين أن يبيعها ويحفظ ثمنها ويعرفها ثم بمالك الثمن وبين أن يأكلها ويغرم بدلها ويعرفها لأنه إذا لم يفعل ذلك احتاج إلى نفقة دائمة وفي ذلك إضرار بصاحبها والإمساك أولى من البيع والأكل لأنه يحفظ العين على صاحبها ويجري فيها على سنة الإلتقاط في التعريف والتملك والبيع أولى من الأكل
Jika hewan tersebut termasuk yang tidak dapat menjaga diri dari binatang buas kecil seperti kambing, anak unta, dan anak sapi, maka boleh diambil, berdasarkan hadis Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang kambing yang hilang: “Ambillah, ia untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.”
Karena jika dibiarkan, maka akan diambil oleh orang lain atau dimakan oleh serigala, sehingga mengambilnya lebih berhati-hati bagi kepentingan pemiliknya.
Jika ia mengambilnya, maka ia diberi pilihan: antara menahannya dan bersedekah dengan menanggung biayanya serta mengumumkannya selama setahun, lalu memilikinya; atau menjualnya dan menyimpan uang hasil penjualannya, lalu mengumumkannya dan jika tidak ada pemiliknya maka ia memiliki uang tersebut; atau memakannya lalu mengganti nilainya dan tetap mengumumkannya.
Karena jika tidak melakukan salah satu dari ketiga hal itu, maka ia akan terbebani nafkah terus-menerus, dan itu memberatkan pemiliknya.
Menahan hewan lebih utama daripada menjual atau memakannya, karena dengan itu ia menjaga barangnya dalam bentuk aslinya, sesuai dengan sunnah dalam pengambilan dan pengumuman serta perolehan kepemilikan. Adapun menjual lebih utama daripada memakannya.
لأنه إذا أكل استباحها قبل الحول وإذا باع لم يملك الثمن إلا بعد الحول فكان البيع أشبه بأحكام اللقطة فإن أراد البيع ولم يقدر على الحاكم باعها بنفسه لأنه موضع ضرورة وإن قدر على الحاكم ففيه وجهان: أحدهما لا يبيع إلا بإذنه لأن الحاكم له ولاية ولا ولاية للملتقط والثاني يبيع من غير إذنه لأنه قد قام مقام المال فقام مقامه في البيع وإن أكل فهل له أن يعزل البدل مدة التعريف؟ فيه وجهان: أحدهما لا يلزمه لأن كل حالة جاز أن يستبيح أكل اللقطة يلزمه عزل البدل كما بعد الحول ولأنه إذا لم يعزل كان البدل قرضاً في ذمته وإذا عزله كان أمانة والقرض أحوط من الأمانة
Karena jika ia memakan hewan tersebut, berarti ia telah menghalalkannya sebelum genap setahun. Sedangkan jika ia menjualnya, ia tidak memiliki uang hasil penjualannya kecuali setelah genap setahun. Maka penjualan lebih sesuai dengan hukum luqaṭah.
Jika ia ingin menjual namun tidak dapat menjangkau ḥākim, maka ia boleh menjualnya sendiri karena dalam keadaan darurat. Namun jika memungkinkan menjangkau ḥākim, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh menjual kecuali dengan izinnya, karena ḥākim memiliki wewenang, sedangkan orang yang menemukan tidak memiliki wewenang.
Kedua, boleh menjual tanpa izinnya karena ia telah menggantikan posisi harta, maka ia pun menggantikan dalam hal menjual.
Jika ia memakan hewan tersebut, apakah ia boleh menyisihkan gantinya selama masa pengumuman? Maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak wajib menyisihkannya, karena setiap keadaan yang memperbolehkan memakan luqaṭah, maka ia wajib mengganti setelahnya, seperti setelah genap setahun.
Karena jika tidak menyisihkan, maka penggantiannya menjadi utang dalam tanggungannya. Namun jika ia menyisihkan, maka menjadi amanah. Dan menjadikannya sebagai utang (qardh) lebih hati-hati daripada menjadikannya sebagai amanah.
والثاني يلزمه عزل البدل لأنه أشبه بأحكام اللقطة فإن من حكم اللقطة أن تكون أمانة قبل الحول وقرضاً بعد الحول فيصير البدل كاللقطة إن شاء حفظها له وإن شاء عرفها ثم تملك وإن أفلس الملتقط كان صاحبها أحق بها من سائر الغرماء وإن وجد ذلك في بلد فقد روى المزني أن الصغار والكبار في البلد لقطة فمن أصحابنا من قال المذهب ما رواه المزني لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما رفق بين الصغار والكبار في البرية لأن الكبار لا يخاف عليها لأنها ترد الماء وترعى الشجر وتتحفظ بنفسها والصغار يخاف عليها لأنها لا ترد الماء والشجر فتهلك
Pendapat kedua: wajib menyisihkan pengganti karena hal itu lebih menyerupai hukum luqaṭah. Sebab di antara hukum luqaṭah adalah ia berstatus sebagai amanah sebelum genap setahun, dan menjadi utang (qardh) setelah setahun. Maka pengganti itu diperlakukan seperti luqaṭah: jika ia mau, ia simpan untuk pemiliknya; dan jika ia mau, ia umumkan lalu memilikinya.
Jika orang yang menemukan mengalami bangkrut, maka pemiliknya lebih berhak atas ganti tersebut dibanding para kreditur lainnya.
Jika hal ini terjadi di dalam kota, maka al-Muzanī meriwayatkan bahwa hewan besar maupun kecil di dalam kota termasuk luqaṭah. Maka sebagian ulama kami berkata bahwa pendapat yang menjadi mazhab adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Muzanī, karena Nabi SAW hanya membedakan antara hewan besar dan kecil di padang pasir. Sebab hewan besar tidak dikhawatirkan atasnya karena ia bisa mencari air, memakan tumbuhan, dan menjaga diri sendiri. Sedangkan hewan kecil dikhawatirkan atasnya karena tidak bisa mencari air dan tumbuhan, sehingga bisa binasa.
وأما في البلد فالكبار كالصغار في الخوف عليها فكان الجميع لقطة ومن أصحابنا من قال فيه قول آخر إن البلد كالبرية فالصغار فيه لقطة والكبار ليست بلقطة لعموم الخبر فإن قلنا إن البلد كالبرية فالحكم فيه على ما ذكرناه إلا في الأكل فله أن يأكل الصغار في البرية وليس له أكلها في البلد لأن في البرية إذا لم يأكل الصغار هلكت لأنه لا يمكن بيعها وفي البلد يمكن بيعها فلم يجز الأكل وإن قلنا إن الجميع في البلد لقطة فالحكم في الكبار كالحكم في الصغار في البرية إلا في الأكل فإنه لا يأكل في البلد ويأكل الصغار في البرية لما ذكرناه.
Adapun di dalam kota, maka hewan besar seperti hewan kecil sama-sama dikhawatirkan keselamatannya, maka semuanya dianggap luqaṭah.
Sebagian ulama kami mengatakan bahwa ada pendapat lain: bahwa kota itu seperti padang pasir, sehingga hewan kecil termasuk luqaṭah, sedangkan hewan besar tidak termasuk luqaṭah, karena keumuman hadis.
Jika kita mengatakan bahwa kota itu seperti padang pasir, maka hukumnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kecuali dalam hal memakan hewan kecil. Maka di padang pasir, ia boleh memakan hewan kecil, tetapi tidak boleh memakannya di dalam kota. Karena di padang pasir, jika tidak dimakan, maka akan binasa karena tidak memungkinkan untuk dijual, sedangkan di dalam kota memungkinkan untuk dijual, maka tidak boleh dimakan.
Dan jika kita mengatakan bahwa semua hewan di kota adalah luqaṭah, maka hukum hewan besar di kota seperti hukum hewan kecil di padang pasir, kecuali dalam hal memakan, maka tidak boleh dimakan di kota, sedangkan boleh dimakan hewan kecil di padang pasir sebagaimana telah dijelaskan.
فصل: وإن وجد عبداً صغيراً لا تمييز له جاز أن يلتقطه لأنه كالغنم يعرفه حولاً ثم يملكه وإن وجد جارية صغيرة لا تمييز لها فإن كان لا يحل له وطؤها جاز له أن يلتقطها للتملك كما يجوز أن يقترضها وإن كانت تحل له لم يجز أن يلتقطها للتملك كما لا يجوز أن يقترضها.
PASAL: Jika seseorang menemukan seorang budak laki-laki kecil yang belum memiliki kemampuan membedakan, maka boleh memungutnya karena ia seperti kambing; ia dikenalkan selama setahun kemudian menjadi miliknya. Dan jika seseorang menemukan seorang budak perempuan kecil yang belum memiliki kemampuan membedakan, maka jika tidak halal baginya menyetubuhinya, boleh dipungut untuk dimiliki sebagaimana boleh meminjamnya. Namun jika halal baginya menyetubuhinya, maka tidak boleh dipungut untuk dimiliki sebagaimana tidak boleh meminjamnya.
فصل: وإن وجد كلب صيد لم يجز أن ينتفع به قبل الحول فإن عرفه حولاً ولم يجد صاحبه جاز له أن ينتفع به لأن الانتفاع بالكلب كالتصرف في المال والتصرف في المال يقف على التعريف في الحول فكذلك الإنتفاع بالكلب.
PASAL: Jika seseorang menemukan anjing pemburu, maka tidak boleh memanfaatkannya sebelum genap setahun. Jika ia telah mengumumkannya selama setahun dan tidak menemukan pemiliknya, maka boleh baginya untuk memanfaatkannya. Karena memanfaatkan anjing itu seperti menggunakan harta, dan penggunaan harta bergantung pada pengumuman selama setahun, maka demikian pula halnya dengan memanfaatkan anjing.
فصل: وإن وجد مالاً يبقى كالشواء والطبيخ والخيار والبطيخ فهو الخيار بين أن يأكله ويغرم البدل وبين أن يبيعه ويحفظ الثمن على ما ذكرناه في الغنم في بيعه وحفظ ثمنه وأكله وعزل بدله وخرج المزني فيه قولاً آخر أنه يلزمه البيع ولا يجوز الأكل والمذهب الأول لأنه معرض للهلاك فخير فيه بين البيع والأكل كالغنم وإن وجد ما لا يبقى ولكن يمكن التوصل إلى حفظه كالرطب والعنب فإن كان الأنفع لصاحبه أن يباع بيع وإن كان الأنفع أن يجفف جفف وإن احتاج إلى مؤنة في تخفيفه ولم يوجد من يتطوع بيع بعضه وأنفق عليه.
PASAL: Jika seseorang menemukan harta yang dapat bertahan lama seperti daging panggang, makanan matang, mentimun, dan semangka, maka ia diberi pilihan antara memakannya dan mengganti dengan yang sepadan, atau menjualnya dan menyimpan harganya sebagaimana telah kami sebutkan dalam pembahasan tentang kambing mengenai penjualannya, penyimpanan harganya, memakannya, dan memisahkan gantinya. Al-Muzani meriwayatkan pendapat lain bahwa ia wajib menjualnya dan tidak boleh memakannya, namun pendapat yang dianggap sebagai mazhab adalah yang pertama karena barang tersebut rawan rusak, maka diberi pilihan antara menjual atau memakan seperti halnya kambing. Dan jika ia menemukan sesuatu yang tidak tahan lama tetapi masih mungkin dijaga, seperti kurma basah dan anggur, maka jika yang lebih bermanfaat bagi pemiliknya adalah dijual, maka dijual; dan jika yang lebih bermanfaat adalah dikeringkan, maka dikeringkan. Jika membutuhkan biaya dalam proses pengeringannya dan tidak ditemukan orang yang bersedia melakukan secara sukarela, maka dijual sebagian untuk menutupi biaya tersebut.
فصل: وإن وجد خمراً أراقها صاحبها لم يلزمه تعريفها لأن إراقتها مستحقة فلم يجز التعريف فإن صارت عنده خلاً ففيه وجهان: أحدهما أنها لمن أراقها لأنها عادت إلى الملك السابق والملك السابق للذي أراق فعاد إليه كما لو غصبه من رجل فصار في يده خلاً والثاني أنه للملتقط لأن الأول أسقط منها فصارت في يد الثاني ويخالف المغصوبة لأنها أخذت بغير رضاه فوجب ردها إليه.
PASAL: Jika seseorang menemukan khamar yang telah dibuang oleh pemiliknya, maka ia tidak wajib mengumumkannya, karena pembuangan khamar adalah sesuatu yang wajib, maka tidak sah dilakukan pengumuman terhadapnya.
Jika khamar itu berubah menjadi cuka di tangannya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, cuka itu milik orang yang membuangnya, karena ia kembali kepada kepemilikan sebelumnya, dan kepemilikan sebelumnya adalah milik orang yang membuangnya, maka kembali kepadanya sebagaimana jika seseorang merampas khamar dari orang lain lalu berubah menjadi cuka di tangannya.
Kedua, cuka itu milik orang yang menemukannya, karena pemilik pertama telah membuangnya, maka menjadi milik orang kedua. Ini berbeda dengan barang rampasan, karena diambil tanpa kerelaan pemiliknya, maka wajib dikembalikan kepadanya.
فصل: فأما العبد إذا وجد لقطة ففيه قولان: أحدهما له أن يلتقط لأنه كسب بفعل فجاز للعبد كالإصطياد والثاني لا يجوز لأن الإلتقاط يقتضي ولاية قبل الحول وضماناً بعد الحول والعبد ليس من أهل الولاية ولا له ذمة يستوفى منها الحق إلى أن يعتق ويوسر فإن قلنا إنه يجوز أن يلتقط فهلك في يده من غير تفريط لم يضمن وإن هلك بتفريط ضمنها في رقبته فتباع فيها وإن عرفها صح تعريفه ولا يملك به لأنه في أحد القولين لا يملك المال وفي الثاني يملك إذا ملكه السيد وههنا لم يملكه السيد
PASAL: Adapun seorang budak apabila menemukan luqaṭah, maka ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa ia boleh memungutnya karena itu merupakan perolehan dengan perbuatan, maka diperbolehkan bagi budak sebagaimana perburuan. Pendapat kedua menyatakan tidak boleh, karena pemungutan luqaṭah mengandung unsur wewenang sebelum genap satu tahun, dan tanggungan setelah genap satu tahun, sementara budak bukan termasuk pihak yang memiliki wewenang dan tidak memiliki tanggungan hukum yang bisa diambil darinya, kecuali setelah merdeka dan mampu.
Jika dikatakan bahwa ia boleh memungutnya, lalu luqaṭah itu rusak di tangannya tanpa adanya kelalaian, maka ia tidak menanggung. Namun jika rusak karena kelalaiannya, maka ia menanggungnya dari harga dirinya, lalu ia dijual untuk menutupi tanggungan tersebut.
Jika ia mengenalkan luqaṭah itu, maka sah pengenalannya, namun ia tidak menjadi pemilik karenanya, karena menurut salah satu dari dua pendapat ia tidak memiliki harta, dan menurut pendapat yang lain ia hanya memiliki bila dikuasakan oleh tuannya, sementara dalam kasus ini tuannya tidak mewakilkan kepemilikan kepadanya.
فإن قلنا إن الملتقط يملك بالتعريف من غير اختيار التملك دخل في ملك السيد كما يدخل في ملكه ما التقطه وعرفه وإن قلنا لا يملك إلا باختيار التملك وقف على اختياره فإن تملكها العبد وتصرف فيها ففيه وجهان: أحدهما يضمنها في ذمته ويتبع بها إذا عتق كما لو اقترض شيئاً والثاني يضمنها في رقبته لأنه مال لزمه بغير رضا من له الحق فتعلق برقبته كأرش الجناية وإن علم السيد نظرت فإن لم يكن عرفها العبد عرفها السيد حولاً ثم تملك
Maka jika kita katakan bahwa al-multaqiṭ memiliki dengan pengenalan tanpa adanya pilihan untuk memiliki, maka masuklah ia ke dalam milik tuannya, sebagaimana segala sesuatu yang dipungut budak lalu ia mengenalkannya masuk ke dalam milik tuannya. Dan jika kita katakan bahwa ia tidak memilikinya kecuali dengan pilihan untuk memiliki, maka hal itu tergantung pada pilihannya. Jika budak itu memilih untuk memilikinya lalu ia melakukan tasharruf padanya, maka ada dua wajah:
Pertama, ia menanggungnya dalam tanggungannya (żimmah) dan ia akan dituntut ketika ia merdeka, sebagaimana bila ia berutang sesuatu.
Kedua, ia menanggungnya dalam harga dirinya (raqabah), karena itu adalah harta yang wajib atasnya tanpa keridaan pemilik hak, maka terkaitlah pada harga dirinya sebagaimana arasy al-jināyah.
Dan jika tuannya mengetahuinya, maka diperinci: bila budak itu tidak mengenalkannya, maka tuannya yang mengenalkan selama setahun, kemudian tuannya memilikinya.
وإن عرفها العبد تملكها السيد في الحال لأن تعريف العبد كتعريفه فإن عرفها العبد بعض الحول عرفها السيد ما بقي ثم تملك وإن أقرها في يد العبد نظرت فإن كان العبد أميناً لم يضمن كما لا يضمن ما التقطه بنفسه وسلمه إلى عبده وإن كان خائناً ضمنها كما لو التقطها بنفسه وسلمها إليه وهو خائن وإن قلنا إنه لا يجوز أن يلتقط فالتقط ضمنها في رقبته لأنه أخذ مال غيره بغير حق فأشبه إذا غصبه وإن عرفها لم يصح تعريفه لأنها ليست في يده بحكم اللقطة فإن علم السيد نظرت فإن أخذها صارت في يده أمانة لأنه ما يجوز له أخذه بحكم الإلتقاط فصار كما لو وجد لقطة فالتقطها ويبرأ العبد من الضمان
Dan jika budak itu mengenalkannya, maka tuanlah yang langsung memilikinya, karena pengenalan budak sama seperti pengenalan tuannya. Jika budak mengenalkannya sebagian dari setahun, maka sisanya dikenalkan oleh tuannya, kemudian tuannya memilikinya.
Jika tuan membiarkannya tetap di tangan budak, maka dilihat: bila budak itu seorang yang terpercaya, maka ia tidak menanggung, sebagaimana tuan tidak menanggung atas apa yang ia pungut sendiri lalu diserahkan kepada budaknya. Namun bila budak itu seorang yang khianat, maka ia menanggungnya, sebagaimana bila tuan memungut sendiri lalu menyerahkannya kepada seorang yang khianat.
Dan bila kita katakan bahwa budak tidak boleh memungut, lalu ia memungutnya, maka ia menanggungnya pada harga dirinya (raqabah), karena ia telah mengambil harta orang lain tanpa hak, maka serupa dengan ketika ia merampasnya. Jika ia mengenalkannya, maka tidak sah pengenalannya karena barang itu tidak berada di tangannya berdasarkan hukum luqaṭah. Jika tuannya mengetahuinya, maka diperinci: bila tuan mengambilnya, maka barang itu menjadi amanah di tangannya, karena ia termasuk sesuatu yang boleh ia ambil dengan hukum pemungutan luqaṭah. Maka hal itu sama seperti bila ia sendiri menemukan luqaṭah lalu memungutnya, dan budak pun bebas dari tanggungan.
لأنه دفعها إلى من يجوز الدفع إليه فبرئ من الضمان كما لو دفعها إلى الحاكم وإن أراد أن يتملك ابتدأ التعريف ثم يتملك ابتدأ التعريف ثم تملك فإن أقرها في يد العبد ليعرفها فإن كان أميناً لم يضمن كما لو استعان به في تعريف ما التقطه بنفسه وإن لم يأخذها ولا أقرها في يده ولكنه أهملها فقد روى المزني أنه يضمنها في رقبة العبد وروى الربيع أنه يضمنها في ذمته ورقبة العبد فمن أصحابنا من قال: الصحيح ما رواه المزني أنه يختص برقبته لأن الذي أخذ هو العبد فاختص الضمان برقبته فعلى هذا إن تلف العبد سقط الضمان
Karena ia menyerahkannya kepada orang yang boleh diserahi, maka lepaslah ia dari tanggungan, sebagaimana bila ia menyerahkannya kepada hakim. Dan jika ia ingin memilikinya, maka ia memulai pengenalan dari awal, lalu setelah itu ia memilikinya.
Jika ia membiarkan barang itu tetap di tangan budak untuk dikenalkan, maka bila budak itu terpercaya, ia tidak menanggung, sebagaimana bila tuan meminta bantuannya dalam mengenalkan apa yang ia pungut sendiri.
Namun bila tuan tidak mengambilnya, tidak pula membiarkannya di tangan budak, tetapi ia menelantarkannya, maka al-Muzani meriwayatkan bahwa ia menanggungnya pada harga diri budak (raqabah), dan ar-Rabi‘ meriwayatkan bahwa ia menanggungnya pada tanggungannya (żimmah) dan harga diri budak sekaligus.
Sebagian ulama kami berkata: yang shahih adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Muzani, bahwa tanggungannya khusus pada harga diri budak, karena yang mengambil adalah budak, maka khususlah tanggungan pada dirinya. Atas dasar itu, jika budak itu binasa, gugurlah tanggungannya.
وقال أبو إسحاق: الصحيح ما رواه الربيع وأنه يتعلق بذمة السيد ورقبة العبد لأن العبد تعدى بالأخذ والسيد تعدى بالترك فاشتركا في الضمان فعلى هذا إن تلف العبد لم يسقط الضمان وإن التقط العبد لقطة ولم يعلم السيد بها حتى أعتقه فعلى القولين إن قلنا إنه يجوز للعبد أن يلتقط كان للسيد أن يأخذها منه لأنه كسب له حصل في حال الرق فكان للسيد كسائر أكسابه وإن قلنا لا يجوز للعبد أن يلتقط كان للسيد أن يأخذها منه لأنه كسب له حصل له في حال الرق فكان السيد كسائر أكسابه وإن قلنا لا يجوز أن يلتقط لم يكن للسيد أن يأخذها منه لأنه لم يثبت للعبد عليه الإلتقاط فعلى هذا يكون العبد لأنها في يده وهو من أهل الالتقاط ويحتمل أن لا يكون أحق بها لأن يده يد ضمان فلا تصير يد أمانة.
Dan Abū Isḥāq berkata: yang ṣaḥīḥ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ar-Rabī‘, yaitu bahwa tanggungannya terkait dengan żimmah tuan dan raqabah budak, karena budak telah melampaui batas dengan mengambil, dan tuan melampaui batas dengan meninggalkan, maka keduanya berserikat dalam tanggungan. Atas dasar ini, jika budak itu binasa, tidak gugurlah tanggungan.
Dan jika seorang budak memungut luqaṭah tanpa sepengetahuan tuannya hingga kemudian ia dimerdekakan, maka berlaku dua pendapat:
Jika kita katakan bahwa budak boleh memungut, maka tuan berhak mengambilnya dari budak, karena itu merupakan hasil usaha yang diperoleh di masa perbudakan, sehingga ia milik tuan sebagaimana hasil-hasil usahanya yang lain.
Dan jika kita katakan bahwa budak tidak boleh memungut, maka tuan tetap berhak mengambilnya, karena itu merupakan hasil usaha yang diperoleh di masa perbudakan, maka sama hukumnya dengan hasil-hasil usahanya yang lain.
Namun jika kita katakan bahwa budak tidak boleh memungut, maka tuan tidak berhak mengambilnya, karena ihtilāṭ (pemungutan) itu tidak sah bagi budak. Atas dasar ini, maka yang berhak adalah budak, karena ia berada di tangannya dan ia termasuk ahli pemungutan. Akan tetapi ada kemungkinan bahwa ia tidak lebih berhak atasnya, karena tangannya adalah tangan tanggungan, maka tidak berubah menjadi tangan amanah.
فصل: وإن وجد المكاتب لقطة فالمنصوص أنه كالحر واختلف أصحابنا فيه فمنهم من قال: إنه كالحر قولاً واحداً لأنه يملك التصرف في المال وله ذمة يستوفي منها الحق فهو كالحر ومنهم من قال: هو كالعبد لأنه ناقص بالرق كالعبد فيكون في التقاطه قولان: فإن قلنا إنه كالحر أو قلنا إنه كالعبد وجوزنا التقاطه صح تعريفه فإذا عرفها ملكها لأنه من أهل الملك وإذا قلنا إنه كالعبد ولم نجوز التقاطه صار ضامناً لأنه تعدى بالأخذ ويجب أن يسلمها إلى السلطان لأنه لا يمكن إقرارها في يده لأنها في يده بغير حق ولا يمكن تسليمها إلى السيد لأنه لا حق له في إكسابه فوجب تسليمها إلى السلطان فإن أخذها السلطان برئ المكاتب من الضمان فتكون في يده السلطان أبداً إلى أن يجد صاحبها.
PASAL: Jika seorang mukātib menemukan luqaṭah, maka pendapat yang dinyatakan oleh imam adalah bahwa ia seperti orang merdeka. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian dari mereka berkata: ia seperti orang merdeka menurut satu pendapat, karena ia memiliki hak untuk melakukan transaksi terhadap harta dan memiliki żimmah yang dapat digunakan untuk menagih hak, maka ia seperti orang merdeka. Dan sebagian yang lain berkata: ia seperti budak karena status budaknya masih melekat, maka dalam hal pengambilan luqaṭah terdapat dua pendapat:
Jika kita mengatakan bahwa ia seperti orang merdeka, atau mengatakan bahwa ia seperti budak namun kita membolehkan ia mengambil luqaṭah, maka sah ia melakukan taʿrīf (pengumuman), dan jika ia telah mengumumkannya, maka ia memilikinya karena ia termasuk orang yang berhak untuk memiliki.
Namun jika kita mengatakan bahwa ia seperti budak dan tidak membolehkan ia mengambil luqaṭah, maka ia menjadi penanggung karena telah melakukan tindakan taʿaddī (melampaui batas) dengan mengambilnya, dan ia wajib menyerahkannya kepada penguasa, karena tidak mungkin membiarkannya berada di tangannya sebab ia memegangnya tanpa hak. Tidak mungkin juga diserahkan kepada tuannya karena tuan tidak memiliki hak atas hasil usaha mukātib, maka wajib diserahkan kepada penguasa. Jika penguasa telah mengambilnya, maka mukātib bebas dari tanggungan, dan barang itu berada di tangan penguasa selama-lamanya hingga ditemukan pemiliknya.
فصل: وإن وجد اللقطة من نصفه حر ونصفه عبد فالمنصوص أنه كالحر فمن أصحابنا من قال: هو كالحر قولاً واحداً لأنه تملك ملكاً تاماً وله ذمة صحيحة فهو كالحر ومنهم من قال هو كالعبد القن لما فيه من نقص الرق فيكون على قولين فإذا قلنا إنه كالحر نظرت فإن لم يكن بينه وبين السيد مهايأة كانا شريكين فيها كسائر أكسابه وإن كانت بينهما مهايأة فإن قلنا إن الكسب النادر لا يدخل في المهايأة كانت اللقطة بينهما لأنه بمنزلة ما لم يكن بينهما مهايأة وإن قلنا إن الكسب النادر يدخل في المهايأة كانت اللقطة لمن وجدها في يومه.
PASAL: Apabila yang menemukan luqaṭah adalah seseorang yang setengah merdeka dan setengah budak, maka menurut nash ia diperlakukan seperti orang merdeka.
Sebagian ulama kami mengatakan: ia diperlakukan seperti orang merdeka secara mutlak, karena ia memiliki kepemilikan yang sempurna dan memiliki żimmah yang sah, maka hukumnya seperti orang merdeka.
Sebagian yang lain mengatakan: ia diperlakukan seperti budak qinn karena masih ada kekurangan dari sisi perbudakan, sehingga menjadi dua pendapat.
Apabila kita katakan bahwa ia diperlakukan seperti orang merdeka, maka dilihat: bila tidak ada perjanjian pembagian waktu (muhāya’ah) antara dia dan tuannya, maka keduanya berserikat dalam luqaṭah itu sebagaimana dalam seluruh hasil usahanya. Tetapi bila ada muhāya’ah antara keduanya, maka jika kita katakan bahwa penghasilan yang jarang tidak termasuk dalam muhāya’ah, maka luqaṭah itu menjadi milik bersama, karena kedudukannya seperti tanpa muhāya’ah. Dan jika kita katakan bahwa penghasilan yang jarang termasuk dalam muhāya’ah, maka luqaṭah itu menjadi milik siapa yang menemukannya pada harinya.
فصل: وإن وجد المحجور عليه لسفه أو جنون أو صغر لقطة صح التقاطه لأنه كسب بفعل فصح المحجور عليه كالإصطياد وعلى الناظر في أمره أن ينتزعها منه ويعرفها لأن اللقطة في مدة التعريف أمانة والمحجور عليه ليس من أهل الأمانة فإن كان ممن يجوز الاقتراض عليه تملكها له وإن كان ممن لا يجوز الاقتراض عليه لم يتملك له لأن التملك بالالتقاط كالتملك بالاقتراض في ضمان البدل.
PASAL: Jika orang yang dibawah perwalian karena kebodohan, kegilaan, atau masih kecil menemukan luqaṭah, maka sah pengambilannya, karena ia merupakan perolehan dengan perbuatan, maka sah dilakukan oleh orang yang berada di bawah perwalian sebagaimana perolehan dengan cara berburu.
Wali yang mengurus urusannya wajib mengambil luqaṭah tersebut darinya dan mengumumkannya, karena luqaṭah selama masa pengumuman adalah amanah, sedangkan orang yang berada di bawah perwalian bukan termasuk orang yang layak memegang amanah.
Jika ia termasuk orang yang boleh diwakilkan untuk berutang atas namanya, maka ia boleh dimiliki untuknya. Namun jika ia bukan termasuk orang yang boleh diwakilkan untuk berutang atas namanya, maka tidak dimiliki untuknya, karena kepemilikan melalui pengambilan luqaṭah seperti kepemilikan melalui utang dalam hal jaminan pengganti.
فصل: وإن وجد الفاسق لقطة لم يأخذها لأنه لا يؤمن أن لا يؤدي الأمانة فيها فإن التقطها ففيه قولان: أحدهما لا تقر في يده وهو الصحيح لأن الملتقط قبل الحول كالولي في حق الصغير والفاسق ليس من أهل الولاية في المال والثاني تقر في يده لأنه كسب بفعل فأقر في يده كالصيد فعلى هذا يضم إليه من يشرف عليه وهل يجوز أن ينفرد بالتعريف فيه قولان: أحدهما يجوز لأن التعريف لا يفتقر إلى الأمانة والثاني لا يجوز حتى يكون معه من يشرف عليه لأنه لا يؤمن أن يفرط في التعريف فإذا عرفه ملكه لأنه من أهل التملك.
PASAL: Jika seorang fasik menemukan luqaṭah, maka ia tidak boleh mengambilnya karena dikhawatirkan tidak akan menunaikan amanah di dalamnya. Jika ia tetap mengambilnya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak ditetapkan dalam tangannya, dan ini adalah pendapat yang sahih karena orang yang memungut sebelum genap setahun seperti wali terhadap anak kecil, sedangkan orang fasik bukanlah orang yang berhak menjadi wali dalam urusan harta.
Kedua, ditetapkan dalam tangannya karena ia merupakan perolehan dengan perbuatan, maka ditetapkan dalam tangannya seperti halnya hasil perburuan.
Menurut pendapat kedua ini, maka disertakan seseorang yang mengawasinya. Dan apakah boleh ia sendiri yang melakukan pengumuman terhadap luqaṭah? Terdapat dua pendapat:
Pertama, boleh, karena pengumuman tidak mensyaratkan adanya sifat amanah.
Kedua, tidak boleh kecuali disertai seseorang yang mengawasinya, karena dikhawatirkan ia akan lalai dalam melakukan pengumuman.
Jika ia telah mengumumkannya maka ia memilikinya karena ia termasuk orang yang sah memiliki.
فصل: وإن التقط كافر لقطة في دار الإسلام ففيه وجهان: أحدهما يملك بالتعريف لأنه كسب بالفعل فاستوى فيه الكافر والمسلم كالصيد والثاني لا يملك لأن تصرفه بالحفظ والتعريف بالولاية والكافر لا ولاية له على المسلم.
PASAL: Jika seorang kafir mengambil luqaṭah di negeri Islam, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, ia memilikinya setelah melakukan taʿrīf karena itu adalah perolehan melalui perbuatan, maka kafir dan muslim sama dalam hal ini sebagaimana dalam perburuan.
Pendapat kedua, ia tidak memilikinya karena tindakannya dalam menjaga dan mengumumkan termasuk bentuk wilāyah, sedangkan orang kafir tidak memiliki wilāyah atas orang muslim.
التقاط المنبوذ فرض على الكفاية لقوله تعالى: {وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى} ولأنه تخليص آدمي له حرمة من الهلاك فكان فرضاً كبذل الطعام للمضطر.
Kitāb al-Laqīṭ
Memungut anak yang dibuang (al-mandzūḏ) hukumnya fardu kifayah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa-ta‘āwanū ‘ala al-birri wa-at-taqwā} (dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa), dan karena hal itu merupakan penyelamatan manusia yang memiliki kehormatan dari kebinasaan, maka hukumnya wajib sebagaimana memberikan makanan kepada orang yang sangat membutuhkan.
فصل: وإن وجد لقيط مجهول الحال حكم بحريته لما روى سنين أبو جميلة قال: أخذت منبوذاً على عهد عمر رضي الله عنه فذكره عريفي لعمر رضي الله عنه فأرسل إلي فدعاني والعريف عنده فلما رآني قال عسى الغوير أبؤساً فقال عريفي: إنه لا يتهم فقال عمر ما حملك على ما صنعت قلت وجدت نفساً بمضيعة فأحببت أن يأجرني الله تعالى فيه فقال: هو حر وولاؤه لك وعلينا رضاعه ولأن الأصل في الناس الحرية فإن كان عليه ثياب أو حلي أو تحته فراش أو في يده دراهم أو عنان فرس أو كان في دار ليس فيها غيره فهي له لأنه حر فكان ما في يده له كالبالغ
PASAL: Jika ditemukan laqīṭ yang tidak diketahui keadaannya, maka dihukumi merdeka, karena riwayat dari Sinīn Abū Jamīlah, ia berkata: Aku mengambil seorang anak yang ditelantarkan pada masa ‘Umar RA, lalu pemimpin kelompokku menyebutkan hal itu kepada ‘Umar RA. Maka ia mengirimku dan memanggilku, dan pemimpin kelompokku bersamaku. Ketika ‘Umar melihatku, ia berkata: “Mudah-mudahan al-Ghuwayr tidak membawa keburukan.” Maka pemimpin kelompokku berkata: “Ia tidak dicurigai.” Lalu ‘Umar bertanya: “Apa yang mendorongmu melakukan hal ini?” Aku menjawab: “Aku menemukan jiwa di tempat yang terbengkalai, maka aku ingin agar Allah memberi ganjaran kepadaku karena hal itu.” Lalu ia berkata: “Ia merdeka, dan walā’-nya untukmu, dan kami menanggung biaya susunya.” Dan karena hukum asal manusia adalah merdeka.
Jika pada dirinya terdapat pakaian atau perhiasan, atau di bawahnya ada alas tidur, atau di tangannya ada dirham, atau tali kekang kuda, atau ia berada di rumah yang tidak ada orang lain di dalamnya, maka semua itu miliknya, karena ia adalah orang merdeka, sehingga apa yang ada di tangannya menjadi miliknya sebagaimana orang dewasa.
وإن كان على بعد منه مال مطروح أو فرس مربوط لم يكن له لأنه لا يد له عليه وإن كان بالقرب منه وليس هناك غيره ففيه وجهان: أحدهما ليس له لأنه لا يد له عليه والثاني لأن الإنسان قد يترك ماله بقربه فإذا لم يكن هناك غيره فالظاهر أنه له وإن كان تحته مال مدفون لم يكن له لأن البالغ لو جلس على الأرض وتحته دفين لم يكن له ذلك فكذلك اللقيط.
Jika ada harta yang diletakkan agak jauh darinya atau kuda yang terikat, maka itu bukan miliknya, karena ia tidak memiliki kekuasaan atasnya. Namun jika harta tersebut berada dekat dengannya dan tidak ada orang lain di sekitarnya, maka ada dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa itu bukan miliknya karena ia tidak memiliki kekuasaan atasnya, dan pendapat kedua menyatakan bahwa itu miliknya, karena seseorang bisa saja meninggalkan hartanya di dekatnya, maka apabila tidak ada orang lain di sekitarnya, maka yang tampak adalah bahwa harta itu miliknya.
Jika ada harta terpendam di bawahnya, maka itu bukan miliknya, karena orang dewasa pun jika duduk di atas tanah dan di bawahnya ada harta terpendam, maka itu bukan miliknya. Maka begitu pula laqīṭ.
فصل: وإن وجد في بلد من بلاد المسلمين وفيه مسلم فهو مسلم لأنه اجتمع له حكم الدار وإسلام من فيها وإن كان في بلد الكفار ولا مسلم فيه فهو كافر لأن الظاهر أنه ولد بين كافرين وإن كان فيه مسلم ففيه وجهان: أحدهما أنه كافر تغليباً لحكم الدار والثاني أنه مسلم تغليباً لإسلام المسلم الذي فيه وإن التقطه حر مسلم أمين مقيم موسر أقر في يده لما ذكرناه من حديث عمر رضي الله عنه ولأنه لا بد من أن يكون في يد من يكفله فكان الملتقط أحق به لحق السبق.
PASAL: Jika ditemukan di negeri kaum muslimin dan di dalamnya terdapat seorang muslim, maka ia dihukumi sebagai seorang muslim, karena terkumpul padanya hukum negeri dan keislaman penduduknya. Jika ditemukan di negeri orang kafir dan tidak ada seorang muslim pun di sana, maka ia dihukumi kafir, karena yang tampak adalah bahwa ia dilahirkan di antara dua orang kafir. Namun jika di negeri itu terdapat seorang muslim, maka ada dua pendapat: pendapat pertama, ia dihukumi kafir dengan pertimbangan kuatnya hukum negeri; pendapat kedua, ia dihukumi muslim dengan pertimbangan kuatnya keislaman orang muslim yang ada di sana.
Jika ia dipungut oleh seorang muslim yang merdeka, terpercaya, menetap, dan mampu secara finansial, maka dibiarkan berada dalam tangannya sebagaimana disebutkan dalam hadis ‘Umar RA, dan karena harus ada seseorang yang menjamin kebutuhan si anak, maka sang pemungut lebih berhak atasnya karena ia yang lebih dahulu.
فصل: فإن كان له مال كانت نفقته في ماله كالبالغ ولا يجوز للملتقط أن ينفق من ماله بغير إذن الحاكم فإن أنفق عليه من غير إذنه ضمنه لأنه لا ولاية له عليه إلا في الكفاية فلم يملك الإنفاق بنفسه كالأم وإن فوض إليه الحاكم أن ينفق عليه مما وجده معه فقد قال في كتاب اللقيط يجوز وقال في كتاب اللقطة إذا أنفق الواحد على الضالة ليرجع به لم يجز حتى يدفع إلى الحاكم ثم يدفع الحاكم إليه ما ينفق عليه فمن أصحابنا من نقل جواب كل واحدة من المسألتين إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما لا يجوز لأنه لا يلي بنفسه فلم يجز أن يكون وكيلاً لغيره في القبض له من نفسه كما لو كان عليه دين ففوض إليه صاحب الدين قبض ماله عليه من نفسه
PASAL: Jika luqaṭ memiliki harta, maka nafkahnya diambil dari hartanya seperti orang yang sudah balig. Tidak boleh bagi muluṭqiṭ untuk menafkahinya dari hartanya sendiri tanpa izin hakim. Jika ia menafkahinya tanpa izin hakim, maka ia wajib menggantinya, karena ia tidak memiliki wilāyah atasnya kecuali dalam hal kifāyah, maka tidak sah ia menafkahi atas inisiatifnya sendiri seperti halnya seorang ibu.
Jika hakim memberikan kewenangan kepadanya untuk menafkahi luqaṭ dari harta yang ditemukan bersamanya, maka Imam al-Syafi‘i berkata dalam Kitāb al-Luqāṭ bahwa hal itu boleh. Namun dalam Kitāb al-Ḍāllah, beliau mengatakan: jika seseorang menafkahi hewan tersesat dan ingin mengambil ganti atas nafkah itu, maka tidak boleh, kecuali setelah diserahkan kepada hakim, lalu hakimlah yang menyerahkannya kepadanya untuk ia gunakan menafkahinya.
Sebagian dari kalangan kami memindahkan jawaban masing-masing dari dua masalah ini ke masalah lainnya, dan menjadikannya dalam dua pendapat: salah satunya adalah tidak boleh, karena ia tidak memiliki kewenangan secara langsung, maka tidak sah baginya menjadi wakil orang lain dalam mengambil (harta) untuk diberikan kepada dirinya sendiri, sebagaimana jika ia memiliki utang, lalu pemilik utang memberikan kuasa kepadanya untuk mengambil harta dari dirinya sendiri.
والثاني يجوز لأنه جعل أميناً على الطفل فجاز أن ينفق عليه مما له في يده كالوصي ومنهم من قال يجوز في اللقيط ولا يجوز في الضالة لأن اللقيط لا ولي به في الظاهر فجاز أن يجعل الواحد ولياً له والضالة لها مالك هو ولي عليها فلا يجوز أن يجعل الواحد ولياً عليها وإن لم يكن حاكم فأنفق من غير إشهاد ضمن وإن أشهد ففيه قولان: أحدهما يضمن لأنه لا ولاية له فضمن كما لو كان الحاكم موجوداً
dan pendapat kedua menyatakan: boleh, karena ia dijadikan sebagai orang yang dipercaya atas anak tersebut, maka boleh baginya menafkahinya dari harta yang ada di tangannya, seperti halnya seorang waṣī (wasiat pelaksana).
Sebagian dari kalangan kami berkata: boleh pada kasus laqīṭ dan tidak boleh pada kasus ḍāllah, karena laqīṭ tidak memiliki wali secara lahiriah, maka boleh menjadikan seseorang sebagai walinya, sedangkan ḍāllah memiliki pemilik yang merupakan walinya, maka tidak boleh menjadikan seseorang sebagai wali atasnya.
Jika tidak ada hakim lalu ia menafkahi tanpa menghadirkan saksi, maka ia wajib mengganti. Dan jika ia menghadirkan saksi, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
– salah satunya, ia tetap wajib mengganti, karena ia tidak memiliki wilāyah, maka ia wajib mengganti seperti halnya jika hakim hadir.
والثاني لا يضمن لأنه موضع ضرورة وإن لم يكن له مال وجب على السلطان القيام بنفقته لأنه آدمي له حرمة يخشى هلاكه فوجب على السلطان القيام بحفظه كالفقير الذي لا كسب له ومن أين تجب النفقة فيه قولان: أحدهما من بيت المال لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه استشار الصحابة في نفقة اللقيط فقالوا من بيت المال ولأن من لزم حفظه بالإنفاق ولم يكن له مال وجبت نفقته من بيت المال كالفقير الذي لا كسب له فعلى هذا لا يرجع على أحد بما أنفق عليه
dan pendapat kedua: tidak wajib mengganti karena situasinya darurat.
Jika laqīṭ tidak memiliki harta, maka wajib atas sulṭān untuk menanggung nafkahnya, karena ia adalah manusia yang memiliki kehormatan dan dikhawatirkan binasa, maka wajib bagi sulṭān untuk menjaganya sebagaimana fakir yang tidak memiliki penghasilan.
Adapun dari mana nafkah itu diambil, terdapat dua pendapat:
– pertama, dari Bayt al-Māl, karena diriwayatkan dari ‘Umar RA bahwa beliau bermusyawarah dengan para sahabat mengenai nafkah laqīṭ, lalu mereka berkata: dari Bayt al-Māl,
dan karena siapa pun yang wajib dipelihara dengan nafkah dan tidak memiliki harta, maka nafkahnya wajib dari Bayt al-Māl, seperti fakir yang tidak memiliki penghasilan.
Maka berdasarkan pendapat ini, tidak boleh menuntut ganti dari siapa pun atas nafkah yang telah diberikan kepadanya.
والقول الثاني: لا يجب من بيت المال لأن مال بيت المال لا يصرف إلا فيما لا وجه له غيره واللقيط يجوز أن يكون عبداً فنفقته على مولاه أو حراً له مال أو فقيراً له من تلزمه نفقته فلم يلزم من بيت المال فعلى هذا يجب على الإمام أن يقترض له ما ينفق من بيت المال أو من رجل من المسلمين فإن لم يكن في بيت المال ولا وجد من يقرضه جمع الإمام من له مكنة وعد نفسه فيهم وقسط عليهم نفقته فإن بان أنه عبد رجع على مولاه وإن بان أن له أباً موسراً رجع عليه بما اقترض له فإن لم يكن له أحد وله كسب رجع في كسبه وإن لم يكن له كسب قضى سهم من ثري من المساكين أو الغارمين.
dan pendapat kedua: tidak wajib dari Bayt al-Māl, karena harta Bayt al-Māl tidak boleh digunakan kecuali untuk sesuatu yang tidak memiliki jalan lain, sedangkan laqīṭ mungkin saja ia seorang budak maka nafkahnya wajib atas tuannya, atau ia merdeka yang memiliki harta, atau fakir yang memiliki orang yang wajib menafkahinya, maka tidak wajib dari Bayt al-Māl.
Berdasarkan pendapat ini, wajib bagi imām untuk meminjamkan nafkah baginya, baik dari Bayt al-Māl maupun dari seseorang kaum muslimin. Jika tidak ada di Bayt al-Māl dan tidak ditemukan orang yang bersedia meminjamkan, maka imām mengumpulkan orang-orang yang mampu dan menghitung dirinya termasuk mereka, lalu membebankan kepada mereka nafkahnya secara merata.
Jika ternyata ia adalah budak, maka penggantiannya ditagihkan kepada tuannya. Jika ternyata ia memiliki ayah yang mampu, maka ditagih kepada ayahnya atas apa yang telah dipinjamkan untuknya. Jika ia tidak memiliki siapa-siapa namun ia memiliki penghasilan, maka ditagih dari penghasilannya. Jika ia tidak memiliki penghasilan, maka ditanggung dari bagian orang kaya dalam kelompok masākīn atau ghārimīn.
فصل: وأما إذا التقطه عبد فإن كان بإذن السيد وهو من أهل الإلتقاط جاز لأن الملتقط هو السيد والعبد نائب عنه وإن كان بغير إذنه لم يقر في يده لأنه لا يقدر على حضانته مع خدمة السيد وإن علم به السيد وأقره في يده كان ذلك التقاطاً من السيد والعبد نائب عنه.
PASAL: Adapun jika yang memungutnya adalah seorang budak, maka jika dengan izin tuannya dan ia termasuk orang yang layak memungut, maka diperbolehkan karena yang dianggap sebagai pemungut adalah tuannya dan budak hanyalah wakil darinya. Namun jika tanpa izin tuannya, maka tidak diperkenankan tetap berada di tangannya karena ia tidak mampu mengasuhnya disertai dengan kewajiban melayani tuannya. Jika tuannya mengetahuinya dan membiarkannya tetap berada di tangannya, maka itu dianggap sebagai pemungutan dari tuannya dan budak hanyalah wakil darinya.
فصل: وإن التقطه كافر نظرت فإن كان اللقيط محكوماً بإسلامه لم يقر في يده لأن الكفالة ولاية ولا ولاية للكافر على المسلم ولأنه لا يؤمن أن يفتنه عن دينه وإن كان محكوماً بكفره أقر في يده لأنه على دينه وإن التقطه فاسق لم يقر في يده لأنه لا يؤمن أن يسترقه وأن يسيء في تربيته ولأن الكفالة ولاية الفاسق ليس من أهل الولاية.
PASAL: Jika yang memungutnya adalah seorang kafir, maka dilihat dahulu: jika laqīṭ tersebut dihukumi sebagai seorang Muslim, maka tidak boleh dibiarkan berada di tangannya karena mengasuh adalah bentuk perwalian, sedangkan orang kafir tidak memiliki wewenang perwalian atas seorang Muslim, dan dikhawatirkan ia akan memalingkannya dari agamanya. Namun jika laqīṭ tersebut dihukumi sebagai seorang kafir, maka boleh dibiarkan berada di tangannya karena ia seagama dengannya. Jika yang memungutnya adalah seorang fasik, maka tidak boleh dibiarkan berada di tangannya karena dikhawatirkan ia akan memperbudaknya atau memperlakukannya secara buruk dalam pengasuhannya, dan karena pengasuhan adalah bentuk perwalian sedangkan orang fasik bukanlah termasuk orang yang layak memegang perwalian.
فصل: وإن التقطه ظاعن يريد أن يسافر به نظرت فإن لم تختبر أمانته في الباطن لم يقر في يده لأنه لا يؤمن أن يسترقه إذا غاب وإن اختبرت أمانته في الباطن فإن كان اللقيط في الحضر والملتقط من أهل البدو ويريد أن يخرج به إلى البدو ومنع منه لأنه ينقله من العيش في الرخاء إلى العيش في الشقاء ومن طيب المنشأ إلى موضع الجفاء وفي الخبر: من بدا فقد جفا وإن أراد أن يخرج به إلى بلد آخر ففيه وجهان: أحدهما يجوز وهو ظاهر النص لأن البلد كالبلد
PASAL: Jika yang memungutnya adalah seorang zā‘in (musafir) yang hendak bepergian dengannya, maka dilihat dahulu: jika tidak diketahui amanahnya secara batin, maka tidak dibiarkan dalam tangannya karena dikhawatirkan ia akan memperbudaknya saat jauh dari pengawasan. Namun jika amanahnya telah diketahui secara batin, maka apabila laqīṭ tersebut berada di daerah perkotaan, sedangkan pemungutnya berasal dari pedalaman dan hendak membawanya ke pedalaman, maka tidak diperbolehkan, karena ia akan memindahkannya dari kehidupan yang sejahtera kepada kehidupan yang sulit, dari lingkungan yang baik kepada tempat yang keras. Dalam sebuah hadis disebutkan: man badā faqad jafā (barang siapa berpindah ke pedalaman maka ia telah menjadi kasar). Dan jika ia bermaksud membawanya ke negeri lain, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama memperbolehkannya, dan ini adalah makna lahir dari nash karena satu negeri itu seperti negeri lainnya.
والثاني لا يجوز لأن البلد الذي وجد فيه أرجى لظهور نسبه فيه وإن كان الملتقط في بدو فإن كان الملتقط من أهل الحضر وأراد أن يخرج به إلى الحضر جاز لأن الحضر أرفق به وأنفع له وإن كان من البادية فإن كانت حلته في مكان لا ينتقل عنه أقر في يده لأن الحلة كالقرية وإن كان يظعن في طلب الماء والكلأ ففيه وجهان: أحدهما يقر في يده لأنه أرجى لظهور نسبه والثاني لا يقر في يده لأنه يشقى بالتنقل في البدو.
dan pendapat kedua tidak memperbolehkannya, karena negeri tempat ditemukannya lebih berpeluang untuk diketahui nasabnya. Jika yang memungutnya berada di pedalaman, maka apabila ia berasal dari penduduk kota dan hendak membawanya ke kota, maka diperbolehkan, karena kota lebih lembut dan lebih bermanfaat baginya. Namun jika ia berasal dari penduduk pedalaman, maka jika tempat tinggalnya tetap di suatu lokasi dan tidak berpindah-pindah, maka dibolehkan tetap dalam tangannya, karena tempat tinggal (ḥillah) itu seperti desa. Tetapi jika ia biasa berpindah-pindah untuk mencari air dan rumput, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama membolehkannya tetap dalam tangannya karena lebih mungkin diketahui nasabnya, dan pendapat kedua tidak dibolehkan tetap dalam tangannya karena akan membuatnya menderita dengan perpindahan di pedalaman.
فصل: وإن التقطه فقير ففيه وجهان: أحدهما لا يقر في يده لأنه لا يقدر على القيام بحضانته وفي ذلك إضرار باللقيط والثاني يقر في يده لأن الله تعالى يقوم بكفاية الجميع.
PASAL: Jika yang memungutnya adalah seorang fakir, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, tidak boleh dibiarkan berada di tangannya karena ia tidak mampu mengurus pengasuhannya, dan hal itu membahayakan laqīṭ; pendapat kedua, boleh dibiarkan berada di tangannya karena Allah Ta‘ala yang mencukupi seluruh makhluk.
فصل: وإن تنازع في كفالته نفسان من أهل الكفاية قبل أن يأخذاه أخذه السلطان وجعله في يد من يرى منهما أو من غيرهما لأنه لا حق لهما قبل الأخذ ولا مزية لهما عن غيرهما فكان الأمر فيه إلى السلطان وإن التقطاه وتشاحا أقرع بينهما فمن خرجت عليه القرعة أقر في يده وقال أبو علي بن خيران: لا يقرع بينهما بل يجتهد الحاكم فيقره في يد من هو أحظ له والمنصوص هو الأول لقوله تعالى: {وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ}
PASAL: Jika dua orang dari kalangan yang layak menjadi penanggung jawab (ahl al-kifāyah) berselisih dalam hal pengasuhan laqīṭ sebelum salah satu dari keduanya mengambilnya, maka hakimlah yang mengambilnya dan meletakkannya dalam tangannya siapa saja yang ia pandang layak di antara keduanya atau selain keduanya, karena keduanya belum memiliki hak sebelum pengambilan dan tidak memiliki keistimewaan dibanding selain mereka, maka perkara ini dikembalikan kepada keputusan hakim. Namun jika keduanya telah memungut dan kemudian berselisih, maka dilakukan undian di antara keduanya. Siapa yang keluar undian atas namanya, maka diserahkan laqīṭ itu kepadanya. Abu ‘Ali bin Khirān berkata: tidak dilakukan undian di antara keduanya, namun hakim berijtihad dan menyerahkannya kepada pihak yang lebih memberikan maslahat baginya. Pendapat yang manshūṣ adalah pendapat pertama, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: wa mā kunta ladaihim idh yulqūna aqlāmahum ayyuhum yakfulu Maryam (dan engkau tidak berada bersama mereka ketika mereka melemparkan pena-pena mereka untuk menentukan siapa yang mengasuh Maryam).
ولأنه لا يمكن أن يجعل في أيديهما لأنه لا يمكن أحدهما لأنهما متساويان في سبب الاستحقاق ولا يمكن أن يسلم إلى غيرهما لأنه قد ثبت لهما حق الالتقاط فلا يجوز إخراجه عنهما فأقرع بينهما كما لو أراد أن يسافر بإحدى نسائه وإن ترك أحدهما حقه من الحضانة ففيه وجهان: أحدهما يدفع إلى السلطان فيقره في يد من يرى لأن الملتقط لا يملك غير الحفظ فأما إقرار اللقيط في يد غيره فليس ذلك إليه ولهذا لو انفرد بالالتقاط لم يملك أن ينقله إلى غيره والثاني وهو المذهب أنه يقر في يد الآخر من غير إذن السلطان لأن الحضانة بحكم الإلتقاط لا تفتقر إلى إذن السلطان ولهذا لو انفرد كل واحد منهما بالإلتقاط ثبت له الحضانة من غير إذن فإذا اجتمعا وترك أحدهما حقه ثبت للآخر كالشفعة بين شفيعين.
Karena tidak mungkin diletakkan dalam tangan keduanya sekaligus, sebab tidak mungkin memutuskan untuk salah satunya karena keduanya setara dalam sebab berhak. Dan tidak boleh pula diserahkan kepada selain mereka karena keduanya telah memperoleh hak melalui pemungutan, maka tidak boleh dialihkan dari keduanya. Maka dilakukan undian di antara mereka, sebagaimana jika seseorang hendak bepergian dengan salah satu dari istri-istrinya.
Jika salah satunya melepaskan haknya dalam pengasuhan, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama menyatakan bahwa laqīṭ diserahkan kepada hakim, lalu hakim meletakkannya dalam tangan siapa yang ia pandang layak, karena pemungut tidak memiliki hak selain menjaga, sedangkan meletakkan laqīṭ di tangan orang lain bukan wewenangnya. Karena itu, seandainya ia memungut sendiri, maka ia tidak boleh memindahkannya kepada selain dirinya.
Pendapat kedua—dan inilah madzhab—menyatakan bahwa laqīṭ diserahkan kepada pihak kedua tanpa perlu izin dari hakim, karena pengasuhan adalah konsekuensi dari pemungutan dan tidak memerlukan izin hakim. Oleh karena itu, jika masing-masing dari keduanya memungut secara sendiri-sendiri, maka masing-masing berhak atas pengasuhan tanpa izin hakim. Maka jika keduanya bersatu dan salah satunya melepaskan haknya, maka hak tersebut tetap pada yang lain, sebagaimana hukum syuf‘ah antara dua orang yang memiliki hak bersama.
فصل: فأما إذا اختلفا في الإلتقاط فادعى كل واحد منهما أنه الملتقط ولم تكن بينة فإن لم يكن لأحدهما عليه أقره السلطان في يد من يرى منهما أو من غيرهما لأنه لا حق لهما وإن كان في يد أحدهما فالقول قوله مع يمينه لأن اليد تشهد له وإن كان في يدهما تحالفا فإن حلفا أو نكلا صارا كالملتقطين يقرع بينهما على المذهب وعلى قول أبي علي ابن خيران يقره الحاكم في يد من هو أحظ له فإن كان لأحدهما بينة قضى له لأن البينة أقوى من اليد والدعوى
PASAL: Adapun jika keduanya berselisih dalam pengakuan sebagai yang memungut, dan masing-masing mengaku bahwa dialah yang memungut, serta tidak ada bukti (bainah), maka jika tidak ada salah satu dari keduanya yang sedang memegangnya, maka hakim menyerahkannya kepada siapa yang ia pandang layak dari keduanya atau selain keduanya, karena keduanya tidak memiliki hak. Jika berada di tangan salah satunya, maka ucapannya diterima dengan sumpahnya, karena tangan merupakan bukti untuknya. Jika berada di tangan keduanya, maka keduanya saling bersumpah. Jika keduanya bersumpah atau keduanya enggan bersumpah, maka keduanya seperti orang yang memungut, lalu diundi antara keduanya menurut pendapat yang paling sahih. Menurut pendapat Abu ‘Ali bin Khairān, hakim meletakkannya di tangan siapa yang lebih maslahat baginya. Jika salah satu dari keduanya memiliki bukti, maka hakim memutuskan untuknya, karena bukti lebih kuat dari tangan dan pengakuan.
وإن كان لكل واحد منهما بينة فإن كانت بينة أحدهما أقدم تاريخاً قضى له لأنه قد ثبت له السبق إلى الإلتقاط وإن لم تكن له بينة أحدهما أقدم تاريخاً فقد تعارضت البينتان ففي أحد القولين تسقطان فيصيران كما لو لم تكن بينة وقد بيناه وفي القول الثاني تستعملان وفي الاستعمال ثلاثة أقوال: أحدها القسمة والثاني القرعة والثالث الوقف ولا يجيء ههنا إلا القرعة لأنه لا يمكن اللقيط بينهما ولا يمكن الوقف لأن فيه إضرارا باللقيط فوجبت القرعة.
Dan jika masing-masing dari keduanya memiliki bukti, maka jika bukti salah satunya lebih dahulu tanggalnya, maka diputuskan untuknya karena telah tetap baginya hak mendahului dalam memungut. Jika tidak ada dari keduanya yang lebih dahulu tanggal buktinya, maka kedua bukti tersebut saling bertentangan. Menurut salah satu dari dua pendapat, keduanya gugur sehingga kedudukannya seperti tidak ada bukti, dan hal ini telah dijelaskan. Dalam pendapat kedua, keduanya digunakan, dan dalam penggunaannya terdapat tiga pendapat: pertama, dibagi; kedua, diundi; ketiga, ditangguhkan. Namun dalam kasus ini, yang mungkin hanya undian, karena tidak mungkin menempatkan laqīṭ di tangan keduanya, dan tidak mungkin ditangguhkan karena hal itu akan membahayakan laqīṭ, maka wajib dilakukan undian.
فصل: وإن ادعى حر مسلم نسبه لحق به وتبعه في الإسلام لأنه يقر له بحق لا ضرر فيه على أحد فقبل كما لو أقر له بمال وله أن يأخذه من الملتقط لأن الوالد أحق بكفالة الولد ومن الملتقط وإن كان الذي أقر بالنسب هو الملتقط فالمستحب أن يقال له من أين صار ابنك لأنه ربما اعتقد أنه بالإلتقاط صار أباً له وإن ادعى نسبه عبد لحق به لأن العبد كالحر في السبب الذي يلحق به النسب ولا يدفع إليه لأنه لا يقدر على حضانته لاشتغاله بخدمة مولاه وإن ادعى نسبه كافر لحق به لأن الكافر كالمسلم في سبب النسب
PASAL: Jika seorang muslim merdeka mengaku bahwa laqīṭ itu adalah anaknya, maka ia disambungkan nasabnya kepadanya dan mengikutinya dalam agama Islam, karena ia mengakui hak tanpa menimbulkan mudarat bagi siapa pun, maka diterima sebagaimana jika ia mengakui kepemilikan harta. Dan ia berhak mengambilnya dari tangan pemungut karena ayah lebih berhak mengasuh anaknya dibanding pemungut.
Dan jika yang mengaku sebagai ayah adalah pemungut itu sendiri, maka dianjurkan untuk ditanyakan kepadanya: “Dari mana kamu bisa menjadi ayahnya?” karena dikhawatirkan ia menyangka bahwa dengan pemungutan ia otomatis menjadi ayahnya.
Jika yang mengaku sebagai ayah adalah seorang budak, maka nasab laqīṭ disambungkan kepadanya, karena budak sama kedudukannya dengan orang merdeka dalam sebab yang menetapkan nasab, tetapi laqīṭ tidak diserahkan kepadanya karena ia tidak mampu mengasuhnya disebabkan kesibukannya melayani tuannya.
Dan jika yang mengaku sebagai ayah adalah seorang kafir, maka nasabnya tetap disambungkan kepadanya, karena orang kafir sama dengan orang muslim dalam sebab penetapan nasab.
وهل يصير اللقيط كافراً؟ قال في اللقيط أحببت أن أجعله مسلماً وقال في الدعوى والبينات أجعله مسلماً فمن أصحابنا من قال إن أقام البينة حكم بكفره قولاً واحداً وإن لم تقم البينة ففيه قولان: أحدهما يحكم بكفره لأنا لما حكمنا بثبوت نسبه فقد حكمنا بأنه ولد على فراشه والقول الثاني يحكم بإسلامه لأنه محكوم بإسلامه بالدار فلا يحكم بكفره بقول كافرن
Dan apakah laqīṭ menjadi kafir? Dalam pembahasan laqīṭ, beliau (Imam al-Syafi‘i) berkata: “Aku lebih suka menjadikannya sebagai seorang muslim.” Dan dalam bab da‘wā wa bayyināt, beliau berkata: “Aku menjadikannya muslim.”
Sebagian ulama mazhab kami berkata: jika orang yang mengaku sebagai ayahnya (yang kafir) mendatangkan bukti, maka laqīṭ dihukumi kafir secara qaul wāḥid (tanpa ada perselisihan). Namun jika tidak ada bukti, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama menyatakan bahwa ia dihukumi kafir, karena ketika kita menetapkan nasabnya, berarti kita menetapkan bahwa ia dilahirkan di atas tempat tidur (ayahnya) tersebut.
Pendapat kedua menyatakan bahwa ia tetap dihukumi muslim, karena telah ditetapkan keislamannya berdasarkan hukum negeri (ḥukm al-dār), maka tidak boleh dihukumi kafir hanya dengan pengakuan seorang kafir.
وقال أبو إسحاق: الذي قال في اللقيط أراد به إذا ادعاه وأقام البينة عليه لأنه قد ثبت بالبينة أنه ولد على فراش كافر والذي قال في الدعوى والبينات أراد إذا ادعاه من غير بينة لأنه محكوم بإسلامه بظاهر الدار فلا يصير كافراً بدعوى الكافر وهذا الطريق هو الصحيح لأنه نص عليه في الإملاء وإذا قلنا إنه يتبع الأب في الكفر فالمستحب أن يسلم إلى مسلم أن يبلغ احتياطاً للإسلام فإن بلغ ووصف الكفر أقررناه على كفره وإن وصف الإسلام حكمنا بإسلامه من وقته.
Abu Ishaq berkata: pernyataan Imam al-Syafi‘i dalam bab laqīṭ maksudnya adalah jika seorang kafir mengakuinya dan mendatangkan bukti, karena dengan adanya bukti maka telah tetap bahwa ia dilahirkan di atas tempat tidur seorang kafir. Sedangkan pernyataannya dalam bab da‘wā wa bayyināt maksudnya adalah jika orang kafir mengakuinya tanpa bukti, maka ia tetap dihukumi muslim berdasarkan lahiriah hukum negeri (ẓāhir al-dār), maka tidak menjadi kafir hanya karena pengakuan orang kafir.
Dan jalan ini adalah yang ṣaḥīḥ, karena Imam al-Syafi‘i menegaskan hal itu dalam kitab al-Imlā’.
Jika kita berpendapat bahwa ia mengikuti ayah dalam kekafiran, maka yang mustaḥab (dianjurkan) adalah menyerahkannya kepada seorang muslim hingga ia mencapai usia tamyiz sebagai bentuk kehati-hatian terhadap agama Islam. Jika ia telah baligh dan menyatakan kekafiran, maka kita biarkan ia atas kekafirannya, dan jika ia menyatakan keislaman, maka kita tetapkan keislamannya sejak saat itu.
فصل: وإن ادعت امرأة نسبة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها يقبل لأنها أحد الأبوين فقبل إقرارها بالنسب كالأب والثاني لايقبل وهو ظاهر النص لأنه يمكن إقامة البينة على ولادتها من طريق المشاهدة فلا يحكم فيها بالدعوى بخلاف الأب فإنه لا يمكن إقامة البينة على ولادته من طريق المشاهدة فقبلت فيه دعواه ولهذا قلنا إنه إذا قال لامرأته إن دخلت الدار فأنت طالق لم يقبل قولها في دخول الدار إلا ببينة ولو قال لها إن حضت فأنت طالق قبل قولها في الحيض من غير بينة
PASAL: Jika seorang perempuan mengaku sebagai ibu dari seorang anak (yakni mengaku nasab laqīṭ kepadanya), maka terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama: pengakuannya diterima, karena ia adalah salah satu dari kedua orang tua, maka diterima pengakuannya terhadap nasab sebagaimana ayah.
Pendapat kedua: tidak diterima, dan ini adalah makna lahir dari nash, karena bisa didatangkan bukti tentang kelahirannya melalui jalan penglihatan langsung (saksi), maka tidak boleh menetapkan nasab hanya dengan pengakuan, berbeda dengan ayah yang tidak mungkin didatangkan bukti kelahiran melalui penglihatan, maka pengakuannya diterima.
Oleh karena itu, kami katakan: jika suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau masuk rumah maka engkau tertalak,” maka tidak diterima pengakuan istri bahwa ia masuk rumah kecuali dengan bukti (saksi). Tetapi jika suami berkata, “Jika engkau haid maka engkau tertalak,” maka diterima pengakuannya tentang haid tanpa perlu bukti.
لما ذكرناه من الفرق فكذلك ههنا والثالث إن كانت فراشاً لرجل لم يقبل قولها لأن إقرارها يتضمن إلحاق النسب بالرجل وإن لم تكن فراشاً قبل لأنه لا يتضمن إلحاق النسب بغيرها.
فصل: وإن تداعى نسبه رجلان لم يجز إلحاقه بهما لأن الولد لاينعقد من اثنين والدليل عليه قوله تعالى: {إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى} فإن لم يكن لواحد منهما بينة عرض الولد على القافة وهم قوم بني مدلج من كنانة فإن ألحقته بأحدهما لحق به
Sebagaimana telah disebutkan perbedaan antara keduanya, maka demikian pula di sini.
Pendapat ketiga: jika perempuan itu adalah istri (berada dalam firāsy) seorang laki-laki, maka tidak diterima pengakuannya karena pengakuan tersebut mengandung konsekuensi penyandaran nasab kepada laki-laki tersebut. Namun jika ia bukan berada dalam firāsy, maka pengakuannya diterima karena tidak mengandung penyandaran nasab kepada selain dirinya.
PASAL: Jika dua orang laki-laki saling mengaku sebagai ayah dari seorang anak, maka tidak boleh disandarkan nasab kepada keduanya sekaligus, karena anak tidak mungkin tercipta dari dua ayah. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: Innā khalaqnākum min dhakarin wa unthā (Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan).
Jika tidak ada salah satu dari keduanya yang memiliki bukti, maka anak tersebut diserahkan kepada qāfah (ahli ilmu pencocokan jejak dan rupa), dan mereka adalah suatu kaum dari Bani Mudlij, dari suku Kinānah. Jika para qāfah menetapkannya kepada salah satunya, maka nasabnya disandarkan kepadanya.
لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم أعرف السرور في وجهه فقال ألم تري إلى مجزز المدلجي نظر إلى أسامة وزيد وقد غطيا رؤوسهما وقد بدت أقدامهما فقال إن هذه الأقدام بعضها من بعض فلو لم يكن ذلك حقاً لما سر به رسول الله صلى الله عليه وسلم وهل يجوز أن يكون من غير بني مدلج؟ فيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن ذلك ثبت بالشرع ولم يرد الشرع إلا في بني مدلج
Karena telah diriwayatkan oleh ‘Āisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW masuk menemuiku, dan aku melihat tanda kegembiraan di wajah beliau. Beliau bersabda: ‘Tidakkah engkau melihat kepada Mujazziz al-Mudlijī? Ia melihat kepada Usāmah dan Zaid, sedangkan keduanya menutupi kepala mereka dan yang tampak hanya telapak kaki mereka, lalu ia berkata: ‘Sesungguhnya kaki-kaki ini sebagian dari yang lain.’” Maka, seandainya hal itu tidak benar, niscaya Rasulullah SAW tidak akan bergembira karenanya.
Apakah boleh qiyāfah dilakukan oleh selain dari Bani Mudlij?
Terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak boleh, karena hal itu telah ditetapkan oleh syariat, dan syariat tidak menyebutkan kecuali hanya Bani Mudlij.
والثاني أنه يجوز وهو الصحيح لأنه علم يتعلم ويتعاطى فلم تختص به قبيلة كالعلم بالأحكام وهل يجوز أن يكون واحداً فيه وجهان: أحدهما أنه يجوز لأن النبي صلى الله عليه وسلم سر بقول مجزز المدلجي وحده ولأنه بمنزلة الحاكم لأنه يجتهد ويحكم كما يجتهد الحاكم ثم يحكم والثاني لا يجوز أقل من اثنين لأنه حكم بالشبه في الخلقة فلم يقبل من واحد كالحكم في المثل من جزاء الصيد ولا يجوز أن يكون امرأة ولا عبداً كما لا يجوز أن يكون الحاكم امرأة ولا عبداً ولا يقبل إلا قول من جرب وعرف بالقيافة حذقه كما لا يقبل في الفتيا إلا قول من عرف في العلم حذقه وإن ألحقته بهما أو نفته عنهما أو أشكل الأمر عليها أو لم تكن قافة ترك حتى يبلغ ويؤخذان بالنفقة عليه
Pendapat kedua: boleh dilakukan oleh selain Bani Mudlij, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena qiyāfah adalah suatu ilmu yang dapat dipelajari dan dipraktikkan, maka tidak dikhususkan kepada satu kabilah saja, sebagaimana ilmu tentang hukum-hukum syariat.
Apakah boleh dilakukan oleh satu orang saja?
Ada dua pendapat:
Pendapat pertama: boleh, karena Nabi SAW bergembira dengan ucapan Mujazziz al-Mudlijī seorang diri. Dan karena ia seperti hakim, yang berijtihad lalu menetapkan hukum, sebagaimana hakim berijtihad dan menetapkan hukum.
Pendapat kedua: tidak boleh kurang dari dua orang, karena ia merupakan bentuk penetapan hukum berdasarkan kemiripan dalam ciptaan (fisik), maka tidak diterima dari satu orang saja, sebagaimana penetapan dalam kesamaan bentuk pada kasus denda buruan (jazā’ aṣ-ṣayd).
Tidak boleh juga dilakukan oleh perempuan atau budak, sebagaimana hakim juga tidak boleh dari kalangan perempuan atau budak.
Dan tidak diterima kecuali dari orang yang telah berpengalaman dan dikenal mahir dalam ilmu qiyāfah, sebagaimana dalam fatwa tidak diterima kecuali dari orang yang dikenal kemahirannya dalam ilmu syariat.
Jika qāfah menyandarkan nasab kepada keduanya, atau menolaknya dari keduanya, atau ia ragu dan tidak bisa memastikan, atau memang tidak ada qāfah, maka dibiarkan laqīṭ tersebut hingga ia baligh, dan kedua orang yang mengakuinya tetap wajib menafkahinya.
لأن كل واحد منهما يقول أنا الأب وعلى نفقته فإذا بلغ أمرناه أن ينتسب إلى من يميل طبعه إليه لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال للغلام الذي أحلقته القافة بهما: وال أيهما شئت ولأن الولد يجد لوالده مالا يجد لغيره فإذا تعذر العلم بقول القافة رجع إلى اختيار الولد وهل يصح أن ينتسب إذا صار متميزاً ولم يبلغ؟ فيه وجهان: أحدهما يصح كما يصح أن يختار الكون مع أحد الأبوين إذا صار مميزاً
Karena masing-masing dari keduanya mengatakan, “Aku adalah ayahnya,” maka kewajiban nafkah atas masing-masing dari mereka. Apabila laqīṭ tersebut telah baligh, maka kami perintahkan ia untuk memilih nasab kepada siapa ia cenderung secara tabiat, berdasarkan riwayat dari ‘Umar RA bahwa beliau berkata kepada seorang anak yang oleh qāfah disandarkan kepada dua orang: “Berwalilah kepada siapa yang engkau kehendaki.”
Karena seorang anak merasakan sesuatu pada ayahnya yang tidak ia rasakan kepada orang lain, maka apabila tidak mungkin diketahui melalui ucapan qāfah, dikembalikan kepada pilihan anak.
Apakah boleh ia memilih nasab sejak ia tamayyuz (dapat membedakan) namun belum baligh?
Terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: sah, sebagaimana sah bagi anak yang telah tamayyuz untuk memilih tinggal bersama salah satu dari kedua orang tuanya.
والثاني لا يصح لأنه قول يتعين به النسب ويلزم الأحكام به فلا يقبل من الصبي ويخالف اختيار الكون مع أحد الأبوين لأن ذلك غير لازم ولهذا لو اختار أحدهما ثم انتقل إلى الآخر جاز ولا يجوز ذلك في النسب وإن كان لأحدهما بينة قدمت على القافة لأن البينة تخبر عن سماع أو مشاهدة والقافة تخبر عن اجتهاد فإن كان لكل واحد منهما متعارضتان لأنه لا يجوز أن يكون الولد من اثنين ففي أحد القولين يسقطان ويكون كما لو لم تكن بينة وقد بيناه وفي الثاني تستعملان فعلى هذا هل يقرع بينهما؟ فيه وجهان: أحدهما يقرع بينهما فمن خرجت له القرعة قضى له لأنه لا يمكن قسمة الولد بينهما ولا يمكن الوقف لأن فيه إضرارا باللقيط فوجبت القرعة
Pendapat kedua: tidak sah, karena itu adalah suatu pengakuan yang menetapkan nasab dan menjadikan hukum-hukum berlaku atas dasar itu, maka tidak diterima dari seorang anak kecil. Ini berbeda dengan memilih tinggal bersama salah satu dari kedua orang tuanya, karena hal tersebut tidak mengikat. Oleh karena itu, jika ia memilih salah satunya lalu berpindah kepada yang lain, hal itu dibolehkan, sedangkan dalam nasab tidak boleh berpindah-pindah.
Jika salah satu dari keduanya memiliki bayyinah (bukti), maka bukti tersebut didahulukan atas qiyāfah, karena bukti berdasarkan pendengaran atau penglihatan, sedangkan qiyāfah berdasarkan ijtihad.
Jika masing-masing dari keduanya memiliki bayyinah yang bertentangan—karena tidak mungkin anak berasal dari dua orang ayah—maka dalam salah satu pendapat, keduanya gugur dan kembali seperti keadaan tanpa bukti, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dan menurut pendapat kedua, keduanya digunakan, maka dalam hal ini, apakah dilakukan undian (qur‘ah) di antara keduanya?
Terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: dilakukan undian di antara keduanya. Siapa yang keluar namanya dalam undian, maka diputuskan untuknya, karena anak tidak bisa dibagi antara keduanya, dan tidak bisa pula digantungkan (tanpa keputusan), karena hal itu membahayakan laqīṭ, maka wajib dilakukan undian.
والثاني لا يقرع لأن معنا ما هو أقوى من القرعة وهي القافة فعلى هذا يصير كما لو لم يكن لهما بينة وليس موضع تسقط الأقوال الثلاثة في استعمال البينتين إلا في هذا الموضع على هذا المذهب وإن تداعت امرأتان نسبه وقلنا إنه يصح دعوى المرأة ولم تكن بينة فهل يعرض على القافة؟ فيه وجهان: أحدهما يعرض لأن الولد يأخذ الشبه من الأم كما يأخذ من الأب فإذا جاز الرجوع إلى القافة في تمييز الأب من غيره بالشبه جاز في تمييز الأم من غيرها والثاني لا يعرض لأن الولد يمكن معرفة أمه يقيناً فلم يرجع إلى القافة بخلاف الأب فإنه لا يمكن معرفته إلا ظناً فجاز أن يرجع فيه إلى الشبه.
Pendapat kedua: tidak dilakukan undian, karena kita memiliki sesuatu yang lebih kuat daripada undian, yaitu qiyāfah. Maka kasus ini kembali seperti keadaan ketika keduanya tidak memiliki bayyinah. Dan tidak ada tempat bagi jatuhnya tiga pendapat dalam penggunaan dua bayyinah yang bertentangan kecuali pada masalah ini menurut madzhab.
Jika dua perempuan saling mengaku sebagai ibu dari seorang anak, sementara kita berpendapat bahwa pengakuan perempuan sah, dan tidak ada bayyinah, apakah anak tersebut diperlihatkan kepada qāfah?
Ada dua pendapat:
Pendapat pertama: diperlihatkan, karena anak dapat mewarisi kemiripan dari ibunya sebagaimana dari ayahnya. Maka, jika boleh kembali kepada qāfah untuk membedakan ayah dari selainnya melalui kemiripan, boleh pula membedakan ibu dari selainnya.
Pendapat kedua: tidak diperlihatkan, karena keberadaan ibu anak dapat diketahui dengan yakin, maka tidak perlu kembali kepada qiyāfah, berbeda dengan ayah yang tidak mungkin diketahui kecuali secara perkiraan, maka boleh kembali kepadanya melalui kemiripan.
فصل: وإن ادعى رجل رق اللقيط لم يقبل إلا ببينة لأن الأصل هو الحرية فإن شهدت له البينة نظرت فإن شهدت له بأنه ولدته أمته فقد قال في اللقيط جعلته له وقال في الدعوى والبينات إن شهدت له بأنه ولدته أمته في ملكه جعلته له فمن أصحابنا من قال يجعل له قولاً واحداً وإن لم تقل ولدته في ملكه وما قال في الدعوى والبينات ذكره تأكيد لا شرطاً لأن ما تأتي به أمته من غيره لا يكون إلا مملوكاً له ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما يجعل له بينة والثاني لا يجعل له لأنه يحتمل أن تكون الأمة ولدته قبل أن يملكها ثم ملكها فلم يملك ولدها وإن شهدت له البينة بالملك ولم تذكر سبب الملك ففيه قولان: أحدهما يحكم له كما يحكم له إذا شهدت له بملك مال وإن لم تذكر سببه
PASAL: Jika seorang laki-laki mengaku bahwa laqīṭ adalah budaknya, maka tidak diterima kecuali dengan adanya bukti, karena hukum asalnya adalah kemerdekaan. Jika ada bukti yang menyatakan bahwa ia dilahirkan oleh budak perempuannya, maka Imam al-Syafi‘i berkata dalam bab laqīṭ: “Aku menjadikannya miliknya,” dan beliau juga berkata dalam bab dakwaan dan kesaksian: “Jika bukti menyatakan bahwa ia dilahirkan oleh budak perempuannya dalam kepemilikannya, maka aku menjadikannya miliknya.” Maka, sebagian dari para sahabat kami mengatakan: dijadikan miliknya secara pasti, meskipun tidak disebutkan bahwa ia dilahirkan dalam kepemilikan. Dan apa yang dikatakan dalam bab dakwaan dan kesaksian hanyalah sebagai penguat, bukan sebagai syarat, karena apa yang dilahirkan oleh budak perempuannya dari selainnya tetap menjadi miliknya. Dan sebagian yang lain mengatakan ada dua pendapat: pertama, bukti tersebut menjadikannya sebagai miliknya; kedua, tidak menjadikannya milik karena bisa jadi budak perempuan tersebut melahirkannya sebelum dimiliki, lalu kemudian ia membelinya, maka anaknya tidak menjadi miliknya. Dan jika bukti hanya menyatakan kepemilikan tanpa menyebutkan sebab kepemilikannya, maka terdapat dua pendapat: pertama, dihukumi sebagai miliknya sebagaimana dihukumi kepemilikan atas harta meskipun sebabnya tidak disebutkan.
والثاني لا يحكم لأن البينة قد تراه في يده فتشهد بأنه عبده بثبوت يده عليه بالإلتقاط أو غيره وإن شهدت البينة له باليد فإن كان المدعي هو الملتقط لم يحكم له لأنه قد عرف سبب يده وهو الإلتقاط ويد الإلتقاط لا تدل على الملك فلم يكن للشهادة تأثير وإن كان المدعي غيره ففيه قولان: أحدهما يحكم له مع اليمين لأن اليد قد ثبتت فإذا حلف حكم له كما لو كان في يده مال فحلف عليه والثاني لا يحكم له لأن ثبوت اليد على اللقيط لا تدل على الملك لأن الظاهر الحرية.
dan yang kedua: tidak dihukumi (sebagai miliknya), karena bisa jadi para saksi hanya melihat laqīṭ itu berada di tangannya lalu bersaksi bahwa ia adalah budaknya, padahal keberadaan laqīṭ itu di tangannya mungkin karena al-iltiqāṭ (pemungutan) atau sebab lainnya.
Jika bukti menyatakan bahwa laqīṭ itu berada dalam genggamannya (berada di tangannya), maka bila yang mengaku adalah orang yang memungutnya, tidak dihukumi (sebagai miliknya), karena telah diketahui sebab keberadaannya di tangannya, yaitu pemungutan, dan tangan karena pemungutan tidak menunjukkan kepemilikan, maka kesaksian itu tidak berpengaruh.
Namun jika yang mengaku adalah orang selain pemungut, maka terdapat dua pendapat:
- Pertama: dihukumi sebagai miliknya dengan disertai sumpah, karena tangannya telah tetap atas laqīṭ, maka bila ia bersumpah, dihukumi sebagai miliknya sebagaimana bila ada harta di tangannya lalu ia bersumpah atasnya.
- Kedua: tidak dihukumi sebagai miliknya, karena kepemilikan tangan atas laqīṭ tidak menunjukkan kepemilikan, sebab hukum asal laqīṭ adalah merdeka.
فصل: ومن حكم بإسلامه أو بأحد أبويه أو بالسابي فحكمه قبل البلوغ حكم سائر المسلمين في الغسل والصلاة والميراث والقصاص والدية لأن السبب الذي أوجب الحكم بإسلامه لم يزل فأشبه من أسلم بنفسه وبقي على إسلامه فإن بلغ ووصف الكفر فالمنصوص أنه مرتد فإن تاب وإلا قتل لأنه محكوم بإسلامه قطعاً فأشبه من أسلم بنفسه ثم ارتد ومن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما ما ذكرناه
PASAL: Dan siapa yang dihukumi masuk Islam karena (masuk Islamnya) salah satu dari kedua orang tuanya, atau karena ditawan, maka hukumnya sebelum balig sama dengan hukum kaum muslimin lainnya dalam hal mandi, salat, warisan, qishāsh, dan diyat, karena sebab yang menyebabkan dihukumi Islam tidak hilang, maka dia seperti orang yang masuk Islam dengan dirinya sendiri lalu tetap dalam Islam. Jika dia telah balig dan menyatakan kekufuran, maka menurut pendapat yang manshūsh (dinukil langsung), dia dihukumi murtad. Jika dia bertobat (diterima), jika tidak maka dia dibunuh, karena dia telah dihukumi masuk Islam secara pasti, maka dia seperti orang yang masuk Islam dengan dirinya sendiri lalu murtad. Dan sebagian dari kalangan kami mengatakan dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan.
والثاني أنه يقر على الكفر لأنه لما بلغ زال حكم التتبع فاعتبر بنفسه فإن بلغ ولم يف الإسلام ولا الكفر فقتله قاتل فالمنصوص أنه لا قود على قاتله ومن أصحابنا من قال يجب القود لأنه محكوم بإسلامه فأشبه ما قبل البلوغ وهذا خطأ لأنه يحتمل أن يكون غير راض بالإسلام والقصاص يسقط بالشبهة فسقط ويخالف ما قبل البلوغ فإن إسلامه قائم قطعاً وبعد البلوغ لا نعلم بقاء الإسلام فأما من حكم بإسلامه بالدار فإنه قبل البلوغ كالمحكوم بإسلامه بأبويه أو بالسابي
dan yang kedua bahwa ia dibiarkan dalam kekufuran, karena ketika ia telah balig, maka hilanglah hukum mengikuti (orang tua atau sebab lainnya), sehingga yang diperhitungkan adalah dirinya sendiri. Jika ia telah balig dan belum menampakkan Islam maupun kufur, lalu ada yang membunuhnya, maka pendapat manshūsh menyatakan tidak ada qawad atas pembunuhnya. Dan sebagian dari kalangan kami berkata: wajib qawad, karena dia telah dihukumi sebagai Muslim, maka dia seperti sebelum balig. Ini adalah kekeliruan, karena bisa jadi dia tidak rela dengan Islam, sedangkan qishāsh gugur karena adanya syubhat, maka ia gugur. Hal ini berbeda dengan masa sebelum balig, karena keislamannya pasti, sedangkan setelah balig kita tidak mengetahui apakah keislamannya tetap ada atau tidak. Adapun orang yang dihukumi masuk Islam karena negeri (dār), maka sebelum balig kedudukannya seperti orang yang dihukumi masuk Islam karena orang tuanya atau karena ditawan.
فإن بلغ ووصف الكفر فإنه يفزع ويهدد على الكفر احتياطاً فإن أقام على الكفر أقر عليه ومن أصحابنا من قال هو كالمحكوم بإسلامه بأبويه لأنه محكوم بإسلامه بغيره فصار كالمسلم بأبويه والمنصوص أنه يقر على الكفر لأنه محكوم بإسلامه من جهة الظاهر ولهذا لو ادعاه ذمي وأقام البينة حكم بكفره.
Jika ia telah balig dan menyatakan kekufuran, maka ia ditakut-takuti dan diancam karena kekufurannya sebagai bentuk kehati-hatian. Jika ia tetap dalam kekufuran, maka dibiarkan dalam kekufuran itu. Dan sebagian dari kalangan kami berkata: ia seperti orang yang dihukumi masuk Islam karena kedua orang tuanya, karena ia dihukumi Islamnya dengan sebab selain dirinya, maka ia seperti orang yang masuk Islam karena kedua orang tuanya. Namun pendapat manshūsh adalah bahwa ia dibiarkan dalam kekufuran, karena keislamannya ditetapkan berdasarkan hal yang lahir saja. Oleh karena itu, seandainya ada seorang dzimmi yang mengakuinya lalu mendatangkan bukti, maka dihukumi kafir.
فصل: وإن بلغ اللقيط وقذفه رجل وادعى أنه عبد وقال اللقيط بل أنا حر ففيه قولان: أحدهما أن القول قول اللقيط لأن الظاهر من حاله الحرية والثاني أن القول قول القاذف لأنه يحتمل أن يكون عبداً والأصل براءة ذمة القاذف من الحد وإن قطع حر طرفه وادعى أنه عبد وقال اللقيط بل أنا حر فالمنصوص أن القول قول اللقيط فمن أصحابنا من قال: فيه قولان: كالقذف ومنهم من قال إن القول قول اللقيط قولاً واحداً وفرق بينه وبين القذف بأن القصاص قد وجب في الظاهر ووجوب القيمة مشكوك فيه فإذا أسقطنا القصاص انتقلنا من الظاهر إلى الشك فلم يجز وفي القذف قد وجب الحد في الظاهر ووجوب التعزير يقين لأنه بعض الحد فإذا أسقطنا الحد انتقلنا من الظاهر إلى اليقين فجاز.
PASAL: Apabila laqīṭ telah balig, lalu seseorang menuduhnya berzina dan mengklaim bahwa dia adalah budak, sedangkan laqīṭ mengatakan, “Aku orang merdeka,” maka terdapat dua pendapat: pertama, pendapat yang mengatakan bahwa ucapan laqīṭ diterima karena pada dasarnya keadaan seseorang adalah merdeka; kedua, bahwa ucapan si penuduh yang diterima karena mungkin saja laqīṭ itu budak, dan hukum asalnya si penuduh bebas dari kewajiban had.
Jika seseorang memotong anggota tubuh seorang laqīṭ yang telah balig, lalu ia mengklaim bahwa laqīṭ itu budak, sementara laqīṭ mengatakan bahwa dirinya merdeka, maka pendapat yang dinyatakan oleh Imam Syafi‘i adalah bahwa ucapan laqīṭ diterima. Sebagian dari ulama kami mengatakan: dalam kasus ini terdapat dua pendapat sebagaimana dalam kasus qadzaf. Namun sebagian yang lain mengatakan bahwa dalam hal ini ucapan laqīṭ diterima secara pasti, dan membedakan antara kasus ini dengan kasus qadzaf karena dalam kasus ini qiṣāṣ telah wajib secara zhahir, sementara kewajiban membayar ganti rugi (nilai budak) masih diragukan. Maka jika kita menggugurkan qiṣāṣ, berarti kita berpindah dari keyakinan kepada keraguan, sehingga hal itu tidak diperbolehkan. Adapun dalam kasus qadzaf, had telah wajib secara zhahir, sedangkan kewajiban ta‘zīr adalah suatu kepastian karena ia termasuk bagian dari had. Maka jika kita menggugurkan had, berarti kita berpindah dari keyakinan kepada keyakinan, sehingga hal itu diperbolehkan.
فصل: إذا بلغ اللقيط ووهب وأقبض وابتاع ونكح وأصدق وجنى وجني عليه ثم قامت البينة على رقه كان حكمه في التصرفات كلها حكم العبد القن يمضي ما يمضي من تصرفه وينقض ما ينقض من تصرفه فيما يضره ويضر غيره لأنه قد ثبت بالبينة أنه مملوك فكان حكمه حكم المملوك فإن أقر على نفسه بالرق لرجل فصدقه نظرت فإن كان قد تقدم منه إقرار بحريته لم يقبل إقراره بالرق لأنه لزمه بإقراره بالحرية أحكام الأحرار في العبادات والمعاملات فلم يقبل إقراره في إسقاطها وإن لم يتقدم منه إقرار بالحرية ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما لا يقبل إقراره بالرق لأنه محكوم بحريته فلم يقبل إقراره بالرق كما لو أقر بالحرية ثم أقر بالرق
PASAL: Jika laqīṭ telah balig lalu ia memberi hibah, menerima serah terima, membeli, menikah, memberikan ṣadaq (mahar), melakukan tindak kejahatan, atau ada orang yang berbuat jahat terhadapnya, kemudian datanglah bukti bahwa ia adalah budak, maka hukum atas seluruh tindakannya adalah hukum budak qin, yaitu sah apa yang sah dari tindakannya, dan dibatalkan apa yang dibatalkan dari tindakannya yang merugikan dirinya atau orang lain, karena telah terbukti dengan bukti bahwa ia adalah milik seseorang, maka hukumnya adalah hukum budak.
Jika ia mengakui dirinya sebagai budak milik seseorang, lalu orang itu membenarkannya, maka diperiksa: jika sebelumnya ia pernah mengaku sebagai orang merdeka, maka pengakuannya sebagai budak tidak diterima, karena dengan pengakuan kemerdekaannya telah berlaku atasnya hukum-hukum orang merdeka dalam ibadah dan muamalah, maka tidak diterima pengakuannya yang menggugurkan hukum-hukum itu.
Jika tidak ada pengakuan sebelumnya tentang kemerdekaan, maka dalam hal ini ada dua ṭarīq: sebagian dari kalangan kami berkata bahwa dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah pengakuannya sebagai budak tidak diterima karena ia dihukumi sebagai orang merdeka, maka tidak diterima pengakuannya sebagai budak sebagaimana orang yang mengaku merdeka kemudian mengaku sebagai budak.
والثاني يقبل لأنا حكمنا بحريته في الظاهر وما ثبت بالظاهر يجوز إبطاله بالإقرار ولهذا لو ثبت إسلامه بظاهر الدار وبلغ وأقر بالكفر قبل منه فكذلك ههنا ومنهم من قال إقراره بالرق قولاً واحداً لما ذكرناه ويكون حكمه في المستقبل حكم الرقيق فإما تصرفه بعد البلوغ وقبل الحكم برقه فعلى قولين: أحدهما يقال إقراره في جميعه لأن الرق هو الأصل وقد ثبت فوجب أن تثبت أحكامه كما لو ثبت بالبينة
dan yang kedua: diterima pengakuannya, karena kita menghukumi kemerdekaannya hanya secara lahir, dan apa yang ditetapkan berdasarkan lahir boleh dibatalkan dengan pengakuan. Oleh karena itu, seandainya keislamannya ditetapkan karena lahirnya negeri (dār), lalu ia balig dan mengaku kafir, maka pengakuannya diterima — maka demikian pula di sini.
Dan sebagian dari kalangan kami berkata: pengakuannya sebagai budak diterima secara qawl wāḥid karena alasan yang telah disebutkan. Maka hukumnya setelah itu adalah hukum budak.
Adapun tindakannya setelah balig dan sebelum adanya keputusan bahwa ia adalah budak, maka ada dua pendapat:
Pertama, dikatakan bahwa seluruh tindakannya (yang ia lakukan) tetap berlaku, karena asalnya adalah budak, dan ketika telah ditetapkan (ke-budak-annya), maka wajib pula ditetapkan hukum-hukumnya, sebagaimana jika status budaknya ditetapkan dengan bukti.
والثاني يقبل فيما يضره ولا يقبل فيما يضر غيره لأن إقراره يتضمن ما يضره ويضر غيره فقبل فيما يضره ولم يقبل فيما يضر غيره كما لو أقر بمال عليه وعلى غيره وهذا الطريق هو الصحيح وعليه التفريع فإن باع واشترى فإن قلنا يقبل إقراره في الجميع وقلنا إن عقود العبد من غير إذن المولى لا تصح كانت عقوده فاسدة فإن كانت الأعيان باقية وجب ردها وإن كانت تالفة وجب بدلها في ذمته يتبع به إذا عتق وإن قلنا يقبل فيما يضره ولا يقبل فيما يضر غيره لم يقبل قوله في إفساد العقود ويلزمه أعواضها فإن كان في يده مال استوفى منه فإن فضل في يده شيء كان لمولاه
dan yang kedua: diterima (pengakuannya) dalam hal yang merugikan dirinya, namun tidak diterima dalam hal yang merugikan orang lain. Karena pengakuannya mengandung unsur yang merugikan dirinya dan orang lain, maka diterima dalam hal yang merugikan dirinya, dan tidak diterima dalam hal yang merugikan orang lain, sebagaimana jika ia mengaku memiliki utang atas dirinya dan orang lain.
Dan jalur pendapat inilah yang benar, dan seluruh perincian dibangun di atasnya.
Maka jika ia melakukan jual beli, kemudian:
– jika kita mengatakan pengakuannya diterima secara keseluruhan, dan kita juga mengatakan bahwa akad-akad seorang budak tanpa izin tuannya tidak sah, maka akad-akadnya dianggap fasad. Maka jika benda-bendanya masih ada, wajib dikembalikan. Jika telah rusak, maka wajib diganti dengan nilai yang menjadi tanggungannya, dan bisa ditagih setelah ia merdeka.
– dan jika kita mengatakan pengakuannya diterima dalam hal yang merugikan dirinya namun tidak diterima dalam hal yang merugikan orang lain, maka tidak diterima pengakuannya untuk membatalkan akad-akad itu, dan ia wajib memberikan ganti rugi atas akad tersebut.
Jika di tangannya terdapat harta, maka diambil dari situ. Jika masih tersisa harta di tangannya, maka sisanya menjadi milik tuannya.
وإن كان اللقيط جارية فزوجها الحاكم ثم أقرت بالرق فإن قلنا يقبل إقرارها في الجميع فالنكاح باطل لأنه عقد بغير إذن المولى فإن كان قبل الدخول لم يجب على الزوج شيء وإن كان بعد الدخول وجب عليه مهر المثل لأنه وطء في نكاح فاسد وإن أتت بولد فهو حر لأنه دخل على أنه حر وعليه قيمته ويجب عليها عدة أمه وهي قرءان وإن قلنا لا يقبل فيما يضر غيره لم يبطل النكاح لأن فيه إضراراً بالزوج ولكنه في حق الزوج في حكم الصحيح وفي حقها في حكم الفاسد فإن كان قبل الدخول لم يجب لها مهر لأنها لا تدعيه وإن كان بعد الدخول وجب لها أقل الأمرين من مهر المثل أو المسمى
Jika laqīṭ itu seorang perempuan lalu dinikahkan oleh hakim, kemudian ia mengaku sebagai budak, maka:
– Jika kita mengatakan bahwa pengakuannya diterima secara keseluruhan, maka akad nikahnya batal, karena akad tersebut dilakukan tanpa izin tuan. Jika pengakuan itu terjadi sebelum terjadi dukhūl (hubungan), maka suaminya tidak wajib apa pun. Namun jika setelah dukhūl, maka suaminya wajib membayar mahr al-mithl, karena itu merupakan jima‘ dalam pernikahan yang fāsid. Dan jika ia melahirkan anak, maka anak itu merdeka karena suami berjima‘ dengan keyakinan bahwa istrinya merdeka, namun ia wajib membayar nilai budak perempuan itu. Dan ia (perempuan tersebut) wajib menjalani ‘iddah seorang budak, yaitu dua qur’.
– Namun jika kita mengatakan bahwa pengakuannya tidak diterima dalam hal yang merugikan orang lain, maka pernikahan tidak batal karena di dalamnya terdapat kerugian terhadap suami. Maka dalam hak suami dihukumi sebagai pernikahan yang ṣaḥīḥ, namun dalam hak istri dihukumi sebagai fāsid.
Jika pengakuannya terjadi sebelum dukhūl, maka ia tidak berhak atas mahar karena ia sendiri tidak menuntutnya. Dan jika setelah dukhūl, maka ia berhak mendapatkan yang lebih rendah antara mahr al-mithl dan mahar yang disebutkan (musammā).
لأنه إن كان المهر أقل لم يجب ما زاد لأن فيه إضراراً بالزوج وإن أتت منه بولد فهو حر ولا قيمة عليه لأنا لا نقبل قوله فيما يضره ونقول للزوج قد ثبت أن زوجتك أمة فإن اخترت إمساكها كان ما تلده مملوكاً للسيد لأنك تطؤها على علم أنها أمة وإن طلقها اعتدت عدة حرة وهو ثلاثة أقراء وله فيها الرجعة لأنا لا نقبل قولها عليه فيما يضره وإن مات عنها لزمته عدة أمة وهي شهران وخمس ليال لأن عدة الوفاة تجب لحق الله تعالى لا حق له فيها ولهذا تجب من غير وطء وقول اللقيط يقبل فيما يسقط حق الله تعالى من العبادات
Karena jika maharnya lebih rendah maka tidak wajib menambahkannya, karena hal itu mengandung mudarat bagi suami. Dan jika ia melahirkan anak dari suaminya, maka anak itu merdeka dan tidak wajib membayar gantinya, karena kita tidak menerima pengakuannya dalam hal yang merugikan dirinya. Dan kita katakan kepada suami: telah tetap bahwa istrimu adalah seorang amah, maka jika engkau memilih untuk tetap bersamanya, maka anak yang ia lahirkan menjadi milik tuannya, karena engkau menggaulinya dengan pengetahuan bahwa ia adalah seorang amah. Namun jika engkau menceraikannya, maka ia menjalani masa iddah seperti perempuan merdeka, yaitu tiga qur’, dan engkau berhak rujū‘ kepadanya, karena kami tidak menerima pengakuannya atas sesuatu yang merugikan suami. Dan jika suami wafat darinya, maka ia menjalani iddah seorang amah, yaitu dua bulan dan lima malam, karena iddah wafat wajib karena hak Allah Ta‘ala, dan suami tidak memiliki hak padanya. Oleh karena itu, iddah wafat tetap wajib meskipun tanpa adanya hubungan suami istri. Dan perkataan laqīṭ diterima dalam hal yang menggugurkan hak Allah Ta‘ala dari ibadah-ibadah.
وإن كان اللقيط غلاماً فتزوج ثم أقر بالرق فإن قلنا يقبل إقراره في الجمع بطل النكاح من أصله لأنه بغير إذن المولى فإن لم يدخل بها لم يلزمه شيء وإن دخل بها لزمه أقل الأمرين من المسمى أو مهر المثل لأنه إن كان المسمى أقل لم يجب ما زاد لأنها لا تدعيه وإن كان مهر المثل أقل لم يجب ما زاد لأن قوله مقبول وإن ضر غيره وإن قلنا لا يقبل قوله فيما يضر غيره لم يقبل قوله إن النكاح باطل لأنه يضرها ولكن يحكم بانفساخه في الحال لأن أقر بتحريمها فإن كان قبل الدخول لزمه نصف المسمى وإن دخل بها لزمه جميعه لأنه لا يقبل قوله في إسقاط المسمى.
Dan jika laqīṭ itu seorang anak laki-laki lalu menikah kemudian mengaku sebagai budak, maka jika kita katakan bahwa pengakuannya diterima secara keseluruhan, maka batal nikahnya sejak awal karena dilakukan tanpa izin tuan. Jika belum digauli, maka tidak wajib apa pun atasnya. Namun jika telah digauli, maka wajib atasnya mahar yang lebih rendah antara mahar yang disebutkan (musammā) atau mahar mitsl, karena jika musammā lebih rendah, maka tidak wajib membayar lebih karena perempuan tidak menuntutnya, dan jika mahar mitsl lebih rendah, maka tidak wajib membayar lebih karena pengakuannya diterima meskipun merugikan orang lain.
Namun jika kita katakan bahwa pengakuannya tidak diterima dalam hal yang merugikan orang lain, maka tidak diterima pengakuannya bahwa pernikahan itu batal, karena hal itu merugikan perempuan. Akan tetapi, dihukumi infiṣākh (terputus) saat itu juga karena ia mengakui bahwa perempuan tersebut haram baginya. Maka jika pengakuannya terjadi sebelum digauli, wajib atasnya separuh dari mahar musammā. Dan jika sudah digauli, maka wajib membayar penuh musammā karena pengakuannya tidak diterima dalam menggugurkan mahar tersebut.
فصل: وإن جنى عمداً على عبد ثم أقر بالرق وجب عليه القصاص على القولين وإن جنى خطأ وجب الأرش في رقبته على القولين لأن وجوب القصاص ووجوب الأرش في رقبته يضره ولا يضر غيره وقبل قوله فيه وإن جنى عليه حر عمداً لم يجب القول على الجاني لأن ذلك مما يضره ولا يضر غيره فقبل قوله فيه وإن جنى عليه خطأ بأن قطع يده فإن الجاني يقر بنصف الدية واللقيط يدعي نصف القيمة فإن كان نصف القيمة أكثر من نصف الدية وجب نصف القيمة لأن ما زاد عليه لا يدعيه وإن كان أكثر من نصف الدية فعلى القولين: إن قلنا يقبل قوله في الجميع وجب على الجاني نصف القيمة وإن قلنا لا يقبل فيما يضره غيره وجب نصف الدية لأن فيما زاد إضراراً بالجاني.
PASAL: Jika seseorang melakukan jinayah dengan sengaja terhadap seorang budak, lalu ia mengaku bahwa dirinya adalah budak, maka wajib atasnya qishāsh menurut kedua pendapat, dan jika ia melakukan jinayah karena kesalahan (tidak sengaja), maka wajib membayar arasy pada lehernya menurut kedua pendapat, karena kewajiban qishāsh dan kewajiban arasy pada lehernya adalah sesuatu yang merugikannya sendiri dan tidak merugikan orang lain, maka diterima pengakuannya dalam hal ini.
Jika seseorang merdeka melakukan jinayah terhadapnya dengan sengaja, maka tidak wajib menerima pengakuan pelaku jinayah, karena hal itu merugikannya dan tidak merugikan orang lain, maka diterima pengakuannya.
Jika seseorang melakukan jinayah terhadapnya karena kesalahan, misalnya memotong tangannya, maka pelaku jinayah mengaku wajib membayar setengah diyat, sedangkan laqīṭ mengklaim setengah nilai budak. Jika setengah nilai budak lebih besar dari setengah diyat, maka wajib membayar setengah nilai budak karena kelebihan dari itu tidak diklaim oleh pelaku jinayah. Namun jika setengah nilai budak lebih banyak daripada setengah diyat, maka berlaku dua pendapat: jika kita mengatakan diterima pengakuannya dalam seluruh perkara, maka wajib atas pelaku jinayah membayar setengah nilai budak, dan jika kita mengatakan tidak diterima dalam hal yang merugikan orang lain, maka wajib membayar setengah diyat, karena kelebihan dari itu merugikan pelaku jinayah.
فصل: وإن أقر اللقيط أنه عبد لرجل وكذبه الرجل سقط إقراره كما لو أقر له بدار فكذبه وإن أقر اللقيط بعد التكذيب بالرق لآخر لم يقبل وقال أبو العباس: يقبل كما لو أقر لرجل بدار فكذبه ثم أقر بها الآخر والمذهب الأول لأن بإقراره الأول قد أخبر أنه لم يملكه غيره فإذا كذبه المقر له رجع إلى الأصل وهو أنه حر فلم يقبل إقراره بالرق بعده ويخالف الدار لأنه إذا كذبه الأول رجع إلى الأصل وهي مملوكة فقبل الإقرار بها لغيره
PASAL: Jika laqīṭ mengaku bahwa dirinya adalah budak milik seseorang, namun orang tersebut mendustakannya, maka gugurlah pengakuannya, sebagaimana jika ia mengaku bahwa orang itu memiliki sebuah rumah lalu orang itu mendustakannya. Dan jika laqīṭ setelah didustakan mengaku sebagai budak milik orang lain, maka pengakuannya tidak diterima.
Abu al-‘Abbās berkata: diterima, sebagaimana jika ia mengaku sebuah rumah milik seseorang lalu didustakan, kemudian mengaku rumah itu milik orang lain.
Namun madzhab yang benar adalah yang pertama, karena dengan pengakuan pertama ia telah menyatakan bahwa tidak ada yang memilikinya selain orang itu. Maka ketika orang tersebut mendustakannya, ia kembali kepada asal, yaitu bahwa ia adalah orang merdeka. Maka tidak diterima lagi pengakuan perbudakan setelahnya.
Hal ini berbeda dengan rumah, karena jika pemilik pertama mendustakannya, maka kembali kepada asal, yaitu rumah itu memang milik seseorang, sehingga diterima pengakuan kepemilikan untuk orang lain.
فصل: وإذا بلغ اللقيط فادعى عليه رجل أنه عبد فأنكره فالقول قوله لأن الأصل الحرية وإن طلب المدعي يمينه فهل يحلف؟ يبنى على القولين في إقراره بالرق فإن قلنا يقبل حلف لأنه ربما خاف من اليمين فأقر له بالرق وإن قلنا لا يقبل لم يحلف لأن اليمين إنما تعرض ليخاف فيقر ولو أقر لم يقبل فلم يكن في عرض اليمين فائدة وبالله التوفيق.
PASAL: Jika laqīṭ telah balig lalu ada seseorang mengklaim bahwa ia adalah budaknya namun laqīṭ mengingkarinya, maka yang dijadikan pegangan adalah pengingkarannya, karena hukum asalnya adalah merdeka.
Jika pihak yang mengklaim meminta agar laqīṭ disuruh bersumpah, maka apakah laqīṭ bersumpah? Hal ini dibangun atas dua pendapat dalam masalah pengakuan dirinya sebagai budak: jika kita katakan bahwa pengakuannya diterima, maka ia disuruh bersumpah, karena bisa jadi ia takut bersumpah lalu mengaku sebagai budak.
Namun jika kita katakan bahwa pengakuannya tidak diterima, maka ia tidak disuruh bersumpah, karena sumpah hanya ditujukan agar ia takut lalu mengaku, padahal jika ia mengaku pun tidak diterima, maka tidak ada faedah dalam menyuruhnya bersumpah.
Wa billāhi at-taufīq.
الوقف قربة مندوب إليها لما روى عبد الله بن عمر أن عمر رضي الله عنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد ملك مائة سهم من خيبر فقال: قد أصبت مالاً لم أصب مثله وقد أردت أن أتقرب به لله تعالى فقال: “حبس الأصل وسبل الثمرة”.
Kitāb al-Waqf
Waqaf adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah yang dianjurkan, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Umar bahwa ‘Umar RA datang kepada Nabi SAW, dan saat itu ia telah memiliki seratus saham tanah di Khaybar, lalu ia berkata: “Aku telah memperoleh harta yang belum pernah aku peroleh sepertinya, dan aku ingin mendekatkan diri kepada Allah Ta‘ālā dengannya.” Maka Nabi SAW bersabda: “Tahan pokoknya dan salurkan hasilnya.”
فصل: ويجوز وقف كل عين ينتفع بها على الدوام كالعقار والحيوان والأساس والسلاح لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أنه ذكر للنبي صلى الله عليه وسلم أنه منع ابن جميل وخالد بن الوليد والعباس بن عبد المطلب يعني الصدقة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ما نقم بن جميل إلا أنه كان كان فقيراً فأغناه الله ورسوله”
PASAL: Boleh mewakafkan setiap benda yang bisa diambil manfaatnya secara terus-menerus, seperti tanah, hewan, fondasi bangunan, dan senjata. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa ia menyebutkan kepada Nabi SAW tentang penolakan Ibnu Jamīl, Khālid bin al-Walīd, dan al-‘Abbās bin ‘Abd al-Muṭṭalib terhadap sedekah. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada yang disesalkan dari Ibnu Jamīl kecuali karena dulunya ia fakir lalu Allah dan Rasul-Nya menjadikannya kaya.”
فأما خالد فإنكم تظلمون خالداً إن خالداً قد حبس أدرعه وأعتده معاً في سبيل الله ولأنه لما أمر عمر رضي الله عنه بتحبيس الأصل وتسبيل الثمرة دل ذلك على جواز وقف كل ما يبقى وينتفع به وأما ما لا ينتفع به على الدوام كالطعام وما يشم من الريحان وما تحطم وتكسر من الحيوان فلا يجوز وقفه لأنه لا يمكن الانتفاع به على الدوام ويجوز وقف الصغير من الرقيق والحيوان لأنه يرجى الانتفاع به على الدوام ولا يجوز وقف الحمل لأنه تمليك منجز فلم يصح في الحمل وحده كالبيع.
Adapun Khālid, maka kalian telah menzhalimi Khālid. Sesungguhnya Khālid telah mewakafkan baju-baju perangnya dan perlengkapannya seluruhnya di jalan Allah. Dan karena ketika ‘Umar RA memerintahkan untuk menahan pokok harta dan menjadikan hasilnya sebagai sedekah, hal itu menunjukkan bolehnya mewakafkan setiap benda yang tetap ada dan bisa diambil manfaatnya.
Adapun benda yang tidak bisa dimanfaatkan secara terus-menerus seperti makanan, wewangian dari tanaman, serta hewan yang telah rusak atau patah, maka tidak boleh diwakafkan karena tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Boleh mewakafkan budak kecil dan hewan, karena masih diharapkan bisa diambil manfaatnya secara terus-menerus. Namun tidak boleh mewakafkan janin dalam kandungan, karena itu merupakan bentuk tamlik (pemindahan kepemilikan) yang bersifat langsung, dan tidak sah jika ditujukan hanya untuk janin, sebagaimana halnya jual beli.
فصل: واختلف أصحابنا في الدراهم والدنانير فمن أجاز إجارتها أجاز وقفها ومن لم يجز إجارتها لم يجز وقفها واختلفوا في الكلب فمنهم من قال: لا يجوز وقفه لأن الوقف تمليك والكلب لا يملك ومنهم من قال: يجوز الوقف لأن القصد من الوقف المنفعة وفي الكلب منفعة فجاز وقفه واختلفوا في أم الولد فمنهم من قال: يجوز وقفها ولأنه ينتفع بها على الدوام فهي كالأم القنة ومنهم من قال لا يجوز لأنها لا تملك.
PASAL: Ulama kami berselisih pendapat mengenai dirham dan dinar. Barang siapa yang membolehkan penyewaan keduanya, maka ia membolehkan pula wakaf atas keduanya. Dan barang siapa yang tidak membolehkan penyewaan keduanya, maka ia tidak membolehkan wakaf atas keduanya.
Mereka juga berselisih pendapat tentang anjing. Sebagian dari mereka berkata: tidak boleh mewakafkan anjing, karena wakaf adalah bentuk kepemilikan, sedangkan anjing tidak dapat dimiliki. Sebagian lain berkata: boleh mewakafkannya, karena tujuan wakaf adalah mengambil manfaat, dan pada anjing terdapat manfaat, maka boleh mewakafkannya.
Demikian pula mereka berselisih mengenai umm al-walad. Sebagian dari mereka berkata: boleh mewakafkannya, karena ia dapat diambil manfaatnya secara terus-menerus, maka ia seperti budak perempuan biasa (al-umm al-qinah). Sebagian lain berkata: tidak boleh, karena ia tidak dimiliki.
فصل: ولا يصح الوقف إلا في عين معينة فإن وقف عبداً غير معين أو فرساً غير معين فالوقف باطل لأنه إزالة ملك على وجه القربة فلم يصح في عين في الذمة كالعتق والصدقة.
فصل: وما جاز وقفه جاز وقف جزء منه مشاع لأن عمر رضي الله عنه وقف مائة سهم من خيبر بإذن رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن القصد بالوقف حبس الأصل وتسبيل المنفعة والمشاع كالمقسوم في ذلك ويجوز وقف علو الدار دون سفلها وسفلها دون علوها لأنهما عينان يجوز وقفهما فجاز وقف أحدهما دون الآخر كالعبدين.
PASAL: Tidak sah wakaf kecuali pada benda tertentu. Maka jika seseorang mewakafkan seorang budak yang tidak ditentukan, atau seekor kuda yang tidak ditentukan, maka wakafnya batal, karena wakaf adalah pengalihan kepemilikan dengan tujuan pendekatan diri kepada Allah, sehingga tidak sah pada sesuatu yang masih dalam tanggungan (belum ada bendanya secara nyata), sebagaimana tidak sah dalam ‘itq dan sedekah.
PASAL: Sesuatu yang sah untuk diwakafkan, maka sah juga mewakafkan bagian tidak terbagi darinya (musyā‘), karena ‘Umar RA mewakafkan seratus saham tanah di Khaybar dengan izin Rasulullah SAW. Sebab tujuan wakaf adalah menahan pokok dan menyalurkan manfaat, dan bagian tidak terbagi (musyā‘) dalam hal ini sama dengan yang sudah terbagi.
Boleh mewakafkan bagian atas rumah tanpa bagian bawahnya, dan bagian bawahnya tanpa bagian atasnya, karena keduanya adalah dua benda yang berdiri sendiri yang sah untuk diwakafkan, maka boleh mewakafkan salah satunya tanpa yang lain, seperti dua orang budak.
فصل: ولا يصح الوقف إلا على بر ومعروف كالقناطر والمساجد والفقراء والأقارب فإن وقف على ما لا قربة فيه كالبيع والكنائس وكتب التوراة والإنجيل وعلى من يقطع الطريق أو يرتد عن الدين لم يصح لأن القصد بالوقف القربة وفيما ذكرناه إعانة على المعصية وإن وقف على ذمي جاز لأنه في موضع القربة ولهذا يجوز التصدق عليه فجاز الوقف عليه وفي الوقف على المرتد والحربي وجهان: أحدهما يجوز لأنه يجوز تمليكه فجاز الوقف عليه كالذمي والثاني لا يجوز لأن القصد بالوقف نفع الموقوف عليه والمرتد والحربي مأمور بقتلهما فلا معنى للوقف عليهما وإن وقف على دابة رجل ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن مؤونتها على صاحبها والثاني يجوز لأنه كالوقف على مالكها.
PASAL: Tidak sah wakaf kecuali untuk kebaikan dan hal yang ma‘rūf, seperti jembatan-jembatan, masjid, fakir miskin, dan kerabat. Jika wakaf ditujukan untuk sesuatu yang tidak mengandung pendekatan diri kepada Allah, seperti untuk jual beli, gereja, kitab Taurāt dan Injīl, atau kepada perampok jalanan atau orang yang murtad dari agama, maka tidak sah, karena tujuan dari wakaf adalah pendekatan diri (qurbah), sementara perkara-perkara tersebut merupakan bantuan terhadap maksiat.
Jika wakaf diberikan kepada seorang dzimmī, maka hal itu sah, karena ia termasuk dalam perkara pendekatan diri. Buktinya adalah bahwa bersedekah kepadanya dibolehkan, maka wakaf juga dibolehkan.
Adapun wakaf kepada murtad dan ḥarbī, terdapat dua wajah:
Pertama, boleh, karena mereka boleh dimiliki harta, maka boleh diberikan wakaf sebagaimana dzimmī.
Kedua, tidak boleh, karena tujuan wakaf adalah memberi manfaat kepada penerimanya, sedangkan murtad dan ḥarbī diperintahkan untuk dibunuh, maka tidak ada makna wakaf atas mereka.
Jika wakaf ditujukan untuk hewan milik seseorang, maka ada dua wajah:
Pertama, tidak boleh, karena biaya perawatannya menjadi tanggungan pemiliknya.
Kedua, boleh, karena hal itu sama dengan wakaf kepada pemiliknya.
فصل: ولا يجوز أن يقف على نفسه ولا أن يشرط لنفسه منه شيئاً وقال أبو عبد الله الزبيدي: يجوز لأن عثمان رضي الله عنه وقف بئر رومة وقال دلوي كدلاء المسلمين وهذا خطأ لأن الوقف يقتضي حبس العين وتمليك المنفعة والعين محبوسة عليه ومنفعتها مملوكة له فلم يكن للوقف معنى ويخالف وقف عثمان رضي الله عنه لأن ذلك وقف عام ويجوز أن يدخل في العام ما لا يدخل في الخاص والدليل عليه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي في المساجد وهي وقف على المسلمين وإن كان لا يجوز أن يخص بالصدقة ولأن في الوقف العام يدخل فيه من غير شرط ولا يدخل في الوقف الخاص فدل على الفرق بينهما.
PASAL: Tidak boleh mewakafkan untuk dirinya sendiri, dan tidak boleh mensyaratkan sesuatu darinya untuk dirinya sendiri. Abu ‘Abdillah az-Zubaidī berkata: Boleh, karena ‘Utsmān RA mewakafkan sumur Rūmah dan berkata, “Emberku seperti ember kaum muslimin.” Ini adalah pendapat yang keliru, karena wakaf mengharuskan penahanan benda dan pemilikan manfaat, sedangkan bendanya ditahan atas dirinya dan manfaatnya dimiliki olehnya, maka tidak ada makna bagi wakaf tersebut. Adapun wakaf ‘Utsmān RA berbeda karena itu merupakan wakaf umum, dan boleh masuk dalam wakaf umum sesuatu yang tidak boleh masuk dalam wakaf khusus. Dalilnya adalah bahwa Rasulullah SAW shalat di masjid-masjid yang merupakan wakaf bagi kaum muslimin, padahal tidak boleh beliau dikhususkan dalam sedekah. Dan karena dalam wakaf umum boleh dimasuki tanpa syarat, sedangkan dalam wakaf khusus tidak, maka ini menunjukkan perbedaan antara keduanya.
فصل: ولا يجوز الوقف على من لا يملك كالعبد والحمل لأنه تمليك منجز فلم يصح على من لا يملك كالهبة والصدقة.
فصل: ولا يصح الوقف على مجهول كالوقف لعى رجل غير معين والوقف على من يختاره فلان لأنه تمليك منجز فلم يصح في مجهول كالبيع والهبة.
PASAL: Tidak boleh melakukan wakaf kepada siapa pun yang tidak memiliki hak milik seperti budak dan janin, karena wakaf adalah bentuk pemilikan yang segera, maka tidak sah diberikan kepada yang tidak memiliki, sebagaimana dalam hibah dan sedekah.
PASAL: Tidak sah wakaf kepada pihak yang tidak dikenal, seperti wakaf kepada seorang laki-laki yang tidak ditentukan, atau wakaf kepada orang yang akan dipilih oleh si Fulan, karena wakaf adalah bentuk pemilikan yang segera, maka tidak sah diberikan kepada yang tidak dikenal sebagaimana dalam jual beli dan hibah.
فصل: ولا يصح تعليقه على شرط مستقبل لأنه عقد يبطل بالجهالة فلم يصح تعليقه على شرط مستقبل كالبيع ولا يصح بشرط الخيار وبشرط أن يرجع فيه إذا شاء أو يبيعه إذا احتاج أو يدخل فيه من شاء أو يخرج منه من شاء لأنه إخراج مال على وجه القربة فلم يصح مع هذه الشروط كالصدقة.
فصل: ولا يجوز إلى مدة لأنه إخراج مال على وجه القربة فلم يجز إلى مدة كالعتق والصدقة.
PASAL: Tidak sah menggantungkan wakaf pada syarat di masa mendatang, karena ia adalah akad yang batal sebab mengandung jahālah (ketidakjelasan), maka tidak sah menggantungkan wakaf pada syarat masa depan sebagaimana dalam akad jual beli. Tidak sah pula wakaf dengan syarat khiyār (pilihan), atau dengan syarat boleh menarik kembali jika dia menghendaki, atau menjualnya jika dia butuh, atau memasukkan siapa yang dia kehendaki ke dalamnya, atau mengeluarkan siapa yang dia kehendaki darinya, karena hal itu merupakan pengeluaran harta dalam rangka mendekatkan diri (kepada Allah), maka tidak sah dengan syarat-syarat tersebut sebagaimana dalam sedekah.
PASAL: Tidak boleh wakaf dibatasi dengan jangka waktu, karena ia merupakan pengeluaran harta dalam rangka mendekatkan diri, maka tidak boleh dibatasi waktu sebagaimana dalam ‘itq dan sedekah.
فصل: ولا يجوز إلا على سبيل لا ينقطع وذلك من وجهين: أحدهما أنه يقف على من لا ينقرض كالفقراء والمجاهدين وطلبة العلم وما أشبهها والثاني أن يقف على من ينقرض ثم من بعده على من لا ينقرض مثل أن يقف على رجل بعينه ثم على الفقراء أو على رجل ثم على عقبه ثم على الفقراء فأما إذا وقف وقفاً منقطع الإبتداء والإنتهاء كالوقف على عبده أو على ولده ولا ولد له فالوقف باطل لأن العبد لا يملك والولد الذي لم يخلق لا يملك فلا يفيد الوقف عليها شيئاً
PASAL: Tidak boleh wakaf kecuali pada jalan yang tidak terputus, dan hal itu ada dua bentuk: pertama, mewakafkan kepada pihak yang tidak akan punah, seperti orang-orang fakir, para mujahid, penuntut ilmu, dan semisalnya; kedua, mewakafkan kepada pihak yang bisa punah, kemudian setelah mereka kepada pihak yang tidak punah, seperti mewakafkan kepada seseorang tertentu lalu kepada orang-orang fakir, atau kepada seseorang lalu kepada keturunannya kemudian kepada orang-orang fakir. Adapun jika wakaf dilakukan kepada pihak yang terputus awal dan akhirnya, seperti wakaf kepada budaknya atau kepada anaknya padahal dia belum memiliki anak, maka wakaf tersebut batal, karena budak tidak memiliki hak milik, dan anak yang belum diciptakan juga tidak memiliki hak milik, maka wakaf kepada keduanya tidak memberi manfaat apa pun.
وإن وقف وقفاً متصل الإبتداء منقطع الإنتهاء بأن وقف على رجل بعينه ولم يزد عليه أو على رجل بعينه ثم على عقبه ولم يزد عليه ففيه قولان: أحدهما أن الوقف باطل لأن القصد بالوقف أن يتصل الثواب على الدوام وهذا لا يوجد في هذا الوقف لأنه قد يموت الرجل وينقطع عقبه والثاني أنه يصح ويصرف بعد انقراض الموقوف عليه إلى أقرب الناس إلى الواقف لأن مقتضى الوقف الثواب على التأبيد فحمل فيما سماه على ما شرطه وفيما سكت عنه على مقتضاه ويصير كأنه وقف مؤبد ويقدم المسمى على غيره فإذا اقرض المسمى صرف إلى أقرب الناس إلى الواقف لأنه من أعظم جهات الثواب
Dan jika seseorang mewakafkan wakaf yang bersambung pada awalnya namun terputus pada akhirnya, seperti mewakafkan kepada seorang lelaki tertentu tanpa menambahkan selainnya, atau mewakafkan kepada seorang lelaki tertentu lalu kepada anak keturunannya, dan tidak menambahkan selain itu, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, wakaf tersebut batal karena tujuan dari wakaf adalah agar pahala terus mengalir selamanya, dan hal ini tidak terwujud dalam wakaf seperti ini, karena bisa jadi lelaki tersebut meninggal dunia dan anak keturunannya pun terputus.
Kedua, wakaf tersebut sah, dan setelah habisnya pihak yang diberi wakaf, maka disalurkan kepada kerabat terdekat dari orang yang mewakafkan, karena konsekuensi dari wakaf adalah meraih pahala secara terus-menerus, maka dalam perkara yang disebutkan oleh wakif diikuti sesuai syaratnya, dan dalam perkara yang tidak disebutkan dikembalikan kepada konsekuensi maknanya, sehingga seolah-olah wakaf tersebut bersifat abadi. Dan yang disebutkan secara eksplisit didahulukan atas yang tidak disebutkan. Maka apabila pihak yang disebutkan telah punah, wakaf itu disalurkan kepada kerabat terdekat dari orang yang mewakafkan karena mereka adalah pihak yang paling utama untuk mendapatkan pahala.
والدليل عليه قول النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “لا صدقة وذو رحم محتاج” وروى سليمان بن عامر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “صدقتك على المساكين صدقة وعلى ذي الرحم اثنتان صدقة وصلة” وهل يختص به فقراؤهم أو يشترك فيه الفقراء والأغنياء؟ فيه قولان: أحدهما يختص به الفقراء لأن مصرف الصدقات إلى الفقراء والثاني يشترك فيه الفقراء والأغنياء لأن في الوقف الغني والفقير سواء وإن وقف وقفاً منقطع الإبتداء متصل الإنتهاء بأن وقف على عبد ثم على الفقراء أو على رجل غير معين ثم على الفقراء ففيه طريقان: من أصحابنا من قال: يبطل قولاً واحداً لأن الأول باطل
Dalilnya adalah sabda Nabi SAW: “Tidak ada sedekah sementara kerabat dekat dalam keadaan membutuhkan,” dan dari Sulaimān bin ‘Āmir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Sedekahmu kepada orang miskin adalah sedekah, dan kepada kerabat adalah dua: sedekah dan ṣilah (menyambung hubungan).”
Apakah ini khusus untuk orang-orang fakir dari kerabat ataukah mencakup fakir dan orang-orang kaya mereka? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, khusus untuk yang fakir karena penyaluran sedekah itu untuk orang-orang fakir.
Kedua, mencakup fakir dan kaya karena dalam wakaf, antara orang kaya dan fakir adalah sama.
Dan jika seseorang mewakafkan wakaf yang terputus pada awalnya namun bersambung pada akhirnya, seperti mewakafkan kepada seorang budak, lalu setelah itu kepada orang-orang fakir, atau kepada seseorang yang tidak tertentu lalu setelah itu kepada orang-orang fakir, maka dalam hal ini ada dua metode:
Sebagian dari kalangan kami berkata: batal secara qawl wāḥid (satu pendapat) karena permulaan wakafnya tidak sah.
والثاني فرع الأصل باطل فكان باطلاً ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما أنه باطل لما ذكرناه والثاني أنه يصح لأنه لما بطل الأول صار كأن لم يكن وصار الثاني أصلاً فإذا قلنا إنه يصح فإن كان الأول لا يملك اعتبار انقراضه كرجل غير معين صرف إلى من بعده وهم الفقراء لأنه لا يمكن اعتبار انقراضه فسقط حكمه وإن كان يمكن اعتبار انقراضه كالعبد ففيه ثلاثة أوجه: أحدها ينقل في الحال إلى من بعده لأن الذي وقف عليه في الابتداء لم يصح الوقف عليه فصار كالمعدوم
Yang kedua, mengikuti cabang asal yang batal, maka jadilah batal. Sebagian mengatakan: terdapat dua pendapat dalam hal ini:
Pertama, batal sebagaimana telah disebutkan.
Kedua, sah, karena ketika yang pertama batal, seolah-olah tidak pernah ada, dan yang kedua menjadi pokoknya.
Jika kita katakan sah, maka apabila yang pertama tidak bisa dihitung berakhirnya, seperti orang yang tidak tertentu, wakaf dialihkan kepada pihak berikutnya, yaitu orang-orang fakir, karena tidak mungkin menganggap berakhirnya yang pertama sehingga hukum wakafnya gugur.
Adapun jika berakhirnya yang pertama bisa dihitung, seperti budak, terdapat tiga kemungkinan:
Pertama, langsung dialihkan kepada pihak berikutnya, karena wakaf pada awalnya tidak sah sehingga seolah-olah tidak ada.
والثاني وهو المنصوص أنه للواقف ثم لوارثه إلى أن ينقرض الموقوف عليه ثم يجعل لمن بعده لأنه لم يوجد شرط الانتقال إلى الفقراء فبقي على ملكه والثالث أنه يكون لأقرباء الواقف إلى أن ينقرض الموقوف عليه ثم يجعل للفقراء لأنه لا يمكن تركه على الواقف لأنه أزال الملك فيه ولا يمكنأن يجعل للفقراء لأنه لم يوجد شرط الانتقال إليهم فكان أقرباء الواقف أحق وهل يختص به فقراؤهم أو يشترك فيه الفقراء والأغنياء على ما ذكرناه من القولين.
Kedua, sebagaimana yang disebutkan secara nash, wakaf itu tetap milik orang yang mewakafkan, kemudian diwarisi oleh ahli warisnya hingga pihak yang diberi wakaf habis, baru dialihkan kepada pihak berikutnya, karena tidak ada syarat perpindahan kepada orang-orang fakir, maka tetap menjadi miliknya.
Ketiga, wakaf diberikan kepada kerabat terdekat dari orang yang mewakafkan hingga pihak yang diberi wakaf habis, kemudian dialihkan kepada orang-orang fakir, karena tidak mungkin tetap pada wakif (karena hak miliknya telah hilang), dan tidak mungkin langsung diberikan kepada orang-orang fakir karena tidak ada syarat perpindahan kepada mereka; maka kerabat wakif yang lebih berhak.
Apakah ini khusus untuk orang fakir dari kerabat ataukah mencakup fakir dan kaya, mengikuti apa yang telah disebutkan dalam kedua pendapat tersebut.
فصل: وإن وقف وقفاً مطلقاً ولم يذكر سبيله ففيه قولان: أحدهما أن الوقف باطل لأنه تمليك فلا يصح مطلقاً كما لو قال بعت داري ووهبت مالي والثاني يصح وهو الصحيح لأنه إزالة ملك على وجه القربة فصح مطلقاً كالأضحية فعلى هذا يكون حكمه حكم الوقف المتصل الإبتداء المنقطع الإنتهاء وقد بيناه.
PASAL: Dan apabila seseorang berwakaf secara mutlak tanpa menyebut jalannya, maka ada dua pendapat: pertama, wakaf itu batal karena merupakan bentuk tamlik sehingga tidak sah secara mutlak sebagaimana bila ia berkata: “Aku jual rumahku” atau “Aku hibahkan hartaku.” Kedua, wakaf itu sah, dan inilah yang shahih, karena ia merupakan pengalihan kepemilikan dalam bentuk qurbah, maka sah secara mutlak sebagaimana udhḥiyah. Atas dasar itu, hukumnya sama dengan wakaf yang tersambung pada permulaan tetapi terputus pada akhirnya, dan hal itu telah kami jelaskan.
فصل: ولا يصح الوقف إلا بالقول فإن بنى مسجداً وصلى فيه أو أذن للناس بالصلاة فيه لم يصر وقفاً لأنه إزالة ملك على وجه القربة فلم يصح من غير قول مع القدرة كالعتق وألفاظه ستة: وقفت وحبست وسبلت وتصدقت وأبدت وحرمت فأما الوقف والحبس والتسبيل فهي صريحة فيه لأن الوقف موضوع له ومعروف به والتحبيس والتسبيل ثبت لهما عرف الشرع فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال لعمر رضي الله عنه: “حبس الأصل وسبل الثمرة”
PASAL: Tidak sah wakaf kecuali dengan ucapan, karena jika seseorang membangun masjid dan shalat di dalamnya atau mengizinkan orang-orang shalat di dalamnya, hal itu tidak menjadi wakaf, karena hak miliknya dicabut untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah, maka tidak sah tanpa ucapan meskipun mampu, sebagaimana pada ‘itq (pembebasan budak).
Ada enam lafazh yang diterima: waqaf-tu, ḥabas-tu, sabbal-tu, taṣaddaq-tu, abdad-tu, dan ḥarram-tu. Adapun waqf, ḥabs, dan tasbīl jelas menunjukkan maksud wakaf, karena wakaf merupakan pokoknya dan dikenal dengannya. Sedangkan taḥbīs dan tasbīl telah dikenal oleh syariat, sebagaimana Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar RA: “Tahan pokoknya dan salurkan buahnya.”
وأما التصدق فهو كناية فيه لأنه مشترك بين الوقف وصدقة التطوع فلم يصح الوقف بمجرده وإن اقترنت به نية الواقف أو لفظ من الألفاظ الخمسة بأن يقول تصدقت به صدقة موقوفة أو محبوسة أو مسبلة أو مؤبدة أو محرمة أو حكم الوقف بأن يقول صدقة لا تباع ولا توهب ولا تورث صار وقفاً لأنه مع هذه القرائن لا يحتمل غير الوقف وأما قوله حرمت وأبدت ففيه قولان: أحدهما أنه كناية فلا يصح به الوقف إلا بإحدى القرائن التي ذكرنا لأنه لم يثبت له عرف الشرع ولا عرف اللغة فلم يصح الوقف بمجرده كالتصدق والثاني أنه صريح لأن التأبيد والتحريم في غير الأبضاع لا يكون إلا بالوقف فحمل عليه.
Adapun taṣadduq (bersedekah), itu bersifat kiasan karena bersifat umum antara wakaf dan sedekah sunnah, maka wakaf tidak sah hanya dengan ucapan itu saja. Namun jika disertai dengan niat wakif atau salah satu dari lima lafazh sebelumnya, misalnya ia berkata: “Aku bersedekah dengan sedekah yang diwakafkan, atau yang ditahan, atau yang disalurkan, atau yang abadi, atau yang diharamkan,” atau menetapkan hukum wakaf dengan berkata: “Sedekah ini tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan,” maka hal itu menjadi wakaf, karena dengan adanya petunjuk ini, tidak mungkin maksudnya selain wakaf.
Adapun ucapan ḥarram-tu dan abbad-tu, terdapat dua pendapat:
Pertama, itu bersifat kiasan, maka wakaf tidak sah kecuali disertai salah satu petunjuk yang telah disebutkan, karena tidak ada dasar dalam syariat maupun bahasa, sehingga tidak sah wakaf hanya dengan ucapan itu sendiri, seperti halnya taṣadduq.
Kedua, itu jelas, karena pengabadian dan pengharaman selain pada tangan tidak dilakukan kecuali dengan wakaf, maka diambil maksud wakaf darinya.
فصل: وإذا صح الوقف لزم وانقطع تصرف الواقف فيه لما روى ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لعمر رضي الله عنه: “إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها” لا تباع ولا توهب ولا تورث ويزول ملكه عن العين ومن أصحابنا من خرج فيه قولاً آخر أنه لا يزول ملكه عن العين لأن الوقف حبس العين وتسبيل المنفعة وذلك لا يوجب زوال الملك والصحيح هو الأول لأنه سبب يزيل ملكه عن التصرف في العين والمنفعة فأزال الملك كالعتق واختلف أصحابنا فيمن ينتقل الملك إليه فمنهم من قال: ينتقل إلى الله تعالى قولاً واحداً
PASAL: Apabila wakaf itu sah, maka ia menjadi wajib dan terputuslah hak tasharruf wāqif di dalamnya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibn ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar RA: “Jika engkau mau, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasilnya.” Maka tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwariskan. Kepemilikan wāqif atas benda wakaf itu hilang. Sebagian dari ulama kami mengeluarkan pendapat lain bahwa kepemilikannya atas benda itu tidak hilang, karena hakikat wakaf adalah menahan benda dan membebaskan manfaatnya, dan hal itu tidak mewajibkan hilangnya kepemilikan. Namun pendapat yang shahih adalah yang pertama, karena wakaf menjadi sebab hilangnya kepemilikan atas tasharruf dalam benda dan manfaatnya, sehingga kepemilikan itu hilang sebagaimana dalam masalah ‘itq (memerdekakan budak). Ulama kami berbeda pendapat mengenai kepada siapa kepemilikan itu berpindah. Sebagian mereka berkata: berpindah kepada Allah Ta‘ala secara mutlak.
لأنه حبس عين وتسبيل منفعة على وجه القربة أزال الملك إلى الله تعالى كالعتق ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما أنه ينتقل إلى الله تعالى وهو الصحيح لما ذكرناه والثاني أنه ينتقل إلى الموقوف عليه لأن ما أزال الملك عن العين لم يزل المالية ينقل إلى الآدمي كالصدقة.
Karena wakaf itu merupakan penahanan benda dan pembebasan manfaat pada jalan qurbah, maka kepemilikan berpindah kepada Allah Ta‘ala sebagaimana ‘itq. Dan di antara ulama kami ada yang mengatakan di dalamnya ada dua pendapat: pertama, berpindah kepada Allah Ta‘ala, dan inilah yang shahih sebagaimana telah kami sebutkan; kedua, berpindah kepada orang yang menjadi penerima wakaf, karena sesuatu yang menghilangkan kepemilikan atas benda tidaklah menghilangkan nilai finansialnya, maka dipindahkan kepada manusia sebagaimana sedekah.
فصل: ويملك الموقوف عليه غلة الوقف فإن كان الموقوف شجرة ملك ثمرتها وتجب عليه زكاتها لأنه يملكها ملكاً تاماً فوجب زكاتها عليه فإن كان حيواناً ملك صوفه ولبنه لأن ذلك من غلة الوقف وفوائده فهو كالثمرة وهل يملك ماتلده فيه وجهان: أحدهما يملكه لأنه نماء الوقف فأشبه الثمرة وكسب العبد والثاني أنه موقوف كالأم لأن كل حكم ثبت فيه للأم يتبعه فيه الولد كحرمة الاستيلاد في أم الولد وإن كان جارية ملك مهرها لأنه بدل منفعتها ولا يملك وطأها لأنها في أحد القولين لا يملكها وفي الثاني يملكها ملكاً ضعيفاً فلم يملك به الوطأ فإن وطئها لم يلزمه الحد لأنه في أحد القولين يملكها وفي الثاني له شبهة ملك وفي تزويجها وجهان: أحدهما لا يجوز لأنه ينقص قيمتها وربما تلفت من الولاد فيدخل الضرر على من بعده من أهل الوقف
PASAL: Dan orang yang menerima wakaf memiliki hasil wakaf. Jika yang diwakafkan itu pohon maka ia memiliki buahnya, dan wajib atasnya zakatnya, karena ia memilikinya dengan kepemilikan sempurna, maka wajib zakatnya atasnya. Jika yang diwakafkan itu hewan maka ia memiliki bulu dan susunya, karena itu termasuk hasil wakaf dan faedahnya, maka kedudukannya seperti buah. Adapun apakah ia memiliki anak yang dilahirkan hewan itu, maka ada dua wajah: pertama, ia memilikinya karena itu termasuk namā’ wakaf, maka serupa dengan buah dan hasil kerja budak; kedua, anak itu ikut terwakafkan seperti induknya, karena setiap hukum yang tetap pada induk berlaku pula pada anaknya, seperti haramnya istīlād pada umm al-walad.
Jika yang diwakafkan itu seorang budak perempuan maka ia memiliki maharnya, karena mahar itu sebagai pengganti manfaatnya, tetapi ia tidak memiliki hak menyetubuhinya, karena dalam salah satu dari dua pendapat ia sama sekali tidak memilikinya, dan dalam pendapat lain ia hanya memilikinya dengan kepemilikan lemah, maka tidak sah dengan itu untuk menyetubuhi. Jika ia menyetubuhi, maka tidak wajib atasnya ḥadd, karena dalam salah satu pendapat ia benar-benar memilikinya, dan dalam pendapat lain ada syubhat kepemilikan.
Adapun menikahkannya terdapat dua wajah: pertama, tidak boleh, karena itu dapat mengurangi nilainya dan mungkin ia rusak karena melahirkan, sehingga menimbulkan mudarat bagi orang-orang setelahnya dari kalangan ahli wakaf.
والثاني يجوز لأنه عقد على منفعتها فأشبه الإجارة فإن قلنا إنها للموقوف عليه كان تزويجها إليه وإن قلنا إنها تنتقل إلى الله تعالى كان تزويجها إلى الحاكم كالحرة التي لا ولي لها ولا يزوجها الحاكم إلا بإذن الموقوف عليه لأن له حقاً في منفعتها فلم يملك التصرف فيها بغير إذنه فإن أتت بولد مملوك كان الحكم فيه كالحكم فيما تلد البهيمة.
Dan yang kedua, boleh, karena itu akad atas manfaatnya, maka serupa dengan ijarah. Jika kita katakan bahwa budak itu milik pihak yang menerima wakaf, maka menikahkannya berada di tangannya. Dan jika kita katakan bahwa ia berpindah kepada Allah Ta‘ala, maka menikahkannya berada di tangan ḥākim seperti wanita merdeka yang tidak memiliki wali. Dan ḥākim tidak menikahkannya kecuali dengan izin pihak penerima wakaf, karena ia memiliki hak pada manfaatnya, maka tidak boleh bertindak di dalamnya tanpa izinnya. Jika ia melahirkan anak yang berstatus budak, maka hukumnya sama dengan hukum pada anak yang dilahirkan hewan.
فصل: وإن أتلفه الواقف أو أجنبي فقد اختلف أصحابنا فيه على طريقين: فمنهم من قال يبني على القولين فإن قلنا إنه للموقوف عليه وجبت القيمة له لأنه بدل ملكه وإن قلنا إنه لله تعالى اشترى به مثله ليكون وقفاً لله تعالى وقال الشيخ أبو حامد الإسفرايني: يشتري بها مثله ليكون وقفاً مكانه قولاً واحداً لأنا وإن قلنا إنه ينتقل إلى الموقوف عليه إلا أنه لا يملك الإنتفاع برقبته وإنما يملك الإنتفاع بمنفعته ولأن في ذلك إبطال حق البطن الثاني من الوقف وإن أتلفه الموقوف عليه فإن قلنا إنه إذا أتلفه غيره كانت القيمة له لم تجب عليه لأنها تجب له
PASAL: Jika wakif atau orang lain merusaknya, maka para ashḥāb kami berbeda pendapat dalam dua ṭarīq. Di antara mereka ada yang berkata: hal itu dibangun atas dua qaul. Jika kami katakan bahwa itu milik mauqūf ‘alaih, maka wajib dibayar qīmah kepadanya, karena itu sebagai pengganti miliknya. Dan jika kami katakan bahwa itu milik Allah Ta‘ālā, maka dibelikan dengan qīmah itu yang semisalnya agar menjadi wakaf bagi Allah Ta‘ālā. Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfarā’inī berkata: dibelikan dengan qīmah itu yang semisalnya agar menjadi wakaf penggantinya secara qaul satu, karena sekalipun kami katakan bahwa ia berpindah kepada mauqūf ‘alaih, sesungguhnya ia tidak memiliki hak menggunakan pokok benda itu, melainkan hanya memiliki hak memanfaatkan manfa‘atnya. Dan karena dalam hal itu terdapat pembatalan hak baṭn tsānī dari wakaf. Jika mauqūf ‘alaih yang merusaknya, maka jika kami katakan apabila orang lain merusaknya maka qīmah-nya untuk dia, maka tidak wajib atasnya, karena qīmah itu kembali kepadanya.
وإن قلنا يشتري بها ما يكون وقفاً مكانه أخذت القيمة منه واشترى بها ما يكون مكانه وإن كان الوقف جارية فوطئها رجل بشبهة فأتت منه بولد ففي قيمة الولد ما ذكرناه من الطريقين في قيمة الوقف إذا أتلف وإن كان الوقف عبداً فجنى جناية توجب المال لم يتعلق برقبته لأنها ليست بمحل للبيع فإن قلنا إنه للموقوف عليه وجب الضمان عليه وإن قلنا إنه لله تعالى ففيه ثلاثة أوجه: أحدها يلزم الواقف وهو قول أبي إسحاق وهو الصحيح لأنه منع من بيعه ولم يبلغ به حالة يتعلق الأرش بذمته فلزمه أن يفيده كأم الولد
Dan jika kami katakan bahwa dengan qīmah itu dibelikan sesuatu yang menjadi wakaf penggantinya, maka diambil qīmah darinya dan dibelikan sesuatu yang sepadan dengannya. Jika wakaf itu berupa seorang jāriyah lalu seorang laki-laki menyetubuhinya karena syubhat hingga ia melahirkan anak darinya, maka dalam qīmah anak tersebut berlaku seperti yang telah kami sebutkan dari dua ṭarīq tentang qīmah wakaf jika dirusakkan. Dan jika wakaf itu berupa seorang budak lalu ia melakukan tindak pidana yang mewajibkan pembayaran harta, maka tidak terkait pada pokok dirinya karena ia bukanlah tempat jual beli. Jika kami katakan bahwa itu milik mauqūf ‘alaih, maka wajib atasnya ganti rugi. Dan jika kami katakan bahwa itu milik Allah Ta‘ālā, maka ada tiga wajah: yang pertama, wajib atas wakif, dan ini adalah qaul Abū Isḥāq, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ia telah melarang dari menjualnya dan tidak sampai pada keadaan yang mengikat arasy pada tanggungannya, maka wajib baginya memberi manfaat seperti umm al-walad.
والثاني أنه يجب في بيت المال لأنه لا يمكن إيجابه على الواقف لنه لا يملكه ولا على الموقوف عليه لأنه لا يملكه فلم يبق إلا بيت المال. والثالث أنه يجب في كسبه لأنه كان محله الرقبة ولا يمكن تعليقه عليها فتعلق بكسبه لأنه مستفاد من الرقبة ويجب أقل الأمرين من قيمته أو أرش الجناية لأنه لا يمكن بيعه كأم الولد.
Yang kedua, wajib ditunaikan dari Bayt al-Māl, karena tidak mungkin diwajibkan atas wakif sebab ia tidak memilikinya, dan tidak pula atas mauqūf ‘alaih sebab ia juga tidak memilikinya, maka tidak tersisa kecuali Bayt al-Māl. Yang ketiga, wajib ditunaikan dari hasil kerjanya, karena tempatnya adalah pokok dirinya, namun tidak mungkin digantungkan atasnya, maka digantungkan pada hasil kerjanya, sebab itu diambil dari pokok dirinya. Dan wajib dibayar yang lebih sedikit antara qīmah-nya atau arasy al-janāyah, karena ia tidak dapat dijual seperti umm al-walad.
فصل: وتصرف الغلة على شرط الواقف من الأثرة والتسوية والتفضيل والتقديم والتأخير والجمع الترتيب وإدخال من شاء وإخراجه بصفة لأن الصحابة رضي الله عنهم وقفوا وكتبوا شروطهم فكتب عمر بن الخطاب رضي الله عنه صدقة للسائل والمحروم والضيف ولذي القربى وابن السبيل وفي سبيل الله وكتب علي كرم الله وجهه بصدقته ابتغاء مرضاة الله ليولجني الجنة ويصرف النار عن وجهي ويصرفني عن النار في سبيل الله وذي الرحم والقريب والبعيد لا يباع ولا يورث وكتبت فاطمة رضي الله عنها بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم لنساء رسول الله صلى الله عليه وسلم وفقراء بني هاشم وبني المطلب.
PASAL: Dan dibelanjakan hasilnya sesuai dengan syarat wakif, baik berupa pengutamaan, penyetaraan, pengunggulan, pendahuluan, pengakhiran, penggabungan, penyusunan berurutan, memasukkan siapa yang ia kehendaki, dan mengeluarkan dengan suatu sifat. Karena para sahabat RA telah berwakaf dan menuliskan syarat-syarat mereka. Maka Umar bin al-Khaththab RA menulis sedekah untuk orang yang meminta, orang miskin, tamu, kerabat, ibn al-sabīl, di jalan Allah. Ali Karramallahu Wajhah menulis dalam sedekahnya: “Mengharap ridha Allah agar Dia memasukkanku ke surga, menjauhkanku dari api neraka, dan menolakku dari neraka; untuk jalan Allah, kerabat dekat dan jauh.” Tidak boleh dijual dan tidak diwariskan. Dan Fathimah RA binti Rasulullah SAW menuliskan (wakaf) untuk istri-istri Rasulullah SAW dan fakir miskin dari Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib.
فصل: فإن قال وقفت على أولادي دخل فيه الذكر والأنثى والخنثى لأن الجميع أولاده ولا يدخل فيه ولد الولد لأن ولده حقيقة ولده من صلبه فإن كان له حمل لم يدخل فيه حتى ينفصل فإذا انفصل استحق ما يحدث من الغلة بعد الانفصال دون ما كان حدث قبل الانفصال لأنه قبل الانفصال لا يسمى ولداً وإن وقف على ولده وله ولد فنفاه باللعان لم يدخل فيه وقال أبو إسحاق: يدخل فيه لأن اللعان يسقط النسب في حق الزوج ولا يتعلق به حكم سواه ولهذا تنقضي به العدة والمذهب الأول لأن الوقف على ولده باللعان قد بان أنه ليس بولده فلم يدخل فيه
PASAL: Jika seseorang berkata, “Aku wakafkan untuk anak-anakku,” maka termasuk di dalamnya laki-laki, perempuan, dan khuntsā, karena semuanya adalah anak-anaknya. Tidak termasuk di dalamnya cucu, karena anaknya secara hakikat adalah anak dari sulbinya. Jika ia mempunyai janin, maka tidak termasuk di dalamnya sampai janin itu lahir. Jika sudah lahir, maka ia berhak atas hasil wakaf yang muncul setelah kelahiran, bukan yang muncul sebelum kelahiran, karena sebelum lahir tidak dinamakan anak. Jika seseorang berwakaf untuk anaknya, lalu ia memiliki anak namun ia menafikannya dengan li‘ān, maka anak itu tidak termasuk di dalamnya. Abū Isḥāq berkata: termasuk di dalamnya, karena li‘ān menggugurkan nasab dalam hak suami, dan tidak terkait dengan hukum selain itu, dan karena itu pula ‘iddah selesai dengan li‘ān. Namun mazhab yang pertama lebih kuat, karena wakaf itu untuk anaknya, sementara dengan li‘ān telah jelas bahwa itu bukan anaknya, maka tidak termasuk di dalamnya.
وإن وقف على أولاد أولاده دخل فيه أولاد البنين وأولاد البنات لأن الجميع أولاد أولاده فإن قال على نسلي أو عقبي أو ذريتي دخل فيه أولاد البنين وأولاد البنات قربوا أو بعدوا لأن الجميع من نسله وعقبه وذريته ولهذا قال الله تعالى: {وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى} فجعل هؤلاء كلهم من ذريته وهو ينسب إليه بالأم فإن وقف على عترته فقد قال ابن الأعرابي وثعلب هم ذريته وقال القتيبي هم عشيرته وإن وقف على من ينسب إليه لم يدخل فيه أولاد البنات لأنهم لا ينسبون إليه ولهذا قال الشاعر:
بنونا بنو أبنائنا وبناتنا … بنوهن أبناء الرجال الأجانب
Dan jika seseorang berwakaf untuk cucu-cucunya, maka termasuk di dalamnya anak-anak laki-laki dari anak laki-lakinya maupun anak-anak dari anak perempuannya, karena semuanya adalah cucu-cucunya. Jika ia berkata: “Untuk nasl-ku, atau ‘aqbī-ku, atau dhurriyyatī-ku,” maka termasuk di dalamnya anak-anak laki-laki dari anak laki-lakinya maupun anak-anak dari anak perempuannya, baik yang dekat maupun yang jauh, karena semuanya termasuk keturunannya. Sebagaimana firman Allah Ta‘ālā: {وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِ دَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ وَأَيُّوبَ وَيُوسُفَ وَمُوسَى وَهَارُونَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ وَزَكَرِيَّا وَيَحْيَى وَعِيسَى} maka Allah menjadikan mereka semua termasuk keturunannya, padahal ada yang dinisbatkan kepadanya melalui ibu. Jika ia berwakaf untuk ‘itrat-nya, Ibn al-A‘rābī dan Ṯa‘lab berkata: mereka adalah keturunannya. Sedangkan al-Qutaybī berkata: mereka adalah kerabatnya. Dan jika ia berwakaf untuk orang-orang yang bernasab kepadanya, maka tidak termasuk di dalamnya anak-anak perempuan, karena mereka tidak bernasab kepadanya. Karena itu penyair berkata:
Banūnā banū abnā’inā wa banātunā … banūhunna abnā’u al-rijāli al-ajānib
(Anak-anak laki-laki kita adalah anak-anak dari anak-anak laki-laki kita, sedangkan anak-anak perempuan kita, anak-anak mereka adalah anak-anak laki-laki dari lelaki-lelaki asing).
وإن وقف على البنين لم يدخل فيه الخنثى المشكل لأنا لا نعلم أنه من البنين فإن وقف على البنات لم يدخل فيه لأنا لا نعلم أنه من البنات فإن وقف على البنين والبنات ففيه وجهان: أحدهما أنه لا يدخل فيه لأنه ليس من البنين ولا من البنات والثاني أنه يدخل لأنه لا يخلو من أن يكون ابناً أو بنتاً وإن شكل علينا فإن وقف على بني زيد لم يدخل فيه بناته فإن وقف على بني تميم وقلنا إن الوقف صحيح ففيه وجهان: أحدهما لا يدخل فيه البنات لأن البنين اسم للذكور حقيقة والثاني يدخلن فيه لأنه إذا أطلق اسم القبيلة دخل فيه كل من ينسب إليها من الرجال والنساء.
Dan jika seseorang berwakaf untuk anak-anak laki-lakinya (banīn), maka tidak termasuk di dalamnya khuntsā musykil, karena kita tidak mengetahui apakah ia termasuk anak laki-laki. Jika ia berwakaf untuk anak-anak perempuannya (banāt), maka tidak termasuk di dalamnya khuntsā musykil, karena kita tidak mengetahui apakah ia termasuk anak perempuan. Jika ia berwakaf untuk anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuannya, maka ada dua wajah: yang pertama, tidak termasuk di dalamnya, karena ia bukan anak laki-laki dan bukan anak perempuan; yang kedua, ia termasuk di dalamnya, karena tidak lepas dari salah satu di antara keduanya, hanya saja samar bagi kita. Jika ia berwakaf untuk Banī Zaid, maka anak-anak perempuannya tidak termasuk di dalamnya. Jika ia berwakaf untuk Banī Tamīm dan kita katakan bahwa wakaf itu sah, maka ada dua wajah: yang pertama, anak-anak perempuannya tidak termasuk, karena kata banīn secara hakikat hanya untuk laki-laki; yang kedua, mereka termasuk di dalamnya, karena jika nama suatu kabilah disebutkan secara mutlak, maka masuklah ke dalamnya semua yang bernasab kepadanya, baik laki-laki maupun perempuan.
فصل: وإن قال وقفت على أولادي فإن انقرض أولادي وأولاد أولادي فعلى الفقراء لم يدخل فيه ولد الولد ويكون هذا وقفاً منقطع الوسط فيكون على قولين كالوقف المنقطع الانتهاء ومن أصحابنا من قال يدخل فيه أولاد الأولاد بعد انقراض ولد الصلب لأنه لما شرط انقراضهم دل على أنهم يستحقون كولد الصلب والصحيح هو الأول لأنه لم يشرط شيئاً وإنما شرط انقراضهم لاستحقاق غيرهم.
PASAL: Jika seseorang berkata, “Aku wakafkan untuk anak-anakku, lalu jika anak-anakku dan cucu-cucuku telah habis, maka untuk orang-orang fakir,” maka tidak termasuk di dalamnya cucu, dan ini disebut wakaf munqaṭi‘ al-wasaṭ, sehingga hukumnya kembali pada dua qaul sebagaimana wakaf munqaṭi‘ al-intihā’. Di antara ashḥāb kami ada yang berkata: cucu termasuk di dalamnya setelah habis anak-anak sulbinya, karena ketika ia mensyaratkan habisnya mereka, itu menunjukkan bahwa mereka berhak sebagaimana anak-anak sulbinya. Namun yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena ia tidak mensyaratkan sesuatu, melainkan hanya mensyaratkan habisnya mereka untuk hak orang lain.
فصل: وإن وقف على أقاربه دخل فيه كل من تعرف قرابته فإن كان للواقف أب يعرف به وينسب إليه دخل في وقفه كل من ينسب إلى ذلك الأب ولا يدخل فيه من ينسب إلى أخي الأب أو أبيه فإن وقف الشافعي رحمه الله لأقاربه دخل فيه كل من ينسب إلى شافع بن السائب لأنهم يعرفون بقرابته ولا يدخل فيه من ينسب إلى علي وعباس بن السائب ولا من ينسب إلى السائب لأنهم لا يعرفون بقرابته ويستوي فيه من قرب وبعد من أقاربه ويستوي فيه الذكر والأنثى لتساوي الجميع في القرابة فإن حدث قريب بعد الوقف دخل فيه وذكر البويطي أنه لا يدخل فيه وهذا غلط من البويطي لأنه لا خلاف أنه إذا وقف على أولاده دخل فيه من يحدث من أولاده.
PASAL: Dan apabila berwakaf untuk kerabatnya, maka masuk di dalamnya setiap orang yang dikenal sebagai kerabatnya. Jika wakif memiliki ayah yang dikenal dengannya dan dinisbatkan kepadanya, maka masuk dalam wakafnya setiap orang yang dinisbatkan kepada ayah tersebut, dan tidak masuk di dalamnya orang yang dinisbatkan kepada saudara ayah atau kakeknya. Maka jika al-Syafi‘i RA berwakaf untuk kerabatnya, masuk di dalamnya setiap orang yang dinisbatkan kepada Syafi‘ bin al-Saib karena mereka dikenal sebagai kerabatnya, dan tidak masuk di dalamnya orang yang dinisbatkan kepada Ali dan Abbas bin al-Saib, serta tidak pula orang yang dinisbatkan kepada al-Saib, karena mereka tidak dikenal sebagai kerabatnya. Sama saja yang dekat maupun yang jauh dari kerabatnya, dan sama saja laki-laki maupun perempuan karena semuanya sama dalam kekerabatan. Jika ada kerabat yang lahir setelah wakaf, maka ia juga termasuk di dalamnya. Al-Buwaithi menyebutkan bahwa ia tidak termasuk, dan ini keliru dari al-Buwaithi, karena tidak ada khilaf bahwa apabila seseorang berwakaf untuk anak-anaknya, maka yang lahir kemudian dari anak-anaknya juga termasuk di dalamnya.
فصل: وإن وقف على أقرب الناس إليه ولم يكن له أبوان صرف إلى الولد ذكراً كان أو أنثى لأنه أقرب من غيره لأنه جزء منه فإن لم يكن له ولد فإلى ولد الولد من البنين والبنات فإن لم يكن ولد ولا ولد ولد وله أحد الأبوين صرف إليه لأنهما أقرب من غيرهما فإن اجتمعا استويا فإن لم يكن صرف إلى أبيهما الأقرب فالأقرب فإن كان له أب وابن ففيه وجهان: أحدهما أنهما سواء لأنهما في درجة واحدة في القرب والثاني يقدم الابن لأنه أقوى تعصيباً من الأب فإن قلنا إنهما سواء قدم الأب على ابن الابن لأنه أقرب منه وإن قلنا يقدم الابن قدم ابن الابن على الأب لأنه أقوى تعصيباً منه فإن لم يكن أبوان ولا ولد وله إخوة صرف إليهم لأنهم أقرب من غيرهم
PASAL: Jika seseorang mewakafkan kepada kerabat terdekatnya, dan ia tidak memiliki kedua orang tua, maka wakaf tersebut diberikan kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, karena mereka lebih dekat darinya dibanding yang lain, sebab mereka adalah bagian darinya. Jika ia tidak memiliki anak, maka diberikan kepada cucunya, baik laki-laki maupun perempuan. Jika tidak memiliki anak maupun cucu, sedangkan salah satu dari kedua orang tuanya masih ada, maka diberikan kepadanya karena keduanya lebih dekat dibanding selainnya. Jika keduanya ada, maka keduanya diperlakukan sama. Jika keduanya tidak ada, maka diberikan kepada ayah dari kedua orang tua yang lebih dekat.
Jika seseorang memiliki ayah dan anak, maka ada dua pendapat: pertama, keduanya sama karena berada pada tingkatan kedekatan yang sama; kedua, anak lebih didahulukan karena lebih kuat dalam hal ta‘ṣīb dibanding ayah. Jika dikatakan bahwa keduanya sama, maka ayah didahulukan atas cucu laki-laki karena lebih dekat. Jika dikatakan bahwa anak lebih didahulukan, maka cucu laki-laki lebih didahulukan atas ayah karena lebih kuat dalam hal ta‘ṣīb.
Jika tidak ada kedua orang tua dan tidak ada anak, sedangkan ia memiliki saudara-saudara, maka wakaf diberikan kepada mereka karena mereka lebih dekat dibanding selain mereka.
فإن اجتمع أخ من أب وأخ من أم استويا وإن كان أحدهما من الأب والأم والآخر من أحدهما قدم الذي من الأب والأم لأنه أقرب فإن لم يكن له إخوة صرف إلى بني الإخوة على ترتيب آبائهم فإن كان له جد وأخ ففيه قولان: أحدهما أنهما سواء لتساويهما في القرب ولهذا سوينا بينها في الإرث والثاني يقدم الأخ لأن تعصيبه تعصيب الأولاد فإذا قلنا إنهما سواء قدم الجد على ابن الأخ وإن قلنا يقدم الأخ فابن الأخ وإن سفل أولى من الجد فإن لم يكن إخوة وله أعمام صرف إليهم ثم إلى أولادهم على ترتيب الإخوة وأولادهم فإن كان له عم وأبو جد فعلى القولين في الجد والأخ وإن كان له عم وخال أو عمة وخالة أو ولدهما فهما سواء فإن كان له جدتان إحداهما تدلي بقرابتين والأخرى بقرابة فالتي تدلي بقرابتين أولى لأنها أقرب ومن أصحابنا من قال إن قلنا إن السدس بينهما في الميراث استويا في الوقف.
Jika berkumpul saudara seayah dan saudara seibu, maka keduanya diperlakukan sama. Namun jika salah satunya dari ayah dan ibu, dan yang lainnya hanya dari salah satu dari keduanya, maka yang dari ayah dan ibu lebih didahulukan karena lebih dekat. Jika tidak memiliki saudara, maka diberikan kepada anak-anak saudara berdasarkan urutan ayah mereka.
Jika seseorang memiliki kakek dan saudara, maka terdapat dua pendapat: pertama, keduanya sama karena kedudukannya setara dalam hal kedekatan, dan oleh karena itu dipersamakan dalam warisan; kedua, saudara lebih didahulukan karena ta‘ṣīb-nya seperti ta‘ṣīb anak. Jika dikatakan keduanya sama, maka kakek lebih didahulukan daripada anak saudara. Jika dikatakan saudara lebih didahulukan, maka anak saudara, meskipun jauh keturunannya, lebih utama daripada kakek.
Jika tidak memiliki saudara dan memiliki paman, maka diberikan kepada paman, lalu kepada anak-anak paman berdasarkan urutan saudara dan anak-anak mereka. Jika seseorang memiliki paman dan ayah dari kakek, maka hukumnya mengikuti dua pendapat dalam kasus kakek dan saudara. Jika memiliki paman dan paman dari ibu (khal), atau bibi dari ayah dan bibi dari ibu (khālah), atau anak-anak mereka, maka mereka diperlakukan sama.
Jika seseorang memiliki dua nenek, salah satunya melalui dua jalur kekerabatan dan yang lainnya hanya satu jalur, maka yang memiliki dua jalur kekerabatan lebih utama karena lebih dekat. Sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa jika dikatakan keduanya mendapat sepertiga dalam warisan, maka keduanya diperlakukan sama dalam wakaf.
فصل: وإن وقف على جماعة من أقرب الناس إليه صرف إلى ثلاثة من أقرب الأقارب فإن وجد بعض الثلاثة في درجة والباقي في درجة أبعد استوفى ما أمكن من العدد من الأقرب وتمم الباقي من الدرجة الأبعد لأنه شرط الأقرب والعدد فوجب اعتبارهما.
PASAL: Jika seseorang mewakafkan kepada sekelompok orang dari kerabat terdekatnya, maka disalurkan kepada tiga orang dari kerabat terdekat. Jika sebagian dari tiga orang itu berada pada satu tingkatan dan sisanya berada pada tingkatan yang lebih jauh, maka dipenuhi jumlah yang mungkin dari yang lebih dekat, dan sisanya dilengkapi dari tingkatan yang lebih jauh, karena ia mensyaratkan kedekatan dan jumlah, maka keduanya wajib diperhitungkan.
فصل: وإن وقف على مواليه وله مولى من أعلى ومولى من أسفل ففيه ثلاثة أوجه: أحدها يصرف إليهما لأن الاسم يتناولهما والثاني يصرف إلى المولى من أعلى لأن له مزية بالعتق والتعصيب والثالث أن الوقف باطل لأنه ليس حمله على أحدهما بأولى من حمله على الآخر ولا يجوز الحمل عليهما لأن المولى في أحدهما بمعنى وفي الآخر بمعنى آخر فلا تصح إرادتهما بلفظ واحد فبطل.
PASAL: Jika seseorang mewakafkan kepada mawālī-nya, sedangkan ia memiliki mawlā dari atas (mawlā mu‘tiq) dan mawlā dari bawah (mawlā ‘atīq), maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, wakaf diberikan kepada keduanya karena nama mawlā mencakup keduanya.
Kedua, diberikan kepada mawlā dari atas karena ia memiliki keutamaan berupa memerdekakan dan hak ta‘ṣīb.
Ketiga, wakaf batal karena tidak ada kejelasan untuk mengkhususkannya kepada salah satu, dan tidak boleh mencakup keduanya karena makna mawlā pada masing-masing berbeda, sehingga tidak sah menginginkan keduanya dengan satu lafaz, maka batal.
فصل: وإن وقف على زيد وعمرو وبكر ثم على الفقراء فمات زيد صرف إلى من بقي من أهل الوقف فإذا انقرضوا صرف إلى الفقراء وقال أبو علي الطبري: يرجع إلى الفقراء لأنه لما جعل لهم إذا انقرضوا وجب أن تكون حصة كل واحد منهم لهم إذا انقرض والمنصوص في حرملة هو الأول لأنه لا يمكن نقله إلى الفقراء لأنه قبل انقراضهم لم يوجد شرط النقل إلى الفقراء ولا يمكن رده إلى الواقف لأنه أزال ملكه عنه فكان أهل الوقف أحق به.
PASAL: Jika seseorang mewakafkan kepada Zaid, ‘Amr, dan Bakr, lalu setelah mereka kepada orang-orang fakir, kemudian Zaid wafat, maka wakaf tersebut diberikan kepada yang masih hidup dari orang-orang yang disebut dalam wakaf. Jika mereka semua telah punah, barulah diberikan kepada orang-orang fakir. Abu ‘Ali ath-Thabari berkata: “Wakaf itu dikembalikan kepada orang-orang fakir, karena ketika pewakaf telah menetapkannya untuk mereka jika orang-orang yang disebut pertama telah punah, maka seharusnya bagian masing-masing dari mereka menjadi milik orang-orang fakir ketika mereka punah.” Namun pendapat yang dinyatakan oleh Imam asy-Syafi‘i dalam riwayat Harmalah adalah pendapat pertama, karena tidak memungkinkan untuk dialihkan kepada orang-orang fakir sebelum terwujudnya syarat berupa kepunahan mereka, dan tidak mungkin pula dikembalikan kepada pewakaf karena ia telah menghilangkan kepemilikannya atas harta tersebut. Maka, yang lebih berhak adalah orang-orang yang masih berada dalam golongan penerima wakaf.
فصل: وإن وقف مسجداً فخرب المكان وانقطعت الصلاة فيه لم يعد إلى الملك ولم يجز له التصرف فيه لأن ما زال الملك فيه لحق الله تعالى لا يعود إلى الملك بالاختلال كما لو أعتق عبداً ثم زمن وإن وقف نخلة فجفت أو بهيمة فزمنت أو جذوعاً على مسجد فتكسرت ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز بيعه لما ذكرناه في المسجد والثاني يجوز بيعه لأنه لا يرجى منفعته فكان بيعه أولى من تركه بخلاف المسجد فإن المسجد يمكن الصلاة فيه مع خرابه وقد يعمر الموضع فيصلى فيه فإن قلنا تباع كان الحكم في ثمنه حكم القيمة التي توجد من متلف الوقف وقد بيناه وإن وقف شيئاً على ثغر فبطل الثغر كطرسوس أو على مسجد فاختل المكان حفظ الارتفاع ولا يصرف إلى غيره لجواز أن يرجع كما كان.
PASAL: Jika seseorang mewakafkan sebuah masjid lalu tempatnya rusak dan salat di dalamnya terputus, maka wakaf tersebut tidak kembali menjadi milik si wakif dan tidak boleh ia mempergunakan atau memanfaatkannya, karena sesuatu yang telah hilang kepemilikannya karena hak Allah Ta‘ala tidak kembali menjadi milik akibat kerusakan, sebagaimana jika seseorang memerdekakan budak lalu budak itu menjadi cacat.
Jika seseorang mewakafkan pohon kurma lalu mengering, atau hewan lalu menjadi pincang, atau balok-balok kayu untuk masjid lalu patah, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh dijual sebagaimana dalam kasus masjid.
Kedua, boleh dijual karena tidak diharapkan lagi manfaatnya, maka menjualnya lebih utama daripada membiarkannya, berbeda dengan masjid, karena masjid masih bisa dipakai salat meskipun rusak, dan mungkin tempat tersebut akan dibangun kembali sehingga dapat digunakan untuk salat.
Jika dikatakan boleh dijual, maka hukum hasil penjualannya disamakan dengan nilai ganti dari barang wakaf yang dirusak, dan hal itu telah dijelaskan sebelumnya.
Jika seseorang mewakafkan sesuatu untuk perbatasan pertahanan (thaghr) lalu wilayah tersebut hilang fungsinya seperti Ṭarsūs, atau untuk masjid namun tempatnya rusak, maka hasil atau pendapatan dari wakaf tetap dijaga dan tidak disalurkan ke tempat lain, karena bisa jadi tempat tersebut kembali berfungsi seperti semula.
فصل: وإن احتاج الوقف إلى نفق أنفق عليه من حيث الواقف لأنه لما اعتبر شرطه في سبيله اعتبر شرطه في نفقته كالمالك في أمواله وإن لم يشترط أنفق عليه من غلته لأنه لا يمكن الانتفاع به إلا بالنفقة فحمل الوقف عليه وإن لم يكن له غلة فهو على القولين إن قلنا إنه لله تعالى كانت نفقته في بيت المال كالحر المعسر الذي لا كسب له وإن قلنا للموقوف عليه كانت نفقته عليه.
PASAL: Jika harta wakaf membutuhkan biaya, maka dibelanjakan untuknya dari sumber yang ditentukan oleh pewakaf, karena sebagaimana syarat pewakaf diperhitungkan dalam penyaluran manfaat wakaf, maka syaratnya juga diperhitungkan dalam pembiayaannya, seperti pemilik terhadap hartanya. Jika pewakaf tidak mensyaratkan apa pun, maka dibelanjakan dari hasil (ghallah) wakaf, karena tidak mungkin mengambil manfaat dari wakaf tersebut kecuali dengan biaya, maka penggunaannya dibebankan pada hasilnya. Jika wakaf itu tidak memiliki hasil, maka berlaku dua pendapat: jika dikatakan bahwa kepemilikannya berpindah kepada Allah Ta‘ala, maka pembiayaannya berasal dari baitul mal, seperti orang merdeka yang tidak mampu dan tidak punya penghasilan; dan jika dikatakan bahwa wakaf itu milik pihak yang menerima wakaf, maka biayanya ditanggung oleh penerima wakaf.
فصل: والنظر في الوقف إلى من شرطه الواقف لأن الصحابة رضي الله عنهم وقفوا وشرطوا من ينظر فجعل عمر رضي الله عنه إلى حفصة رضي الله عنها وإذا توفيت فإنه إلى ذوي الرأي من أهلها ولأن سبيله إلى شرطه فكان النظر إلى من شرطه وإن وقف ولم يشرط الناظر ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه إلى الواقف لأنه كان النظر إليه فإذا لم يشرطه بقي على نظره والثاني أنه للموقوف عليه لأن الغلة له فكان النظر إليه والثالث إلى الحاكم لأنه يتعلق به حق الموقوف عليه وحق من ينتقل إليه فكان الحاكم أولى فإن جعل الواقف النظر إلى اثنين من أفاضل ولده ولم يوجد فيهم فاضل إلا واحد ضم الحاكم إليه آخر لأن الواقف لم يرض فيه بنظر واحد.
PASAL: Pengelolaan terhadap wakaf diserahkan kepada pihak yang disyaratkan oleh pewakaf, karena para sahabat RA telah mewakafkan dan menentukan siapa yang mengelolanya. Umar RA, misalnya, menyerahkannya kepada Hafshah RA, dan jika ia wafat, maka diserahkan kepada orang-orang yang memiliki pendapat baik dari keluarganya. Hal ini karena jalan pengelolaan wakaf mengikuti syarat pewakaf, maka pengelolaannya berada di tangan orang yang ditetapkan oleh pewakaf.
Jika seseorang mewakafkan namun tidak mensyaratkan siapa pengelolanya, maka ada tiga pendapat:
Pertama, pengelolaan kembali kepada pewakaf, karena sebelumnya berada dalam tangannya, maka jika ia tidak mensyaratkannya, tetap berada dalam pengelolaannya.
Kedua, pengelolaan diberikan kepada pihak yang menerima wakaf karena manfaat wakaf untuknya, maka pengelolaan menjadi haknya.
Ketiga, pengelolaan diserahkan kepada hakim karena di dalamnya terdapat hak penerima wakaf dan hak pihak yang akan menerima setelahnya, maka hakim lebih berhak mengelolanya.
Jika pewakaf menyerahkan pengelolaan kepada dua orang dari anak-anaknya yang terpilih, namun di antara mereka tidak ditemukan kecuali satu yang memiliki keutamaan, maka hakim menambahkan satu orang lagi bersamanya, karena pewakaf tidak meridhai pengelolaan oleh satu orang saja.
فصل: إذا اختلف أرباب الوقف في شروط الوقف وسبيله ولا بينة جعل بينهم بالسوية فإن كان الواقف حياً رجع إلى قوله لأنه ثبت بقوله فرجع إليه.
PASAL: Jika para penerima wakaf berselisih mengenai syarat-syarat wakaf dan jalur penyalurannya, sedangkan tidak ada bukti, maka dibagi di antara mereka secara merata. Jika pewakaf masih hidup, maka dikembalikan kepada keterangannya, karena wakaf itu ditetapkan dengan ucapannya, maka penjelasannya menjadi rujukan.
الهبة مندوب إليها لما روت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “تهادوا تحابوا” وللأقارب أفضل لما روى عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “الراحمون يرحمهم الله ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء” “الرحم شجنة من الرحمن فمن وصلها وصله الله” ومن قطعها قطعه الله وفي الهبة صلة الرحم والمستحب أن لا يفضل بعض أولاده على بعض في الهبة
Kitab al-Hibāt
Pendahuluan
…
Kitab Hibah
Hibah disunnahkan, berdasarkan riwayat dari ‘Ā’isyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tahādaw taḥābbū” (Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai).
Memberi kepada kerabat lebih utama, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Ar-rāḥimūna yarḥamuhumuLlāh, irḥamū man fī al-arḍi yarḥamkum man fī as-samā’” (Orang-orang penyayang akan disayangi Allah, sayangilah siapa pun yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangi kalian).
“Ar-raḥim syajnatun mina ar-Raḥmān, fa-man waṣalahā waṣalahuLlāh, wa-man qaṭa‘ahā qaṭa‘ahuLlāh” (Silaturahim itu adalah cabang dari ar-Raḥmān, siapa yang menyambungnya, maka Allah akan menyambungnya [dengan kasih-Nya], dan siapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya [dari rahmat-Nya]).
Dalam hibah terdapat penyambung tali silaturahim, dan yang disunnahkan adalah tidak mengistimewakan sebagian anak atas yang lain dalam hibah.
لما روى النعمان بن بشير قال: أعطاني أبي عطية فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله صلى الله عليه وسلم إني أعطيت ابني عطية وإن أمه قالت لا أرضى حتى تشهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فهل أعطيت كل ولدك مثل ذلك” قال: لا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “اتقوا الله واعدلوا بين أولادكم أليس يسرك أن يكونوا في البر سواء” قال: بلى قال: “فلا إذا” قال الشافعي رحمه الله: ولأنه يقع في نفس المفضول ما يمنعه من بره ولأن الأقارب ينفس بعضها بعضاً ما لا ينفس العدى فإن فضل بعضهم بعطية صحت العطية
Karena diriwayatkan dari an-Nu‘mān bin Basyīr, ia berkata: Ayahku memberiku suatu pemberian, lalu ia datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah SAW, sesungguhnya aku telah memberikan hadiah kepada anakku ini, dan ibunya berkata: ‘Aku tidak ridha sampai engkau menyaksikan Rasulullah SAW.’” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Apakah engkau telah memberikan kepada seluruh anakmu seperti itu?” Ia menjawab: “Tidak.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah kepada anak-anak kalian. Bukankah engkau senang jika mereka semua berbakti kepadamu dengan perlakuan yang sama?” Ia menjawab: “Tentu.” Maka beliau bersabda: “Kalau begitu, jangan.”
Imam al-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata: Karena hal itu menimbulkan perasaan tidak senang pada anak yang tidak diutamakan sehingga menghalanginya dari berbakti. Dan karena kerabat saling merasa iri satu sama lain lebih daripada permusuhan. Maka jika seseorang mengutamakan sebagian dari mereka dengan pemberian, maka pemberian tersebut tetap sah.
لما روي في حديث النعمان أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أشهد على هذا غيري” فلو لم يصح لبين له ولم يأمره لأن يشهد عليه غيره ولا يستنكف أن يهب القليل ولا أن يتهب القليل لما روى أبو هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لو دعيت إلى كراع لأجبت ولو أهدي إلى كراع أو ذراع لقبلت”.
Karena telah diriwayatkan dalam hadis an-Nu‘mān bahwa Nabi SAW bersabda: “Persaksikanlah hal ini kepada selainku.” Maka jika hibah itu tidak sah, tentu beliau akan menjelaskannya dan tidak akan memerintahkannya untuk menghadirkan saksi selain beliau.
Dan tidak dianggap rendah untuk memberi sedikit, atau menerima pemberian yang sedikit, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seandainya aku diundang untuk makan kurā‘ (bagian bawah kaki kambing), niscaya aku akan memenuhinya. Dan seandainya aku diberi hadiah kurā‘ atau dzirā‘ (lengan kambing), niscaya aku akan menerimanya.”
فصل: وما جاز بيعه من الأعيان جاز هبته لأنه عقد يقصد به ملك العين فملك به ما يملك بالبيع وما جاز هبته جاز هبة جزء منه مشاع لما روى عمر بن سلمة الضمري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج من المدينة حتى أتى الروحاء فإذا حمار عقير فقيل يا رسول الله هذا حمار عقير فقال: “دعوه فإنه سيطلبه صاحبه” فجاء رجل من فهر فقال: يا رسول الله إني أصبت هذا فشأنكم به فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أبا بكر يقسم لحمه بين الرفاق ولأن القصد منه التمليك والمشاع كالمقسوم في ذلك.
PASAL: Setiap barang yang boleh dijual, maka boleh pula dihibahkan, karena hibah adalah akad yang bertujuan untuk memberikan kepemilikan atas suatu barang, sehingga dapat dimiliki sebagaimana dalam jual beli. Dan setiap yang boleh dihibahkan, maka boleh pula menghibahkan sebagian darinya secara tidak terbagi (musya‘), berdasarkan riwayat dari ‘Umar bin Salamah adl-Dlamri bahwa Rasulullah SAW keluar dari Madinah hingga tiba di ar-Rawhā’, lalu terlihat seekor keledai yang terluka, maka dikatakan: “Wahai Rasulullah, ini keledai yang terluka,” maka beliau bersabda: “Biarkan, karena pemiliknya akan mencarinya.” Lalu datang seorang lelaki dari suku Fihr dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku menemukan keledai ini, silakan kalian ambil,” maka Rasulullah SAW memerintahkan Abu Bakar untuk membagikan dagingnya kepada para rombongan. Karena tujuan dari hibah adalah memberikan kepemilikan, dan bagian musya‘ (tidak terbagi) dalam hal ini diperlakukan seperti barang yang sudah terbagi.
فصل: وما لا يجوز بيعه من المجهول وما لا يقدر على تسليمه وما لم يتم ملكه عليه كالبيع قبل القبض لا تجوز هبته لأنه عقد يقصد به تمليك المال في حال الحياة فلم يجز فيما ذكرناه كالبيع.
فصل: ولا يجوز تعليقها على شرط مستقبل لأنه عقد يبطل بالجهالة فلم يجز تعليقه على شرط مستقبل كالبيع.
PASAL: Sesuatu yang tidak boleh dijual karena tidak diketahui (majhūl), atau karena tidak mampu diserahkan, atau karena belum sempurna kepemilikannya atasnya — seperti jual beli sebelum qabḍ (serah terima) — maka tidak sah dihibahkan. Karena hibah adalah akad yang dimaksudkan untuk memberikan kepemilikan harta di saat hidup, maka tidak diperbolehkan dalam hal-hal yang disebutkan sebagaimana dalam jual beli.
PASAL: Tidak sah menggantungkan hibah pada syarat yang akan datang, karena hibah adalah akad yang batal dengan adanya ketidakjelasan, maka tidak boleh digantungkan pada syarat masa depan sebagaimana dalam jual beli.
فصل: ولا تصح إلا بالإيجاب والقبول لأنه تمليك آدمي فافتقر إلى الإيجاب والقبول كالبيع والنكاح ولا يصح القبول إلى على الفور وقال أبو العباس يصح على التراخي والصحيح هو الأول لأنه تمليك مال في حال الحياة فكان القبول فيه على الفور كالبيع.
PASAL: Hibah tidak sah kecuali dengan ijab dan qabul, karena ia merupakan bentuk pemberian milik kepada sesama manusia, sehingga membutuhkan ijab dan qabul seperti dalam jual beli dan nikah. Qabul tidak sah kecuali dilakukan segera setelah ijab. Abu al-‘Abbas berpendapat bahwa qabul sah dilakukan secara takhir (ditunda), namun pendapat yang shahih adalah yang pertama, karena hibah merupakan pemberian milik atas harta dalam keadaan hidup, maka qabul-nya harus segera seperti halnya jual beli.
فصل: ولا يملك الموهوب منه الهبة من غير قبض لما روت عائشة رضي الله عنها أن أباها نحلها جذاذ عشرين وسقاً من ماله فلما حضرته الوفاة قال: يا بنية إن أحب الناس غنى بعدي لأنت وإن أعز الناس علي فقراً بعدي لأنت وإن كنت نحلتك جذاذ عشرين وسقاً من مالي ووددت أنك جذذته وحزته وإنما هو اليوم مال الوارث وإنما هو أخواك وأختاك قالت: هذان أخواي فمن أختاي قال: ذو بطن بنت خارجة فإني أظنها جارية فإن مات قبل القبض قام وارثه إن شاء قبض وإن شاء لم يقبض ومن أصحابنا من قال: يبطل العقد بالموت
PASAL: Pihak yang diberi hibah tidak memiliki hak atas hibah tersebut sebelum melakukan qabḍ (pengambilan/penyerahan), berdasarkan riwayat dari ‘Ā’isyah RA bahwa ayahnya (Abu Bakar RA) telah menghadiahkan kepadanya hasil panen sebanyak dua puluh wasq dari hartanya. Ketika ajal menjemputnya, ia berkata: “Wahai putriku, sesungguhnya orang yang paling aku sukai dalam keadaan kaya setelahku adalah engkau, dan orang yang paling aku beratkan dalam keadaan miskin setelahku juga engkau. Sungguh aku telah memberimu hasil panen dua puluh wasq dari hartaku, dan aku berharap engkau sudah mengambil dan memilikinya. Namun sekarang, itu telah menjadi harta warisan. Kini itu adalah milik dua saudaramu laki-laki dan saudara perempuanmu.”
Ia (‘Ā’isyah) berkata: “Dua saudaraku laki-laki aku tahu, tetapi siapa saudara perempuanku?”
Beliau (Abu Bakar) berkata: “Ia adalah anak dari perut istriku, bintu Khārijah. Sungguh aku menduga ia akan melahirkan seorang anak perempuan.”
Jika pewakaf meninggal sebelum dilakukan qabḍ, maka ahli waris pihak yang menerima hibah boleh memilih, jika ia mau maka ia melakukan qabḍ, dan jika tidak maka ia tidak menerimanya. Sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa akad hibah batal dengan kematian sebelum qabḍ.
لأنه غير لازم فبطل بالموت كالعقود الجائزة والمنصوص أنه لا يبطل لأنه عقد يئول إلى اللزوم فلم يبطل بالموت كالبيع بشرط الخيار فإذا قبض ملك بالقبض ومن أصحابنا من قال يتبين أنه تلك بالعقد فإن حدث منه نماء قبل القبض كان للموهوب له لأن الشافعي رضي الله عنه قال فيمن وهب له عبد قبل أن يهل عليه هلال شوال وقبض بعدما أهل إن فطرة العبد على الموهوب له والمذهب الأول وما قال في زكاة الفطر فرعه على قول مالك رحمه الله.
Karena hibah bukan akad yang mengikat (ghayr lāzim), maka ia batal dengan kematian, sebagaimana akad-akad jā’izah (tidak mengikat). Namun pendapat yang manshūṣ (ditegaskan) adalah bahwa hibah tidak batal, karena ia adalah akad yang akan berakhir menjadi mengikat, maka tidak batal dengan kematian sebagaimana jual beli dengan syarat khiyār.
Jika telah dilakukan qabḍ, maka kepemilikan menjadi sah dengan qabḍ tersebut. Sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa kepemilikan dianggap sah sejak akad. Maka jika muncul namā’ (hasil tambahan) dari hibah tersebut sebelum qabḍ, maka hasil tersebut menjadi milik penerima hibah. Karena Imam al-Syāfi‘ī RA berkata dalam kasus seseorang yang dihibahi seorang budak sebelum masuk bulan Syawal dan baru melakukan qabḍ setelah masuk Syawal: bahwa zakat fitrah budak tersebut wajib atas penerima hibah.
Namun pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, dan apa yang beliau katakan terkait zakat fitrah itu merupakan cabang dari pendapat Mālik RA.
فصل: فإن وهب لغير الولد وولد الولد شيئاً وأقبضه لم يملك الرجوع فيه لما روى ابن عمر وابن عباس رضي الله عنهما رفعاه إلى النبي صلى الله عليه وسلم لا يحل للرجل أن يعطي العطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما أعطى ولده وإن وهب للولد أو ولد الولد وإن سفل جاز له أن يرجع للخبر ولأن الأب لا يتهم في رجوعه لأنه لا يرجع إلا لضرورة أو لإصلاح الولد وإن تصدق عليه فالمنصوص أن له أن يرجع كالهبة ومن أصحابنا من قال لا يرجع لأن القصد بالصدقة طلب الثواب وإصلاح حاله مع الله عز وجل
PASAL: Jika seseorang memberi hibah kepada selain anak dan cucu lalu menyerahkannya, maka ia tidak berhak menarik kembali hibah tersebut, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbās RA yang meriwayatkannya secara marfū‘ kepada Nabi SAW: “Tidak halal bagi seseorang memberikan pemberian lalu menariknya kembali, kecuali seorang ayah terhadap apa yang ia berikan kepada anaknya.” Jika hibah itu diberikan kepada anak atau cucu, sekalipun jauh keturunannya, maka ia boleh menarik kembali berdasarkan hadis tersebut. Hal ini karena ayah tidak dicurigai dalam penarikannya, sebab ia tidak akan menarik kembali kecuali karena kebutuhan atau demi memperbaiki keadaan anaknya. Jika ia bersedekah kepada anaknya, maka pendapat yang ditegaskan (oleh Imam al-Syāfi‘i) adalah bahwa ia boleh menarik kembali seperti hibah. Namun sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa ia tidak boleh menarik kembali, karena tujuan dari sedekah adalah mengharap pahala dan memperbaiki hubungannya dengan Allah Azza wa Jalla.
فلا يجوز أن يتغير رأيه في ذلك والقصد من الهبة إصلاح حال الولد وربما يكون الصلاح في استرجاعه فجاز له الرجوع وإن تداعى رجلان نسب مولود ووهبا له مالاً لم يجز لواحد منهما أن يرجع لأنه لم يثبت بنوته فإن لحق بأحدهما ففيه وجهان: أحدهما أنه يجوز لأنه ثبت أنه ولده والثاني لا يجوز لأنه لم يثبت له الرجوع في حال العقد وإن وهب لولده ووهب الولد لولده ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه في ملك من يجوز له الرجوع في هبته والثاني لا يجوز لأنه رجوع على غير من وهب له فلم يجز وإن وهب لولده شيئاً فأفلس الولد وحجر عليه ففيه وجهان: أحدهما يرجع لأن حقه سابق لحقوق الغرماء والثاني لا يرجع لأنه تعلق به حق الغرماء فلم يجز له الرجوع كما لو رهنه.
maka tidak boleh ia berubah pikiran dalam hal itu, karena tujuan dari hibah adalah memperbaiki keadaan anak, dan terkadang kebaikan itu justru terdapat dalam penarikan kembali hibah tersebut, maka diperbolehkan baginya untuk menarik kembali.
Jika dua orang laki-laki saling mengklaim nasab seorang bayi lalu mereka memberikan harta kepadanya, maka tidak boleh salah satu dari keduanya menarik kembali hibah itu, karena nasab anak tersebut belum terbukti. Jika kemudian ia diakui sebagai anak salah satu dari keduanya, maka ada dua wajah:
pertama, boleh menarik kembali karena telah terbukti bahwa ia adalah anaknya;
kedua, tidak boleh karena tidak terbukti hak penarikan kembali pada saat akad hibah.
Jika seseorang memberi hibah kepada anaknya, lalu anak tersebut memberi hibah kepada anaknya (cucu dari yang pertama), maka ada dua wajah:
pertama, boleh menarik kembali karena harta itu berada di dalam milik orang yang diperbolehkan baginya menarik hibahnya;
kedua, tidak boleh karena itu termasuk penarikan terhadap orang yang tidak diberi hibah secara langsung, maka tidak diperbolehkan.
Jika seseorang memberi hibah kepada anaknya, lalu anaknya bangkrut dan dikenakan penyitaan (ḥajr), maka ada dua wajah:
pertama, boleh menarik kembali karena haknya mendahului hak para kreditur;
kedua, tidak boleh menarik kembali karena harta tersebut telah terkait dengan hak para kreditur, sehingga tidak boleh menariknya kembali seperti halnya jika ia menggadaikannya.
فصل: وإن زاد الموهوب في ملك الولد أو زال الملك فيه ثم عاد إليه فالحكم فيه كالحكم في المبيع إذا زاد في يد المشتري أو زال الملك فيه ثم عاد إليه ثم أفلس في رجوع البائع وقد بيناه في التفليس.
PASAL: Jika harta yang dihibahkan bertambah saat berada dalam kepemilikan anak, atau kepemilikan atasnya hilang lalu kembali lagi, maka hukumnya seperti hukum barang jualan yang mengalami penambahan di tangan pembeli, atau kepemilikannya hilang lalu kembali lagi, kemudian pembeli bangkrut; maka hukum dalam hal ini mengikuti hukum penjual yang hendak menarik kembali barang karena pembeli bangkrut, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab taflīs (kebangkrutan).
فصل: فإن وهب شيئاً من دونه لم يلزمه أن يثيبه بعوض لأن القصد من هبته الصلة فلم تجب المكافأة فيه بعوض كالصدقة وإن وهب لمن هو مثله لم يلزمه أيضاً أن يثيبه لأن القصد من هبته اكتساب المحبة وتأكيد الصداقة وإن وهب لمن هو أعلى منه ففيه قولان: قال في القديم: لم يلزمه أن يثيبه عليه بعوض لأن العرف في هبة الأدنى للأعلى أن يلتمس به العوض فيصير ذلك كالمشروط
PASAL: Jika seseorang memberi hibah kepada orang yang kedudukannya di bawahnya, maka tidak wajib bagi penerima untuk membalasnya dengan imbalan, karena tujuan dari hibah tersebut adalah ṣilah (menyambung hubungan), maka tidak wajib memberikan imbalan sebagaimana dalam sedekah.
Jika ia memberi hibah kepada orang yang setara dengannya, juga tidak wajib memberikan imbalan, karena tujuan dari hibah tersebut adalah untuk mendapatkan kasih sayang dan memperkuat persahabatan.
Jika ia memberi hibah kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya darinya, maka terdapat dua pendapat:
Dalam qaul qadīm, tidak wajib memberinya imbalan karena kebiasaan dalam hibah dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi adalah dengan maksud mengharap imbalan, maka hal itu menjadi seperti hibah dengan syarat.
وقال في الجديد: لا يجب لأنه تمليك بغير عوض فلا يوجب المكافأة بعوض كهبة النظير للنظير فإن قلنا لا يجب فشرط فيه ثواباً معلوماً ففيه قولان: أحدهما يصح لأنه تمليك مال بمال فجاز كالبيع فعلى هذا يكون كبيع بلفظ الهبة في الربا والخيار وجميع أحكامه والثاني أنه باطل لأنه عقد لا يقتضي العوض فبطل شرط العوض كالرهن فعلى هذا حكمه حكم البيع الفاسد في جميع أحكامه وإن شرط فيه ثواباً مجهولاً بطل قولاً واحداً لأنه شرط العوض ولأنه شرط عوضاً مجهولاً وإن قلنا أنه يجب العوض ففي قدره ثلاثة أقوال: أحدها أنه يلزمه أن يعطيه إلى أن يرضى
Dan ia berkata dalam qaul jadīd: tidak wajib memberikan imbalan karena hibah adalah pemindahan kepemilikan tanpa imbalan, maka tidak mewajibkan imbalan sebagaimana hibah antara dua orang yang setara.
Jika kita mengatakan bahwa tidak wajib memberi imbalan, lalu ia mensyaratkan adanya imbalan yang jelas, maka terdapat dua pendapat:
pertama, sah, karena itu merupakan pemindahan harta dengan imbalan, maka boleh seperti jual beli. Maka berdasarkan ini, hukumnya seperti jual beli dengan lafaz hibah dalam hal riba, khiyār, dan seluruh hukum-hukumnya;
kedua, batal, karena itu adalah akad yang tidak menuntut adanya imbalan, maka batal syarat imbalan tersebut sebagaimana dalam rahn (gadai). Maka berdasarkan ini, hukumnya seperti jual beli fasad (rusak) dalam seluruh hukum-hukumnya.
Jika ia mensyaratkan imbalan yang tidak jelas, maka batal menurut satu pendapat, karena mengandung syarat adanya imbalan dan karena imbalan itu tidak jelas.
Jika kita mengatakan bahwa imbalan itu wajib, maka dalam kadar imbalannya terdapat tiga pendapat:
pertama, wajib memberikan sampai pihak pemberi ridha.
لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن أعرابياً وهب للنبي صلى الله عليه وسلم هبة فأثابه عليها وقال “أرضيت؟ ” قال لا فزاده وقال: أرضيت فقال: نعم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لقد هممت أن لا أتهب إلا من قرشي أو أنصاري أو ثقفي” والثاني يلزمه قدر قيمته لأنه عقد يوجب العوض فإذا لم يكن مسمى وجب عوض المثل كالنكاح والثالث يلزمه ما جرت العادة في ثواب مثله لأن العوض وجب بالعرف فوجب مقداره في العرف
Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa seorang a‘rābī memberikan hibah kepada Nabi SAW, lalu beliau membalasnya, dan bersabda: “Apakah engkau sudah ridha?” Ia menjawab: “Belum.” Maka beliau menambah lagi, lalu bersabda: “Apakah engkau sudah ridha?” Ia menjawab: “Ya.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh aku hampir saja tidak menerima hibah kecuali dari seorang Quraisy, atau Anshar, atau Tsaqafi.”
Pendapat kedua: wajib membayar senilai nilai barang hibah, karena ini adalah akad yang mewajibkan imbalan, maka jika tidak disebutkan imbalannya, wajib menggantinya dengan imbalan yang sepadan, seperti dalam pernikahan.
Pendapat ketiga: wajib memberikan sesuai kebiasaan balasan dalam hibah semacam itu, karena kewajiban imbalannya ditetapkan berdasarkan ‘urf (kebiasaan), maka kadarnya pun mengikuti ‘urf.
فإن قلنا إنه يجب العوض فلم يعطه ثبت له الرجوع فإن تلفت العين رجع بقيمتها لأن كل عين ثبت له الرجوع بها إذا تلفت وجب الرجوع إلى بدلها كالمبيع ومن أصحابنا من قال: لايجب لأن حق الواهب في العين وإن نقصت العين رجع فيها وهل يرجع بأرش ما نقص؟ فيه وجهان كالوجهين في رد القيمة إذا تلفت وإن شرط عوضاً مجهولاً لم تبطل لأنه شرط ما يقتضيه العقد لأن العقد على هذا القول يقتضي عوضاً مجهولاً وإن لم يدفع إليه العوض وتلف الموهوب ضمن العوض بلا خلاف وإن شرط عوضاً معلوماً ففيه قولان: أحدهما أن العقد يبطل لأن العقد يقتضي عوضاً غير مقدر فبطل بالتقدير والثاني يصح لأنه إذا صح بعوض مجهول فلأن يصح بعوض معلوم أولى.
Jika kita berpendapat bahwa imbalan itu wajib, namun imbalan tersebut tidak diberikan, maka si pemberi hibah berhak menarik kembali hibahnya. Jika barang hibah tersebut telah rusak, maka ia berhak menuntut nilainya, karena setiap barang yang boleh ditarik kembali, jika rusak, maka wajib diganti dengan pengganti (badal)-nya, seperti dalam jual beli.
Sebagian dari kalangan kami berkata: tidak wajib diganti karena hak pemberi hibah hanya pada benda itu sendiri.
Jika barang tersebut mengalami penyusutan (kerusakan sebagian), maka ia boleh menarik kembali barang itu. Apakah ia juga berhak menuntut arasy (nilai kerugian) atas penyusutan itu? Dalam hal ini ada dua wajah, sebagaimana dua wajah dalam mengganti nilai jika barang hibah rusak.
Jika disyaratkan adanya imbalan yang tidak diketahui (majhūl), maka akad tidak batal karena itu merupakan syarat terhadap sesuatu yang memang dituntut oleh akad itu sendiri, sebab menurut pendapat ini akad hibah memang mengharuskan adanya imbalan meskipun tidak diketahui.
Jika imbalan tidak diberikan dan barang hibah telah rusak, maka wajib mengganti imbalannya tanpa ada perbedaan pendapat.
Jika disyaratkan imbalan yang diketahui (ma‘lūm), maka terdapat dua pendapat:
pertama, akadnya batal karena akad hibah ini mensyaratkan imbalan yang tidak ditentukan, maka menjadi batal karena ditentukan;
kedua, sah, karena jika sah dengan imbalan yang tidak diketahui, maka dengan imbalan yang diketahui tentu lebih utama untuk dihukumi sah.
فصل: وإن اختلف الواهب والموهوب له فقال الواهب وهبتك ببدل وقال الموهوب له وهبتني على غير بدل ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول الواهب لأنه لم يقر لخروج الشيء من ملكه إلا على بدل والثاني أن القول قول الموهوب له لأن الواهب أقر له بالهبة وادعى بدلاً الأصل عدمه.
PASAL: Jika terjadi perselisihan antara pemberi hibah dan penerima hibah, lalu pemberi hibah berkata, “Aku menghibahimu dengan imbalan,” sedangkan penerima hibah berkata, “Engkau menghibahiku tanpa imbalan,” maka terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan pemberi hibah, karena ia tidak mengakui keluarnya barang dari kepemilikannya kecuali dengan imbalan.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan penerima hibah, karena pemberi hibah telah mengakui adanya hibah dan ia mengklaim adanya imbalan, sedangkan asalnya imbalan itu tidak ada.
باب العمرى والرقبى
العمرى هو أن يقول أعمرتك هذه الدار أو جعلتها لك عمرك وفيها ثلاث مسائل: إحداها أن يقول أعمرتك هذه الدار حياتك ولعقبك بعدك فهذه عطية صحيحة تصح بالإيجاب والقبول ويملك فيها بالقبض والدليل عليه ماروى جابر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “أيما رجل أعمر عمرى له ولعقبه فإنها للذي أعطيها” لا ترجع إلى الذي أعطاها لأنه أعطى عطاء وقعت فيه المواريث والثانية أن يقول أعمرتك هذه الدار حياتك ولم يشرط شيئاً ففيه قولان: قال في القديم: هو باطل لأنه تمليك عين قدرة بمدة فأشبه إذا قال أعمرتك سنة أو أعمرتك حياة زيد
BAB ‘UMRĀ DAN RAQBĀ
‘Umrā adalah ketika seseorang berkata: “Aku menjadikan rumah ini untukmu selama hidupmu” atau “Aku memberikannya untukmu selama umurmu.” Dalam hal ini terdapat tiga permasalahan:
Pertama, apabila ia berkata: “Aku menjadikan rumah ini untukmu selama hidupmu dan untuk keturunanmu setelahmu,” maka ini adalah pemberian yang sah, berlaku dengan ijāb dan qabūl, dan menjadi milik dengan qabadh (pengambilan fisik). Dalilnya adalah riwayat dari Jābir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang diberikan ‘umrā untuknya dan untuk keturunannya, maka itu menjadi milik orang yang diberi dan tidak kembali kepada yang memberi, karena itu adalah pemberian yang warisannya berlaku di dalamnya.”
Kedua, apabila ia berkata: “Aku menjadikan rumah ini untukmu selama hidupmu,” tanpa menyebutkan syarat apa pun, maka ada dua pendapat:
Dalam qaul qadīm, hukumnya batal karena itu merupakan pemindahan kepemilikan atas suatu benda dengan batas waktu, maka serupa dengan jika dikatakan: “Aku menjadikannya untukmu selama setahun” atau “selama hidup Zaid.”
وقال في الجديد: هو عطية صحيحة ويكون للمعمر في حياته ولو ورثته بعده وهو الصحيح لما روى جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من أعمر عمرى حياته فهي له ولعقبه من بعده يرثها من يرثه من بعده” ولأن الأملاك المستقرة كلها مقدرة بحياة المالك وتنتقل إلى الورثة فلم يكن ما جعله في حياته منافياً لحكم الأملاك والثالثة أن يقول أعمرتك حياتك فإن مت عادت إلي إن كنت حياً وإلى ورثتي إن كنت ميتاً فهي كالمسألة الثانية فتكون على قولين أحدهما تبطل والثاني تصح لأنه شرط أن تعود إليه بعد ما زال ملكه أو إلى وارثه وشرطه بعد زوال الملك لا يؤثر في حق المعمر فيصير وجوده كعدمه.
Dan ia berkata dalam qaul jadīd: itu adalah pemberian yang sah, dan menjadi milik orang yang diberi ‘umrā selama hidupnya, bahkan untuk ahli warisnya setelahnya, dan inilah pendapat yang sahih berdasarkan riwayat dari Jābir RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa memberikan ‘umrā seumur hidup, maka itu miliknya dan milik keturunannya setelahnya; diwarisi oleh orang yang mewarisinya setelahnya.” Karena seluruh kepemilikan yang tetap ditentukan oleh kehidupan pemilik dan berpindah kepada ahli waris, maka apa yang diberikan dalam hidupnya tidak bertentangan dengan hukum kepemilikan.
Adapun yang ketiga, yaitu jika ia berkata: “Aku memberikan ‘umrā rumah ini selama hidupmu. Jika engkau wafat, maka kembali kepadaku jika aku masih hidup, dan kepada ahli warisku jika aku telah wafat,” maka hukumnya seperti masalah sebelumnya, yaitu memiliki dua pendapat:
Pertama, batal.
Kedua, sah, karena ia mensyaratkan agar kembali kepadanya setelah kepemilikannya hilang, atau kepada ahli warisnya. Dan syarat setelah hilangnya kepemilikan tidak berpengaruh terhadap hak penerima ‘umrā, maka keberadaan syarat itu seperti tidak ada.
فصل: وأما الرقبى فهو أن يقول أرقبتك هذه الدار أو داري لك رقبى ومعناه وهبت لك وكل واحد منا يرقب صاحبه فإن مت قبلي عادت إلي وإن مت قبلك فهي لك فتكون كالمسألة الثالثة من العمرى وقد بينا أن الثالثة كالثانية فتكون على قولين وقال المزني: الرقبى أن يجعلها لآخرهما موتاً وهذا خطأ لما روى عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أعمر وأرقب رقبى فهي للمعتمر يرثها من يرثه”.
PASAL: Adapun raqbā, yaitu apabila seseorang berkata: “Aku memberikan rumah ini kepadamu sebagai raqbā,” atau “rumahku ini untukmu sebagai raqbā,” maka maknanya adalah: “Aku memberikannya kepadamu, dan masing-masing dari kita saling menunggu (kematian) yang lain; jika engkau wafat sebelumku, maka ia kembali kepadaku; dan jika aku wafat sebelummu, maka ia menjadi milikmu.” Maka ini seperti masalah ketiga dari ‘umrā, dan telah dijelaskan bahwa masalah ketiga seperti masalah kedua, maka hukumnya ada dua pendapat.
Dan al-Muzanī berkata: Raqbā adalah apabila seseorang menjadikannya milik orang yang wafat paling akhir di antara keduanya. Ini adalah kekeliruan, berdasarkan riwayat dari ‘Abdullāh bin az-Zubair RA, bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa memberikan ‘umrā atau raqbā maka itu milik orang yang diberi ‘umrā, dan diwarisi oleh orang yang mewarisinya.”
فصل: ومن وجب على رجل دين جاز له أن يبرئه من غير رضاه من أصحابنا من قال: لا يجوز إلا بقبول من عليه الدين لأنه تبرع يفتقر إلى تعيين المتبرع عليه فافتقر إلى قبوله كالوصية والهبة ولأن فيه التزاماً منه فلم يملك من غير قبوله كالهبة والمذهب الأول لأنه إسقاط حق ليس فيه تمليك مال فلم يعتبر فيه القبول كالعتق والطلاق والعفو عن الشفعة والقصاص ولا يصح الإبراء من دين مجهول لأنه إزالة ملك لا يجوز تعليقه على الشرط فلم يجز مع الجهالة كالبيع والهبة.
PASAL: Jika seseorang memiliki utang yang wajib dibayar, maka boleh bagi orang lain untuk membebaskannya tanpa persetujuannya. Sebagian dari ulama mazhab kami berpendapat bahwa hal itu tidak sah kecuali dengan penerimaan dari orang yang berutang, karena itu termasuk pemberian yang bergantung pada penetapan penerimanya, maka harus ada penerimaan darinya sebagaimana wasiat dan hibah. Dan karena hal itu mengandung komitmen darinya, maka tidak boleh tanpa persetujuannya sebagaimana hibah. Sedangkan pendapat yang lebih kuat adalah yang pertama, karena itu adalah pengguguran hak dan tidak termasuk pemberian harta, maka tidak disyaratkan adanya penerimaan, seperti memerdekakan budak, talak, dan pengguguran hak syuf‘ah serta qiṣāṣ. Dan tidak sah membebaskan dari utang yang tidak diketahui, karena itu adalah penghapusan kepemilikan yang tidak boleh digantungkan dengan syarat, maka tidak sah dalam kondisi tidak diketahui sebagaimana jual beli dan hibah.
من ثبتت له الخلافة على الأمة جاز له أن يوصي بها إلى من يصلح لها لأن أبا بكر رضي الله عنه وصى إلى عمر ووصى عمر رضي الله عنه إلى أهل الشورى رضي الله عنهم ورضيت الصحابة رضي الله عنهم بذلك.
Kitāb al-Waṣāyā
Barang siapa yang telah tetap kekhalifahan atas umat baginya, maka boleh baginya berwasiat agar kekhalifahan diserahkan kepada orang yang layak menerimanya, karena Abū Bakar RA berwasiat kepada ‘Umar, dan ‘Umar RA berwasiat kepada Ahlusy Syūrā RA, dan para sahabat RA meridhai hal tersebut.
فصل: ومن ثبتت له الولاية في مال ولده ولم يكن له ولي بعده جاز له أن يوصي إلى من ينطر في ماله لما روى سفيان بن عيينة رضي الله عنه عن هشام بن عروة قال: أوصى إلى الزبير تسعة من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم منهم عثمان والمقداد وعبد الرحمن بن عوف وابن مسعود رضي الله عنهم فكان يحفظ عليهم أموالهم وينفق على أبنائهم من ماله وإن كان له جد لم يجز أن يوصي إلى غيره لأن ولاية الجد مستحقة بالشرع فلا يجوز نقلها عنه بالوصية.
PASAL: Barang siapa yang telah tetap baginya kewenangan dalam harta anaknya, dan anak itu tidak memiliki wali setelahnya, maka boleh baginya berwasiat kepada seseorang yang akan mengurus hartanya. Sebagaimana diriwayatkan dari Sufyān bin ‘Uyainah RA, dari Hisyām bin ‘Urwah, ia berkata: Telah berwasiat kepada al-Zubair sembilan orang dari sahabat Nabi SAW, di antaranya ‘Utsmān, al-Miqdād, ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Auf, dan Ibn Mas‘ūd RA. Maka al-Zubair menjaga harta mereka dan menafkahkan kepada anak-anak mereka dari hartanya sendiri. Namun, jika anak itu memiliki kakek, maka tidak boleh ia berwasiat kepada selain kakek, karena kewenangan kakek telah ditetapkan oleh syara‘, sehingga tidak boleh dipindahkan darinya dengan wasiat.
فصل: ومن ثبت له الولاية في تزويج ابنته لم يجز أن يوصي إلى من يزوجها وقال أبو ثور: يجوز كما يجوز أن يوصي إلى من ينظر في مالها وهذا خطأ لما روى ابن عمر قال: زوجني قدامة بن مظعون ابنة أخيه عثمان بن مظعون فأتى قدامة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: أنا عمها ووصي أبيها وقد زوجتها من عبد الله بن عمر فقال صلى الله عليه وسلم: “إنها يتيمة لا تنكح إلا بإذنها” ولأن ولاية النكاح لها من يستحقها بالشرع فلا يجوز نقلها بالوصية بالنظر في المال مع وجود الجد.
PASAL: Barang siapa yang telah tetap baginya kewenangan dalam menikahkan putrinya, maka tidak boleh ia berwasiat kepada orang lain untuk menikahkannya.
Abū Ṯawr berpendapat: boleh, sebagaimana boleh berwasiat kepada orang yang mengurus hartanya.
Namun ini adalah kekeliruan, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata: Qudāmah bin Maẓ‘ūn menikahkan aku dengan putri saudara laki-lakinya, yaitu ‘Uṡmān bin Maẓ‘ūn. Maka Qudāmah mendatangi Rasulullah SAW dan berkata: “Aku adalah pamannya dan wasiat dari ayahnya, dan aku telah menikahkannya dengan ‘Abdullāh bin ‘Umar.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Dia adalah yatimah, dan tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya.”
Karena wali nikah adalah hak orang-orang tertentu yang ditetapkan secara syar‘i, maka tidak boleh dipindahkan melalui wasiat sebagaimana pengelolaan harta, selama masih ada kakek.
فصل: ومن عليه حق يدخله النيابة من دين آدمي أو حج أو زكاة أو رد وديعة جاز أن يوصي إلى من يؤدي عنه لأنه إذا جاز أن يوصي في حق غيره فلأن يجوز في خاصة نفسه أولى.
فصل: ومن ملك التصرف في ماله بالبيع والهبة ملك الوصية بثلثه في وجود البر لما روى عامر بن سعيد عن أبيه قال: مرضت مرضاً أشرفت منه على الموت فأتاني رسول الله صلى الله عليه وسلم يعودني فقلت: يا رسول الله لي مال كثير وليس يرثني إلا ابنتي أفأتصدق بمالي كله قال: “لا” قال: أتصدق بثلثي مالي قال: “لا” قلت أتصدق بالشطر قال: “لا” قلت: أتصدق بالثلث؟ قال: “الثلث والثلث كثير إنك أن تترك ورثتك أغنياء خير من أن تتركهم عالة يتكففون الناس”
PASAL: Barang siapa yang memiliki kewajiban yang bisa diwakilkan, baik berupa utang kepada manusia, atau ḥajj, atau zakat, atau pengembalian titipan, maka boleh baginya berwasiat kepada seseorang untuk menunaikannya atas dirinya. Karena apabila boleh berwasiat dalam hak orang lain, maka dalam urusannya sendiri tentu lebih utama.
PASAL: Barang siapa yang berkuasa melakukan tasharruf pada hartanya dengan jual beli dan hibah, maka ia berkuasa juga berwasiat sepertiga dari hartanya dalam kebaikan. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Āmir bin Sa‘īd, dari ayahnya, ia berkata: Aku pernah sakit yang hampir menyebabkan kematian, lalu Rasulullah SAW datang menjengukku. Aku berkata: Wahai Rasulullah, aku memiliki harta yang banyak, dan tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang anak perempuanku. Apakah aku boleh bersedekah dengan seluruh hartaku? Beliau menjawab: “Jangan.” Aku bertanya: Apakah aku boleh bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: “Jangan.” Aku bertanya: Apakah aku boleh bersedekah dengan separuh hartaku? Beliau menjawab: “Jangan.” Aku bertanya: Apakah aku boleh bersedekah dengan sepertiga hartaku? Beliau bersabda: “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia.”
ولا يجب ذلك لقوله تعالى: {وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفاً} وفسر بالوصية فجعل ذلك إليهم فدل على أنها لا تجب ولأنه عطية لا تلزم في حياته فلم تلزم الوصية به قياساً على ما زاد على الثلث.
Dan tidak wajib wasiat itu, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wa ulū al-arḥāmi ba‘ḍuhum awlā biba‘ḍin fī kitābi Allāhi mina al-mu’minīna wa al-muhājirīn illā an taf‘alū ilā awliyāikum ma‘rūfan} yang ditafsirkan dengan wasiat. Maka Allah menjadikannya terserah kepada mereka, yang menunjukkan bahwa wasiat itu tidak wajib. Dan karena ia termasuk pemberian yang tidak wajib dalam kehidupannya, maka tidak wajib pula wasiat dengannya, dengan qiyās kepada apa yang lebih dari sepertiga.
فصل: وإن كانت ورثته فقراء فالمستحب أن لا يستوفي الثلث لقوله صلى الله عليه وسلم: “الثلث كثير إنك إن تترك ورثتك أغنياء خير من أن تتركهم عالة يتكففون الناس” فاستكثر الثلث وكره أن يترك ورثته فقراء فدل على أن المستحب أن لا يستوفي الثلث وعن علي رضي الله عنه أنه قال: لأن أوصي بالخمس أحب إلي من أن أوصي بالثلث وإن كان الورثة أغنياء فالمستحب أن يستوفي الثلث لأنه لما كره الثلث إذا كانوا فقراء دل على أنه يستحب إذا كانوا أغنياء أن يستوفيه.
PASAL: Jika ahli warisnya dalam keadaan fakir, maka yang disunnahkan adalah tidak mengambil penuh sepertiga, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia.” Maka Nabi SAW menganggap sepertiga itu banyak dan beliau tidak menyukai seseorang meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan fakir, sehingga menunjukkan bahwa yang disunnahkan adalah tidak mengambil penuh sepertiga. Dan dari ‘Alī RA, ia berkata: “Aku lebih suka berwasiat dengan seperlima daripada berwasiat dengan sepertiga.” Namun, apabila ahli waris dalam keadaan kaya, maka yang disunnahkan adalah mengambil penuh sepertiga. Karena ketika beliau SAW membenci sepertiga jika ahli waris fakir, maka hal itu menunjukkan bahwa disunnahkan jika ahli waris kaya untuk mengambil penuh sepertiga.
فصل: وينبغي لمن رأى المريض يجنف في الوصية أن ينهاه لقوله تعالى: {وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً} قال أهل التفسير: إذا رأى المريض يجنف على ولده أن يقول اتق الله ولا توص بمالك كله ولأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى سعدا عن الزيادة على الثلث.
PASAL: Hendaknya bagi orang yang melihat seorang sakit berbuat sewenang-wenang dalam wasiat agar ia melarangnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {walyakhsha alladzīna law tarakū min khalfihim dzurriyyatan ḍi‘āfan khāfū ‘alaihim falyattaqū Allāha walyāqūlū qawlan sadīdan}. Ahli tafsir berkata: Jika seseorang melihat orang sakit berlaku curang terhadap anak-anaknya, maka hendaknya ia berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan jangan berwasiat dengan seluruh hartamu.” Dan karena Nabi SAW melarang Sa‘d untuk berwasiat lebih dari sepertiga.
فصل: والأفضل أن يقدم ما يوصي به من البر في حياته لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الصدقة أفضل؟ قال: “أن تتصدق وأنت صحيح شحيح تأمل الغنى وتخشى الفقر ولا تمهل حتى إذا بلغت الحلقوم قلت لفلان كذا ولفلان كذا” ولأنه لا يأمن إذا وصى به أن يفرط به بعد موته فإنه اختار أن يوصي فالمستحب أن لا يؤخر الوصية لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “ما حق امرئ مسلم عنده شيء يوصي يبيت ليلتين إلا ووصيته مكتوبة عنده” ولأنه إذا أخر لم يؤمن أن يموت فجأة فتفوته.
PASAL: Yang lebih utama adalah mendahulukan pemberian yang diwasiatkan berupa kebaikan ketika masih hidup, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW pernah ditanya, “Sedekah apakah yang paling utama?” Beliau menjawab: “Engkau bersedekah saat engkau sehat, kikir, berharap kekayaan, dan takut miskin, dan jangan menundanya hingga jika nyawa sampai di kerongkongan engkau berkata: ‘Untuk si fulan sekian dan untuk si fulan sekian.’”
Karena ia tidak merasa aman jika berwasiat, bisa jadi disia-siakan setelah ia wafat. Maka apabila ia memilih untuk berwasiat, dianjurkan agar tidak menunda wasiat, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak pantas bagi seorang muslim yang memiliki sesuatu yang akan diwasiatkan, bermalam dua malam kecuali wasiatnya tertulis di sisinya.”
Karena jika ia menunda, tidak ada jaminan ia tidak mati mendadak, hingga ia kehilangan kesempatan tersebut.
فصل: وأما من لا يجوز تصرفه في المال فإن كان ممن لا يميز كالمعتوه والمبرسم ومن عاين الموت لم تصح وصيته لأن الوصية تتعلق صحتها بالقول ولا قول لمن لا يميز ولهذا لا يصح إسلامه ولا توبته فلم تصح وصيته فإن كان صبياً مميزاً أو بالغاً مبذراً ففيه قولان: أحدهما لا تصح وصيته لأنه تصرف في المال فلم يصح من الصبي والمبذر كالهبة والثاني تصح لأنه منع من التصرف خوفاً من إضاعة المال وليس في الوصية إضاعة المال لأنه إن عاش فهو على ملكه وإن مات لم يحتج إلى غير الثواب وقد حصل له ذلك بالوصية.
PASAL: Adapun orang yang tidak sah tasharrufnya dalam harta, maka jika ia termasuk orang yang tidak dapat membedakan seperti ma‘tūh, orang yang terserang demam parah (mubrasam), atau orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, maka tidak sah wasiatnya. Karena sahnya wasiat itu bergantung pada ucapan, sedangkan tidak ada ucapan yang sah dari orang yang tidak bisa membedakan. Oleh sebab itu tidak sah pula Islamnya dan tidak sah taubatnya, maka tidak sah juga wasiatnya.
Jika ia seorang anak kecil yang sudah bisa membedakan atau seorang dewasa yang mubadzdzir, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak sah wasiatnya, karena itu termasuk tasharruf dalam harta, maka tidak sah dari anak kecil dan mubadzdzir sebagaimana hibah.
Kedua, sah wasiatnya, karena larangan tasharruf baginya hanya karena dikhawatirkan menyia-nyiakan harta. Sedangkan dalam wasiat tidak ada penyia-nyiaan harta, sebab jika ia hidup, maka harta tetap menjadi miliknya, dan jika ia mati maka ia tidak lagi membutuhkan selain pahala, dan pahala itu sudah didapatkannya dengan wasiat.
فصل: وأما إذا أوصى بما زاد على الثلث فإن لم يكن له وارث بطلت الوصية فيما زاد على الثلث لأن ماله ميراث للمسلمين ولا مجيز له منهم فبطلت فإن كان له وارث ففيه قولان: أحدهما أن الوصية تبطل بما زاد على الثلث لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى سعداً عن الوصية بما زاد على الثلث والنهي يقتضي الفساد وليست الزيادة مالاً للوارث فلم تصح وصيته به كما لو أوصى بمال للوارث من غير الميراث
PASAL: Adapun apabila seseorang berwasiat melebihi sepertiga hartanya, maka jika ia tidak memiliki ahli waris, maka wasiatnya batal pada bagian yang melebihi sepertiga, karena hartanya menjadi warisan bagi kaum Muslimin dan tidak ada yang berhak mengizinkan dari mereka, maka batal.
Jika ia memiliki ahli waris, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, wasiat batal pada bagian yang melebihi sepertiga, karena Nabi SAW melarang Sa‘d untuk berwasiat lebih dari sepertiga, dan larangan itu menunjukkan kebatalan. Dan kelebihan dari sepertiga itu bukanlah harta milik ahli waris, maka tidak sah ia mewasiatkannya, sebagaimana jika ia mewasiatkan harta kepada ahli waris tanpa melalui jalur warisan.
والثاني أنها تصح وتقف على إجازة الوارث فإن أجاز نفذت وإن ردها بطلت لأن الوصية صادفت ملكه وإنما يتعلق بها حق الوارث في الثاني فصحت ووقفت الإجازة كما لو باع ما فيه شفعة فإن قلنا على أنها باطلة كانت الإجازة هبة مبتدأة يعتبر فيها الإيجاب والقبول باللفظ الذي تنعقد به الهبة ويعتبر في لزومها القبض وإن كانت الوصية عتقاً لم يصح إلا بلفظ العتق ويكون الولاء فيه للوارث وإن قلنا إنها تصح كانت الإجازة إمضاء لما وصى به الموصي وتصح بلفظ الإجازة كما يصح العفو عن الشفعة بلفظ العفو فإن كانت الوصية عتقاً كان الولاء للموصي ولا يصح الرد والإجازة إلا بعد الموت لأنه لا حق له قبل الموت فلم يصح إسقاطه كالعفو عن الشفعة قبل البيع.
Pendapat kedua, wasiat tersebut sah dan bergantung pada persetujuan ahli waris; jika ia mengizinkannya, maka wasiat itu berlaku, dan jika ia menolaknya, maka wasiat itu batal. Karena wasiat itu mengenai harta yang masih menjadi milik pewasiat, dan hak ahli waris baru muncul setelah kematiannya, maka wasiat tersebut sah dan bergantung pada izin, sebagaimana jika seseorang menjual sesuatu yang padanya terdapat hak syuf‘ah.
Jika kita berpendapat bahwa wasiat itu batal, maka izin dari ahli waris dianggap sebagai hibah baru, yang memerlukan ijab dan qabul dengan lafaz yang menjadikan hibah sah, dan untuk menjadikannya mengikat disyaratkan adanya qabḍ (pengambilan). Jika wasiat tersebut berupa pembebasan budak, maka tidak sah kecuali dengan lafaz ‘itq, dan hak waris (walā’)nya menjadi milik ahli waris.
Namun jika kita berpendapat bahwa wasiat tersebut sah, maka izin dari ahli waris adalah bentuk pengesahan atas wasiat pewasiat, dan sah dengan lafaz izin, sebagaimana gugurnya hak syuf‘ah dengan lafaz pengguguran. Jika wasiat tersebut berupa pembebasan budak, maka hak waris (walā’)nya menjadi milik pewasiat.
Penolakan atau izin dari ahli waris tidak sah kecuali setelah wafatnya pewasiat, karena sebelumnya ahli waris tidak memiliki hak, maka tidak sah menggugurkannya, sebagaimana pengguguran syuf‘ah sebelum terjadinya jual beli.
فصل: فإن جاز الوارث ما زاد على الثلث ثم قال أجزت لأني ظننت أن المال قليل وأن ثلثه قليل وقد بان أنه كثير لزمت الإجازة فيما علم والقول قول فيما لم يعلم مع يمينه فإذا حلف لم يلزمه لأن الإجازة في أحد القولين هبة وفي الثاني إسقاط والجميع لا يصح مع الجهل به وإن وصى بعبد فأجازه الوارث ثم قال أجزت لأني ظننت أن المال كثير وقد بان قليل ففيه قولان: أحدهما أن القول قوله كالمسألة قبلها والثاني أنه يلزمه الوصية لأنه عرف ما أجازه ويخالف المسألة قبلها فإن هناك لم يعلم ما أجازه.
PASAL: Jika ahli waris membolehkan apa yang lebih dari sepertiga, kemudian ia berkata: “Aku membolehkannya karena aku menyangka hartanya sedikit dan sepertiganya kecil, ternyata ternyata banyak,” maka ia tetap terikat dengan izin dalam hal yang sudah ia ketahui, dan ucapannya diterima dalam hal yang tidak ia ketahui dengan sumpahnya. Apabila ia bersumpah, maka tidak wajib baginya membolehkan, karena dalam salah satu pendapat, izin itu termasuk hibah, dan dalam pendapat lain termasuk pengguguran hak. Keduanya tidak sah apabila disertai ketidaktahuan.
Jika berwasiat dengan seorang budak lalu ahli waris membolehkannya, kemudian ia berkata: “Aku membolehkannya karena aku menyangka hartanya banyak, ternyata sedikit,” maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, ucapannya diterima, sebagaimana masalah sebelumnya.
Kedua, ia tetap terikat dengan wasiat itu, karena ia telah mengetahui apa yang ia izinkan. Berbeda dengan masalah sebelumnya, karena di sana ia tidak mengetahui apa yang ia izinkan.
فصل: واختلف أصحابنا في الوقت الذي يعتبر فيه قدر المال لإخراج الثلث فمنهم من قال الإعتبار بقدر المال في حال الوصية لأنه عقد يقتضي اعتبار قدر المال فكان الإعتبار فيه بحال العقد كما لو نذر أن يتصدق بثلث ماله فعلى هذا لو أوصى وثلث ماله ألف فصار عند الوفة ألفين لم تلزم الوصية في الزيادة فإن أوصى بألف ولا مال ثم استفاد مالاً لم تتعلق به الوصية وإن وصى وله مال فهلك ماله بطلت الوصية ومنهم من قال: الإعتبار بقدر المال عند الموت وهو المذهب لأنه وقت لزوم الوصية واستحقاقها
PASAL: Para sahabat kami berselisih pendapat tentang waktu yang dijadikan acuan dalam menilai kadar harta untuk menentukan sepertiga (yang boleh diwasiatkan).
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa yang dijadikan acuan adalah kadar harta pada saat wasiat dibuat, karena wasiat adalah akad yang mengharuskan penilaian kadar harta, maka acuannya adalah saat akad, sebagaimana jika seseorang bernazar untuk bersedekah sepertiga hartanya. Berdasarkan pendapat ini, jika seseorang berwasiat ketika sepertiga hartanya sebesar seribu, lalu saat wafat hartanya menjadi dua ribu, maka wasiat tidak wajib pada kelebihan tersebut. Jika ia berwasiat sebesar seribu sementara saat itu ia tidak memiliki harta, lalu kemudian memperoleh harta, maka wasiat tidak terkait dengan harta tersebut. Dan jika ia berwasiat sementara ia memiliki harta, lalu harta tersebut musnah, maka wasiatnya batal.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa acuannya adalah kadar harta saat wafat, dan inilah pendapat yang menjadi mazhab, karena wafat adalah waktu diwajibkannya pelaksanaan wasiat dan waktu hak penerimaan wasiat itu menjadi tetap.
ولأنه لو وصى بثلث ماله ثم باع جميعه تعلقت الوصية بالثمن فلو كان الاعتبار بحال الوصية لم تتعلق بالثمن لأنه لم يكن حال الوصية فعلى هذا لو وصى بثلث ماله وماله ألف فصار ألفين لزمت الوصية في ثلث الألفين فإن وصى بمال ولا مال ثم استفاد مالاً تعلقت به الوصية فإن وصى بثلثه وله مال ثم تلف ماله لم تبطل الوصبية.
Dan karena jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya lalu ia menjual seluruh hartanya, maka wasiat itu tetap terkait dengan harga (hasil penjualan). Maka seandainya yang dijadikan acuan adalah keadaan saat berwasiat, niscaya wasiat tidak akan terkait dengan harga tersebut, karena ia belum ada saat wasiat dibuat.
Berdasarkan ini, jika seseorang berwasiat sepertiga hartanya sementara hartanya seribu, lalu menjadi dua ribu, maka wasiat berlaku atas sepertiga dari dua ribu.
Jika ia berwasiat atas harta, sementara saat itu ia tidak memiliki harta, lalu ia memperoleh harta, maka wasiat berlaku atas harta tersebut.
Jika ia berwasiat sepertiga dari hartanya, dan saat itu ia memiliki harta, lalu hartanya musnah, maka wasiatnya tidak batal.
فصل: وأما الوصية بما لا قربة فيه كالوصية للكنيسة والوصية بالسلاح لأهل الحرب فهي باطلة لأن الوصية إنما جعلت له ليدرك بها ما فات ويزيد بها الحسنات ولهذا روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن الله تعالى أعطاكم ثلث أموالكم في آخر آجالكم زيادة في حسناتكم” وما ذكرناه ليس من الحسنات فلم تصح فيه الوصية فإن وصى ببيع ما له من رجل من غير محاباة ففيه وجهان: أحدهما يصح لأنه قصد تخصيصه بالتمليك والثاني لا يصح لأن البيع من غير محاباة ليس بقربة فلم تصح الوصية به وإن وصى لذمي جاز
PASAL: Adapun wasiat terhadap sesuatu yang tidak mengandung pendekatan diri kepada Allah, seperti wasiat untuk gereja dan wasiat dengan senjata bagi orang-orang yang memerangi (Islam), maka wasiat tersebut batal. Sebab, wasiat itu disyariatkan agar seseorang dapat mengejar apa yang terlewat dan menambah pahala dengan wasiat tersebut. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala memberikan kepada kalian sepertiga dari harta kalian di akhir umur kalian sebagai tambahan pahala bagi kalian.” Dan apa yang disebutkan itu bukan termasuk kebaikan, maka tidak sah wasiat padanya.
Jika seseorang berwasiat agar hartanya dijual kepada seseorang tanpa ada pemberian lebih (tanpa memurahkan harga), maka terdapat dua wajah: wajah pertama, wasiat itu sah karena ia bermaksud mengkhususkan orang tersebut dengan kepemilikan. Wajah kedua, tidak sah karena jual beli tanpa memberi keutamaan tidak termasuk pendekatan diri kepada Allah, maka tidak sah wasiat padanya.
Jika ia berwasiat kepada seorang dzimmī, maka wasiat itu sah.
لما روي أن صفية وصت لأخيها بثلثها ثلاثين ألفاً وكان يهودياً ولأن الذمي موضع للقربة ولهذا يجوز التصدق عليه بصدقة التطوع فجازت له الوصية فإن وصى لحربي ففيه وجهان أحدهما: أنه لا تصح الوصية وهو قول أبي العباس بن القاص لأن القصد بالوصية نفع الموصى له وقد أمرنا بقتل الحربي وأخذ ماله فلا معنى للوصية له والثاني يصح وهو المذهب لأنه تمليك يصح للذمي فصح للحربي كالبيع.
Karena diriwayatkan bahwa Shafiyyah pernah berwasiat kepada saudara laki-lakinya sebanyak sepertiga hartanya, yaitu tiga puluh ribu, padahal ia seorang Yahudi. Dan karena dzimmī merupakan pihak yang dapat menjadi objek pendekatan diri kepada Allah, oleh karena itu diperbolehkan bersedekah kepadanya dengan sedekah sunah, maka sah wasiat kepadanya.
Jika seseorang berwasiat kepada seorang ḥarbī, maka ada dua wajah: wajah pertama, wasiat itu tidak sah, dan ini adalah pendapat Abū al-‘Abbās ibn al-Qāṣṣ, karena tujuan dari wasiat adalah memberikan manfaat kepada orang yang diwasiati, padahal kita diperintahkan untuk membunuh ḥarbī dan mengambil hartanya, maka tidak ada makna dari berwasiat kepadanya. Wajah kedua, wasiat itu sah, dan inilah pendapat mazhab, karena itu merupakan bentuk kepemilikan yang sah diberikan kepada dzimmī, maka sah pula diberikan kepada ḥarbī, sebagaimana jual beli.
فصل: واختلف قول الشافعي رحمه الله تعالى فيمن وصى لقاتله فقال في أحد القولين لا يجوز لأنه مال مستحق بالموت فمنع القتل منه كالميراث وقال في الثاني: يجوز لأنه تمليك يفتقر إلى القبول فلم يمنع القتل منه كالبيع فإن قتلت أم الولد مولاها عتقت لأن عتقها ليس بوصية بدليل أنه لا يعتبر من الثلث فلم يمنع القتل منه فإن قتل المدبر مولاه فإن قلنا إن التدبير عتق بالصفة عتق لأنه ليس بوصية وإنما هو عتق بصفة وقد وجدت الصفة تعتق وإن قلنا إنه وصية وقلنا إن الوصية للقاتل لا تجوز لم يعتق وإن قلنا إنها تجوز عتق من الثلث فإن كان على رجل دين مؤجل فقتله صاحب الدين حل الدين لأن الأجل حق للمقتول لا حظ له في بقائه بل الحظ في إسقاطه ليحل الدين ويقضي فيتخلص منه.
PASAL: Terdapat perbedaan pendapat dari Imam al-Syafi‘i رحمه الله تعالى mengenai orang yang berwasiat kepada pembunuhnya. Dalam salah satu pendapat beliau, wasiat tersebut tidak sah karena harta itu menjadi hak setelah kematian, maka pembunuhan mencegahnya, seperti halnya warisan. Dalam pendapat yang kedua: wasiat itu sah karena merupakan bentuk pemindahan kepemilikan yang bergantung pada penerimaan, maka pembunuhan tidak mencegahnya, sebagaimana dalam jual beli.
Jika seorang umm al-walad membunuh tuannya, maka ia merdeka karena kemerdekaannya bukan termasuk wasiat, dengan dalil bahwa kemerdekaan tersebut tidak diperhitungkan dari sepertiga harta, maka pembunuhan tidak mencegahnya.
Jika seorang mudabbir membunuh tuannya, maka bila dikatakan bahwa tadbīr adalah pembebasan dengan syarat, maka ia merdeka karena hal itu bukan wasiat, melainkan pembebasan dengan syarat, dan syaratnya telah terpenuhi, maka ia merdeka.
Namun jika dikatakan bahwa tadbīr adalah wasiat, dan pendapat yang diikuti menyatakan bahwa wasiat kepada pembunuh tidak sah, maka ia tidak merdeka. Namun jika dikatakan bahwa wasiat kepada pembunuh sah, maka ia merdeka dari sepertiga harta.
Jika seseorang memiliki utang yang ditangguhkan, lalu ia dibunuh oleh orang yang berpiutang, maka jatuh tempo utangnya karena penangguhan itu adalah hak milik orang yang terbunuh, dan ia tidak memiliki kepentingan dalam mempertahankannya, bahkan maslahatnya adalah pada penghapusan penangguhan agar utang jatuh tempo dan bisa ditagih, sehingga terbebas darinya.
فصل: واختلف قوله في الوصية للوارث فقال في أحد القولين لا تصح لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا وصية لوارث” ولأنها وصية لا تلزم لحق الوارث فلم تصح كما لو أوصى بمال لهم من غير الميراث فعلى هذا الإجازة هبة مبتدأة يعتبر فيها ما يعتبر في الهبة والثاني تصح لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تجوز لوارث وصية إلا إن شاء الورثة” فدل على أنهم إذا شاءوا كانت وصية وليست الوصية في ملكه وإنما يتعلق بها حق الورثة في الثاني فلم يمنع صحتها كبيع ما فيه شفعة فعلى هذا إذا أجاز الورثة نفذت الوصية.
PASAL: Terdapat perbedaan pendapat dari Imam al-Syafi‘i tentang wasiat kepada ahli waris. Dalam salah satu pendapatnya, beliau mengatakan tidak sah, berdasarkan riwayat dari Jabir RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Dan karena wasiat itu tidak wajib demi hak ahli waris, maka tidak sah sebagaimana jika ia berwasiat dengan harta kepada mereka dari selain warisan. Berdasarkan pendapat ini, jika para ahli waris merelakan, maka itu dianggap sebagai hibah baru, yang harus memenuhi syarat-syarat hibah.
Sedangkan dalam pendapat kedua, wasiat kepada ahli waris itu sah, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak sah wasiat kepada ahli waris kecuali jika para ahli waris mengizinkannya.” Ini menunjukkan bahwa jika mereka mengizinkan, maka ia menjadi wasiat. Wasiat itu sendiri tidak berada dalam kepemilikan orang yang berwasiat, namun hak para ahli warislah yang terkait dengannya. Maka hal itu tidak menghalangi keabsahannya, sebagaimana jual beli pada harta yang memiliki hak syuf‘ah. Berdasarkan pendapat ini, jika para ahli waris mengizinkan, maka wasiat tersebut berlaku.
فصل: ولا تصح الوصية لمن لا يملك فإن وصى لميت لم تصح الوصية لأنه تمليك فلم يصح للميت كالهبة وإن وصى لحمل تيقن وجوده حال الوصية بأن وضعته لدون ستة أشهر من حين الوصية أو لستة أشهر وليست بفراش صحت الوصية لأنه يملك بالإرث فملك بالوصية وإن وضعته لستة أشهر وهي فراش لم تصح الوصية لأنه يجوز أن يكون حدث بعد الوصية فلم تصح الوصية بالشك فإن ألقته ميتاً لم تصح الوصية لأنه لا يتقين حياته حال الوصية ولهذا لا يحكم له بالإرث فلم يحكم له بالملك بالوصية فإن وصى لما تحمل هذه المرأة لم تصح الوصية وقال أبو إسحاق تصح والمذهب الأول لأنه تمليك لمن لا يملك فلم يصح.
PASAL: Tidak sah wasiat kepada siapa pun yang tidak memiliki hak milik. Maka jika seseorang berwasiat kepada orang yang sudah meninggal, wasiatnya tidak sah karena itu adalah bentuk pemilikan, dan tidak sah bagi orang yang telah meninggal sebagaimana hibah juga tidak sah kepadanya. Jika ia berwasiat kepada ḥaml yang telah dipastikan keberadaannya saat wasiat — yaitu jika ia dilahirkan kurang dari enam bulan sejak wasiat atau genap enam bulan namun bukan dari pasangan sah — maka wasiatnya sah, karena ia bisa memiliki harta melalui warisan, maka ia juga bisa memilikinya melalui wasiat. Namun jika dilahirkan setelah enam bulan dan ia adalah anak dari pasangan sah, maka wasiatnya tidak sah karena mungkin saja ia terbentuk setelah wasiat, maka tidak sah wasiat berdasarkan kemungkinan. Jika ia dilahirkan dalam keadaan mati, maka wasiat tidak sah karena tidak dipastikan ia hidup saat wasiat dibuat, dan karena itulah ia juga tidak berhak mewarisi, maka ia pun tidak berhak menerima wasiat. Jika seseorang berwasiat untuk “apa yang dikandung oleh wanita ini,” maka wasiat tidak sah. Abu Ishaq mengatakan: sah. Namun pendapat yang lebih kuat adalah yang pertama karena itu adalah pemberian kepada yang tidak memiliki hak milik, maka tidak sah.
فصل: فإن قال وصيت بهذا العبد لأحد هذين الرجلين لم يصح لأنه تمليك لغير معين فإن قال أعطوا هذه العبد أحد هذين الرجلين جاز لأنه ليس بتمليك وإنما هو وصية بالتمليك ولهذا لو قال بعت هذا العبد من أحد هذين الرجلين لم يصح ولو قال لوكيله: بع هذا العبد من أحد هذين الرجلين جاز.
PASAL: Jika seseorang berkata, “Aku berwasiat dengan budak ini kepada salah satu dari dua orang ini,” maka wasiat tersebut tidak sah karena merupakan bentuk pemilikan kepada orang yang tidak ditentukan. Namun jika ia berkata, “Berikan budak ini kepada salah satu dari dua orang ini,” maka hal itu sah, karena bukan merupakan pemilikan langsung, melainkan wasiat untuk memindahkan kepemilikan. Oleh karena itu, seandainya ia berkata, “Aku menjual budak ini kepada salah satu dari dua orang ini,” maka tidak sah. Tapi jika ia berkata kepada wakilnya, “Juallah budak ini kepada salah satu dari dua orang ini,” maka hal itu sah.
فصل: فإن أوصى لعبده كانت الوصية لوارثه لأن العبد لا يملك فكانت الوصية للوارث وقد بيناه فإن وصى لمكاتبه صحت الوصية لأن المكاتب يملك المال بالعقد فصحت له الوصية فإن وصى لأم ولده صحت لأنها حرة عند الاستحقاق فإن وصى لمدبره وعتق من الثلث صحت له الوصية لأنه حر عند الموت فهو كأم الولد فإن لم يعتق كانت الوصية للوارث وقد بيناه فإن وصى لعبد غيره كانت الوصية لمولاه وهل يصح قبوله من غير إذن المولى؟ فيه وجهان: أحدهما وهو الصحيح أنه يصح ويملك به المولى كما يملك ما يصطاده بغير إذنه
PASAL: Jika seseorang berwasiat kepada budaknya, maka wasiat itu menjadi milik ahli warisnya karena budak tidak memiliki hak milik, maka wasiat berpindah kepada ahli waris — dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya. Jika ia berwasiat kepada mukātab-nya, maka wasiatnya sah karena mukātab memiliki hak milik atas harta berdasarkan akad, maka sah wasiat baginya. Jika ia berwasiat kepada umm walad-nya, maka wasiat sah karena ia adalah orang merdeka saat menerima harta. Jika ia berwasiat kepada mudabbir-nya dan budak tersebut dimerdekakan dari sepertiga harta, maka wasiatnya sah karena ia merdeka pada saat wafatnya tuan, maka hukumnya seperti umm walad. Namun jika ia tidak dimerdekakan, maka wasiat itu menjadi milik ahli waris — dan hal ini telah dijelaskan sebelumnya. Jika ia berwasiat kepada budak milik orang lain, maka wasiat menjadi milik tuannya. Apakah sah bila budak itu menerima wasiat tanpa izin tuannya? Dalam hal ini terdapat dua wajah: salah satunya — dan ini yang ṣaḥīḥ — adalah bahwa hal itu sah, dan dengan itu tuan budak memiliki hak atasnya sebagaimana ia memiliki apa yang diburu budaknya tanpa izin darinya.
والثاني وهو قول أبو سعيد الاصطخري أنه لا يصح لأنه تمليك للسيد بعقد فلم يصح القبول فيه من غير إذنه وهل يصح قبول السيد فيه وجهان: أحدهما لا يصح لأن الإيجاب للعبد فلم يصح قبول السيد كالإيجاب في البيع والثاني يصح لأن القبول في الوصية يصح لغير من أوجب له وهو الوارث بخلاف البيع.
Dan wajah kedua — yaitu pendapat Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī — bahwa hal itu tidak sah karena merupakan bentuk pemindahan milik kepada tuan melalui suatu akad, maka tidak sah penerimaannya tanpa izinnya. Lalu apakah sah jika tuan menerima wasiat tersebut? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, tidak sah karena ījāb (penetapan wasiat) ditujukan kepada budak, maka tidak sah penerimaan dari tuannya, sebagaimana ījāb dalam jual beli.
Kedua, sah, karena penerimaan dalam wasiat boleh dilakukan oleh selain orang yang ditujukan ījāb-nya, seperti ahli waris, berbeda dengan jual beli.
فصل: وتجوز الوصية بالمشاع والمقسوم لأنه تمليك جزء من ماله فجاز في المشاع والمقسوم كالبيع ويجوز بالمجهول كالحمل في البطن واللبن في الضرع وعبد من عبيد وبما لا يقدر على تسليمه كالطير الطائر والعبد الآبق لأن الموصى له يخلف الميت في ثلثه كما يخلفه الوارث في ثلثه فلما جاز أن يخلف الوارث الميت في هذه الأشياء جاز أن يخلفه الموصى له فإن وصى بمال الكتابة جاز لما ذكرناه فإن وصى برقبته فهو على القولين في بيعه.
PASAL: Boleh berwasiat dengan harta syuyū‘ (tidak terbagi) maupun yang telah terbagi, karena wasiat adalah pemindahan kepemilikan sebagian hartanya, maka sah dilakukan pada harta syuyū‘ maupun yang telah terbagi sebagaimana jual beli. Dan boleh juga berwasiat dengan sesuatu yang belum diketahui, seperti ḥaml dalam kandungan, susu dalam ambing, seorang budak dari beberapa budak, dan sesuatu yang tidak dapat diserahkan seperti burung yang sedang terbang dan budak yang melarikan diri, karena penerima wasiat menggantikan posisi mayit dalam sepertiga hartanya sebagaimana ahli waris menggantikannya dalam dua pertiga hartanya. Maka ketika ahli waris sah menggantikan mayit dalam hal-hal tersebut, sah pula bagi penerima wasiat. Jika ia berwasiat dengan māl al-kitābah, maka sah sebagaimana yang telah dijelaskan. Jika ia berwasiat dengan raqabah-nya, maka hukumnya mengikuti dua pendapat dalam masalah menjual budak mukātab.
فصل: فإن وصى بما تحمله الجارية أو الشجرة صحت الوصية لأن المعدوم يجوز أن يملك بالسلم والمساقاة فجاز أن يملك بالوصية ومن أصحابنا من قال: إذا قلنا إن الإعتبار بحال الوصية لم تصح لأنه لا يملك في الحال ما وصى به.
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan apa yang akan dikandung oleh seorang jāriyah atau yang akan dihasilkan oleh pohon, maka wasiatnya sah karena sesuatu yang belum ada (ma‘dūm) boleh dimiliki melalui akad salam dan musāqāt, maka boleh juga dimiliki melalui wasiat. Namun sebagian dari kalangan kami berkata: jika kami mengatakan bahwa yang menjadi patokan adalah keadaan saat wasiat dibuat, maka wasiat tidak sah karena pada saat itu ia belum memiliki apa yang diwasiatkan.
فصل: وتجوز الوصية بالمنافع لأنها كالأعيان في الملك بالعقد والإرث فكانت كالأعيان في الوصية ويجوز بالعين دون المنفعة وبالعين لواحد وبالمنفعة لآخر لأن المنفعة والعين كالعين فجاز فيهما ما جاز في العينين ويجوز بمنفعة مقدرة بالمدة وبمنفعة مؤبدة لأن المقدرة كالعين المعلومة والمؤبدة كالعين المجهولة فصحت الوصية بالجميع.
PASAL: Boleh berwasiat dengan manfaat karena manfaat seperti ‘ayn dalam hal kepemilikan melalui akad dan warisan, maka manfaat disamakan dengan ‘ayn dalam wasiat. Boleh juga berwasiat dengan ‘ayn tanpa manfaatnya, dan dengan ‘ayn kepada satu orang serta manfaatnya kepada orang lain, karena manfaat dan ‘ayn seperti dua ‘ayn, maka sah padanya apa yang sah pada dua ‘ayn. Dan boleh berwasiat dengan manfaat yang ditentukan waktunya maupun manfaat yang bersifat terus-menerus, karena manfaat yang ditentukan seperti ‘ayn yang diketahui, dan yang terus-menerus seperti ‘ayn yang tidak diketahui, maka sah wasiat dengan keduanya.
فصل: وتجوز الوصية بما يجوز الإنتفاع به من النجاسات كالسماد والزيت النجس والكلب وجلد الميتة لأنه يحل اقتناؤها للإنتفاع بها فجاز نقل اليد فيها بالوصية ولا يجوز بما لا يحل الإنتفاع به كالخمر والخنزير والكلب العقور لأنه لا يحل الإنتفاع ولا تقر اليد عليها فلم تجز الوصية بها.
PASAL: Boleh berwasiat dengan sesuatu yang boleh diambil manfaatnya dari benda najis seperti pupuk, minyak najis, anjing, dan kulit bangkai, karena boleh memilikinya untuk diambil manfaatnya, maka boleh pula memindahkan kepemilikan atasnya melalui wasiat. Dan tidak boleh berwasiat dengan sesuatu yang tidak halal dimanfaatkan seperti khamr, babi, dan anjing galak, karena tidak halal dimanfaatkan dan tidak dibenarkan kepemilikan atasnya, maka tidak sah wasiat dengannya.
فصل: ويجوز تعليق الوصية على شرط في الحياة لأنها تجوز في المجهول فجاز تعليقها بالشرط كالطلاق والعتاق ويجوز تعليقها على شرط بعد الموت لأن ما بعد الموت في الوصية كحال الحياة إذا جاز تعليقها على شرط في الحياة جاز بعد الموت.
PASAL: Boleh menggantungkan wasiat dengan syarat selama masih hidup, karena wasiat dibolehkan pada sesuatu yang belum jelas, maka sah pula digantungkan dengan syarat sebagaimana ṭalāq dan ‘itq. Dan boleh juga menggantungkan wasiat dengan syarat setelah kematian, karena apa yang terjadi setelah kematian dalam wasiat seperti halnya kondisi ketika hidup. Jika sah digantungkan dengan syarat saat hidup, maka sah pula setelah kematian.
فصل: وإن كانت الوصية لغير معين كالفقراء لزمت بالموت لأنه لا يمكن اعتبار القبول فلم يعتبر وإن كانت لمعين لم تلزم إلا بالقبول لأنه تمليك لمعين فلم يلزم من غير قبول كالبيع ولا يصح القبول إلا بعد الموت لأن الإيجاب بعد الموت فكان القبول بعده فإن قبل حكم له بالملك وفي وقت الملك قولان منصوصان: أحدهما تملك بالموت والقبول لأنه تمليك يفتقر إلى القبول فلم يقع الملك قبله كالهبة
PASAL: Jika wasiat ditujukan kepada pihak yang tidak tertentu seperti fuqarā’, maka wasiat menjadi wajib dengan kematian, karena tidak memungkinkan mempertimbangkan adanya penerimaan (qabūl), maka tidak disyaratkan penerimaan. Namun jika ditujukan kepada pihak tertentu, maka tidak menjadi wajib kecuali dengan penerimaan, karena itu adalah pemberian kepada pihak tertentu, maka tidak wajib tanpa penerimaan seperti halnya jual beli. Dan tidak sah penerimaan kecuali setelah kematian, karena ījāb-nya terjadi setelah kematian, maka qabūl-nya pun harus setelahnya. Jika ia menerima, maka ia dinyatakan memiliki. Adapun waktu kepemilikannya, terdapat dua qawl yang manṣūṣ:
Pertama, ia menjadi milik sejak kematian dan penerimaan, karena itu adalah pemindahan milik yang bergantung pada penerimaan, maka tidak terjadi kepemilikan sebelumnya seperti hibah.
والثاني أنه موقوف فإن قبل حكمنا بأنه ملك من حين الموت لأنه لا يجوز أن يكون للموصي لأن الميت لا يملك ولا يجوز أن يكون للوارث لأن الوارث لا يملك إلا بعد الدين والوصية ولا يجوز أن يكون للموصي له لأنه لو انتقل إليه لم يملك رده كالميراث فثبت أنه موقوف وروى ابن عبد الحكم قولاً ثالثاً أنه يملك بالموت ووجهه أنه مال مستحق بالموت فانتقل به كالميراث.
Dan pendapat kedua adalah bahwa wasiat tersebut berstatus mauqūf (tertunda); jika ia menerima, maka diputuskan bahwa ia memilikinya sejak waktu kematian, karena tidak mungkin kepemilikannya tetap pada orang yang berwasiat, sebab orang yang telah meninggal tidak memiliki. Dan tidak mungkin juga menjadi milik ahli waris, karena ahli waris tidak memiliki kecuali setelah pelunasan utang dan pelaksanaan wasiat. Dan tidak mungkin pula menjadi milik penerima wasiat, karena jika harta itu telah berpindah kepadanya, tentu ia tidak bisa menolaknya seperti halnya warisan. Maka tetaplah bahwa statusnya mauqūf.
Dan Ibn ‘Abd al-Ḥakam meriwayatkan qawl ketiga, bahwa kepemilikan terjadi sejak kematian, dan alasannya adalah bahwa harta itu telah ditetapkan sebagai hak yang diperoleh karena kematian, maka berpindah sebab kematian seperti warisan.
فصل: وإن رد نظرت فإن كان في حياة الوصي لم يصح الرد لأنه لا حق له في حياته فلم يملك إسقاطه كالشفيع إذا عفا عن الشفعة قبل البيع وإن رد بعد الموت وقبل القبول صح الرد لأنه يثبت له الحق فملك إسقاطه كالشفيع إذا عفا عن الشفعة بعد البيع وإن رد بعد القبول وقبل القبض ففيه وجهان: أحدهما لا يصح الرد لأنه ملكه ملكاً تاماً فلم يصح رده كما لو قبضه والثاني أنه يصح الرد وهو المنصوص لأنه تمليك من جهة الآدمي من غير بدل فصح رده قبل القبض كالوقف وإن لم يقبل ولم يرد كان للورثة المطالبة بالقبول أو الرد فإن امتنع القبول والرد حكم عليه بالرد لأن الملك متردد بينه وبين الورثة كما لو تحجز أرضاً فامتنع عن إحيائها أوقف في مشرعة ماء فلم يأخذ ولم ينصرف.
PASAL: Jika ia menolak (wasiat), maka perlu dilihat: jika penolakan dilakukan saat pewasiat masih hidup, maka penolakan itu tidak sah karena ia belum memiliki hak saat pewasiat masih hidup, sehingga tidak sah menggugurkannya, sebagaimana syafī‘ yang menggugurkan hak syuf‘ah sebelum terjadi jual beli. Namun jika ia menolak setelah kematian pewasiat dan sebelum menerima wasiat, maka penolakan itu sah, karena hak telah tetap baginya, sehingga ia memiliki hak untuk menggugurkannya, sebagaimana syafī‘ yang menggugurkan hak syuf‘ah setelah terjadi jual beli.
Jika ia menolak setelah menerima wasiat namun sebelum menerima barangnya, maka ada dua pendapat: pendapat pertama menyatakan penolakannya tidak sah karena ia telah memilikinya dengan kepemilikan sempurna, sehingga tidak sah menolaknya seperti halnya setelah menerima barang. Pendapat kedua menyatakan penolakannya sah, dan ini adalah pendapat yang manshūsh, karena wasiat adalah pemindahan hak dari pihak manusia tanpa imbalan, maka sah untuk menolaknya sebelum menerima barang, seperti dalam wakaf.
Jika ia tidak menerima dan tidak pula menolak, maka ahli waris berhak menuntut agar ia memilih antara menerima atau menolak. Jika ia enggan memilih, maka ditetapkan hukum penolakan baginya, karena kepemilikan berada dalam keadaan tergantung antara dia dan para ahli waris, seperti halnya seseorang yang memagari sebidang tanah namun enggan menghidupkannya, lalu dijadikan sebagai jalan air, namun ia tidak mengambil dan tidak pula berpaling.
فصل: وإن مات الموصى له قبل موت الموصي بطلب الوصية ولا يقوم وارثه مقامه إن مات قبل إستحقاق الوصية وإن مات بعد موته وقبل القبول قام وارثه مقامه في القبول والرد لأنه خيار ثابت في تملك المال فقام الوارث مقامه كخيار الشفعة.
PASAL: Jika penerima wasiat wafat sebelum wafatnya orang yang berwasiat, maka gugurlah wasiat tersebut, dan ahli warisnya tidak menggantikannya jika ia wafat sebelum berhak menerima wasiat. Namun jika ia wafat setelah wafatnya orang yang berwasiat dan sebelum menyatakan penerimaan, maka ahli warisnya menggantikannya dalam hal menerima atau menolak wasiat, karena itu merupakan hak memilih dalam kepemilikan harta, maka ahli waris menggantikannya sebagaimana hak memilih dalam syuf‘ah.
باب ما يعتبر من الثلث
ما وصى به من التبرعات كالعتق والهبة والصدقة والمحاباة في البيع يعتبر من الثلث سواء كانت في حال الصحة أو في حال المرض أو بعضها في الصحة وبعضها في المرض لأن لزوم الجميع عند الموت فأما الواجبات من ديون الآدميين وحقوق الله تعالى كالحج والزكاة فإنه إن لم يوص بها وجب قضاؤها من رأس المال دون الثلث لأنه إنما منع من الزيادة على الثلث لحق الورثة ولا حق للورثة مع الديون فلم تعتبر من الثلث وإن وصى أن يؤدي ذلك من الثلث اعتبر من الثلث
BAB APA SAJA YANG DIPERTIMBANGKAN DARI SEPERTIGA
Apa yang diwasiatkan berupa tabarru‘āt seperti ‘itq, hibah, sedekah, dan muḥābāh dalam jual beli, maka diperhitungkan dari sepertiga harta, baik dilakukan saat sehat, sakit, atau sebagian dilakukan saat sehat dan sebagian saat sakit, karena semuanya baru menjadi mengikat ketika wafat. Adapun kewajiban seperti utang terhadap sesama manusia dan hak-hak Allah Ta‘ala seperti haji dan zakat, maka jika tidak diwasiatkan, wajib ditunaikan dari harta pokok (bukan dari sepertiga), karena larangan melebihkan dari sepertiga adalah demi menjaga hak ahli waris, sedangkan tidak ada hak bagi ahli waris selama masih ada utang. Maka tidak diperhitungkan dari sepertiga. Namun jika ia mewasiatkan agar itu dibayarkan dari sepertiga, maka hal itu diperhitungkan dari sepertiga.
لأنها في الأصل من رأس المال فلما جعلها من الثلث علم أنها قصد التوفير على الورثة فاعتبرت من الثلث وإن وصى بها ولم يقل أنها من الثلث ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه تعتبر من الثلث وهو ظاهر النص لأنها من رأس المال فلما وصى بها علم أنه قصد أن يجعلها من جملة الوصايا فجعل سبيلها سبيل الوصايا والثاني هو قول أبي علي بن أبي هريرة إنه إن لم يفرق بها ما يعتبر من الثلث اعتبر من رأس المال وإن قرن بها ما يعتبر من الثلث اعتبر من الثلث
Karena pada asalnya (kewajiban tersebut) dibayarkan dari harta pokok, maka ketika ia menjadikannya dari sepertiga, diketahui bahwa maksudnya adalah menghemat untuk para ahli waris, maka diperhitungkan dari sepertiga. Dan jika ia berwasiat agar hal itu dilaksanakan tanpa menyebut bahwa itu dari sepertiga, maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, diperhitungkan dari sepertiga, dan ini adalah makna yang tampak dari naṣ, karena hal itu seharusnya dari harta pokok, maka ketika ia berwasiat dengannya, diketahui bahwa ia bermaksud menjadikannya sebagai bagian dari wasiat-wasiat, maka hukumnya disamakan dengan wasiat lainnya.
Kedua, merupakan pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, yaitu: jika ia tidak menyandingkannya dengan sesuatu yang diperhitungkan dari sepertiga, maka dihitung dari harta pokok; namun jika ia menyandingkannya dengan sesuatu yang diperhitungkan dari sepertiga, maka dihitung dari sepertiga.
لأنها في الأصل من رأس المال فإذا عريت عن القرينة بقيت على أصلها وإن قرن بها ما يعتبر من الثلث علم أنه قصد أن يكون مصرفهما واحداً والثالث أنه تعتبر من رأس المال وهو الصحيح لأنها في الأصل من رأس المال والوصية بها تقتضي التأكيد والتذكار بها والقرينة تقتضي التسوية بينهما في الفعل لا في السبيل فبقيت على أصلها.
Karena pada asalnya (kewajiban tersebut) dibayarkan dari harta pokok, maka apabila tidak disertai dengan qarinah, tetap pada hukum asalnya. Dan apabila disandingkan dengan sesuatu yang diperhitungkan dari sepertiga, maka diketahui bahwa maksudnya adalah agar keduanya memiliki tempat pengeluaran yang sama.
Pendapat ketiga adalah: dihitung dari harta pokok, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena pada asalnya ia berasal dari harta pokok, dan wasiat terhadapnya hanya menunjukkan penguatan dan pengingat. Sedangkan qarīnah hanya menunjukkan kesamaan dalam perbuatan, bukan dalam sumber pengeluaran, maka tetaplah ia pada hukum asalnya.
فصل: وأما ما تبرع به في حياته ينظر فيه فإن كان في حال الصحة لم يعتبر من الثلث لأنه مطلق التصرف في ماله لا حق لأحد في ماله فاعتبر من رأس المال وإن كان ذلك في مرض غير مخوف لم يعتبر من الثلث لأن الإنسان لا يخلو من عوارض فكان حكمه حكم الصحيح وإن كان ذلك في مرض مخوف واتصل به الموت اعتبر من الثلث
PASAL: Adapun apa yang disedekahkan seseorang pada masa hidupnya, maka dilihat keadaannya. Jika dilakukan dalam keadaan sehat, maka tidak dianggap dari sepertiga (harta), karena ia bebas sepenuhnya dalam mengelola hartanya dan tidak ada hak bagi orang lain atas hartanya, maka dianggap dari harta pokok. Jika dilakukan dalam keadaan sakit yang tidak membahayakan, maka tidak dianggap dari sepertiga, karena manusia tidak lepas dari gangguan-gangguan ringan, maka hukumnya seperti orang sehat. Namun jika dilakukan dalam keadaan sakit yang membahayakan dan disertai dengan kematian, maka dianggap dari sepertiga.
لما روى عمران بن الحصين أن رجلاً أعتق ستة أعبد له عند موته لم يكن له مال غيرهم فبلغ ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال للرجل قولاً شديداً ثم دعاهم فجزأهم فأقرع بينهم فأعتق اثنين وأرق أربعة ولأنه في هذه الحالة لا يأمن الموت فجعل كحال الموت وإن برئ من المرض لم يعتبر من الثلث لأنه قد بان أنه لم يكن في ماله حق أحد وإن وهب في الصحة وأقبض في المرض اعتبر من الثلث لأنه لم يلزم إلا بالقبض وقد وجد ذلك منه في المرض.
Karena telah diriwayatkan dari ‘Imrān bin Ḥuṣain bahwa seorang laki-laki memerdekakan enam orang budaknya ketika hendak wafat, dan ia tidak memiliki harta selain mereka. Maka hal itu sampai kepada Rasulullah SAW, lalu beliau berkata dengan ucapan yang keras kepada laki-laki tersebut, kemudian memanggil para budak itu dan membaginya, lalu mengundi di antara mereka, maka beliau memerdekakan dua orang dan memperbudak empat orang. Hal ini karena dalam keadaan seperti itu, ia tidak merasa aman dari kematian, maka diposisikan seperti keadaan menjelang wafat. Namun jika ia sembuh dari sakitnya, maka tidak dianggap dari sepertiga, karena telah nyata bahwa tidak ada hak orang lain dalam hartanya. Dan jika ia memberi hibah dalam keadaan sehat namun menyerahkannya (kepada penerima) dalam keadaan sakit, maka dianggap dari sepertiga karena hibah tidak menjadi mengikat kecuali dengan penyerahan, dan itu terjadi darinya ketika dalam keadaan sakit.
فصل: وإن باع في المرض بثمن المثل أو تزوج امرأة بمهر المثل صح العقد ولم يعتبر العوض من الثلث لأنه ليس بوصية لأن الوصية أن يخرج مالاً من غير عوض ولم يخرج ههنا شيئاً من غير عوض وإن كاتب عبداً اعتبر من الثلث لأن ما يأخذ من العوض من كسب عبده وهو مال له فيصير كالعتق بغير عوض وإن وهب له من يعتق عليه في المرض المخوف فقبله اعتبر عتقه من الثلث فإذا مات لم يرثه وقال أبو العباس: يعتبر عتقه من رأس المال ويرثه لأنه ليس بوصية لأنه لم يخرج من ملكه شيئاً بغير عوض والمذهب الأول لأنه ملكه بالقبول وعتق عليه والعتق في المرض وصية والميراث والوصية لا يجتمعان فلو ورثناه بطل عتقه وإذا بطل العتق بطل الإرث فأثبتنا وأبطلنا الإرث.
PASAL: Jika seseorang menjual (sesuatu) dalam keadaan sakit dengan harga sepadan atau menikahi seorang perempuan dengan mahar sepadan, maka akadnya sah dan imbalannya tidak diperhitungkan dari sepertiga harta, karena hal itu bukan wasiat. Sebab wasiat adalah mengeluarkan harta tanpa imbalan, sedangkan dalam hal ini tidak ada harta yang dikeluarkan tanpa imbalan.
Jika ia mukatab seorang budak, maka itu diperhitungkan dari sepertiga harta, karena imbalan yang diterima berasal dari usaha budaknya, dan itu termasuk hartanya; maka hukumnya seperti memerdekakan tanpa imbalan.
Jika ia memberi hibah dalam keadaan sakit yang mengkhawatirkan kepada seseorang yang jika menjadi miliknya maka otomatis merdeka (ya’tiqu ‘alaihi), lalu hibah itu diterima, maka kemerdekaannya diperhitungkan dari sepertiga harta. Maka jika ia wafat, orang yang dimerdekakan itu tidak mewarisinya.
Abu al-‘Abbās berkata: kemerdekaannya diperhitungkan dari pokok harta (bukan sepertiga) dan ia mewarisinya, karena itu bukan wasiat. Sebab ia tidak mengeluarkan hartanya tanpa imbalan.
Namun, mazhab yang kuat adalah pendapat pertama, karena ia memilikinya dengan penerimaan, lalu ia otomatis merdeka, dan memerdekakan saat sakit adalah wasiat. Padahal warisan dan wasiat tidak bisa berkumpul. Maka jika kita tetapkan ia mewarisi, gugurlah kemerdekaannya, dan jika gugur kemerdekaannya, gugurlah hak warisnya. Maka kita tetapkan kemerdekaannya dan gugurkan hak warisnya.
فصل: والمرض المخوف كالطاعون والقولنج وذات الجنب والرعاف الدائم والإسهال المتواتر وقيام الدم والسل في انتهائه والفالج الحادث في ابتدائه والحمى المطبقة لأن هذه الأمراض لا يؤمن معها معاجلة الموت فجعل كحال الموت فأما غير المخوف فهو كالجرب ووجع الضرس والصداع اليسير وحمى يوم أو يومين وإسهال يوم أو يومين من غير دم والسل قبل انتهائه والفالج إذا طال لأن هذه الأمراض يؤمن معها معاجلة الموت فإذا اتصل بها الموت علم أنه لم يكن موته من هذه الأمراض وإن أشكل شيء من هذه الأمراض رجع إلى نفسين من أطباء المسلمين ولا يقبل فيه قول الكافر وإن ضرب الحامل الطلق فهو مخوف لأنه يخاف منه الموت وفيه قول آخر أنه غير مخوف لأن السلامة منه أكثر.
PASAL: Penyakit yang membahayakan (menakutkan) seperti ṭā‘ūn (wabah), al-qawlanj (radang usus besar), dhāt al-janb (radang selaput dada), mimisan yang terus-menerus, diare yang berulang-ulang, muntah darah, as-sul (tuberkulosis) pada tahap akhir, dan al-fālij (kelumpuhan) pada tahap awal, serta demam terus-menerus, karena penyakit-penyakit ini tidak aman dari kematian yang mendadak, maka dianggap seperti keadaan menjelang wafat.
Adapun penyakit yang tidak membahayakan seperti kudis, sakit gigi, sakit kepala ringan, demam sehari atau dua hari, diare sehari atau dua hari tanpa disertai darah, as-sul sebelum mencapai tahap akhir, dan al-fālij jika telah berlangsung lama, maka penyakit-penyakit ini aman dari kematian mendadak. Maka jika kematian terjadi setelahnya, diketahui bahwa kematiannya bukan karena penyakit-penyakit tersebut.
Jika ada keraguan mengenai suatu penyakit, maka dikembalikan kepada dua orang dokter Muslim, dan tidak diterima pendapat orang kafir. Jika seorang wanita hamil mulai merasakan sakit melahirkan, maka itu dianggap membahayakan karena dikhawatirkan menyebabkan kematian. Namun ada pendapat lain bahwa itu tidak membahayakan karena keselamatan darinya lebih sering terjadi.
فصل: وإن كان في الحرب وقد التحمت طائفتان متكافئتان أو كان في البحر وتموج أو في أسر كفار يرون قتل الأسارى أو قدم للقتل في المحاربة أو الرجم في الزنا ففيه قولان: أحدهما أنه كالمرض المخوف يعتبر تبرعاته فيه من الثلث لأنه لا يأمن الموت كما لا يأمن في المرض المخوف والثاني أنه كالصحيح لأنه لم يحدث في جسمه ما يخاف منه الموت فإن قدم القتل القصاص فالمنصوص أنه لا تعتبر من الثلث ما لم يجرح واختلف أصحابنا فيه على طريقين فقال أبو إسحاق: هي على قولين قياساً على الأسير في يد كفار يرون قتل الأسارى ومن أصحابنا من قال: لا تعتبر عطيته من الثلث لأنه غير مخوف لأن الغالب من حال المسلم أنه إذا قدر رحم وعفا فصار كالأسير في يد من لا يرى قتل الأسارى.
PASAL: Jika seseorang berada dalam peperangan dan dua kelompok yang bertempur seimbang telah saling menyerang dengan sengit, atau berada di laut yang ombaknya mengganas, atau dalam tawanan orang-orang kafir yang biasanya membunuh para tawanan, atau telah dihadapkan untuk dibunuh dalam peperangan, atau dirajam karena zina, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama, keadaannya seperti orang yang sakit parah, sehingga pemberian sukarelanya diperhitungkan dari sepertiga harta, karena ia tidak merasa aman dari kematian sebagaimana halnya orang yang sakit parah.
Pendapat kedua, keadaannya seperti orang sehat, karena belum terjadi sesuatu pada tubuhnya yang dikhawatirkan menyebabkan kematian.
Jika ia dihadapkan pada hukuman qishāsh, maka pendapat yang manshūsh (tegas dinyatakan) adalah: pemberiannya tidak diperhitungkan dari sepertiga harta selama belum terluka. Para ashhāb kami berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua jalur:
Abū Ishāq berkata: hal itu dikembalikan pada dua pendapat, dengan qiyās kepada orang yang ditawan oleh orang kafir yang biasanya membunuh para tawanan.
Dan sebagian dari ashhāb kami berkata: pemberiannya tidak diperhitungkan dari sepertiga harta karena tidak dianggap sebagai kondisi yang menakutkan, sebab kebiasaan umum terhadap seorang Muslim adalah apabila ia sudah dikuasai, maka akan diberi maaf dan pengampunan, sehingga keadaannya seperti tawanan di tangan orang-orang yang tidak biasa membunuh para tawanan.
فصل: وإن عجز الثلث عن التبرعات لم يخلو إما أن يكون في التبرعات المنجزة في المرض أو في الوصايا فإن كان في التبرعات المنجزة في المرض فإن كانت في وقت واحد نظرت فإن كانت في هبات أو محاباة قسم الثلث بين الجميع لتساويهما في اللزوم فإن كانت متفاضلة المقدار قسم الثلث عليها على التفاضل وإن كانت متساوية قسم بينها على التساوي كما يفعل في الديون وإن كان عتقاً في عبيد أقرع بينهم
PASAL: Dan jika sepertiga tidak mencukupi untuk menutupi tabarru‘āt, maka tidak lepas dari dua keadaan: bisa jadi pada tabarru‘āt yang ditunaikan dalam sakit, atau pada wasiat. Jika pada tabarru‘āt yang ditunaikan dalam sakit, maka jika terjadi dalam satu waktu dilihat, bila berupa hibah atau muḥābāh maka dibagi sepertiga itu di antara semuanya karena keduanya sama dalam kelaziman. Jika berbeda jumlahnya maka dibagi sepertiga itu sesuai perbedaan kadar, dan jika sama maka dibagi secara merata sebagaimana dilakukan dalam pembagian utang. Dan jika berupa pemerdekaan pada beberapa hamba, maka diundi di antara mereka.
لما ذكرناه من حديث عمران بن الحصين ولأن القصد من العتق تكميل الأحكام ولا يحصل ذلك إلا بما ذكرناه فإن وقعت متفرقة قدم الأول فالأول عتقاً كان أو غيره لأن الأول سبق فاستحق به الثلث فلم يجز إسقاطه بما بعده فإن كان له عبدان سالم وغانم فقال لسالم: إن أعتقت غانماً فأنت حر ثم أعتق غانماً قدم عتق غانم لأن عتقه سابق فإن قال إن أعتقت غانماً فأنت حر حال عتق غانم ثم أعتق غانماً فقد قال بعض أصحابنا يعتق غانم لأن عتقه غير متعلق بعتق غيره وعتق سالم متعلق بعتق غيره
Sebagaimana yang telah kami sebutkan dari hadis ‘Imrān bin Ḥuṣain, dan karena maksud dari ‘itq adalah menyempurnakan hukum-hukum, dan hal itu tidak terwujud kecuali dengan apa yang kami sebutkan. Jika dilakukan secara terpisah, maka didahulukan yang pertama demi yang pertama, baik berupa ‘itq atau selainnya, karena yang pertama telah mendahului sehingga berhak dengan sepertiga, maka tidak boleh digugurkan dengan apa yang sesudahnya. Jika ia mempunyai dua hamba: Sālim dan Ghānim, lalu ia berkata kepada Sālim: “Jika aku memerdekakan Ghānim maka engkau merdeka,” kemudian ia memerdekakan Ghānim, maka didahulukan ‘itq Ghānim karena kemerdekaannya lebih dahulu. Jika ia berkata: “Jika aku memerdekakan Ghānim maka engkau merdeka bersamaan dengan ‘itq Ghānim,” kemudian ia memerdekakan Ghānim, maka sebagian sahabat kami berkata: Ghānim merdeka, karena ‘itq-nya tidak bergantung pada ‘itq yang lain, sedangkan ‘itq Sālim bergantung pada ‘itq yang lain.
فإذا أعتقناهما في وقت واحد احتجنا أن نقرع بينهما فربما خرجت القرعة على سالم فيبطل عتق غانم وإذا بطل عتقه بطل عتق سالم فيؤدي إثباته إلى نفيه فسقط ويبقى عتق غانم لأنه أصل ويحتمل عندي أنه لا يعتق واحد منهما لأنه جعل عتقهما في وقت واحد ولا يمكن أن نقرع بينهما لما ذكرناه ولا يمكن تقديم عتق أحدهما لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر بالسبق فوجب أن يسقطا وإن كانت التبرعات وصايا وعجز الثلث عنها لم يقدم بعضها على بعض بالسبق لأن ما تقدم وما تأخر يلزم في وقت واحد وهو بعد الموت
Maka apabila kita memerdekakan keduanya dalam satu waktu, kita membutuhkan undian di antara keduanya. Mungkin saja undian jatuh pada Sālim, sehingga batal ‘itq Ghānim. Dan apabila batal kemerdekaannya, maka batal pula ‘itq Sālim. Maka hal itu menyebabkan penetapan berujung pada penafian, sehingga gugur dan tersisa ‘itq Ghānim karena ia asal. Dan menurutku mungkin juga tidak ada satu pun dari keduanya yang merdeka, karena ia menjadikan kemerdekaan keduanya dalam satu waktu, dan tidak mungkin dilakukan undian di antara keduanya sebagaimana yang telah kami sebutkan, dan tidak mungkin mendahulukan kemerdekaan salah satunya karena tidak ada kelebihan salah satu atas yang lain dengan sebab mendahului, maka wajiblah keduanya gugur.
Dan jika tabarru‘āt itu berupa wasiat, lalu sepertiga tidak mencukupi untuk menutupinya, maka tidak boleh didahulukan sebagian atas sebagian yang lain dengan sebab mendahului, karena yang lebih dahulu dan yang belakangan keduanya wajib dalam satu waktu, yaitu setelah kematian.
فإن كانت كلها هبات أو كلها محاباة أو بعضها هبات وبعضها محاباة قسم الثلث بين الجميع على التفاضل إن تفاضلت وعلى التساوي إن تساوت وإن كان الجميع عتقاً أقرع بين العبيد لما ذكرناه في القسم قبله وإن كان بعضها عتقاً وبعضها محاباة أو هبات ففيه قولان: أحدهما أن الثلث يقسم بين الجميع لأن الجميع يعتبر من الثلث ويلزم في وقت واحد والثاني يقدم العتق بما له من القوة وإن كان بعضها كتابة وبعضها هبات ففيه طريقان: أحدهما أنه لا تقدم الكتابة لأنه ليس له قوة وسراية فلم تقدم كالهبات والثاني أنها على قولين لأنها تتضمن العتق فكانت كالعتق.
Maka jika semuanya hibah, atau semuanya muḥābāh, atau sebagian hibah dan sebagian muḥābāh, maka sepertiga dibagi di antara semuanya sesuai perbedaan kadar bila berbeda, dan secara merata bila sama. Jika semuanya ‘itq, maka diundi di antara para hamba sebagaimana yang telah kami sebutkan pada bagian sebelumnya. Jika sebagian ‘itq dan sebagian muḥābāh atau hibah, maka terdapat dua qaul: yang pertama, sepertiga dibagi di antara semuanya karena semuanya dihitung dari sepertiga dan wajib dalam satu waktu. Yang kedua, ‘itq didahulukan karena memiliki kekuatan. Jika sebagian berupa kitābah dan sebagian hibah, maka ada dua ṭarīq: yang pertama, kitābah tidak didahulukan karena ia tidak memiliki kekuatan dan tidak ada sarāyah, maka tidak didahulukan seperti hibah. Yang kedua, ia pada dua qaul, karena kitābah mengandung makna ‘itq, maka ia seperti ‘itq.
فصل: وإن وصى أن يحج عنه حجة الإسلام من الثلث أو يقضى دينه من الثلث وصى معها بتبرعات ففيه وجهان: أحدهما يسقط الثلث على الجميع لأن الجميع يعتبر من الثلث فإن كان ما يخص الحج أو الدين من الثلث لا يكفي تمم من رأس المال لأنه في الأصل من رأس المال وإنما اعتبر من الثلث بالوصية فإذا عجز الثلث عنه وجب أن يتمم من أصل المال والثاني يقدم الحج والدين لأنه واجب ثم يصرف ما فضل في الوصايا.
PASAL: Dan jika ia berwasiat agar dihajikan darinya ḥajjat al-islām dari sepertiga, atau dilunasi utangnya dari sepertiga, bersamaan dengan wasiat untuk tabarru‘āt, maka ada dua wajah: yang pertama, sepertiga dibagi pada semuanya karena semuanya dianggap dari sepertiga. Jika bagian yang khusus untuk haji atau utang dari sepertiga tidak mencukupi, maka ditambah dari pokok harta karena asalnya memang dari pokok harta, hanya saja diperhitungkan dari sepertiga karena wasiat. Maka ketika sepertiga tidak mencukupi, wajib disempurnakan dari pokok harta. Yang kedua, haji dan utang didahulukan karena keduanya wajib, kemudian sisanya dipergunakan untuk wasiat-wasiat lainnya.
فصل: وإن وصى لرجل بمال وله مال حاضر ومال غائب أو له عين ودين دفع إلى الموصى له ثلث الحاضر وثلث العين وإلى الورثة الثلثان وكل ما حضر من الغائب أو نض من الدين شيء قسم بين الورثة والموصى له لأن الموصى له شريك الورثة بالثلث فصار كالشريك في المال وإن وصى لرجل بمائة دينار وله مائة حاضرة وله ألف غائبة فللموصى له ثلث الحاضر ويوقف الثلثان لأن الموصى له شريك الوارث في المال فصار كالشريك في المال وإن أراد الموصى له التصرف في ثلث المائة الحاضرة ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأن الوصية في ثلث الحاضرة ماضية فمكن من التصرف فيه
PASAL: Jika seseorang berwasiat kepada seorang lelaki dengan harta, sementara ia memiliki harta yang hadir dan harta yang ghaib, atau ia memiliki barang dan piutang, maka diberikan kepada orang yang diwasiati sepertiga dari harta yang hadir dan sepertiga dari barang, dan dua pertiganya kepada para ahli waris. Dan setiap harta ghaib yang datang atau piutang yang cair dibagi antara para ahli waris dan orang yang diwasiati, karena orang yang diwasiati adalah sekutu para ahli waris dalam sepertiga harta, maka kedudukannya seperti sekutu dalam harta. Dan jika seseorang berwasiat kepada seorang lelaki sebanyak seratus dinar, sedangkan ia memiliki seratus dinar yang hadir dan seribu dinar yang ghaib, maka orang yang diwasiati berhak atas sepertiga dari yang hadir, dan dua pertiganya ditahan, karena orang yang diwasiati adalah sekutu ahli waris dalam harta, maka ia seperti sekutu dalam harta. Dan jika orang yang diwasiati ingin melakukan transaksi atas sepertiga dari seratus dinar yang hadir, maka ada dua pendapat: salah satunya membolehkan karena wasiat atas sepertiga dari yang hadir telah sah, maka ia dibolehkan melakukan transaksi atasnya.
والثاني لا يجوز لأنا منعنا الورثة من التصرف في الثلثين الموقوفين فوجب أن نمنع الموصى له من التصرف في الثلث وإن دبر عبداً قيمته مائة وله مائتان غائبة ففيه وجهان: أحدهما يعتق ثلث العبد لأنه عتق ثلثه مستحق بكل حال والثاني وهو ظاهر المذهب إلى أنه لا يعتق لأنا لو أعتقنا الثلث حصل للموصى له الثلث ولم يحصل للورثة مثلاه وهذا لا يجوز.
dan yang kedua: tidak boleh, karena kami telah melarang para ahli waris untuk melakukan transaksi terhadap dua pertiga harta yang ditangguhkan, maka wajib juga melarang pihak yang diberi wasiat untuk melakukan transaksi terhadap sepertiga harta.
Jika seseorang menetapkan pembebasan budak (dengan tadbīr) terhadap seorang budak yang nilainya seratus, sementara ia memiliki dua ratus (dinar) yang masih belum ada (belum hadir), maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, sepertiga budak itu merdeka, karena pembebasan terhadap sepertiga budak itu tetap sah dalam segala keadaan.
Kedua, dan ini yang merupakan pendapat yang tampak dari mazhab, adalah bahwa budak tersebut tidak merdeka. Karena jika kami membebaskan sepertiganya, maka pihak yang diberi wasiat akan memperoleh sepertiga (harta), sementara para ahli waris tidak memperoleh dua pertiga sisanya, dan ini tidak diperbolehkan.
فصل: وإن وصى له بثلث عبد فاستحق ثلثاه وثلث ماله يحتمل الثلث الباقي من العبد نفذت الوصية فيه على المنصوص وقال أبو ثور وأبو العباس لا تنفذ الوصية إلا في ثلث الباقي كما لو وصى بثلث ماله ثم استحق من ماله الثلثان والمذهب الأول لأن ثلث العبد ملكه وثلث ماله يحتمله فنفذت الوصية فيه كما لو أوصى له بعبد يحتمله الثلث ويخالف هذا إذا أوصى بثلث ماله ثم استحق ثلثاه لأن الوصية هناك بثلث ماله وماله هو الباقي بعد الاستحقاق وليس كذلك ههنا لأنه يملك الباقي وله مال غيره يخرج الباقي من ثلثه.
PASAL: Dan jika ia berwasiat untuk seseorang dengan sepertiga seorang hamba, lalu dua pertiganya ternyata milik orang lain, dan sepertiga hartanya mencukupi untuk menutupi sepertiga hamba yang tersisa, maka wasiatnya berlaku padanya menurut manṣūṣ. Abu Ṯaur dan Abul-‘Abbās berkata: tidak berlaku wasiat kecuali pada sepertiga dari sisa hamba, sebagaimana jika ia berwasiat dengan sepertiga hartanya lalu dua pertiga hartanya ternyata milik orang lain. Namun mazhab yang pertama lebih kuat, karena sepertiga hamba itu adalah miliknya dan sepertiga hartanya mencukupinya, maka wasiat itu berlaku padanya sebagaimana jika ia berwasiat dengan seorang hamba yang ditanggung oleh sepertiga. Hal ini berbeda dengan kasus jika ia berwasiat dengan sepertiga hartanya lalu dua pertiga hartanya ternyata milik orang lain, karena wasiat di sana adalah dengan sepertiga hartanya, dan hartanya adalah sisa setelah terbukti adanya kepemilikan orang lain. Sedangkan di sini ia tetap memiliki bagian yang tersisa dan ia juga memiliki harta lain yang dengannya dapat dikeluarkan sisa sepertiga dari hartanya.
فصل: وإن وصى له بمنفعة عبد سنة ففي اعتبارها من الثلث وجهان: أحدهما يقوم العبد كامل المنفعة ويقوم مسلوب المنفعة في مدة سنة ويعتبر ما بينهما من الثلث والثاني تقوم المنفعة سنة فيعتبر قدرها من الثلث ولا تقوم الرقبة لأن الموصى به هو المنفعة فلا يقوم غيرها وإن وصى له بمنفعة عبد على التأبيد ففي اعتبار منفعته من الثلث ثلاثة أوجه: أحدها تقوم المنفعة في حق الموصى له والرقبة مسلوبة المنفعة في حق الوارث
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan manfaat seorang budak selama satu tahun, maka dalam hal diperhitungkannya manfaat tersebut dari sepertiga harta terdapat dua pendapat:
Pertama, budak tersebut dinilai dengan seluruh manfaatnya, lalu dinilai kembali dalam keadaan tanpa manfaat selama satu tahun, lalu selisih antara keduanya dihitung dari sepertiga harta.
Kedua, manfaat selama satu tahunlah yang dinilai, dan nilai itu yang dihitung dari sepertiga, sedangkan badan (kepemilikan) budak tidak dinilai karena yang diwasiatkan adalah manfaat, bukan kepemilikan.
Dan jika seseorang berwasiat dengan manfaat seorang budak untuk selama-lamanya, maka dalam menghitung manfaat tersebut dari sepertiga harta terdapat tiga pendapat:
Pertama, manfaat dinilai untuk pihak yang menerima wasiat, sedangkan kepemilikan budak dinilai dalam keadaan tanpa manfaat untuk ahli waris.
لأن الموصى له ملك المنفعة والوارث ملك الرقبة وينظر كم قدر التركة مع قيمة الرقبة مساوية المنفعة وينظر قيمة المنفعة فتعتبر من الثلث والثاني تقوم المنفعة في حق الموصى له لأنه ملكها بالوصية ولا تقوم الرقبة في حق الموصى له لأنه لم يملكها ولا في حق الوارث لأنها مسلوبة المنفعة في حقها لا فائدة له فيها فعلى هذا ينظر كم قدر التركة وقيمة المنفعة فتعتبر من الثلث والثالث وهو المنصوص تقوم الرقبة بمنافعها في حق الموصي له لأن المقصود من الرقبة منفعتها فصار كما لو كانت الرقبة له فقومت في حقه وينظر قدر التركة فتعتبر قيمة الرقبة من ثلثه وإن وصى بالرقبة لواحد وبالمنفعة لواحد قومت الرقبة في حق من وصى له بها والمنفعة في حق من وصى له بها لأن كل واحد منهما يملك ما وصى له به فاعتبر قيمتهما من الثلث.
Karena pihak yang diberi wasiat memiliki manfaat, dan ahli waris memiliki kepemilikan (badan budak), maka dilihat berapa jumlah warisan jika nilai kepemilikan sama dengan nilai manfaat, lalu dilihat nilai manfaat tersebut dan diperhitungkan dari sepertiga harta.
Pendapat kedua: manfaat dinilai untuk pihak yang diberi wasiat karena ia memilikinya melalui wasiat, sedangkan kepemilikan tidak dinilai untuk pihak yang diberi wasiat karena ia tidak memilikinya, dan tidak pula untuk ahli waris karena kepemilikan itu tidak bermanfaat baginya sebab manfaatnya telah hilang, sehingga dalam hal ini dilihat berapa nilai warisan dan nilai manfaat lalu diperhitungkan dari sepertiga.
Pendapat ketiga, dan ini yang dinyatakan dalam nash: kepemilikan dinilai beserta manfaatnya untuk pihak yang diberi wasiat, karena tujuan dari kepemilikan adalah manfaatnya, sehingga seolah-olah ia memiliki badan budak tersebut, lalu dinilai dalam haknya dan diperhitungkan dari sepertiga.
Jika ia berwasiat dengan kepemilikan untuk seseorang dan manfaat untuk orang lain, maka kepemilikan dinilai untuk orang yang diberi kepemilikan dan manfaat dinilai untuk orang yang diberi manfaat, karena masing-masing dari mereka memiliki sesuatu yang diwasiatkan kepadanya, maka nilai keduanya diperhitungkan dari sepertiga.
فصل: وإن وصى له بثمرة بستانه فإن كانت موجودة اعتبرت قيمتها من الثلث وإن لم تخلق فإن كانت على التأبيد ففي التقويم وجهان: أحدهما يقوم جميع البستان والثاني يقوم كامل المنفعة ثم يقوم مسلوب المنفعة ويعتبر ما بينهما من الثلث فإن احتمله الثلث نفذت الوصية فيما بقي من البستان وإن احتمل بعضها كان للموصى له قدر ما احتمله الثلث يشاركه فيه الورثة فإن كان الذي يحتمله النصف كان للموصي له من ثمرة كل عام النصف وللورثة النصف والله أعلم.
PASAL: Dan jika ia berwasiat untuk seseorang dengan buah kebunnya, maka jika buah itu sudah ada, diperhitungkan nilainya dari sepertiga. Jika belum ada, lalu wasiat itu berlaku untuk selamanya, maka dalam penilaian ada dua wajah: yang pertama, seluruh kebun dinilai; yang kedua, manfaat penuh dinilai kemudian dinilai kebun tanpa manfaat, lalu diperhitungkan selisih antara keduanya dari sepertiga. Jika sepertiga mencukupi, maka wasiat berlaku pada sisa kebun. Jika hanya sebagian yang ditanggung sepertiga, maka bagi penerima wasiat hanya sebesar bagian yang tertutup oleh sepertiga, dan ia berbagi dengan ahli waris. Jika yang tertutup adalah separuh, maka bagi penerima wasiat separuh buah setiap tahun, dan separuhnya bagi ahli waris. Wallāhu a‘lam.
باب جامع الوصايا
إذا وصى لجيرانه صرف إلى أربعين داراً من كل جانب لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “حق الجوار أربعون داراً هكذا وهكذا وهكذا وهكذا وهكذا يميناً وشمالاً وقداماً وخلفاً”.
BAB JAMIK WASIAT
Apabila seseorang berwasiat kepada para tetangganya, maka disalurkan kepada empat puluh rumah dari setiap arah, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Hak bertetangga itu empat puluh rumah, begini, begini, begini, dan begini—ke kanan, ke kiri, ke depan, dan ke belakang.”
فصل: وإن وصى لقراء القرآن صرف إلى من يقرأ جميع القرآن وهل يدخل فيه من لا يحفظ جميعه؟ فيه وجهان: أحدهما يدخل فيه لعموم اللفظ والثاني لا يدخل فيه لأنه لا يطلق هذا الاسم في العرف إلا على من يحفظه وإن وصى للعلماء صرف إلى علماء الشرع لأنه لا يطلق هذا الاسم في العرف إلا عليهم ولا يدخل فيه من يسمع الحديث ولا يعرف طرقه لأن سماع الحديث من غير علم بطرقه ليس بعلم.
PASAL: Dan jika ia berwasiat untuk para pembaca Al-Qur’an, maka diserahkan kepada orang yang membaca seluruh Al-Qur’an. Apakah termasuk di dalamnya orang yang tidak menghafalnya seluruhnya? Ada dua wajah: pertama, termasuk di dalamnya karena lafaznya umum. Kedua, tidak termasuk karena dalam ‘urf nama itu tidak disebut kecuali bagi yang menghafalnya. Dan jika ia berwasiat untuk para ulama, maka diserahkan kepada ulama syariat, karena dalam ‘urf nama itu tidak disebut kecuali bagi mereka. Tidak termasuk di dalamnya orang yang hanya mendengar hadis tetapi tidak mengetahui jalan-jalannya, karena mendengar hadis tanpa mengetahui jalan-jalannya bukanlah ilmu.
فصل: فإن وصى للأيتام لم يدخل فيه من له أب لأن اليتيم في بني آدم من فقد الأب ولا يدخل فيه بالغ لقوله: “لا يتم بعد الحلم” وهل يدخل فيه الغني فيه وجهان: أحدهما يدخل فيه لأنه يتيم بفقد الأب والثاني لا يدخل فيه لأنه لا يطلق هذا الاسم في العرف على غني فإن وصى للأرامل دخل فيه من لا زوج لها من النساء وهل يدخل فيه من لا زوجة له من الرجال فيه وجهان: أحدهما لا يدخل فيه لأنه لا يطلق هذا الاسم في العرف على الرجال والثاني يدخل فيه لأنه قد يسمى الرجل أرملاً كما قال الشاعر:
كل الأرامل قد قضيت حاجتهم … فمن لحاجة هذا الأرمل الذكر
وهل يدخل فيه من لها مال على وجهين كما قلنا في الأيتام.
PASAL: Jika seseorang berwasiat kepada yatim, maka tidak termasuk di dalamnya anak yang masih memiliki ayah, karena yatim dalam kalangan manusia adalah anak yang kehilangan ayah. Dan tidak termasuk pula anak yang sudah baligh, berdasarkan sabda Nabi: “Tidak ada lagi status yatim setelah mimpi basah (baligh).”
Apakah orang yang yatim namun kaya termasuk? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, termasuk, karena ia tetap disebut yatim karena kehilangan ayah.
Kedua, tidak termasuk, karena dalam kebiasaan (ʿurf) nama ini tidak digunakan untuk orang kaya.
Jika seseorang berwasiat kepada janda, maka termasuk di dalamnya wanita yang tidak memiliki suami. Apakah laki-laki yang tidak memiliki istri juga termasuk?
Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak termasuk, karena dalam kebiasaan nama ini tidak digunakan untuk laki-laki.
Kedua, termasuk, karena terkadang seorang laki-laki juga disebut ar-mal (janda laki-laki), sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair:
“Seluruh para janda telah kau penuhi kebutuhannya
Maka siapa yang memenuhi kebutuhan janda lelaki ini?”
Dan apakah wanita yang memiliki harta termasuk dalam wasiat kepada para janda? Maka hal itu juga diperselisihkan dalam dua wajah, sebagaimana pembahasan dalam yatim.
فصل: وإن وصى للشيوخ أعطى من جاوز الأربعين وإن وصى للفتيان والشباب أعطى من جاوز البلوغ إلى الثلاثين وإن وصى للغلمان والصبيان أعطى من لم يبلغ لأن هذه الأسماء لا تطلق في العرف إلا على ما ذكرناه.
PASAL: Dan jika ia berwasiat untuk para syuyūkh, maka diberikan kepada orang yang telah melewati usia empat puluh. Jika ia berwasiat untuk para fityān dan syabāb, maka diberikan kepada orang yang sudah baligh hingga tiga puluh. Jika ia berwasiat untuk para ghilmān dan ṣibyān, maka diberikan kepada orang yang belum baligh. Karena nama-nama ini dalam ‘urf tidak digunakan kecuali untuk apa yang telah kami sebutkan.
فصل: وإن وصى للفقراء جاز أن يدفع إلى الفقراء والمساكين وإن وصى للمساكين جاز أن يدفع إلى المساكين والفقراء لأن كل واحد من الإسمين يطلق على الفريقين وإن وصى للفقراء والمساكين جمع بين الفريقين في العطية لأان الجمع بينهما يقتضي الجمع في العطية كما قلنا في آية الصدقات وإن وصى لسبيل الله تعالى دفع إلى الغزاة من أهل الصدقات لأنه قد ثبت لهم هذا الاسم في عرف الشرع فإن وصى للرقاب دفع إلى المكاتبين لأن الرقاب في عرف الشرع اسم للمكاتبين وإن وصى لأحد هذه الأصناف دفع إلى ثلاثة منهم لأنه قد ثبت لهذه الألفاظ عرف الشرع في ثلاثة وهو في الزكاة فحملت الوصية عليها
PASAL: Jika seseorang berwasiat untuk orang-orang fakir, maka boleh diberikan kepada para fakir dan miskin. Dan jika ia berwasiat untuk orang-orang miskin, maka boleh diberikan kepada para miskin dan fakir, karena masing-masing dari dua nama tersebut digunakan untuk kedua golongan.
Dan jika ia berwasiat untuk fakir dan miskin, maka diberikan kepada keduanya secara bersamaan dalam pembagian, karena penggabungan antara keduanya mengharuskan pembagian kepada kedua kelompok, sebagaimana yang kami katakan dalam ayat tentang sedekah.
Jika ia berwasiat untuk sabilillah, maka diberikan kepada para ghuzāt dari kalangan mustahiq zakat, karena sebutan ini telah ditetapkan untuk mereka dalam istilah syariat.
Jika ia berwasiat untuk riqāb, maka diberikan kepada para mukātab, karena riqāb dalam istilah syariat adalah sebutan untuk mereka.
Jika ia berwasiat kepada salah satu dari golongan ini, maka diberikan kepada tiga orang dari mereka, karena istilah-istilah ini memiliki pengertian dalam syariat sebagaimana terdapat dalam zakat, maka wasiat pun disesuaikan dengannya.
فإن وصى لزيد والفقراء فقد قال الشافعي رحمه الله: هو كأحدهم فمن أصحابنا من قال: هو بظاهره أن يكون كأحدهم يدفع إليه ما يدفع إلى أحدهم لأنه أضاف إليه وإليهم فوجب أن يكون كأحدهم ومنهم من قال: يصرف إلى زيد نصف الثلث ويصرف النصف إلى الفقراء لأنه أضاف إليه وإليهم فوجب أن يساويهم ومنهم من قال يصرف إليه الربع ويصرف ثلاثة أرباعه إلى الفقراء لأن أقل الفقراء ثلاثة فكأنه وصى لأربعة فكان حق كل واحد منهم الربع وإن وصى لزيد بدينار وبثلثه للفقراء وزيد فقير لم يعط غير الدينار لأنه قطع الاجتهاد في الدفع بتقدير حقه في الدينار.
Jika seseorang berwasiat kepada Zaid dan kepada para fakir, maka Imam al-Syafi‘i RA berkata: “Ia seperti salah satu dari mereka.”
Sebagian ulama kami mengatakan: makna zahirnya adalah bahwa Zaid seperti salah satu dari mereka, sehingga diberikan kepadanya sebagaimana diberikan kepada salah satu dari para fakir, karena ia disandingkan dengan mereka, maka ia dianggap seperti salah satu dari mereka.
Sebagian lainnya mengatakan: sepertiga harta dibagi dua—setengah diberikan kepada Zaid, dan setengah lagi kepada para fakir, karena ia disandingkan dengan mereka, maka harus disejajarkan dengan mereka.
Dan ada yang mengatakan: Zaid diberi seperempat, dan tiga perempatnya diberikan kepada para fakir, karena jumlah minimal fakir itu tiga orang, maka seakan-akan ia berwasiat kepada empat orang, sehingga bagian masing-masing adalah seperempat.
Jika ia berwasiat kepada Zaid dengan satu dinar, dan sepertiganya untuk para fakir, dan Zaid termasuk fakir, maka Zaid tidak diberi kecuali satu dinar saja, karena kadar haknya sudah ditetapkan secara pasti melalui penyebutan nominal, maka tidak boleh ditambah dengan ijtihad.
فصل: وإن وصى لقبيلة عظيمة كالعلويين والهاشميين وطيء وتميم ففيه قولان: أحدهما أن الوصية تصح وتصرف إلى ثلاثة منهم كما قلنا في الوصية للفقراء والثاني أن الوصية باطلة لأنه لا يمكن أن يعطي الجميع ولا عرف هذا اللفظ في بعضهم فبطل بخلاف الفقراء فإنه قد ثبت لهذا اللفظ عرف وهو في ثلاثة في الزكاة.
PASAL: Dan jika ia berwasiat untuk suatu kabilah besar seperti ‘Alawiyyīn, Hāsyimiyyīn, Ṭayyi’, dan Tamīm, maka ada dua qaul: yang pertama, wasiat itu sah dan diserahkan kepada tiga orang dari mereka sebagaimana kami katakan dalam wasiat untuk fuqara. Yang kedua, wasiat itu batal karena tidak mungkin diberikan kepada seluruhnya, dan lafaz itu tidak dikenal untuk sebagian mereka, maka batal. Berbeda dengan fuqara, karena lafaz itu telah tetap memiliki ‘urf, yaitu pada tiga orang dalam zakat.
فصل: وإن أوصى أن يضع ثلثه حيث يرى لم يجز أن يضعه في نفسه لأنه تمليك ملكه بالإذن فلم يملك من نفسه كما لو وكله في البيع والمستحب أن يصرفه إلى من لا يرث الموصي من أقاربه فإن لم يكن له أقارب صرف إلى أقاربه من الرضاع فإن لم يكونوا صرف إلى جيرانه لأنه قائم مقام الموصي والمستحب للموصي أن يضع فيما ذكرناه فكذلك الوصي.
PASAL: Jika seseorang berwasiat agar sepertiga hartanya diletakkan di mana pun yang dianggap baik oleh orang yang ditunjuk, maka tidak boleh ia meletakkannya untuk dirinya sendiri, karena ini adalah pemberian milik dengan izin, maka ia tidak boleh mengambil untuk dirinya sendiri, sebagaimana jika ia dijadikan wakil dalam jual beli, ia tidak boleh membeli untuk dirinya.
Yang mustahabb adalah agar ia menyalurkan kepada kerabat pewasiat yang tidak mewarisi. Jika tidak ada kerabat nasab, maka disalurkan kepada kerabat susuan. Jika tidak ada juga, maka disalurkan kepada tetangga-tetangganya, karena ia menggantikan kedudukan pewasiat, dan yang mustahabb bagi pewasiat adalah menyalurkan ke pihak-pihak yang telah disebutkan, maka demikian pula halnya bagi pelaksana wasiat.
فصل: وإن وصى بالثلث لزيد وجبريل كان لزيد نصف الثلث وتبطل في الباقي فإن وصى لزيد وللرياح ففيه وجهان: أحدهما أن الجميع لزيد لأن ذكر الرياح لغو والثاني أن لزيد النصف وتبطل الوصية في الباقي كالمسألة قبلها فإن قال ثلثي لله ولزيد ففيه وجهان: أحدهما أن الجميع لزيد وذكر الله تعالى للتبرك كقوله تعالى: {فأن لله خمسه وللرسول} والثاني أنه يدفع إلى زيد نصفه والباقي للفقراء لأن عامة ما يجب لله تعالى يصرف إلى الفقراء.
PASAL: Dan jika ia berwasiat dengan sepertiga untuk Zaid dan Jibrīl, maka bagi Zaid setengah dari sepertiga, dan batal pada sisanya. Jika ia berwasiat untuk Zaid dan untuk angin, maka ada dua wajah: yang pertama, semuanya untuk Zaid karena penyebutan angin adalah sia-sia. Yang kedua, bagi Zaid separuhnya, dan batal wasiat pada sisanya, sebagaimana masalah sebelumnya. Jika ia berkata: “Sepertigaku untuk Allah dan untuk Zaid,” maka ada dua wajah: yang pertama, semuanya untuk Zaid dan penyebutan Allah Ta‘ala hanya untuk tabarruk, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {fa-anna lillāhi khumusahu wa li al-rasūl}. Yang kedua, diberikan kepada Zaid setengahnya, dan sisanya untuk fuqara, karena umumnya apa yang menjadi hak Allah Ta‘ala disalurkan kepada fuqara.
فصل: وإن وصى لحمل امرأة فولدت ذكراً وأنثى صرف إليهما وسوى بينهما لأن ذلك عطية فاستوى فيه الذكر والأنثى وإن وصى إن ولدت ذكراً فله ألف وإن ولدت أنثى فلها مائة فولدت ذكراً وأنثى استحق الذكر الألف والأنثى المائة فإن ولدت خنثى دفع إليه المائة لأنه يقين ويترك الباقي إلى أن يتبين فإن ولدت ذكرين أو الأنثيين ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أن الوارث يدفع الألف إلى من يشاء من الذكرين والمائة إلى من يشاء من الأنثيين لأن الوصية لأحدهما فلا تدفع إليهما والاجتهاد في ذلك إلى الوارث كما لو أوصى لرجل بأحد عبديه
PASAL: Jika seseorang berwasiat untuk janin seorang perempuan, lalu ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka harta wasiat diberikan kepada keduanya dan disamakan antara laki-laki dan perempuan karena hal itu merupakan pemberian, sehingga laki-laki dan perempuan sama di dalamnya.
Jika ia berwasiat: “Jika ia melahirkan anak laki-laki maka baginya seribu, dan jika ia melahirkan anak perempuan maka baginya seratus,” kemudian melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka anak laki-laki berhak atas seribu dan anak perempuan atas seratus.
Jika ia melahirkan khuntsā, maka diberikan kepadanya seratus karena itu sesuatu yang yakin, dan sisanya ditangguhkan sampai kejelasan jenis kelaminnya.
Jika ia melahirkan dua anak laki-laki atau dua anak perempuan, maka dalam hal ini ada tiga pendapat:
Pertama, ahli waris boleh memberikan seribu itu kepada siapa saja yang ia kehendaki dari dua anak laki-laki, dan seratus kepada siapa saja yang ia kehendaki dari dua anak perempuan, karena wasiat itu untuk salah satu dari mereka, maka tidak boleh diberikan kepada keduanya, dan upaya ijtihād dalam hal ini diserahkan kepada ahli waris sebagaimana jika ia berwasiat kepada seseorang dengan salah satu dari dua budaknya.
والثاني أنه يشترط الذكران في الألف والأنثيان في المائة لأنه ليس أحدهما بأولى من الآخر فسوى بينهما ويخالف العبد فإن جعله إلى الوارث وههنا لم يجعله إلى الوارث والثالث أنه يوقف الألف بين الذكرين والمائة بين الأنثيين إلى أن يبلغا ويصطلحا لأن الوصية لأحدهما فلا يجوز أن تجعل لهما ولا خيار للوارث فوجب التوقف فإن قال إن كان ما في بطنك ذكراً فله ألف وإن كان أنثى فله مائة فولدت ذكراً وأنثى لم يستحق واحداً منهما شيئاً لأنه شرط أن يكون جميع ما في البطن ذكراً أو جميعه أنثى ولم يوجد واحد منهما.
Dan pendapat kedua, yaitu bahwa disyaratkan dua anak laki-laki untuk mendapatkan seribu, dan dua anak perempuan untuk mendapatkan seratus, karena tidak ada salah satu dari keduanya yang lebih utama dari yang lain, maka keduanya disamakan. Hal ini berbeda dengan budak, karena penyerahan (pilihan) diberikan kepada ahli waris, sedangkan dalam kasus ini tidak diberikan kepada ahli waris.
Pendapat ketiga, yaitu seribu dihentikan (ditahan) antara dua anak laki-laki, dan seratus dihentikan antara dua anak perempuan sampai keduanya baligh dan berdamai, karena wasiat itu ditujukan kepada salah satu dari mereka, maka tidak boleh diberikan kepada keduanya, dan ahli waris tidak memiliki pilihan, maka wajib dihentikan.
Jika ia berkata: “Jika yang di dalam kandunganmu adalah laki-laki, maka baginya seribu, dan jika perempuan maka baginya seratus,” lalu ia melahirkan anak laki-laki dan perempuan, maka tidak ada satu pun dari keduanya yang berhak menerima apa pun, karena ia mensyaratkan bahwa seluruh isi kandungan harus laki-laki atau seluruhnya perempuan, dan tidak ada salah satu dari keduanya yang terpenuhi.
فصل: فإن أوصى لرجل بسهم أو بقسط أو بنصيب أو بجزء من ماله فالخيار إلى الوارث في القليل والكثير لأن هذه الألفاظ تستعمل في القليل والكثير.
PASAL: Jika ia berwasiat untuk seorang lelaki dengan sahm atau dengan qisṭ atau dengan naṣīb atau dengan bagian dari hartanya, maka pilihan ada pada ahli waris dalam menetapkan sedikit atau banyak, karena lafaz-lafaz ini digunakan untuk sedikit maupun banyak.
فصل: فإن أوصى له بمثل نصيب أحد ورثته أعطى مثل نصيب أقلهم نصيباً لأنه نصيب أحدهم فإن وصى له بمثل نصيب ابنه وله ابن كان ذلك وصية بنصف المال لأنه يحتمل أن يكون قد جعل له الكل ويحتمل أنه جعله مع ابنه فلا يلزمه إلا اليقين ولأنه قصد التسوية بينه وبين ابنه ولا توجد التسوية إلا فيما ذكرناه فإن كان له ابنان فوصى لهما بمثل نصيب أحد ابنيه جعل له الثلث وإن وصى له بنصيب ابنه بطلت الوصية لأن نصيب الابن للابن فلا تصح الوصية به كما لو أوصى له بمال ابنه من غير الميراث ومن أصحابنا من قال يصح ويجعل المال بينهما كما لو أوصى له بمثل نصيب ابنه فإن وصى له بمثل نصيب ابنه وله ابن كافر أو قاتل فالوصية باطلة لأنه وصى بمثل نصيب من لا نصيب له فأشبه إذا وصى بمثل نصيب أخيه وله ابن.
PASAL: Jika ia berwasiat kepada seseorang dengan seperti bagian salah seorang ahli warisnya, maka diberikan seperti bagian yang paling sedikit di antara mereka, karena itu adalah bagian salah seorang dari mereka. Jika ia berwasiat dengan seperti bagian anaknya, dan ia memiliki seorang anak, maka itu adalah wasiat dengan setengah harta, karena bisa jadi ia menjadikannya seluruh bagian, dan bisa jadi ia menjadikannya bersama anaknya, maka yang wajib hanyalah yang yakin. Dan karena maksudnya adalah menyamakan antara dia dengan anaknya, dan kesetaraan itu tidak terwujud kecuali dengan apa yang kami sebutkan. Jika ia memiliki dua anak lalu ia berwasiat untuk keduanya dengan seperti bagian salah seorang anaknya, maka ditetapkan untuk mereka sepertiga. Jika ia berwasiat dengan bagian anaknya, maka wasiat batal, karena bagian anak adalah untuk anak itu sendiri, maka tidak sah berwasiat dengannya, sebagaimana jika ia berwasiat dengan harta anaknya selain dari warisan. Sebagian sahabat kami berkata: sah, dan harta itu dibagi antara keduanya sebagaimana jika ia berwasiat dengan seperti bagian anaknya. Jika ia berwasiat dengan seperti bagian anaknya, sedangkan ia memiliki anak kafir atau pembunuh, maka wasiatnya batal, karena ia berwasiat dengan seperti bagian orang yang tidak memiliki bagian, maka serupa dengan orang yang berwasiat dengan seperti bagian saudaranya padahal ia memiliki anak.
فصل: فإن وصى بضعف نصيب أحد أولاده دفع إليه مثلاً نصيب أحدهم لأن الضعف عبارة عن الشيء ومثله ولهذا يروى أن عمر رضي الله عنه أضعف الصدقة على نصارى بني تغلب أي أخذ مثلي ما يؤخذ من المسلمين فإن وصى له بضعفي نصيب أحدهم أعطى ثلاثة أمثال نصيب أحدهم وقال أبو ثور: يعطي أربعة أمثاله وهذا غلط لأن الضعف عبارة عن الشيء ومثله فوجب أن يكون الضعفان عبارة عن الشيء ومثليه.
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan dua kali lipat bagian salah satu dari anak-anaknya, maka diberikan kepadanya sebanyak dua kali bagian salah satu dari mereka, karena “ḍi‘f” (dua kali lipat) bermakna satu bagian ditambah semisalnya. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa ‘Umar RA menggandakan jizyah atas kaum Nasrani dari Bani Taghlib, yakni mengambil dua kali lipat dari apa yang diambil dari kaum Muslimin.
Jika ia berwasiat dengan dua kali dua kali lipat (ضعفي) dari bagian salah satu anaknya, maka diberikan kepadanya tiga kali bagian salah satu dari mereka.
Abu Ṯaur berkata: diberikan kepadanya empat kali bagiannya, dan ini adalah kekeliruan, karena ḍi‘f bermakna satu bagian ditambah semisalnya, maka dua ḍi‘f bermakna satu bagian ditambah dua bagian semisalnya.
فصل: فإن وصى لرجل بثلث ماله ولآخر بنصفه وأجاز الورثة قسم المال بينهما على خمسة للموصى له بالثلث سهمان وللموصى له بالنصف ثلاثة أسهم فإن لم يجيزوا قسم الثلث بينهما على خمسة على ما ذكرناه لأن ما قسم على التفاضل عند اتساع المال قسم على التفاضل عند ضيق المال كالمواريث والمال بين الغرماء فإن أوصى لرجل بجميع ماله ولآخر بثلثه وأجاز الورثة قسم المال بينهما على أربعة للموصى له بالجميع ثلاثة أسهم وللموصى له بالثلث منهم لأن السهام في الوصايا كالسهام في المواريث ثم السهام في المواريث إذا زادت على قدر المال أعيلت الفريضة بالسهم الزائد فكذلك في الوصية فإن لم يجيزوا قسم الثلث بينهما على ما قسم الجميع.
PASAL: Jika seseorang berwasiat kepada seorang lelaki sepertiga hartanya dan kepada lelaki lain setengahnya, lalu para ahli waris menyetujui wasiat tersebut, maka harta dibagi di antara keduanya menjadi lima bagian: bagi yang diberi sepertiga, dua bagian; dan bagi yang diberi setengah, tiga bagian. Namun jika para ahli waris tidak menyetujui, maka sepertiga harta dibagi di antara keduanya berdasarkan lima bagian sebagaimana telah disebutkan, karena apa yang dibagi secara berbeda ketika harta luas, juga dibagi secara berbeda ketika harta sempit, sebagaimana dalam warisan dan harta di antara para pemiutang.
Jika seseorang berwasiat kepada seorang lelaki seluruh hartanya, dan kepada lelaki lain sepertiganya, lalu para ahli waris menyetujui, maka harta dibagi di antara keduanya menjadi empat bagian: yang berwasiat dengan seluruh hartanya mendapat tiga bagian, dan yang berwasiat dengan sepertiganya mendapat satu bagian. Karena bagian dalam wasiat seperti bagian dalam warisan. Maka bagian dalam warisan, bila melebihi jumlah harta, ditambahkan dalam perhitungan dengan bagian yang berlebih (‘awl), demikian pula dalam wasiat. Namun jika para ahli waris tidak menyetujui, maka sepertiga harta dibagi di antara keduanya sebagaimana pembagian terhadap seluruh harta.
فصل: فإن قال أعطوه رأساً من رقيقي ولا رقيق له أو قال أعطوه عبدي الحبشي وله عبد سندي أو عبدي الحبشي وسماه باسمه ووصفه بصفة من بياض أو سواد وعنده حبشي يسمى بذلك الاسم ومخالف له في الصفة فالوصية باطلة لأنه وصى له بما لا يملكه فإن كان له رقيق أعطى منه واحداً سليماً كان أو معيباً لأنه لا عرف في هبة الرقيق فحمل على ما يقع عليه الاسم فإن مات ماله من الرقيق بطلت الوصية لأنه فات ما تعلقت به الوصية من غير تفريط فإن قتلوا فإن كان قبل موت الموصي بطلت الوصية لأنه جاء وقت الوجوب ولا رقيق له فإن قتلوا بعد موته وجبت له قيمة واحد منهم لأنه بدل ما وجب له.
PASAL: Jika seseorang berkata, “Berikan kepadanya seorang budak dari budak-budakku,” padahal ia tidak memiliki budak, atau ia berkata, “Berikan kepadanya budakku yang berbangsa Ḥabasyi,” padahal ia hanya memiliki budak Sindhi, atau ia berkata, “Budakku yang Ḥabasyi,” lalu menyebut namanya dan menyifatinya dengan ciri tertentu seperti putih atau hitam, sementara ia memang memiliki budak Ḥabasyi dengan nama tersebut namun berbeda sifatnya, maka wasiat itu batal karena ia mewasiatkan sesuatu yang tidak ia miliki.
Namun jika ia memang memiliki budak, maka diberikan satu dari mereka, baik yang sehat maupun cacat, karena tidak ada ketentuan umum (‘urf) dalam pemberian budak, maka dikembalikan kepada apa yang mencakup dalam istilah umum “budak”.
Jika semua budaknya meninggal sebelum wafatnya, maka wasiat batal karena objek wasiat telah hilang tanpa kelalaian.
Jika para budak itu terbunuh, maka jika pembunuhan terjadi sebelum kematian pewasiat, maka wasiat batal karena waktu pelaksanaan wasiat telah datang sementara ia tidak memiliki budak.
Namun jika pembunuhan terjadi setelah kematian pewasiat, maka wajib diberikan kepada penerima wasiat nilai satu budak dari mereka sebagai pengganti dari apa yang telah diwasiatkan.
فصل: فإن وصى بعتق عبد أعتق عنه ما يقع عليه الاسم لعموم اللفظ ومن أصحابنا من قال لا يجزي إلا ما يجزي في الكفارة لأن العتق في الشرع له عرف وهو ما يجزي في الكفارة فحملت الوصية عليه فإن وصى أن يعتق عنه رقبة فعجز الثلث عنها ولم وتجز الورثة أعتق قدر الثلث من الرقبة لأن الوصية تعلقت بجميعها فإذا تعذر الجميع بقي في قدر الثلث فإن وصى أن يعتق عنه رقاب أعتق ثلاثة لأن الرقاب جمع وأقله ثلاثة
PASAL: Jika seseorang berwasiat agar seorang budak dimerdekakan untuknya, maka dimerdekakan darinya budak yang mencakup nama tersebut karena lafaznya bersifat umum. Namun sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa itu tidak mencukupi kecuali yang mencukupi untuk kafarat, karena dalam syariat, istilah ‘itaq (pembebasan) memiliki makna khusus, yaitu yang mencukupi dalam kafarat, maka wasiat itu dibawa kepada makna tersebut.
Jika seseorang berwasiat agar dimerdekakan untuknya satu raqabah (budak), lalu sepertiga harta tidak mencukupi untuk membebaskannya dan para ahli waris tidak menyetujuinya, maka dimerdekakan seukuran sepertiga dari budak tersebut, karena wasiat itu terkait seluruh budak, maka ketika seluruhnya tidak memungkinkan, maka tetap pada kadar sepertiga.
Jika seseorang berwasiat agar dimerdekakan untuknya beberapa raqabah, maka dimerdekakan tiga budak, karena raqabah adalah bentuk jamak dan paling sedikitnya adalah tiga.
فإن عجز الثلث عن الثلاثة أعتق عنه ما أمكن فإن اتسع الثلث لرقبتين وتفضل شيء فإن لم يمكن أن يشتري بالفضل بعض الثالثة زيد في ثمن الرقبتين وإن أمكن أن يشتري به بعض الثالثة ففيه وجهان: أحدهما يزاد في ثمن الرقبتين لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن أفضل الرقاب فقال: “أكثرها ثمناً وأنفسها عند أهلها” والثاني أن يشتري بعض الثالثة لقوله صلى الله عليه وسلم: “من أعتق رقبة أعتق الله بكل عضو منها عضواً منه من النار” ولأن ذلك أقرب إلى العدد الموصى به.
Jika sepertiga harta tidak mencukupi untuk membebaskan tiga budak, maka dimerdekakan sebanyak yang memungkinkan. Jika sepertiga itu cukup untuk dua raqabah dan masih ada sisa, maka jika sisa tersebut tidak memungkinkan untuk membeli sebagian dari budak ketiga, maka sisa itu ditambahkan pada harga dua budak tersebut. Namun jika memungkinkan untuk membeli sebagian dari budak ketiga, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: sisa tersebut ditambahkan pada harga dua budak, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang budak yang paling utama, lalu beliau bersabda: “Yang paling mahal harganya dan paling berharga di sisi tuannya.”
Pendapat kedua: dibelikan sebagian dari budak ketiga, karena sabda Nabi SAW: “Barang siapa memerdekakan satu raqabah, maka Allah akan memerdekakan setiap anggota tubuhnya dari neraka sebanding dengan anggota tubuh budak itu.” Dan karena hal itu lebih mendekati jumlah yang diwasiatkan.
فصل: فإن قال أعتقوا عبداً من عبيدي وله خنثى حكم له بأنه رجل ففيه وجهان: أحدهما أنه يجوز لأنه محكوم بأنه عبد والثاني لا يجوز لأن اسم العبد لا ينصرف إليه فإن قال أعتقوا أحد رقيقي وفيهم خنثى مشكل فقد روى الربيع فيمن وصى بكتابة أحد رقيقه أنه لا يجوز الخنثى المشكل وروى المزني أنه يجوز فمن أصحابنا من قال يجوز كما نقله المزني لأنه من الرقيق ومنهم من قال لا يجوز كما نقله الربيع لأن إطلاق اسم الرقيق لا ينصرف إلى الخنثى المشكل.
PASAL: Jika ia berkata, “Merdekakanlah seorang budak dari budak-budakku,” dan ternyata ia memiliki khuntsā yang telah ditetapkan hukumnya sebagai laki-laki, maka terdapat dua pendapat: pertama, boleh, karena telah dihukumi sebagai seorang budak; dan kedua, tidak boleh, karena lafaz “budak” tidak mencakupnya. Jika ia berkata, “Merdekakan salah satu dari budakku,” dan di antara mereka terdapat khuntsā musykil, maka telah diriwayatkan oleh ar-Rabī‘ bahwa wasiat untuk menuliskan (akad kitābah) salah satu budaknya tidak mencakup khuntsā musykil, dan telah diriwayatkan oleh al-Muzanī bahwa itu diperbolehkan. Maka di antara para ulama kami ada yang berpendapat boleh sebagaimana riwayat al-Muzanī karena ia termasuk dari golongan budak; dan ada pula yang berpendapat tidak boleh sebagaimana riwayat ar-Rabī‘ karena penyebutan lafaz “budak” secara mutlak tidak mencakup khuntsā musykil.
فصل: فإن قال أعطوه شاة جاز أن يدفع إليه الصغير والكبير والضأن والمعز لأن اسم الشاة يقع عليه ولا يدفع إلى تيس ولا كبش على المنصوص ومن أصحابنا من قال: يجوز الذكر والأنثى لأن الشاة اسم للجنس يقع على الذكر والأنثى كالإنسان يقع على الرجل والمرأة فإن قال: أعطوه شاة من غنمي والغنم إناث لم يدفع إليه ذكر فإن كانت ذكوراً لم يدفع إليه أنثى لأنه أضاف إلى المال وليس في المال غيره فإن كانت غنمه ذكوراً وإناثاً فعلى ما ذكرنا من الخلاف فيه إذا أوصى بشاة ولم يضف إلى المال فإن قال أعطوه ثوراً لم يعط بقرة فإن قال أعطوه جملاً لم يعط ناقة فإن قال أعطوه بعيراً فالمنصوص أنه لا يعطي ناقة ومن أصحابنا من قال يعطى لأن البعير كالإنسان يقع على الذكر والأنثى فإن قال أعطوه رأساً من الإبل أو رأساً من البقر أو رأساً من الغنم جاز الذكر والأنثى لأنه ذلك اسم للجنس.
PASAL: Jika seseorang berkata, “Berikan kepadanya seekor syāh,” maka boleh diberikan kepadanya yang kecil maupun besar, dari jenis ḍa’n maupun ma’z, karena nama syāh mencakup semuanya. Namun tidak boleh diberikan tais (kambing jantan dewasa) atau kibas (domba jantan) menurut pendapat yang manshūsh. Sebagian dari kalangan kami berpendapat: boleh diberikan jantan maupun betina, karena kata syāh adalah nama jenis yang mencakup jantan dan betina, sebagaimana kata insān mencakup laki-laki dan perempuan.
Jika ia berkata, “Berikan kepadanya seekor syāh dari kambingku,” sedangkan kambingnya betina semua, maka tidak boleh diberikan yang jantan. Jika kambingnya jantan semua, maka tidak boleh diberikan yang betina, karena ia mengaitkan wasiatnya dengan hartanya, dan tidak ada selain itu di dalam hartanya. Jika kambingnya terdiri dari jantan dan betina, maka berlaku sebagaimana perselisihan pendapat dalam wasiat syāh yang tidak dihubungkan dengan hartanya.
Jika ia berkata, “Berikan kepadanya seekor ṯsaur (sapi jantan),” maka tidak boleh diberikan baqarah (sapi betina). Jika ia berkata, “Berikan kepadanya seekor jamal (unta jantan),” maka tidak boleh diberikan nāqah (unta betina). Jika ia berkata, “Berikan kepadanya seekor ba‘īr,” maka pendapat yang manshūsh adalah tidak boleh diberikan nāqah, dan sebagian dari kalangan kami berkata: boleh diberikan, karena ba‘īr seperti kata insān, mencakup jantan dan betina.
Jika ia berkata, “Berikan kepadanya satu ra’s dari unta, atau dari sapi, atau dari kambing,” maka boleh diberikan yang jantan maupun yang betina, karena ra’s adalah nama untuk jenis.
فصل: فإن قال أعطوه دابة فالمنصوص أنه يعطي فرساً أو بغلاً أو حماراً واختلف أصحابنا فيه فقال أبو العباس: هذا ما قاله على عادة أهل مصر فإن الدواب في عرفهم الأجناس الثلاثة فإن كان الموصي بمصر أعطى واحداً من الثلاثة وإن كان في غيرها لم يعط إلا الفرس لأنه لا تطلق الدابة في سائر البلاد إلا على الفرس وقال أبو إسحاق وأبو علي بن أبي هريرة: يعطي واحداً من الثلاثة في جميع البلاد لأن اسم الدواب يطلق على الجميع فإن قال أعطوه دابة من دوابي وليس عنده إلا واحداً من الثلاثة أعطى منه لأنه أضاف إلى ماله وليس له غيره فإن قال: أعطوه دابة ليقاتل عليها العدو لم يعط إلا فرساً فإن قال ليحمل عليه لم يعط إلا بغلاً أو حماراً فإن قال لينتفع بنسله لم يعط إلا فرساً أو حماراً لأن القرينة دلت على ما ذكرناه.
PASAL: Jika ia berkata, “Berikanlah seekor dābbah,” maka pendapat yang manshūṣ adalah bahwa yang diberikan adalah kuda, bighal, atau keledai. Para ulama kami berbeda pendapat tentang hal ini. Abu al-‘Abbās berkata: Ini adalah sebagaimana yang dikatakan berdasarkan kebiasaan penduduk Mesir, karena istilah dawābb menurut kebiasaan mereka mencakup tiga jenis itu. Maka jika orang yang berwasiat berada di Mesir, diberikan salah satu dari ketiganya. Namun jika ia berada di selain Mesir, maka tidak diberikan kecuali kuda, karena istilah dābbah tidak digunakan di daerah lain kecuali untuk kuda.
Sedangkan Abu Ishāq dan Abu ‘Alī bin Abī Hurairah berkata: Diberikan salah satu dari ketiganya di semua daerah, karena nama dawābb mencakup semuanya. Jika ia berkata, “Berikan seekor dābbah dari hewan tungganganku,” dan ternyata ia hanya memiliki satu dari ketiganya, maka diberikan hewan tersebut karena ia menyandarkannya pada miliknya, dan ia tidak memiliki selain itu.
Jika ia berkata, “Berikan seekor dābbah untuk berperang melawan musuh,” maka tidak diberikan kecuali kuda. Jika ia berkata, “Untuk membawa beban di atasnya,” maka tidak diberikan kecuali bighal atau keledai. Jika ia berkata, “Untuk dimanfaatkan keturunannya,” maka tidak diberikan kecuali kuda atau keledai, karena konteks kalimat menunjukkan makna sebagaimana yang telah disebutkan.
فصل: فإن وصى بكلب ولا كلب له فالوصية باطلة لأنه ليس عنده كلب ولا يمكن ان يشتري فبطلت الوصية فإن قال أعطوه كلباً من كلابي وعنده كلاب لا ينتفع بها بطلت الوصية لأن ما لا منفعة فيه من الكلاب لا يحل اقتناؤه فإن كان ينتفع بها من أعطى واحداً منها إلا أن يقرن به قرينة من صيد أو حفظ زرع فيدفع إليه ما دلت عليه القرينة فإن كان له ثلاثة كلاب ولا مال له فأوصى بجميعها ولم تجز الورثة ردت إلى الثلث وفي كيفية الرد وجهان: أحدهما يدفع إليه من كل كلب ثلثه كسائر الأعيان
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan seekor anjing padahal ia tidak memiliki anjing, maka wasiatnya batal karena ia tidak memiliki anjing dan tidak memungkinkan untuk membelinya, sehingga batal wasiat tersebut. Jika ia berkata: “Berikan seekor anjing dari anjing-anjingku,” padahal ia memiliki anjing-anjing yang tidak bermanfaat, maka wasiatnya batal karena anjing yang tidak ada manfaatnya tidak halal untuk dimiliki. Namun jika anjing-anjing itu bermanfaat, maka diberikan salah satunya, kecuali jika ia menyertakan suatu indikasi seperti untuk berburu atau menjaga tanaman, maka diberikan anjing yang sesuai dengan indikasi tersebut. Jika ia memiliki tiga ekor anjing dan tidak memiliki harta lain, lalu ia berwasiat dengan seluruhnya dan para ahli waris tidak mengizinkan, maka dikembalikan kepada sepertiga. Dalam cara pembagiannya terdapat dua pendapat: pertama, diberikan sepertiga dari masing-masing anjing seperti pembagian pada benda-benda lainnya.
والثاني يدفع إليه أحدها وتخالف سائر الأعيان لأن الأعيان تقوم وتختلف أثمانها والكلاب لا تقوم فاستوى جميعها وفيما يأخذ وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه يأخذ واحداً منها بالقرعة والثاني يعطيه الوارث ما شاء منها فإن كان له كلب واحد فوصى به ولم تجز الورثة ولم يكن له مال أعطى ثلثه فإن كان له مال ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أنه يدفع الجميع إلى الموصى له لأن أقل المال خير من الكلب فأمضيت الوصية فيه كما لو أوصى له بشاة وله مال تخرج الشاة من ثلثه والثاني هو قول أبي سعيد الاصطخري أنه يدفع إليه ثلث الكلب لأنه لا يجوز أن يحصل للموصى له شيء إلا ويحصل للورثة مثلاه ولا يمكن اعتبار الكلب من ثلث المال لأنه لا قيمة له فاعتبر بنفسه.
dan yang kedua, diberikan kepadanya salah satu dari ketiga anjing tersebut, dan ini berbeda dengan benda-benda lainnya karena benda-benda lain bisa dinilai dan harganya berbeda-beda, sedangkan anjing tidak bisa dinilai sehingga semuanya dianggap sama. Dalam hal anjing mana yang diambil, terdapat dua pendapat: pertama, menurut pendapat Abu Ishaq, dipilih salah satunya dengan cara diundi; kedua, diberikan oleh ahli waris mana saja yang mereka kehendaki dari ketiganya.
Jika ia hanya memiliki seekor anjing lalu ia berwasiat dengan anjing tersebut dan para ahli waris tidak mengizinkan, serta ia tidak memiliki harta lain, maka diberikan sepertiga dari anjing tersebut. Jika ia memiliki harta, maka terdapat dua pendapat: pertama, menurut Abu ‘Ali bin Abi Hurairah, seluruh anjing diberikan kepada penerima wasiat karena nilai terendah dari harta lebih besar dari nilai anjing, maka wasiat dilaksanakan sebagaimana jika ia berwasiat dengan seekor kambing dan ia memiliki harta yang cukup untuk menutupi nilai kambing dari sepertiganya; kedua, menurut Abu Sa‘id al-Ishṭakhri, diberikan sepertiga dari anjing itu, karena tidak boleh penerima wasiat memperoleh sesuatu kecuali para ahli waris juga memperoleh dua kali lipatnya, dan tidak mungkin menilai anjing itu dari sepertiga harta karena anjing tidak memiliki nilai, maka dipertimbangkan berdasarkan wujudnya.
فصل: وإن وصى له بطبل من طبوله وليس له إلا طبول الحرب أعطى واحداً منها وإن لم يكن له إلا طبول اللهو نظرت فإن لم يصلح وهو طبل لغير اللهو وإن فصل لمباح لم يقع عليه اسم الطبل فالوصية باطلة لأنه وصية بمحرم وإن كان يصلح لمنفعة مباحة مع بقاء الاسم جازت الوصية لأنه يمكن الانتفاع به في مباح وإن كان له طبل حرب وطبل لهو ولم يصلح طبل اللهو لغير اللهو أعطي طبل الحرب لأن طبل اللهو لا تصح الوصية به فيصير كالمعدوم وإن كان يصلح لمنفعة مباحة أعطاه الوارث ما شاء منهما.
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan sebuah genderang dari genderang-genderangnya, dan ia hanya memiliki genderang-genderang perang, maka diberikan salah satunya. Jika ia hanya memiliki genderang-genderang untuk hiburan, maka dilihat dahulu: jika genderang itu tidak cocok digunakan selain untuk hiburan, dan nama ṭabl tidak berlaku pada selain hiburan, maka wasiatnya batal karena merupakan wasiat terhadap sesuatu yang haram. Namun jika genderang itu dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang mubah sambil tetap disebut ṭabl, maka wasiatnya sah karena masih bisa dimanfaatkan untuk hal yang mubah.
Jika ia memiliki genderang perang dan genderang hiburan, lalu genderang hiburan itu tidak bisa dimanfaatkan selain untuk hiburan, maka diberikan genderang perang karena genderang hiburan tidak sah diwasiatkan, sehingga dianggap tidak ada. Namun jika genderang hiburan itu bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang mubah, maka ahli waris boleh memilih salah satu dari keduanya untuk diberikan.
فصل: فإن وصى بعود من عيدانه وعنده عود اللهو وعود القوس وعود البناء كانت الوصية بعود اللهو لأن إطلاق الاسم ينصرف إليه فإن كان عود اللهو يصلح لمنفعة مباحة دفع إليه ولا يدفع معه الوتر والمضراب لأن اسم العود يقع من غير وتر ولا مضراب وإن كان لا يصلح لغير اللهو فالوصية باطلة لأنه وصية بمحرم ومن أصحابنا من قال: يعطى من عود القوس والبناء لأن المحرم كالمعدوم كما قلنا فيمن وصى بطبل من طبوله وعنده طبل حرب وطبل لهو أنه يجعل الوصية في طبل الحرب ويجعل طبل اللهو كالمعدوم والمذهب أنه لا يعطى شيئاً لأن العود لا يطلق إلا على عود اللهو والطبل يطلق على طبل اللهو وطبل الحرب فإذا بطل في طبل اللهو حمل على طبل الحرب فإن قال أعطوه عوداً من عيداني وليس عنده إلا عود قوس أو عود البناء أعطي منها لأنه أضاف إلى ما عنده وليس عنده سواه.
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan ‘ūd dari beberapa ‘īdān-nya, sedangkan ia memiliki ‘ūd untuk alat musik, ‘ūd busur panah, dan ‘ūd untuk bangunan, maka wasiat itu jatuh pada ‘ūd alat musik, karena penyebutan ‘ūd secara mutlak mengarah kepadanya. Jika ‘ūd alat musik itu masih dapat dimanfaatkan untuk sesuatu yang mubah, maka diserahkan kepadanya, tanpa disertakan senar (watar) dan pemukulnya (miḍrāb), karena nama ‘ūd tetap berlaku tanpa senar dan pemukul.
Jika tidak dapat dimanfaatkan kecuali untuk hal yang haram, maka wasiatnya batal karena merupakan wasiat atas hal yang haram. Sebagian dari kalangan kami berkata: ia diberi dari ‘ūd busur atau ‘ūd bangunan, karena yang haram dianggap tidak ada, sebagaimana jika seseorang berwasiat dengan salah satu ṭabl miliknya, dan ia memiliki ṭabl perang dan ṭabl untuk hiburan, maka wasiat diarahkan kepada ṭabl perang dan ṭabl hiburan dianggap tidak ada.
Namun pendapat yang lebih kuat dalam mazhab adalah bahwa ia tidak diberikan apa pun, karena istilah ‘ūd tidak berlaku kecuali untuk ‘ūd alat musik, sedangkan ṭabl berlaku untuk ṭabl hiburan dan ṭabl perang; maka jika ṭabl hiburan batal, diarahkan kepada ṭabl perang.
Jika ia berkata, “Berikanlah satu ‘ūd dari beberapa ‘īdān-ku,” sedangkan yang ia miliki hanyalah ‘ūd busur atau ‘ūd bangunan, maka diberikan dari salah satunya karena ia mengaitkan dengan apa yang dimilikinya dan tidak memiliki yang lain.
فصل: فإن وصى له بقوس كانت الوصية بالقوس الذي يرمي عنه النبل والنشاب دون قوس الندف والجلاهق وهو قوس البندق لأن إطلاق الاسم ينصرف إلى ما يرمي عنه ولا يعطي معه الوتر ومن أصحابنا من قال: يعطى معه الوتر لأنه لا ينتفع به إلا مع الوتر والصحيح أنه لا يعطى لأن الاسم يقع عليه من غير وتر فإن قال: أعطوه قوساً من قسيي وليس عنده إلا قوس الندف أو قوس البندق أعطي مما عنده لأنه أضاف إلى ما عنده وليس عنده سواه وإن كان عنده قوس البندق وقوس الندف أعطي قوس البندق لأن الاسم إليه أسبق.
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan sebuah busur, maka yang dimaksud adalah busur yang digunakan untuk memanah dengan anak panah dan nashshāb, bukan busur naddāf dan jalāhiq, yaitu busur pelontar batu kecil, karena penyebutan kata “busur” secara mutlak mengacu pada alat yang digunakan untuk memanah. Busurnya tidak diberikan beserta talinya (watar). Sebagian dari para sahabat kami berkata: diberikan juga talinya karena tidak bisa dimanfaatkan tanpa tali, namun pendapat yang sahih adalah tidak diberikan karena nama busur sudah cukup tanpa harus ada tali.
Jika ia berkata, “Berikan kepadanya busur dari busur-busurku,” dan ia hanya memiliki busur naddāf atau busur bunduq, maka diberikan salah satunya karena ia menisbatkan kepada apa yang ia miliki, dan tidak memiliki selain itu. Jika ia memiliki busur bunduq dan busur naddāf, maka diberikan busur bunduq karena nama busur lebih dahulu melekat padanya.
فصل: فإن وصى بعتق مكاتبه أو بالإبراء مما عليه اعتبر من الثلث أقل الأمرين من قيمته أو مال الكتابة لأن الإبراء عتق والعتق إبراء فاعتبر أقلهما وألغي الآخر فإن احتملهما الثلث عتق وبرئ من المال وإن لم يحتمل شيئاً منه لديوان عليه بطلت الوصية وأخذ المكاتب بأداء جميع ما عليه فإن أدى عتق أو عجز رق وتعلق به حق الغرماء والورثة فإن احتمل الثلث بعض ذلك مثل أن يحتمل النصف من أقل الأمرين عتق نصفه وبقي نصفه على الكتابة فإن أدى عتق وإن عجز رق وإن احتمل الثلث أحدهما دون الآخر اعتبر الأقل فعتق به
PASAL: Jika seseorang berwasiat untuk memerdekakan mukātab-nya atau membebaskan hutang yang menjadi tanggungannya, maka dihitung dari sepertiga harta—berdasarkan yang paling sedikit antara nilai mukātab atau jumlah harta kitābah-nya—karena pembebasan hutang adalah pembebasan budak, dan pembebasan budak adalah pembebasan hutang, maka yang paling sedikit di antara keduanya yang dianggap, dan yang lainnya diabaikan.
Jika sepertiga harta mencukupi untuk keduanya, maka ia merdeka dan terbebas dari hutangnya. Namun jika sepertiga tidak mencukupi untuk salah satu dari keduanya karena adanya utang negara, maka wasiatnya batal, dan mukātab tetap wajib membayar seluruh tanggungannya; jika ia membayarnya, maka ia merdeka, dan jika tidak mampu, ia menjadi budak, dan hak para kreditur serta ahli waris tetap melekat padanya.
Jika sepertiga harta mencukupi sebagian dari hal itu, seperti mencukupi setengah dari yang paling sedikit antara nilai budak dan harta kitābah-nya, maka ia merdeka separuhnya dan sisanya tetap berada dalam tanggungan kitābah; jika dibayar, maka ia merdeka, dan jika tidak mampu, ia menjadi budak.
Jika sepertiga harta hanya mencukupi untuk salah satunya, bukan keduanya, maka yang dianggap adalah yang paling sedikit, dan dengan itu ia merdeka.
فإن لم يكن له مال غير العبد نظر فإن كان قد حل عليه مال الكتابة عتق ثلثه في الحال وبقي الباقي على الكتابة إن أدى عتق وإن عجز رق وإن لم يحل عليه مال الكتابة ففيه وجهان: أحدهما لا يتعجل عتق شيء منه لأنه يحصل للموصى له الثلث ولم يحصل للورثة مثلاه وهذا لا يجوز كما لو أوصى بالثلث وله مال حاضر ومال غائب فإنه لا تمضي الوصية في شيء حتى يحصل للورثة مثلاه والثاني وهو ظاهر المذهب أنه يتعجل عتق ثلثه ويقف الثلثان على العتق بالأداء أو الرق بالعجز لأن الورثة على يقين من الثلثين إما بالأداء وإما بالعجز بخلاف ما لو كان له مال حاضر ومال غائب لأنه ليس على يقين من سلامة الغائب.
Jika ia tidak memiliki harta selain budak mukātab, maka dilihat keadaannya: jika harta kitābah-nya telah jatuh tempo, maka sepertiganya langsung merdeka saat itu juga, dan sisanya tetap dalam tanggungan kitābah; jika ia membayar, maka ia merdeka, dan jika tidak mampu, ia menjadi budak.
Namun jika harta kitābah-nya belum jatuh tempo, maka dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, tidak segera merdeka sedikit pun darinya, karena hal itu menyebabkan bagian sepertiga diberikan kepada pihak penerima wasiat tanpa adanya bagian yang sepadan untuk para ahli waris, dan hal itu tidak diperbolehkan—sebagaimana jika seseorang berwasiat dengan sepertiga hartanya, sementara ia memiliki harta hadir dan harta yang belum hadir (ghā’ib), maka wasiat tidak dijalankan sedikit pun sampai harta hadir cukup menjamin bagian ahli waris.
Kedua, dan ini yang menjadi ẓāhir al-madzhab, adalah bahwa sepertiganya segera merdeka, dan dua pertiganya tergantung: apakah ia membayar lalu merdeka, atau tidak mampu lalu menjadi budak; karena para ahli waris berada dalam posisi yakin terhadap dua pertiga—baik akan diperoleh melalui pembayaran maupun melalui kegagalan pembayaran—berbeda dengan kasus harta yang hadir dan harta yang ghā’ib, karena dalam kasus itu tidak ada keyakinan akan keselamatan harta yang ghā’ib.
فصل: فإن قال ضعوا عن مكاتبي أكثر ام عليه وضع عنه النصف وشيء لأنه هو الأكثر فإن قال ضعوا عنه ما شاء من كتابته فشاء الجميع فقد روى الربيع رحمه الله أنه يوضع عنه الجميع إلا شيئاً وروى المزني أنه إذا قال ضعوا عنه ما شاء فشاءها كلها وضع الجميع إلا شيئاً فمن أصحابنا من قال الصحيح مارواه الربيع لأن قوله من كتابته يقتضي التبعيض وما رواه المزني خطأ في النقل والذي يقتضيه أن يوضع عنه الكل إذا شاء لأن قوله ما شاء عدم في الكل والبعض
PASAL: Jika ia berkata, “Hapuskan dari mukātib-ku lebih dari yang menjadi tanggungannya,” maka dihapuskan darinya setengah dan sesuatu (tambahan), karena itulah yang dimaksud dengan “lebih”.
Jika ia berkata, “Hapuskan darinya sebanyak yang ia kehendaki dari tulisan tanggungannya,” lalu ia menghendaki seluruhnya, maka al-Rabī‘ meriwayatkan bahwa dihapuskan darinya seluruhnya kecuali sedikit, dan al-Muzanī meriwayatkan bahwa jika ia berkata, “Hapuskan darinya sebanyak yang ia kehendaki,” lalu ia menghendaki semuanya, maka dihapuskan seluruhnya kecuali sedikit.
Sebagian ashḥāb kami berkata: pendapat yang ṣaḥīḥ adalah riwayat al-Rabī‘ karena ucapannya “dari tulisannya” menunjukkan adanya tab‘īḍ (sebagian), sedangkan riwayat al-Muzanī adalah salah dalam periwayatan.
Dan pendapat yang lebih kuat adalah bahwa dihapuskan seluruhnya jika ia menghendakinya, karena ucapannya “sebanyak yang ia kehendaki” mencakup keseluruhan maupun sebagian.
وقال أبو إسحاق: ما نقله الربيع صحيح على ما ذكرناه وما نقله المزني أيضاً صحيح فإنه يقتضي أن يبقى من الكل شيء لأنه لو أراد وضع الجميع لقال ضعوا عنه مال الكتابة فلما علقه على ما شاء دل على أنه لم يرد الكل فإن قال ضعوا عنه ما قل وما كثر وضع الوارث عنه ما شاء من قليل وكثير لأنه ما من قدر إلا وهو قليل بالإضافة إلى ما هو أكثر وكثير بالإضافة إلى ما هو أقل منه فإن قال ضعوا عنه أكثر نجومه وضع عنه أكثرها مالاً لأن إطلاق الأكثر ينصرف إلى كثرة المال دون طول المدة فإن قال ضعوا عنه أوسط النجوم واجتمع نجومه أوسط في القدر وأوسط في المدة وأوسط في العدد كان للوارث أن يضع أي الثلاثة شاء لأن الوسط يقع على الثلاثة فإن استوى الجميع في المدة والقدر وضع عنه الأوسط في العدد فإن كانت النجوم ثلاثة وضع عنه الثاني فإن كانت أربعة وضع عنه الثاني والثالث فإن كانت خمسة وضع عنه الثالث وعلى هذا القياس.
Dan berkata Abu Ishaq: Apa yang dinukil oleh ar-Rabi‘ adalah benar sebagaimana telah kami sebutkan, dan apa yang dinukil oleh al-Muzani juga benar, karena itu mengandung pengertian bahwa dari keseluruhan itu masih tersisa sesuatu. Karena jika dia menghendaki agar seluruhnya dihapuskan, niscaya dia akan berkata: “Hapuskan dari mukatabku māl al-kitābah.” Maka, ketika dia menggantungkan penghapusan pada apa yang dia kehendaki, menunjukkan bahwa dia tidak menghendaki semuanya.
Jika dia berkata: “Hapuskan darinya yang sedikit maupun yang banyak,” maka pewaris boleh menghapuskan apa saja yang dia kehendaki dari sedikit maupun banyak. Karena tidak ada satu kadar pun kecuali ia dianggap sedikit dibanding yang lebih banyak, dan dianggap banyak dibanding yang lebih sedikit darinya.
Jika dia berkata: “Hapuskan darinya sebagian besar nujūm-nya,” maka yang dihapus adalah sebagian besar dari nilai hartanya, karena kata “sebagian besar” jika disebut secara mutlak mengarah pada jumlah harta, bukan lamanya waktu.
Jika dia berkata: “Hapuskan darinya al-najm al-awsat,” sedangkan nujūm-nya berkumpul pada yang pertengahan dari sisi jumlah harta, waktu jatuh tempo, dan banyaknya jumlah, maka pewaris boleh menghapuskan salah satu dari tiga hal itu yang dia kehendaki, karena istilah “pertengahan” berlaku atas ketiganya.
Jika seluruhnya sama dalam hal waktu dan kadar, maka yang dihapuskan adalah pertengahan dari sisi jumlah, yaitu: jika nujūm-nya tiga, maka dihapus yang kedua; jika empat, maka dihapus yang kedua dan ketiga; jika lima, maka dihapus yang ketiga. Dan berdasarkan hal ini diukur seterusnya.
فصل: وإن كاتب عبده كتابة فاسدة ثم أوصى لرجل بما في ذمته لم تصح الوصية لأنه لا شيء له في ذمته فصار كما لو وصى بمال في ذمة حر ولا شيء له في ذمته وإن وصى له بما يقبضه منه صحت الوصية لأنه أضاف إلى مال يملكه فصار كما لو وصى له برقبة مكاتب إذا عجزه وفي هذا عندي نظر لأنه لا يملكه بالقبض وإنما يعتق بحكم الصفة كما يعتق بقبض الخمر إذا كاتبه عليه ثم لا يملكه وإن وصى برقبته والكتابة فاسد نظرت فإن لم يعلم بفساد الكتابة ففيه قولان: أحدهما أن الوصية جائزة لأنها صادفت ملكه والثاني أنها باطلة لأنه وصى وهو يعتقد أنه يملك الوصية وإن وصى بها وهو يعلم أن الكتابة فاسدة صحت الوصية قولاً واحداً كما لو باع من رجل شيئاً بيعاً فاسداً ثم باعه من غيره وهو يعلم فساد البيع الأول ومن أصحابنا من قال: القولان في الجميع ويخالف البيع فإن فاسده لا يجري مجرى الصحيح في الملك وفي الكتابة الفاسدة كالصحيح في العتق والصحيح هو الطريقة الأولى.
PASAL: Jika seseorang mukatib budaknya dengan kitābah yang fasid, lalu ia berwasiat kepada seseorang dengan apa yang ada di dalam tanggungan budak tersebut, maka wasiat itu tidak sah karena tidak ada sesuatu pun yang menjadi tanggungannya, sehingga keadaannya seperti orang yang berwasiat dengan harta yang berada dalam tanggungan orang merdeka padahal tidak ada apa pun dalam tanggungannya.
Namun jika ia berwasiat dengan apa yang akan diterimanya dari budak tersebut, maka wasiat itu sah karena ia mengaitkannya dengan harta yang dimilikinya, sehingga seperti orang yang berwasiat dengan kepemilikan budak mukatab apabila ia dinyatakan gagal (mu‘jiz). Dalam hal ini, menurutku masih perlu dipertimbangkan, karena ia tidak memilikinya dengan sekadar menerima, melainkan budak itu merdeka dengan hukum sifat, sebagaimana budak itu merdeka dengan menerima khamar jika ia membuat kitābah atas dasar khamar, maka ia tetap tidak memilikinya.
Jika ia berwasiat dengan kepemilikan budak tersebut, sedangkan kitābah-nya fasid, maka hal ini perlu diteliti: jika ia tidak mengetahui kerusakan kitābah tersebut, maka ada dua pendapat. Pertama, wasiat itu sah karena bersesuaian dengan kepemilikannya. Kedua, wasiat itu batal karena ia berwasiat dalam keadaan meyakini bahwa ia berhak mewasiatkan.
Jika ia berwasiat dengan hal itu dalam keadaan mengetahui bahwa kitābah-nya fasid, maka wasiatnya sah menurut satu pendapat, sebagaimana jika seseorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan akad yang fasid, kemudian menjualnya lagi kepada orang lain dalam keadaan mengetahui kerusakan akad pertama.
Sebagian ulama kami berkata: kedua pendapat berlaku pada seluruh kondisi, dan ini berbeda dengan akad jual beli, karena jual beli yang fasid tidak berlaku seperti yang sah dalam hal kepemilikan. Sedangkan dalam kitābah yang fasid, ia seperti kitābah yang sah dalam hal memerdekakan. Pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama.
فصل: وإن وصى بحج فرض من رأس المال حج عنه من الميقات لأن الحج من الميقات وما قبله سبب إليه فإن وصى به من الثلث ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه يحج عنه من بلده فإن عجز الثلث عنه تمم من رأس المال لأنه يجب عليه الحج من بلده والثاني وهو قول أكثر أصحابنا أنه من الميقات لأن الحج يجب بالشرع من الميقات فحملت الوصية عليه وإن أوصى أن يجعل جميع الثلث في الحج الفرض حج عنه من بلده وإن عجز الثلث عن ذلك جح عنه من حيث أمكن من طريقه وإن عجز عن الحج من الميقات تمم من رأس المال ما يحج من الميقات لأن الحج من الميقات مستحق من رأس المال وإنما جعله من الثلث توفيراً على الورثة فإذا لم يف الثلث بالجميع بقي فيما لم يف من رأس المال.
PASAL: Jika seseorang berwasiat agar dilaksanakan ḥajj fardu dari ra’s al-māl, maka dilaksanakan ḥajj tersebut darinya mulai dari mīqāt, karena ḥajj itu dimulai dari mīqāt, dan apa yang sebelumnya hanyalah sebab untuk menuju ke sana.
Jika ia mewasiatkan agar ḥajj tersebut diambil dari sepertiga harta, maka terdapat dua wajah:
Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq, bahwa ḥajj dilaksanakan dari negerinya. Jika sepertiga harta tidak mencukupi, maka sisanya ditambahkan dari ra’s al-māl, karena kewajiban ḥajj atasnya adalah dari negerinya.
Kedua, yaitu pendapat mayoritas aṣḥāb-kami, bahwa ḥajj dilakukan dari mīqāt, karena menurut syariat kewajiban ḥajj dimulai dari mīqāt, maka wasiat tersebut ditafsirkan atas dasar itu.
Jika ia mewasiatkan agar seluruh sepertiga hartanya digunakan untuk ḥajj fardu, maka ḥajj dilaksanakan dari negerinya. Jika sepertiga tidak mencukupi untuk itu, maka dilakukan ḥajj dari tempat yang memungkinkan sepanjang perjalanannya.
Jika tidak memungkinkan ḥajj dari mīqāt, maka sisanya ditambahkan dari ra’s al-māl untuk mencukupi biaya ḥajj dari mīqāt, karena ḥajj dari mīqāt adalah kewajiban yang harus ditunaikan dari ra’s al-māl, hanya saja dia menjadikannya dari sepertiga sebagai bentuk penghematan terhadap warisan. Maka jika sepertiga tidak mencukupi seluruhnya, sisanya ditutup dari ra’s al-māl.
فصل: وإن أوصى بحج التطوع وقلنا إنه تدخله النيابة نظرت فإن قال أحجوا بمائة من ثلثي حج عنه من حيث أمكن وإن لم يوجد من يحج بهذا القدر بطلت الوصية وعاد المال إلى الورثة لأنها تعذرت فبطلت كما لو أوصى لرجل بمال فرده وإن قال أحجوا عني بثلثي صرف الثلث فيما أمكن من عدد الحجج فإن اتسع المال لحجة أو حجتين وفضل ما لايكفي لحجة أخرى من بلده حج من حيث أمكن من دون بلده إلى الميقات فإن عجز الفضل عن حجة من الميقات رد الفضل إلى الورثة وإن أمكن أن يعتمر به لم يفعل لأن الموصى له هو الحج دون العمرة فإن قال أحجوا عني حج عنه بأجرة المثل من حيث أمكن من بلده إلى الميقات فإن عجز الثلث عن حجة من الميقات بطلت الوصية لما ذكرناه.
PASAL: Jika seseorang berwasiat untuk ḥajj taṭawwu‘ dan kita berpendapat bahwa ibadah ini dapat diwakilkan, maka perlu ditinjau: jika ia berkata, “Lakukan ḥajj dengan seratus dari sepertiga hartaku,” maka dilakukan ḥajj atas namanya dari tempat yang memungkinkan dengan biaya tersebut. Jika tidak ditemukan orang yang bersedia ḥajj dengan jumlah itu, maka wasiatnya batal dan hartanya kembali kepada para ahli waris, karena wasiat itu mustahil dilaksanakan, maka batal sebagaimana jika seseorang berwasiat kepada seseorang dengan harta lalu orang itu menolaknya.
Jika ia berkata, “Lakukan ḥajj atas namaku dengan sepertiga hartaku,” maka sepertiga itu digunakan untuk membiayai jumlah ḥajj sebanyak yang memungkinkan. Jika hartanya cukup untuk satu atau dua ḥajj, dan tersisa sejumlah uang yang tidak mencukupi untuk satu ḥajj dari negerinya, maka dilakukan ḥajj dari tempat terdekat yang memungkinkan, yaitu dari luar negerinya sampai ke mīqāt.
Jika sisa dana itu tidak mencukupi untuk biaya ḥajj dari mīqāt, maka sisa itu dikembalikan kepada para ahli waris. Jika memungkinkan untuk digunakan ‘umrah, maka tidak digunakan, karena yang diwasiatkan adalah ḥajj, bukan ‘umrah.
Jika ia berkata, “Lakukan ḥajj atas namaku,” maka dilakukan ḥajj atas namanya dengan upah yang sepadan dari tempat yang memungkinkan, yaitu dari negerinya sampai ke mīqāt. Jika sepertiga harta tidak cukup untuk biaya ḥajj dari mīqāt, maka wasiatnya batal sebagaimana telah dijelaskan.
فصل: وإن وصى أن يحج عنه بمائة ويدفع ما يبقى من الثلث إلى آخر وأوصى بالثلث لثالث فقد وصى بثلثي ماله فإن كان الثلث مائة سقطت وصيته للموصى له بالباقي لأن وصيته فيما يبقى بعد المائة ولم يبق شيء فإن أجاز الورثة دفع إلى الموصى له بالثلث ثلثه وهو مائة وإلى الموصى له بالمائة مائة وإن لم يجيزوا قسم الثلث بين الموصى له بالثلث وبين الموصى له بالمائة نصفين لأنهما اتفقا في قدر ما يستحقان وهو المائة فإن كان الثلث أكثر من مائة وأجاز الورثة دفع الثلث إلى الموصى له بالثلث ودفع مائة إلى الموصى له بالمائة ودفع ما بقي إلى الموصى له بالباقي وإن لم يجيزوا ما زاد على الثلث ردت الوصية إلى نصفها وهو الثلث فيدفع إلى الموصى له بالثلث نصف الثلث وفي النصف الآخر وجهان:
PASAL: Jika seseorang berwasiat agar dihajikan untuknya dengan seratus, dan apa yang tersisa dari sepertiga harta diberikan kepada orang lain, dan ia juga berwasiat dengan sepertiga harta untuk orang ketiga, maka berarti ia telah berwasiat dengan dua pertiga hartanya.
Jika sepertiga harta hanya seratus, maka gugurlah wasiatnya untuk penerima wasiat bagian sisa, karena wasiat itu bergantung pada sisa setelah seratus, sedangkan tidak ada yang tersisa.
Jika para ahli waris mengizinkan, maka diberikan kepada penerima wasiat sepertiga harta bagian sepertiganya, yaitu seratus, dan kepada penerima wasiat bagian seratus, juga seratus.
Namun jika mereka tidak mengizinkan, maka sepertiga harta dibagi dua antara penerima wasiat sepertiga dan penerima wasiat seratus, karena keduanya sepakat dalam jumlah yang berhak diterima, yaitu seratus.
Jika sepertiga lebih dari seratus dan para ahli waris mengizinkan, maka diberikan sepertiga kepada penerima wasiat sepertiga, dan seratus kepada penerima wasiat bagian seratus, dan sisanya kepada penerima wasiat bagian sisa.
Namun jika mereka tidak mengizinkan kelebihan atas sepertiga, maka wasiat dikembalikan kepada setengahnya, yaitu sepertiga harta. Maka diberikan kepada penerima wasiat sepertiga, setengah dari sepertiga. Adapun pada setengah sisanya, terdapat dua wajah:
أحدهما يقدم فيه الموصى له بالمائة ولايدفع إلى الموصى له بالباقي شيء حتى يأخذ الموصى له بالمائة حقه وإن كان قد اعتد به مع الموصى له بالمائة في إحراز الثلث إلا أن حقه فيما يبقى بعد المائة فلا يأخذ شيئاً قبل أن يستوفي الموصى له بالباقي ما يبقى والوجه الثاني أن الموصى له بالمائة والموصى له بالباقي يقسمان النصف على قدر وصيتهما من الثلث فإن كانا مائتين اقتسما المائة نصفين لكل واحد منهما خمسون وإن كان مائة وخمسون اقتسما الخمسة والسبعين أثلاثاً للموصى له بالمائة خمسون وللموصى له بالباقي خمسة وعشرون وعلى هذا القياس لأنه إنما أوصى له بالمائة من كل الثلث لا من بعضه فلم يجز أن يأخذ من نصف الثلث ما كان يأخذ من جميعه كأصحاب المواريث إذا زاحمهم من له فرض أو وصية.
Wajah pertama: didahulukan penerima wasiat bagian seratus, dan tidak diberikan apa pun kepada penerima wasiat bagian sisa sampai penerima wasiat bagian seratus menerima haknya. Meskipun penerima bagian sisa telah dihitung bersama penerima seratus dalam memperebutkan sepertiga, tetapi haknya bergantung pada sisa setelah seratus. Maka ia tidak mengambil apa pun sebelum penerima seratus menerima apa yang menjadi haknya.
Wajah kedua: penerima wasiat bagian seratus dan penerima bagian sisa membagi setengah sepertiga itu sesuai kadar wasiat masing-masing dari sepertiga. Maka jika jumlah keduanya dua ratus, keduanya membagi seratus setengah-setengah, masing-masing lima puluh. Jika jumlah keduanya seratus lima puluh, maka mereka membagi tujuh puluh lima menjadi tiga bagian: untuk penerima bagian seratus lima puluh, dan untuk penerima bagian sisa dua puluh lima. Dan ini dijadikan ukuran seterusnya.
Karena penerima bagian seratus diberi wasiat dari keseluruhan sepertiga, bukan hanya dari sebagian sepertiga, maka tidak boleh ia mengambil dari setengah sepertiga sebagaimana yang ia ambil dari keseluruhan. Hal ini seperti orang-orang yang memiliki hak waris bila bersaing dengan yang memiliki bagian tertentu atau wasiat.
فصل: وإن بدأ فوصى بثلث ماله لرجل ثم وصى لمن يحج عنه بمائة ووصى لآخر بما يبقى من الثلث ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق إن الوصية بالباقي بعد المائة باطلة لأن الوصية بالثلث تمنع من أن يبقى شيء من الثلث فعلى هذا إن أجاز الورثة نقدت الوصيتان وإن لم يجيزوا ردت الوصية إلى الثلث فإن كان الثلث مائة استوت وصيتهما فيقتسمان الثلث بينهما نصفين وإن كان الثلث خمسمائة قسم الثلث بينهما على ستة أسهم للموصى له بالثلث خمسة أسهم
PASAL: Jika seseorang memulai dengan berwasiat sepertiga hartanya kepada seseorang, kemudian berwasiat agar seseorang menghajikannya dengan seratus, lalu berwasiat kepada orang lain dengan sisa dari sepertiga, maka terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama—yaitu pendapat Abū Isḥāq—menyatakan bahwa wasiat dengan sisa setelah seratus adalah batal, karena wasiat pertama dengan sepertiga menghalangi kemungkinan adanya sisa dari sepertiga. Maka, menurut pendapat ini, jika para ahli waris mengizinkan, maka kedua wasiat dilaksanakan. Jika tidak mengizinkan, maka dikembalikan kepada sepertiga.
Jika sepertiga harta adalah seratus, maka keduanya memiliki kedudukan yang sama, dan mereka membagi sepertiga itu menjadi dua bagian sama rata. Namun jika sepertiga harta adalah lima ratus, maka sepertiga itu dibagi atas enam bagian, dan untuk orang yang diwasiati sepertiga diberikan lima bagian.
وللموصى له بالمائة سهم فإن كان الثلث ألفاً قسم على أحد عشر سهماً للموصى له بالثلث عشرة أسهم وللموصى له بالمائة سهم والوجه الثاني وهو قول أبي على بن أبي هريرة إن الحكم في هذه المسألة كالحكم في المسألة قبلها لأنه إذا أوصى بالمائة بعد الثلث علم أنه لم يرد ذلك الثلث لأن الوصية الأولى قد استوعبته وإنما أراد ثلثاً ثانياً فإذا أوصى بعد المائة بما يبقى من الثلث دل على أنه أراد ما يبقى من الثلث الثاني فصار موصياً بثلثي ماله كالمسألة قبلها.
Dan bagi penerima wasiat seratus, ia mendapatkan satu saham. Jika sepertiga harta berjumlah seribu, maka dibagi menjadi sebelas saham: untuk penerima wasiat sepertiga diberikan sepuluh saham, dan untuk penerima wasiat seratus satu saham.
Pendapat kedua—yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah—menyatakan bahwa hukum dalam permasalahan ini sama seperti hukum dalam permasalahan sebelumnya. Karena ketika ia berwasiat dengan seratus setelah wasiat dengan sepertiga, maka dipahami bahwa ia tidak menginginkan seratus itu dari sepertiga yang pertama, sebab wasiat pertama telah mencakup seluruh sepertiga. Ia menghendaki seratus itu dari sepertiga kedua. Lalu ketika ia berwasiat setelah seratus dengan “sisa dari sepertiga,” maka itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sisa dari sepertiga yang kedua. Maka ia telah mewasiatkan dua pertiga dari hartanya, sebagaimana permasalahan sebelumnya.
فصل: وإن وصى لرجل بعبد ولآخر بما بقي من الثلث قوم العبد مع التركة بعد موت الموصى فإن خرج من الثلث دفع إلى الموصى له فإن بقي من الثلث شيء دفع إلى الآخر وإن لم يبق شيء بطلت الوصية بالباقي لأن وصيته فيما بقي وإن أصاب العبد عيب بعد موت الموصي قوم سليماً ودفع إلى الموصى له بالباقي لأنه وصى له بالباقي من قيمته وهو سليم وإن مات العبد بعد موت الموصي بطلت الوصية فيه وقوم وقت الموت مع التركة ودفع إلى الموصى له الباقي من الثلث لأنهما وصيتان فلا تبطل إحداهما ببطلان الأخرى كما لو وصى لرجلين فرد أحدهما.
PASAL: Jika seseorang berwasiat kepada seorang lelaki dengan seorang budak, dan kepada orang lain dengan sisa dari sepertiga harta, maka budak itu dinilai bersama harta peninggalan setelah wafatnya pewasiat. Jika nilainya masuk dalam sepertiga, maka budak itu diberikan kepada penerima wasiat. Jika masih ada sisa dari sepertiga, maka diberikan kepada orang yang diberi sisa. Jika tidak ada sisa, maka batal wasiat untuk sisa tersebut, karena wasiat itu tergantung pada apa yang tersisa. Jika budak itu terkena cacat setelah wafatnya pewasiat, maka ia dinilai dalam keadaan sehat dan diserahkan kepada penerima sisa karena ia diberi wasiat berupa sisa dari nilai budak saat sehat. Jika budak itu mati setelah wafatnya pewasiat, maka wasiat tentang budak itu batal dan ia dinilai pada waktu wafat bersama harta peninggalan, lalu diberikan kepada penerima sisa dari sepertiga, karena keduanya merupakan dua wasiat, maka tidak gugur salah satunya karena gugurnya yang lain sebagaimana jika seseorang berwasiat kepada dua orang lalu salah satunya menolak.
فصل: فإن وصى له بمنفعة عبد ملك الموصى له منافعه واكتسابه فإن كان جارية ملك مهرها لأنه بدل منفعتها ولا يجوز للمالك وطؤها لأنه تملك الرقبة من غير منفعة ولا للموصى له وطؤها لأنها تملك المنفعة من غير الرقبة والوطء لا يجوز إلا في ملك تام ويجوز تزويجها لاكتساب المهر وفيمن يملك العقد ثلاثة أوجه: أحدها يملكه الموصى له بالمنفعة لأن المهر له والثاني يملكه المالك لأنه يملك رقبتها والثالث لا يصح العقد إلا باتفاقهما لأن لكل واحد منهما حقاً فلا ينفرد به أحدهما دون الآخر فإن أتت بولد مملوك ففيه وجهان: أحدهما أنه للموصى له لأنه من جملة فوائدها فصار كالكسب والثاني أنه كالأم رقبته للمالك ومنفعته للموصى له لأنه جزء من الأم فكان حكمه حكم الأم فإن قتل ففي قيمته وجهان: أحدهما أنها للمالك لأنها بدله فكانت له
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan manfaat seorang budak, maka yang menerima wasiat memiliki kepemilikan atas manfaat dan penghasilan budak tersebut. Jika budak tersebut adalah seorang perempuan, maka ia juga memiliki maharnya karena mahar adalah pengganti dari manfaatnya. Namun pemilik budak tidak boleh menyetubuhinya karena ia hanya memiliki tubuh (bukan manfaat), dan penerima wasiat juga tidak boleh menyetubuhinya karena ia hanya memiliki manfaat (bukan tubuh), sedangkan jima‘ hanya boleh dilakukan dalam kepemilikan yang sempurna.
Namun, boleh menikahkannya untuk mendapatkan mahar. Dalam hal siapa yang memiliki hak untuk melakukan akad nikah, terdapat tiga pendapat:
Pertama, yang memiliki hak akad adalah penerima wasiat atas manfaat karena mahar menjadi miliknya.
Kedua, yang memiliki hak akad adalah pemilik budak karena ia yang memiliki tubuhnya.
Ketiga, akad tidak sah kecuali dengan kesepakatan keduanya karena masing-masing memiliki hak, sehingga tidak boleh salah satunya bertindak sendiri.
Jika budak perempuan itu melahirkan anak, maka ada dua pendapat:
Pertama, anak tersebut menjadi milik penerima wasiat karena ia termasuk hasil dari manfaat, seperti halnya penghasilan kerja.
Kedua, anak itu mengikuti status ibunya: tubuhnya milik pemilik budak dan manfaatnya milik penerima wasiat, karena ia adalah bagian dari ibu, maka hukumnya mengikuti ibu.
Jika anak itu terbunuh, maka dalam hal nilai kompensasinya terdapat dua pendapat:
Pertama, kompensasinya milik pemilik budak karena ia adalah pengganti dari tubuh budak tersebut, sehingga menjadi miliknya.
والثاني وهو الصحيح أنه يشتري به مثله للمالك رقبته وللموصى له منفعته لأنه قائم مقام الأصل فكان حكمه كحكم الأصل فإن جنى على طرفه ففي أرشه وجهان: أحدهما أنه للمالك لأنه بدل ملكه والثاني وهو الصحيح أن ما قابل منه ما نقص من قيمة الرقبة للمالك وما قابل منه ما نقص من المنفعة للموصى له لأنه دخل النقص عليهما فقسط الأرش عليهما فإن احتاج العبد إلى نفقة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها وهو قول أبو سعيد الاصطخري أن النفقة على الموصى له بالمنفعة لأن الكسب له
dan yang kedua, dan inilah yang ṣaḥīḥ, ialah dibelikan budak yang sepadan, untuk pemilik bagian raqabah-nya dan untuk penerima wasiat bagian manfaatnya, karena budak tersebut menggantikan asalnya, maka hukumnya seperti hukum asal. Maka jika budak itu melakukan pelukaan terhadap anggota tubuhnya, maka arsy-nya (ganti rugi) terdapat dua wajah: yang pertama, arsy itu milik pemilik raqabah, karena ia pengganti dari miliknya; dan yang kedua, dan inilah yang ṣaḥīḥ, bahwa bagian yang mengurangi nilai raqabah adalah milik pemiliknya, dan bagian yang mengurangi nilai manfaat adalah milik penerima wasiat, karena kerugian menimpa keduanya, maka arsy dibagi di antara keduanya. Jika budak tersebut membutuhkan nafkah, maka terdapat tiga wajah: yang pertama, dan ini adalah pendapat Abu Saʿīd al-Iṣṭakhrī, bahwa nafkah menjadi tanggung jawab penerima wasiat atas manfaat, karena hasil kerja budak itu untuknya.
والثاني أنها على المالك وهو قول أبي علي بن أبي هريرة لأن النفقة على الرقبة فكانت على مالكها والثالث أنها في كسبه فإن لم يف الكسب ففي بيت المال لأنه لا يمكن إيجابها على المالك لأنه لا يملك الإنتفاع ولا على الموصى له لأنه لا يملك الرقبة فلم يبق إلا ما قلناه فغن احتاج البستان الموصى بثمرته إلى سقي أو الدار الموصى بمنفعتها إلى عمارة لم يجب على واحد منهما لأنه لو انفرد كل واحد منهما بملك الجميع يجبر على الإنفاق فإذا اشتركا لم يجب.
dan yang kedua, bahwa nafkah itu menjadi tanggungan pemilik, dan ini adalah pendapat Abu ʿAlī bin Abī Hurairah, karena nafkah itu mengikuti raqabah, maka menjadi tanggungan pemiliknya. Dan yang ketiga, bahwa nafkah diambil dari hasil kerja budak tersebut, jika hasil kerjanya tidak mencukupi maka diambil dari Bayt al-Māl, karena tidak mungkin mewajibkan nafkah itu kepada pemilik, sebab ia tidak memiliki hak mengambil manfaat, dan tidak pula kepada penerima wasiat karena ia tidak memiliki raqabah, maka tidak tersisa kecuali seperti yang telah kami sebutkan. Maka jika kebun yang diwasiatkan buahnya membutuhkan pengairan, atau rumah yang diwasiatkan manfaatnya membutuhkan perbaikan, maka tidak wajib atas salah satu dari keduanya, karena jika salah satu dari keduanya memiliki keseluruhan, ia dipaksa untuk membiayai perawatan, maka apabila kepemilikan itu terbagi, tidak menjadi wajib.
فصل: فإن أراد المالك بيع الرقبة ففيه ثلاثة أوجه: أحدها أنه يجوز لأنه يملكها ملكاً تاماً والثاني أنه لا يجوز لأنها عين مسلوبة المنفعة فلم يجز بيعها كالأعيان التي لامنفعة فيها والثالث يجوز بيعها من الموصى له لأنه يمكنه الانتفاع بها ولا يجوز من غيره لأنه لا يمكنه الإنتفاع بها فإن أراد أن يعتقه جاز لأنه يملكه ملكاً تاماً وللموصى له أن يستوفي المنفعة بعد العتق لأنه تصرف في الرقبة فلم يبطل به حق الموصى له من المنفعة ولا يرجع العبد على المالك بأجرته كما يرجع العبد المستأجر على مولاه بعد العتق في أحد القولين لأن هناك ملك بدل منفعته ولم يملك المولى ههنا بدل المنفعة.
PASAL: Jika pemilik ingin menjual raqabah (hak kepemilikan budak), maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, boleh menjualnya karena ia memilikinya dengan kepemilikan yang sempurna.
Kedua, tidak boleh karena ia adalah benda yang tidak memiliki manfaat, maka tidak sah menjualnya seperti benda-benda yang tidak memiliki manfaat.
Ketiga, boleh dijual kepada pihak yang diwasiati manfaatnya karena ia dapat mengambil manfaat darinya, namun tidak boleh dijual kepada selainnya karena tidak dapat mengambil manfaat darinya.
Jika pemilik ingin memerdekakannya, maka itu diperbolehkan karena ia memilikinya dengan kepemilikan yang sempurna, dan pihak yang diwasiati tetap berhak mengambil manfaat setelah budak tersebut merdeka, karena tindakan itu hanya berkaitan dengan raqabah dan tidak membatalkan hak pihak yang diwasiati atas manfaat tersebut.
Dan budak tersebut tidak kembali menuntut kepada pemilik terkait upahnya sebagaimana budak yang disewa menuntut kepada tuannya setelah merdeka menurut salah satu dari dua pendapat, karena pada kasus sewa, tuan memiliki imbalan atas manfaatnya, sementara pada kasus ini tuan tidak memiliki imbalan atas manfaat.
باب الرجوع في الوصية
يجوز الرجوع في الوصية لأنها عطية لم تزل الملك فجاز الرجوع فيها كالهبة قبل القبض ويجوز الرجوع بالقول والتصرف لأنه فسخ عقداً قبل إتمامه فجاز بالقول والتصرف كفسخ البيع في مدة الخيار وفسخ الهبة قبل القبض وإن قال هو حرام عليه فهو رجوع لأنه لا يجوز أن يكون وصية وهو محرم عليه فإن قال لوارثي فهو رجوع لأنه لا يجوز أن يكون للوارث وللموصى له وإن قال هو تركتي ففيه وجهان: أحدهما أنه رجوع لأن التركة للورثة والثاني أنه ليس برجوع لأن الوصية من جملة التركة.
PASAL: Tentang Menarik Kembali Wasiat
Boleh menarik kembali wasiat karena wasiat adalah pemberian yang belum mengeluarkan harta dari kepemilikan, maka boleh ditarik kembali seperti hibah sebelum diterima. Boleh menarik kembali wasiat dengan ucapan maupun tindakan, karena itu adalah pembatalan akad sebelum sempurna, maka boleh dibatalkan dengan ucapan dan tindakan sebagaimana pembatalan jual beli dalam masa khiyār dan pembatalan hibah sebelum diterima.
Jika ia berkata, “Itu haram atasnya,” maka itu adalah bentuk penarikan kembali, karena tidak boleh dianggap sebagai wasiat padahal ia mengharamkannya atas yang menerima. Jika ia berkata, “Itu untuk ahli warisku,” maka itu adalah penarikan kembali, karena tidak boleh sesuatu itu menjadi milik ahli waris sekaligus milik yang diberi wasiat.
Jika ia berkata, “Itu adalah peninggalkanku,” maka ada dua pendapat:
Pertama, itu adalah penarikan kembali karena peninggalan adalah milik para ahli waris.
Kedua, itu bukan penarikan kembali karena wasiat termasuk bagian dari peninggalan.
فصل: وإن وصى لرجل بعبد ثم وصى به لآخر لم يكن ذلك رجوعاً لإمكان أن يكون نسي الأول أو قصد الجمع بينهما فإن قال ما وصيت به لفلان فقد وصيت به لآخر فهو رجوع ومن أصحابنا من قال: ليس برجوع كالمسألة قبلها والمذهب الأول لأنه صرح بالرجوع.
PASAL: Jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki dengan seorang budak, lalu berwasiat lagi dengan budak tersebut kepada orang lain, maka hal itu tidak dianggap sebagai penarikan wasiat karena ada kemungkinan ia lupa yang pertama atau ia bermaksud menggabungkan keduanya. Namun jika ia berkata, “Apa yang aku wasiatkan kepada si Fulan, maka aku telah wasiatkan kepada orang lain,” maka itu adalah penarikan wasiat. Sebagian dari kalangan kami berpendapat: itu bukan penarikan wasiat, sebagaimana permasalahan sebelumnya. Namun madzhab yang pertama lebih kuat karena ia telah secara jelas menyatakan penarikan.
فصل: وإن باعه أو وهبه وأقبض أو أعتقه أو كاتبه أو أوصى أن يباع أو يوهب ويقبض أو يعتق أو يكاتب فهو رجوع لأنه صرفه عن الموصى له وإن عرضه للبيع أو رهنه في دين أو وهبه ولم يقبضه فهو رجوع لأن تعريضه لزوال الملك صرف عن الموصى له ومن أصحابنا من قال أنه ليس برجوع لأنه لم يزل الملك وليس بشيء وإن وصى بثلث ماله ثم باع ماله لم يكن ذلك رجوعاً لأن الوصية بثلث المال عند الموت إلا بثلث ما باعه
PASAL:
Jika ia menjual atau menghadiahkan (barang yang diwasiatkan) dan telah menyerahkannya, atau memerdekakannya, atau melakukan mukātabah, atau berwasiat agar dijual, dihibahkan dan diserahkan, atau dimerdekakan, atau dimukātabahkan, maka itu adalah penarikan kembali karena ia telah mengalihkan barang itu dari pihak yang diberi wasiat.
Jika ia menawarkannya untuk dijual, atau menggadaikannya dalam suatu utang, atau memberikannya sebagai hibah namun belum diserahkan, maka itu juga merupakan penarikan kembali karena menjadikannya dalam kemungkinan keluar dari kepemilikannya adalah pengalihan dari pihak yang diberi wasiat.
Namun sebagian dari kalangan kami berkata: itu bukanlah penarikan kembali karena kepemilikannya belum hilang — dan pendapat ini tidak dapat diandalkan.
Jika ia berwasiat dengan sepertiga hartanya, lalu ia menjual hartanya, maka hal itu bukanlah penarikan kembali, karena wasiat dengan sepertiga harta berlaku saat kematian, kecuali atas sepertiga dari harta yang telah dijual.
فإن وصى بعبد ثم دبره فإن قلنا إن التدبير عتق بصفة كان ذلك رجوعاً لأنه عرضه لزوال الملك وإن قلنا إنه وصية وقلنا في أحد القولين إن العتق يقدم على سائر الوصايا كان ذلك رجوعاً لأنه أقوى من الوصية فأبطلها وإن قلنا إن العتق كسائر الوصايا ففيه وجهان: أحدهما أن ليس برجوع فيكون نصفه مدبراً ونصفه موصى به كما لو أوصى به لرجل ثم وصى به لآخر والثاني أنه رجوع لأن التدبير أقوى لأنه يتنجز من غير قبول والوصية لا تتم إلا بالقبول فقدم التدبير كما يقدم ما تنجز في حياته من التبرعات على الوصية.
Jika ia berwasiat tentang seorang budak, lalu menjadikannya mudabbir, maka jika kita mengatakan bahwa tadbīr adalah pembebasan dengan syarat, maka hal itu merupakan penarikan kembali karena ia telah menjadikannya dalam posisi bisa keluar dari kepemilikan.
Dan jika kita mengatakan bahwa tadbīr itu sendiri adalah wasiat, dan kita berpendapat — menurut salah satu dari dua pendapat — bahwa pembebasan lebih didahulukan dari seluruh wasiat, maka itu juga merupakan penarikan kembali karena pembebasan lebih kuat daripada wasiat, maka ia membatalkannya.
Namun jika kita berpendapat bahwa pembebasan itu sama dengan wasiat yang lain, maka terdapat dua wajah:
Pertama, hal itu bukanlah penarikan kembali, maka budak tersebut setengahnya menjadi mudabbir dan setengahnya lagi diberikan berdasarkan wasiat, sebagaimana jika ia berwasiat kepada satu orang lalu berwasiat kepada orang lain.
Kedua, bahwa itu adalah penarikan kembali, karena tadbīr lebih kuat, sebab ia menjadi sah tanpa memerlukan penerimaan, sedangkan wasiat tidak sempurna kecuali dengan penerimaan. Maka tadbīr lebih didahulukan, sebagaimana pemberian yang langsung dilaksanakan semasa hidup lebih didahulukan daripada wasiat.
فصل: وإن وصى له بعبد ثم زوجه أو أجره أو علمه صنعة أو ختنه لم يكن ذلك رجوعاً لأن هذه التصرفات لا تنافي الوصية فإن كانت جارية فوطئها لم يكن ذلك رجوعاً لأنه استيفاء منفعة فلم يكن رجوعاً كالاستخدام وقال أبو بكر بن الحداد المصري إن عزل عليها لم يكن رجوعاً وإن لم يعزل عنها كان رجوعاً لأنه قصد التسري بها.
PASAL: Jika ia berwasiat kepadanya dengan seorang budak lalu ia menikahkan, menyewakannya, mengajarkan suatu keahlian, atau mengkhitannya, maka itu tidak termasuk penarikan wasiat karena tindakan-tindakan tersebut tidak bertentangan dengan wasiat. Jika budak itu perempuan lalu ia menggaulinya, maka itu bukan penarikan wasiat karena merupakan pemanfaatan, maka tidak dianggap sebagai penarikan sebagaimana penggunaan lainnya. Abu Bakr bin al-Ḥaddād al-Miṣrī berkata: Jika ia ‘azl darinya maka tidak dianggap penarikan, tetapi jika ia tidak ‘azl maka itu dianggap penarikan karena ia bermaksud menjadikannya selir.
فصل: وإن وصى بطعام معين فخلطه بغير كان ذلك رجوعاً لأنه جعله على صفة لا يمكن تسليمه فإن وصى بقفيز من صبرة ثم خلط الصبرة بمثلها لم يكن ذلك رجوعاً لأن الوصية مختلطة بمثلها والذي خلط به مثله فلم يكن ذلك رجوعاً فإن خلطه بأجود منه كان رجوعاً لأنه أحدث فيه بالخلط زيادة لم يرض بتمليكها فإن خلطه بما دونه ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي علي بن أبي هريرة إنه ليس برجوع لأنه نقص حدثه فيه فلم يكن رجوعاً كما لو أخلف بعضه والثاني أنه رجوع لأنه يتغير بما دونه كما يتغير بما هو أجود منه فإن نقله إلى بلد أبعد بلد الموصى له ففيه وجهان: أحدهما أنه رجوع لأنه لو لم يرد الرجوع لما أبعده عنه والثاني أنه ليس برجوع لأنه باق على صفته.
PASAL:
Jika seseorang berwasiat dengan makanan tertentu, lalu ia mencampurnya dengan yang lain, maka itu adalah penarikan kembali karena ia telah menjadikannya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk diserahkan.
Namun jika ia berwasiat dengan satu qafīz dari setumpukan makanan, lalu ia mencampurkan tumpukan itu dengan yang sejenis, maka itu bukanlah penarikan kembali karena wasiat itu memang bagian dari campuran tersebut, dan yang dicampurkan adalah sejenis, maka tidak dianggap sebagai penarikan kembali.
Jika ia mencampurnya dengan yang lebih baik, maka itu adalah penarikan kembali karena ia telah menambahkan kualitas pada barang itu dengan pencampuran yang tidak ia rela untuk memberikannya.
Jika ia mencampurnya dengan yang kualitasnya lebih rendah, maka ada dua wajah:
Pertama, menurut pendapat Abū ʿAlī ibn Abī Hurairah, itu bukan penarikan kembali karena itu hanyalah penurunan kualitas, maka tidak dihukumi sebagai penarikan kembali sebagaimana jika sebagian darinya rusak.
Kedua, itu adalah penarikan kembali karena barang itu berubah kualitasnya dengan yang lebih rendah sebagaimana berubah dengan yang lebih baik.
Jika ia memindahkannya ke negeri yang lebih jauh dari negeri penerima wasiat, maka ada dua wajah:
Pertama, itu adalah penarikan kembali karena seandainya ia tidak bermaksud menarik kembali, niscaya ia tidak akan menjauhkannya.
Kedua, itu bukan penarikan kembali karena barang itu masih dalam kondisi semula.
فصل: فإن وصى بحنطة فقلاها أو بذرها كان ذلك رجوعاً لأنه جعله كالمستهلك وإن وصى بحنطة فطحنها أو بدقيق فعجنه أو بعجين فخبزه كان ذلك رجوعاً لأنه أزال عنه الاسم ولأنه جعله للإستهلاك وإن وصى له بخبز فجعله فتيتاً ففيه وجهان: أحدهما أنه رجوع لأنه أزال عنه إطلاق اسم الخبز فأشبه إذا ثرده والثاني ليس برجوع لأن الاسم باق عليه لأنه يقال خبز مدقوق وإن وصى برطب فجعله تمراً ففيه وجهان: أحدهما أنه رجوع لأنه أزال عنه اسم الرطب والثاني ليس برجوع لأنه أبقى له وأحفظ على الموصى له.
PASAL: Jika ia berwasiat dengan ḥinṭah lalu ia menggorengnya atau menjadikannya benih, maka itu termasuk penarikan wasiat karena ia menjadikannya seperti barang yang dikonsumsi. Jika ia berwasiat dengan ḥinṭah lalu ia menggilingnya, atau berwasiat dengan tepung lalu ia mengadonnya, atau berwasiat dengan adonan lalu ia memanggangnya, maka itu penarikan wasiat karena ia telah menghilangkan nama asalnya dan menjadikannya untuk dikonsumsi. Jika ia berwasiat dengan roti lalu ia menjadikannya remah-remah, maka ada dua pendapat: pertama, itu adalah penarikan wasiat karena ia telah menghilangkan sebutan nama roti, maka serupa dengan jika ia menghancurkannya; kedua, itu bukan penarikan wasiat karena nama roti masih tetap padanya, karena dikatakan “roti yang ditumbuk”. Jika ia berwasiat dengan ruṭab lalu ia menjadikannya tamar, maka ada dua pendapat: pertama, itu adalah penarikan karena ia menghilangkan nama ruṭab; kedua, itu bukan penarikan karena ia menjaga dan mempertahankan hak penerima wasiat.
فصل: وإن وصى بقطن فغزله أو بغزل فنسجه كان ذلك رجوعاً لأنه أزال عنه الاسم وإن أوصى له بقطن فحشى به فراشاً ففيه وجهان: أحدهما رجوع لأنه جعله للإستهلاك والثاني ليس برجوع لأن الاسم باق عليه.
فصل: وإن أوصى له بثوب فقطعه أو بشاة فذبحها كان رجوعاً لأنه أزال عنه الاسم ولأنه جعله للإستهلاك وإن وصى له بلحم فطبخه أو شواه كان ذلك رجوعاً لأنه جعله للأكل وإن قدده ففيه وجهان كما قلنا في الرطب إذا جعله تمراً
PASAL:
Jika seseorang berwasiat dengan quthn (kapas), lalu ia pintal menjadi benang, atau berwasiat dengan benang lalu ia tenun menjadi kain, maka itu adalah penarikan kembali karena ia telah menghilangkan nama aslinya.
Jika ia berwasiat dengan kapas lalu ia isikan ke dalam kasur, maka ada dua wajah:
Pertama, itu adalah penarikan kembali karena ia telah menjadikannya untuk dikonsumsi (pakai).
Kedua, bukan penarikan kembali karena nama kapas masih tetap ada padanya.
PASAL:
Jika ia berwasiat dengan kain lalu ia potong, atau berwasiat dengan kambing lalu ia sembelih, maka itu adalah penarikan kembali karena ia telah menghilangkan nama asalnya dan menjadikannya untuk dikonsumsi.
Jika ia berwasiat dengan daging lalu ia masak atau ia panggang, maka itu adalah penarikan kembali karena ia telah menjadikannya untuk dimakan.
Namun jika ia mengawetkannya (iqdād), maka terdapat dua wajah, sebagaimana dikatakan dalam kasus ruthab (kurma basah) yang dijadikan tamr (kurma kering).
فصل: وإن وصى له بثوب فقطعه قميصاً أو بساج فجعله باباً ففيه وجهان: أحدهما أنه رجوع لأنه أزال عنه إطلاق اسم الثوب والساج ولأنه جعله للإستعمال والثاني أنه ليس برجوع لأن اسم الثوب والساج باق عليه.
PASAL: Jika seseorang berwasiat untuk memberikan sehelai tsaub kepadanya, lalu ia memotongnya menjadi qamīṣ, atau berwasiat dengan selembar sāj lalu ia menjadikannya sebagai pintu, maka ada dua pendapat:
Pertama, bahwa itu merupakan penarikan wasiat karena ia telah menghilangkan sebutan umum tsaub dan sāj, dan karena ia menjadikannya untuk dipakai.
Kedua, bahwa itu bukan penarikan wasiat karena nama tsaub dan sāj masih tetap berlaku atasnya.
فصل: وإن وصى بدار فهدمها كان رجوعاً لأنه تصرف أزال به الاسم فكان رجوعاً كما لو وصى بحنطة فطحنها وإن تهدمت نظرت فإن لم يزل عنها اسم الدار فالوصية باقية فيما بقي وأما ما انفصل عنها فالمنصوص أنه خارج من الوصية لأنه انفصل عن الموصى به في حياة الموصى وحكى القاضي أبو القاسم ابن كج رحمه الله وجهاً آخر أنه للموصى له لأنه تناولته الوصية فلم يخرج منها بالإنفصال وإن زال عنها اسم الدار ففي الباقي من العرصة وجهان: أحدهما أنه تبطل فيه الوصية لأنه أزال عنها اسم الدار والثاني لا تبطل لأنه لم يوجد من جهته ما يدل على الرجوع.
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan sebuah rumah lalu ia merobohkannya, maka itu merupakan penarikan kembali wasiat karena perbuatannya menghilangkan nama rumah, sehingga dianggap sebagai penarikan, sebagaimana jika ia berwasiat dengan gandum lalu menggilingnya. Namun, jika rumah itu roboh dengan sendirinya, maka dilihat: jika nama rumah masih melekat padanya, maka wasiat tetap berlaku pada bagian yang tersisa. Adapun bagian yang terpisah darinya, menurut pendapat yang masyhur, tidak termasuk dalam wasiat karena telah terpisah dari benda yang diwasiatkan saat pewasiat masih hidup. Al-Qāḍī Abū al-Qāsim Ibn Kāj rahimahullah menyebutkan pendapat lain bahwa bagian yang terpisah itu tetap milik penerima wasiat karena telah tercakup dalam wasiat dan tidak keluar darinya hanya karena terpisah. Jika nama rumah telah hilang darinya, maka pada bagian tanah yang tersisa terdapat dua pendapat: pertama, wasiat batal karena nama rumah telah hilang darinya; kedua, wasiat tidak batal karena tidak terdapat indikasi penarikan dari pihak pewasiat.
فصل: وإن وصى له بأرض فزرعها لم يكن ذلك رجوعاً لأنه لا يراد البقاء وقد يحصل قبل الموت فلم يكن رجوعاً وإن غرسها أو بنى فيها ففيه وجهان: أحدهما أنه رجوع لأنه جعلها لمنفعة مؤبدة فدل على الرجوع والثاني ليس برجوع لأنه استيفاء منفعة فهو كالزراعة فعلى هذا في موضع الأساس وقرار الغراس وجهان: أحدهما أنه لا تبطل فيه الوصية كالبياض الذي بينهما فإذا مات الغراس أو زال البناء عاد إلى الموصى له والثاني أنه تبطل الوصية فيه لأنه جعله تابعاً لما عليه.
PASAL: Jika seseorang berwasiat dengan sebidang tanah kepadanya lalu ia menanaminya, maka itu bukanlah penarikan wasiat karena penanaman tidak dimaksudkan untuk menetap dan bisa terjadi sebelum kematian, sehingga tidak dianggap sebagai penarikan wasiat. Namun jika ia menanam pohon atau membangun bangunan di atasnya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa itu merupakan penarikan wasiat karena ia menjadikannya untuk kemanfaatan yang terus-menerus, sehingga menunjukkan adanya penarikan.
Kedua, bahwa itu bukan penarikan karena hal itu merupakan pemanfaatan, sebagaimana penanaman. Maka menurut pendapat ini, mengenai tempat fondasi bangunan dan akar tanaman terdapat dua wajah:
Pertama, bahwa wasiat tidak batal atas bagian tersebut sebagaimana bagian tanah kosong di antaranya; sehingga jika bangunan roboh atau tanaman mati, bagian tersebut kembali menjadi milik penerima wasiat.
Kedua, bahwa wasiat batal atas bagian tersebut karena ia telah menjadikannya sebagai bagian dari sesuatu yang berada di atasnya.
فصل: وإن أوصى له بسكنى دار سنة فأجرها دون السنة لم يكن ذلك رجوعاً لأنه قد تنقضي الإجارة قبل الموت فإن مات قبل انقضاء الإجارة ففيه وجهان: أحدهما يسكن مدة الوصية بعد انقضاء الإجارة والثاني أنها تبطل الوصية بقدر ما بقي من مدة انقضاء الإجارة في مدة الباقي.
PASAL: Jika seseorang berwasiat kepadanya untuk menempati rumah selama setahun, lalu ia menyewakannya kurang dari setahun, maka itu tidak dianggap sebagai penarikan wasiat karena bisa jadi masa sewa berakhir sebelum kematian. Jika pewasiat meninggal sebelum masa sewa berakhir, maka terdapat dua pendapat: pertama, penerima wasiat berhak menempati rumah selama masa yang diwasiatkan setelah masa sewa berakhir; kedua, wasiat batal untuk sisa waktu dari masa wasiat yang masih tersisa selama masa sewa.
باب الأوصياء
لا تجوز الوصية إلا إلى بالغ عاقل حر عدل فأما الصبي والمجنون والعبد الفاسق فلا تجوز الوصية إليهم لأنه لا حظ للميت ولا للطفل في نظر هؤلاء ولهذا لم تثبت لهم الولاية وأما الكافر فلا تجوز الوصية إليه في حق المسلم لقوله عز وجل: {لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ} ولأنه غير مأمون على المسلم ولهذا قال الله تعالى: {لا يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلّاً وَلا ذِمَّةً} وفي جواز الوصية إليه في حق الكافر وجهان: أحدهما أنه يجوز لأنه يجوز أن يكون ولياً له فجاز أن يكون وصياً له كالمسلم والثاني لا يجوز كما لا تقبل شهادته للكافر والمسلم.
BAB PARA WASHI
Tidak sah wasiat kecuali kepada orang yang baligh, berakal, merdeka, dan ‘adl. Adapun anak kecil, orang gila, budak, dan fasik, maka tidak sah wasiat kepada mereka, karena tidak ada maslahat bagi mayit dan anak kecil dalam pengurusan oleh orang-orang tersebut. Oleh sebab itu, tidak ditetapkan untuk mereka kewenangan perwalian.
Adapun orang kafir, maka tidak sah wasiat kepadanya dalam hak seorang muslim, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:
{لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ}
“Janganlah kalian mengambil orang-orang di luar (kalangan) kalian sebagai teman kepercayaan, karena mereka tidak henti-hentinya merusak kalian; mereka menginginkan kesulitan bagi kalian.”
Dan karena ia tidak dapat dipercaya atas urusan seorang muslim, sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
{لَا يَرْقُبُونَ فِي مُؤْمِنٍ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً}
“Mereka tidak memelihara hubungan kerabat dan perjanjian pada seorang mukmin.”
Adapun tentang bolehnya wasiat kepadanya dalam hak orang kafir, maka terdapat dua wajah:
Pertama, boleh, karena ia boleh menjadi wali bagi sesama kafir, maka boleh juga menjadi waṣī baginya sebagaimana muslim.
Kedua, tidak boleh, sebagaimana kesaksiannya tidak diterima untuk sesama kafir maupun untuk muslim.
فصل: وتجوز الوصية إلى المرأة لما روي أن عمر رضي الله عنه وصى إلى ابنته حفصة في صدقته ما عاشت فإذا ماتت فهو إلى ذوي الرأي من أهلها ولأنها من أهل الشهادة فجازت الوصية إليها كالرجل واختلف أصحابنا في الأعمى فمنهم من قال: لا تجوز الوصية لأنه تفتقر الوصية إلى عقود لا تصح من الأعمى وفضل نظر لا يدرك إلا بالعين.
PASAL
Boleh berwasiat kepada perempuan, berdasarkan riwayat bahwa ‘Umar RA berwasiat kepada putrinya Ḥafṣah dalam urusan ṣadaqah-nya selama ia hidup, lalu jika ia wafat maka diserahkan kepada orang-orang bijak dari keluarganya.
Dan karena perempuan termasuk ahli syahadah (penerima kesaksian), maka sah wasiat kepadanya sebagaimana kepada laki-laki.
Para aṣḥāb kami berselisih pendapat tentang orang buta. Sebagian mereka berkata: tidak sah wasiat kepadanya, karena pelaksanaan wasiat membutuhkan akad-akad yang tidak sah dari orang buta, dan membutuhkan keutamaan pengamatan yang tidak bisa dicapai kecuali dengan mata.
فصل: واختلف أصحابنا في الوقت الذي تعتبر فيه الشروط التي تصح بها الوصية إليه فمنهم من قال يعتبر ذلك عند الوفاة فإن وصى إلى صبي فبلغ أو كافر فأسلم أو فاسق فصار عدلاً قبل الوفاة صحت الوصية لأن التصرف بعد الموت فاعتبرت الشروط عنده كما تعتبر عدالة الشهود عند الأداء أو الحكم دون التحمل ومنهم من قال تعتبر عند العقد وعند الموت ولا تعتبر فيما بينهما لأن حال العقد حال الإيجاب وحال الموت حال التصرف فاعتبر فيهما ومنهم من قال: تعتبر في حال الوصية وفيما بعدها لأن كل وقت من ذلك يجوز أن يستحق فيه التصرف بأن يموت فاعتبرت الشروط في الجميع.
PASAL: Para sahabat kami berbeda pendapat tentang waktu yang dijadikan acuan dalam menilai terpenuhinya syarat-syarat sahnya wasiat kepada seseorang. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hal itu dilihat saat wafat. Maka jika seseorang mewasiatkan kepada seorang anak kecil lalu ia balig, atau kepada orang kafir lalu ia masuk Islam, atau kepada orang fasik lalu ia menjadi ‘adl sebelum wafat, maka wasiatnya sah karena pelaksanaan wasiat terjadi setelah wafat, sehingga syarat-syaratnya dianggap saat itu sebagaimana keadilan saksi dipertimbangkan saat penyampaian atau penghakiman, bukan saat menerima kesaksian.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa syarat-syarat itu harus ada saat akad (ijab) dan saat wafat, namun tidak disyaratkan keberlangsungannya di antara keduanya. Karena saat akad adalah saat ijab, dan saat wafat adalah saat pelaksanaan, maka keduanya dijadikan acuan.
Sebagian yang lain berpendapat: syarat-syarat itu diperhitungkan saat wasiat dan setelahnya, karena setiap waktu dari waktu-waktu itu memungkinkan terjadinya pelaksanaan (dengan terjadinya kematian), maka syarat-syarat diperhitungkan dalam semua waktu tersebut.
فصل: وإن وصى إلى رجل فتغير حاله بعد موت الوصي فإن كان لضعف ضم إليه معين أمين وإن تغير بفسق أو جنون بطلت الوصية إليه ويقيم الحاكم من يقوم مقامه.
PASAL
Jika seseorang berwasiat kepada seorang laki-laki, lalu keadaannya berubah setelah wafatnya pewasiat, maka jika perubahannya karena kelemahan, hendaknya disertakan seorang pembantu yang terpercaya. Namun jika berubah karena kefasikan atau kegilaan, maka batal wasiat kepadanya, dan hakim mengangkat orang lain yang menggantikannya.
فصل: ويجوز أن يوصي إلى نفسين لما روي أن فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه وسلم جعلت النظر في وقفها إلى علي كرم الله وجهه فإن حدث به حدث رفعه إلى ابنيها فيليانها ويجوز أن يجعل إليهما وإلى كل واحد منهما لأنه تصرف مستفاد بالإذن فكان على حسب الإذن فإن جعل إلى كل واحد منهما جاز لكل واحد منهما أن ينفرد بالتصرف فإن ضعف أحدهما أو فسق أو مات جاز للآخر أن يتصرف ولا يقام مقام الآخر غيره لأن الموصي رضي بنظر كل واحد منهما وحده فإن وصى إليهما لم يجز لأحدهما أن ينفرد بالتصرف لأنه لم يرض بأحدهما فإن ضعف أحدهما ضم إليه من يعينه فإن فسق أحدهما أو مات أقام الحاكم من يقوم مقامه
PASAL: Boleh berwasiat kepada dua orang, karena diriwayatkan bahwa Fāṭimah binti Rasulullah SAW menjadikan urusan nadzir pada wakafnya kepada ʿAlī raḍiyallāhu ʿanhu. Jika terjadi sesuatu pada dirinya, maka ia menyerahkannya kepada dua anaknya agar keduanya mengurusnya. Dan boleh juga mewasiatkan kepada keduanya sekaligus atau kepada masing-masing dari keduanya, karena ini adalah bentuk tasharruf (pengelolaan) yang didapat melalui izin, maka hukumnya mengikuti bentuk izin tersebut.
Jika diwasiatkan kepada masing-masing dari keduanya, maka masing-masing boleh bertindak sendiri dalam pengurusan. Jika salah satunya menjadi lemah, fasik, atau meninggal dunia, maka yang lain boleh melanjutkan pengurusan, dan tidak perlu mengangkat orang lain menggantikannya, karena pewasiat telah merelakan masing-masing dari keduanya bertindak sendiri-sendiri.
Namun, jika diwasiatkan kepada keduanya sekaligus, maka tidak boleh salah satunya bertindak sendiri dalam pengurusan, karena pewasiat tidak merelakan hanya salah satunya. Jika salah satu dari keduanya menjadi lemah, maka diangkat orang yang membantunya. Jika salah satunya menjadi fasik atau meninggal, maka hakim mengangkat orang yang menggantikannya.
لأن الموصي لم يرض بنظره وحده فإن أراد الحاكم أن يفوض الجميع إلى الثاني لم يجز لأنه لم يرض الموصي باجتهاده وحده فإن ماتا أو فسقا فهل للحاكم أن يفوض إلى واحد؟ فيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه سقط حكم الوصية بموتهما وفسقهما فكان الأمر فيه إلى الحاكم والثاني لا يجوز لأنه لم يرض بنظر واحد وإن اختلف الوصيان في حفظ المال جعل بينهما نصفين فإذا بلغا إلى التصرف فإن كان التصرف إلى كل واحد منهما تصرف كل واحد منهما في الجميع وإن كان إليهما لم يجز لأحدهما أن ينفرد بالتصرف دون الآخر.
karena pewasiat tidak merelakan pengurusan hanya oleh salah satunya. Jika hakim ingin menyerahkan seluruh urusan kepada yang kedua, tidak diperbolehkan, karena pewasiat tidak merelakan ijtihadnya saja. Jika keduanya meninggal atau menjadi fasik, maka apakah hakim boleh menyerahkan pengurusan kepada satu orang? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, boleh, karena hukum wasiat gugur dengan wafat atau kefasikan keduanya, maka urusan berpindah kepada hakim.
Kedua, tidak boleh, karena pewasiat tidak merelakan pengurusan hanya oleh satu orang.
Jika dua washi berselisih dalam menjaga harta, maka harta dibagi dua di antara keduanya. Jika mereka sampai pada tahap tasharruf (pengelolaan), maka jika tasharruf itu diberikan kepada masing-masing, maka masing-masing dari keduanya boleh mengelola seluruhnya. Namun jika tasharruf diberikan kepada keduanya bersama-sama, maka tidak boleh salah satu dari keduanya bertindak sendiri tanpa yang lain.
فصل: ومن وصى إليه في شيء لم يصر وصياً في غيره ومن وصى إليه إلى مدة لم يصر وصياً بعد المدة لأنه تصرف بالإذن فكان على حسب الإذن.
PASAL
Barangsiapa diberi wasiat dalam suatu urusan, maka ia tidak menjadi waṣī dalam urusan selainnya. Dan barangsiapa diberi wasiat hingga waktu tertentu, maka ia tidak menjadi waṣī setelah berakhirnya waktu tersebut, karena ia bertindak berdasarkan izin, maka hukumnya sesuai dengan batasan izin tersebut.
فصل: وللوصي أن يوكل فيما لم تجر به العادة أن يتولاه بنفسه كما قلنا في الوكيل ولا يجوز أن يوصي إلى غيره لأنه يتصرف بالإذن فلم يملك الوصية كالوكيل فإذا قال أوصيت إليك فإن مت فقد أوصيت إلى فلان صح لأن عمر رضي الله عنه وصى إلى حفصة فإذا ماتت فإلى ذوي الرأي من أهلها ووصت فاطمة رضي الله عنها إلى علي كرم الله وجهه فإذا مات فإلى ابنيها ولأنه علق وصية التالي على شرط فصار كما لو قال: وصيت إليك شهراً ثم قال إلى فلان فإن أوصى إليه وأذن له أن يوصي إلى من يرى فقد قال في الوصايا لا يجوز
PASAL: Boleh bagi al-waṣī mewakilkan urusan yang tidak lazim untuk ia tangani sendiri, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan tentang al-wakīl. Namun, ia tidak boleh berwasiat kepada orang lain, karena ia bertindak berdasarkan izin, maka tidak sah baginya untuk berwasiat sebagaimana halnya seorang wakil.
Jika ia berkata, “Aku berwasiat kepadamu, dan jika aku meninggal maka wasiatku kepada si Fulan,” maka hal itu sah. Karena Umar RA berwasiat kepada Hafshah, dan jika ia wafat maka kepada orang-orang yang bijak dari keluarganya. Dan Fāṭimah RA berwasiat kepada ‘Alī karramallāhu wajhah, dan jika ia wafat maka kepada kedua putranya.
Ini karena ia menggantungkan wasiat yang kedua dengan suatu syarat, maka hal itu seperti jika ia berkata: “Aku berwasiat kepadamu selama sebulan, lalu setelah itu kepada si Fulan.”
Jika ia berwasiat kepadanya dan mengizinkannya untuk mewasiatkan kepada siapa pun yang ia pandang layak, maka menurut pendapat dalam kitab al-Waṣāyā, hal itu tidak boleh.
وقال في اختلاف العراقيين يجوز فمن أصحابنا من قال يجوز قولاً واحداً لأنه ملك الوصية والتصرف في المال فإذا جاز أن ينقل التصرف في المال إلى الوصي جاز أن ينقل الوصية إليه وما قال في الوصايا أراد إذا أطلق الوصية ومنهم من قال فيه قولان: أحدهما يجوز لما ذكرناه والثاني لا يجوز لأنه يعقد الوصية عن الموصي في حال لا ولاية له فيه وإن وصى إليه وأذن له أن يوصي بعد موته إلى رجل بعينه ففيه وجهان: أحدهما يجوز لأنه قطع اجتهاده فيه بالتعيين والثاني أنه كالمسألة الأولى لأن علة المسألتين واحدة.
Dan ia berkata dalam Ikhtilāf al-‘Irāqiyyīn: boleh. Maka sebagian dari aṣḥāb kami berkata: boleh menurut satu pendapat, karena ia memiliki wewenang wasiat dan pengelolaan harta. Maka jika diperbolehkan memindahkan wewenang pengelolaan harta kepada waṣī, boleh pula memindahkan wasiat kepadanya. Dan yang ia maksud dalam kitab al-Waṣāyā adalah jika wasiat itu disampaikan secara mutlak.
Sebagian dari mereka berkata: dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: boleh, sebagaimana telah disebutkan. Pendapat kedua: tidak boleh, karena ia menyusun wasiat atas nama al-mūṣī pada keadaan di mana ia tidak memiliki kewenangan apa pun.
Dan jika al-mūṣī mewasiatkan kepadanya serta mengizinkannya untuk mewasiatkan setelah wafatnya kepada seseorang tertentu, maka dalam hal ini terdapat dua wajah. Wajah pertama: boleh, karena ia telah menentukan dengan pasti melalui penetapan nama. Wajah kedua: hukumnya seperti masalah sebelumnya, karena ‘illat dalam kedua kasus tersebut adalah sama.
فصل: ولا تتم الوصية إليه إلا بالقبول لأنه وصية فلا تتم بالقبول كالوصية له وفي وقت القبول وجهان: أحدهما يصح القبول في الحال وفي الثاني لأنه أذن له في التصرف فصح القبول في الحال والثاني كالوكالة والثاني لا يصح إلا بعد الموت كالقبول في الوصية له.
PASAL: Tidak sempurna wasiat kepada seseorang kecuali dengan qabūl (penerimaan), karena ini adalah wasiat, maka tidak sempurna kecuali dengan qabūl, sebagaimana wasiat untuk pemberian (li-).
Tentang waktu qabūl, terdapat dua wajah:
Pertama, qabūl sah dilakukan saat itu juga (sebelum wafat), karena pewasiat telah mengizinkannya untuk bertindak, maka sah qabūl-nya saat itu juga, sebagaimana dalam akad wakālah.
Kedua, tidak sah kecuali setelah wafat, sebagaimana qabūl dalam wasiat untuk pemberian.
فصل: وللموصي أن يعزل الوصي إذا شاء وللوصي أن يعزل نفسه متى شاء لأنه تصرف بالإذن لكل واحد منهما فسخه كالوكالة.
PASAL: Boleh bagi al-mūṣī untuk memberhentikan al-waṣī kapan pun ia kehendaki, dan boleh pula bagi al-waṣī untuk mengundurkan diri kapan saja ia mau, karena keduanya merupakan bentuk tindakan berdasarkan izin, maka masing-masing dari keduanya berhak membatalkannya seperti halnya dalam wakālah.
فصل: إذا بلغ الصبي واختلف هو والوصي في النفقة فقال الوصي أنفقت عليك وقال الصبي لم تنفق علي فالقول قول الوصي لأنه أمين وتعذر عليه إقامة البينة على النفقة فإن اختلفا في قدر النفقة قال أنفقت عليك في كل سنة مائة دينار وقال الصبي بل أنفقت علي خمسين ديناراً فإن كان ما يدعيه الوصي النفقة بالمعروف فالقول قوله لأنه أمين وإن كان أكثر من النفقة بالمعروف فعليه الضمان لأنه فرط في الزيادة وإن اختلفا في المدة فقال الوصي أنفقت عشر سنين وقال الصبي خمس سنين ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي سعيد الاصطخري إن القول قول الوصي كما لو اختلفنا في قدر النفقة والثاني وهو قول أكثر أصحابنا إن القول قول الصبي لأنه اختلاف في مدة الأصل عدمها.
PASAL: Jika anak kecil telah baligh dan terjadi perselisihan antara dia dan wali wasiat tentang nafkah, lalu wali berkata, “Aku telah menafkahimu,” sedangkan si anak berkata, “Engkau tidak menafkahiku,” maka perkataan wali diterima karena ia adalah orang yang dipercaya (amin) dan sulit baginya untuk mendatangkan bukti atas nafkah tersebut.
Jika keduanya berselisih tentang jumlah nafkah — wali berkata, “Aku menafkahimu setiap tahun seratus dinar,” dan si anak berkata, “Engkau hanya menafkahiku lima puluh dinar” — maka jika yang diklaim oleh wali merupakan nafkah yang ma‘rūf (wajar menurut kebiasaan), maka perkataan wali diterima karena ia orang yang dipercaya. Namun jika jumlah yang diklaim lebih dari nafkah ma‘rūf, maka ia wajib mengganti kelebihan itu karena ia telah teledor dalam memberi nafkah yang melebihi batas.
Jika perselisihan terjadi pada lamanya masa pemberian nafkah — wali berkata, “Aku menafkahimu selama sepuluh tahun,” sedangkan anak berkata, “Lima tahun saja” — maka ada dua pendapat:
- Pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa perkataan wali diterima, sebagaimana jika perselisihan terjadi dalam jumlah nafkah.
- Kedua, yaitu pendapat mayoritas ulama mazhab kami, bahwa perkataan anak diterima karena perselisihan ini menyangkut lamanya masa nafkah, dan asal (hukum)nya adalah tidak adanya (nafkah tersebut).
فصل: وإن اختلفا في دفع المال إليه فادعى الوصي أنه دفعه إليه وأنكر الصبي ففيه وجهان: أحدهما وهو المنصوص أن القول قول الصبي لأنه لم يأتمنه على حفظ المال فلم يقبل قوله كالمودع إذا ادعى دفع الوديعة إلى وارث المودع والملتقط إذا ادعى دفع اللقطة إلى مالكها والثاني أن القول قول الوصي كما قلنا في النفقة.
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang penyerahan harta—yakni al-waṣī mengaku bahwa ia telah menyerahkan harta kepada anak kecil tersebut, sedangkan anak itu mengingkari—maka dalam hal ini terdapat dua wajah:
Wajah pertama, dan inilah yang manṣūṣ: perkataan anaklah yang diterima, karena ia tidak memberi amanah kepada waṣī untuk menjaga hartanya, maka tidak diterima pengakuan waṣī, sebagaimana halnya orang yang dititipi (al-mūda‘) yang mengaku telah menyerahkan barang titipan kepada ahli waris pemiliknya, atau orang yang menemukan barang (al-multaqiṭ) yang mengaku telah menyerahkannya kepada pemiliknya.
Wajah kedua: perkataan waṣī yang diterima, sebagaimana yang kami katakan dalam perkara nafkah.
فصل: ولا يلحق الميت مما يفعل عنه بعد موته بغير إذنه إلا دين يقضى عنه أو صدقة يتصدق بها عنه أو دعاء يدعى له فأما الدين فالدليل عليه ما روي أن امرأة من خثعم سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الحج عن أبيها فأذن لها فقالت أينفعه ذلك؟ قال: “نعم كما لو كان على أبيك دين فقضيته نفعه” وأما الصدقة فالدليل عليها ما روى ابن عباس أن رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلم إن أمه توفيت أفينفعها أن أتصدق عنها؟ فقال: “نعم” قال: فإن لي مخرفاً فأشهدك أني قد تصدقت به عنها
PASAL: Tidak ada sesuatu yang sampai kepada mayit dari perbuatan yang dilakukan untuknya setelah wafatnya tanpa izinnya, kecuali:
- utang yang dibayarkan untuknya,
- sedekah yang disedekahkan atas namanya,
- atau doa yang dipanjatkan untuknya.
Adapun utang, dalilnya adalah riwayat bahwa seorang wanita dari Khath’am bertanya kepada Rasulullah SAW tentang berhaji untuk ayahnya, lalu beliau mengizinkannya. Wanita itu berkata, “Apakah itu bermanfaat baginya?” Beliau bersabda: “Ya, sebagaimana jika ayahmu memiliki utang lalu engkau melunasinya, itu bermanfaat baginya.”
Adapun sedekah, dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbās bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW: “Sesungguhnya ibuku telah wafat, apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?” Beliau bersabda: “Ya.” Ia berkata: “Aku memiliki kebun kurma, maka aku persaksikan engkau bahwa aku telah bersedekah dengannya atas namanya.”
وأما الدعاء فالدليل عليه قوله عز وجل: {وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْأِيمَانِ} فأثنى الله عز وجل عليهم بالدعاء لإخوانهم من الموتى وأما ما سوى ذلك من القرب كقراءة القرآن وغيرها فلا يلحق الميت ثوابها لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أوعلم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له”
Adapun doa, maka dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {wa alladzīna jā’ū min ba‘dihim yaqūlūna rabbanā-ghfir lanā wa li-ikhwāninā alladzīna sabaqūnā bil-īmān}, maka Allah Azza wa Jalla memuji mereka karena mendoakan saudara-saudara mereka dari kalangan orang yang telah meninggal. Adapun selain itu dari berbagai bentuk qurbah seperti membaca Al-Qur’an dan lainnya, maka tidak sampai pahalanya kepada mayit, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila manusia telah wafat maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: ṣadaqah jāriyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”
واختلف أصحابنا فيمن مات وعليه كفارة يمين فأعتق عنه فمنهم من قال لا يقع العتق عن الميت بل يكون للمعتق لأن العتق غير متحتم على الميت لأنه كان يجوز له تركه إلى غيره فلم يقع عنه كما لو تطوع بالعتق عنه في غير الكفارة ومنهم من قال: يقع عنه لأنه لو أعتق في حياته سقط به الفرض وبالله التوفيق.
Para ashḥāb kami berbeda pendapat tentang orang yang wafat dan masih memiliki kafārat yamīn, lalu ada yang memerdekakan budak atas namanya. Sebagian dari mereka berkata: tidak sah (tidak dianggap) ‘itq tersebut atas nama mayit, melainkan menjadi milik orang yang memerdekakan, karena ‘itq tidak wajib secara pasti atas mayit, sebab ia dahulu dibolehkan memilih bentuk kafarat yang lain, maka tidak sah pelaksanaan ‘itq atas namanya, sebagaimana jika seseorang melakukan ‘itq secara sukarela atas nama mayit yang bukan dalam kafarat. Dan sebagian dari mereka berkata: sah ‘itq tersebut atas nama mayit, karena seandainya ia melakukannya semasa hidup, gugurlah kewajiban tersebut dengannya. Wa biLlāhi at-tawfīq.
العتق قربة مندوب إليه لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أعتق رقبة أعتق الله بكل عضو منها عضواً منه من النار حتى فرجه بفرجه” ولا يصح إلا من مطلق التصرف في المال لأنه تصرف في المال كالبيع والهبة فإن أعتق الموقوف عليه العبد الموقوف لم يصح عتقه لأنه لا يملكه في أحد القولين ويملكه في الثاني إلا أنه يبطل به حق البطن الثاني فلم يصح وإن أعتق المريض عبداً وعليه دين يستغرقه لم يصح لأن العتق في المرض وصية فلم يصح مع الدين وإن أعتق العبد الجاني فعلى ما ذكرناه في العبد المرهون.
Kitab al-‘Itq (Pembebasan Budak)
Pendahuluan
…
Kitab al-‘Itq
‘Itq (pembebasan budak) adalah suatu bentuk qurbah yang dianjurkan, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa membebaskan seorang budak, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya sebagai ganti dari anggota tubuh budak itu dari neraka, hingga kemaluannya dengan kemaluan budak itu.”
Dan tidak sah pembebasan budak kecuali dari orang yang memiliki kewenangan penuh dalam mengelola harta, karena pembebasan budak termasuk bentuk pengelolaan harta seperti jual beli dan hibah.
Jika orang yang menerima wakaf (mauqūf ‘alayh) membebaskan budak yang diwakafkan, maka pembebasannya tidak sah karena ia tidak memilikinya — menurut salah satu dari dua pendapat. Menurut pendapat kedua, ia memilikinya, tetapi pembebasannya membatalkan hak generasi kedua penerima wakaf, maka tidak sah.
Jika seseorang yang sakit dan memiliki utang yang menutupi seluruh hartanya membebaskan seorang budak, maka pembebasannya tidak sah, karena pembebasan dalam kondisi sakit dianggap sebagai wasiat, dan wasiat tidak sah jika ada utang yang menghabiskan harta.
Jika seorang budak pelaku jinayah dibebaskan, maka hukumnya sebagaimana telah disebutkan dalam kasus budak yang digadaikan.
فصل: ويصح بالصريح والكناية وصريحه العتق والحرية لأنه ثبت لهما عرف الشرع وعرف اللغة والكناية كقوله: سيبتك وخليتك وحبلك على غاربك ولا سبيل عليك ولا سلطان لي عليك وأنت لله وأنت طالق وما أشبههما لأنه تحتمل العتق فوقع بها العتق مع النية وفي قوله: فككت رقبتك وجهان أحدهما أنه صريح لأنه ورد به القرآن قال الله سبحانه: {فَكُّ رَقَبَةٍ} والثاني أنه كناية لأنه يستعمل في العتق وغيره وإن قال لأمته أنت علي كظهر أمي ونوى العتق ففيه وجهان: أحدهما تعتق لأنه لفظ يوجب تحريم الزوجة فكان كناية في العتق كسائر الطلاق والثاني لا تعتق لأنه لا يزيل الملك فلم يكن كناية في العتق بخلاف الطلاق.
PASAL: Pembebasan budak sah dilakukan dengan ṣarīḥ (lafal eksplisit) maupun kināyah (lafal sindiran).
Lafal ṣarīḥ adalah seperti ucapan “al-‘itq” (pembebasan) dan “al-ḥurriyyah” (kemerdekaan), karena kedua istilah ini telah diakui dalam ‘urf syariat dan ‘urf bahasa.
Adapun kināyah, seperti ucapannya: “sayyabtuka” (aku membiarkanmu), “khallaytuka” (aku melepaskanmu), “ḥabluka ‘alā ghāribik” (tali kekangmu telah aku letakkan di punukmu), “lā sabīla liya ‘alayk” (aku tidak punya kuasa atasmu), “lā sulṭāna liya ‘alayk” (aku tidak punya wewenang atasmu), “anta lillāh” (engkau milik Allah), “anti ṭāliq” (engkau tertalak), dan semisalnya — karena lafal-lafal ini mengandung kemungkinan makna pembebasan budak, maka jatuhlah hukum pembebasan budak dengan lafal-lafal itu jika disertai niat.
Tentang ucapan “fakkaktu raqabataka” (aku membebaskan lehermu), terdapat dua pendapat:
- Pertama: itu adalah lafal ṣarīḥ, karena digunakan dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT: {fakku raqabah}.
- Kedua: itu adalah kināyah, karena digunakan dalam pembebasan budak dan selainnya.
Jika seseorang berkata kepada budak perempuannya: “anti ‘alayya kaẓahri ummī” (engkau bagiku seperti punggung ibuku), dan ia berniat untuk membebaskannya, maka ada dua pendapat:
- Pertama: budak tersebut merdeka, karena lafal itu mewajibkan pengharaman seperti halnya istri, sehingga termasuk kināyah dalam pembebasan budak sebagaimana dalam talak.
- Kedua: tidak merdeka, karena lafal tersebut tidak menghilangkan kepemilikan, maka tidak dianggap sebagai kināyah dalam pembebasan budak, berbeda halnya dengan talak.
فصل: وإن كان بين نفسين عبد فأعتق أحدهما نصيبه فإن كان موسراً قوم عليه نصيب شريكه وعتق لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من أعتق شركاً له في عبد فإن كان معه ما يبلغ ثمن العبد قوم عليه قيمة عدل وأعطى شركاؤه حصصهم وإلا فقد عتق منه ما عتق ورق ما رق” وإن كان بين مسلم وكافر عبد مسلم فأعتق الكافر حصته وهو موسر فالمنصوص أنه يقوم عليه فمن أصحابنا من قال: إذا قلنا إن الكافر لا يملك العبد المسلم لم يقوم عليه لأن التقويم يوجب التمليك ومنهم من قال: يقوم عليه قولاً واحداً لأنه تقويم متلف فاستوى فيه المسلم والكافر كتقويم المتلفات ويخالف البيع لأن القصد منه التمليك وفي ذلك صغار على الإسلام والقصد من التقويم العتق ولا صغار فيه فإن كان نصف العبد وقفاً ونصفه طلقاً فأعتق صاحب الأرض نصيبه لم يقوم عليه الوقف لأن التقويم يقتضي التمليك والوقف لا يملك ولأن الوقف لا يعتق بالمباشرة فلأن لا يعتق بالتقويم أولى.
PASAL: Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang, lalu salah satu dari keduanya memerdekakan bagiannya, maka jika dia orang yang mampu, maka bagian temannya dinilai dan dia wajib membayarnya, lalu budak itu merdeka. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa memerdekakan bagian miliknya pada seorang budak, maka jika dia memiliki harta yang mencukupi harga seluruh budak itu, maka dinilai secara adil dan diberikan bagian kepada para sekutunya, dan jika tidak, maka yang merdeka adalah bagian yang telah dimerdekakan, dan sisanya tetap sebagai budak.”
Jika budak tersebut dimiliki oleh seorang Muslim dan seorang kafir, lalu si kafir memerdekakan bagiannya dan dia orang yang mampu, maka menurut pendapat yang manshūsh bagian tersebut dinilai (ditebus). Di antara para sahabat kami ada yang mengatakan: jika kita berpendapat bahwa orang kafir tidak memiliki budak Muslim, maka tidak sah dilakukan penilaian karena penilaian itu mengharuskan adanya kepemilikan. Dan sebagian dari mereka mengatakan: tetap dilakukan penilaian secara qawl wāḥid, karena penilaian tersebut adalah penilaian terhadap sesuatu yang rusak (mutalaf), sehingga kedudukannya sama antara Muslim dan kafir, sebagaimana penilaian terhadap harta yang rusak. Ini berbeda dengan jual beli, karena tujuan jual beli adalah kepemilikan dan di dalamnya terdapat penghinaan terhadap Islam, sedangkan penilaian bertujuan untuk memerdekakan, dan tidak ada penghinaan dalam hal itu.
Jika setengah dari budak tersebut adalah wakaf, dan setengahnya lagi adalah milik bebas (ṭalq), lalu pemilik bagian bebas memerdekakan bagiannya, maka tidak dilakukan penilaian terhadap bagian wakaf, karena penilaian mengharuskan adanya kepemilikan, sedangkan wakaf tidak bisa dimiliki. Dan karena wakaf tidak bisa memerdekakan dengan tindakan langsung, maka lebih utama tidak bisa memerdekakan melalui penilaian.
فصل: وتجب قيمة النصيب عند العتق لأنه وقت الإتلاف ومتى يعتق فيه ثلاثة أقوال: أحدها يعتق في الحال فإن كانت جارية فولدت كان الولد حراً لما روى أبو المليح عن أبيه أن رجلاً أعتق شقصاً له من غلام فذكر ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال: “ليس لله شريك” وفي بعضها فأجاز عتقه والثاني أنه يقع بدفع القيمة فإن كان جارية فولدت كان نصف الولد حراً ونصفه مملوكاً لما روى سالم عن أبيه يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم: “إذا كان العبد بين اثنين فأعتق أحدهم نصيبه فإن كان موسراً يقوم عليه ولا وكس ولا شطط ثم يعتق”
PASAL: Wajib membayar nilai bagian saat memerdekakan karena itu adalah waktu penghilangan hak milik. Adapun kapan budak itu merdeka, terdapat tiga pendapat:
Pertama, ia merdeka seketika. Jika ia seorang jāriyah lalu melahirkan, maka anaknya merdeka, berdasarkan riwayat Abū al-Milīḥ dari ayahnya bahwa seorang lelaki memerdekakan bagian kepemilikannya dari seorang budak, lalu hal itu disampaikan kepada Nabi SAW, maka beliau bersabda: “Allah tidak memiliki sekutu.” Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa beliau membolehkan pemerdekaannya.
Kedua, kemerdekaan terjadi saat pembayaran nilai. Jika ia seorang jāriyah lalu melahirkan, maka anaknya setengah merdeka dan setengahnya budak, berdasarkan riwayat dari Sālim dari ayahnya yang menyampaikan dari Nabi SAW: “Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang lalu salah satu dari mereka memerdekakan bagiannya, dan ia mampu, maka ia menanggung nilai bagian lainnya tanpa mengurangi atau melebihi, lalu budak itu merdeka.”
ولأنه عتق بعوض فلا يتقدم على العوض كعتق المكاتب والثالث أنه مراعى فإن دفع العوض حكمنا بأنه عتق في الحال وإن لم يدفع حكمنا بأنه لم يعتق لأنا إذا أعتقناه في الحال أضررنا بالشريك في إتلاف ماله قبل أن يسلم له العوض وإن لم نعتقه أضررنا بالعبد في إبقاء أحكام الرق عليه فإذا قلنا إنه مراعى لم يكن على كل واحد منهما ضرر فإن دفع القيمة كان حكمه حكم القول الأول وإن لم يدفع كان حكمه حكم القول الثاني فإن بذل المعتق القيمة أجبرنا الشريك على قبضها
Dan karena itu adalah pemerdekaan dengan ‘iwaḍ (ganti), maka tidak boleh didahulukan dari ganti tersebut, seperti pemerdekaan mukātab.
Pendapat ketiga, kemerdekaan itu tergantung (murā‘ā): jika ganti diserahkan, maka kami menetapkan bahwa ia telah merdeka sejak awal; dan jika tidak diserahkan, maka kami tetapkan bahwa ia belum merdeka. Karena apabila kami langsung memerdekakannya, maka kami menzalimi sekutunya dengan merusak harta miliknya sebelum menerima gantinya. Dan jika kami tidak memerdekakannya, maka kami menzalimi budak dengan tetap memberlakukan hukum perbudakan atasnya. Maka jika kami katakan bahwa hukumnya tergantung, maka tidak ada kezhaliman atas masing-masing pihak: jika nilai diserahkan, maka hukumnya seperti pendapat pertama; dan jika tidak diserahkan, maka hukumnya seperti pendapat kedua. Maka jika orang yang memerdekakan telah menawarkan nilai, kami paksa sekutunya untuk menerimanya.
وإن طلب الشريك أجبرنا المعتق على دفعها فإن أمسك الشريك عن الطلب والمعتق عن الدفع وقلنا إن العتق يقف على الدفع فللعبد أن يطالب المعتق بالدفع والشريك بالقبض ليصل إلى حقه فإن أمسك الجميع فللحاكم أن يطالب بالدفع والقبض لما في العتق من حق الله تعالى فإن أعتق الشريك نصيبه قبل أخذ القيمة ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أن يعتق لأنه عتق صادف ملكه والثاني وهو المذهب أنه لا يعتق لأن العتق مستحق من جهة المعتق والولاء مستحق له فلا يجوز إبطاله عليه.
Jika sekutu (pemilik bagian lainnya) yang menuntut, maka kami paksa orang yang memerdekakan untuk membayar. Jika sekutu diam dari menuntut dan yang memerdekakan juga diam dari membayar, dan kami berpendapat bahwa kemerdekaan tergantung pada pembayaran, maka budak berhak menuntut orang yang memerdekakan agar membayar dan menuntut sekutu agar menerima, agar ia bisa meraih haknya. Jika semua diam, maka hakim boleh menuntut pembayaran dan penerimaan, karena dalam kemerdekaan terdapat hak Allah Ta‘ālā.
Jika sekutu memerdekakan bagiannya sebelum menerima nilai (dari bagian orang pertama), maka terdapat dua wajah:
Pertama, dan ini pendapat Abū ʿAlī ibn Abī Hurairah, bahwa budak tersebut merdeka, karena pemerdekaan itu bertepatan dengan kepemilikan.
Kedua, dan ini pendapat yang masyhūr, bahwa budak tidak merdeka, karena kemerdekaan itu ditetapkan dari pihak orang pertama yang memerdekakan, dan hak walā’ menjadi miliknya, maka tidak boleh dibatalkan darinya.
فصل: وإن كان بين اثنين جارية فأحبلها أحدهما ثبتت حرمة الاستيلاد في نصيبه وفي نصيب الشريك الأقوال التي ذكرناها في العتق لأن الاستيلاد كالعتق في إيجاب الحرية فكان كالإعتاق في التقويم والسراية.
PASAL: Jika ada seorang jariyah dimiliki oleh dua orang, lalu salah satu dari keduanya menghamilinya, maka tetaplah hukum istīlād pada bagian miliknya, dan pada bagian milik syarik berlaku pendapat-pendapat yang telah kami sebutkan dalam bab ‘itq, karena istīlād seperti ‘itq dalam mewajibkan kemerdekaan, maka hukumnya seperti ‘itq dalam hal penilaian harga dan sarāyah.
فصل: وإن اختلف المعتق والشريك في قيمة العبد والبينة متعذرة فإن قلنا إنه يسري في الحال فالقول قول المعتق لأنه غارم لما استهلكه فكان القول قوله كما لو اختلفا في قيمة ما أتلفه بالجناية وإن قلنا لا يعتق إلا بدفع القيمة فالقول قول الشريك لأن نصيبه باق على ملكه فلا ينزع منه إلا بما يقربه كالمشتري في الشفعة وإن ادعى الشريك أنه كان يحسن صنعة تزيد بها القيمة فأنكر المعتق ففيه طريقان: من أصحابنا من قال هو كالإختلاف في القيمة وفيه قولان ومنهم من قال قول المعتق قولاً واحداً لأن الظاهر معه والشريك يدعي صنعة الأصل عدمها وإن ادعى المعتق عيباً في العبد ينقص به القيمة وأنكر الشريك ففيه طريقان أيضاً: من أصحابنا من قال هو كالإختلاف في القيمة فيكون على قولين ومنهم من قال: القول قول الشريك قولاً واحداً لأن الظاهر معه والمعتق يدعي عيباً الأصل عدمه.
PASAL: Jika terjadi perselisihan antara orang yang memerdekakan dan sekutunya dalam menentukan nilai budak, sedangkan bukti tidak memungkinkan, maka:
Jika kita berpendapat bahwa kemerdekaan berlaku seketika, maka pendapat yang diterima adalah pendapat orang yang memerdekakan, karena ia adalah penanggung rugi atas apa yang telah ia lenyapkan, sehingga pendapatnya lebih diutamakan, sebagaimana jika keduanya berselisih dalam nilai sesuatu yang dirusak karena jinayah.
Namun jika kita berpendapat bahwa budak tidak merdeka kecuali setelah pembayaran nilai, maka pendapat yang diterima adalah pendapat sekutu, karena bagiannya masih tetap dalam kepemilikannya, dan tidak boleh diambil darinya kecuali dengan sesuatu yang ia ridai, sebagaimana pembeli dalam kasus syuf‘ah.
Jika sekutu mengaku bahwa budak itu menguasai suatu keahlian yang menyebabkan nilainya bertambah, lalu orang yang memerdekakan mengingkarinya, maka ada dua pendapat: sebagian dari kalangan kami mengatakan bahwa ini seperti perselisihan dalam penilaian harga, dan dalam hal ini ada dua pendapat. Sebagian lagi mengatakan bahwa yang diterima adalah pendapat orang yang memerdekakan secara pasti, karena zhahir mendukungnya, dan sekutu mengklaim adanya keahlian sedangkan asalnya tidak ada.
Jika orang yang memerdekakan mengklaim adanya cacat pada budak yang menyebabkan nilainya turun, lalu sekutu mengingkarinya, maka ada dua jalan juga: sebagian dari kalangan kami mengatakan ini seperti perselisihan dalam nilai, maka ada dua pendapat. Sebagian lagi mengatakan bahwa pendapat yang diterima adalah pendapat sekutu secara pasti, karena zhahir mendukungnya, sedangkan orang yang memerdekakan mengklaim adanya cacat, padahal asalnya tidak ada.
فصل: وإن كان المعتق معسراً عتق نصيبه وبقي نصيب الشريك على الرق والدليل عليه حديث ابن عمر رضي الله عنه وإلا فقد عتق منه ما عتق ورق منه ما رق ولأن تنفيذ العتق لدفع الضرر عن العبد فلو أعتقنا نصيب الشريك لأضررنا به لأنا نتلف ماله ولا يحصل له عوض والضرر لا يزال بالضرر وإن كان موسراً بقيمة البعض عتق منه بقدره لأن ما وجب بالإستهلاك إذا عجز عن بعضه وجب ما قدر عليه كبدل المتلف وإن كان معه قيمة الحصة وعليه دين يستغرق ما معه ففيه قولان بناء على القولين في الدين هل يمنع وجوب الزكاة فإن قلنا لا يمنع وجب عليه العتق وإن قلنا يمنع لم يجب العتق.
PASAL: Jika orang yang memerdekakan itu dalam keadaan tidak mampu, maka merdekalah bagiannya dan tetap bagian milik sekutunya dalam status perbudakan. Dalilnya adalah hadits Ibn ‘Umar RA: “…maka sungguh telah merdeka darinya apa yang merdeka dan tetap dalam perbudakan apa yang tetap dalam perbudakan.” Dan karena pelaksanaan pemerdekaan itu demi menghindarkan mudarat dari budak, maka seandainya kami memerdekakan bagian sekutu, niscaya kami telah menimbulkan mudarat kepadanya karena kami telah melenyapkan hartanya tanpa memberikan ganti. Padahal, mudarat tidak dihilangkan dengan menimbulkan mudarat lain.
Jika ia mampu membayar nilai sebagian, maka merdekalah sebesar bagian yang sepadan dengannya, karena sesuatu yang wajib karena istihlāk (penghabisan/kerusakan) jika hanya mampu pada sebagian, maka wajib atasnya sebesar yang mampu dibayarnya, sebagaimana ganti rugi terhadap barang yang dimusnahkan.
Dan jika ia memiliki harta sepadan dengan nilai bagian tersebut, namun ia memiliki utang yang menghabiskan hartanya itu, maka terdapat dua pendapat, yang dibangun atas dua pendapat dalam masalah apakah utang mencegah kewajiban zakat atau tidak. Jika dikatakan bahwa utang tidak mencegah kewajiban zakat, maka wajib atasnya untuk memerdekakan. Dan jika dikatakan bahwa utang mencegah kewajiban zakat, maka tidak wajib atasnya untuk memerdekakan.
فصل: وإن ملك عبداً فأعتق بعضه سرى إلى الباقي لأنه موسر بالقدر الذي يسري إليه كما لو أعتق شركاً له في عبد وهو موسر.
فصل: وإن أوصى بعتق شرك له في عبد فأعتق عنه لم يقوم عليه نصيب شريكه وإن احتمله الثلث لأنه بالموت زال ملكه فلا ينفذ إلا فيما استثناه بالوصية وإن وصى بعتق نصيبه بأن يعتق عنه نصيب شريكه والثلث يحتمله قوم عليه وأعتق عنه الجميع لأنه في الوصية بالثلث كالحي فإذا قوم على الحي قوم على الميت بالوصية.
PASAL: Jika seseorang memiliki seorang budak lalu ia memerdekakan sebagian darinya, maka kemerdekaan itu menyebar ke bagian sisanya, karena ia memiliki kecukupan harta untuk mencakup bagian yang tersisa, sebagaimana jika ia memerdekakan bagian miliknya dalam budak bersama dan ia dalam keadaan mampu.
PASAL: Jika seseorang berwasiat untuk memerdekakan bagian miliknya dalam budak, lalu bagian itu dimerdekakan atas namanya, maka bagian milik sekutunya tidak dinilai untuk dimerdekakan, meskipun nilai itu ditanggung oleh sepertiga harta peninggalannya, karena dengan wafatnya, kepemilikannya telah hilang, maka tidak berlaku kecuali pada apa yang dikecualikan melalui wasiat.
Namun jika ia berwasiat untuk memerdekakan bagiannya dengan memerdekakan juga bagian milik sekutunya, dan sepertiga harta mencukupinya, maka bagian itu dinilai dan dimerdekakan semuanya atas namanya, karena wasiat atas sepertiga harta diperlakukan seperti orang hidup; jika dinilai atas orang hidup, maka dinilai pula atas orang mati dalam konteks wasiat.
فصل: وإن كان عبد بين ثلاثة لأحدهم النصف وللآخر الثلث وللثالث السدس فأعتق صاحب الثلث والسدس نصيبهما في وقت واحد وكانا موسرين قوم النصيب الشريك عليهما بالسوية لأن التقويم استحق بالسراية فقسط على عدد الرؤوس كما لو اشترك اثنان في جراحة رجل فجرحه أحدهما جراحة والآخر جراحات.
PASAL: Jika terdapat seorang budak yang dimiliki oleh tiga orang: salah satunya memiliki separuh, yang lain sepertiga, dan yang ketiga seperenam; lalu pemilik sepertiga dan seperenam memerdekakan bagian mereka pada waktu yang sama, dan keduanya dalam keadaan mampu, maka bagian milik sekutu yang belum merdeka dinilai atas keduanya secara merata, karena penilaian itu menjadi wajib disebabkan oleh as-sarāyah (merambatnya hukum pemerdekaan), maka dibagi atas dasar jumlah kepala (bukan kadar kepemilikan), sebagaimana jika dua orang berserikat dalam melukai seseorang, salah satunya melukai dengan satu luka dan yang lain dengan beberapa luka.
فصل: وإن كان له عبدان فأعتق أحدهما بعينه ثم أشكل أمر بأن يتذكر فإن قال أعتقت هذا قبل قوله لأنه أعرف بما قال فإن اتهمه الآخر حلف لجواز أن يكون كاذباً فإن نكل حلف الآخر وعتق العبدان أحدهما بإقراره والآخر بالنكول واليمين وإن قال هذا بل هذا عتقا جميعاً لأنه صار راجعاً عن الأول مقراً بالثاني فإن مات قبل أن يبين رجع إلى قول الوارث لأن له طريقاً إلى معرفته فإن قال الوارث: لا أعلم فالمنصوص أنه يقرع بينهما لأنه ليس أحدهما بأولى من الآخر فرجع إلى القرعة ومن أصحابنا من خرج فيه قولاً آخر أنه يوقف إلى أن ينكشف لأن القرعة تفضي إلى أن يرق من أعتقه ويعتق من أرق فوجب أن يوقف إلى أن يبين والأول هو الصحيح لأن البيان قد فات والوقوف يضر بالوارث في رقيه وبالحر في حق نفسه.
PASAL: Jika seseorang memiliki dua budak lalu ia memerdekakan salah satunya secara spesifik, kemudian menjadi samar perkara tersebut karena ia lupa, maka:
Jika ia berkata, “Aku memerdekakan budak ini,” maka perkataannya diterima karena ia lebih mengetahui apa yang ia ucapkan. Namun, jika budak yang lain menuduhnya berdusta, maka ia harus bersumpah karena mungkin saja ia berdusta. Jika ia enggan bersumpah, maka budak yang lain bersumpah, dan keduanya merdeka: yang satu karena pengakuan, dan yang lain karena enggannya bersumpah dan adanya sumpah dari pihak lawan.
Jika ia berkata, “Budak ini, bahkan budak yang ini yang aku maksud,” maka keduanya merdeka, karena ia telah menarik kembali pengakuan pertama dan mengakui yang kedua.
Jika ia wafat sebelum menjelaskan, maka perkara dikembalikan kepada pernyataan ahli waris, karena mereka memiliki jalan untuk mengetahuinya. Jika ahli waris berkata, “Kami tidak tahu,” maka pendapat yang masyhur adalah dilakukan pengundian (qur‘ah) di antara keduanya, karena tidak ada salah satunya yang lebih berhak daripada yang lain, maka perkara dikembalikan kepada undian.
Sebagian dari kalangan kami mengemukakan pendapat lain, yaitu: hukum ditangguhkan hingga jelas, karena pengundian bisa menyebabkan yang dimerdekakan tetap menjadi budak, dan yang budak menjadi merdeka. Maka wajib menangguhkan sampai jelas. Namun pendapat pertama adalah yang shahih, karena penjelasan telah hilang dan penangguhan itu merugikan ahli waris dalam sisi perbudakan, serta merugikan orang yang merdeka dalam hak dirinya.
فصل: وإن أعتق عبداً من أعبد أخذ بتعيينه وله أن يعين من شاء فإن قال هو سليم بل غانم عتق سالم ولم يعتق غانم لأنه تخير لتعيين عتق فإذا عينه في واحد سقط خياره في الثاني ويخالف القسم قبله لأن ذلك إخبار لا خيار له فيه فلم يسقط حكم خبره فإن مات قبل أن يعين ففيه وجهان: أحدهما لا يقوم الوارث مقامه في التعيين كما لا يقوم مقامه في تعيين الطلاق في إحدى المرأتين فعلى هذا يقرع بينهما فمن خرجت له القرعة عتق والثاني يقوم مقامه وهو الصحيح لأنه خيار ثابت يتعلق بالمال فقام الوارث فيه مقامه كخيار الشفعة والرد بالعيب.
PASAL: Jika seseorang memerdekakan salah satu dari beberapa budaknya, maka ia harus menentukan siapa yang dimerdekakan, dan ia boleh memilih siapa saja yang ia kehendaki. Jika ia berkata, “Yang aku maksud adalah Sālim,” lalu ia berkata, “Bukan, tetapi Ghānim,” maka yang merdeka adalah Sālim dan Ghānim tidak merdeka, karena ia telah memilih untuk menentukan siapa yang dimerdekakan, maka ketika ia telah menunjuk salah satu, gugurlah hak pilihannya terhadap yang lain. Ini berbeda dengan pembagian sebelumnya karena itu adalah pemberitahuan tanpa adanya hak memilih, sehingga tidak gugur hukum ucapannya. Jika ia meninggal sebelum menentukan, maka terdapat dua pendapat: pertama, ahli warisnya tidak dapat menggantikannya dalam penentuan, sebagaimana ahli waris tidak bisa menggantikan dalam menentukan talak pada salah satu dari dua istri; dalam hal ini dilakukan undian di antara keduanya, dan siapa yang keluar namanya dalam undian, maka ia merdeka. Kedua, ahli waris dapat menggantikannya, dan ini adalah pendapat yang shahih, karena ini adalah hak pilihan yang berkaitan dengan harta, maka ahli waris dapat menggantikannya sebagaimana dalam pilihan syuf‘ah dan pengembalian karena cacat.
فصل: ومن ملك أحد الوالدين وإن علوا أو أحد المولودين وإن سفلوا عتقوا عليه لقوله تعالى: {تكاد تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدّاً، أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَداً، وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَداً، إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً} فنفى الولادة مع العبودية على أنه لا يجتمعان ولأن الولد بعض منه فيصير كما لو ملك بعضه وإن ملك بعضه فإن كان بسبب من جهته كالبيع والهبة وهو موسر قوم عليه الباقي لأنه عتق بسبب من جهته فصار كما لو أعتق بعض عبد وإن كان سبب من جهته كالإرث لم يقوم عليه لأنه عتق من غير سبب من جهته وإن ملك من سوى الوالدين والمولودين من الأقارب ولم يعتق عليه لأنه لا بعضية بينهما كالأجانب
PASAL: Barang siapa memiliki salah satu dari kedua orang tuanya, meskipun di atas (kakek dan seterusnya), atau salah satu dari anak keturunannya, meskipun di bawah (cucu dan seterusnya), maka mereka merdeka atas dirinya. Berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا، أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا، وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا، إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا} – maka Allah menafikan kelahiran (anak) bersamaan dengan perbudakan, karena keduanya tidak mungkin bersatu. Dan karena anak adalah bagian dari dirinya, maka hukumnya seperti jika ia memiliki sebagian dari budak.
Jika ia memiliki sebagian dari budak, maka:
- Bila sebabnya berasal dari dirinya sendiri, seperti melalui jual beli atau hibah, dan ia orang yang mampu, maka ia wajib menanggung nilai sisanya, karena kemerdekaan terjadi karena sebab dari dirinya, maka hukumnya seperti orang yang memerdekakan sebagian dari budak.
- Namun bila sebabnya bukan dari dirinya, seperti melalui warisan, maka tidak wajib menanggung nilai sisanya, karena kemerdekaan terjadi tanpa sebab dari dirinya.
Jika ia memiliki kerabat lain selain kedua orang tua dan anak keturunan, maka mereka tidak otomatis merdeka atas dirinya, karena tidak ada hubungan “sebagian dari diri” di antara mereka, sebagaimana dengan orang asing.
وإن وجد من يعتق عليه مملوكاً فالمستحب أن يشتريه ليعتق عليه لقوله صلى الله عليه وسلم: “لا يجزي ولد والده إلا أن يجده مملوكاً فيشتريه فيعتقه” ولا يجب عليه ذلك لأنه استجلاب مال لقربة لم يتقدم وجوبها فلم يجب كشراء المال للزكاة وإن وصى للمولى عليه بأبيه فإن كان لا يلزمه نفقته وجب على الولي قبوله لأنه يعتق عليه فيحصل على جمال عاجل وثواب آجل من غير إضرار
Jika seseorang mendapati orang yang akan merdeka secara otomatis atas dirinya sebagai budak milik orang lain, maka disunnahkan baginya untuk membelinya agar merdeka atas dirinya. Berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada balasan anak terhadap ayahnya kecuali jika ia menjumpainya sebagai budak, lalu ia membelinya dan memerdekakannya.” Namun ia tidak wajib membelinya, karena hal itu adalah usaha untuk memperoleh pahala atas suatu qurbah (amal mendekatkan diri kepada Allah) yang belum wajib sebelumnya, maka tidak menjadi wajib, sebagaimana membeli harta untuk dikeluarkan zakatnya.
Dan jika seseorang berwasiat kepada orang yang akan merdeka secara otomatis atas dirinya (muwlā ‘alayh) berupa ayahnya, maka bila ia tidak wajib menafkahinya, wajib atas wali (penerima wasiat) untuk menerima wasiat tersebut, karena sang ayah akan merdeka atas dirinya, maka ia akan mendapatkan kemuliaan segera dan pahala di kemudian hari tanpa adanya mudarat.
وإن كانت تلزمه نفقته لم يجب قبوله لأنه يعتق عليه ويطالب بنفقته وفي ذلك إضرار فلم يجز وإن وصى له ببعضه فإن كان معسراً لزمه قبوله لأنه لا ضرر عليه من جهة التقويم ولا من جهة النفقة وإن كان موسراً والأب ممن تلزمه نفقته لم يجب قبوله لأنه تلزمه نفقته وفي ذلك إضرار وإن كانت لا تلزمه نفقته ففيه قولان: أحدهما لا يجوز قبوله لأنه ملكه يقتضي التقويم وفي ذلك إضرار والثاني يلزم قبوله ولا يقوم عليه لأنه يعت عليه بغير اختياره فلم يقوم عليه كما لو ملكه بالإرث.
Dan jika ia wajib menafkahinya, maka tidak wajib menerimanya karena ia akan merdeka atasnya dan ia dituntut untuk menafkahinya, dan dalam hal itu terdapat unsur dharar, maka tidak boleh. Dan jika ia diwasiati sebagian darinya, maka jika ia fakir, wajib menerimanya karena tidak ada dharar baginya dari sisi penilaian maupun dari sisi nafkah. Namun jika ia kaya, dan sang ayah adalah orang yang wajib ia nafkahi, maka tidak wajib menerimanya karena ia akan wajib menafkahinya, dan dalam hal itu terdapat dharar. Dan jika ia bukan orang yang wajib dinafkahi, maka terdapat dua pendapat: pendapat pertama, tidak boleh menerimanya karena kepemilikannya menuntut penilaian, dan dalam hal itu terdapat dharar; dan pendapat kedua, wajib menerimanya dan tidak dikenai penilaian karena ia merdeka atasnya tanpa pilihannya, maka tidak dikenai penilaian sebagaimana jika ia memilikinya melalui warisan.
باب القرعة
والقرعة أن تقطع رقاع متساوية ويكتب في كل رقعة ما يراد إخراجه وتجعل في بنادق من طين متساوية الوزن والصفة وتجفف وتغطى بشيء ثم يقال لرجل لم يحضر الكتابة والبندقة أخرج بندقة ويعمل بما فيها فإن كان القصد عتق الثلث جزؤوا ثلاثة أجزاء وإن كان القصد عتق الرابع جزؤوا أربعة أجزاء وإن كان القصد عتق النصف جزؤوا نصفين وتعدل السهام فإن كان القصد عتق الثلث فإن كان عددهم وقيمته متساوية فإن كانوا ستة أعبد قيمة كل واحد منهم مائة جعل كل اثنين جزءاً ثم الحاكم بالخيار بين أن يكتب في الرقاع الأسماء ويخرج الأسماء على الحرية والرق وبين أن يكتب الرق والحرية ويخرج على الأسماء فإن اختار كتب الأسماء كتب كل اسمين في رقعة
BAB QUR‘AH
Qur‘ah adalah dengan memotong kertas-kertas kecil yang ukurannya sama, lalu ditulisi pada setiap kertas apa yang dikehendaki untuk dikeluarkan, kemudian dimasukkan ke dalam gumpalan-gumpalan tanah liat yang berat dan bentuknya sama, lalu dikeringkan dan ditutup dengan sesuatu, kemudian dikatakan kepada seorang laki-laki yang tidak hadir saat penulisan dan pembungkusan: “Keluarkan satu gumpalan.” Maka diberlakukan isi yang terdapat di dalamnya.
Jika maksudnya adalah memerdekakan sepertiga, maka dibagi menjadi tiga bagian. Jika maksudnya memerdekakan seperempat, maka dibagi menjadi empat bagian. Jika maksudnya memerdekakan setengah, maka dibagi menjadi dua bagian. Kemudian disamakan jumlah undian.
Jika maksudnya adalah memerdekakan sepertiga, sedangkan jumlah mereka dan nilainya sama, maka misalnya ada enam orang budak, masing-masing bernilai seratus, maka setiap dua orang dijadikan satu bagian. Kemudian hakim boleh memilih antara menulis nama-nama pada kertas dan mengundi antara merdeka dan tetap menjadi budak, atau menulis kata “merdeka” dan “budak”, lalu mengundi berdasarkan nama-nama.
Jika ia memilih menulis nama-nama, maka ditulis dua nama pada setiap kertas.
فإن شاء أخرج القرعة على الحرية فإذا خرجت القرعة باسم اثنين عتقا ورق الباقون وإن شاء أخرج على الرق فإن خرجت رق من فيها ثم يخرج قرعة أخرى على الرق فإذا خرجت رق من فيها ويعتق الباقيان والإخراج على الحرية أولى لأنه أقرب إلى فصل الحكم فإن اتفق العدد واختلفت القيم وأمكن تعديل العدد بالقيمة بأن يكونوا ستة قيمة اثنين أربعمائة وقيمة اثنين ستمائة وقيمة اثنين مائتان جعل اللذان قيمتهما أربعمائة جزءاً وضم أحد العبدين المقومين بستمائة إلى أحد العبدين المقومين بمائتين ويجعل العبدان الآخران جزءاً ويخرج القرعة على ما ذكرناه من الوجهين
Jika ia menghendaki, ia dapat mengundi untuk menentukan siapa yang merdeka. Maka jika undian jatuh pada nama dua orang, keduanya merdeka dan yang lainnya tetap menjadi budak. Dan jika ia menghendaki, ia dapat mengundi untuk menentukan siapa yang tetap menjadi budak. Maka jika undian jatuh pada yang menjadi budak, kemudian diambil undian kedua untuk menentukan budak berikutnya, dan sisanya merdeka. Mengundi untuk yang merdeka lebih utama karena lebih dekat kepada penyelesaian hukum.
Jika jumlahnya sama tetapi nilai mereka berbeda, dan memungkinkan untuk menyesuaikan jumlah dengan nilai, misalnya terdapat enam budak: dua orang masing-masing bernilai empat ratus, dua orang masing-masing bernilai enam ratus, dan dua orang masing-masing bernilai dua ratus, maka dua budak yang nilainya empat ratus dijadikan satu bagian, dan salah satu dari budak yang bernilai enam ratus digabungkan dengan salah satu dari budak yang bernilai dua ratus, dan dua budak lainnya dijadikan satu bagian, lalu dilakukan undian dengan dua cara yang telah disebutkan.
وإن اختلفت قيمتهم ولم يتفق عددهم بأن كانوا ثمانية قيمة واحد مائة وقيمة ثلاثة مائة وقيمة أربعة مائة عدلوا بالقيمة فيجعل العبد جزءاً والثلاثة جزءاً والأربعة جزءاً فإن خرجت قرعة العتق على العبد عتق ورق السبعة وإن خرجت على الثلاثة عتقوا ورق الخمسة وإن خرجت على الأربعة عتقوا ورق الأربعة لأنه لا يمكن تعديلهم بغير القيمة فعدلوا بالقيمة وعلى هذا لو كانوا اثنين قيمة أحدهما مائة وقيمة الآخر مائتان جعلا جزأين وأقرع بينهما فإن خرجت قرعة العتق على المقوم بمائة عتق جميعه ورق الآخر وإن خرجت على المقوم بمائتين عتق نصفه ورق نصفه وجميع الآخر فإن اتفق العدد واختلفت القيم فإن عدل بالعدد اختلفت القيم وإن عدل بالقيمة اختلف العدد بأن كانوا ستة قيمة واحد مائة وقيمة اثنين مائة وقيمة ثلاثة مائة فالمنصوص أنهم يعدلون بالقيمة فيجعل العبد جزءاً والعبدان جزءاً والثلاثة جزءاً وتخرج القرعة على ما ذكرناه من الوجهين
Dan jika nilai mereka berbeda dan jumlah mereka tidak sama, seperti delapan budak: nilai satu orang seratus, nilai tiga orang seratus, dan nilai empat orang seratus, maka penyesuaian dilakukan berdasarkan nilai. Maka budak yang satu dijadikan satu bagian, tiga orang dijadikan satu bagian, dan empat orang dijadikan satu bagian. Jika undian merdeka jatuh pada budak yang satu, maka ia merdeka dan tujuh lainnya tetap budak. Jika jatuh pada yang tiga, maka mereka merdeka dan lima lainnya tetap budak. Jika jatuh pada yang empat, maka mereka merdeka dan empat lainnya tetap budak. Karena tidak mungkin menyesuaikan mereka kecuali dengan nilai, maka disesuaikan dengan nilai.
Berdasarkan ini, jika mereka dua orang: nilai salah satunya seratus dan yang lain dua ratus, maka dijadikan dua bagian dan dilakukan undian di antara keduanya. Jika undian merdeka jatuh pada yang dinilai seratus, maka ia merdeka seluruhnya dan yang lain tetap budak. Jika undian jatuh pada yang dinilai dua ratus, maka separuhnya merdeka dan separuhnya tetap budak, demikian pula seluruh yang lain tetap budak.
Jika jumlah mereka sama dan nilai mereka berbeda, jika disesuaikan dengan jumlah maka nilainya menjadi berbeda, dan jika disesuaikan dengan nilai maka jumlahnya menjadi berbeda. Misalnya ada enam budak: nilai satu orang seratus, dua orang dua ratus, dan tiga orang tiga ratus, maka pendapat yang dinukil adalah mereka disesuaikan berdasarkan nilai. Maka budak yang satu dijadikan satu bagian, dua orang dijadikan satu bagian, dan tiga orang dijadikan satu bagian. Kemudian diundi dengan dua cara yang telah disebutkan.
ومن أصحابنا من قال: يعدلون بالعدد فيجعل اللذان قيمتهما مائة جزءاً ويضم أحد الثلاثة إلى المقوم بمائة فيجعلان جزءاً وقيمتهما مائة وثلث ويجعل الآخران جزءاً وقيمتهما ثلثمائة وأقرع بينهم فإن خرجت القرعة على المقومين بالمائة وقد استكملا الثلث ورق الباقون وإن خرجت على العبدين المقوم أحدهما بمائة والآخر بثلث المائة عتقا ورق الأربعة الباقون ويقرع بين العبدين اللذين خرجت القرعة عليهما لأنهما أكثر من الثلث فلم ينفذ العتق فيهما فإن أقرع فخرجت القرعة على المقوم بمائة عتق ورق الآخر وإن خرجت على المقوم بثلث المائة عتق وعتق من الآخر الثلثان لاستكمال الثلث ورق الباقي والصحيح هو المنصوص عليه لأن فيما قال هذا القائل يحتاج إلى إعادة القرعة وتبعيض الرق والحرية في شخص واحد
Dan sebagian dari para sahabat kami ada yang berpendapat bahwa penyesuaian dilakukan berdasarkan jumlah. Maka dua budak yang masing-masing nilainya seratus dijadikan satu bagian. Salah satu dari tiga budak lainnya digabungkan dengan salah satu budak yang bernilai seratus, maka keduanya dijadikan satu bagian, dan nilai gabungannya menjadi seratus sepertiga. Dua budak lainnya dijadikan satu bagian, dan nilai keduanya tiga ratus. Kemudian dilakukan undian di antara mereka.
Jika undian jatuh pada dua budak yang masing-masing bernilai seratus dan telah sempurna sepertiga, maka yang lainnya tetap budak. Jika undian jatuh pada dua budak yang salah satunya bernilai seratus dan yang lainnya sepertiga dari seratus, maka keduanya merdeka dan empat lainnya tetap budak. Namun perlu dilakukan undian di antara dua budak yang terkena undian tadi, karena keduanya melebihi sepertiga, maka tidak sah merdeka seluruhnya bagi keduanya.
Jika setelah dilakukan undian, undian jatuh pada yang nilainya seratus, maka ia merdeka dan yang lainnya tetap budak. Jika undian jatuh pada yang nilainya sepertiga dari seratus, maka ia merdeka dan dari yang lain merdeka dua pertiga untuk menyempurnakan sepertiga, dan sisanya tetap budak.
Pendapat yang benar adalah pendapat yang dinukil (yaitu penyesuaian berdasarkan nilai), karena pendapat yang dikemukakan oleh orang ini memerlukan pengulangan undian dan pemisahan antara status budak dan merdeka pada satu orang.
فإن اختلف العدد والقيم ولم يمكن التعديل بالعدد ولا بالقيمة بأن كانوا خمسة وقيمة أحدهم مائة وقيمة الثاني مائتان وقيمة الثالث ثلثمائة وقيمة الرابع أربعمائة وقيمة الخامس خمسمائة ففيه قولان: أحدهما أنه يكتب أسماؤهم في رقاع بعددهم ثم يخرج على العتق فإن خرج المقوم بخمسمائة وهو الثلث عتق ورق الأربعة وإن خرج المقوم بأربعمائة عتق وقد بقي من الثلث مائة فيخرج اسم آخر فإن خرج اسم المقوم بثلثمائة عتق منه ثلثه ورق باقيه والثلاثة الباقون وعلى هذا القياس يعمل في كل ما يخرج والقول الثاني أنهم يجزؤون ثلاثة أجزاء على القيمة دون العدد فيجعل المقوم بخمسمائة جزءاً ويجعل المقوم بثلاثمائة والمقوم بمائتين جزءاً ويجعل المقوم بأربعمائة والمقوم بمائة جزءاً ثم يخرج القرعة ويعتق من فيها وهو الثلث ويرق الباقون لأن النبي صلى الله عليه وسلم جزأهم ثلاثة أجزاء.
Jika jumlah dan nilai berbeda-beda dan tidak memungkinkan penyesuaian dengan jumlah maupun nilai—misalnya terdapat lima budak: nilai salah satunya seratus, yang kedua dua ratus, yang ketiga tiga ratus, yang keempat empat ratus, dan yang kelima lima ratus—maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, nama-nama mereka ditulis pada kertas sesuai jumlah mereka, lalu diundi untuk menentukan siapa yang merdeka. Jika yang keluar adalah yang dinilai lima ratus dan itu adalah sepertiga, maka ia merdeka dan empat lainnya tetap budak. Jika yang keluar adalah yang dinilai empat ratus, maka ia merdeka dan masih tersisa seratus dari sepertiga. Maka diundi lagi satu nama. Jika yang keluar adalah yang dinilai tiga ratus, maka sepertiganya dimerdekakan, dan sisanya tetap budak, begitu pula tiga budak lainnya. Dan atas dasar ini berlaku pada setiap nama yang keluar.
Pendapat kedua, mereka dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan nilai, bukan jumlah. Maka yang bernilai lima ratus dijadikan satu bagian, yang bernilai tiga ratus dan dua ratus dijadikan satu bagian, dan yang bernilai empat ratus dan seratus dijadikan satu bagian. Kemudian diundi, dan siapa yang keluar, maka ia merdeka sebagai sepertiga, dan sisanya tetap budak. Karena Nabi SAW membagi mereka menjadi tiga bagian.
فصل: قال الشافعي: وإن أعتق ثلاثة أعبد لا مال له غيرهم فمات واحد ثم مات السيد أقرع بين الحيين والميت فإن خرج سهم الحرية على الميت رق الاثنان وحكم من خرج عليه سهم الحرية حكم الأحرار منذ خوطب بالعتق إلى أن مات وكان له ما اكتسب واستفاد بإرث وغيره وإن خرج سهم الحرية على أحد الحيين لم يعتق منه إلا ثلثاه لأن الميت قبل موت سيد مات عبداً فلم يكن له حكم ما خلف السيد وإن مات المعتق ولم يقرع بينهم حتى مات اثنان أقرع بين الحي والميتين فإن خرج بينهم العتق على الحي عتق كله وأعطي كل ما استفاد من يوم خوطب بالعتق ورق الميتان.
PASAL: Berkata asy-Syāfi‘ī: Jika seseorang memerdekakan tiga budak dan ia tidak memiliki harta selain mereka, lalu salah satu dari mereka mati, kemudian sang tuan juga mati, maka dilakukan pengundian (qur‘ah) antara dua budak yang masih hidup dan yang telah mati. Jika hasil undian kebebasan jatuh pada yang telah mati, maka dua budak yang masih hidup tetap menjadi budak, dan hukum bagi yang hasil undiannya jatuh padanya adalah sebagai orang merdeka sejak ia dipanggil dengan status merdeka hingga kematiannya, dan ia berhak atas apa yang ia peroleh seperti harta warisan dan selainnya.
Namun jika hasil undian kebebasan jatuh pada salah satu dari dua yang masih hidup, maka yang merdeka darinya hanyalah dua pertiga, karena yang telah mati sebelum tuannya mati wafat dalam keadaan sebagai budak, sehingga ia tidak memiliki bagian dari peninggalan tuannya.
Jika sang tuan wafat dan belum sempat mengundi mereka hingga dua dari budak tersebut mati, maka dilakukan pengundian antara satu yang masih hidup dan dua yang telah mati. Jika hasil undian kebebasan jatuh pada yang masih hidup, maka ia merdeka seluruhnya dan ia berhak atas segala yang ia peroleh sejak ia dipanggil dengan status merdeka, sementara dua yang telah mati tetap berstatus budak.
فصل: إذا أعتق في مرضه ستة أعبد لا مال له غيرهم فاعتق اثنان بالقرعة ثم ظهر مال يحتمل أن يعتق آخر إن جعل الأربعة جزءين وأقرع بينهم وأعتق منهم اثنان.
PASAL: Jika seseorang memerdekakan enam budak dalam keadaan sakit dan ia tidak memiliki harta selain mereka, lalu dua di antara mereka merdeka melalui undian, kemudian ternyata ada harta yang memungkinkan untuk memerdekakan satu budak lagi jika empat budak yang tersisa dibagi menjadi dua bagian, maka dilakukan undian di antara mereka dan dimerdekakan dua dari mereka.
فصل: وإن أعتق في مرضه أعبداً له ومات وعليه دين يستغرق التركة لم ينفذ العتق لأن العتق في المرض وصية فلا ينفذ إلا في ثلث ما يفضل به بعد قضاء الدين وإن استغرق نصفها جعل التركة جزءين ويكتب في رقعة دين وفي رقعة تركة وإن استغرق الثلث جعلوا ثلاثة أجزاء في رقعة دين وفي رقعتين تركة ويقرع بينهم فمن خرجت عليه قرعة الدين بيع في الدين وما سواه يجعل ثلاثة أجزاء ويعتق منه الثلث لأنه اجتمع حق الدين وحق التركة وحق العتق وليس بعضها بالبيع والإرث والعتق بأولى من البعض وللقرعة مدخل في تمييز العتق من غيره فأقرع بينهم.
PASAL: Jika seseorang memerdekakan para budaknya dalam keadaan sakit, lalu ia wafat dan memiliki utang yang menghabiskan seluruh hartanya, maka pemerdekaan itu tidak sah, karena pemerdekaan dalam keadaan sakit termasuk wasiat, sehingga tidak berlaku kecuali pada sepertiga dari harta yang tersisa setelah pelunasan utang. Jika utangnya hanya menghabiskan separuh harta, maka harta dibagi menjadi dua bagian: satu bagian ditulis dalam satu undian sebagai utang, dan satu bagian lagi sebagai warisan. Jika utangnya menghabiskan sepertiga, maka harta dijadikan tiga bagian: satu bagian ditulis dalam satu undian sebagai utang, dan dua bagian sebagai warisan, lalu diundi di antara mereka. Siapa yang keluar namanya dalam undian bagian utang, dijual untuk membayar utang. Selebihnya dijadikan tiga bagian, dan sepertiganya dimerdekakan, karena telah berkumpul hak utang, hak warisan, dan hak pemerdekaan—tidak ada satu pun dari hak-hak tersebut yang lebih utama daripada yang lain dalam hal penjualan, warisan, atau pemerdekaan. Maka undian memiliki peran dalam menentukan siapa yang dimerdekakan dan siapa yang tidak, sehingga diundi di antara mereka.
فصل: وإن أعتقهم ومات وأقرع بينهم وأعتق الثلث ثم ظهر دين مستغرق لم ينفذ العتق لما ذكرناه فإن قال الورثة نحن نقضي الدين وننفذ العتق ففيه وجهان: أحدهما أن لهم ذلك لأن المنع من نفوذ العتق لأجل الدين فإذا قضي الدين زال المنع والثاني أن ليس لهم ذلك لأنهم تقاسموا العبيد بالقرعة لأنه تعلق بهم حق الغرماء فلم يصح كما لو تقاسم شريكان ثم ظهر شريك ثالث فعلى هذا يقضي الدين ثم يستأنف العتق وإن كان الدين يستغرق نصف التركة فهل يبطل العتق بالجميع فيه وجهان: أحدهما يبطل كما قلنا في قسمة الشريكين
PASAL: Jika seseorang memerdekakan budak-budaknya lalu ia wafat, kemudian dilakukan undian di antara mereka dan dimerdekakan sepertiganya, lalu ternyata ada utang yang menyita seluruh harta, maka pemerdekaan tersebut tidak sah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Jika para ahli waris berkata, “Kami akan melunasi utang dan menjalankan pemerdekaan,” maka ada dua pendapat:
Pertama, mereka boleh melakukan hal itu, karena penghalang berlakunya pemerdekaan adalah utang, maka ketika utang dilunasi, penghalang tersebut hilang.
Kedua, mereka tidak boleh melakukannya, karena mereka telah membagi budak-budak itu dengan cara undian, padahal hak para kreditur masih terkait dengan mereka, sehingga tidak sah, sebagaimana dua orang yang membagi harta warisan lalu ternyata ada pihak ketiga yang juga memiliki hak waris. Maka berdasarkan pendapat ini, utang harus dilunasi terlebih dahulu, lalu pemerdekaan dimulai kembali dari awal.
Jika utang hanya menyita setengah dari harta, maka apakah pemerdekaan batal seluruhnya? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Salah satunya, batal seluruhnya, sebagaimana yang dikatakan dalam pembagian antara dua orang sekutu.
والثاني يبطل بقدر الدين لأن بطلانه بسببه فيقدر بقدره فإن كان الذي أعتق عبدين عتق من كل واحد منهما نصفه ورق النصف ثم يقرع بينهما لجمع الحرية فإن خرجت القرعة لأحدهما وكانت قيمتهما سواء عتق وبيع الآخر في الدين وإن كانت قيمة أحدهما أكثر فخرجت القرعة على أكثرهما قيمة عتق منه نصف قيمة العبدين ورق باقيه والعبد الآخر وإن خرجت على أقلهما قيمة عتق وعتق من الثاني تمام النصف وبيع الباقي في الدين.
dan yang kedua batal seukuran utang, karena batalnya disebabkan oleh utang maka ditakar sesuai kadarnya. Jika seseorang memerdekakan dua budak, maka merdeka dari masing-masing budak setengahnya dan setengahnya lagi tetap sebagai budak, kemudian diundi di antara keduanya untuk menentukan yang akan merdeka seluruhnya. Jika undian jatuh pada salah satunya dan nilai keduanya sama, maka ia merdeka dan yang lainnya dijual untuk membayar utang. Jika nilai salah satunya lebih tinggi lalu undian jatuh pada yang lebih tinggi nilainya, maka merdeka darinya seukuran setengah nilai dua budak dan sisanya tetap sebagai budak, begitu pula budak yang lain. Jika undian jatuh pada yang nilainya lebih rendah, maka ia merdeka dan dari budak yang kedua dimerdekakan sisanya hingga genap setengah, dan sisanya dijual untuk membayar utang.
باب المدبر
التدبير قربة لأنه يقصد به العتق ويعتبر من الثلث في الصحة والمرض لما روى عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “المدبر من الثلث” ولأنه تبرع يتنجز بالموت فاعتبر من الثلث كالوصية فإن دبر عبداً وأوصى بعتق آخر وعجز الثلث عنهما أقرع بينهما ومن أصحابنا من قال فيه قول آخر أنه يقدم المدبر لأنه يعتق بالموت والموصى بعتقه لا يعتق بالموت والصحيح هو الأول لأن لزومهما بالموت فاستويا.
BAB AL-MUDABBAR
At-tadbīr adalah suatu bentuk qurbah karena bertujuan untuk memerdekakan. Ia dihitung dari sepertiga harta, baik ketika sehat maupun sakit, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Al-mudabbar termasuk dari sepertiga.” Karena ia adalah pemberian yang berlaku dengan kematian, maka dihitung dari sepertiga sebagaimana wasiat.
Jika seseorang mentadbīr seorang budak dan mewasiatkan pemerdekaan budak lain, lalu sepertiga hartanya tidak mencukupi untuk membebaskan keduanya, maka dilakukan undian di antara keduanya. Sebagian ulama kami mengatakan ada pendapat lain: yang didahulukan adalah mudabbir, karena ia merdeka dengan kematian, sedangkan budak yang diwasiatkan untuk dimerdekakan tidak langsung merdeka dengan kematian. Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena keduanya sama-sama menjadi wajib dengan sebab kematian, maka kedudukannya setara.
فصل: ويصح من السفيه لأنه إنما منع من التصرف حتى لا يضيع ماله فيفتقر وبالتدبير لا يضيع ماله لأنه باق على ملكه وإن مات استغنى عن المال وحصل له الثواب وهل يصح من الصبي المميز؟ فيه قولان: أحدهما أنه يصح لما ذكرناه في السفيه والثاني لا يصح وهو الصحيح لأنه ليس من أهل العقود فلم يصح تدبيره كالمجنون.
PASAL: Dan sah (tindakan tadbīr) dari orang safih, karena ia hanya dilarang melakukan transaksi agar tidak menyia-nyiakan hartanya lalu jatuh miskin, sedangkan dengan tadbīr tidak menyebabkan hartanya hilang, karena budak itu tetap berada dalam kepemilikannya, dan jika ia meninggal, ia tidak lagi membutuhkan harta dan mendapat pahala. Apakah sah tadbīr dari anak yang mumayyiz? Ada dua pendapat: pertama, sah, seperti yang disebutkan pada kasus orang safih; dan kedua, tidak sah, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ia bukan ahli akad, maka tidak sah tindakan tadbīr-nya seperti halnya orang gila.
فصل: والتدبير هو أن يقول إن مت فأنت حر فإن قال دبرتك أو أنت مدبر ونوى العتق صح وإن لم ينو فالمنصوص في المدبر أنه يصح وقال في المكاتب: إذا قال كاتبتك على كذا وكذا لم يصح حتى يقول إن أديت أنت حر فمن أصحابنا من نقل جوابه في المدبر إلى المكاتب وجوابه في المكاتب إلى المدبر وجعلهما على قولين أحدهما أنهما صريحان لأنهما موضوعان للعتق في عرف الشرع والثاني أنهما كنايتان فلا يقع العتق بهما إلا بقرينة أو نية لأنهما يستعملان في العتق وغيره ومنهم من قال في المدبر صريح وفي المكاتب كناية ولم يذكر فرقاً يعتمد عليه.
PASAL
At-tadbīr adalah ucapan seseorang: “Jika aku mati, maka engkau merdeka.” Jika ia berkata: “Aku mentadbīrmu” atau “Engkau adalah mudabbar,” lalu ia berniat memerdekakan, maka sah. Jika ia tidak berniat, maka pendapat yang manṣūṣ dalam kasus mudabbar adalah bahwa itu tetap sah.
Namun dalam kasus mukātib, apabila ia berkata: “Aku memukatabkanmu dengan harga sekian,” maka tidak sah sampai ia berkata: “Jika engkau melunasi, maka engkau merdeka.” Sebagian ulama kami menukil bahwa jawaban Imam Syafi‘i dalam kasus mudabbar dipindahkan ke kasus mukātib, dan sebaliknya, lalu dijadikan dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya adalah ṣarīḥ karena telah menjadi istilah untuk makna pemerdekaan dalam ‘urf syar‘i.
Kedua, bahwa keduanya adalah kināyah, maka tidak terjadi pemerdekaan kecuali disertai dengan indikasi atau niat, karena digunakan untuk makna pemerdekaan dan selainnya.
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa dalam mudabbar adalah ṣarīḥ, sedangkan dalam mukātib adalah kināyah, namun tidak disebutkan perbedaan yang dapat dijadikan pegangan.
فصل: ويجوز مطلقاً وهو أن يقول إن مت فأنت حر ويجوز مقيداً وهو أن يقول إن مت من هذا المرض أو في هذا البلد فأنت حر لأنه عتق معلق على صفة فجاز مطلقاً ومقيداً كالعتق المعلق على دخول الدار ويجوز تعليقه على شرطك بأن يقول إن دخلت الدار فأنت حر بعد موتي كما يجوز أن يعلق العتق المعلق على دخول الدار بشرط قبله فإن وجد الشرط صار مدبراً وإن لم يوجد الشرط حتى مات السيد لم يصر مدبراً لأنه علق التدبير على صفة وقد بطلت الصفة بالموت فسقط ما عتق عليه.
PASAL: Boleh dilakukan secara mutlak, yaitu dengan mengatakan: “Jika aku mati, maka engkau merdeka.” Dan boleh pula dilakukan secara muqayyad, yaitu dengan mengatakan: “Jika aku mati karena penyakit ini, atau di negeri ini, maka engkau merdeka.” Karena ini adalah pemerdekaan yang digantungkan pada suatu sifat, maka boleh dilakukan baik secara mutlak maupun muqayyad, seperti pemerdekaan yang digantungkan pada masuknya ke dalam rumah. Dan boleh pula digantungkan pada syarat, yaitu dengan mengatakan: “Jika engkau masuk rumah, maka engkau merdeka setelah kematianku,” sebagaimana boleh menggantungkan pemerdekaan yang digantung pada masuk rumah dengan syarat sebelumnya. Jika syarat itu terpenuhi, maka budak menjadi mudabbir, dan jika syarat itu tidak terpenuhi sampai tuannya meninggal, maka ia tidak menjadi mudabbir, karena ia menggantungkan tadbīr pada suatu sifat, dan sifat itu batal dengan kematian, maka gugurlah pemerdekaan yang tergantung padanya.
فصل: ويجوز تدبير المعتق بصفة كما يجوز أن يعلق عتقه على صفة أخرى فإن وجدت الصفة قبل الموت عتق بالصفة وبطل التدبير به وإن مات قبل وجود الصفة عتق بالتدبير وبطل العتق بالصفة ويجوز تدبير المكاتب كما يجوز أن يعلق عتقه على صفة فإن دبره صار مكاتباً مدبراً ويستحق العتق بالكتابة والتدبير فإن أدى المال قبل الموت عتق بالكتابة وبطل التدبير وإن مات قبل الأداء فإن كان يخرج من الثلث عتق بالتدبير وبطلت الكتابة وإن لم يخرج جميعه عتق منه بقدر الثلث ويسقط من مال الكتابة بقدره وبقي الباقي على الكتابة ولا يجوز تدبير أم الولد لأن الذي يقتضيه التدبير هو العتق بالموت وقد استحقت مال الكتابة بقدره وبقي الباقي على الكتابة ولا يجوز تدبير أم الولد لأن الذي يقتضيه التدبير هو العتق بالموت وقد استحقت ذلك بالاستيلاد فلم يفد التدبير شيئاً فإذا دبرها ومات عتقت بالاستيلاد من رأس المال.
PASAL
Boleh mentadbīr budak yang dimerdekakan dengan syarat tertentu, sebagaimana boleh menggantungkan pemerdekaannya pada suatu sifat lain. Jika sifat itu terwujud sebelum wafat, maka budak itu merdeka karena sifat tersebut dan tadbīr menjadi batal karenanya. Namun jika ia wafat sebelum sifat itu terwujud, maka budak itu merdeka karena tadbīr dan pemerdekaan dengan sifat menjadi batal.
Boleh juga mentadbīr mukātib, sebagaimana boleh menggantungkan pemerdekaannya pada suatu sifat. Jika ia mentadbīrkannya, maka ia menjadi mukātib mudabbar, dan berhak atas kemerdekaan karena kitābah dan tadbīr sekaligus. Jika ia melunasi pembayaran sebelum kematian, maka ia merdeka karena kitābah dan tadbīr menjadi batal. Namun jika ia meninggal sebelum pelunasan, maka jika nilai budaknya mencukupi untuk dikeluarkan dari sepertiga harta, maka ia merdeka karena tadbīr dan kitābah menjadi batal. Jika tidak seluruhnya mencukupi, maka ia merdeka sebanding dengan sepertiga harta, dan gugurlah bagian dari pembayaran kitābah sebesar itu, sedangkan sisanya tetap harus dibayar melalui kitābah.
Tidak boleh mentadbīr umm al-walad, karena konsekuensi tadbīr adalah merdeka karena kematian, sedangkan umm al-walad telah berhak atas kemerdekaan karena istīlād. Maka tadbīr tidak memberi tambahan manfaat apa pun. Jika ia mentadbīrkannya dan kemudian wafat, maka umm al-walad merdeka karena istīlād dari seluruh harta (bukan dari sepertiga).
فصل: ويجوز تدبير الحمل كما يجوز في بعض عبد كما يجوز عتقه ويجوز في العتق فإن كان بين رجلين عبد فدبر أحدهما نصيبه وهو موسر فهل يقوم عليه نصيب شريكه ليصير الجميع مدبراً؟ فيه قولان: أحدهما يقوم عليه لأنه أثبت له شيئاً يفضي إلى العتق لا محالة فأوجب التقويم كما لو استولد جارية بينه وبين غيره والثاني وهو المنصوص أنه لا يقوم عليه لأن التقويم إنما يجب بالإتلاف كالعتق أو بسبب يوجب الإتلاف كالإستيراد والتدبير ليس بإتلاف ولا سبب يوجب الإتلاف لأنه يمكن نقضه بالتصرف فلم يوجب التقويم فإن كان له عبد فدبر بعضه فالمنصوص أنه لا يسري إلى الباقي
PASAL: Boleh mentadbir janin sebagaimana boleh pada sebagian budak, sebagaimana boleh memerdekakannya, dan demikian pula dalam pemerdekaan. Jika ada seorang laki-laki memiliki budak bersama orang lain, lalu ia mentadbir bagiannya dan ia adalah orang yang mampu, maka apakah bagian rekannya harus dihargai untuk menjadikan keseluruhan budak sebagai mudabbar? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, harus dihargai, karena ia telah menetapkan sesuatu yang pasti mengarah pada kemerdekaan, maka wajib dilakukan penilaian (taqwīm), sebagaimana jika ia menghamili seorang jariyah yang dimiliki bersama dengan orang lain.
Kedua, dan ini yang dinyatakan oleh Imam asy-Syafi‘i, tidak wajib dihargai karena penilaian (taqwīm) itu hanya diwajibkan ketika terjadi penghilangan (al-itlāf) seperti pemerdekaan, atau sebab yang mewajibkan penghilangan seperti istīlād. Sedangkan tadbīr bukanlah penghilangan dan bukan pula sebab yang mewajibkan penghilangan, karena ia bisa dibatalkan dengan tindakan, maka tidak mewajibkan penilaian.
Jika seseorang memiliki seorang budak lalu ia mentadbir sebagian dari budak itu, maka menurut pendapat yang dinyatakan (al-manshūsh), tidak berlaku hukum menyebar (as-sarāyah) kepada bagian yang lainnya.
ومن أصحابنا من قال فيه قول آخر أنه يسري فيصير الجميع مدبراً ووجههما ما ذكرناه في المسألة قبلها فإن كان عبد بين اثنين فدبراه بأن قال كل واحد منهما إذا مت فأنت حر جاز كما لو أعتقاه فإن أعتق أحدهما نصيبه بعد التدبير وهو موسر فهل يقوم عليه نصيب شريكه ليعتق؟ فيه قولان منصوصان أحدهما لا يقوم عليه لأن لنصيب شريكه جهة يعتق بها فاستغنى عن التقويم ولأنا إذا قومناه على المعتق أبطلنا على شريكه ما ثبت له من العتق والولاء بحكم التدبير والثاني يقوم عليه ليصير الكل حراً لأن المدبر كالقن في الملك والتصرف فكان كالقن في التقويم والسراية
dan sebagian ulama kami berpendapat ada pendapat lain bahwa tadbīr itu menyebar, sehingga seluruhnya menjadi mudabbar, dan alasan kedua pendapat ini adalah sebagaimana yang telah disebutkan dalam permasalahan sebelumnya.
Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang lalu keduanya mentadbirnya dengan masing-masing berkata, “Jika aku mati, maka engkau merdeka,” maka hal itu sah, sebagaimana jika keduanya memerdekakannya.
Lalu jika salah satu dari keduanya memerdekakan bagiannya setelah tadbīr dan ia adalah orang yang mampu, apakah bagian rekannya harus dihargai agar menjadi merdeka? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang dinyatakan:
Pertama, tidak wajib dihargai karena bagian rekannya telah memiliki sebab untuk merdeka, sehingga tidak membutuhkan penilaian. Dan karena jika kita menilai bagian itu atas si pemerdeka, maka kita membatalkan hak rekannya atas kemerdekaan dan walā’ yang telah ditetapkan melalui tadbīr.
Kedua, harus dihargai agar seluruhnya menjadi merdeka, karena budak yang mudabbar statusnya seperti budak biasa dalam kepemilikan dan pengelolaan, maka ia seperti budak biasa dalam hal penilaian dan penyebaran hukum kemerdekaan.
فإن كان بين نفسين عبد فقالا إذا متنا فأنت حر لم يعتق حصة واحد منهما إلا بموته وموت شريكه فإن ماتا معاً عتق عليهما بوجود الصفة فإن مات أحدهما قبل الآخر انتقل نصيب الميت إلى وارثه ووقف عتقه على موت الآخر فإذا مات الآخر عتق فإن قالا أنت حبيس على آخرنا موتاً فالحكم فيها كالحكم في المسألة قبلها إلا في فصل واحد وهو أن في المسألة الأولى إذا مات أحدهما انتقل نصيب الميت إلى وارثه إلى أن يموت الآخر وفي هذه إذا مات أحدهما كان منفعة نصيبه موصى بها للآخر إلى أن يموت لقوله أنت حبيس على آخرنا موتاً فإذا مات الآخر عتق.
Jika seorang budak dimiliki oleh dua orang lalu keduanya berkata, “Jika kami mati, maka engkau merdeka,” maka bagian salah satu dari mereka tidak merdeka kecuali dengan wafatnya keduanya. Jika keduanya mati bersamaan, maka budak itu merdeka karena telah terpenuhi sifat (yang menjadi syarat).
Namun jika salah satu dari keduanya mati lebih dulu, maka bagian milik yang wafat berpindah kepada ahli warisnya, dan kemerdekaan budak tersebut bergantung pada wafatnya yang satu lagi. Jika yang satunya mati, maka budak itu pun merdeka.
Jika keduanya berkata, “Engkau tertahan sampai yang terakhir dari kami mati,” maka hukumnya sama dengan hukum pada masalah sebelumnya, kecuali dalam satu rincian: yaitu bahwa dalam masalah pertama, jika salah satu dari keduanya mati, maka bagian miliknya berpindah ke ahli warisnya hingga yang satu lagi mati.
Sedangkan dalam masalah ini, jika salah satu dari keduanya mati, maka manfaat dari bagian miliknya dianggap sebagai wasiat untuk yang satunya hingga ia pun mati, karena ucapannya: “Engkau tertahan sampai yang terakhir dari kami mati.” Jika yang terakhir mati, maka budak itu merdeka.
فصل: ويملك المولى بيع المدبر لما روى جابر رضي الله عنه أن رجلاً أعتق غلاماً له عن دبر منه ولم يكن له مال غيره فأمر به النبي صلى الله عليه وسلم فبيع بسبعمائة أو بتسعمائة ويملك هبته ووقفه وكتابته قياساً على البيع ويملك أكسابه ومنافعه وأرش ما يجني عليه لأنه لما كان كالعبد القن في التصرف في الرقبة كان كالقن فيما ذكرناه وإن جنى خطأ تعلق الأرش برقبته وهو بالخيار بين أن يسلمه للبيع وبين أن يفديه كما يفدي العبد القن لأنه كالقن في جواز بيعه فكان كالقن في جواز التسليم للبيع والفداء وإن مات السيد قبل أن يفديه فإن قلنا لا يجوز عتق الجاني لم يعتق وللوارث الخيار بين التسليم للبيع وبين الفداء كالسيد في حياته وإن قلنا يجوز عتق الجاني عتق من الثلث ووجب أرش الجناية من التركة لأنه عتق بسبب من جهته فتعلق الأرش بتركته ولا يجب إلا أقل الأمرين من قيمته أو أرش الجناية لأنه لا يمكن تسليمه للبيع بعد العتق.
PASAL: Seorang tuan memiliki hak untuk menjual budak mudabbar, berdasarkan riwayat dari Jabir RA bahwa seorang laki-laki memerdekakan budaknya dengan cara tadbīr, padahal ia tidak memiliki harta selain budak itu, maka Nabi SAW memerintahkan untuk menjual budak itu seharga tujuh ratus atau sembilan ratus. Ia juga memiliki hak untuk menghadiahkannya, mewakafkannya, dan melakukan kitābah terhadapnya, berdasarkan qiyās terhadap jual beli. Ia juga memiliki hak atas hasil kerja, manfaat, dan diyat akibat luka yang dilakukan terhadap budak itu, karena ketika ia seperti budak biasa (al-‘abd al-qin) dalam hal kepemilikan atas tubuhnya, maka ia juga seperti budak biasa dalam hal-hal yang telah disebutkan.
Apabila budak tersebut melakukan tindak pidana tidak sengaja, maka diyat-nya dibebankan pada tubuhnya. Pemilik budak diberi pilihan antara menyerahkannya untuk dijual atau menebusnya, sebagaimana budak biasa, karena statusnya yang boleh dijual menjadikannya seperti budak biasa dalam hal boleh diserahkan untuk dijual atau ditebus.
Jika tuan meninggal sebelum menebusnya, maka jika kita berpendapat bahwa tidak sah memerdekakan pelaku tindak pidana, maka budak tersebut tidak merdeka. Dan ahli waris diberi pilihan antara menyerahkannya untuk dijual atau menebusnya, sebagaimana pilihan yang dimiliki tuannya semasa hidupnya.
Namun jika kita berpendapat bahwa sah memerdekakan pelaku tindak pidana, maka ia merdeka dari sepertiga harta peninggalan, dan diyat tindak pidana menjadi tanggungan harta warisan, karena kemerdekaannya terjadi dari sebab yang berasal dari tuannya, maka diyat-nya dibebankan pada harta peninggalan, dan tidak wajib dibayar kecuali yang lebih sedikit dari dua hal: antara nilai budaknya atau diyat tindak pidananya, karena tidak mungkin menyerahkannya untuk dijual setelah dimerdekakan.
فصل: وإن كان المدبر جارية فأتت بولد من النكاح أو الزنا فهل يتبعها في التدبير؟ فيه قولان: أحدهما يتبعها لأنها تستحق الحرية فتبعها الولد كأم الولد فعلى هذا إن ماتت الأم في حياة المولى لم يبطل التدبير في الولد والثاني لا يتبعها لأنه عقد يلحقه الفسخ فلم يسر إلى الولد كالرهن والوصية وإن دبرها وهي حامل تبعها الولد قولاً واحداً كما يتبعها في العتق وإن دبر عبداً ثم ملكه جارية فأتت منه بولد لحقه نسبه لأنه يملكها في أحد القولين وله فيها شبهة في القول الثاني لاختلاف الناس في ملكه فإن قلنا لا يملك الجارية فالولد مملوك للمولى لأنه ولد أمته وإن قلنا يملكها فالولد ابن المدبر ومملوكه لأنه من أمته وهل يكون مدبراً فيه وجهان: أحدهما أنه ليس بمدبر لأن الولد إنما يتبع الأم دون الأب والأم غير مدبرة والثاني أنه مدبر لأنها علقت به في ملكه فكان كالأب كولد الحر من أمته.
PASAL: Jika budak mudabbar adalah seorang perempuan, lalu ia melahirkan anak karena pernikahan atau zina, maka apakah anak itu mengikuti statusnya dalam tadbīr? Ada dua pendapat. Pertama, anak itu mengikutinya karena ia berhak mendapatkan kemerdekaan, maka anaknya pun mengikutinya seperti umm al-walad. Berdasarkan pendapat ini, jika sang ibu meninggal dalam keadaan tuannya masih hidup, maka tadbīr anak tidak batal. Pendapat kedua menyatakan bahwa anak tidak mengikutinya karena tadbīr adalah akad yang memungkinkan pembatalan, maka tidak menular kepada anak, sebagaimana dalam hal rahn dan wasiat.
Jika ia ditadbīr dalam keadaan hamil, maka anak itu mengikutinya menurut satu pendapat, sebagaimana anak itu mengikutinya dalam hukum ‘itq.
Jika seseorang mendabir seorang budak laki-laki, lalu budak itu memiliki seorang budak perempuan dan ia menghamilinya, maka nasab anak itu sah karena ia memiliki budak perempuan itu menurut salah satu dari dua pendapat, dan ia memiliki syubhat kepemilikan dalam pendapat kedua karena adanya perbedaan pendapat ulama mengenai kepemilikannya.
Jika dikatakan bahwa ia tidak memiliki budak perempuan itu, maka anak itu adalah milik tuan (pemilik) karena ia adalah anak dari budak perempuannya. Namun jika dikatakan bahwa ia memilikinya, maka anak itu adalah anak dari budak mudabbar dan merupakan miliknya karena berasal dari budaknya.
Apakah anak itu juga menjadi mudabbar? Ada dua wajah (pendapat). Pertama, ia tidak menjadi mudabbar karena anak hanya mengikuti status ibu, sedangkan ibunya bukan mudabbar. Kedua, anak itu menjadi mudabbar karena ia bergantung pada bapaknya dalam kepemilikan, maka hukumnya seperti anak dari laki-laki merdeka yang berasal dari budaknya.
فصل: ويجوز الرجوع في التدبير بما يزيل الملك كالبيع والهبة المقبوضة لما رويناه من حديث جابر رضي الله عنه وهل يجوز بلفظ الفسخ كقوله فسخت ونقضت ورجعت؟ فيه قولان: أحدهما أنه يجري مجرى الوصية فيجوز له فسخه بلفظ الفسخ وهو اختيار المزني لأنه تصرف يتنجز بالموت يعتبر من الثلث فهو كالوصية والثاني أنه يجري مجرى العتق بالصفة فلا يجوز فسخه بلفظ الفسخ وهو الصحيح لأنه عتق علقه على صفة فهو كالعتق بالصفات وإن وهبه ولم يقبضه فقد اختلف أصحابنا فمنهم من قال إن قلنا إنه كالوصية فهو رجوع وإن قلنا إنه كالعتق بالصفة فليس برجوع
PASAL: Boleh menarik kembali tadbīr dengan sesuatu yang menghilangkan kepemilikan seperti jual beli dan hibah yang telah diterima, berdasarkan hadis yang kami riwayatkan dari Jābir RA. Apakah boleh menarik kembali tadbīr dengan lafaz pembatalan seperti ucapannya: “Aku batalkan”, “Aku cabut”, atau “Aku tarik kembali”? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, bahwa tadbīr diperlakukan seperti wasiat, maka boleh dibatalkan dengan lafaz pembatalan, dan ini adalah pilihan al-Muzanī, karena ia merupakan bentuk pengalihan yang berlaku saat wafat dan dihitung dari sepertiga harta, maka hukumnya seperti wasiat. Kedua, bahwa tadbīr diperlakukan seperti pemerdekaan yang digantungkan pada suatu sifat, maka tidak boleh dibatalkan hanya dengan lafaz pembatalan, dan inilah pendapat yang sahih, karena ia adalah pemerdekaan yang digantungkan pada sifat, maka hukumnya seperti pemerdekaan yang tergantung pada sifat. Jika ia menghibahkan budak tersebut namun belum diterima, maka para sahabat kami berbeda pendapat: di antara mereka ada yang berkata: jika kita mengatakan bahwa tadbīr itu seperti wasiat, maka hibah tersebut merupakan penarikan kembali, namun jika kita mengatakan bahwa tadbīr itu seperti pemerdekaan dengan sifat, maka hibah tersebut bukanlah penarikan kembali.
لأنه لم يزل الملك ومنهم من قال هو رجوع على القولين لأنه تصرف يفضي إلى زوال الملك وإن كاتبه فإن قلنا إن التدبير كالوصية كان رجوعاً كما لو أوصى بعبد ثم كاتبه وإن قلنا إنه كالعتق بالصفة لم يكن رجوعاً بل يصير مدبراً مكاتباً وحكمه ما ذكرناه فيمن دبر مكاتباً وإن دبره ثم قال إن أديت إلى وارثي ألفاً فأنت حر فإن قلنا إنه كالوصية كان ذلك رجوعاً في التدبير لأنه عدل عن العتق بالموت إلى العتق بأداء المال فبطل التدبير ويتعلق العتق بالأداء وإن قلنا إنه كالعتق بالصفة وخرج من الثلث عتق بالتدبير وسقط حكم الأداء بعده لأنه علق عتقه بصفة متقدمة ثم علقه بصفة متأخرة فعتق بأسبقهما وأسبقهما الموت فعتق به وإن دبر جارية ثم أولدها بطل التدبير لأن العتق بالتدبير والاستيلاد في وقت واحد والاستيلاد أقوى فأسقط التدبير.
karena hal itu tidak menghilangkan kepemilikan. Dan sebagian dari sahabat kami berkata bahwa itu merupakan penarikan kembali menurut kedua pendapat, karena ia adalah bentuk taṣarruf (tindakan hukum) yang mengarah kepada hilangnya kepemilikan.
Jika ia melakukan kitābah terhadapnya, maka apabila kita mengatakan bahwa tadbīr itu seperti wasiat, maka itu termasuk penarikan kembali, sebagaimana jika seseorang mewasiatkan budaknya lalu melakukan kitābah terhadapnya. Namun jika kita mengatakan bahwa tadbīr itu seperti pemerdekaan yang tergantung pada sifat, maka itu bukan penarikan kembali, tetapi budak tersebut menjadi mukātab yang juga mudabbar, dan hukumnya seperti yang telah kami sebutkan pada orang yang mendebbir seorang mukātab.
Jika ia mendebbir budak lalu berkata: “Jika engkau membayar kepada ahli warisku seribu, maka engkau merdeka,” maka apabila kita katakan bahwa tadbīr itu seperti wasiat, maka hal itu merupakan penarikan kembali terhadap tadbīr, karena ia telah mengganti pemerdekaan karena kematian dengan pemerdekaan karena pembayaran, maka batallah tadbīr, dan pemerdekaan tergantung pada pembayaran. Namun jika kita katakan bahwa tadbīr itu seperti pemerdekaan dengan sifat, dan ia keluar dari sepertiga harta, maka budak itu merdeka dengan tadbīr, dan hukum pembayaran setelahnya menjadi gugur, karena ia menggantungkan pemerdekaan dengan sifat yang lebih dahulu, lalu menggantungkan lagi dengan sifat yang lebih akhir, maka budak itu merdeka dengan yang lebih dahulu, dan yang lebih dahulu adalah kematian, maka ia merdeka karenanya.
Jika ia mendebbir seorang jariyah lalu menghamilinya, maka batallah tadbīr, karena pemerdekaan dengan tadbīr dan istīlād terjadi pada waktu yang bersamaan, dan istīlād lebih kuat, maka ia menggugurkan tadbīr.
فصل: ويجوز الرجوع في تدبير البعض كما يجوز التدبير في الابتداء في البعض وإن دبر جارية فأتت بولد من نكاح أو زنا وقلنا إنه يتبعها في التدبير ورجع في تدبير الأم لم يتبعها الولد في الرجوع وإن تبعها في التدبير كما أن ولد أم الولد يتبعها في حق الحرية ثم لا يتبعها في بطلان حقها من الحرية بموتها وإن دبرها الصبي وقلنا إنه يصح تدبيره فإن قلنا يجوز الرجوع بلفظ الفسخ جاز رجوعه لأنه لا حجر عليه في التدبير فجاز رجوعه فيه كالبالغ وإن قلنا لا يجوز الرجوع إلا بتصرف يزيل الملك لم يصح الرجوع في تدبيره إلا بتصرف يزيل الملك من جهة الولي.
PASAL: Boleh menarik kembali tadbīr sebagian budak sebagaimana boleh melakukan tadbīr sejak awal terhadap sebagian budak. Jika seseorang mentadbīr seorang jāriyah lalu ia melahirkan anak baik dari pernikahan maupun zina, dan kita mengatakan bahwa anak tersebut mengikuti ibunya dalam tadbīr, kemudian ia menarik kembali tadbīr terhadap sang ibu, maka anak tersebut tidak mengikutinya dalam penarikan kembali tadbīr meskipun sebelumnya ia mengikutinya dalam tadbīr, sebagaimana anak dari umm al-walad mengikuti ibunya dalam hal kebebasan, namun tidak mengikutinya dalam gugurnya hak kebebasan karena kematian ibunya.
Jika seorang anak kecil mentadbīr budaknya dan kita mengatakan bahwa tadbīr-nya sah, maka jika kita berpendapat bahwa boleh menarik kembali tadbīr dengan lafaz pembatalan, maka sah pula penarikannya, karena tidak ada larangan baginya dalam tadbīr sehingga boleh baginya menarik kembali seperti halnya orang dewasa. Namun jika kita berpendapat bahwa penarikan kembali tadbīr tidak sah kecuali dengan tindakan yang menghilangkan kepemilikan, maka tidak sah penarikan kembali terhadap tadbīr anak kecil kecuali dengan tindakan dari wali yang menghilangkan kepemilikan.
فصل: وإن دبر عبده ثم ارتد فقد قال أبو إسحاق: لا يبطل التدبير فإن مات عتق العبد لأنه تصرف نفذ قبل الرد فلم تؤثر الردة فيه كما لو باع ماله ثم ارتد ومن أصحابنا من قال: يبطل التدبير لأن المدبر إنما يعتق إذا حصل للورثة شيء مثلاه وهاهنا لم يحصل للورثة شيء فلم يعتق ومنهم من قال: يبنى على الأقوال في ملكه فإن قلنا يزول ملكه بالردة بطل لأنه زال ملكه فيه فأشبه إذا باعه وإن قلنا لا يزول لم يبطل كما لو لم يدبر وإن قلنا موقوف فالتدبير موقوف وما قال أبو إسحاق غير صحيح لأنه ارتد والمدبر على ملكه فزال بالردة بخلاف ما لو باعه قبل الردة وقال الآخر: لا يصح لأن ماله بالموت صار للمسلمين وقد حصل لهم مثلاه.
PASAL: Jika seseorang mendebbir budaknya lalu ia murtad, maka Abū Isḥāq berkata: tadbīr tidak batal, maka jika ia mati, budaknya merdeka, karena taṣarruf tersebut (yaitu tadbīr) telah berlaku sebelum ia murtad, maka kemurtadan tidak berpengaruh padanya, sebagaimana jika seseorang menjual hartanya lalu murtad.
Sebagian dari sahabat kami berkata: tadbīr batal, karena budak mudabbar hanya merdeka jika waris memperoleh sesuatu sebagai gantinya, sementara dalam kasus ini waris tidak memperoleh apa pun, maka budak tidak merdeka.
Sebagian lainnya berkata: hal ini tergantung pada perbedaan pendapat tentang status kepemilikan harta orang murtad. Jika dikatakan kepemilikannya hilang karena murtad, maka tadbīr batal, karena kepemilikannya telah hilang atas budak tersebut, maka hukumnya seperti jika budak itu telah dijual. Dan jika dikatakan kepemilikannya tidak hilang, maka tadbīr tidak batal, sebagaimana jika ia tidak mendebbir budak itu. Dan jika dikatakan bahwa kepemilikannya mauqūf (tertangguhkan), maka tadbīr-nya pun mauqūf.
Apa yang dikatakan oleh Abū Isḥāq tidaklah sahih, karena ia telah murtad sementara budak mudabbar masih dalam kepemilikannya, maka kepemilikannya hilang karena kemurtadan, berbeda halnya jika ia menjual sebelum murtad.
Dan pendapat yang lain menyatakan: tidak sah (pendapat Abū Isḥāq), karena harta orang murtad ketika ia mati menjadi milik kaum Muslimin, dan mereka telah memperoleh penggantinya.
فصل: وإن دبر الكافر عبداً كافراً ثم أسلم العبد ولم يرجع السيد في التدبير ففيه قولان: أحدهما يباع عليه وهو اختيار المزني لأنه يجوز بيعه فبيع عليه كالعبد القن والثاني لا يباع عليه وهو الصحيح لأنه لا حظ للعبد في بيعه لأنه يبطل به حقه من الحرية فعلى هذا هو بالخيار بين أن يسلمه إلى مسلم وينفق عليه إلى أن يرجع في التدبير فيباع عليه أو يموت فيعتق عليه وبين أن يخارجه على شيء لأنه لا سبيل إلى قراره في يده فلم يجز إلا ما ذكرناه فإن مات السيد وخرج من الثلث عتق وإن لم يخرج عتق منه بقدر الثلث وبيع الباقي على الورثة لأنه صار قناً.
PASAL: Apabila seorang kafir mentadbīr seorang budak kafir, kemudian budak itu masuk Islam dan tuannya tidak menarik kembali tadbīr, maka ada dua pendapat:
Pertama, budak tersebut dijual atas tuannya, dan ini adalah pendapat al-Muzanī, karena ia masih boleh dijual, maka dijual seperti budak biasa (‘abd al-qin).
Kedua, tidak dijual atasnya, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena tidak ada maslahat bagi budak dalam penjualan tersebut sebab hal itu membatalkan haknya atas kemerdekaan. Maka, dalam hal ini tuannya diberi pilihan antara menyerahkannya kepada seorang Muslim dan menafkahinya sampai ia menarik kembali tadbīr, lalu dijual atasnya, atau tuannya meninggal dunia dan budak itu merdeka, atau dia membuat akad mukhāraja atas sesuatu, karena tidak ada jalan untuk membiarkannya tetap berada di tangannya, maka tidak dibolehkan kecuali sebagaimana yang telah disebutkan.
Jika tuannya meninggal dan tadbīr tersebut mencakup sepertiga harta (atau kurang), maka budak itu merdeka seluruhnya. Dan jika tidak mencakup sepertiga, maka budak merdeka sebanding dengan bagian sepertiga, dan sisanya dijual atas ahli waris karena ia telah kembali menjadi budak biasa (qin).
فصل: وإن اختلف السيد والعبد فادعى العبد أنه دبره وأنكر السيد فإن قلنا إن التدبير كالعتق بالصفة صح الاختلاف لأنه لا يمكن الرجوع فيه والقول قول السيد لأن الأصل أنه لم يدبر وإن قلنا إنه كالوصية ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول السيد لأن جحوده رجوع وهو يملك الرجوع والثاني أنه ليس برجوع وهو المذهب لأنه قال في الدعوى والبينات إذا أنكر السيد قلنا له قل رجعت ولا يحتاج إلى اليمين فدل على أن جحوده ليس برجوع
PASAL: Apabila terjadi perselisihan antara tuan dan budak, lalu budak mengaku bahwa tuannya telah mentadbīr dirinya, sementara tuan mengingkarinya, maka:
Jika kita mengatakan bahwa tadbīr seperti ‘itq yang digantungkan pada suatu sifat, maka perselisihan tersebut sah karena tadbīr tidak bisa ditarik kembali. Dalam hal ini, perkataan yang diterima adalah perkataan tuan karena asalnya adalah bahwa ia tidak mentadbīr.
Namun, jika kita mengatakan bahwa tadbīr seperti wasiat, maka ada dua wajah:
Pertama, bahwa perkataan yang diterima adalah perkataan tuan, karena pengingkarannya dianggap sebagai bentuk penarikan kembali, dan ia memiliki hak untuk menarik kembali.
Kedua, bahwa pengingkaran tersebut bukanlah penarikan kembali, dan inilah pendapat yang menjadi mazhab, karena dalam bab gugatan dan bukti, ketika tuan mengingkari, kami katakan kepadanya: “Katakanlah bahwa engkau telah menarik kembali”, dan ia tidak perlu bersumpah. Maka hal ini menunjukkan bahwa pengingkarannya tidak dianggap sebagai penarikan kembali.
والدليل عليه أن جحود الشيء ليس برجوع كما أن جحود النكاح ليس بطلاق فعلى هذا يصح الاختلاف والحكم فيه كالحكم فيه إذا قلنا إنه عتق الصفة وإن مات السيد واختلف العبد والوارث صح الاختلاف على القولين والقول قول الوارث وإن كان في يده مال فقال كسبته بعد العتق وقال الوارث بل كسبته قبل العتق فالقول قول المدبر لأن الأصل عدم الكسب إلا في الوقت الذي وجد فيه وقد وجد وهو في يد المدبر فكان له وإن كان أمة ومعها ولد فادعت أنها ولدته بعد التدبير وقال الوارث بل ولدته قبل التدبير فالقول قول الوارث لأن الأصل في الولد الرق.
Dan dalilnya adalah bahwa pengingkaran terhadap sesuatu bukanlah penarikan kembali, sebagaimana pengingkaran terhadap nikah bukanlah talak. Maka, atas dasar ini, perselisihan tetap sah dan hukumnya seperti hukum ketika kita mengatakan bahwa tadbīr seperti ‘itq yang digantungkan pada sifat.
Jika tuan meninggal dunia dan terjadi perselisihan antara budak dan ahli waris, maka perselisihan tetap sah menurut kedua pendapat, dan perkataan yang diterima adalah perkataan ahli waris.
Jika budak tersebut memiliki harta, lalu ia berkata, “Aku mendapatkannya setelah tadbīr (yakni setelah menjadi calon merdeka),” dan ahli waris berkata, “Tidak, engkau mendapatkannya sebelum tadbīr,” maka perkataan yang diterima adalah perkataan budak yang mudabbar, karena asalnya adalah tidak adanya harta kecuali pada waktu harta itu ditemukan, dan harta itu ditemukan dalam genggaman budak yang mudabbar, maka harta itu miliknya.
Namun, jika budak itu adalah seorang perempuan dan bersamanya ada seorang anak, lalu ia mengaku bahwa anak itu dilahirkan setelah tadbīr, sementara ahli waris berkata, “Anak itu lahir sebelum tadbīr,” maka perkataan yang diterima adalah perkataan ahli waris, karena hukum asal anak adalah sebagai budak.
فصل: ويجوز تعليق العتق على صفة مثل أن يقول إن دخلت الدار فأنت حر وإن أعطيتني ألفاً فأنت حر لأنه عتق على صفة فجاز كالتدبير فإن قال ذلك في المرض اعتبر من الثلث لأنه لو أعتقه اعتبر من الثلث فإن عقده اعتبر من الثلث وإن قال ذلك وهو صحيح اعتبر من رأس المال سواء وجدت الصفة وهو صحيح أو وجدت وهو مريض لأن العتق إنما يعتبر من الثلث في حال المرض لأنه قصد إلى الإضرار بالورثة في حال يتعلق حقهم بالمال وههنا لم يقصد إلى ذلك فإن علق العتق على صفة مطلقة ثم مات بطل لأن تصرف الإنسان مقصور على حال الحياة فحمل على إطلاق الصفة عليه وإن علق عتقه على صفة بعد الموت لم يبطل بالموت لأنه يملك العتق بعد الموت في الثلث فملك عقده على صفة بعد الموت.
PASAL: Boleh menggantungkan pemerdekaan pada suatu sifat, seperti jika seseorang berkata: “Jika engkau masuk ke dalam rumah, maka engkau merdeka” atau “Jika engkau memberiku seribu, maka engkau merdeka”, karena itu adalah pemerdekaan yang digantungkan pada sifat, maka dibolehkan seperti tadbīr. Jika ia mengatakannya dalam keadaan sakit, maka dihitung dari sepertiga harta, karena jika ia memerdekakannya secara langsung pun akan dihitung dari sepertiga harta. Maka jika ia menggantungkan pemerdekaan itu, juga dihitung dari sepertiga.
Namun jika ia mengatakannya dalam keadaan sehat, maka dihitung dari seluruh harta, baik sifat itu terjadi ketika ia masih sehat maupun ketika ia sudah sakit, karena pemerdekaan baru dihitung dari sepertiga harta dalam keadaan sakit sebab ada maksud untuk merugikan ahli waris dalam kondisi yang berkaitan dengan harta, sedangkan di sini tidak ada maksud demikian.
Jika ia menggantungkan pemerdekaan pada suatu sifat secara mutlak lalu ia meninggal, maka pemerdekaan itu batal karena tindakan manusia hanya berlaku selama hidupnya, maka digantungkanlah makna sifat tersebut pada kehidupan.
Namun jika ia menggantungkan pemerdekaan pada suatu sifat setelah kematian, maka tidak batal dengan kematian, karena seseorang masih memiliki wewenang memerdekakan setelah wafat dalam batas sepertiga harta, maka ia berhak mengikatnya dengan suatu sifat setelah wafat.
فصل: وإن علق عتق أمة على صفة ثم أتت بولد من النكاح أو الزنا فهل يتبعها الولد؟ فيه قولان كما قلنا في المدبر فإن بطلت الصفة في الأم بموتها أو بموته بطلت في الولد لأن الولد يتبعها في العتق لا في الصفة بخلاف ولد المدبرة فإنه يتبعها في التدبير فإذا بطل فيها بقي فيه وإن قال لأمته أنت حرة بعد موتي بسنة فمات السيد وهي تخرج من الثلث فللوارث أن يتصرف في كسبها ومنفعتها ولا يتصرف في رقبتها لأنها موقوفة على العتق
PASAL: Jika seseorang menggantungkan pemerdekaan seorang amah pada suatu sifat, kemudian ia melahirkan anak dari pernikahan atau zina, maka apakah anak itu mengikuti ibunya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat sebagaimana yang dikatakan dalam kasus budak mudabbar. Jika sifat tersebut batal pada sang ibu karena kematian dirinya atau tuannya, maka sifat itu juga batal pada anaknya, karena anak mengikuti ibunya dalam hal ‘itq, bukan dalam hal sifat. Berbeda dengan anak budak mudabbirah, karena anaknya mengikuti ibunya dalam hal tadbīr, maka jika tadbīr batal pada sang ibu, maka tetap berlaku pada anaknya. Jika seseorang berkata kepada amah-nya, “Engkau merdeka setahun setelah kematianku,” lalu sang tuan meninggal dan amah tersebut termasuk yang keluar dari sepertiga (harta peninggalan), maka ahli waris berhak untuk memanfaatkan hasil kerja dan manfaatnya, namun tidak boleh memanfaatkan tubuhnya (sebagai budak), karena ia sedang berada dalam masa penantian menuju kemerdekaan.
فإن أتت بولد بعد موت السيد فقد قال الشافعي رحمه الله: يتبعها الولد قولاً واحداً فمن أصحابنا من قال قولان كالولد الذي تأتي به قبل الموت والذي قاله الشافعي رحمه الله أحد القولين ومنهم من قال يتبعها الولد قولاً واحداً لأنها أتت به وقد استقر عتقها بالموت فيتبعها الولد كأم الولد بخلاف ما قبل الموت فإن عتقها غير مستقر لأنه يلحقه الفسخ.
Jika amah tersebut melahirkan anak setelah kematian tuannya, maka Imam al-Syafi‘i rahimahullah berkata: anak itu mengikuti ibunya menurut satu pendapat saja. Sebagian dari para sahabat kami berkata: ada dua pendapat, sebagaimana anak yang dilahirkan sebelum kematian. Dan apa yang dikatakan oleh Imam al-Syafi‘i rahimahullah adalah salah satu dari dua pendapat itu. Sebagian lainnya berkata: anak itu mengikuti ibunya menurut satu pendapat saja, karena ia dilahirkan setelah kemerdekaan ibunya menjadi tetap dengan kematian tuannya, maka anak itu mengikutinya sebagaimana umm al-walad, berbeda dengan kelahiran sebelum kematian, karena kemerdekaan ibunya belum tetap, sebab masih memungkinkan dibatalkan.
فصل: وإن علق عتق عبده على صفة لم يملك الرجوع فيها بالقول لأنه كاليمين أو كالنذر والرجوع في الجميع لا يجوز ويجوز الرجوع فيه بما يزيل الملك كالبيع وغيره فإن علق عتقه على صفة ثم باعه ثم رجع إليه فهل يعود حكم الصفة؟ فيه قولان بناء على القولين فيمن علق طلاق امرأته على صفة وبانت منه ثم تزوجها وإن دبر عبده ثم باعه ثم رجع إليه فإن قلنا إن التدبير كالوصية لم يرجع لأن الوصية إذا بطلت لم تعد وإن قلنا إنه كالعتق بصفة فهل يعود أم لا على ما ذكرناه في القولين.
PASAL: Jika seseorang menggantungkan pemerdekaan budaknya pada suatu sifat, maka ia tidak memiliki hak untuk menarik kembali dengan ucapan, karena hal itu seperti sumpah atau nadzar, dan tidak boleh menarik kembali keduanya secara keseluruhan. Namun boleh menarik kembali dengan sesuatu yang menghilangkan kepemilikan seperti menjual dan semisalnya. Jika ia menggantungkan pemerdekaan budaknya pada suatu sifat lalu menjualnya, kemudian budak itu kembali kepadanya, apakah hukum sifat tersebut kembali berlaku? Ada dua pendapat dalam hal ini, didasarkan pada dua pendapat dalam kasus seseorang menggantungkan talak istrinya pada suatu sifat, lalu istrinya berpisah darinya, kemudian ia menikahinya kembali. Jika ia menetapkan tadbīr terhadap budaknya, lalu menjualnya, kemudian budak itu kembali kepadanya, maka jika kita mengatakan bahwa tadbīr itu seperti wasiat, maka tidak kembali berlaku karena wasiat jika telah batal tidak kembali berlaku. Namun jika kita mengatakan bahwa tadbīr itu seperti pemerdekaan yang digantungkan pada suatu sifat, maka apakah kembali berlaku atau tidak, tergantung pada dua pendapat yang telah disebutkan.
الكتابة جائزة لقوله تعالى: {وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْراً} ولا تجوز الكتابة إلا من جائز التصرف في المال لأنه عقد على المال فلم يجز إلا من جائز التصرف في المال كالبيع ولا يجوز أن يكاتب عبداً أجيراً لأن الكتابة تقتضي التمكين من التصرف والإجارة تمنع من ذلك ولا يجوز أن يكاتب عبداً مرهوناً لأن الرهن يقتضي البيع والكتابة تمنع البيع وتجوز كتابة المدبر وأم الولد لأنه عتق بصفة يجوز أن تتقدم على الموت فجاز في المدبر وأم الولد كالعتق المعلق على دخول الدار فإن كاتب مدبراً صار مكاتباً ومدبراً وقد بينا حكمه في المدبر وإن كاتب أم ولد صارت مكاتبة وأم ولد فإن أدت المال قبل موت السيد عتقت بالكتابة وإن مات السيد قبل الأداء عتقت بالاستيلاد وبطلت الكتابة.
Kitab al-Mukātab
Mukātabah diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْراً} (QS. An-Nur: 33). Mukātabah tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah melakukan transaksi harta, karena mukātabah adalah akad atas harta, maka tidak sah kecuali dari orang yang sah melakukan transaksi harta seperti dalam jual beli.
Tidak boleh memukātabahkan budak yang sedang dalam status ajīr (buruh) karena mukātabah menuntut adanya keleluasaan dalam melakukan transaksi, sedangkan ijārah menghalangi hal itu. Dan tidak boleh pula memukātabahkan budak yang sedang menjadi barang gadai, karena rahn menuntut adanya kemungkinan untuk dijual, sedangkan mukātabah menghalangi penjualan.
Boleh memukātabahkan budak mudabbar dan umm walad, karena keduanya merupakan pemerdekaan dengan sifat yang boleh didahulukan sebelum kematian, maka boleh dilakukan dalam kasus mudabbar dan umm walad sebagaimana pemerdekaan yang digantungkan pada masuknya seseorang ke dalam rumah.
Jika seseorang memukātabahkan budak mudabbar, maka statusnya menjadi mukātab dan mudabbar, dan kami telah menjelaskan hukumnya dalam pembahasan mudabbar. Jika ia memukātabahkan umm walad, maka statusnya menjadi mukātabah dan umm walad. Jika ia melunasi pembayaran sebelum tuannya wafat, maka ia merdeka karena mukātabah. Namun jika tuannya wafat sebelum pelunasan, maka ia merdeka karena istīlād dan batal status mukātabahnya.
فصل: وتجوز كتابة بعض العبد إذا كان باقيه حراً لأنه كتابة على جميع ما فيه من الرق فأشبه كناية العبد في جميعه وإن كان عبد بين اثنين فكاتبه أحدهما في نصيبه بغير إذن شريكه لم يصح لأنه لا يعطى من الصدقات ولا يمكنه الشريك من الاكتساب بالأسفار وإن كاتبه بإذن شريكه ففيه قولان: أحدهما لا يصح لما ذكرناه من نقصان كسبه
PASAL: Boleh menuliskan (akad kitābah) sebagian dari seorang hamba jika sisanya adalah orang merdeka, karena itu merupakan kitābah atas seluruh bagian yang mengandung status budak, sehingga serupa dengan perumpamaan hamba yang seluruhnya budak. Dan jika hamba itu dimiliki oleh dua orang, lalu salah satunya melakukan kitābah terhadap bagian miliknya tanpa izin dari sekutunya, maka tidak sah, karena ia tidak dapat menerima dari sedekah dan sekutunya tidak dapat memberikan kesempatan baginya untuk mencari penghasilan melalui bepergian. Namun jika ia melakukan kitābah dengan izin sekutunya, maka ada dua pendapat: pertama, tidak sah karena berkurangnya penghasilannya.
والثاني يصح لأن المنع لحق الشريك فزال بالأذن وإن كان لرجل عبد فكاتبه في بعضه فالمنصوص أنه لا يصح واختلف أصحابنا فيه فذهب أكثرهم إلى أنه لا يصح قولاً واحداً كما لا يصح أن يبعض العتق فيه ومنهم من قال إذا قلنا إنه يصح أن يكاتب نصيبه في العبد المشترك بإذن لشريك صح ههنا لأن اتفاقهما على كتابة البعض كاتفاق الشريكين فإن وصى رجل بكتابة عبد وعجز الثلث عن جميعه فالمنصوص أنه يكاتب القدر الذي يحتمله الثلث فمن أصحابنا من جعل في الجميع قولين ومنهم من قال يصح في الوصية وقد فرق بينه وبين العبد المشترك بأن الكتابة في العبد المشترك غير مستحقة في جميعه والكتابة في الوصية استحقت في جميعه فإذا تعذرت في البعض لم تسقط في الباقي.
dan pendapat kedua menyatakan sah, karena larangan itu demi menjaga hak sekutu, dan telah hilang dengan adanya izin. Dan jika seorang laki-laki memiliki seorang budak, lalu ia melakukan kitābah pada sebagian darinya, maka pendapat yang dinyatakan dalam nash adalah bahwa hal itu tidak sah. Para sahabat kami berselisih pendapat dalam hal ini: mayoritas mereka berpendapat bahwa tidak sah secara qawl satu, sebagaimana tidak sah membebaskan sebagian budak. Namun sebagian dari mereka berkata: jika kita berpendapat bahwa sah melakukan kitābah atas bagian kepemilikan budak bersama dengan izin dari sekutunya, maka sah pula dalam kasus ini, karena kesepakatan atas penulisan sebagian sama seperti kesepakatan dua orang sekutu.
Jika seseorang berwasiat untuk melakukan kitābah atas budaknya, namun sepertiga hartanya tidak mencukupi untuk membiayai seluruhnya, maka menurut nash, dilakukan kitābah pada kadar yang ditanggung oleh sepertiga harta. Sebagian dari sahabat kami mengatakan bahwa dalam hal ini ada dua pendapat secara keseluruhan. Dan sebagian lain mengatakan: sah dalam kasus wasiat, dan mereka membedakan antara kasus ini dengan budak milik bersama, karena kitābah pada budak milik bersama tidak wajib dilakukan atas seluruhnya, sedangkan kitābah dalam wasiat memang telah diwajibkan atas seluruhnya. Maka jika pelaksanaannya tidak mungkin pada sebagian, tidak berarti gugur pada sisanya.
فصل: وإن طلب العبد الكتابة نظرت فإن كان له كسب وأمانة استحب أن يكاتب لقوله عز وجل: {وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْراً} وقد فسر الخير بالكسب والأمانة ولأن المقصود بالكتابة العتق على مال وبالكسب والأمانة يتوصل إليه ولا يجب ذلك لأنه عتق فلا يجب بطلب العبد كالعتق في غير الكتابة
PASAL: Jika seorang budak meminta untuk dikontrak (kitābah), maka hal itu dilihat dahulu. Jika ia memiliki kemampuan untuk bekerja dan bersifat amanah, maka disunnahkan untuk mengabulkan permintaannya berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا}—dan kebaikan di sini ditafsirkan sebagai kemampuan bekerja dan amanah. Karena tujuan dari kitābah adalah kemerdekaan dengan membayar sejumlah harta, dan dengan kemampuan bekerja serta amanah, hal itu dapat dicapai. Namun hal itu tidak wajib, karena kitābah adalah bentuk pemerdekaan, dan tidak wajib hanya karena permintaan budak, sebagaimana halnya bentuk pemerdekaan selain kitābah.
وإن لم يكن له كسب ولا أمانة أو له كسب بلا أمانة لم تستحب لأنه لا يحصل المقصود بكتابته ولا تكره لأنه سبب للعتق من غير إضرار فلم تكره وإن كان له أمانة بلا كسب ففيه وجهان: أحدهما أنه لا تستحب لأنه مع عدم الكسب يتعذر الأداء فلا يحصل المقصود والثاني تستحب لأن الأمين يعان ويعطى من الصدقات وإن طلب السيد الكتابة فكره العبد لم يجبر عليه لأنه عتق على مال فلا يجبر العبد عليه كالعتق على مال في غير الكتابة.
Jika budak tersebut tidak memiliki kemampuan bekerja maupun amanah, atau ia memiliki kemampuan bekerja tetapi tidak amanah, maka tidak disunnahkan untuk mengontraknya (kitābah), karena tujuan dari kitābah tidak tercapai. Namun hal itu juga tidak dimakruhkan, karena ia merupakan sebab menuju kemerdekaan tanpa adanya mudarat, maka tidak dimakruhkan. Jika ia memiliki sifat amanah namun tidak memiliki kemampuan bekerja, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak disunnahkan, karena tanpa kemampuan bekerja pembayaran menjadi mustahil, maka tujuan tidak tercapai.
Kedua, disunnahkan, karena orang yang amanah bisa dibantu dan diberi dari harta sedekah.
Jika tuan yang meminta kitābah sementara budak membencinya, maka budak tidak boleh dipaksa, karena kitābah adalah pemerdekaan dengan ganti harta, maka budak tidak dipaksa atas hal itu, sebagaimana pemerdekaan dengan ganti harta pada selain kitābah.
فصل: ولا يجوز إلا بعوض مؤجل لأنه إذا كاتبه على عوض حال لم يقدر على أدائه فينفسخ العقد ويبطل المقصود ولا يجوز على أقل من نجمين لما روي عن أمير المؤمنين عثمان رضي الله عنه أنه غضب على عبد له وقال لأعاقبنك ولأكاتبنك على نجمين فدل على أنه لا يجوز على أقل من ذلك وعن علي كرم الله وجهه أنه قال: الكتابة على نجمين والإيتاء من الثاني ولا يجوز إلا على نجمين معلومين وأن يكون ما يؤدى في كل نجم معلوماً لأنه عوض منجم في عقد فوجب العلم بمقدار النجم ومقدار ما يؤديه فيه كالسلم إلى أجلين.
PASAL: Tidak boleh dilakukan kecuali dengan ‘iwadh yang ditangguhkan pembayarannya, karena jika ia memerdekakan dengan akad kitābah atas ‘iwadh yang harus dibayar tunai (ḥāl), maka si budak tidak akan mampu membayarnya sehingga akad menjadi batal dan tujuan kitābah tidak tercapai.
Dan tidak boleh kurang dari dua kali pembayaran (najm), berdasarkan riwayat dari Amīrul-Mu’minīn ‘Utsmān RA bahwa ia marah kepada seorang budaknya lalu berkata: “Sungguh akan aku hukum engkau, dan akan aku lakukan kitābah kepadamu dengan dua najm.” Ini menunjukkan bahwa tidak boleh kurang dari dua najm.
Dan dari ‘Alī Karramallāhu Wajhah, ia berkata: “Kitābah itu dengan dua najm, dan pembayaran dilakukan pada najm yang kedua.”
Dan tidak boleh dilakukan kecuali atas dua najm yang jelas waktunya, dan hendaknya jumlah yang dibayar pada setiap najm diketahui, karena itu adalah ‘iwadh yang dicicil dalam suatu akad, maka wajib diketahui kadar setiap najm dan kadar yang dibayarkan padanya, sebagaimana dalam akad salam yang memiliki dua jatuh tempo.
فصل: ولا يجوز إلا على عوض وعلوم الصفة لأنه عوض في الذمة فوجب العلم بصفته كالمسلم فيه.
PASAL: Kitābah tidak sah kecuali dengan adanya imbalan (‘iwaḍ) dan diketahui sifatnya, karena ia merupakan ganti yang menjadi tanggungan, maka wajib diketahui sifatnya sebagaimana barang yang dijual secara salam.
فصل: وتجوز الكتابة على المنافع لأنه يجوز أن تثبت في الذمة بالعقد فجاز الكتابة عليها كالمال فإن كاتبه على عملين في الذمة في نجمين جاز كما يجوز على مالين في نجمين وإن كاتبه على خدمة شهرين لم يجز لأن ذلك نجم واحد وإن كاتبه على خدمة شهر ثم خدمة شهر بعده لم يجز لأن العقد في الشهر الثاني على منفعة معينة في زمان مستقبل فلم يجز كما لو استأجره للخدمة في شهر مستقبل وإن كاتبه على دينار وخدمة شهر بعده لم يجز لأنه لا يقدر على تسليم الدينار في الحال وإن كاتبه على خدمة شهر ودينار في نجم بعده جاز
PASAL: Boleh melakukan kitābah atas dasar manfaat (manāfi‘), karena manfaat boleh ditetapkan sebagai kewajiban dalam tanggungan melalui akad, maka kitābah atasnya pun dibolehkan sebagaimana terhadap harta. Maka jika ia melakukan kitābah atas dua pekerjaan yang menjadi tanggungan dalam dua najm, hukumnya sah, sebagaimana sah kitābah atas dua harta dalam dua najm.
Namun, jika ia melakukan kitābah atas pelayanan selama dua bulan sekaligus, tidak sah, karena itu berarti satu najm saja.
Dan jika ia melakukan kitābah atas pelayanan selama sebulan, kemudian pelayanan sebulan lagi setelahnya, tidak sah, karena akad pada bulan kedua itu adalah atas suatu manfaat tertentu dalam waktu yang akan datang, maka tidak sah sebagaimana halnya menyewa jasa untuk bulan yang akan datang.
Jika ia melakukan kitābah atas satu dinar dan pelayanan selama sebulan setelahnya, tidak sah, karena ia tidak mampu menyerahkan dinar itu saat ini.
Namun, jika ia melakukan kitābah atas pelayanan selama sebulan dan satu dinar pada najm setelahnya, maka itu sah.
لأنه يقدر على تسليم الخدمة فهو مع الدينار كالمالين في نجمين وإن كاتبه على خدمة شهر ودينار بعد انقضاء الشهر فقد اختلف أصحابنا فيه فقال أبو إسحاق: لا يجوز لأنه إذا لم يفصل بينهما صارا نجماً واحداً ومنهم من قال: يجوز لأنه يستحق الدينار في غير الوقت الذي يستحق فيه الخدمة وإنما يتصل استيفاؤهما فعلى هذا لو كاتبه على خدمة شهر ودينار في نصف الشهر جاز لأنه يستحق الدينار في غير الوقت الذي يستحق فيه الخدمة.
Karena ia mampu menyerahkan pelayanan, maka pelayanan itu bersama dinar dihukumi seperti dua harta dalam dua najm. Dan jika ia melakukan kitābah atas pelayanan selama sebulan dan satu dinar setelah berakhirnya bulan tersebut, maka para ashḥāb kami berbeda pendapat mengenainya.
Abū Isḥāq berkata: Tidak boleh, karena jika tidak dipisah waktunya, maka keduanya menjadi satu najm.
Sebagian dari mereka berkata: Boleh, karena dinar itu menjadi hak pada waktu yang berbeda dengan waktu pelayanan, hanya saja waktu pelaksanaannya berdekatan.
Berdasarkan pendapat ini, jika ia melakukan kitābah atas pelayanan selama sebulan dan satu dinar di pertengahan bulan, maka hukumnya sah, karena dinar itu menjadi hak pada waktu yang berbeda dengan waktu pelayanan.
فصل: وإن كاتب رجلان عبداً بينهما على مال بينهما على قدر الملكين وعلى نجوم واحدة جاز وإن تفاضلا في المال مع تساوي الملكين أو تساويا في المال مع تفاضل الملكين أو على أن نجوم أحدهما أكثر من نجوم الآخر أو على أن نجم أحدهما أطول من نجم الآخر ففيه طريقان: من أصحابنا من قال يبنى على القولين فيمن كاتب نصيبه من العبد بإذن شريكه فإن قلنا يجوز جاز
PASAL: Jika dua orang laki-laki meng-katabah seorang budak yang mereka miliki bersama atas harta yang juga mereka tentukan bersama sesuai kadar kepemilikan masing-masing dan dengan nujūm yang sama, maka hal itu boleh. Namun, jika mereka berbeda dalam jumlah harta padahal kepemilikannya sama, atau mereka sama dalam jumlah harta padahal kepemilikannya berbeda, atau salah satu dari keduanya lebih banyak nujūm-nya dari yang lain, atau salah satu dari keduanya lebih panjang jangka waktu nujūm-nya dari yang lain, maka dalam hal ini terdapat dua ṭarīq:
Sebagian aṣḥāb kami berkata: Masalah ini dibangun di atas dua pendapat tentang seseorang yang meng-katabah bagiannya dari budak dengan izin dari sekutunya. Jika kita berkata itu boleh, maka ini pun boleh.
وإن قلنا لا يجوز لم يجز لأن اتفاقهما على الكتابة ككتابة أحدهما في نصيبه بإذن الآخر وعلى هذا يدل قول الشافعي رحمه الله تعالى فإنه قال في الأم: ولو أجزت لأجزت أن ينفرد أحدهما بكتابة نصيبه فدل على أنه إذا جاز ذلك جاز هذا وإن لم يجز ذلك لم يجز هذا ومنهم من قال: لا يصح قولاً واحداً لأنه يؤدي إلى أن ينتفع أحدهما بحق شريكه من الكسب لأنه يأخذ أكثر مما يستحق وربما عجز المكاتب فيرجع على شريكه بالفاضل بعد ما انتفع به.
Dan jika kita berkata bahwa hal itu tidak boleh, maka tidak boleh pula, karena kesepakatan keduanya atas kitābah seperti halnya salah satu dari keduanya meng-katabah bagiannya dengan izin dari yang lain. Dan atas dasar inilah ditunjukkan oleh perkataan asy-Syāfi‘i RA, karena beliau berkata dalam al-Umm: “Seandainya aku membolehkannya, niscaya aku membolehkan salah satu dari keduanya meng-katabah bagiannya sendiri.” Maka hal itu menunjukkan bahwa jika hal tersebut boleh, maka ini pun boleh, dan jika hal tersebut tidak boleh, maka ini pun tidak boleh.
Dan sebagian dari mereka berkata: Tidak sah menurut satu pendapat, karena hal itu mengantarkan kepada keadaan di mana salah satu dari keduanya mendapatkan manfaat dari hak milik sekutunya berupa hasil usaha (kasb), karena dia mengambil lebih dari yang ia berhak, dan mungkin saja si mukātab tidak mampu membayar, lalu si pemilik yang lain menuntut kelebihan tersebut padanya setelah ia mengambil manfaat darinya.
فصل: ولا يصح على شرط فاسد لأنه معاوضة يلحقها الفسخ فبطلت بالشرط الفاسد كالبيع ولا يجوز تعليقها على شرط مستقبل لأنه عقد يبطل بالجهالة فلم يجز تعليقه على شرط مستقبل كالبيع.
PASAL: Tidak sah kitābah dengan syarat yang rusak (syarṭ fāsid), karena ia merupakan akad tukar-menukar (mu‘āwaḍah) yang dapat dibatalkan, maka batal dengan adanya syarat yang rusak sebagaimana dalam akad jual beli. Dan tidak boleh menggantungkan kitābah pada suatu syarat di masa mendatang, karena ia adalah akad yang batal disebabkan adanya ketidakjelasan (jahālah), maka tidak boleh digantungkan pada syarat di masa depan sebagaimana dalam jual beli.
فصل: وإذا انعقد العقد لم يملك المولى فسخه قبل العجز لأنه أسقط حقه منه بالعوض فلم يملك فسخه قبل العجز عن العوض كالبيع ويجوز للعبد أن يمتنع من أداء المال لأن ما لا يلزمه إذا لم يجعل شرطاً في عتقه لم يلزمه إذا جعل شرطاً في عتقه كالنوافل وهل يملك أن يفسخ؟ فيه وجهان من أصحابنا من قال لا يملك لأنه لا ضرر عليه في البقاء على العقد ولا فائدة له في الفسخ فلم يملكه ومنهم من قال أن يفسخ لأنه عقد لحظه فملك أن ينفرد بالفسخ كالمرتهن
PASAL: Apabila akad telah terjadi, maka tuan tidak berhak membatalkannya sebelum terjadi ketidakmampuan (dari pihak budak) karena ia telah menggugurkan haknya dengan imbalan, maka ia tidak berhak membatalkannya sebelum ketidakmampuan terhadap imbalan tersebut, sebagaimana dalam jual beli. Dan budak boleh menolak untuk membayar uang, karena sesuatu yang tidak wajib atasnya apabila tidak dijadikan syarat dalam kemerdekaannya, maka tidak wajib pula apabila dijadikan syarat dalam kemerdekaannya, seperti nawāfil. Apakah ia berhak membatalkan? Ada dua pendapat: sebagian dari para sahabat kami berkata, tidak berhak, karena tidak ada mudarat baginya dalam tetapnya akad, dan tidak ada manfaat baginya dalam pembatalan, maka ia tidak diberi hak tersebut. Dan sebagian dari mereka berkata, ia berhak membatalkannya karena itu adalah akad yang mengandung maslahat untuk dirinya, maka ia berhak membatalkannya secara sepihak seperti murtahin.
فإن مات المولى لم يبطل العقد لأنه لازم من جهته فلم يبطل بالموت كالبيع وينتقل المكاتب إلى الوارث لأنه مملوك لا يبطل رقه بموت المولى فانتقل إلى وارثه كالعبد القن وإن مات العبد بطل العقد لأنه فات المعقود عليه قبل التسليم فبطل العقد كالمبيع إذا تلف قبل القبض ولا يجوز شرط الخيار فيه لأن الخيار لدفع الغبن عن المال والسيد يعلم أنه مغبون من جهة المملوك لأنه يبيع ماله بماله والعبد مخير بين أن يدفع المال وبين أن لا يدفع فلا معنى لشرط الخيار فإن اتفقا على الفسخ جاز لأنه عقد يلحقه الفسخ بالعجز عن المال فجاز فسخه بالتراضي كالبيع.
Jika tuan meninggal, maka akad tidak batal karena akad itu bersifat mengikat dari pihaknya, sehingga tidak batal dengan kematian, sebagaimana jual beli. Maka budak mukātab berpindah kepada ahli waris karena ia adalah budak yang status perbudakannya tidak batal dengan kematian tuannya, sehingga berpindah kepada ahli waris sebagaimana budak qin. Dan jika budak meninggal, maka batal akadnya karena objek akad hilang sebelum penyerahan, maka batal akadnya sebagaimana barang dagangan yang rusak sebelum diterima. Tidak boleh disyaratkan adanya hak khiyar dalam akad ini karena khiyar itu untuk mencegah kerugian dalam harta, sedangkan tuan mengetahui bahwa ia dirugikan dari sisi budak karena ia menjual hartanya dengan harta miliknya sendiri, dan budak memiliki pilihan antara membayar atau tidak membayar, maka tidak ada makna untuk mensyaratkan khiyar. Jika keduanya sepakat untuk membatalkan, maka boleh karena ini adalah akad yang bisa dibatalkan karena ketidakmampuan membayar, maka boleh dibatalkan dengan kesepakatan sebagaimana jual beli.
باب ما يملكه المكاتب وما لا يملكه
ويملك المكاتب بالعقد اكتساب المال بالبيع والإجارة والصدقة والهبة والأخذ بالشفعة والاحتشاش والاصطياد وأخذ المباحات وهو مع المولى كالأجنبي مع الأجنبي في ضمان المال وبذل المنافع وأرش الأطراف لأنه صار بما بذله له من العوض عن رقبته كالخارج عن ملكه ويملك التصرف في المال بما يعود إلى مصلحته ومصلحة ماله فيجوز أن ينفق على نفسه لأن ذلك من أهم المصالح وله أن يفدي في حياته نفسه أو رقيقه لأن له فيه مصلحة وله أن يختن غلامه ويؤد به
PASAL: Apa yang dimiliki oleh seorang mukātib dan apa yang tidak dimilikinya
Seorang mukātib memiliki, berdasarkan akad, hak untuk memperoleh harta melalui jual beli, sewa-menyewa, sedekah, hibah, pengambilan hak syuf‘ah, mengumpulkan kayu bakar, berburu, dan mengambil barang mubah. Ia, dalam hubungannya dengan tuannya, seperti orang asing terhadap orang asing dalam hal jaminan harta, pemberian manfaat, dan arsy anggota tubuh, karena ia telah menjadi seperti orang yang keluar dari kepemilikan tuannya disebabkan imbalan yang ia berikan sebagai tebusan terhadap dirinya.
Ia berhak melakukan tindakan terhadap hartanya dalam hal-hal yang kembali kepada kemaslahatannya dan maslahat hartanya. Maka boleh baginya menafkahi dirinya sendiri karena itu termasuk kemaslahatan yang paling penting. Ia juga boleh menebus dirinya atau budaknya selama hidupnya karena di dalamnya terdapat maslahat baginya. Ia juga boleh menyunat anak lelakinya dan mempersembahkannya sebagai tebusan.
لأن إصلاح للمال وأما الحد فالمنصوص أنه لا يملك إقامته لأن طريقه الولاية والمكاتب ليس من أهل الولاية ومن أصحابنا من قال له أن يقيم الحد كما يملك الحر في عبده وله أن يقتص في الجناية عليه وعلى رقيقه وذكر الربيع قولاً آخر أنه لا يقتص من غير إذن المولى ووجهه أنه ربما عجز فيصير ذلك للسيد فيكون قد أتلف الأرش الذي كان للسيد أن يأخذه لو لم يقتص منه قال أصحابنا: هذا القول من تخريج الربيع والمذهب أنه يجوز أن يقتص لأن فيه مصلحة له.
Karena hal itu merupakan bentuk perbaikan bagi hartanya. Adapun ḥadd, maka pendapat yang manshūṣ adalah bahwa ia tidak berhak menegakkannya, karena pelaksanaannya membutuhkan kewenangan, sementara mukātib bukanlah orang yang memiliki kewenangan.
Sebagian ulama mazhab kami berpendapat bahwa ia boleh menegakkan ḥadd, sebagaimana orang merdeka boleh menegakkannya terhadap budaknya. Ia juga berhak melakukan qiṣāṣ terhadap pelaku kejahatan atas dirinya dan atas budaknya. Al-Rabī‘ menyebutkan pendapat lain bahwa tidak boleh melakukan qiṣāṣ kecuali dengan izin tuannya, dengan alasan bahwa bisa jadi ia tidak mampu menunaikan pembayaran, sehingga hal itu kembali kepada tuannya; dan berarti ia telah menghilangkan arsy yang seharusnya bisa diambil oleh tuannya jika tidak dilakukan qiṣāṣ.
Para ulama mazhab kami berkata: Pendapat ini merupakan hasil istinbāṭ dari al-Rabī‘. Sedangkan al-madhhab adalah bahwa ia boleh melakukan qiṣāṣ, karena di dalamnya terdapat maslahat baginya.
فصل: وإن كان المكاتب جارية فوطئها المولى وجب عليها المهر ولها أن تطالب به لتستعين به على الكتابة لأنه يجري مجرى الكسب وإن أذهب بكارتها لزمه الأرش لأن ائتلاف جزء لايستحقه فضمن بدله كقطع الطرف وإن أتت منه بولد صارت مكاتبة وأم ولد وقد بينا حكمهما في أول الباب وإن كانت مكاتبة بين اثنين فأولدها أحدهما نظرت فإن كان معسراً صار نصيبه أم ولد وفي الولد وجهان: أحدهما وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أن الولد ينعقد جميعه حراً ويثبت للشريك في ذمة الواطئ نصف قيمته لأنه يستحيل أن ينعقد نصف الولد حراً ونصفه عبداً
PASAL: Jika mukātib itu seorang perempuan lalu digauli oleh tuannya, maka wajib baginya membayar mahar, dan perempuan itu berhak menuntut mahar tersebut untuk membantunya dalam menunaikan kitābah, karena mahar itu dianggap seperti hasil usaha. Jika sang tuan merusak keperawanannya, maka ia wajib membayar arasy, karena ia telah merusak bagian tubuh yang tidak berhak dimilikinya, maka ia wajib mengganti dengan nilainya, sebagaimana jika memotong anggota tubuh.
Jika ia melahirkan anak dari tuannya, maka ia menjadi mukātibah sekaligus umm walad, dan hukum keduanya telah dijelaskan di awal bab ini.
Jika ia adalah mukātibah milik dua orang lalu salah satunya menghamilinya, maka dilihat keadaannya: jika ia tidak mampu (mu‘sir), maka bagiannya menjadi umm walad. Adapun anak yang dilahirkan, ada dua pendapat. Pendapat pertama—dan ini adalah pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah—anak itu seluruhnya menjadi merdeka, dan bagi sekutu (yang tidak menggauli) berhak atas separuh nilai anak tersebut dalam tanggungan orang yang menggauli, karena tidak mungkin anak itu setengah merdeka dan setengah budak.
والثاني وهو قول أبي إسحاق أن نصفه حر ونصفه مملوك وهو الصحيح اعتباراً بقدر ما يملك منها ولا يمتنع أن ينعقد نصفه حراً ونصفه عبداً كالمرأة إذا كان نصفها حراً ونصفها مملوكاً فأتت بولد فإن نصفه حر ونصفه عبد وإن كان موسراً فالولد حر وصار نصيبه من الجارية أم ولد ويقوم على الواطئ نصيب شريكه وهل يقوم في الحال فيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما يقوم في الحال فإذا قوم انفسخت الكتابة وصار جميعها أم ولد للواطئ ونصفها مكاتباً له فإن أدت المال عتق نفسها وسرى إلى باقيها
Dan pendapat kedua—yaitu pendapat Abū Isḥāq—bahwa separuh anak itu merdeka dan separuhnya lagi budak, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan kadar kepemilikan sang ayah terhadap ibu anak itu. Tidak mustahil anak itu lahir dalam keadaan setengah merdeka dan setengah budak, sebagaimana jika seorang perempuan yang separuh dirinya merdeka dan separuhnya budak lalu melahirkan anak, maka anak itu juga menjadi setengah merdeka dan setengah budak.
Jika sang ayah mampu (mūsir), maka anak itu menjadi merdeka seluruhnya, dan bagian perempuan yang dimilikinya menjadi umm walad. Maka wajib menebus bagian sekutunya yang lain. Apakah tebusan itu dilakukan saat itu juga? Ada dua ṭarīqah dalam hal ini: sebagian ulama kami menyatakan terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama: ditebus saat itu juga, maka apabila telah ditebus, kitābah menjadi batal, dan perempuan itu seluruhnya menjadi umm walad bagi orang yang menggaulinya, dan separuhnya menjadi mukātibah bagi laki-laki itu. Jika ia melunasi pembayaran kitābah, maka ia memerdekakan dirinya dan hukum kemerdekaan itu menyebar pada seluruh dirinya.
والقول الثاني أنه يؤخر التقويم إلى العجز فإن أدت ما عليها عتقت عليها بالكتابة وإن عجزت قوم على الواطئ نصيب شريكه وصار الجميع أم ولد. وقال أبو علي بن أبي هريرة: لا يقوم في الاستيلاد نصيب الشريك في الحال قولاً واحداً بل يؤخر إلى أن تعجز لأن التقويم في العتق فيه حظ للعبد لأنه يتعجل له الحرية في الباقي ولا حظ لها في التقويم في الاستيلاد بل الحظ في التأخير لأنه إذا أخر ربما أدت المال فعتقت وإذا قوم في الحال صارت أم ولد ولا تعتق إلا بالموت والصحيح هو الأول وأنه على قولين كالعتق لأن الاستيلاد كالعتق بل هو أقوى لأنه يصح من المجنون والعتق لا يصح منه فإذا كان في التقويم في العتق قولان وجب أن يكون في الاستيلاد مثلاه.
Dan pendapat kedua: penebusan (taqwīm) ditangguhkan sampai terjadi ketidakmampuan (‘ajz). Jika perempuan itu melunasi kewajiban kitābah-nya, maka ia merdeka karena kitābah. Namun jika ia tidak mampu, maka bagian milik sekutunya harus ditebus oleh orang yang menggaulinya, lalu seluruh tubuh perempuan itu menjadi umm walad.
Abū ‘Alī bin Abī Hurairah berkata: Tidak boleh menebus bagian sekutu karena istīlād (melahirkan anak) secara langsung—ini satu pendapat—tetapi penebusan harus ditunda hingga terjadi ketidakmampuan, karena penebusan dalam konteks ‘itq (kemerdekaan) mengandung manfaat bagi budak, yaitu mempercepat kemerdekaannya pada bagian yang tersisa. Sedangkan dalam konteks istīlād, tidak ada manfaat baginya dalam penebusan langsung—justru manfaatnya terletak pada penundaan, karena jika ditunda, bisa jadi ia melunasi pembayaran dan menjadi merdeka. Namun jika ditebus langsung, ia menjadi umm walad dan tidak akan merdeka kecuali setelah tuannya meninggal.
Pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, yaitu bahwa ada dua pendapat sebagaimana dalam masalah ‘itq, karena istīlād serupa dengan ‘itq, bahkan lebih kuat darinya. Sebab, istīlād sah dilakukan oleh orang gila, sementara ‘itq tidak sah darinya. Maka jika dalam taqwīm pada kasus ‘itq terdapat dua pendapat, maka dalam kasus istīlād pun harus ada dua pendapat yang sama.
فصل: وإن أتت المكاتبة بولد من نكاح أو زنا ففيه قولان: أحدهما أنه موقوف فإن وقف الأم رق وإن عتقت عتق لأن الكتابة سبب يستحق به العتق فيتبع الولد الأم فيه كالاستيلاد والثاني أنه مملوك يتصرف فيه لأنه عقد يلحقه الفسخ فلم يسر إلى الولد كالرهن فإن قلنا إنه للمولى كان حكمه حكم العبد القن في الجناية والكسب والنفقة والوطء وإن قلنا إنه موقوف فقتل ففي قصته قولان: أحدهما انها لأمه تستعين بها في الكتابة لأن القصد بالكتابة طلب حظها والثاني أنها للمولى لأنه تابع للأم وقيمة الأم للمولى فكذلك قيمة ولدها فإن كسب الولد مالاً ففيه قولان: أحدهما أنه للأم لأنه تابع لها في حكمها فكسبها لها فكذلك كسب ولدها
PASAL: Jika seorang mukātabah melahirkan anak dari pernikahan atau zina, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: status anak tersebut mauqūf; jika ibunya tetap sebagai budak, maka anaknya pun budak, dan jika ibunya merdeka, maka anaknya pun merdeka. Karena kitābah adalah sebab yang dengannya seseorang bisa memperoleh kemerdekaan, maka anak mengikuti ibunya dalam hal ini sebagaimana dalam kasus istīlād.
Pendapat kedua: anak tersebut adalah budak yang bisa diperjualbelikan karena akad kitābah adalah akad yang bisa dibatalkan, sehingga tidak menjalar kepada anak, sebagaimana halnya rahn.
Jika kita berpendapat bahwa anak itu milik tuan, maka hukumnya seperti ‘abd al-qin dalam hal jinayah, penghasilan, nafkah, dan hubungan seksual.
Namun jika kita berpendapat bahwa statusnya mauqūf lalu ia terbunuh, maka ada dua pendapat dalam kasus ini:
Pendapat pertama: diyat-nya milik ibunya untuk membantunya dalam membayar uang kitābah, karena tujuan dari kitābah adalah untuk mencari maslahat bagi dirinya.
Pendapat kedua: diyat-nya milik tuan, karena anak itu mengikuti ibunya dan nilai ibunya adalah milik tuan, maka nilai anaknya juga milik tuan.
Jika anak tersebut memperoleh harta, maka ada dua pendapat:
Pendapat pertama: hartanya milik ibunya, karena ia mengikuti ibunya dalam hukum, maka penghasilannya menjadi milik ibunya, sebagaimana penghasilan anak juga demikian.
والثاني أنه موقوف لأن الكسب نماء الذات وذاته موقوف فكذلك كسبه فعلى هذا يجمع الكسب فإذا عتق ملك الكسب كما تملك الأم كسبها إذا عتقت وإن رق بعجز الأم صار الكسب للمولى فمن أصحابنا من خرج فيه قولاً ثالثاً أنه للمولى كما قلنا في قيمته في أحد القولين وإن أشرفت الأم على العجز وكان في كسب الولد وفاء بمال الكتابة ففيه قولان: أحدهما أنه ليس للأم أن تستعين به على الأداء لأنه موقوف على السيد أو الولد فلم يكن للأم حق فيه
dan pendapat kedua: penghasilan anak berstatus mauqūf, karena penghasilan adalah pertumbuhan dari diri, sedangkan diri anak itu mauqūf, maka penghasilannya pun demikian. Berdasarkan pendapat ini, penghasilan dikumpulkan; jika ibu anak itu merdeka, maka anak itu pun memiliki penghasilan tersebut, sebagaimana ibu memiliki penghasilannya ketika ia merdeka. Namun jika si ibu menjadi budak kembali karena tidak mampu melunasi, maka penghasilan anak menjadi milik tuan.
Sebagian ulama kami mengeluarkan pendapat ketiga: bahwa penghasilan anak itu milik tuan, sebagaimana kita katakan bahwa nilai anak adalah milik tuan menurut salah satu pendapat.
Jika ibu hampir tidak mampu melunasi dan dalam penghasilan anak terdapat cukup uang untuk membayar harta kitābah, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: si ibu tidak berhak menggunakan penghasilan anak untuk membayar kitābah, karena statusnya mauqūf antara tuan dan anak itu sendiri, maka si ibu tidak memiliki hak di dalamnya.
والثاني أن لها أن تأخذه وتؤديه لأنها إذا أدت عتقت وعتق الولد فكان ذلك أحظ للولد من أن ترق ويأخذه المولى فإن احتاج الولد إلى النفقة ولم يكن في كسبه ما يفي فإن قلنا إن الكسب للمولى فالنفقة عليه وإن قلنا إنه للأم فالنفقة عليها وإن قلنا إنه موقوف ففي النفقة وجهان: أحدهما أنها على المولى لأنه مرصد لملكه والثاني أنها في بيت المال لأن المولى لا يملكه فلم يبق إلا بيت المال وإن كان الولد جارية فوطئها المولى فإن قلنا إن كسبه له لم يجب عليه المهر لأنه لو وجب لكان له وإن قلنا إنه للأم فالمهر لها وإن قلنا إنه موقوف وقف المهر وإن أحبلها صارت أم ولد بشبهة الملك ولاتلزمه قيمتها لأن القيمة تجب لمن يملكها والأم لا تملك رقبتها وإنما هي موقوفة عليها.
dan pendapat kedua: si ibu boleh mengambil penghasilan anak dan menggunakannya untuk membayar kitābah, karena jika ia membayar, maka ia merdeka dan anaknya pun ikut merdeka. Hal itu lebih menguntungkan bagi si anak daripada jika ibunya kembali menjadi budak lalu tuan mengambil penghasilan anak tersebut.
Jika si anak membutuhkan nafkah dan penghasilannya tidak mencukupi, maka:
- Jika kita berpendapat bahwa penghasilannya milik tuan, maka nafkah menjadi tanggungannya.
- Jika kita berpendapat bahwa penghasilan milik ibunya, maka nafkah menjadi tanggungan ibu.
- Jika kita berpendapat bahwa penghasilannya mauqūf, maka dalam hal nafkah terdapat dua pendapat:
Pertama: nafkah ditanggung oleh tuan karena anak tersebut disiapkan untuk menjadi miliknya.
Kedua: nafkah dari bayt al-māl, karena tuan tidak memiliki anak itu, maka tidak tersisa kecuali bayt al-māl.
Jika anak tersebut perempuan lalu digauli oleh tuan:
- Jika kita berpendapat bahwa penghasilannya milik tuan, maka tidak wajib mahar, karena jika wajib, maka itu akan kembali kepada dirinya sendiri.
- Jika kita berpendapat bahwa penghasilannya milik ibu, maka mahar menjadi milik ibu.
- Jika kita berpendapat bahwa statusnya mauqūf, maka mahar pun menjadi mauqū
Jika ia hamil, maka ia menjadi umm walad karena adanya syubhat kepemilikan. Namun tuan tidak wajib membayar nilainya, karena nilai hanya wajib bagi orang yang memiliki budak, sedangkan si ibu tidak memiliki kepemilikan atas anaknya, melainkan statusnya hanya mauqūf atas dirinya.
فصل: وإن حبس السيد المكاتب مدة ففيه قولان: أحدهما يلزمه تخليته في مثل تلك المدة لأنه دخل في العقد على التمكين من التصرف في المدة فلزمه الوفاء به والثاني تلزمه أجرة المثل للمدة التي حبسه فيها وهو الصحيح لأن المنافع لا تضمن بالمثل وإنما تضمن بالأجرة وإن قهر أهل الحرب المكاتب على نفسه مدة ثم أفلت من أيديهم ففيه قولان: أحدهما لا تجب تخليته في مكث المدة لأنه لم يكن الحبس من جهته والثاني تجب لأنه فات ما استحقه بالعقد ولا فرق بين أن يكون بتفريط أو غير تفريط كالمبيع إذا هلك في يد البائع ولا يجيء ههنا إيجاب الأجرة على المولى لنه لم يكن الحبس من جهته فلا تلزمه أجرته.
PASAL: Jika tuan menahan mukātib selama suatu masa, maka ada dua pendapat:
Pertama, wajib atasnya melepaskannya dalam waktu yang semisal, karena ia telah masuk dalam akad dengan ketentuan diberi kesempatan untuk melakukan transaksi selama masa itu, maka wajib menunaikannya.
Kedua, wajib atasnya membayar ujrah al-mitsl (upah sepadan) untuk masa yang ia tahan, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena manfaat tidak dijamin dengan ganti yang sepadan, tetapi dijamin dengan upah.
Dan jika orang-orang kafir harbi memaksa mukātib atas dirinya selama suatu masa, kemudian ia berhasil lolos dari tangan mereka, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak wajib melepaskannya sesuai masa tinggal itu karena penahanan itu bukan berasal dari pihak tuan.
Kedua, wajib melepaskannya, karena manfaat yang dijanjikan dalam akad telah hilang, dan tidak ada perbedaan antara yang terjadi karena kelalaian atau tidak, sebagaimana barang jualan yang rusak di tangan penjual.
Namun dalam hal ini, kewajiban membayar upah tidak dibebankan kepada tuan, karena penahanan itu bukan dari pihaknya, maka tidak wajib baginya membayar upahnya.
فصل: ولا يملك المكاتب التصرف إلا على وجه النظر والاحتياط لأن حق المولى يتعلق باكتسابه فإن أراد أن يسافر فقد قال في الأم يجوز وقال في الأمالي: لا يجوز بغير إذن المولى فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما لا يجوز لأن فيه تغريراً والثاني يجوز لأنه من أسباب الكسب ومنهم من قال: إن كان السفر طويلاً لم يجز وإن كان قصيراً جاز وحمل القولين على هذين الحالين والصحيح هو الطريق الأول.
PASAL: Mūkātib tidak memiliki hak untuk melakukan tasharruf kecuali dalam bentuk yang mengandung maslahat dan kehati-hatian, karena hak tuannya terkait dengan penghasilannya. Jika ia ingin melakukan safar, maka dalam al-Umm disebutkan bahwa itu boleh, dan dalam al-Amālī disebutkan bahwa tidak boleh kecuali dengan izin tuannya. Maka sebagian dari ulama kami mengatakan bahwa terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh karena mengandung risiko; kedua, boleh karena safar termasuk sebab untuk memperoleh penghasilan. Dan ada juga yang mengatakan: jika safarnya panjang maka tidak boleh, dan jika pendek maka boleh, serta dua pendapat itu ditakwilkan sesuai dua kondisi ini. Namun yang ṣaḥīḥ adalah pendapat yang pertama.
فصل: ولا يجوز أن يبيع نسيئة وإن كان بأضعاف الثمن ولا على أن يأخذ بالثمن رهناً أو ضميناً لأنه يخرج المال من يده من غير عوض والرهن قد يتلف والضمين قد يفلس وإن باع ما يساوي مائة بمائة نقداً وعشرين نسيئة جاز لأنه لا ضرر فيه ولا يجوز أن يقرض ولا يضرب ولا يرهن لأنه إخراج مال بغير عوض.
PASAL: Tidak boleh menjual secara nasī’ah meskipun dengan kelipatan harga, dan tidak pula dengan syarat mengambil jaminan atau penanggung atas harga, karena hal itu berarti mengeluarkan harta dari tangannya tanpa imbalan, sedangkan barang yang dijadikan jaminan bisa saja rusak dan penanggung bisa saja bangkrut. Namun, jika ia menjual barang yang senilai seratus dengan harga seratus tunai dan dua puluh secara nasī’ah, maka boleh, karena tidak ada mudarat di dalamnya. Tidak boleh pula ia memberi pinjaman, tidak boleh menjalankan bisnis, dan tidak boleh menjaminkan, karena semua itu merupakan pengeluaran harta tanpa imbalan.
فصل: ولا يجوز أن يشتري من يعتق عليه لأنه يخرج ما لا يملك التصرف فيه بمال لا يملك التصرف فيه وفي ذلك إضرار وإن وصى له بمن يعتق عليه فإن لم يكن له كسب لم يجز قبوله لأنه يحتاج أن ينفق عليه وفي ذلك إضرار وإن كان له كسب جاز قبوله لأنه لا ضرر فيه فإن قبله ثم صار زمناً لا كسب له فله أن ينفق فله لأن فيه إصلاح لماله.
PASAL: Tidak boleh membeli orang yang akan merdeka karena sebab kepemilikan, karena hal itu berarti mengeluarkan sesuatu yang tidak boleh ia pergunakan dengan harta yang juga tidak boleh ia pergunakan, dan di dalamnya terdapat unsur merugikan. Apabila seseorang mewasiatkan kepada orang lain budak yang akan merdeka karena sebab kepemilikan, maka jika budak itu tidak memiliki penghasilan, tidak boleh wasiat itu diterima karena ia akan membutuhkan nafkah dan hal itu menimbulkan kerugian. Namun jika budak tersebut memiliki penghasilan, maka boleh wasiat itu diterima karena tidak ada kerugian di dalamnya. Jika ia telah menerima wasiat tersebut kemudian budak itu menjadi lumpuh dan tidak mampu bekerja, maka ia boleh memberinya nafkah karena di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi hartanya.
فصل: ولا يعتق ولا يكاتب ولا يهب ولا يحابي ولا يبرئ من الدين ولا يكفر بالمال ولا ينفق على أقاربه الأحرار ولا يسرف في نفقة نفسه وإن كان له أمة مزوحة لم تبذل العوض للخلع لأن ذلك كله استهلاك للمال وإن كان عليه دين مؤجل لم يملك تعجيله لأنه يقطع التصرف فيما يجعله من المال من غير حاجة وإن كان مكاتباً بين نفسين لم يجز أن يقدم حق أحدهما لأن ما يقدمه من ذلك يتعلق به حقهما فلا يجوز أن يخص به أحدهما وإن أقر بجناية خطأ ففيه قولان: أحدهما يقبل لأنه إقرار بالمال فقبل كما لو أقر بدين معاملة
PASAL: Tidak sah baginya memerdekakan (budak), melakukan kitābah, memberi hibah, memberi sesuatu secara murah (dalam transaksi), membebaskan dari utang, menunaikan kafarat dengan harta, menafkahi kerabatnya yang merdeka, dan tidak boleh berlebih-lebihan dalam nafkah untuk dirinya sendiri. Jika ia memiliki seorang amah yang menikah secara muzāḥah, maka ia tidak boleh memberikan harta sebagai ganti untuk khulu‘, karena semua itu merupakan tindakan menghabiskan harta. Jika ia memiliki utang yang jatuh temponya masih lama, ia tidak boleh menyegerakannya karena itu merupakan tindakan menghilangkan kekuasaan dalam pengelolaan harta tanpa adanya kebutuhan. Jika ia adalah seorang mukātib milik dua orang, maka tidak boleh mendahulukan hak salah satu dari keduanya karena apa yang ia bayarkan dari harta itu berkaitan dengan hak kedua pihak, maka tidak boleh mengkhususkan salah satunya. Jika ia mengakui adanya tindak pidana yang dilakukan secara tidak sengaja (jināyah khuṭā’), maka ada dua pendapat: pertama, pengakuannya diterima karena itu merupakan pengakuan terhadap kewajiban harta, maka diterima sebagaimana pengakuan terhadap utang mu‘āmalah.
والثاني لا يقبل لأنه يخرج به الكسب من غير عوض فبطل كالهبة وإن جنى هو أو عبد له يملك بيعه على أجنبي لم يجز أن يفديه بأكثر من قيمته لأن الفداء كالابتياع فلا يجوز بأكثر من القيمة وإن كان عبداً لا يملك بيعه كالأب والابن لم يجز أن يفديه بشيء قل أو كثر لأنه يخرج ما يملك التصرف فيه لاستبقاء ما لا يملك التصرف فيه.
dan yang kedua, tidak diterima karena dengan itu ia mengeluarkan hasil usaha tanpa imbalan, maka batal seperti hibah. Jika ia atau budaknya melakukan jināyah dan budak itu boleh dijual kepada orang lain, maka tidak boleh menebusnya dengan harga lebih dari nilainya, karena tebusan itu seperti pembelian, maka tidak boleh melebihi nilai. Dan jika budak itu termasuk yang tidak boleh dijual, seperti ayah dan anak, maka tidak boleh menebusnya dengan sesuatu pun, sedikit atau banyak, karena itu berarti mengeluarkan sesuatu yang ia boleh mengelolanya demi mempertahankan sesuatu yang tidak boleh ia kelola.
فصل: وإن فعل ذلك كله بإذن المولى ففيه قولان: أحدهما لا يصح لأن المولى لا يملك ما في يده والمكاتب لا يملك ذلك بنفسه فلا يصح باجتماعهما كالأخ إذا زوج أخته الصغيرة بإذنها والثاني أنه يصح وهو الصحيح لأن المال موقوف عليهما ولا يخرج منهما فصح باجتماعهما كالشريكين في المال المشترك والراهن والمرتهن في الرهن وإن وهب للمولى أو حاباه أو أقرضه أو ضاربه أو عجل له ما تأجل من ديونه أو فدى جنايته عليه بأكثر من قيمته فإن قلنا يصح للأجنبي بإذن المولى صح وإن قلنا لا يصح في حق الأجنبي بإذنه لم يصح لأن قبوله كالإذن فإن وهب أو أقرض وقلنا إنه لا يصح فله أن يسترجع فإن لم يسترجع حتى عتق لم يسترجع على ظاهر النص لأنه إنما لم يصح لنقصانه وقد زال ذلك من أصحابنا من قال: له أن يسترجع لأنه قد وقع فاسداً فثبت له الاسترجاع.
PASAL: Jika ia melakukan semua hal itu dengan izin dari tuannya, maka terdapat dua pendapat. Pertama, tidak sah, karena tuan tidak memiliki apa yang ada di tangan mukātib, dan mukātib sendiri juga tidak memiliki hal itu secara penuh, maka tidak sah jika keduanya digabungkan, seperti seorang saudara laki-laki yang menikahkan saudara perempuannya yang masih kecil dengan izinnya. Pendapat kedua, hal itu sah, dan ini yang shahih, karena harta tersebut tergantung kepada keduanya dan tidak keluar dari kekuasaan mereka berdua, maka sah jika dilakukan bersama-sama, seperti dua orang yang berserikat dalam harta bersama, atau antara orang yang menggadaikan dan penerima gadai dalam barang gadaian.
Jika ia memberi hibah kepada tuannya, atau memberi secara murah (muḥāba), atau meminjaminya, atau melakukan muḍārabah dengannya, atau menyegerakan pembayaran utang yang seharusnya ditunda, atau menebus jināyah atas dirinya dengan jumlah yang melebihi nilainya—maka jika kita berpendapat bahwa hal itu sah kepada orang lain dengan izin tuannya, maka sah pula kepada tuannya. Dan jika kita berpendapat tidak sah kepada orang lain meskipun dengan izin tuannya, maka tidak sah pula kepada tuannya, karena penerima hibah sama dengan pemberi izin.
Jika ia memberi hibah atau pinjaman dan kita berpendapat bahwa hal itu tidak sah, maka ia berhak untuk menarik kembali. Jika ia tidak menariknya kembali hingga ia merdeka, maka menurut lahirnya teks (pendapat Imam Syafi‘i), ia tidak boleh menarik kembali, karena ketidaksahan itu disebabkan oleh kekurangannya, dan itu telah hilang. Sebagian ulama kami berkata: ia tetap boleh menarik kembali, karena transaksi itu batil, maka ia berhak melakukan penarikan kembali.
فصل: ولا يتزوج المكاتب إلا بإذن المولى لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أيما عبد تزوج بغير إذن مولاه فهو عاهر” ولأنه يلزمه المهر والنفقة في كسبه وفي ذلك إضرار بالمولى فلم يجز بغير إذنه فإن أذن له المولى جاز قولاً واحداً للخبر ولأن الحاجة تدعو إليه بخلاف الهبة.
PASAL: Seorang mukātib tidak boleh menikah kecuali dengan izin tuannya, karena diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Siapa saja budak yang menikah tanpa izin tuannya, maka ia adalah pezina.” Dan karena pernikahan mewajibkan mahar dan nafkah yang harus ditanggung dari hasil usahanya, yang di dalamnya terdapat mudarat bagi tuannya, maka tidak diperbolehkan tanpa izin. Jika tuannya mengizinkan, maka pernikahannya sah menurut satu pendapat, berdasarkan hadis tersebut dan karena kebutuhan terhadap pernikahan mendesak, berbeda halnya dengan hibah.
فصل: ولا يتسرى بجارية من غير إذن المولى لأنه ربما أحبلها فتلفت بالولادة فإن أذن له المولى وقلنا إن العبد يملك ففيه طريقان: من أصحابنا من قال على قولين كالهبة ومنهم من قال: يجوز قولاً واحداً لنه ربما دعت الحاجة إليه فجاز كالنكاح فإن أولدها فالولد ابنه ومملوكه لأنه ولد جاريته وتلزمه نفقته لأنه مملوكه بخلاف ولد الحرة ولا يعتق عليه لنقصان ملكه فإن أدى المال عتق معه لأنه كمل ملكه وإن رق رق معه.
PASAL: Tidak boleh bagi mukātib untuk berhubungan dengan jāriyah (budak perempuan) hingga menjadikannya sebagai surriyah tanpa izin tuannya, karena bisa jadi ia menghamilinya lalu budak itu celaka karena melahirkan. Jika tuannya mengizinkannya, dan kita berpendapat bahwa budak memiliki kepemilikan (terbatas), maka ada dua jalur pendapat:
Sebagian ulama kami mengatakan ada dua pendapat sebagaimana dalam masalah hibah. Sebagian yang lain mengatakan: hal itu dibolehkan menurut satu pendapat saja, karena terkadang kebutuhan menuntutnya, maka dibolehkan seperti halnya nikah.
Jika ia menghamilinya, maka anak itu adalah anaknya dan budaknya, karena lahir dari jāriyah-nya. Ia wajib menafkahinya karena anak itu adalah miliknya, berbeda dengan anak dari perempuan merdeka. Anak tersebut tidak menjadi merdeka karena kepemilikannya masih belum sempurna. Jika ia melunasi seluruh uang kitābah, maka anak itu ikut merdeka bersamanya, karena kepemilikannya telah sempurna. Dan jika ia tetap menjadi budak, maka anak itu ikut menjadi budak bersamanya.
فصل: ويجب على المولى الإيتاء وهو أن يضع عنه جزءاً من المال أو يدفع إليه جزءاً من المال لقوله عز وجل: {وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ} وعن علي كرم الله وجهه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في هذه الآية: “يحط عنه ربع الكتابة” والوضع أولى من الدفع لأنه يتحقق الانتفاع به في الكتابة ن واختلف أصحابنا في القدر الواجب فمنهم من قال: ما يقع عليه الاسم من قليل أو كثير وهو المذهب لأن اسم الإيتاء يقع عليه وقال أبو إسحاق: يختلف باختلاف قلة المال وكثرته
PASAL: Wajib atas tuan untuk memberikan i’tā’, yaitu meringankan sebagian dari harta kitābah atau memberikan sebagian harta kepada mukātib, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ} dan dari ‘Ali karamallahu wajhah bahwa Nabi SAW bersabda tentang ayat ini: “Hendaklah ia mengurangi dari harga kitābah seperempatnya.” Dan pengurangan lebih utama daripada pemberian karena manfaatnya dalam kitābah benar-benar terwujud.
Para ulama kami berbeda pendapat tentang kadar yang wajib diberikan. Sebagian dari mereka berkata: sebanyak apa pun, sedikit atau banyak, selama masih layak disebut i’tā’, dan inilah pendapat yang menjadi madzhab, karena nama i’tā’ berlaku atasnya. Abu Ishaq berkata: hal itu berbeda tergantung pada sedikit atau banyaknya harta.
فإن اختلفا قدره الحاكم باجتهاده كما قلنا في المتعة فإن اختار الدفع جاز بعد العقد للآية وفي وقت الوجوب وجهان: أحدهما يجب بعد العتق كما تجب المتعة بعد الطلاق والثاني أنه يجب قبل العتق لأنه إيتاء وجب للمكاتب فوجب قبل العتق كالإيتاء في الزكاة ولا يجوز الدفع من غير جنس مال الكتابة لقوله تعالى: {وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ} فإن دفع إليه من جنسه من غير ما أداه إليه ففيه وجهان: أحدهما يجوز كما يجوز في الزكاة أن يدفع من غير المال الذي وجب فيه الزكاة
Jika keduanya berselisih tentang kadarnya, maka hakim menentukan dengan ijtihadnya, sebagaimana kami katakan dalam masalah mut‘ah. Jika tuan memilih untuk memberikan dalam bentuk pemberian, maka itu boleh dilakukan setelah akad, berdasarkan ayat tersebut. Adapun waktu wajibnya, terdapat dua pendapat:
Pertama, wajib setelah merdeka, sebagaimana mut‘ah wajib setelah talak.
Kedua, wajib sebelum merdeka, karena i’tā’ ini wajib bagi mukātib, maka wajib dilakukan sebelum merdeka, seperti i’tā’ dalam zakat.
Tidak boleh memberikan dari selain jenis harta kitābah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ}. Jika tuan memberikan dari jenis yang sama, namun bukan dari apa yang telah ia terima dari mukātib, maka ada dua pendapat:
Pertama, boleh, sebagaimana boleh dalam zakat memberikan dari harta selain yang terkena kewajiban zakat.
والثاني لا يجوز وهو الصحيح للآية وإن سبق المكاتب وأدى المال لزم المولى أن يدفع إليه لأنه مال وجب للآدمي فلم يسقط من غير أداء ولا إبراء كسائر الديون وإن مات المولى وعليه دين حاص المكاتب أصحاب الديون ومن أصحابنا من قال: يحاص الوصايا لأنه دين ضعيف غير مقدر فسوى بينه وبين الوصايا والصحيح هو الأول لأنه دين واجب فحاص به الغرماء كسائر الديون وبالله التوفيق.
Dan pendapat kedua, tidak boleh, dan itulah yang shahih, berdasarkan ayat tersebut. Jika mukātib telah mendahului dan membayar seluruh harta kitābah, maka wajib atas tuan untuk memberikannya, karena itu adalah harta yang wajib diberikan kepada manusia, maka tidak gugur tanpa pelunasan atau penghapusan, sebagaimana utang-utang lainnya.
Jika tuan meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang, maka mukātib ikut bersaing dengan para penagih utang (ghuramā’). Sebagian ulama kami berkata: ia bersaing dengan wasiat-wasiat, karena ini termasuk utang yang lemah dan tidak ditentukan besarannya, maka disamakan dengan wasiat.
Namun yang shahih adalah pendapat pertama, karena itu adalah utang yang wajib, maka ia bersaing dengan para penagih seperti utang-utang lainnya. Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon taufik.
باب الأداء والعجز
ولا يعتق المكاتب ولا شيء منه وقد بقي عليه شيء من المال لما روى عمرو بن شعيب رضي الله عنه عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “المكاتب عبد ما بقي عليه من كتابته درهم” ولأنه علق عتقه على دفع مال فلا يعتق شيء منه مع بقاء جزء منه كما لو قال لعبده: إن دفعت لي ألفاً فأنت حر فإن كاتب رجلان عبدا بينهما ثم أعتق أحدهما نصيبه أو أبرأه مما عليه من مال الكتابة عتق نصيبه لأنه برئ من جميع ماله عليه فعتق كما لو كاتب عبداً فأبراه فإن كان المعتق موسراً فقد قال أصحابنا: يقوم عليه نصيب شريكه كما لو أعتق شركاً له في عبد وعندي أنه يجب أن يكون على قولين: أحدهما يقوم عليه
BAB PENUNAIAN DAN KETIDAKMAMPUAN
Seorang mukātib tidak merdeka, baik seluruhnya maupun sebagian, selama masih tersisa bagian dari harta kitābah yang belum dibayarkan, berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib RA dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Al-mukātib adalah budak selama masih tersisa satu dirham dari harta kitābahnya.” Karena kemerdekaannya digantungkan pada penyerahan harta, maka ia tidak merdeka sedikit pun selama masih ada bagian dari harta tersebut yang belum diserahkan, sebagaimana jika seseorang berkata kepada budaknya: “Jika engkau menyerahkan seribu kepadaku maka engkau merdeka.”
Jika dua orang lelaki mengadakan kitābah terhadap seorang budak yang mereka miliki bersama, lalu salah satu dari keduanya memerdekakan bagiannya atau membebaskannya dari tanggungan harta kitābah, maka bagian yang dimilikinya menjadi merdeka, karena ia telah terbebas dari seluruh harta yang ditanggung oleh budak tersebut kepadanya, sehingga ia pun merdeka sebagaimana jika seseorang mengadakan kitābah terhadap budaknya lalu membebaskannya dari tanggungan tersebut.
Jika orang yang memerdekakan tersebut adalah orang yang mampu (mūsir), maka para sahabat kami berkata: wajib menaksir bagian milik rekannya atasnya, sebagaimana jika ia memerdekakan bagian kepemilikannya dari seorang budak. Menurutku, seharusnya dalam hal ini ada dua pendapat: yang pertama, bagian rekannya ditaksir atasnya.
والثاني لا يقوم كما قلنا في شريكين دبرا عبداً ثم أعتق أحدهما نصيبه أنه على قولين: أحدهما يقوم والثاني لا يقوم فإذا قلنا إنه يقوم عليه ففي وقت التقويم قولان: أحدهما يقوم في الحال كما نقول فيمن أعتق شركاً له في عبد والثاني يؤخر التقويم إلى أن يعجز لأنه قد ثبت للشريك حق العتق والولاء في نصيبه فلا يجوز إبطاله عليه وإن كاتب عبده ومات وخلف اثنين فأبرأه أحدهما عن حصته عتق نصيبه لأنه أبرأه من جميع ما له عليه فإن كان الذي أبرأه موسراً فهل يقوم عليه نصيب شريكه فيه قولان: أحدهما لا يقوم لأن سبب العتق وجد من الأب ولهذا يثبت الولاء له
dan pendapat kedua: tidak ditaksir, sebagaimana telah kami katakan tentang dua orang yang bersama-sama mendiber seorang budak, lalu salah satunya memerdekakan bagian miliknya, maka terdapat dua pendapat: pertama, ditaksir; dan kedua, tidak ditaksir. Maka jika kita mengatakan bahwa bagian rekannya harus ditaksir atasnya, terdapat dua pendapat mengenai waktu penaksiran: pertama, ditaksir saat itu juga sebagaimana pendapat dalam orang yang memerdekakan bagian miliknya dari seorang budak; dan kedua, penaksiran ditunda sampai budak itu tidak mampu membayar (a‘jaza), karena telah tetap bagi rekannya hak untuk memerdekakan dan mendapatkan walā’ dari bagiannya, maka tidak boleh hak tersebut dihapus darinya.
Jika seseorang mengadakan kitābah terhadap budaknya, lalu ia wafat dan meninggalkan dua ahli waris, kemudian salah satu dari keduanya membebaskan budak itu dari bagian tanggungannya, maka bagian miliknya menjadi merdeka karena ia telah membebaskannya dari seluruh yang menjadi tanggungannya. Maka jika orang yang membebaskannya adalah orang yang mampu (mūsir), apakah bagian rekannya harus ditaksir atasnya? Maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak ditaksir, karena sebab kemerdekaan berasal dari ayah (pewaris), dan karena itu walā’ ditetapkan untuknya.
والثاني يقوم عليه وهو الصحيح لأن العتق تعجل بفعله فعلى هذا هل يتعجل التقويم والسراية فيه قولان: أحدهما يتعجل لأنه عتق يوجب السراية فتعجلت به كما لو أعتق شركاً له في عبد والثاني يؤخر إلى أن يعجز لأن حق الأب في عتقه وولائه أسبق فلم يجز إبطاله وإن كاتب رجلان عبداً بما يجوز وأذن أحدهما للآخر في تعجيل حق شريكه من المال وقلنا إنه يصح الإذن عتق نصيبه وهل يقوم عليه نصيب شريكه فيه قولان: أحدهما لايقوم لتقدم سببه الذي اشتركا فيه
dan pendapat kedua: bagian rekannya ditaksir atasnya, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena kemerdekaan itu dipercepat dengan tindakannya. Maka berdasarkan ini, apakah penaksiran dan penyebaran kemerdekaan (sirāyah) juga dipercepat? Ada dua pendapat: pertama, dipercepat, karena kemerdekaan tersebut menyebabkan sirāyah, maka ia pun dipercepat sebagaimana jika ia memerdekakan bagian miliknya dari seorang budak; dan pendapat kedua, ditunda sampai budak itu tidak mampu membayar (a‘jaza), karena hak ayah (yakni pewaris) dalam kemerdekaan dan walā’ lebih dahulu, maka tidak boleh dihapus hak tersebut.
Jika dua orang lelaki mengadakan kitābah terhadap seorang budak dengan jumlah yang dibolehkan, lalu salah satu dari keduanya memberi izin kepada yang lain untuk mempercepat pembayaran bagian milik rekannya dari harta kitābah, dan kita berpendapat bahwa izin tersebut sah, maka bagian miliknya menjadi merdeka. Apakah bagian rekannya harus ditaksir atasnya? Dalam hal ini ada dua pendapat: pertama, tidak ditaksir karena sebab kemerdekaan itu lebih dahulu dan mereka berdua sepakat atasnya.
والثاني يقوم لأنه عتق نصيبه بسبب منه ومتى يقوم فيه قولان: أحدهما يقوم في الحال لأنه تعجل عتقه والثاني يؤخر إلى أن يعجز لأنه قد ثبت لشريكه عقد يستحق به العتق والولاء فلم يجز أن يقوم عليه ذلك فعلى هذا إن أدى عتق باقيه وإن عجز قوم على المعتق وإن مات قبل الأداء والعجز مات ونصفه حر ونصفه مكاتب.
dan pendapat kedua: bagian rekannya ditaksir atasnya karena kemerdekaan bagian miliknya terjadi disebabkan oleh tindakannya. Adapun kapan penaksiran itu dilakukan, terdapat dua pendapat: pertama, ditaksir saat itu juga karena kemerdekaannya telah dipercepat; dan kedua, ditunda hingga ia tidak mampu membayar (a‘jaza), karena telah tetap bagi rekannya sebuah akad yang menjadikan ia berhak atas kemerdekaan dan walā’, maka tidak boleh hal tersebut dibatalkan atasnya.
Berdasarkan pendapat kedua ini, jika budak tersebut melunasi, maka bagian sisanya menjadi merdeka. Namun jika ia tidak mampu (a‘jaza), maka bagian rekannya ditaksir atas orang yang memerdekakan. Dan jika ia meninggal sebelum pelunasan dan sebelum ketidakmampuan, maka ia meninggal dalam keadaan separuh merdeka dan separuh mukātib.
فصل: وإن حل عليه نجم وعجز عن أداء المال جاز للمولى أن يفسخ العقد لأنه أسقط حقه بعوض فإذا تعذر العوض ووجد عين ماله جاز له أن يفسخ ويرجع إلى عين ماله كما لو باع سلعة فأفلس المشتري بالثمن ووجد البائع عين ماله وإن كان معه ما يؤذيه فامتنع من أدائه جاز له الفسخ لأنه تعذر العوض بالامتناع كتعذره بالعجز لأنه لا يمكن إجباره على أدائه وإن عجز عن بعضه أو امتنع عن أداء بعضه جاز له أن يفسخ لأنا بينا أن العتق في الكتابة لا يتبعض فكان تعذر البعض كتعذر الجميع ويجوز الفسخ من غير حاكم لأنه فسخ مجمع عليه فلم يفتقر إلى الحاكم كفسخ البيع العيب.
PASAL: Jika telah jatuh tempo satu nujūm (angsuran) atasnya dan ia tidak mampu membayar harta tersebut, maka diperbolehkan bagi mawlā untuk membatalkan akad, karena ia telah menggugurkan haknya dengan imbalan (‘iwaḍ), maka ketika imbalan tersebut tidak terpenuhi dan harta bendanya masih ada, diperbolehkan baginya untuk membatalkan dan kembali kepada harta bendanya, sebagaimana seseorang yang menjual barang lalu pembelinya bangkrut dan si penjual mendapati barangnya masih ada.
Jika budak itu memiliki harta yang cukup untuk membayar tetapi ia enggan membayarnya, maka diperbolehkan bagi mawlā untuk membatalkan, karena imbalan menjadi terhalang oleh penolakan sebagaimana terhalang karena ketidakmampuan, sebab ia tidak dapat dipaksa untuk membayar.
Jika ia tidak mampu membayar sebagian atau menolak membayar sebagian, maka diperbolehkan juga bagi mawlā untuk membatalkan, karena telah kami jelaskan bahwa kemerdekaan dalam kitābah tidak bisa dibagi-bagi, maka ketidakmampuan atas sebagian sama dengan ketidakmampuan atas keseluruhan.
Dan boleh melakukan pembatalan tanpa melalui hakim, karena ini adalah pembatalan yang disepakati (bolehnya), sehingga tidak memerlukan keputusan hakim, sebagaimana pembatalan jual beli karena cacat.
فصل: وإن حل عليه نجم ومعه متاع فاستنظر لبيع المتاع وجب إنظاره لأنه قادر على أخذ المال من غير إضرار ولا يلزمه أن ينظر أكثر من ثلاثة أيام لأن الثلاثة قليل فلا ضرر عليه في الانتظار وما زاد كثير وفي الانتظار إضرار وإن طلب الإنظار لمال غائب فإن كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة وجب إنظاره لأنه قريب لا ضرر في إنظاره وإن كان على مسافة تقصر فيها الصلاة لم يجب لأنه طويل وفي الانتظار إضرار
PASAL: Jika telah jatuh tempo pembayaran nujum atasnya, dan ia memiliki barang dagangan lalu ia meminta penangguhan waktu untuk menjual barang tersebut, maka wajib diberi penangguhan karena ia mampu memperoleh uang tanpa menimbulkan mudarat. Namun tidak wajib memberinya penangguhan lebih dari tiga hari, karena tiga hari itu sedikit sehingga tidak ada mudarat dalam menunggunya, sedangkan lebih dari itu termasuk banyak dan dalam penantian tersebut terdapat mudarat.
Jika ia meminta penangguhan karena hartanya berada di tempat lain, maka jika jaraknya tidak sampai batas yang menyebabkan shalat boleh diqashar, wajib diberi penangguhan karena tempatnya dekat dan tidak ada mudarat dalam penantian. Namun jika berada pada jarak yang menyebabkan shalat boleh diqashar, maka tidak wajib diberi penangguhan karena jaraknya jauh dan dalam penantian tersebut terdapat mudarat.
وإن طلب الإنظار لاقتضاء دين فإن كان حالاً على ملئ وجب إنظاره لأنه كالعين في يد المودع ولهذا تجب فيه الزكاة وإن كان مؤجلاً أو على معسر لم يجب الإنظار لأن عليه إضراراً في الإنظار فإن حل عليه المال وهو غائب ففيه وجهان: أحدهما له أن يفسخ لأنه تعذر المال فجاز له الفسخ والثاني ليس له أن يفسخ بل يرجع إلى الحاكم ليكتب إلى حاكم البلد الذي فيه المكاتب ليطالبه فإن عجز أو امتنع فسخ لأنه لا يتعذر الأداء إلا بذلك فلا يفسخ قبله
Dan jika ia meminta penangguhan untuk menagih utang, maka jika utang tersebut telah jatuh tempo dan berada pada orang yang mampu membayar, wajib diberi penangguhan karena hukumnya seperti harta yang berada di tangan orang yang dititipi, dan karena itu wajib dikeluarkan zakatnya. Namun jika utangnya masih belum jatuh tempo atau berada pada orang yang tidak mampu membayar, maka tidak wajib diberi penangguhan karena dalam penangguhan itu terdapat mudarat bagi pihak tuan.
Jika telah jatuh tempo pembayaran atasnya sedangkan ia sedang berada di tempat yang jauh, maka terdapat dua pendapat: pertama, pihak tuan boleh membatalkan akad karena harta menjadi sulit diperoleh sehingga dibolehkan baginya untuk membatalkannya. Kedua, tidak boleh membatalkannya secara langsung, melainkan harus mengadukan kepada hakim agar hakim mengirimkan surat kepada hakim di negeri tempat si mukātib berada agar menagihnya. Jika ia tidak mampu membayar atau menolak, maka akad dibatalkan, karena pembayaran tidak menjadi mustahil kecuali setelah itu, maka tidak boleh dibatalkan sebelumnya.
وإن حل عليه النجم وهو مجنون فإن كان معه ما يسلم إلى المولى عتق لأنه قبض ما يستحقه فبرئت به ذمته وإن لم يكن معه شيء فعجزه المولى وفسخ ثم ظهر له مال نقض الحكم بالفسخ لأنا حكمنا بالعجز في الظاهر وقد بان خلافه فنقض كما لو حكم الحاكم ثم وجد النص بخلافه وإن كان قد أنفق عليه الفسخ رجع بما أنفق لأنه لم يتبرع بل أنفق على أنه عبده فإن أفاق بعد الفسخ وأقام البينة أنه كان قد أدى المال نقض الحكم بالفسخ ولا يرجع المولى بما أنفق عليه بعد الفسخ لأنه تبرع لأنه أنفق وهو يعلم أنه حر وإن حل النجم فأحضر المال وادعى السيد أنه حرام ولم تكن له بينة فالقول قول المكاتب مع يمينه لأنه في يده والظاهر أنه له فإن حلف خير المولى بين أن يأخذه وبين أن يبرئه منه فإن لم يفعل قبض عنه السلطان لأنه حق يدخله النيابة فإذا امتنع منه قام السلطان مقامه.
Dan jika telah jatuh tempo nujum atasnya sedangkan ia dalam keadaan gila, maka jika ia memiliki sesuatu yang dapat diserahkan kepada tuannya, maka ia merdeka, karena tuan telah menerima apa yang menjadi haknya, dan dengan itu bebaslah tanggungannya. Namun jika tidak memiliki sesuatu pun, lalu tuannya menyatakan ia tidak mampu dan membatalkan akad, kemudian diketahui bahwa ternyata ia memiliki harta, maka keputusan pembatalan dibatalkan, karena ketidakmampuan itu diputuskan berdasarkan lahirnya, dan telah tampak kebalikannya, maka keputusan tersebut dibatalkan sebagaimana jika seorang hakim memutuskan perkara lalu ditemukan nash yang bertentangan dengannya.
Jika tuan telah mengeluarkan nafkah kepadanya setelah pembatalan, maka ia berhak menuntut ganti dari apa yang telah ia nafkahkan, karena ia tidak menafkahi secara sukarela, tetapi ia menafkahi dengan anggapan bahwa ia masih hambanya. Namun jika si mukātib sadar kembali setelah pembatalan, dan menghadirkan bukti bahwa ia telah membayar hartanya sebelum pembatalan, maka keputusan pembatalan dibatalkan, dan tuan tidak berhak menuntut ganti atas apa yang ia nafkahkan setelah pembatalan, karena ia menafkahi dalam keadaan mengetahui bahwa mukātib itu telah merdeka, maka ia dianggap telah menafkahi secara sukarela.
Jika nujum telah jatuh tempo dan mukātib menghadirkan uangnya, lalu tuannya mengklaim bahwa harta tersebut adalah harta haram dan ia tidak memiliki bukti, maka pernyataan mukātib diterima disertai sumpahnya, karena uang itu ada di tangannya dan pada lahirnya uang tersebut adalah miliknya. Jika ia bersumpah, maka tuan diberi pilihan antara mengambilnya atau memaafkannya. Jika ia tidak melakukannya, maka penguasa akan mengambilnya darinya, karena ini adalah hak yang dapat diwakilkan, maka ketika tuan menolak, penguasa dapat menggantikannya.
فصل: وإن قبض المال وعتق ثم وجد به عيباً فله أن يرد ويطالب بالبدل فإن رضي به استقر العتق لأنه برئت ذمة العبد وإن رده ارتفع العتق لأنه يستقر باستقرار الأداء وقد ارتفع الأداء بالرد فارتفع العتق وإن وجد به العيب وقد حدث به عنده عيب ثبت له الأرش فإن دفع الأرش استقر العتق وإن لم يدفع ارتفع العتق لأنه لم يتم براءة الذمة من المال وإن كاتبه على خدمة شهر ودينار ثم مرض بطلت الكتابة في قدر الخدمة وفي الباقي طريقان أحدهما أنه على قولين والثاني أنه لا يبطل قولاً واحداً بناء على الطريقين فيمن ابتاع عينين ثم تلفت إحداهما قبل القبض.
فصل: فإن أدى المال وعتق ثم خرج المال مستحقاً بطل الحكم بعتقه لأن العتق يقع بالأداء وقد بان أنه لم يؤد وإن كان الاستحقاق بعد موت المكاتب كان ما ترك للمولى دون الورثة لأنا قد حكمنا بأنه مات رقيقاً.
PASAL: Jika ia telah menerima uang dan merdeka, lalu ditemukan ada cacat pada uang itu, maka ia berhak mengembalikannya dan menuntut penggantinya. Jika ia rela dengan uang tersebut, maka kemerdekaannya tetap karena tanggungan budak telah bebas. Jika ia mengembalikannya, maka kemerdekaannya batal karena kemerdekaan menjadi tetap dengan tetapnya pembayaran, dan pembayaran telah batal karena pengembalian, maka kemerdekaan pun batal.
Jika ia menemukan cacat, dan pada budak tersebut juga terjadi cacat setelahnya, maka ia berhak atas arasy. Jika ia membayar arasy, maka kemerdekaan tetap. Jika ia tidak membayarnya, maka kemerdekaan batal karena belum terjadi kebebasan dari tanggungan harta.
Jika ia menulis akad kitābah atas pelayanan selama sebulan dan satu dinar, lalu ia sakit, maka kitābah batal pada bagian pelayanan, dan pada sisanya terdapat dua pendapat: pertama, bahwa kasus ini memiliki dua pendapat; dan kedua, bahwa tidak batal menurut satu pendapat saja, berdasarkan dua pendekatan dalam kasus seseorang membeli dua barang lalu salah satunya rusak sebelum diterima.
PASAL: Jika ia telah membayar harta dan merdeka, lalu ternyata harta tersebut adalah milik orang lain, maka hukum kemerdekaannya batal karena kemerdekaan terjadi melalui pembayaran, dan telah jelas bahwa ia belum membayar. Jika terbukti harta itu milik orang lain setelah si mukātib wafat, maka harta peninggalannya kembali kepada tuan, bukan kepada ahli waris, karena telah diputuskan bahwa ia wafat dalam keadaan sebagai budak.
فصل: فإن باع المولى ما في ذمة المكاتب وقلنا إنه لا يصح فقبضه المشتري فقد قال في موضع يعتق وقال في موضع لا يعتق واختلف أصحابنا فيه فقال أبو العباس فيه قولان: أحدهما يعتق لأنه قبضه بإذنه فأشبه إذا دفعه إلى وكيله والثاني وهو الصحيح أنه لا يعتق لأنه لم يقبضه للمولى وإنما قبضه لنفسه ولم يصح قبضه لنفسه لأنه لم يستحقه فصار كما لو لم يؤخذ وقال أبو إسحاق: هي على اختلاف حالين فالذي قال يعتق إذا أمره المكاتب بالدفع إليه لأنه قبضه بإذنه والذي قال لا يعتق إذا لم يأمره بالدفع إليه لأنه لم يأخذه بإذنه وإنما أخذه بما تضمنه البيع من الإذن والبيع باطل فبطل ما تضمنه.
PASAL: Jika tuan menjual harta yang berada dalam tanggungan mukātib, lalu kita berpendapat bahwa penjualan tersebut tidak sah, kemudian pembeli mengambil harta tersebut, maka Imam asy-Syāfi‘ī berkata dalam satu tempat bahwa si mukātib merdeka, dan di tempat lain bahwa ia tidak merdeka. Para sahabat kami berbeda pendapat tentang hal ini.
Abū al-‘Abbās berkata bahwa ada dua pendapat: pertama, mukātib merdeka karena harta tersebut diambil dengan izinnya, maka hukumnya seperti jika ia menyerahkannya kepada wakilnya. Pendapat kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ, bahwa ia tidak merdeka karena harta tersebut tidak diambil untuk tuan, tetapi untuk diri pembeli sendiri, dan pengambilan itu tidak sah bagi dirinya karena ia belum berhak atas harta itu, sehingga hukumnya seperti tidak diambil sama sekali.
Abū Isḥāq berkata: perbedaan itu tergantung pada dua keadaan. Pendapat yang mengatakan ia merdeka adalah jika mukātib memerintahkan untuk menyerahkan harta tersebut kepada pembeli, karena itu berarti diambil dengan izinnya. Sedangkan pendapat yang mengatakan ia tidak merdeka adalah jika mukātib tidak memerintahkan penyerahan itu, karena harta tersebut diambil bukan dengan izinnya, melainkan hanya berdasarkan apa yang terkandung dalam akad jual beli, sedangkan akad jual beli tersebut batal, maka batal pula apa yang terkandung di dalamnya.
فصل: إذا اجتمع على المكاتب دين الكتابة ودين المعاملة وأرش الجناية وضاق ما في يده عن الجميع قدم دين المعاملة لأنه يختص بما في يده والسيد والمجني عليه يرجعان إلى الرقبة فإن فضل عن الدين شيء قدم حق المجني عليه لأن حقه يقدم على حق المالك في العبد القن فكذلك في المكاتب وإن لم يكن له شيء فأراد صاحب الدين تعجيزه لم يكن له ذلك لأن حقه في الذمة فلا فائدة في تعجيزه بل تركه على الكتابة أنفع له لأنه ربما كسب ما يعطيه وإذا عجزه بقي حقه في الذمة إلى أن يعتق فإن أراد المولى أو المجني عليه تعجيزه كان له ذلك لأن المولى يرجع بالتعجيز إلى رقبته والمجني عليه ببيعه في الجناية
PASAL: Jika berkumpul atas mukātib (hamba yang sedang dalam perjanjian kitābah) utang kitābah, utang transaksi (muʿāmalah), dan ganti rugi karena tindak pidana (arasy al-jināyah), lalu harta yang ada padanya tidak mencukupi semuanya, maka didahulukan utang muʿāmalah karena utang itu khusus pada harta yang ada di tangannya, sedangkan tuan dan korban tindak pidana kembali kepada kepemilikan terhadap tubuh budak.
Jika setelah membayar utang masih ada sisa, maka hak korban tindak pidana didahulukan karena haknya lebih didahulukan daripada hak pemilik terhadap budak qin (budak murni), maka begitu pula terhadap mukātib.
Jika dia tidak memiliki apa-apa, lalu pemilik utang ingin menyatakannya tidak mampu (taʿjīz), maka tidak diperkenankan baginya karena haknya berada di dalam tanggungan (żimmah), sehingga tidak ada faidah dalam menyatakannya tidak mampu. Bahkan membiarkannya dalam status kitābah lebih bermanfaat baginya, karena barangkali dia memperoleh penghasilan untuk membayarnya. Jika ia dinyatakan tidak mampu, maka haknya tetap berada dalam tanggungan hingga dia merdeka.
Namun jika tuan atau korban tindak pidana ingin menyatakannya tidak mampu, maka diperkenankan, karena tuan dengan menyatakannya tidak mampu dapat kembali kepada kepemilikan atas tubuhnya, dan korban tindak pidana berhak menjualnya karena tindak pidana.
فإن عجزه المولى انفسخت الكتابة وسقط دينه وهو بالخيار بين أن يسلمه للبيع في الجناية وبين أن يفديه فإن عجزه المجني عليه نظرت فإن كان الأرش يحيط بالثمن بيع وقضى حقه وإن كان دون الثمن بيع منه ما يقضي منه الأرش وبقي الباقي على الكتابة وإن أدى كتابة باقيه عتق وهل يقوم الباقي عليه إن كان موسراً فيه وجهان: أحدهما لا يقوم لأنه وجد سبب العتق قبل التبعيض والثاني يقوم عليه لأن اختياره للإنظار كابتداء العتق.
Jika tuan menyatakannya tidak mampu (ʿajazahu al-mawlā), maka kitābah menjadi batal dan utangnya gugur. Tuan memiliki pilihan antara menyerahkannya untuk dijual guna membayar ganti rugi tindak pidana, atau menebusnya (fidyah).
Jika yang menyatakannya tidak mampu adalah korban tindak pidana (al-mujnā ʿalayh), maka dilihat keadaannya: jika arasy (ganti rugi) mencakup seluruh harga budak, maka budak dijual dan haknya dilunasi. Namun jika arasy kurang dari harga budak, maka dijual darinya bagian yang mencukupi untuk membayar arasy, dan sisanya tetap dalam status kitābah.
Jika ia membayar sisa kitābah-nya, maka ia merdeka. Apakah bagian yang tersisa (yang belum merdeka) wajib ditebus darinya jika ia seorang yang mampu? Dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, tidak wajib ditebus, karena sebab kemerdekaan telah ada sebelum terjadi tabyiḍ (pembagian kemerdekaan).
Kedua, wajib ditebus, karena pilihannya untuk menunggu (al-inżār) seperti permulaan kitābah baru.
باب الكتابة الفاسدة
إذا كاتب على عوض محرم أو شرط باطل فللسيد أن يرجع فيها لأنه دخل على أن يسلم له ما شرط ولم يسلم فثبت له الرجوع وله أن يفسخ بنفسه لأنه مجمع عليه وإن مات المولى أو جن أو حجر عليه بطل العقد لأنه غير لازم من جهته فبطل بهذه الأشياء كالعقود الجائزة فإن مات العبد بطل لأنه لا يلحقه العتق بعد الموت وإن جن لا تبطل لأنه لازم من جهة العبد فلم تبطل بجنونه كالعتق المعلق على دخول الدار.
BAB KITĀBAH YANG FASAD
Apabila seseorang meng-katabah budaknya dengan imbalan yang haram atau syarat yang batal, maka tuan berhak untuk menarik kembali akad itu, karena ia masuk ke dalam akad dengan syarat akan menerima apa yang disyaratkan, namun ternyata tidak terpenuhi, maka ia berhak untuk menarik kembali. Ia juga boleh membatalkan akad itu sendiri karena hal ini merupakan kesepakatan.
Apabila tuan meninggal dunia, atau menjadi gila, atau dikenai status tidak cakap hukum, maka akad menjadi batal karena akad itu tidak lazim dari pihak tuan, maka batal dengan sebab-sebab ini sebagaimana akad-akad yang tidak lazim lainnya.
Namun jika budak yang meninggal dunia, maka batal pula akadnya karena kemerdekaan tidak berlaku setelah kematian. Tapi jika budak menjadi gila, maka akad tidak batal karena akad itu lazim dari pihak budak, sehingga tidak batal dengan sebab kegilaannya, sebagaimana ‘itq yang digantungkan pada masuknya seseorang ke dalam rumah.
فصل: وإن أدى ما كاتبه عليه قبل الفسخ عتق لأن الكتابة تشتمل على معاوضة وهو قول كاتبتك على كذا وعلى صفة وهو قوله فإذا أديت فأنت حر فإذا بطلت المعاوضة بقيت الصفة فعتق بها وإن أداه إلى غير من كاتبه لم يعتق لأنه لم توجد الصفة فإذا عتق تبعه ما فضل في يده من الكسب وإن كانت جارية تبعها الولد لأنه جعل كالكتابة الصحيحة في العتق فكانت كالصحيحة في الكسب والولد.
PASAL: Jika mukātib telah membayar apa yang menjadi kewajiban kitābah-nya sebelum terjadinya pembatalan (fasakh), maka ia merdeka. Sebab kitābah mencakup akad tukar-menukar (muʿāwaḍah)—yaitu ucapan: “Aku menuliskanmu untuk sekian”—dan juga mencakup syarat—yaitu ucapan: “Jika kamu telah melunasinya, maka kamu merdeka.” Maka apabila akad tukar-menukar batal, tetaplah syarat itu, sehingga ia merdeka karena syarat tersebut.
Namun jika ia membayarkannya kepada selain orang yang menuliskannya, maka ia tidak merdeka karena syarat tidak terpenuhi.
Apabila ia telah merdeka, maka harta hasil usaha yang tersisa di tangannya ikut menjadi miliknya. Dan jika ia seorang budak perempuan, maka anaknya ikut merdeka bersamanya. Karena ia telah disamakan dengan kitābah yang sah dalam hal kemerdekaan, maka ia pun disamakan dengannya dalam hal kepemilikan hasil usaha dan anak.
فصل: ويرجع السيد عليه بقيمته لأنه أزال ملكه عنه بشرط ولم يسلم له الشرط وتعذر الرجوع إليه فرجع ببدله كما لو باع سلعة بشرط فاسد فتلفت في يد المشتري ويرجع العبد على المولى بما أداه إليه لأنه دفعه عما عليه فإذا لم يقع عما عليه ثبت له الرجوع فإن كان ما دفع من جنس القيمة وعلى صفتها كالأثمان وغيرها من ذوات الأمثال ففيه أربعة أقوال: أحدها أنهما يتقاصان فسقط أحدهما بالآخر لأنه لا فائدة في أخذه ورده
PASAL
Tuan berhak menuntut nilai budak darinya, karena ia telah menghilangkan kepemilikannya atas budak itu dengan suatu syarat, namun syarat tersebut tidak terpenuhi, dan tidak mungkin untuk kembali kepadanya, maka kembali kepada gantinya, sebagaimana seseorang menjual barang dengan syarat yang fasad lalu barang itu rusak di tangan pembeli.
Budak juga berhak menuntut kembali kepada tuannya atas apa yang telah ia bayarkan, karena ia telah membayarkannya sebagai pelunasan kewajiban yang ada padanya. Maka ketika ternyata tidak dihitung sebagai pelunasan, tetaplah haknya untuk meminta kembali.
Apabila yang dibayarkan sejenis dengan nilai harga budak dan sesuai sifatnya, seperti alat tukar dan selainnya dari benda-benda yang memiliki padanan (dzawāt al-amtsāl), maka terdapat empat pendapat:
Pendapat pertama: keduanya saling menghapuskan (dikompensasikan), maka gugurlah salah satunya dengan yang lain, karena tidak ada faedah dalam mengambil dan mengembalikannya.
والثاني أنه إذا رضي أحدهما تقاصا وإن لم يرض واحد منهما لم يتقاصا لأنه إذا رضي أحدهما فقد اختار الراضي منهما قضاء ما عليه بالذي له على الآخر ومن عليه حق يجوز أن يقضيه من أي جهة شاء والثالث أنهما إذا تراضيا تقاصا وإن لم يتراضيا لم يتقاصا لأنه إسقاط حق بحق فلم يجز إلا بالتراضي كالحوالة والرابع أنهما لا يتقاصان بحال لأنه بيع دين بدين وإن أخذ من سهم الرقاب في الزكاة فإن لم يكن فيه وفاء استرجع منه وإن كان فيه وفاء فقد قال في الأم: يسترجع ولا يعتق لأنه بالفساد خرج عن أن يكون من الرقاب ومن أصحابنا من قال: لا يسترجع لأنه كالكتابة الصحيحة في العتق والكسب.
Pendapat kedua: apabila salah satu dari keduanya rela, maka keduanya dikompensasikan; dan jika tidak ada yang rela, maka tidak dikompensasikan. Karena apabila salah satu rela, berarti pihak yang rela telah memilih untuk membayar kewajibannya dengan hak yang ia miliki atas pihak lain. Dan seseorang yang memiliki kewajiban boleh membayarnya dari jalan mana pun yang ia kehendaki.
Pendapat ketiga: apabila keduanya saling merelakan, maka boleh dikompensasikan; dan jika tidak saling merelakan, maka tidak boleh, karena ini termasuk menggugurkan hak dengan hak, dan hal itu tidak diperbolehkan kecuali dengan kerelaan kedua belah pihak, seperti dalam akad ḥawālah (pengalihan utang).
Pendapat keempat: tidak boleh ada kompensasi dalam kondisi apa pun, karena hal itu termasuk bai‘ al-dayn bi al-dayn (jual beli utang dengan utang).
Apabila pembayaran berasal dari bagian riqāb dalam zakat, maka:
- Jika tidak mencukupi, maka diambil kembali dari budak.
- Jika mencukupi, maka Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: harus diambil kembali dan budak itu tidak menjadi merdeka, karena dengan adanya kerusakan (fasad) akad tersebut keluar dari kategori min al-riqāb (golongan yang berhak menerima zakat untuk dimerdekakan).
Dan sebagian dari para sahabat kami berkata: tidak perlu diambil kembali karena statusnya seperti kitābah yang sah dalam hal kemerdekaan dan penghasilan.
فصل: فإن كاتب عبداً صغيراً أو مجنوناً فأدى ما كاتبه عليه عتق بوجود الصفة وهل يكون حكمها حكم الكتابة الفاسدة مع البالغ في ملك ما فضل في يده من الكسب وفي التراجع؟ فيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه لا يملك ما فضل في يده من الكسب ولا يثبت التراجع وهو رواية المزني في المجنون لأن العقد مع الصبي ليس بعقد ولهذا لو ابتاع شيئاً وقبضه وتلف في يده لم يلزمه الضمان بخلاف البالغ فإن عقده عقد يقتضي الضمان ولهذا لو اشترى شيئاً ببيع فاسد وتلف عنده لزمه الضمان والثاني وهو قول أبي العباس أنه يملك ما فضل من الكسب ويثبت بينهما التراجع وهو رواية الربيع في المجنون لأنه كتابة فاسدة فأشبهت كتابة البالغ بشرط فاسد.
PASAL: Jika seseorang melakukan kitābah terhadap seorang budak yang masih kecil atau orang gila, lalu budak tersebut menunaikan pembayaran kitābah-nya, maka ia merdeka karena adanya sifat (syarat) yang terpenuhi. Adapun apakah hukumnya sama dengan kitābah yang fasad pada orang yang baligh dalam hal kepemilikan terhadap sisa harta hasil usaha di tangannya dan dalam hal saling mengembalikan (antara budak dan tuannya), terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yaitu pendapat Abū Isḥāq, bahwa ia tidak memiliki sisa harta dari hasil usahanya dan tidak berlaku hukum saling mengembalikan. Ini adalah riwayat dari al-Muzanī dalam kasus orang gila, karena akad dengan anak kecil bukanlah akad yang sah. Oleh karena itu, jika ia membeli sesuatu lalu menerimanya dan barang itu rusak di tangannya, maka ia tidak wajib menggantinya. Berbeda halnya dengan orang baligh, karena akadnya adalah akad yang menimbulkan kewajiban jaminan. Oleh sebab itu, jika ia membeli sesuatu dengan jual beli fasad dan barang itu rusak di tangannya, maka ia wajib menggantinya.
Pendapat kedua, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa ia memiliki sisa harta dari hasil usahanya dan berlaku hukum saling mengembalikan antara keduanya. Ini adalah riwayat dari al-Rabī‘ dalam kasus orang gila, karena kitābah-nya tergolong kitābah yang fasad, maka menyerupai kitābah orang baligh dengan syarat yang fasad.
فصل: وإن كاتب بعض عبده وقلنا إنه لا يصح فلم يفسخ حتى أدى المال عتق لوجود الصفة وتراجعا وسرى العتق إلى باقيه لأنه عتق بسبب منه فإن كاتب شريكاً في عبد من غير إذن شريكه نظرت فإن جمع كسبه ودفع نصفه إلى الشريك ونصفه للذي كاتب عتق لوجود الصفة فإن جمع الكسب كله وأداه ففيه وجهان: أحدهما لا يعتق لأن الأداء يقتضي أداء ما يملك التصرف فيه وما أداه من مال الشريك لا يملك التصرف فيه والثاني يعتق لأن الصفة قد وجدت فإن كاتبه بإذن شريكه فإن قلنا إنه باطل فالحكم فيه كالحكم فيه إذا كاتبه بغير إذنه
PASAL: Jika seseorang meng-kātib sebagian dari hambanya, lalu kita katakan bahwa itu tidak sah, namun tidak dibatalkan hingga ia membayar hartanya, maka ia merdeka karena adanya ṣifah, dan mereka berdua saling mengembalikan (tajāra‘a), serta kemerdekaan itu menyebar ke sisanya karena ia merdeka dengan sebab darinya.
Jika ia meng-kātib sekutunya dalam kepemilikan seorang hamba tanpa izin sekutunya, maka ditinjau: jika ia mengumpulkan hasil usaha dan memberikan setengahnya kepada sekutunya dan setengahnya kepada pihak yang meng-kātib, maka ia merdeka karena adanya ṣifah.
Jika ia mengumpulkan seluruh hasil usaha dan menyerahkannya, maka ada dua wajah: pertama, tidak merdeka karena penyerahan itu mensyaratkan kepemilikan terhadap apa yang boleh ia kelola, sementara yang ia serahkan dari harta sekutunya bukanlah hak yang boleh ia kelola; dan kedua, ia merdeka karena ṣifah telah terwujud.
Jika ia meng-kātib dengan izin sekutunya, maka jika kita katakan itu batal, maka hukumnya seperti hukum jika ia meng-kātib tanpa izinnya.
وإن قلنا إنه صحيح ودفع نصف الكسب إلى الشريك ونصفه إلى الذي كاتبه عتق فإن جمع الكسب كله ودفعه إلى الذي كاتبه قد قال بعض أصحابنا فيه وجهان كالقسم قبله والمذهب أنه لا يعتق لأن الكتابة صحيحة والمغلب فيها حكم المعارضة فإذا دفع فيها مالاً يملكه صار كما لو لم يؤد بخلاف القسم قبله فإنها كتابة فاسدة والمغلب فيها الصفة وإذا حكمنا بالعتق في هذه المسائل في نصيبه فإن كان المعتق موسراً سرى إلى نصيب الشريك وقوم عليه لأنه عتق بسبب منه ولا يلزم العبد ضمان السراية لأنه لم يلتزم ضمان ما سرى إليه.
Dan jika kita katakan bahwa akad itu sah, lalu ia menyerahkan setengah hasil usaha kepada sekutunya dan setengahnya kepada orang yang meng-kātibnya, maka ia merdeka. Namun jika ia mengumpulkan seluruh hasil usaha dan memberikannya kepada orang yang meng-kātibnya, sebagian ulama kami mengatakan bahwa dalam hal ini ada dua wajah, seperti pada pembagian sebelumnya. Tetapi madzhab yang benar adalah bahwa ia tidak merdeka, karena kitābah-nya sah, dan yang dominan dalam akad tersebut adalah hukum mu‘āwaḍah. Maka jika ia menyerahkan harta yang bukan miliknya dalam akad ini, hukumnya seperti tidak menyerahkan apa pun. Berbeda dengan pembagian sebelumnya, karena itu adalah kitābah fāsidah dan yang dominan padanya adalah ṣifah.
Jika kita menetapkan kemerdekaan dalam kasus-kasus ini pada bagian miliknya, maka jika yang memerdekakan adalah orang yang mampu (mampu membayar), maka kemerdekaan menyebar ke bagian milik sekutunya, dan dinilai (ditebus) darinya karena kemerdekaan itu terjadi disebabkan olehnya. Dan tidak wajib atas hamba untuk menanggung jaminan atas kemerdekaan yang menyebar, karena ia tidak berkewajiban menanggung apa yang tersebar darinya.
فصل: وإن كاتب عبيداً على مال واحد وقلنا إن الكتابة صحيحة فأدى بعضهم عتق لأنه بريء مما عليه وإن قلنا إن الكتابة فاسدة فأدى بعضهم فالمنصوص أنه يعتق لأن الكتابة الفاسدة محمولة على الكتابة الصحيحة في الأحكام فكذلك في العتق بالأداء ومن أصحابنا من قال لا يعتق وهو الأظهر لأن العتق في الكتابة الفاسدة بالصفة وذلك لم يوجد بأداء بعضهم.
PASAL: Jika seseorang meng-kātib beberapa budak atas satu harta dan kita katakan bahwa kitābah-nya sah, lalu sebagian dari mereka menunaikan pembayaran, maka ia merdeka karena telah bebas dari kewajiban yang ada padanya.
Namun jika kita katakan bahwa kitābah itu fāsidah, lalu sebagian dari mereka menunaikan pembayaran, maka menurut nash ia merdeka karena kitābah fāsidah diserupakan dengan kitābah ṣaḥīḥah dalam hukum-hukumnya, maka demikian pula dalam hal kemerdekaan karena pembayaran.
Sebagian ulama kami mengatakan: ia tidak merdeka, dan itu yang lebih ẓāhir, karena kemerdekaan dalam kitābah fāsidah tergantung pada ṣifah, dan hal itu tidak terwujud dengan pembayaran sebagian dari mereka.
باب اختلاف المولى والمكاتب
إذا اختلفا فقال السيد كاتبتك وأنا مغلوب على عقلي أو محجور علي فأنكر العبد فإن كان قد عرف له جنون أو حجر فالقول قوله مع يمينه لأن الأصل بقاؤه على الجنون أو الحجر وإن لم يعرف له ذلك فالقول قول العبد لأن الظاهر عدم الجنون والحجر وإن اختلفا في قدر المال أو في نجومه تحالفا قياساً على المتبايعين إذا اختلفا في قدر الثمن أو في الأجل فإن كان ذلك قبل العتق فهل تنفسخ بنفس التحالف أو يفتقر إلى الفسخ فيه وجهان كما ذكرناه في المتبايعين وإن كان التحالف بعد العتق لم يرتفع العتق ويرجع المولى بقيمته ويرجع المكاتب بالفضل كما نقول في البيع الفاسد.
BAB PERSELISIHAN ANTARA TUAN DAN MUKĀTAB
Jika keduanya berselisih, lalu tuan berkata: “Aku telah memukātibmu, tetapi aku sedang hilang akal atau sedang dalam kondisi yang dibatasi hak (mahjūr ‘alayya),” sedangkan budak mengingkarinya, maka jika telah dikenal bahwa tuan tersebut pernah mengalami kegilaan atau berada dalam status mahjūr, maka perkataan diterima darinya dengan sumpahnya, karena hukum asalnya adalah tetapnya kegilaan atau ḥajr tersebut.
Namun jika tidak dikenal adanya kegilaan atau ḥajr pada dirinya, maka perkataan diterima dari budak, karena yang tampak adalah ketiadaan kegilaan dan ḥajr.
Dan jika keduanya berselisih dalam jumlah harta atau dalam tenggat waktu pembayarannya (nujūm), maka keduanya saling bersumpah, sebagai qiyās terhadap dua orang yang saling berjual beli ketika berselisih dalam jumlah harga atau tempo pembayaran.
Jika perselisihan itu terjadi sebelum kemerdekaan, maka apakah akad kitābah langsung batal hanya karena sumpah keduanya, ataukah masih memerlukan tindakan pembatalan? Dalam hal ini terdapat dua wajah, sebagaimana telah disebutkan dalam kasus perselisihan jual beli.
Namun jika saling bersumpah itu terjadi setelah budak menjadi merdeka, maka kemerdekaannya tidak gugur, dan tuan berhak menuntut nilai harganya, dan budak berhak menuntut kelebihan (yang telah dibayarkan), sebagaimana yang kami katakan dalam jual beli yang fāsid.
فصل: وإن وضع شيئاً عنه من مال الكتابة ثم اختلفا فقال السيد وضعت النجم الأخير وقال المكاتب بل الأول فالقول قول السيد وإن كتبه على ألف درهم فوضع عنه خمسين درهماً لم يصح لأنه أبرأه مما لا يملكه فإن قال أردت ألف درهم بقيمة خمسين ديناراً صح وإن اختلفا فيما عني فادعى المكاتب أنه عني ألف درهم بقيمة خمسين ديناراً وأنكر السيد ذلك فالقول قول السيد لأن الظاهر معه ولأنه أعرف بما عني وإن أدى المكاتب ما عليه فقال له المولى: أنت حر وخرج المال مستحقاً فادعى العبدان عتقه بقوله أنت حر وقال المولى أردت أنك حر بما أديت وقد بان أنه مستحق فالقول قول السيد لأنه يحتمل الوجهين وهو أعرف بقصده وإن قال السيد استوفيت أو قال العبد أليس أوفيتك فقال بلى فادعى المكاتب أنه وفاه الجميع وقال المولى بلى وفاني البعض فالقول قول السيد لأن الاستيفاء لا يقتضي الجميع.
PASAL: Jika merenankan sebagian dari harta kitābah, lalu keduanya berselisih—tuan berkata, “Aku merelakan nujūm terakhir,” dan mukātib berkata, “Bahkan yang pertama”—maka perkataan tuan yang diterima.
Jika tuan menuliskannya (yakni: perjanjian kitābah) dengan seribu dirham lalu ia merelakan lima puluh dirham darinya, maka tidak sah, karena ia telah membebaskannya dari sesuatu yang bukan miliknya. Namun, jika ia berkata, “Aku maksudkan seribu dirham senilai lima puluh dinar,” maka sah.
Jika keduanya berselisih tentang maksud itu—mukātib mengklaim bahwa ia maksudkan seribu dirham senilai lima puluh dinar, dan tuan mengingkari hal itu—maka perkataan tuan yang diterima, karena ẓāhir mendukungnya dan ia lebih mengetahui apa yang ia maksud.
Jika mukātib telah membayar apa yang menjadi tanggungannya, lalu tuan berkata kepadanya, “Engkau merdeka,” kemudian ternyata harta yang dibayarkan adalah milik orang lain (mustaḥaq), lalu hamba mengklaim bahwa ia merdeka karena ucapan “engkau merdeka,” dan tuan berkata, “Aku maksudkan engkau merdeka karena apa yang engkau bayarkan, dan ternyata itu milik orang lain,” maka perkataan tuan yang diterima karena kemungkinan kedua makna ada dan ia lebih mengetahui niatnya.
Jika tuan berkata, “Aku telah menerima (pembayaran),” atau hamba berkata, “Bukankah aku telah membayar kepadamu?” lalu tuan menjawab, “Ya,” kemudian mukātib mengklaim bahwa ia telah membayar seluruhnya, sedangkan tuan berkata, “Benar, tapi hanya sebagian,” maka perkataan tuan yang diterima, karena pengakuan telah menerima (istīfāʼ) tidak menunjukkan keseluruhan.
فصل: وإن كان المكاتب جارية وأتت بولدها فاختلفا في ولدها وقلنا إن الولد يتبعها فقالت الجارية ولدته بعد الكتابة فهو موقوف معي وقال المولى بل ولدته قبل الكتابة فهو لي فالقول قول السيد لأن هذا اختلاف في وقت العقد والسيد يقول العقد بعد الولادة والمكاتبة تقول قبل الولادة والأصل عند العقد وإن كاتب عبداً ثم زوجه أمة له ثم اشترى المكاتب زوجته وأتت بولد فقال السيد: أتت به قبل الشراء فهو لي وقال العبد: بل أتت به بعدما اشتريتها فهو لي فالقول قول العبد لأن هذا الاختلاف في الملك والظاهر مع العبد لأنه في يده بخلاف المسألة قبلها فإن هناك لم يختلفا في الملك وإنما اختلفا في وقت العقد.
PASAL: Jika mukātab adalah seorang jariah lalu ia melahirkan anaknya, kemudian mereka berselisih tentang anak tersebut, dan kita katakan bahwa anak mengikuti ibunya, maka jika jariah berkata, “Aku melahirkannya setelah kitābah, maka ia bersamaku secara status tertahan,” dan tuannya berkata, “Bahkan ia dilahirkan sebelum kitābah, maka ia milikku,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat tuan, karena ini adalah perselisihan tentang waktu akad, di mana tuan berkata akad terjadi setelah kelahiran, sementara jariah berkata sebelum kelahiran, dan hukum asalnya mengikuti waktu akad.
Dan jika seseorang meng-kitābah seorang budak laki-laki, kemudian menikahkannya dengan seorang jariah miliknya, lalu ia membeli istri mukātab tersebut, kemudian jariah itu melahirkan anak, maka jika tuan berkata, “Ia melahirkannya sebelum pembelian, maka anak itu milikku,” dan budak berkata, “Bahkan ia melahirkannya setelah aku membelinya, maka ia milikku,” maka pendapat yang diterima adalah pendapat budak, karena ini adalah perselisihan tentang kepemilikan, dan yang tampak berpihak kepada budak karena anak itu berada dalam genggamannya, berbeda dengan masalah sebelumnya, karena di sana mereka tidak berselisih tentang kepemilikan, tetapi tentang waktu akad.
فصل: وإن كاتب عبدين فأقر أنه استوفى ما على أحدهما أو أبرأ أحدهما واختلف العبدان فادعى كل واحد منهما أنه هو الذي استوفى منه وأبرأه رجع إلى المولى فإن أخبر أنه أحدهما قبل منه لأنه أعرف بمن استوفى منه أو أبرأه فإن طلب الآخر يمينه حلف له وإن ادعى المولى أنه أشكل عليه لم يقرع بينهما لأنه قد يتذكر فإن ادعيا أنه يعلم حلف لكل واحد منهما وبقيا على الكتابة ومن أصحابنا من قال ترد الدعوى عليهما فإن حلفا أو نكلا بقيا على الكتابة وإن حلف أحدهما ونكل الآخر عتق الحالف وبقي الآخر على الكتابة
PASAL: Jika seseorang menulis kitābah untuk dua budak, lalu ia mengaku bahwa ia telah menerima pelunasan dari salah satu dari keduanya atau telah membebaskan salah satunya, kemudian kedua budak tersebut berselisih dan masing-masing mengklaim bahwa dialah yang telah dilunasi atau dibebaskan, maka perkara itu dikembalikan kepada tuan.
Jika tuan menyatakan bahwa salah satunya yang ia maksud, maka diterima pengakuannya karena ia lebih mengetahui siapa yang telah ia lunasi atau ia bebaskan. Jika budak yang lain meminta sumpah darinya, maka ia disumpah.
Jika tuan mengaku bahwa ia bingung (tidak tahu), maka tidak dilakukan undian di antara keduanya karena bisa jadi ia akan mengingatnya kembali.
Jika keduanya mengklaim bahwa tuan sebenarnya tahu, maka ia disumpah untuk masing-masing dari keduanya, dan keduanya tetap dalam status kitābah.
Sebagian dari ulama kami berkata bahwa gugatan dikembalikan kepada keduanya: jika keduanya bersumpah atau sama-sama menolak bersumpah, maka keduanya tetap dalam status kitābah; jika salah satunya bersumpah dan yang lain menolak, maka yang bersumpah merdeka, dan yang lainnya tetap dalam status kitābah.
وإن مات المولى قبل أن يعين ففيه قولان: أحدهما يقرع بينهما لأن الحرية تعينت لأحدهما ولا يمكن التعيين بغير القرعة فوجب تمييزها بالقرعة كما لو قال لعبدين أحدكما حر والثاني أنه لا يقرع لأن الحرية تعينت في أحدهما فإذا أقرع لم يؤمن أن تخرج القرعة على غيره فعلى هذا يرجع إلى الوارث فإن قال لا أعلم حلف لكل واحد منهما وبقيا على الكتابة على ما ذكرناه في المولى.
Dan jika tuan meninggal sebelum menentukan (siapa yang ia maksud), maka ada dua pendapat:
Pertama, dilakukan undian di antara keduanya karena kemerdekaan telah pasti berlaku bagi salah satunya, dan tidak mungkin ditentukan tanpa undian, maka wajib ditentukan dengan undian sebagaimana jika ia berkata kepada dua budak, “salah satu dari kalian merdeka.”
Kedua, tidak dilakukan undian karena kemerdekaan telah berlaku bagi salah satu dari keduanya, dan jika dilakukan undian dikhawatirkan hasil undian jatuh pada selain yang berhak. Maka menurut pendapat ini, perkara dikembalikan kepada ahli waris. Jika ahli waris berkata, “kami tidak tahu,” maka mereka disumpah untuk masing-masing dari keduanya, dan keduanya tetap dalam status kitābah, sebagaimana yang telah kami sebutkan pada kasus tuan sebelumnya.
فصل: وإن كاتب ثلاثة أعبد في قود أو في عقد على مائة وقلنا إنه يصح وقيمة أحدهم مائة وقيمة كل واحد من الآخرين خمسون فأدوا مالاً من أيديهم ثم اختلفوا فقال: من كثرت قيمته النصف لي ولكل واحد منهما الربع وقال الآخران بل المال بيننا أثلاثاً ويبقى عليك تمام النصف ويفضل لكل واحد منا ما زاد على الربع فقد قال في موضع: القول قول من كثرت قيمته وقال في موضع: القول قول من قلت قيمته فمن أصحابنا من قال هي على قولين: أحدهما أن القول قول من قلت قيمته وأن المؤدي بينهم أثلاثاً لأن يد كل واحد منهم على ثلث المال
PASAL: Dan jika seseorang meng-kātib tiga orang budak dalam kasus qiṣāṣ atau dalam akad atas seratus (dirham), dan kita katakan bahwa hal itu sah, dan nilai salah satu dari mereka seratus, dan nilai masing-masing dari dua lainnya lima puluh, lalu mereka membayar sejumlah harta dari tangan mereka, kemudian mereka berselisih. Maka budak yang nilai dirinya lebih besar berkata: “Setengah (dari harta itu) milikku, dan masing-masing dari kalian berdua seperempat.” Dan kedua budak lainnya berkata: “Bahkan harta itu dibagi tiga bagian di antara kita, dan sisanya menjadi tanggunganmu untuk melengkapi setengah, dan setiap dari kami memiliki kelebihan dari seperempat.” Maka telah disebutkan di suatu tempat: bahwa qawl (pendapat yang diterima) adalah milik yang nilai dirinya lebih besar. Dan di tempat lain disebutkan: bahwa qawl adalah milik yang nilai dirinya lebih kecil. Maka sebagian aṣḥāb kami berkata: dalam masalah ini terdapat dua qawl: pertama, bahwa qawl adalah milik yang nilai dirinya lebih kecil, dan bahwa harta yang dibayarkan dibagi di antara mereka bertiga secara sepertiga, karena tangan masing-masing dari mereka berada atas sepertiga harta.
والثاني أن القول قول من كثرت قيمته لأن الظاهر معه فإن العادة أن الانسان لا يؤدي أكثر مما عليه ومنهم من قال هي على اختلاف حالين فالذي قال القول قول من كثرت قيمته إذا وقع العتق بالأداء لأن الظاهر أنه لا يؤدي أكثر مما عليه والذي قال إن القول قول من قلت قيمته إذا لم يقع العتق بالأداء فيؤدي من قلت قيمته أكثر مما عليه ليكون الفاضل له من النجم الثاني والدليل عليه أنه قال في الأم: إذا كاتبهم على مائة فأدوا ستين فإذا قلنا إنه بينهم على العدد أثلاثاً فأراد العبدان أن يرجعا بما فضل لهما لم يجز لأن الظاهر أنهما تطوعا بالتعجيل فلا يرجعان به ويحتسب لهما من النجم الثاني.
Dan yang kedua, bahwa qawl adalah milik yang nilai dirinya lebih besar, karena zhahir berpihak kepadanya. Sebab kebiasaan manusia tidak akan membayar lebih dari apa yang menjadi tanggungannya.
Dan di antara mereka ada yang berkata: hal ini tergantung pada dua keadaan. Pendapat yang mengatakan qawl milik yang nilai dirinya lebih besar berlaku bila ‘itq terjadi karena pembayaran, karena zhahirnya seseorang tidak akan membayar lebih dari yang wajib atasnya.
Sedangkan pendapat yang mengatakan qawl milik yang nilai dirinya lebih kecil berlaku bila ‘itq tidak terjadi dengan pembayaran tersebut, maka yang nilai dirinya lebih kecil bisa jadi membayar lebih dari tanggungannya agar kelebihan itu dihitung untuknya dari nujūm yang kedua.
Dalil atas hal ini adalah bahwa ia (asy-Syāfi‘i) berkata dalam al-Umm: “Jika ia meng-kātib mereka atas seratus, lalu mereka membayar enam puluh, maka jika kita katakan bahwa (pembagian) itu berdasarkan jumlah mereka, yaitu sepertiga-sepertiga, lalu dua budak ingin meminta kembali kelebihan yang mereka bayarkan, maka tidak diperkenankan. Karena zhahirnya mereka berdua bersedekah dengan mempercepat (pembayaran), maka tidak boleh menarik kembali, dan itu akan diperhitungkan dari nujūm yang kedua.”
فصل: وإن كاتب رجلان عبداً بينهما فادعى المكاتب أنه أدى إليهما مال الكتابة فأقر أحدهما وأنكر الآخر عتق الحصة المقر والقول قول المنكر مع يمينه فإذا حلف بقيت حصته على الكتابة فله أن يطالب المقر بنصف ما أقر بقبضه وهو الربع لحصول حقه في يده ويطالب المكاتب بالباقي وله أن يطالب المكاتب بالجميع وهو النصف فإن قبض حقه منهما أو من أحدهما عتق المكاتب وليس لأحد من المقر والمكاتب أن يرجع على صاحبه بما أخذه منه لأن كل واحد منهم يدعي أن الذي ظلمه هو المنكر فلا يرجع على غيره
PASAL: Jika dua orang laki-laki meng-kātib seorang budak yang mereka miliki bersama, lalu budak tersebut mengklaim bahwa ia telah menyerahkan harta kitābah kepada keduanya, kemudian salah satu dari mereka mengakui dan yang lain mengingkari, maka merdekalah bagian orang yang mengakui. Dan yang dijadikan pegangan adalah ucapan orang yang mengingkari dengan sumpahnya. Jika ia bersumpah, maka bagian kepemilikannya tetap dalam kitābah. Maka ia berhak menuntut kepada orang yang mengakui sebesar separuh dari yang ia akui telah diterimanya, yaitu seperempat, karena haknya telah berada di tangannya. Dan ia boleh menuntut sisa dari budak tersebut. Ia juga boleh menuntut seluruhnya dari budak tersebut, yaitu separuh. Jika ia telah menerima haknya dari keduanya atau dari salah satunya, maka budak itu merdeka. Dan tidak ada hak bagi salah satu dari orang yang mengakui dan budak tersebut untuk menuntut kembali dari pihak lain atas apa yang telah diambilnya, karena masing-masing dari mereka mengklaim bahwa pihak yang menzaliminya adalah orang yang mengingkari, maka tidak boleh menuntut kepada selainnya.
وإن وجد المكاتب عاجزاً فعجزه أحدهما رق نصفه قال الشافعي رحمه الله: ولا يقوم على المقر لأن التقويم لحق العبد وهو أن يقول أنا حر مسترق ظلماً فلا يقوم ولا تقبل شهادة المصدق على المكذب لأنه يدفع بها ضرراً من استرجاع نصف ما في يده فإن ادعى المكاتب أنه دفع جميع المال إلى أحدهما ليأخذ منه النصف ويدفع إلى شريكه النصف نظرت فإن قال المدعى عليه دفعت إلى كل واحد منا النصف وأنكره الآخر عتق حصة المدعى عليه بإقراره وبقيت حصة المنكر على الكتابة من غير يمين لأنه لا يدعي عليه واحد منهما تسليم المال إليه وله أن يطالب المكاتب بجميع حقه وله أن يطالب المقر بنصفه والمكاتب بنصفه ولا يرجع واحد منهما بما يؤخذ منه على الآخر
Dan jika didapati bahwa mukātib tidak mampu, lalu salah satu dari keduanya menyatakannya tidak mampu (ta‘jīz), maka setengahnya kembali menjadi budak. Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: tidak dilakukan taqwīm (penilaian harga) atas orang yang mengakui, karena taqwīm itu untuk kepentingan budak, yaitu apabila ia berkata, “Aku orang merdeka yang diperbudak secara zalim,” maka tidak dilakukan taqwīm. Dan tidak diterima kesaksian orang yang membenarkan terhadap orang yang mengingkari karena dengan itu ia menolak kerugian dari penarikan kembali setengah yang ada di tangannya.
Jika mukātib mengklaim bahwa ia telah menyerahkan seluruh harta kepada salah satu dari keduanya dengan maksud agar ia mengambil bagiannya dan menyerahkan bagian rekannya, maka dilihat: jika orang yang dituduh mengatakan, “Engkau menyerahkan kepada kami berdua masing-masing setengah,” dan yang lain mengingkarinya, maka merdekalah bagian orang yang dituduh karena pengakuannya, dan bagian orang yang mengingkari tetap dalam kitābah tanpa perlu sumpah, karena tidak ada satu pun dari keduanya yang mengklaim bahwa harta diserahkan kepadanya.
Dan ia (yang mengingkari) boleh menuntut seluruh haknya dari mukātib, dan boleh menuntut separuhnya dari orang yang mengakui dan separuhnya dari mukātib. Dan tidak ada satu pun dari keduanya yang berhak menuntut kembali dari pihak lain atas apa yang telah diambil darinya.
لأن كل واحد منهما يدعي أن الذي ظلمه هو المنكر فلا يرجع على غيره فإن استوفى المنكر حقه منهما أو من المكاتب عتقت حصته وصار المكاتب حراً وإن عجز المكاتب فاسترقه فقد قال الشافعي رحمه الله: إنه يقوم على المقر ووجهه أنه عتق نصيبه بسبب من جهته وقال في المسألة قلها لا يقوم فمن أصحابنا من نقل جوابه في كل واحدة منهما إلى الأخرى فجعلهما على قولين ومنهم من قال يقوم ههنا ولا يقوم في المسألة قبلها على ما نص عليه لأن في المسألة قبلها يقول المكاتب أنا حر فلا أستحق التقويم على أحد وههنا يقول نصفي مملوك فاستحق التقويم
Karena masing-masing dari keduanya mengklaim bahwa pihak yang menzaliminya adalah orang yang mengingkari, maka tidak boleh menuntut kepada selainnya. Jika pihak yang mengingkari telah mengambil haknya dari keduanya atau dari mukātib, maka merdekalah bagiannya dan mukātib pun menjadi orang merdeka.
Jika kemudian mukātib tidak mampu dan ia dijadikan budak kembali oleh orang yang mengingkari, maka Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: ia (bagian budak yang kembali menjadi milik) dilakukan taqwīm (penilaian harga) atas orang yang mengakui. Alasannya, karena bagian miliknya merdeka disebabkan oleh sebab dari pihaknya. Dan beliau juga berkata dalam masalah sebelumnya bahwa tidak dilakukan taqwīm. Maka sebagian ulama kami menukil jawabannya dalam masing-masing masalah kepada yang lain, sehingga menjadikannya sebagai dua qawl. Dan sebagian mereka berkata: dilakukan taqwīm dalam masalah ini, dan tidak dilakukan dalam masalah sebelumnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam nash.
Sebab dalam masalah sebelumnya, mukātib berkata: “Aku adalah orang merdeka,” maka ia tidak berhak atas taqwīm terhadap siapa pun. Sedangkan dalam masalah ini, ia berkata: “Sebagianku masih budak,” maka ia berhak mendapatkan taqwīm.
وإن قال المدعى عليه قبضت المال وسلمت نصفه إلى شريكي وأمسكت النصف لنفسي وأنكر الشريك القبض عتق حصة المدعى عليه والقول قول المنكر مع يمينه لأن المقر يدعي التسليم إليه فإذا حلف بقيت حصته على الكتابة وله أن يطالب المكاتب بجميع حقه بالعقد وله أن يطالب المقر بإقراره بالقبض فإن رجع على المقر لم يرجع المقر على المكاتب لأنه يقول إن شريكي ظلمني وإن رجع على المكاتب رجع المكاتب على المقر صدقه على الدفع أو كذبه لأنه فرط في ترك الإشهاد فإن حصل للمنكر ما له من أحدهما عتق المكاتب
Jika orang yang dituduh (oleh mukātib) berkata: “Aku telah menerima harta tersebut dan menyerahkan separuhnya kepada rekanku dan menahan separuhnya untuk diriku,” lalu rekannya mengingkari telah menerima, maka merdekalah bagian orang yang dituduh, dan ucapan rekannya yang mengingkari dijadikan pegangan dengan sumpahnya, karena orang yang mengakui mengklaim bahwa ia telah menyerahkan kepadanya. Maka jika ia bersumpah, bagian kepemilikannya tetap dalam kitābah.
Dan ia berhak menuntut seluruh haknya dari mukātib berdasarkan akad, dan ia juga boleh menuntut orang yang mengakui berdasarkan pengakuannya atas penerimaan.
Jika ia menuntut kepada orang yang mengakui, maka orang yang mengakui tidak boleh menuntut kembali kepada mukātib, karena ia akan berkata: “Rekanku telah menzalimiku.” Namun jika ia menuntut kepada mukātib, maka mukātib berhak menuntut kembali kepada orang yang mengakui, baik ia dibenarkan dalam pengakuan penyerahannya maupun didustakan, karena ia telah lalai dengan tidak menghadirkan saksi.
Jika pihak yang mengingkari telah menerima haknya dari salah satu dari keduanya, maka mukātib pun merdeka.
وإن عجز المكاتب عن أداء حصة المنكر كان للمنكر أن يستحق نصيبه فإذا رق قوم على المقر لأنه عتق بسبب كان منه وهو الكتابة ويرجع المنكر على المقر بنصف ما أقر بقبضه لأنه بالتعجيز استحق نصف كسبه وإن حصل المال من جهة المكاتب عتق باقيه ورجع المكاتب على المقر بنصف ما أقر بقبضه لأنه كسبه.
Dan jika mukātib tidak mampu membayar bagian orang yang mengingkari, maka orang yang mengingkari berhak mengambil kembali bagiannya. Maka jika mukātib kembali menjadi budak, dilakukan taqwīm atas bagian orang yang mengakui, karena kemerdekaan terjadi disebabkan oleh sebab dari pihaknya, yaitu kitābah. Dan orang yang mengingkari berhak menuntut kepada orang yang mengakui sebesar separuh dari apa yang ia akui telah diterimanya, karena dengan ta‘jīz ia berhak atas separuh dari hasil usaha budak tersebut.
Dan jika harta itu didapatkan dari pihak mukātib, maka sisanya merdeka, dan mukātib berhak menuntut kepada orang yang mengakui sebesar separuh dari apa yang ia akui telah diterimanya, karena itu adalah hasil usahanya.
كتاب عتق أمهات الأولاد
مدخل
…
كتاب عتق أمهات الأولاد
إذا علقت الأمة بولد حر في ملك الواطئ صارت أم ولد له فلا يملك بيعها ولا هبتها ولا الوصية بها لما ذكرناه في البيوع فإن مات السيد عتقت لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “من ولدت منه أمته فهي حرة بعد موته” وتعتق من رأس المال لأنه ائتلاف حصل بالاستمتاع فاعتبر من رأس المال كالائتلاف بأكل الطيب ولبس الناعم وإن علقت بولد مملوك في غير ملك من زوج أو زنا لم تصر أم ولد له لأن حرمة الاستيلاد إنما تثبت للأم تجربة الولد
Kitab ‘Itqu Ummihāti al-Awlād
Pendahuluan
…
Kitab ‘Itqu Ummihāti al-Awlād
Apabila seorang amah hamil dari anak seorang merdeka dalam keadaan ia dimiliki oleh laki-laki yang menggaulinya, maka ia menjadi umm walad baginya. Oleh karena itu, ia tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwasiatkan—sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan jual beli. Apabila tuannya meninggal dunia, maka ia merdeka, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang dilahirkan anaknya dari amat-nya, maka ia merdeka setelah tuannya wafat.”
Ia merdeka dari harta pokok, karena keterikatan tersebut terjadi melalui hubungan biologis (istimta‘), maka dipandang berasal dari harta pokok, sebagaimana keterikatan yang terjadi karena makan makanan yang enak dan mengenakan pakaian mewah.
Namun, apabila ia hamil dari anak seorang budak, dan itu terjadi di luar kepemilikan (seperti karena pernikahan dengan budak milik orang lain atau karena zina), maka ia tidak menjadi umm walad baginya. Sebab, keharaman istīlād hanya ditetapkan bagi seorang perempuan karena pengalaman melahirkan anak dari seorang yang memiliki (hak kepemilikan) terhadapnya.
والدليل عليه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكرت له مارية القبطية فقاال: “أعتقها ولدها” والولد ههنا مملوك فلا يجوز أن تعتق الأم بسببه وإن علقت بولد حر بشبهة من غير ملك لم تصر أم ولد في الحال فإذا ملكها ففيه قولان: أحدهما لا تصير أم ولد لأنها علقت منه في غير ملكه فأشبه إذا علقت منه في نكاح فاسد أو زنا والثاني أنها تصير أم ولد لأنه علقت منه بحر فأشبه إذا علقت منه في ملكه وإن علقت بولد مملوك في ملك ناقص وهي جارية المكاتب إذا علقت من مولاها ففيه قولان: أحدهما أنه لا تصير أم ولد لأنها علقت منه بمملوك ن والثاني أنها تصير أم ولد لأنه قد ثبت لهذا الولد حق الحرية ولهذا لا يجوز بيعه فثبت هذا الحق لأمه.
Dan dalil atas hal itu adalah bahwa Rasulullah SAW disebutkan kepadanya tentang Māriyah al-Qibṭiyyah, maka beliau bersabda: “Anaknya telah memerdekakannya.” Padahal anak tersebut adalah budak, maka tidak boleh ibunya merdeka karena sebab anak itu.
Jika seorang amah hamil dari anak orang merdeka karena syubhat tanpa adanya kepemilikan, maka ia tidak langsung menjadi umm walad. Jika kemudian ia dimiliki, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia tidak menjadi umm walad karena kehamilannya terjadi bukan dalam kepemilikannya, maka hal ini seperti ia hamil karena nikah fasid atau karena zina.
Kedua, ia menjadi umm walad karena ia hamil dari seorang yang merdeka, maka ini menyerupai keadaan jika ia hamil dalam keadaan dimiliki.
Dan jika ia hamil dari anak seorang budak dalam kepemilikan yang tidak sempurna, yaitu budak perempuan milik seorang mukātab, lalu ia hamil dari tuannya, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia tidak menjadi umm walad karena kehamilannya dari anak seorang budak.
Kedua, ia menjadi umm walad karena anak tersebut telah memiliki hak kemerdekaan, dan karena itu tidak boleh diperjualbelikan, maka hak tersebut juga berlaku bagi ibunya.
فصل: وإن وطئ أمته فاسقطت جنيناً ميتاً كان حكمه حكم الولد الحي في الاستيلاد لأنه ولد وإن أسقطت جزء من الآدمي كالعين والظفر أو مضغة ن فشهد أربع نسوة من أهل المعرفة والعدالة أنه تخطط وتصور ثبت له حكم الولد لأنه قد علم أنه ولد وإن ألقت مضغة لم تتصور ولم تتخطط وشهد أربع من أهل العدالة والمعرفة أنه مبتدأ خلق الآدمي ولو بقي لكان آدمياً فقد قال ههنا ما يدل على أنها لا تصير أم ولد
PASAL: Jika seorang lelaki menyetubuhi budak perempuannya lalu ia mengalami keguguran janin yang sudah mati, maka hukumnya seperti anak yang lahir hidup dalam hal istilād (menjadi umm walad), karena itu tetap dianggap sebagai anak. Jika ia menggugurkan bagian tubuh manusia seperti mata atau kuku, atau segumpal daging, lalu empat orang perempuan dari kalangan ahli dan adil bersaksi bahwa janin itu sudah mulai berbentuk dan tergambar, maka ditetapkan baginya hukum sebagai anak, karena telah diketahui bahwa itu adalah anak. Namun jika ia menggugurkan segumpal daging yang belum berbentuk dan belum tergambar, lalu empat orang dari kalangan ahli dan adil bersaksi bahwa itu adalah awal penciptaan manusia, dan sekiranya tetap hidup maka akan menjadi manusia, maka dalam bagian ini disebutkan sesuatu yang menunjukkan bahwa ia tidak menjadi umm walad.
وقال في العدة: تنقضي به العدة فمن أصحابنا من نقل جواب كل واحدة منهما إلى الأخرى وجعلها على قولين: أحدهما لا يثبت له حكم الولد في الاستيلاد ولا في انقضاء العدة لأنه ليس بولد والثاني يثبت له حكم الولد في الجمبع لأنه خلق بشر فأشبه إذا تخطط ومنهم من قال: لا يثبت له حكم الولد في الاستيلاد وتنقضي به العدة لأنه حرمة الاستيلاد تتعلق بوجود الولد ولم يوجد الولد والعدة تراد لبراءة الرحم وبراءة الرحم تحصل بذلك.
Dan beliau berkata dalam al-‘Iddah: Idah menjadi selesai dengannya. Maka sebagian dari kalangan kami menukilkan jawaban masing-masing dari dua masalah tersebut kepada yang lainnya, dan menjadikannya dalam dua pendapat:
Pertama, tidak ditetapkan hukum anak padanya baik dalam istilād (menjadi umm walad) maupun dalam selesainya idah, karena ia bukan anak.
Kedua, ditetapkan hukum anak padanya dalam seluruhnya karena ia adalah ciptaan manusia, maka menyerupai janin yang sudah tergambar.
Dan sebagian dari kalangan kami berkata: Tidak ditetapkan hukum anak padanya dalam hal istilād, namun idah selesai dengannya. Karena keharaman istilād bergantung pada keberadaan anak, dan anak belum ada, sedangkan idah dimaksudkan untuk memastikan kekosongan rahim, dan kekosongan rahim telah tercapai dengan itu.
فصل: ويملك استخدام أم الولد وإجارتها ويملك وطأها لأنها باقية على ملكه وإنما ثبت لها حق الحرية بعد الموت وهذه التصرفات لا تمنع العتق فبقيت على ملكه وهل يملك تزويجها فيه ثلاثة أقوال: أحدها يملك لأنه يملك رقبتها ومنفعته فملك تزويجها كالأمة القنة والثاني يملك تزويجها برضاها ولا يملك من غير رضاها لأنها تستحق الحرية بسبب لا يملك المولى إبطاله فملك تزويجها برضاها ويملك بغير رضاها كالمكاتبة
PASAL: Boleh menggunakan umm al-walad dan menyewakannya, serta boleh menyetubuhinya karena ia tetap berada dalam kepemilikannya, hanya saja ia mendapatkan hak kemerdekaan setelah wafat. Tindakan-tindakan ini tidak menghalangi dari kemerdekaan, maka ia tetap berada dalam kepemilikan tuannya. Adapun hukum menikahkannya, terdapat tiga pendapat:
Pertama, boleh menikahkannya karena ia memiliki tubuhnya dan manfaatnya, maka ia berhak menikahkannya sebagaimana budak perempuan murni (al-amah al-qinnah).
Kedua, boleh menikahkannya dengan kerelaannya, dan tidak boleh tanpa kerelaannya, karena ia berhak mendapatkan kemerdekaan berdasarkan sebab yang tidak dapat dibatalkan oleh tuannya, maka ia berhak menikahkannya dengan kerelaannya.
Ketiga, boleh menikahkannya tanpa kerelaannya sebagaimana al-mukātabah.
والثالث لا يملك تزويجها بحال لأنها ناقصة في نفسها وولاية المولى عليها ناقصة فلم يملك تزويجها كالأخ في تزويج أخته الصغيرة فعلى هذا هل يجوز للحاكم تزويجها بإذنهما فيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أنه لا يملك لأنه قائم مقامهما ويعقد بإذنهما فإذا لم يملك العقد باجتماعهما لم يملك مع من يقوم مقامهما والثاني وهو قول أبو سعيد الاصطخري إنه يملك تزويجها لأنه يملك بالحكم ما لا يملك بالولاية وهو تزويج الكافرة.
Dan pendapat ketiga: tidak boleh menikahkannya dalam keadaan apa pun, karena status dirinya tidak sempurna, dan kewenangan tuannya atasnya juga tidak sempurna, maka ia tidak berhak menikahkannya, seperti halnya seorang saudara laki-laki tidak berhak menikahkan adik perempuannya yang masih kecil. Berdasarkan pendapat ini, apakah boleh bagi hakim untuk menikahkannya dengan izin keduanya? Dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abū ‘Alī bin Abī Hurairah, bahwa hakim tidak boleh menikahkannya karena ia bertindak sebagai pengganti mereka berdua dan menikahkannya dengan izin mereka. Maka apabila tidak boleh menikahkan dengan kehadiran keduanya, maka tidak boleh pula bagi yang menggantikan mereka.
Kedua, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa boleh bagi hakim menikahkannya karena hakim dapat menikahkan dengan putusan hukum atas hal-hal yang tidak boleh dilakukan dengan kewenangan wali, seperti menikahkan perempuan kafir.
فصل: وإن أتت أم الولد بولد من نكاح أو زنا تبعها في حقها من العتق بموت السيد لأن الاستيلاد كالعتق المنجز ثم الولد يتبع الأم في العتق فكذلك في الاستيلاد فإن ماتت الأم قبل موت السيد لم يبطل الحكم في ولدها لأنه حق استقر له في حياة الأم فلم يسقط بموتها.
فصل: وإن جنت أم الولد لزم المولى أن يفديها لأنه منع من بيعها بالإحبال ولم يبلغ بها إلى حال يتعلق الأرش بذمتها فلزمه ضمان جنايتها كالعبد القن إذا جنى وامتنع المولى من بيعه ويفديها بأقل الأمرين من قيمتها أو أرش الجناية قولاً واحداً
PASAL: Jika umm al-walad melahirkan anak dari pernikahan atau zina, maka anak itu mengikuti status ibunya dalam hal kemerdekaan karena wafatnya tuan, karena istīlād seperti halnya ‘‘itq’ yang langsung (seketika), lalu anak mengikuti ibu dalam kemerdekaan, maka begitu pula dalam istīlād. Jika ibunya wafat sebelum tuannya, maka hukum pada anaknya tidak batal, karena itu adalah hak yang telah tetap baginya semasa hidup ibunya, sehingga tidak gugur dengan wafatnya ibu.
PASAL: Jika umm al-walad melakukan tindak pidana (jināyah), maka tuannya wajib menebusnya, karena ia telah dicegah dari menjualnya karena kehamilan, dan belum sampai pada kondisi yang menyebabkan arasy (ganti rugi) menjadi tanggungan dirinya, maka wajiblah mengganti kerugian akibat jināyah-nya sebagaimana budak murni (qin) apabila berbuat jināyah dan tuan enggan menjualnya. Ia wajib menebusnya dengan yang lebih ringan antara nilai dirinya atau ganti rugi jināyah, menurut satu pendapat.
لأن في العبد القن إنما فداه بأرش الجناية بالغاً ما بلغ في أحد القولين لأنه يمكن بيعه فربما رغبت فيه من يشتريه بأكثر من قيمته وأم الولد لا يمكن بيعها فلا يلزمه أن يفديها بأكثر من قيمتها وإن جنت ففداها بجميع القيمة ثم جنت فيه قولان: أحدهما يلزمه أن يفديها لأنه إنما لزمه أن يفديها في الجناية الأولى لأنه منع من بيعها ولم يبلغ بها حالة يتعلق الأرش بذمتها وهذا موجود في الجناية الثانية فوجب أن تفدي كالعبد القن إذا جنى وامتنع من بيعه ثم جنى وامتنع من بيعه
karena dalam kasus budak qin, ia wajib ditebus dengan arasy jināyah berapa pun nilainya menurut salah satu dari dua pendapat, karena masih mungkin untuk menjualnya, maka mungkin ada orang yang tertarik membelinya dengan harga lebih tinggi dari nilainya. Adapun umm al-walad tidak mungkin dijual, maka tidak wajib menebusnya dengan nilai lebih dari harganya.
Jika ia berbuat jināyah, lalu tuannya menebusnya dengan seluruh nilainya, kemudian ia kembali melakukan jināyah, maka ada dua pendapat:
Pertama, tuannya tetap wajib menebusnya, karena kewajiban menebus pada jināyah yang pertama adalah karena ia dilarang menjualnya dan belum sampai pada keadaan yang membuat arasy menjadi tanggungan dirinya. Dan hal ini juga terdapat dalam jināyah kedua, maka wajib pula menebusnya seperti halnya budak qin apabila berbuat jināyah lalu tuan enggan menjualnya, kemudian ia berbuat jināyah lagi dan tuan tetap enggan menjualnya.
والقول الثاني وهو الصحيح أنه لا يلزمه أن يفديها بل يقسم القيمة التي فدى بها الجناية الأولى بين الجنايتين على قدر أرشهما لأنه بالإحبال صار كالمتلف لرقبتها فلم يضمن أكثر من قيمتها وتخالف العبد القن فإنه فداه لأنه امتنع من بيعه والإمتاع يتكرر فتكرر بها وههنا لزمه الفداء للإتلاف بالإحبال وذلك لا يتكرر فلم يتكرر الفداء وإن جنت ففداها ببعض قيمتها ثم جنت فإن بقي من قدر قيمتها ما يفدي الجناية الثانية لزمه أن يفديها وإن بقي به ما يفدي بعض الجناية الثانية فعلى القولين إن قلنا يلزمه أن يفدي الجناية الثانية لزمه أن يفديها وإن قلنا يشارك الثاني الأول في القيمة ضم ما بقي من قيمتها إلى ما فدى به الجناية الأولى ثم يقسم الجميع بين الجنايتين على قدر أرشهما.
Pendapat kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ, adalah bahwa tuan tidak wajib menebusnya, melainkan membagi nilai yang digunakan untuk menebus jināyah pertama antara dua jināyah sesuai kadar arasy masing-masing, karena dengan kehamilan (yang menjadikannya umm al-walad), tuan seakan-akan telah menyebabkan kerusakan pada tubuh budaknya (raqabah-nya), maka ia tidak menanggung lebih dari nilai budak tersebut.
Ini berbeda dengan budak qin, karena tuan menebusnya akibat enggan menjualnya, dan keengganan itu bisa terulang, maka tebusan pun terulang karenanya. Sedangkan dalam kasus ini, kewajiban menebus berasal dari kerusakan karena kehamilan, dan hal itu tidak terulang, maka kewajiban menebus pun tidak terulang.
Jika ia berbuat jināyah lalu ditebus dengan sebagian dari nilainya, kemudian ia kembali melakukan jināyah, maka jika sisa dari nilai dirinya masih cukup untuk menebus jināyah kedua, tuannya wajib menebusnya. Dan jika yang tersisa hanya cukup untuk menebus sebagian jināyah kedua, maka kembali kepada dua pendapat:
Jika kita katakan bahwa tuan wajib menebus jināyah kedua, maka wajiblah ia menebusnya;
Namun jika kita katakan bahwa penanggung yang kedua harus berbagi dengan yang pertama dalam nilai budak, maka sisa nilai budak digabung dengan yang sudah ditebus untuk jināyah pertama, lalu semuanya dibagi antara dua jināyah sesuai kadar arasy-nya.
فصل: وإن أسلمت أم ولد نصراني تركت على يد امرأة ثقة وأخذ المولى بنفقتها إلى أن تموت فتعتق لأنه لا يمكن بيعها لما فيه من إبطال حقها من العتق المستحق بالاستيلاد ولا يمكن إعتاقها لما فيه من إبطال حق المولى ولا يمكن لإقرارها في يده لما فيه من الصغار على الإسلام فلم يبق إلا ما ذكرناه وإن كاتب كافر عبداً كافراً ثم أسلم العبد بقي على الكتابة لأنه أسلم في حال لا يمكن مطالبة المالك ببيعه أو إعتاقه وهو خارج عن يده وتصرفه على حالته فإن عجز ورق أمر ببيعه.
PASAL: Jika umm walad seorang Nasrani masuk Islam, maka ia diserahkan kepada seorang perempuan terpercaya, dan sang tuan wajib menanggung nafkahnya hingga ia wafat, lalu ia merdeka. Sebab tidak mungkin dijual karena hal itu akan membatalkan haknya atas kemerdekaan yang telah ditetapkan melalui istīlād, dan tidak mungkin dimerdekakan karena akan membatalkan hak tuannya, serta tidak mungkin dibiarkan tetap di tangannya karena hal itu akan merendahkan martabat Islam. Maka tidak tersisa kecuali sebagaimana yang telah kami sebutkan. Dan jika seorang kafir melakukan kitābah terhadap budaknya yang juga kafir, lalu budak itu masuk Islam, maka ia tetap dalam status kitābah-nya, karena ia masuk Islam dalam keadaan tidak mungkin meminta sang pemilik untuk menjual atau memerdekakannya, sebab ia telah keluar dari kekuasaan dan pengelolaan tuannya sebagaimana keadaannya semula. Jika kemudian ia tidak mampu membayar dan kembali menjadi budak, maka diperintahkan untuk dijual.
باب الولاء
إذا أعتق الحر مملوكاً ثبت عليه الولاء لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: اشتريت بريرة واشترط أهلها ولاءها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أعتقي فإن الولاء لمن أعتق” وإن عتق عليه بتدبير أو كتابة أو استيلاد أو قرابة أو عتق عنه غيره ثبت له عليه الولاء لأنه عتق عليه فثبت له الولاء كما لو باشر عتقهن وإن باع الرجل عبده من نفسه ففيه وجهان: أحدهما أنه يثبت له عليه الولاء لأنه لم يثبت عليه رق غيره والثاني لا ولاء عليه لأحد لأنه لم يعتق عليه في ملكه ولا يملك العبد الولاء على نفسه فلم يكن عليه ولاء.
BAB WALA’
Jika seorang merdeka memerdekakan budaknya, maka baginya hak walā’, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA, ia berkata: Aku membeli Barīrah dan keluarganya mensyaratkan walā’-nya, maka Rasulullah SAW bersabda: “Merdekakanlah, karena walā’ itu bagi siapa yang memerdekakan.”
Jika kemerdekaan terjadi karena tadbīr, atau kitābah, atau istīlād, atau karena kekerabatan, atau karena dimerdekakan oleh orang lain atas namanya, maka tetap berlaku hak walā’ atasnya, karena ia merdeka untuknya, maka tetap baginya walā’ sebagaimana jika ia langsung yang memerdekakannya.
Jika seseorang menjual budaknya kepada dirinya sendiri, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia tetap mendapatkan hak walā’ atasnya, karena tidak pernah ada kepemilikan orang lain atas dirinya.
Kedua, tidak ada hak walā’ bagi siapa pun, karena ia tidak merdeka dalam kepemilikannya, dan budak tidak memiliki hak walā’ atas dirinya sendiri, maka tidak ada walā’ atasnya.
فصل: وإن أعتق المكاتب عبداً بإذن المولى وصححنا عتقه ففي ولائه قولان: أحدهما أنه للسيد لأن العتق لا ينفك من الولاء والمكاتب ليس من أهله فوجب أن يكون للسيد والثاني أنه موقوف فإن عتق فهو له فإن عجز فهو للسيد لأن المعتق هو المكتب فوقف الولاء عليه فإن مات العبد المعتق قبل عجز المكاتب أو عتقه ففي ماله قولان: أحدهما أنه موقوف على ما يكون من أمر المكاتب كالولاء والثاني أنه للسيد لأن الولاء يجوز أن ينتقل فجاز أن يقف والإرث لا يجوز أن ينتقل فلم يجز أن يقف.
PASAL: Jika seorang mukātib memerdekakan seorang budak dengan izin tuannya, lalu kita anggap sah pemerdekaannya, maka mengenai walā’-nya ada dua pendapat:
Pendapat pertama, walā’ itu milik tuannya, karena pemerdekaan tidak terlepas dari walā’, sedangkan mukātib bukan termasuk orang yang berhak mendapatkan walā’, maka walā’ tersebut menjadi milik tuannya.
Pendapat kedua, walā’ itu tergantung: jika mukātib tersebut merdeka, maka walā’ itu menjadi miliknya; jika ia tidak mampu (membayar) dan kembali menjadi budak, maka walā’ itu menjadi milik tuannya. Karena yang memerdekakan adalah mukātib, maka walā’ itu digantungkan padanya.
Jika budak yang telah dimerdekakan itu meninggal dunia sebelum mukātib merdeka atau sebelum ia tidak mampu (membayar), maka tentang harta peninggalannya ada dua pendapat:
Pendapat pertama, harta peninggalannya digantungkan sebagaimana walā’-nya.
Pendapat kedua, harta tersebut menjadi milik tuannya, karena walā’ boleh berpindah sehingga boleh digantungkan, sedangkan warisan tidak bisa berpindah, maka tidak boleh digantungkan.
فصل: وإن أعتق مسلم نصرانياً أو أعتق نصراني مسلماً ثبت له الولاء لأن الولاء كالنسب والنسب يثبت مع اختلاف الدين فكذلك الولاء وإن أعتق المسلم نصرانياً فلحق بدار الحرب فسبى لم يجز استرقاقه لأن عليه ولاء المسلم فلا يجوز إبطاله وإن أعتق ذمي عبده فلحق بدار الحرب وسبى ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز أن يسترق لأنه لا يلزمنا حفظ ماله فلم يجز إبطاله ولأنه بالاسترقاق كالمسلم
PASAL: Jika seorang Muslim memerdekakan seorang Nasrani, atau seorang Nasrani memerdekakan seorang Muslim, maka tetap berlaku hak walā’ baginya, karena walā’ seperti nasab, dan nasab tetap berlaku meskipun berbeda agama, maka begitu pula walā’.
Jika seorang Muslim memerdekakan seorang Nasrani lalu ia pergi ke dār al-ḥarb (wilayah musuh) kemudian ditawan, maka tidak boleh diperbudak kembali, karena ia memiliki walā’ kepada seorang Muslim, sehingga tidak boleh dibatalkan.
Jika seorang dzimmī memerdekakan budaknya, lalu budak itu pergi ke dār al-ḥarb dan ditawan, maka ada dua pendapat:
Pertama, tidak boleh diperbudak kembali, karena kita tidak berkewajiban menjaga hartanya, maka tidak boleh membatalkannya. Dan karena dengan diperbudak ia menjadi seperti Muslim.
والثاني يجوز لأن معتقه أو لحق بدار الحرب جاز استرقاقه فكذلك عتيقه وإن أعتق حربي عبداً حربياً ثبت له عليه الولاء فإن سبى العبد أو سبى مولاه واسترق بطل ولاؤه لأنه لا حرمة له في نفسه ولا ماله وإن أعتق عبد ذمي عبداً ثم لحق بدار الحرب فملكه عبده وأعتقه صار كل واحد منهم مولى للآخر لأن كل واحد منهما عتق الآخر.
Dan pendapat kedua: boleh diperbudak, karena jika orang yang memerdekakannya (yaitu dzimmī) atau yang dimerdekakan lari ke dār al-ḥarb, maka boleh diperbudak, maka demikian pula budak yang telah dimerdekakannya.
Jika seorang ḥarbī memerdekakan budak ḥarbī, maka tetap berlaku hak walā’ baginya atas budak tersebut. Namun jika budak itu ditawan atau tuannya ditawan lalu diperbudak, maka batallah walā’-nya, karena ia tidak memiliki kehormatan baik pada dirinya maupun hartanya.
Jika seorang budak dzimmī memerdekakan budak lainnya, lalu ia pergi ke dār al-ḥarb, lalu ia dimiliki oleh budak yang telah ia merdekakan dan kemudian dimerdekakan kembali oleh budak tersebut, maka masing-masing dari keduanya menjadi mawlā bagi yang lain, karena masing-masing telah memerdekakan yang lain.
فصل: وإن اشترك اثنان في عتق عبد اشتركا في الولاء لاشتراكهما في العتق وإن كاتب رجل عبداً ومات وخلف اثنين وأعتق أحدهما نصيبه أو أبرأه مما له عليه فإن قلنا لا يقوم عليه فأدى ما عليه للآخر كان ولاؤه للإثنين لأنه عتق بالكتابة على الأب وقد ثبت له الولاء فنقل إليهما وإن عجز عما عليه للآخر فرق نصيبه ففي ولاء النصف المعتق وجهان: أحدهما أنه بينهما لأنه عتق بحكم الكتابة فثبت الولاء للأب وانتقل إليهما
PASAL: Jika dua orang berserikat dalam memerdekakan seorang budak, maka mereka berserikat dalam walā’ karena mereka berserikat dalam pemerdekaan. Dan jika seseorang melakukan kitābah terhadap seorang budak, lalu ia meninggal dunia dan meninggalkan dua orang ahli waris, kemudian salah satu dari keduanya memerdekakan bagiannya atau membebaskan budak tersebut dari haknya atasnya, maka jika kita berpendapat bahwa tidak wajib menaksir nilai bagian lainnya atasnya, lalu budak tersebut melunasi tanggungan kepada yang lain, maka walā’-nya menjadi milik keduanya, karena ia merdeka dengan kitābah atas (tangan) ayah, dan walā’ telah tetap menjadi miliknya, lalu berpindah kepada keduanya. Dan jika ia tidak mampu melunasi bagian yang menjadi tanggungan kepada yang lain, maka bagian yang tersisa tetap menjadi budak. Maka dalam hal walā’ bagi setengah bagian yang merdeka terdapat dua wajah pendapat: salah satunya adalah bahwa walā’ tersebut menjadi milik keduanya, karena ia merdeka berdasarkan hukum kitābah, maka walā’ ditetapkan untuk ayah dan berpindah kepada keduanya.
والثاني أنه للمعتق خاصة لأنه هو الذي أعتقه ووقف الآخر عن العتق وإن قلنا إنه يقوم في الحال فقوم عليه ثبت الولاء للمقوم عليه في المقوم لأن بالتقويم انفسخت الكتابة فيه وعتق عليه وأما النصف الآخر فإنه عتق بالكتابة وفي ولائه وجهان: أحدهما أنه بينهما والثاني أنه للمعتق خاصة وإن قلنا يؤخر التقويم فإن أدى عتق بالكتابة وكان الولاء لهما وإن عجز ورق قوم على المعتق وثبت له الولاء على النصف المقوم لأنه عتق عليه والنصف الآخر عتق بالكتابة وفي ولائه وجهان.
Dan pendapat kedua: walā’ itu hanya milik orang yang memerdekakan, karena dialah yang memerdekakan budak itu, sedangkan yang lain tertahan dari memerdekakan. Dan jika kita berpendapat bahwa penaksiran nilai dilakukan segera, maka ketika ditaksir atasnya, maka walā’ ditetapkan bagi orang yang membayar taksiran itu atas bagian yang ia bayar, karena dengan penaksiran tersebut, kitābah menjadi batal padanya dan ia merdeka atas orang tersebut. Adapun setengah lainnya, maka ia merdeka karena kitābah, dan dalam hal walā’-nya ada dua wajah pendapat: pertama, walā’-nya milik keduanya; kedua, walā’-nya hanya milik orang yang memerdekakan.
Dan jika kita berpendapat bahwa penaksiran ditunda, maka jika ia melunasi, ia merdeka karena kitābah dan walā’-nya milik keduanya; dan jika ia tidak mampu dan kembali menjadi budak, maka ia ditaksir atas orang yang memerdekakan, dan walā’ ditetapkan untuknya atas bagian yang ditaksir karena ia merdeka atasnya, sedangkan bagian lainnya merdeka karena kitābah, dan dalam hal walā’-nya ada dua wajah pendapat.
فصل: ولا يثبت الولاء لغير المعتق فإن أسلم رجل على يد رجل أو التقط لقيطاً لم يثبت له عليه الولاء لحديث عائشة رضي الله عنها: “فإنما الولاء لمن أعتق” وإنما في اللغة موضوع لإثبات المذكور ونفى ما عداه فدل على إثبات الولاء للمعتق ونفيه عمن عداه ولأن الولاء ثبت بالشرع ولم يرد الشرع في الولاء إلا لمن أعتق وهذا المعنى لا يوجد في غيره فلا يلحق به.
PASAL: Dan tidak tetap walā’ bagi selain orang yang memerdekakan. Maka jika seorang lelaki masuk Islam di tangan seorang lelaki, atau seseorang memungut anak terlantar (laqīṭ), tidak tetap baginya walā’ atas orang itu. Karena hadis dari ‘Āisyah RA: “Sesungguhnya walā’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” Dan sesungguhnya dalam bahasa, ia ditetapkan untuk menegaskan yang disebutkan dan menafikan selainnya, maka menunjukkan penetapan walā’ bagi orang yang memerdekakan dan penafian dari selainnya. Dan karena walā’ itu ditetapkan dengan syara‘, sementara syara‘ tidak menetapkan walā’ kecuali bagi orang yang memerdekakan, dan makna ini tidak terdapat pada selainnya, maka tidak diqiyaskan kepadanya.
فصل: ولا يجوز بيع الولاء ولا هبته لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الولاء وعن هبته ولأن الولاء كالنسب والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم: “الولاء لحمة كلحمة النسب” والنسب لا يصح بيعه وهبته فكذلك الولاء وإن أعتق عبداً سائبة على أن لا ولاء عليه عتق وثبت له الولاء لقوله عز وجل: {مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سَائِبَةٍ وَلا وَصِيلَةٍ وَلا حَامٍ} ولأن هذا في معنى الهبة وقد بينا أنه لا يصح هبته.
PASAL: Dan tidak boleh menjual walā’ dan tidak pula menghibahkannya. Karena telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW melarang dari menjual walā’ dan dari menghibahkannya. Dan karena walā’ itu seperti nasab, dan dalil atasnya adalah sabda beliau SAW: “Walā’ adalah pertalian seperti pertalian nasab.” Sedangkan nasab tidak sah dijual dan dihibahkan, maka demikian pula walā’. Dan jika seseorang memerdekakan seorang budak secara sāibah dengan syarat tidak ada walā’ atasnya, maka budak itu tetap merdeka dan walā’ itu tetap baginya. Karena firman Allah Ta‘ālā: {مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سَائِبَةٍ وَلا وَصِيلَةٍ وَلا حَامٍ}. Dan karena hal ini sama maknanya dengan hibah, sedangkan kami telah jelaskan bahwa hibah walā’ tidak sah.
فصل: وإن مات العبد المعتق وله مال ولا وارث له ورثه المولى لما روى يونس عن الحسن أن رجلاً أتى النبي صلى الله عليه وسلم برجل وقال اشتريته وأعتقته فقال هو مولاك إن شكرك فهو خير له وإن كفرك فهو شر له وخير لك فقال: فما أمر ميراثه؟ فقال: إن ترك عصبة فالعصبة أحق وإلا فالولاء وإن كان له عصبة لم يرث للخبر ولأن الولاء فرع للنسب فلا يورث به مع وجوده وإن كان له من يرث الفرض فإن كان ممن يستغرق المال بالفرض لم يرثه لأنه إذا لم ترث العصبات مع من يستغرق المال بالفرض فلأن لا يرث المولى أولى وإن كان ممن لا يستغرق المال ورث ما فضل عن أهل الفرض لما روى عبد الله بن شداد قال: أعتقت ابنة حمزة مولى لها فمات وترك ابنته وابنة حمزة فأعطى النبي صلى الله عليه وسلم ابنة حمزة النصف وابنته النصف.
PASAL: Jika budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia dan ia memiliki harta serta tidak memiliki ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh tuannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Yūnus dari al-Ḥasan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dengan membawa seorang laki-laki dan berkata: “Aku membelinya dan memerdekakannya.” Maka beliau bersabda: “Dia adalah maulamu; jika ia bersyukur kepadamu maka itu baik baginya, dan jika ia mengingkarimu maka itu buruk baginya dan baik bagimu.” Orang itu bertanya: “Bagaimana urusan warisnya?” Beliau menjawab: “Jika ia meninggalkan ‘aṣabah, maka ‘aṣabah lebih berhak, jika tidak maka (hak waris) adalah milik walā’.”
Jika ia memiliki ‘aṣabah, maka tuannya tidak mewarisinya karena hadits tersebut, dan karena walā’ merupakan cabang dari nasab, sehingga tidak diwarisi bersamanya. Jika ia memiliki ahli waris pemilik fard (bagian tertentu), maka jika mereka termasuk yang mengambil seluruh harta dengan bagian fard-nya, maka tuan tidak mewarisinya, karena jika ‘aṣabah saja tidak mewarisi bersama orang yang mengambil seluruh harta dengan bagian fard, maka terlebih lagi tuan (juga tidak mewarisi).
Namun jika ahli waris tersebut tidak menghabiskan seluruh harta, maka tuan mewarisi sisa dari ahli waris pemilik fard, berdasarkan riwayat dari ʿAbdullāh ibn Syaddād bahwa putri Ḥamzah memerdekakan seorang maula, lalu ia meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan dan putri Ḥamzah, maka Nabi SAW memberikan separuh kepada putri Ḥamzah dan separuh kepada anak perempuannya.
فصل: وإن مات العبد والمولى ميت كان الولاء لعصبات المولى دون سائر الورثة لأن الولاء كالنسب لما ذكرناه من الخبر والنسب إلى العصبات دون غيرهم ويقدم الأقرب فالأقرب لما روى سعيد بن المسيب رحمة الله عليه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “المولى أخ في الدين ونعمة يرثه أولى الناس بالمعتق” ولأن في عصبات الميت يقدم الأقرب فالأقرب وكذلك في عصبات المولى فإن كان للمولى ابن وابنة كان الميراث للابن دون البنت لأنا بينا أنه لايرث الولاء غير العصبات والبنت ليست من العصبات ولأن الولاء كالنسب ثم المرأة لا ترث بالقرابة من الميت إذا تباعد نسبها منه وهي بنت الأخ والعمة
PASAL: Jika budak meninggal dunia dan tuannya juga telah wafat, maka walā’ menjadi hak para ‘aṣabah dari tuan, bukan kepada ahli waris lainnya. Karena walā’ itu seperti nasab, sebagaimana telah kami sebutkan dari hadis, dan nasab itu kembali kepada para ‘aṣabah, bukan kepada yang lainnya. Yang lebih dekat lebih didahulukan daripada yang lebih jauh, berdasarkan riwayat dari Sa‘īd bin al-Musayyab raḥimahullāh bahwa Nabi SAW bersabda: “Al-mawlā adalah saudara dalam agama dan suatu kenikmatan; maka yang paling berhak mewarisi adalah orang yang paling dekat kepada orang yang memerdekakan.”
Karena dalam hal para ‘aṣabah mayit, yang lebih dekat lebih didahulukan, demikian pula dalam hal para ‘aṣabah tuan. Jika tuan memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka warisan diberikan kepada anak laki-laki saja, bukan kepada anak perempuan. Karena kami telah jelaskan bahwa yang mewarisi walā’ hanyalah para ‘aṣabah, sedangkan anak perempuan bukan termasuk ‘aṣabah. Dan karena walā’ itu seperti nasab, maka perempuan tidak mewarisi dengan sebab kekerabatan dari mayit jika nasabnya jauh, seperti anak perempuan dari saudara laki-laki dan bibi.
فلأن لا ترث بنت المولى وهو مؤخر عن النسب أولى وإن كان له أب وابن أو أب وابن ابن فالميراث للابن لأن تعصيب الابن أقوى لأنه يسقط تعصيب الأب فإن لم يكن بنون فالولاء للأب دون الجد والأخ لأنه أقرب منهما وإن ترك جداً وأخاً ففيه قولان: أحدهما أنهما يشتركان كما يشتركان في إرث النسب والثاني يقدم الأخ لأن تعصيبه كتعصيب الابن وتعصيب الجد كتعصيب الأب وإنما لم يقدم في إرث النسب للإجماع وليس في الولاء إجماع فوجب أن يقدم فإن ترك جداً وابن أخ فهو على القولين: إن قلنا إن الجد والأخ يشتركان قدم الجد
Maka lebih utama lagi anak perempuan dari tuan tidak mewarisi, karena walā’ berada di urutan setelah nasab. Jika tuan memiliki ayah dan anak laki-laki, atau ayah dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka walā’ menjadi hak anak laki-laki karena ta‘ṣīb (kedudukan sebagai ‘aṣabah) anak lebih kuat, sebab ia dapat menggugurkan ta‘ṣīb ayah.
Jika tidak ada anak-anak laki-laki, maka walā’ menjadi milik ayah, bukan milik kakek maupun saudara laki-laki, karena ayah lebih dekat daripada keduanya. Jika yang ditinggalkan adalah kakek dan saudara laki-laki, maka ada dua pendapat:
Pertama, keduanya berbagi seperti halnya keduanya berbagi dalam warisan nasab.
Kedua, saudara laki-laki lebih didahulukan karena ta‘ṣīb-nya seperti ta‘ṣīb anak, sedangkan ta‘ṣīb kakek seperti ta‘ṣīb ayah. Adapun kakek tidak didahulukan dalam warisan nasab karena adanya ijmak, sedangkan dalam walā’ tidak ada ijmak, maka wajib didahulukan.
Jika yang ditinggalkan adalah kakek dan anak saudara laki-laki, maka hukumnya mengikuti dua pendapat tersebut: jika kita katakan bahwa kakek dan saudara laki-laki berbagi, maka kakek didahulukan.
وإن قلنا إن الأخ يقدم قدم ابنه وإن ترك أبا الجد والعم فعلى القولين إن قلنا أن الجد والأخ يشتركان قدم أبو الجد وإن قلنا إن الأخ يقدم قدم العم وإن اجتمع الأخ من الأب والأم والأخ من الأب قدم الأخ من الأب والأم كما يقدم في الإرث في النسب ومن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما يقدم لما قلناه والثاني أنهم سواء لأن الأم لا ترث بالولاء فلا يرجح بها من يدلي بها فإن لم يكن للمولى عصبة وله مولى فالولاء لمولاه لأن المولى كالعصبة فإن لم يكن له مولى فلعصبة مولاه فإن لم يكن له مولى ولا عصبة مولى وهناك مولى لعصبة المولى نظرت فإن كان مولى أخيه أو مولى ولده لم يرث لأن إنعامه على أخيه لا يتعدى إليه وإن كان مولى أبيه أو جده ورث لأن إنعامه عليه إنعامه على نسله.
Jika kita katakan bahwa saudara laki-laki lebih didahulukan, maka anaknya pun didahulukan. Jika yang ditinggalkan adalah ayah dari kakek dan paman, maka hukumnya mengikuti dua pendapat: jika kita katakan bahwa kakek dan saudara laki-laki berbagi, maka ayah dari kakek didahulukan; dan jika kita katakan bahwa saudara laki-laki didahulukan, maka paman didahulukan.
Jika berkumpul saudara laki-laki seayah dan seibu dengan saudara laki-laki seayah, maka saudara seayah dan seibu lebih didahulukan, sebagaimana didahulukan dalam warisan nasab. Namun sebagian sahabat kami berkata ada dua pendapat: pertama, ia didahulukan sebagaimana telah kami sebutkan; dan kedua, keduanya setara karena ibu tidak mewarisi walā’, maka tidak menjadi kelebihan bagi orang yang berhubungan melalui ibu.
Jika tuan tidak memiliki ‘aṣabah tetapi memiliki mawlā, maka walā’ menjadi hak mawlā-nya karena mawlā seperti ‘aṣabah. Jika ia tidak memiliki mawlā, maka walā’ menjadi milik ‘aṣabah dari mawlā-nya. Jika ia tidak memiliki mawlā dan tidak memiliki ‘aṣabah mawlā, sedangkan ada mawlā bagi ‘aṣabah mawlā, maka dilihat:
Jika ia adalah mawlā dari saudaranya atau mawlā dari anaknya, maka tidak mewarisi, karena kebaikannya terhadap saudaranya tidak berlanjut kepadanya. Tetapi jika ia adalah mawlā dari ayah atau kakeknya, maka ia mewarisi, karena kebaikannya kepada mereka adalah kebaikan pula bagi keturunannya.
فصل: فإن أعتق عبداً ثم مات وخلف اثنين ثم مات أحدهما وترك ابناً ثم مات العبد وله مال ورثه الكبير من عصبة المولى وهو الابن دون ابن الابن لما روى الشعبي قال: قضى عمر وعلي وزيد رضي الله عنهم أن الولاء للكبر ولأن الولاء يورث به ولا يورث والدليل عليه لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الولاء لحمة كلحمة النسب لايباع ولا يوهب ولا يورث” فإذا ثبت أنه لا يورث ثبت أنه إنما يورث بما ثبت للمولى من الولاء فوجب أن يكون للكبر لأنه أقرب إلى المولى
PASAL: Jika seseorang memerdekakan seorang budak, lalu ia meninggal dunia dan meninggalkan dua orang ahli waris, kemudian salah satu dari keduanya meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, lalu budak tersebut meninggal dunia dan memiliki harta, maka yang mewarisinya adalah yang lebih tua dari kalangan ‘aṣhab al-muwallā, yaitu anak laki-laki, bukan cucu (anak dari anak yang telah meninggal), berdasarkan riwayat dari al-Sya‘bī bahwa ‘Umar, ‘Alī, dan Zayd RA memutuskan bahwa al-walā’ diberikan kepada yang lebih tua.
Karena walā’ menyebabkan mewarisi dan tidak diwariskan. Dalilnya adalah riwayat dari Jābir RA bahwa Nabi SAW bersabda: “al-walā’ itu seperti hubungan nasab, tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh dihibahkan, dan tidak diwariskan.” Maka jika telah tetap bahwa walā’ tidak diwariskan, maka berarti walā’ hanya menjadi sebab mewarisi karena ditetapkannya hak walā’ untuk sang mu‘tīq, dan karena itu harus diberikan kepada yang lebih tua karena ia lebih dekat kepada mu‘tīq.
وإن مات المولى وخلف ثلاثة بنين ثم مات أحدهم وخلف ابناً ومات الثاني وخلف أربعة ومات الثالث وخلف خمسة ثم مات العبد المعتق كان ماله بين العشرة بالسوية لتساويهم في القرب ولو ظهر للمولى مال كان بينهم أثلاثاً لابن الابن الثلث وللأربعة الثلث وللخمسة الثلث لأن المال انتقل إلى أولاده أثلاثاً ثم انتقل ما ورث كل واحد منهم إلى أولاده والولاء لم ينتقل إلى أولاده وإنما ورثوا مال العبد لقربهم من المولى الذي ثبت له الولاء وهم في القرب منه سواء فتساووا في الميراث.
Dan jika mu‘tīq meninggal dunia dan meninggalkan tiga orang anak laki-laki, lalu salah satu dari mereka meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak laki-laki, kemudian anak yang kedua meninggal dan meninggalkan empat anak laki-laki, lalu anak yang ketiga meninggal dan meninggalkan lima anak laki-laki, kemudian budak yang dimerdekakan itu meninggal dunia, maka hartanya dibagikan secara merata kepada kesepuluh orang tersebut karena mereka sama dalam tingkat kedekatan (dengan mu‘tīq).
Namun jika ternyata mu‘tīq memiliki harta, maka harta tersebut dibagikan menjadi tiga bagian: sepertiga untuk anak dari anak yang pertama, sepertiga untuk empat anak dari anak yang kedua, dan sepertiga untuk lima anak dari anak yang ketiga. Karena harta itu diwarisi oleh anak-anak mu‘tīq secara terbagi tiga, lalu warisan yang diterima masing-masing dari mereka berpindah kepada anak-anak mereka.
Adapun walā’ tidak berpindah kepada anak-anak mereka, akan tetapi mereka mewarisi harta budak tersebut karena kedekatan mereka kepada mu‘tīq yang memiliki hak walā’, dan mereka sama dalam tingkat kedekatannya, maka mereka pun sama dalam warisan.
فصل: إذا تزوج عبد لرجل بمعتقة لرجل فأتت منه بولد ثبت لمولى الأم الولاء على الولد لأنه عتق بإعتاق الأم فكان ولاؤه لمولاها فإن أعتق بعد ذلك مولى العبد عبده انجر ولاء الولد من موالي الأم إلى موالي العبد والدليل عليه ما روى هشام بن عروة عن أبيه قال: مر الزبير بموال لرافع بن خديج وأبوهم عبد لفلان فاشترى الزبير أباهم فأعتقهم ثم قال: أنتم موالي فاختصم الزبير ورافع إلى عثمان رضي الله عنه فقضى عثمان للزبير قال هشام: فلما كان معاوية خاصمونا أيضاً فقضى لنا معاوية
PASAL: Jika seorang budak milik seseorang menikah dengan perempuan yang telah dimerdekakan oleh orang lain, lalu perempuan itu melahirkan anak dari budak tersebut, maka wali dari ibu (yakni mantan tuannya) berhak atas walā’ anak tersebut, karena anak itu merdeka sebab ibunya merdeka, maka walā’-nya milik tuan ibu tersebut. Namun, jika kemudian tuan dari ayah (budak laki-laki) memerdekakan budaknya, maka walā’ anak itu berpindah dari wali ibu kepada wali ayah. Dalilnya adalah riwayat dari Hisyām bin ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata: Zubair melewati sekelompok budak merdeka milik Rāfi‘ bin Khadīj, sementara ayah mereka adalah budak milik seseorang, lalu Zubair membeli ayah mereka dan memerdekakannya, kemudian berkata: “Kalian adalah waliku.” Lalu terjadi perselisihan antara Zubair dan Rāfi‘ di hadapan ‘Utsmān RA, maka ‘Utsmān memutuskan perkara tersebut untuk Zubair. Hisyām berkata: Ketika masa Mu‘āwiyah, mereka menggugat kami kembali, lalu Mu‘āwiyah memutuskan perkara itu untuk kami.
ولأن الولاء فرع للنسب والنسب معتبر بالإرث وإنما ثبت لمولى الأم لعدم الولاء من جهة الأب كولد الملاعنة نسب إلى الأم لعدم النسب من جهة الأب فإذا ثبت الولاء على الأب عاد الولاء إلى موضعه كولد الملاعنة إذا اعترف به الزوج وإن أعتق جد الولد دون الأب ففي ولائه ثلاثة أوجه: أحدها ينجر الولاء إلى معتقه لأنه كالأب في الانتساب إليه والولاية فكان كالأب في جر الولاء إلى معتقه والثاني لا ينجر لأن بينه وبين الولد الأب فلا ينجر الولاء إلى معتقه كالأخ والثالث إن كان الأب حياً لم ينجر الولاء إلى معتقه وإن كان ميتاً انجر لأنه مع موته ليس غيره أحق ومع حياته من هو أحق فإن قلنا إنه ينجز الولاء إلى معتقه فانجر ثم أعتق الأب انجر من مولى الجد إلى مولى الأب لأنه أقوى من الجد في النسب وأحكامه.
Dan karena walā’ merupakan cabang dari nasab, sedangkan nasab diperhitungkan dalam warisan, maka walā’ ditetapkan bagi bekas tuan ibu karena tidak adanya walā’ dari pihak ayah—sebagaimana anak mulā‘anah dinisbatkan kepada ibu karena tidak ada nasab dari pihak ayah. Maka apabila walā’ dari pihak ayah telah tetap, kembalilah walā’ kepada tempatnya, sebagaimana anak mulā‘anah yang diakui oleh suaminya.
Jika yang memerdekakan adalah kakek dari anak tersebut, bukan ayahnya, maka dalam walā’-nya terdapat tiga pendapat:
Pertama, walā’ berpindah kepada bekas tuan kakek, karena kakek seperti ayah dalam hubungan nasab dan perwalian, maka kedudukannya seperti ayah dalam menarik walā’ kepada bekas tuannya.
Kedua, tidak berpindah, karena antara kakek dan anak terdapat ayah, maka walā’ tidak berpindah kepada bekas tuan kakek, sebagaimana halnya paman.
Ketiga, jika ayah masih hidup maka walā’ tidak berpindah kepada bekas tuan kakek, namun jika ayah sudah meninggal maka walā’ berpindah, karena dengan kematian ayah tidak ada lagi yang lebih berhak, sedangkan saat ayah masih hidup, maka dialah yang lebih berhak.
Jika dikatakan bahwa walā’ berpindah kepada bekas tuan kakek, lalu kemudian ayah dimerdekakan, maka walā’ berpindah dari bekas tuan kakek ke bekas tuan ayah, karena ayah lebih kuat dari kakek dalam nasab dan hukum-hukumnya.
فصل: وإن تزوج عبد رجل بأمة آخر فأتت منه بولد ثم أعتق السيد الأمة وولدها ثبت له عليها الولاء فإن أعتق العبد بعد ذلك لم ينجر ولاء الولد إلى مولى العبد والفرضيون يعبرون عن علة ذلك أنه ولد مسه الرق ثم ناله العتق والعلة في ذلك أن المعتق أنعم على الولد بالعتق فكان أحق بولائه ممن أنعم على أبيه وتخالف ما قبلها فإن أحدهما أنعم على الأم والآخر أنعم على الأب فقدم المنعم على الأب لأن النسب إليه والولاء فرع للنسب وههنا أحدهما أنعم على الولد نفسه والآخر أنعم على أبيه فقدم المنعم عليه على المنعم على أبيه
PASAL: Jika seorang hamba milik seseorang menikahi seorang amah milik orang lain, lalu amah itu melahirkan anak darinya, kemudian tuan si amah memerdekakan amah tersebut dan anaknya, maka tetaplah hak walā’ atas keduanya bagi tuan yang memerdekakan. Jika setelah itu si hamba juga dimerdekakan, maka walā’ anak tidak berpindah kepada tuan hamba tersebut. Para ahli faraidh mengungkapkan sebabnya bahwa anak tersebut pernah tersentuh oleh perbudakan lalu mendapatkan kemerdekaan, dan sebab sebenarnya adalah bahwa yang memerdekakan telah berbuat ihsan langsung kepada anak itu dengan memerdekakannya, maka ia lebih berhak atas walā’-nya daripada orang yang berbuat ihsan kepada ayahnya. Ini berbeda dengan kasus sebelumnya, karena dalam kasus sebelumnya salah satu memerdekakan ibu dan yang lain memerdekakan ayah, maka yang memerdekakan ayah lebih diutamakan karena nasab bersambung kepadanya, dan walā’ adalah cabang dari nasab. Adapun dalam kasus ini, salah satu memerdekakan anak itu sendiri dan yang lain memerdekakan ayahnya, maka yang memerdekakan anak itu lebih diutamakan atas yang memerdekakan ayahnya.
وإن تزوج عبد لرجل بجارية آخر فحبلت منه ثم أعتقت الجارية وهي حامل ثبت الولاء على الجارية وحملها فإن أعتق العبد بعد ذلك لم ينجز الولاء إلى مولاه لما ذكرناه من العلة وإن تزوج حر لا ولاء عليه بمعتقة رجل فأتت منه لم يثبت عليه الولاء لمولى الأم لأن الاستدامة في الأصول أقوى من الابتداء ثم ابتداء الحرية في الأب تسقط استدامة الولاء لمولى الأم فلأن تمنع استدامة الحرية في الأب ابتداء الولاء لمولى الأم أولى وإن تزوج عبد لرجل بمعتقة لآخر وأولدها ولد أثبت الولاء على الولد لموالي الأم
PASAL: Jika seorang hamba milik seseorang menikahi seorang jāriyah milik orang lain lalu ia hamil darinya, kemudian jāriyah itu dimerdekakan dalam keadaan hamil, maka tetaplah walā’ atas jāriyah itu dan kandungannya. Jika setelah itu sang hamba dimerdekakan, maka walā’ tidak berpindah kepada tuannya, karena sebab yang telah disebutkan sebelumnya.
Dan jika seorang laki-laki merdeka yang tidak memiliki walā’ menikahi seorang perempuan yang telah dimerdekakan oleh seseorang, lalu ia memiliki anak darinya, maka tidak tetap walā’ atas anak itu bagi tuan ibu, karena keberlanjutan status (dalam nasab) pada asal lebih kuat daripada permulaan, dan karena permulaan kemerdekaan pada ayah menggugurkan keberlanjutan walā’ untuk tuan ibu. Maka lebih utama jika permulaan kemerdekaan pada ayah dapat mencegah permulaan walā’ bagi tuan ibu.
Dan jika seorang hamba milik seseorang menikahi seorang perempuan yang telah dimerdekakan oleh orang lain dan melahirkan anak darinya, maka ditetapkan walā’ atas anak tersebut bagi para tuan ibu.
فإن اشترى الولد أباه عتق عليه وثبت له الولاء عليه وهل ينجر ولاء نفسه بعتق الأب فيه وجهان: أحدهما لا ينجز لأنه لا يملك ولاء نفسه فعلى هذا يكون ولاؤه باقياً لموالي الأم والثاني أنه ينجز ولاء نفسه بعتق أبيه ولا يملكه على نفسه ولكن يزيل به الولاء عن نفسه ويصير حراً لا ولاء عليه لأن عتق الأب يزيل الولاء من معتق الأم.
PASAL: Jika seorang anak membeli ayahnya, maka ayah itu merdeka karena perbuatannya, dan tetaplah walā’ ayah bagi sang anak. Adapun apakah walā’ dirinya sendiri berpindah karena kemerdekaan ayah, terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak berpindah, karena ia tidak memiliki walā’ atas dirinya sendiri. Maka menurut pendapat ini, walā’-nya tetap milik para tuan ibunya.
Kedua, walā’ dirinya berpindah karena kemerdekaan ayahnya. Ia memang tidak memiliki walā’ atas dirinya sendiri, namun dengan kemerdekaan ayah, ia menghilangkan walā’ dari dirinya, sehingga ia menjadi orang merdeka yang tidak memiliki walā’ atasnya, karena kemerdekaan ayah menghapus walā’ dari pihak yang memerdekakan ibu.
فصل: إذا مات رجل وخلف اثنين وعبداً فادعى العبد أن المولى كاتبه فصدقه أحدهما وكذبه الآخر فأدى إلى المصدق كتابته عتق نصفه وفي ولائه وجهان: أحدهما أن الولاء بينهما لأنه عتق بسبب كان من أبيهما فكان الولاء بينهما والثاني أن الولاء للمصدق لأن المكذب أسقط حقه بالتكذيب فصار كما لو حلف أحد الأخوين على دين لأبيهما فأخذ نصفه فإن الآخر لا يشارك في نصفه وإن تزوج المكاتب بحرة فأولدها فإن كان على الحرة ولاء لمعتق كان له ولاء الولد فإن عتق الأب بالأداء جر ولاء ولده من معتق الأم إلى معتقه
PASAL: Jika seorang laki-laki wafat dan meninggalkan dua orang anak serta seorang budak, lalu budak itu mengklaim bahwa tuannya telah memukatabkannya, maka salah satu dari dua anak itu membenarkannya dan yang lain mengingkarinya, kemudian budak itu membayar uang kitābah kepada yang membenarkannya, maka ia merdeka separuh. Dalam masalah walā’-nya terdapat dua wajah: yang pertama, walā’ menjadi milik keduanya karena kemerdekaannya terjadi disebabkan sesuatu yang berasal dari ayah mereka, maka walā’ menjadi milik keduanya; yang kedua, walā’ menjadi milik si pembenar karena yang mengingkari telah menggugurkan haknya dengan pengingkaran tersebut, sehingga ia seperti seseorang dari dua saudara yang bersumpah atas utang milik ayah mereka lalu mengambil separuhnya, maka saudara yang lain tidak ikut serta dalam separuh itu.
Jika muktāb menikahi perempuan merdeka lalu memiliki anak darinya, maka jika si perempuan merdeka memiliki walā’ kepada seorang mu‘tiq, maka mu‘tiq itu memiliki walā’ atas anaknya. Jika sang ayah merdeka karena pembayaran kitābah, maka ia menarik walā’ anaknya dari mu‘tiq ibu kepada mu‘tiq dirinya.
فإن اختلف مولاه ومولى الأم فقال مولى المكاتب قد عتق المكاتب بالأداء وجر إلى ولاء الولد وقال مولى الأم لم يعتق وولاء الولد لي نظرت فإن كان المكاتب حياً عتق بإقرار سيده وانجر الولاء إلى معتقه ولا يمين عليه ولا على السيد وإن كان قد مات واختلف السيد ومولى الأم فإن كان للسيد المكاتب بينة شاهدان أو شاهد وامرأتان أو شاهد ويمين قضي له لأنها بينة على المال وإن لم تكن له بينة فالقول قول مولى الأم مع يمينه لأنا تيقنا رق المكاتب وثبوت الولاء لمعتق الأم فلا ينتقل عنه من غير بينة وبالله التوفيق.
Jika terjadi perselisihan antara tuan muktāb dan tuan ibu si anak, lalu tuan muktāb berkata, “Muktāb telah merdeka dengan pembayaran, dan ia menarik walā’ anak,” sedangkan tuan ibu berkata, “Ia belum merdeka, dan walā’ anak adalah milikku,” maka dilihat keadaannya: jika muktāb masih hidup, maka ia merdeka berdasarkan pengakuan tuannya, dan walā’ berpindah kepada orang yang memerdekakannya, serta tidak ada sumpah atas dirinya maupun atas tuannya.
Namun jika muktāb telah wafat dan terjadi perselisihan antara tuannya dan tuan ibu, maka jika tuan muktāb memiliki bukti—berupa dua orang saksi, atau satu saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau satu saksi dan sumpah—maka diputuskan untuknya karena itu merupakan bukti dalam perkara harta. Jika ia tidak memiliki bukti, maka yang dijadikan pegangan adalah pernyataan tuan ibu dengan sumpahnya, karena kita telah meyakini status perbudakan muktāb dan tetapnya walā’ bagi mu‘tiq ibu, maka tidak berpindah darinya kecuali dengan bukti. Wa-Allāhu a‘lam.
الفرائض باب من أبواب العلم وتعلمها فرض من فروض الدين والدليل عليه ما روى ابن مسعود رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “تعلموا الفرائض وعلموها الناس فإني امرؤ مقبوض وإن العلم سيقبض وتظهر الفتن حتى يختلف الاثنان في الفريضة فلا يجدا من يفصل بينهما”.
Kitāb al-Farā’iḍ
Farā’iḍ adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu agama, dan mempelajarinya termasuk kewajiban dari kewajiban-kewajiban agama. Dalil atas hal itu adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Pelajarilah ilmu farā’iḍ dan ajarkanlah kepada manusia, karena aku adalah seorang yang akan diwafatkan, dan ilmu akan dicabut, serta fitnah-fitnah akan muncul, hingga dua orang akan berselisih dalam perkara warisan namun tidak menemukan seorang pun yang dapat memutuskan di antara keduanya.”
فصل: وإذا مات الميت بدئ من ماله بكفنه ومؤنة تجهيزه لما روى خباب بن الأرت قال: قتل مصعب بن عمير رضي الله عنه يوم أحد وليس له إلا نمرة كنا إذا غطينا بها رأسه خرجت رجله وإذا غطينا رجله خرج رأسه فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “غطوا بها رأسه واجعلوا على رجله من الإذخر” ولأن الميراث إنما انتقل من الورثة لأنه استغنى عنه الميت وفضل عن حاجته والكفن ومؤنة التجهيز لا يستغنى عنه فقدم على الإرث ويعتبر ذلك من رأس المال لأنه حق واجب فاعتبر من رأس المال كالدين.
PASAL: Jika seseorang wafat, maka dimulai dari hartanya untuk biaya kafan dan kebutuhan tajhīz (pengurusan jenazah), berdasarkan riwayat dari Khabbāb bin al-Aratt, ia berkata: Mush‘ab bin ‘Umair RA terbunuh pada hari Uhud, dan ia tidak memiliki kecuali sehelai kain namirah, yang jika kami tutupkan ke kepalanya maka terbuka kakinya, dan jika kami tutupkan ke kakinya maka terbuka kepalanya. Maka Nabi SAW bersabda: “Tutuplah kepalanya dan letakkan idzkhir di atas kakinya.” Dan karena warisan itu berpindah kepada ahli waris karena si mayit telah tidak membutuhkannya dan lebih dari kebutuhannya, sedangkan kafan dan biaya tajhīz tidak mungkin ditinggalkan, maka didahulukan dari warisan. Biaya tersebut diambil dari harta pokok karena merupakan hak yang wajib, maka ia dihitung dari harta pokok sebagaimana utang.
فصل: ثم يقضي دينه لقوله عز وجل: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ} ولأن الدين تستغرقه حاجته فقدم على الإرث وهل ينتقل ماله إلى الورثة قبل قضاء الدين؟ اختلف أصحابنا فيه فذهب أبو سعيد الاصطخري رحمه الله إلى أنه لا ينتقل بل هو باق على ملكه إلى أن يقضي دينه فإن حدثت منه فوائد ككسب العبد وولد الأمة ونتاج البهيمة تعلق بها حق الغرماء لأنه لو بيع كانت العهدة على الميت دون الورثة فدل على أنه باق على ملكه وذهب سائر أصحابنا إلى أنه ينتقل إلى الورثة
PASAL: Kemudian hartanya digunakan untuk membayar utangnya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {min ba‘di waṣiyyatin yūṣī bihā aw dayn} (setelah wasiat yang dibuatnya atau utang), dan karena utang mencakup kebutuhan orang yang berutang, maka didahulukan daripada warisan. Apakah hartanya berpindah kepada ahli waris sebelum pelunasan utang? Ulama mazhab kami berselisih pendapat dalam hal ini. Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī rahimahullah berpendapat bahwa harta tidak berpindah (kepemilikannya), tetapi tetap berada di bawah kepemilikan si mayit sampai utangnya dilunasi. Maka jika muncul keuntungan dari harta tersebut seperti hasil kerja budak, anak dari umm al-walad, atau anak dari binatang ternaknya, semua itu menjadi tanggungan bagi para kreditur. Karena jika dijual, beban (tanggung jawab) ada pada si mayit, bukan pada ahli waris, hal ini menunjukkan bahwa harta tersebut masih menjadi miliknya. Adapun mayoritas ulama mazhab kami berpendapat bahwa harta berpindah kepada ahli waris.
فإن حدثت منها فوائد لم يتعلق بها حق الغرماء وهو المذهب لأنه لو كان باقياً على ملك الميت لوجب أن يرثه من أسلم أو أعتق من أقاربه قبل قضاء الدين ولوجب أن لا يرثه من مات من الورثة قبل قضاء الدين وإن كان الدين أكثر من قيمة التركة فقال الوارث أنا أفكها بقيمتها وطالب الغرماء ببيعها ففيه وجهان بناء على القولين فيما يفدي به المولى جناية العبد: أحدهما لا يجب بيعها لأن الظاهر أنها لا تشتري بأكثر من قيمتها وقد بذل الوارث قيمتها فوجب أن تقبل والثاني يجب بيعها لأنه قد يرغب فيها من يزيد على هذه القيمة فوجب بيعها.
Maka jika muncul keuntungan dari harta tersebut, tidak menjadi tanggungan bagi para kreditur—dan inilah pendapat mazhab—karena jika harta itu masih berada dalam kepemilikan si mayit, niscaya akan diwarisi oleh kerabatnya yang masuk Islam atau dimerdekakan sebelum pelunasan utang, dan seharusnya tidak diwarisi oleh ahli waris yang meninggal dunia sebelum utang dilunasi.
Jika utang lebih banyak dari nilai harta peninggalan, lalu ahli waris berkata: “Aku akan menebusnya dengan nilai hartanya,” namun para kreditur menuntut agar harta tersebut dijual, maka ada dua wajah pendapat, berdasarkan dua pendapat dalam masalah seseorang menebus budaknya yang melakukan tindak pidana:
Pertama, tidak wajib menjualnya, karena tampaknya harta itu tidak akan dibeli dengan harga lebih tinggi dari nilainya, sementara ahli waris telah menawarkan nilai tersebut, maka wajib diterima.
Kedua, wajib dijual, karena bisa jadi ada orang yang berminat untuk membelinya dengan harga lebih tinggi dari nilai tersebut, maka wajib dijual.
فصل: ثم تنفذ وصاياه لقوله عز وجل: {مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ} ولأن الثلث بقي على حكم ملكه ليصرفه في حاجاته فقدم على الميراث كالدين.
فصل: ثم تقسم التركة بين الورثة والأسباب التي يتوارث بها الورثة المعينون ثلاثة رحم وولاء ونكاح لأن الشرع ورد بالإرث بها وأما المؤاخاة في الدين والموالاة في النصرة والإرث فلا يورث بها لأن هذا كان في ابتداء الإسلام ثم نسخ بقوله عز وجل {وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ} .
PASAL: Kemudian wasiat-wasiatnya dilaksanakan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {min ba‘di waṣiyyatin yūṣī bihā aw dayn} (setelah wasiat yang dibuatnya atau utang), dan karena sepertiga harta tetap berada dalam kekuasaannya untuk digunakan memenuhi kebutuhannya, maka didahulukan daripada warisan seperti halnya utang.
PASAL: Setelah itu, harta warisan dibagikan kepada para ahli waris. Sebab-sebab yang menyebabkan seseorang menjadi ahli waris ada tiga: raḥim (kekerabatan nasab), walā’ (hubungan karena memerdekakan), dan nikāḥ (hubungan pernikahan), karena syariat menetapkan warisan berdasarkan sebab-sebab tersebut. Adapun mu’ākhāh (persaudaraan dalam agama), muwālāh (persekutuan dalam pembelaan), dan al-irth (perjanjian saling mewarisi), maka tidak menyebabkan warisan, karena hal itu berlaku pada awal Islam lalu dinasakh dengan firman Allah Azza wa Jalla: {wa ulū al-arḥām ba‘ḍuhum awlā bi ba‘ḍin fī kitābi Allāh}.
فصل: والوارثون من الرجال عشرة: الابن وابن الابن وإن سفل والأب والجد أبو الأب وإن علا والأخ وابن الأخ والعم وابن العم والزوج ومولى النعمة لأن الشرع ورد بتوريثهم على ما نذكره إن شاء الله تعالى فأما ذوو الأرحام وهم الذين لا فرض لهم ولا تعصيب فإنهم لايرثون وهم عشرة: ولد البنات وولد الأخوات وبنات الإخوة وبنات الأعمام وولد الإخوة من الأم والعم من الأم والعمة والخال والخالة والجد أبو الأم ومن يدلي بهم
PASAL: Dan para ahli waris dari kalangan laki-laki ada sepuluh: anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki meskipun ke bawah, ayah, kakek dari pihak ayah meskipun ke atas, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, paman (saudara laki-laki ayah), anak laki-laki dari paman, suami, dan mawlā an-ni‘mah (orang yang memerdekakan budak). Karena syariat telah menetapkan pewarisan bagi mereka sebagaimana akan kami sebutkan, insya Allah Ta‘ala.
Adapun żawū al-arḥām (kerabat melalui hubungan rahim) yaitu mereka yang tidak memiliki bagian fardhu dan tidak pula termasuk ‘aṣabah, maka mereka tidak mewarisi. Mereka ada sepuluh: anak dari perempuan (anak perempuan atau cucu dari anak perempuan), anak dari saudari perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari paman (anak perempuan dari saudara laki-laki ayah), anak dari saudara seibu, paman dari pihak ibu, bibi (saudari ayah atau ibu), paman dari pihak ibu, bibi dari pihak ibu, kakek dari pihak ibu, dan orang yang bertali hubungan melalui mereka.
والدليل عليه ما روى أبو أمامة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إن الله تعالى أعطى كل ذي حق حقه ولا وصية لوارث” فأخبر أنه أعطى كل ذي حق حقه فدل على ان كل من لم يعطه شيئاً فلا حق له ولأن بنت الأخ لا ترث مع أخيها فلم ترث كبنت المولى ولا يرث العبد المعتق من مولاه لما ذكرناه من حديث أبو أمامة ولقوله صلى الله عليه وسلم: “إن الولاء لمن أعتق”.
Dan dalil atas hal ini adalah riwayat dari Abu Umāmah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah memberikan kepada setiap yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Maka beliau memberitakan bahwa Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, yang menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak diberi sesuatu (bagian), maka ia tidak memiliki hak.
Dan karena anak perempuan dari saudara laki-laki (bint al-akh) tidak mewarisi bersama saudara laki-lakinya, maka ia tidak mewarisi sebagaimana halnya anak perempuan dari mawlā. Dan budak yang telah dimerdekakan tidak mewarisi dari tuannya karena apa yang telah kami sebutkan dari hadis Abu Umāmah, dan karena sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya al-walā’ itu bagi orang yang memerdekakan.”
فصل: ولا يرث المسلم من الكافر ولا الكافر من المسلم أصلياً كان أو مرتداً لما روى أسامة بن زيد رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم” ويرث الذمي من الذمي وإن اختلفت أديانهم كاليهودي من النصراني والنصراني من المجوسي لأنه حقن دمهم بسبب واحد فورث بعضهم من بعض كالمسلمين ولا يرث الحربي من الذمي ولا الذمي من الحربي لأن الموالاة انقطعت بينهما فلم يرث أحدهما من الآخر كالمسلم والكافر.
PASAL: Seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim, baik kafir asli maupun murtad, karena riwayat dari Usāmah bin Zayd RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari seorang muslim.” Seorang dzimmī mewarisi dari sesama dzimmī meskipun agama mereka berbeda, seperti seorang Yahudi dari seorang Nasrani, dan seorang Nasrani dari seorang Majusi, karena darah mereka dilindungi oleh sebab yang sama, sehingga mereka saling mewarisi seperti halnya kaum muslimin. Seorang ḥarbī tidak mewarisi dari dzimmī, dan dzimmī tidak mewarisi dari ḥarbī, karena hubungan perwalian antara keduanya terputus, maka keduanya tidak saling mewarisi sebagaimana antara muslim dan kafir.
فصل: ولا يرث الحر من العبد لأن ما معه من المال لا يملكه في أحد القولين وفي الثاني يملكه ملكاً ضعيفاً ولهذا لو باعه إلى مالكه فكذلك إذا مات ولا يرث العبد من الحر لأنه لا يورث بحال فلا يرث كالمرتد ومن نصفه حر ونصفه عبد لا يرث وقال المزني يرث بقدر ما فيه من الحرية ويحجب بقدر ما فيه من الرق والدليل على أنه لا يرث أنه ناقص بالرق في النكاح والطلاق والولاية فلم يرث كالعبد وهل يورث منه ما جمعه بالحرية فيه قولان: قال في الجديد يرثه ورثته لأنه مال ملكه بالحرية فورث عنه كمال الحر
PASAL: Orang merdeka tidak mewarisi dari budak karena harta yang ada pada budak tidak dimilikinya menurut salah satu dari dua pendapat. Dan menurut pendapat kedua, ia memilikinya dengan kepemilikan yang lemah. Oleh karena itu, seandainya ia dijual kepada pemiliknya, maka hartanya ikut berpindah, demikian pula jika ia meninggal.
Dan budak tidak mewarisi dari orang merdeka karena ia tidak diwarisi dalam keadaan apa pun, maka ia tidak mewarisi sebagaimana murtad. Dan orang yang setengah dirinya merdeka dan setengahnya budak tidak mewarisi. Al-Muzanī berkata: ia mewarisi sebanding dengan kadar kemerdekaannya dan terhalangi (dari mewarisi) sebanding dengan kadar perbudakannya.
Dalil bahwa ia tidak mewarisi adalah karena ia kekurangan akibat status perbudakan dalam pernikahan, talak, dan perwalian, maka ia tidak mewarisi sebagaimana budak.
Apakah boleh diwarisi dari harta yang ia kumpulkan dalam keadaan merdeka? Dalam hal ini ada dua pendapat: Imam Syafi‘i dalam qaul jadīd-nya berkata: ahli warisnya mewarisinya karena harta tersebut ia miliki dalam keadaan merdeka, maka ahli warisnya pun mewarisinya sebagaimana harta orang yang sepenuhnya merdeka.
وقال في القديم لا يورث لأنه إذا لم يرث بحريته لم يورث بها وما الذي يصنع بماله؟ قال الشافعي رضي الله عنه يكون لسيده وقال أبو سعيد الإصطخري يكون لبيت المال لأنه لا يجوز أن يكون لسيده لأنه جمعه بالحرية فلا يجوز أن يورث لرقه فجعل لبيت المال ليصرف في المصالح كمال لا مالك له.
Dan ia berkata dalam qaul qadīm: tidak diwarisi, karena jika tidak mewarisi dengan sebab kemerdekaannya, maka tidak diwarisi pula dengannya. Lalu, apa yang dilakukan terhadap hartanya? Imam al-Syafi‘i RA berkata: hartanya menjadi milik tuannya. Sedangkan Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berpendapat: hartanya diserahkan kepada Bayt al-Māl, karena tidak boleh menjadi milik tuannya sebab ia mengumpulkannya dalam keadaan merdeka, maka tidak boleh diwarisi karena status budaknya. Maka hartanya diberikan kepada Bayt al-Māl untuk digunakan pada kemaslahatan kaum muslimin seperti harta yang tidak memiliki pemilik.
فصل: ومن أسلم ومن أعتق على ميراث لم يقسم لم يرث لأنه لم يكن وارثاً عند الموت فلم يرث كما لو أسلم أو أعتق بعد القسمة وإن دبر رجل أخاه فعتق بموته لم يرثه لأنه صار حراً بعد الموت وإن قال له أنت حر في آخر جزء من أجزاء حياتي المتصل بالموت ثم مات عتق عن ثلثه وهل يرثه فيه وجهان: أحدهما لا يرثه لأن العتق في المرض وصية والإرث والوصية لا يجتمعان والثاني يرثه ولا يكون عتقه لأن الوصية ملك بموت الموصى وهذا لم يملك نفسه بموته وإن قال في مرضه إن مت بعد شهر فأنت اليوم حر فمات بعد شهر عتق يوم تلفظ وهل يرثه على الوجهين.
PASAL: Barang siapa masuk Islam atau dimerdekakan dalam keadaan warisan belum dibagi, maka ia tidak mewarisi, karena ia bukan ahli waris saat kematian, maka tidak mewarisi sebagaimana orang yang masuk Islam atau dimerdekakan setelah pembagian warisan. Jika seseorang mudabbir (mewakafkan budaknya untuk merdeka setelah wafat) saudaranya lalu saudaranya merdeka karena kematian orang itu, maka ia tidak mewarisinya karena ia menjadi merdeka setelah kematian.
Jika ia berkata kepadanya, “Engkau merdeka pada bagian terakhir dari hidupku yang bersambung dengan kematian,” lalu ia mati, maka budak itu merdeka dari sepertiga harta. Apakah ia mewarisinya? Ada dua wajah (pendapat): pertama, tidak mewarisi karena pemerdekaan dalam sakit itu hukumnya wasiat, sedangkan warisan dan wasiat tidak bisa dikumpulkan. Kedua, ia mewarisinya dan pemerdekaan itu sah, karena wasiat adalah kepemilikan yang terjadi dengan wafat pemberi wasiat, sedangkan dalam hal ini budak tidak memiliki dirinya sendiri karena kematian tuannya.
Jika ia berkata dalam sakitnya, “Jika aku mati setelah sebulan, maka hari ini engkau merdeka,” lalu ia mati setelah sebulan, maka ia merdeka pada hari ucapannya. Apakah ia mewarisinya? Berlaku dua wajah tersebut.
فصل: واختلف أصحابنا فيمن قتل مورثه فمنهم من قال: إن كان القتل مضموناً لم يرثه لأنه قتل بغير حق وإن لم يكن مضموناً ورثه لأنه قتل بحق فلا يحرم به الإرث ومنهم من قال: إن كان متهماً كالمخطئ أو كان حاكماً فقتله في الزنا بالبينة لم يرثه لأنه متهم في قتله لاستعجال الميراث ومنهم من قال لا يرث القاتل بحال وهو الصحيح لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يرث القاتل شيئاً” ولأن القاتل حرم الإرث حتى لا يجعل ذريعة إلى استعجال الميراث فوجب أن يحرم بكل حال لحسم الباب.
PASAL: Para sahabat kami berbeda pendapat tentang seseorang yang membunuh orang yang mewariskannya. Sebagian dari mereka berkata: jika pembunuhan itu mengharuskan ganti rugi (dhamān), maka ia tidak mewarisinya karena ia membunuh tanpa hak. Dan jika tidak mengharuskan ganti rugi, maka ia mewarisinya karena ia membunuh dengan hak, maka tidak menghalangi warisan. Sebagian lagi berkata: jika ia tertuduh seperti pembunuhan karena kesalahan (khaṭa’) atau ia adalah seorang hakim lalu ia membunuh karena zina dengan bukti, maka ia tidak mewarisinya karena ia tertuduh dalam pembunuhan itu karena ingin segera mendapatkan warisan. Dan sebagian lagi berkata: pembunuh tidak mewarisi dalam keadaan apa pun, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada warisan bagi pembunuh sedikit pun.” Dan karena pembunuh diharamkan dari warisan agar tidak dijadikan sebagai alasan untuk mempercepat warisan, maka wajib diharamkan dalam segala keadaan demi menutup pintu (kerusakan).
فصل: واختلف قول الشافعي رحمه الله فيمن بت طلاق امرأته في المرض المخوف واتصل به الموت فقال في أحد القولين إنها ترثه لأنه متهم في قطع إرثها فورثت كالقاتل لما كان متهماً في استعجال الميراث لم يرث والثاني أنها لا ترث وهو الصحيح لأنها بينونة قبل الموت فقطعت الإرث كالطلاق في الصحة فإذا قلنا إنها ترث فإلى أي وقت ترث؟ ففيه ثلاثة أقوال: أحدها إن مات وهي في العدة ورث لأن حكم الزوجية باق وإن مات وقد انقضت العدة لم ترث لأنه لم يبق حكم الزوجية
PASAL: Syafi‘i RA memiliki dua pendapat tentang orang yang menjatuhkan talak bain kepada istrinya saat menderita sakit yang ditakutkan membawa kematian, lalu ia wafat dalam keadaan demikian. Dalam salah satu pendapat, istri tetap mewarisinya karena suami dituduh memutus warisannya, maka ia mewarisi sebagaimana pembunuh tidak mewarisi karena dituduh ingin mempercepat warisan. Pendapat kedua menyatakan bahwa istri tidak mewarisi, dan inilah yang shahih, karena telah terjadi bain sebelum wafat sehingga terputus hak waris, sebagaimana talak saat sehat.
Jika dikatakan bahwa ia mewarisi, sampai kapan ia mewarisi? Maka ada tiga pendapat: pertama, jika suami wafat saat istri masih dalam masa ‘iddah, maka ia mewarisi karena hukum pernikahan masih ada. Kedua, jika wafat setelah ‘iddah selesai, maka ia tidak mewarisi karena hukum pernikahan sudah tidak ada.
والثاني أنها ترث ما لم تتزوج لأنها إذا تزوجت علمنا أنها اختارت ذلك والثالث أنها ترث أبداً لأن توريثها للفرار وذلك لا يزول بالتزويج فلم يبطل حقها واما إذا طلقها في المرض ومات بسبب آخر لم ترث لأنه بطل حكم المرض وإن سألته الطلاق لم ترث لأنه غير متهم وقال أبو علي بن أبي هريرة لأن عثمان بن عفان رضي الله عنه ورث تماضر بنت الأصيع من عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه وكانت سألته الطلاق وهذا غير صحيح فإن ابن الزبير خالف عثمان في ذلك وإن علق طلاقها في الصحة على صفة تجوز أن توجد قبل المرض فوجدت الصفة في حال المرض لم ترث لأنه غير متهم في عقد الصفة
dan kedua, ia mewarisi selama belum menikah, karena jika ia menikah berarti ia telah memilih dan ridha terhadap perpisahan tersebut. Dan yang ketiga, ia tetap mewarisi selamanya, karena sebab pewarisan adalah untuk mencegah lari dari tanggung jawab warisan, dan hal itu tidak hilang dengan pernikahan, maka haknya tidak gugur.
Adapun jika ia menceraikannya saat sakit kemudian wafat karena sebab lain, maka istri tidak mewarisi karena hukum sakit telah gugur. Dan jika istri yang meminta cerai, maka ia tidak mewarisi karena suami tidak dituduh.
Abu ‘Ali bin Abi Hurairah berkata: karena ‘Utsman bin ‘Affan RA mewariskan Tamiḍar binti al-Aṣya‘ dari ‘Abd al-Raḥmān bin ‘Awf RA, padahal ia yang meminta cerai. Ini tidak shahih, karena Ibn al-Zubayr menyelisihi pendapat ‘Utsman dalam masalah ini.
Jika suami menggantungkan talak pada suatu sifat saat sehat, dan sifat itu terjadi ketika sakit, maka ia tidak mewarisi karena suami tidak dituduh dalam penetapan sifat tersebut.
وإن علق طلاقها في المرض على فعل من جهتها فإن كان فعلاً يمكنها تركه ففعلت لم ترث لأنه غير متهم في ميراثها وإن كان فعلاً لا يمكنها تركه كالصلاة وغيرها فهو على القولين وإن قذفها في الصحة ثم لاعنها في المرض لم ترث لأنه مضطر إلى اللعان لدرء الحد فلا تلحقه التهمة وإن فسخ نكاحها في مرضه بأحد العيوب ففيه وجهان: أحدهما أنه كالطلاق في المرض والثاني أنها لا ترث لأنه يستند إلى معنى من جهتها ولأنه محتاج إلى الفسخ لما عليه من الضرر في المقام معها على العيب.
Jika suami menggantungkan talak pada suatu perbuatan dari pihak istri saat ia dalam keadaan sakit, maka jika perbuatan itu bisa ditinggalkan lalu istri tetap melakukannya, maka ia tidak mewarisi karena suami tidak dituduh ingin memutus warisan. Namun jika perbuatan itu tidak bisa ia tinggalkan, seperti shalat dan semacamnya, maka terdapat dua pendapat.
Jika suami menuduh istrinya berzina saat sehat lalu melakukan li‘ān saat sakit, maka istri tidak mewarisi karena suami terpaksa melakukan li‘ān untuk menolak had, maka tidak dianggap ada tuduhan terhadapnya.
Jika suami membatalkan akad nikah saat sakit karena adanya cacat pada istri, maka ada dua pendapat: pertama, hukumnya seperti talak saat sakit; kedua, istri tidak mewarisi karena pembatalan tersebut bersandar pada sebab dari pihak istri, dan karena suami butuh membatalkan nikah akibat mudarat yang ditimbulkan oleh cacat tersebut.
فصل: وإن طلقها في المرض ثم صح ثم مرض ومات أو طلقها في المرض ثم ارتدت ثم عادت إلى الإسلام ثم مات لم ترثه قولاً واحداً لأنه أتت عليه حالة لو مات سقط إرثها فلم يعد.
فصل: وإن مات متوارثان بالغرق أو الهدم فإن عرف موت أحدهما قبل الآخر ونسي وقف الميراث إلى أن يتذكر لأنه يرجى أن يتذكر وإن علم أنهما ماتا معاً ولم يعلم موت أحدهما قبل الآخر أو علم موت أحدهما قبل موت الآخر ولم يعرف بعينه جعل ميراث كل واحد منهما لمن بقي من ورثته ولم يورث أحدهما من الآخر لأنه لا تعلم حياته عند موت صاحبه فلم يرثه كالجنين إذا خرج ميتاً.
PASAL: Jika ia mentalaknya saat sakit lalu sembuh kemudian sakit kembali dan meninggal, atau mentalaknya saat sakit lalu ia murtad kemudian kembali masuk Islam lalu meninggal, maka ia tidak mewarisinya menurut satu pendapat, karena telah terjadi satu keadaan di mana jika ia wafat, gugurlah hak warisnya, maka tidak kembali lagi.
PASAL: Jika dua orang yang saling mewarisi meninggal karena tenggelam atau tertimpa bangunan, lalu diketahui salah satunya meninggal lebih dahulu namun lupa siapa, maka warisannya ditangguhkan sampai diingat kembali, karena diharapkan bisa diingat. Dan jika diketahui bahwa keduanya meninggal bersamaan dan tidak diketahui siapa yang lebih dahulu wafat, atau diketahui salah satunya wafat lebih dahulu tapi tidak diketahui siapa secara pasti, maka warisan masing-masing diberikan kepada ahli waris yang tersisa darinya, dan tidak saling diwarisi karena tidak diketahui siapa yang masih hidup saat wafatnya yang lain, maka tidak mewarisinya sebagaimana janin yang lahir dalam keadaan mati.
فصل: وإن أسر رجل أو فقد ولم يعلم موته لم يقسم ماله حتى يمضي زمان لا يجوز أن يعيش فيه مثله وإن مات له من يرثه دفع إلى كل وارث أقل ما يصيبه ووقف الباقي إلى أن يتبين أمره.
PASAL: Jika seorang lelaki ditawan atau hilang dan tidak diketahui kabar kematiannya, maka hartanya tidak dibagikan hingga berlalu waktu yang secara kebiasaan tidak mungkin orang seperti dia masih hidup. Jika ada orang yang mewarisinya wafat, maka diberikan kepada setiap ahli waris bagian paling sedikit yang bisa ia dapatkan, dan sisanya ditahan hingga keadaannya menjadi jelas.
باب ميراث أهل الفرائض
وأهل الفرائض هم الذين يرثون الفروض المذكورة في كتاب الله عز وجل وهي النصف والربع والثمن والثلثان والثلث والسدس وهم عشرة: الزوج والزوجة والأم والجدة والبنت وبنت الابن والأخت وولد الأم والأب مع الابن وابن الابن والجد مع الابن وابن الابن فأما الزوج فله فرضان النصف وهو إذا لم يكن معه ولد أو ولد ابن والربع وهو إذا كان معه ولد أو ولد ابن والدليل عليه قوله عز وجل: {وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ}
PASAL: Warisan Ahli Farā’idh
Ahli farā’idh adalah orang-orang yang mewarisi bagian-bagian yang telah disebutkan dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu: setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Mereka berjumlah sepuluh: suami, istri, ibu, nenek, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudari perempuan, anak dari ibu, ayah bersama anak laki-laki dan cucu laki-laki, serta kakek bersama anak laki-laki dan cucu laki-laki.
Adapun suami, maka ia memiliki dua bagian: setengah apabila tidak ada anak atau cucu laki-laki bersamanya, dan seperempat apabila bersamanya terdapat anak atau cucu laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
{Wa lakum nisfu mā taraka azwājukum in lam yakun lahunna walad, fa in kāna lahunna walad fa lakumur-rubu‘u mimmā tarakna min ba‘di waṣiyyatin yūṣīna bihā aw dayn}
Artinya: “Dan bagi kalian (para suami) setengah dari apa yang ditinggalkan istri-istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka bagi kalian seperempat dari apa yang mereka tinggalkan, setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dibayar) utang.”
فأما الزوجة فلها أيضاً فرضان: الربع إذا لم يكن معها ولد ولا ولد ابن والثمن إذا كان معها ولد أو ولد ابن والدليل عليه قوله تعالى: {وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ} فنص على فرضها مع وجود الولد وعدم الولد وقسنا ولد الابن في ذلك على ولد الصلب لإجماعهم على أنه كولد الصلب في الإرث والتعصيب فكذلك في حجب الزوجين وللزوجتين والثلاث والأربع ما للواحدة من الربع والثمن لعموم الآية.
Adapun istri, maka ia juga memiliki dua bagian: seperempat jika tidak ada anak maupun cucu laki-laki bersamanya, dan seperdelapan jika bersamanya terdapat anak atau cucu laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā:
{Wa lahunna ar-rubu‘u mimmā taraktum in lam yakun lakum walad, fa in kāna lakum walad fa lahunna ath-thumunu mimmā taraktum min ba‘di waṣiyyatin tūṣūna bihā aw dayn}
Artinya: “Dan bagi mereka (para istri) seperempat dari apa yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak, maka bagi mereka seperdelapan dari apa yang kalian tinggalkan, setelah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dibayar) utang.”
Maka nash ini menunjukkan bagian warisan untuk istri, baik ketika ada anak maupun tidak ada anak. Kita menyamakan (qiyaskan) cucu laki-laki dari anak laki-laki dengan anak kandung, karena telah menjadi ijma‘ bahwa kedudukannya sama dalam warisan dan dalam ta‘ṣīb, maka demikian pula dalam hal menghalangi bagian warisan untuk kedua suami istri.
Dan bagi dua istri, atau tiga, atau empat, bagian mereka sama seperti bagian satu orang istri, yaitu seperempat atau seperdelapan, karena keumuman ayat tersebut.
فصل: وأما الأم فلها ثلاثة فروض: أحدها الثلث وهو إذا لم يكن للميت ولد ولا ولد ابن ولا اثنان فصاعداً من الإخوة والأخوات لقوله عز وجل: {وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ} والفرض الثاني السدس وذلك في حالين: أحدهما أن يكون للميت ولد أو ولد ابن والدليل عليه قوله تعالى: {وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ} ففرض لها السدس مع الولد وقسنا عليه ولد الابن
PASAL: Adapun ibu, maka baginya ada tiga bagian fardhu:
Bagian pertama adalah sepertiga, yaitu apabila si mayit tidak memiliki anak, tidak pula cucu dari anak laki-laki, dan tidak pula dua orang atau lebih dari saudara laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Dan (jika) ia diwarisi oleh kedua orang tuanya, maka untuk ibunya sepertiga}.
Bagian kedua adalah seperenam, dan itu dalam dua keadaan:
Pertama, apabila si mayit memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {Dan untuk kedua orang tuanya, bagi masing-masing dari keduanya seperenam dari apa yang ditinggalkannya, jika ia mempunyai anak}, maka Allah menetapkan bagi ibu bagian seperenam bersama adanya anak, dan kami meng-qiyaskan cucu dari anak laki-laki terhadap anak.
والثاني أن يكون له اثنان فصاعداً من الإخوة والأخوات والدليل عليه قوله عز وجل: {فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ} ففرض لها السدس مع الأخوة وأقلهم ثلاثة وقسنا عليهم الأخوين لأن كل فرض تغير بعدد كان الإثنان فيه كالثلاثة كفرض البنات والفرض الثالث ثلث ما يبقى بعد فرض الزوجين وذلك في مسألتين: في زوج وأبوين أو زوجة وأبوين للأم ثلث ما يبقى بعد فرض الزوجين والباقي للأب والدليل عليه أن الأب والأم إذا اجتمعا كان للأب الثلثان وللأم الثلث فإذا زاحمهما ذو فرض قسم الباقي بعد الفرض بينهما على الثلث والثلثين كما لو اجتمعا مع بنت.
Dan keadaan kedua adalah apabila si mayit memiliki dua orang atau lebih dari saudara laki-laki dan perempuan. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {Jika ia mempunyai beberapa saudara, maka untuk ibunya seperenam}, maka Allah menetapkan bagi ibu bagian seperenam bersama adanya saudara-saudara. Jumlah paling sedikit mereka adalah tiga, dan kami meng-qiyaskan dua saudara terhadap tiga karena setiap bagian fardhu yang berubah karena jumlah, maka dua di antaranya dihukumi seperti tiga, sebagaimana dalam bagian untuk para anak perempuan.
Bagian ketiga adalah sepertiga dari sisa setelah bagian suami istri, dan itu dalam dua masalah: yaitu apabila yang ada adalah suami dan kedua orang tua, atau istri dan kedua orang tua. Maka bagi ibu adalah sepertiga dari sisa setelah bagian suami istri, dan sisanya adalah untuk ayah. Dalilnya adalah bahwa apabila ayah dan ibu berkumpul, maka bagi ayah dua pertiga dan bagi ibu sepertiga. Maka apabila keduanya didampingi oleh ahli fardhu, maka sisa setelah bagian ahli fardhu dibagi antara keduanya dengan perbandingan sepertiga dan dua pertiga, sebagaimana jika keduanya berkumpul bersama anak perempuan.
فصل: وأما الجدة فإن كانت أم الأم أو أم الأب فلها السدس لما روى قبيصة بن ذؤيب قال: جاءت الجدة إلى أبي بكر رضي الله عنه فسألته عن ميراثها فقال أبو بكر الصديق رضي الله عنه: ليس لك في كتاب الله شيء وما علمت لك في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئاً فارجعي حتى أسأل الناس فسأل عنها فقال المغيرة بن شعبة: حضرت رسول الله صلى الله عليه وسلم فأعطاها السدس فقال أبو بكر رضي الله عنه: هل معك غيرك؟ فقام محمد بن مسلمة الأنصاري رضي الله عنه فقال مثلما قال فأنفذه لها أبو بكر رضي الله عنه
PASAL: Adapun nenek, jika ia adalah ibu dari ibu atau ibu dari ayah, maka ia mendapat bagian seperenam. Hal ini berdasarkan riwayat dari Qabīṣah bin Ḍu’ayb, ia berkata: Seorang nenek datang kepada Abū Bakr RA dan menanyakan warisannya. Maka Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq RA berkata: “Engkau tidak mendapatkan bagian dalam Kitab Allah, dan aku tidak mengetahui adanya (bagian) untukmu dalam sunnah Rasulullah SAW. Maka pulanglah hingga aku bertanya kepada orang-orang.” Lalu ia menanyakan perihal itu, maka al-Mughīrah bin Syu’bah berkata: “Aku menghadiri (majelis) Rasulullah SAW dan beliau memberikan bagian seperenam kepada nenek.” Maka Abū Bakr RA berkata: “Apakah ada yang bersamamu?” Maka berdirilah Muḥammad bin Maslamah al-Anṣārī RA dan berkata seperti yang dikatakan al-Mughīrah. Maka Abū Bakr RA menetapkan bagian itu untuk si nenek.
ثم جاءت الجدة الأخرى إلى عمر رضي الله عنه فسألته ميراثها فقال لها مالك في كتاب الله عز وجل شيء وما كان القضاء الذي قضى به إلا لغيرك وما أنا بزائد في الفرائض شيئاً ولكن هو ذلك السدس فإن اجتمعتما فيه فهو بينكما فأيكما خلت به فهو لها وإن كانت أم أبي الأم لم ترث لأنها تدلي بغير وارث وإن كانت أم أبي الأب ففيه قولان: أحدهما أنها ترث وهو الصحيح لأنها جدة تدلي بوارث فورثت كأم الأم وأم الأب
Kemudian datang nenek yang lain kepada ‘Umar RA dan bertanya kepadanya tentang warisannya. Maka beliau berkata kepadanya, “Engkau tidak memiliki bagian dalam Kitab Allah ‘Azza wa Jalla. Dan keputusan yang telah diputuskan itu bukanlah untukmu. Aku tidak akan menambah sesuatu pun dalam bagian-bagian warisan, akan tetapi itulah bagian seperenam. Jika kalian berdua berkumpul (yakni dua nenek), maka bagian itu dibagi di antara kalian. Siapa di antara kalian yang tidak ada yang bersamanya (yakni tidak berserikat dengan nenek yang lain), maka bagian itu untuknya.”
Adapun jika ia adalah ibu dari ayah ibu (ummu abī al-umm), maka ia tidak mewarisi karena ia menyambung (nasab) melalui orang yang bukan ahli waris. Dan jika ia adalah ibu dari ayah ayah (ummu abī al-ab), maka terdapat dua pendapat: salah satunya, bahwa ia mewarisi, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ia adalah nenek yang menyambung (nasab) melalui ahli waris, maka ia pun mewarisi seperti ibu dari ibu dan ibu dari ayah.
والثاني أنها لا ترث لأنها جدة تدلي بجد فترث كأم أبي الأم فإن اجتمعت جدتان متحاذيتان كأم الأم وأم الأب فالسدس بينهما لما ذكرناه فإن كانت إحداهما أقرب نظرت فإن كانتا من جهة واحدة ورثت القربى دون البعدى لأن البعدى تدلي بالقربى فلم ترث معها كالجد مع الأب وأم الأم مع الأم وإن كانت القربى من جهة الأب والبعدى من جهة الأم ففيه قولان: أحدهما أن القربى تحجب البعدى لأنهما جدتان ترث كل واحدة منهما إذا انفردت فجحبت القربى منهما البعدى كما لو كانت القربى من جهة الأم
Dan pendapat kedua: bahwa ia tidak mewarisi karena ia adalah nenek yang menyambung (nasab) melalui kakek, maka ia mewarisi seperti ibu dari ayah ibu (ummu abī al-umm).
Jika berkumpul dua nenek yang sejajar, seperti ibu dari ibu (umm) dan ibu dari ayah (ummu al-ab), maka bagian seperenam dibagi di antara keduanya sebagaimana telah disebutkan.
Jika salah satunya lebih dekat, maka dilihat: jika keduanya berasal dari satu jalur, maka yang lebih dekat mewarisi dan yang lebih jauh tidak, karena yang lebih jauh menyambung melalui yang lebih dekat, sehingga ia tidak mewarisi bersamanya, seperti kakek bersama ayah dan ibu dari ibu bersama ibu.
Dan jika yang lebih dekat berasal dari jalur ayah, sedangkan yang lebih jauh dari jalur ibu, maka terdapat dua pendapat: salah satunya, bahwa yang lebih dekat menghalangi yang lebih jauh, karena keduanya adalah dua nenek yang masing-masing mewarisi jika berdiri sendiri, maka yang lebih dekat dari keduanya menghalangi yang lebih jauh, sebagaimana jika yang lebih dekat berasal dari jalur ibu.
والثاني لا تحجبها وهو الصحيح لأن الأب لا تحجب الجدة من جهة الأم فلأن لا تحجبها الجدة التي تدلي به أولى وتخالف القربى من جهة الأم فإن الأم تحجب الجدة من قبل الأب فحجبتها أمها والأب لا يحجب الجدة من قبل الأم فلم تحجبها أمه فإن اجتمعت جدتان إحداهما تدلي بولادتين بأن كانت أم أم أب أو أم أم أم والأخرى تدلي بولادة واحدة كأم أبي أب ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي العباس أن السدس يقسم بين الجدتين على ثلاثة فتأخد التي تدلي بولادة سهماً وتأخذ التي تدلي بولادتين سهمين والثاني وهو الصحيح أنهما سواء لأنه شخص واحد فلا يأخذ فرضين.
Dan pendapat kedua: yang lebih dekat tidak menghalangi yang lebih jauh, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena ayah tidak menghalangi nenek dari jalur ibu, maka nenek yang menyambung nasab melalui ayah lebih utama untuk tidak menghalangi nenek yang menyambung melalui ibu. Ini berbeda dengan yang lebih dekat dari jalur ibu, karena ibu menghalangi nenek dari jalur ayah, maka ibunya menghalanginya. Adapun ayah tidak menghalangi nenek dari jalur ibu, maka ibunya tidak menghalanginya.
Jika berkumpul dua nenek, salah satunya menyambung nasab dengan dua kelahiran, seperti ibu dari ibu ayah (ummu ummi al-ab) atau ibu dari ibu ibu (ummu ummi al-umm), dan yang lain menyambung dengan satu kelahiran seperti ibu dari ayah ayah (ummu abī al-ab), maka terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama, yaitu pendapat Abū al-‘Abbās, bahwa seperenam dibagi di antara keduanya menjadi tiga bagian: yang menyambung melalui satu kelahiran mendapat satu bagian, dan yang menyambung melalui dua kelahiran mendapat dua bagian.
Kedua, dan ini yang ṣaḥīḥ, bahwa keduanya sama, karena (yang dimaksud) adalah satu orang, maka tidak boleh mengambil dua bagian waris.
فصل: وأما البنت فلها النصف إذا انفردت لقوله تعالى: {وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ} وللاثنتين فصاعداً الثلثان لما روى جابر بن عبد الله قال: جاءت امرأة سعد بن الربيع إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله هاتان ابنتا سعد قتل أبوهما معك يوم أحد ولم يدع عمهما لهما مالاً إلا أخذه فما ترى يارسول الله والله لا تنكحان إلا ولهما مال فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يقضي الله في ذلك” فنزلت عليه سورة النساء: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ} فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ادعوا لي المرأة وصاحبها”
PASAL: Adapun anak perempuan, maka ia mendapatkan setengah jika sendirian, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wa in kānat wāḥidatan falahā an-niṣfu” (Dan jika dia seorang saja [anak perempuan], maka baginya setengah).
Dan jika dua orang atau lebih, maka bagian mereka dua pertiga, berdasarkan riwayat dari Jābir bin ‘Abdillāh RA, ia berkata: Seorang wanita, istri Sa‘d bin ar-Rabī‘, datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, ini dua putri Sa‘d; ayah mereka terbunuh bersamamu pada hari Perang Uhud. Pamannya mengambil seluruh hartanya dan tidak menyisakan apa pun untuk keduanya. Apa pendapatmu wahai Rasulullah? Demi Allah, keduanya tidak akan dinikahi kecuali jika mereka memiliki harta.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Allah akan menetapkan hukum dalam hal ini.”
Lalu turunlah surat an-Nisā’: “Yūṣīkumu-llāhu fī awlādikum” (Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu). Maka Rasulullah SAW bersabda: “Panggilkan kepadaku wanita itu dan pamannya.”
فقال لعمهما أعطهما الثلثين وأعط أمهما الثمن وما بقي فلك فدلت الآية وهو قوله تعالى: {فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ} على فرض ما زاد على الاثنتين ودلت السنة على فرض الثنتين.
Lalu beliau berkata kepada paman keduanya, “Berikan kepada keduanya dua pertiga, dan berikan kepada ibu mereka seperdelapan, dan sisanya adalah untukmu.” Maka ayat, yaitu firman Allah Ta‘ala: {fa in kunna nisā’an fawqa ithnatayni falahunna thuluthā mā tarak} (Jika anak-anak itu perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan), menunjukkan kewajiban bagian bagi lebih dari dua perempuan. Dan sunnah menunjukkan kewajiban bagian bagi dua perempuan.
فصل: وأما بنت الابن فلها النصف إذا انفردت وللاثنتين فصاعداً الثلثان لإجماع الأمة على ذلك ولبنت الابن مع بنت الصلب السدس تكملة الثلثين لما روى الهزيل بن شرحبيل قال: جاء رجل إلى أبي موسى وسلمان بن ربيعة رضي الله عنهما فسألهما عن بنت وبنت ابن وأخت فقالا: للبنت النصف وللأخت النصف وأت عبد الله فإنه سيتابعنا فأتى عبد الله فقال: إني قد ضللت إذاً وما أنا من المهتدين لأقضين بينهما بما قضى به رسول الله صلى الله عليه وسلم للبنت النصف ولبنت الابن السدس تكملة الثلثين وما بقي فللأخت
PASAL: Adapun bint al-ibn, maka ia mendapat setengah apabila sendirian, dan bagi dua orang atau lebih dari mereka mendapat dua pertiga berdasarkan ijma‘ umat. Dan bagi bint al-ibn bersama bint aṣ-ṣulb mendapat seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, berdasarkan riwayat dari al-Huzail bin Syarahbīl bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Abū Mūsā dan Salmān bin Rabī‘ah RA lalu bertanya kepada keduanya tentang (kasus) seorang anak perempuan, bint ibn, dan saudara perempuan. Maka keduanya berkata: untuk anak perempuan setengah dan untuk saudara perempuan setengah. Maka pergilah kepada ‘Abdullāh, ia akan mengikuti kami. Lalu ia mendatangi ‘Abdullāh dan ‘Abdullāh berkata: “Kalau begitu aku telah sesat dan bukan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Aku akan memutuskan perkara di antara mereka sebagaimana yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW: untuk anak perempuan setengah, untuk bint al-ibn seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan sisanya untuk saudara perempuan.”
ولأن بنت الابن ترث فرض البنات ولم يبق من فرض البنات إلا السدس وهكذا لو ترك بنتاً وعشر بنات ابن كان للبنت النصف ولبنات الابن السدس تكملة الثلثين لما ذكرناه من المعنى وإن ترك بنتاً وبنت ابن ابن أو بنات ابن ابن أسفل من البنت بدرج كان لهن السدس لأنه بقية فرض البنات ولبنت ابن الابن أو بنات ابن الابن مع بنت الابن من السدس تكملة الثلثين ما لبنت الابن وبنات الابن مع بنت الصلب وعلى هذا أبداً.
Karena bint al-ibn mewarisi bagian yang menjadi jatah para anak perempuan, dan tidak tersisa dari bagian anak perempuan kecuali seperenam, maka berlaku seperti itu. Demikian pula jika seseorang meninggalkan seorang anak perempuan dan sepuluh bint ibn, maka untuk anak perempuan adalah setengah, dan bagi banāt al-ibn adalah seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, sebagaimana makna yang telah disebutkan. Dan jika ia meninggalkan seorang anak perempuan dan bint ibn ibn atau banāt ibn ibn yang lebih rendah satu derajat dari anak perempuan, maka mereka mendapat seperenam karena itu adalah sisa bagian anak perempuan. Dan bagi bint ibn ibn atau banāt ibn ibn bersama bint al-ibn, dari seperenam sebagai penyempurna dua pertiga adalah milik bint al-ibn dan banāt al-ibn bersama bint aṣ-ṣulb, dan demikianlah seterusnya.
فصل: وأما الأخت للأب والأم فلها النصف إذا انفردت وللاثنتين فصاعدا الثلثان لقوله عز وجل: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ} وللثلاث فصاعداً ما للاثنتين لأن كل فرض يغير بالعدد كان الثلاث فيه كالاثنتين كالبنات وللأخت من الأب عند عدم الأخت من الأب والأم النصف إذا انفردت وللاثنتين فصاعداً الثلثان لأن ولد الأب مع ولد الأب والأم كولد الابن مع ولد الصلب فكان ميراثهم كميراثهم.
PASAL: Adapun saudara perempuan seayah-seibu maka ia mendapatkan setengah jika sendirian, dan dua orang atau lebih mendapatkan dua pertiga, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ}.
Dan untuk tiga orang atau lebih, bagian mereka sama dengan dua orang, karena setiap fardh yang berubah dengan jumlah maka tiga orang di dalamnya seperti dua orang, sebagaimana halnya anak-anak perempuan.
Adapun saudara perempuan seayah, jika tidak ada saudara perempuan seayah-seibu, maka ia mendapat setengah jika sendirian, dan dua orang atau lebih mendapat dua pertiga. Karena anak dari ayah bersama anak dari ayah dan ibu, seperti halnya anak lelaki dari anak bersama anak lelaki dari sulbi, maka warisan mereka pun sebagaimana warisan mereka.
فصل: والأخوات من الأب والأم مع البنات عصبة ومع بنات الابن والدليل عليه ما ذكرناه من حديث الهزيل بن شرحبيل وروى إبراهيم عن الأسود قال: قضى فينا معاذ بن جبل رضي الله عنه على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم في امرأة تركت بنتها وأختها للبنت النصف وللأخت النصف وعن الأسود قال: كان ابن الزبير لا يعطي الأخت مع البنت شيئاً فقلت: إن معاذاً قضى فينا باليمن فأعطى البنت النصف والأخت النصف قال: فأنت رسولي بذلك: فإن لم تكن أخوات من الأب والأم فالأخوات من الأب لأنهن يرثن ما يرث الأخوات من الأب والأم عند عدمهن.
PASAL: Saudara-saudara perempuan seayah-seibu bersama anak-anak perempuan menjadi ‘‘aṣabah’ bersama, demikian pula bersama anak-anak perempuan dari anak laki-laki. Dalilnya adalah apa yang telah kami sebutkan dari hadis al-Huzail bin Syarahbīl. Dan diriwayatkan dari Ibrāhīm dari al-Aswad, ia berkata: “Mu‘āż bin Jabal RA memutuskan hukum di tengah-tengah kami pada masa Rasulullah SAW terhadap seorang perempuan yang meninggalkan anak perempuannya dan saudara perempuannya. Maka bagi anak perempuan setengah, dan bagi saudara perempuan setengah.” Dan dari al-Aswad ia berkata: “Ibnu az-Zubair tidak memberikan apa pun kepada saudara perempuan bersama anak perempuan. Maka aku berkata: ‘Sesungguhnya Mu‘āż telah memutuskan hukum di tengah-tengah kami di Yaman, lalu memberikan setengah kepada anak perempuan dan setengah kepada saudara perempuan.’ Maka ia berkata: ‘Engkau adalah utusanku dengan hal itu.’ Jika tidak ada saudara-saudara perempuan seayah-seibu, maka saudara-saudara perempuan seayah, karena mereka mewarisi sebagaimana saudara-saudara perempuan seayah-seibu ketika mereka tidak ada.
فصل: وأما ولد الأم فللواحد السدس وللاثنين فصاعداً الثلث والدليل عليه قوله عز وجل: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ} والمراد به ولد الأم والدليل عليه ما روي أن عبد الله وسعداً كانا يقرآن وله أخ أو أخت من أم وسوى بين الذكر والإناث للآية ولأنه إرث بالرحم المحض فاستوى فيه الذكر والأنثى كميراث الأبوين مع الابن.
PASAL: Adapun anak dari ibu, maka bagi yang satu (saja) mendapat seperenam, dan bagi dua orang atau lebih mendapat sepertiga. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ālā: {Wa in kāna rajulun yūratsu kalālatan aw imra’atun walahu akhun aw ukhtun falikulli wāḥidin minhumā as-sudusu fa in kānū aktsara min żālika fahum syurakā’u fi ats-tsuluts} (QS an-Nisā’: 12). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah anak-anak dari ibu. Dalilnya adalah riwayat bahwa ‘Abdullāh dan Sa‘d keduanya membaca “walahu akhun aw ukhtun min umm”, dan menyamakan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana yang disebut dalam ayat. Karena ini adalah warisan karena hubungan rahim semata, maka laki-laki dan perempuan mendapat bagian yang sama, sebagaimana warisan ayah dan ibu bersama anak laki-laki.
فصل: وأما الأب فله السدس مع الابن وابن الابن لقوله عز وجل: {وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ} ففرض له السدس مع الابن وقيس عليه إذا كان مع ابن الابن لأن ابن الابن كالإبن في الحجب والتعصيب وأما الجد فله السدس مع الابن وابن الابن لإجماع الأمة.
PASAL: Adapun ayah, maka ia mendapatkan seperenam bersama anak lelaki atau cucu lelaki dari anak lelaki, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ}, maka ditetapkan baginya seperenam bersama anak lelaki, dan diqiyaskan pula jika bersamanya cucu lelaki dari anak lelaki, karena cucu lelaki itu seperti anak lelaki dalam hal menghalangi dan menguatkan hak waris.
Adapun kakek, maka ia mendapatkan seperenam bersama anak lelaki atau cucu lelaki dari anak lelaki, berdasarkan ijma‘ umat.
فصل: ولا ترث بنت الابن مع الابن ولا الجدة أم الأب مع الأب لأنها تدلي به ومن أدلى بعصبة لم يرث معه كابن الابن مع الابن والجد مع الأب ولا ترث الجدة من الأم مع الأم لأنها تدلي بها ولا الجدة من الأب لأن الأم في درجة الأب والجدة في درجة الجد فلم ترث معه كما لا يرث الجد مع الأب.
PASAL: Tidak mewarisi anak perempuan dari anak laki-laki bersama anak laki-laki, dan tidak pula nenek dari pihak ayah bersama ayah, karena keduanya mewarisi melalui perantara mereka. Dan siapa saja yang mewarisi melalui ‘aṣabah, maka ia tidak mewarisi bersamanya, seperti anak laki-laki dari anak laki-laki bersama anak laki-laki, dan kakek bersama ayah. Tidak pula nenek dari pihak ibu mewarisi bersama ibu, karena ia mewarisi melalui ibu. Dan juga tidak mewarisi nenek dari pihak ayah, karena ibu setara dengan ayah dalam derajat, dan nenek setara dengan kakek, maka ia tidak mewarisi bersamanya sebagaimana kakek tidak mewarisi bersama ayah.
فصل: ولا يرث ولد الأم مع أربعة مع الولد وولد الابن والأب والجد لقوله عز وجل: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ} فورثهم في الكلالة والكلالة من سوى الوالد والولد والدليل عليه لما روى جابر رضي الله عنه قال: جاءني النبي صلى الله عليه وسلم يعودني وأنا مريض لا أعقل فتوضأ وصب من وضوئه علي فعقلت فنزلت آية المواريث {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ} والكلالة هو من ليس له ولد ولا والد وله إخوة ولأن الكلالة مشتق من الإكليل وهو الذي يحتاط بالرأس من الجوانب والذين يحيطون بالميت من الجوانب الإخوة فأما الوالد والولد فليسا من الجوانب بل أحدهما من أعلاه والآخر من أسفله ولهذا قال الشاعر يمدح بني أمية:
ورثتم قناة الملك لا عن كلالة … عن ابني مناف عبد شمس وهاشم
PASAL: Anak dari ibu tidak mewarisi bersama empat orang ini: anak (kandung), anak laki-laki dari anak laki-laki, ayah, dan kakek, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ} – maka Allah menjadikan mereka (saudara seibu) ahli waris dalam keadaan kalālah, sedangkan kalālah adalah orang yang tidak memiliki ayah dan tidak memiliki anak.
Dalilnya adalah hadits riwayat Jābir RA, ia berkata: Nabi SAW datang menjengukku saat aku sakit dan tidak sadar. Lalu beliau berwudu dan menuangkan air wudunya kepadaku, maka aku pun sadar. Lalu turunlah ayat warisan: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ}.
Kalālah adalah orang yang tidak memiliki anak dan tidak memiliki ayah, namun memiliki saudara. Disebut kalālah karena berasal dari kata iklīl (mahkota) yang mengelilingi kepala dari samping-samping. Maka mereka yang mengelilingi si mayit dari samping adalah para saudara, sedangkan ayah dan anak bukan dari samping, tetapi yang satu dari atas dan yang lain dari bawah.
Oleh karena itu, seorang penyair memuji Banū Umayyah dengan mengatakan:
Waritsum qanāta al-mulki lā ‘an kalālah … ‘an ibnay Manāf ‘Abdi Syamsin wa Hāsyim
(Engkau mewarisi tongkat kekuasaan bukan karena kalālah,
tetapi dari dua anak Manāf: ‘Abdu Syams dan Hāsyim).
فصل: ولا يرث ولد الأب والأم مع ثلاثة مع الابن وابن الابن والأب والدليل عليه قوله عز وجل: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ} فورثهم في الكلالة وقد بينا أن الكلالة ألا تكون والداً ولا ولداً.
PASAL: Dan tidak mewarisi saudara seayah dan seibu bersama tiga: bersama anak, cucu dari anak laki-laki, dan ayah. Dalilnya adalah firman Allah Azza wa Jalla: {يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ} — maka Allah menjadikan warisan mereka dalam keadaan kalālah, dan telah kami jelaskan bahwa kalālah adalah kondisi tidak memiliki orang tua maupun anak.
فصل: وإذا استكمل البنات الثلثين ولم يكن مع من دونهن مع بنات الابن ذكر لم يرثن لما روى الأعمش بن إبراهيم قال: قال زيد رضي الله عنه إذا استكمل البنات الثلثين فليس لبنات الابن شيء إلا أن يلحق بهن ذكر فيرد عليهن بقية المالإذا كان أسفل منهن رد على من فوقه للذكر مثل حظ الأنثيين وإن كن أسفل منه فليس لهن شيء وبقية المال له دونهن ولأنا لو ورثنا من دونهن من بنات الابن فرضاً مستأنفاً لم يجز لأنه ليس للبنات بالبنوة أكثر من الثلثين وإن شركنا بينهن وبين بنات الابن لم يجز لأنهن أنزل منهن بدرجة فلا يجوز أن يشاركنهن وإن استكمل الأخوات للأب والأم الثلثين ولم يكن مع الأخوات للأب ذكر يعصبهن لم يرثن لما ذكرناه في المعنى في البنات وبنات الابن.
PASAL: Apabila para anak perempuan telah menyempurnakan dua pertiga, dan tidak ada laki-laki di antara cucu perempuan dari anak laki-laki bersama mereka, maka para cucu perempuan tersebut tidak mewarisi. Hal ini sebagaimana riwayat al-A‘masy bin Ibrāhīm, ia berkata: Zaid RA berkata, “Apabila para anak perempuan telah menyempurnakan dua pertiga, maka tidak ada bagian untuk para cucu perempuan dari anak laki-laki, kecuali ada laki-laki bersama mereka, maka sisa harta dikembalikan kepada mereka. Jika laki-laki itu lebih rendah kedudukannya dari mereka, maka sisa tersebut dikembalikan kepada yang lebih tinggi, dengan perhitungan laki-laki dua kali bagian perempuan. Namun jika mereka (para cucu perempuan) lebih rendah daripada laki-laki tersebut, maka mereka tidak mendapat bagian, dan sisa harta hanya untuk laki-laki itu tanpa mereka.”
Dan karena jika kami memberikan warisan kepada para cucu perempuan yang lebih rendah derajatnya dari para anak perempuan dengan bagian baru, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena bagian warisan untuk para anak perempuan dari hubungan nasab (anak) tidak melebihi dua pertiga. Dan jika kami menyekutukan mereka dengan para anak perempuan, maka hal itu pun tidak sah karena mereka lebih rendah derajatnya, sehingga tidak boleh disamakan dalam warisan.
Demikian pula apabila para saudari seayah dan seibu telah menyempurnakan dua pertiga, dan tidak ada saudara laki-laki seayah yang menguatkan mereka sebagai ‘aṣabah, maka mereka tidak mewarisi, sebagaimana makna yang telah disebutkan dalam kasus para anak perempuan dan cucu perempuan.
فصل: ومن لا يرث ممن ذكرناه من ذوي الأرحام أو كان عبداً أو قاتلاً أو كافراً لم يحجب غيره من الميراث لأنه ليس بوارث فلم يحجب كالأجنبي.
PASAL: Siapa saja yang tidak mewarisi dari mereka yang telah disebutkan, baik karena termasuk żawī al-arḥām, atau karena ia seorang budak, atau pembunuh, atau orang kafir, maka ia tidak menghalangi (tidak menghijab) yang lain dari menerima warisan, karena ia sendiri bukan ahli waris. Maka ia tidak menghalangi, sebagaimana orang asing (yang bukan kerabat).
فصل: وإن اجتمع أصحاب فروض ولم يحجب بعضهم بعضاً فرض لكل واحد منهم فرضه فإن زادت سهامهم على سهام المال أعيلت بالسهم الزائد ودخل النقص على كل واحد منهم بقدر فرضه فإن ماتت امرأة وخلفت زوجاً وأماً وأختين من الأم وأختين من الأب والأم فللزوج النصف وللأم السدس وللأختين من الأم الثلث وللأختين من الأب والأم الثلثان وأصل الفريضة من ستة وتعول إلى عشرة وهو أكثر ماتعول إليه الفرائض لأنها عالت بثلثيها وتسمى أم الفروخ لكثرة السهام العائلة وتسمى الشريحية لأنها حدثت في أيام شريح وقضى فيها
PASAL: Jika berkumpul para pemilik bagian (ashḥāb al-furūḍ) dan sebagian mereka tidak menutupi (menghalangi) sebagian yang lain, maka masing-masing diberikan bagiannya. Jika jumlah bagian mereka melebihi total bagian harta, maka ditambahkan bagian (ʿawl) dengan bagian yang lebih, dan kekurangan dibagi ke masing-masing sesuai kadar bagiannya.
Jika seorang wanita wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua saudara perempuan dari ibu, dan dua saudara perempuan dari ayah dan ibu, maka:
- Suami mendapat setengah
- Ibu mendapat seperenam
- Dua saudara perempuan dari ibu mendapat sepertiga
- Dua saudara perempuan dari ayah dan ibu mendapat dua pertiga
Asal perhitungan warisan dari enam, lalu menjadi sepuluh karena adanya penambahan bagian (ʿawl), dan ini adalah kadar terbanyak yang bisa terjadi pada kasus ʿawl dalam farā’iḍ. Kasus ini dinamakan umm al-furūkh karena banyaknya bagian yang bertambah, dan dinamakan pula asy-syarīḥiyyah karena terjadi pada masa Qāḍī Syarīḥ dan beliau yang memutuskannya.
وإن مات رجل وخلف ثلاث زوجات وجدتين وأربع أخوات من الأم وثماني أخوات من الأب والأم فللزوجات الربع وللجدتين السدس وللأخوات من الأم الثلث وللأخوات من الأب والأم الثلثان وأصلها من اثني عشر وتعول إلى سبعة عشر وهو أكثر ما يعول إليه هذا الأصل وتسمى أم الأرامل وإن مات رجل وخلف زوجة وأبوين وابنتين فللزوجة الثمن وللأبوين السدسان وللابنتين الثلثان وأصلها من أربعة وعشرين وتعول إلى سبعة وعشرين وتسمى المنبرية لأنه روي أن علياً كرم الله وجهه سئل عن ذلك وهو على المنبر فقال صار ثمنها تسعاً
Dan jika seorang laki-laki wafat dan meninggalkan tiga istri, dua nenek, empat saudari seibu, dan delapan saudari seayah seibu, maka untuk para istri seperempat, untuk dua nenek seperenam, untuk para saudari seibu sepertiga, dan untuk para saudari seayah seibu dua pertiga. Ashl masalah ini dari dua belas, dan naik (‘awl) menjadi tujuh belas, dan itu adalah jumlah paling besar yang bisa dicapai oleh ashl ini. Kasus ini disebut umm al-arāmil (induk para janda).
Dan jika seorang laki-laki wafat dan meninggalkan seorang istri, kedua orang tua, dan dua anak perempuan, maka untuk istri seperdelapan, untuk kedua orang tua masing-masing seperenam, dan untuk dua anak perempuan dua pertiga. Ashl masalah ini dari dua puluh empat dan naik (‘awl) menjadi dua puluh tujuh. Kasus ini disebut al-minbariyyah, karena diriwayatkan bahwa ‘Aliy karamallāhu wajhah ditanya tentang hal itu saat berada di atas mimbar, maka ia berkata, “Bagian seperdelapannya menjadi sembilan.”
وإن ماتت المرأة وخلفت زوجاً وأماً وأختاً من أب وأم فللزوج النصف وللأخت النصف وللأم الثلث وأصلها من ستة وتعود إلى ثمانية وهي أول مسألة أعيلت في خلافة عمر رضي الله عنه وتعرف بالمباهلة فإن ابن عباس رضي الله عنه أنكر العول وقال: هذان النصفان ذهبا بالمال أين موضع الثلث؟ فقيل له والله لئن مت أو متنا فيقسم ميراثنا إلا على ما عليه القوم قال: فلندع أبناءنا وأبناءهم ونساءنا ونساءهم وأنفسنا وأنفسهم ثم نبتهل فنجعل لعنة الله على الكاذبين والدليل على إثبات العول أنها حقوق مقدرة متفقة في الوجوب ضاقت التركة على جمعيعها فقسمت التركة على قدرها كالديون.
Dan jika seorang perempuan wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan seorang saudari seayah seibu, maka untuk suami setengah, untuk saudari setengah, dan untuk ibu sepertiga. Ashl masalah ini dari enam dan naik (‘awl) menjadi delapan. Ini adalah kasus pertama yang mengalami ‘awl pada masa kekhalifahan ‘Umar RA, dan dikenal dengan nama al-mubāhalah.
Ibn ‘Abbās RA mengingkari adanya ‘awl dan berkata: “Dua bagian setengah itu telah menghabiskan seluruh harta, lalu di mana letak sepertiga?” Maka dikatakan kepadanya: “Demi Allah, sungguh jika engkau wafat atau kami yang wafat, warisan kami akan dibagi berdasarkan apa yang telah dijalankan oleh kaum ini.” Maka ia berkata: “Mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak mereka, wanita-wanita kami dan wanita-wanita mereka, dan diri-diri kami dan diri-diri mereka, kemudian kita bermubāhalah dan kita jadikan laknat Allah atas orang-orang yang berdusta.”
Dan dalil atas penetapan ‘awl adalah bahwa bagian-bagian tersebut adalah hak-hak yang telah ditetapkan secara pasti dan telah disepakati kewajibannya, lalu harta peninggalan tidak mencukupi untuk memenuhi semuanya, maka harta dibagi sesuai dengan bagian-bagian itu, sebagaimana dalam kasus utang.
فصل: وإن اجتمع في شخص جهتا فرض كالمجوسي إذا تزوج ابنته فأتت منه ببنت فإن الزوجة صارت أم البنت وأختها من الأب والبنت بنت الزوجة وأختها فإن ماتت البنت ورثتها الزوجة بأقوى القرابتين وهي بكونها أماً ولا ترث بكونها أختاً لأنها شخص واحد اجتمع فيه شيئان يورث بكل واحد منهما الفرض فورث بأقواهما ولم ترث بهما كالأخت من الأب والأم وإن ماتت الزوجة ورثتها البنت النصف بكونها بنتاً وهل ترث الباقي بكونها أختاً فيه وجهان: أحدهما لا ترث لما ذكرناه من العلة والثاني ترث لأن إرثها بكونها بنتاً بالفرض وإرثها بكونها أختاً بالتعصيب لأن الأخت مع البنت عصبة فجاز أن ترث بهما كأخ من أم وهو ابن عم.
PASAL: Jika pada seseorang berkumpul dua jalur sebab mendapatkan bagian warisan, seperti seorang Majusi yang menikahi anak perempuannya lalu lahirlah seorang anak perempuan dari hubungan tersebut, maka si istri (anak perempuan) menjadi ibu dari anak dan sekaligus saudara perempuannya dari jalur ayah, dan si anak menjadi anak dari istri sekaligus saudara perempuannya.
Apabila si anak wafat, maka yang mewarisinya adalah ibunya berdasarkan hubungan kekerabatan yang lebih kuat, yaitu sebagai ibu, dan tidak mewarisi sebagai saudara, karena ia satu orang yang terkumpul padanya dua jalur waris yang masing-masing merupakan sebab memperoleh bagian warisan, maka diwarisi dengan sebab yang lebih kuat, dan tidak diwarisi dengan keduanya sekaligus, seperti saudara perempuan seayah-seibu.
Dan apabila si istri wafat, maka anak perempuannya mewarisi separuh harta karena ia sebagai anak perempuan. Adapun apakah ia mewarisi sisanya karena sebagai saudara perempuan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak mewarisi karena alasan yang telah disebutkan.
Kedua, mewarisi karena waris sebagai anak perempuan adalah karena bagian yang ditentukan (al-farḍ), sedangkan waris sebagai saudara perempuan adalah dengan cara ta‘ṣīb, karena saudara perempuan bersama anak perempuan menjadi ‘aṣabah, maka diperbolehkan mewarisi dengan keduanya, sebagaimana saudara seibu yang sekaligus merupakan anak paman.
باب ميراث العصبة
العصبة كل ذكر ليس بينه وبين الميت أنثى وهم الأب والابن ومن يدلي بهما وأولى العصبات الابن والأب لنهما يدليان بأنفسهما وغيرهما يدلي بهما فغن اجتمعا قدم الابن لأن الله عز وجل بدأ به فقال: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ} والعرب تبدأ بالأهم فالأهم ولأن الأب إذا اجتمع مع الابن فرض له السدس وجعل الباقي للابن ولأن الابن يعصب أخته والأب لا يعصب أخته ثم ابن الابن وإن سفل لأنه يقوم مقام الابن في الإرث والتعصيب ثم الأب لأن سائر العصبات يدلون به ثم الجد إن لم يكن له أخ لأنه أب الأب ثم أبو الجد وإن علا وإن لم يكن جد فالأخ لأنه ابن الأب ثم ابن الأخ وإن سفل ثم العم لأنه ابن الجد ثم ابن العم وإن سفل ثم عم الأب لأنه ابن أبي الجد وإن سفل وعلى هذا أبداً.
PASAL: Warisan ‘Ashabah
‘Ashabah adalah setiap laki-laki yang tidak ada perempuan di antara dirinya dan mayit. Mereka adalah: ayah, anak, dan orang yang menasabkan kepada keduanya.
Yang paling berhak dari para ‘ashabah adalah anak dan ayah, karena keduanya menasabkan kepada mayit secara langsung, sedangkan yang lain menasabkan melalui keduanya. Jika keduanya berkumpul, maka anak didahulukan karena Allah ‘Azza wa Jalla memulai dengan menyebutnya dalam firman-Nya: {Yūṣīkumu Allāhu fī awlādikum lil-dzakari mitslu ḥaẓẓi al-unṡayayn}, dan karena bangsa Arab mendahulukan yang paling penting.
Juga karena apabila ayah berkumpul dengan anak, maka ayah mendapatkan seperenam dan sisanya diberikan kepada anak. Dan karena anak menjadikan saudara perempuannya sebagai ‘ashabah, sedangkan ayah tidak menjadikannya sebagai ‘ashabah.
Setelah itu, anak dari anak laki-laki, walaupun ke bawah, karena dia menggantikan posisi anak dalam hal warisan dan ta‘ṣīb.
Kemudian ayah, karena seluruh ‘ashabah lainnya menasabkan kepada ayah.
Setelah itu, kakek, jika tidak memiliki saudara, karena dia adalah ayah dari ayah.
Kemudian ayah dari kakek, walaupun ke atas.
Jika tidak ada kakek, maka saudara laki-laki, karena dia adalah anak dari ayah.
Kemudian anak dari saudara laki-laki, walaupun ke bawah.
Kemudian paman, karena dia adalah anak dari kakek.
Kemudian anak dari paman, walaupun ke bawah.
Kemudian paman dari ayah, karena dia adalah anak dari ayahnya kakek, walaupun ke bawah.
Dan demikianlah seterusnya.
فصل: وإن انفرد الواحد منهم أخذ جميع المال والدليل عليه قوله عز وجل: {إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ} فورث الأخ جميع مال الأخت إذا لم يكن لها ولد وغن اجتمع مع ذي فرض أخذ ما بقي لما رويناه من حديث جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم ورث أخا سعد بن الربيع ما بقي من فرض البنات والزوجة فدل على أن هذا حكم العصبة.
PASAL: Jika salah satu dari mereka (ahli waris ‘aṣabah) sendirian, maka ia mengambil seluruh harta. Dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: {إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ}, maka saudara laki-laki mewarisi seluruh harta saudari perempuannya jika ia tidak memiliki anak.
Dan jika ia berkumpul bersama ahli waris yang memiliki bagian tertentu (żū al-farḍ), maka ia mengambil sisa harta, berdasarkan hadits Jābir RA bahwa Nabi SAW memberikan warisan kepada saudara laki-laki Sa‘d bin ar-Rabī‘ berupa sisa dari bagian para anak perempuan dan istri. Hal ini menunjukkan bahwa ini adalah hukum al-‘aṣabah.
فصل: وإن اجتمع اثنان قدم أقربهما في الدرجة لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو لأولى عصبة ذكر” وإن اجتمع اثنان في الدرجة وأحدهما يدلي بالأب والأم والآخر يدلي بالأب قدم من يدلي بالأب والأم لأنه أقرب وإن استويا في الدرجة والإدلاء استويا في الميراث لتساويهما.
PASAL: Jika berkumpul dua orang, maka didahulukan yang lebih dekat derajatnya, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Alḥiqū al-farā’iḍa bi-ahlihā, famā baqiya fa-li-awlā ‘aṣabah dzakar” — “Berikan bagian-bagian faraidh kepada ahlinya, dan apa yang tersisa maka menjadi milik ‘ashabah laki-laki yang paling dekat.”
Jika dua orang berada dalam satu derajat, salah satunya menasabkan melalui ayah dan ibu, sedangkan yang lain hanya melalui ayah, maka didahulukan yang menasabkan melalui ayah dan ibu karena dia lebih dekat.
Jika keduanya sama dalam derajat dan cara penasabannya, maka keduanya setara dalam warisan karena kedudukan mereka sama.
فصل: ولا يعصب أحد منهم أنثى إلا الابن وابن الابن والأخ فإنهم يعصبون أخواتهم فأما الابن فإنه يعصب أخواته للذكر مثل حظ الأنثيين لقوله تعالى: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ} وأما ابن الابن فإنه يعصب من يحاذيه من أخواته وبنات عمه سواء كان لهن شيء من فرائض البنات أو لم يكن وقال أبو ثور: إذا استكمل البنات الثلثين فالباقي لابن الابن ولا شيء لبنات الابن لأن البنات لا يرثن بالبنوة أكثر من الثلثين فلو عصبنا بنت الابن بابن الابن بعد استكمال البنات الثلثين صار ما تأخذه بالتعصيب زيادة على الثلثين وهذا خطأ لقوله تعالى: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ} والولد يطلق على الأولاد وأولاد الأولاد والدليل عليه قوله تعالى: {يَا بَنِي آدَمَ}
PASAL: Tidak ada seorang pun dari mereka yang menjadikan perempuan sebagai ‘aṣabah kecuali anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan saudara laki-laki. Mereka itulah yang menjadikan saudara perempuan mereka sebagai ‘aṣabah. Adapun anak laki-laki, maka ia menjadikan saudara-saudara perempuannya sebagai ‘aṣabah dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu: bagi seorang laki-laki bagian seperti dua bagian perempuan.”
Adapun cucu laki-laki dari anak laki-laki, maka ia menjadikan perempuan yang sejajar dengannya sebagai ‘aṣabah, baik mereka adalah saudara-saudara perempuannya maupun anak-anak perempuan pamannya, baik mereka memperoleh bagian dari fardh waris anak perempuan atau tidak.
Abū Ṯaur berkata: Jika anak-anak perempuan telah menyempurnakan dua pertiga, maka sisanya menjadi milik cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan tidak ada bagian untuk anak-anak perempuan dari anak laki-laki. Karena anak-anak perempuan tidak mewarisi lebih dari dua pertiga berdasarkan hubungan sebagai anak, maka jika kami menjadikan anak perempuan dari anak laki-laki sebagai ‘aṣabah karena adanya cucu laki-laki dari anak laki-laki setelah dua pertiga disempurnakan oleh anak-anak perempuan, maka bagian yang ia terima melalui ta‘ṣīb menjadi tambahan dari dua pertiga, dan ini keliru, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu: bagi seorang laki-laki bagian seperti dua bagian perempuan,” dan lafaz al-walad mencakup anak-anak dan cucu-cucu, dan dalilnya adalah firman Allah Ta‘ala: “Wahai anak-anak Ādam.”
وقوله صلى الله عليه وسلم لقوم من أصحابه: “يابني إسماعيل ارموا فإن أباكم كان رامياً” ولأنه يقال لمن ينتسب إلى تميم وطيء بنو تميم وبنو طيء وقوله إنهن لا يرثن بالبنوة أكثر من الثلثين فإنه يمتنع ذلك من جهة الفرض فأما في التعصيب فلا يمتنع كما لو ترك ابناً وعشر بنات فإن للابن السدس وللبنات خمسة أسداس وهو أكثر من الثلثين وأما ابن الابن وإن سفل فإنه يعصب من يحاذيه من أخوته وبنات عمه سواء بقي لهن من فرض البنات شيء أو لم يبق كما يعصب ابن الابن من يحاذيه وأما من فوقه من العمات فينظر فيه فإن كان لهن من فرض البنات من الثلثين أو السدس شيء أخذ الباقي ولم يعصبهن لأنهن يرثن بالفرض ومن يرث بالفرض بقرابة لم يرث بالتعصيب بتلك القرابة وإن لم يكن لهن من فرض البنات شيء عصبهن
dan sabda Nabi SAW kepada sekelompok sahabatnya: “Wahai Bani Ismā‘īl, memanahlah kalian, karena sesungguhnya ayah kalian adalah seorang pemanah.” Dan karena orang yang bernasab kepada Banū Tamīm dan Ṭayy disebut Banū Tamīm dan Banū Ṭayy.
Adapun ucapannya bahwa anak-anak perempuan tidak mewarisi berdasarkan hubungan sebagai anak lebih dari dua pertiga, maka hal itu hanya berlaku dalam fardh. Adapun dalam ta‘ṣīb, tidaklah mustahil, sebagaimana jika seseorang meninggalkan seorang anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan, maka anak laki-laki mendapat seperenam dan anak-anak perempuan mendapatkan lima perenam, yang itu lebih banyak dari dua pertiga.
Adapun cucu laki-laki dari anak laki-laki meskipun berada di tingkat bawah, maka ia menjadikan saudara-saudaranya dan anak-anak perempuan pamannya yang sejajar dengannya sebagai ‘aṣabah, baik masih tersisa bagian fardh anak perempuan maupun tidak, sebagaimana cucu laki-laki dari anak laki-laki menjadikan saudara-saudara sejajarnya sebagai ‘aṣabah.
Adapun perempuan yang berada di atas mereka, seperti para bibi, maka diperhatikan: jika mereka memiliki bagian dari fardh anak perempuan, baik dua pertiga maupun seperenam, maka mereka mengambil sisanya dan tidak dijadikan sebagai ‘aṣabah, karena mereka mewarisi dengan fardh. Dan barang siapa mewarisi dengan fardh karena kekerabatan, maka tidak mewarisi dengan ta‘ṣīb melalui kekerabatan itu. Namun jika mereka tidak memiliki bagian dari fardh anak perempuan, maka mereka dijadikan ‘aṣabah.
لما روي عن زيد بن ثابت رضي الله عنه أنه قال: إذا استكمل البنات الثلثين فليس لبنات الابن شيء إلا أن يلحق بهن ذكر فيرد عليهن بقية المال إن كان أسفل منهن رد على من فوقه للذكر مثل حظ الأنثيين وإن كن أسفل منه فليس لهن شيء وبقية المال له دونهن ولأنه لا يجوز أن يرث بالبنوة مع البعد ولا يرث عماته مع القرب ولا يعصي من هو أنزل منه من بنات أخيه بل يكون الباقي له لما ذكرناه من قول زيد بن ثابت فإن كن أسفل منه فليس لهن شيء وبقية المال له دونهن ولأنه عصبة فلا يرث معه هو دونه كالابن مع بنت الابن وأما الأخ فإنه يعصب أخواته لقوله تعالى: {وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ} .
karena telah diriwayatkan dari Zayd bin Ṯābit RA bahwa ia berkata: “Jika anak-anak perempuan telah menyempurnakan dua pertiga, maka tidak ada bagian bagi anak-anak perempuan dari anak laki-laki, kecuali jika ada laki-laki yang menyertai mereka, maka ia mengembalikan sisa harta kepada mereka. Jika laki-laki tersebut berada di bawah mereka (derajatnya), maka ia mengembalikannya kepada yang di atasnya dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Namun jika perempuan-perempuan itu berada di bawahnya (derajatnya), maka mereka tidak mendapatkan apa-apa, dan sisa harta menjadi miliknya, bukan milik mereka.”
Karena tidak boleh seseorang mewarisi berdasarkan hubungan sebagai anak dengan kedudukan yang jauh sementara bibinya yang lebih dekat tidak mewarisi. Dan tidak boleh seseorang menjadikan perempuan yang lebih rendah darinya, seperti anak-anak perempuan dari saudaranya, sebagai ‘aṣabah, melainkan sisa harta menjadi miliknya, sebagaimana disebutkan dalam perkataan Zayd bin Ṯābit: “Jika mereka (perempuan) berada di bawahnya (derajatnya), maka mereka tidak mendapat apa-apa, dan sisa harta menjadi miliknya, bukan milik mereka.”
Karena ia adalah ‘aṣabah, maka tidak mewarisi bersamanya orang yang kedudukannya di bawah, sebagaimana halnya anak laki-laki dengan anak perempuan dari anak laki-laki.
Adapun saudara laki-laki, maka ia menjadikan saudara-saudara perempuannya sebagai ‘aṣabah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka bagi laki-laki bagian seperti dua bagian perempuan.”
فصل: ولا يشارك أحد من العصبات أهل الفروض في فروضهم إلا ولد الأب والأم فإنهم يشاركون ولد الأم في ثلثهم في المشتركة وهي زوج وأم أو جدة واثنان من ولد الأم وولد الأب والأم واحداً كان أو أكثر فيفرض للزوج النصف وللأم أو الجدة السدس ولولد الأم الثلث يشاركهم ولد الأب والأم في الثلث لأنهم يشاركونهم في الرحم التي ورثوا بها الفرض فلا يجوز أن يرث ولد الأم ويسقط ولد الأب والأم كالأب لما شارك الأم في الرحم بالولادة لم يجز أن ترث الأم ويسقط الأب وتعرف هذه المسألة بالمشتركة لما فيها من التشريك بين ولد الأب والأم وولد الأم في الفرض وتعرف بالحمارية فإنه يحكى فيها عن ولد الأب والأم لأنهم قالوا احسب أن أبانا كان حماراً أليس أمنا وأمهم واحدة؟.
PASAL: Tidak ada seorang pun dari para ‘aṣabah yang ikut serta bersama ahli waris fardh dalam bagian fardh mereka, kecuali anak-anak dari ayah dan ibu (walad al-ab wa al-umm), karena mereka ikut serta bersama anak-anak dari ibu (walad al-umm) dalam sepertiga bagian mereka dalam kasus yang disebut al-musytarakah, yaitu jika pewaris meninggalkan suami, ibu atau nenek, dua orang anak dari ibu, dan anak dari ayah dan ibu — baik satu maupun lebih.
Maka diberikan kepada suami setengah, kepada ibu atau nenek seperenam, dan kepada anak-anak dari ibu sepertiga. Lalu anak dari ayah dan ibu ikut serta bersama anak-anak dari ibu dalam bagian sepertiga itu, karena mereka ikut serta dalam hubungan rahim yang menjadi sebab waris bagian fardh tersebut. Maka tidak boleh anak-anak dari ibu mewarisi dan anak-anak dari ayah dan ibu terhalang, sebagaimana halnya ayah, ketika ia ikut serta bersama ibu dalam hubungan rahim melalui kelahiran, tidak boleh ibu mewarisi dan ayah terhalang.
Masalah ini dikenal dengan al-musytarakah karena terdapat penyertaan antara anak dari ayah dan ibu serta anak dari ibu dalam bagian fardh. Juga dikenal dengan al-ḥimāriyyah, karena disebutkan bahwa anak-anak dari ayah dan ibu berkata, “Anggap saja ayah kami seekor keledai, bukankah ibu kami dan ibu mereka sama?”
فصل: وإن اجتمع في شخص واحد جهة فرض وجهة تعصيب كابن عم وزوج أو ابن عم وأخ من أم ورث بالفرض والتعصيب لأنهم إرثان مختلفان بسببين مختلفين فإن اجتمع ابنا عم أحدهما أخ من أم وورث الأخ من الأم السدس والباقي بينه وبين الآخر وقال أبو ثور: المال كله للذي هو أخ من الأم لأنهما عصبتان يدلي أحدهما بالأبوين والآخر بأحدهما فقدم من يدلي بهما كالأخوين أحدهما من الأب والآخر من الأب والأم وهذا خطأ لأنه استحق الفرض بقرابة الأم فلا يقدم بها في التعصيب كابني عم أحدهما زوج.
PASAL: Jika dalam satu orang berkumpul dua sisi: sisi ahli waris dengan fardh dan sisi ta‘ṣīb, seperti anak paman sekaligus suami, atau anak paman sekaligus saudara seibu, maka ia mewarisi dengan fardh dan ta‘ṣīb sekaligus, karena keduanya adalah dua bentuk warisan yang berbeda dengan dua sebab yang berbeda.
Jika berkumpul dua orang anak paman, salah satunya juga saudara seibu, maka saudara seibu mendapat seperenam, dan sisanya dibagi antara dia dan anak paman yang lain.
Abū Ṯaur berkata: Seluruh harta menjadi milik yang juga saudara seibu, karena keduanya adalah ‘aṣabah, yang satu menisbatkan kepada dua orang tua (ayah dan ibu), dan yang lain hanya kepada salah satu dari keduanya, maka didahulukan yang menisbatkan kepada keduanya, sebagaimana dua orang saudara, yang satu dari ayah dan ibu dan yang satu lagi hanya dari ayah.
Namun ini adalah pendapat yang keliru, karena ia mendapatkan bagian fardh melalui hubungan dengan ibu, maka tidak boleh didahulukan dalam ta‘ṣīb karena hubungan itu, sebagaimana dua orang anak paman, yang salah satunya juga seorang suami.
فصل: وإن لاعن الزوج ونفى نسب الولد انقطع التوارث بينهما لانتفاء السبب بينهما ويبقى التوارث بين الأم والولد لبقاء السبب بينهما وإن مات الولد ولا وارث له غير الأم كان لها الثلث وإن أتت بولدين توأمين فنفاهما الزوج باللعان ثم مات أحدهما وخلف الآخر ففيه وجهان: أحدهما أنه يرث ميراث الأخ من الأم لأنه لا نسب بينهما من جهة الأب فلم يرث بقرابته كالتوأمين من الزنا إذا مات أحدهما وخلف أخاه
PASAL: Jika seorang suami melakukan li‘ān dan menafikan nasab anak, maka terputuslah hubungan saling mewarisi antara keduanya karena sebab (nasab) di antara mereka telah tiada. Namun hubungan saling mewarisi antara ibu dan anak tetap ada karena sebabnya masih ada.
Jika anak tersebut meninggal dan tidak memiliki ahli waris selain ibunya, maka ibu mendapatkan sepertiga.
Jika seorang wanita melahirkan dua anak kembar, lalu suaminya menafikan keduanya melalui li‘ān, kemudian salah satu dari keduanya meninggal dunia dan mewariskan kepada saudaranya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, saudaranya mewarisi sebagai saudara seibu, karena tidak ada hubungan nasab dari pihak ayah, maka ia tidak mewarisi karena hubungan nasab tersebut, seperti halnya anak kembar hasil zina; jika salah satunya meninggal dunia dan mewariskan kepada saudaranya, maka tidak diwarisi.
والثاني أنه يرثه ميراث الأخ من الأب والأم لأن اللعان ثبت في حق الزوجين دون غيرهما ولهذا لو قذفها الزوج لم يحد ولو قذفها غيره حد والصحيح هو الأول لأن النسب قد انتفى بينهما في حق كل واحد منهما كما انقطع الفراش بينهما في حق كل أحد يجوز لكل أحد أن يتزوجها.
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa ia mewarisi dengan warisan saudara seayah dan seibu, karena li‘ān hanya berlaku terhadap pasangan suami istri saja, tidak terhadap selain keduanya. Oleh karena itu, jika suami menuduh istrinya berzina, ia tidak dikenai had, sedangkan jika orang lain yang menuduhnya, maka ia dikenai had.
Namun pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama, karena nasab telah terputus di antara keduanya bagi masing-masing pihak, sebagaimana juga hubungan firāsy telah terputus, sehingga setiap orang boleh menikahinya.
فصل: وإن كان الوارث خنثى وهو الذي له فرج الرجال وفرج النساء فإن عرف أنه ذكر ورث ميراث الذكر وإن عرف أنه أنثى ورث ميراث الأنثى وإن لم يعرف فهو الخنثى المشكل وورث ميراث أنثى فإن كان أنثى وحده ورث النصف فإن كان معه ابن ورث الثلث وورث الابن النصف لأنه يقين ووقف السدس لأنه مشكوك فيه وإن كانا خنثيين ورثا الثلثين لأنه يقين ووقف الباقي لأنه مشكوك فيه ويعرف أنه ذكر أو أنثى بالبول فإن كان يبول من الذكر فهو ذكر وإن كان يبول من الفرج فهو أنثى
PASAL: Jika ahli waris adalah khuntsā, yaitu orang yang memiliki kemaluan laki-laki dan kemaluan perempuan, maka jika diketahui bahwa ia laki-laki, ia mewarisi bagian laki-laki. Jika diketahui bahwa ia perempuan, ia mewarisi bagian perempuan. Jika tidak diketahui, maka ia adalah khuntsā musykil, dan ia mewarisi bagian perempuan.
Jika ia seorang diri sebagai perempuan, maka ia mewarisi setengah. Jika bersama seorang anak laki-laki, maka ia mewarisi sepertiga, dan anak laki-laki mewarisi setengah karena itu yakin, dan seperenam ditahan karena diragukan.
Jika keduanya adalah khuntsā, maka keduanya mewarisi dua pertiga karena itu yakin, dan sisanya ditahan karena diragukan.
Jenis kelamin diketahui melalui cara buang air kecil: jika ia buang air dari kemaluan laki-laki, maka ia laki-laki; jika dari kemaluan perempuan, maka ia perempuan.
لما روي عن علي كرم الله وجهه أنه قال: يورث الخنثى من حيث يبول وروي عنه أنه قال: إن خرج بوله من مبال الذكر فهو ذكر وإن خرج من مبال الأنثى فهو أنثى ولأن الله تعالى جعل بول الذكر من الذكر وبول الأنثى من الفرج فرجع في التمييز إليه وإن كان يبول منهما نظرت فإن كان يبول من أحدهما أكثر فقد روى المزني في الجامع أن الحكم للأكثر وهو قول بعض أصحابنا لأن الأكثر هو الأقوى في الدلالة والثاني أنه لا تعتبر الكثرة لأن اعتبار الكثرة يشق فسقط
Karena telah diriwayatkan dari Ali karramallāhu wajhah bahwa beliau berkata: Khuntsā diwarisi berdasarkan dari mana ia buang air kecil. Dan juga diriwayatkan darinya bahwa beliau berkata: Jika air kencing keluar dari kemaluan laki-laki, maka ia laki-laki; dan jika keluar dari kemaluan perempuan, maka ia perempuan. Karena Allah Ta‘ala menjadikan air kencing laki-laki keluar dari kemaluan laki-laki, dan air kencing perempuan keluar dari kemaluan perempuan, maka penentuan jenis kelamin dikembalikan kepada hal itu.
Jika ia buang air dari keduanya, maka dilihat: jika dari salah satunya lebih banyak, maka al-Muzanī meriwayatkan dalam al-Jāmi‘ bahwa hukum ditetapkan berdasarkan yang lebih banyak, dan ini adalah pendapat sebagian sahabat kami, karena yang lebih banyak menunjukkan lebih kuat dalam petunjuk.
Pendapat kedua, bahwa banyaknya tidak dianggap, karena memperhatikan jumlah banyaknya itu menyulitkan, maka gugurlah.
وإن لم يعرف بالبول سئل عما يميل إليه طبعه فإن قال أميل إلى النساء فهو ذكر وإن قال أميل إلى الرجال فهو أنثى وإن قال أميل إليهما فهو المشكل وقد بيناه ومن أصحابنا من قال إن لم يكن في البول دلالة اعتبر عدد الأضلاع فإن نقص من الجانب الأيسر ضلع فهو ذكر فإن أضلاع الرجل من الجانب الأيسر أنقص فإن الله عز وجل خلق حواء من ضلع آدم الأيسر فمن ذلك نقص من الجانب الأيسر ضلع ولهذا قال الشاعر:
هي الضلع العوجاء لست تقيمها … ألا إن تقويم الضلوع انكسارها
أتجمع ضعفاً واقتداراً على الفتى … أليس عجيباً ضعفها واقتدارها
Jika tidak diketahui melalui buang air kecil, maka ditanyakan kecenderungan tabiatnya: jika ia berkata, “Saya cenderung kepada perempuan,” maka ia adalah laki-laki; jika ia berkata, “Saya cenderung kepada laki-laki,” maka ia adalah perempuan; dan jika ia berkata, “Saya cenderung kepada keduanya,” maka ia adalah musykil, dan hal itu telah dijelaskan.
Sebagian sahabat kami berpendapat bahwa jika tidak terdapat petunjuk dari buang air kecil, maka diperhatikan jumlah tulang rusuk. Jika rusuk di sisi kiri berkurang satu, maka ia adalah laki-laki, karena jumlah rusuk laki-laki di sisi kiri lebih sedikit, sebab Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Ḥawwā’ dari tulang rusuk kiri Nabi Ādam. Oleh sebab itu, rusuk kirinya berkurang satu.
Untuk itu dikatakan oleh penyair:
Hiya aḍ-ḍil‘u al-‘iwajā lasta tuqīimuhā … alā inna taqwīma aḍ-ḍulū‘i inkisāruhā
A tajma‘u ḍa‘fan wa iqtidāran ‘ala al-fatā … alaysa ‘ajīban ḍa‘fuhā wa iqtidāruhā
Artinya:
Dia adalah tulang rusuk yang bengkok, engkau tak bisa meluruskannya … ketahuilah bahwa meluruskan tulang rusuk adalah mematahkannya
Apakah ia menggabungkan kelemahan dan kekuasaan atas laki-laki … tidakkah mengherankan, lemahnya namun berkuasa?
فصل: وإن مات الرجل وترك حملاً وله وارث غير الحمل نظرت فإن كان له سهم مقدر لا ينقص كالزوجة دفع إليها الفرض ووقف الباقي إلى أن ينكشف وإن لم يكن له سهم مقدر كالابن وقف الجميع لأنه لا يعلم أكثر ما تحمله المرأة والدليل عليه أن الشافعي رحمه الله قال: دخلت إلى شيخ باليمن لأسمع منه الحديث فجاءه خمسة كهول فسلموا عليه وقبلوا رأسه ثم جاءه خمسة شباب فسلموا عليه وقبلوا رأسه ثم جاءه خمسة فتيان فسلموا عليه وقبلوا رأسه ثم جاءه خمسة صبيان فسلموا عليه وقبلوا رأسه فقلت من هؤلاء؟ فقال: أولادي كل خمسة منهم في بطن وفي المهد خمسة أطفال.
PASAL: Jika seorang laki-laki wafat dan meninggalkan ḥaml (janin) serta memiliki ahli waris selain ḥaml, maka dilihat dahulu: jika ahli waris tersebut memiliki bagian yang pasti dan tidak berkurang seperti istri, maka diberikan bagian tersebut kepadanya dan sisanya ditahan hingga keadaan ḥaml jelas. Namun jika tidak memiliki bagian yang pasti seperti anak laki-laki, maka seluruh harta ditahan karena tidak diketahui seberapa banyak yang bisa dikandung seorang wanita. Dalilnya adalah bahwa asy-Syāfi‘ī raḥimahullāh berkata: Aku masuk kepada seorang syekh di Yaman untuk mendengar darinya hadis. Lalu datang lima orang tua menyapanya dan mencium kepalanya. Kemudian datang lima pemuda menyapanya dan mencium kepalanya. Lalu datang lima remaja menyapanya dan mencium kepalanya. Kemudian datang lima anak kecil menyapanya dan mencium kepalanya. Maka aku bertanya: Siapa mereka ini? Ia menjawab: Anak-anakku, setiap lima dari mereka berada dalam satu kandungan, dan di buaiannya ada lima bayi.
وقال ابن المرزبان: أسقطت المرأة بالأنبار كيساً فيه اثنا عشر ولداً كل اثنين متقابلان فإذا انفصل الحمل واستهل ورث لما روى سعيد بن المسيب رحمه الله عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال: إن من السنة أن لا يرث المنفوس ولا يورث حتى يستهل صارخاً فإن تحرك حركة حي أو عطس ورث لأنه لم يعرف حياته وإن خرج بعضه وفيه حياة ومات قبل خروج الباقي لأنه لا يثبت له حكم الدنيا قبل انفصال جميعه ولهذا لا ينقضي به العدة ولا يسقط حق الزوج عن الرجعة قبل انفصال جميعه.
Dan Ibnu al-Marzubān berkata: Seorang perempuan di al-Anbār mengalami keguguran yang di dalamnya terdapat kantong berisi dua belas janin, masing-masing dua saling berhadapan.
Apabila janin telah terpisah (lahir) dan mengeluarkan suara tangisan, maka ia berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan riwayat Sa‘īd bin al-Musayyib rahimahullāh dari Abū Hurairah RA bahwa ia berkata: Termasuk sunnah bahwa janin tidak mewarisi dan tidak diwarisi sampai ia mengeluarkan suara tangisan.
Namun jika ia bergerak seperti gerakan orang hidup atau bersin, maka ia mewarisi, karena telah diketahui kehidupannya.
Jika sebagian tubuhnya keluar dalam keadaan hidup lalu meninggal sebelum seluruh tubuhnya keluar, maka ia tidak dihukumi hidup menurut hukum dunia, karena belum seluruh tubuhnya terpisah. Oleh sebab itu, ia tidak dianggap mengakhiri masa ‘iddah dan tidak menggugurkan hak suami untuk rujū‘ sebelum seluruh tubuhnya keluar.
فصل: وإن مات رجل ولم تكن له عصبة ورثه المولى المعتق كما ترثه العصبة على ما ذكرناه في باب الولاء فإن لم يكن له وارث نظرت فإن كان كافراً صار ماله لمصالح المسلمين وإن كان مسلماً صار ماله ميراثاً للمسلمين لأنهم يعقلونه إذا قتل فانتقل ماله إليهم بالموت ميراثاً كالعصبة فإن كان للمسلمين إمام عادل سلم إليه ليضعه في بيت المال لمصالح المسلمين وإن لم يكن إمام عادل ففيه وجهان: أحدهما أنه يرد على أهل الفرض على قدر فروضهم إلا على الزوجين
PASAL: Jika seorang lelaki wafat dan tidak memiliki ‘aṣabah, maka yang mewarisinya adalah mawlā yang memerdekakannya, sebagaimana ‘aṣabah mewarisi sebagaimana telah kami sebutkan dalam bab al-Walā’. Jika ia tidak memiliki ahli waris, maka diperhatikan: jika ia seorang kafir, hartanya menjadi milik untuk kemaslahatan kaum muslimin; dan jika ia seorang muslim, hartanya menjadi warisan bagi kaum muslimin, karena mereka yang menanggung diyat-nya apabila ia membunuh, maka hartanya berpindah kepada mereka melalui kematian sebagai warisan sebagaimana ‘aṣabah. Jika kaum muslimin memiliki seorang imam yang adil, maka diserahkan kepadanya untuk diletakkan di Bayt al-Māl demi kemaslahatan kaum muslimin. Dan jika tidak ada imam yang adil, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya bahwa harta tersebut dikembalikan kepada para ahli waris dhū al-farā’iḍ sesuai dengan bagian mereka, kecuali kepada pasangan suami istri.
فإن لم يكن أهل الفرض قسم على ذوي الأرحام على مذهب أهل التنزيل فيقام كل واحد منهم مقام من يدلي به فيجعل ولد البنات والأخوات بمنزلة أمهاتهم وبنات الأخوة والأعمام بمنزلة آبائهم وأبو الأم والخال بمنزلة الأم والعمة والعم من الأم لأن الأمة أجمعت على الإرث بإحدى الجهتين فإذا عدمت إحداهما تعينت الأخرى والثاني وهو المذهب أنه لا يرد على أهل السهام ولا يقسم المال على ذوي الأرحام لأنا دللنا أنه للمسلمين والمسلمون لم يعدموا وإنما عدم من يقبض لهم فلم يسقط حقهم كما لو كان الميراث لصبي وليس له ولي فعلى هذا يصرفه من في يده المال إلى المصالح.
Jika tidak ada ahli waris dari kalangan ashḥāb al-furūḍ, maka warisan dibagikan kepada dhawī al-arḥām menurut mazhab ahl at-tanzīl. Maka setiap orang dari mereka ditempatkan pada kedudukan orang yang menjadi penyebab hubungannya. Anak-anak perempuan dan saudari perempuan diposisikan seperti ibu mereka, anak-anak saudara laki-laki dan paman diposisikan seperti bapak mereka, kakek dari ibu dan paman dari ibu diposisikan seperti ibu, bibi dan paman dari pihak ibu, karena umat telah bersepakat bahwa warisan diberikan dengan salah satu dari dua jalur. Jika salah satunya tidak ada, maka yang lain menjadi penentu.
Pendapat kedua—dan ini adalah mazhab—bahwa tidak dilakukan radd kepada ashḥāb as-sihām dan warisan tidak dibagikan kepada dhawī al-arḥām, karena kami telah menjelaskan bahwa harta itu milik kaum Muslimin. Dan kaum Muslimin tidaklah hilang, yang hilang hanyalah orang yang mewakili mereka dalam penerimaan. Maka hak mereka tidak gugur, sebagaimana jika warisan milik seorang anak kecil yang belum memiliki wali, maka orang yang memegang harta itu menyalurkannya kepada kemaslahatan.
باب الجد والأخوة
إذا اجتمع الجد وأبو الجد وإن علا مع ولد الأب والأم أو ولد الأب ولم تنقصه المقاسمة من الثلث قاسمهم وعصب إناثهم وقال المزني: يسقطهم ووجهه أن له ولادة وتعصيباً بالرحم فأسقط ولد الأب والأم كالأب وهذا خطأ لأن ولد الأب يدلي بالأب فلم يسقطه الجد كأم الأب ويخالف الأب فإن الأخ يدلي به ومن أدلى بعصبة لم يرث معه كابن الأخ مع الأخ وأم الأب مع الأب والجد والأخ يدليان بالأب فلم يسقط أحدهما كالأخوين من الأب وأم الأب مع الجد ولأن الأب يحجب الأم من الثلث إلى ثلث الباقي مع الزوجين والجد لا يحجبها.
BAB JAD DAN SAUDARA
Jika berkumpul jad (kakek) atau abū al-jad (ayah dari kakek), meskipun lebih tinggi, bersama anak laki-laki dari ayah dan ibu (walad al-ab wa al-umm) atau anak laki-laki dari ayah saja (walad al-ab), dan muqāsamah (pembagian secara musyarakah) tidak mengurangi bagian jad dari sepertiga, maka jad berhak melakukan muqāsamah dan menjadi ‘āṣib bagi perempuan di antara mereka.
Dan menurut al-Muzanī: jad menjatuhkan hak mereka (anak-anak laki-laki dari ayah), dengan alasan bahwa ia memiliki jalur nasab dan hak ta‘ṣīb karena rahim, maka ia menjatuhkan anak-anak dari ayah dan ibu sebagaimana ayah menjatuhkan mereka. Namun ini adalah kekeliruan, karena anak dari ayah bersandar pada ayah, maka jad tidak menjatuhkannya, sebagaimana halnya ibu dari ayah tidak dijatuhkan.
Ini berbeda dengan ayah, karena saudara (laki-laki) bersandar padanya, dan siapa yang bersandar pada ‘āṣib tidak mewarisi bersamanya, seperti anak saudara dengan saudara, atau ibu dari ayah dengan ayah. Adapun jad dan saudara, keduanya bersandar pada ayah, maka tidak saling menjatuhkan, sebagaimana dua saudara kandung (dari ayah dan ibu) dan ibu dari ayah dengan jad.
Dan karena ayah menghalangi ibu dari mendapatkan sepertiga menjadi sepertiga dari sisa bersama pasangan (suami atau istri), sedangkan jad tidak menghalanginya.
فصل: وإن اجتمع مع الجد ولد الأب والأم وولد الأب عاد ولد الأب والأم الجد بولد الأب لأن من حجب بولد الأب والأم وولد الأب إذا انفرد حجب بهما إذا اجتمعا كالأم فإن كان له جد وأخ من أب وأم وأخ من أب قسم المال على ثلاثة أسهم للجد سهم ولكل واحد من الأخوين سهم ثم يرد الأخ من الأب سهمه على الأخ من الأب والأم لأنه لا يرث معه فلم يشاركه فيما حجبا عنه كما لا يشارك الأخ من الأب الأخ من الأب والأم فيما حجبا عنه الأم وتعرف هذه المسألة بالمعادة
PASAL: Jika berkumpul bersama kakek, saudara seayah-seibu, dan saudara seayah, maka saudara seayah-seibu mengembalikan (menguatkan kedudukan) kakek terhadap saudara seayah, karena siapa yang dapat menghalangi (ahli waris lain) dengan saudara seayah-seibu dan saudara seayah secara terpisah, maka ia juga dapat menghalangi bila keduanya berkumpul, seperti ibu.
Jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan kakek, saudara seayah-seibu, dan saudara seayah, maka harta dibagi menjadi tiga bagian: satu bagian untuk kakek, dan masing-masing dari dua saudara mendapat satu bagian. Kemudian bagian saudara seayah dikembalikan (ditarik) kepada saudara seayah-seibu, karena saudara seayah tidak mewarisi bersama saudara seayah-seibu, maka ia tidak turut serta dalam penghalangan yang dilakukan oleh keduanya, sebagaimana saudara seayah tidak ikut serta dengan saudara seayah-seibu dalam penghalangan terhadap ibu.
Permasalahan ini dikenal dengan nama al-mu‘ādah.
لأن الأخ من الأب والأم عاد الجد بالأخ من الأب ثم أخذ منه ما حصل له وإن اجتمع مع الجد أخ من الأب وأخت من الأب والأم قسم المال على خمسة أسهم للجد سهمان وللأخ سهمان وللأخت سهم ثم يرد الأخ على الأخت تمام النصف وهو سهم ونصف ويأخذ ما بقي وهو نصف سهم لأن الأخ من الأب إنما يرث مع الأخت من الأب والأم ما يبقى بعد استكمال الأخت النصف وتصح من عشرة وتسمى عشرية زيد رضي الله عنه وإن اجتمع مع أختين من الأب وأختين من الأب والأم قسم المال بينهم على ستة أسهم للجد سهمان ولكل أخت سهم ثم ترد الأختان من الأب جميع ما حصل لهما على الأختين من الأب والأم لأنهما لا يرثان قبل أن تستكمل من الأب والأم الثلثين.
Karena saudara laki-laki seayah-seibu telah mengembalikan (menguatkan kedudukan) kakek terhadap saudara laki-laki seayah, kemudian ia mengambil darinya bagian yang diperolehnya.
Jika berkumpul bersama kakek: saudara laki-laki seayah dan saudari perempuan seayah-seibu, maka harta dibagi menjadi lima bagian: dua bagian untuk kakek, dua bagian untuk saudara laki-laki, dan satu bagian untuk saudari perempuan. Kemudian saudara laki-laki mengembalikan kepada saudari perempuan hingga sempurna bagiannya menjadi setengah, yaitu satu setengah bagian, dan ia mengambil sisanya, yaitu setengah bagian. Karena saudara laki-laki seayah hanya mewarisi bersama saudari seayah-seibu apa yang tersisa setelah saudari tersebut menyempurnakan bagian setengahnya.
Permasalahan ini sah diselesaikan dari asal enam dibagi sepuluh, dan dikenal dengan sebutan ‘usyriyah Zayd RA.
Jika berkumpul dua saudari dari seayah dan dua saudari dari seayah-seibu, maka harta dibagi menjadi enam bagian: dua bagian untuk kakek, dan satu bagian untuk tiap saudari. Kemudian dua saudari dari seayah mengembalikan seluruh bagian yang diperoleh mereka kepada dua saudari dari seayah-seibu, karena keduanya (dari seayah) tidak mewarisi sampai dua saudari dari seayah-seibu menyempurnakan bagian dua pertiga.
فصل: وإن كانت المقاسمة تنقص الجد من الثلث بأن زاد الإخوة على اثنتين والأخوات على أربع فرض للجد الثلث وقسم الباقي بين الإخوة والأخوات لأنا قد دللنا على أنه يقاسم الواحد ولا خلاف أنهم لا يقاسمونه أبداً فكان التقدير بالاثنين أشبه بالأصول فإن الحجب إذا اختلف فيه الواحد والجماعة وجب التقدير فيه بالاثنين كحجب الأم من الثلث وحجب البنات لبنات الابن وحجب الأخوات للأب والأم للأخوات للأب ولا يعاد ولد الأب والأم الجد بولد الأب في هذا الفصل لأن المعادة تحجب الجد ولا سبيل لحجبه عن الثلث.
PASAL: Jika al-muqāsamah (pembagian bersama antara kakek dan saudara-saudara) mengurangi bagian kakek dari sepertiga—yaitu ketika jumlah saudara laki-laki lebih dari dua dan saudara perempuan lebih dari empat—maka diberikan kepada kakek sepertiga, dan sisanya dibagi di antara para saudara laki-laki dan perempuan. Karena telah dijelaskan bahwa kakek ikut membagi dengan satu orang, dan tidak ada khilaf bahwa mereka (yakni para saudara) tidak membaginya selamanya, maka penetapan dua orang lebih sesuai dengan kaidah-kaidah pokok.
Sebab jika terdapat perbedaan dalam ḥijb (penghalangan waris) antara satu dan banyak orang, maka yang digunakan sebagai ukuran adalah dua orang, sebagaimana ḥijb ibu dari sepertiga, ḥijb anak-anak perempuan terhadap cucu perempuan, dan ḥijb saudari seayah-seibu terhadap saudari seayah.
Dan dalam bab ini, anak-anak seayah-seibu tidak mengembalikan (menguatkan kedudukan) kakek terhadap anak-anak seayah, karena al-mu‘ādah dalam konteks ini akan menghalangi kakek, dan tidak mungkin menghalangi kakek dari sepertiga.
فصل: وإن اجتمع مع الجد والإخوة من له فرض أخذ صاحب الفرض فرضه وجعل للجد أوفر الأمرين من المقاسمة أو ثلث الباقي ما لم ينقص عن سدس جميع المال لأن الفرض كالمستحق من المال فيصير الباقي كأنه جميع المال وقد بينا أن حكمه في جميع المال أن يجعل له أوفر الأمرين من المقاسمة أو ثلث المال فكذلك فيما بقي بعد الفرض فإن نقصته المقاسمة أو ثلث الباقي عن السدس فرض له السدس
PASAL: Jika bersama kakek dan para saudara terdapat orang yang memiliki bagian fardh, maka orang yang memiliki bagian fardh diberikan bagiannya, dan diberikan kepada kakek pilihan yang lebih menguntungkan antara muqāsamah atau sepertiga dari sisa harta, selama tidak kurang dari seperenam seluruh harta. Sebab bagian fardh dianggap sebagai hak yang pasti dari harta, sehingga sisa harta dianggap seakan-akan sebagai seluruh harta. Dan kami telah menjelaskan bahwa hukumnya dalam seluruh harta adalah diberikan kepadanya pilihan yang lebih menguntungkan antara muqāsamah atau sepertiga dari seluruh harta, maka demikian pula dalam sisa harta setelah bagian fardh. Jika muqāsamah atau sepertiga dari sisa harta mengurangi bagiannya dari seperenam, maka ditetapkan baginya seperenam.
لأن ولد الأب والأم ليس بأكثر من ولد الصلب ولو اجتمع الجد مع ولد الصلب لم ينقص حقه من السدس فلأن لا ينقص مع ولد الأب والأم أولى وإن مات رجل وخلف بنتاً وجداً واختاً فللبنت النصف والباقي بين الجد والأخت للذكر مثل حظ الأنثيين وهي من مربعات عبد الله بن مسعود رضي الله عنه فإنه قال: للبنت النصف والباقي بين الجد والأخت نصفان وتصح من أربعة وإن ماتت امرأة وخلفت زوجاً وأماً وجداً فللزوج النصف وللأم الثلث والباقي للجد وهو السدس وهي من مربعات عبد الله رضي الله عنه لأنه يروى عنه أنه قال: للزوج النصف والباقي بين الجد والأم نصفان وتصح من أربعة وهذا خطأ
Karena anak dari ayah dan ibu tidak lebih kuat daripada anak kandung, dan apabila kakek berkumpul dengan anak kandung maka haknya tidak berkurang dari seperenam, maka jika berkumpul dengan anak dari ayah dan ibu lebih utama untuk tidak berkurang. Dan apabila seorang laki-laki wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, seorang kakek, dan seorang saudari, maka anak perempuan mendapatkan separuh, dan sisanya dibagi antara kakek dan saudari dengan perbandingan laki-laki dua bagian dan perempuan satu bagian. Ini termasuk contoh murabba‘āt dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd RA, karena beliau berkata: untuk anak perempuan separuh dan sisanya antara kakek dan saudari, masing-masing separuh, dan perhitungan asal masalahnya dari empat.
Dan apabila seorang wanita wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, dan seorang kakek, maka suami mendapatkan separuh, ibu sepertiga, dan sisanya untuk kakek yaitu seperenam. Ini juga termasuk murabba‘āt dari ‘Abdullāh RA, karena diriwayatkan darinya bahwa beliau berkata: untuk suami separuh dan sisanya antara kakek dan ibu, masing-masing separuh, dan perhitungan asal masalahnya dari empat. Dan ini adalah kekeliruan.
لأن الجد أبعد من الأم فلم يجز أن يحجبها كجد الأب مع أم الأب وإن مات رجل وخلف زوجة وأماً وأخاً وجداً فللزوجة الربع وللأم الثلث والباقي بين الجد والأخ نصفان وتصح من أربعة وعشرين للزوجة ستة أسهم وللأم ثمانية والباقي بين الجد والأخ لكل واحد منهما خمسة وهي من مربعات عبد الله بن مسعود رضي الله عنه فإنه روي عنه أنه جعل للزوجة الربع وللأم ثلث ما بقي والباقي بين الجد والأخ نصفان وتصح من أربعة للزوجة سهم وللأم سهم وللأخ سهم وللجد سهم وإن مات رجل وخلف امرأة وجداً واختاً فللمرأة الربع والباقي بين الجد والأخت للذكر مثل حظ الأنثيين وتعرف بالمربعة لأن مذهب زيد ما ذكرناه
Karena kakek lebih jauh hubungannya daripada ibu, maka tidak boleh menghalangi ibu dari warisan, sebagaimana kakek dari pihak ayah tidak menghalangi ibu dari pihak ayah. Dan apabila seorang laki-laki wafat dan meninggalkan istri, ibu, seorang saudara laki-laki, dan seorang kakek, maka istri mendapat seperempat, ibu sepertiga, dan sisanya dibagi antara kakek dan saudara laki-laki masing-masing separuh. Perhitungan asal masalahnya dari dua puluh empat: untuk istri enam bagian, untuk ibu delapan bagian, dan sisanya sepuluh bagian dibagi antara kakek dan saudara laki-laki, masing-masing lima bagian. Ini termasuk murabba‘āt dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd RA, karena diriwayatkan darinya bahwa ia menetapkan untuk istri seperempat, dan untuk ibu sepertiga dari sisa, dan sisanya antara kakek dan saudara laki-laki masing-masing separuh. Dan perhitungannya dari empat: untuk istri satu bagian, untuk ibu satu bagian, untuk saudara satu bagian, dan untuk kakek satu bagian.
Dan apabila seorang laki-laki wafat dan meninggalkan seorang istri, seorang kakek, dan seorang saudari, maka istri mendapat seperempat dan sisanya dibagi antara kakek dan saudari dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dan ini dikenal dengan al-murabba‘ah, karena pendapat Zaid adalah sebagaimana telah kami sebutkan.
ومذهب أبي بكر وابن عباس رضي الله عنهما للمرأة الربع والباقي للجد ومذهب علي وعبد الله رضي الله عنهما للمرأة الربع وللأخت النصف والباقي للجد واختلفوا فيها على ثلاثة مذاهب واتفقوا على القسمة من أربعة وإن مات رجل وخلف أماً وأختاً فللأم الثلث والباقي بين الجد والأخت للذكر مثل حظ الأنثيين وتسمى الخرقاء لكثرة اختلاف الصحابة فيها فإن زيداً ذهب إلى ما قلناه
Dan pendapat Abū Bakr dan Ibn ‘Abbās RA: untuk istri seperempat dan sisanya untuk kakek. Sedangkan pendapat ‘Alī dan ‘Abdullāh RA: untuk istri seperempat, untuk saudari separuh, dan sisanya untuk kakek. Mereka berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat, namun sepakat bahwa pembagiannya berasal dari empat.
Dan apabila seorang laki-laki wafat dan meninggalkan seorang ibu dan seorang saudari, maka untuk ibu sepertiga dan sisanya dibagi antara kakek dan saudari dengan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dan ini disebut al-kharqā’ karena banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentangnya. Adapun pendapat Zaid adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan.
وذهب أبو بكر وابن عباس رضي الله عنهما إلى أن للأم الثلث والباقي للجد وذهب عمر إلى أن للأخت النصف وللأم ثلث الباقي وهو السدس والباقي للجد وذهب عثمان رضي الله عنه إلى أن للأم الثلث والباقي بين الجد والأخت نصفان وتصح من ثلاثة وذهب علي عليه السلام إلى أن للأخت النصف وللأم الثلث والباقي للجد وعن ابن مسعود روايتان إحداهما مثل قول عمر رضي الله عنه والثانية للأخت النصف والباقي بين الأم والجد نصفان وتصح من أربعة وتعرف بمثلثة عثمان ومربعة عبد الله رضي الله عن الجميع.
Dan Abū Bakr serta Ibn ‘Abbās RA berpendapat bahwa ibu mendapat sepertiga dan sisanya untuk kakek. ‘Umar RA berpendapat bahwa saudari mendapat separuh, ibu sepertiga dari sisa (yaitu seperenam), dan sisanya untuk kakek. ‘Utsmān RA berpendapat bahwa ibu mendapat sepertiga dan sisanya dibagi antara kakek dan saudari masing-masing separuh, dan perhitungannya dari tiga. ‘Alī RA berpendapat bahwa saudari mendapat separuh, ibu sepertiga, dan sisanya untuk kakek.
Dari Ibn Mas‘ūd RA terdapat dua riwayat: salah satunya seperti pendapat ‘Umar RA, dan yang kedua bahwa saudari mendapat separuh, dan sisanya dibagi antara ibu dan kakek masing-masing separuh, dan perhitungannya dari empat. Masalah ini dikenal dengan mitslatsah ‘Utsmān dan murabba‘ah ‘Abdullāh, semoga Allah meridai mereka semua.
فصل: ولا يفرض للأخت مع الجد إلا في مسألة واحدة وهي إذا ماتت امرأة وخلفت زوجاً وأختاً وجداً فللزوج النصف وللأم الثلث وللأخت النصف وللجد السدس وأصلها من ستة وتعول إلى تسعة ويجمع نصف الأخت وسدس الجد ويقسم بينهما للذكر مثل حظ الأنثيين وتصح من سبعة وعشرين للزوج تسعة وللأم ستة وللجد ثمانية وللأخت أربعة لأنه لا بد أن يعطي الزوج النصف لأنه ليس ههنا من يحجبه ولا بد من أن تعطي الأم الثلث لأنه ليس ههنا من يحجبها ولا بد من أن يعطي الجد السدس لأن أقل حقه السدس ولا يمكن إسقاط الأخت
PASAL: Tidak diberi bagian fardh untuk saudara perempuan bersama kakek kecuali dalam satu kasus, yaitu apabila seorang perempuan meninggal dan meninggalkan suami, saudara perempuan, dan kakek. Maka suami mendapatkan setengah, ibu mendapatkan sepertiga, saudara perempuan mendapatkan setengah, dan kakek mendapatkan seperenam. Asal masalahnya dari enam dan menjadi ‘aul menjadi sembilan. Setengah saudara perempuan dan seperenam kakek dijumlahkan lalu dibagi antara keduanya dengan ketentuan lidz-zakari mitslu ḥaẓẓil-untsayayn. Masalah ini sah dari dua puluh tujuh: untuk suami sembilan, untuk ibu enam, untuk kakek delapan, dan untuk saudara perempuan empat. Karena suami harus diberikan setengah sebab tidak ada yang menghalanginya, ibu juga harus diberi sepertiga karena tidak ada yang menghalanginya, dan kakek harus diberi seperenam karena itu adalah bagian terendahnya, dan tidak mungkin menggugurkan bagian saudara perempuan.
لأنه ليس ههنا من يسقطها ولا يمكن أن تعطي النصف كاملاً لأنه لا يمكن تفضيلها على الجد فوجب أن يقسم مالهما بينهما للذكر مثل حظ الأنثيين وتعرف هذه المسألة بالأكدرية لأن عبد الملك بن مروان سأل عنها رجلاً اسمه الأكدر فنسبت إليه وقيل سميت أكدرية لأنها كدرت على زيد أصله لأنه لا يعيل مسائل الجد وقد أعال ولا يفرض للأخت مع الجد وقد فرض فإن كان مكان الأخت في الأكدرية أخ لم يرث لأن للزوج النصف وللأم الثلث وللجد السدس ولا يجوز أن يشارك الجد في السدس لأن الجد يأخذ السدس بالفرض والأخ لا يرث بالفرض وإنما يرث بالتعصيب ولم يبق ما يرثه بالتعصيب فسقط وبالله التوفيق.
karena tidak ada di sini yang menggugurkannya, dan tidak mungkin memberinya setengah secara utuh, karena tidak boleh mengunggulkannya atas kakek. Maka wajib membagi bagian keduanya dengan ketentuan lidz-zakari mitslu ḥaẓẓil-untsayayn. Masalah ini dikenal dengan nama al-akdariyyah, karena ʿAbd al-Malik bin Marwān pernah bertanya tentangnya kepada seorang lelaki bernama al-Akdar, maka dinisbatkan kepadanya. Ada pula yang mengatakan dinamakan akdariyyah karena ia mengacaukan asal pembagian menurut Zaid, sebab Zaid tidak menjadikan masalah kakek mengalami ʿawl, sementara di sini terjadi ʿawl, dan Zaid tidak memberikan bagian fardh kepada saudara perempuan bersama kakek, sementara di sini ia mendapat bagian.
Jika posisi saudara perempuan dalam akdariyyah itu digantikan oleh saudara laki-laki, maka ia tidak mewarisi, karena suami mendapat setengah, ibu mendapat sepertiga, dan kakek mendapat seperenam. Tidak boleh saudara laki-laki ikut dalam seperenam, sebab kakek mengambil seperenam sebagai bagian fardh, sedangkan saudara laki-laki tidak mewarisi dengan fardh, melainkan dengan taʿṣīb, dan tidak ada sisa harta yang bisa diwarisi dengan taʿṣīb, maka gugurlah hak warisnya. Wa biLlāhit-taufīq.
النكاح جائز لقوله تعالى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ} ولما روى علقمة عن عبد الله رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء”.
Kitab an-Nikāḥ
Nikah itu boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {faṅkiḥū mā ṭāba lakum mina an-nisā’i maṡnā wa ṡulāṡa wa rubā‘} (Maka nikahilah wanita-wanita yang baik bagimu, dua, tiga, atau empat).
Dan berdasarkan riwayat dari ‘Alqamah dari ‘Abdullāh RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu bā’ah, maka menikahlah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah pengebiri baginya.”
فصل: ولا يصح النكاح إلا من جائز التصرف فأما الصبي والمجنون فلا يصح منهما عقد النكاح لأنه عقد معاوضة فلم يصح من الصبي والمجنون كالبيع وأما المحجور عليه لسفه فلا يصح نكاحه بغير إذن الولي لأنه عقد يستحق به المال فلم يصح منه من غير إذن الولي ويصح منه بإذن الولي لأنه لا يأذن له إلا فيما يرى الحظ فيه وأما العبد فلا يصح نكاخه بغير إذن المولى لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا نكح العبد بغير إذن سيده فنكاحه باطل” ولأنه بالنكاح تنقص قيمته ويستحق بالمهر والنفقة كسبه وفي ذلك إضرار بالمولى فلم يجز من غير إذنه ويصح منه بإذن المولى لأنه لما أبطل النبي صلى الله عليه وسلم نكاحه بغير إذنه دل على أنه يصح بإذنه ولأن المنع لحق المولى فزال بإذنه.
PASAL: Tidak sah akad nikah kecuali dari orang yang sah tasharruf-nya. Adapun anak kecil dan orang gila, maka tidak sah akad nikah dari keduanya karena akad nikah adalah akad mu‘āwaḍah, maka tidak sah dari anak kecil dan orang gila sebagaimana jual beli. Adapun orang yang ditahan (dihukum) karena safah, maka tidak sah nikahnya tanpa izin wali karena nikah adalah akad yang menyebabkan berhak atas harta, maka tidak sah darinya tanpa izin wali, dan sah jika dengan izin wali karena wali tidak akan mengizinkan kecuali pada perkara yang mengandung maslahat. Adapun budak, maka tidak sah nikahnya tanpa izin tuannya berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Jika seorang budak menikah tanpa izin tuannya maka nikahnya batal.” Karena dengan menikah akan mengurangi nilainya dan berhak mendapatkan mahar serta nafkah dari penghasilannya, dan dalam hal itu terdapat mudarat bagi tuannya, maka tidak diperbolehkan tanpa izinnya. Dan sah nikahnya dengan izin tuan karena ketika Nabi SAW membatalkan nikahnya tanpa izin, menunjukkan bahwa sah dengan izinnya. Dan karena larangan tersebut demi hak tuan, maka larangan itu hilang dengan izinnya.
فصل: ومن جاز له النكاح وتاقت نفسه إليه وقدر على المهر والنفقة فالمستحب له أن يتزوج لحديث عبد الله ولأنه أحصن لفرجه وأسلم لديه ولا يجب ذلك لما روى إبراهيم بن ميسرة رضي الله عنه عن عبيد بن سعد يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلم: “من أحب فطرتي فليستن بسنتي ومن سنتي النكاح” ولأنه ابتغاء لذة تصبر النفس عنها فلم يجب كلبس الناعم وأكل الطيب ومن لم تتق نفسه إليه فالمستحب له أن يتزوج لأنه تتوجه عليه حقوق هو غني عن التزامها ويحتاج أن يشتغل عن العبادة بسببها وإذا تركه تخلى للعبادة فكان تركه أسلم لدينه.
PASAL: Barang siapa yang telah sah baginya untuk menikah, dan jiwanya condong kepadanya, serta ia mampu memberi mahar dan nafkah, maka disunnahkan baginya untuk menikah, berdasarkan hadis ‘Abdullāh, dan karena pernikahan lebih menjaga kemaluannya dan lebih menenteramkan jiwanya.
Namun, hal itu tidak wajib, berdasarkan riwayat Ibrāhīm bin Maisarah RA dari ‘Ubaid bin Sa‘d yang meriwayatkan sampai kepada Nabi SAW: “Barang siapa mencintai fitrahku, hendaklah ia mengikuti sunnahku, dan termasuk sunnahku adalah menikah.”
Dan karena pernikahan adalah bentuk pencarian kenikmatan yang bisa ditahan oleh jiwa, maka tidak wajib, seperti memakai pakaian mewah atau memakan makanan enak.
Adapun orang yang tidak condong jiwanya kepada pernikahan, maka disunnahkan baginya untuk tidak menikah, karena ia akan terbebani oleh hak-hak yang ia tidak butuh untuk menanggungnya, dan ia harus menyibukkan diri dari ibadah karenanya. Maka jika ia meninggalkannya, ia dapat fokus untuk beribadah, dan hal itu lebih selamat bagi agamanya.
فصل: والمستحب أن لايتزوج إلا ذات دين لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “تنكح المرأة لأربع لمالها وحسبها وجمالها ودينها فاظفر بذات الدين تربت يداك” ولا يتزوج إلا ذات عقل لأن القصد بالنكاح العشرة وطيب العيش ولا يكون ذلك إلا مع ذات عقل ولا يتزوج إلا من يستحسنها لما روى أبو بكربن محمد بن عمرو بن حزم عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: “إنما النساء لعب فإذا اتخذ أحدكم لعبة فليستحسنها”.
PASAL: Disunnahkan untuk tidak menikah kecuali dengan perempuan yang memiliki agama, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Perempuan dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang beragama, niscaya engkau beruntung.” Dan tidak menikah kecuali dengan perempuan yang berakal karena tujuan dari pernikahan adalah untuk bergaul dan hidup enak bersama, dan hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan perempuan yang berakal. Dan tidak menikah kecuali dengan perempuan yang dipandang menarik karena riwayat dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Ḥazm dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya perempuan itu adalah seperti mainan, maka jika salah seorang dari kalian mengambil mainan, hendaklah ia memilih yang bagus.”
فصل: وإذا أراد نكاح امرأة فله أن ينظر وجهها وكفيها لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رجلاً أراد أن يتزوج امرأة من نساء الأنصار فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “انظر إليها فإن في أعين الأنصار شيئاً” ولا ينظر إلى ماسوى الوجه والكفين لأنه عورة ويجوز للمرأة إذا أرادت أن تتزوج برجل أن تنظر إليه لأنه يعجبها من الرجل ما يعجب الرجل منها ولهذا قال عمر رضي الله عنه: لا تزوجوا بناتكم من الرجل الدميم فإنه يعجبهن منهم ما يعجبهم منهن
PASAL: Jika seseorang ingin menikahi seorang perempuan, maka ia boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa ada seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan dari kalangan Anṣār, lalu Nabi SAW bersabda: “Lihatlah kepadanya, karena pada mata-mata perempuan Anṣār terdapat sesuatu.”
Ia tidak boleh melihat selain wajah dan telapak tangan, karena bagian-bagian tubuh selain itu adalah aurat.
Dan diperbolehkan bagi perempuan, jika ia ingin menikahi seorang laki-laki, untuk melihat kepadanya, karena perempuan pun tertarik kepada laki-laki sebagaimana laki-laki tertarik kepada perempuan. Oleh sebab itu, ‘Umar RA berkata: “Janganlah kalian menikahkan putri-putri kalian dengan laki-laki yang buruk rupa, karena sesungguhnya perempuan menyukai dari laki-laki apa yang laki-laki sukai dari perempuan.”
ويجوز لكل واحد منهما أن ينظر إلى وجه الآخر عند المعاملة لأنه يحتاج إليه للمطالبة بحقوق العقد والرجوع بالعهدة ويجوز ذلك عند الشهادة للحاجة إلى معرفتها في التحمل والأداء ويجوز لمن اشترى جارية أن ينظر إلى ما ليس بعورة منها للحاجة إلى معرفتها ويجوز للطبيب أن ينظر إلى الفرج للمداواة لأنه موضع ضرورة فجاز له النظر إلى الفرج كالنظر في حال الختان وأمامن غير حاجة فلا يجوز للأجنبي أن ينظر إلى الأجنبية ولا للأجنبية أن تنظر إلى الأجنبي لقوله تعالى: {قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ، وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ}
Dan diperbolehkan bagi masing-masing dari keduanya untuk melihat wajah yang lain saat bermu‘āmalah, karena dibutuhkan untuk menuntut hak-hak akad dan untuk melakukan pengembalian jika ada cacat.
Diperbolehkan pula melihat saat memberikan kesaksian, karena dibutuhkan untuk mengenali orang yang disaksikan dan yang memberikan kesaksian.
Diperbolehkan bagi orang yang membeli seorang jāriyah untuk melihat bagian tubuhnya yang bukan aurat karena kebutuhan untuk mengenalinya.
Diperbolehkan pula bagi seorang tabib untuk melihat kemaluan saat pengobatan, karena itu termasuk keadaan darurat. Maka diperbolehkan baginya melihat kemaluan sebagaimana melihat dalam keadaan khitān.
Adapun tanpa adanya kebutuhan, maka tidak diperbolehkan bagi laki-laki asing melihat perempuan asing, dan tidak pula bagi perempuan asing melihat laki-laki asing, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{Qul lil-mu’minīna yaġuḍḍū min abṣārihim wa yaḥfaẓū furūjahum, dhālika azkā lahum, inna Allāha khabīrun bimā yaṣna‘ūn. Wa qul lil-mu’mināti yaġḍuḍna min abṣārihinna wa yaḥfaẓna furūjahunna}
(Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman agar mereka menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman agar mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka).
وروت أم سلمة رضي الله عنها قالت: كنت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم وعنده ميمونة فاقبل ابن أم مكتوم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “احتجبن عنه” فقلت: يا رسول الله أليس أعمى لا يبصرنا ولا يعرفنا فقال: “أفعمياوان أنتما أليس تبصرانه” وروى علي كرم الله وجهه أن النبي صلى الله عليه وسلم أردف الفضل فاستقبلته جارية من خثعم فلوى عنق الفضل فقال أبوه العباس لويت عنق ابن عمك قال: “رأيت شاباً وشابة فلم آمن الشيطان عليهما” ولا يجوز النظر إلى الأمرد من غير حاجة لأنه يخاف الافتتان به كما يخاف الافتتان بالمرأة.
Diriwayatkan dari Ummu Salamah RA, ia berkata: Aku pernah berada di sisi Rasulullah SAW, dan di sisinya ada Maimūnah. Lalu datang Ibn Umm Maktūm, maka Rasulullah SAW bersabda: “Berhijablah kalian darinya.” Aku berkata: Wahai Rasulullah, bukankah dia buta, tidak melihat kami dan tidak mengenal kami? Beliau bersabda: “Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian melihatnya?”
Dan diriwayatkan dari ‘Ali karramallāhu wajhah bahwa Nabi SAW pernah memboncengkan al-Faḍl, lalu datang seorang gadis dari Khath‘am, maka beliau memalingkan wajah al-Faḍl. Maka paman al-Faḍl, yaitu al-‘Abbās, berkata: “Engkau memalingkan wajah sepupumu?” Maka Nabi SAW bersabda: “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, dan aku tidak merasa aman dari godaan setan terhadap keduanya.”
Dan tidak diperbolehkan memandang amrad (pemuda tampan belum tumbuh janggut) tanpa adanya kebutuhan, karena dikhawatirkan terjadi fitnah dengannya sebagaimana dikhawatirkan terjadi fitnah dengan perempuan.
فصل: ويجوز لذوي المحارم النظر إلى ما فوق السرة ودون الركبة من ذوات المحارم لقوله تعالى: {وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْأِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ} ويجوز للرجل أن ينظر إلى ذلك من الرجل وللمرأة أن تنظر إلى ذلك من المرأة لأنهم كذوي المحارم في تحريم النكاح على التأبيد فكذلك في جواز النظر واختلف أصحابنا فير مملوك المرأة فمنهم من قال هو محرم لها في جواز النظر والخلوة وهو المنصوص لقوله عز وجل: {أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ} فذكره مع ذوي المحارم في إباحة النظر
PASAL: Boleh bagi orang-orang yang termasuk maḥram untuk melihat bagian tubuh yang berada di atas pusar dan di bawah lutut dari perempuan maḥram-nya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa lā yubdīna zīnatahunna illā libu‘ūlatihinna aw ābā’ihinna aw ābā’i bu‘ūlatihinna aw abnā’ihinna aw abnā’i bu‘ūlatihinna aw ikhwānihinna aw banī ikhwānihinna aw banī akhawātihinna aw nisā’ihinna aw mā malakat aymānuhunna aw at-tābi‘īna ghayri ulī al-irbati mina ar-rijāl}, dan boleh bagi laki-laki melihat hal tersebut dari laki-laki lain, dan bagi perempuan melihat hal tersebut dari perempuan lain, karena mereka seperti maḥram dalam keharaman menikah selamanya, maka demikian pula dalam kebolehan melihat. Para ashāb kami berbeda pendapat tentang budak laki-laki milik perempuan. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa ia adalah maḥram baginya dalam hal kebolehan melihat dan berduaan, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan (oleh imam) berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {aw mā malakat aymānuhunna}, maka Allah menyebutkannya bersama para maḥram dalam kebolehan melihat.
وروى أنس رضي الله عنه قال: أعطى رسول الله صلى الله عليه وسلم فاطمة غلاما فأقبل النبي صلى الله عليه وسلم ومعه الغلام فتقنعت بثوب إذا قنعت رأسها لم يبلغ رجليها وإذا غطت رجليها لم يبلغ رأسها فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “إنه ليس عليك بأس إنما هو أبوك وغلامك” ومنهم من قال ليس بمحرم لأن المحرم من يحرم على التأبيد وهذا لا يحرم على التأبيد فلم يكن محرماً واختلفوا في المراهق مع الأجنبية فمنهم من قال: هو كالبالغ في تحريم النظر لقوله تعالى: {أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ} فدل على أنه لا يجوز لمن ظهر على عورات النساء
Dan diriwayatkan dari Anas RA bahwa ia berkata: Rasulullah SAW memberikan seorang budak laki-laki kepada Fāṭimah. Maka Nabi SAW datang bersama budak itu, lalu Fāṭimah menutup diri dengan kain—jika ia menutupi kepalanya, kain itu tidak sampai ke kakinya, dan jika ia menutupi kakinya, maka tidak sampai ke kepalanya. Maka Nabi SAW bersabda: “Tidak mengapa bagimu, sesungguhnya dia adalah ayahmu dan budakmu.”
Sebagian dari mereka berkata: budak laki-laki bukan maḥram, karena maḥram adalah orang yang haram dinikahi secara mu’abbad (selamanya), sedangkan budak ini tidak haram secara mu’abbad, maka ia bukan maḥram.
Mereka juga berbeda pendapat mengenai anak laki-laki yang mendekati baligh (murāhiq) dengan perempuan asing (ajnabiyyah). Sebagian dari mereka berkata: ia seperti laki-laki baligh dalam keharaman melihat, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {awith-ṭifl alladzīna lam yaẓharū ‘alā ‘aurāti an-nisā’}, maka ini menunjukkan bahwa tidak boleh bagi yang telah memiliki pemahaman terhadap aurat perempuan untuk melihatnya.
ولأنه كالبالغ في الشهوة فكان كالبالغ في تحريم النظر ومن أصحابنا من قال: يجوز له النظر إلى ما ينظر ذو محرم وهو قول أبي عبد الله الزبيري لقوله عز وجل: {وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا} فدل على أنه إذا لم يبلغوا الحلم لم يستأذنوا.
Dan karena ia seperti orang baligh dalam hal syahwat, maka ia pun seperti orang baligh dalam keharaman melihat.
Sebagian dari aṣḥāb kami berkata: Boleh bagi anak murāhiq (mendekati baligh) untuk melihat sebagaimana yang boleh dilihat oleh orang yang maḥram, dan ini adalah pendapat Abū ‘Abdillāh az-Zubayrī, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {wa idzā balagha al-aṭfālu minkumu al-ḥuluma fal-yasta’dzinū}, maka ini menunjukkan bahwa apabila mereka belum mencapai usia baligh, mereka tidak diwajibkan meminta izin.
فصل: ومن تزوج امرأة أو ملك جارية يملك وطأها فله أن ينظر منها إلى غير الفرج وهل يجوز أن ينظر إلى الفرج؟ فيه وجهان: أحدهما لا يجوز لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “النظر إلى الفرج يورث الطمس” والثاني يجوز وهو الصحيح لأنه يملك الاستمتاع به فجاز له النظر إليه كالفخذ وإن زوج أمته حرم عليه النظر إلى ما بين السرة والركبة لما روى عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا زوج أحدكم جاريته عبده أو أجيره فلا ينظر إلى ما دون السرة والركبة”.
PASAL: Barang siapa menikahi seorang perempuan atau memiliki seorang jāriyah yang ia miliki hak untuk menggaulinya, maka boleh baginya melihat bagian tubuh selain kemaluan. Adapun apakah boleh melihat kemaluan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak boleh, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW bersabda: “Melihat kemaluan menyebabkan kebutaan.”
Kedua, boleh, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena ia memiliki hak untuk menikmati bagian tersebut, maka boleh baginya untuk melihatnya sebagaimana paha.
Dan jika ia menikahkan jāriyah miliknya, maka haram baginya melihat bagian antara pusar dan lutut, berdasarkan riwayat dari ‘Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian menikahkan jāriyah-nya dengan budak atau pekerjanya, maka janganlah ia melihat bagian tubuh antara pusar dan lutut.”
باب ما يصح به النكاح
لا يصح النكاح إلا بولي فإن عقدت المرأة لم يصح وقال أبو ثور: إن عقدت بإذن الولي صح ووجهه أنها من أهل التصرف وإنما منعت من النكاح لحق الولي فإذا أذن زال المنع كالعبد إذا أذن له المولى في النكاح وهذا خطأ لما روى أبو هريرة رضي الله عنه رفعه: “ولا تنكح المرأة المرأة ولا تنكح المرأة نفسها” ولأنها غير مأمونة على البضع لنقصان عقلها وسرعة انخداعها فلم يجز تفويضه إليها كالمبذر في المال ويخالف العبد فإنه منع لحق المولى فإنه ينقص قيمته بالنكاح ويستحق كسبه في المهر والنفقة فزال المنع بإذنه
PASAL: Hal-hal yang Menyebabkan Nikah Menjadi Sah
Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Jika perempuan melakukan akad sendiri, maka akadnya tidak sah. Abu Ṯaur berpendapat: jika ia menikah dengan izin wali, maka akadnya sah. Alasannya, karena ia termasuk orang yang cakap bertindak, dan larangan menikah hanya karena hak wali. Maka apabila wali memberi izin, larangan itu hilang, sebagaimana budak jika diberi izin oleh tuannya untuk menikah.
Namun ini adalah pendapat yang keliru, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA secara marfū‘: “Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan, dan perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.” Dan karena perempuan tidak dapat dipercaya dalam urusan kemaluannya, karena akalnya yang kurang dan mudah tertipu, maka tidak boleh diserahkan urusan ini kepadanya, sebagaimana orang yang boros tidak boleh diserahkan pengelolaan harta. Hal ini berbeda dengan budak, karena larangan menikah baginya demi menjaga hak tuannya—sebab pernikahan akan mengurangi nilai budak, dan tuan berhak atas hasil kerja budak berupa mahar dan nafkah. Maka larangan itu hilang dengan izin tuan.
فإن عقد النكاح بغير ولي وحكم به الحاكم ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبو سعيد الاصطخري أنه ينقض حكمه لأنه مخالف لنص الخبر وهو ما روت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له” فإن أصابها فلها مهرها بما استحل من فرجها
Jika akad nikah dilakukan tanpa wali dan hakim memutuskan keabsahannya, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama—yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī—bahwa putusan hakim tersebut harus dibatalkan karena bertentangan dengan nash hadits, yaitu riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Perempuan mana pun yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika mereka berselisih, maka sultan adalah wali bagi siapa yang tidak memiliki wali.”
Jika ia telah digauli, maka ia berhak atas maharnya sebagai kompensasi dari apa yang telah dihalalkan dari kemaluannya.
والثاني لا ينقض وهو الصحيح لأنه مختلف فيه فلم ينقض فيه حكم الحاكم كالشفعة للجار وأما الخبر فليس بنص لأنه محتمل للتأويل فهو كالخبر في شفعة الجار فإن وطئها الزوج قبل الحكم بصحته لم يجب الحد وقال أبو بكر الصيرفي: إن كان الزوج شافعياً يعتقد تحريمه وجب عليه الحد كما لو وطئ امرأة في فراشه وهو يعلم أنها أجنبية والمذهب الأول لأنه وطء مختلف في إباحته فلم يجب به الحد كالوطء في النكاح بغير شهود ويخالف من وطئ امرأة في فراشه وهو يعلم أنها أجنبية لأنه لا شبهة له في وطئها وإن طلقها لم يقع الطلاق وقال أبو إسحاق يقع لأنه نكاح مختلف في صحته فوقع فيه الطلاق كنكاح المرأة في عدة أختها والمذهب الأول لأنه طلاق في غير ملكه فلم يصح كما لو طلق أجنبية.
Pendapat kedua menyatakan bahwa putusan hakim tidak dibatalkan, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena masalah ini termasuk perkara yang diperselisihkan, maka putusan hakim tidak dibatalkan sebagaimana dalam masalah syuf‘ah bagi tetangga. Adapun hadits tersebut bukanlah nash yang tegas karena masih mengandung kemungkinan ta’wil, maka hukumnya seperti hadits tentang syuf‘ah bagi tetangga.
Jika suami telah menggaulinya sebelum adanya keputusan yang menyatakan keabsahan nikahnya, maka tidak dikenakan ḥadd. Abu Bakr aṣ-Ṣayrafī berkata: jika suami itu bermazhab Syafi‘i dan meyakini keharamannya, maka wajib atasnya ḥadd, sebagaimana jika seseorang menggauli perempuan di tempat tidurnya padahal ia tahu bahwa perempuan itu adalah perempuan asing. Namun pendapat yang dipegang adalah pendapat pertama, karena itu adalah persetubuhan yang masih diperselisihkan kehalalannya, maka tidak dikenakan ḥadd sebagaimana hubungan dalam nikah tanpa saksi.
Hal ini berbeda dengan orang yang menggauli perempuan di tempat tidurnya padahal ia tahu bahwa perempuan itu bukan istrinya, karena tidak ada syubhat dalam hubungan tersebut.
Jika ia menceraikannya, maka talaknya tidak jatuh. Abu Isḥāq berpendapat: talaknya jatuh, karena pernikahan tersebut termasuk pernikahan yang diperselisihkan keabsahannya, maka talak jatuh padanya sebagaimana dalam pernikahan dengan perempuan yang masih dalam masa ‘iddah saudarinya.
Namun pendapat yang dipegang adalah pendapat pertama, karena itu adalah talak terhadap perempuan yang bukan miliknya, maka tidak sah sebagaimana jika ia menalak perempuan asing.
فصل: وإن كانت المنكوحة أمة فوليها مولاها لأنه عقد على منفعتها فكان إلى المولى كالإجارة وإن كانت الأمة لامرأة زوجها من يزوج مولاتها لأنه نكاح في حقها فكان إلى وليها كنكاحها ولا يزوجها الولي إلا بإذنها لأنه تصرف منفعتها فلم يجز من غير إذنها فإن كانت المولاة غير رشيدة نظرت فإن كان وليها غير الأب والجد لم يملك تزويجها لأنه لا يملك التصرف في مالها وإن كان الأب أو الجد ففيه وجهان: أحدهما لا يملك لأن فيه تغريراً بمالها ولأنها ربما حبلت وتلفت
PASAL: Jika perempuan yang dinikahi adalah seorang amah, maka walinya adalah tuannya, karena akad dilakukan atas manfaatnya, maka menjadi wewenang tuannya seperti halnya akad sewa. Jika amah tersebut milik seorang perempuan, maka yang menikahkannya adalah orang yang berhak menikahkan majikannya, karena pernikahan itu menyangkut hak milik perempuan tersebut, maka wewenang menikahkannya berada pada walinya seperti dalam pernikahan dirinya sendiri. Wali tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izinnya, karena itu merupakan tindakan terhadap manfaatnya, maka tidak boleh dilakukan tanpa izinnya.
Jika majikannya tidak rusydah (tidak cakap), maka perlu diperhatikan: jika walinya bukan ayah atau kakek, maka ia tidak berhak menikahkannya karena ia tidak memiliki wewenang untuk bertindak atas hartanya. Namun jika walinya adalah ayah atau kakek, maka terdapat dua pendapat: salah satunya menyatakan tidak boleh menikahkannya karena di dalamnya terdapat unsur penipuan terhadap hartanya, dan karena ia bisa saja hamil dan mengalami kerugian.
والثاني وهو قول أبي إسحاق أنه يملك تزويجها لأنها تستفيد به المهر والنفقة واسترقاق ولدها وإن كانت المنكوحة حرة فوليها عصباتها وأولاهم الأب ثم الجد ثم الأخ ثم ابن الأخ ثم العم ثم ابن العم لأن الولاية في النكاح تثبت لدفع العار عن النسب والنسب إلى العصبات فإن لم يكن لها عصبة زوجها المولى المعتق ثم عصبة المولى ثم مولى المولى ثم عصبته لأن الولاء كالنسب في التعصيب فكان كالنسب في التزويج فإن لم يكن فوليها السلطان لقوله صلى الله عليه وسلم: “فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له” ولا أحد من الأولياء وهناك من هو أقرب منه
dan yang kedua—yaitu pendapat Abū Isḥāq—bahwa ia berhak menikahkannya karena pernikahan itu memberikan manfaat berupa mahar, nafkah, dan perbudakan anaknya. Jika perempuan yang dinikahi adalah perempuan merdeka, maka walinya adalah para ‘aṣabah-nya, dan yang paling utama adalah ayah, kemudian kakek, kemudian saudara laki-laki, kemudian anak saudara laki-laki, kemudian paman, kemudian anak paman, karena kewalian dalam pernikahan ditetapkan untuk menjaga kehormatan nasab, sedangkan nasab itu kepada para ‘aṣabah. Jika ia tidak memiliki ‘aṣabah, maka yang menikahkannya adalah mawlā mu‘tiq, kemudian para ‘aṣabah dari mawlā, kemudian mawlā al-mawlā, lalu para ‘aṣabah-nya, karena walā’ seperti nasab dalam hal ta‘ṣīb, maka ia seperti nasab dalam pernikahan. Jika tidak ada satu pun dari mereka, maka walinya adalah sulṭān, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Jika para wali berselisih, maka sulṭān adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” Dan tidak sah seseorang menjadi wali padahal ada yang lebih dekat darinya.
لأنه حق يستحق بالتعصيب فقدم فيه الأقرب فالأقرب كالميراث وإن استوى اثنان في الدرجة وأحدهما يدلي بالأبوين والآخر بأحدهما كأخوين أحدهم من الأب والأم والآخر من الأب ففيه قولان: قال في القديم هما سواء لأن الولاية بقرابة الأب وهما في قرابة الأب سواء وقال في الجديد يقدم من يدلي في الأبوين لأنه حق يستحق بالتعصيب فقدم من يدلي بالأبوين على من يدلي بأحدهما كالميراث فإن استويا في الدرجة والإدلاء فالمستحب أن يقدم أسنهما وأعلمهما وأورعهما
karena kewalian adalah hak yang diperoleh melalui ta‘ṣīb, maka didahulukan yang paling dekat seperti dalam warisan. Jika dua orang setara dalam derajat, dan salah satunya menyambung nasab melalui ayah dan ibu, sementara yang lain melalui ayah saja—seperti dua saudara laki-laki, salah satunya dari ayah dan ibu, dan yang lainnya dari ayah saja—maka terdapat dua pendapat: dalam pendapat al-qadīm, keduanya sama karena kewalian berdasarkan kekerabatan dari pihak ayah, dan keduanya sama dalam hal itu. Dalam pendapat al-jadīd, didahulukan yang menyambung nasab dari kedua orang tua, karena ini adalah hak yang diperoleh melalui ta‘ṣīb, maka didahulukan yang menyambung nasab dari dua jalur atas yang menyambung dari satu jalur, sebagaimana dalam warisan. Jika keduanya setara dalam derajat dan jalur nasab, maka yang mustaḥab adalah mendahulukan yang lebih tua usianya, lebih berilmu, dan lebih wara‘.
لأن الأسن أخبر والأعلم أعرف بشروط العقد والأورع أحرص على طلب الحظ فإن زوج الآخر صح لأن ولايته ثابتة وإن تشاحا أقرع بينهما لأنهما تساويا في الحق فقدم بالقرعة كما لو أراد أن يسافر بإحدى المرأتين فإن خرجت القرعة لأحدهما فزوج الآخر ففيه وجهان: أحدهما يصح لأن خروج القرعة لأحدهما لا يبطل ولاية الآخر والثاني لا يصح لأنه يبطل فائدة القرعة.
karena yang lebih tua lebih mengetahui, yang lebih berilmu lebih memahami syarat-syarat akad, dan yang lebih wara‘ lebih menjaga hak perempuan. Jika yang lainnya yang menikahkan, maka sah, karena kewaliannya tetap ada. Jika keduanya bersikeras, maka dilakukan undian di antara keduanya karena keduanya sama dalam hak, maka diputuskan dengan undian sebagaimana jika ia ingin bepergian bersama salah satu dari dua istrinya. Jika undian jatuh kepada salah satunya lalu yang lain yang menikahkan, maka ada dua pendapat: pertama, sah, karena keluarnya undian untuk salah satunya tidak membatalkan kewalian yang lain; dan pendapat kedua, tidak sah, karena hal itu menghilangkan manfaat dari undian.
فصل: ولا يجوز للابن أن يزوج أمه بالبنوة لأن الولاية ثبتت للأولياء لدفع العار عن النسب ولا نسب بين الابن والأم وإن كان للابن تعصيب بأن كان ابن ابن عمها جاز له أن يزوجها لأنهما يشتركان في النسب فإن كان لها ابنا ابن عم أحدهما ابنها فعلى القولين في أخوين أحدهما من الأب والأم والآخر من الأب.
PASAL: Tidak boleh bagi seorang anak laki-laki menikahkan ibunya karena hubungan anak, karena kewalian ditetapkan bagi para wali untuk menjaga kehormatan nasab, sedangkan tidak ada nasab antara anak dan ibu. Namun jika anak tersebut memiliki hubungan ta‘ṣīb—seperti ia adalah anak dari anak pamannya—maka boleh baginya menikahkan ibunya karena mereka memiliki nasab yang sama. Jika ia memiliki dua anak dari anak paman, dan salah satunya adalah anaknya, maka hukumnya sebagaimana dua saudara laki-laki, salah satunya dari ayah dan ibu, dan yang lainnya dari ayah saja.
فصل: ولا يجوز أن يكون الولي صغيراً ولا مجنوناً ولا عبداً لأنه لا يملك العقد لنفسه فلا يملكه لغيره واختلف أصحابنا في المحجور عليه لسفه فمنهم من قال يجوز أن يكون ولياً لأنه إنما حجر عليه في المال خوفاً من إضاعته وقد أمن ذلك في تزويج ابنته فجاز له أن يعقد كالمحجور عليه للفلس ومنهم من قال: لا يجوز لأنه ممنوع من عقد النكاح لنفسه فلم يجز أن يكون ولياً لغيره ولا يجوز أن يكون فاسقاً على المنصوص لأنها ولاية فلم تثبت مع الفسق كولاية المال
PASAL: Tidak boleh seorang wali adalah anak kecil, orang gila, atau budak, karena ia tidak memiliki hak untuk melakukan akad untuk dirinya sendiri, maka ia juga tidak berhak melakukan akad untuk orang lain. Para sahabat kami berselisih pendapat mengenai orang yang ditetapkan sebagai mahjūr karena kebodohan (safah). Sebagian dari mereka berkata: Boleh menjadi wali, karena ia hanya dicegah dalam hal harta karena dikhawatirkan akan menyia-nyiakannya, sementara dalam pernikahan anak perempuannya tidak ada kekhawatiran seperti itu, maka boleh baginya untuk melakukan akad seperti orang yang mahjūr karena bangkrut (muflis). Sebagian lain berkata: Tidak boleh, karena ia dilarang melakukan akad nikah untuk dirinya sendiri, maka tidak boleh pula menjadi wali bagi orang lain. Tidak boleh pula orang fasik menjadi wali menurut pendapat yang manshūsh, karena ini adalah bentuk perwalian, maka tidak sah dilakukan oleh orang fasik sebagaimana perwalian dalam urusan harta.
ومن أصحابنا من قال: إن كان أباً أو جداً لم يجز وإن كان غيرهما من العصيات جاز لأنه يعقد بالإذن فجاز أن يكون فاسقاً كالوكيل ومن أصحابنا من قال: فيه قولان: أحدهما لا يجوز لما ذكرناه والثاني يجوز لأنه حق يستحق بالتعصيب فلم يمنع منه الفسق كالميراث والتقدم في الصلاة على الميت وهل يجوز أن يكون أعمى فيه وجهان: أحدهما يجوز لأن شعيباً عليه السلام كان أعمى وزوج ابنته من موسى صلى الله عليه وسلم
Dan sebagian sahabat kami berkata: Jika ia adalah seorang ayah atau kakek, maka tidak boleh (menjadi wali); namun jika selain keduanya dari kalangan para ‘āshib, maka boleh, karena ia melakukan akad dengan izin (perempuan), maka boleh ia menjadi orang fasik sebagaimana seorang wakil. Dan sebagian sahabat kami berkata: Dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama, tidak boleh, sebagaimana yang telah kami sebutkan. Pendapat kedua, boleh, karena ini adalah hak yang diperoleh melalui taʿṣīb, maka kefasikan tidak menghalanginya, sebagaimana (tidak menghalanginya) dalam warisan dan mendahului dalam salat jenazah.
Apakah boleh orang buta menjadi wali? Dalam hal ini terdapat dua wajah. Wajah pertama, boleh, karena Nabi Syuʿaib AS adalah orang buta dan beliau menikahkan putrinya dengan Nabi Musa AS.
والثاني لا يجوز لأنه يحتاج إلى البصر في اختيار الزوج ولا يجوز للمسلم أن يزوج ابنته الكافرة ولا للكافر أن يزوج ابنته المسلمة لأن الموالاة بينهما منقطعة والدليل عليه قوله تعالى: {وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} وقوله سبحانه: {وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ} ولهذا لا يتوارثان ويجوز للسلطان أن يزوج نساء أهل الذمة لأن ولايته تعم المسلمين وأهل الذمة
Dan pendapat kedua, tidak boleh (orang buta menjadi wali), karena ia membutuhkan penglihatan dalam memilih calon suami.
Tidak boleh seorang muslim menikahkan anak perempuannya yang kafir, dan tidak boleh pula orang kafir menikahkan anak perempuannya yang muslimah, karena hubungan walā’ (loyalitas) di antara keduanya telah terputus. Dalilnya adalah firman Allah SWT: {wal-mu’minūna wal-mu’minātu baʿḍuhum awliyā’u baʿḍ} dan firman-Nya: {walladzīna kafarū baʿḍuhum awliyā’u baʿḍ}, oleh karena itu mereka tidak saling mewarisi.
Namun, dibolehkan bagi sulṭān untuk menikahkan perempuan dari kalangan Ahludz-Dzimmah karena kekuasaannya mencakup kaum muslimin dan Ahludz-Dzimmah.
ولا يجوز للكافر أن يزوج أمته المسلمة وهل يجوز للمسلم أن يزوج أمته الكافرة فيه وجهان: أحدهما يجوز وهو قول أبي إسحاق وأبي سعيد الاصطخري وهو المنصوص لأنها ولاية مستفادة بالملك فلم يمنع منها اختلاف الدين كالولاية في البيع والإجارة والثاني لا يجوز وهو قول أبي القاسم الداركي لأنه إذا لم يملك تزويج الكافرة بالنسب فلأن لا يملك بالملك أولى.
Tidak boleh orang kafir menikahkan hamba perempuannya yang muslimah.
Adapun apakah seorang muslim boleh menikahkan hamba perempuannya yang kafirah, dalam hal ini terdapat dua wajah:
Wajah pertama, boleh, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq dan Abū Saʿīd al-Iṣṭakhrī, dan ini adalah pendapat yang manshūṣ, karena ini adalah bentuk perwalian yang diperoleh melalui kepemilikan, maka perbedaan agama tidak menghalanginya, sebagaimana perwalian dalam jual beli dan sewa-menyewa.
Wajah kedua, tidak boleh, dan ini adalah pendapat Abū al-Qāsim ad-Dārakī, karena jika seseorang tidak memiliki hak menikahkan perempuan kafirah karena hubungan nasab, maka terlebih lagi tidak berhak menikahkannya hanya karena kepemilikan.
فصل: وإن خرج الولي عن أن يكون من أهل الولاية بفسق أو جنون انتقلت الولاية إلى من بعده من الأولياء لأنه بطلت ولايته فانتقلت الولاية إلى ممن بعده كما لو مات فإن زال السبب الذي بطلت فيه الولاية عادت الولاية لزوال السبب الذي أبطل الولاية فإن زوجها من انتقلت إليه قبل أن يعلم بعود ولاية الأول ففيه وجهان بناء على القولين في الوكيل إذا باع ما وكل في بيعه قبل أن يعلم بالعزل وإن دعت المنكوحة إلى كفؤ فعضلها الولي زوجها السلطان لقوله صلى الله عليه وسلم: “فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له”
PASAL: Jika wali keluar dari status sebagai ahli wilāyah karena fāsiq atau gila, maka wilāyah berpindah kepada wali berikutnya, karena kewaliannya batal sehingga berpindah kepada yang setelahnya sebagaimana jika ia meninggal. Jika sebab yang membatalkan wilāyah itu hilang, maka wilāyah kembali karena sebab yang membatalkan telah lenyap. Jika yang telah menerima perpindahan wilāyah menikahkannya sebelum mengetahui bahwa wilāyah telah kembali kepada yang pertama, maka terdapat dua pendapat, berdasarkan dua pendapat tentang wakil yang menjual barang yang diwakilkan kepadanya sebelum mengetahui bahwa ia telah diberhentikan.
Jika perempuan yang dinikahkan meminta menikah dengan yang sekufu’ lalu walinya menghalanginya (‘aḍl), maka yang menikahkannya adalah sulṭān, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Jika mereka berselisih, maka sulṭān adalah wali bagi yang tidak memiliki wali.”
ولأنه حق توجه عليه تدخله النيابة فإذا امتنع قام السلطان مقامه كما لو كان عليه دين فامتنع عن أدائه وإن غاب الولي إلى مسافة تقصر فيها الصلاة زوجها السلطان ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد وإنما تعذر من جهته فقام السلطان مقامه كما لو حضر وامتنع من تزويجها فإن كان على مسافة لا تقصر فيها الصلاة ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز تزويجها إلا بإذنه لأنه كالحاضر
Dan karena ia adalah hak yang dapat diwakilkan, maka ketika wali enggan (menikahkannya), penguasa menggantikannya sebagaimana jika ia memiliki utang lalu enggan membayarnya. Jika wali sedang bepergian ke tempat yang jaraknya membolehkan qashar shalat, maka penguasa boleh menikahkannya dan para wali setelahnya tidak berhak menikahkannya, karena kewalian wali yang bepergian tetap ada. Oleh karena itu, seandainya ia menikahkannya di tempat ia berada, maka akadnya sah. Hanya saja ia terhalang melaksanakannya, sehingga penguasa mengambil alih perannya sebagaimana jika ia hadir namun enggan menikahkannya. Jika jaraknya tidak membolehkan qashar shalat, maka ada dua pendapat: pertama, tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izinnya, karena ia seperti orang yang hadir.
والثاني يجوز للسلطان أن يزوجها لأنه تعذر استئذانه فأشبه إذا كان في سفر بعيد ويستحب للحاكم إذا غاب الولي وصار التزويج إليه أن يأذن لمن تنتقل الولاية إليه ليزوجها ويخرج من الخلاف فإن عند أبي حنيفة أن الذي يملك التزويج هو الذي تنتقل الولاية إليه.
Dan pendapat kedua, penguasa boleh menikahkannya karena mustahil meminta izinnya, sehingga menyerupai keadaan ketika ia berada dalam perjalanan jauh. Dianjurkan bagi hakim, apabila wali tidak ada dan pernikahan berpindah kepadanya, untuk memberikan izin kepada orang yang berhak mendapatkan kewalian setelahnya agar menikahkannya, supaya keluar dari khilaf. Sebab menurut Abu Ḥanīfah, yang berhak menikahkannya adalah orang yang berpindah kepadanya kewalian.
فصل: ويجوز للأب والجد تزويج البكر من غير رضاها صغيرة كانت أو كبيرة لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يستأمرها أبوها في نفسها ” فدل على أن الولي أحق بالبكر وإن كانت بالغة فالمستحب أن يستأذنها للخبر وإذنها صماتها لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “الأيم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها” ولأنها تستحي أن تأذن لأبيها فجعل صماتها إذناً ولا يجوز لغير الأب والجد تزويجها إلا أن تبلغ وتأذن
PASAL: Boleh bagi ayah dan kakek menikahkan perempuan perawan tanpa izinnya, baik ia masih kecil maupun sudah besar. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan ayah meminta izin kepada anak perempuannya yang perawan untuk dirinya.” Maka ini menunjukkan bahwa wali lebih berhak atas perawan meskipun ia sudah baligh. Maka yang mustaḥab adalah meminta izinnya, berdasarkan hadis tersebut. Dan izinnya adalah diamnya, sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Perempuan yang sudah pernah menikah lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan perawan dimintai izin untuk dirinya, dan izinnya adalah diamnya.” Karena ia malu untuk memberikan izin secara lisan kepada ayahnya, maka diamnya dianggap sebagai izin. Dan tidak boleh selain ayah dan kakek menikahkannya kecuali setelah ia baligh dan memberikan izin.
لما روى نافع أن عبد الله بن عمر رضي الله عنه تزوج بنت خاله عثمان بن مظعون فذهبت أمها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وقالت: إن ابنتي تكره ذلك فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفارقها وقال: “لا تنكحوا اليتامى حتى تستأمروهن فإن سكتن فهو إذنهن” فتزوجت بعد عبد الله بن المغيرة بن شعبة ولأنه ناقص الشفقة ولهذا لا يملك التصرف في مالها بنفسه ولا يبيع مالها بنفسه فلا يملك التصرف في بضعها بنفسها فإن زوجها بعد البلوغ ففي إذنها وجهان: أحدهما أن إذنها بالنطق لأنه لما افتقر تزويجها إلى إذنها افتقر إلى نطقها بخلاف الأب والجد
Karena telah diriwayatkan dari Nāfi‘ bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar RA menikahi putri dari bibinya, ‘Utsmān bin Maẓ‘ūn, lalu ibu dari perempuan itu mendatangi Rasulullah SAW dan berkata: “Putriku tidak menyukai hal itu.” Maka Rasulullah SAW memerintahkan agar ia menceraikannya, dan bersabda: “Jangan kalian nikahkan anak-anak yatim hingga dimintai izin mereka, jika mereka diam maka itulah izinnya.” Lalu ia menikah setelah itu dengan ‘Abdullāh bin al-Mughīrah bin Syu‘bah.
Dan karena selain ayah dan kakek kurang kasih sayang, maka ia tidak memiliki wewenang untuk bertindak atas hartanya sendiri, dan tidak boleh menjual hartanya sendiri, maka demikian pula ia tidak boleh bertindak atas kemaluannya (perwaliannya dalam nikah) dengan sendiri. Jika ia menikahkannya setelah baligh, maka dalam izin si perempuan ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa izinnya harus dengan ucapan, karena ketika pernikahan tergantung pada izinnya, maka harus dengan ucapannya, berbeda dengan ayah dan kakek.
والثاني وهو المنصوص في الإملاء وهو الصحيح أن إذنها بالسكوت لحديث نافع وأما الثيب فإنها إن ذهبت بكارتها بالوطء فإن كانت بالغة عاقلة لم يجز لأحد تزويجها إلا بإذنها لما روت خنساء بنت خذام الأنصارية أن أباها زوجها وهي ثيب فكرهت ذلك فذكرت لرسول الله صلى الله عليه وسلم فرد نكاحها وإذنها بالنطق لحديث ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها” فدل على أن إذن الثيب بالنطق
Dan pendapat kedua—dan inilah yang dinyatakan dalam al-Imlā’ dan merupakan pendapat yang ṣaḥīḥ—bahwa izinnya adalah dengan diam, berdasarkan hadis Nāfi‘.
Adapun perempuan yang pernah menikah (ṯayyib), jika hilangnya keperawanan karena jima‘, maka jika ia sudah baligh dan berakal, tidak boleh seorang pun menikahkannya kecuali dengan izinnya. Hal ini berdasarkan riwayat Khaunsā’ binti Khużām al-Anṣāriyyah bahwa ayahnya menikahkannya sedangkan ia adalah ṯayyib, dan ia tidak menyukainya, lalu hal itu ia sampaikan kepada Rasulullah SAW, maka beliau membatalkan pernikahannya.
Dan izinnya harus dengan ucapan, berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbās RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Perawan dimintai izin dalam urusannya, dan izinnya adalah diamnya.” Maka ini menunjukkan bahwa izin perempuan ṯayyib adalah dengan ucapan.
وإن كانت صغيرة لم يجز تزويجها حتى تبلغ وتأذن لأن إذنها معتبر في حال الكبر فلا يجوز الإفتيات عليها في حال الصغر وإن كانت مجنونة جاز للأب والجد تزويجها صغيرة كانت أو كبيرة لأنه لا يرجى لها حال تستأذن فيها ولا يجوز لسائر العصبات تزويجها لأن تزويجها إجبار وليس لسائر العصبات غير الأب والجد ولاية الإجبار فأما الحاكم فإنها إن كانت صغيرة لم يملك تزويجها لأنه لا حاجة بها إلى النكاح وإن كانت كبيرة جاز له تزويجها إن رأى ذلك لأنه قد يكون في تزويجها شفاء لها وإن ذهبت بكرتها بغير الوطء ففيه وجهان: أحدهما أنها كالموطوءة لعموم الخبر والثاني وهو المذهب أنها تزوج تزويج الأبكار لأن الثيب إنما اعتبر إذنها لذهاب الحياء بالوطء والحياء لا يذهب بغير الوطء.
Jika ia masih kecil, maka tidak boleh dinikahkan hingga ia baligh dan memberi izin, karena izinnya dianggap sah ketika dewasa, maka tidak boleh bertindak mendahuluinya saat masih kecil.
Jika ia gila, maka boleh bagi ayah dan kakek untuk menikahkannya, baik saat kecil maupun dewasa, karena tidak diharapkan darinya suatu keadaan di mana ia dapat memberi izin. Dan tidak boleh bagi para ‘aṣabah selain ayah dan kakek untuk menikahkannya, karena pernikahan atasnya adalah bentuk pemaksaan, sedangkan tidak ada hak pemaksaan bagi selain ayah dan kakek.
Adapun hakim, jika ia masih kecil maka tidak berwenang menikahkannya, karena ia tidak membutuhkan pernikahan. Dan jika ia sudah dewasa, maka boleh bagi hakim menikahkannya jika ia memandang hal itu baik, karena terkadang pernikahan bisa menjadi penyembuh baginya.
Dan jika keperawanannya hilang bukan karena jima‘, maka ada dua pendapat: pertama, bahwa ia seperti perempuan yang telah digauli karena keumuman hadis; dan pendapat kedua—dan inilah al-madzhab—bahwa ia dinikahkan seperti perawan, karena pertimbangan izin pada ṯayyib adalah karena rasa malu yang hilang karena jima‘, sedangkan rasa malu tidak hilang dengan selain jima‘.
فصل: وإن كانت المنكوحة أمة فللمولى أن يزوجها بكراً كانت أم ثيباً صغيرة كانت أو كبيرة عاقلة كانت أو مجنونة لأنه عقد يملكه عليها بحكم الملك فكان إلى المولى كالإجارة وإن دعت الأمة المولى إلى النكاح فإن كان يملك وطأها لم يلزمه تزويجها لأنه يبطل عليه حقه من الاستمتاع وإن لم يملك وطأها ففيه وجهان: أحدهما لا يلزمه تزويجها لأنه تنقص قيمتها بالنكاح والثاني يلزمه لأنه لا حق له في وطئها وإن كانت مكاتبة لم يملك السيد تزويجها بغير إذنها لأنه لا حق له في منفعتها فإن دعت السيد إلى تزويجها ففيه وجهان: أحدهما يجبر لأنها تستعين بالمهر والنفقة على الكتابة والثاني لا يجبر لأنها ربما عادت إليه وهي ناقصة بالنكاح.
PASAL: Jika perempuan yang dinikahi adalah seorang amah, maka walinya adalah tuannya, baik ia masih perawan maupun janda, kecil maupun besar, berakal maupun gila, karena ini adalah akad atas manfaatnya yang dimiliki karena kepemilikan, maka menjadi wewenang tuannya seperti akad ijarah.
Jika amah meminta tuannya untuk menikahkannya, maka jika tuan itu memiliki hak untuk menyetubuhinya, maka ia tidak wajib menikahkannya karena hal itu akan membatalkan haknya untuk menikmati (hubungan dengannya). Namun jika ia tidak memiliki hak menyetubuhinya, maka ada dua pendapat: pertama, ia tidak wajib menikahkannya karena nilai amah akan berkurang dengan pernikahan; dan kedua, ia wajib menikahkannya karena ia tidak memiliki hak untuk menyetubuhinya.
Jika amah tersebut adalah seorang mukatab, maka tuan tidak berhak menikahkannya tanpa izinnya karena ia tidak lagi memiliki hak atas manfaat dirinya. Jika mukatab tersebut meminta tuannya untuk menikahkannya, maka ada dua pendapat: pertama, ia boleh dipaksa menikah karena ia bisa memanfaatkan mahar dan nafkah untuk membantu membayar kitabah-nya; dan kedua, tidak boleh dipaksa karena bisa jadi ia akan kembali kepada tuannya dalam keadaan cacat akibat pernikahan.
فصل: وإن كان ولي المرأة ممن يجوز له أن يتزوجها كابن عم والمولى المعتق لم يجز أن يزوجها من نفسه فيكون موجباً قابلاً لأنه يملك الإيجاب بالإذن فلم يجز أن يملك شطري العقد كالوكيل في البيع فإن أراد أن يتزوجها فإن كان هناك من يشاركه في الولاية زوجها منه وإن لم يكن هناك من يشاركه في الولاية زوجها الحاكم منه وإن أراد الإمام أن يتزوج امرأة لا ولي لها غيره ففيه وجهان: أحدهما أن له أن يزوجها من نفسه لأنه إذا فوض إلى غيره كان غيره وكيلاً والوكيل قائم مقامه فكان إيجابه كإيجابه
PASAL: Jika wali perempuan adalah orang yang boleh menikahinya, seperti anak paman (ibn ‘amm) atau mawlā mu‘tiq, maka tidak boleh ia menikahkannya dengan dirinya sendiri, karena ia menjadi pihak yang melakukan ijab sekaligus menerima, sedangkan ia memiliki kekuasaan untuk melakukan ijab dengan izin, maka tidak boleh baginya memiliki kedua sisi akad, seperti halnya wakil dalam jual beli. Jika ia ingin menikahinya, maka jika ada orang lain yang berserikat dengannya dalam kewalian, maka orang itu yang menikahkannya dengannya. Jika tidak ada orang lain yang berserikat dengannya dalam kewalian, maka hakimlah yang menikahkannya dengannya. Jika imam (penguasa) ingin menikahi seorang perempuan yang tidak memiliki wali selain dirinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya, ia boleh menikahkannya dengan dirinya sendiri, karena jika ia mewakilkan kepada orang lain, maka orang itu menjadi wakil, dan wakil kedudukannya sama dengan dirinya, maka ijab yang dilakukan oleh wakil sama dengan ijab yang dilakukan olehnya.
والثاني يرفعه إلى حاكم ليزوجه منها لأن الحاكم يزوج بولاية الحكم فيصير كما لو زوجها منه ولي ويخالف الوكيل لأنه يزوجها بوكالته ولهذا يملك عزله إذا شاء ولا يملك عزل الحاكم من غير سبب وإذا مات انعزل الوكيل ولا ينعزل الحاكم وإن كان لرجل ابن ابن وبنت ابن وهما صغيران فزوج بنت الابن بابن الابن ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز وهو قول أبي العباس ابن القاص لما روت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “كل نكاح لم يحضره أربعة فهو سفاح خاطب وولي وشاهدان”
dan yang kedua, ia menyerahkannya kepada hakim agar menikahkannya dengannya, karena hakim menikahkan dengan kewenangan sebagai penguasa (wilāyah al-ḥukm), maka kedudukannya seperti jika ia dinikahkan oleh wali, dan berbeda dengan wakil karena wakil menikahkan dengan kekuasaan perwakilan, sebab itu ia boleh mencabut kuasa kapan saja ia mau, sedangkan hakim tidak bisa dicabut kecuali dengan sebab yang sah, dan bila wakil meninggal, kuasanya batal, sedangkan hakim tidak batal kekuasaannya karena meninggalnya orang lain.
Jika seorang laki-laki memiliki cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-lakinya, dan keduanya masih kecil, lalu ia menikahkan cucu perempuannya dengan cucu laki-lakinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya tidak sah, dan ini adalah pendapat Abul ‘Abbās Ibn al-Qāṣṣ, karena Aisyah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Setiap nikah yang tidak dihadiri oleh empat orang maka itu adalah perzinaan – calon suami, wali, dan dua saksi.”
والثاني وهو قول أبي بكر ابن الحداد المصري أنه يجوز كما يجوز أن يلي شطري العقد في بيع ماله من ابنه فعلى هذا يحتاج أن يقول: زوجت بنت ابني بابن ابني وهل يحتاج إلى القبول فيه وجهان: أحدهما يحتاج إلى القبول وهو أن يقول بعد الإيجاب وقبلت نكاحها له وهو قول أبي بكر بن الحداد لأنه يتولى ذلك بولايتين فقام فيه مقام الاثنين والثاني لا يحتاج إلى لفظ القبول وهو قول أبي بكر القفال لأنه قام مقام اثنين فقام لفظه مقام لفظين.
dan yang kedua, yaitu pendapat Abū Bakr Ibn al-Ḥaddād al-Miṣrī, bahwa hal itu boleh, sebagaimana boleh bagi seseorang untuk menjalankan dua sisi akad dalam menjual hartanya kepada anaknya. Maka berdasarkan pendapat ini, ia perlu mengucapkan: “Aku nikahkan cucu perempuanku dengan cucu laki-lakiku.”
Apakah dalam hal ini membutuhkan lafaz qabūl (penerimaan)? Ada dua pendapat:
Pertama, membutuhkan lafaz qabūl, yaitu ia mengucapkan setelah ijab: “Aku terima pernikahannya untuknya,” dan ini adalah pendapat Abū Bakr Ibn al-Ḥaddād, karena ia menjalankannya dengan dua kewalian, sehingga kedudukannya seperti dua orang.
Kedua, tidak membutuhkan lafaz qabūl, dan ini adalah pendapat Abū Bakr al-Qaffāl, karena ia sudah berkedudukan sebagai dua orang, maka satu lafaz darinya mencukupi dari dua lafaz.
فصل: وإن وكل الولي رجلاً في التزويج فهل يلزمه أن يعين الزوج فيه قولان: أحدهما لا يلزمه لأنه من ملك التوكيل في عقد لم يلزمه تعيين من يعقد معه كالموكل في البيع والثاني يلزمه لأن الولي إنما جعل إليه اختيار الزوج لكمال شفقته ولا يوجد كمال الشفقة في الوكيل فلم يجعل اختيار الزوج إليه.
PASAL: Jika wali mewakilkan seorang lelaki untuk menikahkan, maka apakah wajib baginya untuk menyebutkan secara khusus siapa calon suami? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak wajib menyebutkan secara khusus, karena siapa yang berhak mewakilkan dalam suatu akad tidak wajib menyebutkan secara rinci dengan siapa akad itu dilakukan, sebagaimana halnya orang yang mewakilkan dalam jual beli.
Kedua, wajib menyebutkan secara khusus, karena wali diberi wewenang memilih suami disebabkan kesempurnaan kasih sayangnya, dan kesempurnaan kasih sayang ini tidak terdapat pada wakil, maka tidak boleh diserahkan pemilihan calon suami kepada wakil.
فصل: ولا يجوز للولي أن يزوج المنكوحة من غير كفء إلا برضاها ورضى سائر الأولياء لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “تخيروا لنطفكم فانكحوا الأكفاء وأنكحوا إليهم” ولأن في ذلك إلحاق عار بها وبسائر الأولياء فلم يجز من غير رضاهم.
PASAL: Tidak boleh bagi wali menikahkan perempuan yang akan dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu’ kecuali dengan keridhaan perempuan tersebut dan keridhaan seluruh para wali, karena Aisyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Pilihlah tempat yang baik untuk sperma kalian, maka nikahkanlah dengan orang-orang yang sekufu’ dan nikahkanlah kepada mereka.” Dan karena hal itu dapat menyebabkan aib bagi perempuan tersebut dan bagi seluruh para wali, maka tidak boleh dilakukan tanpa keridhaan mereka.
فصل: وإن دعت المنكوحة إلى غير كفء لم يلزم الولي تزويجها لأنه يلحقه العار فإن رضيا جميعاً جاز تزويجها لما روت فاطمة بنت قيس قالت أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فأخبرته أن أبا الجهم يخطبني ومعاوية فقال: “أما أبو الجهم فأخاف عليك عصاه وأما معاوية فشاب من شباب قريش لا شيء له ولكني أدلك على من هو خير لك منهما” قلت: من يا رسول الله؟ قال: “أسامة” قلت: أسامة؟ قال: “نعم أسامة فتزوجي أبا زيد فبورك لأبي زيد في وبورك لي في أبي زيد”
PASAL: Jika perempuan yang akan dinikahi meminta untuk dinikahkan dengan lelaki yang tidak sepadan (ghairu kuf’) maka tidak wajib bagi wali menikahkannya, karena hal itu dapat menimbulkan aib baginya. Namun jika keduanya (perempuan dan wali) sama-sama rela, maka boleh menikahkannya, berdasarkan riwayat dari Fathimah binti Qais RA, ia berkata: Aku datang kepada Nabi SAW dan memberitahukan kepadanya bahwa Abu Jahm dan Mu‘āwiyah melamarku. Beliau bersabda: “Adapun Abu Jahm, aku khawatir terhadap pukulannya, dan Mu‘āwiyah adalah seorang pemuda dari pemuda-pemuda Quraisy yang tidak memiliki apa-apa. Akan tetapi, aku tunjukkan kepadamu seseorang yang lebih baik dari keduanya.” Aku bertanya: Siapa, wahai Rasulullah? Beliau bersabda: “Usāmah.” Aku berkata: Usāmah? Beliau menjawab: “Ya, Usāmah. Maka menikahlah dengan Abū Zayd.” Maka diberkahi pernikahanku dengan Abū Zayd dan diberkahi Abū Zayd denganku.
وقال عبد الرحمن بن مهدي: أسامة من الموالي وفاطمة قرشية ولأن المنع من نكاح غير الكفء لحقهما فإن رضيا زال المنع فإن زوجت المرأة من غير كفء من غير رضاها أو من غير رضا سائر الأولياء فقد قال في الأم: النكاح باطل وقال في الإملاء: كان للباقين الرد وهذا يدل على أنه صحيح فمن أصحابنا من قال فيه قولان: أحدهما أنه باطل لأنه عقد في حق غيره من غير إذن فبطل كما لو باع مال غيره بغير إذنه والثاني أنه صحيح ويثبت فيه الخيار لأن النقص يوجب الخيار دون البطلان كما لو اشترى شيئاً معيباً ومنهم من قال العقد باق قولاً واحداً
Dan Abdurrahman bin Mahdī berkata: Usāmah adalah dari kalangan mawālī, sedangkan Fāṭimah adalah seorang wanita Quraisy. Dan karena larangan menikah dengan lelaki yang tidak sepadan adalah demi menjaga hak keduanya (perempuan dan walinya), maka apabila keduanya ridha, hilanglah larangan tersebut.
Jika seorang perempuan dinikahkan dengan lelaki yang tidak sepadan tanpa keridhaan perempuan itu, atau tanpa keridhaan para wali lainnya, maka Imam al-Syāfi‘ī berkata dalam al-Umm: nikahnya batal. Dan dalam al-Imlā’ beliau berkata: wali-wali yang lain berhak membatalkan pernikahan itu. Ini menunjukkan bahwa akadnya sah.
Sebagian ulama mazhab kami mengatakan: dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, akadnya batal karena dilakukan terhadap hak orang lain tanpa izin, maka batal sebagaimana menjual harta orang lain tanpa izinnya. Kedua, akadnya sah dan menetapkan adanya hak khiyār (pilihan), karena kekurangan hanya menyebabkan khiyār dan tidak membatalkan akad, sebagaimana membeli barang cacat.
Dan ada juga yang berpendapat: akadnya tetap sah menurut satu pendapat saja.
لما ذكرناه وتأول قوله في الإملاء على أنه أراد بالرد المنع من العقد ومنهم من قال: إنه عقد وهو يعلم أنه ليس بكفء بطل العقد كما لو اشترى الوكيل سلعة وهو يعلم بعيبها وإن لم يعلم صح العقد وثبت الخيار كما لو اشترى الوكيل سلعة ولم يعلم بعيبها وحمل القولين على هذين الحالين.
Sebagaimana yang telah kami sebutkan, sebagian dari mereka menakwilkan perkataan Imam al-Syāfi‘ī dalam al-Imlā’ tentang “hak membatalkan” sebagai maksud larangan dari melakukan akad (bukan pembatalan setelah akad terjadi).
Dan sebagian dari mereka berkata: jika akad dilakukan sementara ia mengetahui bahwa calon suami bukan kuf’, maka akadnya batal, sebagaimana halnya seorang wakil yang membeli barang yang diketahui cacatnya—maka batal. Namun jika tidak mengetahui, maka akadnya sah dan tetap ada hak khiyār, sebagaimana jika wakil membeli barang dan tidak mengetahui cacatnya. Maka dua pendapat tersebut ditakwilkan kepada dua keadaan ini.
فصل: والكفاءة في الدين والنسب والحرية والصنعة فأما الدين فهو معتبر فالفاسق ليس بكفء للعفيف لما روى أبو حاتم المزني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فأنكحوه إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض” وأما النسب فهو معتبر فالأعجمي ليس بكفء للعربية لما روي عن سلمان رضي الله عنه أنه قال: لا نؤمكم في صلاتكم ولا ننكح نساءكم وغير القرشي ليس بكفء للقرشية لقوله صلى الله عليه وسلم: “قدموا قريشاً ولا تتقدموها”
PASAL: Kufu‘ dipertimbangkan dalam agama, nasab, kemerdekaan, dan pekerjaan. Adapun agama maka dianggap, maka orang fasik tidak sekufu‘ dengan orang yang ‘afīf (menjaga diri dari dosa), karena riwayat dari Abū Ḥātim al-Muzanī bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah ia. Jika tidak kalian lakukan maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
Adapun nasab, maka juga dianggap. Maka orang ‘ajam (non-Arab) tidak sekufu‘ dengan perempuan Arab, karena riwayat dari Salmān RA bahwa ia berkata: “Kami tidak mengimami kalian dalam salat kalian, dan tidak menikahi perempuan-perempuan kalian.” Dan orang yang bukan dari suku Quraisy tidak sekufu‘ dengan perempuan Quraisy, karena sabda Nabi SAW: “Dahulukanlah Quraisy dan jangan kalian mendahuluinya.”
وهل تكون قريش كلها أكفاء ففيه وجهان: أحدهما أن للجميع أكفاءكما أن الجميع في الخلافة أكفاء والثاني أنهم يتفاضلون فعلى هذا غير الهاشمي والمطلبي ليس بكفء للهاشمية والمطلبية لما روى واثلة بن الأسقع أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إن الله اصطفى كنانة من بني اسماعيل واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم” وأما بنو هاشم وبنو المطلب فهم أكفاء
Apakah seluruh Quraisy setara dalam kafā’ah? Maka terdapat dua pendapat:
Pertama, seluruh mereka adalah sekufu, sebagaimana seluruh mereka sekufu dalam hal kekhalifahan.
Kedua, mereka bertingkat-tingkat. Maka menurut pendapat ini, yang bukan Hasyimi dan bukan Muththalibi tidak sekufu bagi perempuan Hasyimiyyah dan Muththalibiyyah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Wātsilah bin al-Asqa‘ bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari Bani Ismail, memilih Quraisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim.”
Adapun Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, maka mereka saling sekufu.
لأن النبي صلى الله عليه وسلم سوى بينهم في الخمس وقال: “إن بني هاشم وبني المطلب شيء واحد” وأما الحرية فهي معتبرة فالعبد ليس بكفء للحرة لقوله تعالى: {ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً عَبْداً مَمْلُوكاً لا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقاً حَسَناً فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرّاً وَجَهْراً هَلْ يَسْتَوُونَ} ولأن الحرة يلحقها العار بكونها تحت عبد وأما الصنعة فهي معتبرة فالحائك ليس بكفء للبزاز والحجام ليس بكفء للخراز لأن الحياكة والحجامة يسترذل أصحابها، واختلف أصحابنا في اليسار فمنهم من قال: يعتبر فالفقير ليس بكفء للموسر
Karena Nabi SAW menyamakan antara mereka dalam bagian ghanimah (khumus) dan bersabda: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib adalah satu kesatuan.”
Adapun kemerdekaan adalah sesuatu yang diperhitungkan; maka budak bukan sekufu bagi perempuan merdeka, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Ḍaraba Allāhu mathalan ‘abdan mamlūkan lā yaqdiru ‘alā syay’in wa man razaqnāhu minnā rizqan ḥasanan fa huwa yunfiqu minhu sirran wa jahran hal yastawūn}—“Allah membuat perumpamaan tentang seorang budak yang dimiliki, yang tidak berkuasa atas sesuatu pun, dan seseorang yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami, lalu ia menginfakkannya secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan—apakah keduanya sama?”
Dan karena perempuan merdeka akan terkena cela bila menjadi istri dari seorang budak.
Adapun pekerjaan (profesi) juga diperhitungkan; maka penenun tidak sekufu dengan penjual kain (bazzāz), dan tukang bekam tidak sekufu dengan tukang pembuat sepatu (kharrāz), karena profesi menenun dan membekam dipandang rendah oleh masyarakat.
Para ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam hal kekayaan (yisār); sebagian mereka berpendapat bahwa itu diperhitungkan, maka orang fakir tidak sekufu dengan orang kaya.
لما روى سمرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “الحسب المال والكرم التقوى” ولأن نفقة الفقير دون نفقة الموسر ومنهم من قال: لا يعتبر لأن المال يروح ويغدو لا يفتخر به ذوو المروءات ولهذا قال الشاعر:
غنينا زمانا بالتصعلك والغنى … وكلا سقاناه بكأسيهما الدهر
فما زادنا بغياً على ذي قرابة … غنانا ولا أزرى بأحسابنا الفقر
Karena telah diriwayatkan dari Samurah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Al-ḥasab adalah harta, dan kemuliaan adalah takwa.” Dan karena nafkah orang fakir lebih rendah dibanding nafkah orang kaya.
Sebagian dari mereka (ulama mazhab kami) berpendapat bahwa kekayaan tidak diperhitungkan, karena harta datang dan pergi, dan orang-orang yang memiliki muru’ah tidak membanggakan diri dengan harta. Oleh sebab itu seorang penyair berkata:
Ghanīnā zamānan bi-at-taṣa‘luqi wal-ghinā
Wa kullā saqānāhu bi-ka’sayhimā ad-dahru
Famā zādanā baghyan ‘alā żī qarābah
Ghinānā wa lā azrā bi-aḥsābinā al-faqru
Kami pernah hidup kaya dengan kezuhudan dan kekayaan,
dan keduanya telah diberikan oleh zaman dalam dua cawannya.
Tidaklah kekayaan menjadikan kami sewenang-wenang terhadap kerabat,
dan tidak pula kefakiran merendahkan kehormatan keturunan kami.
فصل: وإن كان للمرأة وليان وأذنت لكل واحد منهما في تزويجها فزوجها كل واحد منهما من رجل نظرت فإن كان العقدان في وقت واحد أو لم يعلم متى عقدا أو علم أن أحدهما قبل الآخر ولكن لم يعلم عين السابق منهما بطل العقدان لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر وإن علم السابق ثم نسي وقف الأمر لأنه قد يتذكر وإن علم السابق وتعين فالنكاح هو الأول والثاني باطل لما روى سمرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أيما امرأة زوجها وليان فهي للأول منهما”
PASAL: Jika seorang perempuan memiliki dua wali dan ia memberi izin kepada masing-masing dari keduanya untuk menikahkannya, lalu masing-masing menikahkannya dengan seorang laki-laki, maka hal itu dilihat dulu:
Jika kedua akad dilakukan dalam waktu yang sama, atau tidak diketahui kapan masing-masing akad dilakukan, atau diketahui bahwa salah satunya lebih dahulu tetapi tidak diketahui dengan pasti mana yang lebih dahulu, maka kedua akad batal, karena tidak ada keunggulan bagi salah satunya atas yang lain.
Jika diketahui yang lebih dahulu namun kemudian terlupa, maka perkara ditangguhkan karena bisa jadi akan diingat kembali.
Jika diketahui yang lebih dahulu dan telah ditentukan secara pasti, maka nikah yang sah adalah yang pertama, dan yang kedua batal, berdasarkan riwayat dari Samurah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan mana saja yang dinikahkan oleh dua wali, maka ia menjadi istri dari yang pertama dari keduanya.”
فإن ادعى كل واحد من الزوجين أنه هو الأول وادعيا علم المرأة به فإن أنكرت العلم فالقول قولها مع يمينها لأن الأصل عدم العلم وإن أقرت لأحدهما سلمت إليه وهل تحلف للآخر فيه قولان: أحدهما لا تحلف لأن اليمين تعرض على المنكر حتى يقر ولو أقرت للثاني بعدما أقرت للأول لم يقبل فلم يكن في تحليفها له فائدة والثاني تحلف لأنه ربما نكلت وأقرت للثاني فيلزمها المهر فعلى هذا إن حلفت سقط دعوى الثاني وإن أقرت للثاني لم يقبل رجوعها ويجب عليها المهر للثاني
Jika masing-masing dari dua suami mengklaim bahwa dialah yang pertama, dan keduanya mengaku bahwa perempuan tersebut mengetahui hal itu, namun perempuan tersebut mengingkari bahwa ia mengetahui, maka perkataan yang diterima adalah perkataannya dengan sumpahnya, karena hukum asalnya adalah tidak mengetahui.
Jika ia mengakui untuk salah satu dari keduanya, maka ia diserahkan kepadanya.
Apakah ia perlu bersumpah terhadap yang lain? Dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak perlu bersumpah, karena sumpah hanya diajukan kepada pihak yang mengingkari hingga ia mengakui, dan jika ia telah mengakui kepada yang pertama kemudian mengakui pula kepada yang kedua, maka pengakuan untuk yang kedua tidak diterima. Maka tidak ada faedah dalam menyuruhnya bersumpah bagi yang kedua.
Kedua, ia bersumpah, karena bisa jadi ia enggan bersumpah (nukūl) dan kemudian mengakui kepada yang kedua, maka wajib baginya membayar mahar kepada yang kedua. Berdasarkan pendapat ini, jika ia bersumpah, gugurlah klaim pihak kedua. Namun jika ia mengakui kepada pihak kedua, maka pengakuan itu tidak diterima, dan wajib atasnya membayar mahar kepada pihak kedua.
وإن نكلت رددنا اليمين على الثاني فإن لم يحلف استقر النكاح للأول وإن حلف حصل مع الأول إقرار ومع الثاني يمين ونكول المدعى عليه فإن قلنا إنه كالبينة حكم بالنكاح للثاني لأن البينة تقدم على الإقرار وإن قلنا إنه بمنزلة الإقرار وهو الصحيح ففيه وجهان: أحدهما يحكم ببطلان النكاحين لأن مع الأول إقراراً ومع الثاني ما يقوم مقام الإقرار فصار كما لو أقرت لهما في وقت واحد والثاني أن النكاح للأول لأنه سبق الإقرار له فلم يبطل بإقرار بعده ويجب عليها المهر الثاني كما لو أقرت للأول ثم أقرت للثاني.
Jika perempuan enggan bersumpah (nukūl), maka sumpah dikembalikan kepada pihak kedua (suami kedua). Jika ia (pihak kedua) tidak bersumpah, maka nikah tetap milik pihak pertama.
Namun jika ia bersumpah, maka pada pihak pertama terdapat pengakuan, dan pada pihak kedua terdapat sumpah dan keengganan bersumpah dari pihak yang dituduh (yakni perempuan).
Jika kita katakan bahwa sumpah dan nukūl itu seperti bayyinah (alat bukti), maka diputuskan nikah untuk pihak kedua, karena bayyinah lebih didahulukan daripada pengakuan.
Namun jika kita katakan bahwa sumpah dan nukūl itu setara dengan pengakuan, dan inilah pendapat yang ṣaḥīḥ, maka terdapat dua wajah:
Pertama, diputuskan batalnya kedua akad nikah, karena pada pihak pertama terdapat pengakuan, dan pada pihak kedua terdapat sesuatu yang setara dengan pengakuan. Maka keadaannya seperti jika perempuan mengaku kepada keduanya dalam waktu bersamaan.
Kedua, nikah diputuskan untuk pihak pertama, karena pengakuan kepada pihak pertama lebih dahulu, dan tidak gugur hanya karena ada pengakuan setelahnya. Dan perempuan tetap wajib membayar mahar kepada pihak kedua, sebagaimana jika ia mengakui kepada pihak pertama lalu mengakui kepada pihak kedua.
فصل: ويجوز لولي الصبي أن يزوجه إذا رأى ذلك لما روي أن عمر رضي الله عنه زوج ابناً له صغيراً ولأنه يحتاج إليه إذا بلغ فإن زوجه ألف حفظ الفرج وهل له أن يزوجه بأكثر من امرأة ففيه وجهان: أحدهما لا يجوز لأن حفظ الفرج يحصل بامرأة والثاني يجوز أن يزوجه بأربع لأنه قد يكون له فيه حفظ وأما المجنون فإنه إن كان له حال إفاقة لم يجز تزويجه بغير إذنه لأنه يمكن استئذانه فلا يجوز الافتيات عليه وإن لم يكن له حال إفاقة ورأى الولي تزويجه للعفة أو الخدمة زوجه لأن له فيه مصلحة وأما المحجور عليه للسفه فإنه رأى الولي تزويجه زوجه لأن ذلك من مصلحته فإن كان كثير الطلاق سراه بجارية لأنه لا يقدر على إعتاقها
PASAL: Wali anak kecil boleh menikahkannya jika memandang ada maslahat, karena diriwayatkan bahwa ‘Umar RA menikahkan seorang anaknya yang masih kecil. Dan karena hal itu dibutuhkan ketika ia telah baligh, maka jika dinikahkan lebih awal, hal itu menjaga kemaluannya. Apakah boleh menikahkannya dengan lebih dari satu perempuan? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh karena penjagaan kemaluan cukup dengan satu perempuan; kedua, boleh menikahkannya dengan empat perempuan karena bisa jadi terdapat maslahat dalam hal itu.
Adapun orang gila, jika ia memiliki masa-masa sadar, maka tidak boleh dinikahkan tanpa seizinnya karena memungkinkan untuk meminta izinnya, sehingga tidak boleh bertindak atasnya tanpa izin. Namun jika tidak memiliki masa sadar dan wali memandang ada maslahat dalam menikahkannya baik untuk penjagaan atau pelayanan, maka wali boleh menikahkannya karena terdapat maslahat untuknya.
Sedangkan orang yang ditetapkan tidak cakap hukum karena safih (bodoh dalam pengelolaan harta), maka jika wali memandang maslahat dalam menikahkannya, boleh dinikahkan karena termasuk bagian dari maslahatnya. Jika orang itu dikenal sering mentalak, maka dinikahkan dengan seorang jāriyah karena ia tidak mampu memerdekakannya.
وإن طلب التزويج وهو محتاج إليه فامتنع الولي فتزوج بغير إذنه ففيه وجهان: أحدهما أنه لا يصح لأنه تزوج بغير إذنه فلم يصح منه كما لو تزوج قبل الطلب والثاني يصح لأنه حق وجب له يجوز أن يستوفيه بإذن من هو عليه فإذا امتنع جاز له أن يستوفيه بنفسه كما لو كان له على رجل دين وامتنع من أدائه وأما العبد فإنه إن كان بالغاً فهل يجوز لمولاه أن يزوجه بغير رضاه فيه قولان: أحدهما له ذلك لأنه مملوك يملك بيعه وإجارته فملك تزويجه من غير رضاه كالأمة
Jika ia (anak kecil, orang safih, atau orang gila) meminta untuk dinikahkan karena ia membutuhkannya, namun walinya menolak, lalu ia menikah tanpa izin wali, maka terdapat dua pendapat: pertama, nikahnya tidak sah karena dilakukan tanpa izin wali, sebagaimana jika ia menikah sebelum adanya permintaan; kedua, nikahnya sah karena itu merupakan hak yang wajib diberikan kepadanya dan ia boleh menunaikannya sendiri jika yang berkewajiban menunaikannya menolak, sebagaimana jika ia memiliki piutang pada seseorang dan orang itu enggan membayar, maka ia boleh mengambil sendiri haknya.
Adapun budak, jika ia telah baligh, apakah tuannya boleh menikahkannya tanpa izinnya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tuannya boleh menikahkannya karena ia adalah milik tuannya, yang sah menjual dan menyewakannya, maka sah pula menikahkannya tanpa izinnya sebagaimana amah.
والثاني ليس له ذلك لأن النكاح يقصد به الاستمتاع فلم يملك إجباره عليه كالقسم وإن كان صغيراً ففيه طريقان: أحدهما أنه على القولين لأنه تصرف بحق الملك فاستوى فيه الصغير والكبير كالبيع والإجارة والثاني أنه يملك تزويجه قولاً واحداً لأنه ليس من أهل التصرف فجاز تزويجه كالابن الصغير وإن دعا العبد البالغ مولاه إلى النكاح ففيه قولان: أحدهما يلزمه تزويجه لأنه مكلف مولى عليه فإذا طلب التزويج وجب تزويجه كالسفيه
Pendapat kedua: tuannya tidak boleh menikahkannya (budak baligh) tanpa izinnya karena tujuan dari nikah adalah kenikmatan, maka tidak boleh memaksanya sebagaimana dalam pembagian giliran.
Jika budak itu masih kecil, maka dalam hal ini ada dua pendekatan: pertama, berlaku dua pendapat sebagaimana sebelumnya karena ini termasuk bentuk pengelolaan hak milik, sehingga disamakan antara yang kecil dan besar seperti dalam jual beli dan sewa-menyewa; kedua, bahwa tuan boleh menikahkannya menurut satu pendapat saja karena ia bukan termasuk orang yang cakap bertindak sendiri, maka boleh dinikahkan seperti halnya anak kecil.
Jika budak yang sudah baligh meminta tuannya untuk menikahkannya, maka terdapat dua pendapat: pertama, tuannya wajib menikahkannya karena ia adalah orang yang mukallaf namun berada di bawah kekuasaan, maka ketika meminta pernikahan wajib dipenuhi, sebagaimana orang safih.
والثاني لا يلزمه لأنه يملك بيعه وإجارته فلم يلزمه تزويجه كالأمة وأما المكاتب فلا يملك المولى إجباره على النكاح لأنه سقط حقه من رقبته ومنفعته فإن دعا يجب عليه تزويج العبد ففي المكاتب وجهان: أحدهما لا يجب لأنه مملوك فلم يلزمه تزويجه كالعبد والثاني يجب لأنه لا حق له في كسبه بخلاف العبد فإن كسبه للمولى فإذا زوجه بطل عليه كسبه للمهر والنفقة.
Pendapat kedua: tuannya tidak wajib menikahkannya (budak baligh yang meminta), karena tuan memiliki hak untuk menjual dan menyewakannya, maka tidak wajib menikahkannya sebagaimana amah.
Adapun mukātib, maka tuan tidak memiliki wewenang untuk memaksanya menikah karena haknya atas badan dan manfaat budak tersebut telah gugur. Jika budak meminta untuk dinikahkan, maka apakah tuan wajib menikahkannya? Dalam mukātib terdapat dua wajah: pertama, tidak wajib karena ia masih merupakan milik, maka tidak wajib menikahkannya sebagaimana budak biasa; kedua, wajib karena tuan tidak memiliki hak atas hasil kerjanya, berbeda dengan budak biasa yang hasil kerjanya milik tuan, sehingga jika dinikahkan akan gugur hasil kerjanya untuk mahar dan nafkah.
فصل: ولا يصح النكاح إلا بشاهدين وقال أبو ثور: يصح من غير شهادة لأنه عقد فصح من غير شهادة كالبيع وهذا خطأ لما روت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “كل نكاح لم يحضره أربعة فهو سفاح خاطب وولي وشاهدان” ويخالف البيع فإن القصد منه المال والقصد من النكاح الاستمتاع وطلب الولد ومبناهما على الاحتياط ولا يصح إلا بشاهدين ذكرين فإن عقد برجل وامرأتين لم يصح لحديث عائشة رضي الله عنها ولا يصح إلا بعدلين
PASAL: Tidak sah nikah kecuali dengan dua orang saksi. Abu Ṯaur berpendapat: sah tanpa adanya saksi karena ia adalah akad, maka sah tanpa saksi sebagaimana jual beli. Pendapat ini keliru berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Setiap nikah yang tidak dihadiri oleh empat orang maka itu adalah perzinaan: calon suami, wali, dan dua orang saksi.” Nikah berbeda dengan jual beli, karena maksud dari jual beli adalah harta, sedangkan maksud dari nikah adalah kenikmatan dan mencari keturunan, dan kedua tujuan ini dibangun atas dasar kehati-hatian. Maka tidak sah nikah kecuali dengan dua orang saksi laki-laki. Jika akad dilakukan dengan satu laki-laki dan dua perempuan, maka tidak sah berdasarkan hadis ‘Āisyah RA. Dan tidak sah kecuali dengan dua orang saksi yang ‘adl (adil).
لما روى ابن مسعود رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل” فإن عقد بمجهولي الحال ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي سعيد الاصطخري أنه لا يصح لأنه ما افتقر ثبوته إلى الشهادة لم يثبت بمجهولين كالإثبات عند الحاكم والثاني يصح وهو المذهب لأنا لو اعتبرنا العدالة الباطنة لم تصح أنكحة العامة إلا بحضرة الحاكم لأنهم لا يعرفون شروط العدالة وفي ذلك مشتقة فاكتفى بالعدالة الظاهرة كما اكتفى في الحوادث في حقهم بالتقليد حين شق عليهم إدراكها بالدليل
Karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.” Maka jika akad dilakukan dengan dua orang saksi yang tidak diketahui keadaannya, terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa akad tidak sah, karena sesuatu yang penetapannya bergantung pada kesaksian tidak dapat ditetapkan dengan saksi yang tidak diketahui keadaannya, seperti pembuktian di hadapan hakim.
Kedua, akad sah, dan ini adalah pendapat yang menjadi mazhab, karena jika keadilan batiniah disyaratkan, maka nikah orang awam tidak akan sah kecuali di hadapan hakim, karena mereka tidak mengetahui syarat-syarat keadilan. Dan dalam hal itu terdapat kesulitan, maka cukup dengan keadilan lahiriah, sebagaimana dalam berbagai kejadian mereka diperbolehkan bertaklid ketika sulit bagi mereka memahami dengan dalil.
فإن عقد بمجهولين ثم بان أنهما كانا فاسقين لم يصح لأن حكمنا بصحته في الظاهر إذا بان خلافه حكم بإبطاله كما لو حكم الحاكم باجتهاده ثم وجد النص بخلافه ومن أصحابنا من قال فيه قولان بناء على القولين في الحاكم إذا حكم بشهادة شاهدين ثم بان أنهما كانا فاسقين وإن عقد بشهادة أعميين ففيه وجهان: أحدهما أنه يصح لأن الأعمى يجوز أن يكون شاهداً والثاني لا يصح لأنه لا يعرف العاقد فهو كالأصم الذي لا يسمع لفظ العاقد ويصح بشهادة ابني أحد الزوجين لأنه يجوز أن يثبت النكاح بشهادتهما وهو إذا جحد الزوج الآخر وهل يصح بشهادة ابنيهما أو بشهادة ابن الزوج وابن الزوجة فيه وجهان: أحدهما يصح لأنهما من أهل الشهادة والثاني لا يصح لأنه لا يثبت هذا النكاح بشهادتهما بحال.
Jika akad dilakukan dengan dua orang yang tidak dikenal, kemudian ternyata keduanya adalah fāsiq, maka tidak sah, karena penilaian kita terhadap keabsahan secara lahiriyah batal apabila tampak kenyataan yang bertentangan dengannya, sebagaimana apabila seorang hakim memutuskan berdasarkan ijtihad, kemudian ditemukan nash yang bertentangan, maka keputusannya dibatalkan.
Sebagian dari kalangan kami mengatakan ada dua pendapat, berdasarkan pada dua pendapat dalam kasus hakim yang memutuskan dengan kesaksian dua orang saksi, lalu ternyata keduanya adalah fāsiq.
Jika akad dilakukan dengan kesaksian dua orang buta, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, akad sah, karena orang buta boleh menjadi saksi.
Kedua, akad tidak sah karena ia tidak dapat mengenali siapa yang melakukan akad, maka keadaannya seperti orang tuli yang tidak mendengar ijab qabul.
Dan sah dengan kesaksian dua anak dari salah satu pasangan, karena mereka boleh menjadi saksi untuk menetapkan nikah apabila pihak lain mengingkarinya.
Adapun apakah sah dengan kesaksian dua anak dari kedua pasangan, atau kesaksian anak suami dan anak istri, terdapat dua pendapat:
Pertama, sah, karena mereka termasuk orang yang layak menjadi saksi.
Kedua, tidak sah, karena nikah ini tidak bisa ditetapkan dengan kesaksian mereka dalam keadaan apa pun.
فصل: وإذا اختلف الزوجان فقالت الزوجة عقدنا بشاهدين فاسقين وقال الزوج عقدنا بعدلين ففيه وجهان: أحدهما أن القول قول الزوج لأن الأصل بقاء العدالة والثاني أن القول قول الزوجة لأن الأصل عدم النكاح وإن تصادقا على أنهما تزاوجا بولي وشاهدين وأنكر الولي والشاهدان لم يلتفت إلا إنكارهم لأن الحق لهما دون الولي والشاهدين.
PASAL: Jika suami istri berselisih, istri berkata, “Kami menikah dengan dua orang saksi yang fāsiq,” sedangkan suami berkata, “Kami menikah dengan dua orang saksi yang ‘adl,” maka ada dua pendapat:
Pertama, pendapat suami yang diterima karena asalnya adalah tetapnya keadilan.
Kedua, pendapat istri yang diterima karena asalnya adalah tidak adanya pernikahan.
Jika keduanya sepakat bahwa mereka menikah dengan wali dan dua orang saksi, namun wali dan dua saksi tersebut mengingkari, maka pengingkaran mereka tidak dianggap karena hak (dalam hal ini) bukan milik wali dan dua saksi tersebut.
فصل: ولا يصح إلا على زوجين معينين لأن المقصود بالنكاح أعيانهما فوجب تعيينهما فإن كانت المنكوحة حاضرة فقال زوجتك هذه صح وإن قال زوجتك هذه فاطمة واسمها عائشة صح لأن مع التعيين بالإشارة لا حكم للاسم فلم يؤثر الغلط فيه وإن كانت المنكوحة غائبة فقال زوجتك ابنتي وليس له غيرها صح وإن قال زوجتك ابنتي فاطمة وهي عائشة صح لأنه لا حكم للاسم مع التعيين بالنسب فلم يؤثر الخطأ فيه وإن كان له اثنتان فقال زوجتك ابنتي لم يصح حتى يعينها بالاسم أو بالصفة
PASAL: Tidak sah nikah kecuali atas dua mempelai yang tertentu, karena tujuan dari akad nikah adalah pada pribadi keduanya, maka wajib ditentukan secara jelas.
Jika perempuan yang dinikahi hadir, lalu ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan perempuan ini,” maka sah.
Jika ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan perempuan ini, Fāṭimah,” padahal namanya ‘Āisyah, maka sah, karena penunjukan dengan isyarat sudah cukup, sehingga kesalahan dalam nama tidak berpengaruh.
Jika perempuan yang dinikahi tidak hadir, lalu ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku,” dan ia tidak memiliki anak perempuan selainnya, maka sah.
Jika ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku Fāṭimah,” padahal namanya ‘Āisyah, maka sah, karena penunjukan dengan nasab sudah cukup, sehingga kesalahan dalam nama tidak berpengaruh.
Namun jika ia memiliki dua anak perempuan lalu ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku,” maka tidak sah sampai ia menentukan dengan nama atau sifat.
وإن قال زوجتك عائشة وقبل الزوج ونويا ابنته أو قال زوجتك ابنتي وقبل الزوج ونويا الكبيرة صح لأنها تعينت بالنية وإن قال زوجتك ابنتي ونوى الكبيرة وقبل الزوج ونوى الصغيرة لم يصح لأن الإيجاب في امرأة والقبول في أخرى وإن قال زوجتك ابنتي عائشة ونوى الصغيرة وقبل الزوج ونوى الكبيرة صح النكاح في عائشة في الظاهر ولم يصح في الباطن لأن الزوج قبل في غير ما أوجب الولي.
Jika ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan ‘Āisyah,” lalu suami menerima dan keduanya berniat anak perempuannya, atau ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku,” lalu suami menerima dan keduanya berniat yang besar, maka sah, karena telah ditentukan melalui niat.
Namun jika ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku,” dan ia berniat yang besar, sedangkan suami menerima dan berniat yang kecil, maka tidak sah, karena ijab dilakukan untuk seorang perempuan, sementara qabul untuk perempuan yang lain.
Jika ia berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku ‘Āisyah,” dan ia berniat yang kecil, lalu suami menerima dan berniat yang besar, maka secara lahiriah nikah sah atas ‘Āisyah, namun tidak sah secara batin, karena suami menerima untuk selain yang dinikahkan oleh wali.
فصل: ويستحب أن يخطب قبل العقد لما روي عن عبد الله قال: علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم خطبة الحاجة الحمد لله نحمده ونستعينه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمداً عبده ورسوله قال عبد الله ثم تصل خطبتك بثلاث آيات: {اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ} [آل عمران: 102] {وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ} [النساء: 1] {اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً} [الأحزاب: 70] فإن عقد من غير خطبة جاز
PASAL: Dianjurkan untuk berkhutbah sebelum akad nikah, karena telah diriwayatkan dari ‘Abdullāh bahwa Rasulullah SAW mengajarkan kepada kami khuṭbah al-ḥājah:
“Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan dari keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa Muḥammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
‘Abdullāh berkata: Lalu sambungkan khutbahmu dengan tiga ayat:
- {Yā ayyuhā alladzīna āmanū ittaqū Allāha ḥaqqa tuqātihī wa lā tamūtunna illā wa antum muslimūn} [Āli ‘Imrān: 102]
- {Ittaqū Allāha alladzī tasā’alūna bihī wal-arḥām} [An-Nisā’: 1]
- {Ittaqū Allāha wa qūlū qawlan sadīdā} [Al-Aḥzāb: 70]
Jika akad dilakukan tanpa khutbah, maka tetap sah.
لما روى سهل ابن سعد الساعدي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال للذي خطب الواهبة: “زوجتكها بما معك من القرآن” ولم يذكر الخطبة ويستحب أن يدعو لهما بعد العقد لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا رفأ الإنسان إذا تزوج قال: “بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير”.
Karena telah diriwayatkan dari Sahl ibn Sa‘d as-Sā‘idī bahwa Nabi SAW berkata kepada laki-laki yang meminang wanita yang menghibahkan dirinya: “Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar bacaan Al-Qur’an yang ada padamu,” dan Nabi tidak menyebutkan adanya khutbah.
Dianjurkan juga untuk mendoakan kedua mempelai setelah akad, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW apabila memberi ucapan selamat kepada seseorang yang menikah, beliau bersabda: “Baarakallāhu laka wa baaraka ‘alaika wa jama‘a baynakumā fī khayr” (Semoga Allah memberkahimu, dan memberkahi atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan).
فصل: ولا يصح العقد إلا بلفظ التزويج أو الإنكاح لأن ما سواهما من الألفاظ كالتمليك والهبة لا يأتي على معنى النكاح ولأن الشهادة شرط في النكاح فإذا عقد بلفظ الهبة لم تقع الشهادة على النكاح واختلف أصحابنا في نكاح النبي صلى الله عليه وسلم بلفظ الهبة فمنهم من قال: لا يصح لأن كل لفظ لا ينعقد به نكاح غيره لم ينعقد به نكاحه كلفظ الإحلال ومنهم من قال: يصح لأنه لما خص بهبة البضع من غير بدل خص بلفظها وإن قال زوجني فقال زوجتك صح لأن الذي خطب الواهبة من رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: زوجنيها فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “زوجتكها بما معك من القرآن”
PASAL: Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafaz at-tazwīj atau al-inkāḥ, karena lafaz-lafaz selain keduanya seperti at-tamlīk dan al-hibah tidak mencakup makna pernikahan. Dan karena kesaksian adalah syarat dalam pernikahan, maka jika akad dilakukan dengan lafaz hibah, maka kesaksian tersebut tidak berlaku atas pernikahan.
Para ulama kami berbeda pendapat mengenai pernikahan Nabi SAW dengan lafaz hibah. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hal itu tidak sah, karena setiap lafaz yang tidak sah digunakan untuk akad nikah selain beliau, maka tidak sah pula digunakan untuk akad nikah beliau, seperti lafaz al-ihlāl. Sebagian yang lain berpendapat sah, karena ketika beliau dikhususkan dengan kebolehan menerima hibah kemaluan tanpa imbalan, maka beliau juga dikhususkan dengan lafaz tersebut.
Jika seseorang berkata, “Nikahkan aku,” lalu dijawab, “Aku nikahkan engkau,” maka sah, karena orang yang meminang perempuan yang menghadiahkan dirinya kepada Rasulullah SAW berkata, “Nikahkan aku dengannya,” lalu Nabi SAW bersabda: “Aku nikahkan engkau dengannya dengan (mahar) apa yang ada padamu dari Al-Qur’an.
وإن قال زوجتك فقال قبلت ففيه قولان: أحدهما يصح لأن القبول يرجع إلى ما أوجبه الولي كما يرجع في البيع إلى ما أوجبه البائع والثاني لا يصح لأن قوله قبلت ليس بصريح في النكاح فلم يصح به كما لو قال زوجتك فقال: نعم وإن عقد بالعجمية ففيه ثلاثة أوجه: أحدها لا يصح لقوله صلى الله عليه وسلم: “استحللتم فروجهن بكلمة الله” وكلمة الله بالعربية فلا تقوم العجمية مقامها كالقرآن والثاني وهو قول أبي سعيد الاصطخري إنه إن كان يحسن بالعربية لم يصح وإن لم يحسن صح لأن ما اختص بلفظ غير معجز جاز بالعجمية عند العجز عن العربية ولم يجز عند القدرة كتكبير الصلاة
Dan jika ia berkata: “Aku nikahkan engkau,” lalu dijawab: “Aku terima,” maka ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan sah, karena qabiltu (aku terima) kembali kepada apa yang diwajibkan oleh wali, sebagaimana dalam jual beli, qabiltu kembali kepada apa yang ditetapkan oleh penjual. Pendapat kedua menyatakan tidak sah, karena ucapan “aku terima” tidak secara eksplisit menunjukkan akad nikah, maka tidak sah sebagaimana jika ia berkata: “Aku nikahkan engkau,” lalu dijawab: “Ya.”
Dan jika akad dilakukan dengan menggunakan bahasa non-Arab (ʿajamiyyah), maka terdapat tiga pendapat:
Pertama, tidak sah, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Kalian menghalalkan farji mereka dengan kalimat Allah,” sedangkan kalimat Allah adalah dalam bahasa Arab, sehingga bahasa non-Arab tidak menggantikan kedudukannya sebagaimana Al-Qur’an.
Kedua, yaitu pendapat Abu Saʿīd al-Iṣṭakhrī, bahwa jika orang tersebut mampu menggunakan bahasa Arab maka tidak sah, namun jika tidak mampu maka sah, karena perkara yang tidak dikhususkan dengan lafaz yang bersifat muʿjiz (mukjizat) boleh dilakukan dengan bahasa non-Arab ketika tidak mampu menggunakan bahasa Arab, dan tidak boleh jika mampu, seperti takbir dalam salat.
والثالث وهو الصحيح أنه يصح سواء أحسن بالعربية أو لم يحسن لأن لفظ النكاح بالعجمية يأتي على ما يأتي عليه لفظه بالعربية فقام مقامه ويخالف القرآن فإن القصد منه النظم المعجز وذلك لا يوجد في غيره والقصد بالتكبيرة العبادة ففرق فيه بين العجز والقدرة كأفعال الصلاة والقصد بالنكاح تمليك ما يقصد بالنكاح والعجمية كالعربية في ذلك
Dan pendapat ketiga, yaitu yang shahih, bahwa akad dengan bahasa non-Arab itu sah, baik orang tersebut mampu berbahasa Arab maupun tidak, karena lafaz nikah dalam bahasa non-Arab mencakup makna yang sama dengan lafaznya dalam bahasa Arab, maka ia menggantikannya. Berbeda dengan Al-Qur’an, karena yang dimaksud darinya adalah susunan lafaz yang muʿjiz, dan itu tidak terdapat dalam selainnya. Adapun takbir, maksudnya adalah ibadah, maka dibedakan antara mampu dan tidak, sebagaimana perbuatan-perbuatan dalam salat. Sedangkan maksud dari akad nikah adalah kepemilikan atas sesuatu yang menjadi tujuan dari nikah, dan bahasa non-Arab sama seperti bahasa Arab dalam hal itu.
فإن فصل بين القبول والإيجاب بخطبة بأن قال الولي زوجتك وقال الزوج بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم قبلت نكاحها ففيه وجهان: أحدهما وهو قول الشيخ أبي حامد الإسفرايني رحمه الله أنه يصح لأن الخلية مأمور بها للعقد فلم تمنع صحته كالتيمم بين صلاتي الجمع والثاني لا يصح لأنه فصل بين الإيجاب والقبول فلم يصح كما لو فصل بينهما بغير الخطبة ويخالف التيمم فإنه مأمور به بين الصلاتين والخطبة مأمور بها قبل العقد.
Jika dipisahkan antara ijab dan qabul dengan khutbah, yaitu ketika wali berkata: “Aku nikahkan engkau,” lalu mempelai pria berkata: “Bismillāh, al-ḥamdu lillāh, dan ṣalātu wassalāmu ʿalā Rasūlillāh SAW, aku terima nikahnya,” maka terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Syaikh Abū Ḥāmid al-Isfara’inī raḥimahullāh, bahwa akadnya sah, karena khutbah disyariatkan untuk mendahului akad, maka tidak menghalangi keabsahannya, sebagaimana tayammum di antara dua salat jamak.
Kedua, tidak sah, karena terdapat pemisahan antara ijab dan qabul, maka tidak sah sebagaimana jika dipisahkan dengan selain khutbah. Ini berbeda dengan tayammum, karena tayammum diperintahkan di antara dua salat, sedangkan khutbah diperintahkan sebelum akad.
فصل: وإذا انعقد العقد لزم ولم يثبت فيه خيار المجلس ولا خيار الشرط لأن العادة في النكاح أنه يسأل عما يحتاج إليه قبل العقد فلا حاجة فيه إلى الخيار بعده والله أعلم.
PASAL: Apabila akad telah berlangsung, maka ia menjadi mengikat dan tidak ditetapkan di dalamnya khiār al-majlis maupun khiār al-syarth, karena kebiasaan dalam pernikahan adalah menanyakan segala hal yang dibutuhkan sebelum akad, maka tidak diperlukan adanya hak pilih setelahnya. Wallāhu a‘lam.
باب ما يحرم من النكاح وما لا يحرم
من ارتد عن الدين لم يصح نكاحه لأن النكاح يراد للاستمتاع ولا يوجد ذلك في نكاح المرتد ولا يصح نكاح الخنثى المشكل لأنه إذا تزوج امرأة لم يؤمن أن يكون امرأة وإن تزوج رجلاً ولا يصح نكاح المحرم لما بيناه في الحج.
BAB HAL-HAL YANG DIHARAMKAN DALAM NIKAH DAN YANG TIDAK DIHARAMKAN
Barang siapa murtad dari agama, maka tidak sah nikahnya karena nikah dimaksudkan untuk mendapatkan kenikmatan, sedangkan hal itu tidak terdapat dalam nikah orang murtad.
Tidak sah nikah khuntsā musykil, karena jika ia menikahi perempuan, tidak aman kemungkinan bahwa ia adalah perempuan. Dan jika ia menikahi laki-laki, juga demikian.
Tidak sah nikah orang yang sedang berihram, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab haji.
فصل: ويحرم على الرجل من جهة النسب: الأم والبنت والأخت والعمة والخالة وبنت الأخ وبنت الأخت لقوله عز وجل: {حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ} ومن حرم عليه مما ذكرناه بنسب حرم عليه بذلك النسب كل من يدلي به وإن بعد فتحرم عليه الأم وكل من يدلي بالأمومة من الجدات من الأب والأم وإن علون وتحرم عليه البنت وكل من ينتسب إليه بالبنوة من بنات الأولاد وأولاد الأولاد وإن سفلن وتحرم عليه الأخت من الأب والأخت من الأم والأخت من الأب والأم
PASAL: Diharamkan atas laki-laki karena nasab: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dari pihak ayah, bibi dari pihak ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempuan, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian, anak-anak perempuan kalian, saudara-saudara perempuan kalian, bibi-bibi kalian dari pihak ayah, bibi-bibi kalian dari pihak ibu, anak-anak perempuan saudara laki-laki, dan anak-anak perempuan saudara perempuan.” Dan siapa saja yang haram dinikahi karena nasab yang telah disebutkan, maka haram pula setiap orang yang berhubungan dengan nasab tersebut meskipun jauh. Maka haram atasnya ibu dan semua yang berhubungan dengan keibuan dari kalangan nenek dari pihak ayah dan ibu meskipun telah tinggi (generasinya), dan haram atasnya anak perempuan dan setiap yang dinisbatkan kepadanya karena kebapakan dari kalangan anak perempuan dari anak-anak laki-laki dan anak-anak mereka meskipun telah rendah (generasinya), dan haram atasnya saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan saudara perempuan seayah-seibu.
وتحرم عليه العمة وكل من يدلي إليه بالعمومة من أخوات الآباء والأجداد من الأب والأم أو من الأب أو من الأم وإن علون وتحرم عليه بنت الأخ وكل من ينتسب إليه ببنوة الأخ من بنات أولاده وأولاد أولاده وإن سفلن وتحرم عليه بنت الأخت وكل من ينتسب إليه ببنوة الأخت من أولادها وأولاد أولادها وإن سفلن لأن الاسم يطلق على ما قرب وبعد والدليل عليه قوله سبحانه وتعالى: {يَا بَنِي آدَمَ} [الأعراف: 19] وغيرها وقوله تعالى: {مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ} [الحج: 78] وقوله سبحانه وتعالى: {وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَائي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ} [يوسف: 38] فأطلق عليهم اسم الآباء مع البعد
Dan haram atasnya bibi dari pihak ayah dan setiap perempuan yang berhubungan dengannya melalui jalur kebibian, yaitu dari kalangan saudara-saudara perempuan ayah dan kakek dari pihak ayah dan ibu, atau dari pihak ayah saja, atau dari pihak ibu saja, meskipun mereka telah tinggi (generasinya). Dan haram atasnya anak perempuan dari saudara laki-laki, dan setiap yang dinisbatkan kepadanya melalui kebapakan saudara laki-laki, dari kalangan anak-anak perempuan mereka dan anak-anak mereka meskipun telah rendah (generasinya). Dan haram atasnya anak perempuan dari saudara perempuan, dan setiap yang dinisbatkan kepadanya melalui kebapakan saudara perempuan dari kalangan anak-anaknya dan anak-anak mereka meskipun telah rendah (generasinya). Karena suatu nama dapat berlaku bagi yang dekat maupun yang jauh. Dalil atas hal ini adalah firman Allah SWT: “Wahai anak-anak Adam” [al-A‘rāf: 19] dan lainnya, serta firman-Nya: “Agama bapak kalian, Ibrahim” [al-Ḥajj: 78], dan firman-Nya: “Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya‘qub” [Yūsuf: 38], maka Allah menggunakan istilah “bapak-bapak” kepada mereka meskipun terdapat jarak generasi.
وقال صلى الله عليه وسلم لقوم من أصحابه يرمون: “إرموا فإن أباكم إسماعيل عليه السلام كان رامياً” فسمى إسماعيل أباهم مع البعد ولأن من بعد منهم كمن قرب في الحكم والدليل عليه أن ابن الابن كالابن والجد كالأب في الميراث والولاية والعتق بالملك ورد الشهادة فلأن يكون كالابن والأب في التحريم ومبناه على التغليب أولى.
Dan Nabi SAW bersabda kepada sekelompok sahabatnya yang sedang memanah: “Memanahlah kalian, karena bapak kalian Isma‘il AS adalah seorang pemanah.” Maka beliau menyebut Isma‘il sebagai bapak mereka meskipun terdapat jarak (generasi). Dan karena siapa yang jauh nasabnya sama kedudukannya dengan yang dekat dalam hukum. Dalil atas hal ini adalah bahwa anak dari anak laki-laki dihukumi seperti anak, dan kakek dihukumi seperti ayah dalam warisan, perwalian, pembebasan karena kepemilikan, dan penolakan kesaksian. Maka untuk disamakan dalam keharaman, padahal dasarnya adalah taghlīb (pendekatan dengan yang lebih kuat), itu lebih utama.
فصل: وتحرم عليه من جهة المصاهرة أم المرأة دخل بها أم لم يدخل لقوله تعالى: {وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ} ويحرم عليه كل من يدلي إلى امرأته بالأمومة من الجدات من الأب والأم لما بيناه في الفصل قبله ويحرم عليه ابنة المرأة بنفس العقد تحريم جمع لأنه إذا حرم عليه الجمع لأنه إذا حرم عليه الجمع بين المرأة وأختها فلأن يحرم عليه الجمع بين المرأة وابنتها أولى فإن بانت الأم قبل الدخول حلت له البنت وإن دخل بالأم حرمت عليه البنت على التأبيد لقوله تعالى: {وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}
PASAL: Diharamkan atas seseorang karena sebab muṣāharah (hubungan pernikahan) ibu dari istrinya, baik ia telah berhubungan badan dengannya atau belum, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wa ummahātu nisāikum” (dan ibu-ibu istri kalian). Dan diharamkan atasnya setiap perempuan yang memiliki hubungan sebagai ibu kepada istrinya, dari jalur nenek-nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu, sebagaimana telah dijelaskan dalam pasal sebelumnya.
Dan diharamkan atasnya putri dari istrinya hanya dengan akad nikah, sebagai pengharaman jam‘ (penggabungan), karena jika diharamkan menggabungkan antara istri dan saudara perempuannya, maka lebih utama lagi diharamkan menggabungkan antara istri dan putrinya.
Jika sang ibu berpisah sebelum terjadi hubungan badan, maka anak perempuannya halal dinikahi. Namun, jika sang suami telah berhubungan badan dengan si ibu, maka putrinya haram dinikahi selamanya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wa rabāibukum allātī fī ḥujūrikum min nisāikum allātī dakhaltum bihinna fa in lam takūnū dakhaltum bihinna fa lā junāḥa ‘alaikum.”
وتحرم عليه كل من ينتسب إلى امرأته بالبنوة من بنات أولادها وأولاد أولادها وإن سفلن من وجد منهن ومن لم يوجد كما تحرم البنت وتحرم عليه حليلة الابن لقوله تعالى: {وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ} وتحرم عليه حليلة كل من ينتسب إليه بالنبوة من بني الأولاد وأولاد الأولاد لما بيناه وتحرم عليه حليلة الأب لقوله تعالى: {وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ} وتحرم عليه حليلة كل من يدلي إليه بالأبوة من الأجداد لما ذكرناه.
Diharamkan atasnya setiap perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan istrinya melalui jalur anak, dari anak-anak perempuan keturunannya dan keturunan mereka, walaupun telah jauh ke bawah, baik yang telah ada maupun yang belum ada, sebagaimana diharamkannya anak perempuan.
Dan diharamkan atasnya istri dari anaknya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wa ḥalāilu abnāikum” (dan istri-istri anak kalian).
Diharamkan pula atasnya istri dari setiap orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya melalui jalur anak, dari anak keturunannya dan keturunan mereka, sebagaimana telah dijelaskan.
Diharamkan juga atasnya istri dari ayahnya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Wa lā tankiḥū mā nakaḥa ābāukum min al-nisā’i” (dan janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian).
Dan diharamkan atasnya istri dari setiap orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya melalui jalur ayah, dari kalangan kakek-kakeknya, sebagaimana telah disebutkan.
فصل: ومن حرم عليه بنكاحه أو بنكاح أبيه أو ابنه حرم عليه بوطئه أو وطء أبيه أو ابنه في ملك أو شبهة لأن الوطء معنى تصير به المرأة فراشاً فتعلق به تحريم المصاهرة كالنكاح ولأن الوطء في إيجاب التحريم آكد من العقد بدليل أن الربيبة تحرم بالعقد تحريم جمع وتحرم بالوطء على التأبيد فإذا ثبت تحريم المصاهرة بالعقد فلأن يثبت بالوطء أولى واختلف قوله في المباشرة فيما دون الفرج بشهوة في ملك أو شبهة فقال في أحد القولين هو كالوطء في التحريم لأنها مباشرة لا تستباح إلا بملك فتعلق بها تحريم المصاهرة كالوطء
PASAL: Siapa saja yang haram dinikahi karena adanya akad nikah antara perempuan tersebut dengan dirinya atau dengan ayah atau anaknya, maka haram pula atasnya karena adanya wath’i (persetubuhan) antara perempuan itu dengan dirinya atau dengan ayah atau anaknya baik melalui kepemilikan ataupun syubhat. Karena wath’i merupakan makna yang menyebabkan seorang perempuan menjadi firāsy (istri secara hukum), maka dengannya timbul keharaman karena muṣāharah sebagaimana nikah. Bahkan, wath’i lebih kuat dalam menetapkan keharaman dibanding akad, sebagaimana terbukti bahwa anak tiri haram dinikahi secara permanen karena wath’i, sedangkan dengan akad hanya haram dalam konteks penggabungan. Maka, jika keharaman karena muṣāharah dapat ditetapkan melalui akad, maka penetapan dengan wath’i lebih utama.
Dan ia (Imam al-Syafi‘i) berbeda pendapat dalam hal menyentuh selain farji dengan syahwat, baik melalui kepemilikan atau syubhat: dalam salah satu dari dua pendapatnya, hal itu dihukumi seperti wath’i dalam menyebabkan keharaman, karena itu adalah bentuk mubāsharah yang tidak dibolehkan kecuali dengan hak milik, maka dengannya timbul keharaman karena muṣāharah sebagaimana wath’i.
والثاني لا يحرم بها ما يحرم بالوطء لقوله تعالى: {فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ} ولأنه مباشرة لا توجب العدة فلا يتعلق بها التحريم كالمباشرة بغير شهوة وإن تزوج امرأة ثم وطئ أمها أو بنتها أو وطئها أبوه أو ابنه بشبهة انفسخ النكاح لأنه معنى يوجب تحريماً مؤبداً فإذا طرأ على النكاح أبطله كالرضاع.
Dan pendapat kedua: tidaklah haram dengannya (mubāsyarah selain farji dengan syahwat) apa yang diharamkan karena wath’i, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: “Fa in lam takūnū dakhaltum bihinna fa lā junāḥa ‘alaikum” (Jika kalian belum mencampuri mereka, maka tidak ada dosa atas kalian), dan karena itu adalah mubāsyarah yang tidak mewajibkan ‘iddah, maka tidak berkonsekuensi keharaman, sebagaimana mubāsyarah tanpa syahwat.
Dan apabila seseorang menikahi seorang perempuan, kemudian ia menyetubuhi ibunya atau anak perempuannya, atau perempuan itu disetubuhi oleh ayahnya atau anaknya karena syubhat, maka nikahnya menjadi batal. Karena itu adalah makna yang menyebabkan keharaman yang bersifat abadi, maka apabila terjadi setelah akad nikah, ia membatalkannya, sebagaimana halnya raḍā‘ (persusuan).
فصل: وإن زنى بامرأة لم يحرم عليه نكاحها لقوله تعالى: {وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ} وروت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل عن رجل زنى بامرأة فأرد أن يتزوجها أو ابنتها فقال: ” لا يحرم الحرام الحلال إنما يحرم ما كان بنكاح” ولا تحرم بالزنا أمها أو ابنتها ولا تحرم هي على ابنه ولا على أبيه للآية والخبر ولأنه معنى تصير به المرأة فراشاً فلم يتعلق به تحريم المصاهرة كالمباشرة بغير شهوة وإن لاط بغلام لم تحرم عليه أمه وابنته للآية والخبر
PASAL: Jika seseorang berzina dengan seorang perempuan, maka tidak haram baginya menikahinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa uḥilla lakum mā warā’a dhālikum}, dan berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah RA bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan lalu ingin menikahinya atau menikahi putrinya, maka beliau bersabda: “Haram tidak mengharamkan yang halal, yang mengharamkan hanyalah yang terjadi melalui pernikahan.” Maka ibu atau anak perempuan dari perempuan yang dizinai tidak menjadi haram baginya, dan perempuan itu juga tidak menjadi haram bagi anak atau ayahnya, berdasarkan ayat dan hadis tersebut, serta karena zina adalah suatu hal yang tidak menjadikan perempuan itu sebagai firāsy, maka tidak menyebabkan keharaman karena muṣāharah, sebagaimana mubāsyarah tanpa syahwat. Jika seseorang melakukan liwāṭ dengan seorang anak laki-laki, maka ibu dan anak perempuannya tidak menjadi haram baginya, berdasarkan ayat dan hadis tersebut.
وإن زنى بامرأة فأتت منه ببينة فقد قال الشافعي رحمه الله: أكره أن يتزوجها فإن تزوجها لم أفسخ فمن أصحابنا من قال: إنما كره خوفاً من أن تكون منه فعلى هذا إن علم قطعاً أنها منه بأن أخبره النبي صلى الله عليه وسلم في زمانه لم تحل له ومنهم من قال: إنما كره ليخرج من الخلاف لأن أبا حنيفة يحرمها فعلى هذا لو تحقق أنها منه لم تحرم وهو الصحيح لأنها ولادة لا يتعلق بها ثبوت النسب فلم يتعلق بها التحريم كالولادة لما دون ستة أشهر من وقت الزنا واختلف أصحابنا في المنفي باللعان فمنهم من قال: يجوز للملاعن نكاحها لأنها منفية عنه فهي كالبنت من الزنا ومنهم من قال: لا يجوز للملا عن نكاحها لأنه غير منفية عنه قطعاً ولهذا لو أقر بها ثبت النسب.
Jika seseorang berzina dengan seorang perempuan lalu perempuan itu melahirkan anak darinya, maka Imam al-Syafi‘i raḥimahullāh berkata: “Aku makruhkan baginya menikahi perempuan itu, namun jika dia menikahinya aku tidak membatalkannya.” Maka sebagian dari para sahabat kami berkata: sesungguhnya kemakruhannya itu karena khawatir anak itu berasal darinya. Berdasarkan pendapat ini, jika telah diketahui secara pasti bahwa anak itu berasal darinya — misalnya diberitahukan oleh Nabi SAW pada zamannya — maka perempuan itu tidak halal baginya. Dan sebagian dari mereka berkata: kemakruhannya itu hanya untuk keluar dari khilaf, karena Abū Ḥanīfah mengharamkannya. Berdasarkan pendapat ini, sekalipun telah dipastikan bahwa anak itu berasal darinya, perempuan itu tetap tidak menjadi haram, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena kelahiran tersebut tidak menjadikan nasab itu sah secara hukum, maka tidak menyebabkan keharaman, seperti kelahiran yang terjadi kurang dari enam bulan dari waktu perzinaan.
Para sahabat kami berselisih pendapat mengenai anak yang dinafikan melalui li‘ān. Sebagian mereka berkata: boleh bagi laki-laki yang melakukan li‘ān menikahi anak itu, karena anak tersebut telah dinafikan darinya, sehingga seperti anak dari zina. Dan sebagian mereka berkata: tidak boleh bagi laki-laki yang melakukan li‘ān menikahi anak itu, karena anak itu tidak benar-benar dinafikan darinya, sebab jika dia mengakuinya maka nasabnya menjadi sah.
فصل: ويحرم عليه أن يجمع بين أختين في النكاح لقوله عز وجل: {وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ} ولأن الجمع بينهما يؤدي إلى العداوة وقطع الرحم ويحرم عليه أن يجمع بين المرأة وعمتها وبين المرأة وخالتها لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا تنكح المرأة على عمتها ولا على خالتها” ولأنهما امرأتان لو كانت إحداهما ذكراً لم يحل له نكاح الأخرى فلم يجز الجمع بينهما في النكاح كالأختين فإن جمع بين الأختين أو بين المرأة وعمتها وبين المرأة وخالتها في عقد واحد بطل نكاحهما لأنه ليست إحداهما بأولى من الأخرى فبطل نكاحهما
PASAL: Haram baginya mengumpulkan dua saudari dalam pernikahan berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {dan (diharamkan pula) menghimpun dua perempuan yang bersaudara (dalam pernikahan)}, dan karena mengumpulkan keduanya dapat menimbulkan permusuhan dan memutuskan tali silaturahmi. Dan haram baginya mengumpulkan antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ayah maupun bibinya dari pihak ibu, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: “Janganlah seorang perempuan dinikahkan di atas bibinya dari pihak ayah dan juga di atas bibinya dari pihak ibu.” Karena keduanya adalah dua perempuan, yang jika salah satunya adalah laki-laki, maka tidak halal menikahi yang lainnya, maka tidak boleh mengumpulkan keduanya dalam pernikahan sebagaimana dua saudari. Maka apabila ia mengumpulkan dua saudari atau antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu dalam satu akad, maka pernikahan keduanya batal, karena tidak ada salah satunya yang lebih berhak dari yang lain, maka pernikahan keduanya batal.
وإن تزوج إحداهما بعد الأخرى بطل نكاح الثانية لأنها اختصت بالتحريم وإن تزوج إحداهما ثم طلقها فإن كان طلاقاً بائناً حلت له الأخرى لأنه لم يجمع بينهما في الفراش وإن كان رجعياً لم تحل لأنها باقية على الفراش وإن قال أخبرتني بانقضاء العدة وأنكرت المرأة لم يقبل قوله في إسقاط النفقة والسكنى لأنه حق لها ويقبل قوله في جواز نكاح أختها لأن الحق لله تعالى وهو مقلد فيما بينه وبينه فإن نكح وثني وثنية ودخل بها ثم أسلم وتزوج بأختها في عدتها لم يصح قال المزني: النكاح موقوف على إسلامها
Dan jika ia menikahi salah satu dari keduanya setelah yang lain, maka batal nikah yang kedua karena ia khusus dalam keharaman. Dan jika ia menikahi salah satunya lalu menceraikannya, maka jika talaknya bā’in, halal baginya menikahi yang lain karena ia tidak mengumpulkan keduanya dalam satu firāsy. Namun jika talaknya raj‘ī, maka tidak halal karena ia masih berada di atas firāsy. Dan jika ia berkata, “Ia telah mengabarkan padaku bahwa masa ‘iddahnya telah selesai,” lalu perempuan tersebut mengingkarinya, maka tidak diterima pengakuannya dalam menggugurkan nafkah dan tempat tinggal karena itu adalah hak milik perempuan. Namun diterima pengakuannya dalam kebolehan menikahi saudari perempuan itu karena itu adalah hak Allah Ta‘ala, dan ia dituntut untuk mengikuti keyakinannya dalam perkara antara dia dan Allah. Maka jika seorang musyrik menikahi seorang musyrikah dan telah menggaulinya, lalu ia masuk Islam dan menikahi saudari perempuan itu saat masa ‘iddahnya, maka tidak sah. Al-Muzanī berkata: Nikahnya bergantung pada keislaman perempuan itu.
فإن لم تسلم حتى انقضت العدة صح كما يقف نكاحها على إسلامها وهذا خطأ لأنها جارية إلى بينونة فلم يصح نكاح أختها كالرجعية ويخالف هذا نكاحها فإن الموقوف هناك الحل والنكاح يجوز أن يقف حله ولا يقف عقده ولهذا يقف حل نكاح المرتدة على انقضاء العدة ولا يقف نكاحها على الإسلام ويقف حل نكاح الرجعية على العدة ولا يقف نكاح أختها على العدة.
Maka jika perempuan itu tidak masuk Islam hingga selesai masa ‘iddahnya, maka nikahnya sah, sebagaimana nikahnya bergantung pada keislamannya — dan ini adalah kesalahan — karena perempuan itu dalam keadaan menuju baynūnah, maka tidak sah menikahi saudari perempuannya, sebagaimana halnya perempuan yang dalam masa raj‘iyyah. Ini berbeda dengan nikah perempuan itu sendiri, karena yang bergantung di sana adalah kehalalan, dan kehalalan nikah boleh bergantung, sedangkan akad nikah tidak boleh bergantung. Oleh karena itu, kehalalan nikah perempuan murtad bergantung pada selesainya masa ‘iddah, namun akad nikahnya tidak bergantung pada keislamannya. Dan kehalalan nikah perempuan raj‘iyyah bergantung pada ‘iddah, namun akad nikah saudari perempuannya tidak bergantung pada ‘iddah.
فصل: ومن حرم عليه نكاح امرأة بالنسب له أو بالمصاهرة أو بالجمع حرم عليه وطؤها بملك اليمين لأنه إذا حرم النكاح فلأن يحرم الوطء وهو المقصود أولى وإن ملك أختين فوطئ إحداهما حرمت عليه الأخرى حتى تحرم الموطوءة ببيع أو عتق أو كتابة أو نكاح فإن خالف ووطئها لم يعد إلى وطئها حتى تحرم الأولى والمستحب أن لا يطأ الأولى حتى يستبرئ الثانية حتى لا يكون جامعاً للماء في رحم أختين وإن تزوج امرأة ثم ملك أختها لم تحل له المملوكة لأن أختها على فراشه
PASAL: Siapa yang haram menikahi seorang perempuan karena nasab, atau karena muṣāharah, atau karena larangan jam‘ (menghimpun dua perempuan yang haram dikumpulkan), maka haram pula menyetubuhinya dengan sebab kepemilikan budak (milk al-yamīn), karena jika nikah saja haram, maka haramnya jima‘—yang merupakan tujuan dari nikah—lebih utama.
Jika seseorang memiliki dua saudari perempuan, lalu menyetubuhi salah satunya, maka haram atasnya menyetubuhi yang lain sampai yang pertama menjadi haram baginya karena dijual, dimerdekakan, mukātabah, atau dinikahi orang lain. Jika ia menyelisihi dan menyetubuhi yang lain, maka tidak boleh kembali menyetubuhi yang pertama sampai yang kedua menjadi haram baginya. Dan yang disunnahkan adalah tidak menyetubuhi yang pertama hingga ia memastikan rahim yang kedua telah bersih (istibrā’), agar tidak terjadi pengumpulan air mani dalam rahim dua saudari perempuan.
Jika seseorang menikahi seorang perempuan lalu memiliki budak yang merupakan saudari perempuan istrinya, maka budak itu tidak halal baginya karena saudarinya berada di atas ranjangnya.
وإن وطئ مملوكة ثم تزوج أختها حرمت المملوكة وحلت المنكوحة لأن فراش المنكوحة أقوى لأنه يملك به حقوق لا تملك بفراش المملوكة من الطلاق والظهار والإيلاء واللعان فثبت الأقوى وسقط الأضعف كملك اليمين لما ملك به لا يملك بالنكاح من الرقبة والمنفعة إذا طرأ على النكاح ثبت وسقط النكاح.
Dan jika seseorang menyetubuhi seorang budak perempuan, lalu menikahi saudari perempuan budak tersebut, maka budak itu menjadi haram baginya dan perempuan yang dinikahi menjadi halal, karena ranjang istri (dalam pernikahan) lebih kuat, sebab ia memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh ranjang budak, seperti hak talak, ẓihār, īlā’, dan li‘ān. Maka yang lebih kuat tetap berlaku dan yang lemah gugur, sebagaimana kepemilikan budak karena kepemilikan (langsung) tidak dapat dimiliki melalui nikah dari sisi budak dan manfaatnya. Maka jika kepemilikan datang setelah akad nikah, yang tetap adalah kepemilikan dan nikah gugur.
فصل: وما حرم من النكاح والوطء بالقرابة حرم بالرضاع لقوله تعالى: {وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ} فنص على الأم والأخت وقسنا عليهما من سواهما وروت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “يحرم من الرضاع ما يحرم من الولادة”.
PASAL: Apa yang haram dinikahi dan digauli karena hubungan kekerabatan nasab, maka haram pula karena hubungan raḍā‘, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa ummahātukum allātī arḍa‘nakum wa akhawātukum mina-r-raḍā‘ah} (“dan ibu-ibumu yang menyusui kamu serta saudara perempuanmu sesusuan”), maka Allah menegaskan keharaman ibu dan saudari, dan kami mengqiyaskan selain keduanya atas keduanya. Dan ‘Āisyah RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Haram karena raḍā‘ sama seperti yang haram karena kelahiran.”
فصل: ومن حرم عليه نكاح امرأة على التأبيد برضاع أو نكاح أو وطء مباح صار لها محرماً في جواز النظر والخلوة لأنها محرمة عليه على التأبيد بسبب غير محرم فصار محرماً لها كالأم والبنت ومن حرمت عليه بوطء شبهة لم يصر محرماً لأنها حرمت عليه بسبب غير مباح ولم تلحق بذوات المحارم والأنساب.
PASAL: Siapa yang haram menikahi seorang perempuan secara ta’bīd (selamanya) karena sebab raḍā‘, pernikahan, atau jima‘ yang mubah, maka ia menjadi maḥram bagi perempuan itu dalam hal bolehnya memandang dan berduaan, karena ia haram baginya secara ta’bīd dengan sebab selain nasab, maka ia menjadi maḥram sebagaimana ibu dan anak perempuan.
Adapun siapa yang haram menikahi seorang perempuan karena jima‘ syubhat, maka ia tidak menjadi maḥram, karena keharaman itu terjadi sebab sesuatu yang tidak mubah, sehingga tidak disamakan dengan para maḥram dari kalangan nasab.
فصل: ويحرم على المسلم أن يتزوج ممن لا كتاب له من الكفار كعبدة الأوثان ومن ارتد عن الإسلام لقوله تعالى: {وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ} ويحرم عليه أن يطأ إماءهم بملك اليمين لأن كل صنف حرم وطء حرائرهم بعقد النكاح حرم وطء إمائهم بملك اليمين كالأخوات والعمات ويحل له نكاح حرائر أهل الكتاب وهم اليهود والنصارى ومن دخل في دينهم قبل التبديل لقوله تعالى: {وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ}
PASAL: Haram bagi seorang muslim menikahi perempuan kafir yang tidak memiliki kitab, seperti penyembah berhala dan orang yang murtad dari Islam, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa lā tankiḥū al-musyrikāti ḥattā yu’minna} (Dan janganlah kalian menikahi perempuan musyrik sampai mereka beriman).
Dan haram baginya menyetubuhi budak perempuan mereka dengan sebab kepemilikan (milk al-yamīn), karena setiap golongan yang diharamkan perempuan merdeka mereka dinikahi dengan akad, maka diharamkan pula budak perempuan mereka disetubuhi dengan milk al-yamīn, sebagaimana saudari perempuan dan bibi.
Namun halal baginya menikahi perempuan merdeka dari Ahlul Kitab, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani, serta orang-orang yang masuk ke dalam agama mereka sebelum agama itu mengalami perubahan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa ṭa‘āmu alladzīna ūtu al-kitāba ḥillun lakum wa ṭa‘āmakum ḥillun lahum wa al-muḥṣanātu mina al-mu’mināti wa al-muḥṣanātu mina alladzīna ūtu al-kitāba min qablikum}.
ولأن الصحابة رضي الله عنهم تزوجوا من أهل الذمة فتزوج عثمان رضي الله عنه نائلة بنت الفرافصة الكلبية وهي نصرانية وأسلمت عنده وتزوج حذيفة رضي الله عنه بيهودية من أهل المدائن وسئل جابر رضي الله عنه عن نكاح المسلم اليهودية والنصرانية فقال: تزوجنا بهن زمان الفتح بالكوفة مع سعد بن أبي وقاص ويحل له وطء إمائهم بملك اليمين لأن كل جنس حل نكاح حرائرهم حل وطء إمائهم كالمسلمين ويكره أن يتزوج حرائرهم وأن يطأ إماءهم بملك اليمين لأنا لا نأمن أن يميل إليها فتفتنه عن الدين أو أن يتولى أهل دينها فإن كانت حربية فالكراهية أشد لأنه لا يؤمن ما ذكرناه ولأنه يكثر سواد أهل الحرب ولأنه لا يؤمن أن يسبي ولده منها فيسترق.
Dan karena para sahabat RA menikahi perempuan Ahludz-Dzimmah. ‘Utsmān RA menikahi Nā’ilah binti al-Farāfiṣah al-Kalbiyyah yang beragama Nasrani, lalu ia masuk Islam di sisinya. Ḥudhayfah RA menikahi seorang perempuan Yahudi dari penduduk al-Madā’in. Dan pernah ditanyakan kepada Jābir RA tentang hukum seorang muslim menikahi perempuan Yahudi atau Nasrani, maka ia berkata: “Kami menikahi mereka pada masa penaklukan Kufah bersama Sa‘d bin Abī Waqqāṣ.”
Dan halal baginya menyetubuhi budak perempuan mereka dengan sebab milk al-yamīn, karena setiap golongan yang halal perempuan merdeka mereka dinikahi, maka halal pula budak perempuan mereka disetubuhi, sebagaimana halnya perempuan Muslimah.
Namun makruh menikahi perempuan merdeka mereka dan menyetubuhi budak perempuan mereka dengan milk al-yamīn, karena dikhawatirkan ia akan condong kepada perempuan itu lalu perempuan itu menjerumuskannya dari agama, atau ia cenderung mencintai agama si perempuan. Jika perempuan itu berasal dari kalangan ḥarbiyyah, maka kemakruhan lebih berat, karena lebih dikhawatirkan dari sebab-sebab tersebut, dan karena hal itu dapat menambah jumlah musuh dalam perang, serta dikhawatirkan anak dari perempuan itu akan ditawan dan dijadikan budak.
فصل: وأما غير اليهود والنصارى من أهل الكتاب كمن يؤمن بزبور داود عليه السلام وصحف شيث فلا يحل للمسلم أن ينكح حرائرهم ولا أن يطأ إماءهم بملك اليمين لأنه قيل إن ما معهم ليس من كلام الله عز وجل وإنما هو شيء نزل به جبريل عليه السلام كالأحكام التي نزل بها على النبي صلى الله عليه وسلم من غير القرآن وقيل إن الذي معهم ليس بأحكام وإنما هي مواعظ
PASAL: Adapun selain Yahudi dan Nasrani dari kalangan Ahlul Kitab seperti orang yang beriman kepada Zabūr Dawud AS dan ṣuḥuf Syīts, maka tidak halal bagi seorang muslim menikahi wanita merdeka mereka dan tidak pula halal menggauli budak perempuan mereka dengan kepemilikan tangan, karena ada yang berpendapat bahwa apa yang ada pada mereka bukanlah kalam Allah Azza wa Jalla, melainkan sesuatu yang diturunkan Jibril AS seperti hukum-hukum yang diturunkan kepada Nabi SAW selain al-Qur’an, dan ada pula yang berpendapat bahwa apa yang ada pada mereka bukanlah berupa hukum-hukum, melainkan hanyalah nasihat-nasihat.
والدليل عليه قوله تعالى: {إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا} ومن دخل في دين اليهود والنصارى بعد التبديل لا يجوز للمسلم أن ينكح حرائرهم ولا أن يطأ إماءهم بملك اليمين لأنهم دخلوا في دين باطل فهم كمن ارتد من المسلمين ومن دخل فيهم ولا يعلم أنهم دخلوا قبل التبديل أو بعده كنصارى العرب وهم تنوخ وبنو تغلب وبهراء لم يحل نكاح حرائرهم ولا وطء إمائهم بملك اليمين لأن الأصل في الفروج الحظر فلا تستباح مع الشك.
Dan dalil atas hal itu adalah firman Allah Ta‘ala: {Innamā unzila al-kitābu ‘alā ṭā’ifataini min qablina} (Sesungguhnya Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami). Dan barang siapa yang masuk ke dalam agama Yahudi atau Nasrani setelah adanya perubahan, maka tidak boleh bagi seorang muslim menikahi wanita merdeka mereka dan tidak pula menggauli budak perempuan mereka dengan kepemilikan tangan, karena mereka telah masuk ke dalam agama yang batil, maka hukumnya seperti orang yang murtad dari kalangan muslimin. Dan barang siapa yang masuk ke dalam agama mereka namun tidak diketahui apakah masuk sebelum perubahan atau setelahnya — seperti kaum Nasrani Arab yaitu Tanūkh, Banū Taghlib, dan Bahra’ — maka tidak halal menikahi wanita merdeka mereka dan tidak pula menggauli budak perempuan mereka dengan kepemilikan tangan, karena hukum asal dalam kemaluan adalah haram, maka tidak boleh dihalalkan dalam keadaan ragu.
فصل: واختلف أصحابنا في السامرة والصابئين فقال أبو إسحاق: السامرة من اليهود والصابئين من النصارى واستفتى القاهر أبا سعيد الاصطخري في الصابئين فأفتى بقتلهم لأنهم يعتقدون أن الكواكب السبعة مدبرة والمذهب أنهم وافقوا اليهود والنصارى في أصول الدين من تصديق الرسل والإيمان بالكتب كانوا منهم وإن خالفوهم في أصول الدين لم يكونوا منهم وكان حكمهم حكم عبدة الأوثان واختلفوا في المجوس فقال أبو ثور: يحل نكاحهم لأنهم يقرون على دينهم بالجزية كاليهود والنصارى
PASAL: Ulama-ulama kami berselisih pendapat mengenai as-sāmirah dan aṣ-ṣābi’īn. Abu Ishaq berkata: as-sāmirah termasuk golongan Yahudi, dan aṣ-ṣābi’īn termasuk golongan Nasrani. Al-Qāhir pernah meminta fatwa kepada Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī tentang aṣ-ṣābi’īn, lalu ia memberikan fatwa agar mereka dibunuh karena mereka meyakini bahwa tujuh bintang adalah pengatur (alam).
Adapun mazhab (yang benar) menyatakan bahwa jika mereka menyepakati orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam pokok-pokok agama seperti membenarkan para rasul dan beriman kepada kitab-kitab, maka mereka termasuk golongan mereka. Namun jika mereka menyelisihi mereka dalam pokok-pokok agama, maka mereka tidak termasuk golongan mereka, dan hukum mereka adalah seperti penyembah berhala.
Ulama juga berselisih pendapat tentang orang Majusi. Abu Ṯaur berkata: Boleh menikahi mereka karena mereka tetap dibiarkan di atas agama mereka dengan membayar jizyah sebagaimana halnya orang Yahudi dan Nasrani.
وقال أبو إسحاق: إن قلنا أنهم كان لهم كتاب حل نكاح حرائرهم ووطء إمائهم والمذهب أنه لا يحل لأنهم غير متمسكين بكتاب فهم كعبدة الأوثان وأما حقن الدم فلأن لهم شبهة كتاب والشبهة في الدم تقتضي الحقن وفي البضع تقتضي الحظر وأما ما قال أبو إسحاق فلا يصح لأنه لو جاز نكاحهم على هذا القول لجاز قتلهم على القول الآخر.
Dan Abu Ishaq berkata: Jika dikatakan bahwa mereka dahulu memiliki kitab, maka halal menikahi wanita merdeka mereka dan boleh menggauli budak perempuan mereka. Sedangkan al-madzhab (pendapat yang dipegang) adalah bahwa hal itu tidak halal karena mereka tidak berpegang pada kitab, sehingga kedudukannya seperti penyembah berhala. Adapun penghindaran dari pembunuhan terhadap mereka adalah karena adanya syubhat kitab, dan syubhat dalam hal darah mengharuskan pencegahan pembunuhan, sedangkan dalam hal kemaluan mengharuskan larangan. Adapun apa yang dikatakan Abu Ishaq maka itu tidak sah, karena jika boleh menikahi mereka menurut pendapat tersebut, maka juga boleh membunuh mereka menurut pendapat yang lain.
فصل: ويحرم عليه نكاح من ولد بين وثني وكتابية لأن الولد من قبيلة الأب ولهذا ينسب إليه ويشرف بشرفه فكان حكمه في النكاح حكمه ومن ولد بين كتابي ووثنية ففيه قولان: أحدهما أنها لا تحرم عليه لأنها من قبيلة الأب والأب من أهل الكتاب والثاني أنها تحرم لأنه لم تتمحض كتابية فأشبهت المجوسية.
PASAL: Diharamkan menikahi perempuan yang dilahirkan dari pasangan laki-laki musyrik dan perempuan ahli kitab, karena anak itu mengikuti kabilah ayahnya, dan karena itu dinisbatkan kepadanya serta mendapat kemuliaan karena kemuliaan ayahnya, maka hukumnya dalam pernikahan mengikuti hukum ayahnya. Adapun anak yang lahir dari laki-laki ahli kitab dan perempuan musyrik, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak haram menikahinya karena dia berasal dari kabilah ayahnya, dan ayahnya adalah ahli kitab; kedua, haram menikahinya karena ia tidak murni sebagai ahli kitab, maka ia menyerupai majusi.
فصل: ولا يحل له نكاح الأمة الكتابية لقوله تعالى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ} ولأنها إن كانت لكافر استرق ولده منها وإن كانت لمسلم لم يؤمن أن يبيعها من كافر فيسترق ولده منها وأما الأمة المسلمة فإنه إن كان الزوج حراً نظرت فإن لم يخش العنت وهو الزنا لم يحل نكاحها لقوله تعالى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ} إلى قوله عز وجل: {ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ} فدل على أنها لا تحل لمن لم يخش العنت
PASAL: Tidak halal menikahi amah ahli kitab, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa man lam yastaṭi‘ minkum ṭawlan an yankihal-muḥṣanāti al-mu’mināti fa mimma malakat aymānukum min fatayātikum al-mu’mināt}, dan karena jika ia milik orang kafir, maka anak dari perempuan tersebut menjadi budak; dan jika milik seorang muslim, dikhawatirkan ia akan menjualnya kepada orang kafir sehingga anaknya pun menjadi budak. Adapun amah muslimah, jika yang menikahinya adalah laki-laki merdeka, maka dilihat dulu: jika ia tidak khawatir terjatuh dalam ‘anat (zina), maka tidak halal menikahinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa man lam yastaṭi‘ minkum ṭawlan an yankihal-muḥṣanāti al-mu’mināti fa mimma malakat aymānukum min fatayātikum al-mu’mināt} hingga firman-Nya: {dzālika liman khasyiyal-‘anat}, maka ini menunjukkan bahwa ia tidak halal bagi orang yang tidak khawatir terjatuh dalam ‘anat.
وإن خشي العنت ولم تكن عنده حرة ولا يجد طولاً وهو ما يتزوج به حرة ولا ما يشتري به أمة جاز له نكاحها للآية وإن وجد ما يتزوج به حرة مسلمة لم يحل له نكاح الأمة لقوله تعالى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} فدل على أنه إذا استطاع ما ينكح به محصنة مؤمنة أنه لاينكح الأمة وإن وجد ما يتزوج به حرة كتابية أو يشتري به أمة ففيه وجهان: أحدهما يجوز لقوله تعالى: {وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلاً أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ} وهذا غير مستطيع أن ينكح المحصنات المؤمنات
Dan jika ia khawatir terjatuh dalam ‘anat, sementara ia tidak memiliki istri yang merdeka, dan tidak mampu secara finansial—yakni tidak memiliki harta untuk menikahi wanita merdeka ataupun membeli amah—maka boleh baginya menikahi amah berdasarkan ayat tersebut. Namun jika ia mampu menikahi wanita merdeka yang muslimah, maka tidak halal baginya menikahi amah, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa man lam yastaṭi‘ minkum ṭawlan an yankihal-muḥṣanāti al-mu’mināti fa mimma malakat aymānukum}, maka ini menunjukkan bahwa apabila seseorang mampu menikahi wanita merdeka yang beriman, maka ia tidak boleh menikahi amah. Dan jika ia mampu menikahi wanita merdeka ahli kitab atau mampu membeli amah, maka ada dua pendapat: pendapat pertama menyatakan boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa man lam yastaṭi‘ minkum ṭawlan an yankihal-muḥṣanāti al-mu’mināti fa mimma malakat aymānukum}, dan orang ini belum mampu menikahi wanita merdeka yang beriman.
والثاني لا يجوز لقوله تعالى: {ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ} وهذا لا يخشى العنت وإن كانت عنده حرة لا يقدر على وطئها لصغر أو لرتق أو لضنى من مرض ففيه وجهان: أحدهما يحل له نكاح الأمة لأنه يخشى العنت والثاني لا يحل له لأن تحته حرة فلا يحل هل نكاح الأمة والصحيح هو الأول فإن لم تكن عنده حرة ولم يقدر على طول حرة وخشي العنت فتزوج أمة ثم تزوج حرة أو وجد طول حرة أو أمن العنت لم يبطل نكاح الأمة وقال المزني: إذا وجد صداق حرة بطل نكاح الأمة لأن شرط الإباحة قد زال وهذا خطأ لأن زوال شرط الإباحة قد زال وهذا خطأ لأن زوال الشرط لا حكم له كما لو أمن العنت بعد العقد وإن كان الزوج عبداً حل له نكاح الأمة وإن وجد صداق حرة ولم يخف العنت لأنها مساوية له فلم يقف نكاحها على خوف العنت وعدم صداق الحرة كالحرة في حق الحر.
Dan pendapat kedua menyatakan tidak boleh, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {dzālika liman khasyiyal-‘anat}, sedangkan orang ini tidak khawatir terjatuh dalam ‘anat. Jika ia memiliki istri merdeka tetapi tidak mampu menggaulinya karena masih kecil, atau karena ratq (tertutupnya farji), atau karena lemah akibat sakit, maka ada dua pendapat: pendapat pertama menyatakan halal menikahi amah karena ia khawatir terjatuh dalam ‘anat; dan pendapat kedua menyatakan tidak halal, karena ia masih memiliki istri merdeka, sehingga tidak boleh menikahi amah. Pendapat yang ṣaḥīḥ adalah pendapat pertama.
Jika ia tidak memiliki istri merdeka, tidak mampu menanggung biaya menikahi wanita merdeka, dan khawatir terjatuh dalam ‘anat, lalu ia menikahi seorang amah, kemudian ia menikahi wanita merdeka, atau ia mampu menanggung biaya menikahi wanita merdeka, atau ia tidak lagi khawatir terjatuh dalam ‘anat, maka pernikahan dengan amah tidak batal.
Dan al-Muzanī berkata: jika ia mendapatkan mahar wanita merdeka, maka batal nikahnya dengan amah, karena syarat kebolehan telah hilang. Ini adalah pendapat yang salah, karena hilangnya syarat tidak berpengaruh terhadap akad yang telah terjadi, sebagaimana bila ia tidak lagi khawatir terjatuh dalam ‘anat setelah akad berlangsung.
Jika suami adalah seorang budak, maka halal baginya menikahi amah meskipun ia mampu menyediakan mahar wanita merdeka dan tidak khawatir terjatuh dalam ‘anat, karena kedudukan budak setara dengan amah, maka pernikahan dengan amah tidak bergantung pada syarat khawatir terjatuh dalam ‘anat dan ketidakmampuan menyediakan mahar wanita merdeka, sebagaimana halnya wanita merdeka bagi laki-laki merdeka.
فصل: ويحرم على العبد نكاح مولاته لأن أحكام الملك والنكاح تتناقض فإن المرأة بحكم الملك تطالبه بالسفر إلى المشرق والعبد بحكم النكاح يطالبها بالسفر إلى المغرب والمرأة بحكم النكاح تطالبه بالنفقة والعبد بحكم الملك يطالبها بالنفقة وإن تزوج العبد حرة ثم اشترته انفسخ النكاح لأن ملك اليمين أقوى لأنه يملك به الرقبة والمنفعة فأسقط النكاح ويحرم على المولى أن يتزوج أمته لأن النكاح يوجب للمرأة حقوقاً يمنع منها ملك اليمين فبطل وإن تزوج جارية ثم ملكها انفسخ النكاح لما ذكرناه في العبد إذا تزوج حرة ثم اشترته.
PASAL: Diharamkan bagi seorang budak menikahi tuan perempuannya karena hukum kepemilikan dan hukum nikah saling bertentangan. Sebab, perempuan berdasarkan hukum kepemilikan bisa menuntutnya untuk bepergian ke timur, sedangkan budak berdasarkan hukum nikah menuntutnya untuk bepergian ke barat. Perempuan berdasarkan hukum nikah menuntut nafkah darinya, sedangkan budak berdasarkan hukum kepemilikan menuntut nafkah darinya. Apabila seorang budak menikahi perempuan merdeka lalu perempuan itu membelinya, maka nikahnya batal karena kepemilikan lebih kuat, sebab dengan kepemilikan seseorang menguasai tubuh dan manfaatnya, sehingga menggugurkan pernikahan. Diharamkan bagi tuan untuk menikahi budaknya, karena nikah mewajibkan hak-hak bagi perempuan yang dilarang oleh hukum kepemilikan, maka nikahnya batal. Jika seseorang menikahi seorang jariyah lalu dia memilikinya, maka nikahnya batal sebagaimana disebutkan pada kasus budak yang menikahi perempuan merdeka lalu dibeli olehnya.
فصل: ويحرم على الأب نكاح جارية ابنه لأن له فيها شبهة تسقط الحد بوطئها فلم يحل له نكاحها كالجارية المشتركة بينه وبين غيره فإن تزوج جارية أجنبي ثم ملكها ابنه ففيه وجهان: أحدهما أنه يبطل النكاح لأن ملك الابن كملكه في إسقاط الحد وحرمة الاستيلاد فكان كملكه في إبطال النكاح والثاني لا يبطل لأنه لا يملكها بملك الابن فلم يبطل النكاح.
PASAL: Diharamkan bagi seorang ayah menikahi jariyah (budak perempuan) milik anaknya, karena terdapat syubhat baginya yang dapat menggugurkan hadd jika ia menggaulinya, maka tidak halal menikahinya—seperti halnya jariyah yang dimiliki bersama antara dia dan orang lain.
Jika ia menikahi jariyah milik orang lain, lalu kemudian anaknya memilikinya, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, nikahnya batal, karena kepemilikan anak seperti kepemilikan dirinya dalam hal menggugurkan ḥadd dan keharaman istilād (menjadikan budak sebagai ibu dari anaknya), maka statusnya seperti kepemilikannya dalam hal membatalkan nikah.
Pendapat kedua, nikahnya tidak batal, karena ia tidak memilikinya secara langsung melalui kepemilikan anak, maka tidak membatalkan pernikahan.
فصل: ولا يجوز نكاح المعتدة من غيره لقوله تعالى: {وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ} ولأن العدة وجبت لحفظ النسب لو جوزنا فيها النكاح اختلط النسب وبطل المقصود ويكره نكاح المرتابة بالحمل بعد انقضاء العدة لأنه لا يؤمن أن تكون حاملاً من غيره فإن تزوجها ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي العباس أن النكاح باطل لأنها مرتابة بالحمل فلم يصح نكاحها كما لو حدثت الريبة قبل انقضاء العدة والثاني وهو قول أبي سعيد وأبي إسحاق أنه يصح وهو الصحيح لأنها ريبة حدثت بعد انقضاء العدة فلم تمنع صحة العقد كما لو حدثت بعد النكاح ويجوز نكاح الحامل من الزنا لأن حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه.
PASAL: Tidak boleh menikahi perempuan yang sedang menjalani ‘iddah dari orang lain, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {wa lā ta‘zimū ‘uqdatan-nikāḥi ḥattā yablughal-kitābu ajalah} (QS. al-Baqarah: 235), dan karena ‘iddah diwajibkan untuk menjaga nasab. Jika diperbolehkan menikah dalam masa ‘iddah, maka nasab akan tercampur dan tujuan ‘iddah menjadi batal.
Dimakruhkan menikahi perempuan yang diragukan sedang hamil setelah habis masa ‘iddah, karena dikhawatirkan ia hamil dari orang lain. Jika ia dinikahi, maka ada dua pendapat: pertama, dan ini adalah pendapat Abu al-‘Abbās, bahwa nikahnya batal karena adanya kecurigaan terhadap kehamilan, maka tidak sah nikahnya sebagaimana jika kecurigaan itu muncul sebelum ‘iddah selesai. Kedua, dan ini pendapat Abu Sa‘īd serta Abu Isḥāq, bahwa nikahnya sah, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena kecurigaan itu muncul setelah selesainya masa ‘iddah, maka tidak menghalangi keabsahan akad sebagaimana jika terjadi setelah akad nikah.
Dibolehkan menikahi perempuan yang hamil karena zina, karena kandungannya tidak dinisbatkan kepada siapa pun, maka keberadaannya dianggap seperti tidak ada.
فصل: ويحرم على الحر أن يتزوج بأكثر من أربع نسوة لقوله تعالى: {فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ} وروى عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أن غيلان بن سلمة أسلم وتحته عشر نسوة فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: “خذ منهن أربعاً” ويحرم على العبد أن يجمع بين أكثر من امرأتين وقال أبو ثور: يحل له أن يجمع بين أربع وهذا خطأ لما روي أن عمر رضي الله عنه خطب وقال: من يعلم ماذا يحل للمملوك من النساء فقال رجل: أنا فقال: كم؟ قال: ثنتان فسكت عمر وروي ذلك عن علي وعبد الرحمن بن عوف رضي الله عنهما.
PASAL: Diharamkan bagi laki-laki merdeka untuk menikahi lebih dari empat perempuan, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {fankiḥū mā ṭāba lakum minan-nisā’i mathnā wa thulātsa wa rubā‘} (QS. an-Nisā’: 3), dan riwayat dari ‘Abdullāh bin ‘Umar RA bahwa Ghaylān bin Salamah masuk Islam sedang ia memiliki sepuluh istri, maka Nabi SAW bersabda kepadanya: “Pilihlah empat dari mereka.”
Diharamkan pula bagi seorang budak untuk mengumpulkan lebih dari dua istri. Abū Thawr berpendapat boleh baginya mengumpulkan empat istri, namun ini adalah pendapat yang keliru, karena diriwayatkan bahwa ‘Umar RA pernah berkhutbah dan berkata: “Siapa yang tahu berapa jumlah perempuan yang halal bagi budak?” Maka seseorang menjawab: “Saya.” ‘Umar bertanya: “Berapa?” Ia menjawab: “Dua.” Maka ‘Umar pun diam. Riwayat serupa juga datang dari ‘Alī dan ‘Abdurraḥmān bin ‘Awf RA.
فصل: ولا يجوز نكاح الشغار وهو أن يتزوج الرجل ابنته أو أخته من رجل على أن يزوجه ذلك ابنته أو أخته ويكون بضع كل واحدة منهما صداقاً للأخرى لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن الشغار والشغار أن يزوج الرجل ابنته من رجلين فأما إذا قال زوجتك ابنتي على أن تزوجني ابنتك صح النكاحان لأنه لم يحصل التشريك في البضع وإنما حصل الفساد في الطلاق وهو أنه جعل الصداق أن يزوجه ابنته فبطل الصداق وصح النكاح زإن قال زوجتك ابنتي بمائة على أن تزوجني ابنتك بمائة صح النكاحان
PASAL: Tidak boleh melakukan nikah syighār, yaitu seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya atau saudarinya kepada seseorang dengan syarat orang itu menikahkannya dengan anak perempuan atau saudarinya, dan masing-masing kemaluan wanita dijadikan sebagai mahar bagi yang lain. Karena telah diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW melarang syighār, dan syighār adalah apabila seseorang menikahkan anak perempuannya kepada dua laki-laki. Adapun jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan anak perempuanku dengan syarat engkau menikahkanku dengan anak perempuanmu,” maka kedua pernikahan tersebut sah, karena tidak terjadi penyekutuan dalam kemaluan, hanya saja kerusakan terjadi pada mahar, yaitu menjadikan mahar dengan menikahkannya dengan anak perempuannya, maka batal maharnya dan sah pernikahannya. Dan jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan anak perempuanku dengan mahar seratus, dengan syarat engkau menikahkanku dengan anak perempuanmu dengan mahar seratus,” maka kedua pernikahan tersebut sah.
ووجب مهر المثل لأن الفساد في الصداق وهو شرطه مع المائة تزويج ابنته فأشبه المسألة قبلها وإن قال زوجتك ابنتي بمائة على أن تزوجني ابنتك بمائة ويكون بضع كل واحدة منهما صداقاً للأخرى ففيه وجهان: أحدهما يصح لأن الشغار هو الخالي من الصداق وههنا لم يخل من الصداق والثاني لا يصح وهو المذهب لأن المبطل هو التشريك في البضع وقد اشترك في البضع.
Dan wajib mahar mitsl karena kerusakan terdapat pada mahar, yaitu syaratnya bersama seratus adalah menikahkan anak perempuannya, maka hal itu serupa dengan masalah sebelumnya. Dan jika ia berkata, “Aku menikahkanmu dengan anak perempuanku dengan mahar seratus dengan syarat engkau menikahkanku dengan anak perempuanmu dengan mahar seratus, dan kemaluan masing-masing dari keduanya menjadi mahar bagi yang lain,” maka dalam hal ini ada dua wajah: salah satunya, sah, karena syighār adalah yang kosong dari mahar, sementara di sini tidak kosong dari mahar. Dan yang kedua, tidak sah, dan inilah yang menjadi mazhab, karena yang membatalkan adalah penyekutuan dalam kemaluan, dan di sini telah terjadi penyekutuan dalam kemaluan.
فصل: ولا يجوز نكاح المتعة وهو أن يقول زوجتك ابنتي يوماً أو شهراً لما روى محمد بن علي رضي الله عنهما انه سمع أباه علي بن أبي طالب كرم الله وجهه وقد لقي ابن عباس وبلغه أنه يرخص في متعة النساء فقال علي كرم الله وجهه: إنك امرؤ تائه إن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عنها يوم خيبر وعن لحوم الحمر الإنسية لأنه عقد يجوز مطلقاً فلم يصح مؤقتاً كالبيع ولأنه نكاح لا يتعلق به الطلاق والظهار والإرث وعدة الوفاة فكان باطلاً كسائر الأنكحة الباطلة.
PASAL: Tidak boleh nikah mut‘ah, yaitu jika seseorang berkata: “Aku nikahkan engkau dengan putriku untuk sehari atau sebulan,” karena Muhammad bin ‘Alī RA meriwayatkan bahwa ia mendengar ayahnya, ‘Alī bin Abī Ṭālib karamallāhu wajhah, bertemu dengan Ibn ‘Abbās dan mendengar bahwa ia memberikan rukhsah dalam mut‘ah wanita. Maka ‘Alī karamallāhu wajhah berkata: “Sesungguhnya engkau adalah orang yang bingung. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarangnya pada hari Khaibar, begitu pula terhadap daging keledai jinak.” Karena ia merupakan akad yang sah secara mutlak, maka tidak sah jika dibatasi waktu, sebagaimana akad jual beli. Dan karena ia adalah akad nikah yang tidak berkaitan dengan talak, ẓihār, warisan, dan ‘iddah wafat, maka ia batil seperti seluruh bentuk pernikahan yang batil.
فصل: ولا يجوز نكاح المحلل وهو أن ينكحها على أنه إذا وطئها فلا نكاح بينهما وأن يتزوجها على أن يحللها للزوج الأول لما روى هزيل بن عبد الله قال: لعن الرسول صلى الله عليه وسلم الواصلة والموصولة والواشمة والموشومة والمحلل والمحلل له وآكل الربا ومطعمه ولأنه نكاح شرط انقطاعه دون غايته فشابه نكاح المتعة وإن تزوجها على أنه إذا وطئها طلقها ففيه قولان: أحدهما أنه باطل لما ذكرناه من العلة
PASAL: Tidak boleh nikah muḥallil, yaitu menikahinya dengan syarat bahwa apabila telah menggaulinya maka tidak ada lagi pernikahan di antara keduanya, atau menikahinya dengan syarat untuk menghalalkannya bagi suami pertama. Karena telah diriwayatkan dari Huzail bin Abdullah bahwa Rasulullah SAW melaknat wanita yang menyambung rambut dan yang minta disambung rambutnya, wanita yang mentato dan yang minta ditato, laki-laki muḥallil dan yang dimuḥallilkan untuknya, pemakan riba dan orang yang memberinya makan. Dan karena itu adalah pernikahan dengan syarat terputus sebelum sampai tujuan akhirnya, maka menyerupai nikah mut‘ah. Dan apabila ia menikahinya dengan syarat bahwa setelah menggaulinya ia menceraikannya, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya batal karena sebab yang telah disebutkan.
والثاني أنه يصح لأن النكاح مطلق وإنما شرط قطعه بالطلاق فبطل الشرط وصح العقد فإن تزوجها واعتقد أنه يطلقها إذا وطئها كره ذلك لما روى أبو مرزوق التجيبي أن رجلاً أتى عثمان رضي الله عنه فقال: إن جاري طلق امرأته في غضبه ولقي شدة فأردت أن أحتسب نفسي ومالي فأتزوجها ثم أبني بها ثم أطلقها فترجع إلى زوجها الأول فقال له عثمان رضي الله عنه لا تنكحها إلا بنكاح رغبة فإن تزوج على هذه النية صح النكاح لأن العقد إنما يبطل بما شرط لا بما قصد ولهذا لو اشترى عبداً بشرط أن لا يبيعه بطل ولو اشتراه بنية أن لا يبيعه لم يبطل.
dan yang kedua bahwa akadnya sah, karena akad nikah itu bersifat mutlak, hanya saja disyaratkan untuk diputus dengan talak, maka syaratnya batal dan akadnya sah. Jika ia menikahinya dengan keyakinan bahwa ia akan menceraikannya setelah menyetubuhinya, maka hal itu makruh, karena diriwayatkan dari Abu Marzūq at-Tujībī bahwa ada seorang laki-laki datang kepada ‘Utsmān RA lalu berkata: “Sesungguhnya tetanggaku telah menceraikan istrinya dalam keadaan marah dan ia mengalami kesulitan, maka aku ingin mengharap pahala dari diriku dan hartaku, aku ingin menikahinya lalu aku campuri dia kemudian aku ceraikan agar dia bisa kembali kepada suami pertamanya.” Maka ‘Utsmān RA berkata: “Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan niat pernikahan yang sungguh-sungguh.” Maka jika ia menikahinya dengan niat seperti ini, nikahnya tetap sah karena yang membatalkan akad adalah syarat, bukan niat. Oleh karena itu, jika seseorang membeli seorang budak dengan syarat tidak akan menjualnya, maka batal; tetapi jika ia membelinya dengan niat tidak akan menjualnya, maka tidak batal.
فصل: وإن تزوج بشرط الخيار بطل العقد لأنه عقد يبطله التوقيت فبطل بالخيار الباطل كالبيع وإن شرط أن لا يتسرى عليها أو لا ينقلها من بلدها بطل الشرط لأنه يخالف مقتضى العقد ولا يبطل العقد لأنه لا يمنع مقصود العقد وهو الاستمتاع فإن شرط أن لا يطأها ليلاً بطل الشرط لقوله صلى الله عليه وسلم: “المؤمنون على شروطهم إلا شرطاً أحل حراماً أوحرم حلالاً” فإن كان الشرط من جهة المرأة بطل العقد وإن كان من جهة الزوج لم يبطل لأن الزوج يملك الوطء ليلاً ونهاراً وله أن يترك فإذا شرط أن لا يطأها فقد شرط ترك ماله تركه والمرأة يستحق عليها الوطء ليلاً ونهاراً فإذا شرطت ان لا يطأها فقد شرطت منع الزوج من حقه وذلك ينافي مقصود العقد فبطل.
PASAL: Jika seorang laki-laki menikah dengan syarat khiyār, maka akad batal, karena akad nikah itu batal dengan pembatasan waktu, maka batal pula dengan syarat pilihan yang batil, sebagaimana jual beli. Jika disyaratkan bahwa suami tidak akan melakukan tasarrī terhadapnya atau tidak akan memindahkannya dari negerinya, maka syaratnya batal karena bertentangan dengan maksud akad, namun akadnya tidak batal karena tidak menghalangi tujuan akad, yaitu kenikmatan. Jika disyaratkan bahwa suami tidak akan menggaulinya di malam hari, maka syaratnya batal karena sabda Nabi SAW: “Orang-orang beriman itu tergantung pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.” Jika syarat itu berasal dari pihak perempuan, maka akadnya batal. Jika berasal dari pihak laki-laki, maka tidak batal, karena suami berhak menggauli istri di malam dan siang hari, dan ia berhak meninggalkannya. Maka jika ia mensyaratkan untuk tidak menggaulinya, berarti ia mensyaratkan meninggalkan sesuatu yang memang boleh ia tinggalkan. Sedangkan perempuan wajib untuk menerima hubungan suami-istri di malam dan siang hari. Maka jika ia mensyaratkan agar suaminya tidak menggaulinya, berarti ia mensyaratkan menghalangi hak suaminya, dan itu bertentangan dengan tujuan akad, maka batal.
فصل: ويجوز التعريض بخطبة المعتدة عن الوفاة والطلاق الثلاث لقوله تعالى: {وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ} ولما روت فاطمة بنت قيس أن أبا حفص بن عمرو طلقها ثلاثاً فأرسل إليها النبي صلى الله عليه وسلم لا تسبقيني بنفسك فزوجها بأسامة رضي الله عنه ويحرم التصريح بالخطبة لأنه لما أباح التعريض دل على أن التصريح محرم ولأن التصريح لا يحتمل غير النكاح فلا يؤمن أن يحملها الحرص على النكاح فتخبر بانقضاء العدة والتعريض يحتمل غير النكاح فلا يدعوها إلى الإخبار بانقضاء العدة
PASAL: Boleh melakukan ta‘rīḍ dalam meminang perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah karena wafatnya suami atau karena talak tiga, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan tidak ada dosa atas kalian meminang perempuan-perempuan (dalam masa ‘iddah) secara sindiran} dan karena riwayat dari Fāṭimah binti Qais bahwa Abū Ḥafṣ bin ‘Amr menceraikannya dengan tiga talak, lalu Nabi SAW mengutus seseorang kepadanya seraya bersabda: “Jangan kamu dahului dirimu sendiri,” kemudian beliau menikahkannya dengan Usāmah RA.
Dan haram melakukan peminangan secara taṣrīḥ, karena ketika Allah membolehkan ta‘rīḍ, maka hal itu menunjukkan bahwa taṣrīḥ diharamkan. Hal ini karena taṣrīḥ tidak mengandung makna lain selain pernikahan, sehingga dikhawatirkan karena keinginannya untuk menikah, ia akan mengaku bahwa masa ‘iddah-nya telah selesai. Sedangkan ta‘rīḍ masih mungkin dimaknai selain sebagai peminangan, sehingga tidak mendorong wanita tersebut untuk mengaku telah selesai masa ‘iddah-nya.
وإن خالعها زوجها فاعتدت لم يحرم على الزوج التصريح بخطبتها لأنه يجوز له نكاحها فهو معها كالأجنبي مع الأجنبية في غير العدة ويحرم على غيره التصريح بخطبتها لأنها محرمة عليه وهل يحرم التعريض فيه قولان: أحدهما يحرم لأن الزوج يملك أن يستبيحها في العدة فلم يجز لغيره التعريض بخطبتها كالرجعية
Jika suaminya melakukan khulʿ terhadapnya lalu ia menjalani masa ‘iddah, maka tidak haram bagi suami tersebut untuk melakukan taṣrīḥ dalam meminangnya, karena ia boleh menikahinya, maka hukumnya bersamanya seperti orang asing dengan perempuan asing yang tidak sedang dalam ‘iddah.
Adapun bagi selain suaminya, maka haram melakukan taṣrīḥ dalam meminangnya karena perempuan tersebut haram baginya. Adapun apakah ta‘rīḍ juga haram baginya, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, ta‘rīḍ juga haram, karena suami memiliki hak untuk menghalalkan perempuan itu kembali selama masa ‘iddah, maka tidak boleh bagi selain suami melakukan ta‘rīḍ dalam meminangnya, sebagaimana halnya perempuan yang dalam ‘iddah raj‘iyyah.
والثاني لا يحرم لأنها معتدة بائن فلم يحرم التعريض بخطبتها كالمطلقة ثلاثاً والمتوفى عنه زوجها والمرأة في الجواب كالرجل في الخطبة فيما يحل وفيما يحرم لأن الخطبة للعقد فلا يجوز أن يختلفا في تحليله وتحريمه والتصريح أن يقول إذا انقضت عدتك تزوجتك أو ما أشبهه والتعريض أن يقول رب راغب فيك وقال الأزهري: أنت جميلة وأنت مرغوب فيك وقال مجاهد: مات رجل وكانت امرأته تتبع الجنازة فقال لها رجل لا تسبقينا بنفسك فقال: قد سبقك غيرك ويكره التعريض بالجماع لقوله تعالى: {وَلَكِنْ لا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرّاً} وفسر الشافعي رحمه الله السر بالجماع فسماه سراً لأنه يفعل سراً وأنشد فيه قول امرئ القيس:
ألا زعمت بسبابة اليوم أنني … كبرت وأن لا يحس السر أمثالي
ولأن ذكر الجماع دناءة وسخف.
dan yang kedua tidak haram karena ia adalah mu‘taddah bā’in, maka tidak diharamkan ta‘rīḍ dalam meminangnya, sebagaimana wanita yang ditalak tiga dan wanita yang ditinggal mati suaminya. Dan wanita dalam menjawab sebagaimana laki-laki dalam meminang, dalam hal yang halal maupun yang haram, karena khiṭbah adalah untuk akad, maka tidak boleh keduanya berbeda dalam kehalalan dan keharamannya.
Adapun taṣrīḥ (pernyataan langsung) adalah seperti ucapan: “Jika selesai ‘iddah-mu, aku akan menikahimu,” atau yang semisalnya. Sedangkan ta‘rīḍ (pernyataan tersirat) adalah seperti ucapan: “Ada orang yang menginginkanmu.” Dan al-Azhari berkata: “Engkau cantik dan engkau diinginkan.” Dan Mujāhid berkata: Seorang laki-laki wafat dan istrinya mengikuti jenazahnya, lalu seorang laki-laki berkata kepadanya: “Jangan mendahului kami dengan jiwamu,” maka ia menjawab: “Telah mendahuluimu yang lain.”
Dan dimakruhkan ta‘rīḍ yang mengarah pada jima‘, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {walā tuwā‘idūhunna sirran}, dan Imam al-Syāfi‘i raḥimahullāh menafsirkan sirran sebagai jima‘, ia menamainya dengan sirran karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dan beliau mengutip syair Imru’ al-Qais:
Alā za‘amat bisabbābati al-yauma annanī
Kaburtu wa an lā yuḥissu al-sirru amṡālī
“Ketahuilah, ia mengira karena telunjuknya bahwa hari ini aku telah tua, dan bahwa yang seperti aku tidak bisa merasakan sirr (jima‘).”
Dan karena menyebut jima‘ adalah kehinaan dan kebodohan.
فصل: ومن خطب امرأة فصرح له بالإجابة حرم على غيره خطبتها إلا أن يأذن فيه الأول لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يخطب الرجل على خطبة أخيه حتى يترك الخاطب الأول أو يأذن له فيخطب وإن لم يصرح له بالإجابة ولم يعرض له لم يحرم على غيره لما روي أن فاطمة بنت قيس قالت لرسول الله صلى الله عليه وسلم: إن معاوية وأبا الجهم خطباني
PASAL: Siapa yang meminang seorang perempuan lalu ia diberi jawaban secara taṣrīḥ (jelas), maka haram bagi orang lain untuk meminangnya, kecuali jika orang pertama mengizinkannya. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Rasulullah SAW melarang seseorang meminang atas pinangan saudaranya hingga si peminang pertama meninggalkan pinangannya atau mengizinkan (orang lain) untuk meminang.
Namun jika perempuan tersebut tidak memberi jawaban secara taṣrīḥ dan tidak pula memberi isyarat kepadanya, maka tidak haram bagi orang lain untuk meminangnya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Fāṭimah binti Qays berkata kepada Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Mu‘āwiyah dan Abū al-Jahm telah meminangku.”
فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أما أبو الجهم لا يضع العصا عن عاتقه وأما معاوية فصعلوك لا مال له” فانكحي أسامة وإن عرض له بالإجابة ففيه قولان: قال في القديم: تحرم خطبتها لحديث ابن عمر رضي الله عنه ولأن فيه إفساد المتقارب بينهما وقال في الجديد: لا تحرم لأنه لم يصرح له بالإجابة فأشبه إذا سكت عنه فإن خطب على خطبة أخيه في الموضع الذي لا يجوز فتزوجها صح النكاح لأن المحرم سبق العقد فلم يفسد به العقد وبالله التوفيق.
Maka Rasulullah SAW bersabda: “Adapun Abū al-Jahm, ia tidak meletakkan tongkat dari bahunya (suka memukul), dan adapun Mu‘āwiyah, ia seorang miskin yang tidak memiliki harta, maka nikahilah Usāmah.”
Dan jika perempuan memberi isyarat (ta‘rīḍ) akan menerima (pinangan) tersebut, maka ada dua pendapat. Dalam qaul qadīm, (Imam al-Syāfi‘ī) berpendapat: haram dipinang karena hadis Ibnu ‘Umar RA, dan karena hal itu merusak hubungan yang sedang mendekat. Sedangkan dalam qaul jadīd, tidak haram karena tidak ada taṣrīḥ dalam menerima pinangan, sehingga seperti diam saja terhadap pinangan itu.
Jika seseorang meminang di atas pinangan saudaranya pada keadaan yang tidak diperbolehkan, lalu ia menikahinya, maka akad nikahnya sah, karena yang haram adalah tindakan sebelum akad, sehingga tidak merusak akad. Dan hanya kepada Allah-lah tempat memohon taufik.
باب الخيار في النكاح والرد بالعيب
إذا وجد الرجل امرأته مجنونة أو مجذومة أو برصاء أو رتقاء وهي التي انسد فرجها أو قرناء وهي التي في فرجها لحم يمنع الجماع ثبت له الخيار وإن وجدت المرأة زوجها مجنوناً أو مجذوماً أو أبرص أو مجبوباً أو عنيناً ثبت لها الخيار لما روى زيد بن كعب بن عجرة قال: تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم امرأة من بني غفار فرأى بكشحها بياضاً فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: “البسي ثيابك والحقي بأهلك” فثبت الرد بالبرص بالخبر وثبت في سائر ما ذكرناه بالقياس على البرص لأنها في معناه منع الاستمتاع إن وجد أحدهما الآخر وله فرج الرجال وفرج النساء ففيه قولان: أحدهما يثبت له الخيار لأن النفس تعاف عن مباشرته فهو كالأبرص
PASAL TENTANG PILIHAN DALAM NIKAH DAN PENOLAKAN KARENA CACAT
Jika seorang laki-laki mendapati istrinya gila, atau mengidap lepra, atau penyakit belang (barash), atau ratqā’—yaitu yang liang kemaluannya tertutup—atau qarnā’—yaitu yang di liang kemaluannya terdapat daging yang menghalangi hubungan badan—maka tetap baginya hak khiyār (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan pernikahan). Dan jika seorang perempuan mendapati suaminya gila, atau mengidap lepra, atau belang, atau majbūb—yaitu yang kemaluannya terpotong—atau ‘anīn—yaitu yang tidak mampu berjima‘—maka tetap baginya hak khiyār.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Zaid bin Ka‘b bin ‘Ujrah, ia berkata: Rasulullah SAW menikahi seorang perempuan dari Bani Ghifār, lalu beliau melihat warna putih di pinggangnya. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Pakailah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu.” Maka penolakan karena penyakit belang ditetapkan berdasarkan hadis ini. Dan untuk semua kasus lain yang kami sebutkan, ditetapkan berdasarkan qiyās atas penyakit belang, karena sama-sama menyebabkan terhalangnya kenikmatan.
Jika salah satu dari keduanya menemukan pada pasangannya alat kelamin milik jenis kelamin lain, yakni memiliki kemaluan laki-laki dan perempuan sekaligus, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya adalah bahwa tetap baginya hak khiyār, karena jiwa merasa jijik untuk berhubungan dengannya, maka hukumnya seperti penderita penyakit belang.
والثاني لا خيار له لأنه يمكنه الاستمتاع به وإن وجدت المرأة زوجها خصياً ففيه قولان: أحدهما لها الخيار لأن النفس تعافه والثاني لا خيار لها لأنها تقدر على الاستمتاع به وإن وجد أحدهما بالآخر عيباً وبه مثله بأن وجده أبرص وهو أبرص ففيه وجهان: أحدهما له الخيار لأن النفس تعاف من عيب غيرها وإن كان بها مثله والثاني لا خيار له لأنهما متساويان في النقص فلم يثبت لهما الخيار كما لو تزوج عبد بأمة
Dan pendapat kedua: tidak ada hak khiyār baginya karena ia masih bisa mendapatkan kenikmatan darinya.
Jika seorang perempuan mendapati suaminya adalah khaṣiyy (yang telah dikebiri), maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya, ia memiliki hak khiyār karena jiwa merasa jijik terhadapnya; dan pendapat kedua, ia tidak memiliki hak khiyār karena ia masih bisa memperoleh kenikmatan darinya.
Jika salah satu dari keduanya mendapati pasangannya memiliki cacat dan dirinya pun memiliki cacat yang sama—seperti mendapati pasangannya menderita belang, sedangkan dirinya juga belang—maka terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, tetap ada hak khiyār baginya karena jiwa merasa jijik terhadap cacat orang lain walaupun dirinya juga memiliki cacat yang sama.
Kedua, tidak ada hak khiyār baginya karena keduanya sama-sama memiliki kekurangan, maka tidak ditetapkan hak khiyār bagi keduanya, sebagaimana jika seorang budak menikahi seorang budak perempuan.
وإن حدث بعد العقد عيب يثبت به الخيار فإن كان بالزوج ثبت لها الخيار لأن ما ثبت به الخيار إذا كان موجوداً حال العقد ثبت به الخيار إذا حدث بعد العقد كالإعسار بالمهر والنفقة وإن كان بالزوجة ففيه قولان: أحدهما يثبت به الخيار وهو قوله في الجديد وهو الصحيح لأن ما ثبت به الخيار في ابتداء العقد ثبت به الخيار إذا حدث بعده كالعيب في الزوج والثاني وهو قوله في القديم إنه لا خيار له لأنه يملك أن يطلقها.
Jika cacat itu muncul setelah akad dan cacat tersebut termasuk yang menetapkan hak khiyār, maka jika cacat itu terjadi pada suami, tetap bagi istri hak khiyār. Sebab sesuatu yang menetapkan hak khiyār ketika ada saat akad, juga menetapkan hak khiyār jika muncul setelah akad, seperti ketidakmampuan membayar mahar dan nafkah.
Namun jika cacat itu terjadi pada istri, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tetap menetapkan hak khiyār, dan ini adalah pendapat dalam qaul jadīd, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena sesuatu yang menetapkan hak khiyār di awal akad, juga menetapkan hak khiyār jika muncul setelahnya, seperti cacat pada suami.
Kedua, yaitu pendapat dalam qaul qadīm, tidak menetapkan hak khiyār baginya karena ia memiliki wewenang untuk menceraikannya.
فصل: والخيار في هذه العيوب على الفور لأنه خيار ثبت بالعيب فكان على الفور كخيار العيب في البيع ولا يجوز الفسخ إلا عند الحاكم لأنه مختلف فيه.
PASAL: Dan khiyār dalam aib-aib ini harus segera dilakukan karena ia adalah khiyār yang ditetapkan karena adanya cacat, maka wajib segera dilakukan sebagaimana khiyār al-‘ayb dalam jual beli. Dan tidak boleh melakukan pembatalan kecuali di hadapan hakim karena hal ini merupakan perkara yang diperselisihkan.
فصل: وإن فسخ قبل الدخول سقط المهر لأنه إن كانت المرأة فسخت كانت الفرقة من جهتها فسقط مهرها وإن كان الرجل هو الذي فسخ إلا أنه فسخ لمعنى من جهة المرأة وهو التدنيس بالعيب فصار كأنها اختارت الفسخ وإن كان الفسخ بعد الدخول سقط المسمى ووجب مهر المثل لأنه يستند الفسخ إلى سبب قبل العقد فيصير الوطء كالحاصل في نكاح فاسد فوجب مهر المثل وهل يرجع به على من غره فيه قولان: قال في القديم يرجع لأنه غره حتى دخل في العقد
PASAL: Jika terjadi pembatalan sebelum terjadi dukhūl, maka mahar gugur, karena jika pihak perempuan yang membatalkan, maka perpisahan berasal dari pihaknya, sehingga maharnya gugur. Dan jika pihak laki-laki yang membatalkan, maka ia membatalkan karena suatu sebab dari pihak perempuan, yaitu karena ternodai oleh cacat, maka seakan-akan perempuan itu memilih pembatalan. Dan jika pembatalan terjadi setelah dukhūl, maka mahar yang telah ditentukan gugur dan wajib membayar mahar mitsil, karena pembatalan itu bersandar kepada sebab yang terjadi sebelum akad, sehingga wathī’ menjadi seperti yang terjadi dalam nikah fāsid, maka wajib membayar mahar mitsil. Apakah laki-laki boleh menuntut kembali dari pihak yang menipunya? Ada dua pendapat: menurut pendapat qadīm, ia boleh menuntut kembali karena telah ditipu hingga masuk ke dalam akad.
وقال في الجديد: لا يرجع لأنه حصل له في مقابلته الوطء فإن قلنا يرجع فإن كان الرجوع على الولي رجع بجميعه وإن كان على المرأة ففيه وجهان: أحدهما يرجع بجميعه كالولي والثاني يبقى منه شيئا حتى لا يعري الوطء عن بدل وإن طلقها قبل الدخول ثم علم أنه كان بها عيب لم يرجع بالنصف لأنه رضي بإزالة الملك والتزام نصف المهر فلم يرجع به.
Dan ia berkata dalam qawl jadīd: tidak boleh menuntut kembali karena ia telah mendapatkan ganti berupa wathī’. Jika dikatakan boleh menuntut kembali, maka jika tuntutan ditujukan kepada wali, maka ia menuntut seluruhnya. Dan jika ditujukan kepada perempuan, maka ada dua wajah: pertama, ia menuntut seluruhnya seperti pada wali; dan yang kedua, disisakan sebagian agar wathī’ tidak tanpa ganti sama sekali. Dan jika ia menceraikannya sebelum dukhūl, lalu diketahui bahwa terdapat cacat padanya, maka ia tidak bisa menuntut kembali setengah mahar karena ia telah rela menghilangkan kepemilikan dan menanggung separuh mahar, maka tidak boleh menuntutnya kembali.
فصل: ولا يجوز لولي المرأة الحرة ولا لسيد الأمة ولا لولي الطفل تزويج المولى عليه ممن به هذه العيوب لأن في ذلك إضراراً بالمولى عليه فإن خالف وزوج فعلى ما ذكرناه فيمن زوج المرأة من غير كفء وإن دعت المرأة الولي أن يزوجها بمجنون لم يلزمه تزويجها لأن عليه في ذلك عاراً وإن دعت إلى نكاح مجبوب أو عنين لم يكن له أن يمتنع لأنه لا ضرر عليه في ذلك وإن دعت إلى نكاح مجذوم أو أبرص ففيه وجهان: أحدهما له أن يمتنع لأن عليه في ذلك عاراً والثاني ليس له أن يمتنع لأن الضرر عليها دونه.
PASAL: Tidak boleh bagi wali perempuan merdeka, atau tuan dari seorang amah, atau wali anak kecil, menikahkan orang yang berada dalam perwaliannya dengan seseorang yang memiliki aib-aib tersebut, karena hal itu merupakan tindakan yang membahayakan pihak yang berada dalam perwaliannya. Jika ia melanggar dan tetap menikahkan, maka hukumnya seperti yang telah disebutkan dalam kasus seseorang yang menikahkan perempuan dengan lelaki yang tidak sekufu’.
Jika perempuan meminta wali agar menikahkannya dengan orang gila, maka tidak wajib bagi wali untuk menikahkannya karena hal itu akan menjadi aib baginya. Namun, jika ia meminta dinikahkan dengan orang majbūb atau ‘anīn, maka wali tidak berhak menolak, karena tidak ada bahaya bagi wali dalam hal tersebut. Dan jika ia meminta dinikahkan dengan orang yang majdzūm atau abrash, maka ada dua pendapat:
Pertama, wali boleh menolak karena hal itu membawa aib baginya.
Kedua, wali tidak boleh menolak karena bahaya ada pada perempuan, bukan padanya.
فصل: وإن حدث العيب بالزوج ورضيت به المرأة لم يجبرها الولي على الفسخ لأن حق الولي في ابتداء العقد دون الاستدامة ولهذا لو دعت المرأة إلى نكاح عبد كان للولي أن يمتنع ولو أعتقت تحت عبد فاختارت المقان معه لم يكن للولي إجبارها على الفسخ.
PASAL: Jika terjadi cacat pada suami dan perempuan rela menerimanya, maka wali tidak boleh memaksanya untuk melakukan pembatalan, karena hak wali itu hanya pada permulaan akad, bukan pada keberlanjutannya. Oleh karena itu, jika seorang perempuan mengajukan diri untuk menikah dengan seorang budak, wali boleh menolaknya. Namun jika ia merdeka saat berada dalam pernikahan dengan seorang budak, lalu ia memilih untuk tetap bersamanya, maka wali tidak boleh memaksanya untuk melakukan pembatalan.
فصل: إذا ادعت المرأة على الزوج أنه عنين وأنكر الزوج فالقول قوله مع يمينه فإن نكل ردت اليمين على المرأة وقال أبو سعيد الاصطخري: يقضي عليه بنكوله ولا تحلف المرأة لأنه أمر لا تعلمه والمذهب الأول لأنه حق نكل فيه المدعى عليه عن اليمين فردت على المدعي كسائر الحقوق وقوله إنها لا تعلمه يبطل باليمين في كتابة الطلاق وكناية القذف فإذا حلفت المرأة أو اعترف الزوج أجله الحاكم سنة
PASAL: Jika seorang perempuan menuduh suaminya sebagai ‘anīn (tidak mampu bersetubuh), lalu suaminya mengingkari, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami dengan sumpahnya. Jika suami enggan bersumpah, maka sumpah dialihkan kepada perempuan. Abu Sa‘id al-Ishṭakhri berkata: diputuskan atas suami karena enggannya bersumpah, dan perempuan tidak disumpah karena itu perkara yang tidak diketahuinya.
Namun, madzhab yang benar adalah pendapat pertama, karena itu adalah hak yang diingkari oleh pihak yang dituduh dan ia enggan bersumpah, maka dipindahkan kepada penuduh sebagaimana dalam hak-hak yang lain. Adapun pendapat bahwa perempuan tidak mengetahuinya terbantahkan oleh diperbolehkannya sumpah dalam masalah penulisan talak dan kiasan dalam qadzf. Jika perempuan bersumpah atau suami mengakui, maka hakim memberinya tenggang waktu selama satu tahun.
لما روى سعيد بن المسيب أن عمر رضي الله عنه قضى في العنين أن يؤجل سنة وعن علي عليه السلام وعبد الله والمغيرة بن شعبة رضي الله عنهم نحوه ولأن العجز عن الوطء قد يكون بالتعنين وقد يكون لعارض من حرارة أو برودة أو رطوبة أو يبوسة فإذا مضت عليه الفصول الأربعة واختلفت عليه الأهوية ولم يزل دل على أنه خلقة ولا تثبت المدة إلا بالحاكم لأنه يختلف فيها بخلاف مدة الإيلاء فإن جامعها في الفرج سقطت المدة وأدناه أن يغيب الحشفة في الفرج لأن أحكام الوطء تتعلق به ولا تتعلق بما دونه فإن كان بعض الذكر مقطوعاً لم يخرج من التعنين إلا بتغييب جميع ما بقي من أصحابنا من قال: إذا غيب من الباقي بقدر الحشفة خرج من حكم التعنين
Karena Sa‘īd bin al-Musayyab meriwayatkan bahwa ‘Umar RA memutuskan dalam perkara suami ‘anīn agar diberi tenggang waktu selama satu tahun. Riwayat serupa juga datang dari ‘Alī AS, ‘Abdullāh, dan al-Mughīrah bin Syu‘bah RA. Sebab, ketidakmampuan untuk berjima‘ bisa terjadi karena ta‘nīn (impotensi) atau karena faktor lain seperti panas, dingin, lembap, atau kering. Maka apabila telah berlalu empat musim dan berganti-ganti hawa namun belum juga hilang (impotensinya), hal itu menunjukkan bahwa ia memang diciptakan demikian (cacat bawaan).
Tenggang waktu tersebut tidak ditetapkan kecuali oleh hakim, karena persoalan ini bervariasi, berbeda dengan masa īlā’. Jika suami menjima‘ istrinya di farji, maka masa tunggu itu gugur. Ukuran minimal jima‘ adalah masuknya ḥasyafah ke dalam farji, karena hukum-hukum jima‘ bergantung padanya dan tidak bergantung pada selainnya.
Jika sebagian dzakar terpotong, maka ia tidak keluar dari status ‘anīn kecuali dengan memasukkan seluruh sisa dzakar yang ada. Sebagian ulama dari kalangan kami berpendapat bahwa jika ia memasukkan dari sisa dzakarnya sebanyak ukuran ḥasyafah, maka ia keluar dari hukum ta‘nīn.
لأن الباقي قائم مقام الذكر والمذهب الأول لأنه إذا كان الذكر سليماً فهناك حد يمكن اعتباره وهو الحشفة وإن كان مقطوعاً فليس هناك حد يمكن اعتباره فاعتبر الجميع وإن وطئها في الدبر لم يخرج من حكم التعنين لأنه ليس بمحل للوطء ولهذا لا يحصل به الإحلال للزوج الأول وإن وطئ في الفرج وهي حائض سقطت المدة لأنه محل للوطء وإن ادعى أنه وطئها فإن كانت ثيباً فالقول قوله مع يمينه لأنه لا يمكن إثباته بالبينة وإن كانت بكراً فالقول قولها لأن الظاهر أنه لم يطأها فإن قال الزوج وطئت ولكن عادت البكارة حلفت لجواز أن يكون قد ذهبت البكارة ثم عادت.
Karena sisa dzakar itu menempati posisi dzakar (yang utuh), namun madzhab yang benar adalah pendapat pertama: jika dzakar masih utuh maka ada batas yang bisa dijadikan ukuran, yaitu ḥasyafah; namun jika telah terpotong maka tidak ada batas yang bisa dijadikan ukuran, maka seluruh sisa dzakar dijadikan ukuran.
Jika ia menjima‘ istrinya di dubur, maka tidak keluar dari hukum ta‘nīn, karena dubur bukanlah tempat jima‘. Oleh karena itu, tidak bisa dijadikan sarana iḥlāl (menghalalkan istri bagi suami pertama). Tetapi jika ia menjima‘nya di farji sementara istrinya dalam keadaan haid, maka masa tenggang gugur karena farji tetap merupakan tempat jima‘.
Jika suami mengklaim telah menjima‘nya, maka bila istrinya adalah seorang tsayyib, maka ucapan suami yang dijadikan pegangan disertai sumpahnya, karena tidak mungkin dibuktikan dengan saksi. Namun jika istrinya seorang perawan, maka ucapan istri yang dijadikan pegangan, karena secara lahiriah menunjukkan bahwa ia belum dijima‘.
Jika suami berkata, “Aku telah menjima‘nya, namun selaput dara telah kembali,” maka istri diminta bersumpah, karena ada kemungkinan bahwa selaput dara itu pernah hilang lalu kembali.
فصل: وإن اختارت المقام معه قبل انقضاء الأجل ففيه وجهان: أحدهما يسقط خيارها لأنها رضيت بالعيب مع العلم والثاني لا يسقط خيارها لأنه إسقاط حق قبل ثبوته فلم يصح كالعفو عن الشفعة قبل البيع وإن اختارت المقام بعد انقضاء الأجل سقط حقها لأنه إسقاط حق بعد ثبوته وإن أرادت بعد ذلك أن ترجع وتطالب بالفسخ لم يكن لها لأنه خيار ثبت بعيب وقد أسقطته فلم يجز أن ترجع فيه فإن لم يجامعها حتى انقضى الأجل وطالبت بالفرقة فرق الحاكم بينهما لأنه مختلف فيه وتكون الفرقة فسخاً لأنه فرقة لا تقف على إيقاع الزوج ولا من ينوب عنه فكانت فسخاً كفرقة الرضاع وإن تزوج امرأة ووطئها ثم عن منها لم تضرب المدة لأن القدرة يقين فلا تترك بالاجتهاد.
PASAL: Jika istri memilih tetap bersama suaminya sebelum habisnya tenggat waktu, maka terdapat dua pendapat: pertama, gugurlah hak pilihnya karena ia telah ridha terhadap aib tersebut dengan mengetahuinya; kedua, tidak gugur hak pilihnya karena hal itu termasuk menggugurkan hak sebelum tetapnya hak tersebut, maka tidak sah, seperti halnya memaafkan hak syuf‘ah sebelum terjadi jual beli. Dan jika ia memilih tetap bersama suaminya setelah habisnya tenggat waktu, maka gugurlah haknya karena itu termasuk menggugurkan hak setelah hak itu tetap. Maka jika ia ingin kembali dan menuntut pembatalan setelah itu, tidak diperkenankan baginya karena itu adalah hak pilihan yang tetap karena aib, dan ia telah menggugurkannya, maka tidak sah baginya untuk kembali menuntutnya.
Jika suami tidak menggaulinya hingga tenggat waktu berlalu dan ia menuntut perpisahan, maka hakim memisahkan antara keduanya karena perkara ini diperselisihkan, dan perpisahan tersebut adalah pembatalan karena merupakan perpisahan yang tidak bergantung pada pernyataan suami atau wakilnya, maka dihukumi sebagai pembatalan seperti perpisahan karena raḍā‘. Dan jika seorang lelaki menikahi seorang wanita lalu menggaulinya kemudian menjadi ‘anīn (impoten), maka tidak ditentukan tenggat waktu karena adanya kemampuan (menggauli) secara yakin, maka tidak ditinggalkan karena ijtihad.
فصل: وإن وجدت المرأة زوجها مجبوباً ثبت لها الخيار في الحال لأنه عجزه متحقق فإن كان بعضه مجبوباً وبقي ما يمكن الجماع به فقالت المرأة لا يتمكن من الجماع به وقال الزوج أتمكن ففيه وجهان: أحدهما أن القول قوله لأن له ما يمكن الجماع بمثله فقبل قوله كما لو اختلفا وله ذكر قصير والثاني وهو قول أبي إسحاق أن القول قول المرأة لأن الظاهر معها فإن الذكر إذا قطع بعضه ضعف وإن اختلفا في القدر الباقي هل يمكن الجماع به فالقول قول المرأة لأن الأصل عدم الإمكان.
PASAL: Jika seorang perempuan mendapati suaminya majbūb (terputus dzakarnya seluruhnya), maka ia berhak langsung memilih (fasakh), karena ketidakmampuannya sudah pasti.
Jika hanya sebagian dzakar yang terpotong dan masih tersisa bagian yang memungkinkan untuk jima‘, lalu perempuan berkata: “Ia tidak mampu menjima‘ dengannya,” sedangkan suami berkata: “Aku mampu,” maka ada dua pendapat:
Pertama, ucapan suami diterima, karena masih ada sisa yang secara umum bisa digunakan untuk jima‘, sehingga ucapannya diterima sebagaimana jika mereka berselisih sementara suami memiliki dzakar yang pendek.
Kedua, dan ini pendapat Abū Isḥāq, ucapan istri yang diterima karena zhahir berpihak padanya; sebab apabila sebagian dzakar telah terpotong, maka kekuatannya menjadi lemah.
Jika mereka berselisih mengenai apakah sisa dzakar yang ada masih memungkinkan untuk jima‘ atau tidak, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri, karena asalnya adalah ketidakmampuan.
فصل: إذا تزوجت المرأة رجلاً على أنه على صفة فخرج بخلافها أو على نسب فخرج بخلافه ففيه وجهان: أحدهما أن العقد باطل لأن الصفة المقصودة كالعين ثم اختلاف العين يبطل العقد فكذلك اختلاف الصفة ولأنها لم ترض بنكاح هذا الزوج فلم يصح كما لو أذنت في نكاح رجل على صفة فزوجت ممن هو على غير تلك الصفة والقول الثاني أنه يصح العقد وهو الصحيح لأنه ما لا يفتقر العقد إلى ذكره إذا ذكره وخرج بخلافه لم يبطل العقد كالمهر فعلى هذا إن خرج أعلى من المشروط لم يثبت الخيار لأن الخيار يثبت للنقصان لا للزيادة
PASAL: Jika seorang perempuan menikah dengan seorang lelaki atas dasar bahwa ia memiliki suatu sifat tertentu, lalu ternyata tidak sesuai, atau atas dasar nasab tertentu lalu ternyata bukan seperti yang disebutkan, maka terdapat dua pendapat: pertama, akadnya batal karena sifat yang dimaksudkan itu seperti ‘ain (identitas tertentu), maka sebagaimana perbedaan ‘ain membatalkan akad, begitu pula perbedaan sifat. Dan karena ia tidak ridha menikah dengan lelaki tersebut, maka tidak sah, sebagaimana jika ia mengizinkan untuk dinikahkan dengan lelaki yang memiliki sifat tertentu lalu dinikahkan dengan lelaki yang tidak memilikinya.
Pendapat kedua: akadnya sah, dan ini yang shahih, karena sesuatu yang tidak menjadi keharusan disebutkan dalam akad, jika disebutkan lalu ternyata berbeda, tidak membatalkan akad, seperti mahar. Berdasarkan hal ini, jika ternyata suaminya lebih tinggi dari yang disyaratkan, maka tidak tetap hak khiyār, karena khiyār hanya ditetapkan untuk kekurangan, bukan untuk kelebihan.
فإن خرج دونها فإن كان عليها في ذلك نقص بأن شرط أنه حر فخرج عبداً أو أنه جميل فخرج قبيحاً أو أنه عربي فخرج عجمياً ثبت لها الخيار لأنه نقص لم ترض به وإن لم يكن عليها نقص بأن شرطت أنه عربي فخرج عجمياً وهي عجمية ففيه وجهان: أحدهما لها الخيار لأنها ما رضيت أن يكون مثلها والثاني لا خيار لها لأنها لا نقص عليها في حق ولا كفاءة.
Jika ternyata (suaminya) di bawah (sifat yang disyaratkan), maka jika hal itu mengandung kekurangan baginya — seperti ia mensyaratkan bahwa suaminya merdeka ternyata budak, atau bahwa ia tampan ternyata buruk rupa, atau bahwa ia orang Arab ternyata non-Arab — maka tetap baginya hak khiyār karena itu merupakan kekurangan yang tidak ia ridai.
Dan jika tidak ada kekurangan baginya — seperti ia mensyaratkan bahwa suaminya orang Arab, ternyata non-Arab, sedangkan ia sendiri juga non-Arab — maka terdapat dua pendapat: pertama, ia memiliki hak khiyār karena ia tidak rela suaminya sama seperti dirinya; dan kedua, ia tidak memiliki hak khiyār karena tidak ada kekurangan baginya dalam hal hak maupun kafā’ah (kesepadanan).
فصل: وإن كان الغرر من جهة المرأة نظرت فإن تزوجها على أنها حرة فكانت أمة وهو ممن يحل له نكاح الأمة ففي صحة النكاح قولان: فإن قلنا إنه باطل فوطئها لزمه مهر المثل وهل يرجع به على الغار فيه قولان: أحدهما لا يرجع لأنه حصل له في مقابلته الوطء
PASAL: Jika gharar berasal dari pihak perempuan, maka dilihat kembali: jika ia menikahinya dengan persangkaan bahwa ia adalah perempuan merdeka, namun ternyata ia adalah seorang amah, sedangkan ia termasuk orang yang diperbolehkan menikahi amah, maka dalam keabsahan akad nikah terdapat dua pendapat. Jika dikatakan bahwa akadnya batal lalu ia menyetubuhinya, maka ia wajib memberikan mahar mitsil. Apakah ia boleh menuntut kembali dari pihak yang menipunya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak boleh menuntut karena ia telah mendapatkan ganti berupa jima‘.
والثاني يرجع لأن الغار ألجأه إليه فإن كان الذي غره غير الزوجة رجع عليه وإن كانت هي الزوجة رجع عليها إذا عتقت وإن كان وكيل السيد رجع عليه في الحال وإن أحبلها ضمن قيمة الولد رجع بها على من غره وإن قلنا إنه صحيح فهل يثبت له الخيار فيه قولان: أحدهما لا خيار له لأنه يمكنه أن يطلق والثاني له الخيار وهو الصحيح لأن ما ثبت به الخيار للمرأة ثبت به الخيار للرجل كالجنون وقال أبو إسحاق: إن كان الزوج عبداً فلا خيار له قولاً واحداً لأنه مثلها والصحيح لا فرق بين أن يكون حراً أو عبداً لأن عليه ضرراً لم يرض به وهو استرقاق ولده منها وعدم الاستمتاع بها في النهار فإن فسخ فالحكم فيها كالحكم فيه إذا قلنا إنه باطل
dan pendapat kedua: boleh menuntut karena pihak yang menipunya telah memaksanya. Jika yang menipunya bukan istrinya, maka ia menuntut kepada orang itu. Jika yang menipunya adalah istrinya, maka ia menuntut kepada istrinya setelah ia merdeka. Jika yang menipunya adalah wakil tuannya, maka ia menuntut kepada wakil itu saat itu juga. Jika ia menghamilinya, maka ia wajib membayar ganti rugi atas nilai anak, lalu menuntutnya kepada pihak yang menipunya. Dan jika dikatakan bahwa akadnya sah, apakah ia memiliki hak khiyār? Dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, tidak ada hak khiyār karena ia bisa menceraikannya; dan kedua, ia memiliki hak khiyār dan ini yang shahih, karena sebab yang menetapkan hak khiyār bagi perempuan juga menetapkannya bagi laki-laki, seperti gila.
Abu Ishaq berkata: jika suaminya adalah budak, maka tidak ada hak khiyār baginya secara qaulan wāḥidan, karena ia sama seperti istrinya. Dan yang shahih, tidak ada perbedaan apakah ia budak atau merdeka, karena padanya terdapat ḍarar yang tidak ia ridai, yaitu perbudakan anaknya darinya dan ketidakmampuan menikmati istrinya di siang hari. Jika ia membatalkan pernikahan, maka hukumnya seperti ketika dikatakan bahwa akad tersebut batal.
وإن قلنا لا خيار له أو له الخيار ولم يفسخ فهو كالنكاح الصحيح فإن وطئها قبل العلم بالرق فالولد حر لأنه لم يرض برقه وإن وطئها بعد العلم بالرق فالولد مملوك لأنه رضي برقه وإن غرته بصفة غير الرق أو بنسب ففي صحة النكاح قولان: فإن قلنا إنه باطل ودخل بها وجب مهر المثل وهل يرجع به على من غره على القولين: فإن قلنا يرجع فإن كان الغرور من غيرها رجع بالجميع وإن كان منها ففيه وجهان: أحدهما يرجع بالجميع كما يرجع على غيرها
Dan jika dikatakan bahwa ia tidak memiliki hak khiyār, atau memiliki hak khiyār namun tidak memilih fasakh, maka hukumnya seperti nikah yang sah. Jika ia menyetubuhinya sebelum mengetahui bahwa istrinya adalah budak, maka anaknya merdeka karena ia tidak rela anaknya menjadi budak. Namun jika ia menyetubuhinya setelah mengetahui status budak, maka anaknya menjadi budak karena ia rela dengan status tersebut.
Jika ia ditipu bukan dalam hal status budak, tetapi dalam hal sifat lain atau nasab, maka dalam keabsahan nikah terdapat dua pendapat. Jika dikatakan bahwa akadnya batal, lalu ia menyetubuhinya, maka wajib baginya membayar mahar mitsil. Apakah ia bisa menuntut kembali kepada pihak yang menipunya? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Jika dikatakan boleh menuntut, maka jika penipunya bukan istrinya, ia menuntut semua. Jika penipunya adalah istrinya, maka ada dua wajah: pertama, ia menuntut seluruhnya sebagaimana jika penipunya adalah selain istrinya.
والثاني يبقى منه شيئا حتى لا يعري الوطء عن بدل وإن قلنا إنه صحيح فإن كان الغرور بنسب فخرجت أعلى منه لم يثبت الخيار وإن خرجت دونه ولكن مثل نسبه أو أعلى منه لم يثبت الخيار وإن كانت دون نسبه ففيه وجهان: أحدهما له الخيار لأنه لم يرض أن تكون دونه والثاني لا خيار له لأنه لا نقص على الزوج بأن تكون المرأة دونه في الكفاءة فإن قلنا إن له الخيار فاختار الفسخ فالحكم فيه كالحكم فيه إذا قلنا إنه باطل وإن اختار المقام فهو كما قلنا إنه صحيح وقد بيناه.
Dan wajah kedua: tetap ada bagian yang tidak dituntut agar jima‘ tidak berlangsung tanpa ganti. Jika dikatakan bahwa akadnya sah, lalu penipuan terjadi dalam hal nasab, dan ternyata nasabnya lebih tinggi dari yang disangka, maka tidak ada hak khiyār. Jika ternyata nasabnya lebih rendah, namun masih setara atau lebih tinggi dari nasab suami, maka tidak ada hak khiyār. Namun jika nasabnya lebih rendah dari nasab suami, maka terdapat dua wajah: pertama, suami memiliki hak khiyār karena ia tidak rela menikah dengan wanita yang di bawahnya; kedua, tidak ada hak khiyār karena tidak ada kekurangan pada suami dengan pernikahan wanita yang nasabnya lebih rendah darinya dalam hal kafā’ah.
Jika dikatakan bahwa ia memiliki hak khiyār, lalu ia memilih fasakh, maka hukumnya seperti jika dikatakan akadnya batal. Jika ia memilih tetap melanjutkan, maka hukumnya seperti yang telah dijelaskan dalam kasus nikah yang sah.
فصل: وإن تزوج امرأة من غير شرط يظنها حرة فوجدها أمة فالنكاح صحيح والمنصوص أنه لا خيار له وقال فيمن تزوج حرة يظنها مسلمة فخرجت كتابية أن له الخيار فمن أصحابنا من نقل جوابه في كل واحدة من المسألتين إلى الأخرى وجعلهما على قولين: أحدهما له الخيار لأن الحرة الكتابية أحسن حالاً من الأمة لأن الولد منها حر والاستمتاع بها تام فإذا جعل له الخيار فيها كان في الأمة والولد منها رقيق والاستمتاع بها ناقص أولى
PASAL: Jika seseorang menikahi seorang perempuan tanpa syarat, dan ia menyangka perempuan itu merdeka, lalu ternyata ia seorang budak, maka nikahnya sah. Pendapat yang manṣūṣ (ditegaskan oleh imam) adalah bahwa ia tidak memiliki hak khiyār. Namun, beliau berkata bahwa jika seseorang menikahi perempuan merdeka karena mengira ia seorang muslimah, lalu ternyata ia seorang ahli kitab, maka ia memiliki hak khiyār. Maka sebagian dari ulama kami menukil jawaban ini pada masing-masing dari kedua kasus tersebut kepada yang lainnya, dan menjadikannya sebagai dua qawl: pertama, bahwa ia memiliki hak khiyār, karena perempuan merdeka dari kalangan ahli kitab keadaannya lebih baik daripada budak perempuan, karena anak dari perempuan merdeka adalah merdeka dan kenikmatan dengannya sempurna. Maka jika dalam kasus perempuan merdeka dari ahli kitab saja diberi hak khiyār, maka dalam kasus budak—di mana anak darinya menjadi budak dan kenikmatan dengannya tidak sempurna—maka lebih utama untuk diberi hak khiyār.
والقول الثاني لا خيار له لأن العقد وقع مطلقاً فهو كما لو ابتاع شيئاً يظنه على صفة فخرج بخلافها فإنه لا يثبت له الخيار فكذلك ههنا وإذا لم يجعل له الخيار في الأمة ففي الكتابية أولى ومنهم من حملها على ظاهر النص فقال له الخيار في الكتابية ولا خيار له في الأمة لأن في الكتابية ليس من جهة الزوج تفريط لأن الظاهر ممن لا غيار عليه أنه ولي مسلمة وإنما التفرط من جهة الولي في ترك الغيار وفي الأمة التفريط من جهة الزوج في ترك السؤال.
Dan qawl kedua: tidak ada hak khiyār baginya, karena akad terjadi secara mutlak, maka hukumnya seperti seseorang yang membeli sesuatu dengan menyangka ia memiliki suatu sifat, lalu ternyata tidak demikian, maka tidak ditetapkan hak khiyār baginya—maka demikian pula di sini. Dan apabila tidak diberi hak khiyār dalam kasus budak perempuan, maka dalam kasus perempuan ahli kitab lebih utama untuk tidak diberi hak khiyār.
Sebagian ulama membawa makna zahir dari naṣṣ, yaitu bahwa ia memiliki hak khiyār dalam kasus perempuan ahli kitab, dan tidak memiliki hak khiyār dalam kasus budak perempuan. Karena dalam kasus perempuan ahli kitab, tidak ada tafrīṭ (kelalaian) dari pihak suami, sebab secara lahiriah seorang perempuan yang tidak ada tanda-tanda cela pada dirinya dianggap sebagai muslimah, dan tafrīṭ berasal dari pihak wali yang tidak meneliti. Sedangkan dalam kasus budak, tafrīṭ berasal dari pihak suami karena ia tidak bertanya.
فصل: إذا أعتقت الأمة وزوجها حر لم يثبت لها الخيار لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: أعتقت بريرة فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم في زوجها وكان عبداً فاختارت نفسها ولو كان حرا ما خيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم ولأنها لا ضرر عليها في كونها حرة تحت حر ولهذا لا يثبت به الخيار في ابتداء النكاح فلا يثبت به الخيار في استدامته وإن أعتقت تحت عبد ثبت لها الخيارلحديث عائشة رضي الله عنها ولأن عليها عاراً وضرراً في كونها تحت عبد ولهذا لو كان ذلك في ابتداء النكاح ثبت لها الخيار فثبت به الخيار في استدامته ولها أن تفسخ بنفسها لأنه خيار ثابت بالنص فلم يفتقر إلى الحاكم وفي وقت الخيار قولان: أحدهما أنه على الفور لأنه خيار لنقص فكان على الفور كخيار العيب في البيع
PASAL: Jika seorang amah dimerdekakan dan suaminya adalah orang merdeka, maka tidak tetap baginya hak khiyār, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA bahwa ia berkata: Barīrah dimerdekakan, lalu Rasulullah SAW memberikan pilihan kepadanya terhadap suaminya, sedangkan suaminya adalah seorang budak, maka ia memilih dirinya sendiri. Seandainya suaminya adalah orang merdeka, niscaya Rasulullah SAW tidak akan memberikan pilihan kepadanya. Karena tidak ada mudarat atasnya sebagai wanita merdeka yang berada di bawah naungan suami merdeka. Oleh karena itu, tidak tetap hak khiyār karena sebab ini pada awal akad nikah, maka tidak tetap pula hak khiyār pada kelanjutan akad.
Namun jika ia dimerdekakan dalam keadaan suaminya adalah seorang budak, maka tetap baginya hak khiyār, berdasarkan hadis dari ‘Āisyah RA. Karena ia menanggung aib dan mudarat dengan berada di bawah naungan seorang budak. Oleh sebab itu, jika hal tersebut terjadi pada awal akad nikah maka tetap baginya hak khiyār, maka tetap pula hak khiyār pada kelanjutan akad.
Ia boleh melakukan pembatalan sendiri karena hak khiyār ini ditetapkan berdasarkan nash, sehingga tidak memerlukan keputusan hakim.
Adapun waktu pelaksanaan hak khiyār, terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa hak khiyār itu harus segera dilaksanakan, karena ia merupakan hak khiyār yang disebabkan kekurangan, maka hukumnya seperti khiyār al-‘ayb dalam jual beli.
والثاني أنه على التراخي لأنه لو جعلناها على الفور لم نأمن أن تختار المقام أو الفسخ ثم تندم فعلى هذا في وقته قولان: أحدهما يتقدر بثلاثة أيام لأنه جعل حداً لمعرفة الحظ في الخيار في البيع والثاني أن لها الخيار إلى أن تمكنه من وطئها لأنه روي ذلك عن ابن عمر وحفصة بنت عمر رضي الله عنهما وقول الفقهاء السبعة سعيد بن المسيب وعروة بن الزبير والقاسم بن محمد وأبو بكر بن عبد الرحمن بن الحارث بن هشام وخارجة بن يزيد بن ثابت وعبيد الله بن عبد الله بن عتبة بن مسعود وسليمان بن يسار رضي الله عنهم
dan pendapat kedua adalah bahwa hak khiyār itu boleh ditunda pelaksanaannya (‘alā at-tarākhī), karena jika diwajibkan segera, dikhawatirkan ia memilih tetap atau membatalkan lalu menyesal. Berdasarkan itu, terdapat dua pendapat tentang batas waktunya:
Pertama, dibatasi selama tiga hari, karena tiga hari dijadikan sebagai batas waktu untuk mengetahui maslahat dalam khiyār jual beli.
Kedua, ia memiliki hak khiyār sampai ia membiarkan suaminya menyetubuhinya, karena hal ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Ḥafṣah binti ‘Umar RA, serta merupakan pendapat tujuh faqīh Madinah: Sa‘īd bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qāsim bin Muḥammad, Abū Bakr bin ‘Abd ar-Raḥmān bin al-Ḥārith bin Hisyām, Khārijah bin Yazīd bin Tsābit, ‘Ubaydullāh bin ‘Abdillāh bin ‘Utbah bin Mas‘ūd, dan Sulaimān bin Yasār RA.
فإن أعتقت ولم تختر الفسخ حتى وطئها ثم ادعت الجهل بالعتق فإن كان في موضع يجوز أن يخفي عليها العتق فالقول قولها مع يمينها لأن الظاهر أنها لم تعلم وإن كان في موضع لا يجوز أن يخفى عليها لم يقبل قولهها لأن ما تدعيه خلاف الظاهر وإن علمت بالعتق ولكن ادعت أنها لم تعلم بأن لها الخيار ففيه قولان: أحدهما لا خيار لها كما لو اشترى سلعة فيها عيب وادعى أنه لم يعلم أن له الخيار والثاني أن لها الخيار لأن الخيار بالعتق لا يعرفه غير أهل العلم وإن أعتقت وهي صغيرة ثبت لها الخيار إذ بلغت وإن كانت مجنونة ثبت لها الخيار إذا عقلت وليس للولي أن يختار لأن هذه طريقة الشهوة فلا ينوب عنها الولي كالطلاق
Jika ia dimerdekakan namun tidak memilih pembatalan hingga suaminya menyetubuhinya, lalu ia mengaku tidak tahu bahwa dirinya telah merdeka, maka:
Jika hal itu terjadi di tempat yang memungkinkan tersembunyinya status kemerdekaan darinya, maka ucapannya diterima dengan sumpahnya, karena secara lahiriah menunjukkan bahwa ia memang tidak tahu.
Namun jika hal itu terjadi di tempat yang tidak mungkin status kemerdekaan tersembunyi darinya, maka pengakuannya tidak diterima karena apa yang ia klaim bertentangan dengan kenyataan yang tampak.
Jika ia mengetahui bahwa dirinya telah merdeka, tetapi mengaku tidak tahu bahwa ia memiliki hak khiyār, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, ia tidak memiliki hak khiyār, sebagaimana orang yang membeli barang cacat lalu mengaku tidak tahu bahwa ia memiliki hak khiyār.
Kedua, ia tetap memiliki hak khiyār, karena hak khiyār yang timbul karena kemerdekaan tidak diketahui kecuali oleh kalangan ahli ilmu.
Jika ia dimerdekakan dalam keadaan masih kecil, maka hak khiyār tetap baginya ketika ia telah baligh.
Dan jika ia dimerdekakan dalam keadaan gila, maka hak khiyār tetap baginya ketika ia telah sadar.
Adapun wali tidak boleh memilih atas namanya, karena perkara ini berkaitan dengan syahwat, maka wali tidak bisa mewakilinya, sebagaimana dalam kasus talak.
وإن أعتقت فلم تختر حتى عتق الزوج ففيه قولان: أحدهما لا يسقط خيارها لأنه حق ثبت في حال الرق فلم يتغير بالعتق كما لو وجب عليه حد ثم أعتق والثاني يسقط لأن الخيار ثبت للنقص وقد زال فإن أعتقت وهي في العدة من طلاق رجعي فلها أن تترك الفسخ لانتظار البينونة بانقضاء العدة ولها أن تفسخ لأنها إذا لم تفسخ ربما راجعها إذا قارب انقضاء العدة فإذا فسخت احتاجت أن تستأنف العدة
Jika ia dimerdekakan namun tidak memilih pembatalan hingga suaminya juga dimerdekakan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, hak khiyār-nya tidak gugur, karena itu adalah hak yang telah ditetapkan ketika ia masih dalam status budak, maka tidak berubah dengan kemerdekaan, sebagaimana jika seseorang dikenai hukum ḥadd lalu ia dimerdekakan.
Kedua, hak khiyār-nya gugur, karena hak tersebut ditetapkan karena adanya kekurangan, dan kekurangan itu telah hilang.
Jika ia dimerdekakan dalam keadaan sedang menjalani masa ‘iddah dari talak raj‘ī, maka ia boleh menunda pembatalan untuk menunggu terjadinya bain dengan berakhirnya masa ‘iddah, dan ia juga boleh memilih pembatalan, karena jika ia tidak membatalkan, bisa jadi suaminya merujuknya ketika masa ‘iddah hampir habis. Namun jika ia memilih pembatalan, maka ia harus memulai masa ‘iddah dari awal.
وإن اختارت المقام في العدة لم يسقط خيارها لأنها جارية إلى بينونة فلا يصح منها اختيار المقام مع ما ينافيه وإن أعتقت تحت عبد فطلقها قبل أن تختار الفسخ ففيه قولان: أحدهما أن الطلاق ينفذ لأنه صادف الملك والثاني لا ينفذ لأنه يسقط حقها من الفسخ فعلى هذا إن فسخت لم يقع الطلاق وإن لم تفسخ حكمنا بوقوع الطلاق من حين طلق.
Jika ia memilih untuk tetap bersama suaminya saat masih dalam masa ‘iddah, maka hak khiyār-nya tidak gugur, karena statusnya masih menuju kepada perpisahan (bain), sehingga tidak sah darinya pilihan untuk tetap bersama dengan sesuatu yang bertentangan dengan hal itu.
Jika ia dimerdekakan dalam keadaan masih menjadi istri seorang budak, lalu suaminya menceraikannya sebelum ia memilih pembatalan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, talak tersebut sah, karena terjadi dalam keadaan ia masih menjadi milik suaminya.
Kedua, talak tersebut tidak sah, karena menyebabkan gugurnya haknya untuk memilih fasakh. Berdasarkan pendapat ini, jika ia memilih fasakh, maka talak tidak terjadi; namun jika ia tidak memilih fasakh, maka diputuskan bahwa talak terjadi sejak saat ia dijatuhkan.
فصل: وإن أعتقت وفسخت النكاح فكان قبل الدخول سقط المهر لأن الفرقة من جهتها وإن كان بعد الدخول نظرت فإن كان العتق بعد الدخول استقر المسمى وإن كان قبله ودخل بها ولم تعلم بالعتق سقط المسمى ووجب مهر المثل لأن العتق وجد قبل الدخول فصار كما لو وجد الفسخ قبل الدخول ويجب المهر للمولى لأنه وجب بالعقد في ملكه وإن كانت مفوضة فأعتقت فاختارت الزوج وفرض لها المهر بعد العتق ففي المهر قولان: إن قلنا يجب بالعقد كان للمولى لأنه وجب قبل العتق وإن قلنا يجب بالفرض كان لها لأنه وجب بعد العتق.
PASAL: Jika seorang perempuan dimerdekakan lalu ia memutuskan pernikahan, maka jika pemutusan itu terjadi sebelum dukhūl maka mahar gugur karena perpisahan berasal darinya. Namun jika setelah dukhūl, maka dilihat: jika kemerdekaan terjadi setelah dukhūl maka mahar yang telah disebutkan menjadi tetap. Dan jika terjadi sebelum dukhūl dan suami telah mencampurinya tanpa sepengetahuannya tentang kemerdekaan, maka mahar yang telah disebutkan gugur dan wajib mahar mitsil karena kemerdekaan terjadi sebelum dukhūl, maka hukumnya seperti jika pemutusan terjadi sebelum dukhūl. Mahar wajib diberikan kepada tuan (yang memerdekakan) karena mahar itu wajib dengan akad pada saat wanita masih dalam kepemilikannya.
Jika perempuan tersebut adalah mufaawwaḍah lalu ia merdeka dan memilih suaminya, kemudian mahar ditetapkan setelah ia merdeka, maka dalam hal mahar ada dua pendapat: jika dikatakan mahar wajib dengan akad maka menjadi hak tuan karena terjadi sebelum merdeka, dan jika dikatakan mahar wajib dengan penetapan maka menjadi hak istri karena terjadi setelah ia merdeka.
فصل: وإن تزوج عبد مشرك حرة مشركة ثم أسلما ففيه وجهان: أحدهما لا خيار لها لأنها دخلت في العقد مع علمها برقه والثاني وهو ظاهر النص أن لها أن تفسخ النكاح لأن الرق ليس بنقص في الكفر وإنما هو نقص في الإسلام فيصير كنقص حدث بالزوج فيثبت لها الخيار وإن تزوج العبد المشرك أمة فدخل بها ثم أسلمت وتخلف العبد فأعتقت الأمة وثبت لها الخيار لأنها عتقت تحت عبد
PASAL: Jika seorang budak musyrik menikahi perempuan merdeka yang musyrik, lalu keduanya masuk Islam, maka ada dua pendapat:
Pertama, perempuan itu tidak memiliki hak khiyār karena ia masuk ke dalam akad dengan mengetahui bahwa suaminya adalah budak.
Kedua, dan ini adalah yang tampak dari nash, bahwa ia berhak membatalkan pernikahan karena status budak bukanlah kekurangan dalam kekufuran, tetapi merupakan kekurangan dalam Islam, sehingga dianggap seperti kekurangan yang terjadi pada suami setelah masuk Islam, maka ia berhak memilih.
Dan jika seorang budak musyrik menikahi seorang budak perempuan, lalu berhubungan dengannya, kemudian perempuan itu masuk Islam dan budak laki-laki tidak ikut masuk Islam, lalu perempuan itu dimerdekakan, maka ia berhak memilih karena ia dimerdekakan dalam keadaan berada di bawah naungan seorang budak.
وإن أسلم العبد وتخلفت المرأة ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي الطيب بن سلمة أنه لا يثبت لها الخيار وهو ظاهر ما نقله المزني والفرق بينها وبين ما قبلها أن هناك الأمر موقوف على إسلام الزوج فإذا لم تفسخ لم تأمن أن لا يسلم حتى يقارب انقضاء العدة ثم يسلم فتفسخ النكاح فتطول العدة وههنا الأمر موقوف على إسلامها فأي وقت شاءت أسلمت وثبت النكاح فلم يثبت لها الفسخ والثاني وهو قول أبي إسحاق أنه يثبت لها الخيار كالمسألة قبلها وأنكر ما نقله المزني.
Dan jika budak laki-laki masuk Islam sementara istrinya tidak ikut masuk Islam, maka ada dua pendapat:
Pertama, dan ini adalah pendapat Abū Ṭayyib bin Sallamah, bahwa perempuan itu tidak memiliki hak khiyār, dan ini adalah yang tampak dari riwayat yang disampaikan oleh al-Muzanī. Perbedaannya dengan kasus sebelumnya adalah: dalam kasus sebelumnya, kelangsungan pernikahan tergantung pada keislaman suami. Maka jika perempuan tidak langsung membatalkan, ia tidak aman dari kemungkinan suami masuk Islam ketika masa ‘iddah hampir habis, lalu ia membatalkan pernikahan sehingga masa ‘iddah menjadi panjang. Sedangkan dalam kasus ini, kelangsungan pernikahan tergantung pada keislaman istri. Maka kapan pun ia mau masuk Islam, pernikahan tetap berlaku. Oleh karena itu, ia tidak memiliki hak untuk membatalkan.
Kedua, dan ini adalah pendapat Abū Isḥāq, bahwa ia tetap memiliki hak khiyār sebagaimana pada kasus sebelumnya, dan ia mengingkari riwayat yang disampaikan oleh al-Muzanī.
فصل: إذا ملك مائة دينار وأمة قيمتها مائة دينار وزوجها من عبد بمائة ووصى بعتقها فأعتقت قبل الدخول لم يثبت لها الخيار لأنها إذا فسخت سقط مهرها وإذا سقط المهر عجز الثلث عن عتقها فسقط خيارها فيؤدي إثبات الخيار إلى إسقاطه فسقط.
PASAL: Jika seseorang memiliki seratus dinar dan seorang budak perempuan yang nilainya seratus dinar, lalu ia menikahkan budak perempuan itu dengan seorang budak laki-laki dengan mahar seratus dinar dan ia berwasiat agar budak perempuan itu dimerdekakan, lalu budak itu dimerdekakan sebelum terjadi hubungan suami istri, maka tidak tetap baginya hak memilih (antara melanjutkan atau membatalkan pernikahan), karena jika ia memilih membatalkan, maka maharnya gugur. Dan apabila maharnya gugur, maka sepertiga harta tidak cukup untuk memerdekakannya, sehingga gugurlah hak memilihnya. Maka, menetapkan hak memilih di sini justru mengakibatkan hilangnya hak itu sendiri, maka gugurlah.
فصل: وإن أعتق عبد وتحته أمة ففيه وجهان: أحدهما يثبت لها الخيار كما يثبت للأمة إذا كان زوجها عبداً والثاني لا يثبت لأن رقها لا يثبت به الخيار في ابتداء النكاح فلا يثبت به الخيار في استدامته.
PASAL: Jika seorang budak dimerdekakan sementara ia masih memiliki istri seorang budak perempuan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, perempuan itu memiliki hak khiyār, sebagaimana hak itu dimiliki oleh budak perempuan apabila suaminya adalah seorang budak.
Kedua, tidak ada hak khiyār baginya, karena status budaknya tidak menjadi sebab adanya hak khiyār saat akad nikah, maka tidak pula menjadi sebab hak khiyār dalam kelangsungan pernikahan.
باب نكاح المشرك
إذا أسلم الزوجان المشركان على صفة لو لم يكن بينهما نكاح جاز لهما عقد النكاح أقرا على النكاح وإن عقد بغير ولي ولا شهود لأنه أسلم خلق كثير فأقرهم رسول الله صلى الله عليه وسلم على أنكحتهم ولم يسألهم عن شروطه وإن أسلما والمرأة ممن لا تحل له كالأم والأخت لم يقرا على النكاح لأنه لا يجوز أن يبتدئ نكاحها فلا يجوز الإقرار على نكاحها وإن أسلم أحد الزوجين الوثنيين أو المجوسيين أو أسلمت المرأة والزوج يهودي أو نصراني فإن كان قبل الدخول تعجلت الفرقة
BAB NIKAH ORANG MUSYRIK
Apabila dua orang suami istri yang musyrik masuk Islam dalam keadaan yang jika tidak ada akad nikah antara keduanya maka boleh bagi mereka untuk melakukan akad nikah, maka mereka tetap dianggap dalam pernikahan tersebut, meskipun akadnya dilakukan tanpa wali dan saksi. Hal ini karena banyak orang masuk Islam dan Rasulullah SAW menetapkan pernikahan mereka dan tidak menanyakan syarat-syaratnya.
Namun jika mereka masuk Islam dalam keadaan perempuannya adalah perempuan yang tidak halal dinikahi, seperti ibu atau saudara perempuan, maka mereka tidak tetap dalam pernikahan itu, karena tidak boleh memulai akad nikah dengannya, maka tidak boleh juga menetapkan keabsahan nikahnya.
Dan apabila salah satu dari pasangan suami istri yang beragama musyrik atau Majusi masuk Islam, atau perempuan masuk Islam sedangkan suaminya adalah Yahudi atau Nasrani, maka jika keislaman terjadi sebelum hubungan suami istri, maka perpisahan segera terjadi.
وإن كان بعد الدخول وقفت الفرقة على انقضاء العدة فإن أسلم الآخر قبل انقضائها فهما على النكاح وإن لم يسلم حتى انقضت العدة حكم بالفرقة وقال أبو ثور: إن أسلم الزوج قبل الزوجة وقعت الفرقة وهذا خطأ لما روى عبد الله بن شبرمة أن الناس كانوا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يسلم الرجل قبل المرأة والمرأة قبل الرجل فأيهما أسلم قبل انقضاء عدة المرأة فهي امرأته وإن أسلم بعد انقضاء العدة فلا نكاح بينهما والفرقة الواقعة باختلاف الدين فسخ لأنها فرقة عريت عن لفظ الطلاق ونيته فكانت فسخاً كسائر الفسوخ.
Dan jika (keislaman) terjadi setelah terjadi hubungan suami istri, maka perpisahan tergantung pada habisnya masa ‘iddah. Jika yang lainnya masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah, maka keduanya tetap dalam ikatan nikah. Namun jika tidak masuk Islam hingga masa ‘iddah habis, maka diputuskan adanya perpisahan.
Abu Ṯaur berkata: Jika suami masuk Islam sebelum istrinya, maka terjadi perpisahan. Pendapat ini keliru, karena telah diriwayatkan dari ʿAbdullāh bin Syubrumah bahwa pada masa Rasulullah SAW, ada orang yang masuk Islam terlebih dahulu, baik suami sebelum istri maupun istri sebelum suami. Maka siapa saja yang masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah sang istri, maka perempuan itu tetap menjadi istrinya. Namun jika masuk Islam setelah habis masa ‘iddah, maka tidak ada lagi ikatan nikah di antara keduanya.
Perpisahan yang terjadi karena perbedaan agama adalah faskh, karena perpisahan itu terjadi tanpa ucapan ṭalāq dan tanpa niat ṭalāq, maka ia dihukumi sebagai faskh sebagaimana faskh-faskh yang lainnya.
فصل: وإن أسلم الحر وتحته أكثر من أربع نسوة وأسلمن معه لزمه أن يختار أربعاً منهن لما روى ابن عمر رضي الله عنه أن غيلان أسلم وتحته عشر نسوة فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يختار منهن أربعاً ولأن ما زاد على أربع لا يجوز إقرار المسلم عليه فإن امتنع أجبر عليه بالحبس والتعزير لأنه حق توجه عليه لا تدخله النيابة فأجبر عليه فإن أغمي عليه في الحبس خلي إلى أن يفيق لأن خرج على أن يكون من أهل الاختيار فخلي كما يخلى من عليه دين إذا أعسر به
PASAL: Jika seorang laki-laki merdeka masuk Islam sementara ia memiliki lebih dari empat istri dan mereka juga masuk Islam bersamanya, maka wajib baginya memilih empat dari mereka, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Ghaylān masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri, lalu Nabi SAW memerintahkannya untuk memilih empat dari mereka. Dan karena lebih dari empat tidak boleh tetap dalam pernikahan seorang Muslim. Jika ia menolak, maka ia dipaksa dengan penahanan dan ta‘zīr, karena itu merupakan hak yang wajib ditunaikan dan tidak bisa diwakilkan, maka ia dipaksa menunaikannya. Jika ia pingsan di dalam penjara, maka ia dibebaskan sampai sadar, karena ia keluar dari golongan orang yang memiliki kemampuan memilih, maka ia dibebaskan sebagaimana orang yang memiliki utang dibebaskan ketika tidak mampu membayar.
فإن أفاق أعيد إلى الحبس والتعزير إلى أن يختار ويؤخذ بنفقة جميعهن إلى أن يختار لأنهن محبوسات عليه بحكم النكاح والاختيار أن يقول اخترت نكاح هؤلاء الأربع فينفسخ نكاح البواقي أو يقول اخترت فراق هؤلاء فيثبت نكاح البواقي وإن طلق واحدة منهن كان ذلك اختياراً لنكاحها لأن الطلاق لا يكون إلا في زوجة وإن ظاهر منها أو آلى لم يكن ذلك اختياراً لأنه قد يخاطب به غير الزوج وإن وطئ واحدة ففيه وجهان: أحدهما أنه الاختيار لأن الوطء لا يجوز إلا في ملك فدل على الاختيار كوطء البائع الجارية المبيعة بشرط الخيار
Jika ia sadar, maka dikembalikan ke dalam tahanan dan dikenai ta‘zīr hingga ia memilih, dan ia dituntut menanggung nafkah seluruh istrinya hingga ia memilih, karena mereka tertahan atasnya dengan hukum pernikahan. Cara memilih adalah dengan mengatakan, “Saya memilih menikahi perempuan-perempuan yang empat ini,” maka batal nikah sisanya; atau ia berkata, “Saya memilih menceraikan perempuan-perempuan ini,” maka tetaplah nikah sisanya. Jika ia menceraikan salah satu dari mereka, maka itu adalah pilihan untuk tetap menikahinya, karena ṭalāq tidak berlaku kecuali terhadap istri. Jika ia melakukan ẓihār atau īlā’, maka itu tidak dianggap sebagai pilihan, karena bisa ditujukan kepada selain istri. Jika ia menyetubuhi salah satunya, maka ada dua pendapat: salah satunya bahwa itu adalah pilihan, karena jimā‘ tidak boleh kecuali dalam kepemilikan yang sah, maka itu menunjukkan adanya pilihan, sebagaimana orang yang menjimak budak perempuan yang ia jual dengan syarat ada pilihan.
والثاني وهو الصحيح أنه ليس باختيار لأنه اختيار للنكاح فلم يجز بالوطء كالرجعة وإن قال كلما أسلمت واحدة منكن فقد اخترت نكاحها لم يصح لأن الاختيار كالنكاح فلم يجز تعليقه على الصفة ولا في غير معين وإن قالت كلما أسلمت واحدة منكن فقد اخترت فسخ نكاحها لم يصح لأن الفسخ لا يجوز تعليقه على الصفة ولأن الفسخ إنما يستحق فيما زاد على أربع وقد يجوز أن لا يعلم أكثر من أربع فلا يستحق فيها الفسخ وإن قال كلما أسلمت واحدة فهي طالق ففيه وجهان: أحدهما يصح وهو ظاهر النص لأنه قال وإن قال كلما أسلمت واحدة منكن فقد اخترت فسخ نكاحها لم يكف شيئاً إلا أن يريد به الطلاق فدل على أنه إذا أراد الطلاق صح ووجهه أن الطلاق يصح تعليقه على الصفات
Dan pendapat kedua—yang ṣaḥīḥ—bahwa hal itu bukanlah pilihan, karena pilihan dalam nikah tidak sah dengan cara jimā‘, sebagaimana rujū‘. Jika ia berkata, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam maka aku memilih menikahinya,” maka tidak sah, karena pilihan itu seperti akad nikah, maka tidak boleh digantungkan pada suatu sifat, juga tidak pada yang tidak tertentu. Dan jika ia berkata, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam maka aku memilih membatalkan nikahnya,” maka tidak sah, karena fasakh tidak boleh digantungkan pada suatu sifat. Dan karena fasakh hanya berlaku pada jumlah lebih dari empat, padahal bisa jadi ia tidak mengetahui apakah lebih dari empat atau tidak, maka ia tidak berhak melakukan fasakh. Dan jika ia berkata, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam maka ia tertalak,” maka ada dua pendapat: salah satunya adalah sah, dan ini adalah zahir dari naṣṣ, karena ia berkata, “Setiap kali salah satu dari kalian masuk Islam maka aku memilih membatalkan nikahnya,” maka itu tidak dianggap kecuali jika ia menghendaki ṭalāq, maka ini menunjukkan bahwa jika ia menghendaki ṭalāq, maka itu sah. Adapun alasannya adalah karena ṭalāq sah digantungkan pada sifat.
والثاني وهو قول أبي علي ابن أبي هريرة أنه لا يصح لأن الطلاق ههنا يتضمن اختيار الزوجية والاختيار لا يجوز تعليقه على الصفة وحمل قول الشافعي رحمه الله على من أسلم وله أربع نسوة في الشرك وأراد بهذا القول الطلاق فإنه يصح لأنه طلاق لا يتضمن اختياراً فجاز تعليقه على الصفة وإن أسلم ثم ارتد لم يصح اختياره لأن الاختيار كالنكاح فلم يصح مع الردة وإن أسلم وأحرم فالمنصوص أنه يصح اختياره فمن أصحابنا من جعلها على قولين: أحدهما لا يصح كما لا يصح نكاحه
Dan pendapat kedua—yaitu pendapat Abū ʿAlī ibn Abī Hurayrah—bahwa hal itu tidak sah, karena ṭalāq dalam konteks ini mengandung makna memilih untuk tetap dalam pernikahan, sedangkan ikhtiyār tidak boleh digantungkan pada sifat. Ia menafsirkan perkataan al-Syāfi‘ī rahimahullah atas orang yang masuk Islam sementara ia memiliki empat istri saat masih musyrik, lalu ia mengucapkan kata tersebut dengan maksud ṭalāq, maka itu sah, karena itu merupakan ṭalāq yang tidak mengandung makna pilihan, sehingga boleh digantungkan pada sifat. Jika seseorang masuk Islam lalu murtad, maka pilihannya tidak sah, karena ikhtiyār itu seperti akad nikah, dan tidak sah dalam keadaan murtad. Jika ia masuk Islam lalu beriḥrām, maka pendapat manṣūṣ menyatakan bahwa pilihannya sah. Sebagian ulama kami menjadikannya sebagai dua pendapat: salah satunya menyatakan tidak sah, sebagaimana nikahnya pun tidak sah.
والثاني يصح كما تصح رجعته ومنهم من قال إن أسلم ثم أحرم ثم أسلمن لم يجز أن يختار قولاً واحداً لأنه لا يجوز أن يبتدئ النكاح وهو محرم فلا يجوز أن يختاره وحمل النص عليه وإذا أسلم ثم أسلمن ثم أحرم فإن له الخيار لأن الإحرام طرأ بعد ثبوت الخيار.
Dan pendapat kedua: sah, sebagaimana sah rujū‘-nya. Dan sebagian dari mereka berpendapat: jika ia masuk Islam kemudian beriḥrām lalu para istrinya masuk Islam, maka tidak boleh baginya memilih, menurut satu pendapat, karena tidak boleh memulai akad nikah dalam keadaan beriḥrām, maka tidak boleh pula memilih. Dan naṣṣ dibawa pada kasus ini. Namun jika ia masuk Islam, lalu para istrinya masuk Islam, kemudian ia beriḥrām, maka ia tetap memiliki hak pilihan, karena iḥrām terjadi setelah hak pilihan itu tetap.
فصل: وإن مات قبل أن يختار لم يقم وارث مقامه لأن الاختيار يتعلق بالشهوة فلا يقوم فيه غيره مقامه وتجب على جميعهن العدة لأن كل واحدة منهن يجوز أن تكون من الزوجات فمن كانت حاملاً اعتدت بوضع الحمل ومن كانت من ذوات الشهر اعتدت بأربعة أشهر وعشر ومن كانت من ذوات الأقراء اعتدت بالأقصى من الأجلين من ثلاثة أقراء أو أربعة أشهر وعشر ليسقط الفرض بيقين ويوقف ميراث أربع نسوة إلى أن يصطلحن لأنا نعلم أن فيهن أربع زوجات
PASAL: Jika ia meninggal sebelum memilih, maka ahli warisnya tidak dapat menggantikan posisinya karena pilihan tersebut berkaitan dengan syahwat, sehingga tidak bisa digantikan oleh orang lain. Maka semua wanita tersebut wajib menjalani ‘iddah, karena masing-masing dari mereka mungkin termasuk istri-istrinya. Siapa yang hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan. Siapa yang termasuk perempuan yang mengalami haid setiap bulan maka ‘iddah-nya empat bulan sepuluh hari. Dan siapa yang termasuk perempuan yang memiliki qar’ maka ‘iddah-nya adalah waktu yang paling panjang di antara dua kemungkinan, yaitu tiga kali qar’ atau empat bulan sepuluh hari, agar kewajiban ‘iddah dapat gugur dengan yakin. Warisan untuk empat perempuan tersebut ditangguhkan sampai mereka berdamai, karena kita mengetahui bahwa di antara mereka terdapat empat istri.
وإن كان عددهن ثمانية فجاء أربع يطلبن الميراث لم يدفع إليهن شيء لجواز أن تكون الزوجات غيرهن وإن جاء خمس دفع إليهن ربع الموقوف لأن فيهن زوجة بيقين ولا يدفع إليهن إلا بشرط أنه لم يبق لهن حق ليمكن صرف الباقي إلى باقي الورثة وإن جاء ست دفع إليهن نصف الموقوف لأن فيهن زوجتين بيقين وعلى هذا القياس وإن كان فيهن أربع كتابيات ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي القاسم الداركي أنه لا يوقف شيء لأنه لا يوقف إلا ما يتحقق استحقاقه ويجهل مستحقه وههنا لا يتحقق الاستحقاق لجواز أن تكون الزوجات الكتابيات فلا يرثن والثاني يوقف لأنه لا يجوز أن يدفع إلى باقي الورثة إلا ما يتحقق أنهم يستحقونه ويجوز أن تكون المسلمات زوجاته فلا يكون الجميع لباقي الورثة.
Jika jumlah mereka delapan, lalu datang empat orang menuntut warisan, maka tidak diberikan kepada mereka sedikit pun, karena bisa jadi para istri adalah selain mereka. Jika yang datang lima orang, maka diberikan kepada mereka seperempat dari harta yang ditangguhkan, karena di antara mereka pasti ada satu istri. Namun tidak diberikan kepada mereka kecuali dengan syarat bahwa mereka tidak memiliki hak lagi, agar sisanya bisa diberikan kepada para ahli waris lainnya.
Jika yang datang enam orang, maka diberikan kepada mereka setengah dari harta yang ditangguhkan, karena di antara mereka pasti ada dua istri. Dan demikianlah seterusnya sesuai perhitungan ini.
Jika di antara mereka terdapat empat perempuan kitābiyah, maka ada dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abul Qāsim ad-Dārakī, tidak ada yang perlu ditangguhkan karena yang ditangguhkan hanyalah sesuatu yang sudah dipastikan haknya namun belum diketahui siapa yang berhak, sedangkan dalam hal ini tidak ada kepastian hak karena bisa jadi para istri adalah perempuan kitābiyah, maka mereka tidak mewarisi.
Kedua, harta ditangguhkan karena tidak boleh diberikan kepada ahli waris lain kecuali jika dipastikan bahwa mereka memang berhak, dan mungkin saja istri-istrinya adalah para perempuan muslimah, sehingga tidak seluruhnya menjadi milik ahli waris lain.
فصل: وإن أسلم وتحته أختان أو امرأة وعمتها أو امرأة وخالتها وأسلمتا معه لزمه أن يختار إحداهما لما روي أن ابن الديلمي أسلم وتحته أختان فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: “اختر أيتهما شئت وفارق الأخرى” وإن أسلم وتحته أم وبنت وأسلمتا معه لم يخل إما أن لا يكون قد دخل بواحدة منهما أو دخل بهما أو دخل بالأم دون البنت أو بالبنت دون الأم فإن لم يكن دخل بواحدة منهما ففيه قولان: أحدهما يمسك البنت وتحرم الأم وهو اختيار المزني
PASAL: Jika seseorang masuk Islam dan ia masih memiliki dua perempuan yang bersaudara, atau seorang perempuan dan bibinya dari pihak ayah, atau seorang perempuan dan bibinya dari pihak ibu, dan keduanya masuk Islam bersamanya, maka wajib baginya memilih salah satu dari keduanya, karena telah diriwayatkan bahwa Ibn ad-Dailamī masuk Islam sementara masih memiliki dua perempuan yang bersaudara, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya: “Pilihlah salah satu dari keduanya yang engkau kehendaki dan ceraikanlah yang lain.”
Jika seseorang masuk Islam dan masih memiliki seorang ibu dan anak perempuan (dari perempuan lain) dan keduanya masuk Islam bersamanya, maka keadaannya tidak lepas dari beberapa kemungkinan: apakah dia belum menggauli salah satu dari keduanya, atau telah menggauli keduanya, atau telah menggauli ibu saja tanpa anak, atau telah menggauli anak saja tanpa ibu.
Jika dia belum menggauli salah satu dari keduanya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: salah satunya adalah bahwa ia boleh tetap bersama anak dan ibu menjadi haram baginya, dan ini adalah pendapat pilihan al-Muzanī.
لأن النكاح في الشرك كالنكاح الصحيح بدليل أنه يقر عليه والأم تحرم بالعقد على البنت وقد وجد العقد والبنت لا تحرم إلا بالدخول بالأم ولم يوجد الدخول والقول الثاني وهو الصحيح أنه يختار من شاء منهما لأن عقد الشرك إنما تثبت له الصحة إذا انضم إليه الاختيار فإذا لم ينضم إليه الاختيار فهو كالمعدوم ولهذا لو أسلم وعنده أختان واختار إحداهما جعل كأنه عقد عليهما ولم يعقد على الأخرى فإذا اختار الأم صار كأنه عقد عليها ولم يعقد على البنت وإذا اختار البنت صار كأنه عقد عليها ولم يعقد على الأم فعلى هذا إذا اختار البنت حرمت الأم على التأبيد لأنها أم امرأته
Karena akad nikah di masa syirik diperlakukan seperti akad nikah yang sah, berdasarkan dalil bahwa ia diakui keberadaannya, dan seorang ibu menjadi haram (dinikahi) karena akad atas anak perempuannya, sementara akad telah terjadi, sedangkan anak perempuan tidak menjadi haram kecuali dengan persetubuhan dengan ibunya, dan persetubuhan belum terjadi.
Pendapat kedua, dan ini yang shahih, adalah bahwa ia boleh memilih siapa saja dari keduanya yang ia kehendaki, karena akad di masa syirik hanya dianggap sah apabila disertai dengan pilihan (setelah masuk Islam). Jika tidak disertai dengan pilihan, maka akad tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, jika seseorang masuk Islam dan ia masih memiliki dua perempuan yang bersaudara lalu memilih salah satunya, maka seakan-akan ia baru mengakadkan wanita yang ia pilih dan tidak mengakadkan yang lainnya.
Dengan demikian, jika ia memilih sang ibu, maka seakan-akan ia mengakadkan sang ibu dan tidak mengakadkan anak perempuannya. Dan jika ia memilih anak perempuannya, maka seakan-akan ia mengakadkan anak dan tidak mengakadkan ibunya. Maka berdasarkan ini, jika ia memilih anak perempuan, maka ibunya menjadi haram baginya untuk selamanya karena dia adalah ibu dari istrinya.
وإن اختار الأم حرمت البنت تحريم جمع لأنها بنت امرأة لم يدخل بها وإن دخل بها حرمت البنت بدخوله بالأم وأما الأم فإن قلنا إنها تحرم بالعقد على البنت حرمت لعلتين بالعقد على البنت وبالدخول بها وإن قلنا إنها لا تحرم بالعقد حرمت بعلة وهي الدخول وإن دخل بالأم دون البنت فإن قلنا إن الأم تحرم بالعقد على البنت حرمت الأم بالعقد على البنت وحرمت البنت بالدخول بالأم وإن قلنا إن الأم لا تحرم بالعقد على البنت حرمت بالبنت بالدخول بالأم وثبت نكاح الأم وإن دخل بالبنت دون الأم ثبت نكاح البنت وانفسخ نكاح الأم وحرمت في أحد القولين بالعقد وبالدخول وفي القول الآخر بالدخول.
Dan jika ia memilih sang ibu, maka anak perempuan menjadi haram dinikahi karena larangan jam‘ (menghimpun dua perempuan yang tidak boleh dihimpun dalam satu pernikahan), karena ia adalah anak dari perempuan yang belum digauli. Namun jika ia telah menggauli ibunya, maka anak perempuan menjadi haram karena adanya persetubuhan dengan sang ibu.
Adapun sang ibu, jika kita berpendapat bahwa ia menjadi haram karena akad atas anak perempuan, maka ia haram karena dua sebab: karena akad atas anak perempuan dan karena persetubuhan dengannya. Namun jika kita berpendapat bahwa ia tidak menjadi haram hanya karena akad atas anak perempuan, maka ia haram karena satu sebab, yaitu persetubuhan.
Jika ia telah menggauli sang ibu namun belum menggauli anak perempuan, maka jika kita mengatakan bahwa ibu menjadi haram karena akad atas anak perempuan, maka sang ibu menjadi haram karena akad, dan anak perempuan menjadi haram karena persetubuhan dengan ibunya. Namun jika kita mengatakan bahwa ibu tidak menjadi haram karena akad atas anak perempuan, maka anak perempuan menjadi haram karena persetubuhan dengan ibunya dan akad dengan ibu tetap sah.
Dan jika ia telah menggauli anak perempuan namun belum menggauli sang ibu, maka akad dengan anak perempuan tetap sah dan akad dengan ibu menjadi batal. Dan sang ibu menjadi haram menurut salah satu dari dua pendapat: yang pertama karena akad dan persetubuhan, dan yang kedua hanya karena persetubuhan.
فصل: وإن أسلم وتحته أربع إماء فأسلمن معه فإن كان ممن يحل له نكاح الأمة اختار واحدة منهن لأنه يجوز أن يبتدئ نكاحها فجاز له اختيارها كالحرة وإن كن ممن لا يحل له نكاح الأمة لم يجز أن يمسك واحدة منهن وقال أبو ثور: يجوز لأنه ليس بابتداء النكاح فلا يعتبر فيه عدم الطول وخوف العنت كالرجعة وهذا خطأ لأنه لا يجوز له ابتداء نكاحها فلا يجوز له اختيارها كالأم والأخت ويخالف الرجعة لأن الرجعة سد ثلمة في النكاح والاختيار إثبات النكاح في المرأة فصار كابتداء العقد وإن أسلم وتحته إماء وهو موسر فلم يسلمن حتى أعسر ثم أسلمن فله أن يختار واحدة منهن
PASAL: Jika seseorang masuk Islam dan ia memiliki empat orang amah, lalu mereka masuk Islam bersamanya, maka jika ia termasuk orang yang boleh menikahi amah, ia memilih salah satu dari mereka karena boleh baginya memulai akad nikah dengan amah, maka boleh pula memilih salah satu dari mereka sebagaimana halnya dengan perempuan merdeka. Namun jika mereka termasuk perempuan yang tidak halal baginya menikahi amah, maka tidak boleh baginya mempertahankan satu pun dari mereka.
Abu Tsaur berpendapat: Boleh, karena hal ini bukan termasuk memulai akad nikah, maka tidak disyaratkan padanya ketidakmampuan menikahi perempuan merdeka dan rasa takut terjerumus dalam zina, seperti halnya rujū‘. Pendapat ini salah, karena ia tidak boleh memulai akad nikah dengan amah, maka tidak boleh pula memilih salah satu dari mereka, sebagaimana tidak bolehnya menikahi ibu atau saudari perempuan. Hal ini berbeda dengan rujū‘, karena rujū‘ adalah menutup celah dalam pernikahan, sedangkan memilih (salah satu istri) adalah menetapkan pernikahan dengan perempuan tersebut, sehingga dianggap seperti memulai akad nikah.
Jika ia masuk Islam dan memiliki beberapa amah dalam keadaan ia orang kaya, lalu mereka belum masuk Islam hingga ia jatuh miskin, kemudian mereka masuk Islam, maka boleh baginya memilih salah satu dari mereka.
لأن وقت الاختيار عند اجتماع إسلامه وإسلامهن وهو في هذا الحال ممن يجوز له نكاح الأمة فكان له اختيارها وإن أسلم بعضهن وهو موسر وأسلم بعضهن وهو معسر فله أن يختار من اجتمع إسلامه وإسلامها وهو معسر ولا يختار من اجتمع إسلامه وإسلامها وهو موسر اعتباراً بوقت الاختيار.
Karena waktu pilihan adalah saat berkumpulnya keislamannya dan keislaman mereka, dan pada saat itu ia termasuk orang yang boleh menikahi amah, maka boleh baginya memilihnya. Dan jika sebagian dari mereka masuk Islam saat ia dalam keadaan kaya, dan sebagian lagi masuk Islam saat ia dalam keadaan miskin, maka boleh baginya memilih yang berkumpul keislamannya dan keislamannya dalam keadaan miskin, dan tidak boleh memilih yang berkumpul keislamannya dan keislamannya dalam keadaan kaya, berdasarkan waktu pilihan.
فصل: وإن أسلم وعنده أربع إماء فأسلمت منهن واحدة وهو ممن يجوز له نكاح الإماء فله أن يختار المسلمة وله أن ينتظر إسلام البواقي ليختار من شاء منهن فإن اختار فسخ نكاح المسلمة لم يكن له ذلك لأن الفسخ إنما يكون فيمن فضل عمن يلزم نكاحها وليس ههنا فضل فإن خالف وفسخ ولم يسلم البواقي لزم نكاح المسلمة وبطل الفسخ وإن أسلمن فله أن يختار واحدة فإن اختار نكاح المسلمة التي اختار فسخ نكاحها ففيه وجهان: أحدهما ليس له ذلك لأنا منعنا الفسخ فيها لأنها لم تكن فاضلة عمن يلزم فيها النكاح وبإسلام غيرها صارت فاضلة عمن يلزم نكاحها فثبت فيها الفسخ والثاني وهو المذهب أن له أن يختار نكاحها لأن اختيار الفسخ كان قبل وقته فكان وجوده كعدمه كما لو اختار نكاح مشركة قبل إسلامها.
PASAL: Jika seorang lelaki masuk Islam dan ia memiliki empat budak perempuan, lalu salah satu dari mereka masuk Islam, sementara dia termasuk orang yang boleh menikahi budak perempuan, maka dia boleh memilih budak yang telah masuk Islam itu, dan boleh juga menunggu sampai yang lainnya masuk Islam, agar bisa memilih siapa saja di antara mereka yang dia kehendaki. Jika dia memilih lalu membatalkan nikah budak perempuan yang telah masuk Islam, maka itu tidak dibolehkan, karena pembatalan hanya berlaku pada yang lebih dari jumlah maksimal yang boleh dinikahi, sementara dalam kasus ini tidak ada kelebihan. Jika dia menyelisihi hal itu dan membatalkan nikahnya namun yang lainnya tidak juga masuk Islam, maka pernikahan dengan budak yang muslimah tetap sah dan pembatalannya menjadi batal.
Jika seluruh budak itu masuk Islam, maka dia boleh memilih salah satu dari mereka. Jika dia memilih untuk menikahi budak yang sebelumnya telah dia batalkan nikahnya, maka ada dua pendapat: pertama, dia tidak boleh menikahinya karena sebelumnya kita tidak membolehkan pembatalan nikah terhadapnya sebab saat itu ia belum termasuk yang berlebih dari jumlah maksimal yang boleh dinikahi; namun setelah yang lainnya masuk Islam, ia menjadi termasuk yang berlebih, sehingga pembatalan nikah menjadi sah. Pendapat kedua, dan ini yang menjadi mazhab, bahwa dia boleh menikahinya, karena pembatalan yang dilakukan sebelumnya terjadi sebelum waktunya, maka dianggap tidak ada, seperti halnya seseorang yang memilih menikahi perempuan musyrik sebelum ia masuk Islam.
فصل: وإن أسلم وعنده حرة وأمة وأسلمتا معه ثبت نكاح الحرة وبطل نكاح الأمة لأنه لا يجوز أن يبتدئ نكاح الأمة مع وجود حرة فلا يجوز أن يختارها فإن أسلم وأسلمت الأمة معه وتخلفت الحرة فإن أسلمت قبل انقضاء العدة ثبت نكاحها وبطل نكاح الأمة كما لو أسلمتا معاً وإن انقضت العدة ولم تسلم بانت باختلاف الدين فإن كان ممن يحل له نكاح الأمة فله أن يمسكها.
PASAL: Jika seseorang masuk Islam dan ia memiliki istri seorang perempuan merdeka dan seorang amah, lalu keduanya masuk Islam bersamanya, maka pernikahannya dengan perempuan merdeka tetap sah dan pernikahannya dengan amah batal, karena tidak boleh memulai pernikahan dengan amah ketika masih ada perempuan merdeka, maka tidak boleh memilih amah.
Jika ia masuk Islam dan amah masuk Islam bersamanya, namun perempuan merdeka belum masuk Islam, lalu ia masuk Islam sebelum habis masa ‘iddah-nya, maka pernikahan dengannya tetap sah dan pernikahan dengan amah batal, sebagaimana jika keduanya masuk Islam bersamaan. Namun jika masa ‘iddah telah habis dan ia belum masuk Islam, maka terjadi perpisahan karena perbedaan agama. Maka jika ia termasuk orang yang boleh menikahi amah, maka boleh baginya mempertahankannya.
فصل: وإن أسلم عبد وتحته أربع فأسلمن معه لزمه أن يختار اثنتين فإن أعتق بعد إسلامه وإسلامهن لم تجز له الزيادة على اثنتين لأنه ثبت له الاختيار وهو عبد وإن أسلم وأعتق ثم أسلمن أو أسلمن وأعتق ثم أسلم لزم نكاح الأربع لأنه جاء وقت الاختيار وهو ممن يجوز له أن ينكح أربع نسوة.
PASAL: Jika seorang budak masuk Islam dan ia memiliki empat istri lalu mereka semua masuk Islam bersamanya, maka ia wajib memilih dua di antara mereka. Jika setelah ia masuk Islam dan mereka juga telah masuk Islam, kemudian ia dimerdekakan, maka tidak boleh baginya menambah dari dua istri, karena hak memilih itu ditetapkan ketika ia masih dalam keadaan sebagai budak.
Namun, jika ia masuk Islam kemudian dimerdekakan lalu para istrinya masuk Islam, atau para istrinya masuk Islam lalu ia dimerdekakan kemudian masuk Islam, maka tetap sah baginya menikahi keempat istrinya, karena saat datangnya waktu memilih, ia sudah termasuk orang yang boleh menikahi empat wanita.
فصل: وإن تزوج امرأة معتدة من غيره وأسلما فإن كان قبل انقضاء العدة لم يقرا على النكاح لأنه لا يجوز له أن يبتدئ نكاحها فلا يجوز إقراره على نكاحها وإن كان بعد انقضاء العدة أقرا عليه لأنه يجوز أن يبتدئ نكاحها وإن أسلما وبينهما نكاح متعة لم يقرا عليه لأنه إن كان بعد انقضاء المدة لم يبق النكاح وإن كان قبله لم يعتقدا تأبيده والنكاح عقد مؤبد وإن أسلما على نكاح شرط فيه الخيار لهما أو لأحدهما متى شاء لم يقرا عليه لأنهما لا يعتقدان لزومه والنكاح عقد لازم
PASAL: Jika seseorang menikahi perempuan yang sedang menjalani ‘iddah dari suami lain, lalu keduanya masuk Islam, maka jika keislaman terjadi sebelum habis masa ‘iddah, pernikahan itu tidak diteguhkan karena tidak boleh memulai pernikahan dengan perempuan yang sedang dalam ‘iddah, maka tidak boleh pula diteguhkan pernikahannya. Namun jika keislaman terjadi setelah habis masa ‘iddah, maka pernikahannya diteguhkan karena boleh memulai akad nikah dengannya.
Jika keduanya masuk Islam dalam keadaan terikat dengan nikah mut‘ah, maka tidak diteguhkan karena jika terjadi setelah berakhirnya masa yang disyaratkan, maka pernikahan telah berakhir; dan jika terjadi sebelum berakhirnya masa tersebut, keduanya tidak menganggapnya sebagai akad yang bersifat permanen, sementara nikah adalah akad yang bersifat permanen.
Jika keduanya masuk Islam dalam keadaan pernikahan yang di dalamnya disyaratkan adanya hak khiyār bagi keduanya atau salah satunya kapan pun ia mau, maka pernikahan tersebut tidak diteguhkan karena keduanya tidak menganggap akad itu mengikat, sedangkan nikah adalah akad yang mengikat.
وإن أسلما على نكاح شرط فيه خيار ثلاثة أيام فإن كان قبل انقضاء المدة لم يقرا عليه لأنهما لا يعتقدان لزومه وإن كان بعد انقضاء المدة أقرا عليه لأنهما يعتقدان لزومه وإن طلق المشرك امرأته ثلاثاً ثم تزوجها قبل زوج ثم أسلما لم يقرا عليه لأنه لا تحل له قبل زوج فلم يقرا عليه كما لو أسلم وعنده ذات رحم محرم وإن قهر حربي حربية ثم أسلما فإن اعتقدا ذلك نكاحاً أقرا عليه لأنه نكاح لهم فيمن يجوز ابتداء نكاحها فأقرا عليه كالنكاح بلا ولي ولا شهود وإن لم يعتقدا ذلك نكاحاً لم يقرا عليه لأنه ليس بنكاح.
Dan jika keduanya masuk Islam dalam keadaan terikat dengan pernikahan yang disyaratkan adanya hak khiyār selama tiga hari, maka jika keislaman terjadi sebelum habisnya masa tersebut, pernikahan tidak diteguhkan karena keduanya tidak menganggapnya sebagai akad yang mengikat. Namun jika keislaman terjadi setelah habisnya masa tersebut, pernikahan diteguhkan karena keduanya telah menganggapnya sebagai akad yang mengikat.
Jika seorang musyrik menceraikan istrinya tiga kali, lalu menikahinya kembali sebelum dinikahi oleh suami perantara, kemudian keduanya masuk Islam, maka pernikahan itu tidak diteguhkan karena ia tidak halal baginya sebelum menikah dengan suami lain, maka tidak diteguhkan sebagaimana jika ia masuk Islam dalam keadaan memiliki istri yang merupakan mahram.
Dan jika seorang lelaki ḥarbī memaksa seorang perempuan ḥarbiyyah, lalu keduanya masuk Islam, maka jika keduanya menganggap itu sebagai akad nikah, maka pernikahan diteguhkan karena itu dianggap nikah bagi mereka terhadap perempuan yang boleh dinikahi dari awal, maka diteguhkan sebagaimana nikah tanpa wali dan saksi. Namun jika keduanya tidak menganggap itu sebagai akad nikah, maka tidak diteguhkan karena itu bukanlah pernikahan.
فصل: إذا ارتد الزوجان أو أحدهما فإن كان قبل الدخول وقعت الفرقة وإن كان بعد الدخول وقعت الفرقة على انقضاء العدة فإن اجتمعا على الإسلام قبل انقضاء العدة فهما على النكاح وإن لم يجتمعا وقعت الفرقة لأنه انتقال من دين إلى دين يمنع ابتداء النكاح فكان حكمه كما لو أسلم أحد الوثنيين.
PASAL: Jika suami istri murtad, atau salah satu dari keduanya murtad, maka jika itu terjadi sebelum terjadi dukhūl maka terjadilah perpisahan. Dan jika terjadi setelah dukhūl, maka perpisahan terjadi dengan berakhirnya ‘iddah. Jika keduanya kembali kepada Islam sebelum berakhirnya ‘iddah, maka keduanya tetap berada dalam ikatan nikah. Namun jika tidak kembali bersama kepada Islam, maka terjadilah perpisahan, karena hal itu merupakan perpindahan dari satu agama ke agama lain yang menghalangi awal pernikahan, maka hukumnya seperti jika salah satu dari pasangan musyrik masuk Islam.
فصل: وإن انتقل الكتابي إلى دين لا يقر أهله عليه لم يقر عليه لأنه لو كان على هذا الدين في الأصل لم يقر عليه فكذلك إذا انتقل إليه وما الذي يقبل منه فيه ثلاثة أقوال: أحدها يقبل منه الإسلام أو الدين الذي كان عليه أو دين يقر عليه أهله لأن كل واحد من ذلك مما يجوز الإقرار عليه والثاني لا يقبل منه إلا الإسلام لأنه دين حق أو الدين الذي كان عليه لأنا أقررناه عليه والثالث لا يقبل منه إلا الإسلام وهو الصحيح لأنه اعترف ببطلان كل دين سوى دينه ثم بالانتقال عنه اعترف ببطلانه فلم يبق إلا الإسلام
PASAL: Jika seorang ahli kitab berpindah kepada agama yang tidak diakui (tidak diberi izin tetap berada di atasnya), maka ia tidak dibiarkan berada di atas agama tersebut, karena seandainya sejak awal ia berada di atas agama itu, ia pun tidak akan dibiarkan, maka demikian pula jika ia berpindah kepadanya.
Adapun agama apa yang dapat diterima darinya, terdapat tiga pendapat:
Pertama, diterima darinya Islam, atau agama yang sebelumnya ia anut, atau agama yang para pemeluknya diakui keberadaannya, karena semua itu adalah agama-agama yang boleh diakui.
Kedua, tidak diterima darinya kecuali Islam, atau agama yang sebelumnya ia anut, karena kita telah mengakuinya atas agama sebelumnya.
Ketiga, tidak diterima darinya kecuali Islam, dan ini adalah pendapat yang sahih, karena dengan berpindah agama ia telah mengakui kebatilan semua agama selain agamanya yang lama, lalu dengan berpindah dari agamanya yang lama, ia mengakui pula kebatilan agamanya itu, maka tidak tersisa kecuali Islam.
وإن انتقل الكتابي إلى دين يقر أهله عليه ففيه قولان: أحدهما يقر عليه لأنه دين يقر أهله عليه فأقر عليه كالإسلام والثاني لا يقر عليه لقوله عز وجل: {وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْأِسْلامِ دِيناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ} فعلى هذا فيما يقبل منه قولان: أحدهما يقبل منه الإسلام أو الدين الذي كان عليه والثاني لا يقبل منه إلا الإسلام لما ذكرناه وكل من انتقل من الكفار إلى دين لا يقر عليه فحكمه في بطلان نكاحه حكم المسلم إذا ارتد.
Dan jika seorang ahli kitab berpindah kepada agama yang para pemeluknya diakui keberadaannya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, ia dibiarkan berada di atas agama tersebut karena itu adalah agama yang para pemeluknya diakui, maka ia pun diakui sebagaimana Islam.
Kedua, ia tidak dibiarkan berada di atas agama tersebut, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya}.
Berdasarkan pendapat kedua ini, mengenai agama yang dapat diterima darinya terdapat dua pendapat:
Pertama, diterima darinya Islam atau agama yang sebelumnya ia anut.
Kedua, tidak diterima darinya kecuali Islam, sebagaimana telah disebutkan.
Dan setiap orang kafir yang berpindah kepada agama yang tidak diakui keberadaannya, maka hukum batalnya pernikahannya sama seperti seorang Muslim yang murtad.
فصل: وإن تزوج كتابي وثنية ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبو سعيد الاصطخري أنه لا يقر عليه لأن كل نكاح لم يقر عليه المسلم لم يقر عليه الذمي كنكاح المرتدة والثاني وهو المذهب أنه يقر عليه لأن كل نكاح أقر عليه بعد الإسلام أقر عليه قبله كنكاح الكتابية.
PASAL: Jika seorang ahli kitab menikahi wanita musyrik, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat: pertama, dan ini adalah pendapat Abū Sa‘īd al-Iṣṭakhrī, bahwa tidak diakui pernikahan tersebut karena setiap pernikahan yang tidak diakui dalam Islam tidak diakui pula pada dzimmī, seperti pernikahan dengan wanita murtad; dan pendapat kedua, yang merupakan pendapat mazhab, bahwa pernikahan tersebut diakui karena setiap pernikahan yang diakui setelah masuk Islam juga diakui sebelumnya, seperti pernikahan dengan wanita ahli kitab.
فصل: إذا أسلم الوثنيان قبل الدخول ثم اختلفا فقالت المرأة أسلم أحدنا قبل صاحبه فانفسخ النكاح وقال الزوج بل أسلمنا معاً فالنكاح على حاله ففيه قولان: أحدهما أن القول قول الزوج وهو اختيار المزني لأن الأصل بقاء النكاح والثاني أن القول قول المرأة لأن الظاهر معها فإن اجتماع إسلامهما حتى لا يسبق أحدهما الآخر متعذر قال في الأم: إذا أقام الزوج بينة أنهما أسلما حين طلعت الشمس أو حين غربت الشمس لم ينفسخ النكاح لاتفاق إسلامهما في وقت واحد وهو عند تكامل الطلوع أو الغروب
PASAL: Jika sepasang suami istri penyembah berhala masuk Islam sebelum terjadi hubungan suami istri, lalu keduanya berselisih — sang istri berkata, “Salah satu dari kami masuk Islam sebelum yang lain, maka nikahnya pun terputus,” sementara suami berkata, “Kami masuk Islam bersamaan, maka pernikahan tetap berlaku,” — maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami, dan ini adalah pilihan al-Muzani, karena hukum asalnya adalah tetapnya pernikahan.
Kedua, bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri, karena zhahir berpihak kepadanya; sebab kemungkinan keduanya masuk Islam secara bersamaan tanpa ada yang mendahului sangat sulit terjadi.
Imam al-Syafi‘i berkata dalam al-Umm: Jika suami mendatangkan bukti bahwa mereka masuk Islam ketika matahari terbit atau ketika matahari terbenam, maka pernikahan tidak batal karena Islam mereka terjadi dalam satu waktu, yaitu saat sempurnanya terbit atau terbenamnya matahari.
فإن أقام البينة أنهما أسلما حال طلوع الشمس أو حال غروبها انفسخ نكاحهما لأن حال الطلوع والغروب من حين يبتدئ بالطلوع والغروب إلى أن يتكامل وذلك مجهول وإن أسلم الوثنيان بعد الدخول واختلفا فقال الزوج أسلمت قبل انقضاء عدتك فالنكاح باق وقالت المرأة بل أسلمت بعد اقضاء عدتي فلا نكاح بيننا فقد نص الشافعي رحمه الله تعالى على أن القول قول الزوج ونص في مسألتين على أن القول قول الزوجة: إحداهما إذا قال الزوج للرجعية راجعتك قبل انقضاء العدة فنحن على النكاح وقالت الزوجة بل راجعتني بعد انقضاء العدة فالقول قول الزوجة
Jika suami mendatangkan bukti bahwa keduanya masuk Islam pada saat matahari terbit atau matahari terbenam, maka pernikahan batal, karena waktu terbit dan terbenam mencakup dari awal terbit atau terbenam hingga sempurnanya, dan hal itu tidak dapat dipastikan waktunya.
Jika sepasang penyembah berhala masuk Islam setelah terjadi hubungan suami istri, lalu keduanya berselisih — suami berkata, “Aku masuk Islam sebelum masa ‘iddah-mu habis, maka pernikahan masih berlaku,” dan istri berkata, “Aku masuk Islam setelah masa ‘iddah habis, maka tidak ada lagi pernikahan antara kita,” — maka Imam al-Syafi‘i rahimahullah telah menegaskan bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami.
Namun beliau juga menegaskan dalam dua permasalahan bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri; salah satunya: jika suami berkata kepada istri dalam masa rujū‘, “Aku telah merujukmu sebelum masa ‘iddah habis, maka kita masih dalam pernikahan,” sedangkan istri berkata, “Bahkan engkau merujukku setelah masa ‘iddah habis,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri.
والثانية إذا ارتد الزوج بعد الدخول ثم أسلم فقال: أسلمت قبل انقضاء العدة فالنكاح باق وقالت المرأة بل أسلمت بعد انقضاء العدة فالقول قول المرأة ومن أصحابنا من نقل جواب بعضها إلى بعض وجعل في المسائل كلها قولين أحدهما أن القول قول الزوج لأن الأصل بقاء النكاح والثاني أن القول قول الزوجة لأن الأصل عدم الإسلام والرجعة ومنهم من قال هي على اختلاف حالين فالذي قال إن القول قول الزوج إذا سبق بالدعوى وإذا قال القول قول الزوجة إذا سبقت بالدعوى
Dan yang kedua: jika suami murtad setelah terjadi hubungan suami istri, lalu ia masuk Islam dan berkata, “Aku masuk Islam sebelum masa ‘iddah-mu habis, maka pernikahan masih berlaku,” sedangkan istri berkata, “Bahkan engkau masuk Islam setelah masa ‘iddah habis,” maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri.
Sebagian ulama dari kalangan kami ada yang memindahkan jawaban satu permasalahan ke yang lain, dan menjadikan semua permasalahan ini memiliki dua pendapat:
Pertama, bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan suami karena hukum asalnya adalah tetapnya pernikahan.
Kedua, bahwa yang dijadikan pegangan adalah ucapan istri karena hukum asalnya adalah tidak adanya keislaman maupun rujū‘.
Dan ada juga yang mengatakan bahwa hal ini tergantung pada dua keadaan: siapa yang lebih dahulu menyampaikan klaim — maka jika suami yang lebih dulu, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapannya; dan jika istri yang lebih dulu, maka ucapannyalah yang dijadikan pegangan.
لأن قول كل واحد منهما مقبول فيما سبق إليه فلا يجوز إبطاله بقول غيره ومنهم من قال هي على اختلاف حالين على وجه آخر فالذي قال القول قول الزوج أراد إذا اتفقا على صدقه في زمان ما ادعاه لنفسه بأن قال: أسلمت وراجعت في رمضان فقالت المرأة صدقت لكن انقضت عدتي في شعبان فالقول قول الزوج باتفاقهما على الإسلام بالرجعة في رمضان واختلافهما في انقضاء العدة والذي قال القول قول المرأة إذا اتفقا على صدقهما في زمان ما ادعته لنفسه بأن قالت انقضت عدتي في شهر رمضان فقال الزوج لكن راجعت أو أسلمت في شعبان فالقول قول المرأة لاتفاقهما على انقضاء العدة في رمضان واختلافهما في الرجعة والإسلام.
Karena ucapan masing-masing dari keduanya dapat diterima dalam perkara yang ia dahului (klaimnya), maka tidak boleh dibatalkan dengan ucapan pihak lain.
Sebagian ulama dari kalangan kami juga mengatakan bahwa permasalahan ini terbagi menjadi dua keadaan dengan bentuk penjelasan yang lain:
Pendapat yang mengatakan bahwa ucapan suami yang dijadikan pegangan, maksudnya adalah apabila keduanya sepakat akan kebenaran suami dalam waktu yang ia klaim untuk dirinya — misalnya suami berkata, “Aku masuk Islam dan merujukmu pada bulan Ramadhan,” lalu istri berkata, “Benar, tapi ‘iddah-ku telah selesai pada bulan Sya‘ban,” maka ucapan suami yang dijadikan pegangan karena keduanya sepakat bahwa rujū‘ dan Islam terjadi di bulan Ramadhan, dan perbedaan mereka hanya dalam perkara selesainya ‘iddah.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ucapan istri yang dijadikan pegangan, maksudnya adalah apabila keduanya sepakat akan kebenaran istri dalam waktu yang ia klaim untuk dirinya — misalnya istri berkata, “‘Iddah-ku telah selesai pada bulan Ramadhan,” lalu suami berkata, “Tapi aku telah merujuk atau masuk Islam di bulan Sya‘ban,” maka ucapan istri yang dijadikan pegangan karena keduanya sepakat bahwa ‘iddah selesai di bulan Ramadhan, dan perbedaan mereka hanya dalam perkara rujū‘ dan Islam.
المستحب أن لا يعقد النكاح إلا بصداق لما روى سعد بن سهل رضي الله عنه أن امرأة قالت: قد وهبت نفسي لك يا رسول الله صلى الله عليك قر في رأيك فقال رجل: زوجنيها قال: “أطلب ولو خاتماً من حديد” فذهب فلم يجئ بشيء فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “هل معك من القرآن شيء” فقال: نعم فزوجه بما معه من القرآن ولأن ذلك أقطع للخصومة ويجوز من غير صداق لقوله تعالى: {لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً}
Kitab Ṣadāq
Pendahuluan
…
Kitab Ṣadāq
Disunnahkan untuk tidak mengadakan akad nikah kecuali dengan ṣadāq (mahar), berdasarkan riwayat dari Sa‘d bin Sahl RA bahwa ada seorang perempuan berkata, “Aku hibahkan diriku kepadamu, wahai Rasulullah SAW.” Maka beliau memandangnya sejenak. Lalu seorang laki-laki berkata, “Nikahkanlah dia denganku.” Nabi SAW bersabda, “Carilah walau hanya cincin dari besi.” Laki-laki itu pergi dan tidak mendapatkan apa pun. Maka Nabi SAW bersabda, “Apakah engkau hafal sesuatu dari Al-Qur’an?” Ia menjawab, “Ya.” Maka Nabi SAW menikahkannya dengan mahar berupa hafalan Al-Qur’an yang ia miliki.
Hal itu dilakukan karena lebih dapat memutuskan sengketa.
Namun, akad nikah tetap sah meskipun tanpa ṣadāq, berdasarkan firman Allah Ta‘ala:
{Tidak ada dosa atas kalian jika kalian menceraikan perempuan sebelum kalian menyentuh mereka atau belum menentukan bagi mereka mahar} (QS. Al-Baqarah: 236).
فأثبت الطلاق مع عدم الرفض وروى عقبة بن عامر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لرجل: “إني أزوجك فلانة” قال: نعم قال للمرأة: “أترضين أن أزوجك فلاناً؟ ” قالت: نعم فزوج أحدهما من صاحبه فدخل عليها ولم يفرض لها به صداق فلما حضرته الوفاة قال: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم زوجني فلانة ولم أفرض لها صداقاً ولم أعطها شيئاً وإني قد أعطيتها عن صداقها سهمي بخيبر فأخذت سهمه فباعته بمائة ألف ولأن القصد بالنكاح الوصلة والاستمتاع دون الصداق فصح من غير صداق.
Maka ayat tersebut menetapkan adanya talak meskipun tanpa penetapan ṣadāq. Dan telah diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Āmir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada seorang laki-laki: “Sesungguhnya aku menikahkanmu dengan Fulanah.” Ia menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah SAW berkata kepada perempuan itu: “Apakah engkau ridha jika aku nikahkan engkau dengan Fulan?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau menikahkan salah satu dari keduanya dengan yang lain, dan laki-laki tersebut telah menggaulinya namun tidak menetapkan mahar baginya.
Tatkala laki-laki itu menjelang wafat, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menikahkanku dengan Fulanah, dan aku belum menetapkan mahar untuknya serta belum memberinya apa pun. Maka aku memberinya bagianku di Khaibar sebagai maharnya.” Maka perempuan itu mengambil bagiannya, lalu menjualnya dengan harga seratus ribu (dirham).
Dan karena tujuan dari pernikahan adalah untuk menjalin hubungan dan kenikmatan, bukan mahar, maka pernikahan sah meskipun tanpa mahar.
فصل: ويجوز أن يكون الصداق قليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: “اطلب ولو خاتماً من حديد” ولأنه بدل منفعتها فكان تقدير العوض إليها كأجرة منافعها ويجوز أن يكون كبيراً لقوله عز وجل: {وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَاراً} قال معاذ رضي الله عنه: القنطار ألف ومائتا أوقية وقال أبو سعيد الخدري رضي الله عنه: ملء مسك ثور ذهباً والمستحب أن يخفف
PASAL: Boleh menjadikan ṣadāq (mahar) dengan jumlah yang sedikit, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Carilah walau hanya cincin dari besi.” Dan karena mahar itu sebagai ganti dari manfaatnya, maka penetapan imbalannya dikembalikan kepadanya, sebagaimana upah atas manfaat tubuhnya.
Dan boleh juga menjadikan mahar dalam jumlah yang besar, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Dan jika kalian telah memberikan kepada salah satu dari mereka satu qinthār} (QS. An-Nisā’: 20).
Mu‘ādz RA berkata: Qinthār adalah seribu dua ratus ūqiyah.
Abū Sa‘īd Al-Khudrī RA berkata: Qinthār adalah penuh satu kulit sapi jantan yang berisi emas.
Namun yang disunnahkan adalah meringankan (jumlah mahar).
لما روت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أعظم النساء بركة أيسرهن مؤنة” ولأنه إذا كبر أجحف وأضر ودعا إلى المقت والمستحب أن لا يزيد على خمسمائة درهم لما روى روت عائشة رضي الله عنها قالت: كان صداق رسول الله صلى الله عليه وسلم لأزواجه اثنتي عشر أوقية ونشا أتدرون ما النش نصف أوقية وذلك خمسمائة درهم والمستحق الاقتداء به والتبرك بمتابعته
Karena telah diriwayatkan dari ‘Āisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Perempuan yang paling besar keberkahannya adalah yang paling ringan maharnya.” Dan karena jika mahar terlalu besar, maka itu akan memberatkan, menyusahkan, menimbulkan kebencian, dan permusuhan.
Disunnahkan agar tidak melebihi lima ratus dirham, berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah RA, ia berkata: “Mahar Rasulullah SAW untuk istri-istrinya adalah dua belas ūqiyah dan satu nasy.” Tahukah kalian apa itu nasy? Yaitu setengah ūqiyah, dan itu sama dengan lima ratus dirham.
Yang disyariatkan adalah mengikuti beliau dan mencari keberkahan dengan meneladaninya.
فإن ذكر صداق في السر وصداق في العلانية فالواجب ما عقد به العقد لأن الصداق يجب بالعقد فوجب ما عقد به وإن قال: زوجتك ابنتي بألف وقال الزوج: قبلت نكاحها بخمسمائة وجب مهر المثل لأن الزوج لم يقبل بألف والوالي لم يوجب بخمسمائة فسقط الجميع ووجب مهر المثل.
Jika disebutkan mahar secara sembunyi-sembunyi dan mahar lain secara terang-terangan, maka yang wajib adalah mahar yang disebut saat akad, karena mahar menjadi wajib dengan akad, maka yang wajib adalah apa yang disebut dalam akad.
Dan jika wali berkata, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar seribu,” lalu mempelai pria berkata, “Aku terima nikahnya dengan mahar lima ratus,” maka yang wajib adalah mahar al-mitsl, karena suami tidak menerima dengan seribu dan wali tidak mengajukan lima ratus, maka kedua mahar itu gugur dan yang wajib adalah mahar al-mitsl.
فصل: ويجوز أن يكون الصداق ديناً وعيناً وحالاً ومؤجلاً لأنه عقد على المنفعة فجاز بما ذكرناه كالإجازة.
PASAL: Boleh menjadikan ṣadāq berupa utang, barang tunai, barang langsung, maupun barang yang ditangguhkan karena ia adalah akad atas manfaat, maka boleh dengan yang telah kami sebutkan sebagaimana dalam iǧārah.
فصل: ويجوز أن يكون منفعة كالخدمة وتعليم القرآن وغيرهما من المنافع المباحة لقوله عز وجل: {إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ} فجعل الرعي صداقا وزوج النبي صلى الله عليه وسلم الواهبة من الذي خطبها بما معه من القرآن ولا يجوز أن يكون محرماً كالخمر وتعليم التوراة وتعليم القرآن للذمية لا تتعلمه للرغبة في الإسلام ولا ما فيه غرر كالمعدوم والمجهول وما لم يتم ملكه عليه كالمبيع فبل القبض ولا ما لا يقدر على تسليمه كالعبد الآبق والطير الطائر لأنه عوض في عقد فلا يجوز بما ذكرناه كالعوض في البيع والإجارة
PASAL: Boleh menjadikan ṣadāq berupa manfaat seperti pelayanan dan pengajaran al-Qur’an serta manfaat-manfaat mubah lainnya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Sesungguhnya aku bermaksud menikahkanmu dengan salah satu dari kedua anak perempuanku ini dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun}, maka dijadikan pekerjaan menggembala sebagai ṣadāq, dan Nabi SAW menikahkan wanita yang menyerahkan diri kepadanya dengan lelaki yang melamarnya dengan apa yang ada padanya dari hafalan al-Qur’an.
Tidak boleh menjadikan ṣadāq berupa hal yang haram seperti khamar, pengajaran Taurat, dan pengajaran al-Qur’an kepada wanita żimmiyyah yang tidak belajar karena keinginan masuk Islam; juga tidak boleh dengan sesuatu yang mengandung gharār seperti yang tidak ada, yang tidak diketahui, atau yang belum menjadi miliknya secara sempurna seperti barang yang dijual sebelum diterima; serta tidak boleh dengan sesuatu yang tidak mungkin diserahkan seperti budak yang melarikan diri atau burung yang terbang, karena ṣadāq adalah pengganti dalam suatu akad, maka tidak boleh dengan hal-hal yang telah disebutkan sebagaimana pengganti dalam akad jual beli dan ijārah.
فإن تزوج على شيء من ذلك لم يبطل النكاح لأن فساده ليس أكثر من عدمه فإذا صح النكاح مع عدمه صح مع فساده ويجب مهر المثل لأنها لم ترضى من غير بدل ولم يسلم لها البدل وتعذر رد المعوض فوجب رد بدله كما لو باع سلعة بمحرم وتلفت بيد المشتري.
Jika menikah dengan ṣadāq berupa sesuatu yang disebutkan itu, maka nikahnya tidak batal karena kerusakannya tidak lebih berat dari ketiadaannya. Maka, jika akad nikah sah tanpa adanya ṣadāq, maka sah pula dengan ṣadāq yang rusak. Wajib diberikan mahr al-miṯl, karena ia tidak rela tanpa imbalan, dan imbalannya tidak diserahkan kepadanya, serta mustahil mengembalikan yang telah digantikan, maka wajib menggantinya sebagaimana orang yang menjual barang dengan sesuatu yang haram lalu barang itu rusak di tangan pembeli.
فصل: فإن تزوج كافر بكافرة على محرم كالخمر والخنزير ثم أسلما أو تحاكما إلينا قبل الإسلام نظرت فإن كان قبل القبض سقط المسمى ووجب مهر المثل لأنه لا يمكن إجباره على تسليم المحرم وإن كان بعد القبض برئت ذمته منه كما لو تبايعا بيعاً فاسداً وتقابضا وإن قبض البعض برئت ذمته من المقبوض ووجب بقدر ما بقي من مهر المثل فإن كان الصداق عشرة أزقاق خمر فقبضت منها خمسة ففيه وجهان: أحدهما يعتبر بالعدد فيبرأ من النصف ويجب لها نصف مهر المثل لأنه لا قيمة لها فكان الجميع واحداً فيها فسقط نصف الصداق ويجب نصف مهر المثل
PASAL: Jika seorang kafir menikahi perempuan kafir dengan mahar berupa barang yang haram seperti khamar atau babi, lalu keduanya masuk Islam atau mengajukan perkara kepada kami sebelum masuk Islam, maka dilihat: jika sebelum penyerahan (mahar), maka mahar yang disebutkan gugur dan wajib diberikan mahar mitsil, karena tidak mungkin memaksanya menyerahkan barang yang haram. Dan jika setelah penyerahan, maka tanggungannya telah lepas darinya sebagaimana jika melakukan jual beli fasid lalu saling menyerahkan barangnya. Jika sebagian mahar telah diserahkan, maka tanggungannya lepas dari yang telah diterima dan wajib membayar sebesar sisa mahar mitsil. Jika mahar itu berupa sepuluh kendi khamar dan telah diterima lima kendi, maka ada dua pendapat: pertama, dihitung berdasarkan jumlah, maka ia terbebas dari setengahnya dan wajib memberikan setengah dari mahar mitsil, karena khamar tidak memiliki nilai, maka seluruhnya dianggap satu jenis, sehingga ketika setengah mahar gugur, wajib diberikan setengah dari mahar mitsil.
والثاني يعتبر بالكيل لأنه أحصر وإن أصدقها عشرة من الخنازير وقبضت منها خمسة ففيه وجهان: أحدهما يعتبر بالعدد فتبرأ من النصف ويجب لها نصف مهر المثل لأنه لا قيمة لها فكان الجميع واحداً والثاني يعتبر بما له قيمة وهو الغنم لو كانت غنماً كم كانت قيمة ما قبض منها فيبرأ منه بقدره ويجب بحصة ما بقي من مهر المثل لأنه لما لم تكن له قيمة اعتبر بما له قيمة كما يعتبر الحر بالعبد فيما ليس له أرش مقدر من الجنايات.
dan pendapat kedua, dihitung berdasarkan takaran karena ia dapat ditakar. Jika ia menjadikannya mahar sepuluh ekor babi dan telah diterima lima ekor darinya, maka ada dua pendapat: pertama, dihitung berdasarkan jumlah, maka ia terbebas dari setengahnya dan wajib memberikan setengah dari mahar mitsil, karena babi tidak memiliki nilai, maka semuanya dianggap satu jenis. Pendapat kedua, dihitung berdasarkan sesuatu yang memiliki nilai, yaitu kambing—seandainya yang diberikan itu kambing, berapa nilai dari yang telah diterima, maka ia terbebas sebesar nilai itu, dan wajib membayar mahar mitsil sebesar sisa nilai tersebut. Karena ketika sesuatu tidak memiliki nilai, maka perhitungannya didasarkan pada sesuatu yang memiliki nilai, sebagaimana orang merdeka dihitung dengan budak dalam hal luka yang tidak memiliki arasy yang ditentukan dalam hukum jinayat.
فصل: وإن أعتق رجل على أن تتزوج به ويكون عتقها صداقها وقبلت لم يلزمها أن تتزوج به لأنه سلف في عقد فلم يلزم كما لو قال لامرأة خذي هذا الألف على أن تتزوجي بي وتعتق الأمة لأنه أعتقها على شرط باطل فسقط الشرط وثبت العتق كما لو قال لعبده: إن ضمنت لي خمراً فأنت حر فضمن ويرجع عليها بقيمتها لأنه لم يرض في عتقها إلا بعوض ولم يسلم له فتعذر الرجوع إليها فوجبت قيمتها كما لو باع عبداً بعوض محرم وتلف العبد في يد المشتري
PASAL: Jika seorang lelaki memerdekakan budak perempuan dengan syarat agar ia menikah dengannya dan merdeka itu menjadi ṣadāq-nya, lalu ia menerima, maka tidak wajib atasnya untuk menikah dengannya karena hal itu merupakan bentuk salam dalam akad, maka tidak menjadi wajib sebagaimana jika seseorang berkata kepada seorang perempuan, “Ambillah seribu ini dengan syarat engkau menikah denganku.”
Dan budak perempuan itu menjadi merdeka karena ia dimerdekakan dengan syarat yang batil, maka gugurlah syarat dan tetaplah kemerdekaannya sebagaimana jika ia berkata kepada budaknya: “Jika engkau menjamin untukku khamar, maka engkau merdeka,” lalu budaknya menjaminnya.
Ia boleh menuntut ganti rugi darinya sebesar nilainya, karena ia tidak rela memerdekakannya kecuali dengan imbalan dan imbalan itu tidak diserahkan kepadanya, serta mustahil menarik kembali kemerdekaan, maka wajib menggantinya dengan nilai seperti halnya menjual seorang budak dengan imbalan yang haram lalu budak itu rusak di tangan pembeli.
وإن تزوجها بعد العتق على قيمتها وهما لا يعلمان قدرها فالمهر فاسد وقال أبو علي بن خيران: يصح كما لو تزوجها على عبد لا يعلمان قيمته وهذا خطأ لأن المهر هناك هو العبد وهو معلوم والمهر ههنا هو القيمة وهي مجهولة فلم يجز وإن أراد حياة يقع بها العتق وتتزوج به ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي علي بن خيران أنه يملك ذلك بأن يقول إن كان في معلوم الله تعالى إني إذا أعتقتك تزوجت بي فأنت حرة فإذا تزوجت به علمنا أنه قد وجد شرط العتق وإن لم تتزوج به علمنا أنه لم يوجد شرط العتق
Jika ia menikahinya setelah memerdekakannya dengan ṣadāq sebesar nilainya, sedangkan keduanya tidak mengetahui nilainya, maka ṣadāq-nya rusak. Abu ‘Ali bin Khirān berkata: sah, sebagaimana jika seseorang menikahi perempuan dengan ṣadāq seorang budak yang nilainya tidak mereka ketahui. Pendapat ini keliru, karena ṣadāq dalam kasus tersebut adalah budak dan ia jelas, sedangkan ṣadāq dalam kasus ini adalah nilai (harga), dan ia tidak diketahui, maka tidak boleh.
Jika ia menginginkan suatu bentuk kehidupan (syarat) yang dengannya terjadi kemerdekaan dan ia menikahinya, maka ada dua pendapat. Pertama, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Khirān, bahwa ia boleh melakukannya dengan mengatakan: “Jika di dalam ilmu Allah Ta‘ālā aku memerdekakanmu dan engkau menikah denganku, maka engkau merdeka.” Maka jika ia menikah dengannya, kita ketahui bahwa syarat kemerdekaan telah terjadi, dan jika ia tidak menikah dengannya, kita ketahui bahwa syarat kemerdekaan tidak terjadi.
والثاني هو قول أكثر أصحابنا أنه لا يصح ذلك ولا يقع العتق ولا يصح النكاح لأنه حال ما تتزوج به نشك أنها حرة أو أمة والنكاح مع الشك لا يصح فإذا لم يصح النكاح لم تعتق لأنه لم يوجد شرط العتق وإن أعتقت امرأة عبداً على أن يتزوج بها وقبل العبد ولا يلزمه أن يتزوج بها لما ذكرناه في الأمة ولا يلزمه قيمته لأن النكاح حق للعبد فيصير كما لو أعتقته بشرط أن تعطيه مع العتق شيئاً آخر ويخاف الأمة فإن نكاحها حق للمولى فإذا لم يسلم له رجع عليها بقيمتها
Dan pendapat kedua—yang merupakan pendapat mayoritas dari para sahabat kami—bahwa hal itu tidak sah, dan kemerdekaan tidak terjadi serta akad nikah tidak sah. Karena ketika ia menikah dengannya, masih ada keraguan apakah ia merdeka ataukah masih budak, dan akad nikah dengan keraguan tidak sah. Maka jika akad nikahnya tidak sah, maka ia tidak menjadi merdeka karena syarat kemerdekaan tidak terpenuhi.
Jika seorang perempuan memerdekakan seorang budak lelaki dengan syarat agar ia menikah dengannya, dan budak itu menerima, maka tidak wajib baginya untuk menikah dengannya sebagaimana telah disebutkan dalam kasus budak perempuan. Dan ia tidak wajib mengganti nilainya karena akad nikah adalah hak milik budak itu. Maka keadaannya seperti jika ia memerdekakannya dengan syarat ia memberinya sesuatu yang lain bersamaan dengan kemerdekaan.
Berbeda dengan budak perempuan, karena akad nikahnya adalah hak milik tuannya. Maka jika ṣadāq-nya tidak diserahkan kepadanya, ia boleh menuntut penggantian nilainya darinya.
وإن قال رجل لآخر أعتق عبدك عن نفسك على أن أزوجك ابنتي فأعتقه لم يلزمه التزويج لما ذكرناه وهل تلزمه قيمة العبد فيه وجهان بناء على القولين فيمن قال لغيره أعتق عبدك عن نفسك وعلى ألف فأعتقه لم يلزمه التزويج لما ذكرناه وهل تلزمه قيمة العبد فيه وجهان بناء على القولين فيمن قال لغيره أعتق عبدك عن نفسك وعلى ألف فأعتقه أحدهما يلزمه كما لو قال أعتق عبدك عني على ألف والثاني لا يلزمه لأنه بذل العوض على ما لا منفعة له فيه.
Jika seseorang berkata kepada orang lain, “Merdekakanlah budakmu untuk dirimu sendiri, dengan syarat aku akan menikahkanmu dengan putriku,” lalu orang itu memerdekakannya, maka tidak wajib atas yang berjanji untuk menikahkan putrinya, sebagaimana telah disebutkan.
Apakah ia wajib membayar nilai budak tersebut? Dalam hal ini terdapat dua wajah (pendapat), berdasarkan dua pendapat dalam kasus seseorang berkata kepada orang lain, “Merdekakanlah budakmu untuk dirimu sendiri, dan atas ganti seribu,” lalu orang itu memerdekakannya:
- Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia wajib membayar nilainya, sebagaimana jika ia berkata, “Merdekakanlah budakmu untukku dengan ganti seribu.”
- Pendapat kedua menyatakan bahwa ia tidak wajib membayar, karena ia memberikan imbalan atas sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi dirinya.
فصل: ويثبت بالصداق خيار الرد بالعيب لأن إطلاق العقد يقتضي السلامة من العيب فثبت فيه خيار الرد كالعوض في البيع ولا يثبت فيه خيار الشرط ولا خيار المجلس لأنه أحد عوضي النكاح فلم يثبت فيه خيار الشرط وخيار المجلس كالبضع ولأن خيار الشرط وخيار المجلس جعلا لدفع الغبن والصداق لم يبن على المغابنة فإن شرط فيه خيار الشرط فقد قال الشافعي رحمه الله: يبطل النكاح فمن أصحابنا من جعله قولاً لأنه أحد عوضي النكاح فبطل النكاح بشرط الخيار فيه كالبضع ومنهم من قال: لا يبطل وهو الصحيح كما لا يبطل إذا جعل المهر خمراً أو خنزيراً وما قال الشافعي رحمه الله محمول على ما إذا شرط في المهر والنكاح ويجب مهر المثل
PASAL: Dan ditetapkan pada ṣadaq hak khiyār karena cacat, karena akad yang dilakukan secara mutlak mengandung pengertian bebas dari cacat, maka ditetapkan padanya hak khiyār sebagaimana ganti dalam jual beli. Dan tidak ditetapkan padanya khiyār syarṭ dan tidak pula khiyār majlis, karena ṣadaq adalah salah satu dari dua ganti dalam akad nikah, maka tidak ditetapkan padanya khiyār syarṭ dan khiyār majlis sebagaimana halnya būḍʿ. Dan karena khiyār syarṭ dan khiyār majlis ditetapkan untuk mencegah penipuan, sedangkan ṣadaq tidak dibangun atas dasar penipuan. Maka apabila disyaratkan padanya khiyār syarṭ, imam asy-Syāfi‘i raḥimahullāh berkata: batal akad nikah tersebut. Sebagian dari kalangan mazhab kami menjadikannya sebagai satu qaul, karena ṣadaq adalah salah satu dari dua ganti dalam akad nikah, maka batal akad nikah dengan syarat khiyār padanya sebagaimana būḍʿ. Dan sebagian dari mereka berkata: tidak batal, dan inilah yang ṣaḥīḥ, sebagaimana tidak batal jika mahar dijadikan berupa khamar atau babi. Dan apa yang dikatakan oleh asy-Syāfi‘i raḥimahullāh dibawa pada keadaan apabila disyaratkan khiyār pada mahar dan nikah sekaligus, dan wajib mahr al-mithl.
لأن شرط الخيار لا يكون إلا بزيادة جزء أو نقصان جزء فإذا سقط الشرط وجب إسقاط ما في مقابلته فيصير الباقي مجهولاً فوجب مهر المثل وإن تزوجها بألف على أن لا يتسرى عليها أو لا يتزوج عليها بطل الصداق لأنه شرط باطل أضيف إلى الصداق فأبطله ويجب مهر المثل لما ذكرناه في شرط الخيار.
Karena syarat khiyār tidak terjadi kecuali dengan penambahan atau pengurangan bagian, maka apabila syarat itu gugur, wajib menggugurkan apa yang menjadi imbalannya, sehingga bagian yang tersisa menjadi tidak diketahui (majhūl), maka wajib mahr al-mithl. Dan jika ia menikahinya dengan seribu dengan syarat tidak akan tasarrī terhadapnya atau tidak akan menikah lagi atasnya, maka batal ṣadaq-nya karena syarat itu adalah syarat yang batil yang dihubungkan dengan ṣadaq, maka ia membatalkannya, dan wajib mahr al-mithl sebagaimana yang telah disebutkan dalam syarat khiyār.
فصل: وتملك المرأة المسمى بالعقد إن كان صحيحاً ومهر المثل إن كان فاسداً لأنه عقد يملك المعوض فيه بالعقد فملك العوض فيه بالعقد كالبيع وإن كانت المنكوحة صغيرة أو غير رشيدة سلم المهر إلى من ينظر في مالها وإن كانت بالغة رشيدة وجب تسليمه إليها ومن أصحابنا من خرج في البكر البالغة قولاً آخر أنه يجوز أن يدفع إليها أو إلى أبيها وجدها لأنه يجوز إجبارها على النكاح فجاز للولي قبض صداقها بغير إذنها كالصغيرة فإن قال الزوج لا أسلم الصداق حتى تسلم نفسها فقال المرأة لا أسلم نفسي حتى أقبض الصداق ففيه قولان: أحدهما لا يجبر واحد منهما بل يقال: من سلم منكما أجبرنا الآخر
PASAL: Wanita berhak atas mahar yang disebutkan dalam akad apabila akadnya sah, dan berhak atas mahr al-mitsl apabila akadnya fasid, karena akad tersebut menjadikan ma‘wadh sebagai milik dengan akad, maka ma‘wadh juga menjadi milik dengan akad seperti dalam jual beli. Apabila wanita yang dinikahi adalah anak kecil atau tidak cakap, maka mahar diserahkan kepada orang yang mengurus hartanya. Apabila ia telah baligh dan cakap, maka wajib diserahkan kepadanya. Sebagian ulama mazhab kami mengeluarkan pendapat lain mengenai perempuan perawan yang baligh, yaitu boleh diserahkan kepadanya atau kepada ayah dan kakeknya, karena mereka boleh memaksanya untuk menikah, maka boleh pula bagi wali untuk menerima mahar tanpa izinnya seperti halnya anak kecil.
Jika suami berkata, “Aku tidak akan menyerahkan mahar sampai ia menyerahkan dirinya,” dan si wanita berkata, “Aku tidak akan menyerahkan diriku sampai aku menerima mahar,” maka ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa tidak ada yang dipaksa dari keduanya, tetapi dikatakan: siapa di antara kalian yang lebih dulu menyerahkan (haknya), maka kami akan memaksa yang lainnya.
والثاني يؤمر الزوج بتسليم الصداق إلى عدل وتؤمر المرأة بتسليم نفسها فإذا سلمت نفسها أمر العدل بدفع الصداق إليها كالقولين فيمن باع سلعة بثمن معين وقد بينا القولين في البيوع فإذا قلنا بالقول الأول لم تجب لها النفقة في حال امتناعها لأنها ممتنعة بغير حق وإن قلنا بالقول الثاني وجبت لها النفقة لأنها ممتنعة بحق وإن تبرعت وسلمت نفسها ووطئها الزوج أجبر على دفع الصداق وسقط حقها من الامتناع لأن الوطء استقر لها جميع البدل فسقط حق المنع كالبائع إذا سلم المبيع قبل قبض الثمن.
dan pendapat kedua adalah suami diperintahkan untuk menyerahkan mahar kepada seorang yang adil (sebagai penengah), dan wanita diperintahkan untuk menyerahkan dirinya. Apabila ia telah menyerahkan dirinya, maka orang yang adil tersebut diperintahkan untuk menyerahkan mahar kepadanya. Hal ini seperti dua pendapat dalam kasus seseorang yang menjual barang dengan harga tertentu, dan kami telah menjelaskan dua pendapat itu dalam bab jual beli.
Apabila kita berpegang pada pendapat pertama, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah selama masa penolakannya, karena ia menolak tanpa hak. Namun, apabila kita berpegang pada pendapat kedua, maka ia berhak mendapatkan nafkah karena ia menolak dengan hak.
Apabila ia menyerahkan dirinya secara sukarela dan suami telah menyetubuhinya, maka suami wajib membayar mahar, dan gugurlah haknya untuk menolak, karena dengan terjadinya jima‘, ia telah berhak atas seluruh mahar, maka gugurlah hak untuk menolak sebagaimana penjual ketika menyerahkan barang sebelum menerima harga.
فصل: فإن كان الصداق عيناً لم تملك التصرف فيه قبل القبض كالمبيع وإن كان ديناً فعلى القولين في الثمن وإن كان عيناً فهلكت قبل القبض هلك من ضمان الزوج كما يهلك المبيع قبل القبض من ضمان البائع وهل ترجع إلى مهر المثل أو إلى بدل العين ففيه قولان قال في القديم ترجع إلى بدل العين لأنه عين يجب تسليمها لا يسقط الحق بتلفها فوجب الرجوع إلى بدلها كالمغصوب فعلى هذا إن كان مما له مثل وجب مثله وإن لم يكن له مثل وجبت قيمته أكثر ما كانت من حين العقد إلى أن تلف كالمغصوب ومن أصحابنا من قال: تجب قيمته يوم التلف لأنه وقت الفوات والصحيح هو الأول لأن هذا يبطل بالمغصوب
PASAL: Jika ṣadāq berupa barang tertentu, maka perempuan tidak berhak melakukan tasharruf terhadapnya sebelum menerima barang tersebut, seperti halnya barang jual beli. Jika berupa utang, maka hukumnya mengikuti dua pendapat dalam masalah harga jual. Jika berupa barang tertentu lalu rusak sebelum diterima, maka kerusakannya menjadi tanggungan suami, sebagaimana barang jual beli yang rusak sebelum diterima menjadi tanggungan penjual. Apakah perempuan kembali kepada mahr al-mitsl atau kepada pengganti barang tersebut, maka ada dua pendapat.
Pendapat dalam qaul qadīm menyatakan: kembali kepada pengganti barang, karena itu adalah barang yang wajib diserahkan, dan hak tidak gugur hanya karena barangnya rusak, maka wajib kembali kepada penggantinya seperti barang yang diguṣur (diambil secara paksa). Maka berdasarkan ini, jika barang tersebut ada padanannya (tamāṡul), maka wajib diserahkan padanannya. Jika tidak ada padanannya, maka wajib diberikan nilainya, yaitu nilai tertinggi dari sejak akad sampai waktu rusaknya, sebagaimana barang yang diguṣur.
Sebagian ulama kami berpendapat: yang wajib adalah nilainya pada hari rusaknya, karena itu adalah waktu kehilangan barang. Pendapat yang ṣaḥīḥ adalah yang pertama, karena pendapat kedua ini akan membatalkan hukum barang yang diguṣur.
وقال في الجديد: ترجع إلى مهر المثل لأنه عوض معين تلف قبل القبض وتعذر الرجوع إلى المعوض فوجب الرجوع إلى بدل المعوض كما لو اشترى ثوباً بعبد فقبض الثوب ولم يسلم العبد وتلف عنده فإنه يجب قيمة الثوب وإن قبضت الصداق ووجدت به عيباً فردته أو خرج مستحقاً رجعت في قوله القديم إلى بدله وفي قوله الجديد إلى مهر المثل وإن كان الصداق تعليم سورة من القرآن فتعلمت من غيره أو لم تتعلم لسوء حفظها فهو كالعين إذا تلفت فترجع في قوله القديم إلى أجرة المثل وفي قوله الجديد إلى مهر المثل.
Dan disebutkan dalam qaul jadīd: perempuan kembali kepada mahr al-mitsl, karena itu adalah imbalan tertentu yang rusak sebelum diterima, dan ketika mustahil kembali kepada barang yang dijadikan imbalan, maka wajib kembali kepada pengganti barang tersebut, sebagaimana seseorang membeli baju dengan menukarnya dengan budak, lalu ia menerima bajunya namun budaknya tidak diserahkan dan rusak, maka yang wajib adalah nilai baju tersebut.
Jika perempuan telah menerima ṣadāq, lalu ia mendapati aib padanya dan mengembalikannya, atau ternyata barang itu milik orang lain, maka menurut qaul qadīm ia kembali kepada pengganti barang tersebut, dan menurut qaul jadīd kembali kepada mahr al-mitsl.
Jika ṣadāq berupa pengajaran surat dari Al-Qur’an, lalu ia belajar dari orang lain, atau tidak belajar karena buruk hafalannya, maka hukumnya seperti barang yang rusak, maka menurut qaul qadīm ia kembali kepada ujrah al-mitsl, dan menurut qaul jadīd kembali kepada mahr al-mitsl.
فصل: ويستقر الصداق بالوطء في الفرج لقوله عز وجل: {وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ} وفسر الإفضاء بالجماع وهل يستقر بالوطء في الدبر فيه وجهان: أحدهما يستقر لأنه موضعي يجب بالإيلاح فيه الحد فأشبه الفرج والثاني لا يستقر لأن المهر في مقابلة ما يملك بالعقد والوطء في الدبر غير مملوك فلم يستقر به المهر ويستقر بالموت قبل الدخول وقال أبو سعيد الإصطخري: إن كانت أمة لا يستقر بموتها لأنها كالسلعة تباع وتبتاع والسلعة المبيعة إذا تلفت قبل التسليم سقط الثمن فكذلك إذا ماتت الأمة وجب أن يسقط المهر والمذهب أن يستقر
PASAL: Mahar menjadi tetap dengan jima‘ di farji berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {wa kaifa ta’khudzūnahu wa qad afḍā ba‘ḍukum ilā ba‘ḍ} (QS. An-Nisā’: 21), dan al-ifḍā’ ditafsirkan sebagai jima‘. Apakah mahar menjadi tetap dengan jima‘ di dubur, dalam hal ini terdapat dua wajah: pertama, menjadi tetap karena ia merupakan tempat yang dikenai ḥadd apabila dilakukan īlāḥ padanya, maka ia serupa dengan farji; kedua, tidak menjadi tetap karena mahar adalah sebagai ganti atas sesuatu yang dimiliki dengan akad, sedangkan jima‘ di dubur bukanlah sesuatu yang dimiliki, maka mahar tidak menjadi tetap dengannya. Mahar juga menjadi tetap dengan kematian sebelum terjadi hubungan. Abu Sa‘īd al-Iṣṭakhrī berkata: jika ia adalah seorang amah maka tidak menjadi tetap dengan kematiannya, karena ia seperti barang dagangan yang dijual dan dibeli, dan barang dagangan yang rusak sebelum diserahterimakan maka harganya gugur; demikian pula jika seorang amah meninggal, maka mahar harus gugur. Sedangkan pendapat yang menjadi mazhab adalah: mahar tetap.
لأن النكاح إلى الموات فإذا ماتت انتهى النكاح فاستقر البدل كالإجارة إذا انقضت مدتها واختلف قوله في الخلوة فقال في القديم تقرر المهر لأنه عقد على المنفعة فكان التمكين فيه كالاستيفاء في تقرر البدل كالإجارة وقال في الجديد: لا تقرر لأنها خلوة فلا تقرر المهر كالخلوة في غير النكاح.
Karena nikah berakhir dengan kematian, maka apabila istri meninggal, akad nikah pun selesai, sehingga ‘iwaḍ (mahar) menjadi tetap, sebagaimana dalam akad ijārah ketika masa sewanya telah selesai.
Ia berbeda pendapat mengenai hukum khalwah. Dalam qaul qadīm, ia berkata: mahar menjadi tetap, karena ini adalah akad atas suatu manfaat, maka adanya kesempatan untuk menikmatinya seperti istiwfā’ (pengambilan manfaat), sehingga menetapkan ‘iwaḍ, sebagaimana dalam akad ijārah.
Sedangkan dalam qaul jadīd, ia berkata: tidak menjadi tetap, karena itu hanya khalwah, maka tidak menetapkan mahar, sebagaimana khalwah dalam selain akad nikah.
فصل: وإن وقعت فرقة بعد الدخول لم يسقط من الصداق شيء لأنه استقر فلم يسقط فإن أصدقها سورة من القرآن وطلقها بعد الدخول وقبل أن يعلمها ففيه وجهان: أحدهما يعلمها من وراء حجاب كما يستمع منها حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم والثاني لا يجوز أن يعلمها لأنه لا يؤمن الافتتان بها ويخالف الحديث فإنه ليس له بدل فلو منعناه من سماعه منها أدى إلى إضاعته وفي الصداق لا يؤدي إلى إبطاله لأن في قوله الجديد ترجع إلى مهر المثل وفي قوله القديم ترجع إلى أجرة التعليم
PASAL: Jika terjadi perpisahan setelah terjadi hubungan badan, maka tidak gugur sedikit pun dari ṣadāq, karena ṣadāq telah menjadi hak penuh, maka tidak gugur. Jika ia menjadikan ṣadāq berupa pengajaran satu surat dari Al-Qur’an, lalu menceraikannya setelah jima‘ namun sebelum mengajarkannya, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: ia mengajarkannya dari balik hijab, sebagaimana ia mendengar darinya hadis Rasulullah SAW.
Pendapat kedua: tidak boleh ia mengajarkannya, karena dikhawatirkan terjadi fitnah terhadapnya. Dan ini berbeda dengan hadis, karena tidak ada pengganti bagi hadis, sehingga jika dilarang mendengarnya darinya akan menyebabkan terabaikannya hadis. Adapun dalam ṣadāq, larangan tersebut tidak menyebabkan pembatalan ṣadāq, karena menurut qaul jadīd, perempuan kembali kepada mahr al-mitsl, dan menurut qaul qadīm, ia kembali kepada ujrah at-ta‘līm.
وإن وقعت الفرقة قبل الدخول نظرت فإن كانت بسبب من جهة المرأة بأن أسلمت أو ارتدت أو أرضعت من ينفسخ النكاح برضاعه سقط مهرها لأنها أتلفت المعوض قبل التسليم فسقط البد كالبائع إذا أتلف المبيع قبل التسليم وإن كانت بسبب من جهته نظرت فإن كانت بطلاق سقط نصف المسمى لقوله تعالى: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} وإن بإسلامه أو بردته سقط نصفه لأنه فرق انفرد الزوج بسببها قبل الدخول فتنصف بها المهر كالطلاق وإن كان بسبب منها نظرت فإن بخلع سقط نصفه
Jika perpisahan terjadi sebelum terjadinya jima‘, maka perlu diteliti: jika perpisahan itu berasal dari pihak perempuan, seperti ia masuk Islam, atau murtad, atau menyusui seseorang yang menyebabkan batalnya pernikahan karena sebab susuan, maka ṣadāq-nya gugur, karena ia telah merusak imbalan sebelum diserahkan, maka imbalan itu gugur sebagaimana penjual yang merusak barang sebelum diserahkan.
Namun jika sebabnya berasal dari pihak laki-laki, maka perlu diteliti: jika karena talak, maka gugur setengah dari ṣadāq yang telah ditentukan, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Wa in ṭallaqtumūhunna min qabli an tamassūhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍatan fanaṣfu mā faraḍtum” (QS. Al-Baqarah: 237).
Jika karena masuk Islam atau murtad dari pihak suami, maka gugur setengah ṣadāq, karena perpisahan ini berasal dari pihak suami sebelum terjadinya jima‘, sehingga ṣadāq menjadi setengah seperti halnya talak.
Dan jika sebabnya berasal dari pihak perempuan, maka perlu diteliti lagi: jika karena khulu‘, maka gugur setengah ṣadāq.
لأن المغلب في الخلع جهة الزوج بدليل أنه يصح الخلع به دونهما وهو إذا خالع مع أجنبي فسار كما لو انفرد به وإن كان بردة منها ففيه وجهان: أحدهما يسقط نصفه لأن حال الزوج في النكاح أقوى فسقط نسفه كما لو ارتد وحده والثاني يسقط الجميع لأن المغلب في المهر جهة المرأة لأن المهر لها فسقط جميعه كما لو انفردت بالردة فإن اشترت المرأة زوجها قبل الدخول ففيه وجهان: أحدهما يسقط النصف لأنه البيع تم بالزوجة والسيد وهو قائم مقام الزوج فصار كالفرقة الواقعة بالخلع والثاني يسقط جميع المهر لأن البيع تم بها دون الزوج فسقط جميع المهر كما لو أرضعت من يفسخ النكاح برضاعه.
Karena yang dominan dalam khulu‘ adalah pihak suami, sebagaimana dibuktikan dengan sahnya khulu‘ melalui suami tanpa keterlibatan keduanya, yaitu jika khulu‘ dilakukan bersama pihak lain (orang asing), maka hukumnya seperti jika dilakukan oleh suami sendiri.
Jika perpisahan terjadi karena murtad dari pihak perempuan, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: gugur setengah ṣadāq, karena kedudukan suami dalam pernikahan lebih kuat, maka gugur setengahnya sebagaimana jika suami yang murtad.
Pendapat kedua: gugur seluruhnya, karena yang dominan dalam mahar adalah pihak perempuan — karena mahar itu miliknya — maka gugur seluruhnya sebagaimana jika ia sendiri yang murtad.
Jika perempuan membeli suaminya sebelum jima‘, maka terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama: gugur setengah ṣadāq, karena jual beli terjadi atas nama perempuan dan tuannya (pemilik budak), dan tuan menggantikan kedudukan suami, maka hukumnya seperti perpisahan karena khulu‘.
Pendapat kedua: gugur seluruh ṣadāq, karena jual beli dilakukan oleh perempuan sendiri tanpa keterlibatan suami, maka gugur seluruh ṣadāq, sebagaimana jika ia menyusui seseorang yang membatalkan pernikahan karena susuan.
فصل: وإن قتلت المرأة نفسها فالمنصوص أنه لا يسقط مهرها وقال في الأمة: إذا قتلت نفسها أو قتلها مولاها أنه يسقط مهرها فنقل أبو العباس جوابه في كل واحدة منهما إلى الأخرى وجعلها على قولين: أحدهما يسقط المهر لأنها فرقة حصلت من جهتها قبل الدخول فسقط بها المهر كما لو ارتدت والثاني لا يسقط وهو اختير المزني وهو الصحيح لأنها فرقة حصلت بانقضاء الأجل وانتهاء النكاح فلا يسقط بها المهر كما لو ماتت
PASAL: Jika perempuan membunuh dirinya sendiri, maka pendapat yang masyhūr adalah mahar tidak gugur. Dan disebutkan dalam kasus budak perempuan: jika ia membunuh dirinya sendiri atau dibunuh oleh tuannya, maka mahar gugur. Maka Abū al-‘Abbās memindahkan jawabannya dalam masing-masing kasus ke yang lain dan menjadikannya dua pendapat:
Pertama, mahar gugur karena perpisahan terjadi dari pihaknya sebelum terjadi hubungan badan, sehingga mahar gugur karenanya sebagaimana jika ia murtad.
Kedua, mahar tidak gugur—dan ini yang dipilih oleh al-Muzanī, dan ini yang ṣaḥīḥ—karena perpisahan terjadi dengan berakhirnya masa dan selesainya pernikahan, sehingga mahar tidak gugur karenanya sebagaimana jika ia meninggal.
وقال أبو إسحاق: لا يسقط في الحرة ويسقط في الأمة على ما نص عليه لأن الحرة كالمسلمة نفسها بالعقد ولهذا يملك منعها من السفر والأمة لا تصير كالمسلمة نفسها بالعقد ولهذا لا يملك منعها من السفر مع المولى وإن قتلها الزوج استقر مهرها لأن إتلاف الزوج كالقبض كما أن إتلاف المشتري للمبيع في يد البائع كالقبض في تقرير الثمن.
Dan Abū Isḥāq berkata: mahar tidak gugur pada (kasus) perempuan merdeka, namun gugur pada budak perempuan sebagaimana dinyatakan dalam naṣ, karena perempuan merdeka seakan-akan telah menyerahkan dirinya dengan akad, oleh karena itu suami berhak mencegahnya dari safar. Sedangkan budak perempuan tidak dianggap menyerahkan dirinya dengan akad, oleh karena itu suami tidak berhak mencegahnya dari safar bersama tuannya.
Dan jika suami membunuhnya, maka mahar menjadi tetap, karena perbuatan membinasakan yang dilakukan oleh suami sama seperti qabḍ (penguasaan), sebagaimana pembeli yang membinasakan barang yang masih di tangan penjual, maka hal itu dianggap seperti qabḍ dalam penetapan harga.
فصل: ومتى ثبت الرجوع في النصف لم يخل إما أن يكون الصداق تالفاً أو باقياً فإن كان تالفاً فإن كان مما له مثل رجع بنصف مثله وإن لم يكن له مثل رجع بقيمة نصفه أقل ما كانت من يوم العقد إلى يوم القبض لأنه إن كانت قيمته يوم العقد أقل ثم زادت كانت الزيادة في ملكها فلم يرجع بنصفها وإن كانت قيمته يوم العقد أكثر ثم نقص كان النقصان مضموناً عليه فلم يرجع بما هو مضمون عليه وإن كان باقياً لم يخل إما أن يكون باقياً على حالته أو زائداً أو ناقصاً أو زائداً من وجه ناقصاً من وجه
PASAL: Apabila tetap hak untuk kembali (menuntut kembali) separuh mahar, maka tidak lepas dari dua keadaan: apakah mahar tersebut telah rusak (hilang) atau masih ada. Jika telah rusak, maka jika termasuk barang yang ada padanannya, maka ia kembali dengan setengah dari padanannya. Dan jika tidak ada padanannya, maka ia kembali dengan setengah dari nilainya yang paling sedikit sejak hari akad hingga hari penerimaan. Karena jika nilainya pada hari akad lebih rendah lalu kemudian meningkat, maka peningkatan itu terjadi dalam kepemilikannya, maka tidak berhak menuntut kembali setengah dari peningkatan itu. Dan jika nilainya pada hari akad lebih tinggi lalu menurun, maka penurunan itu menjadi tanggungan pihak yang mengambil, maka tidak kembali dengan sesuatu yang sudah menjadi tanggungannya.
Dan jika masih ada, maka tidak lepas dari keadaannya: apakah tetap sebagaimana keadaannya semula, atau bertambah, atau berkurang, atau bertambah dari satu sisi dan berkurang dari sisi lain.
فإن كان على حالته رجع في نصفه ومتى يملك فيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه لا يملك إلا باختيار التملك لأن الإنسان لا يملك شيئاً بغير اختياره إلا الميراث فعلى هذا إن حدثت منه زيادة قبل الاختيار كانت لها الثاني وهو المنصوص أنه يملك بنفس الفرقة لقوله عز وجل: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} فعلق استحقاق النصف بالطلاق فعلى هذا إن حدثت منه زيادة كانت بينهما
Jika mahar tersebut tetap sebagaimana keadaannya, maka ia (suami) berhak kembali pada setengahnya. Dan kapan ia memiliki setengahnya terdapat dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq, bahwa ia tidak memilikinya kecuali dengan memilih untuk memilikinya, karena seseorang tidak memiliki sesuatu tanpa pilihannya kecuali warisan. Maka berdasarkan pendapat ini, jika terjadi tambahan pada mahar sebelum ia memilih untuk memilikinya, maka tambahan itu menjadi milik istri.
Kedua, yaitu pendapat yang dinyatakan dalam nash, bahwa ia memiliki (setengah) mahar dengan terjadinya perpisahan, berdasarkan firman Allah SWT: {Wa in ṭallaqtumūhunna min qabli an tamassūhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍatan fa niṣfu mā faraḍtum} (Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka padahal kalian telah menetapkan mahar bagi mereka, maka setengah dari apa yang kalian tetapkan itu [wajib diberikan]). Maka Allah mengaitkan kepemilikan setengah mahar dengan terjadinya talak. Maka berdasarkan pendapat ini, jika terjadi tambahan pada mahar, maka tambahan itu menjadi milik bersama keduanya.
وإن طلقها والصداق زائد نظرت فإن كانت زيادة متميزة كالثمرة والنتاج واللبن رجع بنصف الأصل وكانت الزيادة لها لأنها زيادة متميزة حدثت في ملكها فلم تتبع الأصل في الرد كما قلنا في الرد بالعيب في البيع وإن كانت الزيادة غير متميزة كالسمن وتعليم الصنعة فالمرأة بالخيار بين أن تدفع النصف بزيادته وبين أن تدفع قيمة النصف فإن دفعت النصف أجبر الزوج على أخذه لأنه نصف المفروض مع زيادة لا تتميز وإن دفعت قيمة النصف أجبر على أخذها لأن حقه في نصف المفروض والزائد غير المفروض فوجب أخذ البدل وإن كانت المرأة مفلسة ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي إسحاق أنه يجوز للزوج أن يرجع بنصف العين مع الزيادة لأنه لا يصل إلى حقه من البدل فرجع بالعين مع الزيادة كما يرجع البائع في المبيع مع الزيادة عند إفلاس المشتري
Jika ia menceraikannya dan mahar telah bertambah, maka dilihat: jika tambahan itu terpisah seperti buah, anak (dari hewan), dan susu, maka suami berhak kembali pada setengah pokok (mahar), dan tambahan menjadi milik istri, karena tambahan tersebut terpisah dan terjadi dalam kepemilikannya, maka tidak mengikuti pokok dalam pengembalian, sebagaimana kami katakan dalam pengembalian karena cacat dalam jual beli.
Dan jika tambahan itu tidak terpisah, seperti menjadi gemuk atau belajar keahlian, maka istri diberi pilihan antara menyerahkan setengah mahar beserta tambahannya atau menyerahkan nilai setengahnya. Jika ia menyerahkan setengah mahar, maka suami dipaksa untuk menerimanya karena itu adalah setengah yang telah ditetapkan (dalam akad) beserta tambahan yang tidak bisa dipisah. Dan jika ia menyerahkan nilai setengahnya, maka suami pun dipaksa menerimanya karena haknya adalah atas setengah yang ditetapkan, sedangkan tambahan bukan bagian dari yang ditetapkan, maka wajib menerima pengganti.
Dan jika istri dalam keadaan bangkrut, maka ada dua pendapat:
Pertama, yaitu pendapat Abu Ishaq, bahwa suami boleh kembali pada setengah benda (mahar) beserta tambahannya, karena ia tidak bisa mendapatkan haknya dalam bentuk pengganti, maka ia kembali pada benda mahar beserta tambahannya sebagaimana penjual boleh kembali pada barang yang dijual beserta tambahannya jika pembeli bangkrut.
والثاني وهو قول أكثر أصحابنا أنه لا يرجع لأنه ليس من جهة المرأة تفريط فلا يؤخذ منها ما زاد في ملكها بغير رضاها ويخالف إذا أفلس المشتري فإن المشتري فرط في حبس الثمن إلى إن أفلس فرجع البائع في العين مع الزيادة فإن كان الصداق نخلاً وعليها طلع غير مؤبر فبذلت المرأة نصفها مع الطلع ففيه وجهان: أحدهما لا يجبر الزوج على أخذها لأنها هبة فلا يجبر على قبولها والثاني يجبر وهو المنصوص لأنه نماء غير متميز فأجبر على أخذها كالسمن وإن بذلت نصف النخل دون الثمرة لم يجبر الزوج على أخذها
Pendapat kedua, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama kami, bahwa suami tidak berhak kembali (mengambil) karena tidak ada unsur kelalaian dari pihak istri, maka tidak boleh diambil tambahan yang terjadi dalam miliknya tanpa kerelaannya. Hal ini berbeda dengan kasus ketika pembeli bangkrut, karena pembeli telah lalai dengan menunda pembayaran harga sampai ia bangkrut, maka penjual berhak kembali pada barang jualan beserta tambahannya.
Jika mahar tersebut berupa pohon kurma dan di atasnya terdapat ṭala‘ (bakal buah) yang belum diserbuki, lalu istri menawarkan setengah pohon beserta ṭala‘-nya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, suami tidak dipaksa untuk menerimanya karena hal itu dianggap hibah, dan seseorang tidak dipaksa menerima hibah.
Kedua, suami dipaksa untuk menerimanya, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan dalam nash, karena ṭala‘ adalah pertumbuhan yang tidak terpisah, maka suami dipaksa menerimanya seperti halnya dalam kasus bertambah gemuk.
Namun jika istri hanya menawarkan setengah pohon kurma tanpa buahnya, maka suami tidak dipaksa untuk menerimanya.
وقال المزني يلزمنه أن يرجع فيه وعليه ترك الثمرة إلى أوان الجذاذ كما يلزم المشتري ترك الثمرة إلى أوان الجذاذ وهذا خطأ لأنه قد صار حقه في القيمة فلا يجبر على أخذ العين ولأن عليه ضرراً في ترك الثمرة على نخله فلم يجبر ويخالف المشتري فإن دخل في العقد عن تراض فأقرا على ما تراضيا عليه فإن طلب الزوج الرجوع بنصف النخل وترك الثمرة إلى أوان الجذاذ ففيه وجهان: أحدهما لا تجبر المرأة لأنه صار حقه في القيمة
Dan al-Muzani berkata: Suami wajib kembali pada (mahar) tersebut, dan wajib baginya untuk membiarkan buahnya (tetap di pohon) sampai waktu dipanen, sebagaimana pembeli wajib membiarkan buah sampai waktu panen. Namun ini adalah pendapat yang keliru, karena hak suami telah berubah menjadi nilai (harga), maka ia tidak dipaksa mengambil benda mahar secara langsung. Juga karena hal itu mendatangkan mudarat baginya, yaitu membiarkan buah berada di pohonnya, maka tidak dipaksakan atasnya. Hal ini berbeda dengan pembeli, karena ia masuk ke dalam akad dengan kerelaan, maka diberlakukan berdasarkan kesepakatan mereka.
Jika suami meminta untuk kembali pada setengah pohon kurma dan membiarkan buahnya sampai waktu panen, maka ada dua pendapat:
Pertama, istri tidak dipaksa memenuhi permintaannya karena hak suami telah berubah menjadi nilai (harga).
والثاني تجبر عليه لأن الضرر زال عنها ورضي الزوج بما يدخل عليه من الضرر وإن طلقا والصداق ناقص بأن كان عبداً فعمي أو مرض فالزوج بالخيار بين أن يرجع بنصفه ناقصاً وبين أن يأخذ قيمة النصف فإن رجع في النصف أجبرت المرأة على دفعه لأنه رضي بأخذ حقه ناقصاً وإن طلب القيمة أجبرت على الدفع لأن الناقص دون حقه وإن طلقها والصداق زائد من وجه ناقص من وجه بأن كان عبداً فتعلم صنعة ومرض فإن تراضيا على أخذ نصفه جاز لأن الحق لهما وإن امتنع الزوج من أخذه لم يجبر عليه لنقصانه وإن امتنعت المرأة من دفعه لم تجبر عليه لزيادته
Pendapat kedua: istri dipaksa untuk menyerahkan karena mudarat telah hilang dari pihaknya dan suami telah rela menanggung mudarat yang menimpanya.
Jika terjadi talak dan mahar mengalami kekurangan, seperti budak yang menjadi buta atau sakit, maka suami diberi pilihan antara mengambil setengahnya dalam keadaan kurang atau mengambil nilai setengahnya. Jika ia memilih mengambil setengahnya, maka istri dipaksa untuk memberikannya karena ia telah rela menerima haknya dalam keadaan kurang. Dan jika ia meminta nilai, maka istri pun dipaksa untuk memberikannya karena barang yang kurang itu berada di bawah haknya.
Dan jika ia menceraikannya dan mahar bertambah dari satu sisi dan berkurang dari sisi lain, seperti budak yang belajar keahlian namun juga jatuh sakit, maka jika keduanya rela untuk menyerahkan setengah budak tersebut, maka hal itu sah karena hak tersebut milik keduanya. Namun jika suami menolak untuk menerimanya, maka ia tidak dipaksa karena adanya kekurangan. Dan jika istri menolak untuk memberikannya, maka ia juga tidak dipaksa karena adanya tambahan.
وإن كان الصداق جارية فحبلت فهي كالعبد إذا تعلم صنعة ومرض لأن الحمل زيادة من وجه ونقصان من وجه آخر لأنه يخاف منه عليها فكان حكمه حكم العبد وإن كان بهيمة فحملت ففيه وجهان: أحدهما أن المرأة بالخيار بين أن تسلم النصف مع الحمل وبين أن تدفع القيمة لأنه زيادة من غير نقص لأن الحمل لا يخاف منه على البهيمة والثاني وهو ظاهر النص أنه كالجارية لأنه زيادة من وجه ونقصان من وجه فإن ينقص به اللحم فيما يؤكل ويمنع من الحمل عليه فيما يحمل فكان كالجارية
Jika mahar tersebut adalah seorang budak perempuan lalu ia hamil, maka hukumnya seperti budak laki-laki yang belajar keahlian namun jatuh sakit, karena kehamilan merupakan tambahan dari satu sisi dan kekurangan dari sisi lain, karena dikhawatirkan akan membahayakan dirinya, maka hukumnya seperti budak laki-laki.
Dan jika mahar tersebut adalah hewan ternak lalu ia hamil, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, istri diberi pilihan antara menyerahkan setengahnya beserta kehamilan atau membayar nilai setengahnya, karena kehamilan pada hewan adalah tambahan tanpa kekurangan, sebab kehamilan tidak dikhawatirkan membahayakan hewan.
Kedua, dan ini adalah pendapat yang tampak dari nash, bahwa hukumnya seperti budak perempuan, karena kehamilan merupakan tambahan dari satu sisi dan kekurangan dari sisi lain: kehamilan mengurangi daging pada hewan yang biasa dimakan dan menghalangi dari kemampuan membawa beban pada hewan tunggangan, maka hukumnya seperti budak perempuan.
وإن باعته ثم رجع إليها ثم طلقها الزوج رجع بنصفه لأنه يمكن الرجوع إلى عين ماله فلم يرجع إلى القيمة وإن وصت به أو وهبته ولم يقبض ثم طلقها رجع بنصفه لأنه باق على ملكها وتصرفها وإن كاتبته أو وهبته وأقبضته ثم طلقها رجع بنصفه لأنه باق على ملكها وتصرفها وإن كاتبته أو وهبته وأقبضته ثم طلقها فقد روى المزني أنه يرجع فمن أصحابنا من قال يرجع لأنه باق على ملكها ومنهم من قال أنه لا يرجع لأنه لا يملك نقض تصرفها ومنهم من قال فيه قولان: إن قلنا أن التدبير وصية فله الرجوع وإن قلنا أنه عتق بصفة رجع بنصف قيمته.
Jika ia (istri) menjualnya kemudian kembali kepadanya, lalu suaminya menceraikannya, maka suami berhak kembali pada setengahnya karena masih memungkinkan kembali kepada barang itu sendiri, maka tidak kembali kepada nilainya.
Dan jika ia mewasiatkan atau menghibahkannya namun belum diserahkan, lalu suami menceraikannya, maka suami berhak kembali pada setengahnya karena masih berada dalam kepemilikan dan kendali istri.
Dan jika ia membuat perjanjian kitābah (pembebasan bersyarat) terhadapnya atau menghibahkannya dan telah menyerahkannya, kemudian suaminya menceraikannya, maka suami tetap berhak kembali pada setengahnya karena masih dalam kepemilikan dan kendali istri.
Namun jika ia membuat kitābah terhadapnya atau menghibahkannya dan telah menyerahkannya, lalu suaminya menceraikannya, maka al-Muzani meriwayatkan bahwa suami tetap berhak kembali padanya. Maka di antara ulama kami ada yang berpendapat bahwa suami berhak kembali karena barang itu masih dalam kepemilikan istri. Dan ada yang berpendapat tidak berhak kembali karena suami tidak memiliki hak untuk membatalkan tindakan istri. Dan ada yang mengatakan dalam hal ini terdapat dua pendapat: jika kita mengatakan bahwa tadbīr adalah wasiat, maka suami berhak kembali; dan jika kita mengatakan bahwa itu adalah pembebasan dengan syarat, maka suami berhak kembali pada setengah dari nilainya.
فصل: وإن كان الصداق عيناً فوهبته من الزوج ثم طلقها قبل الدخول ففيه قولان: أحدهما لا يرجع عليها وهو اختير المزني لأن النصف تعجل له بالهبة والثاني يرجع وهو الصحيح لأنه عاد إليه بغير الطلاق فلم يسقط حقه من النصف بالطلاق كما لو وهبته لأجنبي ثم وهبه الأجنبي منه وإن كان ديناً فأبرأته منه ثم طلقها قبل الدخول فإن قلنا أنه لا يرجع في الهبة لم يرجع في الإبراء وإن قلنا يرجع في الهبة ففي الإبراء وجهان: أحدهما يرجع كما يرجع في الهبة
PASAL: Jika ṣadaq berupa barang tertentu, lalu istri memberikannya sebagai hibah kepada suaminya kemudian suaminya menceraikannya sebelum terjadi hubungan badan, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, suami tidak boleh menarik kembali hibah tersebut, dan ini yang dipilih oleh al-Muzanī, karena separuh ṣadaq telah disegerakan melalui hibah.
Kedua, suami boleh menariknya kembali, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena barang tersebut kembali kepadanya bukan karena perceraian, sehingga haknya atas separuh tidak gugur karena talak, sebagaimana jika ia menghibahkannya kepada orang lain lalu orang itu menghibahkannya kembali kepadanya.
Jika ṣadaq berupa utang, lalu istri membebaskan suami dari utang tersebut, kemudian suaminya menceraikannya sebelum terjadi hubungan badan, maka:
Jika dikatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, maka pembebasan utang pun tidak dapat ditarik.
Namun jika dikatakan bahwa hibah dapat ditarik kembali, maka dalam kasus pembebasan utang terdapat dua wajah:
Pertama, suami boleh menariknya kembali sebagaimana pada hibah.
والثاني لا يرجع لأن الإبراء إسقاط لا يفتقر إلى القبول والهبة تمليك تفتقر إلى القبول فإن أصدقها عيناً فوهبتها منه ثم ارتدت قبل الدخول فهل يرجع بالجميع فيه قولان لأن الرجوع بالجميع في الردة كالرجوع بالنصف في الطلاق وإن اشترى سلعة بثمن وسلم الثمن ووهب البائع الثمن منه ثم وجد بالسلعة عيباً ففي ردها والرجوع بالثمن وجهان بناء على القولين فإن وجد به عيباً وحدث به عند عيب آخر فهل يرجع بالأرش فيه وجهان بناء على القولين: وإن اشترى سلعة ووهبها من البائع ثم أفلس المشتري فللبائع أن يضرب مع الغرماء بالثمن قولاً واحداً لأن حقه في الثمن ولم يرجع إليه الثمن.
dan yang kedua: tidak boleh menarik kembali karena ibrā’ adalah pembebasan yang tidak membutuhkan qabūl, sedangkan hibah adalah pemberian hak milik yang membutuhkan qabūl.
Jika suami memberikan ṣadaq berupa barang tertentu, lalu istri menghibahkannya kembali kepada suaminya, kemudian ia murtad sebelum terjadi hubungan badan, maka apakah suami berhak menarik kembali seluruh ṣadaq? Dalam hal ini terdapat dua pendapat, karena penarikan kembali seluruhnya akibat murtad itu seperti penarikan kembali separuhnya akibat talak.
Jika seseorang membeli barang dengan harga tertentu, lalu ia menyerahkan pembayaran dan si penjual menghibahkan kembali harga tersebut kepadanya, kemudian pembeli menemukan cacat pada barang tersebut, maka dalam hal pengembalian barang dan penarikan kembali harga ada dua wajh, berdasarkan dua pendapat tersebut.
Jika ditemukan satu cacat, kemudian muncul cacat lain sesudahnya, maka apakah pembeli berhak menuntut pengurangan harga (arasy)? Dalam hal ini ada dua wajh, berdasarkan dua pendapat sebelumnya.
Jika seseorang membeli suatu barang, kemudian menghibahkannya kepada penjual, lalu pembeli itu bangkrut, maka si penjual berhak menuntut nilai harga barang tersebut bersama para kreditur menurut satu pendapat, karena haknya tetap atas harga barang dan harga itu belum kembali kepadanya.
فصل: إذا طلقت المرأة قبل الدخول ووجب لها نصف المهر جاز للذي بيده عقدة النكاح أن يعفو عن النصف لقوله عز وجل: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ} وفيمن بيده عقد النكاح قولان قال في القديم: هو الولي فيعفو عن النصف الذي لها لأن الله تعالى خاطب الأزواج فقال سبحانه وتعالى: {وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ}
PASAL: Jika seorang perempuan ditalak sebelum terjadi dukhūl dan telah ditetapkan baginya setengah mahar, maka diperbolehkan bagi orang yang memegang ikatan akad nikah untuk menggugurkan setengah mahar tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: “Wa in ṭallaqtumūhunna min qabli an tamassūhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍah faniṣfu mā faraḍtum illā an ya‘fūna aw ya‘fuwa alladhī biyadihi ‘uqdatun-nikāḥ.”
Adapun siapa yang dimaksud dengan orang yang memegang ikatan akad nikah, terdapat dua pendapat. Dalam pendapat qadīm, yang dimaksud adalah wali, sehingga ia dapat menggugurkan setengah bagian yang menjadi hak perempuan. Karena Allah Ta‘ala menyapa para suami dengan firman-Nya: “Wa qad faraḍtum lahunna farīḍah faniṣfu mā faraḍtum illā an ya‘fūna aw ya‘fuwa alladhī biyadihi ‘uqdatun-nikāḥ.”
ولو كان الزوج لقال: إلا أن يعفون أو تعفو لأنه تقدم ذكر الأزواج وخاطبهم بخطاب الحاضر فلما عدل عن خطابهم دل على أن الذي بيده عقدة النكاح غير الزوج فوجب أن يكون هو الولي وقال في الجديد: هو الزوج فيعفو عن النصف الذي وجب له بالطلاق فأما الولي فلا يملك العفو لأنه حق لها فلا يمللك العفو عنه كسائر ديونها وأما الآية فتحتمل أن يكون المراد به هو الأزواج فخاطبهم بخطاب الحاضر ثم خاطبهم بخطاب الغائب كما قال الله عز وجل: {حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ}
Dan seandainya yang dimaksud adalah suami, tentu firman-Nya akan berbunyi: “illā an ya‘fūna aw ta‘fū” karena sebelumnya telah disebut para suami dan Allah telah menyapa mereka dengan bentuk kata ganti orang kedua. Maka ketika Allah berpaling dari menyapa mereka secara langsung, hal itu menunjukkan bahwa orang yang memegang ikatan akad nikah bukanlah suami, sehingga wajiblah bahwa yang dimaksud adalah wali.
Adapun dalam pendapat jadīd, Imam asy-Syāfi‘ī mengatakan bahwa yang dimaksud adalah suami, maka dialah yang menggugurkan setengah bagian yang menjadi haknya karena sebab talak. Adapun wali tidak memiliki hak menggugurkan karena itu adalah hak milik perempuan, sehingga tidak boleh digugurkan oleh wali sebagaimana utang-utangnya yang lain.
Adapun ayat tersebut memungkinkan untuk dimaknai bahwa yang dimaksud adalah para suami. Maka pada awalnya Allah menyapa mereka dengan kata ganti orang kedua, lalu menyapa mereka lagi dengan kata ganti orang ketiga, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: “ḥattā idzā kuntum fī al-fulki wa jarayna bihim.”
فإذا قلنا إن الذي بيده عقدة النكاح هو الولي لم يصح العفو منه إلا بخمسة شروط: أحدهما أن يكون أباً أو جداً لأنهما لا يتهمان فيما يريان من حظ الولد ومن سواهما متهم والثاني أن تكون المنكوحة بكراً فأما الثيب لا يجوز العفو عن مالها لأنه لا يملك الولي تزويجها والثالث أن يكون العفو بعد الطلاق وأما قبله فلا يجوز لأنه لا حظ لها في العفو قبل الطلاق لأن البضع معرض للتلف فإذا عفا ربما دخل بها فتلفت منفعة بضعها من غير بدل والرابع أن يكون قبل الدخول فأما بعد الدخول فقد أتلف بضعها فلم يجز إسقاط بدله والخامس أن تكون صغيرة أو مجنونة فأما البالغة الرشيدة فلا يملك العفو عن مهرها لأنه لا ولاية عليها في المال.
Maka apabila dikatakan bahwa yang memegang ikatan akad nikah adalah wali, maka tidak sah pengguguran dari wali kecuali dengan lima syarat:
Pertama, wali tersebut adalah ayah atau kakek, karena keduanya tidak dicurigai dalam hal memilihkan kemaslahatan bagi anak, sedangkan selain mereka dianggap memiliki tendensi yang mencurigakan.
Kedua, perempuan yang dinikahkan adalah bikr (perawan), adapun tsayyib (janda) maka tidak boleh digugurkan hartanya karena wali tidak memiliki hak menikahkannya.
Ketiga, pengguguran dilakukan setelah terjadinya talak. Adapun jika sebelum talak maka tidak sah, karena ia belum memiliki kemaslahatan dalam menggugurkan sebelum talak, sebab kemaluan masih berpotensi rusak (digunakan), maka bila digugurkan lalu suami menyetubuhinya, akan rusaklah manfaat kemaluannya tanpa adanya ganti.
Keempat, pengguguran dilakukan sebelum terjadi dukhūl. Adapun setelah dukhūl, maka kemaluannya telah rusak (terpakai), sehingga tidak boleh menggugurkan ganti dari kerusakan tersebut.
Kelima, perempuan itu masih kecil atau dalam keadaan gila. Adapun jika ia baligh dan berakal, maka tidak boleh wali menggugurkan maharnya karena ia tidak memiliki kewenangan atas hartanya.
فصل: وإن فوضت بضعها بأن تزوجت وسكت عن المهر أو تزوجت على أن لا مهر لها ففيه قولان: أحدهما لا يجب لها مهر بالعقد وهو الصحيح لأنه لو وجب لها المهر بالعقد لتنصف بالطلاق والثاني يجب لأنه لو لم يجب لم استقر بالدخول ولها أن تطالب بالفرض لأن إخلاء العقد عن المهر خالص لرسول الله صلى الله عليه وسلم فإن قلنا يجب بالعقد فرض لها مهر المثل لأن البضع كالمستهلك فضمن بقيمته كالسلعة المستهلكة في يد المشتري ببيع فاسد وإن قلنا لا يجب لها المهر بالعقد فرض لها ما يتفقان عليه لأنه ابتداء إيجاب فكان إليهما كالفرض في العقد ومتى فرض لها مهر المثل أو ما يتفقان عليه صار ذلك كالمسمى في الاستقرار بالدخول والموت والتنصف بالطلاق لأنه مهر مفروض فصار كالمفروض في العقد
PASAL: Jika seorang perempuan menyerahkan bidh‘-nya, yaitu menikah tanpa disebutkan mahar atau menikah dengan syarat tidak ada mahar baginya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak wajib baginya mahar karena akad, dan ini adalah pendapat yang shahih. Sebab, jika mahar wajib karena akad, maka akan menjadi separuhnya ketika terjadi talak.
Kedua, mahar wajib baginya karena akad. Karena jika tidak wajib, maka tidak akan tetap dengan sebab dukhūl. Ia berhak menuntut penetapan mahar, karena mengosongkan akad dari mahar adalah kekhususan bagi Rasulullah SAW.
Jika dikatakan bahwa mahar wajib karena akad, maka ditetapkan baginya mahr al-mitsl, karena bidh‘ itu seperti benda yang telah hilang nilainya (mustaḥlak), maka dijamin dengan nilainya, sebagaimana barang yang musnah di tangan pembeli dalam jual beli fasid.
Dan jika dikatakan bahwa mahar tidak wajib karena akad, maka ditetapkan mahar sesuai kesepakatan keduanya, karena itu seperti permulaan penetapan, maka diserahkan kepada keduanya sebagaimana penetapan mahar dalam akad.
Dan apabila telah ditetapkan baginya mahr al-mitsl atau sesuatu yang disepakati, maka ia menjadi seperti mahar yang disebutkan dalam hal tetapnya karena dukhūl dan kematian, serta menjadi separuh karena talak, karena ia adalah mahar yang telah ditetapkan, maka hukumnya seperti mahar yang ditetapkan dalam akad.
وإن لم يفرض لها حتى طلقها لم يجب لها شئ من المهر لقوله عز وجل: {وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ} فدل على أنه إذا لم يفرض يجب النصف وإن لم يفرض لها حتى وطئها استقر لها مهر المثل لأن الوطء في النكاح من غير مهر خالص لرسول الله صلى الله عليه وسلم وإن ماتا أو أحدهم قبل الفرض ففيه قولان: أحدهما لا يجب لها المهر لأنه مفوضة فارقت زوجها قبل الفرض والمسيس فلم يجب لها مهر كما لو طلقت
Dan jika belum ditetapkan mahar baginya hingga ditalak, maka tidak wajib baginya sedikit pun dari mahar, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Wa in ṭallaqtumūhunna min qabli an tamassūhunna wa qad faraḍtum lahunna farīḍatan fa niṣfu mā faraḍtum} — maka ini menunjukkan bahwa jika belum ditetapkan (mahar), tidak wajib setengahnya.
Dan jika belum ditetapkan mahar hingga digaulinya, maka tetap baginya mahr al-mitsl, karena jima‘ dalam pernikahan tanpa mahar adalah kekhususan bagi Rasulullah SAW.
Dan jika keduanya meninggal atau salah satu dari keduanya meninggal sebelum adanya penetapan mahar, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak wajib baginya mahar, karena ia adalah perempuan yang mufaḍḍah yang berpisah dari suaminya sebelum penetapan mahar dan dukhūl, maka tidak wajib mahar baginya sebagaimana jika ia ditalak.
والثاني يجب لها المهر لما روى علقمة قال أتى عبد الله في رجل تزوج امرأة فمات عنها ولم يكن فرض لها شيئاً ولم يدخل بها فقال أقول فيها برأيي لها صداق نسائها وعليها العدة ولها بمثل ما قضيت ففرج بذلك ولأن الموت معنى يستقر به المسمى فاستقر به مهر المفوضة كالوطء وإن تزوجت على أن لا مهر لها في الحال ولا في الثاني ففيه وجهان: أحدهما أن النكاح باطل لأن النكاح من غير مهر لم يكن إلا لرسول الله صلى الله عليه وسلم فتصير كما لو نكح نكاحاً ليس له والثاني يصح لأنه يلغي قولها لا مهر لي في الثاني لأنه شرط باطل في الصداق فسقط وبقي العقد فعلى هذا يكون حكمه حكم القسم قبله.
Dan pendapat kedua: wajib baginya mahar, berdasarkan riwayat dari ‘Alqamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada ‘Abdullah (Ibnu Mas‘ūd) mengenai seorang pria yang menikahi seorang wanita lalu meninggal dunia sebelum menetapkan mahar dan sebelum menggaulinya. Maka ia berkata: “Aku berpendapat dengan ra’yuku, baginya mahar seperti wanita-wanita sejenisnya, atasnya ‘iddah, dan ia mendapatkan warisan sebagaimana aku putuskan.” Maka ia bergembira dengan hal itu.
Dan karena kematian adalah sebab yang menjadikan mahar musammā menjadi tetap, maka ia juga menjadikan mahar bagi perempuan mufaḍḍah menjadi tetap, sebagaimana jima‘.
Dan jika seorang wanita menikah dengan syarat tidak ada mahar baginya, baik saat itu maupun di kemudian hari, maka dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, akad nikah batal, karena pernikahan tanpa mahar tidaklah sah kecuali bagi Rasulullah SAW. Maka keadaannya seperti menikah dengan cara yang bukan untuknya.
Kedua, akadnya sah, karena pernyataan “tidak ada mahar bagiku di kemudian hari” dianggap batal, karena ia adalah syarat yang rusak dalam mahar, maka ia gugur dan akad tetap sah. Maka hukumnya sama seperti pembahasan sebelumnya.
فصل: ويعتبر مهر المثل بمهر نساء العصبات لحديث علقمة عن عبد الله وتعتبر بالأقرب فالأقرب منهن وأقربهن الأخوات وبنات الإخوة والعمات وبنات الأعمام فإن لم يكن لها نساء عصبات اعتبر بأقرب النساء إليها من الأمهات والخالات لأنهن أقرب إليها فإن لم يكن لها أقارب اعتبر بنساء بلدها ثم بأقرب النساء شبهاً بها ويعتبر بمهر من هي على صفتها في الحسن والعقل والعفة واليسار لأنه قيمة متلف فاعتبر فيها الصفات التي يختلف بها العوض والمهر يختلف بهذه الصفات ويجب من نقد البلد كقيم المتلفات.
PASAL: Mahar mitsil ditentukan berdasarkan mahar wanita-wanita dari keluarga ‘aṣabah, berdasarkan hadis ‘Alqamah dari ‘Abdullāh. Penentuan dimulai dari yang paling dekat kekerabatannya, dan yang paling dekat adalah saudara-saudara perempuan, kemudian anak-anak dari saudara laki-laki, bibi dari pihak ayah, dan anak-anak paman dari pihak ayah. Jika ia tidak memiliki kerabat wanita dari kalangan ‘aṣabah, maka ditentukan berdasarkan wanita kerabat terdekat dari pihak ibu dan bibi dari pihak ibu karena mereka lebih dekat dengannya. Jika ia tidak memiliki kerabat sama sekali, maka ditentukan berdasarkan wanita-wanita dari daerah tempat tinggalnya, lalu dari wanita yang paling mirip dengannya. Penilaian dilakukan terhadap wanita yang sepadan dalam hal kecantikan, akal, kesucian, dan kekayaan, karena mahar adalah nilai ganti dari sesuatu yang hilang, maka dipertimbangkan sifat-sifat yang menyebabkan perbedaan nilai tukar, dan mahar berbeda berdasarkan sifat-sifat ini. Mahar wajib diberikan dalam bentuk mata uang yang berlaku di negeri tersebut sebagaimana nilai barang yang rusak.
فصل: وإذا أعسر الرجل بالمهر ففيه طريقان: من أصحابنا من قال: إن كان بعد الدخول لم يجز الفسخ لأن البضع صار كالمستهلك بالوطء فلم تفسخ بالإفلاس كالبيع بعد هلاك السلعة ومن أصحابنا من قال: إن كان قبل الدخول ثبت الفسخ وإن كان بعد الدخول ففيه قولان: أحدهما لا يثبت لها الفسخ لما ذكرناه والثاني يثبت لها الفسخ وهو الصحيح لأن البضع لا يتلف بوطء واحد فجاز الفسخ والرجوع إليه ولا يجوز الفسخ إلا بالحاكم لأنه مختلف فيه فافتقر إلى الحاكم كفسخ النكاح بالعيب.
PASAL: Jika seorang laki-laki tidak mampu membayar mahar, maka ada dua ṭarīqah (pendekatan):
Sebagian dari kalangan kami (ulama mazhab Syafi‘i) berkata: jika ketidakmampuan itu terjadi setelah dukhūl, maka tidak boleh fasakh (membatalkan nikah), karena bidh‘ telah menjadi seperti benda yang telah musnah karena telah dijima‘, maka tidak bisa difasakh karena bangkrut, seperti dalam jual beli setelah barangnya musnah.
Dan sebagian dari kalangan kami berkata: jika itu terjadi sebelum dukhūl, maka berlaku hak fasakh; dan jika setelah dukhūl, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak tetap hak fasakh baginya sebagaimana telah disebutkan.
Kedua, tetap hak fasakh baginya, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena bidh‘ tidak menjadi rusak hanya dengan satu kali jima‘, maka dibolehkan fasakh dan kembali (menuntut mahar).
Dan tidak boleh dilakukan fasakh kecuali oleh keputusan hakim, karena masalah ini diperselisihkan, maka memerlukan campur tangan hakim, sebagaimana fasakh nikah karena cacat.
فصل: إذا زوج الرجل أبنه الصغير وهو معسر ففيه قولان: قال في القديم يجب المهر على الأب لأنه لما زوجه مع العلم بوجوب المهر والإعسار كان ذلك رضا بالتزامه وقال في الجديد يجب على الابن وهو الصحيح لأن البضع له فكان المهر عليه.
PASAL: Jika seorang ayah menikahkan anak laki-lakinya yang masih kecil dalam keadaan si anak tidak mampu, maka terdapat dua pendapat. Pendapat dalam qaul qadīm menyatakan bahwa mahar wajib atas ayah, karena ketika ia menikahkan anaknya dengan mengetahui bahwa mahar itu wajib dan si anak tidak mampu, maka hal itu dianggap sebagai kerelaan untuk menanggungnya. Sedangkan dalam qaul jadīd mahar wajib atas anak, dan ini adalah pendapat yang ṣaḥīḥ, karena kemaluan itu milik anak, maka mahar pun wajib atasnya.
فصل: وإن تزوج العبد بإذن المولى فإن كان مكتسباً وجب المهر والنفقة في كسبه لأنه لا يمكن إيجاب ذلك على المولى لأنه لم يضمن ولا في رقبة العبد لأنه وجب برضا من له الحق ولا يمكن إيجابه في ذمته لأنه في مقابلة الاستمتاع فلا يجوز تأخيره عنه فلم يبق إلا الكسب فتعلق به ولا يتعلق إلا بالكسب الحادث بعد العقد فإن كان المهر مؤجلاً تعلق بالكسب الحادث بعد حلوله لأن ما كسبه قبله للمولى ويلزم المولى تمكينه من الكسب بالنهار ومن الاستمتاع بالليل لأن إذنه في النكاح يقتضي ذلك
PASAL: Jika seorang ‘abd menikah dengan izin tuannya, maka jika ia memiliki penghasilan (muktasib), wajib mahar dan nafkah diambil dari penghasilannya. Sebab tidak mungkin mewajibkan hal itu atas tuannya karena ia tidak menanggungnya, dan tidak pula atas tubuh budak karena kewajiban itu timbul dengan kerelaan pemilik hak. Dan tidak bisa pula diwajibkan atas tanggungan (dzimmah) budak karena mahar adalah sebagai ganti kenikmatan, maka tidak boleh ditangguhkan darinya. Maka tidak tersisa kecuali penghasilan, sehingga mahar dan nafkah bergantung padanya, dan tidak berlaku kecuali pada penghasilan yang muncul setelah akad. Jika mahar itu ditangguhkan, maka kewajiban itu bergantung pada penghasilan yang muncul setelah jatuh tempo, karena penghasilan sebelumnya adalah milik tuannya. Dan wajib bagi tuan untuk membiarkan budak tersebut memperoleh penghasilan pada siang hari dan melakukan hubungan suami-istri pada malam hari, karena izinnya untuk menikah mencakup hal tersebut.
فإن لم يكن مكتسباً وكان مأذوناً له بالتجارة فقد قال في الأم: يتعلق بما في يده فمن أصحابنا من حمله على ظاهره لأنه دين لزمه بعقد أذن فيه المولى فقضى مما في يده كدين التجارة ومن أصحابنا من قال: يتعلق بما يحصل من فضل المال لأن ما في يده للمولى فلا يتعلق به كما لا يتعلق بما في يده من الكسب وإنما يتعلق بما يحدث وحمل كلام الشافعي رحمه الله على ذلك وإن لم يكن مكتسباً ولا مأذوناً له بالتجارة ففيه قولان: أحدهما يتعلق بالمهر والنفقة بذمته يتبع به إذا أعتق لأنه دين لزمه برضا من له الحق فتعلق بذمته كدين القرض فعلى هذا للمرأة أن تفسخ إذا أرادت
Jika ia bukan orang yang berpenghasilan, namun diizinkan berdagang, maka dalam al-Umm disebutkan: tanggungannya berkaitan dengan apa yang ada di tangannya. Di antara para sahabat kami ada yang memaknainya secara lahiriah, karena itu merupakan utang yang ia tanggung melalui akad yang diizinkan oleh tuannya, maka dibayarkan dari apa yang ada di tangannya seperti utang dagang. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: tanggungan itu berkaitan dengan kelebihan harta yang didapatkan, karena apa yang ada di tangannya adalah milik tuannya, maka tidak dapat dijadikan tanggungan, sebagaimana tidak berkaitan dengan apa yang ada di tangannya dari hasil kerja. Tanggungan hanya berkaitan dengan harta yang muncul kemudian, dan pendapat Imam asy-Syafi‘i RA ditakwilkan kepada pengertian ini.
Jika ia bukan orang yang berpenghasilan dan tidak diizinkan berdagang, maka ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa mahar dan nafkah menjadi tanggungan dalam dzimmah-nya yang akan ditagih ketika ia dimerdekakan, karena itu adalah utang yang wajib atasnya dengan kerelaan pemilik hak, maka menjadi tanggungan dalam dzimmah-nya seperti utang pinjaman. Berdasarkan ini, istri memiliki hak untuk membatalkan pernikahan jika ia menghendaki.
والثاني يجب في ذمة السيد لأنه لما أذن له في النكاح مع العلم بالحال صار ضامناً للمهر والنفقة وإن تزوج بغير إذن المولى ووطئ فقد قال في الجديد: يجب في ذمته يتبع به إذا أعتق لأنه حق وجب برضا من له الحق فتعلق بذمته كدين القرض وقال في القديم يتعلق برقبته لأن الوطء كالجناية وإن أذن له بالنكاح فنكح نكاحاً فاسداً ففيه قولان: أحدهما أن الإذن يتضمن الصحيح والفاسد لأن الفاسد كالصحيح في المهر والعدة والنسب فعلى هذا حكمه حكم الصحيح وقد بيناه والثاني وهو الصحيح أنه لا يتضمن الفاسد لأن الإذن يقتضي عقداً يملك به فعلى هذا حكمه حكم ما لو تزوج بغير إذنه وقد بيناه.
kedua, wajib dalam tanggungan tuan, karena ketika ia mengizinkan untuk menikah dengan mengetahui keadaannya, maka ia menjadi penanggung terhadap mahar dan nafkah. Dan jika ia menikah tanpa izin tuannya lalu menyetubuhi, maka dalam qaul jadīd dikatakan: wajib dalam tanggungannya yang akan ditagih jika ia merdeka, karena itu adalah hak yang wajib dengan kerelaan pemilik hak, maka itu menjadi tanggungannya seperti utang pinjaman. Dan dalam qaul qadīm dikatakan: terkait dengan lehernya (yakni budaknya), karena persetubuhan seperti suatu tindak pidana.
Dan jika tuan mengizinkannya untuk menikah, lalu ia menikah dengan pernikahan yang rusak, maka dalam hal ini ada dua pendapat: salah satunya adalah bahwa izin mencakup yang sah dan yang rusak, karena yang rusak itu seperti yang sah dalam hal mahar, masa ‘iddah, dan nasab. Maka berdasarkan pendapat ini hukumnya seperti hukum yang sah, dan kami telah menjelaskannya.
Dan pendapat kedua —dan inilah yang ṣaḥīḥ— bahwa izin tidak mencakup yang rusak, karena izin itu mengandung makna perjanjian yang dengannya ia memiliki hak, maka berdasarkan ini hukumnya seperti orang yang menikah tanpa izinnya, dan kami telah menjelaskannya.
باب اختلاف الزوجين في الصداق
إذا اختلف الزوجان في قدر المهر أو في أجله تحالفا لأنه عقد معاوضة فجاز أن يثبت التحالف في قدر عوضه وأجله كالبيع وإذا تحالفا لم ينفسخ النكح لأن التحالف يوجب الجهل بالعوض والنكاح لا يبطل بجهالة العوض ويجب مهر المثل لأن المسمى سقط وتعذر الرجوع إلى المعوض فوجب بدله كما لو تحالفا في الثمن بعد هلاك المبيع في يد المشتري وقال أبو على بن خيران: إن زاد مهر المثل على ما تدعيه المرأة لم تجب الزيادة لأنها لم تدعيها وقد بينا فساد قوله في البيع وإن ماتا أو أحدهما قام الوارث مقام الميت لما ذكرناه في البيع
PASAL: Perselisihan Suami Istri dalam Masalah Mahar
Apabila suami istri berselisih tentang kadar mahar atau tentang waktu penyerahannya, maka keduanya saling bersumpah karena ini merupakan akad pertukaran, sehingga boleh ditetapkan saling bersumpah dalam kadar dan waktu penyerahan ganti sebagaimana dalam jual beli. Jika keduanya saling bersumpah, maka akad nikah tidak batal, karena sumpah tersebut menyebabkan ketidakjelasan pada ganti, sedangkan nikah tidak batal karena ketidakjelasan ganti. Maka wajib mahr al-mitsl, karena mahar yang disebutkan gugur dan tidak memungkinkan kembali kepada ganti tersebut, sehingga wajib menggantinya sebagaimana jika keduanya saling bersumpah dalam harga setelah barang jualan rusak di tangan pembeli.
Abu Ali bin Khairan berkata: Jika mahr al-mitsl lebih banyak dari yang diklaim oleh perempuan, maka tidak wajib tambahan tersebut karena dia tidak mengklaimnya. Telah kami jelaskan kerusakan pendapatnya ini dalam masalah jual beli. Jika keduanya atau salah satunya meninggal dunia, maka ahli waris menggantikan posisi yang meninggal, sebagaimana yang kami sebutkan dalam jual beli.
فإن اختلف الزوج وولى الصغيرة في قدر المهر ففيه وجهان: أحدهما يحلف الزوج ويوقف يمين المنكوحة إلى أن تبلغ ولا يحلف الولي لأن الإنسان لا يحلف لإثبات الحق لغيره والثاني أنه يحلف وهو الصحيح لأنه باشر العقد فحلف كالوكيل في البيع فإن بلغت المنكوحة قبل التحالف لم يحلف الولي لأنه لا يقبل إقراره عليها فلم يحلف وهذا فيه نظر لأن الوكيل يحلف وإن لم يقبل إقراره وإن ادعت المرأة أنها تزوجت به يوم السبت بعشرين ويوم الأحد بثلاثين وأنكر الزوج أحد العقدين وأقامت المرأة البينة على العقدين وادعت المهرين قضى لها لأنه يجوز أن يكون تزوجها يوم السبت ثم خالعها ثم تزوجها يوم الأحد فلزمه المهران.
Jika suami dan wali perempuan kecil berselisih tentang kadar mahar, maka dalam hal ini terdapat dua wajah:
Pertama, suami yang bersumpah, dan sumpah perempuan yang dinikahkan ditangguhkan hingga ia baligh, sedangkan wali tidak bersumpah, karena seseorang tidak bersumpah untuk menetapkan hak bagi orang lain.
Kedua, wali boleh bersumpah, dan ini yang ṣaḥīḥ, karena dialah yang melangsungkan akad, maka ia bersumpah sebagaimana wakil dalam jual beli.
Jika perempuan yang dinikahkan telah baligh sebelum dilakukan sumpah, maka wali tidak bersumpah karena pengakuannya tidak diterima atas dirinya, maka sumpahnya pun tidak diterima. Namun, dalam hal ini ada nadhar, karena wakil pun tetap bersumpah meskipun pengakuannya tidak diterima.
Jika perempuan mengaku bahwa ia dinikahi pada hari Sabtu dengan mahar dua puluh, dan pada hari Ahad dengan mahar tiga puluh, dan suami mengingkari salah satu dari dua akad tersebut, lalu perempuan mendatangkan bukti atas kedua akad tersebut serta mengklaim kedua mahar tersebut, maka diputuskan sesuai klaimnya. Karena memungkinkan bahwa ia dinikahi pada hari Sabtu, kemudian ditalak dengan khulu‘, lalu dinikahi kembali pada hari Ahad, maka wajib atas suami dua mahar tersebut.
فصل: وإن اختلفا في قبض المهر فادعاه الزوج وأنكرت المرأة فالقول قولها لأن الأصل عدم القبض وبقاء المهر وإن كان الصداق تعليم سورة فادعى الزوج أنه علمها وأنكرت المرأة فإن كانت لا تحفظ السورة فالقول قولها لأن الأصل عدم التعليم وإن كانت تحفظها ففيه وجهان: أحدهما أن القول قولها لأن الأصل أنه لم يعلمها
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang penyerahan mahar, lalu suami mengaku telah menyerahkannya dan istri mengingkari, maka perkataan istri yang diterima karena asalnya adalah mahar belum diserahkan dan tetap menjadi tanggungannya. Dan jika mahar berupa pengajaran suatu sūrah, lalu suami mengaku telah mengajarkannya dan istri mengingkari, maka jika istri tidak hafal sūrah tersebut, perkataannya yang diterima karena asalnya belum diajarkan. Namun jika ia hafal sūrah tersebut, maka ada dua wajah: pertama, perkataannya yang diterima karena asalnya suami belum mengajarkannya.
والثاني أن القول قوله لأن الظاهر أنه لم يعلمها غيره وإن دفع لها شيئاً وادعى أنه دفعه عن الصداق وادعت المرأة أنه هدية فإن اتفقا على أنه لم يتلفظ بشيء فالقول قوله من غير يمين لأن الهدية لم تصح بغير قول وإن اختلفا في اللفظ فادعى الزوج أنه قال هذا عن صداقك وادعت المرأة أنه قال هو هدية فالقول قول الزوج لأن الملك له فإذا اختلفا في انتقاله كان القول في الانتقال قوله كما لو دفع إلى رجل ثوباً فادعى أنه باعه وادعى القابض أنه وهبه له.
dan yang kedua, bahwa perkataan suami yang diterima karena secara lahiriyah tidak ada yang mengajarkannya selain dia. Dan jika ia memberikan sesuatu kepada istrinya dan mengaku bahwa itu sebagai pembayaran mahar, sedangkan si istri mengaku bahwa itu adalah hadiah, maka jika keduanya sepakat bahwa tidak ada ucapan apa pun saat penyerahan, maka perkataan suami yang diterima tanpa sumpah karena hadiah tidak sah tanpa pernyataan. Namun jika keduanya berselisih dalam lafaz, suami mengaku berkata: “Ini sebagai mahar untukmu,” dan istri mengaku ia berkata: “Ini hadiah,” maka perkataan suami yang diterima karena harta itu miliknya. Maka ketika mereka berselisih tentang perpindahan kepemilikannya, maka yang diterima adalah ucapan pemilik seperti seseorang yang memberikan kain kepada orang lain, lalu ia mengaku menjualnya, dan penerima mengaku bahwa itu hibah.
فصل: وإن اختلفا في الوطء فادعته المرأة وأنكر الزوج فالقول قوله لأن الأصل عدم الوطء فإن أتت بولد يلحقه نسبه ففي المهر قولان: أحدهما يجب لأن إلحاق النسب يقتضي وجود الوطء والثاني لا يجب لأن الولد يلحق بالإمكان والمهر لا يجب إلا بالوطء والأصل عدم الوطء.
PASAL: Jika keduanya berselisih tentang terjadinya wath’i lalu perempuan mengakuinya dan suami mengingkarinya, maka perkataan suami diterima karena asalnya adalah tidak terjadi wath’i. Namun jika perempuan melahirkan anak yang nasabnya dinisbahkan kepadanya (suami), maka dalam hal mahar terdapat dua pendapat:
Pertama, mahar wajib diberikan karena penetapan nasab menunjukkan telah terjadinya wath’i.
Kedua, mahar tidak wajib karena anak bisa dinisbahkan hanya dengan kemungkinan (terjadinya wath’i), sedangkan mahar tidak wajib kecuali dengan wath’i, dan asalnya adalah tidak terjadi wath’i.
فصل: وإن أسلم الزوجان قبل الدخول فادعت المرأة أنه سبقها بالإسلام فعليه نصف المهر وادعى الزوج أنها سبقته فلا مهر لها فالقول قول المرأة لأن الأصل بقاء المهر وإن اتفقا على أن أحدهما سبق ولا يعلم عين السابق منهما فإن كان المهر في يد الزوج لم يجز للمرأة أن تأخذ منه شيئاً لأنها تشك في الاستحقاق وإن كان في يد الزوجة رجع الزوج بنصفه لأنه يتيقن استحقاقه ولا يأخذ من النصف الآخر شيئاً لأنه شك في استحقاقه.
PASAL: Jika suami-istri masuk Islam sebelum terjadinya dukhūl, lalu istri mengaku bahwa suamilah yang lebih dahulu masuk Islam, maka ia berhak atas separuh mahar. Dan suami mengaku bahwa istri yang lebih dahulu masuk Islam, maka tidak ada mahar baginya. Maka perkataan istri yang diterima karena asalnya mahar masih tetap menjadi haknya. Dan jika keduanya sepakat bahwa salah satu dari mereka yang lebih dahulu masuk Islam namun tidak diketahui siapa yang lebih dahulu secara pasti, maka jika mahar masih di tangan suami, tidak boleh bagi istri mengambil darinya sedikit pun karena ia ragu dalam hal hak kepemilikan. Dan jika mahar ada di tangan istri, maka suami berhak mengambil separuhnya karena ia yakin akan haknya atas separuh tersebut dan tidak mengambil dari separuh lainnya karena ia ragu dalam hal kepemilikannya.
فصل: وإن أصدقها عيناً ثم طلقها قبل الدخول وقد حدث بالصداق عيب فقال الزوج حدث بعد ما إلي فعليك أرشه وقالت المرأة بل حدث قبل عوده إليك فلا يلزمني أرشه فالقول قول المرأة لأن الزوج يدعي وقوع الطلاق قبل النقص والأصل عدم الطلاق والمرأة تدعي حدوث النقص قبل الطلاق والأصل عدم النقص فتقابل الأمران فسقطا والأصل براءة ذمتها.
PASAL: Jika suami menjadikan suatu barang tertentu sebagai mahar, kemudian menceraikannya sebelum melakukan dukhūl, lalu terjadi cacat pada barang mahar tersebut, dan suami berkata, “Cacat itu terjadi setelah kembali kepadaku, maka engkau wajib membayar ganti ruginya (arsy-nya),” sedangkan istri berkata, “Bahkan cacat itu terjadi sebelum kembali kepadamu, maka aku tidak wajib membayar ganti rugi,” maka perkataan istri diterima.
Karena suami mengklaim bahwa talak terjadi sebelum cacat, sedangkan asalnya adalah tidak terjadi talak, dan istri mengklaim bahwa cacat terjadi sebelum talak, sedangkan asalnya adalah tidak ada cacat. Maka dua hal yang saling bertentangan itu saling meniadakan, dan yang berlaku adalah asas bebasnya tanggungan (istri).
فصل: وإذا وطئ امرأة بشبهة أو في نكاح فاسد لزمه المهر لحديث عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل” فإن مسها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن أكرهها على الزنا وجب عليه المهر لأنه وطء سقط فيه الحد عن الموطوءة بشبه والواطئ من أهل الضمان في حقها فوجب عليه المهر كما لو وطئها في نكاح فاسد فإن طاوعته على الزنا نظرت فإن كانت حرة لم يجب لها المهر
PASAL: Apabila seseorang menyetubuhi seorang perempuan karena syubhat atau dalam pernikahan fasid, maka wajib baginya membayar mahar, berdasarkan hadis dari ‘Aisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Perempuan mana saja yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal.” Jika ia telah menyetubuhinya, maka perempuan tersebut berhak atas mahar karena ia telah menghalalkan farjinya. Jika ia memaksanya untuk berzina, maka wajib atasnya membayar mahar, karena itu merupakan persetubuhan yang menggugurkan had dari perempuan yang disetubuhi karena syubhat, sedangkan laki-laki tersebut termasuk pihak yang wajib menanggung (ganti rugi) terhadap perempuan itu, maka wajib baginya membayar mahar, sebagaimana jika ia menyetubuhinya dalam pernikahan fasid. Jika perempuan itu merelakan dirinya untuk berzina, maka dilihat: jika ia adalah perempuan merdeka, maka tidak wajib baginya mahar.
لما روى أبو مسعود البدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن الكلب ومهر البغي وحلوان الكاهن وإن كانت أمة لم يجب لها المهر على المنصوص للخبر ومن أصحابنا من قال: يجب لأن المهر حق للسيد فلم يسقط بإذنها كأرش الجناية.
Karena telah diriwayatkan dari Abu Mas‘ūd al-Badri RA bahwa Nabi SAW melarang mengambil upah dari hasil jual anjing, mahar perempuan pezina, dan bayaran dukun. Jika perempuan itu adalah seorang amah, maka tidak wajib baginya mahar menurut pendapat yang dinukil, karena adanya hadis tersebut. Namun sebagian dari kalangan kami berpendapat: wajib baginya mahar, karena mahar adalah hak milik tuannya, maka tidak gugur dengan izinnya, sebagaimana arasy (denda) karena luka.
فصل: وإن وطئ المرأة وادعت المرأة أنه استكرهها وادعى الواطئ أنها طاوعته ففيه قولان: أحدهما القول قول الواطيء لأن الأصل براءة ذمته والثاني قول الموطوءة لأن الواطئ متلف ويشبه أن يكون القولان مثبتين على القولين في اختلاف رب الدابة وراكبها ورب الأرض وزارعها.
فصل: وإن وطئ المرتهن الجارية المرهونة بإذن الراهن وهو جاهل بالتحريم ففيه قولان: أحدهما لا يجب المهر لأن البضع للسيد وقد أذن له ائتلافه فسقط بدله كما لو أذن له في قطع عضو منها
PASAL: Jika seorang lelaki menyetubuhi perempuan, lalu perempuan itu mengaku bahwa ia dipaksa, sedangkan lelaki itu mengaku bahwa ia rela, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: perkataan lelaki diterima karena asalnya tanggungan (dzimmah)-nya bebas. Pendapat kedua: perkataan perempuan diterima karena lelaki adalah pihak yang merusak (memusnahkan), dan kedua pendapat ini mirip dengan dua pendapat dalam perselisihan antara pemilik hewan dengan penunggangnya, dan antara pemilik tanah dengan penggarapnya.
PASAL: Jika seorang pemegang gadai menyetubuhi budak perempuan yang digadaikan dengan izin pemberi gadai, sedangkan ia tidak tahu keharamannya, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: mahar tidak wajib, karena bidh‘ (kemaluan) milik tuannya, dan tuan telah mengizinkan pemanfaatannya, maka gugurlah gantinya sebagaimana jika tuan mengizinkan untuk memotong salah satu anggota tubuhnya.
والثاني يجب لأنه وطء سقط عنه الحد للشبه فوجب عليه المهر كما لو وطئ في نكاح فاسد فإن أتت منه بولد ففيه طريقان: من أصحابنا من قال فيه قولان كالمهر لأنه متولد من مأذون فيه فإذا كان في بدل المأذون فيه قولان كذلك وجب أن يكون في بدل ما تولد منه قولان وقال أبو إسحاق: تجب قيمة الولد يوم سقط قولاً واحداً لأنها تجب بالإحبال ولم يوجد الإذن في الإحبال والطريق الأول أظهر لأنه وإن لم يأذن في الإحبال إلا أنه أذن في سببه إذا طلقت المرأة لم يخل إما أن يكون قبل الدخول أو بعده فإن كان قبل الدخول نظرت فإن لم يفرض لها مهر وجب لها المتعة لقوله تعالى: {لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ}
dan pendapat kedua: mahar wajib karena itu adalah persetubuhan yang gugur darinya had karena adanya syubhat, maka wajib mahar atasnya sebagaimana jika menyetubuhi dalam pernikahan fasid. Jika perempuan itu melahirkan anak darinya, maka ada dua jalan: sebagian dari ulama kami berkata ada dua pendapat sebagaimana dalam masalah mahar, karena anak itu lahir dari sesuatu yang diperbolehkan, maka ketika pada ganti dari yang diperbolehkan terdapat dua pendapat, demikian pula pada ganti dari yang dilahirkan darinya juga terdapat dua pendapat. Dan Abu Ishaq berkata: wajib membayar nilai anak pada hari ia lahir, menurut satu pendapat saja, karena kewajiban itu timbul sebab kehamilan, dan tidak ada izin dalam menyebabkan kehamilan. Dan jalan pertama lebih tampak (kuat), karena meskipun tidak ada izin dalam menyebabkan kehamilan, tetapi ada izin pada sebabnya.
Jika seorang perempuan ditalak, maka tidak lepas dari dua keadaan: bisa sebelum dukhūl atau sesudahnya. Jika sebelum dukhūl, maka diperinci: jika belum ditentukan maharnya, maka wajib diberikan mut‘ah berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {lā junāḥa ‘alaikum in ṭallaqtumun-nisā’a mā lam tamassūhunna au tafriḍū lahunna farīḍah wa matti‘ūhunna}.
ولأنه لحقها بالنكاح ابتذال وقلت الرغبة فيها بالطلاق فوجب لها المتعة وإن فرض لها المهر لم تجب لها المتعة لأنه لما أوجب بالآية لمن لم يفرض لها دل على أنه لا يجب لمن فرض لها ولأنه حصل لها في مقابلة الابتذال نصف المسمى فقام ذلك مقام المتعة وإن كان بعد الدخول ففيه قولان: قال في القديم: لا تجب لها المتعة لأنها مطلقة من نكاح لم يخل من عوض فلم تجب لها المتعة كالمسمى لها قبل الدخول
dan karena akibat dari pernikahan itu ia telah mengalami penghinaan (ibtidzāl), dan dengan terjadinya talak minat terhadapnya pun menurun, maka wajib baginya mendapatkan mut‘ah. Dan jika maharnya telah ditentukan, maka mut‘ah tidak wajib baginya, karena ketika ayat tersebut mewajibkan mut‘ah bagi yang belum ditentukan maharnya, maka itu menunjukkan bahwa mut‘ah tidak wajib bagi yang telah ditentukan maharnya. Dan juga karena ia telah mendapatkan setengah dari mahar yang ditentukan sebagai ganti dari penghinaan tersebut, maka itu menggantikan mut‘ah.
Dan jika talak terjadi setelah dukhūl, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, sebagaimana disebutkan dalam qaul qadīm: mut‘ah tidak wajib baginya, karena ia ditalak dari pernikahan yang tidak lepas dari adanya ganti (‘iwadh), maka tidak wajib mut‘ah sebagaimana wanita yang telah ditentukan maharnya lalu ditalak sebelum dukhūl.
وقال في الجديد: تجب لقوله تعالى: {فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحاً جَمِيلاً} وكان ذلك في نساء دخل بهن ولأن ما حصل من المهر لها بدل عن الوطء وبقي الابتذال بغير بدل فوجب لها المتعة كالمفوضة قبل الدخول وإن وقعت الفرقة بغير الطلاق نظرت فإن كانت بالموت لم تجب لها المتعة لأن النكاح قد تم بالموت وبلغ منها فلم تجب لها متعة وإن كانت بسبب من جهة أجنبي كالرضاع فحكمه حكم الطلاق في الأقسام الثلاثة لأنه بمنزلة الطلاق في تصنيف المهر فكانت كالطلاق في المتعة وإن كانت بسبب من جهة الزوج كالإسلام والردة والعيان فحكمه حكم الطلاق في الأقسام الثلاثة لأنها فرقة حصلت من جهته فأشبهت الطلاق
Dan dalam qaul jadīd ia berkata: mut‘ah wajib diberikan berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {fa ta‘ālayna umatti‘kunna wa usarriḥkunna sarāḥan jamīlā}, dan itu diturunkan mengenai para istri yang telah digauli. Dan karena bagian mahar yang telah diperoleh adalah sebagai ganti dari jima‘, sedangkan penghinaan (ibtidzāl) masih tersisa tanpa ganti, maka wajib diberikan mut‘ah, sebagaimana kasus perempuan yang mafawwaḍah sebelum dukhūl.
Jika perpisahan terjadi bukan karena talak, maka diperinci: jika karena kematian, maka mut‘ah tidak wajib, karena pernikahan telah sempurna dengan kematian dan telah sampai pada tujuannya, maka tidak wajib mut‘ah baginya. Dan jika karena sebab dari pihak lain selain suami, seperti karena raḍā‘ (persusuan), maka hukumnya seperti talak dalam tiga keadaan, karena statusnya seperti talak dalam kaitannya dengan mahar, maka dihukumi seperti talak dalam hal mut‘ah. Dan jika sebabnya dari pihak suami, seperti masuk Islam, murtad, atau terbukti adanya cacat (‘uyūb), maka hukumnya seperti talak dalam tiga keadaan, karena perpisahan itu berasal dari pihak suami, maka menyerupai talak.
وإن كانت بسبب من جهة الزوجة كالإسلام والردة والرضاع والفسخ بالإعسار والعيب بالزوجين جميعاً لم تجب لها المتعة لأن المتعة وجت لها لما يلحقها من الابتذال بالعقد وقلة الرغبة فيها بالطلاق وقد حصل ذلك بسبب من جهتها فلم تجب وإن كانت بسبب منها نظرت فإن كانت بخلع أو جعل الطلاق إليها فطلقت كان حكمها حكم المطلقة في الأقسام الثلاثة لأن المغلب فيها جهة الزوج لأنه يمكنه أن يخالعها مع غيرها ويجعل الطلاق إلى غيرها فجعل كالمفرد به
Dan jika perpisahan itu disebabkan oleh pihak istri, seperti masuk Islam, murtad, persusuan, pembatalan karena ketidakmampuan suami, atau cacat yang ada pada keduanya, maka mut‘ah tidak wajib baginya. Karena mut‘ah diwajibkan bagi istri disebabkan penghinaan yang menimpanya akibat akad, dan menurunnya keinginan terhadapnya karena talak — dan hal itu terjadi karena sebab dari pihaknya sendiri, maka tidak wajib mut‘ah baginya.
Dan jika sebabnya berasal dari dirinya, maka diperinci: jika perpisahan terjadi karena khul‘ atau karena talak dijadikan berada di tangannya lalu ia menjatuhkan talak, maka hukumnya seperti perempuan yang ditalak dalam tiga keadaan, karena yang lebih dominan dalam hal ini adalah sisi suami, sebab suami bisa melakukan khul‘ dengan orang lain dan bisa menjadikan talak di tangan orang lain, maka ia dihukumi seperti jika dilakukan oleh suami sendiri.
وإن كانت الزوجة أمة فاشتراها الزوج فقد قال في موضع لا متعة لها وقال في موضع لها المتعة فمن أصحابنا من قال هي على قولين: أحدهما لا متعة لها لأن المغلب جهة السيد لأنه يمكنه أن يبيعها من غيره فكان حكمه في سقوط المتعة حكم الزوج في الخلع في وجوب المتعة ولأنه يملك بيعها من غير الزوج فصار اختياره للزوج اختياراً للفرقة والثاني أن لها المتعة لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر في العقد فسقط حكمها كما لو وقعت الفرقة من جهة الأجنبي وقال أبو إسحاق: وإن كان مولاها طلب البيع لم تجب لأنه هو الذي اختار الفرقة وإن كان الزوج طلب وجبت لأنه هو الذي اختار الفرقة وحمل القولين على هذه الحالين.
Dan jika istri adalah seorang amah (budak perempuan), lalu suaminya membelinya, maka dalam satu tempat ia (Imam Syafi‘i) mengatakan bahwa tidak ada mut‘ah baginya, dan di tempat lain ia mengatakan bahwa mut‘ah wajib baginya. Maka sebagian ulama kami mengatakan bahwa hal itu kembali pada dua pendapat:
Pendapat pertama: tidak ada mut‘ah baginya karena yang lebih dominan adalah sisi tuannya, sebab ia dapat menjualnya kepada orang lain, maka hukumnya dalam menggugurkan mut‘ah seperti suami dalam kasus khul‘, yaitu tidak wajib mut‘ah. Dan karena ia memiliki hak untuk menjualnya kepada selain suami, maka pilihannya untuk menjual kepada suami dianggap sebagai pilihan terhadap perpisahan.
Pendapat kedua: mut‘ah wajib baginya karena tidak ada kelebihan antara keduanya dalam akad, maka hukumnya gugur sebagaimana jika perpisahan terjadi karena pihak ketiga (bukan suami-istri).
Dan Abu Ishaq berkata: jika tuannya (pemilik budak) yang meminta dilakukan penjualan, maka mut‘ah tidak wajib karena ia yang memilih perpisahan. Dan jika suami yang memintanya, maka mut‘ah wajib karena ia yang memilih perpisahan. Maka kedua pendapat tersebut ditakwilkan berdasarkan dua keadaan ini.
فصل: والمستحب أن تكون المتعة خادماً أو مقنعة أو ثلاثين درهماً لما روي عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال: يستحب أن يمتعها بخادم فإن لم يفعل فبثياب وعن ابن عمر رضي الله عنه قال: يمتعها بثلاثين درهماً وروي عنه أنه قال: يمتعها بجارية وفي الوجوب وجهان: أحدهما ما يقع عليه اسم المال والثاني وهو المذهب أنه يقدرها الحاكم لقوله تعالى: {وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ} وهل يعتبر بالزوج أو الزوجة فيه وجهان: أحدهما يعتبر بحال الزوج للآية والثاني يعتبر بحالها لأنه بدل عن المهر فاعتبر بها.
PASAL: Disunnahkan bahwa mut‘ah berupa seorang pelayan, atau kain penutup kepala, atau tiga puluh dirham. Karena diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās RA bahwa beliau berkata: Disunnahkan memberikan mut‘ah dengan seorang pelayan, jika tidak maka dengan pakaian. Dan dari Ibnu ‘Umar RA beliau berkata: Diberi mut‘ah tiga puluh dirham. Dan diriwayatkan darinya pula bahwa beliau berkata: Diberi mut‘ah seorang jāriyah.
Dalam kewajiban mut‘ah terdapat dua pendapat: salah satunya adalah bahwa mut‘ah wajib berupa sesuatu yang termasuk dalam kategori harta. Pendapat kedua—dan ini adalah mazhab—bahwa mut‘ah ditentukan oleh hakim, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: “Wa matti‘ūhunna ‘ala al-mūsī‘i qadaruhū wa ‘ala al-muqtiri qadaruh”.
Apakah yang dijadikan standar adalah kondisi suami atau istri? Terdapat dua pendapat: salah satunya adalah kondisi suami yang dijadikan standar, berdasarkan ayat tersebut. Pendapat kedua adalah kondisi istri, karena mut‘ah merupakan pengganti dari mahar, maka patokan diambil dari pihak istri.
باب الوليمة والنثر
الطعام الذي يدعى إليه الناس ستة: الوليمة للعرس والخرس للولادة والإعذار للختان والوكيرة للبناء والنقيعة لقدوم المسافر والمأدبة لغير سبب ويستحب ما سوى الوليمة لما فيها من إظهار لنعم الله والشكر عليها واكتساب الأجر والمحبة ولا تجب لأن الإيجاب بالشرع ولم يرد الشرع بإيجابه وأما وليمة العرس فقد اختلف أصحابنا فيها فمنهم من قال هي واجبة وهو المنصوص لما روى أنس رضي الله عنه قال: تزوج عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أولم ولو بشاة” ومنهم من قال هي مستحبة لأنه طعام لحادث سرور فلم تجب كسائر الولائم ويكره النثر لأن التقاطه دناءة وسخف ولأنه يأخذ قوم دون قوم ويأخذه من غيره أحب.
BAB WALIMAH DAN NATSAR
Makanan yang mengundang orang untuk datang ada enam macam: walīmah untuk pernikahan, khurs untuk kelahiran, i‘dzār untuk khitan, wakīrah untuk pembangunan (rumah), naqī‘ah untuk kedatangan musafir, dan ma’dubah untuk selain sebab-sebab tersebut.
Disunnahkan selain walīmah karena di dalamnya terdapat unsur menampakkan nikmat Allah, bersyukur atasnya, meraih pahala, dan menumbuhkan cinta kasih. Dan tidak wajib, karena kewajiban itu datang dari syariat, dan tidak ada nash syar‘i yang mewajibkannya.
Adapun walīmah pernikahan, para ulama kami berbeda pendapat tentangnya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa walīmah itu wajib, dan ini adalah pendapat yang dinyatakan (oleh Imam Syafi‘i), berdasarkan riwayat dari Anas RA bahwa ‘Abdur Rahman bin ‘Auf RA menikah, lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Aulim walau bi syāh” (Adakan walīmah walaupun hanya dengan seekor kambing).
Dan sebagian dari mereka berpendapat bahwa walīmah itu mustahab (disunnahkan), karena ia merupakan makanan untuk suatu kebahagiaan yang baru terjadi, maka tidak wajib sebagaimana berbagai walīmah lainnya.
Adapun natsar (menabur uang atau makanan), maka hukumnya makruh, karena memungutnya menunjukkan kehinaan dan kerendahan akhlak, dan karena hal itu menyebabkan sebagian orang mengambilnya dan sebagian lain tidak, serta bisa jadi yang mengambil adalah orang yang tidak disukai oleh yang menabur.
فصل: ومن دعي إلى وليمة وجب عليه الإجابة لما روي عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا دعي أحدكم إلى وليمة فليأتها” ومن أصحابنا من قال هي فرض على الكفاية لأن القصد إظهارها وذلك يحصل بحضور البعض وإن دعي مسلم إلى وليمة ذمي ففيه وجهان: أحدهما تجب الإجابة للخبر والثاني لا تجب لأن الإجابة للتواصل واختلاف الدين يمنع التواصل وإن كانت الوليمة ثلاثة أيام أجاب في اليوم الأول
PASAL: Dan apabila seseorang diundang ke walimah, maka wajib baginya untuk memenuhi undangan, karena diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian diundang ke walimah, maka hendaklah ia mendatanginya.” Di antara para sahabat kami ada yang berpendapat bahwa itu fardu kifayah karena tujuannya adalah untuk menampakkannya, dan hal itu tercapai dengan kehadiran sebagian orang saja. Apabila seorang Muslim diundang ke walimah seorang dzimmī, maka ada dua wajah pendapat: pertama, wajib memenuhi undangan karena adanya hadis; dan kedua, tidak wajib karena memenuhi undangan itu untuk menjalin hubungan, sedangkan perbedaan agama menghalangi hubungan tersebut. Jika walimah tersebut berlangsung selama tiga hari, maka ia menjawab undangan pada hari pertama.
والثاني ويكره الإجابة في اليوم الثالث لما روي أن سعيد بن المسيب رحمه الله دعي مرتين فأجاب ثم دعي الثالثة فحصب الرسول وعن الحسن رحمه الله أنه قال: الدعوى أول يوم حسن والثاني حسن والثالث رياء وسمعة وإن دعاه اثنان ولا يمكنه الجمع بينهما أجاب أسبقها لحق السبق فإن استويا في السبق أجاب أقربهما رحما فإن استويا في الرحم أجاب أقربهما داراً لأنه من أبواب البر فكان التقديم فيه على ما ذكرناه كصدقة التطوع فإن استويا في ذلك أقرع بينهما لأنه لا مزية لأحدهما على الآخر فقدم بالقرعة.
dan kedua, makruh memenuhi undangan pada hari ketiga, karena diriwayatkan bahwa Sa‘īd bin al-Musayyab rahimahullah diundang dua kali lalu memenuhinya, kemudian diundang yang ketiga kali, maka ia melempari utusannya dengan kerikil. Dan dari al-Ḥasan rahimahullah, ia berkata: undangan pada hari pertama adalah baik, hari kedua juga baik, dan hari ketiga adalah riya dan sum‘ah. Apabila dua orang mengundangnya dan tidak memungkinkan untuk memenuhi keduanya, maka ia menjawab undangan yang lebih dahulu karena adanya hak prioritas. Jika keduanya bersamaan dalam waktu undangan, maka ia menjawab yang lebih dekat hubungan kerabatnya. Jika keduanya sama dalam hubungan kerabat, maka ia menjawab yang rumahnya lebih dekat karena ini termasuk bentuk kebaikan, maka didahulukan sebagaimana dalam sedekah sunnah. Jika keduanya sama dalam hal itu, maka diundi di antara keduanya, karena tidak ada keutamaan salah satunya atas yang lain, maka diprioritaskan dengan undian.
فصل: وإن دعي موضع فيه دف أجاب لأن الدف يجوز في الوليمة لما روى محمد بن حاطب قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “فصل بين الحلال والحرام الدف” فإن دعي إلى موضع فيه منكر من زمر أو خمر فإن قدر على إزالته لزمه أن يحضر لوجوب الإجابة ولإزالة المنكر وإن لم يقدر على إزالته لم يحضر لما روي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يجلس على مائدة تدار فيها الخمر
PASAL: Jika seseorang diundang ke tempat yang ada duff, maka ia menjawab undangan tersebut karena duff diperbolehkan dalam walimah, berdasarkan riwayat dari Muhammad bin Ḥāṭib, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Pembeda antara yang halal dan haram adalah duff.” Namun jika ia diundang ke tempat yang terdapat kemungkaran seperti alat musik tiup atau khamar, maka jika ia mampu menghilangkannya, ia wajib hadir karena kewajiban menjawab undangan dan untuk menghilangkan kemungkaran. Jika ia tidak mampu menghilangkannya, maka ia tidak menghadiri undangan tersebut, berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah SAW melarang duduk di meja yang di situ diedarkan khamar.
وروى نافع قال: كنت أسير مع عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فسمع زمارة راع فوضع إصبعيه في أذنيه ثم عدل عن الطريق فلم يزل يقول يا نافع أتسمع حتى قلت لا فأخرج أصبعيه من أذنيه ثم رجع إلى الطريق ثم قال: هكذا رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صنع وإن حضر في موضع فيه تماثيل فإن كانت كالشجر جلس وإن كانت على صورة حيوان فإن كانت على بساط يداس أو مخدة يتكأ عليها جلس وإن كانت على حائط أو ستر معلق لم يجلس
Diriwayatkan dari Nāfi‘, ia berkata: Aku berjalan bersama ‘Abdullāh bin ‘Umar RA, lalu ia mendengar suara seruling penggembala, maka ia menutup kedua telinganya dengan jari-jarinya dan menyimpang dari jalan. Ia terus berkata: “Wahai Nāfi‘, apakah engkau masih mendengarnya?” Hingga aku menjawab: “Tidak.” Maka ia melepaskan jari-jarinya dari telinganya, kemudian kembali ke jalan dan berkata: “Beginilah yang aku lihat dilakukan oleh Rasulullah SAW.”
Jika ia hadir di tempat yang terdapat patung, maka jika patung itu seperti pepohonan, ia duduk. Jika berupa bentuk hewan, maka jika patung itu berada di atas alas yang diinjak atau bantal yang disandari, ia duduk. Namun jika patung itu berada di dinding atau tirai yang tergantung, maka ia tidak duduk.
لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أتاني جبريل عليه السلام فقال أتيتك البارحة فلم يمنعني أن أكون دخلت إلا أنه كان على الباب تماثيل” وكان في البيت قرام فيه تمثيل وكان في البيت كلب فمر برأس التماثيل التي كانت البيت يقطع فتصير كهيئة الشجر ومر بالستر فليقطع منه وسادتان منبوذتان توطآن ومر بالكلب فليخرج ففعل رسول الله صلى الله عليه وسلم ذلك ولأن ما كان كالشجرة فهو كالكتابة والنقوش وما كان على صورة الحيوان على حائط أو ستر فهو كالصنم وما يوطأ فليس كالصنم لأنه غير معظم.
karena telah diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jibril AS mendatangiku lalu berkata, ‘Aku datang kepadamu tadi malam, tetapi tidak ada yang menghalangiku untuk masuk kecuali karena di pintu ada patung-patung.’” Di dalam rumah terdapat qirām (tirai kain) yang bergambar dan terdapat anjing di dalam rumah itu. Maka Jibril berkata: “Potonglah kepala-kepala patung yang ada di rumah itu hingga menjadi seperti pohon, dan tirai itu potonglah sehingga menjadi dua bantal yang dilemparkan dan diinjak-injak, dan anjing itu keluarkanlah.” Maka Rasulullah SAW pun melakukannya. Dan karena sesuatu yang seperti pohon hukumnya seperti tulisan dan ukiran, sedangkan yang berbentuk makhluk bernyawa di dinding atau kain tirai maka itu seperti berhala, dan yang diinjak tidak seperti berhala karena ia tidak dimuliakan.
فصل: ومن حضر الطعام فإن كان مفطراً ففيه وجهان: أحدهما يلزمه أن يأكل لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “إذا دعي أحدكم إلى طعام فليجب فإن كان مفطراً فليأكل وأن كان صائماً فليصل” والثاني لا يجب لما روى جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا دعي أحدكم إلى طعام فليجب فإن شاء طعم وإن شاء ترك” وإن دعي وهو صائم لم تسقط عنه الإجابة للخبر ولأن القصد التكثير والتبرك بحضوره وذلك يحصل مع الصوم
PASAL: Barang siapa menghadiri makanan, jika ia tidak berpuasa, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, wajib baginya untuk makan, karena diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke makanan, maka hendaklah ia penuhi undangan itu. Jika ia tidak berpuasa maka hendaklah ia makan, dan jika berpuasa maka hendaklah ia mendoakan.”
Kedua, tidak wajib makan, karena diriwayatkan dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke makanan, maka hendaklah ia penuhi. Jika ia mau, ia makan, dan jika ia mau, ia tinggalkan.”
Dan jika ia diundang dalam keadaan berpuasa, maka tidak gugur kewajiban menjawab undangan karena adanya hadis tersebut, dan karena maksud undangan adalah memperbanyak kehadiran dan mendapatkan keberkahan dari kehadirannya, dan hal itu tetap tercapai meskipun ia sedang berpuasa.
فإن كان الصوم فرضاً لم يفطر لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “وإن كان صائماً فليصل” وإن كان تطوعاً فالمستحب أن يفطر لأنه يدخل السرور على من دعاه وإن لم يفطر جاز لأنه قربة فلم يلمه تركها والمستحب لمن فرغ من الطعام أن يدعو لصاحب الطعام لما روى عبد الله بن الزبير رضي الله عنه قال: أفطر رسول الله صلى الله عليه وسلم عند سعد بن معاذ رضي الله عنه فقال: “أفطر عندكم الصائمون وصلت عليكم الملائكة وأكل طعامكم الأبرار”.
Jika puasanya adalah puasa fardu, maka tidak boleh berbuka, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Dan jika ia berpuasa maka hendaklah ia mendoakan.”
Namun jika puasanya adalah puasa sunnah, maka yang disunnahkan adalah berbuka, karena hal itu dapat membahagiakan orang yang mengundangnya. Dan jika ia tidak berbuka, maka tetap diperbolehkan, karena itu adalah suatu bentuk qurbah (ibadah) sehingga tidak dicela apabila ditinggalkan.
Disunnahkan bagi orang yang telah selesai makan untuk mendoakan pemilik makanan, karena diriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair RA bahwa Rasulullah SAW berbuka di rumah Sa‘d bin Mu‘āż RA, lalu beliau bersabda: “Semoga orang-orang yang berpuasa berbuka di tempat kalian, para malaikat mendoakan kalian, dan orang-orang yang saleh memakan makanan kalian.”
باب عشرة النساء والقسم
إذا تزوج امرأة فإن كانت ممن يجامع مثلها وجب تسليمها بالعقد إذا طلب ويجب عليه تسليمها إذا عرضت عليه فإن طالب بها الزوج فسألت الإنظار أنظرت ثلاثة أيام لأنه قريب ولا تنظر أكثر منه لأنه كثير وإن كانت لا يجامع مثلها لصغر أو مرض يرجى زواله لم يجب التسليم إذا طلب الزوج ولا التسلم إذا عرضت عليه لأنها لا تصلح للاستمتاع وإن كانت لا يجامع مثلها لمعنى لا يرجى زواله بأن كانت نضوة الخلق أو بها مرض لا يرجى زواله وجب التسليم إذا طلب والتسلم إذا عرضت عليه لأن المقصود من مثلها الاستمتاع بها في غير جماع.
BAB PERGAULAN SUAMI ISTRI DAN PEMBAGIAN (GILIRAN)
Apabila seseorang menikahi seorang perempuan, maka jika ia termasuk perempuan yang lazim digauli, wajib diserahkan (kepada suaminya) dengan akad apabila suami memintanya, dan wajib bagi suami menyerahkannya apabila ia menawarkannya (kepada suami). Jika suami meminta penyerahan, lalu istri meminta penundaan, maka ditangguhkan selama tiga hari karena itu waktu yang dekat, dan tidak ditangguhkan lebih dari itu karena dianggap terlalu lama.
Dan jika ia tidak lazim digauli karena masih kecil atau karena sakit yang diharapkan sembuh, maka tidak wajib penyerahan apabila diminta oleh suami, dan tidak wajib penerimaan apabila ia menawarkannya, karena ia belum layak untuk dinikmati.
Namun jika ia tidak lazim digauli karena alasan yang tidak diharapkan hilang, seperti tubuhnya sangat kurus atau mengidap penyakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, maka wajib diserahkan apabila diminta dan wajib diterima apabila ia menawarkannya, karena tujuan dari perempuan seperti itu adalah untuk dinikmati selain dalam bentuk jima‘.
فصل: وإن كانت الزوجة حرة وجب تسليمها ليلاً ونهاراً لأنه لا حق لغيرها عليها وللزوج أن يسافر بها لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يسافر بنسائه ولا يجوز لها أن تسافر بغير إذن الزوج لأن الاستمتاع مستحق له فلا يجوز تفويته عليه وإن كانت أمة وجب تسليمها بالليل دون النهار لأنها مملوكة عقد على إحدى منفعتيها فلم يجب التسليم في وقتها كما لو لأجرها لخدمة النهار وقال أبو إسحاق لو كان بيدها صنعة كالغزل والنسج وجب تسليمها بالليل والنهار لأنه يمكنها العمل في بيت الزوج والمذهب الأول لأنه قد يحتاج إليه في خدمة غير الصنعة ويجوز للمولى أن يبيعها لأن النبي صلى الله عليه وسلم لذن لعائشة رضي الله عنها في شراء بريرة وكان لها زوج ويجوز له أن يسافر بها لأنه يملك بيعها فملك السفر بها كغير الزوجة.
PASAL
Jika istri adalah perempuan merdeka, maka wajib diserahkan pada malam dan siang hari, karena tidak ada hak orang lain atas dirinya. Suami boleh bepergian dengannya karena Nabi SAW biasa bepergian bersama istri-istrinya. Dan istri tidak boleh bepergian tanpa izin suaminya, karena kenikmatan (hubungan) adalah hak suami, maka tidak boleh menggugurkannya darinya.
Dan jika istri adalah seorang amah (budak perempuan), maka wajib diserahkan pada malam hari saja, bukan pada siang hari, karena ia adalah milik tuannya yang diakadkan untuk salah satu dari dua manfaatnya, maka tidak wajib diserahkan pada waktunya sebagaimana jika ia disewakan untuk pekerjaan siang hari.
Abu Ishaq berkata: jika ia memiliki keahlian seperti memintal atau menenun, maka wajib diserahkan pada malam dan siang hari, karena ia bisa bekerja di rumah suami. Namun pendapat yang lebih kuat (al-madzhab al-awwal) adalah pendapat pertama, karena bisa jadi ia dibutuhkan untuk pekerjaan selain keahlian tersebut.
Tuan (pemilik budak) boleh menjualnya, karena Nabi SAW mengizinkan ‘Aisyah RA membeli Barīrah, padahal saat itu ia memiliki suami. Tuan juga boleh bepergian dengannya karena ia memiliki hak menjualnya, maka ia juga memiliki hak bepergian dengannya sebagaimana selain istri.
فصل: ويجوز للزوج أن يجبر امرأته على الغسل من الحيض والنفاس لأن الوطء يقف عليه في غسل الجنابة قولان: أحدهما له أن يجبرها عليه لأن كمال الاستمتاع يقف عليه لأن النفس تعاف من وطء الجنب الثاني ليس له أن يجبرها لأن الوطء لا يقف عليه وفي التنظيف والاستحداد وجهان: أحدهما يملك إجبارها عليه لأن كمال الاستمتاع يقف عليه والثاني لا يملك إجبارها عليه لأن الوطء لا يقف عليه وهل له أن يمنعها من أكل ما يتأذى برائحته ففيه وجهان: أحدهما له منعها لأنه يمنع كمال الاستمتاع
PASAL: Dan boleh bagi suami memaksa istrinya mandi dari haidh dan nifas, karena jima‘ tergantung padanya. Adapun mandi dari janabah, terdapat dua pendapat:
Pertama, suami boleh memaksanya karena kesempurnaan kenikmatan tergantung padanya, sebab jiwa merasa jijik dari menjima‘ orang yang junub.
Kedua, suami tidak boleh memaksanya karena jima‘ tidak tergantung padanya.
Dalam hal membersihkan diri dan mencukur bulu (istihdād), terdapat dua pendapat:
Pertama, suami berhak memaksanya karena kesempurnaan kenikmatan tergantung padanya.
Kedua, suami tidak berhak memaksanya karena jima‘ tidak tergantung padanya.
Apakah suami berhak melarang istrinya memakan sesuatu yang baunya menyakitinya? Maka dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, suami boleh melarangnya karena hal itu menghalangi kesempurnaan kenikmatan.
والثاني ليس له منعها لأنه لا يمنع الوطء فإن كانت ذمية فله منعها من السكر لأنه يمنع الاستمتاع لأنها تصير كالزق المنفوخ ولأنه لا يأمن أن تجني عليه وهل له أن يمنعها من أكل لحم الخنزير وشرب القليل من الخمر فيه ثلاثة أوجه: أحدها يجوز له منعها لأنه يمنع كمال الاستمتاع والثاني ليس له منعها لأنه لا يمنع الوطء والثالث وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أنه ليس له منعها من لحم الخنزير لأنه لا يمنع الوطء وله منعها من قليل الخمر لأن السكر يمنع الاستمتاع ولا يمكن التمييز بين ما يسكر وبين ما لا يسكر مع اختلاف الطباع فمنع من الجميع.
Dan pendapat kedua, suami tidak berhak melarangnya karena tidak menghalangi jima‘. Jika istrinya adalah dzimmiyyah, maka suami berhak melarangnya dari mabuk karena mabuk menghalangi kenikmatan, sebab ia menjadi seperti kantong angin yang membengkak, dan karena dikhawatirkan ia akan berbuat sesuatu yang mencelakainya.
Adapun apakah suami berhak melarangnya memakan daging babi dan meminum sedikit khamar, maka dalam hal ini ada tiga pendapat:
Pertama, suami boleh melarangnya karena hal itu menghalangi kesempurnaan kenikmatan.
Kedua, suami tidak berhak melarangnya karena hal itu tidak menghalangi jima‘.
Ketiga, yaitu pendapat Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: suami tidak berhak melarangnya dari daging babi karena tidak menghalangi jima‘, namun boleh melarangnya dari sedikit khamar karena mabuk menghalangi kenikmatan, dan tidak mungkin membedakan antara yang memabukkan dan yang tidak memabukkan karena perbedaan tabiat, maka dilarang seluruhnya.
فصل: وللزوج منع الزوجة من الخروج إلى المساجد وغيرها لما روى ابن عمر رضي الله عنه قال: رأيت امرأة أتت إلى النبي صلى الله عليه وسلم وقالت: يا رسول الله ما حق الزوج على زوجته؟ قال: “حقه عليها أن لا تخرج من بيتها إلى بإذنه فإن فعلت لعنها الله وملائكة الرحمن وملائكة الغضب حتى تئوب أو ترجع” قالت: يا رسول الله وإن كان لها ظالماً قال: “وإن كان لها ظالماً” ولأن حق الزوج واجب فلا يجوز تركه بما ليس بواجب ويكره منعها من عيادة أبيها إذا أثقل وحضور مواراته إذا مات لأن منعها من ذلك يؤدي إلى النفور ويغريها بالعقوق.
PASAL
Suami berhak melarang istrinya keluar ke masjid dan tempat lainnya, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar RA bahwa ia berkata: Aku melihat seorang perempuan datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, apa hak suami atas istrinya?” Beliau menjawab: “Hak suami atas istrinya adalah ia tidak keluar dari rumahnya kecuali dengan izinnya. Jika ia keluar tanpa izin, maka Allah melaknatnya, begitu pula malaikat rahmat dan malaikat azab, sampai ia bertobat atau kembali.” Perempuan itu bertanya: “Wahai Rasulullah, sekalipun suaminya berlaku zalim terhadapnya?” Beliau menjawab: “Sekalipun ia berlaku zalim.”
Karena hak suami adalah kewajiban, maka tidak boleh ditinggalkan demi sesuatu yang bukan kewajiban. Namun, makruh hukumnya suami melarang istrinya untuk menjenguk ayahnya jika sakit berat, dan menghadiri pemakamannya jika meninggal, karena larangan dalam hal ini dapat menimbulkan kebencian dan mendorongnya untuk durhaka.
فصل: ويجب على الزوج معاشرتها بالمعروف مع كف الأذى لقوله تعالى: {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} ويجب عليه بذل ما يجب من حقها من غير مطل لقوله عز وجل: {وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ} ومن العشرة بالمعروف بذل الحق من غير مطل ولقوله صلى الله عليه وسلم: “مطل الغني ظلم” ولا يجب عليه الاستمتاع لأنه حق له فجاز تركه كسكنى الدار المستأجرة ولأن الداعي إلى الاستمتاع الشهوة فلا يمكن إيجابه والمستحب أن لا يعطلها
PASAL
Wajib bagi suami mempergauli istrinya dengan baik serta menahan diri dari menyakitinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Wa ‘āshirūhunna bil-ma‘rūf} (Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik). Suami juga wajib memberikan hak istrinya yang wajib tanpa menunda-nunda, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: {Wa ‘āshirūhunna bil-ma‘rūf}, dan termasuk dalam pergaulan yang baik adalah menunaikan hak tanpa menunda-nunda. Dan berdasarkan sabda Nabi SAW: “Penundaan oleh orang kaya adalah kezaliman.”
Tidak wajib atas suami untuk melakukan hubungan badan, karena itu adalah haknya, maka boleh ia meninggalkannya sebagaimana tinggal di rumah yang disewa. Dan karena pendorong hubungan badan adalah syahwat, maka tidak mungkin diwajibkan. Namun disunnahkan untuk tidak membiarkan istrinya terbengkalai.
لما روى عبد الله بن عمر بن العاص رضي الله عنه قال: قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أتصوم النهار؟ ” قلت: نعم وقال: “تقوم الليل” قلت: نعم قال: “لكني أصوم وأفطر وأصلي وأنام وأمس النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني” ولأنه إذا عطلها لا يأمن الفساد ووقوع الشقاق ولا يجمع بين امرأتين في مسكن إلا برضاهما لأن ذلك ليس من العشرة بالمعروف ولأنه يؤدي إلى الخصومة ولا يطأ إحداهما بحضرة الأخرى لأنه دناءة وسوء عشرة ولا يستمتع بها إلا بالمعروف فإن كانت نضو الخلق ولم تحتمل الوطء لم يجز وطؤها لما فيه من الأضرار.
Karena telah diriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al-‘Āsh RA bahwa ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepadaku: “Apakah engkau berpuasa di siang hari?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Apakah engkau bangun di malam hari?” Aku menjawab: “Ya.” Maka beliau bersabda: “Namun aku berpuasa dan berbuka, salat dan tidur, serta mendatangi perempuan. Barang siapa berpaling dari sunnahku, maka ia bukan bagian dariku.”
Dan karena jika suami membiarkan istrinya tanpa hubungan, tidak aman dari munculnya kerusakan dan perselisihan. Ia tidak boleh mengumpulkan dua istri dalam satu rumah kecuali dengan kerelaan keduanya, karena itu tidak termasuk dalam pergaulan yang baik, dan karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran. Ia juga tidak boleh menggauli salah satunya di hadapan yang lain karena hal itu adalah perbuatan hina dan bentuk pergaulan yang buruk.
Suami tidak boleh menikmati istrinya kecuali dengan cara yang baik. Jika istrinya sangat kurus sehingga tidak mampu menahan jima‘, maka tidak boleh digauli karena hal itu akan membahayakannya.
فصل: ولا يجوز وطؤها في الدبر لما روى خزيمة بن ثابت رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ملعون من أتى امرأته في دبرها” ويجوز الاستمتاع بها فيما بين الإليتين لقوله تعالى: {وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ، ِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ} ويجوز وطؤها في الفرج مدبرة لما روى جابر رضي الله عنه قال: قالت اليهود: إذا جامع الرجل امرأته من ورائها جاء ولدها أحول فأنزل الله تعالى: {نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ} قال: يقول يأتيها من حيث شاء مقبلة أو مدبرة إذا كان ذلك في الفرج.
PASAL: Tidak boleh menyetubuhinya di dubur karena riwayat dari Khuzaymah bin Tsabit RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Terlaknat orang yang mendatangi istrinya melalui duburnya.” Namun boleh bersenang-senang dengannya di antara kedua pantatnya berdasarkan firman Allah Ta‘ala: {Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau terhadap hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela}. Dan boleh menyetubuhinya di farji dari arah belakang, sebagaimana riwayat dari Jabir RA, ia berkata: Orang-orang Yahudi mengatakan: Jika seorang laki-laki menyetubuhi istrinya dari belakang maka anaknya akan juling, maka Allah Ta‘ala menurunkan firman-Nya: {Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian, maka datangilah ladang kalian dari mana saja kalian kehendaki}. Ia (Jabir) berkata: Maksudnya adalah menyetubuhinya dari arah mana saja yang dikehendaki, dari depan atau belakang, selama itu di farji.
فصل: ويكره العزل لما روت جذامه بنت وهب قالت: حضرت رسول الله صلى الله عليه وسلم فسألوه عن العزل فقال: “ذلك الوأد الخفي” {وَإِذَا الْمَوْؤُودَةُ سُئِلَتْ} فإن كان ذلك في وطء أمته لم يحرم لأن الاستمتاع بها حق له لا حق لها فيه وإن كان في وطء زوجته فإن كانت مملوكة لم يحرم لأنه يلحقه العار باسترقاق ولده منها وإن كانت حرة فإن كان بإذنها جاز لأن الحق لهما وإن لم تأذن ففيه وجهان: أحدهما لا يحرم لأن حقها في الاستمتاع دون الإنزال والثاني يحرم لنه يقطع النسل من غير ضرر يلحقه.
PASAL
Makruh hukumnya ‘azl (mengeluarkan mani di luar farji), berdasarkan riwayat dari Jadzāmah binti Wahb, ia berkata: Aku menghadiri Rasulullah SAW, lalu mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl, maka beliau bersabda: “Itu adalah bentuk penguburan bayi secara tersembunyi (al-wa’d al-khafī).” {Wa idzā al-maw’ūdatu su’ilat} (Dan apabila bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya…).
Jika ‘azl dilakukan dalam hubungan dengan budak perempuannya, maka tidak haram, karena kenikmatan atas budak adalah hak suami, bukan hak budak. Dan jika dilakukan dalam hubungan dengan istrinya, maka jika istrinya adalah budak perempuan, tidak haram karena akan menjadi aib baginya jika memiliki anak yang menjadi budak.
Dan jika istrinya adalah perempuan merdeka, maka jika dengan izinnya, maka boleh karena hak hubungan itu milik keduanya. Namun jika tanpa izinnya, maka terdapat dua pendapat:
Pertama, tidak haram, karena hak istri hanya dalam kenikmatan, bukan pada pencurahan mani.
Kedua, haram, karena tindakan itu memutus keturunan tanpa ada mudarat yang menimpa suami.
فصل: وتجب على المرأة معاشرة الزوج بالمعروف من كف الأذى كما يجب عليه معاشرتها ويجب عليها بذل ما يجب له من غير مطل لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا دعا أحدكم امرأته إلى فراشه فأبت فبات وهو علها ساخط لعنتها الملائكة حتى تصبح”.
PASAL: Wajib bagi istri bergaul dengan suami secara makruf dengan menahan diri dari menyakitinya, sebagaimana suami juga wajib bergaul dengannya. Dan wajib atasnya memberikan hak suami tanpa menunda-nunda, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu ia menolak, kemudian suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka para malaikat melaknatnya hingga pagi.”
فصل: ولا يجب عليها خدمته في الخبز والطحن والطبخ والغسل وغيرها من الخدم لأن المعقود عليها من جهتها هو الاستمتاع فلا يلزمها ما سواه.
PASAL
Tidak wajib atas istri untuk melayani suami dalam hal membuat roti, menggiling, memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah lainnya, karena yang menjadi objek akad dari pihak istri adalah untuk dinikmati (dalam hubungan suami istri), maka tidak wajib atasnya selain dari itu.
فصل: وإن كان له امرأتان أو أكثر فله أن يقسم لهن لأن النبي صلى الله عليه وسلم قسم لنسائه ولا يجب عليه ذلك لأن القسم لحقه فجاز له تركه وإذا أراد أن يقسم لم يجز أن يبدأ بواحدة منهن من غير رضى البواقي إلى بقرعة لما روى أبو هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من كانت له امرأتان يميل إلى إحداهما على الأخرى جاء يوم القيامة وأحد شقيه ساقط” ولأن البداءة بإحداهما من غير قرعة تدعو إلى النفور وإذا قسم الواحدة بالقرعة أو من غير قرعة لزمه القضاء للبواقي لأنه إذا لم يقضي مال فدخل في الوعيد.
PASAL: Jika seorang laki-laki memiliki dua istri atau lebih, maka ia boleh membagi giliran di antara mereka, karena Nabi SAW membagi giliran untuk istri-istrinya. Namun, hal itu tidak wajib atasnya, karena pembagian giliran adalah haknya, maka ia boleh meninggalkannya. Apabila ia ingin membagi giliran, tidak boleh memulai dengan salah satu dari mereka tanpa kerelaan yang lain, kecuali dengan cara undian, berdasarkan riwayat dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memiliki dua istri lalu condong kepada salah satunya atas yang lain, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan salah satu sisi tubuhnya miring.” Karena memulai dengan salah satunya tanpa undian akan menimbulkan rasa tidak suka. Jika ia memberi giliran kepada salah satu istri dengan undian atau tanpa undian, maka ia wajib mengganti kepada yang lainnya, karena jika tidak menggantinya maka ia termasuk dalam ancaman tersebut.
فصل: ويقسم المريض والمجبوب لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقسم في مرضه لأن القسم يراد للأنس وذلك يحصل مع المرض والجب وإذا كان مجبوباً لا يخاف منه طاف به الولي على نسائه لأنه يحصل لها به الأنس ويقسم للحائض والمريضة والنفساء والمحرمة والمظاهر منها والمولى منها لأن القصد من القسم الإيواء والأنس وذلك يحصل مع هؤلاء وإن كانت مجنونة لا يخاف منها قسم لها لأنه يحصل لها الأنس وإن كان يخاف منها لم يقسم لها لأنها لا تصلح للأنس.
PASAL
Suami yang sakit dan yang terputus alat kelaminnya (majbūb) tetap wajib membagi giliran (tempat dan waktu), karena Nabi SAW membagi giliran di masa sakitnya. Pembagian ini dimaksudkan untuk memberi rasa nyaman (uns) dan hal itu tetap dapat terwujud meskipun dalam kondisi sakit atau majbūb.
Jika ia majbūb dan tidak dikhawatirkan dari dirinya, maka walinya memutarkan giliran ke para istrinya, karena dengan hal itu mereka mendapatkan rasa nyaman. Ia juga tetap membagi giliran kepada istri yang sedang haid, sakit, nifas, ihram, muẓāharah, dan yang dalam status mūlā‘ah, karena tujuan dari pembagian giliran adalah perlindungan dan rasa nyaman, dan hal itu tetap dapat tercapai bersama mereka.
Jika istrinya adalah seorang yang gila dan tidak membahayakan, maka tetap dibagi giliran karena ia tetap bisa merasakan kenyamanan. Namun jika dikhawatirkan darinya (karena gangguan jiwanya), maka tidak perlu dibagi giliran karena ia tidak layak untuk mendapatkan kenyamanan.
فصل: وإن سافرت المرأة بغير إذن الزوج سقط حقها من القسم والنفقة لأن القسم للأنس والنفقة للتمكين من الاستمتاع وقد منعت ذلك بالسفر وإن سافرت بإذنه ففيه قولان: أحدهما لا يسقط لأنها سافرت بإذنه فأشبه إذا سافرت معه والثاني لا يسقط لأن القسم للأنس والنفقة للتمكين من الاستمتاع وقد عدم الجميع فسقط ما تعلق به كالثمن لما وجب في مقابلة المبيع سقط بعدمه.
PASAL: Jika istri bepergian tanpa izin suami, maka gugur haknya atas giliran dan nafkah, karena giliran itu untuk mendapatkan kebersamaan, dan nafkah itu sebagai imbalan atas kemampuannya untuk memberikan kenikmatan, sementara ia telah menghalangi hal tersebut dengan bepergian. Namun jika ia bepergian dengan izinnya, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak gugur haknya karena ia bepergian dengan izin suaminya, maka hal itu seperti jika ia bepergian bersamanya; kedua, gugur haknya karena giliran untuk kebersamaan dan nafkah untuk kenikmatan, sementara keduanya tidak ada, maka gugurlah hak yang terkait dengannya, sebagaimana harga yang wajib karena adanya barang jual, maka gugur dengan ketiadaannya.
فصل: وإن اجتمع عنده وأمة قسم للحرة ليلتين وللأمة ليلة لما روي عن علي كرم الله وجهه أنه قال: من نكح حرة على أمة فللحرة ليلتان وللأمة ليلة والحق في قسم الأمة لها دون المولى لأنه يراد لحظها فلم يكن للمولى فيه حق فإن قسم للحرة ليلتين ثم أعتق الأمة فإن كان بعدها أوفاها حقها استأنف القسم لها لأنهما تساويا بعد انقضاء القسم وإن كان قبل أن يوفيها حقها أقام عندها ليلتين لأنه لم يوفها حقها حتى صارت مساوية للحرة فوجب التسوي بينهما وإن قسم للأمة ثم أعتقت فإن كان بعدما أوفى للحرة حقها سوى بينهما وإن كان قبل أن يوفي الحرة حقها لم يزد على ليلة لأنهما تساويا فوجب التسوية بينهما.
PASAL
Jika seorang suami memiliki istri merdeka dan seorang amah, maka ia membagi giliran dua malam untuk istri merdeka dan satu malam untuk amah, berdasarkan riwayat dari ‘Alī karamallāhu wajhah bahwa ia berkata: “Barang siapa menikahi perempuan merdeka bersama seorang amah, maka untuk yang merdeka dua malam dan untuk amah satu malam.”
Hak dalam pembagian giliran bagi amah adalah miliknya sendiri, bukan milik tuannya, karena pembagian itu dimaksudkan untuk kepentingannya, maka tuannya tidak memiliki hak di dalamnya.
Jika suami telah membagi dua malam untuk istri merdeka lalu memerdekakan amah, maka:
- Jika pemerdekaan dilakukan setelahnya, maka ia memulai kembali pembagian untuk amah, karena setelah masa giliran selesai, keduanya telah setara.
- Namun jika pemerdekaan dilakukan sebelum amah mendapatkan bagiannya, maka suami tinggal bersamanya dua malam, karena amah belum menerima haknya hingga ia menjadi setara dengan istri merdeka, maka wajib menyamakan di antara keduanya.
Jika giliran diberikan lebih dulu kepada amah, lalu ia dimerdekakan:
- Jika setelah istri merdeka mendapatkan haknya, maka keduanya diperlakukan sama.
- Namun jika sebelum istri merdeka mendapatkan bagiannya, maka tidak ditambah lebih dari satu malam, karena keduanya telah setara, maka wajib disamakan.
فصل: وعماد القسم الليل لقوله عز وجل: {وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاساً} قيل في التفسير الإيواء إلى المساكن ولأن النهار للمعيشة والليل للسكون ولهذا قال الله تعالى: {أَلَمْ يَرَوْا أَنَّا جَعَلْنَا اللَّيْلَ لِيَسْكُنُوا فِيهِ} فإن كانت معيشته بالليل فعماد قسمه النهار لأن نهاره كليل غيره والأولى أن يقسم ليله ليله اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم ولأن ذلك أقرب إلى التسوية في إيفاء الحقوق فإن قسم ليلتين أو ثلاثة جاز لأنه في حد القليل وإن زاد على الثلاث لا يجوز من غير رضاهن لأن فيه تغريراً بحقوقهن
PASAL: Pokok pembagian giliran adalah malam hari, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian}, dikatakan dalam tafsirnya: tempat untuk bernaung di rumah-rumah. Karena siang hari untuk bekerja dan malam untuk beristirahat, sebagaimana firman Allah Ta‘ala: {Tidakkah mereka melihat bahwa Kami jadikan malam agar mereka beristirahat di dalamnya}. Maka jika pekerjaan seseorang berlangsung di malam hari, maka pokok pembagian gilirannya adalah siang hari, karena siangnya seperti malam bagi orang lain. Namun yang lebih utama adalah membagi malam demi malam, mengikuti teladan Rasulullah SAW, dan karena hal itu lebih mendekati keadilan dalam menunaikan hak-hak. Jika ia membagi dua malam atau tiga malam, maka boleh karena masih tergolong sedikit. Namun jika melebihi tiga malam maka tidak boleh tanpa kerelaan mereka, karena hal itu mengandung risiko menghilangkan hak-hak mereka.
فإن فعل ذلك لزمه القضاء للبواقي لأنه إذا قضى ما قسم بحق فلأن يقضي ما قسم بغير حق أولى وإذا قسم لها ليلة كان لها الليلة وما يليها من النهار لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم لكل امرأة يومها وليلتها غير أن سودة وهبت ليلتها لعائشة تبتغي بذلك رضى رسول الله صلى الله عليه وسلم وروى عن عائشة رضي الله عنها قالت: توفي رسول الله في بيتي وفي يومي وبين سحري ونحري وجمع الله بين ريقي وريقه.
Jika ia melakukan hal itu, maka wajib mengganti giliran kepada istri-istri lainnya, karena jika ia wajib mengganti pembagian yang dilakukan dengan hak, maka mengganti pembagian yang dilakukan tanpa hak itu lebih utama. Jika ia membagi giliran satu malam kepada seorang istri, maka istri tersebut berhak atas malam itu dan siang setelahnya, berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW membagi giliran untuk setiap istri, siangnya dan malamnya, kecuali Saudah, ia menghadiahkan malam gilirannya kepada ‘Aisyah demi mencari keridhaan Rasulullah SAW.” Dan diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hariku, di antara dada dan leherku, dan Allah menggabungkan antara ludahku dan ludah beliau.”
فصل: والأولى أن يطوف إلى نسائه في منازلهن اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم ولأن ذلك أحسن في العشرة وأصون لهن وله أن يقيم في موضع ويستدعي واحدة واحدة لأن المرأة تابعة للزوج في المكان ولهذا يجوز أن ينقلها إلى حيث شاء وإن كان محبوساً في موضع فإن أمكن حضورها فيه لم يسقط حقها من القسم لأنه يصلح للقسم فصار كالمنزل وإن لم يمكن حضورها فيه سقط القسم لأنه تعذر الاجتماع لعذر وإن كانت له امرأتان في بلدين فأقام في بلد إحداهما فإن لم يقم معها في منزل لم يلزمه القضاء بالمقام في بلد الأخرى لأن المقام في البلد معها ليس بقسم وإن أقام معها في منزلها لزمه القضاء للأخرى لأن القسم لا يسقط باختلاف البلاد كما لا يسقط باختلاف المحال.
PASAL: Dan yang lebih utama adalah ia mendatangi istri-istrinya di rumah mereka, meneladani Rasulullah SAW, karena hal itu lebih baik dalam pergaulan dan lebih menjaga mereka. Namun ia boleh menetap di suatu tempat dan memanggil istri-istrinya satu per satu, karena istri mengikuti suami dalam tempat tinggal. Oleh karena itu, ia boleh memindahkan istri ke tempat mana pun yang ia kehendaki.
Jika ia ditahan di suatu tempat, maka jika memungkinkan istrinya hadir di tempat itu, maka hak pembagian tidak gugur karena tempat itu layak dijadikan tempat pembagian, sehingga kedudukannya seperti rumah tinggal. Namun jika tidak memungkinkan kehadiran istrinya di tempat tersebut, maka gugurlah pembagian karena pertemuan terhalang oleh uzur.
Jika ia memiliki dua istri di dua negeri yang berbeda lalu ia menetap di salah satu negeri tempat salah satu istrinya berada, maka jika ia tidak tinggal bersama istri itu di rumahnya, tidak wajib baginya mengqadha’ (pembagian) di negeri istri yang lain, karena menetap di negerinya tidak termasuk pembagian. Namun jika ia tinggal bersama istri tersebut di rumahnya, maka wajib baginya mengqadha’ untuk istri yang lain, karena hak pembagian tidak gugur hanya karena perbedaan negeri, sebagaimana tidak gugur karena perbedaan tempat.
فصل: ويستحب لمن قسم أن يسوي بينهن في الاستمتاع لأنه أكمل في العدل فإن لم يفعل جاز لأن الداعي إلى الاستمتاع الشهوة والمحبة ويمكن التسوية بينهن في ذلك ولهذا قال الله عز وجل: {وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ} قال ابن عباس رضي الله عنه: تعني في الحب والجماع وقالت عائشة رضي الله عنها: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقسم بين نسائه ثم يقول: “اللهم هذا قسمي فيما أملك فلا تلمني فيما تملكه ولا أملكه”.
PASAL: Dianjurkan bagi siapa yang membagi giliran untuk berlaku adil di antara para istri dalam hal bersenang-senang, karena itu lebih sempurna dalam keadilan. Namun jika tidak melakukannya, maka tetap diperbolehkan, karena dorongan untuk bersenang-senang adalah syahwat dan cinta, dan tidak mungkin menyamakan keduanya. Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: {Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara para istri, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian}. Ibnu ‘Abbas RA berkata: maksudnya adalah dalam cinta dan jima‘. Dan ‘Aisyah RA berkata: “Rasulullah SAW membagi giliran di antara istri-istrinya, kemudian beliau berdoa: ‘Ya Allah, inilah bagianku dalam hal yang aku kuasai, maka janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang Engkau kuasai dan aku tidak kuasai’.”
فصل: ولا يجوز أن يخرج في ليلتها من عندها فإن مرض غيرها من النساء وخاف أن يموت وأكرهه السلطان جاز أن يخرج لأنه موضع ضرورة وعليه القضاء كما يترك الصلاة إذا أكره إلى تركها وعليه القضاء والأولى أن يقضيها في الوقت الذي خرج لأنه أعدل وإن خرج في آخر الليل وقضاه في أوله جاز لأن الجميع مقصود في القسم فإن دخل على غيرها بالليل فوطئها ثم عاد ففيه ثلاثة أوجه: أحدها يلزمه القضاء بليلة لأن الجماع معظم المقصود والثاني يدخل عليها في ليلة الموطوءة فيطؤها لأنه أقرب إلى التسوية والثالث أنه لا يقضيها بشيء لأن الوطء غير مستحق في القسم وقدره من الزمان لا ينضبط فسقط ويجوز أن يخرج في نهارها للمعيشة ويدخل إلى غيرها ليأخذ شيئاً أو يترك شيئاً ولا يطيل فإن أطال لزمه القضاء لأنه ترك الإيواء المقصود وإن دخل إلى غيرها في حاجه فقبلها جاز
PASAL: Tidak boleh suami keluar dari rumah istri pada malam gilirannya. Namun jika istri yang lain sakit dan dikhawatirkan meninggal dunia, atau jika ia dipaksa keluar oleh penguasa, maka boleh baginya keluar karena itu termasuk kondisi darurat, dan ia wajib mengganti (malam tersebut), sebagaimana orang yang meninggalkan salat karena dipaksa tetap wajib mengqadhanya. Yang lebih utama adalah mengganti di waktu ia keluar karena itu lebih adil. Jika ia keluar di akhir malam lalu menggantinya di awal malam, maka itu dibolehkan karena seluruh waktu malam masuk dalam kategori pembagian giliran.
Jika ia masuk ke rumah istri lain di malam hari lalu menyetubuhinya, kemudian kembali (ke istri pemilik malam giliran), maka terdapat tiga pendapat: pertama, ia wajib mengganti satu malam karena jima‘ adalah tujuan utama; kedua, ia masuk kepada istri yang telah digauli pada malam tersebut lalu menyetubuhinya juga karena itu lebih mendekati keadilan; ketiga, ia tidak wajib mengganti apapun karena jima‘ bukan hak yang dituntut dalam pembagian giliran, dan waktunya tidak bisa ditentukan secara pasti, maka tidak ada kewajiban qadha.
Boleh baginya keluar di siang hari giliran istrinya untuk mencari penghidupan atau masuk ke rumah istri lain guna mengambil atau meninggalkan sesuatu, tetapi tidak boleh berlama-lama. Jika ia berlama-lama, maka ia wajib mengganti karena ia telah meninggalkan bentuk kebersamaan yang menjadi tujuan giliran. Jika ia masuk ke rumah istri lain untuk suatu kebutuhan lalu menciumnya, maka itu dibolehkan.
لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: ما كان يوم أو أقل يوم إلا كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يطوف علينا جميعاً ويقبل ويلمس فإذا جاء إلى التي هو يومها أقام عندها ولا يجوز أن يطأها لأنه معظم المقصود فلا يجوز في قسم غيرها فإن وطئها وانصرف ففيه وجهان: أحدهما أنه يلزمه أن يخرج في نهار الموطوءة ويطأها لأنه هو العدل والثاني لا يلزمه شيء لأن الوطء غير مستحق وقدره من الزمان لا ينضبط فسقط وإن كان عنده امرأتان فقسم لإحداهما مدة ثم طلق الأخرى قبل أن يقضيها ثم تزوجها لزمه قضاء حقه لأنه حق تأخر القضاء لعذر وقد زال فوجب كما لو كان عليه دين فأعسر ثم أيسر.
Berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah RA, ia berkata: “Tidak ada satu hari pun — atau hari yang paling sedikit sekalipun — melainkan Rasulullah SAW mendatangi kami semua, mencium dan menyentuh, lalu ketika beliau sampai pada istri yang mendapat giliran hari itu, beliau bermalam di sisinya.” Maka tidak boleh menyetubuhi istri yang bukan pada malam gilirannya, karena jima‘ adalah tujuan utama, sehingga tidak diperbolehkan dalam giliran milik istri lainnya. Jika ia menyetubuhinya lalu pergi, maka terdapat dua pendapat: pertama, ia wajib keluar pada siang hari dari rumah istri yang digauli dan menyetubuhinya, karena itu lebih adil; kedua, tidak wajib baginya apa pun, karena jima‘ bukan hak yang dituntut dalam pembagian giliran dan waktunya tidak bisa ditentukan secara pasti, maka gugurlah kewajiban mengganti.
Jika seorang laki-laki memiliki dua istri lalu ia membagi giliran untuk salah satunya dalam jangka waktu tertentu, kemudian ia menceraikan istri yang lain sebelum sempat mengganti malam gilirannya, lalu ia menikahinya kembali, maka wajib baginya mengganti malam giliran yang tertunda. Karena itu adalah hak yang penunaianya tertunda karena ada uzur, dan ketika uzur itu telah hilang, maka wajib ditunaikan, sebagaimana orang yang memiliki utang lalu jatuh miskin, kemudian menjadi mampu.
فصل: وإن تزوج امرأة وعنده امرأتان أو ثلاث قطع الدور للجديدة فإن كانت بكراً أقام عندها سبعاً لما روى أبو قلابة عن أنس رضي الله عنه قال: من السنة أن يقيم عند البكر مع الثيب سبعاً قال أنس: ولو شئت أن أرفعه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم لرفعت وإن كانت ثيباً أقام عندها ثلاثاً أو سبعا لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوج أم سلمة رضي الله عنها وقال: “إن شئت سبعت عندك وسبعت عندهن وإن شئت ثلثت عندك ودرت” فإن أقام عند البكر سبعاً لم يقض للباقيات شيئاً وإن أقام عند الثيب ثلاثاً لم يقض فإن أقام سبعاً ففيه وجهان: أحدهما يقضي السبع لقوله صلى الله عليه وسلم: “إن شئت سبعت عندك وسبعت عندهن”
PASAL: Jika seseorang menikahi seorang perempuan, sedangkan ia telah memiliki dua atau tiga istri, maka ia memulai giliran dari istri yang baru. Jika istri baru tersebut adalah seorang bikr, maka ia tinggal bersamanya selama tujuh malam, berdasarkan riwayat dari Abu Qilābah dari Anas RA, bahwa ia berkata: Termasuk sunnah adalah tinggal bersama bikr selama tujuh malam dan tsayyib selama tiga malam. Anas berkata: Seandainya aku mau meriwayatkannya marfū‘ kepada Rasulullah SAW, niscaya aku akan meriwayatkannya.
Jika istri baru tersebut adalah tsayyib, maka suami tinggal bersamanya selama tiga atau tujuh malam, berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW menikahi Ummu Salamah RA, lalu beliau bersabda: “Jika engkau menghendaki, aku akan tinggal bersamamu selama tujuh malam dan tujuh malam pula bersama mereka, dan jika engkau menghendaki, aku tinggal bersamamu selama tiga malam lalu aku berputar (bergilir).”
Jika ia tinggal bersama bikr selama tujuh malam, maka tidak wajib mengganti giliran istri-istri yang lain. Jika ia tinggal bersama tsayyib selama tiga malam, maka juga tidak wajib mengganti. Namun jika ia tinggal selama tujuh malam (dengan tsayyib), maka terdapat dua pendapat: salah satunya adalah wajib mengganti tujuh malam, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Jika engkau menghendaki, aku akan tinggal bersamamu selama tujuh malam dan tujuh malam pula bersama mereka.”
والثاني يقضي ما زاد على الثلاث لأن الثلاث مستحقة لها فلا يلزمه قضاؤها وإن تزوج العبد أمة وعنده امرأة قضى للجديدة حق العقد وفي قدره وجهان: قال أبو علي بن أبي هريرة: هي على النصف كما قلنا في القسم الدائم وقال أبو إسحاق هي كالحرة لأن قسم العقد للزوج فلم يختلف برقها وحريتها بخلاف القسم الدائم لأنه حق لها فاختلف برقها وحريتها وإن تزوج رجل امرأتين وزفتا إليه في وقت واحد أقرع بينهما لتقديم حق العقد كما يقرع للتقديم في القسم الدائم.
Dan pendapat kedua: ia mengganti apa yang lebih dari tiga malam, karena tiga malam adalah hak yang memang dimiliki oleh istri tersebut, maka tidak wajib menggantinya.
Jika seorang budak menikahi seorang amah, sedangkan ia telah memiliki seorang istri, maka ia memberikan hak malam pertama kepada istri yang baru. Dalam penentuan jumlah malamnya terdapat dua pendapat: Abu ‘Ali bin Abī Hurairah berpendapat: malamnya adalah setengah, sebagaimana telah kami sebutkan dalam pembagian giliran secara tetap (qasm dā’im). Sedangkan Abū Ishāq berpendapat: sama seperti perempuan merdeka, karena bagian malam untuk akad adalah hak suami, maka tidak berbeda antara budak dan perempuan merdeka, berbeda halnya dengan pembagian giliran secara tetap, karena itu adalah hak istri, maka berbeda antara budak dan perempuan merdeka.
Jika seorang laki-laki menikahi dua orang wanita dan keduanya diarak (dizafaf) kepadanya dalam waktu yang bersamaan, maka ia melakukan undian (qur‘ah) di antara keduanya untuk menentukan siapa yang didahulukan dalam memperoleh hak malam pertama, sebagaimana diundi dalam pembagian giliran secara tetap.
فصل: وإن أراد السفر بامرأة أو امرأتين أو ثلاث أقرع بينهن فمن خرجت عليها القرعة سافر بها لما روت عائشة رضي الله عنها قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خرج أقرع بين نسائه فصارت القرعة على عائشة رضي الله عنها وحفصة رضي الله عنها فخرجتا معه جميعاً ولا يجوز أن يسافر بواحدة من غير قرعه لأن ذلك ميل وترك للعدل وإن سافر بامرأتين بالقرعة سوى بينهما في القسم كما يسوي بينهما في الحضر فإن كان في سفر طويل لم يلزمه القضاء للمقيمات لأن عائشة رضي الله عنها لم تذكر القضاء ولأن المسافرة اختصت بمشاقة السفر فاختصت بالقسم
PASAL: Jika ia ingin bepergian dengan seorang istri atau dua orang atau tiga orang, maka diundi di antara mereka. Siapa yang keluar namanya dalam undian, dialah yang diajak bepergian. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW apabila hendak keluar bepergian, beliau mengundi di antara para istrinya. Maka undian jatuh kepada ‘Aisyah RA dan Hafshah RA, lalu keduanya ikut bepergian bersama beliau. Tidak boleh bepergian hanya dengan satu istri tanpa undian karena hal itu merupakan bentuk kecenderungan dan meninggalkan keadilan. Jika bepergian dengan dua istri berdasarkan undian, maka ia menyamakan bagian di antara keduanya dalam pembagian giliran sebagaimana ia menyamakan di antara mereka saat di tempat tinggal. Jika perjalanan itu jauh, maka tidak wajib mengganti bagian untuk para istri yang tinggal karena ‘Aisyah RA tidak menyebutkan adanya penggantian, dan karena istri yang diajak bepergian mendapatkan kekhususan berupa kesulitan dalam perjalanan, maka pembagian pun khusus untuknya.
وإن كان في سفر قصير ففيه وجهان: أحدهما لا يلزمه القضاء كما لا يلزمه في السفر الطويل والثاني يلزمه لأنه في حكم الحضر وإن سافر ببعضهن بغير قرعة لزمه القضاء للمقيمات لأنه قسم بغير قرعة فلزمه القضاء كما لو سافر ببعضهن بغير قرعة لزمه القضاء للمقيمات لأنه قسم بغير قرعة فلزمه القضاء كما لو قسم لها في الحضر وإن سافر بامرأة بقرعة إلى بلد ثم عن له سفر إلى بلد أبعد يلزمه القضاء لأنه سفر واحدة وقد أقرع له وإن سافر بامرأة بالقرعة وانقضى سفره ثم أقام معها مدة لزمه أن يقضي المدة التي أقام معها بعد انقضاء السفر لأن القرعة إنما تسقط القضاء في قسم السفر
Dan jika perjalanannya pendek, maka terdapat dua pendapat: yang pertama, tidak wajib mengganti giliran sebagaimana dalam perjalanan jauh; dan yang kedua, wajib mengganti karena hukumnya seperti dalam keadaan mukim. Jika ia bepergian dengan sebagian dari istri-istrinya tanpa undian, maka wajib mengganti giliran untuk para istri yang tinggal, karena itu merupakan pembagian tanpa undian, sehingga wajib mengganti sebagaimana jika ia membagi di rumah tanpa undian. Dan jika ia bepergian dengan seorang istri berdasarkan undian ke suatu negeri, kemudian muncul keinginan untuk melanjutkan perjalanan ke negeri yang lebih jauh, maka wajib mengganti karena itu merupakan perjalanan tersendiri dan undian hanya berlaku untuk perjalanan pertama. Jika ia bepergian dengan seorang istri berdasarkan undian dan perjalanannya selesai, lalu ia tinggal bersamanya dalam waktu tertentu, maka wajib mengganti waktu yang ia tinggal bersama istri tersebut setelah perjalanan selesai, karena undian hanya menggugurkan kewajiban mengganti dalam bagian perjalanan saja.
وإن كان عنده امرأتان ثم تزوج بامرأتين وزفتا إليه في وقت واحد لزمه أن يقسم لهما حق العقد ولا يقدم إحداهما بغير القرعة فإن أراد السفر قبل أن يقسم لهما أقرع بين الجميع فإن خرجت القرعة لإحدى القديمتين سافر بها فإذا قدم قضى حق العقد للجديدتين وإن خرجت القرعة لإحدى الجديدتين سافر بها ويدخل حق العقد في قسم السفر لأن القصد من قسم العقد الألفة والاستمتاع وقد حصل ذلك وهل يلزمه أن يقضي للجديدة الأخرى حق العقد فيه وجهان: أحدهما لا يلزمه كما لا يلزمه في القسم الدائم والثاني وهو قول أبي إسحاق لأنه سافر بها بعد ما استحقت الأخرى حق العقد فلزمه القضاء كما لو كان عنده أربع نسوة فقسم للثلاث ثم سافر بغير الرابعة بالقرعة قبل قضاء حق الرابعة.
Dan jika ia memiliki dua istri, lalu menikahi dua istri lagi dan keduanya diserahkan kepadanya dalam waktu yang sama, maka ia wajib membagi untuk keduanya bagian hak akad, dan tidak boleh mendahulukan salah satunya tanpa undian. Jika ia ingin bepergian sebelum membagi untuk keduanya, maka ia mengundi di antara semua istri. Jika undian jatuh kepada salah satu dari dua istri yang lama, maka ia bepergian dengannya, dan ketika kembali ia wajib mengganti hak akad bagi dua istri yang baru. Jika undian jatuh kepada salah satu dari dua istri yang baru, maka ia bepergian dengannya, dan hak akad masuk dalam bagian safar, karena tujuan dari bagian akad adalah untuk membangun kedekatan dan menikmati, dan hal itu telah tercapai.
Adapun apakah ia wajib mengganti bagian hak akad untuk istri baru yang tidak ikut bepergian, maka terdapat dua pendapat: pertama, tidak wajib mengganti sebagaimana tidak wajib dalam pembagian tetap (dalam kondisi mukim); dan yang kedua, yaitu pendapat Abū Isḥāq, wajib mengganti, karena ia bepergian dengan istri yang satu setelah istri yang lain telah berhak atas bagian akad, maka wajib mengganti sebagaimana jika ia memiliki empat istri, lalu ia membagi kepada tiga, kemudian bepergian dengan salah satu dari tiga istri tersebut berdasarkan undian sebelum mengganti hak milik istri keempat.
فصل: ويجوز للمرأة أن تهب ليلتها لبعض ضرائرها لما روت عائشة رضي الله عنها أن سودة وهبت يومها وليلتها لعائشة رضي الله عنها تبتغي بذلك مرضاة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا يجوز ذلك إلا برضا الزوج لأن حقه ثابت في استمتاعها فلا تملك نقله إلى غيرها من غير رضاه ويجوز من غير رضى الموهوب لأنه زيادة في حقها ومتى تقسم لها الليلة الموهوبة وجهان: أحدهما تضم إلى ليلتها لأنه اجتمع لها ليلتان فلم يفرق بينهما
PASAL: Boleh bagi seorang perempuan untuk menghibahkan malam gilirannya kepada sebagian dari madunya, berdasarkan riwayat dari ‘Aisyah RA bahwa Saudah telah menghibahkan harinya dan malamnya kepada ‘Aisyah RA karena mengharapkan keridaan Rasulullah SAW. Namun, hal itu tidak diperbolehkan kecuali dengan keridaan suami, karena hak suami tetap ada dalam hal menikmati istrinya, sehingga ia (istri) tidak memiliki hak untuk memindahkannya kepada selainnya tanpa keridaannya (suami). Dan boleh dilakukan tanpa keridaan yang diberi hibah, karena itu merupakan tambahan bagi haknya. Kapan malam yang dihibahkan itu dibagikan kepadanya, terdapat dua wajah pendapat: yang pertama, malam tersebut digabungkan dengan malam gilirannya sendiri, karena telah berkumpul dua malam baginya maka tidak dipisahkan antara keduanya.
والثاني تقسم لها في الليلة التي كانت للواهبة لأنها قائمة مقامها فقسم لها في ليلتها ويجوز أن تهب ليلتها للزوج لأن الحق بينهما فإن تركت حقها صار للزوج ثم يجعلها الزوج لمن شاء من نسائه ويجوز أن تهب ليليها لجميع ضرائرها فإن كن ثلاث صار القسم أثلاثاً بين الثلاث وإن وهبت ليلتها ثم رجعت لا يصح الرجوع فيما مضى لأنه هبة اتصل بها القبض ويصح في المستقبل لأنها هبه لم يتصل بها القبض.
Dan pendapat kedua: dibagi giliran untuknya pada malam yang dahulu milik istri yang melepaskan gilirannya, karena ia menggantikan posisinya, maka dibagi untuknya pada malam miliknya. Dan boleh bagi seorang istri untuk menghadiahkan malam gilirannya kepada suami, karena hak itu berada di antara keduanya. Jika ia melepaskan haknya, maka hak itu menjadi milik suami, lalu suami boleh memberikannya kepada siapa saja dari istri-istrinya yang dia kehendaki. Dan boleh baginya untuk menghadiahkan malam-malam gilirannya kepada seluruh madu-madunya. Jika mereka ada tiga, maka pembagian menjadi sepertiga di antara ketiga istri itu. Dan jika ia telah menghadiahkan malam gilirannya, lalu menarik kembali pemberiannya, maka tidak sah penarikan untuk malam-malam yang telah lalu, karena itu merupakan hibah yang telah disertai dengan penerimaan. Namun sah penarikan untuk malam-malam yang akan datang, karena hibahnya belum disertai dengan penerimaan.
فصل: وإن كان له إماء لم يكن لهن حق القسم فإن بات عند بعضهن لم يلمه أن يقضي للباقيات لأنه لا حق لهن في استمتاع السيد ولهذا يجوز لهن مطالبته بالفيئة إذا حلف ألا يطأهن ولا خيار له بحبه وتعنينه والمستحب أن لا يعطلهن لأنه إذا عطلهن لم يأمن أن يفجرن وإن كان عنده زوجات وإماء فأقام عند الإماء لم يلزمه القضاء للزوجات لأن القضاء يجب بقسم مستحق وقسم الإماء غير مستحق فلم يجب قضاؤه كما لو بات عند صديق له.
PASAL: Jika seseorang memiliki para amah, maka mereka tidak memiliki hak atas giliran malam. Jika ia bermalam di salah satu dari mereka, maka tidak disunahkan baginya untuk mengganti giliran bagi yang lain, karena mereka tidak memiliki hak dalam hal disetubuhi oleh tuannya. Oleh karena itu, mereka tidak berhak menuntut fay’ah jika ia bersumpah tidak akan menyetubuhi mereka, dan tidak ada pilihan bagi mereka karena cinta atau karena telah tua. Yang disunahkan adalah tidak membiarkan mereka terlantar, karena jika mereka ditelantarkan dikhawatirkan akan terjerumus dalam perzinaan. Jika ia memiliki istri-istri dan amah, lalu ia bermalam di tempat para amah, maka ia tidak wajib mengganti giliran malam untuk istri-istrinya, karena kewajiban mengganti itu hanya berlaku pada bagian yang memang wajib dibagi, sedangkan bagian amah bukan bagian yang wajib, maka tidak wajib menggantinya sebagaimana jika ia bermalam di rumah seorang sahabatnya.
باب النشوز
إذا ظهرت من المرأة أمارات النشوز وعظها لقوله تعالى: {وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ} ولا يضربها لأنه يجوز أن يكون ما ظهر منه لضيق صدر من غير جهة الزوج وإن تكرر منها النشوز فله أن يضربها لقوله عز وجل: {وَاضْرِبُوهُنَّ} وإن نشزت مرة فيه قولان: أحدهما أنه يهجرها ولا يضربها لأن العقوبات تختلف باختلاف الجرائم ولهذا ما يستحق بالنشوز لا يستحق بخوف النشوز فكذلك ما يستحق بتكرر النشوز لا يستحق بنشوز مرة
PASAL: Tentang Nusyūz
Jika tampak dari istri tanda-tanda nusyūz, maka hendaklah suami menasihatinya, berdasarkan firman Allah Ta‘ālā: {wal-lātī takhāfūna nusyūzahunna fa‘izhūhunna}. Dan tidak boleh langsung memukulnya, karena bisa jadi yang tampak darinya itu disebabkan karena sempitnya hati, bukan karena suami.
Namun jika nusyūz itu berulang darinya, maka suami boleh memukulnya, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla: {waḍribūhunna}.
Jika ia nusyūz sekali, maka terdapat dua pendapat. Pendapat pertama: suami hendaknya mengasingkannya (hajr) dan tidak memukulnya, karena hukuman itu berbeda-beda sesuai jenis pelanggaran. Oleh karena itu, sebagaimana hak yang timbul karena nusyūz tidak sama dengan yang timbul karena kekhawatiran akan nusyūz, maka begitu pula apa yang pantas diberikan akibat nusyūz berulang tidak sama dengan nusyūz satu kali.
والثاني وهو صحيح أن يهجرها وبضربها لأنه يجوز أن يهجرها للنشوز فجاز أن يضربها كما لو تكرر منها فأما الوعظ فهو أن يخوفها بالله عز وجل وبما يلحقها من الضرر بسقوط نفقتها وأما الهجران فهو أن يهجرها في الفراش لما روي عن ابن عباس رضي الله عنه أنه قال في قوله عز وجل: {وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ} قال لا تضاجعها في فراشك وأما الهجران بالكلام فلا يجوز أكثر من ثلاثة أيام لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “لا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام” وأما الضرب فهو أن يضربها ضرباً غير مبرح ويتجنب المواضع المخوفة والمواضع المستحسنة
dan pendapat kedua—dan ini yang ṣaḥīḥ—bahwa suami boleh mengasingkannya (hajr) dan memukulnya, karena sebagaimana dibolehkan mengasingkannya karena nusyūz, maka dibolehkan pula memukulnya, sebagaimana jika nusyūz itu terjadi berulang.
Adapun wa‘ẓ (nasihat) adalah dengan menakut-nakutinya dengan (azab) Allah ‘Azza wa Jalla dan akibat buruk yang menimpanya berupa gugurnya nafkah.
Adapun hajr (pengasingan) adalah dengan mengasingkannya di tempat tidur, berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Abbās RA bahwa ia berkata tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla: {wahjurūhunna fī al-maḍāji‘}, maksudnya: “jangan engkau tidur bersamanya di tempat tidurmu.”
Adapun pengasingan dalam ucapan, maka tidak boleh lebih dari tiga hari, berdasarkan riwayat dari Abū Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak halal bagi seorang Muslim mengasingkan saudaranya lebih dari tiga hari.”
Adapun pukulan, maka yang dibolehkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ḍarb ghayr mubarriḥ), dan hendaknya menghindari bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan bagian yang bagus (tidak layak dipukul).
لما روى جابر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “اتقوا الله في النساء فإنكم أخذتموهن بكتاب الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله وإن لكم عليهن أن لا يوطئن فرشكم أحداً تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضرب غير مبرح” ولأن القصد التأديب دون الإتلاف والتشويه.
Karena telah diriwayatkan dari Jābir RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dalam (urusan) perempuan, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan kitab Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan sungguh kalian memiliki hak atas mereka agar tidak memasukkan seseorang yang kalian benci ke atas tempat tidur kalian. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan.”
Dan karena tujuan dari (pukulan itu) adalah untuk mendidik, bukan untuk melukai atau mencacatkan.
فصل: وإن ظهرت من الرجل أمارات النشوز لمرض بها أو كبر سن ورأت أن تصالحه بترك بعض حقوقها من قسم وغيره جاز لقوله عز وجل: {وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلا جُنَاحَ عَلَيهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً} [النساء: 128] وقالت عائشة رضي الله عنها: أنزل الله عز وجل هذه الآية في المرأة إذا دخلت في السن فتعجل يومها لامرأة أخرى فإن ادعى كل واحد منهما النشوز على الآخر أسكنهما الحاكم إلى جنب ثقة ليعرف الظالم منهما فيمنع من الظلم فإن بلغا إلى الشتم والضرب بعث الحاكم حكمين للإصلاح أو التفريق لقوله عز وجل: {وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحاً يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا} [النساء: 35]
PASAL: Apabila tampak dari pihak laki-laki tanda-tanda nusyūz karena sakit atau lanjut usia, lalu sang istri melihat bahwa ia dapat berdamai dengannya dengan meninggalkan sebagian haknya seperti hak giliran dan lainnya, maka hal itu boleh, berdasarkan firman Allah SWT: {Wa in imra’atun khāfat min ba‘lihā nusyūzan aw i‘rāḍan fa-lā junāḥa ‘alay-himā an yuṣliḥā bayna-humā ṣulḥan} [an-Nisā’: 128]. Dan Aisyah RA berkata: Allah SWT menurunkan ayat ini tentang seorang wanita yang telah lanjut usia lalu ia menyerahkan harinya kepada wanita lain.
Apabila masing-masing dari keduanya saling menuduh satu sama lain telah nusyūz, maka hakim menempatkan keduanya di samping orang yang terpercaya agar ia mengetahui siapa yang zalim di antara keduanya lalu mencegahnya dari berbuat zalim.
Apabila sampai pada tingkat saling mencaci dan memukul, maka hakim mengutus dua orang penengah untuk memperbaiki atau memisahkan keduanya, berdasarkan firman Allah SWT: {Wa in khiftum syiqāqa bayni-himā fa-b‘atsū ḥakamam min ahlihi wa ḥakamam min ahlihā in yurīdā iṣlāḥan yuwafiqillāhu bayna-humā} [an-Nisā’: 35].
واختلف قوله في الحكمين فقال في أحد القولين: هما وكيلان فلا يملكان التفريق إلا بإذنهما لأن الطلاق إلى الزوج وبذل المال إلى الزوجة فلا يجوز إلى بإذنهما وقال في القول الآخر هما حاكمان فلهما أن يفعلا ما يريان من الجمع والتفريق بعوض وغير عوض لقوله عز وجل: {فَابْعَثُوا حَكَماً مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِنْ أَهْلِهَا} فسماهما حكمين ولم يعتبر رضا الزوجين وروى عبيدة أن علياً رضي الله عنه بعث رجلين فقال لهما: أتريان ما عليكما إن رأيتما أن تجمعا جمعتما وإن رأيتما أن تفرقا فرقتما فقال الرجل: أما هذا فلا فقال: كذبت لا والله ولا تبرح حتى ترضى بكتاب الله عز وجل لك وعليك فقالت المرأة: رضيت بكتاب الله لي وعلي ولأنه وقع الشقاق وأشتبه الظالم منهما فجاز التفريق بينهما من غير رضاهما كما لو قذفها وتلاعنا
Dan Imam asy-Syafi‘i memiliki dua pendapat tentang status dua orang penengah (ḥakamayn): pada salah satu pendapat beliau mengatakan bahwa keduanya adalah wakil, sehingga tidak berwenang melakukan pemisahan kecuali dengan izin suami dan istri, karena talak berada di tangan suami dan penyerahan harta berada di tangan istri, maka tidak boleh dilakukan kecuali dengan izin keduanya.
Sedangkan pada pendapat yang lain, beliau mengatakan bahwa keduanya adalah hakim, sehingga boleh bagi mereka melakukan apa yang mereka pandang baik berupa menyatukan atau memisahkan, baik dengan ganti rugi maupun tanpa ganti rugi, berdasarkan firman Allah SWT: {Fa-b‘atsū ḥakamam min ahlihi wa ḥakamam min ahlihā}, maka Allah menyebut keduanya sebagai ḥakamayn (dua orang yang memutuskan), tanpa mensyaratkan kerelaan dari suami-istri.
Diriwayatkan dari ‘Ubaidah bahwa ‘Alī RA pernah mengutus dua orang laki-laki dan berkata kepada keduanya: “Tahukah kalian apa tanggung jawab kalian? Jika kalian melihat keduanya bisa disatukan maka satukanlah, dan jika kalian melihat perlu dipisahkan maka pisahkanlah.” Maka salah satu dari keduanya berkata: “Adapun memisahkan, maka saya tidak mau.” Maka ‘Alī berkata: “Engkau dusta! Demi Allah, engkau tidak boleh beranjak sampai engkau ridha dengan hukum Allah atasmu dan untukmu.” Maka sang wanita berkata: “Aku ridha dengan hukum Allah untukku dan atasku.”
Karena telah terjadi perpecahan dan tidak diketahui siapa yang zalim di antara keduanya, maka boleh dipisahkan tanpa kerelaan mereka berdua, sebagaimana jika suami menuduh istrinya dan mereka melakukan li‘ān.
والمستحب أن يكون حكماً من أهله وحكماً من أهله للآية ولأنه روي أنه وقع بين عقيل بن أبي طالب وبين زوجته شقاق وكانت من بني أمية فبعث عثمان رضي الله عنه حكماً من أهله وهو ابن عباس رضي الله عنه وحكماً من أهلها وهو معاوية رضي الله عنه ولأن الحكمين من أهلهما أعرف بالحال وإن كان من غير أهلهما جاز لأنهما في أحد القولين وكيلان وفي الآخر حاكمان وفي الجميع يجوز أن يكونا من غير أهلهما ويجب أن يكونا ذكرين عدلين لأنهما في أحد القولين حاكمان وفي الآخر وكيلان إلا أنه يحتاج فيه إلى الرأي والنظر في الجمع والتفريق ولا يكمل لذلك إلا ذكران عدلان فإن قلنا إنهما حاكمان لا يجوز أن يكونا إلا فقيهين
Dan yang disunnahkan adalah agar salah satu menjadi ḥakam dari pihak laki-laki dan satu lagi dari pihak perempuan, berdasarkan ayat, dan karena telah diriwayatkan bahwa pernah terjadi perselisihan antara ‘Aqīl bin Abī Ṭālib dan istrinya, yang berasal dari Banī Umayyah, lalu ‘Utsmān RA mengutus seorang ḥakam dari pihak laki-laki yaitu Ibnu ‘Abbās RA dan seorang ḥakam dari pihak perempuan yaitu Mu‘āwiyah RA. Dan karena ḥakamayn dari pihak keluarga masing-masing lebih mengetahui keadaan.
Namun jika keduanya bukan dari pihak keluarga, maka tetap diperbolehkan, karena dalam salah satu pendapat mereka adalah wakil, dan dalam pendapat lain mereka adalah hakim, dan dalam kedua pendapat tersebut boleh berasal dari luar keluarga.
Dan wajib bahwa keduanya adalah laki-laki yang ‘adil, karena dalam salah satu pendapat mereka adalah hakim, dan dalam pendapat lain mereka adalah wakil, hanya saja dalam hal ini dibutuhkan pendapat dan pertimbangan dalam urusan menyatukan atau memisahkan, dan itu tidak sempurna kecuali pada dua orang laki-laki yang adil.
Jika kita mengatakan bahwa keduanya adalah hakim, maka tidak boleh keduanya kecuali harus faqīh.
وإن قلنا إنهما وكيلين جاز أن يكونا من العامة وإن غاب الزوجان فقلنا إنهما وكيلان نفذ تصرفهما كما ينفذ تصرف الوكيل مع غيبة الموكل وإن قلنا أنهما حاكمان لم ينفذ حكمهما لأن الحكم للغائب لا يجوز وإن جنا لم ينفذ حكم الحكمين لأنهما في أحد القولين وكيلان والوكالة تبطل بجنون الموكل وفي القول الآخر حاكمان إلا أنهما يحكمان للشقاق وبالجنون زال الشقاق.
Dan jika kita mengatakan bahwa keduanya adalah wakil, maka boleh keduanya berasal dari kalangan awam.
Apabila suami istri sedang tidak hadir, lalu kita katakan bahwa keduanya adalah wakil, maka keputusan mereka tetap sah sebagaimana sahnya tindakan seorang wakil ketika yang mewakilkan sedang tidak hadir.
Namun jika kita mengatakan bahwa keduanya adalah hakim, maka keputusan mereka tidak sah, karena penghakiman terhadap orang yang tidak hadir tidak diperbolehkan.
Dan jika salah satu dari suami istri mengalami gangguan jiwa (junūn), maka keputusan dua ḥakam tidak sah, karena menurut salah satu pendapat keduanya adalah wakil, sementara perwalian batal dengan gangguan jiwa pada pihak yang mewakilkan. Sedangkan dalam pendapat lain bahwa keduanya adalah hakim, namun mereka hanya berhak menghakimi dalam kasus perselisihan, sementara dengan adanya gangguan jiwa maka perselisihan tidak lagi ada.
إذا كرهت المرأة زوجها لقبح منظر أو سوء عشرة وخافت أن لا تؤدي حقه جاز أن تخالعه على عوض لقوله عز وجل: {فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} وروي أن جميلة بنت سهل كانت تحث ثابت بن قيس بن الشماس وكان يضربها فأتت إلى النبي صلى الله عليه وسلم وقالت: لا أنا ولا ثابت وما أعطاني فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “خذ منها فأخذ منها فقعدت في بيتها”
KITAB AL-KHUL‘
Jika seorang perempuan membenci suaminya karena buruk rupa atau buruknya pergaulan, dan ia khawatir tidak dapat menunaikan hak suaminya, maka boleh baginya melakukan khulu‘ dengan memberikan imbalan, berdasarkan firman Allah SWT: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya mengenai apa yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
Dan diriwayatkan bahwa Jamīlah bint Sahl merasa benci kepada Ṯābit bin Qays bin Syammās karena ia memukulnya. Maka ia datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Tidak ada lagi antara aku dan Ṯābit, dan aku akan kembalikan apa yang ia berikan kepadaku.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah darinya,” lalu ia pun mengambilnya dan perempuan itu tinggal di rumah keluarganya.
وإن لم تكره منه شيئاً وتراضيا على الخلع من غير سبب جاز لقوله عز وجل: {فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْساً فَكُلُوهُ هَنِيئاً مَرِيئاً} ولأنه رفع عقد بالتراضي جعل لدفع الضرر فجاز من غير ضرر كالإقالة في البيع وإن ضربها أو منعها حقها طمعاً في أن تخالعه على شيء من مالها لم يجز لقوله عز وجل: {وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} فإن طلقها في هذه الحال على عوض لم يستحق العوض لأنه عقد معاوضة أكرهت عليه بغير حق فلم يستحق فيه العوض كالبيع
Dan jika perempuan tidak membenci sesuatu pun darinya, lalu keduanya saling ridha melakukan khulu‘ tanpa sebab, maka hal itu diperbolehkan, berdasarkan firman Allah SWT: “Jika mereka rela memberikan kepadamu sebagian dari mahar itu, maka makanlah dengan senang dan baik.”
Dan karena khulu‘ adalah pembatalan akad dengan keridhaan kedua belah pihak yang ditetapkan untuk menghindari mudarat, maka boleh dilakukan tanpa adanya mudarat, sebagaimana iqālah dalam jual beli.
Namun, jika suami memukul atau menahan hak istrinya dengan harapan agar ia mau melakukan khulu‘ dengan memberikan sebagian hartanya, maka hal itu tidak diperbolehkan, berdasarkan firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka dengan maksud mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.”
Jika suami menceraikannya dalam keadaan seperti ini dengan mengambil imbalan, maka ia tidak berhak atas imbalan tersebut, karena itu adalah akad mu’awadhah (timbal balik) yang dipaksakan tanpa hak, maka tidak berhak atas imbalan sebagaimana dalam jual beli.
فإن كان ذلك بعد الدخول فله أن يراجعها لأن الرجعة إنما تسقط بالعوض وقد سقط العوض فتثبت الرجعة فيه فإذا زنت لقوله عز وجل: {إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ} فدل على أنها إذا أتت بفاحشة جاز عضلها ليأخذ شيء من مالها والثاني أنه لا يجوز ولا يستحق فيه العوض لأنه خلع أكرهت عليه بمنع الحق فأشبه إذا منعها حقها لتخالعه من غير زنا فأما الآية فقد قيل إنها منسوخة بآية الإمساك في البيوت وهي قوله تعالى: {فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ} ثم نسخ ذلك بالجلد والرجم ولأنه روي عن قتاده أنه فسر الفاحشة بالنشوز فعلى هذا إذا كان ذلك بعد الدخول فله أن يراجعها لما ذكرناه.
Jika khulu‘ itu terjadi setelah terjadi hubungan suami istri (dalam pernikahan yang telah dimasuki), maka suami berhak merujuk istrinya, karena hak ruj‘ah hanya gugur apabila ada imbalan (‘iwaḍ), dan jika imbalan tersebut gugur, maka hak ruj‘ah tetap berlaku.
Apabila istri berzina, berdasarkan firman Allah SWT: “Kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata,” maka hal ini menunjukkan bahwa jika ia melakukan perbuatan keji, boleh bagi suami menahan dan menyusahkan istrinya agar dapat mengambil sebagian hartanya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak diperbolehkan dan tidak berhak atas imbalan dalam kondisi tersebut, karena itu adalah khulu‘ yang dipaksakan dengan cara menahan hak, maka hukumnya sama seperti jika suami menahan hak istrinya agar ia mau melakukan khulu‘ tanpa sebab perzinaan.
Adapun ayat tersebut—telah dikatakan bahwa ia telah di-nasakh dengan ayat mengenai perintah menahan istri di dalam rumah, yaitu firman-Nya: “Tahanlah mereka di dalam rumah hingga ajal menjemput mereka.” Lalu ayat itu dinasakh lagi dengan hukum dera dan rajam.
Dan diriwayatkan dari Qatādah bahwa ia menafsirkan fāḥisyah dengan nusyūz, maka berdasarkan hal ini, jika khulu‘ terjadi setelah adanya hubungan, suami tetap berhak merujuk istrinya sebagaimana telah disebutkan.
فصل: ولا يجوز للأب أن يطلق امرأة الابن الأصغر بعوض وغير عوض لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال: إنما الطلاق بيد الذي يحل له الفرج ولأنه طريق الشهوة فلم يدخل في الولاية ولا يجوز أن يخلع البنت الصغيرة من الزوج بشيء من مالها لأنه يسقط بذلك حقها من المهر والنفقة والاستمتاع فإن خالعها بشيء من مالها لم يستحق ذلك وإن كان بعد الدخول فله أن يراجعها لما ذكرناه ومن أصحابنا من قال إذا قلنا إن الذي بيده عقد النكاح هو الولي فله أن يخالعها بالإبراء من نصف مهرها وهذا خطأ لأنه إنما يملك الإبراء على هذا القول بعد الطلاق وهذا الإبراء قبل الطلاق.
PASAL: Tidak boleh bagi seorang ayah menceraikan istri anak laki-lakinya yang masih kecil, baik dengan imbalan maupun tanpa imbalan, karena diriwayatkan dari ‘Umar RA bahwa ia berkata: “Sesungguhnya talak itu ada di tangan orang yang halal baginya kemaluan (istri),” dan karena talak merupakan jalan menuju syahwat, maka tidak masuk dalam wilayah perwalian.
Dan tidak boleh pula bagi seorang wali melakukan khulu‘ atas nama anak perempuannya yang masih kecil dengan mengambil sesuatu dari hartanya, karena hal itu menggugurkan haknya atas mahar, nafkah, dan hak menikmati (pernikahan). Maka jika wali melakukan khulu‘ dengan mengambil sesuatu dari hartanya, ia tidak berhak atas harta tersebut.
Jika khulu‘ itu terjadi setelah terjadi hubungan (setelah masuk), maka suami boleh merujuknya kembali sebagaimana telah disebutkan.
Sebagian ulama kami berpendapat: jika kami mengatakan bahwa yang memegang akad nikah adalah wali, maka wali boleh melakukan khulu‘ dengan cara menggugurkan separuh mahar. Namun pendapat ini keliru, karena menurut pendapat tersebut, wali hanya berhak menggugurkan (mahar) setelah terjadi talak. Sedangkan pengguguran yang dimaksud di sini dilakukan sebelum talak.
فصل: ولا يجوز للسفيهة أن تخالع بشيء من مالها لأنها ليست من أهل التصرف في مالها فإن طلقها على شيء من مالها لم يستحق ذلك كما لا يستحق ثمن ما باع منها فإن كان بعد الدخول فله أن يراجعها لما ذكرناه ويجوز للأمة أن تخالع زوجها على عوض في ذمتها ويجب دفع العوض من حيث يجب دفع المهر في نكاح العبد لأن العوض في الخلع كالمهر في النكاح فوجب من حيث وجب المهر.
PASAL: Tidak boleh bagi perempuan safīhah melakukan khulu‘ dengan sesuatu dari hartanya karena ia bukan termasuk orang yang berhak bertindak terhadap hartanya. Maka jika suaminya menceraikannya dengan imbalan sesuatu dari hartanya, ia (suami) tidak berhak mendapatkannya, sebagaimana ia juga tidak berhak atas harga barang yang dibeli darinya. Jika terjadi setelah jima‘, maka suami boleh merujuknya kembali sebagaimana telah disebutkan. Dan boleh bagi seorang amah melakukan khulu‘ dengan suaminya dengan imbalan yang menjadi tanggungannya, dan wajib membayar imbalan tersebut dari sumber yang sama sebagaimana wajibnya pembayaran mahar dalam pernikahan budak, karena imbalan dalam khulu‘ itu seperti mahar dalam pernikahan, maka wajib diambil dari sumber yang sama dengan wajibnya mahar.
فصل: ويصح الخلع مع غير الزوجة وهو أن يقول رجل طلق امرأتك بألف علي وقال أبو ثور: لا يصح لأن بذل العوض في مقابلة ما يحصل لغيره سفه وذلك لا يجوز أن يقول لغيره بع عبدك من فلان بألف علي وهذا خطأ لأنه قد يكون له غرض وهو أن يعلم أنهما على نكاح فاسد أو تخاصم دائم فيبذل العوض ليخلصهما طلباً للثواب كما يبذل العوض لاستنقاذ أسير أو حر في يد من يسترقه بغير حق ويخالف البيع فأنه تمليك يفتقر إلى رضا المشتري فلم يصح بالأجنبي والطلاق إسقاط حق لا يفتقر إلى رضا المرأة فصح بالمالك والأجنبي كالعتق بالمال
PASAL: Talak khul‘ sah dilakukan dengan pihak selain istri, yaitu ketika seorang laki-laki berkata kepada yang lain, “Ceraikan istrimu dengan tebusan seribu yang menjadi tanggunganku.” Abu Ṯaur berpendapat bahwa hal itu tidak sah karena penyerahan tebusan sebagai imbalan dari sesuatu yang menjadi milik orang lain adalah tindakan bodoh yang tidak dibenarkan, seperti mengatakan kepada orang lain, “Juallah budakmu kepada si fulan dengan seribu dariku.”
Namun pendapat ini keliru, karena bisa jadi ada tujuan yang baik di baliknya, seperti mengetahui bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan fasid atau mereka sering berselisih, maka ia memberikan tebusan untuk melepaskan mereka demi mengharap pahala, sebagaimana seseorang memberikan tebusan untuk membebaskan tawanan atau orang merdeka yang ditawan secara tidak sah. Ini berbeda dengan jual beli karena jual beli adalah transaksi pemindahan kepemilikan yang membutuhkan kerelaan pembeli, sehingga tidak sah dilakukan oleh orang luar. Adapun talak adalah pengguguran hak yang tidak membutuhkan kerelaan dari pihak istri, maka sah dilakukan oleh suami maupun orang luar, sebagaimana sahnya pembebasan budak dengan tebusan harta.
فإن قال طلق امرأتك على مهرها وأنا ضامن فطلقها بانت ورجع الزوج على الضامن بمهر المثل في قوله الجديد وببدل مهرها في قوله القديم لأنه أزال الملك عن البضع بمال ولم يسلم له وتعذر الرجوع إلى البضع فكان فيما يرجع إليه قولان كما قلنا فيمن يضمن أصدق امرأته مالاً فتلف قبل القبض.
Jika seseorang berkata, “Ceraikan istrimu dengan maharnya dan aku yang menanggungnya,” lalu ia menceraikannya, maka istri menjadi bā’in darinya. Suami dapat menuntut penjamin untuk membayar.
Dalam qawl jadīd, yang harus dibayar oleh penjamin adalah mahar al-mitsl, karena yang terjadi adalah penghilangan kepemilikan atas al-buḍ‘ (kemaluan istri) dengan imbalan harta, namun harta tersebut tidak sampai kepadanya dan mustahil kembali kepada al-buḍ‘, maka ada dua pendapat mengenai apa yang dapat dituntut kembali.
Sebagaimana juga terjadi dalam kasus seseorang menjamin mahar untuk istrinya, lalu harta tersebut rusak sebelum diterima.
فصل: ويجوز الخلع في الحيض لأن المنع من الطلاق في الحيض للضرر الذي يلحقها بتطويل العدة والخلع جعل للضرر الذي يلحقها بسوء العشرة والتقصير في حق الزوج والضرر بذلك أعظم من الضرر بتطويل العدة فجاز دفع أعظم الضررين بأخفها ويجوز الخلع من غير حاكم لأنه قطع عقد بالتراضي جعل لدفع الضرر فلم يفتقر إلى الحاكم كالإقامة في البيع.
PASAL: Boleh khulu‘ pada saat haid karena larangan talak saat haid disebabkan oleh mudarat yang timbul berupa memperpanjang masa ‘iddah, sedangkan khulu‘ disyariatkan karena mudarat yang timbul akibat buruknya pergaulan dan kelalaian dalam menunaikan hak suami. Mudarat yang kedua ini lebih besar daripada mudarat memperpanjang ‘iddah, maka diperbolehkan menolak mudarat yang lebih besar dengan yang lebih ringan. Dan boleh melakukan khulu‘ tanpa keputusan hakim karena khulu‘ adalah pemutusan akad dengan kerelaan bersama yang disyariatkan untuk menghilangkan mudarat, sehingga tidak memerlukan keputusan hakim, sebagaimana halnya akad jual beli.
فصل: ويصح الخلع بلفظ الخلع والطلاق فإن خالعها بصريح الطلاق أو الكناية مع النية فهو طلاق لأنه لا يحتمل غير الطلاق وإن خالعها بصريح الخلع نظرت لأنه لم ينوبه الطلاق ففيه ثلاثة أقوال: أحدها أنه لا يقع به فرقة وهو قوله في الأم لأنه كناية في الطلاق من غير نية فلم يقع بها فرقة كما لو عريت عن العوض والثاني أنه فسخ وهو قوله في القديم لأنه جعل للفرقة فلا يجوز أن يكون طلاقاً لأن الطلاق لا يقع إلا بصريح أو كناية مع النية والخلع ليس بصريح في الطلاق ولا معه نية الطلاق فوجب أن يكون فسخاً
PASAL: Khul‘ sah dilakukan dengan lafaz khulu‘ maupun ṭalāq. Jika ia melakukan khul‘ dengan lafaz ṭalāq yang sharih, atau dengan kinayah disertai niat, maka itu dihukumi sebagai talak, karena tidak mengandung kemungkinan makna selain talak.
Namun jika ia melakukan khul‘ dengan lafaz khulu‘ yang sharih, maka perlu diteliti lebih lanjut, karena lafaz khulu‘ tidak mewakili lafaz ṭalāq. Maka dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, bahwa hal itu tidak menyebabkan perpisahan, dan ini adalah pendapat dalam kitab al-Umm, karena lafaz khulu‘ dianggap sebagai kinayah dalam talak tanpa disertai niat, maka tidak menyebabkan perpisahan sebagaimana halnya khul‘ tanpa adanya imbalan.
Kedua, bahwa hal itu adalah fasakh, dan ini adalah pendapat dalam qaul qadim, karena lafaz tersebut ditetapkan untuk perpisahan, sehingga tidak boleh dianggap sebagai talak. Sebab talak hanya jatuh dengan lafaz sharih atau kinayah yang disertai niat, sedangkan lafaz khulu‘ bukan lafaz sharih dalam talak dan tidak disertai niat talak, maka wajib dihukumi sebagai fasakh.
والثالث أنه طلاق وهو قوله في الإملاء وهو اختيار المزني لأنها إنما بذلت العوض للفرقة والفرقة التي يملك إيقاعها هي الطلاق دون الفسخ فوجب أن يكون طلاقاً فإن قلنا إنه فسخ بصريحه وصريحه الخلع والمفاداة لأن المفاداة ورد بها القرآن والخلع ثبت له العرف فإذا خالعها بأحد هذين اللفظين انفسخ النكاح من غير نية وهل يصح الفسخ بالكناية كالمباراة والتحريم والتحريم وسائر كنايات الطلاق فيه وجهان: أحدهما لا يصح لأن الفسخ لا يصح تعليقة على الصفحات فلم يصح بالكناية كالنكاح
Dan pendapat ketiga: bahwa itu adalah talak. Ini adalah pendapat dalam kitab al-Imlā’ dan merupakan pilihan al-Muzanī, karena sesungguhnya istri menyerahkan ‘iwaḍ (tebusan) untuk terjadinya perpisahan, dan perpisahan yang dapat dilakukan oleh suami adalah talak, bukan fasakh, maka wajib dihukumi sebagai talak.
Jika kita katakan bahwa itu adalah fasakh dengan lafaz sharih, maka lafaz sharih dalam hal ini adalah khulu‘ dan mufāda. Karena mufāda disebutkan dalam Al-Qur’an, dan khulu‘ telah dikenal secara ‘urf, maka jika suami menceraikannya dengan salah satu dari dua lafaz tersebut, maka pernikahan terputus (terfasakh) tanpa memerlukan niat.
Adapun apakah fasakh sah dilakukan dengan lafaz kinayah seperti mubārāh, taḥrīm, dan selainnya dari kinayah talak, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
Salah satunya mengatakan tidak sah, karena fasakh tidak sah digantungkan pada sifat (syarat), maka ia juga tidak sah dengan lafaz kinayah, sebagaimana dalam akad nikah.
والثاني يصح لأنه أحد نوعي الفرقة فأنقسم لفظها إلى الصريح والكناية كالطلاق فعلى هذا إذا خالفها بشيء من الكنايات لم ينفسخ النكاح حتى ينويا واختلف أصحابنا في لفظ الفسخ فمنهم من قال هو كناية لأنه لم يثبت له عرف في فرقة النكاح ومنهم من قال هو صريح لأنه أبلغ في معنى الفسخ من لفظ الخلع وإن خالع بصريح الخلع ونوى به الطلاق فإن قلنا بقوله في الإملاء فهو طلاق لأنه إذا كان طلاقاً من غير نية الطلاق فمع النية أولى وإن قلنا بقوله في القديم ففيه وجهان: أحدهما أنه طلاق لأنه يحتمل الطلاق وقد اقترنت به نية الطلاق والثاني أنه فسخ لأنه على هذا القول صريح في فسخ النكاح فلا يجوز أن يكون كناية في حكم آخر من النكاح كالطلاق لما كان صريحاً في فرقة النكاح لم يجز أن يكون كناية في الظهار.
Pendapat kedua menyatakan: sah dilakukan dengan lafaz kinayah, karena fasakh termasuk salah satu jenis perpisahan, maka lafaznya pun terbagi menjadi ṣarīḥ dan kināyah, sebagaimana talak.
Berdasarkan pendapat ini, apabila suami melakukan khul‘ dengan salah satu lafaz kinayah, maka pernikahan tidak terfasakh kecuali jika disertai niat.
Para ulama kami berbeda pendapat tentang lafaz fasakh:
Sebagian dari mereka berpendapat bahwa fasakh adalah lafaz kināyah, karena tidak dikenal dalam ‘urf sebagai lafaz perpisahan dalam nikah.
Sebagian lain berpendapat bahwa ia adalah ṣarīḥ, karena lebih kuat dalam menunjukkan makna fasakh dibanding lafaz khulu‘.
Jika suami melakukan khul‘ dengan lafaz khulu‘ yang ṣarīḥ, dan ia niatkan sebagai talak, maka:
– Jika kita mengikuti pendapat dalam al-Imlā’, maka itu adalah talak, karena jika tanpa niat pun dihukumi talak, maka dengan niat talak tentu lebih utama.
– Namun jika kita mengikuti pendapat dalam qaul qadīm, maka terdapat dua wajah (pendapat):
Pertama, itu adalah talak, karena lafaz tersebut mengandung kemungkinan makna talak, dan disertai niat talak.
Kedua, itu adalah fasakh, karena menurut pendapat ini lafaz tersebut adalah ṣarīḥ dalam memutuskan pernikahan, maka tidak boleh dihukumi sebagai kināyah dalam hukum pernikahan yang lain, seperti halnya lafaz ṭalāq yang merupakan ṣarīḥ dalam perpisahan pernikahan, maka tidak boleh dianggap sebagai kināyah dalam hukum ẓihār.
فصل: ويصح الخلع منجزاً بلفظ المعاوضة لما فيه من المعاوضة ويصح معلقاً على شرط لما فيه من الطلاق فأما المنجز بلفظ المعاوضة فهو أن يوقع الفرقة بعوض وذلك مثل أن يقول طلقتك وأنت طالق بألف وتقول المرأة قبلت كما تقول في البيع بعتك هذا بألف ويقول المشتري قبلت أو تقول المرأة طلقني بألف فيقول الزوج طلقتك كما يقول المشتري بعني هذا بألف ويقول البائع بعتك ولا يحتاج أن يعيد في الجواب ذكر الألف لأن الإطلاق يرجع إليه كما يرجع في البيع ولا يصلح الجواب في هذا إلا على الفور كما نقول في البيع
PASAL:
Khul‘ sah dilakukan secara munjazan dengan lafaz mu‘āwaḍah karena mengandung unsur mu‘āwaḍah, dan juga sah dilakukan secara mu‘allaq atas suatu syarat karena mengandung unsur ṭalāq. Adapun bentuk munjazan dengan lafaz mu‘āwaḍah ialah ketika terjadi pemutusan hubungan (pernikahan) dengan imbalan. Misalnya suami berkata, “Aku ceraikan engkau” atau “Engkau tertalak dengan seribu,” dan istri menjawab, “Aku terima,” sebagaimana dalam jual beli: “Aku jual barang ini kepadamu seharga seribu,” lalu pembeli berkata, “Aku terima.”
Atau istri berkata, “Ceraikan aku dengan seribu,” lalu suami berkata, “Aku ceraikan engkau,” sebagaimana dalam jual beli: “Jualkan barang ini kepadaku seharga seribu,” dan penjual berkata, “Aku jual.” Dalam jawaban tidak wajib mengulang penyebutan seribu karena penyebutan secara umum kembali padanya, sebagaimana halnya dalam jual beli. Tidak sah jawaban dalam kasus ini kecuali secara langsung (al-fawr), sebagaimana kami katakan dalam jual beli.
ويجوز للزوج أن يرجع في الإيجاب قبل القبول وللمرأة أن ترجع في الاستدعاء قبل الطلاق كما يجوز في البيع وأما غير المنجز فهو أن يعلق الطلاق على ضمان مال أو دفع مال فإن كان بحرف “إن” بأن قال إن ضمنت لي ألفاً فأنت طالق لم يصح الضمان إلا على الفور لأنه لفظ شرط تحتمل الفور والتراخي إلا أنه لما ذكر العوض صار تمليكاً بعوض فاقتضى الجواب على الفور كالتمليك في المعاوضات
Dan suami boleh menarik kembali ijab sebelum adanya qabūl, dan istri boleh menarik kembali permintaan sebelum terjadi ṭalāq, sebagaimana dalam akad jual beli.
Adapun selain yang munjazan adalah ketika ṭalāq digantungkan pada penjaminan harta atau penyerahan harta. Jika dengan huruf in (jika), seperti suami berkata: “Jika engkau menjamin untukku seribu, maka engkau tertalak,” maka penjaminan tidak sah kecuali dilakukan segera (‘alā al-fawr), karena lafaz syarat itu mengandung kemungkinan dilakukan segera atau ditunda, tetapi karena disebutkan adanya ‘iwaḍ (imbalan), maka hal itu menjadi bentuk tamlīk dengan imbalan, sehingga menuntut adanya jawaban segera sebagaimana tamlīk dalam mu‘āwaḍah.
وإن قال إن أعطيتني ألفاً فأنت طالق لم تصح العطية إلى على الفور بحيث يصلح أن تكون جواباً لكلامه لأن العطية ههنا هي القبول ويكفي أن تحضر المال وتأذن في قبضه أخذ أو لم يأخذ لأن اسم العطية يقع عليه وإن لم يأخذ ولهذا يقال أعطيت فلاناً مالاً فلم يأخذه وإن قالت طلقني بألف فقال أنت طالق بألف إن شئت لم يقع الطلاق حتى توجد المشيئة لأنه أضاف إلى ما التزمت المشيئة فلم يقع إلى بها ولا تصح المشيئة إلا بالقول وهو أن تقول على الفور شئت لأن المشيئة وإن كانت بالقلب فإنها لا تعرف إلا بالقول فصار تقديره أنت طالق إن قلت شئت ويصح الرجوع قبل الضمان وقبل العطية وقبل المشيئة كما يجوز فيما عقد بلفظ المعاوضة
Jika suami berkata: “Jika engkau memberiku seribu, maka engkau tertalak,” maka pemberian tidak sah kecuali dilakukan segera (‘alā al-fawr) dalam bentuk yang sah sebagai jawaban atas ucapannya, karena pemberian di sini merupakan bentuk qabūl. Cukup jika istri menghadirkan uang dan mengizinkan untuk diambil, baik diambil maupun tidak, karena istilah “pemberian” telah berlaku atasnya meskipun belum diambil. Oleh karena itu, dikatakan: “Aku telah memberi si fulan harta,” meskipun belum diambilnya.
Jika istri berkata: “Ceraikan aku dengan seribu,” lalu suami berkata: “Engkau tertalak dengan seribu jika engkau menghendaki,” maka ṭalāq tidak jatuh sampai adanya masyī’ah (kehendak), karena ia mengaitkan dengan sesuatu yang wajib berdasarkan adanya kehendak, maka tidak terjadi kecuali dengan kehendak tersebut.
Dan masyī’ah tidak sah kecuali dengan ucapan, yaitu istri berkata segera: “Aku menghendaki,” karena meskipun kehendak itu di dalam hati, ia tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan. Maka maknanya menjadi: “Engkau tertalak jika engkau berkata: aku menghendaki.”
Boleh bagi masing-masing pihak untuk menarik kembali sebelum adanya penjaminan, sebelum pemberian, dan sebelum masyī’ah, sebagaimana boleh dalam akad yang diucapkan dengan lafaz mu‘āwaḍah.
وإن كان بحرف (متى) و (أي وقت) بأن يقول متى ضمنت لي أو أي وقت ضمنت لأي ألفاً فأنت طالق جاز أن يوجد الضمان على الفور وعلى التراخي والفرق بينه وبين قوله إن ضمنت لي ألفاً أن اللفظ هناك عام في الزمانين ولهذا لو قال إن ضمنت لي الساعة أو إن ضمنت لي غداً جاز فلما اقترن به ذكر العوض جعلناه على الفور قياساً على المعاوضات والعموم يجوز تخصيصه بالقياس وليس كذلك قوله (متى) و (أي وقت) لأنه نص في كل واحد من الزمانين صريح في المنع من التعيين في أحد الزمانين ولهذا لو قال أي وقت أعطيتني الساعة كان محالاً وما يقتضيه الصريح لا يترك بالقياس
Jika menggunakan huruf matā (kapan saja) dan ayy waqt (pada waktu kapan pun), seperti suami berkata: “Kapan saja engkau menjamin untukku” atau “Pada waktu kapan pun engkau menjamin untukku seribu, maka engkau tertalak,” maka boleh penjaminan dilakukan segera (‘alā al-fawr) maupun ditunda (‘alā at-tarākhī).
Perbedaan antara ini dengan ucapannya: “Jika engkau menjamin untukku seribu,” adalah bahwa lafaz “in” di sana umum dalam dua waktu (segera dan ditunda). Oleh karena itu, jika dia berkata: “Jika engkau menjamin sekarang,” atau “Jika engkau menjamin besok,” maka boleh. Maka ketika lafaz tersebut disertai dengan penyebutan imbalan (‘iwaḍ), kami menjadikannya harus segera dengan qiyās terhadap akad-akad mu‘āwaḍah. Dan lafaz yang umum boleh ditakhṣīṣ dengan qiyās.
Tidak demikian halnya dengan lafaz matā dan ayy waqt, karena keduanya adalah naṣṣ (tegas) dalam mencakup semua waktu, dan secara eksplisit menolak pembatasan pada salah satu dari dua waktu. Oleh karena itu, jika seseorang berkata: “Pada waktu kapan pun engkau memberiku sekarang,” maka itu merupakan ucapan yang mustahil.
Apa yang ditunjukkan oleh lafaz ṣarīḥ tidak bisa ditinggalkan hanya karena qiyās.
وإن رجع الزوج في هذا قبل القبول لم يصح لأن حكمه حكم الطلاق المعلق الصفات دون المعاوضات وإن كان بحرف (إذا) بأن قال إذا ضمنت لي ألفاً فأنت طالق فقد ذكر جماعة من أصحابنا أحكمه حكم قوله إن ضمنت لي في القضاء الجواب على الفور وفي جواز الرجوع فيه قبل القبول وعندي أن حكمه حكم (متى) و (أي وقت) لأنه يفيد ما يفيده متى وأي وقت ولهذا إذا قال متى ألقاك جاز أن يقول إذا شئت كما يجوز أن يقول متى شئت وأي وقت شئت بخلاف إن فإنه لو قال متى ألقاك لم يجز أن يقول إن شئت.
Jika suami menarik kembali ucapannya sebelum adanya qabūl dalam bentuk seperti ini (menggunakan matā atau ayy waqt), maka penarikan tersebut tidak sah, karena hukumnya seperti ṭalāq yang digantungkan pada sifat, bukan seperti dalam akad mu‘āwaḍah.
Adapun jika menggunakan huruf idhā, seperti suami berkata: “Jika engkau menjamin untukku seribu, maka engkau tertalak,” maka sekelompok ulama dari kalangan mazhab kami menyatakan bahwa hukumnya sama dengan ucapan: “Jika engkau menjamin untukku” dalam hal wajibnya menjawab segera (‘alā al-fawr) dan bolehnya menarik kembali sebelum qabūl.
Namun menurutku, hukumnya seperti matā dan ayy waqt, karena lafaz idhā menunjukkan makna yang sama dengan matā dan ayy waqt. Oleh karena itu, jika seseorang berkata: “Matā aku bertemu denganmu?” boleh dijawab dengan: “Jika engkau menghendaki,” sebagaimana boleh juga menjawab dengan: “Kapan pun engkau menghendaki.”
Berbeda halnya dengan in, karena jika seseorang berkata: “Matā aku bertemu denganmu?” tidak sah dijawab dengan: “Jika engkau menghendaki.”
فصل: ويجوز الخلع بالقليل والكثير والدين والعين والمال والمنفعة لأنه عقد على منفعة لبضع فجاز بما ذكرناه كالنكاح فإن خالعها على أن تكفل ولده عشر سنين وبين مدة الرضاع وقدر النفقة وصفتها فالمنصوص أن يصح فمن أصحابنا من قال فيه قولان لأنها صفقة جمعت بيعاً وإجارة ومنهم من قال يصح قولاً واحداً لأن الحاجة تدعو إلى الجمع بينهما لأنه إذا أفرد أحدهما لم يمكنه أن يخالع على الآخر وفي غير الخلع يمكنه أن يفرد أحدهما ثم يعقد على الآخر وإن مات الولد بعد الرضاع ففي النفقة وجهان: أحدهما أنها تحل لأنها تأجلت لأجله وقد مات والثاني أنها لا تحل لأن الدين إنما يحل بمن عليه دون من له.
فصل: وإن خالعها خلعاً منجزاً على عوض ملك العوض على العقد وضمن بالقبض كالصداق فإن كان عيناً فهلكت قبل القبض أو خرج مستحقاً أو على عبد فخرج حراً أو على خل فخرج خمراً رجع إلى مهر المثل في قوله الجديد وإلى بدل المسمى في قوله القديم كما قلنا في الصداق وإن خالعها على أن ترضع ولده فمات فهو كالعين إذا هلكت قبل القبض وإن مات الولد ففيه قولان: أحدهما يسقط الرضاع ولا يقوم غير الولد مقامه لأنه عقد في قوله الجديد وإلى أجرة الرضاع في قوله القديم
PASAL: Jika suami melakukan khulu‘ secara langsung dengan imbalan, maka ia berhak atas imbalan tersebut dengan adanya akad, dan wajib menjamin setelah menerima, sebagaimana mahar. Jika imbalan itu berupa barang tertentu, lalu rusak sebelum diterima, atau ternyata milik orang lain, atau berupa budak yang ternyata merdeka, atau berupa cuka yang ternyata adalah khamar, maka kembali kepada mahar mitsil menurut pendapat qawl jadīd, dan kepada pengganti dari yang disepakati menurut qawl qadīm, sebagaimana yang telah kami sebutkan dalam perkara mahar.
Jika ia menjatuhkan khulu‘ dengan syarat istri menyusui anaknya, lalu anak itu meninggal dunia, maka hukumnya seperti barang yang rusak sebelum diterima.
Jika anak tersebut meninggal, maka ada dua pendapat:
Pertama, kewajiban menyusui gugur dan tidak ada yang menggantikan posisi anak tersebut karena ini merupakan akad.
Kedua, kembali kepada upah menyusui menurut qawl qadīm.
والقول الثاني أنه لا يسقط الرضاع بل يأتيها بولد آخر لترضعه لأن المنفعة باقية وإن مات المستوفي قام غيره مقامه كما لو اكترى ظهراً ومات فإن الوارث يقوم مقامه فعلى هذا إن لم يأت بولد آخر حتى مضت المدة ففيه وجهان: أحدهما لا يرجع عليها لأنها مكنته من الاستيفاء فأشبه إذا أجرته داراً وسلمتها إليه ولم يسكنها والثاني يرجع عليها لأن المعقود عليه تحت يدها فتلف من ضمانها كما لو باعت منه شيئاً وتلف قبل أن يسلم فعلى هذا يرجع بمهر المثل في قوله الجديد وبأجرة الرضاع في قوله القديم وإن خالعه على خياطة ثوب فتلف الثوب فهل تسقط الخياطة أو يأتيها بثوب آخر لتخيطه فيه وجهان بناء على القولين في الرضاع.
Dan pendapat kedua menyatakan bahwa kewajiban menyusui tidak gugur, melainkan suami membawa anak lain untuk disusui, karena manfaatnya masih ada. Jika yang mengambil manfaat itu meninggal, maka yang lain dapat menggantikannya, sebagaimana seseorang menyewa tunggangan lalu meninggal, maka ahli waris menggantikannya.
Berdasarkan pendapat ini, jika suami tidak membawa anak lain hingga waktu menyusui berlalu, maka terdapat dua wajah pendapat:
Pertama, ia tidak bisa menuntut kembali, karena istri telah memberikan kesempatan untuk memanfaatkannya, seperti orang yang menyewakan rumah lalu menyerahkannya, tetapi tidak dihuni.
Kedua, ia dapat menuntut kembali karena objek akad berada di tangan istri dan rusak dalam tanggungannya, seperti jika ia menjual barang kepadanya lalu barang itu rusak sebelum diserahkan. Berdasarkan wajah ini, maka suami berhak menuntut mahar mitsil menurut qawl jadīd, dan upah menyusui menurut qawl qadīm.
Jika suami menjatuhkan khulu‘ dengan imbalan menjahit pakaian, lalu pakaian tersebut rusak, maka apakah kewajiban menjahit gugur atau suami harus membawa pakaian lain untuk dijahit? Dalam hal ini terdapat dua wajah pendapat, sebagaimana dua pendapat dalam perkara menyusui.
فصل: ويجوز رد العوض فيه بالعيب لأن إطلاق العقد يقتضي السلامة من العيب فثبت فيه الرد بالعيب كالبيع والصداق فإن كان العقد على عين بأن طلقها على ثوب أو قال إن أعطيتني هذا الثوب فأنت طالق فأعطته ووجد به عيباً فرده رجع إلى مهر المثل في قوله الجديد وإلى بدل العين سليماً في قوله القديم كما ذكرناه في الصداق وإن كان الخلع منجزاً على عوض موصوف في الذمة فأعطته ووجده معيباً فرده طالب بمثله سليماً كما قلنا فيمن أسلم في ثوب وقبضه ووجده معيباً فرده
PASAL: Boleh mengembalikan ‘iwadh dalam khulu‘ karena cacat, karena pengertian umum akad menunjukkan keharusan bebas dari cacat. Maka tetap berlaku hak pengembalian karena cacat sebagaimana dalam jual beli dan ṣadāq. Jika akad dilakukan atas suatu barang tertentu, seperti seorang suami menceraikannya dengan imbalan sebuah pakaian, atau berkata, “Jika engkau memberiku pakaian ini, maka engkau tertalak,” lalu ia memberikannya dan ternyata terdapat cacat padanya, maka ia boleh mengembalikannya. Dalam qawl jadīd, ia kembali kepada mahar mitsl, dan dalam qawl qadīm, kepada pengganti barang tersebut dalam keadaan sehat, sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah ṣadāq. Jika khulu‘ dilakukan secara langsung atas imbalan berupa barang yang disifati dalam tanggungan (bukan barang tertentu), lalu ia memberikannya dan ternyata cacat, kemudian dikembalikan, maka ia menuntut diganti dengan barang sejenis yang sehat, sebagaimana kita katakan pada orang yang melakukan salam dalam pakaian, lalu ia menerimanya dan menemukannya cacat, maka ia boleh mengembalikannya.
وإن قال إن دفعت إلي عبداً من صفته كذا وكذا فأنت طالق فدفعت إليه عبداً على تلك الصفة طلقت فإن وجده معيباً فرده رجع في قوله الجديد إلى مهر المثل وإلى بدل العبد في قوله القديم لأنه تعين بالطلاق فصار كما لو خالعها على عين فردها بالعيب ويخالف إذا كان موصوفاً في الذمة في خلع منجز فقبضه ووجد فيه عيباً فرده لأنه لم يتعين بالعقد ولا بالطلاق فرجع إلى ما في الذمة وإن خالعها على عين على أنها على صفة فخرجت على دون تلك الصفة ثبت له الرد كما قلنا في البيع فإذا رده رجع إلى مهر المثل في أحد القولين وإلى بدل المشروط في القول الآخر كما قلنا فيما رده بالعيب.
Jika seorang suami berkata, “Jika engkau menyerahkan kepadaku seorang budak dengan sifat begini dan begini, maka engkau tertalak,” lalu ia diserahi budak dengan sifat tersebut, maka istrinya tertalak. Jika ia mendapati budak itu cacat lalu ia mengembalikannya, maka menurut qawl jadīd ia kembali kepada mahar mitsil, dan menurut qawl qadīm ia kembali kepada pengganti budak karena budak itu telah ditentukan oleh talak, maka hukumnya seperti jika ia melakukan khulu‘ atas suatu barang tertentu lalu dikembalikan karena cacat.
Ini berbeda jika budak itu hanya disebutkan sifatnya dalam tanggungan (dzimmah) dalam khulu‘ yang langsung (munjazan) lalu ia menerimanya dan mendapati cacat padanya lalu mengembalikannya, maka ia tidak menjadi tertentu dengan akad maupun talak, maka ia kembali kepada yang ada dalam tanggungan (dzimmah).
Jika ia melakukan khulu‘ atas suatu barang tertentu dengan syarat bahwa barang itu memiliki sifat tertentu, lalu ternyata sifatnya di bawah yang disyaratkan, maka ia berhak mengembalikannya sebagaimana dalam jual beli. Jika ia mengembalikannya, maka dalam salah satu dari dua pendapat ia kembali kepada mahar mitsil, dan dalam pendapat lainnya ia kembali kepada pengganti dari yang disyaratkan, sebagaimana jika ia mengembalikan karena cacat.
فصل: ولا يجوز الخلع على محرم ولا على ما فيه غرر كالمجهول ولا ما لم يتم ملكه عليه ولا ما لا يقدر على تسليمه لأنه عقد معاوضة فلم يجز على ما ذكرناه كالبيع والنكاح فإن طلقها على شيء من ذلك وقع الطلاق لأن الطلاق يصح مع عدم العوض فصح مع فساده كالنكاح ويرجع عليها بمهر المثل لأنه تعذر رد البضع فوجب رد بدله كما قلنا فيمن تزوج على خمر أو خنزير
PASAL: Tidak boleh melakukan khulu‘ dengan barang yang haram, atau dengan sesuatu yang mengandung gharār seperti barang yang tidak diketahui, atau dengan sesuatu yang belum menjadi miliknya secara sempurna, atau dengan sesuatu yang tidak mampu ia serahkan, karena khulu‘ adalah akad mu‘āwaḍah, maka tidak sah dilakukan dengan hal-hal tersebut sebagaimana dalam akad jual beli dan nikah.
Jika ia menalaknya atas sesuatu dari hal-hal tersebut, maka talaknya tetap jatuh, karena talak sah meskipun tanpa adanya ‘iwaḍ, maka sah meskipun ‘iwaḍ-nya rusak, sebagaimana dalam nikah. Maka ia wajib mengembalikan mahar mitsil kepadanya, karena kemaluan telah terlanjur tidak bisa dikembalikan, maka wajib mengganti gantinya, sebagaimana orang yang menikah dengan mahar berupa khamar atau babi.
فإن خالعها بشرط فاسد بأن قالت طلقني بألف بشرط أن تطلق ضرتي فطلقها وقع الطلاق ويرجع عليها بمهر المثل لأن الشرط فاسد فإذا سقط وجب إسقاط ما زيد في البدل لأجله وهو مجهول فصار العوض فيه مجهولاً فوجب مهر المثل فإن قال إذا جاء رأس الشهر فأنت طالق على ألف ففيه وجهان: أحدهما يصح لأنه تعليق طلاق بشرط والثاني لا يصح لأنه عقد معاوضة فلم يصح تعليقه على شرط كالبيع فعلى هذا إذا وجد الشرط وقع الطلاق ورجع عليها بمهر المثل.
Jika seorang suami melakukan khulu‘ dengan syarat yang rusak, seperti ketika istri berkata, “Ceraikan aku dengan imbalan seribu, dengan syarat engkau menceraikan maduku,” lalu suami menceraikannya, maka talak jatuh dan ia (suami) berhak atas mahar mitsil, karena syaratnya rusak. Maka ketika syaratnya gugur, wajib menggugurkan tambahan yang ada dalam imbalan karenanya, dan tambahan itu tidak diketahui, sehingga imbalan menjadi tidak diketahui, maka wajib mahar mitsil.
Jika suami berkata, “Apabila awal bulan datang, maka engkau tertalak dengan imbalan seribu,” maka ada dua pendapat:
- Pertama, sah, karena ini merupakan penangguhan talak dengan syarat.
- Kedua, tidak sah, karena ini adalah akad mu‘āwaḍah, maka tidak sah ditangguhkan dengan syarat, sebagaimana dalam jual beli.
Menurut pendapat kedua ini, apabila syaratnya terpenuhi, maka talak jatuh dan ia (suami) berhak atas mahar mitsil.
فصل: فإذا خالع امرأته لم يلحقها ما بقي من عدد الطلاق لأنه لا يملك بضعها فلم يلحقها طلاقه كالأجنبية ولا يملك رجعتها في العدة وقال أبو ثور: إن كان بلفظ الطلاق فله أن يراجعها لأن الرجعة من مقتضى الطلاق بل يسقط بالعوض كالولاء في العتق وهذا خطأ لأنه يبطل به إذا وهب بعوض فإن الرجوع من مقتضى الهبة وقد سقط بالعوض ويخالف الولاء فإن إثباته لا يملك ما اعتاض عليه من الرق وبإثبات الرجعة يملك من اعتاض عليه من البضع.
PASAL: Maka apabila seorang suami melakukan khulu‘ terhadap istrinya, maka sisa bilangan talak tidak lagi berlaku padanya, karena ia tidak lagi memiliki būḍ-nya, maka talaknya tidak lagi berpengaruh padanya sebagaimana terhadap perempuan asing, dan ia tidak berhak melakukan rujū‘ selama masa ‘iddah. Abu Ṯaur berkata: jika dilakukan dengan lafaz talak, maka ia berhak rujū‘ karena rujū‘ adalah konsekuensi dari talak, hanya saja gugur karena adanya imbalan, sebagaimana walā’ dalam kasus pembebasan budak. Ini adalah pendapat yang salah, karena jika hibah diberikan dengan imbalan maka hak rujū‘ gugur, padahal rujū‘ adalah konsekuensi dari hibah, dan walā’ berbeda, karena penetapannya tidak memberikan hak kepemilikan terhadap apa yang dijadikan imbalan dari budak, sementara penetapan hak rujū‘ berarti memberi kepemilikan kembali atas apa yang dijadikan imbalan dari būḍ.
فصل: وإن طلقها بدينار على أن له الرجعة سقط الدينار وثبتت له الرجعة وقال المزني يسقط الدينار والرجعة ويجب مهر المثل كما قال الشافعي فيمن خالع امرأة على عوض وشرطت المرأة أنها متى شاءت استرجعت العوض وثبتت الرجعة أن العوض يسقط ولا تثبت الرجعة وهذا خطأ لأن الدينار والرجعة شرطان متعارضان فسقطا وبقي طلاق مجرد فثبتت معه الرجعة فأما المسألة التي ذكرها الشافعي رحمه الله فقد اختلف أصحابنا فيها فمنهم من نقل جواب كل واحدة منهما إلى الأخرى وجعلها على قولين ومنهم من قال لا تثبت الرجعة هناك لأنه قطع الرجعة في الحال وإنما شرطت أن تعود فلم تعد وههنا لم يقطع الرجعة فثبتت.
PASAL: Jika suami menalaknya dengan imbalan satu dinar dengan syarat bahwa ia (suami) berhak rujū‘, maka dinar tersebut gugur dan hak rujū‘ tetap berlaku.
Al-Muzanī berkata: dinar dan hak rujū‘ sama-sama gugur, dan yang wajib adalah mahar mitsil, sebagaimana pendapat asy-Syāfi‘ī dalam kasus seseorang yang melakukan khulu‘ terhadap istrinya dengan imbalan, lalu sang istri mensyaratkan bahwa kapan saja ia menghendaki, ia boleh mengambil kembali imbalan tersebut dan hak rujū‘ tetap berlaku. Dalam kasus itu, maka imbalan gugur dan hak rujū‘ tidak tetap.
Namun ini adalah pendapat yang keliru, karena dinar dan hak rujū‘ merupakan dua syarat yang saling bertentangan, maka keduanya gugur dan yang tersisa adalah talak semata, maka hak rujū‘ tetap berlaku bersamanya.
Adapun kasus yang disebutkan oleh asy-Syāfi‘ī rahimahullāh, para sahabat kami berbeda pendapat tentangnya. Sebagian dari mereka mengaitkan kedua kasus itu satu sama lain dan menjadikannya sebagai dua qawl. Dan sebagian lainnya berkata: hak rujū‘ tidak tetap dalam kasus itu, karena suami telah memutus hak rujū‘ sejak awal, dan istri hanya mensyaratkan bahwa ia akan mengembalikannya (imbalan) jika ia menghendaki, namun kenyataannya ia tidak mengembalikannya. Sedangkan dalam kasus yang pertama ini, suami tidak memutus hak rujū‘, maka hak tersebut tetap berlaku.
فصل: وإن وكلت المرأة في الخلع ولم تقدر العوض فخالع الوكيل بأكثر من المثل لم يلزمها إلا مهر المثل لأن المسمى عوض فاسد بمقتضى الوكالة فسقط ولزم مهر المثل كما لو خالعها الزوج على عوض فاسد فإن قدر العوض بمائه فخالع عنها على أكثر منها ففيه قولان: أحدهما يلزمها مهر المثل لما ذكرناه والثاني يلزمها أكثر الأمرين من مهر المثل أو المائة فإن كان مهر المثل أكثر وجب لأن المسمى سقط لفساده ووجب مهر المثل وإن كانت المائة أكثر وجبت لأنها رضيت بها وأما الوكيل فإنه إن ضمن العوض في ذمته رجع الزوج عليه بالزيادة لأنه ضمنها بالعقد
PASAL: Jika seorang wanita mewakilkan khulu‘ dan tidak menentukan jumlah imbalan, lalu sang wakil melakukan khulu‘ dengan imbalan yang melebihi mitsl, maka yang wajib atasnya hanyalah mahr al-mitsl, karena imbalan yang disebutkan adalah batal menurut ketentuan perwakilan, maka gugurlah ia dan wajib mahr al-mitsl sebagaimana jika suami melakukan khulu‘ dengan imbalan yang batal. Jika ia menentukan imbalan sebesar seratus, lalu wakil melakukan khulu‘ atas nama dirinya dengan lebih dari itu, maka terdapat dua pendapat: pertama, yang wajib atasnya adalah mahr al-mitsl karena alasan yang telah disebutkan; kedua, yang wajib atasnya adalah yang lebih besar dari dua hal: mahr al-mitsl atau seratus. Jika mahr al-mitsl lebih besar, maka itu yang wajib karena nilai yang disepakati batal dan yang wajib adalah mahr al-mitsl. Jika seratus lebih besar, maka seratus yang wajib karena ia telah rela dengannya. Adapun sang wakil, jika ia menanggung imbalan tersebut dalam tanggungannya, maka suami boleh menuntut kelebihan darinya, karena ia menanggungnya dalam akad.
وإن لم يضمن بأن أضاف إلى مال الزوجة لم يرجع عليه بشيء فإن خالع على خمر أو خنزير وجب مهر المثل لأن المسمى سقط فوجب مهر المثل فإن وكل الزوج في الخلع ولم يقدر العوض فخالع الوكيل بأقل من مهر المثل فقد نص فيه على قولين: قال في الإملاء يقع ويرجع عليه بمهر المثل وقال في الأم الزوج بالخيار بين أن يرضى بهذا العوض ويكون الطلاق بائناً وبين أن يرده ويكون الطلاق رجعياً وقال فيمن وكل وقدر العوض فخالع على أقل منه أن الطلاق لا يقع فمن أصحابنا من نقل القولين في الوكالة المطلقة إلى الوكالة التي قدر فيها العوض والقول في الوكالة التي قدر فيها العوض إلى الوكالة المطلقة وهو الصحيح عندي
Dan jika ia (wakil) tidak menanggung (imbalan) dengan menisbahkannya kepada harta istri, maka suami tidak dapat menuntut apa pun darinya. Jika khulu‘ dilakukan dengan imbalan khamar atau babi, maka wajib mahr al-mitsl, karena nilai yang disebutkan gugur, maka wajib mahr al-mitsl. Jika suami mewakilkan untuk melakukan khulu‘ dan tidak menentukan imbalan, lalu wakil melakukan khulu‘ dengan imbalan yang kurang dari mahr al-mitsl, maka terdapat dua pendapat yang dinyatakan secara tegas: dalam al-Imlā’ disebutkan bahwa talak jatuh dan suami berhak menuntut mahr al-mitsl; sedangkan dalam al-Umm, suami diberi pilihan antara menerima imbalan tersebut dan talaknya menjadi bā’in, atau menolaknya dan talaknya menjadi raj‘ī. Dan dalam kasus seseorang yang mewakilkan dan menentukan imbalan, lalu wakil melakukan khulu‘ dengan nilai yang lebih rendah, maka talaknya tidak jatuh. Sebagian sahabat kami memindahkan dua pendapat dalam kasus wakalah muṭlaqah (yang tidak ditentukan imbalannya) ke kasus wakalah yang imbalannya telah ditentukan, dan sebaliknya, dari kasus yang imbalannya telah ditentukan ke kasus muṭlaqah, dan inilah yang menurutku benar.
لأن الوكالة المطلقة تقتضي المنع من النقصان عن المقدر فيكون في المسألتين ثلاثة أقوال: أحدها أنه لا يقع الطلاق لأنه طلاق أوقعه على غير الوجه المأذون فيه فلم يقع كما لو وكله في الطلاق في يوم فأوقعه في يوم آخر والثاني أنه يقع الطلاق بائناً ويجب مهر المثل لأن الطلاق مأذون فيه فإذا وقع لم يرد والمسمى فاسد فوجب مهر المثل كما لو خالعها الزوج على عوض فاسد والثالث أن الطلاق يقع لأنه مأذون فيه وإنما قصر في البدل فثبت له الخيار بين أن يرضى بهذا العوض ويكون الطلاق بائناً وبين أن يرد ويكون الطلاق رجعياً
Karena wakalah muṭlaqah mengandung larangan untuk mengurangi dari kadar yang telah ditetapkan, maka dalam dua permasalahan ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, talak tidak jatuh karena merupakan talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan izin yang diberikan, maka tidak sah, sebagaimana jika seseorang mewakilkan talak pada hari tertentu lalu dijatuhkan pada hari lain.
Kedua, talak jatuh secara bā’in dan wajib mahr al-mitsl, karena talak tersebut telah diizinkan, maka apabila telah dijatuhkan tidak dapat dibatalkan, dan imbalan yang disebutkan rusak, sehingga wajib mahr al-mitsl, sebagaimana jika suami melakukan khulu‘ dengan imbalan yang rusak.
Ketiga, talak jatuh karena talak itu diizinkan, hanya saja terdapat kekurangan dalam hal imbalan, maka suami diberi pilihan antara menerima imbalan tersebut dan talaknya menjadi bā’in, atau menolaknya dan talaknya menjadi raj‘ī.
لأنه لا يمكن إجبار الزوج على المسمى لأنه دون المأذون فيه ولا يمكن إجبارها على مهر المثل فيما أطلق ولا على الذي نص عليه من المقدر لأنها لم ترض به فخير بين الأمرين ليزول الضرر عنهما ومن أصحابنا من قال فيما قدر العوض فيه لا يقع الطلاق لأنه خالف نصه وفيما أطلق يقع الطلاق لأنه لم يخالف نصه وإنما خالفه من جهة الاجتهاد وهذا يبطل بالوكيل في البيع فأنه لا فرق بين أن يقدر له الثمن فباع بأقل منه وبين أن يطلق فباع بما دون ثمن المثل وإذا خالعها على خمر أو خنزير لم يقع الطلاق لأنه طلاق غير مأذون فيه فيخالف وكيل المرأة فأنه لا ويقع الطلاق وإنما يقبله فإذا كان العوض فاسداً سقط ورجع إلى مهر المثل.
Karena tidak mungkin memaksa suami menerima imbalan yang kurang dari apa yang diizinkan, dan tidak mungkin pula memaksa istri membayar mahr al-mitsl dalam kasus wakalah yang bersifat muṭlaqah, atau membayar sesuai nominal yang telah ditentukan dalam wakalah muqayyadah karena ia tidak rela, maka suami diberi pilihan di antara dua hal tersebut agar hilang mudarat dari keduanya.
Sebagian sahabat kami berkata: dalam kasus yang imbalannya ditentukan, talak tidak jatuh karena bertentangan dengan teks perintahnya; sedangkan dalam kasus yang tidak ditentukan, talak jatuh karena tidak bertentangan secara teks, hanya bertentangan secara ijtihad. Namun ini terbantahkan dengan perwakilan dalam jual beli, karena tidak ada perbedaan antara seseorang yang diberi kuasa dengan harga tertentu lalu menjual di bawahnya, dengan yang tidak diberi ketentuan harga lalu menjual di bawah harga mitsl.
Dan jika ia melakukan khulu‘ dengan imbalan khamar atau babi, maka talak tidak jatuh, karena itu merupakan talak yang tidak diizinkan. Ini berbeda dengan wakil istri, karena ia tidak menjatuhkan talak, melainkan hanya menerima. Maka jika imbalannya rusak, maka imbalan tersebut gugur dan kembali kepada mahr al-mitsl.
فصل: وإذا خالع امرأة في مرضه ومات لم يعتبر البدل من الثلث سواء حابى أو لم يحاب لأنه لا حق للورثة في بضع المرأة ولهذا لو طلق من غير عوض لم تعتبر قيمة البضع من الثلث فإن خالعت المرأة زوجها في مرضها وماتت فإن لم يزد العوض على مهر المثل اعتبر من رأس المال لأن الذي بذلت بقيمة ما ملكته فأشبه إذا اشترت متاعاً بثمن المثل وإن زاد على مهر المثل اعتبرت الزيادة من الثلث لأنه لا يقابلها بدل فاعتبرت من الثلث كالهبة فإن خالعت على عبد قيمته مائة ومهر مثلها خمسون فقد حابت بنصفه فلم يخرج النصف من الثلث بأن كان عليها ديون تستغرق قيمة العبد فالزوج بالخيار بين أن يقر العقد في العبد فيستحق نصفه وبين أن يفسخ العقد فيه ويستحق مهر المثل ويضرب به مع الغرماء لأن الصفقة تبعضت عليه
PASAL: Apabila seorang laki-laki melakukan khulu‘ terhadap seorang perempuan dalam keadaan sakit dan ia meninggal dunia, maka ‘iwadh tidak dihitung dari sepertiga harta peninggalan, baik ia melakukan muhāba maupun tidak, karena ahli waris tidak memiliki hak atas bidh‘ (kemaluan) perempuan. Oleh karena itu, jika ia menceraikannya tanpa ‘iwadh, maka nilai bidh‘ tidak dihitung dari sepertiga harta.
Namun apabila perempuan yang melakukan khulu‘ terhadap suaminya dalam keadaan sakit lalu ia meninggal dunia, maka jika ‘iwadh tidak melebihi mahar mitsl, maka ia dihitung dari harta pokok (bukan sepertiga) karena yang ia berikan senilai dengan apa yang ia miliki, sehingga menyerupai orang yang membeli barang seharga nilai pasarannya.
Tetapi jika ‘iwadh melebihi mahar mitsl, maka kelebihan itu dihitung dari sepertiga harta, karena kelebihan tersebut tidak memiliki ganti (badal) yang sepadan, maka dihitung dari sepertiga seperti hibah.
Apabila ia melakukan khulu‘ dengan menyerahkan seorang budak yang nilainya seratus, sedangkan mahar mitsl-nya adalah lima puluh, maka ia telah melakukan muhāba sebesar separuh. Maka, jika separuh itu tidak bisa diambil dari sepertiga harta karena ia memiliki utang yang menyamai nilai budak, maka suami diberikan hak pilihan antara menetapkan akad khulu‘ atas budak itu lalu ia berhak atas separuhnya, atau membatalkan akad terhadap budak itu dan berhak atas mahar mitsl, lalu menuntutnya bersama para penagih utang lainnya, karena transaksi itu terbagi atas dirinya.
وإن خرج النصف من الثلث أخذ جميع العبد نصفه بمهر المثل ونصفه بالمحاباة ومن أصحابنا من قال هو بالخيار بين أن يقر العقد في العقد بين أن يفسخ العقد فيه ويستحق مهر المثل لأنه تبعضت عليه الصفقة من طريق الحكم لأنه دخل على أن يكون جميع العبد له عوضاً وقد صار نصفه عوضاً ونصفه وصية والمذهب الأول
Jika separuh nilai budak dapat diambil dari sepertiga harta, maka suami berhak mengambil seluruh budak: separuhnya sebagai ganti mahar mitsl dan separuhnya karena muhāba.
Sebagian dari kalangan kami (ulama mazhab) berpendapat bahwa suami diberi hak pilihan antara menetapkan akad atas budak tersebut atau membatalkannya dan mendapatkan mahar mitsl, karena transaksi tersebut telah terbagi dari sisi hukum. Sebab ia masuk akad dengan anggapan seluruh budak adalah sebagai ‘iwadh, namun ternyata separuhnya menjadi ‘iwadh dan separuhnya menjadi wasiat.
Namun pendapat yang menjadi mazhab adalah pendapat pertama.
لأن الخيار إنما يثبت بتبعيض الصفة لما يلحقه من الضرر لسوء المشاركة ولا ضرر عليها ههنا لأنه صار جميع العبد له فلم يثبت له الخيار. ألفاً فأنت طالق ثلاثاً فأعطته بعض الألف لم يقع شئ لأن ما كان من جهته طريقه الصفات ولم توجد الصفة فلم يقع وما كان من جهتها طريقه الأعواض فقسم على عدد الطلاق وإن بقيت له على امرأته طلقة فقالت له طلقني ثلاثاً ولك علي ألف فطلقها واحدة فالمنصوص أنه يستحق الألف واختلف أصحابنا فيه
Karena hak memilih (khiyār) itu ditetapkan akibat terbaginya objek akad yang menimbulkan kerugian karena buruknya pembagian, sedangkan di sini tidak ada kerugian baginya karena seluruh budak telah menjadi miliknya, maka tidak ditetapkan baginya hak memilih.
Jika ia berkata: “Serahkan kepadaku seribu, maka engkau tertalak tiga,” lalu sang istri hanya memberikan sebagian dari seribu tersebut, maka tidak terjadi apa-apa, karena bagian yang bersumber dari pihak suami jalan terjadinya adalah melalui sifat (ṣifāt), dan jika sifat itu tidak terwujud maka tidak terjadi. Sedangkan bagian yang berasal dari pihak istri jalan terjadinya melalui ‘iwādh, maka dibagi sesuai dengan jumlah talak.
Jika suami hanya memiliki satu talak tersisa atas istrinya, lalu istrinya berkata: “Talaklah aku tiga kali dan bagimu atas aku seribu,” kemudian ia menalaknya satu kali, maka pendapat manṣūṣ (yang dinyatakan oleh imam mazhab) adalah bahwa ia berhak atas seribu tersebut. Namun para ulama mazhab kami berbeda pendapat dalam masalah ini.
فقال أبو العباس وأبو إسحاق المسألة مفروضة في امرأة علمت أنه لم يبق له لا طلقة فيكون معنى قولها طلقني ثلاثاً أي كمل لي الثلاث كرجل أعطى رجل نصف درهم فقال له أعطني درهماً أي كمل لي درهماً وأما إذا ظنت أن لها الثلاث لم يجب أكثر من ثلث الألف لأنها بذلت الألف في مقابلة الثلاث فوجب أن يكون لكل طلقة ثلث الألف ومن أصحابنا من قال يستحق الألف بكل حال لأن القصد من الثلاث تحريمها إلى أن تنكح زوجاً غيره وذلك يحصل بهذه السلفة فاستحق بها الجميع وقال المزني رحمه الله: لا يستحق إلا ثلث الألف علمت أو لم تعلم
Berkata Abul-‘Abbās dan Abū Isḥāq: Masalah ini dibahas dalam konteks seorang perempuan yang mengetahui bahwa suaminya hanya memiliki satu talak tersisa. Maka makna ucapannya “ṭalliqnī thalāthan” (talaklah aku tiga kali) adalah: sempurnakanlah tiga talak bagiku, sebagaimana seseorang memberikan setengah dirham kepada orang lain lalu berkata, “Berikan aku satu dirham,” maksudnya adalah sempurnakan menjadi satu dirham.
Adapun jika ia menyangka bahwa suaminya masih memiliki tiga talak, maka tidak wajib diberikan lebih dari sepertiga dari seribu (al-alf), karena ia menyerahkan seribu itu sebagai imbalan atas tiga talak, maka wajib dibagi bahwa setiap satu talak setara dengan sepertiga dari seribu.
Sebagian ulama dari kalangan kami mengatakan: suami berhak atas seluruh seribu dalam segala keadaan, karena maksud dari permintaan tiga talak adalah untuk menjadikannya haram (tidak bisa kembali) hingga ia menikah dengan suami lain, dan hal itu telah tercapai dengan satu talak yang tersisa ini, maka ia berhak atas seluruh ‘iwadh.
Adapun al-Muzanī rahimahullāh berkata: suami tidak berhak kecuali atas sepertiga dari seribu, baik istri tahu ataupun tidak tahu.
لأن التحريم يتعلق بها وبطلقتين قبلها كما إذا شرب ثلاث أقداح فسكر كان السكر بثلاث وإذا فقأ عين الأعور كان العمى بفقء الباقية وبالمفقوءة قبلها وهذا خطأ لأن لكل قدح تأثيراً في السكر ولذهاب العين الأولى تأثيراً في العمى ولا تأثير للأولى والثانية في التحريم لأنه لو كان لهما تأثير في التحريم لكمل لأنه لا يتبعض وإن ملك عليها ثلاث تطليقات فقالت له طلقني بألف فطلقها ثلاثاً استحق الألف لأنه فعل ما طلبته وزيادة فصار كما لو قال من رد عبدي فلاناً فله دينار فرده مع عبدين آخرين فإن قالت طلقني عشراً بألف فطلقها واحدة ففيه وجهان: أحدهما يجب عشر الألف لأنها جعلت لكل طلقه عشر الألف
Karena pengharaman (istri atas suami) itu bergantung padanya (talak ketiga) dan pada dua talak sebelumnya, sebagaimana jika seseorang meminum tiga gelas lalu mabuk, maka mabuk itu berasal dari ketiganya; dan jika seseorang memecahkan mata orang yang satu matanya telah buta, maka kebutaan terjadi karena memecahkan mata yang tersisa dan juga karena yang telah buta sebelumnya.
Namun ini adalah pendapat yang salah. Karena setiap gelas berpengaruh terhadap mabuk, dan hilangnya mata pertama berpengaruh terhadap kebutaan, sedangkan dua talak pertama tidak memiliki pengaruh terhadap keharaman (istri atas suami). Sebab jika keduanya berpengaruh, maka pengharaman akan sempurna (dengan talak sebelumnya), padahal talak tidak bisa terbagi-bagi.
Jika seorang suami memiliki tiga talak atas istrinya, lalu istri berkata: “Talaklah aku dengan seribu,” kemudian ia menalaknya tiga kali, maka ia berhak atas seribu, karena ia telah melakukan apa yang diminta, bahkan lebih (yakni dengan satu ucapan). Maka keadaannya seperti orang yang berkata: “Barangsiapa mengembalikan budakku si fulan, maka baginya satu dinar,” lalu orang itu mengembalikannya bersama dua budak lainnya, maka tetap berhak atas satu dinar.
Namun jika istri berkata: “Talaklah aku sepuluh kali dengan seribu,” lalu ia hanya menalaknya satu kali, maka ada dua pendapat:
Pertama, ia hanya berhak sepersepuluh dari seribu, karena istri telah menjadikan setiap satu talak sebanding dengan sepersepuluh dari seribu.
والثاني يجب له ثلث الألف لأنه ما زاد على الثلاث لا يتعلق به حكم وإن طلقها ثلاثاً فله على الوجه الأول ثلاثة أعشار الألف وعلى الوجه الثاني له جميع الألف وإن بقيت له طلقة فقالت له: طلقني ثلاثاً على ألف طلقة أحرم بها عليك وطلقتين في نكاح آخر إذا نكحتني فطلقها لثلاث وقعت طلقة ولا يصح ما زاد لأنه سلف في الطلاق ولأنه طلاق قبل النكاح فإن قلنا إن الصفقة لا تفرق فقال المسمى ووجب مهر المثل وإن قلنا نفرق الصفقة ففيما يستحق قولان: أحدهما ثلث الألف والثاني جميع الألف كما قلنا في البيع.
Pendapat kedua: suami berhak atas sepertiga dari seribu, karena apa yang melebihi tiga talak tidak memiliki konsekuensi hukum.
Apabila ia menalaknya tiga kali, maka menurut pendapat pertama (bahwa setiap talak ada nilai bandingannya), ia berhak atas tiga persepuluh dari seribu; sedangkan menurut pendapat kedua (bahwa talak tiga nilainya penuh), maka ia berhak atas seluruh seribu.
Jika suami hanya memiliki satu talak tersisa, lalu istrinya berkata: “Talaklah aku tiga kali dengan seribu; satu talak yang mengharamkan aku atasmu, dan dua talak lagi dalam pernikahan lain jika kamu menikahiku kembali,” lalu suami menalaknya tiga kali sekaligus, maka hanya jatuh satu talak saja; dan talak selebihnya tidak sah, karena merupakan salam (jual beli utang) dalam perkara talak, dan juga karena merupakan talak sebelum adanya pernikahan (yang sah).
Jika dikatakan bahwa akad (ṣafqah) tidak bisa dibagi, maka batal ‘iwadh yang disebutkan dan wajib baginya mahar mitsl.
Namun jika dikatakan bahwa akad dapat dibagi, maka dalam hal berapa banyak yang berhak diterima suami terdapat dua pendapat:
- Pertama: sepertiga dari seribu,
- Kedua: seluruh seribu, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam permasalahan jual beli.
فصل: وإن قالت أنت طالق على ألف وطالق وطالق لم تقع الثانية والثالثة لأنها بانت بالأولى وإن قالت أنت طالق وطالق وطالق على الألف وقال أردت الأولى بالألف لم يقع ما بعدها لأنها بانت بالأولى وإن قال أردت الثانية بالألف فإن قلنا يصح خلع الرجعية وقعت الأولى رجعية وبانت بالثانية ولم تقع الثالثة وإن قلنا لا يصح خلع الرجعية وقعت الأولى رجعية أو الثانية رجعية وبانت الثالثة وإذا قال أردت الثالثة بالألف فقد ذكر بعض أصحابنا أنه يصح ويستحق الألف قولاً واحداً
PASAL: Jika istri berkata, “Engkau tertalak dengan tebusan seribu,” lalu berkata, “dan tertalak, dan tertalak,” maka talak kedua dan ketiga tidak jatuh karena dia telah menjadi bain dengan talak pertama. Jika ia berkata, “Engkau tertalak, dan tertalak, dan tertalak dengan tebusan seribu,” lalu suami berkata, “Aku maksudkan yang pertama dengan tebusan seribu,” maka talak setelahnya tidak jatuh karena dia telah menjadi bain dengan talak pertama. Jika ia berkata, “Aku maksudkan yang kedua dengan tebusan seribu,” maka jika kita katakan bahwa khulu‘ sah terhadap istri yang masih dalam masa raj‘ah, maka talak pertama adalah raj‘i dan menjadi bain dengan talak kedua, dan talak ketiga tidak jatuh. Namun jika kita katakan bahwa khulu‘ tidak sah terhadap istri yang masih raj‘i, maka talak pertama atau kedua adalah raj‘i, dan menjadi bain dengan talak ketiga. Dan apabila ia berkata, “Aku maksudkan yang ketiga dengan tebusan seribu,” maka sebagian ulama kami menyatakan bahwa itu sah dan ia berhak atas seribu itu tanpa ada perbedaan pendapat.
لأنه يحصل بالثالثة من التحريم ما لا يحصل بغيرها وعندي أنه لا يستحق الألف على القول الذي يقول أنه لا يصح خلع الرجعية لأن الخلع يصادف رجعية وإن قال أردت الثلاث بالألف لم تقع الثانية والثالثة لأن الأولى وقعت بثلث الألف وبانت بها فلم يقع ما بعدها.
Karena dengan talak ketiga terjadi keharaman yang tidak terjadi dengan selainnya. Menurutku, suami tidak berhak atas seribu itu menurut pendapat yang menyatakan bahwa khulu‘ tidak sah terhadap istri yang masih raj‘i, karena khulu‘ terjadi saat istri dalam status raj‘i. Dan jika ia berkata, “Aku maksudkan ketiga talak dengan tebusan seribu,” maka talak kedua dan ketiga tidak jatuh, karena yang pertama jatuh dengan sepertiga dari seribu dan telah menjadikannya bain, maka talak setelahnya tidak jatuh.
فصل: وإن قال أنت طالق وعليك ألف طلقت ولا يستحق عليها شيئاً لأنه أوقع الطلاق من غير عوض ثم استأنف إيجاب العوض من غير طلاق فإن كان ذلك بعد الدخول فله أن يراجع لأنه طلق من غير عوض وإن قال أنت طالق على أن عليك ألفاً فقبلت صح الخلع ووجب المال لأن تقديره أنت طالق على ألف فإذا قبلت وقع الطلاق ووجب المال.
PASAL: Jika suami berkata, “Engkau tertalak dan engkau wajib membayar seribu,” maka jatuh talak dan ia tidak berhak atas apa pun darinya karena ia menjatuhkan talak tanpa ‘iwadh lalu menyusulkannya dengan menetapkan kewajiban membayar ‘iwadh tanpa disertai talak. Jika hal itu terjadi setelah hubungan suami istri, maka suami boleh merujuk kembali karena ia menjatuhkan talak tanpa ‘iwadh. Namun jika ia berkata, “Engkau tertalak dengan syarat engkau wajib membayar seribu,” lalu istri menerimanya, maka khulu‘ sah dan uang menjadi wajib karena maksudnya adalah, “Engkau tertalak dengan tebusan seribu,” maka ketika istri menerima, jatuhlah talak dan menjadi wajiblah tebusan.
فصل: إذا قالت إن دفعت لي ألف درهم فأنت طالق فإن نويا صنفاً من الدراهم صح الخلع وحمل الألف على ما نويا لأنه عوض معلوم وإن لم ينويا صنفاً نظرت فإن كان في موضع فيه نقد غالب حمل العقد عليه لأن إطلاق العوض يقتضي نقد البلد كما تقول في البيع وإن لم يكن فيه نقد غالب فدفعت إليه ألف درهم بالعدد دون الوزن لم تطلق لأن الدراهم في عرف الشرع بالوزن وإن دفعت إليه ألف درهم نقرة لم تطلق لأنه لا يطلق اسم الدراهم على النقرة
PASAL: Jika istri berkata, “Jika engkau memberiku seribu dirham maka engkau tertalak,” maka jika keduanya meniatkan jenis tertentu dari dirham, khulu‘ sah dan seribu itu dibawa kepada apa yang mereka niatkan, karena itu adalah ‘iwaḍ yang diketahui. Jika mereka tidak meniatkan jenis tertentu, maka dilihat: jika di tempat tersebut terdapat mata uang yang dominan, maka akad dibawa kepada mata uang itu, karena penyebutan ‘iwaḍ secara mutlak berarti mengacu kepada mata uang setempat, sebagaimana dalam jual beli. Jika di tempat tersebut tidak ada mata uang yang dominan, lalu suami memberikan seribu dirham secara bilangan tanpa ditimbang, maka talak tidak jatuh karena dirham dalam ‘urf syar‘i diukur dengan timbangan. Jika ia memberikan seribu dirham berupa logam murni (nuqrah), maka talak juga tidak jatuh karena logam murni tidak disebut dengan nama dirham.
وإن دفعت إليه ألف درهم فضة طلقت لوجود الصفة ويجب ردها لأن العقد وقع على عوض مجهول ويرجع بمهر المثل لأنه تعذر الرجوع إلى المعوض فوجب بدله وإن دفعت إليه دراهم مغشوشة فإن كانت الفضة فيها تبلغ ألف درهم طلقت لوجود الصفة وإن كانت الفضة فيها ألف درهم لم تطلق لأن الدراهم لم تطلق إلا على الفضة.
Jika istri memberikan kepada suami seribu dirham perak, maka talak jatuh karena sifatnya terpenuhi, namun perak itu wajib dikembalikan karena akad terjadi atas ‘iwaḍ yang majhūl, dan ia berhak mendapat ganti berupa mahr al-mitsl, karena tidak mungkin kembali kepada ‘iwaḍ yang disepakati sehingga wajib menggantinya. Jika ia memberikan dirham yang tercampur (tidak murni), maka jika kandungan peraknya mencapai seribu dirham, talak jatuh karena sifatnya terpenuhi. Namun jika kandungan peraknya kurang dari seribu dirham, talak tidak jatuh karena nama “dirham” tidak berlaku kecuali pada perak murni.
فصل: وإن قال أعطيتني عبداً فأنت طالق فأعطته عبداً تملكه طلقت سليماً كان أم معيباً قناً أو مدبراً لأن اسم العبد يقع عليه ويجب رده والرجوع بمهر المثل لأنه عقد وقع على مجهول وإن دفعت إليه مكاتباً أو مغصوباً لم تطلق لأنها لا تملك العقد عليه وإن قال إن أعطيتني هذا العبد فأنت طالق فأعطته وهو مغصوب ففيه وجهان: أحدهما وهو قول أبي علي بن أبي هريرة أنها لا تطلق كما لو خالعها على عبد غير معين فأعطته عبداً مغصوباً والثاني وهو المذهب أنها تطلق لأنها أعطته ما عينه ويخالف إذا خالعها على عبد غير معين لأن هناك أطلق العقد فحمل على ما يقتضيه العقد والعقد يقتضي دفع عبد تملكه.
PASAL: Jika suami berkata, “Jika engkau memberiku seorang budak, maka engkau tertalak,” lalu istri memberinya seorang budak yang ia miliki, maka tertalaklah ia — baik budak itu sehat maupun cacat, budak biasa (qan), atau mudabbar, karena nama budak mencakup semuanya. Maka budak itu wajib dikembalikan dan suami berhak mendapatkan mahar mitsil, karena akad itu jatuh pada sesuatu yang majhul (tidak jelas).
Jika istri memberinya budak mukatab atau budak hasil ghasab, maka tidak tertalak, karena ia tidak memiliki hak atas akad terhadap budak itu.
Jika suami berkata, “Jika engkau memberiku budak ini, maka engkau tertalak,” lalu istri memberikannya budak tersebut padahal budak itu adalah hasil ghasab, maka ada dua pendapat:
Pertama, menurut Abu ‘Ali bin Abi Hurairah: tidak tertalak, seperti halnya jika suami menjatuhkan khulu‘ terhadap budak yang tidak ditentukan lalu istri memberinya budak hasil ghasab.
Kedua, dan ini adalah pendapat yang mu‘tamad, ia tertalak, karena istri telah memberikan budak yang telah ditentukan. Ini berbeda dengan khulu‘ terhadap budak yang tidak ditentukan, karena di sana akadnya bersifat umum dan dibawa kepada makna yang dituntut oleh akad, yaitu budak yang dimiliki.
فصل: وإن اختلف الزوجان فقال الزوج طلقتك على مال وأنكرت المرأة بانت بإقراره ولم يلزمها المال لأن الأصل عدمه وإن قال طلقتك بعوض فقالت طلقني بعوض بعد مضي الخيار بانت بإقراره والقول في العوض قولها لأن الأصل براءة ذمتها وإن اختلفا في قدر العوض أو في عينة أو صفته أو في تعجيله أو تأجيله تحالفا لأنه عوض في عقد معاوضة فتحالفا فيه على ما ذكرناه كالبيع فإذا تحالفا لم يرتفع الطلاق وسقط المسمى ووجب مهر المثل كما لو اختلفا في ثمن السلعة بعدما تلفت في يد المشتري وإن خالعها على ألف درهم واختلفا فيما نويا فادعى أحدهما صنفاً وادعى الأخر صنفاً آخر تحالفا
PASAL: Jika suami istri berselisih, lalu suami berkata, “Aku telah mentalakmu dengan imbalan,” sementara istri mengingkarinya, maka ia menjadi bā’in dengan pengakuan suami, namun tidak wajib atasnya membayar imbalan karena asalnya tidak ada. Dan jika suami berkata, “Aku mentalakmu dengan imbalan,” lalu istri berkata, “Engkau telah mentalakku dengan imbalan setelah lewatnya waktu khiyār,” maka ia menjadi bā’in dengan pengakuan suami dan perkataan mengenai imbalan adalah perkataan istri karena asalnya adalah berlepasnya tanggungan.
Jika keduanya berselisih dalam kadar imbalan, atau jenisnya, atau sifatnya, atau dalam hal disegerakan atau ditangguhkan, maka keduanya saling bersumpah karena itu adalah imbalan dalam akad mu‘āwaḍah, maka keduanya saling bersumpah di dalamnya sebagaimana telah kami sebutkan dalam jual beli. Apabila keduanya saling bersumpah, maka talak tidak gugur, namun imbalan yang disebutkan gugur, dan wajib mahar mitsil, sebagaimana jika keduanya berselisih dalam harga barang setelah barang tersebut rusak di tangan pembeli.
Dan jika suami menjatuhkan khulu‘ atas seribu dirham, lalu keduanya berselisih dalam apa yang diniatkan, salah satunya mengklaim satu jenis, dan yang lainnya mengklaim jenis lain, maka keduanya saling bersumpah.
ومن أصحابنا من قال لا يصح للاختلاف في النية لأن ضمائر القلوب لا تعلم والأول هو المذهب لأنه لما جاز أن تكون النية كاللفظ في صحة العقد عند الاتفاق وجب أن تكون كالفظ عند الاختلاف ولأنه قد يكون بينهما أمارات يعرف بها ما في القلوب ولهذا يصح الاختلاف في كنايات القذف والطلاق وإن قال أحدهما خالعت على ألف درهم وقال الآخر خالعت على ألف مطلق تحالفا لأن أحدهما يدعي الدراهم والأخر يدعي مهر المثل
Dan sebagian dari para sahabat kami berkata: tidak sah karena adanya perbedaan niat, sebab isi hati tidak dapat diketahui. Namun pendapat pertama adalah mazhab (yang sahih), karena ketika niat boleh dianggap seperti lafaz dalam sahnya akad saat terjadi kesepakatan, maka wajib pula dianggap seperti lafaz saat terjadi perselisihan. Dan karena bisa saja ada tanda-tanda di antara keduanya yang dapat menunjukkan isi hati. Oleh karena itu, sah terjadi perbedaan dalam kināyah (lafaz sindiran) qadhf dan talak.
Dan jika salah satu dari keduanya berkata, “Aku melakukan khulu‘ atas seribu dirham,” dan yang lain berkata, “Aku melakukan khulu‘ atas seribu (tanpa menyebut jenis),” maka keduanya saling bersumpah, karena salah satu mengklaim seribu dirham dan yang lain mengklaim mahar mitsil.
وإن بقيت له طلقة فقالت له طلقني ثلاثاً على ألف فطلقها قلنا أنها إن علمت ما بقي استحق الألف وإن لم تعلم لم يستحق إلا ثلث الألف وإن اختلفا فقالت المرأة نعم أعلم وقال الزوج: بل علمت تحالفا ورجع الزوج إلى مهر المثل لأنه اختلاف في عوض الطلقة وهي تقول بذلت ثلث الألف في مقابلتها وهو يقول بذلت الألف.
Dan jika suami masih memiliki satu talak, lalu istri berkata kepadanya, “Talaklah aku tiga kali dengan imbalan seribu,” lalu suami mentalaknya, maka kami katakan: jika ia (istri) mengetahui sisa talak yang ada, maka ia berhak menerima seribu; namun jika ia tidak mengetahui, maka suami hanya berhak sepertiga dari seribu.
Dan jika keduanya berselisih, lalu istri berkata, “Ya, aku tahu (bahwa yang tersisa hanya satu talak),” sementara suami berkata, “Bahkan engkau tidak tahu,” maka keduanya saling bersumpah, dan suami kembali kepada mahar mitsil, karena ini adalah perselisihan dalam imbalan satu talak, di mana istri berkata: “Aku memberikan sepertiga dari seribu untuk satu talak,” dan suami berkata: “Aku memberikan seluruh seribu.”
فصل: وإن قال خالعتك على ألف وقالت بل خالعت غيري بانت المرأة لاتفاقهما على الخلع والقول في العوض قولها لأنه يدعي عليها حقاً والأصل عدمه وإن قالت خالعتك على ألف وقالت خالعتني على ألف ضمنها عني زيد لزمها الألف لأنها أقرت به ولا شيء على زيد إلا أن يقر به وإن قال خالعتك على ألف في ذمتك فقالت بل خالعتني على ألف لي في ذمة زيد تحالفا لأن الزوج يدعي عوضاً في ذمتها وهي تدعي عوضاً في ذمة غيرها وصار كما لو ادعى أحدهما أن العوض عنده وادعى أخر أنه عند الآخر.
PASAL: Jika suami berkata, “Aku telah mukhāla‘ah denganmu atas seribu,” dan istri berkata, “Bukan, aku mukhāla‘ah dengan orang lain,” maka wanita itu menjadi bā’in karena keduanya sepakat atas terjadinya khulu‘, dan dalam hal ‘iwaḍ (tebusan) perkataan istri yang dipegang karena suami menuntut hak darinya, sedangkan asalnya adalah tidak ada.
Jika istri berkata, “Aku mukhāla‘ah denganmu atas seribu,” dan suami berkata, “Aku mukhāla‘ah denganmu atas seribu yang ditanggung Zaid dariku,” maka wajib baginya (istri) membayar seribu karena ia mengakuinya, dan tidak ada kewajiban atas Zaid kecuali jika ia mengakuinya.
Jika suami berkata, “Aku mukhāla‘ah denganmu atas seribu yang ada di tanggunganmu,” lalu istri berkata, “Bukan, tapi engkau mukhāla‘ah denganku atas seribu yang menjadi tanggungan Zaid kepadaku,” maka keduanya saling bersumpah, karena suami menuntut ‘iwaḍ dari tanggungan istri, sementara istri menuntut ‘iwaḍ dari tanggungan orang lain. Ini seperti halnya ketika salah satu dari keduanya mengklaim bahwa ‘iwaḍ ada pada dirinya, sementara yang lain mengklaim bahwa ‘iwaḍ ada pada orang lain.
(2/499)